BAB IV PENDEKATAN PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERTANIAN . risis ekonomi 1997/1998 telah menjadi momentum untuk melakukan perubahan pendekatan pembangunan nasional dari sentralistik menjadi desentralistik. Dengan cakupan wilayah yang luas dan keberagaman sumber daya alam yang dimiliki, pola pembangunan terpusat dinilai sebagai sebab utama terjadinya ketimpangan pembangunan antar daerah. Berlandaskan pada UU No. 22 dan 25 Tahun 1999 tentang Otonomi daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah mulai tahun 2001 dilaksanakanlah otonomi daerah di tingkat kabupaten/kota. Otonomi daerah yang diharapkan dapat lebih mendorong dan mempercepat pertumbuhan dan pemerataan ekonomi di seluruh wilayah Indonesia hingga kini belum menunjukkan kematangan dan konsistensi dalam implementasinya. Makna otonomi masih dipahami sebagai “kewenangan mandiri” dan “kebebasan untuk menentukan arah kebijakan pembangunan” yang dalam implementasinya diwujudkan dalam sikap “tidak mau diatur”. Situasi ini diperburuk oleh euforia pemekaran wilayah yang dalam banyak kasus juga tidak menunjukkan indikasi pelayanan dan pembangunan kesejahteraan masyarakat menjadi lebih baik. Selain itu, keberadaan dinas/badan juga relatif beragam antar daerah dalam banyak kasus menyebabkan koordinasi pelaksanaan kegiatan pembangunan di daerah menjadi tidak optimal, khususnya pembangunan sektor pertanian. Bab ini dimulai dengan sorotan terhadap kinerja otonomi daerah yang terkait dengan pembangunan sektor pertanian, khususnya dari sisi pengelolaan anggaran, ketahanan pangan, dan eksistensi kelembagaan penyuluhan. Selain itu, implementasi Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 317 program Millenium Development Goals (MDGs) yang diarahkan untuk mengurangi jumlah penduduk miskin dan kelaparan juga dikupas perspektif keberlanjutannya. Topik lain yang menarik dalam bab ini adalah ulasan mengenai reformasi paradigma urbanisasi, reformasi pembiayaan pembangunan pertanian, pembiayaan asuransi pertanian, dan reformasi sistem inovasi pertanian. Salah satu penyebab sektor pertanian semakin terpinggirkan di era otonomi daerah adalah adanya klausul yang menempatkan posisi pertanian pada urusan pilihan pemerintah daerah bersama dengan urusan pembangunan ekonomi masyarakat. Kondisi ini menjadikan Pemerintah Pusat (Kementerian Pertanian) terlihat gamang dan ragu terhadap program pembangunan pertanian yang sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah daerah, khususnya terkait bagaimana mengamankan pencapaian targettarget nasional. Ketidak-percayaan ini menimbulkan dampak terhadap intervensi program pusat menjadi masih dominan. Di sisi lain Pemerintah Daerah seakan juga belum mau sepenuhnya mengambil tanggung jawab pelaksanaan pembangunan pertanian diindikasikan oleh alokasi anggaran sektor pertanian yang relatif sangat kecil yaitu sekitar dua persen. Terpinggirkannya sektor pertanian di daerah berdampak juga terhadap kinerja ketahanan pangan di masing-masing daerah yang cenderung masih rentan terhadap goncangan, khususnya yang disebabkan bencana alam. Hal ini perlu mendapat perhatian karena pemerintah (pusat dan daerah) mempunyai kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat dalam jumlah yang cukup, berkualitas, aman, bergizi, dan terjangkau secara ekonomi maupun geografi. Hak pemenuhan kebutuhan pangan merupakan salah satu hak azasi yang dijamin oleh UU secara nasional maupun internasional. Dengan demikian diperlukan upaya yang sangat serius untuk mewujudkan ketahanan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia. Selanjutnya bab ini menyoroti program pembangunan yang menjadi komitmen internasional, yaitu Millenium Development Goals (MDGs) dalam operasionalisasinya sangat terkait erat dengan sektor pertanian. Hal in tidak terlepas dari tujuan utama MDGs (setelah tahun 2015 dilanjutkan dengan !-SDGs) yang berupaya mengurangi jumlah penduduk miskin dan kelaparan. Selama kurun waktu 1990-2013, jumlah penduduk miskin di Indonesia memang menurun dari sekitar 15,10% (1990) menjadi 11,47% (2013). Namun apabila dicermati laju penurunan jumlah penduduk miskin di Indonesia selama satu dekade terakhir cenderung melandai dan hal ini patut untuk diwaspadai. Fakta lain yang menarik dari fenomena kemiskinan di Indonesia adalah masih lebih tingginya jumlah penduduk miskin diperdesaan dibandingkan dengan di perkotaan (kondisi 2013 adalah 14,4% vs 8,5%). Fakta ini menarik apabila dikaitkan dengan semakin meningkatnya arus migrasi dari desa ke kota (urbanisasi). Semakin membaiknya sarana transportasi perhubungan, lebih tingginya tingkat upah di perkotaan, dan semakin terbatasnya lapangan kerja di perdesaan merupakan beberapa faktor utama yang memicu terjadinya urbanisasi. Untuk mengendalikan fenomena urbanisasi ini maka ditawarkan paradigma baru, yaitu membangun kota berbasis perdesaan, bukan membangun kota di pedesaan. 318 Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian Untuk menjawab tantangan dan permasalahan pembangunan pertanian, ketahanan pangan, dan pengentasan kemiskinan seperti diuraikan di atas, diperlukan pendekatan yang komprehensif mulai dari tata kelola perencanaan pembangunan, pendekatan pembangunan berbasis wilayah serta harmonisasi program antara pemerintah pusat dan daerah. Otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan pertanian merupakan kondisi politik yang akan mewarnai proses pembangunan pertanian. Dalam kondisi demikian, pemilahan kewenangan pusat dan daerah serta harmonisasi program pembangunan antar pemerintah menjadi suatu keniscayaan. Aspek lain yang perlu mendapat perhatian adalah pengelolaan sumber daya pertanian (lahan dan air) dan kelembagaan penyuluhan dan pembiayaan pertanian. Pengelolaan sumber daya lahan dan air perlu mendapat perhatian khusus karena tingkat kompetisi penggunaannya yang semakin tinggi. Perlu upaya yang luar biasa untuk mengendalikan laju konversi lahan pertanian dan komersialisasi sumber daya air yang mestinya tidak boleh dikuasai secara pribadi. Bab ini juga menyoroti dukungan pengelolaan sumber daya pertanian dan kelembagaan pertanian dalam pelaksanaan reformasi pembangunan pertanian. Salah satu kelembagaan yang punya peran strategis dalam mendukung pembangunan pertanian adalah kelembagaan penyuluhan. Kelembagaan penyuluhan mempunyai peran strategis untuk menjembatani lembaga riset dengan pengguna. Kelembagaan penyuluhan pertanian yang mengalami masa keemasan pada era Bimas (khususnya periode 1970-1980); sejak pertengahan 1980an mengalami kemunduran dan terus bertahan hingga saat ini, walaupun telah dikeluarkan UU No. 16/2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Sulitnya melakukan revitalisasi kelembagaan penyuluhan disebabkan antara lain: (a) kelembagaan yang ditetapkan dalam UU No. 16/2006 tentang SP3K tidak selaras dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah; (b) tenaga penyuluhan masih kurang, namun pemerintah tidak menyediakan formasi pengangkatan tenaga penyuluhan secara memadai; dan (c) penyelenggaraan penyuluhan tidak terimplementasi dengan baik di lapangan. Revitalisasi kelembagaan penyuluhan semakin penting manakala kebutuhan anggaran untuk pembangunan pertanian semakin tinggi, namun ketersediaan anggarannya terbatas. Dalam konteks yang lebih luas, kondisi pembiayaan pemerintah untuk pembangunan pertanian yang semakin terbatas, membutuhkan upaya reformasi dalam pemanfaatannya agar lebih efektif dan tepat sasaran. Isu penting yang perlu diperhatikan untuk mereorientasi pembiayaan pertanian, antara lain: (a) melakukan pemusatan pembiayaan pada program dan kegiatan tertentu; (b) mengurangi program bansos dan menyederhanakan jenis dan prosedur kredit program, (c) penyediaan subsidi yang dievaluasi secara berkala efektivitasnya; dan (d) alokasi anggaran yang lebih besar untuk kegiatan riset pertanian. Untuk memenuhi tuntutan peningkatan produksi dan kualitas komoditas pertanian yang senantiasa tumbuh dan berkembang, maka penyediaan inovasi unggul menjadi mutlak diperlukan. Untuk itu, sangat diperlukan dukungan sistem inovasi pertanian yang mampu menterjemahkan secara cepat perubahan preferensi konsumen dan berbagai tantangan pembangunan pertanian. Indonesia telah mempunyai Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian 319 pengalaman yang sangat baik (melalui program Bimas) dalam mengoperasionalkan sistem inovasi yang terdiri dari sistem penciptaan, penyampaian, dan penerimaan teknologi. Namun sistem inovasi tersebut sejak awal 1990an secara perlahan mengalami dekonstruksi, dan hingga saat ini belum sepenuhnya dapat dipulihkan. Untuk itu, diperlukan langkah reformasi terhadap sistem inovasi pertanian di Indonesia yang dapat mengkondisikan keterkaitan antara ketiga sistem utama tersebut. Pada akhirnya bab ini menyoroti peran penelitian dalam reformasi kebijakan. Badan Litbang Pertanian diharapkan dapat memotori terbangunnya konsep operasional pembangunan jangka panjang yang mengarah pada upaya mewujudkan pertanian modern, ekologis dan berkelanjutan, melalui penyediaan teknologi unggul dan berdaya saing. Untuk itu, perlu dilakukan reformasi manajemen penelitian yang selama ini cenderung mengutamakan mandat penelitian berbasis komoditas dengan memperkuat kompetensi pendekatan penelitian berbasis wilayajh. Oleh karena itu, untuk mewujudkan penelitian dan pengembangan pertanian sebagai pilar kebijakan dan program pembangunan pertanian nasional dibutuhkan reformasi yang utuh dan menyeluruh meliputi kepemimpinan ( ), kebijakan ( ), anggaran (), organisasi ( " ), operasionalisasi (program), serta sumber daya manusia dan pola pikir. 320 Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian