Jurnal Keperawatan, Volume XI, No. 1, April 2015 ISS N 1907 - 0357 PENELITIAN KOMPETENSI BIDAN DALAM PENANGANAN AWAL PEB DAN EKLAMSIA PADA BIDAN PRAKTIK MANDIRI Yeyen Putriana*, Risneni* *Dosen Jurusan Kebidanan Poltekkes Tanjungkarang Penyebab kematian ibu akibat hamil, bersalin dan nifas, di Indonesia telah bergeser. 10 tahun sebelumnya didominasi oleh perdarahan, saat ini adalah akibat Pre eklamsia dan eklamsia. Bidan sebagai pemberi pelayanan kesehatan ibu dan anak merupakan lini pertama dalam memberikan pelayanan dasar kepada ibu diberikan kewenangan untuk melayani ibu dalam kondisi gawat darurat untuk kemudian di rujuk kerumah sakit yang lebih lengkap sarananya. Tujuan dari penelitian ini untuk menganalisis kompetensi bidan dalam penanganan awal PEB dan Eklamsia di Bidan Praktik Mandiri apakah sudah sesuai dengan standar Pelayanan Kebidanan. Penelitian ini adalah penelitian survey.Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh bidan di kota Bandar Lampung yang melayanani praktik mandiri. Besar sampel ditentukan sebanyak 25 % dari total populasi yaitu sebanyak 42 orang, tehnik sampling yang digunakan adalah tehnik sampling proporsional. pengambilan data dengan kuesioner, analisis menggunakan univariat. Hasil penelitian ditemukan kompetensi bidan dalam kategori baik ada 9 orang (21%), kategori cukup 25 orang (60%), kategori kurang baik 8 orang (19%). Saran kepada Dinas Kesehatan kota Bandar Lampung dan IBI untuk mengadakan pelatihan kegawatdarutan bagi bidan praktik mandiri. Kata Kunci: Kompetensi, PEB, Eklamsia LATAR BELAKANG Untuk memperbaiki kesehatan ibu, bayi baru lahir dan anak telah menjadi prioritas utama dari pemerintah, bahkan sebelum Milenium Development Goal’s 2015 di tetapkan. Angka kematian ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan salah satu indikator utama derajat kesehatan suatu negara. AKI dan AKB juga mengindikasikan kemampuan dan kualitas pelayanan kesehatan, kapasitas pelayanan kesehatan, kualitas pendidikan dan pengetahuan masyarakat , kualitas kesehatan lingkungan, sosial budaya serta hambatandalam memperoleh akses terhadap pelayanan kesehatan (BPS, 2012). Saat ini status kesehatan ibu dan anak di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan , di tandai dengan masih tingginya angka kematian ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). (BPS, 2012) Berdasarkan Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 didapatkan data angka kematian ibu(AKI) sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup. (BPS, 2007). Mengalami penurunan jika dibandingkan dengan angka kematian ibu (AKI) tahun 2002 yaitu 307 per 100.000 kelahiran hidup (BPS, 2012). Data AKI tersebut membuat Indonesia mulai optimis bahwa target MDGs untuk AKI tahun 2015 adalah sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup dapat tercapai (BPS, 2012). Sehingga tidak ada lagi sebutan sebagai Negara yang memiliki AKI tertinggi dibandingkan dengan Negara tetangga seperti Malaysia (62 per 100.000 kelahiran penduduk, Srilanka (58 per 100.000 kelahiran hidup), dan Philipina (230 per 100.000 kelahiran hidup) 9BPS, 2012). Optimisme tersebut menjadi kecemasan setelah melihat hasil SDKI 2012 bahwa AKI tercatat mengalami kenaikan yang signifikan yaitu sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup (BPS, 2012). Rendahnya kesadaran masyarakat tentang kesehatan ibu hamil menjadi faktor penentu angka kematian ibu, meskipun banyak faktor yang harus diperhatikan untuk menangani masalah AKI (BPS, 2012) . Persoalan kematian yang terjadi lantaran indikasi yang lazim, yakni perdarahan, keracunan kehamilan yang disertai kejang-kejang, aborsi dan infeksi (Manuaba, 1998). Perdarahan menempati persentase tertinggi penyebab kematian ibu (28%) , anemia dan kekurangan energi kronis (KEK) pada ibu hamil menjadi [101] Jurnal Keperawatan, Volume XI, No. 1, April 2015 faktor penyebab utama terjadinya perdarahan dan infeksi yang yang merupakan faktor utama utama kematian ibu. Persentase tertingi kedua penyebab kematian ibu adalah eklamsia (24%), kejang bisa terjadi pada pasien dengan tekanan darah tinggi (hipertensi) yang tidak terkontrol saat persalinan (Manuaba, 1998). Hipertensi dapat terjadi karena kehamilan dan akan kembali normal bila kehamilan sudah berakhir. Namun ada juga yang tidak kembali normal setelah bayi lahir. Kondisi ini akan menjadi lebih berat bila hipertensi sudah diderita ibu sebelum hamil. (Profil Kesehatan Indonesia, 2007). Beberapa faktor penyebab dari PEB dan Eklamsia adalah; riwayat keluarga bila anggota keluarga ibu hamil ada yang mengidap penyakit ini risiko ibu hamil akan semakin besar, umur ; risiko PEB dan Eklamsia pada hamil usia muda lebih tinggi di bandingkan dengan wanita yang usianya lebih dari 40 tahun, banyaknya bayi yang dikandung; PEB dan Eklamsia sering terjadi pada wanita yang mengandung bayi kembar , kembar tiga atau kelipatannya, obesitas;apabila ibu hamil mengalami kegemukan maka risiko preeklamsia akan semakin meningkat, kurang vitamin D; beberapa bukti menunjukkan bahwa PEB dan Eklamsia akan timbul bila ibu hamil kekurangan vitamin D, memiliki kadar protein tinggi; ibu hamil yang memiliki kandungan protein tinggi dalam darah ataupun urine memiliki risiko lebih besar untuk mengidap PEB dan Eklamsia, pertumbuhan dan fungsi dari pembuluh darah akan terganggu oleh kandungan protein ini, mempunyai riwayat penyakit diabetes; ibu hamil yang menderita penyakit diabetes gestasional memiliki risiko lebih tinggi terkena preeklamsia pada kehamilannya. (Prawirohardjo, 2006) PEB dan Eklamsia ini timbul setelah 20 minggu usia kehamilan. Apabila tidak mendapatkan penanganan yang standar, akan dapat menimbulkan komplikasi bagi ibu dan janin seperti ; aliran darah ke plasenta berkurang akibatnya janin akan mengalami kekurangan oksigen dan ISS N 1907 - 0357 nutrisi. Untuk ibu akibat dari preeklamsi berat adalah perdarahan otak, payah jantung atau ginjal dan aspirasi cairan lambung atau edema paru. Pencegahan atau diagnosis dini dapat mengurangi kejadian dan menurunkan angka kesakitan dan kematian (Manuaba, 1998). Kurang sempurnanya pengawasan antenatal, ibu dengan dan PEB Eklamsia sering terlambat mendapatkan pengobatan yang tepat. (Prawirohardjo, 2006). Pada tahun 2012 di Provinsi Lampung terjadi kasus kematian ibu dengan penyebab kematian PEB dan eklamsia 59 kasus, perdarahan 40 kasus, infeksi 4 kasus dan sebab lain 71 kasus (Dinkes Provinsi Lampung, 2013). Data tersebut mengambarkan telah terjadi perubahan penyebab kematian ibu yang sebelumnya karena perdarahan akibat anemia dan KEK. Hal itu sesuai dengan data evaluasi kegiatan Ruang kebidanan, angka kejadian pre eklamsi berat di RSU Abdoel Moeloek Bandar Lampung mengalami peningkatan, berturut-turut dari tahun 2010 terdapat kematian ibu karena PEB dan Eklamsia sebanyak 37 kasus, pada tahun 2011 menurun 17 kasus, dan pada tahun 2012 meningkat lagi sebanyak 40 kasus kematian akibat PEBdan Eklamsi, pada tahun 2013 penyebab kematian ibu karena Peb dan Eklamsia yaitu sebesar 23 orang (9%) merupakan penyebab kematian terbesar diikuti dengan perdarahan yaitu sebesar 7%. Selain itu berdasarkan data pre survey diketahui bahwa sebagian besar pasien yang PEB dan Eklamsia yang dirujuk oleh bidan belum mendapatkan terapi yang sesuai standar sebelum dirujuk ke rumah sakit. Berdasarkan uraian di atas diagnosis dini dan penanganan standar dapat mengurangi angka kejadian dan menurunkan angka kesakitan ibu PEB dan Eklamsia , bidan praktik mandiri sebagai petugas pelayanan di lini pertama idealnya mampu mengenali secara dini serta memberikan pertolongan pertama yang sesuai standar pelayanan kebidanan kepada pasien PEB dan Eklamsia sebelum di rujuk ke rumah sakit dengan [102] Jurnal Keperawatan, Volume XI, No. 1, April 2015 ISS N 1907 - 0357 sarana yang lebih lengkap. Maka penulis tertarik untuk meneliti bagaimanakah kompetensi pelayanan bidan dalam penanganan awal pasien PEB dan Eklamsi sebelum dirujuk ke rumah sakit. Berdasarkan latar belakang diatas dapat diidentifikasi Masalah dalam penelitian ini adalah belum diketahuinya kompetensi pelayanan bidan praktik mandiri dalam penanganan pasien PEB dan Eklamsia sebelum di rujuk ke rumah sakit. Penelitian ini adalah menganalisis kompetensi pelayanan bidan praktik mandiri dalam penanganan pasien PEB dan Eklamsia sebelum dirujuk ke rumah sakit. PEB dan Eklamsi sebelum dirujuk ke rumah sakit. Pengolahan data dilakukan sebelum peneliti melakukan analisa data. Analisa data dilakukan dengan analisis univariat dan Bivariat. METODE Tabel 1: Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Jenis penelitian ini merupakan analisis deskriptif dengan pendekatan metode survei yaitu setiap subyek hanya diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap status karakter/variabel subyek pada saat pemeriksaan. Hal ini berarti obyek penelitian diamati dalam waktu yang sama (Notoatmodjo, 2005) Populasi dalam penelitian ini adalah bidan yang melaksanakan praktik mandiri di wilayah kota Bandar Lampung. Besar populasi dalam penelitian ini adalah sebanyak 168 bidan. Sedangkan sampel penelitian adalah bagian dari sebuah populasi yang dianggap dapat mewakili dari populasi tersebut. Besarnya sampel dalam penelitian ini sebesar 25 % dari 168 bidan yaitu sebanyak 42 orang bidan. Penelitian mengenai kompetensi bidan praktek mandiri dalam penanganan awal PEB dan Eklamsia sebelum dirujuk ke rumah sakit, dilakukan di tempat pelayanan bidan mandiri di wilayah kota Bandar Lampung pada bulan September sampai dengan bulan Oktober 2014, jumlah subyek penelitian 40 bidan yang seluruhnya membuka praktek pelayanan mandiri. Kuesioner diberikan kepada bidan yang telah dirandom sebagai sampel. Para responden diberikan kuesioner untuk menilai kompetensi dirinya dalam melaksanakan penanganan awal paisen HASIL Karakteristik Responden Karakteristik subyek penelitian ini meliputi usia, pendidikan, lama praktik, jumlah asisten, pelatihan gawat darurat, jumlah rata-rata pasien PEB dan eklamsi dalam setahun disajikan pada Tabel 1. Karakteristik f Usia reponden 20- 40 tahun 0 41- 60 tahun 41 >60 tahun 1 Lama praktik >10 tahun 13 11 – 20 tahun 27 >30 tahun 2 Pendidikan Bidan 1 D1 3 D3 Kebidanan 24 D4 Kebidanan 14 Jumlah asisten bidan Tidak ada 5 < 3 orang 23 > 3 orang 14 Pelatihan Gadar Belum pernah 16 Sudah pernah 26 Rata-rata PEB dan Eklamsi /tahun Belum pernah 2 Pernah 6 1-2 17 >3 17 Merujuk pasien PEB dan Eklamsia Ya selalu merujuk 42 Tidak merujuk 0 % 98 2 30 67 3 2 8 56 24 11 54 35 40 60 5 15 40 40 100 0 Analisis Univariat Kompetensi bidan dalam penanganan PEB dan Eklamsia Kompetensi bidan [103] Jurnal Keperawatan, Volume XI, No. 1, April 2015 dalam penanganan PEB dan Eklamsia berdasarkan Standar Pelayanan Kebidanan sebagai berikut. Tabel 2: Rekapitulasi Kompetensi Bidan dalam Pengenalan Tanda, Gejala PEB dan Eklamsia Kompetensi Bidan Baik Cukup Kurang baik Tidak baik Jumlah f 9 25 8 0 42 % 21% 60% 19% 0 100 Berdasarkan tabel 2, diketahui bahwa sebagian besar responden kompetensinya berada dalam kategori cukup yaitu sebanyak 25 orang (60%). PEMBAHASAN Kompetensi bidan dalam penanganan PEB berdasarkan Standar Pelayanan Kebidanan adalah pengenalan gejala dan Tanda PEB, berdasarkan tabel 4.2 diketahui bahwa kompetensi responden sebagian besar 25 orang (60%) dalam kategori cukup. Temuan ini tidak sesuai dengan karakteristik responden yang menyatakan sudah 60% pernah mengikuti pelatihan kegawatdaruratan. Sebagian besar responden sudah mengenal dan gejala PEB , yaitu sebesar 35 orang (83%). Temuan ini menunjukkan masih ada 7 responden yang harus di tingkatkan kompetensinya. Untuk kompetensi pengenalan gejala dan tanda eklamsia, berdasarkan hasil analisis data sebagian besar responden 38 orang (95%) telah mengetahui gejala dan tanda eklamsia, temuan ini menunjukkan masih ada 4 orang (5%) yang harus ditingkatkan kompetensinya. Untuk menemukan tanda dan gejala PEB dan Eklamsia harus diupayakan ANC secara teratur dan terarah , untuk menghindari tingginya AKI dan AKB karena PEB dan Eklamsia (Manuaba, 1998) Kompetensi bidan dalam penanganan awal PEB dan Eklamsia pemberian infus berdasarkan Standar Pelayanan Kebidanan darianalisis data dapat dilihat bahwa ISS N 1907 - 0357 sebagian besar responden menyatakan memilih memberikan infus Ringer Laktat , 26 orang (61%), sebagian lagi memilih selain Ringer Laktat. Sedangkan untuk penanganan kasus eklamsia, ditemukan bahwa ada 16orang (39%) yang memberikan infus RL, selebihnya tidak memilih infus RL. Temuan ini menunjukkan bahwa kompetensi responden masih rendah dan perlu ditingkatkan melalui pelatihan kegawatdaruratan maternal neonatal. Infus RL selain murah mudah di dapat, memiliki komposisi elektrolit dan konsentrasinya sangat serupa dengan yang dikandung cairan ekstraselular.Natrium merupakan kation utama dari plasma darah dan menentukan tekanan osmotic, klorida merupakan anion utama di plasma darah, kalium merupakan kation terpenting di intraselular dan berfungsi untuk konduksi syaraf dan otot. Pada pasien PEB dan eklamsia mengalami gangguan keseimbangan cairan elektrolit yang ditandai dengan adanya protein urin, untuk itu lebih disarankan untuk menggunakan cairan RL sebagai penanganan awal .(Leksana, 2006) Kompetensi bidan dalam pemeriksaan protein urin, pemeriksaan protein urin merupakan pemeriksaan yang penting dalam menegakkan diagnose PEB dan Eklamsia untuk menyingkirkan kasus lain yang mungkin terjadi pada pasien kebidanan, terdapatnya proteinuria mengubah diagnosis hypertensi dalam kehamilan menjadi pre eklamsia (Saifudin AB, 2002). Berdasarkan hasil analisis data seluruh responden menyatakan memilih memeriksa protein urin sebagai tindakan penunjang yang dalam menegakkan diagnosa PEB dan eklamsia . Kompetensi bidan dalam penanganan awal PEB dan Eklamsia, Penanganan awal PEB dan Eklamsia yang tepat menentukan prognosis pasien tersebut, berdasarkan hasil analisis data ditemukan bahwa sebagian besar responden 36 orang (86%) memilih pernyataan pemberian Magnesium sulfat, infus dan merujuk ke rumah sakit. Hal ini menunjukkan perlu pelatihan yang sesuai bagi yang sudah [104] Jurnal Keperawatan, Volume XI, No. 1, April 2015 pernah maupun yang belum pernah, karena pelatihan dan penyegaran yang berulang akan lebih meningkatkan kompetensi bidan. Pemberian obat anti kejang Magnesium sulfat mengenai dosis dan cara pemberiannya. Berdasarkan hasil pengolahan data, dapat dilihat bahwa sebagian besar responden memberikan Magnesium sufat untuk pasien PEB 17 orang (40%) sesuai standar. Untuk pasien eklamsia sebanyak 25 orang (60%) yang memilih cara dan pemberian secara standar . Magnesium sulfat terbukti secara klinis mampu menurunkan angka kematian ibu akibat PEB dan eklamsi, dan juga mampu menurunkan insiden kejang berulang pada pasien eklamsia (Manuaba, 1998). Untuk dosis awal diberikan secara intravena agar obat dapat bekerja cepat untuk mencegah infark cerebral dan perdarahan. (Lukas, 1995) Pemberian obat antihypertensi sesuai standar untuk penanganan awal PEB dan Eklamsia.Kompetensi responden dalam pemberian obat antihypertensi berdasarkan hasil analisis data ditemukan bahwa sebagian besar 40 orang (99%) responden belum memahami obat hypertensi yang efektif untuk pasien PEB, sedangkan untuk pasien eklamsia hampir seluruh responden 41 orang (99%) mengetahui obat untuk antihypertensi. Obat hypertensi yang efektif untuk PEB adalah metildopa, karena efeksamping yang minimal terhadap ginjal janin (Manuaba, 1998). Sedangkan pada kasus eklamsia obat antihypertensi adalah nifedipin diberikan secara sublingual untuk mendapatkan efek vasodilatasi secara cepat dan mengurangi efek kerusakan hepar akibat syndrome HELLP (Manuaba 1998). Syarat-syarat pemberian anti kejang Magnesium sulfat, kompetensi responden dalam syarat syarat pemberian obat anti kejang Magnesiumsulfat. Berdasarkan hasil analisis data, dapat dilihat bahwa sebagian besar 38 orang (91%) , telah mengetahui syarat- syarat pemberian obat anti kejang Magnesium sulfat. Magnesium sulfat tidak dapat diberikan bila syaratsyarat tersebut diatas tidak terpenuhi ISS N 1907 - 0357 karena magnesium sulfat menyebabkan gagal nafas dan gagal ginjal (Saifudin BA, 2002). Dosis oksigen yang diberikan selama proses rujukan, kompetensi responden dalam dosis pemberian oksigen sesuai standar, berdasarkan hasil analisis data diketahui bahwa ada 10 orang responden (24%) yang mengetahui dosis oksigen sesuai standar. Pasien PEB dan eklamsia mengalami iskemik uteroplasenter mengakibatkan ketidakseimbangan antara masa plasenta yang meningkat dengan aliran perfusi darah sirkulasi yang berkurang, hipoferfusi darah sirkulasi yang berkurang, hipoperfusi uterus menjadi ransangan produksi renin di utero plasenta mengakibatkan vasokonstriksi yang lain, sehingga dapat terjadi tonus pembuluh darah yang lebih tinggi (Manuaba, 1998). Oleh karena adanya gangguan sirkulasi uteroplasenta ini, terjadi penurunan suplay darah yang mengandung oksigen dan nutrisi ke janin.Diberikan oksigen tambahan untuk mencegah defek yang lebih berat pada janin (Manuaba, 1998). Posisi miring kiri selama proses rujukan, kompetensi responden dalam pengarahan posisi pasien selama proses rujukan , berdasarkan hasil analisis data di ketahui bahwa sebagian besar responden 29 orang (70%) telah memahami guna posisi miring bagi pasien PEB dan Eklamsia. Posisi miring pada pasien PEB bermanfaat untuk meningkatkan aliran balik vena, curah jantung dan perfusi ginjal/plasenta.Pada pasien eklamsia, posisi miring dapat mencegah terjadi aspirasi cairan ke paru-paru akibat kejang (Saifudin BA, 2002). KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan penelitian, maka peneliti menyimpulkan Kompetensi bidan dalam penanganan awal PEB dan Eklamsia pada pelayanan praktik mandiri sebagian besar dalam kategori cukup yaitu sebanyak 25 orang (60%). Selanjutnya berdasarkan [105] Jurnal Keperawatan, Volume XI, No. 1, April 2015 kesimpulan penulis menyarankan kepada Dinas Kesehatan kota Bandar Lampung dan IBI untuk mengadakan pelatihan ISS N 1907 - 0357 kegawatdarutan mandiri. bagi bidan praktik DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 2012. Survey Demografi Kesehatan Indonesia Tahun 2012. Jakarta:BPS. Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. 2013, Profil Kesehatan Provinsi Lampung Tahun 2012. Leksana E.SIRS. 2006. Sepsis, Keseimbangan Asam-basa, Syok dan Terapi Cairan, Semarang. Manuaba I.B.G. 1998. Ilmu kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta:EGC. Notoatmodjo, Soekidjo, 2005, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta Prawirohardjo, Sarwono. 2006. Ilmu Kebidanan. Jakarta:Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Saifudin BA, 2002, Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta:Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. [106]