Modul Metode Penelitian Kualitatif [TM2].

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
Metode Penelitian
Kualitatif
PARADIGMA PENELITIAN
Fakultas
Program Studi
Ilmu Komunikasi
Btoadcasting
Tatap Muka
02
Kode MK
Disusun Oleh
85022
Afdal Makkuraga Putra, M.Si
Abstract
Kompetensi
Pada bab ini akan mempelajari
paradigm yang berkembang dalam
ilmu komunikasi. Paradigma itu
adalah Positivist, Post Positivist,
Konstruktivis dan Kritis
Setelah mengikuti mata kuliah ini
mahasiwa diharapkan dapat
menjelaskan kembali pengertian
paradigma dan mengaplikasikannya
pada dalam penelitian mahasiswa
kelak
PARADIGMA PENELITIAN
MODUL 2
PARADIGMA PENELITIAN
Paradigma adalah sudut pandang dan cara pandang kita terhadap sesuatu.
Cara kita memandang atau pendekatan yang kita gunakan dalam mengamati
kenyataan akan menentukan pengetahuan yang kita peroleh. Misalnya, pengetahuan
kita tentang rumah dari perspektif ekonomi berbeda dari perspektif artistik, sosial dan
sebagainya. Walaupun demikian, suatu perspektif (cara pandang) tidak berlaku secara
semena-mena. Rumah adalah rumah, tidak mungkin atas nama perspektif ia dianggap
sebagai jeruk. Jadi, paradigm pada satu sisi menyerap benda itu sekaligus makna dari
pengetahuan tentang benda itu dalam kerangka epistemologis.
Paradigma yang kita gunakan dalam menghampiri suatu peristiwa komunikasi
akan menghasilkan perbedaan yang besar dalam jawaban dan makna yang kita
deduksi. Paradigma selalu mendahului observasi kita. Kita bisa saja mengamati suatu
peristiwa dengan pikiran yang terbuka dan netral, namun begitu kita harus
mengobservasi suatu hal, kita akan melakukannya dengan cara tertentu.
Pada gambar ilusi optis, dalam sekali lihat kita menemukan gambar seorang
gadis dari belakang, dengan rahangnya yang putih, bulu matanya yang lentik, serta topi
jambul bulu burung yang anggun. Namun bila kita mengamatinya dengan cara
seksama, dan mencoba mengambil titik pijak dari titik tertentu (pada gambar itu dari apa
yang kita anggap sebagai leher jenjang dengan kalung hitam melingkar “aneh”) segera
kita akan menemukan kenyataan lain, gambar itu bukan gambar seorang gadis
melainka seorang nenek yang cukup menyeramkan.
Paradigma adalah cara memandang atau cara kita menentukan sudut pandang
ketika mengamati sesuatu. Seluruh perspektif pada modul ini, memberikan sejenis
skema atau petunjuk mengenai sudut pandang mana yang akan kita gunakan untuk
meneliti kebenaran peristiwa komunikasi.
Nilai paradigma kita tidak terletak dalam nilai kebenarannya atau seberapa baik
ia mencerminkan realitas yang ada. Semua perspektif yang dapat diperoleh adalah
benar dan mencerminkan realitas yang ada. Semua perspektif yang dapat diperoleh
adalah benar dan mencerminkan realitas, walaupun setiap paradigma pada tahap
tertentu kurang lengkap serta didistorsi. Jadi yang menjadi inti adalah upaya mencari
‘13
2
Metode Penelitian Kualitatif
Afdal Makkuraga Putra, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
paradigma yang dapat memberikan kepada kita konseptualisasi realitas yang paling
bermanfaat bagi pencapaian tujuan kita.
Berikut ini adalah pengertian paradigm menurut para ahli

Patton (1990): A paradigm is a world view, a general perspective, a way of
breaking down the complexity of the real world. (paradigma adalah suatu
pandangan dunia, perspektif umum, cara kita menerjemahkan kompleksitas
dunia nyata)

Guba dan Denzin (2001) Paradigm is an interpretative framework, which is
guided by "a set of beliefs and feelings about the world and how it should be
understood and studied." (Paradigma adalah kerangka interpretatif, yang
dipandu oleh "seperangkat keyakinan dan perasaan tentang dunia dan
bagaimana ia harus dipahami dan dipelajari.")

Menurut kamus Webster mendefenisiskan paradigm sebagai “paradigm as "an
example or pattern: small, self-contained, simplified examples that we use to
illustrate procedures, processes, and theoretical points." (contoh atau pola:
kecil, mandiri, contoh sederhana yang kita gunakan untuk menggambarkan
prosedur, proses, dan titik teoritis)

Thomas Khun (1962) mendefinisikan paradigm sebagai as the underlying
assumptions
and
intellectual
structure
upon
which
research
and
development in a field of inquiry is based (sebagai dasar asumsi dan struktur
intelektual di mana penelitian dan pengembangan di bidang penyelidikan
didasarkan)

Salim (2006) paradigma dapat diartikan sebagai seperangkat kepercayaan atau
keyakinan dasar yang menuntun sesorang dalam bertindak atau keyakinan
dasar yang menuntun sesorang dalam bertindak dalam kehidupan seharihari.
‘13
3
Metode Penelitian Kualitatif
Afdal Makkuraga Putra, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id

Menurut Ihalauw (1985) paradigma menggariskan apa yang seharusnya
dipelajari, pernyataan apa yang seharusnya dikemukakan, dan kaidah apa
yang seharusnya diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh.
Berdasarkan pendapat di atas maka paradigma pada dasarnya adalah pandangan
dunia, kerangka seluruh keyakinan, nilai-nilai dan metode di mana penelitian
berlangsung. Ini adalah cara pandangan di mana peneliti bekerja.
Menurut Guba terdapat empat paradigma besar dalam ilmu-ilmu sosial, yakni positivist,
post-positivist, constructivism, dan criticism.
1. Positivisme merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal muncul
dalam dunia ilmu pengetahuan. Keyakinan dasar aliran ini berakar dari paham
ontologi realisme yang menyatakan bahwa realitas ada (exist) dalam kenyataan
yang berjalan sesuai dengan hukum alam (natural laws). Upaya penelitian, dalam
hal ini adalah untuk mengungkapkan kebenaran realitas yang ada, dan bagaimana
realitas tersebut senyatanya berjalan. Positivisme muncul pada abad ke-19 dimotori
oleh sosiolog Auguste Comte, dengan buah karyanya yang terdiri dari enam jilid
dengan judul The Course of Positive Philosophy (1830-1842).
Menurut Emile Durkheim dalam Muslih,
objek studi sosiologi adalah fakta sosial
(social-fact): Fakta sosial yang dimaksud meliputi: bahasa, sistem hukum, sistem
politik, pendidikan, dan lain-lain. Sekalipun fakta sosial berasal dari luar kesadaran
individu, tetapi dalam penelitian positivisme, informasi kebenaran itu ditanyakan oleh
penelitian kepada individu yang dijadikan responden penelitian. Untuk mencapai
kebenaran ini, maka seorang pencari kebenaran (penelitian) harus menanyakan
langsung kepada objek yang diteliti, dan objek dapat memberikan jawaban langsung
kepada
penelitian
yang
bersangkutan.
Hubungan
epistemologi
ini,
harus
menempatkan si peneliti di belakang layar untuk mengobservasi hakekat realitas
apa adanya untuk menjaga objektifitas temuan. Karena itu secara metodologis,
seorang penelitian menggunakan metodologi eksperimen-empirik untuk menjamin
agar temuan yang diperoleh betul-betul objektif dalam menggambarkan keadaan
yang sebenarnya. Mereka mencari ketepatan yang tinggi, pengukuran yang akurat
dan penelitian objektif, juga mereka menguji hipotesis dengan jalan melakukan
analisis terhadap bilangan-bilangan yang berasal dari pengukuran.
‘13
4
Metode Penelitian Kualitatif
Afdal Makkuraga Putra, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Di bawah naungan payung positivisme, ditetapkan bahwa objek ilmu pengetahuan
maupun pernyataan-pernyataan ilmu pengetahuan (Scientific Proporsition) haruslah
memenuhi syarat-syarat (Kerlinger, 1973) sebagai berikut: dapat di/ter-amati
(observable), dapat di/ter-ulang (repeatable), dapat di/ter-ukur (measurable), dapat
di/ter-uji (testable), dan dapat di/ter-ramalkan (predictable). (Muhammad Muslih,
Filsafat Ilmu , Yogyakarta: Belukar ), h. 30-32)
Paradigma
positivisme
telah
menjadi
pegangan
para
ilmuwan
untuk
mengungkapkan kebenaran realitas. Kebenaran yang dianut positivisme dalam
mencari kebenaran adalah teori korespondensi. Teori korespondensi menyebutkan
bahwa suatu pernyataan adalah benar jika terdapat fakta-fakta empiris yang
mendukung pernyataan tersebut. Atau dengan kata lain, suatu pernyataan dianggap
benar apabila materi yang terkandung dalam pernyataan tersebut bersesuaian
(korespodensi) dengan obyek faktual yang ditunjuk oleh pernyataan tersebut.
Setelah positivisme ini berjasa dalam waktu yang cukup lama (± 400 tahun),
kemudian berkembang sejumlah ‘aliran’ paradigma baru yang menjadi landasan
pengembangan ilmu dalam berbagai bidang kehidupan.
Berdasarkan uraian di atas, maka menurut Comte dalam F. Hardiman (2005: hal 54)
norma-norma metodologis positivism dicirikan sebagai berikut.
a. Semua pengetahuan harus terbukti lewat rasa kepastian dimana pengamatan
sistematis yang terjamin secara intersubjektif
b. Kepastian metodis sama pentingnya dengan rasa kepastian. Kesahihan
pengetahuan ilmiah dijamin oleh kesatuan metode (la certitude)
c. Ketetapatan pengetahuan kita dijamin hanya bangunan teori-teori yang secara
formal kokoh yang mengikuti deduksi hipotesis-hipotesis yang menyerupai
hukum
d. Pengetahuan ilmiah harus digunakan secara teknis, harus memungkinkan
kontrol teknis atas proses-proses alam maupun sosial, kekuatan control atas
alam dan masyarakat dapat dilipat gandakan hanya dengan mengakui asasasas rasionalis, bukan melalui perluasan buta dari riset empiris, melainkan
melalui perkembangan dan penyatuan teori-teori
‘13
5
Metode Penelitian Kualitatif
Afdal Makkuraga Putra, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
e. Pengetahuan kita pada prinsipnya tak pernah selesai dan relative, sesuai
dengan sifat relative dan semangat posistif.
2.
Post-positivisme, paradigma ini merupakan aliran yang ingin memperbaiki
kelemahan-kelemahan
positivisme,
yang
hanya
mengandalkan
kemampuan
pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti.
Menurut Lincoln dan Guba secara ontologis aliran ini bersifat critical realism yang
memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan sesuai dengan hukum
alam, tetapi satu hal yang mustahil bila suatu realitas dapat dilihat secara benar oleh
manusia (peneliti). Oleh karena itu, secara metodologis pendekatan eksperimental
melalui observasi tidaklah cukup, tetapi harus menggunakan metode triangulation
yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, peneliti dan teori.
Secara epistemologis, hubungan antara pengamat atau peneliti dengan objek atau
realitas yang diteliti tidaklah bisa dipisahkan, seperti yang diusulkan oleh aliran
positivisme. Aliran ini menyatakan suatu hal yang tidak mungkin mencapai atau
melihat kebenaran apabila pengamat berdiri di belakang layar tanpa ikut terlibat
dengan objek secara langsung.
3. Paradigma konstruktivis
merupakan antitesa dari paradima klasik (positivist).
Paradigma ini berciri ideasli dalam arti sesuatu yang riil sesunguhnya merupakan
sebuah konstruksi dalam pikiran para individu.
Kaum
konstruktivis
beranggapan
bahwa
apa
yang
kita
pahami
sebagai
pengetahuan dan kebenaran objektif merupakan hasil perspektif. Pengetahuan dan
kebenaran dicipakan , tidak ditemukan oleh pikiran. Merekan menekankan karakter
realitas yang jamak dan lentur. Jakamk dalam pengertian bahwa realitas bisa
diungkapkan dalam beragam system symbol dan bahasa, lentur dalam pengertian
bahwa realitas bisa direntangkan dan dibentuk sesuai dengan tindakan-tindakan
bertujuan dari para pelaku social (Manusia yang memiliki tujuan)
Kaum konstruktivis adalah antiesensialis dalam arti bahwa mereka menyatakan
bahwa apa yang kita anggap sebagai jenis-jenis yang self efident, benar dengan
sendirinya sesuangguhnya adalah hasil praktik-praktik diskursif yang rumit.
‘13
6
Metode Penelitian Kualitatif
Afdal Makkuraga Putra, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Sifat-fat konstruksi dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Konstruksi adalah upaya untuk menjelaskan atau menafsirkan pengalaman, dan
kebanyakan bersifat bias mempertahankan dan memperbaharui diri
b. Sifat atau kualitas konstruksi yang dihasilkan tergantung pada rangkaian
informasi yang tersedia bagi si konstruktor, dan kecanggihan konstruktor dalam
mengolah informasi tersebut
c. Konstruksi di kenal secara luas, dan sebagimnya merupakan “konstruksi yang
dupayakan”, dalam arti , upaya-upaya kolektif dan sistematis demi sebuah
kesepakata umum tentang sesuatu.
d. Meskipun semua konstruksi harus dianggap bermakna, sebagaimana bisa saja
dianggap sebagai “malkonstruksi” karena “tidak lengkap”, simplistic, tidak
menjelaskan, secara internal inkosisten, atau diperoleh melalui sebuah
metodologi yang tidak memadai
e. Penilaian bahwa sebuah konstruksi tidak sempurna bisa diputuskan hanya
dengan mengacu pada “paradigm yang digunakan oleh konstruktor, dengan
kata lain, kriteria atau standar harus spesifik, oleh karenanya sebuah konstruksi
kegamaan hanya dapat dinilai layak atau tidak melalui paradigm keagamaan
tertentu yang menjadi sumber dihasilkannya konstruksi keagamaan tersebut
f.
Konstruksi seseorang gugur atau harus direvisi ketika orang tersebut
mengetahui bahwa informasi/data baru bertentangan dengan konstruksinya atau
ketika ia menyadari kurang kecanggihan intelektual dirinya yang diperlukan
untuk menjelaskan informasi/data baru tersebut.
4. Paradigma Kritis adalah anak kandung aliran besar filsafat berinspirasi pemikiranpemikiran Marx namun jauh meninggalkan Marx. Mereka disebut sebagai aliran
Frankfurt atau Mazhab Frankfurt karena para pencetus ide-ide kritis pada awalnya
bekerja di Institut fur Sozialforschung di Franfurt, Main Jerman. Gaya pemikiran
pemikiran aliran Frankfurt mereka sebut sendiri teori kritik masyarakat. Maksud teori
itu ialah membebasakan manusia dari pemanipulasian para teknokrat modern. Teori
itu terilhami oleh ide-ide Marx, namun sekaligus melampaui dan meninggalkan Marx
serta menghadapai masalah-masalah masyarakat industri maju secara baru dan
kreatif (Suseno, 1992: hal 160)
Ciri khas teori kritis yakni bersifat emansipatoris. Teori ini hendak menjelaskan,
mempertimbangkan,
‘13
7
merefleksikan,
Metode Penelitian Kualitatif
Afdal Makkuraga Putra, M.Si
mengkategorikan,
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
menata
dan
bahkan
mengubah. Yang hendak diubah adalah bukan filsafat melainkan pemberangusan
manusia oleh hasil pekerjaannya sendiri. Teori kritis bertujuan menjadi praksis (Ibid,
hal 162)
Menurut Littlejohn (2009: 68-69) tradisi kritik memiliki tiga keistimewaan pokok:
pertama, tradisi kritik mencoba memahami sistem yang sudah dianggap benar,
struktur kekuatan dan keyakinan-- atau ide idiologi – yang mendominasi masyarakat
dengan pandangan tertentu di mana minat-minat disajikan oleh struktur-struktur
kekuatan tersebut. Kedua, para ahli teori kritis pada umummnya tertarik dengan
membuka kondisi-kondisi sosial yang menindas dan rangkaian kekuatan untuk
mempromosikan emansipasi atau masyarakat yang lebih bebas dan lebih
berkecukupan. Ketiga, teori kritis menciptakan kesadaran untuk menggabungkan
teori dan tindakan. Teori-teori tersebut bersifat normatif dan bertindak untuk
mendapatkan atau mencapai perubahan dalam kondisi-kondisi yang mempengaruhi
masyarakat.
Apa sebenarnya yang dikritik pemikir aliran Frankfurt? (Ritzer 2003: hal 177-178)
merangkumnya ke dalam lima hal: Pertama, kritik terhadap teori Marxian. Teoritisi
aliran Frankfurt sangat terganggu oleh pemikiran Marxian yang mengagungkan
determinisme ekonomi yang mekanistis. Determinisme ekonomi telah keliru ketika
fokus perhatiannya pada bidang ekonomi saja. Mereka harusnya juga memusatkan
perhatiannya pada aspek kehidupan sosial yang lain. Kedua, kritik terhadap
positivisme. Kritik terhadap positivisme sebenarnya bagian dari kritik terhdap
determinisme ekonomi yang menerima sebagaian atau seluruhnya teori positivisme
tentang pengetahuan. Positivisme menerima bahwa ilmu pengetahuan bersifat
bebas nilai dan gagasan bahwa metode ilmiah tunggal dapat diterapkan pada
seluruh bidang studi. Teori kritis sendiri menolak gagasan bahwa ilmu pengetahuan
bersifat bebas nilai. Sebaliknya teori kritis melihat ilmu pengatahuan harus bersifat
praksis dan emansipatif (Suseno 2005: hal 154). Ketiga, kritik terhadap soisologi.
Sosiologi dikritik karena menjadikan metode ilmiah sebagai tujuan di dalam dirinya
sendiri dan menerima status quo. Aliran kritis menilai bahwa sosilogi tak berupaya
merombak struktur sosial masa kini dan telah melepaskan kewajibannya untuk
membantu rakyat yang ditindas oleh masyarakat masa kini. Keempat,
kritik
terhadap masyarakat modern. Dalam masyarakat modern penindasan dihasilkan
‘13
8
Metode Penelitian Kualitatif
Afdal Makkuraga Putra, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
oleh rasionalitas yang menggantikan eksploitasi ekonomi sosial dominan. Menurut
pemikir aliran kritis, rasionalitas formal tak mencerminkan perhatian mengenai cara
palimg efektif untuk mencapai tujuan tertentu. Inilah yang dipandang sebagai cara
berfikir teknokratis, di mana tujuannya adalah untuk membantu kekuatan yang
mendominasi, bukan untuk memerdekakan individu yang didominasi. Kelima¸ kritik
terhadap kultur. Para pemikir aliran kritis melontarkan kritik yang tajam terhadap apa
yang mereka sebagai industri budaya (cultural industry). Industri budaya tak lain
adalah struktur yang dirasionalkan dan dibirokratiskan yang mengendalikan kultur
modern. Industri budaya menghasilkan apa yang secara konvesional disebut
sebagai budaya massa (pop culture). Budaya massa didefinisikan sebagai budaya
yang diatur, tak spontan, dimaterialkan dan palsu bukan sesuatu yang nyata.
Keempat paradigma di atas oleh Dedy N Hidayat (2005) disederhanakan menjadi tiga
paradigma yakni Klasik, Konstruktivis dan Kritis. Hidayat menggabungkan positivist dan
post-positivist menjadi padigma klasik.
Perbedaan masing-masing paradigma dapat
dilihat pada tabel berikut
Tabel 1
TIGA PERSPEKTIF/PARADIGMA ILMU SOSIAL
PARADIGMA
KLASIK
PARADIGMA
KONSTRUKTIVISME
PARADIGMA
TEORI-TEORI KRITIS
Menempatkan ilmu sosial
seperti halnya ilmu-ilmu
alam dan fisika, dan
sebagai metode yang
terorganisir untuk
mengkombinasikan
deductive logic dengan
pengamatan empiris, guna
secara probabilistik
menemukan -- atau memperoleh konfirmasi tentang
– hukum sebab-akibat
yang bisa dipergunakan
mem-prediksi pola-pola
umum gejala sosial
tertentu.
Memandang ilmu sosial
sebagai analisis sistematis
terhadap socially
meaningful action melalui
pengamatan langsung dan
rinci terhadap pelaku
sosial dalam setting
keseharian yang alamiah,
agar mampu memahami
dan menafsirkan
bagaimana para pelaku
sosial yang ber-sangkutan
menciptakan dan
memelihara/mengelola
dunia sosial mereka.
Mendefinisikan ilmu sosial
sebagai suatu proses yang
secara kritis berusaha
meng-ungkap “the real
structures” dibalik ilusi,
false needs, yang
dinampakkan dunia materi,
dengan tujuan membantu
membentuk suatu
kesadaran sosial agar
memperbaiki dan merobah
kondisi kehidupan manusia
‘13
9
Metode Penelitian Kualitatif
Afdal Makkuraga Putra, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Dimana letak perbedaan masing-masing paradigm di atas? Menurut Guba, Denzin
dan Lincoln perbedaan antar paradigma tersebut juga bisa dibahas dari 4 (empat)
dimensi, yakni:
1. Epistemologis, yang antara lain menyangkut asumsi mengenai hubungan antara
peneliti dan yang diteliti dalam proses untuk memperoleh pengetahuan mengenai
objek yang diteliti.Kesemuanya menyangkut teori pengetahuan (theory of
knowledge) yang melekat dalam perspektif teori dan metodologi.
2. Ontologis, yang berkaitan dengan asumsi mengenai objek atau realitas sosial yang
diteliti.
3. Metodologis, yang berisi asumsi-asumsi mengenai bagaimana cara memperoleh
pengetahuan mengenai suatu objek pengetahuan.
4. Aksiologis, yang berkaitan dengan posisi value judgments, etika, dan pilihan moral
peneliti dalam suatu penelitian.
Untuk mengetahui secara detail masing-masing perbedaan antar paradigm dapat dilihat
pada penjelasan berikut:
Pertama: Peneliti dari kubu paradigma klasik merasa harus menempatkan diri sebagai
value free researcher, yang harus senantiasa membuat pemisahan antara nilai-nilai
subjektif yang dimilikinya dengan fakta objektif yang diteliti. Sebaliknya peneliti dari
kubu kritis dan konstruktivis melihat hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak
mungkin dan tidak perlu dilakukan. Sebab, setiap penelitian selalu melibatkan value
judgments dan keberpihakan pada nilai-nilai tertentu. Pemilihan apa yang akan diteliti (
misalnya effektivitas iklan rokok ataukah akibat negatif iklan rokok), merupakan pilihan
yang didasarkan atas suatu penilaian subjektif. Lebih dari itu, dalam sebuah ilmu yang
menjadikan manusia sebagai pokok perhatian, usaha untuk secara “objektif”
menempatkan manusia sebagaimana halnya objek-objek ilmu alam jelas telah
merupakan suatu value judgment juga.
Kedua: Penelitian paradigma klasik berangkat dari asumsi ada suatu realitas sosial
yang objektif. Karena itu suatu penelitian juga harus harus objektif, yakni untuk
memperoleh pengetahuan tentang suatu objek atau realitas sosial sebagaimana
adanya. Untuk itu seorang peneliti harus menjaga jarak dengan objek yang diteliti,
‘13
10
Metode Penelitian Kualitatif
Afdal Makkuraga Putra, M.Si
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
mencegah agar tidak terjadi interaksi antara subjektivitas dirinya dengan objek yang
diteliti. Sebaliknya, peneliti paradigma kritis justru melihat bahwa objek atau realitas
sosial yang mereka amati merupakan penampakan realitas semu (virtual reality) atau
sekedar ekspresi kesadaran palsu ( false consciousness ) yang dimiliki manusia, bukan
merupakan suatu realitas objektif , atau realitas yang sesuai dengan “esensi
sebenarnya” – yang diyakini oleh para peneliti dari kubu kritis seharusnya dimiliki
manusia dan dunianya. Tujuannya antara lain untuk memperoleh temuan yang memiliki
signifikansi sosial.
Sementara itu varian tertentu dalam tradisi penelitian konstruktivis merupakan penelitian
yang refleksif, yang ingin merefleksikan suatu realitas sosial sesuai dengan
penghayatan subjek-subjek yang terkait dalam realitas itu sendiri.
Ketiga: Setiap paradigma memiliki sendiri kriteria penilaian kualitas suatu penelitian
(goodness criteria). Oleh karena itu sulit, atau bahkan tidak selayaknya, kita
mempergunakan kriteria yang berlaku dalam paradigma klasik untuk menilai kualitas
sebuah penelitian yang berpijak atas asumsi-asumsi epistemologis, ontologis dan
aksiologis dari paradigma lain, demikian pula sebaliknya.
Untuk mengetahui masing-masing perbedaan antar pardigma dapat dilihat pada table
berikut:
Tabel 2
PERBEDAAN ONTOLOGIS
KLASIK
Critical realism:
 Ada realitas yang “real”
yang diatur oleh kaidah2
tertentu yang berlaku
universal; walaupun
kebenaran pengetahuan
tsb. mungkin hanya bisa
diperoleh secara
probabilistik
‘13
11
KRITIS
Historical realism:
 Realitas yang teramati
merupakan realitas
“semu” (virtual reality)
yang telah terbentuk oleh
proses sejarah dan
kekuatan2 sosial,
budaya, dan ekonomipolitik
Metode Penelitian Kualitatif
Afdal Makkuraga Putra, M.Si
KONSTRUKTIVIS
Relativism:
 Realitas merupakan
konstruksi sosial
Kebenaran suatu realitas
bersifat relatif, berlaku
sesuai konteks spesifik
yang dinilai relevan oleh
pelaku sosial
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Tabel 3
PERBEDAAN EPISTEMOLOGIS
KLASIK
Dualist/objectivist:
 Ada realitas objektif,
sebagai suatu realitas
yg external di luar diri
peneliti Peneliti harus
sejauh mungkin
membuat jarak dengan
objek penelitian.
KRITIS
Transactionalist/subjectivist
 Hubungan peneliti dengan
yang diteliti selalu
dijembatani nilai-nilai
tertentu. Pemahaman
tentang suatu realitas
merupakan value mediated
findings
KONSTRUKTIVIS
Transactionalist/subjectivist
 Pemahaman suatu realitas,
atau temuan suatu
penelitian merupakan
produk interaksi peneliti
dengan yang diteliti.
Tabel 4
PERBEDAAN AKSIOLOGIS
KLASIK
Observer
 Nilai, etika dan pilihan
moral harus berada di
luar proses penelitian
 Peneliti berperan
sebagai disinterested
scientist
 Tujuan penelitian:
 Eksplanasi, prediksi dan
kontrol realitas sosial
KRITIS
Activist
 Nilai, etika dan pilihan
moral merupakan
bagian tak terpisah-kan
dari penelitian
 Peneliti menempatkan
diri sebagai
transformative
intellectual, advokat dan
aktivis
 Tujuan penelitian: kritik
sosial, transformasi,
emansipasi dan social
empowerment
KONSTRUKTIVIS
Facilitator
 Nilai, etika dan pilihan
moral merupakan bagian
tak terpisah-kan dari
penelitian
 Peneliti sebagai
passionate participant,
fasilitator yang
menjembatani keragaman
subjektivitas pelaku sosial
 Tujuan penelitian:
rekonstruksi realitas
sosial secara dialektis
antara peneliti dan yang
diteliti
Tabel 5
PERBEDAAN METODOLOGIS
KLASIK
Interventionist
Pengujian hipotesis
dalam struktur
hypothetico-deductive
method; melalui lab.
eksperimen atau survey
eksplanatif, dengan
KRITIS
Participative:
Mengutamakan analisis
komprehensif,
kontekstual, dan multilevel analysis yang bisa
dilakukan melalui
penempatan diri sebagai
KONSTRUKTIVIS
Reflective /Dialectical:
Menekankan empati, dan
interaksi dialektis antara
peneliti-responden untuk
merekontruksi realitas
yang diteliti, melalui
metode-metode kualitatif
analisis kuantitatif
aktivis / partisipan dalam
proses transformasi
sosial
seperti participant
observation observation
Kriteria kualitas
penelitian:
Objectivity, Reliability and
Validity (internal dan
external validity)
Kriteria kualitas
penelitian:
Historical situatedness:
sejauhmana penelitian
memperhatikan konteks
historis, sosial, buidaya,
ekonomi dan politik.
Wholeness: sejauhmana
studi yg dilakukan
bersifat holistic, terhindar
dari analisis partial.
Kriteria kualitas
penelitian:
Authenticity dan
reflectivity:
Sejauh mana temuan
merupakan refleksi otentik
dari realitas yang dihayati
oleh para pelaku sosial
Tabel 6
KONTINUM PERBEDAAN PARADIGMATIK
Antara Peneliti Positivist (Kuantitatif) dan Peneliti Constructivist (Kualitatif)
(Berdasarkan uraian Guba, 1990)
POSITIVIST
CONSTRUCTIVIST
ONTOLOGY
Realist
Realitas ada di luar diri peneliti dan diatur
oleh hukum-hukum dan mekanisme
alamiah (seperti cause-effect laws) yang
berlaku universal (time and context free
generalizations
Relativist
Realitas tampil sebagai konstruksi mental,
dipahami secara beragam berdasarkan
pengalaman serta konteks lokal dan
spesifik para individu yang bersangkutan
EPISTEMOLOGY
Dualist/Objectivist
Subjectivist
Peneliti bisa dan perlu membuat jarak
Peneliti dan realitas/fenomena yang diteliti
dengan objek/realitas yang diteliti.
menyatu sebagai satu entitas. Temuan
Penilaian subjektif danbias pribadi harus
penelitian merupakan hasil interaksi antara
bisa dipisahkan dari temuan penelitian
peneliti dengan yang diteliti
METHODOLOGY
Experimental/
Dialectic/
manipulative
hermeneutic,
Pertanyaan penelitian atau hipotesis
Konstruksi mental individu digali dan
dinyatakan pada awal penelitian, untuk
dibentuk dalam setting alamiah, secara
‘13
13
Nama Mata Kuliah dari Modul
Dosen Pengampu
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
kemudian diuji secara empiris dalam
kondisi yang terkontrol
hermeunetik, serta diperbandingkan secara
dialektik
Daftar Pustaka
Stephen W. Littlejhon & Karen A.Fross, Teori Komunikasi. Salemba Komunika: Jakarta,
2010
West, Richard & Lynn Turner, Pengantar Teori Komunikasi Salemba Komunika: Jakarta,
2009.
Black, James & Dean Champion, 1992 Metode dan Masalah Penelitian Sosial .
(terjemahan), Bandung : Eresco
Denzin, Norman & Yvonna. Lincoln, 2005, The Sage Handbook of Qualitative Research.
London : Sage Publication
Moleong, Lexy J. 2000, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya
Ritzer, George & Douglas J.Goodman, 2003, Teori Sosiologi Modern (terjemahan) Jakarta:
Kencana Prenada:
‘13
14
Nama Mata Kuliah dari Modul
Dosen Pengampu
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download