JURNAL TEKNIK ELEKTRO Vol. 3, No. 1 – Juni 2005 ISSN : 1693 – 6787 SUSUNAN REDAKSI Penanggung Jawab : Ketua Jurusan Teknik Elektro FT . USU Pemimpin Redaksi : Prof. Dr. Ir. Usman S. Baafai Redaksi Ahli : 1. Ir. Mustafrin Lubis 2. Ir. R.Sugih Arto Yusuf 3. Ir. Bonggas L.Tobing 4. Ir. Djendanari Sembiring 5. Ir. Risnidar Chan, MT 6. Ir. T.Ahri Bahriun, M.Sc 7. Ir. Syafruddin HS, MS 8. Ir. M.Zulfin, MT Redaksi Pelaksana : 1. Ir. Zulkarnaen Pane 2. Ir. Syahrawardi 3. Ir .Surya Hardi, M.Sc 4. Ir. Arman Sani, MT 5. Soeharwinto, ST, MT 6. Rejeki Simanjorang, ST, MT Sirkulasi/Publikasi : Ir. Surya Tarmizi Kasim Bendahara : Ir. Satria Ginting Administrasi : Marthin Luther Tarigan A.Md Alamat Redaksi : Fakultas Teknik USU Jl. Almamater Kampus USU Medan Telp. / Fax : (061) 8213246 – 8213250 Frekuensi terbitan : 2 ( dua ) kali setahun JURNAL TEKNIK ELEKTRO TEKNIK ENERGI - TEKNIK TELEKOMUNIKASI - TEKNIK KOMPUTER VOl. 3, NO. 1 – JUNI 2005 ISSN : 1693 - 6787 DAFTAR ISI Salam Redaksi ...................................................................................................................... i Sistim Akuisisi Data F. Rizal batubara…………………………………………………………………………………….. 1-4 Implementasi Rangkaian Elektronika Menggunakan Teknologi Surface Mount Suherman ............................................................................................................................... 5-9 Implementasi Sistem Step by Step Switching Menggunakan Komponen Terintegrasi Suherman ............................................................................................................................... 10-14 Rele Tegangan Elektronik T.Ahri Bahriun ....................................................................................................................... 15-19 Kajian Pemanfaatan Sistem Teknologi Pembangkit Tenaga Gasifikasi Batubara Tulus Burhanuddin Sitorus .................................................................................................... 20-26 Pengukuran Tahanan Grid Pembumian pada Model Lapisan Tanah yang tidak Unifom Zulkarnaen Pane.................................................................................................................... 27-33 Pedoman Penulisan Naskah Jurnal ENSIKOM................................................................ 34-35 JURUSAN TEKNIK ELEKTRO FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA SALAM REDAKSI Kami memanjatkan Puji dan Syukur kepada Tuhan Ynag Maha Esa karena atas ridho nya Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM, Volume : 1, No. 3 – Juni 2005 telah dapat diterbitkan dan sampai kehadapan para pembaca yang budiman. Jurnal ENSIKOM adalah suatu jurnal ilmiah yang berisi hasil penelitian, kajian pustaka maupun rekayasa peralatan yang digunakan oleh laboratorium serta informasi yang berkaitan dengan Energi, Sistem Telekomunikasi dan Komputer . Penerbitan Jurnal ENSIKOM ini diterbitkan setiap 6 (enam) bulan sekali, untuk itu kami harapkan partisipasi dari para ilmuan maupun praktisi untuk mengisi tulisan pada Jurnal ini demi kemajuan ilmu Teknik Elektro. Saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan keberhasilan penerbitan Jurnal ini pada edisi berikutnya. demi Dalam kesempatan ini pula kami seluruh Redaksi Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM mengucapkan Selamat Ulang Tahun ke- 40 Departemen Teknik Elektro FT - USU (1965 – 2005). Semoga dengan bertambahnya usia akan menjadikan departemen teknik elektro ft-usu menjadi lebih berkembang dimasa mendatang dalam menunjang kemajuan teknologi untuk kesejahteraan bangsa dan negara Republik Indonesia. Atas perhatian dan partisipasinya dengan segala kerendahan hati, kami ucapkan banyak terima kasih. Wassalam REDAKSI i SISTIM AKUISISI DATA 1) F. Rizal batubara1) Staf Pengajar Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik USU Abstrak Sistem akuisisi data menkonversikan besaran fisis sumber data ke bentuk sinyal digital dan diolah oleh suatu komputer. Pengolahan dan pengontrolan proses oleh komputer memungkinkan penerapan akuisisi data dengan software. Konfigurasi sistem akuisisi data dapat di lihat dari banyaknya tranduser atau kanal yang digunakan, kecepatan pemrosesan data, dan letak masing-masing komponen pada sistem akuisisi data. Kata kunci: Akuisisi data, konverter A/D Abstract Data Acquisition System converts physical number of data sources to digital signal form and processed by computer. Processing and Controlling of process by computer allow the application of data acquisition with software. Configuration of data acquisition system can be known from number of tranducer or channel which are used, data processing speed, and position of each component on data acquisition system. Keywords: Data Acquisition, A/D converter Pendahuluan Sistim akuisisi data dapat didefinisikan sebagai suatu sistem yang berfungsi untuk mengambil, mengumpulkan dan menyiapkan data, hingga memprosesnya untuk menghasilkan data yang dikehendaki. Jenis serta metode yang di pilih pada umumnya bertujuan untuk menyederhanakan setiap langkah yang data trand dilaksanakan pada keseluruhan proses. Suatu sistem akuisisi data pada umumnya dibentuk sedemikian rupa sehingga sistem tersebut berfungsi untuk mengambil, mengumpulkan dan menyimpan data dalam bentuk yang siap untuk diproses lebih lanjut. gambar 1 menunjukan diagram blok sistem akuisisi data. pengkondisian sinyal mux data trand pengiriman dan penyimpanan pengolahan data pengkondisian sinyal display Gambar 1. Diagram blok sistem akuisisi data. Sistim Akuisisi Data (F. Rizal Batubara) 1 memory trands A/D Display komputer mass storage Gambar 2. Komputer digital untuk kebutuhan akuisisi data Perkembangan Sistem Akuisisi Data Pada mulanya proses pengolahan data lebih banyak dilakukan secara manual oleh manusia, sehingga pada saat itu perubahan besaran fisis dibuat ke besaran yang langsung bisa diamati panca indra manusia. Selanjutnya dengan kemampuan teknologi pada bidang elektrikal besaran fisis yang diukur sebagai data dikonversikan ke bentuk sinyal listrik, data kemudian ditampilkan ke dalam bentuk simpangan jarum, pendaran cahaya pada layar monitor, rekorder xy dan lain-lain. trands filter S/H Sistem akuisisi data berkembang pesat sejalan dengan kemajuan dibidang teknologi digital dan komputer. Kini, akuisisi data menkonversikan besaran fisis sumber data ke bentuk sinyal digital dan diolah oleh suatu komputer. Pengolahan dan pengontrolan proses oleh komputer memungkinkan penerapan akuisisi data dengan software. Software memberikan harapan proses akuisisi data bisa divariasi dengan mudah sesuai kebutuhan. Gambar 2 menunjukan proses akuisisii data menggunakan komputer. A/D Komputer display A/D Gambar.3.Sistem akuisisi data kanal tunggal Fungsi masing-masing blok dalam sistem adalah sebagai berikut: • Tranduser : berfungsi untuk merubah besaran fisis yang diukur kedalam bentuk sinyal listrik. • Amp : berfungsi untuk memperbesar amplitudo dari sinyal yang dihasilkan transduser. • LPF : berfungsi untuk membatasi lebar band frekuensi sinyal listrik dari data yang diukur. • S/H : berfungsi untuk menjaga amplitudo sinyal analog tetap konstan selama waktu konversi analog ke digital. • A/D : berfungsi untuk merubah besaran analog kedalam bentuk representasi numerik. • D/A : berfungsi untuk merubah besaran numerik kedalam sinyal analog. • Komputer : berfungsi untuk mengolah data dan mengontrol proses. Pada konfigurasi kanal tunggal, komputer berfungsi sebagai pemroses data dan juga pengontrol penguatan sinyal. 2 Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 1 – JUNI 2005 (1 - 4) trands Filter S/H A/D Sistem MUX Digital trands Filter S/H Komputer A/D Gambar 4. Sistem Kanal Banyak Dengan Cara Ketiga Kofigurasi Sistem Akuisisi Data Sistem Berkecepatan Tinggi Suatu konfigurasi sistem akuisisi data sangat tergantung pada jenis dan jumlah tranduser serta teknik pengolahan yang akan digunakan. Konfigurasi ini dapat di lihat dari banyaknya tranduser atau kanal yang digunakan, kecepatan pemrosesan data dan letak masing-masing komponen pada sistem akuisisi data. Sistem akuisisi data yang menggunakan komputer digital sebagai pengolah data kecepatannya ditentukan oleh proses pengubahan sinyal analog ke digital. Untuk mempercepat akuisisi data biasanya digunakan suatu konverter analog ke digital yang berkecepatan tinggi yang disebut dengan FLASH A to D. Bila kecepatan akuisisi masih ingin dipercepat, maka dapat digunakan teknik seperti yang diperlihatkan pada gambar 5. Cara ini digunakan dua buah A/D yang bekerja secara bergantian. Sistem kanal tunggal. Sistem kanal tunggal disebut juga sistem akuisisi data sederhana, ditunjukkan pada gambar 3. Sistem Kanal Banyak Terdapat tiga jenis metode untuk menyusun suatu sistem akuisisi data dengan banyak tranduser. Perbedaan utama pada ketiga jenis ini ditentukan oleh letak multiplexer didalam sistem. Sistem pertama meletakan multiplexer pada ujung bagian depan, sehingga sinyal analog yang mengalami proses pemilihan masuk kekanal. Pada cara kedua pemasangan multiplexer setelah terjadi pencuplikan dan holding sinyal, metode kedua lebih baik dibandingkan metode pertama. Metode ketiga merupakan metode yang terbaik, tetapi dengan penerapan masing-masing kanal mempunyai A/D sendiri mengakibatkan sistem menjadi lebih mahal dibandingkan cara sebelumnya. Gambar 4. menunjukan sistem kanal banyak metode ketiga. Sistim Akuisisi Data (F. Rizal Batubara) input Analog A/D 2 A/D 1 MUX DIGITAL Sistem Komputer 3 input Analog A/D Komputer Modem Modem sistem komunikasi analog Mass Storage Komputer Gambar 6. Sistem Akuisisi Data Pada Saluran Komunikasi Analog Input Analog Sstem Komputer A/D ISDN SISTEM kOMPUTER Mass Storage Gambar 7. Sistem Akuisisi Jarak Jauh Pada saluran ISDN Sistem Akuisisi Jarak Jauh Suatu sistem akuisisi data yang mempunyai komponen pengambil dan pengolah data dengan jarak berjauhan, maka dibutuhkan media untuk mentransfer antara kedua sub sistem tersebut. Kondisi ini membutuhkan sistem memori yang disuplai baterai sebagai penampung sementara, memori seperti ini disebut sistem memori RAMPACK. Data yang diambil disimpan di memori RAMPACK, kemudian memori dibawah ketempat komputer pengolahan data. Sistem lain menggunakan sistem komunikasi, data diambil oleh transduser yang terletak jauh dari komputer kemudian data ditransmisikan melalui saluran komunikasi, bila saluran komunikasi merupakan sistem analog, diperlukan komponen yang disebut modem, 4 ditunjukan gambar 6. Penyaluran data melalui jaringan ISDN bisa dilakukan dengan pemasangan langsung pada jack terminal saluran tersebut, terlihat pada gambar 7. Kepustakaan Austerlitz, Howard. Data Techniques Using PCs, Academic Press; 2003. Acquisition San Diego: Gadre, Dhananjay V. Programming the Parallel Port: Interfacing the PC for Data Acquisition and Process Control, Berkeley: CMP Books; 1998. James, Kevin. PC Interfacing and Data Acquisition, Oxford: Newnes; 2000. Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 1 – JUNI 2005 (1 - 4) IMPLEMENTASI RANGKAIAN ELEKTRONIKA MENGGUNAKAN TEKNOLOGI SURFACE MOUNT 1) Suherman1) Staf Pengajar Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik USU Abstrak Salahsatu perkembangan perangkat elektronika adalah miniaturisasi, yakni pengurangan pada volume perangkat. Dan teknologi yang berperan penting dalam proses miniaturisasi adalah teknologi Surface Mount. Teknologi Surface Mount adalah teknologi komponen yang berusaha nengurangi ukuran komponen dan diletakkan secara langsung pada permukaan PCB. Teknologi ini menggantikan teknologi sebelumnya, yakni teknologi thru hole, dimana dalam pemasangannya dilakukan pelubangan pada PCB. Pemakaian komponen ini telah merata pada semua perangkat elektronika. Namun sangat disayangkan, teknologi ini sangat asing di ndonesia, baik pada tingkat industri, pasar komponen, maupun pada kurikulum perguruan tinggi. Tulisan ini akan mengulas mengenai teknologi elektronika surface mount, komponen, peralatan pendukung serta proses implementasi rangkaian. Kata kunci : Elektronika, surface mount, thru hole Abstract Miniaturization is one of the electronics devices development that reduce equipment size. Surface mount technology fullfil this requirement. Surface Mount is an electronics devices technology that reduce the size and mounting the components on the board surface directly. This technology then replace through hole technology that using hole on PCB, even sometimes they are combined. All electronics devices are now using surface mount, but it still unknown well in Indonesian factory, market or in the university curriculum. This paper describe surface mount technology, its components, devices and implementation process. Keywords : Electronics, surface mount, thru hole 1. Pendahuluan Teknologi Surface Mount adalah teknologi komponen elektronika terintegrasi dengan cara peletakan (mounting) komponen secara langsung pada permukaan (surface) PCB. Teknologi ini menggantikan teknologi sebelumnya, yakni teknologi thru hole (through hole), dimana dalam pemasangannya dilakukan proses pelubangan pada PCB. Pada gambar 1 (Sam Ulbing, 1999) terlihat perbedaan perangkat yang tersusun dari komponen surface mount dan komponen thru hole. Beberapa keuntungan penggunaan komponen Surface Mount dibandingkan thru hole antara lain adalah, memiliki komponen yang lebih kecil sehingga mengurangi volume rangkaian (denser layout), mengurangi biaya produksi, memerlukan catudaya lebih rendah, pemasangan PCB lebih mudah karena tanpa pelubangan juga mempermuda proses perakitan otomatis. Selain itu, kebanyakan perangkat RF memerlukan jumper yang pendek untuk mengurangi interferensi, Surface Mount sangat mendukung hal ini. Surface mount juga memiliki frekuensi respons dan ketahanan EMI/RFI yang lebih baik. Implementasi Rangkaian Elektronika Menggunakan Teknologi Surface Mount 5 Pada perkembangan selanjutnya, kemasan thru hole dikembangkan menjadi beberapa bentuk, termasuk menjadi kemasan komponen surface mount. Gambar 3 menunjukkan perkembangan kemasan IC thru hole dan surface mount. Rangkaian dengan Surface Mount Rangkaian dengan Thru Hole Pemasangan Komponen (a) Thru Hole (b) Surface Mount (a) Kemasan DIP Gambar 1.Perbandingan Surface Mount dan Thru Hole Namun demikian, ada beberapa kesulitan yang dihadapi dalam implementasi komponen SMT/SMD (Surface Mount Technology / Surface Mount Devices) antara lain, kerapatan komponen menyebabkan cepat panas, sehingga membutuhkan sistem pendingin atau chasing yang mendukung sirkulasi udara. Kepadatan komponen menyebabkan sedikit ruang untuk pembersihan. Karena kecil, inspeksi kerusakan secara visual sulit, sehingga membutuhkan alat bantu. Peletakan komponen memerlukan ketelitian yang tinggi. Proses assembly secara manual sulit dilakukan. 2. Kemasan Komponen Kemasan komponen pasif thru hole adalah komponen diskrit dengan ukuran relatif besar dan pin yang panjang. Komponen aktif thru hole yang berbentuk IC memiliki kemasan DIP (Dual Inline Packet), ZIP (Zigzag Inline Packet) dan PGA (Pin Grid Array). DIP memiliki jumlah pin 6 sampai 64 pin. ZIP terdiri 20 sampai 40 pin, Sedangkan PGA memiliki jumlah pin yang besar sampai 400 pin. Gambar 2 menunjukkan contoh IC dengan kemasan DIP dan PGA. (c) PGA (b) ZIP Gambar 3 Kemasan IC Thru Hole dan Surface Mount Kemasan IC surface mount terdiri atas SOP, SOJ, SSOP, TSOP, QFJ, QFP, TQFP, LQFP, TCP, CSP dan BGA. Sementara komponen pasif surface mount berbentuk chip (chip resistor, chip kapasitor dan chip induktor) dengan 2 pin serta berbentuk network dengan jumlah pin lebih dari 2 (contoh resistor network). Kemasan transistor dan dioda serta beberapa IC dalam bentuk SO (Small Outline), contoh SOT-32 (Small Outline Transistor). Selain berbentuk paket plastik, IC surface juga dapat berbentuk paket keramik. (b) Network Resistor 1 2 p resistor n isolation region p substrate (c) Resistor Gambar 2 Kemasan IC Thru Hole (a) Konstruksi Chip Resistor Gambar 4. Resistor Surface Mount 6 Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 1 – JUNI 2005 (5 - 9) 3. Komponen Pasif Surface Mount 3.1 Resistor Beberapa teknologi resistor surface mount yang ada di lapangan adalah teknologi thick film, thin film, MELF, wirewound, carbon film, metal film dan lain-lain. Resistor SMT berbentuk chip resistor dan network resistor. Kebanyakan chip resistor berbasis teknologi thick film, dimana permukaannya diberi pelindung gelas, dan menggunakan pin nikel, konstruksinya ditunjukkan pada gambar 4. Resistor MELF (Metallized Electrode Face) merupakan pengembangan resistor dengan elektroda metal. Resistor MELF dibuat dari lilitan bahan resistif. Harga resistor ini lebih murah tetapi memiliki kualitas yang lebih buruk dibandingkan thick film. Resistor dalam jumlah banyak (Network resistor) dibuat dari bahan thick film, semikonduktor maupun metal oxide). Kemasannya dalam bentuk SO (Small Outline) dengan jumlah pin berkisar 8 dengan penamaan sederhana. Lapisan semikonduktor yang digunakan untuk membentuk resistor sangat tipis seperti pada gambar 4c. Penambahan resistansi diperoleh dengan menyusun lapisan memanjang. Beberapa resistor tidak disertai kode nilai, untuk mengukurnya menggunakan ohmmeter. Beberapa resistor menggunakan kode 3 digit, contohnya 102, berarti 10x102 = 1kOhm ataupun menggunakan kode lebih dari 3 digit seperti pada tabel 1. Terdapat juga cara pengkodean yang disebut EIA-96 marking methode yang berisi 3 karakter kode. Dua karakter pertama menunjukkan nilai sesuai dengan tabel 2. Sedangkan digit ketiga adalah multiplier. Multiplier berupa angka. Contoh penamaan, kode 22A, berarti 165 Ohm, 68C berarti 49900 Ohm atau 49,9kOhm. Namun kode ini hanya untuk resistor dengan toleransi 1%. Untuk toleransi yang lebih besar, memiliki tabulasi sendiri. Tabel 1. Contoh penandaan resistor SMT(G4PMK, 2003) Contoh 3 digit Contoh 4 digit 330 adalah 33 ohm 1000 adalah 100 ohm – bukan bukan 330 ohm 1000 ohm 4992 adalah 49 900 ohm, 221 adalah 220 ohm adalah 49.9 kohm 683 adalah 68 000 ohm, 16234 adalah 162 000 ohm, atau 68 kohm adalah 162 kohm 105 adalah 1 000 000 0R56 adalah R56 adalah 0.56 ohm, atau 1 Mohm ohms 8R2 adalah 8.2 ohm Tabel 2. Kode EIA-96 code 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 value 100 102 105 107 110 113 115 118 121 124 127 130 133 137 140 143 code 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 value 147 150 154 158 162 165 169 174 178 182 187 191 196 200 205 210 code 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 value 215 221 226 232 237 243 249 255 261 237 274 280 287 294 301 309 code 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 value 316 324 332 340 348 357 365 374 383 392 402 412 422 432 442 453 code 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 Implementasi Rangkaian Elektronika Menggunakan Teknologi Surface Mount value 464 475 487 499 511 523 536 549 562 576 590 604 619 634 649 665 code 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 value 681 698 715 732 750 768 787 806 825 845 866 887 909 931 953 976 7 3.2 Kapasitor Komponen kapasitor SMT paling banyak terbuat dari keramik. Kapasitor keramik SMT tersedia dalam bentuk fixed ataupun variabel. Sedangkan kapasitor film plastik dan elektrolit aluminium jarang digunakan. Kapasitor keramik memiliki desain dielektrik berlapis seperti pada gambar 5 (Bryan Bergeron, 1991). nilai standartnya dari 1pF sampai 1 uF dengan range tegangan 25 sampai 200V. Ukuraan sebuah kapasitor keramik SMT sangat kecil, berkisar 3,2 x 2,5 x 0,7 mm. Tabel 3. Multiplier (G4PMK, 2003) letter F E D C multiplier 100000 10000 1000 100 letter multiplier B 10 A 1 X or S 0.1 Y or R 0.01 Selain keramik, terdapat juga kapasitor SMT tantalum dengan nilai kapasitansi mencapai 220 uF, rating tegangan 50V. Tabel 4. Kode penandaan kapasitor SMT. Let Mant Let Mant Let Mant Let Mant A 1.0 J 2.2 S 4.7 a 2.5 B 1.1 K 2.4 T 5.1 b 3.5 C 1.2 L 2.7 U 5.6 d 4.0 D 1.3 M 3.0 V 6.2 e 4.5 E 1.5 N 3.3 W 6.8 f 5.0 F 1.6 P 3.6 X 7.5 m 6.0 G 1.8 Q 3.9 Y 8.2 n 7.0 H 2.0 R 4.3 Z 9.1 t 8.0 y 9.0 (let.=letter, mant.= mantissa) Kapasitor elektrolit SMT memiliki penandaan yang berbeda. Nilai rating tegangan dituliskan dengan hurup pada digit pertama, diikuti dengan digit nilai dan multiplier. Basis perhitungan adalah pF. Contoh, A475, A = 10V, 475 = 47x105 pF, sehingga A475 adalah 4,7mF 10V. Kode rating tegangan kapasitor meliputi : e=2,5 ; G=4 ; J=6,3 ; A=10 ; C=16 ; D=20 ; E=25 ; V=35 ; dan H =50. 3.3 Induktor Induktor SMT terbuat dari bahan keramik ataupun core ferit dengan konstruksi yang kompak disesuaikan ukuran komponen lainnya, beberapa induktor memiliki ukuran 4, x 3,2 x 2,6 mm. Nilai induktansinya bervariasi dari 0,1 uH sampai 2,2 uH dengan rating arus sampai 0,5 A. Namun perkembangan teknologi SMT saat ini menghasilkan induktor SMT sampai bernilai 10.000 uH dan rating sampai 50A, seperti produksi Vishay (www.vishay.com). (a) (b) (c) Gambar 5. Konstruksi Kapasitor SMT Kapasitor SMT umumnya tanpa penanda. Jika tanpa kode, satu-satunya cara mengetahuinya adalah dengan menggunakan kapasitansi meter. Beberapa capasitor menggunakan kode yang berisi 2 atau 3 karakter. Karakter pertama adalah kode pabrik, karakter kedua adalah mantisa (dengan nilai tertentu), karakter ketiga adalah multipier. Basis nilai adalah pF. Contoh KA2, K adalah kode pabrik (pabrik Kemet), A adalah 1.0 dan 2 8 adalah 102, sehingga KA2 bernilai 100pF. Tabel 4. menunjukkan kode-kode tersebut. 3.4 Komponen Lainnya Seiring dengan pperkembangan komponen pasif utama di atas, komponen pasif pendukung lainnya juga mengalami miniaturisasi, walau dalam beberapa aplikasi masih ditemukan kombinasi komponen SMT dengan komponen thru hole. Komponen pendukung tersebut seperti konektor, rele, fuse, switch, choke, transformator, LC filter, tee bias, kristal, sensor dan lain-lain. Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 1 – JUNI 2005 (5 - 9) 4. Komponen Aktif Surface Mount Komponen aktif terdiri dari dioda, transistor, dan komponen terintegrasi. Komponen aktif SMT tersedia dalam kemasan small outline (SO), quad flat pack (QFP), plastic-leaded chip carrier (PLCC), tapeautomated bonding (TAB), leadless ceramic plastic carrier (LCCC). Sebahagian kemasan tersebut terdapat pada gambar 3.Sebagai alternatif, juga terdapat variasi pin chip. Pin atau lead tersedia dalam bentuk gull-wing, J-lead, dan I-lead seperti pada gambar 6a. Kemasan SO tersedia dari 3 sampai 28 pin, kemasan QFP memiliki pin 64 sampai 196 dengan bentuk gullwing. PLCC memiliki pin sampai 84 dengan Jlead di empat sisinya, sedangkan LCCC lebih kompak dimana pin terdapat di sebelah dalam sehingga tidak memungkinkan penanganan secara manual. (a) (b) yang berbeda, sehingga cukup sulit dalam mengidentifikasi. Seperti yang disinggung di bagian pendahuluan, kemasan komponen SMT memiliki banyak keunggulan dibandingkan thru hole, salahsatunya lumped component atau nilai terdistribusi dari induktansi dan kapasitansi. Nilai-nilai yang dihasilkan karena interaksi antar pin ini akan menghasilakan RFI/EMI. Tabulasi perbandingan nilai kapasitansi dan induktansi terdistribusi dapat dilihat pada tabel 5. Komponen aktif lain seperti MOV, SCR, DIAC, TRIAC, Op Amp, RFIC, microstrip, MMIC, Microwave device, IC digital, interfacing chip, IC mikrokontroler, mikroprosesor, dan IC regulator tersedia dalam kemasan SMT. Beberapa vendor yang menyediakan komponen SMT seperti Digi-Key (digikey.com), Newark (www.newark.com), Keytronics (www.eytronics.com), Avnet (www.vnet.com), Jameco (jameco.com), dan EDX (www.edxelectronics.com). (c) Gambar 6. (a) lead gull-wing, J-lead dan I-lead (b) small outline transistor SOT-23 dan SOT-89 (c)kemasan dan footprintnya Transistor umumnya menggunakan kemasan SO, gambar 6b menunjukkan konstruksi transistor SMT dalam kemasan SO. Transistor dengan dissipasi daya maksimum 200mW menggunakan kemasan SOT-23, sedangkan kemasan yang lebih besar menggunakan SOT-89 yang mampu mendisipasi daya sampai 500mW. Dalam peletakan komponen SMT di pcb, perlu diketahui footprint komponen. Masingmasing kemasan memiliki bentuk footprint tertentu dan standar seperti pada gambar 6c. Dioda memiliki kemasan seperti chip resistor maupun sama dengan transistor terkecuali 1 pin tidak digunakan. Kemasan yang banyak digunakan dioda adalah SOT-23, SOT323, SOD-80, SOD-123 dan SOD-132. Kemasan dengan 3 pin (SOT) juga dapat berisi dual dioda. Baik transistor maupun dioda, masing-masing pabrikan memiliki penamaan Implementasi Rangkaian Elektronika Menggunakan Teknologi Surface Mount 9 IMPLEMENTASI SISTEM STEP by STEP SWITCHING MENGGUNAKAN KOMPONEN TERINTEGRASI 1) Suherman1) Staf Pengajar Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik USU Abstrak Sentral yang menggunakan sistem step by step switching telah lama ditinggalkan. Teknologi telah beralih ke sistem switching digital common control, bahkan berbasis packet switching khususnya penggunaan IP based Network. Namun demikian, teknologi switching step by step yang dahulu berbasis sistem mekanis masih dapat diperbaharui dengan memanfaatkan komponen terintegrasi (integrates cicuit, IC). Sistem switching step by step dengan komponen terintegrasi ini dapat dimanfaatkan untuk membentuk sistem PABX kapasitas kecil. Karena dibentuk dengan memanfaatkan komponen terintegrasi, teknologi ini memungkinkan untuk diimplementasikan dalam bentuk IC tunggal (Application Specipic Integrated Circuit, ASIC). Sehingga akan diperoleh komponen PABX mini yang lebih sederhana dibandingkan PABX berbasis microcontroller. Kata kunci : Switching, step by step, PABX, telepon, extension, trunk Abstract munication exchange which used step by step switching system are obsolete. Technology had move to the digital common control switching system even based on switching package, especially using IP based network. Even though, the step by step switching system technology based on mechanical switching system are renewable by using integrated circuits IC’s. Step by step switching system using the integrated circuits technologies can be used to build a small capacity PABX system. Because of built by using IC’s, this technology can be implemented in the form of single chip IC (Application Spesific Integrated Circuits, ASIC). This will give small PABX components which is more simple compared to microcontroller base PABX. Keywords: Switching, step by step, PABX, telepon, extension, trunk 1. Pendahuluan Sistem switching merupakan bagian dari teknologi telekomunikasi. Sistem switching manual mengawali teknologi ini, kemudian ditemukan sistem switching otomatis oleh Almon B. Strowger dengan sistemnya yang dikenal sebagai sistem step by step atau direct control. Sistem inilah yang diadopsi dalam tulisan ini. Pada perkembangan selanjutnya, muncul sistem switching common control atau indirect control yang diawali oleh Gothief Betulander dengan switch crossbar. Sistem common control berkembang dari sistem crossbar, electro10 mekanis, elektronis, analog sampai sistem switching digital. Sistem switching step by step semakin ditinggalkan. 2. Sistem Switching Step by Step Sentral Step by step adalah sistem switching otomatis yang paling tua dan paling sederhana. Step by step switching menggunakan pengontrolan dial langsung (direct-dial control) dimana switch secara langsung merespon digit yang dikirimkan telepon ke masing-masing tingkatan switch. Sistem switching ini mendominasi dunia telekomunikasi sampai tahun 1970. Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 1 – JUNI 2005 (10 - 14) Sentral step by step terdiri dari beberapa bagian, di antaranya SLIC, linefinder, alloter, group selector dan final selector. SLIC atau Subcriber Line Interface Circuit digunakan sebagai rangkaian interface ke pelanggan, linefinder merupakan selector yang merespons telepon yang meminta layanan, alloter merupakan selector yang mencari outlet sesuai impuls yang diberikan telepon sedangkan preselector, group selector dan final selector adalah penamaan kelompok-kelompok selektor. Gambar 2 (Suherman, 2004) menunjukkan bagian switching step by step. 3. Aplikasi Switching Step by Step Gambar 3 merupakan contoh switching step by step sederhana yang melayani 5 pelanggan dan 1 trunk untuk ke sentral lain (105). Karena kapasitasnya yang kecil, maka selektor yang dipakai hanyalah Line Finder, dan Final Selector (Suherman, 2004). Masing-masing pelanggan dihubungkan ke SLIC dan terhubung ke 3 Line Finder. 3 line finder berarti setiap saat ada 3 telepon yang bisa menggunakan sentral. Dibandingkan jumlah pelanggan, diperoleh perbandingan 3 : 5 atau 60%. Persentasi ini sering disebut sebagai konsentrasi. Jika disebut 20%, maka hanya 20% dari pelanggan yang bisa menggunakan sentral secara bersamaan. Sentral dengan 5 pelanggan di atas menggunakan 3 Line Finder yang menghasilkan 3 telepon yang bisa aktif secara bersamaan dengan pertimbangan, 1 telepon menelpon kesentral lain dan 2 telepon menelepon pelanggan di dalam sentral, sehingga 5 pesawat telepon dapat aktif secara bersamaan. Komponen utama yang digunakan oleh sistem switching step by step adalah selektor. Selektor merupakan alat pemilih yang menghubungkan satu masukkan (inlet) dengan beberapa pilihan keluaran (outlet), (Sigit Haryadi, 1985). Selektor elektromekanik digerakkan secara elektromagnetik maupun dengan mempergunakan elektromotor. Gambar 1 menunjukkan konstruksi selektor (Suherman, 2004). Gambar 1. Selektor Selektor dalam keadaan awal berada pada home position, saat menerima impuls dari pesawat telepon, wiper atau tungkai selektor akan berpindah. Perpindahannya ditentukan oleh besarnya impulse tadi. Setiap output selektor dihubungkan dengan saluran ke telepon lain. Gambar 2. Sistem switching step by step 0 SLIC SLIC 1 1 SLIC SLIC SLIC 5 5 2 Line Finder Controller Selector Controller 0 3 4 1 5 Line Finder Controller 5 Selector Controller 5 0 1 5 Line Finder Controller 5 Selector Controller Ke Sentral Lain Gambar 3. Sistem Switching Step By Step Kapasitas 105 Implementasi Sistem Step by Step Switching Menggunakan Komponen Terintegrasi (Suherman) 11 4. Implementasi Line Finder Tunggal Implementasi switch terintegrasi dapat mempergunakan IC 4066 atau IC sejenisnya. IC ini menghubungkan input-output jika pin kendali berlogika 1. Gambar 4 menunjukkan implementasi selektor line finder dengan menggunakan IC 4066 dengan gerbang logika serta IC latch. Input gerbang logika berasal dari deteksi hook. Saat semua hook tertutup, gerbang logika (output gerbang OR) akan menghasilkan output logika 0. Output ini mengendalikan pin enable IC latch. Kondisi logika 0 menyebabkan IC latch dalam kondisi enable, input yang berasal dari deteksi hook akan dihubungkan ke output latch. Jika semua telepon dalam kondisi tertutup, maka output IC latch akan berlogika 0, sehingga tidak ada switch yang tertutup. Saat salah satu hook telepon diangkat, maka output gerbang akan menjadi tinggi, menyebabkan input sesaat IC latch disalurkan ke output kemudian kondisinya mengunci (latch). Output akan menghubungkan switch bersesuaian dengan hook yang diangkat. Telepon tersebut menduduki switch. Saat telepon lain diangkat, tidak akan mengganggu kondisi switch selama ia masih diduduki. SELECTOR - LINE FINDER (IC SWITCH 4066) SLIC TELEPHONE LINE SLIC VOICE CHANNEL SLIC SLIC SLIC SWITCH CONTROL HOOK DETECT IC QUAD LATCH SELECTOR - LINE FINDER (IC SWITCH 4066) SLIC SLIC TELEPHONE LINE VOICE CHANNEL SLIC SLIC SLIC SWITCH CONTROL HOOK DETECT IC QUAD LATCH SWITCH CONTROL DARI SELECTOR LAIN LINE FINDER CONTROLLER SWITCH CONTROL KE SELECTOR LAIN Gambar 5. Line Finder Jamak Kondisi di atas dapat dihindari dengan menambahkan gerbang AND pada input gerbang pengendali. Input gerbang AND berasal dari line finder lain. Rangkaian lengkap ditunjukkan pada gambar 5. 6. Implementasi Final Selector Setelah menduduki line finder, pesawat telepon yang diangkat menekan nomor telepon yang dituju. Nomor dalam bentuk DTMF ini akan menggerakkan final selector. Nada DTMF akan dideteksi oleh DTMF detektor. DTMF detector atau DTMF receiver dapat menggunakan IC MT8870. Output DTMF receiver akan didekodekan menggerakan switch. Tetapi untuk menghindari pendudukan switch terus menerus saat panggilan berakhir yang disebabkan output DTMF receiver yang bersifat mengambang (latch), maka pengontrolan juga dikendalikan oleh sinyal call control yang berasal dari output gerbang di line finder, serta pin Std yang berasal dari DTMF receiver. FINAL SELECTOR (IC SWITCH 4066) LINE FINDER CONTROLLER Gambar 4. Line Finder Untuk Aplikasi Tunggal 5. Implementasi Line Finder Jamak Untuk aplikasi line finder lebih dari satu, diperlukan rangkaian kendali yang mengendalikan penggunaan switch satu persatu. Jika line finder bertingkat hanya menggunakan rangkaian pada gambar 4, maka saat salah satu telepon diangkat, semua line finder akan diduduki. 12 VOICE CHANNEL VOICE CHANNEL SWITCH CONTROL CALL CONTROL SET Clk D LATCH Q BCD - DECIMAL ENCODER Std DTMF RECEIVER FINAL SELECTOR CONTROLLER Gambar 6. Rangkaian Final Selector Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 1 – JUNI 2005 (10 - 14) Gambar 6 menunjukkan rangkaian lengkap final selector. Switch akan menghubungkan voice channel telepon pemanggil ke telepon yang dipanggil. 7. Implementasi SLIC SLIC atau Subcriber Line Interface Card adalah rangkaian antarmuka telepon pelanggan yang melakukan fungsi suplai tegangan 48V, perlindungan tegangan lebih, sinyal dering, ringback tone, deteksi hook dan fungsi-fungsi signaling pelanggan lainnya. Dalam sentral digital, fungsi SLIC mencakup BORSCHT, yakni battery feeding, overvoltage protection, ringing, supervision, coding, hibrid dan test. SLIC pada sentral umumnya dalam bentuk modul kapasitas 8, 16 atau 32 telepon. 470 Sinyal Dering 470 470 Kontrol Dering +48V 5V MOV 10uF/ 100V 10K Sinyal Suara 1 10K Sinyal Ringback Tone 2 10K Deteksi Hook 4 BD139 2x1N4148 100nF 10uF 4K7 5 4N25 100K 5V Telepon 5V OT600 10uF 10K 10K dengan 2 buah zener diode bertolak belakang yang memberikan stabilisasi nilai tegangan. 8. Implementasi Trunking Trunking menghubungkan sentral ke sentral lain. Saat panggilan keluar (outgoing call), trunk dihubungkan ke final selector, sedangkan saat panggilan masuk (incoming call), trunk dihubungkan dengan line finder. Sehingga dibutuhkan rangkaian khusus sebagai antarmuka trunking. Gambar 8 menunjukkan blok antarmuka trunking. 9. Komparasi Teknologi Sistem step by step terintegrasi memiliki kelebihan dibandingkan sentral step by step konvensional. Hal ini disebabkan adanya reduksi volume selector. Namun jika dibandingkan teknologi common control, baik sentral analog maupun sentral digital, sentral ini memiliki banyak kekurangan. Kebutuhan komponen relatif besar jika implementasinya menggunakan teknologi SSI/MSI serta komponen pasif yang terdapat di pasaran. Untuk implementasi gambar 3, membutuhkan 5 buah SLIC dengan kepadatan 25 komponen per SLIC, 3 buah line finder dengan kepadatan 15 komponen per line finder, membutuhkan 3 buah final selector dengan kepadatan 10 komponen per unit. Gambar 7. Rangkaian SLIC sederhana Salah satu contoh rangkaian SLIC ditunjukkan pada gambar 7. Suplai tegangan telepon sebesar 48V akan mengalirkan arus berkisar 20mA saat telepon diangkat. Arus akan mengalir melalui optocoupler 4N25 melalui rangkaian penarik arus BD139. Saat arus mengalir menyebabkan tegangan pada pin kolektor 4N25 akan turun dari 5V menjadi 0V. Pin 5 ini akan berfungsi sebagai pendeteksi hook saat telepon diangkat. Saat telepon akan diberi nada dering (kondisi tertutup, on hook), kontrol dering diberi tegangan yang menyebabkan rele berpindah dari catuan 48V ke catuan tegangan dering AC (sekitar 55Vac – 90Vac). Saat ingin memberikan sinyal ringback tone, sinyal akan dikopling melalui kopling capasitor, pembagi tegangan dan trafo. Fungsi trafo digunakan untuk mencegang tegangan 48V masuk ke line finder maupun final selector. Pencegahan tegangan lebih yang dapat merusak rangkaian menggunakan MOV (Metal Oxide Varistor), yakni komponen yang identik Ke Final Selector Trunk Interface Ke Line Finder SLIC Trunk Gambar 8. Blok Antarmuka Trunk Pada gambar 3, trunking hanya berfungsi sebagai outgoing call, sehingga dibutuhkan 1 rangkaian interface trunk dengan komposisi 10 komponen. Sehingga perkiraan total komponen berkisar 210 komponen tidak termasuk catudaya. Selain komposisi komponen rangkaian, fitur telepon hanya terbatas pada incoming dan outgoing call, tanpa dilengkapi fitur sentral pada umumnya. Namun demikian, penggunaan komponen VLSI, komponen surface mount dan kombinasi step by step dengan common control (penggunaan mikrokontroler) dapat menjadi alternatif teknologi sentral berkapasitas kecil. Implementasi Sistem Step by Step Switching Menggunakan Komponen Terintegrasi (Suherman) 13 10. Kesimpulan Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa implementasi teknologi switching step by step dengan komponen terintegrasi adalah mungkin. Namun masih memiliki kekurangan pada kepadatan komponen dan fitur sentral. Daftar Pustaka Sigit Haryadi,Ir, 1986, “Diktat Kuliah Dasar Teknik Penyambungan Telepon”, Pendidikan Ahli Teknik Telekomunikasi. Suherman,ST., 2004, “Diktat Teknik Jaringan Telekomunikasi”, Politeknik Caltex Riau, Pekanbaru. Suherman,ST., (Desember 2004) “Modifikasi Sistem Pemrograman Pabx Mini Dilengkapi Rangkaian Penguji”, Jurnal Ensikom, Vol.2 No.2, Medan. 14 Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 1 – JUNI 2005 (10 - 14) RELE TEGANGAN ELEKTRONIK 1) T.Ahri Bahriun 1) Staf Pengajar Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik USU Abstrak Salah satu alat proteksi yang sangat dibutuhkan untuk mengamankan peralatan listrik ialah rele tegangan. Rele ini berfungsi untuk memantau tegangan dan akan memberikan sinyal melalui kontakkontak keluarannya, jika tegangan yang dipantau lebih besar dari nilai maksimum atau lebih kecil dari nilai minimum yang diperkenankan. Rele ini umumnya bekerja secara elektronik dan rangkaian yang digunakan sangatlah sederhana, sehingga mudah untuk dipahami. Tulisan ini mencoba membahas suatu rangkaian rele tegangan yang sangat sederhana. Kata kunci: Rele, Tegangan, Proteksi. Abstract One of the protection equipments which is needed for protecting the electrical instruments is a voltage relay. This relay function as to detect voltages and will send signals from its terminals when the detect voltege greater than its maximum value or smaller than its minimum voltage rating. In general this relay works electronically, and using simple circuits so it is easy to understand. This paper try to explain a very simple voltage relay. Keywords: relay, voltage, protection. 1. Pendahuluan Salah satu hal yang harus dihindari pada pengoperasian peralatan listrik ialah kelebihan tegangan (overvoltage) ataupun kekurangan tegangan (undervoltage). Kelebihan tegangan hampir dapat dipastikan akan merusak setiap peralatan listrik. Hal ini umumnya akan menyebabkan timbulnya panas yang belebihan sehingga dapat menyebabkan terbakarnya peralatan listrik tersebut. Sebaliknya, kekurangan tegangan belum tentu merusak peralatan listrik. Pada beberapa peralatan listrik seperti lampu pijar ataupun peralatan lain yang bersifat resistip, kekurangan tegangan tidak akan membahayakan peralatan tersebut. Tetapi bagi beberapa peralatan lain seperti motor induksi, kekurangan tegangan dapat menyebabkan faktor daya (cos-ϕ) yang terlalu rendah. Hal ini akan menyebabkan arus peralatan tersebut terlalu besar, sehingga menimbulkan panas yang berlebihan dan pada akhirnya akan merusak peralatan tersebut. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan ini maka suatu panel distribusi tegangan rendah umumnya dilengkapi Rele Tegangan Elektronik (T. Ahri Bahriun) dengan rele tegangan yang berfungsi untuk memantau tegangan busbar. Jika nilai tegangan ini keluar dari batas-batas aman maka rele ini akan membuka pemutus CB utama sehingga catuan daya ke panel tersebut akan diputus. Selain rele tegangan panel ini juga dilengkapi dengan beberapa peralatan proteksi lain, seperti rele arus lebih (OCR), monitor fasa (RCP) dan lain sebagainya. Tulisan ini hanya membahas tentang rele tegangan. 2. Prinsip Kerja Dasar Rele tegangan elektronik umumnya mendeteksi besarnya tegangan melalui trafo tegangan atau yang lebih dikenal sebagai PT (potensial transformer). PT berfungsi untuk menurunkan tegangan yang masuk ke rele dan sekaligus mengisolasi rele dari tegangan rangkaian yang diukur. Masukan PT umumnya adalah 110V atau 220V sedangkan keluarannya adalah tegangan yang berkisar antara 12V hingga 24V, tergantung dari rangkaian yang digunakan. Tegangan keluaran PT ini selanjutnya dibandingkan dengan dua tegangan 15 acuan, sebut saja VA untuk tegangan acuan atas dan VB untuk tegangan acuan bawah. Jika tegangan keluaran PT lebih besar dari VA maka rele keluaran pertama akan diaktipkan. Sebaliknya jika tegangan keluaran PT lebih kecil dari VB maka rele keluaran kedua yang akan diaktipkan Untuk memudahkan proses perbandingan maka besaran yang dibandingkan adalah tegangan searah. Untuk itu maka tegangan keluaran PT harus terlebih dahulu diubah menjadi tegangan searah. Besarnya tegangan searah yang dihasilkan selanjutnya dibandingkan dengan tegangan acuan yang dapat diatur. Agar dapat mengabaikan kelebihan atau kekurangan tegangan yang berlangsung sesaat (transient), maka rele tegangan biasanya dilengkapi dengan rangkaian tunda (delay) yang dapat menunda kerja kontak keluaran. Lamanya tundaan waktu dapat diatur, umumnya berkisar antara 0 hingga 10 detik. 3. Rangkaian Rele Tegangan Seperti telah disebutkan sebelumnya, rele tegangan lebih ini mendeteksi tegangan melalui suatu PT. Agar sesuai dengan alat-alat ukur lain yang terpasang pada panel generator maka tegangan masukan nominal dari rele tegangan umumnya adalah 110V atau 220V. Karena rele ini hanya membutuhkan daya yang kecil maka PT yang digunakan adalah PT yang berdaya sangat rendah, umumnya berkisar antara 2 sampai 5VA. Untuk menghemat biaya pembuatan maka seringkali PT yang sama digunakan juga sebagai sumber daya bagi rangkaian elektronik yang digunakan. Untuk itu digunakan PT dengan dua buah belitan sekunder yang terpisah. Rancangan yang dibahas menggunakan dua buah trafo yang terpisah. Dengan demikian diharapkan agar tegangan yang dipantau tidak dipengaruhi oleh pembebanan dari catudaya rangkaian elektronik. D1 T1 R1 VS INPUT 220V C1 R2 D2 Gambar 1. Rangkaian masukan Selanjutnya tegangan ini ditapis oleh kapasitor C1 untuk menghilangkan kerut (ripple). Besarnya tegangan jepit dari C1 adalah : VC1 ≅ Vm – dan Vm ≅ I DC 4fC 2 x VSEK dimana VSEK : tegangan sekunder trafo IDC : arus beban f : frekuensi jalajala C : kapasitansi C1 adalah tegangan sekunder dari trafo T1. Sebelum diteruskan ke rangkaian pembanding, tegangan ini disesuaikan oleh tahanan R1 dan R2 yang membentuk rangkaian pembagi tegangan reisitip. Besarnya tegangan yang diterima pembanding adalah : VS = R2 . VC1 R1 + R2 3.2. Rangkaian Pembanding Tegangan Sebagai pembanding tegangan digunakan opamp yang mempunyai faktor penguatan tegangan loop terbuka (AV) yang mendekati tak terhingga. Oleh karena itu jika tegangan pada masukan tak-membalik sedikit lebih tinggi dari tegangan pada masukan membaliknya maka keluaran pembanding akan jenuh tinggi dan bernilai mendekati nilai VCC (tegangan catuan). Sebaliknya jika tegangan pada masukan membalik sedikit lebih tinggi dari tegangan pada masukan tak-membaliknya maka keluaran pembanding akan jenuh rendah sehingga tegangannya mendekati nol. Rangkaian dari pembanding tegangan ini diperlihatkan pada gambar-2. 3.1. Rangkaian masukan Tegangan masukan diturunkan sekaligus diisolasi oleh trafo T1 dan disearahkan oleh dioda D1 dan D2, seperti yang diperlihatkan pada gambar-1. 16 Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 1 – JUNI 2005 (15 - 19) +12V R3 + VR1 VA A1 KE RANGKAIAN TUNDA VS VR2 VB + A2 3.3. Rangkaian Tunda Agar dapat mengabaikan kenaikan atau penurunan tegangan yang berlaku sesaat (transien), maka rele tegangan ini dilengkapi dengan rangkaian tunda. Untuk itu maka keluaran dari rangkaian pembanding selain diteruskan ke rangkaian penggerak rele keluaran, juga dilewatkan melalui suatu rangkaian tunda, seperti yang diperlihatkan pada gambar-3. - N2 R4 DARI KELUARAN A1 D3 Gambar 2. Rangkaian pembanding tegangan Penguat A1 membandingkan tegangan VS yang dihubungkan ke masukan tak membaliknya (non-inverting input) dengan tegangan acuan VA yang dihubungkan ke masukan membaliknya (inverting input). Tegangan acuan VA adalah ambang tegangan maksimum yang diperkenankan. Tegangan ini diperoleh dari kontak geser (wiper) potensiometer VR1. Jika VS > VA maka keluaran A1 akan jenuh positip sehingga tegangan keluaran A1 akan mendekati tegangan catu, yaitu 12VDC. Sebaliknya jika VS < VA maka keluaran A1 akan jenuh negatip sehingga tegangan keluarannya akan mendekati nol. Penguat A2 membandingkan tegangan VS yang dihubungkan ke masukan membaliknya dengan tegangan acuan VB yang dihubungkan ke masukan tak membaliknya. Tegangan acuan VB adalah ambang tegangan minimum yang diperkenankan. Tegangan ini diperoleh dari kontak geser potensiometer VR2. Jika VS < VB maka keluaran A1 akan jenuh positip sehingga tegangan keluaran A2 akan mendekati tegangan catu. Sebaliknya jika VS > VB maka keluaran A2 akan jenuh negatip sehingga tegangan keluarannya akan mendekati nol. Oleh karena itu agar tegangan keluaran dari penguat A1 dan A2 mendekati nol maka besarnya tegangan VS haruslah : VB < VS < VA Nilai tahanan R3, R4, VR1 dan VR2 ditentukan sedemikian rupa agar kisar pengaturan VA memungkinkan kisar tegangan masukan dari 220V hingga 240V dan kisar pengaturan VA memungkinkan kisar tegangan masukan dari 200V hingga 220V. Rele Tegangan Elektronik (T. Ahri Bahriun) N1 VR3 D4 DARI KELUARAN A2 R5 KE PENGGERAK RELE RL1 C2 N3 KE PENGGERAK RELE RL2 Gambar 3. Rangkaian tunda Rangkaian tunda ini terdiri dari VR3, C2 dan N1. Jika bernilai tinggi, keluaran penguat A1 dan A2 masing-masing akan meng-enable gerbang N2 dan N3. Selain itu, kedua keluaran ini juga akan mengisi kapasitor C2 melalui dioda D3 dan D4 dan VR3. Kapasitor C2 ini berfungsi untuk menunda pengaktipan (enable) gerbang-gerbang N2 dan N3 melalui gerbang N1. Ketiga gerbang ini adalah gerbang AND dari keluarga CMOS (Complementary Metal Oxide Semiconductor). Tujuan penggunaan CMOS adalah untuk mendapatkan nilai hambatan masukan yang mendekati tak terhingga agar tidak membebani kapasitor C2. Lamanya tundaan waktu adalah sama dengan waktu yang dibutuhkan untuk mengisi kapasitor C2 agar tegangan jepitnya mencapai tegangan ambang (treshold) logika tinggi dari gerbang N1. Lamanya tundaan waktu dapat dinyatakan sebagai : tD ≅ 0,7.VR3.C2 detik Dengan mengatur nilai VR3 maka tundaan waktu ini dapat disesuaikan dengan kebutuhan. 3.4. Rangkaian Penggerak Rele Keluaran Rele tegangan yang dibahas mempunyai dua buah rele keluaran. Satu untuk menyatakan tegangan lebih dan satu untuk menyatakan tegangan kurang. Masing-masing rele ini digerakkan oleh suatu transistor bipolar, seperti yang diperlihatkan pada gambar-4. 17 +12V D5 DARI KELUARAN N2 RL1 R6 Q1 R7 +12V DARI KELUARAN N3 D6 RL2 R8 Q2 R9 Gambar 4. Rangkaian penggerak rele keluaran Jika keluaran A1 bernilai tinggi pada akhir tundaan waktu ini maka keluaran gerbang N2 akan tinggi sehingga memberikan arus basis pada transistor Q1. Besarnya arus basis ini adalah : IB = VOH − VBE VBE − R6 R7 dimana VOH : Tegangan keluaran logika tinggi N2 VBE : Tegangan basis-emiter Q1 Hal ini akan menyebabkan Q1 menghantar sehingga pada kolektornya akan mengalir arus sebesar : IC = hFE.IB T2 D7 +12V IC1 D8 7812 C3 dimana hFE adalah faktor penguatan arus searah dari transistor yang digunakan. Arus kolektor ini akan menyebabkan rele RL1 bekerja. Sebaliknya jika keluaran A2 yang bernilai tinggi pada akhir tundaan waktu ini maka keluaran gerbang N3 yang akan tinggi sehingga memberikan arus basis pada transistor Q2. Hal ini akan menyebabkan Q2 menghantar sehingga rele RL2 yang akan bekerja. Dengan demikian maka akan tersedia satu kontak untuk tegangan lebih dan satu kontak untuk tegangan kurang. Untuk mendapatkan sinyal yang menyatakan keduanya maka untuk rele-rele RL1 dan RL2 dapat digunakan rele dengan dua kontak, dimana kedua kontak tersebut dihubungkan paralel atau seri, tergantung pada kebutuhan. 18 3.5. Rangkaian Catu Daya Opamp umumnya membutuhkan catudaya ganda yang berkisar antara ±6VDC hingga ±18VDC atau catudaya tunggal yang berkisar antara +12VDC hingga +36VDC. Gerbang CMOS membutuhkan catudaya tunggal yang berkisar antara +3VDC hingga +15VDC. Rele arus searah tersedia untuk tegangan-tegangan 6, 12, 24, 110, dan 220VDC. Agar dapat mencatu seluruh komponen yang digunakan pada rangkaian maka catuan yang dipilih adalah +12VDC. Untuk itu maka rele keluaran yang digunakan adalah rele dengan kumparan 12VDC. Tegangan catuan sebesar +12VDC dapat diperoleh dari catudaya yang diperlihatkan pada gambar-7. Pada catudaya ini, tegangan jala-jala diturunkan oleh trafo tegangan T2 ke nilai yang sesuai. Trafo ini sekaligus berfungsi untuk mengisolasi rangkaian dari tegangan jala-jala. Selanjutnya tegangan sekunder dari T2 disearahkan oleh pasangan dioda D7 dan D8 yang membentuk penyearah gelombang penuh, untuk selanjutnya ditapis oleh kapasitor C3 untuk menghilangkan kerut. Tegangan yang dihasilkan masih dipengaruhi oleh pembebanan. Oleh karena itu untuk menstabilkan tegangan ini digunakan regulator seri berupa suatu rangkaian terpadu atau IC (integrated circuit) tipe LM7812. C4 C5 C6 Gambar 5. Rangkaian catudaya IC regulator ini akan mempertahankan tegangan keluarannya sebesar +12VDC untuk tegangan masukan yang berkisar dari +14VDC hingga +35VDC. Daya yang hilang atau disipasi daya pada regulator adalah : PD ≅ (VIN – 12V).IL Watt dimana PD : disipasi daya VIN : tegangan masukan regulator IL : arus beban Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 1 – JUNI 2005 (15 - 19) Disipasi daya ini akan diubah menjadi panas. Agar regulator tidak menjadi terlalu panas maka panas ini harus dibuang dengan menggunakan pendingin atau heatsink. Agar daya yang hilang tidak terlalu banyak maka VIN harus dibuat serendah mungkin, namun dapat mengantisipasi turun naiknya VIN disebabkan oleh perubahan arus beban dan turun naiknya tegangan jala-jala. Keluaran dari regulator ini ditapis lebih lanjut oleh kapasitor C6 untuk menghiangkan kerut sehingga pada keluaran regulator akan diperoleh tegangan searah sebesar +12VDC yang benar-benar stabil dan bebas kerut. Kapasitor C4 dan C5 berfungsi untuk menjamin agar IC regulator tidak berosilasi, sesuai dengan yang dianjurkan oleh pabrik pembuatnya. 4. Kesimpulan Dari pembahasan diatas dapat diambil beberapa kesimpulan, antara lain ialah: 1. Rele arus lebih dapat dibuat dengan menggunakan rangkaian elektronik yang sederhana. 2. Besarnya arus nominal dapat diatur dengan menggunakan CT dengan perbandingan yang sesuai. Rele Tegangan Elektronik (T. Ahri Bahriun) 3. Pada rele yang dibahas, setting waktu dan arus adalah independen sehingga tidak saling mempengaruhi. 4. Pada rele arus lebih 3-fasa yang dibahas, setting arus dari setiap fasa adalah independen sehingga dapat diatur secara terpisah. Daftar Pustaka Deboo G. J., Burrous C. N., 1977, Integrated Circuits and Semiconductor Devices : Theory and Application, 2nd edition, McGrawHill Kogakusha Ltd.,. Fairchild Semiconductor, Integrated Circuits Data Book. 1988, CMOS Jha, R. S., Switchgear and Protection, 1979, Dhanpat Rai & Sons, Delhi. Lowenberg, C. L., 1976, Electronic Circuits, McGraw-Hill, New York, page 50. Millman J. , Halkias C. C. , 1972, Integrated Electronics Analog and Digital Systems, McGraw-Hill, New York, page 233. Smith R. J., 1987, Electronics Circuits and Devices, 3rd edition, John Wiley & Sons 19 KAJIAN PEMANFAATAN SISTEM TEKNOLOGI PEMBANGKIT TENAGA GASIFIKASI BATUBARA 1} Tulus Burhanuddin Sitorus1) Staf Pengajar Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik USU Abstrak Sumber energi batubara diperkirakan sebesar 36.5 milyar ton, dengan sekitar 5.1 milyar ton dikategorikan sebagai cadangan terukur. Produksi batubara pada tahun 1995 mencapai sebesar 44 juta ton. Sekitar 33 juta ton dieksport dan sisanya sebesar 11 juta ton untuk konsumsi dalam negeri. Dari jumlah 11 juta ton tersebut 60 % atau sekitar 6.5 juta ton digunakan untuk pembangkit listrik, 30 % untuk industri semen dan sisanya digunakan untuk rumah tangga dan industri kecil. Permasalahan utama dalam pemanfaatan batubara adalah wujud batubara yang berupa zat padat sehingga kurang luwes dalam transportasinya. Disamping itu batubara mengandung sulfur, nitrogen dan abu dalam jumlah besar sehingga gas buang hasil pembakaran menghasilkan polutan seperti SO2 dan NO2 serta abu terbang. Pembakaran batubara juga menghasilkan CO2 yang berperan dalam proses pemanasan global. Kata kunci : energi batubara, pembangkit listrik, wujud batubara, polutan, pemanasan global Abstract Energy sources of coal estimated 36,5 billion ton and 5,1 billion ton as measureable reseve. Coal production in 1995 achieve 44 million ton. Thereabouts 33 million ton is exported and 11 million ton remainder for consumption of country. Around 60% is used for powerplant, 30% for cement industries and the remainder for household and home industries. The main problem in coal using is shape of coal. Besides the coal contains sulfur, nitrogen and ash in large quantity so gas exhaust of combustion yield pollutant like SO2, NO2 and fly ash. Coal combustion also yield CO2 which make global warming process. Keywords : coal energy, power plant, shape of coal, pollutant, global warming I. Pendahuluan Keterbatasan cadangan minyak bumi menjadi hal yang hangat di bahas saat ini disamping cadangan gas alam serta cadangan batubara yang melimpah. Sumber daya energi batubara diperkirakan sebesar 36.5 milyar ton, dengan sekitar 5.1 milyar ton dikategorikan sebagai cadangan terukur. Sumber daya ini sebagian besar berada di Kalimantan yaitu sebesar 61 %, di Sumatera sebesar 38 % dan sisanya tersebar di wilayah lain. Menurut jenisnya dapat dibagi menjadi lignite sebesar 58.6 %, sub-bituminous sebesar 26.6 %, bituminous sebesar 14.4 % dan sisanya sebesar 0.4 % adalah anthracite (Agus S. 1995). Tahun 20 1995 produksi batubara mencapai sebesar 44 juta ton dimana sekitar 33 juta ton dieksport dan sisanya sebesar 11 juta ton digunakan untuk konsumsi dalam negeri. Dari jumlah 11 juta ton tersebut 60 % atau sekitar 6.5 juta ton digunakan untuk pembangkit listrik, 30 % untuk industri semen dan sisanya digunakan untuk rumah tangga serta industri kecil. Dalam 10 tahun terakhir, penggunaan batubara dalam negeri terus mengalami pertumbuhan sejalan dengan pertumbuhan perekonomian dan industrialisasi dimana sektor energi listrik merupakan sektor yang mengkonsumsi batubara paling besar. Hingga kini sekitar 30 % dari total pembangkitan menggunaan bahan bakar Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 1 – JUNI 2005 (20 - 26) Gambar 1. Data Historis dan Proyeksi Pembangkit Listrik (sumber : Agus S., 1995) batubara. Hal yang menjadi permasalahan utama dalam pemanfaatan batubara adalah wujud batubara yang berupa zat padat sehingga kurang luwes dalam sistem transportasinya. Disamping itu batubara mengandung sulfur, nitrogen, dan abu dalam jumlah besar sehingga gas buang hasil pembakaran menghasilkan polutan seperti SO2, NO2 dan abu terbang. Pembakaran batubara juga menghasilkan CO2 yang berperan dalam proses pemanasan global. Permasalahan tersebut terus dicari pemecahannya melalui riset-riset yang telah dan sedang dikembangkan saat ini. Aktivitas riset dalam PLTU batubara saat ini telah melahirkan konsep baru yang menjanjikan dapat menaikkan efisiensi, mengurangi emisi polutan dari gas buang serta menghasilkan limbah yang minimum. Konsep baru tersebut adalah teknologi pembakaran fluidized bed dan teknologi gasifikasi batubara. Di dalam tulisan ini akan dikaji mengenai sistem teknologi gasifikasi batubara sebagai pembangkit tenaga listrik di Indonesia. II. Pembahasan Penggunaan tenaga listrik di Indonesia selama 20 tahun terakhir ini mengalami peningkatan yang cukup pesat, yaitu sebesar 14.5 % per tahun. Pada tahun 1971 penggunaannya baru sebesar 2.5 TWh dan meningkat mencapai 38.6 TWh pada tahun 1991. Penggunaan tenaga listrik ini diperkirakan masih terus berkembang meskipun tingkat pertumbuhannya akan berkurang. Dari studi MARKAL, kebutuhan tenaga listrik dalam 25 tahun mendatang akan mengalami pertumbuhan sebesar 7.8 % per tahun. Gambar 1 memperlihatkan data historis pemakaian tenaga listrik dan proyeksi penyediaan tenaga listrik untuk tiap jenis bahan bakar sampai tahun 2021. Saat ini kebutuhan tenaga listrik sebagian besar dipenuhi oleh PLTU berbahan bakar minyak bumi diikuti dengan gas alam dan batubara. Dengan program diversifikasi energi maka prioritas untuk pembangkit listrik adalah menggunakan bahan bakar batubara karena cadangan batubara masih sangat melimpah dan harganya kompetitif dibandingkan dengan minyak bumi dan gas alam. Sesuai dengan program tersebut penggunaan batubara untuk pembangkit tenaga listrik terus ditingkatkan. Pada tahun 1996 kebutuhan tenaga listrik sekitar 140.7 TWh dan penggunaan batubara sebagai bahan bakar pangsanya baru sekitar 21 % dari total pembangkitan, sedangkan pada tahun 2021 kebutuhan mencapai 617.9 TWh dan pangsa penggunaan batubara sudah mencapai 78 %. Pemakaian batubara dalam jumlah besar ini dapat menimbulkan dampak lingkungan bila kurang tepat dalam pemilihan teknologinya sehingga pemanfaatan batubara untuk pembangkit listrik di masa mendatang perlu menerapkan teknologi batubara bersih, seperti IGCC (Integrated Gasification Combined Cycle). II.1. Teknologi IGCC Teknologi IGCC merupakan salah satu teknologi batubara bersih. IGCC merupakan istilah yang paling banyak digunakan untuk Kajian Pemanfaatan Sistem Teknologi Pembangkit Tenaga Gasifikasi Batubara (Tulus Burhanuddin Sitorus) 21 menyatakan siklus kombinasi gasifikasi batubara terintegrasi. Namun demikian masih ada beberapa istilah yang digunakan yaitu ICGCC (Integrated Coal Gasification Combined Cycle) dan CGCC (Coal Gasification Combined Cycle) yang pengertiannya sama dan selanjutnya akan digunakan istilah IGCC. Komponen utama dalam riset IGCC adalah pengembangan teknik gasifikasi batubara. Gasifikasi batubara pada prinsipnya adalah suatu proses perubahan batubara menjadi gas yang mudah terbakar. Proses ini melalui beberapa proses kimia dalam reaktor gasifikasi (gasifier). Mula-mula batubara yang sudah diproses secara fisis diumpankan ke dalam reaktor dan akan mengalami proses pemanasan sampai temperatur reaksi serta mengalami proses pirolisa (menjadi bara api). Kecuali bahan pengotor, batubara bersama-sama dengan oksigen dikonversikan menjadi hidrogen, karbon monoksida, dan methana. Proses gasifikasi batubara berdasarkan sistem reaksinya dapat dibagi menjadi empat macam yaitu : fixed bed, fluidized bed, entrained flow dan molten iron bath (Gambar 2). Dalam fixed bed, serbuk batubara yang berukuran antara 3 - 30 mm diumpankan dari atas reaktor dan akan menumpuk karena gaya beratnya. Uap dan udara (O2) dihembuskan dari bawah berlawanan dengan masukan serbuk batubara akan bereaksi membentuk gas. Reaktor tipe ini dalam prakteknya mempunyai beberapa modifikasi diantaranya adalah proses Lurgi, British Gas dan KILnGas. Sedangkan proses yang menggunakan prinsip fluidized bed adalah High-Temperature Winkler, Kellog Rust Westinghouse dan U-gas. Dalam fluidized bed gaya dorong dari uap dan O2 akan setimbang dengan gaya gravitasi sehingga serbuk batubara dalam keadaan mengambang pada saat terjadi proses gasifikasi. Serbuk batubara yang digunakan lebih halus dan berukuran antara 1 - 5 mm. Dalam entrained flow serbuk batubara yang berukuran 0.1 mm dicampur dengan uap dan O2 sebelum diumpankan ke dalam reaktor. Proses ini telah digunakan untuk memproduksi gas sintetis dengan nama proses Koppers-Totzek. Proses yang sejenis kemudian muncul seperti proses PRENFLO, Shell, Texaco dan DOW. Proses molten iron bath merupakan pengembangan dalam proses industri baja. Serbuk batubara diumpankan ke dalam reaktor bersama-sama dengan kapur dan O2. Kecuali proses molten iron bath semua proses telah digunakan untuk keperluan pembangkit listrik. Saat ini teknologi IGCC sudah dikembangkan di seluruh dunia, seperti : Jepang, Belanda, Amerika Serikat dan Spanyol. Di samping proses gasifikasi yang terus mengalami perbaikan, gas turbin jenis baru juga terus dikembangkan. Temperatur masukan gas turbin yang tinggi akan dapat menaikkan efisiensi dan ini dapat dicapai dengan penggunaan material baru dan perbaikan sistem pendinginnya. Prinsip kerja dari IGCC ditunjukkan pada Gambar 3. IGCC merupakan perpaduan teknologi gasifikasi batubara dan proses pembangkitan uap. Gas hasil gasifikasi batubara mengalami proses pembersihan sulfur dan nitrogen. Sulfur yang masih dalam bentuk H2S dan nitrogen dalam bentuk NH3 lebih mudah dibersihkan sebelum dibakar dari pada sudah dalam bentuk oksida dalam gas buang. Sedangkan abu dibersihkan dalam reaktor gasifikasi. Gas yang sudah bersih ini dibakar di Gambar 2. Tipe Reaktor Gasifikasi (sumber : R. Muller 1988) 22 Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 1 – JUNI 2005 (20 - 26) ruang bakar dan kemudian gas hasil pembakaran disalurkan ke dalam turbin gas untuk menggerakkan generator. Gas buang dari turbin gas dimanfaatkan dengan menggunakan HRSG (Heat Recovery Steam Generator) untuk membangkitkan uap. Uap dari HRSG (setelah turbin gas) digabungkan dengan uap dari HRSG (setelah reaktor gasifikasi) digunakan untuk menggerakkan turbin uap yang akan menggerakkan generator. Gambar 3. Prinsip Kerja Pembangkit Listrik IGCC (sumber : R. Muller, 1988) II.2. Tinjauan dari Aspek Ekonomi dan Lingkungan Secara ekonomi, pembangkit listrik IGCC saat ini mempunyai biaya investasi yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan PLTU batubara konvensional. Tetapi peneliti pada perusahaan gasifier Texaco memperkirakan bahwa biaya investasi pembangkit listrik IGCC dapat bersaing dengan PLTU batubara konvensional karena faktor efisiensi. Untuk IGCC yang mempunyai unit lebih besar dari 400 MW dapat bersaing, sedangkan yang lebih kecil dari 200 MW akan lebih mahal bila dibandingkan dengan PLTU batubara konvensional. Faktor lain yang menjadi pertimbangan penggunaan teknologi IGCC adalah ramah terhadap lingkungan. Kadar sulfur batubara Indonesia cukup rendah yaitu sekitar 0.1 % sampai dengan 1.0 %. Tabel 1. Perbandingan Biaya PLTU Batubara Konvensional dan IGCC Biaya investasi sudah termasuk interest during construction (sumber : BPPT-KFA, 1995) Kajian Pemanfaatan Sistem Teknologi Pembangkit Tenaga Gasifikasi Batubara (Tulus Burhanuddin Sitorus) 23 Sedangkan kadar abu berkisar antara 1.2 % sampai dengan 15 %. Kadar sulfur dan abu ini sangat rendah bila dibandingkan dengan negara lain Akan tetapi penggunaan batubara yang meningkat pesat dan standar lingkungan hidup yang makin baik tetap membutuhkan teknologi batubara bersih. Standar tersebut mengacu kepada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.KEP-13/MENLH/3/1995 dan khusus untuk PLTU batubara dirangkum pada Tabel 3. Tabel 2. Baku Mutu Emisi PLTU Berbahan Bakar Batubara (sumber : R. Muller, 1988) Penggunaan teknologi PLTU batubara konvensional saat ini mempunyai kekurangan yaitu efisiensinya rendah yang berkisar antara 33 - 36 %[2]. Efisiensi ini dapat ditingkatkan dengan membangun unit pembangkit yang lebih besar atau dengan menaikkan suhu dan tekanan dalam siklus panasnya. Cara ini mempunyai keterbatasan dan menambah tingkat kerumitan dalam pemilihan materialnya. Disamping itu tuntutan ramah lingkungan akan menambah biaya pembangkitan karena adanya penambahan peralatan seperti : de-SOX (desulfurisasi), deNOX (denitrifikasi), dan penyaring debu (electrostatic precipitator). Pemasangan peralatan ini juga akan mengurangi efisiensi total pembangkit listrik. Teknologi IGCC ini mempunyai kelebihan yaitu dalam hal bahan bakar : tidak ada pembatas untuk tipe, ukuran, dan kandungan abu dari batubara yang 24 digunakan. Dalam hal lingkungan : emisi SO2, NOX, CO2 serta debu dapat dikurangi tanpa penambahan peralatan tambahan seperti de-SOX dan de-NOX dan juga limbah cair serta luas tanah yang dibutuhkan juga berkurang. Disamping itu pembangkit listrik IGCC mempunyai produk sampingan yang merupakan komoditi yang mempunyai nilai jual seperti : sulfur, asam sulfat dan gypsum. Efisiensi pembangkit listrik ICGG berkisar antara 38 - 45 % yang lebih tinggi 5 - 10 % dibandingkan PLTU batubara konvensional. Hal ini dimungkinkan dengan adanya proses gasifikasi sehingga energi yang terkandung dalam batubara dapat digunakan secara efektif dan digunakannya HRSG untuk membentuk suatu siklus kombinasi antara turbin gas dan turbin uap. Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 1 – JUNI 2005 (20 - 26) Gambar 4. Perbandingan Operasional PLTU Batubara Konvensional dengan IGCC (sumber : R. Muller, 1988) Pada sistem IGCC, sekitar 95 - 99 % dari kandungan sulfur dalam batubara dapat dihilangkan sebelum pembakaran. NOX dapat dikurangi sebesar 70 - 93 % dan CO2 dapat dikurangi sebesar 20 - 35 % (emisinya berkisar antara 0.75-0.85 kg CO2/kWh) dibandingkan dengan PLTU batubara konvensional. Dengan tingkat emisi yang rendah maka dapat untuk mencegah terjadi hujan asam karena emisi polutan SO2 dan NOX serta mencegah terjadinya pemanasan global karena emisi CO2 (Yunus A. Cengel, 1998). Hal yang menarik dalam sistem IGCC adalah pembangunannya dapat dilakukan secara bertahap yaitu tahap pertama berupa pembangunan turbin gas dan perlengkapan pembangkit listrik, tahap kedua pembangunan sistem siklus kombinasi, dan tahap ketiga pembangunan unit gasifikasi. Pembangunan dua tahap yang pertama memerlukan biaya investasi yang relatif kecil dan sudah dapat menghasilkan tenaga listrik. Investasi yang besar hanya dibutuhkan pada saat pembangunan tahap ketiga dan dilaksanakan bila sudah dinilai ekonomis untuk mengganti bahan bakar dari gas alam dengan batubara. Disamping itu sistem IGCC didesain secara modular sehingga mudah untuk dikembangkan menjadi unit yang lebih besar kapasitasnya pada saat kebutuhan tenaga listrik sudah meningkat. Untuk Indonesia sekitar tahun 2015 PLTU batubara konvensional yang digunakan saat ini sudah habis masa gunanya (life time) sehingga penggunaan pembangkit listrik IGCC merupakan teknologi alternatif yang patut dipertimbangkan. III. Kesimpulan Pemakaian tenaga listrik di Indonesia selama 20 tahun terakhir ini mengalami peningkatan yang cukup pesat yaitu 14.5 % per tahun dan dalam 25 tahun mendatang diperkirakan akan terus mengalami peningkatan dengan pertumbuhan sebesar 7.8 % per tahun. Pangsa penggunaan batubara untuk pembangkit listrik terus meningkat pesat dari 21 % pada tahun 1996 menjadi 78 % pada tahun 2021. Pemakaian batubara dalam jumlah besar ini harus menerapkan teknologi batubara bersih, salah satunya yaitu IGCC, supaya dampak lingkungannya minimum karena setiap pembangkit tenaga sudah tentu mempunyai pengaruh terhadap lingkungannya terutama menyangkut polusi yang ditimbulkannya. Polusi dari pembangkit tenaga yang secara langsung mempengaruhi lingkungan yaitu hasil dari proses pembakaran (gas buang dan abu) dan panas buangan serta suara. Gas buang dapat mengandung H2O, N2, O2, NO, NO2, CO2, CO, SO2, SO3, abu, logam-logam berat, dan lain sebagainya dimana selain H2O, N2, O2 ,yang Kajian Pemanfaatan Sistem Teknologi Pembangkit Tenaga Gasifikasi Batubara (Tulus Burhanuddin Sitorus) 25 lainnya dapat memberikan pengaruh negatif terhadap lingkungan (Challilullah R., 1997). Pembangkit listrik IGCC mempunyai keunggulan bila dibandingkan dengan PLTU konvensional dengan tambahan de-SOX dan deNOX dalam hal dampak lingkungan. Bagi Indonesia pembangkit listrik IGCC merupakan teknologi alternatif yang patut dipertimbangkan untuk menggantikan PLTU batubara konvensional yang akan habis masa gunanya. Daftar Pustaka Agus Sugiyono “Teknologi Daur Kombinasi Gasifikasi Batubara Terintegrasi”, Peneliti Bidang Energi-BPPT,1995. BPPT-KFA, Technology Assessment for Energy Related CO2 Reduction Strategies for Indonesia, Final report, July 1995. Chalilullah Rangkuti, Dr.Ir.MSc, “Siklus Kombinasi Pembangkit Tenaga Turbin Gas dan Uap”, Edisi pertama Juli 1997, USU Press, Medan. Departemen Pertambangan dan Energi, Repelita V Sektor Pertambangan dan Energi, 1 April 1989. Nengah Sudja Dr. Ing, “Prospek Pemanfaatan Gas Bumi untuk Pembangkit Tenaga” R. Muller and U. Schiffers, Pressurized Coal Gasification for the Combined-Cycle Process, VGB Kraftwerkstechnik 68, Number 10, 1988 Yunus A.Cengel, Dr, Michael A.Boles, Dr, “Thermodynamics An Engineering Approach” Third Edition, Mc-Graw HillLtd, 1998. 26 Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 1 – JUNI 2005 (20 - 26) PENGUKURAN TAHANAN GRID PEMBUMIAN PADA MODEL LAPISAN TANAH YANG TIDAK UNIFORM 1) Zulkarnaen Pane 1) Staf Pengajar Jurusan Teknik Elektro FT USU Abstrak Tulisan ini akan memaparkan penerapan pengujian model skala pada dua lapisan tanah yang tidak uniform. Pengujian dilakukan pada bak elektrolitik untuk mengukur tahanan grid pembumian. Rincian dari bak elektrolitik, peralatan dan rangkaian yang digunakan akan dijelaskan. Untuk memverifikasi keakuratan dari hasil yang diperoleh melalui pengujian akan dibandingkan dengan hasil perhitungan. Kata kunci: model skala, grid pembumian, dua lapis tanah Abstract This paper will explain the testing application of scale models for two non uniform earth layer. The testing is done in an electrolytic tank for measuring the earth grid resistance. The details of an electrolytictank, instruments and circuits which are used, will be explained. For the verification the result’s accuracies of the testing will be compared by calculation. Keywords: scale model, earth grid, two earth layer. 1. Pendahuluan Dengan semakin bertambahnya jumlah, ukuran dan kompleksitas suatu gardu induk, tuntutan untuk mengembangkan prosedur perencanaan yang akurat untuk sistem pembumian yang ekonomis dan memberikan tingkat keamanan yang diharapkan menjadi penting. Untuk keperluan perencanaan tersebut telah dikembangkan berbagai teknik analitis mulai dari rumus-rumus sederhana yang dapat dikerjakan dengan tangan sampai dengan yang menggunakan komputer. Disamping itu untuk memverifikasi kedua teknik tersebut digunakan pengujian model skala. Dengan menggunakan model yang kecil dalam suatu bak elektrolitik dapat ditentukan tahanan dan potensial permukaan dari suatu sistem pembumian. Tanah pada lokasi gardu induk adakalanya tidak uniform atau terdiri dari dua lapisan tanah yang berbeda tahanan jenisnya. Parameterparameter dari dua lapisan tanah adalah tahanan jenis lapisan atas ρ1, ketebalan lapisan atas h, dan tahanan jenis lapisan bawah ρ2 dengan kedalaman yang tak berhingga. Perbedaan kedua tahanan jenis ini dinyatakan oleh faktor refleksi K yang didefensikan sebagai ( ρ2 - ρ1 )/ (ρ2 + ρ1). Studi model skala untuk sistem pembumian grid pada dua lapisan tanah telah dilakukan oleh (Mukhedkar 1972, Caldecott 1983 dan Thapar 1987). Dalam studi tersebut ketiganya menggunakan air sebagai lapisan pertamanya. Untuk lapisan kedua, Mukhedkar menggunakan beton semen, Caldecott menggunakan agar-agar dan Thapar menggunakan air. Dari ketiga studi tersebut, dua studi yang pertama mempunyai kekurangan yakni kesulitan untuk mengatur tahanan jenis masing-masing lapisan seperti yang diharapkan. Sementara itu, studi yang dilakukan oleh Thapar karena ia menggunakan air baik sebagai lapisan pertama maupun sebagai lapisan kedua, akan lebih mudah mengatur-atur tahanan jenisnya dengan manambahkan garam ke dalam air sehingga dapat diperoleh nilai tahanan jenis yang dikehendaki. Tulisan ini akan membahas hasil penerapan pengujian model skala yang telah dikembangkan oleh Thapar untuk mengukur tahanan pembumian grid pada dua lapisan tanah yang tidak uniform. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan metoda dua titik dan metoda fall of potential (IEEE Std. 81, 1983). Hasil pengukuran tersebut akan dibandingkan dengan hasil perhitungan dengan rumus sederhana yang diturunkan oleh (Salama 1995). Pengukuran Tahanan Grid Pembumian pada Model Lapisan Tanah yang tidak Unifom (Zulkarnaen Pane) 27 2. Prinsip Dasar Pemodelan Untuk melaksanakan studi pemodelan dari sistem pembumian grid gardu induk pada dua lapisan tanah, model yang akan digunakan harus merupakan tiruan (replika) dari grid pembumian yang sebenarnya. Apabila semua dimensi fisik sistem pembumian yang sebenarnya, seperti diameter konduktor, panjang konduktor, jarak antar konduktor dan kedalaman penanaman elektroda pembumian diperkecil dengan suatu faktor skala yang sama maka pola aliran arus dan bentuk ekipotensial permukaan tidak akan berubah (Thapar, 1983). Ini berarti bahwa profil potensial yang diukur pada suatu model dapat digunakan untuk menentukan potensial yang sama pada grid yang sebenarnya. Oleh karena itu adalah memungkinkan untuk menirukan suatu sistem pembumian sebenarnya melalui pemodelan skala. Sebagai model dua lapisan tanah digunakan air leding dan air bercampur garam yang dimasukkan secara terpisah ke dalam dua bak yang terbuat dari bahan konduktif (yang sering juga disebut sabagai bak elektrolitik). Agar air yang berbeda tahanan jenisnya tersebut tidak bercampur satu sama lain, kedua bak dipisahkan oleh lembaran akrilik. Pada lembaran akrilik dipasang batang-batang tembaga sehingga lapisan air di bak atas terhubung secara elektris dengan air yang terdapat di bak bawah. Tahanan jenis air pada masing-masing bak dapat diubah-ubah dengan cara menambahkan garam secukupnya sehingga diperoleh nilai faktor refleksi yang dikehendaki. Model dari elektroda grid dibuat dengan bentuk yang sama dengan bentuk grid yang sebenarnya tetapi dengan ukuran yang diperkecil dengan suatu faktor skala tertentu dan dibuat dengan bahan yang sama yaitu tembaga. Pengujian dilakukan dengan mengisi kedua bak elektrolitik dengan air yang berbeda tahanan jenisnya, kemudian model elektroda pembumian dimasukkan ke dalam bak lapisan pertama, pada kedalaman tertentu. Arus pengujian sebagai simulasi arus gangguan tanah diinjeksikan ke model elektroda pembumian. Selanjutnya dilakukan berbagai pengukuran untuk memperoleh besaran-besaaran yang dikehendaki. 3. Konstruksi Bak Elektrolitik Pengujian model skala pada dua lapisan tanah ini menggunakan dua buah bak elektrolitik berukuran masing-masing 100 cm x 100 cm x 28 50 cm dan 100 cm x 100 cm x 51,5 cm yang terbuat dari plat bergalvanis (galvanized iron) dengan ketebalan 0,35 mm. Bak yang satu diletakkan di atas bak yang lain, dimana pada setiap sisi luar pinggiran permukaan bak bawah ditambahkan plat dari bahan yang sama dengan tinggi 1,5 cm, sehingga dasar dari bak atas berada 1,5 cm di bawah permukaan bak bawah. Konstruksi bak elektrolitik yang dilihat dari samping dapat dilihat pada Gambar 1. Bak yang bersifat konduktif ini digunakan sebagai elektroda pengumpul (collecting electrode) untuk arus listrik yang dialirkan pada elektroda pembumian. Arus yang dialirkan melalui elektroda pembumian akan terdistribusi secara radial dengan bentuk setengah bola, jadi walaupun bentuk bak yang digunakan berbentuk persegi empat tidak menjadi masalah selama ukuran bak tersebut cukup besar agar tidak mengganggu aliran distribusi arus yang diinjeksikan. Setiap sisi bak bawah terbuat dari bahan yang sama, sedangkan pada dasar dari bak atas terbuat dari lembaran akrilik (acrylic sheet) setebal 3 mm. Batang-batang tembaga (copper pins) berdiameter 1,78 mm dengan panjang masing-masing 15 mm ditanam menembus lembaran akrilik, dimana panjang dari setiap batang tembaga pada setiap sisi lembaran akrilik 6 mm, dan jarak tiap-tiap batang tembaga pada permukaan lembaran akrilik adalah 10 mm. Lembaran akrilik berfungsi untuk memisahkan air pada kedua bak agar tidak bercampur satu dengan yang lain, dan pada saat yang bersamaan batang-batang tembaga dapat mengalirkan arus listrik dengan baik antara kedua medium. Jadi, walaupun antara kedua medium dibatasi dengan lembaran akrilik, namun keberadaannya tidak menghalangi distribusi arus yang mengalir antara kedua medium. Untuk memperkecil pengaruh terbatasnya ukuran bak, maka ukuran model sistem pembumian harus lebih kecil atau sama dengan 1/5 kali ukuran bak Dengan ukuran bak yang tidak kurang dari 5 kali ukuran grid pembumian ternyata aliran distribusi arus yang diinjeksikan dan garis-garis ekipotensial yang timbul tidak akan terganggu oleh dinding bak tersebut [Thapar, 1987]. Setiap model elektroda pembumian grid yang akan diuji digantung di tengah rangka kayu berukuran 95 cm x 95 cm (Gambar 2) dan diletakkan tepat di tengahtengah bak. Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 1 – JUNI 2005 (27 - 33) Bak atas yang terbuat dari plat bergalvanis setebal 0,35mm Lembaran Akrilik dengan ketebalan 3mm Batang-batang tembaga dengan diameter 1,78mm dan panjang 15mm Plat yang berfungsi sebagai penyangga bak atas Kayu; berfungsi sebagai penyangga bak atas terhadap tekanan air Kayu yang berfungsi sebagai penyangga bak bawah terhadap tekanan air Bak bawah yang terbuat dari plat bergalvanis setebal 0,35mm Gambar 1. Bak elektrolitik (tampak samping) rangka kayu A S C V probe 220 VAC P C E X PTAC grid ρ1 95 cm benang nilon ρ2 grid Gambar 3. Rangkaian pengujian tahanan pembumian dengan metoda Fall of potential Gambar 2. Model elektroda pembumian grid yang digantung pada rangka kayu A S 95 cm C V 220 VAC E C PTAC Rangkaian Pengujian Gambar 3 dan 4 memperlihatkan rangkaian pengujian yang digunakan masing-masing untuk metoda Fall of potential dan metoda dua titik. Kapasitor C, 10 μF, berfungsi untuk mencegah mengalirnya arus DC yang dapat ditimbulkan karena ketidaksamaan bahan yang digunakan, yaitu model grid pembumian yang terbuat dari tembaga dan dinding bak yang terbuat dari plat bergalvanis, serta menghindari terjadinya polarisasi. Selama pengujian dioperasikan arus sebsar 100 mA. grid 4. ρ1 ρ2 Gambar 4. Rangkaian pengujian tahanan pembumian dengan Metoda Dua Titik Pengukuran Tahanan Grid Pembumian pada Model Lapisan Tanah yang tidak Unifom (Zulkarnaen Pane) 29 5. Pelaksanaan Pengujian Sebelum melakukan pengukuran terhadap model elektroda grid, terlebih dahulu dilakukan pengukuran tahanan jenis air pada kedua bak dengan menggunakan metoda Wenner seperti yang dijelaskan pada lampiran. Tahanan jenis air pada masing-masing bak tersebut dapat diubah dengan menambahkan garam (NaCl) pada salah satu atau kedua bak, sehingga diperoleh tahanan jenis air dan faktor refleksi yang berbeda. Pengukuran tahanan grid pembumian dilakukan dengan menggunakan parameter-parameter sebagai berikut : Ukuran grid : 20 cm x 20 cm Jumlah Mesh : 16 dan 25 Diameter konduktor, do : 0,25 mm Faktor refleksi K : - 0, 372 dan 0,367 Kedalaman lapisan atas, h : 5 cm; 7,5 cm; 10 cm Kedalaman grid, hb : 0,5 cm Arus pengujian, I : 100 mA Untuk metoda Fall of Potential (Gambar 3), probe potensial (P) secara bertahap digerakkan mulai dari pinggir model elektroda pembumian grid hingga mendekati posisi probe arus yang berada pada dinding bak (C). Untuk setiap 0,5 cm pergerakan probe, catat dan perhatikan tegangan yang terukur pada voltmeter digital. Untuk metoda dua titik (Gambar 4), posisi probe arus dan potensial berada pada dinding bak (Q), catat besar tegangan yang terukur pada voltmeter. 6. Data dan Analisis Hasil Pengujian 6.1 Tahanan Jenis Air Besarnya tahanan jenis air yang diukur pada bak elektrtolitik untuk masing-masing lapisan (ρ1 dan ρ2) dapat dilihat pada Tabel 1 sampai dengan Tabel 3. Untuk memperoleh nilai faktor refleksi K negatip maka lapisan pertama adalah air leding dan lapisan kedua adalah air leding yang telah dicampur dengan garam secukupnya (± 25 gram) sehingga diperoleh nilai tahanan jenis lapisan kedua yang lebih kecil dari lapisan pertama. Dari Tabel 1 dan 2 diperoleh bahwa tahanan jenis air lapisan pertama (ρ1) rata-rata adalah 75,72 Ω.m, tahanan jenis air lapisan kedua ρ2 rata-rata adalah 34,69 Ω.m sehingga diperoleh faktor refleksi K = - 0,372 30 Tabel 1. Tahanan jenis air lapisan pertama, air leding (ρ1) a (cm) 14 16 18 I (mA) 10 20 10 20 10 20 V (volt) 0.874 1.744 0.754 1.502 0.663 1.321 R (ohm) 87.40 87.20 75.40 75.10 66.30 66.05 ρ = 2πaR (Ω.m) 76.84 76.67 75.76 75.46 74.95 74.66 Tabel 2. Tahanan jenis air lapisan kedua, air leding ditambah dengan garam (ρ2) a (cm) 14 16 18 I (mA) V (volt) R (ohm) 10 20 10 20 10 20 0.405 0.804 0.348 0.690 0.300 0.595 40.50 40.20 34.80 34.50 30.00 29.75 ρ = 2πaR (Ω.m) 35.61 35.34 34.97 34.67 33.91 33.63 Untuk memperoleh nilai faktor refleksi K positip lapisan kedua adalah air yang sama dengan pengujian sebelumnya dan lapisan pertama adalah air leding yang dicampur dengan garam secukupnya (± 50 gram). Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa tahanan jenis air lapisan pertama (ρ1) rata-rata adalah 16,09 Ω.m. Dengan ρ2 = 34,69 Ω.m diperoleh faktor refleksi K = - 0,367 Tabel 3. Tahanan jenis air lapisan pertama, air leding ditambah dengan garam (ρ1) a (cm) 14 16 18 I (mA) 10 20 10 20 10 20 V (volt) 0.186 0.367 0.158 0.311 0.136 0.304 R (ohm) 18.60 18.35 15.80 15.55 13.60 15.20 ρ = 2πaR (Ω.m) 16.35 16.13 15.88 15.62 15.37 17.18 6.2 Tahanan Pembumian 6.2.1. Metoda Fall of Potential Hasil pengukuran tahanan pembumian dengan metoda Fall of potential untuk model grid pembumian berjumlah 16 dan 25 mesh dapat dilihat pada Tabel 4. Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 1 – JUNI 2005 (27 - 33) Tabel 4. Hasil pengukuran dengan metoda Fall of Potential No. Jumlah Mesh Kedalaman lapisan atas, h (cm) 5 7,5 10 5 7,5 10 5 7,5 10 5 7,5 10 Faktor refleksi, K −0,372 1. 16 0,367 −0,372 2. 25 0,367 Tahanan, R (ohm) 116,9 123,9 127,3 47,8 43,5 41,2 112,1 118,2 121,7 46,7 41,7 39,2 6.2.2. Metoda Dua Titik Hasil pengukuran tahanan pembumian dengan metoda Dua Titik untuk setiap model grid pembumian dapat dilihat pada Tabel 5 berikut : Tabel 5. Hasil Pengukuran Dengan Metoda Dua Titik No. Jumlah Mesh Faktor refleksi, K −0,372 1. 16 0,367 −0,372 2. 25 0,367 Kedalaman lapisan atas, h (cm) 5 7,5 Tahanan, R (ohm) 129,30 137,80 10 143,30 5 51,10 7,5 47,40 10 45,20 5 125,70 7,5 134,10 10 139,40 5 50,20 7,5 46,60 10 44,40 Dari Tabel 4 dan 5 dapat dilihat bahwa untuk harga faktor refleksi K negatip yaitu di mana lapisan pertama lebih resistif dari lapisan kedua, semakin dalam lapisan atas h semakin besar harga tahanan pembumian, sedangkan untuk harga K positif yaitu di mana lapisan pertama lebih konduktif dari lapisan kedua semakin dalam lapisan atas h semakin kecil harga tahanan pembumian. Sementara itu, untuk harga K yang sama, semakin banyak jumlah mesh suatu grid semakin kecil harga tahanan pembumiannya. Selanjutnya, untuk jumlah mesh yang sama, harga tahanan pembumian untuk K positif lebih kecil dari harga tahanan pembumian untuk K negatif, atau dengan perkataan lain jika lapisan tanah pertama dimana sistem pembumian itu berada semakin konduktif, maka tahanan pembumiannya semakin kecil 6. 3 Hasil Perbandingan Nilai tahanan pembumian sebenarnya dari hasil pengujian yang dilakukan terhadap model grid pembumian selanjutnya dibandingkan dengan harga tahanan pembumian yang dihitung berdasarkan Persamaan 1 pada lampiran. Hasil perbandingannya dapat dilihat pada Tabel 6. Perbedaan diantara kedua harga tahanan tersebut (persen kesalahan) dapat dihitung berdasarkan persamaan berikut : Persen kesalahan (%Error) = Rhitung − Rukur Rhitung x100% Harga-harga persen kesalahan untuk kedua model grid pembumian tersebut dapat dilihat pada Tabel 6 kolom error (%). Dari kolom tersebut dapat dilihat bahwa harga tahanan yang diperoleh dari pengukuran melalui pengujian model skala cukup dekat dengan hasil perhitungan secara teoritis. Untuk pengukuran dengan Metoda Fall of potential diperoleh persen kesalahan di bawah 15%, sedangkan dengan menggunakan metoda Dua Titik diperoleh persen kesalahan yang lebih kecil lagi, yaitu di bawah 2%. Dengan demikian, maka pengukuran tahanan pembumian pada dua lapisan tanah yang berbeda dapat dilakukan dengan pengujian model skala pada 2 buah bak elektrolitik yang diasumsikan sebagai dua lapisan tanah, dengan memberikan hasil yang mendekati nilai tahanan pembumian yang diperoleh melalui perhitungan dengan menggunaka sederhana. 7. Kesimpulan 1. Nilai tahanan pembumian grid pada dua lapisan tanah yang diperoleh melalui pengujian model skala memberikan hasil yang mendekati harga yang diperoleh dengan menggunakan rumus pendekatan yang diusulkan oleh Salama, dimana persen kesalahan (% Error) yang lebih kecil dari 2% diperoleh dengan Pengukuran Tahanan Grid Pembumian pada Model Lapisan Tanah yang tidak Unifom (Zulkarnaen Pane) 31 Tabel 6. Data Hasil Perbandingan Tahanan Pembumian No. Jumlah mesh Faktor refleksi, K −0,372 1. 16 0,367 −0,372 2. 25 0,367 Tahanan Pembumian, R (ohm) Kedalaman lapisan atas, h (m) RUKUR(1) RUKUR(2) Rhitung 5 116,9 129,30 131,06 7,5 123,9 137,80 139,92 10 127,3 143,30 145,68 5 47,8 51,10 51,61 7,5 43,5 47,40 47,99 10 41,2 45,20 45,77 5 112,1 125,70 126,55 7,5 118,2 134,10 135,42 10 121,7 139,40 141,17 5 46,7 50,20 50,66 7,5 41,7 46,60 46,96 10 39,2 44,40 44,82 Error (%) Fall of potential Dua Titik 10,80 1,34 11,45 1,52 12,62 1,63 7,38 0,99 9,36 1,23 9,98 1,25 11,42 0,67 12,72 0,97 13,79 1,25 7,82 0,91 11,20 0,77 12,54 0,94 Keterangan : RUKUR(1) = Tahanan pembumian yang diukur dengan metoda Fall of potential RUKUR(2) = Tahanan pembumian yang diukur dengan metoda dua titik Rhitung = Tahanan pembumian yang dihitung dengan Persamaan 1pada lampiran. menggunakan metoda Dua Titik dan lebih kecil dari 15% jika menggunakan metoda Fall of Potential. Ini menunjukkan bahwa penentuan tahanan grid pembumian dengan metoda pengujian model skala cukup akurat. 2. Pengukuran tahanan grid pembumian pada pengujian model skala memberikan hasil yang lebih baik bila menggunakan metoda Dua Titik dibandingkan dengan metoda Fall of Potential. 3. Pengujian model skala yang menggunakan air untuk kedua lapisan memberikan kemudahan bagi kita untuk melakukan pengujian terhadap model elektroda pembumian dengan faktor refleksi (K) dan tingkat kedalaman lapisan pertama (h) yang bervariasi. Daftar Pustaka Caldecott, R., Kasten, D. G., “Scale Model Studies of Station Grounding Grids”, IEEE Transactions on Power Apparatus and Systems, Vol. PAS – 102, No. 3, March 1983. 32 IEEE Std. 81 – 1983, “IEEE Guide for Measuring Earth Resistivity, Ground Impedance, and Earth Surface Potentials of A Ground System” Mukhedkar, D., Gervais, Y., DeJean, J. P., “Modelling of A Grounding Electrode”, Ecole Polytechnique Montreal, Canada, May 1972 Salama, M. M. A., Elsherbiny, M. M., Chow, Y. L., “A Formula for Resistance of Substation Grounding Grid in Two-Layer Soil”, IEEE Transactions on Power Delivery, Vol. 10, No. 3, July 1995. Thapar, B., Puri, K. K.,“Mesh Potential in High Voltage Grounding Grids”, IEEE Transactions on Power Apparatus and Systems, Vol. PAS-86, No. 2, February 1983. Thapar, B., Goyal, S. L., “Scale Model Studies of Grounding Grids in Non-Uniform Soils”, IEEE Transactions on Power Delivery, Vol. PWRD – 2, No. 4, October 1987. Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 1 – JUNI 2005 (27 - 33) LAMPIRAN 1. Pengukuran Tahanan Jenis Air Tahanan jenis air yang digunakan pada pengujian model skala ini diukur dengan metoda Empat Titik (metoda Wenner). Metoda ini menggunakan empat buah elektroda yang sama yaitu A, B, C, D yang disusun pada satu garis lurus masing-masing dengan jarak a dan ditanam pada kedalaman yang tidak melebihi 0,1a. Arus yang diinjeksikan melalui elektroda A dan D akan menimbulkan tegangan antara kedua elektroda B dan C yang dapat dibaca pada Voltmeter. Tahanan jenis air dapat dihitung dengan persamaan : ρ = 2πaR di mana R = V I S 2. Tahanan Grid Pembumian Pada Dua Lapisan Tanah Untuk menentukan besarnya harga tahanan pembumian grid pada dua lapisan tanah, dapat dihitung dengan menggunakan rumus pendekatan yang diusulkan oleh (Salama 1995): ⎡ 1 π 1 ⎛ 1 0,061 Δl ⎞⎤ ⎟⎥ x R g = ρ1 ⎢ + ⎜⎜ ln d o ⎟⎠⎦⎥ ⎣⎢ 4 A L ⎝ 2π ⎛ 2,256 h b ⎞ ln(1 − K ) ⎜⎜1 − ⎟⎟ − ρ1 2π(h + h o ) A ⎠ ⎝ dengan : ρ − ρ1 K= 2 ρ 2 + ρ1 (2) h < 0,2 A hb < h (3) (4) h o = cf A C A [ln(1 − K )] K − 1 2π 2K Δl = Δl y Δl x 220 VAC (1) (5) (6) V PTAC A B a C a D a AIR Gambar L1. Rangkaian pengujian tahanan jenis air dengan metoda empat titik di mana : Rg = tahanan pembumian grid (Ω) Δlx = panjang sisi mesh pada sumbu x (m) Δly = panjang sisi mesh pada sumbu y (m) A = luas grid pembumian (m2) ρ1 = tahanan jenis tanah lapisan atas (Ω.m) ρ2 = tahanan jenis tanah lapisan bawah (Ω.m) do = diameter konduktor grid (m) L = panjang total konduktor grid (m) hb = kedalaman penanaman grid dari permukaan tanah (m) h = kedalaman tanah lapisan atas (m) cf = faktor bentuk (≅ 0,9) Pengukuran Tahanan Grid Pembumian pada Model Lapisan Tanah yang tidak Unifom (Zulkarnaen Pane) 33 PEDOMAN PENULISAN NASKAH JURNAL ENSIKOM (Bold, 14 Times New Roman (TNR)) Usman Baafai1), Zulkarnaen Pane1) (12 TNR Bold) 1) Staf Pengajar Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik USU (10 TNR) Abstrak (Bold, 10 TNR) Pedoman penulisan ini dipersiapkan sebagai contoh tulisan yang dapat dijadikan acuan bagi penulis yang ingin memasukkan tulisannya ke Jurnal Teknik Simetrika. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan atau Bahasa Inggris. Isi abstrak berisi tujuan, cakupan kajian dan kesimpulan terpenting. Isinya tidak lebih dari 200 kata dan ditulis dengan huruf miring serta rata kanan kiri. Kata-kata kunci: Pedoman penulisan, Contoh acuan (10 TNR) 1. Pendahuluan (Bold, 12 TNR) Jurnal Teknik Simetrika terbuka untuk umum sepanjang berkaitan dengan bidang teknik. Naskah dapat berupa a) hasil penelitian, b) studi literatur, atau c) komentar maupun kritik tentang naskah yang pernah dimuat di Jurnal Teknik Simetrika, Falkultas Teknik USU. Naskah tidak boleh pernah dipublikasikan di jurnal ataupun di media penerbitan lainnya. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris. Naskah dikirim berupa rekaman dalam disket disertai 1 eksemplar cetakannya dengan panjang maksimum 12 halaman dan ukuran kertas A4. Pengetikan dilakukan satu spasi dan dua kolom yang menggunakan jenis huruf Times New Roman dengan ukuran 10 pt. Naskah diketik dengan menggunakan pengolah kata dalam bentuk MS Word untuk memudahkan penyuntingan. • Panjang halaman • Identasi • Sub judul utama • Ukuran teks : Tidak lebih dari 12 halaman termasuk gambar, dll. : 0,7 cm untuk setiap paragraf baru. : diketik 12 pt, bold, rata kiri dan diberi nomor dengan huruf besar kecil tanpa diakhiri titik. : 10 TNR 3. Kerangka Tulisan Kerangka tulisan terdiri dari judul tulisan, abstrak dan isi paragraf: 3.1 Bagian Judul Tulisan (Bold, 10 TNR) 2. Umum • • • • • • • 34 Format penulisan secara ringkas dan umum dicantumkan berikut ini: Ukuran kertas : A4 Jastifikasi : rata kiri kanan Spasi baris : satu spasi Kolom : 1 kolom untuk judul dan abstrak, 2 kolom untuk isi tulisan Batas : atas 3 cm, bawah 2 cm kiri 3 cm, kanan 2 cm Jenis huruf : Times New Roman Nomor halaman : Tidak perlu, tapi ditulis halus dengan pinsil di kanan bawah Judul tulisan harus sesingkat mungkin tapi jelas menunjukkan dengan tepat masalah yang hendak dikemukakan dan tidak memberi peluang penafsiran yang beraneka ragam (Hamid, 2004). Judul ditulis huruf besar dengan bold, 14 TNR. Selanjutnya nama penulis dengan bold 12 TNR, boleh ditambahkan alamat e-mail untuk komunikasi. Gelar dan posisi penulis tidak perlu dicantumkan. 3.2 Bagian Abstrak Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris yang memuat tidak lebih dari 200 kata dan ditulis dengan huruf miring. Isi abstrak berisi tujuan, cakupan kajian dan kesimpulan terpenting. 3.3 Isi Paragraf Penulisan simbol matematik memakai simbol yang umum dipakai dan sistem satuan yang digunakan adalah Sistem Internasional (SI). Kecuali untuk naskah yang sudah terlanjur memakai sistem lain, perlu dilampirkan tabel konversinya ke SI. Naskah Bahasa Indonesia diketik sesuai EYD dan kata-kata yang digunakan merupakan bahasa baku. Naskah Bahasa Inggris perlu diperiksa menggunakan spell checker. Format penulisan harus disesuaikan dengan yang sudah ditetapkan, dengan tanpa ada pemenggalan kata pada akhir baris. Tabel dan gambar harus diberi keterangan yang jelas. Gambar harus dapat dibaca dengan jelas jika diperkecil sampai dengan 50%. Sumber rujukan ditulis dalam uraian yang hanya terdiri dari nama akhir penulis dan tahun penerbitan. Namun nama akhir penulis tersebut harus tepat sama dengan nama akhir yang tertulis dalam daftar pustaka. Setiap sumber yang dirujuk harus tercantum di dalam daftar pustaka, demikian pula sebaliknya. 4. Nomor, Judul Gambar dan Tabel serta Persamaan Penulisan nomor gambar dan tabel ditulis lengkap: Gambar 1: ……… tidak ditulis dengan Gb. 1: ….. Penulisan nomor, judul gambar diletakkan di bawah dan tengah gambar. Sedangkan untuk tabel ditulis di atas dan tengah tabel. Penulisan nomor dan judul gambar dan tabel menggunakan huruf 10 TNR bold. Sebagai contoh, lihat Persamaan 1, Tabel 1 dan Gambar 1 yang menunjukkan hal-hal yang diperlukan untuk satu naskah yang baik. Persamaan 1 misalnya adalah 10 y = ∑ xi (1) i =1 dimana y adalah nilai total suatu naskah dan x materi naskah. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Tabel 1: Contoh isi naskah yang baik Materi naskah Keterangan Judul Nama penulis Abstrak Pendahuluan Metodologi penelitian Hasil penelitian Diskusi Kesimpulan Ucapan terima kasih Daftar Pustaka Singkat dan padat Tanpa posisi dan gelar Tidak lebih dari 200 kata Sub judul 1 Sub Judul 2 Sub Judul 3 Sub Judul 4 Sub Judul 5 (jika ada) Mutakhir Isi tulisan ilmiah Memenuhi kaidah penalaran Memilih kata (diksi) dan kalimat yang baik dan akurat Mengandung koherensi dan komposisi gagasan yang baik Gambar 1: Skema isi tulisan yang baik (sumber: Hernowo, 2004) 5. Penulisan Daftar Pustaka Penulisan daftar pustaka mencantumkan hal-hal berikut: • untuk buku: lihat contoh yang ada di daftar pustaka untuk buku oleh Hernowo (2004). • untuk karangan dalam buku (suntingan): lihat contoh yang dibuat di daftar pustaka (misal: L.J. Carpenter dan L. G. Levoy Jr, 1955). • untuk karangan dalam pertemuan : lihat contoh untuk tulisan prosiding di dalam daftar pustaka oleh Baafai, (2003). • untuk karangan dalam majalah/jurnal : lihat contoh untuk tulisan jurnal di dalam daftar pustaka (misal: A.F. Zobaa, 2004). • Untuk karangan yang diambil dari internet : lihat contoh, Clinton Ober A., 2000 6. Kesimpulan Naskah harus diakhiri dengan kesimpulan yang berisi tentang implikasi-implikasi penting dari informasi yang dipresentasikan pada badan tulisan atau isi paragraf. Daftar Pustaka 1. A.F. Zobaa, 2004, A new approach for voltage harmonic distortion minimization, Journal Of Electric Power System Research, 70 (3), 253260. 2. Baafai Usman, 2003, Pengaruh Pemaparan Medan Magnet terhadap Aktifitas Mencit, Buletin Utama Teknik UISU, Terakreditasi, No.52/Dikti/Kep/2002, ISSN.1410-4520, Vol. 7, No. 1, Januari, 6 – 12. 3. Clinton Ober A., 2000, ESD Journal, Grounding Human Body to Neutralizer Bioelectrical Stress From Static Electricity & EMF, www.esdjournal.com, February. 4. Hernowo, H. 2004, Main-main dengan Teks. Kaifa, PT Mizan Pustaka, Bandung, 184 p. 5. L.J. Carpenter dan L. G. Levoy Jr, 1955, System Grounding, In, DONALD Beeman editor, in Industrial Power Systems Handbook, McGraw Hill, New York,374 – 387. 35 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA JURUSAN TEKNIK ELEKTRO – FT USU Jln. Almamater Kampus USU – Medan 20155 Tel. (061) 8213246 / Fax. (061) 8213250 e-mail : [email protected] SURAT PENGANTAR No : No. Isi Surat/Barang Jumlah Keterangan 1. 1 (satu) eksemplar Disampaikan dengan hormat sebagai tukar informasi ilmiah. Mohon lembar di bawah ini dikirim kembali Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM. Vol. 3 No.1, Juni 2005 Medan, Juni 2004 Ir. Zulkarnaen Pane TANDA TERIMA Telah diterima dari : Jurusan Teknik Elektro Fak. Teknik USU Jl. Almamater Kampus USU – Medan 20155 Berupa : Jurnal Teknik Elektro ENSIKOM Vol. 3, No. 1, Juni 2005 Nama : Jabatan : Institusi : Alamat : Telepon/fax. : Tanda Tangan/Stempel :