PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KREDITUR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN YANG TIDAK DIDAFTARKAN DI KANTOR PERTANAHAN Anisa Kartika Sari (Mahasiswa S2 Program MKN FH UNS) Email : [email protected] Dradjad Uripno Dosen Luar Bisa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta M. Hudi Asrori Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract The aim of research to determine and assess the legal consequences of SKMHT Notary is not followed by the manufacture of Giving Mortgage Deed and reviewing legal protection can be done for creditors in agreement with normative juridical approach, descriptive. Data collection techniques are the primary data with a direct interview to the informant and secondary data is permasalahn documents related to the investigation. The results stated by grace period time and APHT not immediately made, then SKMHT we have made will be null and void. SKMHT that knows no time limit will not be null and void in because SKMHT valid until the end of the principalagreement. With can be done with efforts SKMHT manufacture of recycled or new SKMHT, which must be by mutual agreement. that is the warning letter and the negotiation and completion of the second through litigation, namely through a public court or the commercial court. Keywords: Abstrak Tujuan penelitian untuk mengetahui dan mengkaji akibat hukum dari SKMHT yang dibuat oleh Notaris yang tidak diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dan mengkaji perlindungan hukum yang dapat dilakukan bagi kreditor dalam perjanjian kredit dengan jaminan hak tanggungan yang belum didaftarkan di Kantor Pertanahan. Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif, bersifat deskriptif. Teknik pengumpulan data adalah data primer dengan wawancara langsung terhadap narasumber dan data sekunder adalah dokumen yang terkait dengan permasalahn yang diteliti. Hasil penelitian menyatakan berdasarkan peraturan UU No 4/1996 tentang Hak Tanggungan menyatakan SKMHT dengan batas waktu yang telah ditentukan melebihi masa tenggang waktunya dan APHT tidak segera dibuatkan, maka SKMHT yang telah di buat akan batal demi hukum. SKMHT yang tidak mengenal batas waktu tidak akan batal demi hukum di karenakan SKMHT berlaku sampai berakhirnya perjanjian pokok. Dengan ketentuan batas waktu untuk tanah yang bersertifikat dan tidak bersertifikat, tidak menutup kemungkinan dalam pelaksanaan APHTnya melebihi batas waktu yang telah ditentukan. SKMHT yang bersertifikat dan tidak bersertifikat melebihi batas jangka waktu yang telah ditentukan, maka dapat dilakukan dengan upaya pembuatan SKMHT ulang atau SKMHT baru, yang tentunya harus dengan kesepakatan bersama. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak kreditor ada 2 macam yaitu penyelesaian yang pertama melalui non litigasi yaitu adanya surat peringatan dan negoisasi dan penyelesaian yang ke dua melalui litigasi yaitu melalui pengadilan umum atau pengadilan niaga. Kata kunci: Debitor, Bank, Pendaftaran Hak Tanggungan, Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur 161 Jurnal Repertorium, Anisa Kartika ISSN:2355-2646, Sari. Perlindungan Edisi Hukum 3 Januari-Juni Terhadap 2015 Kreditur Pemegang Hak Tanggungan ... A. Pendahuluan Jaminan yang paling diterima oleh bank adalah berupa tanah karena tanah mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dan tidak akan mengalami penurunan nilainya. Untuk itu negara harus mengatur segala sesuatunya yang berkaitan dengan tanah tersebut, agar digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sehingga mengenai penggunaan dan penguasaan tanah tersebut, telah dituangkan pengaturannya dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (selanjutnya disingkat UUPA). Tujuan utama diberlakukanya UUPA adalah untuk memberikan pengaturan penggunaan dan penguasaan tanah. Konsideran UUPA menyebutkan : “perlu adanya hukum agraria, yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia”. Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian peraturan yang terdapat dalam Undang-Undang Hak Tanggungan, yaitu: 1. Perkembangan dan Penegasan Objek Hak Tanggungan. 2. Masalah yang berkaitan dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang substansi dan syarat berlakunya yang berbeda dengan praktek sebelum adanya Undang-Undang Hak Tanggungan. 3. Penegasan tentang kekuatan eksekutorial Sertifikat Hak Tanggungan. Tiga hal pokok di atas perlu mendapat perhatian, khususnya berkenaan dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (selanjutnya disingkat SKMHT) sebagaimana diatur dalam Pasal 15 UUHT. Terdapat perbedaan yang mendasar dengan Surat Kuasa Membebankan Hypotheek (selanjutnya disebut SKMH) sebelum diberlakukannya UUHT. Pada waktu dulu hampir dapat dipastikan bahwa dalam suatu perjanjian kredit dengan tanah sebagai jaminannya, maka antara debitor selaku pemilik tanah dan kreditor tidak langsung membuat akta Hypotheek. Namun diantara kedua pihak tersebut cukup dibuat SKMH dengan berbagai alasan, antara lain bahwa proses pembuatan akta sampai dengan keluarnya setifikat Hypotheek tersebut memakan waktu cukup lama dan memakan biaya yang relatif mahal. Secara umum akta Hypotheek baru dibuat apabila debitor menunjukan kecenderungan untuk wanprestasi (cidera janji). 162 Praktek peraturan Hypotheek yang lama memberi kesan bahwa SKMH sebagai sesuatu yang dilembagakan. Berbeda dengan SKMHT yang berlaku sekarang ini, menurut penjelasan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan, menyatakan bahwa pemberian hak tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh pemberi hak tanggungan dengan cara hadir di hadapan PPAT. Hanya apabila karena suatu sebab tidak dapat hadir sendiri di hadapan PPAT, ia wajib menunjuk pihak lain sebagai kuasanya, dengan SKMHT yang berbentuk akta otentik. Pembuatan SKMHT selain oleh Notaris juga dilakukan oleh PPAT. Karena PPAT ini keberadaannya sampai pada wilayah kecamatan, maka keberadaan PPAT berguna dalam rangka pemerataan pelayanan di bidang pertanahan. Syarat sahnya SKMHT wajib dipenuhi dengan persyaratan tertentu, sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan. Pembatasan terhadap isi pokok SKMHT adalah untuk mencegah berlarut-larutnya pemberi kuasa dan demi tercapainya kepastian hukum maka surat kuasa ini dibatasi jangka waktunya. Ketentuan tentang batas waktu untuk melaksanakan kewajiban yang bersifat imperatif tersebut menegaskan bahwa SKMHT bukan merupakan syarat dalam proses Pembebanan Hak Tanggungan, karena syarat mutlak Pembebanan Hak Tanggungan adalah Pembebanan Hak Tanggungan dan Pendaftarannya di Kantor Pertanahan. Pembuatan SKMHT dalam bentuk kuasa mutlak, dalam arti tidak berakhir karena sebab-sebab apapun, kecuali kuasa itu telah dilaksanakan atau selesai masa berlakunya (Pasal 15 ayat 2, ayat 3, dan ayat 4 UUHT). Ciri lain yang istimewa dari SKMHT sesuai dengan Pasal 15 ayat 3 UUHT adalah, bahwa terhadap tanah-tanah yang sudah terdaftar, SKMHT harus sudah digunakan selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) bulan sejak diberikan dan terhadap tanah-tanah yang belum terdaftar, SKMHT harus digunakan selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah diberikan. Suatu kuasa harus dibatasi mengenai jangka waktunya, mengingat akan kebebasan berkontrak. Setiap orang boleh membuat perjanjian apa saja asalkan tidak tidak bertentangan dengan undang-undang, disamping menganut “asas kebebasan berkontrak” juga menganut “asas konsensualisme/konsensualitas.” sebagai mana dinyatakan pada Pasal 1320 KUH Perdata. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Ferry Assaad, dkk. (2010:1) yang menyatakan bahwa Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan ini memiliki beberapa keterbatasan sehingga belum sepenuhnya dapat dipergunakan sebagai dasar mengeksekusi jaminan dalam suatu perjanjian kredit. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan ini juga memiliki jangka waktu sehingga harus segera ditindaklanjuti dengan pemberian Akta Pemberian Hak tanggungan sebelum jatuh tempo, karena konsekuensinya dapat mengakibatkan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan ini batal demi hukum yang mengakibatkan kreditor kehilangan kesempatan membebankan hak tanggungan kepada jaminan yang diberikan oleh debitor. Sesuai Pasal 15 ayat (3) UUHT yang menegaskan mengenai jangka waktu penetapan SKMHT yaitu: “bahwa terhadap tanah-tanah yang sudah terdaftar, SKMHT wajib segera diikuti dengan pembuatan APHT dalam jangka waktu satu bulan sesudah diberikan. Terhadap tanah-tanah yang belum terdaftar, kewajiban tersebut harus dipenuhi dalam waktu tiga bulan. Apabila persyaratan tentang jangka waktu tersebut tidak dipenuhi maka SKMHT menjadi batal demi hukum (nool and voidg)”. Ketentuan tersebut di atas terdapat pengecualian terhadap kredit-kredit tertentu, seperti kredit program, kredit usaha kecil, Kredit Pemilikan Rumah (KPR), dan kredit yang sejenis. Penentuan batas waktu berlakunya SKMHT untuk jenis kredit tertentu tersebut diatur dalam dalam Pasal 1 dan 2 berlaku juga untuk batas waktu penggunaan surat kuasa membebankan hipotik yang sudah ada pada waktu diundangkannya Undang-Undang Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Hak Tanggungan sepanjang mengenai surat kuasa yang diberikan dalam rangka menjamin pelunasan jenis-jenis kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dan 2 dan batas waktu berlakunya surat kuasa tersebut menurut Peraturan ini lebih panjang dari pada 6 (enam) bulan sejak diundangkannya Undang-Undang Hak Tanggungan. Upaya perlindungan dan kepastian hukum kepada semua pihak (khususnya kreditor), maka pemberian hak tanggungan wajib didaftar. Pendaftaran itu dimaksudkan untuk memenuhi asas publisitas. Maksud dari asas publisitas adalah pendaftaran dan pencatatan dari pembebanan objek Hak Tanggungan sehingga terbuka dan dapat dibaca serta diketahui oleh umum. Lembaga yang berwenang untuk mendaftar Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) adalah Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Pemberian hak tanggungan yang dilakukan oleh debitor kepada kreditor dengan akta PPAT, maka Hak Tanggungan yang bersangkutan belum lahir. Hak Tanggungan tersebut baru lahir setelah dibuatnya buku tanah Hak Tanggungan oleh Kantor Pertanahan. Oleh karena itu mengenai saat didaftarnya Hak Tanggungan tersebut merupakan hal yang sangat penting bagi kreditor. Menurut Satrio, lahirnya Hak Tanggungan merupakan momen yang sangat penting sehubungan dengan munculnya hak Preferen bagi kreditor, menentukan tingkat atau kedudukan kreditor terhadap sesama kreditor dalam hal ada sita jaminan (conservatoir beslag) atas benda jaminan (J. Satrio, 1998 :38). Dengan perkataan lain bahwa kreditor yang lebih dahulu APHTnya didaftar dalam buku tanah Hak Tanggungan oleh Kantor Pertanahan, maka kreditor tersebut yang harus lebih dahulu diutamakan dari kreditor lainnya. Apabila pembuatan APHT sudah dilakukan, maka sesuai dengan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan, pemberian Hak Tanggungan itu wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Selanjutnya dalam Pasal 13 ayat (2) dan (3) UUHT menentukan tata cara pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan. Menurut Undang-Undang Hak Tanggungan Pasal 15 ayat (3) menegaskan mengenai ketetapan jangka waktu SKMHT yaitu untuk tanah yang bersertifikat, selambat-lambatnya 1 (satu) bulan harus segera diikuti APHT dan untuk tanah yang tidak bersertifikat, selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan harus segera diikuti APHT. Apabila dalam jangka waktu yang telah di tentukan tersebut tidak dipenuhi maka SKMHT akan batal demi hukum. Selain itu dengan pemberian hak tanggungan yang dilakukan oleh debitor kepada kreditor dengan akta PPAT, maka Hak Tanggungan yang bersangkutan belum lahir. Hak Tanggungan tersebut baru lahir setelah dibuatnya buku tanah Hak Tanggungan oleh Kantor Pertanahan. Dengan lahirnya Hak Tanggungan merupakan hal yang sangat penting sehubungan dengan munculnya hak Preferen bagi kreditor. Penelitian yang relevan dengan kajian penulis, diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Sunastiningsih, yang berjudul “Implementasi Ketentuan Akta Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Di kabupaten Sragen”. Perbedaan dengan penelitian yang penulis lakukan adalah SKMHTnya tidak diikuti dengan pemasangan APHT sehingga mengakibatkan SKMHT tersebut batal demi 163 Jurnal Repertorium, Anisa Kartika ISSN:2355-2646, Sari. Perlindungan Edisi Hukum 3 Januari-Juni Terhadap 2015 Kreditur Pemegang Hak Tanggungan ... hukum. Sedangkan pembahasan yang di lakukan oleh peneliti Sunastitiningsih menitik beratkan SKMHT di buat apabila pemberi hak tanggungan tidak dapat hadir maka pemberi hak tanggungan menunjuk seseorang untuk bertindak atas namannya dengan terlebih dahulu membuat SKMHT. Dan di Kabupaten Sragen akta SKMHT yang notarial tidak dapat digunakan, sehingga yang berlaku adalah Akta SKMHT yang dibuat oleh PPAT. Penelitian relevan lainnya yang digunakan sebagai acuan dalam kajian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Rima Anggriyani, yang berjudul “Pendaftaran Hak Tanggungan Yang Melebihi Jangka Waktu 7 (Tujuh) hari di Kantor Pertanahan Kabupaten Tegal”. Perbedaan dengan penelitian yang penulis lakukan adalah SKMHTnya tidak diikuti dengan pemasangan APHT sehingga mengakibatkan SKMHT tersebut batal demi hukum dan upaya perlindungan hukum yang dapat dilakukan. Sedangkan pembahasan yang di lakukan oleh peneliti Rima Aggriyani menitik beratkan pada akibat hukum apabila pendaftaran APHT yang dilakukan oleh PPAT melebihi jangka waktu 7 (tujuh) hari dan akibat hukumnya. Berdasarkan uraian di atas, penulis hendak mengkaji lebih lanjut tentang “Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan Yang Tidak Didaftarkan Di Kantor Pertanahan”. B. Metode Penelitian Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, dimana dengan pendekatan tersebut penulis akan mendapat informasi dari berbagai aspek mengenai isu hukum yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Dalam rangka mencari jawaban atas pemasalahan yang telah dirumuskan, penulis menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Penelitian dengan metode yuridis normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan penelurusan terhadap peraturanperaturan dan literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001:13-14) Bahan yang digunakan dalam penelitian hukum normatif adalah bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Sehingga jenis data yang di ambil atau di peroleh adalah data sekunder. Metode pendekatan 164 yang digunakan dalam permasalahan yang diteliti oleh penulis, berkisar pada pendekatan undangundang yaitu dengan menelaah semua undangundang yang bersangkutan dengan isu hukum yang diteliti, serta kaitannya dengan penerapan dalam praktek. Pada metode yuridis normatif yang dilakukan oleh penulis terdapat dari segi yuridis dan segi normatif. Pendekatan yuridis menurut Soemitro adalah pendekatan yang mengacu pada hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Roni Hanitjo Soemitro, 1982:20) Dari segi yuridis terletak pada penggunaaan pendekatan pada prinsip dan asas hukum dalam melihat dan menganalisa permasalahan. Faktor yuridisnya adalah peraturan hukum yang berhubungan dengan buku-buku yang digunakan untuk menyusun penulisan hukum ini berkisar pada “Akibat hukum dari SKMHT yang tidak diikuti dengan APHT dan perlindungan hukum bagi kreditor dalam perjanjian kredit dengan jaminan hak tanggungan yang tidak didaftarkan di kantor pertanahan”. Jenis data dan sumber penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat, yang terdiri dari Undangundang dan Peraturan Menteri dan Peraturan Perundangan lainnya yang berkaitan. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk serta penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang terdiri dari buku-buku literature, makalah, artikel, hasil penelitian dan karya ilmiah lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini. Model analisa: “Interactive Model of Analysis”, yang mempunyai maksud bahwa data yang terkumpul akan dianalisa melalui tiga tahap, yaitu mereduksi data, menyajikan data, kemudian menarik kesimpulan. Dilakukan pula suatu siklus antara tahap-tahap tersebut, sehingga data-data yang terkumpul berhubungan satu dengan yang lain secara otomatis (H.B. Sutopo. 2002:37). C. Hasil Penelitian Dan Pembahasan 1. A ki b a t H uk um D a r i S u r a t K u a s a Membebankan Hak Tanggungan Yang Tidak Diikuti Dengan Akta Pembebanan Hak Tanggungan. Adanya kewajiban pembuatan SKMHT dan APHT dengan akta notarial yang diikuti dengan pendaftarannya, maka kewajiban tersebut pasti akan memerlukan biaya tambahan yang membebani debitor, yang dalam hal ini pada umumnya adalah pengusaha kecil dengan nilai penjaminan yang sangat kecil juga. Dengan adanya pembebanan biaya tambahan, hal ini membuat debitor merasa keberatan. Dikarenakan debitor mengeluarkan biaya yang cukup besar, sedangkan debitor hanya mendapatkan fasilitas kredit kecil. Pembebanan hak tanggungan sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Hak Tanggungan wajib dihadiri oleh pemberi hak tanggungan dihadapan Notaris atau PPAT. Apabila pemberi hak tanggungan tidak dapat menghadap dihadapan Notaris atau PPAT, maka dapat memberikan kuasa untuk mewakilinya menghadap Notaris atau PPAT. Kuasa tersebut harus dalam bentuk kuasa yang autentik yang di buat dihadapan pejabat yang berwenang baik itu Notaris atau PPAT. Ketentuan SKMHT ada yang mengenal batas waktu dan ada yang tidak mengenal batas waktu, terhadap SKMHT yang mengenai batas waktu harus segera dibuat untuk dilaksanakan pembebanan Hak Tanggungan karena dibatasi oleh jangka waktunya, yang dimana untuk jangka waktunya telah diatur di dalam UndangUndang Hak Tanggungan(UUHT) Nomor 4 Tahun 1996 pasal 15 ayat(3) dan ayat(4). SKMHT mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 1(satu) bulan sesudah diberikan. Sedangkan SKMHT yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 3(tiga) bulan. Sedangkan yang tidak mengenal batas waktu sesuai dengan Undang-Undang Hak Tanggungan Pasal 15 ayat(5) SKMHT tidak berlaku terhadap jenis kredit-kredit tertentu sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 4 Tahun 1996 tentang penetapan Batas Waktu penggunaan SKMHT yang diberikan menjamin pelunasan kredit-kredit tertentu, kredit-kredit tertentu ini meliputi kredit usaha kecil dan kredit kepemilikan rumah. Disebutkan pula dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 26/24/KEP/Dir tanggal 28 Mei 1993, bahwa SKMHT berlaku sampai saat berakhirnya masa berlakunya perjanjian pokok (perjanjian kredit) yang bersangkutan. Sejalan makin berkembangnya persoalan kredit yang sangat dibutuhkan pada saat sekarang ini, maka Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 26/24/KEP/Dir tanggal 28 Mei 1993 telah dicabut dan diganti dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/55/KEP/Dir tanggal 8 Agustus 1998. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/55/KEP/Dir telah digunakan sebagai dasar dalam hal pemberian fasilitas kredit karena Surat Direksi Bank Indonesia ini tidak bertentangan dengan Undang-undang 1945 dan Pancasila yakni mensejahtera-kan masyarakat Indonesia baik materiil maupun spiritual. Hal ini dapat dilihat dari tuj uan perbankan Indonesia yaitu “Bahwa perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangu nan n asional dal a m ran gka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak” Di dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1996 telah menentukan jenisjenis kredit usaha kecil yang SKMHTnya dapat berlaku sampai berakhirnya perjanjian pokok. Dari penjelasan di atas SKMHT berdasarkan Undang-undang Hak Tanggungan Pasal 15 ayat (3), (4) dan (5) dibagi menjadi menjadi 2 (dua) macam yaitu: a. SKMHT dengan batas waktu yang telah di tentukan. 1) Untuk tanah yang bersertifikat di berikan waktu selambat-lambatnya 1 (satu) bulan harus segera diikuti dengan APHT. 2) Untuk tanah yang tidak bersertifikat di berikan waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan harus segera diikuti dengan APHT. b. SKMHT yang tidak mengenal batas waktu yaitu SKMHT sampai berakhirnya perjanjian pokok. Untuk SKMHT dengan batas waktu yang telah ditentukan, apabila dalam masa tenggang waktu tersebut APHT tidak segera dibuatkan, maka SKMHT yang telah di buat akan batal demi hukum. Sedangkan untuk SKMHT yang tidak mengenal batas waktu tidak akan batal demi hukum di karenakan SKMHT berlaku sampai berakhirnya perjanjian pokok. Akan 165 Jurnal Repertorium, Anisa Kartika ISSN:2355-2646, Sari. Perlindungan Edisi Hukum 3 Januari-Juni Terhadap 2015 Kreditur Pemegang Hak Tanggungan ... tetapi pada prakteknya, perbankan saat ini dalam pemberian kredit oleh debitor harus menggunakan tanah yang sudah bersertifikat. Dikarenakan untuk tanah yang belum bersertifikat membutuhkan proses waktu yang cukup lama sehingga resiko yang dimiliki oleh bank menjadi lebih besar. Notaris/PPAT Wedi Asmara menyatakan bahwa SKMHT untuk tanah yang tidak bersertifikat pernah membuat. Ia menjelaskan untuk tanah yang tidak bersertifikat atau tanah letter C diperoleh dari kantor desa atau kelurahan. Mengenai buku letter C ini sebenarnya hanya dijadikan dasar sebagai catatan penarikan pajak dan keterangan mengenai tanah yang ada dalam buku letter C, sangatlah tidak lengkap. Masyarakat yang merupakan pemegang hak atas tanah, memiliki alat bukti berupa girik sebagai alat bukti untuk pembayaran pajak atas tanah. Proses permohonan kepada BPN Sukoharjo untuk tanah yang tidak bersertifikat menjadi tanah yang bersertifikat membutuhkan waktu kurang lebih 5 (lima) bulan. Berbeda dengan ketentuan Undang-undang Hak Tanggungan Pasal 15 ayat (3) dan ayat (4) yang menjelaskan bahwa SKMHT yang tidak bersertifikat diberikan waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan untuk dilakukan APHT. Di karenakan proses yang cukup lama maka dianggap tidak efisien dan dapat merugikan pihak kreditur. Untuk itu SKMHT untuk tanah yang tidak bersertifikat saat ini lembaga perbankan sudah tidak dapat menerima lagi. Selain itu SKMHT yang tidak bersertifikat sudah jarang di temui sekarang ini dikarenakan hampir semua tanah sudah memiliki buku sertifikat. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Notaris/PPAT S. Anita Dyah Kurniadewi bahwa selama ia menjabat sebagai Notaris maupun PPAT belum pernah menemukan SKMHT yang belum bersertifikat. Menurut pendapatnya SKMHT yang berlaku saat ini adalah SKMHT yang bersertifikat. Untuk SKMHT yang bersertifikat dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu: a. SKMHT yang be rsertifikat untuk pemberian pinjaman kredit lebih dari Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) diberikan waktu selambat-lambatnya 1 (satu) bulan untuk dilakukan APHT. 166 b. SKMHT yang be rsertifikat untuk pemberian pinjaman kredit kurang dari Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) diberikan waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan untuk dilakukan APHT. Dengan ketentuan batas waktu SKMHT yang bersertifikat, tidak menutup kemugkinan dalam pelaksanaan APHTnya melebihi batas waktu yang telah ditentukan. Hal ini disebabkan karena beberapa hal yaitu: a. Untuk kredit yang nilainya kecil, kreditor merasa tidak perlu segera memasang hak tanggungan. Pemasangan hak tanggungan baru dilakukan apabila ada tanda-tanda debitor wanprestasi atau kualitas kredit debitor bermasalah. b. Sertifikat mengenai hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan belum terbit pada saat kredit diberikan, sehingga masih dalam proses penyelesaian. c. Untuk melakukan roya parsial, terhadap tanah yang telah dibebani hak tanggungan. Roya parsial diperlukan dalam rangka penjualan rumah-rumah (dengan fasilitas KPR yang di bangun di atas tanah yang dibebani hak tanggungan). d. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 Undang-undang Hak Tanggungan, SKMHT dapat dibuat oleh Notaris atau PPAT. Dalam praktek, jika seseorang merangkap jabatan selaku Notaris dan PPAT maka jika tanahnya terletak di dalam wilayah jabatanya, maka ia membuat SKMHT dalam kedudukannya selaku PPAT. Sedangkan jika tanahnya terletak di luar wilayah jabatan PPAT, maka ia bertindak dalam kedudukannya selaku Notaris. Apabila SKMHT yang bersertifikat melebihi batas jangka waktu yang telah ditentukan, dikarenakan oleh beberapa hal seperti yang diuraikan diatas. Maka SKMHT tersebut batal demi hukum, akan tetapi dapat dilakukan upaya hukum lain dengan pembuatan SKMHT ulang atau SKMHT baru. Hal serupa juga diungkapkan oleh Notaris/PPAT S. Anita Dyah Kurniadewi apabila dalam proses SKMHT untuk tanah yang bersertifikat melebihi batas waktu yang telah ditentukan, maka Notaris/ PPAT S. Anita Kurniadewi akan membuatkan SKMHT baru dengan persetujuan dari kreditor dan debitor. Yang isinya sesuai dengan SKMHT yang lama. Sedangkan menurut pendapat Notaris/PPAT Wedi Asmara untuk SKMHT yang melebihi batas waktunya, dapat dilakukan upaya hukum pembuatan ulang SKMHT yang baru. Selain itu Notaris/PPAT Wedi Asmara juga menyatakan bahwa pengulangan SKMHT yang baru akan memberikan beberapa kesulitan bagi bank/kreditor yaitu: a. Ada kemungkinan debitor yang telah mendapatkan kredit menolak untuk membuat SKMHT yang baru. b. Dalam jangka waktu untuk proses pembuatan SKMHT dan APHT yang lama, dapat terjadi kredit macet karena adanya faktor di luar dugaan. c. Adanya pembebanan biaya dal am pembuatan SKMHT yang baru. 2. Perlindungan Hukum Bagi Kreditor Dalam Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan Yang Belum Didaftarkan Di Kantor Pertanahan a. Kedudukan Kreditor Dalam Perjanjian Kredit Denga n Ja min an Hak Tanggungan Tidak Didaftarkan. Pemberian jaminan dari debitor kepada kreditor menimbulkan 2 (dua) sifat hak jaminan yang dikenal secara umum, yaitu : 1) Hak jaminan yang bersifat umum yaitu jaminan yang diberikan oleh debitor kepada kreditor, dengan memberikan hak yang saling mendahului terhadap kreditor-kreditor lainnya. Hak jaminan yang bersifat umum menurut Pasal 1131 KUH Perdata yaitu segala kebendaan yang dimiliki debitor baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak, benda yang ada maupun benda yang aka n ada merupakan jaminan terhadap pelunasan hutang yang dibuatnya. Sedangkan Hak jaminan yang bersifat umum menurut Pasal 1132 KUH Perdata yaitu semua harta kekayaan yang dimiliki oleh debitur merupakan jaminan bersama bagi semua kreditor yang memberikan hutang kepadanya. Dalam hal ini benda yang bisa digunakan untuk pelunasan hutang terhadap jaminan umum apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut: a) Benda tersebut memiliki sifat ekonomis yaitu dapat dinilai dengan uang. b) Benda tersebut memiliki sifat dapat dipindah tangankan haknya kepada orang lain. 2) Hak jaminan yang bersifat khusus y a it u j am i n a n d a l a m b en t uk penyerahan barang tertentu secara khusus sebagai jaminan atas pelunasan hutang debitor kepada kreditor tertentu, baik kebendaan maupun perorangan diberikan oleh debitor kepada kreditor, dengan memberikan hak yang saling mendahului terhadap kreditor-kreditor lainnya (Sri soedewi Masjchoen Sofwan, 2001:83). Timbulnya hak jaminan yang bersifat khusus dikarenakan adanya perjanjian khusus yang dilakukan oleh debitur dan kreditur yang berupa : a) Jaminan mengenai kebendaan yaitu benda tertentu yang dapat dijadikan suatu jaminan. Kebendaan yang dijaminkan harus merupakan milik dari pihak yang menjaminkan benda tersebut. Jaminan mengenai kebendaan dibagi menjadi 2 macam yaitu : Benda bergerak, dengan lembaga jaminanya adalah fidusia dan gadai. Benda tidak bergerak, dengan lembaga jaminan nya adalah hak tanggungan. b) Jaminan mengenai perorangan yaitu adanya seseorang tertentu yang sanggup memenuhi atau membayar prestasi apbila debitur cidera wanprestasi atau cindera janji. Dari penjelasan diatas, penulis berkesimpulan bahwa dengan adanya pemberian jaminan hak tanggungan yang bersifat khusus, yang dilakukan oleh debitor kepada kreditor maka harus dilanjutkan dengan pendaftaran hak tanggungan, dikarenakan pendaftaran hak tanggungan merupakan syarat mutlak lahirnya hak tanggungan dan memberikan 167 Jurnal Repertorium, Anisa Kartika ISSN:2355-2646, Sari. Perlindungan Edisi Hukum 3 Januari-Juni Terhadap 2015 Kreditur Pemegang Hak Tanggungan ... kedudukan kreditor menjadi kreditor yang preferent yaitu kreditor yang mempunyai hak pengambilan pelunasan terlebih dahulu daripada kreditur-kreditur lainnya dan kreditor preferent tersebut dalam tagihannya diistemewakan daripada tagihan kreditor-kreditor lainnya. Apabila hak tanggungan tidak lahir, maka kedudukan kreditor hanya sebagai kreditor konkuren yaitu kreditor yang tidak mempunyai hak pelunasan terlebih dahulu daripada kreditor-kreditor lainnya dan piutang kreditor konkuren tidak dijamin dengan hak kebendaan. Dengan kedudukan yang demikian maka kreditor konkuren tidak dapat mengeksekusi barang jaminan apabila debitor wanprestasi atau cindera janji. Yang dapat dilakukan oleh kreditor konkuren jika debitor wanprestasi atau cindera janji adalah dengan menempuh proses non litigasi dan litigasi dengan mengajukan gugatan ke pengadilan, meletakan sita jaminan terhadap suatu barang jaminan tersebut dan harus mendapatkan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, yang amarnya menyatakan bahwa debitor tersebut wanprestasi atau cindera janji dan barang jaminan dapat di eksekusi melalui proses pelelangan. Kondisi seperti ini di dalam dunia per-bankan akan merugikan kreditor. Untuk itu dengan lahirnya Undang-undang hak tanggungan dapat memberikan perlindungan bagi kreditor sebagai kreditor preferent dimana kreditor preferent dapat melakukan eksekusi langsung terhadap debitor wanprestasi atau cidera janji yang merupakan upaya untuk mempercepat proses hukum yang panjang dan dianggap lebih efisien waktu. Dalam hal ini menurut Subekti, maksud dari eksekusi langsung atau dengan kata lain Parate Eksekusi yang dilakukan oleh kreditor preferent yaitu “kreditor dapat menjalankan sendiri apa yang sudah menjadi haknya, dalam arti tanpa perantara hakim, yang ditujukan atas sesuatu barang jaminan untuk selanjutnya menjual sendiri barang tersebut” (Subekti, 1990:69). 168 Parate Eksekusi adalah Eksekusi yang dilakukan oleh kreditor (pemegang hak jaminan) tanpa melalui bantuan dari pengadilan negeri, akan tetapi menggunakan bantuan dari kantor lelang negara 53 (Tartib, 1996:149-150). Maka dapat disimpulkan Parate eksekusi dapat dilaksanakan tanpa melalui ijin dari pengadilan negeri. Parate Eksekusi tertulis di dalam Pasal 9 Undang-undang Hak Tanggungan, yang menyebutkan bahwa : “Salah satu ciri hak tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya, jika debitor cidera janji. Walaupun secara umum ketentuan tentang eksekusi telah diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku, dipandang perlu untuk memasukan secara khusus ketentuan tentang eksekusi hak tanggungan dalam undang-undang ini, yaitu yang mengatur Lembaga Parate Executie sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 Reglement Indonesia yang diperbarui ( Inlands Reglement ) dan Pasal 258 Reglement Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Reglement tot Gewesten Buiten Java en Madura)” Hal ini telah menunjukan pada dasarnya eksekusi di atur di dalam Hukum Acara Perdata, akan tetapi untuk membuktikan ciri hak tanggungan tersebut terletak pada mudah dan pastinya pelaksanaan eksekusinya. Menurut pendapat Notaris/PPAT S. Anita Dyah Kurniadewi, menjelaskan mengenai APHT yang tidak di daftar akan menyebabkan Hak Tanggungan tidak memiliki kekuatan eksekutorial. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Pasal 14 ayat (3) Undang-undang Hak Tanggungan, sertifikat hak tanggungan memiliki kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Notaris/ PPAT Wedi Asmara yang menjelaskan bahwa debitor yang tidak memenuhi prestasinya terhadap kreditor, APHT yang tidak didaftarkan akan mendapatkan masalah. Dengan tidak di daftarkannya APHT maka kedudukan kreditor hanya sebatas kreditor konkuren. Selain itu APHT yang tidak didaftar menyebabkan tidak memiliki kekuatan eksekutorial. b. Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Kreditor Dalam Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan Tidak didaftarkan. Lembaga Perbankan dalam hal pemberian kredit oleh debitor, seharusnya setelah APHT didaftarkan di Kantor Pertanahan yang bersangkutan. Apabila APHT tidak didaftarkan dan kredit sudah diberikan oleh debitor, akan membuat kedudukan kreditor menjadi kreditor konkuren. Selama debitor tidak melakukan cindera janji atau wanprestasi, hal tersebut tidak akan ada masalah untuk kreditornya, sebaliknya apabila debitor melakukan cindera janji atau wanprestasi maka pihak kreditor tersebut dapat menempuh melalui langkah hukum sebagai badan hukum yang merasa dirugikan akan haknya dan adanya kepastian hukum, menurut cara-cara yang telah ditetapkan dalam undang-undang yang berlaku. Untuk memperkecil resiko mengenai kredit macet, kreditor dapat melakukan dengan analisa kredit. Apabila da lam hal ini debitor melakukan cindera janji atau wanprestasi, selama debitor memiliki etikad yang baik maka akan lebih mengutungkan bagi kreditor bila ditempuh dengan cara win-win solution dengan pihak debitor, sebaliknya apabila pihak debitor tidak memiliki etikad baik maka cara lain yang dapat ditempuh yaitu dengan cara peradilan dimana APHT yang tidak didaftarkan tersebut menjadi barang bukti. Maksud dari barang bukti dari uraian diatas adalah Sebagaimana telah dijelaskan APHT memiliki 3 (tiga) kekuatan pembuktian yaitu : 1) Kekuatan pembuktian lahiriah yaitu akta otentik yang membuktikan dirinya tanpa penjelasan dari orang lain. 2) Kekuatan pembuktian formal yaitu keterangan-keterangan yang ada di dalam akta tersebut secara formal benar adanya. 3) Kekuatan pembuktian materiil yaitu isi materi dari apa yang ada dalam akta ini dijamin benar adanya. Karena yang membuat dan menyusun akta ini adalah pejabat umum yang berwenang. Kebenaran materiil akta ini telah mengikat para pihak dan pihak yang menerima haknya serta para ahli waris. Dari pen jel as an di a tas d apa t disimpulkan bahwa APHT merupakan akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian di dalam persidangan, maka tidak perlu bukti-bukti lain yang mendukung dikarenakan akta tersebut benar kepastiannya. Menurut pendapat Notaris/PPAT S. Anita Dyah Kurniadewi mengatakan apabila debitor melakukan wanprestasi atau cindera janji sedangkan kedudukan kreditor sebagai konkuren maka dalam penyelesaian kasus perdata ini biasanya menggunakan 2 (dua) cara dalam penyelesaiannya yaitu dengan cara litigasi dan non litigasi. Pengertian dari penyelesaian litigasi adalah bentuk penyelesaian kasus hukum dengan melalui pengadilan baik kasus mengenai perdata maupun pidana. Sedangkan penyelesaian dengan non litigasi adalah penyelesaian kasus hukum di luar pengadilan, yang sifat penyelesain sengketanya kooperatif yaitu dengan negoisasi, mediasi, konsiliasi, dan arbitrase. Hal tersebut juga telah diungkapan oleh Rachmadi Usman, bahwa selain melalui pengadilan (litigasi), penyelesaian sengketa juga dapat diselesaikan di luar pengadilan (non litigasi), yang lazim dinamakan dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) atau Alternative Penyelesaian Sengketa (Rachmadi Usman, 2012:8). Bentuk-bentuk penyelesaian sengketa dengan menggunakan jalur non litigasi adalah 1) Arbitrase Klausula mengenai arbitrase dalam perjanjian perdata, telah banyak digunakan untuk pilihan dalam penyelesaian sengketa. Lembaga arbitrase juga memberikan pendapat yang Bersifat mengikat. Oleh karena 169 Jurnal Repertorium, Anisa Kartika ISSN:2355-2646, Sari. Perlindungan Edisi Hukum 3 Januari-Juni Terhadap 2015 Kreditur Pemegang Hak Tanggungan ... 2) 170 itu pendapat yang telah diberikan ter sebut akan menjadi bagian yang tidak terpisah dari perjanjian pokoknya. Setiap pendapat yang mengakibatkan berlawanan dengan pendapat hukum yang telah diberikan merupakan pelanggaran terhadap perjanjian tersebut. Oleh sebab itu pihak sengketa tidak dapat melakukan perlawanan dengan upaya hukum apapun. Putusan arbitrase adalah putusan yang bersifat mengikat, mandiri dan final (hampir sama dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap) sehingga ketua pengadilan tidak dibolehkan untuk memberikan pertimbangan dan memeriksa alasan dari putusan arbitrase nasional tersebut. Arbitrase pada dasarnya dibagi menjadi 2 (dua) bentuk yaitu: a) Tercantumnya klausula mengenai arbitrase di dalam suatu perjanjian yang dibuat sebelum timbul sengketa oleh para pihak. b) Adanya perjanjian arbitrase yang terpisah atau berdiri sendiri setelah adanya sengketa yang dibuat oleh para pihak. Kelebihan dari menggunakan arbitrase dibandingkan dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa lainnya adalah Kerahasian sengketa oleh para pihak dapat terjamin, Dalam penyelesaian sengketa para pihak dapat menentukan mengenai pilihan hukumnya yang tepat, Mempunyai kemampuan yang cukup dalam menyelesaikan kasus sengketa, Jujur dan adil dalam menyelesaikan kasus sengketa, Para pihak yang bersengketa dapat menentukan sendiri dalam memilih arbiter yang mampu dan berpengalaman dalam penyelesaian sengketa dan tempat untuk penyelenggaraan arbitrase dapat dipilih oleh para pihak. Sedangkan kekurangan dari menggunakan arbitrase adalah adanya kesulitan untuk mengeksekusi dari putusan arbitrase. Mediasi Pihak yang bersengketa da pat 3) menentukan sendiri mengena i mediatornya asalkan mediator tersebut harus bersikap netral dan tidak memihak siapapun. Tugas dari mediator adalah hanya membantu me m berikan s aran-s ara n ag a r mencapai suatu kesepakatan yang diingikan oleh para pihak. Mediasi tersebut dapat dilakukan pada perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama. Sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Perma Nomor 2 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa “Semua perkara yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib untuk lebih dahulu diselesai-kan melalui perdamaian dengan bantuan mediator”. Mengenai sifat mediasi adalah wajib dilakukan pada perkara perdata yang telah diajukan ke pengadilan tingkat pertama. Untuk pelaksanaan mediasi berlangsung selama 22 (duapuluh dua) hari kerja sejak penetapan mediator. Menurut Perma Nomor 2 Tahun 2003 Pasal 15 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) menjelaskan bahwa mediasi dapat diselenggarakan di salah satu ruang pengadilan tingkat pertama atau di tempat lain yang disepakati oleh para pihak, dengan menyelenggarakan mediasi di salah satu ruang pengadilan tingkat pertama tidak akan dikenakan biaya apapun. Apabila para pihak memilih penyelenggaraan mediasi di tempat lain, maka pembiayaan dibebankan kepada para pihak berdasarkan kesepakatan. Tujuan dari mediasi adalah membantu memberikan saran-saran dan masukan dalam penyelesaian sengketa agar mencapai suatu kesepakatan yang diinginkan oleh para pihak, Dengan melalui mediasi diharapkan dapat terjalin komunikasi yang baik diantara para pihak, dan diharapkan para pihak dapat memahami penjelasan yang menjadi pertimbangan pihak lain. Negoisasi P ih a k y a ng b ias a m el ak u ka n negoisasi disebut dengan negosiator. Seorang negosiator harus memiliki keahlian dalam negoisasi hal yang disengketakan oleh para pihak. Halhal yang harus diperhatikan dalam negoisasi adalah a) Dapat mengambil suatu kesempatan. Suatu kesempatan harus dilihat dalam setiap persoalan selama negoisasi yang dilakukan para pihak. Ketika para pihak tidak mendapat jalan keluar mengenai negoisasi yang mereka lakukan. Negosiator dapat memberikan saran atau pendapat sehingga dapat mengubah pola pokir para pihak dan menemukan jalan keluarnya mengenai permasalahan tersebut. b) Adanya kepercayaan. Keberhasilan mengenai negoisasi tergantung dengan negosiator, untuk itu perlu adanya kepercayaan terhadap negosiator dalam penanganan kasus penyelesaian sengketa tersebut agar para pihak bisa saling bernegoisasi lagi sehingga bisa tercipta adanya kesepakatan antara para pihak. Sementara itu bentuk-bentuk penyelesaian sengketa melalui litigasi adalah: 1) Pengadilan Umum Pengadilan umum adalah pengadilan yang mempunyai tugas menjalankan kekuasaan kehakiman untuk rakyat guna mencari keadilan. Pengadilan negeri memiliki wewenang dalam memeriksa masalah sengketa bisnis, karakteristik yang dimiliki oleh pengadilan negeri adalah : a) Dalam mengambil keputusan para pihak tidak dilibatkan, b) Sifat dari keputusan tersebut adalah mengikat dan memaksa. c) Sifat dari persidangan tersebut adalah terbuka. d) Dalam membuat keputusan adalah pihak ketiga yaitu hakim. e) Orientasi dalam penyelesaian masalah tersebut adalah sesuai dengan fakta hukum yang ada. 2) Pengadilan Niaga Pengadilan niaga adalah bentuk pengadilan khusus dari pengadilan umum untuk menyelesaikan masalah sengketa niaga yang memiliki kompetensi guna memeriksa dan memutus permohonan kepailitan. Sedangkan Menurut Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tentang kepailitan yang telah dirubah menjadi UndangUndang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 mengatakan “Pengadilan Niaga memiliki tugas dan wewenang untuk memeriksa dan memutus permohonan pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan berwenang pula memeriksa dan memutuskan perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan Peraturan Pemerintah”. Selain itu pengadilan niaga juga berwenang memeriksa dan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan klausula arbitrase. Hal tersebut telah diatur didalam Pasal 303 Undang-undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa pengadilan berwenang untuk memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari pihak yang terikat perjanjian yang memuat klausula arbitrase, sepanjang utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tentang syaratsyarat kepailitan. Dari penjelasan di atas, hal senada juga diungkapkan oleh Notaris/PPAT Wedi Asmara, dalam penyelesaian kasus perdata, biasanya pihak kreditor melakukan langkah dengan penyelesain non litigasi dan litigasi, ia juga menambahkan untuk penyelesaian litigasi biasanya pihak kreditor meminta permohonan ke pailitan kepada pengadilan niaga. Sementara menurut pendapat Kepala Cabang Bank BPR Gunung Riski Surakarta, Bapak Lilik Sugandi menerangkan dalam penyelesaian kredit macet biasanya menggunakan dua penyelesaian yaitu : 1) Penyelesaian yang pertama menggunakan non litigasi P e ny el es a ia n k re d it m a ce t y an g dilakukan oleh pihak perbankan, biasanya menggunakan dengan 2 (dua) cara yaitu: 171 Jurnal Repertorium, Anisa Kartika ISSN:2355-2646, Sari. Perlindungan Edisi Hukum 3 Januari-Juni Terhadap 2015 Kreditur Pemegang Hak Tanggungan ... a) b) 172 Adanya surat peringatan Upaya awal yang dilakukan oleh pihak bank dalam menyelesaikan kredit macet yaitu dengan memberi surat peringatan kepada debitor sebanyak 3 (tiga) kali, selama 3 (tiga) bulan berturut dengan maksud agar debitor memiliki etikad yang baik untuk melaksanakan pembayaran h ut an g n ya . A da p un i s i s u ra t peringatan tersebut adalah : (1) Surat peringatan yang pertama : mengenai jumlah tunggakan yaitu bunga dan pokoknya serta biaya keterlambatan pembayaran atau dengan kata lain denda yang harus dibayar oleh debitor. (2) Surat peringatan yang kedua : sama dengan peringatan yang pertama yaitu berisi mengenai jumlah tunggakan yaitu bunga dan pokoknya serta biaya keterlambatan pembayaran dengan kata lain denda yang harus dibayar oleh debitor. (3) Surat peringatan yang ketiga : berisi mengenai jumlah tunggakan yaitu bunga dan pokoknya, biaya keterlambatan pembayaran dengan kata lain denda yang harus dibayar oleh debitor, serta adanya peringatan kepada debitor apabila debitor tidak dapat menyelesaikan sisa pembayaran yang menjadi tanggunga jawabnya maka jaminan debitor tersebut akan dilelang. Negoisasi Biasanya untuk menempuh negoisasi ini pihak bank melakukan cara: (1) Adanya penjadwalan kembali (Rescheduling). Merubah kembali syarat-syarat kredit yang terdahulu yang mengenai jadwal jangka waktu dalam pembayaran kredit. Misalnya memperpanjang jangka waktu pinjaman kredit, memperpanjang jangka waktu angsuran kredit dan lain-lain. Dengan Hal ini diharapkan dapat meringankan pihak debitor dalam membayar sisa pinjaman kredit. 2) (2) Adanya persyaratan kembali (Reconditioning). Merubah sebagian atau keseluruhan mengenai syarat-syarat yang terdapat dalam perjanjian kredit sebelumnya. Baik mengenai jangka waktu pembayaran kredit, jadwal pembayaran kredit, maupun persyaratan lainnya tetapi tidak mengubah pinjaman saldo kredit. (3) Adanya Penataan kembali (Restructuring). Mengubah syarat-syarat mengenai kredit yang berupa penambahan jumlah pinjaman dari bank, perubahan mengenai jangka waktu, perubahan mengenai pembayaran bunga dan pokoknya, mengubah tunggakan bunga menjadi pinjaman pokok yang baru, dan sebagian kredit akan menjadi pernyertaan untuk perusahaan dengan kata lain pertukaran seluruh atau sebagian dari pinjaman menjadi keikut sertaan modal saham dari kreditor ke debitor. Penyelesaian yang kedua menggunakan litigasi Upaya penyelesaian kredit macet yang terakhir adalah melalui litigasi, hal ini diharapkan kredit yang diberikan kreditor kepada debitor dapat kembali. Upaya yang dapat dilakukan oleh kreditor yaitu menjual jaminan dengan sukarela, adanya eksekusi jaminan yang dilakukan oleh pihak kreditor, atau dengan mengajukan gugatan perdata ke pengadilan umum atau pengadilan niaga yang menjelaskan bahwa debitor telah melakukan cindera janji. Di dalam pelaksanaan penyelesaian kredit macet dengan jalur litigasi atau pengadilan, pada dasarnya membutuhkan waktu yang lama dibandingkan dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1992 tertanggal 21 Oktober 1992 tentang penyelesaian perkara di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi harus diselesaikan selama 6 (enam) bulan. D. Simpulan Menurut Undang-undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996 SKMHT dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu SKMHT dengan batas waktu yang telah di tentukan dan SKMHT yang tidak mengenal batas waktu. Berdasarkan peraturan Undang-undang hak tanggungan Nomor 4 Tahun 1996 menyatakan bahwa SKMHT dengan batas waktu yang telah ditentukan, apabila dalam masa tenggang waktu tersebut APHT tidak segera dibuatkan, maka SKMHT yang telah di buat akan batal demi hukum. Sedangkan untuk SKMHT yang tidak mengenal batas waktu tidak akan batal demi hukum di karenakan SKMHT berlaku sampai berakhirnya perjanjian pokok. Dengan berlakunya mengenai ketentuan batas waktu yang berlaku dalam SKMHT tersebut diatas, tidak menutup kemungkinan dalam pelaksanaan prakteknya APHT melebihi batas waktu yang telah ditentukan. Untuk melindungi kreditor, maka upaya yang dapat dilakukan adalah pembuatan SKMHT baru, yang tentunya harus dengan persetujuan dari kreditor dan debitor. APHT yang tidak didaftarkan mengakibatkan kedudukan kreditor hanya sebagai kreditor konkuren. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak kreditor hanya dengan 2 (dua) cara yaitu penyelesaian melalui non litigasi dan penyelesaian melalui litigasi. Maksud dari penyelesaian dengan cara non litigasi adalah penyelesaian kasus hukum di luar pengadilan, yang sifat dalam penyelesaiannya kooperatif yaitu dengan negoisasi, mediasi, dan arbitrase. Sedang penyelesaian dengan cara litigasi adalah bentuk penyelesaian kasus hukum dengan melalui pengadilan baik kasus mengenai perdata maupun pidana baik melalui pengadilan umum maupun pengadilan niaga. E. Saran 1. 2. Kepada lembaga Perbankan selaku kreditor diharapkan pencairan dana sebaiknya menunggu pada waktu APHT didaftarkan di Kantor Pertanahan yang bersangkutan sehingga kreditor memiliki kedudukan sebagai kreditor preferent. Kepada lembaga perbankan diharapkan dapat mengontrol, mengawasi dan mengingatkan 3. Notaris/PPAT yang menjadi rekanannya dalam mencegah tidak didaftarkanya APHT maupun dalam pelaksanan pendaftaran APHTnya. Upaya dalam penyelesaian kredit macet sebaiknya dilakukan dengan cara non litigasi terlebih dahulu semaksimal mungkin. Apabila dengan cara non litigasi tidak ada kesepakatan para pihak maka dapat dilanjutkan dengan penyelesaian di pengadilan. Daftar Pustaka Ferry Assaad. dkk. 2010. Kekuatan Hukum Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) Sebagai Dasar Pembebanan Hak Tanggungan Dalam Perjanjian Kredit. Jurnal. Fakultas Hukum Program Pascasarjana (S2) Universitas Hasanuddin Makassar. H.B. Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta : UNS Press. J. Satrio. 1998. Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan. Bandung: Citra Aditya Bakti. Rachmadi Usman. 2012. Mediasi di Pengadilan : Dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Sinar Grafika Jakarta. Roni Hanitjo Soemitro. 1982. Metodelogi Penelitian hukum dari Jurimetri. Jakarta : Ghalia Indonesia. Soerjono Soekanto & Sri Mamudji. 2001. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat). Jakarta: Rajawali Pers. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan. 2001. Hukum Jaminan Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Perorangan, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman. Yogyakarta: Liberty Offset. Subekti. 1990. Pelaksanaan Perikatan, Eksekusi Riil dan Uang Paksa, Dalam : Penemuan Hukum dan Pemecahan Masalah Hukum, Proyek Pengembangan Teknis Yustisial. Jakarta: MARI. Tartib, 1996, “Catatan tentang Parate Eksekusi”, Artikel dalam majalah Varia Peradilan, Th.XI, No.124. 173