BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebudayaan pada hakekatnya meliputi segala aspek kehidupan manusia, baik material maupun spiritual. Aspek kegiatan manusia tersebut meliputi banyak hal, antara lain organisasi sosial dan ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta proses simbolis dalam upacara adat. Pada aspek proses simbolis meliputi bidang-bidang agama, filsafat, seni, ilmu, sejarah, mitos, dan bahasa (Kuntowijoyo, 1987:3). Kompleksitas budaya tersebut mewarnai kehidupan manusia sepanjang zaman, namun perbedaan tingkat intelektual dan kondisi sosial sehingga proses kegiatan tersebut berbeda pada setiap zaman, dinamika berpikir manusia. Segala hal yang berkaitan dengan kebudayaan tidak pernah terlepas dari kebudayaan nasional dan kebudayaan daerah. Dimana kebudayaan daerah selalu menjadi penopang bagi tumbuh dan berkembangnya kebudayaan nasional, tataran tertinggi perwujudan hasil cipta, rasa, dan karsa masyarakat. Manusia dan kebudayaan merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Ada manusia, ada kebudayaan; tidak ada kebudayaan jika tidak ada pendukungnya yaitu manusia. Akan tetapi, manusia hidup tak berapa lama, lalu iya mati. Maka untuk melangsungkan kebudayaan, Universitas Hasanuddin | 1 pendukungnya harusnya lebih dari satu orang. Dengan kata lain, harus diteruskan kepada orang-orang di sekitarnya dan kepada keturunan selanjutnya. Benny Hoedoro Hoed adalah sosok penting dalam dunia intelektual Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan penerbitan buku Meretas Ranah: Bahasa, Semiotika, dan Budaya (2001) yang menghimpun 25 tulisan dari sekian penulis dengan pelbagai disiplin ilmu sebagai persembahan pada Benny Hoedoro Hoed ketika pensiun dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Abdullah Dahana dalam kata pengantar buku itu mengingatkan suatu pameo: old scholar never dies. Pameo itu dimaksudkan agar Benny Hoedoro Hoed yang memasuki masa pensiun tidak mengartikannya sebagai akhir untuk pengabdian dalam dunia intelektual di Indonesia. Pameo itu dibuktikan oleh Benny Hoedoro Hoed dengan penerbitan buku Semiotika Budaya dan Dinamika Sosial Budaya. Buku ini membuktikan intensitas Benny Hoedoro Hoed untuk membaca dan menulis mengenai semiotik dalam perspektif teoritis dan terapan. Semiotik bagi Benny Hoedoro Hoed menjadi suatu pendekatan dalam menganalisis pelbagai persoalan dan fakta-fakta perubahan sosial dan kebudayaan. Kehadiran buku ini membuktikan bahwa semiotik sampai hari belum kehilangan aura karena sekian orang masih mengakui relevansinya dalam pelbagai studi sosial, sastra, politik, dan lain-lain. Universitas Hasanuddin | 2 Sekian intelektual Indonesia masih intens untuk melakukan kajian mengenai semiotik: Faruk HT, Kris Budiman, Tommy Christomy, Yasraf Amir Piliang, Manneke Budiman, Benny Hoedoro Hoed, dan lain-lain. Benny Hoedoro Hoed dalam Bagian I (Kajian Budaya dalam Teori) memberi pembukaan dengan pendefinisan semiotik sebagai ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Semua yang hadir dalam kehidupan ini bisa dilihat sebagai tanda dan menjadi sesuatu yang harus diberi makna. Definisi itu mulai dicarikan acuan pada pemikiran Ferdinand de Saussure (1916) yang melihat tanda sebagai pertemuan antara bentuk dan makna. Penjelasan lanjutan atas pemikiran itu dilakukan oleh Roland Barthes yang melihat tanda sebagai sesuatu yang menstruktur dan terstruktur dalam kognisi manusia. Sosok lain yang penting dalam semiotik adalah Charles Sanders Pierce (1931-1958) yang melihat tanda sebagai sesuatu yang mewakili sesuatu. Penjelasan lanjutan dari pemikiran Charles Sanders Pierce itu dilakukan oleh Danesi dan Perron yang menyebutkan bahwa manusia sebagai homo culturalis. Definisi dari sebutan itu adalah manusia sebagai makhluk yang selalu ingin memahami makna dari apa yang diketemukannya (meaning-seeking creature). Definisi-definisi itu menjadi basis dalam pembahasan semiotik oleh Benny Hoedoro Hoed tanpa harus lekas membuat vonis bahwa semiotik itu ilmu atau bukan ilmu. Universitas Hasanuddin | 3 Penundaan dan penghindaran vonis itu dilakukan dengan membahas perbandingan pemikiran semiotik dari Roland Barthes dan Jacques Derrida. Dua tokoh ini merupakan keturunan strukturalisme Ferdinand de Saussure dengan pemaknaan yang dinamis. Pemaknaan yang dikembangkan Barthes dan Derrida memiliki arah dan konsentrasi berbeda. Barthes cenderung mengembangkan semiotik sebagai teori dan proses konotasi yang dimiliki masyarakat budaya tertentu. Derrida justru mengembangkan semiotik dalam ranah teks bahwa tanda yang terabadikan dalam tulisan terbebas dari kungkungan manusia. Pembahasan komparatif dilakukan Benny Hoedoro Hoed dalam perspektif semiotik pragmatis Charles Sanders Pierce yang menemukan lanjutan pada pemikiran Danesi dan Peron. Pemikiran semiotik yang mensitesiskan semiotik struktural dan semiotik pragmatis dilakukan oleh Umberto Eco. Pemikiran semiotik Eco itu dikenal sebagai semiotik komunikasi (melihat tanda sebagai alat untuk berkomunikasi yang melibatkan pengirim dan penerima tanda) dan semiotik signifikan (memfokuskan perhatian pada produksi tandanya sendiri). Buku ini memberi penjelasan mengenai dasar teori dan perkembangan strukturalisme, pragmatik, dan semiotik. Pembahasan dalam bab ini menguraikan kembali pemikiran-pemikiran Ferdinand de Saussure dan penjelasan tambahan mengenai pengembangan yang Universitas Hasanuddin | 4 dilakukan oleh Jean Piaget, Roland Barthes, Jacques Derrida, Michel Foucault, Roman Jakobson, Umberto Eco, dan lain-lain. Penjelasan dari pemikiran-pemikiran sekian tokoh itu menjadi acuan penting untuk terapan semiotik dalam studi dan tafsir kebudayaan yang didedahkan Benny Hoedoro Hoed. Pembahasan pada Bab 3 dan Bab 4 terkesan teoretis dan rumit karena Benny Hoedoro Hoed menunjukkan perspektif ketat. Bab 3 merupakan analisis perbandingan antara pemkiran Derrida dengan strukturalisme Ferdinand de Saussure dalam perspektif linguistik. Bab ini menunjukkan kompetensi dan otoritas Benny Hoedoro Hoed yang telah mengalami pergulatan panjang dan intensif dalam studi semiotik. Bab 4 mulai ditunjukkan pembahasan teoritis dan contoh terapan mengenai bahasa dan sastra dalam perspektif semiotik dan hermeneutik. Bagian II dalam buku ini (Kajian Budaya dalam Dinamika Masyarakat) merupakan kompilasi tulisan dengan hubungan renggang. Bagian II ini seakan terpisah dengan Bagian I dalam pembahasan teori dan terapan semiotik. Pengecualian terasa pada tulisan “Mendekonstruksi Mitos-mitos Masa Kini “ dan “Tubuh dan Busana Ditinjau dari Kacamata Semiotik” yang kentara melakukan penerapan analisis semiotik. Bab-bab lain “Dekonstruksi, Globalisasi, dan Kreativitas”, “Transformasi Budaya di Perdesaan”, “Etika dan Ekonomi Universitas Hasanuddin | 5 Kehidupan Modern” merupakan representasi dari keluasan perhatian dan kajian Benny Hoedoro Hoed terhadap pelbagai perubahan sosial dan kebudayaan. Kehadiran buku ini merupakan pembuktian antusiasme intelektual dari Benny Hoedoro Hoed pada usia tua untuk memberi kontribusi dalam kahzanah studi semiotik dan kebudayaan di Indonesia. Haryatmoko dalam “Prakata” menilai bahwa kunci keberhasilan Benny Hoedoro Hoed dalam membuat paparan dan analisis yang komprehensif mencakup tiga hal: (1) penguasaan linguistik dan familiaritasnya dengan mentalitas pemikiran Prancis; (2) kemampuan penulis untuk memberikan contoh-contoh relevan untuk membantu menyederhanakan konsep-konsep pelik ke model-model skematis yang memberi pola pemikiran; dan (3) kemampuan penulis menerapkan dan mengembangkan pelbagai teori dalam analisis budaya dan politik. Penilaian itu memberi klaim bahwa buku Semiotika Budaya dan Dinamika Sosial Budaya patut mendapat perhatian dan menjadi buku acuan untuk para peneliti dalam studi semiotik dan kebudayaan. Kehadiran buku ini hendak mengabarkan bahwa semiotik merupakan sesuatu yang tetap relevan dan penting dalam wacana intelektual hari ini di Indonesia. Benny Hoedoro Hoed mengingatkan: “Semiotik memberikan kemungkinan kepada kita untuk berpikir kritis dan Universitas Hasanuddin | 6 memahami bahwa tidak ada satu otoritas yang berwenang memberikan makna atau penafsiran atas segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan sosial budaya kita.” Kebudayaan Indonesia yang sangat beranekaragam menjadi suatu kebanggaan sekaligus tantangan untuk mempertahankan serta mewarisi kepada generasi selanjutnya. Budaya lokal Indonesia sangat membanggakan karena memilki keanekaragaman yang sangat bervariasi serta memilki keunikan tersendiri. Untuk itu kebudayaan tersebut perlu dijaga dan lestarikan akan keberadaannya. Sebagaimana sekarang ini, terdapat beberapa budaya kita yang mulai hilang sedikit demi sedikit. Hal ini disebabkan karena kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya peranan budaya lokal. Budaya lokal merupakan identitas bangsa sehingga harus terus dijaga kelestariannya maupun kepemilikannya agar dapat diakui oleh negara lain (Wahyuni, 2012 : 3). Walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan budaya asing masuk asalkan sesuai dengan kepribadian negara karena suatu negara juga membutuhkan input-input dari negara lain yang akan berpengaruh terhadap perkembangan dinegaranya. Suatu kenyataan yang sulit dipungkiri bahwa keberadaan budaya tradisional Sulawesi-Selatan makin goyah seiring dengan semakin menipis masyarakat pendukungnya sehingga membuat terpuruk dan Universitas Hasanuddin | 7 terpinggirkan. Keadaan ini diperparah oleh minimnya catatan-catatan tertulis yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk sedikit banyak mengetahui tentang seni tradisional Sulawesi-Selatan yang diharapkan dapat membantu penggalian, nyaris tidak ada tersimpan. Mappano di Kel. Pammase termasuk upacara keagamaan dalam kebudayaan suku bugis yang biasanya dilaksanakan satu kali dalam satu tahun yang merupakan unsur kebudayaan yang paling tampak lahir. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Ronald Robertson,(1988:1) bahwa agama berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang tingkah laku manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan di akhirat (setelah mati),yakni sebagai manusia yang bertakwa kepada Tuhannya, baradab, dan manusiawi yang berbeda dengan cara-cara hidup hewan atau mahluk gaib yang jahat dan berdosa. Namun dalam agama-agama lokal atau primitif ajaran-ajaran agama tersebut tidak di lakukan dalam bentuk tertulis tetapi dalam bentuk lisan sebagaimana terwujud dalam tradisi-tradisi atau upacaraupacara. Pelaksanaan upacara keagamaan masyarakat mengikutinya dengan rasa khidmat dan merasa sebagai sesuatu yang suci sehingga harus di laksanakan dengan penuh hati-hati dan bijaksana, mengingat banyaknya hal yang di anggap tabuh serta penuh dengan pantangan Universitas Hasanuddin | 8 yang terdapat di dalamnya. Dimana mereka mengadakan barbagai kegiatan berupa pemujaan, pemudahan dan berbagai aktifitas lainnya di antaranya makan bersama atau syukuran. Aktifitas upacara adat yang berkaitan erat dengan sistem religi merupakan salah satu wujud kebudayaan yang paling sulit dirubah bila dibandingkan dengan unsur kebudayaan yang lainnya. Bahkan sejarah menunjukan bahwa aktifitas upacara adat dan lembaga-lembaga kepercayaan adalah untuk perkumpulan manusia yang paling memungkinkan untuk tetap dipertahankan. Pemertahanan budaya dilaksanakan masyarakat dalam aktifitas untuk memenuhi kebutuhan hidup biasanya dipengaruhi oleh adanya kepercayaan dan nilai-nilai yang dianutnya seperti nilai budaya, hukum, norma-norma maupun aturan-aturan khusus lainnya. Mappano merupakan salah satu kebudayaan yang ada di Sulawesi-Selatan tepatnya di Kelurahan Pammase Tradisi ini dilakukan satu kali dalam satu tahun yang memberikan sesaji terhadap penguasa air (buaya) untuk menjaga anaknya atau saudaranya yang diyakini telah menjadi buaya. Mappano menunjukkan bahwa betapa kayanya kita dengan kebudayaan-kebudayan di Sulawesi-Selatan. Sebagaimana Mappano ini terdapat nilai-nilai dan kearifan lokal yaitu nilai social kemasyarakat Universitas Hasanuddin | 9 orang-orang terdahulu yang saling berkelompok dan saling menghormati satu sama lain serta bersahabat dengan alam. Dimana jika tradisi ini tidak dilaksanakan maka yang bersangkutan bisa mendapatkan akibatnya biasa seperti mengalami suatu masalah dan atau timbulnya suatu penyakit yang akan diderita oleh masyarakat misalnya penyakit gila, dll. Mappano di Kel. Pammase dilaksanakan dengan adanya perlengkapan ritual yang memiliki simbol – simbol religius, antara lain bala soji yang berisikan ayam, telur Sembilan butir, daun lontar empat lembar, pisang barangeng satu sisir, buah pinang tiga buah, sokko petamrupa dengan berbagai macam warnah di antaranya warnah hitam, putih, kuning dan merah jambu dan lain – lain. Kekuatan simbol mampu menggiring siapapun untuk mempercayai, mengakui, melestarikan atau mengubah persepsi hingga tingkah laku orang dalam bersentuhan dengan realitas. Daya megis simbol tidak hanya terlertak pada kemampuannya mepresentasikan kenyataan, tetapi realitas juga direpresentasikan lewat penggunaan logika simbol. Bahasa simbol mempunyai peranan penting dalam kehidupan sehari – hari dan dalam berbagai agama. Bahkan, seperti diungkapkan Ernest Cassier, bahwa manusia dalam segala tingkah lakunya banyak dipengaruhi dengan simbol – simbol sehingga manusia disebut “Animal Universitas Hasanuddin | 10 Symbolicum” atau hewan yang besimbol. Penggunaan simbol dalam kehidupan masyarakat bugis napak sekali dalam upacara–upacara adat yang merupakan warisan turun–temurun dari generasi tua ke generasi berikutnya yang lebih muda. Pemakaian simbol diperagakan mulai dari upacara saat bayi masih dalam kandungan hingga upacara kematian. Dengan demikian, bahasa simbol memang sulit dipisahkan dari kehidupan manusia. Karena, kehidupan beragama atau keyakinan religius adalah kenyataannya hidup manusia yang ditemukan sepanjang sejarah masyarakat dan kehidupan pribadinya. Ketergantungan individu kepada kekuatan gaib ditemukan dari zaman purba sampai ke zaman modern ini. Simbol – simbol religius juga terdapat dalam upacara Mappano di Kel. Pammase. Setiap perlengkapan baik bahan dan alat memiliki simbol yang bermakna. Simbol yang bermakna tersebut erat kaitannya dengan aspek keagamaan, nilai – nilai kepercayaan kepada Sang pencipta. Berdasarkan uraian di atas, penulis menganggap perlu untuk menggali dan melakukan pencatatan kembali simbol – simbol religius sebagai bagian dari kebudayaan daerah untuk turut memelihara dan membina keberadaannya. Dalam hubungan dengan inilah objek kajian dalam penelitian ini adalah “Mappano ( Studi upacara tradisional di Kel. Pammase Kec. Tiroang Kab. Pinrang ) Universitas Hasanuddin | 11 B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana tanggapan masyarakat terhadap Upacara Mappano di Kel. Pammase? 2. Komponen-komponen apa sajakah yang digunakan dalam upacara Mappano di Kel. Pammase? 3. Bagaimana fungsi Upacara Mappano dalam masyarakat Kel. Pammase? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian a) Untuk mengetahui tanggapan masyarakat kel. Pammase mengenai upacara Mappano. b) Untuk menggambarkan komponen – komponen yang digunakan dalan upacara Mappano. c) Untuk mengetahui bagaimana fungsi dari upacara Mappano Di Kel. Pammase. 2. Manfaat Penelitian a) Pihak masyarakat, sebagai factor pendukung dari budaya itu sendiri dan kunci dari segala prosedur tentang Mappano.Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Antropologi serta bahan referensi kepada peneliti selanjutnya yang berkaitan dengan objek kajian yang akan diteliti. Universitas Hasanuddin | 12 D. Definisi Konsep 1. Upacara Adat Tradisional Bentuk-bentuk upacara adat begitu banyak dilaksanakan di suku-suku di indonesia. Dengan adanya upacara adat tersebut maka semakin menambah aneka ragam kebudayaan indonesia, diantaranya upacara adat di indonesia yakni upacara adat perkawinan dan upacara penghargaan terhadap leluhur terlebih dahulu dimana dalam upacara tersebut di rasa oleh warga masyarakat begitu penting sehingga perlu di sakralkan dan di kenang sehingga perlu ada upacaranya. Pelksanaan upacara tradisional suatu masyarakat pada umumnya sangat menarik, karena memiliki keunikan, kesakralan, dan nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya. Menurut Arjono Suryono (1985:4), menyatakan bahwa adat merupakan suatu kebiasaan yang bersifat magis religius dari kehidupan suatu penduduk asli yang meliputi kebudayaan, norma dan aturanaturan yang saling berkaitan dan kemudian menjadi suatu sistem atau pengaturan tradisional. Pendapat lain tentang hal trsebut dikemukakan oleh Anton Soemarman (2003: 15) bahwa adat merupakan wujud idil dari kebudayaan yang berfungsi sebagai pengaturan tingkah laku. Dalam kebudayaannya sebagai wujud idil kebudayaan dapat dibagi Universitas Hasanuddin | 13 lebih khusus dalam empat yakni tingkat budaya, tingkat norma-norma, tingkat hukum dan aturan-aturan khusus. Upacara adat tradisional masyarakat merupakan perwujudan dari sistem kepercayaan masyarakat yang mempunyai nilai-nilai universal yang dapat menunjang kebudayaan nasional. Upacara tradisional ini bersifat kepercayaan dan dianggap sakral dan suci. Di mana setiap aktifitas manusia selalu mempunyai maksud dan tujuan yang ingin dicapai, termasuk kegiatan-kegiatan yang bersifat religius. Dengan mengacu pada pendapat ini maka upacara adat tradisional merupakan kelakuan atau tindakan simbolis manusia sehubungan dengan kepercayaan yang mempunyai maksud dan tujuan untuk menghindarkan diri dari gangguan roh-roh jahat. Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa upacara adat tradisional merupakan suatu bentuk trdisi yang bersifat turun-temurun kemudian dilaksanakan secara teratur dan tertib menurut adat kebiasaan masyarakat dalam bentuk suatu permohonan, atau sebagai dari ungkapan rasa terima kasih. Selajutnya dikatakan bahwa upacara itu sendiri terdiri dari beberapa unsur, dimana unsur-unsur keagamaan tersebut ada yang dianggap paling penting sekali oleh suatu agama tetapi ada beberapa agama lain yang tidak mengenal suatu agama tersebut. Unsur-unsur Universitas Hasanuddin | 14 upacara tersebut merupakan suatu rangkaian yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya dan saling mempengaruhi. Hal tersebut dinyatakan dalam Koentjaraningrat (1992:378) bahwa terdapat beberapa unsur dalam upacara itu sendiri yaitu bersaji, berkorban, berdoa, makan bersama dengan makanan yang telah disucikan dengan doa, menari tarian suci, menyanyi nyanyian suci, berprosesi atau berpawai, memainkan seni drama suci, berpuasa, mengaburkan pikiran dengan makan obat bius untuk mencapai keadaan mabuk, bertapa dan bersemedi. 2. Proses Upacara Tradisisonal Melakukakan upacara merupakan suatu kegiatan yang bersifat rutin dimana dalam melakukan upacara-upacara tersebut mempunyai arti dalam setiap kepercayaan. Menurut Koentjaraningat, (1992:221) dalam setiap sistem upacara keagamaan mengandung lima aspek yakni: a. Tempat upacara : di Kelurahan Pammase Kec. Tiroang Kab. Pinrang b. Waktu pelaksanaan upacara : Setiap satu kali satu tahun c. Benda-benda serta peralatan upacara : Ayam, telur, pinang, daun siri, daunparu, ketan, pisang d. Orang yang melakukan atau memimpin jalanya upacara : Dukun Universitas Hasanuddin | 15 e. Orang-orang yang mengikut upacara : Masyarakat Pada bagian yang sama Koentjaraningat (1992:223) juga mengatakan bahwa sistem upacara dihadiiri oleh masyarakat berarti dapat memancing bangkitnya emosi keagamaan pada tiap-tiap kelompok masyarakat serta pada tiap individu yang hadir. Upacara yang diselengarakan merupakan salah satu mengungkapkan emosi keagamaan yang kegiatan yang sudah dianut oleh masyarakat. Emosi keagamaan ini dalam oleh semua manusia walaupun getaran ini mungkin hanya berlangsung untuk beberapa detik saja kemudian akan hilang dan lenyap lagi. Dimana emosi keagamaan atau getaran jiwa itulah yang mendorong seseorang untuk berbuat religi. Upacara keagamaan tersebut melibatkan berbagai kalangan masyarakat seperti tokoh masyarakat, tokoh agama, pendahulu adat, dan kelompok sosial masyarakat lainnya. Upacara keagamaan yang bersifat rutin, dimana bagi masyarakat upacara tersebut mempunyai perananan yang sangat berarti bagi kepercayaan mereka. 3. Fungsi Upacara Tradisional Suatu upacara dan sistem simbol-simbol yang ada mempunyai fungsi tertentu. Sehubungan dengan fungsi upacara adat keagamaan Universitas Hasanuddin | 16 Suber Budhisantoso, (1989:28) mengemukakan bahwa fungsi dari upacara yang ideal dapat dilihat dalam kehidupan sosial budaya masyarakat pendukungnya yaitu adanya pengendalian sosial yakni dapat menciptakan suatu situasi yang dapat mengubah sikap/perilaku yang negatif, lebih menekankan pada usaha untuk mengajak/membimbing berupa anjuran agar berperilaku sesuai norma yang ada, dan dapat menyampaikan norma/nilai secara berulang-ulang dan terus-menerus dengan harapan nilai/norma tersebut melekat pada jiwa seseorang, sehingga terbentuk sikap seperti apa yang diharapkan. Selain itu seseorang ahli antropologi agama Clifford Geerts (dalam Sitti Masnah Hambali, 2004:18 ) mengemukakan bahwa upacara dengan sistem-sistem simbol yang ada didalamnnya berfungsi sebagai pengintegrasian antara etos dan pandangan hidup, yang dimaksudkan dengan etos merupakan sistem nilai budaya sedangkan pandangan hidup merupakan konsepsi warga masyarakat yang menyangkut dirinya, alam sekitar dan segala sesuatu yang ada dalam lingkungan sekitarnya. Pelaksanaan Upacara dilakukan berulang untuk sebagian atau keseluruhannya dalam suasana religius lahir dan bathin. Sehingga upacara merupakan bagian yang sangat penting dan tidak mungkin diabaikan begitu saja.Upacara pada dasarnya adalah pemberian yang Universitas Hasanuddin | 17 tulus ikhlas untuk kepentingan bersama, karena ternyata bahwa manusia harus bertindak dan berbuat sesuatu yang melambangkan komunitasnya dengan Tuhan. Nur syam (2007:25) memaparkan fungsi upacara adat tradisional yaitu sebagai berikut : a. Sebagai proses transformasi nilai-nilai dari generasi tua ke generasi muda, b. Sebagai wadah bagi orang-orang untuk belajar menjadi balian (pemimpin upacara dan dukun) dan menguasai dan meningkatkan keterampilan membuat peralatan serta sesajen yang merupakan salah satu bentuk ungkapan rasa syukur atas kenikmatan dan karunia yang diterima dan dialami oleh masyarakat tradisional. c. Agar terjalinnya solidaritas dalam masyarakat Bagi masyarakat tradisional dalam rangka mencari hubungan dengan apa menjadi kepercayaan biasanya dilakukan dalam suatu wadah dalam bentuk upacara keagamaan yang bisanya dilaksanakan oleh banyak warga masyarakat dan mempunyai fungsi sosial untuk mengitensifkan solidaritas masyarakat sebagai bentuk kerjasama antarindividu dan antar kelompok membentuk status norma saling percaya untuk melakukan kerjasama dalam menangani permasalahan yang menjadi kepentingan bersama. Bentuk kerjasama gotong royong ini merupakan salah satu bentuk Universitas Hasanuddin | 18 solidaritas sosial. Guna memelihara nilai-nilai solidaritas sosial dan partisipasi masyarakat secara sukarela dalam pembangunan di era sekarang ini, maka perlu ditumbuhkan dari interaksi sosial yang berlangsung karena ikatan kultural sehingga memunculkan kebersamaan komunitas yang unsur-unsurnya seperti seperasaan, sepenanggungan, dan saling butuh dalam suatu masyarakat. 4. Konsep Perubahan Kebudayaan mengalami bukanlah perubahan hal secara yang lambat statis, tetapi melainkan pasti atau bisa yang dikonsepsikan sebagai perubahan evolusioner. Perubahan kebudayaan tersebut terkait dengan proses masuknya berbagai macam kebudayaan dari tempat, suku, dan ras lain atau juga karena proses sosial yang terus berubah. Perspektif evolusionisme kiranya berdasar atas suatu pandangan bahwa ada suatu proses perubahan dari waktu ke waktu secara evolusioner dan dalam bentuknya yang seperti sekarang. Misalkan teori evolusi keluarga yang di angkat oleh Bachofen maka masa awal kehidupan manusia itu mengikuti cara hidup binatang yang di sebutnya sebagai fase promiskuitas, kemudian berkembang ke kehidupan kelompok yang mengenal diferensiasi (perbedaan), ayah, ibu dan anak dalam sebuah keluarga, terus berkembang ke pola Universitas Hasanuddin | 19 kehidupan eksogami dan terus ke indogami. Untuk itu ada sebuah proses yang terjadi dari masa awal ke sekarang. Proses perubahan itu tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi bermekanisme evolutif, perlahan tapi pasti. Koentjaraningrat (1981:34) Menurut Soekanto (1990: 333) bahwa perubahan di dalam masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, polapola perilaku, kemasyarakatan, organisasi kekuasaan sosial, susunan dan wewenang, lembaga-lembaga intetaksi sosial. Perubahan dalam masyarakat telah ada sejak masa lampau, namun dewasa ini perubahan tersebut berjalan dengan sangat cepat seolaholah membingunkan manusia yang menjalaninnya. Dalam masyarakat, kita lihat sering terjadi perubahan atau suatu keadaan dimana perubahan tersebut berjalan secara konstan. Perubahan tersebut memang terikat oleh waktu dan tempat, akan tetapi sifatnya yang berantai, maka keadaan tersebut berlansung walaupun kadang-kadang diselingi keadaan di mana masyarakat yang bersangkutan mengadakan organisasi unsur-unsur struktur masyarakat yang terkena proses perubahan tadi. Hal ini sesuai dengan defenisi dari perubahan kebudayaan yang dikemukakan oleh Endang Supandi (2001: 115) bahwa suatu keadaan di mana terjadi ketidak sesuain di antara unsur-unsur kebudayaan yang Universitas Hasanuddin | 20 saling berbeda sehingga tercapai keadaan yang tidak serasi fungsinya bagi kehidupan. Perubahan dalam kebudayaan mencangkup semua bagian yaitu: keenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, dan seterusnya bahkan perubahan-perubahan dalam bentuk serta aturan-aturan organisasi sosial, Selain itu kebudayaan juga mencangkup segenap cara berfikir dan bertingkah laku yang timbul karena interaksi yang bersifat komunikatif seperti menyampaikan buah pikiran secara simbolis dan bukan oleh karena warisan yang berdasarkan keturunan. 5. Kerangka Konseptual Pada penelitian ini yang mejadi pusat perhatian adalah Mappano (Studi upacara tradisional Di Kel. Pammase Kec. Tiroang Kab. Pinrang) dan bagaimana simbol-simbol itu saling berhubungan satu sama lain sehingga menjadi satu keterikatan dalam upacara tersebut. Pada penelitian ini penulis terlebih dahulu menentukan obyek penelitian dan menganalisisnya dengan menggunakan teknik wawancara. Adapun kerangka pemikiran dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: Universitas Hasanuddin | 21 E. Kerangka Pikir Penelitian Masyarakat Kelurahan Pammase Upacara Mappano Tanggapan Masyarakat Fungsi dan manfaat Upacara Mappano Komponen Upacara G. Sistematika Penulisan Keseluruhan data penulisan ini terdiri dari lima bab yang saling berkaitan serta tidak dapat dipisahkan karena saling sangkut paut antara yang satu dengan lainnya. Sistematika penulisan tersebut adalah: 1. Bab I Pendahuluan Berisikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka konsep, skema kerangka konsep, metode penelitian dan sistematika penulisan. 2. Bab II Tinjauan Pustaka Universitas Hasanuddin | 22 Berisikan konsep-konsep yang berkaitan dengan judul serta hasil penelitian sebelumnya yang menunjang pembahasan tentang upacara Mappano. 3. Bab III Metode Penelitian Bab ini terdiri dari jenis penilitian yang saya gunakan teknik pengumpulan data dari observasi hingga wawancara mendalam serta analisis data yang saya lakukan. 4. Bab IV Kelurahan Pammase : Sejarah, Geografis, Iklim dan Sosial Budaya Di bab ini saya menjelaskan secara spesifik mengenai gambaran umum lokasi penelitian saya. 5. Bab V Upacara Mappano Bab ini akan menggambarkan tanggapan masyarakat Pammase terhadap Upacara Mappano, Komponen serta Fungsi dalam masyarakat. 6. Bab VI Penutup Pada bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran penulis mengenai hasil dari penelitian yang telah diuraikan Universitas Hasanuddin | 23