bab iv sistem sosiokultur komunitas nelayan lamalera

advertisement
BAB IV
SISTEM SOSIOKULTUR
KOMUNITAS NELAYAN LAMALERA
Masyarakat Lamalera membangun permukimannya di sepanjang pesisir
pantai yang berbatu karang. Pemukiman penduduk ditata mulai dari bibir-bibir
pantai hingga terus menaiki bukit karang. Rumah tinggal dibangun di tanah-tanah
yang landai sedekat mungkin dengan pantai. Rumah-rumah dirancang agar bisa
memberikan pemandangan yang jelas ke lautan Sawu. Daratan berbatu karang,
musim panas yang lebih panjang, sungai-sungai yang hanya terbentuk ketika
hujan dan sumber air yang terbatas, tidak memungkinkan tanaman-tanaman
pertanian tumbuh dengan baik. Bentangan Laut Sawu yang luas dan kaya dengan
ikan, lebih bisa diandalkan untuk menopangkan hidup dari pada mengolah tanah
yang miskin.
Masyarakat adat Lamalera dalam tatanan administratif pemerintahan
dibagi menjadi dua desa, yaitu Desa Lamalera A (Teti Lefo) dan Desa Lamalera B
(Lefo Bela). Penamaan A dan B mengacu pada letak pemukiman. A untuk
Lamalera Atas karena perumahan penduduk berada di dataran tinggi bagian barat
pantai dan B untuk Lamalera Bawah karena awalnya pemukiman terkonsentrasi
disekitar pantai, walaupun kemudian perumahan penduduk terus dibangun di
lereng-lereng bukit karang. Desa A memiliki wilayah seluas 5,33 km²19,
sedangkan luas wilayah Desa B sekitar 6,53 km². Masing-masing desa dibagi atas
empat dusun, Desa Atas terdiri atas Dusun Fung-Fukalere, Lefolein, Lefololo dan
Lamamanu. Desa Bawah dibagi atas Dusun Krokowolor, Futunglolo, Fusugolo,
dan Lewobelen. Secara keseluruhan penduduk Lamalera berjumlah 1.695 jiwa.
Sebaran penduduk di dua desa adalah 918 jiwa di Lamalera A dan 777 jiwa di
Lamalera B. Desa Atas memiliki kepadatan penduduk lebih tinggi dibanding Desa
19
Luas wialayah ini kemungkinan akan berkurang karena ada rencana pemisahan Dusun
Lamamanu dari Desa Lamalera A dan menjadi desa definitif sendiri. Letak Dusun Lamamanu
terpisah jauh dari tiga dusun lainya. Ia terletak di daerah ketinggian dengan jarak tempuh sekitar
20 menit berjalan kaki dari tiga dusun lain. Pola kehidupan dan sistem kebudayaan masyarakat
Dusun Lamamanu berbeda dengan Desa Lamalera secara umum. Suku yang ada di dusun tersebut
juga berbeda dengan suku-suku di Lamalera.
50
Bawah karena penduduk Desa A terkonsentrasi di satu kawasan pemukiman,
sementara pemukiman penduduk Desa B lebih tersebar.
Bagi masyarakat Lamalera 20, Laut Sawu merupakan ladang kehidupannya.
Perekonomian utama masyarakat dua desa ini adalah sebagai nelayan. Laki-laki
dan perempuan sama-sama memiliki keterlibatan yang besar dalam aktivitas
ekonomi ini. Wilayah kerja laki-laki ada di laut dan pesisir pantai mulai dari
membenahi perahu, mesin dan jaring pukat sampai ke berburu-menikam ikan dan
mamalia laut serta berpukat malam. Sementara perempuan melanjutkannya
pekerjaan ditempat kering mulai dengan membawa pulang pembagian hasil
tangkapan dari pantai, mengolahnya dengan mengeringkan atau membakar serta
melakukan transaksi tukar menukar (barter) dan jual beli terhadap hasil tangkapan
tersebut. Selain memanfaatkan hasil laut, aktivitas ekonomi sampingan yang
dilakukan di Lamalera adalah membuat garam, kapur sirih, bertanam pohon mete,
serta berkebun singkong, jagung dan tanaman kebun lainnya di musim barat.
Beternak ayam kampung, kambing dan babi juga dilakukan sebagai usaha
sampingan. Pemeliharaan ternak dilakukan dalam skala rumah tangga dan
biasanya dimanfaatkan untuk kegiatan adat seperti upacara kematian, perkawinan
dan urusan adat lainnya. Perempuan Lamalera juga mengandalkan hasil tenun
untuk menambah penghasilan keluarga. Beberapa orang tua dan orang cacat yang
tidak lagi bisa berangkat ke laut membuat anyaman yang dijual di pasar atau
kepada wisatawanyang datang berkunjung.
Walaupun kehidupan hampir sepenuhnya bertopang dari hasil laut, namun
nelayan Lamalera memiliki pesisir pantai yang landai dan berpasir untuk
mendukung aktivitas melaut yang sangat terbatas. Pantai utama tempat semua
tena laja dan sampan ditambatkan berada di daratan rendah yang strategis antara
dua lefo. Kawasan ini disebut Fatta Bela, merupakan pusat aktivitas ekonomi.
Fatta Bela adalah pantai yang sangat padat dengan bangsal perahu yang ditata
rapi menghadap ke laut.
Pesisir pantai kedua yang menjadi tempat tambatan sampan-sampan yaitu
Kenafatang terletak di Dusun Futunglolo. Di pantai ini banyak batu-batu besar
dan hanya tersisa kurang 3 (tiga) meter pantai berpasir. Lebih sering menjadi
20
Dalam pembahasan di penelitian ini, masyarakat Lamalera tidak termasuk Dusun Lamamanu.
51
tempat disimpannya bero atau sampan kecil yang biasa dipakai untuk mencari
ikan-ikan kecil. Sedangkan pantai ketiga, Lamaliong adalah pantai berbatu dan
berkerikil, terdapat di Dusun Krokowolor yaitu kampung terakhir yang bergabung
dengan Desa Lamalera B. Tidak banyak perahu nelayan yang disimpan di
Kenafatang dan Lamaliong, bukan saja terbatas untuk menyimpan perahu tetapi
juga tidak leluasa untuk memotong ikan sehingga baik tena laja, sampan besar
ataupun sampan kecil berkumpul di pantai Fatta Bela.
4.1. Ekosistem Laut Sawu dan Pulau Lembata
Indonesia adalah satu-satunya daerah tropis di dunia tempat terjadinya
pertukaran kehidupan antara Laut Hindia dan Pasifik. Perairan Indonesia memiliki
kekayaan sumber daya ikan dan keanekaragaman jenis cetacean yang tinggi serta
memiliki wilayah terumbu karang yang luas. Perairan timur Indonesia termasuk
ke dalam bagian wilayah segitiga terumbu karang (coral triangel)21. Di perairan
yang kaya terumbu karang ini, terdapat lebih dari 3.000 spesies ikan, termasuk hiu
paus dan coelacanth serta sedikitnya terdapat 30 jenis spesies cetacean menghuni
perairan yaitu lebih dari sepertiga 35% dari total 86 jenis cetacean di dunia,
termasuk beberapa jenis yang populasinya diklasifikasikan jarang dan dalam
keadaan terancam (Khan, 2002).
Perairan timur Indonesia, khususnya di beberapa terusan dalam antar pulau
berfungsi sebagai pintu masuk jalur migrasi cetacean. Salah satu terusan dalam
tersebut adalah Laut Sawu di Nusa Tenggara Timur. Laut Sawu menjadi habitat
yang sangat penting untuk cetacean di perairan Indonesia. Hal ini dicirikan
dengan keanekaragaman habitat dan jenis cetacean baik di laut dalam maupun
dekat pantainya. Sebaran cetacean besar yang konsisten seperti paus biru
(Balaenoptera musculus) dan paus sperma (Physeter macrocephalus) yang relatif
dekat dengan pantai, kelimpahan paus biru yang relatif tinggi serta tingkat
interaksi yang tinggi antara kelompok yang saling bercampur dan hubungan
predator-pemangsaan seperti serangan paus pembunuh (Orcinus orca) – paus
sperma menunjukkan pentingnya perairan ini bagi beberapa spesies cetacean.
21
Wilayah segitiga terumbu karang (Coral triangle) yaitu wilayah perairan dimana terdapat
hampir 75% dari semua jenis terumbu karang (lebih dari 600 species terumbu karang yang ada di
dunia), yang luasnya meliputi lebih dari 6.500.000 km².
52
Laut Sawu memiliki luas sekitar 400 mil atau 650 km. Posisi Laut Sawu
sangat strategis karena berada di tepi Samudra Hindia yang menjadi jalur
penghubung dengan massa air Samudra Pasifik. Perairan ini sangat kaya dengan
nutrient dan memiliki potensi keanekaragaman hayati yang tinggi. Hal ini
didukung oleh letaknya yang dikelilingi oleh pulau-pulau sehingga membentuk
seperti danau dengan inlet berupa selat-selat kecil yang berarus kuat. Pengaruh
iklim yang kuat menyebabkan perairan ini menjadi daerah umbalan untuk
menopang sumber daya ikan (upwelling), menjadi daerah pusaran serta menjaga
habitat ikan-ikan pelagis.
Bagian utara Laut Sawu di batasi oleh gugusan kepulauan yang
membentang dari Pulau Flores sampai ke Kepulauan Alor. Lembata merupakan
satu pulau yang terdapat diantaranya. Secara geografis Lembata terletak pada
posisi 8°10' - 8°11' LS dan 123°12' - 123°57' BT. Pulau ini memiliki beberapa
teluk yang dicirikan dengan ketidakteraturan garis pantai sepanjang hampir 500
km. Pantai selatan Lembata adalah pantai yang cukup curam dengan kemiringan
melebihi 40º.
Secara morfologi, daratan Lembata bisa dibagi atas dua yaitu daerah
pedataran dan pegunungan dengan gunung api yang masih aktif (Ile Boleng, Ile
Lewotolo, dan Gunung Topaki). Dari luas wilayah sekitar 1300 km2, 12% lahan di
daratan Lembata digunakan untuk pertanian, 36% merupakan semak belukar, 33%
hutan dan 19% adalah padang rumput. Tanaman pangan utama adalah padi, ubi
kayu, ubi jalar, jagung dan kedelai. Sedangkan tanaman pohon utama adalah
kemiri, kelapa, jambu mete dan kopi. Iklim di Lembata relatif kering dengan 5-8
bulan menerima kurang dari 100-mm hujan per bulan. Musim hujan berlangsung
dari bulan November - April. (Soede, 2002: 8).
Lamalera berada di pesisir bagian selatan Pulau Lembata. Seperti daerah
lainnya, daratan Lamalera tersusun atas karang batu kapur yang terangkat.
Keterbatasan daerah daratan dengan sedikit lapisan tanah di atas batu karang
digantikan dengan kekayaan Laut Sawu yang membentang di depannya. Orang
Lamalera menyebut Laut Sawu sebagai ladang mereka karena laut inilah yang
menjadi penopang kehidupan serta menjadi sentral bagi seluruh aspek kehidupan
mereka.
53
4.2. Sejarah Terbentuknya Lefo Lamalera
Kebudayaan masyarakat Lamalera terbentuk atas proses asimilasi antara
nelayan migran dari Sulawesi dengan penduduk asli di daerah selatan Lembata
serta masyarakat pendatang lainnya. Hal ini berkaitan dengan sejarah kedatangan
masing-masing suku yang saat ini ada di Lamalera. Berdasarkan asal-usulnya,
suku-suku di Lamalera dapat dibagi atas suku-suku yang leluhurnya bermigrasi
karena bencana alam di Keroko Pukan atau Lepan Batan ke daerah timur
Lambata, kedua suku yang leluhurnya merupakan penduduk asli Lembata serta
suku-suku yang leluhurnya datang ke Lamalera dari satu daerah pada suatu waktu
di masa lalu (Barnes, 1996: 55). Pemahaman yang sama juga yang diketahui oleh
YHS bahwa setiap suku yang ada di Lamalera masing-masing punya asal-usul
baik dari timur, barat dan langsung dari gunung (wawancara, 19 Juni 2009).
Sumber utama kebudayaan bermula dari kelompok nelayan pendatang dari
pesisir Sulawesi. Asal muasal nenek moyang orang Lamalera adalah pelaut dari
Luwuk Sulawesi. Studi etnografis Barnes (1996: 56) mengatakan bahwa
pelayaran dari Luwuk bergerak ke arah timur menuju Ambon dan Seram terus ke
selatan Maluku sampai akhirnya menemukan Lepan dan Batan 22. Pulau ini
ditinggalkan karena bencana, sebagaimana dikatakan oleh PHB bahwa nenek
moyang mereka bermukim di Lepan Batan sampai seratus tahunan, hingga satu
masa bencana air laut naik (tsunami) dan mereka meninggalkan pulau tersebut.
Perjalanan meninggalkan Lepan Batan membawa mereka ke Kedang di Lembata,
perjalanan dilanjutkan ke arah selatan sehingga mereka menemukan pasisir pantai
Lamalera yang ditempati hingga sekarang (wawancara, 14 Juli 2009).
Pendatang dari Luwuk merupakan nenek moyang suku-suku utama
sekaligus suku pertama yang sampai di Lamalera, yaitu suku Belikololo, Bataona,
Lefotuka, Tana Krofa dan Lama Nudek. Tiga suku pertama merupakan keturunan
dari Korohama yaitu orang yang memimpin perjalanan migrasi mulai dari tempat
terakhir sebelum sampai di Lamalera 23. Belikololo merupakan keturunan dari
22
Setelah bencana tsunami, Lepan dan Batan kini menjadi dua pulau kecil di selat antara Lembata
dan Pantar (Barnes, 56).
23
Bedasarkan cerita sejarah, perjalanan bermigrasi dilakukan oleh Korohama, suku Tana Krofa
dan suku Lama Nudek. Suku Tana Krofa pada mulanya memimpin perjalanan sampai satu kali
salah satu anggota sukunya melakukan kesalahan terhadap masyarakat asli di tempat yang
disinggahi. Suku Tana Krofa tidak sanggup membayar denda atas kesalahannya, sehingga
54
putra pertama Korohama, Bataona merupakan suku dari anak keturunan putra
kedua dan Lefotuka keturunan putra bungsu. Ketiga suku ini bisa dikatakan
sebagai suku inti dalam arti sebagai bangsawan dalam masyarakat. Suku-suku
yang berasal dari Luwuk inilah yang membawa keahlian melaut ke Lamalera.
Kelompok kedua yang
memberi pengaruh dalam perkembangan
kebudayaan Lamalera yaitu penduduk asli sekaligus tuan tanah di desa ini. Dua
suku yang diakui sebagai suku tuan tanah adalah suku Lango Fujjo dan Tufaona.
Dua suku tuan tanah ini dahulu dapat dikelompokkan sebagai kelompok
masyarakat dari pegunungan. Suku Lango Fujjo dipandang lebih signifikan
daripada Tufaona karena lebih berhasil dalam usaha di laut serta mereka
memainkan peran penting dalam acara seremonial pembukaan musim berburu
tahunan. Kelompok masyarakat lain yang datang setelah suku-suku sebelumnya
adalah sekelompok orang yang datang melalui jalur pegunungan yang saat ini ada
dalam suku Tapoona. Gelombang pendatang lainnya dari barat yaitu suku
Lamakera/Keraf dan suku Hariona serta kelompok pendatang dari daratan Flores,
dari satu kampung bernama Soge Paga.
Masing-masing suku di Lamalera memiliki rumah besar atau lango bela.
Di rumah ini semua urusan adat dan ritualnya dilakukan seperti mengurus
kematian, pernikahan serta segala urusan yang berkaitan dengan mata pencaharian
(ola ona). Dilihat dari bentuk bangunan lango bela saat ini hampir sama seperti
rumah tinggal biasa, tetapi memiliki fungsi yang berbeda. Lango bela biasanya
ditinggali oleh laki-laki dari anak keturunan tertua di setiap suku. Apabila
sebagian suku memiliki lebih dari satu rumah besar, ini menunjukan pertambahan
jumlah anggota suku sekaligus menandakan bertambahnya jumlah tena laja yang
dimiliki suku tersebut. Lango bela juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan
tali leo atau tale leo fa, yaitu tali utama di tena laja. Tale leo terbuat dari benang
pintalan kapas digunakan dengan disambungkan pada mata tombak atau
tempuling. Tale leo merupakan jiwa bagi perahu. Oleh karena dianggap sakral
maka apabila perahu tidak berangkat ke laut dalam waktu ynag cukup lama, tale
leo disimpan di lango bela. Dalam menyimpan tale leo, tidak diperkenankan
untuk menyimpan dua atau lebih tale leo dalam satu lango bela, karena tali leo
kemudian ditembus oleh Korohama. Sebagai konsekuensi atas tembusan tersebut kepemimpinan
selanjutnya diampu oleh Korohama (Barnes, 1996: 58)
55
yang satu dianggap akan menutup rezeki tali leo yang lainnya. Sehingga untuk
menyimpan tale leo baru dibuat pula lango bela baru.
Tabel 3. Asal-usul Suku-suku di Lamalera dan Rumah Besar
Suku
Asal-Usul
Rumah Besar (Lango Bela)
Beliko Lolo
Lepan Batan
Teti Nama Papa, Lali Nama Papa
Bataona
Lepan Batan
Kelake Langu, Kifa Langu
Java Langu, Ola Langu, Baso Langu
Lewotukan
Lepan batan
Dasi Langu, Keda Langu, Lima Langu, Beraona
Tana Krova
Lepan Batan
Haga Langu, Laba Langu
Lama Nudek
Lepan batan
Kelodo Ona
Tufaona
Daratan Lembata
-
Lango Fujjo
Daratan Lembata
-
Bediona
Lepan Batan
Miku Langu, Muri Langu
Batafor
Lepan Batan
Keda Langu, Kaja Langu
Lelaona
Tapoona
Lamakera
Sinu Langu, Belake Langu
Daratan Lembata
Musi Langu, Guna Langu
(pegunungan)
Mana Langu, Sola Langu
Soge Paga, Flores
Badi Langu, Lafa Langu
Sinu Langu, Perafi Langu
Lamanifak
Soge Paga, Flores
Sulaona
Kebesa Langu, Kelore Langu, Kiko Langu
Ebaona
Soge Paga, Flores
Dae Langu, Guma Langu, Sita Langu
Oleona
-
-
Ata Kei
Kepulauan Kei
-
Hariona
Lamakera, Solor
-
Lefolein
Lefolein, Solor
-
Atagora
-
-
Atafolo
Daratan Lembata
-
Sumber : Barnes (1996) dan data primer diolah (2009).
Proses-proses historis dimana sebuah masyarakat memperoleh banyak
sifat-sifat dasarnya dalam ekologi budaya saling melengkapi untuk mempelajari
proses-proses adaptif. Proses-proses historis itu mencakup peminjaman terhadap
ciri-ciri kebudayaan dan kompleksitas ciri-ciri sumber yang berbeda, migrasi
manusia, transmisi warisan kebudayaan kepada generasi selanjutnya, inovasi dan
56
penemuan-penemuan
lokal.
Memahami
proses-proses
historis
ini
tidak
menghilangkan peran lingkungan dalam sebuah praktek kebudayaan, oleh karena
itu setiap asal-usul kebudayaan harus dijelaskan dengan sejarahnya. Steward
menegaskan bahwa investigasi dalam proses-proses ekologi budaya semestinya
mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan bila pola-pola dasar sosiokultur
mungkin telah disebarkan atau telah dibawa oleh migrasi dari satu jenis
lingkungan ke lingkungan lainnya, tetapi hal ini juga harus diperiksa apakah polapola ini telah dimodifikasi. Penilaian terhadap modifikasi tersebut membutuhkan
sebuah pembedaan antara pembubuhan luar kebudayaan seperti elemen-elemen
ritual, seni, dan pola arsitektur dengan pola-pola sosial dalam pengelolaan
manusia terhadap kebutuhan hidupnya (Steward, 1968).
Migrasi merupakan perjalanan yang mengawali sejarah komunitas
pemburu ini. Sumbangan para leluhur dari timur yang berlatar belakang pelaut
mendominasi bentuk sistem sosiokultur yang kemudian berkembang yaitu
kebudayaan yang sangat akrab dengan habitat Laut Sawu. Menurut PHB
disebabkan nenek moyang mereka adalah pelaut yang tinggal di pesisir pantai dan
tidak memiliki tanah pertanian yang subur dan baik untuk menopang kehidupan
maka dalam pelayaran meninggalkan daerah asalnya, di setiap pulau-pulau yang
dilalui nenek moyang mereka tidak mencari tanah yang subur untuk bertani akan
tetapi mencari daerah pesisir yang menghadap ke laut dan dapat menopang
kehidupan mereka (wawancara, 16 Juli 2009).
Pada awal tiba di Lamalera, Korohama beserta keluarganya, Tana Krofa
dan Lama Nudek tinggal bersama berdekatan dengan tuan tanah Tufaona. Ketika
merasa bahwa daerah yang mereka tinggali (sampai saat ini) lebih baik dan
mendukung kegiatan melautnya, mereka kemudian meminta ijin untuk menetap
kepada tuan tanah Tufaona. Permintaan tersebut pada mulanya ditolak. Tetapi
belakangan disetujui dengan menukar sebuah tempat di Desa Atas dengan
perhiasan kuningan dan Korohama juga membuatkan perahu untuk tuan tanah
yang diberi nama Baka Fai atau sekarang bernama Baka Tena24. Ketika leluhur
dari suku Bataona pindah mendekati pantai, mereka menyesuaikan diri dengan
tuan tanah yang berbeda dari suku Lango Fujjo. Barnes memberikan catatan
24
Tena laja kepunyaan suku Tufaona.
57
bahwa meskipun berkuasa, masyarakat Lamalera bisa dikatakan hampir tidak
memiliki lahan dan tergantung pada suku tuan tanah, bukan hanya untuk tanah
yang mereka pertukarkan, tetapi juga terhadap penghargaan yang sangat penting
untuk kesuksesan kegiatan melaut yang menjadi gantungan hidup mereka (Barnes;
1996: 60). Proses asimilasi telah melahirkan peran bagi tuan tanah untuk
kesuksesan musim berburu (lefa nuang) melalui serangkaian seremonial yang
dilakukan oleh suku Lango Fujjo di pembukaan musim lefa.
4.3. Berburu dan Menikam Mamalia Laut dan Ikan Besar
Berburu dan menikam mamalia laut dan ikan merupakan warisan keahlian
serta cara bertahan hidup dari para leluhur orang Lamalera yang datang dari
Lepan dan Batan. Cara ini diakui telah dilakukan sebelum mereka menetap di
Lamalera. Argumen ini didukung dengan keterangan mengenai dua tena laja
induk yang dibawa sepanjang berjalanan bermigrasi hingga tiba di Lamalera 25.
Menurut Mustika (2006: 38), berdasarkan informasi yang didapat dari ADK
(Camat Wulandoni ketika itu), nenek moyang orang Lamalera dari Kerajaan
Luwuk adalah pemburu laut yang sangat ahli menggunakan tombak untuk
menikam ikan. Ketika mereka tiba di Pulau Lepan dan Batan di timur laut
Lembata, para pemburu ini melihat lebih banyak target buruan yang lebih menarik
yaitu paus. Kemudian mereka mulai belajar untuk memburu paus dengan keahlian
menggunakan tombak yang mereka bawa sampai ke Lamalera, sebuah tradisi
yang telah dipertahankan sampai saat ini.
Aktivitas menikam ikan-ikan besar termasuk koteklema telah dilakukan
sejak proses migrasi. Di sepanjang perjalanan bermigrasi dan menemukan ikan
besar, mereka memburunya. Koteklema sendiri jarang ditangkap karena menikam
paus ini bisa meyebabkan resiko yang besar seperti memutuskan tali tempuling,
25
Meskipun begitu, di Desa Lamalera sendiri berkembang setidaknya dua cerita mengenai sejarah
mula leluhur mereka berburu. Pertama bahwa berburu ikan telah dilakukan sepanjang perjalanan
bermigrasi. Sementara pendapat yang lain mengatakan bahwa menikam ikan baru dilakukan
setelah nenek moyang mereka tiba di Lamalera dan beradaptasi dengan suku tuan tanah. Pendapat
kedua lebih bersifat fabel dari beberapa cerita yang salah satunya mengatakan bahwa koteklema
adalah penjelmaan sapi peliharaan tuan tanah yang hanyut terbawa air pasang. Pendapat pertama
secara materil didukung oleh fakta konstruksi perahu yang dibawa dari daerah asal yang
dirancang untuk melakukan penikaman. Sementara pendapat kedua cenderung dikukuhkan melalui
ritual-ritual yang dilakukan ketika membuka musim leffa.
58
memecahkan tena laja hingga membahayakan nyawa para meing atau awak kapal.
Berburu dan menikam koteklema tidak dilakukan dengan sembarangan, biasanya
dilakukan apabila kampung sudah dalam keadaan kelaparan, sementara ikan kecil
(pari, hiu dan lumba-lumba) tidak banyak. Dalam keadaan kampung paceklik dan
orang-orang lapar, maka mereka yakin bahwa datangnya koteklema melintas di
depan lefo merupakan pertanda bahwa nenek moyang datang mengantarkan
koteklema untuk memberi makan orang sekampung. Dengan dasar itu, penikaman
koteklema selalu dilakukan dengan upacara sebelumnya, disertai doa dan
kekhusukan di seluruh lefo. Masyarakat percaya dan banyak peristiwa telah
menunjukkan bahwa apabila koteklema tersebut diantarkan oleh para leluhur maka
ia jinak dan mudah ketika ditikam.
Penikaman mamalia laut dan ikan, terutama koteklema selalu menjadi
sakral. Sebuah upacara yang dilakukan sebelum menikam koteklema akan
menjinakannya ketika ditikam dan memudahkan segala proses perburuan, hingga
hasil tikamam dipotong dan dibagikan kepada kelompok yang memiliki hak
(wawancara PHB, 14 Juli 2009). Sebelum agama Katolik masuk, upacara
berangkat ke laut dilakukan oleh seorang atamola yang memiliki keahlian khusus
untuk berbicara dengan roh-roh nenek moyang tentang kondisi ikan di lautan yang
tidak naik sehingga membuat lapar orang-orang di kampung.
4.3.1 Alat Produksi Tena Laja
Menikam adalah sistem produksi tradisional masyarakat Lamalera yang
berumur ratusan tahun. Telah dilakukan oleh nenek moyang mereka dengan
perahu layar sebelum mereka menempati daratan di pesisir selatan Lembata
tersebut. Laut Sawu yang membentang di depan Lamalera dengan tena laja adalah
jodoh, begitu cara orang Lamalera memaknai budaya material mereka. Tena laja
ada di sepanjang sejarah mereka. Tena laja adalah sebuah perahu layar yang
dilengkapi dengan peralatan-peralatan pendukungnya seperti tali, tombak bambu,
tempuling dan dayung. Konstruksi tena laja berbeda dengan perahu sampan pada
umumnya. Begitu pula perlakuan mereka terhadap tena laja, berbeda dengan
perahu sampan lainnya.
59
Tena laja tidak biasa dibiarkan berlabuh lama atau bermalam di laut. Ia
hanya akan berada di laut ketika akan digunakan saja. Disebabkan karena kondisi
laut yang tidak selalu tenang dengan gelombang dan arus yang kuat serta beberapa
kali di setiap tahun selalu ada gelombang besar, maka untuk setiap tena laja selalu
dibuatkan rumah atau bangsal yang disebut naje. Setiap hari setelah melaut, tena
laja ditarik kembali ke dalam bangsalnya. Susunan naje ini membuat pantai Fatta
Bella terlihat sangat khas.
Keluar dan masuknya tena laja ke dalam naje dilakukan dengan
mendorong bersama-sama. Untuk memudahkan jalannya tena laja, kayu-kayu
lagang disusun sebagai alas agar lunas tena laja tidak terjebak di pasir. Meskipun
mendorong adalah tugas para meing, tetapi laki-laki yang ada di pantai biasanya
akan saling membantu untuk mendorong tena laja yang akan keluar atau disimpan
kembali ke dalam naje. Kebiasaan bekerjasama dimulai dari tempat basah tersebut
baik ketika dituntut ataupun disaat tidak diperlukan merambah dalam banyak
aktivitas, dan inilah salah satu norma yang mereka miliki.
Tena laja dibedakan menjadi dua yaitu tena dan sapang. Tena adalah
perahu tradisional yang didapat secara turun menurun melalui garis keturunan
laki-laki. Sedangkan sapang merupakan perahu baru sebagai akibat pertambahan
penduduk dalam satu suku. Di dalam sebuah tena laja dan sapang, semua
peralatan yang dibutuhkan untuk menikam telah tersedia, sampai pada tali yang
digunakan untuk menarik ikan hasil tikaman pulang.
Sapang bisanya dibuat karena terjadi konflik dalam suku dimana orangorang melepas haknya atas tena laja sukunya dan membuat perahu sendiri. Dapat
juga terjadi karena perpecahan nama suku-suku kecil. Perbedaan tena dan sapang
terletak pada jumlah ruang dalam perahu. Tena memiliki jumlah ruang yang
genap dan sapang mempunyai ruang yang berjumlah ganjil. Menghilangkan satu
ruang pada sapang disebut dengan smugur bella.
Tena laja memiliki keterkaitan dengan suku. Masing-masing suku
memiliki tena laja. Fungsi tena laja bagi suku pada mulanya bukan hanya sebagai
alat produksi, tetapi sarana untuk segala urusan di laut seperti menjadi alat
transportasi. Ketika perahu sampan mulai banyak dibuat, fungsi tena laja dibatasi
untuk lefa saja. Tena laja pertama yang dimiliki oleh orang Lamalera yaitu
60
Kepake Puke dan Bui Puke. Kebake Puke merupakan tena laja yang dipakai
dalam perjalanan bermigrasi dari Lepan dan Batan yang saat itu juga memuat Bui
Puke26. Kebake Puke selanjutnya menjadi perahu suku Bataona dan Bui Puke
adalah perahu milik Belikololo.
Pembuatan tena laja memperhitungkan jumlah anggota suku yang ada di
dalamnya. Jumlah maksimal orang yang menjadi anggota dan memiliki bagian
pada satu tena laja adalah 15 orang27. Bila sebuah suku membesar karena
banyaknya manusia di dalam suku tersebut, maka untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat suku secara keseluruhan, alat produksi baru yaitu sebuah tena laja
akan dibuat. Sebaliknya, apabila anggota suku semakin berkurang dan jumlah
laki-laki dalam suku tertentu tidak memadai untuk mengoperasikan sebuah tena
laja maka beberapa kemungkinan bisa terjadi. Pertama tena laja suku tersebut
akan jarang difungsikan sampai saatnya harus dibongkar. Kemungkinan lain
untuk memiliki kembali tena laja, bagi anggota masyarakat yang sukunya tidak
lagi memiliki tena laja akan bergabung dengan suku lain dalam arti mengambil
bagian pada tena laja suku lain. Biasanya dilakukan dengan suku-suku yang
memiliki ikatan kekerabatan yang dekat baik dalam suku atau paling tidak
keluarganya.
Tena laja dibuat secara khusus oleh atamola28 (disebut juga laba ketilo
alep). Keahlian seorang atamola didapat karena garis keturunan. Menurut adat,
atamola terdiri atas dua tingkat yaitu kelapa dan kelepe. Kelapa adalah atamola
yang menyandang status lebih tinggi dan berhak memiliki kotak peralatan untuk
membuat perahu sekaligus menjadi pemimpin dalam pembuatan sebuah perahu.
Kelepe bisa dikatakan sebagai calon atamola yang sedang dilatih keahliannya
dengan membantu kelapa. Pada seorang kelepe belum ada kotak peralatan, tetapi
hanya mempunyai keranjang dari anyaman untuk menaruh peralatan. Biasanya
26
Ada yang memahami bahwa perahu Kebake Puke memuat perahu Bui Puke yang belum jadi,
tetapi ada juga memahami bahwa yang dimuat oleh Kebake Puke adalah lunas perahu Bui Puke.
27
Memiliki bagian di sebuah peledang suku berarti bertanggungjawab terhadap kelangsungan
anggota suku dan peledangnya.Dalam beberapa literature, orang yang mempunyai bagian ini
disebut dengan orang yang mempunyai saham. Peneliti sendiri cenderung melihat dengan cara
yang berbeda, karena terminilogi saham cenderung berkonotasi korporasi untuk mendapatkan
keuntungan materiil. Sementara kepemilikan bagian dalam peledang punya makna sosial yang
tidak
28
Atamola merupakan orang yang memiliki keahlian khusus baik dalam pembuatan perahu,
senjata, rumah, dukun, tabib dan ahli pijat.
61
kelepe adalah keturunan seorang atamola, sehingga kotak peralatan milik kelapa
kelak akan diwariskan kepadanya.
Selain memiliki hak khusus untuk membuat tena laja, kaitan atamola
dengan sebuah tena laja juga menyangkut hak pembagian atas ikan hasil tikaman.
Atamola adalah orang yang berhak memberi tanda pada setiap ikan yang akan
dipotong dan dibagikan. Oleh karena itu, setiap kali tena laja membawa pulang
ikan, para meing harus menunggu atamola menandai ikan, baru kemudian
melanjutkan memotong dan membaginya. Atamola mendapatkan bagian tersendiri
dari setiap ikan yang ditikam. Karena ada hak atamola dalam setiap ikan hasil,
maka mengambil alih pembuatan tena laja oleh orang yang tidak berasal dari
keturunan seorang pembuat perahu sekalipun memiliki keahlian, tidak
diperkenankan.
“Kita atamola turunan memang. Kalau orang lain tidak bisa. Kalau bapak
mati, mesti Bapak punya anak, Ondu, tidak boleh orang lain. Itu sudah
seperti patokan mulai dari dulu. Kalau orang lain mereka kerja, umpama
rampas hak itu pamali. Pamalinya begini, itu dia lama-lama bisa dapat
sakit, dia bisa mati. Sebab Bapak punya hak, bukan dia punya nenek
punya hak. (NSB. Wawancara, 28 Juni 2009)
Membuat tena laja oleh seorang yang bukan atamola akan menimbulkan
musibah baik pada tena laja maupun pada orang yang membuat perahu tersebut,
karena telah merebut hak atas pekerjaan dan hasil tikaman keturunan atamola.
Tena laja dibuat dari bahan-bahan tersendiri. Bagian lunas (keels of the boat)
harus menggunakan kayu kepapa. Lunas terdiri dari lima sambungan kayu mulai
dari haluan sampai ke buritan. Untuk bodi perahu, dibuat dengan papan kayu jati.
Di buritan, di atas kayu lunas terakhir terdapat madi yaitu papan ukir yang
menyatukan lambung kiri dan kanan perahu sekaligus sebagai patokan tinggi tena
laja. Madi menjadi tempat sandaran bagi juru mudi. Baik kayu lunas maupun
papan lambung perahu disambung dengan ketentuan khusus yang tidak boleh
salah. Layar dibuat dari pucuk daun gewang yang dianyam. Di bagian depan
perahu terdapat susunan papan yang disambungkan dengan bambu sebagai tempat
bagi juru tikam. Tombak untuk menikam menggunakan bambu pering, di ujung
atasnya ditancapkan tempuling. Dahulu tempuling dibuat dari kayu, setelah
kemampuan mengolah besi dikenal, tempuling diganti dengan besi yang ditempa.
Satu bagian yang sangat menentukan pada tena laja yaitu tali leo, yang terbagi
62
atas dua jenis yaitu tale leo fa dan tale leo bele. Keduanya dibuat khusus dari
kapas yang dipintal.
“Tali leo dua-dua yang hitam di perahu itu tidak boleh diganti. Kalau tali
yang lain boleh diganti. Dulu tali leo kita pakai gebang. Sekarang
tradisinya, leo, leo bele dengan leo fa tidak boleh diganti. Kalau bahasa
kita punya bilang tena fuku lai. Leo itu lain. Jadi kalau diganti engkau
tidak lihat ikan, tidak dapat ikan. Satu kali Bapak AB, beliau punya perahu
Kelulus. Diganti dengan tali plastik, tali di toko. Di pasang di tempuling.
Mereka tidak dapat lihat ikan, ikan juga tidak jinak. Pulang kosong,
padahal perahu lain tikam pari besar sampai empat, tiga, rame-rame.
Perahu semua pakai dayung. Akhirnya mereka tidak kuat lalu pakai layar.
Istri anak-anak sudah tunggu bapak mereka di pantai, pulang sana mereka
kosong. Itu mereka mau coba ganti tali di leo itu. Lalu semua matros
bilang mereka harus ganti lagi leo itu, kalau tidak mereka tidak bawa
perahu ke laut. Baru besoknya setelah diganti, mereka tikam dua” (NSB.
Wawancara, 28 Juni 2009).
Bagian-bagian pada tena laja memiliki hubungan satu dengan lainnya.
Tena atau badan perahu harus dipasangkan dengan laja atau layar. Sekalipun layar
tidak dipakai karena fungsinya digantikan oleh alat lain (seperti mesin jonson saat
ini), tidak berarti layar boleh dilepas dan di tinggal di daratan. Sementara itu tali
leo adalah ruh bagi tena laja,
sehingga
tidak diperkenankan untuk
menggantikannya dengan tali dari jenis yang lain.
Secara khusus, tena laja dihubungkan dengan koteklema. Keistimewaan
ini diejawantahkan dalam beberapa perlakukan khusus yang dipertahankan sampai
saat ini. Berdasarkan informasi yang disampaikan Mustika (2006) dari hasil
wawancaranya dengan ADK diatas, hal ini menunjukkan bahwa dahulu paus
sperma bukanlah target buruan utama. Walaupun begitu perburuan koteklema
telah berlangsung ratusan tahun dan mempengaruhi nilai spiritual mereka.
Masyarakat Lamalera telah memaknai koteklema berbeda dengan ikan-ikan
lainnya, bukan karena ukurannya yang sangat besar sehingga seekor koteklema
bisa memenuhi kebutuhan banyak orang dalam kampung. Tetapi koteklema
diyakini juga sebagai kiriman nenek moyang pada saat kampung mereka dalam
keadaan paceklik, seperti pada saat dulu leluhur mereka bermigrasi dan koteklema
dikirim untuk membantu mereka yang bertahan dalam pelayaran yang panjang.
63
4.3.2. Tena laja dan Koteklema
Dalam adat di Lamalera, satu-satunya perahu yang diijinkan untuk
menikam koteklema adalah tena laja. Sedangkan sampan besar yang saat ini telah
banyak dimiliki oleh nelayan tidak diperkenankan untuk menikam koteklema.
Meskipun jauh dari kecanggihan teknologi modern, tetapi konstruksi tena laja
memang sangat mendukung untuk menikam mamalia laut sebesar itu. Secara
konsep, perahu ini memiliki teknologi tinggi dalam perancangannya. Sedangkan
pada perahu sampan besar tidak ada fasilitas-fasilitas yang memadai untuk
menikam koteklema. Lebih dari masalah teknis tersebut, hubungan antara tena
laja dan koteklema dipenuhi dengan nilai-nilai dan keyakinan yang sakral.
Konstruksi sebuah tena laja baru dikatakan benar setelah berhasil
menikam koteklema. Sebelum diturunkan ke laut, persyaratan yang harus dilewati
dalam pembuatan tena laja adalah menguji kebenarannyanya. Pada saat itu, tena
laja yang baru dibuat diletakkan di pantai, dan para atamola diundang untuk
bersama-sama mengoreksinya. Apa bila ada kesalahan, maka perahu itu harus
diperbaiki dan kegiatan mengoreksi perahu di pantai akan dilakukan kembali
sampai semua atamola sepakat mengatakan bahwa konstruksi tena laja telah
benar. Setalah itu tena laja tersebut diijinkan turun ke laut. Lulusnya sebuah tena
laja dari pengujian para atamola tidak berarti konstruksi tena laja tersebut telah
benar sepenuhnya. Orang Lamalera menganggap penglihatan manusia dalam hal
ini selalu mungkin untuk keliru. Oleh karena itu, proses terakhir yang harus
dipenuhi adalah mengujikannya pada koteklema. Tena laja harus berhasil
menikam dan membawa pulang koteklema. Sebelum memenuhi syarat itu, tena
laja hanya diibaratkan seperti bayi merah, sebagaimana dikatakan oleh ISB,
seorang atamola:
”Bila ada kesalahan pada perahu, kalau kita tikam paus maka sementara
paus akan kasih tanda, kasih pecah perahu dan papan itu harus kasih patah,
atau kah ombak bisa pukul perahu. Tetapi lebih jernih dengan paus saja.
Tanda-tanda dan susunan pada perahu harus tepat. Kalau tidak paus akan
kasih pukul di situ, tanda bahwa salah.” (wawancara, 28 Juni 2009).
Kesalahan di tena laja akan ditunjukkan oleh koteklema, dengan memukul atau
memberi tanda pada bagian-bagian yang salah. Baik ikan pari, lumba-lumba atau
hiu dan ikan lainnya tidak bisa menunjukkan kesalahan pada konstruksi perahu
64
tersebut. Oleh karena itu, meskipun sebuah tena laja telah berhasil menikam
banyak pari, lumba-lumba atau hiu, tidak berarti konstruksi perahu telah tepat
sepenuhnya.
4.3.3. Musim Berburu di Lamalera
Dengan pengetahuan para nelayan terhadap iklim, arus dan perilaku ikan
maka aktifitas menikam dilakukan dalam tiga musim yang masing-masing
memiliki kekhasan yaitu musim lefa, rai Lewotobi dan rai Duli serta baleo. Tiga
musim ini dapat dijadikan acuan untuk menggambarkan aktifitas produksi
masyarakat Lamalera. Ketiga musim tersebut merupakan musim yang menopang
kebutuhan subsistensi masyarakat dan penyediaan simpanan pangan pada saatsaat melaut tidak bisa dilakukan. Di luar tiga musim tersebut, nelayan Lamalera
juga melaut, tetapi bukan untuk menikam tetapi menangkap ikan-ikan kecil, ikan
terbang dengan memancing dan memanah.
a. Lefa Nuang
Lefa nuang adalah musim turun ke laut yang dimulai pada pada Mei
sampai akhir September. Lefa adalah kata untuk laut dan nuang berarti musim.
Dikatakan musim turun kelaut karena pada bulan-bulan ini terdapat banyak ikanikan besar disekitar perairan selatan Lembata. Pada musim lefa hampir setiap pagi
di pantai Fatta bella dipenuhi dengan nelayan yang siap menyorong perahunya ke
laut dan menjelang sore, satu persatu tena laja itu kembali ke darat. Kecuali pada
hari minggu, kegiatan lefa ditiadakan untuk melakukan ibadah gereja.
Bagi masyarakat Lamalera, berburu ke laut merupakan aktifitas yang
mempertaruhkan keselamatan dan nyawa. Oleh karena itu, biasanya pada hari
pertama lefa nuang masyarakat Lamalera melaksanakan seremoni adat dan agama
untuk mengharapkan rezeki dan keselamatan bagi para matros. Beberapa
seremoni yang dilakukan yaitu :
1. Misa Arwah
Bentuk penghormatan dan pengakuan pada arwah leluhur. Misa rawah
dilakukan satu hari sebelum Misa lefa. Penyelenggaraan misa arwah
dilakukan dengan mengunjungi makam serta membakar lilin di atas
65
pusara. Secara khusus bagi leluhur yang meninggal di laut, misa arwah
dilakukan pada sore hari di pantai. Pada saat itu satu persatu anggota
keluarga dan suku mendoakan leluhur mereka yang mati di laut.
2. Tobu Nama Fatta
Tobu nama fatta berarti duduk, berkumpul di pasir tepi pantai. Semua
warga baik di desa atas maupun desa bawah ikut berkumpul di upacara
ini. Bisa dikatakan, upacara ini adalah sebuah musyawarah umum yang
membicarakan segala hal yang berhubungan dengan laut. Pada tobu
nama fatta kegiatan leffa tahun lalu dievaluasi secara bersama-sama
serta beberapa aturan disepakati sebagai pedoman pelaksanan musim
lefa yang akan berlangsung esok harinya. Pada momen ini serta secara
transparan, semua masyarakat saling memaafkan satu sama lainnya.
3. Misa Lefa
Misa lefa dimulai dengan memberkati tale leo. Dan dilanjutkan dengan
misa yang dipimpin oleh seorang imam di Kapela St. Petrus, yang
terletak di pantai. Pada misa ini, para nelayan dan anggota suku
berkumpul di naje perahu mereka masing-masing dan diberkati oleh
imam dengan memercikkan air berkat dan menandainya dengan tanda
salib.
Seremoni membuka musim lefa telah mengalami beberapa kali
penyesuaian. Penyesuaian tersebut diantaranya berkaitan dengan hubungan antara
orang Lamalera dengan tuan tanah. Pelaksanaan musyawarah di pantai untuk
membuka musim lefa baru dimulai pada tahun 1940an. Musyawarah dilakukan
dengan pertimbangan bahwa mereka tinggal di wilayah suku tuan tanah, maka
sebagai tanda menghormati tuan tanah disepakati untuk melakukan upacara
gabungan untuk membuka musim ke laut. Sejak itu maka berlaku upacara ie gerek
yaitu upacara sembahyang di gunung yang dilakukan oleh suku tuan tanah.
Penyesuaian lainnya dilakukan dengan ajaran Katolik. Seremonial pembukaan
musim lefa sekarang adalah percampuran antara adat dan agama dengan dengan
pemberkatan dan misa.
66
Berbeda dengan baleo yang akan dibahas berikutnya, ketika lefa nelayan
Lamalera khusus turun ke laut untuk menikam ikan-ikan besar seperti pari, hiu,
lumba-lumba atau marlin. Apabila pada saat leffa ada nelayan yang melihat
koteklema, maka mereka akan berteriak dan memberi tanda kepada peledang lain
dan orang di kampung.
Tabel 4. Ikan dan Mamalia Laut Tikaman Nelayan Lamalera.
Nama Indonesia
Nama Lokal
Nama Inggris
Nama Latin
Pari manta besar
Belela
Giant manta ray
Manta birostris
Pari manta abu-abu
Bou
Shortfin devil ray
Mobula kuhlii
Pari ekor cambuk
Moku
Whiptail devil ray
Mobula diabolus
Paus pembunuh
Temu bela
False killer whale
Pseudorca crasidens
Paus pemandu sirip
Temu bela
Short finned killer
Globicephala
pendek
whale
macrorhynchus
Lumba-lumba paruh
Temu kira
Spinner dolphin
Stenella longilostris
panjang
Lumba-lumba abu-abu Temu bura
Risco’s dolphin
Gramus griseus
Paus pembunuh
Seguni
Killer whale
Orcinus orca
Hiu bodoh
Io kiko
Whale shark
Rhinchodon typus
Hiu ekor panjang
Io lado
Thresher shark
Alopias vulpinus
Marlin
Ikan raja
Marlin
Sumber : Adaptasi dari Barnes (1996), Mustika (2006), data primer (2009)
b. Rai Lewotobi dan Rai Duli (Pantar)
Menjelang berakhirnya musim lefa beberapa perahu berangkat mencari
ikan ke Selat Lewotobi dan sekitar Pulau Pantar, sementara yang lainnya
melanjutkan berburu di sekitar laut Lamalera. Mencari ikan di selat Lewotobi dan
Pulau Pantar biasanya menghabiskan waktu hingga beberapa bulan. Oleh karena
itu setiap meing harus membawa perbekalan yang memadai. Pada masa ini,
tangkapan utama adalah ikan pari yaitu belela, bou dan moku. Dalam masa
mencari ikan di Lewotobi dan Pantar apabila bertemu dengan koteklema, nelayan
akan membiarkannya saja untuk menghindari kerusakan perahu serta resiko lain
yang mungkin terjadi. Karena jarak antara Lewotobi dan Pantar dengan lefo jauh,
maka mereka akan menghindari resiko kecelakaan ketika itu.
Hasil tikaman selama di Lewotobi diolah dan dikeringkan langsung di
tempat mereka menginap. Mereka juga bisa menukar ikan dengan hasil panen
yang dibawa orang-orang dari gunung seperti jagung, padi ladang dan bahan
makanan lain. Ada kalanya ketika bernasib baik dan mendapat banyak hasil
67
tikaman, mereka membawa pulang ikan dan bahan makanan hasil barter dan
kembali lagi ke Lewotobi.
c. Baleo
Beberapa orang memahami musim baleo berlangsung antara Januari
sampai dengan April. Akan tetapi dalam kenyataannya Baleo bisa terjadi kapan
pun setiap tahun. Disebut baleo karena tali leo biasanya disimpan di rumah besar,
ketika paus melintas di depan lefo Lamalera maka juru tikam akan berlari
membawa tali leo dari rumah besar ke tena laja. Musim baleo adalah masa
dimana mereka mengejar paus29. Baleo bisa terjadi kapan saja apabila paus
melintas di perairan Lamalera. Biasanya diketahui dengan semburan paus yang
terlihat dari daratan. Apabila hal itu terjadi maka teriakan baleo dari orang yang
melihat pertama kali akan disambung oleh seluruh orang di dalam kampung.
Ketika itu pula semua laki-laki menggambil perkakas masing-masing dan berlari
menuju pantai.
Biasanya, beberapa hari sebelum baleo, alam memberikan isyaratnya.
Bataona (2008: 84) mengatakan bahwa masa baleo ditandai dengan munculnya
tunas-tunas baru pohon kesambi yang berarti waktu datangnya ikan paus atau
masa pembukaan musim lefa sudah mendekat. Masyarakat Lamalera sendiri
sangat terbiasa dengan tanda-tanda alam tersebut. Hal itu juga terjadi saat
penelitian ini dilakukan. Beberapa hari sebelum baleo 8 Juli 2009, beberapa orang
yang peneliti temui saat mengumpulkan data dan observasi mengingatkan agar
tidak meninggalkan desa dalam beberapa hari ke depan dengan harapan peneliti
bernasib baik bisa ikut baleo. Beberapa nelayan mengatakan bahwa di langit telah
kelihatan awan koteklema. Sementara orang-orang tua yang biasa duduk di pantai
mengenalinya dari perputaran arus laut. Beberapa orang juga menandai burung
elang yang mulai berputar-putar di sekitar pantai. Penghuni rumah besar juga
mulai membuka semua pintu dan jendela di siang hari, begitu pula di rumahrumah para lamafa. Di pantai, beberapa paledang yang lama tidak keluar di dok
juga mulai dipersiapkan. Sebagaimana orang Lamalera yang meyakini isyaratisyarat alam tersebut, begitu pula yang terjadi pada saat peneliti berada disana.
29
Paus yang paling sering diburu adalah paus sperma, tetapi hampir semua jenis paus ditikam
kecuali paus biru.
68
Teriakan ”baleo”
terdengar pada siang hari setelah pemilihan umum 2009.
Beberapa hari sebelumnya, kepada peneliti beberapa nelayan dan keluarga tempat
peneliti menginap juga telah mengingatkan tentang hal tersebut.
Pada saat laki-laki mengejar koteklema, istri-istri dan anggota keluarga
para nelayan duduk menunggu di pantai sampai perahu pulang. Apabila sampai
malam, perahu belum juga datang, mereka akan membakar obor dan duduk
menunggu di bangsal perahu. Dan bila perahunya telah tiba, baik perempuan dan
anak-anak, semua akan bersama-sama menarik perahu ke dalam bangsal.
Bekerjasama, saling memberi dan menerima bantuan adalah bagian yang
penting pada sistem kerja nelayan berburu Lamalera dalam sistem tikam.
Sementara kompetisi, saling memperebutkan juga menjadi ciri mereka di laut.
Baik kerjasama maupun kompetisi merupakan tuntutan dari kondisi lingkungan
serta sumberdaya yang dimanfaatkan. Bentuk-bentuk ini kemudian muncul atau
dilanjutkan dalam kehidupan sosialnya. Bentuk-bentuk kerjasama telah dilakukan
mulai dari pantai. Saat menyorong perahu, matros akan dibantu oleh orang yang
ada di pantai ketika itu, begitu pula untuk menyimpan perahu kembali ke bangsal.
Akan tetapi berkompetisi untuk mendapatkan tikaman juga tidak bisa dihindari.
Oleh karena itu, selalu ada aturan untuk membuat kompetisi antar tena laja
sehingga tidak tercipta konflik ketika berburu.
Ketika lefa ada beberapa aturan yang mesti dipatuhi oleh setiap awak tena
laja. Aturan ini terkait dengan hak untuk mengejar ikan yang mana bagi perahu
yang pertama kali melihat ikan seperti pari atau lumba-lumba, maka tena laja
tersebut berhak untuk terus memburu dan menikam ikan tanpa diusik oleh tena
laja lainnya. Aturan ini menjadi dasar bahwa tidak ada pertikaian antara meing
pada tena laja di laut dengan alasan memperebutkan ikan.
Aturan yang berbeda berlaku ketika baleo. Dalam berburu koteklema
setiap perahu akan terlibat dalam sebentuk kerjasama dan juga kompetisi.
Koteklema adalah mamalia yang muncul berkelompok dan liar, berbeda dengan
beberapa jenis mamalia laut lain yang lebih tenang seperti paus biru. Oleh karena
sifat koteklema tersebut, maka para pemburu ini selain berkompetisi untuk bisa
menikam lebih dulu, juga menuntut kerjasama untuk menjaga agar sekelompok
koteklema tidak membahayakan bagi setiap perahu.
69
Kompetisi dilakukan dalam memperebutkan koteklema untuk di tikam.
Masing-masing tena laja akan berusaha menikam koteklema lebih dulu dari yang
lainnya karena dengan demikian, ia memiliki hak untuk mempertahankan
koteklema sampai berhasil. Apabila satu koteklema memungkinkan untuk ditikam
oleh beberapa tena laja, maka juru tikam yang pertama kali berhasil menancapkan
tombaknya ke tubuh koteklema adalah pemiliknya. Dengan begitu, tena laja yang
lain tidak diperkenankan untuk terus memburu koteklema tersebut, kecuali sampai
pada saat tena laja yang pertama tidak berhasil menjinakan koteklema dan
meminta bantuan kepada tena laja yang lain.
Kerjasama antara tena laja terjadi dengan tujuan mempertahankan
koteklema bisa tetap berada dalam gerombolan sehingga memudahkan untuk
menikamnya. Ketika satu koteklema berhasil ditikam maka biasanya koteklema
yang tertikam akan dibantu oleh koteklema lain. Apabila yang ditikam adalah
koteklema muda maka induk koteklema tersebut akan melindungi anaknya dan
ketika itu sikapnya akan terlihat semakin liar. Dalam kondisi seperti ini, kerjasama
kembali dibutuhkan untuk saling menjaga agar tena laja tidak dihantam oleh
koteklema yang marah.
4.4.
Sistem Sosiokultur Lamalera dalam Sudut Pandang Ekologi Budaya
Adaptasi terhadap lingkungan dilakukan dengan menciptakan teknologi
untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang ada seperti yang diungkapkan
Steward
ketika
mengembangkan
pendekatan
ekologi
budaya.
Adaptasi
dilatarbelakangi oleh kebutuhan untuk bertahan hidup yaitu memenuhi kebutuhan
dasar ketersediaan makanan. Dalam pandangan ekologi budaya, sebuah ekosistem
menjadi landasan sehingga terbangun sistem kehidupan sebuah masyarakat.
Sistem yang dimaksud adalah sebuah pengelolaan kehidupan yang menyeluruh
mulai dari pengelolaan ekonomi baik berupa teknologi produksi, distribusi dan
pertukaran serta kelembagaan sosial, aturan, norma dan keyakinan.
Paparan mengenai lingkungan dan kebudayaan masyarakat Lamalera di
atas, akan diurai lebih lanjut dengan teori ekologi budaya Steward. Adaptasi
terhadap lingkungan yang berhasil telah mendorong leluhur orang Lamalera
mempertahankan keberadaannya mereka di daratan pesisir selatan Pulau Lembata.
70
Keahlian melaut dan teknologi produksi yang yang mereka miliki sesuai dengan
ekosistem Laut Sawu yang kaya. Laut ini memberikan jaminan kebutuhan pangan
untuk mereka.
Ekosistem Laut Sawu merupakan sumberdaya penting yang menentukan
sistem sosiokultur masyarakat Lamalera. Sumberdaya ini diolah dengan teknologi
sederhana yang terdiri atas peralatan melaut tena laja, kemampuan mengenali
spesies ikan dan mamalia yang ada serta keahlian untuk memburu dan
menikamnya. Teknologi eksploitasi ini selanjutnya membentuk sistem yang
mereka jadikan kerangka dalam kehidupan. Kerangka yang mempertemukan
setiap individu dalam suku dan suku dalam komunitasnya. Gambar 5 merupakan
bangunan sistem sosiokultur masyarakat Lamalera yang peneliti simpulkan
mengacu pada perspektif ekologi budaya
Sistem norma
Sistem Religi
Org. Ekonomi
Pola pertukaran Modal Produksi
Pola Distribusi
Teknologi Produksi
Berburu koteklema/paus,
lumba-lumba, pari dan
hiu dengan sistem tikam
Paus, Pari,Hiu
Lumba-lumba
Gambar 5.
Laut dalam
(Sawu)
Daratan curam
berbatu
Sistem Sosiokultur Komunitas Nelayan Lamalera Ditinjau dari
Perspektif Ekologi Budaya
71
Sumberdaya Laut Sawu memiliki makna tersendiri bila digandengkan
dengan tena laja. Secara historis tena laja selain menjadi kendaraan dalam masa
bermigrasi, juga merupakan teknologi produksi yang memadai. Saat ini, tena laja
masih menjadi alat produksi sebagaimana fungsinya dulu. Tena laja dan lautan
yang kaya mamalia dan ikan dilihat sebagai pasangan. Tena laja menjadi tumpuan
hidup. Di sinilah terletaknya pemaknaan pokok terhadap Laut Sawu dan tena laja,
yaitu kepentingan ekonomi bagi seluruh masyarakat Lamalera.
Untuk kepentingan dasar ini, segala sistem sosial lainnya baik yang pokok
maupun sistem pendukung dikembangkan. Pertama yaitu pengelolaan ekonomi
komunal berbasis suku. Tena laja adalah alat produksi bersama yang dimiliki
oleh setiap suku. Di dalam masing-masing suku, terdapat kelompok yang
mewakili setiap rumah tangga dalam suku untuk mengadakan dan memfungsikan
alat produksi ini. Di dalam kelompok yang disebut uma dibuat aturan mengenai
pola distribusi hasil tikaman yaitu bagaimana setiap hasil tikaman dapat terbagi
secara merata kepada anggota uma serta pihak lain yang berkontrobusi dalam
membuat tena laja serta terlibat dalam perburuan. Pola distribusi yang
mengakomodasi semua banyak pihak serta memperhatikan anggota suku yang
memiliki keterbatasan serta kerabat lain diluar suku. Sebagai contoh adalah
pembagian pada hasil tikaman koteklema yang ditampilkan pada gambar 6.
Pada koteklema, hasil tikaman dibagi menjadi 21 bagian untuk suku
pemilik tena laja, meing atau awak perahu, atamola, lamafa atau juru tikam serta
semua pihak yang berkontribusi pada setiap bagian perahu dan proses berburu dan
menikam. Pada koteklema, dengan begitu banyaknya orang dan rumah tangga
yang mendapat bagian, sehingga tepat bila dikatakan bahwa kebutuhan hidup di
dalam lefo terpenuhi. Dengan distribusi hasil tikaman, keterjaminan sosial bagi
orang miskin, wanita janda dan anak yatim diakomodir. Pola distribusi ini
berlanjut dengan pola pertukaran dengan masyarakat desa sekitar. Barter antara
masyarakat Lamalera dengan masyarakat di pegunungan terjadi di desa dan di
pasar kecamatan. Potongan ikan kering ditukar dengan sejumlah jagung, padi,
sayuran, buah sirih serta hasil kebun lainnya yang tidak diproduksi di Lamalera.
72
Gambar 6. Pembagian hasil tikaman koteklema
Keterangan:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Leffo
Tena alep
Baladda/meing
Tena alep
Leko/bamboo
Mima (Uma alep)
Novak/lamafa
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Nupo/tkg tempuling
Uma meing
Uma alep
Kefokoseba/uma
Labaketilo
Tena alep
Tilo
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
Befana bela
Fadar/Tena alep
Teba/meing
Iku laja/tena alep
Iku laja/meing
Iting/meing
Faij puke/meing
Sistem ekonomi komunal terikat sangat erat dengan sistem kekerabatan.
Patrilineal adalah sistem kekerabatan yang mengatur hubungan antar individu.
Laki-laki memiliki peran penting karena mereka yang pertama menggerakkan
aktivitas ekonomi ini. Dalam sistem patrilineal, keberlangsungan suku ditentukan
oleh ada atau tidaknya laki-laki. Artinya apabila jumlah laki-laki berkurang maka
suku tersebut terancam punah dan apabila tidak ada maka suku tersebut dipastikan
akan hilang. Di Lamalera keberadaan laki-laki menjadi lebih penting termasuk
dalam mereka. Semakin banyak jumlah laki-laki maka akan semakin mudah untuk
menggerakkan tena laja. Bahkan terbuka pula kesempatan untuk membuat sapang
apabila satu tena laja tidak cukup menampung semua anggota suku.
Lain halnya apabila jumlah laki-laki sedikit atau kurang dari jumlah yang
dibutuhkan untuk menggerakkan tena laja. Bila ini terjadi, maka dikhawawatirkan
73
tena laja yang ada tidak dapat dioperasikan di musim lefa karena kekurangan
tenaga meing. Meskipun dapat dibantu oleh meing dari suku lain, tetapi penggerak
utama sebuah tena laja tetaplah meing dari dalam suku tersebut. Saat penelitian
dilakukan cukup banyak tena laja yang tidak beroperasi. Beberapa disebabkan
karena jumlah laki-laki suku tersebut memang sedikit. Lainnya disebabkan karena
banyak laki-laki di suku tersebut yang merantau dan hidup di luar lefo.
Di sisi yang lain, karena sistem ekonomi berdasarkan pada kesatuan suku
dan tena laja merupakan alat produksi bersama, maka tidak ada kelompok pemilik
alat produksi dan pekerja di Lamalera. Setiap orang adalah pemilik sekaligus
bekerja pada tena laja suku masing-masing. Meskipun dalam teknisnya
pengelolaan tena laja dipercayakan pada satu orang yang disebut tana alep tetapi
itu tidak berarti tena alep bisa mengambil keputusan tanpa bermusyawarah
dengan uma atau setiap anggota suku yang memiliki hak atas sebuah tena laja.
Tidak ada kelas sosial atau stratifikasi ekonomi dimana pembedaan
masyarakat berdasarkan pada penguasaan dan pemilikan materi dalam masyarakat
tradisional Lamalera. Pengelompokan masyarakat di Lamalera lebih banyak
didasari oleh peran dan fungsi masing-masing orang terhadap suku maupun
komunitas secara keseluruhan. Selain tiga pemuka suku besar yaitu Bataona,
Belikololo dan Lefotukan yang berperan sebagai likatelo atau lembaga
kepemimpinan di dalam masyarakat serta 2 (dua) suku tuan tanah, semua
masyarakat diposisikan secara sama dan tanpa kelas. Sebuah status yang
ditumpangkan kepada seseorang adalah status turunan yang mengampu fungsi dan
peran tertentu tetapi tidak bermakna kelas, seperti seorang atamola yang
merupakan laki-laki dengan keahlian yang berguna bagi masyarakat.
Selanjutnya, sumberdaya laut Sawu dan tena laja mengukuhkan
kewibawaan lembaga kepemimpinan likatelo. Karena Laut Sawu dan tena laja
merupakan moda produksi bersama, maka likatelo berwenang untuk mengatur
setiap hal yang berkaitan dengan penghidupan di laut ini. Likatelo memimpin
masyarakat untuk memulai lefa, mencari penyelesaian terhadap masalah dalam
masyarakat, berada di depan masyarakatnya dalam melewati masa-masa sulit,
paceklik dan ketika menghadapi bencana terutama bencana yang datang dan
terjadi di laut.
74
Organisasi ekonomi yang berkembang di Lamalera tidak lepas dari sistem
kehidupan lain seperti sistem religi dan norma sosial. Nilai-nilai keyakinan,
agama katolik serta etika yang dihidupkan di dalam lefo semua dikembalikan pada
ketergantungan dan kebutuhan mereka terhadap laut. Kepercayaan animisme
berhubungan dengan jiwa-jiwa nenek moyang mati di laut, misi katolik
digandengkan dengan kepercayaan animisme
tersebut.
Sedangkan etika
bermasyarakat, hubungan antar orang, pemaknaan terhadap konflik yang terjadi
antara individu dan suku baik yang terlihat ataupun tidak dianggap akan berimbas
pada setiap kegiatan di laut.
Di atas peneliti telah menguraikan bagaimana kuatnya hubungan budaya di
Lamalera dengan ekosistem laut. Laut Sawu, habitat mamalia laut, pari, hiu serta
ikan besar lainnya dan daratan berbatu karang telah membangun sebuah sistem
sosiokultur dari basis sistem ekonomi berburu dan menikam mamalia laut dan
ikan. Semua aspek kehidupan selalu terhubung dengan kebutuhan dan
ketergantungan mereka terhadap ekosistem ini. Sistem sosial, kekerabatan dan
sistem nilai menjadi pendukung untuk kukuhnya sistem ekonomi yang bertumpu
pada sumberdaya laut.
Download