3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Gurami Osphronemus gouramy Lac. Ikan gurami Osphronemus gouramy Lac. merupakan ikan air tawar yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Gurami dapat tumbuh dan berkembang pada perairan tropis maupun subtropis. Di alam, gurami hidup di sungai-sungai atau rawa air tawar yang berada pada ketinggian antara 50-600 m dpl. Tidak menutup kemungkinan bahwa gurami dapat hidup di air yang sedikit asin. Namun, meskipun mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan, gurami lebih cocok hidup di perairan tawar. Suhu optimal habitat hidup gurami berkisar 24-28 0C. Kandungan oksigen terlarut di perairan minimal sebesar 3-5 ppm. Sementara itu, derajat keasaman (pH) perairannya berkisar 7-8 (Saparinto, 2008). Secara morfologi ikan gurami memiliki ciri badan pipih, bagian punggung berwarna merah sawo, dan bagian perut berwarna putih atau keperak-perakan, dan termasuk salah satu ikan teritorial. Sejak menetas sampai besar, benih gurami mempunyai nama dan sebutan yang berbeda-beda untuk setiap ukurannya. Sebutan tersebut diadopsi dari benda-benda yang setara dengan ukuran benih. Sebutan nama-nama tersebut dari ukuran paling kecil hingga besar, yaitu larva, biji oyong, gabah, kuaci, kuku, silet, korek, bungkus rokok atau bungkus kaset (Sendjaja, 2002). Ikan gurami termasuk golongan ikan Labyrinthici. Ikan ini memiliki alat pernapasan tambahan berupa selaput yang menonjol pada tepi atas lapisan insang pertama yang disebut labirin. Pada selaput ini terdapat pembuluh darah kapiler sehingga memungkinkan gurami untuk mengambil oksigen langsung dari udara. Adanya alat tersebut menyebabkan gurami dapat hidup di air tenang dan oksigen terlarut yang rendah (Keppler et al., 1989). Bentuk tubuh yang pipih dan tinggi (compress) serta bentuk sirip ekor setengah lingkaran merupakan ciri bahwa gurami merupakan penghuni air tenang, dalam, dengan dasar perairan tidak keras dan tidak berlumpur. Dasar kolam yang keras dapat merusak tubuh gurami ketika menggosok-gosokan tubuhnya, terutama jika sedang stres. Sementara itu, dasar kolam yang berlumpur mudah diaduk-aduk gurami, terutama pada waktu mencari 4 makan sehingga dapat mengganggu organ pernafasan dan penglihatannya (Saparinto, 2008). Di alam bebas, gurami mempunyai kebiasaan makan makanan yang spesifik pada stadium pertumbuhannya. Gurami stadium larva dan benih umumnya memakan jasad renik seperti fitoplankton, zooplankton, chlorella, kutu air, larva serangga, dan serangga air. Sementara itu, gurami dewasa cenderung lebih menyukai tumbuhan. Gurami dewasa biasanya memakan tumbuhan air yang lunak seperti azolla, hydrilla, kangkung air, genjer, dan apu-apu (Agromedia, 2007). Menurut Bardach et al. (1972), benih ikan gurami ukuran 3 cm memakan Azolla pinata sebagai makanan primer. Daun yang bisa menjadi makanan gurami dewasa adalah daun sente (Alocasia macrorrhiza). Di kolam budidaya, gurami dewasa juga menyukai daun singkong, daun pepaya, dan daun talas atau sente yang diberikan oleh petani. Namun dalam budidaya intensif pemberian pakan alami ini belum cukup. Petani biasanya juga memberikan pelet atau pakan buatan pabrik agar pertumbuhannya optimal. Usaha budidaya gurami terdiri dari pembenihan, pendederan dan pembesaran. Usaha pembenihan meliputi kegiatan pemeliharaan induk, pemijahan, penetasan telur, dan perawatan larva hingga ukuran 0,5-1 cm. Kegiatan pendederan meliputi pemeliharaan benih 0,5-1 cm hingga ukuran 15 cm, sedangkan kegiatan pembesaran merupakan lanjutan dari pendederan. Benih dari pendederan akan dibesarkan hingga mencapai ukuran konsumsi dengan bobot rata-rata 500 gram/ekor (Agromedia, 2007). Penyakit yang sering menyerang benih ikan gurami biasanya berupa serangan jamur yang disebabkan oleh Saprolegnia dan penyakit bakterial. Menurut Taufik et al. (1993), penyakit bakterial dapat menyebabkan kematian 3080% dengan gejala klinis berupa luka infeksi di bagian tubuh, sirip, dan kadangkadang mata menonjol. Penyebab penyakit bakterial ini antara lain Aeromonas hydrophila, Pseudomonas spp, dan Enterobacter. 5 2.2 Padat Penebaran Padat penebaran ikan merupakan jumlah ikan yang ditebar dalam wadah budidaya per satuan luas atau volume (Hepher dan Pruginin, 1981). Menurut Allen (1974), peningkatan kepadatan ikan akan menyebabkan menurunnya bobot rata-rata, efisiensi pakan serta kelangsungan hidup ikan. Padat penebaran erat sekali hubungannya dengan produksi dan pertumbuhan ikan (Hickling, 1971). Vaas van Oven (1957) dalam Hatimah (1992) mengatakan bahwa padat penebaran yang tinggi akan menghasilkan produksi yang tinggi namun berat individunya kecil. Sebaliknya dengan padat penebaran rendah akan menghasilkan produksi yang rendah tetapi berat individu ikan relatif besar. Menurut Hepher dan Pruginin (1981), peningkatan kepadatan ikan tanpa disertai dengan peningkatan jumlah pakan yang diberikan dan kualitas air yang terkontrol akan menyebabkan penurunan laju pertumbuhan ikan (critical standing crop) dan jika telah sampai pada batas tertentu (carrying capacity) maka pertumbuhannya akan terhenti sama sekali. Padat penebaran ikan yang lebih tinggi dapat meningkatkan biomassa ikan sebagai total hasil produksi tetapi belum tentu dapat mempertahankan bobot ratarata ikan. Hal ini dimungkinkan karena padat penebaran yang lebih tinggi, tingkat persaingan ikan untuk mendapatkan pakan juga meningkat, sedangkan pemanfaatan pakan oleh ikan untuk pertumbuhannya akan menurun (Suresh dan Lin, 1992). Menurut Bardach et al. (1972), tingkat padat penebaran akan mempengaruhi keagresifan ikan. Ikan yang dipelihara dalam kepadatan yang rendah akan lebih agresif, sedangkan ikan yang dipelihara dalam kepadatan yang tinggi akan lambat pertumbuhannya karena tingginya tingkat kompetisi dan banyaknya sisa-sisa metabolisme yang terakumulasi dalam media air. Jika dalam suatu perairan budidaya populasi terlalu padat dapat menyebabkan berkurangnya oksigen terlarut (DO) dan akan mempengaruhi nafsu makan ikan. Menurut Boyd (1990), tingkat DO yang rendah dalam kolam diikuti dengan nitrit yang tinggi dapat merangsang pembentukan methemoglobine, sehingga mengakibatkan menurunnya transportasi oksigen dalam darah yang dapat mengakibatkan stres dan kematian pada ikan. 6 2.3 Pertumbuhan Pertumbuhan merupakan perubahan ukuran baik bobot maupun panjang dalam suatu periode waktu tertentu (Effendie, 1997). Rounsefell dan Everhart (1962) menyatakan bahwa pertumbuhan ikan sangat dipengaruhi oleh umur, jenis makanan, jumlah makanan, kualitas pakan, dan padat penebaran. Menurut Hepher dan Pruginin (1981), pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal yang meliputi sifat genetik (keturunan) dan kondisi fisiologis ikan serta faktor eksternal yang berhubungan dengan pakan dan lingkungan. Faktor-faktor eksternal tersebut diantaranya adalah komposisi kimia air dan tanah dasar, suhu air, bahan buangan metabolit (produksi ekskresi), ketersediaan oksigen dan ketersediaan pakan. Di daerah tropis, pakan menjadi faktor penentu keberhasilan budidaya dibandingkan dengan pengaruh suhu perairan. Namun, dalam keadaan ekstrim, faktor kimia perairan juga bisa menjadi penentu keberhasilan budidaya. Senyawa kimia dalam peraian yang sering berpengaruh yaitu oksigen (O2), karbon dioksida (CO2), hidrogen sulfida (H2S) dan keasaman. Pertumbuhan gurami akan mengalami perlambatan ketika mulai matang kelamin. Hal tersebut disebabkan gurami sedikit makan atau jarang makan karena membuat sarang dan menjaga anaknya. Pertumbuhan gurami jantan lebih lambat dibanding gurami betina. Namun, pada pertumbuhan selanjutnya gurami jantan akan lebih memanjang dan melebar sehingga bentuk tubuhnya terlihat pipih. Sementara gurami betina akan tumbuh menebal sehingga terlihat lebih gemuk (Saparinto, 2008). Hepher dan Pruginin (1981) menyatakan bahwa pertumbuhan biomassa (yield) merupakan fungsi dari laju pertumbuhan ikan dan tingkat padat penebaran ikan. Peningkatan padat tebar dapat mengakibatkan penurunan pertumbuhan ikan, tetapi selama penurunannya tidak terlalu besar dibandingkan peningkatan padat tebar maka yield akan tetap meningkat. Ketika penurunan pertumbuhan yang terjadi semakin besar maka penurunan yield akan terjadi hingga mencapai tingkat pertumbuhan nol. Ini berarti bahwa hasil ikan yang ditebar telah mencapai nilai carrying capacity atau daya dukung maksimum wadah budidaya. 7 2.4 Kelangsungan Hidup Derajat kelangsungan hidup suatu populasi ikan merupakan hasil persentase jumlah ikan yang hidup selama pemeliharaan tertentu. Derajat kelangsungan hidup atau survival rate (SR) akan sangat menentukan produksi yang akan diperoleh dan erat kaitannya dengan ukuran ikan yang dipelihara. Ikanikan yang masih berukuran kecil (benih) akan lebih rentan terhadap parasit, penyakit dan penanganan yang kurang hati-hati (Hepher dan Pruginin, 1981). Pengaruh padat penebaran terhadap derajat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan bobot harian dan efisiensi pakan benih ikan gurami yang dipelihara pada padat penebaran dan ukuran ikan yang berbeda disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Derajat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan bobot harian dan efisiensi pakan benih ikan gurami Osphronemus gouramy Lac. pada berbagai ukuran yang dipelihara dengan padat penebaran. Padat Tebar Ukuran Bobot SR Pertumbuhan Efisiensi Pakan (%) (ekor/l) (cm) (gram) (%) (g/hari) 2,5 0,5 0,013 93,50 0,0081 12,51 5 0,5 0,013 95,50 0,0075 10,59 7,5 0,5 0,013 94,30 0,0049 8,76 10 0,5 0,013 94,40 0,0038 9,77 6 1,8 0,1 99,52 0,0790 27,03 8 1,8 0,1 99,29 0,0680 27,49 10 1,8 0,1 90,14 0,0650 26,52 10 2 0,23 96,10 0,0570 59,13 15 20 2 2 0,23 0,23 89,14 84,10 0,0380 0,0280 39,10 22,18 Sumber Sarah (2002) Bugri (2006) Darmawangsa (2008) Dari Tabel 1 dapat dilihat, bahwa semakin meningkatnya padat penebaran menyebabkan laju pertumbuhan bobot harian dan derajat kelangsungan hidup mengalami penurunan. Penurunan tersebut diduga karena padat tebar yang tinggi dapat menggangu proses fisiologi dan tingkah laku ikan terhadap ruang gerak yang pada akhirnya dapat menurunkan kondisi kesehatan dan fisiologis ikan. Hal ini sesuai dengan Wedemeyer (1996) yang menyatakan bahwa peningkatan padat penebaran akan mengganggu proses fisiologi dan tingkah laku ikan terhadap ruang gerak yang pada akhirnya dapat menurunkan kondisi kesehatan dan fisiologis ikan sehingga pemanfaatan pakan, pertumbuhan dan kelangsungan hidup menurun. 8 Wedemeyer (1996) menyatakan bahwa respon stres terjadi dalam tiga tahap yaitu tanda adanya stres, bertahan, dan kelelahan. Ketika ada stres dari luar, ikan mulai mengeluarkan energinya untuk bertahan dari stres. Selama proses bertahan ini pertumbuhan menurun. Stres meningkat cepat ketika batas daya tahan ikan telah tercapai atau terlewati. Dampak stres ini mengakibatkan daya tahan tubuh ikan menurun dan selanjutnya terjadi kematian. Gejala ikan sebelum mati yaitu warna tubuh menghitam, gerakan tidak berorientasi, dan mengeluarkan lendir pada permukaan kulitnya. Faktor lain yang mempengaruhi stres adalah kondisi kualitas air, khususnya oksigen dan amonia. Kandungan oksigen yang rendah dapat menurunkan tingkat konsumsi pakan ikan (nafsu makan), karena oksigen sangat dibutuhkan untuk respirasi, proses metabolisme di dalam tubuh, aktivitas pergerakan dan aktivitas pengelolaan makanan. Menurunnya nafsu makan ikan dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan. Selain itu, konsentrasi amonia sebagai hasil metabolisme yang meningkat pada media pemeliharaan juga dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan karena menurunkan konsumsi oksigen akibat kerusakan pada insang, penggunaan energi yang lebih akibat stres yang ditimbulkan, dan mengganggu proses pengikatan oksigen dalam darah yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian (Boyd, 1990). 2.5 Kualitas Air Kualitas air dapat mempengaruhi produksi budidaya. Beberapa variabel kunci dalam kualitas air diantaranya adalah suhu, oksigen terlarut, pH, amonia dan alkalinitas. Suhu merupakan faktor yang mempengaruhi laju metabolisme dan kelarutan gas dalam air (Zonneveld et al., 1991). Menurut Piper et al. (1982), suhu yang semakin tinggi meningkatkan laju metabolisme ikan, respirasi yang terjadi semakin cepat mengurangi konsentrasi oksigen di air, yang dapat menyebabkan stres bahkan kematian pada ikan. Benih ikan gurami yang dipelihara di akuarium dapat tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 28-300C (Darmawangsa, 2008). Pengaruh padat penebaran terhadap kualitas air benih ikan gurami yang dipelihara pada padat penebaran dan ukuran ikan yang berbeda disajikan pada Tabel 2. 9 Tabel 2. Kualitas air media pemeliharaan benih ikan gurami Osphronemus gouramy Lac. pada berbagai ukuran yang dipelihara dengan padat penebaran. Padat Tebar Ukuran Bobot DO (ekor/l) (cm) (gram) (mg/l) 2,5 0,5 0,013 3,14-7,78 5 0,5 0,013 7,5 0,5 10 Suhu NH3 (°C) (mg/l) 6,52-7,08 30-34,3 TD-0,005 2,19-6,73 6,61-6,93 30,2-33,2 TD-0,005 0,013 2,10-6,60 6,53-6,94 30-33 TD-0,005 0,5 0,013 1,52-6,51 6,21-6,90 30-33,6 TD-0,005 6 1,8 0,1 3,02-5,04 7,22-7,60 28-29 0,01-0,16 8 1,8 0,1 2,15-4,67 7,19-7,57 28-29 0,02-0,19 10 1,8 0,1 1,21-5,19 7,12-7,51 28-29 0,01-0,17 10 2 0,23 3,06-7,73 7,01-7,73 28-29 0,001-0,075 15 2 0,23 3,68-7,17 6,59-7,77 28-29 0,001-0,095 20 2 0,23 2,17-6,69 7,10-7,77 28-29 0,002-0,094 pH Sumber Sarah (2002) Bugri (2006) Darmawangsa (2008) Dari Tabel 2 dapat dilihat, bahwa peningkatan padat penebaran mempengaruhi kualitas air media pemeliharaan benih ikan gurami Osphronemus gouramy Lac., seperti jumlah kelarutan oksigen dalam media pemeliharaan semakin berkurang karena oksigen dimanfaatkan ikan untuk respirasi dan juga untuk metabolisme sehingga terjadi penurunan konsentrasi oksigen terlarut akibat dari peningkatan padat penebaran. Menurut Stickney (1979), suplai oksigen di wadah produksi akuakultur sebaiknya berbanding lurus dengan padat penebaran ikan dan jumlah pakan yang dikonsumsi oleh ikan. Oksigen yang semakin berkurang dapat ditingkatkan dengan pergantian air dan aerasi (Goddard, 1996). Berkurangnya kandungan oksigen di air dapat menurunkan tingkat konsumsi pakan ikan, karena oksigen sangat dibutuhkan untuk proses metabolisme di dalam tubuh, aktivitas pergerakan dan aktivitas pengolahan makanan (Zonneveld et al., 1991). Menurut Wedemeyer (1996), perairan yang baik untuk budidaya adalah yang mengandung DO minimal 7 mg/l. Namun menurut Piper et al. (1982), ikan masih dapat bertahan pada kadar DO 1-5 mg/l dan sebagai akibatnya pertumbuhan ikan menjadi lambat. 10 Menurut Anonimous (1995), pH yang baik untuk pertumbuhan gurami adalah 6,2-7,8. Sembilan puluh persen perairan alami memiliki kisaran pH sebesar 6,7-8,2 dan sebaiknya ikan tidak dipelihara pada perairan dengan pH di luar kisaran 6,5-9,0 (Schmittou dan Emeritus, 1993). Kandungan amonia hasil metabolisme yang meningkat cenderung menyebabkan gangguan yang bersifat fisiologis dan pemicu stres pada ikan (Boyd, 1990). Colt dan Armstrong (1979) dalam Boyd (1990), menambahkan bahwa meningkatnya kandungan amonia di air akan memungkinkan ikan lebih mudah terserang penyakit dan pertumbuhannya menurun. Menurut Tiews, 1981 dalam Pillay, 1993, toleransi maksimum konsentrasi amonia adalah 0,1 mg/l. Alkalinitas adalah gambaran kapasitas air untuk menetralkan asam atau biasa juga diartikan sebagai kapasitas penyangga (buffer capacity) terhadap perubahan pH. Perairan mengandung alkalinitas lebih dari 20 ppm menunjukkan bahwa perairan tersebut relatif stabil terhadap perubahan asam dan basa sehingga kapasitas buffer atau basa lebih stabil. Satuan alkalinitas dinyatakan dengan mg/liter kalsium karbonat (CaCO3) atau mili-ekuivalen/liter (Effendi, 2003). Menurut Anonimous (1995), benih ikan gurami dapat hidup dengan baik pada perairan yang beralkalinitas 14-100 mg/l. Piper et al. (1982), mengatakan agar ikan tetap bertahan hidup dan tumbuh, amonia dan produk metabolisme lainnya harus diminimalkan dan dikeluarkan dengan cara mengalirkan sejumlah air atau pergantian air. Karena produk metabolisme meningkat dengan meningkatnya pertumbuhan ikan dan kepadatan, maka pergantian air harus ditingkatkan. Oleh karena itu, padat tebar dan pergantian air sangat mempengaruhi pertumbuhan, kelangsungan hidup dan efisiensi pakan. 2.6 Efisiensi Ekonomi dan Produksi Efisiensi ekonomi menentukan sejauh mana usaha yang dilakukan menguntungkan atau tidak serta mengukur keberlanjutan usaha tersebut. Analisis usaha dalam bidang perikanan merupakan pemeriksaan keuangan untuk mengetahui keberhasilan usaha yang telah dicapai selama usaha perikanan itu berlangsung (Rahardi, 1998). 11 Beberapa parameter yang digunakan dalam analisis usaha adalah keuntungan, Revenue-Cost ratio (R/C), Payback Periode (PP) dan biaya produksi per ekor. Keuntungan adalah selisih dari pendapatan dan biaya total yang dikeluarkan. Analisis R/C bertujuan untuk melihat seberapa jauh setiap nilai rupiah biaya yang digunakan dalam kegiatan usaha dapat memberikan sejumlah nilai penerimaan. Kegiatan usaha yang menguntungkan memiliki nilai R/C yang besar. Menurut Lukito (2008), analisis Payback Periode (PP) digunakan untuk mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan untuk menutup biaya investasi. Memproduksi ikan berarti mempertahankan ikan agar tetap hidup, tumbuh dan berkembang biak dalam waktu sesingkat mungkin hingga mencapai ukuran pasar dan bisa dijual (Effendi, 2004). Produksi akan mencapai nilai maksimal bilamana ikan dapat dipelihara dalam padat penebaran tinggi yang diikuti dengan pertumbuhan yang tinggi. Padat penebaran erat sekali hubungannya dengan produksi dan pertumbuhan ikan (Hickling, 1971). Hepher dan Pruginin (1981) menyatakan bahwa pertumbuhan biomassa (yield) merupakan fungsi dari laju pertumbuhan ikan dan tingkat padat penebaran ikan. Peningkatan padat tebar dapat mengakibatkan penurunan pertumbuhan ikan, tetapi selama penurunannya tidak terlalu besar dibandingkan peningkatan padat tebar maka yield akan tetap meningkat. Ketika penurunan pertumbuhan yang terjadi semakin besar maka penurunan yield akan terjadi hingga mencapai tingkat pertumbuhan nol. Ini berarti bahwa hasil ikan yang ditebar telah mencapai nilai carrying capacity atau daya dukung maksimum wadah budidaya.