RENTANG WAKTU PENYELESAIAN PERKARA PERDATA PADA PENGADILAN NEGERI PONTIANAK DALAM RANGKA MEWUJUDKAN PERADILAN YANG SEDERHANA, CEPAT DAN BIAYA RINGAN BERDASARKAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 3 TAHUN 1998 (STUDI KASUS PENGADILAN NEGERI PONTIANAK TAHUN 2010-2013) MARHABAN, SH. NPM : A21212063. Pembimbing I : Prof. Dr. H. Garuda Wiko, SH.,Msi Pembimbing II : Mawardi, SH., MHum ABSTRACT This thesis focuses on timescales REMEDY civil cases in the District Court in realizing justice Pontianak simple, fast and low cost by virtue of the Supreme Court Circular No. 3 of 1998 (State Court case studies Pontianak Year 2010-2013. Fram other research by the autthors using research methods sociological laws can be concluded: 1). that the dominant factors that led to the settlement of civil cases in the District Court of Pontianak lot more than 6 (six) months due to technical factors relating to civil procedure law itself that is not disiplinya the Plaintiff and Defendant in keeping a predetermined schedule the hearing as well as the abundance of case of another district court, which automatically takes time. While non-technical factors that the trial judge did not draw up the schedule in accordance with the provisions and less firmly to the litigants to keep the trial schedule and give less to the parties abiding berpekara to prepare everything for the process persidangan. 2) bahwa legal consequences for assembly judge who completed a civil case more than 6 (six) months juridical no. If judgas do something wrong or violate the basic rules to punish the judge is legislation governing for that and more specifically of violating the Joint Rules of the Supreme Court and the Judicial Commission of Indonesia number 02 / NT / MA / IX / 2012- 02 /PB/P.KY/09/2012 About Giude Enforcement code of Ethics and code of Conduct of Judges is not based on the Supreme Court Circular No. 3 of 1998. 3). upayaefforts made by the District Court of Pontianak to be able to resolve any civil case does not exceed 6 (six) months ie evaluating the requested reports each secretariat and give directives to the judges in order to resolve a case in accordance with the Appellate Court. Suggestions are: 1) the Chairman of the Court of Pontianak ti monitor and evaluate the performance of judges in order to resolve a civil case to be professional in the sense of completing a civil case in a timely manner. 2). Judges are axpected to be firm to the ltigants in order to attend a disciplinary hearing predetermined schedule and prepare everything related to the trial as preparing evidence and witnesses and others. 1 ABSTRAK Tesis ini menitikberatkan pada rentang waktu penyelesaian perkara perdata pada Pengadilan Negeri Pontianak dalam mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1998 (studi kasus Pengadilan Negeri Pontianak Tahun 2010-2013. Dari penelitian penulis dengan menggunakan metode penelitian hukum sosiologis diperoleh kesimpulan: 1). bahwa faktor-faktor dominan yang menyebabkan penyelesaian perkara perdata di Pengadilan Negeri Pontianak banyak yang melebihi 6 (enam) bulan disebabkan adanya faktor tehnis yang menyangkut hukum acara perdata itu sendiri yakni tidak disiplinya para Penggugat dan Tergugat dalam menepati jadual persidangan yang telah ditetapkan serta adanya limpahan perkara dari Pengadilan Negeri lain yang secara otomatis membutuhkan waktu. Sedangkan faktor non teknis yakni Hakim tidak menyusun jadual persidangan sesuai dengan ketentuan dan kurang tegas kepada para pihak yang berperkara untuk menepati jadual persidangan serta kurang memberikan pemahaman kepada para pihak yang berpekara untuk menyiapkan segala sesuatu menyangkut proses persidangan. 2). bahwa konsekuensi hukum bagi majelis hakim yang menyelesaikan perkara perdata lebih dari 6 (enam) bulan secara yuridis tidak ada. Jika hakim berbuat sesuatu yang keliru atau melanggar aturan maka dasar untuk menghukum hakim adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur untuk hal tersebut dan lebih khusus tentu melanggar Peraturan Bersama Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI nomor 02/PB/MA/IX/2012- 02/PB/P.KY/09/2012 Tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim bukan didasarkan pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1998. 3). upaya-upaya yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Pontianak untuk dapat menyelesaikan setiap perkara perdata tidak melebihi 6 (enam) bulan yakni Melakukan evaluasi dengan meminta laporan-laporan masing-masing kepaniteraan dan memberikan arahan-arahan kepada mejalis hakim agar dapat menyelesaikan suatu perkara sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung. Saran-sarannya adalah : 1). kepada Ketua Pengadilan Negeri Pontianak untuk selalu memonitor dan mengevaluasi kinerja hakim-hakim agar dalam menyelesaikan suatu perkara perdata bersikap profesional dalam arti menyelesaikan perkara perdata tepat pada waktunya. 2). diharapkan para hakim bersikap tegas kepada para pihak yang berperkara agar disiplin dalam menghadiri jadual sidang yang telah ditetapkan serta menyiapkan segala sesuatu yang menyangkut persidangan tersebut seperti menyiapkan buktibukti dan saksi-saksi dan lain-lain. 2 A. Latar belakang Penelitian Pengadilan yang mandiri, netral (tidak memihak), kompeten, transparan, akuntabel dan berwibawa, yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian hukum dan ekadilan merupakan conditio sine qua non atau persyaratan mutlak dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum. Tegaknya hukum dan keadilan serta penghormatan terhadap keluhuran nilai kemanusiaan menjadi prasyarat tegaknya martabat dan integritas Negara. Hakim sebagai aktor utama atau figure sentral dalam proses peradilan senantiasa dituntut untuk mengasah kepekaan nurani, memelihara integritas, kecerdasan moral dan meningkatkan profesionalisme dalam menegakkan hukum dan keadilan bagi rakyat banyak. Oleh sebab itu, semua wewenang dan tugas yang dimiliki oleh hakim dilaksanakan dalam rangka menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan sehingga putusan pengadilan yang diucapkan dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” harus dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada manusia dan secara vertikal dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.1 Terkait eksistensi dan struktur pengadilan di dalam ketentuan Amandemen ke 4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 24 ayat (2) dinyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama, Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Tindak lanjut dari amanat konstitusi tersebut diterjemahkan dalam bentuk undang undang organik dan Khusus mengatur Mahkamah Agung telah terbentuk Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009. Dalam pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi 1 Lihat Keputusan Bersama Ketua MA dan Ketua KY nomor 047/KMA/SKB/IV/2009. 02/SKB/P.KY/IV/2009 Tentang Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim 3 kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang. Pasal ini memberikan keleluasaan bagi Mahkamah Agung untuk menerapkan suatu kebijakan atas jalannya lembaga peradilan yang berada dibawahnya guna mencapai kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum dalam rangka perwujudan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Salah satu kebijakan yang diambil oleh Mahkamah Agung yakni dengan mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 1998 tentang Penyelesaian Perkara. Pada butir 1 SEMA Nomor 3 Tahun 1998 secara tegas dinyatakan bahwa perkara-perkara di pengadilan harus diputuskan dan diselesaikan dalam waktu 6 (enam) bulan. Norma ini memberikan batasan kepada Pengadilan Tingkat Pertama untuk menyelesaikan suatu perkara tidak lebih dari 6 (enam) bulan, terlepas dari adanya banding atau kasasi dari salah satu pihak. Oleh karena itu, majelis hakim yang menangani suatu perkara dituntut benar-benar memanfaatkan waktu yang telah ditentukan untuk mengambil suatu putusan atas perkara yang disidangkan. Salah satu Pengadilan dibawah lingkungan Mahkamah Agung berada di Kota Pontianak yakni Pengadilan Negeri Pontianak yang bertugas memeriksa dan mengadili serta memutuskan baik perkara-perkara pidana maupun perkara perdata. Dari tahun 2010 s/d tahun 2013 perkara perdata yang diperiksa, diadili dan diputus oleh Pengadilan Negeri Pontianak banyak yang melewati tenggang waktu sebagaimana yang diatur dalam SEMA Nomor 3 Tahun 1998 dengan rincian sebagai berikut : Tahun 2010 No Nomor Perkara Masuk Putus waktu 1. 04/PDT.G/2010/PN.PTK 11-01-2010 12-08-2010 7 bulan 2. 06/PDT.G/2010/PN.PTK 14-01-2010 12-08-2010 7 bulan 3. 08/PDT.G/2010/PN.PTK 18-01-2010 28-08-2010 7 bulan 4 4. 12/PDT.G/2010/PN.PTK 25-01-2010 10-08-2010 7 bulan 5. 18/PDT.G/2010/PN.PTK 18-02-2010 22-10-2010 8 bulan 6. 21/PDT.G/2010/PN.PTK 02-03-2010 21-10-2010 7 bulan 7. 24/PDT.G/2010/PN.PTK 04-03-2010 05-10-2010 7 bulan 8. 34/PDT.G/2010/PN.PTK 31-03-2010 16-12-2010 9 bulan 9. 39/PDT.G/2010/PN.PTK 15-04-2010 27-01-2011 9 bulan 10. 45/PDT.G/2010/PN.PTK 23-04-2010 18-08-2011 12 bulan 11. 47/PDT.G/2010/PN.PTK 27-04-2010 03-01-2011 9 bulan 12. 55/PDT.G/2010/PN.PTK 10-05-2010 07-02-2011 8 bulan 13. 68/PDT.G/2010/PN.PTK 07-07-2010 28-07-2011 12 bulan 14. 69/PDT.G/2010/PN.PTK 12-07-2010 12-04-2011 9 bulan 15. 92/PDT.G/2010/PN.PTK 23-09-2010 28-04-2011 7 bulan 16. 104/PDT.G/2010/PN.PTK 20-10-2010 11-05-2011 7 bulan 17. 106/PDT.G/2010/PN.PTK 21-10-2010 18-05-2011 7 bulan 18. 122/PDT.G/2010/PN.PTK 08-12-2010 20-07-2011 7 bulan 19. 123/PDT.G/2010/PN.PTK 20-12-2010 05-08-2011 8 bulan Sumber : Pengadilan Negeri Pontianak Tahun 2011 No Nomor Perkara Masuk Putus waktu 1. 06/PDT.G/2011/PN.PTK 31-01-2011 18-10-2011 9 bulan 2. 23/PDT.G/2011/PN.PTK 16-03-2011 13-10-2011 7 bulan 3. 24/PDT.G/2011/PN.PTK 18-03-2011 07-11-2011 8 bulan 5 4. 26/PDT.G/2011/PN.PTK 22-03-2011 02-11-2011 8 bulan 5. 28/PDT.G/2011/PN.PTK 23-03-2011 22-12-2011 9 bulan 6. 38/PDT.G/2011/PN.PTK 25-04-2011 02-11-2011 9 bulan 7. 119/PDT.G/2011/PN.PTK 23-11-2011 03-08-2012 9 bulan Sumber : Pengadilan Negeri Pontianak Tahun 2012 No Nomor Perkara Masuk Putus waktu 1. 25/PDT.G/2012/PN.PTK 13-03-2012 18-12-2012 9 bulan 2. 44/PDT.G/2012/PN.PTK 08-05-2012 23-01-2013 8 bulan 3. 45/PDT.G/2012/PN.PTK 08-05-2012 19-12-2012 7 bulan 4. 54/PDT.G/2012/PN.PTK 13-06-2012 04-04-2013 10 bulan 5. 58/PDT.G/2012/PN.PTK 05-07-2012 13-03-2013 8 bulan 6. 60/PDT.G/2012/PN.PTK 11-07-2012 20-03-2013 8 bulan 7. 71/PDT.G/2012/PN.PTK 10-08-2012 02-05-2013 7 bulan 8. 73/PDT.G/2012/PN.PTK 16-08-2012 20-05-2013 7 bulan 9. 74/PDT.G/2012/PN.PTK 15-08-2012 29-09-2013 10 bulan 10. 75/PDT.G/2012/PN.PTK 29-08-2012 05-03-2013 7 bulan 11. 80/PDT.G/2012/PN.PTK 05-09-2012 06-05-2013 7 bulan 12. 81/PDT.G/2012/PN.PTK 10-09-2012 01-05-2013 7 bulan 13. 84/PDT.G/2012/PN.PTK 14-09-2012 09-04-2013 7 bulan 14. 101/PDT.G/2012/PN.PTK 25-10-2012 29-08-2013 10 bulan 15. 104/PDT.G/2012/PN.PTK 29-10-2012 11-07-2013 9 bulan 16. 108/PDT.G/2012/PN.PTK 14-11-2012 13-11-2013 12 bulan 6 17. 110/PDT.G/2012/PN.PTK 19-11-2012 25-07-2013 8 bulan 18. 111/PDT.G/2012/PN.PTK 26-11-2012 28-11-2013 12 bulan 19. 114/PDT.G/2012/PN.PTK 30-11-2012 24-10-2013 11 bulan 20 115/PDT.G/2012/PN.PTK 30-11-2012 03-09-2013 10 bulan 21. 119/PDT.G/2012/PN.PTK 11-12-2012 15-07-2013 7 bulan 22. 120/PDT.G/2012/PN.PTK 11-12-2012 02-07-2013 7 bulan 23. 121/PDT.G/2012/PN.PTK 13-12-2012 24-07-2013 7 bulan 24. 122/PDT.G/2012/PN.PTK 17-12-2012 10-09-2013 9 bulan 29. 124/PDT.G/2012/PN.PTK 28-12-2012 28-08-2013 9 bulan Sumber : Pengadilan Negeri Pontianak. Tahun 2013 No Nomor Perkara Masuk Putus waktu 1. 07/PDT.G/2013/PN.PTK 13-02-2013 20-02-2014 7 bulan 2. 31/PDT.G/2013/PN.PTK 18-04-2013 25-03-2014 7 bulan 3. 35/PDT.G/2013/PN.PTK 03-05-2013 08-04-2014 7 bulan 4. 42/PDT.G/2013/PN.PTK 23-05-2013 29-01-2014 8 bulan 5. 44/PDT.G/2013/PN.PTK 27-05-2013 20-03-2014 7 bulan 6. 49/PDT.G/2013/PN.PTK 03-06-2013 30-01-2014 7 bulan 7. 58/PDT.G/2013/PN.PTK 24-06-2013 15-01-2014 9 bulan 8. 62/PDT.G/2013/PN.PTK 25-06-2013 27-02-2014 12 bulan Sumber : Pengadilan Negeri Pontianak 7 Data-data faktual diatas mengindikasikan bahwa majelis hakim di Pengadilan Negeri Pontianak dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara-perkara keperdataan memerlukan waktu yang melebihi ketentuan yang berlaku. Untuk tahun 2010 ada 19 perkara, untuk tahun 2011 ada 7 perkara, untuk tahun 2012 ada 29 perkara dan untuk tahun 2013 ada 8 perkara yang kesemuanya melebihi 6 (enam) bulan waktu yang ditentukan untuk memutuskan sebuah perkara. Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk tesis dengan judul : RENTANG WAKTU PENYELESAIAN PERKARA PERDATA PADA PENGADILAN NEGERI PONTIANAK DALAM RANGKA MEWUJUDKAN PERADILAN YANG SEDERHANA, CEPAT DAN BIAYA RINGAN BERDASARKAN SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 3 TAHUN 1998 (STUDI KASUS PENGADILAN NEGERI PONTIANAK TAHUN 20102013). B. Rumusan Masalah Penelitian Dari uraian pada latar belakang penelitian di atas, maka dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: 1. Mengapa penyelesaian perkara perdata pada Pengadilan Negeri Pontianak masih banyak yang melebihi rentang waktu sebagaimana yang diatur dalam SEMA Nomor 3 Tahun 1998. 2. Apa konsekuensi hukum apabila majelis hakim tidak menyelesaiakan perkara pada rentang waktu sebagaimana yang diatur dalam SEMA Nomor 3 Tahun 1998. 3. Upaya-upaya apa yang telah dilakukan oleh Pengadilan Negeri Pontianak agar dapat menyelesaiakan perkara sesuai SEMA Nomor 3 Tahun 1998. 8 PEMBAHASAN A. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Pengadilan Negeri Pontianak Melebihi Rentang Waktu Dalam Menyelesaikan Perkara. Untuk sampai pada jawaban apa yang menjadi faktor-faktor penyebab sehingga Pengadilan Negeri Pontianak selalu melewati rentang waktu dalam memeriksa dan memutus perkara-perkara pada bidang keperdataan, maka terlebih dahulu melihat kemandirian pengadilan sebagai suatu lembaga atau institusi bagi pencari keadilan. Independensi lembaga peradilan sebagai suatu sistem dalam kekuasaan kehakiman dapat dilihat dari tiga ukuran, yakni:2; 1. Kemandirian Lembaganya/institusinya. Kemandirian dalam hal ini adalah kemandirian yang berkaitan dengan lembaga peradilannya itu sendiri. Parameter mandiri atau tidaknya suatu institusi peradilan dapat dilihat dari beberapa hal : a. Apakah lembaga tersebut mempunyai ketergantungan (saling mempengaruhi terhadap kemandiriannya dalam melaksanakan tugas) dengan lembaga lain atau tidak, misalnya institusi kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan dan lembaga-lembaga lainnya. Kalau lembaga peradilan ternyata dapat dipengaruhi integritas dan kemandiriannnya oleh lembaga lain tersebut, hal ini merupakan salah satu indikator bahwa lembaga peradilan tersebut tidak mandiri atau setidak-tidaknya lembaga peradilan itu kurang mandiri. b. Apakah lembaga peradilan tersebut mempunyai hubungan hirarkhis ke atas secara formal, dimana lembaga atasannya tersebut dapat campur tangan dan mempengaruhi kebebasan atau kemandirian terhadap lembaga peradilan tersebut. Akan tetapi perlu diperhatikan sepanjang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan seperti memberikan pengawasan kepada pengadilan dibawahnya, maka hubungan hirarkhis antara lembaga atasan dan bawahan dapat dibenarkan secara hukum dan tidak menjadi persoalannya. 2 Ahmad Mujahidin, Loc cit hal. 52 9 Yang jadi masalah kalau sampai pengadilan atasan melakukan campur tangan dalam proses peradilan secara tidak sah di luar hal-hal yang sudah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. 2. Kemandirian Proses peradilannya. Kemandiri proses peradilan disini terutama dari proses pemeriksaan perkara, pembuktian sampai pada putusan yang dijatuhkannya. Parameter mandiri atau tidaknya suatu proses peradilan ditandai dengan ada atau tidaknya campur tangan pihak-pihak lain diluar kekuasaan kehakiman yang dengan berbagai upaya mempengaruhi jalannya proses peradilan baik secara langsung maupun tidak langsung. Kemudian adanya intervensi tersebut apakah dapat mempengaruhi proses peradilan ataukah tidak. Kalau ternyata berpengaruh, berarti proses peradilannya tidak atau kurang mandiri, sebaliknya kalau ada campur tangan tersebut tidak mempengaruhi berarti proses peradilannya dapat dikatakan mandiri. 3. Kemandirian Hakimnya Kemandirian Hakim disini dibedakan tersendiri, karena hakim secara fungsional merupakan tenaga inti penegakan hukum dalam menyelenggarakan proses peradilan. Parameter mandiri atau tidaknya hakim dalam memeriksa perkara dapat dilihat dari kemampuan dan ketahanan hakim dalam menjaga integritas moral dan komitmen kebebasan profesinya dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dari adanya campur tangan dari pihak lain dalam proses peradilan. 3 (tiga) indikator diatas, apabila dikaitkan dengan keberadaan Pengadilan Negeri Pontianak dapat dikatakan telah memenuhi unsur-unsur sebagai suatu lembaga peradilan yang mandiri. Hal ini disebabkan secara faktual tidak mempunyai ketergantungan dengan lembaga-lembaga penegak hukum lainnya, seperti kejaksaan ataupun kepolisian dan secar faktual pula belum dijumpai dan dilihat dari hasil penelitian ilmiah yang membenarkan adanya intervensi lembaga peradilan yang lebih tinggi atas jalannya proses peradilan serta 10 belum juga ditemukan secara faktual hakim-hakim di Pengadilan Negeri Pontianak yang melanggar integritasnya sebagai hakim. Terkait integritas hakim yang menyangkut pada perilaku hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara, maka Mahkamah Agung dapat melakukan pengawasan secara internal melalui mekanisme yang telah ditetapkan. Kewenangan Mahkamah Agung dalam melakukan pengawasan terhadap lembaga peradilan yang berada dibawahnya dapat dilihat dalam pasal 32 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 yang berbunyi : Pasal 32 (1) (2) (3) (4) (5) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawahnya dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman. Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap pelaksanaan tugas administrasi dan keuangan. Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua badan peradilan yang berada di bawahnya. Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, teguran, atau peringatan kepada pengadilan di semua badan peradilan yang berada di bawahnya. Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Secara teoritis, terdapat cukup banyak pengertian tentang pengawasan yang dikemukan oleh pakar dari berbagai disiplin ilmu, sungguhpun demikian makna dan maksud serta tujuan dari pengawasan pada prinsipnya mengandung pemahaman yang sama. Prajudi Atmosudirdjo 3 , berpendapat bahwa pengawasan merupakan kegiatan-kegiatan yang membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikendaki, direncanakan atau diperintahkan, hasil pengawasan harus dapat menunjukan sampai dimana terdapat kecocokan dan apakah sebab-sebabnya. 3 Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982. hal. 233 11 Sujamto4 telah mengutip definisi pengawasan yang dirumuskan oleh Newman dan Hery Fayol sebagai berikut : a. Menurut Newman : “Control is assurance that the perpormance to plan (pengawasan adalah suatu usaha untuk menjamin agar pelaksanaan sesuai dengan rencana) b. Henry Fayol: “ control consist in verivying whether everything occur in conformity with the odopted, the instruction issued and principles established it has for object to point out weaknesses and errors in order to rectivy then prevent recurrence (Pengawasan terdiri dari pengujian apakah segala sesuatu berlangsung sesuai dengan rencana yang telah ditentukan, dengan intruksi yang telah diberikan dan dengan prinsip-prinsip yang telah digariskan. Ia bertujuan untuk menunjukkan kelemahan-kelemahan dan kesalahan-kesalahan dengan maksud untuk memperbaikinya dan mencegah terulang kembali). Berdasarkan definisi pengawasan di atas, menunjukkan hakikat pengawasan adalah mengawasi proses bekerjanya organisasi dalam mencapai tujuannya. Bekerjanya organisasi tentunya dilakukan oleh orang-orang yang diberikan kewenangan, tugas dan fungsi untuk melaksanakan urusan tertentu sesuai peraturan dan rencana yang ditetapkan oleh organisasi. Untuk mengendalikan terlaksananya urusan tersebut agar tetap sesuai, dengan peraturan dan rencana yang ditetapkan, maka diperlukan pengawasan. Atas dasar hasil pengawasan, dapat ditentukan ada tidaknya pelanggaran terhadap peraturan atau penyimpangan terhadap suatu rencana serta upaya perbaikannya, sehingga pelaksanaan urusan organisasi tetap dapat dikendalikan kearah pencapaian tujuan. Hal ini baik pada organisasi pemerintah maupun non pemerintah. Leonard D. White 5 menyatakan bahwa maksud dilakukannya pengawasan adalah untuk menjamin digunakannya kekuasaan itu sesuai tujuan yang dikehendaki rakyat dan 4 Sujamto, Beberapa Pengertian Di Bidang Pengawasan, Ghalia Indonesia, Jakarta, (cet.kedua) 1986, hal. 17-18 Dalam Victor Situmorang dan Jusuf Juhir, Aspek Hukum Pengawasan Melekat Dalam Lingkungan Aparatur Pemerintah, Rineke Cipta, Jakarta, 1998, hal. 18-22 5 12 melindungi Hak Azasi Manusia dari tindakan penyalahgunaan kekuasaan. Sementara itu Arifin Abdul Rachman6, menyatakan bahwa diadakannya pengawasan adalah : a. Untuk mengetahui apakah segala sesuatu berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. b. Untuk mengetahui apakah segala sesuatu telah berjalan sesuai dengan instruksi serta prinsip-prinsip yang telah ditetapkan. c. Untuk mengetahui apakah kelemahan-kelemahan serta kesulitan-kesulitan dan kegagal-kegagalannya, sehingga dapat diadakan perubahan-perubahan untuk memperbaiki serta mencegah pengulangan kegiatan-kegiatan yang salah. d. Untuk mengetahui apakah segala sesuatu berjalan efisien dan apakah tidak dapat diadakan perbaikan-perbaikan lebih lanjut, sehingga mendapat efisiensi yang lebih benar. Dalam konteks penyelenggaraan peradilan yang baik, bersih, jujur, cepat dan berbiaya murah dan memudahkan pengawasan di daerah, maka di dalam praktek hakimhakim tinggi dapat melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim bawahannya atas perintah dari Mahkamah Agung dan di dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009- 02/SKB/P.KY/IV/2009 Tentang Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim kemudian ditindaklanjuti Peraturan Bersama Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI Nomor 02/PB/MA/IX/201202/PB/P.KY/09/2012 Tentang Panduan Penegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim disebutkan hal-hal yang harus dipegang teguh oleh hakim dalam menjalankan tugas dan martabatnya yakni : 1. Berperilaku adil. 2. Berperilaku jujur. 3. Berperilaku arif dan bijaksana. 6 Ibid 13 4. Bersikap mandiri. 5. Berintegritas tinggi. 6. Bertanggungjawab. 7. Menjunjung tinggi harga diri. 8. Berdisiplin tinggi. 9. Berperilaku rendah hati. 10. Bersikap profesional. 10 (sepuluh) kode etik dan pedoman perilaku hakim tersebut, suka atau tidak suka harus ditaati oleh setiap hakim untuk berperilaku baik dalam kedinasan dan diluar kedinasan ukuran-uluran secara normatif telah jelas, akan tetapi di dalam praktek penjabaran ini menjadi sangat sulit, misalnya prinsip berperilaku adil, apakah hakim-hakim yang menjatuhkan putusan sangat rendah dibandingkan dengan tuntutan dapat dikatakan tidak adil atau telah melakukan perbuatan yang telah menyimpang, tentu hal ini akkan menjadi tafsir yang berbeda dari masing-masing pihak yang berkepentingan atas putusan tersebut atau berperilaku jujur, misalnya; pertemuan hakim dan advokat dalam suatu perjamuan (perkawinan, kegiatan amal dll) apakah dapat dikatakan melanggar kode etik. Kode etik dan pedoman perilaku hakim esesensinya pada moralitas dan karakter, karena seketat apapun aturan yang dibuat jika moral dan karakter hakim tidak baik maka kode etik dan pedoman perilaku hakim menjadi tidak begitu penting lagi, akan tetapi kode etik dan pedoman perilaku hakim sebagaimana dituangkan dalam Keputusan dan Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial masih tetap relevan dan harus tetap ada guna meminimalisir terjadinya penyimpangan-penyimpangan dengan melakukan pengawasan secara intensif. 14 Keberadaan Komisi Yudisial menjadi bagian yang terpenting dalam rangka menumbuhkan kepercayaan kepada masyarakat kepada lembaga peradilan. Meskipun Komisi Yudisial tidak mempunyai kewenangan untuk menindak para hakim yang telah melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim akan tetapi rekomendasi yang diberikan kepada Mahkamah Agung selalu mendapat respon yang positif. Tindak lanjut atas rekomendasi yang diberikan oleh Komisi Yudisial membuat Mahkamah Agung melakukan pemeriksaan terhadap para hakim yang terindikasi melakukan pelanggaran. Apa yang tertuang dalam Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial secara substansi menjadi norma bagi hakim dalam menjalankan fungsinya. Dalam pandangan Hart7 bahwa ketidaksahihan sebuah hukum/peraturan berbeda dengan sebutan tidak bermoral. Moral adalah yang mengenai batin manusia saja sedangkan hukum adalah apa yang berasal dari sumber hukum entah isinya bersifat moral atau immoral. Lebih lanjut Kant 8 membedakan antara sifat moral dari suatu perbuatan moralitas dan sifat hukum dari suatu perbuatan legalitas. Inti dari sifat moral adalah penyesuaian dengan kewajiban batin sedangkan inti sifat hukum adalah penyesuaian dengan apa yang sudah dibuat sebagai hukum. Menyikapi SEMA Nomor 3 Tahun 1998 tentang penyelesaian Perkara yang intinya menyatakan : 1. Bahwa perkara-perkara di pengadilan harus diputuskan dan diselesaikan dalam waktu 6 (enam) bulan termasuk minutasi yaitu : a. Perkara-perkara perdata umum, perdata agam dan perkara tata usaha negara, kecuali karena sifat dan keadaan perkaranya terpaksa lebih dari 6 (enam) bulan dengan ketentuan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang bersangkutan wajib melaporkan alasan-alasannya kepada Ketua Pengadilan Tingkat Banding. 7 8 L.A. Hart, Concept of Law, terjemahan bebas, 2003, hal. 26 Ibid, hal. 30 15 b. Khusus perkara pidana hendaknya para Ketua Pengadilan memperhatikan SEMA No. 2 Tahun 1998 tentang Permohonan Kasasi Perkara Pidana yang terdakwanya berada dalam status tahanan. 2. a. Laporan dari majelis tentang sebab-sebab terlambatnya penyelesaian perkara harus dievaluasi oleh Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dan Hasil evaluasi dilaporkan pada Ketua Pengadilan Tingkat banding selalu kawal depan Mahkamah Agung. b. Ketua Pengadilan Tingkat Banding wajib lapor kepada Ketua Mahkamah Agung selambat-lambatnya tanggal 10 setiap bulan berikutnya walaupun nihil. Pada perkara perdata secara tegas dibatasi dalam SEMA Nomor 3 Tahun 1998 untuk menyelesaikan perkara selama 6 (enam) bulan tanpa merinci objek-objek perkara apa yang dapat diselesaikan dalam rentang waktu tersebut, sehingga tidak mengherankan banyak pengadilan negeri khususnya Pengadilan Negeri Pontianak yang tidak mampu menyelesaikan perkara perdata dalam rentang waktu yang telah ditentukan. Pada tahun 2010 terdapat 19 perkara perdata, pada tahun 2011 terdapat 7 perkara perdata, pada tahun 2012 terdapat 29 perkara perdata dan pada tahun 2013 terdapat 8 perkara perdata yang kesemuanya melebihi 6 (enam) bulan dalam menyelesaikan perkara dan apabila diperhatikan sifatnya fluktuatif dari tahun ke tahun. Kondisi seperti ini tentu ada faktor penyebabbya dimana faktor-faktor dominan yang menyebabkan sehingga suatu perkara diselesaikan melebihi 6 (enam) bulan adalah :9 1. Perkara Perdata No 123/PDT.G/2010/PN.PTK antara Asmaniah sebagai Penggugat lawan PT. Multindo Auto Finance Cabang Pontianak sebagai Tergugat I dan maryadi sebagai Tergugat II. Faktor penyebab perkara diselesaikan melebihi 6 (enam) bulan yakni bahwa pihak Tergugat dipanggil melalui Pengadilan Negeri mempawah, tetapi relas 9 Laporan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pontianak kepada Ketua Pengadilan Negeri Pontianak. 16 panggilan belum kembali sehingga pemanggilan berulangkali dan relas panggilan baru diterima oleh Pengadilan Negeri Pontianak dimana pihak Tergugat I setelah dipanggil secara sah dan patut menurut hukum 26 Januari 2011 dan 27 April 2011 tetap tidak hadir. 2. Perkara Perdata No 119/PDT.G/2011/PN.PTK antar Mansyur Haji Abdurasyid lawan PT. Bank BRI sebagai Tergugat I, Kepala KPKNL sebagai Tergugat II dan M. baik sebagai tergugat Intervensi. Faktor penyebab perkara diselesaikan melebih 6 bulan yakni: a. Persidangan pada tanggal 17 November 2011 dengan acara gugatan Penggugat hadir sedangkan Tergugat I dan II tidak hadir. b. Persidangan pada tanggal 24 November 2011 dengan acara gugatan Penggugat hadir sedangkan Tergugat I dan II tidak hadir. c. Persidangan tanggal 15 Desember 2011 dengan acara mediasi Tergugat I dan tergugat II tidak hadir. d. Persidangan tanggal 29 Desember 2011 dengan acara mediasi Tergugat I dan tergugat II tidak hadir. e. Persidangan tanggal 5 Januari 2012 dengan acara mediasi Tergugat II tidak hadir. f. Persidangan tanggal 26 Januari 2012 dengan acara mediasi Tergugat I dan Tergugat II tidak hadir. g. Persidangan 16 Februari 2012 Penggugat dan Tergugat I hadir sedangkan Tergugat II tidak hadir sehingga sidang dengan acara Tanggapan para pihak terhadap pemohon intervensi ditunda. h. Persidangan tanggal 23 Februari 2012 Penggugat hadir sedangkan Tergugat II tidak hadir. i. Persidangan tanggal 21 Maret 2012 Penggugat hadir sedangkan Tergugat I dan Tergugat II serta pemohon Intervensi tidak hadir. j. Persidangan tanggal 4 April 2012 Penggugat hadir sedangkan Tergugat I dan Tergugat II serta pemohon Intervensi tidak hadir. 17 k. Persidangan tanggal 19 Juni 2012 Penggugat hadir sedangkan Tergugat I dan tergugat II serta pemohon Intervensi tidak hadir. 3. Perkara Perdata No 114/PDT.G/2012/PN.PTK antara HJ. Salmah dkk sebagai Penggugat lawan Haryanto dkk sebagai Tergugat. Faktor penyebab perkara diselesaikan melebihi 6 (enam) bulan yakni : a. Sidang pertama pada tanggal 09 Januari 2013 kemudian sidang lanjutan 6 Maret 2013. b. Pihak Penggugat/Kuasanya beralamat/bedomisili di Jakarta Pusat dalam hal memerlukan waktu yang lama untuk pemanggilannya. c. Pihak Tergugat lebih dari satu orang dan selama proses persidangan pihak Penggugat dan Tergugat-Tergugat sering tidak menghadiri persidangan. Dari 3 (tiga) contoh perkara perdata diatas dapat dimengerti bahwa faktorfaktordominan yang mempengaruhi sehingga penyelesaian perkara perdata melebihi 6 (enam) bulan adalah seringnya pihak Penggugat terutama pihak Terugat yang tidak hadir dalam jadual persidangan yang telah ditentukan serta limpahan berkas perkara perdata dari wilayah Pengadilan Negeri yang berbeda. Faktor-faktor yang disarikan dari laporan majelis hakim yang menangani perkara kepada Ketua Pengadilan Negeri Pontianak tersebut, ternyata masih ada faktor lain yang menyebabkan perkara perdata diselesaikan melebihi 6 (enam) bulan yakni:10 1. Para pencari keadilan terkadang tidak mempunyai dana untuk biaya perkara, sehingga para pencari keadilan harus bekerjasama dengan lembaga peradilan agar perkara tersebut dimasukan dalam kualifikasi prodeo dan hal ini membutuhkan waktu. 10 Hasil wawancara dengan hakim-hakim 18 2. Ketidak mampuan Penggugat dan Tergugat untuk menghadirkan saksi-saksi sesuai jadual persidangan yang telah ditentukan. Faktor-faktor diatas dapat merupakan faktor teknis beracara dalam proses persidangan perkara perdata, akan tetapi ada faktor non teknis yang juga menjadi penyebab sehingga perkara perdata tersebut penyelesaiannya melebihi 6 (enam) bulan yaitu : 11 1. Hakim tidak menyusun jadual persidangan sesuai dengan ketentuan dan tidak mentaati jadual persidangan yang telah ditetapkan. 2. Hakim tidak memberi peringatan secara tegas kepada para pihak untuk menepati jadual persidangan yang telah ditetapkan. 3. Hakim kurang memberi pemahaman kepada pencari keadilan agar setiap sidang dilaksanakan mempersiapkan apa-apa yang diperlukan dalam persidangan seperti bukti-bukti dan lain-lain. B. Konsekuensi Hukum Bagi Majelis Hakim Yang Tidak Menyelesaikan Perkara Tepat Waktu. Hukum itu merupakan produk politik sehingga karakter isi setiap produk hukum akan sangat ditentukan atau diwarnai oleh imbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang melahirkannya 12 . Dengan demikian, sebagai produk politik, hukum dapat dijadikan alat justifikasi bagi visi politik penguasa13. Meskipun tidak terbantahkan pernyataan tersebut, yang pasti hukum itu sendiri mempunyai tujuan. Berbicara mengenai tujuan hukum, akan sangat bergantung dari perspektif mana seseorang melihat hukum itu sendiri. Namun demikian, secara umum tujuan hukum meliputi: Pertama, the goal of promoting morality (untuk menegakan moral). Kedua, the goal of 11 Ibid Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES, Jakarta 2006, hal. 65 13 Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Indonesia, YLBHI, Jakarta, 1988, hal. 18. 12 19 reflecting custom (untuk merefleksikan kebiasaan). Ketiga, the goal of social welfare (untuk kesejahteraanmasyarakat).Keempat, the goal of serving power (untukmelayani kekuasaan).14 Di lain sisi dinyatakan bahwa Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Kalau melihat dari tujuan hukum itu sendiri adalah tidak hanya keadilan, tetapi juga kepastian hukum dan kemanfaatan. Idealnya hukum memang harus mengakomodasikan ketiganya. Putusan hakim, misalnya, sedapat mungkin merupakan resultante dari ketiganya. Sekalipun demikian tetap ada yang berpendapat, diantara ketiga tujuan hukum itu, keadilan merupakan tujuan yang paling penting bahkan ada yang berpendapat sebagai tujuan hukum satu-satunya. Bismar Siregar15 (dalam Dardji darmo Dihardjo dan Sidarta,) mengatakan,” bila untuk menegakkan keadilan saya korbankan kepastian hukum, akan saya korbankan hukum itu. Hukum hanya sarana, sedangkan tujuannya adalah keadilan. Menurut pengertian tradisional, yang cukup kuat di daratan Eropa, hukum pertamatama menuju suatu aturan yang dicita-citakan yang memang telah direncanakan dan dirancang dalam suatu undang-undang, akan tetapi belum terwujud dan tak akan pernah terwujud sepenuhnya. Sesuai dengan dikotomi (pemisahan) ini terwujud dua istilah untuk menandakan hukum yaitu: 1. Hukum dalam arti keadilan (keadilan = iustitia) atau ius/recht (dari reger = memimpin). Maka di sini hukum menandakan peraturan yang adil tentang kehidupan masyarakat sebagaimana dicita-citakan; 2. Hukum dalam arti undang-undang atau lex/wet. Kaidah-kaidah mewajibkan itu dipandang sebagai sarana untuk mewujudkan yang aturan yang adil itu 14 Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum: Civil Law, Comon Law, dan Hukum Islam, Raja Grafindo, Jakarta, 2004, hal. 7 15 Dardji Darmo Dihardjo dan Sidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hal. 154-154. 20 Perbedaan antara kedua istilah memang nyata: istilah “hukum” mengandung suatu tuntutan keadilan, istilah “undang-undang” menandakan norma-norma yang de facto digunakan untuk memenuhi tuntutan tersebut, tertulis atau tidak tertulis. Sangat jelas bahwa, kata “hukum” sebagai “ius” adalah lebih fundamental daripada kata “undang-undang”/lex, sebab kata “hukum” sebagai “ius” menunjukkan hukum dengan mengikuti sertakan prinsipprinsip atau asas-asas yang termasuk suatu aturan yang dikehendaki orang. “lex” itu merupakan untuk eksplisit dari “ius”. Hukum sebagai “ius” pertama sekali diwartakan secara kompak dalam semboyan filsafat Skolastik, yakni: “ius quia iustum” hukum karena adil16 Selain tujuan, hukum juga mempunyai fungsi. Lawrence M. Friedman 17 fungsi hukum ada empat, pertama adalah fungsi keadilan, yakni mendistribusikan dan menjaga alokasi nilai-nilai yang benar menurut masyarakat. Adapun Aristoteles membagi keadilan menjadi dua, yakni keadilan komulatif dan keadilan distributif, kedua adalah fungsi penyelesaian sengketa, dimana hukum menyediakan sarana dan tempat yang bisa dituju orang untuk menyelesaikan sengketa di dalam masyarakat. ketiga adaah sebagai kontrol sosial, yakni pemberlakuan peraturan mengenai perilaku yang benar. ke empat adalah menciptakan norma-norma yang berfungsi untuk rekayasa sosial, yang disebut social engineering. Fungsi rekayasa sosial ini biasanya dibuat oleh badan legislative, yang memiliki kewenangan untuk membuat hukum itu. Pada sisi lain Ahmad Ali 18 menyatakan, secara teoritis terdapat 5 (lima) konsep utama fungsi hukum, yaitu : 1. Sebagai alat kontrol sosial: ciri pokoknya, hukum bersama-sama dengan pranatapranata sosial lainnya melakukan fungsi sosial. Disini hukum bersifat pasif, hanya menyesuaikan diri dengan situasi, kondisi, nilai-nilai dan/atau kenyataan 16 Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1995, hal. 45. Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum, Perspektif Ilmu Sosial, Nusa Media, Bandung 2009, hal. 19-21. 18 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofius dn Sosiologis), Chandera Pratama, Jakarta, 1996, hal. 95-96. 17 21 masyarakat. Hukum berubah jika masyarakatnya berubah, akibatnya hukum selalu tertinggal mengikuti perubahan masyarakat. Fungsi kontrolnya terbatas untuk menjaga kepentingan masyarakat tanpa melakukan perubahan yang berarti. 2. Sebagai alat rekayasa sosial; Rescoe Pound19 memberikan gambaran tentang apa yang sebenarnya diinginkan dan tidak diinginkan dalam menggunakan hukum sebagai alat rekayasa sosial: a. Mempelajari efek sosial yang nyata dari lembaga-lembaga serta ajaranajaran hukum b. Melakukan studi sosialogis dalam rangka mempersiapkan perundangundangan. c. Melakukan studi tentang bagaimana membuat peraturan perundang- undangan. d. Memperhatikan sejarah hukum dan efek sosial ketika menyusun, memberlakukan dan menerapkan hukum. e. Melakukan penyelesaian setiap kasus hukum yang memenuhi rasa keadilan masyarakat. 3. Sebagai simbil mengkonsepsikan perbuatan, hubungan dan peristiwa hukum kedalam simbul tertentu. 4. Sebagai instrumen politik; bahwa hukum hanya dinilai sebagai produk kemauan politik. 5. Sebagai integrator; yakni pengintegrasian berbagai kepentingan warga masyarakat yang berbeda, namun dipolakan seragam guna mencapai tujuan yang bersifat holistik. 19 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Bandung Angkasa, 1986, hal. 148-149 22 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto 20 mengatakan bahwa ada 3 (tiga) hal yang berkaitan dengan berlakuknya hukum, yaitu filosofis, yuridis dan sosiologis. Berlakunya hukum secara filosofis berarti bahwa hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi. Berlakunya hukum secara yuridis dijumpai anggapan-anggapan sebagai berikut:21 a. Hans Kelsen yang mengatakan bahwa kaidah hukum mempunyai kelakuan yuridis apabila penentuannya berdasarkan kaidah yang lebih tinggi tingkatannya. b. W. Zevenbergen, mengatakan bahwa suatu kaidah hukum mempunyai keberlakuan yuridis, jikalau kaidah tersebut “op de vereische wijze is tot stand gekomen” (terbentuk menurut cara yang ditetapkan). Pendapat Hans Kelsen dan Zevenbergen diatas mengisyaratkan bahwa suatu kaidah itu terbentuk dari aturan yang lebih tinggi dan secara substanstif tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi juga dan terbentuknya mengikuti prosedur-prosedur yang telah ditentukan. Begitu juga halnya dengan SEMA, meskipun terbentuk karena suatu kebijakan, kebijakan ini menjadi aturan karena apa yang tertuang dalam SEMA tersebut intinya adalah norma sehingga disebut peraturan kebijakan. Suatu peraturan apakah itu berbentuk peraturan perundang-undangan ataupun peraturan kebijakan, seyogyanya mencantumkan sanksi, kalaupun tidak dibutuhkan sanksi pidana maka setidak-tidaknya memuat sanksi administratif. Sanksi ini menjadi ciri khas yang membedakan antara norma hukum dengan norma-norma lainnya. Jika norma hukum, akibatnya dapat dirasakan secara langsung oleh setiap individu baik menyangkut jiwa, harta, kedudukan dan sebagainya, maka norma-norma yang lain tidak demikian adanya. 20 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Renungan Tentang Filsafat Hukum, Rajawali, Jakarta, 1978, hal. 114-117. 21 I b i d. 23 SEMA Nomor 3 Tahun 1998 tentang Penyelesaian Perkara, sama sekali tidak mencantumkan sanksi pidana apabila pengadilan negeri maupun hakim-hakim tidak dapat menyelesaikan perkara perdata selama 6 (enam) bulan. Ini artinya, substansi SEMA tersebut merupakan norma yang berisikan “perintah-perintah” namun tidak mengatur dan tidak menjelaskan bagaimana jika perintah-perintah tersebut tidak dilaksanakan. Dalam sistem hukum, jika suatu aturan berisi norma-norma berupa “perintah” maka akan selalu ada norma berupa sanksi sebagai jaminan agar perintah tersebut dijalankan sebaik-baiknya. Oleh karena itu menjadi sangat menarik melihat substansi norma yang ada dalam SEMA Nomor 3 Tahun 1998. 6 (enam) bulan waktu yang diberikan untuk menyelesaikan perkara perdata merupakan perintah dari Mahkamah Agung sebagai institusi puncak peradilan dan perintah ini dapat dipahami karena bertujuan untuk mendapatkan sebuah proses peradilan yang cepat dan berbiaya murah bagi pencari keadilan. Perintah atau kewajiban sebagaimana tertuang dalam SEMA Nomor 3 Tahun 1998 ternyata tidak berlaku lagi jika para majelis hakim memberikan laporan penyebab terjadinya keterlambatan dalam menyelesaikan perkara. Analisis diatas memberikan suatu jawaban bahwa konsekuensi hukum bahi majelis hakim yang tidak tepat waktu dalam menyelesaikan perkara dari sisi yuridis tidak akan pernah ada. Jika ada hakim yang menyelesaikan perkara perdata melebihi 6 (enam) bulan dikarenakan sesuatu hal yang menyangkut suatu kepentingan baik pribadi ataupun golongan, maka hakim tersebut posisinya tidak melanggar SEMA Nomor 3 Tahun 1998 melainkan terkena pada peraturan perundang-undangan lainnya dan terkhususnya Peraturan Bersama Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI Nomor 02/PB/MA/IX/2012- 02/PB/P.KY/09/2012 Tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Meskipun secara yuridis tidak ada konsekuensi hukum yang dapat dijatuhkan kepada majelis hakim yang tidak dapat menyelesaikan perkara perdata tepat waktu, namun terjadi perbedaan pendapat mengenai hal ini yakni ada yang setuju dengan pendapat penulis, namun 24 ada juga yang memberikan pendapat berbeda yang menyatakan bahwa hakim dapat diberikan sanksi baik berupa tulisan atau teguran dengan dasar ketidakcakapan hakim (unprofessional conduct).22 C. Upaya-Upaya Yang Dilakukan Oleh Pengadilan Negeri Pontianak Agar Dapat Menyelesaikan Perkara Sesuai Dengan Rentang Waktu Yang Telah Ditentukan. Upaya dalam konteks ini adalah suatu tindakan yang dilakukan ketika suatu tujuan tidak dapat terlaksana secara baik sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa SEMA Nomor 3 Tahun 1998 tentang Penyelesaian Perkara yang mewajibkan atau memerintahkan bagi hakim-hakim untuk menyelesaikan perkara perdata paling lama 6 (enam) bulan di Pengadilan Negeri Pontianak tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya dengan faktor yang bervariatif. Majelis Hakim yang mengadili perkara perdata merupakan hakim-hakim yang bertanggungjawab atas jalannya persidangan sampai dengan lahirnya sebuah putusan, meskipun demikian secara administratif memberikan tanggungjawab kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk mengawasi atas laporan-laporan yang dibuat oleh majelis hakim akibat terlampauinya waktu yang telah ditentukan dalam memutus perkara perdata. Ketua Pengadilan Negeri mempunyai kewajiban atas laporan-laporan tersebut dan melaporkan kepada Ketua Pengadilan Tinggi. Oleh karena hal ini menyangkut pada jabatan bukan kepada hakim sebagai individu, maka Ketua Pengadilan Negeri tentu bertindak atas nama institusi. Menyikapi banyaknya perkara-perkara perdata yang penyelesaiannya melebihi 6 (enam) bulan, maka upaya-upaya yang telah dilakukan oleh Pengadilan Negeri Pontianak adalah : 1. Melakukan evaluasi dengan meminta laporan-laporan masing-masing kepaniteraan, dengan memberikan stressing kepada masing-masing majelis hakim 22 Hasil wawancara dengan hakim. 25 yang memeriksa dan memutus perkara tersebut agar segera mungkin untuk menyelesaikan minutir perkara tersebut serta tim untuk menyelesaikan. 2. Memberikan arahan-arahan kepada hakim agar membuat jadual sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dan mentaati jadual tersebut, agar penyelesaian perkara dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dalam SEMA. 26 PENUTUP A. Kesimpulan 1. bahwa fakto-faktor dominan yang menyebabkan penyelesaian perkara perdata di Pengadilan Negeri Pontianak banyak yang melebihi 6 (enam) bulan disebabkan adanya faktor tehnis yang menyangkut hukum acara perdata itu sendiri yakni tidak disiplinnya para Penggugat dan Tergugat dalam menepati jadual persidangan yang telah ditetapkan serta adanya limpahan perkara dari pengadilan negeri lain yang secara otomatis membutuhkan waktu. Sedangkan faktor non teknis yakni hakim tidak menyusun jadual persidangan sesuai dengan ketentuan dan kurang tegas kepada para pihak yang berperkara untuk menepati jadual persidangan serta kurang memberikan pemahaman kepada para pihak yang berpekara untuk menyiapkan segala sesuatu menyangkut proses persidangan. 2. bahwa konsekuensi hukum bagi majelis hakim yang menyelesaikan perkara perdata lebih dari 6 (enam) bulan secara yuridis tidak ada. Jika hakim berbuat sesuatu yang keliru atau melanggar aturan maka dasar untuk menghukum hakim adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur untuk hal tersebut dan lebih khusus tentu melanggar Peraturan Bersama Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI Nomor 02/PB/MA/IX/2012- 02/PB/P.KY/09/2012 Tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim bukan didasarkan pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1998. 3. upaya-upaya yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Pontianak untuk dapat menyelesaikan setiap perkara perdata tidak melebihi 6 (enam) bulan yakni Melakukan evaluasi dengan meminta laporan-laporan memberikan arahan-arahan kepada majelis masing-masing dan hakim agar dapat menyelesaikan suatu perkara sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung. 27 kepaniteraan B. Saran 1. kepada Ketua Pengadilan Negeri Pontianak untuk selalu memonitor dan mengevaluasi kinerja hakim-hakim agar dalam menyelesaikan suatu perkara perdata bersikap profesional dalam arti menyelesaikan perkara perdata tepat pada waktunya. 2. diharapkan para hakim bersikap tegas kepada para pihak yang berperkara agar disiplin dalam menghadiri jadual sidang yang telah ditetapkan serta menyiapkan segala sesuatu yang menyangkut persidangan tersebut seperti menyiapkan bukti-bukti dan saksi-saksi dan lain-lain. 28 DAFTAR PUSTAKA Buku Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2007 A. Hamid S. Attamimi, Hukum Tentang Peraturan Perundang –Undangan dan Peraturan Kebijakan, Pidato Purna Bakti, Fakultas Hukum UI, Jakarta, 1993 Andi Hamzah, Kemandirian dan Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman, Makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Denpasar 14-18 Juli 2003. Amiroeddin Syarif, Perundang-undangan; dasar, jenis dan teknik membuatnya,Bina Aksara, Jakarta 1987. Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Indonesia, YLBHI, Jakarta, 1988. Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum; Civil Law, Comon Law, dan Hukum Islam, Raja Grafindo, Jakarta, 2004. Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (suatu Kajian Filosofius dan Sosiologis), Chandera Pratama, Jakarta, 1996. Bagir Manan, Peraturan Kebijakan, Makalah, Jakarta, 1994. -------------------------,Hubungan Ketatanegaraan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dengan Komisi Yudisial (Satu Pertanyaan), IKAHI, Varia Peradilan, Tahun XXI Nomor 244, Jakarta, Maret 2006. Djokosoetono, Hukum Tata Negara, dihimpun oleh Harun Alrasid, Edisi Revisi Ind-Hill Co, Jakarta, 2001. Dardji Darmo Dihardjo dan Sidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001. Franz Magnis-Suseno, Etika Politik; Prinsip Moral Dasar Kenagaraan Modern, Jakarta; Gramedia, 1993. Henry P. Panggabean, Fungsi Mahkamah Agung dalam Praktik-praktik Sehari-hari; Upaya Penanggulangan Tunggakan Perkara dan Pemberdayaan Fungsi Pengawasan Mahkamah Agung, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2001. H.A.S. Natabaya, Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Sekjend Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2006. 29 ------------------,makalah; mengamati masalah pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia, Jakarta, September, 2006. Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I- Beberapa pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2004. I Gde Astawa dan Suprin Na,a, Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-undangan di Indonesia, Alumni, Bandung, 2008. Irawan Soejito, Teknik Membuat Undang-Undang, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993. Jimly Asshiddiqie, Tata Urut Perundang-undangan dan Problema Peraturan Daerah, Makalah Disampaikan dalam rangka Lokakarya Anggota DPRD se-Indonesia diselenggarakan di Jakarta, oleh LP3HET, Jum’at, 22 Oktober, 2000. ------------------------------,Agenda Pembangunan Hukum Nasional di Abad Globalisasi, Balai Pustaka, Jakarta, 1998. ----------------------------,Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta 2005. ----------------------------,Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2004. Lawrence M. Friedman, American Law an Introduction, Second Edition, Penerjemah Wishnu Basuki, Tata Nusa Jakarta, 1984. -----------------------------,Sistem Hukum, Perspektif Ilmu Sosial., Nusa Media, Bandung, 2009 L.A. Hart, Concept of Law. terjemahan bebas, 2003. Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid Pertama Yayasan Prapanca, Jakarta, 1959. Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES, Jakarta 2006. ---------------------------,Membangun Politik Hukum, Membangun Konstitusi, LP3ES, Jakarta 2006. Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang Undangan, Dasar Dasar dan Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 1998. Mustamin Daeng Manutu dkk, Mandat,Delegasi, Atribusi Dan Implementasinya di Indonesia, UII Press Yogyakarta, 2004. 30 Philipus M. Hadjon, “Pokok-Pokok Pikiran tentang Jenjang/Tingkatan Aturan Hukum (tertulis)- The Hierarchy of Written Rules, Surat yang ditujukan ke MPR, tanpa tahun. Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Seokanto, Renungan Tentang Filsafat Hukum, Rajawali, Jakarta, 1978. R. Abdul Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 1993. Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990. -------------------------, Metodologi Penelitian Ilmu Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, Sadjijono, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, Laksbang Presindo, Yogyakarta, 2006. Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan; Dasar, Jenis dan Teknik Membuatnya, Bina Aksara, Jakarta, 1987. -----------------------------,Ilmu Perundang-Undangan Indonesia, Mandar Maju, Bandung,1998. Sujamto, Beberapa Pengertian Di Bidang Pengawasan, Ghalia Indonesia, Jakarta, (cet.kedua) 1986. ----------------------------,Aspek-Aspek Pengawasan Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1993. Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers Jakarta, 2001. Sudikno Mertokusumo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Kerjasama antara Konsorium Ilmu Hukum Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan The Asia Foundation Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993. S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Liberty, Jogyakarta, 1997. Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Bandung Angkasa, 1986. Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1995. Victor Situmorang dan Jusuf Juhir, Aspek Hukum Pengawasan Melekat Dalam Lingkungan Aparatur Pemerintah, Rineke Cipta, Jakarta, 1998. Yesmil Anwar & Adang, Pembaharuan Hukum Pidana, Reformasi Hukum Pidana, Grasindo, Jakarta, 2006. 31 Peraturan Perundang-Undangan. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1998 Tentang Penyelesaian Perkara. 32