volume i - APSSI Sosiologi

advertisement
Volume I
i
ii
VOLUME I
Prosiding
KONFERENSI NASIONAL SOSIOLOGI V
Asosiasi Program Studi Sosiologi Indonesia
Padang 18 – 19 MEI 2016
GERAKAN SOSIAL
DAN KEBANGKITAN BANGSA
Tim Editor:
Jendrius (Universitas Andalas)
Emy Susanti (Universitas Airlangga)
Ida Ruwaida (Universitas Indonesia)
Bagus Haryono (Universitas Sebelas Maret)
Herlan (Universitas Tanjung Pura)
Azwar (Universitas Andalas)
e-ISBN:
ISBN: 978-602-99467-03
978-602-99467-1-0 (jil. 1)
Kerjasama:
APSSI dan Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Andalas
Diterbitkan Oleh:
Laboratorium Sosiologi, FISIP Universitas Andalas
2016
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah Subhanahuwataala, berkat
limpahan karunia dan rahmat-Nya penyusunan prosiding Konferensi Nasional
Sosiologi V ini berhasil diselesaikan. Konferensi yang mengambil tema Gerakan
Sosial dan Kebangkitan Bangsa dan berlangsung dari tgl 18 – 19 Mei 2016 ini,
melingkupi sub-tema yang cukup luas dan beragam. Karena itu penyusunan
prosiding ini juga disesuaikan dengan sub-tema yang ada dalam konferensi
tersebut.
Prosiding ini terdiri dari dua Volume. Volume I terdiri dari 7 BAB yakni
(BAB I –BAB VII), mencakup beberapa sub-tema, yakni sub-tema gerakan
perempuan, gerakan agraria, gerakan buruh, gerakan lingkungan, gerakan petani,
gerakan kelompok marginal dan gerakan politik. Sementaraitu, Volume II terdiri
dari 10 BAB (BAB VIII – BAB XVII) yang mencakup sub-tema yang lebih
beragam yakni gerakan keagamaan, pendidikan transformatif, gerakan pemuda,
keluarga, komunitas, gaya hidup, gender dan sub-tema lainnya.
Atas selesainya penyusunan prosiding ini, terima kasih tak terhingga
diucapkan kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung mulai dari
pelaksanaan konferensi sampai penyusunan prosiding ini. Kepada pengurus pusat
Asosiasi Program Studi Sosiologi Indonesia (APSSI), Rektor Universitas Andalas,
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas, Ketua Yayasan
dan Direktur STKIP PGRI Sumatera Barat, para editor, panitia pelaksana serta
semua pihak yang telah ikut bertungkuslumus dalam membantu pelaksaan
Konferensi Nasional Sosiologi V dan penyusunan prosiding ini yang namanya tidak
mungkin disebutkan satu-persatu, diucapkan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya.
Padang, 18 Mei 2016
Tim Editor
iv
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
VOLUME I
I. GERAKAN PEREMPUAN
1. Wahidah Rumondang Bulan
Fenomena Cerai Gugat = Indikasi Kebangkitan Perempuan?
2. Kustini
Perempuan Menggugat: Fenomena Perceraian Masyarakat Muslim
Di Indonesia
3. Yunindyawati
Resistensi dan Praktik Kuasa Pengetahuan Perempuan Petani Padi
Sawah Lebak dalam Pemenuhan Pangan Keluarga
4. Ida Ruwaida
Kemiskinan dan Aksi Kolektif Perempuan
5. Novita Saseria
Gerakan Sosial Dukung Ibu Menyusui Di Sumatera Barat
6. Tri Rini Widyastuti, Riris Ardhanariswari
Menolak untuk Menyerah: Upaya Perempuan Perajin Batik Tulis untuk
Tetap Menjaga Tradisi Batik Tulis di Kab. Banjarnegara
7. Sulsalman Moita, I Ketut Suardika
Relasi Struktur dan Aktor dalam Arena Kontestasi Politik Perempuan
8. Vina Salviana Darvina S, Hutri Agustiono
Pendidikan Politik dan Pengembangan Ekonomi Lokal Perempuan Desa
9. Syafruddin
Tradisi Perceraian: Ketidakadilan Gender dan Perlawanan Perempuan
Di Suku Sasak Lombok
10. Soetji Lestari, Suksmadi Sutoyo, JarotSantoso, Tri Sugiarto, Joko
Santoso, Nalfaridas Baharuddin, Rin Rostikawati ……………
Beras dan Gerakan Solidaritas Perempuan dalam Tradisi Nyumbang
Di Tengan Monetisasi Perdesaan.
11. Rizki Takriyanti
Gerakan Sosial untuk mewujudkan perilaku wanita Pro Lingkungan
12. Shirley Goni
Kepemimpinan Perempuan pada Penyelenggaraan Pemerintahan
di Provinsi Sulawesi Utara
13. Selinaswati
Mobilisasi Sumber Daya dan Identitas Kelompok dalam Menolak
Ranperda Diskriminatif: StudiKasus Gerakan FKWIS
Sumatera Barat tahun 2001
14. Indraddin ……………….……………………...………… …..
Gerakan Masyarakat Lokal Mengelola Remitance untuk Pengentasan
i
ii
1
31
39
58
71
99
113
126
137
152
167
195
202
215
v
Kemiskinan
15. Suwaib Amiruddin, Titi Stiawati…………………………………
Solidaritas Sosial Komunitas Nelayan antar Etnik di Kabupaten
Pandeglang, Provinsi Banten
II. GERAKAN AGRARIA
1. Alfitri, Firman Muntaqo, Ranjasa Putra, Rogaiyah, Abdul Kholek
Penyelesaian Konflik Pertanahan Melalui Pendekatan Mediasi:
Kasus Petani Desa Rengan dan Limbang Jaya dengan PTP VII
di Ogan Ilir
2. Ferdinal Asnim
Reforma Agraria Bidang Kehutanan: Sebuah Tinjauan Politik Simbolik
3. Herlan
Kerawanan Konflik Sosial Pembanginan Perkebunan Kelapa Sawit
di Kalimantan Barat
4. Siti Aminah
Ekologi dalam Pergulatan Tanah Ulayat Masyarakat Adat
5. Amruddin
Petani Kecil di Tengah Agribisnis Kapitalis
6. Sityi Maesarotul Qori’ah
Strategi Penghidupan Warga Dusun Bonto di Kawasan Hutan Pinus
di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan
7. Iskandar Dzulkarnain
Heterotopia Perang Kepemilikan Tanah Bagi Masyarakat Madura:
Studi Terhadap Gerakan Sosial Dekonstruksi Makna Tanasangkol
8.Caritas Woro Murdiati Runggandini
Renegosisasi Masyarakat Adat di Tengah Arus Pergeseran Paradigma
dalam Pengelolaan Hutan.
9. Edi Indrizal, Muhammad Ansor .............................................
Ketundukan dalam Perlawanan: Kemasan Modernitas dan Narasi
Perlawanan Orang Akit di Riau
III. GERAKAN BURUH
1. Rio Tutri .....................................................................................
Jerat Bagi Kaum Buruh: Imajinasi Sosiologi dalam
Melihat Gerakan Buruh
2. Anggreni Primawati ...................................................................
Gerakan Sosial terhadap Perlindungan Sosial Buruh Migran Indonesia
Di Malaysia
3. Sigit Rochadi ..............................................................................
Pergerakan Pekerja Muslim: Studi terhadap Sarbumusi
dan Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia
4. Yoyok Hendarso .........................................................................
Negosiasi Buruh Migran Indonesia di Perkebunan Sawit Serawak,
Malaysia
5. Yogaprasta Adi Nugraha ..........................................................
231
254
266
280
292
303
313
329
336
356
372
388
400
418
448
vi
Melawan Tembok Besi Tuan tanah: Sebuah Realitas Ketidakberdayaan
Buruh Tani Melawan Hegemoni Alat Panen di Sulawesi Selatan
6. Ikhsan Muharma Putra
Gerakan Kelompok Miskin dan Marginal pada Konteks Pengurangan
Resiko Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim
7. Indhar Wahyu Wira Harjo, Yogi Eka Chalid Farobi
Konstelasi Media Massa Lokal dalam Gerakan Penolakan
Pembangunan Hotel Rayja
461
477
IV. GERAKAN LINGKUNGAN
1. Damsar, Indrayani .....................................................................
490
Pasar Loak: Gerakan Lingkungan Global
2. Victoria Sundari Handoko ........................................................ .
500
Komodifikai Desa Wisata: Gerakan Masyarakat dalam Pengelolaan
Desa Wisata di Bejiharjo, Gunung Kidul
3. Siti Zunariyah, Akhmad Ramdon ..........................................
512
Gerakan Sosial Warga untuk Mendorong Tata Kelola Sungai yang
Berwawasan Lingkungan
4. Rachmad K. Dwi Susilo ............................................................
528
Modal Sosial, Jejaring Sosial dan Identitas Kolektif dalam Gerakan
Sosial untuk Konservasi Sumber Air
5. Irsadi Aristora ...........................................................................
538
Melawan Asap Sebagai Hak Dasar Manusia
6. Tri Agus Susanto, Vieronica Varbi Sunundiati, Diana Dewi Sartika .555
Gerakan Masyarakat Pasang Surut Melestarikan Sungai: Analisis
Struktur, Kesempatan Politik, mobilisasi dan Perubahan Sosial
7. Bintarsih Sekarningrum, Yusar ..............................................
568
Perilaku Komunitas dalam Gerakan Pungut Sampah (GPS)
di Kota Bandung
8. Lina Marina Rohman ...............................................................
577
Gerakan Rakyat Melawan Proses Pembangunan Waduk Jatigede di
Kabupaten Sumedang, Jawa Barat
9. Lutfi Amiruddin ........................................................................
600
Gerakan Penolakan Pembangunan Hotel di Sekitar Sumber Mata Air
10. Rusfadia Saktiyanti Jahya ....................................................
611
Gerakan Lingkungan Penyadaran UKM Untuk Pembangunan
Berkelanjutan
11. Sulistyaningsih ........................................................................
621
Peran NGO Arupa dalam Sertifikasi Hutan Rakyat di Desa Giri Sekar,
Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul.
12. Bernardus Wibowo Suliantoro .............................................
638
Model Penyelesaian Konflik Sumber Daya Alam Hutan Berperspektif
Gender Berbasis Kearifan Lokal.
13. Royke R. Siahainenia ..............................................................
646
Ruang Publik Virtual sebagai saluran Perlawanan terhadap Kapitalisme
Pertambangan
vii
14. Miswanto ...........................................................................
671
Model Pengelolaan Sampah Secara Partisipatif pada Masyarakat
Kampung Bugis, Kota Tanjung Pinang
15. Akhmad Ramdon, Kusumaningdyah, Siti Zunariyah ........
685
Kampungnesia: Media Transformasi Komunitas untuk Merawat Kembali
Kampung, Sungai dan Kota
16. Vieronica Varbi Sununiati .........................................
699
Diet Kantong Plastik di Kota Palembang
17. Yogi Suprayogi Sugandhi, Rini Susetyawati Soemarwoto, Mila
Mardotillah .................................................................................
717
Gerakan Sosial Melalui Rumah Sehat dan Imunisasi BCG sebagai
Langkah Menurunkan Kejadian TB di Padang
18. Evelin J.R. Kawung
729
Kaji Tindak Konsep Pembagian Kerja Antara Aparat dengan Masyarakat
dalam Program Berbasis Lingkungan ; Studi Kasus Kelurahan Malalayang
Satu Timur Kota Manado
V. GERAKAN PETANI DAN NELAYAN
1. Zaiyardam Zubir, Lindayanti, Fajri Rahman ......................
740
Dari Mukjizat ke Kemiskinan Absolut: Perlawanan Petani Riau
Masa Orde Baru dan Reformasi 1970 - 2010
2. Iwan Nurhadi .............................................................................
761
Habitus Petani dan Gagalnya Gerakan Sosial di Arena Perebutan
Ruang Hidup
3. Suparman Abdullah ..........................................................
772
Diskontinyuitas Komunitas Nelayan: Kasus Lae-lae dan Kampung
Nelayan, Kel. Untia, Makasar
4. Desi Yunita, Wahju Gunawan .................................................
788
Perubahan Struktur Sosial dalam Masyarakat Petani Plasma Kelapa Sawit.
5. Dhevy Setya Wibawa, Clara Rosa Pudjiyogyanti Ajisukmo, Herry
Pramono ............................................................................
810
Transformasi Sosial Komunitas Miskin di Kota Jakarta.
6. Hartoyo ...............................................................................
827
Perubahan Struktur Peluang Politik dan Strategi Adaptasi Gerakan Petani
7. Bob Alfiandi, Izar Ul-Haq ................................................
842
Gejala Involusi Gerakan Petani Organik: Kasus Pada Komunitas Petani
Alam, Kabupaten Agam, Sumatera Barat
8. Dewi Anggraini
860
Respon Pemerintah Lokal Terhadap Gerakan Perlawanan 300 KK Petani
VI. KELOMPOK MINORITAS DAN MARGINAL
1.Elizabeth Imma Indra Dewi Windajani, Victoria Sundari Handoko,
Gregorius Widiartana .................................................................
881
Gerakan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas Melalui
Pembentukan Kebijakan di Kabupaten Klaten
viii
2. Cici Darmayanti
898
LGBT Identity Of Implimentation Islamic Shari’a In Aceh
3. Victoria Sundari Handoko
919
Komodifikasi Desa Wisata: Gerakan Masyarakat Dalam Pengelolaan
Desa Wisata Di Bejiharjo, Gunungkidul
4. Rinaldi .................................................................................
930
Representasi Gerakan LGBT dalam Media Massa: Analisis Wacana Kritis
terhadap Pemberitaan LGBT dalam Pemberitaan Media Online
5. Ilham Havifi ..........................................................................
937
Konten LGBT Di Media Sosial Dan Persepsi Kelompok Usia Muda
Dalam Berprilaku
6. R.A. Tachya Muhammad, M.Fadhil Nurdin, Budi Sutrisno
968
Gerakan Sosial LGBT di Indonesia: Sejarah dan Tahapannya
7. Fifin Triswanti, Bangun Sentosa D. Haryanto .......................
982
Menguak Eksistensi Minoritas Hindu Di Antara Agama Mayoritas
Dalam Bingkai Tindakan Sosial Max Weber
8. Wahyu Pramono, Dwiyanti Hanandini
988
Perlawanan Pedagang Kaki Lima (Pkl) Sebagai Upaya Mempertahankan
Eksistensinya Dalam Sistem Ekonomi Kota
9. Dhevy Setya Wibawa, Clara Rosa Pudjiyogyanti Ajisuksmo,
Herry Pramono
1002
Transformasi Sosial Komunitas Miskin Kota Jakarta
VII. GERAKAN POLITIK
1. Wirdanengsih ........................................................................
Pendidikan Politik Bagi Pemilih Pemula Dalam Rangka Partisipasi
Politik Yang Cerdas
2.Sutrisno ......................................................................................
Relasi Kuasa Organisasi Sipil dengan Polisi Pasca 2000
3. Virtous Setyaka ....................................................................
Relevansi Gerakan Sosial untuk Memperkuat Daya Saing Indonesia
Dalam Masyarakat ASEAN
4. Al Rafni, Suryanef ..................................................
Relawan Demokrasi dan Pendidikan Politik Transformatif
5. Robertus Robet ............................................................
Anti Intelektualisme dan Terbenamnya Gerakan Sosial
6. Andri Rusta, Putri Gemala ...............................................
Akuntabilitas Masyarakat Kota Padang Terhadap Pemilu Legislatif 2014
7. Asrinaldi ..........................................................................
Politik Kekuasaan Penghulu dalam Praktik Demokrasi di Sumatera Barat
1020
1030
1052
1071
1086
1092
1119
ix
BAB I
GERAKAN PEREMPUAN
x
FENOMENA PENINGKATAN CERAI GUGAT = INDIKASI
KEBANGKITAN PEREMPUAN?
Wahidah Rumondang Bulan
Komunikasi, FISIP, UPN “Veteran” Jakarta
[email protected]
Abstrak
Peningkatan kasus cerai gugat di banyak daerah di Indonesia dalam sepuluh tahun
terakhir (Badilag MA, 2014) menarik didalami mengingat dalam kasus perceraian,
perempuan kerap diposisikan sebagai pihak yang tersub-ordinasi (Gulardi dalam Ihromi,
1999; dan Nany Razak, 1980 dalam Fachrina, 2005). Apakah fenomena peningkatan kasus
cerai gugat tersebut mengindikasikan kebangkitan perempuan? Dengan tujuan menemukenali alasan perempuan melakukan cerai gugat, dampak cerai gugat pada keluarga, serta
respon struktur terhadap cerai gugat; studi kualitatif yang dilaksanakan pada April 2015
di Kota Padang ini juga mengelaborasi peran adat Minangkabau dalam cerai gugat
karena budaya Minang dinilai menempatkan perempuan dalam posisi lebih berdaya. Hasil
studi menunjukkan, meski perempuan melakukan cerai gugat, alasan tindakan lebih
sebagai tindakan responsif ketimbang purposif, yaitu untuk memperjelas status
pernikahan. Temuan lain, perempuan maupun laki-laki pada tiga pasangan muda yang
diteliti cenderung lebih rasional baik karena faktor pendidikan maupun karena intervensi
informasi dari media massa. Toleransi tiga pasangan tersebut terhadap kondisi yang tak
diinginkan cenderung rendah yang mengindikasikan menurunnya ketahanan keluarga.
Terkait peran adat, adat Minangkabau tidak menstimuli cerai gugat namun membantu
perempuan mantap atas keputusannya melalui dukungan keluarga luas. Meskipun mulai
memudar, peran keluarga luas dalam pernikahan tetap eksis dengan keterlibatan para
pihak yang makin terbatas dan dengan kadar dukungan yang makin rendah (formalnormatif).
Keyword: cerai gugat, keluaga luas, ketahanan keluarga, tindakan responsif, tindakan
purposif.
Abstract
The increasing number of petitions of divorce by women in many regions in
Indonesia in the last decade (Badilag MA, 2014) interesting to elaborate because in case
of divorce women often placed in sub-ordination position (Gulardi in Ihromi, 1999; and
Nany Razak, 1980 in Fachrina, 2005). Are these indications the revival of women? With
the aim to understand why women propose the divorce, the impact of divorce for family,
and the structural response to the divorce by women; studied that held in April 2015 in the
city of Padang also intended to elaborate the role of indigenous Minangkabau in cases of
divorce by women because culture of Minangkabau assumed to place women in more equal
social position. The results of the study showed that although women took initiative to
divorce, the reason of action is more as responsive action rather than purposive action,
namely to clarify the status of marriage. Other findings, both women and men on three
pairs of young families that studied tend more rational because of their education beside
the information from the media; their tolerance toward unwanted conditions generally low;
and there are indications of declining of family resilience in young couples (more
subjective and not substantive). Related with the role of indigenous Minangkabau, custom
do not stimulate the divorce but help women convinced with their action through extended
family support. Although it began to fade, role of extended family still exist in Padang City
11
but the parties that involved more limited and the level of involvement getting lower
(formality or normative orientation).
Keyword: divorced by women, indigenous of Minangkabau, extended family, family
resilience, purposive action, responsive action.
I. PENDAHULUAN
Ada yang menarik dari data yang dilansir Badan Pengadilan Agama (Badilag MARI) tahun 2010- 2014. Selain terjadi peningkatan angka perceraian, angka cerai gugat atau
gugatan cerai yang diajukan pihak istri diberbagai daerah di Indonesia juga mengalami tren
naik, bahkan dengan jumlah angka melampaui cerai talak (gambar 1 dan 2).
Perbandingan Cerai Talak & Cerai Gugat
Cerai Talak
Cerai Gugat
268,381
250,360
169,673
81,535
2010
191,013
85,779
2011
212,595
91,800
2012
111,456
113,850
2013
2014
Gambar 1: Data Perbandingan Cerai Talak dan Cerai Gugat
Sumber: Badan Peradilan Agama MA RI 2014
Prosentase Perbandingan Th 2014
Cerai
Talak
30%
Cerai
Gugat
70%
Gambar 2: Prosentase Perbandingan Cerai Talak dan Cerai Gugat Tahun 2014
Sumber: Badan Peradilan Agama MA RI 2014
12
Apa yang menjadi penyebab? Kementerian Agama selaku kementerian yang
sebelumnya bertanggung-jawab menangani kasus-kasus perceraian melalui institusi
strukturalnya (Kantor Urusan Agama atau KUA dan Badan Penasehat, Pembinaan, dan
Pelestarian Perkawinan atau BP4), menduga hal itu karena perubahan kebijakan UU No.7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menjadi UU No 3 Tahun 2006. Di dalam aturan
tersebut penyelesaian perselisihan suami-isteri (proses perceraian) kini tidak lagi
melibatkan KUA dan BP4, akan tetapi sepenuhnya ditangani Pengadilan Agama yang
sudah tidak berada di bawah Kementerian Agama. Penyelesaian permasalahan “ala”
pengadilan inilah yang ditengarai menyebabkan banyak kasus perselisihan rumah tangga
berakhir dengan perceraian termasuk cerai gugat, dan yang memicu pelonjakan jumlah
kasus perceraian.
Dugaan lain terkait dengan kesadaran gender perempuan yang makin baik, yang
sejak lama disebut-sebut sebagai pemicu. Hal itu juga diungkap George Levinger dalam
Rodliyah (2011), yang mengatakan bahwa perceraian dapat disebabkan karena adanya
pandangan tentang etos persamaan derajat dan tuntutan persamaan hak dan kewajiban
antara laki-laki dan perempuan. Ia juga mengungkapkan bahwa pandangan perempuan
yang makin luas dapat melahirkan berbagai alternatif pilihan bagi perempuan apabila
bercerai.
Dalam konteks itu pula peningkatan independensi perempuan mengingat
pendidikan serta kemampuan mereka memenuhi kebutuhan ekonomi yang makin baik, juga
dianggap menjadi penyebab. Di Australia misalnya, peningkatan kesempatan perempuan
mencapai kemandirian finansial terbukti menjadi faktor penentu terjadinya peningkatan
perceraian yang diinisiasi perempuan, selain karena faktor peningkatan dana jaring
pengaman sosial untuk keluarga rentan finansial (termasuk keluarga bercerai) dan
melemahnya stigma sosial yang melekat pada perceraian (Qu & Soriano, 2004). Realitas
serupa juga terjadi di Indonesia, sebagaimana studi Rodliyah (2011) yang menunjukkan
bahwa terjadi tren baru peningkatan perceraian di Indonesia. Jika sebelumnya perceraian
banyak menimpa pasangan dengan pendidikan rendah, kini justru banyak terjadi pada
pasangan dengan pendidikan tinggi dengan cerai gugat sebagai kasus terbanyak. Menteri
Sosial Khofifah Indar Parawansa (Maret, 2016) mengamini hal tersebut dengan
mengatakan bahwa berdasarkan riset terkait dikementeriannya, masalah utama retaknya
hubungan suami istri di Indonesia umumnya terjadi karena istri memiliki pendapatan
sendiri.
Bagaimana dengan kondisi di Kota Padang tempat dimana studi dilakukan?
Menarik menyimak catatan kecil Fathur Rizqi yang mengikuti persidangan perceraian di
Pengadilan Agama Kota Padang selama sepuluh bulan mulai dari Mei 2011 hingga Maret
2012, semasa menjalani tugas sebagai calon hakim. Ia mendapati bahwa kebanyakan
perceraian di Pengadilan Agama Kota Padang terjadi pada pasangan dengan usia
pernikahan yang relatif muda, yaitu kurang dari 10 tahun, dengan rata-rata usia pasangan
yang bercerai berkisar di bawah 45 tahun (untuk laki-laki) dan 40 tahun (untuk perempuan).
Tentang mengenai apa yang menjadi penyebab, sayangnya Fathur Rizqi tidak
menyebutkan secara spesifik mengapa terjadi banyak kasus cerai gugat. Seperti halnya data
umum yang terdapat di Pengadilan Kota Padang, perceraian di Kota Padang menurutnya
yang dominan karena salah satu pasangan (umumnya suami) tidak memiliki rasa tanggung
jawab untuk menafkahi keluarganya (istri dan anak-anak) selain karena salah satu pasangan
(umumnya istri) terlalu menuntut dan tidak bisa menghargai hasil usaha pasangannya
(suami). Ia juga mencatat adanya kasus perceraian akibat orang ketiga, yang terjadi lebih
karena suami-istri tinggal berjauhan serta karena perbedaan yang terlalu mencolok antara
pihak suami dengan istri (pendidikan, usia, status ekonomi, kondisi fisik). Ia juga mencatat
beberapa kasus perceraian yang terjadi karena permasalahan sepele, yang menjadi fatal
13
karena tidak adanya keterbukaan antara suami dan istri ataupun pihak keluarga suami dan
istri. Adanya campur tangan pihak keluarga yang berlebihan atau mendominasi, persoalan
ketidak-jujuran antara suami dan istri dalam hal finansial (pemasukan maupun
pengeluaran), buruknya komunikasi, perilaku yang buruk yang sudah dilakukan sejak
sebelum menikah seperti berjudi, mabuk, suka main pukul, dan terjerat narkoba; menjadi
penyebab lainnya mengapa perceraian banyak terjadi dalam kasus-kasus yang diikutinya.
Dalam konteks itulah studi ini dilakukan, yaitu mendalami alasan-alasan pihak istri
mengenai mengapa mereka memutuskan melakukan cerai gugat, guna melihat apakah
keputusan subjektif perempuan tersebut berkorelasi dengan isu-isu kesetaraan gender
seperti yang telah dijelaskan. Selain itu, mengingat meski secara legal-formal
diperbolehkan (agama maupun hukum positif) namun secara normatif perceraian terlebih
lagi cerai gugat masih dinilai sebagai tindakan negatif (Fachrina, 2006); bagaimana
fenomena cerai gugat dapat meningkat di Padang sementara masyarakat Minang dinilai
masih kuat berpegang pada nilai-nilai transsendental. Yang tidak kalah penting, mengingat
keberadaaan adat Minangkabau dengan budaya matrilineal yang khas (terutama bagi
kehidupan perempuan), studi juga dilakukan untuk melihat bagaimana adat berperan dalam
kasus cerai gugat yang terjadi.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Normatif Cerai Gugat
Cerai gugat merupakan salah satu bentuk perceraian yang diakui di dalam Islam,
yang dikenal dengan istilah ‘khulu’, yaitu perceraian dengan tebusan atau imbalan dari istri
kepada suami (QS-An-Nisa ayat 4, dan QS al-Baqarah ayat 229). Meski merupakan
tindakan yang diperbolehkan, cerai gugat sebagaimana halnya cerai talak merupakan
tindakan yang tidak dianjurkan (tindakan yang diperbolehkan tapi dibenci). Cerai gugat
bahkan diidentifikasi lebih negatif, karena perempuan yang melakukannya dengan alasan
tidak jelas terancam tidak akan mencium bau syurga (Hadist riwayat Abu Daud, Tirmidzi,
Ibnu Hibban). Sedangkan di dalam hukum positif cerai gugat diatur di dalam UU Nomor
1 tahun 1974 tentang Perkawinan (pasal 20), yang menyatakan bahwa tindakan gugatan
perceraian dapat diajukan oleh suami atau istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. Cerai gugat juga disebut di dalam
Kompilasi Hukum Islam Pasal 114, yang menyatakan bahwa putusnya perkawinan yang
disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan
perceraian.
2.2 Tinjauan Teoretis Cerai Gugat
Merujuk Wong (1976), peningkatan fenomena cerai gugat secara teoretis
sesungguhnya mengindikasikan terjadinya peningkatan keberanian perempuan mendobrak
mitos yang ada. Mengapa? Karena sebagaimana diungkap Wong, ketika masih gadis,
perempuan selalu menurut dan tergantung pada ayahnya. Ketika menikah, ia tergantung
pada suaminya dan ketika menjadi janda sekalipun, ia tetap harus menurut dan tergantung
pada anak laki-lakinya. Perempuan baru benar-benar bisa “berbicara” ketika ia menjadi
mertua (Wong, 1976: 15).
Lalu bagaimana peningkatan keberanian perempuan dapat terjadi? Menurut
Levinger (1979) sebagaimana dikutip Rodliyah (2011), hal itu diantaranya karena: (1)
Adanya perubahan pandangan tentang nilai dan norma perceraian, (2) Adanya pandangan
tentang etos persamaan derajat dan tuntutan persamaan hak dan kewajiban antara laki-laki
dan perempuan, (3) Pandangan yang semakin luas dari pihak perempuan melahirkan
berbagai alternatif pilihan apabila bercerai, (4). Perubahan pada tekanan-tekanan sosial dari
14
lingkungan keluarga atau kerabat serta teman dan lingkungan ketetanggan terhadap
ketahanan sebuah perkawinan, dan (5) karena kemandirian ekonomi pihak perempuan.
Sedangkan mengenai bagaimana tindakan cerai gugat dapat terjadi, hal itu dapat
dipahami melalui Stage Theory (Gambar 3 ).
Gambar 3. Stage Theory (ABCD Theory), Levinger (1980).
Sebuah hubungan menurut teori tersebut berlangsung dalam sejumlah tahapan, yaitu
A-B-C-D-E. Tahap paling kritis terjadi ketika hubungan mengalami kerusakan
(Deterioration), yaitu ketika hubungan telah berkembang sedemikian rupa sehingga terjadi
ketidak-seimbangan antara cost dengan reward. Ketika hubungan telah lebih banyak
menimbulkan kerugian, pada tahap itulah kemungkinan keinginan untuk mengakhiri
hubungan (Ending), termasuk dalam konteks cerai gugat, dapat terjadi. Lebih detail hal itu
dapat dilihat pada Model of Rational Choice in Divorce yang dikembangkan Levinger
berdasarkan Rational Choice Theory, yaitu sebagaimana dapat dilihat pada gambar berikut.
Levinger's Model of Rational Choice in Divorce
Attractions - Magnets =
rewards that stem from
being married
Barriers () +/- Walls =
punishments or losses you'd
face if you divorced. You'd
have to climb over these walls
if you divorced.
Alternative Attractions Lures
Away From Your Marriage =
something attractive that you
could obtain if you were
unmarried.
Positive Social Status
Loss of positive status and gain
of new negative-status stigma of
being divorced
Liberated status with freedom to
explore relationships with others
Wealth Accumulation
Division of wealth (at least by
half)
Opportunity to be disentangled
from family costs
Co-parenting
Co-parenting with ex-spouse -never truly free from this role
Shared custody, alleviating some
degree of burden of parenting
Sex
Much less availability and
predictability of sexual partner
Possibility of new sexual partner
15
Health Support and Stress
Buffer
Loss of health support and
additional stress from divorce
process
Different types of stressors and
relief from pre-divorce stresses
Stay Married Formula
↑Attractions
↑Barriers
↓Lures
Divorce Formula
↓Attractions
↓Barriers
↑Lures
Gambar 4. Model Levinger Mengenai Rational Choice dalam Perceraian.
(http://freesociologybooks.com/Sociology_Of_The_Family/12_Divorce_and_Separation.
php)
Terkait itu perlu pula ditampilkan teori Coleman tentang Rational Choice (Ritzer,
2007), yang gagasan dasarnya mengungkapkan bahwa tindakan perseorangan mengarah
kepada suatu tujuan dan tujuan itu (serta tindakannya) ditentukan oleh nilai atau
pilihan/preferensinya (Coleman, 1990). Akan tetapi berbeda dengan Levinger yang
cenderung melihat aktor bersikap kalkulatif atas hubungan yang terjalin, menurut Coleman
tindakan aktor termasuk tindakan tidak rasional, karena menurut Coleman dalam
kehidupan nyata orang tak selalu berperilaku rasional. Ia mengatakan, “Asumsiku adalah
bahwa ramalan teoretis yang dibuat disini sebenarnya akan sama saja apakah aktor
bertindak tepat menurut rasionalitas seperti yang biasa dibayangkan atau menyimpang dari
cara-cara yang telah diamati.” Merujuk Coleman maka tindakan cerai gugat dapat dipahami
dengan mempelajari apa yang menjadi tujuan tindakan cerai gugat, yang sangat ditentukan
oleh nilai-nilai atau pilihan-pilihan yang ditetapkan pelaku cerai gugat atas tindakan; bukan
hanya karena aspek rasional namun juga karena aspek tidak rasional.
2.3 Studi Cerai Gugat
Terdapat sejumlah studi cerai gugat yang relevan untuk diulas. Pertama studi
Fachrina (2006) bertajuk Pandangan Masyarakat mengenai Perceraian, Studi Kasus Cerai
Gugat pada Masyarakat Perkotaan (termasuk Kota Padang), yang menunjukkan bahwa
masyarakat masih memposisikan pihak istri sebagai pihak yang bersalah apabila terjadi
perceraian. Merujuk hasil studi tersebut penilaian masyarakat tentu akan menjadi lebih
negatif terhadap cerai gugat, mengingat perceraian justru diinisiasi pihak wanita. Namun
merujuk studi lanjutan yang dilakukan (2012), masyarakat ternyata cenderung mendua.
Meski tidak setuju terhadap tindakan perceraian (termasuk cerai gugat), yaitu 73,3% tidaksetuju perceraian dan 80% menganggap perceraian harus dihindari, namun mereka bersikap
ambigu jika perceraian terjadi pada teman/tetangga. Mayoritas bersikap biasa saja dan
dapat menerima.
Studi kedua adalah studi Nunung Rodliyah (2011) tentang Perceraian Pasangan
Muslim Berpendidikan Tinggi, Studi Kasus di Kota Bandar Lampung. Dalam studi
disertasi tersebut Rodhiyah menemukan bahwa kesadaran gender kaum wanita (muslim)
telah menimbulkan fenomena baru, yaitu jika sebelumnya perceraian lebih banyak terjadi
pada mereka dengan tingkat pendidikan rendah, pada kasus yang ditelitinya justru terjadi
pada pasangan Muslim berpendidikan tinggi dengan kecenderungan cerai gugat lebih
banyak dibanding cerai talak. Kesadaran gender dimaksud adalah kesadaran hukum dan
hak-hak perempuan.
16
Studi lainnya adalah studi tentang Kasus Cerai Gugat Suami Isteri Berpendidikan
Tinggi di Kecamatan Depok, Sleman, Jogjakarta Tahun 2007-2009; yang dilakukan oleh
Sun Choirul Ummah. Menurut Sun terdapat faktor internal dan faktor eksternal penyebab
cerai gugat. Untuk faktor internal diantaranya terkait dengan persepsi terhadap kesetaraan
gender dari pihak istri, sedangkan untuk faktor eksternal diantaranya karena campur tangan
pihak ketiga baik orang tua maupun kerabat dekat. Studi lainnya dilakukan Nunung Susfita,
berjudul Cerai Gugat di Kalangan Masyarakat Kota Mataram, Studi Kasus di Peradilan
Agama Kelas 1A Mataram Tahun 2004-2005. Berdasarkan hasil studi Susfita penyebab
terbanyak cerai gugat karena faktor ekonomi (40%), diikuti faktor akhlak (25%) dan faktor
KDRT (10%). Mengingat lokus studi hal ini dapat dipahami, meski kondisi serupa belum
tentu terjadi di Kota Padang.
3. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif jenis studi kasus
(tiga kasus cerai gugat), dengan observasi dan wawancara mendalam sebagai metode utama
pengumpulan data. Sebagai catatan mengingat usia kritis perkawinan berada pada rentang
usia pernikahan 1-5 tahun masa perkawinan, kasus yang dipilih adalah kasus dengan usia
pernikahan 1-5 tahun dan telah bercerai maksimal 3 tahun terakhir dengan pertimbangan
bahwa informan masih cukup baik mengingat proses perceraian yang terjadi dan bahwa
proses perceraian pada rentang waktu tersebut sudah diputus oleh pengadilan. Sebagai key
informan adalah pihak istri selaku pelaku cerai gugat, serta informan lainnya yaitu suami
sebagai pasangan yang dicerai gugat, atau unsur keluarga dekat yang mendampingi proses
cerai gugat (suami tidak dijadikan key informan mengingat dalam kasus cerai gugat
umumnya keberadaan suami sulit untuk diketahui atau jika diketahui sulit untuk diajak
berkomunikasi), tokoh masyarakat, tokoh agama, pejabat struktural pengadilan agama,
serta pejabat Kankemenag Kota Padang termasuk pejabat KUA/penghulu. Selain itu juga
dihimpun data pendukung baik dari literatur, dokumen, dan laporan dari institusi terkait,
maupun pemberitaan media massa. Selain di Kota Padang, studi Litbang Kemenang yang
dilakukan pada April 2015 ini juga dilakukan di beberapa daerah lainnya, namun khusus
untuk Kota Padang juga didalami peran adat dalam fenomena cerai gugat yang terjadi.
4. TEMUAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum.
Sebagaimana terjadi di hampir banyak daerah di seluruh Indonesia, terdapat trend
peningkatan angka cerai gugat di Kota Padang dari tahun ke tahun (2008-2013), yaitu:
Tabel 1
Kasus Perceraian di Kota Padang Tahun 2008 – 2013
TAHUN
2008
2009
2010
2011
JUMLAH
PERKARA
771
728
851
851
CERAI TALAK
Jumlah
Prosentase
261
38
246
35
278
33
328
35
CERAI GUGAT
Jumlah
Prosentase
424
62
462
65
573
67
615
65
17
2012
1042
354
34
688
66
2013
1052
351
33
701
67
Sumber: Laporan Tahunan Pengadilan Agama Klas I A Padang, tahun 2008-2012 (data
diolah)
Mengenai apa yang menjadi penyebab, tak ditemukan data yang secara spesifik
menyebut faktor terjadinya cerai gugat. Data yang tersedia hanya menyebut penyebab
perceraian secara umum, yaitu tidak adanya keharmonisan dan tidak ada tanggung-jawab,
sebagai penyebab utama mengingat selalu muncul dengan frekuensi tertinggi selama kurun
waktu 2010-2014. Selain itu terdapat faktor ekonomi, gangguan pihak ketiga, dan cemburu
serta krisis akhlak, poligami, dipenjara/dihukum, kekejaman jasmani cacat biologis,
KDRT, dan penganiayaan yang muncul dengan frekuensi relatif rendah (tabel 2). Meski
tidak terdapat data spesifik tentang penyebab cerai gugat, mengingat kasus cerai gugat
cukup dominan terjadi, data tersebut dapat dijadikan sebagai informasi umum.
Tabel 2
Penyebab Perceraian di Kota Padang Tahun 2010-2014
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Penyebab Perceraian
2010 2011 2012 2013 2014
Poligami Tidak Sehat
2
4
5
Krisis Akhlak
8
31
35
Cemburu
2
22
68
16
18
Ekonomi
72 126
42
39
Tidak Ada Tanggung-jawab 143 328 468 243 169
Kawin Dibawah Umur
3
Dihukum/Dipenjara
2
1
Cacat BIologis
3
KDRT
Gangguan Pihak Ketiga
30
18
76 132 127
Tidak Ada Keharmonisan
301 322 304 548 693
Penganiayaan
2
Kekejaman Jasmani
2
31
18
Sumber: Pengadilan Agama Padang Tahun 2014 (data diolah).
4.2. Proses Mediasi.
Sesuai Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.1 Tahun 2008, Majelis Hakim
Pengadilan Agama Kota Padang sebelum memutuskan kasus perceraian termasuk cerai
gugat, dilakukan melalui proses mediasi yang berlangsung maksimal 40 hari. Untuk kasus
cerai gugat, proses mediasi tidaklah mudah dilakukan mengingat dalam banyak kasus cerai
gugat, pihak suami umumnya tidak datang sementara proses mediasi mensyaratkan
kehadiran kedua-belah pihak. Karenanya proses mediasi untuk cerai gugat relatif sangat
jarang terjadi, untuk tidak mengatakan tidak pernah dilakukan. Karena itu pula
penyelesaian kasus cerai gugat relatif lebih cepat, dapat diselesai putus dalam waktu kurang
dari satu bulan!
18
Proses mediasi sendiri ditangani tiga hakim, yang sejak tahun 2013 juga
melibatkan 2 orang dari unsur non hakim, yang diambil dari hakim senior yang sudah
pensiun. Proses mediasi sebagaimana diungkap Ali Amar SH, MHI selaku hakim mediator
dari unsur non hakim, diawali dengan disidangkannya perkara yang dilanjutkan dengan
penyerahan berkas ke hakim mediator. Mengingat banyaknya kasus, rata-rata hakim
mediator menangani 20 perkara setiap bulannya. Karena hal itu proses mediasi (umumnya
untuk kasus cerai talak) tidak terlalu efektif, meski beberapa kasus dapat mencegah
terjadinya perceraian.
4.3. Peran Adat. 1
Dalam adat Minangkabau, terdapat satu institusi yaitu qodhi atau penghulu, yang
dijabat oleh mereka yang dinilai memiliki kepahaman yang baik tentang hukum Islam yang
kepemimpinannya berjenjang mulai ditingkat kaum hingga ditingkat Nagari. Qodhi secara
umum berperan sebagai tempat kembali bagi suatu kaum umtuk mendapatkan
pertimbangan hukum dan karena hal itu pula qodhi kaum dan Nagari dalam praktek seharihari kini difungsikan sebagai P3N atau pembantu penghulu.
Sebagaimana tergambar dalam falsafah Minang, rumah bakali, kampung batuo
(rumah atau kaum pasti ada kepemimpinannya, begitu juga kampung atau Jorong pasti ada
kepemimpinannya). Penyelesaian permasalahan dilakukan pertama-tama ditingkat kaum,
jika tidak selesai baru dibawa ke tingkat jorong, dan jika tidak juga selesai di bawa Jorong,
selanjutnya di bawa ke Nagari.
Dalam penanganan berbagai masalah tersebut qodhi memegang peranan penting,
yaitu mengurusi masalah perkawinan atau kehidupan berkeluarga. Sebagai contoh jika
seorang perempuan suaminya tidak pulang ke rumah paling lama tiga hari, maka pihak
ninik-mamak akan mengusut untuk mencari tahu mengapa hal tersebut terjadi. Perempuan
yang suaminya tidak pulang akan ditanyai, begitu juga pihak sumando atau keluarga suami.
Jika ditemukan masalah, kedua belah pihak akan menerima nasehat dari ninik-mamak agar
masalah dapat diselesaikan, sehingga dengan cara ini masalah sejak awal sudah dapat
dicarikan jalan keluarnya (tidak perlu berujung dengan perceraian). Jika masalah tidak
dapat selesai ditingkat kaum (diistilahkan dengan ranji keturunan), masalah dibawa ke
tingkat yang lebih tinggi, yaitu ditingkat Jorong, dan dari jorong baru dibawa ke Nagari.
Praktek ini kini sayangnya tidak lagi berjalan, bahkan ada kecenderungan untuk membawa
masalah langsung ke Pengadilan Agama mengingat kebijakan yang ada, bahkan tanpa perlu
menanyakan BP4 Nagari. Informan menduga hal ini ikut berkontribusi pada banyaknya
pertikaian suami-istri yang berujung menjadi perceraian (cerai talak maupun cerai gugat),
dengan kata lain menjadi salah satu faktor yang meningkatkan terjadinya perceraian.
Terkait dengan keterlibatan ninik-mamak dalam kehidupan berkeluarga,
masyarakat Minang meyakini bahwa para ninik mamak (diistilahkan sebagai bundo
kandung) fungsinya diibaratkan sebagai pemegang anak kunci rumah tangga, yaitu mereka
yang memegang (perlu mengetahui, pen) segala seluk-beluk persoalan rumah-tangga yang
terjadi pada para kemenakannya. Karena pertalian hubungan ini muncullah perasaan ado
raso badunsanak, rasa batatanggo, rasa berkorong kampuang, yang memberi efek orang
tidak mudah mengajukan perceraian. “Saya akan bercerai dengan anaknya, padahal istri
saya kemenakan bapak saya.” Rasa inilah yang diperhatikan di Minangkabau, yaitu bahwa
kalau bercerai hancurlah persaudaraan, mengingat segala macam ada sangkut-pautnya.
4.4. Uraian Kasus
1
Hasil wawancara dengan H. Aresno Dt. Andomo, S. Ag pada 18 April 2015, Ketua Lembaga
Kerapatan Adat Alam Minangkabau Kecamatan Pariangan (Nagari Tuo Minangkabau), Tanah
Datar. Selain itu narasumber sudah bertugas di KUA selama 19 tahun dan pernah menjadi KUA
teladan.
19
Dalam studi ini didalami tiga kasus cerai gugat, yaitu kasus EL-OS, IK-IB, dan
Fat-Fik, yang masing-masing berkontribusi memberi gambaran spesifik mengenai
fenomena yang dieksplore.
4.4.1. Kasus EL-OS: Dominasi Keluarga Suami atas Suami.
Masa Perkenalan hingga Pernikahan. EL merupakan perempuan terdidik yang
menamatkan program diploma tiga (D3) pada tahun 2005 dan setelah bekerja melanjutkan
pendidikannya (tahun 2010) hingga tamat S1. Lahir dan besar di Padang, adat Minang di
dalam keluarga EL tidak lagi dipraktekkan mengingat keluarga ibunya lama merantau ke
Medan. Meski sudah tidak melaksanakan adat Minang, mamak (paman EL yang tinggal di
Pondok Gede) masih melaksanakan peran penting. Saat EL hendak memutuskan apakah
akan menikah dengan OS atau tidak, peran mamak EL sangat dominan. Mamak EL satusatunya anggota keluarga yang bertemu langsung dengan OS, yang dimungkinkan karena
Mamak EL tinggal di Pondok Gede sementara OS di Bekasi, Mamak EL lah yang ditemui
OS dan keluarga (Ibu OS dan kakak OS) untuk meminta agar EL bersedia menjadi istri OS.
Tentang perkenalan EL dengan suami (OS), terjadi melalui perantaraan teman
kampus EL yang meminta EL mencermati profil OS pada akun FB milik OS mengingat
EL dan OS tinggal berjauhan. EL di Padang, sementara OS di Tambun, Bekasi. Setelah OS
menghubungi EL lewat telpon sebagai tanda ketertarikannya, perkenalan dilanjutkan
dengan menggunakan fasilitas chatting baik melalui FB maupun HP (video call). Karena
keduanya merasa mantap, EL meminta OS berkunjung ke rumah mamak EL (kakak ibu
EL) yang tinggal di Jakarta untuk berkenalan. OS datang ke rumah Mamak EL ditemani
ibu dan kakak kandungnya (OS anak kedua dari dua bersaudara) serta suami kakaknya
(kakak ipar OS).
Setelah mamak EL memberi respon positif terhadap OS dan kelaurga, EL mantap
meneruskan hubungan ke jenjang pernikahan. Menjelang hari raya pada Juni 2012 EL dan
OS pun menikah. Sebagaimana tradisi Minang, prores diawali dengan silaturahim keluarga
laki-laki ke rumah perempuan, sebagai pertanda persetujuan untuk melanjutkan ke jenjang
pernikahan, dan dilanjutkan dengan kedatangan keluarga perempuan ke rumah keluarga
laki-laki untuk meminang (manjapuik).
Tentang waktu pelaksanaan pernikahan, EL sebenarnya menginginkan agar
pernikahan dilaksanakan di akhir tahun, yaitu dibarengkan dengan kakak pertama EL yang
juga akan menikah. Alasan lain karena kuliah EL belum selesai. Akan tetapi karena OS dan
keluarga (terutama kakak OS) tidak berkenan, EL dan keluarga mengalah. Bibit-bibit
konflik berupa adanya intervensi kakak (keluarga OS) yang berlebihan sebenarnya mulai
tampak, akan tetapi EL dan keluarga tidak menyadari. Tentang hal ini paman EL
mengatakan,“Kalau saya liat, keluarganya sih bagus-bagus saja. Hubungan mereka
bersaudara kelihatan akrab, baik sekali. Cuma kalau menurut saya penyebab masalah EL
itu karena sangat baiknya hubungan mereka. Terlalu dekat. Karena ibunya hanya punya
dua anak. Inilah yang menurut saya penyebabnya.”
Pada awal pernikahan, EL dan OS sudah langsung berhadapan dengan ujian berat.
OS diberhentikan dari tempat bekerja beberapa hari saja setelah pernikahan. Karena suami
tidak lagi bekerja, tiga bulan setelah pernikahan, EL yang tetap tinggal bersama ibunya
untuk menuntaskan studi dan sekaligus mengurus pemberhentian dirinya dari tempat
bekerja, harus membiayai sendiri kebutuhan dirinya. Bahkan ketika EL datang ke Jakarta
menyusul suaminya untuk sementara waktu (hanya tiga minggu mengingat skripsi EL
meski sudah selesai masih belum diujikan), EL terpaksa menggunakan uang simpanan
pribadi (uang pesangon) untuk kebutuhan sehari-hari (termasuk membeli tiket JakartaPadang PP dan keperluannya selama di Jakarta, sebagian dari keperluan OS, bahkan
keperluan keluarga OS mengingat EL tinggal satu atap dengan mereka (kakak OS serta ibu
OS). Akibatnya uang pesangon EL habis untuk membayar aneka kebutuhan tersebut.
20
Keributan mulai terbuka saat EL untuk sementara waktu tinggal bersama OS di
rumah kakak OS; dan semakin menjadi-jadi saat EL kembali datang ke Jakarta beberapa
bulan kemudian, segera setelah urusan kuliahnya benar-benar rampung dan ia sudah
berhenti dari bekerja. Sumber utama konflik adalah keinginan EL untuk tinggal terpisah
dari keluarga OS (tidak tinggal di rumah kakak OS), yang sebenarnya merupakan
kesepakatan EL dan OS sebelum menikah. Selain itu EL merasa tidak nyaman mengingat
EL dan OS bukan tinggal di rumah orang tua OS, akan tetapi di rumah kakak OS yang
sudah berkeluarga dan mempunyai tiga anak. Hal lain karena OS sudah memiliki rumah
sendiri meskipun kecil, serta karena EL dan OS sudah mencari kontrakan (dan membayar
uang muka) sehingga EL tidak melihat ada alasan mengapa mereka harus bertahan tinggal
di rumah kakak OS.
Keributan demi keributan terjadi. Bukan hanya dengan kakak OS, belakangan juga
melibatkan ibu OS. Masalah pun berkembang dari ketidak-setujuan EL dan OS keluar dari
rumah hingga perilaku sehari-hari EL yang selalu dinilai buruk. Menurut penuturan EL,
kakak dan ibu OS memperlakukannya dengan tidak baik. Berbagai urusan rumah-tangga
di serahkan pengerjaannya kepada EL sementara EL sedang hamil. OS yang awalnya
membela EL belakangan tampak mendua bahkan akhirnya kerap membela kakak dan
ibunya. Apapun yang dilakukan EL dinilai salah.
Konflik memuncak ketika EL dan OS akhirnya pindah ke rumah OS. Tapi hanya
berlangsung tiga minggu, setelah itu EL diminta OS pulang ke Padang dengan alasan agar
dapat melahirkan di Padang padahal sebelumnya OS meminta orangtua EL datang ke
Jakarta untuk menemani EL melahirkan. Ketika EL sudah di Padang (sebelum melahirkan),
ibu OS sempat datang ke Solok (ke rumah kerabatnya) bahkan tinggal cukup lama (hingga
lebaran). Akan tetapi Ibu OS tidak mau mendatangi EL, bahkan meminta EL yang
mendatangi Ibu OS di Solok. Mengikuti nasihat OS agar EL mendatangi ibunya, meski
berat mengingat kehamilan EL sudah memasuki usia delapan bulan akhir, EL pergi ke
Solok ditemani ayahnya. Sesampai di Solok EL tidak berhasil bertemu ibu OS karena ibu
OS pergi entah kemana. Belakangan EL tahu bahwa ibu OS sengaja bersembunyi karena
tidak ingin bertemu.
Ketika lebaran, EL dan keluarga datang mengunjungi keluarga OS di Solok dan
ibu OS yang masih tinggal disana. Akan tetapi EL hanya menerima kemarahan, karena
dinilai tidak tahu adat. EL hanya membawa kue-kue dan tidak membawa makanan lengkap
sebagaimana kebiasaan di keluarga OS. Saat lebaran, OS juga datang ke Padang. Meski
sempat bermalam di rumah orang tua EL, akan tetapi OS lebih banyak tinggal di Solok.
Saat hari raya itu pula EL mendapat informasi dari kerabat OS di Solok bahwa orang-tua
dan kakak OS serta OS sudah tidak menyukai EL dan akan menceraikan EL setelah EL
melahirkan.
Ketika EL melahirkan, OS yang sudah kembali ke Jakarta datang ke Padang. Akan
tetapi karena bangun kesiangan, ia ketinggalan pesawat dan terpaksa dipinjami uang untuk
membeli tiket oleh orang tua EL agar dapat berangkat ke Padang karena mengeluh tidak
mempunyai uang. OS yang hanya semalam tinggal di Padang kembali ke Jakarta karena
harus bekerja, adapun kakak dan ibu OS tidak pernah mau melihat anak EL hingga kini.
EL sudah mengikuti arahan OS untuk mengirim SMS kepada Ibu dan kakak OS untuk
memberitahu bahwa ia sudah melahirkan. SMS EL tidak pernah dibalas. Satu-satunya SMS
yang dikirim ibu OS berisi luapan kemarahan dan sumpah-serapah, diantaranya menyebut
anak EL sebagai anak setan.
Setelah OS mentalak EL tak lama setelah EL melahirkan, EL menceritakan
berbagai peristiwa yang dialaminya. Sehari setelah mentalak EL (melalui telfon) OS
sempat mengirim SMS kepada EL mengajak rujuk dengan persyaratan EL dan keluarga
harus datang ke Jakarta karena Ibu dan kakaknya tidak mau datang menemui EL dan
21
keluarga di Padang. EL dan keluarga menilai hal tersebut sebagai penghinaan. Mereka
mendiamkan saja dan menunggu apakah OS akan mendatangi anak dan istrinya. Setelah
itu praktis tidak ada kontak antara EL dengan OS, hingga EL melakukan gugatan cerai.
Selama itu pula OS tidak pernah mengirim uang. elakangan tersiar kabar bahwa OS sudah
menikah dan sudah pula memiliki anak.
Proses Gugatan Cerai. Proses gugatan cerai tidak berlangsung lama. Setelah EL
menceritakan perihal masalah rumah-tangganya tak lama setelah OS menyatakan talak
kepadanya melalui telpon, kedua orang tua dan mamak EL yang tinggal di Jakarta dapat
menerima keinginan EL untuk menggungat cerai. Hal itu karena setelah OS menyatakan
talak tidak lagi ada kabar berita dari OS dan mereka melihat EL memerlukan kejelasan
status untuk masa depannya. Gugatan cerai dilakukan pada Mei 2014, sementara SK keluar
pada Agustus 2014. Menurut penuturan pihak PA, keputusan dapat lebih cepat karena pihak
laki-laki (OS) yang tinggal di Jakarta tidak pernah datang dalam persidangan meski surat
undangan sudah dilayangkan dan dinyatakan sampai atau diterima oleh pihak yang
bersangkutan. Selama proses gugatan cerai EL didampingi oleh ayahnya, sesekali ditemani
sepupunya yang juga bertindak sebagai saksi dalam proses cerai gugat tersebut.
Paska Gugatan Cerai. Sejak kembali ke rumah orang tua untuk melahirkan
hingga akhirnya suami mentalak lewat telepon dan EL mengajukan cerai gugat, EL tinggal
di rumah orang tuanya bersama kakak perempuannya yang sudah menikah dan juga adikadiknya. Peran pengasuhan karena hal itu ditangani bersama oleh orang tua dan kakak serta
ipar dan adik-adik, yang menyayangi anak EL sebagaimana layaknya menyayangi anak
dan kemenakan. Karena hal itu EL tidak terlalu menghadapi masalah terkait pengasuhan,
mengingat adanya peran dari keluarga besar.
Problem yang agak berat dirasa EL terkait masalah ekonomi karena ia tidak bekerja
dan tidak mempunyai tabungan saat ditelantarkan suaminya. Akan tetapi karena EL menilai
kejelasan status pernikahan lebih penting dan ia yakin akan memperoleh pekerjaan
mengingat ia sebelumnya sudah punya pengalaman kerja serta adanya dukungan penuh
dari orang tua, kakak, adik serta kerabat termasuk mamaknya yang tinggal di Pondok Gede;
EL mantap dengan keputusannya menggugat cerai. Tak lama setelah gugatan cerai
dilakukan EL yang sudah mengirimkan sejumlah lamaran kerja ke perusahaan-perusahaan
akhirnya mendapat panggilan kerja. Ketika studi dilakukan, EL sedang melewati masa jobtraining dan optimis dapat terus bekerja di perusahaan tempatnya bekerja. Keberadaan
keluarga besar dalam pengasuhan anak juga membantu EL berkonsentrasi penuh pada
pekerjaan, karena ia dapat meninggalkan anak di rumah dengan tenang saat ia bekerja
mengingat anak didampingi oleh orang-orang yang menyayanginya (nenek dan tantenya).
Lingkungan sekitar begitu pula kerabat tidak seluruhnya tahu bahwa EL sudah
bercerai bahkan ia yang melakukan gugatan cerai. “Biarlah mereka tahu sendiri. Saya tidak
ingin ramai-ramai (membicarakannya, pen). Tidak ada gunanya…” Namun mereka yang
tahu umumnya memahami posisi EL dan berempati padanya. Karenanya EL tidak
mendapat perlakuan negatif dari sekitar atas tindakan cerai gugat yang dilakukannya.
Menurut EL kalaupun orang-orang yang kini belum tahu bahwa dirinya sudah bercerai
nantinya tahu, EL yakin mereka akan memahami jika diberi penjelasan.“Sekarang
masyarakat sudah pintar. Kalau diberitahu akan paham.”
EL kini hanya ingin membesarkan anaknya dan menekuni pekerjaannya dengan
baik dan belum berfikir apakah akan menikah lagi atau tidak. Ia yakin akan dapat melewati
masa sulit yang kini dialami dengan baik, diantaranya karena dukungan penuh keluarga
besar. “Belum ada terpikir (untuk menikah lagi, pen). Mau konsentrasi membesarkan anak
dan bekerja. Tapi saya optimis saya bisa. Saya bersyukur papa dan mama serta kakak dan
adik serta uwo di Jakarta dan famili lain sangat mendukung… Saya merasa lebih baik.
Sekarang semua jadi jelas…”
22
4.4.2. Kasus IK dan IB: Campur Tangan Keluarga Perempuan atas
Perempuan.
Masa Perkenalan hingga Pernikahan. IK (31 tahun) berpindidikan S1, usia dua
tahun lebih tua dari IB, berasal dari keluarga berada. Ayahnya bekerja di Pemprov
Sumatera Barat dan pernah menjabat sebagai kapala dinas. Ibunya pun orang yang
berpendidikan, yaitu guru di sebuah SLTA, yang sengaja pensiun dini agar dapat mengurus
anak dan cucunya. Secara ekonomi IK tergolong cukup mampu. Sejak sebelum menikah
sudah bekerja, yaitu sebagai tenaga MLM pada sebuah produk herbal yang cukup ternama
di Kota Padang.
Adapun IB, tingal dan lahir di Padang Panjang meski berasal dari Pariaman. Orang
tua lama merantau ke Bukit Tinggi, sehingga kerap merasa lebih sebagai orang Bukit
Tinggi ketimbang orang Pariaman. Sebagaimana halnya IK, IB berasal dari keluarga
terpandang dan cukup mampu. Bapaknya mantan rektor di salah satu universitas negeri di
Sumatera Barat, sementara ibunya kini dekan di salah satu perguruan tinggi negeri. Lahir
sebagai anak ketiga dari lima bersaudara, IB yang menyukai seni sangat halus perasaannya.
Ia mengenal IK sebagai teman satu kampus dan telah menjalin hubungan beberapa tahun
selama mereka kuliah hingga akhirnya menikah.
Menikah dengan perayaan cukup mewah mengingat kedua orang tua pasangan
suami istrri ini merupakan pejabat terpandang, IK dan IB yang setelah menikah tinggal di
rumah ibunya semula merupakan pasangan yang cukup berbahagia. Masalah mulai muncul
karena IK tidak puas dengan keuangan IB yang dinilainya tidak memadai. IB yang seniman
menurut IK tidak bekerja maksimal, sehingga IB hanya bisa membawa pulang uang sedikit.
IK menilai IB malas dan tidak bertanggung-jawab, namun dalam perspektif IB dan
keluarga persoalan tidak seperti itu. Tentang tidak bekerja maksimal, IB yang bekerja
dibidang seni memang memiliki dinamika pekerjaan berbeda dengan pegawai kebanyakan.
Ia tidak beroleh uang setiap bulan secara rutin, akan tetapi tergantung pada pertunjukkan
yang diselenggarakan. Semenetara itu IB menilai IK tidak dapat memahami keinginannya
untuk berusaha, karena terlalu memilih-milih jenis pekerjaan. Ketika IB hendak membuka
toko misalnya, IK keberatan karena menilai tidak layak dengan kondisi ekonomi dirinya
dan keluarga.
Perbedaan pandang juga terjadi mengenai apa yang menjadi penyebab retaknya
rumah-tangga IK dan IB. Jika menurut IK karena IB malas dan kurang berusaha, keluarga
IB menilai persoalan karena IK kurang menghargai IB. IK dan IB yang tinggal di rumah
orang-tua IK paska menikah menurut keluarga IB kerap memperlakukan IB dengan tidak
baik. IB yang merupakan anak dari keluarga terpandang karenanya merasa terhina. Sebagai
contoh ketika kakak iparnya pulang bekerja, IB diberi tugas membuka dan menutup pintu
garasi. IB melalui lisan orang-tuanya menilai IB kurang mendapat pelayanan yang baik. Ia
diperlakukan sebagai orang yang tinggal menumpang dan bukan sebagai suami (tidak ada
keleluasaan mengambil lauk-pauk dan makan seolah dicatu). IK juga kerap bicara dengan
suara keras sementara IB yang sangat halus dan perasa tidak pernah diperlakukan seperti
itu di rumah orang tuanya. “Anak saya tidak dihargai dirumah isterinya. Kita harus
menyadari bahwa perempuan memang di bawah laki-laki kalau di Minang ini… akan
tetapi karena sekarang perempuan sudah merasa tinggi, laki-laki jadi kurang dihargai...”
Konflik antara IB dan IK relatifbersifat tidak terbuka. IB yang pendiam lebih
banyak memendam rasa. Ketika kesabarannya hilang, ia menghindar dengan memilih
pulang ke rumah orang-tuanya. Puncaknya ketika ia meninggalkan rumah isteri dan pergi
ke luar Padang. Saat itu IB sudah tidak lagi ingin meneruskan perkawinan karena merasa
sudah tidak lagi ada kecocokan. IB pergi dari rumah pada saat IK sedang hamil enam bulan
dan tidak lagi pernah ada kontak dengan IK hingga IK mengajukan gugatan cerai. IB bukan
tidak ingin memberi nafkah setelah ia pergi dari rumah, namun menurut keluarga IB, IK
23
selalu menampik pemberian IB karena merasa sudah cukup secara materi. IB menyimpan
uang yang sedianya diberikan kepada IK untuk biaya pengasuhan anaknya, dengan rencana
akan diberikannya kelak jika waktunya lebih kondusif.
Gugatan cerai. Gugatan cerai diajukan pada Februari 2015 dan sudah mendapat
SK putusan pada bulan Maret (kurang dari satu bulan). Sebagaimana diungkap ibu IB,
putusan terlalu cepat bahkan mereka tidak tahu bahwa putusan sidang sudah dikeluarkan
karena hanya sekali menerima panggilan sidang. Mereka masih menunggu-nunggu
pemanggilan berikutnya, bahkan ibu IB menunggu kesempatan untuk dapat bersaksi,
sementara putusan ternyata sudah keluar. Saat sidang pertama IB memang tidak datang
karena khawatir kemarahannya terbuka di forum selain karena bekerja dan tinggal di luar
kota. Namun ia tidak menduga bahwa itu menjadi panggilan sidang satu-satunya dalam
proses cerai gugat tersebut dan keputusan segera keluar. Selama proses cerai gugat, IK
ditemani ibu dan kakak laki-lakinya yang mendukung penuh keputusan IK dan yang
sekaligus menjadi saksi selama proses persidangan.
Paska Cerai Gugat. IK yang tinggal bersama ibu dan kakaknya yang juga sudah
menikah dan mempunyai anak, sebagaimana halnya EL, banyak terbantu dengan
keberadaan keluarga luas (ibu dan kakaknya) terutama dalam peran pengasuhan. Untuk
ekonomi IK juga banyak terbantu, selain ia juga mempunyai penghasilan tetap meski tidak
banyak. Respon masyarakat sekitar tempat IK tinggal tidak terlalu terlihat mengingat IK
tinggal di perumahan elit yang cenderung agak individualis. Selain itu keberadaan orangtua IK yang merupakan tokoh menyebabkan IK tidak terlihat memiliki beban dengan
keputusan cerai gugat yang dilakukan. Saat ditanya mengenai perasaan dirinya, IK
menjawab bahwa ia kini merasa lega karena sudah resmi dapat berpisah dari IB. IK sama
sekali tidak mengajukan tuntutan pembiayaan (nafkah) kepada IB paska bercerai, yang
menurut penuturan IK dilakukan agar proses dapat berlangsung cepat sebagaimana
diutarakan petugas PA. Karena hal itu dalam putusan cerai IB sama sekali tidak diwajibkan
memberi nafkah kepada IK, meski IK ditetapkan mendapatkan hak pengasuhan.
4.4.3. Kasus FAT dan FIK: Isteri dengan Pendidikan Rendah dan Usia Relatif
Muda
Proses Perkenalan hingga Pernikahan. Berbeda dengan EL dan IK yang
berpendidikan tinggi (sarjana), Fat hanya taman SLTA, itu pun setelah ia bersekolah di
enam sekolah, karena setiap tidak naik kelas pindah sekolah. Menikah pada usia 19 tahun,
Fat secara emosional tidak stabil (meledak-ledak). Saat diwawancarai Fat nampak masih
sangat geram terhadap mantan suaminya. Ketika nama FIK disebut, kemarahan Fat
langsung terlihat.
Fat merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Keluarga Fat dapat dikatakan
secara ekonomi kurang. Kakaknya sempat bekerja sebagai buruh di Jakarta, akan tetapi kini
menanggur dan tinggal bersama orang tuanya di Lubuk Minturun, yang letaknya agak di
pinggir Kota. Sedangkan orang tua Fat hanya buruh tani (ladang) dengan penghasilan
terbatas. Fat kini bekerja pada home industri didepan rumah, yaitu membantu pengerjaan
pengemasan penganan yang diproduksi home industri tersebut.
FIK berasal dari keluarga dengan status sosial rendah. Berasal dari keluarga besar
dengan jumlah saudara hingga dua belas orang, bapak dan ibu Fik yang bekerja sebagai
buruh tani (ladang) tidak mengecap pendidikan cukup. Bapak Fik yang sudah cukup
berusia bahkan tidak dapat mengingat nama anak-anaknya (apalagi urutan kelahiran anakanaknya), bicara dengan tutur kata yang agak kasar dan dengan suara keras, yang sekaligs
menunjukkan kemampuan intelektual dan status sosial ekonomi keluarga tersebut.
FIK menikah pada usia 24 tahun (saat bercerai usia 27 tahun) dan sudah
mempunyai pekerjaan cukup baik disebuah pabrik besar di Kota Padang pada saat menikah
24
dan masih bekerja disana hingga kini. Perkenalan Fat dan Fik difasilitasi oleh kerabat Fik,
yang kebetulan kenal baik dengan Fat. Perkenalan berlangsung setahun lebih, hingga
kemudian keduanya memutuskan meneruskan ke jenjang pernikahan. Mereka menikah
pada Februari 2011, dikaruniai satu anak yang lahir pada Juli 2012.
Setelah menikah, Fat dan Fik sebagaimana tradisi Minang, tinggal di rumah
perempuan (Fat). Pernikahan mereka awalnya penuh kebahagiaan. Akan tetapi karena Fat
suka membentak-bentak, berteriak, meraung-raung bahkan pernah berguling-guling
dipelataran saat marah; keributan demi keributan tak terhindarkan. Persoalan kecil menjadi
besar karena mendapat respon berlebihan dari Fat. Selain suka mengamuk, Fik
mengeluhkan Fat yang kerap datang ke kantor Fik dan mengamuk disana dan membuat Fik
malu. Adapun Fik menurut Fat berubah kasar setelah menikah karena terlibat perjudian.
Konflik memuncak ketika Fik meninggalkan rumah Fat dan membawa semua barangbarangnya, sebagai pertanda bahwa ia sudah tidak ingin meneruskan pernikahannya dengan
Fat. Fat yang tidak terima mendatangi Fik dan mengamuk di rumah Fik, meminta Fik
kembali ke rumah. Fik tidak menggubris. Kondisi bertambah parah karena bapak Fat juga
bereaksi keras, melabrak Fik sambil membawa parang. Fik tidak juga kembali hingga Fat
melahirkan, bahkan hingga anaknya sudah bisa berjalan. Sesekali Fik ada memberi nafkah
kepada Fat dan hal itu memicu kemarahan Fat dan mendorong Fat melabrak Fik ke kantor.
Proses Cerai Gugat. Karena Fik tidak kunjung kembali dan tidak memberi
nafkah, Fat atas masukan keluarga dan teman menggugat cerai Fik. Gugatan cerai diajukan
Fat pada bulan Mei 2013 dan keluar putusan pada Juni 2003. Sebagaimana halnya IK,
putusan gugatan cerai Fat sangat cepat, yaitu hanya sebulan setelah diajukan.
Meski di dalam SK cerai disebutkan bahwa Fik dihukum untuk membayar nafkah
setiap bulannya (sebesar lima ratus rupiah), nafkah tersebut tidak pernah diberikan kepada
Fat paska putusan cerai gugat keluar hingga kini. Keluarga Fik memang pernah memberi
uang saat anak Fat dan Fik berulang tahun, akan tetapi bersifat temporal. Fat dan keluarga
pun tidak terlalu paham haknya, karena mereka tidak mengerti bahwa Fik diwajibkan
memberi nafkah (di dalam SK disebutkan menghukum) untuk perawatan anak Fik dan Fat.
Paska Cerai Gugat. Paska cerai gugat Fat masih terlihat terguncang dan belum
dapat menerima. Kemarahan masih jelas terlihat pada wajah Fat yang bereaksi negatif
ketika nama Fik disebut atau ketika kasusnya ditanyakan kembali. Untuk pengasuhan Fat
mengandalkan dukungan keluarga, namun karena keluarga bukanlah orang yang mengerti
pendidikan anak, pengasuhan dilakukan seadanya tanpa pengetahuan yang memadai (oleh
ibunya yang sudah agak sepuh atau kakaknya yang belum menikah dan kini menganggur).
Fat terbantu dengan dukungan tugas pengasuhan dari keluarga besar, terlbeih lagi karena
Fat yang belum dapat berdamai dengan masalah yang dihadapinya cenderung tidak fokus
pada pengasuhan anaknya. Ia disibukkan dengan urusan dendamnya kepada mantan
suaminya.Lingkungan sekitar tempat tinggal Fat yang masih bernuansakan pedesaan
cenderung menilai perceraian sebagai aib. Karena itu respon negatif lingkungan masih
kerap diterima Fat selain karena karakter Fat yang temperamental. Meski demikian Fat
diuntungkan karena kini sudah mempunyai pekerjaan, sehingga perlahan-lahan dapat
mengalihkan kemarahannya pada hal lain yang lebih produktif (bekerja).
4.5. Analisis Kasus
4.5.1.Faktor Penyebab Istri Menggugat Cerai Suami.
Merujuk pada tiga kasus sebagaimana telah diuraikan, faktor penyebab istri
menggugat cerai yang utama karena adanya penelantaran oleh pihak suami (suami pergi
meninggalkan istri tanpa kabar dan tanpa memberikan nafkah). Perginya suami dari rumah
(untuk kasus EL istri diminta kembali ke rumah keluarganya namun tidak kunjung dijemput
pulang) bukan karena ketidak-mampuan ekonomi, akan tetapi sebagai isyarat bahwa pihak
25
suami sudah tidak lagi ingin meneruskan pernikahan, baik karena ketidak-cocokan
terhadap pribadi istri (Kasus Fat dan Fik serta IB dan IK) maupun sebagai akibat ikut
campurnya orang tua dan keluarga dalam pernikahan (kasus EL-OS). Temuan ini berbeda
dengan kebanyakan tstudi perceraian yang menempatkan faktor ekonomi selalu sebagai
penyebab dominan, yang sekaligus menunjukkan bekerjanya faktor-faktor non-materi pada
kasus-kasus tertentu.
Mengenai mengapa pihak istri menggugat cerai, hal itu bukan karena peningkatan
kemampuan ekonomi perempuan (independensi perempuan) dan juga bukan karena
kesadaran gender yang makin baik. Pada tiga kasus yang di dalami, bekerjanya perempuan
bukan menjadi penyebab perceraian, akan tetapi perempuan bekerja justru untuk
mempertahankan diri paska perceraian. Alasan cerai gugat lebih sebagai upaya perempuan
memperjelas status atau keberadaannya dalam pernikahan, mengingat dengan kondisi
status yang tidak jelas, perempuan berada pada kondisi yang lebih buruk dibandingkan jika
ia melakukan cerai gugat (rational choice theory). Adanya dukungan dari keluarga besar
dan penilaian masyarakat yang makin objektif teradap kasus perceraian, menyebabkan
kalkulasi atas tindakan cerai gugat dinilai lebih menguntungkan, dibandingkan dengan
kondisi tidak memiliki status yang jelas dalam pernikahan.
Mengenai adanya dukungan dari keluarga besar, hal itu sekaligus menunjukkan
masih eksisnya keluarga besar di Padang, meski terbatas pada ibu, bapak, serta kakak dan
adik, sementara peran ninik-mamak kalau pun ada tidak terlalu menonjol. Dukungan
diberikan keluarga besar dengan tujuan untuk mengeluarkan perempuan dari penderitaan
akibat pengabaian, yang secara konkrit disaksikan langsung oleh keluarga besar.
Yang menjadi pertanyaan, mengapa suami tidak menceraikan istri jika memang
sudah tidak lagi menginginkan dan membiarkan istri yang melakukan tindakan untuk
bercerai? Alasan keengganan pihak suami untuk mengeluarkan uang guna mengurus
perceraian serta tidak ingin repot, dapat diduga menjadi penyebab terjadinya pembiaran
meski pihak suami sudah tidak lagi ingin meneruskan perkawinan. Pada sisi lain, hal ini
menunjukkan semakin tidak bekerjanya kontrol sosial masyarakat, sehingga tindakan
pengabaian (tidak melaksanakan peran, tidak memenuhi kewajiban) terhadap istri dan
anak, dapat berlangsung lama tanpa ada respon apapun dari sekitar.
Dalam konteks masyarakat Minang, hal ini sekaligus menunjukkan sudah tidak
bekerjanya (tidak hidupnya) pranata sosial masyarakat setempat yang bersumber dari adat
istiadat dalam mencegah tindakan penyimpangan. Kontrol atas masyarakat melalui peran
ninik-mamak sebelumnya dalam kurun waktu cukup lama efektif mencegah berbagai
tindakan penyimpangan yang ada (hamil diluar nikah, berhubungan dengan bukan muhrim,
perjudian, dan lain-lain), yang pada akhirnya sekaligus menjaga keutuhan keluarga dan
kesucian lembaga pernikahan. Akan tetapi seiring dengan makin menurunnya peran ninikmamak (terutama peran ekonomi) baik karena tantangan internal pada diri ninik-mamak
yang harus berkonsentrasi memenuhi kebutuhan (termasuk kebutuhan ekonomi) diri dan
keluarga sehingga peran membimbing (dan menafkahi) anak kemenakan menjadi
terabaikan, ninik-mamak juga kehilangan saham untuk dapat melaksanakan peran yang
lebih besar (pengawasan, penasihatan). Karenanya dalam banyak kasus ninik-mamak
hanya menjadi stempel atas kebijakan yang diambil, dengan penguatan peran pada ayah
bahkan pada individu itu sendiri (makin individualis).
Meski upaya-upaya ke arah penguatan kembali bundo kanduang (ninik-mamak)
terus dilakukan, diantaranya dengan memunculkan kembali lembaga adat melalui
pembentukan institusi Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan Lembaga Kerapatan Adat
Minang (LKAM), akan tetapi kuatnya muatan politis pada kehadiran institusi ini (terutama
LKAM), menyebabkan efektifitasnya tidak terlalu dapat diandalkan. Untuk KAN, meski
dibeberapa Nagari mulai berperan, peran yang dilaksanakan baru sebatas pada pengurusan
26
tanah adat atau tanah pusaka dan belum masuk ke ranah pernikahan. Hal tersebut dapat
dimaklumi mengingat KAN baru dikembangkan ditingkat Nagari (Kecamatan), sementara
ditingkat jorong bahkan desa serta kaum, yang sangat mungkin berperan mengurus masalah
pernikahan (penanaman nilai-nilai tentang berkeluarga dan konsultasi pernikahan), belum
lagi terlihat. Ditingkat Nagari KAN juga mulai difungsikan sebagai BP4 (disebut dengan
BP4 Nagari), namun belum efektif untuk semua kecamatan.
Persoalan lain, mengapa pihak suami meninggalkan istri? Untuk kasus EL, faktor
campur tangan keluarga suami (ibu dan kakak perempuan), terutama dalam urusan
kebebasan pasangan suami istri tersebut untuk tinggal terpisah dari keluarga suami,
menjadi faktor utama. Hubungan antar anggota keluarga yang terlalu kuat (antara ibu dan
anak laki-lakinya serta antara kakak perempuan dengan adik laki-lakinya) menjadikan
pihak ibu dari suami EL serta kakak kandung OS tidak dapat (kurang dapat berempati akan
kebutuhan keluarga baru tersebut terutama kebutuhan pihak istri adiknya atau kebutuhan
menantunya). Hal tersebut menjadi semakin buruk ketika suami-istri tinggal terpisah (istri
kembali ke rumah orang tua) dan juga diperparah dengan ketidak-sabaran pihak suami
untuk menunggu konflik mereda serta sikap pro-aktif pihak suami untuk menyelesaikan
masalah. Kondisi menjadi makin sulit ketika dalam kondisi penuh konflik pihak suami
justru memutuskan untuk menikah lagi. Pada tahap ini (pengabaian pihak suami terhadap
istri dan anak yang dikandung serta keputusan suami menikah lagi sementara masalah
belum selesai), memantapkan pihak istri untuk mengajukan gugatan cerai.
Hal tersebut relatif mirip dengan kasus IK meski dengan bentuk agak berbeda. Jika
konflik dalam rumah tangga EL dipicu oleh dominasi keluarga suami atas diri suami, pada
kasus IK dominasi keluarga istri yang memunculkan sikap kurang penghargaan isteri
terhadap suami yang tinggal di rumahnya yang menjadi penyebab. Meski rumah IK yang
berasal dari keluarga cukup mampu memungkinkan pasangan suami istri tersebut tinggal
di rumah keluarga istri, namun jika pihak istri kurang dapat menunjukkan penghargaan
terhadap suami mengingat laki-laki Padang umumnya perlu diperlakukan khusus karena
kuatnya budaya patriarki. Terlebih lagi karena suami IK datang dari keluarga terpandang
dengan status sosial baik dan sekaligus pimpinan dari suatu kaum. Sikap yang tidak baik
(kurang menghargai) bukan hanya akan melukai perasaan suami, akan tetapi sekaligus
menimbulkan penolakan dari keluarga besar suami karena dinilai merendahkan keluarga
besar. Karenanya kemampuan perempuan untuk melakukan penyesuaian perangainya
terhadap kebiasaan yang hidup dimasyarakat, menjadi kebutuhan mutlak guna menjaga
keutuhan rumah-tangganya. Perbedaan karakter antara suami dan istri pada kasus IK dan
IB juga perlu dicermati, karena meskipun keduanya datang dari keluarga terpandang dan
dengan status pendidikan yang sama tingginya, akan tetapi penyesuaian masing-masing
pihak terhadap karakter personal pasangan, persoalan lain yang juga perlu menjadi
perhatian. Hal ini sekaligus memunculkan pertanyaan, mengingat pada ketiga pernikahan
yang kasusnya didalami, meski pernikahan diawali dengan perkenalan (berpacaran) bahkan
pada kasus IK-IB berpacaran setahun lebih, ternyata tidak membantu masing-masing pihak
untuk saling mengenal karakter pasangannya. Hal ini semakin menunjukkan bahwa proses
berpacaran yang kerap ditengarai sebagai tahapan saling mengenal, tidak selalu terjadi
karena masing-masing pihak masih harus beradaptasi dengan agak sulit setelah menikah.
Merujuk Levinger, hal-hal tersebut dapat menjadi faktor terjadinya pembusukan
atau pengrusakan dalam kehidupan pernikahan, yaitu ketika secara kalkulatif atas reward
(kesenangan) yang diperoleh dari pernikahan dinilai tidak sebanding dengan kesulitan
(aneka konflik) yang ditimbulkan. Yang tidak kalah penting, temuan penelitian juga
menunjukkan, pasangan suami-istri kini tidak lagi melihat pernikahan sebagai sesuatu yang
sacral sehingga harus dipertahankan dengan upaya maksimal (diperjuangkan eksistensinya
dengan sepenuh daya). Hal tersebut setidaknya terindikasi dari menurunnya daya tahan
27
keluarga dalam menghadapi masalah, yang kerap dengan mudah menjadikan perceraian
sebagai solusi atas masalah yang dihadapi. Peningkatan angka perceraian diduga
diantaranya terjadi karena hal ini, yaitu karena semakin rendahnya ketahanan keluarga,
terutama pada keluarga dengan usia pernikahan lima tahun atau kurang. Hal ini juga
membenarkan proposisi bahwa semakin lama pasangan menikah, semakin kecil
kemungkinan
terjadi
perceraian.
(http://freesociologybooks.com/sociology_Of_The_Family/12_Divorce_and_Separation.
php).
Proses perceraian yang makin mudah (dan murah), juga dapat diduga menjadi
faktor mengapa sebagian orang menjadikan perceraian sebagai pilihan solusi atas
permasalahan yang dihadapi, tanpa mempertimbangkan ekses negatif yang mungkin
menyertai (terhadap anak misalnya). Rendahnya pemahaman yang benar tentang keluarga
karena tidak berfungsinya sistem pembinaan masyarakat mengenai keluarga baik melalui
keluarga, sekolah, maupun komunitas (masyarakat), menyebabkan pernikahan atau
kehidupan berkeluarga termasuk perceraian kini dimaknai dalam arti berbeda (tidak lagi
seagai institusi sakral yang perlu dipertahankan).
4.5.2. Dampak Cerai Gugat pada Institusi Keluarga.
Pada kasus EL dan IK yang memiliki latar belakang pendidikan cukup baik (tamat
S1) dan mempunyai kesanggupan untuk bekerja menafkahi diri sendiri dan anak meski
dalam jumlah terbatas serta adanya dukungan keluarga pihak perempuan, dampak
perceraian bagi EL dan IK meski pun meninggalkan kesedihan dan kemarahan akan tetapi
tidak terlalu berdampak mengingat dampak ekonomi dapat diminimalisir. Terlebih lagi
karena ketika mereka masih menikah pun suami dan keluarga tidak memberikan nafkah
maksimal (istri masih terlibat dalam pembiayaan keuangan rumah-tangga). Pada kasus EL
bahkan uang pesangon miliknya habis digunakan untuk keperluan rumah-tangga. Hal
tersebut berbeda dengan kasus Fat yang berpendidikan SLTA dan tidak memiliki cukup
ketrampilan serta kondisi keuangan yang terbatas. Selain itu lingkungan sosial FAT yang
tinggal dipinggir kota (Lubuk Minturun), menyebabkan isu perceraian masih menjadi isu
sensitif. Ketidak-sediaan FAT untuk diwawancarai (menjawab tapi hanya terbatas) dan
ekspresi kemarahan FAT saat ditanyai, menjadi gambaran tentang hal tersebut. Begitu pula
ekspresi kemarahan keluarga suami FAT atas kedatangan peneliti. Kurangnya pendidikan
dan lingkungan sosial yang relatif agak tradisional, berpengaruh besar atas keberadaan
keluarga pasangan tersebut.
Masyarakat Minang umumnya, termasuk mereka yang tinggal di Kota Padang,
masih kuat menganut extended family (keluarga luas) dalam hal ini keluarga pihak istri.
Segera setelah menikah peran keluarga istri langsung dapat dirasakan, diantaranya dengan
keharusan pasangan yang baru menikah tinggal di rumah keluarga istri (umumnya mereka
baru meninggalkan rumah keluarga istri setelah mempunyai rumah sendiri). Tradisi ini
tampak jelas pada disain Istana Baso Pagaruyung yang menempatkan anak-anak mereka
yang sudah menikah masuk ke dalam rumah pusako (yang disebut pula sebagai Rumah
Bundo Kanduang, masing-masing mendapat satu kamar). Meski beberapa tradisi Minang
sudah mulai memudar, kembalinya anak perempuan ke rumah keluarga (orang tuanya)
masih kuat dipraktekkan di masyarakat Minang di Sumatera Barat, termasuk di Padang.
Karena itu pula peran pengasuhan anak umumnya tidak dilakukan sendirian, akan
tetapi bersama-sama dengan keluarga istri (ibu, kakak atau adik, bahkan ipar). Pada
pasangan yang belum mampu (belum memiliki rumah) tradisi ini sangat membantu, karena
dapat mengurangi beban ekonomi keluarga muda tersebut (tidak perlu mengeluarkan uang
untuk biaya mengontrak atau membeli rumah). Selain itu jika pasangan keluarga muda
tersebut bekerja, keterlibatan keluarga istri dalam pengasuhan membantu mereka untuk
28
jangka pendek karena tidak perlu mengeluarkan uang untuk upah pembantu. Begitu pula
ketika terjadi perceraian, peran pengasuhan tidak terlalu berat dirasakan pihak istri (ketika
mereka harus mengasuh anak setelah perceraian), karena orang tua dan kakak serta adikadik bahkan ipar ikut terlibat membantu.
Apa yang terjadi pada IK, EL, dan FAT, ketiganya menunjukkan fenomena
keterlibatan keluarga besar dalam pengasuhan anak. Pihak perempuan yang bercerai dapat
mencari nafkah dengan lebih leluasa karena peran pengasuhan dilakukan oleh keluarga
besar sementara ia bekerja. Bukan hanya dalam pengasuhan, kebutuhan ekonomi pihak
perempuan yang bercerai juga ditanggung bersama oleh keluarga perempuan tersebut,
meski kini sudah tidak lagi melibatkan ninik-mamak sebagaimana adat Minang. Back-up
penuh keluarga dalam pengasuhan dan pemenuhan kebutuhan ekonomi ini sedikit banyak
memberikan kontribusi bagi perempuan yang rumah-tangganya bermasalah dalam
mengambil keputusan untuk bercerai (menggugat cerai), meski pihak keluarga (pada ketiga
kasus) tidak mendorong dilakukannya perceraian. Peran keluarga besar ini pun sangat
membantu dalam mengurangi ekses negatif yang muncul pada keluarga, terutama pada
peran pengasuhan dan ekonomi.
4.5.3. Respon Struktur Sosial atas Cerai Gugat.
Respon struktur sosial terhadap cerai gugat relatif berubah ke arah yang makin
objektif. Stigma negatif mengenai perceraian terutama untuk konteks kota, mulai
berkurang. Masyarakat mulai melihat perceraian kasus per-kasus dalam memberi penilaian.
Dari tiga kasus yang diteliti, dua kasus menunjukkan hal tersebut. Masyarakat kota yang
makin kritis tidak lagi dengan serta merta memberi penilaian negatif terhadap tindakan
perceraian, akan tetapi mencoba memahami lebih dalam sebelum memberikan penilaian.
Hal tersebut berbeda pada masyarakat pinggiran dan tentu desa, yang masih cenderung
merespon negatif kasus-kasus perceraian yang terjadi.
Hal yang perlu dicermati terkait dengan peran PA sebagai institusi yang melakukan
eksekusi atas permohonan perceraian. Tidak adanya kordinasi antara lembaga yang
mengurus pernikahan (KUA), lembaga penasihatan pernikahan (BP4), dan lembaga yang
mengeksekusi perceraian (PA); menyebabkan kehidupan berkeluarga dilihat sebagai
sekuel yang terpisah: pernikahan satu hal, penyelesaian masalah satu hal, dan perceraian
merupakan hal yang lain. Bukan hanya dilihat terpisah, akan tetapi terdapat perbedaan
penanganan dan pendekatan. PA sebagai lembaga eksekusi pernikahan misalnya cenderung
melihat perceraian secara administratif dan juridis semata. Karena hal itu kasus-kasus
perceraian (dalam hal ini cerai gugat) dapat diselesaikan dalam waktu sangat singkat, tanpa
upaya-upaya maksimal untuk menjaga sakralisasi (keutuhan) pernikahan. Upaya untuk
menghadirkan pihak tergugat pada kasus cerai gugat misalnya terlihat sangat lemah (pasif),
padahal dengan ketidak-hadiran pihak tergugat mediasi tidak dapat dilakukan. Selain itu
hak-hak perempuan untuk mendapatkan nafkah paska perceraian (terutama jika membawa
anak) belum mendapat perlindungan, mengingat banyaknya putusan cerai gugat yang tidak
mewajibkan suami untuk memberi nafkah untuk anak yang dibawa istri. Pendekatan
administratif lagi-lagi menjadi prioritas (supaya kasus cepat selesai), yang menghilangkan
makna substantif yang sedianya juga diperhatikan (menjaga generasi atau anak dari ekses
negatif perceraian). Keputusan cerai gugat yang menetapkan mantan suami untuk memberi
nafkahpun ada kecenderungan dibiarkan tidak dilaksanakan, dengan tidak adanya
mekanisme pelaksanaan putusan.
5. KESIMPULAN
Cerai gugat di Kota Padang, pada kasus yang diteliti, terjadi lebih sebagai upaya
perempuan memperjelas status pernikahannya setelah mengalami pengabaian oleh pihak
29
suami dalam kurun waktu cukup lama, yaitu sejak mengandung hingga anak lahir (kasus
EL), bahkan hingga anak sudah dapat berlari (Fat). Yang menarik, pengabaian terjadi tidak
selalu karena faktor ekonomi (untuk kasus pada pasangan terdidik dan ekonomi menengah
ke atas), akan tetapi lebih sebagai simbol bahwa pihak suami sudah tidak lagi ingin
meneruskan pernikahan (tradisi Minang). Keengganan suami untuk meneruskan
pernikahan dipicu oleh pertengkaran yang terus menerus terjadi, yang tidak selalu
bersumber dari problem pada suami istri tersebut, akan tetapi juga karena adanya campur
tangan atau dominasi keluarga istri atas istri yang berlebihan maupun karena campur tangan
atau dominasi keluarga suami atas suami yang berlebihan pula. Pada kasus lain,
keengganan muncul karena tidak tahan atas sifat istri yang temperamental, yang terjadi
pada kasus istri dengan usia relatif muda dan dengan pendidikan cenderung rendah.
Terkait hal itu, terdapat temuan bahwa ketahanan keluarga pada pasangan muda
yang ada di Kota Padang mulai melemah, dengan adanya kecenderungan pasangan suami
istri mudah “menyerah” atas masalah yang dihadapi (endurens cenderung rendah) dan
dengan cepat menjadikan perceraian sebagai solusi. Selain itu kurangnya pemahanan
tentang keluarga diduga menjadi penyebab mengapa lembaga pernikahan tidak lagi
dianggap sebagai lembaga yang sakral dan perlu dijaga keberlangsungannya, yang juga
dipengaruhi oleh berbagai informasi mengenai banyaknya perceraian terjadi disekitar
mereka serta kasus-kasus seperti hamil sebelum nikah. Tidak tersedianya mekanisme
penanaman nilai-nilai mengenai keluarga yang lebih terstruktur, sistematis dan intensif
baik ditingkat keluarga, sekolah, maupun dimasyarakat, menyebabkan terjadi perubahan
pemaknaan atas pernikahan bahkan perceraian.
6. DAFTAR PUSTAKA
Fachrina & Aziwarti, 2006, Perubahan Nilai-Nilai Perceraian di kalangan Wanita
Bercerai (Studi terhadap istri yang cerai gugat dalam masyarakat Minangkabau
kontemporer). Laporan Penelitian Dosen Muda DIKTI. Jakarta.
Fachrina, 2005, Pandangan Masyarakat terhadap Perceraian, Studi kasus cerai gugat
dalam Masyarakat Minangkabau kontemporer. Laporan Penelitian Forum HEDS.
Jakarta.
Karim, Erna. 1999. Pendekatan Perceraian dari Perspektif Sosiologi. Dalam Ihromi,
Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Levinger, G. (1976) A social psychological perspective on marital dissolution, Journal of
Social Issues.
Levinger, George dan Moles, Oliver C., 1979. Divorce and Separation: Context, Causes,
and Consequences, The Society for the Psychological Study of Social Issues, the
United States of America
Rodliyah, Nunung. 2011. Perceraian Pasangan Muslim Berpendidikan Tinggi, Studi Kasus
di Kota Bandar Lampung, Yogyakarta, UIN Sunan Kalijaga. Disertasi, tidak
diterbitkan.
Saleh, K. Wantjik. 1982. Hukum Perkawinan Islam Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Sun Choirul Ummah, 2010. Kasus Cerai Gugat Suami Istri Berpendidikan Tinggi di
Kecamatan Sleman, Yogyakartta tahun 2007-2009, Yogyakarta: Pascasarja, UIN
Sunan Kalijaga. Tesis tidak diterbitkan.
http://freesociologybooks.com/Sociology_Of_The_Family/12_Divorce_and_Separation.p
hp
http://www.fathurrizqi.com/2014/06/catatan-kecil-dibalik-tingginya-angka.html.
https://aifs.gov.au/publications/family-matters/issue-95/trends-family-transitions-formsand-functioning
30
31
PEREMPUAN MENGGUGAT: FENOMENA PERCERAIAN
MASYARAKAT MUSLIM DI INDONESIA
Kustini
Peneliti Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Email: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini difokuskan pada tiga hal: alasan istri mengajukan cerai gugat, dampak cerai
gugat, serta respon struktur sosial terhadap fenomena cerai gugat. Penelitian dilakukan
melalui pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data wawancara, studi
dokumen, dan observasi. Lokasi penelitian Aceh, Padang, Cilegon, Indramayu,
Pekalongan, Banyuwangi dan Ambon. Hasil penelitian menunjukkan bahwa banyak alasan
istri menggugat cerai antara lain pergeseran budaya yang semakin terbuka terutama
media social, makna dan nilai perkawinan sudah semakin hilang sehingga terjadi
pengabaian dan penelantaran serta nirtanggung jawab dari pihak laki-laki, rendahnya
pemahaman agama, koordinasi dan komunikasi antarinstansi tidak berjalan, sehingga
mengesankan masalah perkawinan dan perceraian sebagai dua hal yang berbeda. Ada
banyak dampak negatif dari cerai gugat terhadap kehidupan keluarga dan anak, tetapi
dalam batas tertentu memberi dampak posisif bagi perempuan karena memiliki status yang
jelas serta tidak terbebani untuk melakukan kewajiban sebagai istri. Struktur sosial belum
secara maksimal memiliki sistem untuk memperkuat tali perkawinan dan ketahanan
keluarga sehingga perceraian menjadi lebih mudah terjadi. Rekomendasi penelitian
antara lain agar Kementerian Agama bersinergi dengan instansi lain serta lembaga
keagamaan untuk melestarikan perkawinan dan mencegah terjadinya perceraian.
Kata Kunci: Cerai Gugat, Perempuan, Perkawinan, Kementerian Agama, BP4.
Abstract
This qualitative research focused on three things: the reason of wife-initiated divorce, the
impact of wife-initiated divorce, and the social structure response to its phenomenon.
Research conducted by using data collection, interviews, documents study, and
observation. It was conducted in Aceh, Padang, Cilegon, Indramayu, Pekalongan,
Banyuwangi and Ambon. The results showed that the reasons why wife sued for divorce
are: a cultural shift was getting more open especially social media, marriage meaning and
values were getting lost due to neglected wife and husband`s irresponsibility, the lack of
religious understanding, stagnancy of interagency`s coordination and communication.
Those reasons due to the problem of marriage and divorce as two different things. There
were many negative effects of wife-initiated divorce to the lives of families and childrens,
even it gave a positive impact to women because her status is getting clear and she doesnt
need to perform her duties as a wife. The social structure did not have yet a system for
strengthening the marital relationship and family resilience so it was due to divorce
becomes easier to happen. Thus, research recommendations are: The Ministry of Religious
Affair should work synergycally with other institutions and religious institutions to
preserve marriages and prevent divorce.
Keywords: Wife-Initiated Divorce, Women, Marriage, Ministry of Religious Affairs, BP4
(Marriage Counseling, Guidance
32
1.
PENDAHULUAN
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan ialah ikatan
lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkn ketuhanan Yang
Maha Esa. Tujuan perkawinan sebagaimana tertulis dalam UU tersebut sejalan dengan
istilah al-Qur’an yang menyebut perkawinan sebagai mitsaqanghalizhan (perjanjian
kokoh) (Anshor, 2012) untuk membangun keluarga yang disebut sakinah, mawaddah wa
rahmah Sebuah keluarga dikatakan bahagia atau harmonis ketika seluruh anggota keluarga
merasa tenang dan tentram, tidak ada kekerasan, kebutuhan, hak dan kewajiban seluruh
anggota keluarga terpenuhi dengan baik (Rofiah, 2012).
Mempersiapkan kehidupan perkawinan untuk menjadi keluarga yang bahagia tidak
hanya menjadi tugas dari calon pasangan. Lebih dari itu, pemerintah maupun lembagalembaga agama memiliki kewajiban untuk menyiapkan umatnya memasuki gerbang
perkawinan dengan bekal yang cukup. Lembaga lembaga agama di Indonesia memiliki
sistem masing-masing untuk membimbing umatnya memasuki gerbang perkawinan. Bagi
komunitas Katolik, dikenal Kursus Persiapan Perkawinan (Hardana, 2013; Komisi
Keluarga KWI, 2015). Sementara di kalangan komunitas muslim, program persiapan
perkawinan dilaksanakan melalui Kursus Calon Pengantin. Melalui program-program
tersebut, maka diharapkan pasangan akan mencapai kehidupan yang bahagia, sakinah,
sukinah, atau keluarga sejahtera (Kustini, 2011; Rofiah, 2013)
Meski perkawinan dilakukan dengan tujuan yang sangat mulia, dalam kenyataan,
banyak pasangan yang harus mengakhiri perkawinan melalui perceraian. Berbeda dengan
ajaran Katolik yang tidak memiliki ciri-ciri perkawinan “tak terceraikan” (Hardana, 2013),
ajaran agama Islam memberi jalan keluar bagi umatnya yang tidak lagi mampu
mempertahankan perkawinan melalui perceraian. Satu hal yang perlu dicatat terkait
perceraian di komunitas muslim di Indonesia adalah bawa angka cerai gugat hampir selalu
lebh tinggi dibanding cerai talak. Kecenderungan tingginya angka cerai gugat terjadi di
tingkat nasional dan di tingkat daerah (kabupatn/kota). Pada tahun 2010-2014, dari sekitar
dua juta pasangan menikah, pasangan yang melakukan perceraian di pengadilan agama
jumlahnya mencapai sekitar tiga ratus ribu lebih atau sekitar 15% lebih.
Angka Perceraian (2010 -2014)
361,816
251,208
2010
276,792
2011
382,231
304,395
2012
2013
2014
Gambar 1: Jumlah Perceraian yang diputus Pengadilan Tinggi Agama se-Indonesia
(Sumber: Badan Peradilan Agama MA RI, 2014)
33
Perceraian tersebut dilakukan oleh suami maupun istri dengan berbagai alasan.
Dari data perceraian yang ada di Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung
(MA) RI, alasan tidak lagi ada keharmonisan menjadi angka terbesar. Kemudian alasan
tidak ada tanggung jawab, alasan ekonomi, dan gangguan pihak ketiga. Data penyebab
perceraian tahun 2013, adalah: a. tidak ada keharmonisan 97.615 kasus, b. tidak ada
tanggung jawab 81.266 kasus, c. ekonomi 74.559 kasus, d. gangguan pihak ketiga 25.310
kasus, dan e. cemburu 9.338 kasus (Data dari Badilag MA-RI, 2014). Dari data Badilag
MA tersebut, yang menarik adalah ternyata angka cerai gugat atau gugatan cerai yang
diajukan pihak istri mengalami tren naik dan lebih besar dibanding cerai talak.
Perbandingan Cerai Talak & Cerai Gugat
268,381
250,360
191,013
212,595
Cerai Talak
Cerai Gugat
169,673
81,535
2010
85,779
2011
91,800
2012
111,456
113,850
2013
2014
Gambar 2: Tren dan Perbandingan Cerai Talak dan Cerai Gugat
(Sumber: Badan Peradilan Agama MA RI 2014)
Jika dibandingkan data cerai gugat dengan cerai talak di tahun 2014, jumlah cerai
gugat lebih tinggi dibanding cerai talak, perbandingannya mencapai 70 : 30. Tingginya
angka perceraian dan khususnya cerai gugat di masyarakat tentu perlu disikapi oleh pihakpihak yang selama ini memiliki tugas dan tanggung jawab dalam pembinaan perkawinan,
khususnya Kementerian Agama.
Naiknya angka perceraian di satu sisi dan dominasi cerai gugat atas cerai talak yang
terus terjadi di sisi lain, perlu menjadi perhatian serius, terutama setelah terjadi perubahan
kebijakan yang sangat signifikan terkait dengan lembaga yang menangani perceraian.
Semula Kementerian Agama mempunyai wewenang yang menyeluruh terkait perkawinan,
mulai dari pengesahan perkawinan masyarakat Muslim melalui Kantor Urusan Agama
(KUA), pembinaan keluarga sakinah melalui Badan Penasehatan, Pembinaan, dan
Pelestarian Perkawinan (BP4), hingga pengesahan perceraian melalui Pengadilan Agama.
Namun sejak tahun 2004, Pengadilan Agama telah dipindahkan ke Mahkamah Agung RI
dan sejak tahun 2009 BP4 tidak lagi berada di dalam struktur Kementerian Agama. Dengan
demikian wewenang Kementerian Agama terkait perkawinan tinggal pengesahannya saja.
Fenomena tingginya angka cerai gugat menjadi hal yang menarik untuk diteliti.
Penting diketahui mengapa tren cerai gugat di masyarakat semakin menunjukkan angka
yang meningkat, faktor-faktor apa yang melatarbelakangi munculnya tren tersebut, apa saja
alasan-alasan dari istri sehingga mereka memutuskan melakukan cerai gugat, bagaimana
peran keluarga dan kerabat dekat dan struktur sosial yang ada, dan bagaimana proses cerai
gugat itu berlangsung. Hasil kajian tersebut merupakan informasi yang sangat penting
untuk menjadi masukan bagi Kementerian Agama dalam menetapkan kebijakan terkait
34
penasehatan pra nikah maupun pembinaan perkawinan secara umum. Mengingat
terbatasnya kewenangan Kementerian Agama dalam memediasi perceraian, maka
dibutuhkan revitalisasi dan strategi khusus dalam menjalankan perannya sebagai lembaga
yang melakukan penasehatan dan pembinaan perkawinan.
Dari pemaparan dalam latar belakang di atas, terdapat beberapa permasalah
penelitian yaitu: (1) Apa saja alasan-alasan dari istri sehingga memutuskan melakukan
cerai gugat? (2) Apakah dampak-dampak dari cerai gugat yang dialami keluarga pasangan
tersebut? (3) Bagaimana struktur sosial merespon terjadinya cerai gugat?
Ada tiga tujuan dalam pnelitian ii yaitu: (1). Mengidentifikasi alasan-alasan dari
pihak istri sehingga memutuskan melakukan cerai gugat. (2) Mendeskripsikan dampakdampak dari cerai gugat yang dialami keluarga pasangan tersebut. (3) Mendeskripsikan
respon struktur sosial dalam peristiwa cerai gugat.
Penelitian terkait fenomena cerai gugat ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi
Kementerian Agama, Pengadilan Agama maupun Kementerian Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak dalam menetapkan kebijakan terkait penasehatan maupun
pembinaan perkawinan. Di samping itu, lembaga lain seperti BP4 atau lembaga swadaya
masyarakat yang memiliki perhatian terhadap program penasihatan atau bimbingan
perkawinan diharapkan dapat mengambil manfaat dari hasil penelitian ini untuk
menetapkan program-programnya.
2.TINJAUAN PUSTAKA
Perceraian dalam Peraturan Perundangan
Dalam UU No 1 Tahun 1974 Pasal 38 disebutkan salah satu penyebab terputusnya
perkawinan adalah perceraian. Dengan demikian, perceraian diakui dalam hukum
peraturan perundangan. Terkait tata cara perceraian telah diatur dalam UU tersebut yaitu
Pasal 39 bahwa: (1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah
pihak. (2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu
tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri. (3) Tata cara perceraian di depan sidang
Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersebut. Terkait teknis pengajuan
pengajuan perceraian dijelaskan secara lebih rinci pada Pasal 40 yaitu: (1) Gugatan
perceraian diajukan kepada Pengadilan. (2) Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada
ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Dalam hukum Islam, telah dijelaskan bahwa perceraian disebut talak, hak talak
pada dasarnya hanya dimiliki suami, sehingga hanya suami yang mengendalikan talak
tersebut, seorang istri tidak memiliki hak untuk talak. Namun demikian dalam Islam juga
terdapat kasus khulu’, dimana perempuan bisa mengajukan gugat perceraian karena alasan
tertentu. Dalam rangka melindungi hak-hak istri dari adanya unsur-unsur yang tidak
dikehendaki dalam suatu perkawinan, terutama adanya kekerasan dalam rumah tangga,
baik fisik maupun psikis, maka dalam hukum perkawinan di Indonesia, dikenal adanya
cerai yang diajukan oleh pisak istri ke pengadilan agama yang dikenal dengan istilah cerai
gugat.
Dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 20 disebutkan
bahwa gugat perceraian diajukan oleh suami atau istri atau kuasanya kepada Pengadilan
yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. Sementara alasan-alasan
perceraian disebutkan oleh UU tersebut dalam Pasal 19, yaitu a) salah satu pihak berbuat
zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar
disembuhkan. b) salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut
tanpa ijin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya. c) salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
35
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d) salah satu pihak melakukan
kekejaman atau penganiyayaan berat yang membahayakan pihak lain. e) salah satu pihak
mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban
sebagai suami/istri. f) antara suami dan istri terus menerus-menerus terjadi perselisihan
dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Dengan demikian, berdasarkan peraturan dan perundangan yang ada, perceraian di
samping dapat dilakukan oleh suami (cerai talak) juga dapat dilakukan oleh istri (cerai
gugat). Di samping tercantum dalam UU tersebut, gugat cerai juga terdapat dalam KHI
Pasal 114, yang selengkapnya berbunyi “Putusnya perkawinan yang disebabkan karena
perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian”. Selanjutnya
dalam Pasal 116 huruf g Kompilasi Hukum Islam dijelaskan, “Perceraian dapat terjadi
karena alasan suami melanggar ta’lik talak dan tidak sedikit pula yang putus karena putusan
pengadilan, diantaranya ialah gugat cerai dengan alasan pelanggaran ta’lik talak.” Dengan
adanya hak untuk mengajukan gugatan itu apabila seorang istri ingin bercerai dengan
suaminya, tentu saja didasarkan pada alasan-alasan yang dibenarkan oleh hukum, maka ia
dapat mengajukan perceraian ke Pengadilan Agama. Perceraian yang diajukan oleh istri ke
pengadilan inilah selanjutnya disebut sebagai curia gugat.
Kajian Terdahulu
Tahun 2001 Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama RI
melakukan penelitian di beberapa daerah terkait perceraian. Karim (2002) yang melakukan
penelitian di Cilacap mengungkapkan data bahwa selama tahun 1996-2000 jumlah kasus
cerai gugat jauh lebih banyak dibanding kasus cerai talak, berkisar antara 60 % sampai
82%. Penelitian ini juga menemukan fakta bahwa masih banyak tokoh agama yang
berpandangan bahwa proses perceraian tidak perlu melalui Pengadilan Agama, tetapi dapat
dilakukan dimanapun ketika suami menghendaki.
Fenomena perceraian tidak melalui Pengadilan Agama juga ditemukan pada
penelitian Kustini di Sukabumi (2000). Rumitnya struktur keluarga, akibat kepergian istri
menjadi buruh migran, atau ketidaksiapan suami ditinggal istri, menjadi salah satu
penyebab perkawinan maupun perceraian dilakukan secara tidak tercatat. Penelitian lain
menyimpulkan bahwa untuk menghindari terjadinya perceraian, suami istri harus dibekali
dengan pengetahuan yang cukup melalui program kursus calon pengantin (Kustini, 2011).
Faktor penyebab terjadinya peceraian juga ditemukan pada penelitian Nur Rofiah dan
Kustini (2013). Pernikahan usia muda karena keluarga ingin terbebas dari beban ekonomi
untuk merawat anak perempuan, menjadikan pernikahan rentan berakhir dengan perceraian
yang akhirnya justru menambah beban ekonomi keluarga perempuan.
Definisi cerai gugat, meskipun sering dikaitkan dengan khulu’, sebetulnya
mempunyai perbedaan yang cukup signifikan. Salah satu definisi menyebutkan bahwa
cerai gugat adalah ikatan perkawinan yang putus sebagai akibat permohonan yang diajukan
oleh istri ke Pengadilan Agama, yang kemudian termohon (suami) menyetujuinya,
sehingga pengadilan agama mengabulkan permohonan dimaksud (Ali: 2009). Definisi ini
tidak mengandung arti bahwa putusan cerai gugat berada di tangan suami, karena hakim
mempunyai wewenang untuk menjatuhkan putusan verstek yaitu putusan yang
dijatuhkan apabila tergugat tidak hadir atau tidak juga mewakilkan kepada kuasanya untuk
menghadap meskipun ia sudah dipanggil dengan patut. Apabila tergugat tidak mengajukan
upaya hukum verzet (perlawanan) terhadap putusan verstek itu, maka putusan tersebut
dianggap sebagai putusan yang berkekuatan hukum tetap (Sidang Perceraian, 2015).
Definisi cerai gugat yang lebih memadai dikemukakan oleh Ahrum Hoerudin, yaitu suatu
gugatan yang diajukan oleh penggugat (pihak istri) kepada Pengadilan Agama, agar tali
perkawinan dirinya dengan suaminya diputuskan melalui suatu putusan Pengadilan
36
Agama, sesuai dengan aturan hukum yang berlaku (Hoerudin, 1999). Kedua definisi di atas
sama-sama tidak menyebutkan soal tebusan yang dibayarkan oleh istri sebagaimana
berkembang dalam definisi khulu’.
Istilah cerai gugat sendiri mengalami perubahan. Kompilasi Hukum Islam (KHI)
menggunakan istilah gugatan perceraian sebagaimana termaktub dalam Pasal 114:
putusnya perkawinan disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau gugatan
perceraian(Fokusmedia, 2005). Demikian pula Pasal 132 KHI menjelaskan tentang gugatan
perceraian sebagai berikut: Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada
Pengadilan Agama yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali
istri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa seizin suami. Adapun istilah cerai
gugat muncul didasarkan pada Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama yang menggunakan istilah cerai talak untuk permohonan talak dan cerai gugat
untuk gugatan perceraian(Harahap, 2003).
3.METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2015 di 8 kabupaten/kota yaitu Aceh,
Padang, Cilegon, Indramayu, Pekalongan, Banyuwangi, dan Ambon. Dalam laporan
Badilag MA (2014) terdapat daerah-daerah yang merupakan daerah yang memiliki angka
tertinggi dalam kasus cerai gugat yaitu: Jawa Timur (63.406 kasus), Jawa Tengah (54.786
kasus), Jawa Barat (51.731 kasus), Selawesi Selatan (10.003 kasus), DKI Jakarta (8.426
kasus), Sumatera Utara (7.920 kasus), Riau (7.399 kasus), dan Banten (6.582 kasus). Lokus
penelitian ini adalah 8 daerah, yaitu terdiri dari 4 daerah yang merupakan daerah tertinggi
angka perceraiannya berdasarkan data yang dikeluarkan Badilag MA di tahun 2014 di atas,
yaitu: Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan. Di samping 4 daerah
itu, ada 3 daerah lain yang ingin dikaji karena memiliki aspek budaya yang khas yaitu:
Sumatera Utara (patrilineal), Sumatera Barat (matrilineal) dan Maluku (Indonesia Timur).
Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan strategi studi kasus
digunakan dengan pertimbangan peneliti dapat mengembangkan deskripsi dan analisa
mendalam dari beberapa kasus terkait dengan kasus cerai gugat.Peneliti menggunakan
strategi studi kasus untuk mempelajari kasus-kasus yang terikat waktu dan tempat
(Creswell, 2007). Sebagai informan utama, di setiap wilayah dipilih tiga orang perempuan
yang mengalami cerai gugat dengan kriteria usia perceraian paling lama adalah tiga tahun
terakhir, serta usia perkawinan ketika itu paling lama adalah lima tahun. Pada usia
perkawinan itulah pasangan banyak melakukan perceraian (Eshleman, 2003) Teknik
pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam dengan tiga narasumber
utama, yang dilengkapi wawancara dengan kerabat atau tetangga mereka, dengan tokoh
masyarakat sebanyak dua orang yaitu satu laki-laki dan satu perempuan, dengan pimpinan
lembaga yang menjadi stake holder perkawinan yaitu pejabat Kementerian Agama di kota
maupun kecamatan; pejabat di Pengadilan Agama, dan Ketua BP4.
4.TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan tiga pertanyaan penelitian tersebut, maka bisa dipaparkan secara
singkat hasil penelitian sebagai berikut:
Alasan Istri Menggugat Cerai
Tidak mudah untuk menemukan alasan utama dan komprehensif untuk
menjelaskan secara singkat mengapa isteri mengajukan cerai. Data penyebab perceraian
di Pengadilan Agama sudah terpilah menjadi 14 faktor dan satu faktor lain-lain. Namun
jika diteliti lebih lanjut, ternyata penyebab perceraian tidak bisa hanya dikategorikan
menjadi satu faktor. Misalnya tidak ada keharmonisan sebagai salah satu faktor dominan
37
penyebab perceraian yang tercatat di Pengadilan Agamaian . Jika dikaji lebih lanjut, faktor
lain penyebab perceraian seperti cemburu, tidak ada tanggung jawab atau gangguan pihak
ketiga merupakan bentuk ketidakharmonisan. Karena itu, identifikasi penyebab perceraian
tidak semudah sebagaimana kategori yang telah ditetapkan Pengadilan Agama.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa alasan istri menggugat cerai suami ternyata
tidak sederhana, bahkan sangat kompleks. Alasan itu juga tidak selalu menggunakan istilah
hukum, seperti yang digunakan di Pengadilan Agama. Bahkan banyak di antara mereka,
terutama dari kalangan tidak terdidik tidak mengerti istilah-istilah tersebut, yang penting
bercerai, lepas bebas dari beban kehidupan. Alasan yang penting untuk ditelusuri lebih
dalam.
Meskipun secara nasional, sebagaimana telah dijelaskan di atas, hampir semua daerah yang
diteliti juga memperlihatkan hasil yang sama, yaitu faktor tidak ada harmonis, tidak ada
tanggung jawab dan ekonomi menjadi penyebab utama perceraian. Namun penelitian ini
berhasil menggambarkan alasan-alasan lain di luar mainstream yang perlu mendapat
perhatian serius. Berikut hasil temuannya.
a. Aceh
Cerai gugat lebih banyak disebabkan faktor perubahan dan pergeseran budaya, dan
perkembangan teknologi, khususnya telepon genggam dan media sosial. Selain itu,
intervensi orang tua dapat memperburuk kerentanan masa perkawinan awal karena
otonomi pasangan suami istri dalam menjalani mahligai rumah tangganya tidak
sepenuhnya ditangan mereka berdua. Relasi laki-laki dengan mertua yang tidak
setara karena adanya dukungan ekonomi dan tempat tinggal dari pihak mertua
kerapkali memosisikan laki-laki dalam situasi sulit. Kondisi ini membuat laki-laki
berada di antara otoritas dirinya dalam mengelola rumah tangganya dengan
kepatuhannya sebagai pihak yang mendapat penghidupan dari mertuanya.
b. Padang
Penyebab utama cerai gugat di Kota Padang adalah penelantaran oleh pihak suami,
suami pergi tanpa kabar dan tanpa membeikan nafkah. Dalam hal ini bukan berarti
suami tidak mampu secara ekonomi tetapi lebih sebagai simbol bahwa pihak suami
sudah tidak lagi ingin meneruskan pernikahan (tradisi Minang yang kaya dengan
simbolisasi). Keengganan suami untuk meneruskan pernikahan dipicu oleh
pertengkaran yang terus menerus terjadi, yang tidak selalu bersumber dari problem
pada suami istri tersebut, akan tetapi juga karena adanya campur tangan atau
dominasi keluarga istri atas istri yang berlebihan maupun karena campur tangan
atau dominasi keluarga suami atas suami yang berlebihan pula. Pada kasus lain,
keengganan muncul karena tidak tahan atas sifat istri yang temperamental terutama
pada kasus istri dengan usia relatif masih muda dan dengan pendidikan cenderung
rendah. Kasus lain menunjukkan bahwa istri menggugat cerai bukan karena
peningkatan kemampuan ekonomi
c. Cilegon
Cerai gugat di Cilegon juga disebabkan oleh nusyus (durhaka), baik suami, maupun
istri. Penyebab lainnya, pada kasus suami yang diteliti kebanyakan tidak pandai
mengambil i’tibar dari latar belakang kehidupan istri sebelumnya, suami berwatak
kikir dalam pemberian nafkah, keluarga suami terlalu banyak mencampuri urusan
anak yang sudah berumah tangga, ketergantungan suami kepada orangtuanya,
adanya salah pengertian, salah sangka di antara suami istri, adanya kemerosotan
akhlak, gagal dalam berkomunikasi dengan pasangannya, dan tidak ada yang mau
mengalah
d. Indramayu
38
Terjadinya cerai gugat di Indramayu lebih disebabkan beratnya permasalahan yang
dihadapi istri. Sejauh istri merasa bisa mengatasi, umumnya istri akan berusaha
menahan dan bersabar namun jika dirasakan tidak mampu ditanggung maka
gugatan cerai merupakan keputusan terakhir. Penyebab lainnya adalah adanya
pihak ketiga, yaitu keluarga yang mendukung melakukan niat bercerai, adanya
asumsi bahwa kesusahan atau penderitaan psikologis setelah bercerai dirasakan
akan lebih ringan dibanding meneruskan atau tetap dalam perkawinan, dan adanya
pengalaman pihak keluarga dekat atau teman yang pernah melakukan cerai gugat,
sehingga pihak istri dapat memahami tahapan dan proses dalam cerai gugat.
e. Pekalongan
Sebab utama cerai gugat di Pekalongan adalah hilangnya makna perkawinan bagi
perempuan yang dipicu oleh tidak adanya tanggungjawab laki-laki, baik sebagai
suami maupun ayah. Pasangan (khususnya suami) tidak cukup memiliki kesadaran
dan pengetahuan tentang pentingnya mempertahankan ikatan perkawinan. Isteri
yang mengajukan cerai tidak selalu memiliki latar belakang ekonomi maupun
pendidikan yang cukup tinggi. Dari beberapa kasus yang ditemui, isteri yang tidak
memiliki penghasilan tetap pun berani mengajukan cerai. Hal itu disebabkan isteri
merasa bahwa perkawinan tidak lagi membahagiakan dirinya, suami di samping
tidak memiliki pekerjaan tetap juga tidak menunjukkan tanggung jawabnya,
meninggalkan rumah untuk jangka waktu yang relatif lama, sampai bertahun-tahun
tapa kabar
Berita.
f. Banyuwangi
Penyebab cerai gugat untuk kasus perkawinan karena dijodohkan adalah dukungan
keluarga yang sangat rendah dan kekurangsiapan suami untuk memberikan nafkah,
sehingga faktor ekonomi menjadi sumber konflik, akibatnya kekerasan fisik
banyak dialami perempuan. Namun ekonomi yang rendah malah menyebabkan
banyak perselingkuhan dan adanya disorientasi seksual.
g. Ambon
Penyebab utama cerai gugat adalah lemah dan rendahnya pemahaman agama
sebagai landasan perkawinan. Penyebab lainnya adalah kekerasan baik fisik
maupun mental (termasuk kekerasan simbolik), serta habitus kesadaran pasca
konflik yang lebih banyak memberikan pendampingan khusus kepada perempuan
dan anak.
Dari hasil simpulan masing-masing daerah di atas, hasil penelitian ini
memperlihatkan bahwa penyebab cerai gugat tidak sesederhana istilah yang dipakai di PA,
namun oleh ragam faktor. Terdapat sejumlah alasan lain yang bahkan tersembunyi dan
hanya bisa diselami melalui wawancara mendalam dan pengamatan. Misalnya, soal
pergeseran budaya yang semakin terbuka, terutama media sosial seperti yang terjadi di
Aceh. Sementara di Padang dan Pekalongan ada situasi yang agak sama di mana makna
dan nilai perkawinan sudah semakin hilang sehingga terjadi pengabaian dan penelantaran
serta nirtanggung jawab dari pihak laki-laki. Sebetulnya hal yang sama juga terjadi di
Banyuwangi, terutama perkawinan-perkawinan yang dijodohkan, dan Indramayu yang
menemukan bahwa beban berat selalu ditimpakan pada pihak istri.
Agak berbeda dengan Cilegon, yang salah satunya disebabkan adanya mitos-mitos
yang berkembang di masyarakat, di Ambon penyebab cerai gugat lebih banyak karena
rendahnya pemahaman agama para keluarga dalam memaknai lembaga perkawinan.
Sehingga kekerasan baik fisik dan non fisik mendominasi perceraian.
39
Di samping itu, faktor keluarga juga menjadi penyebab lain dari perceraian. Di
Aceh dan Padang, peran keluarga istri terasa dominan sehingga mengesankan ada campur
tangan dan intervensi yang menyebabkan pihak suami tidak mampu meneruskan tradisi
keluarga. Namun sebaliknya, di daerah lain, keluarga tidak mencoba untuk campur tangan
terlalu jauh, sehingga diserahkan kepada yang bersangkutan untuk menyelesaikan
masalahnya.
Dampak Cerai Gugat
Sebuah perceraian tidak pernah menyenangkan. Matriks positif dan negatif dari
dampak cerai gugat menghasilkan gambaran yang seimbang. Secara negatif, perceraian
menghasilkan banyak luka baik yang diterima perempuan dan anak-anaknya. Namun
secara positif, mereka menganggap perceraian sebagai pintu darurat untuk membebaskan
diri dari segala masalah yang sudah tidak terpecahkan lagi.
Perceraian ibarat dua sisi mata uang yang dapat dimaknai secara berbeda:
menyedihkan sekaligus membahagiakan. Sementara dampak kepada keluarga besar sampai
saat ini dirasakan tidak terlalu besar. Berikut adalah hasil penelitian ini yang berhasil
mengungkap dampak tersembunyi dari sebuah perceraian.
a. Aceh
Perceraian pada akhirnya berdampak pada cara pandang baru perempuan Aceh
terhadap nilai dari institusi perkawinan. Kegagalan perkawinan direfleksikan
sebagai sebuah proses pembelajaran diri dan pendewasaan diri.
b. Padang
Dampak paling kentara adalah semakin lemahnya ketahanan keluarga, terutama
pada pasangan muda. Mereka kini semakin mudah “menyerah” atas masalah yang
dihadapi, dan dengan cepat menjadikan perceraian sebagai solusi. Selain itu
kurangnya pemahanan tentang keluarga diduga menjadi penyebab mengapa
lembaga pernikahan tidak lagi dianggap sebagai lembaga yang sakral dan perlu
dijaga keberlangsungannya, yang juga dipengaruhi oleh berbagai informasi
mengenai banyaknya perceraian terjadi disekitar mereka serta kasus-kasus seperti
hamil sebelum nikah. Hal lainnya adalah tidak tersedianya mekanisme penanaman
nilai-nilai mengenai keluarga yang lebih terstruktur, sistematis dan intensif baik
ditingkat keluarga, sekolah, maupun dimasayrakat, menyebabkan terjadi
perubahan pemaknaan atas pernikahan bahkan perceraian.
c. Cilegon
Dampak perceraian yang disimpulkan dari tiga kasus cerai gugat adalah kepastian
status hukum sehingga mereka tidak terombang ambing dalam badai
ketidakharmonisan. Dengan demikian, mereka bisa melanjutkan kehidupan baru
dan terbebas dari kekerasan fisik, psikologis, finansial, seksual dan spiritual. Cara
untuk menatap kehidupan yang lebih baik menguatkan perempuan untuk bisa
bertahan.
d. Indramayu
Dampak perceraian paling berat adalah dirasakan oleh istri, terutama luka batin
dan psikologis. Ada trauma berat yang dirasakan oleh para perempupuan ketika
mengingat suami. Meski demikian, secara ekonomi dampaknya malah tidak begitu
terasa, sebab saat ini mereka kembali bisa tinggal bersama orang tua dan bekerja.
e. Pekalongan
Pasca cerai gugat, isteri memiliki kepastian tentang masa depannya, status hukum
yang jelas, lebih siap untuk hidup mandiri karena tidak ada harapan dinafkahi
suami, serta terbebas dari perselisihan yang selama ini terjadi ketika masih dalam
40
ikatan perkawinan. Dengan demikian, perempuan bisa memulai hidup baru yang
dirasaan lebih baik ketimbang hidup dalam perkawinan.
Dampak negatif dari perceraian lebih berkaitan dengan kehidupan perkawinan dan
keluarga yang sehat di mana pilihan itu tidak dimiliki oleh perempuan, sedangkan
dampak positif adalah jika dibandingkan dengan kehidupan perkawinan dan
keluarga yang tidak sehat. Dampak negatif sudah dialami perempuan ketika
menjalani perkawinan tidak sehat sehingga yang tersisa adalah dampak positif.
f. Banyuwangi
Perempuan merasa senang ketika hakim PA mengetukkan palu, walaupun dihati
ada rasa malu. Kini mereka sudah biasa mencari sendiri, sudah siap hidup mandiri
atau sebagian dibantu oleh keluarga dengan menanggung anak-anaknya, terlebih
kini Pemkab Banyuwangi memprogramkan pemberian anggaran kepada para
korban untuk bisa hidup mandiri.
g. Ambon
Dampak cerai gugat tidak terlalu berat dirasakan para perempuan. Selain alasan
common sense di atas, juga adanya mekanisme budaya untuk mengurangi
kesedihan akibat penderitaan. Hal ini terjadi karena salah satunya prinsip
kolektivitas yang menjadi dasar utama dalam membangun hubungan kekerabatan
masyarakat Ambon di mana siklus suka dan duka sebagai sesuatu yang harus
dihadapi, bahkan dinikmati.
Dampak sebuah perceraian sebagaimana yang ditemukan peneliti (selalu)
mengandung dua sisi yang berbeda. Simpulan dari penelitian ini tidak jatuh hanya pada
perdebatan bahwa perceraian itu akan berdampak negatif maupun positif, namun lebih dari
sekadar ini adalah bagaimana para aktor mengambil lesson learn dari perceraian yang
mereka putuskan. Akhirnya adalah apakah ada kesadaran dan pengetahuan baru atau
proyeksi masa depan seperti apa yang mereka harapkan.
Refleksi atas peristiwa perceraian mengandung optimisme, sebagaimana
perempuan Aceh memaknainya sebagai lompatan untuk menuju hidup yang lebih baik.
Mereka memaknai perceraian sebagai fase yang akan membuat mereka menjadi semakin
kuat dan kokoh. Mereka juga memaknai perceraian sebagai wahana pendewasan diri. Hal
yang sama dapat ditemukan dari pemaknaan para perempuan di Cilegon dan Pekalongan
yang karena perceraian itu bersiap diri untuk menata kehidupan yang lebih baik.
Kemantapan hati ini disebabkan adanya kepastian hukum sehingga mereka tidak lagi hidup
dalam ombang-ambing pengharapan yang tak berkesudahan. Bahkan di Banyuwangi, para
perempuan merasa siap untuk hidup mandiri lagi.
Hal lain yang dari hasil penelitian ini adalah dampak laten yang dirasakan oleh
keluarga yang bercerai di Padang, terutama pasangan-pasangan muda. Mereka
menganggap akibat perceraian yang semakin tinggi akan ada pelemahan terhadap
ketahanan keluarga sehingga mengakibatkan lembaga perkawinan tidak menjadi sakral
lagi. Misalnya, mereka semakin mudah “menyerah” atas masalah yang sebetulnya mungkin
sederhana, namun dengan instan menjadikan perceraian sebagai solusi. Namun dampak
perceraian yang memilukan justru tidak terlalu dirasakan di Ambon, baik oleh pasangan
maupun keluarga besar, meskipun ada 1001 kisah kesedihan jika membicarakan perceraian.
Situasi ini dapat terjadi karena prinsip kekerabatan yang dibangun di atas tuas kolektivitas
membuat mereka memiliki mekanisme budaya untuk mengurangi beban-beban masalah.
Respon Struktur Sosial terhadap Cerai Gugat
Penelitian ini berhasil mengungkap respon-respon dari struktur sosial terhadap
cerai gugat, bukan saja struktur formal seperti PA, KUA dan lembaga formal lainnya, tetapi
41
juga konteks sosial, karakteristik wilayah penelitian dan lembaga-lembaga adat yang masih
hidup di masyarakat. Berikut kesimpulannya.
a. Aceh
Peran BP4 di tingkat kecamatan dan kabupaten tidak menjadi rujukan utama
masyarakat. Hal ini terlihat dari jumlah data mediasi yang dilakukan atau pihak
masyarakat yang berkonsultasi di BP4 KUA. Misalnya saja di KUA Bandaraya
Kota Banda Aceh dan KUA Kecamatan Baiturrahman yang memiliki peristiwa
nikah hingga lebih dari 160 peristiwa nikah dalam setiap tahun, konsultasi masalah
rumah tangga hanya berjumlah 7-11 kasus/tahun dalam 5 tahun terakhir.
Sedangkan di BP4 Kota Banda Aceh, data mediasi yang dilayani tidak terdata
dengan baik karena sempat vakum selama lebih dari 10 tahun seiring dengan
adanya kebijakan Negara terkait perubahan posisi BP4 di tingkat Kabupaten/Kota.
Upaya mempertahankan perkawinan melalui mediasi lebih banyak dilakukan di
Mahkamah Syar’iyah (MS). Namun dari data perkara perceraian yang dapat
dimediasi, maka jumlah mediasi yang telah dilakukan dalam 5 tahun terakhir adalah
95 (Tahun 2012) sampai 261 (Tahun 2014) dengan tingkat keberhasilan sangat
kecil, yaitu paling sedikit hanya 1% di tahun 2012 dan 18% di tahun 2014.
Sementara secara konteks sosial, meningkatnya gugat cerai di masyarakat dilihat
sebagai sebuah fenomena positif, yaitu adanya kemajuan relasi laki-laki dan
perempuan yang lebih setara, adanya kesadaran perempuan untuk keluar dari
situasi yang tidak menguntungkan baginya, dan keterbukaan akses dan informasi.
Namun yang agak disayangkan, peran adat juga belum berfungsi maksimal karena
di Aceh masih hidup mediator adat yang disebut Tuha Peuet atau Keuchi’. Lembaga
adat ini tidak berjalan juga karenaada kekhawatiran mengenai kerahasiaan masalah.
b. Padang
Respon struktur sosial terhadap cerai gugat relatif berubah ke arah yang makin
objektif. Stigma negatif mengenai perceraian terutama untuk konteks kota, mulai
berkurang. Masyarakat mulai melihat perceraian kasus per-kasus dalam memberi
penilaian. Berdasarkan tiga kasus yang diteliti, dua kasus menunjukkan hal
tersebut. Masyarakat kota yang makin kritis tidak lagi dengan serta merta memberi
penilaian negatif terhadap tindakan perceraian, akan tetapi mencoba memahami
lebih dalam sebelum memberikan penilaian. Hal tersebut berbeda pada masyarakat
pinggiran dan tentu desa, yang masih cenderung merespon negatif kasus-kasus
perceraian yang terjadi. Kondisi ini harus dicermati terutama terkait peran PA
sebagai institusi yang mengeksekusi permohonan perceraian yang seolah lepas dari
lembaga lain yang mengurus pernikahan (KUA), lembaga penasihatan pernikahan
(BP4). Drama ini seolah memperlihatkan bahwa kehidupan berkeluarga seperti
sekuel yang terpisah: pernikahan satu hal, penyelesaian masalah satu hal, dan
perceraian merupakan hal yang lain.
c. Cilegon
Kondisi sosial masyarakat Kota Cilegon sangat berpengaruh terhadap pola
perceraian yang lebih kental sebagai tindakan manusia modernitas, di mana
ekonomi dijadikan satu variabel penting untuk menyelesaikan perceraian. Cilegon
termasuk ke dalam kategori masyarakat semi modern yang menjadi pusat
pemerintahan maupun pergerakan ekonomi. Konteks sosial inilah yang pada
akhirnya banyak membentuk masyarakatnya untuk memiliki orientasi hidup yang
pragmatis dan realistis. Artinya sejauh tindakannya dapat membuat ia bertahan dan
hidup nikmat di dalam modernitas, ia akan tetap terjaga dan pertahankan begitu
pula sebaliknya. Jika suatu perubahan dapat membuat mereka merasa sengsara,
mereka akan meninggalkannya termasuk juga dengan problem keluarga.
42
d. Indramayu
Secara kelembagaan, setidaknya ada empat lembaga yang memiliki tusi yang sama,
yaitu BP4, KUA, Meditor di PA, dan lebe. Saat ini lembaga yang dapat dikatakan
berperan dalam mengurusi perceraian di Indramayu adalah hanya lebe, yang
notabene terdiri dari tokoh agama untuk membantu masyarakat mengurusi
pendaftaran perkawinan maupun perceraian. Dalam kasus perceraian di
Indaramayu, masyarakat umumnya menggunakan jasa lebe, sehingga lebe bisa
dikatakan efektif dalam memediasi perceraian.
Adapun keberadaan BP4 nampaknya belum eksis, dan hanya ‘papan nama’ di
sejumlah KUA kecamatan. Bahkan untuk tingkat kabupaten, kepengurusan BP4
belum terbentuk. Sementara KUA, tidak juga berperan karena mediasi perceraian
dilakukan oleh PA. Sejak saat itu, peran KUA terkait perkawinan, kini hanya
sebatas melakukan pencatatan perkawinan dan rujuk, serta pembekalan terhadap
penasehatan pra-perkawinan atau kursus calon pengantin. Untuk mediasi oleh
hakim di PA, selama ini kasus cerai gugat jarang ada mediasi dan kurang maksimal
sebab sudah menjadi modus, jika ingin proses di PA itu segera selesai, maka pihak
tergugat jangan sampai hadir, sehingga hakim bisa langsung mengabulkan
permohonan cerai gugat tersebut.
e. Pekalongan
Setelah BP4 berada di luar struktur Kemenag, maka BP4 di Kota Pekalongan secara
kelembagaan sedang mengalamai transisi kelembagaan dan vakum. Sementara PA
juga telah pindah dari Kemenag ke MA sehingga kordinasi antara Kemenag, BP4,
dan PA sebagai stake holders perkawinan dan keluarga di Kota Pekalongan belum
menemukan model kordinasi antar lembaga yang tepatsehingga bisa berperan
secara maksimal dalam mempersiapkan perkawinan atau mempertahankannya.
Sedangkan struktur sosial non formal perkawinan dalam hal ini tokoh masyarakat,
tokoh agama, dan lembaga sosial yang terkait dengan perkawinan belum
sepenuhnya berperan maksimal sebagai sebagai sarana pendidikan untuk
membangun dan menguatkan kembali makna perkawinan.
f. Banyuwangi
KUA dalam melakukan pembinaan keluarga sakinah tidak menyentuh
permasalahan perceraian. Diperlukan terobosan peraturan yang mengatur prosedur
perceraian dengan mengfungsikan peran penghulu dalam penasehatan
g. Ambon
Akibat regulasi, ditingkat bawah, lembaga pemerintah seperti PA dan KUA dalam
merespon fenomena cerai gugat memiliki pandangan yang berbeda. PA
menganggap tusi sudah sesuai dengan amanat peraturan dan perundang-undangan,
sementara KUA memandangnya sebagai keterambilan tusi, terutama masalah
pembinaan agama dan mediasi perceraian. Bahkan dalam setahun KUA Kota
Ambon hanya memediasi enam orang, dan tak satupun yang berhasil dimediasi.
Sementara lembaga adat seperti tiga batu tungku yang terdiri dari raja, imam dan
tokoh, dan adalah saudara kawin tidak terlalu mendapat perhatian, bahkan seolah
terabaikan, karena masyarakat inginnya instan dan langsung menuju PA.
Tingginya angka cerai gugat ketimbang cerai talak bukanlah hal baru, bukan pula
data mengejutkan. Masalahnya kemudian bagaimana struktur, baik formal maupun non
formal meresponnya, alih-alih menindaklanjuti masalah penyebab dan akibat perceraian,
sebagaimana yang sudah diuraikan. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa struktur
formal masih belum berfungsi dengan maksimal, terutama mencegah perceraian.
Selain karena regulasi yang telah ditetapkan, juga ternyata masalah koordinasi dan
komunikasi antarinstansi tidak berjalan, sehingga mengesankan masalah perkawinan dan
43
perceraian sebagai dua hal yang berbeda. Ada parsialisme dalam menangani dua hal ini,
seperti sekuel drama. Padahal membicarakan perceraian juga secara intersepsi
membincangkan perkawinan. Akibatnya, fungsi KUA, BP4 dan lembaga Suscatin tidak
berjalan dengan maksimal, sementara di pihak lain, PA adalah lembaga yang diberikan
kewenangan untuk memutuskan perceraian.
Berkelindan dengan lemahnya struktur formal, struktur non-formal seperti pranata
sosial juga belum berfungsi. Padahal di tiap daerah yang diteliti memiliki kekuatan berupa
kearifan-kearfian lokal, seperti di Aceh terdapat mediator adat yang disebut Tuha Peuet
atau Keuchi’, di Indramayu ada lebe, serta tiga batu tungku dan saudara kawin di Ambon.
Analisis
Cerai gugat merupakan peristiwa yang terkait dengan sebuah relasi khususnya
antara suami isteri. Fenomena cerai gugat dapat dianalisis melalui tiga teori berikut ini.
Pertama, adalah teori pertukaran sosial (social exchange theory). Teori ini memandang
bahwa hubungan interpersonal dilandasi oleh harapan memperoleh imbalan dari adanya
hubungan tersebut. Perkawinan adalah hubungan interpersonal antara suami dan istri yang
dibangun di atas harapan masing-masing pihak. Kedua, adalah teori pilihan sosial (social
choice theory). Teori ini mempunyai ide dasar bahwa orang-orang bertindak secara sengaja
ke arah suatu tujuan yang dibentuk oleh nilai-nilai atau pilihan-pilihan (Coleman, 1990).
Ketiga, teori ketidakadilan gender (gender injusttice). Menurut teori ini, hubungan yang
tidak setara antara laki-laki dan perempuan dapat menimbulkan ketidakadilan gender dalam
bentuk marjinalisasi, subordinasi, stigmatisasi, kekerasan, dan multi beban.
Secara umum perceraian (dalam hal ini cerai gugat) terjadi karena perempuan
merasa tidak puas dengan kondisi kehidupan perkawinanya. Namun sesungguhnya alasan
perceraian lebih dari sekedar tidak adanya kepuasan. Dengan menggunakan teori trade off
(Collins & Coltrane, 1992), perkawinan dilihat sebagai satu jenis trade off antara berbagai
sumber daya seperti pendapatan, cinta, pekerjaan domestic, dan kehidupan seksual. Ketika
satu hal berkurangm misalnya ekonomi, perkawinan akan tetap langgeng jika hal lain,
misalnya cinta kasih, tetap terjaga dalam perkawinan. Melalui teori pertukaran sosial, relasi
perkawinan yang berakhir dengan cerai gugat mengindikasikan bahwa istri tidak lagi
merasa memperoleh kebahagiaan (reward), dan lebih banyak mengalami kesulitan atau
penderitaan (social cost). Jika perempuan merasa puas dan nyaman, ia tidak akan
meninggalkan kehidupan perkawinannya (Scanzoni & Scanzoni, 1981).
Menurut teori pertukaran social (exchange theory) setiap pasangan melihat
kehidupan
perkawinan
dalam
dua
tahapan.
Pertama,
pasanganmembandingkankeuntunganrelatif dalam perkawinan. Jika salah satu atau
keduanya
merasa
hanya
sedikit
mendapatkan
keuntungan,
maka
kepuasanperkawinanpasanganakanmenjadi rendah, sehingga memilih hidup tanpa
perkawinan menjadi salah satu pilihan. Dalam kondisi seperti ini perceraian dianggap
sebagai alternatif. Pada tingkatan kedua, pasanganmembandingkan kebahagiaan dan
kesulitanketika berelasi dalam perkawinan. Dalam tahapan tertentu ia merasa lebih
menguntungkan jika hidup selain dalam pernikahan, misalnyamenjadi lajangkembali
melalui perceraian (Klein and White, 1996). Cerai Gugat mengindikasikan seorang istri
tidak mendapatkan manfaat dari perkawinannya.
Dalam perspektif teologis dan yuridis, hilangnya makna perkawinan dapat
dijelaskan bahwa sakinah (ketenteraman) dalam istilah al-Qur’an dan kebahagiaan lahir
batin dalam istilah Undang-Undang Perkawinan sebagai tujuan perkawinan gagal dicapai.
Tidak adanya tanggungjawab (qiwamah) seorang menjadi sangat krusial karena
masyarakat Muslim meyakini bahwa dalam keluarga, suami mempunyai peran sebagai
penanggungjawab keluarga (Qawwam). Quraish Shihab menjelaskan bahwa Qa’im adalah
44
istilah untuk orang yang melaksanakan tugas dan atau apa yang diharapkan darinya,
sedangkan Qawwam disematkan pada orang yang melaksanakan tugas tersebut sesempurna
mungkin, berkesinambungan, dan berulang-ulang (Shihab, 2009). Laki-laki disebut
Qawwam oleh an-Nisa/4:34 berarti bahwa mereka adalah orang yang semestinya
melaksanakan tugas sebagai penanggungjawab keluarga sesempurna mungkin,
berkesinambungan, dan berulang-ulang.
Hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa hilangnya makna perkawinan
sebagai salah satu faktor perceraian, sejalan dengan temuan penelitian Ranga and Sekhar
(2002) di India yang berjudul Divorce: Process and Correlates: A Cross-Cutural Study.
Penelitian ini menunjukkan para istri yang mengajukan cerai tidak terbatas pada mereka
yang memiliki pendidikan atau pekerjaan yang mapan. Meskipun secara sosial perempuan
India berada pada posisi tidak terdidik atau buta huruf dan sulit memperoleh lapangan kerja,
mereka tetap memilih bercerai karena problem yang dihadapi dalam perkawinan sudah
tidak bisa ditolerir lagi. Sementara itu, Eshleman (2003) melihat perceraian dilihat dari
tingkatan social ekonomi, terjadi pada semua level. Namun demikian, menurut Eshleman
jika faktor pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan digunakan untuk mengukur indeks sosial
ekonomi, maka perceraian terjadi pada kelompok masyarakat yang memiliki tingkal social
ekonomi rendah. Hal itu sejalan dengan hasil penelitian di Pekalongan maupun di Aceh.
Seorang istri di samping tidak memperoleh harapan yang ditumpukan pada suami
melalui perkawinannya, mereka juga mengalami beberapa bentuk ketidakadilan gender,
meliputi marginalisasi (proses pemiskinan bagi kaum perempuan), subordinasi atau
anggapan tidak penting dalam keputusan politik, stereotype dan diskriminasi, pelabelan
negatif, kekerasan, bekerja lebih banyak, serta sosialisasi ideologi nilai peran gender
(Fakih, 1997). Misalnya suami yang tidak menafkahi istri, bahkan dinafkahi istri, tetapi
kemudian ia selingkuh atau bahkan kawin lagi. Istri dalam hal ini mengalami marginalisasi
dalam bentuk tidak dilibatkan atas keputusan suami untuk menikah lagi, subordinasi dalam
bentuk perasaan sakit hatinya dianggap tidak penting, pelabelan negatif dalam bentuk
dipandang tidak becus sebagai istri sehingga suami mencari istri lagi, kekerasan dalam
bentuk kekerasan psikologis, dan beban ganda karena ia menjalani fungsi sebagai ibu
sekaligus ayah.
Cerai gugat sebagaimana cerai talak menyebabkan banyak perempuan akhirnya
berperan sebagai orangtua tunggal, padahal sejak kecil tidak disiapkan menjadi kepala
keluarga dan pencari nafkah. Ketika diharuskan menjadi kepala keluarga dan pencari
nafkah tunggal, perempuan menjadi rentan untuk mendapatkan pekerjaan dengan risiko
tinggi, bahkan menjadi korban perdagangan perempuan. Di samping itu, cerai gugat juga
menyebabkan anak tumbuh tanpa figur ayah sebagai teladan yang mengakibatkan anak
mengalami kebingungan ketika tumbuh menjadi remaja.
Sayangnya, meskipun tidak adanya tanggungjawab menjadi faktor dominan penyebab cerai
gugat, namun struktur sosial formal perkawinan seperti KUA, BP4, dan Pengadilan Agama
justru sedang berada dalam masa pencarian sistem koordinasi yang efektif. Sementara itu,
tokoh agama dan masyarakat serta lembaga yang bisa menjadi stake holder perkawinan
pun masih memerlukan dukungan agar bisa memanfaatkan forum-forum sosial sebagai
sarana pendidikan tentang perkawinan dan keluarga yang sakinah bagi seluruh anggota
keluarga, yakni suami, istri, dan anak-anak sesuai perkembangan zaman.
5.KESIMPULAN
Memutuskan ikatan perkawinan melalui cerai gugat bukanlah pilihan yang
menyenangkan, baik bagi istri, suami, maupun anak-anak. Pengalaman hidup yang penuh
dengan pergulatan batin yang cukup lama, serta mempertimbangkan banyak hal (reward
dan cost), akhirnya perempuan “berani” untuk menggugat cerai. Sebab utama cerai gugat
45
antara lain ketidaksiapan pasangan memasuki kehidupan berkeluarga sehingga nilai sacral
perkawinan tidak lagi ditemukan. Hilangnya makna perkawinan bagi perempuan yang
dipicu oleh tidak adanya tanggungjawab laki-laki, baik sebagai suami maupun ayah.
Pasangan (khususnya suami) tidak cukup memiliki kesadaran dan pengetahuan tentang
pentingnya mempertahankan ikatan perkawinan. Sebab lainnya cukup beragam seperti
faktor budaya yaitu intervensi keluarga besar maupun faktor eksternal ikut memperkuat
perempuan mengambil inisiatif untuk bercerai misalnya perkembangan teknologi.
Perceraian, dalam hal ini cerai gugat memberi dampak positif maupun negatif bagi
perempuan. Stigma sebagai “janda” dengan segala risikonya harus dialami perempuan. Ia
juga harus berperan sebagai kepala keluarga dan orang tua tunggal. Namun pasca cerai
gugat istri memiliki kepastian tentang masa depannya, status hukum yang jelas, lebih siap
untuk hidup mandiri karena tidak ada harapan dinafkahi suami, serta terbebas dari persei
gugat, perselisihan yang selama ini terjadi ketika masih dalam ikatan perkawinan. Dengan
demikian, perempuan bisa memulai hidup baru yang dirasaan lebih baik ketimbang hidup
dalam perkawinan.
Struktur sosial formal perkawinan dalam hal ini KUA, BP4, dan Pengadilan
Agama sedang dalam pencarian model kordinasi terkait pelestarian lembaga perkawinan.
Sedangkan BP4 dalam kondisi vakum, dan secara kelembagaan Pengadilan Agama juga
tengah berada dalam masa penyesuaian setelah berada di bawah Mahkamah Agung.
Kondisi ini menyebabkan lembaga stake holders perkawinan tidak bisa berperan secara
maksimal dalam mempersiapkan perkawinan atau mempertahankannya. Sedangkan
struktur sosial non formal perkawinan dalam hal ini tokoh masyarakat, tokoh agama, dan
lembaga sosial terkait belum sepenuhnya berperan maksimal sebagai sebagai sarana
pendidikan untuk membangun dan menguatkan kembali makna perkawinan..
Rekomendasi
Beberapa upaya untuk mempertahankan makna perkawinan yang selaras dengan
perkembangan zaman perlu dilakukan, baik pada masa pra perkawinan, selama
perkawinan, maupun ketika perkawinan diujung tanduk. Relasi suami istri dengan pola
partnership lebih memungkinkan bertahan daripada pola atasan dan bawahan. Dalam relasi
partnership memungkinkan suami-istri dan orangtua-anak untuk bertukar peran secara
fleksibel. Pola relasi atasan dan bawahan menjadi sangat riskan ketika suami yang
didudukkan sebagai atasan tidak mampu memenuhi kewajibannya namun tetap
mempertahankan otoritasnya.
Pola partnership atau equal partner (Scanzoni & Scanzoni, 1981) dalam
perkawinan dan keluarga bisa ditanamkan secara terus menerus oleh para tokoh agama
dalam beragam pengajian dan secara terstruktur dapat disampaikan dalam Kursus Calon
Pengantin. Kursus ini mempunyai nilai strategis karena diberikan tepat ketika pasangan
akan atau baru memasuki gerbang rumah tangga sehingga perlu dirancang model, modul,
dan modalnya.
Lembaga BP4 menjadi penting untuk dikuatkan karena menjadi lembaga yang
paling relevan untuk mengemban misi pelestarian perkawinan. Kekosongan fungsi BP4
karena sedang dalam proses reposisi, memperlebar problem perkawinan karena minimnya
lembagi konsultasi dan mediasi perkawinan. Suscatin yang hanya dilakukan sebelum
pernikahan, dan cenderung formalitas, tidak mampu menyelesaikan problem keluarga yang
semakin kompleks. Pemerintah daerah sudah semestinya memandang naiknya angka
perceraian dan dominasi cerai gugat sebagai masalah serius dan bersedia memperkuat BP4
misalnya dari segi pendanaan. Dengan dukungan Pemda, BP4 dapat lebih leluasa bergerak
dan menjalin kerjasama dengan berbagai pihak di daerah tersebut dalam upaya pelestarian
perkawinan.
46
Pasangan suami-istri yang sudah sampai ke PA pada umumnya adalah mereka
yang sudah tidak mampu mengatasi masalah perkawinannya. Dalam kondisi seperti ini,
maka proses mediasi menjadi sangat penting untuk dilakukan secara lebih intensif dengan
pendekatan kekeluargaan yang lebih mungkin dilakukan oleh mediator non hakim. BP4
dapat membantu Pengadilan Agama untuk memperbanyak mediator non hakim
bersertifikat yang berasal dari tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh perempuan
mengingat terbatasnya jumlah hakim dan meluasnya wewenang Pengadilan Agama setelah
pindah ke Mahkamah Agung.
Pemerintah Daerah dapat memainkan peran secara maksimal dengan memberikan
layanan terpadu perkawinan dan keluarga yang melibatkan seluruh stake holder yang ada
di wilayah tersebut. Layanan perkawinan dan keluarga satu pintu ini dapat memberikan
layanan informasi dan pendidikan pra perkawinan, layanan administrasi hingga resepsi
perkawinan, layanan penasehatan dan mediasi selama masa perkawinan, sehingga
pasangan suami istri yang menginjakkan kaki ke Pengadilan Agama telah dipastikan
sebagai pasangan yang memang sudah tidak bisa dipertahankan perkawinannya.
6.DAFTAR PUSTAKA
Anshor, Maria Ulfah.2012. Kompilasi Hukum Islam yang Ramah terhadap Perempuan:.
Dalam Jurnal Perempuan Nomor 73 Tahun 2012 “Perkawinan dan Keluarga”,
April 2012, h. 19-30.
Ali, Zainuddin. 2009. Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.
Creswell. John W. 2007. Qualitative Inquiry & Research Design: Choosing among Five
Approaches, London: Sage Publications.
Collins, Randall & Coltrane, Scott. 1992. Sociology of marriage and the family:
Gender,love and property. (3rd ed.). Chicago. Nelson-Hall Inc.
Eshleman, J. Ross. 2003. The family. 10th Edition. New York: Pearson Education Inc.
Fakih, Mansour. 2007. Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustakan
Pelajar.
Fokusmedia. 2005. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Kompilasi
Hukum Islam, Bandung.
Gelles, Richard J. 1995. Contemporary Families A Sociological View. California. Sage
Publications.
Harahap, Yahya. 2003. Kedudukan Kewenangan Dan Acara Pengadilan Agama, Jakarta:
Sinar Grafika. Cetakan ke-2.
Ketut Hardana, Timotius I Ketut Adi. 2013. Kursus Persiaan Perkawinan. Jakarta.
Yayasan Obor.
Herien, Puspitawati. 2012. Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di Indonesia, Bogor.
PT IPB Press.
Hoerudin, Ahrum. 1999. Pengadilan Agama (Bahasan Tentang Pengertian, Pengajuan
Perkara, dan Kewenangan Pengadilan Agama Setelah Berlakunya UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama), Bandung: PT. Aditya
Bakti.
Kesindo Utama, Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam Serta Perpu Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan Ibadah
Haji, Surabaya: Kesindo Utama, 2012, h. 235
Khairunnida, Daan Dini. 2013. Peran BP4 dalam Mewujudkan Keluarga Sakinah Hasil
Penelitian di 6 Wilayah.Jakarta. Kerjasama Rahima, BP4, UNFPA, dan KPPPA.
Klein, David M. White, James M. 1996. Family Theories An Introduction, California:
SAGE Publications.
47
Komisi Keluarga KWI. 2015. Panduan pelaksanaan kursus persiapan perkawinan Katolik.
Jakarta. Obor.
Kustini. 2002. Perceraian di Kalangan Buruh Migran Perempuan: Studi Kasus di Desa
Kadupura, Kecamatan Cibodas Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Tesis pada
Program Pascasarjana Sosiologi Pedesaan Institut Pertanian Bogor.
Kustini. 2011. Keluarga Harmoni dalam Perspektif Berbagai Komunitas Agama. Jakarta.
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat.
Rofiah, Nur. dkk. 2013. Modul Keluarga Sakinah Perspektif Kesetaraan bagi Penghulu,
Penyuluh dan Konselor BP4, Jakarta. Puslitbang Kehidupan Keagamaan.
Rofiah, Nur dan Kustini. Perkawinan di Bawah Umur: Potret Buram Anak Perempuan di
Cianjur, Dalam Jurnal Harmoni Vol. 13 Nomor 1 Mei – Agustus 2014, h. 146 158.
Rangan, Rao ABSV. Sekhar K. 2002. Divorce: Process and Correlates: A Cross-Cultural
Study, Journal of Comparative Family Studies, Autum 2002: 33, 4, ProQuest, h.
557.
Scanzoni, Letha Dawson.dan Scanzoni John. 1981. Men, Women, and Change: A Sociology
of Marriage and Family. New York. Mc.Graw Hill.
48
RESISTENSI DAN PRAKTIK KUASA PENGETAHUAN PEREMPUAN
PETANI PADI SAWAH LEBAK DALAM PEMENUHAN PANGAN
KELUARGA
Yunindyawati
Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Sriwijaya
Jln Palembang-Prabumulih Km 32 Indralaya Ogan Ilir Sumatera Selatan
Email: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji resistensi perempuan atas marjinalisasi pada
proses pertanian padi dan praktik kuasa pengetahuan dan praktik kuasa penetahuan
perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga. Metode yang digunakan adalah metode
kualitatif dengan menggunakan paradigma kritis. Data diperoleh melalui teknik
wawancara mendalam, observasi dan Focus Group Discussion (FGD). Hasil penelitian
menunjukkan resistensi perempuan berupa resistensi langsung di dalam proses pertanian
padi, dan resistensi tidak langsung dengan melakukan diversifikasi pekerjaan di luar sektor
pertanian padi. Dengan demikian maka perempuan tetap bisa mempraktikkan kuasa
pengetahuan yang dimiliki sehingga bisa berkontribusi dalam pemenuhan pangan
keluarga.
Kata Kunci: Resistensi, Marjinalisasi, Perempuan, Pangan, Keluarga Petani
Abstract
This research was to analize resistance of women over marjinalization of agriculture
process and the parctice of power of woman’s knowledge in the fullfilment family food. The
qualitative methode and critical paradigm were used in this research. The data carried out
by in depth interview technique, observation and Focus Group Discussion (FGD). The
result showed that the woman’s resistance pattern were direct resistance and indirect
resitance by doing work in the off farm sector. So woman practiced the power of knowledge
and then they could contribute in fullfilment food family
Keywords: Resistance, Marjinalization, Woman, Food, Family, Farmer
1.PENDAHULUAN
Perempuan memiliki peran cukup signifikan dalam pembangunan pertanian dan
pedesaan (Moussa 2011, Sukiyono et al. 2008).Di bidang pertanian dan pedesaan
perempuan bukan hanya memproduksi dan mengolah hasil pertanian tetapi juga berperan
penting dalam distribusi pemasaran.Kontribusi perempuan semakin terlihat ketika mereka
memainkan peran domestik sekaligus melakukan aktivitas produksi pertanian.
Peranan perempuan dalam produksi pertanian adalah penting dalam menentukan
status nutrisi rumah tangga dan juga sumbangan mereka dalam pendapatan rumah tangga.
Studi yang dilakukan Sukiyono dan Sriyati (1997) menemukan bahwa konstribusi
perempuan transmigran berdagang sayuran sebesar 45% dari total pendapatan rumah
tangga mereka. Hal ini menunjukkan selain dalam produksi pertanian, perempuan juga
menyumbang ekonomi keluarga melalui sektor perdagangan.
49
Selain itu, secara sosial perempuan dikonstruksikan bertanggung jawab atas
kebutuhan konsumsi pangan keluarga terkait nutrisi anggota keluarga.Mereka memegang
peran kunci seperti dalam penyediaan air bersih, mengatur pola makan, jenis makanan dan
hal-hal lain berkaitan dengan konsumsi keluarga. Tanpa terpenuhi kebutuhan pangan
keluarga, para laki-laki tidak akan mampu bekerja di sawah/lahan mereka. Hal ini
menunjukkan peran perempuan cukup sentral dalam ketahanan pangan keluarga. Selain itu,
kesalahan dalam proses pengolahan dan penyiapan pangan di tingkat keluarga akan
menyebabkan menurunnya kuantitas dan kualitas gizi pangan, dan pada akhirnya
menurunkan ketahanan pangan.
Secara universal, peran gender untuk perempuan dan laki-laki diklasifikasikan
dalam tiga peran pokok yaitu peran reproduktif (domestik), peran produktif (publik) dan
peran sosial (masyarakat). Peran reproduktif adalah peran yang dilakukan seseorang untuk
melakukan kegiatan yang terkait dengan pemeliharaan sumber daya insani dan tugas
kerumahtanggaan seperti menyiapkan makanan, mengumpulkan air, mencari kayu bakar,
berbelanja, memelihara kesehatan dan gizi keluarga, mengasuh dan mendidik anak. Peran
produktif menyangkut pekerjaan yang menghasilkan barang dan jasa untuk dikonsumsi dan
diperjualbelikan.Peran masyarakat terkait dengan kegiatan jasa dan partisipasi politik
(Hubeis 2010).
Dalam sebuah keluarga, terdapat suami, istri dan anak.Masing-masing individu
memiliki status dan peran yang dilekatkan dan dijalankan.Untuk mengatur hubungan antara
mereka masuklah kelembagaan-kelembagaan dalam keluarga. Kelembagaan inilah yang
akan mengatur interaksi dan hubungan antara anggota keluarga. Sebagai contoh
kelembagaan perkawinan, ekonomi, kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya.
Kelembagaan pangan dalam sebuah keluarga biasanya memuat nilai-nilai dan aturan main
yang dijalankan untuk menjaga kecukupan, stabilitas, aksesibilitas dan kualitas pangan.
Berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO (1996) dan UU RI No 7 tahun
1996, yang mengadopsi definisi FAO, terdapat 4 komponen yang harus dipenuhi untuk
mencapai kondisi ketahanan pangan (LIPI 2005) yaitu:
1. Kecukupan ketersediaan pangan
2. Stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun
ke tahun
3. Aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan serta
4. Kualitas/keamanan pangan
Dari keempat aspek tersebut secara gender, perempuan dan laki-laki memiliki
peluang yang sama untuk memainkan peran menuju ketahanan pangan keluarga.
Persoalannya adalah konstruksi sosial masyarakat melihat bahwa persoalan pangan
keluarga adalah tanggung jawab perempuan. Umumnya perempuan diperankan sebagai
aktor yang bertanggungjawab atas pangan keluarga. Mulai dari penyediaan makanan sehat
dan bergizi, pola pengasuhan gizi keluarga bahkan termasuk pada proses produksi pangan
keluarga sehingga tetap tersedia, terjangkau dan stabil keberadaannya dalam keluarga.
Dilihat dari hal tersebut secara sekilas terdapat dugaan bahwa peran perempuan relatif
tinggi.
Peran perempuan yang relatif tinggi dalam pemenuhan pangan keluarga ini tidak
diimbangi dan didukung oleh kebijakan yang berpihak pada perempuan. Pada kasus
perempuan petani padi sawah lebak di Kecamatan Pemulutan Selatan Kabupaten Ogan Ilir,
kebijakan pertanian terutama peningkatan produktivitas padi dengan penerapan revolusi
hijau dan program pertanian yang menyertainya justru memarjinalkan peran perempuan.
Kuasa pengetahuan perempuan dalam bercocok tanam padi tergusur oleh teknologi dan
inovasi pertanian, meskipun demikian perempuan mencari bentuk lain sebagai praktik atas
50
kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga, diantaranya melakukan
diversifikasi pekerjaan.
Praktik-praktik kuasa pengetahuan perempuan pada aspek di luar sektor pertanian
padi sawah lebak sesungguhnya merupakan bentuk perlawanan atas tertutupnya peluang
praktik kuasa pengetahuan perempuan di sektor pertanian padi sawah lebak. Bentuk-bentuk
perlawanan kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga petani padi
sawah lebak menjadi menarik dikaji lebih lanjut. Tujuan penelitian ini menganalisis
resistensi perempuan atas marjinalisasi peran perempuan di sektor pertanian padi sawah
lebak dan praktik kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga petani
padi sawah lebak di Kecamatan Pemulutan Selatan Kabupaten Ogan Ilir.
2.METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, metode pengumpulan data
dilakukan melalui wawancara mendalam kepada 11 informan dan 9 keluarga sebagai
subyek kasus penelitian.Subyek kasus dalam penelitian ini adalah keluarga petani padi
sawah lebak, yakni suami, istri dan anak. Informan penelitian ini adalah kepala desa, ketua
PKK, ketua KUBE, ketua kelompok tani, petugas kesehtan, tokoh adat dan tokoh
agama.Observasi dan diskusi kelompokdilakukan untuk memperdalam data yang diperoleh
serta validasi data dari para informan dan subyek kasus. Analisis data dilakukan secara
kualitatif, data dikategorikan dalam satuan uraian, kemudian dihubungkan dengan teori
yang relevan.Lokasi penelitian di desa Ulak Aurstanding di kecamatan Pemulutan Selatan
kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan.
3.TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Proses transformasi pertanian, dari pertanian tradisional menuju pertanian modern
yang diintrodusir pemerintah (terutama setelah penerapan revolusi hijau) membawa
dampak marjinalisasi peran perempuan. Peran perempuan padapertanian tradisional sangat
tampak terutama pada kegiatan ritual dalam proses pertanian (sebelum, panen, saat panen
dan setelah panen) padi sawah lebak. Marjinalisasi peran perempuan di sektor pertanian
padi sawah lebak melahirkan resistensi terhadap proses pertanian yang diintrodusir oleh
pemerintah. Resistensi merupakan sebuah sikap untuk berperilaku bertahan, berusaha
melawan dan menentang. Bentuk resistensi terhadap proses pertanian yang dilakukan
perempuan meliputi resistensi atas benih unggul, resistensi atas penggunaan herbisida dan
resistensi atas teknologi pendukung pertanian.
Resistensi atas penggunaan bibit unggul yang menggantikan bibit lokal tradisional
pegagan dilakukan dengan cara; perempuan tetap menggunakan bibit pegagan untuk
menanam padi meskipun hanya segelintir orang yang melakukannya. Secara umum, bibit
yang ditanam petani padi sawah lebak (saat ini) telah berganti ke bibit unggul yang
diintrodusir pemerintah melauli kebijakan revolusi hijau. Pada titik ini, pada persoalan bibit
telah terjadi perampasan kuasa pengetahuan perempuan untuk memilih dan memilah bibit
yang layak ditanam, namun masih ada perempuan yang tetap menggunakan bibit lokal
pegagan. Pada saat penelitian berlangsung (tahun 2012) dimana terjadi gagal panen di
Kabupaten Ogan Ilir), justru benih padi lokal (padi tinggi) yang bisa bertahan sehingga
tidak gagal panen. Namun jumlah petani yang menanam padi lokal sangat sedikit, hanya
sebagai pemenuhan ketersediaan pangan keluarga dan bukan untuk dijual.
Resistensi atas penggunaan herbisida dilakukan perempuan dengan tetap
membersihkan rumput (rencam) secara manual. Kegiatan rencam masih banyak dilakukan
di kalangan petani perempuan sebagai upaya perlawanan atas penggunaan herbisida.
Penggunaan herbisida dirasakan merugikan secara ekonomi karena harus mengeluarkan
uang untuk membeli racun rumput (sebutan herbisida oleh komunitas petani padi). Dengan
51
membersihkan secara manual maka petani lebih bisa berhemat serta memberi peluang bagi
keterlibatan peran perempuan. Pada titik ini, intervensi pengetahuan pemerintah dalam
membersihkan rumput menggunakan herbisida tidak sampai merampas kuasa pengetahuan
perempuan tetapi hanya menggusurnya dari proses pertanian padi sawah lebak.
Resistensi atas penggunaan teknologi pertanian seperti mesin grentek, perontok
padi, sabit dan pembajak sawah (traktor) yang didominasi laki-laki dilakukan dengan cara
perempuan berusaha untuk bisa menggunakan alat-alat pertanian tersebut meskipun tidak
mendapatkan sosialisasi dari pemerintah. Perempuan melawan kebijakan pemerintah yang
lebih mengutamakan laki-laki sebagai obyek dari program pertanian. Perlawanan ini
membuahkan hasil dimana terdapat perempuan yang bisa mengoperasikan alat-alat
pertanian modern (meskipun jumlahnya sedikit).
Bentuk-bentuk resistensi yang dikemukakan diatas adalah resistensi langsung atas
marjinalisasi kuasa pengetahuan perempuan dalam proses produksi padi sawah lebak.
Selain resistensi langsung atas marjinalisasi di sektor pertanian padi sawah lebak, resisten
perempuan juga dilakukan dalam bentuk tidak langsung dengan melakukan diversifikasi
pekerjaan diluar sektor pertanian padi, yakni pekerjaan tani non padi dan usaha non
pertanian. Diversifikasi pekerjaan menjadi bentuk resistensi simbolik atas tergusurnya
peran perempuan dari sektor pertanian padi. Perempuan menunjukkan bahwa meskipun
mereka termarjinalkan dalam proses pertanian padi sawah lebak untuk pemenuhan pangan
keluarga, mereka tetap bisa berkontribusi dengan melakukan pekerjaan tani non padi
seperti menanan sayur mayur dan kacang-kacangan di sekitar rumahnya dan pekerjaan non
tani dengan mengaplikasikan pengetahuan dan ketrampilan untuk mendapatkan uang
seperti menenun songket, menyiang ikan, membuat atap daun dan berjualan makanan.
Diversifikasi pekerjaan perempuan menjadi simbol perlawanan tidak langsung,
artinya tidak berhubungan dengan proses produksi padi sawah lebak. Perlawanan simbolik
untuk menunjukkan bahwa perempuan dan pangan memang tidak bisa dipisahkan, selalu
berhubungan dalam pemenuhan pangan keluarga. Diversifikasi pekerjaan perempuan
semakin terlihat setelah tergusurnya peran perempuan karena intervensi revolusi hijau.
Pada saat perempuan terlibat pada seluruh proses pertanian padi lebak (sebelum penerapan
revolusi hijau) belum banyak variasi jenis pekerjaan perempuan, karena waktu mereka
banyak dihabiskan untuk produksi padi sawah lebak. Pekerjaan mengumpulkan bahan
pangan dari ekologi rawa telah dilakukan sejak dahulu namun seiring marjinalisasi peran
perempuan, pekerjaan mengumpulkan bahan pangan dari rawa semakin banyak dilakukan.
Begitu juga dengan kerajinan tenun songket, dimana komunitas petani padi sawah lebak
baru mencoba kerajinan tenun songket pada tahun 1992, seiring masuknya revolusi hijau
di komunitas petani padi sawah lebak. Hal ini menunjukkan perempuan tetap kreatif untuk
memberikan kontribusinya bagi pemenuhan pangan keluarga. Kreatifitas perempuan dalam
pemenuhan pangan sesungguhnya bukan hanya karena sebagai bentuk perlawanan atas
marjinalisasi pada proses pertanian padi lebak tetapi juga disebabkan oleh tekanan ekonomi
keluarga yang menuntut terpenuhinya kebutuhan keluarga.
Diversifikasi pekerjaan tani non padi: resistensi atas marginalisasi kuasa
pengetahuan perempuan di sektor pertanian padi sawah lebak dan ujung tombak
bagi pemenuhan pangan keluarga.
Perempuan petani padi sawah lebak di desa Ulak Aurstanding melakukan
diversifikasi pekerjaan tani non padi untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga.
Pekerjaan tani non padi tersebut antara lain; mengumpulkan bahan pangan dari ekologi
rawa lebak. Hilangnya kontribusi kuasa pengetahuan perempuan di bidang pertanian padi
sawah lebak, tidak menyurutkan perempuan untuk tetap berperan bagi pemenuhan pangan
keluarga. Hal ini dilakukan bukan hanya karena persoalan kebutuhan pangan keluarga
52
namun merupakan bentuk resistensi mereka untuk tetap memiliki kuasa pengetahuan dalam
pemenuhan pangan keluarga.
Para petani dan perempuan petani padi sawah lebak menyadari bahwa sejak
masuknya revolusi hijau terjadi peningkatan produktifitas padi, namun juga memiliki
ketergantungan yang sangat besar terhadap sarana produksi pertanian. Ketika terjadi gagal
panen maka kerugian yang dialami juga besar, yang berakibat pada hutang petani
membengkak. Diversifikasi pekerjaan tani non padi menjadi sangat penting dilakukan oleh
keluarga petani jika menginginkan mereka tetap bisa makan dan menjaga kelangsungan
hidupnya. Pertanian padi sawah lebak sangat rentan dipengaruhi musim memaksa petani
melakukan strategi nafkah demi terpenuhinya pangan keluarga.
Kondisi inilah yang menjadi pemicu bagi para petani khususnya perempuan petani
padi sawah lebak yang telah tergusur perannya, melakukan diversifikasi pekerjaan tani non
padi sebagai penopang bagi terpenuhinya pangan keluarga. Oleh karenanya diversifikasi
pekerjaan tani non padi menjadi suatu keharusan untuk melawan marginalisasi perempuan
petani pada proses pertanian padi sawah lebak dan juga sebagai ujung tombak bagi
pemenuhan pangan keluarga.
Kuasa pengetahuan perempuan dalam memenuhi ketersediaan pangan keluarga
petani padi sawah dipraktikkan dengan mencari dan mendapatkan bahan pangan dari
lingkungan sekitar. Usaha-usaha perempuan memperoleh pangan dari ekologi rawa
sesungguhnya membuktikan betapa perempuan dan alam memiliki hubungan erat.
Perempuan mampu memilih bahan pangan rawa yang aman dikonsumsi keluarga, namun
tidak mengeskploitasi untuk kepentingan ekonomis. Perempuan mengambil bahan pangan
dari ekologi rawa secukupnya untuk memenuhi konsumsi keluarga. Oleh karena tidak ada
unsur eksploitasi terhadap alam, sehingga ekologi rawa tetap terjaga keberlanjutannya
(sustainability). Maria Mies dalam Shiva 1997, menyatakan kegiatan perempuan dalam
menyediakan pangan pangan sebagai produksi kehidupan dan memandangnya sebagai
hubungan yang benar-benar produktif dengan alam, karena perempuan tidak hanya
mengumpulkan dan mengkonsumsi apa yang tumbuh di alam, tetapi mereka membuat
segala sesuatu menjadi tumbuh. Proses pertumbuhan secara organis yang di dalamnya
perempuan dan alam bekerjasama sebagai mitra telah menciptakan suatu hubungan khusus
antara perempuan dan alam.
Keterlibatan perempuan dalam kegiatan pertanian padi sawah lebak masih
dijumpai hingga saat ini, meskipun sangat jauh berbeda kontribusi perempuan pada saat
sebelum penerapan revolusi hijau dan setelahpenerapan revolusi hijau. Revolusi hijau telah
mereduksi, menggusur dan memarginalisasi peran perempuan petani padi sawah lebak.
Shiva 1997, bahkan menyebutkan revolusi hijau merupakan proses dominasi dan
kekuasaan budaya yang menggusur ideologi budaya dan politik perempuan Selatan (negara
berkembang).
Pada masa sebelum revolusi hijau perempuan memiliki peran dihampir seluruh
proses pertanian padi sawah lebak. Mulai dari penyiapan lahan, pemilihan bibit, hingga ke
proses pemanenan. Keterlibatan perempuan dalam pemilihan bibit diungkapkan (Jasiyah
50 th) sebagai berikut:
“Bibitnye sendiri, kalu guleh taun ini dibuat bibit lagi, ibu yang buatnye, yang
nyemaikan….akuni bapaknye lak meninggal. Anakku yang bujang due bantu
kesawah.
(Bibit yang disemai bibit sendiri yang dipilih dari hasil padi yang didapat. Ibu
yang membuatnya, menyemaikan, karena bapak sudah meningggal. Selain itu
dibantu juga oleh dua orang anak laki-laki)
Para perempuan menyisakan padi untuk dijadikan bibit, segera setelah panen usai.
Perempuan memilih dan memilah padi yang diperkirakan bagus untuk ditanam kembali.
53
Biasanya mereka memilih padi yang bagus dengan cara menampi, menggunakan alat
tampir dari bambu,dengan digoyang-goyangkan akan terpisah antara padi yang bernas dan
padi yang tidak berisi. Kemungkinan tumbuh yang ditampi (padi bernas) cukup tinggi jika
dibandingkan dengan padi yang tidak ditampi.Padi ini kemudian disemai dengan cara
ditugal, ditanam dengan menggunakan alu dari batang kayu.Setelah tumbuh agak tinggi
dan air rawa surut,kemudianbibit padi dipindahkan ke lahan pertanian.
Kuasa pengetahuan perempuan dalam memilih bibit lokal ini kemudian digantikan
dengan bibit unggul yang diintrodusir oleh pemerintah. Pemerintah mengganti bibit padi
lokal Pegagan dengan IR 42, Ciherang dan INPARA 1-13. Bibit dari pemerintah disebut
sebagai bibit unggul dan ajaib karena waktu tanam hingga panen lebih cepat dan
produktivitas lebih tinggi, sementara bibit tradisional komunitas yakni pegagan dianggap
sebagai bibit primitif. Kuasa pengetahuan perempuan memilih dan memilah padi untuk
menghasilkan bibit unggul mau tak mau tergusur dan kehilangan kesempatan untuk
dipraktikkan. Pada titik ini, revolusi hijau telah merampas hak perempuan memproduksi
bibit lokal.
Perempuan juga terlibat dalam persiapan lahan dan menyemaikan padi, bahkan
sebagian besar pekerjaan pertanian dilakukan oleh perempuan, kecuali pekerjaan yang
berat. Berikut penuturan Maimuna (50 th):
“Kalu nugal atau buat anak padi biasenye ibu-ibu, ngambil mindahkan ibuibu, yang mikul-mikul untuk mindahke kesawah bapak. Merumput gotong
royong bapak ibu, kalu banyak rumput ibu, kalu dikit rumput bapak”
Pada saat air yang menggenangi lahan rawa agak surut, maka ditemui banyak
rumput sisa tumbuhan dan rumput yang tumbuh selama air pasang (tumbuhan rawa). Oleh
karena itu perlu dibersihkan terlebih dahulu sebelum ditanami.Mayoritas perempuan
terlibat dalam kegiatan ini. Secara manual mereka membersihkan rumput tersebut
menggunakan tangan dan sabit, namun setelah revolusi hijau dan dikenalkan dengan racun
rumput, mereka menggunakan obat tersebut (jika memiliki kecukupan uang untuk membeli
dan jika tidak maka dilakukan secara manual). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan
herbisida mengurangi peran perempuan dalam proses pertanian padi sawah lebak.
Herbisida merupakan racun membunuh rumput, yang diperkenalkan oleh pemerintah untuk
memudahkan membasmi rumput, namun di sisi lain mengurangi keterlibatan perempuan
petani padi sawah lebak.
Setelah lahan bersih dari rumput maka para perempuan mengambil padi yang
sudah ditugal (dibibit sebelumnya), dipindahkan ke tempat yang agak tinggi sebelum
ditanam ke sawah rawa lebak.Begitu air rawa surut hingga tinggal 0,5-5 cm maka para
perempuan banyak terlihat bertebaran di lahan menanam padi. Umumnya para perempuan
bertugas menanam padi, sementara petani laki-laki hanya memikul bibit dari tempat
pembibitan ke tempat perempuan menanam padi.
Penggunaan mesin perontok padi bagi proses panen padi dilakukan oleh laki-laki.
Hal ini karena mesin tersebut didesain untuk laki-laki, dan disosialisasikan kepada laki-laki
melalui kelompok tani. Perempuan tidak diperhitungkan dalam penggunaan teknologi
panen padi sehingga lagi-lagi peran perempuan terkurangi.Pengoperasi mesin grentek
umumnya laki-laki meskipun ada juga perempuan yang bisa menggunakan alat ini.
Ketergusuran kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga
petani padi sawah lebak pada aspek ketersediaan padi mengakibatkan perempuan
melakukan diversifikasi pekerjaan tani non padi. Perempuan bekerja sebagai pengumpul
bahan pangan dari ekologi rawa. Kuasa pengetahuan perempuan tentang pangan yang
bersumber dari ekologi rawa dipraktikkan untuk memilih jenis-jenis pangan yang bisa
diolah menjadi makanan keluarga. Pada posisi demikian perempuan tetap bisa berperan
dalam pemenuhan pangan keluarga.
54
Ekosistem rawa lebak memiliki keanekaragaman tumbuhan (flora) dan hewan
(fauna) yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber pangan. Tumbuhan yang hidup di lahan
rawa lebak sangat beragam dari jenis pohon, perdu, semak, dan rumput.Macam, jenis dan
keragamannya sangat tergantung pada kondisi lingkungan fisik (iklim, hidrologi, tanah,
vegetasi, tipologi) serta pemanfaatannya.Jenis fauna yang hidup di rawa lebak sangat
beragam dari golongan reptil, unggas, dan berbagai jenis ikan.Pengembangan
perikananpada ekosistem rawa lebak ditopang oleh adanya vegetasi rawa. Pada umumnya
didapati empat jenis vegetasi, yang dipakai sebagai pakan ikan yaitu 1) Vegetasi dibawah
permukaan (emerged), 2) Tipe berdaun terapung (floating leaved) 3) Terapung bebas (free
floating) 4) Tipe jenis rumput. Jenis ikan yang hidup pada ekosistem rawa tidak kurang
dari 100 jenis, diantaranya ikan hitam; gabus, papuyu,sepat, biawan, patin, toman dan ikan
putih, ikan yang umum berada di perairan sungai dan bisa ditemukan di rawa sebagai ikan
pendatang. Selain ikan, hewan piaraan yang bisa terdapat di rawa adalah itik Alabio dan
kerbau rawa (Noor, 2007).
Perempuan memanfaatkan ekosistem rawa tersebut untuk memenuhi kebutuhan
pangan keluarga sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Pengetahuan tersebut
berasal dari sosialisasi dalam keluarga dan komunitas petani padi sawah lebak. Berbagai
pengetahuan tersebut dimanfaatkan untuk menghadapi masalah pangan berdasarkan
musim, yakni musim pasang (hujan) dan musim surut (kemarau).
Pada musim pasang, para perempuan mencari ikan dengan cara memancing,
menggunakan tangkul, dan jala.Hasil yang diperoleh dimanfaatkan untuk lauk makan
keluarga petani padi sawah lebak.Jika mendapatkan tangkapan dalam jumlah banyak maka
dijual kepada para tengkulak yang datang ke desa. Biasanya pada musim pasang,
jumlahtangkapan ikan banyak berkonsekuensi pada murahnya harga ikan. Para perempuan
tetap mencari ikan meskipun harga ikan mengalami penurunan untuk menambah tambahan
pendapatan keluarga. Berikut penuturan para subyek kasus;
“Kalu dapat ikan ninggali untuk makan, makan dulu baru dahnye dijual. Iwak
itulah pendaping nasik tu. Neman makan ikan tulah, jarang ame makan buahbuahan tu. Ikan tu sepanang tau ade tulah, air pasang die ade, air surut ade
disungai ni”. (Nursyam, Fatimah, Jasiyah)
(Biasanya hasil tangkapan ikan untuk masak, kalau ada lebih baru dijual.
Ikan menjadi menu tiap hari. Masyarakat disini lebih sering makan ikan
daripada makan buah-buahan. Karena ikan disini ada sepanjang tahun, baik
musim surut maupun pasang)
Jenis-jenis ikan yang bisa mereka dapatkan adalah ikan seluang, betok, gabus, dan
ikan putih lainnya yang berasal dari luapan sungai kedukan kijang yang mengitari desa
Ulak Aurstanding. Bahkan beberapa perempuan sengaja menjadi pencari ikan sebagai
pekerjaan utama saat musim pasang.Biasanya mereka membentuk kelompok yang terdiri
dari dua atau tiga orang mencari ikan bersama.Setelah terkumpul mereka menjual
menggunakan perahu sampan dari rumah ke rumah.Pada musim pasang perahu sampan
menjadi alat transportasi di desa ini.Ada juga perempuan yang menjual ikan tangkapannya
dengan berjalan kaki di sepanjang ruas jalan utama yang tidak tergenang air. Biasanya ikan
dijual ketengandimasukkan dalam plastik kecil setiap plastik seharga Rp. 2.000,- dengan
jumlah berat sekitar ¼ kilogram.
Melimpahnya jumlah ikan saat musim pasang membuat hasil tangkapan melimpah
sehingga muncul pekerjaan baru yakni buruh menyiang ikan.Para tengkulak ikan ada yang
membeli ikan dalam bentuk ikan hidup, ada juga yang membeli ikan dalam bentuk sudah
bersih (disiangi/diperut).Biasanya ikan yang sudah disiangi ini digunakan untuk membuat
tekwan, model, empek-empek serta untuk krupuk kemplang. Upah menyerut/menyiang ikan
ini sebesar Rp. 500,- perkillogram ikan bersih. Memang membutuhkan waktu lama, tetapi
55
para perempuan mengambil pekerjaan ini daripada menganggur di rumahnya.Ikan diantara
ke salah satu rumah penduduk kemudian tetangga sekitar datang untuk menyerut ikan
bersama-sama.
Perempuan memanfaatkan keong rawa, masyarakat menyebutnya gondang, untuk
dimasak sebagai lauk makan dan juga digunakan sebagai pakan itik peliharaan mereka.
Gondang ini banyak ditemukan saat musim pasang.Perempuan membuka cangkang,
menukil isi/dagingnya dan mengolahnya menjadi lauk atau sebagai pakan itik. Jika untuk
lauk maka keong direbus terlebih dahulu sebelum diolah dengan bumbu sesuai selera,
sedangkan untuk pakan itik, keong tersebut dicampur dengan dedak atau sisa makanan dan
buah telepuk. Buah telepuk ini banyak hidup mengambang di permukaan air saat musim
pasang. Selain untuk campuran makan itik, buah telepuk juga dmanfaatkan sebagai sayuran
oleh masyarakat desa Ulak Aurstanding. Para perempuan menggunakan sampan untuk
mendapatkan buah telepuk dan keong rawa, sampai ke tengah rawa. Berikut gambar jenis
bahan pangan keluarga petani padi sawah lebak yang diambil dari ekosistem rawa lebak:
Gambar 8: Bahan pangan yang diperoleh dari ekosistem rawa; telur itik, keong/gondang
dan buah telepuk
Itik yang dipelihara masyarakat adalah itik jenis Alabio.Pengembangan itik ini
dilakukan secara ekstensif dan intensif. Secara ektensif
dilakukan dengan
menggembalakannya ke luar kandang, ke lahan-lahan di sekitarnya. Pakan itik sangat
tergantung pada keberadaan tanah rawa lebak yang secara alami menyediakan makanan
seperti ikan-ikan kecil, cacing serta berbagai gulma air seperti eceng gondok, kangkung,
kayu apu dan tumbuhan air lainnya. Sementara secara intensif dipelihara di dalam kandang.
Setiap keluarga biasanya memiliki peliharaan bebek dan ayam dengan jumlah yang
berbeda.Hewan peliharaan ini sangat bermanfaat untuk menambah pendapatan keluarga
karena mereka menjual telur ayam dan bebek jika memerlukan uang. Telur bebek dijual
seharga Rp. 1.500,- perbutir. Mereka menjual ayam dan hewan piaraan tersebut di pasar
kalangan.Pasar kalangan adalah tempat bertemunya penjual dan pembeli untuk menjual
dan membeli barang keperluan hidup sehari-hari. Pasar kalangan diadakan pada hari
tertentu, satu kali dalam seminggu. Banyak pedagang dari luar desa, sengaja datang untuk
menjual barang-barang yang tidak diproduksi masyarakat setempat. Para tengkulak juga
datang untuk membeli barang seperti telur bebek, ayam kampung dan ikan.
Pada musim air mulai surut, perempuan terlibat dalam proses pertanian padi sawah
lebak. Dimulai dari pembuatan brondong (rumput panjang dianyam untuk media
penyemaian bibit padi), menyingkirkan rumput yang tumbuh pada saat air pasang,
menyemaikan bibit, memindahkan bibit, menanam padi dan memanen padi. Setelah panen
padi perempuan menjemur padi sebelum padi simpan, atau digiling menjadi beras.
Perempuan memanfaatkan lahan yang sudah surut lebih awal (lebak dangkal)
untuk menanam berbagai jenis sayuran seperti kacang panjang, kangkung, cabai, tomat dan
56
labu. Tanaman biji-bijian yang sering ditanam yaitu jagung dan kacang tanah.Setiap
jengkal tanah yang memungkinkan ditanami dimanfaatkan untuk tanaman tersebut.
Pengetahuan perempuan untuk melakukan diversifikasi pekerjaan tani non padi
untuk memenuhi kebutuhan pangan tersebut di atas, membuat perempuan mempunyai
kuasa atas pangan keluarga. Sejalan dengan ini, Foucault mengungkapkan adanya
hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan saling berkaitan. Kekuasaan dan pengetahuan
saling terkait.Tidak ada hubungan kekuasaan tanpa pembentukan yang terkait dengan
bidang pengetahuan, dan tidak ada pengetahuan yang tidak mengandaikan serta tidak
membentuk sekaligus hubungan kekuasaan (Foucault 1980).
4.KESIMPULAN
Resistensi kuasa pengetahuan perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga
petani sawah lebak dilakukan sebagai akibat marjinalisasi peran perempuan dalam proses
pertanian padi sawah lebak dan tekanan ekonomi keluarga. Bentuk-bentuk resistensi kuasa
pengetahuan perempuan antara lain; resistensi langsung terhadap proses pertanian padi
sawah lebak (penggunaan bibit lokal, membersihkan rumput secara manual dan
penggunaan teknologi pertanian) dan resistensi tidak langsung dengan melakukan
diversifikasi pekerjaan tani non padi, menenun songket, mengolah hasil perikanan rawa,
membuat atap daun, membentuk organisasi non formal, mengakses kredit non formal, dan
membuat konsumsi pangan keluarga. Pekerjaan tersebut menunjukkan adanya geliat
ekonomi perempuan untuk pemenuhan pangan keluarga.
Diversifikasi pekerjaan tani non padi menjadi ujung tombak kuasa pengetahuan
perempuan dalam pemenuhan pangan keluarga. Ekologi rawa memberi peluang para
perempuan mencari dan mengumpulkan bahan pangan, sehingga perempuan tetap berperan
dalam ketersediaan pangan keluarga meskipun tergusur dari proses pertanian padi sawah
lebak.
5.DAFTAR PUSTAKA
Agger B. 2009. Teori Sosial Kritis. Terjemahan: Critical Social Theories: An Introduction.
Yogyakarta (ID):Kreasi Wacana.
Babatunde, O. Raphael.,& Qoim, Martin, 2010. Impact of off-farm income on food security
and nutrition in Nigeria. Food Policy 35 (2010) 303-311. Elsevier Ltd
Brennan. MA & Israel, G.D. 2008. The Power of Community. Journal of Community
Development Society, Vol 39. No. 1. 2008.
Carr R.Edward, 2006. Postmodern conceptualizations, modernist applications: Rethinking
the role of society in food security. Food Policy 31 (2006) 14-29. Elsevier.
www.sciendirect.com
Chung K, Haddad J, Rama K, Riely F. 1997. Identifying The Food Insecure, The
Application on Mixed Method Approacher in India, International Food Policy
Research Institute, Washington DC.
Denzin NK,Lincoln YS. 2009. Handbook of Qualitative Research. Edisi Bahasa Indonesia.
Yogyakarta (ID):Pustaka Pelajar.
Febriansyah A. 2014. Analisis kesejahteraan petani padi sawah lebak di kecamatan
Pemulutan kabupaten Ogan Ilir Palembang: Jurnal Ilmiah AgrIBA No 2 Edisi
September tahun 2014.
Foucault M. 1980. Power/knowledge, edited by Colin Gordon. New York (USA):
Pantheon Books, Harvester Press.
Gladwin H, Cristina, Thomson M, Anne. Peterso S, Jennifer & Anderson SA. 2001.
Adressing food security in Africa via multiple livelihood strategies of women
farmers. Food Policy 26 (2001) 177-207. Elsevier Ltd
57
Haddad L, Kasbur 1990. Intrahousehold Resource Allocation: Methods, Models, and
Policy. John Hopkins University
Mabsout R, Staveren V. 2010. Distentangling Bargaining Power from Individual and
household Level to Institutions: Evidence on Women’s Position in Ethiopia.
World Development, vol 38, No. 5, pp. 783-796. Elsevier Ltd
McCullum C, Pelletier D. Barr D.& Wilkins J. 2003.Agenda Setting within a CommunityBased Food Security Planning Process: The Influence of Power. Research Brief.
Society for Nutrition Education.
McMichael, P. 2009.A food regime geneology. The Journal of Peasant Studies. Vol.36 No.
1, January 2009, 139-169.
Maxwell S. Frankenberger TR. 1992. Household Food Security: concepts, indicators,
measurement, A technical Review. Rome: International Fund for agriculture
Development. United Nations Children’s Fund.
Moussa C. 2011. Impact Assesment of Women Farmer Activity on Poverty Reduction and
Food security: A case of Kindia Region/Guinea. Journal of Agriculture
Science.Canadian Centre of Science and Education.
Nanama S. & Frongillo A E. 2012. Women’s rank modifies the relationship between
huosehold and women’s food insecurity in complex households in northern
Burkina Faso. Food Policy 37 (2012) 217-225. Elsevier Ltd
Rocheleau D.& Edmunds D. 1997.Women, Men and Trees:Gender, Power and Poverty
inForest and Agrarian Landscapes.World Development, Vol 25, No 8, pp.13511371. Pergamon. Elsevier Science Ltd
Scanlan J. Stephen. 2004. Women, Food Security, and Development inLess-Industrialized
Societies: Contributions and Challenges for fhe New century. World
Development Vol. 32, No 11, pp. 1807-1829. Elsevier Ltd
Schiavoni C. 2009. The global struggle for food security: from nyeleni to New York. The
Journal of Peasant Studies.Vol. 36 No. 3 July 2009, 682-689.
Sen A. 1982. Poverty and Famines: An Essay on Entitlement and Deprivatio. Oxford (GB):
Clarendon Press
Sukiyono. 2008. Status Wanita dan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Nelayan dan Petani
Padi Di Kabupaten Muko-Muko Provinsi Bengkulu. Jurnal Agro Ekonomi
Volume 26 no 2 Oktober 2008.
Valdivia C, Gilles J. 2001. Gender and Resource management: household and groups,
trategies and transitions. Agriculture and human Value vol 18, 5-9
Walingo M, Khakoni. 2009. Role of Livestock Projects in Empowering Women Smallholder
Farmers for Sustainable Food Security in Rural Kenya. AJFAND Vol 9 No 7
Tahun 2009.
58
KEMISKINAN DAN AKSI KOLEKTIF PEREMPUAN
Ida Ruwaida
Staf Pengajar Departemen Sosiologi Universitas Indonesia
e-mail: [email protected]
Abstrak
Tulisan ini menfokuskan perhatian pada pemberdayaan ekonomi perempuan melalui
program penanggulangan kemiskinan dalam kaitannya dengan aksi kolektif perempuan.
Berdasar kajian terefleksi bahwa kebijakan maupun program penanggulangan kemiskinan
masih belum menstimuli kapasitas dan kesadaran kritis perempuan baik secara individual
maupun kolektif. Artinya, perempuan masih diposisikan dengan peran instrumentalnya,
bukan peran substantif/transformatifnya. Menariknya, ada kecenderungan programprogram yang ada justru menfragmentasi perempuan. Hal ini dimungkinkan ketika
kebutuhan dan kesadaran perempuan untuk mengorganisir diri dan memperjuangkan
kepentingan bersama masih lemah. Pada sejumlah kasus, aksi kolektif perempuan sangat
diwarnai oleh ada tidaknya figur sebagai “tokoh” yang memiliki kapasitas individual
sebagai agen perubahan, yang mampu melakukannya apa yang disebut oleh Naila Kabier
sebagai transformasi institusional, meski berhadapan dengan tantangan struktural dan
kultural. Secara sosiologis, menarik mengungkap strategi agen perubahan dalam
menyikapi tantangan-tantangan institusional yang ada.
Abstarct
This paper focuses attention on women's economic empowerment through poverty
alleviation programs in relation to the collective action of women. Based on the study
reflected that the policies and programs of poverty reduction is still not stimulate the
capacity and critical awareness of women both individually and collectively. That is,
women are still positioned with its instrumental role, not a substantive role /
transformative. Interestingly, there is a tendency of existing programs instead
menfragmentasi women. This is possible when the need and awareness of women to
organize themselves and promote common interests, is still weak. In some cases, the
collective action of women strongly colored by the presence or absence of the figure as a
"leader" who has the individual capacity as an agent of change, is capable of doing what
is called by Naila Kabier as institutional transformation, although faced with structural
and cultural challenges. Sociologically, reveal interesting strategy change agents in
addressing the institutional challenges that exist.
Pendahuluan
Pemerintah Indonesia, sejalan dengan tujuan pembangunan milenium (MDGs), yang kini
dikembangkan menjadi tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), menempatkan
kemiskinan sebagai salah satu masalah utama yang harus ditanggulangi. Data BPS, per
September 2015, jumlah penduduk miskin mencapai 28,51 juta jiwa (11,13 persen).
Persentase penduduk miskin di desa jauh lebih besar (14,09 persen) dibandingkan kota
(8.2%). Adapun gini ratio mencapai 0.41, yang mana kota lebih besar (0,43) dibanding
59
desa (0,33). Jika dilihat berbasis gender, maka data menunjukkan bahwa perempuan lebih
rentan secara ekonomi, lebih miskin. Berbagai faktor yang melatari tidak bisa dilepaskan
dengan nilai-nilai yang diberlakukan di masyarakat pada perempuan, yang kemudian
mengkondisikan kelompok ini berpendidikan lebih rendah, nikah lebih muda, bergantung
secara ekonomi pada laki-laki/keluarga, dll.
Selama dua dekade terakhir, berbagai kebijakan dan program telah diluncurkan oleh
pemerintah, yang pada dasarnya bertujuan untuk menurunkan angka kemiskinan (antara 9
hingga 10 persen) dan juga menurunkan angka gini ratio atau ketimpangan pendapatan
(target 0,39). Strategi yang dikembangkan bersifat terpadu baik menyasar pada
rumahtangga maupun komunitas, bahkan pada perempuannya sendiri.3 Berkenaan dengan
kondisi nyata bahwa kemiskinan lebih berwajah perempuan, berbagai program telah
diluncurkan baik oleh pemerintah maupun organisasi non-pemerintah. Salah satu yang
terkini adalah program terpadu dan terintegrasi yang diinisiasi Pemerintah Indonesia
dengan Pemerintah Australia adalah program “MAMPU” (maju perempuan Indonesia
untuk penaggulangan kemiskinan), yang melibatkan berbagai kelompok pemangku
kepentingan (organisasi penggiat perempuan/gender).
Menariknya, sebagian besar program, termasuk MAMPU (2012-2020), berpijak dari
asumsi dasar bahwa memperluas akses peluang pekerjaan bagi perempuan dapat
meningkatkan pendapatan dan mengatasi kemiskinan. Hasil kajian International Poverty
Centre memang menunjukkan bahwa apabila perempuan tidak mengalami hambatan
apapun dalam memasuki pasar tenaga kerja, maka kemiskinan akan berkurang setidaknya
25 persen di Argentina dan Brazil, sementara di Chili mencapai 40 persen. Sementara studi
lain menegaskan bahwa memperluas akses peluang pekerjaan bagi perempuan dapat
meningkatkan pemberdayaan SDM bagi anak perempuan, serta ditundanya usia
pernikahan dan melahirkan bagi perempuan (www.mampu.co.id).
Berbasis dari berbagai kajian tersebut, pertanyaannya adalah apakah asumsi-asumsi diatas
tercermin di Indonesia? Dengan kata lain, apakah program-program penanggulangan
kemiskinan yang menyasar pada perempuan secara langsung maupun tidak langsung
(misalnya: kelompok usaha bersama/KUBE, Simpan Pinjam Perempuan/SPP-PNPM, juga
yang terkini MAMPU, serta program lainnya baik di level lokal/nasional/regional) akan
memampukan atau memberdayakan perempuan baik secara ekonomi, sosial, bahkan
politik.4 Artinya, seberapa besar kontribusi program seperti: pada peningkatan keberdayaan
perempuan tidak hanya pada level individual, namun juga kolektif? Hal ini mengingat
tantangan yang dihadapi perempuan bukan hanya pada komunitas/masyarakat, bahkan
pada tataran rumahtangga.
3
Setidaknya 3 program penanggulan kemiskinan, yakni: program bantuan khusus pada
rumahtangga sangat miskin ((RTSM) maupun miskin(RTM); pemberdayaan komunitas
(PNPM, SPP, dll); dan penguatan ekonomi (KUBE, dll). Pada level rumahtangga,
sejumlah program bantuan khusus antara lain: Bantuan Langsung Tunai (BLT atau
BLSM); Kartu Keluarga Sejahtera (KKS/KPS sebagai syarat mendapat BLSM, PKH,
dll)); Kartu Indonesia Pintar (pemberian beasiswa semacam BSM, Bidik Misi, dll), Kartu
60
Indonesia Sehat (sebelumnya Jamkesmas), dan berbagai program sektoral.
4
Mayoux (2006) mengembangkan kerangka analisis yang menunjukkan bagimana
program semacam micro-finance mempunyai dampak signifikan pada pemberdayaan
perempuan secara ekonomi, sosial, dan politik. Bahkan lebih jauh dikatakannya bahwa
akses terhadap tabungan dan pinjaman secara perlahan akan dapat mendorong atau
memperkuat keterkaitan ketiga aspek pemberdayaan.
Penanggulangan kemiskinan dan transformasi struktural
Upaya mengatasi kemiskinan perempuan dan mewujudkan kesetaraan gender perlu
diarahkan pada akar persoalannya yakni struktur, kondisi social, dan kultur masyarakat.
Oleh sebab itu, menurut Chafetz, perlu dilakukan penghapusan sistem normatif dan
ideologis yang mendasari stratifikasi gender (jenis kelamin). Untuk itu perempuan
selayaknya tidak berjarak dengan isu-isu kekuasaan dan politik sebagai arena strategis.
Tujuannya untuk melakukan transformasi struktural penguasaan sumberdaya dari struktur
ber-ketidakadilan ke struktur berkeadilan (Chafetz, 1988: 70-72; Lengermann dan
Niebrugge, 2003: 410-411). Transformasi struktural, pada dasarnya, hanya dimungkinkan
jika ada keberpihakan dan komitmen atas realitas yang dianggap tidak adil pada
perempuan. Keberpihakan dan komitmen ini, menurut Seidman (1998:62), memungkinkan
feminis bekerja sebagai pejuang perempuan yang melakukan aksi politik karena dilandasi
pemahaman dan kesadaran bahwa perempuan mengalami ketimpangan karena adanya blok
secara ideologis maupun sosial. Strategi pembebasan dari ketimpangan kekuasaan inilah
yang kemudian dikenal sebagai pendekatan pemberdayaan.
Menurut Kabeer (2005), pemberdayaan merupakan sebuah arena ‘kekuasaan’, yang
membutuhkan kemampuan (the power within) dalam melakukan aksi nyata (power
struggle) untuk mengakses, memanfaatkan, mengkontrol, dan bertanggungjawab atas
sumberdaya demi perubahan yang diharapkan. Oleh sebab itu, melakukan upaya
pemberdayaan tidaklah mudah karena berpilar pada pola relasi yang setara. Terlebih,
idealnya pemberdayaan dilakukan pada empat level, yakni: individu, kelompok, organisasi
dan komunitas. Dunst dkk (1990) juga menegaskan bahwa kinerja pemberdayaan juga
dilihat dari kemampuan membangun jaringan sebagai sumber daya (Cannan and Warren,
1997:109-110).
Dengan demikian, pemberdayaan sebagai aksi nyata bisa bergerak dari level individu ke
kolektif, dari negosiasi privat ke aksi publik, dari ranah informal ke ranah formal. Sebab
itu, proses dan parameter pemberdayaan menjadi isu signifikan bagi sebagian kalangan.
Secara konseptual, jika Chafetz mengemukakan pemberdayaan merupakan transformasi
struktural, maka Kabeer (2005) menawarkan transformasi institusional, yakni proses
transformasi yang mensyaratkan adanya gerakan atau perjuangan di berbagai arena
‘kekuasaan’, yakni: dari individu ke kolektif, dari negosiasi privat ke aksi publik, dari ranah
informal ke ranah formal. Berkenaan dengan strategi pemberdayaan dan dinamika power
struggle di masyarakat, Mohanty (2005) menekankan perlunya keberadaan institusi yang
fungsional dan krusial dalam proses demokrasi. Pertanyaannya: bagaimanakah merancang
prosedur institusional yang berkontribusi positif pada substansi kekuasaan yang eksesif?
Gagasan Kabeer (2005: 13-14) bisa diajukan sebagai alternatif jawaban, yakni
pemberdayaan sebagai upaya transformasi insitusional perlu memperhatikan tiga
aspek/dimensi yang saling terkait, yakni: agency, resources dan achievement.
61
Jika pemberdayaan sebagaimana dijelaskan oleh Mohanty (1995) merupakan upaya
pemampuan masyarakat sipil, termasuk keberadaan organisasi masyarakat sipil yang
representatif sebagai wadah partipasi, maka yang dipertanyakan adalah bagaimana
membangun komitmen warga/anggota komunitas untuk melakukan tindakan kolektif
secara terorganisir?. Artinya, dalam konteks melawan kemiskinan, bagaimana perempuan
mengorganisir diri dan membangun aksi kolektif?.
Agensi perempuan dan aksi kolektif
Merujuk pada gagasan Kabeer tentang transformasi insitusional, maka persoalan pertama
dan utama adalah menyangkut agensi. Pada dasarnya agensi merupakan konsep sentral
pemberdayaan, yang merepresentasikan melalui mana power atau kemampuan melakukan
pilihan dan mempertimbangkan konsekuensinya. Sedangkan sumberdaya adalah medium
melalui mana agensi bekerja, adapun capaian adalah keluaran agensi. Konteks
pemberdayaan sangat terkait dengan kerja agensi dalam kaitannya dengan struktur dan
relasi kekuasaan. Ada dua alternatif yang dimungkinkan bagi agensi yakni ‘power to’
(bermakna positif, memilih berbeda) atau ‘power over’ (bermakna negatif,
menguasai/cenderung koersif). Diakui Kabeer bahwa agensi berhadapan dengan norma
ideologis dan kultural yang memungkinkan adanya bias. Implikasinya pilihan tindakan
agensi bisa dalam bentuk: (1) agensi yang pasif (aksi dengan pilihan terbatas); (2) agensi
yang aktif (bertujuan jelas); (3) agensi efektif (bertindak merujuk pada peran dan
tanggungjawabnya); dan (4) agensi transformatif (mampu menantang batasan peran dan
tanggungjawab).
Merujuk pada konsepsi Dunst (1994), kemampuan perempuan sebagai agensi merupakan
indikator kinerja (performance), sekaligus indikator proses pemberdayaan. Menurut
Whitmore (1998), pemberdayaan sebagai proses merupakan aktivitas reflektif dari
kelompok yang diberdayakan, untuk mampu menentukan nasib/kondisinya sendiri (self
determination). Sementara, Young (1993:158) menegaskan bahwa perempuan menjadi
terberdayakan melalui proses refleksi dan pengambilan keputusan secara kolektif.
Paramaternya adalah membangun citra diri dan percaya diri yang positif, mengembangkan
kemampuan untuk berpikir kritis, membangun kelompok yang kohesif, terlibat aktif dalam
proses pengambilan keputusan, dan melakukan aksi nyata. Dalam proses pemberdayaan,
pihak-pihak yang berelasi perlu mengedepankan rasa saling menghargai, dan senantiasa
melakukan refleksi kritis atas proses dan relasi yang terjalin. (Cohran dan Henderson, 1990
dalam Warren, 1997).
Aksi kolektif merupakan bagian yang melekat dalam proses pemberdayaan. Secara konkrit,
aksi kolektif perlu melalui tahapan: (1) membangun rasa ingin tahu/ketanggapan, (2)
melakukan identifikasi atas berbagai kondisi perempuan,
(3) berkembangnya kesadaran, bahkan rasa “marah” pada situasi dan kondisi yang dialami
perempuan, (4) melakukan konsolidasi internal maupun ke pihak-pihak lain, (5) terbangun
identitas kolektif, yang sekaligus mencerminkan kekuatan atau keberdayaan perempuan
baik sebagai individu maupun kelompok kepentingan. Tahapan ini setidaknya
merefleksikan bahwa kesadaran kolektif tidak bisa dipisahkan dengan berkembangnya
kesadaran personal.
Peran agensi tidak bisa dilepaskan dengan struktur sosial dan politik, termasuk interaksi
antar aktor lokal. Untuk itu, Schneider dan Libercier (1995:12) menekankan pentingnya
62
upaya membangun rasa percaya diri diantara aktor yang beragam latar belakang, melalui:
dialog dan sikap tanggap, juga membangun kesiapan/kemampuan untuk membagi
kekuasaan dan mengkombinasikan sumberdaya/potensi lokal dengan prosedur dan
sumberdaya administratif. Mengingat pemberdayaan merupakan reflextive activity dari
kelompok yang powerless sehingga mampu memperjuangkan kepentingannya, maka
kelompok/aktor lainnya diharapkan mampu berkolaborasi dalam menciptakan iklim
(climate), relasi (relations), sumberdaya (resources), dan prosedur (procedure) yang bisa
mengkondisikan terbangun rasa percaya diri kelompok yang marginal, rentan. Lebih dari
itu, mereka juga mampu membagi kekuasaannya. Inilah yang oleh Himmelman (1994)
disebut sebagai strategi pemberdayaan kolaboratif, yang bisa berbentuk: (1) mengorganisir
masyarakat berdasar tujuan/kepentingan yang ditetapkan oleh masyarakat yang
bersangkutan, (2) menfasilitasi proses yang ‘menyatukan’ pihak -pihak luar dalam
mendukung tujuan masyarakat yang difasilitasi (Sardjono, 2004: 172-173).
Strategi kolaboratif menghantarkan pada pemahaman pentingnya sinergi atau koproduksi
antar aktor dalam melakukan pemberdayaan sebagai upaya transformasi sosial. Sinergi ini
-- meminjam gagasan pemikiran Durkheim -- hanya bisa dilakukan jika ada pembagian
kerja yang bukan semata bertumpu pada fungsi ekonomi tetapi juga sebuah kekuatan moral.
Adanya moral solidaritas ini sekaligus memperkukuh asumsi bahwa demokratisasi
ekonomi terlekat dengan persoalan keadilan sosial, keadilan gender, bahkan keadilan
diantara perempuan sendiri. Karenanya, bagi Durkheim upaya perubahan atau reformasi
bersumber dari kekuatan masyarakat. Menurutnya, hal-hal ideal tidak bisa dibentuk dan
ditetapkan lewat legislasi, tetapi harus dimunculkan oleh ‘tubuh’ yang paham,
berkomitmen, dan mampu mewujudkan hal-hal tersebut. Dalam konteks inilah,
‘asosiasi perempuan’ signifikan dipersoalkan, termasuk keterikatan sosial didalamnya.
Modal sosial perempuan dan aksi kolektif
Dalam konteks keberdayaan perempuan secara kolektif inilah modal sosial perempuan
menjadi elemen penting. Modal sosial yang dimaksudkan Putnam (1992) adalah
seperangkat hubungan horisontal antar individu atau networks of civic engangement, yang
diatur oleh norma-norma yang menentukan produktivitas suatu kelompok masyarakat atau
komunitas. Jaringan ini terbangun dari interaksi antar perempuan, bahkan antar kelompok
perempuan, dan mungkin antar kelompok perempuan dengan kelompok lainnya di
komunitas, bahkan dengan kelompok ‘penindas perempuan’, sebagaimana yang
distrategikan oleh feminis
Sosialis.
Dalam kaitan berelasi dengan ‘kelompok penindas’, Durkheim memang berbeda posisi
dengan Karl Marx, karena Marx masih tetap melihat adanya perbedaan kepentingan
mendasar antar kelompok dan sulit dicari titik temunya. Bagi Durkheim, meskipun ada
perbedaan kepentingan, namun masih dimungkinkan dipertemukan melalui apa yang
disebutnya sebagai ‘common morality’. Moralitas ini akan menjadi pendorong reformasi
sosial (Durkheim,1938/1977 dalam Ritzer dan Goodman, 2004; Ritzer, 1996). Sementara
Seidman (1998: 62) juga masih melihat peluang membangun ikatan sosial, bahkan
mensyaratkan adanya spesialisasi dan interdependensi peran-peran sosial. Ikatan sosial
inilah yang menjadi landasan terbangunnya kerjasama untuk pencapaian tujuan atau
kepentingan bersama (Purdue, 1986:73-76).
63
Berkenaan dengan modal sosial perempuan, gagasan Durkheim juga menjadi bagian
signifikan, khususnya tentang solidaritas sosial yang menjadi basis semangat kolektif
(collective conscience) bahkan berkembangnya ‘collective representation’. Representasi
kolektif mengkondisikan perempuan beragam latar belakang melebur menjadi “kelompok
tunggal’ (single group) (Ritzer,1966). Representasi kolektif inilah yang menjadi agenda
utama feminis. Meski diakui feminis gelombang ketiga menyadari adanya perbedaan di
kalangan perempuan berdasar etnis, agama, status ekonomi, dan lainnya. Perempuan
bukanlah kelompok yang homogen, karenanya membangun kesadaran kolektif, apalagi
representasi kolektif bukanlah hal mudah.
Oleh sebab itu, menurut Cornwal (2000), pembangunan yang partisipatif selayaknya
mempertimbangkan diversitas perempuan dan implikasinya pada partisipasi maupun
representasinya. Karenanya, Cornwal menegaskan pentingnya memberikan kerangka
kembali kepada pembangunan partisipatif, khususnya terfokus pada 2 (dua) hal, yakni:
kewarganegaraan (citizenship) dan hak berpartisipasi. Menurutnya, esensi partisipasi yakni
memberikan suara dan pilihan, serta mengembangkan kapasitas manusia berikut organisasi
dan manajemennya dalam memecahkan masalah guna memperbaiki kondisi atau situasi
secara berkelanjutan. Konsekuensinya, partisipasi tidak dijabarkan berdasar derajat atau
tingkatannya, melainkan pada bentuk/tipe partisipasi: nominal, instrumental, representatif
dan transformatif.
Realitas empiris program kemiskinan dan refleksi kritis
Berlandaskan pemahaman bahwa pemberdayaan merupakan proses sekaligus kinerja, tentu
menarik diungkap bagaimana wujudnya dalam berbagai program penanggulangan
kemiskinan. Pada dasarnya pemberdayaan bertujuan membantu kelompok sasaran atau
dampingan untuk mampu atau memiliki kekuatan dalam menentukan tindakan dan
mengambil keputusan berkaitan dengan kehidupan mereka, dengan: (1) mengurangi
dampak dari hambatan sosial atau pribadi dalam menerapkan kekuasaan, (2) meningkatkan
kapasitas dan percaya diri untuk menggunakan kekuatan, dan (3) memindahkan kekuatan
dari lingkungan kepada kelompok itu sendiri (Malcolm Payne, 1997: 266).
Temuan menunjukkan bahwa tindakan kolektif perempuan umumnya masih lemah, yang
ditandai dengan masih bertumpunya anggota pada figur penggerak. Selain itu, cenderung
elitis/eksklusif. Kondisi ini menunjukkan belum terbangunnya kohesi sosial diantara
mereka, apalagi membangun kesadaran kritis untuk memperjuangkan hak ekonomi secara
kolektif. Padahal merujuk Young (1993:158), perempuan terberdayakan jika melalui
refleksi dan pengambilan keputusan secara kolektif. Paramaternya adalah: membangun
citra diri dan percaya diri yang positif, mengembangkan kemampuan untuk berpikir kritis,
membangun kelompok yang kohesif, terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan,
serta melakukan aksi nyata.
Dalam konteks ini, bisa dikatakan belum terbangun modal sosial perempuan, yakni
seperangkat hubungan horisontal antar individu atau jaringan keterikatan sosial yang diatur
oleh norma-norma yang menentukan produktivitas suatu kelompok masyarakat atau
komunitas. Berbagai kajian menunjukkan bahwa ditengah diversitas perempuan, sudah
terjadi kontak fisik diantara mereka,bahkan terbangun perhatian dan kesadaran bersama.
Namun, ikatan emosional bisa dikatakan masih lemah, khususnya antar anggota kelompok.
Hal ini dilatari bukan semata adanya perbedaan latar belakang, namun lebih karena
64
subyektifitas anggota sudah terbatasi oleh persoalan ekonomi, sehingga relasi sosial yang
terbangunpun lebih bersifat transaksional. Inilah yang mendasari tidak terbangunnya
representasi simbolik. Meski kelompok bersifat sukarela, namun partisipasi perempuan
didalamnya lebih bersifat nominal dan instrumental, bahkan fungsional. Apalagi seringkali
ketua dianggap sebagai representasi simbolik organisasi, padahal ketua kelompok bisa jadi
belum merepresentasikan kepentingan anggota.
Menurut Putnam, hanya melalui interaksi-lah terbangun asosiasi horisontal (kelompok
keanggotaan), yang merupakan sumber trust dan ikatan sosial sekaligus emosional.
Asosiasi ini ditandai dengan pembiasan para anggota dan pengurus dalam bekerjasama,
sehingga mampu mengembangkan solidaritas dan semangat publik (Robert Putnam, Robert
Leonardi, Rafaella Nanetti, 1996, 36). Dalam kondisi demikian, upaya
pengembangan/pemberdayaan ekonomi perempuan, tampaknya lebih berbasis perspektif
komunitarian. Perspektif ini menfokuskan perhatian pada bentuk organisasi sosial yang
potensial bagi perempuan dalam membangun komitmen antar perempuan. Padahal
menurut Jim Ife dan Frank Tesoriero (2008: 425-429), hal terpokok dalam upaya
pemberdayaan ekonomi lokal adalah pengembangan ekonomi alternatif berbasis
masyarakat atau institusi ekonomi lokal, misalnya Lembaga Keuangan Mikro/LKM,
Koperasi, Credit Union, dan lain -lain. Namun demikian, pengembangan dan penguatan
institusi ekonomi lokal bukanlah hal yang mudah, salah satu tantangannya adalah
pengorganisasian sosial di tingkat lokal, termasuk pelembagaannya (institusionalisasinya).
Keberhasilan pengorganisasian sosial, tampaknya lebih berpilar pada isu yang nyata dan
dasar di masyarakat yakni: ekonomi. Artinya, program yang ada menawarkan upaya
pemenuhan kebutuhan praktis kepada masyarakat, termasuk perempuan. Kebutuhan
ekonomi merupakan kebutuhan dasar yang menentukan eksistensi dan kelangsungan hidup
manusia. Karenanya, isu ekonomi (juga pendidikan, kesehatan) merupakan pintu masuk
untuk menumbuhkan kepedulian perempuan dan masyarakat. Kedekatan isu pemberdayaan
dengan kebutuhan masyarakat, akan menumbuhkan minat dan keinginan individu untuk
kemudian berkelompok atas dasar kepentingan yang sama. Meski temuan menunjukkan
bahwa perempuan lebih memilih ‘mengelola usaha sendiri meski modal kecil’, namun isu
ekonomi menjadi daya ikat. Daya ikat inilah yang mengarahkan perempuan berminat
masuk kelompok dengan harapan mendapat bantuan ‘modal usaha’. Menurut Durkheim
perlu ada pembagian kerja yang bukan semata fungsi ekonomi tetapi juga sebuah kekuatan
moral. Menurutnya, hal-hal ideal tidak bisa dibentuk dan ditetapkan lewat legislasi/aturan,
tetapi harus dimunculkan oleh
‘tubuh’ yang paham, berkomitmen, dan mampu mewujudkan hal-hal tersebut. Dalam
konteks inilah, melalui ‘asosiasi’ diharapkan terbangun keterikatan sosial
(Ritzer, 1996).
Keterikatan sosial yang terbangun, bagaimanapun tidak bisa dilepaskan dengan
karakteristik individu-individu di dalamnya. Kecenderungannya pembentukan kelompok
lebih berbasis pada kekerabatan dan pertemanan, tanpa melakukan identifikasi yang cukup
memadai tentang berbagai situasi dan kondisi yang dialami perempuan. Pada beberapa
kasus, pembentukan kelompok berhasil dilalui dengan baik, dan sudah berjalan.
Konsekuensinya, daya ikat atau keterikatan sosial antar anggota sudah terbangun, demikian
pula aturan main dalam kelompok. Meskipun demikian, perbedaan latar belakang bahkan
‘kelas sosial’ menjadi tantangan tersendiri. Artinya, diversitas sosial pengelola dan
65
penerima program, bahkan kondisi keluarga dan masyarakat mewarnai dinamika
komunitas sekaligus organisasi/asosiasi.
Dalam konteks ini, adanya kontak bersama dan fokus/kepentingan bersama, sebagaimana
disebutkan Collins, belum cukup menjamin terbangunnya asosiasi horisontal. Menurutnya,
perlu ada kesamaan kondisi emosi diantara pihak-pihak yang ada, serta representasi
simbolik bersama. Dua hal terakhir tidak mudah diwujudkan dalam komunitas dengan ciri:
(1) ada ketimpangan sumberdaya diantar pelaku interaksi, (2) densitas sosial relatif tinggi,
(3) derajat diversitas sosial cukup tinggi. Dalam upaya mengatasi ini, Barus berupaya
menjembataninya dengan membangun kegiatan ‘pengajian rutin’ dua bulan sekali. Hal ini
cukup berhasil, karena organisasi keagamaan dan tokoh-tokoh agama merupakan hal
sentral dalam masyarakat Sasak. Keaktifan masyarakat ini menunjukkan semangat kolektif
(collective concience), dan sebaliknya semangat kolektif mencerminkan besaran ruang
partisipasi masyarakat. Pada dasarnya, tahap ‘pembentukan kelompok’ merupakan pondasi
dalam membangun asosiasi horisontal (kelompok keanggotaan), mengingat asosiasi
merupakan sumber trust dan ikatan sosial, melalui mana anggota membiasakan diri
bekerjasama, mengembangkan solidaritas dan semangat publik (Putnam, Leonardi dan
Nanetti, 1996:36).
Dalam konteks aksi kolektif, tampaknya figur ketua juga menjadi inisiator sekaligus motor
penggerak. Latarbelakang ketua ikut berpengaruh. Pertanyaannya, apakah figur ketua
merepresentasikan kelompok/asosiasinya? Atau sebaliknya kelompok/asosiasi
direpresentasikan melalui figur ketuanya? Berkenaan dengan ini, gagasan Durkheim
menjadi bagian signifikan, apakah semangat kolektif (collective conscience) menjadi basis
berkembangnya ‘collective representation’, yang mengkondisikan perempuan beragam
latar belakang melebur menjadi “kelompok tunggal’ (single group) (Ritzer,1996).
Representasi kolektif inilah yang menjadi agenda utama gerakan feminis/perempuan.
Menurut Bambang Iswanto (2000), pada dasarnya kelangsungan dan kemandirian
kelompok swadaya masyarakat (KSM), dapat dibangun melalui lima tahap, yakni:
(1) penggalian motivasi dan proses penyadaran, (2) pembentukan organisasi, (3) tahap
konsolidasi dan stabilisasi organisasi, (4) pengembangan usaha produksi dan pemasaran,
serta (5) tahap kemandirian. Berkenaan dengan tahapan tersebut, jika merefleksikan pada
sejumlah program keuangan mikro (KUBE, PEKKA, SPP-PNPM, dll) tampaknya
keterbatasan proses rekrutmen anggota, ditemukan sejak tahap ke-1, karena motivasi
anggota kelompok hanya pada bantuan modal usaha. Dalam kelompok pun tidak dilakukan
upaya yang sistimatis dan berkelanjutan untuk membangun kesadaran dan tanggungjawab,
sekaligus kedisiplinan, serta kemandirian. Konsekuensinya derajat konsolidasi dan
stabilisasi organisasi relatif rentan, kecuali ditopang oleh figur yang kuat.
Merujuk pada tahapan yang dikemukakan Iswanto (2000), lemahnya tiga tahapan
66
di awal tentunya berkontribusi
besar pada tahapan selanjutnya. Meski pada
prinsipnya tidak berjalan linier, namun tahapan tersebut
merupakan satu
kesatuan. Contoh SPP (Simpan Pinjam Perempuan), terkesan
kelompok tidak
diorganisasikan secara kuat
dan bahkan pembentukan
kelompok lebih
diorientasikan pada kemudahan mendapatkan dan atau memperbesar bantuan modal usaha.
Karenanya, ketika logika program dimaknai bahwa besar kredit yang disalurkan
merupakan indikator capaian proyek (kinerja pemberdayaan), sementara besaran kucuran
kredit dipengaruhi oleh besaran kelompok, maka program lebih difokuskan pada upaya
banyaknya kelompok yang dibentuk. Idealnya, proses awal pembentukan kelompok justru
menjadi basis keberhasilan pengorganisasian sosial. Artinya, pengorganisasian sosial
melalui kelompok, lebih terfokus dan termotivasi pada aspek ekonomi, khususnya
pemberian dan pengembalian kredit. Dalam konteks ini pemampuan secara sosial kurang
terefleksi, padahal pilar pembentukan kelompok merupakan dasar pemberdayaan secara
sosial.
Lemahnya pengorganisasian ini berbeda dengan praktek Grameen Bank, yang
pembentukan kelompok dilakukan dengan kriteria ketat, yakni: beranggotakan 6 (enam)
orang yang bukan kerabat dan seluruh anggota aktif dalam kegiatan. Keaktifan ini menjadi
dasar penilaian atas kelayakan anggota mendapatkan bantuan. Melalui kelompok
terbangun solidaritas dan aksi kolektif, yang juga menjadi prasyarat penerimaan bantuan
kredit usaha. Dengan demikian ada aturan normatif yang menjadi acuan tindakan anggota,
termasuk relasi antar anggota, dan diberlakukan relatif ketat. Berbeda dengan Indonesia,
persyaratan dan mekanisme kurang memberdayakan perempuan sebagai individu maupun
bagian dari kolektiva. Disinilah tanggungjawab sosial sekaligus moral selayaknya
ditumbuhkan, meski relasi sosial dalam kelompok lebih bersifat fungsional (ekonomi).
Refleksi dari Ikasari yang melakukan studi pada program PPSW di Jakarta memperlihatkan
bahwa dalam kelompok, anggota melakukan pertemuan rutin, saling belajar, bahkan saling
mengembangkan solidaritas (2003:70). Selain itu anggota dapat melakukan simpan pinjam,
pengembangan usaha kelompok, juga memberikan bantuan dan memobilisasi sumber daya
seperti dana sehat, beasiswa, jimpitan dan arisan. Dari pengalaman berorganisasi, anggota
belajar bekerja sama-sama, menjadi pemimpin, dan mengambil keputusan dalam berbagai
kegiatan sosial dan produktif yang sebelumnya tidak pernah mereka lakukan. Namun
demikian, pada banyak kasus pengorganisasian sosial lebih bersifat terbatas dan partisipasi
anggotanya masih cenderung nominal. Hal ini terkait dengan lemahnya solidaritas yang
terbangun dalam kelompok, bahkan dengan pihak-pihak luar. Hal ini tidak bisa dipisahkan
dengan latar historis pembentukan kelompok, termasuk tradisi berkelompok (sense of
organized).
Penutup
Upaya peningkatan partisipasi perempuan dan pemberdayaannya di bidang ekonomi,
khususnya melalui pengembangan program usaha mikro dan atau bantuan kredit usaha
(mikro), sejak tahun ’90-an tampaknya menjadi model yang mengglobal, khususnya dalam
upaya mengentaskan kemiskinan perempuan. Pada konteks Indonesia, upaya pengentasan
atau penanggulangan kemiskinan pada dasarya sudah dilaksanakan beberapa dekade,
melalui program pengembangan
67
usaha dan bantuan usaha/kredit mikro. Namun, realitas empirik di tingkat pemampuan
perempuan secara ekonomi masih belum mencerminkan gagasan aksi Beijing yang telah
digulirkan hampir 20 (dua puluh) tahun lalu. Keberdayaan secara sosial juga masih lemah,
hal ini ditandai dengan bentuk partisipasi yang masih nominal, sedangkan agensi
perempuan lebih berposisi sebagai agensi efektif belum sebagai agensi transformatif. Peran
agensi lebih bersifat aktif, artinya meski mereka memiliki tujuan jelas namun belum
mampu bekerja secara efektif (Kabeer 2005).
Di sisi lain, negara (pemerintah lokal) masih belum cukup berkomitmen pada
pemberdayaan ekonomi perempuan baik secara substansial, institusional, bahkan
kultural/normatif. Salah satu indikatornya adalah lemahnya refleksi atas berbagai program
pemberdayaan yang sudah/tengah berjalan, sehingga terkesan sekedar melakukan replikasi
(reproduksi) kebijakan/program, dengan menempatkan perempuan dan usaha mikro-kecil
sebagai komoditas pembangunan. Imbasnya pembelajaran perempuan atas program
pemberdayaan masih terbatas, meski program P4K sudah berjalan lebih dari 10 tahun.
Faktor lain yang membatasi perempuan adalah nilai-nilai gender, yang di kedua kasus
relatif masih diberlakukan dengan ketat. Kondisi inilah yang melatari pilihan perempuan
sebagai agensi pasif di sebagian wilayah, meski ada juga yang menempatkan diri sebagai
agensi aktif, bahkan efektif, namun belum ditemukan yang tergolong transformatif.
Kalaupun ada asosiasi perempuan di tingkat desa, tampaknya belum berperan sebagai
‘sekolah pemberdayaan’, karena proses ber’sekolah’ cenderung berjalan secara alamiah.
Fasilitasi program tidak optimal dan tidak diorientasikan pada penguatan kelompok secara
sosial, karena hanya menekankan pada dimensi ekonominya, bukan sosial dan politiknya.
Terbatas atau miskinnya fasilitasi berimplikasi pada lemahnya kapasitas individual maupun
kelompok yang diberdayakan. Sementara di sisi lain, determinasi pada figur penggerak
menunjukkan lemahnya kinerja pemberdayaan, karena jejaring yang terbangunpun
bertumpu pada figur/tokoh tersebut. Pada konteks fasilitasi inilah organisasi masyarakat
sipil maupun organisasi basis selayaknya lebih berperan aktif, dan negara idealnya
menfasilitasi dari aspek sumberdaya, termasuk kebijakan yang terpadu dan
berkesinambungan.
Berbagai temuan yang ada menunjukkan pentingnya kejelasan upaya pemberdayaan baik
sebagai proses maupun kinerja, termasuk indikatornya. Setiowati yang melakukan studi
terhadap program pemberdayaan masyarakat pesisir di kabupaten Gunung Kidul
menunjukkan belum optimalnya capaian tujuan program yakni meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan peningkatan partisipasi msyarakat terhadap lingkungan
(2006: 185- 187). Ketidakoptimalan tersebut menunjukkan bahwa program pemberdayaan
tidak dirancang secara partisipatif, bahkan sinergis. Hal ini mencerminkan lemahnya modal
sosial antar warga/anggota, khususnya jika menyangkut akses dan kontrol atas sumberdaya
ekonomi yang terbatas.
Dengan demikian, temuan ini mengindikasikan replikasi program tidak diiringi upaya
pembelajaran yang reflektif dari program-program sebelumnya. Pada dasarnya aksi
reflektif merupakan salah satu prinsip pemberdayaan sebagai
68
proses sekaligus kinerja. Merujuk pada Dunst dkk,
pemberdayaan sebagai kinerja
tercermin dari kemampuan
mengambil pesan
pembelajaran melalui
proses
reflektif.
Lemahnya modal sosial antar perempuan, juga menunjukkan
keterbatasan pemberdayaan
sebagai proses,
yang
didalamnya
adalah
aktivitas/kegiatan yang dilakukan misalnya membangun relasi, mentoring, aksi reflektif,
dukungan kolektif, dan lain- lain. Sebagai proses, pemberdayaan merefleksikan
pengalaman, sejarah, dan dinamika upaya pemampuan kelompok dampingan. Karena itu,
pemberdayaan perlu waktu panjang (Cannan and Warren, 1997:109-110). Meski
Konferensi Perempuan di Beijing, tahun 1995 sudah menegaskan perlunya: (1)
merumuskan kebijakan ekonomi dan strategi pembangunan yang berpihak pada kelompok
miskin, khususnya perempuan, (2) revisi hukum dan kebijakan untuk menjamin
terpenuhinya hak-hak perempuan dan meningkatnya akses perempuan atas sumberdaya
ekonomi, (3) meningkatkan akses perempuan atas perbankan, tabungan/investasi,
mekanisme dan kelembagaan kredit, (4) mengembangkan riset dan monitoring atas sebab,
dampak dan upaya mengatasi feminisasi kemiskinan (dapat dikaitkan dengan tindak lanjut
atas ratifikasi konvensi hak ekonomi, sosial, budaya). Namun, kondisi nyata berbagai
persoalan berkait dengan pemberdayaan perempuan, baik dari aspek kinerja maupun
proses, masih berkutat dengan isu-isu tersebut. Keberadaan program MAMPU yang saat
ini tengah masif dikelola di berbagai wilayah, keberhasilannya dalam memampukan
perempuan secara ekonomi, sosial dan politik, masih dalam rumusan ‘hipotetis’.
---------------------------------Daftar Acuan
Chafetz, Janet Saltzman. (1988). Feminist sociology: An Overview of Comtemporary
Theories. Itasca-Illinois, F.E.Paecock Publishers.Inc.
----------------------------. (1989). Gender equality: Toward a theory of change. In Ruth
Wallace (Ed). Feminism and Sociological Theory. (p.135-160). California: SAGE
Publications, Inc.
Hancock, Peter. (2001). Gender empowerment issues from West Java, in Susan Blackburn
(Ed), Love, sex, and power: Women in southeast asia (h.75-88). Australia: Monash Asia
Institute-Monash University Press
Heyzer, Noeleen. (1994), Introduction: market, state and gender equity. In Heyzer, Noeleen
and Gita Sen (ed). Gender, economic growth, and poverty: market growth and state
planning in Asia and the Pacific. (p.3-27) The Netherlands: International Books in
collaboration with Asian and Pacific Development Centre, Malaysia.
Ife, Jim and Frank Tesoriero. (2006), Community development: Alternatif pengembangan
masyarakat di era globalisasi, (Satatrawan Manulang, Nurul Yakin, & M.Nursyahid,
penerjemah. 2008). Yogyakarta: Pustaka Pelajar
69
Kabeer, Naila. (1994). Reversed realitis : gender hierarchies in development thought.
London-New York: Verso.
Lengermann. Patricia Madoo, and Jill Niebrugge. (1996). Contemporary feminist theory.
In George Ritzer, Sociological theory. (p.436-486). The McGraw-Hill Companies.Inc.
Lengermann. Patricia Madoo, and Jill Niebrugge-Brantley. (2009). Teori feminis
kontemporer. Dalam George Ritzer, Teori sosiologi. (hal.487-536). (Nurhadi, Penerjemah).
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Parpart, Jane. (2002). Lessons from the field: rethinking empowerment, gender and
development from a post-(post-?) development perspectives, in Feminist post-development
thought: rethinking modernity, post-colonialism and representation.
(p.41-56). Edited by Kriemild Saunders, London: Zed Books Ltd.
Putnam, Robert, and Robert Leonardi, Rafaella Nanetti. (1992). “Making democracy work
: Tradition in modern Italy”, Princenton, NJ: Princenton University Press.
Pristiwati, Yuni dan Sri Harjanti Widyastuti. (2003). Merajut perubahan: Sebuah catatan
harian perempuan dalam pengelolaan program pemberdayaan perempuan. Klaten:
Persepsi.
Pickering, W.S.F, (1998). Representation as
understood by
Durkheim: an
introductory sketch, in WSF Pickering (ed).
Durkheim and
Representations:
Routledge Studies in Social and Political Thought. (p.19-31). London and New York:
Routledge.
Seidman, Steven. (1998). Contested knowledge: social theory in the postmodern era,
2nd edtion, USA: Blackewell Publisher Inc.
Warren, Chris et all. (1997). Social action with children and families: A community
development approach to child and family welfare, London: Routledge.
Young, Kate. (1993). Planning development with women: Making a world of difference,
London and Basingstoke: The Maxmilllan Press Ltd.
Cornwall, Andrea. (2000). Making a difference : Gender and participatory development”,
IDS Discussion Paper 378. Institut of Development Studies,
Isserles, Robin G. 2003, Microcredit: The rhetoric of empowerment, the reality of
"development as usual", Women's Studies Quarterly, The Feminist Press at the City
University of New York.
Kabeer, Naila. (2005). Gender equality and women’s empowerment: A critical analysis of
the third millenium development goals. Gender and Development Vol.13. No.3. Maret.
70
Mohanty, Manoranjan. (1995). On the concept of empowerment, Economic and Political
Weekly, June 17.
Ostrom, Elinor. (1996). Crossing the great divide: Coproduction, synergy, and
development, World Development, Vol. 24. No.6.
Woolcock, Michael. (1998). Social capital and economic development: toward a
theoretical synthesis and policy framework." Theory and Society 27 (2), page 151-208.
Situs/Web
Alejandro Portes and Patricia Landolt, “The Downside of Social Capital”,
http://epn.org/prospect 26/26-cnt2.html.
Miller C. and Razavi S (1998) Gender Analysis: Alternative Paradigms. UNDP Website
http://www.undp.org/gender
http://www.worldbank.org/participation/ participation.htm
http://www.undp.org/gender/docs/mdgs-genderlens.pdf.
71
GERAKAN SOSIAL DUKUNG IBU MENYUSUI DI SUMATERA BARAT
Novita Saseria
Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Andalas
Email:[email protected]
Abstrak
Penelitian ini mengenai gerakan sosial dukung ibu menyusui yang dikampanyekan oleh
Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) Cabang Sumatera Barat. Hal ini menjadi
perhatian dengan adanya temuan UNICEF terkait menurunnya tingkat pemberian ASI
eksklusif di Indonesia (Pekan ASI Dunia, Agustus 2013). Di Provinsi Sumatera Barat
masih terdapat 10.457 bayi dari total 33.623 bayi yang belum mendapatkan kesempatan
untuk menyusu secara eksklusif pada ibunya. Salah satu penyebabnya yaitu kurangnya
dukungan untuk ibu menyusui dari lingkungan sekitar. Terhadap realitas tersebut
penelitian ini mencoba menggunakan perspektif komunikasi untuk mengetahui bagaimana
AIMI SUMBAR mengkampanyekan dukungan terhadap ibu menyusui di Sumatera Barat
dengan melibatkan media massa. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan
tekhnik pengumpulan data pengumpulan dokumen, wawancara dan observasi terlibat.
Hasil penelitian menunjukkan AIMI SUMBAR memanfaatkan media massa dalam
mengkampanyekan pemberian ASI di Sumatera Barat dan bertambahnya pengetahuan
masyarakat terkait pemberian ASI. Teori norma budaya menjelaskan bahwa kampanye
yang dilakukan AIMI SUMBAR dengan melibatkan media massa yang ada mampu
mengubah perilaku khalayaknya. Sehingga misi menjadikan menyusui dimanapun dan
kapanpun menjadi norma di masyarakat Sumatera Barat.
Kata Kunci: Gerakan Sosial, ASI, AIMI, Media Massa
Abstract
The research is about social movements on supporting breastfeeding mothers who
campaigned by the Indonesia Breastfeeding Mothers Association (IBMA) Branch of West
Sumatra. It is become important as the findings of UNICEF, who stated rates of exclusive
breastfeeding in Indonesia decreased (World Breastfeeding Week, August 2013). In the
West Sumatra Province, there are still 10,457 babies out of the total 33,623 babies who
have not had the opportunity to breastfeed exclusively to their mother. One of the reasons
is the lack of support for breastfeeding mothers from the surrounding environment. About
the reality, the research tried to use communications perspective to discover how IBMA
West Sumatra campaign of support for breastfeeding mothers in West Sumatra involving
the mass media. This study uses qualitative method, with the techniques of data collection,
interview and participant observation. The research showed that IBMA West Sumatra
utilize the mass media in campaigning for breastfeeding and increasing public knowledge
about breastfeeding. Cultural norms theory explains that the campaign conducted by IBMA
West Sumatra involving the mass media is able to change the behavior of the audience. So
that the aim to make breastfeeding wherever and whenever becoming the norm in the West
Sumatra society can be reached.
Keywords: Social Movements, Breastfeeding, IBMA, the Mass Media
72
1.PENDAHULUAN
“It takes a village to raise a child, but to support breasfeeding we need the whole country”
~anonymous~
Air Susu Ibu (ASI) penting diberikan kepada bayi semenjak hari pertama
kehidupannya hingga berusia 2 tahun atau lebih. Pentingnya pemberian ASI karena
banyaknya manfaat ASI bagi bayi dan ibu, bagi bayi manfaat ASI sebagai perlindungan
optimal terhadap berbagai penyakit infeksi. Manfaat ASI terlihat hingga puluhan tahun.
Penelitian menunjukkan orang dewasa muda yang saat bayi disusui memiliki resiko lebih
rendah terhadap berbagai penyakit kronis. ASI dapat meningkatkan kecerdasan anak. ASI
juga dapat meningkatkan perkembangan emosi, kepribadian dan percaya diri. Sedangkan
bagi ibu, manfaat menyusui dapat mencegah pendarahan setalah persalinan dan resiko
anemia, menunda kesuburan (KB alami), mengecilkan rahim, mengurangi kemungkinan
osteoporosis, rematik, diabetes mellitus, dan resiko kanker. Selain itu bagi keluarga ASI
bermanfaat membantu perekonomian karena mengurangi biaya pembelian susu dan
menghemat biaya pengobatan karena anak jarang sakit.
Anak-anak yang mendapat ASI eksklusif 14 kali lebih mungkin untuk bertahan
hidup dalam enam bulan pertama kehidupan dibandingkan anak yang tidak disusui. Mulai
menyusui pada hari pertama setelah lahir dapat mengurangi risiko kematian baru lahir
hingga 45 persen.2 Menurut Deputi Direktur Eksekutif UNICEF Geeta Rao Gupta “Tidak
ada intervensi kesehatan tunggal lainnya yang memiliki dampak setinggi ini untuk bayi dan
ibu menyusui, dan dengan biaya yang sangat kecil bagi pemerintah, ASI adalah 'imunisasi
pertama' bayi dan penyelamat hidup yang paling efektif dan murah.”
Sejalan dengan Tujuan Pembangunan Millenium atau lebih dikenal dengan
Millenium Development Goals (MDGs) sebagai tekad untuk menciptakan lingkungan yang
kondusif bagi pembangunan dan pengentasan kemiskinan, dijelaskan dalam Tujuan ke-4
yaitu menurunkan angka kematian anak. Anak-anak, terutama bayi, lebih rentan terhadap
penyakit dan kondisi hidup yang tidak sehat. Tingginya angka kematian bayi dan masalah
gizi pada bayi dapat ditangani sejak awal dengan cara pemberian ASI. Menurut penelitian
yang dilakukan oleh United Nation Children Fund (UNICEF), risiko kematian bayi bisa
berkurang sebanyak 22% dengan pemberian ASI Ekslusif dan menyusui sampai 2 tahun.
Khusus untuk kematian neonatus dapat ditekan hingga 55% - 87% jika setiap bayi lahir
dilakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan diberikan ASI Eksklusif. Selain itu kasus
kurang gizi pada anak di bawah usia dua tahun juga dapat diatasi melalui pemberian ASI
Eksklusif. Semua bayi perlu mendapat ASI untuk mengatasi masalah gizi dan mencegah
penyakit infeksi. 3
Selanjutnya, hasil penelitian John D. Benson, Ph.D., dan Mark L. Masor, Ph.D.,
dalam jurnal medik Endocrine Regulations terbitan Maret 1994 menyebutkan bahwa ASI
mengandung sel-sel hidup, DNA ibu, hormon, enzim-enzim aktif, berbagai macam
immunoglobulin, faktor-faktor pertumbuhan serta zat-zat lainnya yang memiliki komponen
struktur yang unik. Zat-zat inilah yang sangat dibutuhkan bayi di hari-hari pertama
kelahirannya. Komponen struktur yang unik tersebut mustahil untuk dapat ditiru oleh
formula. Pernyataan dua peneliti ini cukup menarik perhatian karena John dan Mark adalah
peneliti pada perusahaan produsen susu formula Abbot Labs.
Douglas College Breastfeeding Course for Health Care Providers sebagai salah
satu program penelitian ilmiah yang fokus terhadap ilmu laktasi telah menghasilkan
2
http://www.unicef.org/indonesia/id/media_21270.html
Yulien Adam dkk, determinan pemberian asi ekslusif di wilayah puskesmas Telaga biru dan
puskesmas mongolato Kabupaten gorontalo provinsi gorontalo Tahun 2012, Jurnal Unhas.
http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/d0816d1d5f891249ac679ff93b0741ba.pdf
3
73
berbagai penelitian seperti teori laktasi, informasi konseling laktasi dan observasi kegiatan
menyusui. Salah satu hasil penelitian breastfeeding course ini yaitu perbandingan
kandungan nutrisi ASI dengan kandungan nutrisi susu formula. Hasil penelitian tersebut
dapat dilihat dalam tabel.
Sumber : http://themilkmeg.com/ingredients-in-breastmilk-versus-artificial-breastmilkformula/
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kandungan ASI yang dapat
memenuhi kebutuhan bayi mulai dari air, protein, non protein, lemak, vitamin, mineral,
zat-zat untuk pertumbuhan, enzim baik dan anti bakteri empat sampai lima kali lipat lebih
banyak dari kandungan yang terdapat dalam susu formula. Bahkan, penelitian lain
menyebutkan kandungan di dalam ASI masih mungkin bertambah dari data diatas. Hanya
saja, informasi kandungan ASI ini belum dapat menyentuh masyarakat seperti informasi
kandungan susu formula yang lebih mudah diakses di berbagai media dan tempat. Jika saja,
peraturan pemasaran susu formula dapat diatur oleh pemerintah sehingga akses informasi
ini berimbang, kampanye pemberian ASI dapat lebih mudah dilakukan.
Dengan banyaknya manfaat ASI, dalam rangka menurunkan angka kesakitan dan
kematian anak, UNICEF dan World Health Organization (WHO) merekomendasikan
sebaiknya anak hanya disusui ASI selama paling sedikit 6 bulan. Makanan padat
seharusnya diberikan sesudah anak berumur 6 bulan, dan pemberian ASI dilanjutkan
sampai anak berumur 2 tahun 4. Melalui pemberian ASI Eksklusif selama 6 bulan dapat
4
Pusat Data informasi Kementrian Kesehatan RI, Situasi dan Analisis ASI Eksklusif. 2014
74
menjamin kecukupan gizi bayi serta meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit
infeksi. Rekomendasi ini ditindaklanjuti oleh pemerintah republik Indonesia yakni pada
tahun 2003, pemerintah Indonesia mengubah rekomendasi lamanya pemberian ASI
eksklusif dari 4 bulan menjadi 6 bulan dengan menerbitkan Surat Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia nomor 450/menkes/SK/IV/2004 Tentang Pemberian Air
Susu Ibu (ASI) Secara Eksklusif pada Bayi di Indonesia.
Pusat media UNICEF Indonesia menyatakan tingkat pemberian ASI eksklusif di
Indonesia menurun (Pekan ASI dunia, Agustus 2013). Hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2013 dari 2.483.485 bayi usia 0-6 bulan, sebanyak 1.348.532 bayi atau
sekitar 54,3% dari total bayi. Maka, sebanyak 1.134. 953 bayi tidak mendapatkan
kesempatan mendapatkan asi eksklusif.
Kenyataan rendahnya pemberian ASI Eksklusif oleh ibu menyusui di Indonesia
disebabkan oleh dua faktor yaitu, pertama, faktor internal meliputi rendahnya pengetahuan
serta sikap ibu tentang kesehatan secara umum dan ASI eksklusif secara khusus. Kedua,
faktor eksternal, yang meliputi kurangnya dukungan keluarga, masyarakat, petugas
kesehatan maupun pemerintah sebagai pembuat kebijakan terhadap pemberian ASI
eksklusif, gencarnya promosi susu formula, adanya faktor sosial budaya serta kurangnya
ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan ibu dan anak.
Menyadari bahwa pencapaian tujuan dan target MDGs bukanlah semata-mata
tugas pemerintah, tetapi merupakan tugas seluruh komponen bangsa, sekumpulan ibu-ibu
yang paham akan hal ini membentuk sebuah komunitas yang diberi nama Asosiasi Ibu
Menyusui Indonesia (AIMI). AIMI merupakan wujud gerakan sosial dukung ibu menyusui
di Indonesia. Gerakan sosial adalah tindakan kolektif untuk mendorong atau menghambat
perubahan dalam masyarakat atau dalam kelompok yang menjadi bagian masyarakat itu
(Turner & Killian, 1972). Sedangkan menurut Giddens (1993), gerakan sosial adalah suatu
upaya kolektif diluar lingkup lembaga-lembaga yang mapan. Dari dua pengertian menurut
para ahli diatas maka AIMI yang memiliki 15 cabang yang tersebar di Indonesia bergerak
secara kolektif untuk mendorong tercapainya target Tujuan Pembangunan Millenium
sebagai salah satu komponen bangsa diluar pemerintah.
Dalam gerakannya, AIMI fokus dalam memberikan informasi dan sosialisasi
mengenai pentingnya ASI. AIMI sebagai organisasi nirlaba non-pemerintah yang tidak
memiliki dana dan anggaran tetap dalam mencapai tujuannya memiliki tantangan yang
cukup sulit. Selain dana yang terbatas dan bersifat swadaya, gerakan ini bersaing dengan
sebaran informasi dari fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan yang tidak pro-ASI,
gencarnya promosi susu formula dan minimnya perlindungan hukum terhadap hak ibu dan
bayi mendapatkan ASI.
Dari tahun ke tahun, gerakan ini semakin mendapatkan ruangnya, mulai dari
berbagai kegiatan edukasi, sosialisasi, advokasi dan publikasi, membentuk cabang di
berbagai daerah di Indonesia sampai dengan bergabung bersama LSM dan NGO nasional
dan internasional membentuk Koalisi Advokasi ASI Indonesia yang menerbitkan regulasi
di bidang menyusui.
Cabang-cabang AIMI se-Indonesia telah menginspirasi sekumpulan wanita di
Sumatera Barat untuk membentuk cabang AIMI Sumatera Barat, karena tidak jauh berbeda
dengan permasalahan di berbagai daerah, cakupan pemberian ASI di provinsi Sumatera
Barat belum mencapai target. Masih terdapat 10.457 bayi dari total 33.623 bayi (menurut
data riskesdas) yang belum mendapatkan kesempatan untuk menyusu secara eksklusif pada
ibunya di Provinsi Sumatera Barat.
Pada 14 Juni 2015, AIMI Cabang Sumatera Barat (AIMI SUMBAR) diresmikan
di Padang. Dalam gerakannya AIMI SUMBAR juga memiliki kendala yang kurang lebih
75
sama yaitu dana swadaya dan menghadapi sebaran misinformasi terkait ASI. Mitos yang
berkembang dan dukungan yang minim di masyarakat menjadi tantangan.
Terhadap realitas tersebut penelitian ini mencoba menggunakan perspektif
komunikasi untuk mengetahui bagaimana AIMI SUMBAR mengkampanyekan dukungan
terhadap ibu menyusui di Sumatera Barat? Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji
bagaimana gerakan AIMI SUMBAR dalam mengkampanyekan dukungan terhadap ibu
menyusui di Sumatera Barat.
Penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan gambaran bagaimana
organisasi nirlaba bergerak mendorong perubahan dalam masyarakat dan dapat mendorong
organisasi nirlaba lainnya melakukan hal serupa.
2.TINJAUAN PUSTAKA
Gerakan Sosial dan AIMI
Gerakan sosial adalah tindakan kolektif untuk mendorong atau menghambat
perubahan dalam masyarakat atau dalam kelompok yang menjadi bagian masyarakat itu
(Turner & Killian, 1972). Sedangkan menurut Giddens (1993), gerakan sosial adalah suatu
upaya kolektif diluar lingkup lembaga-lembaga yang mapan.
Gerakan wanita sebagai salah satu bentuk gerakan sosial hendaknya mampu
mendorong perubahan dalam masyarakat. Gerakan wanita di Indonesia tercatat menjelang
akhir abad ke-19. Tokoh wanita pada jaman itu adalah Kartini. Kartini pernah menulis:
“Siapakah yang akan menyangkal bahwa wanita memegang peranan penting dalam
hal pendidikan moral dalam masyarakat. Dialah orang yang sangat tepat pada
tempatnya. Ia dapat menyumbang banyak (atau boleh diatakan terbanyak) untuk
meninggikan taraf moral masyarakat. Alam sendirilah yang memberikan tugas itu
padanya. Sebagai seorang ibu, wanita merupakan pengajar dan pendidik yang
pertama. Dalam pangkuannya lah seorang anak pertama-tama belajar, merasa,
berpikir dan berbicara, dan dalam banyak hal pendidikan pertama ini mempunyai
arti yang besar bagi seluruh kehidupan anak”
“Tangan ibulah yang dapat meletakkan dalam hati sanubari manusia unsur pertama
kebaikan atau kejahatan, yang nantinya akan sangat berarti dan berpengaruh pada
kehidupan selanjutnya. Tidak begitu saja dikatakan bahwa kabaikan ataupun
kejahatan itu diminum bersama susu ibu”
Perkumpulan wanita ketika itu sangat erat hubungannya dengan pergerakan
kebangsaan Indonesia di berbagai bidang dengan tujuan khusus yaitu memajukan
kerjasama untuk kemajuan wanita. Perkumpulan tersebut bergerak terutama di bidang
pendidikan, disamping keterampilan lainnya seperti memasak dan menjahit. Selain itu ada
juga perkumpulan yang bersifat keagamaan. Menjelang tahun 1928 perkumpulan wanita
berkembang semakin pesat. Ruang lingkup dan cara perjuangan perkumpulanperkumpulan tersebut beraneka ragam. Ada yang menganut paham nasionalisme, ada yang
berhaluan politik dan ada yang tidak mencampuri urusan politik sama sekali 5. Bentuknya
pun beraneka ragam mulai dari perkumpulan keluarga saja, yang sekarang dikenal dengan
perkumpulan arisan, sampai dengan yang memiliki tujuan yang konkret, inilah yang
sekarang dikenal dengan organisasi wanita.
Perkumpulan wanita pada awal abad ke-20 ini mulai tersebar di Pulau Jawa,
Jakarta, Semarang, Madiun, Malang, Cirebon, Pekalongan, Indramayu, Surabaya,
Rembang, Tasikmalaya, Sumedang, Cianjur, Ciamis, Cicurug, Kuningan, Sukabumi,
Magelang, Pemalang, Tegal, Jogjakarta, Garut. Kemudian semakin berkembang di
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi.
5
GA Ohorella dkk, Peranan wanita Indonesia dalam masa pergerakan nasional, 1992, Direktorat Jenderal Kebudayaan
76
Di Sumatera Barat, pada tahun 1914, berdiri perkumpulan “Kerajinan Amai Setia”
di Koto Gadang. Dengan tujuan meningkatkan derajat kaum wanita dengan mengajarkan
baca-tulis huruf Arab dan Latin, mengatur rumah tangga, membuat kerajinan tangan,
bahkan mengatur pemasarannya. Kerajinan Amai Setia mendirikan sekolah yang
merupakan sekolah pertama untuk anak perempuan di Sumatera. Sekolah yang diprakarsai
Kerajinan Amai Setia ini mempengaruhi gerakan wanita di Sumatera Barat. Pada tahun
1922 Dinniyah Putri School didirikan. Sampai dengan saat ini, Dinniyah Putri School
masih menjadi salah satu tempat pendidikan yang bermutu dan menghasilkan lulusan yang
berprestasi di berbagai bidang.
Saat ini perkumpulan atau organisasi wanita sudah tidak dapat dihitung lagi
jumlahnya. Perkumpulan wanita semakin berani, tegas dan terbuka. Mengikuti
perkembangan teknologi dan bergerak semakin luas. Perkumpulan ini memiliki misi
masing-masing dan bergerak secara kolektif. Gerakan ini sudah makin terorganisir dan
bahkan telah banyak yang berbentuk organisasi yang berbadan hukum.
Gerakan sosial dimana orang-orang yang berkumpul didalamnya saling terkait
lebih mungkin terorganisir daripada persatuan yang dibentuk. Organisasi gerakan sosial
adalah sebuah organisasi yang kompleks atau formal yang mengidentifikasi tujuannya
beserta pilihannya dalam sebuah gerakan sosial atau berlawanan dengan sebuah gerakan
dan mencoba untuk mengimplementasikan tujuan-tujuannya (Mc Carthy, 2015). AIMI
merupakan sebuah organisasi dalam sebuah gerakan sosial dukung ibu menyusui di
Indonesia.
AIMI terbentuk pada tanggal 21 April 2007 di Jakarta. Berawal dari kepedulian
beberapa ibu mengenai pentingnya pemberian Air Susu Ibu (ASI) untuk bayi. Komunitas
ini dilatarbelakangi karena melihat dukungan untuk ibu yang memberikan ASI kepada
bayinya dirasakan kurang, baik perhatian dan dukungan dari pemerintah, masyarakat
umum dan instansi swasta. Selain itu upaya sosialisasi mengenai pentingnya ASI bagi
kesehatan dan imunitas bayi serta penyebaran informasi mengenai ASI dinilai masih sangat
kurang. Kondisi ini diperparah pula dengan belum adanya dukungan kepada keluarga
Indonesia, terutama ibu-ibu untuk mendapatkan akses informasi selengkap mungkin
mengenai ASI baik dari rumah sakit tempat melahirkan dan tenaga kesehatan.
AIMI memiliki visi, pertama, menaikkan persentase angka ibu-ibu menyusui di
Indonesia. Kedua, menaikkan prosentase bayi yang diberikan ASI eksklusif di Indonesia.
Ketiga, agar setiap ibu di Indonesia memiliki bekal pengetahuan dan informasi yang cukup
mengenai pentingnya pemberian ASI kepada bayi mereka. Keempat, agar setiap ibu di
Indonesia mendapatkan dukungan penuh untuk menyusui bayinya secara eksklusif selama
6 bulan dan meneruskannya sampai 2 tahun atau lebih. Kelima, agar Pemerintah,
perusahaan-perusahaan dan pihak ketiga lainnya sadar akan pentingnya ASI dengan
mendukung penuh pemberian ASI kepada bayi-bayi di Indonesia. Keenam, agar
masyarakat luas mendapatkan informasi dan pengetahuan tentang ASI, dan memberikan
dukungan dalam rangka mensukseskan pemberian ASI bagi bayi-bayi Indonesia.
Sedangkan visi AIMI, pertama, memberikan informasi, pengetahuan dan
dukungan bagi para ibu untuk menyusui bayinya secara eksklusif selama 6 bulan dan
meneruskannya sampai 2 tahun atau lebih. Kedua, memberikan masukan untuk
pemerintahan, perusahaan dan instansi swasta agar mereka mengetahui pentingnya
pemberian ASI, dengan tujuan agar pihak-pihak tersebut dapat memberikan dukungan bagi
suksesnya pemberian ASI. Ketiga, memberikan pendidikan kepada lingkungan masyarakat
akan pentingnya ASI dengan terus-menerus memberikan pengetahuan dan informasi
77
terkini mengenai ASI. Keempat, mensosialisasikan risiko pemberian susu formula kepada
bayi yang berusia kurang dari 2 tahun.6
Berawal dari dua ruang maya, www.asyforbaby.blogspot.com dan milis asyforbaby
(sekarang [email protected]). Pada tahun 2006, milis merupakan salah satu
media komunikasi yang cukup punya pengaruh penting. Media ini dipilih karena para
penggunanya merasakan kenyamanan bersosialisasi untuk berbagi hal yang sama. Berbagi
informasi dan dukungan positif dari lingkungan sekitar agar seorang bayi bisa
mendapatkan haknya yaitu ASI dan sang ibu bisamendapatkan kesempatan menyusui
dimanapun dan kapanpun. 7
Blog menjadi sebuah forum komunikasi bagi siapapun yang membutuhkan dan
anggota milis terus bertambah. Pertumbuhan tersebut mendorong anggota milis untuk
saling bertatap muka. Pertemuan ini melahirkan banyak ide dan wacana. Akhirnya pada
tanggal 21 April 2007, bertempat di Jakarta Selatan, sebuah pertemuan menghasilkan
deklarasi berdirinya Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia.
AIMI semakin memiliki eksistensi dengan hadir di beberapa kegiatan baik nasional
maupun internasional dari tahun 2007 sampai dengan 2016 antara lain kegiatan di istana
negara bersama Duta ASI ibu Ani Yuhoyono, training dan seminar bersama NGO
internasional (IBFAN, UNICEF dll), mengikuti One Asia Breastfeeding Partners Forum,
advokasi dengan pemerintah dan terlibat dalam penyusunan peraturan terkait ASI, turun ke
daerah bencana, dan kegiatan lainnya. Sampai dengan tahun 2016, AIMI telah memiliki 15
cabang di seluruh Indonesia dan menerbitkan beberapa buku yang ditulis oleh
pengurusnya.
Air Susu Ibu (ASI)
ASI menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012
tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif pada Pasal 1 ayat 1 adalah cairan hasil sekresi
kelenjar payudara ibu. Menurut Wikipedia ASI adalah susu yang diproduksi oleh manusia
untuk konsumsi bayi dan merupakan sumber gizi utama bayi yang belum dapat mencerna
makanan padat. ASI diproduksi karena pengaruh hormon prolaktin dan oksitosin setelah
kelahiran bayi. ASI pertama yang keluar disebut kolostrum yang baik untuk pertahanan
tubuh bayi melawan penyakit.
Berbagai kajian dalam dua dekade terakhir makin mmperlihatkan bahwa ASI
adalah nutrisi terlengkap dan terbaik.Nilai nutrisi ASI lebih besar dibandingkan susu
formula, karena mengandung lemak, karbohidrat, protein dan air dalam jumlah yang tepat
untuk pencernaan, perkembangan otak dan pertumbuhan bayi. Kandungan nutrisinya yang
unik menyebabkan ASI memiliki keunggulan yang tidak dapat ditiru oleh susu formula
manapun. Susu sapi mengandung jenis protein yang berbeda yang mungkin baik untuk
anak sapi, tetapi bayi manusia sulit mencernanya. Bayi yang mendapat susu formula
mungkin saja lebih gemuk dibanding bayi yang mendapat ASI, tetapi belum tentu lebih
sehat8.
24 jam setelah ibu melahirkan adalah saat yang penting untuk keberhasilan
menyusui selanjutnya. Bayi dianjurkan disusui secara eksklusif selama 6 bulan pertama
kehidupan dan pemberian ASI dilanjutkan dengan makanan pendamping ASI, idealnya
selama 2 tahun pertama kehidupan. Kolostrum yang keluar beberapa jam pertama
kehidupan berfungsi melapisi saluran cerna agar kuman tidak dapat masuk ke dalam aliran
6
http://aimi-asi.org/about/
Adenita, Breastfriends Inspirasi 22, 2013, Buah Hati. Tangerang, hal 25
7
8
Ikatan Dokter Anak Indonesia, Indonesia Menyusui, Badan Penerbit IDAI, 2010, hal 1
78
darah dan akan melindungi bayi sampai sistem imunnya (sistem kekebalan tubuh)
berfungsi dengan baik.
Banyak penelitian yang menilai pengaruh jangka pendek dan panjang dari
menyusui terhadap kesehatan bayi dan anak. Menyusu eksklusif selama 6 bulan terbukti
memberikan risiko yang lebih kecil terhadap berbagai penyakit infeksi. Menyusu dapat
berpengaruh terhadap perkembangan intelektual anak. Anak yang disusui mempunyai
intelegensia dan emosi yang lebih matang yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan
sosialnya di masyarakat. Menyusui juga memberi keuntungan untuk ibu karena praktis dan
meningkatkan kadar antibodi dalam darah sehingga dapat mengurangi resiko terjadinya
infeksi setelah melahirkan, mengurangi pendarahan post partum, mengurangi resiko kanker
payudara, kanker ovarium dan osteoporosis.
Tidak hanya bagi ibu dan bayi, menyusui juga memberikan keuntungan bagi
keluarga, sistem pelayanan kesehatan, pemberi kerja dan negara secara keseluruhan.
Keluarga dapat karena tidak perlu membeli susu formula. Bayi jarang sakit, sehingga lebih
jarang berobat ke dokter dan rawat inap sehingga dapat menurunkan anggaran negara.
Menyusui memiliki cukup banyak tantangan, misalnya dukungan dari lingkungan
sekitar dan tempat bekerja. Ibu menyusui yang bekerja membutuhkan lingkungan yang
bersih, suasana yang nyaman, jadwal kerja yang fleksibel. Idealnya, fasilitas perawatan
bayi disediakan di tempat kerja. Apabila tempat bekerja tidak memiliki program menyusui,
ibu harus meminta kepada atasannya untuk merancang kebutuhan tersebut. Hal ini telah
diatur oleh Perauran Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Asi Eksklusif pasal 30 ayat
3 yaitu pengurus tempat kerja dan penyelenggaran tempat sarana umum harus menyediakan
fasilitas khusus untuk menyusui dan/atau memerah ASI sesuai dengan kondisi kemampuan
perusahaan. Selanjutnya dalam Pasal 34 pengurus tempat kerja wajib memberikan
kesempatan kepada ibu yang bekerja untuk memberikan asi eksklusif kepada bayi atau
memerah asi selama waktu kerja di tempat kerja.
Secara keseluruhan proses menyusui melibatkan 4 faktor yaitu, bayi, payudara,
ASI dan otak ibu. Kita seringkali meremehkan peran otak ibu dalam proses menyusui
(Badriul Hegar, 2010). Perasaan depresi, marah dan nyeri harus dihindarkan saat menyusui
karena dapat menghambat produksi ASI. Karena itu dukungan dari lingkungan sekitar
sangat mempengaruhi keberhasilan menyusui.
Menyusui sudah menjadi kebutuhan dasar manusia. Para ahli sejarah menemukan
bukti-buki tentang menyusui. Di Peru, ditemukan sebuah artefak keramik tanah liat
berbentuk ibu menyusui yang berasal dari kebudayaan Monche (1-800SM). Di India karya
Brahmana menuliskan para wanita india menyusui sejak abad ke-2 menyusui anakanaknya. Di agama Hindu, Dewi Parvati, digambarkan sedang menyusui putranya dewa
pengetahuan dan kecerdasan, Ganesha. (Adenita, inspirasi 22)
Media Massa dan Teori Norma dan Budaya
Media massa adalah alat yang digunakan untuk mengirim pesan ke khalayak besar.
Media massa merupakan sumber kekuatan alat kontrol, manajemen, dan inovasi dalam
masyarakat yang dapat didayagunakan sebagai pengganti kekuatan atau sumber daya
lainnya (MC.Quail.2005:3). Media massa membantu memperbanyak, menduplikasi atau
memperkuat pesan untuk disebarkan ke khalayak yang lebih besar9.
Fungsi dari media massa adalah (Mc.Quail. 1994:70):10
1. Informasi, menyediakan informasi tentang peristiwa dan kondisi dalam masyarakat dan
dunia Menunjukkan, hubungan kekuasaan, Memudahkan inovasi adaptasi dan
kemajuan.
9
Brent D Ruben, dkk, Komunikasi dan Perilaku Manusia, PT. Rajagrafindo Persada, 2013, hal 209
http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-media-massa-definisi-fungsi.html
10
79
2. Korelasi, menjelaskan, menafsirkan, mengomentari makna peristiwa dan informasi,
menunjang otoritas dan norma-norma yang mapan, melakukan sosialisasi,
mengkoordinasikan ngbeberapa kegiatan, membentuk kesepakatan dan menentukan
urutan prioritas.
3. Kesinambungan, mengekspresikan budaya dominant dan mengakui keberadaan
kebudayaan khusus (subculture) serta perkembangan budaya baru, meningkatkan dan
melestarikan nilai-nilai.
4. Hiburan, menyediakan hiburan, pengalihan perhatian dan sarana relaksasi, meredakan
ketegangan sosial.
5. Mobilisasi, mengkampenyakan tujuan masyarakat dalam bidang politik, pembangunan,
ekonomi, pekerjaan dan agama.
Media massa dapat dibagi menjadi 3 kelompok :
1. Media Massa Cetak
Media massa yang dicetak dalam lembaran kertas.
2. Media Massa Elektronik
Media massa yang isinya disebarluaskan melalui suara atau gambar dan suara dengan
menggunakan teknologi elektro.
3. Media Online (Online Media, Cybermedia), yakni media massa yang dapat kita
temukan di internet (situs web).
Media cetak adalah suatu media statis yang mengutamakan fungsinya sebagai
media penyampaian informasi. Maka media cetak terdiri dari lembaran dengan sejumlah
kata, gambar, atau dalam tata warna dan halaman putih, dengan fungsi utama untuk
memberikan informasi atau menghibur. Media cetak juga adalah suatu dokumen atas segala
hal yang dikatakan orang lain dan rekaman peristiwa yang ditangkap oleh jurnalis dan
diubah dalam bentuk kata-kata, gambar, foto, dan sebagainya (Ardianto & Lukiati , 2004:
99). Media cetak seperti koran, tabloid, majalah, buku dan bulletin.
Media elektronik merupakan media komunikasi atau media massa yang
menggunakan alat-alat elektronik (mekanis), media elektronik kini terdiri dari (Muda,
2005: 4) radio, film dan televisi.
Media online muncul dikenal juga sebagai media baru. Media baru muncul di
hampir semua aspek kegiatan sosial dan professional kontemporer. Fenomena tersebut
terbukti saat ini pengguna internet bertambah dari tahun ke tahun. Membentuk teori-teori
baru dalam komunikasi massa dan media. Penelitian-penelitian satu dekade terakhir
dikembangkan dalam memahami sistem media baru. Pengguna internet di Indonesia pun
mengalami kenaikan yang cukup pesat.
Dampak media baru telah dan akan berhasil membentuk gerakan sosial yang baru.
Gerakan sosial pada umumnya memiliki empat elemen yaitu jaringan organisasi, identitas
kolektif bersama, memobilisasi masyarakat untuk bergabung dengan cara yang tidak
konvesional dan dalam rangka mencapai suatu tujuan sosial (Peter:2005). Elemen-elemen
telah dimiliki AIMI sebagai oragnisasi yang tersebar di seluruh Indonesia dan berafiliasi
dengan organisasi internasional mengajak masyarakat untuk bersama-sama mendukung ibu
menyusui agar tercapai target MDGs.
Teori Norma Budaya atau The Cultural Norms Theory dari Melvin L DeFleur
menjelaskan bahwa media massa secara selektif menyajikan dan menekankan ide-ide,
nilai-nilai atau norma-norma dengan memperkuat atau mengubahnya11. Teori ini memiliki
hakikat bahwa media massa melalui penyajiannya yang selektif dan penekanannya pada
tema tertentu, menciptakan kesan pada khalayak di mana norma budaya umum mengenai
topik yang diberi bobot itu, dibentuk dengan cara tertentu.
11
https://ethicsinpr.wikispaces.com/Cultural+norms
80
Norma adalah suatu patokan dalam berperilaku yang memungkinkan seseorang
menentukan apakah tindakannya itu akan dinilai oleh orang lain yang juga merupakan ciri
bagi orang lain untuk menolak atau mendukung dari perilakunya (Robert M. Z. Lawang)12.
Norma dapat berupa aturan yang mengatur perilaku dalam situasi tertentu di masyarakat.
Menurut teori norma budaya media komunikasi dapat menciptakan keyakinan baru
mengenai hal -hal di mana khalayak sedikit banyak telah memiliki pengalaman
sebelumnya.
3.METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan dengan metode kualitatif. Menurut Afrizal (2014),
kualitatif didefinisikan sebagai metode penelitian ilmu-ilmu sosial yang mengumpulkan
dan menganalisis data berupa kata-kata (lisan maupun tulisan) dan perbuatan-perbuatan
manusia serta peneliti tidak berusaha menghitung atau mengkuantifikasikan data kualitatif
yang telah diperoleh dan demikian tidak menganalisis angka-angka. Teknik pengumpulan
data dengan pengumpulan dokumen, wawancara dan observasi terlibat. Observasi
partisipan yaitu peneliti ikut berpartisipasi sebagai anggota kelompok yang diteliti.13.
Peneliti menjadi bagian dan diterima menjadi bagian dalam kehidupan manusia yang
diteliti. Peneliti melakukan hal-hal yang mereka lakukan dengan cara mereka. Analisis data
mulai dilakukan dari tahap pengumpulan data sampai tahap penulisan laporan, yaitu
analisis berkelanjutan (ongoing analysyis).14
4.TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Menurunnya tingkat pemberian ASI Eksklusif di Indonesia bukan hanya tanggung
jawab pemerintah, tapi harus disadari sebagai tanggung jawab bersama seluruh lini dan
lapisan masyarakat. Menyadari setiap orang dapat mendukung dan dukungan setiap orang
penting maka sekumpulan wanita
melakukan sebuah gerakan. “Jangan pernah
meremehkan kekuatan dari kumpul-kumpul. Karena disinilah tersimpan energi besar dan
limpahan ide untuk melakukan hal besar secara bersama-sama. Ketika waktu begitu sempit
untuk bertemu, bukan berarti kumpul-kumpul tidak bisa dilakukan melalui media yang
berbeda, mailing list”. 15 Beginilah awal perkumpulan wanita yang bergerak bersama ini
terbentuk. Mailing list (milis) tersebut merupakan wadah diskusi terkait permasalahan
sekitar ASI dan mencari solusi yang relevan bersama-sama. Dukungan secara moril
disampaikan, berbagi pengalaman membuat mereka merasa berada di tempat yang nyaman.
Tanpa sadar, ruang maya membuat ikatan yang emosional diantara mereka.
Milis ini semakin berkembang dan memberi ide untuk bertemu tatap muka sesama
anggotanya. Pertemuan tersebut melahirkan banyak ide dan wacana. Semangat dari dan
untuk ibu menyusui ini melahirkan sebuah gerakan. Gerakan yang kemudian melahirkan
organisasi, AIMI. Organisasi nirlaba diluar pemerintah sebagai bentuk tindakan kolektif
untuk mendorong atau menghambat perubahan dalam masyarakat terkait pentingnya ASI
dan ancaman gagal menyusui. Sampai dengan tahu 2016 eksistensi AIMI semakin diakui,
aktivitas dalam melindungi, mempromosikan dan mendukung kegiatan menyusui terlihat
dari berbagai daerah sampai dunian internasional. Bahkan membentuk Koalisi Advokasi
ASI yang beranggotakan AIMI, WHO, MERCY CORPS, SELASI, PERINASIA, HKI,
KAKAK, Klasi-YOP, IBCLC Indonesia, dan YLKI. Koalisi ini terbentuk karena belum
banyak pihak yang memahami tentang keunggulan menyusui dan pemberian ASI pada
12
http://www.seputarpengetahuan.com/2015/11/15-pengertian-norma-menurut-para-ahli-terlengkap.html
Rachmat Kriyantono, 2006, Teknik Praktik Riset komunikasi, Kencana, Jakarta
14
Afrizal, 2014, Metode Penelitian Kualitatif, PT Rajagrafindo Persada, Depok.
15
Adenita, Breastfriends Inspirasi 22, 2013, Buah Hati, hal 25
13
81
bayi. Belum bayak pula yang mengetahui resiko dari pemakaian susu formula dan bahwa
terdapatnya peraturan yang mengatur pemasaran dari produk-produk pengganti ASI.
AIMI merupakan wujud dukungan masyarakat yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif dalam BAB VI
tentang Dukungan Masyarakat Pasal 37 ayat (1) Masyarakat harus mendukung
keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif baik secara perorangan, kelompok,
maupun organisasi. Ayat (2) Dukungan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan melalui: a. pemberian sumbangan pemikiran terkait dengan penentuan
kebijakan dan/atau pelaksanaan program pemberian ASI Eksklusif; b. penyebarluasan
informasi kepada masyarakat luas terkait dengan pemberian ASI Eksklusif; c. pemantauan
dan evaluasi pelaksanaan program pemberian ASI Eksklusif; dan/atau d. penyediaan waktu
dan tempat bagi ibu dalam pemberian ASI Eksklusif.
Pelaksanaan dukungan dari masyarakat dilakukan sesuai dengan kemampuan
sumber daya yang tersedia. Pelaksanaan dukungan dari masyarakat dilakukan dengan
berpedoman pada 10 (sepuluh) langkah menuju keberhasilan menyusui untuk masyarakat,
yaitu: a. meminta hak untuk mendapatkan pelayanan inisiasi menyusu dini ketika
persalinan; b. meminta hak untuk tidak memberikan asupan apapun selain ASI kepada Bayi
baru lahir; c. meminta hak untuk Bayi tidak ditempatkan terpisah dari ibunya; d.
melaporkan pelanggaran-pelanggaran kode etik pemasaran pengganti ASI; e. mendukung
ibu menyusui dengan membuat Tempat Kerja yang memiliki fasilitas ruang menyusui; f.
menciptakan kesempatan agar ibu dapat memerah ASI dan/atau menyusui Bayinya di
Tempat Kerja; g. mendukung ibu untuk memberikan ASI kapanpun dan dimanapun; h.
menghormati ibu menyusui di tempat umum; i. memantau pemberian ASI di lingkungan
sekitarnya; dan j. memilih Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Tenaga Kesehatan yang
menjalankan 10 (sepuluh) langkah menuju keberhasilan menyusui. Laporan Worlds
Breastfeeding Trends Initiative (WBTi) 2012, angka menyusui Indonesia rangking 49 dari
51 negara.
82
Sumber : http://www.worldbreastfeedingtrends.org
Di Provinsi Sumatera Barat masih terdapat 10.457 bayi dari total 33.623 bayi yang
belum mendapatkan kesempatan untuk menyusu secara eksklusif pada ibunya atau sebesar
68,8%. Walaupun angka ini relatif lebih baik dari daerah lain di Indonesia tetapi sebanyak
10.457 bayi masih perlu diperjuangkan haknya. Data lain menyebutkan durasi menyusui
semakin bertambah usia bayi semakin pendek. Sementara rekomendasi WHO menyusui
dilanjutkan sampai dengan bayi berusia 2 tahun. Tentu saja kekhawatiran para aktivis ASI
banyak bayi atau anak berusia diatas 1 tahun yang belum genap berusia 2 tahun belum
mendapatkan asupan yang sesuai dengan standar WHO.
AIMI SUMBAR menjadi cabang ke 14 di Indonesia, dimulai dengan dibentuknya
kelompok pendukung ASI tahun 2013, AIMI SUMBAR diresmikan tahun 2015. Peresmian
ini dihadiri oleh Gubernur Provinsi Sumatera Barat dan Ibu Walikota Padang. Pemerintah
Provinsi Sumatera Barat sendiri telah menerbitkan Peraturan Daerah No 14 Tahun 2015
tentang Pemberian ASI Eksklusif dan Pemerintah Kota Padang sedang menyusun
Rancangan Perda.
Setelah hampir setahun diresmikan, AIMI SUMBAR melakukan berbagai
kegiatan. Kegiatan rutin berupa Kelas Edukasi Menyusui sebagai upaya sosialisasi dan
perayaan peringatan ASI baik di tingkat nasional maupun internasional. Kendala yang
dihadapi dalam setiap kegiatan hampir sama dengan cabang-cabang lain di daerah yang
tersebar di Indonesia. Donatur tetap serta negatif list sponsor untuk kegiatan membuat
organisasi ini memiliki keterbatasan dalam mengkampanyekan ASI di Sumatera Barat.
Sehingga para penggiat AIMI SUMBAR harus menemukan cara untuk mengkampanyekan
visi dan misinya.
Media massa adalah sarana yang dipilih untuk mengkampanyekan visi dan misi
tersebut. “It has already been noted that social movements depend on the media to get their
message across”. Media massa memainkan peran sebagai arena utama untuk
mengekspresikan opini publik dan pembentukan opini publik.
AIMI SUMBAR memanfaatkan semua jenis media online yang ada yaitu media
cetak, media elektronik dan media online. Selama shampir satu tahun kampanye ASI di
Sumatera Barat, AIMI SUMBAR telah muncul di beberapa media antara lain:
1. Media Cetak
83
84
85
2. Media Elektronik
a. Radio
86
87
b. Televisi
88
Metro TV
89
3. Media online
90
Selain pemberitaa tersebut diatas AIMI SUMBAR berkerjasama dengan RRI
Padang sebagai radio yang menjangkau berbagai kalangan. Program dua migguan
“Beranda Perempuan” diisi oleh narasumber dari AIMI SUMBAR. Hasil wawancara
dengan RRI Padang, kerjasama dengan AIMI SUMBAR tidak dikenakan biaya karena
dalam rangka mendukung program pemerintah dalam menyukseskan program ASI
Eksklusif. Sejauh ini, hasil kerjasama dengan AIMI SUMBAR memberikan tanggapan
yang beragam dari masyarakat dan pihak RRI antusias dan mendukung gerakan wanita ini.
Salah satu materi sebagai hasil kerjasama ini adalah:
91
Untuk menyampaikan isu pesan yang berlawanan di masyarakat, teknologi
memfasilitasi hal ini dengan pemanfaatan internet (Porta:2006). Karena keterbatasan dana,
AIMI SUMBAR memulai gerakannya menggunakan media internet sebagai media yang
paling mudah dan murah saat ini.
Sumber : Profil Pengguna Internet Indonesia 2014
Pengguna internet di Indonesia menurut Pusat Kajian Komunikasi Universitas
Indonesia (PUSKAKOM UI) bekerjasama dengan Asosiasi Penyeleggara Jasa Internet
Indonesia (APJII) dalam Profil Pengguna Internet Indonesia 2014 mengungkapkan
pengguna internet di Indonesia mencapai 88,1 juta dari 250jutaan jumlah penduduk
Indonesia.16 Yang dilakukan kebanyakan orang saat terkoneksi ke internet adalah
menggunakan jejaring sosial sebanyak 87,4%. Dan mayoritas pengguna internet adalah
kaum wanita yaitu sebanyak 51%. Usia pengguna internet terbanyak 26-45 tahun sebanyak
16
Puskakom UI, Profil Pengguna Internet Indonesia 2014, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet
Indonesia
92
48.4%. 84% pengguna internet menggunakan internet sekali sehari atau lebih.
(www.puskakomui.or.id).
Sebanyak 87.8% pengguna internet di Sumatera menggunakan internet untuk
mengakses jejaring sosial. Di Sumatera Barat, sebanyak 1,8 juta menggunakan internet
atau sebesar 35%. pengguna internet 43% berjenis kelamin wanita.
93
Sumber : Profil Pengguna Internet Indonesia
2014
Facebook sebagai media yang menyentuh segala lapisan pada saat ini menjadi
sasaran. Seiring perjalanannya akun media lain juga dibuat seperti twitter, instagram dan
telegram. Hal ini sesuai dengan temuan Puskakom UI sebanyak 87.8% pengguna internet
di Sumatera menggunakan internet untuk mengakses jejaring sosial. Di Sumatera Barat,
sebanyak 1,8 juta menggunakan internet atau sebesar 35%. Pengguna internet 43% berjenis
kelamin wanita
Akun facebook menjadi andalan sebagai wadah menyampaikan informasi. Sampai
dengan bulan April 2016 akun facebook AIMI SUMBAR memiliki 1.423 teman. Grup
facebook sebagai wadah konsultasi memiliki 617 orang anggota. Grup sebelumnya
berjumlah lebih dari 2.000 anggota, hanya saja karena ketentuan untuk membuat akun
media yang baru yang sesuai dengan rules AIMI, maka grup ini mulai dibentuk kembali
setelah resmi menjadi cabang. Selain itu terdapat 110 penyuka fanpage AIMI SUMBAR
Shop sebagai wadah jual beli seputar perlengkapan ASI dan kebutuhan lainnya. Fanpage
ini juga bertujuan sebagai lahan mencari dana untuk keperluan organisasi.
Selain facebook, twitter dengan 117 follower, Instagram dengan 290 follower dan
yang baru dibuat sejak bulan Maret Maret 2016 telegram dengan 32 member. Semua akun
94
media sosial dibuat dengan tujuan mendapatkan perhatian masyarakat di berbagai ruang
media yang ada di era web saat ini.
Pada bulan April 2016, AIMI SUMBAR membuka kesempatan bagi warga
provinsi Sumatera Barat untuk ikut menjadi bagian dari pengurus AIMI. Penerimaan calon
pengurus ini dengan cara mendaftar secara online. Ditemukan peminatnya berjumlah 55
orang yang tersebar di berbagai kabupaten/kota di wilayah Provinsi Sumatera Barat.
Jumlah ini yang lebih banyak dari penerimaan calon pengurus AIMI Sumatera Utara yang
dilakukan beberapa bulan sebelumnya. Dari data calon pengurus diketahui calon pengurus
yang mengetahui informasi seputar AIMI SUMBAR dari facebook sebanyak 40 orang, dari
instagram 1 orang, dari televisi 2 orang dan sisanya dari sumber lainnya.
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu klien AIMI SUMBAR informasi
terkait AIMI SUMBAR didapatkan dari postingan akun AIMI SUMBAR yang diposting
ulang oleh rekannya. Klien tersebut menghubungi konselor AIMI SUMBAR karena
terkendala saat pemberian ASI kepada bayinya yang berusia 11 hari dan dirawat di NICU,
Klien lain menyebutkan, informasi terkait AIMI SUMBAR didapatkan dari siaran radio.
Ketua AIMI SUMBAR menyampaikan masyarakat hendaknya mendukung ibu
menyusui dimana saja dan kapan saja. Kampanye ASI diharapkan mengembalikan
menyusui sebagai hal alami. Dan berbagai pihak dapat memperhatikan hak-hak ibu dan
bayi agar ibu yakin menyusui walau masih terkendala berbagai hal misalnya ruang
menyusui yang belum tersedia di ruang publik. Masyarakat sebagai support system dapat
mendukung kampanye ini dengan menganggap menyusui adalah hal yang normal.
Menyusui adalah proses pemberian makan dari ibu ke bayi.
Realitas diatas sesuai dengan teori Norma Budaya atau The Cultural Norms Theory
dari Melvin L DeFleur bahwa media massa secara selektif menyajikan dan menekankan
ide-ide, nilai-nilai atau norma-norma dengan memperkuat atau mengubahnya. Maka AIMI
SUMBAR menggunakan peran media dalam menyampaikan informasi dan
mengkampanyekan tujuan masyarakat dalam berbagai bidang. Penyajiannya dan
penekanannya pada tema tertentu yaitu tema pemberian ASI kepada bayi dapat
menciptakan kesan pada khalayak dengan memberikan bobot seperti manfaat ASI bagi
berbagai pihak. Sehingga norma atau standar perilaku dalam masyarakat dapat menerima
dan mendukung pemberian ASI dan berpartisipasi mendukung gerakan ini.
Pemanfaatan media sosial dalam mengkampanyekan ASI menjadi sasaran karena
dapat dirasakan langsung manfaatnya. Serta para aktivis AIMI SUMBAR dapat terhubung
langsung dengan khalayaknya seperti konsultasi di grup facebook AIMI SUMBAR.
Beberapa hasil konsultasi tersebut:
95
96
Sumber: grup facebook AIMI SUMBAR
https://www.facebook.com/groups/aimisumbar/?ref=ts&fref=ts#
Kondisi ini menggambarkan bertambahnya pengetahuan masyarakat terkait
pemberian ASI. Bahkan anggota grup yang bukan pengurus AIMI SUMBAR dapat ikut
serta memberikan saran terhadap permasalahan ibu dengan merujuk kepada dokumen yang
ada di grup. Edukasi dan sosialisasi AIMI dengan memanfaatkan media sosial dapat terus
dilakukan. Teori norma budaya menjelaskan bahwa kampanye yang dilakukan AIMI
SUMBAR dengan melibatkan media yang ada diharapkan mampu mengubah perilaku
khalayaknya agar menjadikan menyusui sebagai gaya hidup yang sesuai dengan kearifan
lokal sehingga persentase angka ibu meyusui di Sumatera Barat khususnya dan di
Indonesia umumnya dapat mencapai target MDGs yaitu 80%.
5.KESIMPULAN
Gerakan sosial dukung ibu menyusui yang dikampanyekan oleh AIMI Cabang
Sumatera Barat bertujuan untuk meningkatkan persentase ibu menyusui di Sumatera Barat.
97
Pentingnya pemberian ASI sesuai rekomendasi WHO membutuhkan dukungan
masyarakat, tidak cukup peran pemerintah saja, tapi dukungan setiap orang. Dukungan
tersebut dapat berupa dukungan finansial, emosional, praktikal, pengawasan dan sosial.
Rendahnya pemberian ASI menurut peneitian sebelumnya karena kurangnya dukungan
sosial ekonomi. Masih banyak bayi di Sumatera Barat belum mendapatkan kesempatan
untuk menyusu secara eksklusif pada ibunya. AIMI SUMBAR sebagai jaringan organisasi
yang merupakan bagian dari sebuah gerakan sosial mengkampanyekan dukungan terhadap
ibu menyusui di Sumatera Barat dengan melibatkan media massa. Dari ketiga media yang
digunakan AIMI, media sosial. Selain itu, media baru pun menjadi pilihan utama karena
lebih praktis dan low cost. Diharapkan metode ini mampu mengubah perilaku masyarakat
dan memberikan manfaat berkelanjutan bagi bayi dan ibu.
Teori Norma Budaya menjelaskan dan memperkuat upaya AIMI SUMBAR
mengkampanyekan ASI dengan pemanfaatan media massa. Diharapkan peran media
mampu menjadikan menyusui dimanapun dan kapanpun menjadi norma di masyarakat
Sumatera Barat. Tentu saja dukungan menyusui yang diberikan oleh tenaga kesehatan dan
orang sekitar baik saat hamil maupun setelah melahirkan sangat membantu ibu untuk
menyusui anaknya sesegera dan selama mungkin, tetapi dukungan dari masyarakat sekitar
cukup dapat membuat ibu yakin dan percaya diri dalam memberikan ASI kepada bayinya.
Inilah bentuk support system untuk generasi yang lebih baik.
“Succes in breastfeeding is not the sole responsibility of a woman, the promotion of
breastfeeding is a collective societal responsibility” ~The Lancet~
6.DAFTAR PUSTAKA
Adenita. 2013. Breastfriends Inspirasi 22. Tangerang : Buah Hati.
Afrizal. 2014. Metode Penelitian Kualitatif. Depok: PT Rajagrafindo Persada.
Anton Baskoro. 2008. ASI Panduan Praktis Ibu Menyusui. Banyu Media. Yogyakarta.
Ardianto, Elvinaro dan Lukiati Komala Erdinaya. 2004. Komunikasi Massa Suatu
Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Brent D Ruben, dkk. 2013. Komunikasi dan Perilaku Manusia. Jakarta:PT. Rajagrafindo
Persada.
DeFleur, M. L. & Ball-Rokeach, S. 1989. Theories of mass communication (5th ed.). White
Plains. NY.
GA Ohorella dkk.1992. Peranan Wanita Indonesia dalam Masa Pergerakan Nasional.
Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010. Indonesia Menyusui. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
Jack Newman. 2008. The Ultimate Breastfeeding Book of Answers. Harper Collins
Publisher Ltd. Canada.
Mc Carthy John etc. 2015. The Social Movement Reader cases and Concepts. Wiley
Blackwell. UK
Muda, Deddy Iskandar. 2005. Jurnalistik Televisi, Menjadi Reporter Profesional.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Peter Van Aelststefaan Walgrave. 2005. Cyberprotest new Media, Citizens and Social
Movement. Routledge. London
Porta D.D etc.2006. Social Movements an Introduction. Blackwell Publishing. Australia
Rachmat Kriyantono. 2006. Teknik Praktik Riset komunikasi. Jakarta: Kencana.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif Kualitatif dan
R&D. Bandung: Alfabeta.
AIMI.2014. Materi Kelas Edukasi Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia.
Kemenkes RI. 2014. Pusat Data informasi Kementrian Kesehatan RI, Situasi dan Analisis
ASI Eksklusif.
98
Peter Stalker. 2008. Millenium Development Goals.
Puskakom UI. Profil Pengguna Internet Indonesia 2014. Asosiasi Penyelenggara Jasa
Internet Indonesia
Logan, Chad.etc. 2015. Changing Societal and Lifestyle Factors and Breastfeeding
Patterns Over Time. PEDIATRICS Volume 137 , number 5 , May 2016 :e
20154473
Made Arini Hanindharputri. 2014. Tokoh Men Brayut Sebagai Ilustrasi Ikon Media
Kampanye Asi Eksklusif Bagi Ibu Bekerja. Institut Seni Indonesia Denpasar.
Yulien Adam dkk. 2012. Determinan Pemberian Asi Ekslusif Di Wilayah Puskesmas
Telaga Biru dan Puskesmas Mongolato Kabupaten Gorontalo Provinsi Gorontalo
Tahun
2012,
Jurnal
Unhas.http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/d0816d1d5f891249ac679ff93b0741ba.
pdf diakses pada 11 April 2016
http://themilkmeg.com/ingredients-in-breastmilk-versus-artificial-breastmilk-formula/
diakses pada tanggal 17 April 2016
http://www.unicef.org/indonesia/id/media_21270.html diakses pada tangal 17 April 2016
http://www.unicef.org/indonesia/id/media_21270.html diakses pada tanggal 20 April 2016
http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-media-massa-definisi-fungsi.html
diakses pada tanggal 25 April 2016
https://ethicsinpr.wikispaces.com/Cultural+norms diakses pada tanggal 25 April 2015
http://www.seputarpengetahuan.com/2015/11/15-pengertian-norma-menurut-para-ahliterlengkap.html diakses pada tanggal 25 April 2016
http://m.metrotvnews.com/video/good-news-today/eN4vnZ5k-manfaat-asi-bagi-bayi-danibu
http://m.metrotvnews.com/play/2016/04/21/516962 diakses pada tanggal 25 April 2016
http://sumbar.antaranews.com//berita/175380/aimi-sumbar-gelar-kegiatan-menyusuiserentak.html diakses pada tanggal 25 April 2016
https://www.youtube.com/watch?v=IQC3ZVD9pok diakses pada tanggal 25 April 2016
http://www.antarasumbar.com/berita/150140/aimi-sumbar-resmi-dikukuhkan-dipadang.html diakses pada tanggal 25 April 2016
http://www.antaranews.com/berita/536137/aimi-sumbar-gelar-selebrasi-hari-ibu diakses
pada tanggal 25 April 2016
http://aimi-asi.org/about/
https://www.facebook.com/groups/aimisumbar/?ref=ts&fref=ts#
www.puskakomui.or.id
99
MENOLAK UNTUK MENYERAH: UPAYA PEREMPUAN PERAJIN
BATIK TULIS UNTUK TETAP MENJAGA TRADISI BATIK TULIS DI
KABUPATEN BANJARNEGARA
1
Dra. Tri Rini Widyastuti, M.Si, 2 Dr. Riris Ardhanariswari, SH, MH.
1
Jurusan Sosiologi FISIP Unsoed,
Email:[email protected]
2
Fakultas Hukum Unsoed
Email:[email protected]
Abstrak
Nasib para perajin batik tulis tidak seindah kain yang dihasilkannya. Hubungan kerja
antara perajin dan juragan yang bercorak putting-out system cenderung merugikan
perajin yang umumnya perempuan. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi persoalan
yang dihadapi para perajin batik tulis di Kabupaten Banjarnegara serta upaya yang
mereka lakukan untuk tetap bertahan menghidupkan tradisi batik tulis, sekaligus hidup
dari tradisi tersebut. Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik penentuan
informan menggunakan purposive sampling, dan teknik pengumpulan data dilakukan
dengan wawancara mendalam, studi dokumentasi, dan observasi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa bagi para perajin membatik bukan sekadar bekerja mencari
penghidupan. Lebih dari itu, membatik adalah menjaga tradisi turun temurun. Mereka
menghadapi banyak persoalan terkait hubungan kerja dengan juragan yang timpang.
Selain menerima upah yang rendah, mereka juga harus menanggung hampir semua risiko
kerja. Di sisi lain, ketergantungan mereka kepada juragan sangat tinggi, terutama terkait
pengadaan bahan baku dan pemasaran. Selain itu, serbuan batik cap dan tawaran upah
yang lebih tinggi dari industri bulu mata turut menjadi ancaman. Bertolak dari kondisi
tersebut, para perajin sepakat membentuk kelompok sebagai rintisan koperasi. Melalui
kelompok ini, mereka berharap tetap dapat menghidupi tradisi dan hidup dari tradisi.
Kata Kunci: Tradisi, Batik, Perajin, Juragan, Perempuan
Abstrac
The fate of the batik tulis crafters is not as beautiful as their works. The working
relationship between the artisans and the skipper is patterned putting-out system which
generally tends to disadvantage women artisans. The purpose of this study is to identify the
problems faced by thebatik tulis artisans in Banjarnegara District and their efforts to revive
batik tulis tradition, and getting prosperous life from this tradition. The study used a
qualitative approach. Informants selected using purposive sampling technique and data
collected by interviews, documentary studies, and observations. The results showed that
for the batik artisans,making batik is not only to make a living. Moreover, making batik is
about keeping the tradition. They face a lot of problems related to disadvantage working
relationships with skipper. Besides, receiving low wages, they also have to bear almost all
occupational risks. On the other hand, their dependence on the skipper is very high,
especially related to raw material procurement and marketing. In addition, the invasion of
batik cap and offer higher wages from the fake lashes industry also become a threat.
Starting from these conditions, the artisans have agreed to start up groups to establish a
cooperative. Through this group, they hope they can still keep the traditions and make a
living from it.
Keywords: Tradition, Batik, Artisans, Skipper, Female
1.PENDAHULUAN
100
Sebagai warisan budaya Indonesia yang sangat berharga, batik kembali menjadi
sorotan setelah pada tanggal 2 Oktober 2009 UNESCOmenetapkan batik sebagai “warisan
budaya tak benda” milik Indonesia.Tanggal tersebut kemudian ditetapkan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono sebagai Hari Batik Nasional.Momentum tersebut menjadi menjadi
salah satu pemicu geliat industri batik di Tanah Air.
Industri batik berkembang di berbagai kota di Pulau Jawa, terutama di Solo,
Jogjakarta, dan Pekalongan, dengan beragam motif dan corak sesuai karakteristik daerah
masing-masing. Misalnya, batik banyumasan menggambarkan kehidupan agraris dan
karakter masyarakat Banyumas yang suka cablaka, juga berisi nasihat-nasihat
(Rochmawati, 2010). Di luar ketiga daerah tersebut, batik juga menyebar di berbagai
daerah dan kota, seperti Sumatera, Madura, Cirebon, Lasem, dan Banyumas. Industri batik
juga berkembang di Kabupaten Banjarnegara.
Industri batik di Kabupaten Banjarnegara, yang merupakan varian batik
banyumasan, terpusat di Desa Gumelem Wetan dan Gumelem Kulon yang secara
administratif termasuk Kecamatan Susukan Kabupaten Banjarnegara. Kedua desa tersebut
letaknya berdampingan,karena pada zaman dulu desa tersebut merupakan wilayah
Kademangan Gumelem di bawah Kerajaan Mataram pada era 1573 M. Kerajinan batik
yang dimiliki oleh masyarakat Gumelem ditularkan oleh keluarga kademangan. Saat ini
Desa Gumelem Wetan memiliki 170 perajin batik dan 2 juragan batik, sedangkan Desa
Gumelem Kulon memiliki 50 perajin batik dan 3 juragan batik (Ardhanariswari, 2014).
Sebagai industri yang berbasis pada tradisi yang mengakar, industri batik
selayaknya menjadi social-economic capital yang dapat mendukung pertumbuhan
ekonomi masyarakat. Namunterbatasnya pemasaran dan adanya ancaman batik printing
membuat perkembangan industri batik gumelem kurang optimal. Selain kedua masalah
tersebut, industri batik gumelem juga belum diikuti oleh kesejahteraan para perajinnya.
Hubungan kerja yang bercorak putting-out system membuat posisi perajin batik sangat
terpinggirkan. Tulisan ini akan fokus mengidentifikasi persoalan yang dihadapi para
perajin batik tulis di Kabupaten Banjarnegara serta upaya yang mereka lakukan untuk tetap
bertahan menghidupkan tradisi batik tulis, sekaligus hidup dari tradisi tersebut
2.TINJAUAN PUSTAKA
Perempuan Perajin Batik Tulis dalam Putting-out System
Hubungan buruh dan majikan dalam industri batik telah lama diwarnai hubungan
kerja yang bercorakputting-out system(Chotim, 1994).Putting-out system merupakan cara
kerja produksi barang dengan pelaksanaan produksi di rumahpekerjanya, sementara bahan
kerja dan alat produksi dicukupi oleh pemilik usaha. Pemilik usaha melakukan kontrol
kualitas, membayar upah produksi, tetapi tidak menanggung risiko pekerjaan, termasuk
kesehatan dan jaminan sosial lainnya bagi pekerjanya (Syaifudian dan Chotim, 1994).
Sementara Suratiyah (1997) mendefinisikan putting-out system sebagai sistem untuk
mengatur, mengendalikan, dan memobilisasi proses produksi dan hubungan produksi dari
bahan mentah menjadi barang jadi yang dilakukan di luar perusahaan. Pekerjaan dari
perusahaan dibawa dan dikerjakan oleh pekerja ditempat yang dipilih sendiri, biasanya di
rumah atau disekitar rumah pekerja. Pekerja dalam hal ini dikategorikan dalam pekerja
rumahan, yaitu tenaga kerja yang menerima pekerjaan dari pengusaha tanpa ikatan kerja
formal, membawa dan menerima kerja, menanggung sendiri risiko produksi serta
menerima upah kerja berdasarkan satuan output (borongan) menurut ukuran sang
pengusaha.
Menurut Mas’oed (2006), sistem kerja putting-out system lebih banyak memberi
keuntungan bagi majikan karena majikan tidak perlu menyediakan tempat kerja. Para
majikan lepas dari keharusan menjamin keselamatan kerja dan berbagai perlindungan lain
101
yang seharusnya diterima oleh buruh. Selain itu, mereka bisa memperoleh hasil dari
pekerjaan buruh ekstra, yang sebenarnya tidak terlibat kontrak, misalnya anggota keluarga
di rumah.Sebaliknya, bagi tenaga kerja sistem putting-out system lebih banyak merugikan
dikarenakanmeniadakan perlindungan bagi buruh, misalnya keselamatan kerja maupun
jumlah waktu yang digunakan untuk bekerja. Selain itu, dapat terjadi pelanggaran hak
asasi anak karena pengerjaan dirumah memungkinkan keterlibatan buruh anak.
Dalam putting-out system, pekerjaan dari majikan dikerjakan oleh pekerja di
rumah sendiri sehingga dapat dikategorikan sebagai pekerjaan rumahan.Ciri pekerjaan
rumahan(home based production)antara lain: (1)tidak memerlukan skill yang tinggi; (2)
bisa dikerjakan di rumah tanpa harus meninggalkan tugas sehari-hari sebagai ibu rumah
tangga;(3)bisa menghasilkan uang dalam waktu singkat (harian-mingguan); (4).modal
tidak besar dan; (5) umumnya dilakukan oleh kaum perempuan. Sistem kerja dengan
membawa pekerjaan kerumah dengan model putting-out system biasanya berlaku di
daerah-daerah yang mempunyai potensi tenaga kerja terutama perempuan kurang mampu
dan tidak ada pekerjaan lain yang bisa mereka lakukan. Kondisi tekanan ekonomi
mengharuskan mereka melakukan kerja sambilan, yaitu melakukan pekerjaan reproduktif
sekaligus produktif. Pekerja rumah masuk dalam sektor informal, yaitu pekerja yang
bekerja dengan cara tidak tetap; sistem pengupahan borongan; merupakan pekerjaanpekerjaan pinggiran, sehingga kebanyakan dilakukan oleh perempuan (Hart, 1989).
Hubungan kerja pada industri batik di Kabupaten Banjarnegara juga bercorak
putting-out system (Ardhanariswari, 2014) di mana posisi pemilik usaha (juragan) sangat
dominan. Juraganmenentukan harga bahan baku dan upah produksi. Mereka juga
menetapkan standar kualitas sehingga dapat menolak hasil produksi perajin yang tidak
sesuai standar baku mutu. Juragan dapat memutus hubungan kerja secara sepihak apabila
volume pekerjaan turun tanpa harus memberikan kompensasi kepada perajinnya.
Sebaliknya, posisi perajin sangat lemah. Selain upah ditetapkan secara sepihak oleh
juragan, para perajin harus menanggung risiko jika produk yang dihasilkan tidak memenuhi
standar kualitas yang ditetapkan juragan. Perajin tidak memperoleh jaminan keselamatan
dan keamanan kerja. Mereka harus menerima risiko kesehatan, seperti terkena ISPA atau
tertuang malam panas, selain risiko tidak adanya jaminan kepastian kerja.
Putting-out system sekilas tampak menguntungkan pekerja -terutama bagi ibu
rumah tangga yang harus mengurus keluarga - karena relatif fleksibel. Jam kerja ditentukan
oleh pekerja sendiri, pekerja tidak harus kehilangan waktu dan ongkos untuk berangkat ke
dan pulang dari tempat kerja, sementara sambil bekerja mereka tetap dapat melakukan
pekerjaan rumah tangga. Namun jika dicermati, sistem ini justru sangat menguntungkan
pemilik modal karena selain (hampir) tidak menanggung risiko, mereka juga tidak perlu
menyediakan tempat dan fasilitas pendukung seperti listrik dan alat produksi lainnya.
Meskipun putting out system tidak menguntungkan bagi perempuan perajin batik tetapi
kemiskinan dan kultur patriarkhi menyebabkan mereka menerima pekerjaan membatik
dengan upah yang rendah.
Memberdayakan Perempuan Perajin Batik Tulis
Menurut Abdullah (1997), peran perempuan yang dalam struktur ekonomi
menunjuk pada kecenderungan “pejajahan” laki-laki atas perempuan. Kecenderungan ini
mengarah pada dua implikasi. Pertama, pergeseran struktur ekonomi makro secara
langsung menggeser kaum perempuan. Ketikakesempatan kerja kaum laki-laki berkurang,
mereka mengambil alih dan melakukan ekspansi ke sektor yang semula dikuasai
perempuan. Disini perempuan dikalahkan dan/atau bahkan mengalah. Kedua, perubahan
struktur ekonomi secara langsung membatasi keterlibatan perempuan dalam berbagai
kegiatan ekonomi karena segmentasi pasar yang semakin rumit. Jika ada peluang maka
102
laki-laki adalah prioritas, jika peluang terbatas mereka mendesak dan melakukan
marginalisasi terhadap perempuan. Kalau pun perempuan dipekerjakan, biasanya lebih
didasari kebutuhan “tangan perempuan” dengan alasan memaksimalkan keuntungan,
karena mempekerjakan perempuan sama dengan mendapatkan tenaga berupah murah.
Fakih (1997) menegaskan, proses marginalisasi sama saja dengan proses
pemiskinan. Hal ini dikarenakan tidak diberinya kesempatan kepada pihak yang
termaginalkan untuk mengembangkan dirinya. Demikian juga yang dialami oleh
perempuan saat proses marginalisasi ini terjadi pada jenis kelamin. Perempuan merupakan
pihak yang dirugikan daripada laki-laki dalam hal ketidakadilan gender ini. Sebagai
contoh dalam hal pekerjaan. Perempuan yang bekerja dianggap hanya untuk memberikan
nafkah tambahan bagi keluarga, maka perbedaan gaji pun diterapkan antara perempuan
dan laki-laki.
Kondisi yang dialami oleh perempuan perajin batik di Kabupaten Banjarnegara
secara tidak langsung dipengaruhi kultur patriarkhi. Mereka meyakini bahwa pekerjaan
membatik yang selama berpuluh tahun mereka lakukan hanyalah pekerjaan sampingan.
Mereka menganggap pekerjaan utama perempuan adalah menjadi ibu rumah tangga.
Pemahaman ini tentu saja berpengaruh terhadap penghargaan perempuan perajin batik
terhadap pekerjaannya. Menganggap membatik sebagai pekerjaan sampingan membuat
mereka merasa “layak” diupah murah. Pemberdayaan perlu dilakukan agar para
perempuan, khususnya perajin batik, mau dan mampu memberikan penghargaan terhadap
karya yang mereka hasilkan.
Penelitian ini memaknai pemberdayaan sebagai proses mengembangkan,
memandirikan, menswadayakan, memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan
bawah terhadap kekuatan penekan di sektor-sektor kehidupan. Pemberdayaan juga
merupakan proses memfasilitasi warga masyarakat pada sebuah kepentingan untuk
mengidentifikasi persoalan bersama, mengumpulkan sumberdaya, dan membantu
menyusun kembali kekuatan dalam komunitas. Masyarakat bawah dalam hal ini
perempuan perajin batik.
Untuk menggambarkan kondisi masyarakat yang berdaya dapat dimodifikasi dari
strategi pemberdayaan lapisan masyarakat bawah dari Tjokrowinoto (1987) sebagai
berikut :
a. Masyarakat bawah telah mampu menekan perasaan ketidakberdayaan bila
berhadapan dengan struktur sosial-politis.
b. Setelah kesadaran kritis muncul, masyarakat dapat melakukan reorganisasi dalam
rangka meningkatkan produktivitas kerja dan kualitas hidupnya.
c. Masyarakat telah memiliki rasa kesetaraan dan meyakini bahwa kemiskian sebagai
penjelmaan konstruksi sosial, bukan takdir.
d. Masyarakat telah memiliki keberanian untuk melibatkan dirinya dalam proses
perumusan kebijakan pembangunan.
e. Masyarakat dapat menyerap perubahan nilai positif seperti perencanaan hidup,
optimisme, pola hidup, produktivitas dan kualitas kerja.
3.METODE PENELITIAN
Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif sesuai pengalaman penelitian dan
sifat permasalahan (Strauss dan Corbin, 1990). Pendekatan kualitatif dipilih karena
memiliki kelebihan dalam mengkonstruksi realitas sosial dan makna budaya, serta
memiliki fokus pada proses interaktif dan peristiwa (Newman, 1994). Pemilihan informan
menggunakanteknikpurposive samplingdengan kriteria informan sesuai kebutuhan studi
iniatau bersifat unik dari sesuatu yang akan diteliti(Harrison, 2007).Sasaran utama
penelitian adalah para perempuan perajin batik tulis. Peneliti juga mewawancarai para
103
juragan, pihak pemerintah desa dan pemerintah kabupaten untuk validasi data. Teknik
pengumpulan data dilakukan dengan kombinasi wawancara mendalam, studi dokumen,
dan observasi (Punch, 2006). Analisis data menggunakan model analisis interaktif seperti
yang dikembangkan Miles dan Huberman (1992). Analisis dilakukan melalui tahap-tahap
berikut. Data yang terkumpul direduksi menjadi pokok-pokok temuan penelitian dan
disajikan secara naratif untuk kemudian diinterpretasikan secara logis. Reduksi dan
penyajian data dilakukan secara simultan dengan proses pengumpulan data. Proses
selanjutnya adalah penarikan kesimpulan.
4.TEMUAN DAN PEMBAHASAN
1.1.
Sekilas Tentang Desa Gumelem Wetan dan Gumelem Kulon
Desa Gumelem Wetan berada di Kecamatan Susukan Kabupaten Banjarnegara.
Wilayah Desa Gumelem Wetan seluas 805,278 ha.Sebagian besar wilayahnya berbukitbukit, beberapa bagian di antaranya rawan erosi, terutama di wilayah dusun IV dan dusun
III.Penduduk Desa Gumelem Wetan sebesar 10.733 jiwa, terdiri dari 5.374 penduduk lakilaki (50,07 persen) dan 5.359 penduduk perempuan (49,93 persen) dengan jumlah kepala
keluarga 2.711 KK. Hampir semua penduduk Desa Gumelem Wetan beragama Islam.
Fasilitas peribadatan yang ada meliputi enam buah masjid dan 46 mushola. Namun seperti
umumnya masyarakat petani yang masih lekat dengan berbagai ritus yang berkaitan dengan
siklus tanam, masyarakat desa ini masih kental memegang tradisi jawa, salah satunya
tradisi sadran gedhe yang diselenggarakan setiap menjelang bulan Ramadhan. Sebagian
besar penduduknya masih bermata pencaharian di sektor pertanian dan peternakan, baik
sebagai petani (729 orang atau 27,16 persen), buruh tani (293 orang atau 10,92 persen).
Menariknya, banyak penduduk Desa Gumelem Wetan yang bekerja sebagai perajin,
seperti perajin perajin pande besi, perajin ciri batu, dan batik tulis, bahkan batik gumelem
sudah menjadi salah satu ikon budaya sekaligus ikon wisata Kabupaten Banjarnegara.
Selain memiliki kreativitas tinggi dan dinamis, masyarakat Desa Gumelem Wetan juga
dianugerahi bentang alam nan permai. Desa ini berada di lereng Gunung Wuluh dan Bukit
Girilarangan, dialiri dua buah sungai dengan 16 mata air yang menghidupi warga desa,
bahkan terdapat curug (air terjun) dan mata air panas. Di desa ini juga terdapat cagar
budaya dan situs sejarah, yakni sebuah masjid kuno, makam keluarga demang, Makam Ki
Ageng Giring, dan Makam Gumelem. Selain tradisi sadran gedhe, masyarakat desa ini
memiliki kesenian tradisional ujungan.
Desa Gumelem Kulon terletak di perbatasan Kabupaten Banjarnegara dan
Kabupaten Banyumas, tepatnya di Kecamatan Susukan Kabupaten Banjarnegara. Luas
wilayah Desa Gumelem Kulon sebesar 812,2 ha, sebagian besar merupakan dataran
tinggi/pegunungan dan sisanya merupakan dataran rendah dan areal persawahan. Seperti
halnya penduduk Desa Gumelem Wetan, hampir seluruh penduduk Desa Gumelem Kulon
beragama Islam, namun demikian nilai-nilai tradisi Jawa masih cukup dominan. Umumnya
masyarakat pedesaan, masyarakat Desa Gumelem Kulon banyak yang bekerja di sektor
pertanian, sebagai petani atau buruh tani sawah. Desa ini juga dikenal sebagai sentra
penghasil gula kelapa. Sayangnya, manisnya gula tidak semanis nasib petaninya. Harga
gula yang fluktuatif, pohon kelapa yang sudah tua sehingga produktivitasnya menurun,
banyaknya penderes yang terbelit sistem panjar (ijon) dari para tengkulak, serta banyaknya
jalan yang rusak sehingga menyebabkan ekonomi biaya tinggi, merupakan kendala yang
harus dihadapi petani kelapa.
1.2.
Pasang SurutPerkembangan Batik Gumelem
104
Batik gumelem sebagaimana disebutkan dalam buku Profil Batik Gumelem
(2008), diyakini sudah ada sejak berdirinya Kademangan Gumelem. Saat itu, miniatur
kehidupan istana seperti pranata, trapsila, busana, dan tata praja secara baik dapat
ditemukan dalam kehidupan masyarakat di Kademangan Gumelem. Sebagai wilayah
perdikan, Kademangan Gumelem mengatur rumah tangganya sendiri. Demang memiliki
pembantu para sentana dalem yang mengurus kelancaran pemerintahan. Di samping itu,
terdapat satuan-satuan kerja teknis pendukung dan penjaga kewibawaan kademangan,
salah satunya adalah para tukang batik yang bertugas membuat kain batik bagi keperluan
busana keluarga, kerabat, dan sentana dalem kademangan.
Sejarah perkembangan batik gumelem tidak dapat dilepaskan dari keberadaan
Kademangan Gumelem. Masa keemasan batik gumelem mengalami penurunan sejalan
dengan berubahnya status kademangan yang awalnya merupakan tanah perdikan (bebas
pajak) di bawah pengaruh Kasunanan Surakarta menjadi desa praja. Wilayah kademangan
pun kemudian dibagi dua menjadi Gumelem Wetan dan Gumelem Kulon. Status dan
wilayah kademangan berubah karena Surakarta dilanda krisis politik dan pemerintahan.
Runtuhnya Kademangan Gumelem menjadi pukulan berat bagi perkembangan
batik gumelem. Batik sebagai kebudayaan kalangan istana yang selama ini bertahan karena
perlindungan kalangan kademangan runtuh perlahan akibat berkurangnya kebutuhan batik
karena berkurangnya jumlah sentana dalem, serta acara pemerintahan dan ritual adat yang
biasa dilakukan.Surutnya masa keemasan batik gumelem juga disebabkan lunturnya nilainilai sakral dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Batik semakin kehilangan mitos dan
filosofi yang terkandung di dalamnya, tinggal menjadi semacam ragam hias yang
mengandalkan unsur keindahan belaka. Di sisi lain, batik mulai dianggap sekadar bagian
dari industri sandang.
Sejak runtuhnya kademangan, batik gumelem pun mengalami kelesuan panjang.
Kain batik hanya digunakan oleh perempuan tua sebagai pakaian tradisional sehari-hari
(jarit/jarik), selendang penggendong bayi, atau kain penutup jenazah. Kain pun hanya
diproduksi ulang melalui teknik cetak (printing) agar harga terjangkau. Para pembatik tulis
pun semakin jarang ditemukan dan nyaris punah.
Tahun 2003 dapat disebut sebagai tahun kebangkitan batik gumelem, ditandai
dengan terbitnya Surat Edaran Bupati Banjarnegara agar setiap hari Sabtu, PNS seKabupaten Banjarnegara menggunakan batik gumelem saat melaksanakan tugas. Surat
edaran ini ternyata cukup jitu untuk menggairahkan kembali industri batik gumelem yang
mati suri. Industri tersebar di empat desa, yaitu Desa Gumelem Wetan, Gumelem Kulon,
Panerusan Wetan, dan Susukan. Selain menerbitkan surat edaran, melalui Dekranasda,
Pemkab Banjarnegara melakukan berbagai terobosan untuk nguri-uri batik gumelem
dengan berbagai upaya, seperti pelatihan melalui sistem magang, pemberian bantuan
peralatan pembuatan batik tulis dan batik cap, pelatihan pewarnaan, teknik pembuatan batik
cap dan desain motif batik, lomba rancang motif dan busana batik gumelem setiap dua
tahun sekali, studi banding untuk membuka wawasan perajin, serta pemberian pinjaman
modal dengan bunga rendah/subsidi bunga.
Perhatian Pemerintah Kabupaten Banjarnegara semakin meningkat setelah adanya
pengakuan UNESCO bahwa batik merupakan Warisan Bukan Benda Asli Indonesia pada
tanggal 2 Oktober 2009. Sehari setelah pengakuan UNESCO tersebut - yang kemudian
ditetapkan sebagai Hari Batik Nasional - keluarlah surat edaran yang mewajibkan seluruh
PNS se-Kabupaten Banjarnegara selama seminggu penuh mulai tanggal 5-10 Oktober 2009
menggunakan batik selama jam kerja.Tak berapa lama kemudian turun Keputusan Bupati
Nomor: 025/ 591 Tahun 2009 tentang Penggunaan Pakaian Dinas PNS di Lingkungan
Pemkab Banjarnegara. Salah satu poin pentingnya adalah penggunaan pakaian batik
diperpanjang dari semula hanya hari Sabtu, menjadi tiga hari, yaitu hari Kamis, Jumat, dan
105
Sabtu. Sejalan dengan waktu, kini aturan pemakaian batik diperpanjang lagi menjadi empat
hari dalam seminggu, mulai hari Rabu, Kamis, Jumat, dan Sabtu.
1.3.
Kendala yang Dihadapi Para Perempuan Perajin Batik Tulis
Hasil penelitian berhasil mengidentifikasi kendala-kendala yang dihadapi para
perempuan perajin batik gumelem sebagai berikut.
a. Tidak ada perjanjian kerja secara tertulis.Hubungan antara pekerja dengan juragan
adalah kepercayaan karena tidak ada perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis.
Dalam model hubungan kerja bercorak putting-out system yang terjadi antara
juragan dan perajin batik gumelem tidak ditemukan adanya perjajian kerja secara
tertulis,bahkan “kesepakatan kerja” sepenuhnya ditentukan juragan.Tidak adanya
perjanjian kerja yang tertulis mengakibatkan kedudukan antara pekerja, dalam hal
ini perempuan perajin batik, dengan pengusaha/juragan tidak seimbang, dimana
juragan dalam posisi dominan.Meskipun merupakan pekerja rumahan, perempuan
perajin batik seharusnya mendapatkan perlindungan berdasarkan UU
Ketenagakerjaaan, selain mendapatkan hak-haknya sebagaimana layaknya seorang
pekerja/buruh.
b. Sistem pengupahan ditentukan secara sepihak oleh juragan.Perempuan perajin
batik mempunyai bargaining power yang lemah terutama berkaitan dengan upah
yang diperolehnya. Besaran upah ditentukan “kemurahan hati” juragan. Upah
dihitung per lembar kain, yakni antara Rp 20.000 – Rp 50.000 per lembar yang
dapat diselesaikan 2-3 hari, bahkan lebih, tergantung kerumitan motif. Jika diratarata, upah pekerja antara Rp 7.500 – Rp 20.000 per hari, sementara UMK
Banjarnegara tahun 2015 sebesar Rp 1.112.500 per bulan. Artinya, upah buruh batik
tulis jauh di bawah upah minimumyang ditetapkan pemerintah, padahal UMK
Banjarnegara termasuk yang terendah di Provinsi Jawa Tengah..
c. Tidak ada jaminan kesehatan dan jaminan sosial lainnya.Perempuan perajin batik
pada umumnya tidak memiliki akses ke jaminan sosial dan tidak juga diberi
tunjangan kesehatan oleh pengusaha/juragan. Apabila cedera karena kecelakaan
kerja misal terkena malam yang panas pada saat membatik atau sakit, hanya ada
sedikit atau bahkan sama sekali tidak ada bantuan. Semua tergantung “kemurahan
hati” juragan.
d. Keterbatasan akses terhadap bahan baku.Bahan baku utama dalam usaha batik
tulis adalah malam (lilin) dan kain mori.Bahan baku ini belum tersedia di
Banjarnegara dan harus dibeli di Banyumas, bahkan di Pekalongan. Hanya juragan
yang mampu membeli bahan baku dalam partai besar sehingga harganya lebih
murah. Bagi perajin yang ingin mandiri terpaksa membeli dengan harga lebih mahal
karena harus mengeluarkan ongkos perjalanan. Akibatnya margin keuntungan yang
mereka terima sangat kecil. Oleh karena itu, dalam pengadaan bahan baku banyak
perajin yang lebih memilih tergantung pada juragan,sementara perlengkapan
lainnya seperti kompor listrik, kompor minyak, kompor gas, atau tungkumereka
sediakan sendiri.
e. Produktivitas kerja belum stabil. Pekerja menganggap bahwa pekerjaan membatik
ini adalah pekerjaan sampingan, bukan pekerjaan utama.Rendahnya upah membatik
yang mereka terima saat ini memaksa para perajin mencari pekerjaan lain yang
lebih dapat mencukupi kebutuhan. Umumnya mereka bekerja di sektor pertanian.
Menurut seorang informan, upah perempuan perajin batik sejak tahun 1942 hanya
dapat untuk membeli beras dua kilogram yang apabila dikonversikan dengan nilai
uang sekarang berkisar Rp 20.000. Jika demikian, saat ini upah perajin batik justru
semakin merosot dibanding tahun 1940an. Akibat membatik bukan menjadi
106
f.
g.
h.
i.
pekerjaan utama, maka produktivitas kerja tidak stabil. Dalam wawancara, seorang
juragan, Ibu Str, mengeluh tidak dapat memenuhi pesanan dalam jumlah banyak
karena produktivitas pekerja fluktuatif, tergantung “waktu luang” yang ada. Mereka
bekerja sekadar “daripada menganggur di rumah.” Jika musim tanam misalnya,
para perajin memilih bekerja di sawah karena upahnya lebih tinggi. Menurut Ibu
Wtr, kalau tandur sehari dapat upah sebesar Rp 45.000 dengan jam kerja mulai jam
05.30-11.30, sedangkan kalau membatik dari jam 09.00-16.00 itu juga belum dapat
selembar kain karena satu lembar kain dikerjakan kurang lebih 2-3 hari dan upahnya
hanya Rp. 30.000.
Maraknya batik cap/printing. Selain menghadapi persoalan-persoalan di atas, para
perajin batik tulis juga harus menghadapi serbuan batik cap/printing. Batik printing
tidak menggunakan malam dan tidak menggunakan canthing, seluruhnya
dikerjakan layaknya sablon seperti kain motif pada umumnya
(http://www.batikgumelem.com, 2013).Berbeda dari batik tulis yang
pengerjaannya sangat lama dan rumit serta membutuhkan kesabaran dan
ketrampilan luar biasa, batik cap dapat diproduksi secara cepat dan masif. Pasar
batik Tempo waktu pengerjaan yang lama ditambah kegiatan membatik masih
dianggap pekerjaan sambilan, membuat batik gumelem sulit memenuhi permintaan
pasar baik dari sisi harga maupun ketersediaan barang.Kondisi ini membuat
pengusaha berpaling ke batik cap sehingga volume kerja batik tulis menurun.
Akibatnya banyak perempuan perajin batik yang terpaksa menganggur. Pekerja
batik cap umumnya laki-laki.
Masuknya industri bulu mata palsu. Kondisi-kondisi yang tidak menguntungkan
perajin batik di atas patut menjadi perhatian dari pemerintah setempat. Ketika
perajin batik menganggap pekerjaan membatik tidak lagi menguntungkan, mereka
dapat meninggalkan pekerjaan tersebut. Kecenderungan seperti ini sudah mulai
tampak. Beberapa perempuan perajin batik dari Desa Gumelem Wetan dan Desa
Gumelem Kulon telahberalih pekerjaan menjadi buruh pembuatan rambut palsu
dan bulu mata palsu (buruh ngidep) di perusahaan-perusahaan rambut palsu di
Kabupaten Purbalingga, bahkan ada perusahaan yang sudah memiliki plasma di
Desa Gumelem. Selain tawaran upah yang jauh lebih tinggi (sekitar satu jutaan per
bulan), jaminan kerja buruh ngidep juga lebih terjaga. Bagi kaum muda ngidep juga
lebih prestisius karena tangan tetap bersih, tidak harus kotor terkena malam dan
pewarna kain. Selain itu, ada beberapa pengusaha bulu mata yang berani
memberikan pinjaman kepada buruhnya untuk kredit motor. Tentu saja tawaran ini
menarik bagi mereka. Hal ini menjadi ancaman bagi upaya pelestarian batik sebagai
warisan budaya yang membanggakan masyarakat Banjarnegara.
Kurangnya regenerasi. Selain persoalan di atas, masa depan industri batik tulis
gumelem juga terancam oleh sedikitnya kaum muda yang tertarik menjadi perajin
batik tulis.Kegelisahan ini juga ditangkap Kepala Desa (Kades) Gumelem Kulon
yang menyatakan bahwa selain masalah permodalan dan pemasaran, industri batik
tulis gumelem juga semakin terancam punah karena pembatiknya sudah tua-tua.
Harapannya banyak generasi muda yang tertarik membatik dan
mengembangkannya.Pemkab Banjarnegara melalui Dinas Indagkop UMKMpernah
melakukan pelatihan kepada generasi muda di Desa Gumelem Wetan dan Desa
Gumelem Kulon untuk belajar membatik maupun memberikan bantuan alat untuk
mencelup dan mewarnai batik, namun hasilnya hampir tidak ada.
Rendahnya akses terhadap bantuan pemerintah.Pemkab Banjarnegara telah
melakukan berbagai terobosan untuk nguri-uri batik gumelem dengan berbagai
upaya, seperti pelatihan melalui sistem magang, pemberian bantuan peralatan
107
pembuatan batik tulis dan batik cap, pelatihan pewarnaan, teknik pembuatan batik
cap dan desain motif batik, lomba rancang motif dan busana batik gumelem setiap
dua tahun sekali, studi banding untuk membuka wawasan perajin, serta pemberian
pinjaman modal dengan bunga rendah/subsidi bunga.Namun bantuan dan pemkab
dan pemprov justru menjadi aset elite lokal. Juragan menggunakan posisi mereka
untuk memperoleh bantuan dari pemkab dan pemprov, sebaliknya premkab dan
pemprov berdalih belum adanya kelompok atau paguyuban perajin mempersulit
pemerintah dalam memberikan bantuan kepada perajin.
j. Belum ada perkumpulan atau paguyuban perempuan perajin batik gumelem.
Padahal dengan adanya paguyuban diharapkan dapat menyatukan para pembatik
sehingga dapat meningkatkan bargaining power mereka di hadapan
pengusaha/juragan.Selain itu, dengan adanya kelompok maka akan mempermudah
para perajin dalam memperoleh bantuan pemerintah.
1.4.
Melawan untuk Menyerah
Berbagai persoalan yang dihadapi para perajin batik tulis sebagaimana dipaparkan
di atas memunculkan wacana pengadaan batik printing dengan motif khas gumelem.
Keunggulan batik printing tentu saja dari sisi efisiensi waktu karena tidak melalui proses
penempelan lilin dan pencelupan seperti batik pada umumnya, hanya saja motif yang dibuat
adalah motif batik sehingga batik printing bisa diproduksi dalam jumlah besar. Namun
wacana ini tidak sepenuhnya mendapat sambutan baik, terutama dari perajin batik tulis.
Mereka bersikukuh bahwa batik adalah kain yang ditulis atau dihias motif-motif khas
dengan malam panas melalui canthing dan disempurnakan dengan proses pencelupan.
Sementara batik printing tidak menggunakan malam dan tidak menggunakan canthing,
seluruhnya dikerjakan layaknya sablon seperti kain motif pada umumnya sehingga tidak
dapat disebut batik.
Salah satu perajin batik yang tetap bertekad melestarikan batik tulis adalah Mbah
M., nenek warga Desa Gumelem Kulon berusia lebih dari 80 tahun yang masih aktif
membatik. Menurutnya, membatik bukan hanya soal mencari makan, tapi juga
melestarikan tradisi. Nenek yang mulai membatik sejak Zaman Ratu Wilhelmina (tahun
1942) ini membatik tanpa menggunakan pola karena sudah hafal motif-motif batik
gumelem. Hasil kerjanya pernah ditolak pihak pemesan karena dianggap kurang rapidan
tidak sesuai pola. Namun Mbah M tetap bergeming karena menurutnya membatik bukan
sekadar menorehkan malam cair di atas kain mori yang sudah diberi pola, lebih dari itu,
membatik adalah ekspresi jiwa sehingga setiap lembar batik tulis selalu berbeda, meski
motifnya sama.
Kekerasan hati Mbah M menurun kepada putri ragilnya, Mbak Ng. Di antara
sepuluh bersaudara, hanya dia yang tetap setia mewarisi tradisi membatik. Dalam
kehidupan serba pas-pasan, Mbak Ng tetap setia membatik. Dia sangat prihatin dengan
semakin berkembangnya batik printing – yang ironisnya justru difasilitasi oleh Pemkab.
Banjarnegaramelalui pemberian bantuan peralatan dan pelatihan batik printing kepada
beberapa juragan, padahal batik tulis gumelem merupakan ikon Kabupaten Banjarnegara.
Mbak Ng juga prihatin dengan semakin sedikitnya generasi muda yang terjun membatik.
Mereka lebih suka menjadi buruh ngidep yang menawarkan upah jauh lebih tinggi.
Keinginannya yang besar untuk mandiri membuatnya bertekad memproduksi batik dan
memasarkannya sendiri ke langsung konsumen. Perjumpaannya dengan konsumen dari
berbagai kalangan membuat pandangannya maju dan wawasannya terbuka.
Di Gumelem Wetan ada Mbak Wr, perempuan berparas ayu yang membatik sejak
kecil. Keahliannya dalam membatik membuatnya sering diminta oleh beberapa sekolah
untuk mengajari siswa membatik, juga diminta mengajar di tempat-tempat lain.
108
Interaksinya dengan dunia luar membuatnya berpikiran maju. Seperti halnya Mbak Ng,
Mabak Wr juga memiliki keinginan yang kuat untuk mandiri, hanya saja dia merasa ewuh
dengan juragan yang selama ini sudah memberinya pekerjaan. Mengatasi perasaan
sungkan tersebut, Mbak Wr membuat terobosan dengan membuat batik tulis menggunakan
pewarnaan alam.
Difasilitasi tim peneliti, Mbak Ng dan Mbak Wr bersama beberapa perempuan
perajin batik dari kedua desa dipertemukan dengan pendamping dan pengelola Koperasi
Nira Kamukten, sebuah paguyuban para penderes kelapa dari wilayah Gumelem dan
sekitarnya yang telah berhasil membuat koperasi. Akhirnya para perempuan perajin
bersepakat untuk membuat kelompok sebagai langkah awal membentuk koperasi, yakni
Kelompok Giri Alam dari Desa Gumelem Wetan yang diketuai Mbak Wr dan Kelompok
Pandan Sari dari Desa Gumelem Kulon yang diketuai oleh Mbak Ng. Kelompok Giri alam
fokus menggarap batik tulis dengan pewarna alami, sementara Kelompok Pandan Sari
fokus menggarap batik tulis dengan motif gumelem. Dengan berkelompok mereka dapat
lebih mandiri karena peluang untuk mengakses bahan baku murah dan pasar lebih terbuka.
Demikian juga akses terhadap bantuan pemerintah yang selama ini “dibajak” para juragan.
Dalam kondisi demikian, mereka berharap tetap dapat menghidupi tradisi dan hidup
sejahtera dari tradisi yang mereka kukuhi. Kelompok perajin batik yang telah terbentuk
masih membutuhkan penguatan organisasi agar nantinya mereka dapat membentuk
koperasi. Tapi setidaknya langkah awal ini membuktikan bahwa mereka menolak untuk
menyerah. Menggunakan kriteria keberdayaan masyarakat bawah yang dikemukakan
Tjokrowinoto (1987) tersebut di atas, tampaknya para perempuan perajin batik gumelem
sudah mulai berdaya.
6.KESIMPULAN
Kendala-kendala yang dihadapi para perempuan perajin batik gumelem:
1. Tidak ada perjanjian kerja secara tertulis.Hubungan antara pekerja dengan juragan
adalah kepercayaan karena tidak ada perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis.
“Kesepakatan kerja” sepenuhnya ditentukan juragan.Kedudukan antara pekerja dan
juragan tidak seimbang, dimana juragan dalam posisi dominan..
2. Sistem pengupahan ditentukan secara sepihak oleh juragan. Perempuan perajin
batik mempunyai bargaining power yang lemah terutama berkaitan dengan upah
yang diperolehnya.
3. Tidak ada jaminan kesehatan dan jaminan sosial lainnya. Perempuan perajin batik
pada umumnya tidak memiliki akses ke jaminan sosial dan tidak juga diberi
tunjangan kesehatan oleh pengusaha/juragan,semua tergantung “kemurahan hati”
juragan.
4. Keterbatasan akses terhadap bahan bakukarena malam (lilin) dan kain mori.Bahan
baku ini belum tersedia di Banjarnegara dan harus dibeli di Banyumas, bahkan di
Pekalongan.
5. Produktivitas kerja belum stabil. Pekerja menganggap bahwa pekerjaan membatik
ini adalah pekerjaan sampingan, bukan pekerjaan utama.
6. Maraknya batik cap/printing. Tempo waktu pengerjaan yang lama ditambah
kegiatan membatik masih dianggap pekerjaan sambilan, membuat batik gumelem
sulit memenuhi permintaan pasar baik dari sisi harga maupun ketersediaan barang
sehingga membuat pengusaha berpaling ke batik cap.
7. Masuknya industri bulu mata palsu.Ketika perajin batik menganggap pekerjaan
membatik tidak lagi menguntungkan, mereka beralih pekerjaan menjadi buruh
109
pembuatan rambut palsu dan bulu mata palsu (buruh ngidep) di perusahaanperusahaan rambut palsu yang menawarkan upah lebih tinggi.
8. Kurangnya regenerasi.Hanya sedikit kaum muda yang tertarik menjadi perajin batik
tulis.
9. Rendahnya akses terhadap bantuan pemerintah.Pemkab Banjarnegara telah
melakukan berbagai terobosan untuk nguri-uri batik gumelem dengan berbagai
upaya,namun bantuan dan pemkab dan pemprov lebih banyak dinikmati para juraga.
10. Belum ada perkumpulan atau paguyuban perempuan perajin batik gumelem.
Padahal dengan adanya paguyuban diharapkan dapat menyatukan para pembatik
sehingga dapat meningkatkan bargaining power mereka di hadapan
pengusaha/juragan.Selain itu, dengan adanya kelompok maka akan mempermudah
para perajin dalam memperoleh bantuan pemerintah.
Upaya yang dilakukan
Para perempuan perajin bersepakat untuk membuat kelompok sebagai langkah
awal membentuk koperasi, yakni Kelompok Giri Alam dari Desa Gumelem Wetan yang
diketuai Mbak Wr dan Kelompok Pandan Sari dari Desa Gumelem Kulon yang diketuai
oleh Mbak Ng. Kelompok Giri Alam fokus menggarap batik tulis dengan pewarna alami,
sementara Kelompok Pandan Sari fokus menggarap batik tulis dengan motif gumelem.
Dengan berkelompok mereka dapat lebih mandiri karena peluang untuk mengakses bahan
baku murah dan pasar lebih terbuka. Demikian juga akses terhadap bantuan pemerintah
yang selama ini “dibajak” para juragan.
6.DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan. 1997. “Dari Domestik ke Publik: Jalan Panjang Pencarian Identitas
Perempuan ”dalam Sangkan Paran Gender, Irwan Abdullah ( e d . ) . Yogyakarta:
PustakaPelajar.
Ardhanariswari, Riris, Sofa Marwah , dan Tri Rini Widyastuti. 2014. Pengembangan
Model Putting-out System untuk Perlindungan Hukum dan Pemberdayaan
Perempuan Perajin Batik Banjarnegara. Universitas Jenderal Soedirman: Penelitian
Hibah Bersaing.
Chotim, Erna Ernawati. 1994. Subkontrak dan Implikasinya terhadap Pekerja Perempuan:
Kasus Industri Kecil Batik Pekalongan. Seri Working Paper AKATIGA No.3.
Bandung: Yayasan Akatiga.
Fakih, Mansour. 1997.Analisis Gender dan Transformasi Sosial,Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Harrison, Lisa. 2007. Metodologi Penelitian Politik. alih bahasa Tri Wibowo, Jakarta:
Kencana Prenada Media.
Hart, Keith. 1989. Informal Workers in Development. London: University Press.
Mas’oed, Mochtar. 2006.Bahan Pelatihan Pemberdayaan Perempuan di Bidang Politik.
Kerjasama PSG UGM Yogyakarta danPPGAUnsoed Purwokerto.
Miles, Matthew B. and A. Michel Huberman, 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber
tentang Metode-metode Baru. Jakarta: UI Press.
Newman, Lawrence. 1994. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative
Approaches. Boston: Allyn and Bacon.
Punch, Keith. 2006. Developing Effective Research Proposal. London: Sage Publication.
Rochmawati, Dilli. 2010. Banyumas Membatik Makna (Analisis Semiotik Makna Sosial
Budaya dalam Motif Batik Banyumasan). Skripsi, FISIP Unsoed, Purwokerto.
110
Safaria, A.F. 2003. “Sistem Maklun (Subkontrak) sebagai Startegi Buruh untuk Bertahan”
dalam A.F. Safaria, dkk. Hubungan Perburuhan di Sektor Informal: Permasalahan
dan Prospek. Bandung: Yayasan Akatiga.
Strauss, Anselm, and Juliet Corbin. 1990. Basic of Qualitative Research: Grounded Theory
Procedure and Techniques. Beverly Hills: Sage Publications.
Suratiyah, Ken. 1997. “Pengorbanan Wanita Pekerja Industri”dalam Sangkan Paran
Gender, Irwan Abdullah (ed.), Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Syaifudian, Hetifah dan Erna Ernawati Chotim. 1994.Dimensi Starategis Pengembangan
Usaha Kecil: Subkontrak pada Industri Garmen Batik. Akatiga: Bandung, 1994.
Tjokrowinoto. Moeljarto.1987.Politik Pembangunan: Sebuah Analisis Konsep, Arah,dan
Strategi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
http://www.batikgumelem.com/2013/03/mengenal-batik-gumelem-banjarnegara_21.
html, diakses 7 Juli 2014
http: banjarnegarakab.go.id
dan http://dokumentergumelem.blogspot.com/2009/12.
Diakses 10 Juli 2014.
www.antaranews.com/berita/531651/gubernur-jawa-tengah-tetapkan-umk-2016. Diakes
30 April 2016.
111
RELASI STRUKTUR DAN AKTOR DALAM ARENA
KONTESTASI POLITIK PEREMPUAN17
1
Sulsalman Moita, 2I Ketut Suardika
Jurusan Sosiologi, FISIP Universitas Halu Oleo Email: [email protected]
2
Jurusan Pendidikan Seni Budaya Pasca Sarjana Universitas Halu Oleo
Email:[email protected]
1
Abstract
This research was conducted in the city of Kendari Southeast Sulawesi, with the
aim of:(1) analyze the strengths and political struggle actor (female) Emitter participate
in the political arena; (2) describes the role of structural factors in the arena of political
contestation women; and (3) review and analyze the consequences of relationship
structures and actors in influencing gender relations in parliament.The research is a
qualitative case study approach to examine the relationship of structure and actors in the
arena of political contestation women. Data was collected through interviews, observation
and documentation. Data were then analyzed using qualitative data analysis, the analysis
undertaken since the data collection until the research is completed.The results showed
that: (1) The political struggle actor (female) in the arena of political contestation
childbirth movement and the struggle against political structure mendominiasi and
subordinating through internal strength and individual moral actor, meaning self
encourage rationality of politics, the movement itself as a reflection of understanding in
politics; (2) The role of structural factors pushing women's struggles to compete in the
political arena which manifests itself in a number of institutions such as political
institutions, the election organizers, media / press, women's NGO, the Centre for the Study
of Gender and Women's Organization; (3) The consequences of the relationship structures
and actors affecting gender relations in Parliament include: the allocation of resources,
access, control, participation and benefit.
Keywords: Relationships, Structures, Actors, Gender, Politics.
1.PENDAHULUAN
Tampilnya sosok politisi perempuan baik dalam politik lokal maupun politik
nasional di Indonesia, bukanlah fenomena yang unik. Seperti diutarakan oleh Manuell
Castells (1997) dalam The Power of Identity bahwa transformasi politik dunia menjelang
abad ke-21, salah satunya ditandai oleh fenomena runtuhnya tatanan patriarki di berbagai
belahan dunia. Dalam konteks ini, maka ranah politik yang selama ini dimaknai sebagai
dunia laki-laki, mengalami transformasi besar-besaran yang tidak saja menempatkan
hadirnya kaum perempuan namun juga tampilnya diskursus feminis dalam arena politik.
Di Indonesia, kiprah perempuan di arena politik belum terlalu menggembirakan.
Selama satu dasawarsa, yakni periode 1987 hingga 1997, keterwakilan perempuan hanya
12,06% (Irmayani & Osta F.P, 2009; Omara, 2009). Tonggak kebangkitan perempuan di
arena politik diharapkan muncul, setelah hadirnya undang-undang No. 12 tahun 2003
tentang Partai Politik dan undang-undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR,
DPD, dan DPRD, untuk mencalonkan minimal 30% kaum perempuan sebagai calon
anggota legislatif. Secara sosiologis Undang-Undang tersebut telah mencerminkan realitas
yang ada di masyarakat, yang berusaha mengakomodasi tuntunan masyarakat yang
menghendaki adanya peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen.
17
Disajikan dalam rangka Konferensi Nasonal Sosiologi V, Padang 17-19 Mei 2016
112
Meskipun kedua undang-undang di atas, tidak sepenuhnya memberikan jaminan
peningkatan partisipasi politik perempuan, namun setidaknya dapat menjadi starting point
bagi perempuan untuk meningkatkan partisipasinya dalam politik di Indonesia. Selama
dua Pemilu, keterwakilan perempuan di kursi legislatif mengalami peningkatan, yaitu
11,6% pada Pemilu 2004 dan 18% pada Pemilu 2009.
Kendatipun secara nasional persentase keterwakilan perempuan di parlemen belum
mencapai 30%, namun berbeda dengan Kota Kendari pada Pemilu 2009 dari 30 kuota kursi
anggota legislatif, 10 orang (33%) adalah perempuan; kemudian pada Pemilu 2014 dari 35
kuota kursi 13 orang (37%) adalah perempuan. Kota Kendari juga merupakan satu-satunya
dari 17 Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi Tenggara yang mampu menempatkan
keterwakilan lebih 30% perempuan sebagai anggota legislatif.
Konfigurasi keterwakilan perempuan di parlemen Kota Kendari merupakan
fenomena yang sangat menarik untuk dikaji dari perspektif sosiologi gender dan sosiologi
politik, karena tidak hanya semata-mata tercapainya persentase keterwakilan perempuan di
parlemen; namun proses yang mengantarkan mengapa dan bagaimana kaum perempuan
dapat eksis dan setara di arena politik, di tengah dominannya kaum laki-laki dengan kultur
patriarkinya. Salah satunya adalah terjadinya rekonstruksi atas konstruksi sosial yang
selama ini menganggap perempuan adalah subordinat laki-laki di berbagai bidang
kehidupan termasuk dalam bidang politik.
Rekonstruksi sosial merupakan salah satu kajian filsafat sosial yang menuntut
diperlukan suatu teori kritis yang substantif mengenai masyarakat yang dikembangkan ke
taraf metateoritis dalam kaitannya dengan upaya refleksi diri terhadap teori dan metode.
Aliran ini juga bertujuan melakukan emansipasi sosial dan berusaha menemukan teori
sosial yang mampu memikul tanggung jawab berupa perlawanan terhadap status quo.
Asumsi utama yang dikedepankan adalah upaya kritik yang lebih luas terhadap kenyataan
bahwa kultur kapitalis yang merupakan suatu bentuk manipulasi dan penguasaan, yang
secara total meresapi struktur psikis dan sosial.
Berkaitan dengan pemahaman rekonstruksi sosial, membawa pada kajian tentang
relasi stuktur dan aktor dalam arena kontestasi politik perempuan. Perjuangan politik aktor
(kaum perempuan), di samping dilakukan oleh kaum perempuan itu sendiri, juga didukung
oleh faktor-faktor struktural seperti media massa, organisasi politik, dan organisasi semi
politik. Masing-masing berusaha membangun suatu makna baru dalam keterwakilan
perempuan dalam politik. Tentu saja melalui, perang wacana, ide, ideologi atas
keterwakilan perempuan yang dapat diterima oleh masyarakat pemilih. Jika pada
masyarakat telah terbentuk suatu konstruksi sosial tentang sesuatu, maka proses
rekonstruksi bisa membentuk konstruksi sosial yang baru di antara komunitas tertentu yang
melakukan resosialisasi.
Relasi struktur dan aktor dalam arena kontestasi politik perempuan, tidak hanya
berhenti pada agenda perjuangan memenuhi keterwakilan 30% perempuan berdasarkan
Undang-Undang Pemilu dan Politik; akan tetapi relasi juga dilakukan ketika menjalankan
tugas dan fungsi sebagai wakil rakyat dalam menjalankan fungsi legislasi, budgetting, dan
pengawasan. Selain itu politisi perempuan di parlemen, berada pada level yang sejajar
dengan kaum pria, yang nampak dalam keseimbangan posisi jabatan pimpinan, fraksi, dan
komisi.
Fenomena eksistensi politisi perempuan di DPRD Kota Kendari, menunjukkan
adanya konsekuensi pada pola relasi gender dalam bentuk alokasi sumber daya, akses, dan
partisipasi yang dapat mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender; termasuk secara
ekslusif politisi perempuan di wilayah ini telah membentuk kaukus perempuan parlemen
sebagai satu-satunya kaukus yang ada di Provinsi Sulawesi Tenggara, yang agendanya
memperjuangkan pembangunan yang responsif gender dan anggaran yang pro gender.
113
Berdasarkan latar belakang tersebut, kajian ini diharapkan dapat menjelaskan
perspektif sosiologis dari relasi struktur dan aktor dalam arena kontestasi politik
perempuan di Kota Kednari.
Berdasarkan penjelasan di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
bagaimanakekuatan dan perjuangan politik aktor (kaum perempuan) dalam arena
kontestasi politik di Kota Kendari?, Bagaimana peranan faktor-faktor struktural di arena
kontestasi politik perempuan di Kota Kendari? dan Bagaimana konsekuensi relasi struktur
dan aktor dalam mempengaruhi relasi gender di parlemenKota Kendari?
2.TINJAUAN PUSTAKA
Secara umum terdapat dua model analisis yang digunakan untuk mengkaji
penelitian ini dalam perspektif gender, yakni model analisi mikro dan meso. Model analisis
mikro, menempatkan individu sebagai unit analisisnya. Penjelasan berparadigma definisi
sosial ini menganggap individu-individu anggota masyarakat bukannya ‘obyek’ (benda
mati) yang siap ‘dibentuk’ dan selalu dijadikan sasaran kekuatan eksternal (struktur sosial
dan budaya), melainkan individu-individu yang aktif, kreatif dan mempunyai kemampuan
merespon stimulasi eksternal yang dinilai merugikan kepentingannya. Individu
mempunyai kemampuan dan kapasitas yang memadai sehingga pada gilirannya mampu
mereproduksi dan merekonstruksi sesuatu yang dinilai ‘given’ oleh masyarakat. Teori-teori
yang dapat dipergunakan dalam model penjelasan mikro ini, misalnya Teori Fenomenologi
dan Teori masyarakat aktif. Selanjutnya model analisis meso adalah kajian yang akan
mensinergikan perdebatan dua kubu teoritisi besar yakni paradigma fakta sosial dan
paradigma definisi sosial. Paradigma inilah yang menurut Giddens menghasilkan teori
strukturasi. Struktur diciptakan, dipertahankan, dan diubah melalui tindakan-tindakan
agen. Sedangkan tindakan-tindakan itu sendiri diberi bentuk yang bermakna hanya melalui
kerangka struktur.
Model analisis mikro dan meso di atas, kemudian disinergikan dengan pemikiran
rekonstruksionisme. Pendekatan ini muncul karena terjadi kesenjangan dan kekecewaan
terhadap teori-teori umum yang tidak dapat bersikap “kritis”. Rekonstruksionisme
mendasarkan pada dua premis mayor: (1) masyarakat membutuhkan rekonstruksi yang
konstan atau perubahan, dan (2) perubahan sosial juga adalah rekonstruksi pengetahuan
sebagai wahana rekonstruksi masyarakat. Pada intinya rekonstruksionisme bertujuan untuk
mengkongkretisasi kehidupan, di mana dibentuk institusi sosial yang diawasi masyarakat,
sekolah dan pendidikan dalam koordinasi sosial budaya dan arah yang harus sesuai
keinginan masyarakat (Hamalik, 2007).
Berdasarkan penjelasan konsep filsafat rekonstruksionisme, maka teori sosiologi
yang relevan untuk mengkaji rekonstruksi kesetaraan gender dalam politik adalah: teori
masyarakat aktif dari Etzioni. Model yang diperkenalkan Etzioni (dalam Poloma, 2007)
untuk menjawab berbagai isu-isu sosial masyarakat modern termasuk gender, yaitu: 1)
Bagaimana seseorang mengendalikan masa depannya?; 2) Bagaimana masa depan itu lebih
banyak ditentukan tindakan rasional tetapi spontan; 3) Bagaiman aktor individual
diarahkan?; 4) Sejauh mana kebenaran kekuatan self-kontrolnya? Lebih jauh Etzioni,
mengungkapkan bahwa orientasi masyarakat aktif memiliki tiga komponen yakni:
kesadaran pribadi, pengetahuan para aktor, dan komitmen pada satu atau lebih tujuan. Teori
Etzioni tersebut, jika disinergikan dengan eksistensi perempuan dalam politik, maka proses
rekonstruksi, mengacu pada tiga komponen masyarakat aktif, yaitu: Pertama, perempuan
perlu meningkatkan kesadaran pribadi yang tumbuh atas motivasi untuk berkiprah di dunia
politik. Kedua, pengetahuan para aktor, yaitu perempuan memiliki pengetahuan dan
114
pengalaman politik untuk berkompetisi di arena politik yang umumnya dikuasai oleh kaum
laki-laki. Ketiga, kaum perempuan berkomitmen pada satu atau lebih tujuan dalam
berpolitik, seperti tujuan aktualisasi diri dan tujuan prestasi.
Selanjutnya, relasi struktur dan aktor dalam arena kontestasi politik perempuan
juga dapat dikaji dari pendapat salah seorang teoritisi gender yakni Simone de Beauvoir.
Menurut Beauvoir (1999), bahwa atribut seorang wanita bukan ada sejak dilahirkan
melainkan diciptakan oleh lingkungan budayanya. la mengatakan bahwa eksistensi diri
manusia bukan bawaan sejak lahir, melainkan merupakan pilihan, karena itu hak setiap
individulah untuk menetapkan identitas dirinya. Filsafat eksistensialisme ini menjadi dasar
pemikiran aktivis feminisme yang percaya bahwa identitas gender harus dikonstruksi oleh
individu yang bersangkutan. Untuk dapat menentukan identitas dirinya, maka seorang
perempuan harus menjadi dirinya sendiri (otonom), dan lepas dari pengaruh alam.
Kajian relasi struktur dan aktor dalam arena kontestasi politik perempuan juga
dapat dianalisis dalam perspektif gerakan sosial. Menurut Scoot (2011), di dalam gerakan
sosial terdapat aspek-aspek mikro (dalam internal diri aktor) yang mempengaruhi gerakan
yakni: ideologi diri, nilai-nilai diri, perspektif memandang suatu fenomena, sumber daya
diri, dan komitmen diri. Gerakan internal diri aktor dapat mempengaruhi realitas
perjuangan untuk mencapai keadilan dan kesetaraan gender. Gerakan dalam internal diri,
merupakan usaha untuk menerobos batasan yang memisahkan persoalan ketertindasan
perempuan dan ketertindasan manusia secara keseluruhan. Ini berarti gerakan perempuan
harus menyusun strategi tentang bagaimana memberi warna perempuan pada setiap
gerakan pembebasan yang bertujuan untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi dan
ketidaksetaraan dalam tata hubungan antar manusia yang beradab, termasuk dalam
kehidupan politik.
3.METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yang berusaha memahami
pemaknaan individu dari subjek yang ditelitinya. Peneliti melakukan interaksi dan
komunikasi yang mendalam dan intensif dengan fihak yang diteliti, termasuk di dalamnya
peneliti harus mampu memahami dan mengembangkan kategori-kategori, pola-pola dan
analisa terhadap proses-proses sosial yang terjadi di tengah masyarakat.
Berdasarkan jenis penelitian di atas, maka pendekatan dalam penelitian ini adalah
pendekatan studi kasus yakni penyelidikan intensif tentang individu, dan atau unit sosial
yang dilakukan secara mendalam dengan menemukan semua variabel penting tentang
perkembangan individu atau unit sosial yang diteliti.
Lokus penelitian di DPRD Kota Kendari, dengan pertimbangan: 1) DPRD Kota
Kendari merupakan satu-satunya DPRD Kabupaten/Kota di Sultra yang mampu
menempatkan keterwakilan 30 % perempuan anggota legislatif; 2) keterwakilan
perempuan sebagai anggota legilatif, tidak hanya semata-mata memenuhi keterwakilan
30% berdasarkan Undang-Udang Pemilu dan Undang-Undang Politik akan tetapi di
dalamnya ada proses perjuangan dan gerakan yang mengantarkan tercapainya kuota
tersebut serta konsekuensi relasi struktur dan aktor, baik dalam menjalankan tugas dan
fungsi legislatif maupun implikasinya terhadap pola relasi gender dan responsif gender.
Subyek penelitian yang dijadikan sebagai sumber informasi utama dalam
penelitian ini adalah subyek yang secara langsung melakukan proses perjuangan untuk
kesetaraan gender, yakni 13 orang anggota DPRD Kota Kendari periode 2014-2019.
Penelitian ini juga menggunakan informan pendukung, antara lain: pimpinan dan anggota
DPRD; pimpinan dan pengurus parpol; pers (media massa); Stakeholder yang peduli
terhadap program kesetaraan gender, seperti LSM perempuan Pusat Studi Gender, ormas
perempuan; masyarakat (konstituen); dan penyelenggara Pemilu. Kriteria penentuan
115
informan pendukung di atas adalah mereka yang memahami secara mendalam dan akurat
tentang masalah penelitian, serta jujur dan terbuka dalam memberikan data atau informasi.
Berdasarkan sumbernya, data yang dipergunakan terbagi ke dalam dua kategori,
yakni data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung dari subyek
penelitian dan sejumlah informan pendukung. Teknik pengumpulan data primer dilakukan
melalui wawancara mendalam untuk menggali struktur kognitif dan dunia makna dari
perilaku subyek penelitian yang diteliti. Selain itu, peneliti juga akan melakukan
pengamatan untuk mengetahui bagaimana perilaku sosial subyek yang diteliti berkaitan
dengan tema-tema yang menjadi fokus penelitian. Data sekunder akan diperoleh melalui
studi dokumen yaitu data dari instansi/fihak terkait, seperti Sekretariat DPRD, Partai
Politik pengusung, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), dan sumber tertulis lainnya
yang relevan dengan penelitian ini.
Dalam penelitian ini digunakan teknik analisis data kualitatif. Analisis data
penelitian kualitatif dilakukan dengan beberapa proses secara bertahap yaitu: 1. menelaah
seluruh data yang telah diperoleh dengan cara membaca, mempelajari, dan memahaminya;
2. mereduksi data dengan cara abstraksi (menganalisis dan merangkum intisari data); 3.
menyusun data dalam satuan atau klasifikasi; 4. satuan itu dikategorisasi sambil membuat
koding; dan 5. memeriksa keabsahan data.
4.TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Pola Perjuangan Politik Aktor (Kaum Perempuan) dalam Arena Kontestasi Politik
di Kota Kendari
Dalam penelitian ini, kekuatan dan perjuangan aktor (perempuan) untuk setara
merupakan landasan pencerahan dan pengetahuan untuk berjuang melawan kungkungan
dominasi. Perjuangan untuk kesetaraan juga dimaknai sebagai suatu gerakan, aksi dan
reaksi atas marginalisasi dan subordinasi kaum perempuan dalam politik. Esensi gerakan
dan perjuangan untuk meningkatkan kapasitas politik kaum perempuan diilhami oleh
paradigma teori-teori kritis dalam feminisme dan pembangunan, bersinergi oleh lahirnya
kesadaran diri atas dasar pemaknaan (fenomenologi) yang berdialektika dengan kekuatan
aktor di dalam struktur, sehingga menghasilkan dualitas struktur dan aktor (strukturasi).
Hasil penelitian, menjelaskan bahwa moral individu (aktor) menjadi kekuatan
utama terjadinya proses rekonstruksi kesetaraan gender dalam politik. Individu memiliki
motivasi dan cita-cita yang tinggi untuk berjuang karena adanya faktor-faktor internal
dalam diri, seperti jenjang pendidikan, latar belakang profesi, pengalaman organisasi,
kepercayaan diri, motivasi, kesadaran diri, kapasitas bersaing, komitmen, dan sebagainya.
Faktor-faktor internal tersebut bersinergi dan didukung oleh kekuatan eksternal seperti
partai politik, pemilih, media massa, organisasi perempuan, dan stakeholder lainnya.
Kondisi sosial budaya yang mempengaruhi proses kesetaraan gender dalam politik
merupakan modal dasar yang diperlukan individu (aktor) untuk berjuang menjadi anggota
DPRD. Kondisi inilah dimana mayoritas subyek penelitian sepakat bahwa dibutuhkan
kapasitas diri sebelum mencalonkan atau dicalonkan sebagai anggota legislatif. Kapasitas
yang harus dimiliki adalah input-input pribadi yang menjadi kekuatan awal, seperti tingkat
pendidikan, latar belakang profesi, dan pengalaman organisasi.
Signifikansi tingkat pendidikan subyek penelitian dalam mengaktualisasikan
kiprah politik mereka untuk menjadi caleg, mempengaruhi struktur kognitif berupa: 1)
pengetahuan dasar tentang politik, 2) pemahaman awal mengenai tugas dan kewajiban
sebagai anggota legislatif, dan 3) tingkat kepercayaan diri yang tinggi untuk berkompetisi.
Struktur kognitif tersebut melahirkan makna-makna dasar dalam diri sebagai landasan awal
menguatnya harapan, motivasi, dan upaya untuk menjadi politisi.
116
Latar belakang profesi menjadi kekuatan pendorong bahwa terdapat nilai-nilai,
moral, etika, dan etos yang dapat mengantarkan seseorang memiliki jati diri untuk eksis
dan dikenal oleh orang lain sehingga tercipta relasi timbal balik dalam aktivitas politik.
Ditinjau dari aspek pemaknaan diri sebagai bagian dari gerakan untuk setara, pengalaman
profesi menjadi modal sosial sekaligus menjadi investasi sosial sehingga ketika dikonversi
pada aktivitas-aktivitas politik akan menjadi modal politik.
Pada aspek pengalaman organisasi menjadi kekuatan pendorong untuk mendobrak
tradisi bahwa politik itu pada umumnya hanya identik kaum dengan laki-laki. Mereka
menyadari bahwa tanpa pengenalan organisasi, kaum perempuan tidak bisa memahami
kepemimpinan, kedisiplinan, komitmen, strategi, tanggungjawab, peran, dan sebagainya.
Sehingga begitu pentingnya organisasi, semua subyek penelitian sepakat bahwa untuk
menjadi politisi termasuk anggota DPRD mesti didukung oleh pengalaman organisasi.
Selanjutnya pemaknaan diri sebagai kekuatan dan etos dalam proses perjuangan
politik di arena kontestasi, memfokuskan pada lahirnya suatu sikap, tindakan, dan gerakan
untuk setara melalui pemaknaan diri (aktor). Pemaknaan diri adalah proses bagaimana
seseorang mengendalikan masa depannya dengan tindakan rasional serta kekuatan kontrol
diri yang dimiliki. Untuk mengendalikan masa depan maka diperlukan proses belajar yang
bersinergi dengan pengalaman-pengalaman.
Upaya mengendalikan masa depan secara otonom melalui proses belajar adalah
salah satu bagian dari proses menuju kesetaraan politik di arena kontestasi. Guna
memaksimalkan potensi kaum perempuan dalam politik, diperlukan kesadaran diri yang
kuat, terarah, sistemik sehingga simpul-simpul politik yang selama ini membelenggu
mereka menjadi terbuka seiring dengan kondisi struktural yang memberi peluang baik
dalam bentuk regulasi, kebijakan, program maupun aksi-aksi konkrit.
Temuan penelitian menunjukkan bahwa kesadaran subyek penelitian merupakan
kekuatan animo dalam berpolitik. Animo politik menjadi landasan bahwa aktivitas politik
didominasi oleh upaya berdasarkan potensi-potensi yang dimiliki, baik potensi dalam diri
maupun potensi luar diri yang bersinergi atas animo diri. Sejumlah indikator yang menjadi
dasar munculnya kesadaran untuk turut dalam Pemilihan Umum 2014, antara lain: adanya
pengalaman politik, motivasi untuk setara, dan akses politik. Atas dasar tersebut
pengalaman politik mendorong kesadaran diri untuk ikut berpolitik pada Pemilu 2014.
Motivasi untuk setara menciptakan ambisi yang kuat, meningkatnya inisiatif dan
kemampuan mengarahkan energi positif untuk menjadi anggota parlemen.
Selanjutnya pemaknaan diri berkorelasi dengan pemahaman identitas diri subyek
penelitian dalam merespon gerakan sebagai politisi parlemen. Salah satu aspek yang
memberi pengaruh yang signifikan terhadap identitas diri seorang aktor untuk berjuang
adalah gerakan diri. Gerakan diri adalah bagian dari gerakan sosial. Gerakan sosial mikro
berpusat pada individu, mengandung muatan seperti ideologi diri, nilai-nilai diri, perspektif
memandang fenomena, optimalisasi sumberdaya diri, dan komitmen diri. Kesemua input
gerakan diri tersebut, diintegrasikan ke dalam suatu keyakinan kuat yang disadari,
dipahami, dan perjuangkan.
Temuan penelitian menunjukkan adanya perubahan ideologi diri subyek penelitian
dari ideologi nature menjadi ideologi nurture. Ideologi nurture dalam persepektif gender
tidak diartikan sebagai bentuk pembangkangan dalam kehidupan keluarga, tetapi
merupakan bentuk respon sikap dan tindakan bahwa dalam diri ada prinsip-prinsip untuk
maju, berhasil, dan harapan yang sama dengan kaum laki-laki di dunia politik.
Berkaitan dengan nilai diri, subyek penelitian sepakat bahwa nilai diri tidak hanya
sekedar menjadi potensi tetapi harus diaktualisasikan melalui pemberdayaan secara
maksimal dengan melihat fokus dan hasil yang diharapkan. Seorang calon anggota
legislatif harus mampu memahami tipologi pemilih, sehingga ketika melakukan sosialisasi
117
politik akan terjalin interaksi dan komunikasi politik yang diharapkan. Nilai diri dapat
integrasikan dengan harapan pemilih seperti kemampuan memperjuangkan aspirasi
masyarakat ketika terpilih sebagai anggota parlemen.
Analisis selanjutnya mengenai gerakan diri adalah perspektif dalam memandang
fenomena berdasarkan pengalaman-pengalaman. Temuan penelitian menunjukkan bahwa,
seluruh subyek penelitian sepakat bahwa sebelum perempuan terjun ke dunia politik maka
harus tertanam dalam dirinya kultur politik. Kultur politik tidak hanya dilandasi oleh
semangat bersaing belaka; akan tetapi dibarengi dengan performance guna merepresentasi
politik perempuan di parlemen. Representasi politik perempuan di parlemen pada dasarnya
telah dimulai ketika mencalonkan mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif, ia
sensitivitas gender ketika melakukan sosialisasi, silaturahmi, kampanye terbatas, maupun
kampanye terbuka.
Sinergi dengan optimalisasi sumber daya diri, para subyek penelitian sepakat
bahwa potensi tingkat pendidikan, pengalaman organisasi, dan pengalaman pekerjaan perlu
dimaksimalisasi agar masyarakat dapat mengetahui kemampuan figur calon anggota
legislatif.Pentingnya sumber daya diri oleh subyek penelitian sangat disadari, karena tanpa
itu mereka tidak memiliki referensi yang cukup untuk membuktikan kepada masyarakat
bahwa mereka memiliki kemampuan dan kapasitas bersaing.
Terakhir adalah komitmen yang bermakna perjanjian untuk melakukan sesutu.
Sebagai calon anggota legislatif pada Pemilihan Umum 2014, merupakan langkah awal
tumbuhnya komitmen tersebut. Para subyek penelitian menyadari bahwa pilihan sebagai
calon anggota legislatif bukan hanya sekedar memenuhi persyaratan partai politik
pengusung; akan tetapi ada nilai tanggungjawab yang terpatri dalam diri subyek untuk
memperjuangkan panji-panji partai politik pengusung yang berkaitan dengan ideologi, visi
dan misi, dan program partai. Guna mewujudkan komitmen diri, para subyek penelitian
melakukan strategi politik mulai dari strategi komunikasi politik, membentuk tim sukses,
menyiapkan infrastruktur, strategi membangun opini publik, penggunaan media, dukungan
kolega dan kelembagaan, dan sebagainya. Namun di antara komitmen dan tanggung jawab
tersebut, setiap individu memiliki strategi yang khas yang menjadi kekuatan dalam upaya
menanamkan kepercayaan dan ekspektasi publik.
Selanjutnya perjuangan subyek penelitian, bersinergi dengan eksistensi struktur
sosial dan politik sebagai medan dimana individu merefleksikan perilaku politiknya. Posisi
struktur tidak membatasi individu untuk melakukan aktivitas politik, namun justru
memberi peluang untuk melakukan perubahan yang didasari refleksi kesadaran diri.
Temuan penelitian menunjukkan bahwa ada 3 bentuk perjuangan yang dilakukan subyek
penelitian pada Pemilu 2014 yaitu: tahapan pendaftaran atau pencalonan, tahapan
kampanye, dan tahapan pemungutan suara. Tahap pencalonan adalah tahap pendaftaran
sebagai caleg dengan melengkapi semua prosedur dan syarat administrasi berdasarkan
regulasi yang ada. Tahap kampanye yakni subyek penelitian melakukan upaya-upaya
konkrit guna mendapatkan simpati pemilih melalui kampanye dialogis, kampanye
bermedia, dan kampanye terbuka. Tahap pemungutan suara adalah tahap yang paling
menentukan dari seluruh tahapan pemilu karena disinilah kapasitas subyek diuji, apakah ia
dipercaya oleh konstituen di Daerah pemilihanya untuk menjadi wakil rakyat.
Peranan Faktor-Faktor Struktural dalam Arena Kontestasi Politik Perempuan di
Kota Kendari
Teori strukturasi membawa kita pada pemahaman dan entitas kesadaran bahwa
kehidupan manusia pada dasarnya berada pada dua elemen yang saling melengkapi, yakni
elemen individu (aktor) dan elemen struktur (sistem sosial). Kedua elemen tersebut tidak
saling meniadakan akan tetapi membangun aliansi sehingga tokoh sosiologi Anthony
Giddens menyebutnya sebagai dualisme.
118
Kajian sinergi antara struktur dan aktor dalam arena kontestasi politik perempuan,
paling tidak dapat dijelaskan dalam analisis dualitas Giddens. Struktur menjadi akses bagi
aktor untuk memperkuat peluang dan kapasitas berpolitik sementara aktor merupakan
sosok dengan identitas dan kemandiriannya dapat mengontrol berbagai regulasi, program,
dan kebijakan politik. Penelitian tentang rekonstruksi kesetaraan gender dalam politik
menegaskan bahwa posisi aktor (subyek penelitian), tidak terpisahkan dengan posisi
struktur. Kedua entitas tersebut saling melengkapi, saling membutuhkan satu sama lain,
dan saling bersinergi sehingga cita-cita dan harapan tampilnya kaum perempuan di
panggung politik dapat tercapai.
Temuan penelitian mengungkapkan kondisi-kondisi struktural yang turut
mempengaruhi proses kesetaraan gender dalam politik yakni bentuk perjuangan, aksi,
komitmen, dan sinergi untuk menciptakan keadaan dimana kaum perempuan dapat
mengambil peran dan peluang sebagai calon anggota legislatif. insitusi atau lembaga yang
turut mempengaruhi secara signifikan upaya menuju kesetaraan; baik insitusi yang
berkaitan langsung dengan proses-proses politik seperti Komisi Pemilihan Umum dan
Partai Politik maupun institusi-instituusi yang memiliki komitmen dan tanggung jawab
mendorong perjuangan affirmative action, seperti organisasi Perempuan, Pusat Studi
Wanita, Organisasi Keagamaan, dan media.
Peranan yang pertama adalah institusi penyelenggara Pemilu yaitu KPU Kota
Kendari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 3 tiga peran KPU yang signifikan
mendorong keterwakilan perempuan di parlemen yaitu: sosialisasi keterwakilan
perempuan pada tahap pencalonan caleg, sosialisasi keterwakilan melalui media, dan
sosialisasi politik untuk pemilih pemula. Ketiga pola sosialisasi ini gencar dan efektif
dilakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban KPU Kota Kendari dalam merealisasikan
keterwakilan perempuan di DPRD.
Institusi politik lainnya yang signifikan dalam mendorong proses kesetaraan
gender di parlemen adalah partai politik. Temuan penelitian menunjukan bahwa parpolparpol peraih kursi di DPRD Kota Kendari melakukan empat peran, yakni: kaderisasi
dalam kepengurusan parpol, pencalonan perempuan sebagai anggota legislatif, strategi dan
kebijakan parpol terhadap caleg perempuan, dan peran parpol dalam meningkatkan
kompetensi dan kapasitas anggota legislatif perempuan di parlemen. Khusus untuk strategi
terhadap caleg perempuan, pada umumnya parpol menaruh atensi yang cukup penting
dengan intens melakukan sosialisasi caleg baik melalui media maupun secara langsung
dimasyarakat. Selain itu parpol juga umumnya memberikan pembekalan kepala caleg
perempuan mengenai strategi bersaing, komunikasi politik, dan strategi memenangkan
pemilu dengan mengemas isu-isu sensivitas gender.
Selanjutnya, elemen struktur yang cukup signifikan sebagai wahana sosialisasi dan
pendidikan politik adalah media. Eksistensi media, tidak hanya memberi informasi dan
mempublikasi kegiatan yang dilakukan oleh individu, kelompok, dan organisasi namun
media juga dapat mempengaruhi pembentukan opini publik. Secara spesifik, media dapat
menjadi wahana marketing politik bagi lembaga-lembaga politik, seperti parpol untuk
mensosialisasikan visi dan misi, ideologi perjuangan, platform, dan kebijakan; termasuk
memperkenalkan figur dan kandidat politisi perempuan yang akan berkompetisi
memperebutkan kursi parlemen. Temuan penelitian menunjukan ada 3 indikator yang
digunakan media guna mempengaruhi proses kesetaraan gender dalam politik, yakni : a.
sosialisasi melalui siaran atau berita; b. sosialisasi melalui iklan layanan masyarakat; dan
c. sosialisasi melalui program atau rubrik khusus.
Berkaitan dengan peranan stakeholder perempuan, menunjukkan bahwa terdapat
institusi stakeholder perempuan yang turut memberi kontribusi terhadap upaya-upaya
kesetaraan gender dalam politik, yakni: organisasi perempuan yang terdiri dari Koalisi
119
Perempuan Indonesia (KPI), Aliansi Perempuan (Alpen), dan Solidaritas Perempuan (SP);
Pusat Studi Gender Universitas Halu Oleo dan Universitas Muhammadiyah; serta Ormas
Perempuan masing-masing Aisiyah dan Muslimat NU.
Organisasi perempuan merupakan stakeholder yang paling konsisten, reaktif, dan
terstruktur dalam memperjuangkan kesetaraan gender dalam politik. Jaringannya, tidak
hanya berbasis lokal dan nasional; akan tetapi terintegrasi dengan jaringan internasional.
Berbagai langkah, upaya, dan strategi insiatif organisasi perempuan telah dilakukan mulai
dari respon dan reaksi atas regulasi atau undang-undang yang mengatur keterwakilan,
hingga melakukan pendidikan politik, pendampingan, proteksi, pembekalan, sosialisasi.
Bahkan termasuk melakukan aksi-aksi sporadis lapangan untuk mengunggah kesadaran
masyarakat akan pentingnya kemitraan dalam relasi antar laki-laki dan perempuan di ranah
politik. Temuan penelitian mengelaborasi 3 (tiga) bentuk gerakan LSM Perempuan guna
mendorong kesetaraan gender pada Pemilu 2009 dan 2014, yakni: a. rekomendasi dan
sosialisasi; b. aksi-aksi lapangan; serta c. pembekalan dan pendampingan politik.
Komponen stakeholder lainnya yang turut memberi kontribusi upaya-upaya
mendorong kesetaraan gender dalam politik adalah Pusat Studi Gender Universitas Halu
Oleo dan Universitas Muhammadiyah. Temuan penelitian menunjukkan bahwa kedua
pusat studi tersebut, sepakat dan berkomitmen untuk mendorong kesetaraan gender dalam
politik terutama keterwakilan di parlemen melalu riset, kajian, forum-forum diskusi,
talkshow. Pusat Studi gender juga dapat membangun sinergi dan kerjasama untuk
meningkatkan kapasitas anggota dewan perempuan pacsa terpilih melalui agenda proteksi,
pendampingan, dan memaksimalkan potensi kaukus perempuan parlemen dalam
memperjuangkan agenda-agenda pembangunan yang pro gender.
Selanjutnya organisasi keagamaan yang berkontribusi dalam upaya mendorong
kesetaraan gender adalah organisasi Aisyiah Sultra dan Muslimat NU. Temuan penelitian
menunjukkan bahwa, DPW Aisyiah Sulawesi Tenggara memiliki program pendidikan
politik kaum perempuan. Program ini tidak secara empiris mendorong kader untuk
berafiliasi pada partai tertentu atau mendukung kadernya untuk menjadi politisi. Akan
tetapi pendidikan politik lebih diarahkan untuk memberikan pencerahan bahwa perlunya
kaum perempuan lebih cerdas memilih partai politik yang sesuai dengan perjuangan
organisasi. Selain itu memilih pemimpin yang amanah, peduli, dan merakyat sesuai dengan
prinsip-prinsip pemimpin dalam ajaran agama. Organisasi Aisyiyah juga mendorong dan
mendukung pengurus dan kader yang ingin berpartai atau menjadi caleg untuk
menggunakan cara-cara politik yang santun, beradab, dan berfihak kepada perjuangan dan
kepentingan masyarakat.
Kemudian muslimat NU dalam mendukung keterwakilan perempuan di parlemen
pada pemilu 2009 dan 2014 adalah: 1) pembenahan kualitas kader yang berminat untuk
berkiprah sebagai politisi melalui motivasi untuk meningkatkan kompetensi dan kapasitas;
2) mendorong kader yang disamping dikenal oleh masyarakat juga mampu mengetahui
masalah-masalah kemasyarakatan serta ketika terpilih dapat menjalankan tugas dan fungsi
DPRD dan mampu bermitra dengan pemerintah guna memperjuangkan kepentingan dan
kesejahteraan masyarakat ; 3) melakukan konsolidasi kepengurusan mulai dari tingkat atas
sampai tingkat cabang, dan ranting guna mendukung kader yang menjadi caleg pada pemilu
legislatif.
Konsekuensi Relasi Struktur dan Aktor dalam Mempengaruhi Relasi Gender di
Parlemen Kota Kendari
Upaya untuk mencapai keadilan dan kesetaraan gender dalam politik dalam
konteks relasi struktur dan aktor, tidak hanya pada terpenuhinya persentase keterwakilan
perempuan di parlemen, namun apakah keterwakilan tersebut berkorelasi pelaksanaan
120
tugas dan fungsi parlemen. Secara empirik ada dua hal yang menjadi fokus, yakni
konsekuensi terhadap relasi gender dan responsif gender.
Konsekuensi terhadap relasi gender adalah posisi kaum perempuan sebagai subyek
yang pro aktif terhadap penjabaran tugas pokok dan kewenangan legislatif. Perempuan
sebagai wakil rakyat dapat membuktikan kapasitas, kompetensi, dan potensinya untuk
sejajar, mendesain dan memaksimalisasi fungsi-fungsi parlemen serta mengemban aspirasi
masyarakat. Sedangkan konsekuensi terhadap responsif gender adalah upaya-upaya
merespon program, kebijakan, dan anggaran yang pro gender baik atas dasar inisiatif dan
perjuangan perempuan legislatif maupun atas dasar komitmen bersama anggota parlemen.
Indikator kebijakan yang pro gender termanifestasikan pada sejauhmana program-program
gender yang melekat di setiap lembaga pemerintahan telah mencerminkan rasa keadilan?
Apakah pengambil kebijakan menaruh perhatian yang memadai terhadap kepentingan
kaum perempuan? Sedangkan indikator anggaran yang pro gender adalah sejauhmana
alokasi anggaran telah memenuhi kuantitas dan kualitas yang diharapkan publik, dan
apakah anggaran tersebut mengalami peningkatan secara signifikan setiap tahunnya?
Selanjutnya konsekuensi responsif gender lainnya adalah terbentuknya kaukus perempuan
parlemen, yang tidak hanya bermakna mengorganisir kekuatan anggota legislatif
perempuan sebagai simbol kesetaraan namun dapat menjadi wadah perjuangan mendorong
dan meningkatkan program dan anggaran yang pro gender.
Berkaitan dengan relasi gender, temuan penelitian menunjukkan bahwa lima
bentuk relasi yang mampu dilakukan oleh perempuan parlemen Kota Kendari, yakni: a.
Alokasi sumber daya, yang nampak pada keseimbangan pada jabatan pada alat
kelengkapan parlemen, kedudukan dalam panitia khusus, dan jabatan dalam Fraksi; b.
Akses, nampak pada keseimbangan dalam proses lobi-lobi pembahasan anggaran dan
melakukan penjaringan aspirasi; c. partisipasi. yakni perempuan parlemen cukup aktif
dalam partisipasi sidang-sidang parlemen, hearing, dan dalam menerima aspirasi; d.
kontrol, kemampuan anggota parlemen perempuan dalam mengontrol berbagai program
dan keputusan eksektufi dan melakukan konsultasi dan koordinasi; serta e. manfaat yang
diperoleh melalui peningkatan kapasitas dan penguatan relasi dengan konstituen.
Selanjutnya berkaitan dengan responsife gender, temuan penelitian menunjukkan
bahwa: eksistensi rekan-rekan anggota legislatif perempuan cukup pro aktif
memperjuangkan anggaran dan program yang pro perempuan pada setiap pembahasan
anggaran, baik di Komisi, badan anggaran, rapat pleno maupun rapat paripurna. Kaum
perempuan sangat bersemangat, ngotot, dan kompak agar usul mereka untuk
memperjuangkan kepentingan perempuan terakomodasi.
Selanjutnya, upaya untuk mendorong program dan anggaran yang responsife gender
telah dilakukan oleh anggota legislatif perempuan pasca terpilih, hal ini dapat dilihat pada
alokasi anggaran dan sejumlah program ekslusive gender yang telah diperjuangkan.
Namun semangat itu perlu dimaksimalisasi melalui penguatan kelembagaan melalui
kaukus perempuan parlemen.
5.KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa relasi struktur dan aktor dalam arena
kontestasi politik perempuan merupakan gerakan dan perjuangan perempuan melawan
stuktur politik yang mendominasi dan mensubordinasi. Pertama, diawali dengan kekuatan
internal diri dan moral individu melalui kondisi sosial budaya yang mempengaruhi proses
kesetaraan dalam politik yakni: latar belakang pendidikan, latar belakang profesi, dan
pengalaman organisasi. Kedua, (1) Pemaknaan diri individu memotivasinya bertindak
121
secara rasional dan menciptakan kesadaran diri untuk berpolitik. Kesadaran diri dalam
berpolitik dipengaruhi oleh pengalaman politik, motivasi untuk setara dan akses politik; (2)
Pemahaman diri subyek sebagai politisi melahirkan gerakan diri untuk kesetaraan yang
terdiri dari: ideologi diri nurture, nilai diri sebagai pengabdian, budaya politik untuk
bersaing, optimalisasi sumber daya diri, dan komitmen diri. (3) Upaya dan perjuangan
subyek bersaing dalam Pemiu 2014 merupakan momentum untuk mengakualisasikan
refleksi kesadaran dalam bentuk tindakan politik seperti: tahap pencalonan, tahap
kampanye, dan tahap pemungutan suara.
Peranan faktor-faktor stuktural dalam arena kontestasi politik perempuan, antara
lain: Pertama, peranan KPU melalui: sosialisasi keterwakilan perempuan pada tahap
pencalonan dan melalui media, serta pendidikan politik untuk pemilih pemula. Peranan
parpol melalui kaderisasi dalam kepengurusan, pencalonan perempuan sebagai kandidat,
strategi dan kebijakan parpol terhadap caleg perempuan melalui sosialisasi dan
pembekalan, serta peran parpol dalam meningkatkan kompetensi dan kapasitas anggota
legislatif perempuan. Kedua, Peranan media dalam kesetaraan gender dalam politik melalui
sosialisasi dalam siaran atau berita, sosialisasi iklan layanan masyarakat, dan sosialisasi
melalui program khusus. Ketiga, Peranan stakeholder perempuan dalam proses kesetaraan
gender dalam politik (1) organisasi perempuan melalui rekomendasi dan sosialisasi, aksiaksi lapangan, pendidikan dan pendampingan politik; (2) Pusat Studi Gender melalui
penelitian, pengkajian, pemberdayaan, pendampingan, dan forum diskusi/seminar (3)
Organisasi keagamaan melalui program pendidikan politik untuk perempuan, mendorong
dan memotivasi kader potensial untuk berkiprah di dunia politik, melakukan advokasi
pengarusutamaan gender, dan terlibat dalam forum-forum diskusi/seminar.
Sinergi kesadaran diri subyek dan dukungan elemen-elemen struktural
berpengaruh terhadap konsekuensi terhadap relasi gender dan responsif gender. Pertama,
konsekuensi terhadap relasi gender mengejawatahkan keseimbangan dalam pelaksanaan
tugas dan fungsi legislatif, melalui lima bentuk relasi yakni: konsekuensi alokasi sumber
daya dengan indikator kesetaraan pada posisi atau jabatan, kedudukan dalam pansus, dan
jabatan dalam fraksi; konsekuensi relasi terhadap akses yakni kemampuan subyek dalam
proses akomodasi anggaran dan reses menindaklanjuti aspirasi masyarakat; konsekuensi
relasi terhadap partisipasi, nampak pada keseimbangan partispiasi subyek dalam rapatrapat DPRD, rapat dengar pendapat, dan dalam menerima aspirasi; konsekuensi relasi
terhadap kontrol melalui kemampuan dalam mengontrol kebijakan eksekutif, knosultasi,
dan koordinasi; koneskuensi relasi terhadap manfaat yakni terjadinya peningkatan
kapasitas dan penguatan relasi subyek penelitian dengan konstituen.
6.DAFTAR PUSTAKA
Acker, J. 1990. Hierarchies, Jobs, Bodies : A Theory of Gendered Organizations. London:
Macmillan Press.
Adian, Donny Gahral. 2010. Pengantar Fenomenologi. Depok : Koekoesan.
Antrobus, Peggy. 2004. The Global women Movement. Bangladesh: The University Press.
Astuti, Tri Mathaeni Puji. 2012. Konstruksi Gender dalam Realitas Sosial. Semarang:
Unnes Press.
Beauvior, Simone De. 1999. Second Sex : Kehidupan Perempuan. Yogyakarta: Pustaka
Promothea.
Berger, Peter L. & Luckmann Thomas. 1996. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah
tentang Sosiologi Pengetahuan. (Terjemahan). Jakarta: LP3ES.
Bogdan dan Biklen. 1982. Qualitative Research for Education. Massacusette: Mc GrawHill Inc.
Castells, Manuell. 1997. The Power of Identity. London and New York: Blackwell
Publishing.
122
Dahlerup, Drude. 2006. Women Quotas and Politics. New York: Routledge.
Fakih, Mansyour. 2002. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Giddens, Anthony. 2011. Teori Strukturasi : Dasar-Dasar Pembentukan Masyarakat.
(Terjemahan Maufur & Daryatno). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hamalik, Oemar. 2007. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Hermson, Paul S dan Lay, J Celeste, dan Stokes, Atiya.” Women Running “as women”:
Candidate Gender, Campaign Issues, and Voter-Targeting Strategies”. The
Journal of Politics, Vol.65, No.1,Februari 2003.
Hobson, Barbara. 2003. Recognition Struggles And Social Movements; Contested,
Identities, Agency And.
Hutchings, Kimberly. 2010. Simone D Beauvior (dalam Teori-Teori Kritis, Menantang
Pandangan Utama Studi Politik Internasional). Terjemahan: Teguh Wahyu
Utomo. Yogyakarta: Pustaka Baca.
Illich, I, 1983. Gender. London: Marison Boyars.
Johnson, Doyle Paul. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Terjemahan : Robert M.Z.
Lawang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kuswarno, Engkus. 2009. Fenomenologi (Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitian).
Bandung: Widya Padjadjaran.
Martono, Nanang. 2011. Sosiologi Perubahan Sosial; Perspektif Klasik, Modern,
Posmodern dan Kolonial. Jakarta : Rajawali Pers.
Moser, C.O.N. 1993. Gender Planning and Development: Theory, Practice and Training.
London: Roudledge.
Ozmon, Howard A dan Samuel M Craver. 1990. Philosophical foundations of education.
Melbourne: Merrill Publishing Company.
Poloma, M. Margareth, Sosiologi Kontemporer, 2007. Yogyakarta : Penerbit Yayasan
Solidaritas Gadjah Mada.
Putri, Alfadioni, Utami Putri & Himam Fathul. Ibu dan Karir: Kajian Fenomenologi
terhadap Dual-Career Familiy (Mother and Career: Phenomenological
Approach on the Dual-Career Family). Jurnal Psikologi, Volume 32, Nomor.
1,Tahun 2007.
Ridjal, Fauzie dkk (editor). 1993. Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia.
Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya.
Ritzer, George & Smart Barry. 2011. Handbook Teori Sosial. Bandung: Nusamedia.
Robinson, Cactherine dan Bessell. 2002. Women in Indonesia. Singapore: ISEAS.
Salim, Agus. 2001. Teori dan Paradigma Sosial. Yogyakarta : PT Tiara Wacana.
Santoso, Widjajanti, M. 2011. Sosiologi Feminisme, Konstruksi Perempuan dalam Industri
Media. Yogyakarta: LKiS.
Schrijvers, Joke. 1986. Mothers for Life. USA: Eburon Delft.
Scoot, John. 2011. Sosiologi The Key Koncept. Jakarta : PT. Rajagrafindo Perkasa.
Stanley, L. 1990. Feminist Praxis: Research, Teory and Epistimology in Feminist
Sociology. London: Routledge.
Susiana, Sali. Keterwakilan Perempuan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR. DPD, dan DPRD. Jurnal Kajian, Volume
14, No 3, September 2008.
123
124
PENDIDIKAN POLITIK DAN PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL
PEREMPUAN DESA
1
Vina Salviana Darvina Soedarwo 1Hutri Agustino
1
Jurusan Sosiologi, FISIP
Email: [email protected]
2
Universitas Muhammadiyah Malang
Email: [email protected]
Abstract
Majority of Indonesian women tend to be the object of politics, rather than being the subject
of politics. A similar phenomenon was also experienced by rural women there are more
involved in economic activities. One interesting phenomenon is the concern NGOs to
conduct political education while also maintaining local economic development as part of
community empowerment movement nuanced political awareness for women.Two women
school in Batu City are interesting to examine that NGOs are Sekolah Perempuan Desa
(SPD) as a pure manifestation of the people's aspirations and Pendidikan Non Formal
Perempuan (PNFP) was formed by government. This research uses a qualitative approach.
The subject is the educators and women as the students, while the data collection
techniques are in-depth interviews, observation, documentary and Focus Group
Discussion. These research findings indicate that the SPD and PNFP able to provide
political education with sufficient material for village women also some training that can
develops their knowledge. One thing that is different from these two organizations are
independently in funding the organization. SPD organization more independent than
PNFP because PNFP is formed by the government, so PNFP has inadequate funds.
Managerial and recruitment model of students in these two organizations are also a bit
different as well as a model of economic development based on local potential.
Keywords : Political Education , Local Economic Development, Rural Women
1. PENDAHULUAN
Pemahaman yang keliru tentang konsep politik merupakan salah satu sebab
kurangnya partisipasi politik oleh kaum perempuan.Dengan demikian maka dapat
dikatakan bahwa kedudukan perempuan dalam bidang politik masih relatif
lemah.Perempuan-perempuan Indonesia mayoritas masih cenderung menjadi obyek
politik, daripada menjadi subyek politik.Fenomena serupa dialami pula oleh perempuan
desa, apalagi perempuan desa lebih banyak terkonsentrasi pada kegiatan yang lebih bersifat
ekonomi.perempuan desa seringkali bekerja lebih lama dibandingkan lelaki, sebab
mereka juga harus menjadi perawat yang mengurus anak, orang tua dan orang yang
sakit. Selain itu, banyak dari mereka adalah penanam modal dan pengusaha kecil yang
mendedikasikan sebagian besar penghasilan mereka pada kesejahteraan masyarakat dan
keluarga mereka. Namun kebanyakan anak perempuan dan perempuan desa masih
menghadapi rintangan lebih besar ketimbang lelaki dalam memperoleh akses ke layanan
masyarakat, perlindungan sosial, peluang kerja yang merosot, dan pasar serta lembaga lain.
Satu fenomena menarik adalah kepedulian Lembaga Swadaya Masyarakat untuk
melakukan pendidikan politik sekaligus melakukan pengembangan ekonomi lokal. Hal ini
terjadi di kota Batu, sebuah kota wisata di Jawa Timur yang memiliki potensi sumber daya
lokal yang dapat dikembangkan lebih baik lagi. Lembaga Swadaya Masyarakat tersebut
adalah Sekolah Perempuan Desa (SPD) yang murni perwujudan dari aspirasi masyarakat
dan Pendidikan Non Formal Perempuan (PNFP) di kota Batu.
125
Berpijak dari realitas itu, maka penelitian tentang pemberdayaan perempuan yang
sarat dengan ideologi gerakan kesetaraan gender melalui pendidikan politik dan
pengembangan ekonomi lokal ini menjadi sangat penting. Hal ini akan mendeskripsikan
secara detail bagaimana potret keberdayaan politik dan ekonomi perempuan di tingkat
lokal, khususnya pada era otonomi daerah yang menjadi bagian dari agenda keberlanjutan
reformasi politik tahun 1998. Artinya, apakah memang era otonomi daerah mampu
memberikan kepastian akan hak politik dan ekonomi perempuan di tingkat lokal atau justru
dengan sistem tersebut peran dan fungsi perempuan makin tersubordinasi di wilayah
periferial secara sosial, politik, budaya dan ekonomi. Dalam konteks penelitian ini, peran
dan fungsi perempuan yang dimaksud adalah di wilayah Kota Batu khususnya yang
menjadi siswa atau peserta didik di Sekolah Perempuan Desa (SPD) dan di lembaga
Pendidikan Non Formal Perempuan (PNFP) yang dikelola oleh Pemerintah Kota Batu
Propinsi Jawa Timur.
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahuidan mendeskripsikan
pemberdayaan perempuan yang bernuansa gerakan kesetaraan gender melalui pendidikan
politik dan pengembangan ekonomi lokal di dua sekolah perempuan desa yang satu
sekolah didirikan oleh Lembaga Swadaya masyarakat dan di Sekolah Perempuan Desa
(SPD) dan satu sekolah lagi didirikan oleh pemerintah yang diberi nama dengan
Pendidikan Non Formal Perempuan (PNFP) milik Pemerintah Kota Batu.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Pemberdayaan masyarakat seringkali dikaitkan dengan perbaikan pendapatan
atau income generating, namun hal ini belum cukup karena perlu adanya dorongan
masyarakat untuk mandiri demi terwujudnya perbaikan kesejahteraan dalam pelbagai
aspek. Mardikanto dan Purwaka menegarai bahwa pemberdayaan masyarakat tidak hanya
terkait peningkatan pendapatan tetapi diperlukan advokasi hokum/kebijakan bahkan
pendidikan politik yang memadai sehingga dapat memperkuat daya tawar politis18.Dalam
konsep pemberdayaan masyarakat yang terkait dengan pendidikan politik yang dimaksud
adalah bagaimana menumbuhkan kemampuan masyarakat dalam menyuarakan hak-hak
politik masyarakat bukan masyarakat sebagai kendaraan politik. Demikian pula perempuan
sebagai bagian dari masyarakat perlu mendapat perhatian tersendiri berkaitan dengan
upaya pemberdayaan masyarakat, salah satunya adalah menumbuhkan kemampuan
perempuan untuk mengambil keputusan secara mandiri dan mampu menyuarakan hak-hak
politik mereka untuk kepentingan perempuan khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Pada saat ini harus diakui meskipun partisipasi perempuan telah dibuka lebar,
tetapi masih ada ketidakberdayaan (empowering) perempuan khususnya dalam bidang
politik.Hal ini terkait erat dengan kedudukan perempuan dalam masyarakat tradisional,
dimana perempuan ditempatkan untuk mengelola urusan-urusan keluarga, atau sebagai
pekerja untuk menghasilkan sesuatu yang produktif. Dengan demikian perempuan bukan
penentu keputusan untuk menghasilkan sesuatu, dengan kata lain perempuan bukan
sebagai subyek tetapi hanya sekedar sebagai obyek atau pelaksana. Melihat kenyataan yang
didasarkan teori dan pendapat dari para pakar, maka sangat penting adanya upaya-upaya
untuk memberdayakan perempuan dalam bidang politik agar kaum perempuan dapat
berpartisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan politik. Dalam dimensi politik pemberdayaan
menyangkut proses peningkatan kesadaran perempuan akan kemampuan mereka, akan hak
dan kewajibannya, dan mampu menggunakan kemampuan dan pengetahuannya untuk
mengorganisasikan diri mereka sendiri artinya mereka berdaya secara politik.
18
Theresia, Aprillia, dkk. 2014. Pemberdayaan Berbasis Masyarakat, Bandung: Alfaabeta. Hal. 161.
126
Temuan Harnoko menyimpulkan bahwa untuk membangun keberdayaan politik
perempuan maka ada tiga ikhwal yang mendasar yaitu hak, aspirasi dan akses. Kesadaran
akan hak danurgensi perempuan berperan di bidang politik adalah menjadi ikhwal utama
yang harus dibangun. Pendidikan politik bagi perempuan yang dilakukan baik
olehmasyarakat maupun pemerintah dan juga partai politik sangat penting tapi justru
bagian inilah yang sering terabaikan. Pola pikir lembaga pemberdayaan dan institusi politik
masih terkesan diwarnai paradigma lama dengan budaya tradisional, serta masih
mendikotomikan antara laki-laki dan perempuan.19 Fenomena langkanya pendidkan politik
bagi perempuan dibuktikan pula oleh hasil penelitian Salviana, dkk (2004) tentang
“Pengembangan Model Pendidikan Politik Berbasis Kesetaraan dan Keadilan Gender Pada
Parpol dan Ormas Organisasi Perempuan” menunjukkan bahwa belum ada pendidikan
politik yang memadai bagi kader perempuan pada partai politik dan ormas yang lebih
periodik dan terfokus apalagi berbasis pendidikan politik kesetaraan gender. Dari hasil
penelitian tersebut dapat disatrikan bahwa pendidikan politik masih minim baik untuk
kader parpol maupun di luar parpol, sehingga upaya Lembaga Swadaya Masyarakat yang
memberikan pendidikan atau transfer pengetahuan tentang politik menjadi sangat
kontributif bagi pengembangan wawasan politik bagi warga masyarakat khususnya
perempuan.20Dikotomi antara laki-laki dan perempuan memang tercermin dari pandangan
umum bahwa laki-laki lebih pantas berkiprah di bidang politik dari pada perempuan, hal
ini didukung pula oleh minat perempuan dalam berpolitik yang cenderung menyukai
politik di tingkat lokal daripada di tingkat nasional.Seperti yang dinyatakan Rai, dkk bahwa
perempuan lebih nyaman berpartisipasi dalam politik di tingkat lokal dari pada yang jauh
dari tempat tinggalnya.21
Di beberapa negara dunia ketigapun pendidikan politik sudah mulai dikaji secara
ilmiah seperti hasil riset Ni Ketut Restini, dkk (2014) menunjukkan bahwa dari segi
pendidikan politik bagi kaum wanita di desa Tigawasa Kabupaten Buleleng, Bali lebih
banyak berlangsung secara informal, artinya pendidikan politik bagi perempuan di desa
tersebut dilakukan dalam lingkungan keluarga dan lingkungan sehari-hari dimasyarakat.
Hal ini dapat dibuktikan dari sebagian besar kaum perempuan desa pendidikannya hanya
sampai di tingkat sekolah dasar. Proses pendidikan politik perempuan di desa ini berakar
pada kebudayaan masyarakat di desa itu sendiri. Pendidikan politik di desa ini diwarnaidan
dijiwai oleh nilai-nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat itu sendiri. Pemahaman
dan orientasi politik perempuan desa ini terbentuk secara alamiah22.
Dari berbagai temuan hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa pemberdayaan
perempuan baik yang berupa pendidikan politik ataupun peningkatan pendapatan di negara
dunia ketiga perlu perhatian penuh mengingat masih rendahnya perempuan dalam
keterlibatannya pada berbagai aspek. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh
Kabeer (2001)23 bahwa terdapat lima unsur utama yang perlu diperhatikan dalam proses
pemberdayaan perempuan, yaitu sebagai berikut. (1) Welfare (Kesejahteraan): aspek ini
Bambang Rudi Harnoko, 2012.“Pendidikan Politik Perempuan Dalam Konteks Negara Demokrasi” dalam MUWÂZÂH,
Vol. 4, No. 2, Desember.
20
Salviana, dkk 2004. Pengembangan Model Pendidikan Politik Berbasis Kesetaraan dan Keadilan Gender Pada Parpol
dan Ormas Organisasi Perempuan,PHB-DIKTI.
21
Shirin M Rai. Farsana Bari, Nazmunessa Mahtab dan Bidyut Mohanty. 2005.“Gender Quotas and The Politics of
Empowerment-A Comparative Study” dalam Woman, Quotas and Politics, edited by Drude Dahlerup. London: Routledge.
Hal. 222.
22
Ni Ketut Restini, dkk. 2014. Pendidikan Politik Berbasis Desa Adat Bagi Kaum Perempuan Di Desa Tigawasa Kecamatan
Banjar Kabupaten Bulelen. ejournal.undiksha.ac.id (diakses 30 Maret 2016 ).
23
Naila Kabeer. . 2001. Reflections on The Measurement of Women’s Empowerment in Discussing Women Empowerment:
Theory and Practices. Sida Studies No3 . LSE Research Online.Swedish International Development Cooperation Agency,
Stockholm, Sweden, pp. 17-57.
19
127
dapat dikatakan salah satu aspek dalam upaya peningkatan pemberdayaan perempuan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam akses terhadap kesejahteraan, perempuan menempati
posisi yang tidak menguntungkan.Terutama berkaitan dengan partisipasi ekonomi. (2).
Access (akses) :akses terhadap teknologi dan adalah penting mengingat melalui teknologi
dan informasi, perempuan dapat meningkatkan produktivitas ekonomi dan sosial mereka.
3. Consientisation (konsientisasi): pemahaman atas perbedaan peran jenis kelamin dan
peran gender. 4. Participation (partisipasi) yaitu ini merujuk pada keterwakilan perempuan
yang setara dalam struktur pembuatan keputusan baik secara formal maupun informal, dan
suara mereka dalam penformulasian kebijakan.Equality of Control (kesetaraan dalam
control kekuasaan): kesetaraan dalam kekuasaan atas faktor produksi, dan distribusi
keuntungan sehingga baik perempuan maupun laki-laki berada dalam posisi yang setara.
Sekolah perempuan di desa rupanya menjadi alternatif bagi pemberdayaan
perempuan di tingkat lokal agar perempuan diupayakan kesejahteraannya meningkat,
akses teknologi untuk kebutuhan ekonomi dan sosial mereka, pemahaman kesetaraan
gender yang lebih meningkat, partisipasi yang meningkat dalam pengambilan keputusan
dan memiliki kesetaraan dalam control atau kekuasaan baik dalam produksi maupun
distrib.
3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian
deskriptif.Teknik penentuan subjek penelitian dilakukan secara purposive, yaitu dipilih
dengan pertimbangan dan tujuan tertentu sesuai dengan prinsip nonprobability
sampling.Misalnya, subjek tertentu dianggap paling mengetahui dan memiliki otoritas
untuk menjelaskan beberapa hal yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini atau bisa
diistilahkan sebagai tokoh kunci (key persons)—baik dalam Sekolah Perempuan Desa
(SPD) maupun di lembaga Pendidikan Non Formal Perempuan (PNFP) yang dikelola oleh
Pemerintah Kota Batu dalam hal ini adalah para pengurus atau pengelola kedua lembaga
tersebut di samping itu juga para peserta didik dan para alumni.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif yang lazim digunakan
menurut Denzin dan Lincoln24 adalah sebagai berikut: (a) Observasi terstrukturPeneliti
melakukan pengamatan secara langsung dalam pertemuan pelatihan, penyuluhan,
simulasi atau bahkan pada saat subjek penelitian melakukan aksi dalam proses
membangun gerakan pemberdayaan perempuan melalui pendidikan politik di Sekolah
Perempuan Desa (SPD) maupun di lembaga Pendidikan Non Formal Perempuan (PNFP)
yang dikelola oleh Pemerintah Kota Batu dengan concern pengembangan ekonomi
lokal.(b) Wawancara Mendalam: Penggunaan teknik ini ditujukan untuk keperluan
koleksi data strategi gerakan pemberdayaan perempuan melalui pendidikan politik di
Sekolah Perempuan Desa (SPD) serta pengembangan ekonomi lokal di lembaga
Pendidikan Non Formal Perempuan (PNFP) yang dikelola oleh Pemerintah Kota
BatuTantangan dan dinamika yang dihadapi saat membangun gerakan pemberdayaan
perempuan melalui pendidikan politik di Sekolah Perempuan Desa (SPD) dan
pengembangan ekonomi lokal di lembaga Pendidikan Non Formal Perempuan (PNFP)
yang dikelola oleh Pemerintah Kota Batu. (c) Dokumenter: Penelitian ini tentu juga
membutuhkan justifikasi data sekunder berupa dokumentasi foto, video, artikel dan
kliping berita yang relevan dengan tema penelitian—baik itu akan diperoleh dari Sekolah
Perempuan Desa (SPD) dan di lembaga Pendidikan Non Formal Perempuan (PNFP) yang
24
Denzin, Norman K dan Lincoln, Yvonna S. 2009.Handbook of Qualitative Research. Terjemahan Dariyatmo, dkk.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
128
dikelola oleh Pemerintah Kota Batu atau yang dikumpulkan secara mandiri. (d) Focus
Group Discussion (FGD): FGD adalah proses pengumpulan data dan informasi sistematis
mengenai suatu permasalahan tertentu yang sangat spesifik melalui diskusi kelompok.
FGD digunakan karena alasan baik filosofis, metodologis maupun praktis.
Teknik analisis data dalam penelitian ini melalui beberapa
tahapan.Pertama,tahapan reduksi data, display data dan verifikasi atau penarikan
konklusi. Tahapan reduksi data adalah tahapan penyederhanaan, pengabstrakan dan
transformasi data “kasar” yang terkumpul dari catatan tertulis di lapangan.Reduksi data
berlangsung terus menerus selama penelitian berlangsung bahkan dimulai sebelum
peneliti memutuskan kerangka konseptualwilayah penelitian, permasalahan penelitian
dan pendekatan pengumpulan data yang dipilih dalam penelitian ini. Reduksi data
berlanjut terus sesudah penelitian lapangan di lokasi penelitian yaitu kota Malang.Kedua,
tahapan data display atau penyajian data adalah sekumpulan informasi yang tersusun yang
memungkinkan adanya penarikan kesimpulan. Penyajian yang paling sering dipakai
dalam bentuk teks naratif. Awalnya informasi berwujud teks yang terpencar-pencar,
seperti data hasil wawancara dengan kader atau siswa di Sekolah Perempuan Desa (SPD)
serta di lembaga Pendidikan Non Formal Perempuan (PNFP) yang dikelola oleh
Pemerintah Kota Batu, sumber data sekunder berupa arsip yang belum tersusun dengan
baik, maka peneliti menyederhanakan informasi yang kompleks dalam kesatuan bentuk
(gestalt) dengan konfigurasi yang mudah dipahami dalam bentuk naratif. Ketiga, tahapan
verifikasi atau penarikan kesimpulan adalah sebagian dari satu kegiatan dari konfigurasi
yang utuh.Kesimpulan yang ada diverifikasi selama penelitian berlangsung sehingga
prinsip dari tahapan analisis data ini sifatnya sirkuler.
Sebagaimana dalam penelitian kuantitatif, penelitian kualitatif juga menggunakan
prosedur pengujian keabsahan data yang meliputi langkah-langkah sebagai berikut (1)
memperpanjang masa observasi di lapangan (2) melakukan triangulasi sumber dengan
mengecek antara sumber data yang satu dengan sumber data yang lain, baik itu di Sekolah
Perempuan Desa (SPD) maupun di lembaga Pendidikan Non Formal Perempuan (PNFP)
yang dikelola oleh Pemerintah Kota Batu(3) mengadakan member check (4) melakukan
peer debriefing, peneliti mengadakan diskusi dengan beberapa kolega peneliti.
4. TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Sejarah Pendirian Sekolah Perempuan Desa (SPD) dan Pendidikan Non Formal
Perempuan (PNFP)
Di tengah perubahan sosial yang kian modern, perempuan dituntut untuk mampu
beradaptasi menghadapi tantangan.Predikat kaum perempuan di pedesaan sebagai “konco
wingking” alias hanya bertugas mengurusi kegiatan rumah tangga, seharusnya sudah mulai
ditanggalkan.Perempuan pedesaan sudah sepantasnya ambil bagian yang lebih besar dalam
lingkup yang lebih luas seperti ekonomi bahkan politik.Pesan inilah yang ingin
disampaikan Sekolah Perempuan Desa (SPD) yang merupakan lembaga pendidikan
informal hasil gagasan aktivis perempuan dan anak—Salma Safitri Rahayyan (44 tahum,
alumni Fakultas Hukum Universitas Brawijaya-Jawa Timur) di berbagai pedesaan di Kota
Batu. Ia bersama rekan-rekannya dari Suara Perempuan Desa dan Karya Bunda
Community (KBC) sejak Agustus 2013 membuka sekolah informal khusus perempuan di
Kota Batu. Ide SPD berangkat dari observasi yang dilakukan sepanjang tahun 2009 sampai
2012 di Kota Batu.Dalam penelitian tersebut di temukan fakta bahwa 76 persen masyarakat
Kota Batu hanya mengenyam pendidikan setara SMP.Dengan latar belakang pendidikan
yang rendah, pernikahan dini menjadi hal yang biasa.Akibatnya anak-anak gadis berusia
16-18 tahun sudah harus berperan sebagai istri sekaligus ibu. Melalui SPD, pendiri ingin
memberikan ruang pendidikan bagi kaum perempuan. Awalnya SPD masuk ke desa-desa
129
melalui program PKK. Gayung bersambut, ternyata animo kaum ibu untuk belajar di SPD
sangat tinggi.
Hasil observasi yang melatarbelakangi pendirian SPD tersebut, ternyata memang
sesuai dengan data bidang Pendidikan Non Formal (PNF) Dinas Pendidikan (Dindik) kota
Batu yang menunjukkan sedikitnya terdapat 1200 warga yang belum bisa membaca, tulis,
dan berhitung (Calistung). Sejumlah warga buta aksara tersebut tersebar hampir merata di
semua kecamatan dengan usia diatas 44 tahun dan 99 persen dari 1200 warga buta aksara
dialami kaum perempuan. Penyebab buta aksara umumnya disebabkan dua faktor, yakni
putus sekolah saat di bangku kelas II dan III serta tidak pernah mengenyam pendidikan
sama sekali.
SPD tidak hanya berisi kegiatan arisan atau mengajarkan ketrampilan keputrian
seperti perkumpulan ibu-ibu pada umumnya.Namun, SPD juga memperkaya wawasan
kaum ibu lewat pengetahuan strategis dan pengetahuan praktis.Pengetahuan strategis
bertujuan mengajak perempuan pedesaan berfikir lebih kritis, misalnya pendidikan
mengenai Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU KDRT) atau hak-hak
perempuan dalam berpolitik.Sedangkan pengetahuan praktis mengajak para peserta
mengenal tips-tips seputar kehidupan sehari-hari seperti kandungan gizi makanan atau
sanitasi.Hingga saat ini, sekolah yang digelar sekali dalam sepekan ini diikuti oleh lebih
dari 170 ibu-ibu di empat desa.Empat desa yang menjadi lokasi SPD meliputi Desa
Gunungsari, Desa Giripurno, Dea Bulukerto dan Desa Sidomulyo.Sekolah Perempuan di
launching pada 23 Agustus 2013, pelaksanaan program tahap pertama diselenggarakan
pada Agustus – Desember 2013. pendidikan tahap kedua dilaunching pada 23 Desember
2013, proses belajar pada Januari – Juni 2014. Periode ketiga Desember 2014 – Mei 2015.
Pemerintah Kota Batu melalui Dinas Pendidikan Kota Batu membekali ratusan
perempuan desa melalui pendidikan non formal agar memiliki keterampilan yang bisa
dimanfaatkan untuk mencari tambahan penghasilan. Menurut Kepala Dinas Pendidikan
Kota Batu, pendidikan non formal merupakan sebuah pendidikan yang dikhususkan bagi
para perempuan desa di Kota Batu. Pada 2015 pendidikan tersebut mewadahi sedikitnya
300 perempuan dari sepuluh dusun di sepuluh desa di Kota Batu.
Tujuan Pendirian Sekolah Perempuan
Sekolah Perempuan Desa (SPD) ini merupakan wadah perempuan desa dalam
bertukar pengetahuan dan pengalaman(knowledge and experiences), mengenali kebutuhan
dan kepentingan perempuan serta untuk meningkatkan kualitas hidup. Sekolah Perempuan
juga memiliki tujuan untuk membangun dan memperkuat kepemimpinan perempuan di
pedesaan.
Tujuan Pendidikan Non Formal Perempuan (PNFP) untuk memberi pengetahuan
tambahan agar perempuan desa memiliki wawasan yang luas dan memiliki keterampilan
yang bisa mereka manfaatkan untuk mencari tambahan penghasilan keluarga.Selain itu
juga untuk membantu mewujudkan desa wisata yang memiliki ciri khas. Melalui
pendidikan non formal diharapkan nantinya akan lahir generasi penerus bangsa yang cerdas
dan sehat yang lahir dan dirawat oleh para perempuan desa yang berpendidikan dan
berdaya usaha.Dengan mengikuti program pendidikan tersebut nantinya para perempuan
desa mampu melihat peluang usaha di sekitarnya. Terutama usaha yang bisa mendukung
sektor pariwisata seperti menciptakan produk khas desa masing-masing. Program tersebut
juga akan memberi banyak manfaat bagi para perempuan desa karena ada banyak
pembelajaran penting yang akan mereka terima, seperti masalah kesehatan, keagamaan,
gizi anak dan lainnya.
Peserta Sekolah Perempuan di SPD adalah Perempuan Usia 18 tahun keatas,
perempuan dari desa atau kelurahan di Kota Batu Provinsi Jawa Timur.Sekolah Perempuan
130
menggunakan prinsip-prinsip feminis dan pendidikan bagi orang dewasa, menggunakan
metode partisipatif, serta pengetahuan dan pengalaman perempuan menjadi sumber proses
belajar. Sekolah dilakukan setiap minggu 1 kali dan dalam 1 bulan libur 1 kali.
Proses pembelajaran PNFP dikelompokan dari setiap dusun dan masing-masing
dusun terdiri dari 30 warga belajar dan total ada 10 dusun sehingga total ada 300 warga
belajar.Kesepuluh Dusun tersebut adalah sebagai berikut: Dusun Gangsiran Tlekung,
Dusun Ngukir Torongrejo, Dusun Mojorejo Mojorejo, Dusun Dressel Oro Oro Ombo,
Dusun Toyomerto Pesanggrahan, Dusun Brau Gunungsari, Dusun Gandon Sumbergondo,
Dusun Payan Punten, Dusun Kekep Punten, Dusun Lemah Putih Sumberbrantas.Para
peserta didik setelah lulus akan mendapat bantuan alat usaha, termasuk hibah dari Dinas
Pendidikan berupa 5 mesin jahit, 5 dandang (alat menanak nasi), 5 alat pembuat kue dan
beberapa alat ketrampilan lainya.
Sumber Dana
Sumber dana Sekolah Perempuan Desa adalah dana swadaya Suara Perempuan
Desa (Rural Women’s Voices) dan Karya Bunda Community (KBC) serta bekerjasama
dengan individu, institusi pemerintah atau swasta, lembaga dana dari dalam negeri dan luar
negeri. Pertama kali didirikan, sekolah perempuan ini belum memiliki anggaran yang resmi
dan pasti, namun berbekal tekad yang kuat dan keterampilan yang dimiliki—akhirnya ada
usulan pendanaan dimulai dari menjual kue dan makanan pada setiap kegiatan Sekolah
perempuan.Karena, umumnya pada setiap kegiatan mendapat fasilitas makanan atau kue
secara gratis, tapi berikutnya para peserta sekolah perempuan diharuskan membayar kue
atau makanan yang mereka makan dengan hargaRp.2000/ kue.Dengan keuntungan sekitar
Rp. 500/kue, hasilnya dikumpulkan sebagai modal beragam kegiatan bahkan saat ini di
sekolah perempuan para peserta dapat meminjam uang sesuai kebutuhan. Berbeda dengan
Pendidikan Non-Formal Perempuan (PNFP) semua dana berasal dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang dialokasikan di Dinas Pendidikan. Sehingga,
peserta tidak dipungut biaya apapun.Pada tahun 2015 lalu, besaran pembiayaan pendidikan
non formal ini mencapai angka Rp 640 juta.Biaya ini diperuntukkan untuk transportasi
pengajar, administrasi, peralatan sekolah, bahan ajar seperti Alat Tulis Kantor (ATK). Para
peserta yang lulus akan mendapatkan sertifikat kelulusan.
Pemberdayaan Perempuan di Sekolah Perempuan Desa (SPD) dan PNFP
Beberapa aktivis hak asasi perempuan berbondong-bondong berjuang mendirikan
komunitas.Salah satu dari kelompok itu bernama Sekolah Perempuan Desa (SPD), peserta
dari sekolah ini adalah para ibu rumah tangga yang ingin mengenyam pendidikan politik
secara gratis.Melalui tempat ini, benih atau embrio para politikus berpotensi muncul dari
kaum perempuan desa yang awalnya sering menjadi komoditas politik sesaat.Mereka
dibina, kemudian dipercaya oleh masyarakat memimpin negara atau menjalankan fungsi
sebagai aparatur penyelenggara negara.Para aktivis ini menamakan dengan sebutan sekolah
agar para ibu rumah tangga di desa merasakan mendapat pendidikan secara serius
walaupun sebenarnya hanya berbagi ilmu melalui perkumpulan. Dengan adanya sekolah
informal khusus perempuan ini, diharapkan perempuan desa tidak hanya menjadi obyek
perubahan bahkan komoditas politik, tetapi menjadi (pemilih) perempuan yang kritis
terutama dalam hal seperti Pilkada Kota Batu yang akan berlangsung 2017 tahun depan.
Sehingga uang bukan lagi menjadi motif utama dalam berpartisipasi secara politik.
Strategi orientasi kegiatan pembelajaran yang ada di Sekolah Perempuan Desa
(SPD) lebih bias pada proses pendidikan politik khususnya bagi kelompok perempuan
desa. Misalnya materi tentang Perempuan dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang
disampaikan oleh Suciwati, istri aktivis (alm) Munir yang bertempat di Omah Munir
131
(Museum HAM pertama di Indonesia).Dengan kegiatan tersebut, kelompok perempuan
desa diharapkan ‘melek hukum’ dan menyadari akan pentingnya eksistensi mereka dalam
mengawal tegaknya HAM di wilayah lokal. Kegiatan yang berorientasi pada pendidikan
politik berikutnya adalah dengan mengadakan diskusi terbuka dengan Calon Anggota
Legislatif (Caleg) pada Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2014 lalu. Hal tersebut penting,
agar perempuan desa memahami konteks politik praktis sekaligus sebagai sarana
penyampaian aspirasi, khususnya kepada para Caleg perempuan
Masih dalam rangka pendidikan politik, peserta SPD juga dibekali dengan
pengetahuan tentang politik anggaran, khususnya yang berkaitan dengan proses
penganggaran APBD sekaligus alokasi anggaran yang ditujukan untuk kegiatan
pemberdayaan kelompok perempuan. Sebab, menurut hasil kajian SPD yang dilakukan
secara berkala—pemerintah daerah belum menyadari pentingnya alokasi khusus bagi
kelompok perempuan dan anak dalam proses pembangunan di wilayah lokal. Kegiatan
pelatihan tersebut melibatkan berbagai pihak, salah satunya dengan menggandeng Malang
Corruption Watch (MCW).
Tidak hanya melakukan orientasi ruangan (indoor), peserta SPD juga terlibat
secara langsung dalam aktivitas pendidikan politik di luar ruangan (outdoor).Misalnya
dalam kegiatan aksi di gedung DPRD Kota Batu yang menolak pembangunan hotel di
kawasan sumber air. Kegiatan turun lapang yang lain adalah kegiatan peringatan Hari
Kartini tanggal 21 April tahun 2015 yang mengambil lokasi di areal alun-alun Kota Batu.
Kegiatan yang dilakukan dengan aksi pembagian bunga dan orasi tersebut untuk
mengingatkan kepada masyarakat akan peran dan fungsi penting tokoh perempuan dalam
proses perjuangan kesetaraan di era penjajahan.
Untuk mempertegas eksistensi SPD dalam memperjuangkan hak-hak kelompok
perempuan khususnya di wilayah pedesaan, SPD tidak hanya melakukan kegiatan
peringatan Hari Kartini, tetapi juga melakukan aksi peringatan Hari Perempuan
Internasional tanggal 8 Maret tahun 2015 dan kegiatan Peringatan Hari Ibu tanggal 22
Desember tahun 2015. Hari Perempuan Internasional, Hari Kartini dan Hari Ibu merupakan
tiga momentum paling strategis dalam rangka membangun eksistensi dan ideologi gerakan
perempuan, khususnya di Sekolah Perempuan Desa. Sebab, dengan tiga peringatan tersebut
diharapkan peserta, pemerintah atau bahkan masyarakat umum memahami dan menyadari
arti penting sebuah perjuangan bagi kelompok perempuan dalam memperoleh hak-hak
utama sebagai manusia yang berkedudukan sama dengan laki-laki.
SPD menyadari bahwa latarbelakang peserta yang begitu variatif, baik dari segi
pendidikan, status sosial-ekonomi dan pekerjaan tentu berkonsekuensi terhadap motivasi
mereka dalam bergabung dengan Sekolah Perempuan.
Pengembangan Ekonomi Lokal
Selain proses internalisasi ideologi gerakan melalui kegiatan bertema pendidikan
politik yang secara ekstrem berbicara tentang aksi resistensi dan oposisi terhadap
kekuasaan pemerintah yang tidak berpihak kepada kelompok perempuan tetapi juga
dikemas dalam kegiatan yang lebih soft, misalnya dengan kegiatan pelatihan soft skill dan
hard skill bagi peserta sesuai dengan minat dan orientasi mereka. Misalnya dengan
melakukan kegiatan yang lebih memahamkan peserta terhadap potensi diri dan pemahaman
akan realitas lingkungan bagi kelompok perempuan.
Mengingat faktor kemandirian perempuan yang tidak bisa terlepaskan dalam setiap
proses perubahan yang diperjuangkan. Kemandirian akan melahirkan pribadi dan gerakan
yang bebas dan merdeka tidak mudah terkooptasi dengan kekuasaan politik dan ekonomi.
Perempuan bebas dan merdeka, minimal mampu memenuhi kebutuhan pokok secara
mandiri, tidak tergantung pada siapapun termasuk suami dalam hubungan yang sangat
132
patriarki.Salah satu dari kegiatan tersebut adalah dengan melakukan pelatihan pembuatan
kue dan hantaran pernikahan.Selain membekali peserta dengan ketrampilan membuat,
mengemas dan memasarkan kue basah dan kue kering, dalam rangka menumbuhkan sikap
kemandirian yang produktif SPD juga melakukan kegiatan pelatihan tata busana dan rias
kecantikan wajah (beauty class).
Program Pendidikan Non Formal Perempuan Desa (PNFP) yang telah
dilaksanakan di sejumlah desa diklaim Pemerintah kota Batu berhasil membuat pendidikan
perempuan di desa berkembang pesat. Oleh sebab itu, pemerintah memutuskan untuk
menyelenggarakan kembali program tersebut tahun 2016 saat ini dengan diawali
melakukan koordinasi dengan para peserta. Warga yang akan mengikuti pendidikan di
tahun ini masih berasal dari dusun yang sama. Bedanya hanya pada pemberian
materi.Dinas Pendidikan telah melakukan pendalaman-pendalaman materi yang
diberikan.Materi pembelajaran lebih ke praktek untuk mematangkan ketrampilan yang
sudah diberikan tahun 2015. Ketrampilan yang diberikan ini akan berorientasi pada potensi
desa masing-masing dengan harapan akan muncul produk-produk unggulan di masingmasing dusun misalnya kegiatan membuat handycraft.
Secara umum, terdapat perbedaan cukup nyata antara strategi pemberdayaan
perempuan yang dilakukan oleh SPD dan PNFP.Hal tersebut menjadi sebuah keniscayaan
karena SPD merupakan lembaga swasta yang didirikan justru untuk melakukan aksi
perlawanan terhadap segala bentuk penindasan terhadap kelompok perempuan.Sedangkan
PNFP didirikan, dikelola dan dibiayai oleh Pemerintah Kota Batu sehingga, posisi sudah
jelas menjadi sub-ordinat kekuasaan pemerintah.Perbedaan latarbelakang tersebut tentu
berkonsekuensi terhadap kurikulum di masing-masing lembaga.Jika SPD menyajikan
kurikulum utama tentang pendidikan politik bagi peserta selain materi ketrampilan dan
pengetahuan kesehatan PNFP justru banyak berorientasi pada ketrampilan kecakapan
hidup (life skill) berbentuk pelatihan wirausaha (enterpreneurship) berbasis potensi
wilayah.
Predikat Kota Batu sebagai Kota Wisata (KWB) utama di Provinsi Jawa Timur,
pemberian ketrampilan kecakapan hidup tersebut diharapkan mampu memberikan
kontribusi nyata dalam perbaikan sektor ekonomi masyarakat agar mereka khususnya
perempuan tidak hanya bekerja di sektor pertanian. Oleh sebab itu, tentu tidak ada peluang
bagi peserta PNFP untuk berada dalam posisi vis a vis dengan pemerintah kota. Padahal,
dalam konteks pemberdayaan proses perubahan harus berpusat pada msayarakat dengan
asumsi bahwa manusia adalah sasaran pokok dan sumber paling strategis. Karena itu,
pembangunan juga meliputi usaha terencana untuk meningkatkan kemampuan dan potensi
manusia serta mengerahkan minat mereka untuk ikut serta dalam proses pembuatan
keputusan tentang berbagai hal yang memiliki dampak bagi mereka dan mencoba
mempromosikan kekuatan manusia,
bukan mengabadikan ketergantungan yang
menciptakan hubungan antara birokrasi negara dengan masyarakat. Proposisi di atas
mengindikasikan pula bahwa inti pembangunan berpusat pada rakyat adalah pemberdayaan
(empowerment) yang mengarah pada kemandirian masyarakat.
Dari analisis data yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa SPD mampu
memberikan pendidikan politik dengan materi yang memadai bagi perempuan desa juga
beberapa pelatihan yang mampu mengembangkan pengetahuan dan keterampilan
perempuan desa demikian pula dengan PNFP. Satu hal yang berbeda dari kedua organisasi
tersebut adalah kemandirian dalam pendanaan organisasi. Organisasi SPD lebih mandiri
dari pada PNFP.Model rekruitmen peserta didik pada kedua organisasi ini juga sedikit
berbeda demikian pula dengan model pengembangan ekonomi berbasis potensi
lokal.Model pengelolaan organisasi yang berbeda juga membuahkan relasi yang berbeda
di antara hubungan pendidik dan peserta didik.
133
5. KESIMPULAN
Jika melihat konteks masalah yang dihadapi oleh kelompok perempuan khususnya
di wilayah pedesaan termasuk di Kota Batu, kurikulum yang disajikan oleh Sekolah
Perempaun Desa (SPD) akan jauh lebih efektif dan strategis dalam upaya memperjuangkan
kesetaraan hak-hak perempuan dibandingkan dengan yang dimiliki oleh Pendidikan NonFormal Perempuan (PNFP) yang hanya membekali peserta dengan ketrampilan kecakapan
hidup (life skill) dan tentu lebih berorientasi pada keuntungan secara ekonomi (profit
oriented). Atau dalam perspektif kritis, sangat rasional jika eksistensi PNFP sesungguhnya
untuk melakukan upaya counter attack terhadap gerakan perlawanan dengan menentang
mayoritas kebijakan kekuasaan pemerintah yang dinilai belum berpihak kepada kelompok
perempuan di Kota Batu, sebagaimana dilakukan oleh SPD melalui berbagai aksi. Artinya,
PNFP hadir sebagai antitesis SPD, agar masyarakat di Kota Batu, khususnya kelompok
perempuan tetap dalam posisi stagnan dan mendukung politik status quo atau tetap
menjadi sub-ordinat kekuasaan pemerintah. Dengan hadirnya PNFP, kelompok perempuan
di Kota Batu diharapkan mempunyai wadah alternatif bagi mereka yang tidak at home
dengan doktrin resistensi atau hal-hal yang terkait dengan ideologi perlawanan kelompok
sipil (civil society).
Jika motif utama kegiatan pemberdayaan kelompok perempuan di Kota Batu adalah
ketidakberdayaan itu sendiri, maka tidak fair jika hanya menyasar sektor keberdayaan dari
sisi ekonomi, karena pada hakikatnya keberdayaan manusia secara personal melintas
dalam beragam dimensi seperti sosial, politik, budaya, pendidikan, hukum bahkan agama
dan semua itu terproses dalam sebuah sistem yang integral.Nilai-nilai yang sedang
diperjuangkan oleh SPD sudah berada dalam posisi on the track, karena perubahan yang
didorong tidak hanya berorientasi pada aspek jangka pendek seperti kegiatan masak dan
merias tetapi lebih pada upaya penyadaran kelompok perempuan desa akan peran dan
fungsinya yang begitu penting dalam proses kehidupan.
6. DAFTAR PUSTAKA
Denzin, Norman K dan Lincoln, Yvonna S. 2009.Handbook of Qualitative
Research.terjemahan Dariyatmo, dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Harnoko, Bambang Rudi. 2012.“Pendidikan Politik Perempuan Dalam Konteks Negara
Demokrasi” dalam MUWÂZÂH, Vol. 4, No. 2, Desember.
Kabeer, Naila. 2001. Reflections on The Measurement of Women’s Empowerment in
Discussing Women Empowerment: Theory and Practices. Sida Studies No3 .
LSE Research Online.Swedish International Development Cooperation Agency,
Stockholm, Sweden, pp. 17-57.
Ketut Restini, Ni, dkk. 2014. Pendidikan Politik Berbasis Desa Adat Bagi Kaum
Perempuan Di Desa Tigawasa Kecamatan Banjar Kabupaten Bulelen.
ejournal.undiksha.ac.id (diakses 30 Maret 2016 ).
Rai, Shirin M, Bari, Farsana. Mahtab, Nazmunessa dan Mohanty. Bidyut,
2005.“Gender Quotas and The Politics of Empowerment-A Comparative Study”
dalam Woman, Quotas and Politics, edited by Drude Dahlerup. London:
Routledge.
Theresia, Aprillia, dkk. 2014. Pemberdayaan Berbasis Masyarakat, Bandung:
Alfabeta.
134
Salviana, Vina, dkk2004.Pengembangan Model Pendidikan Politik Berbasis
Kesetaraan dan Keadilan Gender Pada Parpol dan Ormas Organisasi
Perempuan,PHB-DIKTI.
135
TRADISI PERCERAIAN: KETIDAKADILAN GENDER DAN
PERLAWANAN PEREMPUAN DI SUKU SASAK LOMBOK
Syafruddin
Program Studi Pendidikan Sosiologi FKIP Universitas Mataram
Email: [email protected]
Abstrak
Impresi awal tentang etnis Sasak yang mengesankan bagi orang luar (out group) ada pada
institusi keluarga.Institusi ini kelihatannya sangat rapuh dan keretakan setiap saat
menanti, seakan-akan menandai bahwa hidup berkeluarga seperti seumur jagung.Secara
statistik berapa jumlah janda cerai hidup belum ada yang melakukan kalkulasi secara
menyeluruh, walaupun ada itu hanya sebagian kecil saja dari mereka yang melapor bila
dibandingkan dengan fakta empirik yang sebenarnya terjadi di dalam masyarakat
(fenomena gunung es).Kesulitannya karena banyak perkawinan dan perceraian tidak
diproses melalui lembaga-lembaga formal. Untuk menjawab persoalan ini, maka
pertanyaan penelitian (research guestion) yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah
“bagaimanatradisi perceraian dan bagaimana pula perlawanan perempuan di suku Sasak
Lombok”. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, dengan
metode etnografi.Hasil penelitian menemukan bahwa tradisi perceraian pada masyarakat
etnis sasak dilakukan dengan pola perceraian ngerorot. Perlawanan perempuan dapat
terjadi karena struktur sosial yang ada di dalam masyarakat bertindak sebagaia regulator
agensi untuk melakukan regulasi terhadap tingkahlaku perempuan, sehingga martabat
mereka sangat tergantung dari perijinan sosial atau a matter of social permission. Selain
itu bahwa perlawan terjadi untuk mensiasati dominasi laki-laki, mereka tidak melakukan
secara kelompok dan tidak pula digerakkan di dalam bingkai wadah tertentu yang dapat
memberikan dan menimbulkan kesadaran pada perempuan-perempuan yang lain yang
tersubordinasi.
Keywords: Ketidakadilan, Tradisi Perceraian, Perlawanan perempuan
1.PENDAHULUAN
Kesan tentang masyarakat Sasak bagi orang luar (out group) ada pada institusi
keluarga. Institusi ini kelihatannya sangat rapuh dan keretakan setiap saat menanti, seakanakan menandai bahwa hidup berkeluarga seperti seumur jagung. Sangat berbeda dengan
suku-suku bangsa lain yang ada di Indonesia, tidak ada tangisan anak-anak kecil yang
ditinggalkan oleh ibu-bapaknya atau anak-anak yang diasuh oleh panti-panti di sudut
kampung kumuh jauh dari fasilitas yang memadai karena bapak/ibunya tidak ada, kecuali
beberapa kasus yang luar biasa karena ibu atau bapaknya meninggal dunia.
Perceraian dalam artian normatif itu tidak boleh dilakukan karena dibenci oleh
Tuhan, tapi kenyataan empirik banyak orang melakukannya. Data yang diolah dari Kantor
Pengadilan Agama di kabupaten/kota di pulau Lombok dari tahun 2005 sampai tahun
2007 yaitu: Lombok Timur, Lombok Tengah, Lombok Timur, dan Kota Mataram
menunjukkan bahwa proses perceraian dalam bentuk cerai gugat (cerai atas keinginan
isteri) mendapat porsi terbanyak dari semua perkara perceraian yang ada di kantor
pengadilan agama di empat kabupaten/kota tersebut yaitu 88.25 % yang melakukan
perceraian gugat. Sedangkan yang melakukan perceraian talak (cerai atas kemauan lakilaki) hanya 11.75% perkara perceraian dalam bentuk cerai talak.
Hasil studi yang dilakukan oleh Syafruddin dkk (2009) terhadap 525 kasus
perceraian, bahwa sekitar 78% perceraian dilakukan di rumah sendiri/keluarga, penghulu
136
14 %, dan hanya 2,8 % melakukan perceraian di Pengadilan agama. Penelitian ini juga
menemukan
bahwa
faktor
penyebab
terjadinya
perceraian
disebabkan;
perselingkungkuhan 33 %, suami lari dari tanggung jawab 18 %, kekerasan dalam rumah
tangga 18 %, intervesi pihak ke tiga 16,9 % dan persoalan ekonomi 13 %.
Dari uraikan hasil kajian diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam
pembahasan makalah ini adalah bagaimana pola perceraian tradisional dan bagaimana pula
pola perlawanan perempuan di masyarakat suku Sasak.
2.TINJAUAN PUSTAKA
1. Perspektif Perceraian
Secara etimilogis cerai dalam bahasa Inggris disebutdivorce, sering kali dipakai
untuk menafsirkan kata thalaq (arab) dan sebaliknya. Terjemahan ini oleh beberapa
kalangan dianggap sebagai salah kaprah yang menyesatkan, karena kata divorce itu asal
katanya berasal dari bahasa Latin dan memberikan arti pemisahan sebuah kesatuan (unit),
pemisahan fisik yang permanen dari pasangan suami-isteri, sementara itu kata thalaq
dalam bahasa Arab, diambil dari kata athlaqa-ihtlaq yang bermakna melepaskan,
membebaskan atau meninggalkan. Oleh karena itu thalaq dalam konteks hubungan
perkawinan bermakna mengakhiri ikatan yang dibuat oleh suatu akad nikah.Sehingga kata
dissolution (terputusnya) mungkin lebih tepat dipakai dari pada divorce (Jawad A, 2002,).
Dalam agama tertentu yang memandang pernikahan sebagai sebuah sakramen,
maka tidak dapat diputuskan, dan karenanya perceraian tidak dibenarkan. Yang menjadi
masalah dalam masyarakat yang menganggap pernikahan sebagai suatu kontrak dan
perceraian dibenarkan, maka perceraian seringkali disalahgunakan oleh pihak yang lebih
kuat, yaitu laki-laki dalam masyarakat yang didominasi laki-laki. Apabila hubungan antara
suami dan isteri sangat genting sehingga tidak ada kemungkinan terjadinya rekonsiliasi
(Ingineer, 2000).
Motif dan proses perceraian di dalam masyarakat dunia sangat beragam dan
kompleks. Perbedaan ini banyak dipengaruhi oleh struktur sosial, tradisi budaya dan ajaran
yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan.
Di masyarakat Indonesia berdasarkan undang-undang perkawinan tahun 1974
mengatakan bahwa perceraian atau terputusnya hubungan dalam perkawinan dilakukan
dengan cara; (1) cerai talak, yaitu cerai yang diikrarkan oleh suami dengan mengajukan
permohonan kepada pengadilan di tempat tinggal yang berisi pemberitahuan bahwa suami
bermaksud menceraikan isterinya disertai alasan-alasannya serta meminta kepada
pengadilan agar diadakan sidang untuk menggelar proses perceraiannya. (2) cerai gugat,
yaitu cerai atas gugatan isteri, perceraian ini dilakukan oleh putusan pengadilan agama
disertai alasan-alasan kenapa si isteri berkeinginan untuk menceraikan suami (Rumulyo,
1999).
Perceraian dalam bentuk yang tidak formal dapat kita temukan diberbagai suku
bangsa di dunia dan tindakan ini dianggap sebagai terputusnya suatu ikatan perkawinan
(perceraian). Di masyarakat Zuni Meksiko, wanita setiap saat dapat menceraikan suaminya
dengan cara menaruh barang-barang miliknya di luar pintu rumah untuk menunjukkan
bahwa mereka tidak suka lagi pada suami (Haviland, 1985). Pada masyarakat Arab suku
Baduin perceraian terjadi hanya sekedar merubah arah pintu rumah dan ketika pasangan
tahu tentang hal itu maka dianggap perceraian sudah terjadi (Saadawi, 2001).
Goode (1991) misalnya menemukan, bahwa tingkat perceraian bisa disebabkan
adanya perubahan sistem dalam keluarga, yaitu perubahan dari sistem keluarga luas
menjadi sistem keluarga konjugal. Dalam keluarga konjugal ketergantungan pada kerabat
yang sangat berkurang sehingga kewajiban terhadap yang tua menjadi tidak ada, akibatnya
unit keluarga ini (conjugal) mudah pecah apabila terjadi konflik antara suami dan isteri
137
karena sedikitnya tekanan
kerabat yang mengharuskan mereka bersatu dan
mempertahankan perkawinan mereka. Dalam keluarga konjugal yang didukung oleh
sistem kehidupan masyarakat yang sudah terspesialisasi kebutuhan baik suami maupun
isteri di luar unit keluarga sudah banyak tersedia (seperti rumah makan, panti pijat, adanya
pelayanan cuci dan jahit pakaian, diskotik, dan tempat minum dan sebagainya),
memudahkan pasangan suami-isteri yang sedang mengalami konflik dan krisis
perkawinan untuk bisa aktif dan memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa seseorang
pendamping atau isteri (Karim, 1999).
Tipologi yang dibuat oleh Goode tentang keluarga konjugal yang identik dengan
keluarga kota di mana tingkat perceraian sangat tinggi dan keluarga luas identik dengan
keluarga pedesaan sangat jauh berbeda dengan hasil penelitian Nakamura yang
menemukan kecenderungan perceraian banyak terjadi di kampung yang bersifat pedesaan
(rural) dibandingkan dengan kampung yang bersifat perkotaan (urban) di mana tingkat
frekuensi percereian berkurang (Nakamura, 1990).
Saxson (1985) juga menemukan bahwa perceraian di Amerika Serikat
terindentifikasi oleh beberapa sebab seperti: latar belakang keluarga, umur pertama kawin,
tingkat pendidikan, pendapatan, letak geografis, anak, dan masalah ras.
2. Perspekti Perlawanan
Menurut teori androgin bahwa manusia yang utuh adalah manusia yang memiliki
dua unsur : andro (maskulin) dan gyne (feminim). Kedua unsur ini adalah dwi tunggal
(dua dalam satu). Seorang laki-laki bisa mengekspresikan kelembutannya dan perempuan
bisa mengekspresikan keberanian, bahkan agresivitas pada tingkat kelakuan tertentu, dan
besar kemungkinan perempuan akan melakukan sesuatu tindakan deskruktif yang bisa
membahayakan orang lain. Atau sekedar alat untuk mencapai tujuan tertentu yang dikenal
dengan “perlawanan instrumental”25. Oleh Camara (2000) terkenal dengan teori
“kekerasan memancing kekerasan”, ketidakadilan menimbulkan perlawanan dan
pemberontakan oleh kaum yang tertindas dengan satu tujuan untuk memenangkan dunia
yang lebih adil dan lebih manusiawi.
Boleh jadi apa yang dilakukan oleh kaum
perempuan seperti yang di sinyalemenkan oleh Simmel bahwa tuntutan kaum perempuan
sebagai suatu kelompok yang ada dalam masyarakat hanya sekedar tuntutan untuk bebas
dari dominasi laki-laki, dan apa yang dilakukan oleh mereka bukan hanya bertujuan untuk
menuntut kebebasan individu, tetapi juga kebebasan bagi kelompok untuk menguasai para
anggotanya, dan biasanya dominasi terhadap individu oleh kelompok kecil (keluarga)
dalam masyarakat jauh lebih ketat daripada dominasi oleh negara (Simmel dalam Johnson,
1998).
Bagi Mernissi, hal ini terjadi karena secara ideologi keagamaan, bahwa
perlawanan perempuan terhadap kaum laki-laki dianggap sebagai suatu hal yang
menakutkan karena implikasinya sangat besar, mereka menolak tuntutan perempuan untuk
mengubah kedudukannya. Kepatuhan perempuan pada laki-laki, bukan saja hanya sarana
marjinal dalam masyarakat, tetapi merupakan unsur pokok dan utama bagi kehidupan
sistem tersebut (Mernissi, 1999).
Untuk memahami pertanyaan penelitian tentang bagaimanakah perempuan yang
patuh dan tunduk, kemudian mereka menanggalkan kepatuhan, dan melakukan
perlawanan terhadap kekuasaan laki-laki atau suami. Penelitian ini juga akan
menelusurinya pemikiran Gramsci yang sangat terkenal dengan teori hegemoni dan kontra
hegemoni. Teori ini akan dipergunakan bukan dalam artian untuk menguji teori, akan tetapi
25
Semacam perlawanan yang bertujuan untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan/diperlukan tanpa melakukan tindakan
destruktif. Erich Fromm. “Akar Kekerasan Analisis Sosio-Psikologis Atas Watak Manusia”(terj). Yogyakarta, Pustaka
Pelajat, 2000, hal, 292
138
lebih dipandang sebagai suatu perspektif atau kacamata untuk melihat, mengkaji dan
menelaah peristiwa perceraian sebagai suatu simbol penolakan dan perlawanan perempuan
sebagai isteri terhadap kekuasaan laki-laki. Gramsci (dalam Budiman,1982) membagi dua
jenis kekuasaan: (1) kekuasaan hegemoni atau kekuasaan yang diperoleh dengan
persertujuan dari orang-orang yang dikuasai; (2) kekuasaan yang diperoleh melalui
pemakaian kekuatan fisik. Kekuasaan laki-laki atas perempuan merupakan kekuasaan
hegemoni dalam pengertian Gramsci, karena perempuan sadar atau tidak sadar menerima
dan menyetujui kekuasaan laki-laki sebagai suatu yang wajar. Laki-laki tidak perlu
menggunakan kekuatan fisik untuk memaksa wanita tunduk kepada mereka.
Hegemoni selamanya bisa saja dominan akan tetapi tidak akan pernah total, karena
selalu mendapatkan tantangan. Oleh karena itu, jika konsep patriarki dianggap sudah
menghegemoni dalam masyarakat, maka hal ini tetap saja akan mendapat tantangan dan
tidak akan pernah dianggap sebagai suatu sistem yang tetap, dan baku (Sushartami, 2002).
Selanjutnya sangat perlu untuk menjajaki lebih lanjut tentang adanya sebuah hegemoni
alternatif- hegemoni tandingan (counter-hegemony) yang muncul dari kelompok atau kelas
yang dikuasai, yang merupakan kelompok-kelompok sosial yang lebih rendah
(tereksploitasi dan tersubordinat) yang dapat melakukan penyusunan dan perlawanan.
Kelompok atau kelas yang dikuasai ternyata mampu menciptakan struktur-strukturnya
sendiri serta menafsirkan realitas sosial menurut pengalamannya, sesuatu yang cenderung
diabaikan. Selanjutnya perlu dipertimbangkan kembali konsep kekuasaan yang oleh
kebanyakan orang dipahami dalam pengertian negatif. Kekuasaan juga bisa dikaji dalam
kemampuan-kemampuan yang positif dan produktif. Hal ini akan memungkinkan
memperluas pemahaman mengenai hegemoni dan kontra-hegemoni. Kontra-hegemoni
dari kelas yang dikuasai juga bisa dipahami sebagai pernyataan atau dikursus perlawanan
(counter-discourse), di mana perjuangan melawan praktek-praktek diskursif dan kekuatan
pendisiplinan terjadi baik dalam produksi simbolis maupun dalam hubungan sosial (Simon,
2000, Hikam,1990, Budiman, 1982).
Pertanyaan yang akan muncul dan menggugah pemikiran penulis dalam kajian
tentang perlawanan perempuan terhadap struktur sosial patriarki, mengapa perempuan
membangkang pada kekuasaan laki-laki sebagai suami, dan mengapa pula mereka
menanggalkan kepatuhan atau mengadakan perlawanan terhadap kekuasaan laki-laki.
Untuk menjawab pertanyaan ini sekurang-kurangnya ada dua konsep teoritis yang
berusaha menjelaskannya. Pertama, berusaha menjelaskan fenomena perlawanan dari
pandangan mengenai otoritas moral sebagai basis dari hubungan-hubungan sosial dan
stabilitas sosial.Kedua, mendasarkan penjelasannya pada adanya keharusan struktural
sosial budaya yang menentukan tindakan-tindakan dan perilaku-perilaku individu,
termasuk perlawanan terhadap kekuasaan laki-laki. Pada perspektif otoritas moral bahwa
perlawanan dan pemberontakan dapat terjadi karena adanya kebiadaban moral dalam
masyarakat. Sebaliknya, pada pendekatan kedua bahwa perlawanan dan pemberontakan
terjadi karena didasarkan pada adanya rangsangan eksternal sebagai faktor utamanya
(Hikam, 1990).
Selain dari kedua faktor di atas, untuk menjelaskan fenomena perlawanan, menurut
Moore (Hikam, 1990) bahwa setiap masyarakat mempunyai suatu “moralitas alamiah“
yang sudah ada jauh sebelum adanya pengaruh sosial tetapi belum tentu mempunyai
keunggulan untuk memecahkan masalah tersebut, moralitas alamiah ini tidak semata-mata
merupakan konsekuensi dari kebiasaan dan kondisi sosial. Melalui moral semacam ini
sebaliknya memberikan dorongan bagi terjadinya perkembangan aturan-aturan moral,
kemarahan moral, dan persepsi-persepsi mengenai ketidakadilan di dalam setiap
masyarakat.
139
Studi yang dilakukan oleh Uma Chakravarti pada masyarakat kasta India, seperti
yang dikutip oleh Kamla Bhasin dalam bukunya “menggugat patriarki” (1996),
menemukan bahwa dalam masyarakat kasta India kontrol terhadap perempuan dilakukan
melalui tiga sarana yang berbeda dan berlangsung pada tingkatan yang berlainan. Pertama
adalah ideologi, di mana ditanamkan ke dalam kepribadian perempuan sebagai pativrata
(kesetiaan ibu), dengan ideologi ini perempuan menerima dan menginginkan kesetian ibu
sebagai ekspresi tertinggi dari kepribadian mereka, melalui mekanisme ini pula status
rendah mereka dibuat tak terlihat dan sistem patriarki dengan kuat ditegakkan sebagai
ideologi yang kelihatannya alamiah. Sarana kedua ialah hukum dan adat kebiasaan, hal ini
sangat ditentukan oleh tata sosial Brahmanis untuk membuat perempuan yang menyimpang
tetap berada di dalam kontrol patriarki. Sarana ketiga ialah negara, jika laki-laki yang
diberikan hak untuk menggunakan kekuatan tidak berhasil mengendalikan seorang
perempuan, maka negara kuno menegakkan berlakunya norma-norma patriarkal dengan
menghukum perempuan karena melakukan pelanggaran batas-batas sebagaimana yang
didefinisikan oleh kaum laki-laki.
Moore seperti yang dikutip oleh Hikam (1990), misalnya melihat bahwa
perlawanan terjadi di dalam suatu masyarakat karena adanya suatu kebiadaban moral.
Kebiadaban moral terjadi diakibatkan adanya problem ketidakadilan sosial, dan
ketidakadilan sosial
merupakan suatu penyimpangan (derivasi), pengertian dari
keberangan moral yang dipengaruhi oleh tiga elemen dalam suatu sistem sosial: 1)
Koordinasi sosial atau kekuasaan. Pada dimensi ini perlawanan dan pemberontakan terjadi
jika seseorang atau perempuan (isteri) merasa bahwa kekuasaan laki-laki sebagai suami
misalnya tidak lagi memenuhi kewajiban moral yang mendasar. 2) Kegagalan untuk
menangani kesenjangan sosial yang mengakibatkan keberangan moral, dengan mengambil
bentuk pengutukan atau protes secara terang-terangan maupun tersembunyi. Misalnya lakilaki (suami) gagal memenuhi kebutuhan akan penghargaan, tidak diperhatikan dan
tidakadanya kasih sayang. 3) Distribusi sumber daya yang tidak adil,di sini bahwa
persamaan memainkan peranan sebagai suatu bentuk jaminan sosial, karena setiap
manusia selalu dihadapkan pada sumber-sumber yang terbatas. Suami tidak bisa secara
tepat mengalokasikan sumber daya yang ada antara keluarga (orang tua, ingat dalam
keluarga luas) dengan perempuan sebagai isteri. Kegagalan suami untuk memenuhi
kewajiban ini akan mengakibatkan kekecewaan dan keberangan moral perempuan.
Berbeda dengan Milgram (dalam Hikam, 1990) mengatakan bahwa perlawanan
dan pemberontakan dapat terjadi dikarenakan adanya suatu keharusan struktural yang akan
menentukan tindakan-tindakan dan perilaku individu-individu. Termasuk perlawanan
terhadap kekuasaan (dianut oleh kaum strukturalisme baik mazhab Marxis maupun yang
non-Marxis), penolakan dan perlawanan terjadi didasarkan pada adanya rangsangan luar
sebagai faktor utama yaitu perangkat hukum dan paksaan dari luar.
Untuk melaksanakan tindakan penolakan dan perlawanan oleh para kelompok
perempuan yang termarginalisasi, tereksploitasi dan tersubordinasi. Mereka biasanya akan
menggunakan dan memanfaatkan norma-norma dan sistem-sistem nilai tradisional yang
ada di dalam masyarakat untuk melawan dominasi kelompok laki-laki, hal itu dilakukan
karena pada diri mereka memiliki penafsiran-penafsiran tersendiri mengenai kewajibankewajiban moral yang berakar pada tradisi budaya yang meraka alami atau lihat di dalam
masyarakat. Kemungkinan hal ini akan menjadi senjata bagi kaum perempuan untuk
melakukan penolakkan atau ketidaksetujuannya terhadap perilaku laki-laki sebagai suami.
Peristiwa ini oleh Henrieatta L. Moore (1998), seperti yang ditulis dalam bukunya
“ Feminisme and Antropology” (terj), ia menyebutnya sebagai “ bentuk hari-hari
perlawanan wanita”. Menurutnya bahwa penolakan atau perlawanan perempuan (isteri)
terhadap suami dapat dilakukan mulai dari penolakkan untuk memasak, penolakkan untuk
140
berhubungan seksual, meninggalkan pekerjaan rumah tangga, dan pertanian, serta
menyebarkan gosip-gosip tentang pasangan-pasangan mereka.
Demikian pula studi yang cukup menarik dilakukan oleh Loan Lewis pada
masyarakat muslim Somali di Timur laut Afrika yang besistem kekerabatan patrilineal.
Seperti yang dikutip oleh Moore (1998), yaitu apa yang mereka disebutkan “kerasukan
roh”, yaitu suatu kajian tentang bagaimana keterlibatan perempuan-perempuan yang sudah
bersuami tentang “kerasukan roh”. Perlawanan perempuan dengan menggunakan
kerasukan roh sebagai instrumen perjuangan mereka untuk mempertahankan hidup dan
memberi makan anak-anak dalam lingkungan yang keras karena diabaikan oleh suami
yang sering tidak ada dan di mana mereka dirusak oleh ketegangan-ketegangan perkawinan
poligini yang dilakuan oleh para suami, dan kerentanan akses kaum perempuan pada
sumber daya di luar perkawinan. Menurut Lewis kerasukan roh dapat dikatakan sebagai
suatu penghindaran yang terbatas untuk menentang penyiksaan dari adanya pengabaian dan
penderitaan dalam hubungan konjugal yang sangat bias laki-laki. Perempuan terpaksa
menggunakan kerasukan roh sebagai cara yang tidak langsung untuk mengutarakan
keluhan-keluhan mereka kepada suami dan cara untuk mendapatkan perhatian, kasih
sayang, hadiah dan sebagainya.Oleh Simone De Beauvoir (1999) hal ini dilakukan oleh
kaum perempuan dalam bentuk
agitasi simbolis, karena kaum perempuan dalam
melakukan protes dan penolakan terhadap kaum laki-laki kurang memiliki tujuan yang
konkrit untuk mengorganisir diri menjadi sebuah unit yang dapat berhadap-hadapan
dengan unit kolektifitas.
3.METODE PENELITIAN
Penelitianini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Dengan pendekatan
ini dapat menunjukkan tentang kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku, pergerakanpergerakan sosial, dan hubungan kekerabatan. Oleh Strauss dan Corbin (1997) digunakan
untuk menemukan dan memahami apa yang tersembunyi di balik fenomena atau gejala
yang ada. Untuk mempelajari secara mendalam peristiwa sosial budaya yang terjadi dalam
masyarakat suku Sasak, yaitu perceraian penulis menggunakan metode penelitian
etnografi (Spradley,1997).Dengan demikian etnografi merupakan pekerjaan
mendeskripsikan suatu kebudayaan, dengan tujuan untuk memahami suatu pandangan
hidup dari sudut pandang penduduk asli. Agar peneliti terhindar dari bias subyektif dalam
melukiskan suatu peristiwa sosial budaya, maka peneliti menggunakan perspektif emik
dan perspektif etik. Perspektif emik peneliti mendeskripsikan peristiwa sosial budaya dari
sudut pandang orang “mata kepala” warga masyarakat setempat yang diteliti, sedangkan
perspektif etik peneliti mendeskripsikan berdasarkan konsep dan pandangan orang luar
(kacamata orang lain).
Dalam penelitian ini informan dan subyek26penelitian bersifat pilihan atau
criterium based selection. Informan dan subyek penelitian tidak untuk mewakili populasi,
tetapi mewakili informasi. Dalam hal ini peneliti memilih informan penelitian yang
dipandang paling mengetahui dan memahami masalah yang dikaji, informasi yang
diperoleh dari mereka (informan) sebagai salah satu sumber untuk mencari untuk
keabsahan data melalui proses triangulasi yang tidak hanya mengandalkan informasi
26
Pada penelitian ini tidak menggunakan konsep responden, karena tidak menguji hipotesis dan tidak membatalkan suatu
hipotesis tertentu, dan juga tidak menggunakan konsep pelaku karena seorang pelaku adalah seseorang yang menjadi
obyek pengamatan dalam suatu setting alam. Bekerja dengan Subyek dimulai dengan ide-ide yang ditetapkan sebelumnya;
bekerja dengan informan dimulai dari ketidaktahuan. Subyek tidak mendefinikan hal-hal penting yang harus ditemukan
oleh peneliti; informan mendefinikannya. Hal ini dapat dibaca dalam bukunya Spradley “Metode Etnografi” (terj), hal,
38-29, 1997.
141
tunggal dari subyek penelitian, tetapi perlu informasi yang jamak dari banyak sumber data,
dan didayagunakan untuk melengkapi, cross-check dan memahami peristiwa perceraian
dalam komunitas masyarakat sasak secara umum. Subyek penelitian adalah merekamereka yang mengalami secara langsung peristiwa Perseraian.Informan dan subyek
penelitian, dipilih melalui dua tahap. Pertama, akan dicari informan “typical group” yang
dianggap mengetahui dan memahami tentang peristiwa perceraian. Kelompok seperti ini
adalah tokoh adat, agama dan tokoh masyarakat. Pemilihan informan pada tahap ini
dilakukan secara purposif sampling maupun snow ball.
Pengumpulan data yang paling utama dipergunakan adalah observasi dan
wawancara. Observasi yang telah digunakan bersifat partisipasi moderat, dilakukan secara
fleksibel, sesekali berpartisipasi secara tengahan dan waktu lain secara pasif. Wawancara
dapat memungkinkan peneliti untuk dapat menggali apa-apa yang diketahui maupun yang
dialami oleh seseorang subyek yang diteliti, tetapi juga apa yang tersembunyi jauh di
dalam diri mereka (explicit knowledge maupun tacit knowledge). Kedua. dengan
wawancara peneliti dapat menanyakan kepada subyek dan informan hal-hal yang bersifat
lintas waktu yang berkaitan dengan masa lampau, masa sekarang dan juga masa
mendatang. Ketika wawancara berlangsung, peneliti berusaha untuk memahami local
knowledge, menggunakan sebanyak mungkin empathy, dan memahami sesuatu dengan
cara pemahaman setempat.
Setelah data dikumpulkan maka tahap selanjutnya ialah pengolahan data sehingga
dapat dilakukan analisis. Pengolahan data dimulai dengan melakukan klasifikasi data, dan
merumuskan kategori-kategori (kelas-kelas) yang terdiri dari gejala yang sama atau
dianggap sama. Dalam suatu klasifikasi peneliti membedakan antara masing-masingmasing kategori dan sub-kategori (Vredenbregt,1981). Atau oleh Muhadjir (1989) yaitu
dimulai dengan melakukan penyatuan dalam unit-unit, dengan berpegang pada dua prinsip
yaitu; heuristik dan dapat ditafsirkan tanpa informasi tambahan. Unit-unit terhimpun liwat
catatan hasil (observasi, wawancara, dokumen, rekaman, komentar peneliti dan lainnya),
dan kemudian kategorisasikan.
4.TEMUAN DAN PEMBAHASAN
1. Tradisi Perceraian
Faktor sosial budaya dapat dikatakan sebagai salah satu unsur penting yang dapat
memberikan pengaruh terhadap perilaku suatu masyarakat, betapa tidak karena secara
sosial bahwa habitus yang dipelajari secara turun-temurun dan disosialisasikan (dipelajari).
Demikian juga dengan perceraiansebagai impak dari struktur sosial yang ada dalam
masyarakat yang mendahului aktor (manusia) dapat memberikan drive pada munculnya
perilaku yang lain.Pada suku Sasak, ketika seorang seorang perempuan ingin bercerai
dengan suami maka di dalam masyarakat terdapat pranata tradisional yaitu ngerorot27.
Hasil penelitian menemukan bahwa ngerorot yang dilakukan oleh isteri
membentuk dua pola yang berbeda-beda. (1)ngerorot nenangin diriq, si isteri hanya
sekedar untuk mengingatkan suami agar mengadari kekeliruan dan sebagai sarana
27
Ngerorot secara umum dipahami isteri pergi meninggalkan rumah tampa pamit pada suami dan anggota keluarga lain, hal
ini dilakukan oleh isteri karena keberatan atau tidak senang terhadap kelakuan suami. Ngerorot juga dapat dikatakan
sebagai proses awal dari terjadinya perceraian karena dengan melakukan ngerorot dapat dipandang sebagai usaha
penghindaran diri dari hubungan dengan suami (avoidensi relationship) dan mempermudah terjadinya perceraian.
Ngerorot identik dengan cerai lari yang merupakan lawan dari konsep merariq ye memaling (kawin lari) yang merupakan
perilaku yang umum dilakukan oleh masyarakat Sasak apabila seseorang ingin melangsungkan perkawinan.
142
untuk menenangkan diri agar masing-masing pihak yang bertikai tidak terlibat pada
pertentangan yang membahayakan hubungan. (2)ngerorot yang dilakukan oleh isteri
sebagai isyarat bahwa isteri menginginkan perceraian (sasak. ngerorot kemeleq seang) dari
suaminya.
1) Ngerorot Nenangin Diri (ngerorot menenangkan diri)
Pola ini masih bersifat temporer, seorang isteri yang melakukan ngerorot masih
dihadapkan pada ambivalensi pilihan, yang dapat diibaratkan dua sisi mata uang yang sama
yang sulit dipisahkan satu dengan yang lain. Dalam perspektif teori konflik Simmel hal ini
terjadi karena masih adanya rasa cinta (loving) dan bercampur dengan perasaan benci
(hating) isteri terhadap suami. Ngerorot ini seorang isteri tidak atau belum sampai
memiliki niat untuk mengakhiri hubungan dengan suaminya (cerai), dan kemungkinan
untuk terjadinya harmonious relationship (kerukunan) masih terbuka luas bagi kedua
belah pihak.Pada pola ini (ngeorot nenengin diriq), pertentangan di antara suami dan isteri
belum mengarah pada terjadinya pembubaran atau perpisahan perkawinan (perceraian),
karena di antara mereka masih bisa ditemukan celah kompromi yang dapat
mempersatukan mereka kembali sebagai suami isteri.
Ngerorotnenangin
diriq
dilakukan sebagai usaha dari seorang isteri untuk meredakan ketegangan dan
pertentangan yang terjadi antara suami dan isteri atau bisa juga antara isteri dengan
keluarga dari pihak suami. Pola
ngerorot
ini dapat disebut sebagai suatu
circumvention (perilaku menghindari suatu keadaan dengan maksud mencapai tujuan lain
yang mungkin bertentangan).Pada momen ini biasanya seorang isteri akan pergi
meninggalkan rumah tanpa ada suatu restu dan izin dari suami dengan tujuan ingin
menyelamatkan rumah tangganya karena seorang isteri masih mencintai suami dan
keluarganya.
2) Ngerorot Kemeleq Seang(Ngerorot ingin bercerai)
Pola ngerorotkemeleq seangbersifat permanen.Hubungan duan (dyad) pada
tingkat mikro suami-isteri engalami krisi yang luar biasa yang ditandai oleh terjadinya
pertentangan atau konflik di antara suami dengan isteri. Apa yang dilakukan oleh
perempuan (isteri-isteri)
memberikan indikasi bahwa seorang isteri melakukan
penghindaran diri pulang ke rumah orang tua secara sembunyi-sembunyi menggunakan
kendaraan pranata ngerorot misalnya, dapat merupakan instrumen atau alat guna mencapai
tujuan-tujuan tertentu, walaupun oleh si isteri belum atau tidak dinyatakan secara nyata dan
terusterang dihadapan orang lain (suami atau keluarga). Artinya ngerorot yang dilakukan
oleh seorang isteri di mana ngerorotnya sendiri bukan menjadi tujuan, tetapi sebagai batu
loncatan untuk meraih tujuan yang lebih fungsional yang merupakan dambaan dari
subyek penelitian itu sendiri, misalnya si isteri tidak tahan lagi dengan perlakuan suami,
ingin bebas, ingin bercerai, atau bisa jadi dia ingin kawin lagi dengan laki-laki lain yang
lebih baik dan bertanggungjawab.
Pada pola ini isteri melakukan ngerorot dapat dianggap sebagai tindakan simbolis
bahwa seorang isteri tidak bisa lagi mempertahankan bahtera rumah tangganya dan secara
tidak langsung ia menginginkan perceraian dari suaminya. Ngerorot ini dilakukan karena
secara emosional seorang isteri tidak tahan lagi dengan tindakan dan situasi lingkungan
suami. Cara ini dilakukan karena dengan meninggalkan suami dan pulang ke rumah orang
tua, si suami dengan sesegera mungkin dapat menceraikannya. Artinya pertentangan yang
terjadi sudah akan mengarah pada terjadinya pembubaran perkawinan sebagai sebuah
institusi keluarga.
Pola ngerorot yang kedua ini biasanya si isteri tidak mau kembali lagi pulang ke
rumah suami, walaupun pada akhirnya nanti si isteri menerima resiko yang akan
143
mengakibatkan pada terajadinya family disorganization, yaitu suami akan menceraikan
(talak) isterinya. Pertentangan dan terjadinya ngerorot pada pola ini (ngerorot kemeleq
seang), di mana pihak-pihak (suami-isteri) kelihatannya tidak ada lagi kesamaan yang
dapat dipertemukan sehingga sebuah kompromi tidak dapat dicapai, dan masing-masing
dari mereka ( suami isteri) akan mencari jalan sendiri-sendiri sehingga perpisahan dan
pembubaran perkawinan tidak dapat terelakkan lagi (cerai). Ngerorot kemeleq seang
(ngerorot ingin bercerai) dipahami sebagai suatu tindakan simbolik dari seorang isteri
yaitu meninggalkan arena konflik (rumah suami) ke rumah orang tuanya, baik secara fisik
maupun psikogis untuk selama-lamanya (permanently). Tindakan ini berfungsi untuk
meminta cerai kepada suaminya karena dengan meninggalkan arena konflik si suami
dengan cepat dan mudah mengeluarkan kata-kata cerai yang sudah lama diharapkan oleh
seorang isteri.
Tradisi perceraian dalam konteks sosial budaya masyarakat suku Sasak, bahwa
suatu perceraian baru bisa terjadi kalau si suami sudah mengatakan kata-kata cerai (Sasak.
Seang), karena menurut pemahaman masyarakat sahnya suatu perceraian kalau si suami
sebagai laki-laki sudah mengikrarkan dengan lafal kata-kata cerai (sasak.seang). Kondisi
sosial masyarakat yang demikian menandai bahwa suatu perceraian berada di tangan lakilaki sebagai suami. Pemahaman ini muncul dari adanya penafsiran tekstual yang biasa
terjadi pada masyarakat yang didominasi oleh laki-laki (patriarki).Mereka mengatakan
kalau si suami belum mau melaflkan kata-kata cerai, sementara ngerorot si isteri sudah
berlangsung dalam jangka waktu yang lama, maka perceraian atau talak tidak bisa
dilakukan dan belum dianggap sah oleh masyarakat.
Pada tataran ini, dan akibat kesalahan di dalam menafsirkan ajaran-ajaran yang
dianut, maka ada pihak-pihak yang dirugikan, terutama pada kaum perempuan. Padahal
secara konseptual dan implementatif diakui oleh para intelektual muslim, bahwa
terputusnya tali ikatan perkawinan tidak semata-mata hak laki-laki (suami), tetapi juga
menjadi hak perempuan (isteri), baik dalam bentuk thalak al-tafwid, khulu’, dan fashak
(Jawad, 2002, Engineer, 2000).Dua pola perceraian tradisional suku sasak (ngerorot
nenangin diriq dan ngerorot kemeleq seang), terlihat suatu keberanian moral dari seorang
isteri untuk melakukan perlawanant. Hal ini dapat memberikan isyarat kepada kita bahwa
konflik atau pertentangan yang terjadi dalam hubungan intim di antara suami dengan isteri
telah memasuki nilai-nilai inti dari tujuan perkawinan itu sendiri. Meminjam istilah Coser,
hal ini dapat disebut dengan konflik fungsional negatif, yaitu suatu konflik yang sudah
memasuki wilayah atau ruang dan menyerang nilai-nilai dasar dari hubungan. Perkawinan
dengan tingkat keakraban dan keintiman dari mereka telah dirusak oleh adanya
pengingkaran dari nilai-nilai inti perkawinan seperti; suami berani pacaran dengan
perempuan lain, suami ingin kawin lagi, suami telah melakukan kekerasan terhadap isteri.
Problem ini dapat dikatakan sebagai pelanggaran terhadap komitmen perkawinan sebagai
institusi sosial di mana satu sama lain untuk dapat berbagi suka dan duka. Pada
pemahaman ini melahirkan proposisi “bahwa pertikaian yang ditimbulkan oleh adanya
pengingkaran nilai-nilai inti kesepakatan bersama dari hubungan perkawinan, maka
pertikaian itu akan menjadi keras sulit untuk terjadinya akomodasi”
2. Perlawanan Perempuan
Penelitian ini menemukan bahwa terjadinya perlawanan perempuandimasyarakat
suku sasak disebabkan oleh faktor: (a) adanya biadaban moral atau otoritas moral, (b)
adanya keharusan struktural atau Otoritas Struktural.
a) Otoritas Moral Perlawanan
144
Sebuah keluarga didirikan untuk menjadi alat manusia mencapai kesejahteraan,
kecintaan dan keadilan antara peran laki-laki (suami) dan apa yang diperankan oleh
perempuan (isteri). Namun pada kenyataannya justru berlawanan dengan keadaan
sebenarnya yang diinginkan oleh manusia. Keluarga sebagai institusi sosial menjadi sebuah
kekuatan yang besar dan kejam yang menindas hak-hak warganya, membelenggu
kemerdekaan dan merampas rasa keadilan. Bila demikian yang terjadi, yang perlu
dipertanyakan masih adakah kesetiaan dan kepatuhan pada lembaga ini (keluarga) yang
bisa dipertahankan. Kesetiaan yang diberikan oleh perempuan (isteri) kepada keluarga
terutama laki-laki (suami) dalam kondisi yang demikian, yang pada ujung-ujungnya akan
memupuk rasa kekecewaan dan putus asa, dan kemungkinan yang tersisa dalam jiwa
perempuan hanyalah sebuah hasrat untuk melawan dan melakukan pemberontokan,
walaupun hal itu masih terbungkus rapi dalam kesetiaan yang semu, pada akhirnya mereka
bisa melakukan perlawanan terbuka.
Fenomena ngerorot padaperceraian tradisional yang dilakukan perempuan Sasak
yang menggunakan institusi tradisional adalah lubang kecil yang paling bisa dipahami
(understandable), yaitu cara di mana perempuan (isteri) dapat mengurangi tekanan dari
institusi keluarga dibawa cengkeraman laki-laki (suami). Pada konteks ini terjadi
kolonisasi yang telah melakukan rasionalisasi dunia kehidupan dengan melakukan
pencerahan moral di bawah payung ijtihat legitimasi religius yang missogenis (membenci
perempuan) dan androsentris (memihak laki-laki), sehingga seakan-akan terjadi
pemaksaan sosial (social consraint) yang mendepersonalisasi manusia lain yaitu kaum
perempuan (Casado da Rocha A.L, 2002, Ritzer G dan Douglas J. G, 2004, Jawad A, 2002).
Kondisi ini telah menempatkan kaum perempuan di dalam keluarga yang
semuanya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan sosial, ekonomi, hukum dan
politik,disamping oleh kekuatan-kekuatan psikologi dan biologis yang mendorong
terbentuknya keluarga, kaum perempuan secara rutin merupakan bawahan dalam institusi
keluarga dan kemudian merupakan bawahan dalam dunia publik. Sekalipun kaum
perempuan tidak dapat mematuhi keinginan dari laki-laki (suami) tanpak pasif, sungkan,
dan diam, mereka dapat saja menolak kondisi yang mereka tidak sukai, melalui cara
penghindaran diri (evoidensi relationship), atau tidak mengindahkan segala apa yang
disuruh oleh suami-suami mereka. Bentuk penolakan dan ketidakpatuhan secara diam atau
terselubung dari eksploitasi kaum laki-laki (suami) adalah lebih umum dilakukan dari pada
secara terang-terangan. Walaupun kadang-kadang para perempuan akan bersedia
menanggung resiko dengan mengadakan konfrontasi langsung bila mereka menganggap
ketidakadilan tidak dapat lagi memenuhi aspek psikologis, kultural, dan moral.
Apa yang dilakukan oleh perempuan Sasak dengan ngerorotdan perlawanan dapat
dikatakan sebagai suatu penemuan sosial yang harus diakui dan dihargai karena
dengan melakukan perceraian dianggap sebagai bentuk pengamanan bagi ketegangan dan
konflik yang ditimbulkan oleh perkawinan itu sendiri dan juga menjadi simbol budaya
penolakan perempuan terhadap dominasi idiologi yang bias,
yang
hanya
menampilkanperempuan sebagai isteri, ibu rumah tangga yang patuh dan penurut serta
menerima apa adanya dari suami, yang di masyarakat kita fenomena ini cukup dikenal
dengan konsep ibuisme atau hausewifizatio28.
Dalam studi ini ditemukan beberapa indikator otoritas moral perlawanan
perempuan (isteri) yang mendorong terjadinya perceraiandengan mengambil ruang
28
Konsep ini telah digunakan oleh negara pada jaman orde baru dibawah payung program pemerintah seperti PKK, Darma
wanita dan Isteri sebagai pendamping suami, wanita sebagai tiang negara, sehngga seakan-akan melokalisasi peran dan
status perempuan di seputur kegiatan-kegiatan domestik sehingga membatasi peren dan status perempuan pada sektor lain.
145
konfrontasi yang terbuka, hal ini dilakukan karena: (1) hilangnya kewibawa kepala
keluarga (suami), suami tidak lagi memenuhi dan melakukan kewajiban-kewajiban moral
yang mendasar terhadap keluarga, seperti suami lari dari tanggungjawab untuk memenuhi
kebutuhan material dan isteri dibiarkan untuk menanggung bebannya sendiri tanpa ada
sokongan dari suami. (2) Isteri tidak lagi memperoleh atau gagal memenuhi kebutuhan
akan penghargaan dari suami, seperti tidak diperhatikan dan tidakadanya kasih sayang.
(3) tidakadanya distribusi sumber daya yang adil, sehingga isteri gagal memenuhi
kebutuhan akan rasa keadilan, karena suami tidak bisa menempatkan secara proporsional
antara keluarga (orang tua dan lain-lain) sebagai suatu relasi yang agak terpisah dengan
kehidupan isteri sebagai teman, kolega, dan tempat saling tukar menukar pengalaman suka
dan duka di dalam mengarungi bahtera kehidupan.
b) Otoritas Struktural Perlawanan
Otoritas struktural memandang bahwa ketidakpatuhan dalam masyarakat karena
adanya keharusan struktural yang akan menentukan semua tindakan, dan perilaku
individu. Dalam pengertian yang luas bahwa ada faktor ekternal yang dapar menimbulkan
terjadinya ketidakpatuhan seperti institusi-institusi sosial dan perangkat hukum yang ada
di dalam masyarakat. Oleh Smith bahwa apa yang terjadi pada berbagai jenis kehidupan
sehari-hari manusia dibentuk oleh struktur makro dan struktur makro ini dibentuk oleh
sejarah, kebutuhan ekomoni dan kebudayaan ( Ritzer dan Douglas J. Goodman, 2003).
Pada tataran empirik struktur sosial biasanya selalu memainkan perannya sebagai
a regulatory agency, semacam badan yang mengatur perilaku manusia dengan
menyiapkan prosedur yang memberi pola bagi perilaku manusia, dipaksakan untuk
berjalan di dalam alur- alur yang dianggap patut oleh masyarakat ( Berger, 1990).
Maka tidak mengherankan di dalam struktus sosial yang patriarkhi, bahwa
terjadinya ketidakadilan gender yang ditandai adanya relasi kuasa laki-laki yang dominan
terhadap perempuan, hubungan laki-laki dengan perempuan di dalam masyarakat adalah
hubungan politik, yaitu suatu hubungan yang didasarkan pada struktur kekuasaan, suatu
sistem masyarakat dimana satu kelompok manusia dikendalikan kelompok manusia lain
dan lembaga yang utama dari sistem patriarki adalah keluarga. Dalam keluarga seorang
laki-laki dianggap sebagai kepala rumah tangga, di dalam keluarga juga ia mengontrol
seksualitas, kerja atau produksi, reproduksi dan gerak perempuan. Terdapat hirarkhi lakilaki lebih tinggi dan berkuasa, perempuan lebih rendah dan dikuasai. Maka dengan
demikian akan memunculkan hirarki, subordinasi, dan diskriminasi.
Walaupun para perempuan melakukan usaha pengakuan tandingan (counterrecognition) tetapi karena struktur sosial sudah menjadi baku dan terinternalisasi atau
tertanam begitu lama, dan kuat, maka martabat manusia seperti kaum perempuan sangat
tergantung dari adanya suatu perijinan sosial dalam struktur makro yaitu masyarakat atau
oleh Berger (1994) disebut sebagai a matter of social permission. Sehingga pandangan
tentang dunia mereka sangat ditentukan secara sosial (word taken for granted ) bukan oleh
kehendak individu atau pribadi .
Pada studi ini bahwa hegemoni laki-laki (suami) terhadap perempuan (isteri) pada
masyarakat Sasak Lombok banyak menggunakan legitimasi religious29 dan adat untuk
melakukan pembenaran terhadap perbuatan mereka. Di dalam masyarakat misalnya
berkembang pemahaman yang diperoleh dari para tokoh agama, bahwa isteri maupun
suami tidak boleh mengatakan “seang” (cerai) pada pasangannya karena pada saat itu pula
29
Istilah legitmasi adalah semacam pengetahuan yang diobyektivasi secara sosial yang bertindak untuk menjelaskan dan
membenarkan tatanan sosial. Walaupun dalam pelegetimasian ini terjadi krisis toelogi, sehingga terjadi paradok
keterasingan religius yang seakan-akan justru terjadi proses dehumansisasi dan depersonafikasi dunia sosiokultural. Dapat
diperdalam dalam bukunya Berger “Langit Suci, Agama sebagai Realitas Sosial, hal, 34 dan 121, tahun, 1991.
146
talak sudah dijatuhkan. Kata ”seang” (cerai) seakan-akan memiliki nilai sakral dan tabu,
artinya kata ini tidak boleh diucapkan pada sebarang tempat, situasi dan kondisi, baik
serius maupun hanya sekedar main-main yang mengarah pada isteri-suami karena Tuhan
akan marah. Dan akan menjadi tabu karena kalau diucapkan akan berakibat dari terjadinya
perceraian.
Demikian juga halnya, di dalam masyarakat banyak yang menganggap bahwa
urusan keluarga adalah urusan suami yang walaupun dipukul tidak perlu dilaporkan
pada orang lain, karena suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah hak milik suami,
sementara di dalam ajaran-ajaran agama kalau si isteri melakukan nusyud (tidak patuh dan
membangkang) dibenarkan seorang suami untuk memberikan peringatan walaupun dengan
cara memukul. Perempuan (isteri) tidak berhak untuk menolak terhadap kata-kata cerai
dari suami, karena menurut mereka perceraian adalah hak suami dan perceraian bisa terjadi
kalau suami sudah menjatuhkan kata-kata cerai dan Tuhan akan meridoiNya. Banyak dari
mereka yang melakukan perkawinan dan perceraian syah hanya menurut agama walaupun
tidak dicatat secara formal dalam agenda negara.
Pada tataran ini di dalam masyarakat terjadi semacam
mysthical norm, yaitu
dengan memistifikasi norma-norma dan mengaburkan apa yang sesungguhnya terjadi
(Berger, 1985b). Dengan suatu harapan agar terjadinya culture expectation, yaitu harapan
budaya agar suatu kebudayaan yang ada di dalam masyarakat dimana kepada seluruh
anggota komunitas untuk bertingkah laku sesuai adat istiadat yang berlaku.
Menguaknya fenomena ngerorot pada institusi perkawinan di masyarakat Sasak
Lombok dapat dikatakan sebagai bentuk protes terbuka yang merupakan jawaban dari
tejadinya kebiadaban moral, problem ini muncul karena adanya ketidakadilan dan
penyimpangan dari komitmen kehidupan perkawinan. Institusi perkawinan tidak bisa lagi
menopang kewajiban-kewajiban moral, seperti suami berani pacaran (sasak. Midang), dan
melakukan perkawinan lagi. Struktu sosial yang tidak memberikan kebebasan perempuan
(isteri) untuk melakukan sesuatu sesuai kehendak, dan tidak memihak kepada perempuan,
kuatnya kungkungan adat, tradisi serta tidak adanya proteksi sosial yang dapat menjamin
keberlangsungan hidup keluarga.
Kegagalan pada dua dimensi ini (otoritas moral dan otoritas struktural) akan
dapat menimbulkan kekecewaan-kekecewaan
dan terjadinya keberangan moral
(tidakpatuh dan protes terbuka) dengan mengambil ruang “avoidensi relationship
(penghindaran diri), atau melakukan ngerorot/seang. Walaupun pada posisi ini perempuan
akan mendapatkan konsekuensi yaitu terjadinya divorce (perceraian) dari suami-suami
mereka. Untuk sementara posisi ini kemungkinan dapat memberikan keuntungkan
perempuan (istri) dari subyek pelaku (rejim moral), karena mereka dapat keluar dari lilitan
perkawinan yang penuh dengan kebohongan dan kecurangan. Dan ketika mereka keluar
dan berhadapan dengan institusi masyarakat, di sana mereka telah ditunggu oleh status
dan stigma sosial yang hanya memandang mereka secara one side issue (satu sisi) entitas
atau keberadaan mereka.
Status janda dengan bebagai anekdot dan pelabelan di dalam masyarakat yang
lebih banyak memposisikan mereka secara negatif dan terpinggirkan (marginalisasi)
seperti; janda Malaysia (jamal), dan janda Arab (jarab), janda lokal (jalok), bahkan ada
yang mengatakan sebagai penggoda suami-suami orang30.
30
Istilah yang diberi singkatan Jamal ( janda Malaysia) atau Jarab ( janda Arab) merupakan istilah yang sering kali
menjadi bahan tertawaan bagi kebayakan laki-laki ataupun perempuan yang tidak atau merasa terusik pada kehadiran
mereka di tengah-tengah masyarakat Konsep ini menandai bahwa menjadi atau kehidupan janda-janda sering merupakan
korban yang selalu dipersalahkan (blaming the victim), sebagai korban, mereka selalu dikonotasikan sebagai perempuan
“genit” dan “binal”, sehingga dianggap sebagai salah satu warga masyarakat yang harus dikontrol, serta peran dan status
mereka selalu berada pada posisi yang dimarginalkan di antara kelompok-kelompok perempuan lain, dan segala aktivitas
147
Kondisi peremuan (isteri) seperti ini dapat diibaratkan hanya mereka bermain
di dalam lingkaran setan kehidupan yang tiada berakhir. Karena mereka (laki-laki)
telah menggunakan struktur sosial (budaya, adat dan kemungkinan juga agama) setempat
untuk melakukan pembenaran sebagai sarana yang ampuh untuk melakukan dominasi
kepada para perempuan (isteri), yang walaupun mereka tetap penolak yaitu dengan
melakukan ngerorot, sebagai bentuk resistensi terhadap transkrip publik atau formal 31
meskipun apa yang dilakukan oleh kaum perempuan (isteri) di dalam masyarakat suku
Sasak masih bersifat lokal, spontan, dan sporadis.
5.KESIMPULAN
Hasil studi ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Tradisi Perceraian
Studi ini menyimpulkan bahwa tradisi perceraian pada masyarakat suku
Sasak dilakukan melalui pranata sosial yaitu ngerorot. Proses ini membentuk dua
pola perceraian: (1), ngerorot nenangin diriq (ngerorot untuk menenangkan diri).
Pola ini dipahami sebagai upaya dari seorang isteri untuk melakukan penarikan
diri (withdrawing) pulang ke rumah orang tua secara sembunyi-sembunyi, yang
merupakan tindakan simbolik yaitu meninggalkan situasi atau arena pertentangan
baik secara fisik maupun psikologis untuk sementara waktu (temporarily), yang
berfungsi untuk menghindari pertentangan yang lebih keras yang bisa
membahayakan kedua belah pihak terutama isteri. Berguna untuk mengakhiri
pertikaian sambil melakukan perenungan terhadap kekeliruan masing-masing,
sehingga dapat melakukan menyesuaikan diri untuk menghadapi babak baru
kehidupan rumah tangga.(2), pola ngerorotngerorot kemeleq seang (ngerorot ingin
bercerai). Seorang melakukanya dapat menjadi simbol bahwa isteri karena tidak
tahan lagi dengan kondisi kehidupan keluarga, dan ngerorot sebagai salah satu cara yang
terbaik untuk melepaskan diri dari ikatan kontrak perkawinan yang tidak
menyenangkan.Pada pola ini, bahwa pertentangan dan ngerorotnya isteri sudah mengarah
pada terjadinya pembubaran perkawinan (cerai), di sini terjadi pertentangan yang keras,
isteri tidak hanya melawan tetapi juga memberontak, sehingga di antara mereka tidak ada
lagi kesamaan untuk terjadinya sebuah kompromi. Pola ini dipahami oleh mereka sebagai
suatu tindakan simbolik dari seorang isteri yaitu meninggalkan arena pertentangan (rumah
suami) ke rumah orang tuanya, baik secara fisik maupun psikogis untuk selama-lamanya
(permanently). Tindakan ini berfungsi untuk meminta cerai kepada suaminya karena
dengan meninggalkan arena pertentangan si suami dengan cepat dan langsung
mengeluarkan kata-kata cerai yang kemungkinan sudah lama ditunggu-tunggu dan
diharapkan oleh seorang isteri.
2. Perlawanan Perempuan
mereka banyak yang tidak diperhitungkan ( Abdul Haris, Mobilitas Angkatan Kerja Wanita Indonesia ke Luar Negeri.
Dalam Dalam buku “ Sangkan Paran Gender” , Irwan Abdullah (ed), 2003, hal, 177. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
31
Transkrip formal atau dapat juga disebut publik transkrip, yaitu semacam interaksi terbuka antara kelompok subordinat
dan kelompok yang mensubordinasi, tidak hanya perkataan akan tetapi juga tindakan ataupun tingkah laku. Antonim dari
taranskrip faormal adalah transkrip tersembunyi atau hiddin transcript, yang berarti tindakan, perkataan, maupun praktek
yang dapat berupa gosif, desas-desus dan lain-lain. Pembahasan yang mendalam tentang hal ini dapat ditelusuri dari dasil
penelitian Siti Kusujiarti yang berjudul: Antara Idiologi dan Transkrip Tersembunyi: Dinamika Hubungan Gender dalam
Masyarakat Jawa. Dalam buku “ Sangkan Paran Gender” , Irwan Abdullah (ed), 2003, hal,89. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
148
Studi ini menemukan bahwa perlawanan perempuan terhadap suami di dalam
ikatan perkawinan karena di dalam keluarga (hubungan suami-isteri) tidak terpenuhi
kewajiban-kewajiban moral yang mendasar dan tidak adanya distribusi yang adil terhadap
sumber daya dalam keluarga. Seperti suami lari dari tanggungjawab untuk memenuhi
kebutuhan, dan isteri dibiarkan sendiri untuk menanggung beban sendiri. Isteri tidak lagi
memperoleh akan pengahargaan dari suami, dan suami tidak bisa menempatkan secara
proporsional antara isteri sebagai teman, mitra dan kolega, dengan orang tua atau keluarga
lain, yang sebenarnya bisa dipisahkan secara hitam-putih dari kehidupan sebagai sepasang
suami-isteri. Beberapa faktor ini akan memicu terjadinya pertentangan dan ngerorotnya
isteri.
Selain itu bahwa perlawanan perempuan (isteri) dapat juga terjadi karenastruktur
sosial yang ada di dalam masyarakat bertindak berlebihan sebagai a regulator agensi
untuk melakukan regulasi terhadap tingkah laku perempuan (isteri), sehingga martabat
mereka sangat tergantung dari adanya perijinan sosial atau a matter of social permission.
Ngerorot yang dilakukan oleh perempuan (isteri) paling tidak untuk mensiasati dominasi
dari laki-laki (suami), walaupun mereka tidak melakukan secara kelompok dan tidak
pula digerakkan di dalam bingkai wadah tertentu yang dapat memberikan dan
menimbulkan kesadaran
pada perempuan-perempuan (isteri) yang lain yang
tersubordinasi.
6.DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan (ed), 2003. Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Amin,dkk, 1997. Adat Istiada Daerah Nusa Tenggara Barat. Jakarta: Eka Darma.
Beauvoir De, Simone, 1999. SecondSex (terj). Pustaka Promethea
Berger L, Peter, dan Thomas Luckmann, 1990. Tafsir Sosial Atas Kenyataan (terj). Jakarta:
LP3ES.
Berger L. Peter, 1994. Langit Suci, Agama Sebagai Realitas Sosial (terj). Jakarta: LP3ES
Bhasin, Kamla, 1996. Menggugat Patriarki(terj). Yogyakarta: Bentang.
Budiman,Arief, 1982.Pembagian Kerja Secara Seksual, Sebuah Pembahasan Sosiologis
tentang Peran Wanita di dalam Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia.
Camara, Helder Dom, 2000. Spiral Kekerasan (terj). Yogyakarta: Insist & Pustaka Pelajar.
Engineer, Ali, Asghar, 2000.Hak-hak Perempuan dalam Islam (terj). Yogyakarta: LSPPA.
Fromm, Erich, 2000. Akar Kekerasan, Analisis Sosio-Psikologi atas Watak Manusia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Goode, J, William, 1991. Sosiologi Keluarga (terj). Jakarta: Bina Aksara.
Hendarti M, Ignatia,2000. “Kekerasan Simbolik: Protes Terselubung dalam Cerita Fiksi
Populer Wanita indonesia”. Dalam Jurnal RENAI, Edisi oktober 2000-Maret
2001, tahun I, No. 1. Salatiga: Pustaka Percik.
Hikam, A.S, Muh, 1999. “Perlawanan Sosial: Telaah Teoritis dan Beberapa Studi Kasus”.
Prisma, no, 8, thn XIX. Jakarta: LP3ES.
Karin,Erna, 1999. “Pendekatan Perceraian dari Perspektif Sosiologi”.T.O.Ihromi (peny),
Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Yakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Mernissi, Fatima, 1999.,Peran Pemberontakan Wanita Intelektual Kaum Wanita dalam
Sejarah Muslim(terj). Bandung: Mizan.
Moore,L. Henrietta, 1998. Feminisme dan Antropologi (terj). Jakarta: Obor.
Muhadjir, Noeng, 1989. Metode Penelitian Kualitatif, Telaah Positivistik, Rasionalistik
dan Phenomenologi. Yogyakarta: Rake sarasen.
Nakamura, Hisako, 1990. Perceraian dalam Masyarakat Jawa. Yogyakarta: Gajah Mada
press.
149
Jawad A, Haifaa, 2002. Otentisitas Hak-hak Perempuan, Perspektif Islam Atas Kesetaraan
Jender (terj). Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
Johnson P, Doyle, 1988. Teori Sosiologi Klasik dan Modern, jilid 1 dan 2 (terj). Jakarta:
Gramedia.
Ramulyo, Idris M, 1999. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Ritzer, G dan Douglas J, Goodman, 2004.Teori-Teori Sosiologi Modern (terj). Jakarta:
Prenada Media.
Saadawi, El Nawal, 2001. Perempuan dalam Budaya Patriarki
(terj). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Saxson, Lloyd, 1985. The Individual, Marriage, and the Family. California: Wadsworth
Publishing Campany.
Simon, Roger, 2000. Gagasan-Gagasan Politik Gramsci (terj). Yogyakarta: Insist &
Pustaka Pelajar.
Syafruddin, Sumardi l dan Sukardi, 2009. Pengembangan Model Pendidikan keluarga
Melalui kelompok Muslimat NW sebagau Upaya Mencegah terjadinya
Perceraian Pada masyarakat Sasak Lombok. Mataram: laporan penelitian
Lemlit Unrama
Spradley, P.James, 1997. Metode Etnografi (terj).Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sushartami, Wiwik, 2002. “Perempuan Lanjang: Meretas Identitas di Luar Ikatan
Perkawinan”. Dalam Jurnal Perempuan, Nomor 22, 2002. Jakarta: Yayasan
Jurnal Perempuan.
Strauss, Amselm and Juliet Corbin, 1997. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, prosedur,
Teknik, dan Teori Grounded (terj). Surabaya: Bina Ilmu.
Vrendenbregt, J, 1981. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.
150
BERAS DAN GERAKAN SOLIDARITAS SOSIAL PEREMPUAN DALAM
TRADISI NYAMBUNG DITENGAH MONETISASI PEDESAAN
Dr. Soetji Lestari, M.Si.¹; Dr. Ign. Suksmadi Sutoyo, M.Si.²; Drs. Jarot Santoso, M.S.³;
Drs. Tri Sugiarto, M.Si.⁴; Dr. Joko Santoso, M.Si.⁵; Drs. Nalfaridas Baharudin, M.Hum.⁶;
Dra. Rin Rostikawati, M.Si.⁷
¹Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jenderal Soedirman –
Purwokerto
Email: [email protected],
²Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UniversitasJenderal Soedirman –
Purwokerto,
Email:[email protected]
³Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jenderal Soedirman –
Purwokerto
Email:[email protected]
⁴Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jenderal Soedirman –
Purwokerto
Email: [email protected]
⁵Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jenderal Soedirman –
Purwokerto
Email: [email protected]
⁶Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jenderal Soedirman –
Purwokerto
Email: [email protected],
⁷Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jenderal Soedirman –
Purwokerto,
Email: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan memetakan nilai-nilai sosial ekonomi
dalam beras; dan bertahannya beras sebagai media gerakan solidaritas sosial perempuan
dalam tradisi nyumbang di tengah intensifnya monetisasi pedesaan.Dari hasil penelitian
ini diharapkan akan dapat dipetakan akar gerakan solidaritas sosial perempuan desa.
Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan mengambil lokasi di
pedesaan Jawa di Kabupaten Banyumas Provinsi Jawa Tengah. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa beras masih menjadi bahan sumbangan yang utama bagi perempuan
desa. Bagi perempuan desa, beras lebih memiliki nilai guna dan nilai tukar dibanding
uang. Solidaritas sosial yang ditunjukkan melalui beras dalam tradisi nyumbang lebih
merepresentasikan bagaimana prinsip-prinsip resiprositas harus ditegakkan mengingat
ada mekanisme kontrolnya. Sebagai nilai guna, beras lebih bermakna daripada uang. Hal
ini karena beras langsung berguna sebagai jamuan pokok tamu hajatan maupun untuk
membayar jasa tenaga yang membantu acara hajatan. Sementara beras sebagai nilai tukar
(ekonomi) lebih memiliki nilai kepastiandan memiliki nilai equivalensi yang ”tepat”
sebagai alat resiprositassumbang-menyumbang; serta memiliki nilai jual kembali yang
tinggi dan cepat dibanding komoditas pangan untuk sumbangan yang lain. Fenomena ini
memperlihatkan bahwa gerakan solidaritas sosial perempuan desamemiliki rasionalitas
151
sosial dan ekonomi secara bersamaan. Pertimbangan untung rugi secara sosial dan
ekonomi sebagai dasar tindakan.
Kata Kunci: Perempuan, Pedesaan, Solidaritas Sosial, Beras, Tradisi Nyumbang
Abstract
This study aims to identify and map the socio-economic values in rice; and the
persistence of rice as a medium for women’s social solidarity movement in the tradition of
gift giving amidst the intensification of rural monetization. From the results of this study
are expected for mapping roots social solidarity movements among village women. The
research method used a qualitative approach, took place in rural Java in Banyumas
regency, Central Java province. The result showed that rice is still the main ingredient for
donation by rural women. Rural women consider that the rice has a used value and
exchange value than money. Social solidarity shown by the rice in a tradition representing
how the principles of reciprocity must be upheld based on control mechanism. Rice is more
meaningful than money because the rice use for dish of food offered the quests or to pay
for services that help for celebration event. The rice has a precise and equivalence value
for donation as social exchange tradition. The rise has high resale value and faster than
donation of food commodities for others donation. This phenomenon shows that the rural
women’s social solidarity movement based on both which social and economic rationality.
Benefit considerations are socially and economically as a basis for action.
Keywords:Women, Rural, Social Solidarity, Rice, Tradition Of Gift Giving
1.PENDAHULUAN
Nyumbang (gift giving) dalam tradisi hajatan merupakan pranata sosial sekaligus
simbol ikatan sosial masyarakat desa yang penting, yang memiliki fungsi resiprositas
dengan cara saling memberi dan saling tolong menolong sekaligus menggambarkan
dinamika interaksi komunitas warga desa.Nyumbang adalah konsep lokal Jawa yang
merupakan konsep pemberian atau gift giving.Pada prinsipnya pemberian adalah konsep
yang bersifat universal dalam berbagai masyarakat di berbagai belahan dunia, sejak jaman
kuno hingga jaman modern sekarang ini. Letak perbedaan ada pada objek pemberian yang
bervariasi antar budaya dan antar waktu. Banyak peristiwa-peristiwa penting yang
diciptakan masyarakat yang menjadi media untuk saling memberi, saling menerima, dan
saling membalas sehingga terjalin ikatan dan interaksi sosial antar warga masyarakat.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Durkheim, bahwa faham tentang pertukaran yang
sepadan untuk saling memberi, menerima dan membalas ini merupakan satu prinsip moral
umum yang terdapat pada semua kebudayaan (Scott 1981).
Dalam budaya Barat misalnya, dikenal dengan hadiah yang diberikan pada saat
pernikahan, kelahiran, pemakaman, pesta ulang tahun, hari Natal,Santa Claus, Hari
Valentine, Hari Ibu dan Hari Ayah, ujian, promosi jabatan, pindah rumah, menyambut atau
pesta perpisahan. Orang juga memberikan sesuatu ketika diundang untuk makan dengan
orang lain, atau ketika mengunjungi seorang teman yang sakit, memberi kepadapengemis,
ke gereja, juga untuk amal (Komter 2007). Menurut Belshaw (1981) bahwa kesempatan
untuk pemberian hadiah semakin meluas dan masih akan meluas lagi, seperti misalnya
acara thanksgiving day (hari Selasa terakhir bulan November), Tahun Baru, Valentine Day
(14 Februari), serta diperkirakan Halloween (31 Oktober)juga menjadi peristiwa sejenis.
Sementara pada masyarakat kuno seperti di Samoa misalnya, sistem dari pemberianpemberian hadiah tidak hanya terbatas dalam hal perkawinan, tetapi juga muncul pada
152
peristiwa-peristiwa kelahiran bayi, sunatan, sakit, anak perempuan menginjak pubertas,
upacara penguburan orang mati, dan perdagangan (Mauss 1992).
Di Indonesia, peristiwa-peristiwa yang muncul dalam tradisi memberi hadiah
(tradisi nyumbang) juga tidak jauh berbeda, hajatan yang bersifat suka (seperti perkawinan,
khitanan, kelahiran, ulang tahun, dan lain sebagainya) dan peristiwa yang bersifat duka
(kematian dan segala ritual yang mengiringi, sakit, dan musibah-musibah lainnya
(Kutanegara, 2002; Lestari, 2010; Lestari, 2014). Peristiwa-peristiwa tersebut sangat
bervariasi antar budaya dalam pelaksanaan tradisinya. Namun istilah tradisi nyumbang
umumnya diidentikkan dengan kegiatan hajatan besar (perkawinan dan khitanan) yang
melibatkan masyarakat (undangan/tamu) yang banyak dan istilah tersebut berkonotasi
untuk masyarakat pedesaan. Di Madura, istilah tradisi nyumbang dikenal dengan nama de’nyande’, sementara di sebagian wilayah Jawa Timur ada istilah mbecek atau buwuh,
jagongadalah istilah lain untuk tradisi nyumbang di Jawa Tengah, dan gantangan adalah
istilah untuk tradisi nyumbang di Subang Jawa Barat (Prasetyo, 2012).
Di masa lalu, nyumbang dalam sejarah masyarakat pedesaan yang masih
didominasi oleh sistem ekonomi subsisten ditandai dengan hasil-hasil produk pertanian
dan produk rumah tangga, termasuk juga hasil ternak seperti telor, daging ayam maupun
daging sapi ataupun daging kambing, maupun hasil sayuran-sayuran dalam pekarangan
rumah. Sementara produksi (industri) rumah tangga, khususnya yang dikerjakan oleh
perempuan, adalah seperti jenang, jadah, criping pisang, dan lain sebagainya hampir semua
bahan dasarnya sebagian besar merupakan produksi dari hasil pertanian sendiri. Banyak
makanan-makanan khas buatan masyarakat desa yang dijumpai dalam tradisi nyumbang di
pedesaan.
Menurut Kutanegara (2002) tradisi nyumbang di pedesaan Jawa pada saat ini telah
mengalami perkembangan yang cukup pesat. Perubahan sosial ekonomi pedesaan telah
mengakibatkan terjadinya perubahan dalam bentuk dan jenis benda yang disumbangkan.
Pada saat perekonomian pedesaan didominasi oleh sistem ekonomi subsisten, yang
diperkirakan terjadi sampai empat puluh tahun yang lalu (tahun 1970an), jenis-jenis barang
yang disumbangkan untuk acara pernikahan atau supitan adalah bahan-bahan kebutuhan
seperti beras, tiwul, kelapa, tempe, teh, gula dan sebagainya. Namun seiring dengan
perkembangan ekonomi pasar, pengeluaran yang harus ditanggung rumah tangga desa ini
semakin berat. Kalau sebelumnya nyumbang dapat menggunakan produk pertanian, namun
sekarang lebih banyak menggunakan uang tunai. Dengan demikian setiap warga desa
membutuhkan lebih banyak uang dalam rangka memenuhi kebutuhan di luar konsumsi
harian, ini menyebabkan uang lebih penting dalam setiap transaksi sosial (Husken dan
White 1989: Abdullah 1990; Darini 2011). Sistem ekonomi pasar (uang) yang ada juga ikut
berpengaruh terhadap pranata-pranata sosial di pedesaan, termasuk dalam hal tradisi
nyumbang. Pada saat ini masyarakat sudah terbiasa menyumbang uang untuk hajatan
termasuk di wilayah-wilayah pedesaan.
Namun di tengah monetisasi yang sangat intensif berlangsung di pedesaan, hasil
penelitian yang dilakukan Lestari (1999; 2010, 2014, dan 2015) menunjukkan bahwa
perempuan di wilayah pedesaan Kabupaten Banyumas masih bertahan dengan beras
sebagai bentuk sumbangan utama pada kegiatan hajatan. Bukan hanya bertahan dalam
bentuk berasnya, namun juga dalam hal besarannya yakni sekitar 2,5 kg beras. Solidaritas
sosial yang ditunjukkan perempuan desa melalui sumbangan beras ini perlu dipahami
dalam konteks perubahan sosial yang terjadi di pedesaan, terutama dari sistem ekonomi
subsisten menuju sistem ekonomi pasar. Berbagai studi tentang tradisi nyumbang di
pedesaan yang dilakukan oleh Hefner (1983), Djawahir (1999), Kutanegara (2002),
Prasetiyo (2003), Lestari (2010; 2014),
Prasetyo (2012), dan Sutoyo (2015)
memperlihatkan bahwa beras merupakan media resiprositas yang penting dalam pranata
153
sosial tradisi nyumbang di pedesaan. Bentuk gotong royong dan solidaritas sosial dalam
tradisi nyumbang ditunjukkan melalui sumbangan beras. Beras menjadi alat tukar sosial
yang penting dalam transaksi sosial ekonomi pedesaan. Namun demikian studi-studi
tersebut umumnya tidak memberikan porsi secara khusus bagaimana hubungan beras dan
gender dalam tradisi nyumbang.
Dalam tulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan memetakan nilai-nilai
sosial ekonomi dalam beras; dan bertahannya beras sebagai media gerakan solidaritas
sosial perempuan dalam tradisi nyumbang di tengah intensifnya monetisasi pedesaan. Dari
hasil penelitian ini diharapkan akan dapat dipetakan akar gerakan solidaritas sosial
perempuan desa.
2.TINJAUAN PUSTAKA
Altruism, giving, pro-social conduct, and reciprocity are the basis of the existence
and performance of societies, through their various occurrences: in families;
among the diverse motives of the political and public sectors; as the general
respect and moral conduct which permit life in society and exchanges; for
remedying “failures” of markets and organizations (which they sometimes also
create); and in charity and specific organizations (Kolm, 2006)
1. Tradisi Nyumbang dalam Teori Pertukaran Sosial
Salah satu dasar hubungan sosial kerjasama adalah gift giving ataupun saling tukar
hadiahyang dipelihara melalui nilai-nilaialtruism, giving, pro-social conduct dan
reciprocity. Molm (2010) mengidenfikasi pentingnya resiprositas antara lain dari:
Hobhouse (1906) yang menyebut sistem resiprositas merupakan prinsip-prinsip yang
penting dalam masyarakat, sementara menurut Simmel (1950) bahwa keseimbangan dan
kohesi sosial tidak bisa ada tanpa ada sistem resiprositas, sedangkan menurut Becker
manusia adalah spesies “homo reciprocus”. Menurut Belshaw (1981), untuk memahami
sistem ekonomi suatu masyarakat yang mengkaitkan dengan analisa budaya dan sosial,
maka tidak ada jalan lebih baik daripada memulainya dengan kelembagaan tukar-menukar.
Sebagai lembaga tersendiri, tukar menukar telah menerobos seluruh bangunan sosial dan
dapat dipandang sebagai tali pengikat masyarakat. Dari sini akan terlihat bagaimana
sekelompok masyarakat saling tolong menolong, bergotong royong, saling memberi dan
memanfaatkan berbagai jasa yang ada. Tradisi tukar menukar hadiah adalah tradisi yang
bersifat universal, lintas bangsa, lintas etnis, juga lintas kelas. Tradisi tukar hadiah juga
tumbuh subur di tengah masyarakat desa yang miskin sekalipun.
Sudah sejak dalam masyarakat primitif kuno, relasi sosial dan interaksi antarwarga
berlangsung hangat dan dekat satu sama lain melalui sistem tukar menukar pemberian yang
melibatkan kelompok-kelompok dan masyarakat secara keseluruhan. Proses saling
memberi mengandung pengertian yang mengharuskan si penerima untuk melakukan
pengembalian pemberian yang lebih dari apa yang diterimanya. Selain itu tradisi tukar
menukar hadiah juga mencerminkan adanya persaingan dan kedudukan dan kehormatan
dari pihak-pihak yang bersangkutan. Ini karena dalam pemberian juga ada motif-motif
kompetisi, persaingan, pamer, dan keinginan untuk menjadi agung dan kaya. Solidaritas
sosial dapat tercapai melalui proses-proses dinamik ini (Belshaw 1981; Mauss 1992;
Komter 2005; Molm 2010). Dengan demikian sistem tukar-menukar hadiah ini merupakan
penggerak terwujudnya dinamika dalam masyarakat karena dilandasi oleh prinsip
persaingan dalam solidaritas yang menyeluruh (Mauss 1992), atau sebagaimana yang
dikatakan oleh Kolm (2006) sistem tukar menukar merupakan basis keberadaan
masyarakat.
154
Teori hadiah adalah teori solidaritas sosial dengan fokus utamanya adalah
bagaimana cara ikatan sosial tetap bertahan dan terpelihara (Komter 2007; Molm 2010)
yang juga menjadi ranah dari ketertiban sosial (istilah Parsons). Karena itu teori ini banyak
menjadi ranah studi Antropologi dan Sosiologi. Tradisi pemikiran antropologi dan
sosiologi mengenai hadiah dan resiprositas telah dilakukan oleh Mauss, Malinowski,
Simmel, Sahlins, Gouldner dan Strauss (Komter 2005) maupun oleh Belshaw (1981).
Sementara di satu sisi, tradisi sosiologi dalam mengembangkan teori solidaritas dan social
order merupakan bagian kerja dari Durkheim, Weber dan Parsons. Namun demikian
sebagaimana yang dikatakan oleh Belshaw (1981) pikiran-pikiran ekonomi, antropologi
dan sosiologi merupakan disiplin ilmu yang berada dalam satu sistem, termasuk oleh
pemikir yang lebih awal, Durkheim, menurut Collins (1994) tidak memisahkan antara
sosiologi dan antropologi. Selanjutnya bagaimana kemudian konsep pemberian ini
dipahami dalam perspektif dalam sosiologi. Di sini yang perlu dipahami adalah bahwa
warisan intelektual yang berpuncak pada teori-teori pertukaran modern sangat beragam.
Teori pertukaran sosial selama ini ada dalam ranah keragaman disiplin ilmu. Warisan apa
yang menggolongkan keragaman ini seringkali memiliki kaitan yang tidak jelas antara para
ahli teori pertukaran kontemporer dengan para pendahulu mereka. Lagi pula, teori-teori
pertukaran saat ini tampaknya merupakan percampuran yang tidak spesifik antara ekonomi
utilitarian, antropologi fungsional, sosiologi, dan psikologi perilaku. Sebagai hasilnya,
mengusut akar dari teori pertukaran, menurut Turner (1998), adalah suatu usaha yang
berwawasan luas dan tidak pasti.
Konsep resiprositas merupakan konsep sentral bagi teori pertukaran sosial,
terutama sebagaimana yang dikembangkan oleh Homans dan Gouldner (Poloma 2000).
Menurut Poloma yang perlu diingat adalah bahwa tidak ada suatu teori tunggal tentang
pertukaran sosial, melainkan ada beberapa teori berdasarkan fenomena-fenomena
pengharapan timbal balik yang masing-masing berakar sangat dalam pada pada asumsiasumsi yang sedikit berbeda tentang hakikat manusia, masyarakat dan ilmu-ilmu sosial.
Walaupun terdapat perbedaan dasar dalam pandangan, tetapi teori-teori pertukaran sosial
juga memiliki beberapa asumsi yang sama mengenai hakekat interaksi sosial, yang utama
dan paling sederhana adalah bahwa interaksi sosial itu mirip dengan transaksi ekonomi:
orang menyediakan atau memberikan barang atau jasa dan sebagai imbalannya juga
berharap memperoleh barang atau jasa. Pertukaran sosial tidak selalu dapat diukur dengan
nilai uang, dalam berbagai transaksi sosial yang dipertukarkan adalah hal-hal yang nyata
dan tidak nyata.
Meskipun ada beragam teori pertukaran sosial, namun mengingat konsep tradisi
nyumbang dalam penelitian ini banyak mengacu pada konsep pemberian (gift-giving) dari
teori pertukaran sosial Mauss, maka mendasarkan pada pemetaan tradisi sosiologi dari
Collins (1994), tradisi nyumbang merupakan tradisi Durkheimian. Apalagi selama ini
tradisi nyumbang banyak dikaji dari sisi sosiologi dan antropologi sosial. Dalam pandangan
Durkheim, tidak terdapat perbedaan yang berarti antara sosiologi dan antropologi sosial.
Dalam hal ini terdapat dua sayap dari tradisi Durkheimian, yakni pandangan makro dan
pandangan mikro (macroemphasis dan microemphasis). Yang dianggap sebagai ahli
sosiologi makro adalah Montesqueiu, Comte dan Spencer. Sementara yang berada pada
sayap mikro antara lain adalah keponakannya sendiri yaitu Mauss. Sayap yang
berpandangan mikro yang lebih dekat dengan antropologi sosial, yang memberikan
tekanan pada mekanisme ritual-ritual sosial kelompok yang menghasilkan solidaritas.
Durkheim sendiri selain berada pada sayap mikro ketika mengemukakan teori ritual, juga
berada pada sayap makro ketika mengemukakan teori pembagian kerja dan struktur sosial.
Durkheim juga mencoba untuk merajut level makro dan mikro secara bersamaan melalui
teori pertukaran dan mengembangkannya bersama Mauss dan Strauss. Dengan kata lain
155
teori jaringan pertukaran ritual adalah merupakan keterkaitan antara level makro dan
mikro.
Basis awal pertukaran sosial adalah konsep resiprositas yang muncul jauh sebelum
masyarakat mengenal pasar uang, sehingga resiprositas juga ada berbagai tipe sejalan
dengan perkembangan beragam karakter masyarakat. Menurut Sahlins (1972) terdapat tiga
tipe relasi resiprokal yang terdapat dalam masyarakat. Yang pertama adalah generalized
reciprocity (resiprositas umum) atau pertukaran yang dikenal sebagai pemberian secara
umum tanpa harapan untuk mendapatkan balasan. Transaksi yang berlangsung dalam tipe
ini dikenal berlandaskan semangat altruisme. Karenanya, dalam kategori pertukaran ini
dapat dimasukkan berbagai relasi pertukaran seperti ‘pure gift’ (pemberian hadiah],
'sharing' (berbagi perasaan maupun material], 'hospitality' (keramah-tamahan seseorang
kepada orang lain). Kategori atau tipe pertukaran kedua adalah balanced reciprocity
(resiprositas sebanding) yang menunjuk pada kegiatan pertukaran secara langsung.
Kategori pertukaran langsung tersebut setipe dengan mutual-reciprocal dalam
konseptualisasi Levi-Strauss. Terjadi pertukaran yang seimbang antara dua pihak yang
bertransaksi (tanpa delay) sebagaimana tampak pada 'paymet’' (pembayaran), 'buying and
selling' (jual beli), ‘gift-exchange’ (tukar-menukar kado). Tipe pertukaran yang ketiga
disebut sebagai negative reciprocitv (resiprositas negatif) yaitu sebuah upaya mengambil
sesuatu (manfaat atau keuntungan) oleh pihak pertama yang (kemudian) menyisakan
kerugian di pihak kedua yang telah memberikan sesuatu kepada pihak pertama. Dalam
kategori pertukaran yang timpang ini adalah berbagai bentuk perampokan, perampasan
(appropriation, fraud, stealing). Selain itu juga perjudian dan korupsi termasuk dalam
kategori ini. Tipe pertukaran ekonomi yang terakhir ini seringkali bertanggung jawab atas
apa yang disebut sebagai 'criminal economy' (Dharmawan 2007).
Analisis Kutanegara (2002) mengenai pola sumbang-menyumbang di perdesaan
Jawa menunjukkan adanya pergeseran dari generalized reciprocity menuju direct
reciprocity yang sedang berlangsung secara intensif di masyarakat ini. Perubahan bentuk
sumbangan dan cakupan wilayah sumbangan yang semakin menyempit menunjukkan
bahwa proses transformasi sosial telah terjadi di perdesaan Jawa. Proses ini memang seiring
dengan proses transformasi ekonomi yang terjadi sejak awal Orde Baru. Sebenamya trend
penurunan intensitas timbal-balik sudah kelihatan cukup lama. Kartodirdjo (1987)
menyatakan bahwa berbagai kegiatan resiprositas yang berkembang di perdesaan Jawa
telah mengalami perubahan. Hal itu tampak dari semakin rendahnya tingkat partisipasi
masyarakat dalam melakukan praktik gotong-royong dan berkurangnya jenis-jenis gotongroyong dalam masyarakat. Penyebab berkurangnya praktik gotong-royong adalah semakin
besarnya pengaruh ekonomi uang ke perdesaan. Ketergantungan masyarakat dengan uang
untuk memenuhi kebutuhan harian menyebabkan berbagai pertukaran jasa yang berkaitan
dengan kegiatan produksi diselenggarakan dengan memakai alat tukar berupa uang.
Gotong-royong yang masih hidup di desa adalah gotong-royong di luar kegiatan ekonomi,
misalnya peristiwa penyelenggaraan pesta perkawinan, sunatan, dan upacara kematian.
Sementara itu Molm (2010) memberikan perhatian bagaimana struktur dalam
resiprositas. Walaupun Blau (1964) dan Simmel (1950) memberikan perhatian pada faktor
struktur untuk teori-teori pertukaran, tetapi menurut Molm (2010) adalah Emerson (1972b)
yang benar-benar merubah pendekatan teori pertukaran dari studi aktor beralih
mempelajari bagaimana struktur mengatur pertukaran. Melalui studi struktur jaringan
pertukaran, Emerson melakukan analisis dari level mikro ke makro. Dua dimensi dalam
teori struktur jaringan Emerson adalah “kekuasaan” dan “ketergantungan” Emerson
mendefinisikan “kekuasaan”sebagai “ongkos potensial yang ditujukan seorang aktor agar
‘diterima dan dibayar’ orang lain”, sedangkan “ketergantungan” adalah “ongkos potensial
yang akan diterima dan dibayar seorang aktor dalam suatu hubungan” (Ritzer 2008).
156
Sementara menurut Molm (2010), struktur jaringan menggambarkan bagaimana aktor dan
relasi-relasi pertukaran langsung terhubung satu sama lain. Struktur resiprositas
menggambarkan bagaimana perilaku pertukaran aktor dan pertukaran manfaat terhubung
satu sama lain. Ada dua kuncidimensi struktur yang mendasari dan membedakanberbagai
bentuk pertukaran: pertama, apakahmanfaat dapat mengalir hanya secara sepihak atau
bilateralantar aktor; kedua, apakah manfaat yang dibalas secara langsung atau tidak
langsung. Keduanya dapat dibedakan antara tiga dimensi utamabentuk pertukaran sosial:
pertukaran langsung yang dinegosiasi, pertukaran timbal balik langsung, dan tidak
langsungatau pertukaran umum.
Pemetaan yang dilakukan oleh Molm tersebut pada dasarnya tidak jauh berbeda
dengan apa yang sudah dipetakan oleh Sahlins (1972) sebagaimana sudah disinggung
di atas. Mengingat dalam direct reciprocity, barang atau jasa yang dipertukarkan
sebanding, nilai pertukarannya cenderung bersifat kelompok-kelompok terikat oleh
solidaritas sosial yang kuat sehingga merupakan satu unit yang utuh, karena itu nilai
pertukarannya banyak bersifat simbolik (Molm 2007). Nilai-nilai ekspresif bisa dalam
bentuk solidaritas sosial, kepercayaan, ikatan afektif yang semuanya bermanfaat dalam
mengembangkan modal sosial.
2. Gender dan Pertukaran Sosial
Dalam studi-studi antropologi klasik mengenai pemberian, perempuan
digambarkan sebagai obyek pertukaran hadiah, bukan sebagai subjek atau aktor,
sebagaimana yang digambarkan Strauss (Komter 2005). Ketidakjelasan perempuan
sebagai aktor otonom dalam pertukaran hadiah sebagai tandahirarki dominasi pria atas
perempuan. Menurut pendapat Marilyn Strathern (1988 ) dalam The Gender dan The Gift,
bagaimanapun, interpretasi ini bias oleh prasangka Barat. Di Melanesia tidak ada hubungan
permanen dominasi ada di antara pria dan perempuan. Sebaliknya, perempuandan laki-laki
merupakan alternatif subjek atau objek untuk satu sama lain dalam upaya mereka untuk
menciptakan dan mempertahankan hubungan sosial dengan cara pertukaran hadiah.
Peranan perempuan dalam pertukaran hadiah pada masyarakat Barat belum banyak
menjadi fokus penelitian. Dari studi yang masih terbatas memerlihatkan bahwa perempuan
merupakan pemberi yang lebih banyak dari laki-laki tetapi juga perempuan sebagai
penerima yang lebih besar (Komter, 2005).Mengapa perempuan merupakan pemberi dan
penerima terbesar? Padahal pada dasarnya seperti sudah diungkap di atas, perempuandan
laki-laki merupakan alternatif subjek atau objek untuk satu sama lain dalam upaya mereka
untuk menciptakan dan mempertahankan hubungan sosial dengan cara pertukaran hadiah.
Demikian pula motiv kasih sayang, rasa hormat, atau rasa terima kasih, juga manipulasi,
menyanjung, atau perhatian pribadi merupakan motif yang umum untuk bisa memberikan
yang tentu saja,ini berlaku untuk kedua jenis kelamin. Yang menjadi persoalan adalah
bahwa laki-laki dan perempuan memiliki sumber daya yang berbeda. Dalam pemberian
hadiah ini, perempuan terjebak dalam paradoks mendasar. Di satu sisi, pertukaran hadiah
mereka dapat dianggap sebagai sarana yang kuat untuk menegaskan identitas sosial untuk
menciptakan dan memelihara hubungan sosial. Di sisi lain, mengingat tidak setara
kekuasaan mereka sosial dan ekonomi dibandingkan dengan pria, wanita menanggung
risiko kehilangan identitas mereka sendiri dengan memberikan banyak kepada orang lain.
Dalam tindakan memberi, perempuan secara bersamaan menciptakan kesempatan untuk
menyimpan atau memperoleh kekuasaan, dan membuat diri mereka rentan terhadap
hilangnya kekuasaan dan otonomi. Ide Weiner tentang "keeping-while-giving" - bertukar
sesuatu untuk menjaga - adalah ilustrasi sempurna tentang ketegangan paradoks perempuan
memberikan hadiah yakni untuk mengatasi ancaman kehilangan (otonomi), mereka
memberikan hadiah secara berlimpah. Sebagai konsekuensi dari pemberian berlimpah
157
mereka menghadapi ancaman kehilangan otonomi mereka (Komter 2005). Perbedaan
gender dalam pemberian hadiah menggambarkan peran penting perempuan dalam
menciptakan semen sosial masyarakat. Meskipun banyak bentuk solidaritas, namun gender
tidak sama sekali disentuh.Walaupun emansipasi mereka yang meningkat, perempuan
masih memiliki pangsa terbesar dalam perawatan informal. Dalam kasus ini solidaritas
adalah jelas berhubungan dengan gender.
Dalam kerangka inilah pentingnya kajian gender dan pertukaran hadiah. Bagi
perempuan desa, nyumbang penting untuk memelihara hubungan sosial sekaligus perlu
strategi nafkah untuk memelihara hubungan tersebut dan untuk memenuhi kebutuhan
ekonomi rumah tangga. Gender adalah isu yang sentral dalam melihat strategi nafkah di
perdesaan. Gender adalah bagian yang integral dan bagian yang tak terpisahkan dalam
strategi nafkah di perdesaan. Hal ini karena laki-laki dan perempuan memiliki aset, akses
dan kesempatan yang berbeda. Seperti misalnya perempuan jarang memiliki tanah sendiri
(Ellis 1999). Namun demikian rendahnya akses perempuan ke bidang pertanian, justru
membuka kesempatan bagi perempuan untuk bekerja di sektor non-farm. Pekerjaan ini
bahkan dianggap menguntungkan bagi rumah tangga dan bagi perempuan itu sendiri.
Pekerjaan pertanian sangat tergantung musim, sementara pekerjaan non-farm memberikan
jaminan untuk kebutuhan sehari-hari walaupun jumlahnya relatif kecil, yang penting
mereka memiliki uang tunai (Abdullah 2001). Implikasinya kebutuhan harian dan sosial
menjadi tanggung jawab perempuan.
Intensifikasi pertanian telah banyak menggiring perempuan ke sektor
perdagangan, khususnya perdagangan kecil (informal). Meskipun terdapat pandangan yang
negatif dari masyarakat Jawa terhadap profesi pedagang sebagai pandangan yang
diwariskan oleh kalangan priyayi Jawa dan muncul sejak awal masuknya perdagangan
dalam perekonomian Indonesia, khususnya ke Jawa, keterlibatan perempuan dalam dunia
perdagangan di desa tidak terpengaruh oleh penilaian negatif tersebut (Abdullah 2001). Ini
dimungkinkan dengan pertimbangan bahwa dengan berdagang, perempuan memiliki uang
tunai yang lebih teratur dibanding profesi petani yang penghasilannya tergantung musim.
Keteraturan perempuan dalam memiliki uang tunai menyebabkan banyak kebutuhan harian
yang menjadi tanggung jawab perempuan, termasuk untuk kebutuhan nyumbang.
Menurut Kutanegara (2002), tradisi nyumbang bagi rumah tangga miskin menjadi
beban yang sangat memberatkan kehidupan mereka. Banyak aset rumah tangga seperti
ternak dan barang-barang lainnya yang harus dijual untuk memenuhi kewajiban sosial ini.
Sementara untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari mereka terpaksa hidup sangat
sederhana. Perempuan sebagai pengelola ekonomi rumah tangga adalah pihak yang paling
merasakan beban berat tersebut. Hasil penelitian Djawahir (1999) menunjukkan bahwa
dalam semua pranata nyumbang selalu melibatkan pihak perempuan, sementara laki-laki
sangat terbatas keterlibatannya. Selama ini secara sosial budaya, posisi dan peranan
perempuan ditempatkan pada bidang-bidang yang bersifat domestik (urusan rumah tangga)
dan ekspresif (menjaga keharmonisan sosial), sebagaimana yang sudah dilabelkan oleh
masyarakat.
3.METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan metode kualitatif dan mengambil setting
lokasi sub budaya Jawa Banyumasan (yang diwakili desa-desa di Kabupaten Banyumas
Jawa Tengah)Subyek penelitian adalah perempuan/ibu rumah tangga (miskin) dari
berbagai latar belakang pekerjaan, terutama buruh pabrik bulu mata dan pekerja rumah
tangga (PRT). Pengumpulan data dilakukan melalui Focus Group Discussion (FGD),
wawancara mendalam dan observasi dengan terlibat dalam kegiatan tradisi nyumbang.
158
Dalam penelitian ini, proses analisis data dilakukan menggunakan analisis deskriptif
kualitatif.
Dalam menyebut istilah Banyumas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Setidaknya ada empat (4) pengertian untuk istilah Banyumas, yakni sebagai eks
karesidenan, sebagai wilayah administrasi Kabupaten, sebagai wilayah administrasi
kecamatan dan sebagai salah satu sub budaya Jawa yang dikenal dengan istilah budaya
Banyumasan. Dalam studi ini istilah Banyumas lebih mengacu pada istilah budaya, sebagai
salah satu varian budaya atau sub budaya Jawa yang terletak di bagian barat kebudayaan
Jawa; dan Kabupaten Banyumas sebagai salah satu sampel lokasi penelitian. Keberadaan
wilayah Banyumas yang terletak di belahan barat selatan Provinsi Jawa Tengah ini hidup
dalam suasana dua budaya kuat, Sunda dan Jawa. Lokasi Banyumas yang jauh dari ibukota
atau pusat kebudayaan Jawa (Keraton) menyebabkan masyarakat di daerah Banyumas
memiliki keleluasaan mengekspresikan dalam budayanya yang khas. Mereka juga
memiliki kesempatan untuk berkomunikasi dengan budaya Sunda di daerah perbatasan
(Priyadi 2002). Istilah untuk keberadaan Banyumas yang jauh dari pusat kekuasaan
(keraton) ini adalah adoh ratu, cedhak watu, yakni jauh dari keraton dan lebih dekat dengan
batu atau alam pedesaan (Marwah, 2013).
4.TEMUAN DAN PEMBAHASAN
1. Peta Sosial Beras dalam Pranata Tradisi Nyumbang di Banyumas
Dalam kultur masyarakat pedesaan di Banyumas, nyumbang dalam tradisi hajatan
(khususnya perkawinan dan khitanan) adalah pranata resiprositas yang memiliki dimensi
gender. Ini artinya ada pembagian kerja secara terpisah untuk laki-laki dan perempuan
dalam memberikan sumbangan, laki-laki menyumbang uang dan perempuan menyumbang
bahan pangan. Sumbangan bahan pangan dari perempuan masih dapat dibedakan lagi
yaitu: pertama beras saja; dan yang kedua adalah non beras dan beras atau tanpa beras.
Beras adalah sumbangan perempuan dari masyarakat umum dalam lingkup satu desa,
sedangkan sumbangan non beras(ditambah beras atau tanpa beras) berasal para tetangga
dan kerabat dekat. Sejak dulu sampai sekarang besaran sumbangan beras yang berlaku
umum dalam masyarakat desa Banyumas adalah 2,5 kg. Tempat sumbangan beras pun
umumnya dalam bentuk yang sama, yakni tas plastik kotak. Untuk membedakan agar tidak
terjadi kekeliruan dalam pengambilan tas ini, tas diberi nama pemiliknya. Bagi sebagian
kalangan juga menilai bahwa pemberian nama pada tempat beras tersebut juga berfungsi
sebagai legalitas sosial, bahwa seseorang telah diketahui dan diakui sudah ikut
menyumbang (Lihat gambar 1). Tas ini juga dapat disebut sebagai tas resiprositas, karena
setelah selesai menyumbang hajatan, pada saat pamit pulang tas ini akan diisi bingkisan
balasan nyumbang. Hal ini mengacu pada teori resiprositas dari Mauss (1992), yakni bahwa
terkandung tiga kewajiban dalam teori pertukaran dari Mauss. Pertama, memberi hadiah
(nyumbang) sebagai langkah pertama menjalin hubungan sosial. Kedua, menerima hadiah
bermakna sebagai penerimaan ikatan sosial. Ketiga, membalas dengan memberi hadiah
dengan nilai yang lebih tinggi menunjukkan integritas sosial (Koentjaraningrat 1980).
Besaran sumbangan beras 2-2,5 kg sebagai sumbangan yang berlaku umum dari
warga desa perempuan di Banyumas ini relatif kecil dibanding sumbangan-sumbangan
beras dari desa pada wilayah lain. Hasil penelitian Kutanegara (2002) di wilayah pedesaan
di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menunjukkan sumbangan untuk tetangga dan
kerabat jauh berkisar antara 5-7 kg beras, sedangkan untuk tetangga dan kerabat dekat
sekitar 10-20 kg beras. Dalam masa krisis, naiknya harga berbagai kebutuhan pokok di
Indonesia telah mengakibatkan perubahan dalam ukuran besarnya sumbangan. Beras yang
semula berharga sekitar Rp. 800 perkilogram telah naik menjadi Rp 2.500, sehingga jikalau
159
mereka tetap menyumbang beras, akan terasa memberatkan. Oleh karena itulah, pada masa
krisis 1998 yang lalu bentuk sumbangan telah bergeser dari beras menjadi uang. Ketika
terjadi pergeseran bentuk sumbangan, kriteria setempat (umume) menyepakati sumbangan
kepada tetangga jauh dan kerabat jauh berkisar antara Rp. 10.000,00 – Rp 15.000,00,
sedangkan untuk kerabat dekat antara Rp. 30.000,00 – Rp. 50.000,00, tergantung pada
intensitas hubungan dan kondisi ekonomi mereka.Hal ini setidaknya memperlihatkan
bahwa secara ekonomi, Banyumas memiliki tingkat kesejahteraan yang relatif lebih
rendah.
Gambar 1. Tas NyumbangBeras : Tas Resiprositas (Tas Memberi Menerima dan
Membalas)
Khas Banyumas
Dengan demikian diferensiasi sumbangan, yakni yang menyangkut jenis/bentuk,
dan besar kecilnya sumbangan ditentukan oleh dua hal, yakni jenis kelamin dan ikatan
kekerabatan. Sumbangan uang laki-laki bagi sebagian warga desa dianggap singgetatau
simpel (sederhana), tidak pusing memikirkan jenis sumbangannya. Sementara untuk bahan
sumbangan perempuan, terutama untuk tetangga dan kerabat dekat dianggap njlimet,
karena tidak cukup hanya beras melainkan bahan-bahan pangan lainnya. Bukan hanya
njlimet dalam memikirkan bentuk sumbangan, namun juga njlimet dalam mencari sumber
penghasilan untuk nyumbang. Sistem hutang adalah hal biasa bagi perempuan desa. Bagi
mereka lebih baik hutang daripada tidak hadir nyumbang.
Uang dan beras memiliki nilaiyang berbeda bagi orang desa. Uang bukan hanya
sebagai alat tukar, beras jugabukan hanya sebagai bahan pangan pokok, melainkan
keduanya telah menjadiinstrumen untuk menjamin keberlanjutan hubungan sosial di
pedesaan. Uangdan beras yang dicatat dalam buku catatan gantangan adalah simbol
yangmengikat hubungan antar individu maupun antar keluarga. Uang dan berastidak hanya
dilihat dari jumlah dan nilainya, melainkan juga dilihat sebagaisebuah “komitmen moral”
untuk saling membantu dan menepati janji satusama lain di pedesaan. Kesediaan
menyimpan sejumlah uang dan beras tersebut menunjukkan tingkat kepercayaan (trust)
seseorang kepada orang lainnya.Kesediaan membayar kembali sejumlah uang dan beras
yang pernahditerimanya juga menunjukkan tanggung jawab seseorang kepada warga
(Prasetyo, 2012).
2. Bertahannya Sumbangan Beras dalam Monetisasi Desa
Bentuk sumbangan desa pada awalnya memiliki nilai fungsional secara langsung
untuk keperluan hajatan. Ketika dunia industri semakin berkembang bentuk sumbangan
juga mulai berubah mengikuti ekonomi pasar, banyak makanan rumah tangga sudah
tergantikan oleh produksi pasar. Demikian pula ketika sistem ekonomi uang telah
160
mendominasi kehidupan “pasar’ desa, nyumbang seperti transaksi ekonomi, ibarat orang
membeli makan di sebuah warung makan. Ciri utama dari ekonomi pasar adalah
penggunaan uang sebagai sarana transaksi dan orientasi tindakan ke arah profit dari para
pelaku ekonomi (Nugroho 2001).
Menurut Simmel (Blikololong 2010), pertukaran ekonomi merupakan bentuk
interaksi sosial. Ketika transaksi moneter menggantikan barter, terjadi perubahan
menyolok pada bentuk-bentuk interaksi antara para aktor sosial. Uang dapat dibagi-bagi
dan dimanipulasi secara presis, dan memungkinkan pengukuran yang eksak untuk
ekuivalennya. Uang bersifat impersonal, berbeda dengan benda-benda yang dibarter seperti
gong dan kerang. Uang mendorong kalkulasi rasional dalam kehidupan manusia dan
meningkatkan rasionalisasi yang menjadi ciri masyarakat modern. Manakala uang menjadi
penghubung utama antarmanusia, ia menggantikan ikatan personal yang berakar dalam
perasaan yang meluas dengan relasi impersonal yang mempunyai tujuan spesifik.
Akibatnya, kalkulasi abstrak merasuk ke bidang-bidang kehidupan sosial seperti hubungan
kekerabatan atau bidang estetika yang sebelumnya menjadi domain penilaian kualitatif.
Dengan kata lain, uang adalah mesin utama yang meretas jalan dari Gemeinschaft ke
Gesellschaft. Karena uang, spirit kalkulasi dan abstraksi modern mengalahkan pandangan
dunia lama yang memberikan tempat utama bagi perasaan dan imajinasi. Dampak dari
monetisasi juga terasa pada aspek sosial budaya. Penggunaan uang telah memudahkan
orang untuk mengekspresikan rasa simpati, dan juga kontribusi sosial dalam pengertian
jumlah dan menjadi lebih obyektif (Nugroho 2001). Pada awalnya simpati hanya bisa
diartikulasikan dalam bentuk subyektif tetapi kemudian dengan monetisasi membawa
pengaruh pada obyektifikasi ekspresi simpati.
Beras sampai saat ini merupakan alat resiprositas yang vital dalam tradisi nyumbang
di perdesaan Jawa.Di perdesaan Banyumas, sumbangan beras ini berlaku untuk semua
aktifitas nyumbang kecuali untuk tilik bayi. Beras menggambarkan kebutuhan pokok
masyarakat desa yang paling mendasar. Beras dengan demikian di samping sebagai
kebutuhan pokok konsumsi masyarakat desa, juga berfungsi sebagai kebutuhan pokok bagi
rumah tangga desa (perempuan) untuk nyumbang. Beras juga menjadi simbol sosial untuk
menilai besar tidak sebuah hajatan yakni melalui banyaknya pengeluaran beras (karena
banyak tamu) dan banyaknya sumbangan beras. Sebagaimana dikatakan oleh Kutanegara
(2002), di wilayah desa Bantul DIY, ada tiga hal yang dipakai sebagai patokan untuk
menilai besar kecilnya hajatan. Kriteria pertama adalah dengan mengukur jumlah beras
yang dihabiskan. Semakin banyak beras yang dihabiskan, semakin besar acara itu. Kedua,
cakupan dan banyaknya tamu yang datang. Bila tamunya banyak dan sebagian besar
berasal dari luar wilayah, mereka menyebutnya hajatan besar. Ketiga adalah dengan
melihat di pemilik acara apakah menerima atau tidak sumbangan dari tetangga atau orang
lain. Jika ”nompo sumbangan”/menerima sumbangan, berarti hajatan itu termasuk besar.
Demikian pula masyarakat Tengger Jawa Timur dalam mencatat nilai sumbangan
juga disetarakan dengan nilai kilogram beras, yang kemudian hal ini dijadikan dasar untuk
membalas besarnya sumbangan ke pihak penyumbang apabila kelak mengundang hajatan
(Hefner, 1983). Selanjutnya di Subang Jawa Barat, pertukaran sosial di desa disebut dengan
gantangan yang secara harafiah artinya adalah sebuah satuan ukur dengan nilai 1 gantang
sama dengan 10 liter beras. Pada prakteknya gantangan adalah pertukaran beras dan uang
yang dilakukan antar tetangga/kenalan kepada bapak hajat (penyelenggara hajatan)
sebelum atau ketika pesta hajatan berlangsung yang bersifat sebagai simpanan tamu hajat
yang kelak harus dikembalikan oleh bapak hajat (Prasetyo, 2012). Nilai gantangan tersebut
minimal sebesar setengah gantang (5 liter). Dengan demikian beras merupakan media
penting untuk sistem resiprositas bagi banyak masyarakat desa khususnya dalam tradisi
161
nyumbang. Atau dengan kata lain beras merupakan alat tukar yang berkeadilan bagi warga
desa (perempuan) dibanding dengan uang.
Di Banyumas, alasan lain penggunaan sumbangan beras adalah karena beras
merupakan kebutuhan pangan pokok warga desa jadi beras selalu tersedia setiap saat. Hal
ini terutama bagi para rumah tangga petani pemilik. Umumnya mereka memiliki
persediaan beras baik itu untuk konsumsi sendiri maupun untuk keperluan nyumbang.
Bahkan menurut penuturan warga, kebutuhan beras untuk nyumbang jauh lebih banyak
dibanding untuk konsumsi pangan rumah tangga.
Pada kenyataannya, saat ini tidak semua warga desa bisa menghasilkan beras
sendiri. Kelompok ini jumlahnya jauh lebih besar. Sebagian besar subyek dalam penelitian
ini bukan merupakan rumah tangga petani (pemilik). Banyak di antara mereka sebagai
penerima bantuan raskin (beras miskin). Beras raskin ini banyak diburu oleh perempuan
untuk nyumbang yang harganya lebih murah Rp. 1000 dibanding beras umumnya. Beras
ini kemudian dikenal dengan nama beras sumbang, karena putarannya dari nyumbang ke
nyumbang. Beras ini dibeli warga perempuan untuk nyumbang yang kemudian dijual
kembali oleh pemilik hajatan ke warung dan dibeli lagi oleh warga untuk nyumbang, begitu
seterusnya. Menurut penuturan warga kalau punya hajat pada tanggal muda, biasanya beras
yang diterima sebagian besar merupakan beras sembako (raskin) karena pembagian raskin
umumnya pada tanggal muda.
Ada banyak kalkulasi/perhitungan sosial yang dipertimbangkan oleh perempuan
untuk tidak beralih dari beras ke uang sebagaimana terlihat dalam Tabel 1 di bawah.
Perhitungan sosial perempuan ini didasarkan pada banyak aspek, antara realitas dan
tuntutan ekonomi pasar (uang), norma serta kebutuhan akan eksistensi diri yang
menyangkut pengakuan sosial. Kalau sebelumnya nyumbang dapat menggunakan produk
pertanian, namun sekarang dengan sistem ekonomi pasar, nyumbang lebih banyak
menggunakan uang tunai, baik secara langsung maupun tidak langsung. Laki-laki
menyumbang uang secara langsung, sementara perempuan yang menyumbang bahan
pangan tidak lagi dapat dipenuhi secara subsisten melainkan harus diperoleh melalui
ekonomi pasar. Hal ini terutama perempuan dari rumah tangga miskin yang tidak lagi
bekerja di sawah dan tidak memiliki lahan pertanian. Dengan demikian setiap warga desa
membutuhkan lebih banyak uang dalam rangka memenuhi kebutuhan di luar konsumsi
harian, ini menyebabkan uang lebih penting dalam setiap transaksi sosial (Husken dan
White 1989: Abdullah 1990; Darini 2011).
Perkembangan semacam ini menyebabkan ketergantungan orang desa terhadap
uang semakin besar dan meluas. Ekonomi subsisten kehilangan kekuatan di dalam
memenuhi kebutuhan masyarakat desa. Dalam hal ini perempuan tampak sebagai pihak
yang paling bertanggung jawab atas perubahan-perubahan yang terjadi, karena secara
sosial budaya, perempuan adalah pengatur ekonomi rumah tangga. Sementara dalam
transaksi sosial seperti tradisi nyumbang, perempuan merupakan aktor sosial penting yang
banyak mengambil peran (Geertz 1983; Stoller 1984; Abdullah 2001; Djawahir 1999; dan
Lestari 2010 ). Keterbatasan uang tunai yang dimiliki perempuan menyebabkan
ketergantungan mereka pada warung desa cukup tinggi dalam rangka untuk memenuhi
kebutuhan untuk nyumbang, dan dilakukan dengan cara berhutuang. Mereka tidak selalu
memiliki uang tunai, sehingga hutang membeli beras atau bahan sembako lainnya ke
warung adalah lebih memungkinkan daripada hutang uang ke tetangga. Sebaliknya warung
juga tidak akan laku kalau tidak dapat dihutangi.
Tabel 1 di bawah ini menggambarkan kalkulasi/perhitungan sosial perempuan desa
yang tidak dari beras atau bahan sembako/bahan pangan lainnya ke uang yang didasarkan
pada banyak aspek, antara realitas dan tuntutan ekonomi pasar (uang), norma serta
kebutuhan akan eksistensi diri yang menyangkut pengakuan sosial.
162
Tabel 1 Kalkulasi Sosial Perempuan Desa untuk Tidak Beralih dari Beras ke Uang
Dasar Rasionalitas/Kalkulasi
Faktor Penyebab
Keterangan
Sosial Ekonomi
1. Kalkulasi Ekonomi
1. Barang sudah tersedia Daripada harus menjual
(Rumah
tangga
petani beras, lebih baik langsung
pemilik)
menyumbang beras
2. Keterbatasan uang tunai Hutang beras ke warung
yang
dimiliki
(rumah desa lebih memungkinkan
tangga non petani)
daripada hutang uang ke
tetangga. Warung desa sulit
laku
apabila
tidak
menggunakan
sistem
hutang.
Beras sebagai kebutuhan
pokok relatif selalu tersedia
3. Memiliki alat tukar yang Nilai tukar uang lebih cepat
lebih tepat dibanding uang berubah
4. Memiliki nilai jual kembali Dibanding jenis komoditas
yang tinggi
lain, beras memiliki nilai
jual yang paling tinggi
5. Uang memiliki trust yang Beras disimpan dalam tas
rendah dibanding beras
sumbang sehingga legalitas
sosialnya lebih terkontrol
dibanding
uang
yang
disimpan dalam amplob
yang
memungkinkan
terjadinya manipulasi.
Kalkulasi Sosial
1. Manfaat langsung
Hidangan utama dalam
hajatan di desa adalah
makan besar (nasi).
Beras juga berfungsi untuk
membayar jasa tenaga yang
rewang (perempuan)
2. Kebiasaan/tradisi
Menurut
sebagian
perempuan mereka tidak
mantap
kalau
tidak
menjinjing tas.
Dengan semakin bergesernya rumah tangga petani ke non petani, beras semakin
mahal mereka jangkau, sementara nyumbang adalah kewajiban sosial yang tidak bisa
mereka tinggalkan, sehingga beras sumbang atau beras raskin menjadi alat legalitas sosial
yang sah untuk mewujudkan rasa solidaritas sosial mereka sebagai warga desa. Mereka
para perempuan dari rumah tangga miskin rela berebut beras sumbang demi bisa ikut
berpartisipasi dalam sistem resiprositas desa.
5.KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa beras masih menjadi
bahan sumbangan yang utama bagi perempuan desa. Bagi perempuan desa, beras lebih
memiliki nilai guna dan nilai tukar dibanding uang. Solidaritas sosial yang ditunjukkan
163
melalui beras dalam tradisi nyumbang lebih merepresentasikan bagaimana prinsip-prinsip
resiprositas harus ditegakkan mengingat ada mekanisme kontrolnya. Sebagai nilai guna,
beras lebih bermakna daripada uang. Hal ini karena beras langsung berguna sebagai jamuan
pokok tamu hajatan maupun untuk membayar jasa tenaga yang membantu acara hajatan.
Sementara beras sebagai nilai tukar (ekonomi) lebih memiliki nilai kepastian dan memiliki
nilai equivalensi yang ”tepat” sebagai alat resiprositas sumbang-menyumbang; serta
memiliki nilai jual kembali yang tinggi dan cepat dibanding komoditas pangan untuk jenis
sumbangan yang lain, sekalipun hal itu yang mereka gunakan adalah beras raskin, beras
yang tidak layak konsumsi.
Fenomena tersebut memperlihatkan bahwa gerakan solidaritas sosial perempuan
desa memiliki akar rasionalitas sosial dan ekonomi secara bersamaan, dimana
pertimbangan untung rugi secara sosial dan ekonomi sebagai dasar tindakan.
6.DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan, 1990. ”Perempuan ke Pasar: Studi tentang Perubahan Sosial Ekonomi
Pedesaan” dalam Buletin Penelitian dan Kebijaksanaan Kependudukan
POPULASI No. 1/Tahun 1990, Pusat Penelitian Kependudukan Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Abdullah, Irwan, 2001. Seks, Gender dan Reproduksi Kekuasaan, Tarawang Press,
Yogyakarta
Abdullah, Irwan, 2001. ”Teori dan Praktik Komunalisme: Krisis Ekonomi, Sumber Daya
Lokal dan Respon Sosial di Sriharjo, Yogyakarta” dalam Franz von BendaBeckman, Keebet von Benda-Beckman, Juliette Koning (Editor): Sumber Daya
Alam dan Jaminan Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Belshaw, Cyrill S., 1981. Tukar Menukar Tradisional dan Pasar Modern, PT Gramedia,
Jakarta.
Blikololong, Jacobus Belida, 2010. Du-Hope di Tengah Penetrasi Uang – Sebuah Kajian
Sosiologis Terhadap Sistem Barter di Lamalera, Nusa Tenggara Timur, Disertasi
Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Studi Sosiologi
Universitas Indonesia, Depok.
Damsar, 1998. Sosiologi Ekonomi, Rajawali Pers, Jakarta.
Damsar, 2009. Pengantar Sosiologi Ekonomi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta
Djawahir, Fatmah Siti, Soetji Lestari, Rawuh Edy Priyono, Edy Suyanto, 1999. Kajian
Sosial Ekonomi dan Budaya Terhadap Tradisi Nyumbang Pada Masyarakat
Pedesaan (Studi Mengenai Tradisi Nyumbang dan Dampaknya Terhadap
Kesejahteraan Keluarga di Desa-desa IDT di Kecamatan Sumbang Kabupaten
Banyumas – Laporan Penelitian, FISIP-UNSOED, Purwokerto
Hefner, R.W., 1983. The Problem of Preference: Economic and Ritual Change in
Highlands Java, Man, New Series Vol. 18/4
Koentjaraningrat, 1984. Masyarakat Desa di Indonesia. Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
Kolm, Serge-Christope and Jean Mercier Ythier (Ed.), 2006. Handbook of the Economics
of Giving, Altruism and Reciprocity, Volume 1, Elsevier B.V.
Komter, Aafke E., 2005. Social Solidarity and The Gift, Cambridge University Press, New
York
Komter, Aafke, 2007. “Gifts and Social Relations: The Mechanisms of Reciprocity” dalam
jurnal International Sociology January 2007 Vo. 22 (1), International Sosiology
Association – SAGE, London.
Kusujiarti, Siti, 1997. “Antara Ideologi dan Transkip Tersembunyi: Dinamika Hubungan
Gender dalam Masyarakat Jawa” dalam Irwan Abdullah, ed. Sangkan Paran
164
Gender, Pustaka Pelajar, Diterbitkan untuk Pusat Penelitian Kependudukan
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Kutanegara, Pande Made, 2002. ”Peran dan Makna Sumbangan dalam Masyarakat
Pedesaan” Buletin Penelitian dan Kebijakaan Kependudukan POPULASI Volume
13 Nomor 2 Tahun 2002, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan - Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Kutanegara, Pande Made, 2002. Sumbangan dan Solidaritas Sosial; Jerat Kultural
Masyarakat Pedesaan Jawa, Center for Population and Policy Studies Gadjah
Mada University, Yogyakarta.
Lestari, Soetji, dkk., 2010. Tradisi Nyumbang dan Feminisasi Kemiskinan (Mencari Pola
”Manajemen Nyumbang” yang Berbasis Lokal untuk Pemberdayaan Perempuan
Desa), Laporan Penelitian Hibah Bersaing DIKTI, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Lestari, Soetji, 2014. Posisi Perempuan dalam Tradisi Nyumbang di Pedesaan Jawa:
Potret Dinamika Monetisasi Desa, Disertasi, Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor
Marwah, Sofa. 2012. Representasi Politik Perempuan di Banyumas : Antara Kultur dan
Realitas Politik (Studi di Lembaga Legislatif Empat Kabupaten Periode 20092014), Disertasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Politik
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta.
Mauss, Marcel, 1992. Pemberian: Bentuk dan Fungsi Pertukaran di Masyarakat Kuno,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Nasikun, 1990. “Peningkatan Peranan Wanita dalam Pembangunan: Teori dan Implikasi”
dalam Buletin Penelitian dan Kebijaksanaan Kependudukan POPULASI 1 (1), PPK
UGM, Yogyakarta.
Nugroho, Heru, 2001. Uang, Rentenir dan Hutang Piutang di Jawa, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Prasetiyo, Ari, 2003. Tradisi Nyumbang dalam Masyarakat Desa Tamantirto – Suatu Studi
Tentang Sistem Pertukaran dalam Masyarakat Transisi – Tesis – Program
Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Sosiologi Universitas
Indonesia, Depok.
Prasetyo, Yanu Endar, 2012. Pertukaran Sosial di Pedesaan: Studi Kasus Komersialisasi
Gantangan di Tiga Desa Miskin Subang - Tesis – Program Studi Sosiologi
Pedesaan, Sekolah Pascasarjana, Instititut Pertanian Bogor.
GERAKAN SOSIAL UNTUK MEWUJUDKAN PERILAKU WANITA
PRO LINGKUNGAN: KASUS KABUT ASAP
Rizki Takriyanti
165
Rancangan Pengajian Gender, FSSS, University of Malaya
Email:[email protected]
Abstrak
Isu pokok dalam penyelidikan ini adalah menganalisis bagaimana tingkahlaku wanita
terhadap lingkungan dapat mewujudkan gerakan sosial di sebuah Kota. Penyelidikan ini
adalah penyelidikan kualitatif dan metodenya kes studi feminis. Teknik pengumpulan data
dilakukan temubual mendalam dan pengamatan terlibat. Hasil penyelidikan
menyimpulkan tiga perkara yakni hal-hal yang mendorong dan menjadi gerak kuasa
(catalyst) praktis lingkungan tingkahlaku wanita adalah pengetahuan, motif dan sikap.
Kedua tingkahlaku pro lingkungan wanita untuk mengatasi kabut asap, mereka
menghemat pemakaian Bahan bakar Minyak (BBM) dan elektrik, menanam pohon,
memilih rumah yang terdekat dengan kantot. Ketiga usaha yang dilakukan wanita untuk
lingkungan yang berkelanjutan adalah mengubah cara pandang tentang memperlakukan
lingkungan dan wanita sebagai objek yang tidak menganggu relasi dan peran laki-laki,
wanita dan lingkungan, supaya tidak ada lagi kerusakan lingkungan dan ketidakberdayaan
wanita sehingga dari tingkah laku yang pro lingkungan akan menjadi sebuah gerakan
sosial.Penyelidikan menyarankan agar semua pihak khususnya pemerintah perlu mengkaji
kembali paradigma pembangunan yang demokratis dan transparansi berperspektif
lingkungan sehingga memungkinkan kontrol penduduk dalam era otonomi ini
sepatutnyalah ada ruang untuk kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan.
Keywords: Gerakan, Sosial, Perilaku, Wanita, Lingkungan.
Abstract
Central issue in this research is to analyze how the womans behaviour towards the
environment can realize a social movement in a city.This research is a qualitative
investigation and case study methode feminimst. Data collection techniques and
observation dept interview involeent. The results of the investigation concluded three cases
of pushing and being practical power of the environmental movement behaviour of women
is knowledge, motiver and attitudes.The second pro environmental behaviour of women to
overcome the haze, to save onfuel oil and electrical, plant a tree, choose a house that is
closet to office. The three efforts made by the woman for the environments and women as
objects no longer interfere with relationship and roles of men, women and the environment.
Hopefully no more damage to the environment and powerlessness of women. This study
suggests that all parties, especially the government needs ro review the paradigm of
development, of a the democratic and transparent royal perspective enabling
environmental control society especially in the era of autonomy supposed to be a space for
local knowledge in environmental management.
Keywords: Social Movement, Behaviour, Women, Environmental
1.PENDAHULUAN
Peran manusia terhadap pelestarian alam sekitar menjadi sangat strategik, karena
selain manusia menjadi pengguna utama (main user), juga manusia sering di claim sebagai
pihak yang paling tidak bertanggung jawab pada pelestarian lingkungan. Sebenarnya
166
lingkungan merupakan jantung kehidupan, kerana tanpa lingkungan sebenarnya manusia
tidak boleh berbuat banyak; lebih tragis lagi manusia tidak bisa hidup. Lalu kenapa manusia
menyalahgunakan peranan dan manfaat lingkungan tersebut? Hal ini terjadi kerana
lingkungan dianggap sebagai sesuatu fenomena dan spektrum yang berjalan secara
pelestarian, padahal banyak akibat yang sudah menjadi realiti sosial dan edukatif yang
semestinya telah menjadi pelajaran bermakna bagi manusia dalam memaknai lingkungan
sebagai ”keperluan hidup” manusia.
Oleh karenanya perkara alam sekitar merupakan hal yang penting sejak beberapa
dekade yang lampau. Pemanasan global dan perubahan iklim karena efek rumah kaca
(green house effect), kerusakan tanaman, hutan, dan kepunahan species, berkurangnya
sumberdaya ikan, lahan pertanian, polusi udara dan persediaan air adalah bencana utama
bagi lingkungan di bumi (Oskamp, 2000).
Awalnya permasalahan lingkungan disadari sebagai perkara teknis dan ekonomi.
Sementara pada dekade terakhir dimensi sosial dan permasalahan lingkungan seperti
perhatian publik dan sikap masyarakat terhadap lingkungan menjadi satu dari ranah
sosiologi lingkungan dan psikologi lingkungan. Dalam hal ini tingkah laku lingkungan
masyarakat dan tingkah laku ekologi dan akibat-akibat lingkungan telah diselidiki di
negara maju dan negara berkembang selama beberapa dekade terakhir (Kalantari, Fami,
Asadi, & Mohammad, 2007).
Menurut Herbert Grossman dan Suzanne H.Grossman (1994) ketika generalisasi
tentang perbedaan gender dapat menjadi misleading, adalah penting untuk mengenali
bahawa beberapa perbedaan gender cut across kelas, etnis dan geografis terbatas, serta
deskripsi kelas sosio-ekonomi atau kumpulan etnis cenderung menerapkan majoriti ahli
mereka. Gender tidak muncul seketika, akan tetapi gender berkembang secara beraturan,
masing-masing tahapan mempengaruhi pengembangan secara bertahap untuk membantu
menghasilkan perbedaan gender yang kita lihat sebagai orang dewasa.
Wanita merupakan salah satu major group kumpulan sumber manusia di
masyarakat, yang mempunyai potensi besar sebagai kumpulan mandiri penunjang
pembangunan. Kelompok wanita telah disepakati memiliki posisi yang sangat strategik
dalam KTT Bumi yang diselenggarakan di Rio Jeneiro, Brasil tahun 1992 yang
menyepakati untuk melaksanakan agenda 21 sebagai dokumen yang dijadikan acuan dalam
pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Kemudian ditindaklanjuti pada KTT Wanita di
Beijing Tahun 1995 yang menghasilkan Deklarasi Beijing berisikan 12 CriticalAreas,
diantaranya tindak penglibatan wanita dalam pengambilan keputusan pengelolaan
lingkungan hidup. Selanjutnya pada KTT
Pembangunan Berkelanjutan di
Johannesburg tahun 2002, masyarakat dunia menyepakati posisi penting dalam mencapai
pola produksi dan konsumsi yang berwawasan lingkungan serta pendekatannya pada
pengelolaan pelestarian Sumber Daya Alam (SDA) yang berkelanjutan.
Kesepakatan terhadap posisi strategik wanita pada berbagai forum Internasional
dalam membuka peluang bagi penyelesaian masalah yang terkait antar wanita dan
pembangunan berkelanjutan khususnya masalah lingkungan. Pembagian peranan wanita
dalam kehidupan sosial seringkali menempatkan intensiti wanita lebih sering dengan
lingkungan; yang menyebabkan wanita lebih peka dalam mengelola lingkungannya.
Kemampuan organisasi wanita memungkinkan terbentuknya sesuatu "gerakan" yang
mempunyai kekuatan besar dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah yang kurang
sesuai. Karena itu, wanita mempunyai hak untuk mendapatkan informasi seluas-luasnya
mengenai keterkaitan wanita dan lingkungan, sehingga peran, akses, dan pengawasan serta
manfaat yang diterima kaum wanita dapat lebih maksimal (Bidang Pengembangan
Kapasitas BAPEDAL Propinsi Jawa Timur, 2007).
167
Gerakan sosial wanita pro lingkungan adalah suatu proses tanpa akhir untuk
mendukung dan mengembangkan mental, moral, etika, fisik, sikap dan tingkah laku agar
menghasilkan insan yang mampu melestarikan fungsi lingkungan guna keberlangsungan
hidup manusia dan mahkluk hidup lain yang ada di dalamnya. Menurut Lutfi Pratomo
(http://beritahabitat.net/2008) wanita yang selama ini dilupakan oleh kaum lelaki dalam
peran lingkungan sangat memprihatinkan. Sistem patriarkis selalu mendominasi dalam
pergerakan dan kepedulian wanita terhadap lingkungan. Kebebasan wanita terbatas oleh
kebijakan patriakis yang memberikan dampak kerusakan lingkungan yang fital. Ada
kekeliruan dalam pendidikan yang selama ini di tanamkan oleh kebudayan di dunia.
Otoriti lelaki sangat kuat memberikan impak terhadap wanita lebih tidak percaya
diri dalam mengungkapkan pendapatnya karena merasa takut bila diremehkan dan tidak
didengarkan ideanya. Wanita lebih memilih diam karena takut akan represif yang di
dominasi kaum lelaki. Mitos dan dogma memberikan punishmentbahwa wanita adalah
makhluk yang lemah dan dididik menjadi makhluk emosi daripada rasio yang selama ini
dikuasai oleh otoriti laki-laki. Sudah saatnya kita merubah paradigma yang sudah melekat
bahawa wanita juga sudah boleh berdaya dan tidak lagi di bawah otoriti laki-laki dalam
menyelamatkan lingkungan.
Kerusakan lingkungan sa’at ini disebabkan tidak adanya rasa penghormatan terhadap
ciptaan khususnya terhadap kaum wanita. Peradaban dunia menciptakan kekuasaan lakilaki dalam kehidupan yang sukar sekali menerima kritik. Rasionalitas dan biologis
cenderung dibesar-besarkan menjadi peranan yang sangat dominan.
Selain itu, rasionaliti lelaki membawa pengurangan rasa hormat terhadap bentuk
sesuatu ciptaan. Kebudayaan tersebut semestinya kita tinggalkan bahwa pelestarian
lingkungan seperti halnya wanita sebagai sesesuatu yang boleh dikawal dan dikuasai oleh
otoriti lelaki.
Menurut Henry Giroux (1992) gerakan yang lebih luas dalam teori feminis, poststrukturalisme, post-modernisme, studi kebudayaan, teori kesusasteraan (literary), dan
dibidang seni adalah dialamatkan kepada isu pedagogi dalam politik perbedaan
kebudayaan yang menawarkan harapan baru bagi sejumlah bidang yang mengalami
kemunduran (for a deteriorating field).
Dalam dunia tradisi religious dan kebudayaan, wanita sering dipikirkan dekat
dengan pelestarian lingkungan, pelestarian lingkungan dilihat sebagai feminism, maka
dunia pelestarian lingkungan disimbolkan sebagai wanita–Ibu. Selain itu pelestarian
lingkungan sebagai wanita bijak yang mengatur segalanya. Akhirnya persepsi tentang
pelestarian lingkungan mengalami perubahan sejarah. Pelestarian lingkungan lambat laun
sudah tidak lagi dalam pemuliaan dan melampaui kebudayaan manusia. Pelestarian
lingkungan lebih mudah boleh dikawal dan dieksploitasi tanpa batas seperti halnya otoriti
lelaki yang mendominasi kaum wanita. Rasionaliti menciptakan hukumnya sendiri
terbentuklah teknologi yang menguasai pelestarian lingkungan. Transendensi laki-laki
didefenisikan sebagai lari dari pelestarian lingkungan dan perang terhadap realiti keibuan,
realiti tubuh dan pelestarian lingkungan, semua yang membatasi dan menahan lebih dari
yang dikawal laki-laki. Dengan cara inilah, melalui ilmu pengetahuan, pemikiran laki-laki
memaksakan transendensinya atas pelestarian lingkungan.
Pelestarian lingkungan tidak lagi menjadi tubuh yang organik namun menjadi mesin yang
dibentuk dan dijalankan dengan alasan yang suci. Hal inilah yang menyebabkan kerakusan
ada ditangan lelaki. Apa yang kita alami sebagai makhluk yang semestinya menghormati
ciptaanNya kini di batasi oleh alasan rasionaliti dan dogma agama yang selama ini kita
hanya taken for granted. Diskriminasi terhadap wanita yang dilakukan laki-laki hanya
membentuk sesuatu kebudayaan kekuasaan rasionaliti tanpa batas memberikan impak
terhadap krisis lingkungan yang terjadi sa’at ini.
168
Ilmu pengetahuan dan feminisme menurut Ruth Hubbard, Mary Sue Henefin,
dan Barbara Fried adalah, “Sebuah konstruksi manusia muncul kerana sebuah kondisi
sejarah tertentu ketika dominasi laki-laki atas pelestarian lingungan masih terlihat sebagai
sesuatu yang baik dan perlu di perjuangkan. Wanita sudah sering menyedari, lebih daripada
laki-laki, bahawa kita adalah bahagian dari alam dan nasibnya ada ditangan manusia yang
sering tidak peduli”.
Hanne Strong mengatakan bahawa kunci untuk memperbaiki bumi terletak pada
penghormatan terhadap hukum alam yang dipahami oleh masyarakat asli dan tradisional.
Karena itu, masyarakat ini berbincang dengan kumpulan instruksi yang asli yang diberikan
kepada mereka oleh Sang Pencipta. Sementara itu, perjuangan wanita Jambi melalui wakil
rakyat, perjuangan anti pornografi, pelecehan seksual, ilegal logging, dan sejumlah kasus
lainnya, merupakan sebahagian kecil perjuangan wanita di Kota Jambi. Perjuangan ini
terasakan masih sangat kecil bila dibandingkan dengan perjuangan wanita masa dahulu.
Alternatif penggantinya perjuangan ini dirasakan masih sangat kecil jika
dibandingkan dengan peranan wanita di kampung-kampung yang langsung bersentuhan
dengan hutan. Wanita Jambi yang bertempat tinggal di wilayah Taman Nasional Kerinci
Sebelat (TNKS), Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT) dan Taman Nasional Bukit
Dua Belas Jambi sejak dahulu hingga kini menjadi pilar utama dalam menjaga kelestarian
hutan. Mereka sangat menyadari lingkungan (hutan) menjadi sumber kehidupan, baik dari
aspek sosio budaya religius maupun aspek ekonomi.
Dahulu bangsa Indonesia punya Kartini sebagai wanita yang memperjuangkan
dunia pendidikan. Kini ada Butet Saur Marlina (Warung Informasi Konservasi Jambi),
Emmy Hafild (Wahana Lingkungan Hidup) dan masih banyak lagi kaum wanita yang
semakin peduli dengan lingkungan. Semua ini merupakan cerminan wahana representasi
kemunculan wanita di masanya untuk memberikan kontribusi positif terhadap
lingkungannya dengan penekanan yang berbeda terhadap lingkungannya.
Sekarang kita semakin sadar bahawa kerusakan lingkungan adalah akibat dari kerakusan
yang hampir semua didominasi lelaki yang tidak memperdulikan kebebasan wanita untuk
berucap dan berekpresi terhadap bumi dan makhluk hidup lainnya. Seperti yang
diungkapkan Dale Spender “Ketika kedua jenis kelamin menggambarkan pengalamanpengalaman mereka sendiri dan ketika kedua versi itu dapat hidup bersama tanpa terbagi
menjadi lebih unggul dan kalah, benar atau salah, aturan atau pelanggar, maka
sebahagian dari mekanisme penindasan terhadap wanita telah dibuang”. Atau seperti
yang disampaikan oleh Mahatma Gandhi ”Dunia ini cukup untuk menghidupi semua
orang yang ada di dalamnya, tetapi tidak cukup untuk memenuhi kerakusan segelintir
orang”.
Perkaranya, kenyataan menunjukkan bahwa eksploitasi sumber daya alam secara
langsung berimpak terhadap wanita. Revolusi Hijau misalnya, pertama kali, meminggirkan
wanita. Revolusi Hijau memaksa penggunaan bibit varieti unggul, sehingga pekerjaan
perawatan dan pemilihan bibit yang tadinya dikuasai oleh wanita, kini tersingkir. Dan
pemaksaan jenis tanaman tertentu dalam sektor pertanian, secara drastis telah menggusur
wanita dari proses produksi pertanian, karena pengetahuan wanita atas keanekaan jenis
tanaman tidak lagi dihargai. Ditambah mekanisasi secara intensif di sektor pertanian,
mengabaikan eksistensi petani wanita, kerana tidak diperkirakan kapasitas, kemampuan
dan struktur tubuh wanita. Penggunaan mesin huller, menyingkirkan penggunaan ani-ani
(finger knife)yang biasa digunakan wanita,tergantikan oleh sabit yang lebih berat sehingga
wanita kehilangan atau bertambah beban pekerjaannya. Wanita pedesaan tersingkir dari
pertanian ketika peralatan moden diperkenalkan dan diasosiasikan dengan peran laki-laki.
Sementara akses wanita pada pengambilan keputusan di sektor pertanian tetap tidak ada.
169
Ancaman lain adalah pekerjaan yang bersentuhan dengan pestisida, dimana
wanita, yang paling lama terpapar pestisida karena beban kerjanya di lapangan pertanian,
maupun ketika mereka bekerja di lingkungan rumah tangga, seperti membersih, karena
beberapa jenis pestisida menetap dalam air. Ibu mengandung beserta janinnya paling rentan
terhadap kimia beracun seperti DDT, endrin, dsb, yang mengakibatkan resiko penyakit
kanker, terganggunya perkembangan janin, metabolisme, maupun jaringan otak. Tentu saja
impak ini tidak terlihat secara langsung dalam hitungan hari atau bulan, melainkan boleh
dalam hitungan tahun. Siapakah yang akan bertanggung jawab terhadap resiko-resiko ini?
Perkawinan usia dini sebagai ciri kebudayaan masyarakat agraris, mendorong
angka kematian ibu yang tinggi, rendahnya pengetahuan reproduksi dan seksualitas wanita
pedesaan, mengukuhkan peran wanita sebagai ‘pelayan seksual’ dan ‘penanggungjawab
pemberi keturunan’ saat melakukan hubungan seksual, pelecehan seksual yang dialami
buruh tani wanita, stigma ‘mandul’ bagi wanita yang belum mengandung, kekerasan dan
‘beban’ alat kontrasepsi terhadap wanita, gagal KB, aborsi, dan lain sebagainya (Sri
Hadipranoto, Heru Santoso:2001). Kondisi ini kini semakin diperberat dengan
berkurangnya subsidi pemerintah pada sektor kesihatan.
Guna bertahan hidup, kebanyakan wanita pedesaan kemudian menjadi buruh tani
dengan beban kerja berlebih, upah minimum, dan resiko kerja tinggi. Jika di desa tidak
tersedia lagi pekerjaan, wanita terdesak mencari alternatif penghasilan dalam sektor-sektor
yang tidak terlindungi dan eksploitatif, dengan bermigrasi. Hal inilah yang menjelaskan
mengapa kantung-kantung kemiskinan di daerah agraria juga menjadi kantung-kantung
daerah asal buruh migran, pekerja seks, dan pekerja sektor informal kota. Ini menjadi
katalisator untuk bermigrasi agar dapat bekerja di luar negara, seringkali melalui saluran
yang tidak resmi. Jumlah wanita yang bermigrasi untuk mencari pekerjaan meningkat
tajam dalam dekade terakhir (feminisasi migrasi). Wanita pedesaan umumnya terjerembab
menjadi korban perdagangan wanita dan anak (women and children trafficking). Selain
itu, dalam berbagai konflik tanah dimana rakyat berhadap-hadapan dengan pengusaha
(TNCs/MNCs) dan pemerintah, wanita dan anak-anak menjadi kelompok yang paling
rentan mengalami kekerasan, seperti penggerayangan dan penelanjangan tubuh wanita,
seperti yang terjadi di Bulukumba-Sulawesi-Indonesia baru-baru ini. Peristiwa
Bulukumba, hingga kini masih meninggalkan trauma para wanita dan ibu-ibu masyarakat
adat Kajang, atas kekerasan yang menimpa mereka.
Hilangnya lingkungan hutan menyebabkan musnahnya tradisi lokal, di mana
wanita umumnya mempunyai kepakaran khusus. Untuk wanita Dayak di KalimantanIndonesia juga bagi wanita adat (indigenous women) di belahan Indonesia lainnya-mereka
mempunyai pengetahuan untuk mengenal plasma nutfah dan tahu bagaimana menjaga dan
memeliharanya. Pertanian adalah daerah kekuatan dan kearifan wanita adat. Di Jambi
misalnya kaum wanita dari kelompok “orang rimba” bukan hanya sekedar sebagai penerus
keturunan saja, tetapi merupakan simbol kekuatan adat rimba yang sangat berperan dalam
menjaga keharmonian alam sebagai tempat hidup mereka. Wanita suku Dani di Papua
misalnya dapat mengenalkan 70 jenis ubi-ubian, dan wanita Moi di Sulawesi Tengah
mampu mengenal 40 jenis tanaman obat, dan bagaimana cara menggunakannya untuk
pengobatan. Jika komuniti lokal kehilangan teritori adatnya, pengetahuan dari kaum wanita
di atas menjadi tidak bererti. Pengetahuan wanita di bidang pertanian kenyataannya
mempengaruhi kualitas makanan dan ketersediaan pangan. Namun, kepakaran ini sama
sekali tidak dihargai. Kebudayaan, tradisi dan model pembangunan yang tidak sensitif
gender telah membentuk banyak wanita menjadi pribadi yang pasif, ”nrimo”, pantang
bersuara dan tidak percaya diri. Jika kondisi ini terus dipertahankan (status quo) maka akan
terjadi bencana kemanusiaan yang lebih buruk dari kondisi sa’at ini.
170
Pembangunan industri berbasis sumber daya alam semula jadi seperti industri
perkayuan dan pertambangan, alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit dalam
skala besar, mengakibatkan hilangnya area lahan bagi masyarakat adat. Wanita adat
kehilangan sumber penghidupannya, perlindungannya dan kepercayaan diri dalam skala
masif. Mereka dipaksa untuk menerima pekerjaan apapun untuk kelangsungan hidup
mereka. Di Jambi misalnya, wanita ”orang rimba” yang ratusan tahun hidup di dalam
rimba dan terproteksi dari dunia luar, sa’at ini terpaksa harus keluar dari dalam rimba agar
dapat mendapatkan sumber makanan dari orang kampung. Bagi wanita ”orang rimba”
berada di luar hutan adalah ancaman bagi keberlangsungan generasinya, karena tidak
memiliki kapasitas untuk dapat cepat beradaptasi dengan dunia luar.
Maraknya pembukaan perkebunan kelapa sawit dan HPH di Jambi telah
memarginalisasi wanita terhadap hutan. Lebih parah lagi telah merusak peradaban dan
kearifan wanita terhadap kelestarian lingkungan kerana mereka harus bekerja sebagai
buruh perkebunan kelapa sawit dan HPH yang sangat ekspolitatif terhadap lingkungan. Hal
yang sama juga terjadi di kawasan lain seperti di Kalimantan banyak wanita Dayak
terjejaskan dalam ‘kawin kontrak’ di mana mereka ‘menikah’ dengan para pekerja di
industri perkayuan dan diterlantarkan segera setelah kontrak pekerja itu selesai dengan
perusahaan. Anak-anak yang dilahirkan dari kawin-kontrak ini sering disebut sebagai
‘anak Asean’ di kampung mereka, menandakan para pekerja yang menjadi bapaknya
berasal dari berbagai daerah di Asean, terutama Filipina dan Malaysia.
1. 1. Tempat Kajian
Kawasan pengambilan data dalam penyelidikan ini adalah di Kota Jambi. Kota
Jambi terletak di bahagian Barat cekungan Sumatera Selatan negara Republik
Indonesia yang disebut Sub Cekungan Jambi yang merupakan dataran rendah di
Sumatera Timur, kerana itu topografinya bercirikan dataran.
Rajah 1: Peta Bandar Jambi Sumber:DDA Bandar Jambi, 2009
Visi pemerintah Jambi dalam pengendalian impak lingkungan di Kota Jambi dan
harapan yang akan diwujudkan pada masa depan adalah ”terwujudnya Kota Jambi
yang teduh dengan pembangunan lingkungan yang serasi, selaras, seimbang
dan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan”.
171
Tentunya makna yang terkandung dalam visi tersebut iaitu mewujudkan
pelestarian lingkungan dalam suatu penataan wilayah yang serasi, selaras dan seimbang
melalui aktivitas pengawasan, pengendalian, pemantauan dan pemulihan lingkungan
dengan melibatkan peranserta masyarakat baik laki-laki maupun wanita yang berkeadilan
dan berkesinambungan.
Kesepakatan nasional tentang pembangunan berkelanjutan yang ditetapkan dalam
Indonesian Summit on Sustainable Development (ISSD) pada 21hb Januari 2004 di
Yogyakarta telah ditetapkan 3 (tiga) pilar utama pembangunan berkelanjutan yang saling
terkait dan saling menunjang iaitu pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan
pelestarian lingkungan.
Menurut “World Bank Country Study” ancaman yang paling besar di kawasan
perkotaan di Indonesia termasuk Kota Jambi adalah:
a. Air yang tidak bersih untuk diminum langsung sebagai salah satu sumber
utama penyakit,
b. Pembuangan limbah yang belum memenuhi baku mutu ke media atau ke badanbadan air,
c. Pengelolaan sampah yang kurang memadai (penumpukan secara tidak
terkendali, pembuangan ke dalam sungai dan pembakaran),
d. Pelepasan zat-zat pencemar udara oleh kendaraan bermotor karena gas
kendaraan bermotor mengandung debu/jelaga dan timah hitam (timbal)
(Pemerintah Kota Jambi, 2008).
1. 2. Isu lingkungan Kota Jambi
Isu-isu lingkungan yang ada dan berkembang di Kota Jambi sa’at ini adalah:
1. 2. 1. Banjir/takungan air
Pada beberapa tahun terakhir ini, salah satu permasalahan utama lingkungan di
Kota Jambi adalah terjadinya genangan air maupun banjir di beberapa kawasan. Hal ini
timbul kerana:
- Merupakan Kota yang berada di dataran rendah dan dialiri Sungai Batanghari dan
9 (sembilan) sungai-sungai kecil serta 13 (tiga belas) anak sungai,
- Pengaruh debit air sungai yang meningkat akibat hujan di daerah hulu/hilir
sungai,
- Perubahan tata guna lahan di daerah aliran sungai,
- Pendangkalan sungai akibat sedimentasi dan pembuangan sampah yang tidak
tertib,
- Topografi struktur tanah dan vegetasi yang kurang baik,
- Drainase yang kurang dan belum berfungsi secara baik.
1. 2. 2. Pencemarandan kerosakan alam sekitar
172
Isu yang tidak kalah pentingnya yang sejalan dengan semakin pesatnya
perkembangan pembangunan Kota Jambi serta jumlah penduduk yang semakin bertambah,
yang juga menjadi masalah di kota-kota lainnya adalah pencemaran dan kerusakan alam
sekitar yang secara rincinya adalah sebagai berikut:
1.2. 2. 1. Penurunan kualitas air
Penurunan kualitas air sungai sebahagian besar diakibatkan oleh semakin
banyaknya jenis usaha dan/atau aktivitas yang membuang air limbah baik langsung
maupun tidak langsung ke sungai maupun anak sungai dalam Kota Jambi. Disamping
kurangnya kesadaran dari pelaku usaha untuk memeriksakan air limbah yang dihasilkan
sebelum dibuang ke media yang dapat mencemari lingkungan.
1. 2. 2. 2. Penurunan kualitas udara
Selama 10 (sepuluh) tahun terakhir ini kualiti udara di Kota Jambi cenderung
menurun. Perkembangan kawasan Kota Jambi yang semakin pesat seiring dengan
keberadaan Kota Jambi sebagai pusat Provinsi dan menjadi pusat bisnis Provinsi Jambi
menyebabkan semakin tingginya minat penduduk untuk datang, berkunjung dan bertempat
tinggal sementara di Kota Jambi. Hal ini menyebabkan semakin tingginya tingkat
kepemilikan kenderaan bermotor yang berimpak pada tingginya penggunaan kenderaan
bermotor di jalan.
1. 2. 2. 3. Persampahan
Pesatnya pertumbuhan penduduk telah menimbulkan masalah limbah padat
khususnya sampah di Kota Jambi. Masalah lingkungan yang disebabkan oleh sampah
timbul dikarenakan:
- Volume sampah tidak tertampung di TPS dan kurangnya jumlah TPS,
- Kurangnya sarana prasarana alat pengangkut sampah,
- Rendahnya kesadaran masyarakat,
- Lahan TPA sudah hampir penuh,
- Penolakan masyarakat terhadap penempatan TPS,
- Belum memiliki master plan persampahan Kota dan strategi pengelolaannya.
Selama ini pengelolaan sampah dikelola oleh Pejabat Pengelola Kebersihan dan
Pemakaman, yang mana pengerjaannya dilimpahkan kepada pihak ketiga (CV. Usaha
Sehat Bersama) pada lokasi-lokasi tertentu sesuai dengan kontrak. (Kerajaan bandar
Jambi, 2008).
1. 2. 3. Lahan kosong dan alih fungsi lahan
Adanya lahan kosong dan alih fungsi lahan adalah isu lingkungan yang tidak kalah
pentingnya. Hal ini dikarenakan:
173
Perubahan fungsi lahan yang semula dari tanah kosong dijadikan lokasi
perumahan dan lain-lain,
Pembukaan lahan dengan cara pembakaran di pingir-pinggir kota,
Praktek pertanian yang tidak memperhatikan aspek konservasi
tanah/aktivitas pertanian yang tidak terkendali,
1. 3. Kerangka Konsep
Wanita memiliki keterkaitan yang erat dengan alam sekitar. Dalam peranannya
sebagai suri rumah, mereka lebih banyak berinteraksi dengan alam sekitar dan sumber daya
alam. Impak kerosakan alam sekitarpun lebih sering dirasakan oleh wanita.
1. 3. 1. Tingkah laku pro alam sekitar wanita
Merujuk pada pendapat Pieters, Bijmolt, Van Kaarj dan de Kruijk (1998)
bahwa banyak individu mengatakan bahwa dirinya environmentalis, namun mereka tidak
menterjemahkan sikap mereka tersebut kedalam tingkah laku pro lingkungan. Satu alasan
barangkali bahawa pilihan antar bertindak dalam sebuah cara pro alam sekitar dan tidak
mengerjakannya begitu kerap melibatkan sebuah konflik antara kepentingan individu yang
segera dengan kepentingan kolektif jangka panjang. Keuntungan individu yang diperolehi
dari perjalanan menggunakan kereta, membeli makanan dan produk lainnya tanpa
pertimbangan impak negatif alam sekitar, tidak mendaur ulang dan tidak berjimat energi
dalam rumahtangga adalah kepentingan segera, sementara impak negatif alam sekitar
seperti tingkah laku tersebut di atas menyebabkan situasi tidak menentu dimasa hadapan
(Nurdlund dan Garvill, 2002).
Vlek & Michon (1992) Garvill, Laitila & Brydsten (1994) dan Nordlund &
Garvill (1999) mengatakan bahawa melakukan perjalanan dengan kereta lebih berjimat
masa dan lebih mudah serta menyenangkan, tetapi memiliki impak negatif yang banyak
terhadap alam sekitar seperti kerosakan udara, kebisingan, dan konsumsi yang tinggi
terhadap energi yang tidak terbarukan. Pada beberapa studi pemilik kereta merasa bahawa
kereta lebih baik dan lebih unggul berbanding bas atau basikal bila dikaitkan dengan
kepentingan individu tetapi berakibat burok bila dikaitkan dengan impak alam sekitar.
Mereka juga merasa bahawa manfaat untuk individu lebih penting daripada manfaat untuk
orang ramai (Nordlund, 2002).
Beberapa ahli alam sekitar seperti Vining & Ebreo (1990), Mc Carty & Shrum
(1994), Werner & Mkela (1998) serta Ebreo, Hersley & Vining (1999), menyebutkan
bahawa kitar semula sampah adalah wujud penting dari pentadbiran sampah padat tetapi
seringkali orang mengatakan sampah adalah sesuatu yang kotor dan memakan masa untuk
mengelolanya. Oleh kerana itu mereka berat untuk melakukannya (Nordlund, 2000).
Sedangkan Vining & Ebreo (1990) dan Mc. Carty & Shrum (1994)mengatakan
bahawa kitar semula memerlukan upaya seseorang dalam menyortir sampah rumahtangga
dan mengangkutnya ke beberapa sarana kitar semula. Kitar semula bagaimanapun
memiliki impak positif terhadap alam sekitar dan impak sosial positif jangka panjang
seperti penjimatan sumberdaya dan suatu upaya menolak penggunaan barang dalam
pentadbiran sampah (Nordlund, 2000).
Terbentuknya gas rumah kaca juga disebabkan oleh penggunaan energi. Penduduk
di belahan bumi yang mengalami empat musim mengkonsumsi energi untuk memanaskan
rumah mereka dan penggunaan elektrik lainnya untuk keperluan rumahtangga. Sebaliknya
di negeri tropis pemakaian Air Condition (AC) telah menyedot banyak energi elektrik.
Pendingin ruangan di pusat-pusat perbelanjaan di Jakarta misalnya menyedot elektrik
paling banyak iaitu rata-rata 60 peratus dari total pemakaian elektrik (Kompas, 2008).
174
Beberapa kebiasaan sosial yang lebih maju dan menjadi bahagian dari tingkah laku
pro alam sekitar ini berdasarkan saiz yang dibuat Nordland dan Jorgen Garvill (2002)
terdiri dari empat bahagian dan duapuluh lima item, iaitu: 1. Tingkah laku yang ditunjukan
dalam domain yang berbeza, seperti kitar semula plastik, kertas, metal; 2. konsumsi yang
bertanggungjawab secara alam sekitar, seperti membeli produk-produk ramah alam sekitar;
3. penjimatan energi, seperti kebiasaan menjimat air panas; 4. Tingkah laku transportasi,
seperti menggunakan angkutan awam daripada kereta pribadi. Untuk kondisi di Indonesia,
item-item tersebut dapat lebih disederhanakan sesuai dengan tingkat kemajuan masyarakat
di kota tertentu.
Selain itu menurut Schultz and associates (2001), responden ditanyai tentang
berapa sering melakukan 8 tingkah laku spesifik setahun terakhir, iaitu: 1. menggunakan
kembali barangan bekas pakai (reuse); 2. mengolah kembali akhbar; 3. membeli produkproduk dalam kemasan-kemasan yang dapat digunakan kembali atau diolah kembali; 4.
mengolah tin atau botol; 5. mendorong teman-teman/keluarga untuk mengolah barangan
bekas pakai; 6. memungut sampah yang bukan anda hasilkan; 7. mengkomposkan sisa-sisa
makanan; 8. menjimat bahan bakar dengan berjalan kaki atau menggunakan basikal.
United Nation Development Program (UNDP) juga mengajukan 21 panduan
hidup berkelanjutan yang berhubungkait dengan tingkah laku pro alam sekitar buku yang
berjudul ”the geneva guide to sustainable living” (lampiran 1).
Mengubah suai pendapat Nordlund dan Jorgen Garvill, Schultz and Associates
dan UNDP dapat dikatakan bahawa tingkah laku pro alam sekitar (proenvironmental)
adalah tindakan seseorang terhadap alam sekitar yang berkaitan dengan tingkah laku upaya
memanfaatkan kembali barang bekas, kitar semula sampah/limbah, mencegah terjadinya
sampah/limbah, konsumsi yang bertanggung jawab terhadap sumber daya alam, upaya
konservasi energi, serta tingkah laku transportasi yang cenderung bebas emisi udara.
1. 3. 2. Motif alam sekitar
Dalam hubungannya dengan nilai moral dan motif alam sekitar, Stren dan Dietz
(1994) telah menyajikan sebuah teori asas nilai concern alam sekitar dengan
mengembangkan teori Schwartz (1977) tentang model norma aktivasi altruisme. Mereka
berpendapat bahawa norma moral alam sekitar dapat diaktivasi melalui nilai-nilai sosio
altruistik dan juga nilai-nilai biospheric dan egoistic. Mereka menyajikan sebuah
klasifikasi tripartite orientasi nilai terhadap concern alam sekitar. ”Tiga orientasi nilai yang
berbeza, terhadap diri sendiri, makhluk lain dan biospheric dapat dibezakan, dan bahawa
masing-masing dengan bebas mempengaruhi tujuan-tujuan untuk bertindak secara politis
dalam memelihara alam sekitar (Stern, Dietz, Kalof & Guagano, 1995). Secara khusus
Schultz (2001) mengunakan 12 item sikap spesifik concern alam sekitar yang meliputi
Environmental Motive Scale (EMS) untuk menguji tripartite. Dua belas objek yang
dinilai ini meliputi concern terhadap tumbuh-tumbuhan, kehidupan laut, burung-burung
dan binatang (biospheric), saya, gaya hidup saya, kesihatan saya dan masa hadapan saya
(egoistic), dan orang-orang di negara saya, semua orang, budak kecil dan generasi masa
hadapan (altruistic).
Oleh kerana itu yang dimaksud dengan motif alam sekitar dalam penyelidikan ini
adalah tiga orientasi nilai yang ada pada diri seorang wanita terhadap alam sekitar yang
terdiri dari orientasi nilai terhadap diri sendiri, terhadap tumbuhan dan haiwan serta
terhadap manusia lainnya.
1. 3. 3. Sikap pro alam sekitar
Ada banyak teori dan pendekatan empiris untuk menyelidiki sikap terhadap alam
sekitar dan literatur yang terkait. Sebahagian besar studi yang terkait dengan soalan ini
175
telah ada sejak 1970 dan seterusnya ketika konseptualisasi sikap alam sekitar sebagai
sebuah konsep penyelidikan ilmiah yang mendapat perhatian khusus oleh penyelidik
(Dunlap, 1998). Dimensionaliti adalah satu dari faktor paling kritis dari studi sikap alam
sekitar. Penyelidik-penyelidik terdahulu melihat sikap alam sekitar sebagai konsep unidimensi. Kemudian banyak studi mengexplore multi dimensi sikap alam sekitar. Albrecht
(1992) mengunakan faktor analisis dan menemukan tiga dimensi: keseimbangan alam
(balance of nature), batas-batas pertumbuhan (limits of growth) dan manusia di atas alam
sekitar (man over nature).
Cluck (1997) mengambil data yang lebih luas di USA dan mengonsep sikap alam
sekitar sebagai sebuah konsep tiga dimensi, yang meliputi ”environmental worldview”,
environmental concern” dan ”environmental commitment”. Environmental worldview
menyajikan bentuk umum dan dasar environmentalisme responden.
Dari huraian di atas, sikap pro alam sekitar yang dimaksud dalam penyelidikan ini
adalah sikap yang ditunjukkan oleh pandangan yang baik terhadap alam sekitar, memiliki
optimisme terhadap perkembangan ilmu dan teknologi, tidak keberatan dikenai tarif yang
lebih tinggi guna alam sekitar dan memiliki pandangan positif terhadap tindakan kerajaan
terhadap alam sekitar.
1. 3. 4. Pengetahuan alam sekitar
Ada beberapa studi yang menyebutkan bahawa pengetahuan (knowledge)
memainkan peranan penting dalam memperkuat hubungkait tingkah laku dan sikap alam
sekitar dengan memberikan sokongan untuk meningkatkan pandangan dan argumen yang
mendukung kepercayaan dan tingkah laku mereka terhadap alam sekitar (McFarlanc &
Boxall, 2003). Miller (1990) meneliti tingkat pengetahuan alam sekitar bagi orang dewasa
di Amerika. Miller melakukan survey dengan menginvestigasi pengertian awam tentang
ilmu pengetahuan dan teknologi di USA. Satu komponen studi menguji pengetahuan awam
tentang hujan asam dan lapisan ozon. Hasilnya menunjukkan bahawa hanya seperempat
orang Amerika yang memiliki pengetahuan minimal tentang hujan asam dan lapisan ozon.
Pada tahun 2004, sebuah survey lain dilakukan oleh the Kentucky Environmental
Education Center (KEEC) yang mengukur tingkat pengetahuan, sikap dan tingkah laku
alam sekitar. Survey ini ingin melihat apakah warga Kentucky dapat menjawab beberapa
pertanyaan yang sangat mendasar tentang isu-isu yang berkaitan dengan kualiti air dan
lahan. Survey ini juga ingin mengetahui sikap warga tentang isu alam sekitar, seperti
bagaimana sikap mereka dalam menjaga sumberdaya alam. Kemudian warga diminta
untuk mengidentifikasi tingkah laku yang dapat memperbaiki alam sekitar. Kesimpulan
umum dari hasil survey tersebut adalah bahawa walaupun masyarakat mengerti fakta-fakta
ilmiah isu alam sekitar, namun pengetahuan tersebut tidak terkait dengan tingkah laku
mereka terhadap alam sekitar.
Dari huraian terdahulu maka penyelidik memberi batasan pengertian pengetahuan
alam sekitar dalam kajian ini iaitu tingkat pemahaman yang dimiliki individu wanita
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan alam sekitar.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2. 1.Penyelidikan Terdahulu
Hasil penyelidikan terdahulu tentang wanita dan alam sekitar yang diambil dari
beberapa journal seperti journal yang bertajuk Investigating factors affecting
environmental behavior of urban residents: A case study in Tehran City-Iran (2007)
yang mengangkat hipotesa sebagai berikut: (1). Umur, tingkat pendapatan, jabatan,
pengajian dan pengetahuan lingkungan memiliki impak signifikan terhadap sikap dan
176
tingkah laku lingkungan; (2). Terdapat perbedaan signifikan antara tingkah laku laki-laki
dan wanita dalam hubungannya dengan sikap lingkungan; (3). Sikap penduduk terhadap
lingkungan, perasaan terhadap lingkungan (feeling of environmental), kesigapan/kesiapan
penduduk bertindak dan aturan lingkungan memiliki impak signifikan terhadap tingkah
laku lingkungan penduduk kota.
Kesimpulan dari journal di atas tersebut merumuskan bahawa (1). Tidak ada
perbedaan yang signifikan antara lelaki dan wanita dalam sikap lingkungan,
kesigapan/kesiapan untuk bertindak dan feeling of environmental. Wanita menekankan
bahwa aturan lingkungan yang ada cukup untuk proteksi lingkungan dan jika aturan
disempurnakan maka perkara lingkungan dapat dipecahkan. Tapi sebahagian besar lakilaki percaya bahawa aturan ini tidak cukup kuat dan seharusnya pemerintah membuat lagi
aturan undang-undang untuk membuat penduduk dan bisnes terbiasa untuk melindungi
lingkungan; (2). Terdapat perbedaan signifikan antara laki-laki dan wanita dalam hal
tingkah laku lingkungan. Wanita secara umum lebih concern lingkungan daripada lakilaki. Kesimpulan ini juga diperkuat oleh penyelidikan Caiazza dan Barret; (3). Feeling
of stress antara penduduk di Utara Tehran lebih tinggi daripada di Pusat dan Selatan.
Karena perasaan ini, kesigapan untuk bertindak bagi konservasi lingkungan penduduk di
Utara Tehran juga lebih tinggi. Kesimpulan ini juga berlaku dalam kasus top manager dan
spesialis dibandingkan dengan pekerja; (4). Dari hasil analisis path dalam mengukur sikap
dan tingkah laku, yang paling kuat bagi tingkahlaku lingkungan berasal dari tingkat
pendapatan, kesigapan untuk bertindak dan sikap lingkungan. Feeling of stress, aturan
lingkungan dan sikap lingkungan juga mempengaruhi tingkah laku lingkungan melalui
kesigapan untuk bertindak. Pengaruh umur juga ditunjukkan oleh koefisien path tentang
hubungan ini. Hubungan-hubungan tersebut dibuktikan dengan sejumlah studi yang
dilakukan oleh Hines et al, Vogel, Bamberg, Buttel dan Taylor dan EORG, (5).
Pendidikan dan pengetahuan berbasis perkara memiliki impak tidak langsung terhadap
tingkah laku lingkungan. Pendidikan dan penguatan pengetahuan berbasis problem
penduduk Tehran dapat mengubah sikap lingkungan dan akan meningkatkan feeling of
stress masyarakat ke arah lingkungan. Perubahan-perubahan ini pada gilirannya
memperbaiki kesigapan untuk bertindak secara bersahabat dengan lingkungan khususnya
dengan membantu aturan lingkungan. Semua ini dapat mengubah tingkah laku untuk
memelihara lingkungan.
Selain itu jurnal yang bertajuk A cross cultural study of environmental motive
and their implications for proenvironmental behavior (2006) tidak menguji hipotesis
khusus terhadap perbedaan budaya spesifik. Tapi lebih melihat (a). Bagaimana invarians
pengukuran skala motif alam sekitar (EMS); (b). Bagaimana perbedaan cara-cara yang
tampak dan tersembunyi dalam cocern biosfer, egoistic dan altruistic lintas kelompok; (c).
Bagaimana hubungan concern motif lingkungan ini dan tingkah laku pro lingkungan yang
timbul dari diri sendiri. Metode yang digunakan adalah metode kuantitatif. Kuesioner
diedarkan kepada 658 mahasiswa (451 wanita, 207 laki-laki) dengan cakupan umur 16
hingga 66 tahun. Komposisi etnik sampel adalah 474 orang Selandia Baru asal Eropa dan
184 orang Selandia Baru asal Asia. Kesimpulan journal mengambarkan bahwa model
tripartie concern lingkungan memberikan kesesuaian baik sampel orang Selandia Baru
asal Eropa dan orang Selandia Baru asal Asia (2).Penyelidikan ini juga konsisten dengan
temuan terdahulu di 20 negara tentang model tripartite Schultz (2001); (3). Bagi orangorang Selandia Baru asal Eropa dan Asia menilai dengan cara berbeza untuk item-item
EMS dan kepentingan sama untuk masing-masing 3 item yang telah disebutkan. (4). Skor
faktor egoistic orang Selandia Baru asal Asia secara signifikan lebih tinggi dari orang
Selandia Baru asal Eropa, sebaliknya dalam concern biosfer skor Eropa lebih tinggi dari
Asia, dan juga disebutkan bahawa orang Selandia Baru asal Eropa menilai persoalan
177
lingkungan lebih besar atas dasar biaya atau manfaat untuk ekosistem, sebaliknya Asia
menilai persoalan lingkungan lebih pada dasar pribadi (egoistic). Bagi Selandia Baru asal
Eropa, concern biosfer secara positif memperkirakan tingkah laku pro lingkungan,
sebaliknya concern egoistic memperkirakan secara negatif; (5).Bagi Selandia Baru asal
Asia sebaliknya, concern biosfer dan altruistic memprediksikan positif tingkah laku pro
lingkungan. Ini juga bererti individu-individu dengan concern biofer lebih tinggi, bebas
dalam tradisi budaya mereka, memperlihatkan tingkah laku lingkungan yang lebih
bertanggungjawab. Bagaimanapun peran concern untuk diri sendiri (egoistic) dan concern
untuk yang lain (altruistic) dapat membedakan lintas negara dalam meramalkan tingkah
laku lingkungan; (6). Ada indikasi perbedaan-perbedaan etnokultural sistematik dalam
concern motif lingkungan dalam hubungannya pada tingkah laku. Perbedaan ini
menyarankan implikasi-implikasi bagi perencanaan dan pelaksanaan sosialisasi
lingkungan.
Studi yang dilakukan para ahli di luar negara ini kebanyakan dilakukan di negara
industri atau negara maju, dan belum pernah ada yang menyelidik tentang hubungkaitnya
dengan kota kecil di sebuah negara berkembang yang menjadi lokasi penyelidikan.
Posisi wanita yang selalu masih dipinggirkan di sebahagian besar belahan dunia
mungkin sama dengan yang dialami oleh bumi. Perlakuan yang kurang baik terhadap
wanita merupakan gambaran bahawa baik bumi mahupun wanita mendapatkan perlakuan
yang kurang baik sehingga mengakibatkan kerosakan dan penindasan. Di bumi,
pembangunan yang dijalankan cenderung tidak memperhatikan faktor keberlangsungan
persekitaran yang baik. Sebagai akibatnya, kerosakan persekitaran yang terjadi semakin
hari semakin parah.
Meskipun mendapat perlakuan yang hampir sama, wanita harus diikutsertakan
dalam menjaga persekitaran. Hal ini perlu agar wanita memahami betapa pentingnya
persekitaran sehingga wanita akan menjaga dan memelihara persekitaran. Dengan
pemahaman tersebut, wanita akan mempunyai peranan besar untuk menjaga dan
memelihara persekitaran dengan baik dan juga dapat menjaga kebersihan persekitaran dari
cakupan yang paling kecil.
Menurut Dietz, Stern and Kalof (1993), ada bukti substansial bagi perbezaan
gender dalam kepedulian persekitaran pada tingkat individu (Kalantari, 2007), dan ini
mungkin diterjemahkan kedalam sebuah hubungan antara stratifikasi gender dan polisi
persekitaran kerajaan bangsa. Selain itu dari hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Lee
dan Norris (2000) menyebutkan bahawa terdapat perbezaan signifikan antara lelaki dan
wanita dalam hal tingkah laku persekitaran. Wanita secara umum lebih concern
2. 2. Kerangka Teori
Giddens (1981) menyatakan bahawa modeniti adalah kultur beresiko. Ini bukan
bererti kehidupan sosial kini lebih berbahaya dari dahulu. Bagi kebanyakan orang itu bukan
menjadi perkara. Konsep risiko menjadi perkara mendasar baik dalam cara menempatkan
aktor yang berkemampuan spesialis-teknis dalam organisasi kehidupan sosial. Modeniti
mengurangi risiko menyeluruh bidang dan gaya hidup tertentu, tetapi pada masa yang
bersamaan memperkenalkan parameter risiko baru yang sebagian besar atau seluruhnya
tidak dikenal di era sebelumnya (Ritzer, 2007). Kemudian Barry (2007) membagi resiko
kedalam 4 (empat) kategori, iaitu: risiko-risiko ekologi, risiko-risiko kesihatan, risikorisiko ekonomi dan risiko-risiko sosial. Pada risiko ekologi akan ditemukan pemanasan
global, kehilangan keanekaragaman hayati, penipisan lapisan ozon dan kerosakan
ekosistem;
Apa yang terjadi di dunia pada masa ini seperti terjadinya dampak pemanasan
gobal yang luar biasa persis seperti apa yang dikatakan Ulrich Beck(1992); Sebagaimana
178
modenisasi melarutkan struktur masyarakat feodal abad 19 dan menciptakan penduduk
industri, modenisasi kini melarutkan penduduk industri dan melahirkan tipe modeniti lain.
Dalam buku ini Beckmenyampaikan tesis: kita kini menyaksikan bukan akhir, tetapi awal
dari moderniti iaitu moderniti di luar rencana penduduk industri klasik (Ritzer, 2007).
Tidaklah mengherankan bila contoh kehidupan moden masa ini menyebabkan
risiko seperti yang dikatakan Barry. Seseorang menggunakan kereta untuk bekerja atau
bepergian dengan alasan masa, jarak, keamanan dan keselesaan. Namun disisi lain
pengendara kereta ikut memberi kontribusi bagi emisi udara gas rumah kaca yang
menyebabkan pemanasan global dan menimbulkan impak ikutan berupa empat kategori
resiko. Kemudian begitu ramainya penduduk moden yang tergantung akan pemakaian
elektrik, plastik, AC, kendaraan bermotor dan penggunaan bahan serta material yang sukar
dihancurkan oleh tanah.
2.2. 1. Masyarakat perkotaan
Dalam memahami bagaimana sebuah bandar berfungsi menjadi sangat penting
dalam sosiologi di abad kedua puluh, Mazhab Chicago khususnya Robert Park (18641944) mendominiasi studi perbandaran. Park mengembangkan apa yang disebutnya
pendekatan ekologis, yang ertinya adalah bandar menyesuaikan dirinya dengan cara yang
teratur sebagaimana proses-proses ekologi alam sekitar. Bandar terlihat seperti mekanisme
pengurutan dan penggeseran dengan cara yang belum sepenuhnya dipahami, menyeleksi
penduduk secara keseluruhan individu-individu yang cocok untuk tinggal dalam kawasan
dan alam sekitar tertentu. Mazhab Chicago berminat besar pada interaksionisme simbolis
yang berurusan dengan makna yang dilekatkan individu pada alam sekitarnya. Dengan kata
lain, persoalan identiti dan sosialisasi atau bagaimana orang mempelajari tamaddunnya dan
memproduksinya.
Mengamati tingkah laku pro alam sekitar masyarakat (proenvironmental
behavior) dalam paradigma keteraturan dari segi ontologis dan epistemologis adalah
melihat realiti secara objektif, kerana menuntut adanya independensi dengan subjek yang
diamati. Paradigma ini berakar pada positivisme Auguste Comte (1798-1857) yang
mengedepankan bahawa pengetahuan manusia (human knowledge) harus berasal dari
pengalaman inderawi dan empiris, dapat diamati (observable), dan dapat diukur
(measurable).
Oleh kerana itu melihat hubungkait antara masyarakat perbandaran dan tingkah
laku pro alam sekitar mengutamakan kuantifikasi terhadap gejala-gejala sosial.
Implikasinya dalam melihat hubungkait tersebut menekankan pada angka, hipotesis dan
hubungkait kausaliti.
Dihubungkan dengan tingkah laku masyarakat perbandaran terhadap alam sekitar adalah
juga menganalogkan tingkah laku masyarakat yang pro alam sekitar dan tingkah laku yang
tidak bersahabat dengan alam sekitar atau tingkah laku menyimpang. Menurut Merton
(1938), tingkah laku menyimpang adalah hasil dari disorganisasi struktural yang terjadi
pada level penduduk. Merton mengeksplorasi hubungkait antara tujuan-tujuan kultural dan
cara-cara struktural untuk memperoleh tujuan-tujuan tersebut. Sementara bila cara-cara
untuk mencapainya terhad untuk beberapa orang sahaja maka akan menciptakan tingkah
laku menyimpang yang meluas. Jadi menurut Merton, tingkah laku menyimpang tidak
terkait dengan kepribadian, tapi peran respon terhadap bentuk-bentuk kondisi yang
universal dengan ketersediaan cara untuk mencapainya. Ketika penduduk tidak lagi
mengikuti kesesuaian antara norma-norma dan tujuan-tujuan tamaddun maka terjadilah apa
yang disebut dengan anomie (Merton, 1968). Anomie akan menciptakan tingkah laku
menyimpang (deviance) dimana seseorang menggunakan segala cara, terkadang ilegal
untuk mencapai kesuksesan materi (Ritzer, 1996).
179
Tingkah laku penyalur obat-obat terlarang atau pelacur yang melakukan
pekerjaaan tersebut guna mencapai kesuksesan ekonomi dan menyebutnya sebagai tingkah
laku menyimpang yang disebabkan oleh ketidakbertautan antara nilai tamaddun dan caracara struktur sosial mencapai nilai tamaddun itu. Inilah satu cara yang ditempuh
fungsionalis struktural dalam upaya untuk menjelaskan tingkah laku menyimpang dan
tindak kejahatan (Ritzer, 2003).
Dalam hubungkaitnya dengan tingkah laku pro lingkungan, tingkah laku
menyimpang dapat dianalogikan sebagai seseorang yang membuang emisi gas kendaraan
ke ruang umum juga adalah menyebarkan racun. Demikian pula orang yang membuang
sampah tidak pada tempatnya, merokok di tempat awam, mengeksploitasi sumberdaya
alam tanpa berpikir panjang untuk generasi depan, mengunakan produk teknologi yang
boros bahan bakar, tingkah laku praktis tanpa memperhatikan pentingnya cara
menggunakan kembali (reuse), kitar semula (recycle)produk dalam kemasan, mencemari
alam sekitar dengan buangan sisa pepejal yang merugikan orang lain sekitarnya.
2. 2. 2. Habitus dan alam sekitar
Menurut Sosiolog Perancis, Bourdieu (1994), tingkah laku perorangan yang juga
dilakukan ramai orang disebut dengan kebiasaan sosial atau habitus. Habitus adalah
struktur mental atau kognitif yang digunakan aktor untuk menghadapi kehidupan sosial.
Aktor dibekali serangkaian skema atau pola yang diinternalisasikan yang mereka gunakan
untuk merasakan, memahami, menyedari dan menilai dunia sosial. Melalui pola-pola itulah
aktor memproduksi tindakan mereka dan juga menilainya. Secara dialektika habitus adalah
produk internalisasi struktur dunia sosial (Ritzer, 2007).
Jika habitus dihubungkan dengan alam sekitar, sebagai kebiasaan, tingkah laku itu
berlangsung berulang dengan spontan sebagai salah satu cirinya, namun dalam proses
pembentukan kebiasaan itu pada awalnya perlu ada sarana bantu untuk mengingat sehingga
kebiasaan sosial itu akan muncul menjadi tindakan yang spontan. Contoh sederhana
tingkah laku pro alam sekitar wanita yang dapat menjadi kebiasaan sosial adalah kebiasaan
membuang sampah pada tempatnya, atau tingkah laku yang lebih baik lagi, iaitu
menggunakan kembali (reuse), menolak pemakaian (reduce) dan kitar semula (recycle)
barang-barang kemasan.
Memburuknya kualiti alam sekitar suatu bandar atau daerah sangat ditentukan oleh
sistem pengelolaan alam sekitar di bandar atau daerah tersebut. Contoh yang baik dalam
pengelolaan alam sekitar dapat dicontoh di Minamata-Jepang dan Curitiba-Brazil. Di
Minamata-Jepang sebelumnya akibat yang diderita penduduk selain impak alam sekitar
secara fisik juga putusnya ikatan sosial. Sedangkan di Curitiba-Brazil diawali dari sebuah
kota metropolitan yang tumbuh dengan sangat pesat. Curitiba-Brazil menghadapi perkara
yang tidak berbeza dengan bandar-bandar di negara berkembang yang kumuh, macetnya
lalu lintas, menggunungnya sampah, banjir dan pembusukan alam sekitar. Namun sejak
tahun 1971 arsitek Jarvine Lermer menjadi walikota dan dibantu perencana bandar yang
cukup visioner Jonas Rabinovitch dan Jonas Leitmaef maka terjadi perubahan yang
cukup drastis. Ini di sokong oleh filosofi sederhana iaitu ”inovasi bersama masyarakat,
merancang bersahabat dengan alam dan memanfaatkan teknologi tepat guna”.
Selain polisi kerajaan, gerakan sosial dipandang perlu untuk menggerakan
penduduk untuk peduli alam sekitar. Dimana gerakan sosial selalu terarah kepada
perubahan sosial dan berjuang untuk kepentingan alam sekitar, namun tidak sedikit pula
yang memiliki motif lain seperti unsur wang dan politik. Sebab berdasarkan teori,
kesempatan politik dan hubungan-hubungan kekuatan politik memelihara kemunculan
strategi dan tenaga gerak bagi gerakan sosial (Tarrow, 1989).
180
Untuk terciptanya kualiti alam sekitar yang lebih baik perlu disokong oleh dua hal
iaitu kebiasaan sosial masyarakat dan kebersihan fisik ruang awam melalui programprogram kerajaan. Kebiasaan sosial masyarakat dapat tercipta apabila masyarakat sudah
memiliki tingkah laku pro alam sekitar. Kebiasaan mereka membuang dan mengelola
sampah dengan sebaik-baiknya, konsumsi energi yang bertanggungjawab, tingkah laku
bertranspostrasi yang baik dan hanya membeli produk-produk yang ramah alam sekitar
akan menyokong terciptanya kebiasaan sosial (habitus) yang baik.
Hasil penyelidikan di Teheran menyebutkan pengubah arah yang berpengaruh
terhadap tingkah laku pro alam sekitar antara lain adalah sikap terhadap alam sekitar.
Sedangkan motif alam sekitar mempengaruhi tingkah laku pro alam sekitar berdasarkan
hasil penyelidikan di Selandia Baru. Unsur-unsur motif alam sekitar seperti sikap
altruistik, biosferik dan egoistik juga ikut menentukan tingkah laku seseorang baik lelaki
mahupun wanita terhadap alam sekitar.
Kebiasaan sosial (habitus) wanita ini akan memunculkan gerakan sosial
masyarakat dan polisi kerajaan terhadap alam sekitar. Apa yang dilakukan NGO dan
gerakan sosial lainnya secara langsung atau tidak langsung dapat membentuk pengetahuan,
motif dan sikap pro alam sekitar pula sehingga dapat menggambarkan apakah masyarakat
bertingkah laku pro alam sekitar yang baik atau malah sebaliknya. Touraine (1977)
mengatakan bahawa gerakan sosial memungkinkan masyarakat membangun orientasi
mereka dan mengubahnya. Oleh kerana itu, menurut Eder (1985), perjuangan politik
dalam gerakan sosial dapat dilihat sebagai upaya untuk mengubah struktur sosial melalui
pemunculan wacana alternatif (Brulle, 1996). Oleh kerananya dapat dikatakan bahawa
gerakan sosial adalah aktiviti kreatif dari penduduk dalam membentuk diri mereka.
3.METODE PENELITIAN
Pendekatan penyelidikan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif karena
penyelidikan ini melakukan studi terhadap fenomena yang ada dalam kelompok wanita
bandar Jambi,Sumatera,Indonesia. Disamping itu kerana penyelidikan ini juga ingin
mendapatkan rangkaian fenomena sosial dan budaya, alamiah dari kehidupan wanita
bandar Jambi (Poerwandari, 2005).
3. 1. Subjek penyelidikan
Informan atau responden atau subjek dalam penyelidikan ini, adalah populasi
wanita bandar Jambi yang tinggal dan berinteraksi di sekitar lokasi yang menjadi tempat
isu-isu alam sekitar di bandar Jambi. Dipilihnya bandar Jambi kerana bandar tersebut
memiliki cakupan yang cukup tinggi dari sisi perkara alam sekitar. Mereka juga terpilih
kerana mereka aktif berinteraksi dengan isu-isu persekitaran di bandar Jambi sehingga
mereka dapat menggambarkan perubahan-perubahan yang terjadi di Kota Jambi. Selain itu
dilakukan juga temu bual terhadap beberapa orang aktivis wanita Kota Jambi untuk
memperoleh gambaran mengenai aktiviti tingkah laku wanita Kota Jambi dan juga
menemubuali Walikota Jambi sebagai informan kunci tentang kebijakan yang diambilnya
dalam isi-isu persekitaran di bandar Jambi.
3. 2. Metode
181
Tipe pendekatan kualitatif yang digunakan dalam penyelidikan ini adalah tipe
pendekatan kajian kes feminis, karena ingin mengamati fenomena dan tingkah laku wanita
di bandar Jambi berhubungkait dengan persekitarannya. Pendekatan ini digunakan kerana
dapat memberikan pemahaman yang utuh dan terintegrasi mengenai keterkaitan wanita
bandar Jambi dengan persekitaran. (Reinharz 2005), mengemukakan bahwa disamping
menghasilkan dan menguji teori, tipe pendekatan kes kajian feminis juga bertujuan untuk
menganalisis perubahan dalam fenomena sepanjang masa, menganalisis kesignifikanan
suatu fenomena sosial dan peristiwa-peristiwa di masa hadapan dan menganalisis
hubungan antara bagian dari suatu fenomena.
3. 4. Teknik pengumpulan data
Data yang diambil untuk menjawab pertanyaan penyelidikan ini diperoleh dengan
teknik wawancara berstrata dengan menggunakan soalan. Wawancara dibuat dalam bentuk
pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan model analisisnya. Soalan wawancara dibuat
sedemikian rupa sehingga pertanyaan yang diajukan dapat dimengerti oleh semua kalangan
informan dan diupayakan seringkas dan sepadat mungkin kerana menyesuaikan dengan
masa yang dimiliki informan untuk menjawabnya.
Sebelum melakukan pengumpulan data, penyelidik mencoba membangun ”rapor”
dengan subyek penyelidikan ini. Selain berempati pada pengalaman mereka dengan cara
memposisikan diri pada situasi mereka dan memahami kebiasaan atau cara hidup mereka.
Data kualitatif dilakukan guna mendapatkan pemahaman yang utuh dengan
tambahan maklumat yang dilakukan terhadap Walikota bandar Jambi, pejabat Jabatan
Alam Sekitar bandar Jambi, tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh
pemuda, aktivis-aktivis wanita serta wanita-wanita dari pelbagai profesi, tingkatan usia,
suku serta remaja dan kanak-kanak yang berdomisili di bandar Jambi untuk menyokong
data kualitatif dengan menggunakan kajian kes melalui pemerhatian terlibat, temu bual,
perpustakaan dan arkip:
182
3. 4. 1. Pemerhatian (Observasi)
Bogdan secara lebih tepat mendefinisikan pengamatan berperan serta sebagai
pengamatan yang bercirikan interaksi sosial yang memakan masa cukup lama antara
penyelidik dan responden dalam lingkungan responden, dan selama itu data dalam bentuk
catatan lapangan dikumpulkan secara sistematis dan berlaku tanpa gangguan. Selain itu
penyelidik juga menggunakan observasi naturalistik iaitu pendekatan dimana penyelidik
tidak menetapkan sebelumnya katagori dan klarifikasi, tetapi mengobservasi dengan cara
dan latar yang alamiah (Gay dan Airasian, 2003). Adapun aspek yang diungkap dari
observasi dalam penyelidikan ini adalah aspek dari tingkah laku wanita terhadap
lingkungan.
3. 4. 2. Wawancara
Wawancara yang dilakukan dalam penyelidikan ini adalah wawancara semi
terstruktur, iaitu wawancara yang pertanyaannya ditentukan terlebih dahulu dan berbentuk
open-ended question. (Gay dan Airasian, 2003). Dalam penyelidikan ini, penyelidik
dilengkapi dengan pedoman wawancara yang berfungsi semata-mata untuk memuat
pokok-pokok pertanyaan yang akan diajukan, iaitu open-ended question(pertanyaanpertanyaan terbuka) yang bertujuan menjaga agar arah wawancara tetap sesuai dengan
matlamat penyelidikan (Poerwandari, 2001).
3. 4. 3. Kepustakaan
Kaedah ini membantu penyelidik untuk mendapatkan data mengenai latar
belakang kelompok yang dikaji (Kota Jambi). Disamping itu, kaedah ini juga penting untuk
mendapatkan data sekunder mengenai subyek penyelidikan iaitu tingkah laku wanita dan
lingkungan. Data sekunder yang dihasilkan dari penyelidikan terdahulu akan dibandingkan
dengan hasil penyelidikan dari kerja lapangan ini. Perbandingan antara dua data ini penting
untuk mendapatkan gambaran sebenar mengenai tingkahlaku wanita terhadap lingkungan
yang dikaji.Kajian ini akan dijalankan di Perpustakaan Utama Universiti Malaya dan
Perpustakaan Kota Jambi
3. 4. 4. Dokumentasi
Sebagian pustaka yang dipakai dalam penyelidikan ini adalah laporan status
lingkungan daerah Kota Jambi, Perperpustakaan Kota Jambi, Pemerintah Kota Jambi,
Kepala Bappeda Kota Jambi, Kepala Bapedalda Kota Jambi, Dinas Kebersihan Kota
Jambi, NGO wanita, Lembaga Adat Daerah Jambi, Taman Budaya Jambi, Balai Pelayanan
Informasi Kehutanan (BPIK) Badan Kehutanan Kota Jambi, Camat Kecamatan Pasar
Jambi.
183
3. 5. Model analisis
Merujuk dari uraian sebelumnya, khususnya dalam kerangka berpikir, maka dalam
penyelidikan ini penyelidik mengajukan model analisis sebagai berikut
-
UMUR
TINGKAT PENDAPATAN
PENDIDIKAN
PEKERJAAN
LAMA DOMISILI
SUKU BANGSA
JUMLAH ANGGOTA
KELUARGA
-
ORIENTASI TINGKAH LAKU
SUMBER INFORMASI ALAM SEKITAR
PENGETAHUAN ALAM SEKITAR
TINGKAH LAKU PRO ALAM SEKITAR
(PRO ENVIRONMENTAL BEHAVIOR)
MOTIF PRO ALAM SEKITAR
SIKAP PRO ALAM SEKITAR
Rajah 2. Model Analisis
Dalam penyelidikan ini, penentuan informan lebih mempertimbangkan beberapa
lokasi. Dimana di masing-masing lokasi diambil informan secara rawak. Apapun yang
menjadi generalisasi dari hasil kesimpulan ini merupakan generalisasi untuk wilayah Kota
Jambi saja.
3. 6. Teknik analisis data
Teknik analisis data dimulai dengan langkah koding yaitu penyusunan transkrip
verbatin dari hasil pengumpulan data, kemudian dilakukan penomoran pada tiap baris
transkrip secara urut dan pemberian kode tertentu pada masing-masing berkas agar mudah
diingat dan mewakili masing-masing berkas (Poerwandari, 2005
184
Analisis data selanjutnya adalah analisis tematik yaitu proses menemukan
serangkaian tema yang mengambarkan fenomena tertentu. (Poerwandari, 2005). Teknik
analisis tematik penting dalam penyelidikan ini karena selain sebagai cara menganalisis
informasi kualitatif juga merupakan cara untuk mengamati aktivitas wanita Kota Jambi,
interaksi kumpulan dalam sistem sosial masyarakat Kota Jambi, situasi di kawasan dan
kebudayaan mereka. Berdasarkan tema-tema yang ditemukan, ditarik kesimpulan atau
dugaan sementara. Dalam analisis tematik tidak terdapat kendala karena model analisis
yang telah dibuat dalam bentuk skema sangat membantu. Penyelidik tinggal
mengelompokkan tema yang muncul dari hasil wawancara ke dalam tiga tema besar dalam
model analisis melalui sub-sub temanya. Tahapan selanjutnya adalah interpretasi,
Interpretasi yang digunakan adalah interpretasi menurut subyek penyelidikan yang dalam
hal ini wanita Kota Jambi.
4.TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Temuan dalam kajian ini, dimana permasalahan lingkungan dipandang sebagai
sesuatu yang disebabkan oleh tingkah laku manusia termasuk tingkah laku wanita yang
maladaptif. Oleh karennya perlu dicarikan solusi sesuatu yang boleh merubah tingkah laku
buruk wanita terhadap lingkungan yang bersumber dari ”human behavior”. Upaya-upaya
tersebut ditempuh melalui perbaikan tingkah laku prolingkungan (proenvironmental
behavior). Namun sebelum mengetahui apa saja yang harus dilakukan untuk memodifikasi
tingkah laku wanita terhadap lingkungan perlu diketahui terlebih dahulu apa sebenarnya
yang ada dibalik tingkah laku tersebut dan faktor apa saja yang mempengaruhinya.
Penyelidikan yang dilakukan di Kota Jambi ini mencoba memberikan gambaran
faktor yang mempengaruhi tingkah laku wanita tersebut sekaligus juga mengetahui apakah
tingkah laku wanita terhadap lingkungan tersebut dilandasi oleh kesadaran akan pentingnya
lingkungan di dalam kehidupan.
Hasil penyelidikan yang dilakukan di Kota Jambi ini adalah:
4. 1. Hasil penyelidikan ini terbukti bahwa perbedaan struktur wanita dalam
masyarakat tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kesadaran lingkungan seiring
berjalannya waktu. Terbukti bahwa dipenyelidikan ini, tingkat pengajian, pendapatan dan
suku bangsa tidak berpengaruh terhadap tingkah laku lingkungan. Dengan demikian teori
tentang lapisan sosial tidak berlaku untuk menjelaskan tingkah laku prolingkungan di Kota
Jambi sebagaimana dikatakan oleh Jonas dan Dunlap tentang The Broadening Bad
Hypothesis. Kesimpulan ini hanya berlaku untuk Kota Jambi saja.
4.2. Teori dasar nilai concern lingkungan dari Stern dan Dietz (1994) yang
mengembangkan teori Schwartz (1997) tentang model norma aktivasi, bahwa norma
moral lingkungan dapat diaktivasi melalui nilai-nilai sosioaltruistik, biosferik dan egoistik
masih dapat diterapkan untuk mengaktivasi concern lingkungan wanita Kota Jambi.
Aktivasi tersebut dapat dilakukan pada wanita muda, wanita single yang sedang menempuh
pendidikan, meningkatkan perhatian pada kaum wanita dan lebih gencar menyampaikan
pesan-pesan lingkungan melalui media cetak dan elektronik serta papan maklumat RT.
4. 3. Menurut Mc. Farlanc dan Boxall, pengetahuan (knowledge) memainkan
peranan penting dalam memperkuat hubungan tingkah laku dan sikap lingkungan. Hasil
penyelidikan ini memperkuat pendapat Farlanc dan Boxall bahawa pengetahuan
berhubungan dengan tingkah laku pro lingkungan. Sedangkan yang mengaktivasi
pengetahuan lingkungan adalah tingkat pendidikan, pendapatan, pekerjaan dan peran
media cetak dan elektronik serta papan informasi RT.
4.4. Peran pemerintah sangat dominan dalam membentuk habitus seperti yang
dikatakan Bourdieu. Ini terlihat dari program Adipura yang selama bertahun-tahun ikut
membentuk tingkah laku penduduk khususnya tingkah laku wanita terhadap lingkungan.
185
Walaupun setengah dipaksakan oleh instruksi dari tingkat atas, penduduk menta’atinya
melalui peran Ketua RT, Lurah dan Kepala Kampung yang dibantu oleh pekerja sosioal
(social worker). Sebagai perbandingan peran pemerintah juga menentukan keberhasilan
program lingkungan yang dilakukan di Curitiba-Brazil yang selalu dijadikan model
percontohan pengelolaan kebersihan kota oleh banyak kota-kota besar di dunia, Minamata
(Jepun) dan Taipei (ROC Taiwan). Dalam keberhasilan program kebersihan lingkungan,
di ketiga kota ini, tampak jelas peranan pemerintah yang dominan dibantu oleh partisipasi
penduduk yang terdiri dari laki-laki dan wanita.
Untuk mengaktifkan gerakan sosial penduduk agar tingkah laku wanita baik
terhadap lingkungan diperlukan seorang tokoh panutan yang dapat menggerakan wanitawanita untuk bertingkahlaku prolingkungan. Dengan demikian, berdasarkan hasil temuan
lapangan, habitus dan persekitaran (field) bukan hanya dibentuk oleh peranan pemerintah
semata, tetapi juga diperlukan adanya kepemimpinan guna menggerakan sebuah gerakan
sosial untuk membentuk suatu habitus baru.
4. 5. Sikap lingkungan terbentuk sebagai sebuah indikator dan komponen tingkah
laku prolingkungan. Sikap proteksi lingkungan adalah sebuah konsep tiga dimensi yang
meliputi environmental worldview,environmental concern dan environmental
commitment (Cluck, 1997). Sikap proteksi lingkungan dalam penyelidikan ini
mempengaruhi kelakuan pro lingkungan. Dengan demikian, penyelidikan ini membuktikan
pendapat Cluck bahwa beberapa faktor boleh mengaktivasi sikap proteksi lingkungan yaitu
motif lingkungan (nilai-nilai egoistik, biosfir dan altruistik), pernah mengikuti penyuluhan
lingkungan dan peran aparat pemerintah mulai dari RT, Lurah dan Kepala Kampung
sebagai pemberi pesan dan model lingkungan.
5.KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang tidak mengeneralisasi untuk seluruh kawasan kota di
Indonesia, karena penyelidik tidak melakukan perbandingan (komparasi) dengan kota lain
yang ada di Indonesia.
Kesimpulan yang penyelidik dapatkan sekaligus menjawab pertanyaan
penyelidikan tentang tingkah laku wanita telah di dorong dan menjadi gerakan sosial
wanita prolingkungan di Kota Jambi adalah sebagai berikut:
5. 1. Hal-hal yang mendorong dan menjadi gerakan sosial wanita prolingkungan di Kota
Jambi adalah tingkah laku prolingkungan yang terdiri dari pengetahuan, motif dan sikap.
5. 2. Adapunbentuk tingkah laku wanita terhadap lingkungan di Kota Jambi ada yang
berupa motivator dan lain sebagainya.
5. 3. Sedangkan usaha-usaha yang dilakukan oleh wanita untuk prolingkungan yang
mampan (sustainable) di Kota Jambi antara lain menanam pohon, menghemat elektrik,
memakai elektrik seperlunya saja dan lain-lain.
6.DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Anonim, (tt), Aku bisa menghemat energi, Jakarta: PT. PLN Distribusi Jakarta Raya &
Tangerang
Anonim, (1997), Mengurangi emisi gas rumah kaca, Jakarta|: Algas
Anonim, (1999), Metodhologi penyelidikan berperspektif perempuan dalam riiset sosial,
Jakarta: Program studi kajian wanita program pascasarjana Universitas Indonesia
Adriana Hernandez,.(1997), Pedagogy, democracy and fenism: rethinking the public
sphere,USA: State University of New York.
Al Adnani, A. F., (2008), Global Warming,Sebuah isyarat dekatnya akhir zaman dan
kehancuran dunia, Granada: Mediatama
186
Anastasi, Anne, (1988), Psychological testing-Sixth edition, New Jersey: Prentice Hall, Inc
Arief Budiman, (1985), Pembagian kerja secara seksual, sebuah pembahasan sosiologis
tentang peran wanita di dalam masyarakat, Jakarta: PT. Gramedia
Arief Kristianto, (2010), Tanggap bencana alam banjir-Seri tanggap bencana, Bandung:
Angkasa
Aquarini Priyatna Prabasmoro, (2006), Kajian budaya feminis: Tubuh, sastra, dan budaya
pop, Yogyakarta & Bandung: Jalasustra
Azwar, I., (2003), Sikap manusia-Teori dan pengukurannya-Edisi ke-2 cetakan ke IV,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset
A. Supratiknya, (2008), Statistik psikologi, Jakarta: PT. Grasindo
B.
Tresna Sasrtawijaya, (2009), Pencemaran lingkungan, Jakarta: Rineka Cipta
Bahar, Yul, H., (1986), Teknologi penanganan dan pemanfaatan sampah, Jakarta: Waca
Utama Pramesti
Bambang Wintoko, (TT), Panduan praktis mendirikan Bank Sampah, Yogyakarta: Pustaka
Baru Press
Bandarage, A., (1997), Women, population and global crisis, London: Zed Books
Barber, S., Carroll, V., Mawle, A. and Nugent, C., (1997), Gender 21, women and
sustainable development, London: UNED UK
Barry, J., (2007), Environmet and social theory, 2th ed,
Bell, P. A. et al.,.(1978), Environmental psychology, Philadelphia: W. B. Saunders Co
Biehl, J., (1991), Rethinking eco-feminst politics, Boston-MA: South end Books
Black, R., (1998), Refugees, environment and development, Harlow: Longman
Bourdieu, P., (1984), A Social critique of the judgement of taste, CambridgeMassachusetts: Harvard University Press
Breton, M. J., (1998), Women pioneers for the environment, Boston-MA: Northeastern
University Press
Buckingham-Hatfield, S., (2000), Gender and environment, London & New York:
Routledge
Budiharjo, E, dan Harjohubojo, S. (1993), Kota berwawasan lingkungan: Bandung:
Alumni
Burhan Bungin, (2010), Analisis data penelitian kualitatif, Jakarta: Rajawali Pers
Cadbury, D., (1997), The feminisation of nature: Our future at risk, Harmondsworth:
Hamish Hamilton
Cecep Dani Sucipto, (2012), Teknologi Pengolahan Daur Ulang Sampah, Yogyakarta:
Gosyen Publishing
Chandler Barbour, at.all. (2005). Famlies, schools, and communities. USA: Pearson
Merrill Prentice Hall
Christine Skelton. (1989), Whatever happens to little women: gender and primary
schooling, USA: Open University Press
Coolican, Hugh, (1993), Research methods and statistics in psychology, Great Britain:
Apek Typesetters
Djam’an Satori, Aan Komariah, (2011), Metodologi penelitian kualitatif, Bandung:
Alfabeta
Deddy Kurniawan Halim, (2008), Psikologi lingkungan perkotaan, Jakarta: Bumiaksara
Dobson, A., (1999), Fairness and futurity: Essays on environmental sustainability, Oxford:
Oxford University Press
Edwards, Allen, L., (1957), Techniques of attitude scale construction, New York:
Appleton-Century-Crofts Inc
Emzir, (2012), Metodologi penelitian kualitatif-analisis data, Jakarta: Rajawali Pers
187
Epstein,J.L., Sanders,M.G.,Simon,B.,Salina,K.,Jansorn,N., & Van Voorhis, F. (2002),
Schoos, familiy and community partnerships: Your handbook for action (2nd Ed.,).
Thousand Oaks, CA: Corwin Press
Faridah binti Nazir, Maridah binti Hj. Alias, (2013), Fonetik & Fonologi Bahasa Melayu,
Malaysia: Penerbitan Multimedia, SDN. BHD
F. Gunarwan Suratmo, (2009), Analisis mengenai dampak lingkungan, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press
Giddens, A., (1985), Kapitalisme dan teori sosial modern-Suatu analisis karya tulis Marx,
Durkheim dan Max Weber
Gusti Ayu Ketut Surtiari, dkk, (2012), Adaptasi masyarakat perkotaan terhadap
perubahan kualitas udara, Jakarta: Bidang Ekologi Manusia Pusat Penelitian
Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPK-LIPI)
Hajah Noresah bt Baharom, BSc (UM)< MA (Birmingham)-Ketua Editor, (2010), Kamus
Dewan-Edisi Keempat, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka
Halley, NAD, (1999), The Best-Ever book of disasters, --: Kingfisher Publication Plc
Hawkins, Osyoe, M., (tt), Kamus Dwi Bahasa Oxford Fajar, Bahasa Inggris-Bahasa
Melayu, Bahasa Melayu, Bahasa Inggris, Edisi keempat, Selangor Darul Ehsan:
Oxford Fajar, Sdn. Bhd
Hendry Giroux, (1992), Border crossing: Cultural workers and the politics of education,
New York dan London
Herbert Grossman dan Suzanne H.Grossman, (1994), Gender issues in education, USA:
Joekes, S., Green, C, and Leach, M., (1996), Integrating gender into environmental
research, Brighton: IDS Publications
Juli Soemirat Slamet, (2009), Kesehatan lingkungan, Yogyakarta: Gajah Mada University
Press
Kerlinger, F. N and H. B. Lee, (2000), , Orlando: Harcourt, Inc Foundations of behavioral
research, 4 th-ed
Kerlinger, Fred N and Elazar J. Pendhazur, (2001), Multiple regression behavioral
research, USA: Holt, Rinehart & Winston, Inc
Kusnoputranto, Haryoto, (1983), Kesehatan lingkungan, Jakarta: FKM-UI
Kristi Poerwandari, (2001), Pendekatan kualitatif untuk penelitian tingkah laku manusia,
Jakarta: Lembaga pengembangan sarana pengukuran dan pendidikan psikologi
(LPSP3)-Fakulti Psikologi-Universitas Indonesia
Mann, Richard, (1994), Perjuangan untuk lingkungan, Canada|: Gateways Books
Manschot, Chaterine A., (1991), Urban solid waste management system for the city of
Jakrta-Indonesia: An assessment of conventional solid waste management, an
alternative solid waste management system, and a feasibility stuudy of integrated
resource recover, USA: York University
Mar’at, (1981), Sikap manusia-perubahan serta pengukuran, Jakarta: Ghalia Indonesia
McNaughton, S. J., & L. L. Wolf, (1990), General ecology: Second Edition: New YorkUSA: Holt, Rinehart and Winston
Mohamad Soerjani, Arief Yuwono dan Dedi Fardiaz, (2007), The living environmentEducation, environmental management and sustainable development,
Jakarta:Yayasan Institut Pendidikan dan Pengembangan Lingkungan
Moleong, Lexy J,. (2000), Metodologi penyelidikan kualitatif, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya
Nanang Martono, (2011), Sosiologi perubahan sosial-Perspektif klasik, modern,
posmodern dan poskolonial, Jakarta: Rajawali Press
188
Nicolas, C., Tijah Yok Chopil & Tiah Sabak, (2003),Orang asli women and the forest,
Subang Jaya: COAC
Outerbridge, Thomas B, (1991), Sisa pepejal padat di Indonesia; perkara atau sumber
daya?. Ed. Ke 1, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Otto Soemarwoto, (1991), Indonesia dalam kancah isu lingkungan global, Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama
Oskamp, S., (2000), A sustainable future for humanity? How can psychology help?
American psychologist
Oxlade, Chris, (2007), Mengenal bencana alam: Banjir, Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer
Parker, Russ, (2009), Selamatkan bumi kita: Krisis pengelolaan sampah, Jakarta: PT
Bhuana Ilmu Populer
Parsudi suparlan, (1994), Metodologi penelitian kwalitatif, Jakarta: Program kajian
kawasan Amerika program pascasarjana Universitas Indonesia
Plumwood, V., (1993), Feminism and the mastery of nature. London: Routledge
Putnam Tong, Rosemarie, (1998), Feminist thought: A more comprehensive introductionsecond edition, Colorado: Westview Press
Ratna Dwi Santoso, Mustadjab Hary Kusnadi, (1992), Analisis Regresi, Yogyakarta: Andi
Offset
Ritzer, G., (1996), Modern sociological theory-fourth edition, USA: Mc Graw-Hill
Companies
________ , (2007), Teori sosiologi modern-edisi ke-6, cetakan ke-4,
Riyadi, AL. Slamet, (1984), Kesehatan lingkungan, Surabaya: Karya Anda
Rose, G.,(1993), Feminism and geography: The limits of geographical knowledge.
Cambridge: Polity Press
Rosli Umar, (2002), Sungai Selangor Dam: Orang asli and the environment. In people
before profits. The rights of Malaysian Communities in development. Edited by Kua
Kia Soong, Kuala Lumpur: SIRD and SUARAM
Saifuddin Azwar, (1997), Reliabilitas dan validitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sarlito Wirawan Sarwono, (1992), Psikologi lingkungan, Jakarta: Program pascasarjanaprogram studi psikologi Universitas Indonesia dengan PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia
Seager, J., (1993),Earth follies: feminism, politics and the environment, London: Earthscan
Sevilla, Consuelo, G., at all, (1988), An introduction in research methods, Philippines: Rex
Printing Company
Simmons, I., (1997), Humanity and environment, Harlow: Addison, wesley, Longman
Smith, Jonathan, A, (2008), Qualitative psychology: A practical guide in research methods,
London, Los Angeles, New Delhi, Singapore & Washington DC: Sage Publications
Soeryani, M, (1997), Pembangunan dan lingkungan: Meniti gagasan dan pelaksanaan
sustainable development, Jakarta: Institut Pendidikan dan Pengembangan
Lingkungan
Sondang K, Susanne Siregar, Anto Ikayadi (Ed), (2008), The hot children soup for global
warming-Refleksi kritis anak Indonesia tentang krisis alam sekitar, Depok: Aksara
pustaka
Soemarwoto, Otto, (1983), Ekologi lingkungan hidup dan pembangunan, Bandung:
Djambatan
Soeryani, Muhammad, Ahmad, Rafiq, Munir, Rozy, (1987), Lingkungan, sumberdaya
alam dan kependudukan dalam pembangunan, Cetakan ke 1, Jakrta: UI Press
Sudjana, (1992), Metoda statistika, Bandung: Tarsito
Sugiyono, (2010), Memahami penelitian kualitatif, Bandung: CV. Alfabeta
189
Sukamto Hadisuwito, (2012), Membuat pupuk organik cair, Jakarta: PT Agromedia
Pustaka
Sumadi Suryabrata, (2000), Pengembangan alat ukur psikologis, Yogyakarta; Andi
Suminaring Prasojo, (2012), Memupuk uang dari sampah, cara kaya dengan kompos,
Jakarta: Bestari
Susan Buckingham-Hatfield, (2000), Gender and environment, London: Routledge
Tashakkorim, Abbas, Teddlie, Charles, (2010), Mixed methodology-combining qualitative
and quantitave approaches, California: Sage Publications
Tham, P. (Ed), (2011), Longman kamus dwibahasa, Bahas Melayu-Bahasa Inggris,
Bahasa Inggris-Bahasa Melayu, Selangor Darul Ehsan: Pearson Malaysia, SDN,
BHD
Turner, Jonathan H, (1997), The strusture of sociological theory-Sixth Edition
Ully Hary Rusadi, (1996), Buku panduan: Pandu lingkungan Indonesia, Jakarta: (tidak ada
penerbitnya)
Vanessa Griffen, (2001), Seeing the forest for the people-a handbook on gender, forestry
and rural livelihoods, Kuala Lumpur: APDC GAD Programme
Wisno Arya Wardhana, (2010), Impak pemanasan global, Yogyakarta: Andi offset
Yayasan Garuda Nusantara, (1997), Peranan wanita dalam lingkungan lestari, Edisi
Pertama, Jakarta; Inti Surya
Yusmar Yusuf, (1991), Psikologi antar budaya, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Zoer’aini Djamal Irwan, (2009), Besarnya eksploitasi perempuan dan lingkungan di
Indonesia, Jakarta: PT Elex Media Komputindo
Serial:
Cluck, R., et al., (1997), Attitudes towards and commitment to environmentalism: A
multidimentional conceptualization, Canada:Toronto-Ontario: Paper presented at
the 60 th meeting of the rural sociological society
Dietz, Frey & Rosa (2000), Risk assesment and management. The environment and
sociaety reader.USA: A pearson education company
Hague, Paul, Harris, Paul, (1995), Sampling & statistika, Seri praktis No. 9, Jakarta: PT.
Pustaka Binaman Pressindo
Kalantari, K. Fami, H. S., Asadi, A, & Mohammadi, M, (2007), Investigating factors
affecting environmental behavior of urbanresidents: A case study in Tehran CityIran, American Journal of environmental sciences 3 (2)
Kennedy, John, E., (2009), Era bisnis ramah lingkungan-seri marketing communication,
Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer
Lee, A. E & Norris, J. A., (2000), Attitudes toward environmental issues in East Europe,
International Journal of Public Opinion Research Vol 12 No. 2
McFarlanc, B. & Boxall, P, (2003), The role of social psychological and social structural
variables in environmental activism: An example of the forest sector, Journal
Environmental Psychologist
Merton, R. K., (1938), Social structure and anomie. American sociological review 3
Miller, J. D., (1990), The public understanding of science and technology in the United
States, 1990 (A report submitted to the national science foundation), IL: Public
Opinion Laboratory
Pembangunan sosial dan persekitaran, (2006), Jurnal sosiologi masyarakat, Edisis|: Vol
XIII, No. 2 Disember 2006
Schultz, P.W., (2001), The structure of enviromental concern: concern for self, other
people and biosphere, Journal of environmental psychology-21
190
Stern, P. C., & Dietz, T., (1994), The value basis of environmental concern, Journal of
social issues 50, 65, 84
Stern, P. C., & Dietz, T., Kalof, L., & Guagano, G. A., (1995), Values, beliefs, and
proenvironmental action: Attitude formation toward emergent attitude objects,
Journal of applied social psychology-25
Tarrow, S., (1989), Struggles, politics and reform: Collective action social movemets, and
cylcle of protest. Western societies program occasional paper no. 21, Center for
international studies, cornell university
Peraturan dan Sumber Lain:
Anonim, (2001), Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999 tentang
pengendalian pencemaran udara, Jakarta: Bapedal
Badan Pusat Statistik dengan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, (2005),
Pembangunan manusia berbasis gender, Jakarta: Badan Pusat Statistik dengan
Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan
Bapedalda Kota Jambi. (2007), Status lingkungan kawasan Kota Jambi tahun 2008, Jambi:
Bapedalda
Camat Pasar Jambi dengan Koordinator Statistik Kecamatan Pasar Jambi, (2010),
Kecamatan Pasar Jambi dalam Angka-Pasar Jambi in Figure, Jambi: Kecamatan
Pasar Jambi
Pemerintah Kota Jambi, (2007), Buku putih sanitasi Kota Jambi tahun 2007, Jambi:
Pemkot Bandar Jambi.
_____________________, (2007), Buku data status lingkungan kawasan Kota Jambi,
Jambi: Pemkot Bandar Jambi
Pemerintah Kota Jambi bekerjasama dengan Lembaga Adat Tanah Pilih Pesako Betuah
Kota Jambi, (2004), Ikhtisar adat Melayu bandar Jambi-Cetakan ke II, Jambi:
Pemkot Bandar Jambi
_____________________, (1993), Buku pedoman adat Jambi, Jambi: Lembaga Adat
Provinsi Jambi dan Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi
_____________________, (2003), Dinamika adat Jambi dalam era global, Jambi:
Lembaga Adat Provinsi Jambi
______________________, (2006), Himpunan materi pembekalan adat istiadat melayu
Jambi bagi para Ketua Lembaga Adat Kecamatan dan para pengurus Lembaga Adat
Kabupaten/Kota dalam Provinsi Jambi Angkatan ke VI dan VII, Jambi: Lembaga
Adat Melayu Jambi
Surat Keputusan Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyihatan
Persekitaran Permukiman Nomor 281-II/P. D. 03. 04. L. P tahun 1989 tentang
persyaratan kesehatan pengelolaan sampah, Jakarta: Kantor Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Permukiman
Latihan Ilmiah:
Anonim, (2000), Cara mudah dan cepat memanfaatkan sampah menjadi kompos, Jakarta:
Hari Lingkungan Hidup 5 Juni 2000
Soeriaatmadja, RE, (1984), Program penanggulangan sampah domestik, Jakarta: Makalah
disampaikan pada Kamus Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Lingkungan
Hidup
Zawawi Ibrahim, Sharifah Zarina Syed Zakaria, (2009), Environment and social science
perspectives in Malaysia, Malaysia: Akademika 76 (Mei-Ogos 2009, 41-64)
Surat Sebaran dan Risalah:
191
Kementrian Kesihatan Malysia, (----), Awas ! Penyakit bawaan air dan makanan, Anda
boleh mengelakannya, Malaysia: Bahagian Pendidikan Kesihatan dengan kerjasama
Bahagian Kawalan Penyakit Kementrian Kesihatan Malaysia
Akhbar dan Majalah:
Jambi Ekspres, (2011), Sampah di RT 19 Pasir Putih butuh perhatian, Jambi: Rabu 23hb
Maret 2011, muka surat 16 lajur 2, 3, 4, 5, 6
------------------, (2011), Pengelolaan sampah terkendala angkutan, Jambi: Sabtu 16hb
April 2011, muka surat 24 lajur 2, 3, 4
------------------, (2011), Pasang iklan di pohon bisa merusak, Jambi: Sabtu 16hb April
2011, muka surat 24 lajur 1, 2, 3, 4
------------------, (2012), Titik api bertambah, Jambi: Selasa 18hb September 2012, muka
surat 21 lajur 2, 3, 4
------------------, (2012), Kabut asap makin merajela, sebahagian siswa SD dan TK
diliburkan, Jambi: Selasa 18hb September 2012, muka surat 1 lajur 2, 3, 4, 5, 6, 7
------------------, (2012), Penerbangan kembali terganggu, Jambi: Khamis 06hb September
2012, muka surat 1 lajur 3, 4
------------------, (2012), Jasa pengiriman barang rugi, Jambi: Isnin 01hb Oktober 2012,
muka surat 0 lajur 2
------------------, (2012), Kabut tak sehat lagi, Jambi: Isnin 01hb Oktober 2012, muka surat
9 lajur 3, 4
Media Indonesia, (1993), Media Indonesia, Jakarta: 25hb Juni 1003, muka surat 4 lajur 1
Posmetro Jambi, (2011), Iklan polusi udara, Jambi: Senin 14hb November 2011, muka
surat 12 lajur 1
R.Valentina, (2003). Kompas, Jakarta:
Tribun Jambi, (2011), Himbauan kerajaan bandar Jambi, Jambi: Senin 14hb November
2011, muka surat 12 lajur 1
------------------, (2012), Cuaca ekstrem mengintai, Hujan deras disertai angin kencang,
Jambi: Isnin 22hb Oktober 2012, muka surat 9 lajur 5, 6, 7
--------------------, (2012), Masih berstatus siaga IV, Kondisi debit air di bandar Jambi,
Jambi: Rabu 12hb Disember 2012, muka surat 9 lajur 2, 3, 4
--------------------, (2012), Menangis, Jambi: Rabu 26hb Disember 2012, muka surat 16 lajur
2
--------------------, (2012), Drainase burok, Jambi: Sabtu 03hb November 2012, muka surat
8 lajur 1
-------------------, (2012), Berenang, Jambi: Rabu 26hb Disember 2012, muka surat 16 lajur
1
-------------------, (2012), Sampai kapan melawan asap, Jambi: Juma’at 28hb September
2012, muka surat 10 lajur 1
--------------------, (2012), Kalah dengan asap, Jambi: Selasa 02hb Oktober 2012, muka
surat 10 lajur 1
-------------------, (2012), Bandara Jambi lumpuh, Semua penerbangan dibatalkan, Jambi:
Khamis 27hb September 2012, muka surat 1 lajur 5, 6
-------------------, (2012), Lion Air Mendarat di Palembang, Sore jarak pandang 1000
meter, Jambi: Ahad 30hb September 2012, muka surat 3 lajur 1, 2, 3, 4
--------------------, (2012), Kabut asap makin pekat, Pengendara motor diimbau pakai
masker, Jambi: Isnin 07hb Oktober 2012, muka surat 17 lajur 5, 6,
192
KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM PELAKSANAAN
PEMERINTAHAN DAERAH DI PROVINSI SULAWESI UTARA
Dr. Shirley Y. V. I. Goni., S.Sos. M.Si
Staf Pengajar di FISPOL Unsrat,
193
email : [email protected]
Abstrak
Secara formal, sebenarnya tidak ada satu aturan pun yang mendiskriminasikan perempuan
dalam penyelenggaraan pemerintahan maupun dalam kehidupan publik lainnya. Namun
faktor manusia, nilai-nilai sosial budaya, struktural dan kelembagaan, penerapan tata
pemerintahan yang belum spenuhnya tidak tanggap gender, belum optimalnya political
will dari para penentu kebijakan di pusat dan daerah untuk melaksanakan gender
mainstreamin menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari peran perempuan dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Fenomena ini berbeda dengan penyelenggaraan
pemerintahan di Provinsi Sulawesi Utara yang banyak memberikan ruang dan peran
kepada perempuan dalam memimpin daerah maupun satuan kerja pemerintahan
daerah.Dengan menetapkan kepemimpinan perempuan dalam pelaksanaan pemerintahan
daerah yang dikaji dari perpektif gender sebagai objek kajian dan mengambil lokasi di
Provinsi Sulawesi Utara, penelitian ini menggunakan desain kualitatif. Dari analisis yang
dilakukan ditemukan bahwa bahwa kepemimpinan perempuan dalam pelaksanaan
pemerintahan daerah di Provinsi Sulawesi Utara yang dikaji dari perpektif gender banyak
menggambarkan penerapan teori kontingensi situasional juga menerapkan gaya perilaku
kepemimpinan birokrasi yang mengutamakan pada prosedur, peraturan dan mekanisme
kerja dengan tidak melupahkan pengembangan hubungan informal dalam rangkah
mengimbangi hubungan formal yang terjadi pada pelaksanaan pekerjaan setiap hari. Oleh
karenanya guna mewujudkan keberhasilan kepemimpinan maka diperlukannya
kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional dalam pengembangan kemampuan
individu dan kelompok yang dipimpinnya.
Kata Kunci : Kepemimpinan, Perempuan, Pemerintahan Daerah.
1.PENDAHULUAN
Interaksi di dalam kehidupan manusia membentuk pola hubungan saling sejajar
atau vertikal maupun saling mendominasi. Dalam kaitannya dengan penggunaan kata
pemerintahan yang berasal dari kata pemerintah dan terbentuk dari kata perintah yang
memiliki arti menyuruh menyelesaikan suatu pekerjaan. Peristiwa yang terjadi dalam
proses pemerintahan ini merupakan salah satu bentuk hubungan antar manusia dan
merupakan gejala sosial. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Wasistiono
(2002:5) bahwa pemahaman akan ilmu pemerintahan sebagai ilmu yang mempelajari
hubungan antara rakyat dengan organisasi tertinggi negara (pemerintah) dalam konteks
kewenangan dan memberi pelayanan. Sehingga dapat dikatakan “peristiwa atau gejala
pemerintahan adalah gejala sosial, artinya terjadi di dalam hubungan anggota masyarakat,
baik individu dengan individu, kelompok dengan kelompok, maupun individu dengan
kelompok” (Ndraha, 1997:6).
Peristiwa atau gejala pemerintahan yang dipahami sebagai gejala sosial dalam
hubungan anggota masyarakat baik individu dengan individu, kelompok dengan kelompok,
maupun individu dengan kelompok juga tidak dapat dipisahkan dalam penyelenggaraan
pemerintahan salam sistem birokrasi yang memerlukan pemimpin dalam menjalankan
kepemimpinan suatu organisasi perangkat daerah.
Provinsi Sulawesi Utara yang memiliki lima belas kabupaten/Kota sejak tahun
2012 sampai dengan tahun 2016 dalam penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota
perna dipimpin oleh enam orang bupati/walikota perempuan dan dua orang wakil
bupati/wakil walikota perempuan, tiga orang perempuan sekretaris daerah dan lebih dari
dua puluh kepala satuan kerja perangkat daerah perempuan. Dalam penyelenggaraan
194
pemerintahan sampai dengan saat ini tidak satupun yang terkait dengan masalah hukum
dalam penyelenggaraan pemerintahannya baik bupati/walikota, sekretartis daerah maupun
kepala satuan kerja perangkat daerah.
Situasi yang demikian ini menjadi suatu yang menarik dalam kajian social
humaniora mengingat dewasa ini tidak sedikit pejabat birokrasi yang gagal menjalankan
pemerintahan daerah dan bahkan banyak diantaranya yang harum mengahiri periode
pemerintahan di balik jeruji besi. Fenomena permasalahan ini harus diakui tidak dapat
dipisahkan dari proses kepemimpinan yang dijalankan oleh pimpinan termasuk didalamnya
para perempuan yang diberi kepercayaan untuk memimpin daerah atau satuan kerja
perangkat daerah. Dengan memahami fenomena permasalahan diatas, kajian ini
difokuskan pada kepemimpinan perempuan dalam pelaksanaan pemerintahan daerah di
Provinsi Sulawesi Utara yang dikaji dari perspektif gender.
2.METODE PENELITIAN
Penelitian ini menetapkan kepemimpinan perempuan dalam pelaksanaan
pemerintahan daerah yang dikaji dari perspektif gender sebagai objek kajian dengan
mengambil lokasi di Provinsi Sulawesi Utara. Didalam penelitian ini peneliti menggunakan
desain penelitian kualitatif dengan suatu penelitian kontekstual yang menjadikan manusia
sebagai instrumen, dan disesuaikan dengan situasi yang wajar dalam kaitannya dengan
pengumpulan data yang pada umumnya bersifat kualitatif (Creswell, 1994). Dengan
mempertimbangkan faktor kebutuhan akan data dan informasi, maka data dikumpulkan
melalui wawancara dengan informan yaitu perempuan yang pernah menjadi dan sementara
menjabat sebagai Bupati/Walikota/Wakil Bupat/Wakil Walikota, mantan Sekretaris
Daerah dan pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah di Lingkup Pemerintahan Provinsi
Sulawesi Utara, serta didukung dengan observasi dan penggunaan dokumen yang terkait
kepemimpinan perempuan. Data yang dikumpulkan dianalisis melalui tahapan kategorisasi
dan mereduksi data, data dan informasi yang dikelompokkan selanjutnya disusun dalam
bentuk narasi-narasi, melakukan interpretasi pada data, pengambilan kesimpulan
berdasarkan susunan narasi dan melakukan verifikasi hasil analisis data dengan informan
yang didasarkan pada kesimpulan (Triangulasi).
3.HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemahaman akan perempuan dalam proses kerja dan interaksi sosial dewasa ini
lebih dikenal dengan istilah gender. Gender adalah sekumpulan nilai atau ketentuan yang
membedakan identitas sosial laki- laki dan perempuan, serta apa yang harus dilakukan oleh
perempuan dan apa yang harus dilakukan oleh laki - laki dalam hal ekonomi, politik, sosial
dan budaya baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan bangsa (Brett, 1991). Gender
adalah suatu ciri yang melekat pada kaum lelaki maupun perempuan yang dikonstruksikan
secara sosial maupun kultural (Faqih, 1996). Pembedaan Gender berdampak terhadap
pembedaan dalam distribusi kekuasaan antara laki- laki dan perempuan, hal ini selanjutnya
berkaitan dengan distribusi kekuasaan dalam akses dan kontrol terhadap pendapatan.
Sejarah pembedaan Gender antara laki- laki dan perempuan terbentuk melalui
proses yang panjang, melalui proses sosialisasi, diperkuat dan dilembagakan baik secara
sosial, kultural, melalui ajaran keagamaan dan bahkan melalui peraturan-peraturan negara.
Sehingga sering dianggap bahwa ketentuan Gender tersebut merupakan ketentuan yang
tidak dapat dirubah karena dianggap sebagai ketentuan yang sudah sewajarnya.
Pembedaan secara gender sebenarnya tidak menjadi masalah selama tidak menimbulkan
persoalan-persoalan. Namun yang menjadi masalah ternyata pembedaan Gender telah
melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki- laki dan (terutama) bagi kaum
perempuan. Bentuk ketidakadilan dan penindasan tersebut antara lain berupa subordinasi,
195
diskriminasi, marjinalisasi, kekerasan, pelebelan negatif serta beban kerja yang berat
sebelah (Faqih, 1996). Manifestasi dari ketidakadilan gender tersebut membawa akibat
terhadap timbulnya berbagai masalah dalam kehidupan.
Persoalan Gender adalah persoalan hubungan laki- laki dan perempuan, suatu
hubungan dimana dalam banyak kasus perempuan secara sistematis disubordinasikan.
Gender menjadi persoalan ketika nilai-nilai yang terkandung dalam ketentuan gender
tersebut menghambat seseorang untuk mempunyai akses dan kontrol terhadap sumber daya
dan hasil-hasilnya. Dominasi ekonomi laki- laki yang merupakan terjemahan dari
‘kekuasaan laki- laki', telah menggiring perempuan ke dalam kedudukannya sebagai orang
kedua yang kurang begitu penting dibandingkan dengan laki- laki. Dalam sebagian besar
masyarakat anggapan laki-laki sebagai pencari nafkah utama atau laki-laki sebagai pekerja
produktif sangat dominan meskipun kenyataannya tidak demikian. Laki- laki senantiasa
beranggapan bahwa dalam keluarga mereka memegang peran sebagai penghasil
pendapatan utama dan penentu segala keputusan. Hal ini tetap berlangsung meskipun
dalam keadaan dimana pengangguran laki- laki tinggi dan kerja produktif perempuan
sesungguhnya memberikan penghasilan utama. Subordinasi terhadap perempuan sering
menempatkan perempuan pada situasi yang tidak menguntungkan, seperti perempuan tidak
mempunyai posisi untuk mengambil keputusan.
Sementara itu berkaitan dengan kepemimpinan secara harfiah kepemimpinan
dipahami bahwa kepemimpinan diadopsi dari bahasa inggris yaitu leadership. Leadership
berasal dari akar kata to lead yaitu berupa kata kerja yang berarti memimpin, Lebih lanjut
kepemimpinan tersebut dapat dipahami sebagai to show the way to by going in advance.
Bertolak dari pengertian secara harfiah tersebut diatas maka dengan demikian memimpin
merupakan suatu pekerjaan seseorang tentang bagaimana cara untuk mengarahkan (direct)
orang lain (Sulistiyani, 2008:9).
Adapun pemaknaan secara terperinci artinya
kepemimpinan juga harus dipahami dari sisi pelaku kepemimpinan, yang disebut dengan
istilah leader (pemimpin), yaitu orang yang melakukan aktivitas atau kegiatan untuk
memimpin. Pemimpin merupakan orang yang menjalankan kepemimpinan atau dapat
dimengerti sebagai a person who leader other a long way guidence.(Sulistiyani, 2008:10).
Dari pengertian ini jelaslah bahwa pemimpin adalah orang yang memimpin orang
lain, dengan cara memberikan petunjuk, atau dengan dimaknai secara lebih formal bahwa
dalam menjalankan kepemimpinan seseorang tersebut memberikan perintah-perintah.
Dengan pengertian ini maka kreasi-kreasi dan inovasi-inovasi pemimpin sebagai subyek
yang menjalankan peran untuk memimpin tersebut sangat penting. Muara dari pemahaman
kepemimpinan ini terletak pada “proses”. Proses tersebut menunjukan interaksi antara
pemimpin dengan anak buah dalam rangka pencapaian tujuan bersama. Berdasarkan pada
pemaknaan secara harafiah tersebut, maka dalam memahami kepemimpinan sebaiknya
juga melihat bahwa konsep kepemimpinan dipahami sebagai kemampuan atau kapasitas
yang dimiliki oleh seseorang, sehingga orang tersebut dapat menjalankan fungsi
kepemimpinan secara memadai.
Banyak konsep kepemimpinan dari para ahli administrasi dan manajemen. Salah
satunya adalah konsep kepemimpinan menurut Joseph C.Rost, (2004:3) yang berpendapat
bahwa kepemimpinan adalah sebuah hubungan yang saling mempengaruhi antara
pemimpin dan pengikut (bawahan) yang menginginkan perubahan nyata yang
mencerminkan tujuan bersama. Sementara itu Nawawi (2016:18) yang didasarkan pada
pendapat Churchil mengungkapkan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan dan
keterampilan mnegarahkan, merupakan factor (aktivitas) penting dalam efektivitas
manajer/pemimpin.
Dalam perkembangannya, kepemimpinan dapat dilihat dari teori Great Man dan
teori Big Bang, teori sifat/kepribadian, teori perilaku maupun teori kontingensi, serta tipe
196
otoriter, demokratis, bebas dan gaya kepemimpinan ahli/ekspert, kharismatik, paternalistic
dan transformasional (Nawawi, 2016 : 72). Pesatnya perkembangan kepemimpinan dalam
kajian ilmiah menunjukkan bahwa kepemimpinan merupakan kegiatan sentral di dalam
sebuah kelompok (organisasi) dengan seorang pemimpin puncak sebagai figure sentral
yang memiliki wewenang dan tanggungjawab dalam mengefektifkan organisasi dalam
mencapai tujuannya.
Dari penelitian yang dilakukan ditemukan bahwa kepemimpinan perempuan
dalam pelaksanaan pemerintahan daerah di Provinsi Sulawesi Utara yang dikaji dari
perspektif gender banyak menggambarkan penerapan teori kontingensi situasional. Yang
dikemukakan oleh Hersey dan Blanchard adalah yang memberikan penekanan pada
pengikut-pengikut dan tingkat kematangan mereka. Para pemimpin harus menilai secara
benar atau secara intitutif mengetahui tingkat kematangan pengikut-pengikutnya dan
kemudian menggunakan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan tingkatan tersebut.
Penerapan kepemimpinan situasional ini menjadikan kepemimpinan yang efektif yang
diwujudkan melalui kemampuan memilih perilaku atau gaya kepemimpinan yang tepat
berdasarkan tingkat kesiapan dan kematangan anggota organisasi atau bawahan.
Pembentukan pemerintahan daerah bertujuan untuk mencapai kesejahtraan
rakyat melalui efektivitas dan efisiensi dalam pelayanan kepada masyarakat. Dalam
penyelenggaraan pemerintahan maka daerah diberi kepercayaan untuk mengatur dan
mengurus daerahnya secara luas, nyata dan bertanggungjawab. Dalam hubungannya antara
pemerintah dengan warga negara makna pemerintah yang diberi istilah governance (tata
pemerintahan) sebagai pendamping kata government telah mengubah secara mendalam
praktek – praktek penyelenggaraan pemerintahan yang mencakup dimensi struktur,
fungsional dan kurtural.
Perubahan struktur berkaitan dengan struktur hubungan pemerintah ousan dan
pemerintah daerah, struktur hubungan antara eksekutif dengan legislatif maupun struktur
hubungan pemerintah dengan masyaraka. Perubahan fungsional berkaitan dengan
perubahan fungsi – fungsi yang dijalankan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah
maupun masyarakat, dan perubahan kultur berkaitan dengan perubahan pada tata nilai dan
budaya yang mendasari hubungan kerja intraorganiasi, antarorganisasi maupun
ekstraorganisasi termasuk didalamnya pada peran perempuan dalam penyelenggaraan
pemerintahan.
Pada penyelenggaraan pemerintahannya, para perempuan yang memimpin satuan
kerja perangkat daerah selalu mempertimbangkan kemampuan dari para bahawannya,
sehingga dari data lapangan ditemukan bahwa upaya untuk menjadikan bawahan memiliki
kemampuan yang baik dalam menjalankan tugas yang dipercayakan dan menjadikan
kepemimpinannya berjalan dengan baik banyak memperkuat bawahan dengan
mengikutsertakan pada berbagai pendidikan dan pelatihan (memperkuat pengembangan
sumberdaya aparatur).
Akan tetapi sekalipun cenderung menggambarkan teori kontingensi situasional
namun juga menerapkan gaya perilaku kepemimpinan birokrasi yang mengutamakan pada
prosedur, peraturan dan mekanisme kerja menjadi salah satu hal yang selalu dijadikan
pijakan dalam mengawasi proses kerja para bawahannya, dengan tidak melupakan
pengembangan hubungan informal dalam rangka mengimbangi hubungan formal yang
terjadi pada pelaksanaan pekerjaan setiap hari.
Mencermati penerapan teori dan gaya kepemimpinan yang dijalankan oleh
perempuan pada penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Sulawesi Utara dalam
kaitannya dengan pendapat Huntington dan Nelson (1990: 16) menunjukkan bahwa
Partisipasi merupakan suatu tindakan sukarela untuk mempengaruhi berbagai kebijakan
yang dikeluarkan oleh pemerintah. Partisipasi politik yang dilakukan setiap orang baik itu
197
partisipasi yang bersifat legal atau ilegal, tetap memiliki nilai pendidikan politik bagi setiap
individu. Karena dengan setiap orang terlibat dalam berbagai kegiatan politik secara sadar
atau tidak sadar, hal tersebut dapat memberikan penambahan nilai tentang arti dan makna
dari politik. Untuk mengetahui bagaimana tingkat partisipasi politik dapat dilihat dari
bagan berikut ini. Partisipasi politik dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi penguasa
(pemerintah) dan sisi warganegara. Dari sisi pemerintah hakikat partisipasi politik
mengandung makna sebagai pengakuan dan penghargaan kepada masyarakat (warga
negara, rakyat) dalam bentuk memberi kesempatan untuk berperan serta memikirkan
masalah kehidupan negara melalui kegiatan pemilihan (dipilih) individu-individu yang
akan duduk dalam lembaga-lembaga kekuasaan. Masyarakat dapat menentukan pilihannya
(dipilih) sesuai kepercayaan yang mereka yakini terhadap pilihan tersebut.
Keberhasilan perempuan dalam pentas pemerintahan daerah di Provinsi Sulawesi
Utara melalui kepemimpinan yang dijalankan mengubah pola pikir tentang budaya
patriarki yang menempatkan perempuan subordinat laki-laki. Keberhasilan dalam
menjalankan kepemimpinannya semakin menunjukkan bahwa kendala struktural dan
kultural yang dahulunya yang mengakibatkan marjinalisasi terjadi dalam budaya, birokrasi,
maupun program pembangunan dapat terbantahkan dalam penyelenggaraan pemerintahan
di Provinsi Sulawesi Utara. Sekalipun memang secara formal, sebenarnya tidak ada satu
aturan pun yang mendiskriminasikan perempuan dalam bidang politik dan pemerintahan
maupun dalam kehidupan publik lainnya.
Oleh karenannya melalui penelitian ini menjadi semakin nyata bahwa usaha-usaha
untuk meningkatkan kedudukan hukum perempuan dalam bidang politik pemerintahan di
tingkat kebijakan yang sudah dilakukan sejak lama oleh pemerintah. Misalnya saja dengan
mertifikasi Konvensi PBB tentang hak politik perempuan (1953), malalui UU No.68 Tahun
1956 serta konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan melalui
UU No.7 Tahun 1984 dan UU Pemilu No.12 Tahun 2003 yang menjamin quota 30 persen
keterwakilan perempuan telah juga dilakukan oleh pemerintah daerah dan masyarakat di
Provinsi Sulawesi Utara.
Sebuah tantangan dalam lebih mengembangkan kepemimpinan perempuan pada
penyelenggaraan pemerintahan daerah selain perlu diperhatkan faktor nilai-nilai sosial
budaya yaitu nilai-nilai, citra-baku/stereotype, pandangan dalam masyarakat yang
dikonstruksi/dipengaruhi oleh budaya patriarki yang ”menempatkan” laki-laki di posisi
pemimpin, penentu, dan pengambil keputusan dengan kedudukan superio dan pada
akhirnya menyebabkan perempuan menjadi warga negara kelas dua, didiskriminasikan dan
dimarjinalkan (isu gender), juga faktor manusia. Perempuan sendiri yang selama ini belum
terkondisikan untuk terjun dan berperan di arena politik dan kehidupan
publik/pemerintahan , karena sejak kecil lebih dibiasakan atau ''ditempatkan'' dalam
lingkup kehidupan rumahtangga dan keluarga, yang selalu dinilai lebih rendah daripada
yang dikerjakan oleh laki-laki di lingkup kehidupan publik. Karena itu, kedudukan (status)
perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki.
Menyikapai hal tersebut, maka diperlukannya kecerdasan intelektual dan
kecerdasan emosional dalam pengembangan kemampuan individu maupun dalam
kelompok. Nawawi (2006 : 229) mengungkapkan bahwa selama jangka waktu yang
panjang, teori – teori kepemimpinan pada umumnya mendukung pendapat bahwa
keberhasilan dalam mengefektifkan organisasi untuk mencapai tujuan sangat dipengaruhi
oleh kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional seoraang pemimpin.
Kecerdasan intelektual dibutuhkan oleh pemimpin dalam menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi oleh organsiasi yang dipimpinnya serta dalam membantu
anggota organisasi menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas
pokok masing – masing. Demikian pula halnya dalam upaya mempengaruhi orang lain dan
198
membantu bawahan menyelesaikan permasalahan yang ada maka pemimpin memerlukan
kecerdasan emosional. Berbagai perilaku dan sikap yang ditunjukkan oleh pemimpin
berupa kesediaannya menerima kritik, saran, pendapat dari pihak luar dalam memecahkan
masalah sebagai bentuk kecerdasan emosional dalam kepemimpinan.
Kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional menjadi penting bagi seorang
pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya, sebab pola orientasi kepemimpinan
yang dijalankan oleh pemimpin termasuk para perempuan dalam penyelenggaraan
pemerintahan di daerah setidaknya berorientasi pada pelaksanaan tugas pekerjaan secara
tepat dan benar, memperhatikan anggota organisasi atau berorientasi pada manusia yang
disesuaikan dengan situasi/kondisi anggota organisasi sebagai manusia yang unik dan
kompleks, juga berorientasi kepada hubungan dan mementingkan hasil kerja sesuai
denganstandar yang berlaku sebagai pedoman kerja sebagaimana kebijakan yang ada.
4.KESIMPULAN
Berdasarkan analisis yang dilakukan maka ditemukan bahwa kepemimpinan
perempuan dalam pelaksanaan pemerintahan daerah di Provinsi Sulawesi Utara yang dikaji
dari perpektif gender banyak mengdeskripsikan penerapan teori kontingensi situasional
dan menerapkan gaya perilaku kepemimpinan birokrasi yang mengutamakan pada
prosedur, peraturan dan mekanisme kerja dengan tidak melupakan pengembangan
hubungan informal dalam rangka mengimbangi hubungan formal yang terjadi pada
pelaksanaan pekerjaan setiap hari. Kepemimpinan perempuan dalam penyelenggaraan
pemerintahan merupakan bagian dari partisipasi politik yang terwujud dalam bentuk
perilaku kegiatan organisasi menyangkut partisipasi sebagai anggota atau pejabat dalam
suatu organisasi yang tujuannya adalah mempengaruhi pengambilan keputusan
pemerintah.
Keberhasilan perempuan dalam pentas pemerintahan daerah di Provinsi Sulawesi
Utara melalui kepemimpinan yang dijalankan mengubah pola pikir tentang budaya
patriarki yang menempatkan perempuan subordinat laki-laki. Keberhasilan dalam
menjalankan kepemimpinannya semakin menunjukkan bahwa kendala struktural dan
kultural yang dahulunya yang mengakibatkan marjinalisasi terjadi dalam budaya, birokrasi,
maupun program pembangunan dapat terbantahkan dalam penyelenggaraan pemerintahan
di Provinsi Sulawesi Utara.
Oleh karenanya, menjadi tantangan dalam lebih mengembangkan kepemimpinan
perempuan pada penyelenggaraan pemerintahan daerah selain perlu diperhatikan faktor
nilai-nilai sosial budaya yaitu nilai-nilai, citra-baku/stereotype, pandangan dalam
masyarakat yang dikonstruksi/dipengaruhi oleh budaya patriarki juga faktor manusia.
Menyikapi hal tersebut, maka diperlukannya kecerdasan intelektual dan kecerdasan
emosional dalam pengembangan kemampuan individu maupun dalam kelompok dalam
kepemimpinan. Sebab teori – teori kepemimpinan yang berkembang sampai saat ini
mendukung bahwa keberhasilan dalam mengefektifkan organisasi untuk mencapai tujuan
sangat dipengaruhi oleh kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional seorang
pemimpin.
5.DAFTAR PUSTAKA
Brett, A., 1991, Why Gender is A Development?, dalam Buku Changing Perceptions:
Writing on Gender and Development, Tina Wallace (ed.), London.
Creswell, John W. 1994. Qualitative Inquiry and Reasearch Disign. California: Sage.
Faqih, M., 1996, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar:
Yogyakarta.
199
Huntington., S.P dan Joan, Nelson. J. 1990. Partisipasi Politik di Negara Berkembang.
Rineka Cipta: Jakarta.
Nawawi. Handari. 2016. Kepemimpinan Mengefektifkan Organisasi. Gadjah Mada
University Press: Yogyakarta.
Ndraha, Taliziduhu, 1997, Metodologi Ilmu Pemerintahan, Rineka Cipta, Jakarta.
Rost. Joseph C. 2004. Kepemimpinan. Terjemahan Triantoro Safaria. Graha Ilmu: Jakarta
Sulistiyani. Ambar Teguh dan Rosidah. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi
Kedua, Cetakan Pertama. Graha Ilmu: Yogyakarta.
Wasistiono. Sadu. 2002, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Alqa
Print, Bandung.
MOBILISASI SUMBER DAYA DAN IDENTITAS KELOMPOK DALAM
MENOLAK RANPERDA DISKRIMINATIF (STUDI KASUS: GERAKAN
FKWIS SUMATERA BARAT, 2001)
Selinaswati, MA, Phd
Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Uiversitas Negeri Padang
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Penelitian ini dilatarbelakangi aksi bersama anggota Forum Komunikasi Wartawati
Sumatra Barat-FKWIS menolak Draft Ranperda diskriminatif. Gerakan organisasi
dipengaruhi era Reformasi tahun 1998, paralel dengan kebijakan sistem otonomi daerah
yang memberi kewenangan bagi pemimpin lokal seperti anggota DPRD membuat Perda
yang bernuansa lokal. Salah satu produk yang dusulkan Komisi E DPRD periode 199-
200
2004 adalah Ranperda Penyakit Masyarakat (Pekat). Pasal 10 ayat 3 Ranperda tersebut
tentang pelarangan perempuan untuk tidak beraktifitas di malam hari setelah jam 8 malam
hingga jam 6 pagi bila tak ada muhrim yang mendampingi. Jadi gerakan FKWIS menolak
klausul Ranperda tersebut agar tidak menjadi Perda, sebab dikhawatirkan menghambat
perempuan yang melakukan aktifitas dan dinas di malam hari. Data dalam penelitian ini
diperoleh melalui metode penelitian kualitatif berupa observasi dan wawancara mendalam
kepada pimpinan FKWIS, sejumlah wartawati, pihak komisi E DPRD dan pemuka
masyarakat seperti Bundo Kanduang. Hasil penelitian menunjukkan gerakan yang
dilakukan FKWIS, yang menggunakan identitas kolektif mereka sebagai jurnalis berhasil
menuntut dihapusnya pasal diskriminatif, yakni dengan memanfaatkan sumber daya yang
mereka miliki dalam kapasitas sebagai wartawati; memanfaatkan media untuk mengakses,
mengimformasikan serta membentuk opini publik melalui talk show, dialog interaktif,
polling sms dan seminar. Mereka juga membuka dialog, komunikasi dan membangun
jaringan dengan organisasi dan pihak lain guna mendapat dukungan.
Kata kunci : Gerakan sosial, gerakan perempuan, mobilisasi sumber daya, identitas
kolektif
Abstract
This paper examined the collective action of female journalist organization in order to
oppose the draft local regulation that would discriminate women. The organization known
as ‘Women’s Journalist Forum in West Sumatra’ or ‘Forum Komunikasi Wartawati
Sumatera Barati’. The movement was triggered by Reform Era in 1998 as well as the
change of government systems from a centralized to decentralized system. The aim of
movement to oppose Article X Number three which banned women to go out at night from
10 pm to 6 am without their mahram or husband. By using qualitative approach method,
observation and in-depth interview have been done with the leader of FKWIS, some female
journalists and traditional leader. The research found that FKWIS organization used
resource mobilization and collective identity during their movement. Resources
mobilization can be seen through media usage; utilizes media to make public opinions,
access to network and building network while collective identity showed how do the
members of this group organize and create their identity for their collective action. Both
resource mobilization and collective identity were used to analyze the effort of their
activities influence people’s mindset to refuse the draft act and to raise gender awareness.
Keyword: Movement, Women’s Movement, Resource Mobilization, Collective Identity
1. Pendahuluan
Gerakan sosial merupakan aksi kolektif atau gerakan kelompok yang memiliki
tujuan tertentu. Biasanya tujuan tersebut untuk memperoleh keadilan, kesejahteraan dan
kepentingan para anggota kelompok atau organisasi bersangkutan. Gerakan sosial memiliki
implikasi pada terbentuknya perubahan sosial (Sztompka, 2007). Berbagai macam bentuk
gerakan atau pergerakan sosial bisa dilihat dari aksi yang dilakukan organisasi atau
kelompok dengan identitas tersendiri dan ciri khas masing-masing. Seperti pergerakan
nasional yang bertujuan memperoleh kemerdekaan bangsa Indonesia, dalam upaya
mencapai kemerdekaan tersebut berbagai organisasi politik, pemuda dan organisasi yang
beranggotakan perempuan melakukan aksi dan kegiatan.
Bentuk lain dari gerakan sosial, gerakan pencinta lingkungan (Green Peace)
bertujuan untuk keberlangsungan dan kebertahanan lingkungan hidup, aksi organisasi
201
buruh sebagai bentuk gerakan sosial buruh, begitupun dengan gerakan perempuan yang
ditandai dengan adanya aksi dari anggota kelompok yang beranggotakan perempuan
(umumnya sebagai aktifis) guna menentang ketidakdilan yang dialami kaum perempuan.
Ketidakadilan yang dialami kaum perempuan Indonesia masih dijumpai di
berbagai aspek kehidupan. Meski secara historis perempuan Indonesia sudah melakukan
berbagai aktifitas di ruang publik, seperti berpartisipasi dalam pergerakan nasional melalui
berbagai organisasi perempuan, diskriminasi terhadap kaum ini masih tetap ada. Hal itu
tampak jelas di era Orde Baru melalui ‘penghentian’ gerakan perempuan yang sudah
dirintis oleh kaum ini sejalan dengan pergerakan nasional pada menjelang dan awal
kemerdekaan dulu. Bahwa di zaman orde baru atas nama ‘State Ibuism’ aktifitas
perempuan Indonesia di ruang publik diatur secara ketat dan cenderung berada di bawah
bayang-bayang kaum laki-laki atau suami.
Kondisi perempuan yang tersubordinasi ini masih tampak di era Reformasi, pada
awal 1999 dan 2000-an, cukup banyak pengambil kebijakan di suatu lembaga menetapkan
peraturan yang terkesan membatasi gerak perempuan yang bekerja di sektor publik.
Diskriminasi terhadap perempuan ini dapat diihat dari banyaknya peraturan yang
ditetapkan pengambil kebijakan di daerah, dalam hal ini para anggota DPRD sebagai
pembuat undang-undang yang berkekuatan hukum. Mereka menggunakan kewenangannya
dalam membuat peraturan yang didasarkan atas sistem desentralisasi. Reformasi yang
diidentikkan sebagai era keterbukaan setelah rezim Soeharto berkuasa secara otoriter
selama 32 tahun, ternyata tak serta merta disertai dengan sikap keterbukaan dan demokrasi
kepada kaum perempuan.
Bahwa Reformasi menghasilkan sistem desentraliasi, salah satu produknya, daerah
dipercaya membuat sendiri kebijakan yang terkait dengan kondisi lokal di daerahnya.
Hanya saja kebijakan yang dibuat oleh pengambil keputusan seperti para anggota Dewan
dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) cendrung diskriminatif terhadap perempuan. Ini
dapat dilihat dari banyaknya kebijakan pemerintah di daerah kabupaten, kota dan provinsi
berupa Perda yang cendrung mendiskreditkan dan mengatur ketat aktifitas perempuan di
area publik hingga sekarang ini.
Data tahun 2013 dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan), terdapat 265 dari 342 Perda sebagai produk kebijakan diskriminatif
terhadap perempuan. Dari 265 Perda diskriminatif, 76 kebijakan mengatur cara berpakaian,
124 mengatur tentang prostitusi dan pornografi, 27 mengatur pemisahan ruang publik lakilaki dan perempuan dan 35 peraturan terkait dengan pembatasan jam malam bagi
perempuan. Semua Perda tersebut tersebar di berbagai Kota, Kabupaten, Provinsi di
seluruh Indonesia, kongkritnya tampak pada provinsi Aceh, Sumatera Barat, Jawa Barat
dan di beberapa wilayah di Sulawesi.
Jumlah Perda diskriminatif itupun mengalami peningkatan; tahun 2011 ada 207
Perda diskriminatif, tahun 2012 berjumlah 282 (Komnas Perempuan, 2013).
Menindaklanjuti Perda diskriminatif yang cukup banyak tersebut, hingga tahun 2015
kemarin ini sudah 139 Perda diskriminatif tersebut yang dihapus oleh Mendagri.
Penghapusan ini mendapat dukungan dari 144 organisasi perempuan yang bersatu dalam
Gerakan Perempuan Mewujudkan Indonesia Beragam (Paat, 2015).
Kajian tentang Perda diskriminatif ini cukup banyak dilakukan, hasilnya berupa
pemberitaan, artikel, opini, kritik dan working paper, serta berbagai tulisan dijumpai di
media, jurnal dan juga diseminarkan. Kajian tersebut cenderung terkait dengan
implementasi pelaksanaan Perda, mengkritisi, menganalisis keberadaan serta jalannya
Perda. Candraningrum (2006) secara kritis berpendapat bahwa Perda yang
mendiskriminasikan perempuan, disebabkan oleh ketidaktahuan pengambil kebijakan dan
pembuat peraturan dalam proses pembuatannya (legal drafting), bahwa adanya
202
pertentangan antara pihak yang pro-kontra dengan Perda tersebut adalah karena beda
interpretasi tentang syariah dan ajaran agama Islam. Kajian Robyn Bush (2008) bahwa
Perda Syariah terkait dengan symbol agama dan sikap religious di aras lokal. Kajian
bersifat lokal tentang Perda di Sumatera Barat oleh Wibowo (2007) mengenai busana
muslimah sebagai produk peraturan di Kabupaten Solok yang dianalisis dalam perspektif
hukum Ketatanegaraan.
Dibanding dengan Perda, kajian tentang Ranperda (Rancangan Peraturan Daerah)
yang bersifat lokal dan cenderung diskriminatif terhadap perempuan masih terbatas.
Rancangan yang masih berupa embrio, cikal bakal peraturan yang akan ditetapkan bisa
dihalangi menjadi sebuah peraturan bila ada tekanan dan desakan dari pihak tertentu untuk
menghentikan proses pembuatannya. Desakan dan tekanan dari grup atau kelompok yang
prihatin dengan ketidakadilan terhadap perempuan ini tampak dari kegiatan organisasi
jurnalis perempuan di Sumatera Barat (FKWIS-Forum Komunikasi Wartawan Perempuan
Suntiang Nagari). FKWIS melakukan berbagai upaya dalam rangka menolak Ranperda
yang salah satu klausulnya berisi larangan bagi perempuan keluar malam lewat dari jam 10
hingga jam 6 pagi bila tanpa ada muhrim yang menemani. Tidak mudah memang
mengatakan aktifitas FKWIS dalam menolak Ranperda ini sebagai suatu gerakan
perempuan, tapi setidaknya adanya upaya kelompok organisasi perempuan ditingkat lokal
dengan identitas jurnalis-nya bergerak membela kaumnya. Dengan demikian menjadi
relevan untuk mengkaji gerakan kelompok perempuan dalam sebuah organisasi untuk
menghentikan adanya Perda diskriminatif tersebut. Mengingat pentingnya mengantisipasi
keberadaan Perda yang diskriminatif , maka tulisan ini menggali lebih jauh; Bagaimana
upaya dan proses perlawanan organisasi perempuan jurnalis di Sumatera Barat (FKWIS)
dalam usaha mengkritisi Ranperda Provinsi Sumatera Barat yang didalamnya memiliki
klausul mendiskriminasikan perempuan yang bekerja di sektor publik?. Bagaimana
FKWIS sebagai organisasi mampu memberdayakan potensi yang dimiliki untuk
menghentikan Ranperda menjadi Perda?.
Tujuan penelitian ini mengungkapkan proses kegiatan FKWIS selaku organisasi
lokal di Kota Padang, Sumatera Barat di awal era Reformasi, organisasi ini aktif menentang
Ranperda diskriminatif tersebut. Selanjutnya, agar gerakan sosial yang dilakukan FKWIS
bisa menginspirasi organisasi perempuan di kota atau kabupaten lainnya menolak
Ranperda dan Perda lokal yang bersifat diskriminatif. Diharapkan dengan mengungkapkan
aktfitas jurnalis perempuan ini ada manfaatnya untuk dijadikan contoh dan pembanding
bagi organsasi lainnya dalam upaya mengurangi Perda dan Ranperda diskriminatif melalui
membaca dan mengetahui strategi yang digunakan FKWIS.
2.
Tinjauan Pustaka
Studi tentang gerakan sosial (Social movement) dianggap penting dalam
menganalisa dan memahami fenomena sosial ditengah masyarakat, karena gerakan sosial
dapat menjelaskan fenomena apa yang telah terjadi sebelumnya di masa lampau,
bagaimana proses hingga bisa terjadi, sehingga bisa memiliki strategi dan pemahaman
dalam menyikapi apa yang terjadi saat ini. Jadi dalam gerakan sosial ada sejumlah harapan
akan terjadinya perubahan ke arah yang lebih baik (Sztompka, 2007). Meski defenisi
gerakan sosial cukup banyak, setidaknya defenisi yang berbeda-beda itu memiliki
kesamaan dalam beberapa aspek seperti dikatakan McAdam & Snow (1997: xviii) bahwa
gerakan sosial dapat ditandai dengan adanya; (1) Aksi bersifat kolektif, (2) Tujuan untuk
perubahan sosial, perubahan struktur atau perubahan peraturan, (3) Organisasi sebagai
wadah gerakan, (4) Kesinambungan gerakan dalam masa waktu tertentu, (5) Beberapa
kombinasi aksi bersifat internal dan eksternal seperti protes di jalanan dan loby. Aspek-
203
aspek yang demikian ditemukan dalam kegiatan yang dilakukan oleh FKWIS sebagai
sebuah organisasi di tahun 2001 dalam usaha menolak Ranperda.
Gerakan sosial, menurut McAdam, McCarthy, Zald (1997) dilihat dalam tiga
perspektif; political opportunities, framing process dan resource mobilization. Perspektif
Resource mobilization atau mobilisasi sumber daya fokus pada kemunculan gerakan sosial
terkait dengan mobilisasi dalam level struktural, dimana adanya sejumlah sumber-sumber
yang bisa dan memiliki potensi untuk digerakkan demi mencapai tujuan gerakan sosial;
sumber tersebut antara lain jumlah anggota, yang memiliki sumber daya dan potensi.
Dalam konteks FKWIS, adalah organisasi berbasis perempuan dan berprofesi sebagai
jurnalis; anggotanya sebagai wartawati memiliki kesempatan menggunakan medianya
sebagai sarana mencapai tujuan. Sebagai pekerja media, FKWIS memiliki kapasitas dan
memiliki jaringan, kenalan yang bisa diajak berkoordinasi, bekerjasama melakukan
gerakan perlawanan membatalkan pasal Ranperda yang diskriminatif.
Aktifitas dan kesadaran perempuan untuk menyuarakan aspirasi dan kepentingan
kaum perempuan tak terlepas dari pengalaman perempuan itu sendiri. Sepanjang
sejarahnya gerakan protes yang dilakukan perempuan (women’s movement) menurut West
dan Blumberg (1990: 13) dilakukan atas dasar empat isu utama yakni; (1) terkait langsung
dengan kondisi ekonomi untuk bisa bertahan hidup, (2) berhubungan dengan perjuangan
etnis, grup dan sikap nasionalisme, (3) berhubungan dengan masalah kemanusiaan dan (4)
terkait dengan hak azazi dan persoalan perempuan. Dalam konteks gerakan FKWIS,
Ranperda yang menyatakan pelarangan bagi perempuan untuk keluar malam dianggap
melanggar hak azazi perempuan, karena gerak mereka yang dibatasi. Hal ini berakibat pada
pilihan pekerjaan, perlindungan kerja dan kepastian hukum bagi kaum perempuan yang
terkena peraturan Ranperda tersebut.
Dalam agenda kegiatannya, FKWIS juga melakukan penguatan kepada para
anggotanya. Oleh karena itu, kiprah FKWIS ini dapat diuraikan juga melalui teori identitas
kelompok. Dikatakan Taylor and Whittier (1992), konsep tentang identitas kelompok bisa
dilihat pada tiga aspek; adanya (1) Batasan antara kelompok dominan dan kelompok yang
melawan dominasi; batasan terbentuk secara sosial, psikologi dan fisik, (2) Kesadaran
berupa penafsiran anggota kelompok untuk mencapai tujuan mereka (3) Adanya negosiasi
yang meliputi symbol dan aksi untuk meruntuhkan kelompok dominan yang mapan. Dalam
konteks berdiri dan eksisnya FKWIS, ketiga aspek tersebut dapat dijumpai; bahwa
kesadaran para jurnalis perempuan tentang perlunya lembaga untuk berkumpul dan bersatu
dalam menghadapi kelompok dominan yang melakukan perbedaan perlakuan pada jurnalis
perempuan.
Sumatera Barat sebagai basis penelitian ini, memiliki sistem matrilineal. Yakni
sistem yang menurut garis keturunan ibu, pewarisan harta pusaka didasarkan garis ibu.
Sistem ini meninggikan dan menghargai posisi perempuan senior di tengah keluarga besar,
dan diwujudkan dalam sebutan Bundo Kanduang. Sistem ini setidaknya telah
mempengaruhi pola berpikir perempuan Minangkabau, bahwa perempuan sebagai Bundo
Kanduang, sebagai Limpapeh Rumah nan Gadang semestinya memiliki keterampilan
hidup dan kemampuan untuk menjalankan perannya di dalam keluarga besarnya. Itu
artinya perempuan Minang hendaknya mampu bersikap bijaksana, adil dan memahami
kebutuhan anggota keluarga besarnya. Oleh karena skill hidup hanya bisa didapatkan
melalui pemberian pengetahuan dan pendidikan, maka tak heran bila dari sejak zaman dulu
perempuan Minang diizinkan untuk mendapatkan porsi pendidikan yang sama seperti
halnya anak laki-laki. Maka tak heran bila sejak awal abad 20 sudah ada perempuanperempuan Minang yang berkiprah di sektor publik seperti Roehana Koeddoes dan kawankawannya (Sa'adah Alim, Zahara Ratna Djoewita Sjamsidar Jahja) Rasuna Said, Rahmah
El Yunusiyah, Sitti Manggopoh, Zakiah Darajat dan lainnya. Dalam perkembangannya,
204
nama-nama tersebut adalah perempuan-perempuan Minangkabau yang sudah berkiprah di
sektor publik yang memiliki kebebasan berpikir, kreatif dan bermanfaat bagi orang banyak
jauh sebelum Indonesia merdeka.
3. Metode Penelitian
Penelitian ini berlokasi di Kota Padang Sumatera Barat. Padang sebagai Ibukota
Provinsi merupakan pusat pemerintahan provinsi dengan berbagai dinamika politik lokal
dan organisasi sosial kemasyarakatan tingkat provinsi. Kondisi ini memungkinkan
dilakukannya penelitian tentang upaya organisasi FKWIS melawan Ranperda
diskriminatif, yang home-base nya berada di Padang seperti halnya para anggota DPRD
provinsi selaku pembuat Ranperda berkantor di Kota Padang.
Penelitian menggunakan metode kualitatif tipe deskriptif untuk mendapatkan
detail data lisan dari orang dan prilaku yang diamati secara utuh dan terperinci. Dalam
konteks penelitian ini untuk mendapatkan info detail proses mobilisasi sumber daya yang
dimiliki FKWIS, dan proses negosiasi dengan pengambil kebijakan dalam upaya menolak
Ranperda yang mendiskriminasikan perempuan. Untuk mendapatkan data lisan tersebut,
peneliti menjadikan individu sebagai unit analisis. Populasi dan sampling dalam penelitian
ini adalah para anggota FKWIS, Ketua FKWIS, pihak komisi E DPRD Provinsi Sumbar
periode 1999-2004 serta Bundo Kanduang, sebagai pemuka dan tokoh masyarakat Sumbar
mewakili kaum perempuan di Sumbar.
Teknik pengumpulan data melalui wawancara dan observasi partisipasi. Observasi
partisipasi ini dimungkinkan karena peneliti pada saat itu (tahun 1999-2003) dalam
kapasitas anggota FKWIS, sedangkan wawancara bersifat mendalam dilakukan kepada
para informan. Pemilihan informan dengan menggunakan teknik purposive sampling atau
informan ditentukan secara sengaja oleh peneliti sesuai dengan maksud dan tujuan
penelitian berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan .
Analisis data sebagai proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih
muda dibaca dan diinterpretasikan dilakukan dengan menggunakan berapa tahapan; mulai
dari mereduksi data dengan memilah, mensortir data yang sudah dikumpulkan melalui
indepth interview dan observasi, lalu mengelompokkannya menjadi tema yang sesuai
dengan topik penelitian, kemudian data diinterpretasikan, dilakukan sintesa dari temua data
sehingga menjadi sistematis untuk dibaca dan dipahami.
4. Temuan dan Pembahasan
Dari penelitian terungkap adanya sejumlah temuan yang menunjukkan adanya
mobilisasi sumberdaya organisasi FKWIS. Berikut uraiannya;
1. FKWIS: Kemunculan, Identitas dan Penguatan Anggota
Dari kenyataan di lapangan, keberadaan FKWIS tak lepas dari dinamika jurnalistik
di Sumatera Barat. Sebelum Reformasi jumlah media tak banyak; 3 koran harian dan 1
mingguan, tapi setelah 1998 sejalan dengan pergantian pemerintahan, ditandai dengan
demokrasi dan kebebasan pers. Alhasil dalam kurun waktu empat tahun; 1998-2002
terdapat 39 surat kabar di Sumatera Barat, namun yang bertahan hingga 2003 ada 15, 24
lainnya tidak terbit (Eska, 2003). Konsekuensi dari banyaknya media, tentulah
membutuhkan pekerja media yang cukup banyak pula, maka berlombalah semua pencari
kerja di era krisis moneter ketika itu berebut lahan, termasuk juga yang perempuan,
berminat bekerja di bidang jurnalistik, umumnya sebagai peliput berita di lapangan atau
reporter. Tak semua bisa bertahan seperti media yang juga tiba-tiba hilang, namun adalah
suatu fakta nyata berdasar observasi dan pengalaman bahwa jurnalis perempuan jumlahnya
bertambah dibanding era Orde Baru.
205
Semakin banyaknya pelaku jurnalis perempuan, dengan segala dinamikanya
sebagai pihak yang seringkali mendapat perlakuan berbeda dalam menjalankan profesi,
mendorong mereka untuk saling tukar pengalaman. Kondisi ini jadi momen tepat untuk
berkumpul dan saling berkomunikasi. Adanya kesadaran jurnalis perempuan untuk saling
berbagi informasi dan menguatkan, mendorong mereka membentuk satu wadah bagi
jurnalis perempuan di Sumatra Barat. Seperti terungkap dalam wawancara dengan Ketua
FKWIS terpilih ketika itu, Dra. Imiarti Fuad dari TVRI Sumbar dan juga ditulis Eska
(2003), bahwa pada 5 Mei 1998, para perempuan jurnalis, dimotori oleh Frislidia, SH
(Jurnalis di LKBN Antara), Ir.Atviarni dan Ir. Rina Moreta (Singgalang), Altasia, Ir. Fitri
Adona, M.Si and Sri Taufik (Semangat), Husnul Rais (Haluan), Nita Indrawati Arifin
(Majalah Kartini) sepakat membentuk organisasi yang mereka sebut FKWIS Suntiang
Nagari- “Forum Komunikasi Wartawati Sumatera Barat, Perempuan Nagari”.
Dapat dikatakan bahwa pembentukan organisasi ini tak terlepas dari latar
belakang sejarah jurnalistik di Sumatera Barat jauh sebelum Indonesia merdeka. Bahwa
wartawati pertama di Indonesia, Roehana Koeddoes, berasal dari daerah ini. Bersamasama dengan perempuan aktifis lainnya, Zahara Ratna Djoewita, Roehana telah mampu
mengelola dan memimpin surat kabar ‘Soenting Melayu’ (Fitriyanti,2001). Surat kabar ini
pertama kali terbit pada 10 Juli 1912, fokus pada isu perempuan dan telah berjuang untuk
mencerdaskan kaumnya lewat surat kabar yang mereka kelola. Jadi keberadaan wartawati
pertama di Sumatera Barat dengan media yang dikelola perempuan lebih seratus tahun lalu
itu, menginspirasi para anggota FKWIS untuk kembali menggiatkan semangat jurnalistik
perempuan dan memberdayakan kaum perempuan di Sumatera Barat. Mengutip istilah
yang disebutkan Eska (2003) “Mambangkik batang tarandam”, dapat dikatakan bahwa
keberadaan FKWIS, karena adanya kesadaran berpikir bahwa secara historis, perempuan
di Sumatera Barat sudah berbuat untuk kaumnya, sudah berkiprah di area publik sejak lebih
seratus tahun lalu, maka sekarang pun harus dimunculkan kembali. Situasi yang demikian
sesuai dengan konsep identitas kelompok seperti dikatakan Taylor dan Whittier; bahwa ada
batasan, kesadaran dan negosiasi. Batasan bahwa mereka sebagai jurnalis perempuan
diperlakukan berbeda oleh perusahaan tempat bekerja; bahwa ini bagian yang bisa diliput
jurnalis perempuan dan ada area rawan (menurut atasan media )dan tak perlu diliput
jurnalis perempuan; bahwa wartawan perempuan cukup sampai jam 8 di kantor dan lakilaki bisa lebih malam lagi. Terkait dengan batasan bidang kerja dan pembedaan perlakuan,
dengan secara sadar mereka bersatu dalam organisasi atas nama identitas kelompok
wartawan perempuan. Lalu diinspirasi dari keberadaan wartawan perempuan pertama
dengan kiprahnya mengelola surat kabar untuk kepentingan perempuan lebih dari 100
tahun yang lalu.
Dari wawancara dengan Ketua FKWIS, diketahui bahwa keberadaan organisasi
untuk melindungi anggota (sesama wartawati) dari perlakuan diskriminasi. Hal ini karena
ada kecendrungan area kerja jurnalis perempuan hanya ditugaskan meliput berita bersifat
seremonial, soft news dan tidak banyak resiko serta tantangan. Sebaliknya jurnalis laki laki
dapat sepenuhnya bekerja pada berbagai area liputan, bisa ke luar kota yang butuh waktu
seharia bahkan lebih dan itu oleh pimpinan media dianggap melelahkan, tak sesuai dengan
kondisi fisik perempuan. Selain itu FKWIS memiliki tujuan untuk membuat pemberitaan
yang tidak mendiskreditkan perempuan selaku obyek pemberitaan semisal berita perkosaan
dan razia PSK; Kecendrungan yang sering dijumpai di banyak media atau surat kabar,
berita perkosaan atau razia PSK terkesan mengabaikan hak azazi perempuan selaku korban
perkosaan dan melecehkan perempuan yang menjadi obyek pemberitaan. Ini dapat
dimaklumi lantaran persaingan ketat media sehingga untuk memenuhi selera pembaca dan
agar koran laku terjual berita yang ditulis kadang menyudutkan perempuan yang jadi
korban.
206
Untuk itulah FKWIS berusaha menyajikan pemberitaan yang lebih sensitif gender
serta memberikan penyadaran gender melalui tulisan yang mereka tulis. Advokasi
terhadap para anggota FKWIS tetap berlangsung, terutama sekali jurnalis perempuan yang
mendapat perbedaan perlakuan. Seperti dialami salah seorang informan yang kantornya
menetapkan aturan jurnalis perempuan hanya bertugas hingga pukul 8 malam saja; bahwa
ia tetap bertahan hingga lewat jam 8 malam di kantor, sebagian dari koleganya, jurnalis
laki-laki tidak memasalahkan hal tersebut, sementara sebagian lagi ada yang komplain atas
pelanggaran aturan tersebut. Ketika dikomunikasikan situasi kantor tersebut kepada pihak
FKWIS, jurnalis ini mendapat dukungan untuk tetap bertahan di kantor meski lewat jam 8
malam guna menyelesaikan tulisan atau tugas yang diembankan atasan kepadanya. “Bukti
dukungan kami dari FKWIS yakni dengan mengantarkan si jurnalis perempuan ini pulang
ke rumahnya, kami jemput ke kantornya kemudian dengan alat transportasi yang kita
punya diantar pulang ke rumah” (wawancara dengan Ketua FKWIS).
Apa yang telah dilakukan ketua FKWIS dengan memberi dukungan untuk tetap
bekerja di kantor meski lewat dari jam 8 malam, dibuktikan dengan memberikan bantuan
jasa transportasi pulang diantar pihak FKWIS. Ini menunjukkan bahwa organisasi mereka
berusaha melindungi anggota kelompoknya, sebagai bentuk solidaritas lantaran memiliki
identitas yang sama. Mereka, sesama jurnalis dari media yang berbeda, biasanya dalam
konteks pekerjaan, media berbeda saling bersaing untuk mendapatkan isu berita terbaik,
dan adakalanya terbawa dalam proses pencarian berita. Namun karena sama sama
didiskriminasi, kesamaan mendapat perlakuan berbeda yang diterima dari pimpinan media,
tak ada bentuk persaingan tersebut. Sebaliknya bersatu, saling tolong menolong,
mendukung para anggotanya untuk terbebas dari perbedaan perlakuan, seperti yang dialami
kolega mereka dimana tempat ia bekerja melarang pulang lewat dari jam 8 malam.
Di satu sisi dapat dimaklumi adanya kebijakan tak boleh pulang larut malam bagi
perempuan, karena dunia jurnalistik dianggap dunia keras, yang pekerjanya lebih banyak
laki-laki dan dengan alasan keamanan, pekerja perempuan disegerakan pulang bila telah
lewat maghrib, sebab kantor tak mau repot bila terjadi apa-apa dengan pekerja
perempuannya. Namun di sisi lain pemberian kesempatan kepada perempuan yang juga
memiliki kapasitas di bidang jurnalistik adalah perlu. Bila jurnalis perempuan merasa
masih perlu menulis berita, mempersiapkan materi dan bahan liputan untuk besok, atau
yakin dengan kemampuannya untuk meliput tentang isu politik; kampanye, partai politik
dan petinggi parpol atau pejabat pusat yang datang ke daerah, dan merasa mampu meliput
di luar kota Padang yang butuh waktu lama dan melelahkan, pembatasan dan perbedaan ini
menjadi persoalan. Bahwa mereka telah mengalami hambatan sewaktu bekerja dan
berkreatifitas. Itu artinya mereka telah didiskriminasikan.
Pendiskriminasian yang seperti ini, selanjutnya telah mendorong dan memicu
FKWIS dan para anggotanya untuk kritis dan menentang bentuk-bentuk diskriminasi
lainnya terhadap perempuan, salah satunya melalui penolakan terhadap Ranperda yang
salah satu pasalnya (pasal 10 ayat 3) terdapat klausul melarang perempuan melakukan
aktifitas di atas jam 10 malam bila tak didampingi oleh murimnya.
2. Gerakan FKWIS Melawan Ranperda
Ranperda Pekat (Pelarangan Perbuatan Maksiat), demikian nama Ranperda yang
dibuat oleh komisi E DPRD Provinsi Sumbar. Sesuai dengan semangat otonomi daerah,
Ranperda Pekat yang mulai dibuat pada pertengahan Maret 2001 itu merupakan salah satu
implementasi dari kewenangan daerah menentukan kebijakan sesuai dengan kondisi lokal.
Pasal 10 ayat 3 Ranperda Pekat tersebut berbunyi: “Setiap Wanita dilarang berada di luar
rumah di atas jam 22.00 malam sampai jam 06.00 pagi, kecuali dengan muhrimnya”.
207
Klausul yang demikian inilah yang menjadi pokok masalah sebenarnya, karena
dari pasal tersebut, ada kesan kalau pemberlakuan jam malam bagi perempuan di Sumatera
Barat seolah akan menyelesaikan persoalan maksiat yang memang cukup rumit diatasi,
dan ini menggambarkan perempuan sebagai pangkal persoalan maksiat. Jelas ini
merendahkan dan melukai kaum perempuan dan sangat bertentangan dengan pengakuan
hak azazi manusia secara internasional, seperti tercantum dalam pasal VII Civil Right Act
tentang anti pendiskriminasian. Lebih dari itu pemerintah Indonesia sejak tahun 1984 juga
sudah ikut meratifikasi Convention on the Elimination of All Types of Discrimination
against Women (CEDAW). Itu artinya Negara Indonesia melalui pemerintahnya turut serta
menghormati hak setiap individu dengan selalu memperhatikan prinsip-prinsip
nondiskriminasi yakni, tidak membedakan ras, suku, agama, kelas sosial, bahasa dan jenis
kelamin (Sadli, 2012).
Pertentangan antara penghormatan terhadap hak azazi manusia yang anti
diskriminasi dengan adanya pasal diskriminatif dalam rancangan peraturan yang demikian
telah mendorong FKWIS untuk melakukan gerakan perlawanan. Berbagai upaya dilakukan
untuk menghentikan agar Ranperda yang didalamnya ada pasal diskriminatif itu
dihapuskan. Diantara upaya membatalkan pasal diskriminatif tersebut; membentuk opini
public melalui dialog interaktif, talk show dan pooling, melakukan dialog dan diskusi
dengan pihak pembuat Ranperda, menggelar seminar dengan menghadirkan narasumber
tingkat nasional, berkoordinasi dan berjejaring dengan organisasi perempuan lainnya
(roundtable discussion). Berikut diuraikan lebih detail kegiatan dan gerakan FKWIS
lakukan:
a). Membentuk Opini Publik
Dari hasil temuan di lapangan, diketahui bentuk perlawanan menolak Ranperda
diskriminatif dengan membentuk opini publik melalui kegiatan dialog interaktif, talk show
dan polling atau survei pendapat. Hampir setiap hari dari April 2001 hingga Juni 2001
ditampilkan acara talk show atau dialog interaktif antara audiens (pendengar dan penonton)
yang diselenggarakan oleh produser TVRI perempuan dan programmer radio perempuan
dengan topik utama terkait dengan adanya rencana aturan pelarangan perempuan keluar
malam.
Topik dialog tak lepas dari isu perempuan, pemberdayaan dan pencapaian yang
telah dilakukan perempuan dalam karirnya disektor publik. Misi utama dari setiap dialog
dan talk show tersebut adalah menyelipkan isu tentang pembatasan perempuan beraktifitas
lewat jam 10 malam seperti yang bakal diatur dalam Perda. Sesuai dengan tema dialog,
dihadirkan narasumber yang variatif, mulai dari pihak perumus Ranperda (Ketua Komisi
E DPRD Sumbar periode 1999-2004, Khaidir Khatib Bandaro), pemuka masyarakat, unsur
budaya dan aktifis perempuan. Salah satunya Bundo Kanduang Sumatera Barat, Puti Reno
Raudha Thaib.
Dalam salah satu talk show marathon tersebut, diungkapkan oleh Bundo Kanduang
bahwa di satu pihak, sejak dahulunya kebiasaan di masyarakat Minang sudah
membolehkan perempuannya untuk bersekolah tinggi, memiliki ilmu pengetahuan dan
berkiprah di luar rumah dan di pihak lain pengawasan terhadap perempuan Minang juga
perlu. Namun juga suatu kesalahan bila untuk mengontrol perempuan Minang dengan
membuat generalisasi bahwa untuk mengawasi kasus prostitusi dan masalah sosial yang
banyak muncul sekarang ini dengan cara melarang perempuan untuk berkegiatan di luar
rumah.
Materi dan proses dialog interaktif dan talk show itu secepatnya diberitakan para
wartawati di berbagai media cetak tempat mereka bekerja. Salah seorang pendiri FKWIS
dalam kapasitasnya sebagai broadcaster di sebuah radio, Wirnita Eska, mengadakan
208
pooling pendapat warga kota Padang tentang pelarangan perempuan untuk keluar malam
melalui SMS. Setiap pendengar diberi kesempatan mengirim pendapat mereka dengan
mengirim SMS ke nomor yang telah ditetapkan, kemudian dibacakan ketika sedang siaran.
Diketahui, pendapat warga kota lebih banyak yang menolak Ranperda berisi pasal
pembatasan keluar malam itu.
Gencarnya usaha melawan pasal yang diskriminatif tersebut diberitakan oleh
media nasional bahkan oleh BBC London. Ketua FKWIS, Imiarti Fuad dihubungi BBC
London perwakilan Jakarta dan diinterview sehubungan dengan alasan menentang pasal
diskriminatif tersebut. Seperti dikatakannya:
“…Aku ngga ingat lagi siapa nama interviewernya dan aku sempat kaget
karena darimana dia tahu nama dan HP ku, tapi katanya dari wartawan
juga dia tahu dan aku diwawancarai kenapa aku dan kawan-kawan
tergerak untuk menentang Ranperda itu...Ya aku jawab aku terlahir
sebagai perempuan minang dan aku merasa punya tanggungjawab untuk
mengangkat dan mempertahankan harga diri perempuan minang, aku juga
tidak mau perempuan minang generasi mendatang dirugikan dengan
aturan yang diskriminatif begitu. Emang kita ngapain kalau keluar rumah
pada jam begitu, apa semua perempuan minang kalau keluar jam segitu
mau jual diri? Bagaimana kalau ada perempuan yang harus kerja di malam
hari, apa dia harus dihukum dengan aturan itu? Bagaimana kalau seorang
anggota DPRD perempuan harus rapat di malam hari atau bagaimana
kalau seorang direktris dan profesional terpaksa harus menyelesaikan
tugasnya di malam hari atau seorang wartawati kerja sampai malam karena
mengejar deadline, so apa kami harus ikuti aturan yang begitu…?”
(Wawancara via email, 24 November 2005).
Dari apa yang disampaikan pimpinan organisasi dan dari berbagai usaha yang
sudah mereka lakukan di atas, tampak adanya saling bekerja sama para jurnalis perempuan
dalam usaha menciptakan opini publik. Mereka memiliki tujuan yang sama dengan
menyiarkan dan memberitakan proses dialog interaktif dan talk show, kemudian
menuliskan beritanya di berbagai media tempat mereka bekerja. Sebagai pekerja media,
dalam upaya tersebut, mereka juga berusaha seobjektif mungkin untuk memperoleh
pendapat dari seluruh lapisan masyarakat melalui pooling yang membebaskan masyarakat
untuk berkomentar. Juga dalam pemilihan narasumber dialog, berasal dari latar belakang
yang bervariasi atau dari kedua pihak yang pro dan kontra.
b). Berkomunikasi dan Berjejaring
Selain menciptakan opini publik, berkomunikasi secara intens dan membuat
jaringan dengan sesama organisasi perempuan adalah hal penting yang mendukung mereka
untuk menggolkan tujuan pembatalan pasal di Ranperda. Melalui diskusi reguler dari
Maret 2001 sampai May 2001, para anggota FKWIS mengadakan pertemuan, saling
diskusi, bertukar informasi, pendapat dan ide. Tujuan dari kegiatan yang dilakukan untuk
mendapatkan masukan dari anggota, sekaligus mengatur srategi yang akan dilakukan agar
tujuan mereka atas tuntutan penghapusan pasal diskriminatif bisa terlaksana.
Kegiatan diskusi dilakukan setiap hari Jumat mulai jam 4 sampai jam 6 bertempat di
kantor FKWIS. Mereka menyebutnya diskusi Jumat sore. Selain para anggota FKWIS,
turut diundang organisasi perempuan lainnya guna menginformasikan kondisi terkini dan
mendengarkan pendapat mereka. Hal yang paling difokuskan dalam pertemuan dua jam itu
adalah kesamaan suara para organsasi perempuan yang diundang, bahwa Pasal 10 ayat 3
dalam ranperda diskriminatif dan sangat merendahkan kaum perempuan. Dari hasil diskusi
yang rutin tersebut, kemudian disepakati mengirim petisi untuk disampaikan ke Komisi E
209
DPRD Sumbar. Petisi yang ditanda tangani pada Rabu, 16 May 2001 ditandatangani oleh
lima orang Ketua organisasi perempuan diantaranya Ketua FKWIS, LP2M, KPI Sumbar,
dan LSM Mande serta Naluri Perempuan.
Beberapa hari setelah mengirim petisi ke pihak DPRD Sumbar, FKWIS dan beberapa
organisais perempuan lainnya itu diundang ke DPRD untuk melakukan rapat dengar
pendapat (hearing).
c). Dialog dan Diskusi dengan Tim Perumus
Dalam berbagai kesempatan FKWIS berusaha untuk melakukan pendekatan dialog dengan
tim perumus Ranperda, yakni para anggota Komisi E DPRD Sumbar. Puncaknya setelah
mengajukan petisi, mereka diharapkan hadir di Gedung Rakyat secara resmi dalam rapat
dengar pendapat (hearing) pada Selasa, 29 May 2001. Dalam dialog dengar pendapat
tersebut, pihak FKWIS dan rombongan yang menandatangani petisi, berjumlah 8 orang
tetap bersikukuh pada apa yang menjadi tuntutan mereka. Agar pasal yang
mendiskriminasikan perempuan dihapus. Dalam Rapat dengar pendapat yang dipimpin
Ketua Komisi E ketika itu, Khaidir Khatib Bandaro, menyampaikan argumentasi mereka
yang merumuskan draft tersebut, bahwa alasannya adalah karena untuk mengatasi masalah
maksiat di Sumatera Barat dan untuk menjaga, marwah, kehormatan perempuan Minang.
Menanggapi pernyataan Ketua Komisi E, pihak FKWIS tetap pada argumen
mereka bahwa penerapan pasal tersebut sangat tidal adil bagi perempuan. Bila pasal itu
diberlakukan akan menghambat kreatifitas, pengetahuan dan kemampuan perempuan,
karena tak semua perempuan yang beraktifitas malam hari perempuan yang takbaik, justru
sebaliknya masih banyak perempuan dengan berbagai profesi yang akan terkena pasal
tersebut.
Selama 4 jam pertemuan rapat dengar pendapat tersebut, adu argumentasi itu diakhiri
dengan ketegasan pihak FKWIS. Seperti diungkapkan Ketua FKWIS bahwa yang
diinginkan dalam gerakan mereka sebenarnya adalah menghapuskan pasal diskriminatif
tersebut, bila tidak juga, maka agar adil, kata perempuan yang diubah, seperti dikatakan;
“….Yang kami tuntut hanya jangan ada kata perempuan Sumatera Barat di klausul
itu, solusinya gantilah dengan setiap orang Sumatera Barat atau siapapun, kalau memang
klausul itu harus tetap dilanjutkan....jadi adil kan.....”. (Wawancara dengan Ketua FKWIS)
d). Menggelar Seminar
Guna mendapatkan lebih banyak lagi dukungan, FKWIS mengadakan seminar
nasional dengan menghadirkan narasumber yang kompeten di bidangnya; Dr. Dewi
Fortuna Anwar (ahli politik bekerja di LIPI), Dr, Chandra Motik (ahli hukum), Debra
Yatim (aktifis perempuan) dan Dr. Hayati Nizar (mewakili Komisi Perempuan dan
Keluarga MUI Sumbar). Seminar yang diadakan Sabtu, 2 Juni 2001 di Pangeran Beach
Hotel itu menghadirkan banyak peserta dan berusaha membuka mata para peserta dan
undangan yang hadir tentang Ranperda Pekat tersebut. Bahwa keberadaan Ranperda
dnegan pasal 10 ayat 3 yang diskriminatif itu pertanda adanya 'kecolongan intelektual' dan
pemaksaan secara tidak langsung kepada perempuan dalam menghambat aktifitas dan
kreatifitas mereka. Bahkan Dr. Hayati Nizar memberikan catatan kritisnya tentang
keberadaan pasal diskriminatif tersebut seperti dikutip dalam Eska (2003:137-138); (1)
Adanya penggeneralisasian bahwa semua perempuan cenderung nakal hingga haris
diberlakukan jam malam dimanapun mereka berada, (2) Bisa dipertentangkan dengan
HAM karena telah adanya pembatasan terhadp semua perempuan, termasuk perempuan
baik-baik, (3) Adanya anggapan seoah-olah budaya kontrol tidak ada lagi di masyarakat
sumatera Barat sehingga harus ada Perda yang mengatur.
210
Usai seminar, pada malam hari masih dilanjutkan pertemuan antara pihak FKWIS
dan para narasumber. Pertemuan informal tersebut sekali lagi dimaksudkan untuk
mendapatkan dukungan dari para ahli tersebut dan bersama-sama mereka satu tujuan
melawan pasal yang diskriminatif tersebut.
3. Mobilisasi Sumber Daya Hapuskan Pasal Diskriminatif
Dapat dimaklumi bila setiap pengambil kebijakan di daerah memiliki kewenangan
dalam mengatur masyarakatnya, termasuk para perempuannya, karena masing-masing
daerah yang masih kental budaya dan ikatan agamanya memiliki batasan tersendiri
terhadap perempuannya. Hal demikian diimplementasikan oleh pengambil kebijakan di
tingkat lokal dalam bentuk peraturan mengikat, namun ada diantaranya berupa Perda yang
bersifat diskriminatif terhadap perempuan.
Sebelum menjadi Perda tentunya ada proses pembuatan dan mendiskusikan
rancangan peraturan daerah (Ranperda). Hanya saja dalam proses pembuatan draft
rancangan oleh Komisi E DPRD Sumbar ada draft yang dinilai sangat diskriminatif. Dalam
proses mengantisipasi Ranperda menjadi Perda inilah FKWIS memainkan perannya. Yakni
dengan mengadakan berbagai kegiatan untuk menginformasikan dan memberitahu
khalayak bahwa apa yang sedang direncanakan pengambil keputusan, membuat Perda akan
berakibat tidak baik bagi perempuan di Sumatera Barat. Kegiatan penciptaan opini publik
seperti berupa dialog interaktif, talk show, pooling sms dan seminar itu sangat mungkin
dilakukan karena mereka adalah para jurnalis. Sebagai jurnalis mereka memiliki sarana dan
prasarana media sebagai alat dan wadah menyampaikan gerakan mereka.
Agaknya apa yang sudah dilakukan FKWIS tersebut sejalan dengan teori
mobilisasi sumber daya, seperti dikatakan oleh McCarty dan Zald (1979:vii), bahwa
pendekatan mobilisasi sumber daya menekankan adanya rasa tidak puas satu kelompok
yang melakukan gerakan dengan fokus pada dukungan masyarakat, tekanan kelompok
dalam gerakan , kendali sosial dan penggunaan media. Jadi dari apa yang telah dilakukan
FKWIS melalui dialog interaktif, talk show,menulis berita di media massa, dan
mengadakan polling sms, mengadakan seminar sebagai usaha untuk memberikan
informasi dan membuka mata masyarakat dengan tujuan agar diketahui bagaimana
pendapat masyarakat terkait dengan isu yang mereka lemparkan. Kegiatan tersebut
dilakukan secara intens dalm rentang waktu yang singkat, sehingga target mereka agar
khalayak umum bisa tahu perkembangan terakhir dan langkah atau proses yang sedang
berlangsung terkait dengan pasal diskriminatif. Dengan demikian, update informasi yang
dilakukan dalam gerakan ini langsung diketahui oleh publik, pengikut isu ini tentang apa
yang telah dan sedang diperbuat oleh pihak pengambil kebijakan. Juga untuk mengetahui
negosiasi pihak FKWIS dan organisasi lainnya sekaitan dengan pasal yang dituntut untuk
dihapuskan tersebut.
Selain penggunaan media (media usage), dukungan sosial (societal support) juga
telah diupayakan oeh FKWIS melalui jalinan komunikasi dan membuat network dengan
organisasi perempuan, aktifis perempuan, tokoh perempuan lainnya. Mereka intens
mengadakan pertemuan, diskusi, bersepakat membuat petisi. Ini menunjukkan mereka
memiliki koordinasi dan langkah yang sama sehingga tujuan yang sama-sama mereka
citakan, yakni penghapusan pasal diskriminatif, pasal 10 ayat 3 dapat tercapai. Para tokoh
perempuan level nasional juga diinformasikan dan dilibatkan dalam gerakan yang sedang
mereka lakukan dan melobi mereka agar mendapat dukungan.
Pada akhirnya apa yang sudah dilakukan untuk menolak pasal diskriminatif itu
berhasil. Itu semua hasil kombinasi dari menngerakkan semua potensi yang dimiliki
anggota FKWIS dan dengan berjejaring dengan organisasi perempuan lainnya.
211
5.
KESIMPULAN
Diskriminasi terhadap perempuan tanpa disadari juga turut terbawa dalam zaman
Reformasi, seperti yang dialami oleh para pekerja media perempuan di Sumatera Barat.
Meski kran demokrasi sudah dibuka seluasnya yang dibuktikan dengan banyaknya berdiri
organisasi politik (partai politik), media cetak dan online, organisasi sosial kemasyarakatan
dan keagamaan, serta NGOs, itu semua tak menjamin akan adanya penghormatan terhadap
hak azazi manusia (HAM) dan anti diskriminasi. Untuk itulah FKWIS melakukan gerakan
perlawanan atas ketidakadilan terhadap perempuan di Sumatera Barat.
Sumber daya yang dimanfaatkan organisasi FKWIS berasal dari dalam organisasi
(sumber daya internal) dan dukungan lingkungan sosial sekitar. Sumber internal dalam hal
ini kapasitas dan potensi anggota., atau berasal dari luar organisasi seperti dukungan
lingkungan sekitar dan jaringan dengan kelompok lainnya. Dalam konteks gerakan yang
dilakukan oleh FKWIS, sejumlah sumber daya yang dimiliki anggota kelompok sebagai
jurnalis dimanfaatkan demi mencapai tujuan dalam menentang Ranperda diskriminatif.
Yakni dengan membuat berita terkait isu pasal diskriminatif, mengadakan dialog
interaktif, talk show, dan polling sms demi membentuk opini publik. Begitupun dengan
potensi kepemilikan jaringan berupa hubungan baik dengan pihak di luar organisasi
menjadi modal untuk melakukan aktifitas guna mencapai tujuan organisasi mereka.
6. DAFTAR PUSTAKA
Candraningrum, Dewi. 2006. “Perda Sharia and the Indonesian Women’s Critical
Perspectives”, Working paper on SOAI (Suedostasien Informationsstelle,
Asienhaus) and MATA Asien in Blick, at ÜBERSEEMUSEUM Bremen, Germany
Eska, Wirnita. 2003. "Perempuan Minang dalam Membangun Kekuatan melalui Media
Massa." Jurnal Perempuan 28: 131-141.
McAdam, Doug and Snow, David A. (Ed).1997.Readings on Their Emergence,
Mobilization, and Dynamics. Los Angeles: Roxbury Publishing Company.
McCarthy, John D, and Zald, Mayer N, (1997) “Resources Mobilization and Social
Movements: A Partial Theory.” American Journal of Sociology 82: 12-41.
Paat, Yustinus. 2015. "Gerakan Indonesia Beragam Dukung Mendagri Hapus 139 Perda
Diskriminatif."
Berita
Satu.com,
diakses
24
April
2016,
http://www.beritasatu.com/nasional/300049-gerakan-indonesia-beragam-dukungmendagri-hapus-139-perda-diskriminatif.html.
Sadli, Saparinah. 2012. Berbeda tetapi Setara Pemikiran tentang Kajian Perempuan.
Jakarta: Kompas.
Sztompka, Piotr. 1993. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada
Taylor, Verta and Nancy E.Whittier. 1992.. “Collective Identity in Social Movement
Communities; Lesbian Feminist Mobilization”. Frontiers in Social Movement
Theories: 104-129.
West, Guida and Blumberg R Louis (Ed).1990. Women and Social Protest. New York:
Oxford University Press.
---------------. 2013. "Komnas Perempuan: ada 342 Perda Diskriminatif di Indonesia."
voaindonesia.com.
diakses
25
April
2016,
http://www.voaindonesia.com/content/komnas-perempuan-ada-342-perdadiskriminatif-di-indonesia/1736465.html
212
213
GERAKAN MASYARAKAT LOKAL MENGELOLA REMITAN UNTUK
PENGENTASAN KEMISKINAN
Dr. Indraddin, S.Sos, M.Si,
Jurusan Siologi FISIP Universitas Andalas
E-Mail: [email protected]
Abstrak
Ketika Masalah kemiskinan masih belum teratasi pada masyarakat, akan
berdampak negatif terhadap aspek kehidupan lainnya, seperti pendidikan, politik,
lingkungan, keamanan dan kenyamanan hidup. Pengiriman remitan oleh para migran dari
tempat bekerja yang cukup tinggi, sangat membantu program, tentu saja apabila remitan
dikelola dengan baik tidak hanya untuk keperluan konsumtif tetapi lebih pada keperluan
produktif. Penelitian ini difokuskan melihat gerakan serta upaya masyarakat lokal dalam
mengelola remitan dalam rangka mememerangi kemiskinan di kampungnya. Penelitian
dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Sebagai panduan diteropong dari sudut pandang
teori strukturasi dari Anthony Giddens, didukung dengan konsep-konsep pemberdayaan.
Mengambil kasus remitan asal perantau Sumatera Barat, ditemukan bahwa selama ini
keterlibatan keluarga luas dan institusi lokal lebih kepada sekedar mengetahui. Uang yang
diberikan dikelola secara terpisah, tergantung distribusi oleh para migran, keluarga inti
seperti istri, anak, suami atau keluarga luas seperti adik, kakak, mamak dan sebagainya.
Remitan migran internasional dan migran domestik tidak dapat dipisahkan satu dengan
yang lain, karena berkaitan erat dengan ikatan keluarga perantau di nagari masingmasing. Perlu dilakukan gerakan masyarakat lokal, dalam hal ini dipeloporai oleh institusi
lokal nagari dengan belajar dari program pengentasan kemiskinan yang dilakukan di
nagari selama ini. Koordinasi program berbasis Jorong, dan nagari hanya sebagai
fasilitor atau mengkoordinir pada tingkat nagari.
Kata Kunci: Migran Internasional, Remitan, Institusi Lokal, Pemberdayaan,
Pemanfaatan.
LOCAL COMMUNITIES MOVEMENT IN MANAGGING OF
REMITTENCES
FOR POVERTY ALLEVIATION
Abstract
When the problem of poverty is still not resolved in the community, will have a negative
impact on other aspects of life, such as education, politics, the environment, safety and
comfort of living. Delivery remittances by migrants from the work place that is quite high,
very helpful program, of course, if it si managed properly remittances not only for
consumptive purposes but more on productive purposes. This study focused view the
movement as well as the efforts of local communities to manage remittances in order
alleviate poverty in the village. The study was conducted with a qualitative approach. As a
guide in structuration theory of Anthony Giddens struct, supported by the concepts of
empowerment. Taking the case of delivery of remittances West Sumatra, it was found that
during this extensive family involvement and local institutions is more to just knowing.
Money given administered separately, depending on the distribution of migrants, the
nuclear family as the wife, children, husbands or extended families such as brother, sister,
mamak and so forth. International migrant remittances and domestic migrant can not be
separated from one another, as closely associated with family ties in each the village. Need
214
to do the movement of local communities, in this case sponsored by local institutions village
by learning from poverty alleviation programs before. Coordination of program based
Jorong, and Nagari only as facilitators or coordinated at the level of Nagari.
Keywords : International Migrants , Remittances , Local Institutions , Empowerment ,
Utilization
1. PENDAHULUAN
Tidak ada pihak yang tidak sepakat untuk mengentaskan kemiskinan dari muka
bumi, karena masalah ini tidak berdiri sendiri, berdampak terhadap lambatnya peningkatan
program di sektor lainnya. Menyelesaikan masalah kemiskinan berarti sejalan dengan
menyelesaikan masalah di berbagai sektor, karena akan meningkatkan partisipasi
masyarakat lebih besar dalam berbagai bidang pembengunan. Untuk itu perlu dilakukan
gerakan pengentasan kemiskinan oleh berbagai pihak dengan menggali berbagai potensi
yang dimiliki. Menyerahkan permasalahan kemiskinan semuanya kepada pemerintah tidak
mungkin, karena terbatasnya kemampuan dan sumberdaya yang dimiliki untuk mengatasi
persoalan yang sudah begitu pelik di bumi pertiwi. Hasil penelitian berikut adalah
merupakan gerakan yang dapat dilakukan oleh institusi lokal nagari dalam memanfaatkan
potensi perantau berupa remitan (remittance).
Migrasi adalah fenomena umum terjadi di seluruh dunia, hal ini berkaitan dengan
pertumbuhan ekonomi baik di daerah asal maupun di daerah tujuan bermigrasi. Latar
belakang perbedaan kondisi sosial ekonomi yang mendorong pergerakan orang dari daerah
asal ke tujuan migrasi. Sekitar tiga persen penduduk dunia telah bermigrasi dari negara asal
ke negara tujuan untuk bekerja. Pertumbuhan migrasi ini sejak tahun 1990-an telah
memberikan kontribusi remitan yang cukup besar bagi negara asal mereka (The World
Bank, 2005).
Masyarakat Sumatera Barat atau yang dikenal dengan masyarakat Minangkabau,
menganut falsafah hidup yang mendorong masyarakatnya untuk bermigrasi. Sebagai mana
pepatah adat “karatau madang di hulu, babuah babungo balun, marantau bujang dahulu, di
kampuang baguno balun” (karatau madang di hulu, berbuah berbunga belum, merantau di
saat muda, karena di kampung juga belum berfungsi). Pepatah yang mendorong orang lakilaki untuk pergi merantau yang tujuannya untuk mengadu nasib, memperbaiki ekonomi
rumah tangga yang awalnya dilakukan laki-laki, akhirnya juga mengikut sertakan
perempuan. Hal itu disebabkan kecendrungan laki-laki yang pergi merantau mencari istri
di kampung halamannya sendiri dan akhirnya juga memboyong istrinya pergi merantau.
Kebiasaan itu berlangsung dari dulu sampai sekarang, bahkan saat ini kebiasaan
merantau itu tidak saja dimiliki oleh laki-laki muda, tapi juga oleh perempuan seiring
dengan perkembangan emansipasi wanita di Indonesia. Migrasi atau dikenal dengan
merantau dilakukan dalam rangka merubah nasib (ekonomi keluarga) termasuk keluarga
luas. Secara umum migrasi internasional sangat berhubungan dengan pertumbuhan
ekonomi dan transisi demografi dalam suatu negara. Ketika suatu negara mengalami
kemunduran ekonomi yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang rendah dan
pertumbuhan populasinya yang masih tinggi, sangat tidak mungkin aktivitas perekonomian
negara tersebut dapat menyerap kelebihan tenaga kerja. Maka di zaman orde baru, terus
berlangsung sampai sekarang, pengiriman tenaga kerja ke luar negeri dipandang sebagai
salah satu strategi pemecahan masalah ketenagakerjaan setiap orde pemerintahan di
Indonesia. Dalam teori ekonomi kependudukan dan ketenagakerjaan, hal ini sering
dinyatakan sebagai “the first stage of labor migration transition” (Tjiptoheriyanto, 1997).
215
Proses migrasi baik nasional maupun internasional berdampak positif bagi negara
tujuan, negara asal dan para migran berserta keluarganya. Bagi negara tujuan, kehadiran
migran ini dapat mengisi segmen-segmen lapangan kerja yang sudah ditinggalkan oleh
penduduk setempat karena tingkat kemakmuran negara tersebut semakin meningkat.
Lapangan kerja tersebut seperti sektor perkebunan dan bangunan atau konstruksi yang
banyak digantikan oleh pekerja-pekerja dari negara berkembang, termasuk Indonesia, ini
terlihat di negara tetangga terutama Malaysia dan Singapura. Sementara kebutuhan tenagatenaga terampil yang jumlahnya kurang, seperti sebagai tenaga kerja teknisi dan jasa
biasanya dibutuhkan oleh negara-negara Timur Tengah, negara tetangga seperti Singapura,
Brunai. Bagi negara asal merupakan sumber penerimaan devisa dari remittances hasil kerja
migran di luar negeri. Sementara untuk para migran, kesempatan ini merupakan
pengalaman internasional dan kesempatan meningkatkan keahlian, juga akan mengenal
disiplin kerja di lingkungan yang berbeda. Bagi keluarga migran hal tersebut merupakan
sumber penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya (Haris, 2007).
Pada mulanya istilah remitan (remittance) adalah uang atau barang yang di kirim
oleh migran ke daerah asal, sementara migran masih berada di tempat tujuan (Connell,
1976). Namun kemudian definisi ini mengalami perluasan, tidak hanya uang dan barang,
tetapi keterampilan dan ide juga digolongkan sebagai remitan bagi daerah asal (Connell,
1980), keterampilan yang diperoleh dari pegalaman bermigrasi akan sangat bermanfaat
bagi migran jika nanti kembali ke daerahnya. Ide-ide baru juga sangat menyumbang
terhadap pembangunan desanya. Misalnya cara-cara bekerja, membangun rumah dan
lingkungannya yang baik, serta hidup sehat.
Pengertian remitan secara umum berasal dari transfer, baik dalam bentuk cash atau
sejenisnya, dari seorang asing kepada sanak keluarga di negara asalnya. IMF
mendefiniskannya ke dalam 3 kategori yaitu (1) remitan pekerja atau transfer dalam bentuk
cash atau sejenisnya dari pekerja asing kepada keluarganya di kampung halaman. (2).
Kompensasi terhadap pekerjaan atau pendapatan, gaji atau renumerasi dalam bentuk cash
atau sejenisnya yang dibayarkan kepada individu yang bekerja di satu negara lain di mana
keberatan mereka adalah resmi, dan (3). Transfer uang seorang asing yang merujuk kepada
transfer kapital dari aset keuangan yang dibuat orang asing tersebut sebagai perpindahan
dari satu negara ke lainnya dan tinggal lebih dari satu tahun. Menurut Wikipedia, remitan
(remittance) adalah transfer uang oleh pekerja asing ke negara ke tempat mereka berasal.
Pada hakekatnya masuknya uang tunai dalam jumlah relatif besar di dalam sistem
perekonomian rakyat atau perdesaaan merupakan fenomena yang relatif dapat
dipertimbangkan bagi kemajuan faktor ekonomi perdesaan itu sendiri. Perekonomian
perdesaan yang didominasi oleh usaha tani kecil, pedagang kecil tidak memungkinkan
petani dan pedagang untuk menghasilkan serta menghimpun modal usaha. Sistem tanam
paksa, sistem ekonomi liberal yang diterapkan serta masa berlangsungnya involusi
pertanian mengakibatkan penduduk pedesaan kehilangan peluang mengumpulkan modal.
Masuknya devisa bermilyar dolar ke dalam sistem ekonomi perdesaan pada
beberapa dekade terakhir ini merupakan potensi yang tidak kecil artinya terhadap ekonomi
pedesaan. Remitan atau transfer uang oleh pekerja asing ke negara dan tempat mereka
berasal dari para pekerja asing ke luar negeri telah membantu memperkuat keseimbangan
pembayaran dan anggota keluarga pekerja yang kebanyakan adalah dari daerah pedesaan
dan wilayah pertanian berada dalam garis kemiskinan. Oleh sebab pemerintah Indonesia
menganut sistem devisa terbuka, maka besarnya remitan yang dikirim oleh buruh migran
dari luar negeri tidak dapat terlacak dengan baik. Kebanyakan data mengenai remitan
bertumpu pada laporan dari institusi formal saja, sementara pada kenyataannya saluransaluran informal pengiriman serta uang yang dibawa sendiri oleh buruh migran sewaktu
216
mereka pulang ke kampung menjadi sesuatu yang umum, maka banyak pihak yang
berpendapat bahwa remitan yang tercatat paling banyak hanya setengah dari kenyataannya.
Penelitian tentang migrasi internasional sudah banyak dilakukan, namun suatu
kajian integratif yang menunjukkan bagaimana remitan dikirim dan dimanfaatkan didaerah
asal masih belum dikaji secara khusus, bagaimana remitan dapat dimanfaatkan untuk
kesejahteraan keluarga migran di daerah asal. Menarik untuk dikaji dari perspektif lain
yaitu melalui pemberdauyaan intitusi lokal. Penelitian Indraddin (2011) menemukan
bahwa remitan menjadi pendukung program pengentasan kemiskinan berbasis institusi
lokal, kerena perantau merupakan potensi pendukung program pemberdayaan institusi
lokal dalam pengentasan kemiskinan.
Penelitian ini menarik dan penting artinya karena pengentasan kemiskinan perlu
terus diupayakan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia sesuai amanah
Undang Undang Dasar. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, bahwa pengentasan
kemiskinan lebih tepat menggunakan pendekatan pemberdayaan institusi lokal guna
menjamin keberlanjutan program. Salah satu faktor pendukung adalah kekuatan perantau
suatu daerah. Pengetahuan tentang aliran dana dan bagaimana penggunaan uang tersebut
digunakan, oleh siapa uang tersebut dikelola, berapa besar uang tersebut, siapa yang terlibat
dalam pengambilan keputusan investasi, kemana uang tersebut dibelanjakan untuk
kebutuhan konsumtif atau kebutuhan produktif dan investasi; serta bagaimana pengaruh
masuknya uang terhadap kegiatan perekonomian rakyat, kelembagaan ekonomi sosial,
nilai masyarakat serta kehidupan keluarga masih relatif belum begitu menjelaskan
bagaimana yang sesungguhnya terjadi di masyarakat. Pengetahuan ini diperlukan untuk
berbagai kepentingan, untuk merancang bagaimana pola pembinaan penggunaan remitan
setelah pekerja migran itu memperoleh remitan di daerah tujuan di luar negeri dan mereka
manfaatkan untuk kehidupan mereka sehingga kesejahteraan bisa meningkat.
Tulisan ini didasarkan kepada temuan penelitian tahun II, dimana temuan
penelitian tahun pertama juga telah diseminarkan pada forum Seminar Nasional Peran Ilmu
Ilmu Sosial Dalam Pemerintahan Indonesia Baru bulan Oktober 2014 lalu. Pada tahun ke
II ini tujuan penelitian menemukan model pemberdayaan institusi lokal dalam pemanfaatan
remitan.
2. TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsepsi Remitan
Secara teoritis keberlanjutan program dalam pemberdayaan salah satunya dengan
pemberdayaan institusi lokal. Institusi lokal berkaitan dengan nilai-nilai dan norma yang
masih berlaku dalam masyarakat, termasuk kelembagaan adat yang masih didukung
keberadaaanya oleh masyarakat. Suatu kebudayaan akan berlangsung bila ada tiga faktor,
yaitu adanya nilai-nilai yang berkembang, adanya pelopor pada budaya tersebut, dan
adanya pendukung. Hasil penelitian Indraddin (2011), tentang pengentasan kemiskinan
berbasis nagari menunjukkan bahwa untuk menjamin keberlajutan program pemberdayaan
masyarakat miskin perlu melibatkan insitusi lokal nagari. Institusi lokal yang dipakai sesuai
karakteristik nagari masing-masing, karena berbeda nagari, berbeda juga institusi lokal
yang dipercaya oleh masyarakat. Institusi lokal nagari perlu didukung oleh elemen lain,
seperti orang kaya yang ada di kampung itu termasuk dana yang berasal dari perantau.
Perantau dalam tulisan ini terdiri dari dua bentuk, pertama di dalam negeri, kedua di luar
negeri atau migrant internasional.
Pada mulanya istilah remitan (remittance) adalah uang atau barang yang dikirim
oleh migran ke daerah asal, sementara migran masih berada ditempat tujuan (Connell,
1976). Namun kemudian definisi ini mengalami perluasan, tidak hanya uang dan barang,
tetapi ketrampilan dan ide juga digolongkan sebagai remitan bagi daerah asal, ketrampilan
217
dan ide inilah yang dapat juga menjadi dasar kreatifitas mantan migran dalam
memberdayakan keluarga mereka di daerah asal sekembalinya dari merantau. Ketrampilan
yang diperoleh dari pengalaman bermigrasi akan sangat bermanfaat bagi migran jika nanti
kembali ke desanya ide-ide baru juga sangat menyumbang pembangunan desanya.
Misalnya cara-cara bekerja, membangun rumah dan lingkungannya yang baik, serta hidup
sehat dan lain sebagainya. Remitan menurut Curson (1981) merupakan pengiriman uang,
barang, ide-ide pembangunan dari daerah tujuan migrasi ke daerah asal dan merupakan
instrumen penting dalam kehidupan sosial ekonomi suatu masyarakat. Dari segi ekonomi
keberadaan remitan sangatlah penting karena mampu meningkatkan ekonomi keluarga dan
juga untuk kemajuan bagi masyarakat penerimanya.
Pengiriman remitan bagi perantau yang berasal dari masyarakat perdesaan kepada
kerabatnya merupakan kesatuan ekonomi. Remitan atau yang lazim mereka sebut
“kiriman” selain ditujukan untuk keluarganya juga ditujukan untuk anggota masyarakat
desanya dan juga untuk keperluan desa asalnya. Remitan atau kiriman yang ditujukan untuk
keluarganya lebih bersifat ekonomi dan pengiriman dilakukan secara rutin karena
dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari, untuk biaya
pendidikan, kesehatan dan untuk menunjang kehidupan orang tua “penganti” seperti
simbah-simbah (nenek dan kakek, keluarganya) yang menggantikan peran orang tua.
Selain dalam bentuk uang para masyarakat migran juga mengirim barang-barang seperti
pakaian, perabot rumah tangga, alat elektronik, dan juga mampu menginvestasikan kiriman
dengan membeli tanah serta membuka usaha baru di desanya yang dijalankan oleh anggota
keluarganya yang masih tinggal di desa.
Remitan dalam konteks migrasi di negara-negara sedang berkembang merupakan
upaya migran dalam menjaga kelangsungan ikatan sosial ekonomi dengan daerah asal,
meskipun secara geografis mereka terpisah jauh. Selain migran mengirim remitan karena
secara moral maupun sosial mereka memiliki tanggung jawab terhadap keluarga yang
ditinggalkan (Curson, 1983). Kewajiban dan tanggung jawab sebagai migran, sudah
ditanamkan sejak masih kanak-kanak. Masyarakat akan menghargai migran secara rutin
mengirim remitan ke daerah asal dan sebaliknya akan merendahkan migran yang tidak bisa
memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya.
Dalam perspektif yang lebih luas, remitan dari migran dipandang sebagai suatu
instrumen dalam memperbaiki keseimbangan pembayaran, dan merangsang tabungan dan
investasi di daerah asal. Oleh karenanya dapat dikemukakan bahwa remitan menjadi
komponen penting dalam mengkaitkan mobilitas pekerja dengan proses pembangunan di
daerah asal. Hal tersebut di dukung oleh penelitian yang dilakukan di daerah Jatinom Jawa
Tengah (Effendi, 1993). Sejak pertengahan tahun 1980 an seiring dengan meningkatnya
mobilitas pekerja, terjadi perubahan pola makanan keluarga migran di daerah asal menuju
pola makanan dengan gizi sehat. Perubahan ini tidak dapat dilepaskan dari peningkatan
daya beli keluarga migran di daerah asal, sebagai akibat adanya remitan.
Namun disisi lain, remitan ternyata tidak hanya mempengaruhi pola konsumsi
keluarga migran di daerah asal. Dalam kerangka pempupukkan remitan, migran berusaha
melakukan berbagai kompromi untuk mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya, dan
mengadopsi pola konsumsi tersendiri di daerah tujuan. Para migran akan melakukan
“pengorbanan” dalam hal makanan, pakaian, dan perumahan supaya bisa menabung dan
akhirnya bisa mengirim remitan ke daerah asal.
Berbagai penelitian terdahulu menunjukkan bahwa besarnya remitan yang
dikirimkan migran ke daerah asal relatif bervariasi. Penelitian yang dilakukan Rose dan
kawan-kawan (1969) dalam Curson 1983 terhadap migran di Birmingham menemukan
bahwa remitan migran India sebesar 6,3 persen dari penghasilannya sedangkan migran
Pakistan mencapai 12,1 persen. Bahkan dalam penelitian yang dilakukan Jellinek (1978)
218
dalam Effendi (1993) menemukan bahwa remitan yang dikirimkan para migran penjual es
krim di Jakarta mencapai 50 persen dari penghasilan yang diperolehnya. Besar kecilnya
remitan ditentukan oleh berbagai karakteristik migrasi maupun migran itu sendiri.
Rempel dan Lobdell (1978) mengemukakan bahwa semakin tinggi tingkat
pendidikan migran, maka akan semakin besar remitan yang dikirimkan ke daerah asal. Hal
ini pada dasarnya berkaitan dengan fungsi remitan sebagai pembayaran kembali
(repayment) investasi pendidikan yang telah ditanamkan keluarga kepada individu migran.
Tinggi rendahnya tingkat pendidikan migran menunjukkan besar kecilnya investasi
pendidikan yang ditanamkan keluarga, dan pada tahap selanjutnya berdampak pada besar
kecilnya repayment yang diwujudkan dalam remitan.
Pengaruh positif juga ditemukan antara penghasilan migran dan remitan (Wiyono,
1994). Remitan pada dasarnya adalah bagian dari penghasilan atas dua bagian besar, yaitu
keluarga inti (batih) yang terdiri dari suami, isteri dan anak-anak, serta keluarga di luar
keluarga inti. Dalam konteks ini, Mantra (1994) mengemukakan bahwa remitan akan lebih
besar jika keluarga penerima remitan di daerah asal adalah keluarga inti. Sebaliknya,
remitan akan lebih kecil jika keluarga penerima remitan di daerah asal bukan keluarga inti.
Tujuan pengiriman remitan akan menentukan dampak remitan terhadap
pembangunan di daerah asal. Berbagai pemikiran dari hasil penelitian telah menemukan
keberagaman tujuan remitan ini, namun demikian dapat dikelompokkan atas tujuan-tujuan
sebagai berikut:
Bentuk investasi adalah perbaikan dan pembangunan perumahan, membeli tanah,
mendirikan industri kecil dan lain-lainnya. Kegiatan ini tidak hanya bersifat ekonomi,
tetapi juga sebagai sarana sosial dan budaya dalam menjaga kelangsungan hidup di daerah
asal, tetapi juga bersifat psikologis, karena erat hubungannya dengan prestise seseorang.
Effendi (1993) dalam penelitiannya di tiga desa di Jatinom, Klaten menemukan bahwa
remitan telah digunakan untuk modal usaha pada usaha-usaha skala kecil seperti pertanian
jeruk, peternakan ayam, perdagagan dan bengkel sepeda. Namun banyak juga pemanfaatan
uang tidak fungsional karena ketidak mampuan mereka memanfaatkan secara baik. Mereka
juga banyak menymbang untuk pembangunan desa mereka, namun hal itu belum dikelola
secara terencana dan berkelanjutan.
Migran mempunyai keinginan, jika mereka mempunyai cukup uang ada sudah
pensiun, mereka akan kembali ke daerah asal. Hal ini erat kaitannya dengan fungsi
investasi, mereka akan membangun rumah atau membeli tanah di daerah asal sebagai
simbol kesejahteraan, prestisius dan kesuksesan di daerah rantau. Lee (1992)
mengemukakan bahwa berbagai pengalaman baru yang diperoleh di tempat tujuan, apakah
itu keterampilan khusus atau kekayaan, sering dapat menyebabkan orang kembali ke
tempat asal dengan posisi yang lebih menguntungkan selain itu tidak semua yang
bermigrasi bermaksud menetap selama-lamanya di tempat tujuan.
Dalam penelitian ini pengertian remitan yang akan digunakan mengacu kepada
remitan dalam bentuk uang yang dihasilkan oleh buruh migran selama bekerja di luar
negeri, baik yang dikirim maupun yang dibawa langsung oleh buruh migran ke kampung
halamannya. Remitan termasuk uang yang dikirim oleh organisasi perantau yang ada di
luar negeri, karena selama ini perantau lewat lembaga yang ada juga mengirim uang untuk
pembangunan kampung halamannya.
Penggunaaan remitan dipengaruhi oleh banyak variabel. Dari sisi si buruh migran
faktor yang mempengaruhi adalah tingkat penghasilan, lama bekerja di luar negeri dan
sebagainya. Dari sisi rumah tangga di daerah asal, cenderung menggunakan remitan untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (makanan, pakaian, kesehatan) dan untuk
membangun atau renovasi rumah, membeli tanah atau ternak atau barang-barang lainnya.
Ada yang memandang bahwa pengeluaran ini adalah bukan “investasi produktif” misalnya
219
kegiatan-kegiatan yang bisa menghasilkan pendapatan dan mempekerjakan orang, atau
usaha atau aktivitas lainnya yang memiliki multiplier effect. Pandangan alternatif melihat
bahwa penggunaan remitan tersebut adalah rasional, dengan mempertimbangkan
hambatan-hambatan struktural untuk berinvestasi (Primawati, 2008). Puri dan Ritzema
(1999: 15) menyimpulkan bahwa keluarga buruh migran menggunakan remitannya secara
rasional.
1. Pemberdayaan Masyarakat
Konsep “pemberdayaan” (empowerment) telah mengubah konsep pembangunan
dan sekaligus strategi bagaimana mengentaskan kemiskinan khususnya di pedesaan.
Perubahan ini sering disebut orang sebagai perubahan paradigma atau serangkaian
perubahan mulai dari tataran konsep, teori, nilai-nilai, metodologi sampai ke tataran
pelaksanaannya. Pemberdayaan pada dasarnya sebuah proses pelibatan masyarakat lokal
sejak awal pelaksanaan program, dan proses tersebut menumbuhkan rasa memiliki kepada
masyarakat. Pemberdayaan (empowering) suatu upaya menjadikan orang, kelompok dari
powerless menjadi empower.
Terdapat banyak program penanggulangan kemiskinan yang dijalankan berbagai
kementerian dan lembaga. Misalnya, program pengembangan kecamatan (PPK), program
penanggulangan kemiskinan di perkotaan (P2KP), proyek peningkatan masyarakat pesisir
(P4K), dan Kelompok Usaha Bersama (Kube). Paling tidak, ada sekitar 55 program atau
proyek yang dilaksanakan sekitar 19 departemen/lembaga pemerintah non departemen
(LPND) sejak tahun 2004.
Pemberdayaan dicirikan dengan menumbuhkan keberdayaan suatu masyarakat.
Keberdayaan masyarakat Warga Madani dicirikan dengan timbulnya kesadaran bahwa,
meraka paham akan haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta sanggup
menjalankan kewajiban dan tanggung jawab untuk tercapainya kualitas hidup yang
dituntutnya. Kemudian, berdaya yaitu mampu melakukan tuntutan mendapatkan
lingkungan yang baik dan sehat. Selanjutnya, mandiri dalam kemampuan berkehendak
menjalankan inisiatif lokal untuk menghadapi masalah ekonomi dan lingkungan di
sekitarnya. Dan, secara aktif tidak saja memperjuangkan aspirasi dan tuntutan kebutuhan
lingkungan yang baik dan sehat secara terus menerus, tetapi juga melakukan inisiatif lokal.
Kemandirian dapat dilihat dari kemandirian individu dan kemandirian kelompok.
Kelompok juga akan maju jika ada orang menjadi pelopor atau penggerak di komunitasnya.
Jadi peranan individu bisa saja dapat menjadi tulang punggung bagi kemajuan
komunitasnya. Kemandirian diukur sejauh mana individu atau kelompok dapat mengurus
diri sendiri bila program atau pendapingan program berakhir.
Pemberdayaan memerlukan keseriusan bagi pelakunya. Tantangan proyek yang
berorientasi kepada pemberdayaan, bukan hanya dituntut untuk mempertahankan
profesionalisme bagi para pelakunya, tetapi harus menjadi komitmen bersama dari seluruh
unsur stakeholders yang terlibat dalam proyek bersangkutan. Menurut Tilden: dalam
Arifin (2003), mengenai keterampilan dan sikap apa yang harus dimiliki oleh pelaku
pemberdaya, sekurang-kurangnya ada 4 (empat) kegiatan penting yakni: Problem solving
(pemecahan masalah); Sense of Community (peduli terhadap masyarakat); Sense of mission
(komitmen terhadap misi proyek); dan Honesty with self and with others (jujur kepada diri
sendiri dan orang lain).
Menurut Rahayu (2006), dalam bukunya “Keadilan, Pemberdayaan dan Penanggulangan
Kemiskinan Jamasy ( 2004), menyatakan bahwa para pelaku program pemberdayaan,
harus profesional dan komitmen untuk mewujudkan seluruh prinsip pemberdayaan ke
dalam setiap kegiatan aksi program. Dikatakannya ada dua belas prinsip yang harus
dijadikan kekuatan internal pelaku pemberdaya. Pertama, para pelaku utama pemberdaya
220
dan seluruh unsur stakeholders, harus berlaku adil (melaksanakan prinsip kerja
berdasarkan keadilan dan komitmen untuk meningkatkan kualitas kerja yang adil). Dari
sekian banyak arti dan bentuk perilaku adil, setidaknya dua hal diantaranya akan menjadi
sangat penting yakni: Keadilan distribusi dan keadilan prosedural. Twelvetrees (1991),
membagi perspektif teoritik pemberdayaan masyarakat ke dalam dua bingkai, yakni
pendekatan profesional dan pendekatan radikal. Pendekatan professional menunjuk pada
upaya untuk meningkatkan kemandirian dan memperbaiki sistem pemberian pelayanan
dalam kerangka relasi-relasi sosial. Sementara itu, berpijak pada teori struktural neoMarxis, feminisme dan analisis anti-rasis, pendekatan radikal lebih terfokus pada upaya
mengubah ketidakseimbangan relasi-relasi sosial yang ada melalui pemberdayaan
kelompok-kelompok lemah, mencari sebab kelemahan mereka, serta analisis sumbersumber ketertindasannya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Payne sebagai sebuah
model pendekatan dengan dukungan minoritas masyarakat, sebagai contoh penggambaran
perhatian terhadap keseimbangan ketetapan pelayanan. Pendekatan profesional dapat
diberi label sebagai pendekatan yang bermatra tradisional, netral dan teknikal. Sedangkan
pendekatan radikal dapat diberi label sebagai pendekatan yang bermatra transformatif.
3.METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif
dimaksudkan untuk mengungkap gejala secara holistik kontekstual melalui pengumpulan
data dari latar alami dengan memanfaatkan diri peneliti sebagai instrumen kunci. Penelitian
kualitatif bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan
induktif. Proses dan makna (perspektif subyek) lebih ditonjolkan dalam penelitian
kualitatif. Ciri penelitian kualitatif mewarnai sifat dan bentuk laporannya. Oleh karena itu,
laporan penelitian kualitatif disusun dalam bentuk narasi yang bersifat kreatif dan
mendalam serta menunjukkan ciri-ciri naturalistik yang penuh keotentikan.
Untuk mendapatkan perspektif pengkajian remitan dan model pemberdayaan
keluarga migran penelitian ini menerapkan startegi sebagai berikut: keluarga mantan
migran asal Sumatera Barat sebagai unit analisisnya diidentifikasi menurut lokasi tempat
bekerja. Kemudian iformasi dari keluarga dikonfirmasi kepada keluarga luas dan tokoh
masyarakat. Triangulasi data memang sangat mungkin dilakukan mengingat keluarga luas
masih berjalan di lokasi penelitian. Untuk akurasi dan kedalaman data, digunakan teknik
diskusi terfokus (FGD) di tingkat nagari. Pada saat pelaksanaan FGD muncul berbagai
informasi, karena peserta umumnya mengetahui situasi sosial yang diterliti.
Teknik menentukan informan yang digunakan dalam penelitian ini adalah secara
kombinasi teknik purposive dengan snowballing, dimana sejak awak peneliti telah
menentukan kriteria informan bahkan lokasinya sejak awal sesuai kriteria penelitian ini.
Kriteria lokasi ditentukan dari informasi awal terdapatnya migran Internasional asal
Sumatera Barat. Maka kabupaten yang dipilih adalah Kabupatren Lima Puluh Kota dan
Solok. Dari dua kabupaten itu dipilih Nagari Suayan dan Sulit Air sebagai lokasi penelitian.
Sedangkan informan yang dipilih adalah Kerabat migran, keluarga luas, tokoh masyarakat
nagari yang terdiri dari lima unsur yang ada di nagari.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di dua tempat yaitu, Nagari Suayan Kabupaten Lima
Puluh Kota, dan nagari dan Nagari Sulit Air di Kabupaten Solok. Lokasi penelitian tahun
pertama, sama dengan lokasi tahun kedua, karena penelitian ini berkaitan antara tahun
pertma dengan tahun kedua. Pada awalnya penentuan lokasi penelitian didasarkan pada
221
informasi umum tentang keberadaan perantau asal Minangkabau di luar negeri, maka
direncanakan penelitian dilaksanakan di Kabupaten Lima Puluh Kota dan Kabupaten
Tanah Datar. Namun saat dilakukan penelitin awal untuk menentukan nagari yang akan
dijadikan lokasi penelitian, ternyata di kabupaten Tanah Datar perantau luar negerinya
sedikit sekali, tidak terdapat jumlah yang dapat memperlihatkan pola interaksi yang
memadai dengan kerabat di tempat asal. Informasi awal menunjukkan bahwa di Tanah
Datar nagari yang memiliki perantau luar negeri adalah nagari Batipuah Baruah, dan
beberapa Nagari di Kecamatan Lintau. Peneliti menelusuri nagari tersebut, dan
kenyataannya memang tidak banyak jumlah masyarakatnya yang merantau ke luar negeri.
Akhirnya lokasi yang di Tanah Datar diganti dengan salah satu nagari yang ada di
Kabupaten Solok, yaitu nagari Sulit Air. Nagari Sulit Air ternyata perantaunya ada di
Malaysia, Singapura, Brunai, Australia, dan Amerika. Pada tahun pertama penelitian lebih
terfokus pada migran internasional, sementara pada tahun kedua migran nasional
(domestik) menjadi kajian juga dalam penelitian, karena berdasarkan temuan penelitian
tahun pertama, bahwa antara migran internasional dan domestik tidak dapat dipisahkan,
karena mereka berada dalam satu garis koordinasi pada ikatan perantau nagari tersebut.
Nagari Suayan
Suayan adalah salah nagari di kabupaten Lima Puluh Kota, pada tahun 70-an masih
dikategorikan nagari tertinggal. Saat itu pendidikan masyarakatnya masih tertinggal
dinggal dibandingkan nagari sekitarnya, sehingga melekat lebel yang berkonotasi negatif
terhadap masyarakat Suayan saat itu bila disebut nagari Suayan. Hal itu salah satunya
disebabkan oleh pendidikan masyarakat yang masih rendah. Ketika gelombang merantau
ke Malaysia dimulai tahun 1980-an, performen nagari Suayan menjadi berubah. Seiring
meningkatnya ekonomi masyarakat terutama keluarga yang memiliki anggota keluarga
yang merantau ke luar negeri (umumnya Malaysia), tingkat ekonomi mulai meningkat
seiring dengan peningkatan pendidikan masyarakat. Sejarah merantau ke Malaysia jangan
dibayangkan sebuah perjalanan ke luar negeri dengan prosedur administrasi sebagaimana
aturan memasuki suatu negara yaitu dengan kelengkapan administrasi seperti kartu
identitas (pasport) dan izin memasuki suatu negara berupa visa dan exeet permit, namun
suatu perjalanan illegal (menyelundup lewat Kepulauan Riau).
Perjalanan illegal ersebut akhirnya menjadi perjalanan yang mengikuti prosedur
administrasi suatu negara sampai saat ini. Informasi dari tokoh masyarakat dan orang yang
pernah merantau ke Malaysia menyatakan bahwa, perjalanan illegal dilakukan saat itu
salah satunya disebabkan ketidak kenalan mereka terhadap administrasi kependudukan
terutama berurusan dengan imigrasi. Dulu menurut mereka, kantor imigrasi itu adalah
suatu lokasi administrasi yang jauh dan sulit diakses. Maka perjalanan secara illegal
menjadi pilihan perjalanan yang dilakukan. Selain itu sanksi yang diterapkan bagi yang
ketahuan melanggar juga belum seberat yang diberlakukan sekarang ini.
Nagari Sulit Air
Nagari Sulit Air merupakan salah salah satu nagari di Kabupaten Solok yang
berada di wilayah administrasi kecamatan X Koto Diatas yang bisa diakses melalui Kota
Solok atau dari pinggir Danau Singkarak. Dari Kota Solok melalui Kampung Jawa, terus
ke Nagari Aripan, Nagari Paninjauan, lalu akan bertemu dengan Nagari Sulit Air. Atau
dapat juga diakses dari pinggir danai singkarak, yaitu melalui nagari Singkarak atau bisa
juga dari Ombilin. Jarak nagari Sulit Air dari pinggir danau singkarak kira-kira 30 km,
sedangkan dari Kota Solok jaraknya hampir sama dengan ke pinggir danau singkarak.
Walau letaknya jauh di perbukitan, namun dengan kondisi jalan yang cukup bagus ke
222
daerah ini, maka dapat ditempuh dengan mudah baik menggunakan kendaraan roda dua
maupun roda empat.
Mendengar nama Sulit Air saat ini terbayang dalam fikiran orang Sumatera Barat sebuah
nagari dimana masyarakatnya adalah perantau yang sukses. Saat lebaran tiba, para perantau
pulang bersama, atau yang dikenal oleh orang minang “pulang basamo”. Saat itu terlihat
pertambahan penduduk Sulit Air dengan berjubelnya kendaraan pribadi dengan berbagai
merek dan model yang berdatangan dari berbagai kota besar di Indonesia.
Berbeda halnya dengan zaman dulunya, menurut tokoh masyarakat Sulit Air
bahwa konotasi negatif melekat pada nagari ini, seperti dalam profil Sulit Air di bawah ini
:
“Suli Aie ” Orang Minang melafalkan dua kata di atas. Kata-kata pedas itu merupakan
nama sebuah Nagari yang tersuruk di perbukitan Danau Singkarak Kabupaten Solok,
Sumatera Barat. Mendengar namanya saja, bulu kuduk segera berdiri. Membayangkan
sebuah perkampungan kumuh di perbukitan batu cadas yang tandus dengan sawah-sawah
dikotori rumput-rumput liar yang juga tak sanggup hidup lagi. Masyarakat penghuninya
tinggal di gubug-gubug reot berlantai tanah. Perkampungan hanya dihuni laki-laki tua dan
wanita renta serta anak-anak caludih berkulit legam terpanggang matahari. Anak-anak
kecil bermain dalam simbahan debu tanpa alas, mereka yang lebih besar membawa
tempayan di kepala menuruni perbukitan terjal menuju sumber air, Danau Singkarak.
Penampilan Sulit Air dulu dengan sekarang ternyata berbeda, tidak ada lagi
kelangkaan air sekalipun kemarau melanda teramat panjang. Sawah dan ladang dapat
menghasilkan padi serta tanaman khas seperti kulit manis (sebutan untuk kayu manis), dan
tanaman kebun lainnya. Sulit Air bukanlah tanah yang gersang seperti namanya melainkan
perbukitan yang subur makmur. Pembangunannya melebihi nagari-nagari lain di Sumatera
Barat. Berbaliknya rupa wajah dengan nama yang melekat sampai sekarang itu ternyata
tidak lepas dari peran perantau asal Nagari Sulit Air yang tersebar di seantero tanah air dan
juga luar negeri.
Jumlah remitan yang dikirim oleh para migran dari tempat bekerja cukup tinggi,
kondisi ini sangat membantu mengentaskan kemiskinan para migran apabila remitan
dikelola dengan baik tidak hanya untuk keperluan konsumtif tetapi lebih pada keperluan
produktif. Pada penelitian tahun pertama ditemukan bahwa, proses pengiriman remitan
oleh migran internasional asal Sumatera Barat dalam dua bentuk, pertama dikirim
melaluim teman sesama perantau, hal ini dilakukan timbal balik, karena mereka saling
berkirim bagi siapa yang pulang kampung pada waktu tertentu. Kedua lewat bank, hal ini
dilakukan kepada bank yang mudah diakses oleh keluarga di kampung. Proses yang
beragam ini menyebabkan sulitnya mendapatkan data pasti berapa jumlah remitan yang
dikirim perantau ke kampung halamannya.
Keterlibatan institusi lokal dalam proses pengiriman tersebut dapat dibedakan atas
kiriman keluarga dan kiriman untuk pembangunan. Di tingkat keluarga pihak yang terlibat
adalah keluarga inti samapai keluarga luas, namun keluarga luas seperti mamak kaum
hanya mengetahui, tidak terlibat dalam pengelolaan penggunaan uang tersebut. Di tingkat
institusi keterlibatan tokoh masyarakat formal dan informal pada kiriman yang ditujukan
untuk pembangunan kampung halaman, baik bangunan fisik maupun melaksanakan sebuah
kegiatan. Ikatan emosional perantau adaa pada level jorong, bukan nagari, maka
pengelolaan remitan untuk pembangunan seyogyanya dilakukan di tingkat jorong. Maka
penelitian tahun II dilakukan untuk menyusun model berdasarkan masukan dan rangcangan
pada tahun I.
2. Proses dan Pola Pengiriman Remitan
223
Sebagaimana temuan penelitian tahun pertama tentang proses pengiriman uang
pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi dua, pertama dikirim melalui teman, dimana
para perantau mengirimkan uang untuk keluarga mereka kepada saudara atau teman yang
pulang kampung. Kepada orang yang pulang kampung ini telah diberikan pesan kepada
siapa saja uang itu akan diberikan. Perantau yang mengirim biasanya telah mengorder
kepada siapa saja uang akan diberikan, misalnya kepada bapak, ibu, anak atau saudara
lainnya. Merantau ke negeri orang ternyata tidak mengurangi hubungan kekerabatan yang
ada pada mereka, malah kekerabatan berkembang dari pertemanan menjadi karib kerabat
baru. Semula di kampung belum saling mengenal, karena tinggal di nagari tetangga,
misalnya bagi orang Suayan nagari tetangga adalah Batu Hampa, yang semula di kampung
belum kenal, karena merantau menjadi kenal dan akhirnya berkembang menjadi kerabat
baru. Mereka saling menjalin hubungan baik layaknya seperti keluarga luas semasa di
kampung.
Kedua, melalui bank, biasanya dikirim langsung kepada rekening orang atau
keluarga yang dituju. Saat ini bank bukanlah suatu yang aneh, masyarakat perdesaan telah
menggunakan bank sebagai media menyimpan uang dan peminjaman. Di lokasi penelitian
ditemukan penggunaan jasa bank adalah salah satu dampak dari tingginya jumlah perantau
di nagari tersebut. Suayan dengan kondisi georgafis dimana infrastrukturnya cukup baik,
memudahkan masyarakat mengakses bank ke Kota Payakumbuh. Menurut keluarga
migran, tidak sulit bagi mereka untuk pergi ke bank mengambil uang jika ada kiriman dari
saudara mereka di luar negeri.
Di nagari Sulit Air terdapat sedikit perbedaan pada proses pengiriman
dibandingkan dengan perantau yang berasal dari Suayan. Walaupun sama menggunakan
jasa bank, perantau di Australia, mengirim uang ke kampung lewat rekening saudaranya di
Jakarta. Saudara di Jakarta yang membawa uang yang sudah diamplopkan ke kampung
(Sulit Air). Dengan banyaknya perantau luar negeri, bank BRI unit yang biasanya di
Sumatera Barat terdapat di ibu kecamatan, namun di Sulit Air Bank BRI hadir di ibu Nagari
Sulit Air. Dengan adanya fasilitas bank ini, sangat memudahkan masyarakat mengambil
uang kiriman dari saudara dirantau.
Pada tahun kedua penelitian ini ditemukan bahwa terdapat kaiatan yang erat antara
remitan migran internasional dengan remitan yang berasal dari perantau domestik. Hal ini
terkait dengan ikatan perantau asal nagari tersebut. Ikatan perantau nagari sulit air
misalnya, keberadaan organisasi Sulit Air Sepakat (SAS), tidak terlepas dari dukungan
perantau yang yang ada di luar negeri dan dalam negeri juga. Pengiriman yang ditujukan
untuk pembangunan kampung terkoordinasi dan menyatu dalam organisasi tingkat pusat
yang selanjutnya dikirim ke kampung halaman. Orang yang diharapkan turun langsung
menyampaikan bantuan biasanya pengurus pusat yang berkedudukan di Jakarta. Kegiatan
“pulang basamo” yang mereka jadwalkan sekali dalam dua tahun, terkoordinir antara
perantau luar negeri dan perantau domestik.
Dari proses pengiriman, temuan penting adalah bahwa terdapat dua janis
pengiriman yang dilakukan oleh perantau ke kampung halaman, pertama kiriman yang
ditujukan untuk keluarga, kedua kiriman yang ditujukan untuk pembangunan kampung
halaman. Kiriman untuk kampung halaman ini belum terkelola dengan baik, baik oleh
organisasi perantau itu sendiri, maupun oleh institusi lokal yang ada di kampung. Perlu
dilakukan pemberdayaan atas kelembagaan yang potensial mengelola remitan. Model
pemberdayaan ini masih disempurnakan saat tulisan ini dibuat.
1. Peran Institusi Lokal
Keterlibatan institusi lokal nagari dalam pemanfaatan remitan selama ini memiliki
dinamika yang cukup panjang. Beda nagari, berbeda pengalaman yang mereka alami,
namun remitan diakui sebagai salah satu penopang dana pembangunan nagari (desa)
224
selama ini. Menurut tokoh masyarakat Suayan, terjadi krisis kepercayaan perantau terhadap
lembaga yang ada di kampung, hal ini disebabkan beberapa pengalaman masa lalu, dimana
kiriman yang diberikan perantau kepada kampung halaman tidak mencapai sasaran.
Namun disisi lain di nagari Sulit Air pengakuan masyarakat dan pemerintah nagari bahwa
keberhasilan pembangunan di nagari tidak terlepas dari dukungan dana dari perantau.
Tidak saja berupa dana, namun yang tidak kalah pentingnya adalah sumbangan pemikiran
dan jaringan dengan pihak luar. Berdirinya cabang pesantren Gontor di Sulit Air tidak
terlepas dari jaringan yang dibangun oleh perantau terhadap masyarakat nagari Sulit Air.
Informasi tersebut dibenarkan oleh perangkat pemerinntah nagari, dimana perantau saat
mengirim bantuan kepada nagari diiringi oleh rasa keterikatan terhadap kerabat terdekat.
Misalnya diberikan bantuan terhadap keluarga miskin yang ada di kampung.
Keterlibatan institusi lokal dapat diklasifikasikan kepada dua, pertama kiriman
untuk keluarga, melibatkan institusi paruik (suku), unsur yang terlibat di dalammua adalah
mamak kepala waris.au yang dikenal dengan tungganai. Tapi bisa saja makam tersebut
adalah ninik mamak (penghulu) dalam suku tersebut. Pada tataran paruik biasanya
diketahui oleh keluarga inti, bapak, ibu nenek, paman atau saudara laki-laki dari pihak ibu
atau yang disebut mamak kaum. Mamak biasanya diberi khabar, namun tidak diberitahu
jumlah uang yang dikirim. Mamak hanya mengetahui jumlah uang jika diberikan tersendiri
lewat kiriman oleh anak kemenakannya. Pengakuan beberapa mamak kaum di Sulit Air
dan di Suayan, bahwa mereka mengetahui kalau ada kiriman uang dari rantau, tapi mereka
hanya sebatas tahu saja, menurutnya tidak enak rasanya ikut campur lebih jauh. Artinya
peran mamak menentukan kebijakan dalam sebuah kaum tidak begitu besar fungsinya
dalam mengatur kiriman yang ditujukan ke keluarga oleh perantau. Namun bila kiriman itu
untuk membangun rumah, maka mamak akan membantu dalam pelaksanaan pembangunan
rumah tersebut. Peran yang lebih besar dilakukan mamak dan ninik mamak bila salah
seorang perantau sukses ingin membangun rumah gadang (temuan penelitian tahun I).
Kiriman yang ditujukan untuk pembangunan kampung halaman pada penelitiaan
tahun I ditemukan bahwa jumlahnya beragam, namun akumulasinya cukup besar
mendukung pembangunan yang ada di nagari tersebut. Bantuan ini biasanya dikirim lewat
organisasi persatuan kampung. Biasanya mereka kumpulkan dulu di organisasi perantau di
luar negeri, lalu lembaga (ikatan keluarga kampung yang ada di Jakarta) biasanya yang
mengirim ke kampung halaman. Biasanya dilakukan dengan mengantar langsung ke
kampung halaman, namun ada juga yang mengirimkan lewat ikatan perantau domestik.
Potensi kiriman lebih besar di Sulit Air dibanding Suayan, hal ini berhubungan dengan
keaktifan organisasi perantau mereka. Sulit Air dengan organisasi perantaunya (SAS) yang
cukup profesional, telah berhasil membangun infrastuktur pedesaan seperti jalan, jembatan,
dan sarana pendidikan. Lewat SAS dan yayasan pembangunan kampung yang mereka
bangun telah berhasi membangun Pesantren cabang Gontor, jalan, jembatan, dan
sebagainya. Kiriman tipe kedua ini melibatkan banyak unsur yang ada dalam masyarakat.
2. Jorong sebagai Basis Pemberdayaan
Semangat kembali ke nagari yang diterapkan oleh masyarakat Sumatera Barat
bukanlah disimpulkan bahwa nagari secara terpusat dijadikan basis pembangunan. Hal ini
ditemukan di Suayan maupun Sulit air bahwa basis pemberdayaan masyarakat strategisnya
dilaksanakan berbasis jorong. Jorong menjadi basis geografis dan kekerabatan dalam
sebuah nagari. Selain terlalu luas, nagari juga punya keberagaman suku di dalamnya,
sementara jorong terpusat secara geografis, dan lebih homogen dalam kekerabatan yang
berbasis suku.
Ikatan emosional masyarakat berada di tingkaat jorong, hal ini terlihat dari
keberadaan ikatan kekerabatan masyarakat pada tingkat jorong. Jadi selain acara lembaga
225
tingkat nagari, di rantau justru hidup kelompok di tingkat jorong. Hal itu berimplikasi
terhadap proses pengiriman bantuan ke kampung halaman. Bila langsung dikirim ke
pemerintah nagari, maka ada kekuatiran jorong mereka tidak akan dapat porsi yang
memadai dari uang yang dikirimkan. Kedua nagari mengakui hal tersebut, sehingga banyak
juga peraantau yang mengirim langsung bantuan kepada jorongnya masing-masing.
Selama ini pemerintah nagari belum berbuat banyak, karena melihat kebiasaan itu
berlangsung sudah lama. Namun hasil diskusi terfokus tentang pengelolaan dana remitan
pada level nagari menunjukkan bahwa basis jorong dilihat lebih efektif dalam menggaet
remitan dari perantau sebagai pendukung pembangunan. Pelibatan Kepala jorong dan ninik
mamak kaum bisa sebagai pendukung jalannya koordinasi, namun kelembagaan ninik
mamak kaum atau suku belum bisa dijadikan lembaga yang berperan aktif, tapi lebih
sebagai dukungan.
3. Model Pemberdayaan Institusi Lokal
Konsep institusi lokal dalam penelitian ini merujuk nilai-nilai utama yang masih
berlaku dalam masyarakat berhubungan dengan tanggung jawab sosial dan budaya dalam
masyarakat. Nilai-nilai tersebut tentu saja akhirnya berhubungan dengan peningkatan
ekonomi masyarakat, karena dalam tatanan masyarakat Minangkabau fungsi keluarga luas
salah satunya adalah melindungi keluarganya dari berbagai ancaman yang berpotensi
merendahkan martabat keluarga tersebut. Kemiskinan adalah sebuah aib bagi keluarga, saat
ada keluarga yang dikatakan “bansaik”, merupakan malu bagi keluarga luas. Ini sesuai
dengan nilai adat, “sehino samalu”, berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Institusi juga
berkaitan dengan kelmbagaan adat, atau kelembagaan yang ada orang di dalamnya, tapi
tidak ada struktur yang jelas, seperti ninik mamak, parit paga nagari, bundo kanduang dan
sebagainya.
Hasil FGD terhadap rangcangan model yang disusun pada tahun pertama
penelitian ini terjaring informasi bahwa beberapa asumsi terhadap intitusi lokal tidak lagi
berjalan secara ideal, namun telah terjadi beberapa perubahan sesuai perkembangan zaman.
Sebelum menyusun model dalam penelitian ini telah ditelusuri nilai-nilai yang berlaku di
tengah masyarakat di lokasi penelitian, kemudian dianalisis dengan konsepsi yang
digunakan dalam penelitian ini.
Ada beberapa kekuatan yang dapat mendukung model:
a. Ikatan Kekerabatan Kampung
Organisasi bentukan berupa ikatan keluarga suatu kampung Bagi masyarakat Sumatera
Barat tidak asing lagi, hampir semua nagari punya ikatan keluarga perantau. Organisasi
bentukan di sini adalah mengacu pada organisasi moderen yang profesional. Organisasi
perantau Sulit Air Sepakat (SAS) adalah salah satu contoh kelembagaan bentukan yang
cukup ampuh digunakan untuk pengentasan kemiskinan dengan pemanfaatan remitan. Hal
ini juga sesuai dengan hasil penelitian Indraddin (2011), bahwa pengentasan kemiskinan
berbasis nagari dilakukan dengan pembentukan badan pengentasan kemiskinan di tingkat
jorong. Jadi institusi lokal yang digunakan adalah nilai-nilai yang masih dianut masyarakat,
sementara lembaga dalam bentuk asosiasi adat sudah jarang yang dipercaya oleh
masyarakat. Misalnya, KAN, LPM, BAMUS, Parik Paga Nagari, dan bermacam lembaga
yang ada di nagari tidak lagi punya perhatian khusus terhadap program pengentasan
kemiskinan. Maka membentuk kelembagaan di tingkat jorong, misalnya dalam bentuk
badan pengentasan kemiskinan, menjadi sebuah kebutuhan. Kondisi tersebut sama pada
penelitian tahun pertama dengan penelitian tahun II.
b. Memberdayakan Berbasis Paruik (Kinship)
226
Pemberdayaan berbasis kerabat adalah salah satu strategi pemanfaatan remitan dari
perantau untuk pengentasan kemiskinan. Ini didasarkan temuan di lapangan bahwa
kecendrungan perantau memberi bantuan kepada kerabat dekat terlabih dahulu. Sistem
kekerapatan keluarga luas yang berlaku pada masyarakat Minangkabau dapat
dimanfaatkan untuk menumbuhkan nilai berbagi antar sesama, karena selama ini
kecendrungan memang membantu masyarakat pada kerabatnya terlebih dahulu. Kebiasaan
membantu kerabat terdekat (kaum) tidak perlu dirobah, tapi dikelola untuk kepentingaan
masyarakat nagari, hal ini juga sejalan dengan ajaran islam bahwa yang lebih dahulu
dibantu adalah kerabat terdekat. Badan bentukan masyarakat ini sebagai pengelola potensi
remitan yang berasal dari kerabat masing-masing. Badan ini mesti memiliki klasifikasi
keluarga miskin atas kaum di jorongnya. Lalu menjadi mediator menggali remitan yang
ada di kaumnya.
c. Mengelola Kompetisi Positif
Hasil penelitian tahun I menemukan bahwa selama ini sumbangan perantau
internasional, maupun domestik lebih banyak dalam bentuk fisik, misalnya bangunan
mesjid, balai pemuda, jalan dan sarana lainnya. Terjadi semacam “perlombaan” bagi
perantau baik di tingkat keluarga luas, tingkat jorong, maupun pada level nagari. Ini
terbukti dari bangunan fisik yang ada, buat rumah megah tapi tidak ada penghuninya, buat
pagar megah atas tanah yang tidak produktis, buat kuburan yang megah, semua itu adalah
aktualisasi diri atas keberhasilan seorang perantau.
Hasil FGD pada penelitian ini dengan tokoh masyarakat nagari bahwa ini suatu potensi
yang dapat dimanfaatkan secara positif menggali potensi remitan dari perantau. Nagari,
sebagai badan koordinasi menyediakan data keluarga miskin setiap kaum, lalu memberikan
kepada badan yang ada di jorong untuk mengelolanya. Badan ini hanya meminta perantau
membantu keluarga yang ada pada kaumnya terlebih dahulu, kecuali bagi yang tidak ada
lagi kerabat dekat yang membutuhkan bantuan. Badan pengentasan kemiskinan mencari
media aktualisasi diri para perantau untuk menymbang dengan acara yang biasa dilakukan,
misalnya acara lelang kue, acara badoncek untuk padang pariaman, dan acara lain untuk
daerah lain. Hal ini akan mengeliminir kekuatiran perantau menymbang, kalau sumbangan
itu tidak sampai kepada kerabatnya. Bagi nagari yang terpenting adalah angka kemiskinan
berkurang, sehingga nagari hanya merancang program yang diperuntukan bagi kaum yang
tidak ada perantaunya berpotensi (yang kaya).
5.KESIMPULAN
Bila dilihat dari proses pengiriman remitan oleh migran ke kampung halamannya,
program pemberdayaan menjadi strategi yang tepat mmendukung keberlanjutan program.
Hal ini dapat dilihat dari proses pengiriman remitan oleh migran internasional asal
Sumatera Barat dalam dua bentuk, pertama uang yang dikirim untuk kebutuhan keluarga,
kedua uang juga dikirim untuk pembangunan kampung halaman. Untuk keluarga juga tidak
hanya untuk keluarga inti, tapi juga untuk keluarga luas.
Keterlibatan institusi lokal dalam proses pengiriman tersebut dapat dibedakan atas
kiriman keluarga dan kiriman untuk pembangunan. Di tingkat keluarga pihak yang terlibat
adalah keluarga inti samapai keluarga luas, namun keluarga luas seperti mamak kaum
hanya mengetahui, tidak terlibat dalam pengelolaan penggunaan uang tersebut. Namun jika
ada pembangunan rumah gadang kaum oleh seorang perantau, maka mamak dan ninik
mamak terlibat langsung dalam hal ini. Hal ini karena menyangkut kepentingan adat
seperti, tanah dan nilai-nilai dari rumah gadang kaum itu sendiri.
Di tingkat institusi keterlibatan tokoh masyarakat formal dan informal pada
kiriman yang ditujukan untuk pembangunan kampung halaman, baik bangunan fisik
maupun melaksanakan sebuah kegiatan. Ikatan emosional perantau ada pada level jorong,
227
bukan nagari, maka pengelolaan remitan untuk pembangunan seyogyanya dilakukan di
tingkat jorong. Maka perlu diberdayakan organisasi pengelola di tingkat jorong, dan Nagari
bertidak sebagai badan koordinasi saja. Organisasi pengelola melakukan pemberdayaan
terhadap keluarga migran, terutama dalam konteks pengentasan kemiskinan di nagari.
Pemanfaatan remitan dilakukan dengan menangkap peluang atas nilai kompetisi dan
aktualisasi diri perantau terhadap kampung halaman. Pengelolaan Remitan migran
Internasional tidak bisa dipisahkan dengan remitan perantau domestik, tapi merupakan satu
kesatuan pengelolaannya.
Terakhir diucapkan terima kasih kepada DP2M Dikti, Kementerian Riset
Teknologi dan PendidikannTinggi yang telah membiayai riset ini. Tanpa dukungan dana
dari DP2M tentu saja penelitian ini tidak dapat berjalan dengan lancar. Terimakasih juga
kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam pelaksanaan penelitian ini.
6.DAFTAR PUSTAKA
Adams , Jr. Richard, 1991. “The Economic Uses and Impact of International Remittances
in Rural Egypt”. Economic Development and Cultural Change, 39: 695-722.
Adams, Richard H. Jr. “International Migration, Remittances and The Brain Drain: A
Study of 24 Labor Exporting Countries”. World Bank Policy Research Working
Paper 3069, Washington, DC.
Bridi, H. 2005. “Consequenquences of Labour Migration for The Developing Countries
Management of Remittances. World Bank Brusse;s Office.
Cattaneo C. 2005. “International Migration and Proverty, Cross-Country Analysis”
Chami, Ralp, Connel Fullenkamp dan Samir Jahjah. 2005. Are Immigrant Remittance
Flows a Source of Capital for Development”. IMF Staff Papers, Vol. 52. No. 1
International Monetery Fund.
Connel, J. 1980. “Remmitances and Rural Development: Migration, Dependency and
Inequality in The South Pacific. Occasional Paper No.22. The Australian National
University.
Creswell, J.W. (1998). Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing among five
traditions. Thousand Oaks: Sage Publication.
Curson, P. 1983. “Remmitances and Migration-The Commerce of Movement”. Population
Demography, Vol.3, April; 77-95
De Haas, Hein. 2007. “ Remittances, Migration and Poverty Reduction, paper
commissioned by DFID London, November.
Effendi, Tadjuddin, Noer. 1995. “Suber Daya Manusia, Peluang Kerja dan Kemiskinan”.
Tiara Wacana. Yogyakarta.
Goma. Johana Naomi. 1993. “Mobilitas Tenaga Kerja Flores Timur ke Sabah Malaysia
dan Pengaruhnya Terhadap Daerah Asal. Studi Kasus Desa Neleren, Kecamatan
Adonara. Kabupaten Flores Timur”. Yogyakarta: Tesis S2 UGM.
Hugo., Grame. J. 1978. “Population Mobility in West Java”. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Indraddin. 2011. Pengentasan Kemiskinan Berbasis Nagari, Padang : Jurnal Sosiologi
Andalas volume IX nomor 1.
_________ 2014. Model Pemberdayaan Institusi Lokal dalam Optimalisasi Pemanfaatan
Remitan Migran Internasional, FISIP Unand; Prosiding Seminar
Lee. Everett. 1995. “Suatu Teori Migrasi”. Terjemahan Hans Daeng. Pusat Penelitian
Kependudukan Universitas Gadjah Mada.
Lucas. REB. Dkk. 1985. “Motivation to Remit: Evidence from Botswana”. Journal of
Political Economy, 93 (5); 901-918.
228
Mabougunje. Akin. L. 1970. “System Approach to a theory of rural-urban Migration”.
Geographical Analysis. Vol.2:1-8.
Mantra. Ida Bagoes. 1994. “Mobilitas Sirkuler dan Pembangunan Daerah Asal”. Warta
Demografi. Vol.3; 33-40
Nugroho, Wahyu. 2006. “Analisa Dampak Remitan Tenaga Kerja Wanita Terhadap
Pengembangan Desa (Studi Kasus di Desa Budiharja, Kecamatan Cililin
Kabupaten Bandung. Tesis
Puri. Shivani. Ritzema. Tineke. 1999. “Migrant Worker Remittances, Micro-Finance and
The Informal Economy: Prospects and Issue” Working Paper 21. International
:Labour Orgaization.
Setiadi. 1999. “Konteks Sosiokultural Migrasi Internasional: Kasus do Lewolotok, Flores
TImur. Buletin Penelitian Kebijakan Kepndudukan “Populasi, Vol. 10. No. 2 pp.
17-38.
Stark. Oded. 1991. “The Migration of Labor”. Cambridge. Brasil Backwell
Sorensen. Nina Nyberg. 2004. The Development Dimension Of Remittances”, Migration
Policy Research IOM Working Papers Series No. 1 June.
Tjiptoheriyanto, Priyono. 1997. “Migran Tenaga Kerja Wanita (Nakerwan)”. Serial
Diskusi ke VII. Diskusi “Peta Permasalahan Perempuan Pekerja Migran”. Jakarta
5 Maret. 1997. Afkar. Vol. IV. No.1.
Todaro, Michel P. 1996. “Kajian Ekonomi Migrasi Internal di Negara Berkembang”. PPK
UGM.
Yusuf, Iwan Awaluddin (2012). ”Memahami Focus Group Discussion (FGD)”,
http://bincangmedia.wordpress.com/2011/03/28/relasi-media-dankonsumtivisme-pada-remaja/tangal akses 19-3-2012.
Wiyono.NH. 1994. “Mobilitas Tenaga Kerja dan Globalisasi”. Warta Demografi. Vol.3;813
Wood.Charles H. “Equilibarium and Historical-Structural Perspective Migration”.
International Migration Review. Vol.2; 298-319.
SOLIDARITAS SOSIAL KOMUNITAS NELAYAN ANTAR
ETNIK DI KABUPATEN PANDEGLANG PROVINSI BANTEN
Dr. Suwaib Amiruddin, M.Si32
Titi Stiawati, S.Sos., M.Si33
Abstrak
Nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung
pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budidaya, mereka
pada umumnya tinggal di pinggir pantai dan hidup dari berbagai suku bangsa serta
kebudayaan yang berlaku dalam masyarakat dan suku bangsanya masing-masing yang
32
33
Dosen Sosiologi Fisip Untirta
Dosen Fisp Untirta
229
membutuhkan hubungan sosial yang erat. Penelitian ini terfokus pada karakteristik
komunitas nelayan antar etnik, dan proses solidaritas sosial pada komunitas nelayan antar
etnik, serta bentuk solidaritas sosial komunitas nelayan antar etnik dalam penerapan
teknologi untuk kehidupan sosial ekonomi di Panimbang Kabupaten Pandeglang Provinsi
Banten. Metode Penelitian adalah kulaitatif dan pengambilan data melalui observasi,
wawancara mendalam dan dokumentasi. Analisis data menggunakan deskriktif kualitatif.
Informan penelitian adalah komunitas nelayan etnik Jawa, Sunda dan Bugis yang
bermukim di pesisir perkampungan Labuan dan Binuangen.Hasil penelitian ditemukan
bahwa Karasteristik komunitas nelayan antar etnik memiliki kesamaan dalam hal wilayah
pemukiman, pola hidup dan juga dalam hal tradisi sebagai komunitas nelayan terutama dalam
hal melakukan aktifitas menangkap ikan di laut. Proses soslidaritas sosial dilakukan melalui
adaptasi nilai-nilai sosial dan budaya dengan saling memahami serta tumbuh saling
pengertian atas nilai-nilai yang diyakininya. Terjadinya solidaritas dilakukan melalui
beberapa faktor yakni kegiatan perekonomian, pola kekerabatan dan kedekatan berdasarkan
pemukiman, perkawinan campur, nilai-nilai ritual dan kepercayaan melalui hari-hari besar
keagamaan.
Kata Kunci: Komunitas Nelayan, Solidaritas Sosial, Etnik
Abstrack
Fishermen are a group of people whose lives depend directly on the sea, either by means
catching or farming, they generally live on the beach and life of many races and cultures
prevailing in the society and each tribe. This study focused on the characteristics of the
fishing communities of ethnic, and social solidarity in the process of inter-ethnic
community of fishermen and fishing communities form of social solidarity between ethnic
groups in the application of technology for social and economic life in Panimbang
Pandeglang Banten Province. Methods The study is qualitative and retrieval of data
through observation, interview and documentation. Analysis of data using qualitative
deskriktif. The informants are the fishing communities of ethnic Javanese, Sundanese and
Bugis who settled in the coastal village of Labuan and Binuangen. The Research found
that ethnic characteristics fishing communities have in common in terms of residential
areas, the pattern of life and also in terms of tradition as a fishing community, especially
in terms of doing activity catch fish in the sea. The process of social soslidaritas done
through the adaptation of social values and cultural understanding as well as the growing.
The occurrence of solidarity carried out by several factors namely economic activities,
patterns of kinship and closeness based on settlements, intermarriage, values, rituals and
beliefs through religious holy days.
Keywords: The Fishing Community, Social Solidarity, Ethnic
1. PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagio state), yang jumlahnya adalah
17.508 pulau, memiliki luas wilayah perairan lautnya sekitar 5,8 juta Km persegi, dengan
total garis pantai sepanjang 81.000 Kilometer (BPPT-Wanhankamnas, 1996: 12), demikian
halnya Banten merupakan wilayah maritim terbentam dari teluk Jakarta hingga perbatasan
jawa Barat. Kehadiran masyarakat menetap dalam kondisi multikultur dan berakulturasi
dengan menghargai prularisme sebagai keragaman budaya untuk tetap di lestarikan.
Kemajemukan di tandai oleh adanya suku-suku bangsa yang masing-masing mempunyai
230
cara hidup atau kebudayaan yang berlaku dalam masyarakat suku bangsanya sehingga
mencerminkan adanya perbedaan dan pemisahan antara etnik yang satu dengan etnik
lainnya. Mata pencaharian hidup pun berbeda-beda, sesuai dengan kondisi dan musim yang
menyebabkan masyarakat agraris dan menjadi nelayan.
Tantangan musim untuk mencari nafkah juga menjadi salah satu kendala yang
perlu diperhatikan oleh komunitas petani dan nelayan dengan berbagai strategi serta
teknologi untuk mengatasinya. Komunitas nelayan masih memiliki ketergantungan
terhadap lingkungan alam antara musim kemarau dan musim penghujan. Keeratan atas
ketergantungan dengan lingkungan alam, maka dibutuhkan keseimbangan. Artinya kalau
lingkungan alam terganggu, maka lahan pencaharian utama tertutup dan nelayan pun tidak
dapat mencari ikan. Akibatnya tidak ada pemasukan pendapatan bagi rumah tangganya.
Jika keadaan demikian itu terjadi, maka kelangsungan kehidupan ekonomi secara internal
rumah tangga nelayan pun ikut terganggu. Kondisi ini mendorong nelayan harus
menyesuaikan kegiatan hidupnya dengan kondisi yang serba terbatas, baik yang
menyangkut hubungan secara sosial (eksternal) maupun secara kekeluargaan (internal)
Salah satu aspek penting untuk mendukung meningkatkan kehidupan ekonomi
nelayan yakni masuknya penerapan teknologi dibidang perikanan laut. Hal itu terkait,
proses substitusi teknik produksi, dari cara-cara tradisional beralih kepada cara-cara
rasional. Perubahan ini merupakan bagian dari keseluruhan proses transformasi
kebudayaan masyarakat nelayan dengan segala konsekuensinya. Masuknya unsur
teknologi pada komunitas nelayan, secara umum kehidupan nelayan sangat tergantung
pada teknologi untuk menggali sumber kekayaan laut.
Akibat kepemilikan demikian, maka menimbulkan dampak sosial lebih besar dan
menyebabkan perbedaan antara yang mampu memiliki teknologi dengan yang tidak
mampu memiliki teknologi. Salah satu perbedaan yang ditonjolkan yakni terkait dari segi
kemampuan untuk memperoleh hasil. Kehadiran teknologi sepenuhnya dipergunakan
untuk memperebutkan sumber kekayaan alam secara terbuka. Dampak dari hal itu,
memunculkan persaingan dalam artian bahwa siapa yang mampu memiliki dan
memanfaatkan teknologi akan semakin memperoleh hasil yang lebih banyak.
Pandangan semacam itu, bahwa kehadiran teknologi dalam suatu komunitas
nelayan hanya lebih cenderung di peruntukkan untuk peningkatan dari segi ekonomi. Dari
segi aspek sosial budaya yang telah terjalin dalam waktu cukup lama tidak menjadi lagi
perekat dalam hubungan antara komunitas yang terlibat di dalamnya. Kekuatan telah
menjadi milik masyarakat secara pribadi dan memiliki nilai moral, terkait hal itu Emmerson
(1977: 37) mengemukakan bahwa hubungan tradisional menempatkan unsur ikatan
ekonomi pada peringkat sekunder. Secara realitas bahwa nelayan meminjam uang kepada
juragan dan cara pengembaliannya tidak dihitung dengan cara transaksi, yang pasti dan
kadang tidak dikembalikan dalam bentuk uang tapi bisa dalam bentuk barang.
Perkembangan penggunaan teknologi membuat perbedaan komunitas nelayan dan
ditentukan oleh kehidupannya. Menurut Koentjaraningrat (1972: 32) mata pencaharian
nelayan lebih banyak tergantung pada perkembangan teknologi. Sedangkan Suparlan
(1989:4) perbedaan tersebut pada hakekatnya adalah perbedaan-perbedaan yang
disebabkan oleh sejarah perkembangan kebudayaan masing-masing. Puncak-puncak
kebudayaan tersebut adalah konfigurasi yang masing-masing kebudayaan memperlihatkan
adanya pinsip-prinsip kesamaan dan saling penyesuaian satu dengan lainnya sehingga
menjadi landasan bagi terciptanya kebudayaan nasional. Selanjutnya, terdapat kebudayaan
umum yang bersifat lokal yang dapat dilihat sebagai sebuah wadah untuk mengakomodasi
proses pembauran atau asimilasi dan proses akulturasi, yang di antara kebudayaankebudayaan itu saling berbeda wilayah atau dikelilingi wilayah kebudayaan umum yang
bersifat lokal.
231
Berdasasarkan observasi pendahuluan bahwa lokasi penelitian memiliki karakteristik
yang unik, karena komunitas nelayan yang bermukim dipesisir pantai Kecamatan
Panimbang hidup dan menetap komunitas nelayan dari berbagai etnis yang hidup
berdampingan berdasarkan dengan budayanya masing-masing. Sebagai komunitas nelayan
tetap menjalankan aktifitasnya dan tidak mengganggu satu sama lainnya dan menjalin
ikatan-ikatan solidaritas sosial untuk saling mendukung kegiatannya sebagai nelayan.
Penelitian ini akan terfokus akan mengkaji karaktersistik nelayan antar etnis dan proses
solidaritas sosial serta bentuk-bentuk solidaritas dalam penerapan teknologi untuk
kehidupan sosial ekonomi di Kecamatan Panimbang Kabupaten Pandeglang Provinsi
Banten penelitian ini terfokus pada karakteristik komunitas nelayan antar etnik, dan proses
solidaritas sosial pada komunitas nelayan antar etnik, serta bentuk solidaritas sosial
komunitas nelayan antar etnik dalam penerapan teknologi untuk kehidupan sosial ekonomi
di Panimbang Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Komunitas Nelayan
Nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung
pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budidaya, mereka pada
umumnya tinggal di pinggir pantai Kusnadi (2005: 25) bahwa nelayan umumnya tinggal
atau menetap di daerah pesisir pantai dan membentuk suatu komunitas yang disebut dengan
komunitas nelayan. Mereka adalah orang-orang yang begitu gigih dan akrab dengan
kehidupan di laut yang sifatnya keras. Pengetahuan tradisionalnya tentang ekologi
kelautan, merupakan bagian dari kehidupan mereka yang sifatnya turun temurun. Para
nelayan ini sangat percaya betapa pun kuatnya tantangan itu, laut tetap menawarkan
berbagai kemungkinan serta memberikan peluang dalam mencari nafkah untuk
memperolehnya dan mereka berjuang dengan penuh keyakinan, keuletan dan ketabahan
serta penggunaan teknologi yang sederhana.
Menurut Gordon dalam Satria (2002: 37) bahwa nelayan adalah orang yang
melakukan penangkap ikan baik di perairan laut atau pun di perairan umum dengan
menggunakan seperangkat alat tangkap ikan. Nelayan sering didefinisikan sebagai orang
yang melakukan kegiatan penangkap ikan di laut. Definisi ini dibuat untuk konteks
masyarakat tradisional. Ketika perikanan sudah mengalami berbagai perkembangan,
pelaku-pelaku dalam penangkapan ikan semakin beragam statusnya.
Secara sosiologis, fenomena ini merupakan konsekuensi dari adanya differensisasi
sosial yang salah satunya berupa pembagian kerja atau divission of labour. Satria (2002:
53) bahwa nelayan dapat kita bagi menjadi nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan
pemilik atau juragan adalah orang yang memiliki sarana penangkapan seperti kapal/perahu,
jaring, dan alat tangkap lainnya. Nelayan buruh adalah nelayan yang bekerja dengan alat
tangkap milik orang lain, sebaliknya nelayan juragan adalah nelayan yang alatnya
dioperasikan oleh orang lain. adapun nelayan perorangan adalah nelayan yang memiliki
peralatan tangkap sendiri dan dalam pengoperasiannya tidak melibatkan orang lain.
Sementara nelayan buruh adalah orang yang menjual jasa tenaga kerja sebagai buruh dalam
kegiatan penangkapan ikan di laut.
Solidaritas Sosial Antar Etnik
Konsep solidaritas sosial dalam pembahasan ini didasarkan kepada pemikiran
Emile Durkheim (dalam Johnson, 1986 :181) bahwa solidaritas menunjuk pada suatu
keadaan dari hubungan antara individu, dan atau kelompok yang didasarkan pada moral
dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama
pula. Koentjaraningrat (1980 :164) menyatakan bahwa, solidaritas adalah suatu bentuk
232
kerja sama pada masyarakat yang meliputi aktivitas gotong royong, tolong menolong dan
musyawarah, dan aktivitas ini berlangsung dalam kehidupan sosial masyarakat.
Dalam perkembangan masyarakat, solidaritas sebagai bentuk kekuatan internal
berkembang menjadi dua bagian dan mempunyai ciri-ciri yang berbeda yakni solidaritas
mekanik dan organik. Durkheim (dalam Johnson, 1986: 193) menyatakan bahwa
solidaritas mekanik adalah suatu solidaritas yang didasarkan pada suatu tingkat
homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen. Solidaritas organik muncul akibat
pembagian kerja yang bertambah besar, dan solidaritas ini didasarkan kepada tingkat saling
ketergantungan yang tinggi sebagai hasil dari bertambahnya spesialisasi yang
memungkinkan dan juga menggairahkan bertambahnya perbedaan dikalangan individu.
Durkheim (dalam Lawang, 1986: 177-178) pandangannya tentang kehidupan
masyarakat mengemukakan konsep teorinya tentang fakta sosial dengan karakteristikkarakteristik sebagai berikut, bahwa fakta sosial terkait (1) gejala sosial bersifat eksternal
terhadap individu; (2) bersifat memaksa individu; dan (3) bersifat umum tersebar dan
diterima secara meluas dalam suatu masyarakat. Secara spesifikasi berbagai pengertian
tentang konsep solidaritas sosial, Johnson (dalam Lawang, 1986: 181) menjelaskan istilahistilah yang berhubungan erat dengan itu misalnya integrasi sosial dan kekompakan sosial.
Keberadaan masyarakat antar etnik dalam suatu lokasi itu menunjuk pada suatu
keadaan hubungan antara individu dan/atau kelompok yang berbeda dari latar belakang
asal usul dan berdasarkan sejarah keberadaan awalnya. Perbedaan itulah melahirkan
sebuah keterpisahan antara individu yang satu dengan individu lainnya. Masyarakat dalam
pemenuhan kebutuhan hidupnya didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang
dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama yang pada akhirnya
terbentuk ikatan sosial yang kuat.
Modernisasi dan kehidupan sosial ekonomi
Kehadiran modernisasi yang ditandai oleh pertumbuhan industri-industri besar, produksi
komersial, pasar rasional dan perdagangan internasional, juga menciptakan syarat-syarat
yang cocok dengan modernisasi. Abraham (1991: 11) berpandangan bahwa industrialisasi
melibatkan penggunaan energi material yang banyak sekali. Suatu perubahan metode
produksi dari padat karya (tenaga kerja) menjadi padat modal, suatu pergantian dalam
tenaga kerja di luar produksi primer dan subsistem menjadi perusahaan sekunder dan
komersial, serangkaian inovasi dan peningkatan waktu luang dan jasa sosial yang
bertambah. Perkembangan industrialisasi kaitannya dengan perkembangan produksi
masyarakat, dalam konsep Marx lebih cenderung menganalisis berdasarkan pendekatan
sejarah, tingkatan tersebut digambarkan pada jaman kuno penguasaan produksi berada
ditangan pemilik pribadi, akan tetapi tetap terkurung di dalam bidang-bidang kehidupan
ekonomi yang terbatas. Di dalam abad-abad pertengahan, pemilikan bergerak melalui
beberapa tahapan dari tanah milik feodal ke milik koperasi yang bisa dipindahkan, dan
akhirnya melahirkan kapital yang ditanamkan didalam perpabrikan di kota-kota. Pada
masyarakat kuno ataupun pada abad-abad pertengahan, pemilikan itu terus terikat sebagian
besar kepada masyarakat.
Modernisasi merupakan proses perubahan yang pola-pola perilaku dan kebudayaan
individu berubah, dari yang tradisional ke masa lalu dan sekarang ke suatu yang lebih
kompleks, teknologi yang lebih rumit dan berorientasi ke masa yang akan datang.
Perubahan karakteristik masyarakat kaitannya dengan kehadiran industrialisasi yang
ditonjolkan. Menurut pandangan Rostow (1966) yakni ditandai dengan (1) tumbuhnya
industri skala besar; (2) industri berat, yang menimbulkan tumbuhnya perusahaan dan
industri-industri berat; (3) adanya trust dan monopoli yang menjadi ciri umum dari
organisasi perusahaan yang memberikan keuntungan ekonomi.
233
Penerapan Teknologi
Pertumbuhan atau kemajuan ekonomi yang ditandai oleh tingginya tingkat
konsumsi dan standar hidup, revolusi teknologi, intensitas modal yang makin besar dan
organisasi birokrasi yang rasional mencakup pembentukan sistem pertukaran moneter,
peningkatan tingkat keterampilan yang dibutuhkan melalui teknokrasi, mekanisasi,
otomasi dan akibat perpindahan tenaga kerja, penghitungan biaya secara rasional,
spesialisasi okupasi yang makin besar dan spesifikasi fungsional. Pola-pola tabungan dan
investasi dan alat-alat transportasi dan komunikasi yang makin cepat yang memudahkan
turut serta dalam pemasaran, mobilitas tenaga kerja, distribusi barang dan perubahan pola
konsumsi.
Modernisasi ekonomi, asumsinya diikuti dengan perluasan pengetahuan ilmiah
dan inovasi teknologi, pembentukan modal, tingkat pendidikan yang cocok, spesialisasi
ekonomi dan kecukupan bahan-bahan mentah, barang produksi dan konsumsi. Modernisasi
sebagai seluruh perubahan sosial dan politik yang menyertai industrialisasi di kebanyakan
negara yang menganut peradaban Barat. Modernisasi yang menyangkut pilihan
dimungkinkan oleh adanya perbedaan perkembangan.
Dalam konteks modernisasi ekonomi tentu saja tidak terlepas adanya non-ekonomi
atau modernisasi sosial dan budaya. Secara kerangka konseptual mencakup modernisasi
politik dan psikologis, modernisasi sosial meliputi perubahan dalam atribut-atribut
sistematik, pola-pola kelembagaan dan peranan-peranan status dalam struktur sosial
masyarakat sedang berkembang. Unsur-unsur pokok modernisasi sosial mencakup
perubahan sosial yang terencana, sekularisme, perubahan sikap dan tingkah laku, revolusi
pengetahuan melalui perluasan sarana komunikasi, instrumen hubungan sosial dan
keharusan kontraktual, diferensiasi struktural dan spesialisasi fungsional.
Untuk mencapai modernisasi berkaitan dengan peningkatan taraf ekonomi, maka
sebagian besar nilai dan sikap berkaitan dengan masalah komitmen. Masalah komitemen
penerimaan ideologi nasional,keinginan untuk menjadi lebih mobil, menyetujui normanorma rasional sekuler. Hal ini semuanya pada hakekatnya berkaitan dengan komitmen
terhadap modernisasi. Untuk itu memantapkan komitmen terhadap modernisasi ini
mungkin digunakan berbagai metode seperti ideologi, perubahan struktural dan aktivitas
simbolis. Dengan demikian, tanpa komitmen modernisasi barangkali tidak akan tercapai.
Pertumbuhan ekonomi menuntut kehadiran industri, namun kehadiran industri dan
teknologi modern menuntut kemampuan manusia, walaupun kehadiran teknologi itu
sendiri merupakan hasil ciptaan dan resultante usaha manusia. Sudah barang tentu manusia
yang berkualitas, kreatif, inovatif yang mampu menciptakan karya besar itu, walaupun
umumnya kehadiran dari generasi yang terbatas jumlahnya namun sangat dibutuhkan
dalam konteks era industrialisasi. Dalam kaitan ini, diperlukan ilmu pengetahuan demi
terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas, untuk menemukan, melaksanakan,
serta pembaharuan dalam segala aspek bidang terutama terciptanya kehidupan sosial yang
berorientasi pada pertumbuhan ekonomi.
Perubahan Sosial Dan Budaya
Proses perubahan sosial secara umum, menurut Haferkamp dan Smelser (1992 :2)
bahwa terfokus pada tiga unsur utama yang berkaitan satu sama lain, yaitu pertama,
determinan struktural; kedua, proses dan mekanisme, dan ketiga, arah dan konsekuensi
perubahan. Tarkait hal itu Haferkamp lebih lanjut bahwa perubahan yang terjadi pada
masyarakat dapat dikategorikan sebagai perubahan yang terjadi karena disengaja atau
direncanakan. Artinya bahwa salah satu faktor penyebab perubahan adalah faktor eksternal
yang dibawa dan dikomunikasikan melalui agen-agen perubahan dari luar masyarakat.
234
Dalam perubahan sosial yang direncanakan terkandung ide-ide baru yang disebarkan di
tengah masyarakat (inovasi), inovasi akan membawa pada perubahan, baik yang bersifat
fositif dalam arti membawa pada hal-hal yang lebih baik (progress), maupun yang bersifat
negatif yang dapat merugikan anggota masyarakat (regress).
Realitas tersebut secara kontekstual bahwa munculnya industrialisasi dalam suatu
kawasan umumnya diawali dengan pemanfaatan lahan yang diperuntukkan bagi
pembangunan dan pengembangan industri, baik untuk keperluan industri maupun untuk
sarana dan prasarana pendukung lainnya. Kondisi demikian mengakibatkan terjadinya
pergeseran alih fungsi lahan yang bemuara pada perubahan pola pekerjaan yang dulunya
terkonsentrasi dalam sektor pertanian beralih keberbagai kesempatan dan peluang kerja
yang tersedia, baik dalam sektor industri maupun sektor lain yang terkait dengan kehadiran
industri.
Lauer (1989:212) bahwa kehadiran industrialisasi dalam suatu kawasan dengan
indikasi membawa konsekuensi perubahan terhadap manusia. sejarah kehidupan selalu
berupaya memelihara dan menyesuaikan diri dengan keadaan alam yang selalu mengalami
perubahan karena ditemukannya teknologi. hal itu dimungkinkan karena manusia sebagai
makhluk hidup pada hakekatnya mempunyai kelenturan. Kelenturan ini menyebabkan
manusia bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan. Makin besar kemampuan adaptasi,
makin besar kemantapan kelangsungan hidupnya.
Hal itu terimplementasikan bahwa kehadiran industrialisasi melahirkan
keberagaman jenis pekerjaan yang tersedia. Sehubungan kehadiran industri itu pula, akan
memberi banyak peluang dan kesempatan berusaha. Dengan demikian kemungkinan untuk
meningkatkan pendapatan dan penghasilan masyarakat terbuka lebar, dan ini dapat
berimplikasi pada bidang-bidang lain, seperti halnya peningkatan pendidikan masyarakat,
yang memungkinkan terjadinya perubahan status sosial masyarakat.
3. METODE PENELITIAN
Desain penelitian ini adalah deskriktif analitik, yang berusaha menemukan dan
mendeskripsikan tentang komunitas nelayan antar etnik kaitannya solidaritas sosial dalam
penerapan teknologi untuk kehidupan sosial ekonomi. Penelitian menggunakan pendekatan
kualitatif menfokuskan pada sebuah peristiwa berangkat dari kesadaran dan pengalaman
manusia. Menurut Brannen (1997), pendekatan kualitatif mengungkap makna dan konteks
perilaku individu, dan proses yang terjadi dalam pola amatan dari faktor yang berhubungan.
Penentuan informan diperoleh dari kunjungan lapangan yang di lakukan di lokasi-lokasi
komunitas nelayan antar etnik. Informan dipilih berdasarkan karakteristik kesesuaian
dengan data yang diperlukan yakni kelompok nelayan antar etnik yang bermukim di
Kecamatan Panimbang yang terdiri dari nelayan etnik Jawa, etnik Sunda dan etnik Bugis.
Teknik pengumpulan data dilakukukan melalui pengamatan berperan-serta dengan
ikut terlibat dalam hubungan sosial nelayan secara internal dengan memiliki keterkaitan
langsung pada aktivitasnya. Kemudian pengamatan berperan-serta dilakukan hingga pada
aktivitas proses interaksi yang dilakukan baik dalam aktivitasnya maupun dalm
kesehariannya selama berada di sekitar tempat tinggal mereka. Selain itu di lakukan
Wawancara mendalam dengan mengajukan pertanyaan untuk memperoleh keterangan
yang dibutuhkan dalam konstruksi realitas. Pertanyaan dibuat luwes serta disesuaikan
dengan kondisi kebutuhan, agar baik peneliti maupun informan dapat saling memahami.
Selain wawancara dilakukan pula dokumetasi dalam berbagai kegiatan baik yang sedang
berlangsung maupun dokumen-dokumen yang diperoleh dari informan yang berkaitan
langsung dengan data yang dibutuhkan.
Analisa data dilakuka; Pertama, Kegiatan reduksi data, pada tahap ini terfokus pada
pemilihan, penyederhanaan, dan transformasi data kasar dari catatan lapangan. Kedua,
235
Penyajian data, dalam kegiatan ini penulis menyusun kembali data berdasarkan klasifikasi
dan masing-masing topik dipisahkan Ketiga, Data yang telah dikelompokkan yang sesuai
dengan topik-topik, kemudian diteliti kembali dengan cermat, mana data yang sudah
lengkap dan mana data belum lengkap yang masih memerlukan data tambahan, dan
kegiatan ini dilakukan selama penelitian berlangsung. Keempat, Setelah data dianggap
cukup dan dianggap telah sampai kepada titik jenuh atau telah memperoleh kesesuaian,
maka kegiatan selanjutnya adalah menyusun laporan hingga pada akhir pembuatan
kesimpulan. Lokasi penelitian dilakukan di Kecamatan Panimbang Kabupaten Pandeglang
Provinsi Banten, khusunya di pemukiman komunitas Nelayan antar etnik.
4. TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Masyarakat Pesisir
Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang tinggal dan hidup di wilayah pesisiran.
Wilayah ini adalah wilayah transisi yang menandai tempat perpindahan antara wilayah
daratan dan laut atau sebaliknya (Dahuri dkk. 2001: 5). Masyarakat peisir, sebagain besar
menggantungkan hidupnya dari hasil biota laut dan bekerja sebagai nelayan. Kehidupan
sebagai nelayan merupakan kelompok masyarakat yang pekerjaannya adalah menangkap
ikan berdasarkan pada musim yang sedang berjalan. Profesi sebagai nelayan, merupakan
sumber mata pencaharian sehari-hari bagi komunitas nelayan, dan hasil tangkapan tersebut,
sebahagian untuk dikonsumsi untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangganya dan atau
dijual seluruhnya. Biasanya nelayan akan berangkat kelaut pada sore hari setelah sekitar
jam 15.00 Wib dan biasanya nelayan kembali mendarat pada pagi hari sekitar jam 07.00
wib dan atau jam 09.00 wib. Bagi komunitas nelayan di perkampungan Binuangen, selalu
meyakini bahwa hari jumat merupakan hari sakral yang tidak boleh melaut. Walaupun
sebenarnya tidak ada larangan, namun masih banyak yang meyakini bahwa hari jumat
merupakan hari keagamaan yaitu masuk jumatan.
Perkampungan nelayan di Panimbang, merupakan perkampungan yang memiliki
jumlah sekitar kurang lebih 200 KK yang berada di sepanjang pesisi pantai. Perkampungan
nelayan yang padat diperkampungan nelayan, namun memiliki dampak sosial tersendiri,
diantaranya adalah kurangnya fasilitas lingkungan yang memadai serta tingkat kebisingan
yang cukup sesak. Kondiai perumahan yang sangat padat, sebenarnya bagi masyarakat
tidak menjadi persoalan yang serius, namun bagi warga yang berkunjung ke perkampungan
sangat tidak nyaman, karena adanya perbedaan kultur dan pola hidup.
Lamanya berinteraksi dan menetap, bagi komunitas nelayan di Panimbang, tidak
hanya tercipta hidup berdekatan namun sangat akrab dan saling memelihara kondisi
lingkungan sekitarnya. Pemeliharaan kondisi lingkungan sosial sangat penting agar tetap
terbangun hubungan baik sesama manusia, walaupun berbeda suku dan latar belakangnya.
Kesadaran akan lingkungan tempat tinggal yang kondusif, maka komunitas nelayan di
binuangen membentuk berbaga kegiatan untuk tetap harmonis, baik dalam bidang olahraga
maupun dalm bidang keagamaan. Dalam bidang olahraga, melakukan kegiatan sepak bola
antar rukun tetangga maupun kegiatan bola voly dilokasi lapangan yang telah di sediakan
di wilayah pesisir pantai. Sedangkan kegiatan keagamaan, dilakukan kegiatan pengajian
ibu-ibu secara bergiliran dari rumah penduduk yang dilaksanakan pengajian bulanan dan
bergantian menjadi tuan rumah.
Pola kekerabatan dan perkampungan yang padat, maka pola kedekatan terbangun
dengan baik, maka dari segi perkembangan berita diperkampungan memudahkan
penyebaran informasi apapun. Misalnya kejadian-kejadian yang menyangkut pergeseran
moralitas maupun pelanggaran etika yang tidak sesuai dengan kebiasaan maka akan mudah
diketahui oleh penduduk setempat. Pola keakraban yang terjadi selama ini sangat sulit
236
menyimpan rahasia pribadi atau rumah tangga karena yang ada hanyalah rahasia umum,
begitu pun halnya dengan berita-berita kesuksesan maupun kesedihan semuanya menjadi
konsumsi masyarakat kampung.
Kondisi sosial budaya masyarakat lokal dengan komunitas antar etnis Bugis, Jawa
dan Sunda sebelum kedatangan masyarakat transmigran dengan setelah kedatangan para
transmigran mengalami pergeseran-pergeseran melalui proses asimilasi dan akulturasi dan
kemudian berintegrasi dengan masyarakat lokal. Pendatang mengalami proses perubahan
setelah berinteraksi lama dan intens satu sama lainnya. Pola hidupnya mengalami
penyesuaian dan penyelarasan yang dilakukan untuk mengurangi perbedaan yang terdapat
pada mereka seperti pada cara mereka berkomunikasi, model rumah yang mereka buat dan
proses pernikahan campur diantara mereka. Adanya pernikahan diantara mereka
memungkinkan terjadinya pertukaran nilai antara kultur dari masyarakat asli dengan kultur
yang dibawa oleh para transmigran.
Proses penyatuan antar Komunitas antar etnis Bugis, Jawa dan Sunda merupakan
suatu proses dalam taraf kelanjutan, yang ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi
perbedaan-perbedaan yang terdapat antara orang perorangan atau kelompok-kelompok
manusia dan juga meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap dan
proses-proses mental dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan
bersama. Secara singkat, proses asimilasi ditandai dengan pengembangan sikap-sikap yang
sama, walaupun kadang-kadang bersifat emosional, bertujuan untuk mencapai kesatuan,
atau paling sedikit untuk mencapai suatu integrasi dalam organisasi, fikiran dan tindakan.
Karakteristik Solidaritas Sosial
Komunitas nelayan yang bediam di wilayah perkampungan pessir, sebagaimana
masyarakat lainnya melakukan interaksi sosial dan proses sosial berbasis kebutuhan hidup
dan kegiatan-kegiatan sosial lainnya. Hidup secara berdampingan dan saling menyapa satu
sama lainnya seakan-akan tidak ada batas yang memisahkan diantara mereka. Kesamaan
mata penaharian sebagai nelayan, membuat komunitas nelayan di Panimbang melakukan
interaksi sosial dengan membangun kerjasama dan kepercayaan dalam menjalankan
tugasnya sebagai komunitas nelayan.
Kehidupan kolektifitas dan kebersamaan senasib merupakan gambaran fenomena
sosial yang terjadi di Panimbang dan proses sosial berjalan dalam sebuah sistem kerja
bersama untuk mencapai tujuan hidupnya sebagai nelayan. Kesadaran kolektivitas
merupakan pemandangan yang sering di saksikan dalam melakukan pelayaran dan juga
dalam membenahi alat tangkap pada saat kembali dalam menjalankan aktifitasnya. Sebagai
masyarakat yang hidup berdampingan, komunitas nelayan di Panimbang lebih
mengedepankan pendekatan kebersamaan sebagai sistem, dan selanjutnya dalam
menjalankan aktifitasnya modal kepercayaan dijadikan sebagai modal untuk saling
bekerjasama satu sama lainnya.
Komunitas antar etnis Bugis, Jawa dan Sunda yang hidup Di Pesisir Panimbang
Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten merupakan pembauran dari masyarakat lokal.
Komunitas lokal yang berdatangan dari berbagai antar etnik itulah, secara pendekatan
kebudayaan mereka memiliki kebiasaan yang berbeda-beda. Perbedaan asal-usul dan latar
belakang kebudayaan itu, telah mempengaruhi pola tingkah laku berdasarkan wiayah dan
dialek asal-usulnya. Komunitas nelayan di Panimbang dengan latar belakang yang
berbeda-beda itu, sehingga menjadi dinamika yang sangat menarik dan hingga saat ini tetap
melekat pada masyarakat pendatang yang bermukim di Panimbang.
Sebagai masyarakat pendatang yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda,
dan sudah dianggap sebagai dinamika dalam berinteraksi bagi masyarakat yang berdiam di
Panimbang, sudah menjadi kebiasaa-kebiasaan dan saling mengakui bahwa sesama
237
pendatang memiliki latar belakang budaya dan asal usul yang berbeda. Kesadaran akan
latar belakang yang berbeda itu sangat mudah diperhatikan melalui tindakan mereka dalam
kehidupan sehari-hari pada saat hidup berkelompok dan melakukan sosialisasi satu sama
lainnya.
Terjadinya dinamika hidup perbedaan itu, bagi komunitas nelayan yang bermukim
di Panimbang sudah dialami secara turun menurun dan bahakn dari berbagai sumber dari
informan terkait kedatangan pendahulunya, bahwa sebenarnya mereka sudah hidup
menetap dalam dekade dari generasi ke generasi. Informan dari antar etnik Bagis
mengunkapkan bahwa kedatangan masyarakat Bugis di Panimbang bermula pada tahun
1960-an dan bahkan ada informasi bahwa pendatang Bugis sekitar era akhir tahun 1950an. Secara pengakuan oleh beberapa masyarakat berasal dari Bugis, memperkirakan bahwa
secara pastinya menetap di Panimbang sudah hidup generasi yang ketiga saat ini yang
bernata pencaharian sebagai nelayan.
Tradisi sebagai pekerja atau nelayan musiman, bagi antar etnik Jawa sampai saat
ini masih terdapat komunitas yang hanya menggantungkan hidupnya sebagai buruh
nelayan musiaman di perkampungan Panimbang. Dalam perkembangan dan dinamika
tuntutan hdup, maka dulunya sebagai buruh nelayan musiman, telah mengalami dinamika
sosial yang menuntut mereka untuk menyewa dan bahkan ada niatan untuk membeli perahu
dan alat tangkap. Melalui kepemilikan alat tangkap itulah, maka mau tidak mau atau suka
atau tidak suka komunitas nelayan yang telah memiliki alat tangkap itu merasa
berkewajiban untuk menjaga dan menjalankan alat tangkapnya. Komunitas yang bersal
dari etnik Jawa yang menetap sudah cukup lama yaitu sekiar tahun 1970-an. Kedatangan
mereka sebenarnya diawali sebagai buruh nelayan, namun dalam perkembangannya,
karena desakan tuntutan hidup maka mereka menetap sebagai nelayan. Berbagai
perbedaan-perbedaan dan perubahan yang tampak pada kondisi sekarang, merupakan hasil
dari suatu perubahan sosial budaya yang telah terjadi dan dialami oleh mereka sejak awal.
Untuk lebih mengetahui lebih mendalam tentang perubahan itu. Perubahan strukur sosial
budaya yang terjadi sering saling memahami yang akan mengarah pada stuktur masyarakat
yang berkelanjutan.
Kehadiran komuitas nelayan yang berasal dari antar etnik Sunda, sebagain besar
penduduk lokal yang sudah menetap sudah cukup lama. Komunitas nelayan berasal dari
antar etnik Sunda itu, sebenarnya juga berasal dari luar Banten misalnya dari Jawa Barat.
Komunitas antar etnik sunda itu, ada yang berasal dari Cirebon dan Sukabumi. Namun
karena kesamaan bahasa dan budaya, maka hampir sulit dibedakan antara antar etnik sunda
pendatang dengan antar etnik sunda yang berasal dari Banten. Profesi sebagai nelayan bagi
komunitas nelayan antar etnik sunda, sebenarnya merupakan pekerjaan yang ditekuninya
secara turun menurun. Hampir apa yang dialami antar etnik Jawa dan Bugis, bahwa bagi
komunitas nelayan yang menetap di pesisir Panimbang, sebagain besar masyarakatnya
bermatapencaharian sebagai nelayan, baik nelayan pemilik alat tangkap maupun sebagai
buruh nelayan yang tidak memiliki alat tangkap, namun diberikan kepercayaan untuk
mengelola milik orang lain.
Perubahan sistem nilai budaya yang dianut dan dimengerti oleh orang yang
mendukung budaya itu. Demikian halnya pada masyarakat yang bermukim di pesisir
Panimbang memiliki ikatan-ikatan kultur secara khas berdasarkan latar belakang asal
usulnya. Kepemilikan secara individu maupun secara sosial terkait karakteristik itu, lebih
terlihat pada saat sosialisasi atau saling menyapa satu sama lainnya. Secara fisik sebenarnya
sudah bisa dikenal asal usul sesorang bahwa mereka berasal darimana dan antar etnik mana.
Secara penataan pemukiman, bagi komunitas nelayan yang bermukim di Perkampungan
nelayan Panimbang memiliki blok pemukiman berdasarkan kesukuan.
238
Pemukiman yang dibuat secara terpisah, sebenarnya menurut informan tidak ada
unsul saling tidak menghargai satu etnik dengan antar etnik lainnya. lagi pula pemukiman
antar etnik sebenarnya dibuat pada masa lalu berdasarkan kesamaan komunikasi, sehingga
saling memudahkan dalam bekerjasama. Sebagaimana terungkap diungkapkan oleh MHR
(59 th) beliau berasal dari etnik Jawa bahwa :
Setiap masyarakat yang bermukim di Panimbang, memiliki masing-masing
latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda-beda, juga logat dan dialek
yang berbeda-beda berdasarkan asal usul kami. Tetapi pembedaan latar
belakang itu, tidak akan mengurangi kebesamaan dalam kehidupan maupun
bermatapencaharian dengan para pendatang lainnya yang sudah sejak lama
kami bersama-sama hidup di Panimbang ini. Walaupun kami berbeda asal usul
dan latar belakang kampung halaman, namun perbedaan nilai-nilai yang kita
yakini tidak membuat kita saling mencurigai
Berdasarkan hasil wawancara itu terungkap bahwa sebenarnya masyarakat yang
bermukim di Panimbang, sebenarnya memiliki latar belakang budaya dan bahasa yang
berbeda-beda. Walaupun berbeda asal usul mereka, tetap menjunjung tinggi dinamika yang
ada di perkampungan Panimbang. Kesadaran komitmen pengakuan perbedaan itupula,
sehingga tidak tapak adanya ketersinggungan secara individu maupun kelompok.
Kehidupan berdampingan melalui kebesamaan dalam kehidupan maupun
bermatapencaharian dengan para pendatang lainnya yang sudah sejak lama bersama-sama
hidup di perkampungan pesisir Panimbang. Komitmen secara berkelompok sangat
dikuatkan, maka berbeda asal usul dan latar belakang kampung halaman serta perbedaan
nilai-nilai tidak membuat ada sikap saling mencurigai.
Masyarakat yang bermukim di Panimbang, perbedaan etnis tidak menjadikan
sebuah jurang pemisah dalam melaksanakan aktivitas keseharian. Walaupun berbagai etnik
itu memiliki masing-masing latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda-beda, namun
tidak menjadi penghalang dalam berkomunikasi. Sebagai bangsa yang berbeda-beda,
tentunya juga logat dan dialek yang berbeda-beda berdasarkan asal usul dimana masyarakat
itu berasal. Tetapi pembedaan latar belakang itu, tidak akan mengurangi kebersamaan
dalam kehidupan maupun bermatapencaharian dengan para pendatang lainnya yang sudah
sekian lama hidup secara bersama-sama di Panimbang ini.
Perbedaan latar belakang etnis tidak menjadi persoalan dalam menjalankan
aktifitas sebagai nelayan sebagaimana ungkapan oleh etnik Bugis Bahar (43 tahun) bahwa
Sebagai komunitas yang bermatapencaharian sebagai nelayan, berbagai antar etnik
tetap berdampingan sebagai satu kesatuan komunitas nelayan. Walaupun sangat
nampak perbedaan latar belakang asal usul keberadaan kampung halaman kami,
namun tidak menjadikan alasan untuk tetap hidup berdampingan. Sebagaimana hal
yang tampak bahwa kepemilikan alat tangkap bisa digunakan oleh etnis manapun
saja, tanpa melihat latarbelakang. Kepercayaan diantara kami sudah menjadi bagian
yang sangat terpenting dalam mempertahankan hidup yang harmonis secara
berdampingan.
Berdasarkan ungkapan di atas sejalan dengan teori fungsional struktural yang
menyatakan masyarakat harus dilihat sebagai satu sistem yang komponennya berhubungan,
bergantung, dalam saling mengait yang secara fungsional terintegrasi dalam bentuk
equilibrium yang bersifat dinamis. Apabila ada pertentangan, akan muncul nilai budaya
yang akan mengintegrasikannya. Sangat terlihat dalam pola bermasyarakat yang terjadi di
Kecamatan Panimbang maupung di Labuan, baik masyarakat Bugis, Jawa Maupun Sunda
sebagai masyarakat setempat. Kemajemukan yang meliputi agama, antar etnik, budaya dan
239
kebiasaan justru mendorong mereka menjaga kerukunan hidup diantara mereka dan
berintegrasi satu sama lain.
Proses Solidaritas Sosial
Faktor Budaya
Nilai budaya sebagai perekat diantara komunitas telah memiliki nilai-nilai yang
mengatur tatanan masyarakat dalam mempertahankan komunitasnya. Melalui nilai-nilai
itulah mereka saling menghargai satu dengan yang lainnya. Nilai-nilai kesopanan itulah
sebenarnya merupakan satu kesatuan yang sangat penting untuk di tegakkan dan
dipersatukan. Kebersatuan masyarakat dalam komunitasnya akan menjadi cerminan pada
saat mereka berinteraksi pada komunitas lainnya. Kekuatan budaya yang dianut
masyarakat akan menjadi anutan untuk mewujudkan kebutuhan hidupnya, sebagai bagian
mahkluk sosial dan mahkluk yang berbudaya. Hidup dalam sebuah komunitas yang
beraneka ragam akan sangat mudah melakukan hubunganan yang sosial yang lainnya,
sekiranya saling memperkuat nilai-nilai pada komunitasnya.
Nilai-nilai budaya yang dianut pada komunitas masyarakat secara berbeda-beda,
namun menjadi cerminan untuk mengakurkan dirinya secara individu dan secara kolektif
sebagai masyarakat yang menyatu satu sam lain. Kebersatuan masyarakat antar etnis juga
sebenarnya ditunjang oleh adanya ikatan-ikatan simpul budaya melalui kebiasaankebiasaan secara turun temurun yang dijadikan pegangan dalam hidupnya. Sebuah
komunitas akan dapat bertahan dan dapat berinteraksi dengan baik ketika diperekat oleh
sistim dan kebiasaan-kebiasan yang telah disepakati secara turun temurun. Sebagaimana
diungkapkan oleh HAN (57 tahun) etnis Bugis yang menetap di Panimbang bahwa:
Keberadaan komunitas antar etnis Bugis dan Jawa serta Sunda di Panimbang
masing-masing memiliki sistem dan aturan masing-masing secara internal.
Menjadikan sebagai masyarakat yang saling mengikatkan diri dalam komunitas yang
hidup dengan kemajemukan di Panimbang dengan hidup berdampingan dengan
kegiatan sebagai nelayan dan maupun bukan nelayan tetap merasa satu kesatuan
serta ikatan yang memiliki kesamaan pekerjaan dan maupun yang tidak memiliki
kesamaan pekerjaan. Hal yang dapat mempersatukan dalam hidup berdampingan
adalah nilai-nilai pola hidup yang mereka pegang secara bersama-sama dan dapat
menjadikan sebagai modal untuk membina ikatan sosial dengan masyarakat
sekitarnya. (wawancara 25 Mei 2013)
Berdasarkan hasil wawancara itu, tergambarkan bahwa keberadaan komunitas
antar etnis Bugis dan Jawa serta Sunda di perkampungan nelayan di Panimbang dalam
melakukan interaksi telah memiliki ikatan-ikatan sosial dalam mempertahankan hidupnya.
Berdasarkan nilai itulah menjadi pedomana dan berlaku surut bagi masyarakat dalam
melakukan interaksi. Melalui sistem nilai-nilai itulah, etni yang hidup dan menetap di
Panimbang telah menjadikan sebagai masyarakat yang saling mengikatkan diri dalam
komunitas yang hidup dengan kemajemukan di Panimbang dengan hidup berdampingan
dengan kegiatan sebagai nelayan dan maupun bukan nelayan tetap merasa satu kesatuan
serta ikatan yang memiliki kesamaan pekerjaan dan maupun yang tidak memiliki kesamaan
pekerjaan.
Berdasarkan ungkapan dari informan sebelumnya, lebih dipertegas lagi oleh
informan yang lain oleh BHN (61 tahun) asal etnik Jawa yang sudah menetap 30 tahun di
pemukiman pesisir Labuan menungkapkan bahwa:
240
Hidup kami secara berdampingan dengan antar etnik-antar etnik lainnya yang ada
di Labuan dan Panimbang ini, sebagai nelayan, telah menjadikan kami satu
kesatuan sebagai keluarga besar. Walaupun kami ini berbeda asal usul antar etnik
bangsa, namun ada nilai-nilai mata pencaharian yang mempersatukan kami yang
sebenarnya tidak akan menjadikan kami saling melupakan. Karena dalam
melakukan kegiatan melaut, kami memiliki budaya yang sama untuk tetap saling
menjaga dan bekerjasama dalam mewujudkan dan mendapatkan penghasilan.
Melakukan kegiatan pun kita saling membantu dalam berbagai hal kekuarangan
yang kami alami, terkait dengan kelengapan-kelengkapan alat-alat tangkap
sebagai nelayan. (wawancara 16 April 2013)
Berdasarkan hasil wawancara itu, terungkap bahwa komunitas yang menetap di
pesisir Labuan memiliki kesamaan dalam kehidupan untuk tetap saling berdampingan
dengan antar etnik-antar etnik lainnya yang ada di Labuan. Tentunya rasa persatuan itu
karena adanya kesamaan bermatapencaharian sebagai nelayan. Profesi sebagai nelayan itu
pua telah menjadikan komunitas antar etnis itu, menjalin rasa persatuan dan kesatuan
sebagai bagian keluarga besar bermatapencaharian sebagai nelayan. Sebenarnya diantara
sesama komunita itu, telah menyadari bahwa mereka berasal dari berbeda asal usul antar
etnik bangsa, namun ada nilai-nilai mata pencaharian yang mempersatukan mereka dalam
internalisasi nilai-nilai budaya kenelayanan.
Kerjasama sesama komunitas nelayan juga sebenarnya menjadikan mereka untuk
tidak saling melupakan antara satu sama lainnya. Karena dalam melakukan kegiatan
melaut, memiliki budaya sebagai pelaut yang sama untuk tetap saling menjaga dan
bekerjasama dalam mewujudkan dan mendapatkan penghasilan. Kegiatan melautpun tetap
saling membantu dalam berbagai hal kekurangan yang dialami diantara mereka terutama
dalam hal kelengapan-kelengkapan alat-alat tangkap sebagai nelayan.
Selain budaya kebersamaan dan senasib dalam bermatapencaharian, maka sebagai
masyarakat yang memiliki nilai-nilai pergaulan pun tidak terlepas adanya ikatan-ikatan
budaya kesantunan. Sebagai bangsa yang besar Indonesia telah memiliki berbagai
kelebihan-kelebihan dalam hal berbudaya, demikian pula halnya pada masyarakat yang
hidup secara lokal, telah memiliki sikap diantaranya adalah sikap ramah tamah, saling
hormat-menghormati, saling harga-menghargai, tolong-menolong dan besarnya rasa
toleransi di dalam masyarakat menjadikan masyarakat itu semakin kuat hungungan
sosialnya. Pendekatan budaya toleransi, tentunya sangatlah penting dalam kehidupan di
lingkungan antar etnis, sebagaimana pula halnya terjadi di Labuan yang telah dialami oleh
MHMD (65 th) berasal dari etnis Sunda mengatakan bahwa
Selama kami hidup disini dengan bedampingan tiga etnis yang berbeda-beda latar
belakang, yakni etnis sunda dianggap sebagai komunitas yang pembawaan cara
bahasa dan sikapnya sangat lembut. Demikian pula etnis Jawa yang dianggap
masyarakatnya juga tergolong lembut pembawaanya, namun ketika bertemu
dengan etins Bugis yang dianggap keras oleh etnis yang lainnya. Akan tetapi
setelah kami melakukan hubungan-hubungan yang terkait dengan pergaulan hidup
kami, baik secara ekonomi, sosial, keagamaan dan kepercayaan lainnya, tidak
pernah mengalami suatu pertentangan dan atau perselisihan diantara kami. Dalam
kegiatan ritual-ritual pun kami tetap saling memahami dan saling menghargai,
karena kita sama-sama menyadari bahwa sesama manusia kita semua sama dalam
mencari penghidupan untuk keluarga. (wawancara 13 April 2013)
Faktor Kekerabatan
Keberadaan masyarakat ketiga etnis tersebut telah terbina dengan baik, secara
turun temurun dan tanpa membeda-bedakan dengan komunitas lainnya. Selain faktor
241
budaya dan nilai-nilai dalam sistem hidupnya, yang mengakibatkan semakin menyatu
dalam perbedaan. Pengakuan perbedaan dalam masyarakat pada komunitas antar etnis,
merupakan suatu kewajaran karena kehadirannya dari berbagai latar belakang yang
berbeda. Faktor berikutnya, yaitu hubungan kekerabatan yang ada diantara mereka. Hal ini
merupakan salah satu faktor penting terwujudnya integrasi sosial.
Melalui pendekatan kekerabatan tentu tidak lepas kaitannya dengan masalah
pernikahan. Faktor kekerabatan merupakan pengelompokan atas sejumlah orang yang
masih berhubungan, baik karena keturunan maupun perkawinan yang mencakup identitas
dan peranan yang digunakan oleh individu-individu dalam interaksi sosial mereka. Dengan
kata lain, sistem kekerabatan terjadi karena keturunan dan perkawinan serta tali darah.
Namun dibalik itu sistem kekerabatan secara sosial pun terjadi karena adanya faktor
kedekatan yang sangat akrab dan sangat cukup lama melakukan hubungan secara sosial.
Kondisi itu, terjadi pula pada komunitas nelayan, setelah mereka memiliki hubungan
kedekatan dan pekerjaan yang selama ini dilakukan secara turun temurun melalui kesamaan
sistem mata pencaharian.
Sistem perkawinan antar etnik dan suku bangsa yang berbeda itu, telah melahirkan
tali kekerabatan yang semakin dekat antara masyarakat yang berbeda latar belakang, antar
etnik, ras. Fenomena yang terjadi di Panimbang telah terjadi suatu pola perkawinan silang
antar etnik. Masyarakat yang melakukan tali perkawinan yang berbeda antar etnik itulah,
telah mengalami berbagai perkembangan sisitem kekerabatan dan tali persaudaraan
semakin melekat. Perkawinan capuran dengan perbedaan etnik, tidak melahirkan suatu
ketegangan antar budaya. Kondisi saling memahami pertemuan dua kutub keluarga antar
etnik itu, telah mengarah pada hubungan sosial yang semakin dekat antara komunitas
nelayan yang berbeda di perkampungan Panimbang.
Komunitas nelayan yang melakukan pernikahan campuran baik antara suku Jawa
maupun suku Bugis dan juga dengan suku Sunda tidak selamanya memiliki profesi sebagai
nelayan. Namun sebaliknya ada juga profesi sebagai nelayan melakukan perkawinan
campuran. Sebagaimana MUH (47 tahun) masyarakat asal antar etnik Jawa melakukan
pernikahan campuran dengan antar etnik Bugis, mengatakan bahwa :
Melalui pernikahan antar etnis yang saya lakukan, sebenanarnya awalnya membicarakan
perbedaan-perbedaan, kebiasaan-kebiasaan masing-masing adat kami. Lama
kelamaan dalam perkawinan kami sudah 25 tahun telah berlangsung tidak ada
kendala. Dan anak-anak kamipun mengikuti aturan nilai-nilai yang berlaku pada
kedua etnis yang melekat dalam keluarga kami. Sebenarnya melalui perkawinan
antr etnis yang kami lakukan, malah menambah kumpulan-kumpulan keluarga
kami dan jumlahnya semakin besar. Jumlahnya pun semakin bertambah dan
kamipun punya keluarga pada dua perkampungan dan dua etnis yang berbeda.
Perkawinan kamipun semakin merekatkan perbedaan menjadi suatu kekuatan
dalam mempersatukan dua etnis yang berbeda. (Wawancara 16 Mei 2013)
Berdasarkan hasil wawancara itu terungkap bahwa pernikahan antar etnis,
sebenarnya tahap perkenalan budaya yang paling awal perlu dibicarakan. Mengapa hal itu
penting karena adanya perbedaan-perbedaan kebiasaan-kebiasaan masing-masing
komunitas yang berbeda latar belakang. Perbedaan yang dipersatukan dalam wadah yang
sama melalui tali perkawinan, lama kelamaan akan berlangsung tidak ada kendala. Kedua
keluarga yang melakukan perkawinan campuran etnis mengikuti aturan nilai-nilai yang
berlaku pada kedua etnis yang melekat dalam keluarganya. Melalui tali perkawinan antar
etnis akan menambah kumpulan-kumpulan keluarga mereka dan jumlahnya semakin besar.
Keluarga yang melakukan perkawinan campuran semakin merekatkan perbedaan menjadi
suatu kekuatan dalam mempersatukan dua etnis yang berbeda.
242
Dengan demikian dapat diketahui bahwa hubungan kekerabatan yang terjadi akibat
adanya perkawinan diantara masyarakat asli dan pendatang yang berbeda antar etnik
bangsa, menyebabkan terjadinya proses interaksi yang semakin meluas di antara kedua
pasangan dan pihak-pihak keluarganya. Hal itu, terjadi pula pada komunitas antar etnis
Bugis, Jawa dan Sunda bahwa hubungan kekerabatan diantara mereka yang sudah
melakukan perkawinan campuran. Namun dalam pernikahan yang berasal dari keluarga
yang berbeda biasanya kedua pasangan yang masih baru mereka tinggal dan menetap pada
kedua orang tunya. Mereka memilih kebanyakan menetap dilingkungan orang tua dan
tidak memutuskan tali silahturahmi dengan orang tua mereka. Jadi perkawinan bukan
mengurangi jumlah keluarga, namun semakin memperkuat keluarga lebih luas dan
terintegrasi dengan baik lagi.
Dalam kenyataannya, perbedaan budaya dan latar belakang asal usul daerah tidak
menjadi persoalan bagi hubungan sosial kemasyarakatan di Komunitas antar etnis Bugis,
Jawa dan Sunda sebab masyarakat menganggap bahwa perkawinan semacam itu adalah hal
yang lumrah terjadi di masyarakat yang majemuk. Hal ini juga didorong faktor kerukunan
hidup antar etnik yang relatif tinggi dan tidak ditemuinya sikap fanatisme berlebihan dalam
kehidupan kesehariannya. Kondisi perbedaan itu pun meyakini tidak menimbulkan
kekacauan-kekacauan baik dipermukaan maupun dalam hati secara individu maupun
kolektif di perkampungan Binuangen.
Kekerabatan dibangun bisa melalui tali pernikahan maupun dengan hubungan kait
mengkait dalam satu bingkai tali rumpun keluarga. Kekerabatan secara sosial pun juga
terbagung karena faktor kedekatan antara satu etnik dengan etnik lainnya secara
terintegrasi. Memelihara kebersamaan satu wadah di perkampungan Panimbang sudah
menjadi bagian yang tidak dapat terpisahkan antara satu dengan yang lainnya. Hubungan
sosial terbangun pula karena adanya kesamaan nasib dan profesi yang sama sebagai
nelayan dan kegiatan yang lainnya. Menyatukan masyarakat melalui tali kekerabatan
sebenarnya bisa terbangun melalui tali darah atau perkawinan dan bisa terbangun pula
melalui hubungan sosial yang tidak memiliki jarak dan antara dalam melakukan hubungan
sosial.
Bentuk Solidaritas Sosial
Perkawinan Campur
Melalui perkawinan campur yang terjadi di masyarakat Komunitas antar etnis
Bugis, Jawa dan sunda sebenarnya merupakan hal yang sudah lumrah di Labuan dan
Panimbang. Perkawinan dapat terjadi melalui asal muasalnya saling mencintai. Dan
perkawinan yang terjadi antar etnis di Labuan maupun Panimbang sebenarnya sangat
sedikit dan bahkan tidak pernah terjadi pernikahan dengan perjodohan secara paksa.
Pendekatan perkawinan sebenarnya seringkali didapati di dalam masyarakat baik antara
yang berbeda etnis. Perkawinan campuran dapat dijadikan sebagai wadah untuk
merekatkan masyarakat di Panimbang maupun Labuan.
Perkawinan campur atau sering disebut perkawinan silang, merupakan ikatan karena
adanya jodoh dan perasaan saling suka. Munculnya perasaan suka sama suka itulah,
membuat mereka melangsungkan perkawinan dan tanpa melihat latar belakang asal usul
dan etnik. Melangsungkan perkawinan campuran di perkampungan Labuan maupun
Panimbang hampir tidak menemukan kendala, karena komunitas yang berdiam di wilayah
tersebut sudah terjalin cukup lama dan juga dari aspek kebiasaan-kebiasaan dalam proses
243
kegiatan prosesi tidak pernah menjadi kendala, karena sejak dilakuakan proses pertunangan
sudah dibicarakan.
Nilai-nilai Sosial
Dalam implementasi nilai-nilai sosial, tentunya seiap etnis memiliki komitmen dan
bertumpu pada nilai-nilai sosial yang dimiliki dan di yakininya sebagai pegangan dan
pedoman untuk mencapai kesuksesan. Hal itu sebagaimana di tuturkan oleh Asep Haryadi
(34 tahun) berasal dari suku sunda bahwa :
Berbicara tentang nilai-nilai kepercayaan merupakan salah satu modal solidaritas,
pada implementasinya yang dianggap paling mudah dilakukan oleh siapapun,
karena hanya dalam bentuk kontrak sosial yang sangta sederhana. Komunitas
nelayan di Panimbang justru melihat sebagai modal yang paling utama dalam
memperkuat tali kebersamaan dan solidaritas dalam kehidupan sebagai nelayan.
Faktor utama yang mendukung jalannya nilai-nilai kepercayaan adalah saling
mendudukkan sesorang pada posisinya secara sosial dan tanpa memandang status
sosial ekonominya maupun asal muasal etnisnya.
Berdasarkan hasil wawancara itu terungkap bahwa kepercayaan sesorang tercermin
dalam nilai-nilai sebagai pegangan untuk menjadi modal solidaritas. Kepercayaan bagai
kalangan masyarakat di perkampungan Binuangen dalam implementasinya tidak terlalu
berat dan bahkan dianggap paling mudah untuk dilakukan pada kalangan internal siapapun.
Mengapa hal itu dianggap mudah untuk dilakukan, karena hanya dalam bentuk kontrak
sosial yang sangta sederhana. Namun dalam perkembangan saat ini masyarakat antar etnis
melihat bahwa dengan adanya nilai-nilai yang mengatur secara sosial menjunjung tinggi
nilai- dan pranata sosial sebagai modal yang paling utama dalam memperkuat tali
kebersamaan dan solidaritas dalam kehidupan sebagai nelayan. Faktor utama yang
mendukung jalannya nilai-nilai kepercayaan adalah saling mendudukkan sesorang pada
posisinya secara sosial dan tanpa memandang latar elakang dan asal usul individu maupu
kemasyarakatan.
Internalisasi tekait nilai-nilai kepercayaan ditumbuhkan melalui sikap dan prinsipprinsip rendah hati, tulus dari dalam diri untuk dapat saling menerima antar suku yang satu
dengan suku lainnya. Sebagai masyarakat yang multikultural yang berdiam di
perkampungan Panimbang menyadari suatu nilai-nilai saling mencintai perbedaan.
Walaupun mereka saling menyadari bahwa perbedaan yang selama ini terjadi memang
kadangkala sangat mencolok dari segi kepemilikan teknologi alat tangkap dan eos kerja
yang dimiliki oleh nelayan. Misalnya Suku Bugis dianggap lebih ulet dalam bekerja,
sehingga kepemilikan berbagai fasilitas daya dukung kehidupannya lebih maju dan lebih
berkembang dibandingkan dengan suku lainnya.
Keuletan bekerja keras sebanarnya sudah merupakan salah satu prinsip bagi setiap
individu untuk menciptakan kolektivitas, dan termasuk pada komunitas nelayan yang
bermukim di perkampungan Panimbang. Etos kerja berisi tentang nilai-nilai semangat dan
keinginan untuk mengubah pola hidup seseorang. Pertukaran nilai tentang pengalaman
dalam melakukan aktifitas sebagai nelayan. Sebenarnya, hampir semua masyarakat
memiliki nilai-nilai kolektivitas dalam menjunjung nilai-nilai semangat untuk bekerja,
namun yang jadi persoalan adalah pengalaman yang berbeda-beda dalam menggapai
impian dan kenyataan hidup. Sebagai komunitas nelayan di Panimbang nilai-nilai etos
kerja seringkali dilakukan pada kesempatan yang tidak terstruktur dengan berkumpul
secara berbarengan walaupun sifatnya temporer dan membicarakan tentang pengalamanpengalaman hidup mereka dan termasuk dalam melakukan aktifitas sebagai nelayan.
Nilai-nilai dan pranata-pranata sosial yang memperkuat internal masyarakat jawa
sebenarnya ada komitmen tersendiri dalam menujukkan eksistensi dirinya, namun sebagai
244
manusia yang bersosialisasi manusia sebenarnya tidak boleh membanggakan dirinya,
sebagaimana Wahono (41 tahun) suku jawa menuturkan bahwa:
Kami sebagai masyarakat Jawa Memiliki nilai sosial yang kami pegang dalam
berbagi pengalaman sebenarnya bukan sebagai ajang membanggakan diri mereka,
namun hanya sekedar untuk mempererat tali solidaritas dan kesetiakawanan
sebagai sesama nelayan yang menginginkan kemajuan bersama. Sebagai
komunitas nelayan, tentu memiliki berbagai perbedaan pengalaman dan setiap
etnis memiliki nilai-nilai yang dijunjung dalam meningkatkan etos kerja, berupa
semangat yang tumbuh dari kebiasaan-kebiasaan dalam keluarga maupun timbul
dan tumbuh dilingkungan sosial masyarakat. Nilai-nilai sosial untuk pemenuhan
keperluan sebagai komunitas nelayan sangat diperlukan, misalanya bagi etnis jawa
mengenal nilai-nilai semangat etos kerja dengan prinsip maju untuk berhasil yang
dipegang sebagai penyemangat untuk mempersatukan sesama komunitas nelayan.
Berdasarkan hasil wawancara itu, terungkap bahwa kalangan masyarakat Jawa
Memiliki nilai sosial yang selama ini yang dianut dalam berbagi pengalaman masingmasing yang membedakan dengan suku lainnya. Namun nilai-nilai yang diyakini sebagai
etos kerja sebenarnya bukan sebagai ajang membanggakan diri mereka, namun hanya
sekedar untuk mempererat tali solidaritas dan kesetiakawanan sebagai sesama nelayan
yang menginginkan kemajuan bersama. Sebagai komunitas nelayan, tentu memiliki
berbagai perbedaan pengalaman dan setiap etnis memiliki nilai-nilai yang dijunjung dalam
meningkatkan etos kerja, berupa semangat yang tumbuh dari kebiasaan-kebiasaan dalam
keluarga maupun timbul dan tumbuh dilingkungan sosial masyarakat. Nilai-nilai sosial
untuk pemenuhan keperluan sebagai komunitas nelayan sangat diperlukan, misalanya bagi
etnis jawa mengenal nilai-nilai semangat etos kerja dengan prinsip maju untuk berhasil
yang dipegang sebagai penyemangat untuk mempersatukan sesama komunitas nelayan.
Nilai-nilai sosial sebagai pranata, sebenarnya berfungsi untuk memenuhi keperluan
kehidupan sesama nasib dan kesamaan profesi sebagai nelayan dalam memenuhi keperluan
dalam melakukan aktifitas ke laut. Kehdupan dalam kebersamaan dengan melakukan
kegiatan tolong menolong dalam pergaulan melalui nilai-nilai kepercayaan dan sopan
santun merupakan bentuk implementasi nilai-nilai pergaulan yang mengedepankan
kekerabatan sebagai sistem berbagi pengalaman. Kompleksitas persoalan yang dihadapi
dalam kegiatan melaut, akan mengalami keringanan apabila dilakukan dengan pendekatan
budaya kebersamaan.
Sistem kepercayaan dan ritual
Komunitas nelayan antar etnis Bugis, Jawa dan Sunda memiliki kebiasaankebiasaan dalam meminta restu sebelum melaut. Tujuan dari kegiatan itu, lebih
mengarahkan pada pendekatan untuk meminta keselamatan dari sang pencipta. Pentingnya
memohon petunjuk dan ridho dari sang pencipta merupakan suatu hal yang sangat wajib
sebelum dilakukan penangkapan, agar memperoleh keselamatan dan keberhasilan dalam
melaksanakan kegiatan melaut. Melalui pendekatan kepercayaan itulah, komunitas nelayan
memiliki ikatan-ikatan yang sama dalam memohon ridho dan pendekatan kepada sang
pencipta.
Melalui ritual sesajen dengan membawa makanan ke pinggir laut, yang berisi
didalamnya nasi 3 rupa, beras warna merah, putih dan hitam menandakan sebagai
pendekatan meminta untuk dilindungi dari berbagai segi penjuru. Selain nasi sebagai
sumber penghidupan dan juga lauk pauk berupa ayam sebagai bentuk simbol mendapatkan
rahmat dan bertambah rezeki. Melalui nilai-nilai kebiasaan secara turun temurun itulah,
komunitas nelayan antar etnis Bugis, Jawa dan Sunda merasa memiliki kedekatan dalam
245
hal ritual tersebut. Kebersamaan itu merupakan salah satu penyebab terjadinya integrasi
dari nelayan antar etnis Bugis, Jawa dan Sunda.
Komunitas nelayan antar etnis Bugis, Jawa dan Sunda yang menetap di pesisir
Panimbang sebagai masyarakat yang sebagian besar beragama Islam, sehingga keakraban
juga terbangun dalam kegiatan keagamaan dan ritual-ritual dalam hal kegiatan-kegiatan
hari besar keagamaan. Kegiatan silaturahmi juga terlihat dalam kegiatan shalat lima waktu
maupun shalat Jumat. Pelaksanaan kegiatan shalat Jumat dan masyarakat antar etnis Bugis,
Jawa dan Sunda semuanya berbaur di dalamnya. Suasana keakraban pun terlihat dengan
jelas, bahwa melalui pendekatan acara keagamaan memberikan nuansa kesejukan bagi
masyarakat yang memeluk agama yang sama.
Selain itu pada kegiatan hari raya keagamaan pun dapat menjadi momentum yang
sangat tepat untuk bersilaturahmi antara satu dengan yang lainnya, tanpa melihat latar
belakang antar etnik. Kunjungan silaturahmi kepada teman, keluarga dekat, dan tetangga,
merupakan hal yang lumrah bagi komunitas nelayan antar etnis Bugis, Jawa dan Sunda,
apalagi dalam rangka hari besar keagamaan seperti hari raya Idul Fitri dan hari raya Idul
Adha. Hubungan sosial keagamaan antara penduduk setempat dengan warga pendatang
menjadikan warga Komunitas nelayan antar etnis Bugis, Jawa dan Sunda lebih terbuka
untuk menerima berbagai pengaruh budaya luar diantara mereka.
Berdasarkan informasi dari beberapa informan mengungkapkan bahwa kegiatan
hari raya sebagai momentum untuk saling melebur diri menjadi satu kesatuan yang tidak
dapat terpisahkan. Wadah kegiatan ritual keagamaan merupakan momentum untuk saling
memaafkan satu sama lainnya. terjadi pada komunitas merekapun tetap menjadi
kehangatan yang sangat baik. Keberadaan hari-hari besar diantara mereka merupakan
momentum untuk lebih menambah keakraban di antara mereka.
Kegiatan silaturahmi keagamaan hanya berlangsung sebanyak dua kali setahun
yaitu hari raya Idul Fitri dan Idul Adha komunitas nelayan antar etnis Bugis, Jawa dan
Sunda yang jarang ketemu dengan berbagai kesibukan masing-masing setidaknya memiliki
dua kali pertemuan yang pasti dilakukan oleh mereka yaitu pada hari-hari besar tersebut.
Walaupun kegiatan tersebut merupakan hubungan individual diantara mereka untuk saling
bersilahturahmi, namun setelah diarahkan bagian dari ritual keagamaan, maka mereka
menyadari bahwa betapa pentingnya saling hadir dalam kegiatan silaturahmi tersebut.
Perayaan saling silaturahmi dalam keyakinan baik melalui pendekatan keagamaan
maupun upacara-upacara ritual lainnya yang berkaitan dengan kegiatan kenelayananan.
Pada kegiatan hari raya idul fitri merupakan salah satu pendekatan yang selama ini sangat
bagus dilakukan untuk saling mengunjungi baik sesama etnis maupun lintas etnis.
Berdasarkan penuturan beberapa informan bahwa kegiatan rutinitas silaturahmi idul fitri
merupakan ajang tahunan yan dilakukan dalam pendekatan Halal Bi halal sebagai wadah
untuk mengakrabkan kembali yang mungkin selama sebelas bulan tidak terlalu erat karena
adanya kesalahan yang dilakukan. Ajang silaturahmi memaafkan dalam hari raya lebaran
idul fitri itu, seakan-akan mengajak masyarakat sekitar perkampungan Binuangen untuk
saling memaafkan. Walaupun sebenarnya tidak diformalkan namun ajang memaafkan ini
di jadikan sebagai momentum untuk memperkuat tali kekeluargaan yang mungkin sempat
terputus.
Ajang halal bi halal sebagai rangkaian acara untuk mempertemukan masyarakat,
dan juga sekaligus mengundang pemerintah setempat RT dan RW, serta tokoh masyarakat
berbagai etnis, pemuka agama. Kegiatan halal bi halal ini biasanya dilakukan di masjid dan
atau di sekolahan. Melalui kegiatan ajang idul fitri ini, masyarakat saling meningkatkan
kerukunan beragama diantara mereka dan menjalin keharmonisan antara masyarakat dan
aparaturnya, sehingga mendukung dan mendorong masyarakat untuk saling berintegrasi
sesamanya.
246
Selain acara halal bihalal sebagai ajang tahunan, bagi komunitas nelayan di
perkampungan Panimbang, memiliki tradisi pula dalam menggelar upacara hari turunnya
melaut. Hari turun melaut ini merupakan tradisi tahunan pula yang dilakukan sebagai
penanda akan dimulainya melaut. Kegiatan rutinitas hari pertama melaut ini dilakukan
dengan pemberian sesajen dalam bentuk makanan atau kegiatan makan bersama yang
dilakukan diatas perahu. Biasanya dilakukan pada saat mau berangkat, maka pemilik
perahu menyiapkan terlebih dahulu makanan dan mengajak masyarakat atau nelayan yang
ada isekitarnya. Tradisi makan bersama diatas perahu pada hari melaut ini, sebenarnya
tidak dilakukan semua oleh nelayan dalam bentuk pesta besar-besaran, namun ada orang
yang membesar-besarkan.
Kegiatan Perekonomian
Bentuk kegiatan usaha penangkapan ikan di Labuan maupun di Panimbang
dikategorikan sebagai usaha perikanan yang berskala kecil. Bagi komunitas yang
berprofesi sebagai nelayan yang, dilakukan secara turun temurun dan pekerjaan sebagai
nelayan ditekuni sebagai sumber mata pencaharian keluarganya. Beraktifitas ebagai
nelayan merupakan pekerjaan satu-satunya sebagai sumber penghasilan keluarga. Sebagai
nelayan merupakan pilihan bagi Komunitas antar etnis Bugis, Jawa dan Sunda yang
meranau dari kampung halamannya, dan diperoleh dari orang tuanya. Sebelum merantau
Komunitas antar etnis Bugis, Jawa dan Sunda sudah memiliki keahlian tersendiri sebagai
nelayan.
Sebagai nelayan yang berskala kecil, kegiatan penangkapan dapat dilakukan
sepanjang tahun dan sangat bergantung dari musim. Ketergantungan pada musim itulah
akan berdampak pada penentuan daerah penangkapan (fishing ground) yang menjadi
sasaran penangkapan. Ketergantungan pada musim itulah, nelayan sering memperoleh
pengasilan pasang surut. Apabila musim lagi banyak ikan maka nelayan dapat memperoleh
penghasilan lebih banyak. Dan sebaliknya apabila lagi musim paceklik maka hasilnya pun
diperoleh dengan apa adanya dan bahkan biaya operasional pun tidak tertutupi.
Sebagaimana MHN (50 tahun) bahwa :
Saya dan teman-teman yang berdomisili di Kampung Labuan dan juga terjadi di
Binuangen memiliki ketergantungan sangat tinggi pada musim, karena perahu
yang kami miliki tidak mampu menembus sejauh mungkin, karena keterbatasan
ukuran perahu yang kami miliki. Melalui keterbatasn itulah, mengakibatkan kami
lebih banyak melakukan penangkapan di sekitar selat sunda saja. Perahu yang
saya miliki sama saja teman-teman nelayan lainnya yang berdomisili di pesisir
Labuan. Penghasilan yang diperoleh sebenarnya kadang banyak dan kadangkala
juga apa adanya, sehingga biaya hidup juga kadang tertutupi dan kadang juga
tidak tertutupi.
Berdasarkan hasil wawancara itu terungkap bahwa kegiatan ekonomi yang
berdomisili di Kampung Labuan memiliki ketergantungan sangat tinggi pada musim dalam
menjalankan roda perekonomiannya. Keterbatasan kekuatan dan muatan perahu yang
mereka miliki, tidak mampu menembus sejauh mungkin hingga kelaut yang paling dalam,
karena selain kekuatan juga memiliki keterbatasan ukuran perahu yang mereka miliki.
Melalui keterbatasan itulah, mengakibatkan nelayan lebih banyak melakukan penangkapan
di sekitar Selat Sunda saja. Perahu yang dimiliki oleh nelayan lainnya hamir merata yang
berdomisili di pesisir Labuan. Demikian pula halnya dengan penghasilan yang diperoleh
sebenarnya kadang banyak dan kadangkala juga apa adanya, sehingga biaya hidup juga
kadang tertutupi dan kadang juga tidak tertutupi.
Daerah penangkapan ikan di Kecamatan Labuan adalah Selat Sunda, Selatan
Jawa/Samudera hindia dan Laut Jawa. Berdasarkan wawancara dengan nelayan daerah
247
penangkapan yaitu sekitar Selat Sunda, Tanjung Panaitan, Kepulauan seribu, Kerakatau,
Rompang, Sumur, Kelapa Koneng, Pulau Pucang, Kalianda, Cemara, Karang bawah dan
Batu Item. Daerah penangkapan ini ditempuh para nelayan sekitar 3-4 jam perjalanan.
Penentuan daerah penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan-nelayan di Kecamatan
Labuan dan Panimbang umumnya masih berpedoman pada faktor-faktor alam.
Nelayan masih menggunakan pengetahuan sederhana seperti adanya burung yang
terbang di atas perairan atau riak di air yang menandakan adanya ikan. Dengan hanya
mengandalkan sebatas pengetahuan tradisional ini maka nelayan yang beroperasi
menangkap ikan berada pada keadaan berburu atau pergi dengan tujuan mencari yang tidak
pasti letaknya. Akan tetapi karena tingkah laku ikan yang sudah diketahui nelayan yaitu
dimana ikan memijah dan dimana ikan biasa berkelompok mencari makan maka hal ini
dapat digunakan nelayan dalam menentukan posisi ikan. Keberadaan kelompok ikan juga
juga dapat diketahui dengan melihat permukaan laut yang berbuih, adanya ikan-ikan yang
melompat-melompat di permukaan atau burung yang menukik dan menyambar ke
permukaan laut. Selain itu, penentuan daerah penangkapan juga ditentukan berdasarkan
pengalaman dan informasi dari kapal yang baru mendarat.
Hubungan bermasyarakat pada Komunitas antar etnis Bugis, Jawa dan Sunda
terlihat dalam aneka kegiatan perekonomian yang tidak dibatasi oleh perbedaan antar etnik,
agama dan budaya. Ini terlihat dari interaksi masyarakat ketika berada di pasar Komunitas
antar etnis Bugis, Jawa dan Sunda sebagai pusat kegiatan perekonomian warga yang
menetap di Labuan mapun Panimbang. Pasar Labuan yang berbatasan secara langsung
dengan tempat pendaratan perahu, langsung dijual hasilnya ke pasar. Hasil tangkapan ada
yang dijual di tingkat lokal dipasar Labuan dan adapula yang di bawa keluar misalnya
kepasar Pandeglang dan bahkan ada yang dipasarkan sampai ke Jakarta. Aktivitas
dipelelangan pun didominasi oleh masyarakat antar etnis yang menetap disekitar Labuan.
Proses integrasi masyarakat lewat kegiatan perekonomian juga ditandai oleh
adanya koperasi serba usaha yang anggotanya terdiri dari komunitas nelayan yang diberi
nama koperasi sumber usaha yang dibangun secara bersama-sama oleh nelayan antar etnis
di Labuan. Secara umum Komunitas antar etnis Bugis, Jawa dan Sunda memiliki koperasi
atau kegiatan ekonomi yang berfungsi sama seperti koperasi dengan kepengurusan yang
tidak membedakan antar etnis Bugis, Jawa dan Sunda. Kegiatan ini mengikat masyarakat
Komunitas antar etnis Bugis, Jawa dan Sunda menjadi satu kesatuan tanpa diskriminasi
etnis manapun juga. Melalui wadah simpan pinjam terkait operasional selama melaut dapat
diperoleh dikoperasi dan pada akhirnya mereka saling mengenal satu sama lainnya tentang
kebutuhan yang diinginkan dan bahkan tidak sedikitpula melakukan perbincangan tentang
melaut.
Pada kegiatan kenelayanan nelayan memiliki waktu-wakt tertentu yang dianggap
sebagai masa masuknya waktu penangkapan. Waktu penangkapan itu sebenaranya dimulai
secara bersama-sama sebagai bentuk kekompakan dalam melakukan operasional di lautan.
Kekompakan yang dibangun dalam waktu penangkapan itu, sebenarnya tidak ada aturan
yang tertulis, namun lebih mengedapankan pada nilai-nilai kesepahaman agar tercipta
harmonisasi antara sesama komunitas nelayan. Berdasarkan penuturan beberapa informan
mengungkapkan bahwa sebenarnya waktu penangkapan tidak ada pembatasan, namun
hanya lebih pada adanya upacara memperingati hari massal memulai penangkapan.
Kesepakatan dan kesepahaman dalam kegiatan ekonomi yang diatur oleh
kebiasaan tidak melahirkan suatu pertentangan diantara komunitas nelayan antar etnis di
pemukiman Panimbang. Kesadaran kolektif sebagai masyarakat yang tergolog sederhana,
komunitas nelayan memiliki elit-elit sentral yang mengatur jalannya sumber ekonomi
terutama dalam hal hari baik pertama penangkapan. Penentuan hari baik penangkapan ini
248
dilakukan setelah terjadinya kondisi istirahat panjang yaitu terutama pada pasca atau
sesudah berlalunya musim penghujan pada bulan oktober hingga bulan Maret.
Selain kegiatan ekonomi proses penangkapan, pada komunitas nelayan juga terjadi
hubungan interaksi yang sangat intensitasnya tinggi di lokasi pemasaran. Perkampungan
nelayan di Panimbang terdapat lokasi pemasaran baik di pelelangan ikan maupun di pasar
tradisional yang berada di sekitar perkampungan Panimbang. Aktifitas ekonomi dalam hal
pemasaran, ditemukan dilapangan bahwa ada kelompok-kelompok pemasar hasil
tangkapan yang berdasarkan kebiasaan-kebiasaan selama ini bagi komunitas nelayan.
Secara struktural komunitas nelayan ada yang memasarkan hasil tangkapannya dengan
menjual langsung ke pasar dan ada pula yang memasarkan di pelelangan secara langsung
dan di jual secara terbuka. Kelompok nelayan seperti ini yang berdasarkan informasi adalah
kelompok pemilik perahu dan alat tangkap sendiri.
Kelompok pemilik perahu dan alat tangkap, biasanya tidak tergantung pada
pemilik modal atau kelompok pengumpul sehingga bisa dipasarkan secara langsung baik
di pasar lokal maupun di pelelangan. Lain halnya pada komunitas nelayan yang sangat
menggantungkan modal dari pihak ketiga. Misalnya Asep nelayan sunda yang bergantung
modal pada Pak udin etnis Bugis yang memberikan bantuan permodalan pada Asep
sebelum berangkat melaut. Asep sebagai komunitas nelayan hanya memiliki perahu dan
tidak memiliki alat tangkap yang memadai serta bekal untuk melaut, sehingga memaksa
dirinya untuk mencari gantungan permodalan. Bagi Asep ketergantungan pada pemilik
modal atau yang membantu selama ini, walaupun berbeda etnis, namun tidak keberatan,
karena melakukan gantungan pada siapapun aturan mainnya sama.
Dari segi aspek pemasaran Asep merasa memiliki kenyamanan bekerjasama
dengan pak udin, karena aspek pemasaran tidak harus diatur dan dikondisikan oleh Pak
Udin. Berdasarkan informasi yang diperoleh di lapangan dari beberapa informan
mengungkapkan bahwa yang lazimnya atau kebiasaannya kalau ada nelayan yang
menggantungkan aspek permodalan pada seseorang maka biasanya akan mengarahkan dan
mengatur dari segi aspek pemasaran. Pada kasus Asep sebenarnya bisa saja juga berlaku,
kalau tidak memiliki perahu sebagai modal awal yang mendukung sebagai sarana alat
tangkap.
Aspek kegiatan perekonomian dalam hal operasional penangkapan, bukan hanya
dilihat dari kesamaan suku untuk menggantungkan diri dalam hal permodalan, namun
keberadaan etnis pun sangat tertib dan toleransinya sangat tinggi. Dalam hal kegiatan siklus
ekonomi yang berjalan selama ini tidak pernah mengganggu aktivitas karena adanya
perbedaan suku. Kesamaan karaktersistik dan menjadi masyarakat lokal, bagi komunitas
nelayan bekerja bersama-sama sudah menjadi bagian dari hal penting untuk dilakukan dan
diwujudkan. Hidup berdampingan dengan lain suku dibutuhkan toleransi agar hidup lebih
seirama.
Kesimpulan
Karasteristik komunitas nelayan antar etnik memiliki kesamaan dalam hal wilayah pemukiman,
pola hidup dan juga dalam hal tradisi sebagai komunitas nelayan terutama dalam hal melakukan
aktifitas menangkap ikan di laut. Untuk proses sosial terjadi adaptasi melalui pendekatan
budaya dengan saling memahami serta tumbuh saling pengertian dalam menghargai nilai-nilai
yang masing-masing telah diyakininya. Selain itu, faktor kekerabatan terjadi selama ini melalui
hubungan kedekatan berdasarkan pada pola pemukiman dan aktifitas yang sama. Perkawinan
antar etnik, selama ini terjadi dan menjadi media untuk saling memahami dan terjadi
pembauran satu etnik dengan etnik yang lainnya.
6.
DAFTAR PUSTAKA
249
Abraham, Francis. 1991. Modernisasi di Dunia Ketiga: Suatu Teor Umum
Pembangunan. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Amiruddin, Suwaib. 2013 Pembangunan Masyarakat partisipatif, Serang: Getok Tular
BPPT-Wanhankamnas, 1996. Konvensi Benua Maritim Indonesia. BPPT-Hanhankamnas:
Jakarta.
Brannen, Julia. 1997. Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif: Jakarta:
Pustaka Pelajar.
Creswell, J. W. 1994. Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches.
London: SagePublications.
Daniel, Lehner. 1980. Kebudayaan Masyarakat Tradisional, Yogyakarta: Gadjahmada
University Press.
Durkheim. Emile. 1964. The Devision of Labor in Society. Terjemahan George Simpson
New Work. The Free Press.
Eder, Klaus. 1992. Contradictions and Social evolution: A Theory of The Social
Evolution and Modernity. dalam H. Haferkamp and N. J. Smelser (Eds), Social
Change and Modernity. California: University of California Press.
Eisentadt, S.N. dan L. Roniger. 1984. Patrons, Clients and Friends: Interpersonal
Relations and the Structure of Trust in Society. Canbridge: Canbridge
University Press.
Eyerman, Ron. 1992. Modernity and Social Movements. dalam H. Haferkamp and N. J.
Smelser (Eds), Social Change and Modernity. California: University of
California Press.
Garna K.Iudistira. S. 1984. Sosiologi Pembangunan, Bina Cipta, Jakarta. .1993. Tradisi
Transformasi Modernisasi dan Tantangan masa Depan di Nusantara, Bandung:
Pascasarjana Unpad.
Habennas, Jurgen. 1983. Modernity: An Incomplete Project, dalam H. Foster (Ed.),
Postmaderri Culture. London: Pluto.
Haferkamp, H. dan N.J Smelser (Eds.). 1992. Social Change and Modernity.
California: California University Press.
Johnson, Paul. Doyle. 1990. Teori Sosiologi Klasik dan Modern I dan II. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Koentjaraningrat, 1982. Masalah-Masalah Pembangunan Bunga Rampai Antropologi
Terapan. Jakarta; LP3ES.
Kusnadi. 2005. Strategi hidup Masyarakat Nelayan. Yogyakarta ; LKis
Lauer H. Robert, 1993, Prespectives on Social Change (terjemah, Alimandan S.U)
Prespektif Tentang Perubahan Sosial, Rineneke Cipta, Jakarta.
Maliowski. Bromslaw. K. 1945. A Scientific Theory of Culture and other Essay, New
York: Oxford University.
Moleong, J. Lexy. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung, Remaja
Rosdakarya.
Parsons, Talcott. 1951. The Social System. New York: The Macmillam Company.
Pelly, Usman, 1994, Area dengan Perahu Bugisnya: sebuah Studi Mengenai Pewarisan
Keahlian Orang Ara Kepada Anak dan Keturunannya; Ujungpandang, PLPIIS.
Pelras, Cristian. 1984, Hubungan Patron Klien pada Masyarakat Bugis
Makassar,Ujungpandang, PLPIIS-YIIS.
Satria, Arif. 2002. Sosiologi Masyarakat Pesisir . Jakarta : Pustaka Cidesindo
Suwitha, I.P.G. 1991. "Teknologi, Pola Pikir dan Perubahan Sosial Masyarakat Nelayan
Pancana", dalam Mukhlis (Ed.), Teknologi dan Perubahan Sosial Di Kawasan
250
Pantai. Ujung Pandang: P3MP-Unhas.
BAB II
GERAKAN AGRARIA
251
PENYELESAIAN KONFLIK PERTANAHAN MELALUI
PENDEKATAN MEDIASI (Kasus Petani Desa Rengas dan
Limbang Jaya dengan PTPN VII
di Ogan Ilir Sumatera Selatan)
1
Alfitri, 2Firman Muntaqo, 3Raniasa Putra 4Rogaiyah, 5Abdul Kholek
Guru Besar Sosiologi Pembangunan FISIP Universitas Sriwijaya,
email [email protected]
2
Dosen Hukum Agraria, Ketua Prodi Magister Notariat Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya,
[email protected],
3
Dosen Kebijakan Publik, Ketua Jurusan Administrasi Negara FISIP Universitas Sriwijaya
, 4Dosen Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Sriwijaya,
5
Labsosio, Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Sriwijaya
Abstrak
Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji akar, dinamika, dan penyelesaian konflik pertanahan
antara masyarakat petani Rengas dan Limbang Jaya dengan PTPN VII Cinta Manis di
Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan.Metode penelitian yang digunakan yaitu metode
kualitatif, pendalaman data dilakukan dengan wawancara mendalam, observasi dan Focus
Group Discusion (FGD).Hasil penelitian menunjukkan bahwa akar konflik yaitu
perbedaan landasan klaim, mekanisme ganti rugi tidak transparan, penyerobotan lahan
oleh perusahaan. Temuan penting, bahwa konflik petani desa Rengas dengan PTPN VII
Cinta Manis, berujung pada tindakan reklaiming oleh petani, dianggap sebagai
kemenangan perlawanan petani dalam konflik, sehingga menarik lebih banyak wilayah
yang masuk kedalam kontestasi konflik diantaranya petani desa Limbang Jaya. Kedua
kasus tersebut memiliki tipikal konflik yang berbeda,dikarenakan konflik masyarakat desa
Rengas memiliki basis historis perlawanan sejak awal, sedangkan konflik masyarakat desa
Limbang Jaya sebagai eskalasi dari konflik desa Rengas. Penyelesain konflik ditempuh
252
melalui jalur advokasi oleh unsur masyarakat sipil, dan jalur mediasi olehpara pemangku
kepentingan.Kedua pendekatan penyelesaian tersebut belum mampu memberikan
penyelesaian yang berkelanjutan, dikarenakan upaya advokasi cenderung konfrontasi
yang masif, sedangkancara mediasi dilakukan hanya sebatas prosedural yang belum
menyentuh tataran substantif.
Kata Kunci : Konflik, Dinamika, Mediasi.
Abstract
This paper aims to examine the roots, dynamics, and resolution of land disputes between
farming communities and Limbang Jaya Rengas with PTPN VII Cinta Manis in Ogan Ilir,
South Sumatra. The method used is the method of qualitative deepening of the data is done
by in-depth interviews, observation and Focus Group Discussion (FGD). The results
showed that the root of the conflict is the cornerstone differences claims, compensation
mechanisms are not transparent, annexation of land by companies. The finding is
important, that the conflict Rengas village farmers with PTPN VII Cinta Manis, leads to
action reklaiming by farmers, farmer resistance is regarded as a victory in the conflict,
thus attracting more areas coming into conflict contestation among Limbang Jaya village
farmers. Both cases have different typical conflict, because conflict Rengas rural
communities have a history of resistance since the beginning, while the conflict Limbang
Jaya village communities as an escalation of the conflict Rengas village. A settlement of
conflict through such advocacy by civil society elements, and channels of mediation by
stakeholders. Both approaches completion has not been able to provide a sustainable
settlement, due to advocacy efforts tend confrontation: the massive, whereas how
mediation is done merely procedural has not touched the substantive level.
Keywords: Conflict, Dynamics,
1. PENDAHULUAN
Eskalasi konflik pertanahan di Provinsi Sumatera Selatan selama lima tahun
terakhirtergolong tinggi.Berdasarkan data Walhi Sum-Sel tercatat sebanyak 56 kasus
konflik lahan yang di advokasi tahun 2010-2014(Walhi, 2014).Karakteristik konflik lahan
tersebut mencakup dua kategori yaitu masyarakatdengan perusahaan milik negara
danmasyarakat dengan perusahaan swasta. Konflik yang terjadi selalu diiringi
tindakandestruktif, bentrok fisik, penjarahan, dan kekerasan yang menimbulkan korban
jiwa dan harta benda. Catatan Komnas HAM konflik lahan di Sumatera Selatan, selalu
diikuti oleh tindak kekerasan mengakibatkan makin tingginya potensi pelanggaran HAM
dalam konflik tersebut (Sumeks, 2012).
Temuan Abdul Kholek (2011) dalam mengkaji dinamika konflik yang terjadi
antara masyarakat petani versus PTPN VII Cinta Manis di Kabupaten Ogan Ilir Sumatera
Selatan, ada indikasi pengulangan konflik lahan yang berujung tindak kekerasan,
diakibatkan tidak adanya penyelesaian yang komprehensif dilakukan oleh pihak terkait.
Siklus konflik yang terjadi ketika memuncak dan lahirnya kekerasan, hanya ditanggapi
secara insidental oleh pemerintah, hanya formalitas, dan akhirnya terjadi pembiaran.
Kondisi inilah mengakibatkan konflik menjadi semakin masif dan kasus konflik meningkat
cukup signifikan.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Kajian tentang konflik telah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya. Penelitian
Kim (2011) menjelaskan bahwa pengembangan lahan perkotaan di Vietnam telah menjadi
sumber konflik sosial baru, bagi mereka yang direlokasi telah meningkatkan daya tawar
dan menerima paket kompensasi lebih baik. Penelitian lain dilakukan oleh Coombes (2012)
253
yang menyimpulkan bahwa masyarakat adat hidup dalam lingkungan yang menantang dan
terlibat dalam negoisiasi yang kompleks, sehingga ditemukan prinsip lingkungan sosio
kultural dalam penyelesaian konflik.
Pada sisi partisipasi dalam penyelesaian konflik dibahas oleh Gloper (2008) dalam
penelitiannya tentang pentingnya melibatkan semua stakeholder dalam menentukan
perencanaan kepemilikian lahan, sehingga diperlukan pengambilan kebijakan tentang
lahan yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat (Pratap, 2010). Sebagai
perbandingan hasil penelitian Cain (2010) di Angolamenemukan pendekatan aprtisipatif
untuk pengolahan lahan menjadi projek percontohan terutama bagi pemerintah dengan
tujuan mempengaruhi program nasional yang baru untuk perumahan dan pemukiman di
perkotaan.
Temuan penelitian yang dilakukan di beberapa negara menekankan perlakuan
masyarakat yang lebih diutamakan dalam upaya meredam dan mengendalikan konflik,
namun pendekatan mediasi untuk menyelesaikan konflik dapat menjadi salah satu
alternatif. Menurut Barsky (2000), penyelesaian konflik dapat lebih efektif dengan
menggunakan model mediasi antar kelompok dan proses terkait. Konflikantar kelompok
yang disebabkan oleh perbedaan nilai inisial ,keyakinan, konflik seperti itu sering dipersulit
oleh stereotip, prasangka, mis-komunikasi, dan bentuk kesalah pahaman.Model untuk
menangani konflikantar kelompok melalui debat, dialog, pemecahan masalah,
danintervensi berbasisi dentitas. Sejalan dengan Alfitri dkk (2014), bahwa kelembagaan
non formal berupa hukum adat yang dipraktekkan melalui pengadilan adat, dengan prinsip
mengedepankan ruang dialogis, penyampaian pendapat secara seimbang tanpa tekanan,
sejalan dengan nilai-nilai demokrasi, telah mampu memberikan ruang damai dan harmonis
secara berkelanjutan bagi masyarakat adat di Sumatera Selatan.
Terkait metode penyelesaian konflik pertanahan,tentunya diperlukandukungan
basis data yang komprehensif dan detail dari berbagai perspektif, baik dari masyarakat,
perusahaan atau pemerintah. Menjadi fokus dalam penelitian ini yaitu mengkaji secara
komprehensif akar konflik, dinamika, dan penyelesaian konflik lahan, sebagai dasar
rumusan kebijakan bagi pemangku kepentingan.
3. METODE PENELITIAN
Desain penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan pertimbangan
data akan lebih dalam digali dan dipahami dengan menggunakan peneliti sebagai instrumen
utama. Penggalian data dilakukan melalui wawancara mendalam, diskusi kelompok
terpokus, observasi. Data primer dan data sekunder, akan dianalisis dan diinterpretasikan
sesuai dengan tujuan utama penelitian. Konflik yang dikaji yaitu petani desa Rengas dan
desa Limbang Jaya dengan PTPN VII Cinta Manis di Kabupaten Ogan Ilir Sumatera
Selatan. Alasan dipilihnya kedua lokasi tersebut dikarenakan kedua lokasi konflik memiliki
akar yang sama tetapi rentang waktu konflik yang berbeda,sehingga akan memberikan
gambaran bagi mekanisme penyelesaian yang terjadi. Selain itu untuk memperkuat
argumentasi dalam rekomendasi proses penyelesaian lebih lanjut.
4. TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Sejarah Konflik
Hadirnya PTPN VII dan Hilangnya Hak Kelola Petani
PTPN VII Cinta Manis berdiri berdasarkan SK Mentan No. 076/Mentan/I/1981
Tanggal 2 Februari 1981, tentang izin prinsip pendirian perkebunan tebu dan pabrik di
Sumatera Selatan yang merupakan upaya pemerintah guna memenuhi Swasembada gula
dalam negeri. Pada awalnya lahan yang dibutuhkan untuk pembangunan tersebut mencapai
21.358 Ha. Penyediaan lahan pembangunan Perkebunan dan Pabrik Gula Cinta Manis
254
melalui SK Gubernur KDH tingkat I Sumatera Selatan No. 379/I/1981 tanggal 16
November 1981.
Pemerintah dan perusahaan melakukan sosialisasi menjanjikan masyarakat
akanmendapatkan ganti rugi, jaminan pekerjaan, fasilitas pendidikan, kesehatan. Tetapi
kenyataannyapratek penyediaan lahan dilakukan melalui penggusuran secara paksa,
peminggiran masyarakat, dan intimdasi oleh aparat keamanan, termasuk di wilayah Rengas
dan Limbang Jaya. Tindakan tersebutmengakibatkan lahan pertanian masyarakat yang
telah dikelola turun temurun beralih fungsi, menjadi bagian dari proyek perkebunan.
Berdasarkan data pergerakan petani Rengas lahan masyarakat Rengas yang terkena
dampak yaitu selus 2.535 Hektar, sedangkan yang diganti rugi 824 Hektar.Pengukuran
kembali lahan dilakukan oleh masyarakat Desa Rengas berdasarkan pada peta desa dan
berita acara ganti rugi oleh TIM 9 Pembebasan lahan, sedangkan untuk lahan di Desa
Limbang Jaya seluas 641 Hektar lahan yang diambil alih oleh perusahaan.
Struktur masyarakat pertanian, akhirnya bergeser sejak kehadirian perusahaan.
Masyarakat beralih profesi menjadi buruh harian, merantau, dan harus meninggalkan desa
untuk beberapa tahun lamanya mencari tempat menjadi buruh pertanian di daerah lain.
Secara ekonomi adanya pergeseran sumber daya ekonomi tersebut secara alamiah
berpengaruh pada kondisi sosiol ekonomi masyarakat.
Perbedaan Landasan Klaim
Logika hukum formal menjadi dasar klaim perusahaan terhadap lahan rakyat,
misalkan lahan dilakukan ganti rugi dengan bukti kepemilikan yang sah secara hukum,
selain itu klaim lain yaitu lahan yang memiliki bukti tanam tumbuh sebagai salah satu bukti
kepemilikan, sedangkan masyarakat memiliki klaim pengakuan lokal dalam memahami
kepemilikan, luasan, batas dan hak kelola. Perbedaan kontruksi landasan klaim inilah yang
menjadi pemicu kontestasi konflik lahan.
Masyarakat desa Rengas dan Limbang Jaya serta masyarakat desa di Sumatera
Selatan secara umum, diatur berdasarkan pemerintahan marga, dalam praktek pengaturan
masyarakat berdasarkan Undang-Udang Simbur Cahaya. Penguasaan lahan batasan ladang
dan mekanisme pengaturan pengelolaan lahan disebutkan secara jelas pada bab mengenai
“Aturan Dusun dan Berladang”. Misalkan dalam pasal 27) Undang-undang Simbur Cahaya
menyebutkan bahwa : “Jika orang yang berladang di marga asing hendaklah minta izin
pada pasirahnya dan ia membayar sewa bumi pada yang punya tanah di dalam satu bidang
1 rupiah, dan itu uang pula pada orang banyak. Dan yang melanggar ini dapat kena denda
6 R “ Maling Utan”. dan pasal 28) “Jika orang yang numpang bertalang atau berkebun di
tanah lain dusun atau marga hendak balik ke dusun sendiri, ia punya tanaman segala
pulang pada yang punya tanah”.
Menurut Collins (2008), penguasaan lahan oleh masyarakat di Sumatera
Selatan berdasarkan konsensus, satu komunitas dapat memberi hak kepada
pendatang untuk mengelola tanah adat atau ulayat. Berbeda dari hak kepemilikan
formal, hak pengelolaan oleh perorangan hanya berlangsung selama lahan itu
ditanami. Jika lahan ditinggalkan atau tidak digarap lagi hak kepemilikan kembali
kepada komunitas.
Sejak berlakukanya hukum formal dalam pengakuan terhadap penguasaan lahan
dan pengelolaa lahan, serta penghapusan pemerintahan marga. Dasar klaim yang selama
ini hidup dan telah terinternalisasi dalam masyarakat menjadi lemah dihadapkan dengan
pendekatan formal oleh negara dan perusahaan. Legitimasi perusahaan dengan hukum
formal dalam konflik menjadi pemicu utama menjalar dan melembaganya konflik.
INTENSITAS DAN DINAMIKA KONFLIK
255
Membaca Fase Konflik Masyarakata Desa Rengas
Temuan penting dalam mapping konflik petani desa Rengas yaitu setting sosial
politik telah memberikan kontribusi bagi hadirnya konflik sebagai respon alamiah dari
setiap kebijakan yaang dianggap menegasikan rakyat. Secara historis konflik Rengas telah
melalui dua fase prakondisi sosio politik yaitu pada masa sebelum reformasi (Orde Baru),
dan pasca reformasi:
Sebelum Reformasi (1981-1998)
Kehadiran perusahaan perkebunan sejak tahun 1981, dengan praktek pembebasan
lahan tidak transparan, tidak ada ruang dialogis menjadi akar historis lahirnya konflik yang
masif dan berkelanjutan.Kondisi tersebut tergambar dalam tabel berikut:
Tabel 1.Pemetaan Aktor dan Isu dalam Konflik Masyarakat Desa Rengas dan PT.
PTPN VII Fase Sebelum Reformasi
Fase Sebelum
Reformasi
Masyarakat Desa Rengas
PT. PTPN VII
(1981-1998)
Isu dan
Legitimasi
Aktor
Pendekatan
Penyelesaian
- Ganti rugi murah
- Pembebasan lahan tidak
transparan
- Proses ganti rugi tanpa
negosiasi
- Penyerobotan lahan
- Tindakan represif aparat
- Sistem tenurial lokal/
kepemilikan adat
- Kriyo (Kepala Desa)
- Sebagian kepala keluarga
- Sebagian tokoh masyarakat
- Menolak ganti rugi
- Melakukan protes dalam
skala kecil
- Litigasi (peradilan)
- Tidak Tercapai
- SK Mentan Nomor
076/Mentan/I/1981 tanggal 2
Februari 1981, tentang izin prinsip
pendirian perkebunan tebu dan
pabrik di Sumatera Selatan
- SK Gubernur KDH tingkat I
Sumatera Selatan No. 379/I/1981
tanggal 16 November 1981
- Satgas dan Karyawan
- Manajemen PT. PTPN VII
(Humas)
- Aparat kemananan (Tentara)
- Pemerintah daerah (Tim 9)
- Litigasi (peradilan)
- Mediasi, melalui ganti rugi
- Kerjasama dengan Pemerintah
Daerah
- Ganti Rugi Sebagian lahan
masyarakat
Sumber : Analisis Data Primer, Juni 2015
Fase sebelum reformasi (Orde Baru), ditandai dengan kuatnya dominasi negara
terhadap rakyat, sehingga tidak ada ruang bagi kehidupan yang demokratis. Penindasan
dan peminggiran rakyat demi kepentingan pertumbuhan ekonomi nasional menjadi
tontonan dan direspon melalui perlawanan tanpa kekerasan dari rakyat. Setting sosial
politik merupakan prakondisi lahirnya konflik yang terjadi antara masyarakat Rengas
dengan perusahaan dan negara pada waktu itu.
Selain prakondisi sosial politik Orba yang membingkai konflik, isu dan kondisi riil
yang mendasari konflik yaitu pertama; praktek pembebasan lahan yang tidak transparan,
256
kedua; ganti rugi lahan dengan harga yang sangat murah, ketiga; proses ganti rugi tanpa
negosiasi, keempat; tindakan refresif aparat keamanan saat melakukan pembebasan lahan.
Dasar legitimasi yang mendasari klaim masyarakat terhadap kepemilikan lahan yaitu
sistem tenurial lokalatau hukum adat, sedangkan PTPN VII dengan dasar klaim legal yaitu
1) SK Mentan No. 076/Mentan/I/1981 tanggal 2 Februari 1981, tentang izin prinsip
pendirian perkebunan tebu dan pabrik di Sumatera Selatan. 2) SK Gubernur KDH Tingkat
I Sumatera Selatan No. 379/I/1981 tanggal 16 November 1981, tentang penyediaan lahan.
Aktor yang terlibat dalam kontestasi konflik yaitu pertama pihak masyarakat
Rengas yaitu Kriyo/Kepala Desa. Pada fase ini masih sedikit masyarakat yang terlibat dan
ambil bagian dalam penolakan terhadap kehadiran perusahaan. Strategi perlawanan diawal
masuknya perusahaan dilakukan oleh aktor-aktor Rengas yaitu menolak ganti rugi,
melakukan protes dalam skala kecil dalam lingkup ikatan kekeluargaan. Dari pihak
perusahaan aktor yang terlibat dalam konflik yaitu dari Manajemen Perusahaan (Humas),
Satgas dan Karyawan, aktor aparat keamanan (Tentara), Pemerintah Daerah (Tim 9). Untuk
memuluskan rencana dan operasional perusahaan pendekatan yang digunakan oleh
perusahaan yaitu dengan strategi bekerjasama dengan Pemerintah Daerah, Aparat
Keamanan, mediasi, ganti rugi dan jalur litigasi (peradilan).
Tahun 1996 akhir fase pertama masyarakat mengalihkan strategi perlawanan
dengan jalur litigasi (peradilan). Upaya litigasi ditempuh oleh kelompok masyarakat Desa
Rengas yang merasa belum pernah menerima ganti rugi dari lahan mereka yang digusur
oleh perusahaan. Upaya litigasi dilakukan oleh masyarakat dengan didampingi oleh kuasa
hukum, Syahziar Syaarani, S.H., dan gugatan dimenangkan oleh masyarakat Desa Rengas
hingga sampai ke Mahkamah Agung (MA RI).
Keputusan Mahkamah Agung RI menyebutkan bahwa lahan yang belum
dibebaskan adalah milik warga masyarakat Desa Rengas, tetapi sejak ditetapkan keputusan
tersebut tidak dilakukan eksekusi oleh pengadilan, hingga berakhirnya fase konflik di era
Orde Baru. Kendala lain menggunakan jalur litigasi yaitu tidak semua masyarakat mampu
membayar kuasa hukum, sehingga tidak semua lahan masyarakat yang memiliki surat
tersebut dimenangkan oleh pengadilan, padahal menurut Misbah, berdasarkan pendapat
kuasa hukum pada waktu kasus yang sama, sehingga kemenangan salah satu tuntutan
dianggap kemenangan semua masyarakat.
Pasca Reformasi (1998-Sekarang)
Memasuki era reformasi, di mana kebebasan mulai diadikan ukuran dalam
pengembilan kebijakan, terutama dalam pelibatan partisipasi masyarakat,
telahmemberikan pengaruh penggunaan strategi dan trik lebih variatif dalam konstelasi
konflik yang terjadi antara masyarakat Rengas dan perusahaan, sebagaimana tergambar
dalam tabel berikut:
Tabel 2. Pemetaan Aktor dan Isu dalam Konflik Masyarakat Rengas dan PT. PTPN
VIIFase Reformasi
Fase Reformasi
Masyarakat Rengas
PTPN VII
(1998-Sekarang)
Isu dan Legitimasi
- Penyerobotan Lahan
- Tindakan refresif aparat
(Meninggalnya Kryo)
- Kemenangan Gugatan di MA
- SK Mentan No.
076/Mentan/I/1981 tanggal 2
Februari 1981, tentang izin
prinsip pendirian perkebunan
tebu dan pabrik di Sumatera
Selatan
257
Aktor
Pendekatan
Penyelesaian
- Tokoh Masyarakat
- Tokoh Agama
- WALHI Sum-Sel (Pihak
ketiga)
- LBH Palembang (Pihak
ketiga)
- SPI (Pihak Ketiga)
- Perjuangan kolektif
- Aksi massa, protes
- Konfrontasi
- Mediasi
- Reklaiming
- SK Gubernur KDH Tingkat I
Sumatera Selatan No.
379/I/1981 tanggal 16
November 1981
- Satgas dan Karyawan
- Manajemen PT. PTPN VII
(Humas)
- Litigasi
- Mediasi
- Menarik diri
Sumber: Analisis Data Primer, Juni 2015
Isu pada fase reformasi merupakan lanjutan dari fase sebelumnya. Kemenangan di
MA RI menjadi alas legitimasi formal dari masyarakat, setelah sebelumnya difase pertama
hanya mengandalkan klaim melalui sistem tenurial lokal, sedangkan dasar klaim dan
ligitimasi perusahaan masih sama yaitu berdasarkan surat keputusan Menteri Pertanian dan
Gubernur Sumatera Selatan, serta dokumen ganti rugi.
Memasuki fase reformasi aktor masyarakat yang terlibat perlawanan terhadap
perusahaan kian meningkat, aktor tersebut misalkan tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh
pemuda dan didukung oleh hampir semua lapisan masyarakat. Meningkatnya jumlah aktor
dan massa yang terlibat dalam konflik tersebut tidak terlepas dari kondisi sosial politik
yang mulai terbuka.
Konfrontasi mulai diperankan dalam panggung perseteruan antara masyarakat
dengan perusahaan. Mengimbangi semakin massif gerakan masyarakat, perusahaan tetap
dengan pendekatan hukum formal dan memperkuat dukungan ekonomi politik terhadap
stakeholder untuk terlibat dalam konstelasi konflik yaitu aparat keamanan dalam hal ini
aparat kepolisian. Fase ini melahirkan banyak pendekatan yang dilakukan oleh kedua
belahpihak, dan peran pemerintah mulai hadir dalam ruang-ruang dialogis mencari jalan
solusi yang tak pernah tercapai.
Aktor lokal telah membawa konflik ke ruang eskalasi yang memucak menjadi
konflik kekerasan. Mobilisasi massa secara besar-besaran dan tindakan menguasai lahan
menjadi strategi penting dalam konflik bagi masyarakat. Tindakan tersebut dibalas dengan
tindakan pencegahan oleh perusahaan didukung oleh satgas dan aparat keamanan, tetapi
akumulasi kekecewaan masyarakat terhadap konflik yang tak kunjung usai sehingga situasi
konflik mengarah pada tindak kekerasan dilakukan oleh kedua bela pihak.
Tahun 2009 puncak dari konflik yang meletus menjadi kekerasan terbuka antara
masyarakat, perusahaan dan aparat keamanan. Menurut Abdul Kholek (2011), tercatat 12
korban penembakan masyarakat Desa Rengas saat terjadi konflik kekerasan di lahan yang
disengketakan. Kasus penembakan yang dilakukan oleh aparat Brimobda Sumatera Selatan
dengan melakukan pengamanan asset perusahaan merupakan tindakan kekerasan dan
dianggap sebagai puncak krisis dari konflik.
Pasca konflik kekerasan muncul dukungan dari unsur masyarakat sipil,
memberikan kekuatan baru dan semakin sistematisnya gerakan yang dibangun oleh
258
masyarakat Desa Rengas. Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatera Selatan dan
Serikat Petani Indonesia Sumatera Selatan adalah institusi yangberperan cukup penting
dalam upaya strategi konfrontasi melalui aksi massa sistematis, dan melakukan desakan
kepada pengambil kebijakan. Institusi lain adalah Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
Palembang lebih menekankan pada asfek pelanggaran HAM atas penembakan warga Desa
Rengas.
Tahun 2010 masyarakat yang didukung oleh unsur masyarakat sipil melakukan
reklaiming lahan yang disengketakan seluas 1.529 Ha. Reklaiming yang dilakukan oleh
masyarakat sebagai tindakan akhir dikarenakan proses penyelesiaan melalui mediasi dan
dialog tidak menghasilkan kesepakatan yang diinginkan. Landasan klaim reklaiming yaitu
kemenangan di MA, sistem tenurial lokal, hasil pengukuran kembali oleh masyarakat
secara partisipatif, dan didapatkan informasi mengenai perusahaan tidak memiliki HGU
dilahan yang disengketakan. Hingga kini masyarakat telah mengelola lahan tersebut, dan
membagikan kepada seluruh warga Rengas yang ikut melakukan perlawanan terhadap
perusahaan.
Konflik Masyarakat Desa Limbang Jaya, sebagai Eskalasi
Pemicu utama konflik Limbang Jaya dan PTPN VII Cinta Manis, yaitu
kemenangan masyarakat Rengas dalam menguasai kembali lahan yang dikelola oleh
perusahaan, melalui upaya reklaiming. Kasus Limbang Jaya tidak ditemukan catatan
sejarah perlawanan masyarakat dalam menentang hadirnya perusahaan.Awal terseretnya
masyarakat Limbang Jaya dalam konstelasi konflik dengan perusahaan yaitu saat
bergabungnya beberapa aktor kedalam organisasi “Gerakan Petani Penesak Bersatu”
(GPPB), sejak tahun 2011. Berdirinya GPPB sebagai pelembagaan gerakan perlawanan
masyarakat terhadap PTPN VII Cinta Manis. Gerakan ini terinspirasi dari kemenangan
masyarakat Rengas dalam merebut kembali lahan yang dikelola oleh perusahaan sejak
tahun 1981, melalui aksi reklaiming.
GPPB mencakup wilayah 7 (tujuh) kecamatan dan 22 Desa dengan jumlah anggota
lebih kurang 6.611 KK. Luas lahan yang dituntut oleh GPPB yaitu 21.000 hektar, lahan
tersebut tesebar di 7 (tujuh) kecamatan, termasuk didalamnya wilayah Desa Limbang Jaya
dengan luas 641 Hektar. Tuntutan GPPB yaitu mendesak pengembalian lahan yang
dikelola oleh perusahaan dengan dasar argumentasi sebagai berikut pertama; proses ganti
rugi yang masih bermasalah; kedua; keberadaan perusahan merubah struktur masyarakat
dari petani produktif menjadi buruh tani; ketiga; minimnya penyerapan tenaga kerja
masyarakat lokal; keempat; tindakan represif aparat keamanan; kelima; minimnya
kontribusi perusahaan terhadap pembangunan daerah.
Berbagai strategi dilakukan oleh organisasi dalam upaya mencapai tujuan tersebut.
Gerakan yang dibangun dengan cakupan yang relatif luas mengakibatkan rentang kendali
kurang maksimal. Pengalaman perlawanan petani Rengas serta strategi yang diterapkan
mangadopsi pola-pola yang hampir sama. Isu pembebasan lahan dan ganti rugi lahan
dimunculkan kembali untuk membangkitkan semangat aktor dalam memobilisasi massa di
masing-masing desa untuk masuk kedalam ruang konfliktual.
Intensitas konflik yang terjadi antara masyarakat Desa Limbang Jaya dan PTPN
VII Cinta Manis, semakin meningkat saat pola konfrontasi mulai menjadi strategi utama
yang dimainkan oleh aktor terlibat konflik.Banyak aktor yang dikriminalisasikan dalam
konflik tersebut, kondisi ini telah menarik aparat keamanan kedalam kontestasi konflik.
Pola ini hampir sama dengan kasus Desa Rengas dan konflik pertanahanlain yang terjadi
di Indonesia.
Puncaknya yaitu ketiga ratusan aparat kepolisian besenjata lengkap masuk ke Desa
Limbang Jaya, untuk menangkap salah satu aktor penggerak, pendekatan represif telah
259
menyulut kemarahan masyarakat sehingga terjadinya bentrok hingga beberapa masyarakat
terkena tembak, dan satu warga Angga (12) Tahun meninggal dunia terkena peluru tajam
oleh Brimob di Desa Limbang Jaya pada tanggal 27 Juli 2012.
Aksi massa, kriminalisasi, tindakan represif dan jatuhnya korban menjadi tontonan
wajib setiap kontestasi konflik pertanahan. Dalam persfektif perusahaan pengerahan aparat
keamanan untuk pengawalan asset dan mendorong konflik keranah litigasi, merupakan trik
untuk membentengi mereka agar tidak terlibat langsung kedalam konflik terbuka, shock
therapy bagi masyarakat bahwa perlawanan tersebut sebagai bentuk penentangan terhadap
negara.
Disisi lain aktor gerakan masyarakat memanfaatkan kekerasan untuk menaikkan
isu dan mendapatkan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan yang terlibat dalam
konflik. Tetapi dalam kasus Limbang Jaya, kekerasan dan kriminalisasi ternyata berimbas
pada menurunnya semangat dan totalitas keterlibatan masyarakat, serta banyak aktor-aktor
kunci yang menarik diri dari kontestasi konflik, sehingga pola konflik Rengas yang
berujung dengan reklaiming tidak mampu direalisasikan oleh masyarakat Limbang Jaya
maupun GPPB. Kondisi ini mengalihkan kembali konflik keranah laten, dan menjadi bara
dalam sekam yang bisa menjalar dan meletus kembali dalam konflik yang lebih besar dan
sistemik.
Upaya Penyelesaian Konflik
Jalur Advokasi NGO (Non Goverment Organization)
Konflik di Desa Rengas mulai didampingi secara intensif oleh NGO pasca
penembakan 12 petani di lahan yang disengketakan tahun 2009, sedangkan konflik di
Limbang Jaya dua tahun kemudian setelah terhimpun dalam GPPB tahun 2011. Advokasi
Rengas oleh WALHI Sumatera Selatan, SPI, dan LBH Palembang, sedangkan di Desa
Limbang Jaya melalui organisasi lokal yaitu Gerakan Petani Penesak Bersatu (GPPB).
Penyelesaian konflik baik Rengas maupun Limbang Jaya melalui jalur advokasi
NGO, menitikberatkan pada strategi bertindak secara terorganisir, sistematis, propaganda,
lobby, aksi massa, konfrontasi, dan mediasi (Kholek, 2011). Pola-pola tersebut diterapkan
dengan metode yang sama dalam kedua kasus konflik tersebut, meskipun dalam rentang
waktu yang berbeda.
Tabel 3. Penyelesaian Konflik Jalur Advokasi Kasus Desa Rengas dan Limbang
Jaya
Jalur Advokasi
No
Subjek Konflik
Aksi Massa
Konfrontasi
Lobbi
Mediasi
1
Petani Rengas
+
+
-
-
2
Limbang Jaya
+
+
-
-
Sumbe : Analisis Peneliti, 2015
Tabeltersebut memberikan gambaran mengenai jalur advokasi NGO bersama
masyarakat sebagai subjek konflik. Baik kasus Desa Rengas maupun Desa Limbang Jaya
semua terlibat dalam upaya penyelesaian melalui lobby, mediasi, aksi massa, dan
konfrotasi. Kedua konflik tersebut lebih dominan menitikberatkan pada pendekatan jalur
aksi massa, dan kofrontasi atau perlawanan langsung.
260
Aksi massa dan konfrontasi bukan sebagai langkah akhir dalam penyelesiaan
konflik tetapi sebagai upaya awal untuk mendesak pihak yang berwenang. Misalkan dalam
kasus Rengas pasca penembakan warga yang menduduki lahan, tercatat beberapa kali
upaya untuk mendesak pemerintah dalam penanganan konflik lahan. Isu yang didorong
dalam berbagai aksi massa yaitu agar pengambil kebijakan segera mengambil tindakan
penyelesaian terhadap konflik yang telah berlarut-larut tersebut.
Keterlibatan masyarakat Desa Rengas dan Desa Limbang Jaya dalam aksi massa
di level lokal, maupun nasional sebagai wujud perjuangan masyarakat untuk mendapatkan
jalan penyelesiaan koflik. Jika dianalisis aksi massa sebagai langkah awal mendorong
penyelesiaan konflik, sepertinya capaian dari strategi tersebut masih minim dalam
mendorong penyelesaian konflik, karena dalam setiap aksi massa dari level lokal sampai
nasional respon pemangku kepentingan tetap sama yaitu tidak memiliki komitmen kuat
terhadap penyelesaian konflik, dan terkesan mengambil jarak terhadap konflik, serta saling
lempar tanggung jawab.
Kasus yang menimpa petani Desa Rengas yang melakukan aksi reklaiming sebagai
wujud nyata dari upaya konfrontasi, setelah jalur aksi massa mendesak dan mendorong
pemangku kepentingan untuk hadir dalam ruang penyelesaian dianggap gagal. Upaya
reklaiming sebagai jalur penyelesaian jangka pendek yang dianggap paling rasional oleh
masyarakat, untuk memastikan lahan yang disengekatan dapat dikelola oleh masyarakat.
Meskipun reklaiming tidak bisa dianggap sebagai penyelesiaan sengketa, tetapi dalam
persfektif masyarakat jalan ini sebagai bentuk riil perlawanan sesungguhnya, terhadap
perusahaan dan negara yang tidak hadir dalam upaya mencari alternatif pemecahan
masalah.Tetapi untuk kasus Limbang Jaya, upaya reklaiming tidak memberikan hasil,
dikarenakan tidak adanya basis historis dari perlawanan masyarakat, sehingga upaya
konfrontatif tidak didukung sepenuhnya oleh masyarakat.
Jalur Mediasi Pemangku Kepentingan
Upaya advokasi dilakukan oleh masyarakat sipil, telah memberikan efek positif
dengan adanya tindak lanjut oleh pemangku kepentingan. Dalam hal ini Pemerintah
Daerah, Pemerintah Pusat, DPRD/RI, BPN, Kementerian BUMN, Kepolisian. Tetapi
mediasi sebagai jalan normatif yang ditempuh oleh pemangku kepentingan dalam
meminimalisir dampak negatif dari konflik yang terjadi. Sehingga mediasi belum merujuk
pada penyelesaian yang komprehensif, dan berkelanjutan. Mediasi yang dipraktekkan
hanya sebatas peredam sementara dari pertikaian kedua bela pihak yang berkonflik.
Kasus Desa Rengas maupun Limbang Jaya tercatat beberapa kali jalur mediasi
dilakukan, dalam upaya mencari jalan penyelesaian yang diterima oleh kedua bela
pihak.Tuntutan masing-masing pihak dalam praktek mediasi, memang tidak ditemukan
titik kesepakatan. Poin yang ditawarkan masyarakat dianggap tidak logis, baik oleh
perusahaan maupun oleh pemerintah, dan dianggap akan memicu pelanggaran hukum
menurut persfektif aparat penegak hukum. Pada sisi lain, perwakilan masyarakat
beranggapan bahwa tawaran tersebut sebagai akar dari penyelesaian konflik yang berlarutlarut.
Dilevel kebijakan pemerintah, dikeluarkannya Keputusan Gubernur Sumatera
Selatan No. 896/KPTS/I/2013 Tentang Pembentukan Tim Terpadu Fasilitasi Penanganan
Konflik Pertanahan Antara Petani/Warga Sekitar Perkebunan Cinta Manis Dengan PTPN
VII Unit Usaha Cinta Manis di Kabupaten Ogan Ilir. Tim terpadu menggunakanmetode
verifikasi yaitu komparasi data warga yang mengklaim lahan dengan data ganti rugi dari
PTPN VII Cinta Manis berdasarkan bukti legal.
Tim terpadu kinerja tidak efektif kerena perspektif penyelesaian konflik lahan
hanya pada dokumen ganti rugi, bukti kepemilikan lahan secara formal, tanpa melibatkan
261
catatan-catatan historis mengenai peristiwa pembebasan lahan, serta pengakuan terhadap
hukum adat mengenai kepemilikan lahan masyarakat yang telah tumbuh secara turun
temurun. Fakta tersebut sebagai salah satu kelemahan dalam penyelesaian konflik yang
dimediasi oleh pemerintah, sehingga win-win solution tidak pernah terwujud dalam ruang
mediasi.
Baik kasus petani Desa Rengas maupun masyarakat Desa Limbang Jaya, meskipun
adanya tim terpadu penyelesaian konflik lahan yang dibentuk oleh pemernitah, tetapi
belum mampu memberikan penyelesaian yang berkelanjutan,karena ruang penyelesaian
yang ditempuh tidak menyentuh kepada substansi permasalahan, sehingga konflik hanya
diredam sementara, dan kemungkinan besar pegulangan konflik menjadi kekerasan sangat
terbuka dikemudian hari.
5. KESIMPULAN
Temuan dalam penelitian yaitu, pertama;Akar persoalan utama lahan kelola
masyarakat yang telah digarap turun-temurun, masuk areal penyedian lahan oleh
pemerintah daerah pada waktu itu, sehingga tertutupnya akses kelola masyarakat terhadap
lahan. kedua; dinamika konflik masyarakat Rengas dengan PTPN VII Cinta Manis,
mengalami pasang surut tercatat konflik telah memasuki dua fase yaitu saat Orde Baru dan
Pasca Reformasi.ketiga; Konflik di Desa Limbang Jaya, sebagai eskalasi konflik Rengas
yang dianggap sebagai kemenangan petani dalam upaya mengambil alih lahan dengan
melakukan reklaiming.keempat;Pasca reformasi eskalasi konflik kian meningkat dan
berubah menjadi kekerasan yang sitemik, serta meluasnya keterlibatan aktor dalam arena
konflik. kelima;Proses penyelesaian yang dilakukan baik melalui jalur advokasi NGO
maupun jalur mediasi oleh pemerintah tidak memberikan ruang penyelesaian yang
mengakomodir kepentingan kedua bela pihak yang berkonflik secara seimbang.
keenam;Kelemahan penyelesaian yang sudah dilakukan yaitu, belum dipraktekkan pola
mediasi secara substantif dalam penyelesaian. Serta tidak hadirya pemangku kepentingan
dalam ruang penyelesaian.Masih minimnya komitmen pengambil kebijakan dalam
penyelesaian konflik.ketujuh;Selain itu kelemahan dalam aspek pendekatan penyelesaian
konflik, pengambil kebijakan terkesan prosedural, melalui hukum formal, sehingga
hasilnya tidak mengakomodir kepentingan masyarakat, yang selalu tersubordinat dari
proses tersebut.
6.
DAFTAR PUSTAKA
Alfitri, dkk. 2013. Model Penyelesaian Konflik Berbasis Nilai kearifan Lokal “Tepung
Tawar” pada Komunitas Talang Sejemput Lahat Sumatera Selatan. Laporan
Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Sriwijaya.
Alfitri dan Abdul Kholek. 2013. Menggagas Penyelesaian Konflik Berbasis Kearifan Lokal
(Studi pada Mekanisme Peradilan Adat Clan Selupu Lebong, Bengkulu).
Prociding Konferensi Nasional Sosiologi I, Palembang: APSSI-Magister Sosiologi
Unsri.
Cain, Allan. 2010. Research and practice as advocacy tools to influence Angola’s land
policies. Jurnal Internasional Environment and Urbanization, October 2010;
vol.22,
2:
pp.505522.http://online.sagepub.com.www.ezplib.ukm.my/search/results.
Collins, Elizabeth Fuller. 2008. Indonesia Dikhianati. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Coombes, Brad et all. 2012. Indigenous geographies I : mare resource conflicts? The
complexities in Indigenous land and environmental claims. Jurnal Internasional
Progress in Human Geography, December 2012; vol. 36, 6: pp. 810-821., first
262
published
on
December
13,
2011http://online.sagepub.com.www.ezplib.ukm.my/search/results.
Edward, Allan Barsky. 2000. Conflict Resolution for the Helping Professions. Canada:
Brooks/Cole Thomson Learning.
Galang, Asmara, dkk. 2010. Penyelesaian Konflik Pertanahan Berbasis Nilai – Nilai
Kearifan
Lokal
di
Nusa
Tenggara
Barat.
http://www.mimbar.hukum.ugm.ac.id/index.php/jmh/article/view/297.
Diakses
Senin, 30 Mei 2012.
Glover, Troy d. Et all. 2008. Social Ethics of Landscape Change : Toward CommunityBased Land-Use Planning. Jurnal Internasional Qualitative inquiry, April 2008;
vol.
14,
3:
pp.
384401.http:/online.sagepub.com.www.ezplib.ukm.my/search/results.
Kholek, Abdul. 2011. Strategi Advokasi NGO dalam Konflik Pertanahan. Studi Tentang
Strategi Advokasi Walhi Sumatera Selatan dan LBH Palembang dalam Konflik
Pertanahan Petani Rengas versus PTPN VII Cinta Manis.Tesis. Magister
Sosiologi Universitas Gadjah Mada.
Kim, Annette M. 2011. Talking Back: The role of Narrative in Vietnam’s Recent Land
Compensation Changes. Jurnal Internasional Urban Studies, Februari vol 48, 3:
pp. 493-508. http:/online.sagepub.com.www.ezplib.ukm.my/search/results.
Pratap, Dinesh. 2010. Community Participation and Forest Policies in India: An Overview.
Jurnal Internasional Social Change, September 2010; Vol. 40, 3: pp. 235256.http:/online.sagepub.com.www.ezplib.ukm.my/search?fulltext=resolution+co
nflict+model+land+and+forest&x=26&y=16&src=hw&andorexactfulltext=and&
submit=yes.
Susan, Novri. 2009. Sosiologi Konflik dan Isu – Isu Konflik Kontemporer. Jakarta :
Kencana Media Group.
Arsip Data Konflik Pertanahan yang Didampingi Walhi Sum-Sel Tahun 2007-2010”,
Sumber Dokumen Advokasi Walhi Sum-Sel, 2009.
Arsip Data Konflik Pertanahan yang Didampingi Walhi Sum-Sel Tahun 2010-2011”,
Sumber Dokumen Advokasi Walhi Sum-Sel, 2012.
Arsip Data Konflik Pertanahan yang Didampingi Walhi Sum-Sel Tahun 2010-2014”,
Sumber Dokumen Advokasi Walhi Sum-Sel.
Koran Sumatera Ekspres. 12 April 2012. Pertemuan KOMNAS HAM dengan Pemerintah
Propinsi Sumatera Selatan.
263
REFORMA AGRARIA BIDANG KEHUTANAN: SEBUAH TINJAUAN
POLITIK SIMBOLIK
Ferdinal Asmin
Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan,
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB),
email: [email protected]
Abstrak
Reforma agraria bidang kehutanan merupakan salah satu langkah penting dalam
menyelesaikan konflik-konflik kehutanan. Akan tetapi, kebijakan kehutanan nasional dan
daerah belum mampu memberikan dukungan yang efektif bagi keberhasilan reforma
agraria. Tulisan ini menjelaskan fakta-fakta reforma agraria bidang kehutanan dan
memberikan rekomendasi kebijakan untuk menyukseskannya. Metode yang digunakan
adalah studi kasus dengan mengelaborasi konsep politik simbolik melalui kajian peraturan
dan dokumen-dokumen terkait. Pembahasan dilakukan pada tingkat makro (nasional) dan
tingkat mikro (daerah) dengan mengambil contoh implementasi skema-skema pengelolaan
hutan berbasis masyarakat (PHBM) di Sumatera Barat. Hasil kajian memperlihatkan
bahwa kemajuan reforma agraria bidang kehutanan melalui program dan kegiatan
perhutanan sosial (social forestry) secara nasional masih belum maksimal, meskipun pada
tingkat daerah, gencarnya gerakan PHBM di Sumatera Barat dapat menjadi salah satu
preseden baik bagi keberhasilan reforma agraria bidang kehutanan di daerah. Namun
secara keseluruhan, perhutanan sosial masih dianggap sebagai simbol klaim keberpihakan
pada masyarakat lokal dan/atau masyarakat hukum adat. Rekomendasi dari tulisan ini
adalah mendorong perubahan konsep perhutanan sosial menjadi prioritas utama
kebijakan kehutanan dan mendorong rimbawan birokrat menjadi wirausahawan sosial.
Kata Kunci: Kehutanan Sosial, Reforma Agraria, Wirausahawan Sosial
Abstract
Land reform of forestry sector is one of the important ways to resolve the forestry conflicts.
However, the national and local forestry policies have not been able to support effectively
and successfully land reform. This article explained the facts of the land reform in forestry
sector and provided recommendations to make a successfully land reform. The method is
case study by elaborating a concept of symbolic politics through regulations and related
documents review. The discussion was focused on national and local level by taking case
aboutthe implementation of community based forest management (CBFM) in West
Sumatra. The result revealed that the progress of land reform through social forestry
program at national level was not satisfied, even though at local level, the increasing of
CBFM movement in West Sumatra can be one of good precedents for successfully land
reform of forestry sector. But overall, social forestry may be still considered as a symbol
of alignments to local and indigenous communities. The recommendations from this article
are encouraging the change of social forestry concept into the main priority of forestry
policies and encouraging a forester into a social entrepreneur.
Keywords: Land Reform, Social Entrepreneur, Social Forestry
264
1. PENDAHULUAN
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) merekam 1,772 kasus konflik agraria sejak
tahun 2004 sampai 2015 yang mencakup luasan sekitar 7 juta ha (KPA 2016). Konflik
agraria yang terjadi menyangkut banyak sektor pembangunan, termasuk kehutanan.
Konflik sumber daya hutan antara pemerintah dan masyarakat lokal (terutama petani)
sudah terjadi sejak zaman penjajahan Belanda di Indonesia. Sebagaimana diuraikan oleh
Simon (2006), konflik berawal dari eksploitasi kayu jati oleh Pemerintah Hindia Belanda
dan pengembangan perkebunan (cultuurstelsel) secara besar-besaran sehingga ekosistem
hutan jati di Pulau Jawa mengalami kerusakan. Pada tahun 1849, Pemerintah Hindia
Belanda mulai membangun hutan tanaman jati. Untuk mendukung pembangunan hutan
tanaman jati tersebut, Pemerintah Hindia Belanda membuat undang-undang tentang agraria
pada tahun 1870 dan undang-undang tentang kehutanan tahun 1927 (Bos-ordonantie) yang
mengikis hak ulayat masyarakat Jawa pada saat itu. Kepentingan masyarakat diakomodir
dengan mengembangkan sistem taungya dan/atau tumpangsari dalam pembangunan hutan
tanaman jati. Sementara itu, di luar Pulau Jawa, Pemerintah Hindia Belanda mampu
membuat kesepakatan dengan tokoh masyarakat adat untuk menentukan batas-batas hutan
yang seringkali disebut dengan hutan register.
Konflik berlanjut pada era orde lama, era orde baru, dan era reformasi sebagaimana
dijelaskan oleh Barber (1998) dan Simon (2006). Akses masyarakat lokal terhadap sumber
daya hutan semakin banyak kendala sebagaimana yang terjadi di Pulau Jawa (Maryudi dan
Krott 2012). Sedangkan di luar Pulau Jawa, konflik sumber daya hutan disebabkan oleh
klaim ulayat terhadap kawasan hutan negara dan ketidakadilan pemerintah dalam
pemberian hak kelola sumber daya hutan yang lebih mengutamakan kepentingan pihak
korporasi seperti yang diuraikan oleh Suharjito (2013). Isu degradasi hutan dan deforestasi
juga mendorong kompleksitas konflik kehutanan di Indonesia. Hutan primer semakin
berkurang dari sekitar 162 juta ha pada tahun 1950 (FWI 2011) menjadi sekitar 46 juta
hektarpada tahun 2014 (KemenLHK 2015).Pembahasan konflik kehutanan kemudian
dikaitkan dengan problematika degradasi hutan dan deforestasi.
Penanganan konflik kehutanan dilakukan dengan mengembangkan berbagai
program yang meningkatkan akses masyarakat terhadap sumber daya hutan. Perum
Perhutani yang menguasai kawasan hutan negara di Pulau Jawa melaksanakan program
Prosperity Approach pada tahun 1974, Pembangunan Masyarakat Desa Hutan (PMDH)
pada tahun 1982, Perhutanan Sosial (PS) pada tahun 1985, dan Pengelolaan Hutan Bersama
Masyarakat (PHBM) pada tahun 2001 (Simon 2006). Di luar Pulau Jawa, programprogram sosial kehutanan baru muncul pada awal tahun 1990-an dengan program Bina
Desa Hutan atau Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) pada tahun 1991-2003,
Hutan Kemasyarakatan (HKm) sejak tahun 1995, Kolaborasi Pengelolaan Kawasan
Konservasi sejak tahun 2004, Hutan Tanaman Rakyat (HTR) sejak tahun 2007, dan Hutan
Desa (HD) sejak tahun 2008 (Sardjono 2013). HKm, HTR, dan HD merupakan programprogram soft agrarian reformyang sedang berjalan saat ini (Daryanto 2014) dan kemudian
dikenal sebagai perhutanan sosial atau juga selalu diidentikkan dengan pengelolaan hutan
berbasis masyarakat (PHBM). Selain dari itu, pemerintah juga mengakomodir
implementasi hutan adat sebagai respon terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi (MK)
pada tahun 2012.
265
Realisasi perizinanHKm, HTR, dan HD ternyata masih sangat rendah dibandingkan
dengan perizinan terhadap korporasi dalam bentuk pemanfaatan hutan alam (IUPHHKHA) dan hutan tanaman (IUPHHK-HTI). Meskipun hampir 2 juta ha kawasan hutan telah
ditetapkan sebagai areal kerja HTR, HKm, dan HD, perizinan yang didapatkan masyarakat
lokal baru mencapai sekitar 374,000 ha(KemenLHK 2015). Jumlah luasan izin tersebut
masih sangat jauh berbeda dengan jumlah luasan izin bagi korporasi yang mencapai sekitar
31 juta hektar. Fenomena ini menarik untuk dikaji dengan pertanyaan kenapa realisasi
program perhutanan sosial tersebut berjalan sangat lambat. Hambatan birokrasi pemerintah
pusat dan daerah sering diklaim sebagai kendala utama. Akan tetapi, agresivitas Pemerintah
Provinsi Sumatera Barat memberikan pembelajaran penting karena capaian target
perhutanan sosial sekitar 11% dari 374.000 ha izin yang sudah dikeluarkan di seluruh
Indonesia. Sumatera Barat kemudian dikenal sebagai provinsi percontohan perhutanan
sosial di Indonesia. Pertanyaannya selanjutnya adalah politik apa yang telah dan sedang
dilakukan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dan bagaimana sebenarnya politik agraria
bidang kehutanan pada tingkat nasional berkaitan dengan program perhutanan sosial
tersebut.
Penelitian ini bertujuan mengkaji kebijakan reforma agraria bidang kehutanan di
Indonesia secara umum dan di Sumatera Barat secara khusus dengan menggunakan
pendekatan politik simbolik. Perhutanan sosial sebagai salah satu kebijakan reforma
agraria bidang kehutanan telah menjadi simbol politik agraria yang dijalankan birokrasi
kehutanan mulai dari tingkat nasional sampai daerah. Fakta-fakta tentang perhutanan sosial
dapat memberikan gambaran keberhasilan reforma agraria bidang kehutanan. Oleh karena
itu, konsep politik simbolik yang digunakan dalam penelitian ini didefinisikan sebagai aksiaksi simbolik perhutanan sosial yang dijalankan birokrat menurut kepentingannya dan yang
merepresentasikan manipulasi keberpihakan untuk tujuan tertentu.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Persoalan-persoalan lahan atau tanah untuk pertanian seringkali menjadi fokus
utama reforma agraria di Indonesia, walaupun sebenarnya reforma agraria dimaksudkan
untuk hal yang lebih luas dari hal tersebut. Reforma agraria seharusnya lebih dilihat sebagai
upaya perubahan atau perombakan sosial yang dibangkitkan dari kesadaran penuh untuk
mentransformasikan struktur agraria ke arah sistem agraria yang lebih sehat dan
berkeadilan bagi kesejahteraan masyarakat (Soetarto dan Hermansah 2007). Dalam
konteks pembangunan kehutanan, reforma agraria diharapkan menjamin tata kelola
kehutanan yang lebih baik dan adil dengan penataan distribusi penguasaan lahan hutan
negara kepada masyarakat lokal (Suharjito 2013). Penguasaan atas lahan tidak hanya
berkaitan dengan hak kepemilikan semata, namun juga harus mencakup kepastian hak-hak
yang ada di dalam penguasaannya (land tenure security) dalam jangka panjang.
Berdasarkan definisi tersebut, program HTR, HKm dan HD sebenarnya merupakan bagian
dari kebijakan reforma agraria bidang kehutanan yang memperluas akses sumber daya
hutan bagi masyarakat sekitar hutan. Akan tetapi bagi rimbawan birokrat, program HTR,
HKm, dan HD lebih dikenal sebagai bagian dari program perhutanan sosial, termasuk hutan
adat yang kemudian dikategorikan sebagai hutan hak.
Istilah perhutanan sosial sering digunakan sebagai terjemahan dari social forestry.
Pada banyak literatur di Indonesia, istilah ini juga ditulis dengan kehutanan sosial seperti
yang digunakan Simon (2006). Kehutanan sosial merupakan suatu strategi perencanaan
dan implementasi yang mendorong pelibatan masyarakat dalam mengelola sumber daya
hutan untuk memperbaiki kondisi sumber-sumber mata pencaharian masyarakat (Wiersum
266
2004). Beberapa literatur juga mengidentikkannya dengan hutan masyarakat (community
forest).Dalam perspektif yang lebih luas, istilah perhutanan sosial, kehutanan sosial, dan
hutan masyarakat sering diklasifikasikan sebagai bentuk pengelolaan hutan berbasis
masyarakat (community based forest management).Molnar et al. (2011) menyebutkan
bahwa pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM) adalah pengelolaan hutan dan
kebun wanatani oleh masyarakat atau pemilik lahan skala kecil, termasuk juga pengelolaan
hutan negara yang sebagian besar diklaim sebagai hak dan milik adat menurut hukum dan
praktek lokal. PHBM merupakan sebuah paradigma kuat yang berkembang dari kegagalan
tata kelola hutan negara untuk menjamin kelestarian sumber daya hutan dan distribusi akses
dan manfaat secara merata (Guiang et al. 2001).Molnar et al. (2011) kemudian menyebut
ada hubungan langsung antara reforma tenurial dan perkembangan PHBM. Pendapat
tersebut sebelumnya juga telah ditegaskan oleh Bernstein et al. (2010) bahwa reforma
tenurial dan pelibatan masyarakat dalam tata kelola dan pengelolaan hutan dimaksudkan
untuk meningkatkan akses rumah tangga petani dan kelompok masyarakat terhadap sumber
daya hutan. Berdasarkan hal tersebut, istilah perhutanan sosial yang dalam 10 tahun
terakhir gencar diperkenalkan oleh pemerintah dapat dinilai sebagai respon terhadap
desakan reforma agraria bidang kehutanan.
Realisasi kebijakan reforma agraria bidang kehutanan selalu dipertanyakan karena
tidak ada kebijakan yang konkrit. Dalam situasi demikian, pemerintah (dalam hal ini
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) ternyata mampu mengelola situasi untuk
meyakinkan publik bahwa perubahan sedang dilakukan. Peluncuran skema HTR, HKm,
dan HD memberikan kesan bahwa perubahan telah dan akan dilakukan. Skema ini
kemudian menjadi simbol bagi harapan perubahan yang diinginkan publik. Simbol dapat
berupa istilah-istilah atau isyarat-isyarat yang membangkitkan keyakinan dan potensi
sebuah situasi (Edelman 1971; Edelman 2001). Sebagai bagian dari proses politik,
penggunaan simbol adalah sesuatu hal yang mungkin terlihat berhasil, namun kebijakan
yang dibuat selanjutnya juga dapat menjadi kurang mendukung (Edelman 1977). Gugatan
hukum Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) terhadap definisi hutan adat dapat
juga disebabkan oleh ketidakjelasan implementasi HTR, HKm, dan HD yang secara
simbolik dinilai berbeda dengan hutan adat. Setiap kebijakan yang dilahirkan pada
umumnya memiliki simbol (Newig 2007) dan kegagalan proses deliberasi dapat
menyebabkanpenggunaan simbol menjadi semakin nyata (Niemeyer 2004).
Kajian politik simbolik berguna untuk mendorong perbaikan proses-proses
deliberasi agar reforma agraria bidang kehutanan dapat mencapai keberhasilan. Kajian ini
bukan hanya dipakai untuk mengkritisi sebuah retorika kebijakan, tetapi seharusnya
digunakan untuk menjelaskan kesenjangan antara kodifikasi dan implementasi (Matten
2003). Akan tetapi, politik simbolik cenderung dimaknai sebagai sebuah kritik terhadap
kebijakan yang kurang memadai dan ditujukan untuk menyalahkan pengambil kebijakan
(Blühdorn 2007).Dalam kajian ilmu lingkungan, politik simbolik merupakan aksi-aksi
yang menggantikan opsi-opsi terbaik dan deliberasi strategi melalui fragmentasi
kepentingan masyarakat, kesan-kesan sistem politik, menghindari konsekuensi yang tidak
mengenakkan, dan mementingkan elit (Blühdorn 2007). Oleh karena itu, terkait dengan
reforma agraria bidang kehutanan, kajian politik simbolik didefinisikan sebagai aksi-aksi
simbolik perhutanan sosial yang dijalankan birokrat menurut kepentingannya dan yang
merepresentasikan manipulasi keberpihakan untuk tujuan tertentu.
3. METODE PENELITIAN
267
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus.
Metode ini melibatkan pengumpulan data dan informasi secara sistematis terhadap suatu
kasus yang memungkinkan peneliti memahami secara efektif bagaimana sesuatu terjadi
(Berg 2001). Kasus dalam hal ini adalah hal-hal yang terikat pada sistem, waktu, tempat,
atau ruang serta satu atau lebih program, kejadian, individu, atau aktivitas yang akan
dipelajari (Suharjito 2014). Dalam penelitian ini, fokus kasus yang dipelajari adalah terkait
dengan program-program perhutanan sosial skala nasional dan daerah yang diklaim
sebagai salah satu bentuk kebijakan reforma agraria bidang kehutanan. Pengumpulan data
dilakukan dengan observasi dan kajian dokumen. Observasi dilakukan pada berbagai
kesempatan pertemuan dan diskusi publik terkait dengan perhutanan sosial di Sumatera
Barat, sedangkan kajian dokumen dilakukan terhadap berbagai dokumen yang berkaitan
dengan perhutanan sosial, seperti publikasi ilmiah, dokumen laporan pemerintah, dan
peraturan-peraturan terkait. Analisis data menggunakan analisis isi (content analysis) yang
merupakan salah satu alat penelitian kualitatif yang biasa digunakan untuk menentukan
keberadaan dan makna dari konsep, istilah, dan kata-kata (Stan 2010).
4. TEMUAN DAN PEMBAHASAN
1.1. Klaim Perhutanan Sosial sebagai Simbol Keberpihakan
Kongres Kehutanan Dunia di Jakarta pada tahun 1978 yang bertema Forest for
People menjadi momen penting meluasnya pendekatan pengelolaan hutan berbasis
masyarakat (PHBM) di berbagai negara, terutama di negara-negara berkembang. PHBM
berawal dari fokus untuk menangani permasalahan degradasi hutan dan deforestasi
(Poffenberger 2006; Sam 2011; Teitelbaum 2014), yang selanjutnya PHBM juga menjadi
bentuk perluasan akses masyarakat terhadap hutan dalam menangani isu-isu pembangunan
(Charnley dan Poe 2007). Konsep-konsep PHBM berkembang pada tahun 1970-an sampai
tahun 1990-an dengan berbagai istilah seperti kehutanan masyarakat (community forestry),
pengelolaan hutan bersama (joint forest management) dan kehutanan sosial (social
forestry). Berbagai kajian tentang PHBM dilakukan oleh banyak ilmuwan dari berbagai
disiplin ilmu yang memperkuat PHBM sebagai tata kelola hutan berkelanjutan. Wiersum
(2004) menilai, pada awal abad ke-21, PHBM telah mencapai tingkat yang signifikan dan
diterima sebagai strategi pengelolaan hutan yang berasal dari negara-negara tropis, dan
kemudian PHBM juga berkembang di negara-negara yang lebih maju secara ekonomi
seperti Eropa, Amerika Utara, dan Australia.
Meskipun demikian, kepedulian Pemerintah Indonesia terhadap PHBM memang
tidak tergambarkan secara jelas dalam peraturan kehutanan yang berlaku pada era orde baru
(UU Nomor 5 Tahun 1967) dan era reformasi (UU Nomor 41 Tahun 1999 dan PP Nomor
6 Tahun 1967). Tabel 1 menyajikan jumlah istilah yang terkait dengan PHBM pada ketiga
peraturan tersebut. Istilah-istilah pengelolaan hutan yang terkait dengan masyarakat masih
didominasi oleh istilah masyarakat dan rakyat yang berdiri sendiri-sendiri. Pertimbangan
masyarakat dan rakyat dalam peraturan tersebut juga lebih ditekankan sebagai objek dari
kebijakan pembangunan kehutanan.
Tabel 1. Kandungan Istilah-Istilah Terkait Dengan Pengelolaan Hutan Dan
Masyarakat
Istilah
Jumlahnya dalam
UU Nomor 5
Tahun 1967
Jumlahnya dalam
UU Nomor 41
Tahun 1999
Jumlahnya dalam
PP Nomor 6
Tahun 2007
268
Hutan
334
782
1,196
PHBM
Tidak Ada
Tidak Ada
Tidak Ada
Perhutanan Sosial/Kehutanan Sosial
Tidak Ada
Tidak Ada
Tidak Ada
Hutan Desa (HD)
Tidak Ada
1
35
Hutan Kemasyarakatan (HKm)
Tidak Ada
2
37
Hutan Tanaman Rakyat (HTR)
Tidak Ada
Tidak Ada
38
Hutan Adat
Tidak Ada
11
4
1
1
2
Tidak Ada
6
19
Masyarakat
18
129
101
Rakyat
23
25
4
Hutan Rakyat (HR)
Pemberdayaan
Tabel di atas juga memperlihatkan adanya ketimpangan pengaturan terkait skema
HTR, HKm, dan HD dengan hutan adat sebagaimana terlihat pada PP Nomor 6 Tahun
2007. Hal ini bisa menjadi salah satu faktor pendorong gugatan hukum (judicial review)
AMAN kepada pemerintah terkait dengan komitmen mendukung hutan adat karena simbol
yang dibangkitkan dari peraturan tersebut mengisyaratkan sebuah ketidakkonsistenan
pemerintah. Akan tetapi sebenarnya, kebijakan dan strategi pengelolaan hutan nasional
juga patut dipertanyakan karena peraturan-peraturan tersebut belum menggambarkan
posisi yang jelas terhadap keberpihakan kepada masyarakat. Istilah PHBM dan perhutanan
sosial/kehutanan sosial ternyata tidak dikenal dalam peraturan tersebut, tetapi dalam
struktur organisasi Kementerian Kehutanan sejak 2006 sampai saat ini dipergunakan istilah
perhutanan sosial.
Penelitian ini menelusuri jejak istilah perhutanan sosial melalui dokumen Rencana
Strategis (Renstra) Direktorat Jenderal yang membidangi perhutanan sosial untuk periode
2010-2014 dan 2015-2019 sebagaimana disajikan pada Tabel 2. Masing-masing renstra
tidak mendefinisikan istilah perhutanan sosial secara tegas, bahkan fokus program dan
kegiatan perhutanan sosial tidak secara langsung dikaitkan sebagai bagian dari kebijakan
reforma agraria bidang kehutanan. Masalah-masalah agraria lebih dimaknai sebagai
masalah tenurial sebagaimana diperkuat dalam Renstra Ditjen PSKL 2015-2019. Renstra
ternyata tidak memberikan gambaran yang jelas tentang pemahaman rimbawan birokrat
terhadap perhutanan sosial, kecuali sebatas program dan kegiatan dalam skema HTR,
HKm, HD, Kemitraan, Hutan Rakyat, dan Hutan Adat.
Tabel 2. Fokus Perhutanan Sosial Dalam Rencana Strategis
Fokus
Pengertian definitif perhutanan sosial
Renstra Ditjen RLPS
2010-2014
Tidak ada
Renstra Ditjen PSKL
2015-2019
Tidak ada
269
Hubungan dengan Reforma Agraria
Tidak ada
Berkaitan dengan masalah
tenurial
Lingkup program dan kegiatan
HKm, HD, dan Hutan
Rakyat Kemitraan
HTR,HKm, HD,
Kemitraan, Hutan Rakyat,
dan hutan adat
Istilah perhutanan sosial menjadi sesuatu yang masih banyak tanda tanya karena
ketidakjelasan definisi dan latar belakang penggunaan istilah tersebut dalam struktur
organisasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat ini. Bahkan dalam
Roadmap Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 2010-2025, istilah ini juga tidak
ditemukan. Satu-satunya penjelasan tentang perhutanan sosial termuat dalam bagian latar
belakang renstra Ditjen PSKL 2015-2019 sebagai berikut:
“Perhutanan sosial diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999
pasal 3 huruf d bahwa dalam rangka meningkatkan kemampuan untuk
mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif,
berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan
sosial dan ekonomi se(r)ta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal.
Demikian pula dalam penjelasan pasal 23 diamanatkan bahwa hutan sebagai
sumberdaya nasional harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi masyarakat
sehingga tidak boleh terpusat pada seseorang, kelompok atau golongan tertentu.
Oleh karena itu, pemanfaatan hutan harus didistribusikan secara berkeadilan
melalui kegiatan peran serta masyarakat, sehingga masyarakat semakin berdaya
dan berkembang potensinya”
Penjelasan di atas mengklaim dasar perhutanan sosial sebagai representasi dari amanat UU
Nomor 41 Tahun 1999 untuk pemberdayaan masyarakat dengan fokus pada keadilan
distribusi manfaat. Dalam konteks tersebut, perhutanan sosial sepertinya ditempatkan
sebagaimana definisi reforma agraria yang dirumuskan oleh Soetarto dan Hermansah
(2007) dan Suharjito (2013). Klaim HTR, HKm, dan HD sebagai kebijakan reforma agraria
bidang kehutanan juga terlihat pada pokok-pokok bahasan Seminar Hasil Penelitian yang
bertema “Reforma Agraria untuk Mendukung Tata Kelola Kehutanan yang Baik” pada
tanggal 7 April 2014 yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kebijakan dan Perubahan
Iklim (Puspijak) Kementerian Kehutanan.
Perhutanan sosial telah menjadi simbol yang mengesankan adanya upaya reforma
agraria bidang kehutanan yang dilakukan oleh pemerintah. Simbol perhutanan sosial
mampu membentuk persepsi publik bahwa pemerintah juga memperhatikan keinginan
publik untuk menciptakan keadilan manfaat sumber daya hutan. Akan tetapi, akibat
ketidakjelasan definisi dan kerangka konseptual perhutanan sosial, kebijakan pemerintah
cenderung mendegradasi kekuatan simbol tersebut hanyalah sebagai program dan kegiatan,
yang terikat pada skema-skema yang ditetapkan pemerintah. Merujuk pada definisi
Wiersum (2004), perhutanan sosial seharusnya merupakan paradigma pembangunan
kehutanan secara menyeluruh yang dijalankan oleh rimbawan dan organisasi lainnya untuk
menstimulasi pelibatan masyarakat lokal secara aktif dalam skala kecil dengan beragam
aktifitas pengelolaan hutan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat. Perhutanan sosial
juga seharusnya dipandang sebagai strategi kunci dalam membangun tata kelola kehutanan
yang lebih baik dan berlaku pada seluruh struktur organisasi kementerian yang berkaitan
dengan pembangunan hutan dan kehutanan. Reforma agraria bidang kehutanan juga
seharusnya dijalankan dengan pendekatan perhutanan sosial. Dalam kerangka strategi
perhutanan sosial tersebut, ada 5 tahapan yang harus dikerjakan (Simon 2006), yaitu (1)
270
memahami karakter wilayah baik secara sosial budaya, ekonomi dan ekologis, (2)
mengidentifikasi subsistem yang mempengaruhi sistem pembangunan wilayah, (3)
melakukan kajian means and values, (4) menentukan tujuan pengelolaan, dan (5)
menetapkan regime pengelolaan yang akan dilakukan. Oleh karena itu, perhutanan sosial
harus menjadi pelopor bagi penataan ruang wilayah dan lokal secara berkeadilan (Asmin
2016) yang juga menjadi fokus reforma agraria bidang kehutanan.
1.2. Pembelajaran Perhutanan Sosial dari Sumatera Barat
Pemerintah Provinsi Sumatera Barat melalui Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera
Barat(Dishut Sumbar) memperlihatkan fenomena yang menarik dibahas terkait dengan
perhutanan sosial. Sebenarnya, isu-isu keadilan manfaat sumber daya hutan juga dihadapi
oleh rimbawan birokrat di Sumatera Barat sejak lama. Akan tetapi, isu degradasi hutan dan
deforestasi lebih mengemuka dalam prioritas kebijakan kehutanan di Sumatera Barat. Kita
mengenal kegiatan penghijauan dan reboisasi pinus sejak pertengahan tahun 1970-an,
meskipun hasil dari kegiatan tersebut juga memunculkan masalah agraria pada awal tahun
2000-an. Penghijauan dan reboisasi oleh pemerintah kemudian dinilai oleh publik sebagai
simbol penguasaan lahan oleh pemerintah. Pada awal tahun 2000-an tersebut, pemerintah
juga sudah merintis pengembangan hutan kemasyarakatan (HKm) sebagai pilot proyek
dengan menanam meranti pada beberapa lokasi.
Kementerian Kehutanan selanjutnya membuat aturan-aturan baru terkait penetapan
areal kerja HTR, HKm dan HD sejak tahun 2006 dengan mengeluarkan Peraturan Menteri
Kehutanan (Permenhut) Nomor P.23/Menhut-II/2007 tentang HTR, P.37/Menhut-II/2007
tentang HKm, dan P.49/Menhut-II/2008 tentang HD. Skema HTR merupakan skema
pertama yang direspon oleh Dishut Sumbar sejak tahun 2007 dengan mendorong penetapan
areal kerja HTR pada beberapa lokasi di Kabupaten Sijunjung dan Kabupaten Pesisir
Selatan. Skema HKm dan HD kemudian juga direspon sejak tahun 2010. Proses penetapan
areal kerja dan perizinan juga membutuhkan waktu yang lama akibat birokrasi perizinan
dari pusat yang cukup rumit. Menurut data tahun 2013, Dishut Sumbar telah mendorong
pengusulan penetapan areal kerja HKm dan HD seluas 47,312 ha, namun realisasinya
hanya 1,738 ha yang mendapatkan izin Menteri Kehutanan.
Kerumitan birokrasi dalam perizinan HTR, HKm, dan HD ternyata tidak
menyurutkan semangat Dishut Sumbar untuk mendorongnya. Dishut Sumbar membuat
inovasi dengan membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Perhutanan Sosial pada tahun 2012
yang beranggotakan unsur dari pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Keberadaan Pokja tersebut dimaksudkan untuk mengkoordinasikan langkah-langkah
mendorong perluasan skema-skema perhutanan sosial di Sumatera Barat. Dalam rencana
kerjanya, Pokja mentargetkan areal hutan lindung dan hutan produksi di Sumatera Barat
seluas 500,000 ha diarahkan untuk skema-skema perhutanan sosial seperti disajikan Tabel
3. Target tersebut ternyata menyumbangkan 20% dari target nasional saat itu.
Tabel 3. Target Luasan Skema Perhutanan Sosial Di Sumatera Barat
271
No.
Kabupaten/Kota
1.
2.
Kabupaten Kepulauan Mentawai
Kabupaten Pesisir Selatan
3.
Kabupaten Solok
4.
Kabupaten Sijunjung
5.
Kabupaten Tanah Datar
6.
Kabupaten Padang Pariaman
7.
Kabupaten Agam
8.
Kabupaten Lima Puluh Kota
9.
Kabupaten Pasaman
10.
Kabupaten Solok Selatan
11.
12.
Kabupaten Dharmasraya
Kabupaten Pasaman Barat
13.
Kota Padang
14.
Kota Sawahlunto
JUMLAH
Areal
Potensial (Ha)
Indikatif Lokasi (Kecamatan)
20.000 Kecamatan Siberut Selatan
37.500 Kecamatan Lunang Silaut, Linggo Sari Baganti,
Ranah Pesisir, Lengayang, Koto XI Tarusan
60.000 Kecamatan Pantai Cermin, Lembah Gumanti,
Hiliran Gumanti, Payung Sekaki, Tigo Lurah,
Lembang Jaya, Gunung Talang, IX Koto Sungai
Lasi, Bukit Sundi, X Koto Di Atas, dan X Koto
Singkarak
50.000 Kecamatan Kamang Baru, Tanjung Gadang,
Sijunjung, IV Nagari, Koto VII, dan Sumpur
Kudus
20.000 Kecamatan Batipuh, Batipuh Selatan, Tanjung
Emas, Lintau Buo, Sungayang, Padang
Ganting, dan Salimpaung
10.000 Kecamatan Lubuk Alung, VII Koto Sungai
Sariak, dan V Koto Kampung Dalam
25.000 Kecamatan Lubuk Basung, Tilatang Kamang,
Palembayan dan Palupuh
70.000 Kecamatan Payakumbuh, Akabiluru, Harau,
Suliki, Kapur IX, dan Pangkalan Koto Baru
71.000 Kecamatan Bonjol, Lubuk Sikaping, Duo Koto,
Panti, Rao, Mapat Tunggul
50.000 Kecamatan Sungai Pagu, Pauh Duo, Sangir,
Sangir Jujuhan, dan Sangir Batanghari
25.000 Kecamatan Koto Baru dan Sitiung
46.500 Kecamatan Sungai Beremas, Ranah Batahan,
Lembah Melintang, Pasaman, Kinali dan
Talamau
5.000 Kecamatan Bungus Teluk Kabung, Lubuk
Kilangan, Pauh dan Koto Tangah
10.000 Kecamatan Lembah Segar, Barangin, dan
Talawi
500.000
Sumber: Dishut Sumbar (2012)
Perhutanan sosial juga menjadi basis bagi implementasi REDD+ (reducing emission
from forest degradation and deforestation) di Sumatera Barat (Hermansah et al. 2013).
Dishut Sumbar mampu mempengaruhi Satuan Tugas REDD+ Nasional yang diketuai oleh
Kuntoro Mangkusubroto untuk mempertimbangkan Sumatera Barat sebagai provinsi
percontohan implementasi REDD+ di Indonesia, padahal Sumatera Barat tidak termasuk
dalam kategori provinsi dengan laju degradasi hutan dan deforestasi yang tinggi. Situasi
ini kemudian membuat Sumatera Barat semakin “seksi” bagi LSM-LSM yang sedang
mendorong reforma agraria seperti KKI Warsi, Qbar, Kemitraan, dan UNDP. Peran LSM
dalam memperkuat posisi Dishut Sumbar untuk mendorong perhutanan sosial juga sangat
penting, seperti yang dilakukan dalam mengembangkan kelembagaan hutan nagari di
Jorong Simancuang Kabupaten Solok Selatan (Asmin 2015).
Langkah Dishut Sumbar memang mampu mengkoordinasikan semua potensi untuk
memperluas skema-skema perhutanan sosial. Akan tetapi, kerangka konseptual perhutanan
sosial masih mengikuti kerangka konseptual nasional yang masih kurang jelas dan hanya
dipahami sebatas program dan kegiatan semata. Jika kita melihat struktur organisasi Dishut
Sumbar saat ini, perhutanan sosial dikelola oleh pejabat setingkat eselon IV (Kepala Seksi).
272
Perhutanan sosial sebenarnya juga kurang tersirat dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Sumatera Barat periode 2010-2015 atau Rencana
Strategis Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat periode 2010-2015.Alokasi sumber
daya manusia (SDM) kehutanan juga menurun dari tahun ke tahun karena keterbatasan
rekruitmen, sementara SDM yang tersedia untuk mendorong perluasan perhutanan sosial
juga masih sedikit. Dishut Sumbar melihat potensi SDM yang dimiliki oleh LSM sangat
besar untuk membantu program dan kegiatannya, termasuk dalam alokasi anggaran.
Simbol perhutanan sosial dinilai efektif untuk mendorong semua pihak membantu program
dan kegiatan Dishut Sumbar. Meskipun demikian, Dishut Sumbar perlu juga
mempertimbangkan secara baik kebutuhan SDM di lingkungannya sendiri karena hanya
sedikit rimbawan birokrat di Dishut Sumbar yang memahami perhutanan sosial. Kegagalan
kebijakan pengembangan SDM kehutanan dapat menyebabkan program dan kegiatan yang
dirintis menjadi kurang berarti, bahkan dinilai gagal.
Upaya yang perlu didorong adalah menetapkan perhutanan sosial sebagai
pendekatan utama pembangunan hutan dan kehutanan di Sumatera Barat. Setiap struktur
dalam organisasi Dishut Sumbar didorong untuk menggunakan pendekatan ini dalam
implementasi program dan kegiatannya. Hal ini tentunya diharapkan akan mendorong
setiap individu rimbawan birokrat yang ada di Dishut Sumbar untuk mengimplementasikan
perhutanan sosial dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian program dan
kegiatan. Jadi, perhutanan sosial bukan semata dinilai sebagai program dan kegiatan
sehingga harus ada struktur organisasi yang mengelolanya, tetapi perhutanan sosial harus
menjadi cara berpikir seluruh rimbawan birokrat di Sumatera Barat. Dengan demikian,
proses-proses deliberasi dalam pembangunan hutan dan kehutanan berjalan dalam
kerangka perhutanan sosial dan memperkuat kebijakan reforma agraria bidang kehutanan
itu sendiri di Sumatera Barat.
1.3. Peran Rimbawan Birokrat sebagaiWirausahawan Sosial
Keberadaan hutan negara dapat menyebabkan kemiskinan bagi masyarakat yang
bergantung pada hutan, terutama bagi masyarakat terpencil sebagaimana diungkapkan oleh
Tacconi dan Kurniawan (2006). Kompleksitas masalah kehutanan juga semakin besar
ketika permasalahan-permasalahan hak ulayat menjadi persoalan struktural dalam reforma
agraria di Indonesia. Di Sumatera Barat, Rajagukguk (2007) menyatakan bahwa penduduk
setempat mengeluh terhadap kebijakan Pemerintah yang menafsirkan penguasaan atas
tanah ulayat berarti penguasaan atas ”tanah negara”. Persoalan tanah ulayat ini juga
menjadi salah satu dasarjudicial review dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
terhadap pengertian hutan adat pada pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan. Dalam amar putusannya nomor 35/PUU-X/2012 tanggal 26
Maret 2013, Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus kata “negara” dalam pengertian
hutan adat sehingga hutan adat bukan lagi termasuk kategori hutan negara. Persoalan
konsepsi agraria yang dijalankan pemerintah juga masih dipersepsikan lebih menggunakan
pendekatan kepentingan usaha dan investasi karena pemerintah cenderung membuka
kesempatan kepada penanam modal perusahaan swasta dalam dan luar negeri (Rajagukguk
2007).
Pada sisi yang lain, implementasi program dan kegiatan perhutanan sosial juga tidak
semakin mudah. Hal ini terjadi karena pemerintah cenderung memaksakan skema tanpa
memperhatikan dukungan kelembagaan masyarakat di tingkat lokal. Pola perencanaan dan
kelembagaan juga lebih cenderung bersifat top down, sehingga dikhawatirkan tidak sesuai
dengan kebutuhan lokal. Sangat memungkinkan dengan cara-cara seperti itu menimbulkan
penyimpangan-penyimpangan dan berpotensi mengkerdilkan semangat reforma agraria
273
dalam konteks penyelesaian masalah tenurial dan konflik sosial. Ketika strategi perhutanan
sosial menjadi prioritas dalam pengelolaan hutan nasional dan daerah, maka kelembagaan
lokal yang seharusnya dibangun adalah kelembagaan partisipatif (participatory
institutions), bukan kelembagaan publik (public institutions) dan privat (private
institutions). Ciri kelembagaan partisipatif adalah membantu anggota masyarakat dengan
kekuatan yang dimilikinya (self-help) dan dapat melayani kepentingan-kepentingan publik
dan privat (Uphoff 1986). Akan tetapi, melihat ciri kelembagaan dalam HKm, HD, HTR,
dan HR sebagai bagian dari program perhutanan sosial, pemerintah cenderung memilih
kelembagaan publik atau privat dengan bergaya birokratis, politis, dan orientasi
keuntungan finansial (Asmin 2016).
Berdasarkan hal tersebut di atas, kapasitas rimbawan birokrat dalam
penyelenggaraan urusan kehutanan dan reforma agraria bidang kehutanan perlu diperkuat.
Cara berpikir dan bertindak seorang rimbawan birokrat bukan lagi menyelesaikan masalah
tenurial dengan berbagai inisiasi program dan kegiatan, tetapi seharusnya bagaimana
membangkitkan dan mensinkronkan semangat reforma agraria di pemerintahan dan
masyarakat. Dengan kondisi sosial politik seperti saat ini, maka seorang rimbawan
harusnya menjadi seorang wirausahawan sosial (social entrepreneurs) untuk mampu
menginternalisasikan semangat reforma agraria di tubuh birokrasi.Bornstein dalam Rogers
et al. (2008) menjelaskan bahwa ada 6 kualitas untuk menjadi social entrepreneurs yang
berhasil adalah: (1) keinginan untuk koreksi diri, (2) keinginan untuk berbagi peran, (3)
keinginan untuk memecahkan struktur terbangun, (4) keinginan untuk mempelajari multi
disiplin ilmu, (5) keinginan untuk bekerja baik, dan (6) memiliki etika yang kuat.
Ide rimbawan birokrat sebagai wirausahawan sosial berangkat dari pentingnya ilmuilmu sosial dalam pengembangan ilmu pengetahuan kehutanan. Salah satu kegagalan ilmu
pengetahuan kehutanan selama ini adalah ketidakmampuan ilmu pengetahuan kehutanan
merekayasa dinamika sosial dalam desain pengelolaan hutan. Rekayasa kehutanan selama
ini lebih cenderung berorientasi pada ekologis dan ekonomi. Social engineering belum
terelaborasi lebih detail dalam program dan kegiatan sektor kehutanan karena kapasitas
sosial rimbawan birokrat masih belum memadai.Yang paling mengkhawatirkan adalah
rimbawan birokrat cenderung mengabaikan dinamika sosial dan menganggap
permasalahan sosial (seperti masalah tenurial) hanya sebagai bagian dari rekayasa politik
segelintir orang yang berkepentingan terhadap hutan dan hasil hutan. Hal ini menyebabkan
desain politik kehutanan cenderung berkaitan dengan masalah-masalah penegakan hukum.
Politik kehutanan mengarah pada politik feodalisme yang menganggap tanah sebagai aset
sumber daya bagi perkembangan investasi dan pertumbuhan ekonomi. Kesederhanaan
berpolitik tersebut membawa rimbawan birokrat sebagai objek politik negara dalam
melestarikan kekuasaan. Bagaimana mungkin reforma agraria bidang kehutanan berjalan
dengan baik bila rimbawan birokratnya memiliki visi sosial dan politik yang lemah.
Dengan mendorong rimbawan birokrat menjadi wirausahawan sosial, kita mengharapkan
pembangunan hutan dan kehutanan yang berkeadilan dapat tercapai.
5. KESIMPULAN
Perhutanan sosial merupakan simbol reforma agraria bidang kehutanan yang mampu
membangun persepsi publik bahwa pemerintah telah dan sedang menjalankan agenda
reforma agraria bidang kehutanan. Skema perhutanan sosial yang menjadi bagian dari
kebijakan reforma agraria bidang kehutanan adalah HTR, HKm, HD, Kemitraan, dan
Hutan Adat. Meskipun ada ketidakjelasan kerangka konseptual perhutanan sosial, baik di
pusat dan daerah, perhutanan sosial mendapatkan perhatian yang luas dari berbagai LSM
274
yang selama ini menyuarakan gerakan-gerakan reforma agraria bidang kehutanan, seperti
yang terjadi di Sumatera Barat.Dalam konteks politik simbolik, simbol perhutanan sosial
memang menjadi alat yang efektif untuk membangun komunikasi baru dalam menjalankan
reforma agraria bidang kehutanan. Namun demikian, ketidakjelasan kerangka konseptual
perhutanan sosial mendegradasi perhutanan sosial dalam kerangka program dan kegiatan
semata sebagaimana yang diyakini oleh rimbawan birokrat pusat dan daerah. Hal inilah
yang menyebabkan implementasi skema-skema perhutanan sosial masih sangat rendah.
Penelitian ini mendorong perhutanan sosial sebagai kebijakan dan strategi nasional
dan daerah yang berlaku dalam setiap program dan kegiatan pembangunan hutan dan
kehutanan. Artinya, perhutanan sosial seharusnya ditempatkan sebagai pendekatan yang
digunakan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian pembangunan hutan dan
kehutanan untuk menjaminkonsistensi kebijakan reforma agraria bidang kehutanan menuju
tata kelola kehutanan yang lebih baik. Dengan demikian, proses-proses deliberasi dalam
paradigma perhutanan sosial dapat dijalankan oleh seluruh rimbawan birokrat dalam
berbagai struktur dan tingkatan organisasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
baik di pusat dan daerah. Di samping itu, kebijakan dan strategi perhutanan sosial sebagai
pendekatan pembangunan hutan dan kehutanan juga harus diikuti dengan penguatan
kapasitas rimbawan birokrat menuju kualitas wirausahawan sosial yang mampu
menginternalisasikan semangat reforma agraria bidang kehutanan pada tingkat masyarakat
dan pemerintahan. Dengan demikian, simbol perhutanan sosial dapat meningkatkan
kepercayaan publik terhadap jaminan keadilan manfaat sumber daya hutan di Indonesia.
Namun demikian, penelitian ini perlu dilengkapi dengan kajian politik simbolik yang
dijalankan oleh LSM sebagai penggerak utama semangat reforma agraria bidang
kehutanan. LSM dapat dinilai sebagai salah satu rimbawan yang berjuang di luar birokrasi
pemerintahan dan strategi LSM juga mengandung simbol-simbol yang mempengaruhi
politik agraria bidang kehutanan di Indonesia. Hal ini merupakan tantangan penelitian
selanjutnya yang menarik dilakukan.
6. DAFTAR PUSTAKA
Asmin, Ferdinal. 2015. Pengelolaan Hutan Nagari di Sumatera Barat: Studi Kasus Areal
Kelola Hutan Nagari di Jorong Simancuang Provinsi Sumatera Barat.
Disampaikan pada Seminar Nasional FMIPA UT Tahun 2015 pada tanggal 22
Oktober 2015 di Jakarta, Indonesia.
Asmin, Ferdinal. 2016. Elaborating the Attributes of Local Ecological Knowledge: A Case
Study of Parak and Rimbo Practices in Koto Malintang Village. Disampaikan
pada International Conference on Social Sciences and Humanities pada tanggal
19-21 April 2016 di Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia.
Barber, Charles Viktor. 1998. Forest Resource Scarcity and Social Conflict in Indonesia.
Environment 40(4):4-9.
Berg,Bruce Lawrence. 2001. Qualitative Research Methods for the Social Sciences. New
York: A Pearson Education Company.
Bernstein, Steven, Benjamin Cashore, Richard Eba’a Atyi, Ahmad Maryudi, dan Kathleen
McGinley. 2010. Examination of the Influences of Global Forest Governance
Arrangements at the Domestic Level. IUFRO World Series 28:111-135.
Blühdorn, Ingolfur. 2007. Sustaining the Unsustainable: Symbolic Politics and the Politics
of Simulation. Environmental Politics 16(2):251-275.
Charnley, Susan dan Melissa R. Poe. 2007. Community Forestry in Theory and Practice:
Where are We Now? Annu. Rev. Anthropol 36:301–336.
275
Daryanto, Hadi. 2014. Sekelumit Permasalahan Mendasar dalam Reforma Agraria dan
Tata Kelola Hutan di Indonesia. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Pusat
Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan. Jakarta: Kementerian Kehutanan.
[Dishut Sumbar] Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat. 2012. Rencana Kerja
Pengembangan Perhutanan Sosial di Sumatera Barat Periode 2012-2017.
Padang: Dishut Sumbar.
Edelman, Murray. 1971. Politics as Symbolic Action: Mass Arousal and Quiescence. New
York: Academic Press, Inc.
Edelman, Murray. 1977. Political Language: Words that Succeed and Policies that Fail.
New York: Academic Press, Inc.
Edelman, Murray. 2001. The Politics of Misinformation. Cambridge: Cambridge
University Press.
[FWI] Forest Watch Indonesia. 2011. Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode Tahun
2000-2009. Jakarta: FWI.
Guiang, Ernesto S., Salve B. Borlagdan, dan Juan M. Pulhin. 2001. Community-Based
Forest Management in the Philippines: A Preliminary Assessment. Manila:
Institute of Philippine Culture, Ateneo De Manila University.
Hermansah, Gemala Ranti, Siti Aisyah, Jusmalinda, Ferdinal Asmin, Vonny Indah
Mutiara, Rainal Daus, dan Agus W. Boyce. 2013. Strategi dan Rencana Aksi
Provinsi untuk Implementasi REDD+. Padang: Dinas Kehutanan Provinsi
Sumatera Barat dan Satuan Tugas REDD+ Indonesia.
[KemenLHK] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2015. Statistik
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2014. Jakarta:
KemenLHK.
[KPA] Konsorsium Pembaharuan Agraria. 2016. Catatan Akhir Tahun 2015: Reforma
Agraria dan Penyelesaian Konflik Agraria Disandera Birokrasi. Jakarta: KPA.
Maryudi, Ahmad dan Max Krott. 2012. Local Struggle for Accessing State Forest Property
in a Montane Forest Village in Java, Indonesia. Journal of Sustainable
Development 5(7):62-68.
Matten, Dirk. 2003. Symbolic Politics in Environmental Regulation: Corporate Strategic
Responses. Business Strategy and the Environment 12:215–226.
Molnar, Augusta, Marina France,Lopaka Purdy, dan Jonathan Karver. 2011. CommunityBased Forest Management: The Extent and Potential Scope of Community and
Smallholder Forest Management and Enterprises. Washington: The Rights and
Resources Initiative (RRI).
Newig, Jens. 2007. Symbolic Environmental Legislation and Societal Self-Deception.
Environmental Politics 16(2):276–296.
Niemeyer, Simon. 2004. Deliberation in the Wilderness: Displacing Symbolic Politics.
Environmental Politics 13(2):347 – 372.
Poffenberger, Mark. 2006. People in the Forest: Community Forestry Experiences from
Southeast Asia. Int. J. Environment and Sustainable Development 5(1):57–69.
Rajagukguk, Erman. 2007. Indonesia Setelah Merdeka: Menyusun Hukum Tanah untuk
Rakyat. Makalah Seminar Antarbangsa, “Tanah Keterhakisan Sosial dan Ekologi
: Pengalaman Malaysia dan Indonesia”, Dewan Bahasa dan Pustaka Institut Alam
dan Tamadun Melayu (ATMA), Universiti Kebangsaan Malaysia. Kuala
Lumpur, 4-5 Desember 2007.
Rogers, Peter P., Kazi F. Jalal, dan John A. Boyd. 2008. An Introduction to Sustainable
Development. London: Glen Educational Foundation, Inc.
276
Sam, Thida. 2011. Community Forest Management. United Nations Forum on Forests,
UNFF9: “Forests for People, Livelihoods and Poverty Eradication” di New
York City pada tanggal 24 Januari sampai 4 Februari 2011.
Sardjono, Mustofa Agung. 2013. Membawa Perhutanan Sosial Indonesia ke Upaya yang
Lebih Menjanjikan. Di dalam: Kartodihardjo, Hariadi (editor). Kembali ke Jalan
Lurus: Kritik Penggunaan Ilmu dan Praktek Kehutanan Indonesia. Yogyakarta:
Nailil Printika. pp. 397-422.
Simon, Hasanu. 2006. Hutan Jati dan Kemakmuran: Problematika dan Strategi
Pemecahannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soetarto, Endriatmo dan Tantan Hermansah. 2007. Ekonomi Pedesaan, Dinamika Sumber
Daya Alam dalam Pandangan Reforma Agraria di Indonesia. Makalah pada
Konpernas PERHEPI. Tanggal 3-5 Agustus 2007, di Hotel Sahid Raya, Solo.
Stan, Lavinia. 2010. Content Analysis. Di dalam: Mills, Albert J., Gabrielle Durepos, dan
Elden Wiebe (editor). Encyclopedia of Case Study Research. California: SAGE
Publications, Inc. pp. 225-229.
Suharjito, Didik. 2013. Reforma Agraria di Sektor Kehutanan: Mewujudkan Pengelolaan
Hutan Lestari, Keadilan Sosial, dan Kemakmuran Bangsa. Di dalam:
Kartodihardjo, Hariadi (editor). Kembali ke Jalan Lurus: Kritik Penggunaan
Ilmu dan Praktek Kehutanan Indonesia. Yogyakarta: Nailil Printika. pp. 423450.
Suharjito, Didik. 2014. Pengantar Metodologi Penelitian. Bogor: PT Penerbit IPB Press.
Tacconi, Luca dan Iwan Kurniawan. 2006. Forests, Agriculture, Poverty and Land
Reform: The Case of the Indonesian Outer Islands. Canberra: Australian
National University.
Teitelbaum, Sara. 2014. Criteria and Indicators for the Assessment of Community
Forestry Outcomes: A Comparative Analysis from Canada. Journal of
Environmental Management 132:257-267.
Uphoff, Norman. 1986. Local Institutions and Participation for Sustainable Development.
Gatekeeper Series SA31 31:1-14.
Wiersum, K. Freerk. 2004. Social and Community Forestry. Di dalam: Burley, Jeffery,
Julian Evans, dan John A. Youngquist (editor). Encyclopedia of Forest Sciences.
Oxford: Elsevier Ltd. pp. 1136-1143.
KERAWANAN KONFLIK SOSIAL PEMBANGUNAN PERKEBUNAN
KELAPA SAWIT DI KALIMANTAN BARAT
Dr. Herlan, S.Sos, M.Si
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungura)
Email: [email protected]
Abstrak
Indonesia menjadi salah satu negara terbesar pengekspor CPO dunia dan
memiliki areal kelapa sawit selama 2004 - 2014 seluas 10.956.231 ha dengan produksi
kelapa sawit meningkat rata-rata 11,09% per tahun. Seiring dengan semakin meluasnya
pembangunan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, telah memunculkankerentanan
277
konfliksosial dalamberbagaiwujud. Salah satunya yang menjadi fokus kajian dalam tulisan
ini yaitukerawanan konflik sosial di wilayah provinsi Kalimantan Barat yang memiliki
areal perkebunan seluas 2.050.152 ha, dengan jumlah perusahaan yang mengelola
sebanyak 428 buah. Permasalahan yang dikaji dalam tulisan ini adalah: “faktor-faktor
apa saja penyebab pembangunan perkebunan kelapa sawit tetap rawan konflik sosial di
provinsi Kalimantan Barat ? Hasil penelitian terungkap bahwa bentuk-bentuk konflik
sosial atas pembangunan perkebunan kelapa sawit, antara lain: (1) demonstrasi kepada
Pemerintah Daerah (Bupati / DPRD); (2) pemagaran lahan perkebunan milik
perusahaan; (3) Penyitaan / Penyegelan Barang atau Mesin; (4) Pemukulan,
penganiayaan dan Pembakaran, dan (5) Pemberian Sanksi Hukum Adat Pada pihak
Perusahaan. Sedangkan faktor penyebab terjadinya kerentanan konflik sosial, yaitu: (1)
sengketa lahan, (2) lemahnya keadilan dan penegakan hukum, (3) perusahaan
mengabaikan kepentingan masyarakat dan (4) arogansi pihak perusahaan dalam menjalan
aktivitas usaha.
Kata Kunci: Kerawanan, Konflik Sosial, Perkebunan
Abstract
Indonesia is the country of the biggest CPO exporter around the world. During
2004 to 2014, the average growth rate of oil palm plantation area and one of production
of FFB is 7,67% and 11,09 %, respectively.In 2014, the area of oil palm plantation reached
10.9 million ha and the production of CPO reached 29,3 million tons.Smallholder: 4,55
million ha (41,55% in total)National company (PTPN): 0.75 million ha (6.83 %in
total)Private company: 5,66 million ha (51.62 % in total). Foreign private company: 0,17
million ha (1.54 % in total). Oil palm plantation development has created vulnerability
social conflict in various form, among other. Between the community with private or
national company and among communities.West Kalimantan province have experienced
sever social conflict caused by oil palm plantation development.This presentation focus
on the case study of West Kalimantan.The theme of this presentation is to clarify the factors
promoting oil palm plantation development that make social conflicts in West Kalimantan
province. The research as forms of social conflict over development palm oil plantation,
among others: (1) demonstration to local government (regent parliament to demand
compensation of not denying the presence of oil palm plantation); (2) the restoration of
company-owned plantations; (3) seizure/sealing goods or amachine; (4) the beating of,
persecution and burning, and (5) customary sanctions to the company.Vulnerability of
social unrest of oil palm plantations in West Kalimantan can be divided into several
factors; (1) land conflict disputes, (2) the weak justice and law enforcement, (3) the
company ignoring public interests and (4) arrogance of the company in executing business
activity.
Keyword: Social Conflict, Palm Oil Plantation.
1. PENDAHULUAN
Indonesia dewasa ini telah menjadi salah satu negara terbesar pengekspor CPO
dunia hal ini seiring dengan semakin gencarnya program pengembangan komoditas kelapa
sawit dari tahun ke tahun, terlihat dari rata-rata laju pertumbuhan luas areal kelapa sawit
selama 2004 - 2014 sebesar 7,67%, sedangkan produksi kelapa sawit meningkat rata-rata
11,09% per tahun. Hal ini disebabkan antara lain perkebunan kelapa sawit dirasakan
memberikan manfaat positif pertumbuhan ekonomi masyarakat dan pelaku usaha sawit.
Berdasarkan buku statistik komoditas kelapa sawit terbitan Ditjen Perkebunan, pada Tahun
2014 luas areal kelapa sawit mencapai 10,9 juta Ha dengan produksi 29,3 juta ton CPO.
278
Luas areal menurut status pengusahaannya milik rakyat (Perkebunan Rakyat) seluas 4,55
juta Ha atau 41,55% dari total luas areal, milik negara (PTPN) seluas 0,75 juta Ha atau
6,83% dari total luas areal, milik swasta seluas 5,66 juta Ha atau 51,62%, swasta terbagi
menjadi 2 (dua) yaitu swasta asing seluas 0,17 juta Ha atau 1,54% dan sisanya lokal.
Tanaman kelapa sawit saat ini tersebar di hampir seluruh provinsi di Indonesia.
Provinsi Riau pada Tahun 2014 dengan luas areal seluas 2,30 juta Ha merupakan provinsi
yang mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas disusul berturut-turut Provinsi Sumatera
Utara seluas 1,39 juta Ha, Provinsi Kalimantan Tengah seluas 1,16 juta Ha dan Sumatera
Selatan dengan luas 1,11 juta Ha, Kalimantan Barat seluas 959,226 ha. serta provinsiprovinsi lainnya.
Tabel 1. Sebaran Kelapa Sawit Menurut Provinsi di Indonesia, Tahun 2014
No.
Provinsi
Luas
Produksi
1.
Riau
2.296.849
7.037.636
2.
Sumatera Utara
1.392.532
4.753.488
3.
Kalimantan Tengah
1.156.653
3.312.408
4.
Sumatera Selatan
1.111.050
2.852.988
5.
Kalimantan Barat
959.226
1.898.871
6.
Kalimantan Timur
856.091
1.599.895
7.
Jambi
688.810
1.857.260
8.
Kalimantan Selatan
499.873
1.316.224
9.
Aceh
413.873
853.855
10.
Sumatra Barat
381.754
1.082.823
11.
Bengkulu
304.339
833.410
12
Kep. Bangka Belitung
211.237
538.724
13
Lampung
165.251
447.978
14
Sulawesi Tengah
147.757
259.361
15
Sulawesi Barat
101.001
300.396
Jumlah
10.956.231
29.344.479
Sumber: Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, Nopember 2014
Seiring dengan semakin meluasnya pembangunan perkebunan kelapa sawit di
Indonesia, telah memunculkankerentanan konfliksosial dalamberbagaiwujud,antaralain:
masyarakat dengan badan-badan usaha baik milik negara maupun swasta, maupun antar
kelompok masyarakat itu sendiri. Situasi tersebut dapat dijelaskan secara teori maupun
kenyataan dilapangan. Secara teoritis, pembangunan sektor perkebunan kelapa sawit
sangat memerlukan tanah dalam skala mega hektar sebagai faktor produksi
utama,sementara disisi lain apa yang disebut sebagai tanah yang langsung dikuasai negara
tidaklah sebanyak tanah-tanah negara yang berada dalam penguasaan masyarakat baik
berupa tanah tanah adat maupun hak milik. Kenyataan inilah yang menyebabkan tanahtanah negara yang berada dalam penguasaan masyarakat pun diincar untuk dijadikan lahan
proyek pembangunan perkebunan kelapa sawit. Dalam situasi itulah konflik-konflik itu
bermula yang kemudian berkembang dengan varian-varian sebab, akibat, maupun
dampaknya.
Salah satu wilayah yang mengalami kerentanan konflik sosial dari pembangunan
perkebunan kelapa sawit yang akan menjadi fokus kajian dalam tulisan ini yaituwilayah
provinsi Kalimantan Barat. Oleh sebab itu fokus permasalahan yang dikaji dalam tulisan
ini adalah: “faktor-faktor apa saja penyebab pembangunan perkebunan kelapa sawit tetap
rawan konflik sosial di provinsi Kalimantan Barat ?
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dalam proses pengambilan data
dilakukan dengan 4 (empat) teknik, yaitu (1) Desk Research; (2) Focus Group Discusion
279
(FGD); (3) One to One in-depth interview; dan (4) Observasi, lokasi penelitian pada 13
kabupaten/kota di provinsi Kalimantan Barat, yang selama ini telah dilaksanakannya
pembangunan perkebunan kelapa sawit.
I.
Kondisi Perkebunan Kelapa Sawit Di Kalimantan Barat
Wilayah Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi dari 35 provinsi di
Indonesia, apabila dilihat dari besarnya wilayah, maka Kalimantan Barat termasuk propinsi
keempat setelah pertama Irian Jaya (421.891 km²), kedua Kalimantan Timur (202.440 km²)
dan ketiga Kalimantan Tengah (152.600 km²). Sebagian besar wilayah Kalimantan Barat
adalah merupakan daratan berdataran rendah dengan luas sekitar 146.807 km² atau 7,53
persen dari luas Indonesia atau 1,13 kali luas pulau Jawa.
Sebagian besar luas tanah di Kalimantan Barat adalah hutan (42,32%) dan
padang/semak belukar/alang-alang (34,11%). Adapun areal hutan terluas terletak di
Kabupaten Kapuas Hulu seluas 1.964.491 ha, sedangkan padang/semak belukar terluas
berada di Kabupaten Ketapang yaitu seluas 1.374.145 ha. Sementara itu areal perkebunan
mencapai 1.574.855,50 atau 10,73 %. Dari 14,68 ribu ha luas Kalimantan Barat, areal untuk
pemukiman hanya berkisar 0,83 persen. Adapun areal pemukiman terluas berada di
Kabupaten Sintang diikuti kemudian oleh Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Ketapang.
Arah kebijakan pembangunan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat
mengadopsi arah kebijakan dari program pemerintah Pusat, yaitu pengembangan
agrobisnis kebun, pengembangan sistem informasi dan pemberdayaan kelembagaan
perkebunan. Oleh sebab itu, Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat juga
merencanakan ekspansi perkebunan sawit secara besar-besaran.Berdasarkan data Dinas
Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat, sampai dengan tahun 2014 daftar perijinan yang
sudah masuk sebanyak 2.050.152 ha, dengan jumlah perusahaan yang mengelola sebanyak
428 buah.
Tabel 2. Daftar Perijinan Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2014
Luas Areal
Luas Kalbar
Jumlah
No.
Kabupaten
Perkebunan
(Km2)
Perusahaan
Kelapa Sawit (Ha)
1
Sambas
6.394,70
155.870
40
2
Mempawah
1.276,90
52.079
9
3
Kubu Raya
6.985,20
155.320
32
4
Singkawang
504,00
19.993
1
5
Bengkayang
5.397,30
130.821
43
6
Landak
9.909,10
182.850
54
7
Sanggau
12.857,70
349.198
48
8
Sekadau
5.444,30
136.744
22
9
Sintang
21.635,00
227.128
47
10
Melawi
10.644,00
72.740
16
11
Kapuas Hulu
29.842,00
124.564
29
12
Ketapang
31.240,74
396.421
81
13
Kayong Utara
4.568,26
46.424
6
14
Kota Pontianak
107,80
0
0
Jumlah
146.807,00
2.050.152
428
Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat, 2015
Pembangunan perkebunan di Kalimantan Barat, termasuk kelapa sawit, ditujukan
untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan penerimaan dan devisa negara,
280
menyediakan lapangan pekerjaan, meningkatkan produktivitas, nilai tambah dan daya
saing, memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku dalam negeri, mendorong
pengembangan wilayah serta mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam secara
berkelanjutan. Kelapa sawit merupakan tanaman daerah tropis yang membutuhkan curah
hujan yang cukup. Bagi Indonesia pada umumnya, selain kesesuaian agroklimat tanaman
ini juga mempunyai tingkat produktivitas yang tinggi dan biaya produksi yang relatif
rendah dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak nabati lain seperti minyak kedelai,
rape seed maupun bunga matahari.
Pengembangan kelapa sawit yang dilakukan di Kalimantan Barat dengan
menerapkan prinsip-prinsip pembangunan perkebunan berkelanjutan sesuai dengan
berbagai peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia terkait dengan pengembangan
kelapa sawit.Sebagai Guidance untuk melaksanakan dan melakukan penilaian tentang
pembangunan kelapa sawit di Indonesia disusun Sistem Minyak Kelapa Sawit
Berkelanjutan Indonesia/Indonesia Sustainable Palm Oil-ISPO.Tujuan ditetapkannya
ISPO adalah :
1)
2)
3)
Meningkatkan kepedulian pentingnya memproduksi kelapa sawit berkelanjutan,
Meningkatkan tingkat daya saing minyak kelapa sawit Indonesia di pasar dunia,
dan
Mendukung komitmen Indonesia dalam pertemuan Copenhagen 2009. Karena
ISPO didasarkan kepada peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, maka
ketentuan ini merupakan mandatory/kewajiban yang harus dilaksanakan bagi
pelaku usaha perkebunan di Indonesia.
Berbagai peraturan perundangan di Indonesia yang merupakan landasan dalam
penerapanSistem
Pembangunan
Perkebunan
Kelapa
Sawit
Berkelanjutan
Indonesia(Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) ) antara lain:
1) Undang-undang No.18 tahun 2004 tentang perkebunan,
2) Undang-undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria,
3) Undang-undang No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
4) Undang-undang No.41 tahun 2000 tentang Kehutanan,
5) Peraturan Pemerintah No.40 tahun 1996 tentang HGU, Hak Milik, Hak Pakai Atas
Tanah,
6) Peraturan Pemerintah No.27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup,
7) Permentan No.26 tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan Perkebunan,
8) Permentan No.14 tahun 2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk
Budidaya Kelapa Sawit,
9) Permentan No.7 tahun 2009 tentang Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan,
10) Permentan No.36 tahun 2009 tentang Persyaratan Penilaian Usaha Perkebunan,
11) Peraturan Menteri Agraria/ Kepala BPN No.2 tahun 1999 tentang Izin Lokasi,
12) Keputusan Bersama Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian dan Kepala Badan
Pertanahan Nasional No.364/Kpts-II/1990, 519/Kpts/Hk.050/7/1990 dan
23/VIII/90 dan 23/VIII/1990 tentang Ketentuan Pelepasan Kawasan Hutan dan
Pemberian Hak Guna Usaha untuk Pengembangan,
13) Peraturan Dirjenbun No.174 tahun 2009 tentang Kuesioner Penilaian Usaha
Perkebunan dan Pengolahan Data untuk Penilaian Usaha Perkebunan Tahap
Pembangunan dan Operasional,
281
Hasil dari pembangunan perkebunan kelapa sawit di wilayah Kalimantan Barat
diakui memang telah memberikan dampak positif bagi pembangunan sosial dan
pengurangan kemiskinan, pengembangan wilayah, pemenuhan kebutuhan pangan dan nonpangan dan ekspor yang mendatangkan devisa bagi negara. Susila (2004) mengutip hasil
penelitian Asian Development Bank (ADB, 2002) menunjukkan bahwa nilai koefisien gini,
sebagai indikator ketimpangan pendapatan di wilayah perkebunan sawit relatif baik
dengan koefisien 0,36. Nilai tersebut termasuk kategori pendapatan yang relatif merata,
karena masih di bawah 0,40 sebagai ambang dari mulai ada indikasi ketimpangan
pendapatan atau distribusi pendapatan yang cukup baik. Jumlah rumah tangga yang
pendapatannya sekitar Rp 5 juta yang termasuk katagori miskin relatif kecil. Pendapatan
rumah tangga secara umum di atas Rp 10 juta-Rp 25 juta per tahun, yang jauh di atas garis
kemiskinan. Proporsi masyarakat ini mencapai di atas 75% dari total rumah tangga. Hal ini
menegaskan bahwa perkebunan sawit berperan besar dalam mengentaskan kemiskinan.
II. Bentuk-Bentuk Konflik Sosial Pembangunan PerkebunanKelapa Sawit
Wilayah Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar), ditinjau dari pengelompokkan
penduduk tergolong majemuk dan sering terjadi konflik sosial antar etnik khususnya antara
etnik Dayak dan etnik Madura, sehingga Kalbar dikenal sebagai daerah rawan konflik.
Arafat (1998) mencatat bahwa sejak 1933 sampai dengan 1977, telah terjadi 10 kali konflik
dengan kekerasan. Menurut Petebang, et al (2000) sejak tahun 1952 sampai dengan tahun
1999 telah terjadi sebanyak 12 kali, dan Alqadrie (2002) mengungkapkan konflik
kekerasan antar etnik di Kalbar terjadi sebanyak 13 (tiga belas) kali. Sebanyak 10 (sepuluh)
kali melibatkan kelompok etnik Dayak dengan kelompok etnik Madura, yakni pada tahun
1962, 1963, 1968, 1972, 1977, 1979, 1983, 1996, 1997 dan 1999. Sebanyak 1 (satu) kali
antara kelompok etnik Dayak dengan kelompok Tionghoa, yakni tahun 1967. Kemudian 2
(dua) kali antara kelompok etnik Melayu dengan etnik Madura, tahun 1999 dan 2000.
Kerawanan potensi konflik di Kalimantan Barat sekarang ini tidak lagi hanya
ditinjau dari perbedaan etnik semata tetapi lebih cenderung dan lebih menonjol pada
konflik pembangunan perkebunan kelapa sawit yaitu antara (1) Kelompok-kelompok yang
berkonflik itu masyarakat adat dengan perkebunan, (2) karyawan dengan perusahaan, (3)
pemilik lahan dengan pemerintah. Selain itu, juga (4) masyarakat dengan pemerintah, (5)
perusahaan dengan pemerintah, (6) masyarakat dengan masyarakat, (7) masyarakat dengan
LSM dan (8) LSM dengan pihak perusahaan.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Kesbangpol Provinsi Kalimantan Barat dan
pemberitan media massa, terungkap bahwa sejak tahun 2009 sampai dengan Desember
2011 terdapat perbandingan jumlah kasus konflik perkebunan di Kalimantan Barat. (lihat
tabel 3).
Jumlah konflik adalah angka tercatat berdasarkan amatan maupun investigasi
lembaga pencatat. Oleh karena itu selalu ada ”the dark number” yang merupakan konflikkonflik yang tidak teramati atau terinvestigasi sehingga tidak nampak dalam database.
Dengan begitu, jumlah konflik perkebunan kelapa sawit yang sebenarnya akan lebih
banyak dari jumlah 116 kasus.
Tabel 3.Data Konflik Perkebunan Kelapa Sawit di Kalimantan Barat
Kesbangpol
Tim Peneliti
No
Kabupaten / Kota
Kasus Tahun
Kasus Tahun
Kasus Tahun
2009 s/d 2011
2012
2013
1
Kab Kubu Raya
22
0
0
2
Kab Sanggau
15
5
0
3
Kab Sintang
17
6
6
282
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Kab Ketapang
10
Kab Sambas
13
Kab Sekadau
10
Kab Kapuas Hulu
7
Kab Landak
6
Kab Mempawah
3
Kab Melawi
3
Kab Bengkayang
5
Kab Kayong Utara
1
Kota Singkawang
4
Kota Pontianak
0
Jumlah
116
Sumber: Data Diolah, Tim Peneliti 2015
5
3
1
3
0
0
4
4
1
0
0
32
5
2
0
0
0
0
4
0
1
0
0
18
Adapun bentuk-bentuk konflik sosial atas pembangunan perkebunan kelapa sawit,
antara lain:
1. Demonstrasi Kepada Pemerintah Daerah (Bupati/DPRD) untuk menuntut ganti
rugi maupun menolak kehadiran perkebunan Kelapa Sawit
Peristiwa demonstrasi ke kantor Bupati maupun DPRD Kabupaten hampir pernah
terjadi di wilayah provinsi Kalimantan Barat dengan tuntutan berupa masalah tapal
batas, pengambilalihan lahan, ganti rugi lahan, investasi. Contoh kasus:
a) Konflik lahan (ganti rugi lahan dan sanksi adat) antar masyarakat Desa Balai
Harapan Kecamatan Tempunak dengan pihak perusahaan PT SAM (Sintang
Agro Mandiri), dengan eskalasi konflik pengerahan massa demo (unjuk rasa)
dan pengrusakan kantor perusahaan pada tanggal 26 Februari 2011.
b) Konflik antar warga Dusun Engkeruh Desa Rasau Kecamatan Ketungau Hulu
dengan Perusahaan DAP (Duta Agro Prima) dengan eskalasi konflik berupa
sikap menolak keberadaan perusahaan di wilayah tersebut.
c) Konflik antar warga masyarakat Dusun Mengsuang Kecamatan Ambalau dan
Dusun Gurung Permai Desa Gurung Sengiang Kecamatan Serawai dengan
pihak PT SSA (Sinar Sawit Andalan) dan PT SHP (Sumber Hasil Prima) di
Kecamatan Ambalau pada tanggal 3 Mei 2012, dengan eskalasi konflik unjuk
rasa menolak keberadaan perusahaan di daerah tersebut.
2. Pemagaran Kebun Perusahaan oleh WargaSekitar. Contoh kasus seperti:
a. Konflik antar warga masyarakat Dusun Landung dan Dait dengan perusahaan
PTPN XIII Nanga Jetak, dengan eskalasi konflik pemagaran lahan perkebunan
oleh masyarakat (Polres Sintang, 08/10/2013)
b. Konflik antar warga Dusun Begendang Desa Natai Panjang Kecamatan Kayan
Hilir dengan PT BSL (Bumi Sentosa Lestari), dengan eskalasi konflik
pengerahan masa dan pemagaran areal perusahaan pada tanggal 1 Februari 2012
(Sumber: Polres, 08/10/13).
c. Konflik antar warga masyarakat Desa Sei. Risap Kecamatan Binjai Hulu
dengan PT SNIP (Satya Nusa Indah Perkasa) pada tanggal 02 April 2012
dengan eskalasi konflik berupa pemagaran/penutupan akses
3. Penyitaan / Penyegelan Barang atau Mesin Milik Perusahaan, contoh kasus seperti:
a. Konflik lahan antara warga masyarakat Desa Tanjung Prada Kecamatan
Tempunak dengan pihak PT SAM pada tanggal 12 Desember 2012, dengan
283
eskalasi konflik penahanan 3 kunci kendaraan berat milik perusahaan oleh
warga.
b. Konflik Lahan Perkebunan antara Masyarakat Desa Balai Gemuruh Dengan
PT. KSUP (Karya Sukses Utama) pada tanggal 18 mei 2013, warga melakukan
penahanan terhadap 3 buah alat berat jenis buldozer milik PT. KSUP.
4. Pemukulan, penganiayaan dan Pembakaran, contoh kasus seperti:
a) Konflik antar warga Dusun Beringin Jaya Desa Nanga Jetak Kecamatan Dedai
dengan Satgas perkebunan PTPN XIII, dengan eskalasi konflik pemukulan,
pembakaran kendaraan bermotor dan pengrusakan pos Satgas (Equator,
22/09/08) dan (Pontianak Post, 23/09/08)
b) Konflik antar warga masyarakat Desa Lebak Ubah, Bloyang, Melayang Sari
dan Panjernang Kecamatan Sei. Tebelian dengan pihak PT SDK IV (Sinar
Dinamika Kapuas 4) pada tanggal 9 Maret 2011, dengan eskalasi konflik
pengerahan masa dan pembakaran kamp. perusahaan oleh warga (sumber:
Polres, 08/10/13).
5. Pemberian Sanksi Hukum Adat Pada pihak Perusahaan, contoh kasus :
a. Konflik antara warga Dusun Kancing II dan Desa Sepak Tonak Kecamatan
Belimbing kabupaten Melawi dengan PT Rafi Kama Jaya, dengan eskalasi
tuntutan melakukan prosesi adat dalam melakukan penebangan oleh
perusahaan., tahun 2012.
III. Faktor-Faktor Penyebab Timbulnya Konflik Perkebunan
1. Sengketa Lahan
Sengketa lahan adalah faktor utama penyebab konflik perkebunan yang sering
mengemuka di masyarakat. Tak heran masyarakat yang selalu menjadi korban
ketidakadilan. Konflik yang mengiringi pembangunan sektor perkebunan kelapa sawit
sangat erat dengan persoalan tanah. Tanah sebagai faktor produksi utama wajib ada
sebelum kebun sawit dibangun. Akan tetapi tanah yang dibutuhkan oleh usaha perkebunan
kenyataannya berada dalam penguasaan masyarakat, terutama masyarakat adat. Lebihlebih, masyarakat adat bukan hanya meyakini dirinya sebagai penguasa tanah, tetapi
sebagai pemilik tanah atas dasar hukum adat yang mereka jalankan sehari-hari, sehingga
cukup kuat untuk dipertahankan kepenguasaan dan atau kepemilikannya. Namun, karena
aturan dan kebijakan pemerintah mengatakan sebaliknya, bahwa pembangunan sektor
perkebunan kelapa sawit adalah untuk dan demi kepentingan nasional, tanah-tanah yang
dipertahankan oleh masyarakat itu, dicarikan ’jalan’ melalui sejumlah peraturan dan
kebijakan,
Konflik yang mengiringi pembangunan sektor perkebunan kelapa sawit sangat erat
dengan persoalan lahan (tanah).Tanah sebagai faktor produksi utama wajib ada sebelum
kebun sawit dibangun. Akan tetapi tanah yang dibutuhkan oleh usaha perkebunan
kenyataannya berada dalam penguasaan masyarakat, terutama masyarakat adat. Lebihlebih, masyarakat adat bukan hanya meyakini dirinya sebagai penguasa tanah, tetapi
sebagai pemilik tanah atas dasar hukum adat yang mereka jalankan sehari-hari, sehingga
cukup kuat untuk dipertahankan kepenguasaan dan atau kepemilikannya. Namun, karena
aturan dan kebijakan pemerintah mengatakan sebaliknya, bahwa pembangunan sektor
perkebunan kelapa sawit adalah untuk dan demi kepentingan nasional, tanah-tanahyang
dipertahankan oleh masyarakat itu,dicarikan ’jalan’ melalui sejumlah peraturan dan
284
kebijakan, agarbisa diambil alih untuk pembangunan kebun sawit. Akibatnya, banyak
tanah-tanah dalam penguasaan dan atau pemilikan masyarakat yang diambil alih baik
melalui cara-cara kekerasan maupun dengan tipu daya informasi. Berbagai skema kerja
sama pun dirumuskan untuk memudahkan proses pengambi-alihan tanah dari masyarakat,
antara lain skema inti-plasma, koperasi, jual beli, konsolidasi tanah maupun kompensasi.
2. Lemahnya Keadilan dan Penegakan Hukum
Lemahnya keadilan disini terlihat dari adanya penyerangan dan penangkapan
terhadap warga masyarakat yang melakukan penolakan terhadap pembangunan
perkebunan kelapa sawit di daerah. Seperti kasus di Kabupaten Sambas, pada bulan
November 2001, 50 anggota Brimob (Indonesia police special force) menyerang warga
Dayak Bakati' dan menangkap sejumlah tokoh adat yang menolak masuknya perkebunan
kelapa sawit PT. RWK di sana. Meski didemo ratusan warga Dayak, tokoh adat ini
ditangkap, diadili dan dipenjara dua tahun."Selama ini, banyak perusahaan perkebunan
sawit meminta pengamanan kepada pihak kepolisian. Padahal, tugas Polisi adalah menjaga
ketertiban dan keamanan di masyarakat Kalbar,". Oleh sebab itu rasa keadilan kurang
mendapat perhatian terkait adanya keberfihakan pihak kepolisian pada pihak perusahaan.
Adanya indikasi ketimpangan kebijakan dan kepemihakan keadilan dalam
penegakan hukum adalah penyebab utama permasalahan, bila tidak ditangani secara
konsisten maka konflik akan terus-menerus terjadi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Tim peneliti (2015), terungkap bahwa, seluruh wilayah di Kalimantan Barat dimana
terdapat perkebunan kelapa sawit (11 Kabupaten dan 1 kota) mengalami konflik sengketa
lahan. Sengketa lahan terjadi antara (1) pihak perusahaan dengan tanah masyarakat
setempat dan tanah adat, (2) Sengketa tapal batas antar desa, antar kecamatan dan antar
kabupaten).
Lemahnya Penegakan hukum dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit
ternyata tidak sedikit perusahaan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang belum
memenuhi berbagai syarat dan kewajiban hokum sesuai aturan yang berlaku. Meskipun
begitu, sebagian besar telah melakukan serangkaian tindakan operasional dalam rangka
pembangunan perkebunan sawit. Misalnya, Hak Guna Usaha(HGU) baru dimiliki oleh
perusahaan perkebunan sawit setelah kebun sawit dioperasikan bertahun-tahun.
Perusahaan-perusahaan tersebut hanya bermodal Izin Lokasi dalam membangun
kebunnya.Disampingitu,tidaksedikit perusahaan-perusahaan yang belum melaksanakan
kewajiban-kewajiban tertentu yang dibebankan pada saat pemberian Hak Guna Usaha oleh
Badan Pertanahan Nasional(BPN).
Menurut hokum dengan logika penalarannya yang positif, perusahaan-perusahaan
yang demikian terbilang tidak memiliki keabsahan hokum untuk melakukan tindakantindakan hokum seperti mengoperasionalkan perkebunan sawit sebelum dipenuhinya
syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh aturan perundang-undangan. Karena,
sebagaimana diketahui dalam setiap SKHGU adalah usul yang menyatakan bahwa apabila
kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada pemegang HGU tidak dipenuhi, maka
SKHGU batal dengan sendirinya. Jika SKHGU tersebut secara hokum batal, maka seluruh
kegiatan usaha harus dihentikan demihukum, karena sudah tidak ada lagi alashak yang
menjadi dasar hokum pengoperasian perusahaan. Namun pada kenyataannya dilapangan,
perusahaan-perusahaan yang tidak memenuhi kewajibannya tetap menjalankan operasi
perkebunan.
3. Perusahaan Mengabaikan Kepentingan Masyarakat
Perusahaan yang hanya mementingkan pengembangan perusahaan semata dengan
mengorbankan kepentingan masyarakat adalah penyebab konflik lainnya. Egoisme akan
285
menjadi perkara besar dan berbuntut panjang. Aspirasi yang disampaikan harus
menjadiwarning sehingga perlu didengarkan oleh pihak perusahaan perkebunan. Seperti
penolakan masuknya perusahaan sawit yang berpotensi merusak alam dan lingkungan. Jika
aspirasi masyarakat diabaikan, memungkinkan terjadinya konflik yang berkepanjangan.
Mendengarkan aspirasi masyarakat adalah tindakan yang efektif menghindari konflik,
selagi hak yang menjadi tuntutan masyarakat masih dalam batas kewajaran. Masyarakat
sekitar perkebunan kurang mendapatkan perhatian dimana program Corporate Social
Responsibility(CSR) tidak dilaksanakan sehingga kehadiran perkebunan kelapa sawit tidak
memberikan dampak bagi perkembangan kemajuan daerah. Oleh sebab itu penolakan atas
kehadiran perkebunan kelapa sawit semakin meningkat.
4. Arogansi Pihak Perusahaan
Terkadang sikap arogansi ditunjukkan oleh perusahaan yang mengabaikan hakhak karyawannya. Permintaan karyawan untuk mendapatkan upah layak berbuah
kepahitan. Karyawan yang telah bekerja selama belasan hingga puluhan tahun tak luput
dari ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Tuntutan karyawan cukup beralasan
yakni ingin Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Dalam hal ini, perusahaan harus mengambil
sikap bijak jika ingin menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Sebab, ini menyangkut
kemajuan perusahaan kedepannya. Permasalahan ini dapat mengundang konflik internal
maupun eksternal bagi perusahaan itu sendiri. Selain itu seringkali pihak perusahaan
melakukan melakukan penutupan jalan umum yang sudah termasuk dalam areal
perkebunan yang sebelumnya merupakan jalan yang dipergunakan oleh warga sekitar
dengan alasan keamanan kebun. Kondisi ini seringkali menimbulkan reaksi, seperti yang
terjadi di kabupaten Ketapang, Sanggau dan Sintang dimana masyarakat berdemo ke
perusahaan yang melakukan penutupan jalan.
2. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, dapatlah ditarik suatu kesimpualn sebagai berikut:
a. Bentuk-bentuk konflik sosial atas pembangunan perkebunan kelapa sawit, antara lain:
(1) demonstrasi Kepada Pemerintah Daerah (Bupati / DPRD) untuk menuntut ganti rugi
maupun menolak kehadiran perkebunan Kelapa Sawit; (2) pemagaran lahan
perkebunan milik perusahaan; (3) Penyitaan / Penyegelan Barang atau Mesin; (4)
Pemukulan, penganiayaan dan Pembakaran, dan (5) Pemberian Sanksi Hukum Adat
Pada pihak Perusahaan
b. Kerawanan konflik sosial pembangunan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat
dapat dikelompokkan atas beberapa faktor, yaitu: (1) konflik sengketa lahan, (2)
lemahnya keadilan dan penegakan hukum, (3) perusahaan mengabaikan kepentingan
masyarakat dan (4) arogansi pihak perusahaan dalam menjalan aktivitas usaha.
3. DAFTAR PUSTAKA
Alqadrie,Syarief. I. .2004. Pola Pertikaian di Kalimantan dan Faktor-FaktorSosial,
Budaya,Ekonomi,dan Politik yang Mempengaruhi Mereka dalam Potret Retak
Nusantara (Lambang Trijono,ed).Yogjakarta: CSPS Books.
Alpha Amirrachman (Ed.) 2007. Revitalisasi Kearifan Lokal: Studi Resolusi Konflik di
Kalimantan Barat, Maluku dan Poso. Jakarta: ICIP dan European Commission.
Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi Kalimantan Barat. Laporan Permasalahan
yang Menonjol Tahun 2012 di Wilayah Kalimantan Barat yang disampaikan
pada acara Rakornas Kominda Se Indonesia Tahun 2012 Hotel Sahid Jaya 18
Juli 2012
286
Elyakim Simon Jalil, 2003. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah di Era Otonomi Daerah:
Kasus di Daerah Konflik (Kabupaten Sintang). Makalah dalam Prosiding
Lokakarya Nasional di Fakultas Geografi UGM, Jogjakarta, 30 Agustus.
Fauziah dkk. 2005. Pemetaan Kerukunan antarumat Beragama di Kalimantan Barat.
Laporan Penelitian bersama Balitbang-Puslitbang Kementerian Agama RI.
Haryana, Arif Jarot Indarto, Noor Avianto. 2000. Kebijakan dan Strategi Dalam
Meningkatkan Nilai tambah dan Daya Saing Kelapa Sawit Indonesia Secara
Berkelanjutan dan Berkeadila. Jakarta, Direktorat Pangan dan Pertanian
BAPPENAS.
Keputusan Bersama Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian dan Kepala Badan Pertanahan
Nasional No.364/Kpts-II/1990, 519/Kpts/Hk.050/7/1990 dan 23/VIII/90 dan
23/VIII/1990 tentang Ketentuan Pelepasan Kawasan Hutan dan Pemberian Hak
Guna Usaha untuk Pengembangan,
Otong Rosadi. 2012. Hukum, Ekologi dan Keadilan Sosial: dalam Perenungan Pemikiran
Filsafat Hukum, Thafa Media, Yogyakarta, 2012
Peraturan Pemerintah No.40 tahun 1996 tentang HGU, Hak Milik, Hak Pakai Atas Tanah,
Peraturan Pemerintah No.27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup,
Permentan No.26 tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan Perkebunan,
Permentan No.14 tahun 2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk
Budidaya Kelapa Sawit,
Permentan No.7 tahun 2009 tentang Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan,
Permentan No.36 tahun 2009 tentang Persyaratan Penilaian Usaha Perkebunan,
Peraturan Menteri Agraria/ Kepala BPN No.2 tahun 1999 tentang Izin Lokasi,
Peraturan Dirjenbun No.174 tahun 2009 tentang Kuesioner Penilaian Usaha Perkebunan
dan Pengolahan Data untuk Penilaian Usaha Perkebunan Tahap Pembangunan
dan Operasional.
Rahmaniah, Herlan, Donatianus. 2013. Pemetaan Rawan Konflik Sosial Di Provinsi
Kalimantan Barat. Hasil Penelitian kerjasama Antara FISIP UNTAN dengan
Dinas Sosial Provinsi kalimantan Barat. Pontianak (Tidak diterbitkan).
Ridwan, Zaenudin & Ibrahim. 2007. Merajut Perdamaian di Kalimantan Barat. Dalam
Alpha Amirrachman (ed.). Revitalisasi Kearifan Lokal: Studi Resolusi Konflik
di Kalimantan Barat, Maluku dan Poso. Jakarta: ICIP dan European
Commission.
Ridwan Lubis (ed.). 2005. Menelusuri Kearifan Lokal di Bumi Nusantara. Jakarta:
Balitbang Diklat-Puslitbang Kehidupan Beragama, Kementerian Agama RI.
Satjipto Rahardjo, Transformasi Nilai-niloai dalam Penemuan dan Pembentukan Hukum
Nasional, Seminar BPHN 1995.
Statistik Perkebunan Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat, 2014, Pontianak.
http://disbun.kalbarprov.go.id/
Suteki Desain Hukum di Ruang Sosial, Thafra Media Yogyakarta, 2013
Susan,Novri.2010. Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group
Undang-undang No.18 tahun 2004 tentang perkebunan,
Undang-undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria,
Undang-undang No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Undang-undang No.41 tahun 2000 tentang Kehutanan,
Sumber Internet:
Antara
news.comhttp://www.antaranews.com/berita/301626/tokoh-di-singkawangsepakat-damai
287
Borneo Tribune, Kisruh Nanga Jetak: Bernard Tersangka Penganiayaan. Editor: Adi M.
Chandra
http://ditjenbun.pertanian.go.id/setditjenbun/berita-238-pertumbuhan-areal-kelapa-sawitmeningkat.html. Jumat, 21 November 2014 - 16:13:16 WIB Pertumbuhan Areal
Kelapa Sawit Meningkat
http://groups.yahoo.com/neo/groups/tionghoa-net/conversations/topics/104859
http://andhikaphantomhive.blogspot.com/2012/01/konflik-sara.html
http://muhlissuhaeri.blogspot.com/2010/06/naga-meliuk-warga-bertumbuk.html
http://rri.co.id/index.php/berita/76067/MK-Tolak-Permohonan-Sengketa-PemilukadaKabupaten-Kubu-Raya#.UoGb2lvH2P4
http://www.sayangi.com/daerah1/read/6284/rusman-ali-menang-di-pilkada-kubu-raya
http://www.topix.com/forum/world/malaysia/T0O9SELKDEB0744E2
Kompas.com:http://nasional.kompas.com/read/2012/08/13/03354875/twitter.com
www.kompas.com, Biang Rusuh Lapas Sintang, Napi Eks Singkawang, terbit Jum`at 27
September 2013. Editor: Glori K. Wardianto.
www.tribunpontianak.co.id. Kronologis Rusuh di Lapas Sintang. Terbit 25 September
2013. Editor: Susilawati.
www.tribunpontianak.co.id. FKPD Sintang Tolak Ketum FPI, terbit Minggu 11 Maret
2012.
www.beritasatu.com. Ditempeleng Kalapas, Napi Sintang Kalbar Rusuh. Terbit Rabu 25
September 2013.
www.aruemonitor.co. Lapas Sintang Rusuh, 1 Polisi terluka. Terbit Rabu 25 September
2013. Editor:Aceng Mukarram.
www.actual.co. Lapas klas 2 B Sintang Kalbar Rusuh, 1 Polisi terluka. Terbit Rabu 25
September 2013. Editor: Aceng Mukarram.
www.kalimantan-news.com. Sikapi Penolakan Kehadiran Ketua FPI, Tokoh Agama
Minta Masyarakat tetap Jaga Kerukunan. Diterbitkan 14 Maret 2012. Editor:
Petrus Heri Sutopo.
www.kalimantan-news.com.
Bangun Sistem Peringatan Dini Konflik Investasi.
Diterbitkan 21 April 2011. Editor: Heri
www.kompasiana.co.id. Berbagai aksi penolakan FPI di Kalimantan Barat. Diterbitkan
16 Maret 2012.
www.teribunnews.com.Coffee Morning Kodim Sintang Antisipasi Konflik Kebun. Terbit
Rabu 25 Januari 2012. Editor: Slamet Bowo Santoso
www.equator-news.com. Pabrik PTPN XIII Nanga Jetak Rusuh. Diterbitkan Senin 22
September 2008. Laporan Walhi Kalbar.
www.pontianakpos.com . Polisi Usut Pengrusakan Pos Satpam. Diterbitkan Selasa 23
September 2008.
www.mongabay.co.id. Lima Masalah Utama Pemicu Konflik HTI di Kalbar. Diterbitkan
29 Juli 2013. Editor: Andi Fachrizal.
288
289
EKOLOGI DALAM PERGULATAN TANAH ULAYAT MASYARAKAT
ADAT
Siti Aminah
Departemen Ilmu Politik, FISIP Universitas Airlangga
[email protected]
Abstrak
Artikel ini mengeksplorasi tentang fenomena pergulatan tanah ulayat yang melibatkan
negara, masyarakat adat dan investor dengan menggunakan perspektif politik ekologi. Ada
dua hipotesis yang dibangun dari paper ini, yaitu: dalam konteks kekuasaan, ada
keterkaitan terjadi ketika negara membuat kebijakan intensifikasi pertanian modern yang
berciri padat teknologi dan modal. Bagaimana tanah ulayat menjadi area yang acap
menjadi ajang konflik antara tiga pihak tersebut. Pertama, kecenderungan praktik dari
politik ekologi yang telah menimbulkan resistensi masyarakat adat dalam
mempertahankan tanah ulayat. Kedua, dari konflik tiga pihak tersebut mengantarkan pada
terbitnya regulasi (Peraturan Daerah) yang menguatkan posisi tawar masyarakat adat
untuk mengelola tanah ulayatnya. Dengan perspektif politik ekologi dapat menjelaskan
bagaimana faktor politik memengaruhi kebijakan negara dan investor dalam intensifikasi
pertanian dan memberi dampak pada terjadinya konflik antara ketiga pihak tersebut.
Artikel ini diakhiri dengan melihat implikasi dari analisis untuk membayangkan
rasionalitas masyarakat adat untuk melakukan gerakan sosial atau resistensi dalam upaya
mempertahankan tanah ulayatnya.
Kata kunci: Politik Ekologi, Tanah Ulayat, Resistensi Masyarakat Adat, Gerakan Sosial
Abstract
The phenomenon of communal land struggle around Merauke areawhat chance do
indigenous people stand against multinationals/corporations and state. It is warning state
and corporation fearing local anger and many grand investment plans have failed here.
This research departed from an attempt to explain interlink between state and corprations
to make modern agricultural intensification policies based on solid technology and capital.
In reality, there is conflict between corporations and local customary community. There is
rationality of local customary community to resistance in order to maintain the rights of
legal ownership. In this context, the existence of the state seemed to vanish. This study uses
political ecology approach. In this case reveals, it has been two trends practices of political
ecology related with the struggle of indigenous peoples' lands to obtain legal certainty.
First, there is resistance in defending indigenous communal land. Second, conflict between
the state vis a vis the corporation and the corporation vis a vis indigenous people. This
conflict became as an instrument for local indigenous people to delivers regulation of
communal land (local laws). The indigenous people want to survive as a culture and protect
their land.
Keywords: Politicalecology, Communal Land, State, Corporate Interest, Indigenous
Peoples
290
1. PENDAHULUAN
Urgensi penelitian ini adalah terkait dengan pengembangan food estate di
Kabupaten Merauke yang dicanangkan pemerintah Joko Widodo. Implementasi program
food estate membutuhkan pengadaan lahan dalam jumlah ribuah hektar. Hal ini
menimbulkan serangkaian problema sosial politik ekonomi dan ekologi. Problema muncul
karena status tanah di Kabupaten.Merauke, Papua itu dimiliki masyaraat adat yang
didalamnya melekat hak ulayat, sehingga adalah tanah itu sebagai tanah ulayat dan pola
penguasaan dan pengelolaan tanah berada di tangan masyarakat adat (suku-suku/clan).
Yang menarik dari kajian ini adalah ketika pemerintah sebagai pencanang kebijakan,
masyarakat adat sebagai aktor sosial yang tanahnya terkena kebijakan, dan korporasi yang
digandeng pemerintah untuk menjalankan dan merealisasi perwujudan food estate.
Interaksi tiga pihak antara aktor negara, aktor sosial, dan aktor ekonomi ini acap
menimbulkan gesekan kepentingan.
Dari perpektif politik ekologi, program food estate itu melibatkan interaksi antara
aktor negara, masyarakat dan aktor ekonomi berinteraksi dalam kontekstualisasi
(kerusakan) lingkungan. Dalam interaksi tersebut ada muatan kapitalisme dan degradasi
lingkungan itu akibat eksploitasi alam dan tekanan terhadap lingkungan terlalu kuat dan
negara tidak mampu mengontrolnya. Paul Robbins (2004: 12) berpendapat bahwa politik
ekologi politik menawarkan eksplorasi berbasis penelitian untuk menjelaskan keterkaitan
kondisi dan perubahan sistem lingkungan termasuk lingkungan sosial dan perubahan itu
yang mencakup perubahan dalam hubungan kuasa.
Fokus penelitian ini: pertama, praktik dari politik ekologi yang terlihat dalam
program food estate di Merauke telah menimbulkan resistensi/protes sosial masyarakat
adat terhadap aktor ekonomi (korporasi dan investor) yang menyewa tanah ulayatnya.
Kedua, resistensi/protes sosial yang dilakukan masyarakat adat (aktor sosial) menyulut
konflik ketiga aktor (negara, korporasi, dan masyarakat adat). Konflik tersebut berdampak
pada pemalangan tanah adat yang sudah disewakan kepada korporasi dan dapat berujuang
pada upaya penerbitiuan Raperda. Kedua permasalahan tersebut dalam perspektif politik
ekologi (neomarxian) merupakan pergulatan manusia dalam mengakumulasi nilai lebih.
Karena asumsinya, konflik dan kultur modernisasi di bawah ekonomi politik kapitalis
global sebagai kekuatan utama dalam membentuk kembali dan menggoyahkan interaksi
manusia dengan lingkungan alamnya. Manusia, baik masyarakat adat maupun kapitalis
mengeksploitasi kekayaan alamnya (hutan) sehingga menggeser fungsi ekologi hutan.
Implikasinya, sehingga satwa dan fauna hilang dan rusak. Di Merauke, hutan sebagai tanah
ulayat sudah banyak lokasi industri sudah menggeser eksistensi hutan adat dan mengubah
kehidupan masyarakat adat menjadi mahkluk ekonomi sesaat. Di balik peristiwa protes
sosial dan konflik antara aktor negara, aktor sosial, dan aktor ekonomi sebenarnya yang
terjadi adalah penghindaran risiko.
2.
TINJAUAN PUSTAKA
Mewujdukan program food estatemembutuhkan lahan dalam jumlah besar dan
kebutuhan lahan itu tidak mudah. Karena lahan di Merauke adalah lahan yang dikuasai
oleh masyarakat (hukum) adat. Sehingga mereka memiliki hak yang disebut hak ulayat.
Keterkaitan antara hak ulayat dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun
291
1960, pasal 3 yang berbunyi sebagai berikut:”Dengan mengingat ketentuan-ketentuan
dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaa hak ulayat dan hak-ak yang serupa itu dari masyarakatmasyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian
rupa sehinggga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturanperaturan lain yang lebih tinggi.” Singkatnya, hak ulayat adalah hak yang dimiliki oleh
suku (clan), sebuah serikat desa-desa atau satu desa untuk menguasai seluruh tanah dan
seisinya dalam lingkungan wilayahnya. Tanah ulayat atau tanah bersama berada dalam
kelompok yang dipimpin kepala adat. Ada yang mengartikan hak ulayat/hak persekutuan
masyarakat hukum adat atas tanah itu, terutama menyangkut hak untuk menguasai,
memanfaatkan tanah, dan memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang hidup di atasnya
termasuk berburu binatang yang hidup di atas tanah itu.
Jika program food estate dapat berhasil maka harus ada perubahan fungsi hutan
(adat). Perubahan fungsi hutan adat menimbulkan banyak dampak ikutannya (sosial,
kultural, ekologi, politik, dan ekonomi). Hal ini menjadi salah satu urgensi dari penelitian
ini. Program food estate berhasil jika pemerintah dapat membuat keputusan politik yang
bisa menjembatani protes sosial dan konflik antara masyarakat adat dan korporasi. Yang
terjadi, masyarakat adat tidak berkonflik via a vis dengan negara, tetapi dengan korporasi
sehingga relasi antara masyarakat adat dan korporasi berada dalam rentang protes sosial
dan konflik.
Baik protes sosial maupun konflik antara masyarakat adat dan korporasi
merupakan fungsi dari bekerjanya kapitalisme. Protes sosial yang digelar oleh masyarakat
adat (indigenous people) merupakan respon terhadap bekerjanya kekuatan kapitalisme
yang dipandang sudah membuat eksistensi hutan adat berubah (luas dan fungsinya).
Perubahan eksistensi hutan adat akan merubah eksistensi masyarakat adat. Ini yang
menjadi problema rumit yang acap menjadi rintangan dalam implementasi program food
estate.
Perspektif politik ekologi menjadi salah satu alat analisis yang menjelaskan tentang
problema ekologi bukan disebabkan oleh faktor ekologi itu sendiri, tetapi karena faktor
politik. Bryant (1992) bahwa masalah ekologi adalah masalah politik. Perubahan ekologi
disebabkan oleh kekuatan politik dan kondisi ekologi (lingkungan) yang berubah
dipastikan menimbulkan konsekuensi terhadap ekologi dan relasi sosial, politik maupun
ekonomi masyarakat(Lowe dan Rüdig, 1986). Ini diperkuat oleh pendapat Bryant dan
Bailey (1997)yang menyatakan bahwa politik ekologi memiliki fokus yang mendalami
interaksi antara aktor negara, non-negara, dan ekologi fisik. Penerapan pendekatan politik
ekologi pada dasarnya merupakan pendekatan yang dapat menguak dan menelusuri
degradasi lahan. Ini sudah dimulai sejak Blaikie (1987).
Penerapan pendekatan politik ekologi dalam kajian ini relevan. Kajian ini
menganalisis dampak dari program food estate (perwujudan program Merauke sebagai
lumbung pangan nasional dan internasional) dan program serupa sebelumnya (Integrated
Food and Energy Estate- MIFEE) yang mengambil area di Merauke, Papua yang telah
menyebabkan masyarakat adat terus bergelut dalam protes sosial dan konflik dengan
korporasi/investor. Masyarakat adat mengalami kondisi ketidakpastian secara sosial dan
ekonomi. Karena masyarakat adat sudah tidak dapat mengelola tanahnya sendiri dan secara
tidak langsung, tidak ada cara lain untuk mengembalikan kedaulatan hidup mereka seperti
semula, sehingga mereka melakukan pamalangan atau memimnta bagi hasil kepada
kooporasi yang mengelola tanah ulayatnya tersebut.
Pengelolaan lingkungan di Merauke tak lepas dari bentuk relasi kuasa seperti yang
disinyalir Smith sebagai geografer marxian yang mendalami politik ekologi bahwa
lingkungan juga merupakan persoalan kapitalisme (1984). Karena, semua mode
292
kapitalisme akan terus menerus memproduksi dan memperbanyak nilai guna yang memuat
entitas secara kualitatif dan nilai itu juga dirancang untuk memiliki manfaat, baik praktis
maupun simbolik. Masyarakat adat di Merauke tidak hanya menjadi subsistem dari sistem
kapitalisme, tetapi mereka sudah mempraktikan ekonomi kapitalis dalam hidupnya seharihari. Tanah adat sebagai tanah ulayat disewakan (karena tanah ulayat tidak dapat
diperjualbelikan) kepada investor/korporasi untuk memperoleh uang. Kemudian uang
tersebut digunakan untuk konsumsi memenuhi kebutuhan hidup. Bisa dikatakan,
masyarakat adat sudah masuk kedalam perangkap kapitalisme, sehingga kerusakan alam
(degradasi kualitas dan kuantitas lingkungan: flora dan fauna) terjadi bukan karena sistem
kapitalis yang mengeksploitasi kekayaan alam secara berlebih semata-mata, tetapi juga
masyarakat. Kerusakan lingkungan hutan adat bukan eksploitasi alam yang dilakukan
korporasi sebagai faktor tunggal, tetapi faktor kapitalisme yang sudah memasuki
kehidupan masyarat adat dan mengubah pemahamannya tentang nilai ekonomi hutan.
Apapun yang bernilai uang akan dijual kepada investor/korporasi. Roh kapitalisme sudah
merambah menjadi norma baru atau bisa disebut sebagai nilai baru masyarakat adat. Dalam
hal ini terjadi perubahan yang asimetris karena masyarakat adat itu kondisinya masih dalam
taraf peradaban meramu dan berburu, tetapi pola dan gaya hidupnya menggantungkan diri
pada uang dan subsitensi konsumsi. Uang yang diperoleh hari inidihabiskan untuk hari ini
pula, caranya adalah dengan mengkonsumsi barang yang dianggap menjadi kebutuhan
hidupnya (apapun dibeli: rokok, sirih pinang, gula, kopi dan mie instant, dan barang lain).
Kehidupan konsumtif dan subsistensi ini bukan semata-mata akibat mereka mengenal nilai
uang tetapi juga ada faktor lain berupa lompatan perkembangan masyarakat. Masyarakat
di Merauke mengalami transisi dari berburu/meramu ke sistem kapitalisme.
Dengan terpenuhinya kebutuhan hari ini sudah maka mereka lupa bahwa uang
yang mereka miliki sudah habis dan tidak bisa ada lagi uang untuk kehidupan di hari-hari
selanjutnya. Ini suatu awal yang dalam pandangan orang luar tentang masyarakat adat
bahwa investor/korporasi sudah merubah pola hidup mereka dan menyebabkan munculnya
tatanan kehidupan baru yang berbasis pada nilai uang dan hal ini kemudian menjadi
ketidakteraturan kehidupan mereka. Jika sudah tidak ada uang , mereka akan melakukan
protes sosial atau melakukan pemalangan, dst. Tindakan mereka mendapat legitimasi kuat
secara adat karena tanah yang mereka sewakan kepada investor atau korporasi dapat ditarik
kembali karena eksistensi tanah yang mereka sewakan adalah tanah ulayat.
Problema dalam penyewaan tanah ulayat untuk mewujudkan program lumbung
pangan di Merauke akan selalu melibatkan interaksi tiga aktor. Interaksi politik ekologi itu
sudah melampaui interaksi politik ekonomi. Artinya, negara, masyarakat adat dan
korporasi berinteraksi tidak hanya dalam rentang bidang politik ekonomi, melainkan
ekologi. Hal ini dapat dilihat dari praktik masyarakat yang terus menerus berusaha
mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan
untuk itu disadari atau tidak disadari mereka menjalin suatu relasi sosial khusus untuk
mendukung praktik kapitalisme di Merauke. Dalam relasi kapitalisme selalu ada relasi
yang memperbesar kepemilikan, pertukaran dan persaingan. Akumulasi uang itu bersifat
subsistensi karen berapapun yang yang mereka peroleh akan digunakan untuk memenuhi
kebutuhan hidup untuk hari ini. Dalam konteks ini benar yang disampaikan oleh Smith
bahwa “...ada suatu suatu keharusan yang diberlakukan secara sosial" (1984). Dengan
relasi seperti ini ini membuat sirkulasi barang dan jasa dalam rantai komoditas yang ini
dipandang sebagai kehidupan yang wajar. Jadi masyarakat adat sudah terikat pada norma
ekonomi. Kemudian ini berkembang dan menjadi gesekan kepentingan.
Gesekan itu berada dalam rentang mulai dari protes sosial, konflik terbuka sampai
pada gerakan sosial yang dalam realitasnya berbentuk pembakaran lahan, penutupan area
pertanian oleh marga yang punya otoritas untuk itu. Tidak setiap protes sosial dan konflik
293
terbuka yang dilakukan masyarakat terhadap korporasi yang memegang lisensi atau
mengelola lahan untuk kegiatan tanaman industri dapat diselesaikan dengan cara negosiasi,
kerena untuk mencapai tahap negosiasi ada masalah internal dalam marga yang meguasai
lahan itu dan umumnya yang terjadi adalah setiap lahan dikuasai oleh marga yang dominan
dan kuat. Marga yang kuat ini melakukan negosiasi dengan korporasi yang menyewa
lahannya, sementara marga-marga lainnya tidak dilibatkan dalam proses negosiasi dan
bahkan tidak memperoleh pembagian uang sebagai bentuk kompensasi materi yang
diberikan korporasi kepada marga sebagai salah alternatif cara dalam menyewa tanah
ulayat mereka.
3.
METODE PENELITIAN
Pendekatan penelitian adalah kualitatif karena mengeksplorasi fenomena tentang
protes-protes politik dari masyarakat adat yang tanah ulayatnya mengalami transformasi
fungsi. Hutan adat beralih fungsi menjadi area untuk tanaman produktif padi atau untuk
pengembangan sistem pertanian modern. Penelitin ini berlokasi di Kab. Merauke karena
kabupetan ini menjadi wilayah pengembangan food estate yang ditetapkan oleh pemerintah
sekarang.
Unit analisis penelitian ini ialah pemerintah (aktor politik), masyarakat adat (aktor
sosial), dan korporasi (aktor ekonomi). Ketiga aktor ini berelasi dalam satu program yaitu
food estate di Kab. Merauke. Proses pencarian informan yang berasal dari institusi
digunakan melalui teknik penjajagan dan pelacakan informan sesuai dengan keahliannya
dan menjadi person yang memiliki peran atas perencanaan dan pengembangan area food
estate, pelaku usaha, masyarakat, tokokh adat, tokoh agama, pemerintah da aktor sosial
lainnya yang terlibat dalam program pengembangan food estate. Informasi dari informaninforman itu kemudian dipelajari dan dipertimbangkan secara metodologis untuk
selanjutnya diwawancara dalam konteks menjaring data perencanaan tata ruang Surabaya.
Sedangkan untuk wawancara dengan informan yang bersifat personal digunakan teknik
purposive.
Penelitian ini menggunakan tiga teknik pengumpulan data: pengamatan,
wawancara mendalam, dokumentasi (kajian literatur/jurnal tata ruang elektronik maupun
non elektronik), dan diskusi dengan tim ahli. Teknik pengamatan untuk merekam data
primer dengan memperhatikan kondisi factual di lapangan. Teknik wawancara mendalam
untuk menggali data primer dilakukan dengan beberapa informan (nara sumber). Untuk
memperoleh informan/narasumbermenggunakan teknik pemilihan sesuai permasalahan
dan tujuan penelitian. Sedangkan dota BPS sebagai data untuk mendeskripsikan kondisi
sosial ekonomi dan demografis masyarakat Kab. Merauke. Penelitian ini jugamelakukan
kajian literatur
maksudnya adalah mempelajari hasil-hasil riset sejenis untuk
mengungkapkan fenomena kesenjangan antara perencanaan dan implementasi tata ruang
kota dan peruntukannya. Analisis data menggunakan teknik analitik eksplanatif, di mana
semua data lapangan diseleksi, dipilah kemudian dianalisis dan diinterpretasi berdasar
aspek-aspek yang diteliti dengan memperhatikan konsep/teori yang digunakan.
4. TEMUAN DATA DAN PEMBAHASAN
Luas Kabupaten Merauke adalah 46.791,63 km2 (Merauke dalam angka, 2013),
yang terdiri dari 20 distrik dengan distrik terjauh adalah distrik Muting yaitu 247 kmdari
ibukota kabupaten. Distrik Waan merupakan distrik terluas yaitu mencapai 5.416,84 km2
atau sekitar 11,58% dari total luas areal diikuti oleh Distrik Ulilin seluas 5.092,57 km2 atau
10,88%. Kondisi Demografi Kabupaten Merauke merupakan Indonesia Mini karena
penduduk Merauke sudah heterogen dari berbagi etnis yang ada di Nusantara ini mulai dari
suku asli Merauke (Marind, Jei, Kanum dan Kimaam) juga suku suku lain seperti Maluku,
Timor, Bugis Makasar, Menado, Banjar, Dayak, Jawa, Batak dan Aceh juga ada di
294
Merauke ini.Hasil pendataan Biro Pusat Statistik dan juga data Pemerintah Kabupaten
Merauke pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil menunjukan bahwa jumlah
Penduduk yang Non Papua lebih besar mencapai 63 % dari jumlah penduduk kurang lebih
185.718 jiwa dan sebagaian besar adalah suku Jawa. Hal ini disebabkan sejak masa
bergabungnya Irian Barat ke Pangkuan NKRI tahun 1963 sudah ada upaya Pemerintah
mendatangkan Transmigrasi yang ditempatkan pada Pinggiran Kota Merauke (Sidomulyo,
Kumbe dan Kurik). Dan pada masa orde Baru era Tahun 80-an kembali program
Transmigrasi digalakkan dalam rangka pemerataan penduduk sekaligus mengolah
sumberdaya alam dengan potensi pertanian yang besar. Wilayah pemerintahan pada
Kabupaten Merauke terdiri dari 20 Distrik (Kecamatan), 8 (delapan) Kelurahan dan 160
(Seratus enam puluh) Kampung/desa.
Tabel.1. Luas Wilayah dan Persentase Luas Wilayah Menurut Distrik
DiKabupaten Merauke
Jumlah
Jumlah
Kampung
kelurahan
1
Kimaam
4.630,30 11
2
Waan
2.868,06 8
3
Tabonji
5.416,84 9
4
Ilyawab
1.999,08 4
5
Okaba
1.560,50 8
6
Tubang
2.781,18 6
7
Ngguti
3.554,62 5
8
Kaptel
2.384,05 4
9
Kurik
977,05 9
10 Malind
1.465,60 7
11 Animha
490,60 5
12 Merauke
1.445,63 2
8
13 Semangga
905,86 10
14 Tanah Miring
326,95 14
15 Jagebob
1.516,67 14
16 Sota
1.364,96 5
17 Naukenjerai
2.843,21 5
18 Muting
3.501,67 12
19 Elikobel
1.666,23 12
20 Ulilin
5.092,57 11
Sumber: RTRW Kabupaten Merauke Tahun 2013
Jumlah dan Distribusi Penduduk pada tahun 2013 jumlah penduduk di Kabupaten
Merauke berjumlah 70,002 jiwa yang menempati wilayah seluas 1.445,63 km2, dengan
komposisi penduduk laki-laki 35,974 jiwa (51,39 %) dan perempuan 34,028 jiwa (48,61%).
Sex ratio penduduk Kabupaten Merauke sebesar 105,72. Angka ini menunjukkan bahwa
dari setiap 100 perempuan terdapat sekitar 100 orang laki-laki. Kepadatan tiap Distrik yang
ada di Kabupaten Merauke tidak merata. Berdasarkan konsentrasi penduduk per distrik
didapatkan bahwa kepadatan penduduk tertinggi di wilayah Kabupaten Merauke berada di
wilayah Distrik Merauke yaitu 38,5 jiwa/km2, sedangkan konsentrasi yang terendah adalah
di Distrik Kaptel dan Distrik Ngguti yaitu masing-masingnya 0,6 jiwa/km2. Sedangkan
kepadatan rata-rata penduduk Kabupaten Merauke adalah 3,8 jiwa per km2.
Terkonsentrasinya jumlah penduduk di Distrik Merauke disebabkan oleh tersedianya
fasilitas pelayanan umum di distrik tersebut, dimana distrik-distrik lain di wilayah
kabupaten ini banyak yang belum terbangun. Bahkan sebagian besar distrik-distrik baru
No Distrik
Luas (Km2)
295
belum terbangun sama sekali baik dari segi fasilitas pelayanan maupun dari segi
infrastruktur. Faktor lainnya adalah tingginya bangkitan kegiatan di distrik tersebut
dibandingkan distrik lainnya.
Distrik-distrik lain yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi adalah Distrik
Semangga, Distrik Malind dan Distrik Kurik. Ketiga distrik tersebut sebelumnya adalah
merupakan kawasan transmigrasi. akan tetapi telah berkembang menjadi pusat-pusat
permukiman baru bagi masyarakat pendatang lainnya. Faktor kedekatan ketiga Distrik ini
dengan Kota Merauke serta didukung dengan akses jaringan jalan yang baik ke ibukota
kabupaten merupakan salah satu fakta menarik bagi penduduk yang ingin mencari
pekerjaan di Kota Merauke. Khusus untuk Distrik Semangga dan Kurik, di Distrik ini juga
terdapat desa-desa yang dihuni oleh penduduk perintis, yaitu penduduk pendatang non
transmigran yang telah berpuluh tahun tinggal di Merauke.
Sektor utama yang berkembang di Kabupaten Merauke selama ini adalah sektor
pertanian dan subsektor yang sangat kuat menunjang perekonomian Kabupaten Merauke
adalah pertanian lahan basah dan pertanian lahan basah, perikanan, dan peternakan
dikarenakan sumber daya alam yang banyak tersedia di Kabupaten Merauke adalah sumber
daya pertanian, perikanan, dan peternakan. Dengan demikian, pengembangan kawasan
industri yang tepat untuk di Kabupaten Merauke adalah industri yang inputnya dari
pertanian, yaitu industri pengolahan hasil pertanian, perikanan, dan peternakan tersebut
tanpa menganggu eksistensi hutan adat.
- Sewa Tanah, Hak Ulayat dan Degradasi Ekologi
Penyewaan tanah (adat) ke korporasi melalui mekanisme pelepasan adat dan ini
menghadirkan aktor-aktor yang menjadi representasi negara seperti TNI Angkatan darat,
Kepolisian, Pemerintah Distrik, dan tokoh-tokoh adat dan ketua marga yang
menandatangani surat pelepasan sebagai proses mengadministrasikan tanah yang
disewakan kepada korporasi dan upacara adat itu juga sebagai bukti bahwa pelepasan itu
merupakan bentuk negosiasi dari masyarakat adat terhadap korporasi yang menjalankan
program pemerintah. Pada pelepasan tana adat tersebut ada acara Toki Babi atau makan
Pinang sebagai serangkaian acara dan dalam upacara tersebut mereka melakukan sumpah
bersama, sumpah dengan darah ataupun sumpah atas nama tanah air untuk tidak akan
mengganggu kepemilikan tanah yang telah dilepas ini. Hukuman yang tidak ditaati akan
menuai karma, begitu keyakinan kuat yang dipegang dalam kehidupan masyarakat adat.
Pelepasan tanah adat/tanah ulayat yang akan disewakan harus melalui upacara adat
dan pelepasan tanah adat sesungguhnya sebagai cara untuk melegitimasi adanya perubahan
atas fungsi tanah adat menjadi tanah untuk kegiatan industri dan investasi (kepentingan
kapitalis) dan menghindari konflik. Meski sudah ada pelepasan untuk proses sewa
menyewa, masyarakat adat masih memiliki celah untuk mengembalikan tanah ulatnya yang
sudah disewakan ke investor. Ini juga berarti pelepasan hak ulayat diingkari oleh masyaraat
adat. Cara yang lazim dilakukan adalah dengan pemalangan.
Dengan masuknya investasi skala besar untuk perkebunan ataupun hutan tanaman
industri di wilayah Papua bagian selatan dinilai membawa dampak kerusakan ekologi dan
memunculkan persoalan sosial. Dua dampak besar adalah kerusakan sosial dan kerusakan
ekologi. Ini persoalan besar yang dihadapi oleh warga lokal Merauke. Pembukaan hutan
telah merusak sebagian besat sumber kehidupan mereka. Warga kampung di distrik B
(nama disamarkan, di kampung ini sebagian tanah ulayat sudah menjadi Hutan Tanaman
Industri, di kampung ini pula sudah terjadi kerusakan ekologi yang oarah, banjir). Kamung
B ini ada di Distrik Z yang merupakan area industri pertanian modern yang kini
masyarakatnya sudah semakin sulit mendapatkan hewan buruan karena pembukaan hutan
296
dan HTI. Menurut informan yang kami wawancara sebagai pendeta dari Klasis Gereja
Protestan Indonesia Merauke, berpendapat:
”... Masuknya investasi besar di Merauke memunculkan konflik agraria, baik
antara warga pemilik tanah ulayat dan perusahaan maupun antarwarga sendiri
(antarmarga). Konflik agraria muncul karena lemahnya regulasi karena belum ada
peraturan daerah (Perda) yang mengatur tentang tanah hak ulayat sehingga posisi
masyarakat adat lemah. Lemahnya posisi tawar masyarakat adat dalam mengelola
hutannya menimbulkan dampak jangka panjang yang merugikan karena mata
pencaharian masyarakat terganggu dan dampak lingkungan seperti kerusakan
ekosistem juga tak dapat dihindarkan...” (wawancara 30 Oktober 2015).
Pemerintah memberikan penjelasan bahwa dengan pertanian modern, masyarakat
asli lebih diuntungkan karena bisa panen tiga kali setahun dan dapat uang dari sewa lahan
yang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Yang ada dalam bayangan
masyarakat lokal adalah uang dan uang. Mereka tertarik untuk melepaskan dan
menyewakan tanahnya kepada perusahaan karena uang yang akan diterima dalam jumlah
besar. Tiga kali akan menerima uang hasil dari bagi hasil. Uang yang diterima akan
dihabiskan dalam waktu singkat sehingga keberlanjutan atau kelangsungan hidup
masyarakat lokal menjadi taruhannya. Hal ini terkait dengan kebiasaan masyarakat lokal
yang hidupnya masih bergantung pada kondisi alam (berburu dan meramu).
Harapan masyarakat di Merauke adalah pembangunan lumbung pangan dan
investasi lainnya idealnya dapat membawa dampak yang baik untuk keberlanjutan hidup
masyarakat setempat. Aspek pengembangan ekonomi dan sosial kemasyarakatan di
wilayah itu tetap penting karena mereka adalah pewaris dan pemilik sumber daya
tersebut.Pertikaian yang ada di kampung A (sebagai nama samaran) menurut informan
adalah konflik warga dengan PT X terkait masalah penggunaan lahan ulayat yang hingga
saat ini belum jelas penyelesaiannya. Oleh karena warga belum memanfaatkan lahan untuk
pertanian maka hingga saat ini tidak pernah ada problem terkait bencana kelangkaan
pangan baik akibat gagal panen maupun serangan hama. Belum pernah ada ancaman
terhadap aset masyarakat secara musiman, baik karena gangguan binatang, kebakaran
hutan maupun hujan apalagi sampai menyebabkan kenaikan harga pangan. Yang terjadi
saat ini adalah kenaikan beberapa komoditas akibat pengaruh ekomomi nasional yang
berimbas sampai ke kampng-kampung di Merauke.
Hutan yang merupakan sumber pangan dan obat serta sangat dihormati dalam
kehidupan masyarakat adat setempat, sebagian sudah hilang dan berganti mejadi
perkebunan atau HTI. Ini menyebabkan masyarakat untuk mencari rusa dan babi hutan saja
harus berhari-hari tinggal di hutan. Di sisi lain, keterlibatan perempuan dalam pertemuanpertemuan di kampung sangat kurang. Apalagi, pertemuan terkait tanah adat sangat tertutup
dan perempuan tidak pernah dilibatkan. Larangan menjual tanah untuk masa depan anakanak dan cucu seakan hanya angin lalu. Sekarang, mereka yang menanggung bebanberat
untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Berjalan kaki berkilo-kilo hanya untuk
mencari sumber air bersih dan kayu bakar. Padahal dulu, mereka hanya melangkah
dibelakang rumah dan menggunakan air bersih dari rawa sagu.
Hak ulayat terancam dengan adanya investasi besar yang sudah dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan di Merauke. Kejadian ini berpotensi menghilangkan hutan alam
masyarakat. Sementara itu bila kita melihat lebih jauh ke belakang, secara turun-temurun
masyarakat lokal penghidupannya bergantung dari kekayaan alam, termasuk kekayaan
hutan; pengelolaan hutan dan pemanfaatannya dilakukan dengan cara yang sederhana
berdasarkan pengetahuan setempat; kebutuhan air bersih. Pemanfaatan hasil hutan masih
sebatas untuk kebutuhan rumah tangga saja dan tidak membutuhkan teknologi yang
297
merusak hutan secara cepat. Dengan kondisi masyarakat yang demikian, maka dalam
pengelolaan hutan kiranya masyarakat adat juga dilibatkan.
Menurut informan yang berposisi sebagai kepala dusun, dengan rencana
pemerintah membuka pertanian modern maka setiap tiga bulan masyarakat sudah bisa
panen padi. Sehingga masyarakat mendapat sumber pendapatan baru untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Bapak Jokowi sudah menyampaikan informasi ke perusahaan, nanti
perusahaan akan meneruskan informasi tersebut agar masyarakat bisa tanam padi. Warga
berharap sistem yang diggunakan nantinya adalah sistem sewa-tanah masyarakat. Kalau
menggunakan sistem pelepasan tanah, dikhawatirkan generasi yang akan datang tidak
mendapat warisan tanah. Informan tersebut berpendapat:
“...Warga berharap sistem yang digunakan nantinya adalah sistem sewa-tanah yang
tidak mengancam kelansungan atau eksistensi hutan adat. Dikhawatirkan
menggunakan sistem pelepasan tanah, generasi yang akan datang tidak mendapat
warisan adat serta tanah adat, yang berarti ini akan menghilangkan adat
Papua/Merauke. Jangka waktu sewa tanah tergantung sepenuhnya kepada pemilik
dusun. Biasanya 20 atau 30 tahun. Masyarakat akan tunduk kepada Kepala Dusun,
apapun keputusan Bapak Kepala Dusun itu merupakan hak setiap Kepala Dusun.
Biasanya keputusan dibuat berdasarkan rundingan diantara 8 marga di Buepe.
Kalau satu dusun menyetujui sistem sewa tanah kepada perusahaan maka bisa
disewa. Jika satu diantara delapan (8) marga tidak menyetujui, itu tergantung
dusunnya. Dengan demikian, persetujuan sewa tanah oleh perusahaan sangat
tergantung pada keputusan Bapak Kepala Dusun...” (wawancara 29 Oktober 2015)
Protes sosial kepada korporasi kembali terjadi dan pemicunya adalah bagi hasil
yang belum mereka terima. Problema ini menjadi semakin rumit jika ujung dari tuntutan
yang tidak terpenuhi ini pemalangan. Korporasi sudah memberikan fasilitas yang mereka
butuhkan berupa listrik, air bersih, dan perumahan layak huni. Tanpa terelakkan, dengan
pelepasan tanah adat melalui prosesi adat dan bagi hasil serta pembangunan fasilitas bagi
masyarakat adat tampaknya sebagai cara yang sudah menyelinap dalam pikiran ketiga
aktor. Artinya, yang awalnya kita tidak mau berisiko dengan program food estate, justru
tanpa sadar kita tampaknya menyelinap menuju masyarakat risiko sebagaimana
dibayangkan oleh Ulrich Beck (1992), di mana hidup dan politik diorganisasi sekitar
penghindaran risiko. Namun, dalam hal pengelolaan tanah adat dan degradasi lingkungan
setidaknya ada dasar penyebab dari risiko lingkungan yang ini merupakan implikasi dari
solusi dan kesepakatan untuk risiko.Keprihatian dalam mencapai tujuan mewujudkan
lumbung pangan tak lain sebagai ungkapan keprihatinan atas kondisi ekologi dan politik
ekonomi politik yang kini tengah terjadi di Merauke.Ketidakpuasan/ketidaknyamanan
masyarakat indigenous atas hasil kontrak sewa menyewa tanah adat/ulayat dengan
perusahaan terus menjadi kendala dan masyarakat adat masih terus menunggu janji-janji
yang pernah disampaikan oleh korporasi sebelum melakukan pelepasan tanah adat dan
sebelum dimulainya operasi perusahaan untuk mengelola HTI.
- Berebut Alih Kelola Tanah Ulayat: Negara, Masyarakat Adat, dan Korporasi
Pemerintah pusat membuat kebijakan yang mendukung eksplorasi sumberdaya alam yang
berada di Merauke dan hal ini telah menyebabkan terpinggirkannya masyarakat adat dari
pemanfaatan sumberdaya alam dan lahan. Masyarakat adat memiliki keterbatasan dalam
aspek sumberdaya karena pengelolaan sumberdaya alam dan lahan dilakukan dengan
teknik dan teknologi sederhana. Sementara perusahaan (korporasi menggunakan teknik
atau teknologi pertanian mekanis dan padat teknologi). Akibat dari pola pengelolaan lahan
yang berbeda ini mengakibatkan masyarakat adat (indigenous people) tidak mampu
298
bersaing dengan kekuatan korporasi. Ketidakmampuan bersaing dalam pengelolaan lahan
dan sumberdaya itu yang menyebabkan masyarakat adat berusaha keras untuk membatasi
ruang gerak korporasi untuk mengeksplorasi sumberdaya alam dan pemanfaatan lahan.
Cara yang biasa digunakan oleh masyarakat adat adalah secara adat. Artinya
masyarakat menolak kehadiran perusahaan yang mengeksplorasi dan mengelola
sumberdaya alam dan lahan menggunakan teknologi canggih pertanian dan modal besar.
Karena ini akan berdampak besar terhadap eksistensi dan kehidupan mereka ke depannya.
Masyarakat adat meminta pemerintah pusat dan Merauke untuk mengurangi akses atau
bahkan menutup akses untuk mengelola tanah ulayat. Tetapi aktor-aktor negara tersebut
tidak kuasa karena negara membutuhkan korporasi untuk mewujudkan lumbung pangan di
Merauke. Ketika ada konflik antara korporasi dan masyarakat inigenous yang dipersoalkan
adalah terkait eksistensi tanah adat. Pemahaman atas eksistensi tanah adat antara korporasi,
pemerintah dan masyarakat itu berbeda satu sama lain. Masing-masing aktor tersebut
mempersepsi kepentingan dan tanah berdasarkan pengetahuan dan otoritasnya. Yang
paling sulit adalah memahami cara berpikir masyarakat indigenous.
Rencana pemerintah untuk membangun pertanian modern di Merauke juga harus
diikuti dengan rangkaian regulasi yang menjamin eksistensi adat dan perusahaan yang akan
beroperasi di wilayah adat Merauke. Karena itu, diharapkan masyarakat juga harus bisa
menjadi pelaku aktif dalam kegiatan sewa menyewa tanah adat ini dan warga indigenous
juga bisa menjadi pekerja dalam perusahaan. Perusahaan masuk sudah ada batasnya, tidak
semua lahan bisa disewakan kepada perusahaan yang sudah menggunakan sistem bagi hasil
dengan perbandingan 30:70, dimana masyarakat adat memperoleh bagian 30 persen hasil
usaha korporasi dan 70 persen menjadi hak korporasi.
Pemerintah sebagai pemberi lisensi belum mampu secara proporsional
menjembatani kesenjangan kepentingan antara dua belah pihak ini (koporasi dan
masyarakat adat). Setidaknya pemerintah sebagai penggagas program food estate belum
mampu merumuskan resolusi atas konflik/sengketa yang lebih mampu mengakomodasi
kepentingan dua belah pihak. Hal ini mencakup regulasi di tingkat pusat maupun di daerah
(Merauke) di bidang tata kelola tanah adat. Bagaimana posisi petani lokal, masyarat adat,
masyarakat pendatang (non indigenous people), pemerintah lokal (kabupaten, distrik,
kampung), bagaimana posisi perusahaan (konglomerasi agribisnis nasional dan
multinasional/asing). Regulasi tentang tata kelola tanah adat untuk food estate juga perlu
membatasi ruang perusahaan dari liberalisasi tata kelola tanah. Ini menjadi salah satu titik
tekan yang perlu memperoleh perhatian sungguh-sungguh dari pemerintah pusat untuk
menghindari terjadinya sengketa tanah yang berdampak pada berhentinya kegiatan
korporasi/investor dalam mengeksplorasi sumberdaya alam Merauke karena penolakan dan
perlawanan masyarakat adat kepada perusahaan.
Dalam konteks ini, perubahan sifat hubungan antara pemerintah dengan korporasi
dan masyarakat adat sudah berubah. Pemerintah perlu memiliki kemampuan dalam
mengatur aktor korporasi dan masyarakat adat. Karena kedua aktor ini memiliki relasi
untuk produksi dan distribusi atas sumberdaya hutan adat. Sumberdaya ini
kecenderungannya kini lebih banyak disewakan kepada korporasi karena masyarakat adat
membutuhkan hutan untuk memproduksi uang. Begitu pula dengan korporasi yang
menyewa hutan dari masyarakat adat untuk memproduksi barang dan jasa. Pertarungan dua
pihak yang memiliki kepentingan produksi dan distribusi ini mengakibatkan korporasi dan
masyarakat adat berada dalam suatu garis linear protes dan konflik sosial.Implikasi dari
protes sosial ini, DPRD Kab. Merauke, sudah mengambil langkah strategis dengan
membuat Rancangan Peraturan Daerah tentang Hukum Adat dan Hak Ulayat.
5. KESIMPULAN
299
Protes sosial dan konflik atau terjadinya gerakan ekologi sesungguhnya memberi
signal kepada pemerintah (negara) untuk mengambil keputusan (politik)dalam kerangka
menyelamatkan kehancuran ekologi atau degradasi lingkungan, terutama hutan-hutan adat
tempat bergantungnya hidup masyarakat adat. Hak ulayat masyarakat adat terus tergerus
dengan keputusan-keputusan poltik pwmerintah yang hendak mewujudkan lumbung
pangan di Merauke. Protes sosial dan konflik yang berbalut tanah ulayat di Merauke
merupakan dampak yang sudah dibayangkan oleh Beck (1992) dan ahli-ahli lain dari
bidang politik ekologi maupun geografer marxian seperti Neil Smith, Robbins dan lainnya.
Konsesi yang diberikan oleh negara kepada korporasi telah menyebabkan
korporasi berhadapan dengan masyarakat adat. Ini yang menjadi pemicu adanya
‘pemalangan”. Masyarakat adat memiliki syarat untuk menyewakan lahannya kepada
korporasi. Tatanan adat acap tidak kuasa menghadapi kekuatan korporasi dan begitu
sebaliknya. Tatanan korporasi tidak kuasa menghadapi tekanan dari masyarakat adat
(indegenous). Meski sudah ada perlawanan dari masyarakat adat, tetapi korporasi juga
melakukan perlawanan karena korporasi memiliki ijin sah untuk membuka usaha di tanah
yang dikuasai masyarakat adat. Ini yang kemudian berkembang menjadi persoalan yang
terus berkepanjangan dan menganggu beroperasinya korporasi.
Ada beberapa rekomendasi yang bisa diwujdukan dalam kebijakan, antara lain:
pemerintah pusat dan lokal seyogianya membangun sinergi dalam hal diplomasi
lingkungan karena dengan diplomasi ini memunkinkan adanya saling kesepahaman dalam
menggunakan sumberdaya termasuk penggunaan sumber daya alam dan kekayaan lain
yang bersumber dari alam. Dengan cara ini diharapkan bisa memecahkan masalah yang
muncul dari program food estate. Pemerintah pusat dan daerah setidaknya
memperkenalkan lembaga pemerintah terpadu yang memungkinkan untuk merampingkan
kegiatan dan menghapus kontradiksi internal.
Baik perusahaan maupun pemerintah perlu memperhatikan kapital yang ada dalam
komunitas masyarakat adat itu termasuk kapital sosial dan tidak menempatkan masyarakat
indegenous sebagai pelaku pasif. Ketika peristiwa pemalangan perusahaan oleh marga
terjadi (Sani) maka pemerintah setempat harus segera mengatasinya dengan cara bersinergi
dengan asosiasi atau perkumpulan-perkumpulan lokal yang ada dalam komunitas itu
(marga/adat). Karena tidak bisa masyarakat adat/indegenous people itu bertindak secara
sepihak melakukan pemalangan atau pemaksaan penutupan area usaha perusahaan, dll.
Sebelum kegiatan pemalangan itu menjadi keputusan akhir yang diambil oleh kekuatan
marga/kekuatan kolektif, maka semua proses sengeketa atau konflik yang mendahului
harus bisa diatasi dengan mensinergikan semua pemangku kepentingan yang terlibat dalam
kegiatan tersebut.
6. DAFTAR PUSTAKA
Beck, Ulrich. 1992.Risk Society: Towards a New Modernity. London: Sage Pub.
Blaikie, P. and Brookfield, H. 1987. Land Degradation and Society. London: Methuen.
Bryant, Raymond L. and Sinead Bailey. 1997. Third World Political Ecology,
NY:Routledge.
Greenberg, James B. and Thomas K. Park. 1994. Political Ecology.Journal of Political
Ecology 1:1-12.
Paulson, Susan, Lisa L. Gezon, and Michael Watts. 2003. “Locating the Political in
Political Ecology: An Introduction.” Human Organization 62(3): 205-217
Peet. Richard and Michael Watts Michael Watts (eds.). 1996.Liberation Ecologies:
Environment, Development, Social Movements. London: Routledge.
Robbins, Paul. 2004. Political Ecology: A Critical Introduction. UK: Blackwell Pub.
Smith, Neil. (1984). Uneven Development.Oxford: Blackwell.
300
Smith, Neil. 2006. Nature as Accumulation Strategy. Socialist Register, 16-36. Diunduh
pada: http://neil-smith.net/category/vectors/production-of-nature.
Walker, Peter A. 2006. Political Ecology: Where is the Policy?.Progress in Human
Geography 30(3): 382-395.
301
PETANI KECIL DITENGAH AGRIBISNIS KAPITALIS
Amruddin
Dosen Fak.Pertanian Unismuh Makassar
Email : [email protected]
Abstrak
Pertanian adalah sektor andalan pembangunan Indonesia. Ditengah modernisasi
pertanian perubahan struktur pertanian menjadi lebih didominasi petani kecil. Petani kecil
merupakan golongan terbesar dalam kelompok petani di Indonesia. Sektor pertanian
menawarkan paradigma agribisnis. Gempuran modernisasi berbasis modal di era
globalisasi masuk desa membawa dampak ikutan kapitalisme masyarakat. Makalah ini
mendeskripsikan kehidupan sosial ekonomi petani kecil disaat desa ditengarai sedang
berlangsung agribisnis kapitalis. Studi pendahuluanfokus kepada berlangsungya konversi
lahan, pemanfaatan lahan pekarangan serta peluang kerja petani di luar sektor pertanian.
Modernisasi pertanian menunjang keberhasilan sektor pertanian berhadapan dengan
kencenderungan konversi lahan di Desa Kanjilo. Alihfungsi lahan menyebabkan petani
mencoba alternatif bekerja diluar sektor pertanian. Pemanfaatan lahan pekarangan
menjadi strategi petani kecil menambah pendapatan keluarga secara berkesinambungan.
Kata Kunci: Petani Kecil, Agribisnis Kapitalis, Modernisasi Pertanian
Abstract
Agriculture is the mainstay of the construction sector in Indonesia. The modernization of
agriculture change the structure of agriculture is becoming more dominated by small
farmers. Smallholder farmers are the largest group in the group of farmers in Indonesia.
The agricultural sector offers a paradigm of agribusiness. The onslaught of modernization
based capital in the era of globalization into the village carrying the outcomes rather than
capitalist society. This paper describes the socio-economic life of small farmers while the
village is considered ongoing capitalist agribusiness. Preliminary study focused on
ongoing land conversion, land use farmer's yard and job opportunities outside agriculture.
Modernization of agriculture to the success of the agricultural sector to deal with trends
in land conversion in the village Kanjilo. Land use causes farmers to try alternative work
outside the agricultural sector. Utilization of yard area into a strategy of small farmers
supplement the family income on an ongoing basis.
Keywords: Small Farmers, Agribusiness Capitalists, Modernisation Of Agriculture
302
1. PENDAHULUAN
Petani sebagai suatu komunitas penting di pedesaan. Pertanian merupakan mata
pencaharian utama masyarakat yang bermukim serta menjadi penciri sebagai negara
agraris. Pertanian adalah sector adalan pembangunan Indonesia. Sektor pertanian juga
merupakan penghela pembangunan atau agriculture led development (Wardoyo, 1993).
Pembangunan berdimensi agribisnis bahkan telah dituangkan didalam UU No.18 tahun
2012 untuk menjamin ketahanan pangan secara nasional. Eksistensi petani sebagai
instrumen penting keberhasilan sekaligus menopang utama ketahanan pangan menjadi
sangat jelas dimata birokrasi NKRI.
Kemiskinan yang terjadi pada masyarakat pertanian telah berlangsung sangat lama,
yang merupakan akumulasi dari berbagai karakteristik yang melekat pada masyarakat
pertanian yang subsisten. Dengan usaha yang kecil, terpencil, tradisional, aksesibilitas yang
rendah pada modal, teknologi, dan pasar merupakan penyebab kemiskinan yang
berkelanjutan.
Kemiskinan adalah suatu fenomena atau proses multidimensi, yang artinya
kemiskinan disebabkan oleh banyak faktor. Namun di Indonesia, kemiskinan merupakan
fenomena yang erat kaitannya dengan kondisi sosial-ekonomi di perdesaan pada umumnya
dan disektor pertanian pada khsususnya. Oleh sebab itu, fenomena kemiskinan di Indonesia
tidak dapat dipahami sepenuhnya tanpa memahami fenomena kemiskinan di perdesaan
atau di sektor pertanian.
Dari jumlah penduduk miskin di Indonesia 56,84 % berada di Pulau Jawa dan
43,11% di luar Jawa, sekitar 80% penduduk miskin tersebut berada di Kawasan Barat
Indonesia (KBI) dan 20% di KTI. Dominasi terbanyak penduduk miskin ada di perdesaan
yaitu 64,3% dan selebihnya 35,7% di perkotaan (Andi Nuhung, 2006).
Pada sisi yang lain, masuknya modernisasi pertanian menyebabkan dinamika
sosial ekonomi pada masyarakat desa [(Geertz (1983), (Hayami dan Kikuchi (1987),
Amaluddin (1987), Abustam (1989)]. Salah satu yang nampak dalam perubahan tersebut
adalah terdapatnya polarisasi sosial di pedesaan di Jawa. Selain itu, temuan lain adalah
beralihnya petani diluar sektor pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya.
Bekerja diluar sektor pertanian ini terkadang dengan mobilisasi petani ke kota.
Masyarakat Indonesia masih menjadikan beras sebagai makanan pokok. Beras
tidak datang begitu saja dari langit tapi melalui proses panjang. Petani yang bermukin di
desa sebagai produsen beras diharapkan terus mensuplai bahan pokok tersebut. Seiring
dengan semakin berkembangnya teknologi pertanian, petani diperhadapkan oleh berbagai
persoalan. Persoalan klasik adalah ketergantungan pada alam, kondisi musim serta
gangguan hama tanaman. Termasuk bagaimana mereka dituntut terus eksis, walaupun
pada sisi yang lain luas pemilikan dan penguasaan lahan petani juga tergerus. Kapitalisasi
pertanian merasuk sampai ke pelosok desa. Di desa cenderung terjadi kemiskinan struktural
daripada kemiskinan alamiah.
Hasil sensus pertanian 2013 menjelaskan jumlah rumah tangga petani gurem susut
4,77 juta rumah tangga selama 10 tahun terakhir. Petani gurem adalah petani yang luas
lahannya kurang dari 0,5 hektar (Kompas, 03/12/13). Variabel penting dalam penelitian
dengan lokus pedesaan adalah pemilikan dan penguasaan lahan petani. Pemilikan lahan
dan penguasaan lahan petani berbeda defenisi. Penguasaan lahan tidak berarti memiliki
lahan, penguasaan bisa sebatas sewa, sakap, atau petani hanya sebagai penggarap.
Tujuan penelitian adalah rekonstruksikehidupan sosial ekonomi petani kecil di
Desa Kanjilo Kecamatan Barombong Kabupaten Gowa. Penelitian menelusuri petani kecil
303
pemanfaatan lahan pekarangan, peluang kerja diluar sektor pertanian serta konversi lahan
pertanian.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Masuknya teknologi di Pedesaan berdasarkan penelitian Hayami dan Kikuchi
(1987) dalam Triyono dan Nasikun (1992) yang menyimpulkan bahwa teknologi baru itu
netral skala atau tepat guna bagi petani luas dan guren (petani kecil). Perubahan di pedesaan
lebih ditandai oleh proses meningkatnya stratifikasi, yaitu proses dimana masyarakat desa
menjadi semakin berlapis-lapis atau makin banyak lapisan-lapisannya daripada gejala
polarisasi.
Sebelumnya Geertz (1983) mengemukakan bahwa dibawah tekanan jumlah
penduduk yang terus meningkat dan sumber daya yang terbatas maka masyarakat desa
Jawa tidak terbelah menjadi dua, yaitu golongan tuan tanah besar dan golongan setengah
budak yang diperas melainkan tetap mempertahankan tingkat homogenitas sosial dan
ekonomi yang cukup tinggi dengan cara membagi-bagi rezeki yang ada. Geertz
menamakan proses ini sebagai shared poverty.
Kondisi ketidaksamaan ekonomis menimbulkan dua kecenderungan yakni
stratifikasi dan polarisasi kelas. Kecenderungan pertama menunjuk kepada diferensiasi
sosial dalam spektrum kontinum dari buruh tani ke tuan tanah sedangkan hubungan sosial
berdasar tradisi komunitas desa tetap terpelihara. Kecenderungan kedua menunjuk kepada
pembagian masyarakat secara dikotomi menjadi pengusaha, petani luas dan kaum buruh
atau tunakisma sedangkan hubungan sosial berdasar tradisi komunitas desa digantikan oleh
hubungan komersial.
Proses stratifikasi sosial akan berubah ke arah polarisasi bila ada kondisi-kondisi
tertentu di pedesaan yang menyebabkannya berubah arah. Kondisi-kondisi tersebut adalah;
(1) distribusi pendapatan atau kekayaan semakin timpang selama proses stratifikasi
berlangsung, (2) para elit menjadi lebih memiliki kekuasaan dan cenderung mementingkan
persekutuan dengan kekuasaan sosial politik dari luar desa dibanding kesetiaan terhadap
sesama warga miskin desa, dan (3) bersamaan dengan itu proses komersialisasi semakin
meningkatkan hasrat mereka terhadap barang-barang dan jasa-jasa modern dibanding
hasrat mereka untuk beritikad baik terhadap sesama warga (Amaluddin, 1987).
Syahyuti (2013) menjelaskan bahwa peasant adalah suatu kelas petani yang
merupakan petani kecil, penyewa, penyakap dan buruh tani. Melekat pada peasant adalah
sikap kerjasama satu sama lain, usaha tani kecil dan menggunakan tenaga kerja sendiri.
Mereka adalah petani subsisten yang mengutamakan untuk memenuhi konsumsi sendiri.
Penguasaan tanah keluarga-keluarga petani di Sulawesi ternyata tidak jauh
berbeda dengan Pulau Jawa yang sudah sejak lama memiliki skema ketimpangan
penguasaan tanah petani. Propinsi Sulawesi Selatan merupakan wilayah yang ketimpangan
struktur penguasaan tanahnya paling menyolok dengan luas penguasaan tanah dibawah
setengah hektar dimiliki 31,44 % keluarga petani dan 6,25 % lainnya menguasai lebih dari
tiga hektar. Keadaan ketimpangan distribusi tanah yang lebih buruk ditemukan di
Kabupaten Takalar, Gowa, Pangkep, Barru dan Tanah Toraja (Suhendar dan Winarni,
1997).
Aspek penting dalam kegiatan agribisnis dalam persfektif sosiologi adalah
organisasi. Konsep cara produksi dapat digunakan dalam hal ini. Untuk itu dapat dirujuk
tiga tipe cara produksi yang tampaknya relevan dikenakan pada dunia pertanian Indonesia
(1).Produksi Subsisten (subsistence production), usaha pertanian oleh dan untuk rumah
tangga petani, (2).Produk Komersialis (petty commodity production), usaha pertanian/luar
304
pertanian skala kecil oleh rumah tangga untuk pasar. (3).Produksi Kapitalis (capitalist
production), usaha pertanian/luar pertanian skala menengah/pasar oleh perusahaan untuk
pasar.
Dengan memadukan tiga tipe agraris menurut kualifikasi input (persfektif ekonomi) dan
tiga tipe kegiatan ekonomi/agribisnis menurut cara produksi (persfektif sosiologi), Bayu
Krisnamurti mengusulkan suatu matriks bersel sembilan yang menunjuk pada
kemungkinan sembilan pola kegiatan ekonomi pertanian sebagai berikut:
Cara Produksi
A.Subsistem
B.Komersialis
C.Kapitalis
Faktor Produksi
A.1
B.1
C.1
Modal
A.2
B.2
C.2
Inovasi
A.3
B.3
C.3
Kualifikasi Input
Menurut Harianto (2010) tiga tipe ideal agribisnis menurut matriks tersebut adalah
:
1. Tipe A.1 : subsistem berbasis faktor produksi
2. Tipe B.2 : komersialis berbasis modal
3. Tipe C.3 : kapitalis berbasis inovasi
Tetapi dalam realitas, khususnya di Indonesia kini, sangat mungkin ditemukan dua
tipe non ideal, yang sangat mungkin juga akan berkembang menuju tipe ideal. Kalau tidak,
sebaliknya justru mengalami stagnasi, yaitu :
1. Tipe B.1 : komersial berbasis faktor produksi
2. Tipe C.2 : kapitalis berbasis modal
Salah seorang ilmuwan yang banyak memberikan kritikan, Prof.Mubyarto,
khawatir bahwa penerapan paradigma agribisnis hanya akan menguntungkan pengusaha
besar saja dan dianggap akan merugikan petani, khsusnya petani kecil (Rahmat Pambudy,
2010).
3.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan studi pendahuluan
dengan menggunakan
pendekatan kualitatif. Penelitian dilakukan di Desa Kanjilo Kabupaten Gowa.
Lokasi ini dipilih karena pesatnya pergeseran pemilikan lahan sebagai konsekuensi
pembangunan desa dan mobilitas petani bekerja di sektor non pertanian. Populasi
penelitian adalah semua petani kecil yang tinggal di desa penelitian. Pemilihan
sampel menggunakan metode purposive.
305
Pengumpulan data menggunakan observasi participant, wawancara mendalam,
dan studi dokumentasi. Pada kegiatan observasi yang diamati antara lain keadaan
lingkungan persawahan, struktur pemilikan dan penguasaan tanah. Kegiatan wawancara
dilakukan kepada petani, tokoh masyarakatserta perangkat birokrasi desa
4.
TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Secara administrasi, Desa Kanjilo, Kecamatan Barombong Kabupaten Gowa,
Disebelah utara, berbatasan dengan Desa Tamanyyeleng.Disebelah selatan berbatasan
dengan Desa Pakkabba Kecamatan Galut, Kabupaten Takalar.Disebelah barat, berbatasan
dengan Kelurahan Barombong Kecamatan Tamalate Makassar.Disebelah Timur
berbatasan dengan Kelurahan Lembang Parang, Kecamatan Barombong.
Kecamatan Barombong berbatasan langsung dengan kabupaten Takalar dan kota
Makassar. merupakan tempat strategis pembangunan perumahan dan peredaran hasil bumi
di Kecamatan Barombong. Desa Kanjilo secara umum kondisi lahanya gembur dan subur
semua jenis tanaman bisa tumbuh baik berupa tanaman padi, palawija, maupun tanaman
jangka panjang.
Aspek sumber daya alam di Desa Kanjilo yaitu (1) Adanya sungai yang membagi
dua Desa Kanjilo yang dimanfaatkan untuk tanaman holtikultura. (2) Ada air irigasi tanah
yang tersebar disetiap dusun dan dapat mengairi areal persawahan. (3) Sebagian areal
persawahan dijadikan areal perumahan sehingga lahan pertanian menyempit yang
mengakibatkan produksi pertanian menurun. (4) Pekarangan warga sebagian besar masih
luas yang dimanfaatkan untuk tanaman sayuran.
Di Desa Kanjilo berlangsung dengan pesat modernisasi pertanian. Petani dalam
aktivitas usahataninya menggunakan berbagai alat mekanis, seperti traktor tangan dan
mesin panen. Selain itu, teknologi kimiawi biologis seperti penggunaan bibit
unggul/VUTW, pupuk pabrik serta pestisida. Lebih jauh dapat dikatakan bahwa di desa ini
berlangsung apa yang disebut Harianto (2010) sebagai komersialis berbasis modal. Pada
setiap awal pengolahan lahan, petani kecil mempunyai kebiasaan mengambil kredit di
Bank.
Berdasarkan rumusan hasil sensus menggunakan 13 indikator lokal desa yang
disusun melalui musyawarah pngambilan keputusan dengan mengutamakan peran
perempuan, kaum muda, orang miskin dan yang termarginalkan diperoleh tingkatan
kategori kesejahteraan masyarakat Desa Kanjilo sebagai berikut:
Tabel 1.
Hasil Peringkat Kesejahteraan Masyarakat (pkm) di Desa Kanjilo
Kecamatan Barombong Kabupaten Gowa
Kategori
Tingkat
Kesejahter
aan
Kanjil
o
Tangnggal
a
Bontomana
i
Camb
a
Cilallang
Kaya
2
5
9
4
2
9
31
1,71
Sedang
85
199
103
151
34
148
720
39,82
Miskin
122
209
106
106
79
127
749
41,42
Z
Bilaji
%
KK
306
Sangat
Miskin
85
38
44
81
35
25
308
17,03
Total
204
451
262
242
150
309
1808
10n 0
Sumber : Data Sekunder Hasil Sensus (KPM) Desa Kanjilo 2015
Hasil observasi di Desa Kanjilo menegaskan pesatnya proses konversi lahan, ini
karena posisi desa yang berbatasasan langsung dengan Kota Makassar. Alihfungsi lahan
dari sawah menjadi perumahan ini menjadi pemandangan utama di Desa Kanjilo.
Faktor yang melatarbelakangi petani melakukan alihfungsi lahan adalah faktor
ekonomi. Petani kecil mengkonversi lahan karena kebutuhan menikahkan dan sekolah
anak, setelah menjual lahan sawahnya kemudian karena tidak menggarap sawah lagi
sekarang berwiraswata.
Faktor lain yang mendorong konvesi lahan adalah harga tanah yang semakin
mahal. Di Desa Kanjilo harga tanah mencapai Rp.800.000-Rp.900.000 rupiah m2. Bahkan
jika lahan tersebut berada di dekat lokasi perumahan maka harga yang ditawarkan
pengembang dapat mencapai Rp.900.000-1.800.000 m2. Padahal 5 tahun yang lalu masih
berkisar Rp.300.000-Rp.400.000 m2.
Petani pemilik leluasa menjual lahan dengan harga tinggi, padahal lahan sawah
tersebut sangat produktif karena panen bisa dua sampai tiga kali dalam satu tahun. Aparat
desa tidak bisa berbuat apa-apa untuk menahan laju konversi, apalagi para pengembang
dan makelar tanah (calo) terus menggoda. Petani pemilik yang menjual lahan sawahnya
kemudian mengalokasikan untuk membeli lahan yang lebih murah di tempat lain tidak jauh
dari Desa Kanjilo sebagai investasi.
Sebagian besar lahan sawah di Desa Kanjilo dimiliki pihak swasta dan orang-orang
yang tinggal di luar Kecamatan Barombong. Lahan yang belum dijadikan perumahan tetap
digarap oleh petani dengan sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil yang diterapkan biasanya
adalah 1/3 dari hasil diberikan kepada pemilik lahan dan 2/3 sisanya untuk petani
penggarap. Namun petani penggarap ini siap-siap mencari lahan garapan baru jika pemilik
memutuskan membangun perumahan di lahan tersebut.
Alihfungsi lahan sawah mulai terjadi pada kisaran waktu sekitar tahun 1980-an.
Konversi lahan ini pada dasarnya dapat terjadi secara sukalera dan karena terpaksa. Petani
biasanya terpaksa mengalihfungsikan lahannya karena kondisi wilayah. Adanya
pembangunan perumahan di sekitar lahan pertanian menyebabkan terhalangnya saluran
irigasi. Akibatnya pengairan sawah jadi terganggu yang pada akhirnya akan merugikan
petani.
Temuan pendahuluan iniseirama dengan penelitian yang dilakukan Listia dan
Sarjana (2015) yang menjelaskan faktor-faktor yang berhubungan dengan alihfungsi lahan
yakni rendahnya pendapatan usahatani padi, pemilik lahan bekerja di sektor luar pertanian,
harga lahan, adanya keinginan mengikuti prilaku lingkungan sekitar dan keinginan
membuka usaha disektor luar pertanian.
Tabel 2. Kecenderungan Jenis Pekerjaan Penduduk di Desa Kanjilo Kecamatan
Barombong Kabupaten Gowa
Jenis
Jumlah
Tangngall Bontoman
Cilallan
Kanjilo
Camba
Bilaji
a
ai
g
Pekerjaan
KK
307
Buruh Harian
119
170
63
154
35
44
585
Wiraswasta
47
51
13
94
5
136
346
Petani Pemilik
27
46
30
29
6
36
174
Tukang Batu
22
30
40
3
48
9
152
Jualan
25
64
28
11
16
3
147
Petani
Penggarap
-
26
14
7
23
-
70
PNS
9
17
4
21
6
10
67
Sopir
9
6
11
11
3
4
44
Sekuriti
6
-
20
5
-
-
31
Tukang Kayu
3
17
5
3
-
-
28
Sumber : Data Sekunder Hasil Sensus (KPM) Desa Kanjilo 2015
Konversi lahan pertanian menjadi perumahan juga membawa berbagai perubahan
jenis pekerjaan petani di luar sektor pertanian. Kecenderungan bekerja diluar sektor
pertanian didominasi sebagai buruh harian dan berwiraswasta. Pekerjaan sebagai buruh
harian biasanya petani menjadi buruh bangunan. Adanya perumahan juga membuka
lapangan kerja menjadi sekuriti di perumahan tersebut.
Kombinasi pekerjaan bagi warga sekitar juga diamati aktivitas wanita tani yang
bekerja sebagai tukang suci, tukang setrika dan pembantu rumah tangga di perumahan yang
ada di Desa Kanjilo. Diantara 6 dusun maka Dusun Bilaji yang paling pesat pembangunan
perumahannya. Rata-rata pemilik perumahan tersebut berasal dari Kota Makassar.
Untuk membantu ekonomi keluarga wanita tani juga memanfaatkan pekarangan
rumah.Pemanfaatan lahan pekarangan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan keluarga jika
dikelolah dengan baik, pekarangan rumah dapat memberikan manfaat bagi kehidupan
keluarga seperti bahan pangan atau bahan obat-obatan. Faktor pendukung dari pemanfaatan
lahan pekarangan tersebut adalah adanya partisipasi dari wanita tani. Di Desa Kanjilo,
petani kecilmenganggap pemanfaatan lahan pekarangan ini tidak menimbulkan kerumitan
bahkan menjadi pekerjaan sampingan.
Pengamatan menunjukkan bahwa jenis tanaman yang paling banyak
dibudidayakan oleh wanita tani Desa Kanjilo adalah tanaman sayuran, seperti kankung,
terong, kemangi, pare, pare belut, talas, kacang panjang.Pemanfaatan lahan
pekaranganselain dapat memenuhi kebutuhan pangan keluarga yang mana sebelumnya
mesti membeli sayuran di pasar.Bahkan jika dimanajemen dengan baikmenjadi strategi
untuk menambah pendapatan keluarga. Adapun jika dijual hasil dari lahan pekarangan
tersebutbisadiperoleh sekitar Rp.50.000-Rp.200.000 per dua bulan. Temuan ini sejalan
dengan penelitian Cepriadi dan Yulida (2012) bahwa program pemanfaatan lahan
pekarangan sangat menguntungkan baik dari segi konsumsi maupun dari segi ekonomi.
308
5. KESIMPULAN
Modernisasi pertanian menunjang keberhasilan sektor pertanian berhadapan
dengan kecenderungan konversi lahan di Desa Kanjilo. Alihfungsi lahan menyebabkan
petani mencoba alternatif bekerja diluar sektor pertanian. Pemanfaatan lahan pekarangan
menjadi strategi petani kecil menambah pendapatan keluarga secara berkesinambungan.
6. DAFTAR PUSTAKA
Amaluddin, M. 1987. Kemiskinan dan Polarisasi Sosial. Penerbit Universitas Indonesia.
Jakarta.
Andi Nuhung, Iskandar. 2006. Bedah Terapi Pertanian Indonesia. Penerbit PT.Bhuana
Ilmu Populer. Jakarta.
Cepriadi dan Yulida, Rosa. 2012. Persepsi Petani terhadap Usahatani Lahan Pekarangan.
Indonesian Journal of Agricultural Economics. Vol.3 No.2 Desember 2012.
Geertz, C. 1983. Involusi Pertanian, Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Penerbit
Bhrata Karya Aksara. Jakarta.
Kompas (03/12/2013). Jumlah Petani Menyusut. Halaman 18. Jakarta.
Listia Dewi, Ida Ayu dan Sarjana, I Made. 2015. Faktor Pendorong Alihfungsi Lahan
Sawah menjadi Lahan Non Pertanian. Jurnal Manajemen Agribisnis. Vol.3 No.2
Oktober 2015.
Syahyuti. 2013. Pemahaman terhadap Petani Kecil sebagai Landasan Kebijakan
Pembangunan Pertanian. Jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi. Vol.31 No.1
Tahun 2013.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kombinasi. Penerbit Alfabeta. Bandung.
Triyono, L dan Nasikun. 1992. Proses Perubahan Sosial di Desa Jawa. Penerbit Rajawali
Press bekerjasama Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM. Yogyakarta.
309
STRATEGI PENGHIDUPAN WARGA DUSUN BONTO DI KAWASAN
HUTAN PINUS, DI KABUPATEN SINJAI, SULAWESI SELATAN
Sityi Maesarotul Qori’ah
Agrarian Resources Center (ARC) Bandung
E-mail: [email protected] dan [email protected]
Abstrak
Penunjukkan kawasan hutan di Indonesia merupakan salah satu alat perebutan sumbersumber penghidupan rakyat. Salah satunya di dusun Bonto. Dikeluarkannya SK Menteri
Pertanian 1982 tentang Penunjukan Kawasan Hutan, menjadikan kawasan dusun Bonto
menjadi kawasan hutan lindung. Secara legal, warga di sekitarnya menjadi tidak bisa
mengakses wilayah tersebut, padahal sebelumnya warga menguasai lahan dan
mengelolanya menjadi sumber mata pencaharian. Kawasan tersebut ditanami pohon Pinus
Merkusii yang menurut para ahli adalah tanaman yang dapat merusak kondisi tanah di
sekitarnya, khususnya untuk lahan pertanian. Sejak tahun 1980-an ketergantungan warga
akan padi semakin meningkat, namun daya dukung lingkungan semakin menurun sejak
2010, menurunnya produktivitas tanaman tersebut disebabkan karena berkurangnya
persediaan air di wilayah karena keberadaan hutan pinus. Tulisan ini akan menguraikan
tentang strategi warga dari waktu ke waktu untuk memenuhi kebutuhan pangannya di
tengah-tengah semakin hilangnya daya dukung lingkungan di lahan pertaniannya. Temuan
lapangan menjelaskan bahwa terdapat strategi-strategi warga untuk beradaptasi dengan
lingkungannya, serta peran kelembagaan akibat perubahan relasi diantara mereka,
karena perubahan lingkungan, untuk menunjang keberlangsungan hidupnya. Penelitian
yang dilakukan dengan metode Riset Aksi Partisipatif ini berlangsung pada akhir 2015.
Pendekatan dan teori tentang hubungan manusia dan lingkungan serta peran kelembagaan
dan relasi sosial di masyarakat membantu mempertajam analisis dalam tulisan ini.
Kata Kunci: Relasi Sosial, Kelembagaan, Hutan Pinus, Daya Dukung Lingkungan
Abstract
Designation of forest area in Indonesia is one of instruments for seizing people livelihood
resources. One of them happened in Bonto village, since the Ministry of Agriculture Decree
1982 promulgated on Forest Area Designation, which the Bonto area has become
protected forest area. Legally, local people could access the area, meanwhile previously
they hold and control the land for source of their live. The area was planted with pines
(Pinus Merkusii) that according to experts as a tree that possibly could affect land fertility,
especially for agriculture land. Since 1980s people dependence of paddy has increased,
however, its environmental capacity has decreased since 2010 marked by declining of
paddy productivity because running out of water supply due to existing of pine forest. This
paper explains about people strategy time by time for fulfill the need of food in the mid of
getting loose of environmental capacity for agriculture land. Field findings depict that
there are various strategies conducted by people in order to adapt with their environment,
as well as role of institution effected by relations change within the community, due to
environment change, to support their live. This research used Participatory Action
Research (PAR) method that conducted in 2015. Approaches and theory on human and
environment relation as well as role of institutions and social relation has been sharpening
the analysis in this paper.
Keywords: Social Relation, Institutions,Pine Forest, Environment Capacity
310
1. PENDAHULUAN
Dusun Bonto34 merupakan salah satu dusun di desa Kompang, Kecamatan Sinjai Tengah,
Kabupaten Sinjai, Provinsi Sulawesi Selatan. Desa Kompang terletak 30 km sebelah barat
Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Pemukiman warga didominasi lereng-lereng dengan
kemiringan 30-70 derajat dengan ketinggian 400-700 mdpl. Sebelum menjadi desa, dahulu
Kompang merupakan peninggalan dari kerajaan kecil yaitu Kerajaan Kompang (senantiasa
menjalin kerjasama dengan Kerajaan Gowa Tallo), sehingga berpengaruh terhadap situasi
dan kondisi kehidupan masyarakatnya mirip dengan kebiasaan Kerajaan Gowa Tallo.
Tahun 1950, hampir seluruh wilayah Sulawesi Selatan berada dalam kondisi tidak
stabil.Kisruh politik yang terjadi di Sulawesi Selatan salah satunya adalah pemberontakan
yang di pimpin oleh Abdul Qahhar Mudzakkar. Pemberontakan yang dilakukan secara
berkelompok (gerombolan atau gerilya35) dan tinggal bersama-sama di satu tempat untuk
menghindari dari serangan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Salah satu tempat yang
dipilih oleh segerombolan pemberontak yang dipimpin oleh Qahhar Mudzakkar adalah
dusun Bonto. Dusun Bonto menjadi salah satu tempat atau markasnya pasukan
gerilya.Warga setempat dan pasukan Qahhar Mudzakkar biasa menyebutnya gurilla, yang
berarti gerombolan (Salim & Ni'am, 2012, p. 23). Gerilyawan bersembunyi di satu tempat
penting bagi masyarakat Dusun Bonto, Pattontongan (berarti jendela).
Sepeninggal gurilla, tahun 1980-an, pemerintah setempat mengalihfungsikan
hutan tanpa mempertimbangkan hak-hak masyarakat setempat. Sehingga memantik
konflik antara masyarakat dan pemerintah (hanya sebagian orang yang mendapat
keuntungan dari adanya hutan), sedangkan masyarakat setempat dipinggirkan untuk
memanfaatkan dan mengelola hutan.Itu pun yang terjadi dengan masyarakat dusun Bonto.
Warga tidak tahu serta tidak dilibatkan dalam proses penunjukkan sebagian wilayah dusun
Bontoyang kemudian menjadi kawasan hutan. Warga hanya tahu bahwa mereka tidak bisa
lagi mengakses kawasan hutan. Dinas Kehutanan setempat secara sepihak kemudian
menanami kawasan hutan dengan Pinus. Setelah ditanami pinus tahun 1984, kurun waktu
31 tahun sumber mata air warga pun banyak yang hilang, karena diserap oleh pinus yang
sebenarnya tidak cocok ditanam di kawasan hutan produksi, di wilayah dengan lereng 450,
serta di wilayah dengan curah hujan kurang dari 2.000 mm per tahun.
Wilayah yang kemudian ditunjuk menjadi kawasan hutan, semestinya dikelola berdasarkan
hak-hak warga setempat, bukan hanya berdasarkan penetapan kawasan hutan yang
kemudian menjadi hutan negara sebagaimana praktek warisan kolonial yang masih hidup
hingga saat ini. Wilayah yang telah ditetapkan menjadi kawasan hutan di Indonesia
kenyataannya sedikit yang benar-benar kawasan hutan. Tanah yang diklasifikasikan
kawasan hutan merupakan tanah yang tidak terdaftar sebagai tanah pertanian, sehingga
mengabaikan tata guna tanah untuk dimanfaatkan oleh masyarakat setempat (Contreras,
Hermosilla, & Fay, 2006).
Jauh sebelum dikeluarkan SK penunjukan hutan di dusun Bonto, muncul program
revolusi hijau tahun 1970-an, berdasarkan program ini tanaman lokal warga digantikan
dengan tanaman jangka panjang. Revolusi hijau diperkenalkan untuk menciptakan tingkat
produksi dalam sektor pertanian. Kemudian, dimaksudkan untuk menghindari konflik
agraria di negara-negara berkembang. Namun realitanya, revolusi hijau kemudian
memantik konflik terbuka agraria di sejumlah negara yang mengimpelentasikan dari
revolusi hijau ini. Salah satu program dari revolusi hijau adalah pembagian benih dengan
kriteria bibit unggul untuk jenis tanaman yang ditanam dalam luasan yang sangat luas dan
34
Bonto dalam bahasa Konjo (bahasa asli yang digunakan oleh warga Dusun Bonto) berarti dahi yang menonjol.Bonto
digambarkan dengan dahi atau jidat karena kontur wilayah dusun Bonto serupa dengan dahi manusia.
35
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, gerilya adalah cara berperang yang tidak terikat secara resmi pada ketentuan perang
(biasanya dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan secara tiba-tiba).
311
ditanam selama berpuluh-puluh tahun, namun kemudian menimbulkan munculnya hama
(Tim Konphalindo, 2001, p. 134 dan 136). Warga dusun Bonto pun kena imbas dari
program ini, cengkeh dan kakao kemudian menggantikan tanaman utama warga, yaitu
jagung.
Dalam Undang-undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999 pada Bab III Pasal 10, urusan
pengurusan hutan bertujuan agar diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat. Hutan dijadikan oleh warga sebagai tempat berladang (baik dengan
izin ataupun tanpa izin), aktivitas penebangan kayu hutan oleh warga (dalam jumlah besar
ataupun kecil), hutan sebagai investasi dan menyimpan harta, hutan sebagai kehidupan dan
warga menggantungkan hidup dari hasil hutan (dari tahun ke tahun, bahkan dari bulan ke
bulan) (Santoso, 2004).
Banyak studi dan penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti mengenai
kawasan hutan pinus di Kabupaten Sinjai. Namun, dari semua penelitian itu tidak ada sama
sekali yang memfokuskan pada bagaimana sebenarnya warga di dusun Bonto bisa bertahan
di tengah-tengah kawasan hutan pinus yang sebenarnya sangat merugikan bagi warga
dusun Bonto. Penelitian yang dilakukan oleh kebanyakan peneliti, hanya sebatas
membahas bagaimana cara kerja pinus dalam mengambil sumber penghasilan warga (Tim
Peneliti Payo-payo, 2015). Hasil penelitian lainnya, hanya sebatas bagaimana pinus bisa
dimanfaatkan dan diolah menjadi sesuatu yang dapat menghasilkan bagi warga. Selain itu
juga, bagaimana pinus bisa menjadi penyebab bencana longsor di Kabupaten Sinjai tahun
2006 (Salim & Ni'am, 2012). Penelitian lainnya adalah mengenai kebijakan-kebijakan yang
telah dikeluarkan oleh pemerintah Kabupaten Sinjai terkait alih fungsi hutan lindung
menjadi kawasan hutan produksi dengan ditanami pinus, lagi-lagi penelitian ini hanya
sebatas melihat dari aspek hukum dan aturannya saja, sedangkan warga setempat yang
terkena imbas dari kebijakan tersebut tidak mendapat perhatian lebih (Irfan F, 2014).
Lainnya adalah penelitian yang menjelaskan bagaimana bencana yang tercipta di dua desa
di Sulawesi Selatan (salah satu desa yang diceritakan adalah Desa Kompang), kajian yang
dilakukan berhenti pada penelusuran mengenai proses terbentuknya suatu bencana di desa
tersebut. Penelitin dilakukan dengan tujuan agar memberikan informasi yang akurat serta
sebagai upaya untuk menaggulangi resiko bencana. Hanya berhenti disitu saja, sedangkan
bagaimana warga di desa tersebut bisa bertahan dan terus berjuang hidup di atas tanah yang
tidak menguntungkan bagi kehidupan sosialnya tidak banyak dibahas (Sirimorok, Batiran,
& Sanusi, 2014).
Karena itu tulisan ini menjadi sangat penting, karena dari berbagai kajian yang
sudah ada, tulisan ini akan melengkapinya dengan ulasan tentang bagaimana strategi warga
dusun Bonto dapat bertahan hidup di kawasan hutan pinus? Bagaimana cara warga
beradapatasi dengan kondisi dan daya lingkungan yang semakin tidak mendukung untuk
kegiatan pertanian warga karena keberadaan pinus? Sementara sumber daya air semakin
berkurang karena pinus telah menghisap sumber air mereka. Sedangkan air merupakan hal
yang sangat penting untuk dapat terus berproduksi. Tulisan ini sekaligus ingin menjawab
sisi lain dari pinus yang merugikan warga yang berada di kawasan hutan yang ditanami
pinus. Pemecahan masalah yang muncul dari warga sendiri adalah adanya keinginan untuk
mengganti pinus dengan tanaman yang bisa menghasilkan dari sisi ekonomi untuk
menghidupi kebutuhan keluarga. Yaitu, dengan menggantinya dengan tanaman jangka
panjang misalnya pala, cengkeh. Termasuk juga akan dapat menjawab beberapa hal yang
luput dari kajian yang telah dilakukan sebelumnya yaitu tentang keberadaan warga sekitar
yang belum mendapat perhatian banyak.
312
2. KERANGKA TEORITIS
Pada bagian ini akan diuraikan mengenai kerangka teori yang digunakan untuk
menjawab atas pertanyaan penelitian dalam paper ini. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan
di bawah ini.
Hubungan Manusia dan Lingkungan
Manusia dan lingkungan memang haruslah dapat menyesuaikan diri (adaptasi).
Manusia merupakan makhluk hidup yang dapat beradaptasi dengan cepat dimanapun
mereka berada, di lingkungan apapun. Karena itu merupakan cara mereka untuk bertahan
hidup. Manusia berinteraksi dengan lingkungannya dan keduanya saling berhubungan.
Manusia dalam hal ini adalah sebagai fenotipe, yang merupakan perwujudan dari apa yang
dihasilkan dari interaksi dengan lingkungan. Permasalahan dalam lingkungan hidup adalah
adanya hubungan manusia dan lingkungannya. Manusia bukanlah satu-satunya makhluk
hidup yang berkuasa di bumi ini. Ia hanya menjadi sosok penentu lingkungan dengan
tujuan agar tidak merusak lingkungan di sekitarnya. Adanya anggapan bahwa manusia
adalah makhluk hidup yang paling berkuasa di bumi adalah anggapan yang salah. Apalagi,
jika ia menjadi sosok yang malah merusak lingkungan di sekitarnya. Idealnya, antara
manusia dan lingkungan merupakan satu makhluk dengan makhluk lainnya yang
mempunyai hubungan timbal balik (Soemarwoto, 1997).
Konsep manusia dan lingkungannya sering memicu terjadinya konflik. Salah
satunya adalah aspek kependudukan dan aspek kelangkaan sumber daya lingkungan.
Aspek kependudukan berkaitan erat dengan sekumpulan manusia yang sudah tinggal dan
hidup berpuluh-puluh tahun lamanya di lingkungannya. Namun seiring dengan berjalannya
waktu sekumpulan manusia tersebut dihadapkan dengan konflik yang melibatkan
lingkungan yang mereka tinggali. Mereka dibenturkan dengan regulasi yang membatasi
mereka untuk memanfaatkan sumber daya alam yang berada di lingkungan sekitarnya.
Tanah-tanah mereka dirampas atas dalih pembangunan untuk memajukan dan
meningkatkan kesejahteraan mereka. Tanah-tanah dialih fungsikan dengan tanpa
melibatkan masyarakat yang tinggal di tanahnya. Dan yang terjadi adalah masyarakat
setempat pun tidak bisa tinggal diam ketika tanah yang selama ini mereka tinggali dirampas
atas kepentingan sepihak, baik itu yang melibatkan pemerintah setempat maupun
kepentingan bisnis. Dari sudut pandang lain dapat dilihat bahwa telah terjadi konflik antara
masyarakat yang merasa dirugikan atas regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah yang
telah mengambil sumber daya alam dan lingkungannya. Masyarakat mempertahankan
lingkungannya yang telah memberikan kehidupan berpuluh-puluh tahun bagi mereka (Li,
2012). Dalam kaca mata Sosiologi, konflik dalam hal ini merupakan hal yang wajib, karena
konflik merupakan proses sosial untuk menyatukan masyarakat.
Aspek kelangkaan sumber daya lingkungan dalam hal ini adalah masyarakat yang
tidak semua memahami mengenai regulasi dan kebijakan-kebijakan yang akhirnya
merugikan mereka. Selain kehilangan sumber daya alam, mereka pun perlahan-lahan akan
kehilangan sumber penghidupannya. Penguasaan sumber daya alam oleh pihak-pihak yang
ingin memperkaya dirinya sendiri. Karena itu, relasi antara manusia dengan lingkungan,
pada perkembangannya, sering menimbulkan konflik. Isu yang mengemuka adalah konflik
yang berkaitan dengan tanah, air ataupun udara. Misalnya konflik yang berkaitan dengan
tanah adalah banyaknya kelompok-kelompok petani yang harus rela meninggalkan
kebunnya karena lahannya telah ditetapkan sebagai lahan perkebunan skala besar yang
dikuasai oleh perusahaan perkebunan maupun pemegang konsesi kehutanan (baik swasta
maupun BUMN). Sejumlah perangkat hukum dirumuskan oleh pihak berwenang, dalam
hal ini Negara, untuk membangun legitimasi proses tersebut. Untuk kasus Indonesia,
sejumlah kawasan tersebut akan diubah terlebih dahulu statusnya menjadi Tanah Negara
sebelum didistribusikan kepada pemegang hak untuk melakukan kegiatan eksploitasi. Hal
313
ini didasarkan pada tujuan-tujuan tertentu dalam pengelolaan sebuah kawasan sumberdaya
alam (kebun maupun hutan) yaitu mencapai peningkatan angka pertumbuhan ekonomi
secara nasional.
PeranKelembagaan
Lembaga dalam pengertian yang berhubungan dengan kawasan hutan adalah semua
aturan baik formal maupun in-formal yang digunakan oleh masyarakat di satu wilayah yang
terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan hutan. Berkaitan dengan pengelolaan sumber
daya alam adalah apa saja yang boleh dilakukan dan apa saja yang tidak boleh dilakukan
ataupun dilarang. Tentunya sangat berkaitan dengan aturan yang berlaku, yang dipakai oleh
masyarakat setempat dan aturan yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah. Sehingga,
kedua aturan ini dapat saling melengkapi. Bukan saling membunuh satu sama lain. Apalagi,
malah memantik konflik diantara keduanya (Suciati, Anggoro, Ristanto, & dkk, 2007).
Kelembagaan yang ada di Indonesia untuk mengatur hubungan manusia dan
lingkungan sudah ada sejak masa kolonial. Baik itu lembaga resmi negara ataupun
lembaga-lembaga yang hidup secara alamiah di masyarakat, termasuk organisasi non
pemerintah (ORNOP) dan lainnya, yang semuanya memiliki tujuan tertentu untuk
memperbaiki sumber daya yang ada di bumi nusantara. Akan tetapi, ada juga yang
terkadang hanya utopia belaka. Adanya kelembagaan berperan untuk mengatur dimensi
kehidupan bermasyarakat. Dalam bahasa Foucault dikenal dengan pengaturan yang bersifat
rasional, dimana proses yang dilalui merupakan jalan untuk mencapai perbaikan kehidupan
manusia. Peran pemerintah dalam mengelola masyarakat salah satunya adalah dengan
penetapan lokasi-lokasi pemukiman masyarakat agar efisien dan lebih dekat dengan lokasi
administratif. Banyak kelompok masyarakat di Indonesia awalnya tinggal di pegunungan,
namun kemudian dipindahkan dengan alasan kemudahan pelayanan administratif tersebut.
Namun, terkadang kebijakan pemerintah ini tidak sesuai dengan tata cara kehidupan
masyarakat lokal. Alasan lain adalah dengan bertambahnya populasi manusia yang
mengharuskan pemindahan pemukiman yang baru (Li, 2012). Pemukiman warga yang baru
bukannya memberikan rasa aman terhadap masyarakat, namun kemudian yang terjadi
adalah masyarakat menjadi rentan terhadap bencana, baik itu bencana alam maupun
bencana kelaparan. Dengan demikian, dari sisi peningkatan kualitas hidup masyarakat,
kebijakan pemerintah tersebut dinilai gagal, karena tidak melihat kondisi sosial masyarakat
dengan lingkungannya. Berkaitan dengan hubungan manusia dan lingkungan, peran
kelembagaan negara telah membatasi ruang gerak dan akses masyarakat atas sumber daya
alam di lingkungannya.
Berbeda halnya dengan peran kelembagaan lokal, dimana di sejumlah pengalaman
mampu membuat pengaturan yang dapat dipahami oleh masyarakat setempat. Pengaturan
yang dibuat oleh masyarakat setempat yang dilembagakan tersebut dibuat untuk upaya
adaptasi kehidupan mereka untuk tujuan kehidupan bersama. Keberadaan kelembagaan
lokal pun dapat menciptakan pengelolaan sumber daya alam berdasarkan pada kebutuhan
dan kondisi sosial masyarakat, karena bersumber pada otoritas kultur tradisional yang
sekaligus juga merumuskan mekanisme pemantauan dan memperbaiki setiap aturannya
jika dibutuhkan untuk menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat. Selain itu, peran
kelembagaan yang berada di desa itu pula dapat menjamin kelangsungan hidup warganya.
Berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 dijelaskan bahwa pemerintahan desa dalam hal
pengaturan pemerintahan desa harus berlandaskan pada keanekaragaman, otonomi lokal
yang berbasis untuk pemberdayaan masyarakat secara partisipatif (Safitri, 2000).
Dalam UU No. 22 tahun 1999, UU itu dengan tegas memberikan kebebasan kepada
kepala desa dalam mengatasi konflik yang terjadi. Dalam hal ini, terkait konflik akibat
adanya kawasan hutan pinus yang menurut warga Dusun Bonto merugikan bagi sumber
mata penghasilan mereka. Kepala desa juga diberikan wewenang untuk menyelesaikan
314
konflik yang terjadi yang kemudian dibantu oleh lembaga adat setempat. Sumber otoritas
desa pula didukung oleh hak asal-usul desa (Safitri, 2000).
Salah satu lembaga lokal yang ada di Dusun Bonto adalah hadirnya salah satu tarekat
keagamaan, yaitu Khalwatiyah Samman. Bukan hanya itu, tokoh agama dari tarekat itu pun
menjadi salah seorang warga yang sangat dituakan di dusun Bonto. Hampir seluruh warga
di desa Kompang pun menghormati tokoh tersebut. Bahkan dalam proses penolakan
kehadiran pinus pun tokoh inilah yang menggerakan warga lainnya untuk melakukan
penolakan. Hadirnya tokoh masyarakat bahkan tokoh agama di salah satu desa dengan sisi
lain mempunyai kharismatik dan dapat menggrekan warga dengan rasa patuh terhadap
tokoh tersebut merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam membangun kelembagaan
masyarakat setempat. Ini bisa dijadikan sebagai basis pengorganisasian dan sebagai upaya
untuk memperkuat lembaga lokal (Suciati, Anggoro, Ristanto, & dkk, 2007).
3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan selama 2 bulan, yaitu sejak 28 September – 22 November
2016.Tempat penelitian adalah di Dusun Bonto, Desa Kompang, Kabupaten Sinjai,
Provinsi Sulawesi Selatan. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian aksi
partisipatif (Partisipatory Action Research/PAR). Pendekatan PAR merupakan pendekatan
penelitian dengan lebih menitik beratkan pada partisipasi peneliti yang kemudian ia hanya
menjadi ‘pendamping’ peneliti saja, sedangkan yang menjadi peneliti utama adalah
masyarakat itu sendiri yang pada metode penelitian lain adalah yang menjadi objek
penelitian.
Adapun dalam pengertian lain, PAR adalah salah satu metode penelitian yang
digunakan secara partisipatif antara peneliti dengan masyarakat setempat dengan tujuan
untuk mendorong dan penguatan masyarakat setempat agar terciptanya aksi-aksi yang
transformative serta pada akhirnya dari aksi-aksi tersebut dapat mempengaruhi kebijakan
pada level pemerintahan yang lebih tinggi, karena dengan metode PAR, hasil penelitian
kemudian adalah berdasarkan apa yang terjadi sebenarnya dan apa yang dialami oleh
masyarakat setempat terkait permasalahan yang sedang mereka hadapi.
Dalam penggunaan metode PAR ini, ada beberapa teknik yang digunakan guna mendapat
informasi dan data yang sangat akurat. Di antaranya adalah sebagai berikut:
Transek
Transek adalah teknik penelusuran lokasi penelitian, yaitu melakukan pengamatan
langsung terkait objek penelitian (landskap – bentang alam) secara keseluruhanuntuk
mendapatkan gambaran lokasi penelitian secara keseluruhan.Teknik ini memungkinkan
keterlibatan masyarakat penuh karena seperti yang diuraikan oleh Moeliono dan Djohani
(1996) masyarakatlah yang lebih mengetahui kondisi alam di lingkungannya. Pada
pelaksanaannya, kira-kira 15 orang warga Dusun Bonto terlibat dalam kegiatan ini.
Wawancara
Selain transek, proses pengumpulan data dilakukan pula dengan melakukan
wawancara kepada masyarakat di Dusun Bonto, Desa Kompang. Wawancara dengan
masyarakat setempat merupakan kegiatan yang sangat penting, karena informasi yang
didapatkan berasal dari informan kunci. Informan kunci dalam proses penelitian ini adalah
penduduk di Dusun Bonto yang memiliki kedudukan di tengah masyarakat dan penduduk
yang berlatar belakang keluarga petani di Dusun Bonto.
Wawancara dilakukan kepada 10 narasumber, yaitu Kepala Desa Kompang, Kepala Dusun
Bonto, tetua salah satu tarekat di Dusun Bonto. Selain itu, melakukan wawancara kepada
beberapa warga dusun Bonto, yaitu Ibu Suryani, Pak Hasyir, Pak Anwar, Pak Asikin, dan
dg. Unding. Mengapa wawancara dilakukan? Karena untuk mendapatkan informasi dan
315
data yang lebih akurat dan komprehensif. Dari wawancara ini, peneliti mendapatkan ceritacerita berdasarkan penuturan langsung dari masyarakat setempat.
4. PEMBAHASAAN
DUSUN BONTO, SUMBERDAYA ALAM DAN PENGHIDUPAN MASYARAKAT
Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai dua hal yang menjadi bagian penting dalam
hasil temuan selama penelitian. Dalam bagian ini pula terdapat dua bagian pembahasan,
yaitu potensi sumber daya alam di Dusun Bonto dan hutan pinus serta perlawanan rakyat
untuk penghidupan.
Potensi Sumber Daya Alam di Dusun Bonto
Desa Kompang terletak 30 km sebelah barat Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan.
Pemukiman warga didominasi lereng-lereng dengan kemiringan 30-70 derajat dengan
ketinggian 400-700 mdpl. Pada bulan September hingga akhir November 2015, iklim desa
Kompang, khususnya dusun Bonto bersuhu 24oC pada malam hari dan 30oC pada siang
hari. Dusun Bonto berada di ketinggian sekitar 478 mdpl. Dusun Bonto terletak di sekitar
garis lintang: S 5,233941° dan garis bujur : E 120.119038°. Sebelah Utara Desa Kompang
berbatasan dengan Desa Pattongko.Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Bonto Salama
Kecamatan Sinjai Barat. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Gantarang dan sebelah
Timur berbatasan dengan Desa Saontare (lihat Peta 1).
Gambar 1. Peta Desa Kompang
Sumber: (Kompang, 2015)
Tahun 1950-1975, warga Desa Kompang menanam jagung di lahan-lahan
kebunnya. Jagung menjadi makanan pokok warga. Tidak hanya warga Desa Kompang saja
yang mengkonsumsi jagung sebagai makanan pokok, warga di Desa Gantarang (sebelum
2006 merupakan bagian dari Desa Kompang) juga demikian (Salim & Ni'am, 2012). Hal
ini juga dituturkan Pak Ansar, masih jelas dalam ingatannya pada saat itu, bahwa sejauh
mata memandang yang terlihat di kebun-kebun warga adalah tanaman jagung. Ia
menambahkan bahwa apabila musim kemarau tiba, sesuai dengan cara bertani nenek
moyangnya dahulu, kebun jagung yang akan ditanami kembali tidak dicangkul, namun
dibakar.36 Selain komoditas pertanian untuk tanaman pangan, wilayah ini juga sumber
komoditas perkebunan dan hasil hutan. Komoditas kebun utama sejak tahun 1950 adalah
kopi, sebelum kemudian cengkeh menjadi sumber ekonomi warga hingga saat ini,
36
Wawancara dengan Kepala Desa Kompang Ansar, pada 29 September 2015.
316
sementara aren (bahan utama pembuatan gula merah) adalah komoditas hasil hutan yang
masih terus bertahan hingga saat ini, meskipun tidak banyak petani yang menanam aren
dan mengolahnya menjadi gula merah. Hal ini menggambarkan kondisi alam yang
memadai untuk kehidupan ekonomi warga serta pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Pada
bagian ini akan diuraikan tentang beberapa komoditas utama warga di Dusun Bonto serta
dinamikanya dari tahun ke tahun.
2011-….
20062010
20012005
19912000
19811990
19711980
19611970
Komoditas
19501960
No.
<1950
Tabel 1. Sejarah Perkembangan Komoditas di Desa Kompang
Tahun
Pertanian
1
Padi
•••
•••
•••
•••
•••
•••
00
2
Jagung
•••
•••
•••
00
00
00
0
0
Perkebunan
3
Cengkeh
•••
•••
•••
•••
•••
•••
4
Kakao
•••
•••
•••
00
00
5
Kopi
•••
•••
•••
•••
•••
•••
•••
•••
6
Kemiri
•••
•••
•••
00
00
0
0
0
7
Pala
00
00
•••
•••
8
Kelapa
•••
•••
•••
•••
•••
•••
00
00
Hasil Hutan
9
Aren
•••
•••
•••
•••
•••
•••
•••
•••
•••
10 Langsat
•••
•••
•••
•••
•••
•••
00
00
11 Manggis
•••
•••
•••
•••
12 Rambutan
•••
•••
•••
•••
•••
•••
00
00
13 Durian
•••
•••
•••
•••
00
00
00
00
Sumber: Forum Group Discussion (FGD) bersama petani di Desa Gantarang, pada17
Oktober 201537
Keterangan: •••: Sangat banyak, 00: Kurang, 0: Sangat Kurang
Komoditas Utama di Dusun Bonto
Komoditas baru yang masuk ke desa Kompang adalah cengkeh. Cengkeh masuk
pada era 1971-1980, hingga sekarang hasil panen cengkeh terhitung sangat banyak.
Meskipun, beberapa petani cengkeh mengeluhkan bahwa pohon cengkehnya tahun ini
banyak yang mati, kering dan hasil panennya berkurang, tanaman ini tetap menjadi sumber
penghasilan utama warga hingga saat ini. Hampir setiap petani di dusun Bonto memiliki
pohon cengkeh, baik itu yang ditanam di pekarangan rumah ataupun di kebun-kebun di
sekitar gunung Pattontongan (termasuk di kawasan hutan pinus). Masa awal penanaman
cengkeh, petani yang ingin menanam cengkeh membeli benih cengkeh di Kepala Desa Pak
Hodde. Namun, kini tidak semua petani di dusun Bonto membeli benih cengkeh. Sebagian
besar petani membudidayakan benih cengkehnya sendiri. Jika pun ingin membeli benih
37
Sejarah komoditas yang ditampilkan adalah berdasarkan hasil FGD dengan beberapa warga di Desa Gantarang, yang
dilakukan oleh Tim Gantarang pada proses Pelatihan Penelitian Desa SRP Payo-Payo.Data ini juga berlaku di Desa Kompang
karena memiliki persamaan sejarah komoditas di masing-masing desa.Mengingat Desa Gantarang merupakan desa pecahan
dari Desa Kompang.
317
cengkeh kepada petani lain yang biasa menjual benih cengkeh dijual dengan harga Rp
5.000 per satu pohon benih cengkeh.
Sejak diperkenalkannya cengkeh, warga dusun Bonto mengelola cengkeh dan menjadi
penghasilan utama untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Walaupun
demikian, mereka masih tetap menanam tanaman aren, kemiri dan jagung. Pada masa
pemerintahan Pak Hodde (Kepala Desa tahun 1966-1981), pemerintah membagikan 4.000
bibit cengkeh untuk ditanam di kebun warga. Masing-masing keluarga mendapatkan bibit
dengan harga Rp 25 – Rp. 250 per bibit38 (Salim & Ni'am, 2012, p. 28).
Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu provinsi pemasok cengkeh nasional.
Kabupaten Sinjai, dimana dusun Bonto berada salah satu wilayah yang diandalkan untuk
memenuhi kebutuhan nasional industri yang menggunakan bahan baku cengkeh. Corak
produksi yang memungkinkan komoditas ini dikelola dalam skala kecil atau rumah tangga,
memungkinkan komoditas ini menjadi andalan setiap keluarga untuk menopang kehidupan
sehari-harinya dan masa depan keluarganya.
Awal penanaman cengkeh di dusun Bonto bersamaan dengan booming nya komoditas ini
di pasar domestik dan internasional. Di Indonesia, tahun 1970-an, cengkeh merupakan
bahan bakurokok kretek dan menjadi salah satu penyumbang angka pertumbuhan ekonomi
negara (EA & dkk, 2013, pp. 21-22). Karena itu, setelah mengalami kegagalan pada masa
awal penanaman, warga tetap mencoba menanam cengkeh kembali pada tahun 1977. Salah
seorang pelopor tanaman cengkeh di dusun Bonto, yakni Pak Asikin Pella, memberikan
pengetahuannya untuk mengelola tanaman cengkeh kepada warga lainnya di sebagian
kebun warga yang masih ditanami aren, kemiri dan jagung (EA & dkk, 2013). Hal ini
dimulainya cengkeh sebagai komoditas primadona dan sumber penyangga kehidupan
warga Desa Kompang, khususnya dusun Bonto.
Memasuki era tahun 1980-an, cengkeh di dusun Bonto menjadi salah satu penyuplai
industri cengkeh nasional. Di tingkat nasional, luas areal tanaman cengkeh di Indonesia
mencapai 400 ribu Ha pada tahun 1980 dan terus meningkat rata-rata sebesar 0,35%
pertahun hingga tahun 1997 (V. J. Siagian 2014, 9). Tidak mengherankan jika warga Dusun
Bonto pun kemudian menyandarkan sumber ekonominya kepada tanaman cengkeh yang
ditanamnya hingga saat ini.
Musim panen cengkeh di dusun Bonto adalah pada bulan ke 7-11 (Juli-November).
Sebelumnya bulan ke 3 pohon cengkeh mulai berbuah. Bulan September dan Oktober
merupakan puncak panen cengkeh. Bulan November hasil panen cengkeh mulai berkurang.
Selain cengkeh (tanaman jangka panjang), dari hasil wawancara dengan warga Dusun
Bonto, hasil panen tanaman lainnya adalah padi, kakao, jagung, kopi, buah-buahan
(manggis, langsat, durian dan rambutan) dan sayur-sayuran (kangkung, sawi, buncis,
kacang panjang). Namun, tanaman jangka pendek ini hanya dijadikan tanaman sampingan
setelah habis masa panen cengkeh.
Hutan Pinus di Dusun Bonto dan Lahan Pertanian Rakyat
Kondisi wilayah, khususnya topografi Kabupaten Sinjai merupakan kawasan daratan
landai dengan kemiringan 0-45%. Sekitar lebih dari 30%-nya merupakan wilayah
perbukitan dan pegunungan dengan kemiringan di atas 40% (Irfan F, 2014). Begitu juga
kondisi di dusun Bonto, dalam rangka penanaman pohon di hutan, Dinas Kehutanan, pada
tahun 1984 memilih benih pinus untuk ditanam di kawasan hutan di wilayah Dusun Bonto.
Kegiatan ini dilaksanakan bersamaan dengan kebijakan penghijauan yang sudah
dicanangkan sejak tahun 1976. Secara tekhnis, pemilihan tanaman pinus didasarkan pada
kemudahan proses penanamannya. Jenis pinus yang ditanam adalah Pinus Merkusii Jung
et de Vriese (Pinus Merkusii). Pinus merkusii merupakan jenis pinus yang tumbuh alami
38
Bergantung pada kondisi bibit yang tersedia, jika sudah tumbuh daunnya, harganya semakin mahal .
318
di di Indonesia, yaitu di Pulau Sumatera (Aceh, Tapanuli, dan Kerinci). Ciri khas dari
pohon pinus merkusii adalah pohonnya besar, batang lurus, berbentuk silinder, kulit
luarnya kasar, tegakkan dewasa mencapai 45 m dengan diameter 140 cm. Usia pohon pinus
yang tumbuh di kawasan hutan dusun Bonto sekisar 31 tahun dan yang paling muda 9
tahun. Bahkan, setelah terjadi bencana longsor tahun 2006, tumbuh beberapa pohon pinus
baru dibeberapa titik.Padahal, sebelumnya tidak ditanami pinus. Ciri lain pinus merkusii
adalah penyebaran biji yang mudah diterbangkan oleh angin, benih pinus mudah didapat
dengan jumlah yang banyak, laju pertumbuhannya cepat, serta dapat tumbuh pada lahanlahan kritis (Tim Peneliti Payo-payo, 2015).
Sehingga akan mudah tertanam tanpa perawatan lebih lanjut dan akan segera memenuhi
target penghijauan kembali hutan khususnya di kawasan ini (Tim Peneliti Payo-payo,
2015). Sejak saat itu, kawasan hutan pinus di Desa Kompang pun semakin meluas.
Terdapat di 3 lokasi39, yaitu di Laiyya dengan lahan seluas 84 Ha, yang saat ini umur
pohonnya mencapai 21 tahun, dengan jumlah 35.200 pohon. Kemudian di Kp. Baru dengan
total luas lahannya 100 Ha, yang umurnya mencapai 21 tahun sejumlah 40.000 pohon, serta
di Buluparingi diatas lahan seluas 164 Ha yang umurnya lebih muda, yaitu 15 tahun,
berjumlah 32.000 pohon (Irfan F, 2014).
Warga menganggap bahwa kehadiran hutan pinus telah sedikit demi sedikit menghilangkan
suplai air di desanya. Hal ini ditandai dengan hilangnya sumber mata air dan debit air
sungai yang semakin sedikit dari tahun ke tahun. Pak Hasyir menuturkan bahwa ketika ia
berusia 10 tahun (yaitu sekitar tahun 1961), ia masih bisa menangkap kepiting di sungai
kecil yang ada di dusun Bonto40. Namun, ketika ia menginjak usia dewasa, ketika pohon
Pinus mulai ditanam, ia sulit mendapatkan kepiting di sungai. Pada saat itu, hutan pinus
sudah tumbuh besar. Sehingga, ia menyimpulkan bahwa pinus telah mengambil persediaan
air di dusunnya. Berdasarkan penuturan warga lainnya, sebelum ada pinus, air di dusun
Bonto sangatlah melimpah.41
Di sisi lain, keberadaan pinus di kawasan hutan negara merupakan upaya
pemanfataan sumberdaya alam dengan cara mengundang investor. Setelah pinus bisa besar
dan cukup umur untuk dimanfaatkan hasilnya, pemerintah daerah mengundang investor
untuk dijadikan sumber pemasukan daerah. Pemerintah kabupaten Sinjai bekerja sama
dengan PT. Rakindo untuk bekerja bersama melakukan penjualan getah pinus yang disadap
oleh petani. Tahun 2007, ketika warga mulai melakukan penyadapan getah pinus, harga
getah pinus saat itu hanya Rp 1.500 per kilogram dan harga yang dianggap terlalu murah
ini membuat warga kemudian tidak tertarik lagi untuk menyadap pinus.PT Rakindo
kemudian menaikkan harga pembelian getah pinus menjadi Rp 2.000 per kilogram (Salim
& Ni'am, 2012, pp. 36-37). Getah pinus tersebut adalah hasil produksi getah pohon pinus
yang ditanam di kawasan hutan lindung. Hal tersebut disampaikan oleh Andi Sainal
(anggota DPRD Kabupaten Sinjai Dapil Dua) yang menyatakan bahwa hutan pinus atau
39
Lihat kembali Peta 2 untuk melihat posisi lokasi hutan Pinus di Desa Kompang.
Wawancara dengan Pak Hasyir pada 16 November 2015
41
Mengenai keyakinan warga bahwa pinus telah mengambil air mereka berdasarkan hasil penelitian Tim Kompang (Pelatihan
Penelitian Desa Sekolah Rakyat Petani Payo-Payo tahun 2015) bahwa keberadaan hutan pinus di dusun Bonto tidaklah layak.
Karena pinus dapat mengurangi kandungan air tanah melalui proses intersepsi, evapotranspirasi dan air limpasan (runoff).
Bentuk tajuk pohon pinus conifer, membuat intersepsinya lebih besar dibandingkan vegetasi lain. Sistem perakaran tunggang
dan daya rambah 2,25 meter (1,5 kali dari tinggi pohon). Selain itu, serasah yang terbentuk akibat adanya tegakan pinus
mengakibatkan air limpasan lebih besar daripada kemampuan menyerap ke dalam tanah.pada bulan Oktober 2015, kebakaran
hutan yag terjadi di Kabupaten Sinjai, salah satunya kebakaran yang terjadi di area perbatasan Kecamatan Sinjai Barat dengan
Kecamatan Sinjai Tengah. Kebakaran terjadi di kawasan hutan pinus (hutan produksi) dengan total area kebakaran 1,6 ha.
Salah satu penyebab kebakaran adalah punting rokok kemudian merembet ke pangkal batang pinus. Sisi lain pinus adalah
mudahnya serasah pinus terbakar. Pinus pun dapat tumbuh dengan baik pada wilayah dengan curah hujan 2.309 mm/tahun,
sedangkan pada wilayah dengan curah hujan dibawah 1.500 mm/tahun lebih baik tidak ditanami pinus. Menurut Stasiun
Meteorologi No. 420 Bikeru, curah hujan Kabupaten Sinjai adalah 1.097 mm/tahun. Sehingga, diyakini penyebab longsor
tahun 2006 salah satunya adalah karena adanya keberadaan hutan pinus (alih fungsi hutan) (Payo-Payo, 2015).
40
319
pohon pinus di Sinjai ini sebelumnya merupakan kawasan hutan lindung. Berdasarkan
keterangan lain dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sinjai, bahwa hutan
lindung yang ditanami pohon pinus merupakan hutan lindung yang diproduksi (Irfan F,
2014).
Untuk mencapai target pemasukan daerah, pemerintah daerah menargetkan
volume getah per tahunnya. Hal ini direalisasikan dengan Perjanjian Kerjasama Sadapan
Getah Pinus No.800/138/Disbunhutl2007 antara Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan
Kabupaten Sinjai dengan PT. Rakindo Utama Makmur, untuk mencapai target untuk
melakukan penyadapan getah pinus sebanyak 1.000 ton/tahun. Hal ini yang diduga menjadi
faktor alih fungsi lahan di kawasan hutan lindung menjadi hutan produksi, terlebih-lebih
volume target per tahunnya belum memenuhi, yaitu hanya 800 ton/tahun.
Secara tekhnis, lahan di kabupaten Sinjai, khususnya di Dusun Bonto, tidak cocok untuk
ditanami tanaman Pinus. Hal ini juga sudah diatur dalam kebijakan tentang pengelolaan
lingkungan hidup yang dikeluarkan tahun 200942. Untuk tujuan pengelolaan lingkungan
hidup, maka hutan lindung dengan lereng kemiringan 45 derajat, seharusnya di tanami
dengan pohon atau kayu berjenis endemik, contohnya, kemiri, rotan, enau, damar, dan lainlain. Namun, kebijakan tahun 2009 ini tidak diindahkan oleh pihak pemerintah kabupaten
Sinjai43. Padahal, seperti telah diketahui bahwa lereng kemiringan wilayah dusun Bonto
ialah 45 derajat.Akibatnya tahun 2011, di Kabupaten Sinjai hampir 100% hutan lindung
sudah dikonversi menjadi hutan produksi. Hal ini didukung oleh munculnya Peraturan
Daerah (Perda) Kabupaten Sinjai mengenai pelaksanaan alih fungsi hutan lindung menjadi
hutan produksi. Perda yang dikeluarkan oleh Bupati Sinjai ini bertentangan dengan
moratorium alih fungsi lahan hutan berdasarkan keputusan kementerian di tingkat pusat44
serta RTRW kebupaten Sinjai 2012-202345.
Hutan, Hutan Pinus dan Perlawanan Rakyat untuk Penghidupan
Tahun 1984, ditengah-tengah gencarnya penanaman pinus, terjadi penolakan yang
dilakukan sejumlah warga Dusun Bonto. Warga pada saat itu berhasil menghentikan
penanaman pinus di kawasan hutan di Dusun Bonto. Hal ini menunjukkan bahwa warga
tidak diam ketika sebagian wilayahnya ditunjuk sebagai kawasan hutan, terlebih dalam
proses penunjukan kawasan hutan yang ada disekitarnya tidak melibatkan warga.
Penolakan warga didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, kawasan yang kini menjadi
kawasan hutan negara merupakan sumber penghasilan warga, karena di dalam kawasan
tersebut terdapat kebun-kebun warga. Kedua, di kawasan hutan merupakan tempat
42
UU No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Berdasarkan data Dinas Kehutanan tahun 2009, luas lahan hutan pinus di Kabupaten Sinjai mencapai 3.155 ha dengan
jumlah pohon 1.009.200 pohon (Irfan F, 2014).
44
Surat Edaran Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 603/Menhutbun-VIII/2000 jo surat Menhut No. 1712/MenhutVII/2001 yang ditujukan kepada gubernur dan bupati seluruh Indonesia. Departemen Kehutanan tidak lagi mengeluarkan ijin
alih fungsi kawasan hutan untuk kegiatan pelepasan kawasan hutan bagi kepentingan pembangunan budidaya
pertanian/perkebunan (dalam (Irfan F, 2014)).
45
Perda No. 28 Tahun 2012 tentang RTRW Kabupaten Sinjai 2012-2023, dalam Bab I Pasal 1 ayat 31 bahwa hutan produksi
adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Kegiatan yang diperbolehkan dalam kawasan
hutan produksi berdasarkan ketentuan umum zonasi kawasan pada pasal 67 ayat 1 meliputi kegiatan pengelolaan,
pemeliharaan, dan pelestarian hutan produksi sebagai penyangga hutan lindung. Pada Bab I pasal 1 ayat 32, hutan lindung
merupakan kawasan hutan yang mempunyai fungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata
air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah instrusi laut dan memelihara kesuburan tanah. Kawasan hutan lindung
pada pasal 31 ayat 3, luas keseluruhan sebesar 10.996 ha ditetapkan di sebagian wilayah Kecamatan Sinjai Barat, Kecamatan
Sinjai Tengah, Kecamatan Sinjai Selatan, Kecamatan Sinjai Borong dan Kecamatan Tellulimpoe. Pada pasal 61 ayat 2,
ketentuan umum zonasi kawasan hutan lindung kegiatan apa saja yang diperbolehkan, diantaranya adalah kegiatan
pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa merubah bentang alam, pemanfaatan jasa lingkungan, pemungutan hasil hutan
bukan kayu, dan selebihnya kegiatan yang diperbolehkan adalah seluruh kegiatan yang tidak mengganggu fungsi hutan
lindung sebagai kawasan lindung. Kegiatan yang tidak diperbolehkan adalah seluruh kegiatan yang berpotensi mengurangi
luas kawasan hutan dan tutupan vegetasi. Pada pasal 43 huruf b, mengenai kawasan peruntukan pariwisata alam, salah satunya
terdiri dari hutan pinus. Namun, untuk peruntukkan kawasan hutan pinus tidak dijelaskan lebih lanjut tepatnya berada di
kecamatan mana dan desa mana.
43
320
bersejarah bagi warga dusun Bonto, karena disanalah tempat asal nenek moyangnya yaitu
wilayah Pattontongan dan Kampung Lappara’.Pattontongan dianggap sebagai wilayah asal
muasal nenek moyang mereka sedangkan Kampung Lappara’ merupakan pemukiman
pertama warga dusun Bonto sebelum dipindahkan secara paksa oleh tentara (usai
penumpasan pemberontakan gerilyawan yang dipimpin Qahhar Mudzakkar) ke tempat
tinggal sekarang di tepi-tepi lereng curam.
Sebagian wilayah dusun Bonto, desa Kompang masuk ke dalam penunjukan kawasan hutan
oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Sinjai. Luasan wilayah yang ditunjuk menjadi kawasan
hutan 460 Ha dari luas keseluruhan desa 1.457 Ha (Sirimorok, Batiran, & Sanusi, 2014).
Dalam referensi lain, luas kawasan hutan lindung di desa Kompang adalah 600 Ha dan
hutan produksi 500 Ha (Ngakan, Achmad, Wiliam, Lahae, & Tako, 2005; Wahid, Bohari,
& Achmad, 2015). Berdasarkan Perda No. 28 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Kabupaten Sinjai 2012-2023, Pasal 38 ayat 2 menyatakan bahwa
“kawasan hutan produksi terbatas di Kabupaten Sinjai terdapat di empat wilayah
kecamatan, meliputi Kecamatan Sinjai Barat, Kecamatan Sinjai Selatan, Kecamatan Sinjai
Tengah, dan Kecamatan Bulupoddo, dengan luas total 7.193,20 Ha”. Berdasarkan
penuturan Pak Ansar, kawasan hutan yang kini menjadi hutan negara, dulunya adalah hutan
asli milik masyarakat. Warga senantiasa menggantungkan hidup dengan apa yang mereka
tanam di hutan itu.46 Status hutan tersebut, hingga saat ini masih dalam proses penunjukan,
belum kepada tahap penetapan apalagi pengukuhan kawasan hutan47.
Gerakan penolakan warga dipimpin oleh tokoh agama salah satu tarekat di dusun Bonto,
yaitu Puang Suyuti. Berdasarkan penuturannya, ia mengerahkan para pemuda dusun untuk
melawan petugas dari Dinas Kehutanan yang sedang melakukan proses penanaman pinus
di wilayah mereka. Dengan alasan kultural untuk mempertahankan Kampung Lappara’ dan
Pattontongan, mereka berupaya untuk menghadang kehadiran hutan Pinus. Bahkan, hingga
saat ini di Kampung Lappara masih banyak warga yang bermukim di sana (sekisar 27
rumah)48 (Tim Peneliti Payo-payo, 2015). Untuk itu mereka menolak penunjukkan
kawasan hutan yang diterbitkan tahun 1982. Walaupun demikian, aksi ini hanya
menghentikan proses penanaman pinus saja, tetapi tidak membatalkan kebijakan
penunjukkan kawasan hutan di wilayah Dusun Bonto.
Pengaturan kawasan hutan di Indonesia, khususnya sejak era pemerintahan Orde Baru,
diatur secara terpusat. Di Sulawesi Selatan, sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah
(PP) No. 6 Tahun 1968 tentang Penarikan Urusan Kehutanan dari Daerah Kabupaten ke
Provinsi di Wilayah Indonesia Bagian Timur yang tertuang dalam Pasal 8 ayat(1)49 bahwa
pemerintah kabupaten akan melaksanakan urusan kehutanan tetapi tugas koordinasi dan
pengawasan diserahkan kepada pemerintah provinsi. Kebijakan ini diperkuat dengan
peraturan yang dikeluarkan tahun 1998, yaitu PP No. 62 Tahun 1998 tentang penyerahan
sebagian urusan pemerintahan di bidang kehutanan kepada daerah50.
Berdasarkan peraturan tahun 1968 tersebut, tahun 1981 kebijakan penutupan kawasan
hutan di desa Kompang mulai diterapkan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Sinjai. Dengan
46
Wawancara dengan Kepala Desa Kompang Ansar, pada 29 September 2015
Terdapat beberapa tahapan untuk menetapkan status kawasan hutan di Indonesia, dimulai dari tahap penunjukkan, penataan
batas kawasan hutan, diikuti dengan tahapan penetapan dan diakhiri dengan pengukuhan. Ini tercantum dalam Peraturan
Menteri Kehutanan RI Nomor: P.50/Menhut-11/2011 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan.
48
Wawancara dengan Puang Sayuti Hajarang pada 22 November 2015
49
Yang menyatakan bahwa: “Pemangkuan hutan, …dst, diserahkan kepada Pemerintah Daerah Swatantra tingkat I, …dst,
terkecuali untuk wilayah bekas NIT, dimana urusan kehutanan telah ada pada Daerah Swatantra Tingkat II”.
50
Urusan pemerintahan di bidang kehutanan yang diserahkan kepada Daerah Tingkat I adalah: (a) pengelolaan taman hutan
raya, dan (b) penataan batas hutan. Adapun urusan di bidang kehutanan yang diserahkan kepada Daerah Tingkat II adalah:
(a) penghijauan dan konservasi tanah dan air, (b) persuteraan alam, (c) perlebahan, (d) pengelolaan hutan milik/hutan rakyat,
(e) pengelolaan hutan lindung, (f) penyuluhan kehutanan, (g) pengelolaan hasil hutan non kayu, (h) perburuan tradisional
satwa liar yang tidak dilindungi pada areal-areal buru,(i) perlindungan hutan, dan (j) pelatihan keterampilan masyarakat di
bidang kehutanan.
47
321
mulai membatasi akses warga untuk menanam dan mengambil hasil panen di wilayah yang
termasuk kawasan hutan. Kegiatan warga di dalam hutan dikategorikan sebagai aktivitas
merusak kawasan hutan, dan diancam dengan ancaman dipenjarakan. Setelah
dikeluarkannya kebijakan penutupan kawasan hutan, setahun kemudian kawasan tersebut
dinyatakan sebagai kawasan hutan lindung, dengan dikeluarkannya SK Menteri Pertanian
No. 760/kpts/Um/10/1982 tentang Penunjukan Kawasan Hutan, yang didalamnya
disebutkan bahwa ada sekitar 3,6 juta Ha lahan di Sulawesi Selatan yang ditunjuk menjadi
kawasan hutan. Namun, hal ini tidak mengubah persepsi warga tentang keberadaan hutan
tersebut, bahkan hingga sekarang, dimana dianggap sebagai hutan produksi yang hasilnya
bisa dimanfaatkan warga untuk menghidupi ekonomi keluarganya.
Kebijakan tahun 1982 tersebut kemudian diperbaharui pada tahun 1999 dengan
penjelasan tentang luasan wilayah hutan di Provinsi Sulawesi Selatan. Didalam SK Menteri
Pertanian dan Kehutanan No 890/kpts-II/1999 tentang penunjukan Kawasan Hutan di
Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan dinyatakan bahwa kawasan hutan di
wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan, yang luasnya 3.879.771 Ha (lebih
luas dibandingkan kebijakan sebelumnya yang hanya 3,6 juta Ha). Rinciannya adalah
untuk penunjukkan sebagai kawasan suaka alam51, kawasan pelestarian alam52, taman buru
(darat dan perairan) seluas 789.066 Ha, untuk hutan lindung53 seluas 1.944.416 Ha, untuk
hutan produksi54 terbatas seluas 855.730 Ha, untuk hutan produksi tetap seluas 188.486 ha
dan hutan yang dapat dikonversi seluas 102.073 Ha (Dinas Kehutanan Sulsel, 2012).
Penunjukkan kawasan-kawasan tersebut meliputi tanah-tanah yang sudah dikuasai oleh
warga setempat termasuk warga Dusun Bonto di desa Kompang. Namun, pada kebijakan
yang dikeluarkan tahun 200955, kawasan yang ditunjuk sebagai kawasan hutan berkurang
menjadi hanya 2,7 juta Ha56, atau berkurang sekitar 1 juta Ha. Apakah hal ini merupakan
respon dari penolakan warga yang terjadi pada tahun 1984 atau bukan, akan dapat dilihat
langsung kenyataannya di lokasi, yaitu di Dusun Bonto, apakah mereka kemudian bisa
mengakses wilayah kebunnya yang sudah ditunjuk sebagai kawasan hutan atau tetap
dilarang.
Dengan adanya kebijakan ini, tanah yang mulanya dikuasai oleh warga desa
Kompang, baik tanah yang bersertifikat maupun tidak menjadi bagian dari kawasan hutan
negara. Sehingga, pada masa awal kebijakan ini diberlakukan, kebun-kebun warga yang
sudah ditanami kopi, cengkeh dan kakao tidak bisa diakses termasuk tidak bisa diambil
hasilnya. Tetapi warga tidak tinggal diam, beberapa warga nekat untuk mengambil haknya
dengan melintasi batas kawasan hutan tersebut untuk mengambil hasil kebunnya. Tindakan
51
Dalam Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, yang
dimaksud dengan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian dalam peraturan pemerintah ini adalah kawasan dengan ciri
khas tertentu baik daratan ataupun perairan dengan fungsi pokoknya sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman
ekosistemnya dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan mutu kehidupan masyarakat di areal kawasan tersebut.
Selain itu, penetapan kawasan suaka alam terdiri dari kawasan cagar alam dan kawasan suaka margasatwa.
52
Sedangkan kawasan pelestarian alam terdiri dari kawasan taman nasional, kawasan taman hutan raya dan kawasan taman
wisata alam.
53
UU No. 41 Tahun 1999 dalam Pasal 1 (huruf h) hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah
intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah .Sedangkan, berdasarkan Keppres Nomor 32 Tahun 1990 tentang
Pengelolaan Kawasan Lindung, kawasan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya kerusakan fungsi lingkungan hidup. Upaya
penetapan, pelestarian dan pengendalian kawasan hutan lindung.Ini pun diterapkan di hutan dusun Bonto.Lagi-lagi warga
tidak bisa mengakses kawasan hutan.
54
Dan ayat 2, hutan produksi ialah kawasan hutan yang diperuntukan guna produksi hasil hutan untuk memenuhi keperluan
masyarakat pada umumnya dan khususnya untuk pembangunan, industri dan ekspor.
55
SK Menteri Kehutanan RI No. 434/Menhut-II/2009 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan di
Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan
56
Dengan rincian kawasan suka alam/kawasan pelestarian alam (851.267 Ha), hutan lindung (1.232.683 Ha), hutan produksi
terbatas (494.846 Ha), hutan produksi tetap (124.024 Ha) dan hutan produksi yang dapat dikonversi (22.976 Ha).
322
ini berakibat pada proses hukum yang harus dihadapi warga, bahkan beberapa warga
dipenjara (Sirimorok, Batiran, & Sanusi, 2014, p. 12). Atas kejadian tersebut, warga
melakukan advokasi dengan melakukan negosiasi, yang dilakukan oleh pihak
pemerintahan desa dengan Dinas Kehutanan setempat untuk mengijinkan warga
mengambil hasil atas tanaman yang sebelumnya mereka tanam di kebunnya.57 Walaupun
demikian, kebijakan penunjukan hutan dan penutupan lahan ini tetap membuat warga tidak
bisa kembali ke tempat tinggal asal mereka.
Kebijakan kehutanan tahun 1980-an dan diikuti tahun 1999 merupakan rantaian kesulitan
warga mengakses hutan yang sudah terjadi sejak tahun 1970-an. Kebijakan penghijauan
dan reboisasi hutan tahun 1976 juga menjadi tonggak dimana warga mulai sulit mengakses
kawasan hutan. Inpres Nomor 8 tahun 1976 tentang Program Bantuan Penghijauan dan
Reboisasi yang merupakan bantuan langsung dari pemerintah yang dananya berasal dari
APBN (tahun anggaran 1976/1977). Kebijakan ini dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah
Tingkat I dan II, termasuk pengadaan bibit dan penanamannya. Kebijakan ini dimaksudkan
untuk melakukan penanaman kembali atau meremajakan pohon-pohon serta jenis tanaman
lain di hutan negara dan di areal lain berdasarkan rencana tata guna tanah untuk hutan58
yang dilaksanakan diatas lahan seluas kurang lebih 312.500 Ha59.
Program reboisasi ini diperkuat lagi pada tahun 1980 dan 1993, khususnya tentang
bagaimana mengatur pendanaan untuk merealisasikan program ini. Dalam Keppres No. 35
Tahun 1980 tentang Dana Reboisasi, terdapat ketentuan tentang keharusan pemegang
konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) skala besar untuk membiayai kegiatan rehabilitasi
lahan hutan dan regenerasi areal konsesi pasca tebangan. Dengan ketentuan ini, setiap
perusahaan pemegang konsesi wajib menyerahkan dana jaminan reboisasi60 yang ditujukan
untuk menjaga dan terus menambah kualitas serta kuantitas pohon di hutan. Walaupun
demikian, ketentuan-ketentuan ini tidak dilaksanakan sebagaimana tujuan dari
diadakannya peraturan ini, seringkali terdengar bahwa terdapat penyalahgunaan dana
reboisasi yang terkumpul (Down to Earth, 2002, pp. 18,19 dan 29)61. Untuk itu, pada tahun
1993, berdasarkan Keppres No. 40/1993, pengaturannya lebih diperketat, dimana tarif dana
reboisasi ditentukan secara terpusat dan berbeda di setiap wilayah di kawasan Indonesia62.
57
Wawancara dengan Kepala Desa Kompang Ansar, pada 29 September 2015
Pasal 2 Inpres No. 8/1976
59
Pasal 4 Inpres No. 8/1976 merinci kegiatan-kegiatan penanaman diatas lahan seluas 300.000 Ha, reboisasi seluas 100.000
Ha dan untuk proses pengadaan bibit diatas lahan seluas 2.500 Ha.
60
Besar dana jaminan reboisasi dan permudaan iuran areal HPH: US.$.4 (empat dollar Amerika) untuk setiap meter kubik
kayu semua jenis yang diproduksi dan US.$.0,50 (lima puluh sen dolar Amerika) untuk setiap meter kubik chipwood yang
diproduksi. Dana jaminan ini digunakan untuk meningkatkan nilai kualitas dan kuantitas tegakan hutan pasca tebangan di
dalam areal HPH. (Pasal 3 Keppres No. 35/1980)
61
Dana reboisasi diserobot oleh perusahaan-perusahaan beserta koleganya. Seperti PT. Inhutani yang menguasai hutan dalam
jumlah besar di luar Jawa (Sulawesi Selatan). Dana ini digunakan untuk pengrusakan hutan (penyediaan dana pembuatan
kayu insdustri)
62
Pasal 1 (1) Keppres No. 40/1993, yaitu “Mengubah ketentuan Pasal 7 dan Pasal 10 Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun
1990 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1991 sebagai berikut: (1) Mengubah Pasal 7,
sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 (1) besarnya dana reboisasi ditetapkan dengan tariff sebagai berikut:
(a) untuk wilayah Kalimantan dan Maluku: (1) US$. 16 (enam belas dollar Amerika) setiap meter kubik kelompok jenis
meranti, (2) US$13 (tiga belas dollar Amerika) setiap meter kubik kelompok jenis Rimba Campuran. (b) untuk Wilayah
Sumatera dan Sulawesi: (1) US$. 14.- (empat belas dollar Amerika) setiap meter kubik kelompok jenis Meranti. (2) US$.
12.- (dua belas dollar Amerika) setiap meter kubik kelompok jenis Rimba Campuran. (c) untuk Wilayah Irian Jaya dan Nusa
Tenggara: (1) US$. 13.- (tiga belas dollar Amerika) setiap meter kubik kelompok jenis Meranti. (2) US$. 10.50 (sepuluh
dollar lima puluh sen dollar Amerika) setiap meter kubik kelompokjenis Rimba Campuran. (d) untuk seluruh Wilayah
Indonesia: (1) US$. 20.- (dua puluh dollar Amerika) setiap ton kelompok jenis Ebony. (2) US$. 16.- (enam belas dollar
Amerika) setiap meter kubik jenis Jati Alam. (3) US$. 18.- (delapan belas dollar Amerika) setiap meter kubik kelompok jenis
Kayu Indah dan setiap ton Kayu Cendana. (4) US$. 2.- (dua dollar Amerika) setiap meter kubik bahan baku serpih/partikel,
limbahpembalakan dan sortimen khusus lainnya.(2)Ketentuan mengenai kelompok jenis kayu, bahan-baku serpih, limbah
pembalakan, dan sortimen khusus lainnya diatur oleh Menteri Kehutanan. "Ayat 2 “Mengubah Pasal 10, sehingga seluruhnya
berbunyi sebagai berikut: pasal 10: (1) Dana Reboisasi yang terhutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf
a, wajibdilunasi oleh Wajib Pungut dan Wajib Setor selambat-lambatnya pada akhir bulan berikutnya
dengan cara sebagai berikut: (a) Disetor langsung oleh Wajib Pungut dan Wajib Setor pada Bank yang telah ditetapkan, atau;
58
323
5. KESIMPULAN
Proses penunjukkan kawasan hutan melalui kebijakan kehutanan di Indonesia
merupakan salah satu alat proses perebutan sumber-sumber penghidupan rakyat. Salah
satunya di Dusun Bonto, Desa Kompang, Kabupaten Sinjai.Sejak ditetapkannya sebagai
kawasan dusun ini pada tahun 1982 (SK Menteri Pertanian No. 760/kpts/Um/10/1982
tentang Penunjukan Kawasan Hutan), sebagian Dusun Bonto berubah menjadi kawasan
hutan lindung (seluas 460 Ha dari luas 1.457 Ha). Secara legal formal, dengan proses
penunjukkan kawasan hutan ini, maka warga di sekitarnya tidak bisa mengakses wilayah
tersebut, padahal sebelumnya warga sudah menguasai lahan di kawasan tersebut dan
mengelolanya untuk menjadi sumber mata pencaharian dengan potensi sumberdaya alam
yang sangat kaya. Sejak saat itu, kawasan tersebut ditanami dengan pohon pinus, yaitu
Pinus Merkusii Jung et de Vriese. Sejumlah ahli telah mengkaji bahwa tanaman pinus
adalah tanaman yang dapat merusak kondisi tanah, khususnya apabila di sekitarnya
terdapat lahan pertanian dan dekat dengan areal perkampungan.Warga Dusun Bonto dari
waktu ke waktu senantiasa menjaga hutan yang berada di sekitar pemukiman mereka.
Cara yang mereka pilih adalah dengan menanamnya dengan apa yang bisa menghasilkan
dan bisa menghidupi kehidupan mereka. Dengan tanpa merusak hutan yang dari dulu telah
ada. Karena bagi mereka menjaga warisan dan tanah nenek moyang merupakan hal yang
sangat penting. Salah satu tanaman yang kemudian menjadi sumber penghidupan warga
adalah cengkeh. Pada masa penunjukkan kawasan hutan serta penanaman pinus, maka
cengkeh merupakan tanaman yang diperjuangkan oleh warga Dusun Bonto. Cengkeh telah
ditanam sejak 1971-1980, hingga sekarang hasil panen cengkeh terhitung sangat banyak.
Hampir setiap petani di dusun Bonto memiliki pohon cengkeh, baik itu yang ditanam di
pekarangan rumah ataupun di kebun-kebun di sekitar gunung Pattontongan (termasuk di
kawasan hutan pinus).
Selain itu, adanya cengkeh dijadikan oleh warga sebagai strategi warga untuk tetap
bertahan hidup. Meskipun sumber air yang biasa dijadikan oleh warga untuk menyiram
cengkeh di musim kemarau mulai berkurang dan menghilang. Dan salah satu penyebab
yang diyakini oleh warga terkait hilangnya sumber air warga Dusun Bonto adalah karena
keberadaan pinus.Warga tetap bertahan ditengah-tengah berkurangnya daya lingkungan
yang menjadi penyokong bagi sumber penghidupan mereka. Meskipun, beberapa petani
cengkeh mengeluhkan bahwa pohon cengkehnya tahun ini banyak yang mati, kering dan
hasil panennya berkurang, namun tanaman ini tetap menjadi sumber penghasilan utama
warga hingga saat ini. Cengkeh pun menjadi komoditas utama pertanian warga di Dusun
Bonto.
Begitu eratnya relasi antara warga Dusun Bonto dengan lingkungan di sekitarnya. Dapat
dilihat dari pemaparan di atas. Kebijakan penanaman pinus pun dapat dihentikan oleh
warga (meskipun tidak semua kawasan hutan yang telah ditanami pinus), namun
setidaknya warga pun dapat menuai hasil dari perlawanan yang mereka lakukan. Peran
salah satu lembaga in-formal yang berada di Dusun Bonto dapat menjadi pegangan bagi
warga untuk menjaga kelestarian hutan dan tanah nenek moyang. Pemimpin Tarekat
Khalwatiyah Samman di Dusun Bonto memiliki peran yang sangat berpengaruh bagi
(b) Bagi Wajib Pungut dan Wajib Setor yang melakukan ekspor kayu olahan dipotong langsung melalui Bank Devisa pada
saat negosiasi wesel atau pada saat pemberitahuan eksporbarang (PEB) bagi yang melaksanakan ekspor tanpa Letter of Credit
(L/C). (2) Wajib Pungut dan Wajib Setor yang dapat melakukan pelunasan Dana Reboisasi dengan carasebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf b ditetapkan oleh Menteri Kehutanan. (3) Dana Reboisasi yang terhutang sebagaimana
dimaksud dalam pasal 8 ayat (2) huruf b wajibdisetorkan dalam waktu yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan. (4) atas
keterlambatan penyetoran Dana Reboisasi sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa
bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah Dana Reboisasi yang terlambat disetor. (5) Denda sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4) wajib diperhitungkan dan disetorkan langsung oleh Wajib Pungut dan Wajib Setor pada saat
penyetoran atau pada saat pemotongan langsung pada saat negosiasi wesel atau pemberitahuan ekspor barang (PEB)”.
324
warga, melebihi pengaruhnya aturan pemerintah lokal. Segala yang didawuhkan oleh
pemimpin tersebut setidaknya tidak bisa dibantah oleh warga lainnya. Namun, ini bisa
dijadikan senjata oleh warga Dusun Bonto sebagai upaya perlawanan warga dengan segala
aturan pemerintah yang dapat mengambil sumber penghidupan mereka.
6.DAFTAR PUSTAKA
Contreras, A., Hermosilla, & Fay, C. (2006). Memperkokoh Pengelolaan Hutan Indonesia
Melalui Pembaruan Penguasaan Tanah: Permasalahan dan Kerangka Tindakan.
Bogor: World Agroforestry Centre.
Dinas Kehutanan Sulsel. (2012). Profil Kehutanan Sulawesi Selatan. Retrieved Desember
17,
2015,
from
Prov
Sulawesi
Selatan:
http://sulselprov.go.id/potensi/kehutanan/2012/_PROFIL%20KEHUTANAN%20
Sul-Sel.pdf
Down to Earth. (2002). Forest People and Rights. Down o Earth Special Report.
EA, P., & dkk. (2013). Ekspedisi Cengkeh. Makassar: Ininnawa dan Layar Nusa.
Irfan F, M. (2014). Tinjauan Yuridis Kewenangan Pemerintah Kabupaten Sinjai dalam
Alih Fungsi Hutan Lindung menjadi Hutan Produksi. Makasar: Fakultas Hukum,
Universitas Hasanudin.
Kompang, R. D. (2015).
Li, T. M. (2012). The Will to Improve: Perencanaan, Kekuasaan dan Pembangunan di
Indonesia. Tangerang Selatan: Margin Kiri.
Moellono, I., & Djohani, R. (1996). Berbuat Bersama Berperan Serta: Acuan Penerapan
Particfipatory Rural Appraisal. Bandung: Driya Media.
Ngakan, P. O., Achmad, A., Wiliam, D., Lahae, K., & Tako, A. (2005). Dinamika Proses
Desentralisasi Sektor Kehutanan di Sulawesi Selatan: Sejarah, Realitas dan
Tantangan Menuju Pemerintahan Otonomi yang Mandiri. Bogor: CIFOR.
Payo-Payo, P. P. (2015). Pinus di Desa Kompang. Belum dipublikasikan.
Safitri, M. A. (2000). Desa, Institusi Lokal dan Pengelolaan Hutan: Refleksi Kebijakan
dan Praktik. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).
Salim, I., & Ni'am, L. (2012). Merancang Bangun Sistem Keselamatan Rakyat:
Pengalaman Kelola Bencana di Lima Kabupaten (Maluku Tenggara, Sinjai, Ende,
Bengkulu Utara, Bengkulu Tengah). Yogyakarta: Insistpress.
Santoso, H. (2004). Perlawanan di Simpang Jalan; Kontes Harian di Desa-desa Sekitar
Hutan di Jawa. Jogjakarta: DAMAR.
Sirimorok, N., Batiran, K., & Sanusi, R. (2014). Bermukim di Lereng Maut: Bagaimana
Bencana Tercipta di Dua Desa Sulawesi Selatan. Transformasi Sosial, 16.
Soemarwoto, O. (1997). Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta:
Djambatan.
Suciati, A., Anggoro, A. D., Ristanto, D., & dkk. (2007). Hutan dan Manusia; Mendorong
Pengelolaan Hutan oleh Rakyat. Jogjakarta: KARSA bekerjasama dengan SGP
PTF UNDP-EC-SEAMEO SEARCA.
Tim Konphalindo. (2001). Bisnis Kehidupan; Keanekaragaman Hayati, Bioteknologi dan
Keserakahan Manusia. Judul Asli: The Life Industry: Biodiversity, People and
Profit. Yogyakarta: Read Book.
Tim Peneliti Payo-payo. (2015). Pinus di Desa Kompang. Makasar: Belum dipublikasikan.
Wahid, A. Y., Bohari, N., & Achmad. (2015, April). Penegakkan Hukum Lingkungan di
Sektor Kehutanan: Studi Kawasan Hutan Lindung di Kabupaten Sinjai, Sulawesi
Selatan. Hasanuddin Law Review, 1(1).
325
Daftar Informan
No.
1.
2
Nama
Sultan Alwy
Sayuti Hajarang
3
4
Asikin Dg. Pella
Ansar
5
6
7
Ibu Suryani
Anwar
Unding
8
9
10
Bakrin
Tajuddin
Pak Hasyir
Keterangan Informan
Kepala Dusun Bonto
Puang Dusun Bonto dan merupakan
pemimpin dari tarekat Khalwatiyah
Samman di Dusun Bonto
Kepala Dusun Barugae
Kepala Desa Kompang
Salah seorang warga di Dusun Bonto
Salah seorang warga di Dusun Bonto
Ketua RK 07 Kampung Lappara’
Dusun Bonto
Salah seorang warga di Dusun Bonto
Salah seorang warga di Dusun Bonto
Salah seorang warga di Dusun Bonto
Tanggal Wawancara
15 Oktober 2015
8 Oktober 2015 dan 22
November 2015
29 September 2015 dan
3 Oktober 2015
6 Oktober 2015
9 Oktober 2016
20 Oktober 2015
14 Oktober 2015
22 Oktober 2015
16 November 2015
326
HETEROTOPIA PERANG KEPEMILIKAN TANAH BAGI
MASYARAKAT MADURA:STUDI GERAKAN SOSIAL MAKNA
TANASANGKOL
Iskandar Dzulkarnain¹)
JurusanSosiologi, FISIB, Univ. Trunojoyo Madura
Email: [email protected]
Abstrak
Tanasangko lbagi masyarakat Madura merupakan warisan yang harus dijaga, karena memiliki
makna sakralitas yakni sebagai ruang yang mempertautkan kehidupan saat ini dengan paraleluhur.
Karenanya, tanasang kolan tidak boleh dijual tanpa ada alasan, karena akan mengakibatkan
‘laknat’ dari paraleluhurnya. Neoliberalisme dan gaya hidup masyarakatlah penyebab hilangnya
nilai sacral itas tersebut. Industrialisasi, penambangan, tambak, dan perumahan merupakan
berbagai bentuk pengambil alihan atau ‘perampasan’ tersebut, baik individu, maupun perusahaanperusahaan. Penelitian ini ingin memahami gerakan social dan pergeseran makna mengenai sacral
itas tanasangkol. Sedangkan teorinya menggunakan teori Michel Foucault tentang ruang
heterotopia. Sedangkan metode penelitiannya menggunakan metode kualitatif dengan wawancara
danobservasi partisipan. Hasil penelitiannya adalah muncullah gerakan social kelompok
keagamaan Madura yang diketuai oleh Seketaris PCNU Kabupaten Sumenep Madura, yang
dikemas dalam bentuk kompolantera’bulan. Sebuah perkumpulan keagamaan yang melakukan
ragam kegiatan advokasi, pemberdayaan, pembelajaran, dan kerja social untuk mengembalikan
daulat warga Madura dalam membentuk ruang heterootopia di Madura melalui kepemilikan
kembali tanasangkolan.
Kata Kunci: Tanasangkol, Heterotopia, Neoliberalisme, dan Madura
Abstract
Tanasangkol for the people of Madura is a legacy that must be preserved , because it has a sacred
meaning that as a space that connects the current life with the patriarchs. Therefore ,tanasangkolan
not be sold without any reason , because it would result in ' anathema ' of the ancestors.
Neoliberalism and lifestyle of the communities in the cause of the loss of the sacred values.
Industrialization, mining, ponds , and housing are various forms of expropriation or 'deprivation'
is, individuals, and corporations. This study wanted to understand the social movement and the shift
in the meaning of the sacred tanasangkol. While his theory using the theory of Michel Foucault's
heterotopia space. While the method of research used qualitative method with interviews and
participant observation. His research is a social movement arose Madura religious group, chaired
by the Secretary PCNU Sumenep Madura, which is packaged in the form kompolantera’bulan. A
bevy of diverse religious conduct advocacy, empowerment, learning, and social work to restore the
good fortune of citizens in shaping space heterootopia Madura through repossession
tanasangkolan.
Keywords: Tanasangkol, Heterotopia, Neoliberalism, And Madura
1.
PENDAHULUAN
Tulisan hasil penelitian ini dibuat di Desa Masalima Pulau Masalembu, sebuah
kepulauan yang hidup dengan berbagai kearifan lokal nelayannya dan hidup damai dengan
tiga etnis mayoritas, yakni etnis Mandar, Bugis, dan Madura.Potensi perikanan yang luar
biasa dan hidup kesederhanaan masyarakatnya serta kesadarannya telah melahirkan pola
penangkapan perikanan yang tetap menggunakan pola tradisional, sehingga potensi
perikanannya tetap terjaga dengan baik bahkan berlimpah.Namun, banyak nelayan luar
yang memanfaatkan ini dengan cara yang salah yakni menggunakan illegal fishing (yang
dilarang oleh pemerintah), sehingga nelayan menangkap mereka.Ragam negoisasi
327
mengalami kegagalan dan akhirnya dibuatlah kesepakatan untuk mengganti rugi, yang
terjadi akhirnya malah masyarakat Masalembu dianggap ‘perompak’ dan ditahan oleh
Pemerintah.
Di sinilah seharusnya peran Pemerintah untuk menjaga masyarakatnya diperlukan
bukannya malah alpha di saat masyarakat membutuhkannya.Atau malah pemuda yang
mampu menjaga keutuhan kearifan masyarakat Madura bukan malah menjadi actor yang
mencari keuntungan dari kebodohan masyarakat. Karena Pemerintah dan Pemudalah yang
akan mencetak sebuah peradaban di sebuah daerah termasuk di Madura.
Hal itulah potret yang sama terjadi di Kecamatan Dungkek dan Batang-Batang
Kabupaten Sumenep, di mana masyarakat tidak memiliki kemampuan untuk
mempertahankan tanahsangkolnya dari jarahan para pemilik modal baik local, nasional,
maupun internasional. Identitas dan nilai-nilai kearifan budaya untuk menjaga
tanahsangkol telah bergeser untuk menjual dan merubahnya menjadi identitas-identitas
nilai ekonomis kapitalis, seperti dibelikan mobil, rumah perumahan di wilayah perkotaan,
dan untuk berbelanja di Surabaya maupun kota besar lainnya.
Pergeseran nilai-nilai tersebut yang kemudian menyebabkan terserabutnya nilainilai peradaban ke-Madura-an, yang tersisa hanyalah nilai globalisasi, modernitas, dan
kapitalisasi. Gaya hidup dan ragam upaya untuk menjadi klas social atas melalui imitasi
identitas kepemilikan rumah, mobil, dan aksesoris lainnya merupakan factor pendorong
penjualan secara ‘suka rela’ ke pihak luar. Perubahan kepemilikan tanah dari ‘Pak
Abdullah’ ke ‘Pak Kapitalis’ lambat laun akan menyebabkan keresahan yang luar biasa
bagi masyarakat local Madura. Potret itu sudah mulai terlihat ketika hampir semua wilayah
pesisir utara Madura Timur (Kecamatan Dungkek dan Batang-Batang) sudah berubah
menjadi tambak-tambak.Kegelisahan dan upaya untuk melakukan gerakan social
penyadaran masyarakat sudah menimbulkan ragam konflik, meskipun belum sampai
mengakibatkan korban jiwa. Melalui kompolan tera’ bulan inilah para pemuda yang
diketuai oleh Seketaris PCNU Kabupaten Sumenep yakni K. Dardiri Zubairi, melakukan
ragam advokasi, pendidikan, dan lain sebagainya untuk menyadarkan masyarakat dalam
menjaga tanahsangkolannya demi para anak cucu mereka kelak. Hal inilah yang menjadi
landasan utama kajian ini, yakni gerakan social kompolan tera’ bulan dalam gerakan
menjaga tanah sangkol bagi masyarakat Madura.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori heteroutopianya Michel Foucault
dari bukunya ‘The Order Of Things (1989)’.Heterotopia merupakan Penaklukan Ruang
Publik.Secara sosiologis konsep ini merupakan gabungan dari 'hetero+utopia' yakni ruang
yang tidak mengenal adanya klas social maupun pembedaan cultural, atau juga latar
belakang individu masyarakat.Di mana ruang yang diinginkannya adalah ruang yang ideal,
seperti utopia, yakni ruang publik yang bebas kompetisi material (capital/ekonomi dan
politik) dan konflik. Namun, realitas ruang saat ini telah berubah menjadi 'ruang ideal' dan
'ruang nyata', sebagai konsekuensi atas ragam okupasi kapitalisme yang akan selalu
melahirkan berbagai bentuk kepentingan.Lebih lanjut, Foucault menyebut konsep
"heterotopia" untuk menunjukkan pentingnya ruang yang non hegemonic.Meskipun
realitas saat ini malah menunjukkan bahwa ruang (space) itu cenderung hierarchytopia.
3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Dalam studi ini, penelitian kualitatif
akan dioperasikan melalui analisis deskriptif, dengan melakukan reinterpretasi objektif
tentang fenomena sosial yang terdapat dalam permasalahan yang diteliti (Vredenberg,
1986: 34). Jadi pergerakannya tidak hanya sebatas pengumpulan dan penyusunan data, tapi
328
mencakup analisis dan interpretasi tentang data itu (Singarimbun & Effendi (ed), 1989: 45).
Sedangkan secara metodologis dasar penelitian ini adalah menggunakan
pendekatan fenomenologi, yakni refleksifitas (réflexivité), yang merupakan istilah dari
fenomenologi.Dalam refleksifitas terdapat dua unsur penting, yakni unsur yang mengacu
pada interaksi dan yang mengacu pada konteks institusional yang dibangun.Refleksifitas
tidak dicampuraduk dengan refleksi. Ketika kita mengatakan bahwa orang memiliki
praktik refleksif, hal ini tidak berarti ia memikirkan apa yang dilakukan atau yang sedang
dilakukan. Para anggota sudah tentu tidak memiliki kesadaran reflektif atas tindakannya.
Karena ia tidak mampu, jika mereka sadar, mereka akan mengikuti tindakan-tindakan
praktik yang bisa melibatkan mereka. Seperti yang ditekankan oleh Garfinkel, para anggota
tidak memiliki perhatian terhadap keadaan praktik sekitarnya dan tindakan praktiknya.
Mereka tidak akan berusaha untuk menteorisasikan dan menganggap refleksifitas tersebut
sebagai sesuatu yang seharusnya, karena mereka sudah mempunyai apa yang disebut
sebagai ‘stock of knowledge’, tetapi mereka harus bisa mengenali, membuktikan, dan bisa
mengamati setiap anggota lainnya melalui sifat rasional di dalam praktik mereka yang
konkret (Denzin & Lincoln, 1994: 262-264).
Studi ini menggunakan data kualitatif (Nawawi, 1995) dan data kuantitatif
(Koentjaraningrat (ed), 1997: 31), kedua data ini digali dari sumber data primer dan data
sekunder. Data primer dihimpun melalui observasi partisipan (Moesa, 1999: 15) dan
melalui wawancara mendalam terhadap unsur elemen masyarakat Sumenep yang
diperkirakan mendukung untuk mendapatkan data dalam penelitian yang dikaji, dengan
menggunakan interview guide atau dengan bahasa lain wawancara ini dilakukan berselangseling dengan observasi partisipan, dan secara berulang-ulang kepada informan yang sama.
4.
TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Saat ini, Madura yang sudah memiliki Jembatan Suramadu yang diresmikan oleh
Presiden Susilo Bambang Yudoyono diharapkan mampu memeratakan pembangunan
antara Surabaya dan Madura, yang selama ini terjadi kesenjangan yang sangat jauh antara
industrialisasi di Surabaya dan di Madura.Industrialisasi merupakan salah satu dampak
nyata dari direalisasikannya Jembatan Suramadu, yang diharapkan mampu
menyejahterakan masyarakat Madura melalui pembangunan-pembangunan yang
diproyeksikannya.Sehingga seiring perkembangan jembatan Suramadu diharapkan
memiliki ciri “Indonesianis, Maduranis, dan Islamis”. Namun, seringkali tidak diimbangi
dengan penguatan kompetensi masyarakat Madura untuk bersaing dengan pihak luar dalam
memanfaatkan proses industrialisasi di Madura. Masyarakat Madura yang mayoritas petani
dan nelayan lambat laun ‘dipaksa’ untuk menjual tanah-tanah mereka dengan dalih
industrialisasi, sehingga pada akhirnya mereka akan kehilangan lahan yang menjadi milik
mereka sejak lama karena tanah tersebut merupakan tanah warisan dari nenek moyangnya
(tanasangkolan). Keengganan menjadi petani bagi generasi muda dan gaya hidup
konsumeris merupakan dampak yang paling nyata dari realisasi Jembatan Suramadu saat
ini. Berbelanja dan menghabiskan banyak uang dari hasil penjualan tanasangkol ke
Surabaya merupakan potret riil masyarakat Madura saat ini.
Hal ini yang menjadikan banyak pemuda-pemuda Madura terutama pemuda
Nahdliyyin membentuk kelompok kompolan tera’ bulan untuk memberikan penyadaran,
pendidikan, advokasi, dan lain sebagainya bagi masyarakat Madura akan pentingnya
menjaga tanasangkol. Berawal dari kemirisan inilah kelompok kompolan ini
dibentuk,ketika banyak tanah-tanah di Kabupaten Sumenep yang telah dialih fungsikan dan
dijual pada investor, baik lokal Madura, luar Madura, maupun Asing. Hampir semua daerah
pesisir utara paling Timur Madura telah dialihfungsikan dan berpindah kepemilikan, mulai
329
dari Kecamatan Batu Putih, Batang-Batang, dan Dungkek.Pengalihfungsian dan penjualan
tanasangkol katanya mau dibuat tambak udang oleh para investor.Pembuatan tambak
udang tersebut saat ini tengah digarap.Ketika tanasakol sudah dialihfungsikan dan dijual
kepada investor, baru banyak masyarakatMadura tercengang dan kebingungan, karena
dalam kesehariannyamereka disuguhkan tontonan alat-alat berat, mobil kontainer, dan
mulai berdatangannya orang-orang yang tidak dikenal bahkan cenderung asing bagi
mereka.Selain itu, juga banyaknya tambak-tambak udang yang dijaga oleh anjing dan
dibiarkan berkeliaran secara bebas. Padahal bagi masyarakat Madura anjing merupakan
hewan yang paling dihindari dan menakutkan karena akan membawa najis bagi masyarakat
Madura yang mayoritas muslim.
Potret pengalihfungsian dan penjualan tanah sangat terlihat di beberapa wilayah di
tiga kecamatan yakni Kecamatan Batu Putih, Batang-Batang, dan Dungkek, yakni di Desa
Lapa Laok dan Lapa Daja, terutama pesisir pantai utara Madura timur. Saat ini
pengalihfungsian dan penjualan tanasangkol tersebut terus melebar ke berbagai desa-desa
lainnya, yakni DesaBungin-Bungin Kecamatan Dungkek, yakni wilayah makam Syekh
Mahfudz, atau lebih dikenal Asta GurangGaring, keturunan Sunan Kudus. Kemudian,
wilayah di Desa Lombang Kecamatan Batang-Batang hingga Pantai Badur Kecamatan
Batu Putih, yang termasuk kawasan pariwisata.
Pengalihfungsian dan penjualan tanasangkol telah menyebabkan ragam
kecurigaan dari masyarakat Madura terutama pemuda-pemuda yang tergabung dalam
kompolan tera’ bulan.Kecurigaan, ketakutan, dan kewaspaan pemuda-pemuda tersebut
semakin kuat ketika di Pulau Giliyang Kecamatan Dungkek ada lapangan Heli yang baru
dibangun awal tahun 2015.Menurut aparat desa, lapangan Heli itu milik petinggi militer di
Jakarta. Ada sesuatu yang disembunyikan, apa?
Fakta di atas semakin menunjukkan bahwa makin banyak masyarakat Madura
yang mulai meninggalkan sawahnya, ladangnya, dan tegalnya.Masyarakat Madura lebih
ingin bekerja di bidang lainnya, yakni menjadi migrant ke Jakarta (sebagai penjaga toko)
dan Kalimantan (sebagai pengemis).Padahal secara kebudayaan, masyarakat Madura
memiliki nilai-nilai kearifan lokal kebudayaan mengenaitanasangkolan (tanah
warisan).Bagi masyarakat Madura tanasangkolan bukan hanya sekedar warisan benda
yang akan menjadi capital belaka sebagaimana emas,karena bagi masyarakat Madura,
tanasangkolanmemiliki makna sakralitas dan penuh dengan nilai-nilai kearifan lokal
kebudayaan. Tanasangkolan bagi masyarakat Madura memiliki makna sebagai ruang
(space) yang saling mempertautkan kehidupan saat ini dengan para leluhurnya. Oleh
karenanya, ketikatanasangkolandialihfungsikan bahkan dijual tanpa adanya alasan yang
jelas bahkan terkesan untuk menguatkan nafsu birahi gaya hidupnya akan
mengakibatkan‘laknat’ dari sudut nilai-nilai kearifan kebudayaan Madura. Kalau pun tanah
tersebut dijual, biasanya akan dijual pada keluarga terdekatnya. Suatu saat jika mampu,
tanah itu akan dibeli kembali oleh pemiliknya.Sebuah realitas masa lampau yang kini sudah
terserabut akar sakralitasnya.Saat ini tanah sudah dilucuti sakralitasnya, tanasangkolan
kini sepenuhnya dianggap benda yang bisa dipertukarmilikkan. Perubahan alam pikir dan
gaya hidupmasyarakat Madura sejak terealisasinya Jembatan Suramadu dioperasikan
merupakan potret riil masyarakat Madura saat ini. Termasuk persepsi dan keyakinan
mereka terhadap nilai-nilai kearifan lokal mengenai sakralitas tanasangkol juga berubah.
Di sinilah lagi-lagi kealphaan pemerintah dalam menjaga identitas dan
keharmonisan masyarakat Madura, terutama melalui nilai-nilai sakralitas kearifan lokal
mengenai kepemilikan tanasangkol.Karena bagi para pemuda yang tergabung dalan
kompolan tera’ bulan persoalan mengenai tanasangkol ini sepertinya tidak mungkin lagi
menunggu upaya penyelesaian dariPemerintah Daerah Kabupaten Sumenep.Bagi mereka
Pemerintah Daerah Kabupaten Sumenep hanya menjadi penadah dari ragam kebijakan
330
Pemerintah Pusat dan Pemerinatahn Provinsi termasuk jugapara investor.Oleh karenanya
menurut mereka saat inilah rakyatlah yang harus berjuang sendiri untuk menjaga tanahnya
melalui kembali ke nilai-nilai kearifaan lokal sakralitas tanasangkolan.
Para pemuda yang tergabung dalam kompolan tera’ bulan ini kemudian
menguatkan nilai-nilai kearifan lokal sakralitas tanasangkol melalui jargon
ideologisasi‘ajagatana, ajaganakpoto’ (menjaga tanah, menjaga anak cucu) yang mulai
digelorakannya, jika masyarakat Madura tidak mau menjadi kuli atau penonton
industrialisasi dari pembangunan didaerahnya sendiri.Lebih jauh lagi, ragam fenomena
seperti ini biasanya akan melahirkan konflik.Melalui pemahaman inilah maka kemudian
para pemuda kompolan tera’ bulanmembentuk gerakan social melalui ‘Barisan Ajaga
Tanah Ajaga Na’potoh (Batan)’.
Ragam upaya yang dilakukan oleh Batan, baik melalui advokasi, sosialisasi,
pendidikan, maupun proses penyadaran bagi masyarakat Madura ternyata belum
menghasilkan upaya yang optimal. Sehingga pada akhirnya mereka meminta waktu untuk
audiensi dengan Bupati Kabupaten Sumenep dan terealisasi pada hari selasa tanggal 05
April 2016. Dalam audiensi tersebut pihak Barisan Ajaga Tanah Ajaga Na’potoh (Batan)
dengan Bupati pada akhirnya menghasilkan empat kesepakatan, yakni: 1). Pemerintah
Daerah akan memasang ‘plang’ atau papan larangan melakukan aktivitas tanpa
mengantongi ijin, seperti di Desa Lombang Kecamatan Batang-Batang, Desa Romben
Barat Kecamatan Dungkek, Desa Lapa Daja Kecamatan Dungkek, dan desa-desa lainnya,
2). Pemerintah Daerah akan melakukan kajian hukum untuk melakukan moratorium
terhadap tambak dan kegiatan investasi lainnya yang merugikan masyarakat dan merusak
lingkungan, 3). Pemerintah Daerah akan melindungi lahan pertanian dan perkebunan
produktif, kawasan hijau dan kawasan lindung, dan sebagainya dalam Raperda tentang
Rencana Detail Tata Ruang Tata Wilayah yang saat ini akan dibahas, dan 4). Pemerintah
Daerah bersama Organisasi Masyarakat akan melakukan sosialisasi kepada warga tentang
pentingnya mempertahankan tanah.
Dari empat keputusan bersama hasil audiensi antara Batan dan Bupati tersebut,
para pemuda yang tergabung dalam Batan meminta instansi atau dinas-dinas terkait di
lingkungan Pemerintahan Kabupaten Sumenep untuk menjalankan kesepatan yang dibuat
antara Bupati Dr. KH. Abuya Busyro Karim, M.Si bersama Batan dalam menyikapi
semakin maraknya pengalihfungsianatau penjualantanah menjadi tambak oleh investor
secara sungguh-sungguh. Menurut para pemuda Batan empat kesepakatan tersebut sangat
produktif dan sangat bagus, tinggal bagaimana Dinas-dinasterkait untuk
menindaklanjutinya. Apalagi, di saat empat kesepakatan tersebut dibuat dan disepakati,
Bupati langsung memerintahkan kepada para Pimpinan Dinas-dinasterkait yang hadir,
yakni Dinas Bagian Hukum, Badan Lingkungan Hidup, dan Satuan Polisi Pamong Praja,
bahkan Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) untuk menindaklanjuti
empat kesepakatan tersebut dengan cepat dan tepat. Para pemuda Batan berharap para
Pimpinan Dinas-dinas terkait tersebut tidak hanya sekedar ikut audiensi, namun seharusnya
dapat mengambil peran sesuai tupoksinya untuk segera menindaklanjuti empat
kesepakatan tersebut.
Para pemuda Batan ingin segera dapat memastikan empat kesepakatan hasil
audiensi tersebut bias dapat segera dijalankan secara maksimal. Hal ini sangat penting
dikarenakan dalam rangka upayanya untuk menyelematkan tanasangkol, apalagi banyak
tanasangkol tersebut pengalihfungsiannya dari lahan yang produktif oleh para investor
seperti di Kecamatan Batu Putih, Kecamatan Batang-Batang, Kecamatan Dungkek, dan
kecamatan lainnya, yang sangat tidak menguntungkan bagi masyarakat Madura, meskipun
tanah yang dimanfaatkan tersebut pada umumnya sudah dibeli oleh para investor (RRI.
Co.Id/6 April 2016).
331
Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten dengan memasang papan
larangan ternyata tidak berjalan efektif.Pasalnya, operasi pengalihfungsian dan penjualan
tanah ke lahan tambak udang masih tetap berjalan sampai detik ini.Bahkan pimpinan
kompolan tera’ bulan seringkali mendapatkan ancaman fisik melalui SMS maupun telpon,
baik dirinya maupun keluarganya.Realitas ini sangat kuat apalagi pembelian dan
pengalihfungsian tersebut dimakelari oleh para tokoh informal Madura, yakni para Kiai
dan Blater. Menurut Kuntowijoyo (1994: 87) kiai di Madura seringkali dinggap sebagai
‘organizing principle’ yang akan berdampak terhadap terbentuknya sentiment kolektif bagi
masyarakat, sehingga akan menjadi otorisasi kiai bagi masyarakat Madura. Penguatan ini
semakin kuat dengan cerminan social masyarakat Madura yang terpotret dalam bappakbabbu’ – guru – rato (orangtua – guru/kiai – raja/pemerintah), sebuah potret ketaatan
hirarkis bagi masyarakat Madura (Dzulkarnain, 2013).Sedangkan blater merupakan elit
social pedesaan masyarakat Madura yang memiliki kepandaian dalam hal ilmu kanuragan
dan menggunakan instrument kekerasan.Di sinilah terdapat relasi dualitas yang sangat unik
menurut Rozaki (2004) yakni relasi untuk saling menopang kekuasaan
antarkeduanya.Sehingga, tidak heran jika kekerasan yang dilakukan oleh blater seringkali
mendapatkan legitimasi keagamaan dari kiai. Sebuah kajian yang perlu dilanjutkan untuk
melihat gerakan social lanjutan dari para pemuda yang secara institusi merupakan potret
keagamaan terbesar di Madura yakni pemuda NU yang mengalami gesekan dengan
sebagian para seniornya yakni kiai yang menjadi ‘makelar’ penjulan tanasangkol
masyarakat Madura, serta potensi konflik ke depannya.
Di sinilah hilang ruang (space) tanpa klas social, latar belakang ragam budaya,
maupun non hegemonic bagi masyarakat Madura. Di mana ruang tersebut telah bergeser
menjadi ruang perebutan status dan klas social menjadi arena pertarungan para kapitalis
untuk memperkuat nilai-nilai individualitas dan penguatan konsumerisme masyarakat
melalui ragam hiperrealitas gaya hidup yang terbangun melalui modernitas dan
pembangunan. Heteroutopia yang dicita-citakan oleh Michel Foucault hanya akan menjadi
arena perdebatan teoritik yang tidak ada ujungnya ketika melihat potret realitas
terserabutnya nilai-nilai kearifan local sakralitas tanasangkolan.
5. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan beberapa hal di anatarnya:
1. Mulai hilangnya nilai-nilai kearifan sakralitas masyarakat Madura mengenai
tanasangkol
2. Gaya hidup dan pembangunan merupakan salah satu hal terserabutnya nilai-nilai
sakralitas tanasangkol
3. Gerakan social pemuda NU yang tergabung dalam kompolan tera’ bulanyang
kemudian menjadi kelompok dengan namaBarisan Ajaga Tanah Ajaga Na’potoh
(Batan) mencoba melakukan advokasi, pendidikan, sosialisasi, dan pendampingan
kepada masyarakat mengenai arti pentingnya menjaga tanasangkol bagi
masyarakat.
4. Menurut pemuda Batan pemerintah alpha dalam mengawal dan menjaga area
lahannya, sehingga ke-alpha-an tersebut harus dirubah menjadi penggerakan dari
pemerintah untuk mengawal dan menjaga lahan atau areanya untuk masyarakat
bukan untuk para investor
5. Upaya Batan dan Pemerintah Kabupaten ini akhirnya menghasilkan empat
kesepakatan hasil audiensi, yakni:
a. Pemerintah Daerah akan memasang ‘plang’ atau papan larangan
melakukan aktivitas tanpa mengantongi ijin, seperti di Desa Lombang
332
Kecamatan Batang-Batang, Desa Romben Barat Kecamatan Dungkek,
Desa Lapa Daja Kecamatan Dungkek, dan desa-desa lainnya.
b. Pemerintah Daerah akan melakukan kajian hukum untuk melakukan
moratorium terhadap tambak dan kegiatan investasi lainnya yang
merugikan masyarakat dan merusak lingkungan.
c. Pemerintah Daerah akan melindungi lahan pertanian dan perkebunan
produktif, kawasan hijau dan kawasan lindung, dan sebagainya dalam
Raperda tentang Rencana Detail Tata Ruang Tata Wilayah yang saat ini
akan dibahas.
d. Pemerintah Daerah bersama Organisasi Masyarakat akan melakukan
sosialisasi kepada warga tentang pentingnya mempertahankan tanah
6. Kiai dan blater telah menjadi ‘makelar’ dalam pengalihfungsian dan penjualan
tanasangkol tersebut, yang menyebabkan sulitnya terealisasi empat kesepakatan
tersebut, bahkkan coordinator Batan seringkali mendapatkan ancaman.
6. DAFTAR PUSTAKA
Dzulkarnain. Iskandar. 2013. Dekonstruksi Sosial Budaya Alaq Dalaq di Madura,
Pararaton: Jogjakarta
Foucault. Michel. 1989. Orders of Things: An Archaeology Of The Human Sciences,
London and New York: Rutledge
Kuntowijoyo.1994. ‘Memahami Madura Sebuah Pendekatan Sosial Historis, Ekologi dan
Kependudukan’, dalam Radikalisasi Petani, Bentang: Jogjakarta
Moesa. Ali Maschan. 1999. Kiai Dan Politik, Wacana Civil Society, LEPKISS: Surabaya
Nawawi.Hadari. 1995. Instrumen Penelitian Bidang Sosial, cet. II, UGM Press:
Yogyakarta
Rozaki. Abd. 2004. Menabur Kharisma Menuai Kuasa: Kiprah Kiai dan Blater Sebagai
Rezim Kembar Di Madura, Pustaka Marwa: Jogjakarta
Singarimbun, Masri. 1989. “Metode dan Proses Penelitian”, dalam Masri Singarimbun
dan Sofian Effendi (ed). Metode Penelitian Survei, LP3ES: Jakarta
Vredenberg.Jacob. 1986. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat, Gramedia: Jakarta
RRI. Co.Id/6 April 2016
333
RENEGOSIASI MASYARAKAT ADAT DI TENGAH ARUS
PERGESERAN PARADIGMA DALAM PENGELOLAAN HUTAN
Dr. Caritas Woro Murdiati Runggandini, SH. MHum.
Program Studi llmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
[email protected]
Abstrak
Paradigma pengelolaan hutan di Indonesia mengalami gelombang perubahan
yang lamban bila dikomparasikan dengan yang terjadi di negara-negara lain. Lambannya
perubahan tersebut tidak terlepas dari lemahnya respon negara terhadap dinamika
perubahan yang terjadi di aras lokalitas, khususnya masyarakat adat. Masyarakat adat
yang tinggal dalam dan sekitar hutan sering dikategorikan sebagai orang miskin, tidak
berpendidikan, malas, tradisional dan pelaku pembalakan liar. Tetapi di sisi lain, mereka
juga dikenal sebagai masyarakat yang masih memegang kearifan lokal: lebih memiliki
komitmen untuk perlindungan dari pada eksploitasi, mempunyai lembaga sosial untuk
menyelesaikan
konflik, memiliki komitmen mewujudkan keadilan sosial dan
demokratisasi. Munculnya banditisme dan hilangnya kemampuan diri untuk mengelola
hutan adalah situasi yang mendesak untuk melakukan dekonsttruksi terhadap paradigma
pengelolaan hutan oleh negara. Pendekatan konseptual digunakan dalam penelitian
normatif ini, yang diteliti adalah data sekunder (bahan hukum primer dan sekunder).
Terhadap data yang diperoleh melalui penelitian normatif, digunakan alat bantu untuk
mempertajam pembahasan dengan mempergunakan metode interpretasi hukum dan
konstruksi hukum. Dekonstruksi dilakukan melaui format ”renegosiasi” pengelolaan
hutan yang lebih adil, bermartabat dan mengutamakan persamaan. Setidaknya ada tiga
hal yang perlu dipertimbangkan, yaitu: 1) pengakuan; 2) peningkatan akses dan kontrol
atas sumberdaya hutan; 3) membangun relasi sosio-budaya dan ekonomi serta politik yang
lebih adil dan bermartabat.
Keywords: Perhutanan Sosial, Masyarakat Adat, Renegosiasi, Pengelolaan Hutan
Berbasis Negara, Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat.
Abstract
The forest management paradigmn in Indonesia has experienced the wave of change
that it could be said quite slow if it is compared to another countries. The slow of change
is caused by the weakness of sensitivity of the state in responding the dynamics of change
at the locality, especially custommary community. The custommary communities who live
in or near forest fringe are quaite often to be categorized as a poor, uneducated, lazy,
traditional and illegal loggers. But, for some reason, they are also imaged as local people
who hold a wise local wisdom: more commit to conservation rather than exploitation,
having social instrument to deal with the conflict, commit to social justice and
democratisation. The emerge of banditism and the lost of self reliance in managing forest
are urgent situation to do deconstruction towards forest managemet paradigmn led by the
state. A conceptual approach was used in this normative research. The normative
research examined the secondary data, which included primary and secondary
legal materials. For the data obtained through normative res earch, instrument to
sharpen the discussion was employed using the methods of law interpretation and
construction. The deconstruction should be done through renegotiation that emphasis on
justice, equity and egality. At least there are three things that should be considered,
namely: 1) legalising forest practices done by custommary people; 2) improving
334
accessibility and control over forest resources; 3) developing socio-economic, cultural and
politics relation that emphasis on justice, equity and civilisation.
Keywords: Social Forestry, Custommary Community, Renegotiation, State Base Forest
Management, and Community Base Forest Management
1. PENDAHULUAN
Paradigma pengelolaan hutan di Indonesia telah mengalami gelombang perubahan
yang
cukup lamban bila dikomparasikan dengan yang terjadi di negara-negara lain,
seperti India, Nepal, Philippina. Lambannya perubahan tersebut tidak terlepas dari
lemahnya respon negara terhadap dinamika perubahan yang terjadi di aras lokalitas,
khususnya masyarakat adat sebagai masyarakat desa hutan. Bila dilacak dari dimensi
historis, perubahan paradigma dalam pengelolaan hutan, baik dari kurun waktu pre
kolonial, kolonial, post kolonial, tidaklah cukup signifikan dalam memberikan dampak,
baik terhadap kondisi hutan maupun masyarakat (Lihat Peluso, 1992; Simon, 1999; Simon,
2003).
Perubahan substansial hanya terjadi pada level tekstual dari kebijakan negara.
Perubahan tidak sampai menyentuh esensi dari makna kelestarian dan kesejahteraan
masyarakat. Perubahan tersebut juga tidak mampu memberikan dampak yang cukup berarti
bagi peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat adat. Fakta-fakta di lapangan telah
membuktikan dimana marginalisasi masyarakat adat, baik secara budaya, sosial–ekonomi
dan politik tetap berlangsung. Bahkan, tidak sedikit dari masyarakat adat tersebut dipaksa
harus rela tercerabut dari lebensraum yang selama ini telah menjadi tumpuan hidup
mereka.
Dari pelacakan sejarah yang dilakukan oleh Peluso (1992); Simon (1999); Simon
(2003), membuktikan begitu besarnya hegemoni negara atas sumberdaya hutan. Hutan
tetap dipandang sebagai domein negara yang secara absah dapat digunakan menurut
spektrum negara. Spektrum masyarakat lokal, terutama masyarakat adat diposisikan
sebagai subordinasi dari spektrum negara. Berbagai kebijakan publik yang dikeluarkan,
baik pada era pre kolonial, kolonial dan post kolonial dalam berbagai bentuknya, seperti
statemen politik, peraturan perundang-undangan maupun program dan proyek, cenderung
mereduksi kepentingan masyarakat adat. Tulisan ini mencoba mengkaji perubahan
kebijakan publik di sektor kehutanan dan berusaha menyingkap makna di balik teks
kebijakan tersebut dalam konteks relasi antara negara dengan masyarakat adat. Lebih jauh
lagi tulisan ini juga mencoba menyodorkan pilihan alternatif coping strategies masyarakat
adat dalam merenegosiasi posisinya terhadap akses dan kontrol atas sumberdaya hutan di
aras lokal.
2. TINJAUAN PUSTAKA
a. Perubahan Negara dan “Langgengnya” Hegemoni Negara
1). Pre-kolonial
Timber extraction atau penambangan kayu dari hutan alam merupakan bentuk
pemanfaatan hutan pertama yang dilakukan oleh manusia untuk menikmati sumberdaya
anugerah dari Yang Maha Kuasa. Bangsa yang pertama mengembangkan penebangan kayu
dari hutan alam untuk tujuan komersial adalah kerajaan Sumeria di Timur Tengah, yang
mulai muncul sekitar tahun 3500 SM. Sumeria adalah kerajaan kedua tertua yang ada di
permukaan bumi ini, setelah kerajaan Mesir Kuno yang sudah berkembang sekitar 1500
tahun sebelumnya. Penambangan kayu hanya dilakukan oleh suatu bangsa yang telah
mengenal perdagangan, dimana kayu termasuk salah satu komoditi yang diperdagangkan
335
tersebut. Kegiatan utama timber extraction ada tiga, yaitu menebang kayu, mengolah dan
menjual (Simon, 2003).
Menurut Simon (2003), ketika hutan alam di Eropa hampir habis ditebang, di Pulau
Jawa kerajaan Mataram Hindu sedang mencapai puncak kejayaan. Pada abad ke-7
Mataram Hindu telah merancang untuk membangun beberapa candi besar, diantaranya
Borobudur (Budha) dan Prambanan (Hindu). Sebagai kerajaan besar, Mataram Hindu telah
menjalin dan terlibat dalam jaringan perdagangan internasional, hutan alam jati yang
menghasilkan kayu dengan nilai tinggi itu juga mulai dijamah. Timber extraction
sebagaimana yang pernah terjadi di Mesopotamia sejak tahun 3500 SM dan di Eropa dari
tahun 300 SM hingga abad ke-10 Masehi, akhirnya juga melanda hutan jati di Jawa.
Sejak itu, sumberdaya hutan ditempatkan sebagai state property, kemudian
diperjelas pada zaman kolonial dan masa pemerintahan Indonesia. Pada zaman kerajaan
sumberdaya hutan dikuasai dan dikelola oleh raja sebagai pemegang tampuk pemerintahan.
Hutan oleh kerajaan dilindungi sebab dianggap sebagai tempat keramat bersemayamnya
roh-roh halus. Dalam citra spiritual, hutan mempunyai peranan penting dalam ajaran
animisme masyarakat. Fungsi ekonomi hutan pada masa kerajaan dinyatakan dengan
mengeksploitasi sumberdaya hutan untuk keperluan pembangunan istana kerajaan dan
bahan membuat senjata perang. Kerajaan berwenang mengelola sumberdaya hutan melalui
tangan-tangan aparatur kerajaan yang ditugaskan di masyarakat (Peluso, 1992; Simon,
2003; Murtijo, 2007).
Namun, sehubungan keterbatasan jumlah aparat kerajaan yang ditugaskan untuk
memelihara hutan maka pemanfaatan sumberdaya hutan sebagai sumber ekonomi belum
optimal. Hutan secara de jure milik kerajaan, akan tetapi de facto masyarakat masih bebas
memanfaatkan sumberdaya hutan. Belum ada tindakan secara tegas oleh pemerintah
kerajaan untuk menghukum para warga masyarakat yang terbukti mengambil manfaat
sumberdaya hutan, meskipun hutan sebagai state property. Hutan ketika itu relatif masih
lestari. Masyarakat dan pemerintah kerajaan masih memegang teguh ajaran animisme dan
bersama-sama menjaga kesakralan sumberdaya hutan63. Konflik antara masyarakat dengan
pemerintah kerajaan dalam hal pemanfaatan sumberdaya hutan jarang terjadi.
2). Zaman Kolonial
Pengusahaan hutan di zaman kerajaan berbeda dengan pengusahaan di zaman
kolonial. Hutan di zaman kolonial dimaknai sebagai sumber ekonomi yang wajib
dieksploitasi. Pemerintah kolonial Belanda yang pada awalnya berdagang kemudian
beralih menjadi kaum penjajah. Kerajaan lokal tunduk kepada pemerintahan kolonial.
Akibatnya, kawasan hutan jatuh dalam pengusahaan bangsa penjajah. Hutan dieksploitasi
maksimal oleh pemerintah kolonial. Hutan sebagai state property diterapkan secara
optimal. Pemerintah kolonial mengelola sumberdaya hutan maksimal untuk mengeruk
kekayaan alam daerah jajahan.
Berdasarkan pengamatan dari para pedagang Belanda, pulau Jawa memiliki
potensi ekonomi yang tinggi. Kemudian mereka membangun serikat dagang pada tahun
1602 dengan nama VOC (Veerenigde Oost Indies Compagnie) dengan kantor
berkedudukan di Jayakarta dan digantikan dengan Batavia. Dengan kedudukan kantor
pusatnya yang kuat di Batavia, lalu semua kota pesisir dapat dikontrol, mulai dari Banten
63
Hutan dalam budaya Jawa dianggap sebagai tempat yang biadab, sulit dikontrol, dan angker. Hutan dikuasai oleh Dewi
Durga sebagai penjaga hutan (Dove, 1985:18-19). Pejabat kerajaan untuk menenangkan pikiran masuk menyendiri ke dalam
hutan agar bisa berkomunikasi dengan sang hyang pencipta. Para resi dan tokoh spiritual kerajaan tinggal jauh dari keramaian
keraton dan memilih membangun padepokan yang terletak di lereng gunung dalam dan tepi hutan. Hutan dipercayai
mempunyai energi sakral yang besar yang mampu mempercepat hubungan batin seseorang dengan sang penguasa alam
semesta. Orang sakti zaman kerajaan umumnya bertapa di dalam hutan untuk menghindari interaksi kenikmatan alam
duniawi.
336
sa
Download
Study collections