Menuju Ratifikasi OPCAT Oleh Dina Savaluna Maraknya

advertisement
Menuju Ratifikasi OPCAT
Oleh Dina Savaluna
Maraknya praktik penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang yang terjadi di tempat- tempat
penahanan di Indonesia sudah menjadi perhatian luas, bahkan ke tingkat internasional. Hasil
survei LBH Jakarta tahun 2008 menunjukkan 83,77% responden mengalami kekerasan di dalam
tempat penahanan ketika proses penyidikan. KontraS mencatat ada 28 kasus penyiksaan yang terjadi
di antara Juli 2010-Juni 2011.
Kasus kekerasan selama proses investigasi sangat masif terjadi pada kasus-kasus terkait narkotika dan
psikotropika. Kekerasan dilakukan oleh aparat biasanya untuk menggali informasi mengenai sindikat
pengedar yang diduga terlibat.3 Misalnya saja kekerasan yang menimpa CL/YFL, perempuan
berkewarganegaraan Malaysia yang terlibat kasus penyelundupan heroin dalam jumlah besar. Dia
mengalami kekerasan ketika proses penyidikan di BNN sehingga mengalami gangguan THT. 4
Selain kasus-kasus yang muncul di permukaan, diduga keras banyak kasus-kasus lain yang tidak
terdata. Pola relasi kekuasaan yang timpang mengakibatkan korban tidak berani melapor. Praktik
kekerasan dan penyimpangan- penyimpangan lainnya di dalam tempat-tempat penahanan5 yang
seakan tertutup dari dunia luar, dipercaya dapat dicegah dengan melakukan kunjungan-kunjungan
rutin ke tempat-tempat penahanan. PBB telah membentuk suatu instrumen yang memuat mekanisme
pencegahan yang disebut Optional Protocol to the Convention Against Torture 2009.
Setelah sempat vacuum ada 23 Juni 2011 kemarin, , ELSAM dan United United Nations Resident
Office Dengan dukungan kedutaan Besar Swiss menyelenggarakan High Level Meeting bertajuk
national preventive (OPCAT). Indonesia sendiri berkomitmen meratifikasi OPCAT di periode
Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2011-2014, setelah gagal memenuhi
janjinya untuk meratifikasi pada periode 2004-2009. Persiapan menuju ratifikasi telah dilakukan
lewat serangkaian pertemuan dan pelatihan sejak tahun 2007 hingga selama setahun “Pentingnya
Pemantauan Tempat-tempat Penahanan dan Mekanisme Pencegahan Nasional sesuai dengan
OPCAT” di Hotel Borobudur, Jakarta. Workshop ini dihadiri 18 institusi pemerintahan dan negara
yang memiliki kewenangan penahanan dan mandat pemantauan, tiga kantor PBB di Jakarta, sebuah
kantor PBB regional Asia Tenggara, Komisi Eropa, serta dua organisasi nonpemerintah yang
menginisiasi advokasi ratifikasi OPCAT dan pemantauan tempat-tempat penahanan.
Acara ini diharapkan menjadi forum untuk berbagi informasi tentang OPCAT di antara para
pemangku kepentingan di tingkat pemerintahan; meninjau bersama-sama sejauhmana implikasi
ratifikasi OPCA T a tas I ndonesia; mempertimbangkan implementasi OPCAT di Indonesia setelah
ratifikasi, terutama terkait dengan pembentukan model mechanism (NPM) yang dianggap terbaik
untuk Indonesia; membangun konsolidasi praktis di antara lembaga negara yang memiliki
kewenangan penahanan; melaksanakan konsensus nasional tahun 2009 mengenai pembentukan
mekanisme pemantauan eksternal independen.
Pada umumnya, hampir seluruh peserta yang hadir menyepakati pentingnya mekanisme pemantauan
independen dari eksternal lembaga untuk mencegah penyimpangan-penyimpangan di tempat-tempat
penahanan, meskipun sempat terjadi perbedaan pendapat mengenai definisi tempat penahanan.
Beberapa institusi di luar sistem peradilan pidana tidak sepakat bahwa institusinya, seperti rumah
sakit jiwa atau tempat penampungan TKI dan anak-anak jalanan, dikategorikan sebagai tempat
penahanan. Padahal, seluruh tempat untuk merampas kemerdekaan seseorang dapat dikategorikan
sebagai tempat penahanan.
Kondisi
tahanan
yang
menggantungkan nasibnya kepada pihak
penahan membuat tahanan rentan terhadap tindakan sewenang-wenang. Oleh karena itu dibutuhkan
adanya mekanisme pemantauan independen sebagai bentuk check and balance. Sebagai instrumen
internasional, OPCAT memberikan
standar-standar, kerangka serta koridor mekanisme pemantauan yang dipercaya dapat mencegah
penyiksaan dan tindakan sewenang-wenang di tempat-tempat penahanan. Indonesia sendiri telah
memulai kerja-kerja persiapan ratifikasi sejak 2007 dengan mengadakan berbagai pertemuan,
pelatihan,termasuk dengan mengundang UN Special Rapporteur on Torture, Manfred Nowak
di penghujung 2007.
Meskipun dirasakan perlu bagi Indonesia untuk memiliki mekanisme pencegahan penyiksaan seperti
yang diatur di dalam OPCAT, ratifikasi suatu instrumen internasional harus dipersiapkan secara
matang, agar tidak menjadi macan kertas. Apalagi, instrumen OPCAT memiliki implikasi anggaran
untuk melakukan pemantauan ke seluruh Indonesia secara rutin. Sementara, untuk lembaga
pemasyarakatan dan rumah tahanan saja, saat ini di Indonesia terdapat lebih dari 400 UPT di seluruh
Indonesia. Belum lagi kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan, merupakan salah satu
tantangan bagi lembaga apapun yang akan melaksanakan fungsi pencegahan nasional untuk
melakukan pemantauan.
Dalam RANHAM tahun 2011-2014, Ratifikasi OPCAT direncanakan dilakukan pada 2013. Artinya,
Indonesia memiliki dua tahun untuk mempersiapkan diri, baik secara hukum, infrastruktur, serta
sumberdaya, agar ketika waktu ratifikasi, seluruh infrastruktur telah siap. Karena Indonesia terikat
pada kewajiban mencegah terjadinya penyiksaan dan perlakuan buruk yang dimuat di Konvensi
Menentang Penyiksaan, pembentukan mekanisme pencegahan penyiksaan tidak boleh ditunda-tunda
dengan sengaja.
Beratnya implikasi ratifikasi OPCAT seharusnya bukan dilihat sebagai faktor penghalang apalagi
penunda untuk meratifikasi OPCAT, melainkan untuk memacu seluruh pihak agar
segera
memprioritaskan persiapan di instansinya masing-masing.
Download