KATEKISASI III : MENGENAI WUJUD ALLAH DAFTAR ISI KATEKISASI III : a. Essensi Ilahi (Hakekat Allah, Dzatullah) b. Pendekatan Pem”bukan”an. c. Keberadaan ( Wujud) Allah d. Sifat-Sifat Allah e. Energi Allah f. Anthropomorfisme/Mutajasimah (Pengumpamaan Allah Seperti Insan) KATEKISASI III : MENGENAI WUJUD ALLAH MADAH ALLAH Oh Dikau yang mengatasi segala sesuatu! bukankah hanya itu yang dapat dikatakan orang tentang Dikau? Madah manakah yang dapat mengungkapkan Dikau? Dan apa yang dapat dipegang roh manusia? Engkau mengatasi setiap pengertian, Engkaulah satu-satunya yang tak dapat diungkapkan, karena segala yang dikatakan, keluar dari Dikau, Hanya Engkaulah yang tak dapat dikenal, karena semua yang dapat dipikirkan berasal dari Dikau, Engkaulah tujuan semua yang ada, Engkaulah segala yang ada, tetapi semuanya bukan Dikau, Engkau bukanlah salah satu yang ada, dan Engkau juga bukan jumlah keseluruhannya, Segala nama Kaumiliki, bagaimana aku harus menyebutMu? karena Engkau sajalah yang tidak dapat disebut, Oh Dikau yang mengatasi segala sesuatu! (St. Gregorius Nazianze, 389/390) Setelah kita meneguhkan tentang Ke-Esa-an Allah, maka mengenai keberadaan Allah itu sendiri, kita bahas sebagai berikut. Dalam Iman Kristen Orthodox kata “Allah” itu dilihat sebagai berasal dari bahasa Arab “Al-Ilah” artinya “Sang Ilah” yaitu Ilah satu-satunya dan tiada duanya. Kata ini serumpun dengan kata Ibrani “Eloah” atau “Elohim” dan serumpun pula dengan kata Syria / Aramia “Alaha”. Kata Allah ini sudah dikenal oleh orang Arab yang penyembah berhala maupun yang Yahudi dan Kristen sebelum kedatangan agama Islam.Sampai sekarangpun umat Yahudi maupun Kristen yang berbahasa Arab, dalam Alkitab mereka yang berbahasa Arab, nama Allah itu adalah yang digunakan sebagai padanan kata dari bahasa Ibrani Eloah atau bahasa Aramia Alaha itu. Sedangkan kata Eloah atau Alaha ini dalam bahasa Yunaninya yaitu bahasa asli Perjanjian Baru digunakan kata Yunani “Ho Theos”. Berarti menurut pandangan Iman Kristen Orthodox ini bukan merupakan nama diri dari Sang Pencipta, namun lebih merupakan penyebutan keberadaan dari Sang Pencipta itu sendiri. Untuk mengerti keberadaan Allah ini secara lebih rinci sebagaimana yang dinyatakan oleh Iman Gereja yang berlandaskan Kitab Suci, maka kita perlu mengerti tentang Dzat-Hakekat Allah, Sifat-Sifat Allah, Daya Kuasa (Energi) Allah, dan lain-lainnya. Untuk itu marilah kita bahas hal itu secara berurutan dibawah ini. 1 a. Essensi Ilahi (Hakekat Allah, Dzatullah) Dari awalnya saat kita mulai membicarakan esensi atau hakekat Allah, hal yang pertama disadari sebagaimana yang dinyatakan oleh Kitab Suci dan Iman Gereja adalah bahwa pada dzat-hakekatNya Allah itu tak dapat difahami akal dan diluar pemahaman manusia. Manusia tidak mungkin akan tahu akan dzathakekat Allah itu dalam keadaan yang sebenarnya. Dzat-Hakekat ( “Kejaten”, Jw., “Ousia”, bah. Yunani, “essensi”) Allah ini tak akan pernah dapat diketahui oleh siapapun. Sehingga dalam berbicara mengenai “dzatullah” atau “esensi Allah” adalah perlu kita mengerti kata “Dzat” yang digunakan dalam pembahasan theologia. “Dzat” adalah suatu kata yang digunakan dalam pembahasan ilmu ketuhanan yang artinya hakekat /kodrat atau essensi. Ini harus dibedakan dengan “zat” dari ilmu fisika. Sebab zat dalam ilmu fisika yang dimaksud adalah : padat; cair dan gas. Sedangkan yang kita maksud dengan “dzat” bagi Allah ( dzatullah ) adalah realita dan keberadaan yang ada di dalam diri Allah yang terdalam yang menunjukkan DiriNya itu adalah Allah, dan yang berbeda dari yang bukan Allah. Ini adalah berbicara tentang hakekat atau essensi di dalam Diri Allah itu sendiri. Kata ini dijumpai dalam Yohanes 5:26 dalam terjemahan bahasa Arab sebagai berikut :” Liannahu kama ‘anna ul-aaba lahu khayaatu fiy dzaatihi kadzaalika ‘athay ul-ibna ‘aydhon ‘an takuwna lahu khayaatu fi dzaatihi” (“Karena sebagaimana Sang Bapa memiliki hidup di dalam “dzaat”Nya sendiri/diriNya sendiri, demikianlah juga diberikan Sang Putera mempunyai hidup dalam “dzaat”Nya sendiri/diriNya sendiri). Dengan demikian yang dimaksud “dzaat” disini adalah “hakekat diri” atau “essensi” keberadaan dari yang memiliki Pribadi itu, dalam hal ini adalah Allah. Allah memang bukan hanya sekedar “dzaat” namun terlebih lagi Ia adalah Pribadi, dan dalam Pribadi Allah inilah terdapat “dzat” atau “essensi Allah” itu, dan dalam “dzaat” inilah bersemayamNya Pribadi Allah. Jadi memang “dzaat” Allah dan “Pribadi” Allah sama sekali tak dapat dipisahkan. Agar kita dapat mengerti lebih baik mengenai masalah ini, maka baiklah kita bahas masalah itu demikian. Membicarakan tentang Essensi atau Dzatullah itu adalah mempertanyakan mengenai “Apakah Allah itu ?” Padahal mempertanyakan mengenai “Apa” dalam keberadaan Allah itu berarti kita mempertanyakan hakekat atau “Dzat Allah,” dan bukan mempertanyakan tentang PribadiNya. Jika kita mempertanyakan tentang “Pribadi Allah” maka kata “Siapa”, itulah yang kita gunakan. Dan mengenai pertanyaan tentang Pribadi Allah ini akan kita bahas pada saatnya. Disamping mempertanyakan “apa” (“dzaatullah”) dan “siapa” (“Pribadi” Allah), dalam pembahasan kita tentang Sang Pencipta itu, kita juga akan mempertanyakan tentang “Bagaimana” tentang Allah itu, artinya kita membahas tentang cara kerja Allah, kehadiran Allah di dalam dunia, dan hubungannya dengan alam ciptaan. Mengenai pertanyaan “bagaimana” tentang Allah ini, kita akan membahas tentang yang Allah hadir di dalam sinar kemuliaanNya dimana tersembunyi kekuatan atau daya kuasaNya. Disitulah kita akan berbicara tentang daya kuasa (energi ilahi) yang dapat menampakkan diri sebagai sinar kemuliaan yang keluar dari esensi Allah sendiri. Membahas masalah-masalah Dzatullah adalah membahas masalah keghaiban Allah yang paling dalam dan tak terjangkau oleh akal. Karena akal ini diciptakan oleh Allah, sehingga akal tak dapat menembus misteri terdahsyat dari Diri Allah tersebut. Ini bukan karena Dzatullah itu “tak masuk akal”, namun karena Dzatullah itu sendiri memang Adi-Akali, melampaui akal dan indra manusia. Sebab Essensi Ilahi atau Dzatullah itu adalah keberadaan terdalam dari Allah yang hanya dapat dimengerti oleh Allah sendiri saja, melalui RohNya sendiri sebagaimana yang dikatakan :”….tidak ada orang yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri Allah, selain Roh Allah” ( I Kor. 2:11). Perbedaan antara “Dzaat” (“Hakekat”, “Kejaten”, “Essensi”, “Ousia”) Allah dan “Pribadi” Allah ini mungkin bagi sebagian orang masih sulit untuk membedakan, untuk itu marilah kita jelaskan sebagai berikut. Demi memudahkan penjelasan ini sebaiknya kita ambil contoh sebagai berikut: Penulis buku ini, sebagai seorang manusia, mempunyai essensi kemanusiaan yang sama dengan para pembaca buku ini.. Sifat kemanusiaan yang dimiliki pembaca, itu juga dimiliki oleh si penulis ini. Jadi segenap manusia hanya mempunyai essensi yang satu saja. Hakekat kemanusiaan yang satu dan dimiliki oleh setiap orang itu jelas berbeda dari hakekat atau dzat atau esensi dari pada lembu. Karena lembu memiliki hakekat “kelembuan” yang dimiliki secara bersama oleh segenap lembu di seluruh alam ini. Dan hakekat kelembuan itu jelas berbeda dari hakekat kemanusiaan. Demikianlah hakekat kemanusiaan yang hanya satu itu hanya dimiliki oleh manusia siapapun diatas bumi ini. Tak perduli warna kulitnya baik ia itu berkulit hitam, berkulit kuning, berkulit coklat maupun berkulit merah; sebagai manusia dia mempunyai ciri-ciri kemanusiaan yang sama, yang menunjukkan bahwa dia itu manusia dan ciri tersebut yang menyebabkan dia disebut manusia. Jadi manusia yang satu dan manusia yang lain tidak berbeda di dalam essensi kemanusiaannya, yang membedakan satu orang dengan lainnya adalah Pribadi. Pribadi Si Tono bukanlah pribadi Si Toni, masing2 masing orang mempunyai “pribadi unik dan khas” yang membedakannya dengan pribadi yang lain. Pemahaman yang sama berlaku ketika berbicara mengenai dzat / hakekat / essensi / kejaten di dalam Allah yang hanya satu dan tidak dapat dimengerti makhlukNya itu.. Hakekat Allah itu ialah essensi yang ada di dalam Allah, yang menyebabkan Allah itu adalah Allah, bukan manusia dan bukan termasuk ciptaan apapun. Hakekat Allah itu tidak dapat dimengerti, tidak dapat dilihat oleh mata manusia., tak dapat direkareka akal. Keadaan hakekat Allah yang demikian inilah yang dalam bahasa Jawa dikatakan sebagai ”Tan Keno Kinoyo Ngopo” ( “Tak Dapat Dikatakan Bagaimana”, “Bi la kayf”.) Bahwa hakekat ( “kejaten”, “dzat/jawhar”, “essensi” atau ”ousia”) Allah itu tidak dapat diumpamakan dengan segala sesuatu apapun, jelas dinyatakan oleh II Samuel 7:22 demikian: “Sebab itu Engkau besar, ya Tuhan ALLAH, sebab tidak ada yang sama seperti Engkau dan tidak ada Allah selain Engkau menurut segala yang kami tangkap dengan telinga kami.” Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada yang sama seperti Engkau ini bermakna tak ada satupun yang dapat kita samakan dengan Allah. Segala rekaan atau khayalan ataupun gambaran kita tentang Allah itu jelas tidak dapat menangkap atau menggambarkan Allah itu dengan sebenarnya, dengan demikian manusia memang tidak dapat mengetahui apa-apa tentang Allah itu. Hal ini juga diterangkan di dalam ayat lain yang berbunyi demikian: “Tidak ada yang mengetahui Anak kecuali Bapa demikian juga tidak ada yang mengetahui Bapa kecuali Anak.” ( Matius 11:27 ). “...dunia tidak dapat menerima Dia, sebab dunia tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia. tetapi kamu mengenal Dia, sebab Ia menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu.” ( Yohanes 14:17 ). Jelas bahwa Allah yang Esa itu sama sekali tidak dimengerti oleh manusia di dalam hakekatNya. Oleh karena itu dalam bagian Alkitab yang lain dikatakan demikian: “Dialah satu-satunya yang tidak takluk pada maut, bersemayam dalam terang yang tak terhampiri. Seorangpun tak pernah melihat Dia dan memang manusia tidak dapat melihat Dia “ (I Timotius 6:16). Maksud dari kata-kata memang manusia tidak dapat melihat Dia disini bukan hanya Allah itu tak dapat dilihat oleh mata jasmani saja, namun juga bahwa Allah itu tak dapat dilihat oleh mata akal-kepandaian manusia juga. Selanjutnya Allah yang Maha Esa itu dinyatakan sebagai yang bersemayam dalam terang yang tak terhampiri. Ini menunjukkan bahwa jika tempat bersemayamNya Allah itu saja tidak dapat dihampiri, maka terlebih lagilah “Dia” yang bersemayam di dalam Terang itu pastilah sama sekali tidak dapat dihampiri. Demikianlah memang Allah itu Maha Ghaib, dan Mysteri Maha Agung. Jarak “hakekat” antara manusia dan Allah itu tak akan pernah terseberangi karena tanpa ada batas, sehingga pengertian kita tak dapat mencapai Dia. Karena Allah itu bukan hanya Maha Tinggi, namun Dia berda diluar ketinggian. Dan jika kita katakan Allah memiliki “dzaat”, namun sebenarnya Iapun mengatasi segala “dzaat”. Pendek kata Ia secara mutlak tak dapat dibandingkan dengan apapun.Dengan demikian kita tidak mampu, meskipun sedikit saja, menurut akal-kepandaian kita, untuk mengerti hakekat atau essensi Allah itu. Oleh karena itu Allah bersabda kepada Nabi Musa demikian: ““Engkau tidak tahan memandang wajahKu ( dzatKu, EssensiKu ), sebab tidak ada orang yang memandangku dapat hidup” ( Keluaran 33:20 ). Karena mustahilnya manusia dapat mengerti hakekat Allah ini maka Kitab Suci mengatakan tidak ada seorangpun yang pernah (atau dapat) mengerti / melihat Allah : “Tidak seorangpun yang pernah melihat Allah; ……..”( Yohanes 1:18 ). Ini disebabkan meskipun Allah itu bersemayam dalam Terang, namun terang itu tak terhampiri, dan meskipun Allah itu bersifat terang dan di dalamNya tidak ada kegelapan ( I Yohanes 1:5 ), namun karena 3 karena begitu jauhnya dan dalamnya rahasia Hakekat/Esensi Allah itu, sehingga yang dapat dilihat oleh manusia itu hanyalah merupakan jurang dalam yang gelap gulita. Seperti yang dialami oleh Nabi Musa ketika bertemu dengan Allah diatas gunung Sinai, sebagaimana yang tertulis: “Adapun bangsa itu berdiri jauh-jauh, tetapi Musa pergi mendekati embun yang kelam dimana Allah ada.” (Keluaran 20:21). Embun kelam yang menjadi tempat Allah berada ini adalah simbol bagaimana Allah itu begitu gelap dan tertutup oleh misteri keagungan dan kemuliaanNya sendiri, bagi manusia berdosa yang ingin mendekati Allah itu. Demikianlah kitapun tidak usah heran, jika pemazmur juga memazmurkan Allah itu demikian: “Ia menekukkan langit, lalu turun, kekelaman ada dibawah kakiNya……. Ia membuat kegelapan disekelilingNya menjadi persembunyianNya, ya, menjadi pondokNya: air hujan yang gelap, awan yang tebal…..” ( Mazmur 18:10-12 ). “Tuhan adalah Raja….. Awan dan kekelaman ada sekeliling Dia….” ( Mazmur 97:1-2 ). Dengan gelap-gulitanya dzat –hakekat Allah itu bagi akal-budi manusia, maka hanya satu saja yang dapat kita mengerti tentang Allah itu, yakni bahwa sebenarnya manusia tidak tahu dan tidak mengerti apa-apa mengenai keadaan dzat, hakekat, kejaten dari Allah itu. Hakekat Allah yang menjadi kerajaan Allah itu sendiri, hanya bisa dimengerti oleh Allah yang Esa itu sendiri beserta FirmanNya yang kekal dan RohNya yang kekal yang berada melekat dalam DiriNya Yang Esa itu.. Di dalam dzat-hakekat Allah yang satu, serta yang tidak dapat dimengerti oleh pikiran manusia itulah Allah yang Esa berada dalam keheningan total, kasih absolut, kesucian mutlak, terang penuh gemilang, kebahagiaan sepenuh, kemurnian tanpa cacat, keutuhan sempurna, dari kekal azali sampai kekal abadi. Karena Allah itu adalah Dia yang tidak dapat dimengerti, sudah selayaknya jika manusia menerima kenyataan bahwa Allah itu tidak dapat direka atau digambarkan dengan cara apapun karena Ia tidak dapat dicapai oleh pikiran, sebagaimana yang dikatakan oleh Alkitab dibawah ini: “O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusankeputusanNya dan sungguh tak terselami jalan-jalanNya!” ( Roma 11:33 ). “Engkau tidak tahan memandang wajahKu ( dzatKu, EssensiKu ), sebab tidak ada orang yang memandangku dapat hidup” (Keluaran 33:20). Ia membuat kegelapan di sekellingnya menjadi persembunyianNya, ya, menjadi pondok-Nya: Air hujan yang gelap, awan yang tebal.”(Mazmur 18:10-12). Sesuai dengan data-data Alkitab yang sudah kita bahas ini Iman Kristen Orthodox mengajarkan bahwa Hakekat (Essensi, Dzat) Allah itu - sebagaimana yang sudah berulang-kali kita katakan - tidak dapat dimengerti ataupun dilihat oleh manusia. Artinya bukan hanya tak dapat dilihat secara mata jasmani saja, namun juga mata akal, mata batin atau mata hati. Kenyataan Adi-Kodrati yang demikian ini ditandaskan lebih jauh oleh Alkitab sebagai berikut: ”Hormat dan kemuliaan sampai selama-lamanya bagi Raja segala zaman, Allah yang kekal, yang tak nampak, yang Esa.( 1 Timotius 1:17 ). Allah yang Esa sebagai Raja kekal atas segala zaman Yang Maha Ghaib itu, juga tak dapat dimengerti oleh para Malaikat di sorga dalam essensi/ hakekat/ dzatNya yang sebenarnya. Allah memang tidak mempunyai kegelapan di dalam Diri-Nya, sebab Ia adalah Nur (Terang, I Yoh.1:5), namun karena mustahil dapat dihampiri oleh makhluk, baik manusia maupun malaikat, maka Allah yang Terang itu menjadi gelap gulita bagi makhlukNya.. Bagi makhluk, manusia maupun malaikat, Nur Ilahi itu menjadi terang yang membutakan serta menjadi Terang yang Gulita. Suatu paduan kata yang aneh memang, tetapi demikianlah keadaan Allah. Hal itu nyata dari peristiwa yang terjadi di Gunung Sinai. Pada waktu Musa mendekati Allah, 4 Allah menampakkan Diri di dalam terang serta dalam cahaya yang berkiau-kilauan ( Keluaran 19: 18, 24: 10), namun pada waktu Musa naik untuk menghadap hadirat Allah justru kegelapanlah yang dimasukinya; sebagaimana yang tertera dalam ayat-ayat berikut ini: “Lalu Musa membawa bangsa itu keluar dari perkemahan untuk menjumpai Allah dan berdirilah mereka pada kaki gunung.Gunung Sinai ditutupi seluruhnya dengan asap, karena Tuhan turun ke atasnya dengan api; asapnya membubung seperti asap dari dapur, dan seluruh gunung itu gemetar dengan sangat.Bunyi sangkakala kian lama kian keras. Berbicaralah Musa, lalu Allah menjawabnya dalam guruh. Lalu turunlah Tuhan ke atas puncak gunung itu, dan naiklah Musa ke atasnya.(Keluaran 19:17-20 ). “Masuklah Musa ke tengah-tengah awan itu dengan mendaki gunung itu. Lalu tinggallah ia di atas gunung itu empat puluh hari empat puluh malam lamanya.”( Keluaran 24:18 ). “Ia menekukkan langit lalu turun, kekelaman ada di bawah kakiNya. Ia mengendarai kerub, lalu terbang dan melayang di atas sayap angin. Ia membuat kegelapan di sekelilingnya menjadi persembunyianNya, ya, menjadi pondok-Nya: air hujan yang gelap, awan yang tebal.”( Mazmur 18:10-12 ). Menurut ayat-ayat diatas Allah yang terang itu bersembunyi dalam kegelapan yaitu misteri diriNya sendiri yang tak dapat ditembus oleh makhluk, yang digambarkan sebagai awan gelap, kekelaman, kegelapan. Hal inilah yang dimaksud dengan ayat dibawah ini: “....tidak ada orang yang tahu, apa yang terdapat di dalam Diri Allah...” ( I Kor. 2:11) Karena dzat-hakekat Allah itu memang begitu ghaib dan dahsyatnya. Sehingga “wajah” yaitu essensi/hakekat/dzat Allah ini dapat membuat makhluk hancur lebur jika mungkin melihatnya, - yang memang pasti tidak mungkin - sebagaimana yang dikatakan: “Engkau tidak tahan memandang wajahKu ( hakekatKu, essensiKu, dzatKu), sebab tidak ada orang yang memandang Aku dapat hidup...” ( Keluaran 33: 20) Allah itu merupakan suatu “misteri”, satu rahasia yang tidak dapat terpecahkan oleh akal manusia. Sehingga dengan demikian dalam keputusan-keputusan kehendakNya dan jalan kodratNya ini memang Allah tak terselidiki dan tak terselami : “O ,alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah ! sungguh tak terselidiki keputusankeputusanNya dan sungguh tak terselami jalan-jalanNya !” ( Roma 11:33 ). Allah sendiri sajalah yang mengerti dengan sebenarnya mengenai DzatNya (EssensiNya, HakikatNya)) yang Maha Ghaib, Maha tak terselidiki dan Maha tak terselami itu. DzatNya (EssensiNya/HakikatNya) adalah Rahasia diatas segala rahasia ,dan Misteri diatas misteri. Itulah sebabnya hanya dengan rasa takut dan gentar disertai hormat dan kasih yang amat mendalam kita harus mendekati Allah yang demikian ini. Allah yang tanpa kegelapan itu, menjadi suatu rahasia dan misteri yang gelap-pekat dalam dzathakekatNya karena tidak dapat dihampiri manusia, serta tak dapat dicapai oleh manusia dalam keadaan alamiah dan keberdosaannya itu. b. Pendekatan Pem”bukan”an. . Karena dzat-hakekat Allah adalah misteri maka kategori yang kita kenakan pada makhluk tak akan berlaku bagi Allah. Itulah sebabnya di dalam Iman Kristen Orthodox terdapat suatu pendekatan theologis yang disebut pendekatan “pembukanan“ atau pendekatan “apopathika” di dalam membicarakan keberadaan Allah itu. Artinya kita tidak bisa mengatakan mengenai dzat-hakekat Allah itu secara pasti begini atau begitu, sebab kategori dan bahasa yang kita gunakan untuk mengatakan dzat-hakekat Allah yang sebenarnya itu, berasal dari apa yang kita dapatkan dan kita alami di dalam dunia ini, padahal Allah bukan dari dunia, bukan makhluk (ciptaan), serta mengatasi segala ciptaanNya.. Dengan demikian apa-apa yang kita sifatkan kepada Allah terutama mengenai dzat-hakekatNya itu tidak akan persis sama keadaannya dengan apa yang sebenarnya ada pada Allah. Karena Allah itu lebih tinggi dan lebih mulia 5 dibanding dengan sebutan atau segala istilah yang kita tahu di dalam dunia ini. Sehingga jika dalam alam makhluk itu ada jenis kelamin laki-laki dan perempuan maka Allah itu bukan laki-laki dan bukan perempuan dan bukan juga banci dan Ia bukan keadaan yang dibatasi oleh jenis kelamin itu. Pada pokoknya apa yang ada di dalam sifat alam itu kita tidak dapat mempergunakan kepada sifat Allah. Oleh karena itu segala sesuatu yang ada di dalam alam ciptaan ini kala ia hendak kita kenakan kepada Allah itu haruslah kita tambahi dengan kata ”bukan”. Inilah yang disebut Teologi “Pem’bukan’an”. Jadi Allah itu bukan kuning, bukan putih, bukan besar, bukan kecil, bukan tua, bukan muda, dan lain-lain. Sifat-sifat dari hakekat Allah itu tidak mungkin kita katakan secara bahasa positif karena dari kekal azali sampai kekal abadi dzathakekat Allah itu akan tetap demikian dan tetap akan menjadi rahasia bagi manusia. Karena Allah itu dalam hakekatNya bersifat misteri, maka aqidah Iman Kristen Orthodox menegaskan bahwa pendekatan yang harus dilakukan dalam membahas kodrat serta dzat-hakekat Allah yang tak terselami dan tak terselidiki haruslah dengan pendekatan “via negativa” atau “apopathic approach” yaitu “pendekatan pembukan-an” yang kita sebut diatas tadi. Artinya kita hanya dapat berbicara menganai “yang bukan” dari dzathakekat Allah itu, sebab apa yang sebenarnya dari dzatullah itu sungguh kita sama sekali tak mengertinya. Misalnya : Allah itu bukan laki-laki, bukan perempuan dan bukan banci - jadi Allah itu adalah Allah; Allah itu bukan seperti malaikat, bukan seperti manusia, bukan seperti binatang, bukan seperti tumbuh-tumbuhan dan bukan seperti fenomena tercipta apapun- jadi Allah itu adalah seperti DiriNya sendiri; Allah itu bukan tempat ( bukan maqam ), bukan waktu ( bukan zaman ), jadi Allah itu adalah DiriNya sendiri dan seterusnya. Dengan demikian kita tidak akan bersalah dan berdosa mensifatkan secara jasad atau yang mirip dengan makhluk mengenai Allah, yang pasti hal itu tidak akan tepat dengan realita dzatullah ( essensi ilahi) itu sendiri. Sebab jika kita salah mensifatkan bisa jadi malahan kita menghujat dan bukan meluhurkan Allah Yang Maha Kudus itu. Begitu pula dengan pendekatan pem-bukan-an ( via negativa, apopathic approach ) ini kita tidak akan terjebak dalam usaha menurunkan Allah dalam derajat makhluk melalui pensifatan dengan katagori-katagori manusia dengan sifat-sifat manusia yang tidak layak bagi essensi dan hakekat Allah yang Maha Agung itu. Selanjutnya melalui membiarkan Allah sebagaimana adanya akan mengangkat kita masuk dan tenggelam dalam misteri Ilahi itu sendiri serta mengangkat kita dari keterbatasan kemakhlukan kita untuk menyelam dalam ketidak terbatasan Ilahi, sehingga kita dilepaskan dari ikatan-ikatan yang mempersempit pandangan kita akan realita, untuk memperluas diri dalam keluasan dzatullah ( essesi ilahi) yang tak terbatas itu. Maka Pendekatan Pem”bukan”an atau Theologia Apopathika adalah suatu pendekatan yang menjelaskan tentang sifat-sifat Allah dari sisi “bukan”nya daripada “ya”nya. Dengan mendekati Allah secara Pem”bukan”an ini kita dihindarkan dari kesalahan untuk mereka-reka Allah menurut apa yang kita mengerti dengan akal kita. Karena Allah yang dapat kita mengerti dengan akal kita, berarti bukan Allah. Mengkhayalkan Allah menurut sifat-sifat yang kita ada-adakan bagi Dia itu adalah suatu “Dewa” ciptaan dari pikiran kita. Karena Allah itu yang menciptakan pikiran kita, menciptakan angan-angan kita, menciptakan pengertian kita, oleh karena itu Dia harus lebih tinggi dari pada apa yang dapat kita mengerti. Gereja Barat terbiasa mendekati Allah itu dengan pendekatan “via positiva” atau”pendekatan affirmatif” yaitu “cataphatic approach”. Artinya secara akademis-filosofis mereka memberikan katagori kepada Allah berdasarkan analisa-analisa akali dari kumpulan data-data yang dibahas secara filsafati. Sehingga pendekatan lebih bersifat analisis rasionalistis dari pada bersifat mistik ( rohani ). Tempat misteri banyak dikorbankan demi menekankan yang rasionalistis. Sedangkan Gereja Orthodox meskipun menekankan pengertian yang masuk akal dan logis namun masih membuka lebar bagi misteri ilahi, sehingga pendekatan apophatic itulah yang dilaluinya. Meskipun digunakan juga bahasa-bahasa positif meneganai Allahj dalam Gereja Orthodox, namun harus tetap disadari itu hanya simbol sajka dari realita sebenarnya, yang pada hakekatnya tak kita ketahui itu. Jadi dalam pembicaraan kita tentang dzat/hakekat/essensi Allah yang dalam bahasa Yunani disebut sebagai “ousia” hanya misteri yang tak terpecahkan yang kita jumpai.. . c. Keberadaan (Wujud) Allah Memang kita tak dapat membayangkan atau mereka-reka bagaimana keberadaan wujud atau keberadaan Allah itu yang sebenarnya, karena keberadaanNya yang ghaib itu. Dan juga memang dalam 6 essensi yang sebenarnya kita tak dapat mengerti tentang Allah itu. Ini tak berarti kita tak dapat mengerti sama sekali tentang keberadaan Allah, seolah-olah tak ada keterangan sedikitpun. Syukur kepada Allah, bahwa melaui wayuNya sebagaimana yang dicatat oleh Alkitab, kita mendapatkan keterangan serba sedikit mengenai Allah itu, sejauh apa yang dinyatakan oleh Kitab Suci. Dengan demikian kita dapat mengambil beberapa kesimpulan tentang bagaimana keberadaan ( Wujud ) Allah itu dapat kita fahami. Beberapa ayat Kitab Suci dibawah ini akan memberikan keterangan kepada kita mengenai hal itu: “...... Sebab Aku ini Allah dan bukan manusia....” ( Hosea 11:9 ). “..... Allah adalah Terang ( Cahaya, Nur ) dan di dalam Dia sama sekali tidak ada kegelapan ( I Yohanes 1:5 ) “Dialah satu-satunya yang tidak takluk pada maut, bersemayam dalam terang yang tak terhampiri...” ( I Timotius 6:16 ). “Allah itu Roh...” ( Yohanes 4:24 ) , dan sifat Roh itu adalah :” ...hantu ( spirit = roh ) tidak ada daging dan tidak ada tulangnya....” ( Lukas 24:39 ). Dari beberapa ayat diatas kita dapat mengambil beberapa kesimpulan bahwa Allah itu bukan manusia. Dia adalah Roh artinya ghaib, dengan keberadaan ghaib itu maka Dia itu tidak memiliki tubuh jasmani yang terdiri dari tulang dan daging. Allah itu bukan jisim bukan pula benda, biarpun benda yang paling halus sekalipun. Dia bukan Zat (cair, padat, gas). Dia bersifat Nur atau Cahaya sehingga tempat bersemayamNya atau kemuliaan yang mengelilingi DiriNya itu adalah berupa “Terang yang tak dapat dihampiri” yaitu Nur tak tercipta. Dia pula disebut “ tak takluk pada maut” artinya essensi DiriNya itu adalah hidup murni yang tidak pernah mengalami pertumbuhan atau penyusutan, yang tidak pernah mengalami kelahiran ataupun kematian. Sebab yang ghaib dan yang roh bagaimana mengalami penyusutan dan kematian, serta bagaimana memiliki permulaan secara dilahirkan. Allah adalah hidup murni yang berdiri sendiri. Itulah sebabnya Dia itu kekal tak berawal akhir, hadir dimana-mana ( Mazmur 139:7-12 ) tak dibatasi tempat, pengetahuannya menembus segala sesuatu tak dibatasi oleh kebodohan atau ketidak-tahuan (Mazmur 139 ;1-6), Dia merembesi segala sesuatu tanpa jadi identik dengan yang dirembesi ( Kisah Rasul 17:27-28 ). Dia kekal tanpa dibatasi waktu ( Mazmur 90:1-2 ), serta Dia itu pribadi yang mandiri dan berdiri pada DiriNya sendiri dengan menyatakan DiriNya sebagai “ Akulah Aku “ ( Keluaran 3:14 ). Demikianlah beberapa indikasi Alkitab mengenai bagaimana Wujud ( Keberadaan ) Allah yang dapat kita mengerti, meskipun pada akhirnya kita masih tetap tidak mengerti realita yang sebenarnya. Kita bersyukur bahwa kita memiliki Allah yang mengatasi pemahaman kita ini. Karena itu menunjukkan bahwa Dia itu bukan buah karangan otak manusia namun sebagai realita yang mandiri dan tak tercipta namun yang menciptakan segala sesuatu, Dia ada tanpa diadakan meskipun Dia mengadakan segala sesuatu. Itulah keberadaan Allah itu. d.Sifat-Sifat Allah Dalam pembicaraan kita mengenai dzat-hakekat/ essensi/ousia Allah yang kita jumpai hanya kegelapan misteri dari keghaiban ilahi, serta dalam pembicaraan kita mengenai wujud (keberadaan) Allah, kita diperhadapkan kepada keluhuran dan kemuliaan keberadaan Allah yang sebenar-benarnya yang diluar jangkauan makhluk (ciptaan). Disitu kita menjumpai betapa terbatasnya pemahaman kita untuk dapat menjangkau kedahsyat-luhuran Allah itu. Dan jika dzat-hakekat dan wujudNya saja yang kita renungkan pastilah kita tak akan dapat mengerti apapun tenatang Allah. Namun syukurlah bahwa Allah bukan hanya Allah yang menyembunyikan Diri dalam keghaibanNya namun juga Allah yang menyatakan Diri dalam pewahyuan DiriNya. Melalui penyataan Diri Allah ini meskipun hakekat-wujud Allah yang sebenarnya masih merupakan misteri bagi kita, namun dari pernyataan sabdaNya, tindakan-tindakan mukjizatNya, penyataan pemeliharaan dan penghukumanNya atas umatNya kita dapat mengerti Allah itu melalui sifat-sifatNya. Melalui sifat-sifat Allah yang dinyatakan melalui penyataan DiriNya itulah kita dapat mengerti keberadaan Allah itu terutama dalam hubunganNya dengan makhlukNya, terlebih-lebih kepada manusia dan lebih khusus lagi kepada ummat yang beriman kepadaNya. e. Energi Allah 7 Jika dalam dzat/hakekatNya Allah itu tak dapat dimengerti manusia, dan melalui sifat-sifatNya saja manusia dapat mengerti tentang keberadaan Allah itu, maka dalam energiNya manusia dapat mengalami hadirat Allah itu. Mengenai Energi Ilahi itu diajarkan demikian oleh Alkitab :Alkitab sbagaimana telah kita bahas diatas, mengatakan :” Tak seorangpun pernah melihat Allah…” ( Yohanes 1:18)., “…tidak seorangpun mengenal Bapa…” ( Matius 11:27), “ O , alangkah dalamnya kekayaan hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusanNya dan tak terselami jalan-jalanNya”( Roma 11:33), “….tidak ada orang yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri Allah…” ( I Korintus 2:11) “…..bersemayam dalam terang yang terhampiri. Seorangpun tak pernah melihat Dia, dan memang manusia tak dapat melihat Dia” ( I Timotius 6:16 ).Ayat-ayat diatas menjelaskan bahwa Allah tak pernah dikenal, tak pernah dilihat, tak terselidiki, tak terselami, tak diketahui apa yang ada didalam diriNya, tak terhampiri, serta tak dapat dilihat manusia. Pendek kata ayat-ayat diatas menunjukkan Allah itu tak dimengerti sama sekali keadaanNya oleh manusia. Allah itu begitu ghaib dan misteriusNya sehingga dijelaskan dengan kata-kata seperti itu. Namun demikian ada ayat-ayat lain dalam Alkitab yang mengatakan demikian :“…..Ia tidak jauh dari kita masingmasing. Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak,kita ada….” ( Kisah Rasul 17: 27-28) “…apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka…..apa yang tidak nampak daripadanya, yaitu kekuatanNya yang kekal dan keilahianNya, dapat nampak….dari karyaNya….” ( Roma 1:19-20), “ Kudus, kudus kuduslah TUHAN semesta alam, SELURUH BUMI PENUH KEMULIAANNYA” (Yesaya 6:3). Dan masih banyak ayat-ayat lain yang serupa.Bertentangan dengan ayat-ayat diatas dimana dijelaskan bahwa Allah tak dikenal, tak dimengerti, tak terselami, tak nampak dan tak dapat dihampiri, ayat-ayat yang kita kutip ini menunjukkan justru sebaliknya. Disini Allah disebutkan sebagai yang tak jauh dari manusia masingmasing, manusia seolah-olah berenang di dalam hadirat Allah sendiri, Allah nampak dari karyaNya, dan kemuliaan Allah itu memenuhi seluruh bumi, yang berarti bumi itu dipenuhi dengan hadirat Allah. Mengapa ada keberadaan yang seolah-olah kontradiksi ini mengenai Allah? Ini bukan kontradiksi, namun dua cara hadirat Allah yang berbeda. Yang diatas menjelaskan Allah dalam kehadiranNya pada DiriNya sendiri, yaitu pada Esensi, Hakikat, atau Dzat Ke-Allah-anNya sendiri, yaitu keilahian dan kekuatanNya yang kekal. Ini memang tak dimengerti oleh manusia. Sedangkan kelompok kutipan yang kedua menjelaskan cara kehadiran Allah diantara makhlukNya (hidup, gerak dan adanya manusia, karyaNya pada alam, serta seluruh bumi), dan kehadiran itu berwujud “KEMULIAAN” yang memenuhi bumi, sehingga manusia dapat hidup, bergerak dan ada, dan kemuliaan itu nampak pada karya-karya Allah itu, artinya pada hasil aktivitas perbuatan Allah. Karena hasil aktivitas perbuatan Allah itu pada penciptaan alam semesta, dan di alam semesta itu pula hadir :”kemuliaan” itu,maka “kemuliaan” dan “aktivitas perbuatan Allah” itu identik adanya. Demikianlah ayat-ayat yang menyatakan tentang keghaiban Allah diatas itu menunjukkan keberadaan Allah pada DiriNya sendiri yang memang tak dapat dimengerti manusia yaitu “Esensi, Hakekat” (Dzat!!!, bukan “Zat” yang terdiri dari : padat, cair dan gas) Allah sendiri, dan ayat-ayat yang menyatakan tentang kehadiran Allah di dunia yang dapat dialami manusia itu menunjuk kepada “aktivitas perbuatan Allah” atau “kemuliaan Allah” yaitu “Energi Allah” atau “Energi Ilahi” sendiri. Demikianlah Iman Kristen Orthodox memang membedakan antara “Esensi Ilahi” dan “Energi Ilahi”. “Esensi Ilahi” adalah kehadiran Allah pada diriNya sendiri, atau hakekat Allah itu sendiri, dan “Energi Ilahi” adalah kehadiran Allah ditengah-tengah ciptaanNya, yaitu aktivitas perbuatanNya diluar “Esensi”Nya. Namun kedua-duanya adalah kehadiran yang nyata dari Allah itu sendiri. “Energi Ilahi” bukanlah sesuatu yang diciptakan Allah, namun “energi tak tercipta” yang mengalir keluar dari dalam esensi itu sendiri. Manusia tak dapat mengalami Allah dalam EsensiNya sebab itu mustahil, namun dapat mengalamiNya melalui “Energi” atau ‘kemuliaan”Nya ini, seperti yang telah kita lihat dari ayat-ayat Alkitab di atas. Bahwa “kemuliaan Allah” itu adalah “Energi Allah” yang dilaksanakan oleh Firman/Anak dan RohNya/Roh Kudus itu diajarkan Alkitab demikian, terutama dalam kaitannya dengan kebangkitan Yesus Kristus, karena pengalaman kita akan Energi Ilahi ini terkait dengan pengalaman penebusan dalam Kristus, sedangkan yang kita kutip diatas adalah Energi Ilahi dalam kaitannya dengan pemeliharaan ciptaan secara umum: “…..Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh KEMULIAAN BAPA…” (Roma 6:4) Ayat ini menjelaskan dengan tegas bahwa “Kemuliaan Bapa” itu bukan sekedar konsep yang abstrak, namun betul-betul kekuatan atau daya-kuasa, yaitu “Energi” yang dapat mengalahkan kematian dan 8 menyatakan hidup kekal, yaitu hidup yang tak berkematian. Padahal “kekekalan” itu sesuatu yang tak tercipta, berarti “kemuliaan” yang mempunyai kuasa untuk mengalahkan kematian dan memberikan hidup yang kekal ini pasti kekal pula. Berarti “kemuliaan Bapa” ini adalah sesuatu yang Tak Tercipta, namun kekal berasal keluar dari dalam Diri Bapa sendiri. “….Roh Dia, yang telah membangkitkan Yesus dari antara orang mati….akan menghidupkan juga tubuhmu yang fana itu oleh RohNya, yang diam di dalam kamu “ (Roma 8:11). Ayat ini menjelaskan bahwa kebangkitan yang tadinya dikatakan dilakukan oleh “Kemuliaan Bapa” itu ternyata sekarang dilakukan oleh “Roh Allah”. Namun Roh Allah itu jelas tidak identik dengan “Daya-Kuasa” atau “Daya-Aktif” yaitu “Kemuliaan Bapa” itu. Ajaran Saksi Yehuwan yang menolak Tritunggal Kudus, mengatakan bahwa Roh Kudus itu adalah “Daya Aktif” Allah atau menurut bahasa Alkitab, yang dibawah nanti akan kita buktikan disebut sebagai “Energi Ilahi” atau “Energi AIlah”. Mereka kacau antara “Energi Ilahi” yang menjadi milik dari Bapa, oleh FirmanNya di dalam RohNya, itu dengan Roh Allah sendiri ini. Roh Allah memang “keluar” dari Allah (Yohanes 15:26) namun bukan Daya Aktif Allah, sebab Firman Allah/Anak Allahpun “keluar” dari Allah (Yohanes 8:42), namun Dia juga bukan disebut sebagai “Daya Aktif” Allah bahkan oleh Bidat Saksi Yehuwahpun. Sebab “Daya Aktif” itu menunjukkan pada “aktivitas perbuatan” sedangkan Roh Allah karena Ia itu ber-hypostasis maka Ia adalah pribadi yang dapat “berdoa” ( Roma 8:26), “menyelidiki Diri Allah “ ( I Kor. 2:10), “mencegah” dan “tidak mengizinkan” ( Kisah Rasul 16: 6-7), “dibohongi “ ( Kisah Rasul 5:3), “didukakan” ( Efesus 4:30). Sifat-sifat pribadi yang mana tak dimiliki oleh “kemuliaan” atau “energi” atau “daya aktif” Allah itu. Jadi Roh Allah itu berbeda dengan daya aktif Allah atau “kemuliaan Bapa” ini. Namun Roh Allah inilah yang melaksanakan gerak dari energi Ilahi itu, sebagaimana yang dikatakan mengenai karunia-karunia Roh Kudus dalam I Korintus 12. Karunia-karunia Roh Kudus itu dinyatakan sebagai “kharismatoon” ( I Kor. 12:4) sebagai pemberian dari Roh Kudus, namun dinyatakan sebagai “diakonioon” ( I Kor. 12:5) dalam dampak yang dilakukannya di dalam Gereja, sedangkan dalam dirinya sendiri yang berasal dari Allah disebut sebagai “energheematoon” serta Allah sendiri disebut sebagai “Ho Energhoon” atau ‘Yang Meng-Energi-kan /mengerjakan” ( I Kor. 12: 6). Berarti ‘Kharisma Roh Kudus” itu adalah “Energhima” atau “Hasil dari Energi” yang berasal dari Allah, dilayankan (diakonia) untuk dan atas Nama Tuhan Yesus Kristus, serta dikaruniakan (kharisma) oleh Roh Kudus. Sebab mengenai fungsi Roh Kudus itu dinyatakan;” Tetapi semuanya ini ( yaitu:kharisma-kharisma Roh Kudus, sebagai “energhima” Allah) dikerjakan ( energhei ) kai to auto pneuma (oleh Roh yang satu dan yang sama itu juga)….. “ (I Kor.12:11). Ayat-ayat ini jelas mengatakan bahwa “energhima Allah” atau “kharisma Roh Kudus”, itu di “energikan” oleh Roh Kudus. Berarti Roh Kudus berbeda dengan “Energi Ilahi”. Roh Kudus adalah yang menjalankan atau melaksanakan atau mengerjakan Energi Ilahi itu di dalam kehidupan makhluk. Oleh karena itu “Kemuliaan Bapa” yang membangkitkan Yesus itupun, “dienergikan” oleh Roh Kudus, sehingga Roh Kudus dikatakan sebagai yang membangkitkan Yesus Kristus. Kristus mengatakan ;” Bapa mengasihi Aku, oleh karena Aku memberikan nyawaKu untuk menerimanya kembali. Tidak seorangpun yang mengambilnya daripadaKu (artinya, Yesus tidak mati karena terpaksa atau karena keharusan mati seperti layaknya manusia lainnya), melainkan Aku memberikannya menurut kehendakKu sendiri (artinya, Dia bebas dan berkuasa untuk menghendaki kapan Dia mati, atau juga kapan untuk tidak mati sama sekali) . Aku berkuasa memberikannya (artinya, Dia mempunyai kedaulatan untuk dapat mati atau untuk tidak dapat mati), dan berkuasa mengambilnya kembali (artinya, jika Dia matipun Dia punya kuasa dan kedaulatan untuk membangkitkan DiriNya sendiri lagi)” (Yohanes 10:1718). Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa Yesus itu yang memiliki kuasa untuk membangkitkan DiriNya sendiri. “Kuasa” apa ini? Inilah kuasa yang sama, seperti “kemuliaan Bapa” dan kuasa kebangkitan yang dilakukan oleh Roh Kudus juga. Berarti Allah (Bapa), Firman ( Anak, Yesus Kristus), dan Roh Kudus ( Roh Allah) itulah yang membangkitkan kemanusiaan Yesus Kristus ( Firman Menjelma) dari kematian oleh “Kemuliaan Bapa” yaitu “Energi Allah” yang satu dan yang sama, yang dilakukan oleh Tritunggal Maha Kudus. Jadi Energi Ilahi adalah milik Allah dan FirmanNya serta RohNya sekaligus. “Energi Allah” itu keluar dari Bapa, melalui Firman /Anak di dalam Roh Kudus datang kepada makhluk terutama manusia. Bahwa “kemuliaan Bapa” yang membangkitkan Yesus Kristus itu adalah “Energi Allah” dikatakan demikian oleh Alkitab: 9 “…dan betapa hebat kuasaNya (tees dynameoos autou) bagi kita yang percaya, sesuai dengan kekuatan kuasaNya ( kata teen energheian tou kratos tees iskhyos autou = menurut energi dari kuasa kekuatanNya), yang dikerjakanNya ( heen eneergheesen = yang dienergikan) di dalam Kristus dengan membangkitkan Dia dari antara orang mati…” ( Efesus 1:19-20). Menurut ayat ini kuasa yang bekerja di dalam kita, adalah kuasa yang sama yang pernah bekerja dalam membangkitkan Yesus Kristus dari antara orang mati. Dan kuasa itu bekerja “menurut energi dari kuasa kekuatanNya”. Berarti “Energi Ilahi” lah yang bekerja dalam “mengenergi-kan” Kebangkitan Yesus Kristus, dan Energi Ilahi yang sama ini yang sekarang bekerja di dalam kita. Berarti kita mengalami Allah melalui “Energi Ilahi” ini oleh karya Roh Kudus, di dalam Nama Yesus Kristus. Karena yang membangkitkan Yesus Kristus itu adalah “Kemuliaan Bapa” , namun juga “Menurut Energi” Allah, berarti “Kemuliaan Bapa” itu tak lain adalah “Energi Allah” sendiri. Disamping “kemuliaan Bapa” atau “Energi Ilahi” tak tercipta ini dapat melakukan perbuatan-perbuatan mukjizat, energi ilahi ini juga menampakkan diri dalam nama aslinya sebagai “kemuliaan” yaitu “cahaya yang bersinar” sebagaimana yang dikatakan :” …Yesus berubah rupa…wajahNya bercahaya seperti matahari dan pakaianNya menjadi putih bersinar seperti terang…” ( Matius 17:2 ) “….Yesus berubah rupa di depan mata mereka, dan pakaiannya sangat putih berkilat-kilat…” ( Markus 9:2-3) “ Ketika Ia sedang berdoa, rupa wajahNya berubah dan pakaianNya menjadi putih berkilau-kilauan…” ( Lukas 9:29). Dan pengalaman perubah-rupaan Yesus ini dinyatakan oleh Petrus yang melihatnya sendiri sebagai “kehormatan dan kemuliaan dari Allah” ( II Petrus 1: 17-18), yang akan nampak juga nanti pada waktu kedatanganNya ( II Petrus 1: 16). Padahal kedatangan itu adalah kedatangan dalam “kemuliaan” ( Kolose 3:4), yang tak lain adalah berwujud cahaya atau api yang menyala-nyala ( II Tes. 1: 7). Berarti cahaya seperti matahari, yang putih bersinar seperti terang berkilat-kilat dan berkilau-kilauan itu tak lain adalah wujud penampakan dari kemuliaan Allah sendiri yang tak lain adalah penampakan dari “Terang Tak Tercipta” atau ‘Energi Ilahi’. Dan “Terang tak Tercipta” inilah yang nanti akan menampakkan Diri pada kerajaan Bapa atas orang-orang beriman, yang akan bercahaya seperti matahari. (Matius 13:43). Inilah yang disebut pemuliaan atau dalam Iman Kristen Orthodox disebut sebagai “Theosis” atau pengilahian yaitu “ikut ambil bagian dalam kodrat ilahi” (II Petris 1:4). Namun juga yang dapat dialami sekarang oleh para orang kudus, sebagai “Pengalaman Terang Tak Tercipta” namun yang bukan “Theosis” itu sendiri baik sebagai sinar yang dilihat sebagai kemuliaan ilahi ( Kisah 7: 55-56, 9:3-6, Wahyu 1:12-16, dan beberapa pengalaman Theofani Perjanjian Lama maupun cahaya yang bersinar dari dalam tubuh mereka sendiri seperti halnya pemuliaan Yesus diatas gunung itu ( Kisah Rasul 7: 15, Keluaran 33: 33). Inilah yang dialami oleh para kudus dalam Gereja itu. Jadi energi ilahi ini adalah “kasih-karunia” (kharis) dari Allah sendiri, yang mengalir keluar dari Essensi Ilahi, yang disalurkan kepada kita oleh Karya Kalimatullah di dalam Roh Kudus sendiri Jadi “kasih karunia” dalam Gereja Orthodox adalah “energi ilahi” yangg bekerja di dalam diri orang beriman akibat manunggal dalam iman kepada kemanusiaan Yesus Kristus yang telah dimuliakan di sorga itu. Jadi dalam Iman Kristen Orthodox “kasih karunia” itu dimengerti secara dinamis. Dari luar “kasih karunia” adalah hadiah cuma-cuma dari Allah yang menerima manusia berdosa menjadi orang-orang kudus akibat karya korban dan kebangkitan Yesus Kristus, tanpa memperhitungkan pelanggaran-pelanggaran mereka di masa lalu. Namun “kasih karunia” itu juga “energi ilahi” yang bekerja di dalam manusia percaya akibat karya Roh Kudus untuk secara fakta menjadikan manusia berdosa itu betul mengalami pengudusan sehingga ia menjadi orang kudus bukan hanya dalam status dan posisi saja, namun juga dalam realita, sehingga ia mencapai “theosis” tadi. Jadi manunggal kepada Allah itu bukan berarti melebur ke dalam ”essensi” ilahi secara “pantheistis” sebagaimana yang dimengerti agama Hindhu atau Kebatinan Jawa, namun manunggal dalam kemuliaan atau energi Allah. Dalam “energi Allah” inilah manusia betul-betul mengalami panunggalan dengan Allah itu melalui iman kepada Yesus Kristus di dalam Roh Kudus. f. Anthropomorfisme/Mutajasimah (Pengumpamaan Allah Seperti Insan) Di dalam pemikiran theologis yang monotheistis, misalnya: dalam pemikiran Yahudi, Islam dan Kristen (khususnya Kristen Orthodox), kadang-kadang timbul sikap ekstrim dalam mengesakan Allah ini. Di dalam Kekristenan misalnya pernah muncul keyakinan bahwa “Firman Allah” itu bukan merupakan keberadaan dalam wujud Allah yang kekal, karena jika ada Firman Allah yang kekal ditakutkan adanya dua Ilah, yaitu :Allah sendiri dan FirmanNya, oleh karena itu Firman Allah yang dalam bahasa theologia Kristen disebut “Anak Allah” adalah tercipta. Inilah pendapat dari ajaran Arianisme, yang dijaman modern ini dilanjutkan oleh kelompok Saksi-Saksi Yehuwah. Fenomena yang sejajar muncul pula dalam agama Islam, dalam bentuk aliran pemikiran theologis dari aliran Mu’tazilah yang menyatakan bahwa Allah itu tidak 10 mempunyai sifat-sifat. Oleh karena itu aliran ini meyakini bahwa Allah mendengar dengan DzatNya (hakekatNya), Allah mengetahui dengan DzatNya (hakekatNya), Allah berbicara dengan DzatNya (hakekatNya), Allah mendengar dengan DzatNya ( hakekatNya) dan seterusnya. Dengan mengatakan bahwa semua sifat Allah itu dikembalikan kepada Dzatullah, maka kaum Mu’tazillah yakin bahwa mereka telah memurnikan Ke-Esa-aan Allah secara konsekwen. Karena jika Allah itu memiliki sifat-sifat berarti ada dua Ilah yaitu Dzat dan Sifat. Ini sudah merupakan penyangkalan terhadap Ke-Esa-an Allah. Demikian faham Mu’tazilah. Faham yang tidak jauh beda dengan Arianisme dalam sejarah Kristen Orthodox, yang juga meyakini bahwa “Firman Allah” itu bukan satu dalam hakekat ( “homoousios”) Diri Allah. Dengan demikian Allah tak memiliki “Firman” berarti tak memiliki sifat “Kalam” di dalam DiriNya sendiri. Sebagaimana dalam Agama Islam Kaum Asy’ariyah - yang merupakan mayoritas di Indonesia ini - menolak ajaran Mu’tazila ini, demikianlah Iman Kristen Orthodox menolak ajaran Arianisme dan Saksi-saksi Yehuwah. Sanggahan Kaum Asy’ariyah dalam Agama Islam terhadap ajaran kaum Mu’tazilah itu, berwujud penegasan bahwa Allah itu memiliki banyak sifat, bukan hanya satu atau dua sifat saja. Bagi kaum Asy’ariyah Allah itu mendengar dengan PendengaranNya, Allah mengetahui dengan PengetahuanNya, Allah melihat dengan PenglihatanNya, Allah berfirman dengan Firman/KalimatNya, Allah hidup dengan KehidupanNya, dan seterusnya. Dalam hal ini Iman Kristen Orthodox segaris dengan pemikiran Asy’ariyah ini. Karena iman Kristen Orthodox menegaskan bahwa Allah itu memang memiliki Firman, Hidup, Pengetahuan, Hikmat, Pendengaran, Penglihatan, dan sebagainya. Meskipun Firman Allah, HidupNya Allah, Pengetahuan Allah, Hikmat Allah, Pendengaran Allah, serta Penglihatan Allah ini berbeda hakekatNya dari sebutan yang sama yang dikenakan pada makhluk (ciptaan) Nya terutama manusia. Oleh karena itu ungkapan-ungkapan Alkitabiah yang seolah-olah menggambarkan Allah mempunyai sifat-sifat dan keberadaan jasmani itu harus dimengerti sebagai ungkapan "anthropomorfisme” yaitu ungkapan-ungkapan pengandaian yang menggunakan bahasa manusia dengan mengumpamakan jasmani manusia untuk menggambarkan keberadaan Allah, namun bukan makna secara literal. Ini dibuktikan bahwa dalam beberapa ayat yang mengandaikan Allah seperti manusia diberi penjelasan kata “seperti” dan “menyerupai” (Keluaran 24:10, Yehezkiel 1:26-28). Itu membuktikan bahwa penggambaran itu tak boleh dimengerti secara literal. Sebab jika itu dimengerti secara literal akan bertentangan dengan pernyataan Alkitab yang mengatakan tentang Allah:” Kepada siapakah kamu hendak menyamakan Aku, hendak membandingkan dan mengumpamakan Aku, sehingga kami ( Allah dan yang dibandingkan denganNya tadi) sama ? “ ( Yesaya 46: 5). Artinya Allah itu tidak sama bila dibandingkan ataupun diumpamakan dengan apapun. Termasuk pengumpamaan secara bentuk jasmani (“anthropomorfisme”) tadi. Dalam makna inilah kita dapat berbicara mengenai Allah, bahwa Allah punya “wajah” ( “….dan mereka (ahli syurga) akan melihat wajahNya….”,Wahyu 22:4) artinya punya “essensi, dzat-hakekat”, Allah punya “tangan” ( “ Sesungguhnya tangan TUHAN tidak kurang panjang untuk menyelamatkan……” , Yesaya 59: 1), artinya punya kuasa untuk menolong, Allah punya “kaki” (“ Lalu mereka melihat Allah Israel, kakiNya berjejak pada sesuatu yang buatannya seperti lantai dari batu nilam,……”, Keluaran 24: 10) artinya punya cara untuk menghadirkan DiriNya pada makhlukNya, Allah punya “tubuh” (“…..kelihatan seperti rupa manusia. Dari yang menyerupai pinggangnya sampai keatas…..dari yang menyerupai pinggangnya sampai kebawah….Begitulah kelihatan gambar kemuliaan TUHAN…,” Yehezkiel 1: 26-28), artinya punya keberadaan nyata dalam kekekalan ilahi, Allah “duduk di atas takhta” (“…..aku melihat TUHAN duduk diatas takhta yang tinggi dan menjulang….” Yesaya 6:1) artinya memerintah sebagai raja dan menguasai seluruh alam, Allah “berjalan-jalan” ( “ Ketika mereka mendengar bunyi langkah TUHAN, yang berjalan-jalan di taman itu….” Kejadian 3:8) artinya Allah selalu hadir dimanamana memperhatikan makhlukNya, punya “sayap” (“ Dengan kepakNya Ia akan menudungi engkau, dibawah sayapNya engkau akan berlindung….” , Mazmur 91: 4) artinya penjagaan dan perlindungan Allah, bahkan Allah “menyesal” (“ maka menyesallah TUHAN, bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi…..” Kejadian 6:9) artinya Allah tidak membiarkan dosa manusia tanpa hukuman. Sehingga dari kasih atas ummat beriman berubah kepada penghukuman atas kekafiran mereka itu digambarkan sebagai penyesalan Allah. Dan masih banyak lagi. 11