Iktikad Baik dalam Sewa-Menyewa Telekomunikasi

advertisement
BAB II
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
2.1 Tinjauan Pustaka
Iktikad baik atau te goeder trouw atau good faith sangat erat kaitanya
dengan kepatutan atau keadilan. Ukuran iktikad baik ini harus ada pada para pihak
baik itu kreditur maupun debitur. Menurut yurisprudensi (Arres HR 9 pebruari
1923), unsur-unsur iktikad baik dan kepatutan itu ada bila tidak melakukan segala
sesuatu secara tidak masuk akal. Dalam melakukan setiap perjanjian hukum
membebankan kepada masing-masing pihak kewajiban untuk melaksanakan
perjanjian dengan itkad baik1.
Dalam pendapat di atas iktikad baik merupakan kunci dalam suatu kontrak
atau perjanjian. Melaksanakan perjanjian harus dilakukan dengan iktikad baik
merupakan kewajiban dari para pihak maka dari itu asas iktikad baik merupakan
kunci dari kontrak atau perjajian. Dengan kata lain jika salah satu pihak tidak
melaksanakan perjanjian dengan iktikad baik maka pihak tersebut dapat di anggap
melakukan wanprestasi.
1
Hardijan Rusly, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Jakarta, 1996, hal. 119.
14
Dalam ketentuan Pasal 1338 Ayat (3) berbunyi2 : “perjanjian harus
dilakukan dengan iktikad baik”. Pasal itu mengandung nilai hukum bahwa dalam
perjanjian, iktikad baik merupakan hal yang penting. Karena Pasal 1338 Ayat (3)
sudah jelas dirumuskan bahwa melakukan perjanjian para pihak diwajibkan
melakukannya dengan iktikad baik.
Di negara-negara yang menganut civil law sistem, seperti Perancis, Negeri
Belanda, dan Jerman, pengadilan memberlakukan asas iktikad baik bukan hanya
dalam tahap penandatanganan dan pelaksanaan kontrak. Tetapi, juga dalam tahap
perundingan (the duty of good faith in negotiation). Sehingga, janji-janji pra
kontrak mempunyai akibat hukum dan dapat dituntut ganti rugi jika-janji tersebut
diingkari3. Janji-janji seperti ini, menurut Jeferson Kameo, bersisi satu, unilateral
dan mengikat, nudum pactum.
Akan tetapi, beberapa putusan pengadilan di Indonesia tidak menerapkan
asas iktikad baik dalam proses negosiasi. Karena menurut teori klasik, jika suatu
perjanjian belum memenuhi syarat hal tertentu, maka belum ada perjanjian.
Belum lahir suatu perikatan yang mempunyai hukum bagi para pihak. Akibatnya,
pihak yang dirugikan karena percaya pada janji-janji pihak lawanya tidak
terlindungi dan tidak dapat menuntut ganti rugi.
Di negara yang menganut sistem common law, seperti di Amerika Serikat,
pengadilan menerapkan doktrin promissory estoppel yang berasal dari tradisi civil
law yaitu promise seperti dikemukakan Kameo, di atas. memberikan perlindungan
2
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUHPer).
3
Suharnoko, Op.Cit,. hal. 3.
15
hukum kepada pihak yang dirugikan karena percaya dan menaruh pengharapan
(reasonably relied) terhadap janji-janji yang diberikan lawanya dalam tahap pra
kontrak (preliminary negotiation).
Kontrak merupakan serangkaian kegiatan yang meninbulkan hubungan
hukum. Prespektif kontrak sebagai rangkaian kegiatan terdapat beberapa fase
dalam kontrak yang meliputi fase pra-kontraktual, fase kontraktual dan fase pascakontraktual. Asas iktikad baik menaungi semua tahap yang ada dalam kontrak.
Iktikad baik (good faith) dalam pelaksanaan kontrak merupakan lembaga
hukum (rechtsfiguur) yang dipakai juga dalam hukum Romawi yang kemudian
berlaku pula dalam civil law. Asas ini diterima pula hukum kontrak di negaranegara yang menganut common law, seperti Amerika Serikat, Australia, dan
Kanada. Bahkan asas ini telah diterima pula oleh hukum internasional seperti
Artikel 1.7 UNIDROIT dan Artikel 1.7 Convention Sales of Goods. Asas ini
ditempatkan sebagai asas yang paling penting (super eminent principle) dalam
kontrak. Asas iktikad baik menjadi suatu ketentuan fundamental dalam hukum
kontrak, dan mengikat para pihak dalam kontrak4.
Walaupun iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak telah menjadi asas yang
paling penting dalam kontrak, namun masih meninggalkan sejumlah kontroversi
atau permasalahan. Sekurang-kurangnya ada tiga persoalan yang berkaitan dengan
iktikad baik tersebut. Pertama, ada pandangan bahwa pengertian iktikad tidak
bersifat universal. Kedua, tolok ukur (legal test) yang digunakan hakim untuk
menilai ada tidaknya iktikad baik dalam kontrak. Ketiga, pemahaman dan sikap
4
Ridwan Khairandy, Op.Cit,. hal. 123.
16
pengadilan di Indonesia berkaitan dengan fungsi iktikad baik dalam pelaksanaan
kontrak.
Iktikad baik tidak hanya mengacu kepada iktikad baik para pihak, tetapi
harus pula mengacu kepada nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat.
Sebab, iktikad baik merupakan bagian dari masyarakat. Iktikad baik ini akhirnya
mencerminkan standar keadilan atau kepatutan masyarakat. Dengan makna yang
demikian itu menjadikan standar iktikad baik sebagai universal social force yang
mengatur hubungan antar sosial mereka, yakni setiap warganegara harus memiliki
kewajiban untuk bertindak dengan iktikad baik terhadap semua warganegara. Ini
merupakan konsepsi objektif, yang secara universal diterapkan dalam semua
transaksi. Hal ini sesuai dengan postulat Roscoe Pound yang menyatakan : “men
must be assume that those with whom they deal in general intercourse of society
will act in good faith and will carry out their undertaking according to the
exprectation of the community”5.
Prinsip iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak didasarkan pada ide bahwa
para pihak dalam suatu hubungan hukum harus memiliki sikap yang dikaitkan
dengan karakter reciprocal trust and consideration sesuai dengan tujuan norma
hukum, unsur moral dan postulat masyarakat masuk ke dalam konsep iktikad baik
sebagai basis bagi suatu tindakan yang mensyaratkan adanya penghormatan
tujuan hukum6.
5
ibid,. hal. 127.
6
ibid,. hal. 129.
17
Civil Code Perancis merupakan kitab undang-undang pada era modern yang
pertama kali mengatur iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak. Pasal 1134 ayat
(3) Civil Code Perancis menyatakan bahwa kontrak harus dilaksanakan dengan
iktikad baik (contract doivent etre executes de bonna foi). Isi pasal ini mengacu
kepada konteks iktikad baik (bonna foi) sebagai suatu sikap di mana para pihak
diharapkan melaksanakan kontrak. Dengan ketentuan ini, hukum Perancis
menolak pembedaan antara stricti iuris dan negotia bona fides dalam hukum
Romawi. Dengan penolakan yang demikian, maka Pasal 1135 Civil Codes Prancis
mewajibkan keterikatan para pihak untuk tidaknya hanya terikat pada apa yang
secara tegas mereka perjanjikan, tetapi juga kepada kepatutan (equite), kebiasaan,
atau hukum yang memberikan suatu kewajiban menurut hakikat (nature) kontrak
mereka itu7.
Kedua Pasal itu diadopsi oleh BW (lama) Belanda. Pasal 1374 Ayat (3) BW
(lama) Belanda (Pasal 1338 KUHper) menyatakan bahwa kontrak harus
dilaksanakan dengan iktikad baik (zij moten te goeder trouw worden ten uitvoer
verklaart). Kewajiban ini kemudian dilanjutkan Pasal 1375 (Pasal 1339 KUHPer)
yang menyatakan bahwa kontrak tidak hanya mengikat terhadap apa yang secara
tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga kepada segala sesuatu yang menurut
sifat kontrak, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau Undang-Undang.
Berkaitan dengan kebiasaan, Pasal 1383 BW (lama) Belanda
(Pasal 1374
KUHPer) menyatakan bahwa hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya
diperjanjikan dianggap secara diam-diam dimasukkan ke dalam kontrak meskipun
tidak secara tegas diperjanjikan.
7
ibid,. hal. 133.
18
Dari ketentuan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa urutan kekuatan
mengikatnya kontrak adalah sebagai berikut; isi kontrak itu sendiri; kepatutan atau
iktikad baik; kebiasaan; dan Undang-Undang.
Dalam BGB8, permasalahan perilaku kontraktual yang diaharapkan dari
para pihak dalam pelaksanaan kontrak terdapat dalam Pasal 242 BGB. Pasal
tersebut menenentukan : “debitur terikat oleh kegiatan yang berpengaruh pada
syarat-syarat
dari
iktikad
baik,
kebiasaan
menjadi
kewajiban
yang
dipertimbangkan”.
Di sini terlihat bahwa untuk menyebut iktikad baik dalam kontrak, BGB
menggunakan terminologi lain, yakni Treu und Glauben. Istilah bona fide
digantikan Treu und Glauben, sehingga memberikan ekspresi yang lebih
Jermanik. Penggantian istilah tersebut didasarkan pada alasan ketika BGB
dirancang dihubungkan dengan great respect for then prevailing nationalistic
feeling, which led to the abandonment of expression of Roman origin9.
Sumber utama legislasi yang berkaitan dengan iktikad baik dalam
pelaksanaan kontrak dalam hukum kontrak Amerika Serikat ditemukan dalam
UCC10. UCC ini telah diterima atau diadopsi oleh hukum (legislasi) negara-negara
bagian, dan diterima pula oleh pengadilan. Selain terdapat dalam UCC,
pengaturan iktikad baik tersebut ditemukan dalam the Restatement of Contract
(second). Khusus untuk negara bagian Louisiana, legislasi kewajiban iktikad baik
8
BGB yang dimaksud adalah hukum privat Jerman.
9
ibid,. hal. 134.
10
UCC yang dimaksut adalah hukum privat Amerika Serikat.
19
dalam pelaksanaan kontrak yang terdapat dalam the Louisiana Civil Codes.
Pengaturan kewajiban iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak dalam Louisiana
Civil Codes tersebut mengikuti isi Pasal 1134 Ayat (3) dan Pasal 1135 Civil
Codes Perancis11.
Ketentuan-ketentuan di atas mewajibkan adanya iktikad baik sebagai suatu
perilaku kontraktual yang diharapkan para pihak dalam pelaksanaan kontrak.
Walaupun ada kewajiban umum iktikad baik, tetapi semua ketentuan tersebut
tidak menyebutkan atau menentukan standar atau tes apa yang harus digunakan
untuk menilai iktikad baik tersebut. Sehingga penggunaan standart tersebut lebih
banyak didasarkan
kepada sikap
pengadilan dan doktrin-doktrin
yang
dikembangkan para pakar hukum.
Standar atau tes bagi iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak tentunya
adalah standar objektif. Dalam hukum kontrak, pengertian bertindak sesuai
iktikad baik mengacu kepada ketaatan akan reasonable commercial standard of
fair dealing, yang menurut legislator Belanda disebut bertindak sesuai dengan
redelijkheid en billijkheid (reasonableness and equity). Ini benar-benar standar
objektif. Jika satu pihak tidak boleh bertindak dengan cara tidak masuk akal dan
tidak patut will not be a good defense to say that honestly believed his conduct to
be reasonable and inequitable.
Iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak mengacu kepada iktikad baik yang
objektif. Standar yang digunakan dalam iktikad baik objektif adalah standar
objektif yang mengacu kepada suatu norma yang objektif. Perilaku para pihak
11
ibid,. hal. 135.
20
dalam kontrak harus diuji atas dasar norma-norma objektif yang tidak tertulis
yang berkembang di dalam masyarakat. Ketentuan iktikad baik menunjuk kepada
norma-norma tidak tertulis yang sudah menjadi norma hukum sebagai suatu
sumber hukum tersendiri. Norma tersebut dikatakan objektif karena tingkah laku
tidak didasarkan pada anggapan para pihak sendiri, tetapi tingkah laku tersebut
harus sesuai dengan anggapan umum tentang iktikad baik tersebut12.
Dalam perkara NV Jaya Autombiel Import Maatschappij v. Wong See Hwa,
Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya dalam putusanya No. 262/1951 Pdt, 31 Juli
1952, menafsirkan iktikad dalam konteks Pasal 1338 Ayat (3) KUHPer sebagai
kejujuran. Perkara ini berkaitan dengan kapan terjadinya jual-beli yang berkaitan
dengan terjadinya perubahan harga yang berimplikasi terhadap kemungkinan
penilaian kembali (herwaardering) harga barang. Apakah terjadinya pada tanggal
13 Maret 1950 seperti yang dikemukan tergugat-terbanding (Wong See Hwa
sebagai pembeli) pada waktu ia menyetor uang sebesar sebelas ribu rupiah
ataukah seperti yang dikatakan penggugat (NV Jaya Autombiel Import
Maatschappij sebagai penjual) pada saat mobil itu diserahkan pada 13 Mei 1950.
Berkaitan dengan iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak, Pengadilan Tinggi
Surabaya, dalam pertimbanganya menyatakan;
“kedua belah pihak tersebut adalah tertunduk akan hukum perdata Barat,
sebagai teratur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Sipil (burgerlijk wetboek,
yang lazim disingkat BW), sehingga menurut hukum itu lah harus ditetapkan
bilamanakah perjanjian jual-beli itu telah sempurna, yaitu selain benda, juga
tentang harga benda tersebut telah ada persetujuan kehendak antara kedua belah
12
ibid,. hal. 136.
21
pihak, sehingga menurut Pasal 1338 Ayat (1) BW merupakan Undang-Undang
bagi kedua belah pihak itu harus secara jujur (te goeder trouw) dilaksanakan
menurut Ayat (3) dari Pasal 1338 BW”.
Dalam perkara ini hakim tinggi, menyamakan iktikad baik dalam konteks
Pasal 1338 Ayat (3) KUHPer dengan kejujuran. Dalam KUHPer memang tidak
dijumpai ketentuan yang menjelaskan lebih lanjut makna iktikad baik tersebut.
Memang jika dilacak kembali pada makna bona fides dalam hukum Romawi
berarti kontrak harus dilaksanakan secara jujur dan para pihak harus memenuhi
janji yang mereka buat13.
Dalam yurispudensi Indonesia ditemukan fakta yang menunjukkan adanya
tarik-menarik antara asas penting dalam kontrak. Tarik menarik antara asas pacta
sunt servanda dengan asas iktikad baik. Pada mulanya, pengadilan memegang
teguh asas pacta sunt servanda, tetapi dengan berkembangnya hukum kontak asas
pacta sunt servanda mulai tergeser dengan asas kepatutan atau iktikad baik.
Iktikad baik kemudian digunakan hakim untuk membatasi atau meniadakan
kewajiban kontraktual apabila ternyata isi dan pelakasanaan perjanjian
bertentangan dengan keadilan14.
Subekti berpendapat jika pelaksanaan perjanjian menurut hurufnya, justru
akan menimbulkan ketidakadilan, maka hakim mempunyai wewenang untuk
menyimpang dari isi perjanjian menurut hurufnya. Dengan demikina jika
perjanjian menimbulkan ketidakseimbangan atau melanggar rasa keadilan, maka
13
ibid,. hal. 138.
14
ibid,. hal. 140.
22
hakim dapat mengadakan penyesuaian terhadap hak dan kewajiban yang
tercantum dalam kontrak tersebut15.
Dari pendapat di atas, penulis berpendapat bahwa dalam penyelesaian
perkara kontrak hakim dapat melakukan campur tangan jika suatu perjanjian atau
kontrak tidak sesuai dengan nilai kerpatutan atau iktikad baik. Jadi, tidak salah
jika masing-masing hakim mempunyai penilaian tentang kepatutan atau iktikad
baik dikarenakan nilai kepatutan merupakan bentuk keadilan yang hidup di dalam
masyarakat.
Oleh karena lembaga kepatutan dan keadilan merupakan ketertiban umum
(van openbare orde), maka apabila kepatutan dan keadilan tidak ada di dalam
perjanjian yang bersangkutan, maka pengadilan dapat mengubah isi perjanjian itu
di luar apa yang secara tegas telah diperjanjikan. Isi perjanjian tidak hanya
ditentukan oleh rangkaian kata-kata yang disusun oleh kedua belah pihak, tetapi
ditentukan pula kepatutan dan keadilan16.
Mengingat perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik, berarti
perjanjian harus dilaksanakan dengan patut dan adil (naar redelijkheid en
billijkheid). Dengan demikian pengadilan harus mempertimbangkan apakah yang
dikemukakan kepadanya ada kepatutan ataukah tidak. Hal ini menjadi penting
karena nilai kepatutan atau iktikad baik merupakan inti dari perjanjian atau
15
Suharnoko, Op.Cip,. hal. 4.
16
Ridwan Khairandy, Op.Cit,. hal. 139.
23
kontrak17. Bagaimana iktikad baik diterapkan hakim dalam Putusan yang dianailis
dalam penelitian ini, dikemukakan dalam sub bab analisa, pada Bab III.
2.2 Undang-undang Telekomunikasi
Sewa-Menyewa Telekomunikasi konvensional mengandung 4 unsur, yaitu:
merupakan suatu perjanjian, terdapat kenikmatan suatu barang, harga sewa, dan
jangka waktu sewa. Nampaknya unsur-unsur perjanjian sewa-menyewa
konvensional tersebut memiliki kesamaan dengan unsur-unsur dalam perjanjian
sewa-menyewa jaringan telekomunikasi. Dari hasil penelitian terhadap satuan
amatan, ditemukan unsur-unsur dalam hakikat hubungan hukum sewamenyewa
jaringan telekomunikasi tersebut, yaitu: merupakan suatu perjanjian, jaringan
telekomunikasi, tarif sewa jaringan, dan jangka waktu sewa jaringan18.
Unsur merupakan suatu perjanjian dalam sewa-menyewa jaringan
telekomunikasi dapat
diketahui dari rumusan Pasal 9 Ayat
(2) UU
Telekomunikasi. Sementara itu pengertian perjanjian menurut Subekti19
merupakan peristiwa/kejadian yang berupa pengikatan diri seseorang pada suatu
kewajiban.
M. Yahya Harahap juga memberikan pengertian perjanjian, yang sama
dengan Subekti yakni, peristiwa hukum dalam bidang kekayaan/harta benda,
17
Ibid, hal. 139.
Skripsi Caesar Fortunus Wauran. S.H., yang berjudul ”Hubungan Hukum antara Penyelenggara
Jaringan Telekomunikasi dan Penyelenggara Jasa Telekomunikasi adalah Sewa-Menyewa”.
Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga Tahun 2013. Hal. 48.
18
19
Ibid, hal. 49.
24
dimana adanya suatu hubungan hak-kewajiban (prestasi-kontra prestasi) bagi
pihak-pihak yang saling mengikatkan diri antara satu dengan lainnya.
Selanjutnya Wirjono Prodjodikoro perjanjian berarti adanya hak untuk
menuntut dari pelaksanaan suatu perjanjian. Unsur keharusan dimaksud adalah
untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang bersifat khusus. Bersifat
khusus diartikan sebagai suatu hal yang diperjanjikan (objek perjanjian) dan
hanya mengikat para pihak dalam perjanjian20.
Setelah pengertian-pengertian perjanjian menurut KUH Perdata kaitan
dengan definisi sewa-menyewa seperti di kemukakan para penulis hukum, pada
akhirnya Penulis mencoba untuk memberikan definisi sendiri dari perjanjian.
Menurut Penulis perjanjian adalah suatu peristiwa perbuatan hukum dimana
pihak-pihak saling mengikatkan diri untuk melakukan suatu keharusan yang
disertai hak untuk menuntut dalam pemenuhannya.
Perjanjian sewa-menyewa konvensional dan perjanjian sewa-menyewa
jaringan telekomunikasi merupakan suatu perjanjian, yang dimana keduannya
merupakan suatu peristiwa perbuatan hukum dimana pihak-pihak saling
mengikatkan diri untuk melakukan suatu keharusan yang disertai hak untuk
menuntut dalam pemenuhannya. Dalam hal perjanjian sewa-menyewa jaringan
telekomunikasi, keharusan disini adalah keharusan untuk memberikan kenikmatan
menggunakan jaringan telekomunikasi dan keharusan untuk melakukan suatu
pembayaran tarif sewa jaringan. Pasal 9 Ayat (2) UU Telekomunikasi yang telah
memberikan garis merah bahwa pihak-pihak dalam perjanjian sewa-menyewa
20
Ibid, hal. 50.
25
jaringan telekomunikasi adalah penyelenggara jaringan telekomunikasi sebagai
pihak yang menyewakan, dan penyelenggara jasa telekomunikasi sebagai pihak
penyewa. Sehingga dapat diketahui keharusan untuk memberikan kenikmatan
menggunakan jaringan telekomunikasi dipikul oleh penyelenggara jaringan
telekomunikasi, yang sebagaimana merupakan kewajiban utamanya sebagai pihak
yang menyewakan. Sementara keharusan untuk melakukan suatu pembayaran tarif
sewa jaringan merupakan kewajiban penyelenggara jasa telekomunikasi, yang
dimana merupakan kewajiban utamanya sebagai pihak penyewa. Hal ini telah
membuktikan bahwa perjanjian sewa-menyewa jaringan telekomunikasi adalah
perjanjian dengan asas timbal-balik, yang dimaksud kedua belah pihaknya
memberikan prestasi dan mendapatkan kontra prestasi21.
Kenikmatan suatu barang merupakan salah satu unsur pokok dalam
perjanjian sewa-menyewa konvensional, yang dimana kenikmatan tersebut telah
menandakan tidak adanya pengalihan hak milik dari suatu barang, jadi
dimungkinkan bahwa pihak yang menyewakan bukanlah pemegang hak milik dari
obyek sewa. Namun, menurut Subekti hal tersebut hanya dapat dibenarkan apabila
sudah diperjanjikan sebelumnya, karena menurut KUH Perdata Pasal 1559 yang
menyatakan bahwa:
Si penyewa, jika kepadanya tidak telah diperijinkan, tidak diperbolehkan
mengulang sewakan barang, yang disewanya, maupun melepaskan sewanya
kepada orang lain, atas ancaman pembatalan perjanjian sewa dan penggantian
21
Ibid, hal. 51.
26
biaya, rugi, dan bunga, sedangkan pihak yang menyewakan setelah pembatalan
itu, tidak diwajibkan mentaati perjanjiannya ulang sewa22.
Pencantuman kata tidak telah di sini berarti apabila tidak diperjanjikan
sebelumnya, maka si penyewa tidak dijinkan untuk mengulang sewakan barang
yang disewanya. Tetapi, apabila sudah diperjanjikan sebelumnya, maka si
penyewa berhak untuk mengulang sewakan barang yang berupa kenikmatan hak
miliknya tersebut.
Dalam bidang telekomunikasi, khususnya mengenai hubungan hukum sewamenyewa jaringan telekomunikasi, yang dimaksud dengan kenikmatan suatu
barang adalah kenikmatan untuk menggunakan jaringan telekomunikasi. Sejalan
dengan hubungan hukum sewa-menyewa konvensional, hubungan hukum
sewamenyewa jaringan telekomunikasi juga memperbolehkan pihak yang
menyewakan bukanlah pemegang hak milik barang sewaan, hal ini secara tersirat
diungkapkan oleh Pasal 6 Ayat (1) PP No. 52 Tahun 2000, yang mengatakan
bahwa: Dalam penyelenggaraan jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 huruf (a), penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib
membangun dan atau menyediakan jaringan telekomunikasi.
Jika dilihat dari rumusan ketentuan Pasal 6 Ayat (1) PP No. 52 tahun 2000
yang memberikan kewajiban kepada penyelenggara jaringan telekomunikasi
untuk membangun dan/atau menyediakan jaringan telekomunikasi, dapat ditarik
pemahaman bahwa pihak
yang menyewakan dalam hubungan
hukum
sewamenyewa jaringan telekomunikasi dimungkinkan bukanlah pemegang hak
22
Ibid, hal. 52.
27
milik dari jaringan telekomunikasi, akan tetapi dimungkinkan hanyalah pemegang
hak untuk menggunakan jaringan telekomunikasi23.
Hal ini diketahui dari penggunaan kata menyediakan dalam rumusan Pasal 6
Ayat (1) PP No. 52 tahun 2000 yang memberikan kebebasan pihak penyelenggara
jaringan
telekomunikasi
dalam
menjalankan
penyelenggaran
jaringan
telekomunikasi. Kata menyediakan di sini dapat diartikan menyediakan dengan
membangun
dan/atau
membuat
jaringan
telekomunikasi
sendiri,
atau
menyediakan dengan menyewa jaringan telekomunikasi dari penyelenggara
jaringan telekomunikasi lainnya.
Lain halnya dengan unsur tarif sewa jaringan, yang telah ditemukan penulis
dalam rumusan Pasal 27 Ayat (1) UU Telekomunikasi jo Pasal 35 Ayat (1) PP
No. 52 tahun 2000 yang sebagaimana secara eksplisit telah menginformasikan
bahwa tarif sewa jaringan merupakan suatu bentuk pembayaran suatu harga dalam
perjanjian sewa-menyewa jaringan telekomunikasi24.
Pembayaran harga sewa adalah suatu keharusan yang dilakukan oleh pihak
penyewa, dalam perjanjian sewa-menyewa konvensional harga sewa merupakan
hasil kesepakatan antara kedua belah pihak. Harga sewa tersebut merupakan unsur
yang wajib ada dalam suatu perjanjian sewa-menyewa konvensional, harga sewa
disini dapat berupa uang ataupun jasa. Sedangkan dalam hubungan hukum
sewamenyewa jaringan telekomunikasi adanya unsur harga sewa ditandai dengan
adanya tarif sewa jaringan. Tarif sewa jaringan telekomunikasi tersebut bukanlah
23
Ibid, hal. 53.
24
Ibid, hal. 54.
28
hasil kesepakan antara kedua belah pihak, akan tetapi telah ditetapkan secara
khusus oleh Keputusan Menteri. Hal ini diketahui dari Pasal 37 Ayat (3) PP No.
52 tahun 2000, yang mengamanatkan bahwa: “Ketentuan mengenai formula tarif
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.”
Selain harga sewa jaringan telah ditentukan oleh Keputusan Menteri Pasal 2
PP No.7 Tahun 2009 telah mewajibkan tarif sewa jaringan yang harus berupa
uang dalam bentuk satuan rupiah. Sementara cara perhitungannya sendiri
diketahui melalui lampiran 1 tentang Panduan Perhitungan Tarif Sewa Jaringan
dalam Peraturan Menteri No. 03/PER/M.KOMINFO/1/2007. Hal ini menegaskan
bahwa penentuan harga atau rent dalam hubungan hukum sewa-menyewa
telekomunikasi tidak dibiarkan kepada para pihak, namun ditentukan oleh
Pemerintah. Dengan demikian, Penulis dapat memastikan satu keunikan dalam
hubungan hukum sewa-menyewa telekomunikasi, yaitu bersifat publik25.
Dalam hubungan hukum sewa-menyewa konvensional ataupun hubungan
hukum sewa-menyewa jaringan telekomunikasi tidak memberikan pengaturan
secara khusus mengenai jangka waktu sewa. Jangka waktu sewa tersebut dirasa
penting untuk mencegah hal-hal yang tidak diharapkan timbul dikemudian hari
dan mencegah adanya multi tafsir di sebuah hubungan hukum sewa-menyewa.
Nampaknya apabila diperhatikan dengan seksama, maka soal mengenai jangka
waktu sewa dalam hubungan hukum sewa-menyewa dimaksud, diserahkan
kepada pihak-pihak dalam hubungan hukum dimaksud dalam rangka kepastian
dan kenyamanan dalam transaksi mereka tersebut.
25
Ibid, hal. 55.
29
Dapat dipastikan baik hakikat hubungan hukum sewa-menyewa pada
umumnya (konvensional), ataupun hakikat hubungan hukum sewa-menyewa
jaringan telekomunikasi adalah suatu kontrak (a contract), yang dimana adanya
pihak-pihak yang melahirkan suatu hubungan hukum untuk melakukan suatu
unsur “keharusan”, dan disertai dengan hak untuk menuntut dilaksanakannya
unsur keharusan tersebut. Hubungan hukum tersebut adalah sebuah perjanjian, hal
ini diketahui dari pengertian sewa-menyewa menurut Pasal 1548 KUH Perdata
yang telah menyebutkan secara eksplisit bahwa sewa-menyewa merupakan suatu
perjanjian, dimana struktur perjanjian tersebut meliputi pihak-pihak, bentuk
hubungan hukum, lahirnya hubungan hukum, hak dan kewajiban para pihak,
berakhirnya hubungan hukum, dan penyelesaian sengketa. Sehingga dapat
diketahui bahwa struktur hubungan hukum sewa-menyewa menurut KUH Perdata
dan struktur hubungan hukum sewa-menyewa jaringan telekomunikasi sesuai
dengan struktur suatu kontrak (a contract).
Pihak-pihak dalam perjanjian sewa-menyewa menurut KUH Perdata adalah
pihak yang menyewakan dan pihak penyewa. Hal ini juga dianut dalam pihak
sewa-menyewa jaringan telekomunikasi, dimana pihak yang menyewakan adalah
penyelenggara jaringan telekomunikasi, sedangkan pihak penyewa adalah
penyelenggara jasa telekomunikasi. Hal ini secara tersirat telah diungkapkan oleh
UU Telekomunikasi dalam Pasal 9 ayat (2). Namun, yang membedakan pihak
dalam sewa-menyewa menurut KUH Perdata dapat berupa natural person ataupun
recht person. Sedangkan dalam sewa-menyewa telekomunikasi pihaknya harus
30
berbentuk
badan usaha
yang bergerak
dalam
bidang penyelenggaraan
telekomunikasi, yang dapat berupa BUMN, BUMD, BUMS, atau koperasi26.
Mengingat tunduknya perjanjian sewa-menyewa menurut KUH Perdata
pada asas konsensualitas, sehingga dapat disimpulkan bahwa hubungan hukum
sewa-menyewa mulai berlaku mengikat sejak detik tercapainya kesepakatan
mengenai unsur-unsur pokoknya, yaitu kenikmatan dari suatu barang, harga sewa,
dan jangka waktu sewa. Sama halnya dengan hubungan hukum sewa-menyewa
jaringan telekomunikasi yang juga tunduk pada asas konsensualitas, akan tetapi
perjanjian yang terjadi antara penyelenggara jaringan telekomunikasi dan
penyelenggara jasa telekomunikasi sejatinya dilahirkan oleh kehendak UU
Telekomunikasi.
Pada
dasarnya
kesepakatan
dalam
hubungan
hukum
sewamenyewa jaringan tersebut merupakan kesepakatan semu. Kesepakatan
tersebut hanyalah sebuah kesepakatan yang berkaitan dengan asas kebebasan
berkontrak (freedom of contract), bukan mengenai unsur-unsur pokok dalam
sewa-menyewa jaringan telekomunikasi27.
Hal itu dapat dibuktikan dari: dalam hubungan hukum sewa-menyewa
jaringan telekomunikasi pihak yang menyewakan pasti merupakan penyelenggara
jaringan telekomunikasi, dan pihak penyewa pasti merupakan penyelenggara jasa
telekomunikasi, hal ini secara tersurat telah diungkapkan oleh Pasal 9 Ayat (2)
UU Telekomunikasi. Obyek dalam hubungan hukum yang terjadi antara
penyelenggara jaringan telekomunikasi dan penyelenggara jasa telekomunikasi,
juga sudah dipastikan oleh Pasal 9 Ayat (2) UU Telekomunikasi, yaitu jaringan
26
Ibid, hal. 56.
27
Ibid, hal. 57.
31
telekomunikasi. Sementara mengenai harga sewa jaringan telekomunikasi sendiri
ditentukan oleh Keputusan Menteri, yang sebagaimana diamanatkan oleh PP No.
52 tahun 2000.
Dalam perjanjian sewa-menyewa menurut KUH Perdata ataupun perjanjian
sewa-menyewa jaringan dapat berbentuk tertulis ataupun lisan, dan dapat berupa
akta otentik ataupun akta dibawah tangan. Namun, menurut pandangan Penulis
sebaiknya hubungan hukum sewa-menyewa jaringan tersebut dibuat secara
tertulis dan dengan akta otentik. Hal ini dikarenakan mengingat penyelenggaraan
telekomunikasi merupakan bisnis yang modalnya sangat besar, dan mencangkup
hajat orang banyak, sehingga apabila dibuat secara tertulis dan dengan akta
otentik akan lebih menjamin kepastian hukum bagi para pihak yang mengikatkan
diri, dan dapat digunakan sebagai alat bukti yang kuat apabila terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan kemudian hari28.
Terdapat
dualisme
pendapat
mengenai
obyek
dalam
hubungan
sewamenyewa konvensional. Pendapat yang pertama datang dari Hoffman, De
purger, dan Christina T. Budhayati S.H., M.H. yang berpendapat obyek dalam
perjanjian sewa-menyewa menurut KUH Perdata haruslah barang berwujud.
Berbanding terbalik dengan pendapat Asser, Van Brakel, dan Vollmar yang
menyatakan bahwa barang tidak berwujud juga bisa menjadi obyek dalam suatu
perjanjian sewa-menyewa menurut KUH Perdata.
Dalam perjanjian sewa-menyewa jaringan telekomunikasi obyeknya adalah
jaringan
28
telekomunikasi,
yang
diartikan
sebagai
rangkaian
perangkat
Ibid, hal. 58.
32
telekomunikasi dan kelengkapannya yang digunakan dalam bertelekomunikasi.
Sejatinya jaringan telekomunikasi tersebut merupakan benda tidak berwujud, hal
ini jelas membuktikan bahwa UU Telekomunikasi sejalan dengan pendapat Asser,
Van Brakel, dan Vollmar29.
Memberikan kenikmatan suatu barang adalah kewajiban utama pihak yang
menyewakan dalam hubungan hukum sewa-menyewa menurut KUH Perdata dan
hubungan hukum sewa-menyewa jaringan telekomunikasi. Kewajiban lainnya
dalam hubungan hukum sewa-menyewa menurut KUH Perdata antara lain untuk
memelihara barang yang disewakan dan menjaga ketentraman pihak penyewa
dalam menggunakan barang yang disewakan. Sedangkan kewajiban lainnya
dalam hubungan hukum sewa-menyewa jaringan telekomunikasi juga mencakup
mengenai kewajiban penyelenggara jaringan telekomunikasi kepada masyarakat,
kewajiban lainnya tersebut, yaitu: wajib membangun dan/ atau menyediakan
jaringan telekomunikasi, wajib menjamin terselenggaranya telekomunikasi
melalui jaringan yang diselenggarakannya, wajib memenuhi setiap permohonan
dari calon pelanggan jaringan telekomunikasi yang telah memenuhi syarat-syarat
berlangganan jaringan telekomunikasi sepanjang jaringan telekomunikasi masih
ada, wajib memberikan kontribusi dalam pelayanan universal, wajib menyediakan
pelayanan tekomunikasi berdasarkan prinsip perlakukan yang sama dan pelayanan
yang
sebaik-baiknya,
peningkatan
efisiensi
dalam
penyelenggaraan
telekomunikasi, dan pemenuhan standart pelayanan serta standart penyediaan
29
Ibid, hal. 59.
33
sarana dan prasarana, dan wajib menjamin kebebasan penggunanya memilih
jaringan telekomunikasi lain untuk pemenuhan kebutuhan telekomunikasi30.
Hak utama yang diterima oleh pihak yang menyewakan dalam hubungan
hukum sewa-menyewa menurut KUH Perdata dan dalam hubungan hukum
sewamenyewa jaringan telekomunikasi adalah hak untuk menerima pembayaran
harga sewa. Dalam hubungan hukum sewa-menyewa jaringan telekomunikasi
pihak penyelenggara jaringan telekomunikasi diberikan hak khusus dalam
penyelenggaraan jaringan telekomunikasi, yaitu dapat memanfaatkan atau
melintasi sungai, danau, atau laut baik permukaan maupun dasar, dan tanah
dan/atau bangunan milik perseorangan dan/atau milik Negara.
Pihak penyewa, baik dalam hubungan hukum sewa-menyewa menurut KUH
Perdata ataupun hubungan hukum sewa-menyewa jaringan telekomunikasi
diberikan kewajiban utama untuk melakukan suatu pembayaran31. Kewajiban
lainnya yang diberikan kepada pihak penyewa dalam hubungan hukum
sewamenyewa menurut KUH Perdata, yaitu: memakai barang yang disewa
sebagai bapak rumah yang baik, sesuai dengan tujuan yang diberikan pada barang
itu menurut perjanjian sewanya, atau jika tidak ada perjanjian mengenai itu,
menurut tujuan yang dipersangkakan berhubungan dengan keadaan, menanggung
segala kerusakan yang terjadi selama sewa-menyewa, kecuali jika penyewa dapat
membuktikan bahwa kerusakan tersebut terjadi bukan karena kesalahan si
penyewa, dan mengadakan perbaikan-perbaikan kecil dan sehari-hari sesuai
dengan isi perjanjian sewa-menyewa dan adat kebiasaan setempat (khusus untuk
30
Ibid, hal. 60.
31
Ibid, hal. 61. Kewajiban membayar jasa dapat disebut dengan kewajiban untuk beritikad baik.
34
sewa rumah dan perabot rumah). Sedangkan dalam hubungan hukum
sewamenyewa jaringan telekomunikasi kewajiban-kewajiban lainnya yang
diberikan juga mencakup kewajiban kepada masyarakat. Kewajiban lainnya
tersebut, yaitu: wajib menyediakan fasilitas telekomunikasi untuk menjamin
kualitas pelayanan telekomunikasi yang baik, wajib memberikan pelayanan yang
sama kepada pengguna jasa telekomunikasi, wajib mencatat/merekam secara rinci
pemakaian jasa telekomunikasi dan apabila pengguna memerlukannya wajib
diberikan,
wajib
memenuhi
setiap
permohonan
dari
calon
pelanggan
telekomunikasi yang telah memenuhi syarat-syarat berlangganan sepanjang akses
jasa telekomunikasi masih tersedia, wajib memberikan kontribusi dalam
pelayanan universal, dan wajib menyediakan pelayanan tekomunikasi berdasarkan
prinsip perlakukan yang sama dan pelayanan yang sebaik-baiknya, peningkatan
efisiensi dalam penyelenggaraan telekomunikasi, dan pemenuhan standart
pelayanan serta standart penyediaan sarana dan prasarana32.
Memperoleh kenikmatan dari suatu barang adalah hak utama pihak penyewa
dalam hubungan hukum sewa-menyewa konvensional ataupun dalam hubungan
hukum sewa-menyewa jaringan telekomunikasi. Selain hak utama tersebut, dalam
hubungan hukum sewa-menyewa konvensional, pihak penyewa juga diberikan
hak-hak tambahan, yaitu memperoleh ketentraman dalam menggunakan barang
yang disewanya selama waktu sewa dan menuntut pembetulan-pembetulan atas
barang yang disewa, apabila pembetulan-pembetulan tersebut merupakan
kewajiban pihak yang menyewakan. Sementara hak tambahan yang diperoleh
dalam hubungan hukum sewa-menyewa jaringan telekomunikasi adalah hak yang
32
Ibid, hal. 62.
35
timbul dengan hubungannya dalam masyarakat, yaitu hak untuk memungut biaya
atas permintaan catatan/rekaman pemakaian jasa telekomunikasi33.
Satu hal yang menarik dan perlu dicermati dari sub-bab ini terletak pada
kewajiban penyelenggara jaringan telekomunikasi, yang tertuang dalam Pasal 12
PP No.52 tahun 2000, yaitu: “wajib memenuhi setiap permohonan dari calon
pelanggan
jaringan
telekomunikasi
yang
telah
memenuhi
syarat-syarat
berlangganan jaringan telekomunikasi sepanjang jaringan telekomunikasi masih
ada”. Hal ini dirasa telah melanggar asas kebebasan berkontrak yang dipunyai
oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi, karena dengan diberikan kewajiban
tersebut, maka pihak penyelenggara jaringan telekomunikasi tidak dapat
menentukan apakah ia mau mengikatkan diri pada suatu perikatan atau tidak.
Dalam
perjanjian
sewa-menyewa
menurut
KUH
Perdata
ataupun
sewamenyewa jaringan telekomunikasi, berakhirnya perjanjian sewa-menyewa
dapat dibedakan menjadi 3, yaitu: berakhirnya dengan jangka waktu yang
ditentukan dalam kesepakatan (perjanjian tertulis dan perjanjian lisan),
berakhirnya hubungan hukum sewa-menyewa yang tidak ada batas waktunya, dan
berakhirnya dengan ketentuan khusus (persetujuan para pihak, putusan
pengadilan, dan obyek sewa musnah). Mengingat yang dapat menjadi pihak dalam
sewa-menyewa jaringan telekomunikasi hanyalah penyelenggara jaringan
telekomunikasi dan penyelenggara jasa telekomunikasi, maka sewa-menyewa
jaringan telekomunikasi otomatis akan berakhir apabila adanya pencabutan izin
33
Ibid, hal. 63.
36
usaha yang dimiliki oleh salah satu pihak dalam perjanjian sewa-menyewa
jaringan telekomunikasi34.
2.3 Putusan Mahkamah Agung Nomor 2995K/pdt/2012.
Mahkamah Agung dalam Putusan No. 2995 K/Pdt/201235, setelah
memeriksa perkara perdata dalam tingkat kasasi telah memutuskan perkara prof.
dr. Farouk Muhammad, bertempat tinggal di Jl. H. Mursid No. 33,
RT.007/RW.004, Kelurahan Kebagusan, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta
Selatan, dalam hal ini memberi kuasa kepada Muhammad Jusril, SH, dan kawankawan, Para Advokat dan Para Kandidat Advokat, berkantor di Satori Cakra
Optima, Jalan Ciparahiang No.1, Cidangiang, Kelurahan Tegal Lega, Kecamatan
Tengah, Kota Bogor 16124, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 10 Juli
2012, Pemohon Kasasi dahulu Penggugat/Pembanding.
Melawan PT. Telekomunikasi sellular (telkomsel), berkedudukan di Gedung
Wisma Mulia Lantai G, Jl. Gatot Subroto No. 42 Jakarta 12710, dalam hal ini
memberi kuasa kepada Marselinus Kurnia Rajasa, S.H., LL.M., dan kawankawan, Para Advokat pada Kantor Hukum “Rajasa Supriyadi & Hartanto”,
berkantor di Atrium Setiabudi Lantai 2, Suite 206 B, Jl. H.R. Rasuna Said Kav.
62, Jakarta 12920. Termohon Kasasi dahulu Tergugat/Terbanding;
Mahkamah Agung membaca surat-surat yang bersangkutan dalam
pertimbangannya menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa
34
Ibid, hal. 64.
35
Putusan Mahkamah Agung Nomor 2995K/pdt/2012, hal., 1.
37
sekarang Pemohon Kasasi prof. dr. Farouk Muhammad dahulu sebagai Penggugat
telah menggugat sekarang Termohon Kasasi PT. Telekomunikasi sellular
(telkomsel) dahulu sebagai Tergugat di muka persidangan Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan pada pokoknya atas dalil-dalil. Bahwa Penggugat prof. dr. Farouk
Muhammad adalah pelanggan Kartu Halo Pasca Bayar dengan Nomor
0811969697 (disebut Kartu Halo) terhitung sejak kurang lebih sepuluh tahun yang
lalu dan Tergugat adalah pengelola operator selular terbesar di Indonesia yang
mengeluarkan produk Kartu Halo tersebut. Sejak Penggugat menggunakan Kartu
Halo tersebut, Penggugat tidak pernah mempunyai masalah yang berarti mengenai
pembayaran dan selalu membayar tagihan tepat waktu. Artinya menurut
Penggugat, dia adalah pelanggan yang bertanggungjawab akan kewajibankewajibannya terhadap Tergugat. Hal ini dapat dilihat sebagai indikator iktikad
baik, versi penggugat.
Kemudian Penggugat dikejutkan dengan tagihan bulan September 2009
sebesar tujuh juta tujuh ratus lima puluh ribu tujuh ratus enam puluh empat
rupiah. Sedangkan biasanya, penggugat hanya membayar sebesar satu juta lima
ratus ribu rupiah. Pembengkakan biaya tersebut ternyata kemudian diketahui oleh
Penggugat dikarenakan biaya roaming internasional di luar negeri, yaitu selama
seminggu ketika Penggugat menjalankan ibadah umrah di Mekkah. Terhadap
tagihan tersebut, Penggugat telah menugaskan dua orang staf dari kantor
Penggugat yaitu Hendri dan Katim untuk menyampaikan keberatan Penggugat
dan meminta keringanan pembayaran kepada Tergugat di Kantor Grapari
Telkomsel, Jalan Gatot Subroto. Dalam hal ini, Penggugat tidak memperoleh
informasi atau tidak mendapatkan informasi yang cukup tentang besarnya biaya
38
roaming internasional di luar negeri, tetapi Tergugat melalui petugasnya hanya
menyatakan bahwa pencarian informasi dimaksud menjadi kewajiban pelanggan
(dalam hal ini menjadi kewajiban Penggugat)36.
Pada akhirnya pada tanggal 21 Oktober 2009 Penggugat dengan penuh
kesadaran dan iktikad baik kata iktikad baik dinyatakan secara tegas bersedia
untuk membayar tagihan tersebut di atas, yaitu berupa pembayaran penuh sebesar
tujuh juta tujuh ratus lima puluh ribu tujuh ratus enam puluh empat rupiah. Akan
tetapi, berdasarkan aturan pada Costumer Service pihak Tergugat, kemudian
disepakati antara Penggugat dan Tergugat, pembayaran tagihan Penggugat
dimaksud dapat dilakukan dengan cicilan maksimal sebanyak tiga kali
pembayaran, dalam waktu tiga bulan. Atas hal tersebut di atas, maka pada tanggal
21 Oktober 2009, Penggugat dengan kesadaran dan iktikad baik melakukan
pembayaran cicilan pertama sebesar lima juta rupiah. Sisa tagihan dari
pembayaran Penggugat menjadi sisa sebesar dua juta tujuh ratus lima puluh ribu
tujuh ratus enam puluh empat rupiah.
Penggugat dengan kesadaran dan iktikad baik memenuhi kesepakatan antara
Penggugat dan Tergugat dalam hal cicilan sebagaimana yang telah dijelaskan di
atas. Pembayaran oleh Penggugat ditindaklanjuti kembali pada tanggal 20
November 2009 sebagai pembayaran cicilan kedua, sebesar satu juta lima ratus
ribu rupiah. Sisa pembayaran Penggugat sebesar satu juta dua ratus lima puluh
ribu tujuh ratus enam puluh empat rupiah. Setelah pembayaran cicilan kedua
tersebut, Tergugat baru memberikan formulir layanan pelanggan atas nama
Penggugat yang diterima pada tanggal 20 November 2009 (saat pembayaran
36
Putusan Mahkamah Agung Nomor 2995K/pdt/2012, Hal., 2.
39
cicilan kedua sebagaimana di atas). Intinya, secara tertulis baik Penggugat
maupun Tergugat menyatakan bahwa Penggugat diberikan waktu untuk mencicil
kewajibannya tersebut dalam waktu tiga kali cicilan pembayaran selama tiga
bulan tagihan terhitung sejak pembayaran pertama tanggal 21 Oktober 2009. Dari
formulir layanan pelanggan dimaksud maka dapat diketahui bahwa batas terakhir
cicilan yang harus dibayarkan Penggugat kepada Tergugat adalah selambatlambatnya pada tanggal 21 Desember 2009 (tiga bulan terhitung sejak 21 Oktober
2009).
Ternyata formulir layanan pelanggan tertanggal 20 November 2009 yang
menjadi Perjanjian dalam hal cicilan pembayaran antara Penggugat dan Tergugat
tersebut disimpangi oleh Tergugat, karena pada tanggal 14 Desember 2009
(sebelum jatuh tempo pembayaran cicilan ketiga), Kartu Halo milik Penggugat
diblokir tanpa ada penjelasan dan pemberitahuan terlebih dahulu dari pihak
Tergugat. Hal ini dapat dilihat sebagai indikator iktikad buruk dari tergugat.
Padahal, menurut ketentuan Tergugat, bahwa batas akhir pembayaran untuk Kartu
Halo Penggugat jatuh tempo pada setiap tanggal 20 bulan berjalan. Bahkan, jika
sesuai dengan kesepakatan yang tertuang dalam formulir layanan pelanggan di
atas, batas waktu cicilan pembayaran selama tiga bulan tagihan terhitung sejak
pembayaran pertama tanggal 21 Oktober 2009, maka Penggugat masih
mempunyai waktu sampai dengan tanggal 21 Desember 2009.
Dengan demikian jelas perbuatan Tergugat sebagai pelaku usaha dalam
melakukan kegiatan usaha mereka telah beriktikad tidak baik kata iktikad buruk
disebut secara eksplisit, menurut penggugat. Dalam melakukan kegiatan
40
usahanya, tidak memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur, atau informasi
yang cukup khususnya tentang biaya roaming internasional. Selanjutnya jelas
Tergugat tidak beriktikad baik, tidak konsekuen dan konsisten untuk mematuhi
janjinya kepada Penggugat sebagaimana yang dimaksud di atas, sehingga atas hal
tersebut tindakan Tergugat sangat nyata-nyata telah merugikan Penggugat.
Selanjutnya atas kejadian tersebut, pada tanggal 16 Desember 2009, Penggugat
telah mengirimkan faksimile kepada Tergugat, atas saran petugas Costumer
Service dari Tergugat (melalui layanan 116 milik Tergugat), untuk membuka
blokir tersebut sesuai dengan apa yang dianjurkan oleh petugas Costumer Service
yang tertuang dalam formulir layanan pelanggan tertanggal 20 November 2009.
Kemudian permintaan Penggugat agar Tergugat membuka blokir Kartu Halo
milik Penggugat tersebut tidak ditanggapi sesuai dengan komitmen antara
Tergugat dan Penggugat, terlebih-lebih Tergugat memaksa Penggugat untuk
membayar sisa cicilan terakhir terlebih dahulu kalau blokir Kartu Halo milik
Penggugat hendak dibuka. Uraian di atas jelas, menurut penggugat, perbuatan
Tergugat dapat dikualifikasi telah melakukan perbuatan yang melanggar hak-hak
Penggugat selaku konsumen sebagaimana yang diatur secara tegas dalam
Undang-Undang R.I. No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
khususnya Pasal 4 huruf (a), (c), (d), dan (g). Karena Penggugat: kehilangan hak
atas kenyamanan, keamanan dalam mengkonsumsi jasa yang diperdagangkan oleh
para Tergugat; tidak mendapat hak informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi jasa yang telah diperjanjikan oleh Tergugat kepada Penggugat; kehilangan
hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas jasa yang digunakan;
kehilangan hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur.
41
Atas perbuatan Tergugat yang tidak memegang komitmen dengan
kesepakatan tersebut di atas, jelas telah menginjak-injak hak Penggugat selaku
konsumen yang telah beriktikad baik dalam penyelesaian pembayaran tagihan
Kartu Halo Penggugat. Dengan dibuktikannya pembayaran Tergugat sebagaimana
telah diuraikan di atas, akibat perbuatan semena-mena Tergugat kepada
Penggugat,
dengan
pemblokiran
sepihak
Kartu
Halo
tersebut,
sangat
menimbulkan rasa yang tidak nyaman kepada Penggugat. Terlebih-lebih,
Penggugat adalah termasuk pelanggan corporate dari Kartu Halo dalam jajaran
Perwira Tinggi pada Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Selanjutnya, nomor Kartu Halo Penggugat sudah lama dikenal di kalangan kolega
Penggugat sejak saat Penggugat menjadi Guru Besar sekaligus Gubernur
Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian/Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian, dan
terlebih lagi nomor Kartu Halo Penggugat pun telah dikenal oleh khalayak ramai
karena kedudukan Penggugat yang pernah menjadi staff pada Dewan
Pertimbangan Presiden.
Saat ini nomor Kartu Halo Penggugat dikenal lebih luas lagi oleh para
kolega, konstituen, serta khalayak umum karena Penggugat saat ini adalah
Anggota dari Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia. Karena kedudukan
Penggugat sebagaimana terurai di atas, maka telah tergambar jelas betapa besar
dan betapa penting nomor Kartu Halo milik Penggugat dengan nomor
0811969697 terhadap kelancaran pengabdian Penggugat kepada bangsa dan
negara ini. Pemnblokiran sepihak terhadap nomor Kartu Halo milik Penggugat
yang telah dilakukan oleh Tergugat, semakin nyata menimbulkan kerugian citra
bagi Penggugat. Bahkan, berpotensi menjadi penghambat tugas-tugas negara yang
42
diemban oleh Penggugat sebagai akibat terputusnya saluran komunikasi terhadap
Penggugat karena pemblokiran nomor Kartu Halo milik Penggugat secara sepihak
yang dilakukan oleh Tergugat, yang juga mengakibatkan kerugian selain terhadap
Penggugat juga kerugian negara sebagai terhambatnya aktivitas Penggugat karena
perbuatan sepihak Tergugat secara nyata.
Perbuatan semena-mena Tergugat kepada Penggugat, dengan pemblokiran
sepihak Kartu Halo tersebut, Penggugat sebagai public figure yang mempunyai
citra baik pada jaringan–jaringan perkenalannya telah kehilangan peluang untuk
mendapatkan penguatan dukungan-dukungan moril sebagai public figure yang
kredibel. Hal ini terjadi karena Penggugat yang sudah memang sering kali
menjadi nara sumber bagi media baik cetak maupun elektronik, akibat perbuatan
Tergugat seperti yang dimaksud dalam gugatan ini, sejak pemblokiran nomor
Kartu Halo sepihak oleh Tergugat, hingga saat ini banyak media baik cetak
maupun elektronik yang tidak dapat menghubungi Penggugat untuk dimintai
pendapatnya akan kasus-kasus atau isu-isu yang sedang hangat dalam
pemberitaan Pers. Sehingga Penggugat kehilangan peluang untuk memperkuat
dukungan publik yang telah menimbulkan potensi dampak politik akan
menurunnya popularitas dan kredibilitas citra Penggugat dihadapan umum.
Sejalan dengan itu juga, Penggugat telah kehilangan peluang popularitas di
mata para orang-orang penting. Pejabat yang menjabat pada lembaga eksekutif,
lembaga legislatif, maupun lembaga yudikatif yang selama ini telah mempunyai
hubungan baik dan hubungan yang sangat spesifik dengan Penggugat. Lagi-lagi
tindakan sepihak Tergugat telah menimbulkan dampak negatif terhadap citra
43
Penggugat. Pada hal, justru Penggugat tengah membangun penguatan citra akan
kredibilitas dan popularitasnya juga di hadapan orang-orang penting.
Sebagai akibat pemblokiran sepihak Kartu Halo oleh Tergugat, sangat susah
menghubungi kolega sejawatnya baik yang berada dan menjabat pada lembaga
eksekutif, lembaga legislatif maupun lembaga yudikatif, yang sebelumnya tidak
pernah terjadi pada Penggugat. Hal ini terjadi karena Penggugat sudah tidak dapat
lagi menghubungi koleganya dimaksud melalui nomor Kartu Halo yang diblokir
oleh Tergugat. Padahal hanya nomor Kartu Halo Penggugat lah, yang dikenal oleh
kolega-koleganya dimaksud. Walaupun Penggugat sudah memberitahukan
koleganya melalui SMS, akan nomor barunya, akan tetapi karena Penggugat tetap
mengalami kesulitan bahwa koleganya mau membaca atau menerima pesan dari
nomor baru Penggugat karena merupakan nomor yang tidak dikenal ataupun yang
bukan terdaftar pada koleganya seperti nomor Kartu Halo Penggugat. Begitu juga
sebaliknya, keluhan datang dari kolega Penggugat yang tidak dapat menghubungi
Penggugat ke nomor Kartu Halo Penggugat.
Berdasarkan uraian di atas, semakin jelas akibat perbuatan semena-mena
Tergugat kepada Penggugat, dengan pemblokiran sepihak Kartu Halo tersebut,
maka Penggugat telah mengalami kerugian immaterial yang sangat besar, bahkan
kehilangan potensi/peluang mempertahankan citra bahkan memperkuat citranya
sebagai seorang public figure yang akan didapatnya jika nomor Kartu Halo
Penggugat tidak diblokir sepihak oleh Tergugat, sehingga perbuatan Tergugat pun
telah menimbulkan image negatif tehadap Penggugat, sehingga timbul perasaan
tidak nyaman dan bahkan kerugian immateril yang sangat besar bagi Penggugat,
44
hal-hal tersebut di atas, perbuatan Tergugat yang telah memblokir secara sepihak
Kartu Halo milik Penggugat tanpa ada alasan yang jelas, tanpa pemberitahuan
terlebih dahulu kepada Penggugat, serta tanpa dasar hukum yang kuat, maka
Perbuatan Tergugat merupakan wanprestasi atau cedera janji terhadap Penggugat
selaku Konsumen sebagaimana yang diisyaratkan oleh Undang Undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Tergugat selaku penyelenggara telekomunikasi di Indonesia juga telah
melanggar ketentuan seperti yang diisyaratkan Pasal 7 huruf (a), (b), dan (c) jo.
Pasal 26 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen jo
Pasal 17 huruf a. Undang-undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi
Pasal 7 huruf a Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya. Pasal 7 huruf b
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan
Pasal 7 huruf (c) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif. Pasal 26 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib
memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan
Pasal 17 huruf (a) Undang-undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi,
Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggaraan jasa
telekomunikasi wajib menyediakan pelayanan telekomunikasi berdasarkan,
45
prinsip perlakuan yang sama dan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi semua
pengguna.
Akibat perbuatan semena-mena dari Tergugat, maka Penggugat pada
tanggal 8 Maret 2010 telah mengadukan dan menempuh upaya konsiliasi dalam
penyelesaian permasalahan Penggugat dengan Tergugat di Badan Perlindungan
Sengketa
Konsumen
(BPSK)
DKI
Jakarta
dengan
Nomor
Register
012/REG/BPSKDKI/III/2010 tertanggal 12 Maret 2010. Akan tetapi upaya
rekonsialisasi antara Penggugat dan Tergugat yang difasilitasi oleh BPSK DKI
Jakarta, sebelum masuk ke dalam pokok materi pembahasan perkara, proses
penyelesaian melalui konsiliasi tersebut telah dinyatakan tidak berhasil, sebelum
masuk kepada pokok perkara, karena BPSK DKI Jakarta menyatakan ganti rugi
immaterial seperti yang utamanya dimohonkan oleh Penggugat adalah bukan
kompetensi dari BPSK DKI Jakarta. Ganti rugi immaterial yang merupakan
tuntutan utama ganti rugi yang diminta oleh Penggugat terhadap Tergugat pada
proses rekonsiliasi di BPSK DKI Jakarta adalah berupa permohonan maaf dari
Tergugat kepada Penggugat yang diumumkan melalui beberapa harian media
nasional. Tujuan Penggugat akan permohonan maaf dimaksud adalah sebagai
pembelajaran dan pendidikan bagi para Pelaku Usaha umumnya dan Tergugat
khususnya dalam menghormati hak-hak Konsumen, sehingga dikemudian hari
Penggugat berharap tidak ada lagi korban timbul seperti yang dialami oleh
Penggugat, karena para Pelaku Usaha umumnya dan Tergugat khususnya lebih
memperhatikan hak-hak Konsumen (pengguna jaringan telekomunikasi).
46
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) DKI Jakarta juga
menyarankan bahwa permohonan ganti rugi immaterial dapat dimintakan jika
penyelesaian perkaranya melalui Pengadilan Negeri, maka karena dan untuk itu
berdasarkan Pasal 45 ayat (4) Undang-undang Perlindungan Konsumen Gugatan,
gugatan Wanprestasi dalam Perlindungan Konsumen ini diajukan oleh Penggugat.
Sementara itu, kewajiban Penggugat terhadap Tergugat atas sisa pembayaran
tagihan Kartu Halo telah terselesaikan dibayar oleh Penggugat pada tanggal 14
Mei 2010 sebesar tiga juta tiga ratus empat belas ribu empat ratus enam puluh dua
rupiah, sebelum diajukan dan ditandatanganinya gugatan ini. Hal mana
pembayaran ini merupakan pelunasan sisa pembayaran biaya tagihan Kartu Halo
Penggugat. Jumlah pembayaran seperti dimaksud dalam posita ini sebesar tiga
juta tiga ratus empat belas ribu empat ratus enam puluh dua rupiah telah
membuktikan terjadinya peningkatan jumlah tagihan dari sisa tagihan terakhir
yaitu dari sebesar satu juta dua ratus lima puluh ribu tujuh ratus enam puluh empat
rupiah menjadi tiga juta tiga ratus empat belas ribu empat ratus enam puluh dua
rupiah, alasan Penggugat untuk menyelesaikan kewajiban Penggugat terhadap
Tergugat atas sisa pembayaran tagihan Kartu Halo telah terselesaikan dibayar oleh
Penggugat pada tanggal 14 Mei 2010 sebesar tiga juta tiga ratus empat belas ribu
empat ratus enam puluh dua rupiah, sebelum diajukan dan ditandatanganinya
gugatan ini dikarenakan Penggugat merasa hak-haknya sebagai konsumen yang
sedang mengajukan keluhan Tergugat tidak terlindungi.
Terbukti dengan adanya peningkatan jumlah tagihan dari sisa kewajiban
Penggugat yang diantaranya berupa denda dan/ atau bunga dan/atau tambahan
tagihan lainnya, yang seharusnya tidak terjadi dan tidak dibebankan oleh Tergugat
47
kepada Penggugat jika pemblokiran sepihak oleh Tergugat tidak dilakukan
dan/atau Tergugat segera menyelesaikan kelalaian dalam pelayanan jasanya
tersebut kepada Penggugat.
Bahwa berdasarkan uraian di atas jelas-jelas Tergugat tidak mempunyai
iktikad baik, maka dalam konteks itu jelas Tergugat mengingkari relevan spirit
lahirnya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
yang menjadi payung hukum bagi terciptanya perlindungan terhadap Konsumen,
terbukti secara hukum berdasarkan uraian di atas, formulir layanan pelanggan atas
nama Penggugat yang diterima pada tanggal 20 November 2009 adalah bentuk
Perjanjian antara Penggugat dan Tergugat yang sah dan mengikat secara hukum.
Fakta hukum dan uraian yang dikemukakan di atas, jelas sikap dan perbuatan
Tergugat
dapat
dikualifikasikan
sebagai
perbuatan
wanprestasi
yang
menimbulkan kerugian pada Penggugat baik secara materiil maupun secara
immaterial atas wanprestasi/cedera janji yang dilakukan Tergugat tersebut di atas,
jelas telah menimbulkan kerugian-kerugian moril (immateril) dan/atau materiil
terhadap diri Penggugat.
Adapun kerugian-kerugian moril (immateril) dan/atau materiil yang harus
diderita Penggugat adalah: Akses telekomunikasi Penggugat dengan Nomor
0811969697 tidak dapat digunakan karena diblokir yang dilakukan oleh Tergugat,
sehingga Penggugat harus mengeluarkan sejumlah uang untuk pembelian Kartu
GSM nomor perdana baru beserta pulsanya, Penggugat harus kecewa dan lelah
fisik serta psikis untuk mengurus blokir nomor selularnya, Bahwa Penggugat
terpaksa harus mengeluarkan tenaga, waktu, pikiran dan biaya untuk mengajukan
48
gugatan terhadap Tergugat guna mempertahankan dan menuntut hak-hak
Penggugat dalam perkara ini sesuai dengan undang-undang yang berlaku,
Tergugat telah menjanjikan kepada Penggugat mau membayar kewajibannya
terhadap tergugat dengan cara mencicil, yang pembayar cicilan pertama dilakukan
oleh Penggugat kepada Tergugat pada tanggal 21 Oktober 2009.
Kemudian untuk meyakinkan Penggugat akan keleluasaan Penggugat dalam
menyelesaikan kewajiban terhadap Tergugat, maka Tergugat telah membuat janjijanjinya akan cicilan dimaksud ke dalam sebuah tulisan sebagaimana yang
tercantum dalam formulir layanan pelanggan yang pada akhirnya pada tanggal 21
Oktober 2009 ditandatangani oleh Penggugat dan Tergugat. Akan tetapi ternyata
Tergugat hanya memberikan janji-janji palsu sehingga Penggugat sebelum jatuh
tempo pelunasan cicilan kewajiban sebagaimana yang dijanjikan oleh Tergugat
pada tanggal 21 Oktober 2009 jo. tanggal 20 November 2009 tidak dapat lagi
menggunakan nomor kartu halonya. Bahwa jelas-jelas Penggugat sebagai korban
atas rangkaian janji-janji palsu atau kata-kata bohong yang diperbuat oleh
Tergugat, sehingga Penggugat mencari keadilan melalui gugatan ini.
Penggugat merasa harkat martabatnya tercoreng, karena pemblokiran
dimaksud menimbulkan image yang negatif bagi Penggugat. Dalam hal ini harga
diri Penggugat telah jatuh karena perlakuan Tergugat. Semula Penggugat yang
seharusnya mendapat perlakuan khusus (privillage) sebagai pelanggan korporat
yang berasal dari kelompok Perwira Tinggi Mabes Polri, akan tetapi faktanya,
Penggugat telah diperlakukan oleh Tergugat tidak lebih dari pelanggan biasa. Hal
ini terbukti karena faktanya, terhadap penyelesaian permasalahan Penggugat, oleh
49
Tergugat, Penggugat tetap harus mengurusnya kesana kemari, harus menelepon
nomor tertentu milik Penggugat, dan bahkan harus membayar dulu, agar blokir
nomor milik Penggugat yang dilakukan sepihak oleh Tergugat dapat dibuka,
Bahwa pemblokiran sepihak oleh Tergugat, telah menimbulkan dampak negatif
lainnya terhadap Penggugat, berupa pandangan khalayak ramai yang menilai
dengan diblokirnya nomor Penggugat, Penggugat dianggap bersalah dan/atau
melakukan pelanggaran dan telah dihukum dan/atau dikenai sanksi oleh Tergugat
dengan cara pemblokiran nomor Penggugat. Pandangan khalayak ramai telah
menganggap Penggugat, bahwa Penggugat dianggap telah lalai dan/ atau tidak
mampu melunasi kewajibannya kepada PT. Telkomsel (Tergugat atau
Penyelenggara jaringan telekomunikasi).
Kerugian-kerugian moril (immateril) yang dialami Penggugat sangat sulit
dinilai dengan sejumlah uang, namun dikarenakan Tergugat adalah para pelaku
usaha yang melayani kepentingan umum, agar para pelanggannya (konsumen atau
pengguna jaringan telekominikasi) termasuk Penggugat tidak selalu dikecewakan
di kemudian hari oleh sikap dan tindakan yang tidak profesional serta sewenangwenang dari Tergugat, dan agar Tergugat lebih memiliki rasa bertanggungjawab
serta lebih-lebih berhati-hati di kemudian hari dalam melayani para pelanggannya,
kiranya cukup beralasan hukum bagi Penggugat untuk menuntut agar para
Tergugat membuat dan memuat suatu pengumuman pernyataan minta maaf
kepada Penggugat selaku pelanggan dan konsumen dari Tergugat di tiga Harian
Nasional, yakni Harian Kompas, Harian Tempo dan Harian Media Indonesia
dengan ukuran setengah halaman pada bagian halaman terakhir selama tiga hari
50
berturut-turut dengan redaksi dan isi pengumuman sebagaimana tersebut dalam
gugatan.
Apabila Tergugat tidak berkenan melaksanakan isi keputusan hukum
tentang pengumuman pernyataan minta maaf sebagaimana yang diuraikan di atas,
setelah tiga puluh hari sejak keputusan hukum ini dapat dilaksanakan, kiranya
sangat beralasan hukum bagi Penggugat memohon kepada Majelis Hakim yang
memeriksa dan mengadili perkara ini agar berkenan menghukum para Tergugat
untuk membayar kepada Penggugat uang kompensasi secara tunai sebanyak dua
milyar rupiah dengan memberi hak kepada Penggugat untuk memakai dan
menyalurkan uang tersebut kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), atau
Lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan lainnya. Selain itu, dengan kerugiankerugian sebagaimana dimaksud dalam gugatan ini, yakni adanya perbuatan
Tergugat yang merugikan Penggugat, antara lain Penggugat telah kehilangan
opportunity/peluang/ kesempatan untuk menjaga citra bahkan meningkatkan citra
akan popularitas dan kredibilitasnya. Perbuatan Tergugat juga telah menimbulkan
image negatif terhadap Penggugat yang sedang menjaga dan membangun citra
dan reputasinya seperti dimaksud dalam gugatan ini, sehingga menimbulkan
kerugian immateril dimaksud, termasuk dan tidak terbatas juga terhadap perasaan
yang tidak nyaman dalam diri Penggugat, maka Penggugat menuntut ganti rugi
terhadap Tergugat atas kerugian immateril tersebut sebesar satu milyar rupiah.
Selanjutnya atas kerugian materiil yang harus dialami Penggugat akibat
wanprestasi/cedera janji yang dilakukan Tergugat seluruhnya berjumlah lima juta
lima ratus ribu rupiah dengan perincian sebagai berikut, Tranportasi Penggugat
51
mengurus aktifasi: Kartu Halo pada Grapari sebesar lima ratus ribu rupiah, biaya
Penggugat untuk membeli Kartu Perdana Baru sebesar satu juta rupiah, Pembelian
Voucher Pulsa sebesar satu juta rupiah, biaya Transportasi ke BPSK sebesar tiga
juta rupiah oleh karena itu, Penggugat berhak menuntut agar Tergugat membayar
kembali kepada Penggugat seluruh uang yang telah dikeluarkan oleh Penggugat
dalam mempertahankan hak-hak dan kepentingan hukum Penggugat yang
seluruhnya berjumlah lima juta lima ratus ribu rupiah ditambah dengan bunga satu
persen per bulan sejak gugatan ini didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan sampai Tergugat secara sempurna melaksanakan isi keputusan hukum
dalam perkara ini serta ditambah seluruh biaya yang timbul di tingkat banding, di
tingkat kasasi serta di tingkat peninjauan kembali.
Berdasarkan ketentuan Pasal 4 huruf h, Pasal 7 huruf f dan g, Pasal 19 ayat
(1), (2), (3), dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen jo Pasal 15 ayat (1) Undang-undang No. 36 Tahun 1999 tentang
Telekomunikasi
jo
Pasal
68
dan
69
Peraturan
Pemerintah
tentang
Penyelenggaraan Telekomunikasi No. 52 tahun 2000, Penggugat berhak menuntut
Tergugat membayar ganti kerugian, dan Tergugat wajib membayar kerugian
kepada Penggugat, sebagaimana yang dimaksud dalam gugatan ini untuk
menjamin gugatan ini, Penggugat mohon agar diletakkan sita jaminan
(conservatoir beslag) atas harta benda kepunyaan para Tergugat, baik yang
bergerak dan atau tidak bergerak secukupnya.
Gugatan Penggugat adalah berdasarkan bukti-bukti otentik dan tidak
terbantah oleh Tergugat, sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 191 RBg. sangat
52
beralasan hukum bagi Penggugat memohon agar berkenan menjatuhkan
keputusan hukum yang dapat dijalankan serta merta walaupun ada perlawanan,
banding, kasasi dan atau peninjauan kembali (uitvoerbaar bij voorraad)
berdasarkan hal-hal tersebut di atas Penggugat mohon kepada Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan agar memberikan putusan yang dapat dijalankan lebih dahulu
sebagai berikut: Mengabulkan seluruh gugatan Penggugat dalam perkara ini,
Menyatakan sah dan berharga sita penjagaan dan sita jaminan (conservatoir
beslag) yang dijalankan dalam perkara ini. Menyatakan syah dan mengikat secara
hukum formulir layanan pelanggan atas nama Penggugat yang diterima pada
tanggal 20 November 2009, adalah sebagai bentuk Perjanjian antara Penggugat
dan Tergugat. Menyatakan bahwa Tergugat telah cedera janji atau wanprestasi
atas formulir layanan pelanggan tertanggal 20 November 2009, Menyatakan
Tergugat selaku pelaku usaha telah melakukan perbuatan yang bertentangan dan
melanggar Undang-undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
Menghukum Tergugat mengembalikan kepada Penggugat, atas seluruh uang yang
telah dikeluarkan oleh Penggugat sebesar lima juta lima ratus ribu rupiah
ditambah dengan bunga satu persen per bulan sejak gugatan ini didaftarkan di
Pengadilan
Negeri
Jakarta
Selatan
sampai
Tergugat
secara
sempurna
melaksanakan isi keputusan hukum dalam perkara ini, dan ditambah seluruh biaya
yang timbul di tingkat banding, di tingkat kasasi serta di tingkat peninjauan
kembali Menghukum Tergugat agar membuat dan memuat pengumuman
pernyataan minta maaf kepada Penggugat di tiga harian nasional, yakni Harian
Kompas, Harian Tempo dan Media Indonesia dengan ukuran setengah halaman
pada bahagian halaman terakhir selama tiga hari berturut-turut dengan redaksi dan
53
isi pengumuman sebagai berikut: PENGUMUMAN PERNYATAAN MINTA
MAAF
Kami yang bertandatangan di bawah ini : PT. Telekomunikasi Sellular
(TELKOMSEL) badan hukum yang berkedudukan di Indonesia, yang beralamat
di Gedung Wisma Mulia Lantai G, Jl. Gatot Subroto No.42 Jakarta 12710.
Dengan ini secara tegas menyatakan/menyampaikan permintaan maaf yang
sebesar-besarnya kepada: prof. dr. Farouk Muhammad, Dosen dan Anggota
Dewan Perwakilan Daerah RI, sehubungan dengan sikap dan perbuatan kami
selaku pelaku usaha yang tidak professional, telah melakukan hal-hal yang
merugikan terhadap prof. dr. Farouk Muhammad, selaku pelanggan dan
konsumen, karena kami melakukan kegiatan usaha dengan cara yang tidak sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
dan Peraturan Pemerintah. Untuk itu kami berjanji tidak akan mengulangi hal-hal
tersebut di kemudian hari yang dapat merugikan konsumen. Demikian
pengumuman pernyataan minta maaf kami sampaikan, agar diketahui oleh
masyarakat luas.
2.3.1. Pertimbangan Mahkamah Agung Mengenai Hubungan
landlord-tenant
Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh
pihak tenant tidak dibenarkan. Tidak dibenarkannya
alasan-alasan yang
dikemukanakan sebagaimana yang telah dikemukakan secara terperinci dalam
54
putusan yang menyebabkan MA berkesimpulan bahwa judex facti tidak salah
menerapkan hukum37.
Mahkamah Agung yang sidangnya untuk kasus tersebut waktu itu dipimpin
oleh Dr. H. Ahamad kamil, SH., M.Hum pada tanggal 29 Maret 2013
mempertimbangkan pula alasan bahwa apa yang dikemukakan oleh pihak tenant
tidak dapat membuktikan dalil gugatanya. Alasan yuridis yang dikemukakan
Mahkamah Agung bahwa gugatan penggugat tidak memenuhi ketentuan Pasal
1320 KUHPerdata. Pihak tenant, menurut MA, tidak dapat mendasarkan dalilnya
bahwa menurut pendapat si tenant, si pihak landlord tersebut telah wanprestasi.
Dalam pandangan MA dalil wanprestasi yang dilakukan oleh si pihak
landlord itu bahwa formulir layanan pelanggan tidaklah cukup. Menurut
Mahkamah Agung, dalil si pihak tenant yang mengatakan bahwa adanya
wanprestasi: (1) karena bukti yang ada adalah merupakan perjanjian yang sudah
disepakati oleh dirinya dengan si pihak landlord; (2) dengan adanya kelalaian
pihak landlord; dan (3) kenyataanya bahwa lalainya si pihak tenant membayar
tagihan telah memberikan hak kepada pihak landlord untuk memblokir kartu halo
milik penggugat tidak benar. Menurut MA alasan si pihak Tenant seharusnya
adalah alasan mengenai adanya kesalahan penerapan hukum, adanya pelanggaran
hukum yang berlaku, adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang
diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu
dengan batalnya putusan yang bersangkutan atau bila pengadilan tidak berwenang
atau melampaui batas wewenangnya sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal
Skripsi Susana Tewernussa. S.H., yang berjudul ”Tanggungjawab Operator Seluler Sebagai
Landlord Terhadap Kerugian Pelanggan Sebagai penyewa (Tenant)”. Fakultas Hukum
Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga Tahun 2014.
37
55
30 UU No. 14 tahun 1985 tentang MA, sebagai mana telah diubah dengan UU
No. 5 tahun 2004 dan perunahan kedua dengan UU no. 3 tahun 2009. Itulah
sebabnya MA berpendapat bahwa berdasarkan pertimbangannya bahwa putusan
judex facti dalam perkara itu tidak bertentangan dengan hukum dan/atau UU,
maka permohonan kasasi yang diajukan oleh pihak penggugat harus ditolak.
2.3.2. Iktikad baik oleh Penyelenggara Telekomunikasi
Setelah pemaparan tentang temuan Penelitian atas Putusan MARI 2995
sebagaimana telat Penulis kemukakan di atas, maka berikut di bawah ini analisis
terhadap isi Putusan MARI 2995 itu dalam rangka melihat dan menjustidikasi
adanya pola hubungan hukum Landlord and Tenant di dalam Putusan sebagai
satuan amatan tersebut. Lebih khusus lagi, analisis yang dikemukakan berikut di
bawah ini berkisar kepada menjawab permasalahan yang sudah dirumuskan di
dalam Bab-bab skripsi yang berjudul “Tanggung Jawab Operator Selular Sebagi
Landlord Terhadap Kerugian Pelanggan Sebagai Penyewa (Tenant)”38.
Pada dasarnya setiap kegiatan atau aktivitas manusia dapat diatur oleh
hukum. Hukum dipersempit pengertiannya menjadi peraturan perundangundangan yang dibuat oleh negara. Dalam kaitannya dengan teknologi
komunikasi, peran hukum adalah untuk melindungi pihak-pihak yang lemah
terhadap eksploitasi dari pihak yang kuat, disamping itu hukum dapat pula
mencegah dampak negatif dari ditemukannya suatu teknologi baru.
38
Ibid, hal., 105.
56
Prinsip ini secara eksplisit telah diatur dalam UU Telekomunikasi, UU ITE
maupun UU Perlindungan konsumen. Prinsip ini mengatakan bahwa pelaku usaha
selalu dianggap bertanggungjawab terhadap kerugian yang timbul kecuali pelaku
usaha dapat membuktikan bahwa kerugian yang terjadi bukan disebabkan oleh
kelalaiannya dan merupakan kelalaian/kesalahan dari konsumennya. Pengaturan
menyangkut tenggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen tertuang dalam
Pasal 19 ayat 1 UU Perlindungan Konsumen mengamanatkan bahwa pelaku usaha
bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau
kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan
atau diperdagangkan. Pasal tersebut merupakan landasan hukum terkait tanggung
jawab pelaku usaha terhadap konsumen yang telat dirugikan.
Berdasarkan Pasal tersebut maka pelanggan seluler berhak untuk
mendapatkan ganti rugi dari operator seluler atas kerugian yang dialaminya.
Selanjutnya Pasal 15 Ayat (1) UU Telekomunikasi mengamatkan bahwa atas
kesalahan dan/atau kelalaian penyelenggara komunikasi yang menimbulkan
kerugian, maka pihak-pihak yang dirugikan berhak mengajukan tuntutan ganti
rugi kepada penyelenggara komunikasi39. Berdasarkan pasal tersebut, konsumen
yang dalam hal ini pelanggan seluler berhak untuk mengajukan ganti rugi karena
kerugian yang disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh
operator seluler. Adanya unsur kesalahan atau kelalaian dan kerugian yang
diderita oleh pelanggan seluler yang di lakukan oleh operator seluler, maka dapat
dianggap perbuatan yang dilakukan oleh operator seluler adalah perbuatan
melawan hukum sebagaimana diatur di dalam Pasal 1365 BW.
39
Ibid, hal., 102.
57
Selanjutnya
dalam
UU
Telekomunikasi
mengamanatkan
bahwa
penyelenggara telekomunikasi dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut
bukan diakibatkan oleh kesalahan dan/atau kelalaiannya. Berdasarkan Pasal
tersebut, operator seluler wajib memberikan ganti rugi kepada pelanggan seluler
yang menuntut ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang telah
mengakibatkan kerugian.
Ada beberapa kemungkinan penuntutan yang didasarkan pada Pasal 1365
BW, yaitu:40 ganti rugi atas kerugian dalam bentuk natura atau dikembalikan
dalam keadaan semula; pernyataan bahwa perbuatan adalah melawan hukum;
larangan dilakukannya perbuatan tertentu; meniadakan suatu yang diadakan
secara melawan hukum; pengumuman keputusan dari sistem yang telah
diperbaiki.
Menurut pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, setiap perbuatan
melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain selaku konsumen,
mewajibkan orang yang karena salah menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut. Perbuatan melanggar hukum dalam tanggung jawab pelaku
usaha yang merugikan konsumen dapat diartikan juga sebagai perbuatan yang
melanggar hak orang lain dan bertentangan dengan kewajiban pelaku usaha,
bertentangan dengan kesusilaan dan tidak sesuai dengan kepantasan dalam
masyarakat perihal memperhatikan kepentingan orang lain (konsumen) seperti
diketahui iktikad baik merupakan nilai kepantasan dalam masyarakat. Untuk dapat
menuntut ganti kerugian atas produk yang merugikan konsumen dalam dasar
perbuatan melanggar hukum maka harus dipenuhi beberapa syarat, seperti adanya
40
Ibid, hal., 103.
58
suatu perbuatan melawan hukum, adanya kesalahan, adanya kerugian, dan adanya
hubungan kausal antara kerugian dan kesalahan. Dari ajaran diatas, perbuatan
melanggar hukum mempunyai pengertian yaitu berbuat (aktif) atau tidak berbuat
(pasif) sehingga bertentangan dengan hukum dalam arti luas. Menurut teori
kesalahan, kewajiban timbul dikarenakan adanya kesalahan. Kesalahan selalu ada
meskipun dalam ketentuan unsur tidak ada, namun harus dipersangkakan ada.
Untuk dapat ganti kerugian berdasarkan perbuatan melanggar hukum, maka unsur
kesalahan ini harus dapat dibuktikan. Kesalahan disini umumnya diartikan secara
luas, yang meliputi kesengajaan (opzet) dan kekuranghari-hatian atau kelalaian
(negligence).
Ukurang yang dipergunakan dalam hal ini adalah perbuatan dari seseorang
yang dalam keadaan normal. Kesalahan yang dimaksud dalam kaitan dengan
perbuatan melanggar hukum ini adalah kesalahan, baik berupa kesengajaan
maupun kekuranghati-hatian. Kesengajaan ini menunjukkan adanya maksud dari
pelaku usaha untuk menimbulkan akibat tertentu.
41
Kelalaian (negligance) oleh
pelaku usaha merupakan suatu perilaku yang tidak sesuai dengan standart
kelakuan yang ditetapkan dalam undang-undang demi perlindungan anggota
masyarakat terhadap resiko yang tidak rasional. Yang dimaksud di sini adalah
adanya perbuatan yang kurang cermat dan kurang hati-hati yang semestinya
seorang penjual atau pelaku usaha mempunyai kewajiban memeliahara
kepentingan orang lain (duty or care). Unsur utama dalam negligence ini adalah
adanya kewajiban memelihara kepentingan orang yang dilanggar pelaku usaha
atas produknya. Kewajiban ini mensyaratkan bahwa pelaku usaha harus hati-hati
41
Ibid, hal., 104.
59
dalam menjaga kepentingan orang lain sebagai konsumen. Menurut penulis adalah
pertanda iktikad baik.
2.3.3. Soal Keterbukaan Informasi (Representation) Landlord
Berbicara mengenai keterbukaan informasi, hal tersebut merupakan
kwwajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha dan sebaliknya merupakan
hak yang diterima oleh konsumen. Mengenai hal tersebut, sudah diatur secara
jelas dalam UU Perlindungan Konsumen. Kewajiban pelaku usaha salah satunya
adalah memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa seta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan. Sedangkan salah satu hak dari konsumen adalah hak atas informasi
yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.42
Hal tersebut terlihat dalam rumusan dalam putusan “bahwa kemudian penggugat
dikejutkan dengan tagihan bulan september 2009 sebesar tujuh juta tujuh ratus
lima puluh ribu tujuh ratus enam puluh empat rupiah, sedangkan biasanya hanya
sebesar satu juta lima ratus ribu rupiah, pembengkakan biaya tersebut ternyata
kemudian diketahui oleh penggugat dikarenakan biaya roaming internasional di
luar negeri, yaitu selama seminggu ketika penggugat menjalankan ibadah umrah
di Mekkah; bahwa terhadap tagihan tersebut, Penggugat telah menugaskan dua
orang staf dari kantor penggugat untuk menyampaikan keberatan penggugat dan
meminta keringanan pembayaran kepada tergugat di Kantor Grapari Telkomsel,
Jalan Gatot Subroto. Dalam hal ini, penggugat tidak memperoleh imformasi atau
42
Ibid, hal., 105.
60
tidak mendapatkan informasi yang cukup tentang besarnya biaya roaming
internasional di luar negeri, tetapi tergugat melalui petugasnya hanya menyatakan
bahwa pencarian informasi dimaksud menjadi kewajiban pelanggan (dalam hal ini
menjadi kewajiban penggugat)43 tentu saja hal tersebut bertentangan dengan
ketentuan peratuan perundangan yang berlaku yang sudah secara jelas
mengatakan bahwa merupakan kewajiban bagi penyelenggara telekomunikasi
dalam memberikan informasi yang jelas dan benar kepada pelanggannya. Dalam
hal ini, penulis melihat bahwa dalam putusan tersebut, belum memperhatikan
secara benar aturan hukum yang ada dalam hal mempertimbangkan hak-hak dari
pelanggan yang mana ketikan hak tersebut tidak dipenuhi sehingga pelanggan
mengalami kerugian.
Prinsip prinsip hukum yang seharusnya diperhatikan oleh hakim dalam
mengambil keputusan merupakan hal yang Pertanggung jawaban landlord
maupun tenant merupakan pertanggungjawaban berdasarkan pada prinsip praduga
untuk selalu bertanggungjawab (presumtion of liability principle) hal tersebut
dikarenakan aturan hukum yang berlaku dalam UU telekomunikasi, UU ITE
maupun UU perlindungan konsumen memberikan posisi pelaku usaha sebagai
pihak yang memiliki beban pembuktian jika terdapat kerugian sehingga pelaku
usaha yang selalu dianggap bertanggungjawab, kecuali pelaku usaha dapat
membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan diakibatkan oleh kesalahan atau
kelalaiannya.
Dalam putusan MARI 2995 terdapat pertanggungbawaban landlord
merupakan pertanggungjawaban berdasarkan pada prinsip praduga untuk selalu
43
Putusan Mahkamah Agung No. 2995 K/Pdt/2012.
61
bertanggungbawab. Hal tersebut seusai dengan peraturan perundangan yang
berlaku. Yang terlihat dalam bunti rumusan: bahwa pertimbangan Judex Facti
tingkat pertaman pada paragraf 6 halaman 63, paragraf 1 dan 2 halaman 64 yang
menyatakan: Menimbang, bahwa Majelis telah mempertimbangkan sebelumnya
jika awal perjanjian antara Penggugat adalah sebagaimana bukti P-1 yang diakui
Penggugat telah dibuat dan dilaksanakan oleh Penggugat dan Tergugat sepuluh
tahun yang lalu, buktiP-6/ T-1 judulnya adalah Formulir Layanan Pelanggan,
bukti P-6/ T-1 tersebut adalah merupakan bentuk layanan adminustratif
sebahgaimana diatur dalam pasal 5 tentang hak dan kewajiban. Menimbang,
bahwa bentuk perjanjian haruslah memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata,
yaitu: sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu
perikatan, suatu hal tertentu, suatu sebab yang halal. Menimbang, bahwa dengan
memperhatikan buktiP-6 tersebut, ternyata dibuat/ditandatangani oleh Penggugat
dan petugas Tergugat yang adalah tidak mempunyai kewenangan untuk
menandatangani suatu perjanjian akan tetapi yang bersankutan hanya sebagai
pencatat atas suatu keluhan dari pelanggan/Penggugat, tidak ada kata-kata yang
menunjukan adanya kesepakatan diantara penggugat dan petugas pencatat dari
Tergugat, materi yang dituliskan pun bukan sesuatu yang pasti akan tetapi berupa
permintaan yang masih digantungkan pada suatu keputusan dari otoritas yang
berwenang, oleh karena itu bukti P-6/T-1 tersebut tidak dapat dikatakan sebagai
bentuk perjanjian karena tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana
diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata, oleh karena itu petitum angka 3 haruslah
ditolak”.44 Dalam pertimbangan ini, penulis melihat ada permasalahan hukum
44
Putusan Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Agung No. 2995 K/Pdt/2012
62
berkaitan dengan perjanjian sewa menyewa yang dilakukan oleh kedua pihak
yang kemudian tidak diakui oleh tergugat bahwa terdapat hubungan hukum sewa
menyewa padahal seharusnya secara hukum perjanjian terserbut tentu harus ada.
Seperti yang telat penulis kemukakan diatas bahwa hubungan hukum antara kedua
pihak adalah hubungan sewa menyewa. Dalam UU Telekomunikasi sudah
mengatur mengenai hal tesebut yang mengatakan bahwa penyelenggara jasa
telekomunikasi menyelenggarakan jasa telekomunikasi, menggunakan dan/atau
menyewa jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi.45
Dalam rumusan pasal tersebut sudah jelas bahwa hubungan sewa menyewa itu
ada dan tidak dapat disimpangi bahkan haruslah menjadi pertimbangan hakin
dalam memberikan putusannya agar sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang
ada.
Sehingga setelah melihat pada ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, penulis menyimpulkan bahwa dalam putusan tersebut hakim telah
berusaha untuk mendekatkan putusannya pada prinsip huku, baik yang dituntut
oleh KUH Perdata, UU Telekomunikasi, UU ITE maupun UU Perlindungan
Konsumen.
45
Lihat Pasal 9 Ayat (2) UU Telekomunikasi
63
2.4. PEMBAHASAN DAN ANALISA
A.
Iktikad Baik dalam Hukum Telekomunikasi
Telekomunikasi merupakan peraturan yang salah satunya mengatur
hubungan hukum antara penyelenggara jasa telekomunikasi dan pengguna jasa
telekomunikasi dimana hubungan hukum tersebut adalah hubungan hukum sewamenyewa46. Hal ini dibuktikan dari rumusan Pasal 9 Ayat (2) UU telekomunikasi,
dirumuskan bahwa: penyelenggara jasa telekomunikasi sebagai mana dimaksud
dalam Pasal 8 Ayat (1) dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi,
menggunakan dan/atau menyewa jaringan telekomunikasi milik penyelenggara
jasa telekomunikasi47.
Dalam Pasal 9 Ayat (2) UU Telekomunikasi menjelaskan tentang hubungan
hukum antara penyelenggara jasa telekomunikasi dengan pengguna jasa
telekomunikasi yaitu hubungan hukum sewa-menyewa, hubungan hukum sewamenyewa diatur dalam buku ketiga KUHPer tentang perikatan dengan kata lain
hubungan hukum yang dimaksud Pasal 9 Ayat (2) UU Telekomunikasi adalah
kontrak atau perjanjian.
Seperti diketahui berdasarkan hubungan hukum kontak atau perjanjian
terdapat asas-asas yang harus ada dalam kontrak atau perjanjian. Salah satunya
adalah asas iktikad baik yang akan dibahas dan dikaji oleh Penulis, dalam
Skripsi Caesar Fortunus Wauran. S.H., yang berjudul ”Hubungan Hukum antara Penyelenggara
Jaringan Telekomunikasi dan Penyelenggara Jasa Telekomunikasi adalah Sewa-Menyewa”.
Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga Tahun 2013.
46
47
Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi.
64
peraturan perundang-undangan berdasarkan UU telekomunikasi. Pengaturan
tentang asas iktikad baik dalam UU Telekomunikasi terdapat pada Pasal-Pasal UU
Telekomunikasi tersebut.
Penulis menemukan bahwa, asas iktikad baik terdapat dalam Pasal 2 UU
Telekomunikasi. Iktikad baik tersebut terdapat dalam Pasal 2 UU Telekomunikasi
yang dirumuskan bahwa: Telekominikasi diselenggarakan berdasarkan asas
manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, kemitraan, etika, dan
kepercayaan pada diri sendiri48.
Berdasarkan uraian Pasal 2 UU telekomunikasi jelas dikatakan bahwa Pasal
tersebut mengandung asas iktikad baik terlihat dari uraian Pasal 2 mengingat inti
dari kontrak yang dilaksanakan berdasarkan asas iktikad baik merupakan
penjabaran dari Pasal 2 UU Telekomunikasi bagi para pihak dalam kontrak atau
perjanjian. Sudah jelas bahwa inti dari Pasal 2 UU telekomunikasi adalah iktikad
baik dikarenakan iktikad baik merupakan bentuk lain dari uraian dalam Pasal 2
UU Telekomunikasi. Dengan adanya Pasal 2 UU Telekomunikasi yang
berdasarkan iktikad baik merupakan keadilan bagi para pihak yang melakukan
hubungan hukum yang berdasarkan kontrak atau perjanjian.
Pasal lain yang ditemukan oleh Penulis dalam UU Telekomunikasi terdapat
pada Pasal 15 UU Telekomunikasi yang dirumuskan bahwa: Atas kesalahan dan
atau kelalaian penyelenggara telekomunikasi yang menimbulkan kerugian, maka
pihak-pihak yang dirugikan berhak mengajukan tuntutan ganti rugi kepada
penyelenggara telekomunikasi.
48
Pasal 2 Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi.
65
Penulis berpendapat, dalam Pasal 15 UU Telekomunikasi ini merupakan
bentuk dari iktikad baik dalam UU Telekomunikasi. Dalam Pasal ini menjelaskan
bentuk iktikad baik tersebut adalah dengan mengajukan tuntutan ganti rugi kepada
penyelenggara jaringan jika timbulnya kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan
dan atau kelalaian penyelenggara jaringan. Dalam Pasal 15 UU Telekomunikasi
dapat disimpulkan Pasal ini mengandung asas iktikad baik dalam hal masalah
yang timbul yang diakibatkan oleh kesalahan dan atau kelalaian penyelenggara
jaringan telekomunikasi dengan mengajukan tuntutan ganti rugi.
Sedangkan bentuk lain dari iktikad baik yang terdapat dalam UU
Telekomunikasi terdapat dalam Pasal 17 huruf (a) UU Telekomunikasi yang
dirumuskan bahwa : “penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau
penyelenggara jasa telekomunikasi wajib menyediakan pelayanan telekomunikasi
berdasarkan prinsip perlakuan yang sama dan pelayanan yang sebaik-baiknya
bagi semua pengguna”.
Dalam Pasal 17 huruf (a) UU Telekomunikasi, Penulis menyimpulkan
bahwa perlakuan yang sebaik-baiknya merupakan bentuk lain dari iktikad baik
mengingat iktikad baik itu sendiri mempunyai pengertian yaitu tidak ada niatan
jahat. Dengan perlakuan yang sebaik-baiknya berarti memberi pelayanan tanpa
ada niatan jahat yang dapat menimbulkan kerugian terhadap pihak lain.
Pengertian di atas, merupakan analisa yang Penulis temukan mengenai asas
iktikad baik (good faith) dan kajian terhadap Undang-Undang No. 36 Tahun 1999
Tentang Telekomunikasi yang dalam Pasalnya mengandung asas iktikad baik
(good faith).
66
B.
Iktikad Baik Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun
2000
Dalam
Peraturan
Pemerintah
Nomor
52
Tahun
2000
tentang
Penyelenggaraan Telekomunikasi Pasal 11 Ayat (2) yang dirumuskan bahwa:
kerjasama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan dalam suatu
perjanjian tertulis. Dalam Pasal 11 Ayat (2) menyinggung tentang perjanjian. Dari
rumusan Pasal tersebut, Penulis berpendapat bahwa Pasal 11 Ayat (2)
mengandung asas iktikad baik terbukti dari bunyi Pasal 11 Ayat (2) yang
menyinggung tentang perjanjian. Mengingat asas iktikad baik merupakan inti dari
suatu kontrak atau perjanjian. Pasal 11 Ayat (2) merupakan perwujutan dari asas
iktikad baik karena dalam Kontrak memertahankan prinsip bahwa seseorang harus
melaksanakan atau mewujudkan janjianya dan menghargai perjanjian atau kata
sepakat yang telah dibuatnya dengan orang lain49.
C.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 2995K/pdt/2012
Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2995K/pdt/2012 sengketa antara
penyelenggara jaringan telekomunikasi dengan pengguna jaringan telekomunikasi
yang berdasarkan kontrak atau perjanjian mengenai biaya roaming internasional.
Pengguna jaringan telekomunikasi dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor
2995K/pdt/2012 telah beriktikad baik menyelesaikan permasalahan tentang biaya
roaming internasional dengan melakukan perjanjian atau kontrak dalam hal
pembayaran tagihan biaya roaming internasional. Ketentuan dalam perjanjian
49
Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000.
67
yang telah disepakati antara kedua belah pihak dengan melakukan pembayaran
cicilan sebanyak tiga kali dengan ketentuan jatuh tempo keterlambatan tanggal
dua puluh pada setiap bulannya semenjak perjanjian tersebut di setujui oleh
penyelenggara
jaringan
telekomunikasi
dengan
pengguna
jaringan
telekomunikasi.
Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2995K/pdt/2012 keberadaan
asas-asas dalam kontrak tidak menjadi perhatian hakim dalam memutuskan
sengketa tersebut, hakim dalam memutus sengketa hanya berdasarkan judex facti
saja, tidak melihat bahwa dalam sengketa wanprestasi yang dilakukan oleh
penyelenggara
jaringan
telekomunikasi
terhadap
pengguna
jaringan
telekomunikasi yang berdasarkan kontrak. Dalam Putusan Mahkamah Agung
Nomor 2995K/pdt/2012 terdapat asas yang dilanggar oleh penyelenggara jaringan
telekomunikasi yaitu asas iktikad baik, dimana asas iktikad baik ini merupakan
asas yang paling penting dalam kontrak. Mengingat perjanjian harus dilaksanakan
dengan iktikad baik, berarti perjanjian harus dilaksanakan dengan patut dan adil
(naar
redelijkheid
en
billijkheid).
Dengan
demikian
pengadilan
harus
mempertimbangkan apakah yang dikemukakan kepadanya ada kepatutan ataukah
tidak. Hal ini menjadi penting karena nilai kepatutan atau iktikad baik
merupakan inti dari perjanjian atau kontrak50.
Dari pengertian di atas, Penulis berpendapat, bahwa hakim dalam
memutuskan sengketa Putusan Mahkamah Agung Nomor 2995K/pdt/2012 tidak
melihat dari segi asas yang ada, padahal dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor
50
Lihat pada Paragraf ke dua Bab II Skripsi ini, hal., 31. Supra.
68
2995K/pdt/2012,
Sengketa
yang
terjadi
antara
penyelenggara
jaringain
telekomunikasi dengan pengguna jaringan telekomunikasi yang berdasarkan
kontrak adalah sengketa yang timbul diakibatkan wanprestasi yang dilakukan oleh
salah satu pihak. Sudah jelas bahwa inti dari kontrak telah dilanggar oleh salah
satu pihak tersebut, asas yang dilanggar adalah asas iktikad baik dimana asas ini
merupakan asas yang menjadi inti dari suatu perjanjian atau kontrak.
Hubungan hukum yang terbentuk dan dijamin oleh hukum positif belum
mampu memberikan perlindungan bagi para pihak, khususnya konsumen atau
juga bisa disebut pengguna jaringan telekomunikasi51. Untuk dapat menjaga hakhaknya yang dilindungi oleh hukum. Dalam hukum perjanjian terpenuhinya syarat
sahnya perjanjian menjadi keutamaan52. Bahkan ditekankan lagi mengenai adanya
asas pacta sunt servanda53. Keduanya menjadi jaminan keseteraan bagi para pihak
yang membentuk kesepakatan. Namun dalam proses jual-beli barang/jasa,
konsumen memiliki daya tawar yang lemah. Syarat sahnya perjanjian dan asas
pacta sunt servanda merupakan ‘jaminan’ normatif keberadaan perjanjian.
Pelaksanaan perjanjian tersebut harus diinspirasi oleh keberadaan asas yang
menjadi inti dari terwujudnya kepastian hukum. Asas tersebut adalah asas itikad
baik (good faith). Dalam Pasal 1338 ayat (2) KUHPer menyatakan “persetujuan
harus dilaksanakan dengan iktikad baik”, yang menekankan dua hal yaitu
“dilaksanakan” dan “itikad baik”. Kata “dilaksanakan” menunjukkan pada
51
Pasal 1 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang
dirumuskan bahwa Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup
lain dan tidak untuk diperdagangkan.
52
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
53
Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
69
pelaksanaan perjanjian antara para pihak dalam memenuhi hak dan kewajibannya.
Kata ini tidak lagi berada pada tataran abstrak, melainkan sudah konkrit yang
mendasarkan pada iktikad baik.
Iktikad baik berkaitan dengan kejujuran (honestly atau fairly) dalam
melaksanakan isi perjanjian. Kejujuran dimaksud adalah tidak merusak atau
menciderai hak yang dimiliki oleh pihak lain untuk menerima keuntungan dari
perjanjian yang dibuat. Tidak merusak atau menciderai hak pihak lain perlu
menjadi penekanan dalam transaksi jual-beli antara konsumen dengan
produsen/pelaku usaha. Dalam kaitannya dengan kepastian hukum, pertama,
bahwa perlindungan konsumen menjadi upaya untuk menjamin adanya
perlindungan hukum bagi konsumen. Kedua, membantu terpenuhinya hak-hak
konsumen ketika konsumen beriktikad baik melakukan transaksi pembelian
barang/jasa.
Istilah take it or leave it menjadi slogan yang mewakili kuatnya kedudukan
penyelenggara
jaringan
telekomunikasi
terhadap
pengguna
jaringan
telekomunikasi. Pengguna jaringan telekomunikasi yang berada pada posisi tawar
yang lemah cenderung pihak yang dikalahkan ketika berhadapan dengan
keangkuhan penyelenggara jaringan telekominikasi. Keangkuhan tanpa control
melahirkan kesewenang-wenangan dalam memproduksi dan/atau memasarkan
barang/jasa. Salah satu kelemahan pengguna jaringan telekomunikasi dan kuatnya
kedudukan penyelenggara jaringan telekomunikasi dalam konteks hukum
telekomunikasi adalah keberadaan asas siapa yang mendalilkan menjadi pihak
yang harus membuktikan dalil.
70
Kedudukan yang tidak seimbang inilah yang mendorong untuk melakukan
upaya yang menjamin bahwa konsumen dapat meminta pertanggung jawaban
kepada produsen terkait dengan kerugian yang diderita oleh konsumen. Jaminan
akuntabilitas dalam hubungan (hukum) harus mampu mendorong penguatan
kedudukan konsumen, sekaligus memberikan kepastian hukum bagi transaksi
perdagangan yang terjadi antara produsen dan konsumen atau antara
penyelenggara
jaringan
telekomunikasi
dengan
pengguna
jaringan
telekomunikasi.
Perbandingan iktikad baik UU Telekomunikasi, PP Telekomunikasi dan
Putusan Mahkamah Agung Nomor 2995K/pdt/2012. Dalam UU Telekomunikasi
unsur iktikad baik terdapat dalam Pasal 9 Ayat (2) yaitu tentang hubungan hukum
sewa-menyewa jelaslah dalam hal ini asas iktikad baik sebagai acuan dalam
hubungan hukum yang berdasarkan kontrak terdapat asas iktikad baik.
Dalam PP Telekomunikasi Pasal 11 Ayat (2) yang dirumuskan kerjasama
yang dimaksudkan dalam Ayat (1) dituangkan dalam perjanjian. Perjanjian atau
kontrak tidak lepas dari asas iktikad baik maka jelas bahwa PP Telekomunikasi
mengandung asas iktikad baik yang menjadi acuan dalam peraturan itu sendiri,
sedangkan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2995K/pdt/2012 dalam
pertimbangannya hakim menyinggung tentang perjanjian yang dibuat atau
ditandatangani oleh termohon dan pemohon kasasi sedangkan perjanjian itu
sendiri terdapat asas iktikad baik.
Dari perbandingan UU Telekomunikasi, PP Telekomunikasi, dan Putusan
Mahkamah Agung Nomor 2995K/pdt/2012 tidak terlepas dari Pasal 1320
71
KUHPerdata akan tetapi dalam penerapannya tidak sama. Terlihat dari Putusan
Mahkamah Agung Nomor 2995K/pdt/2012 bahwa hakim melihat iktikad baik
hanya dalam perjanjian saja sedangkan di luar dari perjanjian yang telah
ditandatangani hakim tidak mempertimbangkan perjanjian tersebut. Seperti
dikaetahui asas iktikad baik tidak hanya berlaku pada tahap berlakunya perjanjian
tersebut melainkan asas iktikad baik menauingi semua tahap dari perjanjian.
Seharusnya hakim lebih menilai asas iktikad baik dikarenakan asas iktikad baik
merupakan inti dari suatu perjanjian.
Dalam Putusan No. 2995 K/Pdt/2012 hakim menerapkan iktikad baik hanya
berdasarkan pada perjanjian yang telah ditandatangin oleh pihak pemohon kasasi
dan termohon kasasi. Hal tersebut di buktikan pada bukti formulir layanan
pelanggan tertanggal 20 nopember 2009 yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari perjanjian baku tentang layanan jasa telekomunikasi seluler gsm telkomsel
berbunyi kewajiban pelanggan untuk membayar biaya-biaya yang terhutang
olehnya akan jatuh tempo pada tanggal yang disebutkan dalam surat tagihan atau
pemberitahuan yang disampaikan oleh bagian cotumer service telkomsel atau
pemberitauan tertulis yang disampaikan oleh pihak telkomsel, mana yang lebih
cepat54
Melihat dari hal tersebut bahwa hakim dalam menerapkan asas iktikad baik
hanya terpusat dalam perjanjian yang telah ditandatangani oleh termohon dan
pemohon kasasi. Hakim melihat bahwa perjanjian tersebut sebagai manifesti atau
perwujudan dari iktikad baik yang sebenarnya atau dengan kata lain hakim
meyakini bahwa iktikad baik bersemayam dalam perjanjian yang telah disepakati
54
Putusan No. 2995 K/Pdt/2012. Hal., 22
72
atau ditandatangai oleh kedua belah pihak tersebut, hakim tidak melihat iktikad
baik diluar dari sebuah perjanjian tersebut dengan kata lain iktikad baik hanya
terdapat dalam suatu perjanjian, penyelesaian suatu masalah manakala terjadi
wanprestasi yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam
perjanjian mengenai wanprestasi bukanlah perwujudan dari iktikad baik, dalam
hal ini dalam Putusan No. 2995 K/Pdt/2012 mengenai pembayaran angsuran
sebanyak 3 kali bukanlah suatu perwujudan iktikad baik, karena tidak sesuai
dengan ketentuan ketentuan yang teleh disepakati dalam penyelesaian wanprestasi
dalam perjanjian. Hal tersebut dapat dibuktikan bahwa majelis hakim berulang
kali menekankan pada pasal 1320 tentang sayarat sahnya perjanjian. Penulis
menyimpulkan bahwa dalam pandangan hakim iktikad baik adalah sendi atau
dasar dari atau asas yang hanya terdapat dalam suatu perjanjian.
73
Download