BPK Tidak Bisa Digugat, tapi Tak Kebal Hukum

advertisement
laporan KHUSUS
BPK Tidak Bisa Digugat,
tapi Tak Kebal Hukum
Sepanjang tak
ada hak-hak
hukum auditee
yang dilanggar,
BPK tak perlu
merisaukan
adanya gugatan.
Gugatan
merupakan
konsekuensi
adanya tuntutan
keterbukaan
informasi
publik. Auditee
masih memiliki
peluang
agar laporan
diperbaiki.
22
FEBRUARI 2011
22- 28 laporan khusus.indd 22
n Bambang Widjajanto
P
ara auditor BPK bisa sedikit bernafas lega. Pasalnya, dua dari empat gugatan yang dilayangkan ke
BPK, dikandaskan oleh Pengadilan
Tata Usaha Negara Samarinda dan Pengadilan Negeri Salatiga. Sekalipun di masa mendatang tak mustahil masih akan bermunculan gugatan-gugatan baru, dua keputusan
pengadilan itu menunjukkan bahwa para
auditor BPK telah bekerja pada rel yang
benar.
Yang lebih menggembirakan lagi, majelis hakim memasukkan hasil kerja keras
para auditor BPK yang beretika, profesional, jujur, dan tidak mengada-ada itu ke dalam dasar pertimbangan hukum. Dengan
sandaran hasil pemeriksaan BPK itu, majelis
hakim PN Salatiga yang menangani perkara
tersebut akhirnya memutuskan gugatan itu
tidak bisa diterima atau Niet Onvankelijk
Verklaard. Adapun, Majelis Hakim PTUN
Samarinda mengabulkan eksepsi yang diajukan BPK terkait kompetensi absolut.
Pakar hukum Bambang Widjajanto berpendapat munculnya gugatan-gugatan itu
sebenarnya tidak perlu dirisaukan. Pada era
transparansi yang ditandai dengan keterbukaan informasi publik juga telah mendapat
perlindungan UU. Munculnya gugatan akan
menjadi suatu konsekuensi bagi lembaga
yang memiliki kewenangan memeriksa dan
menyajikan akuntabilitas institusi atau pejabat yang mengelola keuangan negara.
BPK sebagai lembaga yang berwenang
untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara dan pemeriksaan
atas tanggung jawab terhadap institusi yang
mengelola keuangan negara, tentu memiliki peranan penting dalam memberikan informasi kepada publik terkait dengan akuntabiltas lembaga itu. Tak mengherankan bila
BPK terkena imbas gugatan tersebut..
Warta BPK
23/02/2011 19:31:11
Menurut UU, dalam tenggang waktu 2 bulan, hasil pemeriksaan BPK
atas laporan keuangan pemerintah
pusat harus disampaikan kepada DPR
dan DPD. Adapun, hasil pemeriksaan
atas pengelolaan keuangan pemerintah daerah harus diserahkan kepada
DPRD. Selain itu laporan pemeriksaan
itu juga harus disampaikan pula kepada Presiden/Gubernur, Bupati/Wali
Kota sesuai dengan kewenangannya.
UU juga menyatakan laporan hasil
pemeriksaan yang telah disampaikan
kepada lembaga perwakilan, dinyatakan terbuka untuk umum. “Nah dari
pasal-pasal ini jelas terlihat adanya
upaya transparasi penyampaian informasi publik menyangkut akuntabilitas
institusi-institusi yang mengelola keuangan negara tersebut,” tegas Bambang.
Lantas apakah BPK bisa digugat?
Pejabat negara yang tengah menjalankan tugasnya atas perintah UU tentu
tidak bisa digugat. Bahkan, dalam Pasal 51 KUHP disebutkan pejabat nega-
ra dalam menjalankan tugasnya tidak
bisa dipidana.
“Coba saja Anda bayangkan, kalau
BPK dalam menjalankan tugas bisa
digugat, berapa puluh gugatan yang
akan masuk ke BPK setiap harinya.
Lantas kapan BpK akan bekerja?,” tuturnya.
Namun demikian bukan berarti
kebal hukum. Menurut dia, gugatan ke
BPK bisa muncul bila auditee merasa
ada hak-hak hukumnya yang dilanggar. Hal seperti ini tentunya tidak bisa
dihindarkan karena menyangkut hak
keperdataan seseorang. Oleh karena
itu, para auditor yang menjadi ujung
tombak BPK di lapangan harus ekstra hati-hati dalam menjalankan tugas
dan kewenangannya.
Artinya, sepanjang dalam pemeriksaan tidak ada hak-hak hukum
yang tercederai, gugutan itu tak perlu
diresahkan karena pasti akan ditolak
oleh pengadilan. Bahkan sebaliknya,
dari sisi positif tak mustahil gugatan
tersebut justru bisa menjadi bagian
mekanisme kontrol bagi BPK guna
mengevaluasi dan menyempurnakan
kinerja para auditornya.
“Sepanjang pemeriksa BPK tidak
melakukan perbuatan yang sifatnya
melanggar hak-hak hukum institusi
yang diperiksa atau pejabat yang diperiksa, gugatan perbuatan melawan
hukum itu tertunya tidak akan terjadi,”
ujarnya.
Apalagi, tambah Bambang, dalam
menjalankan tugasnya, pemeriksa/
audior telah diikat dengan kode etik
profesi, standar dan kualifikasi profesi, petunjuk pelaksanaan, dan petunjuk teknis yang telah disusun dan
ditetapkan oleh BPK sebagai penanggungjawab hasil pemeriksaan.
Selain itu, lanjutnya, kecenderungan lain yang sering menjadi pemicu
munculnya gugatan adalah kesalahpahaman atau adanya perbedaan
persepsi antara auditor BPK dengan
para pejabat pengelola keuangan negara sebagai terperiksa. Auditee kadang masih merasa kehadiran auditor
n Gedung BPK RI Pusat - Jakarta
Warta BPK
22- 28 laporan khusus.indd 23
FEBRUARI 2011
23
23/02/2011 19:31:12
laporan KHUSUS
sebagai momok yang menakutkan
ketimbang partner yang ikut membersihkan “rumahnya”. Pemeriksaan yang
dilakukan auditor seolah-olah hanya
untuk mencari penyimpangan.
Pemahaman ini tentunya tidak
benar. Tujuan utama pemeriksaan
adalah untuk melihat akuntabilitas
institusi dalam melaksanakan pengelolaan keuangan negara, dalam rangka
mewujudkan pemerintahan yang bersih atau good governance. Jika audit
atau pemeriksaan tidak dilakukan,
penyelewengan yang terjadi tentu tidak pernah bisa diketahui.
Selain itu, BPK telah menetapkan
bahwa dalam waktu 60 hari dari penyerahan hasil pemeriksaan, auditee
diberi hak untuk menidaklanjuti rekomendasi hasil pemeriksaan. Sebelumnya auditee juga diberi hak untuk
melakukan sanggahan sebelum LHP
terbit.
Bambang menambahkan satu hal
yang sangat penting disini, apakah
setiap penambahan dokumen, bukti-bukti, komentar, sanggahan, atau
keterangan ahli dalam pemeriksaan
juga dibuatkan berita acara dan ikut
disertakan dalam laporan kepada DPR,
DPD atau DPRD ?
“Saya katakan ini penting agar semua hasil pemeriksaan itu menjadi
jelas dan lengkap, serta didukung adanya pembuktian yang kuat ,” jelasnya.
Kesalahpahaman lain yang sering
muncul adalah yang berkaitan dengan
kerahasiaan. Penafsiaran kerahasiaan
ini tentunya juga harus dikaitkan dengan UU sehingga tidak ada pihakyang
merasa dirugikan atau hak hukumnya
dilanggar.
Lantas pertanyaannya, siapakah
yang mengawasi BPK? Secara internal
BPK tentu akan diawasi oleh etika profesi, standardisasi profesi, juklak/juknis serta pejabat pengawasan internal.
Secara eksternal, selain secara eksplisit diawasi DPR, BPK juga mendapat
pengawasan dari BPK negara lain.
Bisa digugat
Pakar hukum Universitas Brawijaya Adami Chazawi menilai yang pen-
24
FEBRUARI 2011
22- 28 laporan khusus.indd 24
ting sebenarnya bukan bisa atau tidak
bisa BPK digugat.
“Siapa pun bisa digugat. Yang penting di sini ada atau tidaknya perbuatan melawan hukum. Sepanjang dalam
melakukan tugas dan kewenangannya
BPK tidak melakukan pelanggaran
terhadap hak-hak hukum terperiksa,
tentu saja pemeriksaan yang dilakukan BPK tidak bisa digugat,” tuturnya.
Sebaliknya, jika ada perbuatan
melawan hukum yang dilakukan
pada saat pemeriksaan, tentu bisa
digugat. “Jadi yang digugat itu bukan
kewenangan BPK, akan tetapi lebih
pada perbuatan melawan hukum
yang dilakukan saat menjalankan kewenangan,” tegasnya.
Namun demikian, dalam aturan
mainnya, BPK juga memberikan sanggahan sebelum LHP diterbitkan. Kalau
n Adami Chazawi
dalam periode itu auditee atau pejabat yang mengelola keuangan tidak
memberikan penjelasan yang disertai
data-data atau dokumen tentang indikasi penyimpangan yang bisa meyakinkan auditor, hasil pemeriksaan
sudah menjadi sah secara hukum.
Jika sudah dinyatakan sah secara hukum, konsekuensinya pejabat
pengelola keuangan yang ditengarai
menyalahgunakan kewenangan bisa
terkena kasus korupsi. “Jadi sekali lagi
saya tegaskan, yang utama itu bukan
soal bisa atau tidak digugatnya, tetapi
ada pelanggaran dalam menjalankan
wewenangnya atau tidak. Ini yang
penting,” tambahnya.
Terkait dengan masalah hukum
ini, BPK memang memberikan perhatian serius. Dalam rencana strategi
BPK 2011-2015, salah satu item yang
dikedepankan adalah Peningkatan
Kualitas Pengelolaan Bantuan Hukum
untuk Pemeriksa.
Bantuan hukum ini akan mencakup pemberian layanan hukum dalam
bentuk konsultasi hukum, pendapat
hukum, pendampingan hukum, perlindungan hukum dan penanganan
hukum. Bantuan ini diberikan kepada BPK, Anggota BPK (dan mantan
anggota BPK ), pelaksana BPK (dan
mantan pelaksaan BPK), dan/atau pihak lain yang bekerja untuk dan atas
nama BPK.
Pengelolaan bantuan hukum dilaksanakan oleh Ditama Binbangkum
BPK (Dit LABH) dalam rangka mendukung kegiatan pemeriksaan yang
dilaksanakan BPK, terutama pada
proses penyelesaian LHP yang terkait
dengan rekomendasi yang diberikan
dalam LHP dan pemberian informasi
kepada publik. Hal ini sangat penting
mengingat saat ini masyarakat dan
auditee sudah semakin kritis terhadap
hasil pemeriksaan BPK.
Pemberian bantuan dapat bersifat preventif, In Proses dan Represif.
Bantuan hukum preventif mencakup
pemberian pemahaman aspek-aspek
hukum dalam rangka pelaksanaan
tugas dan wewenang agar tidak menimbulkan masalah hukum di kemudian hari. In Proses adalah pemberian
bantuan hukum atas masalah hukum
yang sedang terjadi dan Represif
adalah pemberian bantuan hukum
untuk mengatasi masalah hukum
yang telah terjadi secara aktif.
Bila dalam 5 tahun ke depan, BPK
mampu menjalankan rencana strategi
yang telah dicanangkan tersebut secara baik dan konsisten, dapat dipastikan BPK akan menjadi salah satu lembaga negara yang benar-benar mumpuni dan pantas dijadikan teladan
bagi institusi lain. Semoga.
(bd)
Warta BPK
23/02/2011 19:31:13
PTUN Samarinda
Tolak Gugatan ke BPK
P
ada 22 Desember 2010, BPK mendapatkan
kado istimewa dari Pengadilan Tata Usana Negara (PTUN) Samarinda berupa putusan amarnya
mengabulkan eksepsi yang diajukan BPK sebagai
tergugat dan menyatakan gugatan H. Mochammad Aswin
tidak bisa diterima.
Meski keputusan ini belum final, pada 3 Januari 2011
penggugat menyatakan banding, tetapi putusan ini bisa
menjadi bekal dan suntikan moral, sekaligus bahan evaluasi bagi BPK dalam menjalankan tugas di masa mendatang.
Sengketa berawal ketika pada 12 Juli 2010, H. Mochammad Aswin melalui kuasa hukumnya mengajukan gugatan
tata usaha negara terhadap LHP BPK Perwakilan Provinsi
Kalimantan Timur nomor 02/LHP/XIX.SMD/I/2010/.
Gugatan yang didaftarkan di Pengadilan Tata Usaha
Negara Samarinda dengan nomor 21/G/2010/PTUN-SMD
itu diajukan kepada Kepala Perwakilan Provinsi Kalimantan Timur sebagai pejabat tata usaha negara yang menerbitkan LHP dimaksud.
Penggugat merasa kepentingannya dirugikan akibat
terbitnya LHP yang merupakan penghitungan kerugian negara/daerah. Selanjutnya penggugat meminta agar Majelis
Hakim menyatakan LHP tersebut batal atau tidak sah.
Dari materi gugatan serta eksepsi penggugat yang disampaikan dalam persidangan, Majelis Hakim PTUN yang
Warta BPK
22- 28 laporan khusus.indd 25
diketuai Joko Setiono secara rinci menguraikan sengketa bermula dari adanya
fakta bahwa kepolisian daerah Kalimantan Timur tengah melakukan penyidikan
tindak pidana menyangkut pelaksanan
pembayaran belanja penunjang kegiatan
Pimpinan/Anggota DPRD Kabupaten Kutai
Kertanegara, terkait terjadinya pembayaran ganda yang telah sampai pada tahap
penyidikan dan penetapan tersangka .
Guna memastikan jumlah kerugian
negara/daerah, Polda Kaltim meminta keterangan ahli, dalam hal ini BPK Perwakilan
Provinsi Kalimantan Timur untuk melakukan perhitungan kerugian negara yang nyata dan pasti sebagai akibat dari perbuatan
melawan hukum atas perkara dimaksud.
Untuk memenuhi unsur kekurangan
jumlah uang yang berpotensi menimblukan kerugian negara/daerah dimaksud,
Polda Kaltim menyerahkan dokumen hasil penyidikan sebagai bahan pemeriksaan untuk mengantisipasi adanya
kemungkinan ditemukannya fakta/bukti baru yang belum
ditemukan pada saat pemeriksaan BPK sebelumnya yang
telah disampaikan dalam LHP Nomor : 11C/S/XIV.15/2006
tertanggal 28 September 2006 tentang Laporan Keuangan
kabupaten Kutai Kertanegara.
Karena perhitungan kerugian negara bukan wewenang
polisi, BPK diminta untuk mengaudit kerugian tersebut.
Sebagai tindak lanjutnya BPK kemudian mengeluarkan
Surat Tugas No. 120/ST/XIX.SMD/08/2009 tertanggal 11
Agustus 2009) dengan memberikan tugas kepada : Widyatmantoro selaku Penanggung Jawab, Rusdiyanto, selaku ketua, Iwan Fajar Nugroho, selaku Anggota Tim, Elliya Nurul
Firdaus, selaku Anggota Tim, dan Al kausar, selaku Anggota
Tim.
Hasil perhitungan kerugian negara/daerah yang disusun berdasarkan standar pemeriksaan yang berlaku dituangkan dalam surat No.02/LHP/XIX.SMD/I/2010 tanggal
14 Januari 2010. Hasil itu selanjutnya diserahkan ke Polda
Kaltim sebagai salah satu alat bukti untuk melengkapi alatalat bukti lainya yang telah ditemukan oleh pihak Kepolisiaan dari kegiatan penyidikannya.
FEBRUARI 2011
25
23/02/2011 19:31:15
laporan KHUSUS
Pertimbangan Hakim.
Majelis Hakim dalam pertimbangannya menyatakan bahwa faktafakta hukum itu mempunyai kaitan
hukum dengan ketentuan-ketentuan
sebagai berikut :
Ketentuan Umum yang terdapat di
dalam Bab I UU Nomor : 8 Tahun 1981
tentang hukum acara pidana, Pasal 1
angka 2 yang menyebutkan bahwa :
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
acara yang diatur dalam UU ini untuk
mencari serta mengumpulkan buki
adanya tindak pidana dan menemukan tersangkanya.
Ketentuan Umum yang terdapat di
dalam Bab I UU Nomor : 8 Tahun 1981,
Pasal 1 angka 28 menyebutkan bahwa:
Keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus
tentang hal yang diperlukan untuk
membuat terang suatu perkara pidana
guna kepentingan pemeriksa.
Kententuan yang terdapat di dalam
BAB XIV pada bagian kedua penyidikan, UU Nomor: 8 Tahun 1981, Pasal
120 ayat (1) yang menyebutkan: Dalam hal penyidik menganggap perlu,
dia dapat meminta pendapat ahli atau
orang yang memiliki keahlian khusus“.
Berdasarkan fakta-fakta hukum
tersebut di atas, Majelis Hakim berpendapat menurut hukum, obyek
sengketa aquo dikeluarkan berdasarkan adanya penyidikan yang dilakukan
oleh polda Kalimantan Timur, di mana
dalam proses penyidikan tersebut
telah ditetapkan tersangkanya.
Selanjutnya polda Kalimantan Timur meminta kepada tergugat untuk
memberikan keterangan ahli mengenai perhitungan kerugian negara/daerah atau pelaksanaan pembayaran
belanja penunjang kegiatan Pimpinan/Anggota DPRD Kabupaten Kutai
Kertanegara anggaran 2005, yakni
dalam hal terjadinya pembayaran ganda atas kegiatan yang sama sebagaimana tertuang di dalam Berita Acara
kesimpulan hasil Expose penyidikan
perkara tindak korupsi tertanggal 10
Juni 2009.
Hal itu kemudian oleh tergugat dituangkan dalam bentuk tertulis berupa surat No : 02/LHP/XIX.SMD/I/2010
tanggal 14 januari 2010 tentang hasil
pemeriksaan perhitungan kerugian
negara/daerah atas perkara dugaan
tindak pidana korupsi tersebut. Hasil
ini digunakan tergugat sebagai bahan
untuk memberikan keterangan berdasarakan keahliannya.
Adapun, tujuan pemeriksaan ahli
digunakan sebagai salah satu alat bukti untuk melengkapi bukti lainnya yang
telah ditemukan oleh pihak kepolisian
dari kegiatan penyidikan yang dilakukannya.
Majelis hakim dalam pertimbangannya menyatakan sependapat
dengan pendapat M. Yahya Harahap
dalam bukunya yang berjudul: Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
n Gedung BPK RI perwakilan provinsi Kalimantan Timur
26
FEBRUARI 2011
22- 28 laporan khusus.indd 26
KUHAP dalam penyidikan dan Penuntutan, edisi kedua, yang diterbitkan
Sinar Grafika, Jakarta 2009.
Pada halaman 146 disebutkan,
pemeriksaan ahli tidak semutlak pemeriksaan saksi. Mereka dipanggil
dan diperiksa apabila penyidik ‘perlu
‘ untuk memeriksanya (Pasal 120 ayat
(1). Dalam hal penyidik menganggap
perlu, dia dapat meminta pendapat
orang yang memiliki keahlian khusus.
Maksud dan tujuan pemeriksaan ahli,
agar peristiwa pidana yang terjadi bisa
terungkap lebih terang .
Dengan adanya sandaran hukum
itu, Majelis Hakim berpendapat, menurut hukum obyek sengketa aquo
merupakan keputusan Tata usaha Negara yang dikeluarkan KUHAP atau peraturan perundang-undangan lainnya
yang bersifat hukum pidana. Oleh karenanya hal itu tidak termasuk dalam
pengertiian keputusan tata usaha negara sebagaimana diatur dalam Pasal
2 huruf (d) UU Nomor: 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara .
Berdasarkan rangkaian pertimbangan hukum di atas, Majelis Hakim
berkesimpulan karena obyek sengketa
aquo tidak termasuk dalam pengertian keputusan tata usaha negara sebagaimana diatur dalam Pasal 2 huruf
(d) UU Nomor: 9 Tahun 2004 tentang
perubahahan atas UU Nomor: 5 tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, maka PTUN tidak berwenang
mengadili sengketa yang bersangkutan.
Dengan tidak adanya kewenangan
PTUN mengadili sengketa itu, eksepsi
yang diajukan tergugat menyangkut
kompetensi absolut cukup beralasan
dan berdasarkan hukum untuk dikabulkan.
Selanjutnya dengan dikabulkannya eksepsi tergugat, mengenai pokok
perkaranya tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut dan gugatan penggugat harus dinyatakan tidak diterima.
Berdasarkan pasal 110 UU No.5/
1986 kepada penggugat harus dihukum untuk membayar perkara yang
besarnya akan ditentukan dalam amar
putusan ini.
(bd)
Warta BPK
23/02/2011 19:31:17
Putusan Kasasi MA
Merupakan Titik Terang bagi BPK
S
ekalipun gugatan pemilik CV Kencana yang ditujukan kepada Pemkot Salatiga, BPK Perwakilan
Yogyakarta, dan BPK Provinsi Jateng di Semarang
masih dalam proses kasasi, titik terang bagi kemenangan BPK di tingkat banding sudah terli-
hat.
Pasalnya, Mahkamah Agung yang menangani kasus pidana Nugroho Budi Santoso telah mengeluarkan putusan
pada akhir Januari. Keputusannya menguatkan putusan
Pengadian Negeri (PN) Salatiga dan Pengadilan Tinggi
(PT) Semarang. Padahal, dua putusan pidana inilah yang
menjadi sandaran majelis hakim PN Salatiga untuk tidak
menerima gugatan pemilik CV Kencana.
“Putusan pidana MA tersebut akan segera kita sampaikan ke PT Semarang sebagai informasi tambahan terkait
banding yang disampaikan pemilik CV Kencana. Karena putusan kasasi MA itu baru keluar, jadi tidak bisa dimasukkan
pada contra memori banding,” ujar Plt Kadit LABH LIH BPK
Achmad Anang Hernady belum lama ini.
Munculnya gugatan dari pemilik CV Kencana di Salatiga
tentu tak terlepas dari lilitan kasus korupsi yang melibatkan mantan Kepala Dinas PU Kota Salatiga Saryono yang
dituduh menilap dana pembangunan jalan alternatif Argomulyo-Sidoredjo sekitar Rp900 juta.
Karena ikut terseret-seret dalam kasus tersebut, Ahmad Yoga Prasetyo sebagai pemilik CV Kencana yang
mendapatkan proyek itu dan Nugroho Budi Santoso selaku
Warta BPK
22- 28 laporan khusus.indd 27
pengelola keuangan CV Kencana melayangkan gugatan kepada Pemkot Salatiga dan
BPK.
Gugatan disampaikan melalui kuasa hukum Marthen H Toelle kepada PN Salatiga
pada Februari 2010. Ahmad Yoga dan Nugroho sebagai penggugat I dan II dengan tergugat Pemkot Salatiga, BPK Perwakilan Yogyakarta, dan BPK Jateng di Semarang.
Marthen memaparkan selama proses
pembangunan jalan tembus itu penggugat
telah melaksanakan pekerjaan sesuai dengan perjanjian. Pembangunan itu sendiri di
bawah konsultan pengawasan CV Karya
Sentosa sebagaimana tercantum dalam kontrak. Bahkan, setelah pembangunan jalan selesai tepat waktu, pihak CV Kencana telah
menyerahkan pekerjaan tersebut kepada Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Pemkot Salatiga
sebagai pengguna anggaran daerah, beserta
semua kelengkapan administrasinya.
Namun, 2 tahun kemudian, pada 2007, tiba-tiba muncul tagihan dan harus membayar atau mengembalikan
uang sekitar Rp 267 juta. Tagihan dilayangkan lantaran ada
pekerjaan yang belum digarap. Tagihan itu didasarkan atas
hasil audit BPK.
Penggugat menilai laporan kerugian negara yang dibuat
BPK itu dinilai tidak tepat. Bahkan, penggugat menuding
BPK melakukan perbuatan melawan hukum. Alasannya,
pertama, BPK melakukan pemeriksaan tanpa seizin penggugat. Kedua, pemeriksaan yang dilakukan BPK tidak didukung tenaga-tenaga ahli jasa konstruksi profesional yang
bersertifikat dari Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi
Nasional (LPJK) yang menggunakan Standar Nasional Indonesia (SNI). Ketiga, BPK adalah pihak yang berada di
luar kontrak perjanjian.
Sementara itu, Pemkot Salatiga dinilai melanggar asasasas umum pemerintahan yang baik, sesuai pasal 20 UU
No. 32 Tahun 2004. Pemkot tidak memberikan jaminan
akan adanya kepastian hukum dalam menjalankan dan
mengakhiri kontrak perjanjian dalam pengerjaan proyek
pembangunan jalan alternatif Argomulyo – Sidorejo.
Berdasarkan dalil yang disampaikan itu penggugat menuntut agar Pemkot Salatiga sebagai Tergugat I membayar
ganti rugi tunai sebesar Rp5 miliar, dengan denda keterlambatan pembayaran setiap hari sebesar Rp1 juta.
BPK Yogyakarta dan BPK Jateng sebagai Tergugat II dan
FEBRUARI 2011
27
23/02/2011 19:31:17
laporan KHUSUS
III diharuskan membayar ganti rugi
sebesar Rp1 triliun dan Rp5 miliar,
denda keterlambatan setiap hari sebesar Rp1 miliar. Denda berlaku sejak
keputusan ini mempunyai kekuatan
hukum tetap.
Pertimbangan Majelis Hakim.
Dalam pertimbangannya majelis
hakim yang diketuai Laurensius Bapa
dibantu dua hakim anggota masingmasing Adhi Satrija Nugroho dan Wuryanti memaparkan dalam gugatannya para penggugat telah mengajukan
perubahan. Menambah posita tentang pengukuran dalam pemeriksaan
setempat atas proyek pembangunan
jalan alternatif Argomulyo–Sidorejo,
serta petitum mengenai pekerjaan
melebihi kontrak.
Namun, setelah diteliti ternyata
perubahan itu baru diajukan pada 14
Juni 2010, sekitar 4 bulan setelah
gugatan didaftarkan secara resmi ke
pengadilan yakni pada 22 Februari
2010. Berdasarkan fakta itu, majelis
menganggap penambahan posita dan
petitum menjadi tidak relevan dan harus dikesampingkan.
Adapun menyangkut pokok permasalahan dalam perkara ini sesuai
posita dan petitum gugatan, yang dipersoalkan para penggugat adalah
hasil temuan Tergugat II dan Terg-
Tindakan
Preventif
ugat III terhadap pelaksaan pekerjaan
proyek pembangunan jalan itu, yang
menurut hasil audit BPK berpontensi
menimbulkan kerugian negara sebesar Rp267.674.933,52.
Terkait dengan kerugian negara
yang didalilkan para penggugat itu ternyata telah menjadi perkara tersendiri,
yakni perkara pidana Nomor : 16/Pid.
B/2010/PN. Sal, di mana penggugat
menjadi terdakwa dalam perkara itu
yang telah diputus oleh Pengadilan
Negeri Salatiga, pada 14 Juni 2010.
Inti materi hukum dalam putusan
pidana PN Salatiga itu, majelis hakim
telah mempertimbangkan hasil pemeriksaan BPK sebagai dasar untuk
menetapkan kerugian negara yang dibebankan kepada para penggugat dan
sekaligus menjadi fakta hukum dalam
kasus korupsi yang didakwakan kepada para penggugat.
Adapun perkara pidana korupsi
yang didakwakan dilakukan oleh para
penggugat tersebut, sampai saat putusan PN Salatiga ini belum mempunyai
kekuatan hukum yang tetap karena
masih dalam proses pemeriksaan kasasi di MA.
Majelis dalam pertimbangannya
juga memaparkan, setelah mengkaji
putusan pidana PN Salatiga, dan kemudian dihubungkan dengan dalil gugatan para penggugat dalam perkara ini,
Guna meminimalisir
terjadinya gugatan
terhadap LHP BPK,
tindakan preventif perlu
dilakukan.
1. Analisis dalam LHP
harus didasarkan atas
dokumen, bukan hasil
dugaan atau judgement
subjektif pemeriksa.
2. Pelaksanaan pemeriksaan dan penyusunan LHP sesuai SPKN, PMP, Kode Etik, Juklak dan Juknis Pemeriksaan
3. Memaksimalkan fungsi kontrol oleh organisasi 28
FEBRUARI 2011
22- 28 laporan khusus.indd 28
ternyata kedua perkara itu mempunyai subyek ( pelaku/penggugat utama) yaitu penggugat obyek perkara
yang permasalahannya masih dalam
proses pemerikasaan kasasi di MA.
Memperhatikan fakta proseduril yang demikian itu, majelis berpendapat para penggugat seharusnya
menunggu selesainya proses pemeriksaan perkara pidana hingga mempunyai kekuatan hukum tetap. Setelah itu
baru mengajukan gugatan ganti rugi
dengan dasar dalil Perbuatan Melawan
Hukum. Pasalnya, bila cara penyelesaian yang menjadi tututan dikabulkan,
hal itu akan mengacaukan lalu lintas
ketertiban hukum dalam penyelesaian
perkara di peradilan.
Oleh karena pokok permasalahan
yang didalilkan para penggugat dalam perkara ini sudah diperiksa dan
diputus terlebih dahulu dalam perkara pidana No. 16/Pid.B/2010/PN. Sal
Jo No : 304/Pid/2010/PT.Smg dan
perkara pidana itu, sementara dalam
proses pemeriksaan kasasi, untuk
menghindari adanya putusan yang
saling bertentangan yang dapat berimplikasi pada ketidakpastian hukum,
tanpa perlu memeriksa dan mempertimbangkan lebih lanjut materi pokok
perkara ini, gugatan para penggugat
harus dinyatakan tidak dapat diterima
( Niet Onvankelijk Verklaard).
(bd)
pemeriksaan BPK (Badan, Penanggung Jawab, Pengendali Teknis, dan seterusnya).
4. LHP hanya menyebutkan nama jabatan, tanpa menyebutkan nama.
5. Penggunaan KRITERIA dalam LHP harus memperhatikan asas perundang-undangan.
6. Konsistensi struktur temuan atas fakta atau kasus yang sama, dengan memperhatikan pembaharuan peraturan perundangundangan.
7. Penggunaan bahasa yang baku yang tidak menimbulkan multitafsir.
8. Dokumen sebagai Kertas Kerja Pemeriksaan harus disusun secara lengkap dan berisi data valid karena sewaktu-waktu dapat digunakan untuk memperkuat argumentasi dalam proses penegakan hukum. q Hendar Ristriawan
Warta BPK
23/02/2011 19:31:17
WAWANCARA
Ketua Mahkamah Konstitusi
Mahfud MD
‘BPK harus berani ungkap
temuannya ke publik’
B
eberapa pimpinan lembaga negara, termasuk Mahkamah Konstitusi
(MK) telah menjalin kerja sama di bidang akses
data dengan Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK). Dengan adanya akses data ini nantinya akan
tercipta sistem pengelolaan keuangan negara yang transparan
dan akuntabel. Dengan begitu.
BPK memiliki peran yang cukup
strategis dalam mencegah dan
memberantas korupsi. MK mengharapkan setiap temuan BPK
yang berindikasi pelanggaran
hukum seharusnya ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.
Lantas bagaimana kesiapan MK
menciptakan sistem pengelolan
keuangan negara yang bersih
dan bagaimana peran BPK kedepan, berikut petikan wawancara
dengan Ketua MK Mahfud MD di
kantornya belum lama ini.
MK dan beberapa lembaga
negara telah menandatangani
kerja sama mengenai pengelolaan akses data dengan BPK.
Tanggapan Anda?
Saya kira kerja sama ini
sangat bagus. Tidak hanya saja
bagi BPK tetapi juga untuk MK.
Dalam pertemuan dengan kepala lembaga negara beberapa
waktu lalu, saya pernah menyampaikan bahwa kita sebagai
ketua lembaga negara sebenarWarta BPK
29 - 31 wawancara.indd 29
FEBRUARI 2011
29
23/02/2011 19:33:13
WAWANCARA
nya merupakan satu tim. Dan seharusnya bekerjasama un- kerjasama ini tidak secara langsung. Namun, bagi lembaga
tuk mencapai tujuan mensejahterakan rakyat. Oleh karena negara seperti DPR, sebagai lembaga pengawas , informasi
itu setiap lembaga negara, baik itu MK, BPK, MA, Presiden, elektronik itu sangat berguna. Begitu juga bagi pemerintah,
DPR, DPD, maupun MPR tidak boleh dipandang sebagai sebagai upaya untuk mengawasi dirinya sendiri.
lembaga yang saling mencari kesalahan.
Kerja sama pengelolaan akses data ini membutuhArtinya, MK misalnya tidak boleh mencari kesalahan kan keamanan data. Tanggapan Anda mengenai hal
BPK atau sebaliknya. Sebab kita satu tim yang mempunyai ini?
tujuan yang sama. Dengan begitu check and balance untuk
Saya kira keamanan data ini menjadi sangat penting.
Apalagi menyangkut data keuangan. Saya kira perlu dibuat
mencapai tujuan bersama, bukan saling menghantam.
Sejauh mana pentingnya kerja sama akses data ini? rambu-rambu khusus dalam tahapan implementasi. SeDengan adanya kerja sama di bidang akses data ini, bagai contoh yang paling sederhana, misalnya untuk keasecara cepat BPK akan mengetahui informasi mengenai manan data masing-masing lembaga memiliki password
pengelolaan keuangan negara sesuai dengan fungsi kons- untuk akses data. Ini bertujuan agar data itu tidak disalahtitusionalnya. Artinya, kerja sama ini memiliki kepentingan gunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab
untuk mengamankan pengelolaan keuangan negara guna dan menyalahgunakan informasi tersebut,.
kemakmuran rakyat.
Apakah sudah ada kesepakatan antarlembaga menSelain itu, kerja sama ini juga memiliki untuk kepentin- genai pembatasan data yang bisa diakses?
Pada pertemuan antara pimpinan
gan tindakan preventif. Dengan adanya
kemudahan akses data pengelolaan
lembaga negara belum membicarakan
’’BPK harus menentukan
keuangan negara suatu intansi oleh
secara teknis mengenai pembatasan
BPK, akan lebih cepat diketahui bila
data yang bisa diakses. Tentunya BPK
kriteria khusus siapa
ada penyalahagunaan keuangan nelebih tahu soal pembatasan data. Kita
yang boleh menjadi
gara. Namun, kemudahan akses data
hanya mengikuti saja apa yang menjadi
operator akses data
ketentuan BPK.
keuangan ini juga sebagai tindakan
tersebut. Kalau di
represif. Misalnya, dalam pengelolaan
Kendala yang mungkin timbul
pengadilan panitera
keuangan negara yang tidak cocok atau
dalam implementasi kerja sama ini?
bertentangan dengan peraturan, bisa
Saya kira kendala utamanya pada
yang disumpah.
kesiapan
perangkat keras. Pasalnya,
dilakukan langkah-langkah hukum
Begitu juga tenaga
atau langkah penertiban.
kemampuan teknologi informasi (TI)
TI di BPK, sebaiknya
Apa manfaat yang bisa diperoleh
masing-masing lembaga beragam. Kendisumpah
untuk tidak
dari kerja sama ini?
dala lain yakni soal sumber daya mamenyalahgunakan data
Saya kira banyak manfaatnya. Salah
nusia TI harus memiliki kemampuan
satunya dapat dijadikan sebagai upaya
yang mumpuni. Namun, bukan hanya
selain untuk keperluan
preventif dalam mengelola keuangan
audit. Kalaupun ada yang memiliki pe­ngetahuan tetapi juga hanegara. Tentu saja bila ada kejanggalan
rus orang-orang yang bertanggungjamelanggar juga perlu
akan lebih cepat diketahui dan dapat
wab.
dikenai sanksi tegas.’’
dilakukan tindakan represif. Apalagi,
Artinya SDM BPK yang akan
selama 4 tahun terakhir kami selalu
mengelola data harus mumpuni dan
mendapat opini Wajar Tanpa Pengecumemiliki integritas?
alian (WTP). Bagi internal MK kerja sama ini sebagai upaya
Saya kira BPK harus menentukan kriteria khusus siapa
menjaga prestasi opini itu. Walaupun sebenarnya bagi MK yang boleh menjadi operator akses data tersebut. Kalau di
dalam soal penggunaan keuangan negara bukan untuk pe- pengadilan panitera yang disumpah. Begitu juga tenaga TI
di BPK, sebaiknya disumpah untuk tidak menyalahgunakan
merintahan tetapi untuk peradilan.
Bagaimana kesiapan MK dalam implementasi kerja data selain untuk keperluan audit. Kalaupun ada yang mesama ini?
langgar juga perlu dikenai sanksi tegas.
Kerja sama yang dibangun dengan BPK menyangkut
Tidak sedikit temuan BPK mengenai dugaan penypengelolaan akses data. Dengan begitu, kesiapan kami impangan pengelolaan keuangan negara. Tanggapan
secara perangkat keras sudah ada. Hanya saja, dalam imp- Anda?
Saya kira apa yang dilakukan BPK sekarang ini sudah
lementasinya tinggal dilakukan penyesuaian dengan software yang dimiliki BPK. Saya sudah menginstruksikan baik sekali. Banyak temuan yang dijadikan aparat penegak
ke sekretaris jenderal (Sekjen) untuk menyusun langkah hukum untuk menyelidiki kasus korupsi. Itu sesuatu
kongkrit menindaklanjuti kerja sama ini. Selain itu, saya kemajuan untuk memposisikan BPK sebagai lembaga yang
juga meminta Sekjen untuk melaporkan tindak lanjut dari juga berperan dalam membangun negara yang bersih. Ini
kerja sama data elektronik. Bagi MK, mungkin tindak lanjut sangat berbeda dengan BPK era Orde Baru.
30
FEBRUARI 2011
29 - 31 wawancara.indd 30
Warta BPK
23/02/2011 19:33:14
Pada zaman Orba, BPK adalah institusi yang lemah.
Waktu itu lembaga ini hanya mengaudit tidak lebih dari
5% dari seluruh APBN. Sehingga banyak penggunaan keuangan negara yang tidak teraudit. Hal ini disebabkan situasi politik yang otoriter. Namun, sekarang ini BPK sudah
memiliki kewenangan yang besar untuk mengaudit seluruh
instansi yang menggunakan keuangan negara. Itu sudah
diatur dalam amendemen konstitusi, yang memberikan
kewenangan penuh kepada BPK untuk mengaudit seluruh
APBN dan APBD. Ini suatu kemajuan.
Seharusnya seperti di negara lain, ketua BPK menjadi
orang nomor dua di negara karena mengawasi penggunaan
keuangan.
Banyak rekomendasi BPK yang tidak ditindaklanjuti, tanggapan Anda?
Itulah persoalannya. Sekarang ini implementasi dari
sekarang ini?
Saya melihat adanya hambatan politik terhadap langkah hukum. Padahal, setiap adanya dugaan penyimpangan
keuangan negara diperlukan langkah-langkah hukum
terhadap temuan tersebut. Namun, kenyataannya sering
dipolitisasi. BPK harus berani berbicara di publik secara
terbuka mengenai temuannya.
Saya melihat BPK tidak berusaha menjernihkan masalah itu, mungkin karena kerikuhan atau ketakutan politik.
Kalau boleh saya usul BPK harus berani sebab temuan-temuan itu harus diungkap.
Apakah posisi BPK sudah cukup kuat untuk mengungkap adanya penyimpangan pengelolaan keuangan
negara?
Saat ini posisi konstitusional BPK sangat kuat. Terbukti,
ketika seringkali orang bicara soal ketidakberesan pengel-
temuan itu yang tidak ditindaklnjuti. Penyebabnya karena
kendala politik. Dulu politiknya otoriter, sekarang terlalu
liberal. Saya mengharapkan masalah keuangan negara harus menjadi komitmen bersama. Artinya, semua pimpinan
lembaga negara, pimpinan partai politik, harus sepakat
dalam satu hal. Setiap temuan BPK yang berindikasi pelanggaran hukum harus segera di tidaklanjuti dan tidak boleh dihalangi oleh siapapun . Dengan begitu akan tercipta
perasaan bersalah, takut untuk melakukan penghambatan
terhadap setiap langkah hukum yang akan diambil oleh
aparat penegak hukum berdasarkan temuan BPK. Ini penting karena kadangkala aparat penegak hukum itu dikepung oleh politik. Kalau persoalan ini tidak segera diatasi
negara ini tidak akan maju dalam pemberantasan korupsi.
Bagaimanaa Anda melihat pemberantasan korupsi
olaan keuangan negara, biasanya merujuk pada BPK. Ini
bagus. Pasalnya, tujuan membentuk institusi ini memang
untuk itu. BPK bisa bicara sesuai dengan kapasitas dan
kebenaran.
Bagaimana sebaiknya peran BPK dalam pemberantasan korupsi?
Sebetulnya, kita melakukan reformasi itu untuk memberantas korupsi. Artinya, ditinjau dari sudut politik, ekonomi, hukum, sosial dan budaya . Reformasi itu untuk
memberantas korupsi. Oleh karena itu, ketika kita harus
memberikan penguatan kepada BPK sebagai intitusi negara bertujuan agar BPK berperan untuk mengawasi pengelolaan keuangan negara agar korupsi berhenti. Baik itu
sifanya represif maupun preventif . BPK tidak perlu takut
untuk mengungkap penyelewengan.
(bw/and)
Warta BPK
29 - 31 wawancara.indd 31
FEBRUARI 2011
31
23/02/2011 19:33:16
antar lembaga
Sembilan Pendekar
Pelayan Publik Terpilih
(dari kiri atas searah jarum jam) Ketua merangkap anggota Ombudsman RI, Danang Girindrawardana, Wakil
Ketua merangkap anggota, Azlaini Agus, Anggota Budi Santoso, Ibnu Tri Cahyo, Petrus Beda Peduli, Hendra Nurtjahjo,
Pranowo Dahlan, Muhammad Khoirul Anwar dan Kartini Istikomah
Komisi II DPR telah
menetapkan sembilan
anggota Ombudsman
yang baru.Tugas berat
untuk membenahi
birokrasi Indonesia yang
terburuk kedua di Asia
sudah menghadang para
pendekar pelayanan
publik ini.
32
FEBRUARI 2011
32 - 39 antar lembaga.indd 32
K
erja keras anggota Komisi II DPR membuahkan hasil. Setelah hampir 3 hari melakukan uji kepatuhan dan kelayakan terhadap 18
calon anggota Ombudsman, akhirnya pada 19 Januari, para wakil
rakyat itu menetapkan sembilan anggota Ombudsman. Mereka
adalah Azlaini Agus, Budi Santoso, Danang Girindrawardana, Ibnu Tri Nurcahyo, Hendra Nurcahyo, Khoirul Anwar, Petrus Beda Peduli, Pranowo, dan
Kartini Istiqamah. Tak Cuma anggota, komisi II juga telah memilih Danang
Girindrawardana sebagai Ketua Ombudsman dan Azlaini Agus sebagai Wakil
Ketua.
Tugas berat pun sudah menanti. Mengapa? Ini lantaran negara kita dikenal dengan penataan birokrasi paling buruk kedua se-Asia (survei PERC Juni
2010). Dan akan diperberat dengan kenyataan bahwa kewenangan Ombudsman masih sangat minim. Di sisi lain, lembaga ini pun belum populer di telinga masyarakat. Bayangkan meski telah berdiri 10 tahun, masyarakat masih
kurang akrab dengan nama Ombudsman dan kewenangannya.
Warta BPK
23/02/2011 19:36:56
Ketua Ombudsman Danang Girindrawardana mengakui bahwa tantangan ke depan cukup besar. Dia
menargetkan dalam 3 tahun akan
menjalankan secara maksimal UU No.
37 Tahun 2008 tentang Ombudsman
dan UU No. 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik.
Menyinggung mengenai masih
perlunya penguatan kewenangan Ombudsman, Danang justru menampik.
Alasannya, bila UU itu dijalankan
secara maksimal sudah dapat membenahi buruknya sektor pelayana
publik. Menurut UU, kewenangan
lembaga hanya sebatas memberikan
rekomendasi bila ada lembaga atau
pejabat publik yang melaksanakan
pelayanan secara kurang baik. Alhasil, dalam praktiknya ternyata
rekomendasi yang dihasilkan malah
sering diabaikan.
Danang menilai UU yang ada
sudah cukup bisa mengatur. Pertimbangannya, Ombudsman mempunyai kewenangan mempublikasikan rekomendasi itu ke media
massa. “Kewenangan mempublikasikan pelayanan publik yang buruk,
adalah kewenangan tertinggi. Sanksi
moral yang tinggi. Jadi, masyarakat
jangan lagi memilih kepala daerah
yang pelayanan publiknya jelek,”
tegasnya.
Anggota Komisi II DPR Almuzammil Yusuf berpandangan untuk memperbaiki buruknya kualitas birokrasi
di Indonesia merupakan tanggungjawab bersama-sama antara Pemerintah, DPR, dan Ombudsman.
“Meski begitu, tanggung jawab besar bagi anggota Ombudsman dalam
mengawasi penyelenggaraan negara
dan pemerintahan yang bebas dari
KKN, transparan, efektif dan efisien,”
papar
Menurut dia, dibandingkan dengan negara Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Thailand kualitas birokrasi
Indonesia maih jauh tertinggal. Untuk
itu, politisi Partai Keadilan Sejahtera
ini mengharapkan anggota Ombudsman yang baru harus cerdas, kreatif,
guna membenahi sekotor apapun
Warta BPK
32 - 39 antar lembaga.indd 33
pelayanan publik.
Almuzammil tidak menampik
jika pembenahan birokrasi di negara
ini bukan pekerjaan mudah. Apalagi,
anggaran untuk mengawasi penyelenggaraan negara dan pemerintah
baik di pusat maupun di daerah masih sangat kecil. Dia berharap para
n Danang Girindrawardana
anggota yang baru harus bisa lebih
kreatif memaksimalkan anggaran.
Sejatinya Ombudsman
merupakan pengawasan penyelenggaraan
pelayanan publik. Ombudsman bertugas mengawasi layanan publik yang
dilaksanakan penyelenggara negara
dan pemerintahan. Wewenang Ombudsman untuk mengawasi pelayanan publik kembali dipertegas dalam
UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Kurang maksimal
Namun, sayangnya dalam perjalanannya Ombudsman banyak menunai
pesoalan. Lembaga ini mewarisi sejarah panjang yang tak mulus meski
lembaga ini lahir di awal reformasi.
Kiprahnya pun tertatih-tatih.
Semula, Ombudsman bernama
Komisi Ombudsman Nasional (KON).
Komisi ini dibentuk pada 20 Maret 2000 berdasarkan Keputusan
Presiden No. 44 Tahun 2000. KON
dibentuk untuk mengawasi proses
pemberian pelayanan umum oleh
penyelenggara negara guna mencegah dan mengatasi maladministrasi
di lembaga negara. Setiap tahun, KON
melaporkan rekomendasi ketidakberesan birokrasi. Institusi penegak
hukum paling banyak mendapat sorotan.
Selama lebih dari 7 tahun berdiri,
KON menghadapi banyak persoalan.
Salah satunya mengenai kelengkapan
anggota. Pada awal komposisi KON
terdiri dari Antonius Sujata, CFG Sunaryati Hartono, Bagir Manan, Teten
Masduki, Sri Urip, RM Surachman, Pradjoto, KH Masdar F. Mas’udi. Dalam
perjalanannya, Pradjoto dan Sri Urip
mengundurkan diri karena bekerja di
tempat lain. Langkah serupa diambil
Bagir Manan karena terpilih sebagai
hakim agung.
Untuk mengisi kekosongan itu,
pada 2003 diangkat anggota baru yaitu Erna Sofwan Sjukrie yang mantan
Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta. Namun, penggantian ini tak menyelesaikan persoalan. Selain karena
faktor kesehatan sebagian anggota,
kesibukan anggota lain berkarya di
tempat lain tak bisa diabaikan. Persoalan lain, terkait tata hubungan dengan instansi penyelenggara negara.
Pasalnya, banyak rekomendasi KON
tak mendapat respons.
Seiring perjalanan waktu, eksistensi KON kian dikenal. Untuk memperluas jangkauan, KON membentuk
kantor perwakilan di wilayah Yogyakarta, Jawa Tengah, Nusa Tenggara
Barat, Nusa Tenggaran Timur, dan
Sumatra Utara.
Hasilnya, sepanjang 2007, kantor
perwakilan Ombudsman di beberapa
daerah kebanjiran pengaduan. Kantor perwakilan Ombudsman di Kupang, Nusa Tenggara Timur, misalnya
tercatat ada 144 pengaduan masyarakat. Sementara di Yogyakarta tercatat
ada 223 pengaduan. Tentu saja hal ini
menunjukan masih adanya harapan
masyarakat terhadap Ombudsman.
(bw)
FEBRUARI 2011
33
23/02/2011 19:36:56
antar lembaga
Ketua Komisi Yudisial,
Eman Suparman
BPK Perlu Membuat Rumusan
Mencegah Korupsi
Untuk mengurangi praktik korupsi Badan Pemeriksa Keuangan perlu memeriksa praktik
penyelewengan keuangan Negara. BPK harus membuat rumusan yang komprehensif untuk
mencegah korupsi.
n Eman Suparman
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menggagas
untuk membuat pusat data. Dengan adanya pusat data ini
nantinya BPK bisa melakukan pengawasan dan audit berbasis teknologi informasi. Untuk mewujudkan itu, beberapa waktu lalu BPK telah menjalin kerja sama di bidang akses data kepada seluruh lembaga negara. Ini diwujudkan
dengan penandatnganan nota kesepahaman antara BPK
dengan beberapa lembaga negara. Salah satunya dengan
Komisi Yudisial.
Ketua Komisi Yudisial (KY) Eman Suparman menga­
takan kerja sama akses data antara lembaga yang dipimpinya dengan BPK merupakan langkah maju untuk
mewujudkan sistem pengelolaan keuangan negara yang
transparan dan akuntabel. “Saya menyambut baik kerja
34
FEBRUARI 2011
32 - 39 antar lembaga.indd 34
sama ini,” jelasnya kepada Warta BPK di ruang kerjanya
belum lama ini.
Menurut dia, pengelolaan keuangan negara yang
transparan sudah menjadi tuntutan. Pasalnya, dengan
adanya transparansi dalam penggunaan keuangan negara
dapat menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas
KKN. Eman berjanji akan melakukan pengawasan secara intensif terhadap penggunaan anggaran. “Paling tidak dengan adanya pengawasan tersebut, orang akan
lebih berhati-hati dalam menggunakan keuangan negara,”
tegasnya.
Dia menilai langkah BPK menggunakan teknologi
informasi merupakan langkah strategis. Apalagi, BPK
didukung penuh oleh UU untuk melakukan pemeriksaan
terhadap pengelolaan keuangan negara, baik di pemerintah pusat maupun daerah, lembaga negara, kementerian,
maupun BUMN.
Dalam pandangan Eman, kerja sama akses data yang
telah dibangun KY dengan BPK banyak memberikan manfaat. Salah satunya, lembaganya memiliki rambu-rambu
dan aturan dalam pengelolaan kuangaan negara.
“Dengan begitu akan mengetahui batasan-batasan
yang tidak boleh dilanggar oleh Komisi Yudisial dalam
mengelola anggaran Negara. Ada atau tidak kerja sama
ini sudah seyogyanya BPK melakukan pemeriksaan. Artinya, wajar kalau pengelolaan keuangan negara diperiksa
oleh lembaga yang memang berfungsi melakukan peme­
riksaan,” ujarnya.
Hanya saja, dalam pandangan Eman, untuk mewujudkan kerja sama akses data ini juga tidak mudah. Apalagi, menggunakan basis TI yang membutuhkan kesiapan
khusus, termasuk sumber daya manusia dan perangkat
teknologinya.
Untuk memperkuat kerja sama, lembaga yang disahkan di Jakarta pada 13 Agustus 2004 ini menggandeng
sejumlah tenaga di bidang TI. Seiring dengan itu, menuWarta BPK
23/02/2011 19:36:57
rut dia, KY juga bermaksud menguatkan basis TI di lembaganya. Bahkan,
dia berencana untuk membangun
sistem TI mengenai data base hakim.
Tujuannya, untuk mengetahui jejak
rekam para hakim.
Dengan begitu, lanjut Eman,
nantinya penguatan TI di KY tidak
hanya basis data hakim, akan tetapi
juga termasuk akses data pengelolaan keuangan negara. “Bagi saya basis TI ini penting untuk mewujudkan
transparansi.”
Dia mengingatkan bahwa KY sebagai salah satu lembaga negara memiliki tugas untuk melakukan penga­
wasan terhadap badan peradilan,
termasuk menjaga martabat hakim.
Untuk menjalankan tugasnya tersebut, komisi ini juga mengelola keua­
ngan negara.
“Dengan adanya kerja sama ini
akan lebih memudahkan BPK untuk melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan negara
di Komisi Yudisial. Apalagi selama
beberapa tahun ini, kami selalu
mendapat opini Wajar Tanpa Penge­
cualian. Ke depannya tinggal mempertahankan opini itu,” katanya.
Meski begitu, Eman mengharapkan BPK untuk lebih meningkatkan
pengawasan dan pembinaan menge­
nai pengelolaan keuangan negara
termasuk di Komisi Yudisial. Paling
tidak, lanjutnya, dengan adanya kerja
sama akses data ini lembaga negara
dapat mengelola uang negara lebih
transparan dan akuntabel.
Harapannya ke depan, semua
lembaga negara dapat menyandang
predikat WTP. Pasalnya, untuk memperoleh opini itu juga ditentukan oleh
bagaimana sistem pengelolaan uang
negara di lembaga itu. “Bila pengelolaanya bagus, sesuai dengan UU tentu
akan memperoleh predikat WTP,”
tegasnya.
Eman juga sepakat mengenai
perlunya publikasi terhadap laporan
pengelolaan uang negara. Dia hanya
mengingatkan dalam mempublikasi
laporang keuangan itu, seyogyanya
BPK menghormati azas praduga tak
Warta BPK
32 - 39 antar lembaga.indd 35
bersalah. Artinya, data yang akan dipublikasikan BPK harus benar-benar
data keuangan negara yang sudah
menjadi milik publik.
“Kalaupun
berupa laporan
keuangan, harus yang sudah tuntas.
Sehingga data itu tidak dimanfaatkan
oleh pihak lain yang tidak bertanggungjawab,” paparnya.
Cegah korupsi
Menurut dia, persoalan korupsi di
Indonesia memang tak kunjung tuntas. Padahal, katanya, pengertian korupsi telah didefinisikan begitu luas.
Di mata dia, korupsi bukan hanya
mengambi uang negara tetapi juga
memperkaya orang lain. Meski begitu, dia menyayangkan masih berlangsungnya praktik-praktik tercela,
termasuk penyelewengan uang nega­
ra. Hal ini terjadi lantaran ada kecenderungan moral seseorang yang
serakah. Eman berharap BPK tidak
hanya memeriksa penggunaan uang
negara tetapi juga memeriksa praktik-praktik penyelewengan.
Selain itu, paparnya, terjadinya
korupsi juga lantaran adanya pe­
luang. Seperti celah yang begitu longgar dalam menentukan penggunaan
uang negara. Untuk itu, BPK harus
membuat rumusan secara komprehensif guna mencegah orang untuk
tidak korupsi.
Eman mengakui kinerja BPK selama ini sudah sangat baik. Ini terbukti
dari banyaknya temuan BPK mengenai dugaan penyimpangan keuangan
negara. Bahkan, temuan BPK yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana
korupsi menjadi kewenangan hakim
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
“Selama ini, hakim Tipikor semangat
menghukum sehingga temuan BPK
yang ditindaklanjuti penegak hukum
itu dengan semangat,” kata Eman.
Dia juga mengharapkan BPK bisa
memberikan alat bukti yang mencukupi apabila menemukan adanya
dugaan penyimpangan penggunaan
anggaran. Jika temuan BPK tidak
dilengkapi alat bukti yang cukup,
salah-salah orang akan dianggap
melakukan penyimpangan dan akan
menjadi obyek penyidikan KPK. “Oleh
karena itu, BPK juga mesti hati-hati.
Kalau tidak akan merugikan orang,”
kata Eman.
BPK ke depan, sarannya, perlu
menyiapkan SDM yang handal memadukan keahliannya dengan pemahaman TI yang mumpuni. Pasalnya,
dengan penguasaan TI tersebut akan
mempermudah kerja BPK. Namun
yang lebih penting, lembaga audit ini
tidak terkontaminasi oleh pengaruh
politik dan tetap menjaga independensi. (bw/bd)
FEBRUARI 2011
35
23/02/2011 19:36:58
antar lembaga
MK Cabut UndangUndang Angket DPR
P
36
ada akhir Januari bisa dikatakan sebagai tonggak bersejarah bagi sistem
ketatanegaraan Indonesia. Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan
Undang-Undang No.6 Tahun 1954 tentang
Penetapan Hak Angket DPR tidak berlaku. UU
itu merupakan salah satu peninggalan tata hukum zaman Presiden Soekarno.
Keputusan MK itu merupakan hasil dari
kesepakatan yang diambil sembilan hakim MK
dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH)
pada 26 Januari. Rapat menyimpulkan bahwa
UU No.6 Tahun 1954 bertentangan dengan
UUD 1945. UU ini juga dinilai tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
MK menilai UU ini tidak dapat diteruskan
karena terdapat perbedaan sistem pemerintahan yang dianut dari konstitusi yang mendasarinya. Tidak sesuai dengan zamannya lagi,
begitu bahasa sederhananya.
Proses pembentukan UU ini sendiri konstitusional karena sesuai dengan UUDS 1950.
Namun, materi muatan UU Hak Angket itu
FEBRUARI 2011
32 - 39 antar lembaga.indd 36
berhubungan dengan terjadinya perubahan sistem pemerintahan berdasarkan konstitusi yang berlaku
kala itu.
Pembentukannya mengacu pada
sistem parlementer yang dianut
UUDS 1950. Misalnya, aturan yang
memberikan perlindungan atau
kepastian hukum terhadap panitia
angket, jika Presiden membubarkan
DPR sebagaimana diatur dalam Pasal
28 UU Hak Angket itu. Aturan itu jelas tidak sejalan
dengan UUD 1945 yang menganut
sistem presidensial atau presiden
tidak bisa membubarkan DPR. Meski
Pasal 1 Aturan Peralihan UUD 1945
mengakui segala aturan yang ada
sebelum ada perubahan, tetapi UU
Angket itu tidak dapat diteruskan
keberlakuannya karena perbedaan sistem pemerintahan.
Selain itu, tata cara dan mekanisme kerja panitia angket yang diatur dalam UU Hak
Angket, juga diatur dalam UU No. 27 Tahun
2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Menurut MK, jika UU Hak Angket dipertahankan akan menimbulkan ketidakpastian hukum
yang justru bertentangan dengan UUD 1945.
Dengan tak berlakunya UU itu, pembentukan dan pelaksanaan hak angket hanya mengacu pada aturan yang lebih baru yakni UU
No.27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD,
dan DPRD.
Berakhirnya masa berlaku UU No. 6 Tahun
1954 ini merupakan hasil judicial review atau
uji materi yang diajukan Dosen Universitas
Atmajaya Bambang Supriyanto, Aryani Artisari,
Jose Dima Satria, dan Aristya Agung Setiawan.
Permohonan uji materi mereka tercatat dalam
Perkara Nomor 7/PUU-VIII/2010 dan 8/PUUVIII/2010.
Warta BPK
23/02/2011 19:36:58
Adapun undang-undang yang diuji
materikan kepada MK adalah UU Hak
Angket dan Pasal 77 ayat (3) UU No. 27
Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD,
dan DPRD yang juga mengatur hak
angket. Mereka meminta MK membatalkan UU Hak Angket dan Pasal 77
ayat (3) UU MD3 karena bertentangan
dengan UUD 1945.
Mereka beralasan selain terjadi
dualisme peraturan, banyak substansi UU Hak Angket yang tidak relevan
dengan hak angket yang diatur dalam
UU No. 27 Tahun 2009. Selain itu, keberadaan hak angket mengakibatkan
Warta BPK
32 - 39 antar lembaga.indd 37
perpolitikan menjadi labil. Akibatnya,
muncul ketidakpastian hukum yang
berpengaruh terhadap simpatisan
partai politik dan kepemimpinan pemerintahan SBY-Boediono.
Secara spesifik, mereka juga menilai penggunaan hak angket dalam
kasus Bank Century telah melanggar
HAM karena peristiwa itu terjadi saat
pemerintahan SBY periode pertama.
Penggunaan hak angket seharusnya
mengacu pada Pasal 7 dan Pasal 22 E
ayat (1), (2) UUD 1945 dan pada pemerintahan serta DPR periode yang
sama. Sementara dalam uji materi Pasal
77 ayat (3) UU No. 27 Tahun 2009, yang
juga mengatur hak angket, Mahkamah
menilai bahwa pemohon tidak memiliki legal standing (kedudukan hukum).
Sebab, tidak ada kerugian konstitusional yang dialami para pemohon dengan berlakunya pasal itu.
Menurut MK, pihak yang dirugikan
oleh penggunaan hak angket oleh DPR
adalah Presiden SBY, bukan pemohon.
Persoalan penggunaan hak angket lebih tepat diajukan dalam sengkerta
kewenangan antarlembaga negara
yakni Presiden dan DPR.
(and)
FEBRUARI 2011
37
23/02/2011 19:36:58
antar lembaga
Roy Suryo Noto Diprodjo,
Anggota Komisi X DPR dan Pengamat Telematika
‘BPK harus siapkan
tim TI yang kuat’
B
PK berencana menerapkan e-audit dalam memeriksa laporan keuangan kementerian/lembaga
milik pemerintah. Gagasan ini mendapat sambutan hangat dari sejumlah kalangan. Mereka
beranggapan sudah saatnya BPK menerapkan pola seperti
e-audit seiring dengan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi (TI). Namun, mereka juga wanti-wanti agar
dalam implementasinya tetap menerapkan prinsip-prinsip
kehati-hatian.
Peringatan itu beralasan, lantaran teknologi yang berbasis TI ini dapat diubah, dicuri, atau bahkan direkayasa
dengan gampang. Boleh dikata semudah membalikkan
telapak tangan.
Oleh karena itu, untuk mencegahnya diperlukan skill tertentu guna mengetahui dan memastikan kebenaran
data-data yang diajukan. Selain itu, harus dipahami jika
38
FEBRUARI 2011
32 - 39 antar lembaga.indd 38
dalam melakukan e-audit yang dibutuhkan bukan hanya
hardware, software, yang tak kalah penting adalah kecermatan dan brainware.
“Banyak yang menganggap prioritas di bidang TI itu
pada hardware, software. Kedua hal itu memang penting,
tetapi jauh lebih penting lagi adalah kemampuan SDM.
Membaca transaksi electronik memerlukan skill tertentu.
Karena yang namanya angka secara elekctronik itu bisa
diubah atau direkayasa. Teknologi dapat dipelesetkan semudah membalik telapak tangan,” papar Roy Suryo Noto
Diprodjo, anggota Komisi X DPR, kepada Warta BPK, di Jakarta, belum lama ini.
Menurut dia, pola atau sistem seperti e-audit memang
sudah menjadi tuntutan zaman. Roy menyambut baik upaya
BPK untuk melakukan modernisasi dengan melaksanakan
e-audit. “Saya appreciate upaya BPK ini. Itu memang sudah
suatu tuntutan,” tandasnya.
Apalagi, ucap Roy yang ikut membidani lahirnya UU
ITE, kita juga memiliki UU yang terkait dengan hal tersebut
yaitu Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik).
Dengan adanya UU itu informasi dan dokumen elektronik
sudah bisa menjadi alat bukti hukum yang sah yang tertuang dalam pasal 5.
Peraturan lain yaitu UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Meski undang-undang
ini mengatur keterbukaan informasi, tetapi ada pengecualian bagi ‘pekerjaan’ BPK, yakni pasal 17. “Pasal inilah
yang menjadi dasar hukum bagi BPK dalam melaksanakan
tugas,” kata Roy.
Menurut dia, di era keterbukaan ini, banyak orang yang
menganggap segala sesuatu harus terbuka. Padahal, tidak
semua hal bisa dibuka, termasuk dalam melaksanakan audit.
“Pada pasal 17 merupakan pengecualian. Dengan adanya pasal ini, BPK bisa firm, termasuk soal audit dan laporan yang sifatnya masih internal dan belum layak dibuka,”
ujar pakar telematika ini.
Menariknya lagi, tambahnya, saat ini DPR tengah menggodok RUU tentang Transfer Dana. Jika telah disahkan,
Warta BPK
23/02/2011 19:36:59
nantinya UU tersebut dapat menjadi
pijakan hukum bagi BPK.
“Jadi yang saya ingin katakan, eaudit memang telah menjadi tuntutan
zaman dan kebutuhan teknologi, dan
memiliki dasar hukum. Lebih dari itu,
segi positif dari e-audit adalah semua
proses bisa jauh lebih cepat, baik itu
pengumpulan data awal, pemeriksaan
dan sebagainya.”
Hanya saja, yang harus diperhatikan adalah kehati-hatian dan kecermatan. Pasalnya, kecepatan tidak selalu linear dengan ketepatan.
“Diperlukan kehati-hatian yang
luar biasa dari pihak BPK agar kecepatan tidak mengurangi nilai ketepatan. Sebab, membaca data elektronik
memerlukan skill khusus untuk mengetahui
kebenaran data. Untuk
itu, yang dibutuhkan tidak hanya hardware dan
software tapi juga brainware serta kecermatan,”
tegas Roy.
Selain itu, masalah
keamanan juga harus diperhatikan. Bukan hanya
pada perangkat-perangkat yang digunakan untuk saling berhubungan
dengan auditee, tetapi
juga data-data yang diterima. Untuk itu, tegasnya, diperlukan sumber
daya manusia yang handal.
“Misalnya, ada data
yang sejak awal sudah
modified atau bahkan
dipalsukan. Ini sangat berbahaya. Karena itu diperlukan kemampuan untuk mengetahui hal ini. Sebab dengan
kecanggihan teknologi, segala sesuatu
bisa dengan mudah di-modified.”
Forensic TI dan Paperless
Selama ini para auditor sudah terbiasa dan terlatih memeriksa data dan
arsip dalam bentuk hard copy. Nantinya, semua itu berubah menjadi data
elektronik. Nah, untuk mengetahui kebenaran ataupun ada tidaknya kejangWarta BPK
32 - 39 antar lembaga.indd 39
galan diperlukan pengetahuan khusus
yakni forensic TI dan pengetahuan
telematika. BPK, paparnya, harus menyiapkan
tim khusus untuk memverifikasi data
sebelum diproses lebih lanjut. “Jelas,
ini totally different [dengan pola hardcopy],” tegas Roy.
Menurut dia, penerapan e-audit
oleh BPK sangat bagus. Namun, di sisi
lain menimbulkan konsekuensi-konsekuensi yang perlu diperhatikan, termasuk up-grading di segala bidang.
“BPK harus mengantisipasi semuanya. Misalnya, pembuatan status hukum terhadap apa yang akan dilakukan. Termasuk dalam hal pengangkatan SDM. Ini demi kepentingan BPK,”
tuturnya.
Pasalnya,
data-data
tersebut
adalah rahasia yang akan digunakan
untuk menentukan nasib yang diperiksa. Tentunya, harus dipimpin oleh
seorang pejabat dari eselon yang cukup mampu dan menjadi bagian yang
integrated dari tim.
Roy menambahkan dari sisi upgrading –nya (brainware) harus dianalisa sistem yang digunakan atau
dikenal system analyze.
“Tidak bisa digunakan analyze
general. Namun, seorang yang tahu
proses audit BPK seperti apa, diterjemahkan mulai dari flow of chart, kemudian mechanism process-nya. Nah,
yang mengerti itu adalah orang dalam,
yang bisa menerjemahkan dalam bentuk hardware-nya. “
Dia menegaskan requirement hardware dan software sebaiknya jangan
mengambil produk dari luar.
“Harus ditentukan dari dalam.
Dengan demikian, sistem itu benarbenar menjadi embedded , bagian dari
suatu proses BPK. Jadi kalaupun nanti
ada unit baru, tugas BPK tetap mengaudit dan memeriksa keuangan. Perkara teknologi berkembang, sudah diantisipasi dengan adanya unit baru. Jadi
bukan sekadar mengikuti
tren,” jelas Roy.
Dia mencontohkan
langkah Pemkot Surabaya
yang memberlakukan lelang pengadaan barang
dan jasa secara elektronik pada 2006. Memang
awalnya tidak berjalan
lancar karena sesuatu
yang baru.
“Mungkin ini juga
akan terjadi pada e-audit
BPK. Jadi tidak semuanya
bisa lancar seperti membalikkan telapak tangan.
Ada tahapan-tahapannya.
Membutuhkan waktu.”
Roy juga menyoroti
masalah kesiapan dari
pihak auditee. Alasannya,
jika BPK sebagai pemeriksa sudah siap sementara
obyek yang diperiksa tidak siap, lantas
bagaimana? Demikian juga sebaliknya,
justru auditee yang memiliki sistem TI
sudah canggih. Menurut dia, sekarang
ini sudah ada kantor-kantor yang menerapkan paperless.
“Ini semua harus diantisipasi.
Mungkin sekarang belum banyak, tetapi siapa tahu suatu saat nanti berubah. Saya membayangkan hal itu dan
tentunya BPK harus mengantisipasinya. BPK harus menyiapkan tim TI
yang kuat,” ujarnya.
(dr) FEBRUARI 2011
39
23/02/2011 19:36:59
Download