jurnal teknik elektro - Wahyu DiGilib`s

advertisement
JURNAL TEKNIK ELEKTRO
Vol. 3, No. 1 – Juni 2005
ISSN : 1693 – 6787
SUSUNAN REDAKSI
Penanggung Jawab
: Ketua Jurusan Teknik Elektro FT . USU
Pemimpin Redaksi
: Prof. Dr. Ir. Usman S. Baafai
Redaksi Ahli
: 1. Ir. Mustafrin Lubis
2. Ir. R.Sugih Arto Yusuf
3. Ir. Bonggas L.Tobing
4. Ir. Djendanari Sembiring
5. Ir. Risnidar Chan, MT
6. Ir. T.Ahri Bahriun, M.Sc
7. Ir. Syafruddin HS, MS
8. Ir. M.Zulfin, MT
Redaksi Pelaksana
: 1. Ir. Zulkarnaen Pane
2. Ir. Syahrawardi
3. Ir .Surya Hardi, M.Sc
4. Ir. Arman Sani, MT
5. Soeharwinto, ST, MT
6. Rejeki Simanjorang, ST, MT
Sirkulasi/Publikasi
: Ir. Surya Tarmizi Kasim
Bendahara
: Ir. Satria Ginting
Administrasi
: Marthin Luther Tarigan A.Md
Alamat Redaksi
: Fakultas Teknik USU
Jl. Almamater Kampus USU Medan
Telp. / Fax : (061) 8213246 – 8213250
Frekuensi terbitan
: 2 ( dua ) kali setahun
JURNAL TEKNIK ELEKTRO
TEKNIK ENERGI - TEKNIK TELEKOMUNIKASI - TEKNIK KOMPUTER
VOl. 3, NO. 1 – JUNI 2005
ISSN
: 1693 - 6787
DAFTAR ISI
Salam Redaksi ......................................................................................................................
i
Sistim Akuisisi Data
F. Rizal batubara……………………………………………………………………………………..
1-4
Implementasi Rangkaian Elektronika Menggunakan Teknologi Surface Mount
Suherman ...............................................................................................................................
5-9
Implementasi Sistem Step by Step Switching Menggunakan Komponen
Terintegrasi
Suherman ............................................................................................................................... 10-14
Rele Tegangan Elektronik
T.Ahri Bahriun ....................................................................................................................... 15-19
Kajian Pemanfaatan Sistem Teknologi Pembangkit Tenaga Gasifikasi Batubara
Tulus Burhanuddin Sitorus .................................................................................................... 20-26
Pengukuran Tahanan Grid Pembumian pada Model Lapisan Tanah yang tidak
Unifom
Zulkarnaen Pane.................................................................................................................... 27-33
Pedoman Penulisan Naskah Jurnal ENSIKOM................................................................ 34-35
JURUSAN TEKNIK ELEKTRO
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
SALAM REDAKSI
Kami memanjatkan Puji dan Syukur kepada Tuhan Ynag Maha Esa karena
atas ridho nya Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM, Volume : 1, No. 3 –
Juni 2005 telah dapat diterbitkan dan sampai kehadapan para pembaca
yang budiman.
Jurnal ENSIKOM adalah suatu jurnal ilmiah yang berisi hasil penelitian,
kajian pustaka maupun rekayasa peralatan yang digunakan oleh
laboratorium serta informasi yang berkaitan dengan Energi, Sistem
Telekomunikasi dan Komputer .
Penerbitan Jurnal ENSIKOM ini diterbitkan setiap 6 (enam) bulan sekali,
untuk itu kami harapkan partisipasi dari para ilmuan maupun praktisi
untuk mengisi tulisan pada Jurnal ini demi kemajuan ilmu Teknik Elektro.
Saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan
keberhasilan penerbitan Jurnal ini pada edisi berikutnya.
demi
Dalam kesempatan ini pula kami seluruh Redaksi Jurnal Teknik Elektro
ENSIKOM mengucapkan Selamat Ulang Tahun ke- 40 Departemen
Teknik Elektro FT - USU (1965 – 2005). Semoga dengan
bertambahnya usia akan menjadikan departemen teknik elektro ft-usu
menjadi lebih berkembang dimasa mendatang dalam menunjang
kemajuan teknologi untuk kesejahteraan bangsa dan negara Republik
Indonesia.
Atas perhatian dan partisipasinya dengan segala kerendahan hati, kami
ucapkan banyak terima kasih.
Wassalam
REDAKSI
i
SISTIM AKUISISI DATA
1)
F. Rizal batubara1)
Staf Pengajar Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik USU
Abstrak
Sistem akuisisi data menkonversikan besaran fisis sumber data ke bentuk sinyal digital dan diolah oleh
suatu komputer. Pengolahan dan pengontrolan proses oleh komputer memungkinkan penerapan
akuisisi data dengan software. Konfigurasi sistem akuisisi data dapat di lihat dari banyaknya tranduser
atau kanal yang digunakan, kecepatan pemrosesan data, dan letak masing-masing komponen pada
sistem akuisisi data.
Kata kunci: Akuisisi data, konverter A/D
Abstract
Data Acquisition System converts physical number of data sources to digital signal form and
processed by computer. Processing and Controlling of process by computer allow the application of
data acquisition with software. Configuration of data acquisition system can be known from number of
tranducer or channel which are used, data processing speed, and position of each component on data
acquisition system.
Keywords: Data Acquisition, A/D converter
Pendahuluan
Sistim akuisisi data dapat didefinisikan
sebagai suatu sistem yang berfungsi untuk
mengambil, mengumpulkan dan menyiapkan
data, hingga memprosesnya untuk menghasilkan
data yang dikehendaki. Jenis serta metode yang
di pilih pada umumnya bertujuan untuk
menyederhanakan
setiap
langkah
yang
data
trand
dilaksanakan pada keseluruhan proses.
Suatu sistem akuisisi data pada umumnya
dibentuk sedemikian rupa sehingga sistem
tersebut
berfungsi
untuk
mengambil,
mengumpulkan dan menyimpan data dalam
bentuk yang siap untuk diproses lebih lanjut.
gambar 1 menunjukan diagram blok sistem
akuisisi data.
pengkondisian
sinyal
mux
data
trand
pengiriman
dan
penyimpanan
pengolahan
data
pengkondisian
sinyal
display
Gambar 1. Diagram blok sistem akuisisi data.
Sistim Akuisisi Data (F. Rizal Batubara)
1
memory
trands
A/D
Display
komputer
mass storage
Gambar 2. Komputer digital untuk kebutuhan akuisisi data
Perkembangan Sistem Akuisisi Data
Pada mulanya proses pengolahan data lebih
banyak dilakukan secara manual oleh manusia,
sehingga pada saat itu perubahan besaran fisis
dibuat ke besaran yang langsung bisa diamati
panca indra manusia. Selanjutnya dengan
kemampuan teknologi pada bidang elektrikal
besaran fisis yang diukur sebagai data
dikonversikan ke bentuk sinyal listrik, data
kemudian ditampilkan ke dalam bentuk
simpangan jarum, pendaran cahaya pada layar
monitor, rekorder xy dan lain-lain.
trands
filter
S/H
Sistem akuisisi data berkembang pesat sejalan
dengan kemajuan dibidang teknologi digital dan
komputer. Kini, akuisisi data menkonversikan
besaran fisis sumber data ke bentuk sinyal
digital dan diolah oleh suatu komputer.
Pengolahan dan pengontrolan proses oleh
komputer memungkinkan penerapan akuisisi
data dengan software. Software memberikan
harapan proses akuisisi data bisa divariasi
dengan mudah sesuai kebutuhan. Gambar 2
menunjukan proses akuisisii data menggunakan
komputer.
A/D
Komputer
display
A/D
Gambar.3.Sistem akuisisi data kanal tunggal
Fungsi masing-masing blok dalam sistem adalah sebagai berikut:
• Tranduser
: berfungsi untuk merubah besaran fisis yang diukur kedalam bentuk sinyal listrik.
• Amp
: berfungsi untuk memperbesar amplitudo dari sinyal yang dihasilkan transduser.
• LPF
: berfungsi untuk membatasi lebar band frekuensi sinyal listrik dari data yang diukur.
• S/H
: berfungsi untuk menjaga amplitudo sinyal analog tetap konstan selama waktu konversi
analog ke digital.
• A/D
: berfungsi untuk merubah besaran analog kedalam bentuk representasi numerik.
• D/A
: berfungsi untuk merubah besaran numerik kedalam sinyal analog.
• Komputer
: berfungsi untuk mengolah data dan mengontrol proses.
Pada konfigurasi kanal tunggal, komputer berfungsi sebagai pemroses data dan juga pengontrol penguatan
sinyal.
2
Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 1 – JUNI 2005 (1 - 4)
trands
Filter
S/H
A/D
Sistem
MUX
Digital
trands
Filter
S/H
Komputer
A/D
Gambar 4. Sistem Kanal Banyak Dengan Cara Ketiga
Kofigurasi Sistem Akuisisi Data
Sistem Berkecepatan Tinggi
Suatu konfigurasi sistem akuisisi data sangat
tergantung pada jenis dan jumlah tranduser serta
teknik pengolahan yang akan digunakan.
Konfigurasi ini dapat di lihat dari banyaknya
tranduser atau kanal yang digunakan, kecepatan
pemrosesan data dan letak masing-masing
komponen pada sistem akuisisi data.
Sistem akuisisi data yang menggunakan
komputer digital sebagai pengolah data
kecepatannya
ditentukan
oleh
proses
pengubahan sinyal analog ke digital. Untuk
mempercepat akuisisi data biasanya digunakan
suatu konverter analog ke digital yang
berkecepatan tinggi yang disebut dengan FLASH
A to D. Bila kecepatan akuisisi masih ingin
dipercepat, maka dapat digunakan teknik seperti
yang diperlihatkan pada gambar 5. Cara ini
digunakan dua buah A/D yang bekerja secara
bergantian.
Sistem kanal tunggal.
Sistem kanal tunggal disebut juga sistem
akuisisi data sederhana, ditunjukkan pada
gambar 3.
Sistem Kanal Banyak
Terdapat tiga jenis metode untuk menyusun
suatu sistem akuisisi data dengan banyak
tranduser. Perbedaan utama pada ketiga jenis ini
ditentukan oleh letak multiplexer didalam
sistem.
Sistem pertama meletakan multiplexer pada
ujung bagian depan, sehingga sinyal analog
yang mengalami proses pemilihan masuk
kekanal. Pada cara kedua pemasangan
multiplexer setelah terjadi pencuplikan dan
holding sinyal, metode kedua lebih baik
dibandingkan metode pertama. Metode ketiga
merupakan metode yang terbaik, tetapi dengan
penerapan masing-masing kanal mempunyai
A/D sendiri mengakibatkan sistem menjadi lebih
mahal dibandingkan cara sebelumnya. Gambar
4. menunjukan sistem kanal banyak metode
ketiga.
Sistim Akuisisi Data (F. Rizal Batubara)
input
Analog
A/D
2
A/D
1
MUX DIGITAL
Sistem
Komputer
3
input
Analog
A/D
Komputer
Modem
Modem
sistem komunikasi
analog
Mass
Storage
Komputer
Gambar 6. Sistem Akuisisi Data Pada Saluran Komunikasi Analog
Input
Analog
Sstem
Komputer
A/D
ISDN
SISTEM
kOMPUTER
Mass
Storage
Gambar 7. Sistem Akuisisi Jarak Jauh Pada saluran ISDN
Sistem Akuisisi Jarak Jauh
Suatu sistem akuisisi data yang mempunyai
komponen pengambil dan pengolah data dengan
jarak berjauhan, maka dibutuhkan media untuk
mentransfer antara kedua sub sistem tersebut.
Kondisi ini membutuhkan sistem memori yang
disuplai baterai sebagai penampung sementara,
memori seperti ini disebut sistem memori
RAMPACK. Data yang diambil disimpan di
memori RAMPACK, kemudian memori
dibawah ketempat komputer pengolahan data.
Sistem lain menggunakan sistem komunikasi,
data diambil oleh transduser yang terletak jauh
dari komputer kemudian data ditransmisikan
melalui saluran komunikasi, bila saluran
komunikasi
merupakan
sistem
analog,
diperlukan komponen yang disebut modem,
4
ditunjukan gambar 6. Penyaluran data melalui
jaringan ISDN bisa dilakukan dengan
pemasangan langsung pada jack terminal
saluran tersebut, terlihat pada gambar 7.
Kepustakaan
Austerlitz,
Howard.
Data
Techniques Using PCs,
Academic Press; 2003.
Acquisition
San Diego:
Gadre, Dhananjay V. Programming the Parallel
Port: Interfacing the PC for Data
Acquisition
and
Process
Control,
Berkeley: CMP Books; 1998.
James, Kevin. PC Interfacing and Data
Acquisition, Oxford: Newnes; 2000.
Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 1 – JUNI 2005 (1 - 4)
IMPLEMENTASI RANGKAIAN ELEKTRONIKA
MENGGUNAKAN TEKNOLOGI SURFACE MOUNT
1)
Suherman1)
Staf Pengajar Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik USU
Abstrak
Salahsatu perkembangan perangkat elektronika adalah miniaturisasi, yakni pengurangan pada volume
perangkat. Dan teknologi yang berperan penting dalam proses miniaturisasi adalah teknologi Surface
Mount. Teknologi Surface Mount adalah teknologi komponen yang berusaha nengurangi ukuran
komponen dan diletakkan secara langsung pada permukaan PCB. Teknologi ini menggantikan
teknologi sebelumnya, yakni teknologi thru hole, dimana dalam pemasangannya dilakukan pelubangan
pada PCB.
Pemakaian komponen ini telah merata pada semua perangkat elektronika. Namun sangat disayangkan,
teknologi ini sangat asing di ndonesia, baik pada tingkat industri, pasar komponen, maupun pada
kurikulum perguruan tinggi. Tulisan ini akan mengulas mengenai teknologi elektronika surface mount,
komponen, peralatan pendukung serta proses implementasi rangkaian.
Kata kunci : Elektronika, surface mount, thru hole
Abstract
Miniaturization is one of the electronics devices development that reduce equipment size. Surface
mount technology fullfil this requirement. Surface Mount is an electronics devices technology that
reduce the size and mounting the components on the board surface directly. This technology then
replace through hole technology that using hole on PCB, even sometimes they are combined.
All electronics devices are now using surface mount, but it still unknown well in Indonesian factory,
market or in the university curriculum. This paper describe surface mount technology, its components,
devices and implementation process.
Keywords : Electronics, surface mount, thru hole
1. Pendahuluan
Teknologi Surface Mount adalah
teknologi komponen elektronika terintegrasi
dengan cara peletakan (mounting) komponen
secara langsung pada permukaan (surface) PCB.
Teknologi
ini
menggantikan
teknologi
sebelumnya, yakni teknologi thru hole (through
hole), dimana dalam pemasangannya dilakukan
proses pelubangan pada PCB. Pada gambar 1
(Sam Ulbing, 1999) terlihat perbedaan
perangkat yang tersusun dari komponen surface
mount dan komponen thru hole.
Beberapa
keuntungan
penggunaan
komponen Surface Mount dibandingkan thru
hole antara lain adalah, memiliki komponen
yang lebih kecil sehingga mengurangi volume
rangkaian (denser layout), mengurangi biaya
produksi, memerlukan catudaya lebih rendah,
pemasangan PCB lebih mudah karena tanpa
pelubangan juga mempermuda proses perakitan
otomatis. Selain itu, kebanyakan perangkat RF
memerlukan jumper yang pendek untuk
mengurangi interferensi, Surface Mount sangat
mendukung hal ini. Surface mount juga
memiliki frekuensi respons dan ketahanan
EMI/RFI yang lebih baik.
Implementasi Rangkaian Elektronika Menggunakan Teknologi Surface Mount
5
Pada
perkembangan
selanjutnya,
kemasan thru hole dikembangkan menjadi
beberapa bentuk, termasuk menjadi kemasan
komponen surface mount. Gambar 3
menunjukkan perkembangan kemasan IC thru
hole dan surface mount.
Rangkaian dengan Surface Mount
Rangkaian dengan Thru Hole
Pemasangan Komponen
(a) Thru Hole (b) Surface Mount
(a) Kemasan DIP
Gambar 1.Perbandingan Surface Mount dan
Thru Hole
Namun demikian, ada beberapa
kesulitan yang dihadapi dalam implementasi
komponen
SMT/SMD
(Surface
Mount
Technology / Surface Mount Devices) antara
lain, kerapatan komponen menyebabkan cepat
panas, sehingga membutuhkan sistem pendingin
atau chasing yang mendukung sirkulasi udara.
Kepadatan komponen menyebabkan sedikit
ruang untuk pembersihan. Karena kecil, inspeksi
kerusakan secara visual sulit, sehingga
membutuhkan alat bantu. Peletakan komponen
memerlukan ketelitian yang tinggi. Proses
assembly secara manual sulit dilakukan.
2. Kemasan Komponen
Kemasan komponen pasif thru hole adalah
komponen diskrit dengan ukuran relatif besar
dan pin yang panjang. Komponen aktif thru hole
yang berbentuk IC memiliki kemasan DIP (Dual
Inline Packet), ZIP (Zigzag Inline Packet) dan
PGA (Pin Grid Array). DIP memiliki jumlah pin
6 sampai 64 pin. ZIP terdiri 20 sampai 40 pin,
Sedangkan PGA memiliki jumlah pin yang
besar sampai 400 pin. Gambar 2 menunjukkan
contoh IC dengan kemasan DIP dan PGA.
(c) PGA
(b) ZIP
Gambar 3 Kemasan IC Thru Hole dan Surface
Mount
Kemasan IC surface mount terdiri atas
SOP, SOJ, SSOP, TSOP, QFJ, QFP, TQFP,
LQFP, TCP, CSP dan BGA. Sementara
komponen pasif surface mount berbentuk chip
(chip resistor, chip kapasitor dan chip induktor)
dengan 2 pin serta berbentuk network dengan
jumlah pin lebih dari 2 (contoh resistor
network). Kemasan transistor dan dioda serta
beberapa IC dalam bentuk SO (Small Outline),
contoh SOT-32 (Small Outline Transistor).
Selain berbentuk paket plastik, IC surface juga
dapat berbentuk paket keramik.
(b) Network Resistor
1
2
p resistor
n isolation region
p substrate
(c) Resistor
Gambar 2 Kemasan IC Thru Hole
(a) Konstruksi Chip Resistor
Gambar 4. Resistor Surface Mount
6
Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 1 – JUNI 2005 (5 - 9)
3. Komponen Pasif Surface Mount
3.1 Resistor
Beberapa teknologi resistor surface mount
yang ada di lapangan adalah teknologi thick
film, thin film, MELF, wirewound, carbon film,
metal film dan lain-lain. Resistor SMT
berbentuk chip resistor dan network resistor.
Kebanyakan
chip
resistor
berbasis
teknologi thick film, dimana permukaannya
diberi pelindung gelas, dan menggunakan pin
nikel, konstruksinya ditunjukkan pada gambar 4.
Resistor MELF (Metallized Electrode
Face) merupakan pengembangan resistor dengan
elektroda metal. Resistor MELF dibuat dari
lilitan bahan resistif. Harga resistor ini lebih
murah tetapi memiliki kualitas yang lebih buruk
dibandingkan thick film.
Resistor dalam jumlah banyak (Network
resistor) dibuat dari bahan thick film,
semikonduktor
maupun
metal
oxide).
Kemasannya dalam bentuk SO (Small Outline)
dengan jumlah pin berkisar 8 dengan penamaan
sederhana.
Lapisan semikonduktor yang digunakan
untuk membentuk resistor sangat tipis seperti
pada gambar 4c. Penambahan resistansi
diperoleh dengan menyusun lapisan memanjang.
Beberapa resistor tidak disertai kode nilai,
untuk mengukurnya menggunakan ohmmeter.
Beberapa resistor menggunakan kode 3 digit,
contohnya 102, berarti 10x102 = 1kOhm ataupun
menggunakan kode lebih dari 3 digit seperti
pada tabel 1.
Terdapat juga cara pengkodean yang
disebut EIA-96 marking methode yang berisi 3
karakter kode. Dua karakter pertama
menunjukkan nilai sesuai dengan tabel 2.
Sedangkan digit ketiga adalah multiplier.
Multiplier berupa angka.
Contoh penamaan, kode 22A, berarti 165
Ohm, 68C berarti 49900 Ohm atau 49,9kOhm.
Namun kode ini hanya untuk resistor dengan
toleransi 1%. Untuk toleransi yang lebih besar,
memiliki tabulasi sendiri.
Tabel 1. Contoh penandaan resistor SMT(G4PMK, 2003)
Contoh 3 digit
Contoh 4 digit
330 adalah 33 ohm 1000 adalah 100 ohm – bukan
bukan 330 ohm
1000 ohm
4992 adalah 49 900 ohm,
221 adalah 220 ohm
adalah 49.9 kohm
683 adalah 68 000 ohm, 16234 adalah 162 000 ohm,
atau 68 kohm
adalah 162 kohm
105 adalah 1 000 000
0R56 adalah R56 adalah 0.56
ohm, atau 1 Mohm
ohms
8R2 adalah 8.2 ohm
Tabel 2. Kode EIA-96
code
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
13
14
15
16
value
100
102
105
107
110
113
115
118
121
124
127
130
133
137
140
143
code
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
value
147
150
154
158
162
165
169
174
178
182
187
191
196
200
205
210
code
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
value
215
221
226
232
237
243
249
255
261
237
274
280
287
294
301
309
code
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
value
316
324
332
340
348
357
365
374
383
392
402
412
422
432
442
453
code
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80
Implementasi Rangkaian Elektronika Menggunakan Teknologi Surface Mount
value
464
475
487
499
511
523
536
549
562
576
590
604
619
634
649
665
code
81
82
83
84
85
86
87
88
89
90
91
92
93
94
95
96
value
681
698
715
732
750
768
787
806
825
845
866
887
909
931
953
976
7
3.2 Kapasitor
Komponen kapasitor SMT paling banyak
terbuat dari keramik. Kapasitor keramik SMT
tersedia dalam bentuk fixed ataupun variabel.
Sedangkan kapasitor film plastik dan elektrolit
aluminium jarang digunakan. Kapasitor keramik
memiliki desain dielektrik berlapis seperti pada
gambar 5 (Bryan Bergeron, 1991). nilai
standartnya dari 1pF sampai 1 uF dengan range
tegangan 25 sampai 200V. Ukuraan sebuah
kapasitor keramik SMT sangat kecil, berkisar
3,2 x 2,5 x 0,7 mm.
Tabel 3. Multiplier (G4PMK, 2003)
letter
F
E
D
C
multiplier
100000
10000
1000
100
letter multiplier
B
10
A
1
X or S
0.1
Y or R
0.01
Selain keramik, terdapat juga kapasitor
SMT tantalum dengan nilai kapasitansi
mencapai 220 uF, rating tegangan 50V.
Tabel 4. Kode penandaan kapasitor SMT.
Let Mant Let Mant Let Mant Let Mant
A 1.0 J 2.2 S 4.7 a 2.5
B 1.1 K 2.4 T 5.1 b 3.5
C 1.2 L 2.7 U 5.6 d 4.0
D 1.3 M 3.0 V 6.2 e 4.5
E 1.5 N 3.3 W 6.8 f 5.0
F 1.6 P 3.6 X 7.5 m 6.0
G 1.8 Q 3.9 Y 8.2 n 7.0
H 2.0 R 4.3 Z 9.1 t 8.0
y 9.0
(let.=letter, mant.= mantissa)
Kapasitor elektrolit SMT memiliki
penandaan yang berbeda. Nilai rating tegangan
dituliskan dengan hurup pada digit pertama,
diikuti dengan digit nilai dan multiplier. Basis
perhitungan adalah pF. Contoh, A475, A =
10V, 475 = 47x105 pF, sehingga A475 adalah
4,7mF 10V. Kode rating tegangan kapasitor
meliputi : e=2,5 ; G=4 ; J=6,3 ; A=10 ; C=16 ;
D=20 ; E=25 ; V=35 ; dan H =50.
3.3 Induktor
Induktor SMT terbuat dari bahan keramik
ataupun core ferit dengan konstruksi yang
kompak disesuaikan ukuran komponen lainnya,
beberapa induktor memiliki ukuran 4, x 3,2 x
2,6 mm. Nilai induktansinya bervariasi dari 0,1
uH sampai 2,2 uH dengan rating arus sampai 0,5
A.
Namun perkembangan teknologi SMT saat
ini menghasilkan induktor SMT sampai bernilai
10.000 uH dan rating sampai 50A, seperti
produksi Vishay (www.vishay.com).
(a)
(b)
(c)
Gambar 5. Konstruksi Kapasitor SMT
Kapasitor SMT umumnya tanpa penanda.
Jika
tanpa
kode,
satu-satunya
cara
mengetahuinya adalah dengan menggunakan
kapasitansi
meter.
Beberapa
capasitor
menggunakan kode yang berisi 2 atau 3
karakter. Karakter pertama adalah kode pabrik,
karakter kedua adalah mantisa (dengan nilai
tertentu), karakter ketiga adalah multipier. Basis
nilai adalah pF. Contoh KA2, K adalah kode
pabrik (pabrik Kemet), A adalah 1.0 dan 2
8
adalah 102, sehingga KA2 bernilai 100pF. Tabel
4. menunjukkan kode-kode tersebut.
3.4 Komponen Lainnya
Seiring dengan pperkembangan komponen
pasif utama di atas, komponen pasif pendukung
lainnya juga mengalami miniaturisasi, walau
dalam beberapa aplikasi masih ditemukan
kombinasi komponen SMT dengan komponen
thru hole. Komponen pendukung tersebut seperti
konektor,
rele,
fuse,
switch,
choke,
transformator, LC filter, tee bias, kristal, sensor
dan lain-lain.
Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 1 – JUNI 2005 (5 - 9)
4.
Komponen Aktif Surface Mount
Komponen aktif terdiri dari dioda,
transistor,
dan
komponen
terintegrasi.
Komponen aktif SMT tersedia dalam kemasan
small outline (SO), quad flat pack (QFP),
plastic-leaded chip carrier (PLCC), tapeautomated bonding (TAB), leadless ceramic
plastic carrier (LCCC). Sebahagian kemasan
tersebut terdapat pada gambar 3.Sebagai
alternatif, juga terdapat variasi pin chip. Pin atau
lead tersedia dalam bentuk gull-wing, J-lead,
dan I-lead seperti pada gambar 6a. Kemasan SO
tersedia dari 3 sampai 28 pin, kemasan QFP
memiliki pin 64 sampai 196 dengan bentuk gullwing. PLCC memiliki pin sampai 84 dengan Jlead di empat sisinya, sedangkan LCCC lebih
kompak dimana pin terdapat di sebelah dalam
sehingga tidak memungkinkan penanganan
secara manual.
(a)
(b)
yang berbeda, sehingga cukup sulit dalam
mengidentifikasi.
Seperti yang disinggung di bagian
pendahuluan, kemasan komponen SMT
memiliki banyak keunggulan dibandingkan thru
hole, salahsatunya lumped component atau nilai
terdistribusi dari induktansi dan kapasitansi.
Nilai-nilai yang dihasilkan karena interaksi antar
pin ini akan menghasilakan RFI/EMI. Tabulasi
perbandingan nilai kapasitansi dan induktansi
terdistribusi dapat dilihat pada tabel 5.
Komponen aktif lain seperti MOV, SCR,
DIAC, TRIAC, Op Amp, RFIC, microstrip,
MMIC, Microwave device, IC digital,
interfacing
chip,
IC
mikrokontroler,
mikroprosesor, dan IC regulator tersedia dalam
kemasan SMT. Beberapa vendor yang
menyediakan komponen SMT seperti Digi-Key
(digikey.com), Newark (www.newark.com),
Keytronics
(www.eytronics.com),
Avnet
(www.vnet.com), Jameco (jameco.com), dan
EDX (www.edxelectronics.com).
(c)
Gambar 6. (a) lead gull-wing, J-lead dan I-lead
(b) small outline transistor SOT-23 dan SOT-89
(c)kemasan dan footprintnya
Transistor
umumnya
menggunakan
kemasan SO, gambar 6b menunjukkan
konstruksi transistor SMT dalam kemasan SO.
Transistor dengan dissipasi daya maksimum
200mW menggunakan kemasan SOT-23,
sedangkan kemasan yang lebih besar
menggunakan SOT-89 yang mampu mendisipasi
daya sampai 500mW.
Dalam peletakan komponen SMT di pcb,
perlu diketahui footprint komponen. Masingmasing kemasan memiliki bentuk footprint
tertentu dan standar seperti pada gambar 6c.
Dioda memiliki kemasan seperti chip
resistor maupun sama dengan transistor
terkecuali 1 pin tidak digunakan. Kemasan yang
banyak digunakan dioda adalah SOT-23, SOT323, SOD-80, SOD-123 dan SOD-132.
Kemasan dengan 3 pin (SOT) juga dapat berisi
dual dioda. Baik transistor maupun dioda,
masing-masing pabrikan memiliki penamaan
Implementasi Rangkaian Elektronika Menggunakan Teknologi Surface Mount
9
IMPLEMENTASI SISTEM STEP by STEP SWITCHING
MENGGUNAKAN KOMPONEN TERINTEGRASI
1)
Suherman1)
Staf Pengajar Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik USU
Abstrak
Sentral yang menggunakan sistem step by step switching telah lama ditinggalkan. Teknologi telah
beralih ke sistem switching digital common control, bahkan berbasis packet switching khususnya
penggunaan IP based Network. Namun demikian, teknologi switching step by step yang dahulu
berbasis sistem mekanis masih dapat diperbaharui dengan memanfaatkan komponen terintegrasi
(integrates cicuit, IC).
Sistem switching step by step dengan komponen terintegrasi ini dapat dimanfaatkan untuk membentuk
sistem PABX kapasitas kecil. Karena dibentuk dengan memanfaatkan komponen terintegrasi,
teknologi ini memungkinkan untuk diimplementasikan dalam bentuk IC tunggal (Application Specipic
Integrated Circuit, ASIC). Sehingga akan diperoleh komponen PABX mini yang lebih sederhana
dibandingkan PABX berbasis microcontroller.
Kata kunci : Switching, step by step, PABX, telepon, extension, trunk
Abstract
munication exchange which used step by step switching system are obsolete. Technology had move to
the digital common control switching system even based on switching package, especially using IP
based network. Even though, the step by step switching system technology based on mechanical
switching system are renewable by using integrated circuits IC’s.
Step by step switching system using the integrated circuits technologies can be used to build a small
capacity PABX system. Because of built by using IC’s, this technology can be implemented in the form
of single chip IC (Application Spesific Integrated Circuits, ASIC). This will give small PABX
components which is more simple compared to microcontroller base PABX.
Keywords: Switching, step by step, PABX, telepon, extension, trunk
1. Pendahuluan
Sistem switching merupakan bagian dari
teknologi telekomunikasi. Sistem switching
manual mengawali teknologi ini, kemudian
ditemukan sistem switching otomatis oleh
Almon B. Strowger dengan sistemnya yang
dikenal sebagai sistem step by step atau direct
control. Sistem inilah yang diadopsi dalam
tulisan ini.
Pada perkembangan selanjutnya, muncul
sistem switching common control atau indirect
control yang diawali oleh Gothief Betulander
dengan switch crossbar. Sistem common control
berkembang dari sistem crossbar, electro10
mekanis, elektronis, analog sampai sistem
switching digital. Sistem switching step by step
semakin ditinggalkan.
2. Sistem Switching Step by Step
Sentral Step by step adalah sistem
switching otomatis yang paling tua dan paling
sederhana. Step by step switching menggunakan
pengontrolan dial langsung (direct-dial control)
dimana switch secara langsung merespon digit
yang dikirimkan telepon ke masing-masing
tingkatan switch. Sistem switching ini
mendominasi dunia telekomunikasi sampai
tahun 1970.
Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 1 – JUNI 2005 (10 - 14)
Sentral step by step terdiri dari beberapa
bagian, di antaranya SLIC, linefinder, alloter,
group selector dan final selector. SLIC atau
Subcriber Line Interface Circuit digunakan
sebagai rangkaian interface ke pelanggan,
linefinder merupakan selector yang merespons
telepon yang meminta layanan, alloter
merupakan selector yang mencari outlet sesuai
impuls yang diberikan telepon sedangkan
preselector, group selector dan final selector
adalah penamaan kelompok-kelompok selektor.
Gambar 2 (Suherman, 2004) menunjukkan
bagian switching step by step.
3. Aplikasi Switching Step by Step
Gambar 3 merupakan contoh switching
step by step sederhana yang melayani 5
pelanggan dan 1 trunk untuk ke sentral lain
(105). Karena kapasitasnya yang kecil, maka
selektor yang dipakai hanyalah Line Finder, dan
Final Selector (Suherman, 2004).
Masing-masing pelanggan dihubungkan ke
SLIC dan terhubung ke 3 Line Finder. 3 line
finder berarti setiap saat ada 3 telepon yang bisa
menggunakan sentral. Dibandingkan jumlah
pelanggan, diperoleh perbandingan 3 : 5 atau
60%. Persentasi ini sering disebut sebagai
konsentrasi. Jika disebut 20%, maka hanya 20%
dari pelanggan yang bisa menggunakan sentral
secara bersamaan.
Sentral dengan 5 pelanggan di atas
menggunakan 3 Line Finder yang menghasilkan
3 telepon yang bisa aktif secara bersamaan
dengan pertimbangan, 1 telepon menelpon
kesentral lain dan 2 telepon menelepon
pelanggan di dalam sentral, sehingga 5 pesawat
telepon dapat aktif secara bersamaan.
Komponen utama yang digunakan oleh
sistem switching step by step adalah selektor.
Selektor merupakan alat pemilih yang
menghubungkan satu masukkan (inlet) dengan
beberapa pilihan keluaran (outlet), (Sigit
Haryadi, 1985). Selektor elektromekanik
digerakkan secara elektromagnetik maupun
dengan mempergunakan elektromotor. Gambar
1 menunjukkan konstruksi selektor (Suherman,
2004).
Gambar 1. Selektor
Selektor dalam keadaan awal berada pada
home position, saat menerima impuls dari
pesawat telepon, wiper atau tungkai selektor
akan berpindah. Perpindahannya ditentukan oleh
besarnya impulse tadi. Setiap output selektor
dihubungkan dengan saluran ke telepon lain.
Gambar 2. Sistem switching step by step
0
SLIC
SLIC
1
1
SLIC
SLIC
SLIC
5
5
2
Line
Finder
Controller
Selector
Controller
0
3
4
1
5
Line
Finder
Controller
5
Selector
Controller
5
0
1
5
Line
Finder
Controller
5
Selector
Controller
Ke
Sentral Lain
Gambar 3. Sistem Switching Step By Step Kapasitas 105
Implementasi Sistem Step by Step Switching Menggunakan Komponen
Terintegrasi (Suherman)
11
4. Implementasi Line Finder Tunggal
Implementasi switch terintegrasi dapat
mempergunakan IC 4066 atau IC sejenisnya. IC
ini menghubungkan input-output jika pin
kendali berlogika 1. Gambar 4 menunjukkan
implementasi selektor line finder dengan
menggunakan IC 4066 dengan gerbang logika
serta IC latch.
Input gerbang logika berasal dari deteksi
hook. Saat semua hook tertutup, gerbang logika
(output gerbang OR) akan menghasilkan output
logika 0. Output ini mengendalikan pin enable
IC latch. Kondisi logika 0 menyebabkan IC
latch dalam kondisi enable, input yang berasal
dari deteksi hook akan dihubungkan ke output
latch. Jika semua telepon dalam kondisi tertutup,
maka output IC latch akan berlogika 0, sehingga
tidak ada switch yang tertutup. Saat salah satu
hook telepon diangkat, maka output gerbang
akan menjadi tinggi, menyebabkan input sesaat
IC latch disalurkan ke output kemudian
kondisinya mengunci (latch). Output akan
menghubungkan switch bersesuaian dengan
hook yang diangkat. Telepon tersebut
menduduki switch. Saat telepon lain diangkat,
tidak akan mengganggu kondisi switch selama
ia masih diduduki.
SELECTOR - LINE FINDER
(IC SWITCH 4066)
SLIC
TELEPHONE
LINE
SLIC
VOICE
CHANNEL
SLIC
SLIC
SLIC
SWITCH
CONTROL
HOOK
DETECT
IC QUAD
LATCH
SELECTOR - LINE FINDER
(IC SWITCH 4066)
SLIC
SLIC
TELEPHONE
LINE
VOICE
CHANNEL
SLIC
SLIC
SLIC
SWITCH
CONTROL
HOOK DETECT
IC QUAD
LATCH
SWITCH CONTROL
DARI
SELECTOR LAIN
LINE FINDER CONTROLLER
SWITCH CONTROL
KE SELECTOR LAIN
Gambar 5. Line Finder Jamak
Kondisi di atas dapat dihindari dengan
menambahkan gerbang AND pada input
gerbang pengendali. Input gerbang AND berasal
dari line finder lain. Rangkaian lengkap
ditunjukkan pada gambar 5.
6. Implementasi Final Selector
Setelah menduduki line finder, pesawat
telepon yang diangkat menekan nomor telepon
yang dituju. Nomor dalam bentuk DTMF ini
akan menggerakkan final selector. Nada DTMF
akan dideteksi oleh DTMF detektor. DTMF
detector
atau
DTMF
receiver
dapat
menggunakan IC MT8870. Output DTMF
receiver akan didekodekan menggerakan switch.
Tetapi untuk menghindari pendudukan switch
terus menerus saat panggilan berakhir yang
disebabkan output DTMF receiver yang bersifat
mengambang (latch), maka pengontrolan juga
dikendalikan oleh sinyal call control yang
berasal dari output gerbang di line finder, serta
pin Std yang berasal dari DTMF receiver.
FINAL SELECTOR
(IC SWITCH 4066)
LINE FINDER CONTROLLER
Gambar 4. Line Finder Untuk Aplikasi Tunggal
5. Implementasi Line Finder Jamak
Untuk aplikasi line finder lebih dari satu,
diperlukan
rangkaian
kendali
yang
mengendalikan penggunaan switch satu persatu.
Jika line finder bertingkat hanya menggunakan
rangkaian pada gambar 4, maka saat salah satu
telepon diangkat, semua line finder akan
diduduki.
12
VOICE
CHANNEL
VOICE
CHANNEL
SWITCH
CONTROL
CALL
CONTROL
SET
Clk
D
LATCH
Q
BCD - DECIMAL
ENCODER
Std
DTMF RECEIVER
FINAL SELECTOR CONTROLLER
Gambar 6. Rangkaian Final Selector
Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 1 – JUNI 2005 (10 - 14)
Gambar 6 menunjukkan rangkaian
lengkap
final
selector.
Switch
akan
menghubungkan
voice
channel
telepon
pemanggil ke telepon yang dipanggil.
7. Implementasi SLIC
SLIC atau Subcriber Line Interface Card
adalah rangkaian antarmuka telepon pelanggan
yang melakukan fungsi suplai tegangan 48V,
perlindungan tegangan lebih, sinyal dering,
ringback tone, deteksi hook dan fungsi-fungsi
signaling pelanggan lainnya. Dalam sentral
digital, fungsi SLIC mencakup BORSCHT,
yakni battery feeding, overvoltage protection,
ringing, supervision, coding, hibrid dan test.
SLIC pada sentral umumnya dalam bentuk
modul kapasitas 8, 16 atau 32 telepon.
470
Sinyal
Dering
470
470
Kontrol
Dering
+48V
5V
MOV
10uF/
100V
10K
Sinyal
Suara
1
10K
Sinyal
Ringback Tone
2
10K
Deteksi
Hook
4
BD139
2x1N4148
100nF
10uF
4K7
5
4N25
100K
5V
Telepon
5V
OT600
10uF
10K
10K
dengan 2 buah zener diode bertolak belakang
yang memberikan stabilisasi nilai tegangan.
8. Implementasi Trunking
Trunking menghubungkan sentral ke
sentral lain. Saat panggilan keluar (outgoing
call), trunk dihubungkan ke final selector,
sedangkan saat panggilan masuk (incoming
call), trunk dihubungkan dengan line finder.
Sehingga dibutuhkan rangkaian khusus sebagai
antarmuka trunking. Gambar 8 menunjukkan
blok antarmuka trunking.
9. Komparasi Teknologi
Sistem step by step terintegrasi memiliki
kelebihan dibandingkan sentral step by step
konvensional. Hal ini disebabkan adanya
reduksi volume selector. Namun jika
dibandingkan teknologi common control, baik
sentral analog maupun sentral digital, sentral ini
memiliki banyak kekurangan.
Kebutuhan komponen relatif besar jika
implementasinya
menggunakan
teknologi
SSI/MSI serta komponen pasif yang terdapat di
pasaran. Untuk implementasi gambar 3,
membutuhkan 5 buah SLIC dengan kepadatan
25 komponen per SLIC, 3 buah line finder
dengan kepadatan 15 komponen per line finder,
membutuhkan 3 buah final selector dengan
kepadatan 10 komponen per unit.
Gambar 7. Rangkaian SLIC sederhana
Salah satu contoh rangkaian SLIC
ditunjukkan pada gambar 7. Suplai tegangan
telepon sebesar 48V akan mengalirkan arus
berkisar 20mA saat telepon diangkat. Arus akan
mengalir melalui optocoupler 4N25 melalui
rangkaian penarik arus BD139. Saat arus
mengalir menyebabkan tegangan pada pin
kolektor 4N25 akan turun dari 5V menjadi 0V.
Pin 5 ini akan berfungsi sebagai pendeteksi hook
saat telepon diangkat. Saat telepon akan diberi
nada dering (kondisi tertutup, on hook), kontrol
dering diberi tegangan yang menyebabkan rele
berpindah dari catuan 48V ke catuan tegangan
dering AC (sekitar 55Vac – 90Vac). Saat ingin
memberikan sinyal ringback tone, sinyal akan
dikopling melalui kopling capasitor, pembagi
tegangan dan trafo. Fungsi trafo digunakan
untuk mencegang tegangan 48V masuk ke line
finder maupun final selector.
Pencegahan tegangan lebih yang dapat
merusak rangkaian menggunakan MOV (Metal
Oxide Varistor), yakni komponen yang identik
Ke
Final Selector
Trunk
Interface
Ke
Line Finder
SLIC
Trunk
Gambar 8. Blok Antarmuka Trunk
Pada gambar 3, trunking hanya berfungsi
sebagai outgoing call, sehingga dibutuhkan 1
rangkaian interface trunk dengan komposisi 10
komponen. Sehingga perkiraan total komponen
berkisar 210 komponen tidak termasuk
catudaya.
Selain komposisi komponen rangkaian,
fitur telepon hanya terbatas pada incoming dan
outgoing call, tanpa dilengkapi fitur sentral pada
umumnya. Namun demikian, penggunaan
komponen VLSI, komponen surface mount dan
kombinasi step by step dengan common control
(penggunaan mikrokontroler) dapat menjadi
alternatif teknologi sentral berkapasitas kecil.
Implementasi Sistem Step by Step Switching Menggunakan Komponen
Terintegrasi (Suherman)
13
10. Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan
bahwa implementasi teknologi switching step by
step dengan komponen terintegrasi adalah
mungkin. Namun masih memiliki kekurangan
pada kepadatan komponen dan fitur sentral.
Daftar Pustaka
Sigit Haryadi,Ir, 1986, “Diktat Kuliah
Dasar Teknik Penyambungan Telepon”,
Pendidikan Ahli Teknik Telekomunikasi.
Suherman,ST., 2004, “Diktat Teknik
Jaringan Telekomunikasi”, Politeknik Caltex
Riau, Pekanbaru.
Suherman,ST.,
(Desember
2004)
“Modifikasi Sistem Pemrograman Pabx Mini
Dilengkapi
Rangkaian
Penguji”,
Jurnal
Ensikom, Vol.2 No.2, Medan.
14
Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 1 – JUNI 2005 (10 - 14)
RELE TEGANGAN ELEKTRONIK
1)
T.Ahri Bahriun 1)
Staf Pengajar Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik USU
Abstrak
Salah satu alat proteksi yang sangat dibutuhkan untuk mengamankan peralatan listrik ialah rele
tegangan. Rele ini berfungsi untuk memantau tegangan dan akan memberikan sinyal melalui kontakkontak keluarannya, jika tegangan yang dipantau lebih besar dari nilai maksimum atau lebih kecil dari
nilai minimum yang diperkenankan. Rele ini umumnya bekerja secara elektronik dan rangkaian yang
digunakan sangatlah sederhana, sehingga mudah untuk dipahami. Tulisan ini mencoba membahas
suatu rangkaian rele tegangan yang sangat sederhana.
Kata kunci: Rele, Tegangan, Proteksi.
Abstract
One of the protection equipments which is needed for protecting the electrical instruments is a
voltage relay. This relay function as to detect voltages and will send signals from its terminals when
the detect voltege greater than its maximum value or smaller than its minimum voltage rating. In
general this relay works electronically, and using simple circuits so it is easy to understand.
This paper try to explain a very simple voltage relay.
Keywords: relay, voltage, protection.
1. Pendahuluan
Salah satu hal yang harus dihindari pada
pengoperasian peralatan listrik ialah kelebihan
tegangan (overvoltage) ataupun kekurangan
tegangan (undervoltage). Kelebihan tegangan
hampir dapat dipastikan akan merusak setiap
peralatan listrik.
Hal ini umumnya akan
menyebabkan timbulnya panas yang belebihan
sehingga dapat menyebabkan terbakarnya
peralatan listrik tersebut.
Sebaliknya,
kekurangan tegangan belum tentu merusak
peralatan listrik. Pada beberapa peralatan listrik
seperti lampu pijar ataupun peralatan lain yang
bersifat resistip, kekurangan tegangan tidak akan
membahayakan peralatan tersebut. Tetapi bagi
beberapa peralatan lain seperti motor induksi,
kekurangan tegangan dapat menyebabkan faktor
daya (cos-ϕ) yang terlalu rendah. Hal ini akan
menyebabkan arus peralatan tersebut terlalu
besar, sehingga menimbulkan panas yang
berlebihan dan pada akhirnya akan merusak
peralatan tersebut. Untuk menghindari hal-hal
yang tidak diinginkan ini maka suatu panel
distribusi tegangan rendah umumnya dilengkapi
Rele Tegangan Elektronik (T. Ahri Bahriun)
dengan rele tegangan yang berfungsi untuk
memantau tegangan busbar. Jika nilai tegangan
ini keluar dari batas-batas aman maka rele ini
akan membuka pemutus CB utama sehingga
catuan daya ke panel tersebut akan diputus.
Selain rele tegangan panel ini juga dilengkapi
dengan beberapa peralatan proteksi lain, seperti
rele arus lebih (OCR), monitor fasa (RCP) dan
lain sebagainya. Tulisan ini hanya membahas
tentang rele tegangan.
2. Prinsip Kerja Dasar
Rele tegangan elektronik umumnya
mendeteksi besarnya tegangan melalui trafo
tegangan atau yang lebih dikenal sebagai PT
(potensial transformer).
PT berfungsi untuk
menurunkan tegangan yang masuk ke rele dan
sekaligus mengisolasi rele dari tegangan
rangkaian yang diukur. Masukan PT umumnya
adalah 110V atau 220V sedangkan keluarannya
adalah tegangan yang berkisar antara 12V
hingga 24V, tergantung dari rangkaian yang
digunakan.
Tegangan keluaran PT ini
selanjutnya dibandingkan dengan dua tegangan
15
acuan, sebut saja VA untuk tegangan acuan atas
dan VB untuk tegangan acuan bawah. Jika
tegangan keluaran PT lebih besar dari VA maka
rele keluaran pertama akan diaktipkan.
Sebaliknya jika tegangan keluaran PT lebih
kecil dari VB maka rele keluaran kedua yang
akan diaktipkan
Untuk memudahkan proses perbandingan
maka besaran yang dibandingkan adalah
tegangan searah.
Untuk itu maka tegangan
keluaran PT harus terlebih dahulu diubah
menjadi tegangan searah. Besarnya tegangan
searah
yang
dihasilkan
selanjutnya
dibandingkan dengan tegangan acuan yang
dapat diatur.
Agar dapat mengabaikan kelebihan atau
kekurangan tegangan yang berlangsung sesaat
(transient), maka rele tegangan biasanya
dilengkapi dengan rangkaian tunda (delay) yang
dapat menunda kerja kontak keluaran. Lamanya
tundaan waktu dapat diatur, umumnya berkisar
antara 0 hingga 10 detik.
3. Rangkaian Rele Tegangan
Seperti telah disebutkan sebelumnya, rele
tegangan lebih ini mendeteksi tegangan melalui
suatu PT. Agar sesuai dengan alat-alat ukur lain
yang terpasang pada panel generator maka
tegangan masukan nominal dari rele tegangan
umumnya adalah 110V atau 220V. Karena rele
ini hanya membutuhkan daya yang kecil maka
PT yang digunakan adalah PT yang berdaya
sangat rendah, umumnya berkisar antara 2
sampai 5VA.
Untuk menghemat biaya
pembuatan maka seringkali PT yang sama
digunakan juga sebagai sumber daya bagi
rangkaian elektronik yang digunakan. Untuk itu
digunakan PT dengan dua buah belitan sekunder
yang terpisah.
Rancangan
yang dibahas
menggunakan dua buah trafo yang terpisah.
Dengan demikian diharapkan agar tegangan
yang dipantau tidak dipengaruhi oleh
pembebanan dari catudaya rangkaian elektronik.
D1
T1
R1
VS
INPUT
220V
C1
R2
D2
Gambar 1. Rangkaian masukan
Selanjutnya tegangan ini ditapis oleh kapasitor
C1 untuk menghilangkan kerut (ripple).
Besarnya tegangan jepit dari C1 adalah :
VC1 ≅ Vm –
dan
Vm ≅
I DC
4fC
2 x VSEK
dimana VSEK : tegangan sekunder trafo
IDC : arus beban
f : frekuensi jalajala
C : kapasitansi C1
adalah tegangan sekunder dari trafo T1.
Sebelum diteruskan ke rangkaian pembanding,
tegangan ini disesuaikan oleh tahanan R1 dan
R2 yang membentuk rangkaian pembagi
tegangan reisitip. Besarnya tegangan yang
diterima pembanding adalah :
VS =
R2
. VC1
R1 + R2
3.2. Rangkaian Pembanding Tegangan
Sebagai pembanding tegangan digunakan
opamp yang mempunyai faktor penguatan
tegangan loop terbuka (AV) yang mendekati tak
terhingga. Oleh karena itu jika tegangan pada
masukan tak-membalik sedikit lebih tinggi dari
tegangan pada masukan membaliknya maka
keluaran pembanding akan jenuh tinggi dan
bernilai mendekati nilai VCC (tegangan catuan).
Sebaliknya jika tegangan pada masukan
membalik sedikit lebih tinggi dari tegangan pada
masukan tak-membaliknya maka keluaran
pembanding akan jenuh rendah sehingga tegangannya mendekati nol.
Rangkaian dari
pembanding tegangan ini diperlihatkan pada
gambar-2.
3.1. Rangkaian masukan
Tegangan masukan diturunkan sekaligus
diisolasi oleh trafo T1 dan disearahkan oleh
dioda D1 dan D2, seperti yang diperlihatkan
pada gambar-1.
16
Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 1 – JUNI 2005 (15 - 19)
+12V
R3
+
VR1
VA
A1
KE
RANGKAIAN
TUNDA
VS
VR2
VB
+
A2
3.3. Rangkaian Tunda
Agar dapat mengabaikan kenaikan atau
penurunan tegangan yang berlaku sesaat
(transien), maka rele tegangan ini dilengkapi
dengan rangkaian tunda.
Untuk itu maka
keluaran dari rangkaian pembanding selain
diteruskan ke rangkaian penggerak rele
keluaran, juga dilewatkan melalui suatu
rangkaian tunda, seperti yang diperlihatkan pada
gambar-3.
-
N2
R4
DARI
KELUARAN
A1
D3
Gambar 2. Rangkaian pembanding tegangan
Penguat A1 membandingkan tegangan VS
yang dihubungkan ke masukan tak membaliknya
(non-inverting input) dengan tegangan acuan VA
yang dihubungkan ke masukan membaliknya
(inverting input). Tegangan acuan VA adalah
ambang
tegangan
maksimum
yang
diperkenankan.
Tegangan ini diperoleh dari kontak geser
(wiper) potensiometer VR1. Jika VS > VA maka
keluaran A1 akan jenuh positip sehingga
tegangan keluaran A1 akan mendekati tegangan
catu, yaitu 12VDC. Sebaliknya jika VS < VA
maka keluaran A1 akan jenuh negatip sehingga
tegangan keluarannya akan mendekati nol.
Penguat A2 membandingkan tegangan VS
yang dihubungkan ke masukan membaliknya
dengan tegangan acuan VB yang dihubungkan
ke masukan tak membaliknya. Tegangan acuan
VB adalah ambang tegangan minimum yang
diperkenankan.
Tegangan ini diperoleh dari
kontak geser potensiometer VR2. Jika VS < VB
maka keluaran A1 akan jenuh positip sehingga
tegangan keluaran A2 akan mendekati tegangan
catu. Sebaliknya jika VS > VB maka keluaran
A2 akan jenuh negatip sehingga tegangan
keluarannya akan mendekati nol. Oleh karena
itu agar tegangan keluaran dari penguat A1 dan
A2 mendekati nol maka besarnya tegangan VS
haruslah :
VB < VS < VA
Nilai tahanan R3, R4, VR1 dan VR2
ditentukan sedemikian rupa agar kisar
pengaturan VA memungkinkan kisar tegangan
masukan dari 220V hingga 240V dan kisar
pengaturan VA memungkinkan kisar tegangan
masukan dari 200V hingga 220V.
Rele Tegangan Elektronik (T. Ahri Bahriun)
N1
VR3
D4
DARI
KELUARAN
A2
R5
KE
PENGGERAK
RELE RL1
C2
N3
KE
PENGGERAK
RELE RL2
Gambar 3. Rangkaian tunda
Rangkaian tunda ini terdiri dari VR3, C2 dan
N1. Jika bernilai tinggi, keluaran penguat A1
dan A2 masing-masing akan meng-enable
gerbang N2 dan N3. Selain itu, kedua keluaran
ini juga akan mengisi kapasitor C2 melalui
dioda D3 dan D4 dan VR3.
Kapasitor C2 ini berfungsi untuk menunda
pengaktipan (enable) gerbang-gerbang N2 dan
N3 melalui gerbang N1. Ketiga gerbang ini
adalah gerbang AND dari keluarga CMOS
(Complementary Metal Oxide Semiconductor).
Tujuan penggunaan CMOS adalah untuk
mendapatkan nilai hambatan masukan yang
mendekati tak terhingga agar tidak membebani
kapasitor C2. Lamanya tundaan waktu adalah
sama dengan waktu yang dibutuhkan untuk
mengisi kapasitor C2 agar tegangan jepitnya
mencapai tegangan ambang (treshold) logika
tinggi dari gerbang N1. Lamanya tundaan
waktu dapat dinyatakan sebagai :
tD ≅ 0,7.VR3.C2 detik
Dengan mengatur nilai VR3 maka tundaan
waktu ini dapat disesuaikan dengan kebutuhan.
3.4. Rangkaian Penggerak Rele Keluaran
Rele tegangan yang dibahas mempunyai
dua buah rele keluaran. Satu untuk menyatakan
tegangan lebih dan satu untuk menyatakan
tegangan kurang.
Masing-masing rele ini
digerakkan oleh suatu transistor bipolar, seperti
yang diperlihatkan pada gambar-4.
17
+12V
D5
DARI
KELUARAN
N2
RL1
R6
Q1
R7
+12V
DARI
KELUARAN
N3
D6
RL2
R8
Q2
R9
Gambar 4. Rangkaian penggerak rele keluaran
Jika keluaran A1 bernilai tinggi pada akhir
tundaan waktu ini maka keluaran gerbang N2
akan tinggi sehingga memberikan arus basis
pada transistor Q1. Besarnya arus basis ini
adalah :
IB =
VOH − VBE VBE
−
R6
R7
dimana VOH : Tegangan keluaran logika tinggi
N2
VBE : Tegangan basis-emiter Q1
Hal ini akan menyebabkan Q1 menghantar
sehingga pada kolektornya akan mengalir arus
sebesar :
IC = hFE.IB
T2
D7
+12V
IC1
D8
7812
C3
dimana hFE adalah faktor penguatan arus searah
dari transistor yang digunakan. Arus kolektor
ini akan menyebabkan rele RL1 bekerja.
Sebaliknya jika keluaran A2 yang bernilai
tinggi pada akhir tundaan waktu ini maka
keluaran gerbang N3 yang akan tinggi sehingga
memberikan arus basis pada transistor Q2. Hal
ini akan menyebabkan Q2 menghantar sehingga
rele RL2 yang akan bekerja.
Dengan demikian maka akan tersedia satu
kontak untuk tegangan lebih dan satu kontak
untuk tegangan kurang. Untuk mendapatkan
sinyal yang menyatakan keduanya maka untuk
rele-rele RL1 dan RL2 dapat digunakan rele
dengan dua kontak, dimana kedua kontak
tersebut dihubungkan paralel atau seri,
tergantung pada kebutuhan.
18
3.5. Rangkaian Catu Daya
Opamp umumnya membutuhkan catudaya
ganda yang berkisar antara ±6VDC hingga
±18VDC atau catudaya tunggal yang berkisar
antara +12VDC hingga +36VDC. Gerbang CMOS
membutuhkan catudaya tunggal yang berkisar
antara +3VDC hingga +15VDC. Rele arus searah
tersedia untuk tegangan-tegangan 6, 12, 24, 110,
dan 220VDC. Agar dapat mencatu seluruh
komponen yang digunakan pada rangkaian maka
catuan yang dipilih adalah +12VDC. Untuk itu
maka rele keluaran yang digunakan adalah rele
dengan kumparan 12VDC. Tegangan catuan
sebesar +12VDC dapat diperoleh dari catudaya
yang diperlihatkan pada gambar-7.
Pada
catudaya ini, tegangan jala-jala diturunkan oleh
trafo tegangan T2 ke nilai yang sesuai. Trafo ini
sekaligus berfungsi untuk mengisolasi rangkaian
dari tegangan jala-jala. Selanjutnya tegangan
sekunder dari T2 disearahkan oleh pasangan
dioda D7 dan D8 yang membentuk penyearah
gelombang penuh, untuk selanjutnya ditapis
oleh kapasitor C3 untuk menghilangkan kerut.
Tegangan yang dihasilkan masih dipengaruhi
oleh pembebanan.
Oleh karena itu untuk
menstabilkan tegangan ini digunakan regulator
seri berupa suatu rangkaian terpadu atau IC
(integrated circuit) tipe LM7812.
C4
C5
C6
Gambar 5. Rangkaian catudaya
IC regulator ini akan mempertahankan tegangan
keluarannya sebesar +12VDC untuk tegangan
masukan yang berkisar dari +14VDC hingga
+35VDC.
Daya yang hilang atau disipasi daya
pada regulator adalah :
PD ≅ (VIN – 12V).IL Watt
dimana PD : disipasi daya
VIN : tegangan masukan regulator
IL : arus beban
Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 1 – JUNI 2005 (15 - 19)
Disipasi daya ini akan diubah menjadi
panas. Agar regulator tidak menjadi terlalu
panas maka panas ini harus dibuang dengan
menggunakan pendingin atau heatsink. Agar
daya yang hilang tidak terlalu banyak maka VIN
harus dibuat serendah mungkin, namun dapat
mengantisipasi turun naiknya VIN disebabkan
oleh perubahan arus beban dan turun naiknya
tegangan jala-jala.
Keluaran dari regulator ini ditapis lebih
lanjut oleh kapasitor C6 untuk menghiangkan
kerut sehingga pada keluaran regulator akan
diperoleh tegangan searah sebesar +12VDC yang
benar-benar stabil dan bebas kerut.
Kapasitor C4 dan C5 berfungsi untuk
menjamin agar IC regulator tidak berosilasi,
sesuai dengan yang dianjurkan oleh pabrik
pembuatnya.
4. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat diambil
beberapa kesimpulan, antara lain ialah:
1. Rele arus lebih dapat dibuat dengan
menggunakan rangkaian elektronik yang
sederhana.
2. Besarnya arus nominal dapat diatur dengan
menggunakan CT dengan perbandingan
yang sesuai.
Rele Tegangan Elektronik (T. Ahri Bahriun)
3. Pada rele yang dibahas, setting waktu dan
arus adalah independen sehingga tidak
saling mempengaruhi.
4. Pada rele arus lebih 3-fasa yang dibahas,
setting arus dari setiap fasa adalah
independen sehingga dapat diatur secara
terpisah.
Daftar Pustaka
Deboo G. J., Burrous C. N., 1977,
Integrated Circuits and Semiconductor Devices
: Theory and Application, 2nd edition, McGrawHill Kogakusha Ltd.,.
Fairchild Semiconductor,
Integrated Circuits Data Book.
1988,
CMOS
Jha, R. S., Switchgear and Protection,
1979, Dhanpat Rai & Sons, Delhi.
Lowenberg, C. L., 1976, Electronic
Circuits, McGraw-Hill, New York, page 50.
Millman J. , Halkias C. C. , 1972,
Integrated Electronics Analog and Digital
Systems, McGraw-Hill, New York, page 233.
Smith R. J., 1987, Electronics Circuits and
Devices, 3rd edition, John Wiley & Sons
19
KAJIAN PEMANFAATAN SISTEM TEKNOLOGI
PEMBANGKIT TENAGA GASIFIKASI BATUBARA
1}
Tulus Burhanuddin Sitorus1)
Staf Pengajar Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik USU
Abstrak
Sumber energi batubara diperkirakan sebesar 36.5 milyar ton, dengan sekitar 5.1 milyar ton
dikategorikan sebagai cadangan terukur. Produksi batubara pada tahun 1995 mencapai sebesar 44 juta
ton. Sekitar 33 juta ton dieksport dan sisanya sebesar 11 juta ton untuk konsumsi dalam negeri. Dari
jumlah 11 juta ton tersebut 60 % atau sekitar 6.5 juta ton digunakan untuk pembangkit listrik, 30 %
untuk industri semen dan sisanya digunakan untuk rumah tangga dan industri kecil. Permasalahan
utama dalam pemanfaatan batubara adalah wujud batubara yang berupa zat padat sehingga kurang
luwes dalam transportasinya. Disamping itu batubara mengandung sulfur, nitrogen dan abu dalam
jumlah besar sehingga gas buang hasil pembakaran menghasilkan polutan seperti SO2 dan NO2 serta
abu terbang. Pembakaran batubara juga menghasilkan CO2 yang berperan dalam proses pemanasan
global.
Kata kunci : energi batubara, pembangkit listrik, wujud batubara, polutan, pemanasan global
Abstract
Energy sources of coal estimated 36,5 billion ton and 5,1 billion ton as measureable reseve. Coal
production in 1995 achieve 44 million ton. Thereabouts 33 million ton is exported and 11 million ton
remainder for consumption of country. Around 60% is used for powerplant, 30% for cement industries
and the remainder for household and home industries. The main problem in coal using is shape of
coal. Besides the coal contains sulfur, nitrogen and ash in large quantity so gas exhaust of combustion
yield pollutant like SO2, NO2 and fly ash. Coal combustion also yield CO2 which make global
warming process.
Keywords : coal energy, power plant, shape of coal, pollutant, global warming
I.
Pendahuluan
Keterbatasan cadangan minyak bumi
menjadi hal yang hangat di bahas saat ini
disamping cadangan gas alam serta cadangan
batubara yang melimpah. Sumber daya energi
batubara diperkirakan sebesar 36.5 milyar ton,
dengan sekitar 5.1 milyar ton dikategorikan
sebagai cadangan terukur. Sumber daya ini
sebagian besar berada di Kalimantan yaitu
sebesar 61 %, di Sumatera sebesar 38 % dan
sisanya tersebar di wilayah lain. Menurut
jenisnya dapat dibagi menjadi lignite sebesar
58.6 %, sub-bituminous sebesar 26.6 %,
bituminous sebesar 14.4 % dan sisanya sebesar
0.4 % adalah anthracite (Agus S. 1995). Tahun
20
1995 produksi batubara mencapai sebesar 44
juta ton dimana sekitar 33 juta ton dieksport dan
sisanya sebesar 11 juta ton digunakan untuk
konsumsi dalam negeri. Dari jumlah 11 juta ton
tersebut 60 % atau sekitar 6.5 juta ton digunakan
untuk pembangkit listrik, 30 % untuk industri
semen dan sisanya digunakan untuk rumah
tangga serta industri kecil. Dalam 10 tahun
terakhir, penggunaan batubara dalam negeri
terus mengalami pertumbuhan sejalan dengan
pertumbuhan perekonomian dan industrialisasi
dimana sektor energi listrik merupakan sektor
yang mengkonsumsi batubara paling besar.
Hingga kini sekitar 30 % dari total
pembangkitan menggunaan bahan bakar
Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 1 – JUNI 2005 (20 - 26)
Gambar 1. Data Historis dan Proyeksi Pembangkit Listrik (sumber : Agus S., 1995)
batubara. Hal yang menjadi permasalahan utama
dalam pemanfaatan batubara adalah wujud
batubara yang berupa zat padat sehingga kurang
luwes dalam sistem transportasinya. Disamping
itu batubara mengandung sulfur, nitrogen, dan
abu dalam jumlah besar sehingga gas buang
hasil pembakaran menghasilkan polutan seperti
SO2, NO2 dan abu terbang. Pembakaran
batubara juga menghasilkan CO2 yang berperan
dalam proses pemanasan global. Permasalahan
tersebut terus dicari pemecahannya melalui
riset-riset yang telah dan sedang dikembangkan
saat ini. Aktivitas riset dalam PLTU batubara
saat ini telah melahirkan konsep baru yang
menjanjikan
dapat
menaikkan
efisiensi,
mengurangi emisi polutan dari gas buang serta
menghasilkan limbah yang minimum. Konsep
baru tersebut adalah teknologi pembakaran
fluidized bed dan teknologi gasifikasi batubara.
Di dalam tulisan ini akan dikaji mengenai sistem
teknologi
gasifikasi
batubara
sebagai
pembangkit tenaga listrik di Indonesia.
II.
Pembahasan
Penggunaan tenaga listrik di Indonesia
selama 20 tahun terakhir ini mengalami
peningkatan yang cukup pesat, yaitu sebesar
14.5 % per tahun. Pada tahun 1971
penggunaannya baru sebesar 2.5 TWh dan
meningkat mencapai 38.6 TWh pada tahun
1991. Penggunaan tenaga listrik ini diperkirakan
masih terus berkembang meskipun tingkat
pertumbuhannya akan berkurang. Dari studi
MARKAL, kebutuhan tenaga listrik dalam 25
tahun mendatang akan mengalami pertumbuhan
sebesar 7.8 % per tahun. Gambar 1
memperlihatkan data historis pemakaian tenaga
listrik dan proyeksi penyediaan tenaga listrik
untuk tiap jenis bahan bakar sampai tahun 2021.
Saat ini kebutuhan tenaga listrik
sebagian besar dipenuhi oleh PLTU berbahan
bakar minyak bumi diikuti dengan gas alam dan
batubara. Dengan program diversifikasi energi
maka prioritas untuk pembangkit listrik adalah
menggunakan bahan bakar batubara karena
cadangan batubara masih sangat melimpah dan
harganya kompetitif dibandingkan dengan
minyak bumi dan gas alam. Sesuai dengan
program tersebut penggunaan batubara untuk
pembangkit tenaga listrik terus ditingkatkan.
Pada tahun 1996 kebutuhan tenaga listrik sekitar
140.7 TWh dan penggunaan batubara sebagai
bahan bakar pangsanya baru sekitar 21 % dari
total pembangkitan, sedangkan pada tahun 2021
kebutuhan mencapai 617.9 TWh dan pangsa
penggunaan batubara sudah mencapai 78 %.
Pemakaian batubara dalam jumlah besar ini
dapat menimbulkan dampak lingkungan bila
kurang tepat dalam pemilihan teknologinya
sehingga
pemanfaatan
batubara
untuk
pembangkit listrik di masa mendatang perlu
menerapkan teknologi batubara bersih, seperti
IGCC (Integrated Gasification Combined
Cycle).
II.1. Teknologi IGCC
Teknologi IGCC merupakan salah satu
teknologi batubara bersih. IGCC merupakan
istilah yang paling banyak digunakan untuk
Kajian Pemanfaatan Sistem Teknologi Pembangkit Tenaga Gasifikasi Batubara
(Tulus Burhanuddin Sitorus)
21
menyatakan siklus kombinasi gasifikasi
batubara terintegrasi. Namun demikian masih
ada beberapa istilah yang digunakan yaitu
ICGCC (Integrated Coal Gasification Combined
Cycle) dan CGCC (Coal Gasification Combined
Cycle) yang pengertiannya sama dan selanjutnya
akan digunakan istilah IGCC. Komponen utama
dalam riset IGCC adalah pengembangan teknik
gasifikasi batubara. Gasifikasi batubara pada
prinsipnya adalah suatu proses perubahan
batubara menjadi gas yang mudah terbakar.
Proses ini melalui beberapa proses kimia dalam
reaktor gasifikasi (gasifier). Mula-mula batubara
yang sudah diproses secara fisis diumpankan ke
dalam reaktor dan akan mengalami proses
pemanasan sampai temperatur reaksi serta
mengalami proses pirolisa (menjadi bara api).
Kecuali bahan pengotor, batubara bersama-sama
dengan
oksigen
dikonversikan
menjadi
hidrogen, karbon monoksida, dan methana.
Proses gasifikasi batubara berdasarkan sistem
reaksinya dapat dibagi menjadi empat macam
yaitu : fixed bed, fluidized bed, entrained flow
dan molten iron bath (Gambar 2).
Dalam fixed bed, serbuk batubara yang
berukuran antara 3 - 30 mm diumpankan dari
atas reaktor dan akan menumpuk karena gaya
beratnya. Uap dan udara (O2) dihembuskan dari
bawah berlawanan dengan masukan serbuk
batubara akan bereaksi membentuk gas. Reaktor
tipe ini dalam prakteknya mempunyai beberapa
modifikasi diantaranya adalah proses Lurgi,
British Gas dan KILnGas. Sedangkan proses
yang menggunakan prinsip fluidized bed adalah
High-Temperature Winkler, Kellog Rust
Westinghouse dan U-gas. Dalam fluidized bed
gaya dorong dari uap dan O2 akan setimbang
dengan gaya gravitasi sehingga serbuk batubara
dalam keadaan mengambang pada saat terjadi
proses gasifikasi. Serbuk batubara yang
digunakan lebih halus dan berukuran antara 1 - 5
mm. Dalam entrained flow serbuk batubara yang
berukuran 0.1 mm dicampur dengan uap dan O2
sebelum diumpankan ke dalam reaktor. Proses
ini telah digunakan untuk memproduksi gas
sintetis dengan nama proses Koppers-Totzek.
Proses yang sejenis kemudian muncul seperti
proses PRENFLO, Shell, Texaco dan DOW.
Proses
molten
iron
bath
merupakan
pengembangan dalam proses industri baja.
Serbuk batubara diumpankan ke dalam reaktor
bersama-sama dengan kapur dan O2. Kecuali
proses molten iron bath semua proses telah
digunakan untuk keperluan pembangkit listrik.
Saat
ini
teknologi
IGCC
sudah
dikembangkan di seluruh dunia, seperti : Jepang,
Belanda, Amerika Serikat dan Spanyol. Di
samping proses gasifikasi yang terus mengalami
perbaikan, gas turbin jenis baru juga terus
dikembangkan. Temperatur masukan gas turbin
yang tinggi akan dapat menaikkan efisiensi dan
ini dapat dicapai dengan penggunaan material
baru dan perbaikan sistem pendinginnya. Prinsip
kerja dari IGCC ditunjukkan pada Gambar 3.
IGCC merupakan
perpaduan teknologi gasifikasi batubara dan
proses pembangkitan uap. Gas hasil gasifikasi
batubara mengalami proses pembersihan sulfur
dan nitrogen. Sulfur yang masih dalam bentuk
H2S dan nitrogen dalam bentuk NH3 lebih
mudah dibersihkan sebelum dibakar dari pada
sudah dalam bentuk oksida dalam gas buang.
Sedangkan abu dibersihkan dalam reaktor
gasifikasi. Gas yang sudah bersih ini dibakar di
Gambar 2. Tipe Reaktor Gasifikasi (sumber : R. Muller 1988)
22
Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 1 – JUNI 2005 (20 - 26)
ruang bakar dan kemudian gas hasil pembakaran
disalurkan ke dalam turbin gas untuk
menggerakkan generator.
Gas buang dari turbin gas dimanfaatkan
dengan menggunakan HRSG (Heat Recovery
Steam Generator) untuk membangkitkan uap.
Uap dari HRSG (setelah turbin gas)
digabungkan dengan uap dari HRSG (setelah
reaktor
gasifikasi)
digunakan
untuk
menggerakkan
turbin
uap
yang
akan
menggerakkan generator.
Gambar 3. Prinsip Kerja Pembangkit Listrik IGCC (sumber : R. Muller, 1988)
II.2. Tinjauan dari Aspek Ekonomi dan
Lingkungan
Secara ekonomi, pembangkit listrik IGCC
saat ini mempunyai biaya investasi yang lebih
tinggi bila dibandingkan dengan PLTU batubara
konvensional. Tetapi peneliti pada perusahaan
gasifier Texaco memperkirakan bahwa biaya
investasi pembangkit listrik IGCC dapat
bersaing dengan PLTU batubara konvensional
karena faktor efisiensi. Untuk IGCC yang
mempunyai unit lebih besar dari 400 MW dapat
bersaing, sedangkan yang lebih kecil dari 200
MW akan lebih mahal bila dibandingkan dengan
PLTU batubara konvensional. Faktor lain yang
menjadi pertimbangan penggunaan teknologi
IGCC adalah ramah terhadap lingkungan.
Kadar sulfur batubara Indonesia cukup
rendah yaitu sekitar 0.1 % sampai dengan 1.0 %.
Tabel 1. Perbandingan Biaya PLTU Batubara Konvensional dan IGCC
Biaya investasi sudah termasuk interest during construction (sumber : BPPT-KFA, 1995)
Kajian Pemanfaatan Sistem Teknologi Pembangkit Tenaga Gasifikasi Batubara
(Tulus Burhanuddin Sitorus)
23
Sedangkan kadar abu berkisar antara 1.2 %
sampai dengan 15 %. Kadar sulfur dan abu ini
sangat rendah bila dibandingkan dengan negara
lain Akan tetapi penggunaan batubara yang
meningkat pesat dan standar lingkungan hidup
yang makin baik tetap membutuhkan teknologi
batubara bersih. Standar tersebut mengacu
kepada Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup No.KEP-13/MENLH/3/1995 dan khusus
untuk PLTU batubara dirangkum pada Tabel 3.
Tabel 2. Baku Mutu Emisi PLTU Berbahan Bakar Batubara
(sumber : R. Muller, 1988)
Penggunaan teknologi PLTU batubara
konvensional saat ini mempunyai kekurangan
yaitu efisiensinya rendah yang berkisar antara
33 - 36 %[2]. Efisiensi ini dapat ditingkatkan
dengan membangun unit pembangkit yang lebih
besar atau dengan menaikkan suhu dan tekanan
dalam siklus panasnya. Cara ini mempunyai
keterbatasan dan menambah tingkat kerumitan
dalam pemilihan materialnya. Disamping itu
tuntutan ramah lingkungan akan menambah
biaya pembangkitan karena adanya penambahan
peralatan seperti : de-SOX (desulfurisasi), deNOX (denitrifikasi), dan penyaring debu
(electrostatic
precipitator).
Pemasangan
peralatan ini juga akan mengurangi efisiensi
total pembangkit listrik. Teknologi IGCC ini
mempunyai kelebihan yaitu dalam hal bahan
bakar : tidak ada pembatas untuk tipe, ukuran,
dan kandungan abu dari batubara yang
24
digunakan. Dalam hal lingkungan : emisi SO2,
NOX, CO2 serta debu dapat dikurangi tanpa
penambahan peralatan tambahan seperti de-SOX
dan de-NOX dan juga limbah cair serta luas
tanah yang dibutuhkan juga berkurang.
Disamping itu pembangkit listrik IGCC
mempunyai produk sampingan yang merupakan
komoditi yang mempunyai nilai jual seperti :
sulfur, asam sulfat dan gypsum. Efisiensi
pembangkit listrik ICGG berkisar antara 38 - 45
% yang lebih tinggi 5 - 10 % dibandingkan
PLTU batubara konvensional. Hal ini
dimungkinkan dengan adanya proses gasifikasi
sehingga energi yang terkandung dalam
batubara dapat digunakan secara efektif dan
digunakannya HRSG untuk membentuk suatu
siklus kombinasi antara turbin gas dan turbin
uap.
Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 1 – JUNI 2005 (20 - 26)
Gambar 4. Perbandingan Operasional PLTU Batubara Konvensional dengan IGCC (sumber : R. Muller, 1988)
Pada sistem IGCC, sekitar 95 - 99 % dari
kandungan sulfur dalam batubara dapat
dihilangkan sebelum pembakaran. NOX dapat
dikurangi sebesar 70 - 93 % dan CO2 dapat
dikurangi sebesar 20 - 35 % (emisinya berkisar
antara 0.75-0.85 kg CO2/kWh) dibandingkan
dengan PLTU batubara konvensional. Dengan
tingkat emisi yang rendah maka dapat untuk
mencegah terjadi hujan asam karena emisi
polutan SO2 dan NOX serta mencegah
terjadinya pemanasan global karena emisi CO2
(Yunus A. Cengel, 1998). Hal yang menarik
dalam sistem IGCC adalah pembangunannya
dapat dilakukan secara bertahap yaitu tahap
pertama berupa pembangunan turbin gas dan
perlengkapan pembangkit listrik, tahap kedua
pembangunan sistem siklus kombinasi, dan
tahap ketiga pembangunan unit gasifikasi.
Pembangunan dua tahap yang pertama
memerlukan biaya investasi yang relatif kecil
dan sudah dapat menghasilkan tenaga listrik.
Investasi yang besar hanya dibutuhkan pada saat
pembangunan tahap ketiga dan dilaksanakan
bila sudah dinilai ekonomis untuk mengganti
bahan bakar dari gas alam dengan batubara.
Disamping itu sistem IGCC didesain secara
modular sehingga mudah untuk dikembangkan
menjadi unit yang lebih besar kapasitasnya pada
saat kebutuhan tenaga listrik sudah meningkat.
Untuk Indonesia sekitar tahun 2015 PLTU
batubara konvensional yang digunakan saat ini
sudah habis masa gunanya (life time) sehingga
penggunaan
pembangkit
listrik
IGCC
merupakan teknologi alternatif yang patut
dipertimbangkan.
III. Kesimpulan
Pemakaian tenaga listrik di Indonesia
selama 20 tahun terakhir ini mengalami
peningkatan yang cukup pesat yaitu 14.5 % per
tahun dan dalam 25 tahun mendatang
diperkirakan akan terus mengalami peningkatan
dengan pertumbuhan sebesar 7.8 % per tahun.
Pangsa penggunaan batubara untuk pembangkit
listrik terus meningkat pesat dari 21 % pada
tahun 1996 menjadi 78 % pada tahun 2021.
Pemakaian batubara dalam jumlah besar ini
harus menerapkan teknologi batubara bersih,
salah satunya yaitu IGCC, supaya dampak
lingkungannya
minimum
karena
setiap
pembangkit tenaga sudah tentu mempunyai
pengaruh terhadap lingkungannya terutama
menyangkut polusi yang ditimbulkannya. Polusi
dari pembangkit tenaga yang secara langsung
mempengaruhi lingkungan yaitu hasil dari
proses pembakaran (gas buang dan abu) dan
panas buangan serta suara. Gas buang dapat
mengandung H2O, N2, O2, NO, NO2, CO2, CO,
SO2, SO3, abu, logam-logam berat, dan lain
sebagainya dimana selain H2O, N2, O2 ,yang
Kajian Pemanfaatan Sistem Teknologi Pembangkit Tenaga Gasifikasi Batubara
(Tulus Burhanuddin Sitorus)
25
lainnya dapat memberikan pengaruh negatif
terhadap lingkungan (Challilullah R., 1997).
Pembangkit
listrik
IGCC
mempunyai
keunggulan bila dibandingkan dengan PLTU
konvensional dengan tambahan de-SOX dan deNOX dalam hal dampak lingkungan. Bagi
Indonesia pembangkit listrik IGCC merupakan
teknologi alternatif yang patut dipertimbangkan
untuk
menggantikan
PLTU
batubara
konvensional yang akan habis masa gunanya.
Daftar Pustaka
Agus Sugiyono “Teknologi Daur Kombinasi
Gasifikasi Batubara Terintegrasi”, Peneliti
Bidang Energi-BPPT,1995.
BPPT-KFA, Technology Assessment for Energy
Related CO2 Reduction Strategies for
Indonesia, Final report, July 1995.
Chalilullah Rangkuti, Dr.Ir.MSc, “Siklus
Kombinasi Pembangkit Tenaga Turbin
Gas dan Uap”, Edisi pertama Juli 1997,
USU Press, Medan.
Departemen Pertambangan dan Energi, Repelita
V Sektor Pertambangan dan Energi, 1
April 1989.
Nengah Sudja Dr. Ing, “Prospek Pemanfaatan
Gas Bumi untuk Pembangkit Tenaga”
R. Muller and U. Schiffers, Pressurized Coal
Gasification for the Combined-Cycle
Process, VGB Kraftwerkstechnik 68,
Number 10, 1988
Yunus A.Cengel, Dr, Michael A.Boles, Dr,
“Thermodynamics
An
Engineering
Approach” Third Edition, Mc-Graw HillLtd, 1998.
26
Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 1 – JUNI 2005 (20 - 26)
PENGUKURAN TAHANAN GRID PEMBUMIAN
PADA MODEL LAPISAN TANAH YANG TIDAK UNIFORM
1)
Zulkarnaen Pane 1)
Staf Pengajar Jurusan Teknik Elektro FT USU
Abstrak
Tulisan ini akan memaparkan penerapan pengujian model skala pada dua lapisan tanah yang tidak
uniform. Pengujian dilakukan pada bak elektrolitik untuk mengukur tahanan grid pembumian. Rincian
dari bak elektrolitik, peralatan dan rangkaian yang digunakan akan dijelaskan. Untuk memverifikasi
keakuratan dari hasil yang diperoleh melalui pengujian akan dibandingkan dengan hasil perhitungan.
Kata kunci: model skala, grid pembumian, dua lapis tanah
Abstract
This paper will explain the testing application of scale models for two non uniform earth layer. The
testing is done in an electrolytic tank for measuring the earth grid resistance.
The details of an electrolytictank, instruments and circuits which are used, will be explained. For the
verification the result’s accuracies of the testing will be compared by calculation.
Keywords: scale model, earth grid, two earth layer.
1.
Pendahuluan
Dengan semakin bertambahnya jumlah,
ukuran dan kompleksitas suatu gardu induk,
tuntutan untuk mengembangkan prosedur
perencanaan yang akurat untuk sistem
pembumian yang ekonomis dan memberikan
tingkat keamanan yang diharapkan menjadi
penting. Untuk keperluan perencanaan tersebut
telah dikembangkan berbagai teknik analitis
mulai dari rumus-rumus sederhana yang dapat
dikerjakan dengan tangan sampai dengan yang
menggunakan komputer. Disamping itu untuk
memverifikasi kedua teknik tersebut digunakan
pengujian model skala. Dengan menggunakan
model yang kecil dalam suatu bak elektrolitik
dapat ditentukan tahanan dan potensial
permukaan dari suatu sistem pembumian.
Tanah pada lokasi gardu induk adakalanya
tidak uniform atau terdiri dari dua lapisan tanah
yang berbeda tahanan jenisnya. Parameterparameter dari dua lapisan tanah adalah tahanan
jenis lapisan atas ρ1, ketebalan lapisan atas h,
dan tahanan jenis lapisan bawah ρ2 dengan
kedalaman yang tak berhingga. Perbedaan kedua
tahanan jenis ini dinyatakan oleh faktor refleksi
K yang didefensikan sebagai ( ρ2 - ρ1 )/ (ρ2 +
ρ1).
Studi model skala untuk sistem pembumian
grid pada dua lapisan tanah telah dilakukan oleh
(Mukhedkar 1972, Caldecott 1983 dan Thapar
1987). Dalam studi tersebut ketiganya
menggunakan air sebagai lapisan pertamanya.
Untuk lapisan kedua, Mukhedkar menggunakan
beton semen, Caldecott menggunakan agar-agar
dan Thapar menggunakan air. Dari ketiga studi
tersebut, dua studi yang pertama mempunyai
kekurangan yakni kesulitan untuk mengatur
tahanan jenis masing-masing lapisan seperti
yang diharapkan. Sementara itu, studi yang
dilakukan oleh Thapar karena ia menggunakan
air baik sebagai lapisan pertama maupun sebagai
lapisan kedua, akan lebih mudah mengatur-atur
tahanan jenisnya dengan manambahkan garam
ke dalam air sehingga dapat diperoleh nilai
tahanan jenis yang dikehendaki.
Tulisan ini akan membahas hasil penerapan
pengujian model skala yang telah dikembangkan
oleh Thapar untuk mengukur tahanan
pembumian grid pada dua lapisan tanah yang
tidak uniform. Pengukuran dilakukan dengan
menggunakan metoda dua titik dan metoda fall
of potential (IEEE Std. 81, 1983). Hasil
pengukuran tersebut akan dibandingkan dengan
hasil perhitungan dengan rumus sederhana yang
diturunkan oleh (Salama 1995).
Pengukuran Tahanan Grid Pembumian pada Model Lapisan Tanah
yang tidak Unifom (Zulkarnaen Pane)
27
2.
Prinsip Dasar Pemodelan
Untuk melaksanakan studi pemodelan dari
sistem pembumian grid gardu induk pada dua
lapisan tanah, model yang akan digunakan harus
merupakan tiruan (replika) dari grid pembumian
yang sebenarnya. Apabila semua dimensi fisik
sistem pembumian yang sebenarnya, seperti
diameter konduktor, panjang konduktor, jarak
antar konduktor dan kedalaman penanaman
elektroda pembumian diperkecil dengan suatu
faktor skala yang sama maka pola aliran arus
dan bentuk ekipotensial permukaan tidak akan
berubah (Thapar, 1983). Ini berarti bahwa profil
potensial yang diukur pada suatu model dapat
digunakan untuk menentukan potensial yang
sama pada grid yang sebenarnya. Oleh karena
itu adalah memungkinkan untuk menirukan
suatu sistem pembumian sebenarnya melalui
pemodelan skala.
Sebagai model dua lapisan tanah
digunakan air leding dan air bercampur garam
yang dimasukkan secara terpisah ke dalam dua
bak yang terbuat dari bahan konduktif (yang
sering juga disebut sabagai bak elektrolitik).
Agar air yang berbeda tahanan jenisnya tersebut
tidak bercampur satu sama lain, kedua bak
dipisahkan oleh lembaran akrilik. Pada lembaran
akrilik dipasang batang-batang tembaga
sehingga lapisan air di bak atas terhubung secara
elektris dengan air yang terdapat di bak bawah.
Tahanan jenis air pada masing-masing bak dapat
diubah-ubah dengan cara menambahkan garam
secukupnya sehingga diperoleh nilai faktor
refleksi yang dikehendaki. Model dari elektroda
grid dibuat dengan bentuk yang sama dengan
bentuk grid yang sebenarnya tetapi dengan
ukuran yang diperkecil dengan suatu faktor
skala tertentu dan dibuat dengan bahan yang
sama yaitu tembaga.
Pengujian dilakukan dengan mengisi kedua
bak elektrolitik dengan air yang berbeda tahanan
jenisnya, kemudian model elektroda pembumian
dimasukkan ke dalam bak lapisan pertama, pada
kedalaman tertentu. Arus pengujian sebagai
simulasi arus gangguan tanah diinjeksikan ke
model elektroda pembumian. Selanjutnya
dilakukan
berbagai
pengukuran
untuk
memperoleh
besaran-besaaran
yang
dikehendaki.
3.
Konstruksi Bak Elektrolitik
Pengujian model skala pada dua lapisan
tanah ini menggunakan dua buah bak elektrolitik
berukuran masing-masing 100 cm x 100 cm x
28
50 cm dan 100 cm x 100 cm x 51,5 cm yang
terbuat dari plat bergalvanis (galvanized iron)
dengan ketebalan 0,35 mm. Bak yang satu
diletakkan di atas bak yang lain, dimana pada
setiap sisi luar pinggiran permukaan bak bawah
ditambahkan plat dari bahan yang sama dengan
tinggi 1,5 cm, sehingga dasar dari bak atas
berada 1,5 cm di bawah permukaan bak bawah.
Konstruksi bak elektrolitik yang dilihat dari
samping dapat dilihat pada Gambar 1. Bak yang
bersifat konduktif ini digunakan sebagai
elektroda pengumpul (collecting electrode)
untuk arus listrik yang dialirkan pada elektroda
pembumian. Arus yang dialirkan melalui
elektroda pembumian akan terdistribusi secara
radial dengan bentuk setengah bola, jadi
walaupun bentuk bak yang digunakan berbentuk
persegi empat tidak menjadi masalah selama
ukuran bak tersebut cukup besar agar tidak
mengganggu aliran distribusi arus yang
diinjeksikan.
Setiap sisi bak bawah terbuat dari bahan
yang sama, sedangkan pada dasar dari bak atas
terbuat dari lembaran akrilik (acrylic sheet)
setebal 3 mm. Batang-batang tembaga (copper
pins) berdiameter 1,78 mm dengan panjang
masing-masing 15 mm ditanam menembus
lembaran akrilik, dimana panjang dari setiap
batang tembaga pada setiap sisi lembaran akrilik
6 mm, dan jarak tiap-tiap batang tembaga pada
permukaan lembaran akrilik adalah 10 mm.
Lembaran
akrilik
berfungsi
untuk
memisahkan air pada kedua bak agar tidak
bercampur satu dengan yang lain, dan pada saat
yang bersamaan batang-batang tembaga dapat
mengalirkan arus listrik dengan baik antara
kedua medium. Jadi, walaupun antara kedua
medium dibatasi dengan lembaran akrilik,
namun keberadaannya tidak menghalangi
distribusi arus yang mengalir antara kedua
medium.
Untuk memperkecil pengaruh terbatasnya
ukuran bak, maka ukuran model sistem
pembumian harus lebih kecil atau sama dengan
1/5 kali ukuran bak Dengan ukuran bak yang
tidak kurang dari 5 kali ukuran grid pembumian
ternyata aliran distribusi arus yang diinjeksikan
dan garis-garis ekipotensial yang timbul tidak
akan terganggu oleh dinding bak tersebut
[Thapar, 1987]. Setiap model elektroda
pembumian grid yang akan diuji digantung di
tengah rangka kayu berukuran 95 cm x 95 cm
(Gambar 2) dan diletakkan tepat di tengahtengah bak.
Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 1 – JUNI 2005 (27 - 33)
Bak atas yang terbuat dari plat
bergalvanis setebal 0,35mm
Lembaran Akrilik dengan
ketebalan 3mm
Batang-batang tembaga dengan
diameter 1,78mm dan panjang 15mm
Plat yang berfungsi sebagai
penyangga bak atas
Kayu; berfungsi sebagai
penyangga bak atas
terhadap tekanan air
Kayu yang berfungsi sebagai
penyangga bak bawah
terhadap tekanan air
Bak bawah yang terbuat dari
plat bergalvanis setebal 0,35mm
Gambar 1. Bak elektrolitik (tampak samping)
rangka kayu
A
S
C
V
probe
220 VAC
P
C
E
X
PTAC
grid
ρ1
95 cm
benang nilon
ρ2
grid
Gambar 3. Rangkaian pengujian tahanan pembumian
dengan metoda Fall of potential
Gambar 2. Model elektroda pembumian grid yang
digantung pada rangka kayu
A
S
95 cm
C
V
220 VAC
E
C
PTAC
Rangkaian Pengujian
Gambar 3 dan 4 memperlihatkan rangkaian
pengujian yang digunakan masing-masing untuk
metoda Fall of potential dan metoda dua titik.
Kapasitor C, 10 μF, berfungsi untuk mencegah
mengalirnya arus DC yang dapat ditimbulkan
karena ketidaksamaan bahan yang digunakan,
yaitu model grid pembumian yang terbuat dari
tembaga dan dinding bak yang terbuat dari plat
bergalvanis, serta menghindari terjadinya
polarisasi. Selama pengujian dioperasikan arus
sebsar 100 mA.
grid
4.
ρ1
ρ2
Gambar 4. Rangkaian pengujian tahanan pembumian
dengan Metoda Dua Titik
Pengukuran Tahanan Grid Pembumian pada Model Lapisan Tanah
yang tidak Unifom (Zulkarnaen Pane)
29
5.
Pelaksanaan Pengujian
Sebelum melakukan pengukuran terhadap
model elektroda grid, terlebih dahulu dilakukan
pengukuran tahanan jenis air pada kedua bak
dengan menggunakan metoda Wenner seperti
yang dijelaskan pada lampiran. Tahanan jenis air
pada masing-masing bak tersebut dapat diubah
dengan menambahkan garam (NaCl) pada salah
satu atau kedua bak, sehingga diperoleh tahanan
jenis air dan faktor refleksi yang berbeda.
Pengukuran tahanan grid pembumian dilakukan
dengan menggunakan parameter-parameter
sebagai berikut :
Ukuran grid
: 20 cm x 20 cm
Jumlah Mesh
: 16 dan 25
Diameter konduktor, do : 0,25 mm
Faktor refleksi K
: - 0, 372 dan 0,367
Kedalaman lapisan atas, h
: 5 cm;
7,5 cm; 10 cm
Kedalaman grid, hb
: 0,5 cm
Arus pengujian, I
: 100 mA
Untuk metoda Fall of Potential (Gambar
3), probe potensial (P) secara bertahap
digerakkan mulai dari pinggir model elektroda
pembumian grid hingga mendekati posisi probe
arus yang berada pada dinding bak (C). Untuk
setiap 0,5 cm pergerakan probe, catat dan
perhatikan tegangan yang terukur pada
voltmeter digital. Untuk metoda dua titik
(Gambar 4), posisi probe arus dan potensial
berada pada dinding bak (Q), catat besar
tegangan yang terukur pada voltmeter.
6. Data dan Analisis Hasil Pengujian
6.1 Tahanan Jenis Air
Besarnya tahanan jenis air yang diukur pada
bak elektrtolitik untuk masing-masing lapisan
(ρ1 dan ρ2) dapat dilihat pada Tabel 1 sampai
dengan Tabel 3.
Untuk memperoleh nilai faktor refleksi K
negatip maka lapisan pertama adalah air leding
dan lapisan kedua adalah air leding yang telah
dicampur dengan garam secukupnya (± 25
gram) sehingga diperoleh nilai tahanan jenis
lapisan kedua yang lebih kecil dari lapisan
pertama. Dari Tabel 1 dan 2 diperoleh bahwa
tahanan jenis air lapisan pertama (ρ1) rata-rata
adalah 75,72 Ω.m, tahanan jenis air lapisan
kedua ρ2 rata-rata adalah 34,69 Ω.m sehingga
diperoleh faktor refleksi K = - 0,372
30
Tabel 1. Tahanan jenis air lapisan pertama, air
leding (ρ1)
a (cm)
14
16
18
I (mA)
10
20
10
20
10
20
V
(volt)
0.874
1.744
0.754
1.502
0.663
1.321
R
(ohm)
87.40
87.20
75.40
75.10
66.30
66.05
ρ = 2πaR
(Ω.m)
76.84
76.67
75.76
75.46
74.95
74.66
Tabel 2. Tahanan jenis air lapisan kedua, air
leding ditambah dengan garam (ρ2)
a (cm)
14
16
18
I
(mA)
V
(volt)
R
(ohm)
10
20
10
20
10
20
0.405
0.804
0.348
0.690
0.300
0.595
40.50
40.20
34.80
34.50
30.00
29.75
ρ
=
2πaR
(Ω.m)
35.61
35.34
34.97
34.67
33.91
33.63
Untuk memperoleh nilai faktor refleksi K
positip lapisan kedua adalah air yang sama
dengan pengujian sebelumnya dan lapisan
pertama adalah air leding yang dicampur dengan
garam secukupnya (± 50 gram). Dari Tabel 3
dapat dilihat bahwa tahanan jenis air lapisan
pertama (ρ1) rata-rata adalah 16,09 Ω.m.
Dengan ρ2 = 34,69 Ω.m diperoleh faktor refleksi
K = - 0,367
Tabel 3. Tahanan jenis air lapisan pertama, air
leding ditambah dengan garam (ρ1)
a (cm)
14
16
18
I (mA)
10
20
10
20
10
20
V
(volt)
0.186
0.367
0.158
0.311
0.136
0.304
R
(ohm)
18.60
18.35
15.80
15.55
13.60
15.20
ρ = 2πaR
(Ω.m)
16.35
16.13
15.88
15.62
15.37
17.18
6.2 Tahanan Pembumian
6.2.1. Metoda Fall of Potential
Hasil pengukuran tahanan pembumian
dengan metoda Fall of potential untuk model
grid pembumian berjumlah 16 dan 25 mesh
dapat dilihat pada Tabel 4.
Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 1 – JUNI 2005 (27 - 33)
Tabel 4. Hasil pengukuran dengan metoda Fall
of Potential
No.
Jumlah
Mesh
Kedalaman
lapisan
atas,
h
(cm)
5
7,5
10
5
7,5
10
5
7,5
10
5
7,5
10
Faktor
refleksi,
K
−0,372
1.
16
0,367
−0,372
2.
25
0,367
Tahanan,
R
(ohm)
116,9
123,9
127,3
47,8
43,5
41,2
112,1
118,2
121,7
46,7
41,7
39,2
6.2.2. Metoda Dua Titik
Hasil pengukuran tahanan pembumian dengan
metoda Dua Titik untuk setiap model grid
pembumian dapat dilihat pada Tabel 5 berikut :
Tabel 5. Hasil Pengukuran Dengan Metoda Dua Titik
No.
Jumlah
Mesh
Faktor
refleksi,
K
−0,372
1.
16
0,367
−0,372
2.
25
0,367
Kedalaman
lapisan
atas,
h
(cm)
5
7,5
Tahanan,
R (ohm)
129,30
137,80
10
143,30
5
51,10
7,5
47,40
10
45,20
5
125,70
7,5
134,10
10
139,40
5
50,20
7,5
46,60
10
44,40
Dari Tabel 4 dan 5 dapat dilihat bahwa
untuk harga faktor refleksi K negatip yaitu di
mana lapisan pertama lebih resistif dari lapisan
kedua, semakin dalam lapisan atas h semakin
besar harga tahanan pembumian, sedangkan
untuk harga K positif yaitu di mana lapisan
pertama lebih konduktif dari lapisan kedua
semakin dalam lapisan atas h semakin kecil
harga tahanan pembumian. Sementara itu, untuk
harga K yang sama, semakin banyak jumlah
mesh suatu grid semakin kecil harga tahanan
pembumiannya. Selanjutnya, untuk jumlah mesh
yang sama, harga tahanan pembumian untuk K
positif lebih kecil dari harga tahanan
pembumian untuk K negatif, atau dengan
perkataan lain jika lapisan tanah pertama dimana
sistem pembumian itu berada semakin
konduktif, maka tahanan pembumiannya
semakin kecil
6. 3 Hasil Perbandingan
Nilai tahanan pembumian sebenarnya dari
hasil pengujian yang dilakukan terhadap model
grid pembumian selanjutnya dibandingkan
dengan harga tahanan pembumian yang dihitung
berdasarkan Persamaan 1 pada lampiran. Hasil
perbandingannya dapat dilihat pada Tabel 6.
Perbedaan diantara kedua harga tahanan tersebut
(persen kesalahan) dapat dihitung berdasarkan
persamaan berikut :
Persen kesalahan (%Error) =
Rhitung − Rukur
Rhitung
x100%
Harga-harga persen kesalahan untuk kedua
model grid pembumian tersebut dapat dilihat
pada Tabel 6 kolom error (%). Dari kolom
tersebut dapat dilihat bahwa harga tahanan yang
diperoleh dari pengukuran melalui pengujian
model skala cukup dekat dengan hasil
perhitungan secara teoritis. Untuk pengukuran
dengan Metoda Fall of potential diperoleh
persen kesalahan di bawah 15%, sedangkan
dengan menggunakan metoda Dua Titik
diperoleh persen kesalahan yang lebih kecil lagi,
yaitu di bawah 2%.
Dengan demikian, maka pengukuran
tahanan pembumian pada dua lapisan tanah
yang berbeda dapat dilakukan dengan pengujian
model skala pada 2 buah bak elektrolitik yang
diasumsikan sebagai dua lapisan tanah, dengan
memberikan hasil yang mendekati nilai tahanan
pembumian yang diperoleh melalui perhitungan
dengan menggunaka sederhana.
7.
Kesimpulan
1. Nilai tahanan pembumian grid pada dua
lapisan tanah yang diperoleh melalui
pengujian model skala memberikan
hasil yang mendekati harga yang
diperoleh dengan menggunakan rumus
pendekatan yang diusulkan oleh Salama,
dimana persen kesalahan (% Error) yang
lebih kecil dari 2% diperoleh dengan
Pengukuran Tahanan Grid Pembumian pada Model Lapisan Tanah
yang tidak Unifom (Zulkarnaen Pane)
31
Tabel 6. Data Hasil Perbandingan Tahanan Pembumian
No.
Jumlah
mesh
Faktor
refleksi, K
−0,372
1.
16
0,367
−0,372
2.
25
0,367
Tahanan Pembumian, R (ohm)
Kedalaman
lapisan atas, h
(m)
RUKUR(1)
RUKUR(2)
Rhitung
5
116,9
129,30
131,06
7,5
123,9
137,80
139,92
10
127,3
143,30
145,68
5
47,8
51,10
51,61
7,5
43,5
47,40
47,99
10
41,2
45,20
45,77
5
112,1
125,70
126,55
7,5
118,2
134,10
135,42
10
121,7
139,40
141,17
5
46,7
50,20
50,66
7,5
41,7
46,60
46,96
10
39,2
44,40
44,82
Error (%)
Fall of
potential
Dua
Titik
10,80
1,34
11,45
1,52
12,62
1,63
7,38
0,99
9,36
1,23
9,98
1,25
11,42
0,67
12,72
0,97
13,79
1,25
7,82
0,91
11,20
0,77
12,54
0,94
Keterangan :
RUKUR(1) = Tahanan pembumian yang diukur dengan metoda Fall of potential
RUKUR(2) = Tahanan pembumian yang diukur dengan metoda dua titik
Rhitung
= Tahanan pembumian yang dihitung dengan Persamaan 1pada lampiran.
menggunakan metoda Dua Titik dan
lebih kecil dari 15% jika menggunakan
metoda
Fall
of
Potential.
Ini
menunjukkan bahwa penentuan tahanan
grid pembumian dengan metoda
pengujian model skala cukup akurat.
2. Pengukuran tahanan grid pembumian
pada
pengujian
model
skala
memberikan hasil yang lebih baik bila
menggunakan metoda Dua Titik
dibandingkan dengan metoda Fall of
Potential.
3. Pengujian
model
skala
yang
menggunakan air untuk kedua lapisan
memberikan kemudahan bagi kita untuk
melakukan pengujian terhadap model
elektroda pembumian dengan faktor
refleksi (K) dan tingkat kedalaman
lapisan pertama (h) yang bervariasi.
Daftar Pustaka
Caldecott, R., Kasten, D. G., “Scale Model
Studies of Station Grounding Grids”,
IEEE Transactions on Power Apparatus
and Systems, Vol. PAS – 102, No. 3,
March 1983.
32
IEEE Std. 81 – 1983, “IEEE Guide for
Measuring Earth Resistivity, Ground
Impedance, and Earth Surface Potentials
of A Ground System”
Mukhedkar, D., Gervais, Y., DeJean, J. P.,
“Modelling of A Grounding Electrode”,
Ecole Polytechnique Montreal, Canada,
May 1972
Salama, M. M. A., Elsherbiny, M. M., Chow, Y.
L., “A Formula for Resistance of
Substation Grounding Grid in Two-Layer
Soil”, IEEE Transactions on Power
Delivery, Vol. 10, No. 3, July 1995.
Thapar, B., Puri, K. K.,“Mesh Potential in High
Voltage
Grounding
Grids”,
IEEE
Transactions on Power Apparatus and
Systems, Vol. PAS-86, No. 2, February
1983.
Thapar, B., Goyal, S. L., “Scale Model Studies
of Grounding Grids in Non-Uniform
Soils”, IEEE Transactions on Power
Delivery, Vol. PWRD – 2, No. 4, October
1987.
Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 1 – JUNI 2005 (27 - 33)
LAMPIRAN
1.
Pengukuran Tahanan Jenis Air
Tahanan jenis air yang digunakan pada
pengujian model skala ini diukur dengan metoda
Empat Titik (metoda Wenner). Metoda ini
menggunakan empat buah elektroda yang sama
yaitu A, B, C, D yang disusun pada satu garis
lurus masing-masing dengan jarak a dan
ditanam pada kedalaman yang tidak melebihi
0,1a.
Arus
yang
diinjeksikan
melalui
elektroda A dan D akan menimbulkan tegangan
antara kedua elektroda B dan C yang dapat
dibaca pada Voltmeter. Tahanan jenis air dapat
dihitung dengan persamaan :
ρ = 2πaR
di mana R =
V
I
S
2. Tahanan Grid Pembumian Pada
Dua Lapisan Tanah
Untuk menentukan besarnya harga
tahanan pembumian grid pada dua lapisan tanah,
dapat dihitung dengan menggunakan rumus
pendekatan yang diusulkan oleh (Salama 1995):
⎡ 1 π 1 ⎛ 1 0,061 Δl ⎞⎤
⎟⎥ x
R g = ρ1 ⎢
+ ⎜⎜ ln
d o ⎟⎠⎦⎥
⎣⎢ 4 A L ⎝ 2π
⎛ 2,256 h b ⎞
ln(1 − K )
⎜⎜1 −
⎟⎟ − ρ1
2π(h + h o )
A ⎠
⎝
dengan :
ρ − ρ1
K= 2
ρ 2 + ρ1
(2)
h < 0,2 A
hb < h
(3)
(4)
h o = cf
A
C
A
[ln(1 − K )] K − 1
2π
2K
Δl = Δl y Δl x
220 VAC
(1)
(5)
(6)
V
PTAC
A
B
a
C
a
D
a
AIR
Gambar L1. Rangkaian pengujian tahanan jenis air
dengan metoda empat titik
di mana :
Rg = tahanan pembumian grid (Ω)
Δlx = panjang sisi mesh pada sumbu x (m)
Δly = panjang sisi mesh pada sumbu y (m)
A = luas grid pembumian (m2)
ρ1 = tahanan jenis tanah lapisan atas (Ω.m)
ρ2 = tahanan jenis tanah lapisan bawah (Ω.m)
do = diameter konduktor grid (m)
L = panjang total konduktor grid (m)
hb = kedalaman
penanaman
grid
dari
permukaan tanah (m)
h = kedalaman tanah lapisan atas (m)
cf = faktor bentuk (≅ 0,9)
Pengukuran Tahanan Grid Pembumian pada Model Lapisan Tanah
yang tidak Unifom (Zulkarnaen Pane)
33
PEDOMAN PENULISAN NASKAH JURNAL ENSIKOM
(Bold, 14 Times New Roman (TNR))
Usman Baafai1), Zulkarnaen Pane1) (12 TNR Bold)
1)
Staf Pengajar Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik USU
(10 TNR)
Abstrak (Bold, 10 TNR)
Pedoman penulisan ini dipersiapkan sebagai contoh tulisan yang dapat dijadikan acuan bagi penulis yang ingin
memasukkan tulisannya ke Jurnal Teknik Simetrika. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan atau Bahasa
Inggris. Isi abstrak berisi tujuan, cakupan kajian dan kesimpulan terpenting. Isinya tidak lebih dari 200 kata
dan ditulis dengan huruf miring serta rata kanan kiri.
Kata-kata kunci: Pedoman penulisan, Contoh acuan (10 TNR)
1. Pendahuluan (Bold, 12 TNR)
Jurnal Teknik Simetrika terbuka untuk umum
sepanjang berkaitan dengan bidang teknik. Naskah
dapat berupa a) hasil penelitian, b) studi literatur,
atau c) komentar maupun kritik tentang naskah yang
pernah dimuat di Jurnal Teknik Simetrika, Falkultas
Teknik USU. Naskah tidak boleh pernah
dipublikasikan di jurnal ataupun di media penerbitan
lainnya.
Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau
Bahasa Inggris. Naskah dikirim berupa rekaman
dalam disket disertai 1 eksemplar cetakannya dengan
panjang maksimum 12 halaman dan ukuran kertas
A4. Pengetikan dilakukan satu spasi dan dua kolom
yang menggunakan jenis huruf Times New Roman
dengan ukuran 10 pt. Naskah diketik dengan
menggunakan pengolah kata dalam bentuk MS Word
untuk memudahkan penyuntingan.
•
Panjang halaman
•
Identasi
•
Sub judul utama
•
Ukuran teks
: Tidak lebih dari 12
halaman termasuk
gambar, dll.
: 0,7 cm untuk setiap
paragraf baru.
: diketik 12 pt, bold, rata
kiri dan diberi nomor
dengan huruf besar
kecil tanpa diakhiri
titik.
: 10 TNR
3. Kerangka Tulisan
Kerangka tulisan terdiri dari judul tulisan, abstrak
dan isi paragraf:
3.1 Bagian Judul Tulisan (Bold, 10 TNR)
2. Umum
•
•
•
•
•
•
•
34
Format penulisan secara ringkas dan umum
dicantumkan berikut ini:
Ukuran kertas
: A4
Jastifikasi
: rata kiri kanan
Spasi baris
: satu spasi
Kolom
: 1 kolom untuk judul
dan abstrak, 2 kolom
untuk isi tulisan
Batas
: atas 3 cm, bawah 2 cm
kiri 3 cm, kanan 2 cm
Jenis huruf
: Times New Roman
Nomor halaman
: Tidak perlu, tapi ditulis
halus dengan pinsil di
kanan bawah
Judul tulisan harus sesingkat mungkin tapi jelas
menunjukkan dengan tepat masalah yang hendak
dikemukakan dan tidak memberi peluang penafsiran
yang beraneka ragam (Hamid, 2004). Judul ditulis
huruf besar dengan bold, 14 TNR. Selanjutnya nama
penulis dengan bold 12 TNR, boleh ditambahkan
alamat e-mail untuk komunikasi. Gelar dan posisi
penulis tidak perlu dicantumkan.
3.2 Bagian Abstrak
Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan
Bahasa Inggris yang memuat tidak lebih dari 200
kata dan ditulis dengan huruf miring. Isi abstrak
berisi tujuan, cakupan kajian dan kesimpulan
terpenting.
3.3 Isi Paragraf
Penulisan simbol matematik memakai simbol
yang umum dipakai dan sistem satuan yang
digunakan adalah Sistem Internasional (SI). Kecuali
untuk naskah yang sudah terlanjur memakai sistem
lain, perlu dilampirkan tabel konversinya ke SI.
Naskah Bahasa Indonesia diketik sesuai EYD dan
kata-kata yang digunakan merupakan bahasa baku.
Naskah Bahasa Inggris perlu diperiksa menggunakan
spell checker. Format penulisan harus disesuaikan
dengan yang sudah ditetapkan, dengan tanpa ada
pemenggalan kata pada akhir baris.
Tabel dan gambar harus diberi keterangan yang
jelas. Gambar harus dapat dibaca dengan jelas jika
diperkecil sampai dengan 50%.
Sumber rujukan ditulis dalam uraian yang hanya
terdiri dari nama akhir penulis dan tahun penerbitan.
Namun nama akhir penulis tersebut harus tepat sama
dengan nama akhir yang tertulis dalam daftar
pustaka. Setiap sumber yang dirujuk harus tercantum
di dalam daftar pustaka, demikian pula sebaliknya.
4. Nomor, Judul Gambar dan Tabel serta
Persamaan
Penulisan nomor gambar dan tabel ditulis
lengkap: Gambar 1: ……… tidak ditulis dengan Gb.
1: ….. Penulisan nomor, judul gambar diletakkan di
bawah dan tengah gambar. Sedangkan untuk tabel
ditulis di atas dan tengah tabel. Penulisan nomor dan
judul gambar dan tabel menggunakan huruf 10 TNR
bold. Sebagai contoh, lihat Persamaan 1, Tabel 1 dan
Gambar 1 yang menunjukkan hal-hal yang
diperlukan untuk satu naskah yang baik. Persamaan 1
misalnya adalah
10
y = ∑ xi
(1)
i =1
dimana y adalah nilai total suatu naskah dan x materi
naskah.
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Tabel 1: Contoh isi naskah yang baik
Materi naskah
Keterangan
Judul
Nama penulis
Abstrak
Pendahuluan
Metodologi penelitian
Hasil penelitian
Diskusi
Kesimpulan
Ucapan terima kasih
Daftar Pustaka
Singkat dan padat
Tanpa posisi dan gelar
Tidak lebih dari 200 kata
Sub judul 1
Sub Judul 2
Sub Judul 3
Sub Judul 4
Sub Judul 5
(jika ada)
Mutakhir
Isi tulisan ilmiah
Memenuhi
kaidah
penalaran
Memilih
kata (diksi)
dan kalimat
yang baik
dan akurat
Mengandung
koherensi dan
komposisi
gagasan yang
baik
Gambar 1: Skema isi tulisan yang baik
(sumber: Hernowo, 2004)
5. Penulisan Daftar Pustaka
Penulisan daftar pustaka mencantumkan hal-hal
berikut:
• untuk buku: lihat contoh yang ada di daftar
pustaka untuk buku oleh Hernowo (2004).
• untuk karangan dalam buku (suntingan): lihat
contoh yang dibuat di daftar pustaka (misal: L.J.
Carpenter dan L. G. Levoy Jr, 1955).
• untuk karangan dalam pertemuan : lihat contoh
untuk tulisan prosiding di dalam daftar pustaka
oleh Baafai, (2003).
• untuk karangan dalam majalah/jurnal : lihat
contoh untuk tulisan jurnal di dalam daftar
pustaka (misal: A.F. Zobaa, 2004).
• Untuk karangan yang diambil dari internet : lihat
contoh, Clinton Ober A., 2000
6. Kesimpulan
Naskah harus diakhiri dengan kesimpulan yang
berisi tentang implikasi-implikasi penting dari
informasi yang dipresentasikan pada badan tulisan
atau isi paragraf.
Daftar Pustaka
1. A.F. Zobaa, 2004, A new approach for voltage
harmonic distortion minimization, Journal Of
Electric Power System Research, 70 (3), 253260.
2. Baafai
Usman, 2003, Pengaruh Pemaparan
Medan Magnet terhadap Aktifitas Mencit,
Buletin Utama Teknik UISU, Terakreditasi,
No.52/Dikti/Kep/2002, ISSN.1410-4520, Vol. 7,
No. 1, Januari, 6 – 12.
3. Clinton Ober A., 2000, ESD Journal, Grounding
Human Body to Neutralizer Bioelectrical Stress
From
Static
Electricity
&
EMF,
www.esdjournal.com, February.
4. Hernowo, H. 2004, Main-main dengan Teks.
Kaifa, PT Mizan Pustaka, Bandung, 184 p.
5. L.J. Carpenter dan L. G. Levoy Jr, 1955, System
Grounding, In, DONALD Beeman editor, in
Industrial Power Systems Handbook, McGraw
Hill,
New
York,374
–
387.
35
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
JURUSAN TEKNIK ELEKTRO – FT USU
Jln. Almamater Kampus USU – Medan 20155
Tel. (061) 8213246 / Fax. (061) 8213250
e-mail : [email protected]
SURAT PENGANTAR
No :
No. Isi Surat/Barang
Jumlah
Keterangan
1.
1 (satu) eksemplar
Disampaikan dengan
hormat sebagai tukar
informasi ilmiah. Mohon
lembar di bawah ini dikirim
kembali
Jurnal Teknik Elektro
ENSIKOM. Vol. 3 No.1, Juni
2005
Medan,
Juni 2004
Ir. Zulkarnaen Pane
TANDA TERIMA
Telah diterima dari
: Jurusan Teknik Elektro Fak. Teknik USU
Jl. Almamater Kampus USU – Medan 20155
Berupa
: Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM
Vol. 3, No. 1, Juni 2005
Nama
:
Jabatan
:
Institusi
:
Alamat
:
Telepon/fax.
:
Tanda Tangan/Stempel
:
Download