SEMIOTIKA DALAM PERIKLANAN Sri Hesti Heriwati Jurusan Desain Interior Fakultas Seni Rupa dan Desain Interior ISI Surakarta Abstract To send the message of communication by entrusting it on an object, in this case advertisement or an event in which many people show interest, should use accurate words. Using words inaccurately, the message can not be understood well. A language as a means of communication and communication itself is self-expression. Not only can each language be used to analyze structurally but also using semiotic approach, especially to advertisements. Besides an activity of communication, advertising is an activity of marketing. Basically an advertisement is the product of mass culture and of industrial society culture indicated by mass production and consumptions. It means that the mass are only viewed as consumers. Communication activity creates personal interactions using clear signs. Communication is also the division of behavioral elements or life style with a set of rules and the use of signs. From communication point of view, the manipulation of elements of a message depends on who the target is and through what media the advertisement should be expressed. The presence of advertising as public service is meant to counter commercial advertisements because they are often accused of increasing consumerism. Apart from that, advertising as a public service advertisement can be viewed using semiotic approach. Key words: language, advertisement, semiotics Pendahuluan Pentingnya bahasa sebagai alat komunikasi dapat dilihat pada semua interaksi atau segala macam kegiatan di masyarakat. Sementara itu, ada tanggapan bahwa bahasa bukan satu-satunya alat untuk mengadakan komunikasi, hal ini dibuktikan dengan terjalinnya dua orang atau lebih untuk mengadakan komunikasi dengan mempergunakan cara-cara tertentu. Terlepas dari itu semua, maka bahasa pada prinsipnya merupakan sistem komunikasi yang memakai simbol-simbol arbriter. Komunikasi sebagai mekanisme yang menyebabkan adanya hubungan antara manusia dan yang memperkembangkan semua lambang pikiran (Budiman, 1991:40) bersama- 1 sama dengan sarana untuk menyiarkannya dalam ruang dan merekamnya dalam waktu, ini mencakup wajah, sikap dan gerak-gerik, suara, kata-kata tertulis, percetakan, kereta api, telegram, telepon, dan apa saja yang merupakan penemuan mutakhir untuk menguasai ruang dan waktu. Pembinaan dan pengembangan bahasa dalam kaitannya dengan bidang komunikasi (media massa) sangat penting dalam rangka pembangunan bangsa karena media massa memiliki pengaruh yang luas dalam masyarakat. Dalam hubungan itu, media massa memberikan sumbangan yang berjasa dalam pertumbuhan bahasa Indonesia. Akan tetapi, kenyataan juga menunjukkan adanya kelemahan dalam pemakaian bahasa Indonesia melalui media massa, baik secara tertulis maupun lisan, misalnya ada kata-kata yang cenderung kehilangan makna yang sesungguhnya. Komunikasi massa merupakan singkatan dari media massa komunikasi meliputi media elektronik dan cetak seperti: surat kabar, majalah, radio, dan televisi mempunyai sirkulasi siaran yang ditujukan kepada umum. Kemajuan teknologi di bidang radio dan televisi mampu menjangkau jarak yang lebih jauh dengan suara lebih baik. Televisi melalui pancaran satelit mampu menghubungkan secara visual, auditif, hidup, dan pada saat suatu peristiwa terjadi semua memberikan pengaruh. Berpijak pada kemajuan teknologi, dalam hal ini komunikasi melalui pertelevisian, akan dibahas khususnya menyangkut masalah periklanan ditinjau dari sudut pandang semiotik. Kehadiran televisi yang langsung menembus ke rumah-rumah keluarga memang terjadi persoalan tersendiri bagi sebagian masyarakat. Tidak hanya jadwal kegiatan menjadi berubah tetapi juga menyangkut masalah selera, keinginan, dan tuntutan hidup menjadi berubah pula. Rangsangan konsumtif yang terus-menerus tidak bisa terhindarkan, satu-satunya yang bisa dilakukan adalah memilih dengan hati-hati dan penuh pertimbangan. Sering terjadi kemampuan untuk memilih, apabila kenyataan sudah mengatakan demikian maka lembaga perlindungan konsumen harus banyak bertindak. Seperti halnya dinyatakan di harian Kompas oleh Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Perusahaan Iklan Indonesia (P3I). Indra Abidin mengatakan bahwa iklan yang tidak jujur, tidak logis, menyesatkan, dan bertentangan dengan kode etik periklanan sebaiknya ditinjau ulang oleh komisi periklanan. Setelah ditntinjau ulang oleh komisi periklanan terbukti menyesatkan, maka iklan tersebut harus segera ditarik lagi dari peredarannya (Kompas, 24 Februari 1995). 2 Sensor iklan lebih diperketat agar iklan-iklan yang dirasa menyesatkan tidak ditayangkan. Memang ada cara lain yang lebih efektif untuk menghakimi televisi, yaitu masyarakat harus bersikap kritis karena tampaknya pengelolan stasiun televisi sangat peduli dengan sikap yang demikian. Tayangan iklan (periklanan) di samping harus jujur dan bermanfaat harus selalu menjadi panutan bagi masyarakat. Jika diperhatikan waktu tayang televisi dimulai berkisar 05.30 pagi sampai 01.30 dini hari, menunjukkan bahwa hampir setiap televisi selalu hadir menemani pemirsanya. Periklanan selain merupakan kegiatan pemasaran juga merupakan kegiatan komunikasi. Kegiatan pemasaran meliputi strategi pemasaran, yakni logika pemasaran yang dipakai unit bisnis untuk mencapai tujuan pemasaran (Kotler dalam Nuradi, 1996:416). Liliweri (1991:20) juga berpendapat bahwa kegiatan komunikasi adalah penciptaan interaksi perorangan dengan mengunakan tanda-tanda yang tegas. Komunikasi juga berarti pembagian unsur-unsur perilaku, atau cara hidup dengan eksistensi seperangkat ketentuan dan pemakaian tanda-tanda. Dari segi komunikasi, rekayasa unsur pesan sangat tergantung dari siapa khalayak sasaran yang dituju, dan melalui media apa sajakah iklan tersebut sebaiknya disampaikan. Karena itu, untuk membuat komunikasi menjadi efektif, harus dipahami betul siapa khalayak sasarannya, secara kuantitatif maupun kualitatif. Iklan pada dasarnya adalah produk kebudayaan massa. Produk kebudayaan masyarakat industri yang ditandai oleh produksi dan konsumsi massal. Kepraktisan dan pemuasan jangka pendek antara lain merupakan nilai-nilai kebudayaan massa. Artinya, massa dipandang tidak lebih sebagai konsumen. Hubungan antara produsen dan konsumen adalah hubungan komersial semata saja. Interaksinya, tidak ada fungsi lain selain memanipulasi kesadaran, selera, dan perilaku konsumen biasa disebut dengan istilah Iklan Layanan Masyarakat (ILM), yang akan menjadi inti tulisan ini.Kehadirannya dimaksudkan sebagai citra tandingan (counter image) terhadap keberadaan iklan komersial. Karena selama ini, iklan komersial sering dituduh menggalakkan konsumerisme. Merangsang konsumen untuk berkonsumsi tinggi, dan menyuburkan sifat boros (lihat Liliweri 1991). Sebagai sebuah citra tandingan, pada dasarnya adalah alat untuk menyampaikan pesan sosial kepada masyarakat. Media semacam ini sering dimanfaatkan oleh pemerintah untuk menyebarluaskan program-programnya. Sebagai media yang bergerak dalam bidang sosial, Iklan Layanan Masyarakat pada umumnya 3 berisi pesan tentang kesadaran nasional dan lingkungan, misalnya: Iklan Layanan Masyarakat yang dibuat untuk menyukseskan program imunisasi nasional, pemberantasan nyamuk demam berdarah, virus flu burung, flu babi, budaya gemar membaca, budaya menabung, menjaga lingkungan hidup, membuang sampah pada tempatnya, tertib lalulintas, wajib pajak, hemat listrik, donor darah, penyalahgunaan narkoba, dan sebagainya. Melalui pendekatan teori Semiotika, Iklan Layanan Masyarakat diharapkan mampu diklasifikasikan berdasarkan tanda, kode, dan makna yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, dapat ditemukan kejelasan mengenai pertimbanganpertimbangan estetik pada periklanan dipandang dari hubungan antara tanda dan pesan. Dengan pendekatan teori Semiotika, diharapkan dapat diketahui dasar keselarasan antara tanda verbal dengan tanda visual untuk mendukung kesatuan penampilannya serta mengetahui hubungan antara jumlah muatan isi pesan (verbal dan visual) dengan tingkat kreativitas pembuatan desainnya. Semiologi menurut Saussure seperti dikutip Subakti, didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfungsi sebagai tanda, harus ada di belakangnya sistem pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Dimana ada tanda di sana ada sistem (Subakti, 1993:26). Peirce menyebut ilmu yang dibangunnya semiotika (semiotics), penalaran manusia senantiasa dilakukan lewat tanda. Artinya, manusia hanya dapat bernalar lewat tanda. Dalam pikirannya, logika sama dengan semiotika dan semiotika dapat diterapkan pada segala macam tanda (Sutanto, 2005:11-22). Dalam perkembangan selanjutnya, istilah semiotika lebih populer daripada semiologi. Sekilas Tentang Semiotik Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), berfungsinya tanda, dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain. Dalam pandangan Zoest , segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa, struktur yang ditemukan dalam sesuatu, suatu kebiasaan, semua ini dapat disebut tanda. Sebuah bendera kecil, sebuah isyarat tangan, sebuah kata, suatu keheningan, suatu kebiasaan makan, sebuah gejala mode, suatu gerak syaraf, peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu, letak 4 bintang tertentu, suatu sikap, setangkai bunga, rambut uban, sikap diam membisu, gagap, berbicara cepat, berjalan sempoyongan, nanar, terkagum-kagum, menatap, api, putih, bentuk, bersudut tajam, kecepatan, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan, semuanya itu dianggap sebagai tanda (Zoest dalam Roland, 1998:18). 1.Bahasa. Istilah bahasa dalam hal ini merujuk pada pengertian bahasa struktural dan bahasa sosiokultural. Bahasa struktural adalah analisis bahasa dengan melihat struktur dari bahasa itu sendiri, seperti semiotika aliran strukturalis. Bahasa sosiokultural adalah analisis bahasa dengan melibatkan konteks sosial dan kultural bahasa, atau biasa disebut dengan semiotika sosial. 2.Media. Yang dimaksud dengan Media adalah media audio visual, yaitu televisi. 3.Semiotika Sosial. Yang dimaksud dengan semiotika sosial adalah kajian semiotika bahasa dengan melibatkan teks sekaligus konteks. Semiotik secara etimologi berasal dari kata Yunani semeion yang berarti ”tanda”. Secara terminologi semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang tandatanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan bentuk dari tanda- tanda. Semiotik juga mempelajari sistem-sistem, aturanaturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut memiliki arti, untuk mengklaim bahwa linguistik dan semiotik adalah hal penting yang dapat kita gunakan untuk memahami ketaksadaran. Lacan menempatkan isi ketaksadaran diletakkan sebagai pada penanda ekspresi dan (signifiers); distorsi proses dirinya primer sendiri ketaksadaran (dalam Freud: Condensation dan Displacement; sedangkan Lacan menggunakan istilah yang sama dengan Roman Jacobson dalam Umberto (Roland 1998) Metaphor dan Metonymy). Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda. Tanda-tanda tersebut menyampaikan suatu informasi sehingga bersifat komunikatif; mampu menggantikan sesuatu yang lain dapat dipikirkan atau dibayangkan. Cabang ilmu ini semula berkembang dalam bidang bahasa, kemudian berkembang pula dalam bidang seni rupa dan desain komunikasi visual. Sementara itu, Charles Sanders Pierce, 5 menandaskan bahwa kita hanya dapat berpikir dengan medium tanda. Manusia hanya dapat berkomunikasi lewat sarana tanda. Tanda dalam kehidupan manusia bisa tanda gerak atau isyarat. Lambaian tangan yang bisa diartikan memanggil atau anggukan kepala dapat diterjemahkan setuju. Tanda bunyi, seperti tiupan peluit, terompet, genderang, suara manusia, dering telpon. Tanda tulisan, di antaranya huruf dan angka. Bisa juga tanda gambar berbentuk rambu lalulintas, dan masih banyak ragamnya ( Jewler 2001:44). Tanda (Ikon, Indeks dan Simbol) Merujuk teori Pierce, maka tanda-tanda dalam gambar dapat dilihat dari jenis tanda yang digolongkan dalam semiotik. Di antaranya: ikon, indeks dan simbol (Roland dalam Riyadi, 1996:45). Ikon adalah tanda yang mirip dengan objek yang diwakilinya. Dapat pula dikatakan, tanda yang memiliki ciri-ciri sama dengan apa yang dimaksudkan. Misalnya, foto Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah ikon dari Pak Sultan. Peta Yogyakarta adalah ikon dari wilayah Yogyakarta yang digambarkan dalam peta tersebut. Cap jempol Pak Sultan adalah ikon dari ibu jari Pak Sultan. Indeks merupakan tanda yang memiliki hubungan sebab akibat dengan apa yang diwakilinya. Atau disebut juga tanda sebagai bukti. Contohnya: asap dan api, asap menunjukkan adanya api. Jejak telapak kaki di tanah merupakan tanda indeks orang yang melewati tempat itu. Tanda tangan (signature) adalah indeks dari keberadaan seseorang yang menorehkan tanda tangan itu. Simbol merupakan tanda berdasarkan konvensi, peraturan, atau perjanjian yang disepakati bersama. Simbol baru dapat dipahami jika seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya. Contohnya: Garuda Pancasila bagi bangsa Indonesia adalah burung yang memiliki perlambang yang kaya makna. Namun bagi orang yang memiliki latar budaya berbeda, seperti orang Eskimo, misalnya, Garuda Pancasila hanya dipandang sebagai burung elang biasa. Fungsi teks-teks yang menunjukkan pada sesuatu (mengacu pada sesuatu) dilaksanakan berkat sejumlah kaidah, janji, dan kaidah-kaidah alami yang merupakan dasar dan alasan mengapa tanda-tanda itu menunjukkan pada isinya. Tanda-tanda ini menurut Jakobson merupakan sebuah sistem yang dinamakan kode (Haoedoro, l994:92). Kode pertama yang berlaku pada teks-teks ialah kode bahasa yang digunakan untuk mengutarakan teks yang bersangkutan. Kode bahasa itu dicantumkan 6 dalam kamus dan tata bahasa. Selain itu, teks-teks tersusun menurut kode-kode lain yang disebut kode sekunder, karena bahannya ialah sebuah sistem lambang primer, yaitu bahasa. Sedangkan struktur cerita, prinsip-prinsip drama, bentuk-bentuk argumentasi, sistem metrik, itu semua merupakan kode-kode sekunder yang digunakan dalam teks-teks untuk mengalihkan arti. Roland Barthes dalam bukunya S/Z mengelompokkan kode-kode tersebut menjadi lima kisi-kisi kode, yakni kode hermeneutik, kode semantik, kode simbolik, kode narasi, dan kode kultural atau kode kebudayaan (Barthes dalam Astrid, 1977:106). Uraian kode-kode tersebut dijelaskan sebagai berikut. Kode Hermeneutik yaitu artikulasi berbagai cara pertanyaan, teka-teki, respons, penangguhanjawaban, akhirnya menuju pada jawaban. Atau dengan kata lain, Kode Hermeneutik berhubungan dengan teka-teki yang timbul dalam sebuah wacana. Siapakah mereka? Apa yang terjadi? Halangan apakah yang muncul? Bagaimanakah tujuannya? Jawaban yang satu menunda jawaban lain. Kode Semantik yaitu kode yang mengandung konotasi pada level penanda. Misalnya konotasi feminitas, maskulinitas, atau dengan kata lain Kode Semantik adalah tanda-tanda yang ditata sehingga memberikan suatu konotasi maskulin, feminin, kebangsaan, kesukuan, loyalitas. Kode Simbolik, yaitu kode yang berkaitan dengan psikoanalisis, antitesis, kemenduaan, pertentangan dua unsur, skizofrenia. Kode Narasi yaitu kode yang mengandung cerita, urutan, narasi atau antinarasi. Kode Kebudayaan atau Kultural, yaitu suara-suara yang bersifat kolektif, anomin, bawah sadar, mitos, kebijaksanaan, pengetahuan, sejarah, moral, psikologi, sastra, seni, legenda. Makna (Denotatif dan Konotatif) Kita semua seringkali menggunakan makna tetapi sering kali pula kita tidak memikirkan makna itu. Ketika kita masuk ke dalam sebuah ruangan yang penuh dengan perabotan, di sana muncul sebuah makna. Seseorang yang belum lama kita kenal, hampir setiap hari melayangkan sms yang bernada muatan cinta. Apakah bisa dipastikan bahwa di sedang jatuh cinta? Seseorang yang sedang kia hadapi tersenyum manis dan menatap penuh keheranan. Apakah bisa diartikan dia terkagum-kagum dengan kita? Seorang kawan menyeberang jalan dan melambaikan tangannya ke arah kita, hal itu berarti ia menyapa kita. Makna dalam satu bentuk atau bentuk lainnya, menyampaikan pengalaman sebagian besar umat manusia di semua masyarakat. 7 Kesemuanya itu merupakan lingkup konotasi, beda halnya dengan pemakaian bahasa yang bersifat denotatif. Salah satu contoh pemakaian bahasa denotatif dalam priklanan adalah bahasa persuasif iklan rokok merupakan gaya bahasa kiasan (tropes), dimana sesuatu yang akan ditawarkan tidaklah langsung diungkapkan lewat kata-kata atau bahasa yang digunakan (locutionary act). Bahasa persuasif yang digunakan cenderung pada bentuk nonformal, misalnya dalam kalimat “Pria punya selera”, seharusnya “Pria mempunyai selera”, “Selera pemberani”, seharusnya “Selera seorang pemberani”. Bahasa yang digunakan cenderung singkat namun padat atau sarat makna, seperti dalam tampilan visualnya yang pada akhirnya menuntun konsumen untuk memilih produk tertentu (perlocutionnary act). Makna denotatif meliputi hal-hal yang ditunjuk oleh kata-kata (makna referensial). Menurut Frank (1996:17), makna konotatif meliputi aspek makna yang berkaitan dengan perasaan dan emosi serta nilai-nilai kebudayaan dan ideologi. Contohnya, gambar wajah orang tersenyum, dapat diartikan sebagai suatu keramahan, kebahagiaan. Tetapi sebaliknya, bisa saja tersenyum diartikan sebagai ekspresi penghinaan terhadap seseorang. Untuk memahami makna konotatif, maka unsur-unsur yang lain harus dipahami pula. Semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol. Simbol mengacu pendapat (Bayu, 1999:121) adalah objek atau peristiwa apapun yang menunjuk pada sesuatu. Semua simbol melibatkan tiga unsur: pertama, simbol itu sendiri. Kedua, satu rujukan atau lebih. Ketiga, hubungan antar simbol dengan rujukan. Semuanya itu merupakan dasar bagi keseluruhan makna simbolik. Sementara itu, simbol sendiri meliputi apapun yang dapat kita rasakan atau alami. Menggigil bisa diartikan dan dapat pula menjadi simbol ketakutan, kegembiraan atau yang lainnya. Mencengkeram gigi, mengerdipkan mata, menganggukkan kepala, menundukkan tubuh, atau melakukan gerakan lain yang memungkinkan, semuanya dapat merupakan simbol. Salah satu cara yang digunakan para pakar untuk membahas lingkup makna yang lebih besar adalah dengan membedakan makna denotatif dengan makna konotatif. Williamson, dalam teori semiotika iklan menganut prinsip peminjaman tanda sekaligus peminjaman kode sosial. Misalnya, iklan yang menghadirkan bintang iklan / bintang film terkenal (sekeliber Demy Moore / Cindy Craword), figur bintang iklan / film tersebut dipinjam mitosnya, idiologinya, imagenya, dan sifat-sifat glamour dari bintang 8 iklan / film tersebut. Jewler (2001) dalam membagi a currency of sign menjadi beberapa bagian. Di antaranya product as signified (produk sebagai petanda, konsep atau makna), product as signifier (produk sebagai penanda, bentuk), product as generator, and product as currency. Hal tersebut di atas adalah teori semiotika strukturalis. Kaum strukturalis mencoba mengungkapkan prinsip bahwa perbuatan manusia mengisyaratkan sistem yang diterima dari berbagai hubungan, yang diterapkan oleh Barthes kepada semua praktik sosial. Barthes menafsirkan hal itu sebagai sistem tanda yang beroperasi atas model bahasa. Dalam semiotika struktural berpegang pada prinsip Form Follows Function, dengan mengikuti model semiotika penanda atau fungsi (Frank, 1996:298). Semiotika struktural mengacu pada Saussure dan Barthes dengan signifier (penanda, bentuk) dan signified (petanda, makna). Hubungan antara penanda dan petanda relatif stabil dan abadi. Pada jantung strukturalisme menurut Bayu (1999:71), ada ambisi ilmiah untuk menemukan kode, aturan, sistem yang mendasari semua praktik sosial dan kebudayaan manusia. Pascastrukturalis menurut Piliang, mengacu pada konsep intertekstualitas Julia Kristeva dan konsep dekonstruksi dari Jacques Derrida. Julia Kristeva misalnya, tergabung dalam Tel Quel Perancis menggunakan istilah intertekstualitas untuk menjelaskan fenomena dialog antarteks, kesalingtergantungan antara suatu teks (karya) dengan teks (karya) sebelumnya. Kristeva melihat kelemahan dalam konsep referensi dari formalisme dan modernisme yang cenderung melecehkan kutipan atau kuotasi. Pendapat Kristeva, sebuah teks atau karya seni tidak lebih semacam permainan dan mosaik kutipan-kutipan dari berbagai teks atau karya masa lalu. Istilahnya semacam ruang ‘pasca sejarah’ yang di dalamnya beberapa kutipan dari berbagai ruang, waktu, dan kebudayaan yang berbeda-beda saling melakukan dialog. Sebagaimana yang dikemukakan Kristeva, sebuah teks (karya) hanya dapat eksis apabila di dalamnya, beberapa ungkapan yang berasal dari teks-teks lain, silang menyilang dan saling menetralisir satu dengan lainnya. Desain Komunikasi Visual Periklanan Kehidupan manusia sangat erat dengan desain komunikasi visual, salah satu manifestasi kebudayaan yang berwujud produk dari nilai-nilai yang berlaku pada waktu tertentu. Hal yang merupakan kebudayaan benar-benar dihayati, bukan kebudayaan 9 dalam arti sekumpulan sisa bentuk, warna, dan gerak masa lalu yang kini dikagumi sebagai benda asing terlepas dari diri manusia yang mengamatinya (Astrid, 1977:31). Selanjutnya, Bahasa Periklanan dilihat dari segi komunikasi dijelaskan Astrid dalam buku Komunikasi dalam Teori dan Praktik (1977), kata-kata yang dipilih harus sedemikian rupa sehingga kemungkinan perbedaan dalam interpretasi menjadi seminimum mungkin. Komunikasi memudahkan adanya timbal balik ataupun yang positif. bussines Kemudian dan dikurangi konsumen bahasa dan cara penyampaian pesan harus persuasif agar pada pihak konsumen diadakan adaptasi. Dengan demikian, terjadi kegiatan ke arah yang dianjurkan oleh pihak komunikator. Di samping itu, perlu akan adanya desain komunikasi visual yang bisa membahasakan sebuah iklan, sehingga mudah dicerna dan efektif dalam penyampainnya. Desain komunikasi visual dalam pengertian modern adalah desain yang dihasilkan dari rasionalitas. Dilandasi pengetahuan, bersifat rasional, dan pragmatis. Jagat desain komunikasi visual senantiasa dinamis, penuh gerak, dan perubahan. Hal itu karena peradaban dan ilmu pengetahuan modern memungkinkan lahirnya industrialisasi. Sebagai produk kebudayaan yang terkait dengan sistem sosial dan ekonomi, desain komunikasi visual juga berhadapan pada konsekuensi sebagai produk massal dan konsumsi massa. Terkait dengan itu, Sutanto (2005:15-16) menyatakan, desain komunikasi visual senantiasa berhubungan dengan penampilan rupa yang dapat dicerap orang banyak dengan pikiran maupun perasaannya; rupa yang mengandung pengertian atau makna, karakter serta suasana, yang mampu dipahami (diraba dan dirasakan) oleh khalayak umum atau terbatas. Dalam pandangannya, desain komunikasi visual memiliki pengertian secara menyeluruh, yaitu rancangan sarana komunikasi yang bersifat kasat mata. Desain komunikasi visual adalah ilmu yang mempelajari konsep komunikasi dan ungkapan daya kreatif, yang diaplikasikan dalam berbagai media komunikasi visual dengan mengolah elemen desain grafis terdiri dari gambar (ilustrasi), huruf, warna, komposisi dan layout. Semuanya itu, dilakukan untuk menyampaikan pesan secara visual, audio, dan audio visual kepada target sasaran yang dituju. Desain komunikasi visual sebagai salah satu bagian dari seni terapan yang mempelajari tentang perencanaan dan perancangan berbagai bentuk informasi komunikasi visual. Perjalanan kreatifnya diawali dari menemukan kembali permasalahan komunikasi visual, mencari data verbal dan visual, menyusun konsep 10 kreatif yang berlandaskan pada karakteristik target sasaran, sampai dengan penentuan visualisasi final desain untuk mendukung tercapainya sebuah komunikasi verbal-visual yang fungsional, persuasif, artistik, estetis, dan komunikatif. Desain iklan dipelajari dalam konteks desain, bukan komunikasi marketing dan penciptaan merek atau aktivitas branding. Desain iklan atau popular dengan sebutan advertising, ranah kreatifnya meliputi: kampanye iklan komersial dan perancangan iklan layanan masyarakat. Aplikasi perancangan dan perencanaan desain iklan komersial maupun iklan layanan masyarakat (nonkomersial) senantiasa melibatkan seluruh media periklanan yang meliputi: pertama, media iklan lini atas (above the line advertising), yakni: jenis-jenis iklan yang disosialisasikan menggunakan sarana media massa komunikasi audio visual. Misalnya surat kabar, majalah, tabloid, iklan radio, televisi. bioskop, internet, telepon seluler. Analisis Semiotik Periklanan Iklan layanan masyarakat, menurut Kamus Istilah Periklanan Indonesia adalah jenis periklanan yang dilakukan oleh pemerintah, suatu organisasi komersial atau pun nonkomersial untuk mencapai tujuan sosial atau sosio-ekonomis terutama untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Iklan bukan semata-mata pesan bisnis yang menyangkut usaha mencari keuntungan secara sepihak. Iklan juga mempunyai peran yang sangat penting bagi berbagai kegiatan nonbisnis. Dalam iklan tersebut, disajikan pesan-pesan sosial yang dimaksud untuk membangkitkan kepedulian masyarakat terhadap sejumlah masalah yang harus dihadapi, yakni kondisi yang bisa mengancam keserasian dan kehidupan umum. Iklan seperti itu menurut Kasali (1995:201) disebut iklan layanan masyarakat; Misalnya: gerakan anti narkoba, subsidi listrik, hemat listrik, pemilu yang jujur dan adil, kebakaran hutan, bencana alam, kerukunan agama, ras dan suku, pelestarian lingkungan hidup, konservasi hutan, imunisasi nasional, membudayakan pengunaan helm dan sabuk pengaman, tertib lalulintas, dan sebagainya. Biasanya tema-tema tersebut disesuaikan dengan masalah nasional yang sedang aktual di tengah masyarakat dengan media pertelevisian. Melalui iklan layanan masyarakat orang bisa diajak berkomunikasi guna memikirkan sesuatu yang bersifat memunculkan kesadaran baru yang bersumber dari nurani individual maupun kelompok. Diantaranya, hal-hal yang berorientasi tentang lingkungan hidup, sosial kemasyarakatan, dan kebudayaan. Semuanya itu adalah 11 fenomena yang ada di seputar kita yang sebenarnya telah diketahui dan dirasakan, namun tidak pernah terpikirkan karena mungkin tidak menghantui, menyangkut, bahkan mengusik kepentingan kita secara langsung. Pada dasarnya sebagai salah satu karya kreatif dalam ranah desain komunikasi visual, merupakan salah satu media yang berfungsi untuk menyosialisasikan pesan-pesan sosial kepada khalayak sasaran dengan cara penyampaian yang berpedoman pada metode periklanan komersial. Tujuannya agar kelompok tertentu dalam masyarakat mau memikirkan sesuatu dan terlibat secara aktif seperti yang dimaksudkan oleh pesan dalam iklan layanan masyatrakat tersebut (Miryam, 1984:22). Penggunaan semiotika sebagai metode pembacaan Iklan layanan masyatrakat disebabkan kecenderungan untuk memandang berbagai hal seperti seni, budaya, sosial, desain komunikasi visual, dan sebagai fenomena bahasa dan tanda. Metode Semiotika, pada dasarnya beroperasi pada dua jenjang analisis. Pertama, analisis tanda secara individual. Mencakup: jenis, struktur, kode, dan makna tanda. Kedua, analisis tanda sebagai sebuah kelompok atau kombinasi. Yakni kumpulan tanda-tanda yang membentuk teks sedangkan teks dipahami sebagai kombinasi tanda-tanda. Dengan demikian, karya desain komunikasi visual salah satunya berbentuk iklan layanan masyatrakat juga dapat dilihat sebagai sebuah teks. Oleh karena itu, keberadaannya merupakan kombinasi tanda-tanda dan perlu didekati dengan kajian Semiotika. Simpulan Simpulan yang dapat dicerna adalah melalui pendekatan teori Semiotika diharapkan periklanan sebagai iklan layanan masyarakat, mampu diklasifikasikan berdasarkan tanda, kode, dan makna yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian dapat ditemukan kejelasan mengenai pertimbangan-pertimbangan estetik pada periklanan sebagai iklan layanan masyarakat dipandang dari hubungan antara tanda dan pesan. Dengan pendekatan teori semiotika diharapkan dapat diketahui dasar keselarasan antara tanda verbal dengan tanda visual untuk mendukung kesatuan penampilan periklanan sebagai iklan layanan masyarakat serta mengetahui hubungan antara jumlah muatan isi pesan (verbal dan visual) dengan tingkat kreativitas pembuatan desain periklanan sebagai iklan layanan masyarakat. Dengan demikian, tidak terdapat lagi ungkapan bahwa iklan semata-mata sebagai perihal yang konsumtif. 12 Aplikasi perancangan dan perencanaan desain iklan komersial maupun iklan layanan masyarakat (non komersial) senantiasa melibatkan seluruh media. Dengan pendekatan teori Semiotika diharapkan dapat diketahui dasar keselarasan antara tanda verbal dengan tanda visual untuk mendukung kesatuan penampilannya serta mengetahui hubungan antara jumlah muatan isi pesan (verbal dan visual) dengan tingkat kreativitas pembuatan desainnya. 13 Kepustakaan Astrid Susanto, 1977. Komunikasi dalam Teori dan Praktik. Bandung: Bina Cipta Bayu Setyonugroho, 1999. Bahasa Persuasif Iklan Rokok di Televisi, Skripsi Sarjana Sastra - UNS Surakarta Barthes, Roland. 1998. The Semiotics Challenge. New York: Hill and Wang. Eco, Umberto. l979. A Theory of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press. Hoedoro Hoed, Benny. 1994. ‘’Dampak Komunikasi Periklanan, Sebuah Ancangan dari Segi Semiotik’’. Jurnal Seni BP ISI Yogyakarta IV/2. 111-133. Jefkins, Frank. 1996. Periklanan. Penerjemah Haris Munandar. Jakarta: Penerbit Erlangga, buku asli diterbitkan tahun 1985. Jewler, A. Jerome., dan Drewniany Bonnie, L. 2001. Creative Strategy in Advertising. USA: Wadsworth Thomson Learning, 10 Davis Drive Belmont. Kasali, Rhenald. 1992. Manajemen Periklanan: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. -------------------, 1995. Manajemen Periklanan. Jakarta: Pustaka Utama Graffiti Khairil Anwar, 1984. Fungsi dan Peranan Bahasa Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Kris Budiman.1999. Semiotika. Yogyakarta:LkiS. Liliweri, Alo. 1991. Memahami Peran Komunikasi Massa dalam Masyarakat. Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti. Miryam, Bebe Indah. 1984. ‘’Iklan Layanan Masyarakat’’, Skripsi, Bandung: Institut Teknologi Bandung. Nuradi. 1996. Kamus Istilah Periklanan Indonesia. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Riyadi Santosa, 1996. Bahasa dalam Kosep Semiotika Sosial. Surakarta: Universitas Sebeles Maret Saussure, Ferdinand de. 1998. Pengantar Linguistik Umum. Penerjemah Rahayu S. Hidayat. Yogyakarta: Gadjahmada University Press, buku asli diterbitkan tahun 1973. 14 Subakti, Baty. 1993. Sejarah Periklanan Indonesia. Jakarta: Penerbit Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia. Sutanto, T. 2005. ‘’Sekitar Dunia Desain Grafis/Komunikasi Visual’’. Pura-pura Jurnal DKV ITB Bandung. 2/Juli. 15-16. . 15