fakultas pertanian universitas malikussaleh lhokseumawe

advertisement
VOLUME 10 NOMOR 2, SEPTEMBER 2013
ISSN 1829 – 9288
JURNAL
AGRIUM
Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Usahatani Kentang Di
Kabupaten Bener Meriah Provinsi Aceh, Mawardati
38-42
Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Masyarakat Pasca Tsunami, Fadli
43-46
Evaluasi Beberapa Nomor Aksesi Kentang (Solanum tuberosum L.) Terhadap
Ketahanan Penyakit Hawar Daun
(Phytopthora
infestans (Mont.) de Bery),
Muhamad Yusuf
47-55
Sistem Intensifikasi Tanaman Padi SRI Melalui Pemanfaatan Mikroorganisme Lokal
Dalam Pembuatan Kompos Dapat Meningkatkan Populasi Mikroba Tanah (Studi
Kasus Di Desa Sidodadi Kabupaten Deli Serdang), Eka Maida
56-60
Efektifitas Dosis Minyak Pala Untuk Pemingsanan Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
Selama Transportasi, Munawwar Khalil, Yuskarina, Prama Hartami
61-68
The Effect Of Environmental Condition On The Spawning Period Of Blood Cockle
Anadara granosa (Bivalvia: Arcidae) In Lhokseumawe, The Northern Straits Of
Malacca, Munawar Khalil
69-76
Post Tsunami: Marine Protected Areas (MPA) Zonation Structure of Pulo Aceh,
Indonesia, Muhammad Rusdi, Munawar Khalil, Zulfikar
77-82
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
LHOKSEUMAWE
AGRIUM VOLUME 10
NOMOR 2,
SEPTEMBER 2013 HAL. 38-82
JURNAL AGRIUM
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
ISSN 1829 – 9288
VOLUME 10 NOMOR 1, SEPTEMBER 2013
Terbit dua kali setahun pada bulan Maret dan September (edisi berbahasa Indonesia atau Inggris). Berisi
tulisan yang diangkat dari hasil penelitian dan hasil kajian-kritis di bidang pertanian & perikanan. ISSN 18299288.
Penanggung Jawab
Dekan Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh
Ketua Penyunting
Elvira Sari Dewi, S.P.,M.S
Dewan Penyunting
Dr. Ir. Yusra., M.P
Dr. Ir. Mawardati, M.Si
Nilahayati, S.P., M.Si
Faisal, S.P., M.Si
Setia Budi, S.P., M.Si
Eva Ayuzar, S.Pi., M.Si
Munawwar Khalil, S.Pi., M.Si
Mitra Bestari
Prof. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, M.S (Institut Pertanian Bogor)
Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, M.S (Universitas Sumatera Utara)
Prof. Dr. Ir. Sabaruddin, M.Agr (Universitas Syiah Kuala)
Pelaksana Tata Usaha
Dedy Nurdiansyah, S.E, M.M
Zulkifli, S.P
Alamat Penyunting dan Tata Usaha: Subag. Sistem Informasi Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh.
Jln. Cot Teungku Nie reulet Aceh Utara Kode Pos 24351 dan Fax. (0645) 44450. Homepage:
http://www.unimal.ac.id. Email:[email protected].
JURNAL AGRIUM: diterbitkan sejak tanggal 7 Januari 2004 oleh Fakultas Pertanian Universitas
Malikussaleh Aceh Utara.
Penyunting menerima sumbangan yang belum pernah diterbitkan dalam media lain. Naskah diketik di atas
kertas HVS kuarto spasi ganda sepanjang lebih kurang 20 halaman, dengan format seperti tercantum pada
halaman belakang (“Petunjuk Penulisan Naskah”). Naskah yang masuk dievaluasi dan disunting untuk
keseragaman format, istilah, dan tata cara lainnya.
Jurnal Agrium
Volume 10 Nomor 1 September 2013
PENGANTAR DARI REDAKSI
Agrium merupakan Jurnal Ilmiah yang mencakup keilmuan bidang pertanian dan perikanan. Jurnal
ini diharapkan dapat menampung, menyebarkan dan sekaligus menerbitkan hasil-hasil penelitian
maupun ulasan ilmiah para peneliti dari berbagai perguruan tinggi, instansi dan praktisi ataupun
lembaga-lembaga penelitian bidang terkait.
Pada volume yang kesepuluh ini jurnal Agrium mengalami sedikit perubahan pada layout, edisi
terbitan, manajemen redaksi, dan mitra bestari. Perubahan tersebut dilakukan untuk menyongsong
pengajuan akreditasi jurnal Agrium nantinya.
Terbitan kali ini, Agrium memuat tujuh artikel yang telah melalui tahapan suntingan tim penyunting
dan mitra bestari. Semoga artikel-artikel ini dapat menjadi tambahan acuan kepustakaan dalam
pengembangan penelitian dan ilmu pengetahuan.
Editor
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN USAHATANI
KENTANG DI KABUPATEN BENER MERIAH PROVINSI ACEH
ANALYSIS OF FACTORS AFFECTING POTATO FARMING INCOME IN BENER MERIAH
DISTRICT PROVINCE OF ACEH
Mawardati 1)
Abstract
This study was conducted in a potato farm in Bener Meriah District of Aceh Province from June to August
2013. The purpose of this study was to determine the factors that affect potato farm income in the observation
site. The analytical method used is the method of multiple linear regression analysis. The analysis showed that
the amount of production, land, labor, capital and the selling price is very significant influence on a potato
farm in the area.
Keyword : income, farming, potato.
Salah satu subsektor pertanian yang memiliki
potensi untuk dikembangkan yaitu hortikultura yang
terdiri atas sayuran, buah-buahan, florikultura, dan
biofarmaka. Hortikultura berperan sebagai sumber
pangan, sumber pendapatan masyarakat, penyedia
lapangan kerja, dan penghasil devisa. Hal tersebut
menjadi alasan bahwa subsektor ini perlu menjadi
prioritas pengembangan.
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara
berkembang dengan sektor pertanian sebagai sumber
pencaharian mayoritas penduduknya. Keberadaan
sektor pertanian telah terbukti mampu memperbaiki
taraf hidup masyarakat pedesaan, meskipun hal ini
belum merata menyentuh pedesaan secara
keseluruhan. Kemampuan sektor pertanian dapat
ditunjukkan dengan aktivitas dalam meningkatkan
pendapatan petani.
Sayuran merupakan salah satu produk
hortikultura yang memiliki potensi besar untuk
dikembangkan baik sebagai penghasil devisa
maupun sebagai sarana meningkatkan pendapatan
petani. Selain sebagai komoditas yang penting
dalam memenuhi kebutuhan gizi, sayuran telah
memberikan kontribusi PDB sebesar 36,35 persen
terhadap subsektor hortikultura pada tahun 2010.
Produksi sayuran nasional tercatat mengalami
peningkatan rata-rata dari tahun 2006 hingga 2010
sebesar 3,01 persen (Ditjenhorti 2011a). Menurut
Ditjenhorti (2012), salah satu komoditas sayuran
unggulan nasional yang mendapat prioritas
pengembangan oleh pemerintah adalah kentang
(Solanum tuberosum L).
Selain itu, hal penting yang harus diperhatikan
adalah sektor pertanian juga berperan sebagai
penyedia pangan bagi masyarakat. Terkait dengan
kondisi tersebut maka peningkatan produksi mutlak
harus dilakukan. Peningkatan produksi yang harus
seimbang dengan laju pertumbuhan penduduk dapat
dicapai melalui peningkatan pengelolaan usahatani
secara intensif. Oleh karena itu, pengetahuan tentang
cara pengusahaan suatu usahatani mutlak
dibutuhkan agar dapat meningkatkan produktifitas
serta dapat meningkatkan pendapatan sehingga
kesejahteraan petani dapat meningkat.
Kontribusi lainnya dari sektor pertanian
adalah sebagai penyumbang terhadap devisa negara
dan Produk Domestik Bruto (PDB). Tahun 2010
sebesar 15,3 persen dari total nilai PDB menurut
lapangan usaha disumbang oleh sektor pertanian,
dimana sektor pertanian menjadi penyumbang PDB
kedua terbesar setelah sektor industri pengolahan
(BPS 2011a). Dengan demikian, maka tidaklah
berlebihan jika pengembangan sektor pertanian
harus mendapat perhatian serius dari pemerintah
selaku pembuat kebijakan.
Tanaman kentang memiliki prospek dalam
menunjang program diversifikasi pangan dan bahan
baku industri. Namun dalam perkembangannya,
mulai tahun 2006 hingga 2011 produktivitas kentang
di Indonesia menunjukkan tren menurun (Ditjenhorti
2012)
Kentang
prospektif untuk dikembangkan
karena permintaannya terus meningkat sejalan
dengan pertumbuhan penduduk, sebagai bahan
pangan bergizi tinggi, sebagai bahan baku industri
1) Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh
38
Mawardati 1), Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Usahatani Kentang
pengolahan pangan, sebagai komoditas ekspor non
migas, dan sebagai sumber pendapatan petani.
Kentang menjadi tanaman kedua setelah jagung
yang ditanam di banyak negara.
Daerah sentra produksi kentang di Provinsi
Aceh adalah di wilayah dataran tinggi gayo
(Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener
Meriah) yang terletak pada ketinggian 800 – 2.600
m dari permukaan laut. Kecamatan Bukit
merupakan salah satu daerah penghasil kentang
terbesar di Kabupaten Bener Meriah. Rata-rata
produktivitas kentang di Kabupaten Aceh Tengah
dan Kabupaten Bener Meriah termasuk di
Kecamatan Bukit selama ini secara agregat hanya
6,91 ton/ha. Ini masih jauh di bawah produktivitas
secara nasional yaitu
16,7 ton/ha (Dirjen
Hortikultura,
2009).
Sementara
hasil
penelitian/pengkajian potensi dapat mencapai 25-30
ton/ha bila dikelola dengan baik dan varietas yang
sesuai (M. Nur H.I, Abdul Azis dan M. Ramlan,
2010).
Permasalahan yang dihadapi petani kentang di
Kecamatan Bukit saat ini tidak hanya pada
produktivitas yang rendah tetapi petani juga
dihadapkan ada harga jual kentang yang selain
rendah juga tidak menentu (berfluktuasi). Namun
petani kentang di daerah tersebut sampai saat ini
tetap semangat melakukan kegiatan usahatani
kentang.
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Ruang Lingkup Penelitian.
39
dengan metode berjatah (quota sampling) yaitu
sebanyak 30 orang petani. Selanjutnya untuk
menentukan petani sampel dalam penelitian ini
digunakan teknik bola salju (snowball sampling)
yaitu suatu metode pengambilan sampel dimana
sampel pertama akan menentukan sampel
selanjutnya.
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data skunder dan data primer. Data skunder
diperoleh dari instansti terkait yaitu dari BPS, Dinas
Pertanian Kabupaten Bener Meriah dan Kantor
Camat Kecamatan Bukit. Data primer diperoleh di
lokasi penelitian melalui pengisian kuisioner oleh
responden.
Metode Analisis Data
Metode analisis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif kuantitatif.
Untuk mengetahui tentang karakteristik petani dan
hubungannya dengan pendapatan digunakan analisis
deskriptif. Sedangkan untuk menganalisis hubungan
antara variabel independen dengan variabel
dependen digunakan analisis linear berganda. Secara
matematis analisis linear berganda dapat ditulis
sebagai berikut :
Y = α + β1X1 + β1X1 + β1X1 + β1X1 + β1X1 + β1X1 + β1X1 + ε
Keterangan :
X1 = Jumlah produksi (Kg)
X1 = luas lahan ( ha)
X1 = Tenaga kerja (HOK)
X1 = Modal (Rp)
X1 = Harga (Rp)
ε = error term
α, β1, β1, β1, β1, β1 = parameter yang dicari
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Bukit
Kabupaten Bener Meriah Provinsi Aceh. Alasan
penentuan lokasi penelitian adalah karena
Kecamatan Bukit merupakan salah satu daerah
sentra produksi kentang di Kabupaten Bener Meriah,
namun rata-rata produktivitas kentang masih
tergolong rendah dan harga jual berfluktuasi yang
berakibat kepada pendapatan petani yang tidak
menentu. Ruang lingkup penelitian ini hanya
terbatas pada faktor yang mempengaruhi pendapatan
petani kentang.
Model pada persamaan di atas dianalisis
untuk mengetahui signifikansi variabel independen
dengan variabel dependen. Tingkat signifikansi
tersebut dapat dilihat pada nilai ρ –value variabel
tersebut baik secara individual (t-test) maupun
secara bersama-sama atau serentak (F-test).
Metode Penarikan Sampel.
Definisi Operasional Variabel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
petani kentang yang ada di Kecamatan Bukit
Kabupaten Bener Meriah. Oleh karena tidak ada
data yang akurat tentang jumlah petani kentang
maka jumlah sampel dalam penelitian ini ditentukan
1.
Pendapatan (Y) adalah pendapatan yang
diterima oleh petani kentang dari penjualan
kentang di hitung dalam rupiah per musim
tanam ((Rp/MT).
40
2.
3.
4.
5.
6.
Jurnal Agrium, Volume 10 Nomor 2 September 2013, hal 38-42
Produksi (Prod) adalah jumlah kentang yang
dihasilkan oleh petani dihitung dalam kilogram
per musim tanam (Kg/MT)
Luas lahan (Lh) adalah luas lahan yang
ditanami kentang dihitung dalam hektar per
musim tanam (hektar/MT).
Tenaga kerja (Tk) adalah jumlah orang yang
bekerja pada kegiatan usahatani kentang
dihitung dalam Hari Orang Kerja (HOK).
Modal (M) adalah jumlah biaya yang
dikeluarkan dalam kegiatan usahatani kentang
dihitung dalam rupiah per musim tanam
(Rp/MT).
Harga (Hrg) harga jual kentang di lokasi pada
saat penelitian dilakukan dihitung dalam rupiah
per kilogram (Rp/kg).
kentang sangat mempengaruhi terhadap pendapatan
usahatani kentang. Rata-rata produksi kentang di
lokasi penelitian hanya 3,433 ton per luas tanam
atau 3,788 ton per hektar per musim tanam.
2.
Lahan merupakan pabriknya produksi
pertanian (Soekartawi, 2002). Besar kecilnya luas
lahan sangat berpengaruh terhadap produksi
pertanian dan pendapatan usahatani. Luas lahan
tertinggi yang diusahakan oleh petani kentang di
lokasi penelitian adalah 1,075 hektar, terendah 0,825
hektar dan rata-rata 0,906 hektar. Rata-rata luas
tanam suatu usahatani di bawah 1 hektar belum
memenuhi skala ekonomis.
3.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pendapatan Usahatani Kentang
Pendapatan usahatani merupakan penerimaan
yang diperoleh petani dari kegiatan usahataninya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan
tertinggi yang diperoleh petani dari usahatani
kentang di lokasi penelitian adalah Rp.
11.809.000,pendapatan terendah adalah Rp.
2.789.000,- dan pendapatan rata-rata adalah sebesar
Rp. 5.813.386,667 per 0,95 hektar atau Rp.
6.414.771,494 per hektar per musim tanam. Jumlah
ini belum termasuk biaya tenaga kerja baik tenaga
kerja luar keluarga maupun tenaga kerja dalam
keluarga. Jumlah pendapatan usahatani kentang ini
masih tergolong rendah, hal ini disebabkan sampai
saat ini rata-rata produktivitas kentang di lokasi
penelitian masih jauh dibawah rata-rata potensial.
Selain itu usahatani kentang bukan merupakan satusatunya jenis usaha yang dilakukan oleh petani di
lokasi penelitian, sebagian diantara mereka masih
memiliki usahatani lainnya. Kondisi ini berakibat
kepada kurang maksimalnya pengelolaan terhadap
usahatani kentang.
Luas Lahan
Tenaga Kerja
Jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam
suatu kegiatan usahatani sangat berpengaruh
terhadap pendapatan usahatani tersebut. Apalagi jika
yang digunakan lebih banyak tenaga kerja luar
keluarga berarti akan memperbesar biaya tunai yang
harus dikeluarkan oleh petani. Rata- rata jumlah
tenaga kerja yang digunakan dalam usahatani
kentang di lokasi penelitian adalah 30,28 HOK per
luas tanam atau 33,85 HOK per hektar per musim
tanam. Sebahagian besar tenaga kerja ini berasal dari
dalam keluarga petani itu sendiri dan hanya sebagian
kecil saja yang berasal dari luar keluarga.
4.
Modal
Modal yang dimaksudkan dalam penelitian ini
adalah jumlah biaya variabel yang digunakan petani
dalam suatu proses produksi. Besar kecilnya jumlah
modal yang dimiliki petani akan berpengaruh
kepada pendapatan yang diperolehnya. Rata-rata
jumlah modal yang digunakan oleh petani dalam
usahatani kentang di lokasi penelitian adalah sebesar
Rp.
3.350.946,67
per
luas
tanam atau
Rp.3.697.596,322 per hektar per musim tanam.
5. Harga Jual
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendapatan
Usahatani kentang.
1.
Produksi
Produksi merupakan hasil akhir yang
diperoleh dari suatu proses produksi. Produksi
kentang diperoleh dari kegiatan mengkombinasikan
faktor-faktor produksi seperti lahan, tenaga kerja,
modal dan manajemen. Besar kecilnya produksi
Selain jumlah produksi, luas lahan, tenaga
kerja dan modal maka harga jual produk juga
merupakan faktor yang tidak kalah pentingnya
dalam mempengaruhi besar kecilnya pendapatan
usahatani. Rata-rata harga jual kentang di tingkat
petani di lokasi penelitian adalah sebesar Rp. 3.275,/kg. Harga tersebut jauh lebih rendah dibandingkan
dengan harga ditingkat konsumen pada waktu yang
sama yaitu sebesar Rp. 6000,- /kg.
Mawardati 1), Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Usahatani Kentang
41
Tabel 1. Nilai Estimasi Regresi Usahatani Kentang di Kecamatan Bukit Kabupaten Bener Meriah Tahun
2013
No.
Variabel
Koefisien
t-hitung
Probabilitas (sig)
1.
Konstanta (a)
-1338
-17.596
.000
2.
Produksi (Prod)
570.497
9.415
.000
3.
Luas Lahan (Lh)
1.657E6
1.742
.094
4.
Tenaga Kerja (TK)
-6590.069
-1.572
.129
5.
Modal (Mdl)
.245
1.763
.091
6.
Harga (Hrg)
346.580
17.820
.000
*** = signifikan pada α = 0,01
R-square = 0,996
** = signifikan pada α = 0,05
F-sig
= 0,000
* = signifikan pada α = 0,10
Tabel 1
memperlihatkan nilai koefisien
determinasi (R2) sebesar 0,996. Hal ini berarti
bahwa sebesar 99,90 persen variabel produksi, luas
lahan, tenaga kerja, modal dan harga mampu
menjelaskan variasi variabel pendapatan usahatani
kentang. Dengan perkataan lain hubungan antara
variabel independen dengan variabel dependen
cukup kuat. Sedangkan sisanya hanya 0,4 persen
dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan
dalam model penelitian ini. Hal ini menunjukkan
bahwa tidak banyak lagi faktor lain yang
mempengaruhi pendapatan usahatani kentang di
Kecamatan Bukit Kabupaten Bener Meriah.
Hasil estimasi juga memperlihatkan bahwa
secara serempak variabel
produksi, luas lahan,
tenaga kerja, modal dan harga berpengaruh secara
sangat signifikan berpengaruh terhadap pendapatan
usahatani kentang yang ditunjukkan oleh nilai
probability (probability value) F-test sebesar 0,000.
Nilai probabilitas tersebut lebih kecil dari tingkat
kepercayaan (α) 0,01.
Sementara itu, secara parsial hanya variabel
produksi dan harga yang berpengaruh sangat
signifikan terhadap pendapatan yang ditunjukkan
oleh nilai probability kedua variabel tersebut adalah
0,000, nilai ini lebih kecil dari α = 0,01. Koefisien
regresi variabel produksi sebesar 570.497,- yang
menunjukkan bahwa jika produksi meningkat 1 kg
maka pendapatan akan bertambah/meningkat
sebesar Rp. 570.497. Implikasi dari temuan ini
adalah bahwa pendapatan usahatani kentang masih
bisa ditingkatkan melalui peningkatan produktivitas
per hektar. Koefisien regresi 346.580, artinya jika
terjadi kenaikan harga sebesar Rp.1 maka
pendapatan akan meningkat sebesar Rp. 346.580,-.
Implikasi dari temuan ini adalah pendapatan
usahatani kentang masih bisa ditingkatkan jika harga
ditingkat petani meningkat. Temuan ini ini sejalan
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Asni,
dkk (2010) yang menyimpulkan bahwa Pendapatan
petani padi sawah nyata dipengaruhi oleh variabel
jumlah produksi, harga jual, jumlah tenaga kerja dan
modal secara bersama. Secara parsial, pendapatan
petani padi sawah dipengaruhi oleh jumlah produksi
dan harga jual.
Variabel luas lahan, tenaga kerja dan modal
tidak signifikan mempengaruhi pendapatan dalam
penelitian ini. Tidak signifikannya variabel luas
lahan disebabkan produktivitas kentang di lokasi
penelitian belum masih sangat rendah, sehingga
untuk meningkatkan pendapatan masih bisa melalui
peningkatan produktivitas belum perlu perluasan
areal. Sementara tidak signifikannya variabel tenaga
kerja disebabkan jumlah penggunaan tenaga kerja di
lokasi penelitian terlalu sedikit sehingga yang
ditunjukkan oleh kurang terawatnya tanaman di
lapangan. Modal yang digunakan untuk usahatani
kentang dalam penelitian ini belum berpengaruh
terhadap pendapatan karena sebagian besar petani
tidak menggunakan pupuk dan pemberantasan jika
tanaman kentang diserang penyakit.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1.
2.
Produksi dan harga jual merupakan faktorfaktor yang berpengaruh sangat signifikan
terhadap pendapatan usahatani kentang di
Kecamatan Bukit Kabupaten Bener Meriah.
Rata-rata pendapatan usahatani kentang di
Kecamatan Bukit Kabupaten Bener Meriah
masih rendah.
42
Jurnal Agrium, Volume 10 Nomor 2 September 2013, hal 38-42
Saran
1.
2.
Produktivitas usahatani kentang di Kecamatan
Bukit Kabupaten Bener Meriah masih sangat
rendah. Oleh karena itu sedapat mungkin
pemerintah daerah dan dinas terkait agar dalam
perencanaan pengembangan usahatani kentang
di tahun-tahun mendatang harus lebih banyak
diarahkan kepada intensifikasi seperti lebih
membekali petani tentang teknik budidaya
secara benar dan intensif agar dapat
meningkatkan produktivitas. Hal ini perlu
dilakukan karena produksi merupakan salah
satu faktor yang sangat mempengaruhi
pendapatan usahatani kentang.
Harga jual ditingkat petani jauh lebih rendah
dibandingkan harga konsumen, dan variabel
harga sangat mempengaruhi rendahnya
pendapatan usahatani kentang. Oleh karenanya
maka pemerintah daerah dapat membuat
kebijakan penetapan harga kentang di tingkat
petani agar dapat membantu petani dalam
meningkatkan pendapatan usahataninya.
DAFTAR PUSTAKA
Asni, Sya’ad. A., H. B. Tarmizi., & Wahyu, A. P.
(2010). Analisis produksi, pendapatan dan
alih fungsi lahan di Kabupaten Labuhan Batu.
Jurnal Mepa Ekonomi.
Diakses dari
http://jurnalmepaekonomi.blogspot.com/2010/
05/analisis-produksi-pendapatan-danalih.html
Badan Pusat Statistik. (2011). PDB menurut
lapangan usaha tahun 2010 (persen). Jakarta:
BPS.
Direktorat Jenderal Hortikultura. (2011). Produksi
sayuran nasional periode 2006 - 2010.
Jakarta: Direktorat Jenderal Hortikultura.
Direktorat Jenderal Hortikultura. (2012). Komoditas
unggulan. Jakarta: Direktorat Jenderal
Hortikultura.
Diakses
dari
http://hortikultura.deptan.go.id/?q=content/ko
moditas-unggulan.
M. Nur H.I., Abdul Azis., & M. Ramlan. (2010).
Teknologi unggulan kentang rekomendasi
BPTP NAD. Disampaikan pada Konsolidasi
Perencanaan PUAP dan Persiapan Raker
Litbang di BBP2TP Bogor, 12-14 Maret
2010.
Soekartawi. (2002). Prinsip dasar ekonomi
pertanian. Teori dan Aplikasi. (Edisi Revisi).
PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta.
ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN MASYARAKAT PASCA
TSUNAMI
ANALYSIS OF FACTORS INFLUENCING PEOPLES’S INCOME
AFTER TSUNAMI
Fadli
1)
Abstract
Analysis of factors influencing people’s income after tsunami. Income is the main factor in improving the
walfare of society. Post-tsunami community life certainly very difficult, all sources of income and their
property destroyed by the brunt of the tsunami waves. Human capital, physical capital and economic capital
and social capital is also a key factor in increasing rural incomes post-tsunami. This study aims to analyze the
factors that influence people’s income after the tsunami. Data were analyzed by regression analysis. The
research show that social capital is a factor which significantly affect the increase in income after the
tsunami.
Keywords: Revenue, Trusty, Collaboration, Network, Collective Action, and Relief Fund
jumlah anggota keluarga yang masih tinggal,
pekerjaan dan bantuan pihak luar yang masih
dimiliki dapat digunakan sebagai modal dalam
proses peningkatan pendapatannya.
PENDAHULUAN
Prioritas program rencana rehabilitasi dan
rekonstruksi pasca bencana tertuang dalam Buku
Induk Rencana Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh
dan Nias (2005). Pembangunan pasca tsunami di
prioritaskan pada pembangunan kembali berbagai
sektor kehidupan masyarakat yang telah hancur.
Kebijakan dan strategi dalam proses rehabilitasi
pasca bencana didasarkan pada upaya mengentaskan
permasalahan yang ditimbulkan oleh tsunami.
Modal sosial yang masih dimiliki oleh
masyarakat berpengaruh terhadap percepatan
pembangunan
desanya
baik
pembangunan
infrastruktur dan perumahan maupun pembangunan
ekonominya. Modal social yang dimaksud yaitu aksi
kolektif, kepercayaan dan kerjasama. Aksi kolektif
seperti melakukan proses perencanaan pembangunan
desa secara partisipatif pasca tsunami yang salah satu
hasilnya adalah membentuk kelompok-kelompok
usaha yang sesuai dengan bidang dan keahlian
masing-masing
masyarakat.
Dengan
telah
terbentuknya
kelompok-kelompok
tersebut
menyebabkan banyak pihak yang menawarkan
bantuannya untuk peningkatan pendapatan mereka.
Kerjasama tersebut terjadi karena antar sesama
masyarakat saling percaya mempercayai. Modal
kepercayaan yang ada menjadi modal untuk menarik
minat pihak-pihak yang mau memberi bantuan.
Pembangunan kembali pasca tsunami
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat secara adil dan merata untuk setiap
wilayah yang mengalami kerusakan melalui
pemenuhan kebutuhan hidupnya yang paling
mendasar. Peningkatan kesejahteraan dapat
dilakukan dengan cara peningkatan pendapatan.
Adanya pendapatan pasca tsunami membantu
mereka untuk memenuhi seluruh kebutuhan dirinya
dan keluarganya. Pendapatan akan ada atau didapat
jika didukung oleh faktor yang mempengaruhinya.
Faktor yang mempengaruhi pendapatan diantaranya
yaitu tersedianya sumberdaya alam, modal, manusia
dan sumber lainnya. Bawaan sumberdaya (resource
endowment) yaitu sumberdaya alam (natural
resources),
sumberdaya
manusia
(human
resources), sumberdaya buatan (man-made
resources) atau infrastruktur dan sumberdaya
sosial (social resources) menjadi sangat penting
bagi tercapai tujuan peningkatan kesejahteraan. Akan
tetapi, pasca tsunami masyarakat hampir tidak lagi
memiliki bawaan sumberdaya yang dimaksud.
Namun demikian, stok modal sosial, pendidikan,
1)
Modal kepercayaan dan kerjasama juga
berimplikasi pada adanya modal sosial, karena
kepercayaan adalah produk yang sangat penting dari
norma-norma sosial kooperatif yang memunculkan
modal sosial. Jika masyarakat bisa diandalkan untuk
tetap menjaga komitmen, norma-norma saling
menolong yang terhormat dan menghindari perilaku
oportunistik, maka berbagai kelompok akan
terbentuk secara lebih cepat, dan kelompok yang
terbentuk itu akan mampu mencapai tujuan-tujuan
bersama secara lebih efisien (Fukuyama 1995).
Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh
43
44
Jurnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 43-46
Dengan demikian modal sosial dapat berperan
untuk mendorong percepatan pembangunan desa
pasca tsunami.
Faktor lain yang masih ada sebagai modal
untuk peningkatan pendapatan pasca tsunami yaitu
pendidikan, anggota keluarga, pekerjaan dan bantuan
pihak luar. Pendidikan seseorang yang tinggi tentu
akan mudah memperoleh pekerjaan. Pasca tsunami
banyak lembaga donor yang berkantor di Aceh dan
menyediakan pekerjaan bagi masyarakat. Selain itu
anggota keluarga juga berkontribusi di dalam
pemenuhan kebutuhan keluarganya. Sama halnya
dengan pendidkan dan jumlah keluarga yang masih
dimiliki, keterlibatan pihak luar juga menjadi
penentu masyarakat di dalam mendapatkan
penghasilan. Keterlibatan lembaga swadaya baik
yang berasal dari dalam negeri maupun yang dari
luar negeri membantu masyarakat untuk memperoleh
bantuan dalam bentuk penyediaan modal usaha
maupun bantuan langsung tunai. Namun demikian
sejauhmana faktorfaktor tersebut mempengaruhi atau
berpengaruh terhadap pemulihan pendapatan
masyarakat sebagai upaya pengentasan masalah
ekonomi yang ditimbulkan oleh tsunami perlu
dilakukan sebuah penelitian.
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab
beberapa permasalahan yang terkait dengan
pendapatan masyarakat pasca tsunami dan
mendapatkan informasi atau pengetahuan mengenai
hubungan/konstribusi modal sosial masyarakat,
pendidikan, jumlah anggota keluarga, pekerjaan dan
bantuan pihak luar dengan pendapatan masyarakat
pasca tsunami.
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Sampel
Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Aceh
Besar, yaitu di Desa Beurandeh Kecamatan Mesjid
Raya, Desa Kajhu Kecamatan Baitussalam dan Desa
Lamkrut Kecamatan Lhoknga, yang ditentukan
secara sengaja (purposive). Sampel penelitian adalah
rumah tangga yang ditentukan secara eksidental
yaitu rumah tangga yang dipilih adalah rumah tangga
mana saja yang dijumpai dan bersedia diminta
informasinya sesuai dengan data yang dibutuhkan
pada saat pengambilan data (Mantra 2004). Jumlah
sampel yang diambil yaitu 61 rumah tangga, masingmasing 21 rumah tangga di Desa Kajhu, 20 rumah
tangga di Desa Lamkrut dan 20 Rumah tangga di
Desa Beurandeh.
Jenis dan Sumber Data
Jenis Data yang dikumpulkan meliputi Data
Primer dan Data Sekunder.
Data sekunder
dikumpulkan dari lembaga/instansi yang berkaitan
dengan penelitian ini. Sedangkan data primer
dikumpulkan melalui wawancara terstruktur dengan
menggunakan daftar kuesioner dengan kepala dan
anggota rumah tangga. Selain itu juga melalui
wawancara dengan pemimpin desa, tokoh
masyarakat dan kelompok-kelompok masyarakat
yang sedang berkumpul di suatu tempat.
Metode Analisis Data
Faktor yang berpengaruh terhadap pendapatan
masyarakat pasca tsunami dianalisis dengan
menggunakan regresi linier berganda. Bentuk
persamaannya adalah sebagai berikut:
Y = β 0 + β 1 MS + β 2 U + β 3 AK + β 4 d _ PdK + β 5 d _ PK + β 6 NGO + ε
Dimana:
Y
β0
βj
MS
U
AK
d_PdK
d_PK
NGO
= Pendapatan rumah tangga (Rp)
= Intersep
= Koefisien regresi (j=1,2,3,..6)
= Modal sosial (rumah tangga)
= Umur kepala keluarga (tahun)
= Jumlah anggota rumah tangga (jiwa)
= Pendidikan kepala keluarga (1= tamat SMA, 0 = tidak tamat SMA)
= Pekerjaan kepala keluarga (1 = sudah tetap, 0 = belum tetap)
= Banyaknya NGO dalam satu desa yang membantu dibidang ekonomi
Fadli1), Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Masyarakat Pasca Tsunami
HASIL PENELITIAN
Pendapatan merupakan salah satu indikator
kesejahteraan
masyarakat.
Semakin
tinggi
pendapatan, tingkat kesejahteraannya juga semakin
tinggi. Pendapatan keluarga secara umum bisa
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan kepala keluarga,
pekerjaan kepala keluarga, umur kepala keluarga,
jumlah anggota rumah tangga, aset yang dimiliki
rumah tangga dan lain sebagainnya.
Model yang digunakan untuk menganalisis
faktor yang mempengaruhi pendapatan keluarga
pasca tsunami adalah model regresi linier. Selain
memasukkan variabel-variabel yang secara umum
digunakan sebagai faktor yang mempengaruhi
pendapatan keluarga yaitu pendidikan kepala
keluarga, pekerjaan kepala keluarga, jumlah anggota
keluarga, juga memasukkan faktor modal sosial
masyarakat dan keterlibatan berbagai pihak sebagai
penyedia bantuan dalam proses rehabilitasi dan
rekonstruksi di NAD sebagai variabel bebasnya.
Dengan memasukkan indeks modal sosial
masyarakat, maka dapat dilihat seberapa besar modal
sosial berpengaruh terhadap pemulihan pendapatan
masyarakat pasca tsunami.
Hasil pengujian hipotesis terhadap model
analisis regresi linier menunjukkan nilai probabilitas
< 0,05, maka model regresi linier tersebut layak
digunakan untuk memprediksi faktor modal social,
pendidikan kepala keluarga, jumlah anggota
keluarga, pekerjaan kepala keluarga dan bantuan
NGO berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat
pasca tsunami (Tabel 1). Hasil analisis menunjukkan
Tabel 1.
45
bahwa pendapatan keluarga dipengaruhi secara nyata
oleh indeks modal sosial masyarakat pada taraf nyata
95 %. Modal sosial memberikan pengaruh yang
positif dan signifikan terhadap pendapatan keluarga
pasca tsunami. Modal sosial merupakan salah satu
faktor yang dapat memudahkan masayarakat untuk
memulihkan pendapatannya. Kerjasama dan saling
percaya sebagai unsur modal sosial memberi peluang
masyarakat untuk memperoleh keuntungan secara
kolektif, seseorang pecaya kepada orang lain karena
ada tujuannya yaitu untuk mendapat keuntungan
(Lawang 2004).
Selain itu, tingkat pendidikan kepala
keluarga juga berpengaruh terhadap pemulihan
pendapatan masyarakat pasca tsunami walaupun
tidak begitu signifikan. Tingkat pendidikan kepala
keluarga minimal SMA memberi pengaruh yang
positif kepada peningkatan pendapatannya. Hal
tersebut merupakan hal yang logis, mengingat
pendidikan kepala keluarga yang sudah tamat SMA
akan memudahkan dalam melakukan berbagai
kegiatan. Sedangkan variabel keterlibatan NGO
(d_NGO) memiliki tanda positif artinya bahwa
jumlah NGO yang terlibat dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat. Sumber peningkatan
pendapatan masyarakat yang berkaitan dengan
jumlah NGO yang terlibat yaitu terutama pada
pembangunan fisik seperti pembangunan rumah.
Sedangkan pada bidang ekonomi, modal usaha yang
disalurkan belum mendapatkan hasil mengingat
waktunya yang belum begitu lama sehingga usaha
masyarakat belum memberikan hasil sesuai yang
diharapkan.
Hasil Analisis Menggunakan Regresi Linier dengan Variabel Terikat Pendapatan Rumah Tangga
Indikator
Konstanta
Indeks Modal Sosial Masyarakat (MS)
Umur Kepala Rumah Tangga (U)
Pekerjaan Kepala Rumah Tangga (d_PK)
Pendidikan Kepala Rumah Tangga (d_PdK)
Jumlah Anggota Rumah Tangga (AK)
Keterlibatan NGO (NGO)
R Square
Adjusted R Square
F Statistik
Koefisienregresi
P-Value
-22.706
32.721
9.780E-02
9.169
10.267
-0.843
1.870
0.260
0.178
0.192
0.011
0.711
0.098
0.060
0.589
0.170
0.010
46
Jurnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 43-46
Keterkaitan pendapatan masyarakat desa pasca
tsunami dan modal sosial yaitu modal sosial dapat
memfasilitasi
terjadinya
proses
perolehan
pendapatan yang lebih cepat. Penggunaan modal
sosial yang tepat akan meningkatkan akses setiap
orang untuk memperoleh pengetahuan, pendidikan,
kesehatan, kenyamanan, perumahan dan kesempatan
kerja sehingga kehidupannya akan lebih sejahtera.
Modal sosial memfasilitasi orang untuk bekerja
secara bersama-sama (collective action) untuk
mencapai tujuan bersama.
Modal sosial memang bukan satu-satunya
faktor yang mempengaruhi tercapainya tingkat
kesejahteraan rumah tangga dan pembangunan
wilayah yang tinggi. Banyak faktor-faktor yang juga
mempengaruhinya seperti ketersediaan sumberdaya
alam fisik serta sumberdaya manusia. Penelitianpenelitian tentang modal sosial yang pernah
dilakukan menunjukkan bahwa modal sosial dapat
mempengaruhi tercapainya tingkat kesejahteraan
masyarakat dan pembangunan wilayah yang tinggi,
khususnya pembangunan ekonomi suatu wilayah
(Kirwen dan pierce, 2002, Knowles, 2005, Narayan
dan Pritchett, 1999, North, 1990 serta Putnam,
1993).
Kerjasama dan saling percaya antar sesama
masyarakat maupun dengan lembaga di dalam dan di
luar komunitas masyarakat merupakan unsur utama
modal sosial. Sering melakukan kerjasama dan
tingkat kepercayaan yang tinggi memberi peluang
masyarakat untuk memperoleh keuntungan secara
kolektif. Aktivitas bersama yang dihasilkan dari
adanya interaksi sosial yang intensif dapat
meningkatkan produktifitas ekonomi.
KESIMPULAN
Peningkatan pendapatan masyarakat desa
pasca tsunami dipengaruhi oleh stok modal sosial.
Semakin tinggi stok modal sosialnya, proses
menghasilkan pendapatan semakin cepat. Modal
sosial menjadi faktor penentu peningkatan
pendapatan masyarakat desa pasca tsunami
disamping faktor lain yaitu pekerjaan, pendidikan,
umur kepala keluarga dan keterlibatan pihak NGO,
modal sosial dapat mendorong masyarakat untuk
melakukan kerjasama (collective action) untuk
mencapai tujuan bersama yaitu membangun kembali
desa mereka yang telah hancur akibat tsunami.
DAFTAR PUSTAKA
Fukuyama, F. (1995). Trust: the social virtues and
the creation of prosperity. The Free Press.
New York.
Kirwen, E. L., Pierce, L. I. (2002). Rebuilding trust
and social capital in Maluku, Indonesia.
Prepared for the USAID DG Partners
Conference December 2002.
Knowles, S. (2005). The future of social capital in
economics development research. A paper for
WIDER Jubilee Conference. Helsinki.
Lawang, R. M. Z.(2004). Kapital sosial dalam
perspektif sosiologik suatu pengantar. FISIP
UI PRESS. Jakarta.
Mantra, I. B. (2004). Filsafat penelitian dan metode
penelitian
sosial.
Pustaka
Pelajar.
Yogyakarta.
Narayan, D., Pritchett, L.(1999). Cent and
sociability. Household income and social
capital in rural Tanzania. Economic
Development and Cultural Change 47 (8):
871-986.
North, D. C. (1990). Institutions, institutional change
and economic performance. Cambridge
University Press. Cambridge.
Putnam, R. D. (1993). Making democracy work:
civic tradition in modern Italy. Princeton
University Press. Princeton. New Jersey.
EVALUASI BEBERAPA NOMOR AKSESI KENTANG (Solanum tuberosum L.) TERHADAP
KETAHANAN PENYAKIT HAWAR DAUN (Phytopthora infestans (Mont.) de Bery)
EVALUATION OF ACCESSION NUMBER OF PATATO (Solanum tuberosum L.) ON
RESISTANCE LEAF BLIGHT (Phytopthora infestans (Mont.) de Bery)
Muhamad Yusuf 1)
Abstract
The purpose of this study is to evaluate 27 potato accession numbers from crosses that have disease resistance
of P. infestans ( late blight ), knowing the potential production of 27 clones of potato accession numbers from
crosses. Results showed the intensity of the disease are observed including six resistant clones 22.22% (PT4,
AP3, PT3, AP4, AP7, and PT2) with the intensity of attacks between 9.70-18.33%, 14.81% four moderately
resistant clone (PT1, PT5, AP8 and AP2) with the intensity of 20.48-37.50%, 12% moderately susceptible
clones 44.44 (RP5, RP18, RP7, RP16, RP 6, RP 8, RP3, RP2, RP14, RP17, Rp13, and RP10) with the intensity
of attacks 45.00-59, 12%, and 18-52% five clones were classified as susceptible (RP4, RP15, RP 9, AP1 and
AP6) with the intensity of attacks between 68.18-100%. Intensity
of the relationship is linear with the number
intensity of the relationship with tuber
of bulbs, with the model equation Y = 17 594 - 0.174x. (R2 = 0.264), the
weight is linear, with the model equation Y = 404 817-4.606x. 2(R2 = 0.297) and the intensity of the bulb
volume is linear, with a regression model Y = 346 010- 4.081x. (R = 0.292).
Keywords: Evaluation, Accession Potato, leaf blight.
adalah hawar daun yang disebabkan oleh jamur P.
infestans (Yabuuchi, Kosaka, Yano, Hotta, dan
Nishiuchi, 1995). Kerusakan oleh penyakit hawar
daun dapat mengakibatkan penurunan hasil antara
10-100% (Suryaningsih, Chujoi, dan Kusmana,
1999). Di Belarusia pada pada tahun 1999 penyakit
hawar daun P. infestans (Mont.) de Bery dapat
menyerang daun-daun tanaman bagian atas (daun
muda) pada awal periode pertumbuhan vegetatif
tanaman dengan tingkat kerusakan daun mencapai
80-100% pada varietas yang berumur genjah, dan
70-80% pada varietas yang berumur sedang dan
dalam (Anoshenko,1999).
PENDAHULUAN
Identifikasi penyebab suatu penyakit (etiologi)
merupakan suatu langkah dalam studi penyakit dan
sebagai titik awal untuk menentukan langkahlangkah selanjutnya. Jika terjadi epidemi penyakit
baru pada suatu komoditas pertanian yang penting
dan telah menimbulkan kerusakan yang cukup
berarti atau diduga akan menimbulkan masalah yang
besar, maka langkah pertama yang harus dilakukan
ialah menentukan organisme penyebabnya. Menurut
Sahat (1985) yang mempelajari sifat ketahanan
terhadap penyakit hawar daun pada kentang
komersial menyimpulkan bahwa sifat ketahanan
dikontrol oleh tiga gen dominan. Ketahanan terhadap
penyakit P. infestans (hawar daun) bersifat dominan
dan dikendalikan oleh tiga pasang gen mayor dan
tingkat ketahanan populasi hibridnya lebih besar jika
dibandingkan dengan rata-rata tetuanya (Liao, Wang,
Xang, Tang, Tan, dan Sun,1990). Karena sifat
ketahanan seringkali terdapat pada spesies Solanum
diploid, maka pembentukan varietas yang memiliki
komposisi genetik yang unggul syarat mutlak bagi
suatu budidaya tanaman terutama dalam program
pemuliaan.
Hasil penelitian Sengooba dan Hakiza (1999),
menunjukkan bahwa
kehilangan hasil dapat
melebihi 90%, jika patogen yang menyerang kultivar
yang rentan pada awal pertanaman. Penelitian yang
dilakukan di Ethiopia, Kenya, Rwanda, Uganda, dan
Burundi menunjukkan bahwa kehilangan hasil dapat
mencapai 40-70%, dan besarnya kehilangan hasil
sangat tergantung baik pada kerentanan varietas
maupun pada kondisi lingkungan tempat tumbuh.
Penyakit P. infestans (hawar daun) pada
kentang sampai saat ini masih menjadi kendala
dalam produksi kentang. Berbagai rekomendasi
upaya pengendalian penyakit ini belum memberikan
hasil yang optimal. Penggunaan tanaman tahan
merupakan faktor yang sangat penting untuk
mengendalikan penyakit tanaman. French (1994),
menyatakan bahwa salah satu metode untuk
Target mutu benih kentang adalah kesehatan
benih (seed health) dan kebenaran varietasnya. Oleh
karena itu persoalan pokok pada benih kentang
adalah bagaimana agar benih kentang yang
diproduksi itu sehat, bebas dari infeksi dan infestasi
penyakit. Salah satu penyakit penting pada kentang
1)
Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh
47
48
Jurnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 47-55
mengendalikan penyakit adalah penggunaan kultivar
tahan.
Perakitan kultivar unggul yang tahan terhadap
penyakit dapat dilakukan dengan beberapa cara,
antara lain dengan melakukan hibridisasi atau
persilangan antara semua tetua sehingga dapat
diketahui potensi hasil suatu kombinasi hibrida, nilai
heterosis, daya gabung (daya gabung umum dan
khusus) dan dugaan besarnya ragam genetik dari
suatu karakter.
Benih kentang yang dipakai sekarang berupa
organ vegetatif (umbi), sehingga sekalipun
diperbanyak berkali-kali tidak akan terjadi
perubahan secara genetis. Adapun kemerosotan
(degenerasi) produksi yang terjadi pada setiap
generasi benih kentang yang diperbanyak/ditanam
secara terus menerus disebabkan oleh infestasi
penyakit yang terakumulasi pada setiap generasi dan
terus terbawa pada regenerasi benih. Penyakit yang
dimaksud adalah jamur yang disebabkan P.
infestans. Semakin panjang generasi benih maka
semakin besar tingkat infestasi jamur pada generasi
benih tersebut, sehingga produksinya semakin
rendah. Oleh karena itu hanya benih yang sehat yang
memiliki potensi produksi yang baik.
Keadaan tersebut memberi peluang untuk
merakit varietas yang berorientasi masa depan.
Penerimaan varietas baru hanya akan terlaksana
apabila varietas tersebut memiliki keunggulan yang
signifikan dari varietas yang telah ada.
Metode seleksi merupakan proses yang efektif
untuk memperoleh sifat-sifat yang dianggap sangat
penting dan tingkat keberhasilannya tinggi (Kasno,
1992). Untuk mencapai tujuan seleksi, harus
diketahui antara karakter agronomi, komponen hasil,
sehingga seleksi terhadap satu karakter atau lebih
dapat dilakukan (Zein, 1995).
Variasi genetik akan membantu dalam
mengefesienkan kegiatan seleksi. Apabila variasi
genetik dalam suatu populasi tinggi, ini
menunjukkan individu dalam populasi beragam
sehingga peluang untuk memperoleh genotip yang
diharapkan akan baik (Bahar dan Zein, 1993).
Sedangkan pendugaan nilai heritabilitas yang dari
rata-rata induknya ini menunjukkan bahwa faktor
pengaruh genetik lebih besar terhadap penampilan
fenotip serta lingkungan, sehingga dapat diketahui
sejauh mana sifat atau faktor lingkungan, sehingga
dapat diketahui sejauh mana sifat tersebut dapat
diturunkan pada generasi berikutnya.
Korelasi dua atau lebih antara sifat positif
yang dimiliki akan memudahkan seleksi karena akan
diikuti oleh meningkatnya sifat yang satu ke sifat
yang lainnya, sehingga dapat ditentukan satu sifat
atau indek seleksi (Eckebil, Gardner, dan Maranville,
1977). Sebaliknya bila korelasi negatif, maka sulit
untuk memperoleh sifat yang diharapkan, maka
seleksi menjadi tidak efektif (Poespodarsono, 1988).
Pada umumnya bila dua tanaman yang
berlainan disilangkan, maka turunannya sering
memperlihatkan gejala heterosis atau umumnya
disebut vigor hibrida (hybrid vigour) (North, 1979
dalam Baihaki, 1989).
Usaha pengendalian dengan menanam varietas
tahan merupakan cara efektif, efesiensi dan aman
bagi lingkungan (Hogenboom,1993).
Morfologi
Berbagai teknik telah digunakan oleh para
peneliti untuk mengkaji keragaman ciri-ciri P.
infestans, baik menggunakan teknik yang
konvensional maupun teknik molekuler. Beberapa
teknik molekuler yang telah digunakan di antaranya
adalah analisis allozyme, uji kepekaan terhadap
metalaxyl, dan analisis genomik DNA dari isolate P.
infestans (Purwanti, 2002). P. infestans termasuk
famili Pythiaceae , ordo Peronosporales, klas
Oomycetes (Alexopoulos, Mims, dan Blackwell,
1996).
Struktur vegetatif dari jamur sendiri terdiri
dari hifa yang menyerupai benang-benang panjang.
Hifa secara kolektif membentuk miselium dan
panjangnya ada yang sampai beberapa meter. Hifa
ada yang beruas dan tak beruas. Pada hifa yang
beruas hifanya terbagi dengan sekat-sekat dan setiap
ruas mengandung satu nucleus atau banyak nucleus.
Pada tipe yang tak beruas terdiri dari hifa yang
mempunyai banyak nucleus yang tidak dibatasi oleh
sekat. Pada tipe ini dapat pula dijumpai dinding sekat
terutama pada hifa yang tua.
Jamur parasit mempunyai hifa yang ektofitik
atau endofitik. Miselium yang ektofitik berada pada
permukaan tanaman inang sedangkan miselium yang
endofitik berada didalam jaringan tanaman inang dan
dapat tumbuh secara interseluler (diantara sel) atau
intraseluler (masuk kedalam sel). Hifa yang ektofitik
dan interseluler membentuk haustorium ke dalarn sel
untuk memperoleh zat makanan, bentuk haustorium
dapat bulat atau seperti akar.
Muhamad Yusuf1), Evaluasi Beberapa Nomor Aksesi Kentang Terhadap Ketahanan Penyakit Hawar Daun
Ciri yang khas untuk mengenal sebagian besar
Phycomycetes ialah miselliumnya yang tidak
bersekat-sekat. Warna misellium putih, jika tua
mungkin agak coklat kekuning kuningan,
kebanyakan sporangium berwarna kehitam-hitaman
(Dwidjoseputro, 2005).
Gambar 1 adalah salah satu bentuk sporangia
hyalin, yang berbentuk seperti jeruk nipis,
mempunyai ukuran panjang 20-40 µm (Anonim,
2005).
Fisiologi
Pada umumnya, patogen berkembangbiak
secara aseksual. Cara ini dilakukan tanpa
penggabungan sel kelamin betina dan sel kelamin
jantan, tetapi dengan pembentukan spora yaitu
zoospora yang terdiri dari masa protoplasma yang
mempunyai bulu-bulu halus yang bisa bergetar dan
disebut cilia, tetapi dapat juga berkembangbiak
secara seksual dengan oospora, yaitu penggabungan
dari gamet betina besar dan pasif dengan gamet
jantan kecil tapi aktif.
49
Daur hidup dimulai saat sporangium terbawa
oleh angin. Jika jatuh pada setetes air pada tanaman
yang rentan, sporangium akan mengeluarkan spora
kembara (zoospora), yang seterusnya membentuk
pembuluh kecambah yang mengadakan infeksi
(Rumahlewang, 2008). Ini terjadi ketika berada
dalam kondisi basah dan dingin yang disebut dengan
perkecambahan tidak langsung. Spora ini akan
berenang sampai menemukan tempat inangnya.
Ketika keadaan lebih panas, P. infestans akan
menginfeksi tanaman dengan perkecambahan
langsung, yaitu germ tube yang terbentuk dari
sporangium akan menembus jaringan inang yang
akan membiarkan parasit tersebut untuk memperoleh
nutrient dari tubuh inangnya, karena jamur ini
bersifat heterotalik, artinya perkembangbiakan
secara seksual atau pembentukan oospora hanya
terjadi apabila terjadi mating (perkawinan silang)
antara dua isolat P. infestans yang mempunyai
mating type (tipe perkawinan) berbeda (Purwanti,
2002).
Gambar 1. Morfologi Phytophthora infestans; a. Sporangiospora jamur b. Spora jamur c. Bentuk lain dari
sporangiospora jamur P. infestans memproduksi spora aseksual yang disebut sporangia.
Gambar 2. Daur hidup penyakit P. infestans (hawar daun).
Jurnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 47-55
Inti sel antheridium dan oogonium akan saling
melebur (karyogami) ketika antheridium memasuki
oogonium. Mereka akan membentuk oospora
diploid, yang mana akan berkembang menjadi
sporangium dan daur hidup secara aseksual akan
terulang (Benru, 2007). Berbagai macam kondisi
untuk pembentukan oospora telah dianalisis.
Di bawah suatu kontrol, oospora diproduksi
pada daun kentang pada temperatur antara 5-250C
(Govers, A. Drenth and E.M. Janssen, 2007).
Mendekati dengan 100% kelembaban relatif, jamur
P. infestans menghasilkan jumlah berlimpah
sporangia pada permukaan daun (Anonim, 2005).
BAHAN DAN METODE
Bahan dan alat yang digunakan dilapangan
meliputi : pupuk organik (kotoran ayam) dan pupuk
anorganik NPK Mutiara (16:16:16), lanjaran, tali
rafia, emrad (gembor), label, meteran, jangka sorong,
timbangan serta peralatan tulis dan dokumentasi
Metode eksperimen yang digunakan dalam
penelitian menggunakan metode Rancangan Acak
Kelompok (RAK), perlakuan terdiri dari 27 klon
kentang hasil dari 3 persilangan kultivar tetua yang
berbeda; (1) Tetua Putih♀ x Thung♂ (5 nomor klon
generasi F2; PT1, PT2, PT3, PT4 dan PT5), (2)
Tetua Arinsa♀ x Putih♂ (7 nomor klon generasi F2;
AP1, AP2, AP3, AP4, AP6, AP7 dan AP8) dan (3)
Tetua Red Herta♀ x Putih♂ (15 nomor klon generasi
F4; RP2, RP3, RP4, RP5, RP6, RP7, RP8, RP9,
RP10, RP13, RP14, RP15, RP16, RP17 dan RP18), 2
tetua ( Putih dan Red Herta ) dan 3 varietas
pembanding (Granola, Atlantik dan Jasper) diulang
sebanyak dua kali. Luas masing-masing petak
50x1,50 m, jarak tanam 80x25 cm, jumlah
keseluruhan ada 64 petak percobaan, dimana masing
petak ditanam 5 tanaman jadi ada 320 tanaman yang
diamati dalam percobaan ini.
Suatu ketahanan genetik mempunyai nilai yang lebih
berarti dalam mengendalikan penyakit tanaman, bila
ketahanan genetik tersebut mampu memberikan
perlindungan yang baik dan menyeluruh dari
kemungkinan kerusakan yang diakibatkan oleh
penyakit (Baswarsiati, 1994). Dari besarnya
intensitas serangan pada pengamatan terakhir yang
dikonversikan ketingkat ketahanan diketahui dari 27
nomor aksesi klon kentang hasil persilangan yang
diuji, enam klon (22.22%) termasuk tahan yaitu;
PT4, AP3, PT3, AP4, AP7, dan PT2 dengan
intensitas serangan penyakit antara 9.70-18.33%,
empat klon (14.81%) agak tahan yaitu klon; PT1,
PT5, AP8 dan AP2 dengan intensitas serangan
penyakit masing-masing 20.48-37.50%, 12 klon
(44.44%) agak rentan yaitu; RP5, RP18, RP7, RP16,
RP6, RP8, RP3, RP2, RP14, RP17, RP13, dan RP10
dengan intensitas serangan penyakit berkisar antara
45.00-59,12%, serta lima klon (18.52%) yang
tergolong rentan yaitu; RP4, RP15, RP9, AP1 dan
AP6 dengan intensitas serangan antara 68.18-100%.
Berdasarkan analisis tabulasi silang hubungan
klasifikasi ketahanan penyakit terhadap hasil umbi,
berikut ini disajikan grafik hasil analisis tabulasi
silang, klasifikasi tingkat ketahanan serangan P.
infestan terhadap produksi (jumlah, bobot dan
volume umbi).
Jumlah Umbi
Sedikit
Sedang
Banyak
6
5
Jumlah Klon
50
4
3
2
1
0
Rentan
Agak
Rentan
Agak
Tahan
Tahan
Klasifikasi Ketahanan
PEMBAHASAN
Ketahanan Terhadap
(hawar daun)
Penyakit
P.
infestans
Ketahanan berkaitan dengan kemampuan
tanaman untuk mencegah, menghambat atau
memperlambat perkembangan penyakit (Bell, 1982).
Gambar 3. Klasifikas tingkat serangan P. infestans
terhadap jumlah umbi
Hasil analisis tabulasi silang (Gambar 3)
menunjukkan bahwa pada klasifikasi ketahanan
kategori rentan terdapat dua klon yang mempunyai
jumlah umbi kategori rendah yaitu klon Atlantik
Muhamad Yusuf1), Evaluasi Beberapa Nomor Aksesi Kentang Terhadap Ketahanan Penyakit Hawar Daun
51
(1.85) dan AP1 (2.50), kemudian katergori sedang
terdapat empat klon yaitu Jasper (4.25), Granola
(6.5), RP15 (5.75) dan AP6 (6.50) disusul 3 klon
yang mempunyai katergori tinggi yaitu Red Herta
(6.85), RP4 (8.70) dan RP9 (9.00).
(9.50) kemudian disusul berturut-turut klon RP6
(95.00), RP8 (42.50), RP14 (70.10), RP18 (112.50),
RP16 (148.35), RP13 (115.50), RP3 (188.40), RP2
(136.60), RP5 (212.50), RP17 (229.35) dan RP10
(235.00).
Untuk klasifikasi ketahanan kategori agak
rentan terdapat empat klon yang mempunyai jumlah
umbi kategori rendah yaitu RP7 (2.00), RP8 (2.00),
RP6 (4.00) dan RP16 (4.10), sedangkan kategori
sedang terdapat tiga klon yaitu RP18 (4.75), RP14
(4.80) dan RP13 (4.90), sedangkan untuk kategori
tahan terdapat lima klon yaitu RP17 (6.85), RP5
(8.00), RP2 (8.30), RP3 (9.50), dan RP10 (24.15).
Sedangkan untuk klasifikasi ketahanan
kategori agak tahan terdapat lima klon yang
mempunyai kategori rendah yaitu AP2 (6.65), PT1
(143.20), Putih (147,35), AP8 (225.50) dan PT5
(242.00), adapun untuk kasifikasi ketahanan kategori
tahan namun dari bobot umbi terdapat dua klon yang
dinyatakan kategori rendah, adapun klon yang
mempunyai bobot umbi kategori rendah yaitu PT3
(41.40) dan PT2 (70.75). untuk bobot umbi pada
klasifikasi ketahan kategori tahan terdapat empat
klon yang mempunyai kategori tinggi yaitu AP3
(554.40) disusul PT4 (623.40), AP7 (639.70) dan
AP4 (761.90).
Sedangkan untuk klasifikasi ketahanan
kategori agak tahan hanya terdapat lima klon yang
mempunyai kategori tinggi yaitu AP2 (6.65), Putih
(6.75), PT5 (10.00), PT1 (12.20) dan AP8 (13.15),
begitu juga halnya dengan klasifikasi ketahanan
kategori tahan terdapat enam klon yang mempunyai
jumlah umbi kategori tinggi yaitu PT3 (6.85), PT2
(9.000), AP7 (18.00), AP3 (20.10), AP4 (21.05) dan
PT4 (37.80)
Volume Umbi
Sedikit
Sedang
Banyak
Jumlah Klon
8
6
4
2
0
Rentan
Agak
Rentan
Agak
Tahan
Tahan
Klasifikasi Ketahanan
Gambar 5. Klasifikas tingkat serangan P. infestans
terhadap volume umbi
Gambar 4. Klasifikas tingkat serangan P. infestans
terhadap bobot umbi
Hasil analisis tabulasi silang (Gambar 4)
menunjukkan bahwa pada klasifikasi ketahanan
kategori rentan terdapat sembilan klon yang
mempunyai bobot umbi kategori rendah yaitu klon
Granola (13.00), kemudian disusul Atlantik (13.35),
AP1 (15.00), Red Herta (24.00), Jasper (59.90),
RP15 (83.35), AP6 (89.50), RP9 (151.00) dan RP4
(168.00). Kemudian untuk klasifikasi ketahanan
kategori agak rentan terdapat 12 klon yang
mempunyai bobot umbi kategori rendah yaitu RP
Hasil analisis tabulasi silang (Gambar 5)
menunjukkan bahwa pada klasifikasi ketahanan
kategori rentan terdapat lima klon yang mempunyai
volume umbi kategori rendah adapun klon yang
dimaksud adalah AP1 (13.00) disusul Granola
(15.00), Red Herta (19.65), Atlantik (22.00) dan
Jasper (37.25), kemudian katergori sedang terdapat
dua klon yaitu AP6 (50.00) dan AP15 (50.00),
disusul dua klon yang mempunyai katergori tinggi
yaitu RP9 (111.75) dan RP4 (121.80).
Kemudian untuk klasifikasi ketahanan
kategori agak rentan terdapat empat klon yang
mempunyai volume umbi kategori sedang yaitu
RP14 (75.00), RP8 (62.50), RP6 (73.75) dan RP18
(75.00), kemudian untuk kategori tinggi terdapat
52
Jurnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 47-55
delapan klon yaitu RP13 (83.15) disusul RP7
(92.50), RP2 (106.80), RP16 (121.15), RP3 (136.10),
RP10 (146.50), RP5 (172.50) dan RP17 (191.65).
Sedangkan untuk klasifikasi ketahanan
kategori agak tahan terdapat satu klon yang
mempunyai kategori volume umbi sedang yaitu, AP2
(48.75), sedangkan untuk kategori volume umbi
tahan terdapat empat klon yaitu PT1 (105.90), Putih
(113.55), AP8 (183.35) dan PT5 (191.25). Kemudian
pada klasifikasi ketahanan kategori tahan terdapat
dua klon yang mempunyai volume umbi kategori
rendah yaitu PT3 (43.75) dan PT2 (43.75),
sedangkan volume umbi kategori tinggi terdapat
empat klon yaitu AP3 (477.40), PT4 (497.40), AP4
(762.40) dan AP7 (501.00).
Hasil analisa koefisien korelasi (Tabel 10)
karakter hubungan, baik jumlah umbi (r = -0.432**),
bobot umbi (r = -0.485**) dan volume umbi (r = 0.496**) terhadap serangan penyakit mempunyai
korelasi negatif, hal ini sangat mempengaruhi
komponen produksi baik jumlah umbi, bobot umbi
maupun volume umbi, dengan asumsi semakin besar
tingkat serangan terhadap tanaman semakin kecil
hasil yang akan diperoleh begitu juga sebaliknya.
Perbedaan perubahan intensitas serangan P.
infestans pada tiap klon kentang yang diuji
disebabkan oleh faktor tanaman itu sendiri, yaitu ada
atau tidaknya peranan gen yang mengontrol
ketahanan terhadap P. infestans. Disamping itu suhu
dan kelembaban maupun tanah juga mempengaruhi
perkembangan dan intensitas serangan penyakit
hawar daun yang disebabakan oleh P. infestans.
Agrios, (1997) menyatakan perkembangan penyakit
dipengaruhi oleh faktor tanaman dan faktor
lingkungan.
Dari berbagai peneliti membuktikan bahwa
penyakit hawar daun yang menyerang tanaman
kentang dapat menurunkan pertumbuhan dan
komponen hasil kentang. Hasil penelitian
membuktikan bahwa intensitas serangan P. infestans
umumnya berpengaruh terhadap pertumbuhan
vegetatif dan generatif tanaman. Beberapa
mekanisme P. infestans menyebabkan penurunan
dan penghambatan pertumbuhan tanaman antara lain
yaitu dengan perubahan aktivitas hormon
pertumbuhan tanaman, terganggunya proses
fotosintesis yang dapat dimanfaatkan tanaman serta
berkurangnya
kemampuan
tanaman
dalam
mengabsorbsi nutrisi (Agrios, 1996).
Potensi Hasil Tanaman
Berdasarkan analisis regresi hubungan antara
intensitas serangan P. infestans terhadap produksi
kentang, berikut ini disajikan hubungan intensitas
serangan P. infestans (Gambar 13) terhadap jumlah
umbi.
Gambar 6. Hubungan antara intensitas serangan P.
infestans dengan jumlah umbi
Pada Gambar 6 terlihat bahwa hubungan
intensitas serangan dengan jumlah umbi dengan
model persamaan (Y = 16.19e-0.001x.) R-square yang
diperoleh sebesar 0.305 menunjukkan bahwa
variabilitas perubahan Y (jumlah umbi) dalam model
persamaan tersebut 30.50% dapat dijelaskan oleh
variabilitas perubahan X (intensitas serangan
penyakit). Koefisien arah hubungan yang dihasilkan
dari analisis adalah negatif. Hal ini menunjukkan
bahwa semakin tinggi intensitas serangan P.
infestans (hawar daun) semakin sedikit jumlah umbi
yang dihasilkan. Sebaliknya semakin kecil intensitas
serangan, maka semakin besar jumlah umbi yang
dihasilkan. Dalam persamaan tersebut terlihat
hubungan non linier, sehingga dapat dikatakan
bahwa variabilitas penurunan adalah tidak konstan.
Dalam model non linier berlaku law deminishing,
yaitu pertambahan yang semakin menurun. Dalam
model gambar 13 hubungan ke antar variabel adalah
negative, sehingga dapat dikatakan bahwa penurunan
yang semakin kecil.
Kemampuan tanaman untuk membentuk umbi
disesuaikan dengan kemampuan menyerap unsur
hara dan ketersediaan unsur hara disekitarnya
(Baswarsiati, et al., 2001), dengan adanya
kecukupan proses fotosintesis serta adanya
keseimbangan antara organ pengahasil dan pengguna
maka
fotosintat
yang
maksimum
dapat
Muhamad Yusuf1), Evaluasi Beberapa Nomor Aksesi Kentang Terhadap Ketahanan Penyakit Hawar Daun
ditranslokasikan kebagian organ penyimpan (umbi)
(Sitompul dan Guritno, 1995).
Hubungan intensitas serangan P. infestans
terhadap bobot umbi disajikan pada Gambar 14
Gambar 7. Hubungan antara intensitas serangan
P.infestans dengan bobot umbi
Pada Gambar 7 terlihat bahwa hubungan
intensitas serangan dengan bobot umbi dengan
model persamaan (Y = 328.0e-0.02x.) R-square yang
diperoleh sebesar 0.231 menunjukkan bahwa
variabilitas perubahan Y (bobot umbi) dalam model
persamaan tersebut 23.10% dapat dijelaskan oleh
variabilitas perubahan X (intensitas serangan
penyakit). Koefisien arah hubungan yang dihasilkan
dari analisis adalah negatif. Hal ini menunjukkan
bahwa semakin tinggi intensitas serangan P.
infestans (hawar daun) semakin sedikit bobot umbi
yang dihasilkan. Sebaliknya semakin kecil intensitas
serangan, maka semakin besar bobot umbi yang
dihasilkan. Ini menunjukkan bahwa semakin tinggi
intensitas serangan
P. infestans (hawar daun)
semakin sedikit atau kecil bobot umbi yang
diperoleh sehingga peluang kegagalan untuk
menghasilkan bobot umbi yang maksimal semakin
besar. Sebaliknya semakin kecil intensitas serangan,
maka semakin besar bobot umbi yang dihasilkan.
Hal ini sebababkan akibat dari serangan P.
infestans dapat menggangu proses fotosintesis, dan
pada akhirnya akan menurunkan produksi umbi,
dimana asimilat yang diperlukan untuk pembentukan
dan pembesaran umbi terganggu dan berkurang.
Agrios (1996) menyatakan akibat serangan hawar
daun menyebabkan penurunan senyawa nitrogen dan
zat pengatur tumbuh.
Hubungan intensitas serangan P. infestans
terhadap volume umbi disajikan pada Gambar 15.
53
Pada Gambar 8 terlihat bahwa hubungan
intensitas serangan dengan volume umbi dengan
model persamaan (Y = 273.2e-0.002x.) R-square yang
diperoleh sebesar 0.283 menunjukkan bahwa
variabilitas perubahan Y (volume umbi) dalam
model persamaan tersebut 28.30% dapat dijelaskan
oleh variabilitas perubahan X (intensitas serangan
penyakit). Koefisien arah hubungan yang dihasilkan
dari analisis adalah negatif. Hal ini menunjukkan
bahwa semakin tinggi intensitas serangan P.
infestans (hawar daun) semakin kecil volume umbi
yang dihasilkan. Sebaliknya semakin kecil intensitas
serangan, maka semakin besar volume umbi yang
dihasilkan. Ini menunjukkan bahwa semakin tinggi
intensitas serangan P. infestans (hawar daun)
semakin sedikit atau kecil volume umbi yang
diperoleh sehingga peluang kegagalan untuk
menghasilkan bobot umbi yang maksimal semakin
besar. Sebaliknya semakin kecil intensitas serangan,
maka semakin besar volume umbi yang dihasilkan.
Gambar 8. Hubungan antara intensitas serangan
P.infestans dengan volume umbi
Berdasarkan data produktivitas hasil intensitas
serangan P. infestans berpengaruh nyata terhadap
produktivitas klon kentang yang diuji. Hal ini diduga
karena infeksi penyakit hawar daun mempengaruhi
proses fotosintesis dan metabolisme yang berkaitan
dengan pembentukan biomasa tanaman. Menurut
Agrios (1996), menyatakan umumnya jamur
menyebabkan penurunan fotosintesis melalui
penurunan jumlah klorofil luas per daun, efesiensi
klorofil dan pertumbuhan tanaman. Dengan adanya
penghambatan
proses
fotosintesis
diduga
berakibatkan pada penghambatan pembentukan
fotosintat. Disamping itu salah satu penyebab
rendahnya produktivitas tanaman adalah kondisi
ekosistem tanaman tersebut harus seimbang dan
berkelanjutan
sehingga
tidak
memacu
berkembangnya hama dan penyakit tanaman
(Sastrosiswojo, 2003).
54
Jurnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 47-55
KESIMPULAN
1.
2.
Terdapat 6 (enam) klon yang dikatergorikan
tahan yaitu, PT4 kemudian di ikuti AP3, PT3,
AP4, AP7 dan PT2.
Dari 27 klon-klon diuji yang mempunyai
potensi hasil tinggi adalah klon AP4 (761.90
g), AP7 (639.70 g), PT4 (623.40 g) dan AP3
(554.40 g).
DAFTAR PUSTAKA
Agrios, G. N. (1997). Plant pathology. 3rd ed.
Academic Press. San Diego.
Agrios, G. N. (1996). Ilmu penyakit tumbuhan.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Anonim. (2005). Phytophthora infestans. Diakses
dari
.http://www.extento.hawaii.edu/kbase/crop/Typ
e/p_infest.htm.
Anoshenko, B. Yu. (1999). The late blight situation
in Belarusia. In Late Blight a Threat to Global
Food Initiative on Late Blight Conference
March 16-19,1999 Quito, Equador.
Bahar, M., & A. Zein. (1993). Parameter genetik
pertumbuhan tanaman, hasil dan komponen
hasil jagung, Zuriat 4 (1):4-7.
Baihaki,
A.
(1989).
Fenomena
heterosis.
Disampaikan pada Latihan Pemuliaan Tanaman
dan Hibrida, bagi Staf Litbang Deptan, di
Fakultas Pertanian UNPAD, Jatinangor 30
Agustus - 4 September.
Baswarsiati. (1994). Penilaian Stomata dan Bulu
Daun Sebagai Penciri Ketahanan Beberapa
Klon Tanaman terhadap Anggur Plasmopora
viticola. Zuriati 5 (I): 29-35.
Baswarsiati, T., Purbianti, E., Korlina, L., Moenir..,
& R.D. Indriani. (2001). Uji adaptasi calon
varietas unggul bawang merah. Press. Seminar
hasil penelitian dan pengkajian tehnologi
pertanian mendukung ketahanan pangan
berwawasan agribisnis.
Bell, A. A. (1982). Plant pest interaction with
environmental stress and breeding for pest
resistance : Plant Diseases In: Chistiansen, M.N.
& C.F. Lewis (eds.) Breeding Plant for Less
Favorable Environments, John Wiley & Sons,
New York.
Benru, J. (2007). Phytophthora infestans. Diakses
dari http://bioweb.uwlax.edu.
Eckebil, J. P., W. M. Ross, C. O. Gardner., & J. W.
Maranville, (1977). Heritability estimates
genetic correlations, and predicted gains from
S1 progeny test in three grain sorghum
Random-mating Populations. Crop Sci. 17:373377.
French, E. R. (1994). Strategies for integrated
control of bacterial wilt of potatoes. pp. 199 208. In: A. C. Hayward and G. L. Hartman
(Eds.). 1994. Bacterial Wilt: The Disease and
Its Causative Agent, P. solanacearum. CAB,
International, Wallingford.
Govers F, Drenth A., & E.M. Janssen, (2007).
Formation and survival of oospores of
Phytophthora infestans under natural conditions.
Diakses
dari
http://www3.interscience.wiley.com.
Hogenboom, N. G. (1993). Economic infortance of
breeding for diseases resistance, p. 5-9. In T.
Jacobs and J. E. Parlevliet (Eds.) Duratibility of
Diseases Resistance. Kluwer Academic
Publisher, Boston.
Kasno, A. (1992). Pemuliaan tanaman kacangkacangan. Hal 39-68 Dalam: Astanto Kasno,
Marsum Dahlan, dan Hasanuddin (ed).
Prosiding Simposium Pemuliaan Tanaman I.
PERIPI. Komda Jawa Timur.
Liao, B.S., Y.J. Wang., X.M. Xang., G.Y. Tang.,
Y.J. Tan., & D.R. Sun. (1990). Genetic and
breeding aspects of resistance to bacterial wilt.
pp. 39 - 43. In: K.J. Middleton and A.C.
Hayward (Eds.). Groundnut Proceedings of an
ACIAR/ICRISAT
Collaborative
Research
Planning Meeting. Genting Highlands, Malaysia
18-19 March 1990. ACIAR Proceedings No.18,
Canberra, Australia.
Poespodarsono, S. (1988). Dasar-dasar ilmu
pemuliaan tanaman. PAU-IPB Bekerjasama
dengan Lembaga Sumberdaya Informasi IPB.
Bogor.
Muhamad Yusuf1), Evaluasi Beberapa Nomor Aksesi Kentang Terhadap Ketahanan Penyakit Hawar Daun
Purwanti.
(2002).
Penyakit
hawar
daun
(Phytophthora infestans (mont.) De bary) pada
kentang dan tomat : identifikasi permasalahan
di
Indonesia.
Diakses
dari
http://www.indobiogen.or.id/terbitan/agrobio/ab
strak/agrobio_vol5_no2_20267-72.php.
Rumahlewang., & Wilhelmina. (2008). Penyakit
penting tanaman sayuran. Diakses dari
http://kliniktanaman.blogspot.com
Sahat, S. (1985). Heritability of resistance to
bacterial wilt in the tetraploid potato. pp. 218228. Asia Potato Association, First Conference,
Nagasaki, Japan 15-17 October 1985.
Sastrosiswojo, S. (2003). Perbaikan komponen
teknologi PHT pada tanaman kentang. Jurnal
Penelitian Hortikultura.
Sengooba, T., & J.J. Hakiza. (1999). The current
status of late blight caused by Phytophthora
infestans in Africa with empasis on Eastern and
Southern Africa. In Late Blight a Threat to
Global Food Initiative on Late Blight
Conference, March 16-19, 1999. Quito
Equador.
55
Sitompul, S.M., & Guritno, B. (1995). Analisis
Pertumbuhan Tanaman. Gajah Mada University
Press. Yogyakarta.
Suryaningsih, E., E. Chujoi., & Kusmana. (1999).
Identification of potato cultivars resistance to
late blight through a Standard International
Field Trial (SIFT) in Indonesia. In Potato
Research in Indonesia. Research Result in a
Series of Working Papers, 1999. Collaborative
Research between The RIV and CIP.
Yabuuchi, E., Y. Kosaka, I. Yano, H. Hotta., & Y.
Nishiuchi. (1995). Transfer of two Burkholderia
and an alcaligenes species to Ralstonia gen:
proposal of R. pickettii (Ralston, Palleroni and
Doudoroff, 1973) comb. nov., R. Solanacearum
(Smith, 1896) comb. nov. and R. Eutropha
(Davis, 1969) comb. nov. J. Microbiol. and
Immunol. 39 (11):897-904.
Zein, S. (1995). Heritabilitas, korelasi genotipik dan
fenotipik karakter padi gogo. Zuriat 6 (1):25-31.
SISTEM INTENSIFIKASI TANAMAN PADI SRI MELALUI PEMANFAATAN
MIKROORGANISME LOKAL DALAM PEMBUATAN KOMPOS DAPAT
MENINGKATKAN POPULASI MIKROBA TANAH (STUDI KASUS DI DESA SIDODADI
KABUPATEN DELI SERDANG)
SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION BY A LOCAL MIKROORGANISME USAGE IN
PRODUCING THE COMPOST FERTILIZER CAN IMPROVE LAND MICROBIA
POPULATION (CASE STUDY AT DESA SIDODADI KABUPATEN DELI SERDANG)
Eka Maida 1)
Abstract
System of Rice Intensification (SRI) by a Local Microorganisme Usage (MOL) in Producing the
Compost Fertilizer (Case Study at Desa Sidodadi Kabupaten Deli Serdang) is expected to maintain the
fertile of land, improve land microbia population and to preserve the environment at once capable to
maintain or improve land productivity. The agriculture system with SRI is applied by using organic
material such as fruif waste whis is fermented to produced MOL used as decomposer in composing
proges. This reseach studied microbia population where an organik agricaltural system (SRI) has been
applied. The reseach was comparedl of mikroba population soil also whith how effect SRI aplication
between chemical fertilizer for the managemental in Sidodadi village.Using compost MOL at SRI
improved microbia population soil by the result of soil analysis either chemically and biologically the
uses of MOL compost is far better compared for environmental the uses of an-organic fertilizer. The SRI
pattern practiced at Desa Sidodadi was an agricultural work environmentally friendly using organic
fertilizer as source of nutrients improve physical, chemical and biological properties of soil as well in
increasing production yield.
Keyword : System of Rice Intensification (SRI), Local Microorganisme
population.
(MOL), land microbia
mempengaruhi perkembangan mikroorganisme
dalam tanah. Mikroorganisme tersebut tidak dapat
menguraikan bahan organik di dalam tanah.
Akibatnya sisa-sisa pupuk yang tidak terserap oleh
akar tanaman terakumulasi dalam tanah dan
mempengaruhi kondisi tanah, tanah menjadi keras,
menggumpal, dan pH menurun. Produktivitas tanah
sebagai daya dukung terhadap pertumbuhan dan
produksi tanaman di atasnya dapat menurun.
Apabila kondisi seperti ini tidak diatasi maka terjadi
levelling off, yaitu kondisi dimana pertambahan
input tidak lagi mampu meningkatkan produksi
tanaman (Djamhari, 1993).
PENDAHULUAN
Upaya peningkatan produksi padi dengan
pengelolaan yang intensif melalui pemberian pupuk
kimia adakalanya tidak meningkatkan produksi
seperti yang diharapkan, dan bahkan dapat
mengalami penurunan produksi. Gejala ini
disebabkan oleh degradasi kesuburan tanah akibat
praktek pemupukan yang hanya bertumpu pada
pemberian pupuk anorganik (kimia) dengan jenis
dan dosis yang tidak rasional. Degradasi kesuburan
tanah dicirikan oleh rendahnya kandungan bahan
organik dan unsur hara dalam tanah, pada kondisi
semacam ini sifat fisik, kimia dan biologi tanah
menjadi kurang baik (Syekhfani, 2000).
Peningkatan pemakaian pupuk buatan dan
pestisida terkadang menimbulkan masalah bagi
lingkungan. Seiring dengan berkembangnya
kesadaran tentang pertanian berkelanjutan, makin
disadari pentingnya pemanfaatan bahan organik
dalam pengelolaan hara di dalam tanah. Penggunaan
bahan organik di dalam tanah diyakini dapat
memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah
(Engersta, 1991 dalam Hadanyani 2003).
Dampak dari pemakaian pupuk kimia dan
pestisida secara terus menerus tidak kelihatan dalam
waktu yang singkat, namun akan terlihat dalam
kurun waktu yang relatif lama. Kejadian ini dapat
dilihat pada akhir tahun 80-an dimana produktivitas
lahan mulai menurun akibat gencarnya pemakaian
pupuk anorganik pada program Insus yang tanpa
disertai pupuk organik. Pupuk anorganik dapat
memberikan dampak negatif bila diaplikasi secara
terus
menerus.
Pupuk
anorganik
dapat
Lebih lanjut Sutanto (2002) dalam Ruskandi,
(2006) menjelaskan bahwa pertanian organik dapat
1) Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh
56
Eka Maida 1), Sistem Intensifikasi Tanaman Padi Sri Melalui Pemanfaatan Mikroorganisme Lokal dalam Permbuatan Kompos
didefinisikan sebagai suatu sistem produksi
pertanaman yang berazaskan daur ulang hara secara
hayati. Berdasarkan definisi tersebut pertanian
organik merupakan pertanian ramah lingkungan
yang bersifat hukum pengembalian (low of return)
yang berarti suatu sistem yang berusaha untuk
mengembalikan semua jenis bahan organik ke dalam
tanah, baik dalam bentuk residu dan limbah
pertanian maupun ternak yang selanjutnya bertujuan
untuk memenuhi unsur hara pada tanah yang mampu
memperbaiki status kesuburan tanah terutama
struktur tanah. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa pertanian organik banyak memberikan
keuntungan ditinjau dari aspek peningkatan
kesuburan tanah serta aspek lingkungan dalam
mempertahankan keseimbangan ekosistem. Sistem
pertanian organik dapat diterapkan dengan salah satu
cara yaitu melalui sistem intensifikasi tanaman padi
atau yang lebih dikenal dengan System of Rice
Intensification (SRI)
Sistem Intensifikasi tanaman padi (SRI) telah
terbukti sukses diterapkan di sejumlah negara
terutama di Madagaskar. Sistem ini merupakan salah
satu sistem pertanian organik yaitu budidaya
tanaman padi yang intensif dan efisien dengan
proses manajemen berbasis pada pengelolaam tanah,
air dan tanaman. Pada SRI ini petani diarahkan
untuk memberikan masukan pada usaha taninya
dengan
menggunakan
potensi
alam.
Mikroorganisme yang tersedia di alam dapat
digunakan sebagai dekomposer dalam proses
pengomposan limbah organik dan kotoran binatang.
Mikroorganisme ini diharap dapat berfungsi secara
optimal dalam tanah sehingga kesuburan tanah dapat
meningkat (Berkelaar, 2002).
Limbah organik seperti sisa-sisa tanaman dan
kotoran ternak tidak bisa langsung diberikan ke
tanaman.
Limbah
organik
harus
dihancurkan/dikomposkan terlebih dahulu oleh
mikroba tanah menjadi unsur hara yang dapat
diserap oleh tanaman. Proses pengomposan alami ini
memakan waktu yang sangat lama, antara enam
bulan hingga setahun, sampai bahan organik tersebut
benar-benar dapat digunakan tanaman. Proses
pengomposan
dapat
dipercepat
dengan
menggunakan
mikroba
dekomposer
yang
berkemampuan tinggi. Penggunaan mikroba dapat
mempersingkat proses dekomposisi dari beberapa
bulan menjadi beberapa minggu saja (Isroi, 2004).
Petani desa Sidodadi Kecamatan Beringin
Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara yang
57
dijadikan sebagai objek penelitian pada awalnya
melakukan kegiatan pertanian sama seperti petani
lain yaitu menggantungkan pertaniannya pada
penggunaan pupuk kimia yang dapat mempercepat
masa panen dan hasil yang berlipat. Namun lambat
laun hasil panen tidak lagi surplus bahkan untuk
memenuhi kebutuhan warga Sidodadi mereka kerap
mengambil dari daerah lain. Petani di desa Sidodadi
mulai berpikir bagaimana kembali meningkatkan
hasil produksi dan kalau mungkin mengurangi
ketergantungan pada pupuk kimia dan air secara
berlebihan. Muncul inisiatif untuk menggantikan
pupuk kimia dengan pupuk organik melalui pola
tanam SRI.
Pupuk yang digunakan dalam SRI di Desa
Sidodadi adalah pupuk kompos yang berasal dari
bahan organik seperti kotoran hewan, limbah
organik, jerami yang proses dekomposisinya
dipercepat dengan menggunakan Mikroorganisme
Lokal (MOL). Pemupukan dengan pupuk organik
MOL dimanfaatkan agar mikroorganisme dalam
tanah dapat berperan dengan lebih baik sehingga
mampu menguraikan dan menyediakan nutrisi bagi
tanaman, menghasilkan humus sebagai media unsurunsur hara sebelum dimanfaatkan oleh akar tanaman
(Darmawan, 2006).
Mikroorganisme lokal yang digunakan untuk
mempercepat proses pengomposan limbah organik
di desa Sidodadi dibiakkan melalui proses
fermentasi antara air beras dengan limbah buahbuahan seperti pisang, nenas, jeruk dan pepaya
busuk. Hasil biakan MOL digunakan dalam proses
pembuatan kompos untuk mempercepat proses
dekomposisi
limbah
organik
yang
akan
diaplikasikan
ke
lahan
pertanian
yang
menggunakaan pola tanam SRI. Jadi sasaran dari
program SRI ini adalah untuk meningkatkan hasil
pertanian dengan lahan yang terbatas, menghasilkan
produk yang sehat bagi produsen dan konsumen,
serta menjaga kelestarian lingkungan
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Dusun Yogya
Sidodadi, Kecamatan Beringin, Kabupaten Deli
Serdang pada bulan Februari 2007 sampai dengan
Juni 2007. Contoh tanah diambil pada areal tanah
pertanian yang mengunakan pola SRI dengan
memanfaatkan pupuk kompos MOL (PO) sebagai
dekomposer pupuk organik dan tanah pertanian
mengunakan pupuk kimia (PK). Tanah diupayakan
58
Jurnal Agrium, Volume 10 Nomor 2 September 2013, hal 56-60
dalam keadaan lembab untuk keperluan analisis
mikrooganisme di laboratorium. Contoh tanah
diambil pada kedalaman 0 – 20 cm dengan jarak
500 – 1000 m dari beberapa tempat pada lahan
yang
sama
untuk
mengetahui
populasi
mikroorganisme di dalam tanah. Tanah dicampur
secara homogen setelah diaduk rata kemudian
diambil 500 gr (Syarifuddin, 2002). Contoh tanah
uji dianalisis dengan dua kali ulangan di
Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Matematika
Ilmu Pengatahuan Alam, Universitas Sumatera
Utara.
Populasi dari masing-masing kelompok
mikroba yaitu mikroba
tanah pertanian yang
mengunakan pola SRI dengan memanfaatkan pupuk
kompos MOL (PO) sebagai dekomposer pupuk
organik dan tanah pertanian mengunakan pupuk
HASIL DAN PEMBAHASAN
Populasi Mikrobia Tanah
Pada pemberian kompos MOL (PO) jumlah
populasi mikroba tanah jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan pemberian pupuk anorganik
(PK) baik populasi bakteri maupun jamur. Jumlah
populasi mikrobia tanah dapat dilihat pada Gambar I
sebagai berikut: Dari Gambar 1 menunjukkan bahwa
jumlah populasi bakteri dan jamur lebih tinggi pada
perlakuan SO(pupuk organik) dibandingkan dengan
perlakuan PK(pupuk kimia) pada setiap jenis media
yang digunakan. Jumlah populasi mikroba baik
kimia (PK) dapat dihitung berdasarkan rumus:
Analisis data dilakukan dengan Uji-T yaitu
dengan membandingkan rata-rata parameter
pengamatan terhadap masing-masing jumlah
populasi mikroba tanah. Data yang diperoleh dari
hasil penelitian dianalisis secara statistik dengan
menggunakan model sebagai berikut :
bakteri maupun jamur menunjukkan populasi
mikroba tertinggi terdapat pada bahan organik yang
menggunakan kompos MOL sebagai dekomposer
dibandingkan dengan penggunaan pupuk kimia.
Menurut Muniapan (1998) dalam Kastono
(2005) menyatakan pemberian bahan organik ke
dalam tanah dapat merangsang aktivitas enzim tanah
dan mikroba, aktivitas enzim total tanah tergantung
pada enzim ekstraseluler dan jumlah enzim dalam
sel mikroba yang mati dan hidup. Kompos banyak
mengandung mikroorganisme (fungi, aktinomicetes,
bakteri dan algae) yang berfungsi untuk proses
dekomposisi lanjut terhadap bahan organik tanah.
Eka Maida 1), Sistem Intensifikasi Tanaman Padi Sri Melalui Pemanfaatan Mikroorganisme Lokal dalam Permbuatan Kompos
Penambahan kompos ke dalam tanah, tidak hanya
jutaan mikroorganisme yang ditambahkan ke dalam
tanah, tetapi mikroorganisme yang ada di dalam
tanah juga terpacu untuk berkembang biak. Selain
itu aktivitas mikroorganisme di dalam tanah juga
menghasilkan
hormon-hormon
pertumbuhan
seperti auksin, giberellin dan sitokinin yang dapat
memacu pertumbuhan dan perkembangan akar-akar
rambut sehingga daerah pencarian unsur-unsur hara
semakin luas.
59
Adiningsih, J. (2000). Peranan bahan organik
tanah dalam sistem usaha tani
konservasi. Laporan. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Peternakan. Jakarta.
Admin. (2003). Yeast makhluk di balik minuman
keras. Artikel. Lembaga Pengkajian
Pangan Obat-Obatan dan Kosmetika
Majelis Ulama. Jakarta.
Alexander, M. (1977). Intruduction to Soil
Microbiology. John Wiley and Sons.
New York.
BAPEDALDA JATIM. (2007). Kompos, alternatif
problem
sampah.
Diakses
dari
http://bapedal-jatim.info/indek.php
Bekti, E., & Surdianto,Y. (2001). Pupuk kompos
untuk meningkatkan produksi padi
sawah.
Laporan
Seri:
Tanaman
pangan/PAATP 005: 113/546.
Gambar 1. Populasi Mikroba Tanah.
KESIMPULAN dan SARAN
1. Pemberian kompos MOL dapat meningkatkan
populasi mikroba tanah dan hasil analisis tanah
baik secara kimia dan biologi pengunaan
kompos MOL jauh lebih baik dibandingkan
dengan penggunaan pupuk anorganik.
2. Pemanfaatan kompos MOL dari limbah buahbuahan dan sisa hasil pertanian dapat menekan
terjadinya pencemaran lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (2006). Sistem informasi agribisnis.
Kabupaten Deli Serdang 1-13. Diakses dari
http://www.deptan.go.id/sipoa/sumut/deliser
dang/index.htm
Anonim. (2002). Proyek farmers field school.
Ecological Agriculture at The Enviromental
Educatioan Centre PPLH Celoliman, East
Java. Indonesia. 1-2. Diakses dari
www.peneco.ch
Berkelaar, D. (2002). Sistem intensifikasi padi (the
system of rice intensification - sri) : sedikit
dapat memberi lebih banyak. Buletin
ECHO Development Notes, January
2001. Issue 70, Halaman 1-6.
Diterjemahkan oleh Indro Surono,
ELSPPAT, Bogor.
Buckman, H.O., & Brady, N. C. (1982). Ilmu tanah.
Terjemahan Soegiman. Bharata Karya
Aksara, Jakarta.
Burelle, N. K., Kloepper, J., & Reddy, M. (2005).
Population dynamics of plant growthpromoting rhizobacteria as transplant
amendments and their effects on
indigenous
rhizosphere
microorganisms. Applied Soil Ecology
31(l):91-100.
Chae, Y. M., & Tabatabai, M. A. (1986).
Mineralization of nitrogen in soil
amended with organic waste. Jurnal
Environment Quality. 15(2):1993 1998.
Dafni, M. T. (2001). Pengaruh pembalikan
orgadec dan nitrogen terhadap laju
pengomposan sampah organik serta
kualitas kompos yang terbentuk dalam
rangka
perbaikan
kebersihan
lingkungan.
Tesis.
Program
60
Jurnal Agrium, Volume 10 Nomor 2 September 2013, hal 56-60
Pascasarjana Universitas
Utara. Medan.
Sumatera
Dalzell, H. W., Biddles-tone, A. J., Gray, K. R., &
K. Thuraijan. (1991). Pengelolaan tanah
: produksi dan penggunaan kompos
pada lingkungan tropis dan sub tropis di
dalam limbah padat di Indonesia.
Masalah atau Sumber Daya. Yayasan
Obor Indonesia. Jakarta. 19(4):152172.
Darmawan. (2006). Metode SRI (System of Rice
Intensification). Buletin Departemen
Pekerjaan Umum Republik Indonesia.
Jakarta.
Darmijati, S. (1987). Tanggap Empat varietas
tanaman terhadap bahan organik.
Pemberitaan Penelitian Sukaramai No.
10.
Deptan.
Djamhari.
(2006). Pertemuan koordinasi dan
sinkronisasi PLA TA. 2006. Rakorsin
12 s/d 14 Pebruari 2006, Surabaya.
Diakses
dari
http:llwww.deptan.go.id/pla/buletin/.
(1993). Pemasyarakatan teknologi
budidaya pertanian qrganik di Desa
Sembalun Lawang Nusa Tenggara
Barat. Jurnal Sains dan Teknologi
Indonesia. 5(1):5.
Erwiyono, R. (1994). Pengaruh pemberian pupuk
kandang dan aerasi terhadap mutu
kompos limbah organik pabrik kertas.
Jurnal Mikrobiologi Indonesia. 11(2):
2-3
Foth, D. H. (1993). Dasar-dasar ilmu tanah.
Gajah
Mada
University
Press.
Jogjakarta.
Galileo. (2007). Pengaruh limbah tomat dan EM-4
terhadap
percepatan
pengomposan
sampah organik. Diakses dari http:
//www. blogspot. com/tag/enlpercepatan.
Hadi, S. P. (2003). Aspek sosial AMDAL. Sejarah,
Teor, Jenis dan Metode. UGM Press,
Yogyakarta.
Hakim, N. (1986). Dasar-dasar ilmu tanah. PT
Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Handayani, R. S., Khusrizal., & Maisyura. (2006).
Pertumbuhan dan hasil tanaman padi
(Oriza sativa. L) yang diberi mikoriza
pada sistem budidaya SRI (the system
of rice intensification). Laporan Akhir
Research Grant Pengalian Unggulan
Daerah BRR NAD-NIAS Tahun
Anggaran 2006.
Handayani. (2003). Sifat kimia entisol pada sistem
pertanian organik. Ilmu Pertanian. 10
(2): 63 – 69
Handayanto, E. (1998). Pengelolaan Kesuburan
Tanah Secara Biologis Untuk Menuju
Sistem Pertanian Sustainabel. Jurnal
Penelitian Habitat. 10:104-105
Harjowigeno. (1996). Ilmu tanah.
Pertanian Bogor. Bogor.
Institut
Isroi. (1994). Peranan mikrobiologi tanah dalam
meningkatkan ketersediaan hara. Kyusei
Nature
Farming
Societies.
Vol:
OS/IKNFS/II. Jakarta.
Isroi.
(2007). Bioteknologi mikroba untuk
pertanian organik, balai penelitian
bioteknologi perkebunan indonesia.
Laporan Penelitian. Lembaga Riset
Perkebunan Indonesia.
EFEKTIFITAS DOSIS MINYAK PALA UNTUK PEMINGSANAN IKAN NILA
(Oreochromis niloticus) SELAMA TRANSPORTASI
DOZE EFFECTIVITY OF PALA OIL FOR TILAPIA (Oreochromis niloticus) FAINTING WHILE
TRANSPORTATION
Munawwar Khalil 1), Yuskarina 2), Prama Hartami 1)
Abstract
This research was done on 08th – 10th August, 2011 at Countryside of Alue Keurinyai Banda Baro District,
North Aceh Sub-province, Aceh Province. The aim of this research was to know doze effectivity of pala oil for
tilapia (oreochromis niloticus) fainting while transportation. This research used non factorial completely
randomized treatment with three replications on each treatments that using 0,8; 0,9; 1 and 1,1 ppm doze. The
test observed in this research was the speed of fainting fish, insensible recovery, and survival rate on each
treatments. Result showed us that the fourth experiment was the speedest faint, while the first experiment was
the speedest insensible recovery. While in survival rate, the first experiment was showed the best result, where
the percentage value reachs 58,33%. Based on statistical analyze showed that f count > f table in 99.99 %
level of trust for all tested observe.
Keywords: Fish Fainting, Oreochromis niloticus, Pala Oil.
Ditinjau dari aspek komersial, teknik pemingsanan
dengan
menggunakan
es
batu
kurang
menguntungkan. Selain es batu, pengusaha juga
menggunakan
kontrol
elektrik
sederhana,
penggunaan teknik ini masih ditemui masalah
ketidakstabilan kondisi ikan dan waktu pingsan yang
singkat.
PENDAHULUAN
Latar Belakang.
Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan
spesies yang berasal dari kawasan Sungai Nil dan
danau-danau sekitarnya di Afrika. Bentuk tubuh
memanjang, pipih kesamping dan warna putih
kehitaman. Jenis ini merupakan ikan konsumsi air
tawar yang banyak dibudidayakan setelah ikan mas
(Cyprinus carpio) dan telah dibudidayakan lebih
dari 85 negara. Saat ini, ikan ini telah tersebar ke
negara beriklim tropis dan subtropis, sedangkan pada
wilayah beriklim dingin tidak dapat hidup dengan
baik. Nila disukai oleh kalangan masyarakat karena
mudah dipelihara, dapat dikonsumsi oleh segala
lapisan masyarakat serta rasa daging yang enak dan
tebal. Tekstur daging ikan nila memiliki ciri tidak
ada duri kecil dalam dagingnya. Apabila dipelihara
di tambak akan lebih kenyal, dan rasanya lebih
gurih, serta tidak berbau lumpur.
Selain beberapa teknik pemingsanan dengan
menggunakan es juga terdapat teknik pemingsanan
dengan menggunakan minyak cengkeh dan pala.
Berbagai penelitian mengenai kandungan minyak
dalam buah pala sudah dilakukan di berbagai negara,
salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh
Science and Technology Authority. Menurut para
peneliti tersebut, kulit dan daging dari buah pala
banyak mengandung minyak atsiri dan zat samak.
Bagian fuli atau bunga pala juga mengandung zat
yang hampir sama, yaitu atsiri, zat samak, dan zat
pati, yang berkhasiat untuk mendorong keluarnya
gas dalam usus, sekaligus dapat menenangkan saraf
yang tegang, sebab fuli mengandung zat sedatif
(penenang) sehingga dapat memingsankan ikan.
Harga ikan hidup empat kali lipat lebih tinggi
dibanding dengan ikan mati, sehingga perlu
diperhatikan beberapa teknik transportasi agar ikan
tetap hidup di tangan konsumen. Dari penelitian
terdahulu telah diperolah informasi bahwa
transportasi ikan dalam bentuk hidup dapat
dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan
pembius (anestesi) baik alami maupun buatan
(Berka, 1986, dan Basyarie, 1990). Selama ini,
pengusaha
perikanan
menggunakan
teknik
pemingsanan es batu, sayangnya teknik es batu tidak
praktis dan tingkat kematian ikan sangat tinggi.
1)
2)
Kandungan berbagai zat dalam minyak yang
dihasilkan oleh buah pala berguna untuk meredakan
stres. Minyak pala merupakan salah satu jenis dari
minyak atsiri yaitu Myristicin yang termasuk jenis
alkohol seperti eugenol, yang juga terdapat dalam
minyak cengkeh sehingga dapat membuat ikan lemas
dan bergerak pelan dan akhirnya pingsan. Dari
beberapa kajian tentang kandungan minyak pala,
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang
Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh
Alumni Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh
61
62
Jurnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 61-68
keefektifan minyak pala tersebut dalam hal
memingsankan ikan. Sehingga dapat berkontribusi
dalam menemukan bahan yang paling efektif dan
efisien dalam memingsankan ikan untuk mengatasi
masalah transportasi ikan budidaya terutama ikan
nila.
Tujuan dan Manfaat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh pemberian minyak pala dengan dosis yang
berbeda
terhadap
pemingsanan
ikan
nila
(Oreochromis niloticus) selama transportasi.
Penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh para petani
dan pihak balai perikanan tentang teknik
pemingsanan yang baik dan dengan dosis yang tepat.
METODELOGI
Prosedur Penelitian.
(1). Persiapan Wadah Penelitian.
Wadah yang digunakan dalam penelitian ini
adalah toples transparan yang berjumlah 12 buah
berkapasitas 10 liter. Sebelum digunakan wadah
dibersihkan terlebih dahulu dengan menggunakan air
hangat, kemudian diisi air sebanyak 6 liter air.
Selanjutnya dilakukan penambahan minyak pala
sesuai dengan perlakuan yang sudah ditentukan pada
wadah yang telah dipersiapkan.
(2). Ikan Uji.
Ikan uji diambil dari Gampong Bluka Teubai
dalam keadaan hidup, sehat dan normal, dalam arti
tidak dalam keadaan cacat, dengan ukuran siap
panen atau + 150 gram/ ekor. Jumlah ikan per
wadah adalah 4 ekor dengan jumlah total 48 ekor.
Waktu Dan Tempat.
(3). Aklimatisasi.
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 08
sampai 10 Agustus 2011 bertempat di Gampong
Alue Keurinyai Kecamatan Banda Baro Kabupaten
Aceh Utara.
Sebelum digunakan untuk penelitian, maka
ikan nila diadaptasikan dahulu terhadap kondisi
lingkungan penelitian. Proses adaptasi ini dilakukan
selama 2 hari. Wadah untuk aklimatisasi,
pemeliharaan dan pembiusan menggunakan toples
transparan, aerator, dan diisi dengan air tawar
dengan volume 30 liter/wadah.
Alat dan Bahan.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini
adalah 12 buah toples transparan dengan kapasitas
10 liter, 12 kotak Styrofoam ukuran 50 x 30 x 30 cm
dengan ketebalan 2,5 cm, kain lap, aerator, selang,
stop watch, ember plastik, spuit (jarum suntik), dan
pipet. Bahan yang digunakan adalah ikan nila, air
tawar sebagai media, es, dan minyak pala.
Metode Penelitian.
Metode penelitian ini dilakukan dengan
metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) non
faktorial dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan.
Perlakuan yang digunakan mengacu pada hasil
penelitian pendahuluan dengan dosis terbaik 0,75
ppm, dengan perlakuan sebagai berikut:
Perlakuan A
:
Perlakuan B
:
Perlakuan C
:
Perlakuan D
:
minyak
0,8 ppm.
minyak
0,9 ppm.
minyak
1 ppm.
minyak
1,1 ppm.
pala
dengan
dosis
pala
dengan
dosis
pala
dengan
dosis
pala
dengan
dosis
(4). Perlakuan Pada Ikan.
Sebelum ikan nila dimasukkan ke dalam
wadah yang telah diberikan air dan minyak pala,
terlebih dahulu air dan minyak pala diaduk selama 2
menit dengan menggunakan aerasi. Setelah minyak
pala dan air teraduk rata, ikan nila segera
dimasukkan ke dalam wadah toples secara satu
persatu sebanyak empat ekor ke setiap wadah yang
telah diberikan minyak pala dengan dosis yang
berbeda, kemudian respon ikan tersebut diamati.
(5). Pengemasan Sebelum Transportasi.
Persiapan wadah untuk proses pengemasan
sebelum transportasi adalah kotak styrofoam diisi
dengan es dengan perbandingan 2:1 (2 kg ikan dan 1
kg es) di ukur suhunya dan dilapisi dengan kain lap.
Setelah persiapan wadah untuk transportasi selesai,
ikan yang telah dipingsankan dimasukkan ke dalam
kotak styrofoam, lalu disusun, dan ditutup, kemudian
ikan siap ditransportasikan selama 3 jam.
Munawwar Khalil1), Yuskarina2), Prama Hartami1), Efektifitas Dosis Minyak Pala untuk Pemingsanan Ikan Nila selama Transportasi
Parameter Yang Diamati.
(1). Tingkah Laku Ikan.
Parameter tingkah laku diamati secara visual
setelah ikan uji dan minyak pala dimasukkan ke
dalam wadah yang sama, setelah itu diamati tingkah
lakunya sampai pingsan.
(2). Lama Waktu Untuk Pingsan.
Parameter ini diamati sejak ikan dimasukkan
dalam wadah yang telah terisi minyak pala sampai
ikan tersebut pingsan.
K
I
J
∑ ij
63
: Pengaruh minyak pala ke- j
: 1,2,3, (Ulangan)
: 1,2,3, (Penambahan minyak pala)
: Pengaruh galat perlakuan minyak pala ke-K
pada ulangan ke- i
Data hasil Penelitian dianalisis dengan
analysis of variance (anova) apabila menunjukkan F
hitung > F tabel, maka selanjutnya dilakukan uji lanjut
dengan menggunakan Uji BNT.
HASIL DAN PEMBAHASAN.
(3). Lama Waktu Pingsan.
Tingkah Laku Ikan.
Parameter ini diamati sejak ikan tersebut
menjelang pingsan, kemudian ikan ditansportasikan
selama 3 jam, kemudian dihitung waktu saat ikan
disadarkan kembali dengan menggunakan aerator
dan air tawar yang segar tanpa minyak pala.
Hasil
penelitian
pada
perlakuan
A
menunjukkan bahwa reaksi ikan setelah dimasukkan
ke dalam wadah yang sudah terisi minyak pala, ikan
terlihat berenang aktif, dalam jangka waktu yang
cukup lama yaitu pada menit ke 2’:14” ikan terlihat
sedikit panik, lalu terlihat stres pada menit ke 4’:16”
namun terkadang ikan terlihat diam dan tidak
berenang. Berenangnya mulai miring pada menit ke
8’:45”, tapi masih mampu bertahan, dan dalam
jangka waktu 12’:09” kemudian ikan roboh. Posisi
ikan tegak lemah dan gerakan anggota badan seperti
insang dan sirip masih jelas walaupun lemah dan
jarang, serta masih responsif terhadap rangsangan
fisik dari luar meskipun sudah lemah. Setelah itu
ikan langsung terlihat tidak ada respon pada menit ke
19’:03”, ikan tersebut jatuh ke dasar wadah dan
akhirnya pingsan, tapi gerakan insang dan sirip
masih terlihat pada menit ke 26’:10”.
(4). Lama Waktu Sadar.
Parameter ini diamati sejak ikan nila tersebut
pingsan, kemudian disadarkan kembali setelah
transportasi dengan menggunakan aerator dan air
tawar yang segar tanpa minyak pala.
(5). Survival Rate (SR).
SR atau tingkat kelangsungan hidup dihitung
dengan menggunakan rumus (Effendie, 1979) yaitu:
SR=(Nt/No) x 100% ................. (1)
Keterangan:
SR
: Kelangsungan Hidup (%)
Nt
: Jumlah ikan yang hidup pada akhir
penelitian (ekor)
No
: Jumlah ikan yang hidup pada awal
penelitian (ekor)
Analisis Data.
Model rancangan yang digunakan menurut
Gomez dan Gomez (1995), adalah sebagai berikut:
Yij = µ + Ui + Kj + ∑ ij .......... (2)
Keterangan :
Yi : Hasil pengamatan pengaruh penambahan
minyak pala ke-K pada ulangan ke-i.
µ
: Pengaruh nilai tengah
U
: Pengaruh ulangan ke- i
Pada perlakuan B tidak jauh berbeda dengan
perlakuan A, saat ikan dimasukkan ke dalam wadah
yang sudah terisi minyak pala ikan terlihat berenang
aktif, setelah menit ke 1’:45” ikan terlihat diam.
Lalu pada menit ke 2’:13” ikan terlihat sedikit panik,
dan pada menit ke 3’:13” ikan tersebut sudah mulai
stres, berenang miring pada menit ke 8’:26” tetapi
masih mampu bertahan. Kemudian mulai roboh pada
menit ke 12’:07” posisi ikan tegak lemah dan
gerakan anggota badan seperti insang dan sirip masih
jelas walaupun lemah dan sesekali bergerak serta
masih responsif terhadap rangsangan fisik dari luar.
Setelah itu ikan pingsan pada menit ke 25’:13” ikan
tersebut jatuh ke dasar wadah, tapi gerakan insang
dan sirip masih terlihat.
Pada perlakuan C juga tidak jauh berbeda
dengan perlakuan B, saat ikan dimasukkan ke dalam
wadah yang sudah terisi minyak pala ikan pada
64
Jurnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 61-68
menit ke 1’:04” ikan terlihat diam. Lalu pada menit
ke 1’:24” ikan terlihat sedikit panik, dan pada menit
ke 2’:32” ikan tersebut sudah mulai stres, berenang
miring pada menit ke 5’:34” dan kemudian mulai
roboh pada menit ke 10’:43”. Setelah itu ikan
pingsan pada menit ke 21’:10” ikan tersebut jatuh ke
bawah dasar wadah dan pingsan, tapi gerakan insang
dan sirip masih terlihat.
Pada perlakuan D menunjukkan bahwa reaksi
ikan setelah dimasukkan ke dalam wadah yang sudah
terisi minyak pala, pada menit ke 1’:12” awalnya
panik, lalu terlihat stres pada menit ke 2’:32” dan
berenang miring pada menit ke 4’:30”. Kemudian
mulai roboh pada menit ke 11’:09”, pada menit ke
12’:05” ikan tidak ada respon lagi. Setelah ikan
pingsan, ikan tersebut jatuh ke dasar wadah, tapi
gerakan insang dan sirip masih terlihat pada menit ke
13’:08”. Hal ini sesuai dengan pendapat Karnila
(2001), yaitu kondisi ikan terbius roboh serta tidak
ada respon. Menurut Ningsih (2010) tingkah laku
ikan sebelum pingsan antara lain panik, stres,
berenang miring, dan kemudian pingsan, hal ini
sesuai dengan perlakuan yang penulis lakukan.
Tabel 1. Lama waktu untuk pingsan ikan nila
(Oreochromis niloticus).
Lama waktu untuk pingsan
Perlakuan
(menit)
RataUlangan Ulangan Ulangan rata
I
II
III
A
26,12
26,09
26,10
26,10
B
25,16
25,16
25,15
25,15
C
21,12
21,13
21,12
21,12
D
13,07
13,09
13,07
13,07
Sumber: Data Penelitian, 2011.
Keterangan:
A: Minyak pala dengan dosis 0,8 ppm,
B: Minyak pala dengan dosis 0,9 ppm,
C: Minyak pala dengan dosis 1 ppm,
D: Minyak pala dengan dosis 1,1 ppm.
Lama Waktu Untuk Pingsan.
Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
pemberian minyak pala dengan dosis yang berbeda
berpengaruh terhadap waktu pingsan ikan nila. Dari
hasil pengamatan ternyata ikan yang paling cepat
pingsan adalah pada perlakuan D dengan dosis 1,1
ppm menunjukkan lama waktu untuk pingsan adalah
pada menit 13’:07”, sedangkan lama waktu untuk
pingsan pada perlakuan lain berturut-turut adalah C
menit ke 21’:12” B menit ke 25’:15”, dan A menit ke
26’:10”. Untuk selengkapnya dapat dilihat pada
Tabel 1.
Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa
perlakuan D dengan dosis 1,1 ppm merupakan
perlakuan yang paling cepat pingsan, sedangkan
selanjutnya disusul dengan perlakuan C: minyak pala
dengan dosis 1 ppm, B: minyak pala dengan dosis
0,9 ppm, A: minyak pala dengan dosis 0,8 ppm.
Berdasarkan data lama waktu untuk pingsan
selama penelitian pada Tabel 1 dapat diketahui
bahwa lama waktu untuk pingsan pada perlakuan D
dengan dosis 1,1 ppm yang paling cepat pingsan bila
dibandingkan dengan perlakuan A, B, dan C. Uji
analisa statistik menunjukkan bahwa lama waktu
untuk pingsan dengan dosis minyak pala yang
berbeda adalah berbeda sangat nyata, F (hitung) > F
(tabel 0,01). Dengan menggunakan uji BNT (Beda
Nyata Terkecil) didapatkan bahwa perlakuan D
berbeda sangat nyata dengan perlakuan C, perlakuan
C berbeda sangat nyata dengan perlakuan B, dan
perlakuan B berbeda sangat nyata dengan perlakuan
A.
Diduga semakin tinggi dosis minyak pala
maka semakin cepat ikan nila tersebut pingsan,
dikarenakan dalam minyak pala mengandung
eugenol yang juga terdapat dalam minyak cengkeh
sehingga membuat ikan lemas dan akhirnya pingsan
tetapi kandungan eugenol dalam minyak pala sangat
rendah yaitu sekitar 4-8 % bila dibandingkan dengan
kandungan eugenol dalam minyak cengkeh yang
mencapai 90%. Hal ini sesuai dengan pendapat
Afrianto dan Liviawati (1992), yaitu minyak
cengkeh mengandung zat eugenol yang dapat
membuat ikan lemas dan bergerak pelan dan
akhirnya pingsan.
Hasil penelitian yang penulis lakukan hampir
sama dengan hasil penelitian Wahyuni (2009)
semakin tinggi dosis, waktu pingsan semakin cepat,
tentang pengaruh minyak cengkeh terhadap lama
waktu sebelum pingsan ikan bandeng yang paling
cepat adalah pada perlakuan A dengan dosis 1 ml/5
liter air yang membutuhkan waktu selama 58,33
detik.
Dari hasil penelitian Ningsih (2010) tentang
pengaruh minyak cengkeh terhadap lama waktu
menjelang pingsan ikan mas yang paling cepat
pingsan adalah pada perlakuan A dengan dosis 1,3
ml/7 liter air yang membutuhkan waktu selama
58,48 detik.
Munawwar Khalil1), Yuskarina2), Prama Hartami1), Efektifitas Dosis Minyak Pala untuk Pemingsanan Ikan Nila selama Transportasi
Lama Waktu Pingsan.
Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
pemberian minyak pala dengan dosis yang berbeda
berpengaruh terhadap lama waktu pingsan ikan nila.
Pada perlakuan D dengan dosis 1,1 ppm merupakan
lama waktu pingsan yang paling lama yaitu selama
253’:09", kemudian disusul pada perlakuan lain
seperti pada perlakuan C selama 230’:30”, perlakuan
B selama 211’:07”, dan perlakuan A selama
204’:06”. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel
2.
Tabel
2.
Lama waktu pingsan ikan nila
(Oreochromis niloticus).
Lama waktu pingsan (menit)
Perlakuan Ulangan Ulangan Ulangan Ratarata
I
II
III
A
204,55
204,40
204,45 204,46
B
211,10
211,07
211,05 211,07
C
230,29
230,33
230,30 230,30
D
253,06
253,08
253,13 253,09
Sumber: Data Penelitian, 2011.
Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa
perlakuan D dengan dosis 1,1 ppm merupakan
perlakuan yang paling lama waktu pingsan,
sedangkan selanjutnya disusul dengan perlakuan C:
Minyak pala dengan dosis 1 ppm, B: Minyak pala
dengan dosis 0,9 ppm, dan perlakuan A: Minyak
pala dengan dosis 0,8 ppm.
Berdasarkan
hasil
pengamatan,
dapat
dijelaskan bahwa pada perlakuan D merupakan
waktu yang paling lama ikan pingsan yaitu selama
253’:09”, kemudian disusul pada perlakuan C
230’:30”, perlakuan B selama 211’:07”, dan
perlakuan A merupakan perlakuan yang paling
singkat lama waktu pingsan diantara perlakuan yang
lain yaitu selama 204’:46”.
Uji analisis menunjukkan bahwa lama waktu
menjelang pingsan dengan dosis minyak pala yang
berbeda adalah berbeda sangat nyata, F (hitung) > F
(tabel 0,01). Dengan menggunakan uji BNT (Beda
Nyata Terkecil) didapatkan bahwa perlakuan D
berbeda sangat nyata dengan perlakuan C, perlakuan
C berbeda sangat nyata dengan perlakuan B, dan
perlakuan B berbeda sangat nyata dengan perlakuan
A.
Hasil penelitian penulis hampir mirip dengan
hasil penelitian Ningsih (2010) tentang semakin
tinggi dosis yang diberikan maka semakin lama
waktu pingsan ikan tersebut, pengaruh minyak
65
cengkeh terhadap lama waktu pingsan ikan mas yaitu
perlakuan yang paling lama pingsan adalah pada
perlakuan A dengan 1,3 ml/7 liter air yang
membutuhkan waktu selama 18060,28 detik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu
pemingsanan yang paling lama diperoleh pada
penggunaan minyak cengkeh 15 mg/ liter air yaitu
selama 79’:40”. Selanjutnya menjadi lebih cepat
berturut-turut untuk konsentrasi 30 mg/liter air yaitu
selama 26’:55”, 45 mg/liter air yaitu selama 10’:30”
dan untuk 60 mg/l yaitu selama 8’:00”.
Lama Waktu Sadar.
Pada saat ikan nila dimasukkan ke dalam air
untuk dilakukan penyadaran kembali ikan tersebut
masih dalam keadaan pingsan, tetapi gerakan insang,
sirip dan pangkal ekor sudah terlihat. Setelah
beberapa saat kemudian, dan ikan tersebut sadar,
bergerak pelan dan berenang perlahan, dan dalam
jangka waktu tertentu ada ikan yang berenang aktif
(normal kembali), dan ada juga beberapa ikan yang
mati karena tidak mampu bertahan terhadap
perlakuan dengan dosis minyak pala pada semua
perlakuan.
Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
pemberian minyak pala dengan dosis yang berbeda
berpengaruh terhadap waktu sadar ikan nila, pada
perlakuan D dengan dosis 1,1 ppm merupakan lama
waktu sadar yang paling lama yaitu pada menit ke
60’:06”. Kemudian disusul dengan perlakuan C:
45’:30” B: 30’:12”, dan perlakuan A selama:
24’:46”. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Tabel 3.
Tabel 3. Lama waktu sadar ikan nila (Oreochromis
niloticus).
Lama waktu sadar (menit)
Perlakuan Ulangan Ulangan Ulangan Ratarata
I
II
III
A
24,55
24,40
24,45
24,46
B
30,15
30,12
30,10
30,12
C
45,29
45,33
45,30
45,30
D
60,03
60,05
60,10
60,06
Sumber: Data Penelitian, 2011.
Berdasarkan data lama waktu sadar pada
Tabel 3, dapat dijelaskan bahwa lama waktu sadar
yang paling lama terdapat pada perlakuan D dengan
dosis 1,1 ppm yaitu pada menit ke 60’:06’’
dibandingkan dengan perlakuan C, B, A masingmasing dengan lama waktu secara berturut-turut
66
Jurnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 61-68
45’:30”; 30’:12’’ dan 24’:46”. Uji analisis statistik
menunjukkan bahwa lama waktu menjelang pingsan
dengan dosis minyak pala yang berbeda adalah
berbeda sangat nyata, F (hitung) > F (tabel 0,01).
Dengan menggunakan uji BNT (Beda Nyata
Terkecil) didapatkan bahwa perlakuan D berbeda
sangat nyata dengan perlakuan C, perlakuan C
berbeda sangat nyata dengan perlakuan B, dan
perlakuan B berbeda sangat nyata dengan perlakuan
A.
Dari hasil penelitian ternyata semakin tinggi
dosis minyak pala yang diberikan maka semakin
lama ikan nila tersebut sadar, dikarenakan dalam
minyak pala mengandung zat eugenol yang juga
terkandung dalam minyak cengkeh. Pada perlakuan
A saat pembongkaran setelah transportasi selama 3
jam untuk proses penyadaran, pada saat dimasukkan
ke dalam air segar yang ditambahkan aerasi. Ikan
masih dalam keadaan roboh dan jatuh ke dasar
wadah dan terlihat diam tanpa ada pergerakan sedikit
pun, seolah-olah ikan mati yang masih segar.
Ikan yang tenang dan tidak bergerak tersebut
merupakan ikan yang mati karena tubuhnya keras
dan kaku pada saat pembiusan yang menyebabkan
ikan tersebut menjadi mati, serta ditambah lagi
akibat kelebihan dosis minyak pala yang tinggi
sehingga mengakibatkan ikan tidak mampu bertahan
(Berka,1986). Sedangkan penggunaan dosis minyak
pala yang rendah lama waktu pingsan sangat singkat
bila dibandingkan dengan pembiusan menggunakan
minyak cengkeh, dikarenakan kandungan zat
eugenol dan methyleugenol yang terkandung dalam
minyak pala sangat rendah yaitu sekitar 4-8 %
(Drazat, 2007). Hal ini hampir mirip dengan hasil
penelitian Wahyuni (2009) tentang pengaruh minyak
cengkeh terhadap lama waktu sadar ikan mas yang
paling lama pingsan adalah pada perlakuan A dengan
1 ml/5 liter air yang membutuhkan waktu selama
435 detik, hal ini berbeda dengan perlakuan yang
penulis lakukan. Waktu pemulihan yang paling lama
diperoleh dari perlakuan konsentrasi minyak
cengkeh 45 mg/l yaitu 7’: 35” dan 60 mg/l yaitu
8’:09”, sedangkan waktu tercepat diperoleh pada
konsentrasi 15 mg/l 1’:72” dan 30 mg/l 2’:68”.
Pada perlakuan A ikan yang masih hidup
mulai menunjukkan tanda-tanda kesadarannya,
seperti adanya pergerakan pada insang, sirip dan
pangkal ekor walaupun hanya sedikit, dan perlahan
mulai menunjukkan pergerakan tubuhnya dan mulai
berenang perlahan-lahan, dan lalu aktif kembali.
Pada perlakuan B, C, dan D pada saat pembongkaran
setelah transportasi selama 3 jam untuk proses
penyadaran, pada saat dimasukkan ke dalam air
segar yang ditambahkan aerasi, ikan masih dalam
keadaan roboh dan jatuh ke dasar wadah dan terlihat
diam tanpa ada pergerakan sedikitpun, seolah-olah
ikan mati yang masih segar. Secara visual tubuh ikan
terlihat keras dan kaku sehingga menyebabkan
banyak ikan yang mati.
Kelangsungan Hidup.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat
kelangsungan hidup ikan nila adalah berbeda sangat
nyata, F (hitung) > F (tabel 0,01), rata-rata tingkat
kelangsungan hidup untuk semua perlakuan sangat
rendah yaitu sekitar 29,16 %. Perlakuan A dengan
tingkat kelangsungan hidupnya 58,33 %, sedangkan
perlakuan B adalah 33,33 %, perlakuan C adalah
16,66 %, dan perlakuan D adalah 8,33 %. Hasil
penelitian dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini.
Tabel 4. Kelangsungan hidup ikan nila (Oreochromis
niloticus).
Kelangsungan Hidup (%)
RataPerlakuan Ulangan Ulangan Ulangan rata
(%)
I
II
III
A
75
50
50
58,33
B
25
50
25
33,33
C
25
0
25
16,16
D
0
25
0
8,33
Sumber: Data Penelitian, 2011.
Berdasarkan Tabel 4, menunjukkan banwa
tingkat kelangsungan hidup tertinggi pada perlakuan
A yaitu 58,33 %, dan terendah pada perlakuan D
yaitu 8,33 %. Hal ini dikerenakan dosis minyak pala
yang diberikan terlalu tinggi yaitu 1,1 ppm.
Dari hasil penelitian tersebut dapat dijelaskan
bahwa kelangsungan hidup ikan nila pada perlakuan
A lebih tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan
B, C, dan D. Pada perlakuan B, C, dan D bila dilihat
dengan rendahnya SR, diduga dengan pemberian
minyak pala yang banyak bisa mengakibatkan
kematian. Minyak pala sebagai bahan penyedap pada
produk makanan dianjurkan memakai dosis sekitar
0,08%, karena dalam dosis yang lebih tinggi dapat
menyebabkan keracunan. Minyak ini memiliki
kemampuan lain, yaitu dapat mematikan serangga
(insektisidal), anti jamur (fungisidal), dan anti
bakteri.
Berdasarkan uraian hasil penelitian efektifitas
dosis minyak pala untuk pemingsanan ikan nila
(Oreochromis niloticus) selama transportasi diduga
tidak efektif untuk pemingsanan ikan dikarenakan
Munawwar Khalil1), Yuskarina2), Prama Hartami1), Efektifitas Dosis Minyak Pala untuk Pemingsanan Ikan Nila selama Transportasi
kelangsungan hidup untuk semua perlakuan sangat
rendah yaitu sekitar 29,16 %. Dosis tinggi akan
menyebabkan banyak ikan yang mati sedangkan
dosis rendah membutuhkan waktu yang sangat lama
pada saat pembiusan menjelang pingsan, dan lama
waktu pingsan sangat singkat bila dibandingkan
dengan pembiusan menggunakan minyak cengkeh,
dikarenakan
kandungan
zat
eugenol
dan
methyleugenol yang terkandung dalam minyak pala
sangat rendah yaitu sekitar 4-8 % (Drazat, 2007).
Hasil penelitian penulis sangat berbeda dengan hasil
penelitian Ningsih (2010) tentang pengaruh minyak
cengkeh terhadap kelangsungan hidup ikan mas
(Cyprinus carpio) yang tertinggi terdapat pada
perlakuan B dengan 1 ml/7 liter air dengan nilai
100%, C dengan 0,7 ml/7 liter air dengan nilai
100%, B dengan 0,4 ml/7 liter air dengan nilai
100%.
Selanjutnya untuk tingkat kelangsungan hidup
(%) ikan nila juga berpengaruh pada banyak
sedikitnya aktifitas fisik pada saat dilakukan
pembiusan. Ikan akan mengeluarkan lendir pada saat
selama pengangkutan, karena pada saat pembiusan
banyak ikan yang mengalami stres dan ikan menjadi
menggelepar dengan banyaknya melakukan aktifitas
fisik. Oleh sebab itu banyak menghabiskan energi,
maka pada saat pengangkutan ikan akan
mengeluarkan lendir.
Dapat dibuktikan pada saat pembongkaran dan
pada saat dilakukan penyadaran ikan terasa licin dan
berlendir. Adapun fungsi lendir untuk mencegah
gesekan badan dengan air atau es, mempercepat
gerakan saat penyadaran, mencegah keluar masuk air
melalui kulit, mencegah infeksi, menutup luka, dan
mencegah kekeringan.
KESIMPULAN DAN SARAN.
Kesimpulan.
Hasil Penelitian menunjukkan yang paling
cepat pingsan adalah perlakuan D dengan dosis 1,1
ppm menunjukkan lama waktu untuk pingsan adalah
pada menit 13’:08”, perlakuan C dengan dosis 1 ppm
menunjukkan lama waktu untuk pingsan adalah pada
menit 21’:10”, perlakuan B dengan dosis 0,9 ppm
menunjukkan lama waktu untuk pingsan adalah pada
menit 25’:13”, perlakuan A dengan dosis 0,8 ppm
menunjukkan lama waktu untuk pingsan adalah pada
menit 26’:10”. Lama waktu pingsan yang paling
cepat yaitu pada perlakuan A dengan dosis 0,8 ppm
67
air selama 204’:46” menit, perlakuan B dengan dosis
0,9 ppm air selama 210’:12”, menit, perlakuan C
dengan dosis 1 ppm selama 225’:30” menit,
perlakuan D dengan dosis 1,1 ppm selama 240’:06”
menit. Lama waktu sadar yang paling cepat yaitu
pada perlakuan A dengan dosis 0,8 ppm pada menit
ke 24’:47”, perlakuan B dengan dosis 0,9 ppm pada
menit ke 30’:20”, perlakuan C dengan dosis 1 ppm
air pada menit ke 45’:51”, perlakuan D dengan dosis
1,1 ppm pada menit ke 60’:06”. Perlakuan A dengan
tingkat kelangsungan hidupnya 58,33 %, sedangkan
perlakuan B adalah 33,33 %, perlakuan C adalah
16,66 %, dan perlakuan D adalah 8,33 %.
Berdasarkan uraian hasil penelitian efektifitas
dosis minyak pala untuk pemingsanan ikan nila
(Oreochromis niloticus) selama transportasi dapat
disimpulkan bahwa minyak pala di berbagai dosis
tidak efektif untuk pemingsanan ikan dikarenakan
kelangsungan hidup rata-rata untuk semua perlakuan
sangat rendah yaitu sekitar 29,16 %. Dosis tinggi
akan menyebabkan banyak ikan yang mati
sedangkan dosis rendah membutuhkan waktu yang
sangat lama pada saat pembiusan menjelang pingsan,
dan lama waktu pingsan sangat singkat bila
dibandingkan dengan pembiusan menggunakan
minyak cengkeh.
Saran.
Perlu dilakukan penelitian tentang efektifitas
dosis minyak atsiri yang lain untuk pemingsanan
ikan agar didapat kelangsungan hidup yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA.
Afrianto, E., & E. Liviawati. (1992). Pengendalian
hama dan penyakit ikan. Kanisius.
Yogyakarta.
Basyarie, A. (1990). Transportasi ikan hidup.
Training Penangkapan. Aklimatisasi dan
Transportasi Ikan Hias Laut. Jakarta 4-18
Desember 1990.
Berka, R. (1986). The transport of live fish. EIFAC
Teach. Pap., FAO, (48) : 48-52.
Drazat. (2007). Meraup laba dari pala. Agromedia
Pustaka. Jakarta.
Effendie. (1979). Metode biologi perikanan. Dwi
Sri. Bogor.
68
Jurnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 61-68
Gomez, A. A., & Gomez, K. A. (1995). Prosedur
statistik
untuk
penelitian
pertanian.
Universitas Indonesia. Jakarta.
Karnila.
(2001). Pengaruh suhu dan waktu
pembiusan bertahap terhadap ketahanan
hidup ikan jambal siam (Pangasius sutchi F)
dalam transportasi sistem kering. Natur
Jurnal Indonesia. Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan. Universitas Riau.
Ningsih, T. (2010). Kajian penggunaan minyak
cengkeh (Syzygium aromatikum) dengan
dosis yang berbeda terhadap waktu pingsan
ikan mas (Cripinus carpio) selama
transportasi dalam media serbuk gergaji.
Skripsi. Program Studi Budidaya Perairan,
Fakultas
Pertanian,
Universitas
Malikussaleh.
Wahyuni, (2009). Pengaruh konsentrasi minyak
cengkeh yang berbeda terhadap waktu
pingsan ikan bandeng (Chanos chanos).
Skripsi. Program Studi Budidaya Perairan,
Fakultas
Pertanian.
Universitas
Malikussaleh.
THE EFFECT OF ENVIRONMENTAL CONDITION ON THE SPAWNING PERIOD OF
BLOOD COCKLE Anadara granosa (Bivalvia: Arcidae) IN LHOKSEUMAWE, THE
NORTHERN STRAITS OF MALACCA
PENGARUH LINGKUNGAN TERHADAP PERIODE PEMIJAHAN KERANG DARAH Anadara
granosa (Bivalvia: Arcidae) DI LHOKSEUMAWE, BAGIAN UTARA SELAT MALAKA
Munawar Khalil1)
Abstract
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis perubahan dalam perkembangan gonad kerang Anadara
granosa di Lhokseumawe, bagian utara Selat Malaka dalam hubungannya dengan fluktuasi kualitas air
harian. Untuk menentukan periode pemijahan populasi kerang, dilakukan analisis indeks kondisi (condition
index/CI). Sampel kerang dikumpulkan dari Juli 2009 sampai Mei 2010 dan parameter kualitas air turut
diukur secara berkala. Indeks kondisi tertinggi dari populasi kerang diamati pada Oktober 2009
(13.97±3.49), sedangkan indek kondisi terendah ditemukan pada Januari 2010 (6.76±1.13). Periode
pemijahan untuk A. granosa diketahui terjadi terus-menerus sepanjang tahun, dengan puncak pemijahan
terjadi pada bulan Oktober
2009 sehingga Januari 2010. Suhu air dan salinitas harian di lokasi penelitian
berkisar antara 24-34 oC dan 27-33 ppt. Periode pemijahan populasi A. granosa diketahui bertepatan dengan
terjadinya fluktuasi secara drastis pada suhu air dan salinitas harian. Analisis kualitatif menunjukkan bahwa
suhu dan salinitas adalah modulator utama peristiwa reproduksi. Ketika suhu dan salinitas berfluktuasi,
aktifitas pemijahan secara sporadis terdeteksi pada spesies ini. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa
periode pemijahan yang diikuti oleh proses rekrutmen dalam populasi kerang A. granosa Lhokseumawe
sangat tergantung pada kondisi lingkungan kawasan tersebut..
Katakunci: Anadara granosa, parameter kualitas air, modulator, periode pemijahan, indeks kondisi,
bagian utara Selat Malaka.
biological parameters, which had affected the
population of A. granosa in Northern Straits of
Malacca. Regardless of the geographical area and
bivalve species, population growth and reproduction
in intertidal species are grossly regulated by similar
environmental factors particularly temperature,
salinity and food availability (Bayne 1985,
MacDonald & Thompson 1985, Baqueiro-Cardenas
& Aldana-Aranda 2000, Freites et al., 2010).
Environmental conditions are considered exogenous
factors related to gametogenesis in bivalve in their
natural habitat.
INTRODUCTION
The northern Straits of Malacca is an
important nursery area for many intertidal
organisms, and a feeding area for migrating species.
Anadara granosa is one of the 7500 of bivalve
species in the family Arcidae, often called “blood
arks” or “blood cockles”. Their common name refers
to the hemoglobin and hemocyanin pigments in their
blood and tissue cells, giving their blood dark red
colors. The species is indigenous to the intertidal
mudflats bordering the coastal regions of many
South East Asian countries particularly Indonesia,
Malaysia and Thailand. In these countries, the
cockles are mainly distributed in mangrove forest,
mud vegetation or mixed areas. Intertidal species A.
granosa was predicted as a keystone species at
mangrove in several areas in Northern Straits of
Malacca. This species also has been one of the most
important fisheries commodities in South East Asia
for many years (Broom, 1985).
This study evaluated the changes in the
environment conditions affecting the intertidal
population of cockle A. granosa on the spawning
period which correlated to recruitment process and
determine temporal changes in the gross condition of
animals. This information can help propose
managing protocols of this species for ecological of
intertidal habitat.
A number of studies have been carried out on
the ecological alteration of genus Anadara from
different habitats in previous studies (Kastoro, 1978;
Broom, 1985; Suwanjarat and Parnrong, 1990;
Mzighani, 2005; Aviati, 2007), but no data was
available on the effect of physical, chemical and
1)
MATERIALS AND METHOD
Collection of Samples
A total of 30 samples of adult A. granosa
(size range: 38–71 mm) were collected monthly from
Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh
69
70
Jurnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 69-76
July 2009 until May 2010 from the natural grounds
in Lhokseumawe (Figure 1) at the East coast of
Sumatera Indonesia (050 9' 38.1"N, 950 08‘ 32.3“E).
The sampling area was characterized by muddy area,
relatively no wave action and mangrove area was
found sheltered and exhibit high in salinity. After
collecting, the specimens were stored in isotherm
containers and immediately transported to the
laboratory. The samples were fully removed from
bio fouling and other adherences.
Measurement of Environmental Parameters and
Collection of Water Samples
The environmental parameters were
recorded in situ and ex situ. Water temperature,
salinity, pH, turbidity, and dissolved oxygen were
recorded in situ while minimum and maximum water
temperature and salinity were recorded daily. Water
temperatures were collected at sampling areas daily
at the bottom of sea beds during the sampling period.
Temperature was measured with a handheld
maximum minimum thermometer, and salinity was
measured with a hand refractometer. The salinity of
the seawater was collected daily at the bottom of sea
bed depth. Hydrogen Ion Concentration (pH) was
measured using portable pH meter periodically
during the sampling period.
The turbidity consisted of organic and
inorganic matters held in suspension by turbulence in
seawater. The turbidity was measured using a
turbidity meter Model HACH Turbidimeter 2100
AN, while the Dissolved Oxygen was measured
using Dissolved Oxygen Meter model YSI 52.
Chemical parameters such as nitrate, nitrite,
ammonia, and orthophosphate were measured using
spectrophotometry. The biological parameter such as
phytoplankton density was monitored to determine
food ability at the cockle habitat.
Figure 1. Sampling area of Anadara granosa from Lhokseumawe, the Northern Straits of Malacca.
Munawar Khalil1), The Effect Of Environmental Condition On The Spawning Period Of Blood Cockle Anadara granosa
71
Figure 2. Variation in maximum-minimum temperature and salinity measurement at Lhokseumawe, from June
2009 to May 2010.
Condition Index (CI)
The condition index can determine the
ecophysiological factors which affect the physiologic
changes of the carbohydrate, glycogen and protein
fractions under environment influences. In another
term, CI is a reflection of the reproductive biology of
bivalves. When the gonad mess increases during
maturation, the CI will also increase, condition index
will decrease progressively after spawning had
occurred (Angell, 1986). Water displacement method
was used to determine the condition index. A total
of 30 specimens were analyzed monthly. Each
specimen was measured on the: dry flesh weight, wet
weight of shell in grams (g) and internal cavity
volume (ml). Flesh was dried at 1050C for 72 hours
to a constant weight. These data were used to
calculate the condition index using the formula
described by Scott & Lawrence (1982):
RESULTS
Water Quality Parameters
During the study period, the variation in the
daily temperature recorded did not show any
significance differences. The highest temperature
recorded was 34 0C and the lowest was 24 0C. There
was a drastic fluctuation in temperature in middle of
72
Jurnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 69-76
June 2009 until early October 2009, thereafter
remaining stable through March 2010 (Figure 2).
Salinity is important in determining the
distribution of bivalves and able to influence the
physiological rates of bivalve including reproductive
process (Dame, 1996). Salinity fluctuation between
27-33ppt, with highest fluctuated observed in
October 2009 until end November 2009. The lowest
salinities were recorded during the month of October
to December 2009 during the highest intensity of
rain.
Figure 3. Variations in environmental parameters at Lhokseumawe, including pH, turbidity, dissolved oxygen,
phytoplankton density and, nitrate, nitrite, ammonia and orthophosphate, from June 2009 to May 2010
Munawar Khalil1), The Effect Of Environmental Condition On The Spawning Period Of Blood Cockle Anadara granosa
The variation of pH, turbidity, dissolved
oxygen, phytoplankton density and other chemical
compounds at Lhokseumawe from June 2009 to May
2010 were shown in Figure 3.
The mean value of pH recorded during the
study period was 8.04±0.13 with the lowest value
recorded in May 2010 (pH=7.84), and the highest in
January 2010 (pH=8.21). The mean turbidity
recorded during the study period was 49.07±27.22
NTU, with a range between 15.18 NTU and 103
NTU. The lowest turbidity was recorded in
November 2009, while the lowest was in December
2010. The mean value of dissolved oxygen recorded
during the study period was 6.22 ±0.28 mg/L. The
lowest dissolved oxygen was recorded in May 2010
with value of 5.98 mg/L, while the highest value of
dissolved oxygen recorded in February 2010 with
value of 6.97 mg/L. Phytoplankton density showed a
high variability throughout the year. The mean
values of phytoplankton density recorded during the
study period was 2181.67 cells/L. Phytoplankton
density with values more than 3000 cells/L occurred
in October 2009 and December 2009, with a peak in
December (4001.67 ±20.43 cells/L). Minimum
values occurred in August 2009 (711.67 ± 5.77
cells/L).
73
sampling area was 0.21±0.28 mg/L. The highest
peak of nitrate was recorded in April 2010 with the
value of 0.715 mg/L, while the lowest peak was in
December 2009 with value of 0.002 mg/L. The range
between the lowest and the highest values for nitrate
was 0.713 mg/L. The mean value of nitrite during
the study period was 0.11±0.16 mg/L. The highest
peak of nitrite was recorded in December 2010 with
value of 0.442 mg/L, while the lowest peak was in
June 2009 with value of 0.028 mg/L. The nitrite
range between the lowest and the highest values was
0.414 mg/L.
The mean value of ammonia from June 2009
to May 2010 was 0.27±0.10 mg/L. The highest peak
of ammonia was in May 2010 with value of 0.49
mg/L, while the lowest value was in October 2009
with value of 0.14 mg/L. The range value between
the highest and the lowest values was 0.35 mg/L.
The mean value of orthophosphate during the
sampling period was 0.090±0.195 mg/L. The highest
value was recorded in January 2010 (0.700 mg/L),
while the lowest value was recorded in February
2010 (0.001 mg/L). The range between the highest
and the lowest values of orthophosphate was 0.699
mg/L.
The chemical compounds i.e. nitrate, nitrite,
ammonia and orthophosphate were below the
tolerance level for intertidal benthic species. The
mean value of nitrate during the study in the
Figure 4. Condition Index of Anadara granosa from Lhokseumawe from June 2009 to May 2010).
74
Jurnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 69-76
Figure 5.
Correlation between spawning period of Anadara granosa with changes of temperatures and
salinities from June 2009-May 2010 in Lhokseumawe, Indonesia.
Condition Index
Condition Index has correlation with maturity
period. The high values of CI showed that the
cockles had reached the ripe stages while the low
values of CI shows the cockles were on spawning
process (Figure 4). The highest condition index of
the cockle population from Lhokseuwawe was
observed in April 2010 (11.57 ± 1.58) whereas, the
lowest showed in January 2010 (6.76 ± 1.13).
Spawning period of A. granosa was continuous
throughout the year, the peaks spawning period was
occurred in October 2009 until January 2010.
Munawar Khalil1), The Effect Of Environmental Condition On The Spawning Period Of Blood Cockle Anadara granosa
DISCUSSION
In this study, condition index (CI) was used
to evaluate the tissue quality in the intertidal species
A. granosa in Lhokseumawe, Indonesia. The
condition index was known to be influenced by
many environmental factors, such as temperature
(Chipman, 1947, Freites et al., 2010), salinity (Engle,
1957; Haven, 1947), seasonal variations (Rebelo et
al., 2005; Sahin et al., 2006), chemical characteristics
of the water and sediment (Engel, 1957), crowding
and availability of food (Korringa, 1952; Galtsoftt,
1964).
In this study, temperature and salinity were
the main environmental regulating factors of habitual
performance of spawning period in A. granosa
Lhokseumawe, Indonesia. In addition, gonad
development proceeded more actively during the
periods of drastic fluctuating of temperatures and
salinities, from October 2009 through January 2010
(24–340C). These suggested an inverse relation
between water temperature, salinities and
gametogenesis. The release of gametes by the natural
population of A. granosa at Lhokseumawe coincided
with the drastic daily fluctuations in temperature and
salinity as indicated by the rectangle boxes in Figure
5.
Reproductive cycles of the cockle population
in Lhokseumawe were highly influenced by the
fluctuation of abiotic factors such as temperature and
salinity, where in July 2009 until October 2009,
maximum and minimum temperatures were actively
fluctuating. Similar condition was recorded in
salinity, where fluctuation had occurred in
September 2009 until December 2009. Both these
fluctuations were suggested as factors which have
positive correlation in the reproductive cycle of
bivalve A. granosa in Lhokseumawe.
75
2010, with a higher interval compared to first cycle.
Fluctuation in temperature and salinity act as the
main trigger and an active response for cockle to
perform reproductive cycle. High fluctuation of daily
temperature and salinity had induced the
development of gonad. Once the gonads matured,
highest fluctuation in temperature and salinity would
trigger the spawning process in A. granosa at
Lhokseumawe, Indonesia.
CONCLUSION
Changes on water temperature and salinity
exhibited the maximum reproductive activity of
intertidal bivalve species A. granosa. The CI of A.
granosa has shown a direct relationship with the
amount of body reserves and has correlation with the
environmental condition in their habitat. The main
parameters found to be directly affecting the
reproductive process were temperature and salinity.
Temperature and salinity were the main modulators
of reproductive events. When temperature and
salinity fluctuated, sporadic spawning was detected
in this species, possibly inducing a survival strategy
whereby the spawning period is extended to increase
reproductive success.
ACKNOWLEDGEMENT
We would like to thanks to Marine Sciences
Laboratory University Sains Malaysia, Aquaculture
Department, Malikussaleh University Indonesia,
Muhammad Rusdi for preparing sampling location
map. Ministry of Science, Technology and
Innovation (MOSTI) Grant Sciences. Malaysian
Quarantine and Inspection Services (MAQIS)
Malaysia and Indonesia Fisheries Quarantine Service
for their continuous support in making this project a
success.
REFERENCES
Based on this study, The Condition Index of the
cockle population in Lhokseumawe was a
combination result of the fluctuations on two main
environment factors, namely temperature and
salinity. Combined effect of the fluctuations in
temperature and salinity had become the stimulus for
the spawning activities of the cockle population.
Form the observations of Condition Index of A.
granosa (12 months), it was found that high
fluctuation in daily temperature followed by the
onset of high fluctuation in salinity resulted two
reproductive cycles. The first reproductive process
was recorded in July 2009 to September 2009 and
the second cycle was in October 2009 to March
Afiati, N.( 2007). Gonad maturation of two intertidal
blood clams Anadara granosa (L.) And
Anadara antiquata (L.) (Bivalvia: Arcidae)
in Central Java. Journal of Coastal
Development, 10, 105-113.
Baqueiro-Cardenas, E., & Aldana-Aranda, D.
(2000). A review of reproductive patterns
of bivalve molluscs from Mexico. Bull.
Marine Sciences, 66, 13–27.
Bayne, B. (1985). Responses to environmental
stress: tolerance, resistance and adaptation.
76
Jurnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 69-76
In: J. S. Gray &M. E. Christiansen, editors.
Marine Biology of Polar Regions and
Effects of Stress on Marine Organisms.
Proc. 18th Europe. Marine Biology.
Symposiums, Univ. Oslo, Norway.
Broom, M. J. (Ed.). (1985). The biology and culture
of marine bivalve molluscs of the genus
Anadara (No. 12). The WorldFish Center.
Chipman, W.A. (1947). Seasonal changes in the
fattening of oysters. Proceedings of the
National Shellfisheries Association. 28-32.
Dame, R. F. (1996). Ecology of marine bivalves: an
ecosystem approach (Vol. 34). CRC PressI
Llc.
Engle, J. B. (1950). The condition of oysters as
measured by the carbohydrate cycle, the
condition factor and the percent dry
weight.
In Proc.
Natl.
Shellfish.
Assoc (Vol. 1950, pp. 20-25).
Freites, L., Montero, L., Arrieche, D., Babarro, J. M.,
Saucedo, P. E., Cordova, C., & García, N.
(2010). Influence of environmental factors
on the reproductive cycle of the eared ark
Anadara notabilis (Röding, 1798) in
northeastern
Venezuela. Journal
of
Shellfish Research, 29(1), 69-75.
Gosling, E. (2003). Bivalve molluscs, biology,
ecology and culture. Fishing News Books.
Blackwell Publishing.
Kastoro, W. (1978). Reproduksi kerang bulu,
Anadara antiquate (Linnaeus), Suku
Arcidae. Oseana Indonesia, 9, 51–59.
Lawrece, D., & Scott, G.I. (1982). The determination
and use of condition index of oysters.
Journal of Estuaries, 5, 23-27.
MacDonald, B. A., & Thompson, R. J. (1985).
Influence of temperature and food
availability on the ecological energetic of
the
giant
scallop
Placopecten
magellanicus. II. Reproductive output and
total production. Marine Ecology Progress
Series, 25:295–303.
Mzighani, S. (2007). Fecundity and population
structure of cockles, Anadara antiquata L.
1758 (Bivalvia: Arcidae) from a
sandy/muddy beach near Dar es Salaam,
Tanzania. Western Indian Ocean Journal
of Marine Science, 4(1), 77-84.
Rebelo, M. F., Amaral, M. C. R., & Pfeiffer, W. C.
(2005). Oyster condition index in
Crassostrea rhizophorae (Guilding, 1828)
from a heavy-metal polluted coastal
lagoon. Brazilian
Journal
of
Biology, 65(2), 345-351.
Sahin, C., DüzgünesĖ§, E., & Okumus, I. (2006).
Seasonal variations in condition index and
gonadal development of the introduced
blood cockle Anadara inaequivalvis
(Bruguiere, 1789) in the Southeastern
Black Sea coast. Turkish Journal of
Fisheries and Aquatic Sciences, 6(2), 155163.
Suwanjarat, J., & Parnrong, S. (1990). Reproductive
cycle of Anadara granosa L. Jebilung,
Satun Province. Songklanakarin Journal of
Science and Technology, 12(4), 341-351.
POST TSUNAMI: MARINE PROTECTED AREAS (MPA) ZONATION
STRUCTURE OF PULO ACEH, INDONESIA
PASCA TSUNAMI: STRUKTUR ZONASI DAERAH PERLINDUNGAN LAUT
PULO ACEH, INDONESIA
Muhammad Rusdi1), Munawar Khalil2), Zulfikar2)
Abstract
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pembentukan kawasan perlindungan laut (Marine Protected
Areas/MPA) di Pulo Aceh, Indonesia, dengan menggunakan input dari analisis Sistem Informasi Geografis.
Langkah-langkah pengelolaan adalah diperlukan untuk memastikan bahwa sumber daya laut dapat hidup dan
ekosistem dapat dilestarikan. Fokus penelitian ini adalah untuk menunjuk daerah-daerah tertentu sebagai
daerah perlindungan laut (DPL). Pulo Aceh meliputi 24,961.9 hektar yang terdiri dari habitat daratan dan
habitat lautan yang terpilih sebagai kawasan MPA. Zonasi di kawasan konservasi laut didasarkan pada data
ekologi dan data ekologi konservasi, sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat. Zona utama yang telah
ditetapkan dan dipetakan dalam kawasan konservasi, yaitu zona inti (94,14 ha atau 0,38 %), zona
pemanfaatan (15,144.86 ha atau 60,67 %) dan zona penyangga (1,038.77 ha atau 4,16 %). Zona inti sangat
dilarang dari kegiatan pengambilan hasil laut, pariwisata dan ekonomi, sementara kegiatan penelitian dan
konservasi dapat diperbolehkan. Zona pemanfaatan dibagi menjadi area untuk pariwisata, penggunaan
tradisional, penggunaan pelagis, penelitian dan pelatihan. Akomodasi permanen untuk kegiatan pariwisata
atau pengambilan sumber daya alam diperbolehkan melalui pelaksanaan proses penilaian dampak
lingkungan terlebih dahulu. Kegiatan di zona penyangga adalah sangat terbatas dan dikendalikan
sepenuhnya hanya untuk kegiatan pengambilan hasil laut.
Katakunci: Konservasi laut, zonasi, sistem informasi geografis, pemetaan, sumberdaya alam
These conditions need specific management and
development planning. In another term, the prone
areas to natural disasters are requiring anticipatory
management of development planning to disaster.
INTRODUCTION
Pulo Aceh Archipelagos are consisting of
two large islands, Pulo Breuh and Pulo Nasi.
Geographically, Pulo Aceh is located on the western
coast of Sumatra Island, Administrative located in
Pulo Aceh, Aceh Besar district, Aceh Province.
Marine and Fisheries Department (2005) released
various data that tsunami impact in Aceh Besar
district about marine and fisheries infrastructure, and
was estimated approximately 90% or 307.140 USD
in total value. Fishing vessels and fishing gear in
Aceh Besar district reached 100% or more than
2.100.000 USD. Pulo Aceh sub district was one of
the most destructive areas hit by tsunami.
Approximately 100% of marine and fisheries
infrastructure was totally damaged. Total damage
was also observed in residential areas which were
generally located on the outskirts of the coastal area.
Managing a large area needs the to the
development of technology. One of the commonly
used technologies is Geographic Information System
(GIS). In broad outline, the experts defined that GIS
is a computer system that has the ability to store,
recall, update, manipulate, analyze and present all
forms of geographic data, or spatially referenced
information in accordance with the user (Burrough,
1986 in Barrus, 1996, Jaya, 2002, Prahasta, 2005).
Spatial data is associated with the spatial location of
the general shape of the map. The users are can
analyze the geographic location and specific
information related to the location of the individual
and can support decision making. Solving problems
of location suitability, zoning areas for conservation
may be in the analysis, simulation, prediction, and
description using GIS.
The tsunami had also caused changes on
coastal ecology. Changing of shorelines and habitats
of organism has been observed in particular areas.
1)
2)
Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala
Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh
77
78
Jurnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 77-82
MATERIALS AND METHOD
Location of the study was conducted in Pulo
Aceh (Figure 1). Preparation of proposal for zoning
in the MPA Pulo Aceh was based on ecological
baseline and socio-economic baseline studies using
GIS (Geographical Information System) (FAO,
1987). Determination of Zoning was followed the
reference Law. 5 / 1990 on conservation of
biological resources and ecosystems.
The coastal and marine habitat at Pulo
Aceh after tsunami was totally damaged.
Descriptions of this condition are shown as in
Figure 2. Where the whole of Pulo Aceh was
scrapped flat by the tidal wave.
Therefore, Munthadar, (2008) had reported
the existing condition of coral reefs after tsunami as
shown in Figure 2. The Figures 3 and 4 show the
recruitment of corals on the reef.
RESULTS AND DISCUSSION
Figure 1. Research location
Figure 2. Stretch of reef conditions in the intertidal area (Gampong Paloh) in Pulo Aceh after tsunami
(modified from; munthadar, 2008)
Muhammad Rusdi1), Munawar Khalil2), Zulfikar2), Post Tsunami: Marine Protected Areas (MPA) Zonation Structure of Pulo Aceh,
Indonesia
79
Figure 3. The condition of damaged coral reefs in (a) Kareung Mane (b) Kareung Maja (c) Kareung Pante
Demit (d) Kareung Maja
Figure 4. Coral colonies began to grow again in (a) Kareung Maja (b) Kareung Peunateung (c) Kareung Mane
(d) Kareung Maja
Recruitment of corals, in term of growth and
process requires time and under specific conditions.
Recruitment is if MPA can be enforced. MPA zoning
practices can provide an opportunity for the
ecosystem of the region to develop properly without
any interference from humans activities in the areas.
Clustering Zonation MPA is made from field
observations and secondary data. The result was a
80
Jurnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 77-82
thematic layers using GIS layer which consists of
physical and social components. The physical
components such as coverage, dominance and
indices of coral reefs, the pattern and direction of
currents, topographical, soil and land use (Figure 5).
Social components can be regional profiles, the
potential of the region, demographic, and economic
and community impact by tsunami.
Overlay of all the layers of physical, social
and non-spatial data analysis was conducted into a
single layer. A single zoning system was designed to
MPA Pulo Aceh, which covers a total area of land
and sea with several clustering of zoning as shown in
Figure 6.
Figure 5. Landuse thematic layer
Figure 6. Zonation Clustering in the Marine Protected Areas of Pulo Aceh, Indonesia
Cluster zonation was made to establish in the
marine areas. The class cluster zonation were
separated in view sub class as shown in Table 1 :
Class
Sea
Land
Total
Sub class
core zone
utilize zone
buffer zone
conservation
utilize
buffer
Traditional Use Zone. Special permission was
required for vessels that will enter into MPA
Tourism Zone.
Hectare
Percentage
94.14
0.38
15,144.86
60.67
1,038.77
4.16
2,337.14
9.36
2,033.19
8.15
4,312.98
17.28
24,961.09
100.00
CONCLUSION
Zonation Clustering in MPA were separated
in Core Zone (94, 14 ha, 0.38 %), Utilized Zone
(15,144.86 ha, 60.67%) and Buffer Zone
(1,038.77ha, 4.16%). MPA zoning provide an
opportunity for the ecosystem of the region to
develop properly without any interference from
humans activities in the areas. Need further research
for detail zonation with high resolution image
satellite.
The total clustering area MPA of Pulo Aceh
was 24,961.09 hectares with two main classes which
were sea class and land class area. The sea class
areas were divided to three sub class, namely core
zone, utilizes zone and buffer zone. The core zone
was approximately 94.14 hectare or 0.38 % of sea
class total protected areas. The sub class performed
in ecotourism zone, traditional use zone, pelagic use
zone, special research and training zone. This zone
has the largest area to protected about 15,144.86
hectares or 60.67% of total MPA area. The buffer
zone plotted approximately 1,038.77 hectares or
4:16% of total area.
ACKNOWLEDGEMENTS
The authors would like to the :
Rehabilitation and Reconstruction Bord Aceh-Nias
2007 and Aquaculture Department Malikussaleh
University for the support in conducting this
research.
REFERENCES
Barus B., & U.S Wiradisastra. (1996). Sistem
Informasi
Geografis,
Laboratorium
Penginderaan Jauh, jurusan Ilmu Tanah,
Fakultas Pertanian, IPB, Bogor, 120 pp.
For land class, conservation areas were
plotted was about 2,337.14 or 9.36% of total
protected areas. The utilize zone in land class was
2.033.19 hectare or 17.28 % of total area. The buffer
zone which was a zone to buffered between
conservation zone and utilize zone was plotted about
4,312.98 hectare or 17.28 % of total area. The buffer
zone has largest area that planned in land class.
[BRR] Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD
Nias.
(2007).
Perumusan
rencana
pengelolaan Marine Protected Areas (MPA)
Pulo Aceh Kabupaten Aceh Besar Nanggroe
Aceh Darussalam. Badan Rehabilitasi dan
Rekostruksi NAD-Nias. Banda Aceh, 226 pp.
Zoning within the MPA was based on
existing ecological data, understanding the principles
of ecology and conservation, socio-economic of
local communities and culture, and feasibility of
implementation. Regulations are prepared for each
zone to ensure the continuity of flora and fauna of
the region of MPA, ecosystems, and their local
communities. Core Zone, Zone with Limited
Tourism, Tourism Use Zone and Special Research
and Training Zone are zones where all hunting or
mining of natural resources and non-biological
resources are strictly prohibited.
[DKP]
[FAO] Food and Agriculture Organization. (1987).
Marine
Resources
Mapping
:
an
introductory
manual. FAO fisheries
technical paper. Rome, 104 pp.
Harvesting of marine resources is only
allowed in the zone of traditional use. Specific
rules and sub-zones are designed for the tour.
Exit and entry of the ship freely to and through
the MPA is only permitted in Pelagic and
1)
2)
Departemen Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia. (2005). Laporan tim
departemen kelautan perikanan terkait
dengan inventarisasi dan tugas kemanusiaan
bencana alam gempa dan gelombang
tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam dan
Sumatera Utara. Jakarta, 176 pp.
Jaya, I. N. S. (2002). Aplikasi sistem informasi
geografis untuk kehutanan, Penerbit
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor,
165 pp.
Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala
Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh
81
82
Jurnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 77-82
Munthadar, M. (2008). Kajian rehabilitasi
sumberdaya dan pengembangan kawasan
pesisir pasca tsunami di kecamatan Pulo
Aceh kabupaten Aceh Besar. Thesis. Institut
Pertanian Bogor, 145 pp.
Prabowo, D., A.T Nugroho, J. Palap., & H.
Ardiansyah. (1999). Modul pengenalan GIS,
GPS & Remote Sensing. Penerbit Forest
Watch Indonesia
Jakarta. 135 pp.
–
Departement
GIS.
Prahasta, E. (2009). SIG : Sistem Informasi
Geografis Konsep Konsep Dasar (Perspektif
Geodesi & Geomatika). Edisi revisi.
Bandung: Penerbit CV. Informatika, 818 pp.
PETUNJUK PENULISAN NASKAH JURNAL ILMIAH
J
urnal AGRIUM
merupakan
media
publikasi tulisan-tulisan asli yang belum
pernah dipublikasikan, berkaitan dengan
bidang ilmu-ilmu pertanian dan perikanan. Naskah
berasal dari hasil penelitian dasar dan terapan,
skripsi, tesis, disertasi, makalah yang telah
diseminarkan, ulasan (review) dan tulisan yang
sengaja dibuat untuk diterbitkan.
Pedoman Umum
Naskah dapat ditulis dalam bahasa
Indonesia atau bahasa Inggris dengan memenuhi
kaidah-kaidah tulisan ilmiah menggunakan gaya
bahasa efektif dan akademis. Naskah diketik pada
kertas HVS ukuran A4, ketikan 2 spasi
menggunakan huruf tipe Times New Roman
berukuran 12 point. Naskah asli dikirim sebanyak 3
eksemplar beserta dokumen dalam bentuk soft copy.
Susunan Naskah
Naskah disusun dalam urutan halaman Judul
(Title),
Abstrak
(Abstract),
Pendahuluan
(Introduction), Bahan dan Metode (Materials and
Methods), Hasil dan Pembahasan (Results and
Discussion), Kesimpulan (Conclussions) dan Daftar
Pustaka (References). Ucapan Terima Kasih
(Acknowledgement) dan Saran (Recommendations or
Suggestions) diketik di antara Kesimpulan dan
Daftar Pustaka.
Halaman Judul
Pada halaman Judul, ditulis judul naskah
dalam huruf besar (Capital) dilengkapi dengan
terjemahan bahasa Inggris apabila tulisan dalam
bahasa Indonesia di bawah judul, apabila tulisan
dalam bahasa Inggris, dilengkapi judul dalam
bahasa Indonesia. Penulisan Judul tidak melebihi 25
kata, diikuti nama lengkap penulis, nama lembaga
afiliasi penulis dan nama penulis korespondensi
disertai alamat lengkap dan email.
Abstrak dan Kata Kunci (Key Words)
Abstrak harus mewakili seluruh materi
penulisan dan implikasinya secara ringkas, berisi
maksimum 250 kata dan diketik 1 spasi dalam
bahasa Inggris apabila tulisan dalam bahasa
Indonesia dan sebaliknya. Penulisan key words
diketik menggunakan bahasa Inggris dalam
parantesis di bawah abstrak maksimum 5 kata.
Teks
Penulisan sub judul utama (Pendahuluan, Bahan dan
Metode, Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan dan
Daftar Pustaka) menggunakan huruf besar (Capital).
Sub-sub judul ditulis tebal (bold). Penulisan satuan
mengikuti Standard International (SI). Penulisan
nama limiah mengikuti kaidah penamaan Binomial
Nomenclature. Tabel dan gambar dilengkapi nomor
dan judul diikuti keterangan sebagai catatan kaki.
Daftar Pustaka
Penulisan daftar pustaka adalah sebagai berikut:
Buku
Gorman, J.M. (1996). The new psychiatry: The
essential guide to state-of-the-art theraphy
medication and emotional health. New
York: St. Martin’s Press.
Buku dari database
Brockopp, D.Y. (1995). Fundamentals of nursing
research [versi elektronik]. Boston: Jones &
Bartlett Publishers, Inc. Diakses dari
database netLibrary.
Artikel jurnal
Marek, K.D. & Rantz, M.J. (2000). Aging in place:
A new model for long term care. Nursing
Administration Quarterly, 24(3),1-11.
Artikel dari jurnal online atau majalah
Wills, T.A., Sandy,J.M., Yaeger, A., & Shinar, O.
(2001, May). Familiy risk factors and
adolescent substances use: Moderation
effects for temperament dimensions [versi
elektronik]. Developmental Physchology,
37,
238-297.
Diakses
dari
http://www.apa.org/journals/dev/dev373283.
html
Biaya Publikasi
Setiap penulis yang naskahnya siap
diterbitkan dikenakan biaya cetak sebesar Rp.
200.000., (bagi dosen tetap Fakultas Pertanian
Unimal) dan Rp.250.000., (bagi penulis luar).
Penulis pertama mendapatkan 1 cetakan lepas
(reprint). Jurnal AGRIUM dijual seharga Rp.
45.000., per eksemplar. Harga langganan untuk
setahun (2 edisi) seharga Rp. 80.000., belum
termasuk biaya pengiriman.
Download