Koordinasi dan Interaksi Kebijakan Fiskal-Moneter

advertisement
Koordinasi dan Interaksi Kebijakan Fiskal-Moneter:
Tantangan ke Depan
Koordinasi dan Interaksi
Kebijakan Fiskal-Moneter:
Tantangan ke Depan
Penyunting:
Dr. Sri Adiningsih, M.Sc.
PENERBIT KANISIUS
Koordinasi dan Interaksi Kebijakan Fiskal-Moneter:
Tantangan ke Depan
072295
© 2012 Kanisius
PENERBIT KANISIUS (Anggota IKAPI)
Jl. Cempaka 9, Deresan, Yogyakarta 55281, INDONESIA
Kotak Pos 1125/Yk, Yogyakarta 55011, INDONESIA
Telepon (0274) 588783, 565996; Fax (0274) 563349
E-mail : offi[email protected]
Website: www.kanisiusmedia.com
Cetakan keTahun
3
14
2
13
1
12
Editor: FX. Warindrayana
Desain isi dan sampul : V. Jaya Supeno
ISBN 978-979-21-3313-4
Hak cipta dilindungi undang-undang.
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk
dan dengan cara apa pun, termasuk fotokopi,
tanpa izin tertulis dari Penerbit.
Dicetak oleh Percetakan Kanisius Yogyakarta
SAMBUTAN
Studi tentang koordinasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan
moneter memang selalu menarik untuk terus diikuti. Sebagai dua agen
ekonomi yang besar, Pemerintah dan bank sentral dipandang akan dapat
mempengaruhi lintasan perekonomian ke depan secara signifikan. Pengaruh
keduanya tidak hanya melalui dampak dari masing-masing kebijakan
yang ditempuh, namun interaksi kebijakan fiskal dan moneter juga akan
berdampak pada perilaku dua agen ekonomi lainnya yaitu rumah tangga
dan perusahaan, yang pada akhirnya akan menentukan kegiatan ekonomi
secara keseluruhan. Berangkat dari pentingnya kedua kebijakan tersebut
serta berbagai kompleksitas yang dapat muncul dalam proses interaksinya
secara tidak langsung maka berimplikasi bahwa pengelolaan kedua
kebijakan tidak dapat berdiri sendiri. Keduanya perlu berkoordinasi dan
saling melengkapi. Kebijakan yang parsial akan memunculkan hasil yang
sub-optimal bagi perekonomian.
Koordinasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter setidaknya
mencakup dua aspek yang saling melengkapi. Pertama berkaitan dengan
upaya mencari titik temu stance kebijakan yang optimal dalam mengelola
permintaan agregat dan inflasi. Stance yang longgar dan atau ketat dari
kebijakan fiskal dan kebijakan moneter perlu dipadupadankan agar dapat
efektif mempengaruhi sasaran akhir. Kedua berhubungan dengan upaya
menemukan konfigurasi yang tepat atas komponen/instrumen yang
digunakan dalam tiap kebijakan sehingga peran kedua kebijakan dapat
saling memperkuat dan tidak saling meniadakan pada saat berinteraksi.
Sebagai gambaran dari sisi fiskal, jumlah defisit anggaran dan struktur
sumber pembiayaannya akan mempengaruhi efektivitas kebijakan moneter
dalam mengendalikan likuiditas perekonomian dan inflasi. Belum lagi
v
pengaruh subsidi di bidang harga yang akan mempengaruhi efektivitas
kebijakan moneter dalam mengelola inflasi. Sementara dari kebijakan
moneter, arah suku bunga kebijakan moneter akan menentukan potensi
defisit anggaran melalui beban bunga yang perlu dibayar dan kemudian
berdampak pada menentukan stuktur pembiayaan agar kebijakan fiskal
tetap berkesinambungan.
Dua aspek koordinasi kebijakan fiskal dan moneter tersebut menjadi
tantangan tersendiri dalam pengelolaan makroekonomi baik di domestik
dan global. Namun kini, tantangan terasa semakin kompleks karena pasar
keuangan global yang semakin terintegrasi terlihat memiliki hubungan
timbal balik dengan kebijakan fiskal dan moneter. Pada satu sisi, prospek
kesinambungan fiskal serta konsistensi kebijakan moneter terus dimonitor
pelaku pasar keuangan dan dijadikan sebagai salah satu pertimbangan
dalam pengambilan keputusan yang kemudian mempengaruhi stabilitas
sistem moneter dan keuangan. Pada sisi lain sebagaimana pengalaman krisis
keuangan di AS dan Eropa dalam empat tahun terakhir, sistem keuangan
yang memburuk telah membebani kondisi fiskal dan moneter sejalan
dengan respon pemerintah dan bank sentral yang terpaksa menyerap risiko
di sistem keuangan agar kemerosotan perekonomian lebih dalam dapat
dihindari.
Buku “Koordinasi Fiskal dan Moneter di Indonesia” ini merupakan
kumpulan berbagai tulisan tentang koordinasi kebijakan fiskal dan moneter
di Indonesia. Buku ini tidak hanya memaparkan tantangan dalam proses
koordinasi kebijakan fiskal moneter di Indonesia dan berbagai implikasi
yang ditimbulkannya. Lebih dari itu, buku secara tidak langsung juga
mengangkat karakteristik interaksi dan rejim kebijakan fiskal moneter di
Indonesia. Pemahaman tentang karakteristik dan rejim kebijakan menurut
saya perlu terus kita perdalam karena akan menentukan efektivitas sekaligus
meminimalkan kemungkinan munculnya berbagai paradoks pada saat satu
kebijakan fiskal dan atau moneter ditempuh. Analisis koordinasi kebijakan
seperti pada konsep Unpleasant Monetarist Arithmetic ala Sargent dan
Wallace lebih dari tiga dekade lalu dan kemudian berlanjut kepada fenomena
vi
Fiscal Theory of Price Level sejak dekade 90an merupakan gambaran dari
kemungkinan munculnya paradoks kebijakan itu. Oleh karena itu, ISEI
mendukung penuh penerbitan buku yang menurut saya sangat bermanfaat
ini.
Selamat membaca.
Jakarta, Februari 2012
Dr. Darmin Nasution
vii
KATA PENGANTAR
“Koordinasi dan Interaksi Kebijakan Fiskal–Moneter: Tantangan
ke Depan” adalah merupakan kumpulan tulisan dari para penulis yang
memiliki berbagai latar belakang, baik otoritas terkait ataupun mantan
otoritas terkait, serta akademisi yang menggeluti dan memiliki keahlian di
bidang kebijakan fiskal dan moneter. Tulisan yang disajikan dalam buku
ini mencakup sejarah, perkembangan masa kini, studi empiris, masalah
dan tantangan yang dihadapi serta perkembangan kedepan koordinasi
kebijakan fiskal dan moneter di Indonesia.
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) khususnya Focus Group
Koordinasi Fiskal dan Moneter bersama dengan Bank Indonesia menerbitkan kumpulan tulisan ini untuk mengisi kekosongan bahan bacaan yang
mengulas koordinasi kebijakan Fiskal dan Moneter. Apalagi pada akhir
2011 seiring dengan dibentuknya Otoritas Jasa Keuangan akan mengubah pola pengelolaan sistem keuangan dan juga mempengaruhi koordinasi kebijakan fiskal dan moneter. Sementara itu masih banyak pihak di
Indonesia yang belum memahami dengan baik koordinasi kebijakan fiskal
dan moneter. Oleh karena itu diterbitkannya buku ini diharapkan akan
dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, akademisi, peneliti ekonomi serta
pengambil kebijakan yang ingin memahami dengan lebih baik koordinasi
kebijakan fiskal dan moneter serta perkembangannya di Indonesia.
Penerbitan buku ini dimungkinkan oleh kerjasama berbagai pihak,
khususnya ide dan serangkaian diskusi dari anggota focus group Koordinasi
Fiskal Moneter ISEI saudara Rahmat Waluyanto Ph.D., Tony B. Trihartanto
Ph.D., Andie Megantara Ph.D., Yoopi Abimanyu Ph.D., Abdul Mongid,
dan Dyah Virgoana Gandhi yang telah ikut dalam mempersiapkan
penerbitan buku ini serta menyelenggarakan Focus Group Discussion di
viii
Direktorat Jendral Pengelolaan Hutang Kementerian Keuangan dan di
Bank Indonesia. Untuk itu penyunting mengucapkan penghargaaan dan
terimakasih atas semua sumbangan pemikiran ataupun tenaga dan dana
dalam persiapan hingga penerbitan buku ini.
Penghargaan sebesar-besarnya penyunting berikan kepada para
penulis yang telah memberikan ijin diterbitkannya tulisannya pada buku
ini. Sumbangan tulisan tersebut telah membuat buku ini membahas secara
komprehensif berbagai aspek terkait dengan kebijakan fiskal dan moneter
dari berbagai jaman. Secara khusus penyunting juga mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada ketua ISEI Bapak Dr. Darmin
Nasution yang telah memberikan dukungan penuh pada penerbitan buku
ini.
Selain itu penghargaan juga diberikan kepada Laksmi Yustika Devi
yang telah memberikan bantuan kepada penyunting
dalam proses
menyiapkan buku ini sehingga dapat diterbitkannya buku ini. Terimakasih
juga penyunting sampaikan kepada Penerbit dan Percetakan Kanisius di
Jogjakarta yang telah membantu penerbitkan buku ini.
5 April 2012
Sri Adiningsih
ix
Tentang Para Penulis
Andie Megantara
Doktor, Nanzan University, Nagoya-Japan (2003). Saat ini menjabat
sebagai Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal
Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Aktif di Ikatan Sarjana
Ekonomi Indonesia Pusat sebagai Anggota Fokus Grup Koordinasi Fiskal
dan Moneter.
Angelina Ika Rahutami
Doktor, UniversitasGadjahMada (2007). Dosen di Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang. Saat ini menjadi
Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Katolik Soegijapranata.
Anggito Abimanyu
Ph.D, University of Pennsylvania, Philadelphia, USA (1993). Pengajar
di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada. Saat ini
menjabat sebagai Direktur Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis
(P2EB) Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada. Aktif di
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia sebagai Sekretaris Umum dan sebagai
Ketua Umum PB. Persatuan Bola Basket Indonesia. Pernah menjabat
sebagai Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Republik
Indonesia periode tahun 2005 – 2007.
x
Anwar Nasution
Ph.D., Tufts University, Massachussetts, USA (1982). Guru Besar Universitas
Indonesia. Pernah menjadi Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Pernah menjabat sebagai Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia dan
Kepala Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia.
Bambang PS. Brodjonegoro
Ph.D., University of Illinois at Urbana-Campaign, Illinois, USA (1997).
Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE-UI) periode tahun
2004 – 2009. Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan
Republik Indonesia.
Dwityapoetra S. Besar
Ph.D., Cass Business School, City University of London, UK (2010).
Financial Economist pada Biro Stabilitas Sistem Keuangan, Direktorat
Penelitian dan Pengaturan Perbankan di Bank Indonesia. Pernah ditugaskan
sebagai research fellow di wing Stabilitas Sistem Keuangan Bank of
England, UK,dan Asian Development Bank Institute, Tokyo, Jepang.
Pernah menjadi peneliti pada Centre of Banking Study, di Cass Business
School, City Univeristy London, UK.
Firman Mochtar
M.A., Indiana University, Bloomington, USA (2003). Saat ini menjadi
Asisten Deputi Gubernur untuk Kebijakan Moneter. Partisipan dalam
3rd Meeting with Noble Price Winners in Economic Sciences at Lake
Constance, Lindau-German pada Agustus 2008 dan Visiting Fellow dalam
Monetary and Economic Department di Bank for International Settlement,
Basel-Switzerland tahun 2004.
xi
Gumilang Aryo Sahadewo
M.A., Economics, Boston University, Boston, USA (2011). Staf Pengajar
dan Peneliti di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada.
Lulusan terbaik Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah
Mada (2009) dan penerima penghargaan dari fakultas yang sama sebagai
mahasiswa terbaik (2006).
Iskandar Simorangkir
Doktor, Universitas Indonesia. Kepala Biro Riset Ekonomi di Bank
Indonesia dan Wakil Ketua Dewan Editor Buletin Ekonomi Moneter
dan Perbankan. Saat ini mengajar pada Program Magister Management,
Universitas Pelita Harapan dan mengajar mata kuliah Kebanksentralan di
beberapa Universitas di Jakarta.
Juda Agung
Ph.D., Departement of Economics, University of Birmingham, Inggris
(1999). Peneliti Ekonomi Utama/Deputi Direktur di Direktorat Riset
Ekonomi dan Kebijakan Moneter di Bank Indonesia. Staf Pengajar pada
Program Pasca Sarjana Ilmu Ekonomi UI sampai sekarang. Sekarang
banyak terlibat aktifd alam task force Protokol Manajemen Krisis di tingkat
nasional; serta G20 – working group Strong, Sustainable and Balance
Growth dan working group capital flows. Pernah menjadi Advisor for
Executive Director IMF, dan Staf Gubernur Bank Indonesia.
Justina Adamanti
Ekonom Junior di Biro Riset Ekonomi Bank Indonesia.
xii
Laksmi Yustika Devi
M.Si., Ilmu Ekonomi, Universitas Gadjah Mada (2007). Peneliti ekonomi
di Pusat Studi Asia Pasifik Universitas Gadjah Mada. Terlibat di banyak
penelitian dalam bidang ekonomi makro dan ekonomi pembangunan,
baik yang didanai oleh lembaga luar negeri maupun dalam negeri.
Miranda S. Goeltom
Ph.D., Boston University. Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Deputi Asisten Menko Ekku Wasbang, Deputi Gubernur Bank Indonesia
(1999-2003), Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia (2004-2008).
Primitiva Febriarti
Sarjana Ekonomi, Universitas Gadjah Mada (2002). Financial system
analyst pada Biro Stabilitas Sistem Keuangan, Direktorat Penelitian dan
Pengaturan Perbankan di Bank Indonesia. Telah menulis beberapa artikel
mengenai perbankan dan stabilitas sistem keuangan, baik yang dimuat di
publikasi internal maupun di eksternal Bank Indonesia.
R. Maryatmo
Doktor, Universitas Gadjah Mada (2004). Dosen dan Peneliti di Fakultas
Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Saat ini menjadi Rektor
Universitas Atma Jaya Yogyakarta Periode 2011 – 2014.
Sri Adiningsih
Ph.D., University of Illinois at Urbana-Champaign, Illinois, USA (1996).
Pengajar di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada.
Peneliti ekonomi senior di Pusat Studi Asia Pasifik Universitas Gadjah Mada.
Aktif di Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia Pusat sebagai Koordinator Fokus
xiii
Grup Koordinasi Fiskal dan Moneter dan aktif di Ikatan Sarjana Ekonomi
Indonesia Cabang Yogyakarta sebagai anggota Dewan Pertimbangan.
Wimboh Santoso
Pernah menjabat sebagai Direktur Direktorat Pengaturan Perbankan Bank
Indonesia. Sekarang menjabat sebagai Kepala Perwakilan Bank Indonesia
di New York, Amerika Serikat.
Wijoyo Santoso
Doktor, Universitas Gadjah Mada (2011). Peneliti Utama Senior Pusat
Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank Indonesia. Pernah menjabat
sebagai Kepala Bagian Studi Ekonomi Makro, Kepala Bidang Ekonomi
Moneter Bank Indonesia Surabaya, Deputi Direktur Direktorat Statistik
Ekonomi-Moneter, Kepala Biro Riset Direktorat Riset-Kebijakan Moneter
(DKM), dan Deputi Pemimpin Bank Indonesia Denpasar.
xiv
DAFTAR ISI
SAMBUTAN ...............................................................................
v
KATA PENGANTAR ..................................................................
viii
TENTANG PARA PENULIS......................................................
x
PENDAHULUAN ......................................................................
1
DINAMIKA KOORDINASI KEBIJAKAN FISKAL-MONETER
DI INDONESIA
Sri Adiningsih dan Laksmi Yustika Devi.......................................
13
KOORDINASI KEBIJAKAN MONETER DAN FISKAL:
TANTANGAN DAN STRATEGI PEMELIHARAAN
STABILITAS MAKRO DAN PERTUMBUHAN EKONOMI
UNTUK MEWUJUDKAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Miranda Swaray Goeltom.............................................................
43
PERANAN KOORDINASI KEBIJAKAN MONETER
DAN FISKAL TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA
Iskandar Simorangkir ...................................................................
83
FISCAL AND MONETARY POLICY INTERACTION:
EVIDENCES AND IMPLICATION FOR INFLATION
TARGETING IN INDONESIA
Firman Mochtar ...........................................................................
111
xv
PERANAN ASA NALAR DALAM MENENTUKAN
EFEKTIVITAS KEBIJAKAN DEFISIT ANGGARAN
R. Maryatmo................................................................................
141
INTERAKSI KEBIJAKAN MONETER DAN FISKAL:
DOMINASI ATAU KAUSALITAS?
Angelina Ika Rahutami.................................................................
171
PERAN STIMULUS FISKAL DAN PELONGGARAN
MONETER PADA PEREKONOMIAN INDONESIA
SELAMA KRISIS FINANSIAL GLOBAL
Iskandar Simorangkir dan Justina Adamanti.................................
193
INTERAKSI KEBIJAKAN MONETER DAN FISKAL
DI INDONESIA
Wijoyo Santoso ............................................................................
225
PERKEMBANGAN SEKTOR KEUANGAN DI INDONESIA
Wimboh Santoso dan Dwityapoetra Soeyasa Besar.......................
263
PENTINGNYA PEMELIHARAAN STABILITAS SISTEM
KEUANGAN: RISIKO SISTEMIK DAN KEBIJAKAN
MAKROPRUDENSIAL
Wimboh Santoso, Dwityapoetra Soeyasa Besar, Primitiva Febriarti
301
MENGINTEGRASIKAN KEBIJAKAN MONETER DAN
MAKROPRUDENSIAL: MENUJU PARADIGMA BARU
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA PASCA KRISIS
GLOBAL
Juda Agung ..................................................................................
323
xvi
PERKEMBANGAN DAN DINAMIKA KEBIJAKAN FISKAL
DI INDONESIA
Bambang Brodjonegoro dan Andie Megantara .............................
365
WHAT ASEAN+3 COUNTRIES CAN DO TO
REBALANCE THE GLOBAL ECONOMY
Anwar Nasution ...........................................................................
391
KOORDINASI FISKAL MONETER DALAM JARING
PENGAMAN SISTEM KEUANGAN
Anggito Abimanyu dan Gumilang Aryo Sahadewo.......................
413
INDEKS ......................................................................................
443
xvii
xviii
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Koordinasi kebijakan ekonomi, khususnya fiskal dan moneter menjadi
isu penting akhir-akhir ini, karena krisis ekonomi ataupun keuangan semakin
sering terjadi, baik di negara maju ataupun sedang berkembang. Sehingga
koordinasi kebijakan ekonomi menjadi semakin penting agar kebijakan
ekonomi yang diambil dapat efektif mencapai sasaran yang ingin dicapai.
Selain itu semakin banyak bank sentral yang independen dari pemerintah,
seperti halnya di Indonesia, oleh karena itu menjaga koordinasi fiskal dan
moneter semakin tidak mudah dalam pengelolaan ekonomi suatu negara.
Gelombang globalisasi yang membuat ekonomi ataupun pasar keuangan terintegrasi pada skala global, membuat arus perdagangan barang
dan jasa, modal, investasi dan tenaga kerja semakin meningkat sehingga
ekonomi dunia juga berkembang semakin maju. Namun demikian
liberalisasi ekonomi telah membuat ekonomi dunia juga semakin komplek
dan volatilitas ekonomi ataupun keuangan juga semakin tinggi, sehingga
resiko yang dihadapi oleh agen ekonomi semakin meningkat, yang berarti
mengelola ekonomi juga semakin tidak mudah. Dengan demikian otoritas
ekonomi menghadapi masalah dan tantangan yang semakin berat untuk
menjaga stabilitas ekonomi makro ataupun sistem keuangan. Oleh karena
itu koordinasi fiskal dan moneter yang baik bukan lagi suatu pilihan,
tapi keharusan. Meski demikian krisis keuangan global 2008 yang lalu,
serta disambung dengan krisis ekonomi Eropa 2010 menunjukkan bahwa
untuk mengatasi krisis ekonomi ataupun ancaman krisis ekonomi kadang
diperlukan koordinasi kebijakan yang lebih luas baik dalam skala beragam
kebijakannya (macroprudential) ataupun wilayahnya (antar negara).
Koordinasi kebijakan ekonomi internasional kadang diperlukan untuk
1
mengatasi krisis keuangan ataupun ekonomi yang besar.
Apalagi pada saat ini, di era demokrasi, tuntutan masyarakat akan
kehidupan yang maju, adil dan sejahtera semakin tinggi. Dengan demikian
tujuan akhir dari kebijakan ekonomi suatu negara yang tentunya adalah
untuk mencapai kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyatnya mendapatkan
perhatian yang semakin besar, khususnya di Indonesia. Untuk mencapai
tujuan tersebut perlu koordinasi dari semua kebijakan baik ekonomi
ataupun non ekonomi agar kesejahteraan sosial dapat dicapai. Sementara
itu tujuan dari kebijakan ekonomi makro suatu negara adalah tercapainya
kondisi ekonomi yang “bebas inflasi” (noninflationary) dan tumbuh stabil
(stable growth). Dengan demikian diharapkan tingkat pengangguran dan
inflasi rendah dapat dicapai, serta ekonomi bisa tumbuh sesuai dengan
potensi yang dimilikinya. Untuk itu kebijakan ekonomimoneter dan
fiskal yang dilaksanakan oleh bank sentral dan Kementerian Keuangan
memegang peranan penting. Meski demikian tujuan dan implikasi dari
kedua kebijakan tersebut seringkali saling tidak sama bahkan bertentangan,
sehingga dapat mengakibatkan hasil dari masing-masing kebijakan menjadi
tidak optimal, bahkan bisa saling meniadakan. Oleh karena itu, koordinasi
antar kedua kebijakan tersebut sangat penting dalam pengelolaan ekonomi,
agar bauran kebijakan (policy mix) dapat memberikan dampak optimal
dalam perekonomian.
Koordinasi kebijakan fiskal dan moneter di Indonesia mengalami
evolusi yang menarik. Berkembang mengikuti kondisi ekonomi dan politik,
baik domestik maupun internasional. Pada masa Orde Lama, dimana
otoritas moneter masih merupakan bagian dari pemerintah, koordinasi
fiskal dan moneter tidak menjadi isu penting, karena semuanya ditangan
pemerintah hingga 1968, bahkan masih terus berlanjut dengan keberadaan
Dewan Moneter hingga tahun 1999 yang lalu. Keberadaan Dewan
Moneter yang dipimpin oleh Menteri Keuangan, menjadikan kebijakan
moneter dan fiskal dipimpin oleh orang yang sama. Sehingga tidak ada
masalah koordinasi fiskal dan moneter. Namun dalam perkembangannya,
dengan diluncurkannya Undang-undang Nomor 23 tahun 1999 tentang
2
Bank Indonesia, Bank Indonesia tidak lagi merupakan bagian dari
pemerintah, namun bank sentral yang independen dari pemerintah.
Hal tersebut membuat masalah koordinasi kebijakan fiskal dan moneter
muncul, menjadi isu penting dalam pengelolaan ekonomi. Bahkan dalam
perkembangannya akhir-akhir ini, sejak krisis keuangan global 2008,
dapat dilihat bahwa koordinasi kebijakan fiskal dan moneter yang baik
saja tidak cukup meskipun diperlukan, perlu koordinasi kebijakan yang
lebih luas, agar resiko sistemik yang dihadapi dalam suatu perekonomian
dapat dikelola dengan baik. Oleh karena itu pengelolaan macroprudential
diperlukan, bukan hanya antara fiskal dan moneter, namun juga dengan
lembaga keuangan keuangan ataupun pasar keuangan lainnya. Oleh
karena itu buku ini akan membahas berbagai perkembangan baik secara
teoritis, maupun empiris perkembangan koordinasi fiskal dan moneter di
Indonesia, demikian juga sejarah, masalah, tantangan dan masa depannya
di Indonesia.
Sejarah dan Perkembangan Koordinasi Kebijakan Moneter dan
Fiskal
Sejarah ataupun perkembangan koordinasi kebijakan dan moneter
dalam buku ini dapat dibaca dari tulisan Adiningsih dan Devi, serta
paper Goeltom. Dimana dari kedua paper tersebut dapat kita lihat bahwa
koordinasi fiskal dan moneter di Indonesia mengalami perjalanan yang
menarik, dan berkembang semakin kompleks. Dalam perjalanannya,
interaksi antara kebijakan moneter dan fiskal dipengaruhi oleh kondisi
politik dan kondisi ekonomi nasional dan juga global. Secara garis besar,
sejarah perjalanan interaksi kedua kebijakan tersebut dapat dibedakan
menjadi: 1) periode pemerintahan Orde Lama; 2) periode pemerintahan
Orde Baru; 3) periode setelah krisis moneter 1997; dan 4) periode setelah
krisis finansial global 2008.
Sejarah pada masa Orde Lama menunjukkan bahwa meskipun tidak
ada masalah dalam koordinasi fiskal dan moneter karena keberadaan
Dewan Moneter yang diketuai oleh Menteri Keuangan. Namun tidak
3
menjamin stabilitas ekonomi terjaga dengan baik dan ekonomi tumbuh
berkelanjutan. Bukti menunjukkan bahwa kebijakan fiskal dan moneter
yang tidak pruden, serta lemahnya pengawasan ataupun pertanggung
jawaban kepada publik baik secara langsung ataupun melalui Dewan
Perwakilan Rakyat telah membuat kebijakan fiskal defisit yang “boros”
dimana pengeluaran tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai,
dibarengi dengan kebijakan moneter yang sangat longgar karena untuk
membiaya defisit pemerintah telah membuat inflasi tidak terkendalikan
dan ekonomi mandeg.
Demikian juga pada masa Orde Baru hingga tahun 1997 menunjukkan
bahwa koordinasi fiskal dan moneter yang terjaga dengan baik dengan
adanya Dewan Moneter, sehingga stabilitas ekonomi makro cukup terjaga
dengan baik, dan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, rata-rata sekitar
7,5% per tahun selama hampir tiga dekade, ternyata jika tidak pruden
menyimpan potensi krisis ekonomi yang serius. Meskipun kebijakan
fiskal “berimbang” (karena utang dari luar negeri dimasukkan sebagai
penerimaan pembangunan), disertai dengan deregulasi sektor moneter
serta keuangangan lainnya yang luas tanpa pengawasan dan pengaturan
yang baik telah menyimpan potensi krisis ekonomi yang serius. Sehingga
terjadinya krisis ekonomi Asia yang bermula dari Thailand dengan cepat
masuk ke Indonesia. Bahkan akhirnya krisis ekonomi Indonesia adalah
yang terparah, terlama dan biayanya termahal di Asia. Sejarah pada masa
Orde Baru menunjukkan bahwa bagusnya koordinasi kebijakan fiskal dan
moneter tidaklah cukup, meskipun diperlukan. Agar supaya optimal dalam
mencapai tujuannya, kebijakan fiskal perlu pruden dan kebijakan moneter
harus bertanggung jawab, dibarengi dengan pengawasan dan pengaturan
perbankan yang baik, serta adanya pertanggung jawaban yang baik terhadap
pelaksaan kebijakan moneter dan fiskal.
Namun demikian krisis keuangan global 2008 menunjukkan bahwa
dengan pasar keuangan yang semakin maju, dan banyak produk-produk
keuangan canggih bermunculan dipasar serta semakin terintegrasi pasar
keuangan global menyebabkan resiko ekonomi yang dihadapi juga semakin
4
besar, volatilitas semakin tinggi dan pasar juga semakin dinamis. Dapat
dilihat bahwa pengalaman krisis ekonomi 1997 dan krisis keuangan global
2008, menunjukkan bahwa koordinasi kebijakan fiskal dan kebijakan
moneter berperan penting sebagai langkah antisipasi ataupun mengatasi
krisis. Selain itu krisis keuangan global 2008 menunjukkan bahwa
diperlukan koordinasi yang lebih luas, tidak hanya kebijakan moneter dan
fiskal tapi juga dengan otoritas keuangan lainnya agar dampak krisis dapat
diminimalkan, bahkan kerjasama internasional juga diperlukan.
Meskipun disadari bahwa koordinasi koordinasi kebijakan moneter
dan fiskal penting, namun ternyata masih menghadapi berbagai kendala
yang menjadikan interaksi kedua kebijakan ekonomi makro belum
optimal. Goeltom dalam papernya menuliskan berbagai kendala yang
muncul dalam koordinasi fiskal dan moneter, antara lain terkait dengan
hubungan struktural bentuk interaksi kebijakan moneter fiskal itu sendiri.
Demikian juga optimalisasi koordinasi kebijakan ekonomi juga menghadapi
kendala karena kondisi lingkungan ekonomi dan non ekonomi yang belum
menguntungkan, demikian juga aspek teknis dan operasional yang bisa
menjadi kendala. Salah satu contoh masalah struktural yang muncul adalah
masih digunakannya SBI sebagai instrumen OPT, yang bisa menempatkan
kedua kebijakan ekonomi makro tersebut dalam posisi dilematis. Bahkan
otonomi daerah juga mengakibatkan koordinasi kebijakan fiskal dan moneter
menjadi tidak optimal. Goeltom juga menuliskan pemikirannya mengenai
arah koordinasi kebijakan fiskal dan moneter. Diantaranya disampaikan
bahwa otoritas moneter maupun fiskal dalam melaksanakan kebijakannya
masing-masing dituntut agar lebih transparan, akuntabel, dan terukur,
agar dapat memberikan signal yang positif pada pelaku ekonomi. Selain
itu juga disampaikan bahwa koordinasi fiskal dan moneter harus berpola
pada urutan (sequence) ’tindakan kebijakan’ yang benar, satu otoritas harus
mengambil kebijakan terlebih dahulu jika menghadapi tantangan spesifik
dalam otoritasnya, kemudian otoritas lainnya meresponnya. Meskipun
demikian perlu dijaga agar apapun kebijakan yang dibuat masih dalam
kerangka peraturan yang ada. Demikian juga perkembangan ataupun
tantangan ekonomi global membuat koordinasi dengan pola ’leader5
follower’ ini harus disesuikan dengan dinamika shocks yang terjadi.
Pentingnya Koordinasi Fiskal dan Moneter Berbagai Studi Empiris
Dalam beberapa paper dalam buku ini mengulas dengan menarik
berbagai hasil studi empiris tentang pentingnya koordinasi fiskal
dan moneter di Indonesia. Simorangkir dalam papernya menuliskan
perdebatan hubungan kebijakan moneter dan fiskal terkait dengan dampak
defisit anggaran yang dapat mengganggu inflasi yang merupakan tujuan
akhir kebijakan moneter. Dimana bagi pembuat kebijakan fiskal ternyata
kebijakan moneter yang terlalu ketat dapat berdampak buruk terhadap
pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja yang merupakan tujuan
utama dari kebijakan fiskal. Oleh karena itu tidak terdapatnya koordinasi
diantara kedua kebijakan tersebut dapat berdampak negatip terhadap
stabilitas makro dan pertumbuhan ekonomi. Dalam papernya Simorangkir
membahas koordinasi kebijakan moneter dan fiskal di Indonesia dari
tahun 1969 hingga tahun 2002 dengan analisis empiris dan menggunakan
pendekatan game teori baik berupa cooperative dan non-cooperative
game. Dari hasil analisis empiris dan simulasi teori permainan yang telah
dilakukannya menunjukkan bahwa koordinasi kebijakan moneter dan fiskal
memberikan kerugian output (output loss) yang lebih kecil dibandingkan
jika kedua kebijakan tidak berkoordinasi. Jelas disini dapat disimpulkan
bahwa koordinasi kebijakan fiskal dan moneter penting dalam mengelola
ekonomi.
Sementara itu Mochtar dalam papernya yang berjudul “Fiscal and
Monetary Policy Interaction: Evidences and Implication for Inflation
Targeting in Indonesia” meneliti interaksi kebijakan fiskal dan moneter di
Indonesia sebelum dan sesudah krisis ekonomi 1997. Dalam penelitiannya,
Mochtar mengestimasi quasi fiscal activities of the central bank (QFA) dan
juga assessing fiscal versus monetary dominance aspect. Paper tersebut
menemukan bahwa krisis ekonomi 1997 generated QFA di Indonesia.
Hal tersebut membuktikan adanya QFA. Dalam paper tersebut juga
menunjukkan bahwa kebijakan fiskal memerankan peranan dominan
setelah 1997, meskipun dapat dikatakan dalam skala bentuk yang lemah.
6
Penemuan dalam studi ini menunjukkan implikasi kebijakan bahwa
kebijakan moneter di Indonesia memerlukan dukungan disiplin fiskal dan
komitmen untuk menjaga keberlanjutannya. Kegagalan untuk mengatasi
masalah kinerja fiskal secara optimal dapat menurunkan efektivitas kebijakan
moneter dalam mengontrol inflasi dalam inflation targeting framework.
Sementara itu Maryatmo dalam papernya menunjukkan bahwa
sedikit atau banyak kebijakan defisit anggaran mempengaruhi suku bunga,
kurs, dan tingkat harga (inflasi). Oleh karena itu dalam papernya dia
menyarankan pemerintah untuk mengevaluasi kembali kebijakan defisit
anggarannya, karena kebijakan defisit anggaran bukan tanpa biaya yang
bisa membawa dampak ekonomi. Maryatmo juga menemukan bahwa
ada hubungan timbal balik antara kebijakan defisit anggaran dan variabel
moneter. Kebijakan fiskal mempengaruhi instrumen kebijakan moneter,
demikian juga kebijakan moneter mempengaruhi instrumen kebijakan
fiskal. Dengan demikian hubungan timbal balik antara instrumen fiskal
dan moneter dapat bersifat saling menetralkan dampak ekonomi yang
dihasilkan. Dengan demikian independensi Bank Sentral menuntut
koordinasi antara otoritas fiskal dan moneter yang lebih baik. Sehingga
dapat tercapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang diinginkan yang
disertai dengan pengendalian stabilitas moneter. Selain itu Maryatmo juga
menunjukkan bahwa para pelakuekonomi dalam melakukan keputusan
ekonomi, selain mempertimbangkan yang aktual terjadi di lapangan, juga
menggunakan asa nalar. Oleh karena itu dengan asa nalar pelaku ekonomi
sangat reaktif terhadap ketidaksesuaian antara informasi awal yang
dijanjikan pemerintah dan peristiwa aktual yang mereka alami.
Demikian juga dalam papernya, Rahutami menemukan bahwa dengan
menggunakan data empiris di Indonesia, maka dapat dilihat bahwa interaksi
antara kebijakan moneter dan fiskal bersifat kausalitas. Dimana Rahutami
menemukan bahwa koordinasi fiskal dan moneter adalah penting karena
suku bunga dan uang primer merupakan dua variabel yang harus mendapat
perhatian lebih dari Bank Indonesia karena berinteraksi secara kuat dengan
anggaran pemerintah. Selain itu juga disarankan agar Bank Indonesia harus
7
menjaga independensinya, karena ternyata kebijakan moneter memiliki
pengaruh yang kuat terhadap anggaran pemerintah dan indikator makro
yang lain. Dengan demikian ada keterkaitan antara kebijakan fiskal dan
moneter, sehingga koordinasi diantara keduanya penting.
Sementara itu Simorangkir dan Adamanti dalam papernya mengkaji
dampak stimulus fiskal dan penurunan suku bunga terhadap perekonomian
Indonesia dengan menggunakan financial computable general equilibrium.
Hasil studinya menunjukkan bahwa dalam kondisi krisis keuangan/
ekonomi, kombinasi kebijakan ekspansi fiskal dan ekspansi moneter sangat
efektif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Hal ini bisa terjadi
karena munculnya sinergi diantara keduanya, sehingga ekspansi fiskal
yang berpotensi meningkatkan suku bunga dinetralisir dengan penurunan
suku bunga melalui ekspansi moneter. Kebijakan bauran tersebut lebih
efektif dibandingkan apabila hanya dilakukan kebijakan ekspansi fiskal
saja atau hanya dilakukan kebijakan ekspansi moneter saja. Hasil studi
mereka menunjukkan bahwa secara komponen PDB, kombinasi kebijakan
ekspansi fiskal dan moneter memiliki dampak multiplier yang besar,
mampu mendorong permintaan agregat. Sementara itu secara sektoral,
hasil studi mereka menunjukkan bahwa kombinasi kebijakan ekspansi
fiskal dan moneter ternyata meningkatnya produksi di semua sektor
ekonomi. Hal ini terjadi karena insentif fiskal (seperti penurunan pajak,
penurunan bea masuk impor, dan lainnya) mendorong dunia usaha
meningkatkan investasi. Demikian juga, kenaikan permintaan agregat juga
mendorong pengusaha untuk meningkatkan produksinya guna memenuhi
peningkatkan permintaan tersebut. Sekali lagi studi ini menunjukkan
bahwa koordinasi fiskal dan moneter penting dalam pengelolaan ekonomi,
apalagi dalam kondisi krisis ekonomi.
Demikian juga Wijoyo Santoso dalam papernya menunjukkan bahwa
pada saat menghadapi goncangan inflasi dan goncangan output, maka
koordinasi kebijakan moneter dan fiskal lebih bermanfaat (dibandingkan
tanpa koordinasi), khususnya untuk mengurangi kerugian sosial. Demikian
juga dari hasil simulasi yang dilakukannya menunjukkan adanya koordinasi
8
kebijakan moneter dan fiskal (kebijakan fiskal endogen) menghasilkan
kerugian yang lebih kecil dibandingkan tanpa koordinasi (kebijakan fiskal
eksogen). Bahkan Santoso menyarankan perlunya peningkatkan koordinasi
kebijakan moneter dan fiskal melalui penguatan kelembagaan seperti
adanya semacam Dewan Moneter.
Koordinasi Fiskal dan Moneter dan Perkembangannya Kedepan
Sebelum berbagai perkembangan koordinasi kebijakan fiskal dan
moneter terbaru ataupun kedepan disajikan dalam beberapa paper dalam
buku ini, penyunting ingin pembaca memahami perkembangan sektor
keuangan di Indonesia yang semakin kompleks dan dinamis dulu agar dapat
memahami perkembangan sektor keuangan dengan baik. Untuk itu tulisan
Wimboh Santosa dan Dwityapoetra Soeyasa Besar bisa menjadi bacaan yang
menarik. Mereka menunjukkan perkembangan sektor keuangan Indonesia
yang pesat seiring dengan meningkatnya aktivitas bisnis dan aliran modal
asing. Mereka menunjukkan bahwa ketahanan pelaku di pasar keuangan
khususnya perbankan cukup tinggi akhir-akhir ini, namun derasnya modal
asing yang masuk menyebabkan potensi kerapuhan pasar keuangan tinggi.
Oleh karena itu perlu inovasi dan pendalaman pasar keuangan agar supaya
stabilitas sektor keuangan dapat terjaga dengan baik. Demikian juga
berbagai rambu dan standar kehati-hatian yang membatasi pengambilan
risiko yang berlebihan oleh pelaku di sektor keuangan perlu ditingkatkan
Beberapa paper selanjutnya menganalisis tentang perkembangan
koordinasi kebijakan fiskal dan moneter pada masa kini dan kedepan, yang
perlu menyesuaikan diri seiring dengan perkembangan pasar keuangan
yang semakin kompleks. Wimboh Santoso, Dwityapoetra S. Besar dan
Primitiva Febriarti dalam papernya menunjukkan bahwa koordinasi
kebijakan fiskal dan moneter saja sudah tidak memadai untuk menjaga
stabilitas sistem keuangan guna mendukung berfungsinya sistem keuangan
secara normal. Dalam papernya mereka menyampaikan bahwa salah
satu pelajaran berharga dari krisis keuangan global lalu adalah perlunya
kerangka kebijakan yang memiliki jangkauan luas guna menjaga kestabilan
9
sistem keuangan, dengan kebijakan makroprudensial. Kebijakan tersebut
diperlukan guna meminimisasi risiko keuangan yang bersifat sistemik,
yang bisa membahayakan perekonomian. Untuk itu bank sentral sebagai
lembaga yang memiiliki piranti dan keahlian diharapkan untuk diberikan
mandat untuk menjaga stabilitas sistem keuangan.
Agung dalam papernya menuliskan bahwa krisis ekonomi global
2008 memberikan pelajaran bahwa kemampuan kebijakan moneter untuk
menjaga stabilitas ekonomi makro semakin terbatas, sumber instabilitas
ekonomi makro semakin banyak bersumber dari sektor keuangan. Agung
membuka wacana bagi paradigma baru kebijakan moneter di Indonesia
pasca krisis global, dengan mengintegrasikan kebijakan makroprudensial
dalam kebijakan inflation targeting.
Sementara itu dalam papernya, Brodjonegoro dan Megantara
menguraikan bahwa dinamika dan perkembangan ekonomi Indonesia
banyak dipengaruhi oleh kebijakan fiskal yang diterapkan, sesuai dengan
tiga fungsi utamanya yaitu sebagai alat stabilisasi ekonomi, alat distribusi
pendapatan, dan alat alokasi anggaran negara. Pemerintah dalam beberapa
tahun terakhir berupaya merumuskan kebijakan fiskal yang berorientasi
pada pro growth, pro poor, pro job, dan pro environment, dalam rangka
percepatan pengentasan kemiskinan sekaligus peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Demikian juga mereka menyampaikan bahwa kebijakan fiskal
yang baik dan sehat akan menciptakan sustainabilitas fiskal penting dalam
pelaksanaan pembangunan nasional.
Nasution dalam papernya yang berjudul “What ASEAN+3 Countries
Can Do to Rebalance the Global Economy”, menyampaikan tentang
peran yang dapat dilakukan oleh negara ASEAN+3 untuk membantu
mengatasi masalah ekonomi global yang tidak berimbang (pada akhirnya
juga membantu menjaga stabilitas ekonomi global) karena memiliki
cadangan devisa yang besar, ekonomi nya besar, dinamis dan tumbuh pesat,
juga secara regional memiliki berbagai mekanisme untuk menjaga stabilitas
kawasan seperati dengan adanya Chiang Mai Initiatives (CMI). Paper
Nasution menunjukkan bahwa perlunya koordinasi internasional ataupun
10
kerjasama internasional untuk menjaga stabilitas ekonomi makro.
Sementara itu Abimanyu dan Sahadewo dalam papernya menuliskan
bahwa sektor keuangan yang kuat merupakan fondasi pembangunan
ekonomi, namun demikian sensitif terhadap gejolak ekonomi baik yang
berasal dari internal maupun eksternal. Untuk itu mereka percaya bahwa
jaring pengaman sistem keuangan (JPSK) memiliki peran signifikan
untuk stabilitas di sektor keuangan, khususnya bisa dijadikan landasan
hukum dalam penanganan sektor keuangan di saat krisis. Sehingga juga
bisa membentuk asa positip bagi pelaku ekonomi, baik rumah tangga
dan perusahaan. Dalam papernya mereka menyampaikan bahwa kerangka
JPSK harus meliputi kerangka kerja dan kerangka hukum Komite Stabilisasi
Sektor Keuangan dan juga Komite Koordinasi. Mereka menganggap bahwa
kedua komite tersebut sangatlah penting agar koordinasi kebijakan di masa
krisis dan penanganan lembaga keuangan yang bermasalah dapat segera
dilakukan, tanpa harus melewati birokrasi yang panjang, misalnya karena
harus melapor pada legislatif. Selain itu mereka juga menyampaikan bahwa
koordinasi fiskal dan moneter juga penting dalam mengelola ekonomi
dalam kondisi normal. Dimana tingkat inflasi akan lebih optimal dicapai
jika berkoordinasi dengan Kementrian Keuangan terkait kebijakan fiskal
yang akan ditempuh.
11
12
DINAMIKA KOORDINASI KEBIJAKAN FISKALMONETER DI INDONESIA
Sri Adiningsih dan Laksmi Yustika Devi
Latar Belakang
Salah satu isu yang banyak menyita perhatian masyarakat dunia,
ataupun suatu bangsa pada saat ini adalah ekonomi. Hal tersebut didukung
oleh perkembangan teknologi informasi yang membuat kemajuan di
manapun juga di dunia ini bisa dengan mudah diketahui oleh masyarakat
luas, membuat tuntutan masyarakat akan kehidupan yang lebih baik, lebih
sejahtera ataupun maju semakin meningkat. Padahal meskipun globalisasi
telah membuat ekonomi dunia berkembang semakin pesat, namun juga
menghadapi volatilitas yang semakin tinggi. Krisis ekonomi ataupun
keuangan semakin sering datang dan pergi dalam dua dekade terakhir ini.
Sehingga mengelola ekonomi suatu negara semakin tidak mudah, semakin
kompleks, dan tantangan serta ancamannya juga semakin besar. Sehingga
koordinasi kebijakan ekonomi pun menjadi semakin penting, namun
semakin tidak mudah dilakukan. Selain itu perkembangan krisis global
2008 yang berasal dari subprime mortgage di Amerika Serikat ataupun
krisis ekonomi Eropa 2010 menunjukkan bahwa untuk mengatasi krisis
keuangan/ekonomi ataupun ancaman krisis ekonomi kadang diperlukan
koordinasi kebijakan yang lebih luas. Koordinasi kebijakan ekonomi secara
internasional bahkan diperlukan untuk mengatasi krisis ekonomi yang
besar, seperti krisis keuangan 2008 yang lalu. Dari berbagai kebijakan
ekonomi, kebijakan ekonomi makro memegang peranan yang penting
dalam menjaga stabilitas ekonomi makro ataupun pengelolaan ekonomi
suatu negara.
13
Tujuan dari kebijakan ekonomi makro suatu negara adalah tercapainya
kondisi ekonomi yang “bebas inflasi” (noninflationary) dan tumbuh stabil
(stable growth). Dalam kondisi ini, fluktuasi pada tingkat pengangguran,
produksi, dan harga dapat diminimalkan dan pertumbuhan potensial
pada output rill dapat tercapai. Kebijakan makroekonomi terdiri atas dua
instrumen utama, yaitu kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Kebijakan
moneter dilaksanakan oleh bank sentral dan kebijakan fiskal dilaksanakan
oleh Kementerian Keuangan. Tujuan dan implikasi dari kedua kebijakan
tersebut seringkali saling bertentangan. Perbedaan tujuan tersebut dapat
mengakibatkan hasil dari masing-masing kebijakan menjadi tidak optimal
atau bahkan saling meniadakan (set-off) (Goeltom, 2007). Oleh karena
itu, amatlah penting untuk memiliki suatu mekanisme koordinasi antar
kedua otoritas kebijakan atau strategi bauran kebijkan (policy mix) agar
perekonomian dapat berjalan dengan baik.
Blinder (1982) dalam Goeltom (2007) menyatakan bahwa koordinasi
kebijakan moneter dan fiskal menjadi makin penting ketika terdapat
ketidakpastian yang tinggi dari pengaruh masing-masing kebijakan. Kondisi
ini dialami oleh banyak negara maju dan emerging countries pada awal tahun
2000-an, saat perekonomian dunia menunjukkan kelesuan yang berlanjut.
Ketika itu, kebijakan yang diambil masih memberikan ketidakpastian yang
cukup tinggi sementara tingkat suku bunga sudah ditekan hingga amat
rendah. Kebijakan yang dilakukan secara parsial dan bertahap cenderung
akan makin meningkatkan ketidakpastian sehingga penurunan kinerja
perekonomian terus berlangsung. Oleh karena itu, Mohanty dan Scatigna
(2004) dalam Goeltom (2007) menyatakan bahwa banyak ahli ekonomi
yang menyarankan strategi yang sebaiknya ditempuh dalam situasi tersebut
adalah koordinasi kebijakan fiskal dan moneter serta penggunaan berbagai
instrumen kebijakan secara lebih agresif untuk mendukung efektivitas
kebijakan yang diambil.
Pada akhirnya, kebijakan moneter ataupun kebijakan fiskal tidak
dapat berjalan sendiri. Dalam prakteknya, yang sering dijumpai adalah
kebijakan fiskal yang juga mempunyai konsekuensi-konsekuensi moneter
atau kebijakan moneter dengan konsekuensi-konsekuensi fiskal (Boediono,
14
2001). Hal ini digarisbawahi pula oleh Krugman dalam Corsetti dan
Mueller (2008) yang menyatakan bahwa kebijakan fiskal akan lebih efisien
bila dibarengi dengan kebijakan moneter yang akomodatif. Dengan kata
lain, agar stimulus fiskal dapat berjalan dengan baik, kebijakan moneter
harus diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, yang konsisten
dengan mandat menjaga kestabilan harga.
Koordinasi kebijakan fiskal dan moneter di Indonesia sejak merdeka
hingga kini mengalami dinamika yang luar biasa. Indonesia mengalami
masa-masa dimana koordinasi kebijakan fiskal dan moneter tidak
diperlukan karena memang telah menyatu, namun dalam perkembangannya
koordinasi kebijakan tersebut menjadi semakin penting karena mulai 1999
bank sentral di Indonesia independen dari pemerintah, bukan merupakan
bagian dari pemerintah lagi. Bahkan dalam perkembangannya akhir-akhir,
dimana sistem keuangan menjadi semakin kompleks, sehingga koordinasi
kebijakan fiskal dan moneter saja tidak cukup untuk menjaga stabilitas
ekonomi makro, perlu adanya koordinasi kebijakan ekonomi yang lebih
luas.
Pasang Surut Koordinasi Kebijakan Moneter dan Fiskal di Indonesia
Dalam perjalanannya, interaksi antara kebijakan moneter dan fiskal
di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi politik dan ekonomi nasional
dan juga global. Secara garis besar, sejarah perjalanan interaksi kedua
kebijakan tersebut dapat dibedakan menjadi: 1) periode pemerintahan
Orde Lama; 2) periode pemerintahan Orde Baru; 3) periode setelah Krisis
Moneter 1997; dan 4) periode setelah Krisis Finansial Global 2008.
1. Periode Pemerintahan Orde Lama
Pada tahun 1828, Pemerintah Hindia Belanda mendirikan De
Javasche Bank (DJB) sebagai bank sirkulasi yang bertugas mencetak dan
mengedarkan uang. DJB kemudian diputuskan sebagai bank sentral pada
15
penyerahan kedaulatan Indonesia pada pemerintah Republik Indonesia
Serikat. Beberapa waktu setelah pembentukan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), dilakukan nasionalisasi terhadap DJB melalui UndangUndang Nasionalisasi DJB pada tanggal 6 Desember 1951. Kemudian, di
tahun 1953, Pemerintah Indonesia mengeluarkan UU No. 11 Tahun 1953
tentang Pokok Bank Indonesia. Dua hal penting dari diberlakukannya
undang-undang tersebut adalah (Bank Indonesia, 2007a):
1.
Pendirian sebuah bank dengan nama “Bank Indonesia” sebagai pengganti DJB dan berfungsi sebagai bank sentral. Tugas Bank Indonesia
seperti yang tertulis dalam undang-undang tersebut di antaranya
adalah mengatur nilai satuan uang Indonesia dan menjaga agar nilai
itu seimbang (stabil) serta menyelenggarakan peredaran uang di Indonesia
2.
Bank Indonesia dipimpin oleh Dewan Moneter, Direksi, dan Dewan
Penasihat
Hambatan terbesar dari diberlakukannya undang-undang tersebut
adalah dibentuknya Dewan Moneter yang menjadi salah satu pimpinan
Bank Indonesia (BI). Sjafruddin Prawiranegara selaku Presiden DJB
terakhir dan juga Gubernur BI pertama berpendapat bahwa keikutsertaan
Dewan Moneter sebagai salah satu pimpinan BI menjadikan BI tidak
independen dari pemerintah. Hak BI untuk mencetak dan mengedarkan
uang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai sumber keuangan.
Sjafruddin mengemukakan bahwa hal yang lebih tepat dilakukan adalah
membentuk Dewan Koordinasi yang beranggotakan wakil pemerintah dan
wakil direksi bank dan berada di luar struktur kepemimpinan bank sentral.
Dengan demikian, bank sentral tidak dapat diintervensi terlalu jauh oleh
pemerintah dan sebaliknya bank sentral juga tidak terlalu independen
dari pemerintah. Namun, format tersebut tidak pernah terwujud. Secara
formal, keberadaan Dewan Moneter tetap dipertahankan hingga tahun
1968 (Bank Indonesia, 2007a).
Dewan Moneter beranggotakan Menteri Keuangan, Menteri Perekonomian, dan Gubernur BI. Ketua Dewan Moneter adalah Menteri
16
Keuangan yang dapat digantikan oleh Gubernur BI bila ia berhalangan.
Dewan Moneter bersidang sekurang-kurangnya 14 hari sekali atau lebih bila
anggota yang memiliki hak suara menginginkannya. Tugas Dewan Moneter
adalah menetapkan kebijakan moneter umum yang akan dilaksanakan
oleh BI serta memberi petunjuk kepada direksi tentang kebijakan BI dalam
urusan lainnya, seperti misalnya dalam menetapkan tarif bunga bank. Dalam
melaksanakan tugasnya, Dewan Moneter dibantu oleh Dewan Penasehat.
Dewan Penasehat memiliki tugas untuk memberikan nasehat-nasehatnya
bagi Dewan Moneter baik diminta ataupun tidak dan membahas segala
permasalahan Dewan Moneter dengan maksud agar dewan ini dapat
menetapkan kebijakan secara optimal berdasarkan perkembangan yang
ada di masyarakat. Sementara tugas direksi dalam BI adalah (UU No. 11
Tahun 1953)1:
1.
menyelenggarakan kebijakan moneter umum yang telah ditetapkan
oleh Dewan Moneter;
2.
menyelenggarakan pemberian kredit oleh BI, terutama untuk pemberian dan perpanjangan kredit dengan syarat-syarat yang berhubungan dengan kredit-kredit tersebut, juga untuk menghentikan
kredit yang sedang berjalan, dan menolak pemberian kredit; dan
3.
menyelenggarakan segala pekerjaan BI yang lain, dengan memperhatikan petunjuk Dewan Moneter.
Dengan demikian, peran BI dalam pelaksanaan kebijakan moneter
tidak dapat dilepaskan dari intervensi pemerintah melalui Dewan Moneter
(Bank Indonesia, 2007a).
UU No. 11 Tahun 1953 juga menyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab terhadap kebijakan moneter. Pemerintah yang dimaksud
dalam undang-undang ini adalah Presiden Republik Indonesia dengan
persetujuan Dewan Menteri. Contoh realisasi dari tanggung jawab ini
adalah saat pemerintah mengumumkan persetujuan keputusan rapat Dewan
Moneter pada tanggal 18 Juni 1957, yaitu mengadakan perimbangan
1
Keseluruhan isi UU No. 11 Tahun 1953 tentang Pokok Bank Indonesia diakses dari http://
hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_11_1953.htm pada 5 Desember 2011.
17
ekspor dan impor, memperbaiki persediaan devisa dengan meningkatkan
ekspor, serta menyederhanakan peraturan devisa guna mengatasi kesulitankesulitan di bidang moneter, keuangan, dan perekonomian (Bank Indonesia,
2007a).
Prawiro (1998) mencatat bahwa pelaksanaan kebijakan moneter
pada periode Orde Lama cenderung dipengaruhi oleh kondisi politik.
Pemerintah Orde Lama menerapkan kebijakan fiskal yang ekspansif yang
berujung pada defisit anggaran pemerintah. Kebijakan fiskal yang ekspansif
tersebut dipicu oleh:
1.
Pengeluaran Militer
Aksi pembebasan Irian Barat pada tahun 1961 dan konfrontasi
terhadap Malaysia di tahun 1963, serta aksi-aksi militer domestik untuk
menumpas beberapa kerusuhan dan pemberontakan menyebabkan
pengeluaran pemerintah untuk militer meningkat pesat dan menguras
sumber daya negara yang terbatas.
2.
Impor Beras
Kekurangan pasokan beras dialami masyarakat pada tahun 19571965. Akibatnya, Indonesia menjadi salah satu pengimpor beras
terbesar di dunia yang menyebabkan cadangan devisa negara terkuras.
Impor beras terus dilakukan karena penghentian impor menyebabkan
masyarakat panik sehingga memperparah inflasi yang sudah tinggi.
3.
Subsidi
Sebagai pelindung nilai terhadap inflasi, pemerintah menyediakan
subsidi besar terhadap banyak barang konsumsi, khususnya produkproduk minyak dan beras. Pada tahun 1965, lebih dari seperlima
penghasilan pemerintah dialokasikan untuk mensubsidi produkproduk minyak.
4.
Proyek Mercu Suar
Pembangunan monumen publik, yaitu Monumen Nasional, dan
proyek-proyek besar lainnya, seperti gedung-gedung dan stadion olah
raga yang megah.
18
5.
Dana Bebas (Discretionary Funds)
Departemen dan proyek-proyek dapat memperoleh dana yang
besarnya tergantung kebijaksanaan presiden.
Defisit anggaran tersebut kemudian dibiayai dengan pinjaman dari
BI. Uang yang beredar meningkat tajam jauh melebihi kebutuhan riil
perekonomian sehingga mendorong melambungnya harga. Akibatnya,
inflasi menjadi tidak terkendali hingga mencapai 635% pada tahun 1966.
Keadaaan ini dikenal dengan periode hiperinflasi. Ekonomi Indonesia
dapat dikatakan mandeg, tidak tumbuh (PPSK BI, 2003).
Kondisi buruk perekonomian sejak awal kemerdekaan hingga pertengahan tahun 1960an tersebut memberikan pelajaran penting mengenai
pentingnya prinsip kehati-hatian (pruden) dalam pelaksanaan kebijakan
moneter dan fiskal. Pertama, kebijakan fiskal harus mampu mengendalikan
defisit anggaran dengan cara menyeleksi pengeluaran anggaran dan memberi
prioritas pada jenis-jenis pengeluaran yang mampu mendorong kegiatan
ekonomi riil. Pengeluaran-pengeluaran yang cenderung kurang strategis
dan berlebihan harus dihindarkan. Kedua, kebijakan moneter tidak boleh
dipergunakan untuk membiayai defisit anggaran. Pengendalian inflasi
harus tetap menjadi fokus kebijakan moneter. Membiayai defisit anggaran
dengan mencetak uang akan mengancam kestabilan harga dan kestabilan
moneter secara keseluruhan. Ketiga, perlu adanya koordinasi yang baik
antara kebijakan moneter dan kebijakan fiskal dalam menjaga stabilitas
ekonomi (PPSK BI, 2003).
Pengalaman masa Orde Lama menunjukkan bahwa meskipun tidak ada masalah dalam koordinasi kebijakan fiskal dan moneter karena
pengambilan kebijakan berada dalam kewenangan Menteri Keuangan yang
juga sebagai ketua Dewan Moneter. Namun kebijakan yang tidak pruden
dan tidak bertanggung jawab serta lemahnya pengawasan telah membuat
kebijakan fiskal defisit (“boros”) dimana pengeluaran tidak diimbangi
dengan pendapatan yang memadai, dibarengi dengan kebijakan moneter
yang tidak bertanggung jawab telah membuat inflasi tidak terkendalikan
dan ekonomi mandeg.
19
2. Masa Pemerintahan Orde Baru
Pada tanggal 3 Oktober 1966, untuk mengatasi kondisi hiperinflasi,
pemerintah secara resmi meluncurkan program stabilisasi. Intisari dari
program tersebut terkait dengan kebijakan fiskal dan kebijakan moneter
yang diambil adalah (Prawiro, 1998):
1.
Kebijakan Fiskal
Pemerintah menerapkan anggaran berimbang dengan cara
menghentikan proyek-proyek yang tidak produktif dan fokus pada
kegiatan-kegiatan yang menghasilkan pendapatan. Pemerintah juga
melakukan reorganisasi dalam sistem perpajakan yang kuno dan tidak
efisien.
2.
Kebijakan Moneter
Pemerintah menerapakan kebijakan moneter yang agak paradoks,
yaitu kebijakan uang ketat (termasuk kredit ketat) yang dibarengi
dengan kebijakan kredit longgar pada jenis investasi yang diseleksi,
seperti rehabilitasi dari fasilitas-fasilitas yang telah tersedia atau
proyek-proyek yang memiliki potensi paling besar untuk memperluas
kapasitas produksi negara.
Disiplin dalam pelaksanaan kebijakan fiskal mensyaratkan pemerintah
untuk mengendalikan pengeluarannya secara menyeluruh. Pada bulan
Desember 1966, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan anggaran
pertama pemerintah Orde Baru. Dokumen-dokumen anggaran menyatakan
anggaran tahun 1967 sebagai “Anggaran Berimbang” yang berarti bahwa
pengeluaran pemerintah dibatasi oleh pendapatan pemerintah sehingga
defisit ditiadakan sebanyak mungkin. Sebuah Keputusan Presiden yang
ditandatangani pada tanggal 31 Desember 1966 mewajibkan pemerintah
untuk memberi laporan kuartalan tentang anggaran yang telah diwujudkan
yang juga mencatat setiap utang dan piutang. Laporan ini berkembang
menjadi sebuah laporan pertanggungjawaban yang dibuat setiap setengah
tahun untuk kemudian diperiksa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
(Prawiro, 1998).
20
Sementara untuk kebijakan moneter, pemerintah yang baru mulai
memberikan fleksibilitas di sektor perbankan dengan memberlakukan UU
No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral. Berdasarkan undang-undang
ini, tugas BI adalah membantu pemerintah dalam dua hal, yaitu2:
1.
mengatur, menjaga, dan memelihara stabilitas nilai rupiah; dan
2.
mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta memperluas
kesempatan kerja guna meningkatkan taraf hidup rakyat.
Keberadaan Dewan Moneter di BI masih tetap dipertahankan. Namun, Dewan Moneter tidak lagi bertindak sebagai salah satu pimpinan BI.
Tugas Dewan Moneter berdasarkan undang-undang tersebut adalah3:
1.
membantu pemerintah dalam merencanakan dan menetapkan
kebijaksanaan moneter dengan mengajukan patokan-patokan dalam
rangka usaha menjaga kestabilan moneter, pemenuhan kesempatan
kerja dan peningkatan mutu taraf hidup rakyat;
2.
memimpin dan mengkoordinir pelaksanaan kebijaksanaan moneter
yang telah ditetapkan pemerintah.
Kebijakan moneter dirumuskan oleh Dewan Moneter dan BI melaksanakan kebijakan moneter tersebut sesuai dengan keputusan Dewan
Moneter.
Keberadaan Dewan Moneter dalam BI mempunyai nilai positif karena
dengan demikian kebijakan moneter dapat terintegrasi dan terkoordinir
dengan kebijakan fiskal dan kebijakan makro lainnya. Namun, di sisi lain,
hal ini mengaburkan fokus tugas, disiplin, dan tanggung jawab masingmasing instansi dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter.
Lebih jauh, keberadaan pemerintah dalam BI masih memungkinkan
dimanfaatkannya kebijakan moneter untuk pembiayaan fiskal sehingga
prinsip kehati-hatian dan disiplin kebijakan ekonomi makro kurang dapat
terjamin (PPSK BI, 2003).
2
3
Keseluruhan isi UU No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral diakses dari http://www.sjdih.
depkeu.go.id/fullText/1968/13Tahun~1968UU.htm pada 5 Desember 2011
Ibid
21
Pada tahun 1968 juga pemerintah berusaha mendorong produksi
dengan menggalakkan investasi dalam negeri dan luar negeri. Undangundang penanaman modal dalam negeri dan asing disusun dalam bentuk
UU PMA dan UU PMDN. Di tahun yang sama, pemerintah mulai
mendirikan pasar modal yang ditujukan untuk meningkatkan peranan
sektor keuangan dalam mendukung pembangunan ekonomi. Namun
demikian, lembaga-lembaga keuangan tersebut masih belum berfungsi
seperti yang diharapkan, sehingga dapat disimpulkan bahwa sistem
keuangan pada saat itu masih amat sederhana. Konsekuensinya, kebijakan
keuangan yang diterapkan juga sangat terbatas (Nopirin, 1996).
Dalam perkembangannya, investasi baik dari dalam maupun luar
negeri meningkat sehingga produksi barang bertambah. Jumlah uang
dapat dikendalikan melalui pelaksanaan anggaran berimbang dan produksi
barang meningkat sehingga tingkat inflasi dapat terkendali. Inflasi menurun
dari 635% di tahun 1966 menjadi 10% tahun 1969 dan bahkan hanya
2,5% di tahun 1971. Program stabilisasi yang dilakukan pemerintah dapat
dikatakan berhasil memperbaiki kondisi perekonomian (Nopirin, 1996).
Di pertengahan tahun 1970, harga minyak di pasaran dunia meningkat
hingga hampir empat kali lipat. Hal ini memberikan dampak positif dan
negatif bagi perekonomian Indonesia. Positif karena hasil dari minyak
meningkatkan penerimaan pemerintah sehingga dapat dipergunakan
untuk membiayai pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan dari
sisi fiskal. Negatif karena peningkatan penerimaan devisa hasil minyak
dan pengeluaran pemerintah telah menyebabkan peningkatan jumlah
uang beredar dari sisi fiskal. Kondisi ini mengharuskan kebijakan moneter
untuk melakukan penyerapan ekspansi moneter dari sisi fiskal tersebut agar
tidak menimbulkan kelebihan likuiditas dalam perekonomian yang dapat
meningkatkan inflasi (PPSK BI, 2003).
Pada tahun 1974, dari sisi moneter, pemerintah mulai melaksanakan
kebijakan kredit selektif. Hal ini dilakukan agar jumlah uang beredar tetap
terkendali sehingga inflasi dapat tetap terjaga. Setiap tahun BI menyusun
rencana ekspansi kredit secara nasional dengan menghitung jumlah
22
uang beredar yang sesuai dengan perkiraan laju inflasi dan pertumbuhan
output. Pagu kredit setahun ke depan bagi masing-masing bank ditetapkan
berdasarkan rencana kredit yang disampaikan oleh tiap bank kepada BI
sebelumnya. Pagu individual bank tersebut pada akhirnya akan menjadi
dasar untuk penyaluran kredit likuiditas yang disediakan BI sesuai dengan
sektor/program yang sudah ditetapkan (PPSK BI, 2003).
Di tahun 1981-1982, kondisi ekonomi dunia mengalami penurunan.
Hal ini disebabkan adanya ketidakseimbangan perdagangan antar negara
maju. Amerika mengalami dobel defisit, yaitu defisit anggaran belanja
dan defisit neraca pembayaran, yang berujung pada langkah proteksi.
Kondisi resesi dan aksi proteksi tersebut merupakan hambatan bagi ekspor
Indonesia. Akibatnya, dana pemerintah untuk pembangunan ekonomi
menjadi terbatas. Pemerintah kemudian melakukan serangkaian kebijakan
penyesuaian untuk menghadapi situasi tersebut, seperti devaluasi, penjadwalan proyek, dan kebijakan yang terpenting adalah kebijakan deregulasi
perbankan (Nopirin, 1996).
Kebijakan deregulasi perbankan diberlakukan pada 1 Juni 1983. Inti
dari kebijakan yang lebih dikenal dengan sebutan PAKJUN 1983 ini adalah
(Bank Indonesia, 2007b):
1.
Bank pemerintah diberi kebebasan untuk menetapkan suku bunga
deposito, sebelumnya suku bunga deposito ini masih diatur oleh BI;
2.
Ketentuan pagu kredit, yang sebelumnya digunakan sebagai salah satu
instrumen intervensi langsung, dihapuskan. Sebagai gantinya, bank
sentral menggunakan instrumen tidak langsung yaitu penentuan
cadangan wajib, operasi pasar terbuka (OPT), fasilitas diskonto, dan
moral suasion. Sejak kebijakan ini diberlakukan, BI mengendalikan
moneter dengan menggunakan instrumen tidak langsung. Mekanisme
dan instrumen pengendalian moneter berubah. Pemerintah tidak
lagi melakukan intervensi langsung dalam mengendalikan kebijakan
moneter. Operasi pasar terbuka (open market operation) dilakukan
dengan menerbitkan instrumen moneter berupa Sertifikat Bank
Indonesia (SBI) dan menyediakan fasilitas diskonto sejak bulan
23
Februari 1984. SBI merupakan instrumen moneter tidak langsung
yang digunakan untuk menyedot kelebihan uang beredar di
masyarakat jika kondisi moneter terlalu ekspansif. Perbankan dapat
memanfaatkan kelebihan likuiditas yang dimiliki dengan membeli
SBI jika dana tersebut tidak dipinjamkan ke masyarakat. Pengendalian
likuiditas juga dibantu dengan intervensi di pasar uang rupiah dengan
cara memberi pinjaman jangka pendek antara overnight hingga tujuh
hari. Sebaliknya, untuk menambah uang beredar, sejak tanggal 1
Februari 1985, BI menerbitkan pula instrumen OPT baru berupa
Surat Berharga Pasar Uang (SBPU).
Setelah kebijakan deregulasi tersebut diberlakukan, sektor perbankan
dan keuangan di Indonesia berkembang pesat. Bukan hanya terlihat
dari jumlah bank yang beroperasi, besarnya dana masyarakat yang dapat
dimobilisasi baik dalam bentuk giro, tabungan, dan deposito, tetapi juga
dalam bentuk kredit dan jenis pembiayaan lainnya yang disediakan oleh
perbankan untuk dunia usaha. Pasar keuangan juga berkembang pesat baik
dari sisi volume transaksi keuangan maupun bertambahnya variasi produk
keuangan (saham, obligasi, surat-surat berharga, dan produk-produk
derivatif ) yang diperdagangkan. Akibatnya, semakin banyak dana yang
berputar di sektor keuangan dan hubungan antara uang, inflasi, dan ouput
semakin erat dibandingkan dengan periode sebelumnya (PPSK BI, 2003).
Pemerintah pun kemudian menyadari bahwa tidak bisa mengandalkan
penerimaan dari minyak saja. Untuk itu, pemerintah berusaha meningkatkan
pendapatan dari pajak dengan memberlakukan UU No. 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan. Ada empat tujuan pokok dari UU pajak yang
baru, yaitu (Prawiro, 1998):
1.
penyederhanaan, pembayar pajak umumnya harus dapat menentukan
dengan jelas dan pasti apa yang merupakan kewajiban pajaknya tanpa
mempergunakan seorang ahli pajak atau tanpa perlu menghubungi
petugas-petugas dari bagian perpajakan;
2.
pemerataan, sistem perpajakan harus mambawa pemerataan bagi
semua penduduk;
24
3.
harus dapat ditegakkan (enforceable), sistem perpajakan ini harus
dirancang sedemikian rupa sehingga pajak dengan mudah dapat
dikumpulkan; dan
4.
meningkatkan pendapatan, sistem baru ini harus dapat meningkatkan
pendapatan pemerintah.
UU ini mulai diberlakukan pada tahun 1984. Sebelum UU diberlakukan, sekitar 30% dari pajak yang diterima berasal dari sumbersumber non migas. Dua tahun kemudian, pada tahun 1986-1987 ketika
Indonesia menghadapi krisis harga minyak yang jatuh, sistem perpajakan
baru sudah mulai berjalan dengan lancar. Hal ini ditunjukkan oleh
peningkatan persentase porsi pajak dari sumber-sumber non migas menjadi
61%. Sistem pajak yang baru berhasil meningkatkan jumlah wajib pajak
perusahaan dan perorangan. Pendapatan non migas pemerintah meningkat
pesat. Sebagai gambaran, pendapatan pemerintah dari pajak (tax revenue)
Indonesia dibandingkan dengan PDB di tahun 1990 adalah 17,8%; sama
dengan persentase yang dicapai Malaysia, sementara tax revenue Singapura
dan Thailand masing-masing adalah 14,6% dan 16,6% (Asian Development
Bank, 2011).
Kebijakan penting lainnya yang dilakukan oleh pemerintah di tahun
1983 adalah menempatkan rupiah dalam sistem “crawling peg”, yaitu
sistem nilai tukar mengambang dengan rentang fluktuasi yang diredam
untuk memelihara nilai tukar yang stabil. Saat harga minyak kembali jatuh
di tahun 1986, pemerintah mendevaluasi rupiah dengan penurunan nilai
sebesar 31%. Cara ini mampu mengendalikan inflasi. Rata-rata inflasi
di bawah 7% sepanjang tahun 1986-1989 setelah devaluasi sebesar 31%
merupakan pencapaian yang luar biasa. Faktor utama yang berperan
dalam rendahnya inflasi adalah pengendalian ketat terhadap pasokan uang,
pengendalian fiskal, dan koordinasi yang baik antara BI dan bank-bank
negara lainnya. Devaluasi di tahun 1986 merupakan devaluasi Indonesia
yang terakhir karena sejak itu rupiah diatur dengan sistem “managed float”,
yaitu sistem nilai tukar mengambang tapi terkendali terhadap mata uang
asing (Prawiro, 1998).
25
Di tahun 1988, pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan 27
Oktober 1988 yang pada intinya merupakan paket penyempurnaan
kebijakan-kebijakan sebelumnya di bidang keuangan, moneter, dan
perbankan. Langkah-langkah yang ditempuh, di antaranya, adalah penurunan cadangan minimum dari 15% menjadi 2% dan pemberian kelonggaran
ijin pendirian bank-bank baru dan bank campuran. Akibatnya, sektor
perbankan dan keuangan di Indonesia berkembang sangat pesat (PPSK
BI, 2003). Paket Kebijakan 27 Oktober diikuti dengan pelaksanaan Paket
Kebijaksanaan 20 Desember 1988 yang bertujuan meningkatkan pengerahan
dana masyarakat melalui pengembangan pasar modal, lembaga pembiayaan dan
asuransi. Pihak swasta diberikan kesempatan lebih luas untuk menyelenggarakan
bursa efek atau pasar modal, usaha asuransi dan lembaga-lembaga pembiayaan
lain.
Sebagai dampak dari liberalisasi di sektor keuangan dengan diberlakukannya paket-paket kebijakan tersebut, aliran dana yang masuk
ke perekonomian Indonesia, khususnya pinjaman luar negeri swasta,
meningkat sangat besar dan pesat. Di satu sisi, besarnya aliran dana luar
negeri tersebut dapat mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan nasional. Namun, di sisi lain, aliran dana luar negeri tersebut
juga menimbulkan sejumlah masalah. Dana luar negeri tersebut pada
umumnya berupa pinjaman luar negeri swasta, berjangka pendek, tidak
memperhitungkan resiko perubahan nilai tukar, dan banyak dimanfaatkan
untuk membiayai proyek-proyek swasta yang berjangka panjang dan tidak
menghasilkan devisa. Dari sisi moneter, besar dan mobilitas aliran dana
luar negeri tersebut juga mempersulit pelaksanaan kebijakan moneter oleh
BI (PPSK BI, 2003).
Untuk menghindari dampak negatif dari membanjirnya aliran
dana luar negeri tersebut, BI melakukan penyerapan kelebihan likuiditas
sehingga mendorong kenaikan suku bunga dalam negeri. Namun, kenaikan
suku bunga ini malah makin meningkatkan masuknya aliran dana luar
negeri, khususnya dalam bentuk surat-surat berharga berjangka pendek.
Akibatnya, jumlah pinjaman luar negeri swasta dalam berbagai bentuk dan
26
jangka waktu semakin membesar. Kondisi ekonomi juga diperburuk dengan
tidak dijalankannya proyek-proyek swasta yang dibiayai dari pinjaman luar
negeri tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan usaha yang sehat
(good corporate governance). Hal inilah yang menjadi penyebab utama dari
krisis ekonomi yang dialami Indonesia di tahun 1997 (PPSK BI, 2003).
Tarmidi (1999) menyatakan bahwa krisis ekonomi 1997 diperparah
oleh kebijakan fiskal dan moneter yang tidak konsisten dalam suatu sistem
nilai tukar intervensi terbatas. Sistem nilai tukar tersebut menyebabkan
terjadinya apresiasi nilai tukar rupiah dan mengundang tindakan spekulasi
ketika dihapus pada tanggal 14 Agustus 1997. Pemerintah terkesan tidak
memiliki kebijakan yang jelas dan terperinci untuk mengatasi krisis.
Ketidakmampuan pemerintah menangani krisis menimbulkan krisis
kepercayaan dan mengurangi kesediaan investor asing untuk memberi
bantuan finansial dengan cepat.
Pengalaman masa Orde Baru hingga munculnya krisis ekonomi
1997 menunjukkan bahwa koordinasi fiskal dan moneter yang terjaga
dengan baik, sehingga secara umum stabilitas ekonomi makro terjaga
dengan baik, dan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, rata-rata sekitar
7,5% per tahun, ternyata menyimpan potensi krisis ekonomi yang serius.
Kebijakan fiskal yang “berimbang”, namun dengan catatan bahwa utang
dari luar negeri dimasukkan sebagai penerimaan pembangunan, disertai
dengan deregulasi sektor moneter tanpa pengawasan dan pengaturan yang
baik telah menimbulkan permasalahan ekonomi yang besar Demikian
juga masuknya dana asing jangka pendek yang besar jika tidak dikelola
dengan baik menimbulkan resiko yang besar, capital outflow yang besar
dalam jangka pendek. Sehingga krisis ekonomi yang bermula dari Thailand
dengan cepat masuk ke Indonesia dan menyebabkan ambruknya ekonomi
Indonesia. Krisis ekonomi Indonesia adalah yang terparah, terlama dan
biayanya termahal di Asia.
27
3 . Periode Setelah Krisis Ekonomi 1997
Krisis tahun 1997 berdampak sangat besar terhadap perekonomian
Indonesia. Untuk mencegah hancurnya sektor perbankan, dana sangat besar
disuntikkan oleh pemerintah (melalui BI) ke sektor ini, yang kemudian
memicu kenaikan laju inflasi. Di sisi lain, BI harus menyerap kelebihan
likuiditas di masyarakat dengan memberlakukan kebijakan moneter
kontraktif, yang kemudian menyebabkan naiknya suku bunga dan secara
umum menimbulkan persoalan lain di pasar keuangan (PPSK BI, 2003).
Resep umum yang diterapkan oleh negara-negara di Asia dalam
menghadapi krisis adalah menjaga kestabilan makroekonomi dengan cara
(Sabirin, 2000):
1.
Di bidang moneter: memberlakukan kebijakan moneter ketat yaitu
kebijakan moneter untuk mengurangi penurunan atau depresiasi nilai
mata uang lokal yang berlebihan;
2.
Di bidang fiskal: mengurangi pengeluaran untuk kegiatan-kegiatan
tidak produktif dan mengalihkannya pada pengeluaran untuk kegiatan yang diharapkan dapat mengurangi biaya sosial akibat krisis
ekonomi;
3.
Di bidang pengelolaan dunia usaha (corporate governance): memberlakukan kebijakan yang akan memperbaiki kemampuan pengelolaan
baik di sektor publik atau swasta. Termasuk di dalamnya upaya untuk
mengurangi intervensi pemerintah, monopoli dan kegiatan-kegiatan
yang kurang produktif lainnya;
4.
Di bidang perbankan: memberlakukan restrukturisasi perbankan yang
bertujuan untuk mencapai 2 hal, yaitu mengatasi dampak krisis dan
menghindari terjadinya krisis di masa yang akan datang.
Kebijakan khusus yang dilakukan oleh Indonesia adalah dengan
melakukan restrukturisasi sistem perbankan secara keseluruhan, termasuk
restrukturisasi peran dan tugas bank sentral. Dalam UU No. 13 Tahun 1968
tentang Bank Sentral disebutkan bahwa dalam menjalankan tugasnya BI
28
mengacu pada kebijakan yang ditetapkan pemerintah yang perumusannya
dilakukan oleh Dewan Moneter. Hal ini mencerminkan tidak adanya
batas yang jelas dalam pembagian tugas dan tanggung jawab antara BI
dengan pemerintah, serta mencerminkan pula keterbatasan wewenang
BI dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan di bidang moneter
dan perbankan. Kurang efektifnya langkah-langkah yang ditempuh oleh
BI dalam mengatasi krisis 1997 ditengarai disebabkan oleh terbatasnya
kewenangan. Untuk itu, diperlukan landasan hukum yang baru, yang
memberikan status, tujuan, dan tugas yang sesuai kepada BI sebagai bank
sentral (PPSK BI, 2003).
Dengan tujuan agar BI lebih independen, pemerintah memberlakukan
UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagai pengganti UU No.
13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral. Inti dari UU yang baru adalah bahwa
kebijakan moneter harus dititikberatkan pada upaya untuk memelihara
stabilitas nilai rupiah dan bahwa untuk menjamin keberhasilan tujuan
memelihara stabilitas nilai rupiah diperlukan bank sentral yang memiliki
kedudukan yang independen. Pengertian independensi menurut UU ini
adalah BI bebas dari campur tangan pemerintah atau pihak-pihak lainnya
dalam melaksanakan tugasnya4.
Berdasarkan UU yang baru, tujuan utama yang hendak dicapai BI
adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Untuk mencapai
tujuan di atas, BI melaksanakan tiga tugas pokok, yaitu: (i) menetapkan dan
melaksanakan kebijakan moneter, (ii) mengatur dan menjaga kelancaran
sistem pembayaran, serta (iii) mengatur dan mengawasi sistem perbankan.
Dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, BI mempunyai
wewenang untuk menetapkan sasaran-sasaran moneter dan melakukan
pengendalian moneter dengan cara-cara antara lain: (i) operasi pasar
terbuka, (ii) penetapan tingkat diskonto, (iii) penetapan cadangan wajib
minimum, dan (iv) pengaturan kredit atau pembiayaan5.
4
5
Keseluruhan isi UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia diakses dari http://www.bi.go.
id/biweb/html/uu231999_id/uu.pdf pada 5 Desember 2011
Ibid
29
Pelaksanaan independensi BI memerlukan adanya koordinasi dengan
lembaga lainnya, khususnya dengan otoritas fiskal. Independensi BI akan
kurang efektif apabila tidak diimbangi dengan pelaksanaan kebijakan fiskal
yang juga bertanggung jawab, berdisiplin dan transparan. UU yang baru
telah mengatur bentuk koordinasi antara BI dengan pemerintah, sebagai
berikut (UU No. 23 Tahun 1999)6:
1.
BI bertindak sebagai pemegang kas pemerintah. Atas permintaan
pemerintah, BI untuk dan atas nama pemerintah dapat menerima
pinjaman luar negeri, menatausahakan, serta menyelesaikan tagihan
dan kewajiban keuangan pemerintah terhadap pihak luar negeri.
2.
Pemerintah wajib meminta pendapat dan/atau mengundang BI
dalam sidang kabinet yang membahas mengenai masalah ekonomi,
perbankan, dan keuangan yang berkaitan dengan tugas BI. BI juga
dapat memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah
mengenai Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta
kebijakan lain yang berkaitan dengan tugas dan wewenang BI.
3.
Pemerintah wajib berkonsultasi dengan BI apabila akan menerbitkan
surat utang negara. BI dapat membantu penerbitan surat utang negara
terutama informasi mengenai pasar dan waktu penerbitan surat utang
tersebut. BI dilarang membeli untuk diri sendiri surat utang negara
tersebut di pasar primer dan hanya dapat membeli di pasar sekunder
yang semata-mata hanya untuk tujuan pelaksanaan kebijakan
moneter.
4.
BI dilarang memberikan kredit kepada pemerintah karena dianggap
dapat mengganggu keutuhan konsep independensi BI. Sebelum
UU yang baru, pemberian kredit kepada pemerintah ditujukan
untuk memperkuat kas negara dalam mengatasi defisit pengeluaran
pemerintah.
6
30
Ikhtisar Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia diakses dari
http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/C7402D01-A030-454A-BC75-9858774DF852/13303/ikhtisar.pdf pada 5 Desember 2011
5.
Walaupun BI merupakan lembaga yang independen, namun koordinasi dengan pemerintah yang bersifat konsultatif tetap diperlukan.
Pemerintah yang diwakili seorang menteri atau lebih dapat menghadiri
Rapat Dewan Gubernur dengan hak bicara tanpa hak suara.
6.
Hubungan dengan pemerintah juga nampak dalam pembagian surplus
dari hasil kegiatan BI. Sisa surplus BI setelah dikurangi 30% untuk
cadangan tujuan dan 10% untuk cadangan umum diserahkan kepada
pemerintah dengan ketentuan terlebih dahulu harus digunakan untuk
membayar kewajiban pemerintah kepada BI.
Dalam perjalanannya, untuk menyesuaikan dengan perkembangan
ekonomi global, UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
diamandemen dengan UU No. 3 tahun 2004 tentang Perubahan atas
UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Pokok dari amandemen
tersebut adalah7:
1.
Pembentukan Dewan Supervisi untuk membantu DPR dalam melaksanakan fungsi pengawasan di bidang tertentu terhadap BI.
Pembentukan Badan Supervisi ini merupakan bagian dari upaya
meningkatkan akuntabilitas, independensi, transparansi, dan kredibilitas Bank Indonesia. Dalam menjalankan tugasnya, Badan Supervisi tidak melakukan penilaian terhadap kinerja Dewan Gubernur
dan tidak ikut mengambil keputusan serta tidak ikut memberikan
penilaian terhadap kebijakan di bidang sistem pembayaran, pengaturan
dan pengawasan bank serta bidang-bidang yang merupakan penetapan
dan pelaksanaan kebijakan moneter. Badan Supervisi menyampaikan
pelaksanaan tugasnya kepada DPR.
2.
BI dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi beban pemerintah, dalam hal suatu bank mengalami
kesulitan keuangan yang berdampak sistemik dan berpotensi meng-
7
Penjelasan atas UU No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia diakses dari http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/C7402D01-A030-454A-BC75-9858774DF852/20082/penj_uu_ri_3_2004.pdf pada 5 Desember 2011
31
akibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan. Mekanisme
ini merupakan bagian dari konsep jaring pengaman sektor keuangan
(Indonesia Financial Safety Net) yang akan diatur dalam undangundang tersendiri.
3.
Berkaitan dengan penyusunan RAPBN, BI diwajibkan untuk memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah mengenai
RAPBN serta kebijakan lain yang berkaitan dengan tugas dan
wewenang BI. Kewajiban tersebut dimaksudkan agar penyusunan
RAPBN dapat mempertimbangkan lebih cermat aspek moneter yang
terkait dengan berbagai kebijaksanaan di bidang fiskal.
4.
Pengawasan terhadap bank akan dilaksanakan oleh lembaga pengawasan
sektor jasa keuangan yang independen yang akan dibentuk selambatlambatnya pada tanggal 31 Desember 2010. Pengunduran batas waktu
pembentukan lembaga tersebut, ditetapkan dengan memperhatikan
kesiapan sumber daya manusia dan infrastruktur lembaga tersebut
dalam menerima pengalihan pengawasan bank dari BI
Pengalaman dalam mengatasi krisis ekonomi yang dimulai 1997
yang lalu menunjukkan bahwa meskipun koordinasi fiskal dan moneter
penting, namun tidak berarti dapat dilakukan dengan mudah jika bank
sentral independen dari pemerintah. Lemahnya koordinasi kebijakan bisa
menimbulkan permasalahan dalam pengelolaan ekonomi. Oleh karena
itu perlu dijaga agar koordinasi antara otoritas fiskal dan moneter dapat
berjalan dengan baik, sehingga stabilitas ekonomi makro dapat terjaga
dengan baik, dan pembangunan ekonomi dapat berhasil mensejahterakan
dan memajukan masyarakat. Namun demikian ternyata seiring dengan
ekonomi yang semakin terbuka, dan juga pasar keuangan yang semakin
terintegrasi pada tingkat global. Maka koordinasi fiskal dan moneter
yang baik dalam pengelolaan ekonomi sudah tidak mencukupi lagi. Perlu
koordinasi yang lebih luas untuk menjaga stabililtas ekonomi makro dan
membangun ekonomi.
32
4. Periode Setelah Krisis Finansial Global
Perbankan Indonesia yang sehat dan kuat setelah restrukturisasi
sektor perbankan yang dilakukan sejak krisis 1997 menjadi modal besar
bagi Indonesia dalam menghadapi krisis finansial global di tahun 2008.
Sehingga pasar keuangan Indonesia dapat bertahan dengan cukup baik
menghadapi krisis global tersebut. Selain itu berbagai kebijakan yang
diambil oleh otoritas dalam menjaga stabilitas ekonomi dan menjaga
pertumbuhan ekonomi dapat membawa Indonesia dengan cukup baik
melewati krisis global tersebut. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan
oleh Indonesia sewaktu krisis tersebut berlangsung yang terkait dengan
koordinasi kebijakan moneter dan fiskal adalah (Adiningsih et.al., 2011):
1.
2.
Kebijakan moneter
a.
BI rate diturunkan secara bertahap dari 8,75 persen pada awal
semester I 2009 hingga 7 persen di akhir semester II 2009.
Kemudian BI menghentikan pemotongan suku bunga, menjaganya tetap berada di kisaran 6,5 persen sejak Agustus 2009.
b.
BI melakukan kebijakan intervensi pasar valuta asing. Tujuannya
adalah untuk menjaga kestabilan nilai tukar, terutama pada saat
ada faktor-faktor yang dapat berdampak negatif pada mata uang
Indonesia. Namun, intervensi ini hanya dilakukan saat himbauan
tidak efektif dalam mempengaruhi pasar.
Jaminan atas Simpanan (Deposit Guarantees)
Pemerintah menerbitkan dua peraturan pemerintah tentang jaminan
simpanan di bank yang secara efektif meningkatkan jumlah simpanan
yang dijamin dari Rp 100 juta menjadi Rp 2 miliar.
3.
Stimulus Fiskal
Pemerintah menyediakan paket stimulus berjumlah total Rp 71,3
triliun pada tahun 2009.
33
Selain itu, sebagai upaya menanggulangi krisis finansial global
2008, pemerintah menerbitkan 3 Peraturan Pemerintah Pengganti UU
(PERPPU), yaitu:
1.
Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 2 tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank
Indonesia menjadi UU
Pokok dari PERPPU ini adalah8:
a.
BI dapat memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan
Prinsip Syariah untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan
puluh) hari kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan
jangka pendek bank yang bersangkutan.
b.
Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan keuangan yang
berdampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis
yang membahayakan sistem keuangan, BI dapat memberikan
fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi beban
pemerintah.
c.
Ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan mengenai
kesulitan keuangan bank yang berdampak sistemik, pemberian
fasilitas pembiayaan darurat, dan sumber pendanaan yang berasal
dari APBN diatur dalam undang-undang tersendiri.
PERPPU ini kemudian ditetapkan menjadi UU yaitu UU no. 6
tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
UU no. 2 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU no. 23
tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi UU
2.
Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 4 tahun 2008 tentang
Jaring Pengaman Sistem Keuangan
Jaring Pengaman Sistem Keuangan meliputi pencegahan dan penanganan krisis. Pencegahan krisis dilakukan melalui penanganan
kesulitan likuiditas dan penanganan masalah solvabilitas dari bank dan
8
34
Keseluruhan isi PERPPU No. 2 Tahun 2008 diakses dari http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/
C7402D01-A030-454A-BC75-9858774DF852/16333/Perpu_2_Tahun_2008.pdf pada 5
Desember 2011
Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) yang berdampak sistemik,
yaitu antara lain dengan memberikan Fasilitas Pembiayaan Darurat
(FPD) bagi bank atau bantuan likuiditas bagi LKBB yang mengalami
kesulitan likuiditas9.
3.
Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 3 tahun 2008 tentang
Perubahan atas UU No. 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin
Simpanan
Nilai simpanan yang dijamin LPS dapat diubah jika terjadi: 1) bank
run; 2) inflasi yang cukup besar dalam beberapa tahun; 3) pengurangan
jumlah nasabah yang dijamin menjadi kurang dari 90% dari jumlah
penyimpan seluruh bank; 4) ancaman krisis. Terkait dengan PERPPU
ini, kemudian diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 2008
tentang Besaran Nilai Simpanan yang Dijamin Lembaga Penjamin
Simpanan yang menyatakan bahwa jumlah simpanan yang dijamin
menjadi paling banyak Rp 2 miliar jika terjadi hal-hal sebagaimana
dimaksud dalam PERPPU tersebut. Nilai simpanan yang dijamin
semula adalah Rp 100 juta (Santoso, 2008).
Beberapa pelajaran yang dapat ditarik dari krisis 2008 yang menunjukkan bahwa koordinasi antara kebijakan moneter dan kebijakan
fiskal semakin penting adalah (Adiningsih, 2010):
1.
Besarnya nilai capital inflows yang ada di Indonesia, sehingga ada
ancaman pembalikan capital inflows. Perkembangan pasar valuta asing
perlu dicermati karena memiliki potensi volatilitas yang tinggi, seperti
yang terjadi pada waktu krisis keuangan global 2008 yang lalu.
2.
Pemberian stimulus fiskal yang dilakukan oleh pemerintah untuk
menanggulangi dampak krisis menyebabkan defisit APBN. Defisit
APBN dibiayai dengan menerbitkan Surat Berharga Negara yang
volumenya semakin besar. Padahal likuiditas pasar keuangan masih
9
Keseluruhan isi PERPPU No. 4 Tahun 2008 diakses dari http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/
C7402D01-A030-454A-BC75-9858774DF852/17685/Perpu4Tahun2008JaringPengamanSistKeu.pdf pada 5 Desember 2011
35
terbatas, khususnya dana domestik yang tersedia di pasar modal masih
belum dapat memenuhi kebutuhan dana yang semakin meningkat,
sehingga dapat menyebabkan terjadilah fenomena “crowding out”.
Kondisi tersebut menuntut perlunya koordinasi fiskal dan moneter
yang baik agar supaya stabilitas ekonomi dapat terjaga dengan baik, tanpa
mengorbankan pertumbuhan ekonomi.
Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank) mencatat bahwa
strategi yang paling efektif dalam menghadapi dampak krisis 2008 adalah
koordinasi antara otoritas fiskal dan moneter—dan regulator keuangan.
Bank sentral dan Kementerian Keuangan harus selalu bekerja sama agar
tidak mengambil kebijakan yang terlalu cepat atau terlalu lambat (Kuroda,
2010).
Koordinasi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter yang diperlukan
dalam perekonomian global seperti saat ini semakin penting dan kompleks,
perlu diperluas, seperti yang disampaikan oleh ADB. Isu-isu penting
yang perlu dibahas dalam pelaksanaan koordinasi tersebut ada banyak, di
antaranya adalah (Adiningsih, 2010):
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Koordinasi dalam aktivitas keuangan
Komunikasi dalam kebijakan
Central bankers “lean against the wind”
Formal fiscal rules?
Transparansi dalam kebijakan fiskal dan moneter
Koordinasi dalam mengelola atau mengawasi atau mengontrol short
term capital inflows
Koordinasi dalam Macroprudential
Koordinasi dalam Microprudential
Dimana dalam pasar keuangan yang semakin kompleks, dinamis
dan terintegrasi secara global seperti sekarang ini berbagai isu tersebut
perlu dicari solusinya. Koordinasi tidak lagi cukup untuk kebijakan fiskal
dan moneter, namun juga otoritas keuangan lainnya, bahkan juga perlu
pengawasan selain aspek resiko keuangan secara mikro, juga secara makro.
36
Untuk menjaga stabilitas keuangan, koordinasi antar otoritas keuangan sangat diperlukan. Saat krisis 2008, Menteri Keuangan, BI, dan Lembaga
Penjamin Simpanan menandatangani perjanjian kerja sama yang tujuannya
adalah membangun dasar yang kuat dalam menjaga stabilitas sistem
keuangan serta melindungi perekonomian dari kemungkinan terjadinya
krisis di masa mendatang. Dalam MoU tersebut, otoritas keuangan yang
terlibat setuju untuk saling membagi informasi mengenai kondisi sektor
keuangan yang dapat menyebabkan ketidakstabilan keuangan. Mereka
juga bersepakat untuk membuat sebuah protokol manajemen krisis.
Oleh karena itu diperlukan suatu Jaring Pengaman Sistem Keuangan
(JPSK) sebagai antisipasi krisis di masa mendatang. JPSK merupakan
mekanisme pengamanan sistem keuangan dari ancaman krisis yang
mencakup pencegahan dan penanganan krisis. Sasaran JPSK adalah menjaga
stabilitas sistem keuangan sehingga sektor keuangan dapat berfungsi secara
normal dan memiliki kontribusi positif terhadap pembangunan ekonomi
yang berkesinambungan (Adiningsih, et.al., 2011).
Setelah batal disahkan disahkan DPR pada periode 2004-2009,
pemerintah berniat untuk mengusulkan kembali RUU tentang JPSK.
Dalam RUU ini, dimuat secara jelas tugas dan tanggung jawab lembaga
terkait yaitu Kementerian Keuangan, BI, dan Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS) dalam jaring pengaman keuangan. Kementerian Keuangan bertanggung jawab untuk menyusun perundang-undangan sektor keuangan
dan menyediakan dana untuk penanganan krisis. BI sebagai bank sentral
bertanggung-jawab untuk menjaga stabilitas moneter dan kesehatan
perbankan serta keamanan dan kelancaran sistem pembayaran. LPS
bertanggung jawab untuk menjamin simpanan nasabah bank serta resolusi
bank bermasalah. UU JPSK jika jadi diundangkan, kelak akan berfungsi
sebagai landasan yang kuat bagi kebijakan dan peraturan yang ditetapkan
oleh otoritas terkait dalam rangka memelihara stabiltas sistem keuangan.
Dalam RUU JPSK semua komponen JPSK ditetapkan secara rinci yakni
meliputi: (1) pengaturan dan pengawasan bank yang efektif; (2) lender of the
last resort; (3) skim asuransi simpanan yang memadai dan (4) mekanisme
penyelesaian krisis yang efektif.
37
Dalam rangka menjaga stabilitas ekonomi makro, di tahun 2003,
Indonesia mengambil langkah awal dalam supervisi makro prudensial
dengan mendirikan Forum Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK) . FSSK
mengembangkan Early Warning System (EWS) yang disebut Financial
Stability Index (FSI) dengan tujuan mendeteksi vulnerabilitas sektor
perbankan. Maka, ketika krisis 2008 meluas, pemerintah Indonesia dapat
merespon dengan cepat karena indeks stabilitas keuangan pada November
2008 tercatat sebesar 2,43; di atas indikasi maksimum sebesar 2,0 (Bank
Indonesia, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa sistem perbankan Indonesia
dan sistem keuangan domestik berada dalam kondisi kritis. Salah satu
kebijakan yang kemudian disetujui oleh BI adalah mengurangi batas
minimal cadangan minimum bank di bank sentral dari 9,08% menjadi
7,5% seperti tercantum dalam PBI No. 10/19/PBI/2008 bertanggal 14
Oktober 2008 tentang Giro Wajib Minimum bagi bank komersial. Hal
ini merupakan langkah antisipasi dari BI. Jika otoritas ekonomi harus
menunggu hingga bank terkena dampak krisis, reaksi pemerintah akan
menjadi terlambat. Selain itu, Kementerian Keuangan juga mengembangkan
EWS yang memonitor beberapa indikator kunci, seperti IHSG, nilai tukar
rupiah, pertumbuhan GDP, penjualan bersih saham dan obligasi dalam
Bursa Saham Indonesia, serta nilai ekspor dan impor. Indikator-indikator
tersebut dapat digunakan sebagai simulasi sehingga dampaknya bagi APBN
dapat diprediksi (Adiningsih, et.al., 2011).
Selain itu, dengan tujuan mereformasi sektor keuangan, Indonesia
pada akhirnya mendirikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) seiring dengan
disahkannya undang-undang tentang OJK oleh Presiden pada tanggal 22
November 2011. Dengan disahkannya UU OJK, maka sejak tanggal 31
Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan
yang selama ini dilakukan Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar
Modal serta Lembaga Keuangan (BAPEPAM-LK) akan beralih ke OJK.
Sementara untuk fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan
perbankan oleh BI akan beralih ke OJK pada 31 Desember 2013. Di dalam
UU ini telah dicantumkan mengenai protolol koordinasi di antara otoritas
38
keuangan dalam menjaga stabilitas sistem keuangan dengan membentuk
Forum Koordinasi Stabilitas Sektor Keuangan (FKSSK) dengan Menteri
Keuangan sebagai anggota merangkap koordinator serta anggota lainnya
adalah Gubernur Bank Indonesia, Dewan Komisioner OJK, dan Ketua
Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan. Bahkan FKSSK juga
memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan untuk pencegahan
ataupun menangani krisis.
OJK memiliki tugas pengaturan dan pengawasan jasa keuangan di
sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga
pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Dengan begitu, BI tak
lagi mempunyai tugas pengaturan dan pengawasan terhadap perbankan.
Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan, kesehatan, aspek
kehati-hatian, dan pemeriksaan bank merupakan lingkup pengaturan
dan pengawasan microprudential yang menjadi tugas dan wewenang OJK.
Adapun lingkup pengaturan dan pengawasan macroprudential, yakni
pengaturan dan pengawasan selain hal yang diatur dalam Undang-undang
OJK, merupakan tugas dan wewenang Bank Indonesia (penjelasan pasal 7
Undang-undang 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan). Dalam
rangka pengaturan dan pengawasan macroprudential, OJK membantu
Bank Indonesia untuk melakukan himbauan moral (moral suasion) kepada
Perbankan.
OJK yang merupakan lembaga yang independen, dengan sembilan
anggota dewan komisaris yang sifatnya kolektif kolegial. Selain itu, akan
ada dua anggota unsur perwakilan ex-officio dari perwakilan BI dan
Kementerian Keuangan. Perwakilan ex-officio dibutuhkan untuk menjalin
koordinasi dan harmonisasi kebijakan antara OJK, otoritas fiskal, dan
otoritas moneter. Dengan demikian diharapkan koordinasi antara OJK, BI
dan Kementrian Keuangan dapat berjalan dengan baik.
Penutup
Koordinasi kebijakan ekonomi, khususnya antara fiskal dan moneter
semakin penting. Namun sejarah menunjukkan bahwa koordinasi kebijakan
39
fiskal dan moneter yang baik saja tidaklah cukup, meskipun diperlukan.
Kebijakan fiskal yang pruden serta kebijakan moneter bertanggung jawab,
yang dibarengi dengan pengawasan dan pengaturan perbankan yang baik,
disertai dengan pertanggung jawaban yang baik terhadap pelaksanaan
kebijakan moneter dan fiskal akan membantu terjaganya stabilitas
ekonomi makro dan pembangunan ekonomi. Namun demikian kondisi
pasar keuangan dunia yang berkembang pesat dan banyak memunculkan
produk-produk keuangan canggih serta semakin terintegrasi pasar keuangan
global menyebabkan resiko yang dihadapi dalam sistem keuangan juga
semakin besar, volatilitas semakin tinggi dan pasar juga semakin dinamis.
Berkaca dari pengalaman krisis moneter 1997 dan krisis finansial global
2008 serta krisis yang menimpa zona Euro di tahun 2010, terlihat jelas
bahwa koordinasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter berperan
penting sebagai langkah antisipasi krisis ataupun mengatasi krisis keuangan.
Lebih lanjut, diperlukan koordinasi yang lebih luas tidak hanya kebijakan
moneter dan fiskal tapi juga dengan otoritas keuangan lainnya (seperti
OJK dan LPS) dalam menjaga stabilitas sektor keuangan. Demikian juga
diperlukan koordinasi kebijakan makroprudensial yang baik, agar dapat
menjaga stabilitas ekonomi makro dengan lebih baik dan pertumbuhan
ataupun pembangunan ekonomi berkelanjutan.
40
Referensi
Adiningsih, S. 2010. Koordinasi Fiskal dan Moneter dalam Mendukung Kestabilan Ekonomi Makro di Indonesia. Disampaikan dalam Fokus
Group Discussion “Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Mendukung Kestabilan Ekonomi Makro di Indonesia” yang
diselenggarakan atas kerja sama ISEI Fokus Group Koordinasi Fiksal dan Moneter dengan Bank Indonesia – Pusat Pendidikan dan
Studi Kebanksentralan. 19 November 2010. Jakarta.
Adiningsih, Ssenyonga, Rahutami, Devi, dan Kristiadi. 2011. Contributing to Efforts for Greater Financial Markets Stability in APEC
Economies. APEC Study. APEC Finance Minister Process.
Asian Development Bank. 2011. Government Finance: Tax Revenue. Asian
Development Bank.
Bank Indonesia. 2007a. Sejarah Bank Indonesia: Kelembagaan Periode
1953 – 1959. Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank
Indonesia.
https://docs.google.com/viewer?url=http%3A%2F%2Fwww.bi.go.
id%2FNR%2Frdonlyres%2FCF79E6F1-376E-45E5-ADCD-17B9D59587B0%2F865%2FSejarahMoneterPeriode19531959.pdf
Bank Indonesia. 2007b. Sejarah Bank Indonesia: Moneter Periode 19831997. Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia.
http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/CF79E6F1-376E-45E5-ADCD-17B9D59587B0/868/SejarahMoneterPeriode19831997.pdf
Bank Indonesia. 2009. Financial Stability Review. No 13 September 2009.
Bank Indonesia. Jakarta.
Boediono. 2001. Ekonomi Makro. Edisi 4. BPFE. Yogyakarta.
Corsetti, G. dan Mueller, G. 2008. What Makes Fiscal Policy (More) Effective?
http://www.economonitor.com/blog/2008/11/what-makes-fiscal-policymore-effective/
41
Hanif, M. N. dan Arby, M. F. 2003. Monetary and Fiscal Policy Coordination. MPRA Paper No. 10307.
http://mpra.ub.uni-muenchen.de/10307/1/MPRA_paper_10307.
pdf
Kuroda, H. 2010. Recovery and Beyond: Policy Challenges and the Future of
Asian Integration. Opening remarks at the 16th International Conference on the Future of Asia toward an Open Economic Partnership, Tokyo, Japan. Asian Development Bank. http://beta.adb.org/
news/speeches/recovery-and-beyond-policy-challenges-and-futureasian-integration
Nopirin. 1996. Pengantar Ilmu Ekonomi Makro & Mikro. BPFE. Yogyakarta.
Prawiro, R. 1998. Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi Pragmatisme
Dalam Aksi. Elex Media Komputindo. Jakarta.
PPSK BI. 2003. Bank Indonesia: Bank Sentral Republik Indonesia Tinjauan
Kelembagaan, Kebijakan, dan Organisasi. Bank Indonesia. Jakarta.
Sabirin, S. 2000. Upaya Pemulihan Ekonomi Melalui Strategi Kebijakan
Moneter – Perbankan dan Independensi Bank Indonesia. www.bi.go.
id/NR/rdonlyres/4F64F9EB-CAF1.../gubfeb022000.pdf.
Santoso, W. 2008. Langkah dan Kebijakan Bank Indonesia Menghadapi Krisis Keuangan Global. Disampaikan dalam Seminar Stabilitas Keuangan: Menghadapi Tantangan dari Dampak Potensial Krisis Keuangan di Solo, 16-18 Desember 2008.
Tarmidi, L.T. 1999. Krisis Moneter Indonesia: Sebab, Dampak, Peran IMF,
dan Saran. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. Maret.
42
KOORDINASI KEBIJAKAN MONETER DAN FISKAL:
TANTANGAN DAN STRATEGI PEMELIHARAAN
STABILITAS MAKRO DAN PERTUMBUHAN EKONOMI
UNTUK MEWUJUDKAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Miranda Swaray Goeltom
Pendahuluan
Secara teoritis maupun empiris, kebijakan moneter dan fiskal mempunyai peranan yang sangat strategis dalam rangka stabilisasi perekonomian,
yaitu melalui penyeimbangan permintaan agregat dan penawaran
agregat. Apabila perekonomian mengalami tekanan inflasi yang cukup
besar, misalnya, maka kebijakan stabilisasi diarahkan pada pengurangan
permintaan agregat. Sebaliknya, pada saat ekonomi mengalami resesi
maka kebijakan stabilisasi lebih diarahkan untuk menstimulasi permintaan
agregat. Walaupun kebijakan moneter dan fiskal berdampak pada struktur
dan kondisi ekonomi yang berlainan, keduanya dapat digunakan secara
simultan untuk mencapai dua sasaran stabilitas yang berlainan, misalnya
pencapaian keseimbangan internal (stabilitas harga) dan keseimbangan
eksternal (neraca pembayaran). Dalam kondisi tersebut, kebijakan moneter
dan fiskal dapat dikelola atau dikoordinasikan sedemikian rupa agar
stimulus yang dihasilkan oleh kedua kebijakan tersebut dapat diarahkan
untuk mempengaruhi perekonomian, dalam artian tidak saling meniadakan
atau bahkan menimbulkan pengaruh yang berlebihan, sehingga dapat
mendukung pencapaian stabilitas harga dan pencapaian neraca pembayaran
yang sehat secara bersama-sama.
43
Dalam tataran praktis, koordinasi kebijakan moneter dan fiskal
menjadi semakin penting manakala terdapat ketidak pastian yang tinggi
dari pengaruh masing-masing kebijakan (Blinder, 1982). Pentingnya
koordinasi kebijakan dalam situasi ini dicontohkan dalam kasus di
banyak negara maju dan emerging countries pada awal tahun 2000-an
ketika perekonomian dunia menunjukkan kelesuan yang berlarut, dimana
terdapat ketidakpastian yang cukup tinggi dari pengaruh kebijakan yang
telah diambil, sementara dari sisi moneter tingkat suku bunga sudah
ditekan sedemikian rendahnya. Kebijakan yang dilakukan secara parsial
dan bertahap cenderung akan semakin meningkatkan ketidakpastian dan
resiko, yang dapat mendorong penurunan kinerja perekonomian lebih
lanjut. Untuk itu, banyak ahli ekonomi yang menyarankan strategi yang
sebaiknya ditempuh adalah koordinasi kebijakan dan penggunaan berbagai
instrumen kebijakan secara lebih agresif untuk mendukung efektivitas
kebijakan yang diambil (Mohanty and Scatigna, 2004).
Walaupun koordinasi kebijakan diyakini akan memberikan hasil yang
lebih baik untuk perekonomian, dalam praktek masih banyak dijumpai
kurangnya koordinasi kebijakan. Di banyak negara, kurangnya koordinasi
antara kebijakan moneter dan fiskal sering menjadi permasalahan dalam
perumusan dan penerapan kebijakan perekonomian, seperti halnya yang
terjadi di Amerika Serikat pada awal 1980-an. Saat itu, kebijakan fiskal
yang diambil cenderung ekspansif untuk mengatasi kelesuan ekonomi
akibat krisis energi yang terjadi sejak awal tahun 1970-an, sementara
pada saat yang bersamaan, tekanan inflasi yang terus menguat hingga
13,5% pada tahun 1980 direspons dengan kebijakan moneter kontraktif,
dimana suku bunga (prime rate) terus meningkat hingga mencapai 20%
pada pertengahan 1981. Sebagai akibatnya resesi ekonomi yang dialami
berkepanjangan hingga beberapa tahun kemudian.
Menarik untuk mengamati berbagai tulisan yang terkait dengan
kurangnya koordinasi antara kebijakan moneter dan fiskal (antara lain
Blinder, 1982; Dodge, 2002), yang pada intinya mengemukakan tiga faktor
mendasar penyebab terjadinya hal tersebut. Pertama, otoritas moneter
44
dan fiskal umumnya mempunyai tujuan kebijakan yang berbeda. Hal ini
dapat disebabkan karena mandat dan konstitusi yang berbeda, ataupun
karena pandangan yang berbeda terhadap cara terbaik dalam mewujudkan
kesejahteraan masyarakat. Kedua, otoritas moneter dan fiskal mempunyai pandangan yang berbeda mengenai bagaimana kebijakan moneter
dan fiskal mempengaruhi perekonomian. Sebagai contoh, pemerintah
memandang bahwa pemotongan pajak dapat dilakukan untuk mendorong
pertumbuhan tanpa berdampak buruk terhadap investasi. Sementara itu,
otoritas moneter mungkin memandang pemotongan pajak tersebut dapat
mengakibatkan peningkatan defisit anggaran sehingga terjadi crowding out
investasi swasta. Ketiga, otoritas moneter dan fiskal mempunyai prediksi
yang berbeda mengenai kondisi (state) perekonomian. Kemungkinan
perbedaan prediksi dapat terjadi karena adanya perbedaan landasan teori
ekonomi maupun variabel-variabel prakiraan (forecasting) yang digunakan.
Gambaran di atas mencerminkan sulitnya merumuskan bentuk koordinasi
yang universal untuk dapat diterapkan di semua negara.
Bagaimana dengan Indonesia? Dalam periode lebih dari tiga dasawarsa terakhir ini, koordinasi kebijakan moneter dan fiskal menjadi bagian
penting dalam pasang surut perjalanan perekonomian bangsa ini. Pada
periode hingga pertengahan tahun 1990an, permasalahan koordinasi
belum begitu menggema manakala kebijakan moneter berada di bawah
pengaturan Dewan Moneter, yang diketuai oleh Menteri Keuangan (sebagai
wakil pemerintah) dengan anggota Gubernur Bank Indonesia dan para
Menteri perekonomian. Pada masa itu orientasi stabilitas, pertumbuhan,
dan pemerataan dalam dimensi Trilogi Pembangunan ditetapkan sebagai
jangkar kebijakan ekonomi dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Dengan dukungan legitimasi politik pada masa itu, bentuk koordinasi satu
atap tersebut cukup berperan dalam meningkatkan derajat kepastian arah
kebijakan ekonomi.
Namun, di sisi lain, pengalaman juga menunjukkan kecenderungan
munculnya dilema dalam pencapaian tujuan pembangunan ekonomi, antara
stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Bank Indonesia dalam kapasitasnya
45
sebagai otoritas moneter dan perbankan tidak selalu dapat menetapkan
kebijakan moneter yang dianggapnya tepat karena perbedaan prioritas
dengan kebijakan pemerintah. Misalnya, keinginan otoritas moneter
meningkatkan suku bunga untuk meredam inflasi tidak dapat dilakukan
jika Dewan Moneter menganggap kebijakan tersebut dapat menghambat
pertumbuhan ekonomi. Contoh lainnya, meskipun hasil pengawasan Bank
Indonesia menyimpulkan adanya beberapa bank yang harus ditutup, hal
tersebut tidak dapat dilakukan manakala Dewan Moneter menganggap
penutupan tersebut belum perlu dilakukan dengan berbagai pertimbangan
tertentu.
Belajar dari pengalaman krisis ekonomi tahun 1997/98, Pemerintah
Indonesia menggulirkan reformasi politik dan ekonomi yang antara lain
merubah UU No. 13 Tahun 1968 dengan UU No. 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia, yang kemudian diamandemen oleh UU No. 3 Tahun
2004. Dengan landasan hukum yang baru tersebut tujuan Bank Indonesia
menjadi lebih terfokus, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah. Secara kelembagaan, Bank Indonesia diberikan independensi
dalam penggunaan instrumen kebijakan untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Dalam kaitan ini, sasaran inflasi yang akan dicapai oleh
kebijakan moneter ditetapkan oleh pemerintah, dengan berkoordinasi
bersama Bank Indonesia. Landasan hukum yang baru tersebut menyebabkan
terjadinya pergeseran paradigma kebijakan moneter yang diterapkan di
Indonesia. Penerapan kerangka kerja dengan tujuan tunggal memelihara
kestabilan nilai rupiah mengharuskan Bank Indonesia menentukan sasaran
kebijakan moneter secara eksplisit dengan target inflasi tertentu. Sementara
itu, amanah independensi menuntut adanya standar pencapaian kinerja
kelembagaan yang memadai dalam bentuk peningkatan akuntabilitas dan
transparansi kebijakan.
Namun demikian, penafsiran dan implementasi kebijakan tujuan
tunggal di atas harus dikaitkan dengan berbagai isu dan tantangan yang
semakin kompleks di era globalisasi dewasa ini. Pertama, terjadinya perubahan pola hubungan antar variabel ekonomi makro akibat pengaruh
46
sektor eksternal yang semakin kuat, yang pada gilirannya mempengaruhi
efektivitas mekanisme transmisi kebijakan moneter. Kondisi ini diperberat dengan adanya kecenderungan ketidakseimbangan sektoral, dimana
perkembangan yang pesat di sektor keuangan belum diimbangi dengan
respons sektor riil yang memadai (’decoupling’). Kedua, masih terdapatnya
kekakuan struktural (structural rigidity) dimana sisi penawaran kurang
responsif terhadap stimulus sisi permintaan, sehingga pertumbuhan
yang realtif tinggi belum dapat mengurangi angka pengangguran secara
signifikan (paradox of growth). Ketiga, dengan adanya otonomi daerah,
tugas otoritas moneter dalam menjaga target inflasi menjadi lebih berat
karena sumber inflasi menjadi lebih meyebar dan lebih sulit dikontrol. Dan
keempat, dinamika politik dalam negeri yang sedang menuju pendewasaan
terkadang cenderung kurang kondusif bagi pelaksanaan kebijakan ekonomi.
Persepsi ini muncul sejalan dengan euforia demokrasi dalam jangka pendek
yang cenderung berdampak kurang menguntungkan bagi pembangunan
ekonomi (Boediono, 2007).
Gambaran di atas menunjukkan, paling tidak, terdapat dua isu
koordinasi yang perlu diperhatikan. Pertama, dengan mempertimbangkan
fakta bahwa pada periode pascakrisis hingga saat ini perekonomian
Indonesia sedang dalam tahap pengupayaan pemulihan dan penguatan
kondisi perekonomian secara makro, muncul pemikiran yang cukup
relevan, mengenai perlu atau tidaknya bank sentral dibebani pula tugas
untuk memelihara pertumbuhan ekonomi pada kondisi kesempatan kerja
penuh bersama-sama tugas untuk mencapai laju inflasi yang rendah.
Kedua, dengan skala independensi yang telah diamanahkan, yang disertai
dengan lingkungan ketidakpastian yang masih menyelimuti dinamika
perekonomian baik nasional maupun global, koordinasi kebijakan perlu
dirumuskan dan diletakkan dalam tataran yang sangat strategis.
Dengan memperhitungkan dinamika ekonomi seperti diuraikan
di atas, pokok pemikiran yang akan disampaikan dalam tulisan ini akan
mengacu pada beberapa pertanyaan mendasar dalam perumusan strategi
kordinasi kebijakan moneter dan fiskal, yaitu: Pertama, sejauh mana
47
pelaksanaan koordinasi kebijakan moneter dan fiskal di Indonesia saat
ini, serta permasalahan apa yang muncul? Kedua, dalam upaya untuk
mewujudkan kesejahteraan masyarakat, bagaimana strategi koordinasi
yang perlu dirumuskan agar kebijakan moneter dan kebijakan fiskal dapat
diarahkan pada upaya untuk memelihara stabilitas makro dan pertumbuhan
ekonomi secara efektif? Terakhir, bagaimana koordinasi kebijakan moneter
dan fiskal diletakkan dalam tataran yang lebih strategis, yaitu dalam
perumusan semacam contigency plan atau format tertentu untuk merespons
kejutan struktural (shocks) dan ketidak pastian yang mungkin muncul?
Dimensi Konseptual dan Studi Empiris di Beberapa Negara
Pentingnya Koordinasi Kebijakan Moneter dan Fiskal
Perdebatan mengenai pentingnya koordinasi antara kebijakan moneter
dan fiskal pada dasarnya tidak terlepas dari adanya perbedaan penekanan
dalam peran dan pencapaian tujuan masing-masing kebijakan, sebagaimana
telah disinggung pada bagian pendahuluan. Perbedaan penekanan tujuan
tersebut dapat mengakibatkan hasil dari masing-masing kebijakan menjadi
tidak optimal atau bahkan saling meniadakan (set-off). Oleh karena itu,
kedua otoritas perlu menerapkan strategi bauran kebijakan (policy mix)
yang optimal dalam rangka mencapai stabilitas makro dan pertumbuhan
ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sejak tahun 1990-an, tujuan kebijakan moneter lebih difokuskan
pada stabilitas harga dengan beberapa pertimbangan. Pertama, segala
kebijakan yang mendorong pertumbuhan ekonomi (aggregate demand)
dalam jangka pendek akan menciptakan inflasi (the short-run Phillip Curve)
sehingga tidak akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi riil dalam
jangka panjang (Kydland and Prescott, 1977). Kedua, rational economic
agent memahami bahwa shocks pembuat kebijakan dalam mendorong inflasi
dapat menimbulkan permasalahan time-inconsistency (Barro and Gordon,
1983). Ketiga, kebijakan moneter mempunyai tenggat waktu (time lag)
dalam mempengaruhi variabel ekonomi, sehingga menuntut kebijakan
moneter yang forward looking (Friedman, 1968). Keempat, kestabilan
48
harga dapat mendorong terciptanya iklim ekonomi yang lebih baik karena
mengurangi ekspektasi inflasi.
Keempat pertimbangan di atas mencerminkan bahwa penetapan
stabilitas harga akan mendorong kesinambungan pertumbuhan ekonomi
dalam jangka panjang. Namun, di sisi lain pencapaian kebijakan moneter
yang tidak dilakukan secara terukur juga dapat mengakibatkan tekanan
terhadap pertumbuhan ekonomi. Misalnya, kebijakan moneter yang terlalu
ketat (tight) dapat menekan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan
jumlah pengangguran. Sebaliknya, kebijakan moneter yang terlalu longgar
(loose) dapat menimbulkan tekanan inflasi yang mengganggu daya beli
masyarakat dan pada gilirannya kesejahteraan masyarakat.
Sementara itu, tujuan kebijakan fiskal lebih difokuskan pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat dnegan mendorong pertumbuhan
ekonomi. Tetapi mendorong pertumbuhan ekonomi yang berlebihan dapat
mengakibatkan terjadinya defisit fiskal yang dapat membahayakan stabilitas
ekonomi makro. Traclet (2004) menunjukkan berbagai dampak dari defisit
fiskal yang kronis dan besarnya utang pemerintah yang tidak terkendali,
antara lain: Pertama, defisit fiskal dapat meningkatkan rasio utang sehingga
dapat meningkatkan beban utang pemerintah dan menurunkan investasi
yang produktif. Kedua, Peningkatan jumlah obligasi pemerintah yang
dikeluarkan untuk menutup defisit fiskal dapat menciptakan crowdingout effect, yaitu penurunan investasi swasta yang produktif, sehingga
membahayakan kelangsungan pertumbuhan ekonomi. Dan ketiga, defisit
fiskal yang kronis dapat mengakibatkan tingginya inflasi.
Pengalaman empiris negara-negara di Amerika Latin pada akhir tahun
1980-an menunjukkan bahwa pembiayaan defisit fiskal yang besar dan
terjadi terus-menerus melalui penciptaan uang baru oleh bank sentral telah
mengakibatkan hiper inflasi dan resesi ekonomi yang dalam. Pada periode
tahun 1988-1991, defisit fiskal pemerintah Peru telah mengakibatkan
peningkatan jumlah uang beredar sebesar 1.052,6% per tahun. Pesatnya
pertumbuhan uang beredar tersebut tanpa diikuti peningkatan produksi
merupakan penyebab melesatnya laju inflasi di negara tersebut hingga
49
mencapai 1.694,3%. Hiper inflasi tersebut telah mengakibatkan anjloknya
daya beli masyarakat dan tingginya biaya transaksi ekonomi sehingga
Peru mengalami resesi ekonomi yang dalam. Pengalaman negara-negara
Afrika, beberapa negara Eropa dan negara-negara Amerika Latin lainnya
juga menggambarkan pola yang sama, yaitu defisit fiskal yang berlebihan
yang mengakibatkan tingginya uang beredar dan hiper inflasi. Beberapa
data empiris tersebut menunjukkan bahwa kebijakan fiskal yang longgar
dengan kebijakan moneter yang longgar melalui penciptaan uang baru
untuk pembiayaan defisit dapat mengakibatkan terjadinya hiper inflasi dan
gangguan stabilitas ekonomi makro.
Uraian di atas kembali mencerminkan perlunya koordinasi kebijakan
moneter dan fiskal. Oleh sebab itu menarik untuk menelaah bagaimana
hasil bauran kebijakan (policy mix) dari kedua otoritas tersebut. Secara
teoritis, terdapat 4 pilihan bauran kebijakan moneter dan fiskal, yaitu: (i)
Kebijakan fiskal longgar dan kebijakan moneter longgar; (ii) Kebijakan
fiskal longgar dan kebijakan moneter ketat; (iii) Kebijakan fiskal ketat dan
kebijakan moneter longgar; dan (iv) Kebijakan fiskal ketat dan kebijakan
moneter ketat.
Masing-masing otoritas memiliki dua pilihan kebijakan, yaitu:
kebijakan ketat maupun kebijakan longgar (a tight or a loose policy). Ketika
keduanya bersama-sama memilih kebijakan pengetatan maka tingkat inflasi
cenderung rendah dan jumlah lapangan kerja juga rendah (pengangguran
tinggi), sedangkan ketika kedua otoritas kebijakan memutuskan untuk
bersama-sama membuat kebijakan yang longgar maka tingkat inflasi
cenderung tinggi dan angka pengangguran cenderung rendah. Sementara
itu, apabila salah satu otoritas kebijakan membuat kebijakan pengetatan
sedangkan yang lain membuat kebijakan pelonggaran atau sebaliknya,
maka tingkat pengangguran dan inflasi cenderung berada pada tingkat
sedang.
Nash Equilibrium1 pada interaksi ini adalah bauran kebijakan moneter
1
50
Nash equilibrium adalah tingkat keseimbangan yang memberikan hasil terbaik dengan memperhitungkan respon optimal masing-masing pelaku (agent), seperti diperkenalkan oleh John Nash
pada tahun 1950.
ketat dan kebijakan fiskal longgar, atau bauran kebijakan moneter longgar
dan kebijakan fiskal ketat. Nilai hasil bauran (payoff) untuk kebijakan
moneter ketat dan kebijakan fiskal longgar sama dengan nilai payoff untuk
kebijakan moneter longgar dan kebijakan fiskal ketat. Namun dari studi
empiris Bennett dan Loayza (2002) yang membandingkan berbagai negara
terlihat bahwa dalam jangka panjang, kombinasi kebijakan moneter longgar
dan fiskal ketat lebih sehat daripada kebijakan moneter ketat dan fiskal
longgar. Hal ini disebabkan kebijakan moneter longgar dan fiskal ketat
tidak berkompromi terhadap fiscal sustainability dan tidak memperlemah
kapasitas investasi sektor swasta (crowding-out effect).
Hasil kajian yang dilakukan Petit (1989) di Italia, Javed dan Sahinoz
(2005) di Turki dan penelitian lainnya di berbagai negara menunjukkan
bahwa koordinasi kebijakan moneter dan fiskal akan berdampak positif
terhadap kondisi ekonomi makro suatu negara. Untuk kasus Indonesia,
penelitian yang dilakukan Goeltom dan Simorangkir (2005) dengan
menggunakan model game theory menunjukkan bahwa cooperative game
antara kebijakan moneter dan fiskal memberikan hasil kerugian terkecil
(minimum loss) dibandingkan dengan non-cooperative game seperti akan
diuraikan pada bagian lain.
Dalam prakteknya, terdapat pilihan model koordinasi moneterfiskal, seperti dikemukakan Blinder (1982), dimana masing-masing model
koordinasi tersebut mempunyai implikasi yang berbeda.
(i)
Kebijakan Moneter dan Fiskal berada dalam ”Satu Atap”
Dengan koordinasi seperti ini, kebijakan fiskal dan kebijakan moneter
ditentukan oleh satu institusi yang membawahi baik otoritas moneter
maupun otoritas fiskal. Koordinasi dapat memberikan manfaat
yang lebih baik apabila objektif dan metode yang digunakan untuk
mencapai objektif tersebut mempunyai ketidakpastian yang kecil.
(ii) Dua otoritas kebijakan yang independen
Dalam model ini masing-masing otoritas fiskal dan otoritas moneter
mengambil kebijakan secara independen, tanpa adanya dominasi satu
otoritas terhadap otoritas lainnya. Sebagai contoh, karena tekanan
51
terhadap anggaran pemerintah yang semakin berat, otoritas fiskal
mengurangi subsidi atau meningkatkan pajak. Di sisi lain karena
tekanan terhadap inflasi yang besar otoritas moneter mengambil
kebijakan moneter yang ketat. Dengan menggunakan pendekatan
game theory, Blinder menunjukkan bahwa tanpa koordinasi akan
diperoleh Nash equilibrium yang lebih rendah dibandingkan dengan
hasil yang diperoleh dengan adanya koordinasi. Hasil ini didasarkan
pada asumsi bahwa otoritas fiskal dan moneter saling mengetahui
preferensinya.
(i)
Leader-Follower
Dengan sistem ini, salah satu otoritas akan mengambil suatu kebijakan
sedangkan otoritas yang lain akan menyesuaikan dengan kebijakan
yang diambil oleh otoritas yang bergerak pertama. Sebagai contoh,
otoritas fiskal terlebih dahulu mengambil kebijakan mengenai defisit
anggaran dan kemudian diikuti oleh kebijakan moneter didasarkan
pada kebijakan fiskal yang telah diambil. Ataupun sebaliknya, otoritas
moneter mengambil kebijakan moneter terlebih dahulu dan kemudian
diikuti oleh kebijakan fiskal didasarkan pada kebijakan moneter yang
telah diambil. Dengan sistem leader-follower, keputusan yang diambil
oleh leader tentu saja mempertimbangkan respon yang akan diambil
oleh follower. Sebagai contoh, apabila otoritas fiskal bertindak sebagai
leader tentu saja akan lebih berhati-hati dalam mengambil kebijakan
yang ekspansif, karena otoritas moneter akan meningkatkan suku
bunga apabila kebijakan fiskal yang ekspansif tersebut dianggap
memberikan tekanan yang cukup besar terhadap inflasi.
Kebijakan Moneter dalam ITF dan Pentingnya Koordinasi Kebijakan
Terdapat konsensus yang terus berkembang belakangan ini mengenai
peran relatif antara kebijakan moneter dan fiskal serta pentingnya
dilakukan kebijakan terpadu moneter-fiskal (monetary-fiscal policy mix).
Kecenderungan yang terjadi dewasa ini adalah penggunaan rules-based
52
frameworks. Dalam kebijakan fiskal dikenal adanya fiscal policy rule,
misalnya melalui disiplin anggaran dengan penetapan persentase defisit
anggaran tertentu dan dalam kebijakan moneter terdapat kecenderungan
penerapan inflation targeting framework (ITF).
Dalam kaitannya dengan kebijakan moneter, semakin terintegrasinya
sistem keuangan dunia telah menyebabkan penggunaan besaran moneter
(monetary aggregates) semakin kurang dapat diandalkan sebagai target
untuk mengendalikan inflasi. Pertumbuhan besaran moneter yang cepat
seringkali dianggap merupakan refleksi telah terjadinya financial deepening
daripada sebagai suatu ancaman inflasi. Oleh karena itu, penggunaan
inflation targeting framework (ITF) semakin banyak diadopsi oleh negaranegara berkembang karena mereka menyadari bahwa kebijakan moneter
yang tepat menuntut otoritas moneter untuk mempunyai komitmen yang
jelas terhadap pencapaian inflasi yang rendah.
Knight (2007) menyatakan bahwa terdapat paling sedikit tiga
keuntungan menggunakan target inflasi yang eksplisit sebagai kerangka
kebijakan moneter. Pertama, ITF memperbaiki transparansi yang mengarah
kepada komunikasi yang lebih baik sehingga dapat membantu publik
memahami tujuan (goals) dari bank sentral. Pada gilirannya, pemahaman
publik yang semakin baik akan membantu membuat kebijakan moneter
semakin kredibel dan dengan demikian dapat menjadi jangkar (anchor)
ekspektasi inflasi. Upaya-upaya memberikan transparansi dilakukan
melalui laporan kepada publik secara reguler mengenai prakiraan inflasi dan
pertimbangan-pertimbangan di balik keputusan kebijakan moneter yang
diambil. Kedua, sifat forward-looking ITF mendorong otoritas moneter
untuk fokus pada inflasi di masa depan (future inflation). Dengan fokus
pada inflasi di masa depan memungkinkan para pembuat kebijakan untuk
mengurangi (smoothing) dampak dari shocks agar mengarah kepada resesi
yang lebih pendek dan dangkal pada saat permintaan domestik melemah.
Sepanjang ekpektasi inflasi tetap terjaga dengan baik (well anchored) pada
suatu target inflasi tertentu, shocks yang bersifat sementara yang memiliki
dampak jangka pendek yang besar pada inflasi, tidak perlu direspon dengan
53
kebijakan moneter yang berlebihan. Ketiga, ITF membuat bank sentral
lebih transparan dan akuntabel. Karena ITF menuntut transparansi, publik
dapat dengan mudah melihat apakah bank sentral mencapai targetnya
atau tidak. Akuntabilitas sangat penting bagi penerimaan publik terhadap
independensi sebuah bank sentral dalam menetapkan instrumen kebijakan
moneternya secara kredibel.
Meskipun memiliki banyak keuntungan, ITF bukanlah obat mujarab
yang dapat menyembuhkan segala penyakit ekonomi. ITF harus didukung
oleh kebijakan-kebijakan fiskal yang berkelanjutan. Persyaratan pertama
adalah tidak adanya pembiayaan secara langsung dari bank sentral kepada
pemerintah untuk menutupi defisit fiskal. Monetisasi defisit fiskal yang
besar, cepat atau lambat pasti akan menyebabkan inflasi yang semakin
tinggi. Persyaratan kedua, kebijakan fiskal harus dijaga tetap berkelanjutan
dengan menjaga besaran defisit fiskal yang tepat. Meskipun persyaratan
pertama dipenuhi, misalnya dengan memiliki bank sentral yang independen,
tetapi apabila persyaratan kedua dibiarkan relatif longgar maka dampak
ekspansi kebijakan fiskal terhadap permintaan agregat dan inflasi dalam
perekonomian dapat memaksa bank sentral untuk mengetatkan kebijakan
moneter dengan menaikkan suku bunga dan mengurangi kredit dalam
sistem keuangan. Tingginya tingkat suku bunga dapat menekan aktivitas
ekonomi dan mengundang aliran modal jangka pendek masuk (short
term capital inflow) yang rentan terhadap terjadinya pembalikan (capital
reversal), sehingga menambah tekanan terhadap inflasi dan pada akhirnya
mengganggu kestabilan makroekonomi dan keuangan.
Salah satu studi teoritis yang mempelajari peran kebijakan fiskal
sebagai sebuah instrumen stabilisasi makroekonomi di bawah kebijakan
moneter dengan ITF adalah yang dilakukan oleh Roisland dan Torvik
(2000). Dalam studi ini mereka mengasumsikan bahwa perekonomian
dibagi ke dalam dua sektor yaitu traded sector2 dan non-traded sector.
Secara umum, mereka menyimpulkan bahwa penggunaan dua instrumen
(moneter dan fiskal) secara terkoordinasi adalah lebih baik daripada satu
2
54
Traded Sector adalah sektor ekonomi yang output nya diperdagangkan secara internasional.
instrumen ketika dihadapkan pada pilihan antara menstabilkan inflasi atau
mendorong perekonomian riil. Dalam perekonomian kecil terbuka, ITF
dapat menghasilkan ketidakseimbangan (imbalances) antara sektor traded
dan non-traded apabila kebijakan fiskal pasif. Dengan menyesuaikan posisi
(stance) kebijakan fiskal untuk merespon berbagai shocks yang terjadi,
maka kebijakan fiskal aktif dapat memberikan keseimbangan sektoral
yang lebih baik, paling tidak apabaila terjadi kejutan yang berasal dari sisi
permintaaan (demand shocks). Namun demikian, apabila terjadi kejutan
dari sisi penawaran (supply shocks) pilihan-pilihan kebijakannya menjadi
lebih sulit karena cenderung terjadi konflik antara pencapaian stabilitas
sektor traded dan non-traded. Di bawah ITF, kebijakan fiskal tradisional
yang counter-cyclical akan lebih besar pengaruhnya dalam mendestabilisasi
(mengguncang) sektor traded daripada kebijakan fiskal pasif. Dengan
demikian apabila terjadi supply shocks yang merugikan, maka untuk menjaga
stabilitas di sektor traded, kebijakan fiskal seharusnya menjadi lebih ketat.
Secara teoritis berdasarkan studi ini, kebijakan fiskal aktif di bawah
ITF secara potensial dapat menghasilkan peningkatan kesejahteraan yang
tinggi (large welfare gain), khususnya apabila stabilitas sektoral dapat terjaga
dengan baik. Namun demikian, peningkatan kesejahteraan ini tergantung
dari biaya sosial yang timbul akibat dari penyesuaian stance kebijakan fiskal
yang dilakukan untuk merespon kondisi ekonomi yang sedang terjadi. Dari
studi Knight ini diperoleh nilai-nilai parameter yang menghasilkan biaya
sosial yang relatif moderat sehubungan dengan penyesuaian kebijakan fiskal.
Dengan biaya sosial yang relatif moderat ini, kebijakan fiskal seharusnya
diterapkan dengan tidak terlalu aktif. Namun, karena adanya fakta bahwa
efektivitas kebijakan fiskal cenderung berkurang di bawah ITF, maka dalam
rangka mencapai social welfare gain yang tinggi, penyesuaian kebijakan
fiskal harus dilakukan secara lebih aktif, meskipun dengan biaya sosial
yang relatif moderat. Dengan demikian, perbedaan dalam social welfare
gain antara memiliki kebijakan fiskal yang optimal (aktif ) dan memiliki
kebijakan fiskal yang netral (pasif ) dapat menurun dengan cepat seiring
dengan penyesuaian kebijakan fiskal yang aktif dilakukan.
55
Determinan Politik dalam Koordinasi Kebijakan
Studi-studi mengenai hubungan antara interaksi fiskal-moneter
dan politik—baik dilihat dari sisi ideologi maupun dari sisi pembagian
kekuasaan—juga telah dapat ditemukan dalam berbagai literatur. Sakamoto
(2007), dengan menggunakan sampel negara-negara industri, menunjukkan
bahwa kebijakan fiskal dan moneter saling berespons satu sama lain dan
tergantung pada ideologi politik yang dianut oleh pemerintah yang sedang
berkuasa. Di antara temuannya adalah bahwa pemerintah yang lebih liberal
cenderung menggunakan kombinasi kebijakan fiskal yang ketat dengan
kebijakan moneter yang longgar. Temuan lainnya adalah bank sentral yang
independen akan merespon kebijakan fiskal yang longgar yang dilakukan
pemerintahan yang cenderung konservatif dengan mengetatkan kebijakan
moneternya.
Akhir-akhir ini berkembang studi yang mencoba menganalisa bagaimana
interaksi fiskal-moneter pada saat kebijakan fiskal terdesentralisasi. Sejauh
ini studi-studi tersebut fokus pada European Union, dimana kebijakan
moneternya tersentralisasi dalam EMU sementara otoritas kebijakan fiskal
dipegang oleh masing-masing negara anggota. Sebagaimana diungkapkan
oleh Andersen (2005), dalam konteks EMU, masalah koordinasi muncul
melalui dua jalur: (i) perubahan kebijakan fiskal di suatu negara dapat
mempunyai efek terhadap inflasi di negara lain karena respons dari
kebijakan moneter terhadap kebijakan fiskal tersebut; dan (ii) ekspansi
fiskal domestik dapat memberikan manfaat bagi negara partner dagang
melalui peningkatan permintaan terhadap barang impor.
Untuk konteks Indonesia, kasus di EU tentu saja tidak sepenuhnya
relevan karena perbedaan sistem moneter dan fiskal yang dianut. Namun
demikian, otonomi daerah yang disertai dengan desentralisasi fiskal tentu
saja membawa implikasi terhadap pengendalian moneter. Sebagai contoh,
Treisman (1998) melakukan cross-country study, sementara itu Brodjonegoro
et al. (2003) melihat bagaimana dampak pendapatan asli daerah dan belanja
rutin terhadap inflasi di Indonesia.
56
Menurut Treisman (1998), terdapat dua pandangan yang berlawanan
terhadap implikasi dari desentralisasi terhadap pengendalian inflasi. Kedua
pandangan tersebut masing-masing mempunyai argumen dan contoh
empiris. Pandangan pertama menyatakan bahwa desentralisasi menurunkan
inflasi karena dengan lebih menyebarnya kebijakan pengeluaran pemerintah,
maka otoritas moneter dapat menjalankan komitmen yang lebih besar
terhadap pengendalian inflasi. Pengalaman Jerman dan Swiss merupakan
contoh yang dapat dijadikan pendukung pandangan ini dimana kuatnya
pemerintah daerah di kedua negara tersebut dipandang telah membantu
pemerintah pusat untuk lebih disiplin dan memelihara independensi bank
sentral.
Pandangan sebaliknya menyatakan bahwa desentralisasi dapat menyebabkan inflasi yang lebih tinggi karena desentralisasi akan lebih
menyulitkan koordinasi dalam menurunkan inflasi. Dengan desentralisasi
yang lebih besar, baik dari sisi politik maupun dari sisi fiskal, maka
pihak yang diperlukan untuk melakukan koordinasi dalam kebijakan
stabilisasi akan semakin banyak. Pengalaman negara-negara Amerika
Latin adalah contoh yang mendukung pandangan ini. Di berbagai negara
Amerika Latin, desentralisasi politik telah meningkatkan tekanan untuk
memperbesar pengeluaran pemerintah dan mendorong peningkatan pinjaman pemerintah yang berlebihan yang pada gilirannya menyulitkan
kebijakan stabilisasi harga.
Untuk kasus Indonesia, Brodjonegoro et al. (2003) menunjukkan
bahwa pertumbuhan pendapatan asli daerah (PAD) dan belanja rutin
termasuk di antara faktor yang mempengaruhi inflasi. Pertumbuhan PAD
yang terlalu ekspansif dalam era otonomi daerah dapat memicu inflasi
melalui biaya melakukan usaha (cost of doing business) yang semakin tinggi
sejalan dengan naiknya pungutan-pungutan untuk meningkatkan PAD.
Sementara itu, belanja rutin yang tinggi dapat memicu terjadinya inflasi
melalui peningkatan permintaan agregat sejalan dengan peningkatan
belanja rutin. Dalam studi lain yang dilakukan oleh PPSK-BI bekerja sama
dengan InterCAFE-IPB (2006) ditunjukkan juga bahwa desentralisasi
57
telah mendorong permintaan agregat baik melalui peningkatan konsumsi
maupun investasi.
Temuan-temuan di atas menunjukkan bagaimana desentralisasi mempunyai implikasi terhadap inflasi, meskipun terdapat kecenderungan perbedaan implikasi di negara berkembang dengan dengan implikasi di negara
maju. Di negara maju, desentralisasi telah meningkatkan kredibilitas dan
komitmen untuk stabilitas moneter, sementara di negara berkembang
manfaat komitmen yang lebih besar dari desentralisasi belum diperoleh.
Justru sebaliknya, desentralisasi di negara berkembang telah menimbulkan
tekanan inflasi dari defisit anggaran yang lebih besar.
Di Indonesia, sebagaimana diungkapkan oleh Brodjonegoro, et al.
(2003), dengan adanya otonomi daerah, tugas otoritas moneter dalam
menjaga target inflasi menjadi lebih berat karena sumber inflasi menjadi
lebih menyebar dan lebih sulit dikontrol.
KOORDINASI KEBIJAKAN MONETER DAN FISKAL DI INDONESIA
Aspek Hukum Koordinasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan
Fiskal
Secara hukum, koordinasi antara kebijakan moneter dan fiskal
di Indonesia mengalami pasang surut sejalan dengan ketentuan atau
perundangan yang berlaku. Pada masa berlakunya Undang-Undang No. 13
tahun 1968 tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia merupakan anggota
Dewan Moneter yang ketuanya adalah Menteri Keuangan dan merupakan
perwakilan pemerintah. Secara hukum, dengan kondisi tersebut tidak ada
permasalahan koordinasi antara pemerintah dan BI karena BI merupakan
mitra kerja di dalam Dewan Moneter. Namun karena BI termasuk bagian
dari pemerintah, maka tidak terdapat lagi sistem pengendalian intern
yang dapat mencegah pemerintah untuk membiayai defisitnya berasal
dari BI. Pada periode tersebut, tidak sedikit BI memberikan kredit kepada
pemerintah, lembaga pemerintah dan bank, seperti kredit kepada BULOG
dan kredit likuiditas. Pemberian kredit tersebut merupakan penciptaan
58
uang baru oleh BI yang bersifat inflatoir sehingga dapat mengganggu
stabilitas makroekonomi.
Selanjutnya, dengan Undang-Undang No. 23 tahun 1999 sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang No. 3 tahun 2004, Bank Indonesia
merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Walaupun independen, dalam undang-undang tersebut juga disebutkan
beberapa pasal koordinasi kebijakan fiskal dan moneter, seperti pasal 55,
ayat 1, menyebutkan bahwa dalam hal pemerintah menerbitkan surat-surat
utang negara, pemerintah wajib terlebih dahulu berkonsultasi dengan Bank
Indonesia. Dari perspektif pelaksanaan kebijakan moneter, pasal ini dapat
diterjemahkan pembiayaan fiskal defisit harus memperhatikan tujuan akhir
kebijakan moneter berupa stabilitas rupiah. Dalam ayat 4 pasal yang sama
disebutkan BI dilarang membeli surat-surat utang negara di pasar primer.
Pasal tersebut merupakan salah satu upaya pencegahan agar pemerintah
tidak membiayai fiskal defisit secara langsung dari bank sentral yang dapat
berdampak terhadap peningkatan laju inflasi. Berdasarkan undang-undang
Bank Indonesia tersebut terlihat bahwa koordinasi kebijakan moneter dan
fiskal telah diatur cukup baik, seperti terdapat pembatasan biaya fiskal
defisit yang berasal dari Bank Indonesia. Selain itu, dalam penetapan inflasi
sebagai tujuan akhir dari BI, pemerintah berkoordinasi dengan BI.
Sementara itu, dari perspektif pelaksanaan kebijakan fiskal, pengaturan
koordinasi antara kebijakan moneter dan kebijakan fiskal secara eksplisit
juga dituangkan dalam tatanan legal dengan disahkannya Undang-Undang
No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pasal 21 dalam UU tersebut
menyatakan bahwa pemerintah pusat dan bank sentral berkoordinasi dalam
penetapan dan pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter. Lebih lanjut lagi
pada pasal 12 UU tersebut, untuk mengangkat masalah disiplin fiskal bagi
pemerintah pusat dan daerah, UU tersebut juga mengatur batas maksimum
defisit fiskal serta pinjaman. Defisit pemerintah pusat dan daerah, masingmasing tidak diperkenankan melebihi batas maksimum 3% dari PDB
dan PDRB. Pembatasan defisit tersebut serupa dengan Maastricht Treaty
yang mensyaratkan batas maksimum defisit sebesar 3% PDB sebagai
59
pre-kondisi untuk masuk dalam European Monetary Union. Selanjutnya,
pinjaman pemerintah pusat dan pemerintah daerah masing-masing juga
tidak diperkenankan melebihi treshold 60% dari PDB dan PDRB. Pasal 23
UU tersebut juga menjamin aspek prudensial dari pinjaman luar negeri,
dimana seluruh hibah maupun pinjaman harus mendapat persetujuan dari
parlemen. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa UU No. 17 tahun
2003 adalah bentuk legal kewajiban koordinasi antara kebijakan moneter
dan kebijakan fiskal dan sekaligus menjamin adanya tata kelola anggaran
yang taat asas.
Pasang Surut Koordinasi Kebijakan Moneter dan Fiskal
Seperti di negara-negara lainnya, tujuan kebijakan fiskal di Indonesia
khususnya sejak PELITA I lebih ditekankan kepada mendorong pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil pembangunan dengan jalan
memperluas kesempatan kerja. Seiring dengan meningkatnya pinjaman
luar negeri, kebijakan fiskal juga diarahkan pada penyelesaian utang luar
negeri dan dalam negeri untuk mencapai kondisi fiskal yang sustainable.
Sementara itu, tujuan kebijakan moneter BI berdasarkan UU No. 23 tahun
1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 tahun 2004 adalah
mengatur, menjaga, dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan
rupiah tersebut mencakup inflasi dan nilai tukar rupiah. Pada masa sebelum
UU tersebut dikeluarkan, tujuan BI selain menjaga kestabilan rupiah
juga mencakup mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta
memperluas kesempatan kerja guna meningkatkan taraf hidup rakyat.
Pemberian kewenangan kepada BI hanya menstabilkan nilai rupiah
agar BI lebih fokus dalam mencapai tujuannya dan sekaligus mengamankan
atau mengendalikan kebijakan yang dapat membahayakan inflasi. Misalnya,
kebijakan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam
jangka pendek melalui pembiayaan defisit dapat membahayakan inflasi
dan stabilitas makro, sehingga dapat dinetralisir atau dikendalikan melalui
kebijakan moneter yang cenderung ketat. Dengan demikian, terdapat
kemungkinan terjadinya perbedaan penekanan pada kedua kebijakan
60
tersebut, yaitu kebijakan moneter lebih menekankan kepada inflasi,
sementara kebijakan fiskal lebih menekankan pertumbuhan ekonomi dan
kesempatan kerja. Dengan adanya perbedaan penekanan tujuan tersebut
maka absennya koordinasi dapat mengganggu stabilitas makroekonomi.
Dalam tataran praktis, koordinasi kebijakan fiskal dan moneter yang
dilakukan dewasa ini, paling tidak, dijalankan melalui 4 aspek.
(i)
Koordinasi terkait dengan pengelolaan permintaan agregat
Secara konseptual, aspek ini banyak berhubungan dengan pendekatan
IS/LM dan pengaruhnya terhadap permintaan agregat. Aspek ini
mendudukkan kebijakan moneter dan fiskal dalam konteks koordinasi
kebijakan makroekonomi dalam mempengaruhi permintaan agregat.
Arah kebijakan moneter dan fiskal dipadukan agar tidak saling
bertentangan untuk mempengaruhi sasaran akhir yaitu pertumbuhan
ekonomi dan inflasi. Kombinasi kebijakan fiskal/moneter yang
longgar dan atau ketat diharapkan akan menghasilkan hubungan
harmonis dalam mencapai sasaran akhir tersebut. Dalam prkatek
di Indonesia, hubungan ini antara lain tergambar pada penentuan
asumsi indikator untuk penghitungan RAPBN. Dalam konteks
pengelolaan makroekonomi, penentuan dan koordinasi asumsi
APBN ini menggambarkan upaya menyatukan pandangan tentang
arah kebijakan yang akan ditempuh. Hal ini mengingat asumsiasumsi yang digunakan dalam APBN tersebut secara konseptual akan
konsisten dengan tujuan mendorong pertumbuhan ekonomi dan
menjaga stabilitas makroekonomi.
(ii) Koordinasi terkait upaya mengoptimalkan hubungan antar instrumen
kebijakan fiskal dan moneter sehingga interaksi kedua kebijakan
tersebut tidak menghasilkan paradoks.
Secara konseptual, aspek ini akan banyak terkait dengan bentuk
pembiayaan arah kebijakan yang akan ditempuh di aspek pertama.
Pada aspek ini, bentuk pembiayaan perlu dicermati karena akan
banyak mempengaruhi efektivitas kebijakan yang akan ditempuh.
Beberapa paradoks dapat terjadi jika interaksi yang terjadi pada
61
aspek pembiayaan saling bertentangan. Terkait dengan pengendalian
inflasi, konsep umum yang digunakan misalnya berhubungan dengan
konsep unpleasant monetarist arithmetic (Sargent dan Wallace, 1981)
yang kemudian berkembang menjadi konsep Fiscal Theory of Price
Level (FTPL)3. Untuk praktik di Indonesia aspek ini tercermin pada
struktur APBN. Hubungan antara suku bunga dan kinerja keuangan
pemerintah terjadi melalui komponen penerimaan PPh non-migas,
komponen pengeluaran dana alokasi umum (DAU) dan komponen
pembayaran bunga utang domestik pemerintah (yang selanjutnya
disebut bunga utang). Penerimaan PPh non-migas akan mengalami
perubahan sejalan dengan perubahan yang terjadi pada suku bunga
simpanan di bank. Pengeluaran DAU juga akan terpengaruh sejalan
dengan perubahan penerimaan dalam negeri sebagai komponen
perhitungan DAU akibat perubahan PPh non-migas tersebut.
Sementara itu, pembayaran bunga utang akan berhubungan dengan
pergerakan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 3 bulan yang
dijadikan pemerintah sebagai acuan kupon variable rate untuk surat
utang negara.
Dapat disampaikan bahwa hubungan suku bunga dan keuangan
pemerintah tersebut secara implisit menggambarkan bahwa dampak
kebijakan moneter melalui perubahan suku bunga SBI kepada
keuangan negara akan sangat dipengaruhi oleh (i) tingkat sensitivitas
masing-masing komponen dalam APBN terhadap perubahan suku
bunga dan (ii) sensitivitas dan linearitas perubahan suku bunga SBI
terhadap suku bunga simpanan di perbankan. Tingkat sensitivitas dan
karakterisitik hubungan suku bunga dan kinerja keuangan pemerintah
tersebut pada akhirnya mengindikasikan bahwa kenaikan suku bunga
berpotensi meningkatkan defisit keuangan pemerintah. Potensi defisit
ini dapat semakin meningkat bilamana dikaitkan dengan sensitivitas
antara suku bunga SBI dan suku bunga simpanan yang terkadang
tidak terjadi secara linear sehingga dapat mempengaruhi potensi
penerimaan PPh non-migas.
3
62
Beberapa literature terkait FTPL lihat Leeper (1991), Koncherlakota and Phelan (1999), Cochrane (1998), Woodford (1996, 2001) dan Walsh (2003)
Dalam kaitannya dengan implikasi bagi kebijakan moneter, kondisi
ini dapat menempatkan kebijakan moneter dalam posisi dilematis
mengingat pada saat ini kondisi fiskal masih dalam tahap konsolidasi
untuk menurunkan beban utang yang masih tinggi. Praktik lain pada
aspek ini yang perlu mendapat perhatian dalam konteks koordinasi
kebijakan fiskal dan moneter adalah peran SBI sebagai instrumen
Operasi Pasar Terbuka (OPT) dalam kebijakan moneter. Dalam
konteks anggaran pemerintah dan bank sentral yang terkonsolidasi,
penggunaan instrumen ini akan memberikan dampak berbeda dengan
konsep umum yang ada. Penggunaan instrumen hutang bank sentral
ini secara konseptual dapat menimbulkan paradoks dalam kebijakan
moneter di jangka panjang. Hal ini terutama terkait dengan beban
bunga yang harus dibayar bank sentral yang dalam praktiknya dapat
dikategorikan sebagai pencetakan uang oleh bank sentral. Dalam
kondisi kebijakan fiskal tidak menyerap tambahan uang tersebut
melalui peningkatan pajak, maka penggunaan instrumen ini berpotensi
menimbulkan tekanan inflasi di periode mendatang.
(iii) Koordinasi lain terkait dengan kemampuan kebijakan fiskal khususnya
melalui subsidi dalam menyerap resiko suatu gejolak terhadap
perekonomian secara keseluruhan.
Untuk praktik di Indonesia, konsep ini antara lain terkait dengan
peran subsidi BBM dan pengelolaan pasokan kebutuhan pokok.
Untuk subsidi kebutuhan pokok, kajian untuk kasus di Indonesia
berimplikasi pengelolaan terhadap distribusi dan pasokan kebutuhan
pokok oleh pemerintah menjadi sangat penting artinya dalam
pengendalian inflasi di Indonesia.
(iv) Koordinasi terkait dengan contigency plan dalam memantapkan
stabilitas keuangan, moneter, dan makroekonomi yang berasal dari
gejolak perekonomian.
Secara konseptual, hubungan koordinasi ini terkait dengan pencegahan
atau strategi untuk meminimalkan dampak negatif dari guncangan
perekonomian yang dapat mengganggu stabilitas makroekonomi dan
63
membahayakan kelangsungan (sustainability) perekonomian baik
dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Bercermin pada krisis
ekonomi tahun 1997/98 yang berawal dari external shock, krisis nilai
tukar dan perbankan yang telah menggoyahkan perekonomian nasional
memberikan pelajaran tentang pentingnya memiliki contigency plan
dalam mencegah terjadinya ketidakstabilan makroekonomi. Misalkan
pengaturan fasilitas pembiayaan darurat kepada perbankan nasional
dari pemerintah merupakan langkah maju dalam rangka mencegah
terjadinya resik sistemik krisis perbankan dari satu bank ke bank
yang lain. Contigency plan tersebut seharusnya tidak hanya terbatas
pada pemeliharaan stabilitas makroekonomi. Misalnya strategi
meminimalkan dampak dari meroketnya kenaikan harga minyak
dunia terhadap inflasi dan perekonomian melalui pembentukan
Sovereign Welfare Fund (SWF) atau strategi lainnya.
Beberapa Permasalahan dalam Pelaksanaan Koordinasi
Koordinasi kebijakan moneter dan fiskal dewasa ini masih menghadapi berbagai kendala yang menjadikan interaksi kedua kebijakan
makroekonomi belum optimal. Kendala tersebut antara lain terkait dengan
hubungan struktural bentuk interaksi kebijakan moneter fiskal itu sendiri.
Kendala optimalisasi koordinasi kebijakan juga mengemuka terkait dengan
lingkungan kondisi perekonomian yang belum menguntungkan serta
beberapa permasalahan teknis dan operasional.
Salah satu permasalahan struktural yang mengemuka dewasa ini adalah
penggunaan SBI sebagai instrumen OPT. Kondisi ini secara struktural dalam
jangka menengah panjang akan membebani dan menempatkan kedua
kebijakan makroekonomi tersebut dalam posisi dilematis. Upaya menyerap
kelebihan likuiditas oleh Bank Indonesia yang konsisten dengan upaya
pengendalian inflasi akan menimbulkan beban bagi neraca bank sentral
dan perekonomian di masa mendatang. Beban bagi bank sentral adalah
peningkatan biaya bunga SBI yang akan meningkatkan resiko neraca bank
sentral. Beban ini kemudian dapat mengalir dan membebani kebijakan
64
fiskal (APBN) jika resiko neraca bank sentral tersebut terus meningkat
dan harus ditutupi oleh dana dari APBN. Dalam konteks perekonomian
secara lebih luas, penggunaan SBI berpotensi memberikan tekanan inflasi
ke depan jika beban bunga riil SBI meningkat lebih besar dibandingkan
pertumbuhan ekonomi. Resiko peningkatan inflasi ke depan semakin besar
jika pada saat bersamaan penyerapan likuiditas yang bersumber dari pajak
relatif tidak elastis.
Premis dan permasalahan struktural penggunaan SBI dalam konteks
koordinasi kebijakan fiskal dan moneter ini, sejalan dengan kajian yang
dilakukan oleh Bank Indonesia yang akan disampaikan pada bagian
selanjutnya, menunjukkan bahwa penggunaan SBI sebagai instrumen OPT
dalam kebijakan moneter juga memiliki resiko memberikan tekanan inflasi
ke depan. Hasil simulasi ini berbeda jika Bank Indonesia menggunakan
Surat Perbendaharaan Negara (SPN) atau T-Bills sebagai instrumen dalam
OPT. Hal ini terjadi karena peningkatan beban utang yang timbul dari
OPT akan direspon secara aktif oleh kebijakan fiskal dengan meningkatkan
pajak. Dalam kondisi potensi kenaikan uang beredar dapat diserap oleh
pajak, kebijakan moneter ketat yang ditempuh Bank Indonesia akan
secara permanen menurunkan inflasi ke depan. Penggunaan SBI sebagai
instrumen OPT tersebut secara konseptual dapat diklasifikasikan sebagai
pembentuk quasi fiscal deficit di Indonesia.
Permasalahan struktural yang juga perlu dicermati dalam konteks
koordinasi dan interaksi kebijakan fiskal dan moneter adalah terkait dengan
dampak arah kebijakan moneter terhadap beban bunga utang domestik
pemerintah. Menggunakan alur analisa Loyo (1999), Favero dan Giavazzi
(2004) dan Blanchard (2004), argumen tersebut terkait dengan dampak
kebijakan moneter ketat melalui peningkatan suku bunga terhadap
peningkatan beban pembayaran bunga utang domestik pemerintah yang
pada gilirannya dapat meningkatkan defisit keuangan pemerintah, ceteris
paribus.
Bilamana defisit ini dibiayai dengan penerbitan utang pemerintah
domestik sementara pada saat bersamaan kinerja fiskal masih belum
65
stabil maka kondisi ini akan diterjemahkan sebagai peningkatan resiko
kesinambungan fiskal oleh pelaku pasar. Peningkatan resiko tersebut
selanjutnya dapat berimplikasi kurang menguntungkan terhadap nilai tukar.
Inflasi akan berada dalam tekanan bilamana tekanan terhadap nilai tukar
terus berlanjut. Dalam keadaan bank sentral merespon pelemahan nilai tukar
dan potensi peningkatan inflasi ini dengan menaikkan kembali suku bunga
maka permasalahan akan berulang dan meningkat sehingga menempatkan
kebijakan moneter dalam posisi yang kurang menguntungkan. Dalam
jangka panjang, kondisi ini dapat menempatkan kebijakan moneter dalam
posisi dilematis dalam pengendalian inflasi.
Berbagai indikator mengindikasikan hal yang hampir sama dengan
argumen di atas. Persepsi resiko pelaku pasar yang didekati dengan
indikator yield spread antara Yankee bond dan US T-notes menggambarkan
gerakan yang hampir searah dengan rasio utang pemerintah. Hal ini secara
implisit menggambarkan upaya menutupi defisit dengan penerbitan
utang pemerintah akan disikapi secara berhati-hati oleh pelaku pasar
karena ditengarai dapat mengganggu prospek kesinambungan fiskal. Sikap
tersebut kemudian berimplikasi kepada keputusan pelaku pasar dalam
melakukan penanaman modalnya di Indonesia sehingga pada akhirnya
berpengaruh terhadap pergerakan nilai tukar. Data pasca September 1997
mengindikasikan bahwa persepsi resiko memiliki hubungan yang positif
dengan pergerakan nilai tukar.
Koordinasi kebijakan fiskal dan moneter dewasa ini juga menjadi kurang
optimal dan dilematis karena pada saat bersamaan lingkungan ekonomi
domestik dan global masih kurang menguntungkan. Lingkungan domestik
yang masih mengalami ekses likuiditas perbankan dan konsistensi Bank
Indonesia mengendalikan likuiditas perbankan agar tetap sesuai kebutuhan
perekonomian mengakibatkan beban OPT terus mengalami peningkatan.
Beban ini semakin meningkat karena pada saat bersamaan pertumbuhan
ekonomi belum mampu menyerap tambahan likuiditas secara optimal.
Berbagai kondisi ini berpotensi semakin memperberat resiko neraca bank
sentral dan secara keseluruhan dapat mengurangi efektivitas kebijakan
moneter dalam mengendalikan inflasi.
66
Lingkungan global yang kurang menguntungkan juga terkait dengan
perkembangan harga komoditi dan pasar finansial global. Harga komoditi
global seperti beras dan CPO yang meningkat memberikan beban tersendiri
kepada kebijakan fiskal. Pengurangan bea masuk berbagai komoditas
industri dan pemberian subsidi kebutuhan pokok mempengaruhi
kesinambungan fiskal. Pada sisi lain, tekanan kenaikan harga komoditi
global tersebut berpotensi memberikan tekanan secara permanen terhadap
inflasi domestik.
Respon kebijakan moneter ketat terkait dengan dampak harga komoditi
global ini menjadi dilematis karena pada sisi lain upaya mempercepat
pertumbuhan ekonomi juga menjadi pertimbangan kebijakan fiskal.
Lingkungan pasar finansial yang mengalami ekses likuditas juga menjadi
tantangan sendiri bagi koordinasi kebijakan fiskal dan moneter. Arus modal
masuk yang saat ini cukup besar mengharuskan kebijakan moneter dan
fiskal lebih kuat. Kebijakan moneter yang ditempuh diarahkan agar tidak
terjadi posisi hard landing perekonomian pada saat terjadi penyesuaian
perilaku arus modal global. Sementara, prospek kesinambungan fiskal
harus tetap dijaga mengingat perilaku investor global juga mencermati
kinerja dan prospek kebijakan fiskal.
Kendala lain yang mengakibatkan koordinasi kebijakan fiskal dan
moneter menjadi belum optimal antara lain terkait dengan beberapa
permasalahan teksnis dan operasional. Peran daerah yang saat ini meningkat
sejalan dengan pemberian otonomi daerah memberikan tantangan dalam
mengkonsolidasikan kebijakan fiskal dalam konteks pemerintahan secara
umum (general government) dengan arah kebijakan moneter. Proses
penyusunan APBD yang raltif lebih lambat dibandingkan APBN dapat
menghambat penentuan arah umum kebijakan makroekonomi. Koordinasi
kebijakan fiskal dan moneter juga terhambat terkait proses politik di
parlemen baik di tingkat daerah maupun pusat pada saat penetapan APBN
dan APBD yang relatif cukup lama. Kondisi ini akan memberikan dampak
kesenjangan waktu (in side lag and out side time lag) terhadap efektivitas
timing dan magnitude kebijakan makroekonomi yang akan ditempuh.
67
Berbagai studi empiris untuk melihat manfaat koordinasi kebijakan
moneter dan fiskal dalam mendorong kesejahteraan ekonomi masyarakat
telah dilakukan oleh Mochtar (2003, 2004, 2005), Goeltom dan
Simorangkir (2005), Hermawan and Munro (2007), serta Goeltom dan
Hermawan (2007).
Goeltom dan Simorangkir (2005) menganalisis koordinasi kebijakan moneter dan fiskal di Indonesia dari tahun 1970-2002 dengan
menggunakan model teori permainan (game theory). Fungsi tujuan
dari pemerintah dan Bank Indonesia adalah meminimalkan kerugian
kesejahteraan masyarakat (loss function) dari perbedaan target pertumbuhan
ekonomi dan inflasi dengan aktualnya. Perbedaan mendasar dari fungsi
tujuan tersebut adalah kebijakan fiskal memberikan bobot yang lebih
besar kepada pertumbuhan ekonomi dibandingkan inflasi, sebaliknya
kebijakan moneter memberikan bobot yang lebih besar terhadap inflasi
dibandingkan pertumbuhan ekonomi. Temuan pokok dari hasil simulasi
game theory antara lain: (i) Pembiayaan fiskal defisit yang berasal dari Bank
Indonesia dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan laju inflasi dan
stabilitas makroekonomi, (ii) Kebijakan fiskal yang terlalu ekspansif atau
mengutamakan pertumbuhan ekonomi di Indonesia dapat mengakibatkan
kerugian kesejahteraan masyarakat (social loss) yang lebih besar terhadap
perekonomian, (iii) Kebijakan moneter yang terlalu ketat atau mengutamakan
inflasi tanpa memperhatikan pertumbuhan ekonomi dapat mengakibatkan
kerugian kesejahteraan masyarakat yang lebih besar terhadap perekonomian
Indonesia, dan (iv) Koordinasi kebijakan moneter dan kebijakan fiskal
memberikan kerugian kesejahteraan masyarakat yang lebih kecil terhadap
perekonomian dibandingkan jika tidak berkoordinasi.
Studi lanjutan dilakukan oleh Hermawan dan Munro (2007),
yang mempelajari interaksi kebijakan moneter dan kebijakan fiskal di
Indonesia dalam kerangka model Dynamic Stochastic General Equilibrium
(DSGE) yang disesuaikan dengan karakterisitik prekonomian terbuka
dan negara berkembang, dalam tiga periode yang berbeda yaitu 19912006, paska nilai tukar mengambang 1998-2006, dan paska krisis 200068
2006. Hasil studi melalui eksperimen simulasi stokastik menyimpulkan
bahwa kebijakan fiskal di Indonesia mempunyai kontribusi yang signifikan
dalam menjaga stabilitas perekonomian atau bersifat countercyclical,
dan peran aktif tersebut bersama-sama dengan kebijakan moneter telah
menghasilkan loss function yang minimum bagi perekonomian. Dengan
perkataan lain, otoritas moneter untuk jangka pendek dapat mentolerir
inflasi yang sedikit lebih tinggi demi menjaga momentum pertumbuhan
output.
Analisis terkini oleh Goeltom dan Hermawan (2007) dengan
pendekatan yang sama berupaya melihat respons moneter atas berbagai
skenario kebijakan fiskal sebagai akibat shock yang tidak terantisipasi.
Dalam hal ini, skenario-skenario tersebut merupakan alternatif kebijakan
fiskal yang dapat ditempuh untuk menghadapi tekanan APBN akibat
peningkatan harga minyak dunia terkait dengan subsidi Bahan Bakar
Minyak (BBM), yaitu kebijakan pengeluaran pemerintah yang berdampak
ekspansif, kontraktif, maupun kebijakan pengurangan subsidi. Khusus
mengenai kebijakan pengurangan beban subsidi yang menimbulkan
tekanan inflasi ,studi ini menekankan perlunya kecermatan kebijakan
moneter yang umumnya cenderung ketat. Hasil studi menunjukkan bahwa
respon optimal melalui peningkatan suku bunga untuk meredakan dampak
peningkatan harga domestik dan selanjutnya memperbaiki output, ternyata
memiliki dampak ikutan dalam bentuk penurunan daya beli atau konsumsi
rumah tangga miskin yang dapat berlangsung cukup lama, yakni sekitar
sepuluh kuartal. Pada gilirannya, hal ini akan mengurangi kesejahteraan
masyarakat luas. Terindikasikan akan pentingnya bauran kebijakan fiskal
dan moneter dilakukan dengan memperhitungkan momentum yang tepat,
dimana kebijakan pengurangan subsidi BBM sebaiknya dilakukan pada
saat inflasi berada ada tingkat yang rendah dan pertumbuhan ekonomi
berada tingkat yang relatif tinggi.
69
PEMIKIRAN MENGENAI ARAH KOORDINASI KEBIJAKAN KE DEPAN
Mengamankan manfaat koordinasi kebijakan di lingkungan ketidakpastian
Dari berbagai studi empiris yang dilakukan penulis, terlihat bahwa
Otoritas moneter maupun fiskal dituntut untuk lebih transparan, akuntabel, dan terukur dalam melaksanakan kebijakannya masing-masing,
sehingga signal kebijakan yang disampaikan dapat direspons secara positif
oleh pelaku ekonomi. Jika koordinasi kebijakan moneter dan fiskal terjaga
dengan baik, maka manfaat dari koordinasi kebijakan dapat segera dipetik
seperti terciptanya kestabilan makro, meningkatnya keyakinan pelaku
ekonomi atas Indonesia, semakin mudahnya akses kepada pasar finansial
global, serta semakin mudahnya akses kepada pasar finansial global, serta
naiknya peringkat Indonesia di dunia internasional; di mana semua itu
pada hakekatnya akan berujung pada peningkatan peluang peningkatan
kesejahteraan hidup masyarakat Indonesia. Selain itu, indahnya koordinasi
kebijakan moneter dan fiskal akan sangat tampak di saat perekonomian
Indonesia menghadapi ketidakpastian dan gejolak eksternal, misalnya
dalam bentuk shock harga minyak ataupun nilai tukar.
.RRUGLQDVL ¿VNDO GDQ PRQHWHU KDUXV PHQJDFX NHSDGD XUXWDQ
(sequence ¶WLQGDNDQ NHELMDNDQ¶ GL PDQD VDODK VDWX RWRULWDV KDUXV
PHODKLUNDQNHELMDNDQWHUOHELKGDKXOXEHUGDVDUNDQWDQWDQJDQVSHVL¿NGL
EDZDKRWRULWDVQ\D\DQJEHUDVDOGDULOLQJNXQJDQHNVWHUQDOEDUXNHPXGLDQ
GLUHVSRQ ROHK NHELMDNDQ RWRULWDV ODLQQ\D 3DGXDQ NHELMDNDQ KDUXV
PHPSHUWLPEDQJNDQ NHQGDOD NHUDQJND XQGDQJXQGDQJ VHUWD NHUDQJND
RSHUDVLRQDOQ\D3HUNHPEDQJDQGDQWDQWDQJDQHNRQRPLJOREDOPHPEXDW
NRQWHNVSHODNVDQDDQPRGHONRRUGLQDVL’leader-follower¶LQLKDUXVOHELK
GLODWDUEHODNDQJLROHKGLQDPLNDshocksDWDXNHMXWDQ\DQJWHUMDGL'HQJDQ
GHPLNLDQtujuan akhir dari koordinasi kebijakan ini tidak akan membuat
kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang dikorbankan.
Berdasarkan pengalaman masa lalu, shocks yang dialami Indonesia
umumnya datang dari lingkungan eksternal. Adalah sebuah kenyataan,
70
bahwa saat ini kita hidup di tengah perekonomian dunia yang terintegrasi.
Bertumpu pada komoditas, barang manufaktur, dan jasa unggulan,
Indonesia dapat memanfaatkan integrasi ekonomi dunia tersebut demi
kemakmuran bangsa. Komoditas, barang manufaktur, dan jasa unggulan
tersebut dapat memenangkan persaingan di tingkat global tidak hanya
karena kelimpahannya saja di bumi Indonesia, namun hal tersebut
merupakan cermin produktivitas agen ekonomi domestik.
Jika kita percaya buah dari keterbukaan perekonomian adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat, maka koordinasi kebijakan moneter dan fiskal menjadi penting untuk menjamin keberlangsungan dan
kontinuitasnya. Hal utama yang menjadi ancaman dari keterbukaan
ekonomi adalah volatilitas serta ketidakpastian ekonomi internasional. Bagi
Indonesia dengan skala perekonomian kecil dan terbuka, ketidakpastian
ekonomi global antara lain tercermin dari dinamika nilai tukar Rupiah
terhadap US Dollar. Adakalanya agen ekonomi domestik dapat menduga
gerak nilai tukar Rupiah ke depan, namun di saat lain geraknya menjadi
tidak sesuai prakiraan. Semua itu menciptakan peluang sekaligus tantangan
bagi sinkronisasi kebijakan moneter dan fiskal sehingga kepentingan
perekonomian domestik tidak terganggu. Paduan indah dan optimal
dari koordinasi kebijakan moneter dan fiskal harus bertujuan untuk
mengamankan benefit perekonomian yang telah dinikmati agen ekonomi
domestik, buah dari keterbukaan ekonomi.
Saat ini koordinasi kebijakan moneter dan fiskal dapat dikatakan
relatif berjalan lebih baik dibandingkan masa sebelumnya. Menghadapi
shock kenaikan harga minyak yang mendekati USD100/barrel pada
tahun 2007, serta kegoncangan pasar dunia sebagai akibat dari masalah
pinjaman subprime di Amerika, kestabilan makroekonomi Indonesia
terbukti dapat terjaga dengan baik. Sumbangan penting bagi kestabilan
makroekonomi tersebut datang dari kebijakan otoritas fiskal dalam
merealokasi pos anggaran dan kebijakan yang mengarah pada penurunan
hutang pemerintah. Hasil simulasi dalam studi Goeltom dan Hermawan
(2007) mendukung peran penting kebijakan otoritas fiskal tersebut dalam
71
merespon shock harga minyak, seraya mempertahankan agar daya beli
pelaku ekonomi domestik tidak turun. Kebijakan tersebut menumbuhkan
kredibilitas otoritas fiskal di tengah gejolak pasar dunia saat ini, dan sebagai
akibatnya arah perekonomian saat ini tidak memerlukan respon kebijakan
moneter lanjutan yang signifikan4. Selain itu, data menunjukkan kesehatan
fiskal yang cukup signifikan dalam hal terjaganya defisit APBN di bawah
angka 3%, dan menurunnya beban hutang pemerintah sejak tahun 2000,
terutama pinjaman luar negeri.
Terdapat dua hal penting yang harus segera diwujudkan menghadapi
tantangan ke depan, dalam konteks untuk meletakkan koordinasi kebijakan
moneter dan fiskal dalam tataran yang sangat strategis.
Pertama, bahwa otoritas fiskal dan moneter perlu mulai merintis sebuah
contigency plan dengan tujuan utama menjamin benefit perekonomian yang
sudah diraih tidak serta merta hilang seperti pengalaman krisis 1997 –
1998 lalu. Contigency plan harus berisi penjabaran detil langkah-langkah
pelaksanaan kebijakan masing-masing otoritas di saat genting. Apabila
mengacu kepada salah satu bentuk koordinasi kebijakan moneter dan fiskal
dalam konteks leader–follower, maka hal utama yang menjadi perhatian
adalah bentuk dan sumber permasalahan yang hendak dipecahkan. Suatu
ketika, shock ekonomi akibat kenaikan harga minyak, menuntut otoritas
fiskal mengubah kebijakan pengeluaran pemerintah dengan segera. Di
saat seperti itu, otoritas moneter menjadi ’follower’ dengan melakukan
kebijakan moneter yang seharusnya tidak bersifat mengganggu stabilitas
makroekonomi. Di suatu saat lain, shock ekonomi datang dalam bentuk
tekanan pada sektor eksternal dan karena fenomena J-curve maka nilai
tukar menjadi tertekan. Di saat tersebut otoritas moneter harus segera
melahirkan kebijakan moneter sebagai respon stabilisasi perekonomian,
dan otoritas fiskal pun menjadi ’follower’ dengan menetapkan kebijakan
fiskal yang mendukung pemulihan stabilitas makroekonomi. Prasyarat
4
72
Inflasi November 2007 tercatat sebesar 0,18% (mtm), lebih rendah daripada pola historisnya
(0,38%, mtm). Secara tahunan, inflasi tercatat sebesar 6,71% (yoy) atau lebih rendah disbanding
bulan sebelumnya (6,88%). Dengan perkembangan tersebut, inflasi ytd s.d. bulan November
2007 mencapai 5,43%, lebih tinggi dibanding periode yang sama tahun sebelumnya (5,27%).
bagi koordinasi kebijakan fiskal dan moneter tersebut adalah optimalitas
dalam hal timing, besaran, dan arah kebijakannya.
Namun perlu diingat bahwa apabila shock yang terjadi dipandang terlalu
kecil, maka tidak perlu ada mekanisme ’leader-follower’ tersebut. Sehingga
dalam kerangka contigency plan yang hendak disusun, terdapat pula ukuran
atau level dari shocks. Hal ini penting untuk menjadi dasar pembentukan
contigency plan sebab bila ukuran atau level dari shock tersebut terlewati
maka apabila tidak ada protokol yang mengatur respon optimal kebijakan,
dan koordinasi tidak direncanakan dalam satu rangkaian perencanaan,
maka respon dari sebuah otoritas akan menjadi ’terlalu besar’ dari porsi
yang seharusnya. Akibatnya, otoritas yang lain terpaksa merespon dengan
kebijakan yang tidak optimal.
Pengalaman juga mengajarkan bahwa contigency plan harus dilengkapi
dengan langkah kebijakan yang bersifat preventif dan juga kuratif untuk
menangkal dampak negatif dari arus modal keluar dalam skala besar
yang dapat terjadi secara tiba-tiba akibat dari integrasi ekonomi global.
Kongkritnya, paduan kebijakan yang bersifat preventif dapat berupa
koordinasi moneter dan fiskal untuk terus mempertahankan kestabilan
makroekonomi secara konsisten, penciptaan atmosfir yang baik bagi
Penanaman Modal Asing (foreign direct investment atau FDI) serta
pengembangan infrastruktur. Sangat beralasan apabila dalam kebijakan
yang bersifat preventif termuat upaya untuk membangun mekanisme
pengaturan swap secara bilateral dengan negara-negara partner dagang di
kawasan Asia. Selanjutnya, kerangka kebijakan preventif lain juga harus
menyentuh rancang bangun sektor finansial melalui forum stabilitas sistem
keuangan (FSSK), dengan tujuan untuk menyehatkan agen ekonomi
di dalamnya serta memperdalam sekaligus memperluas struktur pasar
finansial. Sejalan dengan upaya tersebut, FSSK juga harus mendorong
pelaku ekonomi untuk mulai melakukan lindung nilai (hedging) atas posisi
keuangan mereka yang beresiko atas nilai tukar. Selain itu, upaya monitoring
dan pemantauan dini atas kondisi sektor finansial harus menjadi bagian
penting dari detil contigency plan.
73
Sedangkan detil contigency plan berupa kebijakan yang bersifat
kuratif sangat berkaitan dengan upaya stabilisasi ekonomi jangka sangat
pendek; dimana shock dalam perekonomian Indonesia bermanifestasi
menjadi keadaan yang benting. Cirinya sudah dikenal, yakni larinya modal
asing dalam jumlah besar secara tiba-tiba, serta melemahnya nilai tukar
Rupiah secara mendalam, melonjaknya inflasi, serta runtuhnya ekspektasi
rasional pelaku ekonomi domestik dan asing. Jika demikian yang terjadi,
maka perekonomian Indonesia sudah masuk fase genting dalam kategori
krisis ekonomi dimana dampak negatifnya dirasakan oleh seluruh sektor
dalam perekonomian. Otoritas moneter dan fiskal harus bahu-membahu
dengan cerdik di saat genting tersebut.
Namun, itu saja tidak cukup, karena pengalaman krisis 1997-98 yang
lalu menunjukkan bahwa apabila stabilitas pasar keuangan sudah terancam
secara sistemik maka diperlukan crisis management protocol yang melibatkan
pimpinan tertinggi negara ini sebagai legitimasi politik yang menyepakati
perlunya tindakan luar biasa – misalnya bail-out sistem keuangan – sebagai
dasar bagi otoritas moneter dan fiskal untuk menggunakan dan menciptakan
instrumen-instrumen khusus masa krisis.
Selanjutnya, paduan kebijakan moneter dan fiskal yang optimal
dalam saat-saat genting harus memuat langkah-langkah yang terukur
dalam peningkatan intensitas intervensi langsung di pasar valuta asing dan
obligasi. Saat-saat tersebut juga menuntut peningkatan koordinasi dalam
rangka pelaksanaan Jaring Pengaman Sistem Keuangan, guna mengurangi
efek lanjutan dari risiko sistemik di sektor finansial secara drastis. Standar
kebijakan dari otoritas moneter mengatasi drastisnya pelarian modal asing
adalah dengan menggunakan instrumen suku bunga seperti di tahun 1998.
Namun, hal tersebut belum cukup karena kebijakan otoritas moneter
harus didukung kebijakan otoritas fiskal dan pemerintah secara kongkrit
yang berkaitan dengan upaya menenangkan kepanikan pelaku ekonomi
di pasar keuangan dan barang. Sehingga prioritas sasaran kebijakan kuratif
dalam situasi genting adalah: pertama, mencegah pelarian arus modal asing
dan tertekannya nilai tukar Rupiah agar tidak berlanjut dengan kebijakan
suku bunga yang terukur serta intervensi di pasar valuta asing oleh Bank
74
Indonesia, diiringi dengan intervensi terbatas dan terukur oleh otoritas
fiskal di pasar obligasi dan saham, kedua, mengembalikan ketenangan
pelaku ekonomi di sektor keuangan dengan koordinasi pelaksanaan Jaring
Pengaman Sistem Keuangan dalam keadaan emergency. Hal ini akan
menenangkan para pemilik tabungan agar tidak rush melakukan penarikan
dan besar-besaran seketika. Ketiga, penggiringan opini publik dengan
komunikasi yang fokus dan jelas dari kedua otoritas secara bersama-sama.
Perlu dihindarkan pernyataan yang simpang siur sehingga membingungkan
pelaku ekonomi. Kemudian sasaran keempat, adalah menjamin kelancaran
distribusi bahan-bahan pokok di seluruh pelosok Indonesia.
Kedua, perlu mulai dipikirkan mengenai keberadaan semacam
dana yang disebut sovereign wealth fund (SWF) yang memiliki fungsi
stabilisasi, investasi, maupun tabungan. Ke depan, hal ini sangat relevan
dengan tantangan ekonomi global bagi perekonomian Indonesia dalam
bentuk ketidakpastian yang semakin tinggi terutama di sektor keuangan.
Kecanggihan produk pasar keuangan melahirkan tantangan tersendiri baik
bagi otoritas moneter maupun fiskal. Di masa depan bentuk dari shocks
datang dari pasar keuangan global dan persoalan geo-politik. Produk
pasar keuangan dunia pun telah berkembang menyentuh pasar komoditas
internasional dengan sekuritisasi surat-surat jual beli komoditas. Hal
tersebut makin merumitkan perdagangan komoditas internasional karena
komoditi menjadi sebuah asset-class tersendiri yang menjadi setara dengan
aset finansial di pasar keuangan. Perdagangan komoditas internasional
tiba-tiba menghadapi kenyataan bahwa harga pasar tidak lagi semata-mata
ditentukan oleh permintaan atas ekspor dan impor namun terlebih lagi
oleh ekspektasi pelaku pasar keuangan atas harga sekuritisasi surat-surat
jual beli barang komoditas. Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa
hedge funds dan palaku pasar finansial internasional mulai meramu produk
derivatif yang memiliki underlying sekuritisasi surat-surat jual beli pasar
komoditas internasional.
Sebagai negara yang memiliki keunggulan dan kelimpahan komoditas
untuk ekspor, Indonesia rentan terhadap perkembangan terakhir di pasar
75
internasional. Perkembangan pesat ini menuntut koordinasi kebijakan
moneter dan fiskal untuk memiliki kreativitas dalam mempertahankan
perannya menjaga stabilitas makroekonomi. Pemerintah bersama bank
sentral harus mulai menyusun rencana kongkrit pembentukan SWF. Pada
dasarnya SWF harus dikelola dengan satu tujuan, yakni perolehan hasil
yang optimal. Keleluasaan yang lebih longgar dalam pengelolaannya,
merupakan kelebihan SWF dibandingkan dengan pengelolaan cadangan
devisa oleh bank sentral. Dana SWF dapat bersumber dari penghasilan
pemerintah dari minyak atau komoditi. Sebaiknya, pengelola SWF adalah
sebuah badan otonom resmi pemerintah yang khusus dibentuk dengan dasar
kerja seperti layaknya lembaga keuangan internasional modern. Mandat
yang diberikan kepada pengelola SWF adalah pengelolaan kapital dengan
tujuan meraup laba, tanpa embel-embel politik. Berdasarkan pengamatan,
berbagai negara yang memiliki kelimpahan endowment komoditi minyak
dan lainnya, seperti Uni Arab Emirat, Singapura, Rusia, China, telah
mulai membentuk SWF masing-masing, atas surat-surat jual beli komoditi
minyak.
Hasil kelola SWF yang diperoleh dapat dipergunakan oleh pemerintah untuk paling sedikit tiga kategorisasi.
t
,BUFHPSJQFSUBNBQFNFSJOUBIEBQBUNFOHHVOBLBOIBTJMLFMPMB48'
sebagai dana stabilisasi di saat shock ekonomi global mengganggu
kredibilitas anggaran fiskal salam bentuk gejolak harga komoditas
minyak sebagaimana yang dialami Indonesia di masa lampau. SWF
juga dapat digunakan untuk mendorong program stabilisasi yang
mengancam kestabilan sektor keuangan.
t
,BUFHPSJLFEVBIBTJMLFMPMBEBOB48'EBQBUNFOKBEJTFNBDBNsaving
funds dengan perspektif jangka panjang. Dana dapat dipergunakan
secara terencana untuk pemberdayaan pembangunan ekonomi
melalui pembangunan usaha menengah, kecil, dan mikro sekaligus
menjadi motor penggerak kegiatan promosi produk mereka di
kancah perekonomian internasional. Strategi pengembangan industri
manufaktur domestik juga dapat memanfaatkan sumber dana SWF
76
bagi program pengembangan sumber daya manusianya dalam bentuk
pelatihan-pelatihan kerja serta peningkatan skill. Kegunaan lain dalam
kategori ini adalah sumber dana bagi upaya pelestarian sumbersumber daya alam yang dapat cepat habis. Selanjutnya, mengacu
kepada pengalaman negara-negara maju maka hasil kelola dana SWF
dapat dipakai sebagai sumber dana yang menjamin kesejahteraan di
masa depan, di saat struktur demografi Indonesia berubah akibat dari
membaiknya kualitas kehidupan (aging population). Dalam jangka
panjang, harus ada jaminan bagi kelompok penduduk Indonesia yang
tidak lagi produktif berupa dana pensiun dan tunjangan kesehatan
yang memadai, sehingga kualitas kesejahteraan masyarakat dapat terus
ditingkatkan. SWF juga akan memberi peluang bagi Indonesia di masa
depan saat terjadi pergeseran dari penggunaan komoditas minyak
yang semakin langka kepada energi alternatif. Di saat kecenderungan
tersebut mulai berlaku maka akan tersedia dana cadangan masa
depan bagi kontigensinya. Bahkan dana SWF dalam kategori ini
dapat dipergunakan bagi pengembangan produk alternatif pengganti
minyak dengan memanfaatkan kelimpahan produk pertanian yang
mendukung sperti pohon jarak, jagung, dan lain sebagainya.
t
4FEBOHLBOLBUFHPSJLFUJHBTFCBHJBOIBTJMLFMPMBEBOB48'EBQBUQVMB
difokuskan secara murni bagi keperluan investasi dengan harapan di
masa depan pemerintah memiliki modal yang lebih besar lagi untuk
mewujudkan semua tujuan di atas.
Pada akhirnya, melihat tantangan ke depan yang semakin berat,
koordinasi kebijakan moneter dan fiskal harus senantiasa diupayakan
secara konsisten dengan memperhitungkan kapasitas ekonomi dan skala
prioritas, serta diletakkan di dalam dimensi kebijakan makroekonomi yang
terintegrasi, yaitu dengan merujuk pada upaya untuk menyeimbangkan
pencapaian tujuan untuk menjaga stabilitas makro serta mendorong
pertumbuhan ekonomi yang berkualitas (striking the optimal balance).
77
Ada keniscayaan sederhana bahwa nilai koordinasi itu mahal. Kalaupun dalam pelaksanaannya disertai dengan munculnya ’trade-off’ antara
pencapaian stabilitas dan perumbuhan ekonomi, maupun ’paradox’ antara
pertumbuhan ekonomi dan pengangguran di Indonesia, hal tersebut
pada dasarnya merupakan fenomena jangka pendek, tidak dalam jangka
menengah panjang. Dengan demikian, dengan dilandasi oleh spirit
’striking the optimal balance’, dengan pencapaian stabilitas makroekonomi,
dukungan terhadap kesinambungan pembangunan ekonomi dapat senantiasa terjaga baik.
Dasar stabilitas ekonomi hanyalah merupakan salah satu ’element
of continuity’ dalam pencapaian kesejahteraan ekonomi seutuhnya. Dan
karenanya, stabilitas makroekonomi yang telah diraih dalam beberapa
waktu terakhir ini bukanlah merupakan sesuatu yang datang begitu saja,
namun lebih sebagai buah dari tahapan langkah-langkah kebijakan ekonomi
makro yang selama ini dilakukan secara terkoordinasi, prudent, terukur, dan
berorientasi ke depan (forward-looking). Hal ini tentunya harus senantiasa
kita jaga dan matangkan bersama-sama dengan langkah-langkah yang
kongkrit di sektor ekonomi lain, sehingga momentum pembangunan yang
tercipta melalui stabilitas makroekonomi dapat dimanfaatkan secara optimal
untuk membangkitkan sektor riil, yang akhirnya akan menyejahterakan
rakyat banyak.
Di luar itu, dalam kaitannya dengan upaya untuk mendorong
pembangunan ekonomi nasional dengan dimensi kesejahteraan masyarakat
yang merata, tantangan yang mengemuka saat ini adalah bagaimana
kita mengoptimalkan koordinasi kebijakan dalam era otonomi daerah,
sehingga manfaat positif dari stabilitas ekonomi makro serta kebijakan
desentralisasi yang ditetapkan juga dapat dirasakan oleh masyarakat
banyak. Dilandasi atas kompleksitas dari implikasi desentralisasi terhadap
stabilitas harga, maka otoritas moneter dan fiskal baik di pusat maupun
di daerah harus melakukan revitalisasi dan peningkatan kapasitas sumber
dayanya. Revitalisasi tersebut diharapkan akan meningkatkan koordinasi
antara Bank Indonesia, Departemen Keuangan dan pemerintah daerah
78
baik dalam pengendalian inflasi itu sendiri maupun dalam pembangunan
ekonomi secara keseluruhan. Dengan begitu, koordinasi kebijakan yang
konsisten di antara otoritas moneter dan fiskal , baik di pusat maupun
daerah, akan dapat mendukung pelaksanaan desentralisasi secara optimal,
sehingga dapat memberikan berbagai manfaat baik secara politik maupun
secara ekonomi seperti yang kita harapkan semua.
79
Daftar Pustaka
Andersen, Torben M. (2005), “Fiscal Stabilization Policy in a Monetary
Union with Inflation Targeting. Journal of Macroeconomics, 27, pp.
1-29.
Barro, R.J. and D.B. Gordon (1983), “Rules, Discretion, and Reputation
in a Model of Monetary Policy”, Journal of Monetary Economics, 12.
Bennet, Herman dan Norman Loayza (2002), “Policy Biases When The
Monetary adnd Fiscal Authorities Have Different Objectives”, on
Monetary Policy: Rules and transmission Mechanism, Norman Loayza
and Klaus Schmidt-Hebbel (eds), Central Bank of Chile.
Blanchard, Olivier (2004), “Fiscal Dominance and Inflation Targeting:
Lesson from Brazil” NBER Working Paper, 10389, Maret.
Blinder, Alan S. (1982), “Issues in the Coordination of Monetary and Fiscal Policy”, NBER Working Paper, No. 982.
Boediono (2007), “Dimensi Ekonomi-Politik Pembangunan Indonesia”,
Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Ekonomi – Universitas Gadjah
Mada. Februari.
Brodjonegoro, Bambang P.S., Iskandar Simorangkir, B. Yulianita, dan T.A.
Falianty (2003), “Identifikasi Faktor-Faktor Penentu Inflasi Regional
dalam Era Otonomi”, Working Paper, Pusat Pendidikan dan Studi
Kebanksentralan BI dan Universitas Indonesia.
Dodge, David. (2002), “The Interaction between Monetary and Fiscal
Policies”, The Donald Gow Lecture, School of Policy Studies, Queen’s
University, April.
Favero, Carlo A. and Fransesco Giavazzi (2004), “Inflation Targeting and
Debt: Lesson from Brazil”, NBER Working Paper, 10389, Maret.
Goeltom, Miranda S. and Iskandar Simorangkir (2005), “Monetary and
Fiscal Synergy in Indonesia”, Working Paper, Bank Indonesia.
80
Goeltom, Miranda S. and Danny Hermawan (2007), “Respon Optimal
Kebijakan Moneter terhadap Shock Fiskal, pendekatan New
Keynesian Open Macroeconomics”, Mimeo, Bank Indonesia,
December
Javed, Zahoor Hussain and Ahmet Sahinoz (2005), “Interaction of
Monetary and Fiscal Policy in Case of Turkey”, Journal of Aplied
Science, Asian Network for Scientific Information.
Kydland, F.E. and E.C. Prescott (1977), “Rule Rather Than Discretion:
The Inconsistency of Optimal Plans”, Journal of Political Economy,
Vol. 85.
Leeper, Eric M. (1991), “Equilibria under ‘Active’ and ‘Passive’ Monetary
and Fiscal Policies”, Journal of Monetary Economics, 27, February
Loyo, E (1999), “Tight Money Paradox on the Loose: A Fiscalist
Hyperinflation”, mimeo, Kennedy School of Government, Juni.
Mochtar, Firman (2003), ”SBI, T-Bills dan Pengendalian Inflasi”, Buletin
Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Vol.3 No.6.
_____________ (2004), ”Fiscal and Monetary Policy Interaction: Evidences and Implication for Inflation Targeting in Indonesia”, Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Vol. 7(3).
_____________ (2005), ”Keterkaitan antara Suku Bunga dan Keuangan
Pemerintah serta Implikasinya bagi Kebijakan Moneter”, Ulasan
Pojok, Biro Kebijakan Moneter-Bank Indonesia, Volume II Nomor
5 , Maret.
Mohanty, M.S. and Michela Scatigna (2004), Countercyclical Fiscal Policy
and Central Bank, BIS Working Paper.
Petit, Maria Luisa (1989), “Fiscal and Monetary Policy Coordination: A
Differential Game Approach”, Journal of Applied Econometrics, Vol.
4 (2).
81
PPSK-BI dan InterCAFE-IPB. (2006), “Analisis Dampak Desentralisasi
Fiskal Terhadap Kinerja Ekonomi Daerah dan Sektor Keuangan
Daerah”, Mimeo, Bank Indonesia.
Roisland, Oystein dan Ragnar Trovik. (2000), “Fiscal Policy under Inflation
Targeting”, Arbeidsnotat, 2000/15, Norges Bank.
Sakamoto, Takayuki (2007), “Fiscal-Monetary Policy Mix: An Investigation
of Political Determinants of Macroeconomic Policy Mixes”, Mimeo,
Southern Methodist University.
Sargent, Thomas and Neil Wallace (2005), “Some Unpleasant Monetarist
Arithmetic”, Federal Reserve Bank of Minneapolis Quarterly Review,
5, Fall.
Traclet, Virginie (2004), “Monetary and Fiscal Policies in Canada:
Some Interesting Principles for EMU?”, Working Paper, Bank of
Canada.
Treisman, Daniel. (1998), “Decentralization and Inflation in Developed
and Developing Countries”, Mimeo, Department of Political
Science, UCLA.
82
PERANAN KOORDINASI KEBIJAKAN MONETER DAN
FISKAL TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA
Iskandar Simorangkir1
Abstrak
Perdebatan hubungan kebijakan moneter
dan fiskal terkait dengan dampak defisit anggaran
yang dapat mengganggu inflasi yang merupakan
tujuan akhir kebijakan moneter. Sebaliknya, bagi
pembuat kebijakan fiskal inflasi yang terlalu ketat
dapat berdampak buruk terhadap pertumbuhan
ekonomi dan kesempatan kerja yang merupakan tujuan utama dari kebijakan fiskal. Tidak
terdapatnya koordinasi diantara kedua kebijakan tersebut dapat berdampak terhadap stabilitas
makro dan pertumbuhan ekonomi.
Paper ini akan membahas koordinasi kebijakan
moneter dan fiskal di Indonesia dari tahun 1969
hingga tahun 2002 baik dengan analisis empiris
dan menggunakan pendekatan game teori baik
berupa cooperative dan non-cooperative game. Hasil
analisis empiris dan simulasi teori permainan
menunjukkan bahwa koordinasi kebijakan mo1
Kepala Biro Riset Ekonomi, Bank Indonesia dan Dosen Pasca Sarjana Universitas Pelita Harapan, Jakarta, Indonesia. Email: [email protected] dan [email protected] . Penulis
mengucapkan terimakasih kepada n peserta seminar call for papers PPSK-FE UI tahun 2005
83
neter dan fiscal memberikan kerugian output
(output loss) yang lebih kecil dibandingkan jika
kedua kebijakan tidak berkoordinasi.
*************
Key words: Game Theory, Koordinasi, Kebijakan moneter dan fiskal JEL Classification: C71, C72, E63
1. Pendahuluan
Pembahasan mengenai pentingnya koordinasi antara kebijakan
moneter dan fiskal telah lama menjadi topik perhatian dikalangan akademisi
dan praktisi. Sebagian berpendapat bahwa koordinasi kebijakan moneter
dan fiskal akan berdampak positif terhadap stabilitas makroekonomi.
Sebagian pandangan yang lain berpendapat bahwa sebaiknya kedua otoritas
kebijakan tersebut tidak memperhatikan tingkah laku otoritas kebijakan
yang lain karena dengan koordinasi tujuan kebijakan moneter dan fiskal
tidak dapat dilakukan secara optimal.
Perdebatan mengenai pentingnya koordinasi antar kebijakan moneter
dan fiskal terkait dengan adanya perbedaan penekanan tujuan kebijakan
moneter dan kebijakan fiskal. Perbedaan penekanan pada kedua kebijakan
tersebut dapat mengakibatkan hasil akhir kedua kebijakan tidak optimal
bagi perekonomian. Pembiayaan fiskal defisit yang berlebihan dapat
mengakibatkan terjadinya peningkatan laju inflasi yang sangat tinggi
(hyper inflation). Sebaliknya, kebijakan moneter yang terlalu ketat dapat
memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Dampak dari interaksi kebijakan moneter dan fiskal terhadap kinerja
makroekonomi telah lama dibahas baik secara teoritis maupun empiris.
Berbagai studi menunjukkan bahwa sinergi kebijakan moneter dan fiskal
84
akan mendorong tercapainya tujuan optimal (Oudiz dan Sachs, 1984).
Sementara Rogoof dan Keanth (1985) mengemukakan bahwa hasil
interaksi kebijakan moneter dan fiskal tergantung dari besarnya distorsi
perekonomian. Semakin besar distorsi dalam perekonomian, maka semakin
kecil hasil dari proses interaksi dari kedua kebijakan. Sebaliknya, kajian
Beetsma dan Bovenberg (1998) menunjukkan bahwa tidak terdapat manfaat
dari koordinasi kebijakan moneter dan fiskal jika terdapat pertentangan
tujuan kedua kebijakan dan nominal upah telah ditetapkan.
Terlepas masih adanya perbedaan pandangan tentang manfaat koordinasi, pengalaman empiris negara-negara di Amerika Latin pada akhir
tahun 1980-an menunjukkan bahwa pembiayaan fiskal defisit yang besar
dan terjadi terus menerus melalui penciptaan uang baru oleh bank sentral
(quasi fiscal) telah mengakibatkan negara-negara tersebut mengalami
hiper inflasi dan resesi ekonomi yang dalam. Pengalaman Indonesia pada
tahun 1960-an juga menunjukkan kejadian yang sama dan bahkan akibat
tingginya laju inflasi uang rupiah dipotong (sanering) nilainya.
Pengalaman beberapa negara termasuk Indonesia menyadarkan
pembuat kebijakan untuk melakukan koordinasi. Koordinasi kedua kebijakan tersebut secara harmonis dapat meningkatkan social welfare masyarakat. Dengan koordinasi, defisit pengeluaran pemerintah dapat terkendali sehingga laju inflasi dapat dicapai pada tingkat yang rendah dan
pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dapat dicapai.
Permasalahan koordinasi kebijakan moneter dan fiskal di Indonesia menjadi lebih penting lagi sejak Bank Indonesia mengumumkan
penerapan secara penuh kerangka kebijakan moneter inflation targeting
(ITF). Tidak sedikit pengamat ekonomi berpendapat bahwa penerapan
ITF yang terlalu kaku akan membahayakan kelanjutan pertumbuhan
ekonomi. Kebijakan moneter yang hanya memperhatikan target inflasi
dapat menekan pertumbuhan ekonomi dan pada lanjutannya akan
meningkatkan pengangguran di Indonesia. Dengan demikian diperlukan
adanya keseimbangan pencapaian tujuan dari masing-masing kebijakan
(striking the balance) agar hasil yang dicapai menjadi optimal.
85
Sejalan dengan pemikiran di atas, paper ini akan membahas mengenai
perkembangan dan dampak kooordinasi kebijakan moneter dan fiskal
di Indonesia. Setelah bagian pendahuluan ini, paper selanjutnya akan
membahas perspektif teori kebijakan moneter dan fiskal serta dilanjutkan
pembahasan koordinasi kebijakan moneter dan fiskal di Indonesia. Bagian
akhir ditutup dengan kesimpulan dan implikasi kebijakan dari temuan di
dalam pembahasan.
2. Perspektif Teoritis dan Empiris Koordinasi Kebijakan Moneter
dan Fiskal
Perdebatan pentingnya koordinasi antara kebijakan moneter dan fiskal
pada dasarnya tidak terlepas dari terdapat perbedaan penekanan dalam
pencapaian tujuan masing-masing kebijakan. Tujuan utama kebijakan
moneter lebih ditekankan pada stabilitas harga, dengan dasar beberapa
pertimbangan. Pertama, dengan output ditentukan kapasitas ekonomi
dalam jangka panjang maka segala kebijakan yang mendorong pertumbuhan
ekonomi akan menciptakan inflasi (the short-run Phillips-curve) sehingga
tidak akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi riil (Kydland and
Prescott, 1977). Kedua, rational economic agent mengerti bahwa tindakan
kejutan pembuat kebijakan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi
yang mendorong inflasi dapat mendorong terjadinya permasalahan timeconsistency (Barro and Gordon, 1983). Ketiga, Kebijakan moneter
mempengaruhi variabel ekonomi memakan waktu panjang dan mempunyai
lag (Friedman, 1968). Keempat, kestabilan harga dapat mendorong
terciptanya iklim ekonomi yang lebih baik karena akan mengurangi biaya
yang berasal dari inflasi.
Penetapan stabilitas harga sebagaimana dikemukakan di atas akan
mendorong kesinambungan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Namun di sisi lain jika pencapaian kebijakan moneter tidak dilakukan secara terukur juga dapat mengakibatkan tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi. Misalnya, kebijakan moneter yang terlalu ketat dapat
menekan (sequeze) pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan jumlah
pengangguran.
86
Sementara itu, tujuan kebijakan fiskal lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan pengangguran. Kebijakan fiskal yang
terlalu longgar dalam pencapaian tujuan tersebut dapat mengakibatkan
terjadinya defisit anggaran yang dapat membahayakan stabilitas ekonomi
makro. Dampak dari defisit fiskal yang kronis dan besarnya utang pemerintah
dapat menimbulkan beberapa akibat (Traclet, 2004). Pertama, Fiskal defisit
dapat meningkatkan rasio utang sehingga dapat meningkatkan beban utang
dan menurunkan investasi yang produktif. Kedua, Peningkatan jumlah
bond yang dikeluarkan untuk menutup fiskal defisit akan menciptakan
crowding-out effect, yaitu penurunan investasi swasta yang produktif,
sehingga membahayakan kelangsungan pertumbuhan ekonomi. Ketiga,
defisit anggaran pemerintah yang kronis dapat mengakibatkan tingginya
inflasi.
Pengalaman empiris di negara-negara Amerika Latin, negara Afrika dan
negara mantan eropa timur pada tahun 1988-1991 menunjukkan bahwa
fiskal defisit yang kronis dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi
telah mengakibatkan terjadinya hyper-inflation di negara-negara tersebut.
Defisit fiskal yang dibiayai dari penciptaan uang telah mengakibatkan
pesatnya pertumbuhan uang beredar dan selanjutnya hal tersebut telah
mengakibatkan meroketnya laju inflasi di negara-negara tersebut.
Pada tabel 1 terlihat fiskal defisit pemerintah Peru telah mengakibat+kan peningkatan jumlah uang beredar sebesar 1.052,6% per tahun pada
periode tahun 1988-1991. Pesatnya pertumbuhan uang beredar tersebut
tanpa diikuti peningkatan produksi merupakan penyebab melesatnya
laju inflasi di negara tersebut hingga mencapai 1.694,3%. Hiper inflasi
telah mengakibatkan anjloknya daya beli masyarakat dan tingginya biaya
transaksi ekonomi sehingga negara tersebut jatuh ke dalam resesi ekonomi. Pengalaman negara-negara Afrika, beberapa negara Eropa dan negaranegara Amerika Latin lainnya mengikuti pola yang sama, yaitu fiskal defisit
telah mengakibatkan tingginya uang beredar dan hiper inflasi.
87
Tabel 1. Pertumbuhan Uang Beredar dan Laju Inflasi
di Beberapa Negara
(1988-1991)
Beberapa data empiris di atas menunjukkan bahwa kebijakan fiskal
yang longgar dengan kebijakan moneter yang longgar melalui penciptaan
uang baru untuk pembiayaan defisit dapat mengakibatkan terjadinya hiper
inflasi dan gangguan stabilitas makroekonomi. Sejalan dengan beberapa
fakta tersebut maka diperlukan koordinasi kedua kebijakan tersebut.
Beberapa penelitian empris telah dilakukan untuk mengetahui dampak
dari koordinasi kebijakan moneter dan fiskal terhadap perekonomian.
Pendekatan populer yang sering digunakan adalah pendekatan teori
permainan (game theory) untuk mengetahui ketiadaan koordinasi kebijakan
fiskal dan moneter.
Secara teoritis, terdapat empat jenis hasil yang didapatkan dari kebijakan bauran (policy mix) dari kebijakan moneter dan fiskal jika keputusan
dilakukan secara bebas satu dengan lainnya (independent), yaitu:
1.
2.
3.
4.
88
Kebijakan fiskal longgar dan kebijakan moneter longgar
Kebijakan fiskal longgar dan kebijakan moneter ketat
Kebijakan fiskal ketat dan kebijakan moneter longgar
Kebijakan fiskal ketat dan kebijakan moneter ketat
Hasil dari keempat bauran kebijakan (policy mix)tersebut dapat
disajikan dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 2. Bauran Kebijakan (Policy mix) Moneter dan Fiskal
.HELMDNDQ0RQHWHU/RQJ
JDU
.HELMDNDQ0RQHWHU.HWDW
.HELMDNDQ)LVNDO
/RQJJDU
+DVLO(IHNWLI
+DVLO6DOLQJ0H
QLDGDNDQ
.HELMDNDQ)LVNDO.HWDW
+DVLO6DOLQJ0HQLDGDNDQ
+DVLO(IHNWLI
Dampak dari bauran kedua kebijakan dapat dijelaskan dalam kerangka
IS/LM sebagaimana dapat dilihat dalam gambar 1, 2, 3 dan 4 di bawah
ini.
89
Berdasarkan kerangka IS/LM tersebut di atas, bauran kebijakan
moneter dan kebijakan fiskal yang longgar akan mendapatkan manfaat
terbesar jika perekonomian suatu negara mengalami resesi, seperti
ditunjukkan oleh gambar 1. Dengan kebijakan moneter dan fiskal yang
longgar yang dilakukan bersamaan, maka output (y) akan meningkat dari
y0 ke y1 dengan beban peningkatan suku bunga dari ro ke r1. Pada masa
inflasi yang tinggi (hyper inflation), bauran kebijakan moneter dan fiskal
yang ketat yang dilakukan secara bersamaan akan lebih efektif karena dapat
mengurangi positive output gap dan pada lanjutannya akan mengurangi
laju inflasi, seperti ditunjukkan pada gambar 4.
Sementara itu, jika bauran kebijakan adalah kebijakan moneter
longgar dan kebijakan fiskal ketat atau kebijakan moneter ketat dan
kebijakan fiskal longgar, maka dampak kedua kebijakan tersebut terhadap
ouput saling meniadakan. Pada gambar 2, kebijakan moneter yang longgar
akan meningkatkan ouput, sementara kebijakan fiskal yang ketat akan
mengurangi output sehingga sehingga dampak kedua bauran kebijakan
tersebut menjadi kurang efektif2. Gambar 3 juga menunjukkan pola yang
sama, kebijakan moneter yang ketat akan mengurangi output dan kebijakan
fiskal akan meningkatkan output sehingga kedua kebijakan kurang efektif
dalam meningkatkan output.
Bauran kebijakan dalam kerangka IS-LM di dasarkan atas masih
belum mempertimbangkan peranan koordinasi sehingga masing-masing
bertindak independent. Untuk melihat lebih jauh dampak dari koordinasi
keuda kebijakan terhadap kinerja makroekonomi maka akan digunakan
pendekatan teori permainan (game theory). Untuk mengenal lebih jauh
tentang pendekatan game theory dalam menganalisa efek ketiadaan koordinasi kebijakan pada kondisi makroekonomi, penulis membuat suatu
monetary-fiscal game lengkap dengan hasil yang akan didapatkan dan kerugian yang haris dibayar oleh masing-masing otoritas, seperti ditunjukan
oleh gambar di bawah ini (Bennett dan Loayza, 2002):
2
90
Pada gambar 2 dan 3, magnitude dari kedua kebijakan diasumsikan sama sehingga output tetap.
Pada dasarnya besar kecilnya output yang dihasilkan dari bauran kedua kebijakan sangat tergantung dari magnitude kedua kebijakan, tetapi kedua kebijakan saling meniadakan.
Tabel 3 : A Monetary-Fiscal Game : Outcomes and Payoff
Berdasarkan tabel 3 diatas, diasumsikan bahwa setiap otoritas kebijakan
memiliki dua pilihan kebijakan, yaitu: kebijakan pengetatan maupun
kebijakan pelonggaran ( a tight or a loose policy ). Ketika keduanya bersamasama memilih kebijakan pengetatan maka akan menghasilkan keadaan
perekonomian dimana tingkat inflasi cenderung rendah dan jumlah pekerja
yang rendah atau pengangguran tinggi, sedangkan ketika kedua otoritas
kebijakan memutuskan untuk bersama-sama membuat kebijakan yang
longgar maka mengakibatkan tingkat inflasi meningkat sedangkan angka
pengangguran cenderung rendah. Sedangkan ketika salah satu otoritas
kebijakan membuat kebijakan pengetatan sedangkan yang lain membuat
kebijakan pelonggaran dan sebaliknya, maka tingkat pengangguran dan
inflasi cenderung berada pada tingkat sedang.
Nash Equilibrium pada game ini terdiri dari kebijakan moneter ketat
dan kebijakan fiskal longgar. Jika kita melihat table Payoff schedule diatas,
ternyata nilai payoff untuk kebijakan moneter ketat dan kebijakan fiscal
longggar (yang juga merupakan solusi dari Nash Equilibrium) sama dengan
91
nilai payoff untuk kebijakan moneter longgar dan kebijakan fiscal ketat.
Namun dalam jangka panjang, kombinasi kebijakan moneter longgar
dan fiskal ketat lebih sehat daripada kebijakan moneter ketat dan fiskal
longgar (Nash Equilibrium). Hal ini disebabkan kebijakan tersebut tidak
berkompromi terhadap fiscal sustainability dan tidak memperlemah
kapasitas investasi sektor swasta.
Beberapa penelitian empiris telah dilakukan di beberapa negara untuk
mengetahui dampak sinergi atau koordinasi kebijakan moneter dan fiskal.
Penelitian empiris dengan menggunakan teori permainan yang dilakukan
Petit (1989), Bannet dan Loayza (2002), Bartolomeo dan Gioacchino
(2004), serta Faure (2004) menunjukkan bahwa koordinasi memberikan
hasil yang lebih baik bagi perekonomian dibandingkan dengan hasil tidak
terdapat koordinasi antara kebijakan moneter dan kebijakan fiskal.
Sementara itu, pengujian model stochastic yang dilakukan oleh
Friedman dan Benjamin (1979) dan Oudiz dan Sach (1984) menunjukkan
bahwa sinergi kebijakan moneter dan fiskal akan memberikan manfaat
yang lebih besar bagi ekonomi dibandingkan jika terdapat sinergi diantara
kedua kebijakan tersebut. Sebaliknya, penelitian Beetsma dan Bovenberg
(1998) menunjukkan bahwa koordinasi tidak akan memberikan hasil
positif jika terdapat konflik target dari kedua kebijakan dan upah minimal
telah ditetapkan di depan. Pada umumnya, hasil penilitian empiris menunjukkan bahwa koordinasi memberika manfaat yang lebih besar jika
dilakukan koordinasi.
3. Koordinasi Kebijakan Moneter dan Fiskal di Indonesia
Keberhasilan kebijakan-kebijakan ekonomi makro, seperti kebijakan
moneter, fiskal, perdagangan dan Industri, dalam mencapai tujuan akhir
tidak dapat berdiri sendiri. Kebijakan tanpa memperhatikan kebijakan
di sektor lain akan tidak optimal dan bahkan dapat berdampak negatif
terhadap perekonomian secara keseluruhan. Sebagai contoh kebijakan
moneter yang hanya mengutamakan kestabilan harga atau inflasi yang
92
rendah dapat mengganggu tujuan kebijakan fiskal karena dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan pengangguran. Dengan
demikian peranan koordinasi menjadi penting dalam mengoptimalkan
pencapaian tujuan akhir daripada kebijakan ekonomi makro, berupa
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Sementara itu, kebijakan fiskal yang terlalu longgar sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya dapat mengakibatkan terjadinya inflasi.
Sebaliknya, kebijakan fiskal yang terlalu ketat, seperti penarikan pajak yang
berlebihan di masyarakat dapat menurunkan konsumsi3 atau mengurangi
alokasi dana yang produktif sehingga dapat menekan pertumbuhan
ekonomi.
3.1. Aspek Hukum Koordinasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal
Secara hukum, koordinasi antara kebijakan moneter dan fiskal di
Indonesia mengalami masa pasang surut sejalan dengan ketentuan atau
perundangan yang berlaku. Pada masa Undang Undang No. 13 tahun
1968 tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia merupakan anggota dewan moneter yang ketuanya adalah Menteri Keuangan dan merupakan
perwakilan Pemerintah. Secara hukum, dengan kondisi tersebut tidak ada
permasalahan koordinasi antara Pemerintah dan BI karena BI merupakan
mitra kerja di dalam dewan moneter. Namun karena BI termasuk bagian
dari Pemerintah, maka tidak terdapat lagi sistem pengendalian intern
yang dapat mencegah Pemerintah untuk membiayai defisitnya berasal
dari BI. Pada periode tersebut, tidak sedikit BI memberikan kredit kepada
Pemerintah, lembaga pemerintah dan bank, seperti kredit kepada BULOG
dan kredit likuiditas. Pemberian kredit tersebut merupakan penciptaan
uang baru oleh BI yang bersifat inflationary sehingga dapat mengganggu
stabilitas makroekonomi.
3
Ricardian equivalence mengemukakan bahwa konsumsi tidak akan berubah karena pada masa
yang akan datang masyarakat berekspektasi akan terjadi pemotongan pajak sehingga konsumsi
tidak berubah.
93
Berdasarkan Undang Undang No. 23 tahun 1999 sebagaimana diubah
dengan Undang Undang No. 3 tahun 2004, Bank Indonesia merupakan
lembaga yang independent dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Walaupun
independen, dalam undang undang tersebut juga disebutkan beberapa
pasal koordinasi kebijakan fiskal dan moneter, misalnya, dalam penjelasan
pasal 10, dalam menetapkan sasaran inflasi, Pemerintah berkoordinasi
dengan BI. Pasal 54 juga mengemukakan tentang koordinasi, yaitu terkait
dengan kewajiban BI untuk memberikan pendapat dan pertimbangan
permasalahan ekonomi serta rancangan anggaran pendapatan dan belanja
Negara (APBN). Selain itu, pasal 55, ayat 1 juga menyebutkan bahwa dalam
hal Pemerintah menerbitkan surat-surat utang negara, Pemerintah wajib
terlebih dahulu berkonsultasi dengan Bank Indonesia. Dari sisi pandangan
kebijakan moneter, pasal ini dapat diterjemahkan pembiayaan fiskal defisit
harus memperhatikan tujuan akhir kebijakan moneter berupa stabilitas
rupiah. Dalam ayat 4 pasal yang sama disebutkan BI dilarang membeli
surat-surat utang negara di pasar primer. Pasal tersebut merupakan suatu
upaya pencegahan agar pemerintah tidak membiayai fiskal defisit secara
langsung dari bank sentral yang dapat berdampak terhadap peningkatan
laju inflasi.
Berdasarkan Undang Undang Bank Indonesia terlihat koordinasi
kebijakan moneter dan fiskal telah diatur cukup baik, seperti terdapat
pembatasan pembiayaan fiskal defisit yang berasal dari Bank Indonesia
serta koordinasi penetapan sasaran laju inflasi.
3.2. Analisis Empiris Koordinasi kebijakan Moneter dan Fiskal
di Indonesia
Pada bagian sebelumnya diuraikan hubungan antara kebijakan
moneter dan fiskal dari sisi aspek hukum. Pada bagian berikutnya akan
diuraikan data-data empiris mengenai hubungan antara kebijakan moneter
dan kebijakan fiskal. Sebelum masuk lebih jauh terhadap topik tersebut,
secara singkat akan diuraikan mengenai masing-masing tujuan kebijakan
moneter dan fiskal di Indonesia.
94
Seperti di negara-negara lainnya, tujuan kebijakan fiskal di Indonesia
khususnya sejak PELITA I lebih ditekankan kepada mendorong pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil pembangunan dengan jalan
memperluas kesempatan kerja. Seiring dengan meningkatnya pinjaman
luar negeri, kebijakan fiskal juga diarahkan pada penyelesaian utang luar
negeri dan dalam negeri untuk mecapai kondisi fiskal yang sutainable.
Sementara itu, tujuan kebijakan moneter BI berdasarkan UU No.
23/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3/2004 adalah mengatur, menjaga, dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan rupiah
tersebut mencakup inflasi dan nilai tukar rupiah. Pada masa sebelum
UU tersebut dikeluarkan, tujuan BI selain menjaga kestabilan rupiah
juga mencakup mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta
memperluas kesempatan kerja guna meningkatkan taraf hidup rakyat.
Pemberian kewenangan kepada BI hanya mestabilkan nilai rupiah agar BI
lebih fokus dalam mencapai tujuannya dan sekaligus sebagai mengamankan
atau mengendalikan kebijakan yang dapat membahayakan inflasi. Misalnya,
kebijakan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam
jangka pendek melalui pembiayaan defisit dapat membahayakan inflasi
dan stabilitas makro, dapat dinetralisir atau dikendalikan melalui kebijakan
moneter yang ketat. Dengan demikian, terdapat kemungkinan terjadinya
perbedaan penekanan pada kedua kebijakan tersebut, yaitu kebijakan
moneter lebih menekankan kepada inflasi, sementara kebijakan fiskal lebih
menekankan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja. Dengan adanya
perbedaan penekanan tujuan tersebut maka jika tidak terdapat koordinasi
maka dapat mengganggu stabilitas makroekonomi.
Setelah membahas mengenai tujuan kebijakan moneter dan fiskal
di Indonesia serta terdapatnya perbedaan penekanan tujuan dari masingmasing kebijakan, pada bagian berikutnya akan dibahas fakta empiris
koordinasi kebijakan moneter dan fiskal di Indonesia. Sebagaimana diketahui secara teoritis pertambahan uang primer4 (base money) akan sama
4
Uang primer adalah kewajiban moneter dari otoritas moneter (BI) yang terdiri dari uang kartal
di masyarakat dan bank, giro bank di BI dan kewajiban sektor swasta lainnya.
95
dengan pertambahan net domestic assets (NDA) dan net foreign assets
(NFA) atau net international reserve (NIR). Secara matematis perhitungan
tersebut dapat diformulasikan sebagai berikut:
'M 0
'NDA 'NIR
(1)
'M 0 adalah pertambahan uang primer, 'NDA terdiri dari pertambahan tagihan bersih kepada pemerintah (NCG), pertambahan tagihan
bersih kepada bank, perorangan dan perusahaan (NCBS) dan pertambahan
faktor-faktor lainnya (NOI). Setiap pengeluaran pemerintah akan dicatat
di NCG sehingga jika tidak terjadi pengeluaran NCG maka uang primer
(M0) akan meningkat.
Berdasarkan data empiris seperti terlihat di grafik 1, Pertumbuhan Net
Claim to Government ( NCG ) dengan pertumbuhan Base Money pada
tahun 1981 sampai 2004 mempunyai kecenderungan untuk berhubungan
positif, setiap terjadi ekspansi NCG, maka akan menyebabkan terjadinya
peningkatan pertumbuhan uang beredar. Hal ini dapat dilihat dalam plot
grafik 1, pada saat terjadi ekspansi NCG pada tahun 1983 sebesar 31.81
% daripada tahun sebelumnya, menyebabkan pertumbuhan uang primer
meningkat menjadi 25 % daripada tahun sebelumnya yang hanya tumbuh
sebesar 4 %.
Pada tahun 1992 pertumbuhan NCG sebesar 27.45 % dibandingkan
tahun sebelumnya, peningkatan NCG ini direspon positif oleh peningkatan
uang primer pada saat itu yang pertumbuhannya meningkat sampai 31 %
dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya tumbuh pada tingkat 3 %.
Respon positif terbesar uang primer terhadap perubahan NCG terjadi pada
saat krisis ekonomi pada tahun 1998, pada saat itu pertumbuhan NCG
meningkat menjadi 552 % dibanding tahun sebelumnya yang sebesar
28 %, pertumbuhan NCG yang sangat besar tersebut menyebabkan
peningkatan pada pertumbuhan uang primer yang meningkat menjadi
77 % dibandingkan pertumbuhan tahun sebelumnya yang berkisar pada
tingkat 38 %.
96
Grafik 1. Pertumbuhan Tahunan NCG dengan Uang Primer
Secara teoritis, melalui suatu proses penciptaan uang maka uang
primer akan ditransformasikan ke dalam uang beredar dalam artian sempit
(M1) dan dalam artian luas (M2). Pada saat pemerintah meningkatkan
pengeluaran seperti tercermin dari peningkatan NCG, maka menyebabkan
terjadinya peningkatan uang primer. Peningkatan uang primer akan
berdampak pada peningkatan uang beredar ( M1/M2 ) seperti terlihat di
grafik 2.
Grafik 2. Pertumbuhan Tahunan Net Uang Primer dan M2
97
Sementara itu, berdasarkan grafik 3 terlihat bahwa hubungan antara
uang beredar (M1/M2) dan inflasi adalah positif. Pada saat pertumbuhan
uang beredar meningkat sampai 49 % pada tahun 1974, ternyata diikuti oleh
peningkatan laju inflasi pada saat itu, yaitu sebesar 40%. Dampak positif
pertumbuhan uang beredar juga dapat dilihat pada tahun 1980 dan tahun
1998, pada tahun-tahun tersebut pertumbuhan uang beredar mencapai 44
% dan 66 % sedangkan laju inflasi juga mengalami peningkatan sampai
pada tingkat 18 % dan 58 %.
Grafik 3. Pertumbuhan Uang Beredar dengan Tingkat Inflasi
Hubungan langsung antara pengeluaran pemerintah (APBN) dan
inflasi juga menunjukkan hubungan yang positif (Grafik 4). Pada saat
pemerintah menetapkan kebijakan fiskal ekspansif maka akan menyebabkan
peningkatan laju inflasi. Hal ini dapat dimengerti karena peningkatan
pengeluaran pemerintah akan meningkatkan agregat demand sehingga
menyebabkan terjadinya peningkatan harga-harga secara umum (inflasi).
Disaat pemerintah meningkatkan pengeluarannya pada tahun 1974 sampai
68,35 %, laju inflasi pada tahun tersebut juga meningkat menjadi 40 %.
Peningkatan laju inflasi yang diakibatkan oleh peningkatan pengeluaran
pemerintah juga terjadi pada tahun 1980, pada saat itu pertumbuhan
pengeluaran pemerintah mencapai 48.6 % sedangkan laju inflasi mencapai
18 %.
98
Dampak positif pertumbuhan pengeluaran pemerintah terhadap laju
inflasi dapat dilihat juga tahun 1998 dan pada tahun 2000. Pada tahun
1998, ketika pertumbuhan pengeluaran pemerintah meningkat sampai 54
%, ternyata diikuti peningkatan laju inflasi sebesar 58 %, sedangkan pada
saat pertumbuhan pengeluaran pemerintah menurun sampai tingkat – 2 %
pada tahun 2000, laju inflasi juga menurun sampai tingkat 3.7 %.
Grafik 4. Pertumbuhan Pengeluaran APBN dengan Inflasi
Hubungan pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi
juga menunjukkan hubungan posistif. Dari grafik 5 dapat dilihat bahwa
pengeluaran APBN cenderung berdampak positif terhadap pertumbuhan
ekonomi. Dampak positif paling nyata terlihat pada saat pengeluaran
pemerintah meningkat sebesar 12.5 % pada tahun 1994 daripada tahun
sebelumnya yang hanya sebesar 5.3 %, pertumbuhan ekonomi juga
meningkat sebesar 7.5 % daripada tahun sebelumnya yang hanya 6.5
%. Pada saat krisis tahun 1998 hubungan tersebut tidak stabil, ketika
pengeluaran pemerintah meningkat sampai 54.2% pada tahun 1998,
ternyata pertumbuhan ekonomi pada tahun tersebut malah mengalami
penurunan sampai tingkat – 13 %.
99
Grafik 5. Pertumbuhan Pengeluaran APBN
dengan Pertumbuhan Ekonomi
Sementara itu, hubungan kebijakan moneter dengan pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari perkembangan suku bunga dengan pertumbuhan ekonomi. Pengaruh negatif Suku bunga deposito berjangka 3
bulan terhadap pertumbuhan ekonomi dapat dilihat grafik 6. Dalam plot
grafik 6 terlihat bahwa pada saat suku bunga berjangka 3 bulan meningkat,
maka menyebabkan pertumbuhan ekonomi pengalami kontraksi. Pada
tahun 1980, saat suku bunga deposito diturunkan pada tingkat 6 %, maka
pertumbuhan ekonomi pada saat itu meningkat sampai 9.8 %. Sedangkan
pada saat bunga deposito ditingkatkan menjadi 18 % pada tahun 1985,
membuat pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan.
100
Grafik 6. Suku Bunga dengan Pertumbuhan Ekonomi
Pentingnya koordinasi kebijakan moneter dan fiscal sebagaimana
diuraikan dalam analisis grafis sebelumnya juga didukung penelitian
Simorangkir (2005). Penelitian tersebut menggunakan model teori
permainan (game theory) dengan menggunakan data dari tahun 19702004. Tujuan optimal dari masing-masing kebijakan moneter (BI) dan
kebijakan fiskal (Pemerintah) ditetapkan terlebih dahulu. Selanjutnya,
dilakukan simulasi seberapa besar kerugian output (output loss) jika masingmasing kebijakan hanya mementingkan tujuannya sendiri-sendiri dan jika
bekerjasama atau berkoordinasi.
Hasil dari output loss terhadap perekonomian jika BI dan pemerintah
tidak bekerjasama berdasarkan teori permainan tersebut dapat dilihat pada
tabel 3.
101
Tabel 3
Jumlah Kerugian Pemerintah Jika Pemerintah dan BI Tidak Bekerjasama
Berdasarkan hasil perhitungan di atas terlihat, jumlah kerugian
pemerintah terhadap ekonomi jika pemerintah (kebijakan fiskal) dan BI
(kebijakan moneter) tidak bekerjasama adalah sebesar 17,95. Selanjutnya,
jika pemerintah berkeinginan meningkatkan pertumbuhan ekonomi lebih
besar (seperti tercermin dari bobot GDP dan G yang lebih besar) maka
jumlah kerugian bagi perekonomian menjadi lebih besar, yaitu sebesar
18,60. Sebaliknya, jika pertumbuhan ekonomi lebih kecil atau inflasi lebih
rendah maka jumlah kerugian bagi ekonomi yang berasal dari pemerintah
menjadi lebih kecil, yaitu sebesar 17,30. Dengan mengacu pada hasil
empiris tersebut, maka setiap upaya pemerintah untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek mengakibatkan social welfare
menjadi berkurang.
Total kerugian ekonomi yang berasal dari BI jika pemerintah dan BI
tidak bekerjasama adalah sebesar 16,36. Hasil empiris juga menunjukkan
bahwa jika BI terlalu memperhatikan inflasi dan mengabaikan pertumbuhan
102
ekonomi dapat mengakibatkan terjadinya total kerugian ekonomi yang
lebih besar. Kondisi tersebut tercermin dari tabel 3 yang menunjukkan
bahwa social lost ekonomi lebih besar (17,22) jika BI ingin menurunkan
inflasi yang lebih rendah dari path idealnya. Sebaliknya, jika kebijakan
moneter lebih diarahkan kepada pertumbuhan ekonomi yang sesuai dengan
kapasitasnya maka social lost ekonomi menjadi lebih kecil.
Tabel 4.
Jumlah Kerugian BI Jika Pemerintah dan BI Tidak Bekerjasama
Sementara itu, jika kebijakan moneter (BI) dan kebijakan fiskal
(Pemerintah) bekerjasama maka social lost ekonomi menjadi lebih kecil.
Tabel 4 menunjukkan bahwa jika toleransi antar kebijakan sama (koefisien
kerjasama sebesar 0,5) maka total social lost bagi perekonomian hanya
sebesar 18,24 jauh di bawah total social lost jika tidak bekerjasama, yaitu
sebesar 34,31.
103
Tabel 5
Total Kerugian Ekonomi Jika Bekerjasama
4. Tantangan Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter di
Indonesia
Beberapa fakta empiris dan hasil studi seperti diuraikan sebelumnya
menunjukkan betapa berbahayanya jika kedua kebijakan hanya mengutamakan tujuan masing-masing tanpa memperhatikan tujuan ekonomi
dalam jangka panjang. Kebijakan fiskal atau kebijakan moneter yang
berorientasi jangka pendek dalam mengejar pertumbuhan ekonomi telah
mengakibatkan lemahnya stabilitas makroekonomi sehingga mendorong
terjadinya overheating economy. Tingginya laju inflasi mendorong ketidakpastian ekonomi sehingga dalam jangka panjang dapat mengganggu
pertumbuhan ekonomi.
Pengalaman krisis tahun 1997/1998 menyadarkan kembali tentang
pentingnya orientasi kebijakan yang lebih berjangka panjang. Untuk
104
mengarahkan kedua kebijakan tersebut diperlukan orientasi baru dari
kebijakan moneter dan fiskal. Orientasi baru tersebut diarahkan kepada
konvengensi tujuan dari kedua kebijakan, yaitu memperoleh pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan.
Secara kelambagaan untuk mencapai tujuan tersebut, maka terdapat kecenderungan secara global untuk menggunakan rules dalam pelaksanaan kebijakan moneter dan fiskal dibandingkan dengan discretion.
Kecenderungan tersebut juga terjadi di Indonesia, sejak Juli 2005 BI
telah menerapkan inflation targeting framework (ITF) sebagai kerangka
kebijakan moneternya. Dalam ITF, BI mempunyai tujuan untuk mencapai
inflasi yang rendah sesuai kapasitas ekonomi serta menggunakan suku bunga
(BI rate) sebagai signal kebijakan moneter. Di sisi yang lain, Pemerintah
menggunakan besarnya budget defisit sebagai rules dalam pelaksanaan
kebijakan fiskalnya sejak era reformasi.
Penerapan kedua kebijakan tersebut secara harmonis tidaklah mudah
karena masih banyaknya tantangan perekonomian Indonesia. Pertumbuhan
ekonomi di atas 5% pada dua tahun terakhir (5,1% pada tahun 2004 dan
5,6% pada tahun 2005) tidak mampu menutupi peningkatan angkatan
sehingga pengangguran meningkat dari sebesar 9,5% pada tahun 2003
menjadi 9,9% dan 10,3% masing-masing pada tahun 2004 dan 2005.
Dalam rencana pembangunan jangka menengah (RPJM), pemerintah
juga telah menetapkan target fiskal defisit masing-masing sebesar -0,7%
pada tahun 2005 dan secara berangsur-angsur defisit akan dikurangi
sehingga pada tahun 2008 akan mengalami balanced budget dan tahun
2009 mengalami surplus sebesar 0,3%. Sementara itu, dari sisi kebijakan
moneter, target inflasi telah ditetapkan masing-masing sebesar 5,5% pada
tahun 2005 dan 5% pada tahun 2007.
Data di atas menunjukkan bahwa kebijakan fiskal akan mengarah ke
balance budget dan bahkan menunjukkan surplus, sementara di sisi lain
sumber-sumber pendorong pertumbuhan ekonomi sangat terbatas. Investasi
yang diharapkan menjadi sumber penggerak roda ekonomi masih sangat
terbatas. Pertumbuhan ekonomi masih bertumpu pada konsumsi yang
105
dalam jangka panjang tidak sustainable. Terbatasnya sumber pertumbuhan
ekonomi, dapat mendorong kebijakan fiskal untuk melakukan kebijakan
discretion karena kuatnya tekanan dari masyarakat khususnya tingginya
tingkat pengangguran dan kemiskinan.
Permasalahan lain yang tidak kalah beratnya adalah peningkatan harga
minyak dunia. Kecenderungan harga minyak dunia di tengah terbatasnya
sumber penerimaan pemerintah untuk menutupi bahan bakar minyak
(BBM) akan mendorong Pemerintah untuk meningkatkan harga minyak
di dalam negeri pada masa-masa mendatang. Peningkatan harga BBM akan
mendorong peningkatan laju inflasi dan pada lanjutannya meningkatkan
resiko usaha. Dari sisi kebijakan moneter, peningkatan laju inflasi akan
mendorong BI untuk melakukan respon pengetatan kebijakan moneter
jika ekspektasi masyarakat meningkat.
Banyaknya tantangan yang dihadapi perekonomian nasional dapat
menghambat harmonisasi kebijakan moneter dan fiskal. Tingginya tingkat
pengangguran dan kemiskinan dapat mendorong pemerintah melakan
kebijakan fiskal discretionary dan pada lanjutannya akan mendorong
peningkatan laju inflasi. Sementara itu, kebijakan moneter yang terlalu
ketat dalam rangka memerangi inflasi dapat mendorong perekonomian ke
resesi yang dalam. Sehubungan dengan hal tersebut perlu ada keseimbangan
antara tujuan kebijakan moneter dan fiskal (striking the balance) dengan
melihat kapasitas ekonomi.
5. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan
D Pengalaman empiris di beberapa negara menunjukkan bahwa
pembiayaan fiskal defisit yang berasal dari bank sentral dapat
mengakibatkan terjadinya peningkatan laju inflasi dan instabilitas
makroekonomi.
E Secara hukum koordinasi kebijakan moneter dan kebijakan fiskal
di Indonesia telah berjalan baik, beberapa pasal di dalam Undang
Undang Bank Indonesia telah secara tegas mengatur koordinasi
kebijakan moneter dan fiskal khususnya yang terkait dengan inflasi
106
sebagai tujuan kebijakan moneter dan permasalahan ekonomi dan
APBN.
F Kebijakan fiskal yang terlalu ekspansif atau mengutamakan pertumbuhan
ekonomi di Indonesia dapat mengakibatkan social lost yang lebih
besar terhadap perekonomian nasional. Demikian juga halnya dengan
kebijakan moneter yang terlalu ketat atau mengutamakan inflasi tanpa
memperhatikan pertumbuhan ekonomi dapat mengakibatkan social
lost yang lebih besar terhadap perekonomian Indonesia.
G Koordinasi kebijakan moneter dan kebijakan fiskal memberikan social
lost yang lebih kecil terhadap perekonomian dibandingkan jika tidak
berkoordinasi.
H Banyaknya permasalahan perekonomian nasional saat ini, seperti
tingginya pengangguran dan kemiskinan, berpotensi mengganggu
koordinasi kebijakan moneter dan fiskal. Keinginan pemerintah untuk
memerangi pengangguran dapat mengakibatkan kebijakan fiskal
terlalu ekspansif sehingga dapat meningkatkan inflasi yang merupakan
tujuan akhir kebijakan moneter. Sejalan dengan tantangan tersebut,
maka diperlukan memelihara keseimbangan antara tujuan kebijakan
moneter dan fiskal (striking the balance) yang sesuai dengan kapasitas
perekonomian.
I
Implikasi kebijakan dari temuan tersebut adalah diperlukan koordinasi
kebijakan moneter dan kebijakan fiskal yang lebih erat lagi, seperti
mempertahankan dan meningkatkan peran tim koordinasi BI dan
Departemen Keuangan, serta mengembangkan tim koordinasi tersebut
hingga ke daerah-daerah dengan melibatkan Pemerintah Daerah.
107
Daftar Kepustakaan
Abel, Andrew B. And Ben S. Bernanke. Macroeconomics, Second Edition,
Addison-Wesley Publishing Co., 1995.
Ali, Faizul Ariff and T.K. Jayaraman. “Monetary and Fiscal Policy Co-ordination in Fiji“. Working Paper 2001/01, May 2001.
Bartolomeo, Giovanni Di and Debora Di Gioacchino. “Fiscal-Monetary
Policy Coordination and Debt Management: A Two Stage Dynamic
Analysis”. Working Paper No. 74, Universita Degli Studi di Roma
“La Sapienza” Dipartiento di Economia Pubblica, 2004.
Beetsma, Roel M.W.J. and A.L. Boveberg, 1998. Monetary Union Without Fiscal Coordination May Discipline Policy Makers. Journal International Economy, 45: 239-258.
Bennet, Herman dan Norman Loayza. “Policy Biases When The Monetary
and Fiscal Authorities Have Different Objectives”. Dalam buku
Monetary policy: Rules and Transmission Mechanism, edited by
Norman Loayza and Klaus Schmidt-Hebbel, Santago, Chile, 2002,
Central Bank of Chile.
Faure, Pierre. “Monetary and Fiscal Policy Games and Consequences of
Organisational Differences between the European Unio and The
Rest of the World”. Working Paper Universite Paris XII (Val-deMarne), et CEFI, 2002.
Friedman, M. And M. Benjamin, 1970. Even the St. Louis Equation Now
Believe in Fiscal Policy. Journal Money, Credit and Banking, 9: 2542.
Javed, Zahoor Hussain and Ahmet Sahinoz. “Interaction of Monetary and
Fiscal policy in Case of Turkey”. Journal of Applied Science, Asian
Network for Scientific Information: 2005.
Labertini, Luca and Ricardo Rovelli. “Optimal Fiscal Stabilization with
Credible Central Bank Independence”. Working Paper, Department of Economics, University of Bologna, December 21, 2002.
108
Petit, Maria Luisa. “Fiscal and Monetary Policy Co-Ordination: A Differential Game Approach”. Journal of Applied Econometrics, Vol. 4,
No. 2 (Apr-Jun., 1989).
Rothenberg, Alexander D. “The Monetary-Fiscal Policy Mix: Empirical
Analysis and Theoretical Implications”. Working Paper, mimeo,
2004.
Simorangkir, Iskandar. “Koordinasi Kebijakan Moneter dan Kebijakan
Fiskal di Indonesia: Suatu Pendekatan dengan Game Theory”.
PPSK Bank Indonesia Working Paper, 2005.
Traclet, Virginie. “Monetary and Fiscal Policies in Canada: Some Interesting Principles for EMU?”. Working Paper 2004-28, Bank of
Cananda.
109
110
FISCAL AND MONETARY POLICY INTERACTION:
EVIDENCES AND IMPLICATION FOR INFLATION
TARGETING IN INDONESIA
Firman Mochtar1
Abstract
The paper examines fiscal and monetary policy interaction in Indonesia prior and post economic crises
1997,by estimating quasi fiscal activities of the central
bank (QFA) and also by assessing fiscal versus monetary dominance aspect. The paper finds that economic
crises 1997 generated QFA in Indonesia. Confirming
the QFA evidence, further test also indicates fiscal policy played a dominance role post 1997, though it can
be classified in weak form. These evidences lead to the
policy implication that monetary policy in Indonesia
still call for a higher fiscal discipline and commitment
to maintain the sustainability. The failure to solve fiscal performance optimally could deteriorate monetary
policy effectiveness to control inflation under inflation
targeting framework.
1. Introduction
Intensive challenges in conducting macroeconomic policies emerged
in Indonesia since the Asian crises hit in 1997. Monetary policy was
1
Economist at Bank Indonesia. Email address: fi[email protected]
111
engaged with exhaustive challenges. Exchange rate depreciated sharply
while monetary base grew rapidly triggered by central bank’s liquidity
support. Under these circumstances, inflation increased sharply in 1998 to
reach 82%. On fiscal policy side, the sharp depreciation of the exchange
rate inevitably raised the foreign debt burden in term of domestic currency.
Moreover, a huge amount of expenditure was still required regarding the
policy to restore the banking system and also to finance other government
operational expenditures.
Macroeconomic policies pursued afterwards expressed the effort to
solve the problem. Tight monetary policy was conducted to absorb a huge
amount of excess liquidity. From fiscal side, central government had issued
domestic debt both for replacing the central bank’s liquidity support and for
recapitalizing banking system during period September 1998 and October
2000 (Bank Indonesia, 1999 and Hawkin, 1999). Furthermore, starting
2002 government also issued different types of bond to finance the state
budget deficit2. The total government debt, both domestic and external,
rose from 25% of GDP at end-1996 to 96% at the end of 2000.
The paper is intended to test empirically fiscal and monetary policy
interaction during that period of macroeconomic adjustment 1998-2003.
The interaction will be viewed from the plausibility of quasi fiscal activities
by central bank (QFA)3 and be extended to test fiscal versus monetary
dominance. The QFA estimation is motivated by the fact that during the
period adjustment, the fiscal side come under a heavy burden while in
monetary side accorded a sharp increase of central bank balance sheet.
On assumption that consolidated government budget identity holds, this
fact generates some suspicion of fiscal monetization in Indonesia during
that period. Conceptually, this circumstance could lead to QFA since
QFA emerges if total public sector spending is above additional central
2
Boediono (2004) explained that the increase of the domestic debt was associated with the effort
to support banking system and classified them into three main policy namely (i) policy to overcome the shortage of liquidity in banking system through Bank Indonesia’s liquidity support,
(ii) policy to guarantee public’s deposit in banking system and (iii) policy to recapitalize banking
system.
3. The acronym QFA will be used frequently to express the quasi fiscal activities by central bank
112
government public debt.As residual of those two variables, QFA is required
to finance the central government financial gap.
Moving forward from QFA issue, fiscal versus monetary dominance
test is also gauged to confirm the QFA result. Still on assumption that
consolidated government budget identity holds, the presence of QFA
could also imply the presence of the fiscal dominance in view of fiscal and
monetary policy interaction. Under this circumstance, fiscal policy which
is reflected in present value of primary balance will move exogenously to
the initial total public debt and sequentially required monetary policy to
satisfy consolidated budget identity.
Extending method proposed by Buiter (1993), Budina-Wijnbergen
(2000) and Markiewicz (2001) for the QFA estimation, the paper finds that
fiscal and monetary interaction in Indonesia during the crisis 1997/98has
created QFA phenomenon. Most of the source behind the figure since
1998 inevitably was the effect of rescue operation held by the central bank
associated with the financial system. In addition to this source, huge increase
in central bank securities also contribute to QFA because it has enlarged
the cost of central bank on monetary instrument and together with the first
source has sequentially worsen central bank balance sheet position. Parallel
to the QFA result, the paper also finds that fiscal policy is likely to be more
dominant in view of fiscal and monetary policy interaction during the
crises. Utilizing method employed by Canzoneri et.al(2001) and Tanner
and Ramos (2002), paper obtains that fiscal policy has moved exogenously
to debt performance post 1997 such that could lead to the emergence of
fiscal dominance classification.
Based on the findings, the paper finds some implication for monetary
policy in Indonesia. The nature of fiscal and monetary policy interaction
implies that imposing monetary policy effectiveness in Indonesiastill
call fora higher fiscal discipline and commitment of the government to
maintain the sustainability. Parallel to some arguments4, thispaper’s results
implythe failure to solve fiscal performance optimally could deteriorate
4. See Loyo (1999), Blanchard (2004), Favero and Giavazzi (2004)
113
monetary policy effectiveness to control inflation under inflation targeting
framework (ITF).
Paper will be organized into five parts. Part two estimates the QFA by
central bank in Indonesia. Employing part two result, part three presents
the test of fiscal versus monetary policy dominance. Part four addresses
implications of the results for the effectiveness of monetary policy in
Indonesia under ITF. Part five concludes the paper.
2. Estimating Quasi Fiscal Activities by Central Bank
Indeed, the estimation of QFA will only provide an approximation,
not a precise number because the method used to estimate only applies to
the aggregation level. However, the approach in this paper still provides a
good direction of QFA if the precise information of QFA is not available
(Markiewicz, 2001). QFA is obtained from the simple manipulation of
consolidated government budget constraint which is formed from central
government budget and central bank financial account. As explained in
many macroeconomic and monetary theory text books5, consolidated
government budget constraint defines that in addition to revenue from
tax, government should sells bonds to public and/or to the central bankto
meet the spending.Parallel to this basic concept and on assumption that
consolidated government budget identity holds, QFA will be acquired if
total public sector borrowingrequirement6 is higher than additional central
government public debt which eventually finance from central bank to fill
central government financial gap.
2.1 A Brief Conceptual of QFA
To describe the QFA in Indonesia, I modified and extended the Buiter
(1993), Budina-Wijnbergen (2000) and Markiewicz (2001) analytical
framework such that it could represent Indonesia’s consolidated public
5. See Walsh (2003, chapter 4) for the an example
6. which is also called overall budget balance obtained from tax revenue minus total government
spending
114
budget identity ‘prototype’. After having some simple algebra manipulation
from central government budget and central bank financial account, QFA
analysis will focus on the term NOI in following equation7:
(1) 'DCg - 'DEPg - 'Bm + E-1 ('NFA*) - 'M + 'Cp = 'NOI
where CDg - credit to government from central bank, DEPg - government deposits at the central bank, Bm - central bank securities used as
monetary instrument, E – nominal exchange rate, NFA – net foreign asset,
M – monetary base,and Cp - credit to non-governmental sector (commercial
bank and private sector). The asterisk * denotes variable in foreign currency,
while ' indicates the absolute change in the expression that follows.
Equation (1) is the centre of analysis of the QFA which describes the
amount of money required by the central bank to balance the fiscal operation
by central government such that can satisfy the consolidated government
budget constraint between central government budget and central bank
financial account. Equation (1) implies the amount of money created by
central bank as part of public entities to finance the central government
spending. By definition, indeed equation (1) indirectly also reflects the
flows of central bank’s net worth for a certain period because it also shows
the difference between bank’s asset and its liabilities8. The negative value of
NOI could reflect that liabilities of the bank has exceeded asset and could
indirectly provide the fragility of the central bank’s financial position. With
respect to our case, the negative value of NOI could indicate a QFA by
central bank at that period.
One of the sources of the deficit in equation (1) is a higher of 'M.
This equation implied that any shock that could rise 'M and subsequently
will lead a deficit in QFA. Following Mackenzie and Stella (1996), the
source of 'M risecould be initiated from the central bank rescue operation
7. For the detail algebra manipulation, see the original paper.
8 Stella (1997) distinguished definition between net worth and capital in view of central bank
balance sheet. He defined net worth as the price a fully informed risk neutral investor would pay
to purchase the bank under normal condition. Meanwhile capital was defined as the amount
directly invested by shareholder plus accumulated retained earning minus losses. The term of net
worth is more appropriate to our paper because it captures the changes in the value assets and
liabilities both for past and future changes.
115
related to the financial system which can take a variety of form – from a
simple infusion of capital, to an assumption of nonperforming loans, to an
after-the-fact exchange rate guarantee. Table 1 reproduceMackenzie and
Stella (1996) classification.
Table 1
Classification of Quasi Fiscal Activities
Operation Related to the Excahnge Rate System
Multiple exchange rate
Import deposits
Deposit on foreign assets purchases
Exchange rate guarantees
Subsidized exchange risk insurance
Operation Related to the Financial System
Subsidized Lending
Administered lending
Preferential rediscounting practices
Poorly rediscounting practices
Loan guarantees
Reserve requirements
Credit ceiling
Rescue operations
Source: Mackenzie and Stella (1996), page 4
Further discussion could be addressed to the role of central bank
securities ('Bm) in estimatingthe QFA. By definition equation (1) implied
that sterilization by central bank through increasing 'Bm implies will
raise QFA. Nevertheless, by practice this hypothesis could not be always
occurred because when base money ('M) would also contract the same
amount when central bank sterilize the money supply by selling the central
bank securities. The higher 'Bm would raise the QFA only if 'M does not
changedue to other source of monetary policy expansion which is higher
that central bank policy contraction through the central banksecurities.
The Argentina’s experience in 1989-1990 referred by Rodriguez (1994)
and Beckerman (1995) could be parallel to this hypothesis because tight
116
monetary policy employed central bank securities caused a monetization
and could not be fully sterilized by central bank.
2.2 Empirical Result: the crises triggered the central bank to run
quasi fiscal deficits
Employing the ratio to GDP for each variable of annual data 1986
– 2003, the empirical result of equation (1) indicates that banking crises
played a big role in raising central bank’s QFA. The central bank has been
running QFA since 1997 which reached the highest level in 1999. These
figures were really different from pre-1997 environment which posed
mostly neutral position in term of QFA. In comparing to primary balance
of the central governmentreported by the central government, this QFA
figure deviated in a wide range because central government primary balance
during that period always showed a surplus number (Graph 1).
From QFA and primary balance figures deviation, an interesting
characteristic of those deviations between NOI and the government
primary balance is the emergence of three different regimes of the fiscal
adjustment and monetary movement. The first regimes prior 1990 which
provide deficit number in central government primary balance and a
relatively neutral in central bank operation. The second regime refers to
the period between 1990 and 1997 which describes fiscal adjustment to
maintain primary surplus while the central bank maintained a neutral
position. The last regime is period after 1997 which engages deficits in
central bank quasi-fiscal activities while primary balanceturned positive.
117
Graph 1
Quasi Fiscal Activities by Central Bank, Seigniorage,
Government Primary and Overall Balance (% GDP)
Source: Bank Indonesia, Ministry of Finance, author’s calculation
Several facts explain the three different regimes. In first regime (i.e
prior 1990), the deficit figures in government spending notably relates to
the role of the government as the economic agent to enhance economic
growth. To support the objective, the government used foreign debt as
the financing source of deficit. This was possible because under small
contribution of the private agent, government placeditself in the centre of
economic development. From QFA analysis, several positive NOI implies
that not all the foreign debt was spent into domestic economy. Instead,
some of them were placed as deposit in the central bank account. The
government account and NFA of central bank increased steadily in this
period. In monetary policy part, this figure also represents the central bank
role to sterilize government expenditure. Nevertheless, the figure in this
regime could also lead a misleading interpretation because in this episode
the lack of transparency in fiscal policy has a strong environment. During
this time, the use of off-budget account also appeared in other financial
institution. Therefore the deficit primary budget balance number can be
misleading figures of central government operation during this regime.
118
From the second regime(1990 – 1997), the positive primary surplus
of central government budget corresponds to higher revenue from the
positive impact of high economic growth and high oil and gas price. Except
in 1992, this economic environment leads the fiscal policy to accumulate
surplus on both primary and overall balance. In result of the accumulated
primary surplus and the high economic growth, fiscal sustainability tend
to emerge described from declining trend of debt to GDP ratio (Graph 2).
From monetary movement, it is again slightly neutral. Nevertheless some
events still occurred at which contribute to QFA. As stipulated in central
bank law 1968 act, the central bank should support government effort to
enhanced economic growth and create employment. One policy of central
bank related to the QFA in this regime corresponded to the activities of
central bank credit to finance the private sector through liquidity credit
of Bank Indonesia, so called KLBI. Before 1998, this credit posed a high
number (Graph 3). Mackenzie and Stella (1996) argued this type of
financing can be classified into QFA because it was formed as subsidized
lending ranging from relative direct practice of lending at administered
rates set below market, lending to poor credit risk and lending without
adequate collateral.
119
Graph 2
Government Foreign and Domestic Debt (% GDP)
Source: Bank Indonesia, Ministry of Finance, author’s calculation
Graph 3
Bank Indonesia Liquidity Credit
Source: Bank Indonesia, author’s calculation
120
Another item contributed to the QFA in this region relates to the
managed floating exchange rate regime adopting during this period.
Following Mackenzie and Stella (1996) classification, operation to
exchange rate system can be classified into QFA by central bank because
it both provide a hidden subsidy to the market that should paid by the
central bank by maintaining the level of the exchange rate at certain range.
Central banks in this period pursued sterilization policy of capital inflow
in foreign exchange market such that could prevent the further domestic
currency appreciation at that time (Graph 4). Hence, this managed floating
exchange rate system inevitably reduces the central bank reserve and bring
down the QFA level lower than the government primary balance.
Graph 4
Rupiah Exchange Rate 1995 – 1997:
Intervention Band and Actual Rate (Rp/USD)
Source: Bank Indonesia
The third regime was occurred since the Asia financial crises hit.
The issue emerged in this region is apparently loose monetary policy
121
stance as reflected by the deficit number in NOI while fiscal stance keep
trying to maintain government primary surplus balance. In the fiscal
side performance, the primary balance indeed still reflects a government
idea to keep concerning to debt sustainability. The sharp depreciation of
Indonesia’s exchange rate lead an increase in foreign government debt in
term of domestic currency (Graph 2). Unavoidably, this problem cause
higher principal and interest repayment debt that ultimately cause deficit
in overall balance.
This unfortunate debt burden performance has both limited the
government stimuli to the economy and restricted financing to restore the
banking system. Fiscal problem had forced the government to issue the
domestic debt. From September 1998 to October 2000, government issued
two different domestic bonds i.e. bonds to replace the central bank’s liquidity
support9 and bonds to recapitalize the banking system (Bank Indonesia,
1999 and Hawkin, 1999). In addition, starting 2002 government also
issued domestic bond through market auction to finance the government
budget deficit. This additional debt consequently brought to the higher
burden of interest debt repayment than primary surplus obtained which
reached the peak on 2000 (Graph 2).
Interesting figures emerge since 1998 from the monetary side. Two
type of analysis of equation (1) employed current exchange rate and
constant exchange rate generally indicated that in this regime central bank
run a high quasi fiscal deficit. The difference between current exchange rate
result and 1997 constant exchange result is only in the year of 1998 which
obtained a surplus number for the NOI. However, this figure could bring
a misleading interpretation because those are more affected by the sharp
depreciation effect of the exchange rate such that could raise the net foreign
assets (NFA) in term of domestic currency value. To have a fair judgment
then we should focus on the changes of the stock of the net foreign asset
instead of the effect of exchange rate changes. Therefore, the rest of analysis,
we will focus on 1997 constant exchange rate.
9
These liquidity support were issued to prevent bank run and payment system failure
122
The general justification of this post 1997 performance was the effect
of rescue operation held by the central bank associated with the financial
system. In 1998 central bank engaged deficit of NOI amounted -4.7% of
GDP while in 1999 deficit was apparently getting higher. Those figures were
contributed from liquidity support from central bank as lender of the last
resort (Bank Indonesia, 1998, 1999). Mackenzie and Stella (1996) survey
in some developing countries showed the possibility of the similar rescue
operation could generate QFA were mostly contributed from an infusion of
capital to a troubled institution, an assumption of non-performing loans,
or an exchange rate guarantees by the central bank. Those sources of QFA
probably existed in Indonesia while the crises occurred.
In addition, some aspect in the central bank operation also contributes
the deficit. Following equation (1), the positive central bank securities
could also contribute to the deficit QFA. Following Mackenzie and
Stella (1996) argument, increase of open market operation to sterilize the
liquidity injection of the financial rescue operation could be classified to
QFA because this central bank open market operation will enlarge the
cost of central bank. Similar arguments were also proposed by Rodriguez
(1994) and Beckerman (1995) for the case of Argentinan in 1989-90. For
Indonesia case, this relates to the sharp increase of central bank securities
(SBI) as shown since 1998 and subsequently has generate higher cost for
monetary expenses of the central bank (Graph 5).
123
Graph 5
Central Bank Securities:
Stock, Interest Rate and Monetary Operation Expenses
Source: Bank Indonesia’s annual report
3. Test of Fiscal versus Monetary Dominance
Part two results emphasize Mackenzie and Stella (1996) argument
that central bank can affect the overall public sector balance without
affecting the surplus in government primary balance. Description in regime
three of Indonesia fiscal adjustment and monetary movement justify this
argument by showing that the central bank has supported the consolidated
government financing. This fact is indicated from deficit figures of NOI
while primary balance still obtained surplus. These results lead a further
question whether the sequential government primary surplus sufficiently
expresses fiscal commitment and discipline regarding to debt performance
and can be classified into monetary dominance in term of fiscal and
monetary interaction sense.
124
3.1. Technical Approach
To answer these questions, the study will be extended to investigate
the fiscal versus monetary dominance in view of macroeconomic policy
coordination. In this test, if government does not adjust the primary balance
sufficiently to reach sustainable debt level while the central bank is forced
to drive up the debt, then such regime will be classified into fiscal dominant
regime. By contrast, if the government could always ensure the primary
balance to balance inter-temporal budget in balance while monetary policy
is set independently, then the economy is under monetary dominant
(MD)10. As we will in the next section, the answer of this question will
have some further implication to the monetary independence to maintain
the price stability.
This test basically is also initiated from the public sector budget oneperiod identity as used in the previous part. In short, the model will test the
following analytical equation11:
(2)
where
as the net government primary balance that has involved seignoirage, 'M=St as the nominal value of seigniorage, i as nominal
interest rate and
. The small case letters express the scaling of the respected variable to nominal GDP.
Equation (2) describes that government should react negatively to the
current outstanding government liabilities. The higher government debt
liabilities should lead the lower present value of primary deficit decrease
(ie. the government should run a primary surplus in the present value).
By definition, this equation implies that primary balance surplus can be
generated through adjustment in expenditures, taxes or seigniorage.
To test empirically the existence fiscal or monetary dominance,
equation (2) will be applied into Vector Autoregressive (VAR) method
10 The distinction between MD and FD regimes is due to Sargent and Wallace (1981)
11 See the original paper for detail derivation to obtain equation (2)
125
which is similar to Canzoneri et.al (2001) and Tanner and Ramos (2002)12.
Before applying into VAR method, following Tanner and Ramos (2002),
equation (2) should be manipulated into changes form. To obtain this,
add the net government primary balance from both side of equation (2).
Because
represent the additional liabilities ( L ) required to finance the operational deficit then (2) is re-written in
equation (3) which will be the focus of empirical test using VAR method.
(3)
To interpret VAR result which estimates in both directions of the
variables of equation (3), then the interpretation of checking fiscal or
monetary dominance should be treated in similar way. Following Tanner and
Ramos (2002), first consider the effect of additional debt (adlt) innovation
to future primary balance (pbt+1). The equation (2) interpret that the fiscal
dominance (FD) will exist under this type of shock if primary balance are
determined exogenously and unrelated to the level of previous additional
debt and therefore the nominal and or discount factor must adjust in
equilibrium to satisfy the equation. In addition, Tanner and Ramos (2002)
also argue that the positive relationship could also indicate FD because it
reflects that the primary deficits respond to liabilities in unstable fashion.
On contrast, monetary dominance (MD) exist in this type of shock
if primary balance is determined in such way that equation (2) is always
satisfied, regardless the nominal income and discount factor behave.
According to this interpretation and equation (2), the relationship between
primary balance and the additional government liabilities should be negative
and significant because they indicate that primary deficits compensate
the changes in liabilities to help limit debt accumulation. Walsh (2003)
classified this as a traditional analysis in which fiscal policy always adjust to
ensure government’s intertemporal budget identity while monetary policy
is free to set nominal money stock or nominal of interest rate.
12 Komulaenen and Pirttilä (200) used other VAR technique to investigate empirically fiscal and
monetary dominance issue
126
A second type of shock is to consider the effect of current primary
balance innovation to future additional debt. The FD will appear if there is
no significant impact on the additional future debt of the positive innovation
of primary balance. Meanwhile, the MD will occur in this type of shock if
current innovation to the primary deficit should be positively related to the
additional future government debt and hence adlt. This figure imply that
if the government run the surplus primary balance then it can pay down
the debt and hence reduce additional future debt. Another interpretation
also appears in MD regime if we extend the assumption to a variable real
interest rate. Under this scenario, negative relationship between primary
balance innovation and future debt should appear because it reflect a
negative government response of reduction of primary deficit by lower
(higher) expected future interest payment and hence could make a more
(less) additional borrowing. Table 2 reproduce Tanner and Ramos (2002)
economic interpretation of the VAR system result regarding to the issues.
3.2. Empirical Result: Fiscal plays a dominant role
Employing quarterly data since 1984:2 to 2003:2, the estimations are
grouped into three sub-periods as indicated by QFA result i.e. period prior
1990, period between 1990 and 1997 and period after 1997. Some quarterly
raw data are obtained from author’s calculations from old government
127
budget format. Since the quarterly data for external government debt
stock is not available prior 1990, the external debt stock before 1990 was
calculated from net inflow government debt from balance of payment data
of Bank Indonesia. The primary surplus/deficit of government prior 1997
is generated by excluding the interest and principal repayment foreign
government debt from government budget.
The estimation result apparently confirms the QFA result estimation.
The Granger causality test in table 3 indicates the whole sample does not
provide a significant relationship between primary balance and additional
debt required to finance the operational deficit. This performance generally
was supported from the sub-periods prior 1990 that do not demonstrate
a considerable relationship. The significant and negative relationship
between those two variables only appears in period between 1990 and
1997. This 1990-1997 result is not a surprise result. Empirical data support
this indication. An accumulated primary surplus was move contrastingly
to the decreasing of the ratio of foreign government debt to GDP which
somehow could imply some sustainable fiscal policy.
The Granger causality test is also supported by impulse response
function of VAR result that implied an effort from fiscal policy to response
future debt growth by accumulating the government primary surplus. For
period prior 1990 and since 1997 the impulse response function does not
show a significant response to the each innovation, regardless the order. The
significant impact only appear in period between 1990 and 1997 where
128
the impulse response function for 1990-1997 period estimation obtain a
negative and significant changes on public liabilities to an innovation of
primary surplus for at least 1-2 periods (Table 4).
For period after 1997, Granger causality test provides an insignificant
figure. In addition to the result, impulse response function of VAR system
also obtained similar idea. The response of public liabilities to primary
surplus innovation provides an insignificant impact, regardless the ordering.
This result indeed slightly confirms the QFA estimation that posed a deficit
number since the crises occurred.
These results imply further description of fiscal and monetary policy
interaction. The period 1990-1997 indicates that the central government
have slightly succeeded to pursue a debt management. Government
has sufficiently reduced the future debt as responses of primary budget
surplus. The impulse response function in this period indicated that a
positive shock of current primary surplus has negatively affected the future
liabilities. Supporting the argument, QFAwas also quite neutral such that
not sufficient enough to classify monetary policy as sub-ordinate of fiscal
policy. At some degree, the result of period 1990-1997 indicates that
monetary policy played dominant role with respect to fiscal and monetary
policy interaction.
Nevertheless the story changed abruptly while the crises hit the mid
of 1997. Although the lack of observation numbers may affect the story,
the result indicated a different portrait appeared. The sharp and huge
depreciation of domestic currency, big amount of issuing additional domestic
129
debt and the unavoidable liquidity support from central bank policy in
1997 – 1999 consecutively brought a big burden to fiscal policy such that
also involved monetary policy. This performance apparently indicates that
fiscal policy play more exogenously in this regime. Indeed, the study has
also tried to exclude the central bank securities to capture ‘real’ government
debt and to see its response to the primary balance performance. However,
the result does not change and keep showing similar conclusion.
4. Implication for Inflation Targeting in Indonesia
The results from two previous parts suggest several summaries to fiscal
and monetary policy interaction in Indonesia. First, prior crises 1997,
generally fiscal policy have ensured fiscal sustainability by accumulating
primary surplus to reduce the debt ratio to GDP. Following Leeper
(1991) terms, fiscal policy during this period tended to be a passive
policy because it always tried to satisfy government budget constraint13.
Meanwhile, monetary policy plays an active role which was confirmed by
neutral position of QFA. This result apparently shows that fiscal policy
commitment on fiscal solvency lead macroeconomic policy during 19901997 under monetary dominance regime.
Second, since the 1997 the fiscal and monetary policy interaction
exhibits a big different portrait. Fiscal policy seems not be able to generate
sufficient amount of primary surplus balance to cover the rise of government
debt both from external and domestic debt. Banking crises also generated
deficit in QFA since 1998 which was mostly caused by central bank liquidity
support to banking system. In addition, government policies to withdraw
their deposit in central bank also provide another reason the emergence
of QFA. In general, those environments tend to lead the conclusion fiscal
policy behaves exogenously in view of fiscal and monetary interaction
framework since 1997.
13 Leeper (1991) defined passive fiscal policy as a situation in which fiscal policy always adjust their
primary balance to satisfy government’s intertemporal budget. On contrast, if fiscal policy is set
independently such that could generate seigniorage from monetary authority then fiscal policy
is defined under active fiscal policy.
130
How this fiscal and monetary interaction result could affect central
bank objective to control inflation, amid the environment monetary policy
independence probably has increased due to the new central bank law
enacted in 1999? Referring to Leeper (1991) terms, the result of fiscal and
monetary interaction after 1997 and also higher independent in monetary
policy could implies both active in fiscal and monetary policy regime
was occurred in Indonesia since 1999. Fiscal policy is exogenous to debt
performance while monetary policy restraint the policy only to inflation.
This macroeconomic policy environment has different implications to the
effectiveness monetary policy objective to control the inflation even under
inflation targeting framework which has been adopted by Indonesia. Much
of discussion corresponds to the implication of those fiscal and monetary
policy stance on inflation behaviour were put under fiscal theory of price
level (FTPL) literature14. Under this theory, inflation is not the sole of
territory of the central bank but it is also contributed by fiscal authority.
Carlstrom and Fuerst (1999, 2000) summarized two version of FTPL
namely weak form FTPL and strong form FTPL. Under weak form FTPL
which is parallel to fiscal dominance environment in this paper, inflation
is indeed monetary phenomenon but money growth is dictated by fiscal
authority because an increase in future deficits must result in either one
time increase in money (a one-time jump in the price level) or an increase
in future money growth (future inflation). This form is analogy to game of
chicken emerges in which monetary authority loses and is forced to “blink”
for this behaviour.
Meanwhile the strong form FTPL argues that even if money growth
is unchanged, fiscal policy independently affect price level and inflation
rate. Strong FTPL assumes that in order to uniquely determine price, the
additional restriction of government budget constraint is needed. Prices will
adjust so that the real of government debt can adjust to a level consistent
with the fiscal budget constraint even if monetary policy is unchanged. To
summarize, those two form of FTPL subsequently imply that the central
14 See Leeper (1991), Koncherlakota and Phelan (1999), Cochrane (1998) and Woodford (1996,
2001) and Walsh (2003) for FTPL literature.
131
bank is plausibly in-effective to commit to an inflation target, either because
central bank does not control the money supply (weak form) or because
inflation is not necessarily a monetary phenomenon (strong form).
Does this FTPL emerge in Indonesia in the period after 1997? This is
empirical question and even still provides long line debatable answers for
the plausible existence of the theory for strong form FTPL15. Carlstrom and
Fuerst (1999, 2000) argued that strong FTPL has some empirical problem
because it needs large elasticity in real interest rate in order for self-fulfilling
circle to occur. The large real interest rate that is apparently unrealistic
since it requires three large elasticity: (1) a large interest of money demand;
(2) a large response of output to a decline in real balances and (3) large
response of the real to decline in current output. Parallel to Carlstrom and
Fuerst (1999, 2000) argument, strong form of FTPL is unlikely present
in the case of Indonesia because all those assumptions seem not appear in
Indonesia economy as suggested in recent empirical studies in Indonesia
regarding to those issue 16.
From the weak form of FTPL, the empirical situations in Indonesia
also show similar hints to strong form. So far, weak form of FTPL cannot
be identified clearly especially since 1999 when the central bank obtained
more monetary policy independence through the new central bank act.
Since that time, central bank does not provide Bank Indonesia liquidity
credit (KLBI) as shown before 1999. In addition, the new act also prohibits
government intervention to monetary policy including seigniorage from
the central bank. Despite QFA by central bank show deficit number, some
evidences support the idea that fiscal policy keep trying to avoid financing
from central bank. Except in 2003, domestic financing from central bank
tend to be negative which implies accumulating government deposit in
the central bank. Instead, the sources of deficit financing were source from
government bond issuance and privatization of state enterprises. In addition
to it, base money also grew at a low level.
15 Some critics relates to the existence of FTPL see Carlstrom and Fuerst (1999, 2000), Buiter
(2002, 2001, 1999),
16 Among others see Anglingkusumo (2004) and Simorangkir (2002) that examined demand for
money function in Indonesia. Macroeconometric model of Bank Indonesia (MODBI) also
show a small elasticity result of interest rate impact on output.
132
To sum up, the empirical data identified cannot clearly identify FTPL
occurrence in Indonesia since 1999 for both strong and weak from of
FTPL. The QFA in central bank seems can be classified into monetary
policy discretion due to liquidity support problem. Meanwhile the fiscal
dominance conclusion using VAR approach in part three test might still
be an ambiguous result due to the lack of data. Zoli (2004) employed data
from some emerging countries argues that VAR method could provide an
ambiguous result. This result implies that monetary policy could be still
dominance in term of fiscal and monetary interaction since period 1999.
Despite those empirical results rejection on FTPL and the tendency
of monetary policy dominance in Indonesia, some literatures still show
that fiscal performance can still affect the effectiveness of monetary policy
even under inflation targeting. Using Brazil experience, Blanchard (2004)
indicated that expectation channel of fiscal performance deterioration could
cause a reversal effect of monetary policy to control inflation. Employing
fiscal dominance term to represent the deterioration of domestic government
debt, Blanchard (2004) pointed out that the tight monetary policy by
raising real interest rate could increase the probability of default on debt
which may affect domestic government debt less attractive and eventually
to lead a real depreciation. If the government debt also contains foreign
currency denominated debt, the real depreciation of domestic currency
could even lead higher price of risk. Under this circumstance, Blanchard
(2004) proposed that inflation targeting can clearly have perverse affects:
an increase in the real interest rate in response to higher inflation will
lead to real depreciation which sequentially in turn to a further increase
in inflation. The result implied that fiscal is dominance and the solution
should be from the fiscal policy. Consistent with this result, Favero and
Giavazzi (2004) also argued that default risk is at the centre of mechanism
through which a central bank that targets inflation might lose control of
inflation.
In addition, Loyo (1999) argued that fiscal performance may interrupt
the effectiveness of monetary policy through the wealth effect if government
has domestic debt problem. Under this circumstance, using Brazil for the
133
case, Loyo (1999) argued that higher interest rate by central bank could
induce higher outside financial wealth of private agents in nominal terms
which could generate higher consumption and finally higher inflation.
If monetary policy responds to higher inflation with sufficiently higher
nominal interest rate, a vicious circle will emerge. Again, fiscal dominance
interrupts monetary policy effectiveness even under inflation targeting
framework.
Graph 6
Indonesia’s Sovereign Bond Spread,
Rupiah Exchange Rate and Public Debt Ratio to GDP
Source: Bloomberg, Ministry of Finance and Bank Indonesia
134
How might all these other channel of fiscal dominance apply to
Indonesia? Although required further empirical confirmation, at least
those other channel could motivate to a more prudence and discipline in
fiscal sustainability aspect. Indeed, some indicator in Indonesia obtains
similar type of Brazilian case where government debt performance provides
parallel path to Indonesia’s sovereign bond spread (Graph 6). If this spread
tied to probability of default as Blanchard’s argument then the higher
government debt ratio will cause higher probability default of the debt.
Under this circumstance, central bank would confront higher challenge
associated with the effectiveness of inflation targeting, as argued before.
This environment also appears in other emerging countries as pointed by
BIS for positive correlation between public debt to GDP ratio performance
and sovereign bond spread.
Following Cochrane (2003) argument, this idea implied that implementation inflation targeting in Indonesia also need fiscal consideration
and commitment ability to conduct a monetary framework. BIS (2003)
discussed the importance of fiscal discipline to the effectiveness of
monetary policy to control the inflation17. In operational point of view,
implementation of interest rate rule in conducting monetary policy requires
a greater fiscal discipline and commitment ability to control government
debt performance. Furthermore Sims (2003) argued that inflation targeting
framework needs an appropriate coordination with or back up by fiscal
policy. The nature of the required coordination will depend on whether
and how central bank independence from the fiscal authority has been
implemented. In sense of debt performance, Buiter (2004) suggest that for
country with weak economic and political situation, the safe level of the net
public debt to GDP ratio is likely to be low. Further than that, Reinhart,
Rogoff and Savastano (2003) argued that developing countries with a poor
track record have a very limited capacity for carrying public debt, internal
and external. For external debt, they calculated that the ‘safe’ threshold for
highly debt intolerant emerging market may be as low as 20 percent of
GDP.
17 See Mihaljek and Tissot (2003) and Moreno (2003) for detail discussion
135
5. Concluding Remark
The main purpose of the paper is not to test Indonesia’s fiscal solvency
and neither to solve the fiscal insolvency if it was occurred. Nevertheless,
the paper inevitably still touches the idea of fiscal solvency and indirectly
also implies to effect of monetary objective to control inflation. Fiscal
and monetary interaction analysis in this paper found that the crisis has
generated QFA by central bank. Further result also shows that fiscal policy
play in a dominancerole in fiscal and monetary interaction in Indonesia
post 1997, though it can be classified in weak form.
Does this result matter for monetary policy objective to control
inflation in Indonesiawhile since 1999 the new central bank law has
provided an independence of monetary policy? This paper carefully implies
the answer is yes. Fiscal and monetary policy interaction performances lead
to the implication that monetary policy under inflation targeting framework
in Indonesia still call fora higherfiscal discipline and commitment of
the government to maintain the sustainability. The failure to solve fiscal
performance optimally could deteriorate monetary policy effectiveness to
control inflation even under inflation targeting framework. The emergence
of fiscal dominance particularly from public expectation and wealth effect
channel on debt performance could bring tight monetary policy paradox.
Under this circumstance, inflation targeting can have perverse affects: an
increase in the real interest rate to respond higher inflation will lead to real
depreciation which sequentially in turn to a further increase in inflation.
The result implied the solution to control inflation should be from the
fiscal policy not solely from monetary policy.
136
Reference
Anglingkusumo, Reza (2004), “Stability of The Demand for Real Narrow
Money in Indonesia: Evidence from The Pre and Post Asian Crisis Era”, Vrije Universiteit and Tinbergen Institute – Amsterdam,
manuscript
Bank for International Settlements (2004), “The Changing Interest rate
Environment and Debt Sustainability in the Emerging Market
Economies”, Note for non-G10 Governors meeting, 27 June
Bank Indonesia, Annual Report 1997/1998 and 1998/1999 issues
Blanchard, Olivier (2004), “Fiscal Dominance and Inflation Targeting:
Lesson from Brazil”, NBER WP 10389, March
Boediono (2004), “Kebijakan Fiskal: Sekarang dan Selanjutnya” (Current
and Future Fiscal Policy), in Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep
dan Implementasi (Fiscal Policy: Thought, Concept and Implementation), H. Subiantoro and S. Riphat, eds, Penerbit Buku Kompas,
Jakarta
Beckerman, Paul (1995), “Central Bank ‘Distress’ and Hyperinflation in
Argentina 1989-90”, Journal of Latin American Studies, 27, pp.
663-681
Budina, N., and Wijnbergen S., (2000), “Fiscal Deficit, Monetary Reform
and Inflation Stabilization in Romania”, World Bank Working Paper
Series no. 2298
Buiter, Willem H. (2004), “Fiscal Sustainability”, available at http://www.
nber.org/~wbuiter/ public.htm, 6 January
Buiter, Willem H. (2002), “The Fiscal Theory of the Price Level: A Critique”, Economic Journal, Vol 112, July 2002, pp. 459-480
Buiter, Willem H. (2001) “The Fallacy of the Fiscal Theory of the Price
Level, Again”, Bank of England Working Paper Series No. 141,
July
137
Buiter, Willem H. (1999), “The Fallacy of the Fiscal Theory of the Price
Level”, NBER Working Paper No. W7302, August
Buiter, Willem H. (1993), “Consistency Check for Fiscal, Financial and
Monetary Policy Evaluation and Design”, mimeo, World Bank,
October
Carlstrom, Charles T. and Timothy S. Fuerst (2000), “The Fiscal Theory of
the Price Level,” Economic Review, (Q I) pp. 22-32. Federal Reserve
Bank of Cleveland
Carlstrom, Charles T. and Fuerst (1999), “Money Growth and Inflation:
Does Fiscal Policy Matter?”, Economic Commentary, Federal Reserve
Bank of Cleveland, April 15
Campbell, John Y. (1987), “Does Saving Anticipate Declining Labor
Income? An Alternative Test of The Permanent Income Hypothesis”,
Econometrica, Vol. 55, November, pp. 1249-73
Canzoneri, Matthew B., Robert E. Cumby and Behzad T. Diba (2001),
“Is the Price Level Determined by the Needs of Fiscal Solvency?”,
American Economic Review, 91(5), December, 1221-1238
Cochrane, John M (2003), “Fiscal Foundation of Monetary Regime” paper
presented at 2003 NBER/NCAER Neemrana Conference, available
at http://gsbwww.uchicago.edu/fac/john.cochrane/research/Papers/
indiafiscal.pdf
Cochrane, John M (1998), “A Cashless View of U.S. Inflation,” in Be
S. Bernanke and Julio Rotemberg, eds., NBER Macroeconomic
Annual Cambridge, Mass.: MIT Press, pp.323-84
Favero, Carlo A. and Fransesco Giavazzi (2004), “Inflation Targeting and
Debt: Lesson from Brazil”, NBER WP 10389, March
Hawkin, John (2004), “Central Bank Securities and Government Debt”,
paper presented to Australasian Macroeconomic Workshop
Australian National University, Canberra, 15-16 April
Hawkin, John (1999), “Bank Restructuring in South-East Asia”, BIS Policy
Paper, September
138
Komulainen, Tuomas and Jukka Pirttilä (2000), “Fiscal Explanation for
Inflation: Any Evidence from Transition Economies”, Bank of
Finland Discussion Papers, No.11
Koncherlakota, Narayana and Christhoper Phelan (1999), “Explaining the
Fiscal Theory of the Price Level,” Federal Reserve Bank of Minneapolis
Quarterly Review 23, 14-23
Leeper, Eric M. (1991), “Equilibria under ‘Active’ and ‘Passive’ Monetary
and Fiscal Policies”, Journal of Monetary Economics, 27, February,
129-147
Loyo, E (1999), “Tight Money Paradox on the Loose: A Fiscalist Hyperinflation”, mimeo, Kennedy School of Government, June
Mackenzie, G.A. and Peter Stella (1996), “Quasi-Fiscal Operations of
Public Financial Institution”, IMF Occasional Paper, 142, October
Markiewicz, Malgorzata, (2001), “Quasi-fiscal Operations of Central Banks
in Transition Economies”, Bank of Finland Discussion Papers, No.2
Mihaljek, Dubravko and Bruno Tissot (2003), “Fiscal Positions in Emerging Economies: Central Bank’s Perspective”, BIS Papers No.20,
October
Moreno, Ramon (2003), “Fiscal Issues and Central Banking in Emerging
Economies: an Overview”, BIS Papers No.20, October
Reinhart, Carmen M., Kenneth S. Rogoff and Miguel A. Savastano (2003),
“Debt Intolerance”, NBER Working Paper No. 9908, August
Rodriguez, Carlos A. (1994), “Argentina: Fiscal Disequilibria Leading
to Hyperinflation”, in “Public Sector Deficits and Macroeconomic
Performance”, William E., Carlos A.R., an Klaus Schmidt-Hebbel,
eds, The World Bank
Sargent, Thomas and Neil Wallace (1981), “Some Unpleasent Monetarist
Arithmetic”, Federal Reserve Bank of Minneapolis Quarterly
Review 5, Fall 1-17
139
Simorangkir, Iskandar (2002), “Financial Deregulation and Demand for
Money in Indonesia”, Buletin Ekonomi dan Perbankan Vol. 5
No.1, June, 1-17
Sims, Christhoper A. (2003), “Limit to Inflation Targeting”, mimeo,
PrincetonUniversity
Stella, Peter (1997), “Do Central Banks Need Capital”, IMF Working
Paper 83, July
Tanner, Evan and Alberto M. Ramos (2002), “Fiscal Sustainability and
Monetary versus Fiscal Dominance: Evidence from Brazil, 19912000, IMF Working Paper, No. 5, January
Van’t dack, Jozef (1999), “Implementing Monetary Policy in Emerging
Market Economies: An Overview of Issues”, BIS Policy Papers, No.
5, March
Walsh, Carl (2003), Monetary Theory and Policy, 2nd Edition, (Cambridge,
MA: The MIT Press)
Woodford, Michael (1996), “Control of the Public Debt: A Requirement
for Price Stability?”, NBER WP 5684
Woodford, Michael (2001),”Fiscal Requirements for Price Stability”,
Journal of Money, Credit and Banking 33: 669-728
Zoli, Edda (2004), “How Does Fiscal Policy Affect Monetary Policy In
Emerging Market Countries?”, BIS, draft
140
PERANAN ASA NALAR DALAM MENENTUKAN
EFEKTIVITAS KEBIJAKAN DEFISIT ANGGARAN
R. Maryatmo1
Pendahuluan
D
ua pertanyaan besar dicoba dijawab dalam penelitian ini.
Pertama, penelitian ini mencoba menjawab pertanyaan apakah
kebijakan defisit anggaran mempengaruhi perekonomian pada
umumnya dan variabel moneter khususnya. Jika kebijakan defisit anggaran
mempengaruhi variabel moneter, maka bank sentral yang independen perlu
melakukan koordinasi secara erat dengan penguasa fiskal. Kedua, penelitian
ini mencoba mencari jawab apakah masyarakat Indonesia rasional. Jika
rasional, maka masyarakat Indonesia akan mampu belajar dari pengalaman
dan menggunakan seluruh informasi yang dimiliki secara efisien guna
mendukung keputusan ekonominya. Kedua pertanyaan tersebut akan
dicoba dicari jawabnya satu persatu.
Ada dua hal baru yang mampu disajikan oleh hasil penelitian ini.
Pertama, penelitian ini merupakan penelitian dampak moneter kebijakan
defisit anggaran di Indonesia dengan menggunakan model persamaan
simultan dengan cakupan data terbaru. Kedua, penelitian ini menyertakan
variabel asa nalar (rational expectation) yang merupakan bidang kajian yang
relatif baru di Indonesia. Penelitian-penelitan sebelumnya memakai model
dinamik yang ke belakang (backward), seperti PAM, Koyck, AR, MA, atau
ARIMA. Model dinamis yang ke belakang menghasilkan prediksi yang
pasti bias ke bawah jika tren meningkat dan bias ke atas jika tren menurun.
Model asa nalar atau harapan rasional (rational expectation) dengan variabel
1
Dosen IESP, Fakultas Ekonomi, Universitas Atma Jaya Yogjakarta.
141
ke depan mampu memprediksi lebih akurat dan pelaku ekonomi dapat
belajar dari kesalahan masa lampau dan menggunakan informasi terkini
secara efisien guna mendukung keputusan ekonominya.
Sejak berdirinya negara Republik Indonesia, kebijakan defisit anggaran
selalu menjadi andalan pemerintah Indonesia. Kebijakan defisit anggaran
tersebut didanai oleh utang luar negeri (periode Orde Lama dan Orde Baru),
dan oleh pencetakan uang (Orde Lama), serta oleh penjualan Surat Utang
Negara (Orde Reformasi). Kebijakan defisit anggaran seperti tidak pernah
dipertanyakan efektivitas dan efisiensinya. Yang dipertanyakan biasanya
adalah sumber pendanaan defisit yang berasal dari hutang luar negeri. Yang
menjadi pertanyaan besar adalah apakah kebijakan defisit anggaran yang
selalu dijalankan pemerintah tersebut bermanfaat terhadap perekonomian
Indonesia. Secara lebih spesifik, apakah defisit anggaran mempengaruhi
variabel moneter seperti suku bunga, kurs, dan tingkat harga. Jawaban
teoritik dan empirik dampak moneter kebijakan defisit anggaran dicoba
digali dalam penelitian ini.
Penelusuran teoritik dampak moneter kebijakan defisit anggaran
pemerintah sangatlah menarik untuk dibicarakan. Pembicaraan tersebut menarik karena di dalamnya penuh silang pendapat yang tidak habis-habisnya sampai sekarang. Paling tidak ada tiga kelompok yang
menyodorkan jawaban teoritik yang berbeda. Kelompok yang pertama
adalah kelompok Ricardian yang terkenal dengan teorinya Ricardian
Equivalence (RE). Kelompok Ricardian mengatakan bahwa kebijakan
defisit anggaran tidak mempengaruhi perekonomian, sehingga mereka
tidak merekomendasikan dijalankannya kebijakan fiskal defisit anggaran.
Kesimpulan mereka ditopang oleh asumsi-asumsi yang mendasarinya.
Mereka mengasumsikan bahwa sebuah negara terdiri dari sekelompok
bangsa yang padu dan memiliki perhatian yang sangat besar terhadap
keberlangsungan hidup anak cucu mereka di masa depan. Diasumsikan
pula mereka mengetahui secara sempurna segala kebijakan yang dilakukan
dan direncanaan pemerintah, termasuk kebijakan defisit anggaran. Mereka
mengetahui bahwa jika pemerintah melakukan kebijakan defisit anggaran
142
di masa sekarang, maka pemerintah pasti akan memberi beban pajak yang
tinggi di masa yang akan datang kepada anak cucu mereka. Jika mereka
mengetahui bahwa pemerintah akan membebani pajak kepada anak cucu
mereka di masa yang akan datang, maka mereka akan menabung di masa
sekarang. Kebijakan defisit anggaran tidak meningkatkan permintaan
karena peningkatan pendapatan disalurkan ke tabungan untuk berjagajaga terhadap peningkatan beban pajak di masa yang akan datang. Dengan
demikian defisit anggaran tidak efektif.
Kelompok kedua adalah kelompok Neoklasik. Kelompok Neoklasik
menyimpulkan bahwa kebijakan defisit anggaran cenderung merugikan
perekonomian. Menurut mereka hubungan kekerabatan antargenerasi
renggang. Mereka mengetahui bahwa kebijakan defisit anggaran di masa
sekarang berarti memberikan beban pajak kepada anak cucu mereka, tetapi
mereka tetap melaksanakannya. Karena mereka tidak peduli terhadap
peningkatan beban pajak anak cucu mereka di masa yang akan datang,
mereka menjawab kebijakan defisit anggaran mereka dengan peningkatan
konsumsi di masa sekarang. Jika kondisi perekonomian sudah dalam
kesempatan kerja penuh (full employment), maka peningkatan konsumsi
mengakibatkan pengurangan tabungan dan meningkatnya suku bunga.
Peningkatan suku bunga selanjutnya menyebabkan turunnya investasi
(crowding out) dan pendapatan nasional.
Kelompok ketiga adalah kelompok Keynesian. Kelompok Keynesian
berpendapat bahwa kebijakan defisit anggaran akan mendorong perekonomian, sehingga mereka mendukung kebijakan defisit anggaran. Mereka
memfokuskan perhatian dalam jangka pendek dan mengasumsikan
bahwa pelaku ekonomi tidak berfikir dalam jangka panjang (myopic).
Jika pelaku ekonomi hanya berfikir jangka pendek, maka defisit anggaran
yang meningkatkan pendapatan masyarakat dijawab dengan peningkatan
konsumsi. Peningkatan konsumsi dan juga permintaan agregat mendorong
peningkatan produksi.
Pertanyaan kedua yang ingin dicari jawabnya dalam penelitian ini
ialah apakah masyarakat Indonesia rasional. Jika rasional, maka masyarakat
143
Indonesia akan mampu belajar dari pengalaman dan menggunakan seluruh
informasi yang dimiliki secara efisien guna mendukung keputusan ekonomi
yang dibuatnya. Jika masyarakat Indonesia rasional, maka mereka mampu
mengubah perilaku guna mengantisipasi kebijakan-kebijakan pemerintah.
Masyarakat yang rasional secara bersama-sama tidak akan pernah salah
secara sistematis dalam meramalkan yang akan terjadi di masa yang akan
datang.
Untuk menjawab kedua pertanyaan besar itu, dibangun model
persamaan simultan. Model dibangun dengan menggunakan pendekatan perilaku (teori optimasi), model koreksi kesalahan (ECM), dan
menyertakan variabel kejutan (shock), serta asa nalar (rational expectation).
Perekonomian Indonesia mengalami beberapa kali perubahan struktural,
yang berarti pelaku ekonomi melakukan perubahan perilaku. Secara teoritik
penyertaan variabel kejutan, asa nalar, dan pembentukan Model Koreksi
Kesalahan memungkinkan agen ekonomi mampu tidak hanya belajar dari
pengalaman masa lampau namun juga menggunakan informasi terkini
untuk mengantisipasi kejutan terbaru. Pelaku ekonomi mampu belajar dari
pengalaman. Jika mampu menggunakan informasi terkini, maka pelaku
ekonomi dalam model mampu mengubah perilaku sesuai dengan tuntutan
kondisi pada saat itu.
Pengertian dan Sifat Nalar Pelaku Ekonomi
Ada beberapa pertanyaan mendasar yang menggantung, yakni
mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan pelaku ekonomi yang
nalar? Seperti apakah sifat-sifat pelaku ekonomi yang nalar? Apakah betul
pelaku ekonomi dapat bersifat nalar? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan
dibahas sebagai berikut.
Secara implisit dapat disimpulkan bahwa seorang pelaku ekonomi yang
nalar ialah seorang pelaku ekonomi yang mampu menggunakan seluruh
informasi yang dimiliki, baik informasi masa lampau, maupun informasi
terkini pada saat pelaku ekonomi akan membuat keputusan ekonominya
secara efisien (Grossman, 1980). Dengan kemampuan menggunakan
144
informasi yang dimiliki tersebut, pelaku ekonomi yang nalar tidak akan
membuat kesalahan secara sistematis dalam membuat keputusannya.
Pelaku ekonomi yang nalar tidak berarti tidak pernah membuat kesalahan,
namun secara bersama, dan rata-rata mereka mampu melakukan keputusan
secara tepat.
Secara ekonometrik sifat-sifat di atas dapat diformulasikan sebagai
berikut (Holden, et.al., 1985). Pertama, pelaku ekonomi yang nalar
mempunyai rata-rata kesalahan sama dengan nol, dan pelaku ekonomi
mampu belajar dari kesalahan sehingga kesalahan yang terdahulu tidak
mempengaruhi terjadinya kesalahan pada periode berikutnya. Walaupun
pelaku ekonomi nalar, namun bukan berarti pelaku ekonomi tidak
membuat kesalahan. Pelaku ekonomi tetap mungkin membuat kesalahan,
namun kesalahan itu tidak bersifat sistematis, dan secara rata-rata pelaku
ekonomi membuat keputusan yang benar. Kesalahan keputusan pelaku
ekonomi bersifat acak.
Kedua, pelaku ekonomi yang nalar mampu menggunakan informasi
secara efisien, sehingga kesalahan pelaku ekonomi minimal. Kesalahan
pelaku ekonomi minimal, karena pelaku ekonomi mampu belajar dari
kesalahan masa lalu, dan mampu mengakses informasi terbaru, sehingga
tidak terjadi kesalahan yang serupa. Tidak ada korelasi antara kesalahan
masa lalu dan kesalahan di masa sekarang.
Ketiga, pelaku ekonomi yang nalar akan membuat kesalahan peramalan
yang saling berkorelasi. Kesalahan peramalan tersebut tidak berkorelasi
dengan informasi terkini yang dimiliki pelaku ekonomi, pada saat pelaku
ekonomi membuat keputusan peramalan. Jika ada korelasi antara informasi
terkini yang dimiliki pelaku ekonomi dan kesalahan peramalan, maka
pelaku ekonomi mampu meningkatkan kemampuan peramalan.
Apakah benar pelaku ekonomi selalu nalar? Apakah benar kesalahan
pelaku ekonomi tidak akan bersifat sistematis? Dalam kenyataannya, dalam
jangka pendek banyak pelaku ekonomi yang tidak mampu mendapatkan
akses informasi terkini, sehingga keputusan ekonominya hanya berlandaskan
pada pengalaman masa lampau. Jika pelaku ekonomi hanya mengandalkan
145
informasi pada masa lampau, maka kesalahan pelaku ekonomi akan
bersifat sistematis. Kesalahan masa lampau akan mempengaruhi terjadinya
kesalahan di periode berikutnya. Dalam jangka panjang mestinya pelaku
ekonomi mampu belajar dari kesalahan masa lalu, sehingga mengupayakan
informasi terbaik guna menunjang keputusan ekonominya. Jika pelaku
ekonomi mampu meningkatkan penggunaan informasinya, dan tidak
hanya berdasarkan pengalaman masa lampau saja, maka pelaku ekonomi
semakin nalar. Secara statistik apakah pelaku ekonomi dalam jangka
panjang sungguh nalar dapat akan dibuktikan dalam uji asa nalar.
Penurunan Model Asa Nalar
Sebuah pertanyaan penting adalah bagaimana variabel asa nalar dapat
masuk dalam model perekonomian. Tentu variabel asa nalar tidak tiba
tiba masuk ke dalam model. Sub-bab berikut ini akan membahas contoh
bagaimana variabel asa nalar masuk dalam model, secara khusus adalah teori
perilaku konsumsi yang melibatkan asa nalar masyarakat dalam membuat
keputusan. Barang yang dikonsumsi oleh pelaku ekonomi adalah barang
produksi dalam negeri dan barang produksi luar negeri (impor). Pelaku
ekonomi domestik yang mengkonsumsi adalah rumah tangga (household),
pelaku bisnis (enterpreuner), dan pemerintah (government). Pelaku ekonomi
yang hidup dalam dua periode bertindak nalar dan selalu mengupayakan
untuk mengoptimalkan utilitasnya dengan kendala anggaran antarwaktu.
Kendala antarwaktu menunjukkan nilai anggaran sepanjang masa (dua
periode) yang diukur dengan nilai sekarang (present value) guna dialokasikan
untuk konsumsi dua barang yakni barang impor dan barang produksi dalam
negeri selama dua periode. Dalam model antarwaktu ini, pelaku ekonomi
dapat mengkonsumsi lebih banyak atau lebih sedikit tingkat pendapatan
pada periode yang sama. Jika pada waktu t pelaku ekonomi mengkonsumsi
lebih banyak dari aliran pendapatan (disposable income) pada waktu t, maka
pelaku ekonomi harus meminjam dana. Jika pada waktu t pelaku ekonomi
mengkonsumsi lebih sedikit dari aliran pendapatan pada periode waktu t
yang sama, maka pelaku ekonomi menabung guna dibelanjakan di periode
146
waktu berikutnya.
st
= at – (
pd
e pm
ct +
mt)
pa
pa
(1)
di mana st = tabungan riil pada waktu t
at = pendapatan yang siap dibelanjakan (disposable income) riil pada waktu
t, yang dihasilkan dari tingkat pendapatan dikurangi pajak (yt - txt)
ct = konsumsi riil dari produk dalam negeri pada waktu t
mt = konsumsi riil produk impor pada waktu t
Seperti dijelaskan, st bisa bernilai positif atau negatif. Dengan demikian
konsumsi yang akan datang (Ect+1 + Emt+1) dapat didanai oleh pendapatan
yang siap dibelanjakan di masa yang akan datang ditambah nilai tabungan
st dan nilai bunganya (E at+1+(1+i)st).
(2)
Di depan variabel konsumsi dan pendapatan yang siap dibelanjakan
di masa yang akan datang disertai notasi E, yang mewakili asa pelaku
ekonomi, karena masa yang akan datang terdapat unsur ketidak pastian.
Persamaan (1) dan (2) dapat digabung menjadi persamaan (3).
(3)
Persamaan (3) dapat dituliskan menjadi persamaan anggaran dua periode
waktu yang dapat dituliskan sebagai berikut.
(4)
Persamaan (4) mengatakan bahwa konsumsi sepanjang masa hanya
akan didanai oleh pendapatan yang siap dibelanjakan selama periode
yang sama. Orang lahir tidak membawa apa-apa, dan meninggal tanpa
meninggalkan warisan pula.
147
Dalam mengalokasikan anggaran tersebut, pelaku ekonomi
mengacu pada preferensinya yang diwakili oleh fungsi utilitas yang dapat
dituliskan:
(5)
Notasi E menunjukkan preferensi waktu pelaku ekonomi. Peningkatan
konsumsi produk dalam negeri, ct, maupun produk impor, mt, baik untuk
masa sekarang maupun di masa yang akan datang akan meningkatkan utilitas konsumen, yakni
Diasumsikan pula bahwa marginal utilitas pelaku ekonomi itu mengalami
penurunan (decreasing marginal utility), sehingga turunan kedua dari fungsi
utilitas akan negatif. Kondisi tersebut memungkinkan adanya tingkat kepuasan maksimal pelaku ekonomi. Diasumsikan pelaku ekonomi selalu
mengupayakan untuk mencapai utilitas maksimal dengan kendala anggaran. Proses maksimisasi utilitas dapat dilakukan dengan metode Lagrange
yang persamaannya dapat diformulasikan sebagai berikut.
148
Persamaan (8), (9), (10), dan (11) akan menghasilkan persamaan diferen
permintaan konsumsi produk dalam negeri (ct), dan permintaan barang
impor (mt).
(16)
Persamaan (13) dan (14) mengatakan bahwa pelaku ekonomi mempunyai
preferensi yang sama antara nilai diskonto permintaan konsumsi produk
dalam negeri dan produk impor yang diharapkan di masa yang akan datang dengan nilai konsumsi produk dalam negeri dan produk impor di
masa sekarang. Selanjutnya solusi time path dari ct dan mt akan diperoleh
dengan mensubstitusikan nilai E ct+1, dan E mt+1 dari persamaan (12) ke
dalam persamaan (13) dan (14), sehingga diperoleh persamaan dinamis
permintaan konsumsi ct dan mt, yang secara umum merupakan
(17)
Jika tingkat pendapatan pada waktu t ataupun tingkat pendapatan yang
diharapkan di masa yang akan datang meningkat, maka tingkat konsumsi
pada masa sekarang meningkat juga meningkat. Sedangkan
149
Kesimpulan teoritik di atas mengatakan bahwa jika tingkat harga
domestik (pa) di masa kini maupun di masa yang akan datang meningkat,
maka konsumsi domestik (ct) turun. Demikian pula jika harga produksi
dalam negeri meningkat (pd), baik sekarang maupun di masa yang akan
datang, maka konsumsi domestik (ct) turun. Jika suku bunga (i) meningkat,
berarti menabung untuk konsumsi di masa yang akan datang lebih
menarik, maka konsumsi di masa sekarang turun. Jika E meningkat, yang
berarti preferensi terhadap konsumsi di masa yang akan datang meningkat,
maka konsumsi pada masa sekarang turun. Yang terakhir, jika tingkat
substitusi marginal (marginal rate of substitution) (I) dari konsumsi barang
impor terhadap barang produksi dalam negeri meningkat, yang berarti
untuk mendapatkan satu unit konsumsi dalam negeri membutuhkan
pengorbanan barang impor lebih banyak dalam rangka mempertahankan
tingkat kepuasan yang sama, maka konsumsi dalam negeri akan menurun.
Reduced form untuk persamaan permintaan impor adalah:
(18)
Dari persamaan di atas (18) dapat disimpulkan bahwa permintaan impor
akan meningkat sejalan dengan peningkatan pendapatan baik pada waktu
t maupun pada waktu t+1. Secara matematis dapat dituliskan :
∂mt/ ∂at > 0, ∂mt/ ∂at+1 > 0
Demikian pula jika tingkat harga barang impor dalam dolar meningkat
pada waktu sekarang, maka konsumen akan cenderung mengurangi konsumsi barang impor. Jika kurs pada waktu sekarang meningkat, berarti rupiah melemah dan berarti harga barang impor dalam rupiah meningkat,
maka konsumsi barang impor akan turun. Jika suku bunga meningkat,
maka lebih menarik untuk menabung, sehingga anggaran yang dibelanjakan pada waktu sekarang berkurang, sehingga konsumsi barang impor juga
turun. Jika preferensi waktu terhadap uang meningkat, berarti masyarakat lebih menyukai lebih sejahtera di masa yang akan datang dengan cara
150
mengurangi konsumsi di masa sekarang, maka ada kecenderungan impor
pada waktu sekarang turun. Akhirnya, jika masyarakat mengharapkan kurs
dan harga impor di masa yang akan datang meningkat, berarti daya beli
uang di masa yang akan datang turun, sehingga untuk mempertahankan
tingkat kepuasan yang sama masyarakat harus menabung dan mengurangi
konsumsi pada waktu sekarang, termasuk konsumsi barang impor. Uraian
di atas secara ringkas dapat dinyatakan seperti terlihat dalam pernyataan
matematis berikut ini.
∂mt/ ∂pmt < 0, ∂mt/ ∂et < 0, ∂mt/ ∂i < 0, ∂mt/ ∂E < 0, ∂mt/ ∂I < 0, ∂mt/
∂pmt+1 < 0, ∂mt/ ∂et+1 < 0
Secara arbitrer, persamaan (16) dan (17) dapat dispesifikasikan dalam persamaan ekonometris sebagai berikut.
ct =D 10 + D11 it + D12 at +D13 Eat+1 + e10
(19)
mt = D20 + D21 (epm/pa) + D22 at + e20
(20)
di mana D11 <0, D12 > 0, D13 > 0, D21 <0 , D22 > 0
Pembentukan Asa Nalar
Sub bab ini akan membahas terbentuknya asa nalar dalam model
perekonomian. Tujuan dari formulasi terbentuknya asa nalar tersebut
dalam rangka untuk melihat pola pengaruh kejutan anggaran, baik yang
terantisipasi maupun yang tidak terantisipasi, terhadap variabel moneter,
yang dalam contoh ini adalah kurs rupiah.
Konsep asa nalar yang merupakan koreksi terhadap asa yang adaptif
pertama kali dikemukakan oleh Muth (lihat Holden, et.al., 1985). Muth
mengatakan bahwa pelaku ekonomi membentuk asa nya berdasarkan
teori ekonomi guna melakukan prediksi terhadap variabel ekonomi. Asa
nalar pada dasarnya adalah prediksi teori dengan menggunakan segala
151
informasi yang tersedia pada waktu prediksi itu dilakukan. Asa nalar
sering juga disebut dengan asa yang konsisten, sebab asa selalu konsisten
dengan teori ekonomi yang mendasari. Diasumsikan jika pelaku ekonomi
menggunakan seluruh informasi yang tersedia, maka pelaku ekonomi tidak
akan melakukan kesalahan secara sistematis.
Ada perbedaan mendasar dalam pembentukan asa nalar model
Klasik Baru dan model Keynesian Baru (New Keynesian). Dalam model
Klasik Baru diasumsikan bahwa pelaku ekonomi menghadapi pasar yang
sempurna, sehingga terjadi market clearing di setiap pasar. Dalam model
Keynesian Baru dimungkinkan adanya ketidakseimbangan dalam salah
satu pasar, namun pelaku ekonomi mengetahui secara sempurna adanya
ketidakseimbangan dan ketidak-sempurnaan pasar itu. Pelaku ekonomi
menggunakan informasi mengenai ketidak-sempurnaan pasar itu untuk
pembentukan asa nalar. Menurut Cooper dan John (1991) dan Bryant
(1991) dimungkinkan adanya koordinasi dalam kegagalan koordinasi dan
kegagalan pasar.
Model asa nalar mempunyai tiga sifat penting yang berhubungan
dengan rata-rata error term, varian dari error, serta hubungan antarkesalahan
prediksi untuk waktu yang berbeda (Holden, et.al., 1985). Pertama, model
asa nalar mensyaratkan bahwa error term haruslah mempunyai rata-rata
nol dan tidak terdapat outokorelasi. Syarat itu sangat penting, sebab perlu
disadari bahwa error term tidak selalu bernilai nol. Walaupun menggunakan
asa nalar, pelaku ekonomi dapat pula melakukan kesalahan prediksi, namun
kesalahan itu tidak akan bersifat sistematis. Error term bersifat acak dan
tidak dapat diprediksi. Ketika kesalahan telah diketahui, kesalahan itu tidak
akan mempengaruhi asa di masa yang akan datang, karena kesalahan itu
bersifat acak. Kesalahan tidak akan mempengaruhi asa di masa yang akan
datang, jika tidak terdapat informasi baru yang mempengaruhi keputusan
pelaku ekonomi. Kenyataan itu tentu berbeda dengan yang terjadi dengan
asa yang bersifat adaptif. Dalam pembentukan asa yang adaptif, kesalahan
di masa lalu akan mempengaruhi pembentukan asa di masa yang akan
datang. Karena nilai asa dari kesalahan baku (Ht+1) harus sama dengan
152
nol, atau sering juga disebut harus resik suara (white noise), maka E(yt+1)
merupakan prediktor yang tidak bias terhadap yt+1. Secara umum dapat
dikatakan bahwa asa nalar terhadap suatu variabel akan mempunyai sifat
yang tidak bias.
Sifat yang kedua, model asa nalar dapat juga disebut sebagai prediktor
yang efisien terhadap yt+1. Pernyataan tersebut mempunyai konsekuensi
bahwa varian dari kesalahan prediksi dari asa nalar terkecil diantara berbagai
kemungkinan prediktor. Hal tersebut dimungkinkan karena error term,
Ht+1, bersifat acak dan tidak berkorelasi dengan error term pada periode
sebelumnya, karena tidak ada informasi baru pada waktu asa tadi terbentuk
yang dapat membantu untuk memprediksi et+1.
Sifat yang ketiga dari model asa nalar adalah bahwa hubungan antara
kesalahan prediksi antarwaktu akan berkorelasi. Sering dikatakan bahwa asa
nalar mempunyai konsekuensi bahwa kesalahan peramalan berotokorelasi
(serially correlated). Korelasi antarkesalahan peramalan itu hanya terjadi
pada satu periode ke depan (first order serial correlation). Namun kesalahan
peramalan tidak akan berkorelasi dengan informasi yang tersedia pada saat
asa terbentuk. Sebab jika ada korelasi antara keduanya, maka informasi
dapat digunakan untuk meningkatkan peramalan, sehingga peramalan
aslinya tidak lagi efisien. Jika korelasi antara kesalahan peramalan dengan
informasi yang tersedia, maka peramalan model asa menjadi tidak efisien
lagi, sehingga sifat itu akan bertentangan dengan sifat kedua.
Ketiga sifat di atas membedakan antara asa nalar dengan asa yang
adaptif. Ada tiga perbedaan nyata antara asa nalar dengan asa yang adaptif.
Pertama asa nalar lebih menekankan pada terbentuknya asa ke depan (forward
looking expectations), sedangkan asa yang adaptif lebih menekankan pada
penggunaan mekanisme ekstrapolasi trend masa lampau. Perbedaan kedua
adalah bahwa dalam asa nalar pelaku ekonomi selalu berperilaku optimal.
Pelaku ekonomi menggunakan seluruh informasi yang ada, baik informasi
masa lampau, informasi yang sedang berlangsung, maupun informasi
mengenai apa yang akan terjadi di masa yang akan datang berkaitan dengan
kebijakan-kebijakan ekonomi. Perbedaan ketiga ialah bahwa model asa nalar
153
lebih mengandalkan teori ekonomi dalam pembentukan asa, sedangkan
asa yang adaptif lebih bersifat deterministis.
Ada berbagai metode untuk solusi model asa nalar, diantaranya
adalah metode iterasi atau reduced form, Muthian, dan Lucas (Holden,
et.al, 1985). Metode yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah metode
reduced form. Ada tiga langkah yang diperlukan untuk solusi reduce form ini.
Pertama reduced form dari persamaan struktural harus ditemukan terlebih
dahulu, dengan mengasumsikan variabel asa bersifat eksogen. Langkah
kedua dikerjakan dengan melakukan solusi asa . Langkah terakhir solusi
asa disubstitusikan kembali ke persamaan struktural.
Yang disebut dengan persamaan reduced form adalah persamaan yang
sisi sebelah kanan persamaan (variabel independen) semuanya terdiri dari
variabel eksogen (Pindyck, 1998). Untuk menurunkan persamaan reduced
form dari persamaan struktural, berarti harus dibedakan terlebih dahulu
mana variabel endogen dan variabel eksogen dari persamaan struktural.
Untuk dapat membedakan antara variabel endogen dan eksogen perlulah
persamaan struktural ditulis kembali:
Persamaan struktural yang ditulis disini adalah persamaan struktural
jangka panjang, yang mengandaikan pelaku ekonomi mempunyai informasi
yang sempurna (perfect foresight). Pelaku ekonomi (pemerintah, rumah
tangga, dan swasta) mengalami ketidak pastian dalam variabel pendapatan
di masa yang akan datang (Eat+1), Investasi di masa yang akan datang (EIt+1),
dan kurs di masa yang akan datang (Eet+1). Persamaan struktural itu secara
ringkas dapat dituliskan sebagai berikut.
Permintaan konsumsi ct, dari persamaan (19)
ct =D 10 + D11 it + D12 at + D13 Eat+1 + e10
Permintaan impor dari persamaan (20)
mt
= D20 + D21 (e+pm-pa) + D22 at + e20
Permintaan investasi,
It
= D30 + D31 i + D32 at + D33 E It+1 + e30
Keseimbangan Pasar Uang,
it
= D41 at + D42 E at+1 + D43 mont + u2
154
Paritas Suku Bunga,
et
= D51 rf + D52 it + D53 E et+1
+ e7
Kurva Phillips,
pt-pt-1 = D61 (outg) + D62 et + ut
Penerimaan Pemerintah,
txt
= D70 + D71 oilpt + D72 yt + D73 txt-1 + u7
Belanja Pemerintah,
gt
= D80 + D81 et + D82 yt + D83 gt-1 + u6
Hubungan antara defisit anggaran dengan uang beredar,
Δmont = D93 (gt – txt)
Defisit anggaran,
def
= (g-tx) + insdef
Mekanisme transmisi dari kejutan anggaran terhadap perekonomian
itu dapat dijelaskan sebagai berikut. Jika pemerintah melakukan kejutan
anggaran (kebijakan yang melawan perekonomian - against the wind), maka
melalui proses pendanaan defisit, kejutan anggaran akan mempengaruhi
uang inti dan selanjutnya jumlah uang beredar. Jumlah uang beredar akan
mempengaruhi suku bunga, dan selanjutnya akan mempengaruhi di satu
sisi langsung mempengaruhi kurs dan kurs yang diharapkan di sisi lain akan
mempengaruhi tingkat konsumsi, investasi, impor, dan juga berpengaruh
balik pada pengeluaran pemerintah, yang selanjutnya akan mempengaruhi
tingkat harga, kurs, dan kurs yang diharapkan. Melalui ketidak pastian
kurs ini masyarakat mengantisipasi kebijakan defisit anggaran, sehingga
jika seluruh masyarakat mempunyai informasi secara sempurna, kebijakan
pemerintah itu dapat menjadi tidak efektif.
Untuk mendapatkan solusi dinamis dari variabel asa nalar dengan
metode reduced form itu dapat dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama
155
diperoleh reduced form dengan mengasumsikan variabel asa nalar sebagai
variabel eksogen. Selanjutnya melalui proses iterasi baik forward maupun
backward dapar diperoleh solusi dinamis variabel asa nalar. Solusi dinamis
variabel asa nalar tersebut secara umum dapat dituliskan sebagai berikut;
di mana koefisien Di, dan E merupakan komposit dari koefisien persamaan
struktural. Jika diasumsikan bahwa setiap variabel eksogen tercipta melalui
proses yang auto-regresif, yakni seperti
Oilpt = D0 + D1Oilpt-1 + D2 Oilpt-2........... + Dn Oilpt-n + e1, (22)
maka persamaan (21) dapat disederhanakan menjadi sebagai berikut.
et = D0 + D1 oilpt-i + D2 r*t-i + D3 p*t-i + D4 yst-i + D5 insdeft-i + e2 (23)
156
157
Keterangan gambar dan persamaan:
CSPNL_M
= ct
YDINL = at
= Pendapatan yang siap dibelanjakan
MGSNL
= mt
EXRPL = et
= Kurs rupiah
CPICPI = pm
= Indeks harga konsumen negara-negara industri
CPI
= pat
= Indeks harga konsumen dalam negeri
INPNL_M
= It
= Investasi dalam negari
RRRPL = i
= Suku bunga domestik
EINPNLF7
= E It+1 = Investasi masa yang akan datang yang diharapkan
EYDINLF7
= E at+1 = Pendapatan yang siap dibelanjakan yang
diharapkan
MONNS
= mont = Jumlah uang beredar
EEXRPLF7
= E et+1 = Kurs yang diharapkan
GDPNL
= yt
YS
= Output potensial
TXREV_M
= txt
OILPL
= oilpt = Harga minyak dunia
SPENL_M
= gt
DEFNL= def
= Defisit anggaran
BDENL_M-NTXNL
= Konsumsi rumah tangga
= Impor barang dan jasa
terhadap dolar
= Pendapatan Nasional Bruto
= Penerimaan pemerintah (struktural) dari pajak
= Belanja pemerintah yang struktural
= insdef = Instrumen defisit anggaran
BDENL_M
= Belanja pemerintah yang dapat dikontrol pemerintah
(discretionary fiscal policy), sebagai instrumen
NTXNL
= Penerimaan pemerintah yang dapat dikontrol
pemerintah (discretionary fiscal policy), sebagai instrumen
158
Keterangan Simbol dalam Gambar
Simbol
Keterangan
Variabel yang terbentuk dalam persamaan identitas
Variabel instumen yang digunakan sebagai alat kebijakan
Variabel yang terbentuk dalam persamaan perilaku (behavioural equation)
Variabel eksogen
Tanda penghubung, jika banyak variabel mempengaruhi
satu variabel tertentu secara bersama.
Hasil Penelitian dan Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sedikit atau banyak kebijakan
defisit anggaran mempengaruhi suku bunga, kurs, dan tingkat harga
(inflasi). Sesuai dengan pembelaan Barro (1989) yang menyatakan bahwa
tidak semua orang tua punya anak, tetapi semua anak pasti punya orang tua.
Sedikit atau banyak pasti terjadi hubungan antargenerasi. Jika hubungan
antargenerasi tidak sepenuhnya erat, kebijakan defisit anggaran akan
efektif walaupun tidak sepenuhnya efisien. Pemerintah disarankan untuk
mempertimbangkan kembali kebijakan defisit anggaran, karena kebijakan
defisit anggaran bukan tanpa biaya. Efisiensi kebijakan defisit anggaran
perlu dicermati.
Ada hubungan timbal balik antara kebijakan defisit anggaran dan
variabel moneter. Kebijakan fiskal mempengaruhi instrumen kebijakan
moneter. Kebijakan moneter mempengaruhi instrumen kebijakan fiskal.
159
Hubungan timbal balik antara instrumen fiskal dan moneter bersifat saling
menetralkan dampak ekonomi yang dihasilkan. Jika dampak moneter defisit
anggaran bersifat ekspansif, maka dampak ekspansi moneter akan bersifat
kontraktif. Independensi Bank Sentral justru menuntut koordinasi antara
penguasa fiskal dan penguasa moneter lebih erat, dalam rangka mencapai
tingkat pertumbuhan yang diinginkan dan pengendalian stabilitas moneter
khususnya.
Persamaan-persamaan dalam model mampu mereplikasi fluktuasi data
dengan baik (lampiran gambar). Seperti telah diprediksikan secara teoritik
kemampuan model mereplikasi fluktuasi data disebabkan selain oleh
sahihnya teori yang mendasarinya juga oleh penyertaan variabel kejutan,
asa nalar, dan Model Koreksi Kesalahan. Pengukuran statistik RMS Percent
Error dan U’Theil Inequality Coefficient menunjukkan hasil yang sangat
bagus. Pengukuran statistik yang pertama yang menunjukan hasil yang
bagus menyatakan bahwa perbedaan antara data aktual dan nilai prediksi
yang dihasilkan model sangat kecil. Pengukuran statistik yang kedua yang
menunjukkan hasil yang bagus menyatakan bahwa nilai prediksi yang
dihasilkan model mampu mengikuti titik belok data aktual.
Para pelaku ekonomi dalam melakukan keputusan ekonomi, selain
mempertimbangkan yang aktual terjadi di lapangan, juga menggunakan
asa nalar. Asa nalar tersebut mencerminkan peristiwa yang mereka harapkan
terjadi di masa yang akan datang. Kesimpulan tersebut didukung oleh uji
statistik yang menunjukkan bahwa variabel asa nalar, baik yang tersirat
dalam model struktural, maupun dalam uji asa nalar, signifikan berperanan
dalam menentukan variabel dependen. Dengan asa nalar pelaku ekonomi
sangat reaktif terhadap ketidaksesuaian antara informasi awal yang
dijanjikan pemerintah dan peristiwa aktual yang mereka alami. Mereka
akan bereaksi negatif terhadap ketidaksesuaian itu. Para pengusaha paling
reaktif terhadap ketidaksesuaian informasi tersebut. Penguasa fiskal dan
moneter harus semakin transparan dalam meluncurkan berbagai kebijakan
ekonominya, agar para pelaku ekonomi lebih cepat belajar dari informasi
yang mereka terima. Berbekal informasi yang akurat dan transparan
160
tersebut diharapkan pelaku ekonomi akan bertindak sesuai dengan sasaran
kebijakan yang diinginkan penguasa moneter dan fiskal, sehingga proses
belajar dari pengalaman menjadi murah.
161
Referensi
_______, “Inflationary Finance and the Dynamics of Inflation: Indonesia
1951-72”, American Economic Review, Vol. 67, June, 1977, 390403.
Agenor, Pierre-Richard, dan Peter J. Montiel, Development Macroeconomics, Princeton University Press, Princeton, New Jersey, 1996.
Aghevli, Bijan B., dan Mohsin S. Khan, “Government Deficits and the
Inflationary Process in Developing Countries”, IMF Staff Paper,
Vol.25, No.3, September 1978: 383-416.
Adji, Arti, Is Public Debt Neutral? Evidence For Indonesia, Journal Ekonomi
dan Bisnis Indonesia(JEBI), September 1995, 21-32.
Barro, Robert J, “The Ricardian Approach to Budget Deficits”, Journal of
Economic Perspectives, Vol.3, No.2, Spring 1989, 37-54.
Barro, Robert J., “Are Government Bonds Net Wealth?”, Journal of Political
Economics, No. 82 November/December 1974, 1095-1117.
Begg, David K.H., “The Rational Expectations Revolution in Macroeconomics, Theories and Evidence”, John Hopkins University Press, Baltimore, Maryland, 1985.
Bernheim, B.Douglas, “A Neoclassical Perspective on Budget Deficits”,
Journal of Economics Perspectives, Vol. 3, No. 2, Spring 1989, 5572.
Binger, Brian R. and Elizabeth Hoffman, Microeconomics with Calculus,
Scott, Foresman and Company, United of America, 1988.
Blejer, Mario, I., and Adrienne Cheasty, “The Measurement of Fiscal Deficits: Analytical and Methodological Issues”, Journal of Economic Literature (JEL), Vol. XXIX, December 1991, 1644-1678.
Boediono, Teori Moneter; Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No.5, BPFE,
Universitas Gadjahmada, Yogyakarta, 1983.
Boskin, J Michael, “What Do We Know About Consumption and Saving,
and What are The Implications For Fiscal Policy?”, American Economic Review and Proceedings, Vol.78, No. 2, 1978, 401-407.
162
Brown, T.M., Specification and Uses of Econometric Models, New York: Macmillan, 1970.
Bryant, John, “ A Simple Rational-Expectations Keynes-Type Model”, in
Gregory Mankiw dan David Romer, eds, New Keynesian Economics:
Coordination Failures and Real Rigidities, Vol.2, N., The MIT Press,
Cambridge, London, 1995.
Cagan, Phillip, “The Monetary Dynamics of Hyperinflation.” In Studies in the
Quantity Theory of Money, ed. By Milton Friedman, University of
Chicago Press, 1956.
Chacholiades, Miltiades, International Economics, McGraw-Hill, New
York, 1990.
Chiang, Alpha, C., Fundamental Methods of Mathematical Economics, 3rd
Edition, McGraw-Hill Book Company, New York, 1984.
Cooper, Russel and Andrew John, “Coordinating Coordination Failures
in Keynesian Models, in New Keynesian Economics: Coordination
Failures and Real Rigidities, Vol.2, N. Gregory Mankiw dan David
Romer, eds, The MIT Press, Cambridge, London, 1995.
Davidson, J.D., Hendry, F. Srba and S. Yeo, “Econometric Modelling of
the Aggregate Time-Series Relationship between Consumers’ Expenditure and Income in the United Kingdom”, Economic Journal,
vol. 88, 1978, 661-692.
De Grouwe, Paul, Macroeconomic Theory for The Open Economy, Gower
Publishing Company Limited, Hampshire, England, 1983.
De Haan, Jacob, dan Jan Egbert Storm, “ Do Financial Markets and the
Maastricht Treaty Discipline Governments? New Evidence”, Applied Financial Economics (APF), ISSN 0960-3107, Vol 10 iss 2
April 2000, 221.
Deaton, A., “Involuntary Saving Through Unanticipated Inflation”, American Economic Review, vol. 67, no. 5, 1977, 900-910.
Dornbusch, Rudiger, Stanley Fischer, Gordon R.Sparks, Macroeconomics,
3rd edd., McGraw-Hill Ryerson Limited, Toronto, 1989.
163
Dutton, Dean S., “A Model of Self Generating Inflation: The Argentine
Case”, Journal of Money, Credit and Banking, Vol.. 3, Mei 1971,
245-262.
Egwalkhide, Festus, O., “Effect of Budget Deficits on The current Account
Balance in Nigeria: A Simulation Exercise”, The African Economic
Research Consortion, The Regal Press Kenya, 1997.
Eisner, Robert, “Budget Deficit: Rhetoric and Reality”, Journal of Economic
Perspectives, Vol. 3, No. 2, Spring 1989, 73-93.
Engle, Robert F. and C.W.J. Granger, “Co-integration and Error Correction: Representation, Estimation, and Testing”, Econometrica,
Vol.55, No.2, March, 1987, 251-76.
Flavin, M., The Adjustment of Consumption to Changing Expectations
about Future Income, Journal of Political Economic, No. 89, 1981,
974-1009.
Friedman, M. and M.S. Khan, A Theory of the Consumption Function,
Princeton: Princeton University Press. 1957.
Galardo, J Lopez, “Budget Deficit and Full Employment”, Journal of Post
Keynesian Economics, Summer 2000, Vol. 22, No. 4, 549-563.
Ghiglino, Christian dan Karl Shell, “The Economic Effects of Restrictions
on Government Budget Deficits” Journal of Economic Theory (JET),
ISSN 0022-0531, Vol. 94, Iss:1, Sept 2000, 106.
Goweke, Laszlo; “ Labour Taxation, Efficiency Wages and The Long Run”,
Bulletin of Economic Research (BOE), ISSN 0307-3378, Vol 52 Iss;4
Oct 2000, 241.
Gramlich, Edward, M., “Budget Deficits and National Saving: Are Politicians Exogenous?”, Journal of Economic Perspectives, Vol.3, No.2,
Spring 1989, 23-35.
Grossman, Herschel, I., “Rational Expectations, Business Cycles, and Government Behavior”, in Stanley Fischer, eds, Rational Expectations
and Economic Policy, The University of Chicago Press, Chicago,
1980, 5-22.
Gujarati, Domodar, N., Basic Econometrics, 3rd edd., McGraw-Hill International Editions, 1995.
164
Hall, S.G., S.G.B. Henry, Macroeconomic Modelling, Bank of England,
London, UK, 1988.
Hayashi, Fumio, “Tests for Liquidity Constraints: a Critical Survey and
some New Observation”, in Bewley, Truman F, ed., Advances in
Econometrics, Fifth World Congress, Cambridge: Cambridge University Press, 1987.
Holden, K., D.A.Peel, dan J.L.Thompsons, Expectations: Theory and Evidence, St.Matin’s Press, New York, 1985.
Howard, Anton, and Chris Rorres, “Elementary Linear Algebra, Applications Version”, 8th edd, John Wiley and Sons, Inc., New York,
2000.
IBII, Proyeksi Ekonomi Indonesia Tahun 2000; Berdasarkan Perhitungan
Macromodel, Lembaga Penelitian Ekonomi Indonesia-IBII, Jakarta,
2000.
Insukindro, “Pembentukan Model Dalam Penelitian Empirik Dengan
Pendekatan Koreksi Kesalahan”, Journal Ekonomi dan Bisnis Indonesia (JEBI), Vol. 14 No.1, 1999, 1-8.
Insukindro, Ekonomi Uang dan Bank : Teori dan Pengalaman di Indonesia,
BPFE, Jogjakarta, 1993
Insukindro, “Regresi Linier Lancung dalam Analisis Ekonomi: Suatu Tinjauan dengan Satu Studi Kasus di Indonesia”, Journal Ekonomi dan
Bisnis Indonesia, 5, 1991, 75-88.
Jehle, Geoffrey, A., Advanced Microeconomic Theory, Prentice-Hall International Inc., Englewood Cliffs, New York, 1991.
Khan, Mohsin, S., “The Variability of Expectation in Hyperinflations”
Journal of Political Economy, Vol.85, Agustus 1977, 817-827.
Kotlikoff, Laurence J., “Intergenerational Transfers and Savings”, Journal of
Economic Perspectives, Vol. 2, Spring 1988, 41-58.
Lucas, R.E., Jr. “Econometric Policy Evaluation: A Critique”, in K. Brunner and A. Meltzer (eds), The Phillips Curve and Labor Markets,
Amsterdam: North Holland, Carnegie-Rochester Series on Public
Policy, 1976.
165
Mankiw, Gregory N., Macroeconomics, 3rd edition, Worth Publishers, New
York, 1992.
Mansur, Ahsan H, “Effect of a Budget Deficit on the Current Account
Balance: The Case of the Philippines”, in Blejer, M.I. and K.Chu
eds, Fiscal Policy Stabilization and Growth in Developing Countries,
Washington , D.C. : International Monetery Fund, 1989.
Maryatmo, Rogatianus, “The Role of Oil in Indonesian Economy: A Case
of Causality Test”, Modus, Edisi 06, 1994, 37-44.
McCafferty, Stephen, Macroeconomic Theory, Harper & Row Publishers,
New York, 1990.
Pindyck, Robert S., Daniel L. Rubinfeld, Econometric Models and Economic
Forecasting, 4rd Edition., McGraw-Hill, New York, 1998.
Price, Simon, and Insukindro, “The Demand for Indonesian Narrow Money: Long-run Equilibrium, Error Correction and Forward-Looking Behaviour”, The Journal of International Trade & Economic Development 3 (2) July 1994, 147-163.
Repse, Einors, “Latvia: Focus on Country Development”, Finance & Development (FID), ISSN 0015-1947, Vol. 37 Iss:3, September 2000,
17.
Romer, David, Advanced Macroeconomics, International Edition, 2nd edd.,
McGraw-Hill Higher Education, Singapore, 2001.
Saleh, Samsubar, “Pengaruh Kebijakan Defisit Anggaran Pemerintah Terhadap Perekonomian Indonesia”, Disertasi S3, Universitas Gajah
Mada Jogjakarta, tidak dipublikasikan, 2002.
Sargent, Thomas J., and Neil Wallace, “Rational Expectation and the Dynamics of Hyperinflation”, International Economic Review, Vol 14,
June 1973, 328-350.
Sargent, Thomas, J., Macroeconomics Theory, 2nd Edition., Academic Press,
Inc., New York, 1987.
Seater, John J., “Ricardian Equivalence”, Journal of Economic Literature
(JEL), Vol XXXI, March, 1993, 142-190.
166
Snowdown, B., and Vane H.R., A Modern Guide to Macroeconomics; An
Introduction to Competing Schools of Thought, Edward Elgar Publishing Limited, Gower House, United Kingdom, 1995.
Thomas, R.L., Modern Econometrics; an Introduction, 1st Edition., Addison
Wesley Longman, 1997.
Wiles, Mark, H., “Harapan Rasional Sebagai Kontrarevolusi”, dalam buku
Daniel Bell dan Irving Kristol (editor), Krisis Teori Ekonomi, LP3ES,
Jakarta, 1987.
Woo, W.T., Glassburner B., and Nasution A., Macroenomomic Policies, Crisis, and Long-Term Growth in Indonesia 1965-90, The World Bank,
Washington, DC, 1994.
Woodford, Michael, “Revolution and Evolution in Twentieth-Century
Macroeconomics”, Paper Prepared for the Conference on “Frontiers of The Mind in the Twenty-First Century” Library of Congress,
Washington, June 14-18, 1999.
World Bank, Entering the 21st Century, World Development Report
1999/2000
Bank Indonesia, Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia; Indonesian Financial Statistics, 1983-2002.
167
Lampiran:
Gambar Hasil Prediksi Yang Dihasilkan Model Penelitian dan Data
Aktual Suku Bunga, Kurs, dan Tingkat Harga
Gambar 1. Suku Bunga Aktual (RRRPL) dan Nilai Prediksi Suku
Bunga (R6_RRRPL)
Gambar 2. Nilai Prediksi (R6_CPI) dan Nilai Aktual Tingkat Harga
(CPI)
168
Gambar 3. Nilai Prediksi (R6_EXRPL) dan Nilai Aktual Nilai Tukar
Mata Uang Rupiah (Rp/$)
169
170
INTERAKSI KEBIJAKAN MONETER DAN FISKAL:
DOMINASI ATAU KAUSALITAS?1
Angelina Ika Rahutami
Latar Belakang
P
erekonomian selalu bergerak secara simultan, sehingga penerapan
suatu kebijakan tidak dapat disetrilisasi dari penerepan kebijakan
yang lain. Ketika kebijakan yang ada berinteraksi, maka akan
muncul perdebatan, sebenarnya kebijakan apa yang menjadi pemimpin,
pengikut atau terjadi interaksi kausalitas. Dua blok perekonomian yang
kerap mendapat sorotan di Indonesia adalah Blok Moneter dan Blok
Fiskal. Pengambilan kebijakan di salah satu blok akan mempengaruhi
kinerja blok yang lain. Hasil akhir kebijakan moneter maupun fiskal
sebenarnya tergantung pada dominasi yang ditimbulkan oleh masingmasing kebijakan.
Sargent dan Wallace (1981) membedakan pola pelaksanaan kebijakan
dengan istilah kebijakan moneter dominan dan kebijakan fiskal dominan2.
Kebijakan dikatakan kebijakan moneter dominan apabila otoritas moneter
bersifat aktif dalam menentukan stok uang nominal atau suku bunga
nominal, sedangkan kebijakan fiskal dominan ditandai dengan kebijakan
moneter yang bersifat subordinat terhadap kebijakan fiskal dan dibebani
pembiayaan defisit fiskal melalui pajak inflasi.
1
2
Merupakan pengembangan dari bagian disertasi S3 penulis
Dalam konteks yang sama, Aiyagari-Gertler (1985) membedakan menjadi Rejim Ricardian dan
Non-Ricardian, sedangkan Leeper (1991) menyebutnya dengan kebijakan moneter aktif (fiskal
pasif ) dan kebijakan fiskal aktif (moneter pasif )
171
Dalam analisis tradisional, koordinasi atau interaksi antara kebijakan
moneter dan fiskal tidak menimbulkan masalah apabila dikontrol oleh
pembuat kebijakan yang sama. Analisis ini akan mengalami perubahan
bila pembuat kebijakan moneter dan fiskal adalah institusi yang berbeda
karena kemungkinan besar akan terjadi dominasi atau ketidaksinkronan
dalam interaksi antar otoritas. Realitas yang terjadi menunjukkan bahwa
otoritas moneter dan fiskal berada di bawah institusi yang berbeda jauh
lebih banyak dibandingkan dengan negara yang memiliki otoritas moneter
dan fiskal dalam satu lembaga yang sama (Bohn, 2002).
Di Indonesia, otoritas fiskal berbeda dengan otoritas moneter. Otoritas
fiskal adalah Departemen Keuangan, sedangkan otoritas moneter adalah
Bank Indonesia (BI). Salah satu tugas otoritas fiskal adalah menyusun
Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) yang dilakukan pada
awal tahun (ex-ante) dengan melihat perkembangan berbagai indikator
ekonomi makro (Departemen Keuangan, 2002: 15) berupa pertumbuhan
ekonomi, inflasi, nilai tukar rupiah, tingkat suku bunga SBI 3 bulan, harga
minyak internasional dan produksi minyak Indonesia.
Di lain pihak, karakteristik kebijakan sektor moneter di bawah
otorisasi BI menunjukkan kecenderungan bahwa sektor moneter bukanlah
sektor yang pasif3. Kebijakan-kebijakan moneter yang diambil tidak
hanya semata-mata ditujukan untuk mempertahankan kondisi anggaran
pemerintah, namun juga untuk kepentingan stabilisasi sektor moneter dan
perekonomian secara keseluruhan.
3
Indikasi bahwa sektor moneter merupakan sektor yang aktif dapat dilihat dari hasil penelitian
Goeltom (2005) mengenai kebijakan moneter.
172
Tabel 1 Periodisasi dan Evaluasi Kebijakan Moneter
Periode
Kebijakan moneter
Evaluasi berdasarkan optimal policy
rule
Suku bunga
Uang inti
Cenderung ketat
Cenderung ketat
Cukup optimal
Cenderung ekspansioner
19801982
Deregulasi dan liberalisasi finansial
19831984
Penguatan perbankan
dan pertumbuhan
ekonomi
19851987
Diskresi akibat tekanan
BOP
Cukup optimal
pada 85/86, tapi
terlalu longgar
pada 86/87
Cukup optimal
19881989
Kebijakan ekspansif
Terlalu longgar
Cukup optimal,
tapi terlalu ketat
pada 88.4/89.3
19901992
Kebijakan uang ketat,
kebijakan perbankan
Terlalu ketat
Terlalu longgar
pada 90/91, terlalu
ketat pada 91/92
19931994
Kebijakan dalam kondisi Cukup optimal
yang cukup stabil
Cukup optimal
19951997.2
Diskresi akibat inflasi
dan permintaan domestik
Terlalu longgar
Terlalu ketat pada
1995, Cukup optimal pada 1996
1997.31999
Kebijakan krisis ekonomi
Terlalu ketat
Terlalu longgar
pada 1998
20002003
Kebijakan jaga stabilitas untuk pemulihan
ekonomi
Terlalu longgar
2000/01, tapi
cukup optimal
pada 2002/03
Cukup optimal
pada 2000/01,
terlalu ketat pada
2002/03
Sumber : Goeltom, 2005.
173
Data evaluasi kebijakan moneter dan data awal perilaku variabel moneter
menunjukkan bahwa Indonesia mengalami beberapa kali perubahan yang
cukup tajam secara instrumen, tujuan maupun kelembagaan. Perubahan
kebijakan yang paling menonjol adalah penggunaan kebijakan kaidah
(policy rule) dan penargetan inflasi. Perubahan instrumen, tujuan maupun
kelembagaan otoritas moneter diduga akan mengakibatkan perubahan
struktural pada variabel-variabel ekonomi lain yang pada akhirnya juga
akan mempengaruhi kondisi anggaran pemerintah. Kondisi ini tentunya
akan membawa perubahan dalam interaksi kebijakan moneter dan fiskal
di Indonesia.
Berdasarkan latar belakang tersebut, kajian ini bermaksud untuk
menelusuri posisi kebijakan moneter dalam interaksi kebijakan secara
teoritis dan melihat dan menganalisis indikator-indikator yang terkait
dengan interaksi kebijakan fiskal dan moneter di Indonesia.
Posisi Kebijakan Moneter dalam Interaksi Kebijakan
dalam Pemikiran Keynesian Baru
Konsep Keynesian Baru4 merupakan konsep yang mewakili fenomena
ketidakseimbangan ekonomi Indonesia dan kebijakan moneter yang dipilih
oleh Bank Indonesia. Ketidakseimbangan ekonomi Indonesia ditunjukkan
antara lain oleh penelitian Harmanta dan Ekananda (2005) tentang pasar
kredit, Siregar dan Ward (2002) mengenai efek dominan kejutan sisi
permintaan agregat terhadap fluktuasi ekonomi, dan penelitian Solikin
(2004) mengenai fenomena kurva Phillips New Keynesian di Indonesia.
Sedangkan penargetan inflasi seperti tertuang dalam UU No. 23 tahun
1999 merupakan kebijakan yang membutuhkan fungsi reaksi suku bunga
(Taylor Rule) yang bersifat forward looking. Kondisi ini sesungguhnya
mencerminkan penggunaan konsep Keynesian Baru dalam mengelola
ekonomi.
4
Konsep Keynesian Baru secara ringkas berbicara mengenai pasar yang tidak sempurna, kondisi
ketidakseimbangan (disequilibrium), kekakuan upah dan harga, serta perlunya intervensi pemerintah dalam bentuk kebijakan kaidah.
174
Pemikiran Keynesian Baru dengan jelas menunjukkan bahwa kebijakan
moneter memegang peran penting dalam menstabilkan ekonomi. Dalam
dunia nyata penerapan kebijakan moneter tidak dapat dipisahkan dari
penerapan kebijakan ekonomi makro lainnya terutama kebijakan fiskal.
Keterkaitan antar kebijakan memiliki implikasi bahwa kebijakan satu dengan
yang lain dapat saling mendukung atau justru saling memperlemah.
Secara tradisional interaksi kebijakan moneter dan fiskal dapat dibedakan menjadi dua kategori utama yaitu perilaku kebijakan aktif dan
pasif. Sebetulnya penyebutan istilah kebijakan aktif dan pasif telah dimulai
dari tahun 1981, dengan definisi yang berbeda. Sargent dan Wallace
(1981) membagi jenis kebijakan menjadi moneter dominan dan fiskal
dominan. Aiyagari dan Gertler (1985) lebih menggunakan terminologi
rejim Ricardian dan Non-Ricardian, sedangkan Leeper (1991) cenderung
menggunakan istilah kebijakan aktif dan pasif.
.HELMDNDQPRQHWHUDNWLI
.HELMDNDQPRQHWHUSDVLI
.HELMDNDQ
¿VNDODNWLI
I
7LGDNDGDHNXLOLEULXP
II
(NXLOLEULXPXQLN1RQ
5LFDUGLDQ
.HELMDNDQ
¿VNDOSDVLI
IV
III
(NXLOLEULXPXQLN5LFDUGLDQ 7LGDNDGDHNXLOLEULXP
Gambar 1 Kuadran Kombinasi Kebijakan Moneter-Fiskal Model Leeper
Pada dasarnya kebijakan aktif dan pasif berkaitan dengan kendala
yang dihadapi oleh pembuat kebijakan. Otoritas aktif tidak memberikan
perhatian pada utang pemerintah dan bebas untuk menetapkan variabel
kontrol, sedangkan otoritas pasif memberikan respons terhadap kejutan
utang pemerintah.
Salah satu implikasi dari konsep Keynesian Baru adalah kebijakan
moneter lebih mampu menstabilkan ekonomi dibandingkan dengan
kebijakan fiskal. Ketika kebijakan moneter digunakan sebagai kebijakan
yang akan menstabilkan fluktuasi ekonomi, maka hal yang penting untuk
175
dipahami adalah mekanisme transmisi kebijakan moneter. Mekanisme
transmisi kebijakan moneter adalah suatu proses bagaimana kebijakan
moneter untuk merubah GDP riil dan inflasi.
Keynesian Baru lebih banyak menggunakan pendekatan paradigma
uang pasif. Paradigma uang pasif menggunakan suku bunga sebagai
instrumen moneter, sasaran operasional berupa suku bunga jangka pendek
dan nilai tukar, dan target akhir stabilitas harga. Kesenjangan output
merupakan kausal dalam mekanisme transmisi. Perkembangan likuiditas
dari waktu ke waktu hanya menyesuaikan diri secara pasif terhadap besaran
permintaan dan inflasi.
Keynesian Baru juga menyatakan bahwa penggunaan kebijakan
yang bersifat kaidah jauh lebih baik dibandingkan dengan kebijakan yang
bersifat diskresi. Salah satu implikasi kebijakan moneter Keynesian Baru
dan sistem dominasi moneter menghendaki adanya independensi bank
sentral. Independensi kebijakan menunjukkan adanya ruang gerak bank
sentral yang bebas dari pertimbangan politik dan campur tangan orang
lain dalam memformulasikan dan mengimplementasikan kebijakan
moneter (Mustacelli dkk, 2000). Kondisi ini mengakibatkan, semakin
independen bank sentral, semakin terbatas kemampuan pemerintah untuk
memanipulasi kebijakan moneter bagi tujuan jangka pendek mereka, serta
membatasi fleksibilitas kebijakan pemerintah atau kemampuan untuk
bereaksi terhadap kondisi yang tidak diantisipasi atau tidak diinginkan
(Bernhard, 1998).
Interaksi Kebijakan Moneter dan Fiskal
Sebagian besar masalah mendasar dalam interaksi kebijakan moneter
dan fiskal berkaitan dengan perbedaan aktivitas fiskal dan moneter, karena
secara alami otoritas fiskal dan moneter merupakan entitas yang berbeda
dengan instrumen, tujuan dan preferensi yang berbeda, (Fry, 1995:399).
Interaksi tidak dapat terjadi dengan sendirinya, namun dibutuhkan
koordinasi antara otoritas moneter dan fiskal. Masalah ketidakjelasan
penugasan, kedudukan bank sentral, perbedaan persepsi pimpinan, per176
bedaan instrumen yang digunakan, serta perbedaan otoritas menjadi
sumber inkoordinasi moneter dan fiskal (Marszalek, 2003, Djojosubroto,
2004).
Penelitian terdahulu mengenai interaksi kebijakan moneter dan fiskal
dapat dibedakan menjadi 3 hasil utama. Sekelompok peneliti melihat
bahwa interaksi antara kebijakan moneter dan fiskal tidak pernah bersifat
satu arah atau bersifat kausalitas Kebijakan moneter memiliki efek terhadap
kondisi fiskal dan demikian juga sebaliknya karena pemerintah bertindak
seperti agen swasta, yang menghadapi kendala anggaran. Aghevli dan Khan
(1978) dan Adji (1995) menunjukkan bahwa arah hubungan antara defisit
anggaran dan variabel moneter adalah timbal balik. Secara lebih spesifik
Bhattacharya dan Haslag (1999) mengatakan bahwa kebijakan moneter
memiliki efek terhadap kondisi fiskal dan demikian juga sebaliknya, karena
pemerintah bertindak seperti agen swasta yang menghadapi kendala
anggaran. Tindakan moneter dan fiskal berinteraksi dalam satu kendala
anggaran pemerintah yang sama. Hasil penelitian Maryatmo (2004)
menunjukkan bahwa tidak seluruh variabel moneter memiliki hubungan
timbal balik dengan defisit anggaran. Suku bunga tidak mempengaruhi
defisit anggaran, tetapi kurs dan harga mempengaruhi defisit anggaran. Di
lain pihak defisit anggaran tidak mempengaruhi kurs dan tingkat harga,
namun mempengaruhi suku bunga.
Kelompok peneliti yang melihat bahwa sebetulnya kebijakan moneterlah yang akan mempengaruhi kondisi fiskal juga cukup banyak.
Pergeseran kebijakan moneter memiliki efek yang penting bagi pemerintah
dan tidak dapat dipungkiri bahwa dewasa ini bank sentral memiliki
komitmen baru terhadap inflasi yang rendah (Shapiro, 2004). Fenomena
ini akan mempengaruhi pendapatan dari penciptaan uang (seigniorage)
sehingga perlu dilakukan penyesuaian kesimbangan fiskal pada masa yang
akan datang melalui kenaikan pajak atau penurunan pengeluaran (Nikitin
dan Russell, 2004).
Penelitian Farhadian dan Dunn (1986), Bennett dan Loayza (2000),
serta Gros (2003) juga menunjukkan bahwa kenaikan preferensi anti177
inflasi bank sentral mendorong defisit publik primer yang lebih tinggi.
Hasil simulasi stokastik Hostland (2001) menunjukkan bahwa semakin
agresif kebijakan moneter akan menaikkan variabilitas suku bunga jangka
pendek, tetapi akan menurunkan variabilitas output, inflasi dan biaya
utang. Penelitian Dellas dan Slayer (2003) menemukan bahwa kebijakan
moneter kaidah yang kontra siklis menyebabkan suku bunga riil yang lebih
tinggi, tingkat pajak rata-rata yang lebih tinggi, output yang lebih rendah,
variabilitas tingkat pajak dan konsumsi yang lebih rendah dibandingkan
dengan kebijakan yang pro siklis.
Penelitian interaksi moneter-fiskal yang dilakukan oleh Sargent dan
Wallace (1975) menyatakan bahwa defisit anggaran yang didanai melalui
sistem perbankan (bank sentral), akan mengakibatkan peningkatan jumlah
uang beredar, dan selanjutnya akan mempengaruhi peningkatan harga,
yang berarti, pembiayaann defisit anggaran akan memiliki konsekuensi
negatif ke tingkat harga (Marszalek, 2003, Moreno,2003). Kebijakan fiskal
dapat mempengaruhi kebijakan moneter dalam berbagai cara, baik melalui
dampak atas kredibilitas kebijakan moneter, efek jangka pendek pada
permintaan, maupun melalui perubahan kondisi pertumbuhan ekonomi
dan inflasi jangka panjang (Fialho dan Savino, 2002).
Interaksi Kebijakan Moneter dan Fiskal:
Kausalitas5
Interaksi yang
Kajian yang dilakukan oleh Rahutami (2007) menunjukkan bahwa
interkasi kebijakan moneter dan fiskal bersifat kausalitas. Hasil estimasi
blok moneter menunjukkan bahwa dalam jangka pendek jumlah uang
beredar riil dipengaruhi secara positif oleh pendapatan nasional riil dan
suku bunga. Depresiasi tidak memberikan pengaruh yang signifikan dalam
5
Diambil dari penelitian Rahutami (2007) yang menggunakan data sekunder triwulanan, mulai
dari tahun 1980.1 sampai dengan tahun 2006.4. Model yang digunakan adalah model simultan
dinamik yang dipecahkan dengan menggunakan metode Two Stages Least Square (TSLS). Perilaku dinamik diamati dengan menggunakan model Error Correction Model (ECM) dua tahap
Engel-Granger. Model penuh yang digunakan dalam penelitian Rahutami (2007) menggunakan lima (5) blok yaitu blok moneter, blok harga, blok fiskal, blok riil, dan blok eksternal.
178
jangka pendek, namun memberikan pengaruh yang negatif dalam jangka
panjang. Hal ini memberikan indikasi bahwa masyarakat tidak memiliki
kepercayaan yang cukup kuat terhadap Rupiah. Kebijakan moneter kaidah
yang menjadi fokus dari penelitian ini juga menunjukkan berbagai hal
menarik. Variabel inflasi, suku bunga periode sebelumnya maupun uang
primer merupakan variabel yang mempengaruhi pembentukan suku bunga,
dengan pengaruh yang lebih kuat pada informasi inflasi.
Secara empiris dalam jangka pendek inflasi Indonesia dipengaruhi
secara signifikan oleh ekspektasi inflasi, inflasi periode sebelumnya, kesenjangan output, nilai tukar, ekspektasi pertumbuhan ekonomi riil dan
perubahan struktur inflasi pada tahun 1998 akibat perubahan jangkar
moneter. Sedangkan dalam jangka panjang, inflasi dipengaruhi secara
signifikan oleh kesenjangan output dan nilai tukar. Bila melihat seluruh
variabel yang dihipotesiskan akan mempengaruhi pembentukan inflasi
ternyata memiliki pengaruh yang signifikan, maka pengelolaan inflasi
membutuhkan kehati-hatian dan kredibilitas BI.
Dengan kondisi ini, maka BI perlu lebih transparan, cermat dan
kredibel dalam menyampaikan perkiraan inflasinya. Atau dengan kata
lain kredibilitas BI dalam menyampaikan target inflasi menjadi suatu
informasi penting yang akan sangat berpengaruh terhadap pembentukan
inflasi. Dengan model penargetan inflasi yang diterapkan oleh BI pada saat
ini diharapkan kesalahan ekspektasi inflasi akan menjadi semakin kecil,
sehingga masyarakat pun tidak mengalami kesalahan ekspektasi.
Di sisi lain persamaan blok fiskal menunjukkan bahwa penerimaan
pemerintah dipengaruhi secara signifikan oleh pendapatan nasional, harga
minyak dunia dan obligasi luar negeri. Temuan ini mengindikasikan bahwa
masih ada ketergantungan terhadap penerimaan minyak dan gas, serta utang
luar negeri. Dalam persamaan pengeluaran pemerintah diperoleh hasil
bahwa depresiasi akan meningkatkan pengeluaran pemerintah, di samping
pengaruh yang signifikan dari penerimaan pajak riil dan pendapatan
nasional riil.
Interaksi antara blok moneter dan fiskal terlihat pada signifikansi
variabel kejutan. Bila dalam perilaku suku bunga terlihat bahwa kejutan
179
pengeluaran pemerintah memberikan pengaruh yang signifikan, maka
kejutan uang primer juga akan memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap penerimaan pemerintah.
Kejutan pengeluaran pemerintah terhadap pembentukan suku bunga
jangka pendek mengindikasikan bahwa perilaku BI belum sepenuhnya
independen dan masih harus memberikan dana talangan bagi defisit
anggaran. Implikasi dari kondisi ini adalah perilaku sektor fiskal tetap
merupakan suatu tanda yang perlu direspon oleh BI sebagai otoritas
moneter. Sedangkan kejutan uang primer juga memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap penerimaan pemerintah. Hal ini menunjukkan masih
adanya keterkaitan antara sektor fiskal dengan sektor moneter meskipun
sejak tahun 1999 telah terjadi perubahan hubungan, dan menjadi lebih
independen.
Deskripsi Indikator Moneter dan Keterkaitannya dengan Blok
Fiskal
Blok moneter merupakan aktivitas perekonomian dari sisi moneter
dengan otoritas tertinggi di Bank Indonesia, sedangkan blok fiskal dalam
suatu perekonomian lebih menggambarkan peran pemerintah dalam
mengelola keuangan. Blok moneter di Indonesia merupakan blok ekonomi
yang relatif banyak mengalami perubahan kebijakan. Perubahan kebijakan
moneter di Indonesia terjadi baik dari sisi instrumen, target operasional,
tujuan dan kelembagaan Bank Indonesia. Undang-undang Pokok
Bank Indonesia pertama disahkan pada tanggal 19 Mei 1953 berisikan
pembentukan BI yang pada awalnya berfungsi sebagai bank sirkulasi dan
pada akhirnya menjadi bank sentral penuh. Tugas BI yang tercantum dalam
UU Pokok Bank Indonesia No. 11 tahun 1953 adalah (i) menjaga stabilitas
mata uang, (ii) menyelenggarakan peredaran mata uang, (iii) memajukan
sistem perbankan, dan (iv) mengawasi kegiatan perbankan dan perkreditan.
UU ini berlaku dari tahun 1953 sampai dengan 1967, dengan peran utama
BI sebagai pencetak uang untuk kepentingan pemerintah (seignorage) yang
pada akhirnya mendorong terjadinya inflasi yang sangat tinggi.
180
Perkembangan berikutnya adalah dikeluarkannya UU Bank Indonesia
No.13 tahun 1968. BI memiliki peran sebagai stabilisator perekonomian
melalui stabilisasi nilai tukar dan inflasi. Di samping itu selama tahun 1968
sampai dengan 1998, BI juga diberi tugas sebagai agen pembangunan dan
memiliki peran penting dalam kredit sektor riil.
Perubahan yang cukup besar dilakukan dengan disahkannya UU
Bank Indonesia No. 23 tahun 1999. Berdasarkan UU ini, tujuan BI adalah
mencapai dan memelihara kestabilan rupiah. Kestabilan nilai rupiah
tersebut mencakup kestabilan terhadap barang dan jasa yang tercermin dari
perkembangan laju inflasi dan kestabilan terhadap mata uang negara lain
yang diukur dengan perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang
negara lain.
Pada awalnya BI diberikan independensi penuh dalam menentukan
sasaran inflasi, sehingga dapat berbeda dengan asumsi yang digunakan
pemerintah dalam menyusun anggaran. Menurut UU BI No.23 tahun
1999, BI merupakan entitas publik yang independen yang memiliki otoritas
penuh, dan bebas dari intervensi pemerintah. Perubahan kembali terjadi
dengan dilakukannya amandemen terhadap UU BI tahun 1999 pada tahun
2004. Dalam amandemen UU BI ini, penetapan target inflasi dilakukan
oleh pemerintah dengan terlebih dahulu melakukan konsultasi dengan
BI. Perubahan ini menunjukkan bahwa BI hanya memiliki independensi
instrumen dan tidak lagi memiliki independensi tujuan.
Kebijakan moneter yang terkait dengan stabilisasi harga memiliki
jangkar nominal yang berbeda-beda. Pada awalnya nilai tukar dan besaran
moneter digunakan sebagai jangkar nominal kebijakan moneter. Namun
mulai tahun 1999 jangkar nominal diganti dengan suku bunga. Penargetan
inflasi sendiri telah dilakukan sejak tahun 2000 walaupun belum dijangkarkan
secara resmi, dan masih dalam proses pembelajaran. Sedangkan secara
resmi untuk mendukung pelaksanaan kerangka kerja kebijakan moneter
yang baru, maka pada Juli 2005 BI mengimplementasikan Inflation
Targeting Framework (ITF), yang mencakup empat elemen dasar yaitu (i)
penggunaan suku bunga BI Rate, (ii) proses perumusan kebijakan moneter
181
yang antisipatif, (iii) strategi komunikasi yang lebih transparan, dan (iv)
penguatan koordinasi kebijakan dengan pemerintah. Walaupun ITF lebih
memberikan fokus ke stabilitas harga, namun pada dasarnya BI tetap
berupaya untuk menjaga keseimbangan antara inflasi dan pertumbuhan
ekonomi.
Perubahan kebijakan, jangkar nominal dan juga sifat kelembagaan
tercermin juga pada pergerakan variabel-variabel seperti suku bunga, dan
inflasi. Di Indonesia terdapat beberapa jenis suku bunga nominal yaitu
PUAB, deposito berjangka 1 bulan sampai dengan 2 tahun, suku bunga
kredit modal kerja, dan suku bunga kredit investasi. Suku bunga Indonesia
selalu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan suku bunga asing. Bahkan
pada tahun 1997-1999 memiliki jarak yang relatif lebar dengan suku
bunga asing. Kondisi ini dapat menyebabkan suku bunga Indonesia tidak
menarik bagi investor asing untuk menanamkan modalnya ke Indonesia.
Perkembangan suku bunga dalam negeri ditandai dengan beberapa
hal penting. Pada tahun 1987, pemerintah menaikkan suku bunga SBI
untuk mencegah terjadinya spekulasi. Kenaikan suku bunga SBI tertinggi
tercapai pada tahun 1997, sehingga mencapai 70 persen. Kenaikan suku
bunga SBI ini dimaksudkan untuk membatasi ekspansi kredit perbankan
dan menarik uang beredar dari sistem perbankan yang dikonversikan ke
dalam SBI di BI. Akibat terjadinya bank run pada tahun 1997, maka pada
1998 kuartal 4 BI menaikkan suku bunga deposito tertinggi menjadi 52,32
persen dengan tujuan untuk menaikkan tingkat likuiditas bank.
182
Keterangan : id = suku bunga deposito, ik = suku bunga kredit, isbi= suku
bunga sbi, if= suku bunga LIBOR, INF_Y = inflasi year on year
Sumber: Bank Indonesia
Gambar 2 Suku Bunga Domestik, Suku Bunga Luar Negeri, dan Inflasi 1990.1-2011.2
Tahun 1998-2000, semua suku bunga mengalami penurunan. Pada
tahun 2001, suku bunga deposito naik lebih tinggi dibandingkan kenaikan
suku bunga lain, sehingga menyebabkan pergeseran preferensi masyarakat
dalam menempatkan dana. Kondisi ini dirasa tidak memperbaiki kondisi
sektor perbankan, maka suku bunga ditekan agar menjadi semakin rendah,
sehingga jarak dengan suku bunga luar negeri tidak terlalu tinggi. Suku
bunga mengalami kenaikan lagi pada periode 2005-2006, dan mulai 2009
berhasil ditekan di bawah 10 persen.
Gambar tersebut juga menunjukkan adanya pola yang sama antara
inflasi dengan suku bunga SBI. Kenaikan inflasi akan diikuti oleh kenaikan
suku bunga yang merupakan bentuk kebijakan moneter agar tidak terjadi
ekspansi kredit yang berlebihan. Apabila tidak terjadi ekspansi kredit maka
perekonomian diharapkan akan lebih stabil sehingga menekan terjadinya
inflasi. Kebijakan uang ketat dengan cara menaikkan suku bunga di satu
sisi dapat meredam terjadinya inflasi, namun di sisi lain, kebijakan ini dapat
183
mengorbankan sektor riil. Tingginya suku bunga kredit akan menyebabkan
sektor riil tidak dapat mengembangkan usaha, tidak terjadi investasi baru,
sehingga dunia usaha akan melemah.
Blok kedua adalah blok fiskal. Perilaku blok fiskal ini dicerminkan
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan realisasinya.
Pada rejim Orde Baru, kebijakan APBN menganut sistem berimbang
(balanced budget), namun sejak tahun anggaran 2000, kebijakan APBN
menganut sistem defisit (deficit budget) yang biasanya ditetapkan sekian
persen dari PDB. Untuk menutup defisit anggaran tersebut pemerintah
mengupayakan program pembiayaan baik yang bersumber dari dalam
negeri maupun luar negeri.
Perubahan sistem anggaran pada tahun 2000 berkaitan erat dengan
perubahan kebijakan fiskal. Perubahan yang terjadi pada tahun 2000
tersebut dimulai dengan perubahan tahun anggaran menjadi tahun
kalender, sehingga pada tahun 2000, jangka waktu anggaran adalah
1 April-31 Desember, dan untuk tahun-tahun berikutnya adalah 1
Januari-31 Desember. Perubahan berikutnya adalah cara penyajian APBN
yang mengikuti standar internasional (Government finance statistics), dan
penyusunan APBN yang dipengaruhi oleh semangat otonomi daerah.
184
Sumber : Departemen Keuangan RI
Gambar 3 Nilai Realisasi Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah
dan Proporsinya terhadap PDB, 1990.1-2010.4
Dari sisi penerimaan, mulai tahun 2000 terjadi kecenderungan
peningkatan penerimaan negara dengan kontributor utama berasal dari
penerimaan dalam negeri yaitu penerimaan pajak dan bukan pajak, serta
penerimaan hibah. Meskipun terjadi kenaikan penerimaan, namun proporsi
penerimaan pemerintah terhadap PDB cenderung mengalami penurunan.
Dari sisi pengeluaran pemerintah, terlihat bahwa dari tahun ke tahun,
pengeluaran pemerintah menunjukkan kenaikan yang jauh lebih tinggi
dibandingkan kenaikan penerimaan pemerintah. Hal ini menyebabkan
defisit anggaran yang semakin besar. Demikian juga dengan proporsi
pengeluaran pemerintah terhadap PDB, dari tahun ke tahun menunjukkan
peningkatan.
Interaksi antara kebijakan moneter dengan kondisi anggaran terlihat
jelas pada gambar 6 berikut. Ketika inflasi tinggi, maka defisit anggaran
akan semakin besar. Fenomena pada tahun 1998 sampai dengan 2000
merupakan pembuktian yang cukup kuat, ketika inflasi dapat ditekan
akibat kebijakan moneter yang tepat, maka anggaran akan menjadi surplus.
185
Namun tampaknya pergerakan inflasi dari tahun 2003.4 sampai 2010.4
yang cenderung stabil di bawah 10%, tidak dapat memperbaiki kondisi
defisit anggaran pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan
moneter tidak cukup mampu untuk memperbaiki kondisi defisit anggaran
pemerintah
Sumber : Departemen Keuangan RI
Keterangan: Defisit dalam grafik ini diperoleh dari penerimaan-pengeluaran
Gambar 4 Nilai Defisit APBN Riil Dan Inflasi 1990.1-2010.4
Perubahan-perubahan yang terjadi pada variabel moneter juga
membawa dampak pada perubahan indikator ekonomi makro yang lain.
Gambar 7 berikut menunjukkan pertumbuhan Pendapatan Domestik
Bruto riil dengan inflasi (y-o-y). Penurunan PDB riil yang cukup tajam
terjadi pada tahun 1998-1999.
186
Sumber : Bank Indonesia
Gambar 5 PDB Riil Dan Pergerakan Inflasi 1990.1-2010.4
Pada tahun 1998 PDB riil mengalami penurunan sebesar 13,7
persen akibat lesunya kegiatan investasi dan konsumsi swasta. Penurunan
kegiatan investasi ini berkaitan dengan memburuknya kondisi perbankan,
rendahnya kepercayaan investor asing dan lemahnya permintaan konsumsi
domestik. Penurunan konsumsi domestik terjadi akibat lemahnya daya beli
masyarakat akibat terjadinya inflasi yang sangat tinggi. Pola yang terlihat
ketika inflasi mengalami kenaikan maka PDB riil akan cenderung mengalami
penurunan atau bahkan pertumbuhan yang negatif akibat tekanan harga
dan lemahnya daya beli. Ketika inflasi dapat dikelola dengan baik, maka
terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi pun akan berjalan cenderung lebih
stabil. Bila dibandingkan dengan kondisi anggaran pemerintah, maka
terdapat indikasi bahwa kebijakan moneter lebih banyak memberikan
pengaruh kepada PDB dibandingkan kepada anggaran pemerintah.
187
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian empiris, dan indikasi data yang ada di
Indonesia, maka terlihat bahwa interaksi antara kebijakan moneter dan
fiskal bersifat kausalitas. Suku bunga dan uang primer merupakan dua
variabel yang harus mendapat perhatian lebih dari Bank Indonesia karena
berinteraksi secara kuat dengan anggaran pemerintah. Bank Indonesia
juga harus tetap menjaga independensinya, dan tetap harus meningkatkan
kredibilitas serta transparansinya, karena kebijakan moneter memiliki
pengaruh yang kuat terhadap anggaran pemerintah dan indikator makro
yang lain.
188
Daftar Pustaka
___________ (2002), Bunga Rampai Kebijakan Fiskal, Badan Analisa
Fiskal, Departemen Keuangan RI, Japan International Coorperation Agency, Jakarta, Agustus .
___________, Statistik Ekonomi dan Keuangan, Bank Indonesia, berbagai
edisi.
Adji, Arti (1995), “Is Public Debt Neutral? Evidence For Indonesia,” Journal Ekonomi Dan Bisnis Indonesia (JEBI): 21-32, September.
Aghevli, Bijan B., dan Mohsin S. Khan (1978), “Government Deficits And
The Inflationary Process In Developing Countries,” IMF Staff Paper, Vol.25, No.3: 383-416, September.
Aiyagari, S. Rao, dan Mark Gertler (1985), “The Backing of Government
Bonds and Monetarism,” Journal of Monetary Economics 16: 19–44,
July.
Benett, Herman, dan Loayza N. (2000), “Policy Biases when The Monetary
and Fiscal Authorities Have Different Objectives,” Central Bank of
Chile Working Papers, No. 66: 1–41.
Bhattacharya, Joydeep, dan Joseph H. Haslag (1999), “Monetary Policy
Arithmetic: Some Recent Contributions,” Federal Reserve Bank Of
Dallas Economic And Financial Review, Third Quarter: 26-36
Bohn, Frank (2002), “Public Finance Under Political Instability And Debt
Conditionality,” University of Essex, Department of Economics Discussion Papers 540.
Dellas, Harris, dan Kevin D Slayer (2003), “Some Fiscal Implications Of
Monetary Policy,” Bulletin Of Economic Research 55:1: 21-36
Djojosubroto, Dono Iskandar (2004), “Koordinasi Kebijakan Fiskal Dan
Moneter Di Indonesia”, Dalam Kebijakan Fiskal, Pemikiran, Konsep Dan Implementasi, Eds. Heru Subiyantoro dan Singgih Riphat,
Penerbit Buku Kompas, Jakarta
189
Farhadian Z, Dunn R.M.Jr (1986), “Fiscal Policy And Financial Deepening In A Monetarist Model Of The BOP,” Kyklos Working Paper,
39: 66-84.
Fialho, Marcelo Ladeira, dan Marcelo Savino (2002), “Monetary And Fiscal Policy Interactions In Brazil: An Application Of The Fiscal Theory Of The Price Level,” Portugalî Working Paper: 1-20.
Fry, Maxwell J (1995), Money, Interest And Banking In Economic Development, 2nd Ed., The Johns Hopkins University Press, Baltimore.
Goeltom, Miranda S. (2005), Perspectives On Implementing Time Consistency And Credibility In Monetary Policy: The Case Of Indonesia, Paper Presented At The International Conference On Marrying Time Consistence In Monetary Policy With Financial Stability:
Strengthening Economic Growth”, Organized By Bank Indonesia,
Denpasar-Bali, December 1-3.
Gros, Daniel (2003), “Financial Aspects Of Central Bank Independence
and Price Stability The Case of Turkey” CEPS-EDP project: 1-20.
Harmanta, dan Ekananda, Mahyus (2005). “Disintermediasi Fungsi Perbankan Pascakrisis 1997: Faktor Permintaan atau Penawaran Kredit, Sebuah Pendekatan dengan Model Disequilibrium”. Buletin
Ekonomi Moneter dan Perbankan: 51-78, Juni.
Hostland, Doug (2001), “Monetary Policy And Medium-Term Fiscal Planning”, Department Of Finance Working Paper, 20.
Leeper, Eric M. (1991), “Equilibria Under ‘Active’ And ‘Passive’ Monetary
And Fiscal Policies”, Journal Of Monetary Economics, 27: 129-147
Marszałek, Paweł (2003), “Coordination Of Monetary And Fiscal Policy”,
The Poznań University Of Economics Proceeding Paper, Volume 3
Number 2: 41-52.
190
Maryatmo, Rogatianus (2004), “Dampak Moneter Kebijakan Defisit Anggaran Pemerintah Dan Peranan Asa Nalar Dalam Simulasi Model
Makroekonomi Indonesia (1983:1-2002:4)”, Disertasi Program
Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (tidak dipublikasikan).
Moreno, Ramon (2003), “Fiscal Issues And Central Banking In Emerging
Economies: An Overview “, BIS Papers No 20:1-9, October.
Nikitin, Maxim, dan Steven Russell (2004), “Monetary Policy Arithmetic:
Reconciling Theory With Evidence”, Working Paper : 2:85,August.
Rahutami, Angelina Ika (2007), “Interaksi Kebijakan Moneter Kaidah
Dengan Anggaran Pemerintah Di Indonesia Tahun 1980.1-2006.4:
Pendekatan Sistem Ekonomi Simultan”, Disertasi Program Pasca
Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (tidak dipublikasikan).
Sargent, Thomas J., dan Neil Wallace (1981), “Some unpleasant monetarist arithmetic”, Federal Reserve Bank of Minneapolis Quarterly Review 5: 1–17, Fall.
Shapiro, Matthew D. (2004), “Discussion Of Engen And Hubbard: Federal Government Debt And Interest Rates”, Artikel Dalam NBER
Macroeconomics Annual Conference, April
Siregar, Hermanto, dan Ward, Bert D (2002). ”Were Aggregate Demand
Shocks Important in Explaining Indonesian Macroeconomic Fluctuations?”. Journal of the Asia Pacific Economy. Vol 7: 35-60.
Solikin (2004). ”Kurva Philips dan Perubahan Struktural di Indonesia :
Keberadaan, Pola Pembentukan Ekspektasi, dan Linieritas”. Buletin
Ekonomi dan Perbankan: 41-75, Maret.
191
192
PERAN STIMULUS FISKAL DAN PELONGGARAN
MONETER PADA PEREKONOMIAN INDONESIA
SELAMA KRISIS FINANSIAL GLOBAL1
Iskandar Simorangkir2
Justina Adamanti3
Krisis keuangan global yang terjadi sejak pertengahan
tahun 2008 telah mengakibatkan penurunan tajam
pertumbuhan ekonomi dunia dan bahkan hampir semua
negara mengalami kontraksi ekonomi. Berbagai kebijakan
ekonomi telah dilakukan untuk mengatasi kontraksi
ekonomi tersebut. Dari sisi kebijakan fiskal, pemerintah
melakukan stimulus fiscal,sementara di sisi kebijakan
moneter, bank sentral menurunkan suku bunga yang
cukup signifikan. Sejalan dengan negara lain, Indonesia
juga melakukan kebijakan yang sama, yaitu menurunkan
suku bunga dan meningkatkan stimulus fiskal.
1
Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada seluruh peserta Call for Papers - EcoMod2010, Istanbul, 7-10 Juli 2010 untuk komentarnya. Secara khusus ucapan terimakasih diucapkan kepada M. Barik Bataludin, Harmanta dan Endy Dwi Tjahjono,
para ekonom di Biro Riset Ekonomi Bank Indonesia untuk bantuan dan masukannya. Semua pendapat yang diutarakan dalam paper ini merupakan pandangan pribadi
penulis dan bukan merupakan pandangan resmi dari Bank Indonesia.
2
Kepala Biro Riset Ekonomi Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, Indonesia;
Universitas Pelita Harapan dan Universitas Indonesia; email: [email protected] (corresponding author).
3
Ekonom Junior di Biro Riset Ekonomi, Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2,
Jakarta 10350, Indonesia; email: [email protected]
193
Paper ini akan mengkaji dampak stimulus fiskal dan penurunan
suku bunga terhadap perekonomian Indonesia dengan menggunakan financial computable general equilibrium. Hasil
kajian menunjukkan bahwa dalam situasi krisis ekonomi yang
berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi, kombinasi
kebijakan ekspansi fiscal dan ekspansi moneter sangat efektif
dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Hal ini karena
terjadinya sinergi, di mana ekspansi fiscal yang berpotensi
menigkatkan suku bunga dinetralisir dengan penurunan suku
bunga melalui ekspansi moneter. Kombinasi kedua kebijakan
tersebut lebih efektif dibandingkan apabila hanya dilakukan
kebijakan ekspansi fiscal atau hanya dilakukan kebijakan
ekspansi moneter.
Secara komponen PDB, kombinasi kebijakan ekspansi fiscal
dan moneter memberikan multiplier effect yang cukup besar
sehingga mampu mendorong permintaan agregat dengan
meningkatnya konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah
dan ekspor serta impor.
Secara sektoral, kombinasi kebijakan ekspansi fiskal dan
moneter memberikan dampak positif berupa meningkatnya
produksi di semua sector ekonomi. Hal ini karena didorong
oleh adanya insentif fiskal (penurunan pajak, penurunan bea
masuk impor, dan lainnya) sehingga sektor usaha meningkatkan
investasi. Selain itu, adanya kenaikan permintaan agregat juga
mendorong sektor usaha untuk meningkatkan produksinya
guna memenuhi permintaan tersebut.
JEL Classification: D58, E12, E13, E52, E58, H25, H31, H53,
H54
Keywords: Fiscal stimulus, monetary easing, financial computable general
equilibrium, global financial crisis
194
I. Pendahuluan
Krisis keuangan global telah mengakibatkan pertumbuhan ekonomi
dunia menurun tajam. Krisis yang berasal dari permasalahan sub-prime
mortgage di Amerika Serikat tersebut telah mengakibatkan pertumbuhan
ekonomi dunia menurun dari sebesar 5.2% pada tahun 2007 menjadi
sebesar 3.0% pada tahun 2008 dan bahkan pada tahun 2009, pertumbuhan
ekonomi dunia mengalami kontraksi sebesar -0.9%. Dalam rangka
mencegah memburuknya perekonomian akibat krisis tersebut, maka
hampir semua Negara yang terkena imbas dari krisis melakukan countercyclical policies, berupa stimulus fiskal dan pelonggaran kebijakan
moneter. Dengan berbagai series kebijakan tersebut, pemerintah dan bank
sentral diharapkan dapat meningkatkan perekonomian domestik untuk
mengkompensasi penurunan dari permintaan global.
Stimulus fiskal yang dilakukan meliputi peningkatan pengeluaran
pemerintah (government spending) dan penurunan pajak (tax cuts).
Sementara pelonggaran kebijakan moneter yang dilakukan tidak hanya
terbatas pada penurunan suku bunga melainkan juga quantitative easing
dengan membeli surat-surat berharga dalam memompa likuiditas di
perekonomian. Dari sisi fiskal, fiskal defisit dibelahan ekonomi dunia
menunjukkan kondisi yang semakin besar akibat tambahan stimulus fiskal,
yaitu dari defisit fiskal sebesar -0.5% dari GDP pada tahun 2007 (pre-crisis)
menjadi sebesar -6.7% pada tahun 2009. Sementara itu, Suku bunga bank
sentral di dunia juga menurun tajam dan bahkan untuk beberapa negara
suku bunga telah mendekati 0%. Di Amerika Serikat, the federal fund rate
menurun tajam dari 5.25% pada September 2007 menjadi 0.25% pada
December 2008. Tren penurunan suku bunga diikuti oleh hampir semua
negara lain, yang rata-rata menurunkan suku bunga sebesar 330 basis
poin (bps) pada negara maju dan rata-rata 300 bps di negara berkembang.
(Battellino, 2009).
Meskipun perdebatan masih berlangsung mengenai efektivitas
kebijakan countercyclical tersebut, hampir semua negara masing-masing
terus melanjutkan program stimulus fiskal dan penurunan suku bunga
195
dalam rangka menstimulasi ekonomi. Perdebatan mengenai efektivitas dari
kebijakan itu terkait erat dengan berkembangnya keraguan akan kebijakan
fiskal dan moneter countercyclical. Dari perspektif mainstream ekonomi
khususnya sudut pandang klasik, stimulus fiskal dan kebijakan moneter
bukan metode yang efektif untuk mengarahkan pertumbuhan ekonomi
riil. Sementara itu, pandangan lain khususnya Keynes, berpendapat bahwa
stimulus fiskal dan pelonggaran moneter dapat mencegah penurunan
output riil. Peningkatan permintaan agregat, yang berasal dari stimulus
fiskal dan pelonggaran moneter di tengah-tengah kekakuan harga dan
kurangnya lapangan kerja, dapat berhasil meningkatkan output riil.
Sebagaimana negara lainnya, Indonesia juga melakukan stimulus
fiskal dan penurunan suku bunga dalam rangka mencegah perekonomian
mengalami kontraksi akibat dari krisis keuangan global. defisit fiscal
menunjukkan peningkatan sehubungan dengan peningkatan fiscal stimulus
Rp73.3 triliun pada tahun 2009-walaupun realisasinya hanya dapat dicapai
sebesar Rp32.9 triliun atau 44.9% dari anggaran. Sementara itu, suku
bunga acuan, BI-rate, menurun tajam hingga mencapai 300 bps sehingga
menjadi 6.5% pada April 2009. Untuk mengetahui efektivitas kedua
kebijakan tersebut, paper ini akan mengkaji dampak dari kedua kebijakan
tersebut terhadap perekonomian Indonesia. Metode yang digunakan
untuk menganalisis dampak dari kedua kebijakan tersebut adalah financial
general equilibrium (FCGE). Selanjutnya, pada bagian dua akan dibahas
mengenai teori dan implementasi dampak kebijakan fiskal dan moneter.
Pada bagian tiga akan dibahas kebijakan fiskal dan moneter dalam mengatasi
permasalahan krisis di Indonesia. Pada bagian selanjutnya akan dibahas
mengenai hasil dari kajian dan bagian akhir merupakan kesimpulan dari
paper ini.
II. Teori Peranan Kebijakan Fiskal dan Moneter
Dalam teori, terutama pada teori Keynesian, kebijakan fiskal dan
moneter secara efektif mempengaruhi output riil. Kebijakan fiskal yang
ekspansif, yaitu melalui stimulus fiskal, dapat meningkatkan permintaan
196
agregat melalui konsumsi domestik dan investasi. Dalam kondisi kekakuan harga, output jangka pendek riil akan meningkat. Di tengah
permintaan global yang lemah akibat krisis keuangan global, stimulus
fiskal dapat menningkatkan perekonomian domestik. Selanjutnya, peningkatan permintaan agregat dapat memberikan efek berlipat ganda dan
meningkatkan pasokan agregat di sektor riil, khususnya jika ekonomi
masih di bawah kapasitasnya (under-capacity), sehingga pada akhirnya
dapat meningkatkan output dalam jangka pendek.
Sementara itu, dari sudut pandang mikro perbankan, kebijakan
moneter yang lebih longgar menggiring tren penurunan tingkat suku
bunga, sehingga menurunkan biaya pendanaan (cost of fund) dan pada
gilirannya memperkuat permintaan kredit, sehingga mendorong kegiatan
konsumsi dan investasi. dan akhirnya permintaan agregat domestik.
Dengan adanya kecenderungan kekakuan harga, maka penurunan suku
bunga dapat meningkatkan output riil dalam jangka pendek. Selain itu,
pembuat kebijakan juga mengadopsi kebijakan moneter yang diperlonggar
selama krisis keuangan akibat likuiditas yang semakin menghilang di pasar
uang. Kurangnya likuiditas tambahan di pasar keuangan menyebabkan
kekurangan likuiditas di lembaga keuangan, yang mengikis kepercayaan
publik terhadap bank. Hal ini dapat mempengaruhi pergerakan bank dan
meningkatkan risiko sistemik dalam sistem perbankan secara keseluruhan,
yang selanjutnya merusak pembiayaan pada dunia bisnis dan pada akhirnya
merugikan perekonomian. Selain itu, kurangnya kepercayaan pada bank
dapat mendorong masyarakat umum untuk melakukan diversifikasi ke aset
nyata atau aset asing, sehingga memperburuk inflasi dan memulai aliran
modal.
Meskipun demikian, pandangan klasik menyatakan bahwa stimulus
fiskal bersifat netral terhadap output riil. Pemotongan pajak dan peningkatan
belanja pemerintah akan membentuk defisit anggaran, yang oleh karenanya,
dalam jangka panjang pajak harus kembali dinaikkan untuk memangkas
defisit. Akibatnya masyarakat umum akan mengurangi pengeluaran sebagai
bentuk antisipasi pajak yang lebih tinggi di kemudian hari. Penurunan
197
dalam pengeluaran rumah tangga ini akan menghilangkan efek peningkatan
pengeluaran pemerintah, sehingga tidak berpengaruh nyata pada output
(Ricardian equivalence). Selain itu, kebijakan moneter tidak akan efektif
mengontrol output riil. Bahkan meski terjadi peningkatan nilai nominal
pada permintaan agregat domestik sebagai akibat kebijakan pelonggaran
moneter melalui penurunan suku bunga atau peningkatan penawaran uang,
harga akan cenderung meningkat. Dalam hal ini, peningkatan permintaan
agregat nominal akan diimbangi dengan peningkatan harga , sehingga
secara riil output tidak akan meningkat.
Ada banyak studi empiris dilakukan untuk mengukur peran stimulus
fiskal dan pelonggaran moneter dalam meningkatkan permintaan agregat
dan memulihkan pertumbuhan ekonomi. Penelitian yang dilakukan oleh
Freedman et al. (2009) menunjukkan bahwa kebijakan fiskal ekspansif
di seluruh dunia dikombinasikan dengan kebijakan moneter akomodatif
dapat memiliki efek multiplier yang signifikan pada perekonomian
dunia. Blanchard dan Perotti (2002) dan Romer dan Romer (2008)
menemukan bahwa stimulus fiskal dari 1 persen dari PDB berdampak
pada meningkatnya PDB sebesar hampir 1 persen poin pada saat kebijakan
digulirkan dan sebanyak 2 sampai 3 persen dalam beberapa tahun
kedepannya saat puncak efek terjadi. Perotti (2005) menemukan multiplier
yang jauh lebih kecil untuk negara-negara Eropa. Baru-baru ini, Freedman,
et al. (2009) menemukan baik pengeluaran pemerintah dan atau transfer
yang ditargetkan akan memiliki efek multiplier yang cukup besar pada
perekonomian. Skenario yang ideal adalah ketika stimulus fiskal bersifat
global, didukung oleh akomodasi moneter, dan sektor keuangan yang
mengalami tekanan, juga didukung oleh pemerintah. Studi lintas negara
yang dilakukan oleh Christiansen (2008) menemukan multiplier fiskal
yang kecil terhadap perekonomian dan dalam beberapa kasus ditemukan
multiplier dengan tanda negatif. Studi yang dilakukan oleh Giavazzi dan
Pagano (1990) dan disurvei oleh Hemming, Kell, dan Mahfouz (2002)
juga menemukan bahwa ekspansi fiskal memiliki efek multiplier negatif
bagi perekonomian.
198
Di sisi kebijakan moneter, terdapat pula beberapa studi tentang pengaruh kebijakan moneter terhadap pertumbuhan ekonomi. Dibandingkan
dengan stimulus fiskal yang dapat segera meningkatkan kegiatan ekonomi,
kebijakan moneter perlu waktu lebih lama untuk menunjukkan dampak
pada ekonomi. Hal ini karena sasaran utama dari kebijakan moneter
adalah untuk mempertahankan kesenjangan output dan inflasi yang stabil.
Di negara maju, seperti Amerika Serikat (AS) dan beberapa negara Eropa
utama, ditemukan bukti substansial terhadap efektivitas inovasi kebijakan
moneter pada parameter ekonomi riil (lihat Miskhin (2002), Christiano et
al. (1999), Rafiq dan Mallick (2008) dan Bernanke et al. (2005)).
Namun, beberapa studi menunjukkan bahwa kejutan melalui kebijakan
moneter hanya mengakibatkan beberapa efek kecil terhadap pertumbuhan
ekonomi dan kadang-kadang tidak konsisten dengan harapan teoritis,
terutama bagi perekonomian dengan tingkat pendapatan menengah. Ganev
et al. (2002) misalnya, mempelajari efek terhadap guncangan moneter di
sepuluh negara Eropa Tengah dan Timur (Central and Eastern Europe/
CEE) negara dan tidak menemukan bukti bahwa perubahan tingkat suku
bunga dapat mempengaruhi output. Ada tiga pertanyaan yang paling
umum yang diidentifikasi dalam beberapa literatur, yaitu pertanyaan
likuiditas, pertanyaan harga dan pertanyaan nilai tukar (Chuku, 2009).
Pertanyaan likuiditas merupakan penemuan dimana peningkatan agregat
moneter disertai dengan peningkatan (bukan penurunan) suku bunga.
Sementara pertanyaan harga merupakan temuan dimana kontraksi dalam
kebijakan moneter melalui inovasi positif dalam suku bunga tampaknya
mengakibatkan peningkatan (bukan penurunan) harga. Namun, yang
paling umum dalam perekonomian terbuka adalah pertanyaan nilai tukar,
yang merupakan temuan dimana peningkatan suku bunga dikaitkan
dengan depresiasi (bukan apresiasi) dari mata uang lokal.
Perekonomian biasanya menjadi lebih baik ketika otoritas fiskal dan
moneter mengkoordinasikan kebijakan mereka. Krisis lalu telah membuat
jelas bahwa selain mencapai kesenjangan output yang stabil dan inflasi yang
stabil, para pembuat kebijakan juga harus memperhatikan banyak target,
199
termasuk komposisi output, perilaku harga aset dan leverage dari agen-agen
yang berbeda. Hal ini juga memperjelas bahwa terdapat instrumen yang
lebih banyak, yaitu kombinasi kebijakan moneter tradisional dan kebijakan
fiskal (Blanchard et al, 2010.).
Koordinasi kebijakan dapat mengurangi risiko konflik dan meningkatkan kemungkinan bagi kebijakan tersebut untuk mencapai tujuan utama.
Tujuan dari kebijakan moneter adalah untuk mengurangi kesenjangan
kelebihan/permintaan output dan untuk menutup kesenjangan investasi.
Jika otoritas moneter dominan, maka kemungkinan kombinasinya adalah
pengetatan fiskal dan sedikit pelonggaran kebijakan moneter. Pengetatan
fiskal digunakan untuk mengelola kelebihan kesenjangan output (dan
dengan demikian mengurangi tekanan inflasi), bahkan jika perlu berkorban dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat. Ekspansi
moneter adalah untuk memastikan kualitas pertumbuhan yang baik yakni
pertumbuhan yang didukung oleh investasi (swasta) yang kuat. Sebaliknya,
tujuan kebijakan fiskal adalah untuk mengurangi kesenjangan output yang
berlebihan.
Di tengah pandangan yang saling bertentangan mengenai efektivitas
kebijakan fiskal dan moneter yang countercyclical, pemerintah dan bank
sentral di seluruh dunia terus berpendapat bahwa kebijakan fiskal dan
moneter merupakan salah satu pilihan dalam mengatasi krisis ekonomi akibat
krisis, sebagaimana tercermin dari defisit fiskal yang sedang berkembang
dan penurunan suku bunga di seluruh dunia. Paket stimulus fiskal yang
diperkenalkan oleh pemerintah di banyak negara di seluruh dunia untuk
mengatasi krisis, telah mengakibatkan meroketnya defisit fiskal global dari
-0.5% dari PDB pada tahun 2007 menjadi -6.7% pada tahun 2009 (IMF,
2009). Peningkatan defisit terbesar terjadi di negara maju; menurun dari
-1.2% selama periode pra-krisis (2007) menjadi -8.9% pada tahun 2009
(Tabel 1). Sementara itu, negara-negara berkembang dan negara-negara
berpenghasilan rendah masing-masing mengalami defisit -4.0% dan -3.8%
pada tahun 2009, yang sebelumnya masing-masing mengalami surplus
sebesar 0.7% dan defisit sebesar -0.2% pada masa sebelum krisis.
200
Tabel 1. Neraca Fiskal (dalam persen GDP)
2007
(Pra–krisis)
2009
2010
2014
-0.5
-6.7
-5.6
-2.8
Ekonomi maju
-1.2
-8.9
-8.1
-4.7
Ekonomi berkembang
0.7
-4.0
-2.8
-0.7
Ekonomi tertinggal
-0.2
-3.8
-2.0
-1.4
-1.0
-7.9
-6.9
-3.7
G-20 ekonomi maju
-1.9
-9.7
-8.7
-5.3
G-20 ekonomi berkembang
0.3
-5.1
-4.1
-1.3
Dunia
Negara-negara G-20
Sumber: IMF
Berdasarkan urutan negara, peningkatan terbesar dalam defisit fiskal
terjadi di Amerika Serikat, Inggris, Jepang dan Perancis, dengan defisit
masing-masing sebesar -12.5%, -11.6%, -10.5% dan -8.3% dari PDB
pada tahun 2009, masing-masing dibandingkan dengan -2.8 %, -2.6%,
-2.5% dan -2.7% pada tahun 2007. Sementara itu, defisit fiskal terbesar
yang dilaporkan oleh negara ekonomi berkembang dialami oleh India
dengan defisit mencapai -10.4% tahun 2009, dibandingkan dengan -4.4%
di tahun 2007. Komposisi stimulus fiskal mencakup konsumsi publik dan
transfer serta investasi, khususnya di bidang infrastruktur, pemotongan
pajak pekerja, pemotongan pajak konsumsi, pemotongan pajak modal, dan
pendapatan lainnya. Secara umum, sebagian besar stimulus fiskal diberikan
dalam bentuk konsumsi masyarakat, transfer serta investasi. Selain stimulus
fiskal, pemerintah beberapa negara juga memberikan dukungan kepada
sektor keuangan dan sektor lainnya, termasuk pembiayaan dimuka. Pada
Agustus 2009, jumlah rata-rata dukungan keuangan yang diberikan oleh
201
negara-negara anggota G-20 mencapai 2.2% dari PDB untuk injeksi modal
ke sektor keuangan, 2.7% dari PDB untuk pembelian aset dan pemberian
pinjaman melalui Departemen Keuangan, 8.8% untuk jaminan dan 3.7%
untuk pembiayaan dimuka untuk pemerintah.
Selain itu, dalam rangka mengurangi perlambatan ekonomi global,
bank sentral di banyak negara mengambil tindakan agresif untuk melonggarkan posisi kebijakan moneter mereka. Beberapa negara menurunkan
suku bunga mereka mendekati nol. Di Amerika Serikat, Federal Reserve
memangkas Fed Fund Rate dari 5.25% menjadi 0.25% pada Desember
2008. Bank sentral lain, misalnya Australia, Inggris, Eropa dan Asia juga
ikut mengurangi tingkat kebijakan mereka sebesar 0.4% hingga 5.25%
dari pertengahan 2007 sampai awal 2009. Dukungan lebih lanjut untuk
meredakan moneter, berasal dari kebijakan yang dirancang untuk memompa likuiditas ke pasar keuangan yang sangat memerlukannya, melalui
pembelian aset serta pinjaman dana pemerintah, penyediaan likuiditas
dan dukungan bank sentral yang masing-masing mencapai USD 1,436
miliar dan USD 2,804 miliar (IMF, 2009). Untuk menopang sektor
perbankan, sejumlah pemerintah juga menyatakan komitmen mereka
untuk meningkatkan jaminan simpanan maupun jaminan lainnya untuk
berbagai pinjaman dan bantuan modal bagi bank yang mengalami kesulitan
likuiditas, sebagai rangkaian upaya mengembalikan kepercayaan masyarakat
terhadap sistem perbankan.
Susunan kebijakan yang diambil berhasil menghilangkan risiko
sistemik di pasar keuangan, mendorong optimisme dan mengembalikan
kepercayaan pasar pada awal 2009. Likuiditas tambahan dari pelonggaran
kuantitatif telah mengurangi ketatnya pasar uang dan intervensi yang
dilakukan di negara maju serta pemulihan sistem keuangan, telah meredakan ancaman risiko sistemik dan memulihkan kepercayaan pelaku pasar
keuangan. Pembelian surat berharga oleh bank sentral mampu mengurangi
biaya pembiayaan dan mengembalikan pasar keuangan dari mati suri yang
diakibatkan keengganan pasar untuk menyerapnya akibat risiko tinggi.
Ekonomi global telah secara bertahap melakukan rebound di balik
pemulihan sektor keuangan, yang meningkatkan likuiditas dalam per202
ekonomian. Didukung oleh stimulus fiskal yang signifikan, konsumsi
rumah tangga juga meningkat, yang selanjutnya mendorong kegiatan
industri pada awal 2009. Penurunan suku bunga yang agresif dan pembelian
sekuritas berbasis hipotek menyebabkan suku bunga KPR menjadi lebih
rendah dan karenanya mendorong pemulihan harga perumahan.
Perbaikan kinerja sektor keuangan dan beberapa indikator sektor riil
membantu memulihkan kepercayaan konsumen dan bisnis dalam pemulihan
ekonomi global yang lebih cepat dari yang diperkirakan. Berdasarkan data
dari World Economic Outlook edisi April 2010, pertumbuhan tahunan
ekonomi dunia mencapai sekitar 3.25% selama kuartal kedua tahun
2009, kemudian menguat lebih dari 4.5% pada paruh kedua tahun ini.
Alhasil, pertumbuhan ekonomi global hanya mengalami kontraksi sebesar
-0.6% di tahun 2009, lebih baik dari proyeksi awal IMF sebesar -0.8%
sebagaimana tercantum dalam edisi Januari WEO. Pemulihan ekonomi
global ini, yang telah melebihi perkiraan awal, meningkatkan keyakinan
bahwa pertumbuhan ekonomi global akan kembali ke awal lintasan normal
di tahun 2010. Keyakinan tersebut semakin ditopang oleh pertumbuhan
luas dalam produksi dan perdagangan internasional selama semester
kedua 2009. Di negara maju, siklus persediaan bisnis telah membalik dan
konsumsi telah meningkat di Amerika Serikat. Di negara berkembang dan
negara-negara dengan perkembangan pasar yang cepat (emerging market),
sinyal positif pertumbuhan ekonomi global juga tercermin dari kuatnya
permintaan domestik.
Laju pemulihan ekonomi global bervariasi antar wilayah dan negara
sesuai dengan perbedaan kondisi masing-masing dan kebijakan yang
ditempuh. Secara keseluruhan, negara-negara berkembang berekspansi
sebesar 2.4% pada tahun 2009, dimana negara-negara Asia seperti Cina,
India dan Indonesia memimpin dengan pertumbuhan yang kuat. Sementara
itu, negara-negara maju mengalami kontraksi sebesar 3.2%. Meskipun
demikian, dengan ekonomi global yang mulai mengalami akselerasi yang
cepat pada semester kedua tahun 2009, pertumbuhan ekonomi global
diperkirakan akan melebihi proyeksi IMF pada tahun 2010, mencapai
4.2%.
203
III. Kebijakan Fiskal dan Moneter di Indonesia di Tengah Krisis
Finansial Global
Menghadapi krisis keuangan global, Pemerintah Indonesia telah
mengeluarkan kebijakan fiscal stimulus dan monetary policy easing untuk
memerangi pelemahan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan fiscal stimulus
tersebut meliputi peningkatan expenditure dan tax cuts. Stimulus fiskal
yang bersifat expenditure ditargetkan sebesar Rp 12,2 triliun yang terdiri
dari pengeluaran untuk proyek infrastruktur dan non-infrastruktur. Proyek
non-infrastruktur antara lain meliputi pelatihan keterampilan oleh Balai
Latihan Kerja (BLK), penambahan dana penjaminan bagi Kredit Usaha
Rakyat (KUR), dan Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk PT Asuransi
Ekspor Indonesia (ASEI).
Selain itu Pemerintah juga melaksanakan stimulus yang bersifat
penurunan revenue yaitu dengan cara mengurangi tingkat pajak maupun
meningkatkan subsidi pajak dan non pajak yang ditanggung pemerintah.
Stimulus ini bertujuan untuk menjaga daya beli masyarakat (rumah tangga
) dan insentif bagi dunia usaha (perusahaan) di tengah melemahnya
perekonomian dunia. Untuk tahun 2009, diperkirakan penghematan yang
diterima oleh Perusahaan dan Perorangan melalui penurunan tingkat PPh
adalah sebesar Rp 50,3 triliun. Bila dibandingkan dengan data Penerimaan
PPh 2008 yang sebesar Rp 305 triliun, maka diperoleh angka penurunan
(shock) untuk PPh Perusahaan 9,3% dan PPh Perorangan 7,7%. Selain
itu, stimulus fiskal juga dilakukan pemerintah melalui keringanan PPN
untuk minyak goreng, bahan bakar nabati (BBN) dan kegiatan eksplorasi
migas sebesar Rp 3,5 triliun. Dengan nilai penerimaan PPN 2008 sebesar
Ro 195,5 triliun, maka stimulus fiskal dari PPN ini adalah sebesar 1,79%.
Terakhir adalah keringanan Bea Masuk (BM) untuk bahan baku dan
bahan modal sebesar Rp 2,5 triliun yang berarti terjadi penurunan sebesar
14% dari tahun 2008 (pendapatan dari Bea Masuk Rp 17,8 triliun). Secara
nominal, stimulus fiskal dari sisi pengurangan pajak adalah sebesar Rp 60,5
triliun yang akan berdampak pada ekonomi melalui mekanisme shock
PPh, PPN dan BM. Secara ringkas, paket stimulus fiskal pada tahun 2009
di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.
204
Tabel 2. Stimulus Fiskal Indonesia untuk tahun 2009
Deskripsi
A
B
C
Tax-saving Payment
Anggaran
Pemerintah
(Triliun
Rupiah)
%
dari
PDB
Realisasi
(Oktober
2009)
% dari
PDB
% realisasi
dari anggaran
43.0
0,82
20.5
0,39
47.8
1. Pengurangan tarif
13.5
pajak pendapatan perorangan (35% D 30%)
dan kelebihannya
0,26
5.2
0,10
38.5
2. Meningkatkan batas
minimum menjadi
Rp15.8 million
11.0
0,21
2.5
0,05
23.1
3. Penurunan tingkat
pajak pendapatan
badan usaha (30% D
28%) dan perusahaan
terdaftar D 5% lebih
rendah
18.5
0,35
12.8
0,24
69.2
SUbsidi bea masuk /subsidi pajak untuk bisnis
13.3
0,25
3.8
0,07
28.4
1. PPN minyak goreng
0.8
0,02
1.5
0,03
182.4
2. PPN bio fuel
0.2
0,004
-
0,00
-
3. PPN eksplorasi migas
2.5
0,05
1.0
0,02
40.2
4. Pajak penerimaan
untuk Geotermal
0.8
0,02
0.8
0,02
102.7
5. PPh
6.5
0,12
0.1
0,00
2.2
6. Bea masuk untuk bahan baku dan barang
modal
2.5
0,05
0.3
0,01
13.6
Subsidi non pajak untuk
bisnis dan kesempatan
kerja
17.0
0,32
8.6
0,16
50.4
205
1. Penurunan harga BBM 2.8
diesel sebesar Rp.300/
liter
0,05
2.8
0,05
100.0
2. Potongan harga listrik
untuk industri
1.4
0,03
1.0
0,02
75.0
3. Stimulus belanja untuk
stimulus belanja
12.2
0,23
4.4
0,08
36.2
73.3
1.4
32.9
0.63
44.9
Total Stimulus dalam Rupiah
Namun melihat perkembangannya, jumlah stimulus fiskal di atas
diperkirakan tidak dapat terealisasi seluruhnya untuk tahun 2009. Sampai
dengan Oktober 2009, stimulus fiskal yang telah terealisasi tercatat
sebesar Rp 32.9 triliun atau sebesar 44,9% dari total rencana stimulus
fiskal. Sosialisasi yang kurang baik, kehati-hatian dalam pengeluaran dan
penetapan aturan yang lambat ditengarai menjadi penyebab rendahnya
penyerapan stimulus fiskal.
Selain stimulus fiskal, Bank Indonesia sebagai bank sentral juga
melakukan pelonggaran moneter secara signifikan dengan mengurangi
policy rate-nya. Bank Indonesia (BI) mulai menurunkan BI rate sebesar 300
bps dari 9.50% pada November 2008 menjadi 6.50% pada bulan Agustus
2009, kemudian mempertahankan rate pada posisi konstan sebesar 6.50%
(Grafik 2). Laju pengurangan belum pernah terjadi sebelumnya, dengan
pemotongan rate sebesar 50 bps setiap bulan dari Januari-Maret 2009
dan sebesar 25 bps selama April-Agustus 2009. Langkah-langkah tersebut
diambil mengingat prospek inflasi yang rendah dan permintaan agregat
yang lemah.
Pelonggaran moneter, ditambah dengan stimulus fiskal, diharapkan
bisa menjadi pendorong bagi kebijakan-kebijakan lain yang akan diambil
untuk mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi domestik
sambil terus menjaga stabilitas harga dan stabilitas sistem keuangan. Melalui
kebijakan counter-cyclical, pertumbuhan ekonomi Indonesia melampaui
negara lain di wilayah ini. Selanjutnya, kinerja seperti itu dimungkinkan
206
oleh kekuatan permintaan domestik, khususnya konsumsi, yang tetap
menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi nasional.
Selain dari kebijakan makro ekonomi, kemampuan ekonomi Indonesia
untuk bertahan dari guncangan global ini terkait dengan karakteristik dari
bank dan lembaga keuangan domestik yang masih cenderung konvensional
dan memiliki tingkat exposure yang relatif rendah di bank-bank luar
negeri, sehingga dapat meminimalkan dampak langsung dari gejolak
pasar keuangan global. Hal lain yang mempengaruhi ketahanan ekonomi
Indonesia adalah karena Indonesia telah memperbaiki sistem perbankan
yang sebelumnya telah diperkuat dan dikonsolidasi setelah krisis keuangan
tahun 1998.
Indikator makroekonomi terbaru menunjukkan bahwa berbagai
kebijakan yang ditempuh, efektif dalam mengimbangi perlambatan
ekonomi Indonesia sebagai akibat dari krisis keuangan global. Di tengah
melemahnya ekonomi global, perekonomian Indonesia telah berhasil
mencatat kinerja yang cukup menjanjikan, dengan pertumbuhan ekonomi
pada tahun 2008 tercatat sebesar 6.1%. Namun, di menjelang akhir
tahun 2008, perekonomian Indonesia mulai terpengaruh oleh dampak
perlambatan ekonomi global. Hal ini terbukti dalam pertumbuhan hanya
5.2% pada kuartal keempat tahun 2008, di bawah triwulan yang sama
tahun sebelumnya sebesar 5.9%. Namun, perekonomian Indonesia telah
menunjukkan perbaikan yang signifikan sejak semester kedua tahun 2009.
Terlepas dari fakta bahwa krisis ini telah menyebabkan banyak negara
yang mengalami pertumbuhan negatif, Indonesia masih mampu bertahan
tumbuh positif sebesar 4.5% di tahun 2009.
207
Grafik 1. Pertumbuhan PDB Indonesia
Grafik 2. Perkembangan BI-Rate (Policy Rate)
Nilai tukar Rupiah juga dipengaruhi oleh perkembangan krisis keuangan global. Pergerakan kurs relatif stabil sampai pertengahan September
2008. Namun, dampak penyebaran krisis keuangan global telah mendorong
208
investor melepas aset pada skala yang signifikan, sehingga memberi tekanan
berat pada nilai tukar Rupiah pada triwulan IV tahun 2008. Selama tahun
2008, nilai tukar Rupiah dihadapkan pada volatilitas yang jauh lebih
tinggi dibandingkan tahun sebelumnya, dengan tren penyusutan. Ratarata sepanjang tahun, rupiah melemah 5.4% dari Rp 9.140 per dolar AS
pada tahun 2007 menjadi Rp 9.666 per dolar AS pada tahun 2008. Pada
akhir tahun, Rupiah diperdagangkan pada Rp 10.900 per dolar AS, setelah
kehilangan 13.8% (point to point) dari penutupan akhir tahun sebelumnya
sebesar Rp 9,393 per dolar AS. Selain itu terjadi pula peningkatan tajam
dalam volatilitas dari 1.44% pada tahun 2007 menjadi 4.67% pada tahun
2008.
Kondisi ketidakpastian di pasar uang asing sebagai dampak dari krisis
yang sedang berlangsung di awal tahun 2009 memberikan tekanan berat
kepada Rupiah pada triwulan pertama 2009. Nilai tukar Rupiah telah
mencapai titik terendah pada level Rp 12.020 per dolar AS pada bulan
Maret, awal tahun 2009, disertai dengan peningkatan volatilitas. Nilai tukar
rupiah mulai mengalami tren apresiasi sejak triwulan kedua 2009. Kondisi
ini didukung oleh kesinambungan dari beberapa faktor fundamental dalam
negeri yang telah memulihkan persepsi investor global tentang pasar yang
kembali aktif. Akibatnya, investor mulai kembali mau mengambil resiko
untuk aset pasar keuangan domestik sehingga kemudian modal kembali
mengalir ke pasar keuangan Indonesia.
Selain itu, surplus transaksi berjalan masih tumbuh untuk mendukung
rupiah untuk memperkuat tren ini. Perkembangan ini mengakibatkan
apresiasi Rupiah sekitar 18.4% antara akhir Maret sampai dengan Desember
2009 dan ditutup pada level Rp. 9,425 per US Dollar (Grafik 3). Penguatan
rupiah itu juga disertai dengan peningkatan volume perdagangan di pasar
valuta asing. Secara keseluruhan, tingkat rupiah pada akhir tahun 2009
menguat 15.7% dibandingkan dengan tingkat pada akhir tahun 2008.
Meskipun mengalami tren apresiasi, Rupiah masih mampu mendukung
daya saing produk ekspor Indonesia.
209
Grafik 3. Nilai tukar Rupiah: level and volatilitas
Grafik 4. CPI dan Inflasi Inti
Tekanan inflasi bertahan cukup tinggi selama awal krisis. Inflasi CPI
naik tajam di tahun 2008 menjadi 11.06% dari tingkat tahun sebelumnya
210
yang tercatat sebesar 6.59% (Grafik 4). Tekanan inflasi itu dipicu oleh
lonjakan harga komoditas global, terutama oleh komoditas minyak dan
makanan. Harga minyak yang tinggi tidak hanya mendorong inflasi impor,
tetapi juga membawa inflasi harga yang lebih tinggi menyusul keputusan
Pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi. Peristiwa ini
dikombinasikan dengan masalah dalam distribusi dan pasokan komoditas
utama yang mendorong peingkatan ekspektasi inflasi yang juga memberikan
tekanan ke atas pada inflasi inti di tahun 2008.
Namun demikian, tekanan inflasi menurun cukup signifikan pada
triwulan IV tahun 2008 seiring dengan harga komoditas global yang
jatuh dan perlambatan perekonomian dunia yang semakin dalam. Selain
itu, kebijakan pemerintah untuk menurunkan harga BBM dalam negeri
pada Desember 2008 seiring dengan penurunan harga minyak dunia yang
mengikuti tekanan inflasi. Jaminan pasokan beras dalam negeri merupakan
faktor tambahan yang membantu menjaga kenaikan pada harga beras yang
turun dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Berbagai kondisi ekonomi
global, respon kebijakan yang diambil, dan faktor lainnya dalam ekonomi
domestik memberikan kontribusi terhadap penurunan tekanan inflasi pada
tahun 2009, dimana laju inflasi menurun tajam menjadi 2.78%.
Berkebalikan dengan perlambatan ekonomi, tingkat pengangguran
menunjukkan perbaikan seiring dengan kondisi ekonomi yang terus
membaik sejak semester kedua tahun 2009. Dibawah kondisi tersebut,
pengangguran terbuka pada tahun 2009 sedikit menurun dari 8.1%
pada Februari 2009 menjadi 7.9% pada bulan Agustus 2009. Namun,
pengangguran setengah terbuka sedikit meningkat dari 31.1% pada bulan
Agustus 2008 menjadi 31.6% pada bulan Agustus 2009. Penurunan
pengangguran diperkirakan karena sebagian diserap oleh sektor informal,
sebagaimana tercermin pada meningkatnya penggunaan tenaga kerja di
sektor informal pada bulan Agustus 2009, yang mencakup 72.7 juta orang
dibandingkan dengan 71.4 juta orang pada bulan Agustus 2008.
Penurunan jumlah pengangguran dan perkembangan dari harga yang
relatif stabil memberikan kontribusi untuk menurunkan tingkat kemiskinan
211
di tahun 2009, yang menurun sekitar 14.15% dari total populasi (32.53
juta orang), dibandingkan dengan kondisi tahun 2008 yang mencapai
15.42% dari total penduduk (34.96 juta orang). Penurunan paling tajam
dari pengangguran terjadi terutama di daerah pedesaan sebesar 1.57 juta
orang, sedangkan di daerah perkotaan hanya menurun sebanyak 0.86
juta orang. Beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan kemiskinan
adalah peningkatan pendapatan riil harian petani, penurunan harga ratarata nasional beras dan inflasi stabil. Selain itu, penurunan kemiskinan juga
dipengaruhi oleh peningkatan daya beli sebagai dampak dari distribusi
bantuan langsung tunai (BLT), kenaikan upah minimum provinsi (UMP),
penurunan harga bahan bakar, dan musim panen yang terjadi pada Maret
2009.
Table 3. Tingkat Kemiskinan di Indonesia
Populasi Miskin Persentasi Populasi
Area/ Tahun
(juta)
Miskin
Urban
2006 14.49
13.47
2007 13.56
12.52
2008 12.77
11.65
2009 11.91
10.72
Rural
2006 24.81
21.81
2007 23.61
20.37
2008 22.19
18.93
2009 20.62
17.53
Urban + Rural
2006 39.30
17.75
2007 37.17
16.58
2008 34.96
15.42
2009 32.53
14.15
Sumber: BPS
212
IV. Dampak Stimulus Fiskal dan Pelonggaran kebijakan Moneter
Untuk melihat dampak stimulus fiscal dan pelonggaran kebijakan
moneter terhadap perekonomian digunakan model Financial Computable
General Equilibrium (FCGE)4 yang didasarkan pada data Financial Social
Accounting Matrix (FSAM) Indonesia tahun 2005. Sejumlah simulasi
diujicobakan dengan menggunakan kondisi ekonomi pada akhir 2008
sebagai acuan (baseline) yakni ketika BI rate berada pada tingkat 9.25%.
Tiga skenario kebijakan disimulasikan dan kemudian dibandingkan
dengan baseline, yang akan menentukan efektivitas setiap kebijakan serta
dua kebijakan tersebut digabung sebagai berikut:
i.
Skenario pertama memperhitungkan ekspansi fiskal tanpa ekspansi
moneter. Ekspansi fiskal termasuk pengurangan pajak perusahaan,
pengurangan pajak 9.3% di perusahaan tidak langsung (pajak penghasilan) dan pajak rumah tangga sebesar 7.7%, penurunan pajak langsung untuk komoditas pertambangan sebesar 1.79% dan
penetapan bea masuk yang lebih rendah untuk bahan baku dan modal
sebesar 14 %. Skenario ini mengakomodasi perkiraan dari realisasi
stimulus fiskal sebesar 50% dari anggaran awal, dengan asumsi bahwa
pemerintah akan terus meningkatkan penggunaan anggaran stimulus
sampai dengan akhir tahun 2009 (per Oktober 2009, total realisasi
44.9%).
ii.
Skenario kedua memperhitungkan kebijakan moneter tanpa dukungan
kebijakan fiskal. Berdasarkan skenario ini tingkat suku bunga dipotong
sebesar 2.75% sesuai dengan BI rate, yang berkurang dari 9.25% pada
Desember 2008 menjadi 6.50% pada bulan Desember 2009 sejalan
dengan inflasi yang rendah dan terkendali
iii. Skenario ketiga mengasumsikan bahwa kebijakan fiskal ekspansif
dilaksanakan sejalan dengan kebijakan moneter ekspansif.
4
Lihat lebih rinci model FCGE ini di Simorangkir dan Adamanti (2010) di Proceedings of the Ecomod2010, Istanbul, Turkey, July 2010 dan Buletin Ekonomi Moneter
dan Perbankan, Vol. 13, No. 2, Oktober 2010.
213
Hasil simulasi mengenai dampak dari tiga skenario kebijakan pada
variabel makroekonomi dan inflasi, neraca pemerintah, sektor dan insitusi
produksi adalah sebagai berikut:
a. Dampak Simulasi Kebijakan terhadap Variabel Ekonomi
Makro dan Inflasi
Hasil simulasi mengenai dampak dari tiga skenario terhadap variabel makroekonomi dan inflasi disajikan pada Tabel 4. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kombinasi kebijakan fiskal dan moneter ekspansif
lebih efektif dalam hal peningkatan PDB. Kebijakan gabungan meningkatkan GDP 1.057% dibandingkan dengan 0.996% untuk hanya kebijakan fiskal dan 0.061% untuk kebijakan moneter sendiri, mengingat
potensi kenaikan suku bunga karena kebijakan fiskal akan diperhitungkan
oleh potensi penurunan suku bunga karena kebijakan moneter. Dalam hal
komponen PDB, kebijakan fiskal ekspansif memberikan efek pengganda
yang besar yang mendorong investasi, konsumsi dan impor/ekspor. Hal
ini, pada gilirannya, akan meningkatkan permintaan agregat dan PDB.
Sementara itu, kombinasi dari kebijakan fiskal dan moneter ekspansif
tidak memperburuk tekanan inflasi (-0.076%) dibandingkan dengan
kebijakan moneter semata-mata, yang cenderung mendorong inflasi
(0.097%). Inflasi bisa dikendalikan melalui bea impor yang lebih rendah
yang mengurangi biaya produksi untuk industri pengolahan bahan baku
impor dan PPN yang dipotong untuk barang-barang strategis (minyak
goreng, biofuel).
214
Tabel 4. Simulasi dari dampak kebijakan pada variabel makro dan
inflasi
Skenario (% perubahan)
Kombinasi
Makro Variabel
Kebijakan
Kebijakan MonKebijakan
Fiskal
eter
Fiskal &
Moneter
PDB
0.996
0.061
1.057
Konsumsi
1.291
0.069
1.360
Investasi
0.951
0.049
0.999
Pengeluaran Pemerintah
0.740
0.080
0.819
Ekspor
2.220
0.050
2.270
Impor
2.904
0.061
2.966
,QÀDVL
-0.173
0.097
-0.076
Mekanisme penerapan kebijakan fiskal dan moneter untuk variabel
makroekonomi disajikan pada Gambar 2. Kebijakan fiskal ekspansif dalam
bentuk pengurangan pajak memberdayakan pelaku bisnis dan rumah
tangga dengan dana lebih, yang mendukung daya beli dan meningkatkan
konsumsi sebesar 1,36% (di bawah skenario kebijakan gabungan). Lebih
jauh lagi, peningkatan konsumsi memperkuat permintaan agregat, yang
mendorong produksi lebih besar. Ini sejalan dengan biaya produksi yang
lebih rendah pasca pengurangan pajak penghasilan badan usaha dan PPN
serta tingkat suku bunga yang relatif rendah yang mendorong investasi.
Produksi juga meningkat di balik gelombang impor (mayoritas bahan baku
sektor produksi adalah impor) yang meningkat sebesar 2.966% sebagai
akibat dari bea masuk yang lebih rendah (BM). Lebih lanjut, produksi
didorong oleh pertumbuhan di sektor ekspor sebesar 2.270%.
Sementara itu, kebijakan fiskal ekspansif telah mendorong pengeluaran
melalui anggaran yang lebih besar untuk proyek-proyek infrastruktur
dan non-infrastruktur yang mendorong kegiatan investasi, yang tumbuh
215
sebesar 0.999%. Peningkatan pengeluaran pemerintah juga mendorong
permintaan agregat yang mendorong peningkatan PDB.
Bersama dengan ekspansi kebijakan fiskal, tren penurunan BI rate yang
merupakan kebijakan moneter ekspansif telah memperbaiki iklim investasi
dan oleh karenanya meningkatkan permintaan agregat dan menopang
pertumbuhan ekonomi. Penurunan BI rate mengimbangi kenaikan suku
bunga akibat ekspansi kebijakan fiskal, maka dua kebijakan ini menciptakan
sinergi yang kuat dalam merangsang pertumbuhan ekonomi. Secara
keseluruhan, pengaruh kolektif dari peningkatan konsumsi, investasi,
pengeluaran pemerintah, ekspor dan impor telah meningkatkan GDP
sebesar 1,057%.
Gambar 2. Mekanisme Penerapan Kebijakan Fiskal dan Moneter
b. Hasil Simulasi dari Dampak Kebijakan pada Neraca Pemerintah
Kebijakan fiskal ekspansif merupakan beban bagi APBN karena
kenaikan defisit keuangan sebagai akibat dari penurunan pendapatan pajak
(pajak penghasilan, PPN, Bea Masuk) dan peningkatan belanja pemerintah,
sebagaimana yang ditunjukkan pada Tabel 5 .
216
Tabel 5. Simulasi dari Dampak Kebijakan pada Neraca Pemerintah
Skenario (% changes)
Neraca Pemerintah
Kebijakan Fiskal
Kebijakan
Moneter
Kombinasi Kebijakan
Fiskal & Moneter
Pendapatan
-6.43
0.19
-6.25
Pengeluaran
1.18
0.15
1.33
'H¿VLW
-1.59
0.01
-1.58
Tabel 5 menunjukkan bahwa dampak dari kombinasi kebijakan fiskal
dan moneter menyebabkan kenaikan yang relatif kecil pada defisit fiskal
(-1.58%) dibandingkan dengan respon murni fiskal (-1.59%). Namun,
defisit fiskal tetap dalam batas maksimum sebesar -3% untuk menjaga
kesinambungan fiskal. Dalam hal pendapatan pemerintah, kombinasi
kebijakan tersebut menyebabkan penurunan pendapatan yang lebih kecil
(-6.25%) dibandingkan dengan hanya respon fiskal semata(-6.43). Dalam
hal belanja pemerintah, koordinasi kebijakan ini menyebabkan total
belanja yang yang lebih besar (1.33%) dibandingkan dengan kebijakan
fiskal semata (1.18%). Sebaliknya, kebijakan moneter ekspansif melalui
suku bunga yang lebih rendah memiliki dampak fiskal netral (0.01%).
c. Dampak Simulasi Kebijakan terhadap Sektor
Simulasi yang menggunakan gabungan kebijakan fiskal dan moneter
telah dijalankan untuk menggambarkan dampak kebijakan oleh sektor
ekonomi seperti disajikan dalam Tabel 6. Hasil simulasi menunjukkan bahwa
kombinasi kebijakan fiskal dan moneter yang ekspansif, meningkatkan
produksi semua sektor ekonomi. Hal ini sebagian besar didorong oleh
insentif fiskal yang mendorong sektor usaha untuk meningkatkan investasi.
Selain itu, permintaan agregat yang lebih kuat dari peningkatan konsumsi
dan belanja pemerintah juga mendorong sektor usaha untuk meningkatkan
produksi untuk memenuhi permintaan.
217
Tabel 6. Simulasi dari Dampak Kebijakan pada Sektor Produksi
Sektor
% perubahan
Produksi
Ekspor
Impor
Pertanian
1.59
3.23
0.79
Pertambangan
0.35
-0.18
1.40
Manufaktur (Minyak)
0.11
-0.64
1.07
Manufaktur (Non minyak)
1.93
3.66
4.37
Listrik, gas & air
0.97
0.00
0.00
Konstruksi
0.67
0.00
0.00
Perdagangan, Hotel & Restoran
1.61
3.17
0.85
Transportasi & Komunikasi
1.19
1.71
0.88
Keuangan
0.97
0.92
1.00
Jasa Lain
1.21
3.14
0.21
Sektor-sektor yang mengalami pertumbuhan tertinggi dalam produksi
meliputi non-migas, perdagangan, pertanian, jasa serta komunikasi dan
transportasi dengan kisaran masing-masing 1.93%, 1.61%, 1.59%, 1.21
dan 1.19%. Impor melonjak sebagai akibat dari peningkatan produksi
karena masih banyak bahan baku yang diimpor. Peningkatan impor juga
didorong oleh harga yang lebih murah karena pengurangan bea masuk.
Sektor yang tercatat mengalami kenaikan impor terbesar meliputi industri
pertambangan, non-migas dan migas dengan kisaran masing-masing
4.37%, 1.40% dan 1.07%. Dengan mengacu pada ekspor, dampak ekspansi
kebijakan fiskal dan moneter yang menstimulasi kegiatan produksi,
juga meningkatkan volume ekspor dari semua sektor. Sektor nonmigas,
pertanian, perdagangan dan jasa mengalami kenaikan ekspor masingmasing sebesar 3.66%, 3.23%, 3.17% dan 3.14%.
218
d. Dampak Simulasi Kebijakan terhadap Institusi dan Rumah
Tangga
Tujuan utama kebijakan yang terkait oleh Pemerintah dan Otoritas
Moneter adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam
konteks ini, maka perlu untuk menguji dampak kebijakan fiskal dan
moneter terhadap perubahan pendapatan dan konsumsi institusi terutama
rumah tangga, seperti disajikan pada Tabel 7.
Table 7. Perubahan pada Pendapatan dan Konsumsi Institusi
Institusi
% perubahan
Pendapatan
Pajak
Konsumsi
4.05
2.87
2.53
-4.39
2.63
Perusahaan
Rumah Tangga Rural Miskin
Rumah Tangga Rural Tidak
Miskin
2.19
-4.70
1.79
Rumah Tangga Urban Miskin
1.42
-5.42
1.68
Rumah Tangga Urban Tidak
Miskin
1.60
-5.26
0.87
Ada empat kategori rumah tangga, yaitu rural miskin dan rural
tidak miskin, serta urban miskin dan urban tidak miskin. Hasil simulasi
menunjukkan bahwa kombinasi kebijakan fiskal dan moneter ekspansif
meningkatkan pendapatan dari seluruh rumah tangga dengan kadar
bervariasi dengan kenaikan tertinggi terjadi pada pendapatan rumah
tangga rural miskin dan rural tidak miskin sebesar masing-masing 2.53%
dan 2.19%.
Peningkatan pendapatan institusi sebagian dikarenakan keringanan
pajak oleh pemerintah maupun karena subsidi dari pemerintah untuk
peningkatan daya beli rumah tangga. Rumah tangga urban miskin dan
urban tidak miskin mengalami penurunan pajak terbesar sebesar 5.42%
dan 5.26% masing-masing. Sebaliknya, perusahaan sebenarnya membayar
pajak lebih banyak, yang tampaknya sejalan dengan peningkatan yang
signifikan dalam produksi.
219
Daya beli rumah tangga meningkat sejalan dengan meningkatnya
pendapatan dan inflasi yang relatif terkendali. Lebih jauh lagi, peningkatan
pendapatan mendorong konsumsi rumah tangga. Rumah tangga rural
miskin dan rural tidak miskin mengalami kenaikan konsumsi tertinggi
sebesar masing-masing 2.63% dan 1.79%.
V. Kesimpulan
Selama krisis keuangan global, kombinasi pelonggaran fiskal dan
moneter ekspansif secara signifikan telah meringankan krisis ekonomi.
Sebagai hasil dari sinergi kebijakan, potensi kenaikan suku bunga karena
kebijakan fiskal ekspansif dapat diimbangi oleh kebijakan moneter yang
meredakan tekanan inflasi. Kebijakan gabungan lebih efektif daripada
kebijakan yang diambil sendiri-sendiri.
Dari sisi PDB, kebijakan fiskal dan moneter gabungan memberikan
efek pengganda yang signifikan untuk mendorong permintaan agregat
melalui peningkatan konsumsi, investasi, belanja pemerintah dan
ekspor/impor. Terhadap sektor, kebijakan fiskal dan moneter ekspansif
meningkatkan produksi di semua sektor ekonomi melalui insentif fiskal
(pemotongan pajak, bea masuk rendah dan lain-lain) yang mendorong
sektor usaha untuk meningkatkan investasi. Selain itu, permintaan agregat
kuat juga mendorong sektor usaha untuk meningkatkan produksi dalam
rangka memenuhi permintaan tersebut.
Dari sisi institusi, pajak yang lebih rendah dan peningkatan subsidi
mengangkat pendapatan rumah tangga dan juga daya beli rumah tangga.
Lebih lanjut, pendapatan yang lebih tinggi ini mendukung konsumsi
rumah tangga yang lebih besar.
Dalam hal anggaran pemerintah, kombinasi ekspansi kebijakan fiskal
dan moneter menambah defisit fiskal akibat penurunan pendapatan dari
pajak (pajak penghasilan, PPN, bea impor) dan pengeluaran pemerintah
lebih. Namun, defisit fiskal masih berada di bawah ambang batas maksimum
-3%.
220
REFERENSI
Bank Indonesia, 2010, “Laporan Perekonomian Indonesia 2009: Memperkuat
Ketahanan, Mendorong Momentum Pemulihan Ekonomi Nasional”,
Bank Indonesia
Bank Indonesia, 2009a, “2008 Economic Report on Indonesia.”
Bank Indonesia, 2009b, “Indonesian Economic Outlook 2009-2014: Global
Financial Crisis and Its Impact on Indonesian Economy”
Bernanke, Ben, Jean Boivin and Piotr Eliasz (2005), “Measuring the effects of monetary policy: A Factor-Augumented vector autoregressive approach”, Quarterly Journal of Economics (2) 387-422 Taylor (Eds),
The Handbook of Macroeconomics Vol. 1 North-Holland, Amsterdam, pp. 65-148.
Blanchard, O., and R. Perotti, 2002, “An Empirical Characterization of Dynamic Effects of Changes in Government Spending and Taxes on Output”, Quaterly Journal of Economics, Vol. 117, pp. 1329-168.
Blanchard, Oliver, Giovanni Dell’Ariccia and Paolo Mauro, 2010, “Rethinking Macroeconomic Policy”, IMF Staff Position Note
Christiansen, L., 2008, “Fiscal Multipliers-A Review of the Literature”, Appendix II to “IMF Staff Position Note 08/01, Fiscal Policy for the
Crisis” (Washington: International Monetery Fund).
Christiano, Lawrence, Martin Eichenbaum, and Charles Evans (1999),
“Monetary policy shocks: what have we learned and to what end? In
Woodford, Michael and John Taylor (Eds)”, The Handbook of Macroeconomics Vol. 1 North-Holland, Amsterdam, pp. 65-148.
Chuku, Chuku A., 2009, “Measuring the Effects of Monetary Policy Innovations in Nigeria: A Structural Vector Autoregressive (SVAR) Approach”, African Journal of Accounting, Economics, Finance and
Banking Research Vol. 5 No. 5 2009
221
Freedman, C., M. Kumhof, D. Laxton, and J. Lee, 2009, “The Case for
Global Fiscal Stimulus”, IMF Staff Position Note 09/03 (Washington: International Monetary Fund).
Freedman, Charles, et.al., 2009, “The Case for Global Fiscal Stimulus”, IMF
Staff Position Note
Giavazzi, F. And M. Pagano, 1990, “Can Severe Fiscal contractions be Expansionary? Tales of Two Small European Countries”, NBER Macroeconomics Annual 1990 (Cambridge, Massachusetts, National Bureau
on Economic Research), pp. 75-122.
Hemming, R., M. Kell, and S. Mahfouz, 2002, “The Effectiveness of Fiscal
Policy in Strimulating Economic Activity – A Review of the Literature”,
IMF Working Paper 02/208 (Washington: International Monetary
Fund).
International Monetary Fund, 2009, ”World Economic Outlook April 2009:
Crisis and Recovery” (Washington DC: IMF)
International Monetary Fund, 2009, ”World Economic Outlook October
2009: Sustaining the Recovery” (Washington DC: IMF)
International Monetary Fund, 2009, ”World Economic Outlook April 2009:
Rebalancing Growth” (Washington DC: IMF)
Mishkin, Frederick (2002), “The role of output stabilization in the conduct of
monetary policy”, Working Paper No. 9291. NBER.
Perotti, R., 2005, “Estimating the Effects of Fiscal Policy in OECD Countries”, CEPR Discussion Paper No. 4842 (London: Centre for Economic Policy Research).
Rafiq, M.S. and S.K. Mallick (2008), “The effect of monetary policy on output in EMU3: A sign restriction approach”, Journal of Macroeconomics
(30) 1756-1791.
Romer, C., and D. Romer, 2008, “The Macroeconomic Effects of Tax Changes: Estimates based on a New Measure of Fiscal Shocks” (Unpublised
Manuscript: University of California at Berkeley).
222
Simorangkir, Iskandar, Haris Munandar, 2009, “Understanding the Roles of
Fiscal Stimulus in Maintaining Resilience of Indonesian Economy: A
Computable General Equilibrium Approach”, Institute of Southeast
Asian Studies
Simorangkir, Iskandar dan Justina Adamanti, 2010. “Peran Stimulus Fiskal
dan Pelonggaran Kebijakan Moneter Pada Perekonomian Indonesia
Selama Krisis Finansial Global: Dengan Pendekatan Financial Computable General Equilibrium”, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol. 13, No. 2, Oktober 2010
Staff of the Fiscal Affairs Department, IMF, 2009, “The State of Public Finances Cross – Country Fiscal Monitor: November 2009”, IMF Staff
Position Note
Tjahjono, Endy D., M. B. Bathaluddin, Justina Adamanti, 2009, “SEMAR
2009: Suatu Model Financial Computable General Equilibrium”,
Bank Indonesia Working Paper No. WP/20/2009
223
224
INTERAKSI KEBIJAKAN MONETER DAN FISKAL DI
INDONESIA
Dr. Wijoyo Santoso, SE. MA.1
I. Latar Belakang Masalah
Sebagian besar bauran kebijakan moneter dan fiskal di Indonesia periode
1984-2010 adalah kebijakan moneter ketat-fiskal ketat (komplemen) dan
kebijakan moneter ketat-fiskal longgar (substitusi) seperti pada grafik 1.1.2
Kebijakan moneter ketat dicerminkan oleh meningkatkan suku bunga
rill SBI 1 bulan dibandingkan tahun sebelumnya, sebaliknya kebijakan
moneter longgar. Kebijakan fiskal longgar diartikan sebagai meningkatkan
rasio keseimbangan fiskal terhadap PDB dibandingkan tahun sebelumnya,
sebaliknya dengan kebijakan fiskal ketat.
1
2
Peneliti Utama Senior PPSK-Bank Indonesia. Lulusan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Gadjah Mada 2011.
Pengukuran arah kebijakan moneter dan fiskal mengacu pada Mohanty dan Scatigma (2003).
Arah kebijakan moneter ketat diukur dengan perubahan suku bunga riil (SBI): jika perubahan
suku bunga riil positif berarti arah kebijakan moneter cenderung ketat dan sebaliknya. Arah
kebijakan fiskal diukur dengan perubahan rasio keseimbangan fiskal terhadap Produk Domestik
Bruto (PDB). Jika perubahan rasio positif berarti arah kebijakan fiskal ketat dan sebaliknya.
225
Dari 27 observasi selama periode 1984-10 terdapat 16 interaksi
kebijakan moneter dan fiskal bersifat komplemen sedangkan yang bersifat
subtitusi sebanyak 11 observasi. Interaksi kebijakan moneter fiskal yang
bersifat komplemen hampir seimbang antara kebijakan moneter ketatfiskal ketat dengan kebijakan moneter longgar-fiskal longgar sedangkan
kebijakan yang bersifat substitusi lebih didominasi oleh kebijakan moneter
longgar-fiskal ketat. Selama periode pengamatan (27 tahun) akumulasi
perubahan suku bunga riil SBI 1 bulan masih positif sebesar 3,95%
sedangkan akumulasi perubahan keseimbangan fiskal masih positif 1,56%
dari PDB.
Kombinasi kebijakan moneter dan fiskal seperti grafik 1.1 di atas
diduga belum memberikan hasil yang optimal dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Indonesia. Selama periode observasi (1984-10)
inflasi rata-rata per tahun mencapai 10,57 persen, pertumbuhan ekonomi
rata-rata per tahun mencapai 5,04 persen dan tingkat pengangguran
terbuka di Indonesia 5,6 persen dari jumlah angkatan kerja.
226
Apakah bauran kebijakan seperti terebut di atas sudah yang terbaik
bagi bangsa Indonesia? Kombinasi arah perubahan kebijakan moneter yang
hampir selalu cenderung ketat dengan arah perubahan kebijakan fiskal yang
seimbang antara ketat dan longgar diduga belum memberikan hasil yang
optimal bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Terdapat beberapa alasan mengapa kebijakan moneter dan fiskal
sebaiknya berkoordinasai dalam rangka stabilisasi harga dan output.
Pertama, terbatasnya ketersediaan instrumen untuk mencapai target.
Blinder (1982) mengungkapkan keterbatasan instrumen tersebut dapat
bersumber dari pertimbangan waktu dampak instrumen terhadap target
yang dapat dibedakan untuk jangka pendek dan jangka panjang. Perbedaan
durasi waktu ini dan adanya unsur ketidakpastian mengenai efektivitas
instrumen tersebut menjadi alasan kuat mengapa kebijakan fiskal dan
moneter harus berkoordinasi, khususnya untuk negara-negara berkembang,
agar menghasilkan dampak optimal terhadap pencapaian target.
Kedua adalah untuk menjaga stabilisasi ouput dan inflasi agar tidak memburuk sebagai akibat kurangnya koordinasi antara kebijakan
227
moneter dan fiskal. Adanya koordinasi kebijakan moneter dan fiskal
dapat memberikan pemisahan yang tegas dari dua kebijakan tersebut atas
dasar struktur tenggang waktu kebijakan. Abel (2002) menyarankan agar
kebijakan moneter digunakan untuk melakukan stabilisasi ekonomi dalam
jangka pendek sedangkan kebijakan fiskal diarahkan untuk mencapai target
perekonomian jangka menengah dan panjang. Sementara itu, kebijakan
moneter dalam jangka panjang dapat difokuskan untuk menjaga inflasi
yang rendah dan stabil. Taylor (2000) menambahkan bahwa jika kebijakan
fiskal difokuskan ke arah target jangka menengah, kebijakan moneter
seharusnya memberikan bobot yang lebih besar kepada stabilisasi output3.
Alasan ketiga pentingnya koordinasi antara kebijakan moneter dan
fiskal adalah adanya perbedaan pendapat atau persepsi antara dua otoritas
tersebut mengenai apa yang terbaik bagi suatu bangsa. Binder (1982)
menyebutkan tiga faktor yang dapat menyebabkan kurangnya koordinasi
fiskal dan moneter sebagai berikut: (a) otoritas fiskal dan otoritas moneter
memiliki tujuan yang berbeda terhadap apa yang sebenarnya terbaik bagi
masyarakat, (b) dua otoritas tersebut dapat memiliki pendapat yang berbeda
mengenai dampak dari kebijakan fiskal dan kebijakan moneter terhadap
perekonomian dan mungkin mereka menganut dasar teori ekonomi yang
berbeda, dan (c) kemungkinan dua otoritas tersebut memiliki proyeksi
perekonomian yang berbeda.
Pentingnya interaksi kebijakan moneter dan fiskal di Indonesia sudah
disadari sejak dibentuknya Dewan Moneter menurut UU No. 11 tahun
1953 yang bertujuan mendukung tercapainya pertumbuhan ekonomi
yang diinginkan sesuai dengan tingkat inflasi yang dapat diterima. Sejak
berlakunya Undang-Undang No.23 tahun 1999 mengenai Bank Indonesia
tugas pokok Bank Indonesia mengalami perubahan mendasar dari sasaran
ganda ke sasaran tunggal. Selain itu, status Bank Indonesia berubah
3
Hal sebaliknya diungkapkan oleh Stevenson (2002) bahwa bank sentral seharusnya
tidak berperan aktif dalam stabilisasi ouput namun berperan secara tidak langsung
dalam stabilisasi output melalui pengendalian inflasi yang rendah. Negara yang menerapkan kerangka target inflasi akan memberikan bobot lebih besar pada pengendalian
ekspektasi inflasi sehingga melalui kebijakan moneter yang kredible dapat memperkecil volatilitas tingkat inflasi dan ouput.
228
menjadi lembaga yang independen, bebas dari campur tangan pemerintah
dan atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas
diatur dalam undang-undang. Sejak independen, Bank Indonesia tidak lagi
dibantu Dewan Moneter dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan
moneter. Interaksi hubungan antara Bank Indonesia dengan Pemerintah
sejak berlakunya undang-undang ini semakin menjauh. Pihak lain,
termasuk pemerintah, dilarang melakukan segala campur tangan terhadap
pelaksanaan tugas Bank Indonesia. Setelah Dewan Moneter dibubarkan,
koordinasi dilakukan dalam berbagai bentuk rapat dan forum khususnya
dalam hal saling tukar-menukar informasi antara otoritas moneter dan fiskal
dalam rapat kabinet pemerintah, rapat dewan gubernur di Bank Indonesia,
Forum Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK), dan Tim Pengendalian Inflasi.
II. Tinjauan Pustaka
Jumlah penelitian interaksi kebijakan moneter dan fiskal di Indonesia
masih relatif terbatas. Adam dan Billi (2005) menyimpulkan bahwa
kebijakan fiskal dengan bias pengeluaran pemerintah dan kebijakan
moneter dengan bias inflasi akan menyebabkan kerugian sosial yang sangat
berarti. Javet dan Sahinoz (2005) menyatakan bahwa target keseimbangan
internal dan eksternal dapat dicapai dengan koordinasi yang lebih baik
antara kebijakan fiskal dan moneter. Simorangkir (2005) menyatakan
kordinasi kebijakan moneter dan fiskal memberikan kerugian sosial yang
lebih kecil dibandingkan tanpa koordinasi. Kebijakan moneter hendaknya
memperhatikan pertumbuhan ekonomi mengingat besarnya kerugian
sosial yang diderita perekonomian nasional jika bank sentral hanya
memperhatikan inflasi. Muscatelli dkk. (2004) menyimpulkan bahwa
interaksi kebijakan moneter dan fiskal akan bergerak searah atau berlawan
sangat dipengaruhi oleh sifat goncangan yang terjadi. Selanjutnya, respon
kebijakan moneter yang optimal akan dipengaruhi oleh beberapa skenario
goncangan pada kebijakan fiskal dan dampak interaksi kebijakan moneter
dan fiskal terhadap kesejahteraan sosial akan positif apabila kebijakan fiskal
bersifat eksogen.
229
Leitimo (2004) menekankan jika terjadi konflik mengenai besarnya
kesenjangan output, kebijakan moneter dan fiskal akan menghasilkan
volatilitas suku bunga dan nilai tukar yang signifikan sebagai akibat
konflik kesenjangan output. Maryatmo (2004) menyimpulkan bahwa
ada hubungan timbal balik antara variabel fiskal dan variabel moneter
dan hubungan timbal balik antara instrumen fiskal dan moneter saling
menghilangkan (substitusi). Mochtar (2004) menyatakan bahwa dalam
menjaga stabilisasi harga, otoritas moneter memerlukan komitmen yang
tinggi dari otoritas fiskal terhadap disiplin dan kesinambungan fiskal. Dixit
dan Lambertini (2003) menyimpulkan jika otoritas fiskal dan moneter
bersepakat mengenai tingkat pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang
akan dicapai, hasil ideal dapat dicapai secara independen tanpa harus
mempersoalkan bobot pertumbuhan ekonomi atau inflasi, koordinasi
kebijakan moneter dan fiskal, komitmen moneter dan siapa yang ‘bergerak’
duluan antara kebijakan moneter dan fiskal. Bennet (2002) menyarankan
untuk mengurangi bias antara kebijakan fiskal dan moneter diperlukan
koordinasi kebijakan baik dalam menetapkan target makro maupun dalam
tahap pelaksanaan kebijakan.
Hagen dan Mundschenk (2002) menegaskan apabila otoritas fiskal
berusaha keras untuk mempengaruhi permintaan agregat dalam rangka
mencapai pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan yang diinginkan
sedangkan otoritas moneter berusaha keras juga menyerap stimulus fiskal
tersebut dalam rangka mencapai target inflasi yang diinginkan, maka konflik
ini tidak memberikan hasil yang optimal kecuali kedua kebijakan tersebut
berkoordinasi. Hallet (2002) menyimpulkan bahwa regim kebijakan target
inflasi dapat mengurangi konflik kebijakan moneter dan fiskal karena
antara lain regim target inflasi dapat menggantikan fungsi koordinasi
kebijakan dan berfungsi lebih baik dalam perekonomian yang mengalami
kejut permintaan. Bhundia dan O’Donnell (2002) menggambarkan
interaksi otoritas moneter dan fiskal sebagai hubungan principle-agent, di
mana kedua otoritas tersebut memiliki preferensi sama, tidak ada friksi dan
tidak terjadi permainan kebijakan. Adanya target inflasi memungkinkan
230
otoritas moneter melakukan kontraksi atas ekspansi kebijakan fiskal yang
membahayakan target inflasi.
Laurens dan Piedra (1998), menyatakan jika Bank Sentral lebih
dominan maka bisa menetapkan secara independen pertumbuhan
uang inti tanpa mempertimbangkan kebutuhan pembiayaan keuangan
pemerintah. Namun jika pemerintah lebih dominan, maka pemerintah
dapat menetapkan besar defisit anggaran tanpa berkonsultasi dengan bank
sentral. Selanjutnya jika bank sentral dan pemerintah berperilaku secara
independen, maka antara otoritas fiskal dan moneter akan menghasilkan
kebijakan yang tidak konsisten satu sama lain khususnya untuk besarnya
defisit anggaran, pertumbuhan uang inti, tingkat inflasi dan suku bunga.
Hoa (1986) menyimpulkan bahwa penggunaan kombinasi kebijakan
fiskal (pajak) dan moneter (M2) jauh lebih efektif dalam mengendalikan
inflasi dibandingkan menggunakan satu instrumen kebijakan saja. Sargent
dan Wallace (1981) menyarankan perlunya koordinasi antara kebijakan
moneter dan fiskal terkait dengan pihak mana yang akan bergerak duluan
(menentukan asumsi makro lebih dulu). Jika otoritas fiskal bergerak dulu,
maka kebijakan moneter, harus menyesuaikan. Sebaliknya bila otoritas
moneter bergerak dulu, ini berarti otoritas moneter ikut mendorong disiplin
kebijakan fiskal. Independensi bank sentral tidak selalu mengakibatkan
buruknya koordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter.
Dari sudi literatur tidak diperoleh kejelasan apakah kebijakan moneter
dan kebijakan fiskal di Indonesia bersifat subtitusi atau komplementer.
Perkembangan hubungan otoritas moneter (Bank Indonesia) dan otoritas
fiskal (Pemerintah) sejak independensi Bank Indonesia tahun 1999 tidak
sekuat sebelumnya sehingga semakin perlu diketahui efektivitas interaksi
atau koordinasi antara kebijakan moneter dan fiskal di Indonesia. Apalagi
fenomena ekonomi makro akhir-akhir ini tampak mendukung untuk dikaji
lebih lanjut interaksi kedua pilar kebijakan makro tersebut.
231
III. Rumusan Masalah Penelitian
Pertanyaan penelitian dalam disertasi ini dirumuskan sebagai berikut.
(1) Dalam rangka mencapai interaksi kebijakan moneter dan fiskal yang
optimal untuk menghadapi goncangan inflasi dan goncangan output,
apakah koordinasi kebijakan moneter dan fiskal diperlukan? (2) Dalam
menghadapi goncangan inflasi dan goncangan output apakah respon
kebijakan moneter dan fiskal selama ini sudah optimal?. (3) Untuk
mencapai interaksi kebijakan moneter dan fiskal yang optimal, variabel
apakah yang perlu diprioritaskan: suku bunga atau output? (4) Bagaimana
sifat koordinasi atau interaksi tersebut: apakah bersifat subtitusi (kebijakan
moneter ketat-fiskal longgar) atau komplementer (kebijakan moneter
ketat-fiskal ketat)?
IV. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian interaksi kebijakan moneter dan fiskal ini adalah: (1)
mengukur kerugian terkecil dari interaksi kebijakan moneter dan kebijakan
fiskal dalam menghadapi goncangan inflasi dan goncangan output di mana
kebijakan fiskal sebagai variabel endogen (ada koordinasi) dibandingkan
dengan kebijakan fiskal sebagai variabel eksogen (tidak ada koordinasi). (2)
Mengukur apakah interaksi kebijakan moneter dan kebijakan fiskal dalam
menghadapi goncangan inflasi dan goncangan output sudah optimal
atau belum. Pengukuran dilakukan dengan menghitung fungsi kerugian
terkecil dari minimisasi varian fungsi kerugian variabel inflasi, output dan
suku bunga. (3) Melakukan simulasi terhadap respon interaksi kebijakan
moneter dan fiskal dalam menghadapi goncangan inflasi dan goncangan
output dengan cara memberikan bobot yang bervariasi antara suku bunga
dan output. (4) Mengidentifikasi arah interaksi kebijakan moneter dan
fiskal di Indonesia dalam menghadapi goncangan inflasi dan goncangan
output: apakah saling memperkuat (komplemen) atau saling menggantikan
(substitusi).
232
V. Landasan Teori
Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori
New Keynesian mengenai karakeristik model ekonomi makro dan
kekakuan harga, Pendekatan ini memiliki pondasi ekonomi mikro yang
kuat dan terdapat konsistensi antara ekonomi mikro dengan makro. Teori
New Keynesian memiliki elemen-elemen yang mendekati karakteristik
perekonomian Indonesia seperti adanya ketidakseimbangan ekonomi yang
dipicu oleh kejutan baik di sisi permintaan maupun sisi penawaran serta
adanya kekakuan harga dan upah yang ditetapkan di atas biaya marjinal.
Gordon (1990) menjelaskan karakteristik utama dari pendekatan newKeynesian sebagai berikut. Pertama, adanya kekakuan harga dan upah
dalam jangka pendek sehingga perekonomian tidak dalam keseimbangan,
tingkat output rendah dan kurang efisien. Ketidakseimbangan tersebut
bersifat persisten sehingga penyesuaian harga menuju kesimbangan
menjadi lambat dan memerlukan waktu yang cukup lama dan diperlukan
intervensi pemerintah dalam bentuk interaksi kebijakan moneter dan
fiskal untuk membawa perekonomian menuju keseimbangan atau untuk
menghindari fluktuasi output dan kesempatan kerja dalam jangka pendek.
Deviasi output sekarang pada saat harga kaku dengan output pada saat
harga fleksibel penuh disebut sebagai kesejangan output (output gap). Secara
ekonomi mikro, kesenjangan output digerakkan oleh penetapan harga di
atas biaya marjinal.
Kedua, adanya perilaku penetapan harga oleh agen ekonomi seperti
perusahaan monopoli atau oligopoli. Ketiga, adanya interaksi antar agen
ekonomi dan setiap agen ekonomi melakukan optimisasi. Keempat, menggabungkan antara ekspektasi nalar dan optimisasi agen ekonomi. Seseorang dapat dikatakan rasional apabila ia menggunakan semua informasi
yang ada, termasuk model yang benar, dalam membentuk ekspektasinya.
Dalam menetapkan harga, perusahaan mempertimbangan semua elemen
yang terkait di masa yang akan datang seperti ekspektasi inflasi dan
mempertahankan rata-rata ekspektasi harga di atas biaya marjinal. Kelima,
New Keynesian mengakui mengenai peranan uang dalam menyebabkan
233
inflasi serta peranan pengeluaran sektor swasta dalam mempengaruhi
perubahan permintaan agregat.
Teori new Keynesian mengenai kurva Phillips dibangun atas dasar
kontrak Calvo (Calvo, 1982) di mana inflasi sekarang dipengaruhi oleh
ekspektasi inflasi dan kesenjangan output sekarang maupun kesenjangan
output yang akan datang. Penetapan harga kontrak menyebabkan
terjadinya kekakuan harga. Dalam kerangka pengaturan Calvo Pricing,
perusahaan mengubah harga pada periode berbeda. Struktur penetapan
harga yang berbeda menghasilkan berbagai spesifikasi model kurva Phillips
new Keynesian. Beberapa elemen dalam kurva Phillips new Keynesian
adalah sebagai berikut (Gali dkk., 2000). Pertama, adanya inflasi yang
stabil (steady state) dan biasanya terkait dengan inflasi aktual atau target
inflasi. Kedua, inflasi sekarang dipengaruhi oleh ekspektasi inflasi. Jika
ekspektasi inflasi semakin bermuatan elemen penglihatan ke depan, kurva
Phillips akan semakin tegak. Untuk mempengaruhi ekspektasi inflasi ke
depan kebijakan moneter harus lebih sistematis, kredibel dan transparan.
Ketiga, inflasi sekarang juga dipengaruhi oleh biaya marjinal riil yang
merupakan elemen utama bagi perusahaan dalam menetapkan harga.
Perusahaan yang beroperasi dalam pasar tidak sempurna dan menghadapi
kurva permintaan ke arah bawah, maka keuntungan maksimal akan dicapai
dengan menetapkan mark-up di atas biaya marjinal. Hubungan antara
perilaku biaya marjinal individu perusahaan, mark-up dan dinamika inflasi
merupakan unsur penting dalam model kurva Phillips new Keynesian
yang pada akhirnya akan mempengaruhi permintaan agregat. Keempat,
parameter yang dibangun dalam kurva Phillips new Keynesian berkaitan
langsung dengan perilaku agen ekonomi yang relatif lebih stabil sehingga
bebas dari kritikan Lucas.
Dalam usahanya untuk mempengaruhi permintaan agregat, kebijakan
moneter dan fiskal menghadapi masalah ketidakpastian mengenai struktur
ekonomi, ketidakpastian dampak dari kebijakan terhadap perekonomian,
goncangan eksogen dalam perkonomian serta pemilihan yang tepat terhadap
sasaran kebijakan yang akan dicapai. Dalam mempengaruhi permintaan
234
agregat otoritas moneter dan fiskal memiliki tiga pilihan kebijakan sebagai
berikut (Beare,1978:404-406). Pertama, kaidah umpan balik (feedback rule)
artinya kebijakan moneter dan fiskal melakukan reaksi terhadap kondisi
tertentu perekonomian. Kaidah umpan balik Keynes dengan target output
akan mendorong inflasi biaya namun dapat mencegah fluktuasi harga dan
output akibat adanya goncangan permintaan agregat. Kaidah umpan balik
Keynes untuk target harga akan mencegah inflasi biaya walaupun dengan
biaya resesi yang lebih besar dibandingkan kaidah moneter.
Kedua, kebijakan diskresi yakni melakukan reaksi dengan cara
unik atau khusus terhadap suatu kondisi perekonomian tertentu dengan
menggunakan semua informasi yang tersedia maupun kesalahan kebijakan
di masa lalu. Kebijakan diskresi adalah kebijakan konsisten menurut
waktu (time consistentcy) dan cenderung mencoba memaksimalkan kesejahteraan sosial pada tingkat ekspektasi tertentu. Selain itu, insentif untuk
merubah kebijakan diskresi di masa mendatang akan terjadi jika terdapat
perubahan kondisi perekonomian. Ketiga, kaidah tetap (fixed rule) yakni
menetapkan suatu kaidah secara independen tanpa mempersoalkan
kondisi perekonomian seperti kaidah Friedman (menganjurkan perlunya
menjaga pertumbuhan jumlah uang beredar pada angka yang stabil tanpa
memperhatikan kondisi perekonomian), kaidah McCallum (1988) dan
Taylor (1993).
VI. Model Dynamic Stochastic General Equilibirum (DSGE)
Penelitian ini menggunakan model struktural ekonomi makro yakni
model keseimbangan umum yang dinamis atau DSGE yang didasarkan
pada paradigma new Keynesian dan memasukkan spesifikasi forward
looking untuk model makro yang memiliki landasan mikro dan spesifikasi
backward looking untuk model makro yang tidak memiliki landasan mikro
serta didasarkan pada kaidah moneter dan kaidah fiskal. Wicken (2008:46) menyatakan bahwa model DSGE ingin menjelaskan perilaku dinamis
perekonomian pada model keseimbangan dan bagaimana reaksinya terhadap
perubahan variabel eksogen dan goncangan. Selain itu, model DSGE adalah
235
model antar-waktu (inter-temporal) dan forward looking artinya keputusan
sekarang dipengaruhi oleh ekspektasi mendatang sehingga model DSGE
menggunakan optimisasi dinamis antar waktu.
Untuk meneliti interaksi kebijakan moneter dan fiskal di Indonesia
digunakan model DSGE yang didasarkan pada Gali dan Monaceli (2005).
Model DSGE untuk perekonomian terbuka yang terdiri dari persamaan
output yang menggambarkan sisi permintaan agregat, persamaan inflasi
yang mencerminkan sisi penawaran agregat, persamaan suku bunga
nominal untuk kaidah moneter, persamaan pengeluaran pemerintah dan
persamaan pajak untuk kaidah fiskal serta persamaan-persamaan untuk
mewakili keterbukaan ekonomi yakni persamaan nilai tukar nominal,
persamaan otoregresi untuk terms of trade, output luar negeri dan inflasi
luar negeri.
1.
Persamaan Output mewakili Sisi Permintaan
2.
Persamaan Kurve Phillips mewakili Sisi Penawaran
236
3.
Persamaan Sektor Luar Negeri (nilai tukar nominal, terms of trade,
output luar negeri dan inflasi luar negeri)
4.
Kidah Moneter
237
5.
238
Kaidah Fiskal
VII. Estimasi Parameter Model DSGE
Estimasi parameter dalam model ini menggunakan pendekatan
estimasi Bayesian, di mana salah satu keunggulan dalam pendekatan ini
adalah dapat menggabungkan antara data dengan tambahan informasi
terhadap suatu parameter melalui suatu prior distribution. Estimasi
parameter model dilakukan dengan metode Bayesian sedangkan perhitungan posterior menggunakan metode Markov Chain Monte Carlo
yang dikombinasikan dengan metode Metropolis Hasting untuk menambah
data sample agar diperoleh nilai modus yang sesungguhnya. Setelah itu,
dilakukan uji konvergensi untuk mendeteksi apakah varians betweensequence (varians antara urutan simulasi dengan urutan simulasi lain secara
parallel) tidak lebih besar dari varians within-sequence (varian setiap satu
urutan simulasi).
Estimasi Bayesian (Bayes theorem) ingin menggambarkan tingkat
kepercayaan seorang individu dalam kondisi ketidakpastian dan bagaimana
individu tersebut seharusnya bersikap guna menghindari tindakan yang tidak
konsisten. Estimasi Bayesian memerlukan informasi awal atau distribusi
prior dalam melakukan estimasi terhadap suatu parameter yang dapat
diperoleh dari hasil penelitian yang berkaitan dengan penentuan parameter
yang kemudian dipakai sebagai means atau modes pada prior density yang
akan dibentuk, sedangkan unsur ketidakpastiannya diekspresikan dengan
menentukan varians yang tepat untuk prior density tersebut. Dengan
demikian, estimasi Bayesian memerlukan informasi sampel dan informasi
awal. Asumsi dan informasi awal kemudian dimasukkan ke dalam proses
inferensi guna menghasilkan posterior densities dari parameter-parameter
yang digunakan di dalam model serta predictive densities untuk keperluan
proyeksi.
VIII. Fungsi Kerugian
Untuk menjawab kebijakan moneter yang optimal terhadap beberapa
skenario kebijakan fiskal, digunakan standard optimal control approach dan
239
fungsi kerugian antar waktu (Rudebusch dan Svensson, 1999). Pertama,
untuk mencapai tujuan kebijakan dalam kerangka target inflasi dapat
menggunakan model fungsi kerugian yakni suatu fungsi kuadrat pada
variabel inflasi dan variasi kesenjangan output. Kedua, dengan model
kurve output dan kurve Phillips tersebut di atas, kita dapat menetapkan
kaidah target inflasi (inflation targeting rule) dengan menggunakan fungsi
kerugian. Ketiga, bank sentral dapat menetapkan suku bunga sedemikian
rupa sehingga fungsi kerugian antar-waktu menjadi terkecil.
di mana :
πt adalah tingkat inflasi periode t
yt adalah output periode t
it adalah suku bunga periode t
)i adalah parameter fungsi kerugian
Selanjutnya dilakukan simulasi kebijakan moneter optimal dalam
menghadapi goncangan output dan inflasi dengan tiga variasi bobot pada
suku bunga dan output. Diambil dua skenario kaidah kebijakan optimal
yaitu kebijakan fiskal sebagai variabel endogenous dan kebijakan fiskal
sebagai variabel eksogenous. Untuk simplifikasi, hanya diambil respon
kebijakan moneter akibat goncangan sementara pada output dan inflasi
dengan 3 skenario bobot pada variabel suku bunga dan output sebagai
berikut. Pertama, kaidah kebijakan optimal I di mana output dan suku
bunga memiliki bobot yang sama dalam fungsi kerugian yaitu )1= )2.
Kedua, kaidah kebijakan optimal II di mana bobot output ()1=1) lebih
besar dibandinglan bobot suku bunga dalam fungsi kerugian ()2=0.5).
Ketiga, kaidah kebijakan optimal III di mana bobot suku bunga ()2=0.5)
lebih besar dibandingkan bobot output dalam fungsi kerugian ()1=0.1).
240
IX. Hasil Simulasi Reaksi Impuls terhadap Goncangan Eksogen
Hasil simulasi reaksi impulse mencerminkan perilaku optimal pelaku
ekonomi terhadap goncangan eksogen dan selanjutnya menguji apakah
mekanisme hubungan antar variabel dalam model relatif koheren secara
teoiritis. Beberapa aspek penting dalam simulasi reaksi impulse adalah
pertama, perekonomian diasumsi berada pada kondisi keseimbangan jangka
panjang, namun terdapat goncangan yang mengakibatkan perekonomian
keluar dari keseimbangannya. Jika goncangan tersebut bersifat sementara,
maka keseimbangan tersebut akan kembali pada kondisi semula namun
jika goncangan tersebut bersifat permanen akan menggeser keseimbangan
perekonomian tersebut secara permanen. Kedua, goncangan-goncangan
di dalam reaksi impulse merupakan goncangan yang tidak terantisipasi
sebelumnya, namun setelah terjadi, goncangan-goncangan tersebut
dipahami secara lebih jelas dan baik oleh para pelaku ekonomi rumah
tangga, perusahaan, dan pemerintah. Ketiga, setiap goncangan merupakan
goncangan individu yang terjadi hanya pada satu variabel saja. Keempat,
hasil reaksi impulse dalam model DGE ini adalah nilai prosentase (basis
point) untuk variabel inflasi dan nilai prosentase deviasi dari steady state-nya
untuk variabel output.4
Untuk melihat arah interaksi kebijakan moneter dan fiskal di Indonesia
apakah bersifat substitusi atau komplemen, disimulasikan dua goncangan
dalam model yakni goncangan sementara inflasi yang umumnya berasal
dari goncangan cost push dan goncangan sementara ouput yang berasal dari
goncangan permintaan. Dalam simulasi ini, sebelum dilakukan goncangan,
seluruh variabel akan bernilai nol (nilai persentase deviasi terhadap steady
state-nya adalah nol) yang berarti bahwa seluruh variabel berada dalam nilai
steady state. Untuk masing-masing variabel inflasi dan output kemudian
diberikan goncangan pada awal periode untuk menghasilkan reaksi impulse,
dimana setiap variabel akan bereaksi terhadap goncangan tersebut.
4
Hasil nilai untuk inflasi merupakan nilai sebenarnya atau,
St=St
namun untuk suku bunga
( iˆt { it i 1 i ) dan variabel-variabel lainnya ( Xˆ t { X t X X { OQ X t OQ X ), merupakan deviasi
dari nilai steady state
241
Goncangan inflasi (variabel pi) berupa kenaikan inflasi sementara
sebesar 1 persen diawal periode sebagai akibat peningkatan biaya produksi
(grafik 9.1)5. Peningkatan inflasi ini akan dibarengi dengan adanya
peningkatan output dari sisi permintaan dan hal ini menggambarkan
adanya trade off antara inflasi dan output. Sebagai bank sentral yang
berorientasi kuat pada pengendalian inflasi dengan kerangka target inflasi,
maka peningkatan inflasi yang berakibat pada peningkatan kesenjangan
inflasi selanjutnya akan direspon bank sentral dengan meningkatkan suku
bunga kebijakan (variabel ir) pada periode pertama. Dari sisi kebijakan
fiskal, pemerintah akan menurunkan pengeluarannya (variabel g) karena
output (variabel y) dianggap sudah cukup meningkat. Menurunnya output
pada gilirannya akan menurunkan pajak.
Grafik 9.1: Goncangan Inflasi
5
Kenaikan inflasi 1% pada grafik 9.1 adalah mulai dari nol ke angka 1. Demikian juga pada
grafik 9.2 kenaikan output 1% adalah dari angka nol ke angka 1. Untuk variabel yang lain cara
membacanya sama yaitu mulai dari nol (titik origin).
242
Dalam simulasi ini goncangan output berupa kenaikan output (variabel
y) secara temporer sebesar 1 persen diawal periode sebagaimana terlihat
pada grafik 9.2. Goncangan output dapat diartikan sebagai peningkatan
permintaan terhadap barang sehingga menyebabkan peningkatan output.
Peningkatan output dari sisi permintaan ini juga dibarengi dengan adanya
peningkatan inflasi (inflasi permintaan), namun peningkatan inflasi tersebut relatif lebih kecil dibandingkan dengan peningkatan output yang
ada. Sebagai bank sentral yang berorientasi kuat pada pengendalian inflasi
dengan kerangka target inflasi, maka peningkatan inflasi yang relatif kecil
tersebut tidak terlalu direspon, bahkan untuk lebih meningkatkan output
dari sisi penawaran agar permintaan terpenuhi, bank sentral cenderung
untuk menurunkan suku bunganya (variabel ir). Dari sisi kebijakan fiskal,
pemerintah akan tetap mengurangi pengeluarannya (variabel g) karena
output dari sisi permintaan dianggap sudah cukup meningkat.
Grafik 9.2: Goncangan Output
243
Dari hasil simulasi tersebut dapat diketahui reaksi kebijakan moneter dan fiskal terhadap goncangan sebagai berikut. Pertama, jika
terjadi goncangan inflasi berupa kenaikan inflasi 1%, interaksi kebijakan
moneter dan fiskal bergerak searah atau komplementer yakni otoritas
moneter akan menaikkan suku bunga dan otoritas fiskal akan menurunkan
pengeluarannya. Kedua, jika terjadi goncangan output berupa kenaikan
output sebesar 1%, interaksi kebijakan fiskal dan moneter bergerak ke
arah yang berlawanan atau subtitusi yakni otoritas fiskal akan menurunkan
pengeluarannya dan otoritas moneter akan menurunkan suku bunga.
Dengan demikian interaksi kedua instumen kebijakan bergantung pada
tipe goncangan yang terjadi dalam sistem dan pada stuktural model yang
dipasangkan pada data.
X. Hasil Analisis Fungsi Kerugian
Untuk mengukur apakah interaksi kebijakan moneter dan fiskal
selama periode observasi optimal atau belum, dilakukan analisis fungsi
kerugian antar waktu dengan menggunakan hasil estimasi parameter pada
saat kebijakan fiskal bersifat endogen dan eksogen. Kebijakan fiskal bersifat
endogen mengandung arti bahwa terjadi interaksi antara kebijakan moneter
dan fiskal, sedangkan kebijakan fiskal bersifat eksogen mengandung arti
bahwa tidak ada interaksi antara kebijakan moneter dan fiskal.
Tabel 10.1: Fungsi Kerugian tiap Kaidah Kebijakan Optimal:
No
Goncangan
1 Kebijakan Fiskal Endogen
Goncangan output
Goncangn inflasi
2 Kebijakan Fiskal Eksogen
Goncangan output
Goncangan inflasi
244
Fungsi Kerugian
Kaidah Kebijakan Optimal
I
II
III
0.6184
1.5831
0.5898
1.4576
0.0851
1.4517
0.9946
1.537
0.9402
1.4163
0.1431
1.407
Tabel 10.1 menjelaskan hal-hal sebagai berikut. Pertama, koordinasi
kebijakan moneter dan fiskal (kebijakan fiskal endogen) lebih efektif dalam
menghadapi goncangan output dibandingkan tanpa koordinasi (kebijakan
fiskal eksogen). Hal ini ditunjukkan oleh fungsi kerugian yang lebih kecil
dalam menghadapi goncangan output apabila ada koordinasi. Kebijakan
fiskal endogen akan mempermudah aturan kebijakan untuk menggiring
output kembali normal (countercyclical role of fiscal policy) dan tidak
membuat kerugian sosial.
Kedua, dalam menghadapi goncangan inflasi kebijakan fiskal eksogen
(tidak ada koordinaasi) ternyata memberikan fungsi kerugian lebih
kecil dibandingkan kebijakan fiskal endogen (ada koordinasi). Hal ini
memberikan implikasi bahwa koordinasi moneter dan fiskal masih perlu
ditingkatkan secara berarti dalam menghadapi goncangan inflasi. Ketiga,
dalam menghadapi goncangan ekonomi (ouput maupun inflasi, kebijakan
fiskal endogen maupun eksogen), terdapat kecenderungan bahwa semakin
kecil varian suku bunga, relatif terhadap varian output, semakin kecil
kerugian sosial yang ditimbulkannya. Hal ini ditunjukkan oleh nilai
kerugian yang selalu lebih kecil pada kaidah III dibandingkan kaidah I dan
II.
XI. Optimalisasi Fungsi Kerugian
Dalam analisis fungsi kerugian di atas diperoleh hasil bahwa pada saat
terjadi goncangan output interaksi antara kebijakan moneter dan fiskal sudah
efektif. Namun pertanyaan berikutnya adalah apakah interaksi kebijakan
moneter dan fiskal tersebut sudah optimal atau belum. Untuk menjawab
hal ini dilakukan penggeseran nilai parameter dalam persamaan kebijakan
moneter (Taylor rule) serta kebijakan fiskal (pengeluaran pemerintah) dan
mencari nilai fungsi kerugian yang paling minimum setelah dilakukan
simulasi stochastic pada goncangan tertentu.
Pada persamaan Taylor rule beberapa parameter yang nilainya digeser
antara lain UR yang menggambarkan tingkat penghalusan suku bunga \1
245
yang merupakan bobot relatif kesenjangan inflasi, \2 yang merupakan
bobot relatif kesenjangan output dan \3 yang merupakan bobot relatif
kesenjangan nilai tukar rupiah. Penggeseran parameter dilakukan dengan
mengkombinasikan dua parameter yaitu parameter penghalusan suku
bunga ( UR ) yang dikombinasikan dengan masing-masing bobot relatif
tersebut di atas. Selanjutnya untuk persamaan pengeluaran pemerintah
beberapa parameter yang nilainya digeser adalah G11 yang merupakan derajat penghalusan dari pengeluaran pemerintah, G20 yang merupakan parameter respon pengeluaran pemerintah terhadap output, G21 yang merupakan parameter respon pengeluaran pemerintah (lag) terhadap output dan
]1 yang merupakan parameter respon pengeluaran pemerintah terhadap
defisit anggaran.
Seperti halnya pada persamaan Taylor rule, penggeseran parameter
dilakukan dengan mengkombinasikan dua parameter yaitu parameter
penghalusan pengeluaran pemerintah ( G11 ) yang dikombinasikan dengan
masing-masing parameter respon pengeluaran pemerintah tersebut di atas.
Dengan mengkombinasikan dua parameter kemudian dilakukan simulasi
stochastic pada gonncangan output dan goncangan inflasi, maka secara
grafis fungsi kerugian dapat digambarkan secara tiga dimensi seperti yang
terlihat pada grafik permukaan fungsi kerugian untuk tiap-tiap kombinasi
parameter sebagai berikut.
246
Grafik 11.1: Goncangan Inflasi: Kebijakan Fiskal Indogen (bobot output
sama dengan bobot suku bunga)
Grafik 11.1 di atas menjelaskan bahwa dengan adanya berbagai
kombinasi parameter derajad penghalusan pengeluaran pemerintah
(delta11) dan respon pngeluaran pemerintah terhadap output (delta20), di
mana kebijakan fiskal bersifat endogen dan bobot suku bunga dan output
sama, maka kombinasi parameter tersebut dalam menghadapi goncangan
inflasi akan menghasilkan fungsi kerugian terkecil sebesar 1,5865.
Kaidah fungsi kerugian tersebut tetap menggunakan tiga macam
kaidah fungsi kerugian kebijakan optimal I,II dan III berdasarkan bobot
yang diberikan terhadap masing-masing varian seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya sehingga untuk tiap-tiap kombinasi parameter akan dihasilkan
tiga macam grafik permukaan fungsi kerugian. Apabila fungsi kerugian
tersebut dicari nilai minimumnya untuk tiap-tiap kombinasi parameter
yang ada, maka akan diperoleh tabel sebagai berikut.
247
Tabel 11.1: Fungsi Kerugian Untuk Tiap Kombinasi Parameter
Sumber: Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik: data diolah.
Tabel 11.1 tersebut di atas menjelaskan temuan-temuan sebagai
berikut. Pertama, Tampak bahwa dengan menggunakan kombinasi
parameter suku bunga dan parameter pengeluaran pemerintah dalam fungsi
kerugian, semua fungsi kerugian yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan
menggunakan parameter hasil estimasi sebelumnya. Hal ini berarti
bahwa koordinasi kebijakan moneter dan fiskal belum optimal karena
nilai fungsi kerugian pada parameter hasil estimasi secara mutlak masih
lebih besar jika dibandingkan dengan fungsi kerugian pada kombinasi
parameter yang ada. Koordinasi kebijakan moneter dan fiskal masih perlu
untuk ditingkatkan guna memperkecil kerugian sosial. Kedua, dalam
menghadapi goncangan output kombinasi parameter kebijakan fiskal
(pengeluaran pemerintah) ternyata memberikan fungsi kerugian yang jauh
lebih kecil dibandingkan kombinasi parameter kebijakan moneter (suku
bunga). Hal ini mengimplikasikan bahwa dalam menghadapi goncangan
output, koordinasi kebijakan fiskal dan moneter tetap diperlukan, namun
penggunaan instrumen kebijakan fiskal lebih dikedepankan dibandingkan
instrumen kebijakan moneter. Ketiga, sebaliknya dalam menghadapi
goncangan inflasi kombinasi parameter kebijakan moneter ternyata
memberikan fungsi kerugian yang lebih kecil dibandingkan kombinasi
248
parameter kebijakan fiskal. Hal ini mengimplikasikan bahwa dalam
menghadapi goncangan inflasi, koordinasi kebijakan fiskal dan moneter
tetap diperlukan, namun penggunaan instrumen kebijakan moneter lebih
diprioritaskan dibandingkan instrumen kebijakan fiskal. Keempat, tabel
11.1 di atas juga menghasilkan kecenderungan bahwa semakin kecil varian
variabel suku bunga relatif terhadap variabel output, semakin kecil kerugian
yang dihasilkan. Implikasi dari hal ini adalah penggunaan instrumen suku
bunga secara tepat sasaran dan tepat waktu akan memperkecil kerugian
sosial yang berarti.
XII. Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan permasalahan, tujuan dan hipotesa penelitian interaksi
kebijakan moneter dan fiskal yang telah diuraikan sebelumnya serta
berdasarkan hasil perhitungan parameter model, hasil simulasi reaksi
impulse terhadap goncangan inflasi dan ouput dan analisa dan optimalisasi
fungsi kerugian, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut.
1.
Menghadapi goncangan inflasi dan goncangan output, koordinasi
kebijakan moneter dan fiskal lebih bermafaat, dibandingkan tanpa
koordinasi, dalam rangka mengurangi kerugian sosial. Hasil simulasi membuktikan adanya koordinasi kebijakan moneter dan fiskal
(kebijakan fiskal endogen) menghasilkan fungsi kerugian yang lebih
kecil dibandingkan tanpa koordinasi (kebijakan fiskal eksogen).
Koordinasi kebijakan moneter dan fiskal perlu ditingkatkan melalui
penguatan kelembagaan seperti adanya semacam Dewan Moneter.
2.
Menghadapi goncangan inflasi respon kebijakan moneter dan fiskal
belum optimal. Hasil simulasi memperlihatkan fungsi kerugian yang
lebih besar jika kebijakan fiskal bersifat endogen dibandingkan fungsi
kerugian apabila kebijakan fiskal bersifat eksogen. Sebaliknya dalam
menghadapi goncangan output interaksi kebijakan moneter dan fiskal
(kebijakan fiskal endogen) menghasilkan fungsi kerugian yang lebih
kecil dibandingkan fungsi kerugian apabila kebijakan fiskal bersifat
eksogen, untuk semua variasi bobot suku bunga dan ouput. Sementara
249
itu, respon kebijakan moneter dan fiskal terhadap goncangan inflasi
dan goncangan output secara bersama-sama terbukti juga belum
optimal karena nilai fungsi kerugian pada parameter hasil estimasi
secara mutlak masih lebih besar jika dibandingkan dengan fungsi
kerugian pada kombinasi parameter yang ada.
3.
Untuk mencapai interaksi kebijakan moneter dan fiskal yang optimal
volatilitas atau varian suku bunga perlu dijaga seminimal mungkin
relatif terhadap varian output. Dalam simulasi terbukti bawa
semakin kecil varian suku bunga relatif terhadap variabel output akan
menghasilkan fungsi kerugian yang lebih kecil.
4.
Interaksi kebijakan moneter dan fiskal di Indonesia ke subtitusi atau
komplementer dipengaruhi oleh tipe goncangan. Dari hasil simulasi
dapat disimpulkan bahwa interaksi kebijakan moneter dan fiskal di
Indonesia dalam periode observasi bersifat komplementer atau saling
membantu dalam hal menghadapi goncangan inflasi. Sebaliknya
interaksi kebijakan moneter dan kebijakan fiskal bersifat subtitusi atau
saling menggantikan dalam menghadapi goncangan output. Goncangan inflasi berupa kenaikan inflasi 1% akan mendorong otoritas
moneter meningkatkan suku bunga kebijakan untuk mengendalikan inflasi sedangkan otoritas fiskal akan mengurangi pengeluaran
pemerintah atau defisit anggaran karena output dianggap sudah cukup
meningkat. Goncangan output berupa kenaikan output sebesar 1%
otoritas moneter tidak akan menaikkan suku bunga kebijakan karena
kenaikan output tersebut tidak menimbulkan dampak inflasi yang
signifikan sedangkan otoritas fiskal akan mengurangi pengeluarannya
karena menganggap ouput sudah cukup meningkat.
Berdasarkan atas simpulan dari penelitian ini maka dapat diberikan
saran sebagai berikut.
1.
250
Mengingat interaksi kebijakan moneter dan fiskal menghasilkan
fungsi kerugian yang lebih kecil dibandingkan dengan tanpa interaksi
kebijakan moneter dan fiskal, serta interaksi kebijakan moneter dan
fiskal belum optimal berdasarkan kombinasi parameter, disarankan
pembentukan Dewan Koordinasi Kebijakan Moneter dan Fiskal
(semacam Dewan Moneter) guna meningkatkan bauran kebijakan
moneter dan fiskal di Indonesia. Misalnya, bauran kebijakan suku
bunga dengan kebijakaan pajak dalam rangka mncapai output yang
optimal, kebijakan nilai tukar rupiah dengan kebijakan perdagangan
dalam mendorong ekspor dan impor, kebijakan perbankan dengan
kebijakan sektor pertanian dalam rangka stabilisasi harga dan
peningkatan kapasitas ekonomi, kombinasi kebijakan suku bunga
dengan kebijakan pengeluaran pemerintah dalam rangka mendorong
output dan stabilisasi harga, Adanya bauran kebijakan moneter dan
fiskal disertai pengutan kelembagan tersebut (Dewan Koordinasi
Kebijakan Moneter dan Fiskal) diharapkan dapat meningkatkan
output dan stabilisasi harga yang lebih optimal dalam rangka memerangi kemiskinan di Indonesia.
2.
Oleh karena interaksi kebijakan moneter dan fiskal di Indonesia belum
efektif dalam menghadapi goncangan inflasi dibandingkan terhadap
goncangan output, koordinasi kebijakan moneter dan fiskal dalam
memerangi tekanan inflasi dari sisi penawaran perlu ditingkatkan.
Misalnya pembentukan Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan Daerah
perlu terus ditumbuhkembangkan dalam rangka mengendalikn inflasi
dari sisi penawaran. Selain itu, penguatan koordinasi kebijakan antara
Bank Indonesia dan Kementerian Pertanian baik di tingkat pusat
maupun daerah, perlu terus ditingkatkan dalam rangka pengendalian
inflasi melalui sisi penawaran. Juga penguatan lembaga seperti Bulog
perlu ditingkatkan perannya dalam rangka pengendalian harga beras
dan komoditas inflasi lainnya.
3.
Dalam rangka menghadapi goncangan inflasi dan output, interaksi
kebijakan moneter dan fiskal seyogyanya memberikan prioritas lebih
besar kepada variabel suku bunga dibandingkan variabel output
karena memberikan fungsi kerugian yang lebih kecil dibandingkan
memberikan prioritas yang lebih besar pada output. Volatilitas atau
varian suku bunga perlu dijaga seminimal mungkin relatif terhadap
251
varian atau volatilitas output. Contoh, sumber inflasi yang berasal
dari sisi penawaran hendaknya tidak direspon dengan kenaikan suku
bunga sementara untuk meningkatkan output dalam masa resesi atau
pemulihan ekonomi diperlukan penurunan suku bunga yang terukur.
Selanjutnya, sumber inflasi yang bersumber dari ekspektasi perlu
direspon dengan kenaikan suku bunga yang terbatas.
252
Lampiran 1: Parameter dalam Model DSGE yang akan diestimasi
253
Lampirn 2: Hasil Estimasi Parameter dalam Model DSGE
Dari 19 parameter yang sudah diestimasi dapat dikelompokkan
menjadi sebagai berikut. Pertama adalah parameter output terdiri dari
alpha, sigma, beta dan phi. Parameter alpha = 0,73 mencerminkan tingkat
keterbukaan perekonomian Indonesia terhadap luar negeri, semakin terbuka
perekonomian semakin besar parameter alpha. Parameter sigma=0,97
menggambarkan elastisitas terbalik substitusi antar waktu. Kedua adalah
parameter inflasi yang terdiri dari theta dan phil. Parameter theta=0,87
merefleksikan tingkat rigiditas harga sedangkan parameter phil=0,91
adalah elastisitas terbalik penawaran tenaga kerja. Ketiga adalah parameter
suku bunga terdiri dari rhor, psipi. psy dan psie. Parameter rhor= 0,44
mencerminkan tingkat penghalusan suku bunga sementara parameter
psipi=0,80 adalah respon inflasi. Keempat adalah parameter terms of
trade, output luar negeri dan inflasi luar negeri (rhos, rhoyf dan rhopif )
merupakan koefisien autoregresif dari masing-masing variabel tersebut.
Kelima adalah parameter pengeluaran pemerintah terdiri dari delta11, delta
20, delta22 dan zeta1. Parameter delta11=0,62 adalah tingkat penghalusan
variabel pengeluaran pemerintah. Keenam adalah parameter pajak yaitu
theta11, theta20, theta21 dan zeta 2. Parameter theta11=0,82 adalah
tingkat penghalusan pajak.
254
DAFTAR PUSTAKA
Abel A., 2002, The Philadelphia Fed Policy Forum: Summary of the 2001
Policy Forum and Announcement of the 2002, Editor: Loretta J.,
Policy Forum, Business Forum, Q3.
Adam K. dan Billi R.M., 2005, Monetary and Fiscal Interaction without
Commitment and the Value of Monetary Conservatism, European
Central Bank Research Department, Frankfurt, Germany.
Artis J.A.,1989, Macroeconomics, Oxford University Press, New York.
Baldacci E., Hillman A.L. dan Kojo N.C., 2003, Growth, Governance and
Fiscal Policy Transmission Channels in Low-Income Countries,
IMF Working Paper, WP/3/237: 1-38.
Beetsma, R.M.W.J. and Jensen, H., 2002, Monetary and Fiscal Policy Interactions in a Micro-Founded Model of a Monetary Union, European Central Bank, Working Paper Series, No. 166.
Bennet, H. and Loayza N., 2000, Policy Biases when Monetary and Fiscal
Authorities have Different Objectives, Central Bank of Chile Working Papers, No. 66
Bennett, H. and Loayza, N., 2005, Fiscal and Monetary Policy Biases under Lack of Coordination, World Bank.
Bhundia A dan O,Donnell G., 2002, UK Policy Coordination: The Importance of Institutional Design, Fiscal Studies, Volume 23 No.
1:135-164.
Blinder Alan S., 1982, Issues in the Coordination of Monetary and Fiscal
Policy, NBER Working Paper Series, September, No.982.
Blinder A., 1991, Why are Prices Sticky? Preliminary Result From an Interview Study, American Economic Review, Mei, No.81:89-96.
Brimmer, A.F. dan Sinai A., 1986, The Monetary-Fiscal Policy Mix: Implication for the Short Run, The American Economic Review, May, Vol.
76. No.2: 203-208.
Boyes and Malvin, 2005, Economics, Houghton Mifflin Company, Edisi
ke-6.
255
Brooks and Gelman, 1998, General Methods for Monitoring Convergence
of Iterative Simulations, Journal of Computational and Graphical
Statistics, Vol. 7, No. 4: 434-455.
Calvo, G.,1983, Staggered Price in a Utility-maximizing Framework, Journal of Monetary Economics, 12(3):383-398.
Chari V.V. dan Keheo P.J., 1999, Optimal Fiscal and Monetary Policy, National Bureau of Economic Research (NBER) Working Paper Series,
No.6891.
Chari V.V., Chistianto L.J. dan Keheo P.J., 1996, Optimality of the Friedman Rule in Economies with Distorting Taxes, Journal of Monetary
Economics, Vol 37:203-223.
Chip and Greenberg, 1995, Understanding the Metropolis-Hastings Algorithm, The American Statistician, November 1995, Vol.49, No.4:
326-335.
Christiano , L.J. dan Fitzgerakd , T.J., 2000, Understanding the Fiscal Theory of the Price Level, Economic Review, Volume 36, No. 2.
Cecchetti S., 1986, The Frequency of Price Adjustment: A Study of the
Newsstand Prices of Magazines, Journal of Econometrics, April, No.
31: 255-74.
Clarida, R., J. Gali, and M. Gertler, 1998, Monetary Policy Rules in Practice: Some International Evidence, European Economic Review, Vol.
42, No. 6: 1033-1067.
Dixit, A. dan Lamberti L., 2003, Symbiosis of Monetary and Fiscal Policies
in a Monetary Union, Journal of International Economics, Volume
60: 235-247.
Dornbusch R., Fisher S. dan Startz R., 1998, Macroeconomics, Irwin
McGraw-Hill, USA.
Dodge D., 2002, The Interaction Between Monetary and Fiscal Policies,
Canadian Public Policy, Vol.28:187-201.
Froyen R.T., 1996, Macroeconomics: Theories and Policies, Prentice Hall Incorporation, USA.
256
Fisher S.,1977, Long-term Contract, Rational Expectation, and the Optimal Money Supply Rule, Journal of Political Economy, No.85:191205.
Friedman, M., 1968, The Role of Monetary Policy, American Economic
Review, Volume 58, No. 1 (March):1-17.
Gali J. dan Gertler M., 1999, Inflation Dynamics: A struktural Econometric Analysis, Journal of Monetary Economics, Vol. 44, No. 2:195222
Gali, J., Gertler M. dan D. Lopez-Salido, 2001. “European Inflation Dynamics”. European Economic Review, Vol. 45, no. 7:1237-1270.
Gali, J., dan Monacelli T., 2005, Monetary Policy and Exchange Rate Volatility in a Small Open Economy, Review of Economic Studies, Vol.72
No.252: 707-734
Gelfand, A.E. dan Smith, A.F., 1990, Sampling Based Approach to Calculating Marginal Densities, Journal of the American Statistical Association, Vol. 85:398-409.
Gelman A. dan Rubin D.B., 1992, Inference from Iterative Simulation Using Multiple Sequences, Statistical Science, No.7:433-438.
Geman, S. and D. Geman (1984), Stochastic Relaxation, Gibbs Distributions and the Bayesian Restoration of Images, IEEE Transactions on
Pattern Analysis and Machine Intelligence, Vol.6:721-741.
Giannomi M.P. dan Woodford M., 2000, Optimal Interest Rate Rule:
Application, National Bureau of Economic Research (NBER),
No.9420.
Gordon R.J., 1990, What is New-Keynesian Economics?, Journal of Economic Literature, 28:1115-71.
Goyal, A., 2002, Coordinating Monetary and Fiscal Policies, India Development Report (editor Parikh, K.S. dan Radhakrisha R.), IGUDR
dan Oxford University Press.
Greenwald B. dan Stiglitz J., 1993, New and old Keynesian, Journal of
Economic Perspectives, Winter, No.7:23-44.
257
Hagen J.V. dan Mundschenk S., 2002, Fiscal and Monetary Policy Coordination in European Monetary Union (EMU), Central Bank of
Chile Working Papers, Desember, No. 194.
Hallett, A.H., 2002, Inflation Targeting as a Coordination Device, Open
Economies Review, Volume 13: 341-362.
Hasting, W.K. (1970), Monte Carlo Sampling Methods Using Markov
Chains and their Applications, Biometrica 57:97-109.
Hoa, T.V., 1986, Effects on Monetary dan Fiscal Policy on Inflation: Some
evidence from the J-Test, Economics Letters, Volume 22:187-190.
Iwamoto, Y., 2005, Interaction between Monetary and Fiscal Policy and
the Policy Mix Theoretical Consideration and Japanese Experience,
Center of International Research on the Japanese Economy, Faculty of
Economics, University of Tokyo, Japan, No. F-365.
Javed, Z.H. dan Sahinoz, A., 2005, Interaction of Monetary and Fiscal
Policy to Case of Turkey, Journal of Applied Sciences, No.5 (2): 220226.
Kimball, M.S.,1995,The Quantitative Analytics of the Basic Neo-Monetarist Model, Journal of Money, Credit and Banking, 27(4):12411277.
Kocherlakota N. dan Phelan C. (1999): Explaining the Fiscal Theory o
Price Level, Federal Reseve Bank of Minneapolis Quarterly Review,
Vol.3 No.4:14-23.
Laurens, B. dan Piedra, L., 1998, Coordination of Monetary and Fiscal
Policies, IMF Working Paper, WP/98/25, International Monetary
Fund, Washington D.C.
Leitemo, K. (2004): A Game between the Fiscal Policy and the Monetary
Authorities Under Inflation Targeting, European Journal of Political
Economy, Volume 20:709-724.
Leith, C. dan Malley J., 2003. Estimated Open Economy New-Keynesian
Phillips Curves for the G7, CESifo Working Papers, No. 834.
258
Less, K., Matheson T. dan Smith S., 2007, Open Economy DESGE-VAR
forecasting and Policy Analysis: Head to head with the RBNZ published forecasts, Discussion Paper Series, Reserve Bank of New Zealand..
Lipsey, R.G.,1960, The Relation between Unemployment and the Rate
of Change of Money Wage Rate in the UK 1962-1957: A Further
Analysis, Economica, Volume 27:1-31.
Liu, P., 2006, A Small New Keynesian Model of the New Zealand Economy, Discussion Paper Series, DP2006/03, Reserve Bank of New
Zealand.
Lubik, T. dan Schorfheide F., 2005, Do Central Banks Respond to Exchange Rate Movements? A Struktural Investigation, Manuscript,
Department of Economics, University of Pennsylvania.
Lubik, T. dan Schorfheide F, 2005, A Bayesian Look at New Open Economy Macroeconomics, Manuscript, Department of Economics, University of Pennsylvania.
Lucas, R.E.Jr.,1972, Expectation and the Neutrality of Money, Journal of
Economic Theory, No.4:103-124.
Lucas, R.E. Jr.,1976, Economic Policy Evaluation: A Critique, CanergieRochester Conference Series on Public Policy No.62:19-46.
Mankiw N.G., 2003, Macroeconomics, Worth Publisher, New York.
Mankiw N.G, Kneebone R.D., McKenzie K.J dan Rowe N.,2005, Principles of Macroeconomics, Nelson A Division of Thomson Canada
Limited, Second Edition.
Maryatmo, R., 2004, Dampak Moneter Kebijakan Defisit Anggaran Pemerintah dan Peranan Asa Nalar dalam simulasi Model Makro
Ekonomi Indinesia:1983.1-2002.4, Disertasi, Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.
McCallum, B.T., 1988, Robustness Property of Rule for Monetary Policy,
Carnegie-Rochester Conference Series Public Policy, 29: 17-204.
259
Metropolis N., Rosenbluth, A.W., Rosenbluth, M.N., Teller, A.H. and
Teller, E., 1953, Equations of the State Calculations by Fast Computing Machines, Journal of Chemical Physics,No. 21:1087-1092.
Mochtar F., 2004, Fiscal and Monetary Interaction: Evidences and Implication for Inflation Targeting in Indonesia, Bulletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, September:359-386.
Mohanty M.S. dan Scatigna M.,2003, Countercyclical Fiscal Policy and
Central Bank, BIS Papers , No. 20.
Muscatelli A., Tirelli P. and Trecroci C., 2004, Fiscal and Monetary Policy
Interactions: Empirical Evidence and Optimal Policy using a Structural New-Keynesian Model. Journal of Macroeconomics, Vol. 26
(2): 257-280.
Muscatelli, A., P. Tirelli and C. Trecroci, 2003, The Interaction of Fiscal
and Monetary Policies: Some Evidence using Structural Model,
CESifo Working Paper, No. 1060.
Muscatelli, A., P. Tirelli and C. Trecroci, 2001. “Monetary and Fiscal Policy
Interactions over the Cycle: Some Empirical Evidence”. Forthcoming in R. Beetsma, C. Favero, A. Missale, V.A. Muscatelli, P. Natale and P. Tirelli (eds.), Fiscal Policies, Monetary Policies And Labor
Markets. Key Aspects of European Macroeconomics Policies after Monetary Unification, Cambridge University Press, Cambridge, United
Kingdom.
Olafsson T.T, 2006, The New Keynesian Phillips Curve; In Search of Improvement and Adaption to the Open Economy, Central Bank of Iceland Working Paper, No.31, Economics Department, September:177.
Orphanides, A., 2003, Historical Monetary Policy Analysis and the Taylor
Rule, Journal of Monetary Economics, Volume 50:983-1022.
Phelp, E.S., 1968, Money Wage Dynamics and Labor Market Equilibrium,
Journal of Political Economy, Volume 76, Number 678.
Rahutami A. I.,2007, Interaksi Sektor Moneter dan Fiskal di Indonesia
Tahun 1980.1-2006.4 Pendekatan Sistem Ekonomi Simultan, Disertasi, Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.
260
Ramsey F.P.,1927, A Contribution to the Theory of Taxation, Economic
Journal, Vol.37: 47-61.
Reynolds, A.,2001, The Fiscal-Monetary Policy Mix, Cato Journal, Volume
21(2): 263-275.
Rozkrut M., 2003, The Monetary and Fiscal Policy Mix in Poland, BIS
Paper, No.20, Oktober :214-217.
Rudebusch, G.D. and Svensson, L.E.O., 1999. Policy Rules for Inflation
Targeting. In Taylor, J. B. ed., 1999, Monetary Policy Rules, University of Chicago Press.
Sargent, T.J.,1971, A Note on the Accelerationist Controversy, Journal of
Money, Credit, and Banking, No.3:721-725.
Sargent, T.J. dan Wallace N., 1981, Some Unpleasant Monetarist Arithmetic, Federal Reserve Bank of Minneapolis Quarterly Review, Vol.
5(3):1-17.
Simorangkir I., 2005, Koordinasi Kebijakan Moneter dan Fiskal di Indonesia: Suatu Kajian dengan menggunakan pendekatan Game Theory,
Bank Indonesia PPSK Working Paper Series, No. WP/02/1005.
Smets F. dan Wouters R., 2004, An Estimated Stochastic Dynamic General
Equilibrium Model for the Euro Area, Journal of the European Economic Association, 1(5):1123-1175
Smith, W.L.,1957, Monetary-Fiscal Policy and Economic Growth, The
Quarterly Journal of Economics, May, Volume 71. No.1.
Smith, A.F.M dan Robert, G.O., 1993, Bayesian Computation via the
Gibb Sampler and Related Markov Chain Monte Carlo Methods,
Journal of Royal Statistical Society, Series B, Volume 55: 3-24.
Snowdon B., Vane H., dan Wynarczyk P.,1995, A Modern Guide to Macroeconomics: An Introduction to Competing Schools of Thought, Edward
Elgar Publishing Limited, the UK.
Stevenson,L., 2002, Are There Limit to the Use of Monetary Policy for
Economic Stabilization?, Rethinking Stabilization Policy, Federal
Reserve Bank of Kansas City.
261
Stevenson A., Muscatelli V. dan Gregory M., 1988, Macroeconomic Theory
and Stabilisation Policy, Philip Allan, Great Britain.
Sundararajan, V., Dattels, 5. dan Blommesntein, H., 1997, Public Debt
and Monetary Management, Washington D.C.
Taylor, J.B, 1980, Aggregate Dynamics and Staggered Contracts, Journal of
Political Economy, 88:1-22.
Taylor, J.B, 1993, Discretion versus Policy Rules in Practice. CarnegieRochester Conference Series Public Policy, 39: 195-214.
Taylor, J.B, 2000, The Policy Rule Mix: A Macroeconomic Policy Evaluation, in Calvo, G., Obstfeld, M. dan Donbusch, R (eds) . Robert
Mundell Festschrift, Cambridge:505-517.
Vane H. R. dan Thompson J.L, 1992, Current Controversies in Macroeconomics: An Intermediate Text, Edward Elgar Publishing Limited,
England.
Walsh, C.E.,1995, Optimal Contracts for Central Bankers, American Economic Review, No., 85: 150-167.
Wickens Michael, 2008, Macroeconomic Theory: A Dynamic General Equilibrium Approach, Princeton University Press.
Woodford, M., 1995, Price Level Determinacy Without Control of a
Monetary Aggregate, Carnegie-Rochester Conference Series on Public
Policy, No.43, halaman 1–46.
Worrel, D., 2000, Monetary and Fiscal Co-ordination in Small Open
Economies, IMF Working Paper, WP/00/56, Washington, D.C.
Wyplosz, C., 2005, Fiscal Policy: Institutions versus Rules, National Institute Economic Review, No. 191:70-85
Yun, T., 1996, Nominal Price Rigidity, Money Supply Endogeneity and
Business Cycles, Journal of Monetary Economics, 37:345-370.
262
PERKEMBANGAN SEKTOR KEUANGAN DI INDONESIA
Wimboh Santoso dan
Dwityapoetra Soeyasa Besar
S
ektor keuangan Indonesia mengalami perkembangan yang cukup
tinggi paska krisis. Para pelaku di sektor keuangan menghadapi
tantangan baru dalam mengelola modal asing yang masuk sejak
krisis global tahun 2008-2009. Data menunjukkan bahwa sektor keuangan
Indonesia mampu beradaptasi dengan perkembangan yang terjadidan
memiliki daya tahan yang memadai dalam menghadapi potensi tekanan.
Namun demikian, semakin meningkatnya kepemilikan asing dalam
surat-surat berharga jangka pendek, perlu diwaspadai adanya potensi
pembalikan dana karena sentimen negatif. Dana-dana asing yang masuk
tersebut harus disalurkan kepada sektor-sektor yang produktif. Dana yang
berjangka pendek harus dikelola dengan baik sehingga potensi krisis karena
pembalikan dana jangka pendek tersebut dapat diminimalisir. Selain itu
rambu dan standar kehati-hatian yang membatasi pengambilan risiko
yang berlebihan oleh pelaku di sektor keuangan perlu dipantau dengan
seksama.
1. Latar Belakang
Sektor keuangan Indonesia telah mengalami perkembangan yang
cukup pesat paska krisis. Berbagai macam inovasi produk sudah ditawarkan
kepada pemodal, infrastruktur pendukung juga telah disiapkan untuk
melancarkan transaksi keuangan untuk mendorong fungsi intermediasi
dan investasi di sektor keuangan.
263
Sejak pertengahan 2009, sektor keuangan Indonesia menghadapi
tantangan dalam melakukan pengelolaan arus modal asing yang masuk.
Sebagian modal yang berjangka pendek memiliki risiko pasar yang tinggi dan
pembalikan yang cepat apabila terdapat sentimen negatif. Risiko tersebut
yang harus dihindari agar sektor keuangan Indonesia dapat tumbuh sehat
dan menjalankan fungsi intermediasi dengan lancar.
Oleh karena itu dalam paper ini, yang disiapkan untuk ISEI, kami
mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan khususnya terkait dengan
perkembangan sektor keuangan dan daya tahannya dalam menghadapi
potensi pembalikan modal asing tersebut. Kontribusi yang diharapkan
adalah: (1) memberikan overview mengenai perkembangan sektor keuangan
paska krisis dan khususnya kinerja sektor keuangan yang difokuskan pada
periode terakhir yaitu Semester 1 2011 dan (2) membahas mengenai
potensi risiko dalam sektor keuangan tersebut.
Organisasi paper ini adalah sebagai berikut: bagian 1 mengantarkan
dengan latar belakang penulisan paper ini. Bagian 2 akan menyampaikan
mengenai perkembangan sektor keuangan paska krisis. Bagian 3 membahas
perkembangan lembaga keuangan yang terdiri dari bank dan perusahaan
pembiayaan. Dilanjutkan dengan bagian 4 yang akan menjelaskan mengenai
pasar keuangan yang terdiri dari pasar SUN, pasar obligasi korporasi, pasar
saham dan pasar reksadana. Akhirnya adalah kesimpulan.
2. Perkembangan Sektor Keuangan
Industri perbankan masih memiliki pangsa terbesar dalam sistem
keuangan Indonesia, dilihatdari total asset yang berhasildihimpun. Dengan
pangsa sekitar 78,2% dari total asset lembagakeuangan, industriperbankan
yang terdiridari Bank Umumdan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) masih
dominan dalam sistem keuangan Indonesia. Peranan lembaga keuangan
lain yang cukup menonjol adalah pada Perusahaan Pembiayaan, Perusahaan
Asuransidan Dana Pensiun.
264
Dari sisi jumlah lembaga, peranan industri perbankan juga cukup
dominan, khususnya jumlah BPR yang cukup besar. Sementara jumlah
Bank Umum relatif sedikit dibandingkan dengan lembaga keuangan lain
seperti Dana Pensiun, Perusahaan Pembiayaan maupun Asuransi. Dengan
jumlah yang relatif sedikit namun harus mengelola asset yang besar,
pengelolaan Bank Umum terus dilakukan dengan tingkat kehati-hatian
yang tinggi. Selama semester I 2011, total asset Bank Umum tumbuh
6,2%, lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan asset pada periode
yang sama tahun 2010 yang hanya sebesar 5,7%.
Sementara itu, ketahanan sektor keuangan selama semester I 2011
terjaga dengan cukup baik. Hal ini tercermin dari Financial Stability Index
(FSI) yang turun dari 1,75 (Desember 2010) menjadi 1,65 (Juni 2011),
FSI Juni tersebut berada diatas proyeksi sebesar 1,60. Penurunan FSI ini
disebabkan oleh relatif terjaganya ketahanan perbankan dan turunnya
volatilitas bursa domestik yang didukung oleh solidnya perekonomian
domestik dan terkendalinya inflasi. Bayang – bayang ancaman dampak
tidak langsung krisis ekonomi Eropa-Amerika menyebabkan FSI Juni
berada diatas proyeksi.
265
3. Lembaga keuangan
a.
Bank
i.
Sumber Pendanaan
Pendanaan bank masih bergantung dari penghimpunan dana
masyarakat (DPK). Pangsa DPK sebagai sumber dana bank turun
tipis menjadi 87,99% dari semester II 2010 sebesar 91,93%.
Sedangkan sumber dana lainnya seperti antar bank hanya
menyumbang 5,84% (turun sedikit 6,00%). Pinjaman dan SSB
memiliki pangsa yang sangat kecil, masing-masing hanya sebesar
1,17% dan 0,91%.
266
DPK perbankan meningkat hingga Rp99,19 triliun atau 4,24%.
Kenaikan DPK ini kurang dari setengah dari kenaikan DPK
sebelumnya yang sebesar Rp 242,79 triliun atau 11,58%.
Berdasarkan golongan pemilik, terjadi penurunan DPK swastaperseorangan sebesar 0,63%. Pada semester sebelumnya angka
ini justru mengalami peningkatan hingga 15,59%. Peningkatan
DPK terutama disebabkan oleh kenaikan pada golongan
Pemerintah Daerah dan Swasta Perseorangan, masing-masing
sebesar 120,67% dan 49,94%.
267
Sesuai dengan trend pada tahun-tahun sebelumnya, kenaikan
DPK pada semester pertama lebih rendah daripada semester
kedua.
Berdasarkan komponen, peningkatan DPK tertinggi adalah dalam
bentuk giro dan deposito, yang masing-masing meningkat sebesar
5,99% dan 4,70%. Pada semester sebelumnya, peningkatan DPK
tertinggi terjadi pada komponen tabungan dan deposito, masingmasing sebesar 20,03% dan 11,08%. Peningkatan giro tersebut
menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kepercayaan yang
tinggi terhadap prospek perekonomian di Indonesia, walaupun
terjadi volatilitas perekonomian global.
Sementara itu, berdasarkan valuta, pertumbuhan DPK disumbang
seluruhnya oleh DPK Rupiah, sementara DPK valas justru
mengalami penurunan. Selama periode laporan, DPK rupiah
telah bertambah sebesar Rp102,45 triliun, sedangkan DPK valas
mengalami penurunan sebesar Rp 3,26 triliun.
268
Risiko Likuiditas
Di tengah masih terdapatnya tekanan di pasar keuangan global,
likuiditas perbankan berlanjut meningkat selama semester I
2011. Per Juni 2011, total alat likuid perbankan naik hanya
sebesar 3,49% (ytd) mencapai Rp897,42 T. Kenaikan alat likuid
bersumber dari peningkatan primary reserves bank yang terdiri
dari Kas dan giro di BI yaitu sebesar 21,97% yang terutama
digunakan untuk memenuhi peningkatan kewajiban GWMLDR (per Maret 2011), GWM valas (5% per Maret 2011 dan
8% per Juni 2011). Sementara itu, selama semester I 2011,
secondary dan tertiery reserves perbankan turun masing-masing
sebesar 3,15% dan 2,21%.
Turunnya alat likuid berupa secondary reserves perbankan terutama dikarenakan cukup besarnya SBI yang jatuh tempo, sementara tenor SBI yang semakin diperpanjang (menjadi 9 bulan)
berdampak terjadinya shifting penempatan likuiditas perbankan
dari SBI kepada penempatan pada BI lainnya yaitu term deposits
dan FASBI. Adapun jangka waktu term deposits yang juga relatif
panjang (rata-rata tenor diatas 6 bulan) berdampak terbatasnya
peningkatan penempatan pada BI lainnya yaitu naik sebesar
1,75% selama semester I 2011.
269
Kecukupan alat likuid perbankan dalam mengantisipasi terjadinya penarikan DPK masih dalam level yang memadai (rasio
AL terhadap DPK >100%). Rasio AL/DPK pada semester I 2011
turun dari 37,08% (Desember 2010) menjadi 36,8% (Juni 2011)
dan tidak terdapat individual bank yang berpotensi mengalami
kesulitas likuiditas dengan skenario penurunan DPK sebesar
5% (berdasarkan kondisi pada saat krisis 2008, dimana ratarata penarikan DPK mencapai 5%). Sementara itu, kecukupan
likuiditas individual bank dalam mengcover kebutuhan penarikan
non-core depositnya1 juga masih lebih baik. Masih terdapat lebih
banyak bank dengan rasio alat likuid (AL) terhadap non-core
deposit (NCD) diatas 100% dan tidak terdapat bank yang rasio
AL/NCDnya <50%.
ii. Penyaluran Kredit
Peningkatan peran intermediasi perbankan masih menjadi salah
satu agenda utama kebijakan Bank Indonesia pada tahun 2011.
Baik dalam Paket Kebijakan Bank Indonesia Desember 2010
maupun pada acara pertemuan tahunan perbankan pada awal
tahun 2011 ditegaskan perlunya penguatan bauran kebijakan
moneter dan makroprudensial dengan memperkokoh stabilitas
makroekonomi dan meningkatkan intermediasi dan ketahanan
perbankan. Salah satu pesan penting dari kebijakan tersebut,
khususnya yang terkait dengan intermediasi perbankan, adalah mengenai masih tetap dipandang perlunya peningkatan
intermediasi perbankan khususnya melalui penyaluran kredit.
Hal ini dikarenakan kredit merupakan salah satu sumber pembiayaan utama bagi pembangunan ekonomi, khususnya untuk
membiayai sektor riil. Namun penyaluran kredit yang dilakukan
perbankan harus dilakukan dengan tetap berada dalam koridor
rambu-rambu prudensial yang telah ditetapkan. Hal ini penting
1
Non-Core Deposit (NCD) merupakan 30% giro, 30% tabungan dan 10% deposito <3 bulan
270
agar penyaluran kredit tidak sampai menimbulkan permasalahan
bagi perbankan di kemudian hari yang pada akhirnya dapat
mengganggu kestabilan sistem keuangan secara keseluruhan. Oleh
karena itu penyaluran kredit perbankan harus dilakukan secara
hati-hati, selektif dan lebih utama untuk sektor-sektor usaha
yang produktif disertai dengan pengelolaan risk management
yang baik.
Sebagai hasil dari berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan
oleh Bank Indonesia seperti penerapan ketentuan GWM LDR
maupun upaya mediasi antara pihak-pihak yang terlibat dalam
proses perkreditan, perkembangan kredit perbankan pada paruh pertama 2011 menunjukkan perkembangan yang cukup
menggembirakan. Kredit tumbuh 10,5% (ytd) selama semester
I 2011 atau tumbuh 23,0% (yoy). Pertumbuhan kredit selama
semester I 2011 tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan
pertumbuhan kredit pada semester I 2010 sebesar 10,3%,
meskipun masih lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan
semester II 2010. Percepatan pertumbuhan kredit pada semester
I 2011 tersebut tidak terlepas dari semakin kondusifnya
kondisi perekonomian yang memungkinkan perbankan untuk
meningkatkan penyaluran kreditnya terutama ke sektor-sektor
yang produktif.
271
Cukup tingginya pertumbuhan kredit pada semester I 2011
terutama didorong oleh pertumbuhan kredit valas. Selama
semester I 2011 kredit valas tumbuh 13,6%, jauh melampaui
pertumbuhan pada periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 8%. Pesatnya pertumbuhan kredit valas tersebut sudah
berlangsung sejak semester II 2010, yang tampaknya tidak terlepas
dari perkembangan nilai tukar rupiah yang cenderung menguat.
Dengan demikian perbankan harus berhati-hati terhadap risiko
pelemahan rupiah yang dapat menyebabkan debitur kesulitan
membayar utangnya dan akhirnya menyebabkan kredit bermasalah.
Sumber pembiayaan kredit valas selama semester I 2011 berasal
dari pencairan penempatan dana antar bank valas yang sifatnya
cenedrung jangka pendek, sementara DPK valas justru mengalami
pertumbuhan yang negatif. Masih tidak stabilnya kondisi
perekonomian global dan relatif tingginya suku bunga di dalam
negeri dibandingkan di luar negeri tampaknya berpengaruh pada
272
perilaku perbankan yang memilih untuk menempatkan dana valas
untuk kredit di dalam negeri. Oleh karena itu perbankan juga
harus berhati-hati terkait dengan sumber pendanaan kredit valas
tersebut, karena jika terjadi mismatch berpotensi menimbulkan
kerugian tambahan dari selisih nilai tukar.
Seperti juga pada semester sebelumnya, peranan kredit ke sektor
produktif cukup dominan selama semester I 2011. Perbedaan
hanya pada jenis kreditnya. Apabila selama semester II 2010
kredit modal kerja mendominasi penyaluran kredit perbankan,
selama semester I 2011 peranan kredit investasi, yang lebih
berjangka panjang, semakin dominan dan tumbuh 16,8% (ytd)
atau 20,8% yoy.
Dengan meningkatnya kredit investasi diharapkan dapat memberikan manfaat yang lebih besar kepada sektor riil dan pada
akhirnya dapat memberikan sumbangan yang lebih besar pada
pertumbuhan ekonomi nasional. Meskipun demikian, perbankan
harus mewaspadai risiko kredit investasi karena jangka waktunya
yang lebih panjang, terutama dikaitkan dengan sumber dana
perbankan yang mayoritas masih berjangka waktu pendek.
Kondisi ini dapat berpotensi menimbulkan risiko mismatch pada
perbankan. Sementara itu, dilihat berdasarkan sektornya, hampir
semua sektor produktif memiliki pertumbuhan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2010, kecuali
untuk sektor Pertambangan.
273
Pertumbuhan kredit properti yang sempat terpuruk pada tahun
2009, kembali menunjukkan perbaikan sejak pertengahan tahun
2010. Selama semester I 2011 kredit properti tumbuh 10,1% atau
17,8% (yoy). Pertumbuhan selama semester I 2011 tersebut lebih
baik dibandingkan dengan dua semester sebelumnya, terutama
didorong oleh pertumbuhan kredit properti residensial (KPR)
yang tumbuh 11,8%. Dengan kebutuhan perumahan penduduk
yang masih cukup besar, kredit properti khususnya untuk rumah
tinggal (KPR) diperkirakan berpeluang untuk tetap tumbuh.
Pangsa kredit properti terhadap total kredit perbankan saat ini
masih relatif tidak terlalu besar, yaitu sekitar 13,2% terhadap
total kredit.
Risiko Kredit
Risiko kredit perbankan selama semester I 2011 sedikit
meningkat bila dibandingkan dengan semester II 2010, namun
masih terkendali. Pada akhir semester I 2011, rasio NPL gross
perbankan mencapai 2,7%, sedikit meningkat dibandingkan
posisi Desember 2010 sebesar 2,6%. Selama semester I 2011
terjadi peningkatan jumlah NPL sebesar Rp8,2 T atau sekitar
4,4% dari total peningkatan kredit perbankan pada periode
yang sama. Sejalan dengan cukup tingginya pertumbuhan kre274
dit perbankan maka rasio NPL gross hanya naik tipis. Untuk
mengantisipasi potensi peningkatan tekanan risiko kredit
perbankan meningkatkan pencadangan kerugian kredit sebesar
Rp4,2 T atau meningkat 6,8% dari akhir tahun 2010.
Dengan cukup tingginya pertumbuhan kredit valas pada semester
I 2011, perbankan menghadapi potensi peningkatan risiko kredit
valas. Secara historis, rasio NPL kredit valas pernah mencapai
diatas 30% pada tahun 2000 sebagai dampak krisis 1997/1998
dan jauh diatas rasio NPL kredit rupiah. Namun, belakangan
kinerja kredit valas menunjukkan perbaikan yang signifikan.
Rasio NPL kredit valas sejak Januari 2011 telah berada dibawah
rasio NPL kredit rupiah dan per Juni 2011 telah mencapai 2,2%
sementara rasio NPL kredit rupiah sebesar 2,8%. Penurunan
rasio NPL kredit valas tersebut dipengaruhi oleh penurunan
jumlah kredit bermasalah yang selalu terjadi beberapa periode
terakhir. Selama semester I 2011, jumlah kredit bermasalah kredit
valas turun 10%. Dengan demikian, potensi peningkatan risiko
275
kredit yang berasal dari peningkatan kredit valas tampaknya
masih dapat dikendalikan oleh bank. Tekanan risiko kredit saat
ini tampaknya lebih pada kredit rupiah, yang selama semester
I 2011 telah mengalami peningkatan jumlah kredit bermasalah
sebesar 23,8%.
Bila dilihat dari jenis kreditnya, peningkatan jumlah kredit
bermasalah selama semester I 2011 terjadi pada semua jenis
kredit, dengan pertumbuhan tertinggi pada kredit Konsumsi.
Peningkatan jumlah kredit bermasalah untuk kredit konsumsi
tersebut antara lain berasal dari kredit konsumsi untuk
Perumahan, kredit multiguna dan kredit konsumsi lainnya.
Meskipun pertumbuhan jumlah kredit bermasalahnya adalah
yang tertinggi, rasio NPL gross kredit Konsumsi adalah yang
terendah dibandingkan jenis kredit lainnya yaitu sebesar 1,9%.
276
Sejalan dengan meningkatnya minat perbankan untuk menyalurkan kredit Investasi, harus disertai juga dengan tetap dijaganya
rambu-rambu prudensial terkait prosedur penyaluran kredit
tersebut serta kemampuan bank dalam mengelola risikonya.
Dengan jangka waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan
jenis kredit lainnya, kredit Investasi memiliki risiko kredit yang
cukup tinggi. Data historis menunjukkan bahwa kredit Investasi
memiliki rasio NPL gross lebih tinggi dibandingkan kredit jenis
lainnya sejak tahun 2000. Baru setelah memasuki tahun 2009
rasio NPLnya berada dibawah Kredit Modal Kerja. Selama
semester I 2011, jumlah nominal kredit bermasalah Kredit
Investasi tumbuh 19,1% sehingga rasio NPL grossnya menjadi
2,5%, sedikit meningkat dibandingkan posisi akhir tahun 2010
sebesar 2,4%. Apabila penyalurannya tetap diikuti dengan prinsip
kehati-hatian, risiko kredit Investasi ke depan diperkirakan tetap
dapat terkendali.
277
Secara sektoral, beberapa sektor mengalami peningkatan jumlah kredit bermasalah selama semester I 2011 seperti Pertanian,
Pertambangan, Industri Pengolahan, Konstruksi dan Pengangkutan Komunikasi.Dari sektor-sektor tersebut, sektor Pengangkutan dan Komunikasi mengalami peningkatan kredit bermasalah dalam tiga semester terakhir.
Sementara itu, risiko penyaluran kredit properti juga masih
terkendali. Walaupun rasionya masih sedikit diatas rasio NPL
total kredit (per Juni 2011 sebesar 3,0%), namun dengan
kecenderungan yang terus menurun. Kenaikan jumlah kredit
bermasalah kredit properti selama semester I 2011 terutama
bersumber dari kredit untuk KPR. Namun rasio kredit KPR
relatif masih cukup rendah yaitu 2,6% per Juni 2011 sehingga
peningkatan jumlah kredit bermasalah tampaknya masih dapat
dimanage dengan baik oleh bank.
iii. Rentabilitas
Seiring dengan membaiknya kondisi perekonomian Indonesia,
selama semester 1 2011kinerja profitabilitas industri perbankan
menunjukkan peningkatan. Perbankan membukukan laba bersih
sebesar Rp37,10 T. Laba tersebut lebih tinggi dari semester 1
2010 dan telah mencapai 64,74% dari laba bersih tahun 2010.
Kenaikan laba tersebut antara lain didorong oleh meningkatnya
278
pertumbuhan kredit baik secara ytd (10,47%) maupun yoy
(22,96%) pada akhir periode laporan. Tingginya laba tersebut
tercermin dari cukup tingginya ROA perbankan yakni sebesar
3,07% per Juni 2011.
Jika dilihat per kelompok bank (data Juni 2010 dibandingkan
Juni 2011), hanya kelompok bank Persero dan Swasta yang
mengalami kenaikan laba bersih (tertinggi pada kelompok bank
Persero bahkan telah mencapai 72,99% dari laba bersih tahun
2010). Sedangkan 3 kelompok bank lainnya (BPD, Campuran
dan KCBA) sedikit menurun. Kenaikan laba bersih yang cukup
tinggi pada kelompok bank Persero dan Swasta antara lain
disebabkan oleh meningkatnya pertumbuhan kredit.
Sampai dengan akhir semester 1 2011, komposisi laba perbankan
masih didominasi oleh laba operasional. Pada Juni 2011, laba
operasional perbankan tercatat sebesar Rp26,08 T atau 56% dari
total laba. Namun demikian, pangsa laba operasional terhadap
total laba perbankan menunjukkan trend yang menurun.
Pangsa laba operasional yang cukup dominan tersebut bersumber
dari pendapatan bunga bersih atau Net Interest Income (NII) yang
meningkat. Rata-rata NII bulanan perbankan selama semester
1 2011 tercatat sebesar Rp13,93 T, lebih tinggi dari semester
1 2010 (Rp12,18 T) dan semester 2 2010 (Rp12,79 T). Oleh
279
karena itu, perkembangan tersebut mencerminkan perbankan
dapat melakukan efisiensi dalam hal ini menekan beban bunga,
sedangkan di sisi lain dapat meningkatkan pendapatan bunga.
Sementara itu, dari sisi sumber pendapatan bunga, pendapatan
bunga kredit masih merupakan pangsa terbesar yang pangsanya
mencapai 80,95% (per Juni 2011) dari total pendapatan
bunga. Namun demikian pangsa tersebut cenderung menurun
jika dibandingkan Juni 2010 (81,06%) dan Desember 2010
(81,03%). Pertumbuhan kredit yang cukup tinggi merupakan
penyebab masih dominannya pendapatan bunga kredit.
Sementara itu, spread suku bunga yang cenderung menyempit
menyebabkan pangsa pendapatan bunga kredit terhadap total
pendapatan bunga mengalami penurunan. Hal ini merupakan
indikasi positif bahwa dalam upaya meningkatkan pendapatan,
perbankan lebih mengutamakan peningkatan volume kredit
dibandingkan melebarkan spread suku bunga. Spread yang
menyempit tersebut juga menyebabkan Net Interest Margin
(NIM) perbankan mengalami penurunan sebesar 1 bp yakni dari
5,80% (Juni 2010) menjadi 5,79% (Juni 2011).
280
Indikator profitabilitas lainnya yaitu rasio Return on Asset
(ROA) juga menunjukkan peningkatan. ROA meningkat dari
3,0% (semester 1 2010) dan 2,86% (akhir 2010) menjadi
3,07% pada akhir semester laporan. Peningkatan rasio ROA
tersebut antara lain didorong oleh membaiknya kinerja efisiensi
perbankan yang tercermin dari rasio Biaya Operasional terhadap
Pendapatan Operasional (BOPO). Rasio BOPO pada semester 1
2011 tercatat sebesar 85,92% atau lebih rendah dari semester 1
2010 (90,47%) dan akhir tahun 2010 (86,14%).
iv. Permodalan
Selama semester 1 2011, industri perbankan dapat menjaga
permodalan dengan baik. Rata-rata rasio kecukupan modal
(CAR) perbankan tercatat sebesar 17,53% atau lebih tinggi
dari rata-rata CAR selama semester 2 2010 (16,79%), namun
lebih rendah dari semester 1 2010 (18,31%). Kenaikan rata-rata
CAR pada semester 1 2011 dibandingkan semester sebelumnya
disebabkan pertumbuhan modal lebih tinggi dari kenaikan
Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR). Rata-rata modal
pada semester 1 2011 naik sebesar Rp68,44 T atau 22,38%
dibandingkan rata-rata modal pada semester 2 2010. Sementara
itu, rata-rata ATMR pada periode yang sama meningkat
Rp314,24 T atau 17,26% dibandingkan semester sebelumnya.
281
Berdasarkan kelompok bank, pada Juni 2011 CAR tertinggi
terdapat pada kelompok KCBA (25,29%) diikuti Campuran
(22,0%), sedangkan yang terendah pada kelompok BPD
(14,24%) dan Swasta (15,66%). Adapun CAR kelompok bank
Persero tercatat sebesar 16,43%. Kondisi ini antara lain disebabkan
oleh pertumbuhan kredit yang cukup tinggi pada kelompok
bank Swasta, BPD dan Persero, sedangkan pertumbuhan kredit
kelompok bank Campuran dan KCBA relatif rendah. Dari
sisi trend, hanya CAR kelompok bank Persero yang trend-nya
meningkat, sedangkan 4 kelompok bank yang lain cenderung
menurun, terutama pada kelompok KCBA yang mengalami
penurunan cukup tinggi.
282
v. Penyaluran Kredit Mikro, Kecil dan Menengah
Kredit MKM masih merupakan penyumbang terbesar terhadap
total kredit perbankan. Pada Juni 2011, pangsa kredit MKM
tercatat sebesar 53,06%, lebih tinggi dari Juni 2010 (52,68%)
dan Desember 2011 (52,48%). Pangsa yang dominan tersebut
seiring dengan pertumbuhan kredit MKM yang lebih tinggi dari
kredit non MKM. Pada akhir semester laporan, kredit MKM
tumbuh 11,69% (ytd) dan 23,85% (yoy), sedangkan kredit non
MKM tumbuh lebih rendah yakni 9,12% (ytd) dan 21,96%
(yoy). Namun demikian, pertumbuhan kredit MKM pada Juni
2011 mengalami sedikit penurunan jika dibandingkan dengan
Juni 2010 baik secara ytd maupun yoy.
283
Walaupun pertumbuhan kredit MKM tinggi, namun rasio NPL
gross tetap terjaga pada level yang rendah yaitu sebesar 2,87%
per Juni 2011. NPL gross tersebut lebih tinggi dari Juni 2010
(2,82%) dan Desember 2010 (2,60%). Kondisi ini merupakan
salah satu faktor pendorong bagi perbankan dalam meningkatkan
penyaluran kredit MKM, selain semakin banyak bank yang juga
masuk ke sektor MKM. Data kredit MKM tidak termasuk kartu
kredit dan BPR/BPRS, namun sudah termasuk Bank Umum
Syariah (BUS).
284
b.
Perusahaan Pembiayaan
Positifnya pertumbuhan perekonomian Indonesia sepanjang tahun
2010 sampai 2011yang didukung dengan stabilnya suku bunga dan
inflasi mampu meningkatkan pasar pembiayaan PP pada semester 1
2011. Total asset PP naik sebesar 12,67% atau 28,76% (yoy) menjadi
Rp 259,55 triliun. Sumber pembiayaan kegiatan pembiayaan PP yang
naik sebesar 14,00% atau 30,17% (yoy) menjadi Rp 212,44 triliun
terutama didukung oleh kenaikan modal sebesar 2,63% atau naik
285
9,83% (yoy) sementara,pendanaanPPyang bersumber dari pinjaman
dan obligasi naik hanya sebesar17,40atau naik 44,44% (yoy).Kenaikan
pembiayaan PP terutama bersumber dari kegiatan pembiayaan
konsumen yang pangsanya terhadap total pembiayaan naik menjadi
71,10% (Desember 2010 sebesar 69,77%) atau Rp 151,04 triliun
(Juni 2011). Perkembangan tersebut berdampak semakin meningatnya
risiko konsentrasi PP.
Sumber pendanaan PP yang masih didominasi oleh perbankan
relatif berkurang pertumbuhannya seiring meningkatnya aktifitas
penerbitan obligasi. Relatif stabilnya suku bunga domestik selama
semester I 2011 yang didukung semakin baiknya outlook ekonomi
mendorong penerbitan obligasi PP sehingga naik sebesar 52,38%
menjadi Rp 28,02 triliun. Pendanaan yang bersumber dari pinjaman
perbankan dalam negeri naik hanya sebesar 13,94% menjadi Rp
96,94 triliun sementara, pinjaman perbankan luar negeri naik sebesar
11,61% menjadi Rp 67,22 triliun. Berkurangnya ketergantungan PP
terhadap sumber dana perbankan sedikit mengurangi risiko eksposure
perbankan.
286
Kinerja PP pada semester 1 2011sedikit melambat sebagaimana
terindikasi pada penurunan profit sebelum pajak yang berkontribusi
berkurangnya rasio return on assets (ROA) dan return on equity (ROE)
dibandingkan posisi Desember 2010. Adapun dari segi effisiensi,
perusahaan pembiayaan tetap mampu mempertahankan efisiensi
usaha sebagaimana terindikasi pada rasio Biaya Operasional terhadap
Pendapatan Operasional (BOPO) yang stabil pada level 0,79% seiring
berkurangnya sumber pendanaan berupa pinjaman perbankan.
Pada semester 1 2011, ditengah cukup pesatnya pertumbuhan
pembiayaan PP, terjadi kenaikan nominal NPL PP sebesar 7,10%
menjadi sebesar Rp 2,85 triliun (pada sem II 2010 terjadi penurunan
NPL sebesar 8,41%). Pada akhir semester 1 2011, NPL PP turun
dari 1,37% (Desember 2010) menjadi 1,29% (Juni 2011). Turunnya
287
NPL PP terutama berasal dari turunnya nominal NPL pada kegiatan
pembiayaan sewa guna usaha dan kartu kredit. Sementara, penurunan
NPL terjadi pada semua kegiatan PP, yaitu sewa guna usaha, anjak
piutang, kartu kredit dan pembiayaan konsumen.
4. Pasar Keuangan
a.
Pasar SUN
Berdasarkan indeks IDMA, selama semester I harga SUNturunsekitar
4,11% menjadi101,69.Melemahnya harga SUN dikarenakan memanasnya
isu tingginya inflasi di negara emerging markets pada awal semester I akibat
economic overheating dan tingginya harga minyak. Investor menggunakan
isu ini untuk melakukan aksi profit taking. IDMA pada 2010 (yoy) telah
menguat sebesar 12,38%.Pada semester I-2011, harga rata-rata SUN berada
pada kisaran 102,26 (21/1) sampai dengan 115,90 (4/1).Sementara itu,
berdasarkan tenor, harga rata-rata bulanan SUN tenor pendek (<5tahun)
dan menengah (5 s.d. 7 tahun) turun paling signifikan, masing-masing
sebesar 228 bps (turun2,08%) dan 48 bps (turun0,42%). Sementara, SUN
tenor panjang (> 7 tahun) naik sebesar 245 bps (naik2,12%). Tingginya
ekspektasi inflasi pada awal tahun menyebabkan naiknya potensi risiko
SUN, namun berangsur stabil setelah BI Rate dinaikkan untuk meredam
ekspektasi inflasi tersebut.
288
Pada semester II-2011, khususnya pada bulan Agustus 2011 harga
rata-rata SUN mengalami peningkatan sekitar 1,14% menjadi 108,01.
Namun berdasarkan tenor, peningkatan terjadi untuk tenor menengah
(5 s.d. 7 tahun) dan panjang (> 7 tahun), masing-masingsebesar 177 bps
(naik1,56%) dan 913 bps (naik 7,8%). Sedangkan untuk tenor pendek (<5
tahun) turun sebesar 238,62 (turun 2,18%).
Selama 2011, posisi obligasi pemerintah naik sebesar 7,77% menjadi
Rp 691,03 triliun, terutama didukung oleh meningkatnya kepemilikan
SBN oleh investor asing sebesar Rp 39,69 triliun (portofolio SBN asing
mencapai 34,00% dari total outstanding SBN). Investor asing cenderung
melakukan pembelian SUN yang harganya murah, sementara perbankan
yang dominan SUN terindikasi mengurangi penanaman (portofolio SUN
perbankan turun dari 34,23% menjadi 32,78%).
Periode awal semester II-2011 sampai posisi Agustus 2011, obligasi pemerintah naik sebesar 9,79% menjadi Rp 703,98 triliun, dan
kepemilikan SBN oleh investor asing sebesar Rp 52,08 triliun (portofolio
SBN asing mencapai 35,00% dari total outstanding SBN). Dalam semester
kedua tahun 2011 kempemilikan SUN masih akan didominasi oleh asing.
Peningkatan yang terjadi pada bulan agustus akan mengindikasikan bahwa
dalam kuartal kedua masih akan terjadi peningkatan kepemilikan asing
terhadap obligasi pemerintah.
289
b.
Pasar Obligasi Korporasi
Selama semester pertama tahun 2011,pertumbuhan pembiayaan
melalui pasar saham meningkat sebesar 7,21% menjadi Rp 531,1 triliun
pada semester 1 2011 (sem II 2010 sebesar 13,12%). Secara yoy, nilai emisi
saham naik sebesar 21,37%(tahun lalu naik sebesar 18%). Sementara itu,
melambatnya penguatan indeks saham selama tahun 2011 berdampak
sedikit melambatnya peningkatankapitalisasi pasar sebesar 45,69%
(44,37% posisi Agustus) secara yoy(tahun lalu naik sebesar 60,8%).
Melambatnya pertumbuhan kapitalisasi pasar saham terutama bersumber
dari melambatnya kenaikan pada semester 1 2011 yang hanya sebesar
sebesar 7,73% (6,75% posisi Agustus). (Sem II 2010 tumbuh 35,24%).
Sementara itu, jumlah perusahaan yang melakukan emisi saham bertambah
14 perusahaanmenjadi 535 perusahaan pada semester 1 2011.
290
Pembiayaan korporasi melalui penerbitan obligasi korporasi selama
semester 1 2011 meningkat didukung oleh stabilnya suku bunga dan
inflasi. Nilai emisi obligasi di pasar modal pada semester 1 2011 naik
sekitar 12,56% menjadi Rp 242,14 miliar (sem II 2010 naik sekitar
14,81%).Perusahaan emiten obligasi bertambah 5 perusahaan menjadi
194 perusahaan. Rendahnya suku bunga domestik dan baiknya outlook
ekonomi mampu memelihara likuiditas pasar obligasi korporasi.
Selama semester 1 2011, 24 emiten korporasi telah melakukan
penerbitan obligasi korporasi yang secara keseluruhan mencapai sebesar
Rp 27,01 triliun (sepanjang tahun 2010 sebesar Rp 36,60 triliun oleh 26
emiten). Dalam rangka refinancing, dari 24 emiten yang melakukan emisi
obligasi, 8 emiten diantaranya juga menerbitkan obligasi pada tahun lalu.
Selama 2011, terdapat 15 PP yang melakukan emisi obilgasi (tahun 2010
terdapat 7 PP). Sedangkan selama sem II 2011 nanti akan ada 15 obligasi
yang mengalami jatuh tempo dengan nilai total obligasi jatuh tempo sebesar
Rp 6,34 triliun.
291
c.
Pasar Saham
Selama semester I 2011, IHSG berlanjut bullish didukung stabilnya
pertumbuhan ekonomi global, domestik, danperforma memuaskan dari
emiten bursa. Sentimen utama penguatan bursa global pada semester I 2011
masih dipicu oleh The Fed yang memperkenalkan program quantitative
easing tahap II senilai US$600 miliar dan dipertahankannya suku bunga
292
rendah oleh bank sentral beberapa negara maju seperti AS, Eropa, Inggris,
dan Jepang. Kedua sentimen ini berhasil menciptakan likuiditas dipasar
yang memicu terus tumbuhnya permintaan akan barang dan jasa yang
diperlukan untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi global paska
krisis 2008. Tumbuhnya perekonomian ini tercermin pada membaiknya
laporan perekonomian seperti naiknya kegiatan manufaktur dan GDP
di AS, China, Eropa, dan emerging markets sebagai motor pertumbuhan
ekonomi dunia. Positifnya laju perekonomian juga terlihat dari naiknya
keuntungan emiten-emiten di bursa global pada laporan kuartalan
mereka.
Laju penguatan bursa global tertahan pada akhir semester I 2011
setelah beberapa bank sentral menaikkan suku bunga acuan mereka untuk
mencegah overheating dalam perekonomian. Sentimen negatif juga datang
dari tingginya harga minyak akibat gejolak di Mesir dan Libya, gempa dan
tsunami yang memporakporandakan perekonomian Jepang, kekhawatiran
pasar akan default obligasi Yunani yang diperkirakan akan menyebar
ke negara lain dan berhentinya program quantitative easing II pada 30
Juni. Sentimen-sentimen ini menimbulkan ekspektasi akan melandainya
pertumbuhan ekonomi dunia karena mengeringnya likuditas yang berujung
pada melemahnya permintaan.
Selama semester 1 2011 indeks tumbuh 5,00% ke level 3.888,57 (lebih
lambat dibandingkan pertumbuhan sem II 2010 yang sebesar 27,11%).
Membaiknya perekonomian global dan domestik memicu turunnya
persepsi resiko sehingga menyebabkan masih besarnya inflow dana asing.
Peringkat rating credit Indonesia yang satu tingkat dibawah investement
grade juga menjadi salah satu alasan derasnya inflow ke pasar dalam negeri.
Laju penguatan indeks tertahan oleh koreksi yang terjadi pada bulan
Januari yang mendekati 10% karena isu tingginya ekspektasi inflasi akibat
tingginya harga minyak yang pada saat itu diatas US$110/barel.
293
Solidnya pertumbuhan perekonomian domestik dan performa emiten
bursaseiring dengan membaiknya kondisi ekonomi global menimbulkan
ekspektasi akan bertambahnya tingkat permintaan, berimbas rally sahamsaham sektor Aneka Industri (naik 18,11%), Perdagangan (naik 11,77%)
dan Keuangan (naik 37,57%) pada semester 1 2011.
Menguatnya indeks Keyakinan Konsumen Indonesia dari 103
(Desember 2010) menjadi 109 (Juni 2011), kenaikan annual GDP (yoy)
sebesar 6,50%, terus tumbuhnya penjualan mobil dan sepeda motor,
naiknya penjualan semen sebesar 15% pada semester I, menguatnya harga
barang komoditas dan berkembangnya kegiatan ekspor-impor Indonesia
yang secara yoy tumbuh 45,3% dan 48,5%menunjukkan berkembangnya
perekonomian Indonesia yang melatarbelakangi penguatan IHSG.
Terkendalinya inflasi dan stabilnya BI Rate menjadi sentimen utama
penguatan sektor Perbankan, Aneka Industri, dan Perdagangan yang
penjualan barang atau jasanya sensitif terhadap pergerakan suku bunga.
294
Volatilitas bursa domestik pada semester I 2011turun dari 23,83
(Desember 2010)menjadi 13,59 (Juni 2011). Membaiknya performa
IHSG yang ditopang kuatnya pertumbuhan fundamental perekonomian
dan emiten bursa Indonesia menyebabkan turunnya volatilitas bursa.
Stimulus fiskal yang terus diberikan oleh Bank Sentral berbagai negara dan
tumbuhnya perekonomian dunia cukup mampu menahan volatilitas bursa
global. Volatilitas bursa Jepang terpantau melonjak akibat terjadinya gempa
dan tsunami pada bulan Maret 2011.
295
Stabilnya BI rate, terkendalinya inflasi, pertumbuhan kredit perbankan yang mencapai 23,4%, dan laju NPL yang dibawah 5% selama 2011
mendukung baiknya perkembangan kinerja perbankan. Selama tahun
2011, harga saham perbankan domestik ditutup mixedsetelah terjadi aksi
profit taking meyusul telah tingginya kenaikan indeks sektor finansial pada
tahun 2010 (yoy) sebesar 55%. Diantara saham perbankan, saham-saham
perbankan yang harganya menguat selama semester I’2011 (yoy) adalah
BCA sebesar 28,57%, Mega sebesar 33,02%, Niaga sebesar 60,75%,
Permata sebesar 36,13%, BII sebesar 92,98%, Mandiri sebesar 20,00%,
Bukopin sebesar 2,99%, Danamon sebesar 11,11%, BNI sebesar 64,89%
dan NISP sebesar 1,30%. Sementara itu saham bank yang melemah adalah
Panin sebesar 10,78%, dan BRI sebesar 30,11%. Pelemahan bank BRI
disebabkan oleh stock split.
d.
Kepemilikan Asing di SBI, SUN dan Saham
Optimisme investor asing menguatyang tercermin dari meningkatnya
inflows asing pada asset keuangan rupiah (SBI, SUN dan saham) sebesar
Rp 64,00 triliun (pada semester II 2010 sebesar Rp 56,31triliun). Inflows
asing terutama bersumber dari kenaikan portofolio SUN asing dan net
beli saham asing masing-masing sebesar Rp39,32 triliun dan Rp18,03
triliun, sementarakenaikan portofolio asing di SBIsebesar Rp 6,64 triliun.
296
Pada kuartal II 2011, minat investor pada SBI berkurang setelah keluarnya
peraturan 6 bulan holding period yang membatasi ruang gerak trading
investor sehingga memicu aksi switching portofolio dari SBI menjadi SBN
dan saham. Adapun porsi kepemilikan asing pada SBI naik dari 27,45%
(Desember 2010)menjadi 33,12% (Juni 2011) dan porsi kepemilikan
asing pada SBN naik dari 29,93% (Desember 2010) menjadi 33,01%
(Juni 2011). Sementara itu, posisi saham asing meningkat dari 32,29%
(Desember 2010) menjadi 35,88% (Juni 2011). Inflow terus berlanjut pada
awal semester II-2011 sampai dengan bulan Agustus. Kenaikan penanaman
asing berjangka pendek berdampak tren menguatnya rupiah namun
berpotensi meningkatkan tekanan koreksi apabila terjadi pembalikan
dana.
e.
Pasar Reksadana
Jumlah reksa dana pada semester 1 2011 naik, dari 558 pada Desember
2010 menjadi 632 pada Juni 2011. Sementara, kinerja reksadana kembali
terindikasi meningkat sebagaimana tampak pada kenaikan NAB selama
semester I 2011 yaitu sebesar 5,34% (sem II’10 naik sebesar 21,61%).
Berdasarkan jenis reksadana, kenaikan NAB reksadana terutama bersumber
dari kenaikan NAB reksadana saham dan Terproteksi yang masing-masing
naik sebesar 22,59% (22,66% posisi Agustus) dan 1,87% (1,60% posisi
Agustus) menjadi Rp 55,98 triliun (Rp 56,02T posisi Agustus) dan Rp 290
miliar (Rp 42,68T posisi Agustus) dipicu tren menguatnya IHSG. Adapun
297
kinerja reksadana ETF-saham dan ETF-pendapatan tetap yang relatif baru
terindikasi naik sebesar 4,79% (11,02% posisi Agustus) dan 5,39% (9,74%
posisi Agustus), reksadana index naik signifikan yaitu sebesar 12,23%
(17,93% posisi Agustus) meski NAB tetap relatif rendah yaitu sebesar Rp
290 miliar (Rp 210 miliar posisi Agustus)
5. Kesimpulan
Sektor keuangan Indonesia berkembang dengan pesat sejalan dengan
meningkatnya aktivitas bisnis dan aliran modal asing dalam pasar keuangan.
Hal ini terbukti dari peningkatan intermediasi baik lembaga maupun pasar
keuangan kepada sektor riil yang membutuhkan pembiayaan. Selain itu,
ketahanan pelaku di pasar keuangan khususnya perbankan cukup tinggi.
Derasnya modal asing yang masuk ke Indonesia harus dikelola dengan
baik. Inovasi dan pendalaman pasar keuangan perlu dilakukan. Kondisi ini
dapat memberikan pengatuh positif kepada Indonesia untuk pengembangan
sektor keuangan. Namun demikian, semakin meningkatnya kepemilikan
asing dalam surat-surat berharga jangka pendek, perlu diwaspadai karena
adanya potensi pembalikan dana apabila ada sentimen negatif. Dana-dana
asing yang masuk tersebut harus disalurkan kepada sektor-sektor yang
produktif. Dana yang berjangka pendek harus ditahan sehingga potensi krisis
karena pembalikan dana jangka pendek tersebut dapat diminimalisir.
Selain itu rambu dan standar kehati-hatian yang membatasi pengambilan risiko yang berlebihan oleh pelaku di sektor keuangan perlu
diketatkan dan tata kelola yang baik juga perlu diwujudkan dalam kegiatan
operasional di sektor keuangan. Standar-standar yang baik tersebut perlu
dievaluasi untuk meyakinkan penerapannya dan sesuai dengan kebutuhan
dan kondisi Indonesia.
Akhirnya, Bank Indonesia sebagai salah satu otoritas makroprudensial yang akan memberikan kontribusi dalam pemeliharaan stabilitas
sistem keuangan telah mengembangkan kerangka SSK dan menyusun
mekanisme koordinasi dengan lembaga terkait dalam upaya pencegahan
298
dan penanganan krisis. Hal tersebut ditujukan utk melengkapi berbagai
standar dan pedoman yang sudah ada sehingga kepercayaan masyarakat
dan pelaku di sektor keuangan tetap terjaga dan akan meningkat. Kegiatan
intermediasi yang berjalan dengan baik akan mendorong pertumbuhan
ekonomi bangsa.
299
300
PENTINGNYA PEMELIHARAAN STABILITAS
SISTEM KEUANGAN: RISIKO SISTEMIK DAN
KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL
Wimboh Santoso, Dwityapoetra Soeyasa Besar
dan Primitiva Febriarti
Stabilitas sistem keuangan keuangan wajib dipelihara untuk mendukung berfungsinya sistem keuangan secara normal sehingga dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan. Upaya
nyata sedang dilakukan terkait dengan mencari solusi terhadap terjadinya
krisis keuangan 2008-2009 dan memperbaiki sistem pengawasan bank
secara lebih terfokus. Salah satu pelajaran berharga yang dapat diambil
adalah perlunya kerangka kebijakan yang memiliki jangkauan luas untuk
memelihara kestabilan sistem keuangan secara menyeluruh. Kebijakan
tersebut disebut sebagai kebijakan makroprudensial.Kebijakan tersebut
ditujukan untuk membatasi risiko keuangan yang bersifat sistemik. Oleh
karena itu, dalam implementasinya kebijakan makroprudensial harus
dilengkapi dengan berbagai perangkat yaitu tujuan, cakupan analisis,
kewenangan dan piranti serta tata kelolanya.Bank sentral khususnya sebagai
lembaga yang memiiliki piranti dan keahlian dituntut untuk berperan.
Bank Indonesia perlu diberikan mandat secara eksplisit di bidang stabilitas
sistem keuangan. Mandat ini perlu diformalkan dalam undang-undang
bank sentral. Tugas terkait stabilitas sistem keuangan yang tercantum dalam
UU BI saat ini masih belum cukup memberikan landasan hukum yang kuat
bagi Bank Indonesia untuk melakukan kebijakan di bidang stabilitas sistem
301
keuangan (macroprudential policy). Keterkaitan yang erat antara mandat
di bidang stabilitas sistem keuangan dengan undang-undang lainnya seperti
RUU Otoritas Jasa Keuangan yang akan segera diterbitkan dan RUU Jaring
Pengaman Sistem Keuangan yang diperlukan untuk penanganan krisis
hendaknya dapat dijembatani dengan koordinasi yang kuat dan kredibel
sehingga tujuan stabilitas sistem keuangan dapat tercapai.
1. Latar belakang
Krisis perbankan dewasa ini membuat kita sadar bahwa risiko yang
menjadi signifikan pada satu aspek sistem keuangan dapat mempunyai
dampak yang luas, mempengaruhi pasar keuangan dan lembaga keuangan
sertastabilitas makroekonomi. Namun yang menjadi pertanyaan apakah
yang menjadi faktor penuntun terjadinya peristiwa tersebut dan dapat
berdampak kepada seluruh sistem keuangan? Selain itu juga apakah
yang dapat dilakukan untuk menurunkan potensi peristiwa sistemik dan
mengurangi dampaknya apabila peristiwa itu terjadi?
Dalam paper ini, yang disiapkan untuk ISEI, kami mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Laporan ini tidak ditujukan untuk
menggunakan informasi baru. Telah ada kajian literatur dalam krisis
perbankan, nilai tukar dan pasar saham. Kontribusi kami adalah: (1)
memberikan overview mengenai krisis sistemik (2) membahas mengenai
implementasi yang dilakukan oleh lembaga internasional yang menjadi
best practice, dan akhirnya (3) bagaimana pengambil kebijakan publik
dapat memberikan respon terhadap risiko yang terjadi karena peristiwa
sistemik tersebut.
Organisasi paper ini adalah sebagai berikut: setelah latar belakang maka
pada bagian 2 akan dibahas mengenai definisi risiko sistemik dan kebijakan
makroprudensial. Definisi sistemik digambarkan sebagai suatu titik awal
gangguan yang ditransmisikan melalui jaringan yang menghubungkan
perusahaan, rumah tangga dan lembaga keuangan. Bagian 3 akan menjelaskan mengenai implementasi kebijakan makroprudensial secara global
yang menjadi best practice. Bagian 4implementasi di Bank Indonesia baik
302
terkait dengan kerangka pemeliharaan stabilitas sistem keuangan dan
kebijakan makroprudensial. Bagian final adalah kesimpulan.
2. Definisi krisis dan kebijakan makroprudensial
a.
Risiko sistemik
Dalam bagian ini akan dibahas mengenai penyebab masalah sistemik
di perbankan. Oleh karena itu dapat ditawarkan definisi risiko sistemik
dan menggunakan definisi tersebut untuk risiko sistemik yang timbul
khususnya di sektor perbankan.
Risiko sistemik berbeda dibandingkan dengan gangguan besar yang
berdampak terhadap seluruh lembaga keuangan. Banyak tekanan besar
dari sumber yang sama terhadap lembaga keuangan. Namun hal tersebut
bukanlah risiko sistemik. Sebagai contoh adanya penurunan pengeluaran
aggregat (misalnya karena meningkatknya terms of trade sehingga memberikan tekanan pada ekspor). Penurunan tersebut dapat meningkatkan
kegagalan kredit dan menurunkan pendapatan beberapa bank. Namun
apabila hal tersebut tidak mempengaruhi solvensi dari bank, penurunan
likuiditas perbankan yang menyebabkan kegagalan pasar kredit atau
berfungsinya sistem keuangan dan perekonomian maka kondisi tersebut
hanya dianggap sebagai tekanan yang memiliki sumber yang sama.
Demikian pula, mungkin terjadi masalah sistemik namun hanya
memberikan dampak yang kecil dibandingkan dengan krisis perbankan.
Oleh karena itu, apabila kita mendefinisikan risiko sistemik sebagai krisis
perbankan atau keuangan yang besar saja artinya kita kurang memperhatikan masalah sistemik yang dapat terjadi pada cakupan yang lebih kecil.
Hal tersebut menyebabkan perlu memisahkan antara krisis sistemik dan
tekanan yang besar yang dapat mempengaruhi lembaga keuangan secara
keseluruhan.
Selanjutnya apa yang membedakan risiko sistemik dan tekanan yang
sumbernya sama tersebut dan berpotensi sistemik? Kita perlu mendefinisikan tentang risiko sistemik.
303
Risiko sistemik menjadi signifikan apabila gangguan awal yang
ditransmisikan melalui jaringan yang menghubungkan antara perusahaan,
rumah tangga dan lembaga keuangan mengarah atau menjadi gagal atau
merusak jaringan tersebut.
Jaringan adalah pasar atau mekanisme lain yang digunakan oleh
perusahaan, rumah tangga dan lembaga keuangan untuk melakukan transaksi ekonomi diantara mereka.Hal ini untuk menjelaskan bahwa ada
perbedaan antara risiko sistematik dan risiko sistemik. Risiko sistematik
tidak mencerminkan adanya kegagalan atau tidak bekerjanya hubungan
antara perusahaan, rumah tangga dan lembaga keuangan. Namun apabila
terjadikegagalan atau tidak bekerjanya jaringan tersebut maka risiko
sistematik menjadi sistemik (ada unsur penularan dan keterkaitan).
Contoh klasik dari risiko sistemik keuangan yang signifikan adalah
kasus Herstatt atau risiko sistem pembayaran yang melanda pasar uang
di New York pada tahun 1974. Kegagalan sistem tersebut adalah karena
fraud dari kantor cabang Herstatt yang menyebabkan jatuhnya sistem
pasar uang antar bank New York-CHIPS. Fitur utama kegagalan ini adalah
karena ketiadaannya delivery against payment di pasar uang pada saat itu.
Fraud tersebut menyebabkan transfer dalam AS$ tidak dapat dilakukan
dan menyebabkan kekeringan (tidak berfungsinya) di pasar antar bank
(tidak ada yang mau membayar dan menjadi terekspose dengan risiko
counterparty) dan tidak ada bank yang bersedia menanggung beban karena
terkena dampak pada surat-surat berharga dan setelmen transaksi lainnya.
Kondisi ini telah mengancam sistem keuangan AS.
Definisi yang kami tawarkan relatif lebih spesifik dibandingkan dengan
definisi lain yang pernah dinyatakan dalam paper-paper lain.Asumsi umum
yang digunakan adalah bahwa setiap tekanan ekonomi yang menyebabkan
tekanan dalam sistem keuangan yang meluas atau terjadinya insolvensi
dari lembaga keuangan adalah krisis sistem keuangan. Hasil itu juga dapat
masuk dalam definisi yang ditawarkan tersebut. Sebagai contoh, apabila
terjadi tekanan yang besar- dari luar dan kejadian yang epidemik maka
konsekuensi yang akan terjadi adalah insolvensi yang meluas, dan kegagalan
pasar serta mekanisme lain yang mendukung aktivitas perekonomian.
304
Definisi ini akan bermanfaat khususnya apabila terjadi krisis sistemik
yang melibatkan sektor keuangan dengan skala yang besar dan insolvensi para
pelaku pasar. Dengan membedakan risiko-risiko yang dapat menyebabkan
kegagalan berbagai jaringan di perbankan dan jasa-jasa keuangan, kita dapat
mengidentifikasi aksi yang spesifik untuk melakukan mitigasi terhadap
risiko tertentu. Definisi tersebut akan lebih baik dibandingkan dengan
pendekatan ‘one size fits all” untuk melakukan analisa dan merespon potensi
risiko sistemik.
Pada saat ini sedang berkembang analisa jaringan keuangan khususnya
menerapkan analisa sistem adaptif yang kompleks yang sering dilakukan
dalam biologi dan ilmu alam. Oleh karena itu, pendekatan-pendekatan
baru tersebut dapat mengembangkan model-model yang dapat menjawab
permasalahan sistem keuangan yang tidak stabil.
Selain itu, dalam perkembangannya, lembaga multilateral juga telah
memberikan kontribusi terhadap definisi risiko sistemik yang bersumber
dari dua dimensi, yaitu:
ƒ Time: menunjukkan pergerakan siklikal risiko sistemik (procyclicality),
dengan contoh beberapa instrumen: countercyclical capital, loan to
value ratio, dynamic provision dll
ƒ Cross-section: mencerminkan distribusi risiko dalam sistem keuangan
pada suatu titik waktu, dengan contoh instrumen: systemic capital
surcharges, systemic liquidity surcharges dll
b.
Kebijakan makroprudensial
Definisi kebijakan makroprudential masih berkembang dan belum
mengarah pada satu kesimpulan akhir.Beberapa lembaga multi lateral
dan bank sentral telah mencoba untuk memberikan definisi kebijakan
makroprudensial. Secara umum, berbagai definisi sepakat dengan tujuan
dilakukannya kebijakan makroprudensial adalah dalam rangka pencegahan
terjadinya risiko sistemik dan upaya untuk mengurangi biaya krisis sebagai
tujuan akhir.
305
Selain itu, Working Group G30 telah memberikan definisi kebijakan
makroprudensial yang mencakup 4 (empat) komponen, yaitu:
ƒ Respon Kebijakan terhadap Sektor Keuangan secara Menyeluruh
Kebijakan makroprudensial ditujukan untuk mengidentifikasi, menganalisa dan memberikan respon kebijakan yang tepat bagi sistem
keuangan secara keseluruhan dan tidak terkonsentrasi pada suatu
institusi secara individu ataupun kebijakan ekonomi tertentu.
ƒ Meningkatkan Ketahanan Sistem Keuangan dan Membatasi Risiko
Sistemik
Kebijakan makroprudensial bertujuan meningkatkan ketahanan sistem keuangan dan mengurangi risiko sistemik yang inheren dalam
sistem keuangan yang disebabkan oleh keterkaitan (interconnectedness) antar institusi, kerentanan terhadap shock dan kecenderungan
institusi keuangan untuk bergerak secara procyclical yang berpotensi
meningkatkan volatilitas siklus keuangan.
ƒ Perangkat Kebijakan Makroprudensial
Kebijakan makroprudensial menggunakan berbagai perangkat pengawasan prudensial, baik yang sifatnya berkesinambungan maupun yang
digunakan bilamana diperlukan untuk memitigasi kecenderungan
procyclical, serta menerapkannya dalam rangka meminimalisasi risiko sistemik dan meningkatkan ketahanan sistem keuangan dalam
menyerap risiko tersebut.
ƒ Koordinasi Kebijakan Makroprudensial
Institusi yang bertanggung jawab mengimplementasikan kebijakan
makroprudensial harus melakukan tukar menukar informasi mengenai
kebijakan moneter, fiskal dan kebijakan pemerintah lainnya dengan
memperhatikan tanggung jawab utama instansi lain yang terkait.
Berbagai institusi internasional dan bank sentral juga memberikan
definsi terhadap kebijakan makroprudensial. Diantaranya adalah:
306
ƒ IMF: Kebijakan makroprudensial adalah kebijakan yang memiliki
tujuan utama untuk memelihara stabilitas sistem keuangan secara
keseluruhan melalui pembatasan peningkatan risiko sistemik. (IMF,
Macroprudential Policy: An Organizing Framework, 2011)
ƒ BIS: Kebijakan makroprudensial adalah kebijakan yang ditujukan
untuk membatasi risiko dan biaya krisis sistemik (BIS working papers,
Macoprudential policy - a literature review, February 2011)
ƒ Bank of England: Kebijakan makroprudensial adalah kebijakan
yang ditujukan untuk memelihara kestabilan intermediasi keuangan
(misalnya jasa-jasa pembayaran, intermediasi kredit dan penjaminan
atas risiko) terhadap perekonomian (Bank of England (2009), “The
Role of Macroprudential Policy”, Bank of England Discussion Paper)
Definisi kebijakan makroprudensial menunjukkan bahwa cakupan
kebijakan ini cukup luas. Oleh karena itu dalam implementasinya untuk
mencapai stabilitas sistem keuangan, kebijakan makroprudential akan
berinteraksi dengan berbagai kebijakan lainnya misalnya kebijakan moneter, kebijakan fiskal, kebijakan mikroprudensial dan kebijakan lainnya
(perlindungan konsumen, tata kelola dll) (lihat Gambar 1). Namun,
kebijakan makroprudensial harus menjadi pilihan utama apabila kebijakan
yang akan dilakukan terkait dengan upaya untuk membatasi terjadinya
risiko sistemik.
Sebagai contoh adalah interaksi kebijakan makroprudensial dengan
kebijakan mikroprudensial dan kebijakan moneter. Hal ini karena kedua
kebijakan tersebut akan memberikan pengaruh kepada biaya risiko kepada
sistem keuangan dan perekonomian. Semakin besar cadangan yang dibentuk dengan penerapan kebijakan mikroprudensial maka semakin kecil
peranan kebijakan makroprudential. Demikian halnya dengan kebijakan
moneter. Apabila kecenderungan kebijakan moneter lebih mendukung
pada ketidakseimbangan maka peranan kebijakan makroprudensial juga
semakin kecil. Oleh karena itu perlu untuk digaris bawahi bahwa kebijakan
makroprudential tidak dapat menggantikan kebijakan lain secara umum,
307
khususnya regulasi dan pengawasan mikro prudential dan kebijakan makroekonomi yang dikelola baik.
Selain itu, untuk kebijakan mikro dan makro prudensial perlu dibedakan secara konsepsi untuk menghindarkan konflik kepentingan yaitu bahwa kebijakan mikroprudensial ditujukan untuk mengatasi risiko
idiosyncratic dan perlindungan nasabah sedangkan kebijakan makroprudensial ditujukan untuk mengatasi risiko sistemik.
Gambar 1. Kerangka Kebijakan Stabilitas Keuangan dan Kebijakan
Makroprudensial
Sumber: Brockmeijer, et.al, (2011)
1. Best practices dan implementasi di negara lain
Dalam memitigasi meluasnya dampak krisis, diatasi dengan biaya
bail out dengan menggunakan dana public yang cukup besar. Seperti yang
dilakukan oleh Indonesia pada krisis 1997/1998, AS dan Inggris juga
mengeluarkan biaya bail out yang sangat besar. Pada krisis global 2008, AS
308
dengan persetujuan Konggres mengucurkan paket dana talangan hingga
mencapai USD700 milyar untuk menyelamatkan tidak saja perbankan,
tetapi juga capital market, perusahaan asuransi, mutual fund termasuk
korporasi. Hal ini menjadi tonggak sejarah bank sental modern dimana
bank sental tidak saja membantu bank tapi juga non bank. Besarnya
nominal dana talangan ini menyebabkan membesarnya defisit anggaran
AS hingga mencapai 7%. Sementara itu, pada awal September 2007,
Bank of England (BoE) juga melakukan penyelamatan terhadap Northern
Rock yang notabene bukan bank kategori besar. BoE mengeluarkan biaya
penyelamatan sebesar GBP3 milyar, untuk menghindari bank run terhadap
bank tersebut sekaligus mengurangi dampak contagion kepada bank lain.
Pengalaman krisis tersebut menunjukkan bahwa bank sentral memiliki
peran yang krusial dalam memelihara stabilitas sistem keuangan.Peranan
ini bukanlah peran yang baru, namun eksistensinya semakin diperkuat
dengan adanya pengalaman krisis keuangan global dan perkembangan isu
di sektor keuangan.Pengalaman krisis menunjukkan bahwa bank sentral
dituntut untuk melangkah lebih jauh dari konsep kebijakan moneter dan
terlibat dalam upaya memelihara SSK.
Pada prakteknya peran stabilitas sistem keuangan di bank sentral
kurang memiliki kejelasan, landasan konsep dan definisi yang jelas.Berbeda
dengan tujuan mencapai stabilitas harga, di beberapa negara peran menjaga
SSK tidak dinyatakan secara eksplisit dalam undang-undang bank sentral.
Hal ini menyebabkan pelaksanaan peran bank sentral sering didasarkan
pada interpretasi undang-undang .Dengan tidak adanya mandat secara
eksplisit, bank sentral tidak memiliki akuntabilitas yang jelas dalam
memelihara SSK.Meskipun di beberapa Negara komitmen bersama untuk
menjaga SSK dituangkan dalam memorandum of understanding (MOU)
diantara institusi yang terlibat, namun hal ini tetap tidak dapat mengikat
institusi terkait baik secara by nature maupun hukum dalam menyelesaikan
krisis (Cihak, 2010).
Berikut beberapa hal yang mendukung diberikannya peran memelihara
stabilitas sistem keuangan kepada bank sentral:
309
ƒ Respon dan Sinergi Kebijakan
Bank sentral dapat memberikan respon kebijakan yang lebih tepat
dalam hal terjadi vulnerabilities yang dipicu oleh sektor keuangan,
seperti credit boom dan bubble harga asset. Dalam hal ini, respon
kebijakan yang lebih tepat akan sulit dilakukan apabila bank hanya
fokus pada tujuan mencapai stabilitas harga. Disamping itu, adanya
peran bank sentral dalam SSK akan mendorong sinergi yang lebih
baik antara perumusan kebijakan moneter dan kebijakan pengaturan
dan pengawasan bank (mikroprudensial). Dalam merespon krisis,
sinergi kebijakan moneter dan prudential policy sangat dibutuhkan
untuk memitigasi risiko sistemik.
ƒ Mitigasi Risiko Sistemik
Risiko yang bersifat sistemik apabila tidak diantisipasi dapat membahayakan sistem keuangan dan ekonomi. Blinder (2010) menginterpretasikan definisi “mengatur risiko sistemik” dan “memelihara
SSK” sebagai 2 (dua) hal yang hampir sama. Menurut Blinder terdapat
2 (dua) konsep systemic risk, yaitu:
Pertama, sekumpulan lembaga keuangan skala besar akan berpotensi
menimbulkan risiko sistemik apabila terdapat kesalahan operasional
pada lembaga keuangan tersebut sehingga dapat secara signifikan
mengganggu sistem keuangan (too big to be allowed to fail messily/
Systemically Important Financial Institutions/SIFI).
Kedua, sekumpulan lembaga keuangan dalam jumlah banyak akan
berpotensi menimbulkan risiko sistemik apabila lembaga keuangan
tersebut berperilaku sama. Sebagai contoh di krisis sistem perbankan
di Indonesia pada tahun 1997/1998 yang dimulai dengan jatuhnya
beberapa bank kecil.
Dalam kasus lainnya, risiko sistemik dapat dialami oleh suatu lembaga
keuangan yang memiliki peranan besar dalam sistem pembayaran dan
setelmen.Sebagai contoh, meskipun NYSE Euronext bukan perusahaan
yang sangat besar, namun kegagalan yang dialami perusahaan ini dapat
menimbulkan dampak yang tidak dapat ditoleransi.
310
Berdasarkan konsep sistemik tersebut, potensi risiko sistemik perlu
dipantau agar tidak menimbulkan instabilitas keuangan.Dengan
melihat cakupan lembaga keuangan sistemik yang sangat luas, bank
sentral perlu memantau tidak hanya perbankan namun juga institusi
keuangan lainnya dan pasar keuangan yang dapat berpotensi sistemik.
Blinder berpendapat bahwa mengingat keterkaitan erat antara upaya
memelihara stabilitas sistem keuangan dengan upaya pencapaian
kestabilan moneter, peran pemantauan sebagai systemic risk regulator
perlu dimandatkan kepada bank sentral dan peran ini harus dinyatakan
secara eksplisit (Diagram 1).
Diagram 1. Spektrum Tanggung Jawab Bank Sentral
Sebagian para ahli berpendapat bahwa tanggung jawab dalam
bidang kebijakan moneter adalah sepenuhnya dalam kendali bank sentral
sementara tanggung jawab lainnya dilakukan oleh lembaga terpisah.
Namun, Blinder berpendapat bahwa pemisahan tugas-tugas diluar
kebijakan moneter justru mengabaikan konsep economies of scope. Tugas
memelihara SSK berkaitan erat dengan upaya mencapai tujuan di bidang
moneter melalui penstabilan output dan inflasi. Menurut Blinder bukan
tindakan yang logis dan bijaksana untuk memisahkan tanggung jawab di
bidang SSK (macroprudential) dengan tugas di bidang pengaturan dan
pengawasan microprudential khususnya lembaga keuangan skala besar yang
berdampak sistemik (large systemically important financial institutions).Hal
ini dilatarbelakangi bahwa kegiatan operasional dan keuangan dari SIFI
tersebut dapat mempengaruhi stabilitas sistem keuangan. Dengan kata
lain, potensi systemic risk dapat diminimalisasi apabila masing-masing SIFI
beroperasi secara baik dan sehat. Disamping itu, mengingat SIFI tersebut
berskala besar dan dimungkinkan saling terkoneksi secara politis, regulator
untuk SIFI haruslah independen dari intervensi politik.
311
Berbagai pertimbangan tersebut mengarahkan pada pemberian tanggung jawab pelaksanaan kebijakan moneter, memelihara stabilitas sistem keuangan, dan systemic regulator kepada bank sentral. Sementara itu,
economies of scope antara pengawasan dan pengaturan lembaga keuangan
skala besar dengan pengaturan dan pengawasan lembaga keuangan skala
kecil cenderung tidak ada. Dibandingkan lembaga keuangan skala besar,
lembaga keuangan skala kecil memiliki karakteristik neraca, profil risiko,
dan struktur manajemen yang berbeda satu sama lain. Lembaga keuangan
skala besar berorientasi global, sementara lembaga keuangan skala kecil
cenderung berorientasi lokal. Karena beberapa pertimbangan tersebut,
pengawasan lembaga keuangan skala kecil dapat dilakukan oleh institusi/
otoritas mana saja, meski saat ini umumnya di beberapa negara fungsi
mikroprudensial masih berada di bawah bank sentral karena meskipun
skalanya kecil tapi apabila berperilaku sama dapat memberikan risiko
sistemik juga, seperti krisis di Indonesia 1997/1998.
Mandat Stabilitas Sistem Keuangan di Beberapa Bank Sentral
Secara umum tujuan bank sentral dibedakan menjadi dua, yaitu
single objectives (price stability) dan dual objective (price stability dan
financial stability)atau multi objectives (financial stability, payment system
stability, economy growth, dll).Dalam perkembangan yang terjadi, terdapat
beberapa bank sentral yang secara eksplisit menuangkan mandat stabilitas
sistem keuangan baik sebagai tujuan maupun tugas dalam undang-undang
bank sentral. Beberapa bank sentral tersebut adalah sebagai berikut:
312
Tabel 1Mandat Stabilitas Sistem Keuangan di Beberapa Bank Sentral
Bank Sentral
Tujuan/Tugas
Bank Negara
Malaysia
“…to promotemonetary stability and financial
stability conduducive to the sustainable growth of
the Malaysian economy. “
Bank of England
“…an objective of the bank shall be to contribute
to protecting and enhancing the stability of the
financial system of the United Kingdom”
Bank of Japan
Bank of Thailand
“… to ensure smooth settlement of fund among
banks and other financial institutions, thereby
contributing to the maintenance of stability of
financial system.”
“…to maintain monetary stability, financial
institution system stability and payment system
stability.”
Monetary Authority of Singapore
“…to foster a sound and reputable financial centre”
Reserve Bank of
Australia
“…has a number of functions and powers, and
undertakes a number of activities, for what are
broadly “financial stability” purposes, including :
banking system oversight, non-bank deposit takers, insurance sector, payment system oversight,
financial stability and market analysis”
6XPEHUZHEVLWHGLPDVLQJPDVLQJEDQNVHQWUDO
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Cihak (2007), sebagian besar
bank sentral di berbagai negara melaksanakan peran di bidang stabilitas
sistem keuangan didasarkan pada interpretasi undang-undang (bukan legal
basis).
Seiring dengan perkembangan yang ada, saat ini sudah banyak bank
sentral yang mempunyai fungsi di bidang stabilitas sistem keuangan dan
313
makroprudensial.Hasil survei yang dilakukan IMF mengungkapkan bahwa
meski hanya sedikit bank sentral yang memiliki mandat di bidangstabilitas
sistem keuangan, namun perhatian bank sentral terhadap stabilitas sistem
keuangan semakin meningkat.Hal ini ditunjukkan dengan peningkatan
negara yang menerbitkan Financial Stability Report (FSR).Hingga saat
ini tercatat 60 negara (24 negara maju dan 36 negara berkembang),telah
menerbitkan FSR secara periodik. FSR tersebut merupakan bentuk
akuntabilitas bank sentral terhadap pelaksanaan fungsi stabilitas sistem
keuangan. Hasil kedua survei dapat dilihat pada halaman lampiran.
Komite Stabilitas Sistem Keuangan
Implikasi diberikannya mandat stabilitas sistem keuangan memerlukan
good governance yang mendukung akuntabilitas dari implementasi mandat
tersebut. Secara ideal, akuntabilitas pengambilan keputusan kebijakan
makroprudensial dapat dilakukan dengan pembentukan sebuah komite/
forum sebagai wadah institusional dalam rangka pengambilan respon
kebijakan. Komite ini beranggotakan pihak-pihak yang terkait dengan
kebijakan makroprudensial, seperti otoritas moneter, otoritas fiskal, dan
otoritas pengawasan lembaga keuangan/pasar keuangan. Komite ini
berwenang mengambil keputusan kebijakan dan sekaligus memiliki fungsi
koordinasi di bidang stabilitas sistem keuangan. Salah satu bank sentral
yang menerapkan mekanisme governance ini adalah BNM.
Dengan dual mandat di bidang moneter dan stabilitas sistem keuangan,
BNM memisahkan governance pengambilan keputusan di bidang kebijakan
moneter dan pengambilan keputusan kebijakan di bidang stabilitas sistem
keuangan melalui 2 komite, yaitu Monetary Policy Committe (MPC) dan
Financial Stability Executive Committee (FSEC). FSEC diketuai oleh
Gubernur dan beranggotakan 1 Deputi Gubernur, dan 3- 5 orang anggota
dari jajaran direktur atau pihak lain, yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan
atas rekomendasi Board. Yang dimaksud dengan pihak lain adalah pihak
eksternal yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang stabilitas
sistem keuangan dan mampu memberikan penilaian yang obyektif.
314
Pada prakteknya, saat ini terdapat 2 pihak eksternal yang duduk sebagai
anggota FSEC dan memiliki keahlian dan pengalaman di bidang hukum
dan accounting. Dalam hal issue atau permasalahan yang dibahas dalam
FSEC melibatkan institusi keuangan lain diluar yang diawasi oleh BNM
(selain bank dan asuransi) dan harus mengikuti peraturan yang ditetapkan
oleh BNM, maka Sekretaris Jenderal (Sekjen) dari MoF harus diinfokan
dan menghadiri pertemuan FSEC dimaksud. Disamping itu, apabila
rekomendasi kebijakan yang dibahas dalam pertemuan FSEC ditujukan
untuk orang atau lembaga keuangan dibawah pengawasan otoritas lain,
maka kepala otoritas pengawasan tersebut harus diundang di dalam rapat
FSEC. Dalam hal ini, kehadiran Sekjen dan kepala otoritas pengawasan
atau perwakilan yang ditunjuk adalah sebagai anggota dari FSEC. Validitas
keputusan yang diambil dalam pertemuan FSEC harus memenuhi kuorum,
yaitu 3 anggota, termasuk Gubernur.
4. Implementasi di Bank Indonesia
a.
Kerangka Stabilitas Sistem Keuangan
Dalam upaya menjaga stabilitas sistem keuangan, terdapat 4 (empat)
strategi yang dilakukan oleh Bank Indonesia, yaitu (i) pemantapan regulasi
dan standar, (ii) penguatan riset, surveillance, (iii) peningkatan koordinasi
dan kerjasama, dan (iv) jaring pengaman dan resolusi krisis. Setiap strategi
dilakukan melalui berbagai instrumen yang terdapat dalam setiap pilar.
315
Perkembangan dan tingkat kompleksitas sektor keuangan yang tinggi ditambah pengalaman krisis semakin menyadarkan Bank Indonesia
akan pentingnya menjaga stabilitas sistem keuangan. Berbagai upaya telah
dilakukan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Di
bidang surveillance, Bank Indonesia secara kontinyu mengembangkan
berbagai metodologi, antara lain stress test, probability of default, dashboard
macroprudential surveillance, dan FSI, untuk melakukan deteksi dini
sumber kerawanan di sektor keuangan.Meski tidak melakukan pengawasan
langsung terhadap lembaga keuangan non bank, Bank Indonesia melakukan
surveillance terhadap lembaga keuangan non bank (seperti Asuransi dan
perusahaan pembiayaan), pasar modal dan sektor riil (rumah tangga dan
korporasi).Macrosurveillance ini perlu dilakukan oleh Bank Indonesia
karena disadari bahwa potensi risiko di sistem keuangan dapat bersumber
dari sektor keuangan manapun. Dalam rangka memantau potensi risiko
sistemik, Bank Indonesia juga memonitor sistem pembayaran yang berfungsi
mengalirkan dana dalam sistem keuangan melalui mekanisme kliring dan
RTGS. Sementara itu, di bidang pengawasan dan regulasi perbankan Bank
Indonesia juga telah melakukan berbagai upaya perbaikan. Berbagai upaya
tersebut antara lain:
316
ƒ Perbaikan sejumlah regulasi perbankan yang mengedepankan aspek
prudential, kelembagaan, governance, dan manajemen risiko, misal
ketentuan Fit and Proper, Batas Maksimum Pemberian Kredit, dan
Good Corporate Governance.
ƒ Paradigma pengawasan yang lebih berbasis risiko (risk based supervision)
ƒ Peningkatan tingkat compliance dengan standar internasional (BCP
dan IAS)
ƒ Menambah jumlah pengawas bank dan meningkatkan kompetensi
pengawas melalui program sertifikasi
ƒ Penguatan struktur dan edukasi perbankan melalui implementasi
Arsitektur Perbankan Indonesia (API)
Sebagai bentuk akuntabilitas Bank Indonesia terkait dengan pelaksanaan tugas di bidang SSK, Bank Indonesia menghasilkan beberapa
publikasi antara lain Kajian Stabilitas Keuangan (KSK), Laporan Pengawasan
Perbankan (LPP), dan berbagai hasil riset.
KSK diterbitkan secara semesteran dan didiseminasikan dalam
bentuk publikasi cetak dan website. Secara garis besar, KSK mengulas (i)
hasil assessment sektor keuangan selama periode laporan, (ii) penjabaran
sumber kerawanan (vulnerabilities) yang dapat mengancam stabilitas sistem
keuangan, (iii) perkembangan sektor keuangan dan infrastruktur keuangan,
(iv) prospek sistem keuangan ke depan, dan (v) topik khusus dan hasil
riset terkait stabilitas sistem keuangan. KSK yang diterbitkan semakin
memperjelas akuntabilitas Bank Indonesia dalam rangka stabilitas sistem
keuangan, karena tidak hanya sekedar laporan, namun juga dilengkapi
dengan himbauan kepada pelaku perbankan dan pasar keuangan untuk
memitigasi risiko yang dihadapi.
b.
Implementasi Kebijakan Makroprudensial
Bank Indonesia telah melaksanakan fungsi makroprudensial sejak didirikannya Biro Stabilitas Sistem Keuangan dan penerbitan KSK pada tahun
317
2003, pelaksanaan fungsi makroprudensial/stabilitas sistem keuangan di
Bank Indonesia menjadi semakin diperjelas. Instrumen makroprudensial
yang telah diimplementasikan, antara lain PPAP, CAR dan bersama
Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter (DKM) menyusun
kebijakan PDN dan GWM – LDR.Bauran instrumen kebijakan moneter
dan instrumen kebijakan makroprudensial berperan penting dalam upaya
menjaga kestabilan perekonomian nasional mengingat perbankan masih
merupakan jalur utama bagi terlaksananya kebijakan moneter.
Pengambilan kebijakan makroprudensial oleh Bank Indonesia didukung oleh beberapa faktor, yaitu:
ƒ Seperti bank sentral pada umumnya, Bank Indonesia dilengkapi
dengan berbagai tools yang dapat dengan cepat mampu memitigasi
risiko sistemik.
ƒ Fungsi surveillance sistem keuangan (macrosurveillance) telah dilakukan
oleh Bank Indonesia yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh BSSK.
Assessment dan monitoring terhadap potensi risiko di sistem keuangan
tersebut mencakup sektor perbankan, non bank, dan sektor riil.
Terkait hal ini, Bank Indonesia juga telah mengembangkan berbagai
metodologi yang ditujukan untuk melakukan assessmentpotensi risiko
di sektor keuangan, antara lain stress test, FSI, dan probability of
default.
ƒ Bank Indonesia memiliki kewenangan di bidang pengawasan bank dan
sistem pembayaran sehingga dapat secara cepat mendeteksi potensi
terjadinya risiko sistemik.
5. Kesimpulan
Upaya nyata sedang dilakukan terkait dengan krisis keuangan 20082009. Salah satu pelajaran berharga yang dapat diambil adalah perlunya
kerangka kebijakan yang memiliki jangkauan luas untuk memelihara
kestabilan sistem keuangan secara menyeluruh. Kebijakan tersebut disebut
sebagai kebijakan makroprudensial.
318
Kebijakan tersebut ditujukan untuk membatasi risiko keuangan
yang bersifat sistemik. Oleh karena itu, dalam implementasinya kebijakan
makroprudensial harus dilengkapi dengan berbagai perangkat yaitu tujuan,
cakupan analisis, kewenangan dan piranti serta tata kelolanya (termasuk
komite kebijakan stabilitas keuangan).
Bank sentral khususnya sebagai lembaga yang memiliki piranti
(penyediaan likuiditas) dan keahlian misalnya di dalam analisa pasar
keuangan dan dampak sistemik, dituntut untuk berperan besar. Oleh
karena itu Bank Indonesia perlu diberikan mandat secara eksplisit di bidang
stabilitas sistem keuangan. Mandat ini perlu diformalkan dalam undangundang bank sentral.
Keterkaitan yang erat antara mandat dan fungsi bank sentral dan
lembaga otoritas pengawasan lain dalam pencegahan dan penanganan
krisis perlu diwujudkan dalam suatu mekanisme koordinasi yang kuat.
Di Indonesia, koordinasi tersebut akan diwujudkan dalam suatu undangundang yang disebut Jaring Pengaman Sistem Keuangan. Pengaturan yang
jelas dan kredibel tersebut diperlukan sehingga tujuan stabilitas sistem
keuangan dapat tercapai.
319
6. Referensi
Acharya, V. V. (2009). “A theory of systemic risk and design of prudential bank
regulation.” Journal of Financial Stability, Forthcoming.
Basel Committee on Banking Supervision (2010). “Basel III: A Global
Regulatory Framework for More Resilient Banks and Banking System,
December.
Besar, D., P. Booth, K. K. Chan, A. Milne and J. Pickles (2010). “Systemic
Risk in Financial Services”, British Actuarial Journal 14.
Blinder, A.S.(2010). “How Central Should the Central Bank Be?,” Journal of
Economic Literature, American Economic Association, vol. 48(1),
pages 123-133, March.
Brockmeijer, et.al, (2011). “Macroprudential Policy: An Organizing Framework”. Washington, International Monetary Fund.
Brunnermeier, M. K. (2009). “Deciphering the 2007-08 liquidity and credit
crunch.” Journal of Economic Perspectives
Caprio, G. and D. Klingebiel (2003). Episodes of systemic and borderline
financial crises.Managing the Real and Fiscal Effects of Banking
Crises. D. Klingebiel and L. Laeven: 31-49.
Cihak, M.P. Madrid, and L. Ong, (2011).”IMF Guide to Stress Testing”.
International Monetary Fund: Washington, DC.
Claessens, S., D. Klingebiel, et al. (2004). “Resolving systemic crises: policies
and institutions.” Policy Research Working Paper Series The World
Bank 3377.
Committee on the Global Financial System (2010). “Macroprudential instruments and frameworks: A Stocktaking of Issues and Experiences”.
CGFS Papers No. 38.
Goodhart, C. (2010). “The Changing Role of Central Banks”. BIS Working
Paper No. 326.
320
Kane, E. J. (2008). “Resolving systemic financial crises efficiently.” PacificBasin Finance Journal 10(2002): 217- 226.
Kashyap, A. K., R. G. Rajan, et al. (2008). Rethinking capital regulation.
Maintaining Stability in a Changing Financial System.Jackson
Hole, Wyoming, Federal Reserve Bank of Kansas City.
Laeven, L. and F. Valencia (2008). “Systemic banking crises: A new database.” IMF Working Paper 224.
Milne, A. (2009). The fall of the house of credit.Cambridge, CambridgeUniversity Press.
Reinhart, C. M. and K. S. Rogoff (2008a). “Is the 2007 US sub-prime financial crisis so different? An international historical comparison.”
American Economic Review 98(2): 339-344.
Reinhart, C. M. and K. S. Rogoff (2008b).”Banking crises: An equal opportunity menace.” NBER working paper series.
Reinhart, C. M. and K. S. Rogoff (2009).”The aftermath of financial crises.”
NBER working paper series.
Turner, Adair (2009) “The Turner Review: A Regulatory Response to the Global Banking Crisis”, the UK Financial Services Authority, March and
published as a .pdf on www.fsa.gov.uk/pages/Library/Corporate/
turner/index.shtml
321
322
MENGINTEGRASIKAN KEBIJAKAN MONETER DAN
MAKROPRUDENSIAL: MENUJU PARADIGMA BARU
KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA PASCAKRISIS
GLOBAL
Juda Agung
Abstrak:
Krisis ekonomi global telah memberikan pelajaran bahwa kebijakan moneter tidak cukup untuk mencapai stabilitas makroekonomi, mengingat instabilitas makroekonomi semakin
banyak bersumber dari sektor keuangan. Paper ini mencoba
membuka wacana bagi paradigma baru kebijakan moneter
di Indonesia pascakrisis global. Esensi dari paradigma baru
tersebut adalah pentingnya mengintegrasikan kebijakan makroprudensial ke dalam kerangka kebijakan moneter inflation
targeting yang telah diimplementasikan di Bank Indonesia
sejak lima tahun yang lalu. Paper ini juga menggarisbawahi
beberapa implikasi yang harus dilakukan oleh Bank Indonesia, baik dalam konteks formulasi kebijakan moneter maupun
implementasi kebijakan makroprudensial, termasuk mandat
institusional Bank Indonesia ketika fungsi pengawasan dipisahkan dari Bank Indonesia.
------------------------Paper ini merupakan versi pendek dari paper yang dibuat dalam rangka Sekolah Staf Pimpinan
Bank Indonesia (SESPIBI) Angkatan 29, 2010.
323
1. Pendahuluan
Bagi pembuat kebijakan seperti Bank Indonesia, krisis ekonomi
dan keuangan adalah suatu kejadian mahal yang dapat digunakan untuk
melakukan refleksi, mengambil pelajaran atas kejadian yang baru saja
dilewati, dan melakukan penyesuaian-penyesuaian atas apa yang dilakukan
selama ini. Sebagaimana halnya krisis-krisis ekonomi sebelumnya, krisis
ekonomi dan keuangan global yang saat ini sedang dalam proses pemulihan
memberikan sejumlah pelajaran berharga bagi otoritas moneter. Pelajaranpelajaran yang dapat dipetik mempunyai implikasi yang penting bagi
perbaikan-perbaikan atas kerangka kebijakan moneter yang selama ini kita
pahami dan kita gunakan.
Pelajaran yang paling berharga dari krisis ekonomi global bagi otoritas
moneter adalah bahwa upaya menjaga stabilitas perekonomian makro
tidak cukup dengan menjaga stabilitas harga. Pelajaran ini muncul karena
fakta menunjukkan bahwa ketidakstabilan makroekonomi yang terjadi
dalam beberapa dekade terakhir semakin banyak bersumber dari sektor
keuangan. Dalam krisis global yang baru kita lewati, krisis yang bermula di
sektor keuangan terjadi ketika dunia berhasil mencapai prestasi terbaiknya
dalam menjaga stabilitas harga dan pertumbuhan ekonomi. Sebuah era
yang seringkali disebut oleh para ekonom sebagai era “Great Moderation”.
Era ini ditandai oleh stabilitas harga di hampir semua negara maju dan
berkembang. Banyak yang mengklaim bahwa bahwa era great moderation
ini sebagai buah dari semakin kuatnya kerangka kebijakan moneter di
negara maju dan berkembang, ditandai dengan tren digunakannya Inflation
Targeting Framework dan didukung bank sentral yang independen.
Namun, stabilitas harga ternyata tidak menjamin stabilitas keuangan
dan makroekonomi. Faktanya, ia justru seringkali mendorong risiko
terjadinya pertumbuhan kredit yang berlebihan dan terciptanya gelembung
harga aset yang didorong oleh perilaku search for yield yang berlebihan
– sebuah kondisi yang sering disebut sebagai “paradoks kredibilitas”.
Kondisi makroekonomi yang stabil yang ditandai oleh inflasi dan suku
bunga rendah yang berlangsung lama telah menciptakan moral hazard dari
324
pelaku pasar terhadap risiko makroekonomi. Mereka merasa risiko dari sisi
makroekonomi ini sudah dijamin oleh bank sentral yang kredibel, sehingga
cenderung mengejar aset-aset yang lebih berisiko dengan imbal hasil yang
lebih tinggi.
Di Indonesia, dalam satu dasawarsa terakhir ini, tekanan terhadap
stabilitas makroekonomi juga semakin sering bersumber dari sektor
keuangan. Krisis Asia yang menghantam Indonesia juga bermula di sektor
perbankan dan sektor korporasi yang over-leverage dipicu oleh optimisme
yang berlebihan dan moral hazard yang timbul dari “jaminan” atas stabilitas
makroekonomi, termasuk nilai tukar yang relatif tetap. Krisis di akhir
tahun 2008 juga lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor di sektor
keuangan, daripada karena ketidakseimbangan internal dan eksternal di
perekonomian makro kita. Inflasi ketika itu berada dalam tren menurun,
neraca berjalan juga berada dalam kondisi surplus. Namun, arus modal
masuk yang sebelumnya cukup tinggi mengering secara tiba-tiba akibat
proses “deleveraging” pasca penutupan Lehman Brothers. Risiko antar
bank meningkat, likuiditas mengetat, pertumbuhan kredit turun secara
drastis dari 38% di akhir triwulan III-2008 menjadi 10% di akhir tahun
2009.
Boom-bust dari pertumbuhan kredit seiring dengan siklus kepercayaan
ini pada akhirnya semakin memperbesar fluktuasi perekonomian. Secara
inheren perilaku bank memang “prosiklikal”, optimisme yang berlebihan
ketika perekonomian sedang membaik, berbalik menjadi sangat risk-averse
yang berlebihan ketika terjadi pelemahan ekonomi. Kedua, perilaku ini
juga seringkali diperparah oleh regulasi yang bekerja secara prosiklikal, yaitu
mendorong pertumbuhan kredit di saat pertumbuhan ekonomi membaik
dan sebaliknya mendorong pengetatan kredit saat perekonomian melemah.
Regulasi perbankan yang lebih difokuskan pada kesehatan individu bank
ini seringkali tidak kompatibel dengan tujuan menjaga stabilitas sistem
keuangan dan makroekonomi.
Implikasinya adalah bahwa kebijakan moneter yang berorientasi pada
inflasi yang rendah, seperti Inflation Targeting Framework tidaklah cukup.
325
Dia perlu didukung oleh adanya sebuah instrumen regulasi prudensial di
sektor perbankan yang didisain untuk menjaga stabilitas makroekonomi
secara keseluruhan – sebuah instrumen yang sering disebut sebagai
kebijakan makroprudensial. Dalam konteks ini, bank sentral harus selalu
memperhatikan interaksi antara sektor finansial dan sektor riil. Mengabaikan
interaksi ini dapat menyebabkan bank sentral menjadi cenderung
memandang rendah risiko di sektor keuangan ketika makroekonomi dalam
kondisi yang stabil, dan cenderung memandang berlebihan terhadap risiko
di sektor keuangan ketika dihadapkan pada kondisi makroekonomi yang
tidak stabil. Artinya, perlu sebuah sinergi antara kebijakan moneter dan
kebijakan makroprudensial. Kebijakan makroprudensial yang berperan
menekan prosiklikalitas mendukung kebijakan moneter untuk mengurangi
fluktuasi output.
Mengintegrasikan aspek makroprudensial ke dalam kebijakan moneter, membawa implikasi pada perlunya melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap kerangka kebijakan moneter. Bagaimana memasukkan
makroprudensial kedalam framework kebijakan moneter? Apa implikasi
bagi formulasi kebijakan moneter? Apakah mandat BI untuk mencapai
kestabilan nilai Rupiah mencakup upaya menjaga stabilitas sistem keuangan? Bagaimana implikasi penting bagi proses pemisahan fungsi
pengawasan bank beralih ke OJK, ketika akses pada pengaturan makroprudensial berpotensi mengalami hambatan?
Makalah ini akan mencoba membuka pemikiran tentang perlunya
sebuah paradigma baru dalam kebijakan moneter pascakrisis global. Paper ini akan melihat implikasi pada kerangka kebijakan moneter inflation targeting framework yang sekarang diterapkan, dengan menjawab
pertanyaan-pertanyaan di atas. Bab 2 memaparkan mekanisme terjadinya
prosiklikalitas dan stylized fact prosiklikalitas dari sistem keuangan di
Indonesia sebagai landasan berfikir. Bab 3 memaparkan paradigma baru
tentang peran kebijakan moneter dan makroprudensial dalam menciptakan
stabilitas makroekonomi. Bab 4 membahas implikasi pada keranga kerja
ITF. Bab 5 memaparkan kesimpulan dan rekomendasi kebijakan.
326
2. Sistem Keuangan dan Prosiklikalitas di Indonesia
Mekanisme Prosiklikalitas Sistem Keuangan
Perilaku sistem keuangan yang sangat menentukan stabilitas makroekonomi adalah peranannya dalam menciptakan prosiklikalitas yang berlebihan. Prosiklikalitas adalah perilaku sistem keuangan yang mendorong
perekonomian tumbuh lebih cepat ketika ekspansi dan memperlemah
perekonomian ketika siklus kontraksi. Dengan perilakunya yang prosiklikal,
sistem keuangan meningkatkan ketidakstabilan makroekonomi dengan
menciptakan fluktuasi output.
Sistem keuangan memang secara inheren berperilaku prosiklikalitas
karena pasar keuangan yang selalu ditandai oleh informasi yang asimetri
menyebabkan terjadinya “financial accelerator”. Dengan karakteristik
pasar seperti itu, ketika perekonomian mengalami kontraksi dan nilai
kolateral turun, maka perusahaan berkualitas baik dengan proyek yang
menguntungkanpun akan sulit mendapatkan kredit. Sebaliknya ketika
perekonomian membaik dan nilai kolateral naik, maka perusahaan ini
kembali mendapatkan akses ke bank dan ini menambah stimulus pada
perekonomian. Walaupun financial accelerator merupakan mekanisme
utama dari terjadinya prosiklikalitas, Borio et al (2002) menekankan
pentingnya respon pelaku pasar yang tidak proporsional dalam menilai
risiko turut memperparah prosiklikalitas.
Oleh sebab itu, prosiklikalitas bukan hanya hasil interaksi antara siklus
ekonomi/bisnis (business cycle) dan siklus keuangan (financial cycle), namun
juga dipengaruhi oleh siklus perilaku terhadap risiko (risk-taking cycle),
yaitu perilaku yang ditandai oleh optimisme yang berlebihan ketika siklus
ekonomi membaik dan pesimisme yang berlebihan ketika siklus ekonomi
memburuk. Siklus bisnis ditandai oleh fase ekspansi ketika perekonomian
mengalami fase pertumbuhan dan fase kontraksi ketika perekonomian mengalami fase pelemahan. Siklus keuangan ditandai oleh perilaku
perbankan yang lebih ekspansif dengan peningkatan leverage sejalan
dengan fase ekspansi pada siklus bisnis. Sebaliknya, perilaku perbankan
327
menjadi lebih konservatif dengan deleveraging sejalan dengan fase kontraksi
pada siklus bisnis. Interaksi antara siklus bisnis dan siklus keuangan ini
ditentukan oleh perilaku dari agen ekonomi terhadap risiko (risk-taking
cycle) yang juga dipengaruhi oleh ekspektasi terhadap perekonomian ke
depan, persepsi risiko, regulasi, dan insentif. Perubahan terhadap risiko ini
yang menjelaskan mengapa perilaku investor dapat berubah secara drastis
dari sangat optimis ketika risiko rendah menjadi sangat pesimis dengan
menghindari risiko. Perubahan terhadap pengambilan risiko ini mendasari
perubahan yang terjadi secara tiba-tiba dari aktifitas di sistem keuangan
dan aktifitas perekonomian.
Interaksi dari ketiga siklus yang bergerak dengan arah yang sama dan
saling memperkuat tersebut yang membentuk prosiklikalitas sektor keuangan
(Tabel 1, Gambar 1). Interaksi ketiganya dapat digambarkan secara tipikal
dalam konteks siklus boom-bust. Pada awalnya, ketika perekonomian
bergerak dalam fase ekspansi yang ditandai oleh stabilitas makroekonomi
dan pertumbuhan meningkat, keyakinan investor meningkatkan optimisme
dalam melihat perekonomian. Hal ini mendorong perilaku yang cenderung
mengambil risiko tinggi, yang mendorong kenaikan permintaan kredit dan
harga aset.
328
Tabel 1. Interaksi antara siklus bisnis, perilaku terhadap risiko dan
siklus keuangan
Siklus Bisnis
Siklus Perilaku
Risiko
x Meningkatnya
keyakinan dan
optimisme
Fase Ekspansi
x Stabilitas makroekonomi
x Pertumbuhan
ekonomi naik
x Meningkatnya
perilaku ambil
risiko (risk taking)
x Permintaan
terhadap kredit
meningkat
Siklus keuangan
x Penilaian risiko
turun, spread
suku bunga
turun
x Harga aset naik
mendorong nilai
kolateral
x Leverage meningkat
x Arus modal
masuk asing
meningkat
x Penyaluran kredit naik
x Bank melakukan
deleveraging
x Meningkatnya volatilitas
makro
Fase Kontraksi
x Menurunnya
aktivitas perekonomian
x Loan loss provix Menurunnya
sion naik
keyakinan pelaku
pasar
x Spread suku
bunga naik
x Risk averse
x Permintaan kredit menurun
x Penyaluran kredit turun
x Arus modal masuk menurun
Sumber: Nijathaworn (2010), diedit.
329
Dalam periode yang optimis ini, risiko di sektor keuangan turun,
spread suku bunga kredit turun, dan penyisihan penghapusan aktiva
produktif berkurang karena bank lebih melihat perspektif jangka pendek
daripada perspektif jangka panjang. Kenaikan harga aset menyebabkan
meningkatnya nilai kolateral sehingga mendorong peningkatan penyaluran kredit. Hal ini semakin mendorong keyakinan pelaku pasar dan
memperbesar pengambilan risiko yang terefleksi pada meningkatnya
leverage. Meningkatnya penyaluran kredit mendorong perusahaan untuk
meningkatkan investasi dan rumah tangga untuk lebih banyak melakukan
konsumsi sehingga semakin mendorong pertumbuhan ekonomi.
Sebaliknya, ketika keyakinan terhadap perekonomian turun, perilaku
investor berubah menjadi menghindari risiko. Dampaknya adalah harga
aset turun, sehingga nilai kolateral jatuh. Bank merespon dengan “deleveraging”, menggeser portfolionya dari kredit yang berisiko tinggi kepada aset
yang berisiko rendah, seperti SBI dan SUN, untuk menjaga kecukupan
modalnya. Penyisihan cadangan juga ditingkatkan untuk mengantisipasi
memburuknya kualitas kredit. Kondisi ini menurunkan penyaluran kredit
yang pada gilirannya akan semakin memperburuk perekonomian.
330
Gambar 1. Interaksi siklus ekonomi, siklus keuangan dan siklus
risiko pada fase ekspansi (kiri) dan kontraksi (kanan)
Prosiklikalitas Sistem Keuangan di Indonesia: Stylized Fact
Prosiklikalitas sistem keuangan yang berlebihan menciptakan ketidakstabilan makroekonomi. Berulangnya episode krisis dan peran sektor
keuangan dalam memperburuk krisis yang terjadi mengharuskan Bank
Indonesia untuk secara serius memikirkan kebijakan untuk memitigasi
prosiklikalitas dari sistem keuangan di Indonesia. Di banyak negara emerging, seperti Indonesia, mengelola prosiklikalitas dari sistem keuangan
pada dasarnya adalah mengelola prosiklikalitas sektor perbankan, karena
perekonomian masih sangat tergantung pada perbankan sebagai sumber
pembiayaan investasi. Oleh sebab itu, mengendalikan prosiklikalitas sektor
perbankan mempunyai implikasi yang penting bagi terciptanya stabilitas
perekonomian makro.
331
Prosiklikalitas dapat dicermati dari perkembangan kredit perbankan
dalam periode ekspansi dan kontraksi.1 Melihat perilaku pertumbuhan
kredit, spread suku bunga, modal, dan penyisihan penghapusan aktiva
produktif selama periode-periode kontraksi dan ekspansi menunjukkan
besarnya prosiklikalitas sistem perbankan di Indonesia. Grafik 1 menunjukkan hubungan antara rata-rata pertumbuhan kredit dengan
pertumbuhan ekonomi. Dari grafik tersebut tampak bahwa kredit terlihat
tumbuh jauh lebih cepat dari PDB selama periode ekspansi dan tumbuh
jauh lebih lambat ketika terjadi perlambatan pertumbuhan. Sebagai contoh,
selama periode ekspansi, PDB tumbuh di atas 6%, pertumbuhan kredit
tumbuh rata-rata 25,8%. Namun, begitu pertumbuhan ekonomi dalam
fase kontraksi, ketika PDB tumbuh 3-4%, kredit hanya tumbuh secara
rata-rata 14,3%. Pada kondisi ekstrim ketika pertumbuhan PDB di bawah
3%, kredit secara rata-rata tumbuh -12,3%.
Grafik 1. Hubungan antara rata-rata kredit dan PDB (1990-2009)
1
Observasi menggunakan data setelah krisis 1997/1998, mengingat data sejak krisis 1997/1998
sampai dengan 2000 terdistorsi oleh kredit yang dialihkan ke BPPN.
332
Selanjutnya, dengan melihat pertumbuhan PDB dan kredit dari waktu
ke waktu (Grafik 2), tampak bahwa adanya hubungan yang erat antara
pertumbuhan PDB riil kredit riil. Kredit riil bergerak secara prosiklikal dan
tumbuh lebih cepat dari PDB ketika periode-periode ekspansi dan tumbuh
melambat lebih besar dari PDB ketika periode-periode kontraksi. Sebagai
contoh, pascakrisis 1997/1998, berlangsungnya “credit crunch” yaitu risk
averse dari perbankan untuk meyalurkan kredit semakin memperburuk
proses pemulihan ekonomi di Indonesia yang berjalan sangat lambat. Agung
et al (2001) menunjukkan sejumlah faktor yang menyebabkan terjadinya
credit crunch, seperti “capital crunch”, persepsi risiko yang masih tinggi di
sektor dunia usaha, dan masalah informasi yang asimetri.
Setelah itu, sejak awal 2002 kredit secara gradual tumbuh cukup
tinggi sebelum akhirnya mengalami penurunan yang tajam sejalan dengan
melemahnya perekonomian pasca kenaikan harga BBM di tahun 2005.
Setelah mencapai titik terendah di tahun 2006, kredit berangsur-angsur
meningkat sampai mencapai puncaknya di tahun 2008 ketika sempat
mencapai pertumbuhan tertinggi mencapai 38% pada Triwulan III-2008.
Periode ini adalah merupakan ilustrasi yang sempurna dari episode siklus
upswing dari perekonomian didorong oleh kenaikan harga komoditas
internasional dan didorong keyakinan dari pelaku ekonomi, baik sektor
perbankan maupun sektor riil. Dalam periode optimis ini, bank biasanya
memandang rendah risiko seperti tercermin dari menyempitnya spread
suku bunga.
333
Grafik 2. Prosiklikalitas kredit perbankan
Ketika perekonomian melemah setelah krisis global menghantam
perekonomian Indonesia, keyakinan bank mengalami penurunan sehingga mendorong sikap kehati-hatian dalam menyalurkan kredit. Sejak
triwulan IV-2008, bank menjadi bersikap risk averse dengan melakukan
deleveraging dengan menurunkan penyaluran kredit dari yang semula
cukup agresif dalam melakukan ekspansi kredit. Sikap kehati-hatian bank
dan kekhawatiran terjadinya peningkatan kredit bermasalah mendorong
bank untuk menempatkan dananya pada aset dengan resiko rendah seperti,
SBI, SUN dan FASBI. Hal itu terlihat dari meningkatnya porsi surat-surat
berharga terhadap aktiva produktif, sebaliknya porsi kredit mengalami
penurunan (Grafik 3). Menurunnya keyakinan bank dan sikap risk averse
juga mendorong bank meningkatkan spread suku bunga kredit (Grafik 4).
Masih tingginya yield dari aset tanpa risiko (risk-free assets), seperti SUN
juga menyebabkan dalam periode downswing ketika risiko meningkat, riskadjusted return kredit menjadi kurang menarik jika dibandingkan dengan
SUN. Hal ini menyebabkan bank cenderung menggeser portfolio kreditnya
ke aset berisiko rendah. Insentif untuk melakukan pergeseran portfolio
ke aset yang berisiko rendah ini semakin didorong oleh rendahnya ‘trade
334
off’ antara risk dan return antara pilihan portfolio kredit dan surat-surat
berharga. Apabila kita lihat profitabilitas bank pada tahun 2009, ketika
pertumbuhan penyaluran kredit mengalami penurunan, keuntungan bank
justru mengalami kenaikan.2
Grafik 3. Portfolio Aset Bank
Grafik 4. Spread Suku Bunga Kredit
2
Lihat Laporan Perekonomian Indonesia 2009, Bab 4.
335
Apabila dibandingkan dengan beberapa negara di Asia, prosiklikalitas
di di Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara lainnya.
Tabel 2 menunjukkan prosiklikalitas dari beberapa negara di Asia yang
diukur dari koefisien korelasi antara PDB dan kredit riil.3 Ada sejumlah
karakteristik sistem keuangan di Indonesia yang dapat memperparah
prosiklikalitas. Pertama, keterbatasan alternatif sumber pembiayaan nonbank. Sistem keuangan Indonesia sangat tergantung pada bank sebagai sumber pembiayaan eksternal. Belum berkembanganya pasar modal
adalah salah satu karakteristik sistem keuangan di Asia (Roldos et al,
2004). Dibandingkan dengan negara-negara kawasan, pembiayaan yang
bersumber dari luar perbankan di Indonesia relatif rendah. Dengan sistem
seperti ini, apabila suplai kredit perbankan mengalami masalah, perusahaan
sulit untuk mendapatkan alternatif pembiayaan, sehingga memperparah
prosiklikalitas.
Kedua, peran bank asing yang semakin signifikan dalam perekonomian Indonesia dapat meningkatkan prosiklikalitas terutama apabila bank asing tersebut merupakan kantor cabang. Kantor cabang bank
asing yang eksposur kreditnya ditentukan oleh kantor pusat cenderung
mengurangi portfolio kreditnya di Indonesia ketika periode downswing
(country risk meningkat), dan sebaliknya menambah portfolio kredit ketika
country risk turun sehingga menambah prosiklikalitas perekonomian.
Ketiga, ketergantungan yang berlebihan pada kolateral dalam memitigasi risiko kredit. Kenaikan nilai kolateral pada periode ekspansi
menyebabkan bank melakukan ekspansi kredit pada debitur yang beresiko
tinggi. Namun ketika perekonomian terkontraksi dan nilai kolateralnya
turun menyebabkan bank menekan penyaluran kredit.
Keempat, arus modal masuk yang umumnya prosiklikal, yaitu
mengalir masuk ketika prospek ekonomi membaik dan mengalir keluar
begitu prospek memburuk memperparah prosiklikalitas perekonomian
Indonesia.
3
Lihat Craig, et al (2005).
336
Tabel 2. Prosiklikalitas kredit riil dan PDB riil beberapa negara
Asia
Negara
Koefisien korelasi*
Indonesia
0.82
Malaysia
0.51
Phillipines
0.33
Thailand
0.32
Australia
0.26
Jepang
0.48
China
0.31
Hongkong SAR
0.30
Sumber: Craig, et al (2006). * koefisien korelasi kredit dan PDB riil.
Pertanyaan selanjutnya, kebijakan apa yang perlu dilakukan untuk
memitigasi prosiklikalitas. Paling tidak ada tiga instrumen yang dimiliki
bank sentral untuk dapat digunakan untuk memitigasi prosiklikalitas
sistem keuangan, yaitu kebijakan moneter, kebijakan makroprudensial,
dan kebijakan nilai tukar dan arus modal. Isu ini menjadi inti pembahasan
dalam bab 3.
3. Integrasi Kebijakan Moneter dan Makroprudensial
Tujuan utama kebijakan moneter adalah menjaga stabilitas harga.
Untuk mencapai tujuan tersebut, bank sentral menggunakan suku bunga
kebijakan sebagai instrumen utama. Namun, menjaga stabilitas harga
tidaklah cukup untuk menjamin tercapainya stabilitas makroekonomi,
karena sistem keuangan yang berperilaku prosiklikal menyebabkan fluktuasi
perekonomian yang berlebihan. Dalam konteks ini, pertanyaannya adalah
bagaimana kebijakan moneter dapat secara efektif menjaga stabilitas
makroekonomi.
337
Kebijakan Moneter dan Stabilitas Sistem Keuangan
Isu penting dalam konteks peran kebijakan moneter dalam menjaga
stabilitas sistem keuangan adalah bagaimana bank sentral merespon ketidakseimbangan yang terjadi di sektor keuangan (financial imbalances).
Isu yang telah lama menjadi perdebatan ini muncul kembali setelah krisis
global karena adanya argumen bahwa krisis global yang terjadi sebagaian
disebabkan oleh kebijakan moneter yang melakukan pembiaran terjadinya akumulasi imbalances dan kenaikan harga aset yang berlebihan.
IMF (2009), misalnya, mengatakan bahwa pendekatan ”benign neglect”
seperti itu telah menyebabkan moral hazard dan speculative booms yang
menyebabkan kenaikan harga aset jauh melebihi fundamentalnya.
Dalam perdebatan ini, ada dua pendapat yang berseberangan, yaitu
“clean” vs “lean” approach atau pendekatan pasif vs aktif. Pandangan pertama, pendekatan aktif mengatakan bahwa bank sentral seharusnya fokus
pada inflasi. Harga-harga aset perlu dimonitor sepanjang mengandung
informasi mengenai kondisi perekonomian, namun bank sentral tidak perlu
merespon kenaikan harga aset tersebut itu sendiri. Pandangan ini didasarkan
pada dua argumen. Pertama, tidak mudah membedakan antara kenaikan
harga aset yang disebabkan oleh spekulasi dengan yang disebabkan oleh
optimisme yang masih rasional. Kedua, kebijakan moneter terlalu tumpul
untuk menghentikan kenaikan harga aset dan intervensi kebijakan lebih
banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Pandangan ini mengatakan
lebih baik merespons dampak dari bubble secara ex post, daripada mencegah
berkembangnya asset bubble secara ex ante.
Kenaikan harga aset akibat spekulasi memang tidak mudah diidentifikasi dengan pasti. Namun, lebih baik melakukan tindakan untuk
mencegah terjadinya krisis daripada bersikap pasif dan membiarkan berkembangnya kegiatan spekulatif yang mengarah kepada skenario krisis.
Membatasi peran bank sentral untuk sekedar pasif ketika pertumbuhan
kredit melambung tinggi dan membiarkan harga aset menggelembung
menjadi bubble kemudian ‘membersihkan piring sehabis pesta berakhir’
adalah sesuatu yang naif. Hal ini akan menciptakan moral hazard dari
338
pelaku pasar. Selama pelaku pasar tahu bahwa bank sentral tidak akan
mengerem kenaikan harga aset, mereka akan terus mendorong harga aset.
Apalagi ketika mereka tahu bahwa ada jaminan dari bank sentral akan
menyediakan likuiditas yang cukup ketika krisis terjadi.
Hal tersebut mendorong munculnya argumen sebaliknya, yaitu bank
sentral seharusnya “leaning againts the wind”, melakukan respon terhadap
ketidakseimbangan di sektor keuangan. Argumen ini telah banyak dikemukakan utamanya oleh Bank for International Settlement (BIS) jauhjauh hari sebelum global terjadi4 dan oleh International Monetary Fund5
setelah krisis global, yang secara jelas mengatakan bahwa:
“There is now a stronger case for monetary policy decisions to be based
on a framework that incorporates the longer-term implications of
asset-price booms for inflation and economic growth” (IMF, 2009).
Argumennya adalah bank sentral dapat menggunakan instrumen
suku bunga lebih dari yang diperlukan oleh inflasi dan output gap apabila
menghadapi pertumbuhan kredit yang terlalu cepat dan laju kenaikan yang
kencang dari harga aset.6 Artinya, walaupun inflasi kelihatannya terkendali,
bank sentral dapat melakukan pengetatan kebijakan moneter apabila ada
tanda-tanda berkembangnya bubble, tercermin dari kenaikan yang tajam dari
pemberian kredit, meningkatnya leverage pada institusi keuangan, neraca
perusahaan, dan rumah tangga, maupun harga-harga asset, termasuk stok
dan properti. Dengan kata lain, untuk menjaga stabilitas sistem keuangan
kebijakan moneter harus berperan secara “simetris”, bukan saja merespon
ketika fase bust, namun juga pada saat fase boom dari siklus ekonomi dan
keuangan.
Bagi bank sentral, boom dan bust dari harga aset tidak hanya dapat
dilihat sebagai bubble dari harga aset itu sendiri, namun harus dilihat
4
5
6
Borio and White (2003)
IMF (2009)
Beberapa studi mencoba memasukkan harga aset ke dalam loss function dari bank
sentral bersama dengan inflasi dan output gap.
339
dalam konteks yang lebih fundamental sebagai gejala-gejala meningkatnya
leverage dan pertumbuhan akumulasi kapital yang tinggi. Dalam periode
ekspansi, optimisme terhadap imbal hasil ke depan mendorong kenaikan
harga aset, memicu para pelaku untuk meminjam lebih banyak dalam
rangka membiayai akumulasi kapital. Kenaikan harga aset tersebut mendorong kenaikan kolateral sehingga semakin mendorong akumulasi kapital. Selama fase ekspansi, neraca perusahaan dan bank terlihat sehat
sejalan karena kenaikan harga aset akan menutupi peningkatan pinjaman.
Namun ketika optimisme tersebut berubah menjadi pesimisme, nilai aset
akan terkoreksi yang menurunkan kekayaan bersih (net worth) perusahaan.
Hal ini menimbulkan kesulitan keuangan perusahaan. Apalagi apabila
bank kemudian merespons dengan memperketat kredit sejalan dengan
memburuknya neraca perusahaan dan neraca bank.
Kebijakan moneter mempunyai potensi dalam memitigasi risiko berkembangnya ketidak seimbangan di sektor keuangan. Kebijakan moneter
dapat mempengaruhi perekonomian riil dan inflasi melalui pengaruhnya
pada neraca perusahaan, neraca bank, dan perilaku perusahaan dan bank
terhadap risiko. Oleh sebab itu, kebijakan moneter mempunyai peran
yang signifikan dalam mempengaruhi ekspansi yang berlebihan di sektor
keuangan yang mengarah kondisi yang tidak sustainable. Dengan demikian,
kebijakan moneter memiliki potensi untuk mengurangi ketidakseimbangan
di sektor keuangan dan prosiklikalitas dengan mengurangi optimisme yang
berlebihan dan menekan permintaan kredit.
Pentingnya kebijakan moneter dalam mengendalikan ketidakseimbangan di sektor keuangan, tidak berarti bahwa stabilitas harga aset
menjadi target eksplisit kebijakan moneter. Kebijakan moneter sendiri tidak
mampu mengendalikan harga aset, terutama ketika spekulasi harga aset
mendorong kenaikan harga aset yang menyebabkan imbal hasil dari aset
tersebut sangat tinggi. Dalam kondisi demikian, perubahan suku bunga
kebijakan tidak akan berpengaruh pada portofolio investor, terutama untuk
investasi di pasar keuangan. Kenaikan suku bunga kebijakan yang bersifat
across the board ini akan menyebabkan overkill terhadap perekonomian
secara keseluruhan.
340
Mengikuti prinsip Tinbergen bahwa satu instrumen tidak bisa
digunakan untuk mentargetkan lebih dari tujuan, kebijakan moneter
memerlukan instrumen tambahan untuk mendukungnya dalam mengendalikan kenaikan harga aset. Instrumen regulasi makroprudensial
yang didisain untuk melakukan countercyclical dapat digunakan untuk
mengatasi prosiklikalitas dan mendukung kebijakan moneter dalam mencapai stabilitas makroekonomi (Gambar 2).
Gambar 2. Kebijakan moneter dan makroprudensial dalam meredam
prosiklikalitas
Kebijakan Makroprudensial yang Countercyclical
Konsep kebijakan makroprudensial
Kebijakan makroprudensial adalah instrumen regulasi prudensial yang
ditujukan untuk mendorong stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan,
bukan kesehatan lembaga keuangan secara individu. Walaupun kebijakan
moneter, kebijakan makroprudensial dan kebijakan mikroprudensial
memiliki area yang saling tumpang tindih, kebijakan makroprudensial
mempunyai tujuan dan peran tersendiri. Tujuan kebijakan moneter adalah
menstabilkan harga dari barang dan jasa dalam perekonomian. Sementara
341
itu, tujuan dari kebijakan makroprudensial adalah untuk menjamin daya
tahan sistem keuangan secara keseluruhan dalam rangka menjaga suplai jasa
intermediasi keuangan kepada perekonomian secara keseluruhan. Untuk
itu, kebijakan makroprudensial digunakan untuk mencegah terjadinya
siklus boom-bust suplai kredit dan likuiditas yang dapat menyebabkan
ketidakstabilan perekonomian. Dengan peran menjaga stabilitas suplai
intermediasi keuangan ini, kebijakan makroprudensial mempunyai peran
yang menunjang tujuan kebijakan moneter dalam menjaga stabilitas harga
dan output.
Ada dua dimensi penting dari kebijakan makroprudensial. Pertama,
dimensi cross-section, yang menggeser fokus dari regulasi prudensial
yang diterapkan pada individual lembaga keuangan menuju pada regulasi
sistem secara keseluruhan. Sejarah krisis keuangan menunjukkan bahwa
sebagian besar dari krisis keuangan yang terjadi di dunia bukanlah akibat
dari masalah individual bank yang kemudian menular secara keseluruh
sistem keuangan. Sebaliknya, krisis-krisis besar yang terjadi merupakan
akibat dari eksposure terhadap ketidakseimbangan makro-keuangan yang
dilakukan secara bersamaan oleh sebagian besar pelaku sistem keuangan.
Oleh sebab itu, pandangan yang lebih holistik terhadap sistem keuangan
dan hubungannya dengan perekonomian makro dari berbagai sisi sangat
diperlukan.
Dimensi kedua adalah dimensi time-series, yaitu kebijakan makroprudensial ditujukan untuk menekan risiko terjadinya prosiklikalitas
yang berlebihan dalam sistem keuangan.7 Dalam konteks ini, kebijakan
makroprudensial harus didisain sedemikian sehingga mampu
menghilangkan atau paling tidak memitigasi prosiklikalitas. Prinsipnya
adalah bagaimana mendorong institusi keuangan untuk mempersiapkan
bantalan (buffer) yang cukup di saat perekonomian sedang baik, yaitu
ketika ketidakseimbangan dalam sistem keuangan umumnya terjadi, dan
bagaimana menggunakan bantalan tersebut ketika perekonomian sedang
memburuk.
7
Borio and Shim (2007)
342
Tujuan dari kebijakan makroprudensial yang bersifat countercyclical
tersebut akan bersinergi dengan tujuan kebijakan moneter dalam mengurangi fluktuasi perekonomian. Kebijakan makroprudensial untuk
memperketat persyaratan modal dan likuiditas di saat perekonomian sedang melaju kencang (periode upswing) akan mendorong bank untuk
mengurangi pertumbuhan kredit sehingga menjaga daya tahan bank ke
depan di saat perekonomian memburuk. Dalam kondisi demikian, upaya
menjaga daya tahan sistem perbankan akan secara simultan mendukung
tujuan kebijakan moneter untuk menstabilkan suplai kredit.
Di saat krisis, ketika perekonomian dan harga aset anjlok, regulasi
prudensial yang hanya berorientasi pada kesehatan individual bank
akan mendorong bank memperketat pemberian kredit melalui kenaikan
PPAP dan persyaratan modal yang lebih ketat. Mekanisme ini yang
merupakan kritik banyak pihak terhadap Basel II. Basel II dimaksudkan
untuk memperkuat manajemen risiko bank. Namun ia memiliki dampak
prosiklikal karena kerangka Basel II secara tidak langsung mendorong
bank untuk meningkatkan modal ketika perekonomian melemah, dan
menurunkan modal ketika perekonomian sedang menguat. Pendekatan
internal-rating based (IRB) dalam Basel II, persyaratan modal berbanding
lurus dengan peluang terjadinya gagal bayar dan kerugian karena gagal bayar.
Faktor-faktor risiko tersebut akan meningkat sejalan dengan memburuknya perekonomian. Ketika perekonomian melemah, kualitas debitur
memburuk sehingga mengharuskan bank menyediakan tambahan modal.
Karena menambah modal dalam jangka pendek tidak mudah, maka bank
akan menurunkan penyaluran kredit untuk memenuhi ketentuan rasio
modal. Dampaknya adalah perekonomian semakin mengalami kontraksi,
risiko gagal bayar semakin meningkat dan modal bank semakin memburuk.
Disinilah peran kebijakan makroprudensial yang akan menjamin aliran
kredit dapat berlangsung secara kontinyu dengan mendorong bank
mempersiapkan modal dan likuiditas di saat perekonomian sedang baik
dan menurunkan persyaratan modal di saat krisis dan resesi sehingga tidak
menghambat bank dalam penyaluran kredit.
343
Operasionalisasi Kebijakan Makroprudensial
Secara operasional, sejumlah kajian telah dilakukan untuk mendisain
kebijakan makroprudensial yang bersifat “countercyclical”.8 Basel III sebagai
bagian dari upaya mengatasi prosiklikalitas dari Basel II telah menetapkan
standar regulasi makroprudensial untuk permodalan baik dalam dimensi
time series, sementara dimensi cross section sedang dalam pembahasan.
Dalam dimensi cross section, lembaga keuangan yang tergolong dalam
systemically important financial institutions (SIFIs) dikenakan kewajiban
untuk menambah capital surcharge. Sementara itu, dalam dimensi timeseries, Basel III telah mengatur countercyclical buffer dengan diskresi nasional
yaitu tambahan modal yang bersifat dinamis, yaitu meningkat ketika
perekonomian sedang naik untuk mengerem pertumbuhan neraca bank
dan turun ketika periode sedang melemah untuk memberikan insentif
kepada bank untuk tetap menyalurkan kredit (Gambar 3).
Hal yang krusial dalam regulasi ini adalah menentukan kapan
tambahan modal diberlakukan. Salah satu pendekatan adalah dengan
menggunakan sejumlah indikator yang dapat menggambarkan siklus kredit,
seperti pertumbuhan kredit atau pergerakan rasio antara kredit terhadap
PDB. Basel III menggunakan deviasi rasio kredit terhadap PDB terhadap
trendnya berdasarkan argumen bahwa deviasi rasio kredit terhadap PDB
secara empiris paling merepresentasikan pergerakan siklus finansial. Trend
ini juga berfungsi menangkap perbedaan tahap perkembangan sektor
keuangan (stage of financial development) antar negara.
8
Bank of England (2009), IMF (2009), dan Borio and Shim (2007).
344
Gambar 3. Ilustrasi countercyclical CAR
Penyisihan penghapusan aktiva produktif (loan loss provision) juga bersifat prosiklikal. Pencadangan umumnya dilakukan ketika kelancaran membayar mulai terealisir atau dengan kata lain bersifat “backward-looking”,
bukan ketika risiko mulai meningkat, namun ketika risiko mulai terjadi.
Salah satu cara untuk menekan prosiklikalitas ini adalah mendorong bank
melakukan pencadangan yang bersifat forward looking dengan model “dynamic provisioning” (Gambar 4). Model ini mendorong bank untuk membentuk cadangan pada saat kondisi perekonomian sedang baik dan menggunakannya pada saat perekonomian memburuk.
Gambar 4. Ilustrasi dynamic provisioning
345
Arus modal asing juga bersifat prosiklikal.9 Arus modal masuk ke
suatu negara terjadi ketika investor asing mempunyai ekspektasi akan
membaiknya perekonomian domestik yang biasanya dibarengi oleh interest diferensial yang positif dan ekspektasi apresiasi dari mata uang
domestik. Arus modal masuk ini apabila diintermediasikan ke sektor riil
menimbulkan ‘credit boom’ yang mendorong perekonomian tumbuh
lebih cepat. Sebaliknya, ketika terjadi ekspektasi terhadap perekonomian
domestik memburuk terjadi arus modal keluar sehingga memperburuk
perekonomian domestik.
Langkah countercylical seperti akumulasi cadangan devisa pada saat
arus masuk yang dapat dimanfaatkan sebagai self-insurance manakala
terjadi arus balik. Namun langkah ini menyebabkan peningkatan likuiditas
perekonomian sehingga memerlukan biaya sterilisasi yang tidak murah
untuk penyerapannya. Kebijakan yang memberikan disinsentif bagi arus
modal yang berjangka pendek, seperti Tobin-type tax, kewajiban hedging,
dan persyaratan minimum-tinggal atas arus modal adalah langkah-langkah
yang dapat diterapkan untuk memperpanjang jangka waktu arus modal
masuk.10
Pengalaman dalam Implementasi Makroprudensial
Penerapan makroprudensial sebenarnya bukanlah hal yang baru di Asia.
Namun, implementasi regulasi makroprudensial lebih banyak dilakukan
secara diskresi dan belum menjadi “built-in stabilizer”. Instrumen yang
paling banyak digunakan adalah penyesuaian loan-to-value (LTV) ratio
dan persyaratan modal, terutama bobot risiko dari CAR (Tabel 3). Dalam
banyak kasus, penyesuaian-penyesuaian juga dilakukan bersamaan dengan
instrumen yang ditujukan untuk pengendalian moneter, seperti giro wajib
minimum dan pembatasan pinjaman pada sektor-sektor tertentu.
Di Indonesia, instrumen yang sering digunakan adalah mengubah
bobot risiko dari suatu jenis kredit, terutama untuk merespon terjadinya
9 Kaminsky, Reinhart, and Veigh (2004) dan Ocampo (2008).
10 Ocampo (2008).
346
“credit crunch” pascakrisis. Sebagai contoh, pada tahun 2006, Bank
Indonesia mengeluarkan sejumlah regulasi relaksasi bagi perbankan untuk
mendorong penyaluran kredit setelah terjadi mini-crisis di akhir 2005. Di
antara relaksasi regulasi tersebut adalah penyesuaian penurunan bobot risiko
ATMR untuk kredit usaha kecil (KUK) menjadi 85%, kredit pemilikan
rumah (KPR) 40%, dan kredit pegawai/atau pensiunan 50%. Pada tahun
2009, paska krisis 2008, Bank Indonesia juga kembali menurunkan bobot
risiko aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR) untuk Kredit UMKM
yang dijamin lembaga penjaminan/asuransi kredit berstatus BUMN
dengan persyaratan tertentu dari 50% menjadi 20% dan KUMKM yang
dijamin bukan BUMN dari 85% menjadi sesuai rating lembaga penjamin
tersebut.
Tabel 3. Implementasi regulasi makroprudensial di sejumlah negara
Instrumen
x Penyesuaian bobot risiko dalam
aturan permodalan (meningkatkan atau menurunkan
bobot risiko)
x Penerapan countercyclical provisioning (meningkatkan provisi untuk jenis kredit tertentu,
eg. pinjaman ke debitur besar)
Negara
India, Indonesia, Malaysia, Croatia, Estonia, Irlandia, Portugal,
Norway
China, India
x Pembatasan loan to value ratio
(misalnya max 70%)
China, Hongkong, Korea, Singapore, Malaysia, Thailand, Bulgaria, Norway, Portugal, Rumania
x Pembatasan kredit ke sektorsektor tertentu (properti, kartu
kredit)
Korea, Malaysia, Philippines,
Singapore, Hongkong, Thailand,
Rumania
x Perubahan reserve requirement
China, India, Indonesia, Korea,
Malaysia, Finland, Latvia, Estonia
Sumber: Borio and Shim (2007), Hannoun (2010), Laporan Tahunan Bank Indonesia (beberapa tahun)
347
Regulasi makroprudensial lain yang diterapkan antara lain adalah
penyesuaian GWM yang dikaitkan dengan LDR. Seperti halnya perubahan
bobot risiko, penyesuaian GWM ini dilakukan untuk mendorong
penyaluran kredit. Sementara itu, untuk merespon peningkatan kredit
yang tumbuh tinggi, biasanya Bank Indonesia hanya mengeluarkan moral
suation.
Pascakrisis, kebijakan makroprudensial lebih banyak dilakukan
untuk mengelola arus modal, dengan tujuan agar arus modal masuk yang
membanjir pascakrisis global tidak menimbulkan dampak negatif pada
kestabilan sistem keuangan di Indonesia. Dalam kaitan ini, beberapa
kebijakan makroprudensial yang diterapkan antara lain seperti penetapan
periode minimal kepemilikan protofolio domestik (holding period), regulasi
pinjaman asing bank, penerapan GWM simpanan valuta asing (Tabel 4).
Tabel 4. Kebijakan makroprudensial pascakrisis global
Kebijakan
Tujuan
Minimum Holding
Period pada SBI (1 bulan pada 2010 menjadi
6-bulan pada 2011)
‡ Mengurangi arus modal jangka
pendek dalam bentuk SBI yang
berisiko mengalami pembalikan.
Memberlakukan kembali batas pinjaman asing
bank
‡ Mengurangi arus modal jangka
pendek yang diintermediasikan
bank yang dapat meningkatkan
eksposur bank terhadap risiko arus
modal/nilai tukar.
Meningkatkan GWM
valas bank.
348
‡ Memperkuat manajemen likuiditas
valas bank sehingga meningkatkan
ketahanan bank terhadap eksposur
valas
Meningkatkan GWM
Rupiah bank menjadi
8%
‡ Menyerap likuiditas domesttik dan meningkatkan manajemen likuiditas bank.
Memperpanjang jangka waktu SBI (3,6,9
bulan)
‡ Meningkatkan efektivitas pengelolaan
likuditas domestik, termasuk yang bersumber dari arus modal masuk dengan
menahannya dalam jangka yang lebih
panjang.
Kerangka Pengambilan Keputusan
Dalam implementasi kebijakan makroprudensial, salah satu isu yang
penting adalah apakah implementasinya akan menggunakan sebuah rule
atau diskresi. Seperti halnya dalam kebijakan moneter, selalu ada trade-off
antara menggunakan rule vs diskresi. Rule memberikan kepastian kepada
pelaku pasar dan kredibilitas kepada BI. Namun, rule yang terlalu kaku
menutup fleksibilitas bagi BI untuk merespon perubahan-perubahan
struktural maupun ketidakpastian yang sering terjadi dalam pasar keuangan.
Sebaliknya, diskresi memberikan ruang gerak bagi BI untuk melihat
dampak dari makroprudensial terhadap sistem keuangan dan perekonomian dan melakukan penyesuian-penyesuaian terhadap pendekatan yang
digunakan dan melakukan judgment terhadap kebijakan yang akan diambil
ke depan. Diskresi tentu saja menimbulkan ketidakpastian akan kebijakan
ke depan yang diambil oleh BI. Ketidakpastian ini akan mendorong
para pelaku pasar untuk cenderung ekstra hati-hati dengan menjaga
tingkat likuiditas atau rasio modal melebihi dari yang diperlukan. Sebagai
akibatnya, bank menjadi kurang efisien dan membebankan biaya modal
tersebut kepada nasabah, menjadikan biaya kredit dalam perekonomian
lebih mahal. Diskresi juga dapat mendorong terjadinya forbearence,
terutama ketika dihadapkan suatu keputusan yang sulit atau tidak populer
yang harus diambil. Apalagi, ketika keputusan diskresi tersebut mempunyai
implikasi hukum terhadap bank sentral.
349
Mengingat adanya kelebihan dan kelemahan, baik dari rule maupun
diskresi, model pengambilan keputusan diskresi terbatas11 (constrained
discretion) sebagaimana halnya Inflation Targeting Framework (ITF) dapat
menjadi alternatif terbaik. Dalam sistem ini, BI tetap harus mempunyai sebuah kerangka pengambilan keputusan yang jelas dengan sebuah
rule yang ditentukan di awal. Rule yang diumumkan kepada publik ini
menjadi patokan bank sentral dalam melakukan reaksi kebijakan terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi dalam perekonomian, misalnya dalam
bentuk persyaratan menambah modal atau menurunkan modal.
Namun demikian, untuk menghindari kekakuan dari sistem ini,
regulator tetap mempunyai opsi untuk secara diskresi menyimpang dari
rule tersebut, misalnya, karena adanya shock di dalam perekonomian yang
tidak dapat direspon dengan menggunakan rule yang telah ditentukan
sebelumnya. Hal ini dapat dianalogikan dengan Taylor rule dalam kerangka
ITF. Ketika tekanan inflasi diidentifikasi bersumber dari sisi suplai yang
diperkirakan tidak memberikan dampak lanjutan kepada ekspektasi
inflasi, bank sentral tidak harus merespon kenaikan inflasi di atas target
sebagaimana telah ditentukan dalam Taylor rule. Namun demikian,
pengecualian ini harus digunakan dalam situasi yang sangat jarang dan
perlu dikomunikasikan secara jelas kepada pelaku pasar untuk menghindari
masalah kredibilitas dari rule yang telah diumumkan serta agar mereka
memahami mengapa regulor melakukan pengecualian tersebut.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam isu rule vs diskresi ini
adalah sistem hukum yang berlaku. Ketika sistem hukum masih lemah,
seperti di Indonesia, dimana diskresi seringkali dipermasalahkan di depan
hukum, maka akan lebih aman bagi regulator untuk menutup atau meminimalkan ruang diskresi.
11 Lihat Bank of England (2009) dan Libertucci dan Quagliariello (2010).
350
4. Menuju Paradigma Baru Kebijakan Moneter di Indonesia
Dalam bab 3, telah didiskusikan bahwa kebijakan moneter memiliki
potensi untuk mengendalikan berkembangnya ketidakseimbangan di sektor
finansial. Namun instrumen suku bunga yang dimiliki harus didukung
efektivitasnya dengan instrumen makoprudensial, khususnya untuk meredam prosiklikalitas sistem keuangan. Dalam konteks mengintegrasikan
keduanya, isunya adalah bagaimana mengoperasionalkannya ke dalam
kerangka kerja kebijakan moneter yang selama ini dianut, dalam kasus
Indonesia adalah Inflation Targeting Framework.
5.1. Perubahan Paradigma Kebijakan Moneter
Kerangka kebijakan moneter sebelum krisis global ditandai oleh
tren penerapan inflation targeting framework (ITF) sebagai best practice
kebijakan moneter yang banyak diterapkan, baik oleh negara maju maupun
negara emerging.12 Praktek ini dilakukan sejalan dengan independensi bank
sentral dengan mandat yang berfokus pada menjaga stabiltas harga.
Di Indonesia, kerangka ITF telah diterapkan sejak tahun 2005.
Dalam prakteknya, hampir semua bank sentral, termasuk Bank Indonesia,
menerapkan apa yang disebut sebagai Flexible ITF, yaitu kebijakan moneter
bukan saja ditujukan untuk mencapai target inflasi namun juga menjaga
stabilitas output. Secara operasional, Flexible ITF menggunakan Taylortype rule sebagai benchmark rule, dimana suku bunga kebijakan merespon
inflation gap – selisih antara proyeksi inflasi dan target inflasi, dan output
gap – selisih antara proyeksi output dan output potensial. Inflasi dan output
gap adalah variabel target, yaitu variabel yang masuk di dalam fungsi loss
function bank sentral.13
Dalam kerangka ini, proyeksi inflasi dan perekonomian riil sangat
tergantung pada pandangan bank sentral terhadap transmisi kebijakan
moneter, asesmen perekonomian terkini, dan proyeksi variabel-variabel
12 Lihat Goodfriend (2007) yang menjelaskan konsensus kebijakan moneter sebelum krisis.
13 Fungsi loss function, Lt = (St - S*)2 + O(yt - y*)2 , dimana St adalah inflasi, S* target inflasi, yt
- y* adalah output gap antara output, yt, dan output potensial, y*.
351
eksogen. Dalam kerangka ITF, kebijakan moneter seringkali diasumsikan
ditransmisikan ke sektor riil dan inflasi melalui jalur suku bunga. Perubahan
suku bunga kebijakan moneter akan direspon oleh suku bunga pasar, suku
bunga deposito dan suku bunga kredit yang kemudian berpengaruh pada
permintaan agregat dan inflasi. Kondisi sektor keuangan, seperti kondisi
pasar kredit dan harga aset hanya digunakan sebagai information variable,
yaitu indikator untuk menjelaskan kondisi perekonomian (state of the
economy). Variabel-variabel tersebut berpengaruh secara tidak langsung
terhadap respon suku bunga kebijakan yaitu melalui dampaknya pada
proyeksi inflasi dan permintaan agregat.
Tabel 5. Paradigma kebijakan moneter: Lama vs Baru
Issues
Peran kebijakan moneter
Peran kebijakan
makroprudensial
dalam manajemen
makroekonomi
352
Paradigma lama
Paradigma baru
Kebijakan moneter
fokus pada
kestabilan harga
Kebijakan moneter
ditujukan pada
kestabilan harga,
tetapi juga merespon
ketidakseimbangan di
sektor keuangan secara
“simetris”
Kebijakan
makroprudensial
tidak digunakan
secara sistematis
Kebijakan
makroprudensial
digunakan secara
sistematis untuk
memitigasi
prosiklikalitas,
untuk mendukung
kebijakan moneter
menjaga stabilitas
makroekonomi.
Jalur suku bunga
sebagai transmisi
utama kebijakan
moneter
Disamping interest rate
channel, “balance sheet
based channel” dan
“risk taking channel”
sangat berperan.
Peran sektor keuangan
dalam formulasi
kebijakan moneter
Hanya information
variable
Mempunyai peran
sentral dalam
menciptakan siklus
bisnis.
Mandat bank sentral
Hanya pada stabilitas harga
Stabilitas harga dan
stabilitas sistem
keuangan
Kurang berperan
Sebagai indikator
dalam proses
transmisi moneter dan
berkembangnya risiko
di sektor keuangan
Transmisi kebijakan
moneter
Peran agregat moneter
dan kredit
Pertanyaannya kemudian adalah apakah kerangka flexible ITF cukup
mampu mengatasi potensi tekanan terhadap stabilitas makroekonomi yang
bersumber dari sektor keuangan. Inilah yang menjadi kunci pentingnya
perubahan paradigma. Dalam paradigma baru, stabilitas harga berperan
dalam stabilitas makroekonomi, namun stabilitas harga tidak cukup
untuk menjamin tercapainya stabilitas makroekonomi. Seperti yang telah
dijelaskan dalam bab 2, sektor keuangan mempunyai peran sentral dalam
menciptakan fluktuasi dalam perekonomian. Dalam paradigma ini, faktor
finansial mempunyai peranan yang sangat krusial dalam mempengaruhi
transmisi kebijakan moneter, baik melalui jalur neraca perusahaan, neraca
bank, dan perilaku bank dan perusahaan dalam pengambilan risiko (risktaking channel).
353
Kerangka Flexible ITF dalam Paradigma Baru
Implikasi penting dari paradigma baru terhadap kerangka kerja
operasional ITF adalah perlu disain ITF yang fleksibel. Salah satu kelemahan
dari ITF dalam hal kemampuannya menangani ketidakseimbangan
di sektor keuangan adalah horizon kebijakannya yang terlalu pendek.
Biasanya, di beberapa bank sentral horizon kebijakan adalah dua tahun.
Di Indonesia, penetapan target dilakukan setiap tiga tahun dengan target
tahunan, tanpa adanya rolling target. Artinya, dalam praktek, horizon
target adalah satu tahun. Masalahnya, berkembangnya potensi risiko di
sektor keuangan biasanya berlangsung dalam horison yang lebih panjang
daripada horison sasaran inflasi. Mismatch ini menyebabkan kebijakan
moneter yang konsisten untuk tujuan pencapaian inflasi bisa jadi tidak
sejalan dengan pengendalian risiko di sektor keuangan. Kenaikan suku
bunga BI rate di bulan Oktober 2008 sebagai respon kenaikan ekspektasi
inflasi terkait dengan kenaikan harga komoditas di tengah krisis keuangan
global yang berpotensi berdampak pada sistem keuangan Indonesia adalah
kasus yang menarik perlunya horizon yang lebih panjang terutama ketika
sistem keuangan dalam risiko.
Permasalahan horison yang berbeda antara tujuan stabilitas harga dan
finansial dapat diatasi dengan dua cara. Pertama, memperpanjang horison
pencapaian target inflasi untuk memberikan fleksibilitas pada kebijakan
moneter untuk melakukan respon. Inggris, Swedia, dan Norway, sebagai
contoh, memperpanjang horison sasaran inflasi dari dua tahun menjadi
tiga tahun. Dalam konteks Indonesia, sasaran inflasi jangka panjang adalah
3%, sesuai dengan sasaran inflasi negara yang menerapkan ITF lainnya
walaupun belum pernah diformalkan. Ke depan, sasaran jangka panjang
ini perlu diformalkan oleh BI dan Pemerintah. Untuk sasaran jangka yang
lebih pendek, katakanlah tiga tahun, perlu adanya ”rolling target” yang
diumumkan setiap tahun yang mengarah pada target jangka panjangnya.
Kedua, harga aset, khususnya harga rumah, dimasukkan ke dalam keranjang
indeks harga konsumen (IHK) sehingga menginternalisir kenaikan harga
aset.
354
Flexible ITF adalah salah satu strategi dalam menjembatani perbedaaan
horison waktu untuk pencapaian stabilitas harga dan sistem keuangan.
Namun, strategi ini tetap harus mempertimbangkan trade-off antara
fleksibilitas dan kredibilitas. Dalam kaitan ini, perpanjangan horison waktu
yang berlebihan dan dilakukan dengan sering akan mengurangi kredibilitas
kebijakan itu sendiri.
Penerapan Flexible ITF pada intinya dilakukan dengan menggunakan
dua pilar, yaitu Pilar Kebijakan Moneter dan Pilar Kebijakan Makroprudensial. Instrumen utama dalam pilar moneter adalah suku bunga
kebijakan BI rate, intervensi valas, dan instrumen pengeloalaan likuiditas.
Kebijakan moneter merupakan instrumen utama dalam mempengaruhi
suku bunga dan nilai tukar. Namun, seperti yang didiskusikan dalam Bab
4, instrumen suku bunga ini juga dapat digunakan untuk tujuan stabilitas
sistem keuangan melalui pengaruhnya pada neraca perusahaan dan neraca
bank. Kebijakan makroprudensial digunakan untuk mendukung kebijakan
moneter melalui perannya secara langsung mempengaruhi neraca bank
dan perusahaan dengan menggunakan instrumen makroprudensial, seperti
surcharge CAR dan dynamic provision.
Tujuan akhir kebijakan moneter adalah menjaga inflasi yang rendah
dan stabil dan juga mengurangi fluktuasi output. Sementara, tujuan akhir
kebijakan makroprudensial adalah memitigasi prosiklikalitas yang berlebihan sehingga juga akan menekan fluktuasi output yang berlebihan. Dengan
kerangka ini diharapkan stabilitas makroekonomi secara keseluruhan dapat
dicapai (Gambar 5).
355
Gambar 5. Kerangka Integrasi Kebijakan Moneter
dan Makroprudensial
Implikasi pada Mandat Institusional Bank Indonesia
Perubahan paradigma ini mempunyai implikasi yang sangat signifikan
pada mandat institusional Bank Indonesia. Paradigma bahwa kebijakan
moneter perlu didukung oleh kebijakan makroprudensial membawa konsekuensi bahwa tidak dapat dipisahkannya kedua kebijakan ini agar dapat
berjalan secara efektif. Mandat yang dimiliki BI saat ini untuk menjaga
stabilitas moneter dan pengawasan perbankan cukup memadai untuk
melaksanakan kebijakan makroprudensial, karena makroprudensial berada
dalam dua spektrum fungsi makro (kebijakan moneter) dan fungsi mikro
(pengawasan mikro perbankan). Namun, isu ini akan muncul manakala
fungsi pengawasan perbankan dipisahkan dari BI dan diserahkan kepada
lembaga baru, Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Apabila fungsi pengawasan perbankan dipisahkan dari Bank Indonesia,
implementasi kebijakan makroprudensial ini menjadi lebih rumit. Dalam
hal ini, kerangka kebijakan makroprudensial tidak bisa dihindari harus
melibatkan dua institusi, yaitu Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) yang berwenang dalam mengatur dan mengawasi mikro lembaga
keuangan. Bank Indonesia mempunyai kemampuan melakukan asesmen
356
terhadap risiko makroekonomi dan perkembangan pasar keuangan global.
Sementara itu, OJK mempunyai informasi tentang individual lembaga
keuangan.
Agar sistem berfungsi dengan baik, harus ada saling tukar menukar
informasi antara BI dan OJK. OJK harus menyediakan semua informasi
terkait dengan monitoring risiko individual, sebaliknya BI memiliki
asesmen makroprudensial yang harus disampaikan kepada OJK agar dapat
diimplementasikan pada level individu. Dalam konteks aliran informasi dan
model koordinasi, Turner Review14 memberikan beberapa opsi yang dapat
dijadikan rujukan. Pada intinya, bank sentral dengan kemampuan analisis
di bidang makroekonomi dan sistem keuangan diberikan mandat untuk
melakukan analisis makroprudensial, namun pada tataran implementasi
ada sejumlah pilihan sebagaimana dalam Tabel 6.
Opsi 2 adalah opsi yang ideal, dimana BI selain melakukan asesmen
risiko, juga mengambil tindakan atau regulasi makroprudensial. Mengapa?
Pertama, karena kebijakan yang bersifat makroprudensial perlu dukungan
fungsi lender-of-last-resort yang hanya dimiliki oleh Bank Indonesia. Atas
alasan ini, semua bank sentral di seluruh dunia mempunyai tanggung
jawab untuk stabilitas sistem keuangan. Kedua, akuntabilitas akan lebih
jelas apabila tanggungjawab diberikan pada sebuah lembaga. Opsi 3 adalah
opsi yang paling sulit dilakukan, karena bentuk komite mempunyai risiko
ketidakjelasan tanggungjawab dan akuntabilitas BI dan OJK, sehingga
cenderung akan saling lempar tanggung jawab.
Bagaimana dengan opsi 1? Opsi 1 dan opsi 2 lebih memiliki kejelasan
tanggung jawab, apakah di BI atau OJK. Dalam memilih antara kedua
model tersebut pertimbangan utamanya adalah bagaimana menyelesaikan
permasalahan benturan kepentingan yang berpotensi timbul. Dalam opsi
1 terdapat potensi benturan kepentingan antara pengawasan individu
(mikroprudensial) dan pengawasan makro (makroprudensial). Dalam
kondisi tertentu, OJK mungkin menghadapi dilema dalam mencapai
14 The Turner Review: A regulatory response to the global banking crisis, March 2009 (www.fsa.
gov.uk)
357
keduanya. Sebagai contoh, OJK akan lebih sulit untuk memperketat
persyaratan modal ketika kredit sedang lari kencang (makro), apabila
langkah tersebut menyebabkan ada beberapa individual bank yang
mengalami kesulitan (mikro).
Tabel 6. Disain institusional implementasi kebijakan makroprudensial dengan adanya OJK
Asesmen
Opsi
Implementasi
risiko
Bank Indo- BI merekomendasikan ke OJK untuk melakuOpsi 1
nesia
kan tindakan
Opsi 2
Bank Indonesia
BI mengambil tindakan atau memerintahkan
OJK untuk melakukan tindakan.
Opsi 3
Bank Indonesia
”Joint Commitee” (BI dan OJK atau FSSK)
untuk mengambil keputusan akhir terkait
dengan tindakan yang diambil
Dalam opsi 2, potensi benturan kepentingan dapat juga muncul antara kebijakan moneter dan kebijakan makroprudensial. Namun, potensi
ini dapat diselesaikan dengan memberikan instrumen regulasi prudensial
pada bank sentral, disamping instrumen suku bunga untuk mengendalikan
moneter. Dengan dua instrumen dan dua tujuan ini, sesuai dengan prinsip
Tinbergen, kedua tujuan tersebut dapat dicapai secara bersamaan.
Implikasi pada Komunikasi Kebijakan
Strategi komunikasi dalam konteks integrasi kebijakan moneter dan
makroprudensial merupakan hal yang sangat krusial, namun sekaligus
sebuah tantangan yang tidak ringan. Pertama, menyampaikan “pesan”
ke pasar tentang bahaya berkembangnya ketidakseimbangan di sektor
keuangan ketika kondisi ekonomi sedang baik adalah sesuatu yang sulit,
karena pesan itu sangat tidak populer di tengah optimisme dari pelaku
pasar. Respon kebijakan moneter terhadap ketidakseimbangan di sektor
358
keuangan melalui kenaikan suku bunga di tengah rendahnya tekanan inflasi
secara ekonomi politik susah untuk diterima karena BI dapat dianggap
tidak pro pertumbuhan dan kepentingan rakyat. Sebaliknya, komunikasi
juga menjadi sebuah tantangan ketika terjadi tekanan inflasi terjadi pada
saat prospek melemahnya pertumbuhan akibat memburuknya sektor
keuangan. Oleh sebab itu, komunikasi yang persuasif kepada masyarakat
tentang outlook yang lebih jangka panjang dan pentingnya menjaga
stabilitas jangka yang lebih panjang sangat diperlukan.
Strategi komunikasi untuk kondisi normal akan tidak bisa digunakan
dalam kondisi optimisme yang berlebihan. Komunikasi kebijakan moneter
perlu menyesuaikan dengan dinamika sistem keuangan yang sedang terjadi.
Di sini, peran kebijakan makroprudensial yang bersifat rule-based dalam
mendukung kebijakan moneter lebih mempermudah tugas BI. Dengan
dukungan tersebut, kebijakan moneter hanya berperan dalam memberikan
sinyal, daripada mengendalikan secara langsung berkembangnya risiko di
sektor keuangan.
Kedua, komunikasi kebijakan menjadi sangat menantang ketika
terjadinya peningkatan ketidakpastian ekonomi ke depan sebagai hasil
interaksi antara sektor keuangan, sektor riil dan perilaku pasar. Dalam
konteks ketidakpastian ini, Goeltom (2010) memberikan beberapa prinsip.
Pertama, pesan yang disampaikan harus dapat menjelaskan latar belakang
kebijakan yang diambil BI sehingga pasar dapat memprediksi perilaku BI
ke depan. Kedua, pesan juga harus dikemukakan bahwa pandangan BI
terhadap outlook ke depan masih sangat dipengaruhi oleh ketidakpastian
dan kebijakan BI ke depan sangat tergantung pada perkembangan kondisi
perekonomian ke depan.
5. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan
Krisis ekonomi global telah memberikan pelajaran berharga bagi
otoritas moneter bahwa menjaga inflasi yang rendah tidaklah cukup untuk
mencapai tujuan stabilitas makroekonomi. Beberapa krisis yang terjadi
dalam beberapa dekade terakhir menunjukkan bahwa ketidakstabilan
359
makroekonomi lebih banyak bersumber dari sektor sistem keuangan. Sektor
keuangan secara inheren menciptakan prosiklikalitas yang berlebihan
sehingga menyebabkan ketidakstabilan makroekonomi. Oleh sebab itu,
kunci dalam mengelola stabilitas makroekonomi bukan hanya bagaimana
mengendalikan domestic imbalances (inflasi), external imbalances (neraca
pembayaran), namun juga financial imbalances (pertumbuhan kredit, harga
aset, perilaku risk-taking).
Kenyataan ini membuka paradigma baru dalam kebijakan moneter.
Kebijakan moneter yang memiliki tujuan utama menjaga stabilitas harga
perlu bersinergi dengan kebijakan makroprudensial yang berorientasi pada
menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. Lebih spesifik,
kebijakan moneter berpotensi mendukung stabilitas sistem keuangan
melalui kemampuannya mempengaruhi kondisi keuangan dan perilaku
di pasar keuangan dalam mengambil risiko. Transmisi kebijakan moneter
melalui balance sheet, bank lending, bank capital channel, serta risk-taking
channel menjustifikasi peran kebijakan moneter untuk melakukan respon
apabila terjadi potensi instabilitas yang disebabkan oleh sektor keuangan.
Di sisi lain, kebijakan makroprudensial yang didisain untuk memitigasi
prosiklikalitas dalam perekonomian dapat mendukung kebijakan moneter
dalam mengendalikan fluktuasi output dan inflasi.
Paradigma ini memberikan sejumlah implikasi pada kerangka kebijakan moneter inflation targeting framework (ITF) yang diterapkan:
x
360
ITF tetap relevan diterapkan sebagai kerangka kebijakan moneter.
Namun, ITF perlu disesuaikan untuk mengakomodir stabilitas sistem
keuangan. Dalam hal ini, Flexible ITF dengan horizon yang lebih
panjang memberikan ruang bagi kebijakan moneter untuk merespon
berkembangnya ketidakseimbangan di sektor keuangan, terutama
apabila ketidakseimbangan tersebut dapat menyebabkan risiko sistemik yang menggangu perekonomian dan outlook inflasi. Namun,
instrumen kebijakan moneter tidak perlu digunakan untuk merespon
kenaikan asset bubble yang bukan bersumber dari kredit perbankan.
Hal ini mengingat bahwa aset bubble biasanya ditandai oleh kenaikan
imbal hasil yang berlebihan sehingga sulit dikendalikan hanya dengan
kenaikan suku bunga kebijakan secara terbatas. Kenaikan suku bunga
yang berlebihan secara across the board akan berdampak negatif pada
sektor lainnya, seperti sektor UMKM. Oleh sebab itu, kenaikan asset
bubble seharusnya diserahkan pada instrumen makroprudensial.
x
Paradigma baru ini memberikan implikasinya pada pendekatan analisis yang selama ini dilakukan dalam memformulasikan kebijakan
moneter, termasuk model dan indikator yang digunakan. Modelmodel yang digunakan untuk proyeksi dan simulasi kebijakan perlu
mengakomodir hubungan timbal-balik dan interaksi antara sektor
keuangan dan sektor riil. Tidak adanya interaksi kedua sektor ini
seringkali menyebabkan kebijakan moneter overlook terhadap apa
yang terjadi di sektor keuangan, sehingga seringkali memandang
rendah risiko di sektor keuangan pada saat ekspansi dan memandang
berlebihan terhadap risiko pada saat kontraksi.
x
Karena balance sheet bank sangat berperan dalam proses transmisi
kebijakan moneter, indikator kuantitas seperti kredit dan uang beredar
mempunyai peran dalam formulasi kebijakan moneter, namun tidak
berarti bahwa indikator-indikator tersebut menjadi ‘intermediate
target’ karena inovasi keuangan dan integrasi keuangan secara global
menyebabkan hubungan antara kuantitas uang dan perekonomian
terus berubah. Kuantitas uang dan kredit ini lebih banyak berperan
sebagai informasi dalam proses transmisi moneter dan risiko di sektor
keuangan. Dalam sistem keuangan yang didominasi oleh perbankan,
informasi mengenai kondisi perbankan seperti permintaan dan penawaran kredit, standar pemeberian kredit, delinquency ratio, dan
NPL, maupun tingkat leverage debitur, sangat bermanfaat dalam
pengambilan keputusan.
x
Paradigma bahwa kebijakan moneter perlu didukung oleh kebijakan makroprudensial membawa konsekuensi bahwa tidak dapat dipisahkannya kedua kebijakan ini dalam institusi yang berbeda agar
dapat berjalan secara efektif. Dalam konteks ini, apabila fungsi
361
pengawasan perbankan dipisahkan dari Bank Indonesia, kerangka kebijakan makroprudensial tidak bisa dihindari harus melibatkan dua
institusi, yaitu BI dan OJK. Jalan terbaik adalah BI diberikan mandat
makroprudensial sedangkan OJK diberikan mandat mikroprudensial.
Dalam konteks ini, BI berperan dalam melakukan asesmen risiko
sistem keuangan secara keseluruhan dan dapat melakukan regulasi
dan tindakan yang dapat menyebabkan risiko sistemik.
x
362
Terakhir, komunikasi kebijakan dalam paradigma terintegrasinya
kebijakan moneter dan stabilitas sistem keuangan menjadi lebih
krusial. Respon kebijakan moneter terhadap berkembangnya ketidakseimbangan di sektor keuangan melalui kenaikan suku bunga
sulit untuk diterima secara politik. Oleh sebab itu, komunikasi yang
persuasif kepada masyarakat tentang outlook yang lebih berjangka
panjang dan pentingnya menjaga stabilitas makro dan finansial dalam
jangka panjang sangat diperlukan. Komunikasi ini semakin penting
karena interaksi antara sektor keuangan dan sektor riil yang semakin
kompleks dalam perekonomian yang semakin terintegrasi secara
global semakin mengharuskan komunikasi yang intensif dengan
pelaku pasar.
Daftar Pustaka
Agung, J, Kusmiarso,B, Pramono,B, Prasmuko, A, dan Prastowo (2001).
Credit crunch di Indonesia setelah krisis : fakta, penyebab, dan implikasi
kebijakan. Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank
Indonesia.
Bank of England (2009). The role of macroprudential policy: A Discussion
Paper - November 2009.
Bank Indonesia (2010). Laporan Perekonomian Indonesia 2009. Bank Indonesia
Borio, C (2007b): “Monetary and prudential policies at a crossroads? New
challenges in the new century”, Moneda y Crédito, 224, pp 63-101.
Also available as BIS Working Papers, no 216, September 2006.
Borio, C, C Furfine and P Lowe (2001): “Procyclicality of the financial
system and financial stability: issues and policy options” in “Marrying
the macro- and micro-prudential dimensions of financial stability”,
BIS Papers, no 1, March, pp 1-57.
Borio, C and P Lowe (2002): “Asset prices, financial and monetary stability: Exploring the nexus,” BIS Working Papers, no 114, July.
Borio, C and I. Shim. (2007). What Can (Macro-) Prudential Policy do
to Support Monetary Policy? (December 2007). BIS Working Paper
No. 242.
Borio, C and W White (2004): “Whither monetary and financial stability?
The implications of evolving policy regimes”, in Monetary policy and
uncertainty: adapting to a changing economy, proceedings of symposium sponsored by the Federal Reserve Bank of Kansas City, Jackson Hole, 28-30 August, pp 131-211. Also available as BIS Working
Papers, no 147, February 2004.
363
Craig, R.S., Davis, E.P., Pascual A.G. (2006). Sources of Procyclicality in
East Asian Financial System. In Procyclicality of Financial Systems
in Asia. Edited by Stefan Gerlach and Paul Gruenwald. Palgrave
Macmillan.
Goodfriend, M. (2007). How the World Achieved Consensus on Monetary
Policy, NBER Working Papers 13580, National Bureau of Economic
Research, Cambridge-Massachusett.
International Monetary Fund (2009). Lessons of the Global Crisis for Macroeconomic Policy. Febrary 2009.
Kaminsky, G., Reinhart, C. and Vegh, C.A. (2004), When it Rains, it
Pours: Procyclical Capital Flows and Macroeconomic Policies (September 2004). NBER Working Paper No. W10780.
Libertucci dan Quagliariello (2010). Rules vs Discretion in Macroprudential Policy. VOX: http://www.voxeu.org/index.php?q=taxonomy/
term/2176
Ocampo, J.A. (2008). Macroeconomic Vulnerability: Managing Pro-Cyclical Capital Flows. http://www.bot.or.th/English/EconomicConditions/Semina/Documents/09_Presentation_Ocampo.pdf
The Turner Review: A Regulatory Response to the Global Banking Crisis,
March 2009 (www.fsa.gov.uk).
364
PERKEMBANGAN DAN DINAMIKA KEBIJAKAN
FISKAL DI INDONESIA
Bambang Brodjonegoro1
Andie Megantara2
I. Pendahuluan
Memajukan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia
sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945 adalah tugas utama Pemerintah dalam penyelenggaraan
negara. Untuk mewujudkan hal tersebut, salah satu upaya yang ditempuh
Pemerintah khususnya Kementerian Keuangan adalah melalui perumusan
dan formulasi kebijakan fiskal yang prudent, sustainable, kredibel, dan
transparan yang pada gilirannya bermuara pada peningkatan kesejahteraan
dan taraf hidup masyarakat.
Secara historis, kebijakan fiskal sudah diterapkan di Indonesia sejak masa kemerdekaan sekitar tahun 1945. Tentu, model dan formula
kebijakan fiskal yang ada pada masa itu sangat berbeda dengan kondisi
sekarang. Pasalnya, perumusan dan formulasi kebijakan fiskal pada suatu
masa sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi saat itu baik dalam dimensi
global maupun domestik dan diwarnai dengan karakteristik pemerintahan
yang berkuasa di saat itu.
Hal yang penting dicatat, setiap perjalanan kebijakan fiskal di Indonesia
akan menggambarkan dinamika dan perkembangan ekonomi yang ada
1
2
Kepala Badan Kebijakan Fiskal
Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, BKF
365
pada masa itu sekaligus menjadi catatan diri seberapa besar kemajuan kita
jika dibandingkan bangsa-bangsa lain di dunia. Tentu, setiap pengalaman
harus dijadikan pembelajaran berharga untuk melangkah semakin baik dan
baik lagi.
Dalam tulisan ini, disajikan perjalanan kebijakan fiskal di Indonesia
dari masa kemerdekaan hingga saat ini dengan titik momentum pada
empat tahapan, yaitu:
a.
b.
c.
d.
Kebijakan fiskal di masa orde lama (1945-1966)
Kebijakan fiskal di masa orde baru (1966-1999)
Kebijakan fiskal di masa krisis (1998-2008)
Kebijakan fiskal terkini dan tantangan ke depan
II. Kebijakan Fiskal di Masa Orde Lama
Masa orde lama diawali saat pengakuan terhadap pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) pasca perang kemerdekaan antara tahun
1945 sampai dengan tahun 1949. Secara umum target pembangunan saat
itu dititik beratkan pada pembangunan nasional (National Building) dan
peran pemerintah dalam perekonomian sangatlah dominan. Pengeluaran
pemerintah terkonsentrasi guna tujuan politik dan keamanan serta ketertiban, sehingga usaha untuk perbaikan di bidang ekonomi terabaikan.
Pada masa itu anggaran pemerintah mengalami defisit. Untuk menutup
defisit anggaran tersebut dilakukan pencetakan uang, yang kemudian
mengakibatkan inflasi sangat tinggi, sehingga berdampak pada pertumbuhan
ekonomi yang rendah serta kebutuhan pokok masyarakat sulit didapat.
Kondisi ini diperparah dengan beredarnya berbagai jenis mata uang
antara lain uang De Javasche Bank, uang pemerintah Belanda, uang NICA,
ORI dan beberapa jenis uang lokal seperti URIPS-Sumatra, URITATapanuli, URPSU-Sumatra Utara/Aceh, URIBA-Aceh, URIDAP-Banten
serta Uang Mandat-Pelembang. Secara teori dengan banyaknya jumlah
uang yang beredar maka akan mempengaruhi kenaikan tingkat harga atau
terjadinya inflasi.
366
Permasalahan lainnya adalah adanya blokade ekonomi yang dilakukan
Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan
luar negeri Republik Indonesia yang baru merdeka, maka sangatlah
mempengaruhi penerimaan atau kas negara. Di sisi lain eksploitasi besarbesaran di masa penjajahan yang dilakukan Belanda dan Jepang juga
mempengaruhi rendahnya sumber-sumber penerimaan negara.
Memasuki tahun 1950, perkembangan kebijakan fiskal dan moneter
saat itu antara lain pemerintah melakukan beberapa upaya pengendalian
harga karena inflasi masih cukup tinggi. Disamping itu pemerintah
melakukan perbaikan posisi neraca pembayaran serta penggalian sumbersumber pendapatan pemerintah guna menutup defisit anggarannya. Adapun
langkah-langkah pemerintah yang diambil antara lain penyatuan mata
uang. Langkah ini dilakukan De Javasche Bank (Bank Indonesia sekarang)
dengan menerbitkan uang baru. Sedangkan ORI ditukar dengan uang
baru berdasarkan daya belinya. Kebijakan yang cukup populer pada masa
itu adalah kebijakan Gunting Syafrudin, yaitu pengguntingan uang kertas
menjadi 2 bagian. Bagian sebelah kiri dapat digunakan untuk bertransaksi,
sedangkan sebelah kanan ditukar dengan obligasi pemerintah.
Pada tahun 1957 saat dimulainya Ekonomi Terpimpin, perkembangan
kebijakan fiskal ditandai dengan pengeluaran pemerintah yang tidak
terkendali. Pengeluaran pemerintah ini banyak digunakan untuk operasi
militer dan politik dalam rangka menciptakan keamanan dan ketertiban.
Upaya-upaya yang sangat penting saat itu antara lain mendorong perkembangan ekonomi pribumi dan perbaikan perusahaan hasil nasionalisasi.
Pada tahun 1959 inflasi masih tinggi sehingga pemerintah melakukan
penurunan nilai uang (Sanering). Pecahan Rp 5000 dan Rp1.000 masingmasing menjadi Rp50 dan Rp100. Giro dan deposito di atas Rp25.000
dibekukan dan diganti dengan pinjaman jangka panjang. Sedangkan kurs
mata uang saat itu adalah US $ 1= Rp 45.
Memasuki tahun 1960 proyek-proyek politis dan “mercu suar” pemerintah meningkat antara lain guna pembiayaan atas konfrontasi dengan
367
Malaysia, penyelenggaraan Asian Games, penyelenggaraan Pekan Olah Raga
(GANEFO) serta pembebasan Irian Barat dari Belanda. Proyek-proyek ini
mengakibatkan pengeluaran pemerintah sangat besar. Akhirnya pada tahun
1965, Bank Indonesia sebagai “Bank Berdjoang” bersedia menutupi defisit
anggaran pemerintah dengan mencetak uang baru. Akibatnya inflasi sangat
tinggi yaitu mencapai 635%. Pada bulan Desember 1965 terjadi penggantian
uang, Rp1.000 uang lama diganti Rp1 uang baru. Dan akhirnya pada
tahun 1966 terjadi krisis politik, yaitu pergantian pemerintahan Kabinet
Ampera atau Orde Lama ke Orde Baru dan kebijakan fiskal pun berganti
dengan berbagai masalah yang dihadapi antara lain beratnya pembayaran
utang, defisit neraca pembayaran dan anggaran pemerintah, hiperinflasi
yang mencapai 635% serta buruknya sarana dan prasarana ekonomi.
Upaya-upaya yang perlu dilakukan orde berikutnya yang sekaligus menjadi
tantangan adalah rehabilitasi prasarana ekonomi, penyediaan bahan pangan
terutama beras, peningkatan ekspor, penciptaan lapangan kerja, perbaikan
iklim investasi terutama investasi asing dan pengendalian inflasi serta
perencanaan pembangunan yang berkelanjutan.
III. Kebijakan Fiskal di Masa Orde Baru
A. Formulasi Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal paling penting dalam masa orde baru di bawah
kepemimpinan presiden Soeharto adalah pelaksanaan anggaran secara
berimbang. Awal masa pemerintah orde baru dibawah kepemimpinan
presiden Soeharto diawali dengan berbagai permasalahan dibidang
ekonomi. Tingkat inflasi yang sangat tinggi (hyper inflation), defisit neraca
perdagangan, tingginya beban utang luar negeri, defisit anggaran dan
buruknya kondisi perekonomian; menjadi problem besar yang harus segera
diatasi.
Beberapa kebijakan pengelolaan ekonomi yang ditempuh awal
pemerintahan orde baru adalah : (1) Membangun kembali infrastruktur
ekonomi yang rusak (jalan, pelabuhan, listrik, irigasi); (2) Pengendalian
368
inflasi melalui kebijakan “balances budget” atau APBN seimbang dengan
cara menutup defisit anggaran melalui pinjaman luar negeri; (3) Membuka
kembali keran ekonomi terhadap Penanaman Modal Asing (PMA) dan
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN); (4) Pencukupan kebutuhan
pangan, dengan menggabungkan kebijakan produksi dengan harga dan
operasi cadangan (buffer stock operation); (5) Pencukupan kebutuhan
sandang.
Pada APBN 1967 terjadi defisit sebesar Rp 2,66 miliar rupiah atau
3 persen dari total pengeluaran Negara yang besarnya Rp 87,55 miliar.
Dalam upaya menjaga stabilitas ekonomi terutama dalam menurunkan
laju inflasi, pemerintah orde baru mulai menerapkan Anggaran berimbang
(balanced budget). Kebijaksanaan anggaran berimbang yang dinamis
terutama ditujukan untuk menyesuaikan pengeluaran dengan penerimaan,
sehingga Tabungan Pemerintah dapat terhimpun dalam rangka tercapainya
usaha untuk dapat membiayai pembangunan dengan kemampuan sendiri.
Usaha untuk itu antara lain dilakukan melalui peningkatan penerimaan
dalam negeri, terutama penerimaan bukan minyak.
Strategi penerapan anggaran berimbang berhasil mengendalikan
inflasi. Defisit APBN ditutup dengan hutang luar negeri, tanpa disertai
pencetakan uang baru seperti yang terjadi pada masa pemerintahan orde
lama. Laju inflasi pada tahun 1966 yang mencapai 637 persen setahun atau
53 persen rata-rata per bulan, turun drastis menjadi 112 persen pada tahun
1967. Penurunan laju inflasi terus berlanjut, pada tahun 1968 sebesar 79
persen, dan tahun 1969 turun lagi menjadi hanya 11 persen.
Dalam memenuhi kecukupan pangan masyarakat, pemerintah orde
baru terus berusaha menekan harga beras. Upaya dilakukan dengan peningkatan produksi melalui pengadaan penyediaan pupuk dan insektisida, penemuan bibit unggul PB-5 dan PB-8 serta penyuluhan pertanian.
Untuk mencukupi kebutuhan pasokan beras, juga dilakukan kebijakan
import untuk menutupi kebutuhan beras jangka pendek. Di samping itu
Pemerintah telah pula menempuh kebijaksanaan harga pembelian beras.
Kebijakan ini dilakukan dapat meningkatkan daya beli para petani sehingga
369
dapat meningkatkan gairah para petani untuk meningkatkan produksi
padi.
Dengan bermodalkan hasil-hasil stabilisasi dan rehabilitasi yang
telah dicapai selama dua tahun masa pemerintahan orde baru, untuk
menciptakan suatu landasan yang kokoh serta iklim yang sehat dalam
melancarkan usaha-usaha pembangunan, tahun anggaran 1969-1970 ditetapkan sebagai tahun pertama pelaksanaan Rencana Pembangunan
Lima Tahun (REPELITA). REPELITA bertujuan sebagai rencana tahapan
dalam pendapatan nasional dan pendapatan per kapita serta memperluas
kesempatan kerja bagi rakyat Indonesia. APBN merupakan alat untuk
melaksanakan program-program pembangunan secara berkelanjutan, yang
telah dijabarkan dalam REPELITA.
Dari sisi perpajakan, Pemerintahan orde baru melakukan reformasi
sistem pajak pada tahun 1967. DPR mengesahkan perubahan UndangUndang yang terkait dengan metode pengenaan pajak. Dengan sistem
pembayaran pajak yang baru, pembayar pajak memiliki dua cara dalam
membayar pajak. Metode pertama adalah menghitung sendiri kewajiban
pajak individu yang harus dibayar. Dengan menggunakan metode ini, wajib
pajak diberikan keleluasaan untuk menghitung sendiri jumlah pajak yang
harus mereka bayar dan menyerahkan pajak ke kantor pajak. Metode kedua
adalah penghitungan pajak dilakukan oleh petugas pajak. Dengan sistem
ini beban petugas pajak dalam menghitung pajak menjadi berkurang, dan
masyarakat diberikan kesadaran dalam memenuhi kewajiban membayar
pajak.
Reformasi perpajakan pada masa pemerintah orde baru terjadi lagi
pada tahun 1983 dengan diundangkannya 3 (tiga) ketentuan perpajakan
yaitu: UU Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (UU KUP), Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan, dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1983 tentang
PPN/PPnBM. Tujuan utama reformasi perpajakan ini untuk menanggulangi
berbagai kelemahan dan kerumitan dari perpajakan.
Dengan stabilitas politik dan keamanan yang semakin mantap,
pemerintah orde baru mulai mengundang investor baik domestik maupun
370
asing untuk menanamkan modalnya. Sadar akan potensi sumber daya tanah
air yang belum mampu diolah karena keterbatasan modal, pengalaman
dan teknologi, disahkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing (PMA), serta Undang-Undang Nomor 6 tahun
tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Bantuan
dari negara-negara donor yang tergabung dalam IGGI (Inter Governmental
Group on Indonesia) mulai mengalir, dan dilanjutkan oleh CGI (Consultative
Group on Indonesia) yang diketuai oleh Bank Dunia mampu menggerakan
perekonomian Indonesia dengan pertumbuhan yang relatif tinggi.
B. Kebijakan Perbankan
Kebijakan ekonomi pemerintahan orde baru memasuki babak penting dengan dikeluarkannya deregulasi perbankan pada tahun 1983.
Melalui kebijakan deregulasi perbankan ini, pemerintah (dalam hal ini
Bank Indonesia) tidak lagi campur tangan dalam penentuan suku bunga
bank, tetapi penentuan suku bunga sepenuhnya melalui mekanisme pasar.
Sebelum kebijakan ini dikeluarkan, suku bunga bank-bank pemerintah
diatur oleh bank sentral. Kewenangan penyaluran alokasi kredit pada
sektor-sektor prioritas dalam pembangunan yang disalurkan melalui Kredit
Likuiditas Bank Indonesia (KLBI), menjadi kewenangan bank sentral.
Kebijakan tersebut ditujukan untuk merangsang investasi.
Kebijakan moneter dengan menekan suku bunga bank pemerintah
lebih rendah dibanding tingkat bunga pasar (bank-bank swasta) akan
menekan jumlah tabungan masyarakat di lembaga perbankan. Rendahnya
suku bunga riil (suku bunga nominal dikurangi inflasi) yang rendah tidak
mendorong masyarakat untuk menyimpan uang di bank. Dana masyarakat
yang dapat dimanfaatkan untuk membiayai pembangunan (melalui kredit
bank) menjadi tidak optimal. Kebijakan suku bunga rendah yang semula
dimaksudkan untuk merangsang investasi, dalam kenyataannya bisa
terhambat karena kelangkaan dana investasi itu sendiri.
Oleh karena itu kebijakan deregulasi perbankan yang dikeluarkan
melalui paket kebijakan Juni 1983 (PAKJUN 1983) merupakan tonggak
371
penting dalam sejarah kebijakan ekonomi orde baru karena pemerintah
melepaskan kendali dalam penentuan suku bunga bank kepada mekanisme
pasar.
Dampak nyata adalah meningkatnya suku bunga perbankan, karena
setiap bank dipaksa untuk bersaing dalam memperebutkan dana masyarakat
yang terbatas. Persaingan tersebut semakin ketat dengan dikelurkannya
kebijakan liberalisasi perbankan melalui Paket Kebijakan Oktober 1988
(PAKTO 1988). Melalui kebijakan ini pemerintah memperlonggar
“barriers to entry” dengan cara memberikan kemudahan dan keleluasaan
bagi sektor swasta nasional untuk mendirikan bank baru atau memperluas
cabangnya di tanah air. Bank asing pun diberikan keleluasaan membuka
kantor cabangnya di luar ibukota. Dampak langsung dari PAKTO 1988
adalah semakin banyaknya jumlah bank nasional maupun kantor-kantor
cabang bank asing di kota-kota besar.
C. Kebijakan Hutang luar negeri
Perkembangan pinjaman luar negeri Indonesia mengalami peningkatan
cukup tinggi sejak tahun 1993 dan mencapai puncaknya pada tahun 1998.
Pinjaman pada tahun 1993 sebesar USD 80,6 miliar, meningkat menjadi
USD 150,9 miliar pada tahun 1998. Akibat dari besarnya utang luar negeri
sektor swasta yang berjangka waktu pendek, mengakibatkan permintaan
terhadap valuta asing meningkat tajam, sementara cadangan devisa nasional
pada saat itu hanya sekitar USD 15 miliar. Kurs mengalami tekanan berat
dan anjlok dari Rp2.300 pada tahun 1996, menjadi Rp16.725 per USD
pada Juni 1998. Rekomendasi IMF dalam “Letter of Intent (LoI) ” agar
pemerintah melakukan penutupan terhadap 16 bank pada Nopember
1997 dengan tujuan untuk mengembalikan kepercayaan terhadap bank,
ternyata malah menyebabkan kepanikan masyarakat sehingga menyebabkan
terjadinya penarikan dana besar-besaran oleh nasabah (rush). Anjloknya nilai
tukar rupiah menutup masa pemerintahan orde baru dengan menyisakan
hutang luar negeri dan dalam negeri yang sangat besar.
372
IV. Kebijakan Fiskal di Masa Krisis
Seiring waktu berjalan, tahun 1997/1998 dunia dihadapkan pada
krisis ekonomi global. Berbagai negara termasuk Indonesia merasakan
betapa dahsyatnya dampak krisis global tahun 1997/1998 kala itu. Pada
awalnya, transformasi krisis global ke Indonesia ditandai dengan guncangan
dan ketidakstabilan nilai tukar rupiah terhadap US$. Tingkat depresiasi
rupiah semakin lama semakin dalam. Rata-rata nilai tukar rupiah terhadap
US$ yang pada bulan tahun 1996 masih sekitar Rp2.328, sejak awal tahun
1997 terus mengalami pelemahan di sepanjang tahun 1997 dan pada akhir
tahun di tutup pada level Rp4.827 per US$. Kemudian, dalam tahun 1998
pelemahan nilai tukar rupiah terhadap US$ semakin dalam dan pergerakan
rata-rata nilai tukar rupiah terhadap US$ dalam tahun 1998 berada di
kisaran Rp9.929. Ini maknanya, dalam periode 1996 hingga 1998 rupiah
mengalami depresiasi sekitar 326,50 persen terhadap US$. Hal ini pada
gilirannya tentu berdampak tidak baik terhadap sektor fiskal dan kondisi
perekonomian pada umumnya.
Selain nilai tukar, implikasi krisis ekonomi global terhadap pasar
Indonesia juga bisa diidentifikasi dari gejolak di lantai bursa. Indeks Harga
Saham Gabungan (IHSG) yang pada akhir tahun 1996 ditutup pada level
637.43, di paruh pertama tahun 1997 masih terus bergerak naik dan
mencapai titik 740.83 pada tanggal 8 Juli 1997. Namun, setelah periode
itu cenderung terus mengalami pelemahan hingga ditutup pada level
401.71 di akhir tahun 1997. Di tahun 1998 seiring semakin membesarnya
intensitas krisis, IHSG juga terus melemah dan pernah menyentuh level
256.83 pada tanggal 21 September 1998. Ini merupakan dampak nyata dari
krisis global yang berimbas pada terjadinya pelarian modal asing (capital
outflow) dari pasar finansial Indonesia. Penting dicatat bahwa fenomena
pelemahan indeks saham saat itu tidak hanya terjadi di Indonesia, namun
juga di kawasan regional dan negara-negara lainnya sebagai dampak capital
outflow dalam rangka pembiayaan likuiditas global.
Untuk menghindari terjadinya capital outflow secara lebih dalam,
Bank Indonesia mulai menerapkan kebijakan moneter ketat (tight monetary
373
policy) dengan terus menaikkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia
(SBI). Tercatat, suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 1 bulan yang
pada awal tahun 1997 masih sebesar 12,15 persen, pada pertengahan
tahun 1998 sudah jauh melambung mencapai 70,81 persen. Selanjutnya,
kenaikan suku bunga SBI 1 bulan tersebut memicu peningkatan suku
bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) dan suku bunga perbankan lainnya
baik suku bunga pinjaman maupun suku bunga kredit.
Seiring waktu berjalan, krisis ekonomi tahun 1998 semakin lama
semakin meluas dan berkembang menjadi krisis kepercayaan di masyarakat.
Dalam kondisi ekonomi yang tidak kondusif kala itu, berhembus rumor
yang kurang sedap di bidang perbankan yang mengikis kepercayaan
masyarakat yaitu rumor yang mengatakan bahwa banyak bank yang kalah
kliring atau rugi besar-besaran akibat transaksi valas dan akan ada pemilik
bank yang kabur ke luar negeri. Kondisi demikian, semakin memperparah
keadaan saat itu. Implikasinya, terjadi bank run atau penarikan dana
simpanan secara besar-besaran di perbankan nasional.
Melihat kenyataan ini, Pemerintah tidak tinggal diam. Berbagai
langkah dan upaya recovery terus ditempuh. Salah satunya adalah dengan
membuka kran kerja sama dengan Dana Moneter Internasional atau IMF.
Sebagai konsekuensi dari kontrak kerja sama ini, Pemerintah beberapa
kali menandatangani Letter of Intent (LoI) dengan lembaga keuangan
internasional tersebut.
Namun, asistensi Tim IMF di Indonesia sepertinya tidak berjalan
mulus dan ternyata tidak seperti yang diharapkan. Dari berbagai diskursus
yang ada saat itu baik oleh lembaga ekonomi, pengamat ekonomi maupun
kalangan akademisi, berkesimpulan bahwa langkah-langkah yang dianjurkan
IMF tidak bekerja efektif dan justru hanya meningkatkan akumulasi
utang Indonesia. Selain itu, formulasi IMF dalam penyehatan perbankan
nasional dianggap justru keliru dan dilakukan tanpa skenario yang jelas
sehingga hanya berujung pada likuidasi 16 bank nasional. Selanjutnya,
hal ini menjadi trigger terjadinya rush atau penarikan dana secara massal
pada perbankan yang juga mencerminkan penurunan tingkat kepercayaan
374
masyarakat terhadap Pemerintah khususnya perbankan. Situasi demikian
jelas tidak sehat bagi perekonomian.
Setelah mencermati berbagai perkembangan terkini baik ekonomi
dan keuangan serta dengan memperhatikan berbagai masukan yang ada,
Pemerintah akhirnya pada tahun 2003 mengambil langkah Post-Program
Monitoring dan memutuskan mengakhiri kerja sama dengan IMF dan
percaya pada kemampuan sendiri. Pemerintah kemudian melakukan
konsolidasi berbagai kebijakan baik kebijakan fiskal, kebijakan di sektor
finansial, maupun kebijakan moneter dalam rangka pemulihan pascakrisis
ekonomi global 1997/1998.
Dari perspektif fiskal, beberapa kebijakan fiskal yang telah dilakukan
Pemerintah dalam rangka masa recovery dari krisis global diantaranya :
a.
Melaksanakan reformasi fiskal secara menyeluruh;
b.
Mengurangi defisit anggaran melalui peningkatan disiplin dan efisiensi
fiskal;
c.
Menurunkan subsidi;
d.
Mengurangi utang luar negeri dan mengkonversikannya menjadi
utang domestik;
e.
Melakukan reschedulling atas utang-utang luar negeri yang jatuh
tempo pada saat itu;
f.
Meningkatan penerimaan pajak secara terus menerus dan konsisten;
g.
Melakukan penghematan dan penajaman dalam fungsi belanja
negara;
h.
Mereformulasi dan merestrukturisasi sistem anggaran negara.
Pemulihan dampak krisis melalui berbagai pendekatan – yang
didukung dengan kerja keras Pemerintah dan bantuan semua pihak –
akhirnya membuahkan hasil. Setelah berkontraksi cukup tajam pada level
13,13 persen di tahun 1998, kinerja ekonomi kembali mampu berekspansi
sejak tahun 1999. Bahkan, laju pertumbuhan ekonomi sejak tahun 1999
hingga saat ini mempunyai kecenderungan semakin baik dan semakin
meningkat.
375
Bagaikan suatu siklus, krisis memang selalu berulang. Berselang
sepuluh tahun sejak krisis global 1997/1998, di pertengahan tahun 2008
dunia khususnya kawasan Asia kembali dilanda krisis. Dampaknya, berbagai
negara tak terkecuali Indonesia merasakan imbas krisis 1998 tersebut.
Namun demikian, dampak krisis tahun 2008 tidak sedahsyat krisis sepuluh
tahun sebelumnya. Ada dua faktor penjelas untuk hal ini, yaitu: (1) Secara
magnitude, kondisi krisis 2008 memang tidak sebesar krisis tahun 2008
baik dari variabel penyebab krisis maupun negara-negara yang terkena
dampak langsung krisis dan (2) Secara fundamental, Indonesia pada tahun
2008 jauh lebih siap dalam menghadapi dan menanggulangi krisis ekonomi
dibandingkan kondisi sepuluh tahun silam. Hal ini dikarenakan seiring
waktu berjalan Indonesia telah menyiapkan sejumlah instrumen proteksi
sebagaimana tertuang dalam Crisis Management Protocol baik dari sisi fiskal
maupun finansial.
Terkait dengan Crisis Management Protocol, pada dasarnya dapat
dibagi ke dalam dua tahap, yakni pre-emptive policy atau tahap pencegahan
dan executing policy atau tahap penanganan. Perlu ditekankan bahwa upaya
yang dijalankan Pemerintah dan Bank Indonesia dalam penyelesaian krisis
tahun 2008 sebenarnya masih sebatas pre- emptive policiy. Ini mengingat,
berdasarkan hasil evaluasi dan monitoring secara periodik dan persisten
yang dilakukan terhadap perkembangan sejumlah indikator ekonomi
terkini, Pemerintah dan BI saat itu berkesimpulan bahwa kondisi turbulensi
saat itu belum masuk pada tatanan krisis. Untuk menyatakan negara dalam
kondisi krisis, Pemerintah dan BI akan menetapkannya dalam suatu surat
keputusan.
Sehubungan hal tersebut di atas, langkah dan upaya yang ditempuh
pun juga masih sebatas pada penangkalan dan pencegahan krisis dengan
tujuan untuk menstabilkan kondisi pasar finansial dan memulihkan
kepercayaan masyarakat akibat gejolak-gejolak eksternal yang bersifat
sementara (temporary shocks). Adanya stabilitas pasar finansial dan pemulihan
kepercayaan menjadi begitu penting untuk menghindari terjadinya bank
run dan systemic insolvency sebagaimana pernah terjadi pada tahun 1998
lalu.
376
Dari sisi regulator, skenario penanganan krisis 2008 bisa dibedakan
dari dua perspektif yakni Pemerintah dan BI. Dari sisi Pemerintah, sebagai
bentuk keseriusan dalam pencegahan krisis, Pemerintah telah menerbitkan
tiga Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), yakni Perpu
nomor 2 tahun 2008 tentang Amandemen Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2004 tentang Bank Indonesia; Perpu nomor 3 tahun 2008 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga
Penjamin Simpanan; Perpu nomor 4 tahun 2008 tentang Jaring Pengaman
Sistem Keuangan.
Selain menerbitkan tiga Perpu, dalam level mikro Pemerintah juga
telah menempuh beberapa langkah strategis seperti penerbitan Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 66 tahun 2008 tentang peningkatan nilai
penjaminan nasabah di perbankan hingga dua puluh kali lipat, yakni dari
Rp100 juta menjadi Rp2 miliar. Hal ini penting untuk meningkatkan
ketenangan deposan dan menghindari bank run. Sedangkan, dalam rangka
mereduksi volatilitas pasar, Pemerintah juga menyetujui aturan baru otoritas
bursa yang melakukan adjusment terhadap batasan auto rejection yakni
menjadi 20 persen untuk batas atas dan 10 persen untuk batas bawah.
Kemudian, untuk memulihkan kepercayaan pasar dan stabilisasi
harga saham-saham BUMN, Pemerintah mencadangkan dana sekitar
Rp4 triliun yang ditempatkan pada Pusat Investasi Pemerintah (PIP) dan
Perusahan Pengelola Aset untuk melakukan pembelian kembali (buyback)
saham-saham BUMN yang berkinerja bagus dan Pemerintah melakukan
penjajakan kerja sama dengan Bank Dunia melalui skema Credit Line dan
Stand By Loan senilai US$2 miliar. Sementara, dari sisi sektor riil, untuk
mendorong ekspansi ekonomi, Pemerintah juga mengupayakan terjadinya
akselerasi pencairan APBN melalui berbagai insentif dan disinsentif pada
sejumlah instrumen fiskal. Saat itu, Pemerintah dan BI juga mengupayakan
berbagai langkah hukum secara tegas terhadap pihak-pihak yang sengaja
memperkeruh suasana dengan menebarkan rumor negatif untuk
kepentingan pribadi.
Lebih jauh, dalam Pasal 23 Undang-Undang (UU) 41 Tahun 2008
tentang APBN 2009 juga diakomodasi payung hukum untuk mengantisipasi
377
keadaan darurat sebagai dampak dari krisis ekonomi global. Dalam pasal
tersebut dinyatakan bahwa dalam hal terjadi keadaan darurat seperti: (a)
penurunan pertumbuhan ekonomi di bawah asumsi dan deviasi asumsi
ekonomi makro lainnya yang menyebabkan turunnya pendapatan negara,
dan/atau meningkatnya belanja negara secara signifikan; (b) kenaikan
biaya utang, khususnya imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) secara
signifikan; dan (c) krisis sistemik dalam sistem keuangan dan perbankan
nasional yang membutuhkan tambahan dana penjaminan perbankan
dan Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB), maka Pemerintah dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam waktu 1 X 24 jam, bisa
melakukan langkah-langkah berikut:
1.
Pengeluaran yang belum tersedia anggarannya dan/atau pengeluaran
melebihi pagu yang ditetapkan dalam APBN Tahun 2009;
2.
Pergeseran anggaran belanja antarprogram, antarkegiatan, dan/atau
antarjenis belanja dalam satu kementerian negara/lembaga dan/atau
antar kementerian negara/lembaga;
3.
Penghematan belanja negara dalam rangka peningkatan efisiensi,
dengan tetap menjaga sasaran program/ kegiatan prioritas yang tetap
harus tercapai;
4.
Penarikan pinjaman siaga dari kreditor bilateral maupun multilateral;
dan
5.
Penerbitan SBN melebihi pagu yang ditetapkan dalam APBN tahun
yang bersangkutan;
Penting dicatat bahwa substansi pasal 23 UU 41 Tahun 2008 pada
dasarnya menjadi panduan dalam menjalankan protokol penanggulangan
krisis dari dimensi kebijakan fiskal. Penanggulangan krisis memang
membutuhkan penanganan yang cepat dan tepat dari sisi kebijakan fiskal
agar tidak menyebar secara luas dan berdampak kemana-mana. Tentunya,
penanganan kebijakan fiskal secara cepat dan tepat dilakukan dengan tetap
memperhatikan berbagai prosedur dan payung hukum yang berlaku.
378
A. Stimulus Fiskal 2009
Pada tahun 2008, Indonesia memang relatif aman dari dampak krisis
ekonomi global. Meskipun terkena imbas, namun dampaknya masih
dalam level moderat dan bisa diantisipasi dengan baik. Dalam tahun 2009,
krisis diperkirakan belum sepenuhnya pulih dan masih bisa berlanjut
sebagaimana diproyeksikan beberapa lembaga ekonomi internasional. Dana
moneter internasional atau IMF misalnya, dalam laporan terbarunya bulan
Nopember 2008, memperkirakan ekonomi global hanya akan tumbuh 2,2
persen pada 2009. Sedangkan, Consensus Forecasts dalam edisinya bulan
Nopember 2008 juga memperkirakan laju PDB riil dunia tahun 2009
hanya sekitar 1,1 persen. Sementara, OECD dalam Outlook-nya terbaru,
memperkirakan laju PDB riil negara-negara utama dunia seperti AS, Japan,
dan Zona Eropa sepanjang 2009 akan mengalami kontraksi dari kisaran
0,3 persen hingga 2,0 persen.
Untuk mengantisipasi berlanjutnya krisis di tahun 2009 tersebut
sekaligus meningkatkan proteksi terhadap masyarakat luas dan dunia usaha,
Pemerintah melalui persetujuan DPR memutuskan mengucurkan stimulus
fiskal pada tahun 2009. Tentunya, pengucuran stimulus fiskal berorientasi
untuk meringankan beban masyarakat dan dunia usaha yang terkena
dampak langsung krisis global sekaligus untuk menghindari terjadinya
gelombang rasionalisasi secara massal.
Secara teknis, stimulus fiskal tahun 2009 dikucurkan melalui dua jalur,
yakni pemberian subsidi kepada barang-barang tertentu misalnya Bahan
Bakar Minyak (BBM) dan pemberian insentif pajak. Pada tahun 2009,
besaran subsidi yang dikucurkan mencapai Rp166,70 triliun yang terdiri
dari subsidi energi sebesar Rp103,57 triliun dan subsidi non-energi sebesar
Rp63.13 triliun. Sedangkan, terkait insentif pajak, bisa dijelaskan bahwa
pada prinsipnya, payung hukum pemberian insentif kepada masyarakat
khususnya dunia usaha diberikan melalui amandemen terhadap tiga
undang-undang perpajakan, yakni: Undang-Undang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), Undang-Undang Pajak Penghasilan
(UU PPh), Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
serta Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UU PPN dan PPnBM).
379
Hingga akhir 2008, Pemerintah dan DPR telah merampungkan
amandemen terhadap UU KUP, yang ditandai dengan lahirnya UU KUP
baru yakni UU Nomor 28 Tahun 2007. Sedangkan, untuk UU PPh
juga ditandai dengan lahirnya UU PPh baru Nomor 36 Tahun 2008.
Sementara, amandemen terhadap UU PPN dan PPnBM masih dalam
proses pembahasan dengan DPR.
V. Harga Minyak dan Inflasi: Tantangan Kebijakan Fiskal ke Depan
A. Kebijakan Fiskal dan Harga Minyak
Pergerakan harga minyak mentah sangat berfluktuasi sehingga
sangat sulit untuk memperkirakan harga minyak kedepan. Selain faktor
fundamental seperti permintaan dan penawaran, fluktuasi harga minyak
juga dipengaruhi oleh faktor nonfundamental seperti spekulasi dan krisis
geopolitik. Oleh karena itu, terdapat faktor risiko yang perlu diwaspadai
terkait dengan harga minyak ke depan. Risiko fiskal yang berasal dari
kenaikan harga minyak ditransmisikan secara langsung melalui dua sisi
pada APBN. Sisi penerimaan melalui kenaikan penerimaan PPh Migas,
PNBP migas maupun penerimaan yang berasal dari Domestic Market
Obligation (DMO) minyak, serta sisi pengeluaran melalui peningkatan
subsidi BBM, Subsidi Listrik dan transfer Dana Bagi Hasil ke daerah serta
anggaran pendidikan.
Realisasi belanja subsidi pada tahun 2010 yang mencakup subsidi
energi dan subsidi non-energi mencapai Rp214,2 triliun atau 55,1 persen
lebih tinggi dari realisasi 2009. Realisasi subsidi BBM 2010 mencapai
Rp82,4 triliun atau meningkat 82,8 persen dari realisasi 2009. Hal ini
disebabkan oleh tingginya realisasi harga ICP di pasar internasional
yang mencapai rata-rata (Januari-Desember) US$79,4/barel, lebih tinggi
dibandingkan realisasi tahun 2009 yang mencapai US$61,6/barel. Selain
itu, membengkaknya subsidi BBM juga disebabkan oleh meningkatnya
volume konsumsi BBM bersubsidi yang mencapai 38,2 juta kiloliter (kl)
pada tahun 2010, lebih tinggi dari realisasi 2009 yang mencapai 37,9 juta
380
kl. Selanjutnya, kenaikan harga minyak mentah juga turut mendorong
peningkatan subsidi listrik hingga mencapai Rp57,6 triliun pada tahun
2010 atau meningkat 16,3 persen dari realisasi 2009. Selain disebabkan
oleh kenaikan harga minyak mentah, peningkatan subsidi listrik tersebut
juga diakibatkan oleh penambahan konsumsi BBM sebagai bahan bakar
pembangkit listrik karena terhambatnya pasokan gas dan batubara.
Sementara itu, realisasi belanja subsidi sampai dengan triwulan I
2011 mencapai Rp32,4 triliun, meningkat dibandingkan dengan realisasi
pada periode yang sama tahun 2010. Peningkatan tersebut terutama
didominasi oleh realisasi subsidi energi yang mencapai Rp24,8 triliun atau
18,1 persen dari pagu. Beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan
realisasi subsidi tahun 2011, antara lain: (i) tingginya realisasi harga ICP
yang rata-rata sebesar US$104,5/barel selama triwulan I 2011, lebih
tinggi dari asumsi yang ditetapkan dalam APBN 2011 sebesar US$80/
barel; (ii) meningkatnya konsumsi BBM bersubsidi selama triwulan I
2011 jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya; (iii) adanya
perubahan komposisi energi input pembangkit PT PLN (Persero) sehingga
menyebabkan terjadinya peningkatan penggunaan bahan bakar minyak
sebagai konsekuensi tidak tercapainya pasokan gas; dan (iv) kebijakan
pencairan subsidi pangan lebih awal untuk mengurangi beban biaya.
381
Harga Minyak Mentah Indonesia (ICP)
Sumber : Kementerian ESDM, data diolah
Salah satu upaya yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam rangka
menekan peningkatan subsidi BBM adalah melakukan pengaturan distribusi
BBM bersubsidi. Kebijakan tersebut sedianya akan dilaksanakan pada 1
April 2011, namun hingga saat ini masih ditunda. Hal ini dikarenakan harga
minyak mentah masih sangat tinggi sehingga perbedaan harga antara BBM
bersubsidi dan BBM nonsubsidi akan sangat lebar. Penundaan tersebut
memberikan waktu lebih banyak bagi pemerintah untuk menyiapkan
infrastruktur yang akan menunjang pelaksanaan kebijakan pengaturan
BBM bersubsidi.
Selain kebijakan pengaturan BBM bersubsidi, beberapa langkah
yang akan dilaksanakan untuk mengendalikan besaran subsidi adalah: (i)
penataan ulang pola pendistribusian BBM melalui pengurangan jumlah
dispenser dan pasokan BBM bersubsidi di kawasan elit dan tertentu lainnya;
382
(ii) memperbanyak jumlah dispenser dan pasokan BBM nonsubsidi; (iii)
meningkatkan pengawasan terhadap penyalahgunaan BBM bersubsidi; (iv)
melanjutkan konversi minyak tanah ke Liquified Petroleum Gas (LPG); dan
(v) melakukan sosialisasi dan kampanye hemat BBM.
Sementara itu, kebijakan yang terkait dengan pengendalian anggaran
subsidi listrik tahun 2011 dilakukan melalui efisiensi internal PT PLN dan
penurunan Biaya Pokok Produksi (BPP) Tenaga Listrik. Upaya penurunan
BPP tersebut dilakukan melalui program peningkatan efisiensi dengan cara
optimalisasi pembangkit tenaga listrik dan penurunan susut jaringan (losses),
diversifikasi energi primer di pembangkit tenaga listrik melalui optimalisasi
penggunaan gas, peningkatan penggunaan batubara dan panas bumi.
Namun demikian, upaya penurunan BPP Tenaga Listrik tersebut di atas
mengalami beberapa kendala, antara lain: (i) keterlambatan beroperasinya
beberapa proyek percepatan pembangunan pembangkit listrik 10.000
MW Tahap I; (ii) tidak terpenuhinya kebutuhan gas sesuai kontrak yang
mengakibatkan naiknya volume BBM untuk mensubstitusi kekurangan
pasokan gas; dan (iii) adanya kenaikan penggunaan BBM pada beberapa
pembangkit listrik untuk mengatasi pemadaman di beberapa wilayah.
Realisasi defisit APBN 2011 diperkirakan akan lebih tinggi dari yang
ditetapkan dalam APBN 2011. Faktor utama yang mempengaruhi hal
tersebut diantaranya adalah perkembangan harga minyak mentah terkini
yang jauh melampaui asumsi APBN 2011. Selain itu, implementasi
kebijakan yang telah direncanakan dan kebutuhan belanja yang meningkat
juga mempengaruhi peningkatan defisit pada APBN 2011.
Realisasi pendapatan negara dan hibah diperkirakan akan melampaui
rencana APBN, dengan didukung peningkatan penerimaan perpajakan
dan PNBP. Perkiraan peningkatan penerimaan perpajakan di tahun
2011 didukung dari penerimaan pajak perdagangan internasional yang
diperkirakan akan jauh melampaui target APBN 2011 karena meningkatnya
aktivitas perdagangan dunia dan tingginya harga CPO di pasar internasional.
Di bidang PNBP, kecenderungan kenaikan harga minyak diperkirakan
akan membawa dampak positif bagi penerimaan migas.
383
Alokasi subsidi di tahun 2012 diperkirakan masih akan menghadapi
tantangan yang cukup berarti, seperti adanya kecenderungan harga
minyak internasional yang sulit diprediksi akibat kondisi geopolitik dunia
internasional yang tidak menentu. Selain itu, masih tingginya volume
konsumsi BBM bersubsidi terkait implementasi pelaksanaan program
pembatasan penggunaan BBM bersubsidi di tahun 2011 dan mendatang.
Pembatasan penggunaan BBM bersubsidi akan mempunyai dampak
yang luas pada pembangunan nasional, diantaranya: (i) memenuhi rasa
keadilan, karena subsidi hanya akan diterima oleh masyarakat yang berhak
menerima subsidi; (ii) mengingatkan masyarakat untuk menghemat
pemakaian energi yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable energy);
(iii) mendukung ketahanan energi nasional jangka panjang; (iv) mengurangi
dampak perubahan iklim; (v) mengalihkan efisiensi anggaran ke belanja
yang lebih produktif dan bermanfaat maksimal pada pembangunan dan
masyarakat; (vi) mengurangi beban kemacetan lalu lintas yang berdampak
pada peningkatan efisiensi ekonomi dan APBN.
Guna mencapai anggaran subsidi yang lebih tepat sasaran di tahun
2012, maka subsidi listrik harus diturunkan dengan upaya penurunan
konsumsi BBM oleh PT PLN dari total biaya bahan bakar. Oleh karena
itu, subsidi listrik di tahun 2012 masih menghadapi tantangan berkaitan
dengan ketidakpastian pasokan gas dan batubara serta fluktuasi harga
komponen bahan bakar pembangkit. Tantangan lainnya adalah belum
optimalnya pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW tahap pertama
dan pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW tahap kedua, sehingga
penggunaan BBM masih tinggi.
B.
Kebijakan Fiskal untuk Pengendalian Inflasi
Tahun 2010, laju inflasi meningkat cukup signifikan dibandingkan
tahun sebelumnya. Dari pemantauan BPS di 66 kota, sampai akhir tahun
2010 tercatat laju inflasi kumulatif mencapai 6,96 persen (yoy), meningkat
dibandingkan tahun 2009 yang hanya 2,78 persen. Namun, inflasi tahun
2010 tersebut masih lebih rendah apabila dibandingkan dengan tahun
2008 yang mencapai 11,06 persen.
384
Potensi tekanan inflasi tahun 2011 diperkirakan masih bersumber
pada kenaikan harga bahan pangan dan energi yang terjadi baik di pasar
internasional maupun domestik. Namun, Pemerintah dan Bank Indonesia
terus berupaya untuk memperkuat sinergi kebijakan fiskal, moneter dan
sektor riil di tingkat pusat dan daerah guna mengendalikan inflasi. Laju
inflasi tahun 2011 diperkirakan sekitar 5,65 persen.
Kedepannya, pemerintah memperkirakan angka inflasi berkisar antara 4
– 5,3 persen. Walaupun tekanan inflasi sudah menunjukkan kecenderungan
menurun, namun risiko tekanan inflasi ke depan diperkirakan masih cukup
tinggi. Harga pangan dan harga energi yang cenderung naik menimbulkan
peningkatan risiko inflasi mengingat harga pangan dan harga energi
menyumbang bobot terbesar terhadap perhitungan inflasi.
Perkembangan Inflasi Indonesia
Sumber : BPS
Secara umum, kebijakan Fiskal yang ditempuh pemerintah untuk
mengendalikan inflasi meliputi 1) kebijakan tarif, 2) kebijakan perpajakan,
3) kebijakan subsidi, dan 4) alokasi belanja lainnya. Terkait dengan kenaikan
harga pangan pokok yang disebabkan oleh kenaikan harga minyak mentah
385
di pasar internasional, pemerintah melakukan berbagai upaya untuk
mengurangi gejolak kenaikan harga pangan pokok tersebut. Upaya-upaya
tersebut antara lain: (i) melakukan operasi pasar yang akan dilakukan di
seluruh Indonesia terutama di daerah yang mengalami kenaikan harga
beras cukup tinggi, termasuk melalui pola komersial; (ii) pemberian insentif
fiskal perdagangan atas ekspor dan impor terkait dengan keringanan Bea
Masuk dan fasilitas PPN DTP; (iii) meningkatkan stok pangan yang
cukup, di tingkat pusat maupun di daerah dan di masyarakat (lumbung
pangan) untuk mencegah spekulasi; serta (iv) menjaga kelancaran distribusi
angkutan pangan pokok.
Sementara itu, realisasi subsidi non-energi sampai dengan akhir tahun
2010 mencapai Rp74,2 triliun atau 70,6 persen lebih tinggi dari realisasi
2009. Salah satu faktor utama yang menyebabkan tingginya realisasi subsidi
non-energi 2010 adalah pembayaran kekurangan PPN DTP atas BBM
bersubsidi tahun 2003-2005 dan tahun 2009 sebesar Rp22,9 triliun, yang
ditampung pada belanja subsidi pajak. Selain itu, meningkatnya realisasi
subsidi non-energi juga berkaitan dengan adanya pemberian subsidi
pangan ke-13 untuk masyarakat miskin. Langkah tersebut dilakukan
dalam upaya menjaga stabilitas harga pangan sebagai dampak dari kenaikan
harga komoditas pangan dunia yang berimbas di dalam negeri. Untuk
menjaga kenaikan harga pangan, pemerintah mengambil beberapa langkah
komprehensif antara lain melalui pelaksanaan operasi pasar, penggunaan
dana stabilisasi harga, peningkatan stok beras, peningkatan koordinasi
dengan Bank Indonesia, serta penurunan tarif bea masuk impor beras
untuk sementara waktu.
Sementara itu, dalam rangka mengantisipasi dampak negatif akibat
gejolak harga pangan yang terjadi pada tahun 2011 ini, pemerintah telah
mengambil beberapa kebijakan antara lain: (i) pemberian kewenangan
kepada Kementerian Pertanian untuk menyalurkan bantuan biaya usaha
tani bagi daerah atau petani yang mengalami puso dan terkena bencana
akibat iklim ekstrim (Inpres Nomor 5 Tahun 2011); (ii) pemberian Bantuan
Langsung Benih Unggul (BLBU) dan Bantuan Langsung Pupuk (BLP)
386
kepada petani melalui kelompok tani, yang meliputi benih Padi, Jagung,
dan Kedelai (Perpres Nomor 14 Tahun 2011); (iii) Pengalokasian anggaran
untuk Cadangan Benih Nasional (CBN), Cadangan Beras Pemerintah
(CBP) serta Cadangan Stabilisasi Harga Pangan; dan (iv) fleksibilitas
pembelian harga gabah petani (Inpres Nomor 8 tahun 2011).
Kebijakan Penurunanan BM dan PPN DTP secara umum berdampak
pada penurunan beberapa komoditas pangan strategis. Kebijakan
penurunan BM beras yang dilaksanakan sebelum masuknya musim panen
turut mempengaruhi penurunan harga beras secara signifikan, meskipun
pada periode yang sama harga di pasar internasional naik. Selain harga
CPO internasional menurun, kebijakan PPN DTP minyak goreng turut
menyumbang pada penurunan harga minyak goreng di dalam negeri.
Pemerintah juga berupaya menciptakan kestabilan harga tepung di dalam
negeri melalui BM, meskipun harga gandum di pasar dunia berfluktuatif.
VI. Penutup
Dinamika dan perkembangan ekonomi Indonesia tidak bisa dipisahkan dari kebijakan fiskal yang diterapkan. Hal ini sesuai dengan
tiga fungsi utama kebijakan fiskal yaitu sebagai alat stabilisasi ekonomi,
alat distribusi pendapatan, dan alat alokasi anggaran negara sebagaimana
tertuang dalam APBN. Sebagai alat stabilisasi ekonomi, kebijakan fiskal
memainkan perannya dalam menjaga stabilitas nilai tukar dan laju inflasi
yang pada gilirannya berpengaruh positif dalam pencapaian ekspansi
ekonomi tinggi. Sebagai alat distribusi pendapatan, fungsi kebijakan fiskal
tercermin sebagai media dalam penarikan pajak dari masyarakat dimana
orang kaya akan membayar pajak lebih tinggi dibandingkan orang miskin.
Sedangkan, fungsi kebijakan fiskal sebagai alat alokasi anggaran tercermin
dari besaran-besaran belanja dalam APBN.
Dalam beberapa tahun terakhir, Pemerintah senantiasa berupaya
merumuskan kebijakan fiskal yang berorientasi pada pro growth, pro poor,
pro job, dan pro environment. Hal ini dilakukan dalam rangka percepatan
387
pengentasan kemiskinan sekaligus peningkatan kesejahteraan masyarakat
sebagai indikator utama keberhasilan pembangunan ekonomi. Tentunya,
agar kebijakan fiskal bisa berjalan efektif dan efisien, diperlukan peran dan
partisipasi aktif dari seluruh komponen masyarkat khususnya para pelaku
usaha dan pemodal sebagai pembayar pajak.
Terakhir, penerapan kebijakan fiskal yang baik dan sehat pada gilirannya
juga akan menciptakan sustainabilitas fiskal yang merupakan modal utama
dalam pelaksanaan pembangunan nasional jangka panjang menuju pada
kemandirian ekonomi. Pada titik ini, Bangsa Indonesia sudah mempunyai
competitive advantages yang berbasis pada sektor primer domestik seperti
seperti sektor pertanian, perikanan, kelautan, perkebunan, kehutanan, dan
pertambangan, serta tidak lagi mengandalkan utang sebagai pembiayaan
pembangunan.
388
Daftar Pustaka
Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan RI, “Era Baru Kebijakan
Fiskal; Pemikiran, Konsep dan Implementasi” Editor: Anggito Abimanyu dan Andie Megantara. Kompas, 2009
Bank Indonesia. ”Statistik Perbankan.” Edisi Agustus 2008.
Bank Indonesia. ”Statistik Perbankan.” Edisi Desember 1998.
Bank Indonesia. ”Statistik Perbankan.” Edisi Nopember 1998.
Bank Indonesia. ”Statistik Perbankan.” Edisi Oktober 1998.
Bank Indonesia. ”Statistik Perbankan.” Edisi Oktober 2008.
Bank Indonesia. ”Statistik Perbankan.” Edisi September 1998.
Bank Indonesia. ”Statistik Perbankan.” Edisi September 2008.
Bird, Graham and Rowland Dane. “Do IMF Program Have a Catalytic Effect on Other International Capital Flows?”. Oxford Development
Studies, 2002
Boorman J and Hume R Andrea. “Life with the IMF: Indonesia’s Choices
For The Future”. Kongres ISEI ke-XV, Malang, Juli 2003
Consensus Economics Inc. “Consensus Forecasts. “ London, United Kingdom, Nopember 2008. International Monetary Funds (IMF).
Kementerian Keuangan RI, “Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok
Kebijakan Fiskal Tahun 2012”
McLeod, Ross H. “Dealing with Bank System Failure: Indonesia, 19972002”. Indonesia Projet, Economics Division, The Australian National University, 2002
Muhamad Hisyam, 2003, Krisis Masa Kini dan Orde Baru, Yayasan Obor
Indonesia
Nota Keuangan dan Rancangan APBN tahun 1969/1970
Nota Keuangan pada Rencana Uncang-Undang APBN Triwulan I Tahun
1969 (Januari s.d Maret 1969)
389
Organisation for Economic and Cooperation Development. “Economic
Outlook No. 84” Paris, November 2008.
Republik Indonesia. “Nota Keuangan dan RAPBN 1998/1999.”
Republik Indonesia. “Nota Keuangan dan RAPBN 1999/2000.”
Republik Indonesia. “Nota Keuangan dan RAPBN 2000.”
Republik Indonesia. “Nota Keuangan dan RAPBN 2008.”
Republik Indonesia. “Nota Keuangan dan RAPBN 2009.”
Republik Indonesia. “Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 38/PMK.
01/2006 Tahun 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengendalian
dan Pengelolaan Risiko Atas Penyediaan Infrastruktur.”
Republik Indonesia. “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu) RI Nomor 2 Tahun 2008 tentang Amandemen UndangUndang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia.”
Republik Indonesia. “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu) RI Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan.”
Republik Indonesia. “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu) RI Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem
Keuangan.”
Republik Indonesia. “Peraturan Pemerintah RI Nomor 66 Tahun 2008
tentang Besaran Nilai Simpanan Yang Dijamin Lembaga Penjamin
Simpanan.”
Republik Indonesia. “Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.”
Republik Indonesia. “Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2008 tentang
Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan.”
390
WHAT ASEAN+3 COUNTRIES CAN DO TO
REBALANCE THE GLOBAL ECONOMY1
Anwar Nasution2
1. Introduction
The current path of global imbalances seems to be unsustainable and
bad for the interests of ASEAN+3 countries3. To continue to prosper, the
export-oriented ASEAN+3 needs a healthy international economic system
with an open trading system and free capital flows. Solving these problems
requires corrections of internal and external balances by both the surplus
and deficit countries. Sharp exchange rate adjustments, particularly a
large fall in the US dollar caused by a protectionist backlash against the
current account deficit, are in no one’s interest as they could disrupt the
global economy. Imposition of the emergency countervailing tariffs by the
United States to correct the implicit subsidy on Chinese exports through
undervaluation of the Renminbi (RBM) will a ignite global trade war and
break the world trading system apart.
The ASEAN+3 economies with huge foreign exchange reserves can
make seven contributions to address the global current account imbalances.
1
2
3
A note presented at Seoul Roundtable on Strong, Sustainable and Balanced Growth in Asia-Pacific, co-organized by Korea National Committee on Pacific Economic Cooperation (KOPEC),
Indonesian National Committee on Pacific Economic Cooperation (INCPEC) and East Asian
Bureau of Economic Research (EABER) at ANU, Australia, Hotel Shilla, Marronnier Room, 3rd
fl., Monday, October 4, 2010.
Professor Anwar Nasution teaches economics at University of Indonesia in Jakarta, Indonesia.
His e-mail addresses are: [email protected] and [email protected].
The ASEAN+3 countries comprise the 10 members of the Association of South East Asian Nations (ASEAN) plus the People’s Republic of China, Japan and the Republic of Korea. ASEAN
is made up of Brunei Darussalam, Cambodia, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, the Philippines, Singapore, Thailand and Vietnam.
391
First, to promote a growth strategy that is geared towards domestic demand
and reduction of trade surplus through a loose fiscal policy, tight monetary
policy, real exchange appreciation and removal of the remaining restrictions
on imports. The ASEAN+3 should replace the undervalued exchange rate
with increasing productivity a policy instrument in their export-led growth
strategy. The labor surplus economies, such as the PRC and Indonesia can
exploit their labor surpluses to enhance international competitiveness. The
tight monetary policy will control inflation rates and continue to attract
capital inflows and pushing up the exchange rate. Second, to modernize
and strengthen their underdeveloped domestic financial systems that are
still mainly centered around banking system with the long tradition of
financial repression. Third, to reduce household savings by building a
modern social safety net, including pension funds. Fourth, being the largest
economy in Asia, the PRC is expected to gradually shift to fully convertible
currency and relax controls on inward and outward movements of capital.
This is one of the key prerequisites for making the RMB an international
currency. The pace of the shift to convertible currency and liberalization of
the capital account depends on the progress of the rebuilding of its domestic
financial system. These policy mixes should also be accompanied by further
deregulation in the real sector of the economy, including the labor market.
These domestic reforms and reforms on international and regional financial
systems are crucial for rebalancing global economic growth.
The fifth contribution this region can make is to pursue a higher
degree of regional trade and investment integration in line with open
regionalism that promotes higher efficiency, productivity and economic
growth. Aside from the FTAs, that have been rapidly proliferated in this
region, there is also a need for investment to build infrastructure in the
poorly connected part of the region, particularly in GMS--Greater Mekong
Sub-region (Cambodia, Laos, Myanmar and Vietnam). In line with the
New Miyazawa Plan, the infrastructure projects can be financed by longterm bonds. This region has rich natural resources and fertile agriculture
land but is less integrated with the regional production system because of
392
poor infrastructure. The larger intra regional trade will partly offset the
falling exports to the US and Europe, the principal export destinations
of this region. Sixth, to allow the US to adopt a gradual reform policy.
Diversifying portfolios away from dollar-denominated assets would put
upward pressure on US interest rates and lead to a fall in the value of dollar
to force the US to adopt protectionist policies. All of these would cause
a potentially deeper and loner recession in the US economy that could
rapidly spread to other parts of the world.
Those countries facing high debt-to-GDP ratio and long-term fiscal
imbalances in Greater Mekong sub-region, the Philippines and Indonesia
have limited fiscal space and, therefore, require a different policy mix.
The policy includes both tight fiscal policy and monetary policy and a
depreciation of exchange rate. Because of the limitations of the public
sector, the private sector should be encouraged to invest in long-term
infrastructure projects in these less affluent countries.
2. Deep integration and vertical trade in ASEAN+3 region
Chinese economy is now closely linked to its regional neighbors,
and particularly with the ASEAN+3 countries. Nevertheless, the patterns
of integration between the PRC and her neighboring countries vary
substantially. China imports sophisticated capital goods and more advanced
parts and components from Japan, Korea and Taiwan to be assembled in
the export-oriented plants and export the final products to international
markets, particularly the US and the European Union. The more advanced
ASEAN-5 countries (Thailand, Malaysia, Singapore, Indonesia and the
Philippines) export less sophisticated parts and components mainly for
making semiconductors and personal computers. Growing regional trade
in parts and computers indicates stronger economic complementary or
deeper economic integration and stronger vertical trade in this region. The
imported products that are to be re-exported are exempted from import
duties and over a half of China’s exports are produced by foreign owned
or in joint venture with foreign partners. Because of these, a large part of
393
earnings of the export-oriented plants are accrued to foreigners (Cooper,
2005).
The less developed ASEAN countries of the Mekong sub-region selling
unsustainable raw materials, food and resources-based products to the fast
growing market of China. The broad-based industrial development in the
PRC requires many different types of raw materials. Energy consumption is
growing fast due to rapid industrialization, urbanization and motorization.
Demand for food is rising fast due to rising consumer incomes, urbanization,
and demographic changes including female participation rates.
Following its predecessors in East Asia and ASEAN regions, the PRC
has adopted currency undervaluation as one of the key policy instruments
of export-led development strategy. Exchange rate undervaluation is the
most powerful policy instrument to promote export and raise productivity
in emerging economies, including in the PRC. On domestic front, such a
policy has been used to shift allocations of economic resources from nontraded sector of the economy with low productivity to more productive
traded sector. Dani Rodrik (2010) estimates that resource reallocation
because of the undervalued RMB has raised the PRC long-term growth rate
by more than 2 percent. The authorities in the PRC have skillfully used the
undervaluation of exchange rate policy in combination with other distorted
policies and exploitation of natural endowments of the country to enhance
its international competitiveness and raise productivity. The distorted
policies include repressed financial system with directed lending, subsidized
interest rated and low risks (Calomiris, 207), energy and electricity prices
(Liu, 2010), disregards of the environment (Yiping and Tao, 2010). The
PRC’s natural resources includes her abundant labor supply (Yao, 2010).
On top of these, the authorities in the PRC also raise productive public
investment in human capital and infrastructure contributing to productive
capacity and improving the economy’s potential output in the long-run.
Undervaluation of RMB commands the world’s attention because the
PRC is a much bigger country in size than that of Japan, Korea, Taiwan
and other export-oriented East and South East Asian countries. The
394
economic growth in the PRC (at 9-10 percent per annum during the past
three decades) has also been much higher than of in other Asian countries.
Except the capital control, the PRC’s economy is an open economy. As a
result, the combination of size, fast growth and openness make China’s
effect more significant on the world economy (Humphrey and Schmitz,
2007). Starting from the first semester of 2010, the PRC’s GDP is now
surpassing that of Japan to become the number two economy in the world
after the United States.
At more than $2,5 trillions, the PRC’s external reserves is now the
biggest in the world. The level of this reserve is much larger than that
required on prudential justification such as import financing and servicing
foreign obligations of the country. Like in other countries, the People’s
Bank of China (PBC), the central bank, manages the liquid component
of the reserves for foreign exchange management. The investment part of
foreign exchange reserves is managed by an independent China Investment
Company, Ltd, a state-owned Sovereign Wealth Fund, and placed in
high-yield and less liquid portfolio investment overseas. Under the capital
control, government has the monopoly right to invest abroad representing
all economic agents.
Correcting undervaluation of the Renminbi (RBM) is one of essential
policies for rebalancing economic growth of the world and this region.
The issue is not only relevant to the US and the PRC bilateral relations
(Bergsten, 2010) but also to other countries as well. The manufacturing
sector in many emerging economies, including ASEAN, cannot compete
with low cost agriculture and manufactured products made in China. They
are the main victims of such a distorted exchange rate policy of the PRC.
Attracted by large the gap between economic growth and interest rate
short-term capital is massively flowing from advanced economies and in
emerging markets. To stem the capital inflows, many emerging economies
adopt a combination of currency appreciation, reserve accumulation and
various forms of capital controls. Exchange rate appreciation is detrimental
to their exports and economic growth. Thailand reinstated a 15 percent
395
withholding tax on interest payments and capital gains on bonds held
by foreigners. Korea limits short-term foreign currency borrowings by
commercial banks. Indonesia lengthen holding period of short-term capital
inflows. Even Japan and Switzerland weaken their currencies to boost
exports and economic growth.
3. Exchange Rate Management
At present, the ASEAN+3 economies adopt a variety of exchange
rate management systems (Table 1). According to the Impossible Trinity
or the macroeconomic trilemma, policy makers in an open economy
have to make two choices out of the following three goals, namely: (i)
monetary independence, (ii) fixed exchange rate and (iii) free movement
of international capital. Only country with strict capital control, such as
the PRC can have monetary independence and fixed exchange rates. Along
with the control of short-term capital movements, Malaysia moved in 1997
from managed floating to strict pegging. Other ASEAN+3 economies with
free capital mobility could only choose between exchange rate targeting
and monetary (money supply or interest rate) targeting.
396
Table 1. Elements of Monetary Policy in ASEAN + 3 Countries following the Asia Financial Crisis of 1997
Under the IMF programs, exchange rate policies in Thailand,
Indonesia and Korea shifted to independent floating in 1997, supported
by inflation targeting as a monetary policy operating strategy. This means
that an exchange rate target is no longer used as a nominal anchor for
monetary policy. Cambodia and Singapore maintain the managed floating
system and leaving money supply and interest rate to be determined by the
market. Myanmar, Vietnam and China preserve strict pegging while Brunei
and Hong Kong continue to adopt the currency board system under which
money supply is backed up by the US dollar at the official exchange rate.
397
The maintenance of inflation targeting as an operating strategy of
monetary policy in Indonesia, Korea, Philippines and Thailand long after
the end of the IMF programs indicates their firm commitments to price
stability, disclosure, transparency, central bank independence and refraining
from printing money to finance budget deficits. An explicit inflation target,
along with a more flexible exchange rate regime and a mechanism that
ensures a stable government debt-to-GDP ratio are now the three main
pillars of macroeconomic stabilization frameworks in these countries.
Central bank accountability under the inflation targeting framework
imposes costs on incompetent and opportunistic central banks.
China and Malaysia announced on July 21, 2005 a policy switch to
an adjustable peg against undisclosed baskets of currencies. Prior to this,
Malaysia had ended partial capital controls introduced during the Asian
financial crisis in 1997. The revaluation of the RMB is a small step to the
right direction, but maintaining a very narrow 0.3 percent daily limit on
renminbi-dollar fluctuations is too restrictive.
4. Accumulation of Foreign Exchange Reserves
In reality, not all countries in ASEAN+3 practise strict inflation
targeting, with some having adopted more flexible policies. Aside from
inflation, the policy objectives of the central banks of many countries also
include exchange rate stability but they are not any more setting of exchangerate targets (Filardo and Genberg, 2009). As pointed out by Calvo and
Reinhart (2002), because of the ‘fear of floating’, avoiding large exchange
rate fluctuations continues to play a significant role in the monetary policy
of emerging economies so as to avoid adverse impacts on their economies.
There are four factors that drive this fear of floating, namely: (i) the fear of
increases in foreign liabilities denominated in foreign currencies, (ii) the
fear of output costs associated with exchange rate fluctuations, (iii) the fear
of inelastic supply of funds during times of crisis; and (iv) the fear of losing
credibility and accesses on the international capital markets.
398
Flexible exchange rate requires a smaller war chest of external reserves
as the system reduces the need for market intervention. In reality, for a
number of reasons, Asian countries accumulating large international reserves
following the Asian financial crisis in 1997-98 (Ruiz-Arranz and Zavadjil,
2008). The first reason, as discussed earlier, is to stabilize exchange rate
and avoid excessive exchange rate appreciation. An appreciated exchange
rate makes import cheaper and reduces competitiveness of exports. At the
same time, such an overvalued exchange rate discourages reallocation of
resources from the less productive non-traded sector of the economy to the
more productive traded sector. Second, is to prepare for a defense against
speculative attack and foreign exchange rate instability due to shortfalls in
exports and to capital flow reversals. Third, the less volatile exchange rate
eliminates currency risks and provides incentives for overseas borrowing,
particularly when international interest rates are lower than domestic
interest rates.
The fourth reason is for the external reserve accumulation is to
provide for a fiscal space when facing the crisis. The bitter experience of
Asian financial crisis in 1997 was associated with the IMF conditionality
to adopt pro-cyclical macroeconomic policy, including tight fiscal policy,
high interest rate and large exchange rate devaluation during the crisis that
had over killed their banks, corporations and the economy and caused
wide political and social implications. Because they were treated badly
when they sought help in the past, Asian countries are quite reluctant to
turn to the IMF. At that time the crisis hit countries recovered quickly by
devaluating their national currencies to boost exports. During the recent
global financial crisis in 2007-08, as the world economy was in recession,
exchange rate devaluation could not be effective to stimulate the economy.
Monetary policy was powerless as interest rate was already close to zero.
Under liquidity trap, fiscal policy is the only hope to get out of recession.
But, only those with adequate external reserves, access to external financing
can afford the cost of fiscal stimulus. At the same time, reserves availability
would increase the scope for accommodating monetary policy, relaxing
domestic financial constraints and reducing the risk of crowding out
399
private activity. In addition, reserve adequacy would improve credit rating,
reducing the risk premium on external financing.
ASEAN+3 countries have introduced a number of policy measures to
protect their financial systems from the recent global turmoil of 2007-08.
In line with the policies adopted elsewhere, the authorities of this region
temporarily banned short selling of equity shares of financial institutions.
Non-viable and non-systemic banks have been allowed to go bankrupt. The
supply of liquidity in domestic currencies has been augmented by reducing
the minimum reserve ratio requirements and introducing emergency
credit facilities. Japan continues to apply monetary easing by supplying
liquidity to the market and reducing nominal interest rates close to zero.
The quantitative easing monetary policy in Japan has been in place since
the instability in its financial system in the 1990s.
5. Mixed economic system and leading role of banking industry
The economies of many ASEAN+3 countries are mixed economies
rather than fully fledged market-based ones. Government plays an important
role in these economies, either as a regulator or as a direct producer of private
goods through vast networks of state-owned enterprises (SOEs) covering
many sectors of the economy, including banking. The roles of the SOEs are
still dominant not only in the socialist countries such as the PRC, Vietnam,
Laos, Cambodia and Myanmar, but also in Indonesia and Singapore. The
day-to-day operations of many SOEs in many Asian countries, except in
Singapore, are tightly controlled by the state and they operate like arm’s
length extensions of the government bureaucracy. For a long period in the
past, nearly all of the ASEAN+3 countries applied industrial policies.
In terms of assets and branch networks, the banking industry is the core
of the financial systems in the ASEAN+3 (Table 2). Except in Hong Kong
and Japan, the role of non-bank financial institutions (NBFIs) is relatively
small as insurance companies and pension funds are still underdeveloped.
Because of the availability of cheap and low risk program loans from the
400
Public Sector Banks (PBS) under the long period of financial repression in
the past, there was no incentive for economic agents to raise funds from
stock and bond markets. Market capitalizations are particularly high in
Singapore and Hong Kong, the main financial centers of the region. During
the Cold War, it was relatively easy for governments to finance their budget
deficits from highly politicized foreign aid. Because of this there was no
need to issue sovereign bonds for financing budget deficit.
PBS plays a prominent role in the banking system of most of the
ASEAN+3 countries. The role of state-owned banks is dominant in China,
Indonesia and GMS. Both central and provincial governments have their
own deposit-taking banks and many lower layers of government own rural
credit institutions that compete with money lenders. Under the financial
repressions of the past, there was no incentive for bank managers to monitor
and manage risks, to upgrade transparency in corporate reporting or to
provide economically relevant information. All private-owned banks in this
region belong to business conglomerates. Because of the distorted market
information due to weak legal and accounting systems, these banks mainly
provide loans to those they know best, namely, their affiliated companies.
To take benefit of lower international interest rate, with perceived zero
foreign exchange risk under the fixed exchange rate system, both banks
and reputable companies before the crisis in 1997 heavily borrowed shortterm loans in foreign currencies from international markets to finance
long-term projects at home including in non-traded sector of the economy.
Such practices have caused double maturity and currency mismatches that
ignited financial crisis in 1997.
401
Table 2. Size and Composition of Financial System
(% of GDP)
Financial Sector Assets1
Country
Deposit-taking
Financial
Institutions
2000
2008
Non-bank
Financial
Institutions
2000
2008
Market Capitalization2
2000
Total Bonds
Outstanding
2008
2000
2008
China
168.8
204.5
8.8 33.9
27.1
32.3
16.9
50.3
Hong Kong
505.5
640.7
196.4 573.8
363.9
610.9
35.8
42.9
India3
61.6
91.6
15.4 32.8
33.3
59.7
24.6
35.3
Indonesia
63.6
48.6
8.8 13.7
18.7
21.7
31.9
13.4
Korea
147.9
192.7
44.1 62.6
31.2
56.3
66.5
86.2
Malaysia
154.2
190.3
16.5 20.2
124.7
89.6
74.8
73.5
Philippines
99.2
78.8
22.4 18.5
76.8
54.3
27.6
33.7
Singapore
683.8
707.9
39.1 47.1
243.7
148.0
48.0
70.8
Taipei, China
259.9
289.6
29.8 80.6
81.7
94.7
7.7
7.7
Thailand
132.3
137.7
10.7 33.0
26.0
39.2
25.3
51.6
Average4
227.7
258.2
39.2 91.6
102.7
120.7
35.9
46.5
Median
151.1
191.5
19.5 33.4
55.1
58.0
29.8
46.6
Eurozone
230.0
315.8
142.1 169.3
-
-
124.2
69.4
Japan
227.5
230.9
118.5 132.1
71.7
55.8
97.4
193.4
78.3
104.8
283.2 306.1
117.5
64.6
41.8
55.3
United States
Source: Chee Sung Lee and Cyn-Young Park. 2009. Beyond the Crisis: Financial Regulatory
Reform in Emerging Asia. ADB Working
Paper Series on Regional Economic Integration No.34. September, Table1 Page 12.
Notes:
1. Financial asset data for People’s Rep of China (PRC) for 2002 and 2007; Hong Kong,
China, for 2000 and 2007; Indonesia for 2001 and 2007; Malaysia for 2000 and 2007; and
Japan for 2001 and 2004.
2. Market capitalization as percentage of gross domestic product (GDP) in local currency.
3. Financial sector assets data for India in 2000 refers to FY ending March 2000; and for 2008
ending March 2008.
4. Simple average
402
The Asian crisis of 1997 marks the beginning of major reform in
Asian financial system to move from financial repressions to market-based
system in line with the Basel core principles. Healthier market competition
was encouraged by allowing greater penetration of foreign banks and
financial institutions in domestic market through privatization, merger
and acquisition. Market infrastructure has been much improved through
overhauling of prudential regulations, supervision standards and practices.
Safety nets were established, including deposit insurance companies and
the Financial Stability Forums. The unlimited blanket guarantee schemes
have been replaced by the deposit insurance companies to protect limited
amounts owned by small depositors. Accounting and reporting systems and
credit bureaus have been improved and established to upgrade information
system.
6. Bond markets
Both the governments and the central banks in six ASEAN+3
countries issue competing interest bearing bonds and securities. The six
countries are Indonesia, Korea, Malaysia, Taiwan, Thailand and the PRC
(the People’s Republic of China) Interest bearing bonds and securities are
used by the central banks as instruments for open market operations and
to sterilize accumulations of foreign exchange reserves. Bank Indonesia
has issued interest-bearing certificates of deposit (SBI-Sertifikat Bank
Indonesia) since 1974 in the absence of both short-term Treasury bills and
government bonds. Some countries, such as the PRC and Korea, recently
issued interest bearing bills as they ran out of government papers to sell to
sterilize purchases of foreign exchange. Particularly during the Cold War,
budget deficits in the public sector in some ASEAN+3 member countries
were also financed by official development aid at concessionary terms.
Because of the availability of cheap and low-risk credit from the banks
during the past policies of financial repression, there was no incentive for
the corporate sector to raise funds from the capital and securities markets.
On top of this, tax policies, such as stamp duty on transfers of bond
403
ownership, impeded the development of the secondary bond markets.
On the demand side, institutional investors, such as insurance companies
and pension funds, were not yet developed. As a result, both the private
sector and public sector were heavily reliant on short-term borrowing from
the banking system. Bond market and securitization started to grow in
ASEAN+3 after the credit crunch following the bankruptcy of major banks
in 1997.
After the financial crisis in 1997, the ASEAN+3 and EMEAP4 countries
adopted a combination of a market-led and government-led strategies to
develop domestic and regional bond markets. To create and improve the
working of domestic bond markets and promote their regional integration,
both the central banks of EMEAP and the Ministers of Finance of ASEAN+3
have taken measures to improve and harmonize market infrastructures.
The governments have also helped to establish rating agencies, introduce
credit guarantee schemes, and enhance securitization. The menus offered
by regional bond markets have been diversified through the issuance of
large amounts and greater diversity of government bonds.
Table 3 shows the rapid growth of Asian bond markets between 1997
and 2004. Government bonds play a dominant role in the structure of the
bond markets in China, Indonesia, Korea, Singapore and Thailand. The
rapid growth in the issuance of government bonds following the financial
crisis in 1997 in Indonesia, Thailand and Korea was mainly for the purpose
of financing bank recapitalization and the restructuring of bank clients in
the corporate sector. In 1998-1999, Indonesia issued government bonds
for its bank recapitalization program amounting to Rp 640 trillion, or
was roughly equivalent to 50 percent of her annual GDP in 1999. The
rapid growth of the bond market in Malaysia has been mainly due to the
government’s initiative to promote the issuance of corporate sector bonds.
The sovereign bond markets in Singapore and Hong Kong are relatively
4
EMEAP, or the Executives’ Meeting of East Asia Pacific Central Banks, has 11 members, namely, the Reserve Bank of Australia, People’s Bank of China, Hong Kong Monetary Authority,
Bank Indonesia, Bank of Japan, the Bank of Korea, Bank Negara Malaysia, Reserve Bank of
New Zealand, Banko Sentral ng Pilipinas, Monetary Authority of Singapore and Bank of Thailand.
404
small due to the balanced budget policy applied by these countries. By
contrast, Indonesia changed her debt strategy after the Asian financial crisis
in 1997 to one of financing its budget deficit with government bonds issued
both on the domestic and overseas markets.
The drying up in bank lending has encouraged non-bank and nonfinancial institutions in this region to provide funds by securitization built
around asset-backed securities supported by lease and credit receivables.
Governments, such as that of Japan, have also been active in promoting the
securitization markets. To replace the Fiscal Investment and Loan Program
(FILP) as a provider of credit to small and medium enterprises (SMEs),
the Government of Japan has established the JASME (Japan Finance
Corporation for Small and Medium Enterprises), a specialized financial
institution to provide government program loans to this class of customers.
JASME receives a guaranteed lending facility through the credit guarantee
corporation, and other credit enhancements (Sekine, et.al., 2009).
Table 3. Size of Asian Bond Markets
1997
2004
Country
Outstanding
($ million)
Percentage Outstanding
of GDP
($ million)
Percentage of
GDP
China
116.4
12.9
483.3
24.9
Indonesia
4.5
1.9
57.7
22.7
Korea
130.3
25.1
568.3
83.2
Malaysia
57.0
57.0
106.6
90.0
Philippines
18.5
22.3
25.0
28.8
Thailand
10.7
7.1
66.5
41.1
Hong Kong 45.8
25.9
76.8
46.3
Singapore
24.7
78.6
73.1
23.7
405
Japan
4,433.6
97.6
8,866.7
197.7
USA
12,656.9
62.9
19,186.6
161.6
Source: Eiichi Sekine, Kei Kodachi, Tetsuya Kamiyama, The Development
and Future of Securitization in Asia, Table 7.1 in Yasuyuki Fuchita (et.
al) 2009, Chapter 7.
7. International and Regional Financial Architectures
In addition to currency undervaluation, reforming international
and regional monetary systems are also crucial for rebalancing economic
growth. Regaining trust and confidence in the IMF as an international
institution to provide financial assistance to its member countries in need
will reduce the need for building individual reserves. The recent crises in
East and Central Europe and Greece indicate that the world needs regional
financial institutions to augment the IMF financing, surveillance and
conditionality.
The London Summit of G-20 in April 2009 gave a renewed mandate
and greater financial resources to the IMF and agreed to reform international
financial architecture. These allowed the IMF to rebuild trust by overhauling
its lending framework by modifying its policy recommendation and
conditionality and making them more flexible and can be tailored to the
needs of individual borrowers. The IMF now supports countercyclical
policies and even temporary imposition of capital controls to deter currency
speculators. During his visit to Seoul in July 2010, Mr. Strauss-Kahn,
publicly acknowledged the IMF’s policy mistakes in handling the Asian
financial crisis in 1997. The reform will raise the IMF quota and voting
power of Asia in the Fund and reduce the representation of the European
on the Executive Board.
The increasing Asia’s voice and representation in the Bretton Woods
financial organizations as well as the changes in its policy prescriptions
are expected to have greater placement of large reserves of Asia countries
406
in them. Only with sufficient financial resources can the IMF provide
stronger financial safety net closer to being an international lender of
last resort as proposed by the Korean authorities. In addition to greater
financial resources, the IMF also needs to strengthen its supervision and
conditionality to limit the borrowers from taking excessive risks to their
portfolio that caused moral hazard problems.
As shown by experiences of ASEAN+3 countries during the recent
crisis in 2008, the availability of the currency swap facilities from Chiang
Mai Initiative (CMI) and neighboring countries have substantially added
to foreign reserves to cover short-term foreign currency debt, provide a
fiscal space and increase the scope for accommodating monetary policy.
At that time, South Korea received currency swap facility from Japan and
the PRC as well as the US Federal Reserve Bank. The establishment of
a European Financial Stabilization Facility (EFSF) in Eurozone in May
this year following the crises in East, Central and Southern Europe also
indicates the need for regional financial arrangements to supplement the
IMF resources and surveillance.
The need for individual reserves in this region will be further reduced
by the strategic decisions on the CMI made by the finance ministers of the
ASEAN+3 countries during their meetings in Madrid in 2008. They agreed
to multilateralize BSA (Bilateral Swap Arrangements), to enlarge the size
of the currency swap facility and to increase the portion that is non-linked
to an IMF program. Chiang Mai Initiative Multi-lateralization (CMIM)
is a great leap forward toward greater political cohesion in the ASEAN+3
countries as they transfer some national powers to a regional institution.
Established in March 2010, the CMIM is a common swap arrangement of
$120 billion. To do surveillance the ASEAN+3 Macroeconomic Research
Office (AMRO) will be established in May 2011 replacing the ASEAN+3
Economic Policy Review and Policy Dialogue. CMIM will result in the
pooled fund becoming self-managed under a single contract, thus reducing
costly bilateral transactions and wasteful duplication of loan contracts.
The PRC is now very keen to support establishment of the quota-based
407
CMIM to pool resources through tapping of the region’s huge external
reserves for supplementing IMF facilities. During the Annual Meetings of
the IMF and the World Bank in Hong Kong, in 1997, the PRC along
with the US and EU strongly opposed Japanese proposal to establish the
Asian Monetary Fund. The PRC at present sees the MCMI as a platform
for internationalization of RMB. Aside from establishing currency swap
lines with its trading partners, the RMB are now being used as invoicing
and trade settlements with its regional neighbors. Malaysia’s central bank
has recently bought renminbi-denominated bonds for its external reserves
(Financial Times, September 20, 2010).
Moving forward, the ASEAN+3 countries also need to strengthen
regional cooperation to build up their financial systems and contribute to
Basel III negotiations. The first area of cooperation would be to continue
the existing regional programs to develop the bond and capital markets.
The existence of more matured national and regional bond markets allows
ASEAN+3 to tap financial resources of their regional neighbors. The second
area would be to reorganize and enlarge the SEANZA5 forum by establishing
a college of regional bank supervisors to discuss common interests. All of
ASEAN+3 countries are in transition from state-led financial repressions
to market based system. The agenda would cover comparing notes and
harmonizing bank resolution and insolvency procedures, the transition
to a market-based system, corporate governance, how to corporatize and
privatize public sector banks, how to deal with related lending of private
banks, and the application of the risk-based Basel III regulatory and
supervisory framework to all banks regardless of ownership. Narrow banks
can be established with a special mission to administer government directed
lending programs. T
The third area of cooperation would be to discuss and adopt a common
stance on the harmonization of capital rules and supervisory practices in
the region, and to anticipate the implications of the recent discussions
5
Established in 1956, SEANZA (South East Asia, New Zealand and Australia Central Banks) has
two subsidiaries, namely, SEACEN and SEANZA Forum for Bank Supervisors. SEACEN is a
training center and research organization based in Kuala Lumpur.
408
in international forums, such as the BIS and G-20, on the expansion of
regulatory and supervisory perimeters to non-bank affiliates, increasing
minimum capital for total and Tier 1 element risks under the Basel
framework, and the introduction of minimum leverage ratios for bank
capital, on their banks, corporations and developmental strategies. The
invitation of some emerging economies to join BIS and the establishment of
the Hong Kong Representative Office of BIS in 2002 were partly intended
to incorporate regional inputs in “the Asian way” in the universal banking
regulations and supervisory standards. Traditionally, the BIS standards were
exclusively tailored to the needs of the well developed banking systems and
matured financial markets in Europe and the United States.
The college of regional bank supervisors would not only supervise
the operations of regional financial firms, but it would also discuss the
implications of the proposals of the expansion of capital requirements and
accounting standards on quasi fiscal operations, public sector companies
(including banks), and affiliated companies (both shadow banks and
non-financial corporations), and off-balance sheet items. The setters of
accounting standards in the region should work on how to improve credit
and collateral valuation standards in regards to business affiliates to avoid
principal-agent and insider-trading problems. Other topics of common
interest would include how to avoid pro-cyclicality and minimize deposit
insurance rates. Based on their historical experiences and Asian culture,
the nations of this region need to contribute to the global discussions on
these issues. Supervisory coordination, however, should not extend to the
creation of a safety net as ASEAN+3 is not a monetary union.
October 1, 2010.
409
References
Bergsten, C. Fred. 2010. Correcting the Chinese Exchange Rate. Testimony
before the Hearing on China’s Exchange Rate Policy, Committee on
Ways and Means, US House of Representatives, Washington, D.C.
September 11.
“Bond boost for renminbi”, Financial Times, Asia, Monday, September 20,
2010, p.1.
Calomiris, Charles A. ed. 2007. China’s Financial Transition at a Crossroad.
New York: Columbia University Press.
Calvo, Guilermo A. and Carmen M. Reinhart. 200. “Fear of Floating”.
Quarterly Journal of Economics. 117:379-408.
Cooper, R.N. 2005. Living with Global Imbalances: A Contrarian View.
Prolicy Brief in International Economics. No. PB05-3. November.
Eichengreen, B. 2004. “Hanging Together? On Monetary and Financial
Cooperation”.
In Shahid Yusuf, M.A. Altaf and Kaoru Nabeshima. Eds. 2004. Global
Change and East Asian Policy Initiatives. Washington, D.C.: The
World Bank.
Filardo, Andrew and Hans Genberg. 2009. Targeting Inflation in Asia and
the Pacific: lessons from the recent past. Hong Kong: BIS Representative Office for Asia and the Pacific. August.
Humphrey, John and Hubert Schmitz. 2007. China: Its Impacts on Developing Asia Economies. Working Paper 295. Institute of Development
Studies at the University of Sussex. December.
Liu, Guy and Liang Zhang. 2010. Rethink of Price Regulation: a case of electricity pricing In China. A paper presented at Asian Economic Panel
Meeting at Keio University, September 11-12.
410
Nasution, Anwar. 2007. What East Asian countries should do to address
global saving-investment imbalances”. East Asia Economic Papers.
6(2):1-13. Spring/Summer.
_____________ 2010. Building Strong Banks and Bond Markets in the
ASEAN+3
Countries, A paper presented at the International Conference on “A perspective of Asian Financial Sector under the Global Financial Crisis”, jointly organized by the Japanese FSA-IMF-ADBI, Tokyo,
January 21.
Nishihara, Rie. 2005. Central Banks and Bond Market Development in
EMEAP Countries. Tokyo: Bank of Japan. June 18.
Pak, Yung Chul. 2010. “RMB Internationalization: Its Implication for
Financial and Monetary Co-operation in East Asia”, a paper presented at Asian Economic Panel Meeting, Sheraton Incheon Hotel,
Incheron, Korea, March 22-23, 2010.
Rodrik, Dani. 2010. “Making Room for China in the World Economy”.
Papers and Proceedings of the 122 Annual Meeting of the AEA,
Atlanta, Ga, January 4-6, 2010. AER: 89-93.
Ruiz-Arranz, Marta and Milan Zavadjil. 2008. Are Emerging Asia’s Reserves Really Too High?. IMF Working Paper. No. WP/08/192.
August.
Stiglitz, Joseph E. and Members of a UN Commission of Financial Experts. 2010. The Stiglitz Report. New York: the New Press.
Truman, Edwin M. 2010. “The G-20 and International Financial Institution Governance”. Working Paper Series. No. WP 10-13. Peterson
Institute for International Economics. September
Yao, Yang. 2010. China’s Export-led Growth Model: Causes, Prospects and
Structural Issues. A paper presented at Asian Economic Panel Meeting at Keio University. September, 11-12.
411
Yiping, Huang and Tao Kunyu. 2010. Causes and Remedies of China’s External Imbalances. A paper presented at Asian Economic Panel Meeting, Sheraton Incheon Hotel, Incheon, Korea. March 22-23.
412
KOORDINASI FISKAL MONETER DALAM JARING
PENGAMAN SISTEM KEUANGAN
Anggito Abimanyu, Ph.D.
Gumilang Aryo Sahadewo, M.A.
A. Pendahuluan
Krisis keuangan di Amerika Serikat sejak tahun 2008 dianggap
sebagai krisis terburuk sejak the Great Depression tahun 1930-an. Proyeksi
pertumbuhan ekonomi dunia menurun untuk dua tahun ke depan,
walaupun telah membaik di tahun 2010 dari puncak krisis tahun 2009.
Namun demikian, pertumbuhan dunia tersebut tetap memberikan sinyal
membaiknya kegiatan ekonomi dibandingkan saat krisis tahun 2009.
Negara berkembang dan ASEAN 5, dengan menerapkan kebijakan yang
strategik, memiliki kesempatan untuk memanfaatkan momentum krisis
ini.
413
Gambar 1.Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Dunia
Sumber: diolah dari IMF (2011)
Negara ASEAN 5, khususnya Indonesia, harus mengidentifikasi
dampak dari krisis terhadap sektor keuangan yang menjalar dengan cepat.
Identifikasi dampak krisis fokus pada variabel dan parameter di sektor
keuangan, tidak hanya pada pertumbuhan ekonomi.Argumen bahwa
perekonomian dapat berdiri di antara krisis ekonomi global tidak sepenuhnya
terjustifikasi.Pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagian besar
adalah konsumsi rumah tangga.Situasi ini tidaklah optimal jika investasi
dan produksi tidak bisa menopang konsumsi tersebut.Indonesia, sebagai
kompensasinya, harus mengimpor kebutuhan dari luar negeri.Situasi ini
meningkatkan paparan Indonesia terhadap berbagai macam ketidakpastian
seperti imported inflation serta gejolak nilai tukar rupiah.
414
Gambar 2. Nilai Tukar Rupiah dan Indeks Harga Saham, 2000:012010:03
Sumber: diolah dari IFS, 2011
Economic exposure serta ketatnya likuiditas pasar keuangan internasional memberikan tekanan jangka pendek kepada pasar uang dan pasar
modal di Indonesia.Tekanan di pasar uang dan pasar modal tidak hanya
mempengaruhi faktor fundamental namun juga faktor psikologis.Faktorfaktor tersebut memberikan andil terhadap depresiasi nilai kurs, seperti
dijelaskan Gambar 2.Kurs rupiah melemah hingga kisaran Rp10.225Rp11.575/US$ pada kuartal IV 2008 sampai dengan kuartal II 2009.
Indeks harga saham, pada saat yang sama, turun sebesar rerata 15,6%
selama tahun 2008 dengan penurunan terbesar sebesar 38,9% pada kuartal
IV 2008.
Cadangan devisa merupakan pilihan pemerintah, khususnya Bank
Indonesia, untuk menjaga nilai tukar rupiah dan psikologis pasar secara
tidak langsung. Gambar 3 merekam penurunan cadangan devisa sebesar
4% dan 9,9% pada kuartal III dan IV 2008.Intervensi tersebut ternyata
relatif tidak dapat mengimbangi capital flight yang cukup deras pada
rentang periode tersebut.
415
Gambar 3. Cadangan Devisa, 2000:01-2010:03
Sumber: diolah dari IFS, 2011
Suku bunga acuan dipertahankan stabil pada kisaran 6% untuk
mempertahankan arus devisa yang masuk dan keluar dari Indonesia
(Gambar 4). Suku bunga ini relatif yang tertinggi di antara negara ASEAN
lainnya. Thailand dan Malaysia bahkan menetapkan suku bunga acuan
pada kisaran 3-3,5%. Implikasinya adalah suku bunga kredit riil yang
relatif tinggi atau real cost of funyang masih tinggi di Indonesia.Keadaan
ini tidak preferable bagi sektor riil yang sebetulnya memiliki potensi untuk
memanfaatkan kesempatan di kala pemulihan krisis.
Fokus kebijakan tidak hanya tertuju pada pergerakan variabel utama
tetapi juga asa dari pelaku pasar.Faktor asa pelaku ekonomi pada masa krisis
akan sangat berbeda dengan perilaku pada masa normal. Arus informasi
sangat cepat dan seringkali mendorong pelaku ekonomi untuk segera
mengambil keputusan karena pelaku ekonomi menghadapi ketidakpastian.
Konsekuensinya, volatilitas variabel cenderung meningkat dan proyeksi
variabel seringkali meleset dan penerapan kebijakan seperti halnya di masa
normal relatif tidak kompeten.
416
Krisis perekonomian juga tidak lepas dari keadaan sektor keuangan.
Sektor ini lah yang memiliki potensi besar untuk menerima konsekuensi dari
keadaan krisis.Konsekuensi tersebut dapat meliputi kesulitan likuiditas dan
penurunan kepercayaan nasabah.Lebih dari itu, pengambil kebijakan juga
menghadapi suatu kemungkinan kegagalan lembaga di sistem keuangan,
seperti bank, yang berdampak sistemik.Oleh karena itu, pembahasan
kebijakan terkait resolusi krisis harus mempertimbangkan keadaan sektor
keuangan.
Gambar 4.Suku Bunga Kredit Riil Negara ASEAN, Januari 2011
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
Tanggung jawab pengawasan sektor keuangan paling tidak mengerucut
pada koordinasi fiskal dan moneter oleh pemerintah.Kementrian keuangan
selaku otoritas fiskal dan otoritas yang berhak menciptakan regulasi harus
terus menjalin koordinasi dengan Bank Indonesia selaku otoritas moneter.
Fokus koordinasi tidak hanya untuk masa normal saja namun lebih kepada
masa krisis. Mekanisme koordinasi fiskal dan moneter pada saat krisis
merupakan elemen krusial karena kedua otoritas inilah yang memiliki
knowledge dan policy tools untuk menghadapi krisis.
417
Pembahasan dalam tulisan ini meliputi kompleksitas sistem keuangan
di Indonesia (bagian B) dan Pentingnya Jaring Pengaman Sistem Keuangan
(bagian C).Pembahasan pentingnya Jaring Pengaman Sistem Keuangan
meliputi aspek legal, aspek koordinasi, Komite Stabilitas Sistem Keuangan,
dan Koordinasi Fiskal Moneter.
B. Kompleksitas Sistem Keuangan di Indonesia
Lembaga keuangan memiliki ukuran yang besar dalam perekonomian
dengan proporsi aset terhadap PDB nominal mencapai 47,6% pada tahun
2008. Profil lembaga keuangan di Indonesia didominasi oleh Perbankan
dengan proporsi aset hampir 90% dari aset seluruh lembaga keuangan.
Nilai kredit, pembiayaan, pinjaman, dan investasi mengalami pertumbuhan
sebesar 24,2% pada tahun 2008, angka pertumbuhan yang cukup tinggi.
Kita lihat modal ventura mengalami peningkatan nilai aktivitas yang
cukup pesat yaitu 233,3% diikuti oleh pegadaian (83,7%) dan perbankan
(62,5%). Kenaikan nilai aktivitas sektor keuangan paling tidak menjelaskan
kenaikan kebutuhan masyarakat terhadap pembiayaan.
Tabel 1. Aset dan Nilai Aktivitas Lembaga Keuangan
Lembaga Keuangan
Perbankan (A)
LK Nonbank (B)
Modal ventura
Asuransi
Aset
(triliun rupiah)
2006
2007
2008
Nilai aktivitas utama
(triliun rupiah)1
2006
2007
2008
1.693,5
1.986,5
2.310,6
832,9
1.045,7
1.353,6
3,0
16,2
2,8
19,1
2,1
22,7
1,5
152,9
4,7
202,3
5,0
211,2
Perusahaan pembiayaan
93,1
107,7
137,5
93,1
107,7
137,5
Dana pension
77,7
91,2
90,2
75,0
88,0
86,4
Reksa dana
Pegadaian
72,1
18,4
73,1
22,8
74,1
33,8
18,4
22,8
33,8
418
Total Aset LK Nonbank
(B)
Aset total sektor keuangan (A+B)
PDB nominal (triliun
rupiah) (C)
Proporsi Aset Perbankan: PDB (A:C)
Proporsi Aset LK Nonbank: PDB (B:C)
Rasio Aset Sektor
Keuangan:PDB (A+B):C
280,5
316,7
360,4
340,9
425,5
473,9
1.974,0
2.303,2
2.671,0
1.173,8
1.471,2
1.827,5
3.949,3
4.954,0
5.613,4
3.949,3
4.954,0
5.613,4
42,9
40,1
41,2
21,1
21,1
24,1
7,1
6,4
6,4
8,6
8,6
8,4
50,0
46,5
47,6
29,7
29,7
32,6
Sumber: dihitung dari BI (2010b;2009), Bapepam-LK (2009), Pegadaian (2010)1 Nilai aktivitas berdasarkan jumlah kredit (perbankan), jumlah
pinjaman (pegadaian), jumlah pembiayaan (perusahaan pembiayaan dan
modal ventura), dan jumlah investasi (asuransi dan dana pensiun).
Industri Perbankan mendominasi sektor keuangan dengan rasio
aset mencapai 87%. Dominasi ini rasanya tidak akan banyak berubah
dalam waktu dekat walaupun industri modal ventura dan pegadaian
berkembang cukup pesat. Sektor keuangan Indonesia, ke depannya, tidak
dapat mengesampingkan perkembangan lembaga keuangan mikro (LKM).
Usaha yang masuk dalam klasifikasi LKM meliputi bank unit mikro,
Koperasi Simpan Pinjam (KSP), Unit Simpan Pinjam (USP), BMT, credit
union, dan LSM. Ukuran LKM di Indonesia dalam hal aset tidaklah terlalu
besar relatif terhadap industri perbankan, asuransi, modal ventura, dan
pegadaian. Namun demikian, jumlah LKM di Indonesia mencapai 35 juta
sampai dengan tahun 2009 dan jumlah unit usaha maupun nasabah akan
terus bertambah (Pradiptyo dkk., 2010).
419
Gambar 5. Pangsa Aset Lembaga Keuangan Terhadap Total Aset Sektor Keuangan, 2008
Sumber: dihitung dari BI (2010b;2009), Bapepam-LK (2009), Pegadaian
(2010)
Profil sektor keuangan di Indonesia juga dilengkapi oleh program
pinjaman mikro yang jumlahnya mencapai 35.135 program di seluruh
Indonesia (Ashari, 2006). Program pinjaman mikro meliputi Kredit Usaha
Kesejahteraan Masyarakat (Kukesra), Program Pengembangan Kecamatan
(PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP),
Pendidikan Kewirusahaan Masyarakat (PKM), dan Inisiatif Masyarakat
Setempat (IMS). Nasabah yang tercatat mencapai 17 juta dengan total
pinjaman Rp2,8 triliun (Pradiptyo dkk., 2010).
420
Gambar 6. Kompleksitas Keterkaitan
antar Lembaga Keuangan di Indonesia
Sumber: modifikasi dari Pradiptyo dkk., 2010.
Seluruh elemen di sektor keuangan, mulai dari bank, lembaga keuangan
non-bank, LKM, hingga program mikro, memiliki keterkaitan usaha.
Keterkaitan ini tidak terbatas pada transaksi keuangan mutual tetapi juga
penanaman modal hingga kepemilikan. Kompleksitas transaksi muncul
terutama antara dua lembaga yang berada di payung pengawasan yang
berbeda. Sistem pengawasan yang telah ada saat ini, baik Bank Indonesia,
Bapepam-LK, maupun Kementrian Koperasi dan UKM, belum memiliki
kerjasama terkait data sharing dan data interfacing.
Permasalahan yang terjadi adalah sistem pengawasan antar industri
yang asimetrik (Gambar 7). Bank Indonesia memiliki sistem yang telah
mapan dengan pengawasan on- dan off-site di seluruh Indonesia. Sistem
421
mereka mampu mendeteksi transaksi keuangan mencurigakan pada saat itu
juga. Bapepam-LK saat ini cenderung fokus pada pengawasan laku bisnis
atau compliance pemain usaha dengan peraturan yang telah ditetapkan.
Pengawasan oleh Bapepam-LK belum mencakup aspek sistemik suatu
lembaga keuangan dan industri lembaga keuangan. Kementrian Koperasi
dan UKM (KUKM) bahkan belum memiliki sistem pengawasan koperasi
yang dapat diterapkan.
Gambar 7. Sistem Pengawasan Sektor Keuangan yang Asimetrik
Sistem pengawasan Bank Indonesia yang ketat saja masih
memungkinkan segelintir pelanggaran. Hal ini memunculkan keraguan
terhadap sistem pengawasan oleh Bapepam LK apalagi KUKM. Tidak
banyaknya pelanggaran yang dilaporkan di industri yang mereka awasi
belum tentu karena sistem pengawasan yang baik namun karena sistem
deteksi yang relatif lemah. Playing field yang asimetrik karena kedalaman
pengawasan yang berbeda memiliki potensi moral hazard yang tinggi.
Investor cenderung untuk mengembangkan pasar di sektor yang memiliki
pengawasan yang lebih lemah.
Kompleksitas sistem keuangan di Indonesia memerlukan sistem
pengawasan yang komprehensif. Lebih dari itu, sistem keuangan di
422
Indonesia memerlukan jaring pengaman untuk menghindari berbagai
adverse effect yang muncul di saat krisis. Jaring pengaman sistem keuangan
memberikan mandat kepada suatu pihak untuk mengambil keputusan di
kala krisis. Mengambil keputusan untuk menyelamatkan sektor keuangan
lebih krusial dibanding menghiraukannya sama sekali. Sayangnya, Indonesia
tidak memiliki mekanisme yang memberikan kewenangan kepada suatu
pihak untuk mengambil keputusan di saat krisis.
C. Pentingnya Jaring Pengaman Sistem Keuangan
Krisis sektor keuangan di Indonesia pada tahun 1997-1998 terekam
sejarah menjadi krisis termahal di dunia. Pengambil kebijakan harus
mengeluarkan biaya hingga 50% dari PDB Indonesia pada periode
itu untuk menyelamatkan sektor keuangan. Kasus kegagalan lembaga
keuangan kembali muncul di krisis keuangan global lalu, seperti Northern
Rock di Britania Raya, Hypo Real dan IKB di Jerman, Fortis di Belgia,
serta Lehman Brothers di Amerika Serikat terjadi karena absennya special
resolution regimeatau crisis resolution regime (Nier, 2009). Special resolution
regimeadalah elemen penting kerangka pengambilan kebijakan khusus di
masa krisis. Mekanisme resolusi yang disusun sedimikian rupa merupakan
langkah untuk mencegah dampak buruk kegagalan lembaga keuangan
yang berdampak sistemik.
Indonesia, sayangnya, belum memiliki platform resolusi khusus untuk
masa krisis sejak penghapusan Perppu Nomor 4 Tahun 2008 tentang
Jaring Pengaman Sistem Keuangan.Kerangka ini sangat dibutuhkan untuk
beberapa hal sebagai berikut.
1.
Penciptaan koordinasi antar tiga pengawas utama sistem keuangan
yaitu Kementrian Keuangan (KK), Bank Indonesia (BI), dan Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS). Koordinasi di masa yang akan datang juga
akan melibatkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
423
2.
Menghadapi keterkaitan antar lembaga keuangan yang semakin
kompleks dan kualitas pengawasan lembaga keuangan yang
asimetrik.1
Jaring Pengaman Sistem Keuangan, yang diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 4 Tahun 2008, bertujuan
untuk menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan melalui
pencegahan dan penanganan krisis. Sektor yang berperan sebagai penopang
utama perekonomian adalah sektor keuangan. Kegagalan sektor keuangan
memiliki implikasi yang buruk terhadap seluruh sistem keuangan (Stiglitz,
1994). Tabel 2 menjelaskan ruang lingkup pencegahan krisis oleh JPSK.
Tabel 2. Ruang Lingkup Pencegahan Krisis JPSK
Lingkup Krisis
Solusi
Bank mengalami kesulitan
Pemberian Fasilitas Pembiayaan
likuiditas yang dapat berdampak Darurat (FPD) oleh BI dengan
sistemik
jaminan pemerintah
Bank mengalami kesulitan solvabilitas yang dapat berdampak
sistemik
FPD yang tidak dapat diluniasi
menjadi beban APBN
LKBB mengalami kesulitan
likuiditas dan solvabilitas yang
dapat berdampak sistemik
Tidak disebutkan
Sumber: diolah dari Departemen Keuangan (2008)
Permasalahan likuiditas bank dapat diselesaikan oleh pemegang saham
sendiri atau melalui Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek (FPJP) oleh Bank
Indonesia. Peraturan mengenai FPJP telah diatur dalam: 1) UU BI Nomor
1
Bank Indonesia memiliki sistem pengawasan yang komprehensif, meliputi on- dan off-site supervision, di berbagai daerah di Indonesia. Kementrian Keuangan, melalui Bapepam-LK, belum
memiliki sistem pengawasan sampai di daerah sedangkan Kementrian Koperasi belum memiliki
sistem pengawasan lembaga keuangan. Kualitas pengawasan yang asimetrik menimbulkan insentif untuk masuk ke industri yang belum memiliki sistem pengawasan.
424
23 tahun 1999 dengan perubahan dalam UU Nomor 3 tahun 2004 pasal
11; 2) UU Perbankan Nomor 7 tahun 1992 dengan perubahan dalam
UU Nomor 10 tahun 1998 pasal 37. Bank yang mengalami insolvabilitas
namun tidak membahayakan sistem keuangan/perbankan diserahkan
oleh LPS dengan dasar aturan UU BI Nomor 3 tahun 2004 dan UU LPS
Nomor 24 tahun 2004.
Rancangan JPSK yang telah ada beserta UU yang mendukung
cenderung fokus pada kegagalan industri perbankan yang dapat berdampak sistemik. Mekanisme ini tidak sepenuhnya salah karena aset
dan nilai kegiatan industri perbankan merupakan yang terbesar di sektor
keuangan. Faktor bank-run, yang terjadi terhadap perbankan Indonesia di
krisis tahun 1998, memberikan efek domino yang tidak optimal untuk
situasi krisis. Namun demikian, perkembangan LKBB dan LKM yang
pesat patut dimasukkan dalam model penanganan krisis. Bagaimanapun
juga, keterkaitan antar lembaga keuangan telah erat dan paparan terhadap
risikocontagion menjadi tinggi.
1. Aspek Legal
Pengambil kebijakan telah memiliki berbagai peraturan pendukung
pelaksanaan JPSK. Peraturan tersebut meliputi Perpu Amandemen UU
BI, Perpu Amandemen UU LPS, serta harmonisasi UU terkait. Peraturan
Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 tahun 2008 tentang Perubahan UU
Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia fokus pada beberapa aspek
sebagai berikut Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP). Fasilitas ini
jarang digunakan oleh bank karena dapat mendapatkan dana di PUAB
dan dapat memanfaatkan mekanisme Repo SUN/SBI. Perpu Nomor 2
tahun 2008 memperluas agunan melalui aset kredit kolektibilitas dan nilai
agunan dijamin penuh sesuai yang disyaratkan. Bank Indonesia menetapkan
Pengaturan Pelaksanaan (PBI) yang meliputi:
1.
Penetapan kriteria agunan dan persyaratan CAR positif
2.
Penempatan bank dalam pengawasan khusus sebagai upaya monitoring
perbaikan manjemen likuiditas bank dan mencegah moral hazard.
425
Perppu Nomor 3 tahun 2008 tentang perubahan UU Nomor 24
tahun 2004 tentang LPS menetapkan perubahan nilai penjaminan untuk
mengakomodasi potensi krisis terhadap perbankan seperti bank run.
Perubahan nilai penjaminan ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah
yang dilaporkan kepada DPR. Nilai penjaminan tersebut dapat disesuaikan
kembali setelah situasi krisis mereda.
Peraturan JPSK juga perlu melakukan harmonisasi dengan UU yang
lain. Undang-Undang yang terkait meliputi UU Bank Indonesia, UU
Perbankan, UU LPS, UU LKBB, UU Keuangan Negara, UU APBN,
dan UU SUN. Undang-Undang yang telah ada sebagian besar disusun
untuk sitasi perekonomian normal. Kebutuhan pengembangan UU untuk
mengakomodasi skenario krisis sangat krusial.Aspek legal JPSK juga perlu
memasukkan Otoritas Jasa Keuangan (JPSK) dalam model penanganan
krisisnya.Tabel 3 menjelaskan keterkaitan UU tersebut dengan JPSK
(Departmen Keuangan, 2008).
Tabel 3. Harmonisasi Undang-Undang dengan Peraturan JPSK
Undang-Undang
Harmonisasi
UU Bank Indonesia dan UU
Perbankan
Terbatas pada pengaturan dan
pengawasan perbankan dalam
sitasi normal. Peraturan JPSK
perlu melengkapi UU tersebut
dengan penanganan permasalahan bank berdampak sistemik dan
penanganan industri perbankan
pada situasi krisis.
UU LPS
Peraturan JPSK mengamanatkan
pembentukan komite penyerahan
bank gagal kepada LPS untuk
ditangani sesuai UU LPS
426
UU terkait LKBB
Terbatas pada pengaturan dan
pengawasan LKBB dalam sitasi
normal. Peraturan JPSK perlu
melengkapi UU tersebut dengan
definisi kesulitan yang dialami
LKBB dan penanganan LKBB
yang dapat berdampak sistemik.
Peraturan JPSK juga perle melengkapi UU dengan penanganan
LKBB dalam situasi krisis.
UU Keuangan Negara dan UU
APBN
Peraturan JPSK perlu melengkapi
UU dengan mekanisme penggunaan dana APBN untuk keadaan
darurat yang tidak memerlukan
persetujuan oleh DPR.
UU SUN
Peraturan JPSK perlu menetapkan penerbitan SUN dan surat
berharga negara lainnya yang secara khusus dapat dimanfaatkan
untuk pencegahan dan penanganan krisis.
Sumber: modifikasi dari Departemen Keuangan (2008)
Peraturan JPSK juga perlu mempertimbangkan kewenangan anggota
Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), khususnya ketua, dalam
mengambil keputusan. Ketua KSSK memiliki experience, SDM, serta policy
tools untuk mencapai objective penanganan krisis. Keputusan dibuat oleh
KSSK dalam keadaan krisis jauh lebih baik dibandingkan tidak mengambil
keputusan sama sekali. Tepat atau tidaknya suatu keputusan di situasi krisis
tidak dapat menjadikan pertimbangan pengambil keputusan benar atau
salah secara hukum. Oleh karena itu, Peraturan JPSK perlu memberikan
perlindungan hukum terhadap anggota KSSK yang mengambil keputusan
di situasi krisis.
427
2.
Elemen Resolusidan Tujuan Jaring Pengaman Sistem Keuangan
Keputusan terkait desain JPSK yang optimum memerlukan studi
khusus. Namun demikian, desain JPSK paling tidak harus mempertimbangkan fakta bahwa sektor keuangan tidak lagi terdiri dari bank
dan lembaga keuangan non-bank saja. Sektor keuangan juga terdiri dari
lembaga keuangan mikro baik dalam bentuk bank maupun koperasi.
Tentu, masing-masing industri memiliki sensitivitas yang berbeda pada
saat krisis perekonomian. Oleh karena itu, desain JPSK yang optimum
perlu mempertimbangkan hal tersebut.
Sistem JPSK paling tidak memiliki dua elemen utama yaitu resolusi
untuk lembaga keuangan berdampak sistemik serta resolusi untuk lembaga
keuangan berdampak minimum (Gambar 8). Lembaga keuangan berdampak
sistemik adalah perbankan karena merupakan lembaga intermediasi utama
dalam perekonomian. Lembaga keuangan berdampak minimum tetap akan
memberikan adverse effect kepada perekonomian pada saat krisis, namun,
dampaknya tidak sistemik seperti layaknya bank.
Gambar 8. Elemen Utama JPSK
Kedua elemen akan memiliki resolusi yang identik namun demikian
resolusi lembaga keuangan berdampak sistemik tentunya akan sangat
berbeda. Lebih dari itu, resolusi untuk lembaga keuangan berdampak
sistemik memiliki implikasi hukum dan anggaran yang lebih kompleks.
428
Resolusi lembaga keuangan berdampak minimum seperti LKM patut
disusun karena distribusi nasabah yang cenderung masyarakat menengah
ke bawah. Tentunya pengambil kebijakan tidak ingin kelas masyarakat
tersebut mendapatkan dampak ganda dari krisis yaitu kejutan terhadap
harga dan aset di lembaga keuangan.
Desain JPSK yang optimal juga perlu mengepankan resolution
objectives sebagai fondasi pengambilan dan pelaksanaan kebijakan. Green
dkk. (2011) menjelaskan bahwa otoritas pengaman sistem keuangan perlu
mempertimbangkan objectives sebagai berikut:
1.
Memastikan keberlanjutan jasa sektor keuangan vital
2.
Menghindari adverse effects krisis terhadap stabilitas keuangan
3.
Melindungi dana masyarakat
4.
Melindungi deposan yang terasuransi.
Resolution objectives tersebut kemudian diturunkan menjadi policy
measures yang applicable untuk permasalahan nyata. Tentunya, JPSK di
Indonesia akan memiliki resolution objectives yang berbeda, studi lebih
lanjut sangat dikedepankan untuk menjawab hal tersebut.
3.
Aspek Koordinasi Pengawas Sistem Keuangan
Salah satu instrumen vital pencegahan krisis adalah penciptaan koordinasi yang juga meliputi data sharing dan data interfacing antar pengambil
kebijakan. Koordinasi antar lembaga akan menciptakan measures yang vital
untuk stabilitas sistem keuangan. Koordinasi juga mengurangi asymmetric
information antar lembaga yang berpotensi menciptakan arogansi sektoral
(turf wars), pengalihan tanggung jawab (pass the bucket), dan blame
disbursement strategy (pengalihan wewenang/pengalihan kesalahan).
Hasil eksperimen Rimawan dkk. (2011), dengan subjek penelitian
civitas akademika Universitas Gadjah Mada, menjelaskan kenyataan bahwa
koordinasi adalah sesuatu yang sulit untuk dicapai. Koordinasi antar subjek
hanya terjadi sebesar 2% saja untuk keseluruhan eksperimen. Hasil ini jauh
lebih rendah dibandingkan hasil eksperimen mengenai koordinasi di negara
429
maju yang mencapai 40%. Oleh karena itu, koordinasi di Indonesia tidak
bisa disusun hanya satu waktu saja, namun, harus bertahap. Koordinasi
bertahap bertujuan untuk memunculkan reciprocity dan mutual trust.
Koordinasi paling tidak dibangun dengan mempertimbangkan dua
hal yaitu tahapan koordinasi dan bentuk komite koordinasi. Pertama,
koordinasi optimum dibentuk untuk tiga tahapan yaitu koordinasi rutin
di keadaan normal, koordinasi intensif di keadaan transisi, dan koordinasi
komprehensif di keadaan krisis. Koordinasi rutin situasi normal bertujuan
untuk menciptakan knowledge sharing, ikatan koordinasi, dan kerjasama
antar lembaga pengawas. Kedua, komite koordinasi harus terdiri dari SDM
yang sama dari setiap lembaga pengawas. SDM yang sama ini bertujuan
untuk minimisasi loss of information pada saat koordinasi. Platform
koordinasi sedimikian rupa bertujuan untuk meminimisasi biaya koordinasi
dan akuntabilitas penetapan dan pengambilan kebijakan, khususnya di
situasi krisis.
Gambar 9 menjelaskan skema koordinasi antar lembaga keuangan
yang terdiri dari Bank Indonesia, LPS, dan Otoritas Jasa Keuangan
(OJK).2 Koordinasi umum antar lembaga pengawas harus dimulai dengan
penetapan peraturan mengenai fungsi dan tugas masing-masing lembaga
dalam keadaan normal, transisi, dan krisis. Koordinasi harus dijalankan
dalam basis harian melalui data sharing dan data interfacing untuk optimasi
informasi antar industri di sektor keuangan yang semakin terkait.
2
Asumsi Bapepam-LK telah bergabung menjadi OJK dan pengawasan sementara perbankan dipegang oleh Bank Indonesia sampai sistem pengawasan OJK telah terbangun solid.
430
Gambar 9. Skema Koordinasi antar Lembaga Pengawas
Pelaksanaan beserta detail teknis kerjasama saat ini telah diatur oleh
perjanjian antar lembaga pengawas sektor keuangan. Sebagai contoh,
kerjasama Bank Indonesia dan LPS diatur dalam SKB No. 11/55/KEP.
GBI/2009 dan KEP/026/DK/X/2009 pada Oktober 2009. Kesepatakan
ini mengatur koordinasi dan pertukaran data serta informasi untuk
mendukung pelaksanaan kerja BI dan LPS. Koordinasi yang dibangun oleh
BI dan LPS antara lain:
431
1.
Implementasi jaminan pinjaman
2.
Penanganan masalah perbankan
3.
Resolusi bank gagal
4.
Tindak lanjut terhadap bank yang perizinan telah dicabut
5.
Pembahasan klaim penjaminan
6.
Koordinasi data dan informasi
Kerjasama BI, LPS, dan Kementrian Keuangan saat ini terangkum
dalam MoU yang disepakati tanggal 30 Juli 2010. Kesepakatan ini
merupakan langkah koordinasi untuk mencegah dan memberikan resolusi
terhadap ancaman stabilitas sistem keuangan. Kesepakatan ini penting
untuk menjaga momentum koordinasi di saat legislatif belum menyetujui
UU JPSK. Kesepakatan antara ketiga lembaga tersebut meliputi:
1.
Pertukaran data dan informasi oleh BI, LPS, dan Kementrian keuangan
untuk menjaga stabilitas sistem keuangan
2.
Pembahasan rutin terkait hasil monitoring keadaan sistem keuangan
3.
Pemberian input teknis dan memastukan pengertian terhadap
tindakan yang perlu dilakukan masing-masing lembaga untuk menjaga
stabilitas
4.
Implementasi simulasi dan evaluasi menggunakan protokol manajemen
krisis. (BI, 2011).
Salah satu output dari memorandum ketiga lembaga pengawas di atas
adalah protokol manajemen krisis. Protokol ini adalah subset kerjasama
yang khusus memberikan panduan terkait parameter di periode krisis.
Protokol ini mencakup pencegahan krisis sektor perbankan, resolusi krisis,
dan koordinasi monitoring dan resolusi krisis (BI, 2011). Ketiga lembaga
pengawas ini, ke depannya, diharapkan mampu menciptakan indikator
deteksi krisis atau early warning system sebagai komplemen dari indikator
macroprudential yang telah ada. Sekali lagi, protokol krisis ini juga perlu
mengedepankan pentingnya perlindungan legal terhadap pengambil
kebijakan penting pada masa krisis (Abimanyu, 2009).
432
4.
Komite Stabilitas Sistem Keuangan
Beberapa negara telah mengedepankan pentingnya komite untuk
membahas isu penting terkait pelaksanaan pengawasan lembaga keuangan.
Pembahasan ini bertujuan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan
dengan mengupayakan knowledge sharing, data sharing dan interfacing,
serta simulasi pengambilan keputusan terutama di waktu krisis. Tabel 4
menjelaskan bahwa komite di berbagai negara terdiri dari bank sentral,
Kementrian Keuangan, dan otoritas pengawas lembaga keuangan bank dan
nonbank.
Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) merupakan integrasi
pengambilan kebijakan oleh BI, LPS, Kementrian Keuangan, dan nantinya
Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Bank Indonesia dan LPS dalam KSSK
memiliki tugas untuk menetapkan penanganan likuiditas dan solvabilitas
bank bermasalah yang memiliki dampak sistemik. Kedua lembaga tersebut
juga memiliki tugas untuk memberikan resolusi terhadap bank yang telah
gagal. Bank Indonesia, khususnya, akan terus melaksanakan pengawasan
makroprudensial dan mikroprudensial sebagai bank sentral Indonesia
(Bank Indonesia, 2007).
Tabel 4. Harmonisasi Undang-Undang dengan Peraturan JPSK
Negara
Anggota Komite
Ketua
Britania
Raya
Bank of England, Financial Services
Authority, Kementrian Keuangan
Kementrian
Keuangan
Amerika
Serikat
Kementrian Keuangan, Federal Reserve,
Security Exchange Commission, dan Federal
Deposit Insurance Corporation
Kementrian
Keuangan
Australia
Kementrian Keuangan, Reserve Bank
of Australia, dan Australia Prudential
Regulatory Authority
Kementrian
Keuangan
433
Jepang
Kementrian Keuangan, Bank of Japan, dan
Financial Services Authority
Kementrian
Keuangan
Singapura
Kementrian Keuangan dan Monetary Authority of Singapore
Kementrian
Keuangan
Sumber: Kementrian Keuangan (2008)
Kementrian Keuangan bertindak sebagai ketua KSSK di berbagai
negara. Posisi ini merupakan langkah strategis komite stabilitas karena
Kementrian Keuangan memiliki koordinasi langsung dengan pengambil
kebijakan di pemerintah. Bank sentral dan otoritas pengawas jasa keuangan
akan optimal jika bertindak sebagai anggota karena independensi mereka
dalam pelaksanaan pengawasan harus terjaga. Hal ini penting untuk menjaga
independensi serta kualitas input bank sentral dan otoritas pengawas jasa
keuangan dalam komite stabilitas.
Komite yang optimal untuk kasus di Indonesia paling tidak dibagi
menjadi dua bagian yaitu terkait penyusunan kebijakan oleh KSSK
serta terkait resolusi bank bermasalah dengan dampak sistemik yaitu
Komite Koordinasi (KK). Gambar 10 menjelaskan bahwa Kementrian
Keuangan dan Bank Indonesia bertindak sebagai KSSK dalam tataran
pengambilan kebijakan. Skema koordinasi pengambilan kebijakan KSSK
tidak mengikutsertakan LPS sebagai upaya menghindari moral hazard.
Namun, KSSK tetap menerima masukan dari LPS dalam pelaksanaan
tugas koordinasinya.
434
Gambar 10. Skema Komite Stabilitas Sistem Keuangan
dan Komite Koordinasi
Peran Kementrian Keuangan sebagai ketua KSSK memiliki berbagai
pertimbangan khusus yang meliputi dampak sistemik, risiko fiskal, serta
akuntabilitas fiskal (Kementrian Keuangan, 2008). Ketiga aspek tersebut
mempertimbangkan biaya koordinasi dengan pemerintah untuk keputusan
penting di saat krisis. Selain itu, Kementrian Keuangan memiliki otoritas
untuk menghitung risiko fiskal dan menetapkan besaran fiskal untuk
menangani permasalahan di saat krisis. Kementrian Keuangan dalam hal
435
ini sebaiknya mengambil kebijakan tanpa harus meminta persetujuan
kepada DPR karena akan menimbulkan lag dalam pengambilan keputusan
strategik.
Komite Koordinasi merupakan wadah untuk membahas resolusi
terhadap bank yang dianggap bermasalah dan berdampak sistemik oleh
KSSK. Komite ini memberikan wewenang kepada LPS untuk melaksanakan
fungsi resolusinya terkait bank bermasalah. Skema Komite Koordinasi ini
memberikan independensi serta keleluasaan kepada LPS untuk menjalankan
tugasnya dalam resolusi perbankan. Namun, keberadaan KK harus segera
didukung oleh suatu kerangka hukum yang pasti untuk menghindari moral
hazard.
5.
Koordinasi Fiskal Moneter
Kebijakan fiskal dan moneter merupakan elemen kebijakan ekonomi
makro yang memiliki keterkaitan erat. Kebijakan fiskal mencakup
pengaturan perpajakan dan pengeluaran pemerintah untuk mengatur
aktivitas ekonomi agregat. Variabel utama dalam kebijakan fiskal meliputi
defisit pemerintah, utang, tingkat pajak, serta tingkat pengeluaran.
Kebijakan moneter, di sisi lain, mengatur ketersediaan kredit dengan jumlah
uang beredar dan tingkat suku bunga. Tujuan utama kebijakan moneter
adalah stabilitas harga, namun, kebijakan moneter juga dapat digunakan
sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi, stabilitas nilai tukar dan neraca
pembayaran.
Kebijakan fiskal di Indonesia dilaksanakan oleh Kementrian Keuangan
sedangkan kebijakan moneter dilaksanakan oleh Bank Indonesia. Kedua
lembaga ini menjalankan tugasnya independen satu dengan lainnya,
walaupun demikian, implikasi kebijakan fiskal dan moneter tidaklah
independen. Implikasinya adalah keterkaitan antara kebijakan fiskal dan
moneter sehingga kedua lembaga ini perlu menciptakan suatu kerangka
koordinasi. Koordinasi ini penting karena kedua lembaga memiliki tujuan
yang sama yaitu pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga, dan peningkatan
lapangan kerja. Koordinasi kedua lembaga juga harus mempertimbangkan
436
kenyataan bahwa arah salah satu kebijakan memiliki dampak yang
berlawanan bagi tujuan kebijakan lembaga lain.
Kebijakan fiskal discretionary mempengaruhi kebijakan moneter
melalui dua jalur yaitu jalur langsung dan jalur tidak langsung (Gambar
10). Jalur langsung meliputi dampak defisit fiskal dan pajak terhadap inflasi
serta dampak fiskal terhadap suku bunga pasar. Jalur tidak langsung meliputi
asa pelaku pasar terhadap outome dari suatu kebijakan fiskal pemerintah.
Ekspansi fiskal pemerintah yang meliputi peningkatan pengeluaran
pemerintah dapat menyebabkan defisit anggaran. Peningkatan pengeluaran
juga dapat disebabkan oleh status quo kebijakan yang tidak strategis seperti
kebijakan subsidi.3 Pilihan kebijakan untuk membiayai defisit anggaran
antara lain pencetakan uang baru oleh otoritas serta peningkatan target
pemasukan pajak. Pilihan pencetakan uang menyebabkan jumlah uang
beredar meningkat dan nilai riil uang turun akibat inflasi. Pilihan ini
memang tidak lagi preferable bagi pengambil kebijakan di dunia, namun,
kebijakan ini akan dilakukan sebagai desperate measure. Pilihan yang feasible
adalah peningkatan target pajak dari barang konsumsi melalui pajak
penjualan. Peningkatan harga akibat kebijakan ini tentu memiliki adverse
effect terhadap stabilitas harga.
3
Kebijakan subsidi energi, misalnya, membengkak Rp90 triliun dari Rp160 triliun menjadi
Rp250 triliun pada tahun 2011. Implikasinya adalah peningkatan defisit anggaran dari yang
telah ditetapkan sebesar Rp125 triliun di RAPBN 2011.
437
Gambar 11. Dampak Kebijakan Fiskal
terhadap Outcome Kebijakan Moneter
Pembiayaan defisit fiskal juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan
pasar keuangan melalui instrumen surat utang negara. Pembiayaan melalui
mekanisme ini menjadi salah satu pilihan utama pemerintah Indonesia
saat ini, relatif terhadap pengajuan utang luar negeri baru. Kebijakan
penerbitan surat utang memiliki dampak terhadap suku bunga di pasar
yang memiliki implikasi terhadap suku bunga kredit. Kebijakan fiskal juga
dapat mempengaruhi outcome kebijakan moneter melalui jalur permintaan
agregat. Peningkatan gaji publik meningkatkan konsumsi agregat yang
memiliki implikasi inflasi karena penawaran agregat inelastis di jangka
pendek. Keadaan ini berpotensi terjadi di Indonesia karena belanja gaji
cukup tinggi dan rencana kenaikan gaji pokok sebesar 10% di tahun
2012.
Implikasi kebijakan fiskal berupa inflasi dan perubahan suku bunga
kredit akan mempengaruhi kebijakan moneter secara tidak langsung, yaitu
melalui asa. Outcome kebijakan fiskal bisa dianggap sebagai kejutan terhadap
planning yang telah dilakukan pelaku pasar sehingga mempengaruhi
perilaku konsumsi rumah tangga serta perilaku produksi dan penetapan
harga oleh perusahaan.
438
Perlu ada upaya untuk membangun koordinasi fiskal-moneter di
Indonesia antara Pemerintah melalui Kementrian Keuangan dan Bank
Indonesia. Koordinasi ini bertujuan untuk mencapai tujuan bersama yaitu
pertumbuhan ekonomi dan stabilitas harga tanpa mengorbankan tujuan
dari masing-masing lembaga (Abimanyu, 2010). Tujuan ini juga sejalan
dengan fungsi Bank Indonesia dalam pengawasan makroprudensial serta
Kementrian Keuangan dalam penetapan UU sektor keuangan.
Tabel 5. Aspek Koordinasi Fiskal Moneter
Koordinasi Fiskal Moneter
Dasar Hukum
Penetapan Target Inflasi oleh Kemenkeu dan Pelaksanaan oleh BI
UU BI
Penyampaian indikator ekonomi makro dan kebijakan
moneter oleh BI
UU BI
Penyampaian sasaran ekonomi makro dan pokok kebijakan fiskal tahunan serta dampak moneter, sektor riil,
dan valas dari postur APBN
UU KN
Koordinasi kebijakan penerbitan surat utang negara
UU SUN
Penerbitan dan Pencetakan Mata Uang
UU Mata Uang
Pengelolaan Kas Pemerintah
UU Perbendaharaan Negara
Koordinasi Kerjasama Keuangan Internasional dalam
ASEAN, ASEAN+3, Bank Dunia, IMF, ADB, IDB,
dan G20
Koordinasi fiskal moneter ini sedikit berbeda dengan koordinasi
dalam kerangka KSSK.Koordinasi dalam keadaan ekonomi normal
merupakan upaya untuk meningkatkan probability of success dari setiap
439
tujuan yang dicanangkan oleh pemerintah.Tujuan tersebut meliputi inflasi,
pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nilai tukar rupiah.Beberapa kebijakan
fiskal, seperti dijelaskan sebelumnya, memiliki adverse effect terhadap
inflasi.Kementrian Keuangan perlu melakukan koordinasi sehingga Bank
Indonesia dapat melakukan kebijakan moneter untuk mengakomodasi
dampak buruk tersebut.
D. Diskusi
Sektor keuangan yang kuat merupakan fondasi pembangunan ekonomi
berkelanjutan.Namun demikian, sektor keuangan sensitif terhadap gejolak
ekonomi internal maupun eksternal.Jaring pengaman sistem keuangan
adalah kerangka yang memiliki peran signifikan terhadap stabilitas di sektor
keuangan.Kerangka ini tidak hanya memberikan landasan hukum terhadap
pengawasan dan penanganan sektor keuangan di saat krisis namun juga
membentuk asa pelaku ekonomi, baik rumah tangga dan perusahaan.
Kerangka JPSK juga harus mencakup kerangka kerja dan kerangkan
hukum KSSK dan juga Komite Koordinasi.Kedua komite tersebut sangatlah
penting terutama koordinasi di masa krisis dan penanganan lembaga
keuangan, khususnya bank, yang bermasalah.Independensi pengambilan
kebijakan serta keleluasaan untuk membuat keputusan tanpa perlu melapor
pada legislatif merupakan elemen penting dalam kerangka komite.Komite
Koordinasi juga perlu memperdalam berbagai skenario resolusi penanganan
bank yang bermasalah yang optimal.
Koordinasi fiskal moneter merupakan elemen penting pendukung
pencapaian tujuan kebijakan pemerintah dalam keadaan normal.
Pencapaian inflasi, misalnya, tidak akan optimal jika Kementrian Keuangan
tidak melakukan koordinasi terkait kebijakan fiskal yang akan ditempuh
dalam suatu periode. Bank Indonesia dapat menentukan berbagai skenario
kebijakan moneter sebagai countermeasure dari dampak kebijakan fiskal
tersebut. Persiapan ini memberikan ruang pembentukan asa kepada Bank
Indonesia dan pelaku ekonomi mikro.
440
Referensi
Abimanyu, 2009, “Model-Model Penditeksian Dini Krisis Ekonomi,”
BPFE-UGM Yogyakarta, 2009.
Abimanyu, 2010, “Refleksi dan Gagasan Kebijakan Fiskal,” Gramedia
Jakarta, 2010.
Ashari, 2006, “Potensi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dalam
Pembangunan Ekonomi Pedesaan dan Kebijakan Pengembangannya,”
Analisis Kebijakan Pertanian, 4:2, hal. 146-164, diakses Juni 2010
dari pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/ART4-2c.pdf.
Bank Indonesia, 2007, Booklet Perbankan Indonesia 2007,Vol. 4.
____________, 2007, Booklet Stabilitas Sistem Keuangan, Direktorat
Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia.
____________, 2009, Laporan Pengawasan Perbankan 2008, diakses
Mei 2010 dari http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Perbanka
n+dan+Stabilitas+Keuangan/Laporan+Pengawasan+Perbankan/
LPP_2008_17042008.htm
____________, 2010a, Laporan Keuangan Publikasi Bank, diakses Mei
2010 dari http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Laporan+ Keuangan+ Publikasi+Bank/Bank/Bank+ Umum+ Konvensional/
____________, 2010b, Laporan Pengawasan Perbankan 2009, diakses Mei
2010 dari http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Perbankan+dan+
Stabilitas+Keuangan/Laporan+Pengawasan+Perbankan/lpp_2009.
htm
____________, 2011, Financial Stability Review 2011, Direktorat
Penelitian dan Pengaturan Perbankan.
Bapepam-LK, 2009, Laporan Tahunan 2008, diakses Mei 2010 dari http://
www.bapepam.go.id/bapepamlk/annual_report/AR-BAPEPAMLK_2008.pdf
441
Bapepam-LK, 2010, “Pengawasan Lembaga Keuangan,” diakses Mei 2010
dari http://www.bapepam.go.id/p3/index.htm
Departemen Keuangan, 2008, Penjelasan Pemerintah Dalam Rangka
Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Atas Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2,3,4 Tahun
2008, diunduh dari http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=
kementrian%20keuangan%20komite%20stabilitas%20sistem%20
keuangan%20filetype%3Apdf&source=web&cd=3&ved=0CC4QF
jAC&url=http%3A%2F%2Fwww.depkeu.go.id%2Find%2FData%
2FBerita%2Fpenjelasan_pemerintah.pdf&ei=RxAFT4PmLMrHrQ
eN4vneDw&usg=AFQjCNGjN3UxO_uq8St7TJ1fmUoAhRsG4g.
Departemen Keuangan, 2010, “Data Pokok APBN 2005-2010,” diunduh
Agustus 2010 dari www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/download/data
pokok-ind2010.pdf.
International Monetary Fund (2011), International Financial Statistics
2011, diunduh dari www.imf.org.
Nier, E.W., 2009, “Financial Stability Frameworks and The Role of Central
Banks: Lessons From the Crisis,” International Monetary Fund
Working Paper, 09/70, diakses Mei 2010 dari http://www.imf.org/
external/pubs/ft/wp/2009/wp0970.pdf
Pegadaian, 2010, Laporan Tahunan 2009, diakses Mei 2010 dari http://
www.pegadaian.co.id/k.annual.php?uid=
Pradiptyo, R., B. Sasmitasiwi, G.A. Sahadewo, R. Rokhim, M. Ulpah, dan
I.A.A. Faradynawati (2010), Alternatif Struktur OJK yang Optimum:
Kajian Akademik, Tim Kerjasaa Penelitian FEB UGM dan FE UI.
Pradiptyo, R., B. Sasmitasiwi, G.A. Sahadewo (2011), “A Bridge Too Far;
The Strive to Establish A Financial Service Regulatory Authority
(OJK) in Indonesia,”mimeo.
442
INDEKS
Asa nalar 7, 141, 144, 146, 151,
152, 153, 154, 155, 156, 160,
190, 259
Asa yang adaptif 151, 152, 153,
154
Aset bubble 360
Asia financial crises 121
Balances budget 369
Bank run 35, 122, 182, 309, 374,
376, 377, 426
Basel 213, 320, 343, 344, 403, 408
BI rate 33, 105, 181, 206, 213,
216, 288, 294, 296, 354, 355
Bilateral Swap Arrangements 407
Budget deficit 112, 122, 162, 164,
166, 398, 401, 403, 405
Built-in stabilizer 346
Chiang Mai Initiative 10, 407
Computable general equilibrium 8,
194, 213, 223
Consultative Group on Indonesia
371
Contigency plan 48, 63, 64, 72,
73, 74
Convertible currency 392
Crawling peg 25
Credit crunch 320, 333, 347, 363,
404
Crowding out 36, 45, 143, 399
Currency appreciation 121, 395
Decoupling 47
De Javasche Bank 15, 366, 367
Depresiasi 28, 178, 179, 199, 373,
415
Dewan Moneter 2, 3, 9, 16, 17,
19, 21, 29, 45, 46, 58, 93, 228,
229, 249, 252
Early Warning System 38, 432
Ekspansi moneter 8, 22, 160, 194,
200, 213
Exchange rate management 396
Export-led growth strategy 392
External shock 64
Financial cycle 327
Financial imbalances 338, 360
Financial Safety Net 32, 407
Financial Stability Index 38, 265
Fiscal sustainability 51, 92, 119,
130, 135, 137, 140
443
Forum Stabilitas Sistem Keuangan
38, 73, 229
Forward looking expectations 153
Full employment 143, 164
Granger causality test 128, 129
Great Depression 413
Great Moderation 324
Gunting Syafrudin 367
Holding period 297, 348, 396
Hyper inflation 84, 90, 368
Imported inflation 414
Indeks Keyakinan Konsumen 294
Inflation targeting framework 53,
105, 111, 114, 131, 134, 135, .
136, 181, 324, 325, 326, 350,
351
Insentif fiskal 8, 194, 217, 220,
386
Institutions 310, 311, 344
Jaring Pengaman Sistem Keuangan
10, 34, 37, 74, 75, 302, 319,
377, 390, 413, 418, 423, 424,
428, 440
Kapitalisasi pasar 290
Kebijakan countercyclical 195
Kebijakan diskresi 235
Kebijakan fiskal eksogen 9, 244,
245, 249
Kebijakan moneter akomodatif 198
444
Kesinambungan fiskal 66, 67, 217,
230
Klasik Baru 152
Komite Stabilitas Sistem Keuangan
314, 418, 427, 433, 435
Kontraksi ekonomi 193
Kredit Usaha Rakyat 204
Krisis keuangan global 1, 3, 4, 5,
9, 35, 42, 193, 195, 196, 197,
204, 207, 208, 220, 309, 354,
425
Kurva Phillips 155, 174, 234
Leaning againts the wind 339
Letter of Intent 372, 374
Liquidity support 112, 122, 123,
130, 133
Maastricht Treaty 59, 163
Makroprudensial 10, 270, 298,
301, 302, 303, 305, 306, 307,
308, 314, 317, 318, 319, 323,
326, 337, 341, 342, 343, 344,
346, 347, 348, 349, 353, 355,
356, 357, 358, 359, 360, 361,
362, 439
Macroprudential 1, 3, 36, 39, 302,
307, 311, 316, 320, 363, 364, .
432
Macrosurveillance 316, 318
Managed float 25, 121, 396, 397
Market clearing 152
Model koreksi kesalahan 144, 160
Monetary dominance 6, 111, 112,
113, 124, 125, 126, 130
Nash Equilibrium 50, 52, 91, 92
Neoklasik 143
Net domestic assets 96
Net foreign assets 96, 122
New Keynesian 81, 151, 163, 174,
233, 234, 235, 259, 260
Non-core depositnya 270
Off-budget account 118
Open market operation 23, 123,
403
Otonomi daerah 5, 47, 56, 57, 58,
67, 78, 184
Otoritas Jasa Keuangan 38, 39,
302, 356, 423, 426, 430, 433
Output gap 90, 233, 339, 351
Overheating economy 104
PAKJUN 23, 371
Paradox of growth 47
Pelarian modal asing 74, 373
Permintaan agregat 8, 43, 54, 57,
58, 61, 143, 174, 194, 196,
197, 198, 206, 214, 215, 216,
217, 220, 230, 234, 235, 236,
352, 438
Perfect foresight 154
Phillip Curve 48
Policy mix 14, 48, 50, 52, 82
Policy rule 53, 173, 174, 256, 261,
262
Prime rate 44
Prosiklikalitas 326, 327, 328, 331,
332, 334, 336, 337, 340, 341,
342, 343, 344, 345, 351, 352,
355, 360
Prudential policy 302, 307, 310,
320, 363, 364
Public debt 113, 114, 134, 135,
140, 162, 188, 262
Quasi fiscal activities 6. 111, 112,
114, 116, 118
Quasi fiscal deficit 65, 117, 122
Quantitative easing 195, 292, 293,
400
Reformasi perpajakan 370
Resesi 23, 43, 44, 49, 50, 53, 85,
87, 90, 106, 235, 252, 343
Ricardian Equivalence 93, 142,
166, 198
Rime-inconsistency 48
Risiko sistemik 74, 197, 202, 301,
302, 303, 304, 305, 306, 307. .
308, 310, 111, 312, 316, 318,
360, 362
Risk based supervision 317
Rules-based frameworks 53
Sanering 85, 367
Seigniorage 118, 125, 130, 132,
177
Social lost 103, 107
Sovereign Welfare Fund 64
Stabilisasi harga 57, 181, 227, 230,
251, 377, 386, 387
Stabilitas sistem keuangan 37, 38,
39, 73, 206, 229, 298, 301,
445
302, 303, 307, 309, 311, 312,
313, 314, 315, 316, 317, 318,
319, 325, 326, 338, 339, 341,
353, 355, 357, 369, 362, 418,
424, 427, 429, 432, 433, 435,
441
Stimulus fiscal 193, 213
Steady state 234, 241
Subprime mortgage 13
Surat Perbendaharaan Negara 65
Systemic risk regulator 311
Systemically Important Financial
310, 311, 344
Taylor Rule 174, 245, 246, 260,
350
Time consistentcy 235
Transmisi kebijakan moneter 47,
176, 351, 353, 360, 361
Uang primer 7, 95, 96, 97, 179,
180, 188
Undervaluation 391, 394, 395,
406
446
Download