VOLUME 10 NOMOR 2, SEPTEMBER 2013 ISSN 1829 – 9288 JURNAL AGRIUM Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Usahatani Kentang Di Kabupaten Bener Meriah Provinsi Aceh, Mawardati 38-42 Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Masyarakat Pasca Tsunami, Fadli 43-46 Evaluasi Beberapa Nomor Aksesi Kentang (Solanum tuberosum L.) Terhadap Ketahanan Penyakit Hawar Daun (Phytopthora infestans (Mont.) de Bery), Muhamad Yusuf 47-55 Sistem Intensifikasi Tanaman Padi SRI Melalui Pemanfaatan Mikroorganisme Lokal Dalam Pembuatan Kompos Dapat Meningkatkan Populasi Mikroba Tanah (Studi Kasus Di Desa Sidodadi Kabupaten Deli Serdang), Eka Maida 56-60 Efektifitas Dosis Minyak Pala Untuk Pemingsanan Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Selama Transportasi, Munawwar Khalil, Yuskarina, Prama Hartami 61-68 The Effect Of Environmental Condition On The Spawning Period Of Blood Cockle Anadara granosa (Bivalvia: Arcidae) In Lhokseumawe, The Northern Straits Of Malacca, Munawar Khalil 69-76 Post Tsunami: Marine Protected Areas (MPA) Zonation Structure of Pulo Aceh, Indonesia, Muhammad Rusdi, Munawar Khalil, Zulfikar 77-82 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH LHOKSEUMAWE AGRIUM VOLUME 10 NOMOR 2, SEPTEMBER 2013 HAL. 38-82 JURNAL AGRIUM FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH ISSN 1829 – 9288 VOLUME 10 NOMOR 1, SEPTEMBER 2013 Terbit dua kali setahun pada bulan Maret dan September (edisi berbahasa Indonesia atau Inggris). Berisi tulisan yang diangkat dari hasil penelitian dan hasil kajian-kritis di bidang pertanian & perikanan. ISSN 18299288. Penanggung Jawab Dekan Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh Ketua Penyunting Elvira Sari Dewi, S.P.,M.S Dewan Penyunting Dr. Ir. Yusra., M.P Dr. Ir. Mawardati, M.Si Nilahayati, S.P., M.Si Faisal, S.P., M.Si Setia Budi, S.P., M.Si Eva Ayuzar, S.Pi., M.Si Munawwar Khalil, S.Pi., M.Si Mitra Bestari Prof. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, M.S (Institut Pertanian Bogor) Prof. Dr. Ir. Abdul Rauf, M.S (Universitas Sumatera Utara) Prof. Dr. Ir. Sabaruddin, M.Agr (Universitas Syiah Kuala) Pelaksana Tata Usaha Dedy Nurdiansyah, S.E, M.M Zulkifli, S.P Alamat Penyunting dan Tata Usaha: Subag. Sistem Informasi Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh. Jln. Cot Teungku Nie reulet Aceh Utara Kode Pos 24351 dan Fax. (0645) 44450. Homepage: http://www.unimal.ac.id. Email:[email protected]. JURNAL AGRIUM: diterbitkan sejak tanggal 7 Januari 2004 oleh Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh Aceh Utara. Penyunting menerima sumbangan yang belum pernah diterbitkan dalam media lain. Naskah diketik di atas kertas HVS kuarto spasi ganda sepanjang lebih kurang 20 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (“Petunjuk Penulisan Naskah”). Naskah yang masuk dievaluasi dan disunting untuk keseragaman format, istilah, dan tata cara lainnya. Jurnal Agrium Volume 10 Nomor 1 September 2013 PENGANTAR DARI REDAKSI Agrium merupakan Jurnal Ilmiah yang mencakup keilmuan bidang pertanian dan perikanan. Jurnal ini diharapkan dapat menampung, menyebarkan dan sekaligus menerbitkan hasil-hasil penelitian maupun ulasan ilmiah para peneliti dari berbagai perguruan tinggi, instansi dan praktisi ataupun lembaga-lembaga penelitian bidang terkait. Pada volume yang kesepuluh ini jurnal Agrium mengalami sedikit perubahan pada layout, edisi terbitan, manajemen redaksi, dan mitra bestari. Perubahan tersebut dilakukan untuk menyongsong pengajuan akreditasi jurnal Agrium nantinya. Terbitan kali ini, Agrium memuat tujuh artikel yang telah melalui tahapan suntingan tim penyunting dan mitra bestari. Semoga artikel-artikel ini dapat menjadi tambahan acuan kepustakaan dalam pengembangan penelitian dan ilmu pengetahuan. Editor ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN USAHATANI KENTANG DI KABUPATEN BENER MERIAH PROVINSI ACEH ANALYSIS OF FACTORS AFFECTING POTATO FARMING INCOME IN BENER MERIAH DISTRICT PROVINCE OF ACEH Mawardati 1) Abstract This study was conducted in a potato farm in Bener Meriah District of Aceh Province from June to August 2013. The purpose of this study was to determine the factors that affect potato farm income in the observation site. The analytical method used is the method of multiple linear regression analysis. The analysis showed that the amount of production, land, labor, capital and the selling price is very significant influence on a potato farm in the area. Keyword : income, farming, potato. Salah satu subsektor pertanian yang memiliki potensi untuk dikembangkan yaitu hortikultura yang terdiri atas sayuran, buah-buahan, florikultura, dan biofarmaka. Hortikultura berperan sebagai sumber pangan, sumber pendapatan masyarakat, penyedia lapangan kerja, dan penghasil devisa. Hal tersebut menjadi alasan bahwa subsektor ini perlu menjadi prioritas pengembangan. PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan sektor pertanian sebagai sumber pencaharian mayoritas penduduknya. Keberadaan sektor pertanian telah terbukti mampu memperbaiki taraf hidup masyarakat pedesaan, meskipun hal ini belum merata menyentuh pedesaan secara keseluruhan. Kemampuan sektor pertanian dapat ditunjukkan dengan aktivitas dalam meningkatkan pendapatan petani. Sayuran merupakan salah satu produk hortikultura yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan baik sebagai penghasil devisa maupun sebagai sarana meningkatkan pendapatan petani. Selain sebagai komoditas yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi, sayuran telah memberikan kontribusi PDB sebesar 36,35 persen terhadap subsektor hortikultura pada tahun 2010. Produksi sayuran nasional tercatat mengalami peningkatan rata-rata dari tahun 2006 hingga 2010 sebesar 3,01 persen (Ditjenhorti 2011a). Menurut Ditjenhorti (2012), salah satu komoditas sayuran unggulan nasional yang mendapat prioritas pengembangan oleh pemerintah adalah kentang (Solanum tuberosum L). Selain itu, hal penting yang harus diperhatikan adalah sektor pertanian juga berperan sebagai penyedia pangan bagi masyarakat. Terkait dengan kondisi tersebut maka peningkatan produksi mutlak harus dilakukan. Peningkatan produksi yang harus seimbang dengan laju pertumbuhan penduduk dapat dicapai melalui peningkatan pengelolaan usahatani secara intensif. Oleh karena itu, pengetahuan tentang cara pengusahaan suatu usahatani mutlak dibutuhkan agar dapat meningkatkan produktifitas serta dapat meningkatkan pendapatan sehingga kesejahteraan petani dapat meningkat. Kontribusi lainnya dari sektor pertanian adalah sebagai penyumbang terhadap devisa negara dan Produk Domestik Bruto (PDB). Tahun 2010 sebesar 15,3 persen dari total nilai PDB menurut lapangan usaha disumbang oleh sektor pertanian, dimana sektor pertanian menjadi penyumbang PDB kedua terbesar setelah sektor industri pengolahan (BPS 2011a). Dengan demikian, maka tidaklah berlebihan jika pengembangan sektor pertanian harus mendapat perhatian serius dari pemerintah selaku pembuat kebijakan. Tanaman kentang memiliki prospek dalam menunjang program diversifikasi pangan dan bahan baku industri. Namun dalam perkembangannya, mulai tahun 2006 hingga 2011 produktivitas kentang di Indonesia menunjukkan tren menurun (Ditjenhorti 2012) Kentang prospektif untuk dikembangkan karena permintaannya terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk, sebagai bahan pangan bergizi tinggi, sebagai bahan baku industri 1) Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh 38 Mawardati 1), Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Usahatani Kentang pengolahan pangan, sebagai komoditas ekspor non migas, dan sebagai sumber pendapatan petani. Kentang menjadi tanaman kedua setelah jagung yang ditanam di banyak negara. Daerah sentra produksi kentang di Provinsi Aceh adalah di wilayah dataran tinggi gayo (Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah) yang terletak pada ketinggian 800 – 2.600 m dari permukaan laut. Kecamatan Bukit merupakan salah satu daerah penghasil kentang terbesar di Kabupaten Bener Meriah. Rata-rata produktivitas kentang di Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah termasuk di Kecamatan Bukit selama ini secara agregat hanya 6,91 ton/ha. Ini masih jauh di bawah produktivitas secara nasional yaitu 16,7 ton/ha (Dirjen Hortikultura, 2009). Sementara hasil penelitian/pengkajian potensi dapat mencapai 25-30 ton/ha bila dikelola dengan baik dan varietas yang sesuai (M. Nur H.I, Abdul Azis dan M. Ramlan, 2010). Permasalahan yang dihadapi petani kentang di Kecamatan Bukit saat ini tidak hanya pada produktivitas yang rendah tetapi petani juga dihadapkan ada harga jual kentang yang selain rendah juga tidak menentu (berfluktuasi). Namun petani kentang di daerah tersebut sampai saat ini tetap semangat melakukan kegiatan usahatani kentang. METODE PENELITIAN Lokasi dan Ruang Lingkup Penelitian. 39 dengan metode berjatah (quota sampling) yaitu sebanyak 30 orang petani. Selanjutnya untuk menentukan petani sampel dalam penelitian ini digunakan teknik bola salju (snowball sampling) yaitu suatu metode pengambilan sampel dimana sampel pertama akan menentukan sampel selanjutnya. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data skunder dan data primer. Data skunder diperoleh dari instansti terkait yaitu dari BPS, Dinas Pertanian Kabupaten Bener Meriah dan Kantor Camat Kecamatan Bukit. Data primer diperoleh di lokasi penelitian melalui pengisian kuisioner oleh responden. Metode Analisis Data Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kuantitatif. Untuk mengetahui tentang karakteristik petani dan hubungannya dengan pendapatan digunakan analisis deskriptif. Sedangkan untuk menganalisis hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen digunakan analisis linear berganda. Secara matematis analisis linear berganda dapat ditulis sebagai berikut : Y = α + β1X1 + β1X1 + β1X1 + β1X1 + β1X1 + β1X1 + β1X1 + ε Keterangan : X1 = Jumlah produksi (Kg) X1 = luas lahan ( ha) X1 = Tenaga kerja (HOK) X1 = Modal (Rp) X1 = Harga (Rp) ε = error term α, β1, β1, β1, β1, β1 = parameter yang dicari Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Bukit Kabupaten Bener Meriah Provinsi Aceh. Alasan penentuan lokasi penelitian adalah karena Kecamatan Bukit merupakan salah satu daerah sentra produksi kentang di Kabupaten Bener Meriah, namun rata-rata produktivitas kentang masih tergolong rendah dan harga jual berfluktuasi yang berakibat kepada pendapatan petani yang tidak menentu. Ruang lingkup penelitian ini hanya terbatas pada faktor yang mempengaruhi pendapatan petani kentang. Model pada persamaan di atas dianalisis untuk mengetahui signifikansi variabel independen dengan variabel dependen. Tingkat signifikansi tersebut dapat dilihat pada nilai ρ –value variabel tersebut baik secara individual (t-test) maupun secara bersama-sama atau serentak (F-test). Metode Penarikan Sampel. Definisi Operasional Variabel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petani kentang yang ada di Kecamatan Bukit Kabupaten Bener Meriah. Oleh karena tidak ada data yang akurat tentang jumlah petani kentang maka jumlah sampel dalam penelitian ini ditentukan 1. Pendapatan (Y) adalah pendapatan yang diterima oleh petani kentang dari penjualan kentang di hitung dalam rupiah per musim tanam ((Rp/MT). 40 2. 3. 4. 5. 6. Jurnal Agrium, Volume 10 Nomor 2 September 2013, hal 38-42 Produksi (Prod) adalah jumlah kentang yang dihasilkan oleh petani dihitung dalam kilogram per musim tanam (Kg/MT) Luas lahan (Lh) adalah luas lahan yang ditanami kentang dihitung dalam hektar per musim tanam (hektar/MT). Tenaga kerja (Tk) adalah jumlah orang yang bekerja pada kegiatan usahatani kentang dihitung dalam Hari Orang Kerja (HOK). Modal (M) adalah jumlah biaya yang dikeluarkan dalam kegiatan usahatani kentang dihitung dalam rupiah per musim tanam (Rp/MT). Harga (Hrg) harga jual kentang di lokasi pada saat penelitian dilakukan dihitung dalam rupiah per kilogram (Rp/kg). kentang sangat mempengaruhi terhadap pendapatan usahatani kentang. Rata-rata produksi kentang di lokasi penelitian hanya 3,433 ton per luas tanam atau 3,788 ton per hektar per musim tanam. 2. Lahan merupakan pabriknya produksi pertanian (Soekartawi, 2002). Besar kecilnya luas lahan sangat berpengaruh terhadap produksi pertanian dan pendapatan usahatani. Luas lahan tertinggi yang diusahakan oleh petani kentang di lokasi penelitian adalah 1,075 hektar, terendah 0,825 hektar dan rata-rata 0,906 hektar. Rata-rata luas tanam suatu usahatani di bawah 1 hektar belum memenuhi skala ekonomis. 3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pendapatan Usahatani Kentang Pendapatan usahatani merupakan penerimaan yang diperoleh petani dari kegiatan usahataninya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan tertinggi yang diperoleh petani dari usahatani kentang di lokasi penelitian adalah Rp. 11.809.000,pendapatan terendah adalah Rp. 2.789.000,- dan pendapatan rata-rata adalah sebesar Rp. 5.813.386,667 per 0,95 hektar atau Rp. 6.414.771,494 per hektar per musim tanam. Jumlah ini belum termasuk biaya tenaga kerja baik tenaga kerja luar keluarga maupun tenaga kerja dalam keluarga. Jumlah pendapatan usahatani kentang ini masih tergolong rendah, hal ini disebabkan sampai saat ini rata-rata produktivitas kentang di lokasi penelitian masih jauh dibawah rata-rata potensial. Selain itu usahatani kentang bukan merupakan satusatunya jenis usaha yang dilakukan oleh petani di lokasi penelitian, sebagian diantara mereka masih memiliki usahatani lainnya. Kondisi ini berakibat kepada kurang maksimalnya pengelolaan terhadap usahatani kentang. Luas Lahan Tenaga Kerja Jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam suatu kegiatan usahatani sangat berpengaruh terhadap pendapatan usahatani tersebut. Apalagi jika yang digunakan lebih banyak tenaga kerja luar keluarga berarti akan memperbesar biaya tunai yang harus dikeluarkan oleh petani. Rata- rata jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam usahatani kentang di lokasi penelitian adalah 30,28 HOK per luas tanam atau 33,85 HOK per hektar per musim tanam. Sebahagian besar tenaga kerja ini berasal dari dalam keluarga petani itu sendiri dan hanya sebagian kecil saja yang berasal dari luar keluarga. 4. Modal Modal yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah jumlah biaya variabel yang digunakan petani dalam suatu proses produksi. Besar kecilnya jumlah modal yang dimiliki petani akan berpengaruh kepada pendapatan yang diperolehnya. Rata-rata jumlah modal yang digunakan oleh petani dalam usahatani kentang di lokasi penelitian adalah sebesar Rp. 3.350.946,67 per luas tanam atau Rp.3.697.596,322 per hektar per musim tanam. 5. Harga Jual Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Usahatani kentang. 1. Produksi Produksi merupakan hasil akhir yang diperoleh dari suatu proses produksi. Produksi kentang diperoleh dari kegiatan mengkombinasikan faktor-faktor produksi seperti lahan, tenaga kerja, modal dan manajemen. Besar kecilnya produksi Selain jumlah produksi, luas lahan, tenaga kerja dan modal maka harga jual produk juga merupakan faktor yang tidak kalah pentingnya dalam mempengaruhi besar kecilnya pendapatan usahatani. Rata-rata harga jual kentang di tingkat petani di lokasi penelitian adalah sebesar Rp. 3.275,/kg. Harga tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga ditingkat konsumen pada waktu yang sama yaitu sebesar Rp. 6000,- /kg. Mawardati 1), Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Usahatani Kentang 41 Tabel 1. Nilai Estimasi Regresi Usahatani Kentang di Kecamatan Bukit Kabupaten Bener Meriah Tahun 2013 No. Variabel Koefisien t-hitung Probabilitas (sig) 1. Konstanta (a) -1338 -17.596 .000 2. Produksi (Prod) 570.497 9.415 .000 3. Luas Lahan (Lh) 1.657E6 1.742 .094 4. Tenaga Kerja (TK) -6590.069 -1.572 .129 5. Modal (Mdl) .245 1.763 .091 6. Harga (Hrg) 346.580 17.820 .000 *** = signifikan pada α = 0,01 R-square = 0,996 ** = signifikan pada α = 0,05 F-sig = 0,000 * = signifikan pada α = 0,10 Tabel 1 memperlihatkan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,996. Hal ini berarti bahwa sebesar 99,90 persen variabel produksi, luas lahan, tenaga kerja, modal dan harga mampu menjelaskan variasi variabel pendapatan usahatani kentang. Dengan perkataan lain hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen cukup kuat. Sedangkan sisanya hanya 0,4 persen dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model penelitian ini. Hal ini menunjukkan bahwa tidak banyak lagi faktor lain yang mempengaruhi pendapatan usahatani kentang di Kecamatan Bukit Kabupaten Bener Meriah. Hasil estimasi juga memperlihatkan bahwa secara serempak variabel produksi, luas lahan, tenaga kerja, modal dan harga berpengaruh secara sangat signifikan berpengaruh terhadap pendapatan usahatani kentang yang ditunjukkan oleh nilai probability (probability value) F-test sebesar 0,000. Nilai probabilitas tersebut lebih kecil dari tingkat kepercayaan (α) 0,01. Sementara itu, secara parsial hanya variabel produksi dan harga yang berpengaruh sangat signifikan terhadap pendapatan yang ditunjukkan oleh nilai probability kedua variabel tersebut adalah 0,000, nilai ini lebih kecil dari α = 0,01. Koefisien regresi variabel produksi sebesar 570.497,- yang menunjukkan bahwa jika produksi meningkat 1 kg maka pendapatan akan bertambah/meningkat sebesar Rp. 570.497. Implikasi dari temuan ini adalah bahwa pendapatan usahatani kentang masih bisa ditingkatkan melalui peningkatan produktivitas per hektar. Koefisien regresi 346.580, artinya jika terjadi kenaikan harga sebesar Rp.1 maka pendapatan akan meningkat sebesar Rp. 346.580,-. Implikasi dari temuan ini adalah pendapatan usahatani kentang masih bisa ditingkatkan jika harga ditingkat petani meningkat. Temuan ini ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Asni, dkk (2010) yang menyimpulkan bahwa Pendapatan petani padi sawah nyata dipengaruhi oleh variabel jumlah produksi, harga jual, jumlah tenaga kerja dan modal secara bersama. Secara parsial, pendapatan petani padi sawah dipengaruhi oleh jumlah produksi dan harga jual. Variabel luas lahan, tenaga kerja dan modal tidak signifikan mempengaruhi pendapatan dalam penelitian ini. Tidak signifikannya variabel luas lahan disebabkan produktivitas kentang di lokasi penelitian belum masih sangat rendah, sehingga untuk meningkatkan pendapatan masih bisa melalui peningkatan produktivitas belum perlu perluasan areal. Sementara tidak signifikannya variabel tenaga kerja disebabkan jumlah penggunaan tenaga kerja di lokasi penelitian terlalu sedikit sehingga yang ditunjukkan oleh kurang terawatnya tanaman di lapangan. Modal yang digunakan untuk usahatani kentang dalam penelitian ini belum berpengaruh terhadap pendapatan karena sebagian besar petani tidak menggunakan pupuk dan pemberantasan jika tanaman kentang diserang penyakit. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. 2. Produksi dan harga jual merupakan faktorfaktor yang berpengaruh sangat signifikan terhadap pendapatan usahatani kentang di Kecamatan Bukit Kabupaten Bener Meriah. Rata-rata pendapatan usahatani kentang di Kecamatan Bukit Kabupaten Bener Meriah masih rendah. 42 Jurnal Agrium, Volume 10 Nomor 2 September 2013, hal 38-42 Saran 1. 2. Produktivitas usahatani kentang di Kecamatan Bukit Kabupaten Bener Meriah masih sangat rendah. Oleh karena itu sedapat mungkin pemerintah daerah dan dinas terkait agar dalam perencanaan pengembangan usahatani kentang di tahun-tahun mendatang harus lebih banyak diarahkan kepada intensifikasi seperti lebih membekali petani tentang teknik budidaya secara benar dan intensif agar dapat meningkatkan produktivitas. Hal ini perlu dilakukan karena produksi merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi pendapatan usahatani kentang. Harga jual ditingkat petani jauh lebih rendah dibandingkan harga konsumen, dan variabel harga sangat mempengaruhi rendahnya pendapatan usahatani kentang. Oleh karenanya maka pemerintah daerah dapat membuat kebijakan penetapan harga kentang di tingkat petani agar dapat membantu petani dalam meningkatkan pendapatan usahataninya. DAFTAR PUSTAKA Asni, Sya’ad. A., H. B. Tarmizi., & Wahyu, A. P. (2010). Analisis produksi, pendapatan dan alih fungsi lahan di Kabupaten Labuhan Batu. Jurnal Mepa Ekonomi. Diakses dari http://jurnalmepaekonomi.blogspot.com/2010/ 05/analisis-produksi-pendapatan-danalih.html Badan Pusat Statistik. (2011). PDB menurut lapangan usaha tahun 2010 (persen). Jakarta: BPS. Direktorat Jenderal Hortikultura. (2011). Produksi sayuran nasional periode 2006 - 2010. Jakarta: Direktorat Jenderal Hortikultura. Direktorat Jenderal Hortikultura. (2012). Komoditas unggulan. Jakarta: Direktorat Jenderal Hortikultura. Diakses dari http://hortikultura.deptan.go.id/?q=content/ko moditas-unggulan. M. Nur H.I., Abdul Azis., & M. Ramlan. (2010). Teknologi unggulan kentang rekomendasi BPTP NAD. Disampaikan pada Konsolidasi Perencanaan PUAP dan Persiapan Raker Litbang di BBP2TP Bogor, 12-14 Maret 2010. Soekartawi. (2002). Prinsip dasar ekonomi pertanian. Teori dan Aplikasi. (Edisi Revisi). PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta. ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN MASYARAKAT PASCA TSUNAMI ANALYSIS OF FACTORS INFLUENCING PEOPLES’S INCOME AFTER TSUNAMI Fadli 1) Abstract Analysis of factors influencing people’s income after tsunami. Income is the main factor in improving the walfare of society. Post-tsunami community life certainly very difficult, all sources of income and their property destroyed by the brunt of the tsunami waves. Human capital, physical capital and economic capital and social capital is also a key factor in increasing rural incomes post-tsunami. This study aims to analyze the factors that influence people’s income after the tsunami. Data were analyzed by regression analysis. The research show that social capital is a factor which significantly affect the increase in income after the tsunami. Keywords: Revenue, Trusty, Collaboration, Network, Collective Action, and Relief Fund jumlah anggota keluarga yang masih tinggal, pekerjaan dan bantuan pihak luar yang masih dimiliki dapat digunakan sebagai modal dalam proses peningkatan pendapatannya. PENDAHULUAN Prioritas program rencana rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana tertuang dalam Buku Induk Rencana Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh dan Nias (2005). Pembangunan pasca tsunami di prioritaskan pada pembangunan kembali berbagai sektor kehidupan masyarakat yang telah hancur. Kebijakan dan strategi dalam proses rehabilitasi pasca bencana didasarkan pada upaya mengentaskan permasalahan yang ditimbulkan oleh tsunami. Modal sosial yang masih dimiliki oleh masyarakat berpengaruh terhadap percepatan pembangunan desanya baik pembangunan infrastruktur dan perumahan maupun pembangunan ekonominya. Modal social yang dimaksud yaitu aksi kolektif, kepercayaan dan kerjasama. Aksi kolektif seperti melakukan proses perencanaan pembangunan desa secara partisipatif pasca tsunami yang salah satu hasilnya adalah membentuk kelompok-kelompok usaha yang sesuai dengan bidang dan keahlian masing-masing masyarakat. Dengan telah terbentuknya kelompok-kelompok tersebut menyebabkan banyak pihak yang menawarkan bantuannya untuk peningkatan pendapatan mereka. Kerjasama tersebut terjadi karena antar sesama masyarakat saling percaya mempercayai. Modal kepercayaan yang ada menjadi modal untuk menarik minat pihak-pihak yang mau memberi bantuan. Pembangunan kembali pasca tsunami bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara adil dan merata untuk setiap wilayah yang mengalami kerusakan melalui pemenuhan kebutuhan hidupnya yang paling mendasar. Peningkatan kesejahteraan dapat dilakukan dengan cara peningkatan pendapatan. Adanya pendapatan pasca tsunami membantu mereka untuk memenuhi seluruh kebutuhan dirinya dan keluarganya. Pendapatan akan ada atau didapat jika didukung oleh faktor yang mempengaruhinya. Faktor yang mempengaruhi pendapatan diantaranya yaitu tersedianya sumberdaya alam, modal, manusia dan sumber lainnya. Bawaan sumberdaya (resource endowment) yaitu sumberdaya alam (natural resources), sumberdaya manusia (human resources), sumberdaya buatan (man-made resources) atau infrastruktur dan sumberdaya sosial (social resources) menjadi sangat penting bagi tercapai tujuan peningkatan kesejahteraan. Akan tetapi, pasca tsunami masyarakat hampir tidak lagi memiliki bawaan sumberdaya yang dimaksud. Namun demikian, stok modal sosial, pendidikan, 1) Modal kepercayaan dan kerjasama juga berimplikasi pada adanya modal sosial, karena kepercayaan adalah produk yang sangat penting dari norma-norma sosial kooperatif yang memunculkan modal sosial. Jika masyarakat bisa diandalkan untuk tetap menjaga komitmen, norma-norma saling menolong yang terhormat dan menghindari perilaku oportunistik, maka berbagai kelompok akan terbentuk secara lebih cepat, dan kelompok yang terbentuk itu akan mampu mencapai tujuan-tujuan bersama secara lebih efisien (Fukuyama 1995). Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh 43 44 Jurnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 43-46 Dengan demikian modal sosial dapat berperan untuk mendorong percepatan pembangunan desa pasca tsunami. Faktor lain yang masih ada sebagai modal untuk peningkatan pendapatan pasca tsunami yaitu pendidikan, anggota keluarga, pekerjaan dan bantuan pihak luar. Pendidikan seseorang yang tinggi tentu akan mudah memperoleh pekerjaan. Pasca tsunami banyak lembaga donor yang berkantor di Aceh dan menyediakan pekerjaan bagi masyarakat. Selain itu anggota keluarga juga berkontribusi di dalam pemenuhan kebutuhan keluarganya. Sama halnya dengan pendidkan dan jumlah keluarga yang masih dimiliki, keterlibatan pihak luar juga menjadi penentu masyarakat di dalam mendapatkan penghasilan. Keterlibatan lembaga swadaya baik yang berasal dari dalam negeri maupun yang dari luar negeri membantu masyarakat untuk memperoleh bantuan dalam bentuk penyediaan modal usaha maupun bantuan langsung tunai. Namun demikian sejauhmana faktorfaktor tersebut mempengaruhi atau berpengaruh terhadap pemulihan pendapatan masyarakat sebagai upaya pengentasan masalah ekonomi yang ditimbulkan oleh tsunami perlu dilakukan sebuah penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab beberapa permasalahan yang terkait dengan pendapatan masyarakat pasca tsunami dan mendapatkan informasi atau pengetahuan mengenai hubungan/konstribusi modal sosial masyarakat, pendidikan, jumlah anggota keluarga, pekerjaan dan bantuan pihak luar dengan pendapatan masyarakat pasca tsunami. METODE PENELITIAN Lokasi dan Sampel Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Aceh Besar, yaitu di Desa Beurandeh Kecamatan Mesjid Raya, Desa Kajhu Kecamatan Baitussalam dan Desa Lamkrut Kecamatan Lhoknga, yang ditentukan secara sengaja (purposive). Sampel penelitian adalah rumah tangga yang ditentukan secara eksidental yaitu rumah tangga yang dipilih adalah rumah tangga mana saja yang dijumpai dan bersedia diminta informasinya sesuai dengan data yang dibutuhkan pada saat pengambilan data (Mantra 2004). Jumlah sampel yang diambil yaitu 61 rumah tangga, masingmasing 21 rumah tangga di Desa Kajhu, 20 rumah tangga di Desa Lamkrut dan 20 Rumah tangga di Desa Beurandeh. Jenis dan Sumber Data Jenis Data yang dikumpulkan meliputi Data Primer dan Data Sekunder. Data sekunder dikumpulkan dari lembaga/instansi yang berkaitan dengan penelitian ini. Sedangkan data primer dikumpulkan melalui wawancara terstruktur dengan menggunakan daftar kuesioner dengan kepala dan anggota rumah tangga. Selain itu juga melalui wawancara dengan pemimpin desa, tokoh masyarakat dan kelompok-kelompok masyarakat yang sedang berkumpul di suatu tempat. Metode Analisis Data Faktor yang berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat pasca tsunami dianalisis dengan menggunakan regresi linier berganda. Bentuk persamaannya adalah sebagai berikut: Y = β 0 + β 1 MS + β 2 U + β 3 AK + β 4 d _ PdK + β 5 d _ PK + β 6 NGO + ε Dimana: Y β0 βj MS U AK d_PdK d_PK NGO = Pendapatan rumah tangga (Rp) = Intersep = Koefisien regresi (j=1,2,3,..6) = Modal sosial (rumah tangga) = Umur kepala keluarga (tahun) = Jumlah anggota rumah tangga (jiwa) = Pendidikan kepala keluarga (1= tamat SMA, 0 = tidak tamat SMA) = Pekerjaan kepala keluarga (1 = sudah tetap, 0 = belum tetap) = Banyaknya NGO dalam satu desa yang membantu dibidang ekonomi Fadli1), Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Masyarakat Pasca Tsunami HASIL PENELITIAN Pendapatan merupakan salah satu indikator kesejahteraan masyarakat. Semakin tinggi pendapatan, tingkat kesejahteraannya juga semakin tinggi. Pendapatan keluarga secara umum bisa dipengaruhi oleh tingkat pendidikan kepala keluarga, pekerjaan kepala keluarga, umur kepala keluarga, jumlah anggota rumah tangga, aset yang dimiliki rumah tangga dan lain sebagainnya. Model yang digunakan untuk menganalisis faktor yang mempengaruhi pendapatan keluarga pasca tsunami adalah model regresi linier. Selain memasukkan variabel-variabel yang secara umum digunakan sebagai faktor yang mempengaruhi pendapatan keluarga yaitu pendidikan kepala keluarga, pekerjaan kepala keluarga, jumlah anggota keluarga, juga memasukkan faktor modal sosial masyarakat dan keterlibatan berbagai pihak sebagai penyedia bantuan dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi di NAD sebagai variabel bebasnya. Dengan memasukkan indeks modal sosial masyarakat, maka dapat dilihat seberapa besar modal sosial berpengaruh terhadap pemulihan pendapatan masyarakat pasca tsunami. Hasil pengujian hipotesis terhadap model analisis regresi linier menunjukkan nilai probabilitas < 0,05, maka model regresi linier tersebut layak digunakan untuk memprediksi faktor modal social, pendidikan kepala keluarga, jumlah anggota keluarga, pekerjaan kepala keluarga dan bantuan NGO berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat pasca tsunami (Tabel 1). Hasil analisis menunjukkan Tabel 1. 45 bahwa pendapatan keluarga dipengaruhi secara nyata oleh indeks modal sosial masyarakat pada taraf nyata 95 %. Modal sosial memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pendapatan keluarga pasca tsunami. Modal sosial merupakan salah satu faktor yang dapat memudahkan masayarakat untuk memulihkan pendapatannya. Kerjasama dan saling percaya sebagai unsur modal sosial memberi peluang masyarakat untuk memperoleh keuntungan secara kolektif, seseorang pecaya kepada orang lain karena ada tujuannya yaitu untuk mendapat keuntungan (Lawang 2004). Selain itu, tingkat pendidikan kepala keluarga juga berpengaruh terhadap pemulihan pendapatan masyarakat pasca tsunami walaupun tidak begitu signifikan. Tingkat pendidikan kepala keluarga minimal SMA memberi pengaruh yang positif kepada peningkatan pendapatannya. Hal tersebut merupakan hal yang logis, mengingat pendidikan kepala keluarga yang sudah tamat SMA akan memudahkan dalam melakukan berbagai kegiatan. Sedangkan variabel keterlibatan NGO (d_NGO) memiliki tanda positif artinya bahwa jumlah NGO yang terlibat dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Sumber peningkatan pendapatan masyarakat yang berkaitan dengan jumlah NGO yang terlibat yaitu terutama pada pembangunan fisik seperti pembangunan rumah. Sedangkan pada bidang ekonomi, modal usaha yang disalurkan belum mendapatkan hasil mengingat waktunya yang belum begitu lama sehingga usaha masyarakat belum memberikan hasil sesuai yang diharapkan. Hasil Analisis Menggunakan Regresi Linier dengan Variabel Terikat Pendapatan Rumah Tangga Indikator Konstanta Indeks Modal Sosial Masyarakat (MS) Umur Kepala Rumah Tangga (U) Pekerjaan Kepala Rumah Tangga (d_PK) Pendidikan Kepala Rumah Tangga (d_PdK) Jumlah Anggota Rumah Tangga (AK) Keterlibatan NGO (NGO) R Square Adjusted R Square F Statistik Koefisienregresi P-Value -22.706 32.721 9.780E-02 9.169 10.267 -0.843 1.870 0.260 0.178 0.192 0.011 0.711 0.098 0.060 0.589 0.170 0.010 46 Jurnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 43-46 Keterkaitan pendapatan masyarakat desa pasca tsunami dan modal sosial yaitu modal sosial dapat memfasilitasi terjadinya proses perolehan pendapatan yang lebih cepat. Penggunaan modal sosial yang tepat akan meningkatkan akses setiap orang untuk memperoleh pengetahuan, pendidikan, kesehatan, kenyamanan, perumahan dan kesempatan kerja sehingga kehidupannya akan lebih sejahtera. Modal sosial memfasilitasi orang untuk bekerja secara bersama-sama (collective action) untuk mencapai tujuan bersama. Modal sosial memang bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi tercapainya tingkat kesejahteraan rumah tangga dan pembangunan wilayah yang tinggi. Banyak faktor-faktor yang juga mempengaruhinya seperti ketersediaan sumberdaya alam fisik serta sumberdaya manusia. Penelitianpenelitian tentang modal sosial yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa modal sosial dapat mempengaruhi tercapainya tingkat kesejahteraan masyarakat dan pembangunan wilayah yang tinggi, khususnya pembangunan ekonomi suatu wilayah (Kirwen dan pierce, 2002, Knowles, 2005, Narayan dan Pritchett, 1999, North, 1990 serta Putnam, 1993). Kerjasama dan saling percaya antar sesama masyarakat maupun dengan lembaga di dalam dan di luar komunitas masyarakat merupakan unsur utama modal sosial. Sering melakukan kerjasama dan tingkat kepercayaan yang tinggi memberi peluang masyarakat untuk memperoleh keuntungan secara kolektif. Aktivitas bersama yang dihasilkan dari adanya interaksi sosial yang intensif dapat meningkatkan produktifitas ekonomi. KESIMPULAN Peningkatan pendapatan masyarakat desa pasca tsunami dipengaruhi oleh stok modal sosial. Semakin tinggi stok modal sosialnya, proses menghasilkan pendapatan semakin cepat. Modal sosial menjadi faktor penentu peningkatan pendapatan masyarakat desa pasca tsunami disamping faktor lain yaitu pekerjaan, pendidikan, umur kepala keluarga dan keterlibatan pihak NGO, modal sosial dapat mendorong masyarakat untuk melakukan kerjasama (collective action) untuk mencapai tujuan bersama yaitu membangun kembali desa mereka yang telah hancur akibat tsunami. DAFTAR PUSTAKA Fukuyama, F. (1995). Trust: the social virtues and the creation of prosperity. The Free Press. New York. Kirwen, E. L., Pierce, L. I. (2002). Rebuilding trust and social capital in Maluku, Indonesia. Prepared for the USAID DG Partners Conference December 2002. Knowles, S. (2005). The future of social capital in economics development research. A paper for WIDER Jubilee Conference. Helsinki. Lawang, R. M. Z.(2004). Kapital sosial dalam perspektif sosiologik suatu pengantar. FISIP UI PRESS. Jakarta. Mantra, I. B. (2004). Filsafat penelitian dan metode penelitian sosial. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Narayan, D., Pritchett, L.(1999). Cent and sociability. Household income and social capital in rural Tanzania. Economic Development and Cultural Change 47 (8): 871-986. North, D. C. (1990). Institutions, institutional change and economic performance. Cambridge University Press. Cambridge. Putnam, R. D. (1993). Making democracy work: civic tradition in modern Italy. Princeton University Press. Princeton. New Jersey. EVALUASI BEBERAPA NOMOR AKSESI KENTANG (Solanum tuberosum L.) TERHADAP KETAHANAN PENYAKIT HAWAR DAUN (Phytopthora infestans (Mont.) de Bery) EVALUATION OF ACCESSION NUMBER OF PATATO (Solanum tuberosum L.) ON RESISTANCE LEAF BLIGHT (Phytopthora infestans (Mont.) de Bery) Muhamad Yusuf 1) Abstract The purpose of this study is to evaluate 27 potato accession numbers from crosses that have disease resistance of P. infestans ( late blight ), knowing the potential production of 27 clones of potato accession numbers from crosses. Results showed the intensity of the disease are observed including six resistant clones 22.22% (PT4, AP3, PT3, AP4, AP7, and PT2) with the intensity of attacks between 9.70-18.33%, 14.81% four moderately resistant clone (PT1, PT5, AP8 and AP2) with the intensity of 20.48-37.50%, 12% moderately susceptible clones 44.44 (RP5, RP18, RP7, RP16, RP 6, RP 8, RP3, RP2, RP14, RP17, Rp13, and RP10) with the intensity of attacks 45.00-59, 12%, and 18-52% five clones were classified as susceptible (RP4, RP15, RP 9, AP1 and AP6) with the intensity of attacks between 68.18-100%. Intensity of the relationship is linear with the number intensity of the relationship with tuber of bulbs, with the model equation Y = 17 594 - 0.174x. (R2 = 0.264), the weight is linear, with the model equation Y = 404 817-4.606x. 2(R2 = 0.297) and the intensity of the bulb volume is linear, with a regression model Y = 346 010- 4.081x. (R = 0.292). Keywords: Evaluation, Accession Potato, leaf blight. adalah hawar daun yang disebabkan oleh jamur P. infestans (Yabuuchi, Kosaka, Yano, Hotta, dan Nishiuchi, 1995). Kerusakan oleh penyakit hawar daun dapat mengakibatkan penurunan hasil antara 10-100% (Suryaningsih, Chujoi, dan Kusmana, 1999). Di Belarusia pada pada tahun 1999 penyakit hawar daun P. infestans (Mont.) de Bery dapat menyerang daun-daun tanaman bagian atas (daun muda) pada awal periode pertumbuhan vegetatif tanaman dengan tingkat kerusakan daun mencapai 80-100% pada varietas yang berumur genjah, dan 70-80% pada varietas yang berumur sedang dan dalam (Anoshenko,1999). PENDAHULUAN Identifikasi penyebab suatu penyakit (etiologi) merupakan suatu langkah dalam studi penyakit dan sebagai titik awal untuk menentukan langkahlangkah selanjutnya. Jika terjadi epidemi penyakit baru pada suatu komoditas pertanian yang penting dan telah menimbulkan kerusakan yang cukup berarti atau diduga akan menimbulkan masalah yang besar, maka langkah pertama yang harus dilakukan ialah menentukan organisme penyebabnya. Menurut Sahat (1985) yang mempelajari sifat ketahanan terhadap penyakit hawar daun pada kentang komersial menyimpulkan bahwa sifat ketahanan dikontrol oleh tiga gen dominan. Ketahanan terhadap penyakit P. infestans (hawar daun) bersifat dominan dan dikendalikan oleh tiga pasang gen mayor dan tingkat ketahanan populasi hibridnya lebih besar jika dibandingkan dengan rata-rata tetuanya (Liao, Wang, Xang, Tang, Tan, dan Sun,1990). Karena sifat ketahanan seringkali terdapat pada spesies Solanum diploid, maka pembentukan varietas yang memiliki komposisi genetik yang unggul syarat mutlak bagi suatu budidaya tanaman terutama dalam program pemuliaan. Hasil penelitian Sengooba dan Hakiza (1999), menunjukkan bahwa kehilangan hasil dapat melebihi 90%, jika patogen yang menyerang kultivar yang rentan pada awal pertanaman. Penelitian yang dilakukan di Ethiopia, Kenya, Rwanda, Uganda, dan Burundi menunjukkan bahwa kehilangan hasil dapat mencapai 40-70%, dan besarnya kehilangan hasil sangat tergantung baik pada kerentanan varietas maupun pada kondisi lingkungan tempat tumbuh. Penyakit P. infestans (hawar daun) pada kentang sampai saat ini masih menjadi kendala dalam produksi kentang. Berbagai rekomendasi upaya pengendalian penyakit ini belum memberikan hasil yang optimal. Penggunaan tanaman tahan merupakan faktor yang sangat penting untuk mengendalikan penyakit tanaman. French (1994), menyatakan bahwa salah satu metode untuk Target mutu benih kentang adalah kesehatan benih (seed health) dan kebenaran varietasnya. Oleh karena itu persoalan pokok pada benih kentang adalah bagaimana agar benih kentang yang diproduksi itu sehat, bebas dari infeksi dan infestasi penyakit. Salah satu penyakit penting pada kentang 1) Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh 47 48 Jurnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 47-55 mengendalikan penyakit adalah penggunaan kultivar tahan. Perakitan kultivar unggul yang tahan terhadap penyakit dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain dengan melakukan hibridisasi atau persilangan antara semua tetua sehingga dapat diketahui potensi hasil suatu kombinasi hibrida, nilai heterosis, daya gabung (daya gabung umum dan khusus) dan dugaan besarnya ragam genetik dari suatu karakter. Benih kentang yang dipakai sekarang berupa organ vegetatif (umbi), sehingga sekalipun diperbanyak berkali-kali tidak akan terjadi perubahan secara genetis. Adapun kemerosotan (degenerasi) produksi yang terjadi pada setiap generasi benih kentang yang diperbanyak/ditanam secara terus menerus disebabkan oleh infestasi penyakit yang terakumulasi pada setiap generasi dan terus terbawa pada regenerasi benih. Penyakit yang dimaksud adalah jamur yang disebabkan P. infestans. Semakin panjang generasi benih maka semakin besar tingkat infestasi jamur pada generasi benih tersebut, sehingga produksinya semakin rendah. Oleh karena itu hanya benih yang sehat yang memiliki potensi produksi yang baik. Keadaan tersebut memberi peluang untuk merakit varietas yang berorientasi masa depan. Penerimaan varietas baru hanya akan terlaksana apabila varietas tersebut memiliki keunggulan yang signifikan dari varietas yang telah ada. Metode seleksi merupakan proses yang efektif untuk memperoleh sifat-sifat yang dianggap sangat penting dan tingkat keberhasilannya tinggi (Kasno, 1992). Untuk mencapai tujuan seleksi, harus diketahui antara karakter agronomi, komponen hasil, sehingga seleksi terhadap satu karakter atau lebih dapat dilakukan (Zein, 1995). Variasi genetik akan membantu dalam mengefesienkan kegiatan seleksi. Apabila variasi genetik dalam suatu populasi tinggi, ini menunjukkan individu dalam populasi beragam sehingga peluang untuk memperoleh genotip yang diharapkan akan baik (Bahar dan Zein, 1993). Sedangkan pendugaan nilai heritabilitas yang dari rata-rata induknya ini menunjukkan bahwa faktor pengaruh genetik lebih besar terhadap penampilan fenotip serta lingkungan, sehingga dapat diketahui sejauh mana sifat atau faktor lingkungan, sehingga dapat diketahui sejauh mana sifat tersebut dapat diturunkan pada generasi berikutnya. Korelasi dua atau lebih antara sifat positif yang dimiliki akan memudahkan seleksi karena akan diikuti oleh meningkatnya sifat yang satu ke sifat yang lainnya, sehingga dapat ditentukan satu sifat atau indek seleksi (Eckebil, Gardner, dan Maranville, 1977). Sebaliknya bila korelasi negatif, maka sulit untuk memperoleh sifat yang diharapkan, maka seleksi menjadi tidak efektif (Poespodarsono, 1988). Pada umumnya bila dua tanaman yang berlainan disilangkan, maka turunannya sering memperlihatkan gejala heterosis atau umumnya disebut vigor hibrida (hybrid vigour) (North, 1979 dalam Baihaki, 1989). Usaha pengendalian dengan menanam varietas tahan merupakan cara efektif, efesiensi dan aman bagi lingkungan (Hogenboom,1993). Morfologi Berbagai teknik telah digunakan oleh para peneliti untuk mengkaji keragaman ciri-ciri P. infestans, baik menggunakan teknik yang konvensional maupun teknik molekuler. Beberapa teknik molekuler yang telah digunakan di antaranya adalah analisis allozyme, uji kepekaan terhadap metalaxyl, dan analisis genomik DNA dari isolate P. infestans (Purwanti, 2002). P. infestans termasuk famili Pythiaceae , ordo Peronosporales, klas Oomycetes (Alexopoulos, Mims, dan Blackwell, 1996). Struktur vegetatif dari jamur sendiri terdiri dari hifa yang menyerupai benang-benang panjang. Hifa secara kolektif membentuk miselium dan panjangnya ada yang sampai beberapa meter. Hifa ada yang beruas dan tak beruas. Pada hifa yang beruas hifanya terbagi dengan sekat-sekat dan setiap ruas mengandung satu nucleus atau banyak nucleus. Pada tipe yang tak beruas terdiri dari hifa yang mempunyai banyak nucleus yang tidak dibatasi oleh sekat. Pada tipe ini dapat pula dijumpai dinding sekat terutama pada hifa yang tua. Jamur parasit mempunyai hifa yang ektofitik atau endofitik. Miselium yang ektofitik berada pada permukaan tanaman inang sedangkan miselium yang endofitik berada didalam jaringan tanaman inang dan dapat tumbuh secara interseluler (diantara sel) atau intraseluler (masuk kedalam sel). Hifa yang ektofitik dan interseluler membentuk haustorium ke dalarn sel untuk memperoleh zat makanan, bentuk haustorium dapat bulat atau seperti akar. Muhamad Yusuf1), Evaluasi Beberapa Nomor Aksesi Kentang Terhadap Ketahanan Penyakit Hawar Daun Ciri yang khas untuk mengenal sebagian besar Phycomycetes ialah miselliumnya yang tidak bersekat-sekat. Warna misellium putih, jika tua mungkin agak coklat kekuning kuningan, kebanyakan sporangium berwarna kehitam-hitaman (Dwidjoseputro, 2005). Gambar 1 adalah salah satu bentuk sporangia hyalin, yang berbentuk seperti jeruk nipis, mempunyai ukuran panjang 20-40 µm (Anonim, 2005). Fisiologi Pada umumnya, patogen berkembangbiak secara aseksual. Cara ini dilakukan tanpa penggabungan sel kelamin betina dan sel kelamin jantan, tetapi dengan pembentukan spora yaitu zoospora yang terdiri dari masa protoplasma yang mempunyai bulu-bulu halus yang bisa bergetar dan disebut cilia, tetapi dapat juga berkembangbiak secara seksual dengan oospora, yaitu penggabungan dari gamet betina besar dan pasif dengan gamet jantan kecil tapi aktif. 49 Daur hidup dimulai saat sporangium terbawa oleh angin. Jika jatuh pada setetes air pada tanaman yang rentan, sporangium akan mengeluarkan spora kembara (zoospora), yang seterusnya membentuk pembuluh kecambah yang mengadakan infeksi (Rumahlewang, 2008). Ini terjadi ketika berada dalam kondisi basah dan dingin yang disebut dengan perkecambahan tidak langsung. Spora ini akan berenang sampai menemukan tempat inangnya. Ketika keadaan lebih panas, P. infestans akan menginfeksi tanaman dengan perkecambahan langsung, yaitu germ tube yang terbentuk dari sporangium akan menembus jaringan inang yang akan membiarkan parasit tersebut untuk memperoleh nutrient dari tubuh inangnya, karena jamur ini bersifat heterotalik, artinya perkembangbiakan secara seksual atau pembentukan oospora hanya terjadi apabila terjadi mating (perkawinan silang) antara dua isolat P. infestans yang mempunyai mating type (tipe perkawinan) berbeda (Purwanti, 2002). Gambar 1. Morfologi Phytophthora infestans; a. Sporangiospora jamur b. Spora jamur c. Bentuk lain dari sporangiospora jamur P. infestans memproduksi spora aseksual yang disebut sporangia. Gambar 2. Daur hidup penyakit P. infestans (hawar daun). Jurnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 47-55 Inti sel antheridium dan oogonium akan saling melebur (karyogami) ketika antheridium memasuki oogonium. Mereka akan membentuk oospora diploid, yang mana akan berkembang menjadi sporangium dan daur hidup secara aseksual akan terulang (Benru, 2007). Berbagai macam kondisi untuk pembentukan oospora telah dianalisis. Di bawah suatu kontrol, oospora diproduksi pada daun kentang pada temperatur antara 5-250C (Govers, A. Drenth and E.M. Janssen, 2007). Mendekati dengan 100% kelembaban relatif, jamur P. infestans menghasilkan jumlah berlimpah sporangia pada permukaan daun (Anonim, 2005). BAHAN DAN METODE Bahan dan alat yang digunakan dilapangan meliputi : pupuk organik (kotoran ayam) dan pupuk anorganik NPK Mutiara (16:16:16), lanjaran, tali rafia, emrad (gembor), label, meteran, jangka sorong, timbangan serta peralatan tulis dan dokumentasi Metode eksperimen yang digunakan dalam penelitian menggunakan metode Rancangan Acak Kelompok (RAK), perlakuan terdiri dari 27 klon kentang hasil dari 3 persilangan kultivar tetua yang berbeda; (1) Tetua Putihâ x Thungâ (5 nomor klon generasi F2; PT1, PT2, PT3, PT4 dan PT5), (2) Tetua Arinsaâ x Putihâ (7 nomor klon generasi F2; AP1, AP2, AP3, AP4, AP6, AP7 dan AP8) dan (3) Tetua Red Hertaâ x Putihâ (15 nomor klon generasi F4; RP2, RP3, RP4, RP5, RP6, RP7, RP8, RP9, RP10, RP13, RP14, RP15, RP16, RP17 dan RP18), 2 tetua ( Putih dan Red Herta ) dan 3 varietas pembanding (Granola, Atlantik dan Jasper) diulang sebanyak dua kali. Luas masing-masing petak 50x1,50 m, jarak tanam 80x25 cm, jumlah keseluruhan ada 64 petak percobaan, dimana masing petak ditanam 5 tanaman jadi ada 320 tanaman yang diamati dalam percobaan ini. Suatu ketahanan genetik mempunyai nilai yang lebih berarti dalam mengendalikan penyakit tanaman, bila ketahanan genetik tersebut mampu memberikan perlindungan yang baik dan menyeluruh dari kemungkinan kerusakan yang diakibatkan oleh penyakit (Baswarsiati, 1994). Dari besarnya intensitas serangan pada pengamatan terakhir yang dikonversikan ketingkat ketahanan diketahui dari 27 nomor aksesi klon kentang hasil persilangan yang diuji, enam klon (22.22%) termasuk tahan yaitu; PT4, AP3, PT3, AP4, AP7, dan PT2 dengan intensitas serangan penyakit antara 9.70-18.33%, empat klon (14.81%) agak tahan yaitu klon; PT1, PT5, AP8 dan AP2 dengan intensitas serangan penyakit masing-masing 20.48-37.50%, 12 klon (44.44%) agak rentan yaitu; RP5, RP18, RP7, RP16, RP6, RP8, RP3, RP2, RP14, RP17, RP13, dan RP10 dengan intensitas serangan penyakit berkisar antara 45.00-59,12%, serta lima klon (18.52%) yang tergolong rentan yaitu; RP4, RP15, RP9, AP1 dan AP6 dengan intensitas serangan antara 68.18-100%. Berdasarkan analisis tabulasi silang hubungan klasifikasi ketahanan penyakit terhadap hasil umbi, berikut ini disajikan grafik hasil analisis tabulasi silang, klasifikasi tingkat ketahanan serangan P. infestan terhadap produksi (jumlah, bobot dan volume umbi). Jumlah Umbi Sedikit Sedang Banyak 6 5 Jumlah Klon 50 4 3 2 1 0 Rentan Agak Rentan Agak Tahan Tahan Klasifikasi Ketahanan PEMBAHASAN Ketahanan Terhadap (hawar daun) Penyakit P. infestans Ketahanan berkaitan dengan kemampuan tanaman untuk mencegah, menghambat atau memperlambat perkembangan penyakit (Bell, 1982). Gambar 3. Klasifikas tingkat serangan P. infestans terhadap jumlah umbi Hasil analisis tabulasi silang (Gambar 3) menunjukkan bahwa pada klasifikasi ketahanan kategori rentan terdapat dua klon yang mempunyai jumlah umbi kategori rendah yaitu klon Atlantik Muhamad Yusuf1), Evaluasi Beberapa Nomor Aksesi Kentang Terhadap Ketahanan Penyakit Hawar Daun 51 (1.85) dan AP1 (2.50), kemudian katergori sedang terdapat empat klon yaitu Jasper (4.25), Granola (6.5), RP15 (5.75) dan AP6 (6.50) disusul 3 klon yang mempunyai katergori tinggi yaitu Red Herta (6.85), RP4 (8.70) dan RP9 (9.00). (9.50) kemudian disusul berturut-turut klon RP6 (95.00), RP8 (42.50), RP14 (70.10), RP18 (112.50), RP16 (148.35), RP13 (115.50), RP3 (188.40), RP2 (136.60), RP5 (212.50), RP17 (229.35) dan RP10 (235.00). Untuk klasifikasi ketahanan kategori agak rentan terdapat empat klon yang mempunyai jumlah umbi kategori rendah yaitu RP7 (2.00), RP8 (2.00), RP6 (4.00) dan RP16 (4.10), sedangkan kategori sedang terdapat tiga klon yaitu RP18 (4.75), RP14 (4.80) dan RP13 (4.90), sedangkan untuk kategori tahan terdapat lima klon yaitu RP17 (6.85), RP5 (8.00), RP2 (8.30), RP3 (9.50), dan RP10 (24.15). Sedangkan untuk klasifikasi ketahanan kategori agak tahan terdapat lima klon yang mempunyai kategori rendah yaitu AP2 (6.65), PT1 (143.20), Putih (147,35), AP8 (225.50) dan PT5 (242.00), adapun untuk kasifikasi ketahanan kategori tahan namun dari bobot umbi terdapat dua klon yang dinyatakan kategori rendah, adapun klon yang mempunyai bobot umbi kategori rendah yaitu PT3 (41.40) dan PT2 (70.75). untuk bobot umbi pada klasifikasi ketahan kategori tahan terdapat empat klon yang mempunyai kategori tinggi yaitu AP3 (554.40) disusul PT4 (623.40), AP7 (639.70) dan AP4 (761.90). Sedangkan untuk klasifikasi ketahanan kategori agak tahan hanya terdapat lima klon yang mempunyai kategori tinggi yaitu AP2 (6.65), Putih (6.75), PT5 (10.00), PT1 (12.20) dan AP8 (13.15), begitu juga halnya dengan klasifikasi ketahanan kategori tahan terdapat enam klon yang mempunyai jumlah umbi kategori tinggi yaitu PT3 (6.85), PT2 (9.000), AP7 (18.00), AP3 (20.10), AP4 (21.05) dan PT4 (37.80) Volume Umbi Sedikit Sedang Banyak Jumlah Klon 8 6 4 2 0 Rentan Agak Rentan Agak Tahan Tahan Klasifikasi Ketahanan Gambar 5. Klasifikas tingkat serangan P. infestans terhadap volume umbi Gambar 4. Klasifikas tingkat serangan P. infestans terhadap bobot umbi Hasil analisis tabulasi silang (Gambar 4) menunjukkan bahwa pada klasifikasi ketahanan kategori rentan terdapat sembilan klon yang mempunyai bobot umbi kategori rendah yaitu klon Granola (13.00), kemudian disusul Atlantik (13.35), AP1 (15.00), Red Herta (24.00), Jasper (59.90), RP15 (83.35), AP6 (89.50), RP9 (151.00) dan RP4 (168.00). Kemudian untuk klasifikasi ketahanan kategori agak rentan terdapat 12 klon yang mempunyai bobot umbi kategori rendah yaitu RP Hasil analisis tabulasi silang (Gambar 5) menunjukkan bahwa pada klasifikasi ketahanan kategori rentan terdapat lima klon yang mempunyai volume umbi kategori rendah adapun klon yang dimaksud adalah AP1 (13.00) disusul Granola (15.00), Red Herta (19.65), Atlantik (22.00) dan Jasper (37.25), kemudian katergori sedang terdapat dua klon yaitu AP6 (50.00) dan AP15 (50.00), disusul dua klon yang mempunyai katergori tinggi yaitu RP9 (111.75) dan RP4 (121.80). Kemudian untuk klasifikasi ketahanan kategori agak rentan terdapat empat klon yang mempunyai volume umbi kategori sedang yaitu RP14 (75.00), RP8 (62.50), RP6 (73.75) dan RP18 (75.00), kemudian untuk kategori tinggi terdapat 52 Jurnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 47-55 delapan klon yaitu RP13 (83.15) disusul RP7 (92.50), RP2 (106.80), RP16 (121.15), RP3 (136.10), RP10 (146.50), RP5 (172.50) dan RP17 (191.65). Sedangkan untuk klasifikasi ketahanan kategori agak tahan terdapat satu klon yang mempunyai kategori volume umbi sedang yaitu, AP2 (48.75), sedangkan untuk kategori volume umbi tahan terdapat empat klon yaitu PT1 (105.90), Putih (113.55), AP8 (183.35) dan PT5 (191.25). Kemudian pada klasifikasi ketahanan kategori tahan terdapat dua klon yang mempunyai volume umbi kategori rendah yaitu PT3 (43.75) dan PT2 (43.75), sedangkan volume umbi kategori tinggi terdapat empat klon yaitu AP3 (477.40), PT4 (497.40), AP4 (762.40) dan AP7 (501.00). Hasil analisa koefisien korelasi (Tabel 10) karakter hubungan, baik jumlah umbi (r = -0.432**), bobot umbi (r = -0.485**) dan volume umbi (r = 0.496**) terhadap serangan penyakit mempunyai korelasi negatif, hal ini sangat mempengaruhi komponen produksi baik jumlah umbi, bobot umbi maupun volume umbi, dengan asumsi semakin besar tingkat serangan terhadap tanaman semakin kecil hasil yang akan diperoleh begitu juga sebaliknya. Perbedaan perubahan intensitas serangan P. infestans pada tiap klon kentang yang diuji disebabkan oleh faktor tanaman itu sendiri, yaitu ada atau tidaknya peranan gen yang mengontrol ketahanan terhadap P. infestans. Disamping itu suhu dan kelembaban maupun tanah juga mempengaruhi perkembangan dan intensitas serangan penyakit hawar daun yang disebabakan oleh P. infestans. Agrios, (1997) menyatakan perkembangan penyakit dipengaruhi oleh faktor tanaman dan faktor lingkungan. Dari berbagai peneliti membuktikan bahwa penyakit hawar daun yang menyerang tanaman kentang dapat menurunkan pertumbuhan dan komponen hasil kentang. Hasil penelitian membuktikan bahwa intensitas serangan P. infestans umumnya berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman. Beberapa mekanisme P. infestans menyebabkan penurunan dan penghambatan pertumbuhan tanaman antara lain yaitu dengan perubahan aktivitas hormon pertumbuhan tanaman, terganggunya proses fotosintesis yang dapat dimanfaatkan tanaman serta berkurangnya kemampuan tanaman dalam mengabsorbsi nutrisi (Agrios, 1996). Potensi Hasil Tanaman Berdasarkan analisis regresi hubungan antara intensitas serangan P. infestans terhadap produksi kentang, berikut ini disajikan hubungan intensitas serangan P. infestans (Gambar 13) terhadap jumlah umbi. Gambar 6. Hubungan antara intensitas serangan P. infestans dengan jumlah umbi Pada Gambar 6 terlihat bahwa hubungan intensitas serangan dengan jumlah umbi dengan model persamaan (Y = 16.19e-0.001x.) R-square yang diperoleh sebesar 0.305 menunjukkan bahwa variabilitas perubahan Y (jumlah umbi) dalam model persamaan tersebut 30.50% dapat dijelaskan oleh variabilitas perubahan X (intensitas serangan penyakit). Koefisien arah hubungan yang dihasilkan dari analisis adalah negatif. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi intensitas serangan P. infestans (hawar daun) semakin sedikit jumlah umbi yang dihasilkan. Sebaliknya semakin kecil intensitas serangan, maka semakin besar jumlah umbi yang dihasilkan. Dalam persamaan tersebut terlihat hubungan non linier, sehingga dapat dikatakan bahwa variabilitas penurunan adalah tidak konstan. Dalam model non linier berlaku law deminishing, yaitu pertambahan yang semakin menurun. Dalam model gambar 13 hubungan ke antar variabel adalah negative, sehingga dapat dikatakan bahwa penurunan yang semakin kecil. Kemampuan tanaman untuk membentuk umbi disesuaikan dengan kemampuan menyerap unsur hara dan ketersediaan unsur hara disekitarnya (Baswarsiati, et al., 2001), dengan adanya kecukupan proses fotosintesis serta adanya keseimbangan antara organ pengahasil dan pengguna maka fotosintat yang maksimum dapat Muhamad Yusuf1), Evaluasi Beberapa Nomor Aksesi Kentang Terhadap Ketahanan Penyakit Hawar Daun ditranslokasikan kebagian organ penyimpan (umbi) (Sitompul dan Guritno, 1995). Hubungan intensitas serangan P. infestans terhadap bobot umbi disajikan pada Gambar 14 Gambar 7. Hubungan antara intensitas serangan P.infestans dengan bobot umbi Pada Gambar 7 terlihat bahwa hubungan intensitas serangan dengan bobot umbi dengan model persamaan (Y = 328.0e-0.02x.) R-square yang diperoleh sebesar 0.231 menunjukkan bahwa variabilitas perubahan Y (bobot umbi) dalam model persamaan tersebut 23.10% dapat dijelaskan oleh variabilitas perubahan X (intensitas serangan penyakit). Koefisien arah hubungan yang dihasilkan dari analisis adalah negatif. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi intensitas serangan P. infestans (hawar daun) semakin sedikit bobot umbi yang dihasilkan. Sebaliknya semakin kecil intensitas serangan, maka semakin besar bobot umbi yang dihasilkan. Ini menunjukkan bahwa semakin tinggi intensitas serangan P. infestans (hawar daun) semakin sedikit atau kecil bobot umbi yang diperoleh sehingga peluang kegagalan untuk menghasilkan bobot umbi yang maksimal semakin besar. Sebaliknya semakin kecil intensitas serangan, maka semakin besar bobot umbi yang dihasilkan. Hal ini sebababkan akibat dari serangan P. infestans dapat menggangu proses fotosintesis, dan pada akhirnya akan menurunkan produksi umbi, dimana asimilat yang diperlukan untuk pembentukan dan pembesaran umbi terganggu dan berkurang. Agrios (1996) menyatakan akibat serangan hawar daun menyebabkan penurunan senyawa nitrogen dan zat pengatur tumbuh. Hubungan intensitas serangan P. infestans terhadap volume umbi disajikan pada Gambar 15. 53 Pada Gambar 8 terlihat bahwa hubungan intensitas serangan dengan volume umbi dengan model persamaan (Y = 273.2e-0.002x.) R-square yang diperoleh sebesar 0.283 menunjukkan bahwa variabilitas perubahan Y (volume umbi) dalam model persamaan tersebut 28.30% dapat dijelaskan oleh variabilitas perubahan X (intensitas serangan penyakit). Koefisien arah hubungan yang dihasilkan dari analisis adalah negatif. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi intensitas serangan P. infestans (hawar daun) semakin kecil volume umbi yang dihasilkan. Sebaliknya semakin kecil intensitas serangan, maka semakin besar volume umbi yang dihasilkan. Ini menunjukkan bahwa semakin tinggi intensitas serangan P. infestans (hawar daun) semakin sedikit atau kecil volume umbi yang diperoleh sehingga peluang kegagalan untuk menghasilkan bobot umbi yang maksimal semakin besar. Sebaliknya semakin kecil intensitas serangan, maka semakin besar volume umbi yang dihasilkan. Gambar 8. Hubungan antara intensitas serangan P.infestans dengan volume umbi Berdasarkan data produktivitas hasil intensitas serangan P. infestans berpengaruh nyata terhadap produktivitas klon kentang yang diuji. Hal ini diduga karena infeksi penyakit hawar daun mempengaruhi proses fotosintesis dan metabolisme yang berkaitan dengan pembentukan biomasa tanaman. Menurut Agrios (1996), menyatakan umumnya jamur menyebabkan penurunan fotosintesis melalui penurunan jumlah klorofil luas per daun, efesiensi klorofil dan pertumbuhan tanaman. Dengan adanya penghambatan proses fotosintesis diduga berakibatkan pada penghambatan pembentukan fotosintat. Disamping itu salah satu penyebab rendahnya produktivitas tanaman adalah kondisi ekosistem tanaman tersebut harus seimbang dan berkelanjutan sehingga tidak memacu berkembangnya hama dan penyakit tanaman (Sastrosiswojo, 2003). 54 Jurnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 47-55 KESIMPULAN 1. 2. Terdapat 6 (enam) klon yang dikatergorikan tahan yaitu, PT4 kemudian di ikuti AP3, PT3, AP4, AP7 dan PT2. Dari 27 klon-klon diuji yang mempunyai potensi hasil tinggi adalah klon AP4 (761.90 g), AP7 (639.70 g), PT4 (623.40 g) dan AP3 (554.40 g). DAFTAR PUSTAKA Agrios, G. N. (1997). Plant pathology. 3rd ed. Academic Press. San Diego. Agrios, G. N. (1996). Ilmu penyakit tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Anonim. (2005). Phytophthora infestans. Diakses dari .http://www.extento.hawaii.edu/kbase/crop/Typ e/p_infest.htm. Anoshenko, B. Yu. (1999). The late blight situation in Belarusia. In Late Blight a Threat to Global Food Initiative on Late Blight Conference March 16-19,1999 Quito, Equador. Bahar, M., & A. Zein. (1993). Parameter genetik pertumbuhan tanaman, hasil dan komponen hasil jagung, Zuriat 4 (1):4-7. Baihaki, A. (1989). Fenomena heterosis. Disampaikan pada Latihan Pemuliaan Tanaman dan Hibrida, bagi Staf Litbang Deptan, di Fakultas Pertanian UNPAD, Jatinangor 30 Agustus - 4 September. Baswarsiati. (1994). Penilaian Stomata dan Bulu Daun Sebagai Penciri Ketahanan Beberapa Klon Tanaman terhadap Anggur Plasmopora viticola. Zuriati 5 (I): 29-35. Baswarsiati, T., Purbianti, E., Korlina, L., Moenir.., & R.D. Indriani. (2001). Uji adaptasi calon varietas unggul bawang merah. Press. Seminar hasil penelitian dan pengkajian tehnologi pertanian mendukung ketahanan pangan berwawasan agribisnis. Bell, A. A. (1982). Plant pest interaction with environmental stress and breeding for pest resistance : Plant Diseases In: Chistiansen, M.N. & C.F. Lewis (eds.) Breeding Plant for Less Favorable Environments, John Wiley & Sons, New York. Benru, J. (2007). Phytophthora infestans. Diakses dari http://bioweb.uwlax.edu. Eckebil, J. P., W. M. Ross, C. O. Gardner., & J. W. Maranville, (1977). Heritability estimates genetic correlations, and predicted gains from S1 progeny test in three grain sorghum Random-mating Populations. Crop Sci. 17:373377. French, E. R. (1994). Strategies for integrated control of bacterial wilt of potatoes. pp. 199 208. In: A. C. Hayward and G. L. Hartman (Eds.). 1994. Bacterial Wilt: The Disease and Its Causative Agent, P. solanacearum. CAB, International, Wallingford. Govers F, Drenth A., & E.M. Janssen, (2007). Formation and survival of oospores of Phytophthora infestans under natural conditions. Diakses dari http://www3.interscience.wiley.com. Hogenboom, N. G. (1993). Economic infortance of breeding for diseases resistance, p. 5-9. In T. Jacobs and J. E. Parlevliet (Eds.) Duratibility of Diseases Resistance. Kluwer Academic Publisher, Boston. Kasno, A. (1992). Pemuliaan tanaman kacangkacangan. Hal 39-68 Dalam: Astanto Kasno, Marsum Dahlan, dan Hasanuddin (ed). Prosiding Simposium Pemuliaan Tanaman I. PERIPI. Komda Jawa Timur. Liao, B.S., Y.J. Wang., X.M. Xang., G.Y. Tang., Y.J. Tan., & D.R. Sun. (1990). Genetic and breeding aspects of resistance to bacterial wilt. pp. 39 - 43. In: K.J. Middleton and A.C. Hayward (Eds.). Groundnut Proceedings of an ACIAR/ICRISAT Collaborative Research Planning Meeting. Genting Highlands, Malaysia 18-19 March 1990. ACIAR Proceedings No.18, Canberra, Australia. Poespodarsono, S. (1988). Dasar-dasar ilmu pemuliaan tanaman. PAU-IPB Bekerjasama dengan Lembaga Sumberdaya Informasi IPB. Bogor. Muhamad Yusuf1), Evaluasi Beberapa Nomor Aksesi Kentang Terhadap Ketahanan Penyakit Hawar Daun Purwanti. (2002). Penyakit hawar daun (Phytophthora infestans (mont.) De bary) pada kentang dan tomat : identifikasi permasalahan di Indonesia. Diakses dari http://www.indobiogen.or.id/terbitan/agrobio/ab strak/agrobio_vol5_no2_20267-72.php. Rumahlewang., & Wilhelmina. (2008). Penyakit penting tanaman sayuran. Diakses dari http://kliniktanaman.blogspot.com Sahat, S. (1985). Heritability of resistance to bacterial wilt in the tetraploid potato. pp. 218228. Asia Potato Association, First Conference, Nagasaki, Japan 15-17 October 1985. Sastrosiswojo, S. (2003). Perbaikan komponen teknologi PHT pada tanaman kentang. Jurnal Penelitian Hortikultura. Sengooba, T., & J.J. Hakiza. (1999). The current status of late blight caused by Phytophthora infestans in Africa with empasis on Eastern and Southern Africa. In Late Blight a Threat to Global Food Initiative on Late Blight Conference, March 16-19, 1999. Quito Equador. 55 Sitompul, S.M., & Guritno, B. (1995). Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Suryaningsih, E., E. Chujoi., & Kusmana. (1999). Identification of potato cultivars resistance to late blight through a Standard International Field Trial (SIFT) in Indonesia. In Potato Research in Indonesia. Research Result in a Series of Working Papers, 1999. Collaborative Research between The RIV and CIP. Yabuuchi, E., Y. Kosaka, I. Yano, H. Hotta., & Y. Nishiuchi. (1995). Transfer of two Burkholderia and an alcaligenes species to Ralstonia gen: proposal of R. pickettii (Ralston, Palleroni and Doudoroff, 1973) comb. nov., R. Solanacearum (Smith, 1896) comb. nov. and R. Eutropha (Davis, 1969) comb. nov. J. Microbiol. and Immunol. 39 (11):897-904. Zein, S. (1995). Heritabilitas, korelasi genotipik dan fenotipik karakter padi gogo. Zuriat 6 (1):25-31. SISTEM INTENSIFIKASI TANAMAN PADI SRI MELALUI PEMANFAATAN MIKROORGANISME LOKAL DALAM PEMBUATAN KOMPOS DAPAT MENINGKATKAN POPULASI MIKROBA TANAH (STUDI KASUS DI DESA SIDODADI KABUPATEN DELI SERDANG) SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION BY A LOCAL MIKROORGANISME USAGE IN PRODUCING THE COMPOST FERTILIZER CAN IMPROVE LAND MICROBIA POPULATION (CASE STUDY AT DESA SIDODADI KABUPATEN DELI SERDANG) Eka Maida 1) Abstract System of Rice Intensification (SRI) by a Local Microorganisme Usage (MOL) in Producing the Compost Fertilizer (Case Study at Desa Sidodadi Kabupaten Deli Serdang) is expected to maintain the fertile of land, improve land microbia population and to preserve the environment at once capable to maintain or improve land productivity. The agriculture system with SRI is applied by using organic material such as fruif waste whis is fermented to produced MOL used as decomposer in composing proges. This reseach studied microbia population where an organik agricaltural system (SRI) has been applied. The reseach was comparedl of mikroba population soil also whith how effect SRI aplication between chemical fertilizer for the managemental in Sidodadi village.Using compost MOL at SRI improved microbia population soil by the result of soil analysis either chemically and biologically the uses of MOL compost is far better compared for environmental the uses of an-organic fertilizer. The SRI pattern practiced at Desa Sidodadi was an agricultural work environmentally friendly using organic fertilizer as source of nutrients improve physical, chemical and biological properties of soil as well in increasing production yield. Keyword : System of Rice Intensification (SRI), Local Microorganisme population. (MOL), land microbia mempengaruhi perkembangan mikroorganisme dalam tanah. Mikroorganisme tersebut tidak dapat menguraikan bahan organik di dalam tanah. Akibatnya sisa-sisa pupuk yang tidak terserap oleh akar tanaman terakumulasi dalam tanah dan mempengaruhi kondisi tanah, tanah menjadi keras, menggumpal, dan pH menurun. Produktivitas tanah sebagai daya dukung terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman di atasnya dapat menurun. Apabila kondisi seperti ini tidak diatasi maka terjadi levelling off, yaitu kondisi dimana pertambahan input tidak lagi mampu meningkatkan produksi tanaman (Djamhari, 1993). PENDAHULUAN Upaya peningkatan produksi padi dengan pengelolaan yang intensif melalui pemberian pupuk kimia adakalanya tidak meningkatkan produksi seperti yang diharapkan, dan bahkan dapat mengalami penurunan produksi. Gejala ini disebabkan oleh degradasi kesuburan tanah akibat praktek pemupukan yang hanya bertumpu pada pemberian pupuk anorganik (kimia) dengan jenis dan dosis yang tidak rasional. Degradasi kesuburan tanah dicirikan oleh rendahnya kandungan bahan organik dan unsur hara dalam tanah, pada kondisi semacam ini sifat fisik, kimia dan biologi tanah menjadi kurang baik (Syekhfani, 2000). Peningkatan pemakaian pupuk buatan dan pestisida terkadang menimbulkan masalah bagi lingkungan. Seiring dengan berkembangnya kesadaran tentang pertanian berkelanjutan, makin disadari pentingnya pemanfaatan bahan organik dalam pengelolaan hara di dalam tanah. Penggunaan bahan organik di dalam tanah diyakini dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Engersta, 1991 dalam Hadanyani 2003). Dampak dari pemakaian pupuk kimia dan pestisida secara terus menerus tidak kelihatan dalam waktu yang singkat, namun akan terlihat dalam kurun waktu yang relatif lama. Kejadian ini dapat dilihat pada akhir tahun 80-an dimana produktivitas lahan mulai menurun akibat gencarnya pemakaian pupuk anorganik pada program Insus yang tanpa disertai pupuk organik. Pupuk anorganik dapat memberikan dampak negatif bila diaplikasi secara terus menerus. Pupuk anorganik dapat Lebih lanjut Sutanto (2002) dalam Ruskandi, (2006) menjelaskan bahwa pertanian organik dapat 1) Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh 56 Eka Maida 1), Sistem Intensifikasi Tanaman Padi Sri Melalui Pemanfaatan Mikroorganisme Lokal dalam Permbuatan Kompos didefinisikan sebagai suatu sistem produksi pertanaman yang berazaskan daur ulang hara secara hayati. Berdasarkan definisi tersebut pertanian organik merupakan pertanian ramah lingkungan yang bersifat hukum pengembalian (low of return) yang berarti suatu sistem yang berusaha untuk mengembalikan semua jenis bahan organik ke dalam tanah, baik dalam bentuk residu dan limbah pertanian maupun ternak yang selanjutnya bertujuan untuk memenuhi unsur hara pada tanah yang mampu memperbaiki status kesuburan tanah terutama struktur tanah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pertanian organik banyak memberikan keuntungan ditinjau dari aspek peningkatan kesuburan tanah serta aspek lingkungan dalam mempertahankan keseimbangan ekosistem. Sistem pertanian organik dapat diterapkan dengan salah satu cara yaitu melalui sistem intensifikasi tanaman padi atau yang lebih dikenal dengan System of Rice Intensification (SRI) Sistem Intensifikasi tanaman padi (SRI) telah terbukti sukses diterapkan di sejumlah negara terutama di Madagaskar. Sistem ini merupakan salah satu sistem pertanian organik yaitu budidaya tanaman padi yang intensif dan efisien dengan proses manajemen berbasis pada pengelolaam tanah, air dan tanaman. Pada SRI ini petani diarahkan untuk memberikan masukan pada usaha taninya dengan menggunakan potensi alam. Mikroorganisme yang tersedia di alam dapat digunakan sebagai dekomposer dalam proses pengomposan limbah organik dan kotoran binatang. Mikroorganisme ini diharap dapat berfungsi secara optimal dalam tanah sehingga kesuburan tanah dapat meningkat (Berkelaar, 2002). Limbah organik seperti sisa-sisa tanaman dan kotoran ternak tidak bisa langsung diberikan ke tanaman. Limbah organik harus dihancurkan/dikomposkan terlebih dahulu oleh mikroba tanah menjadi unsur hara yang dapat diserap oleh tanaman. Proses pengomposan alami ini memakan waktu yang sangat lama, antara enam bulan hingga setahun, sampai bahan organik tersebut benar-benar dapat digunakan tanaman. Proses pengomposan dapat dipercepat dengan menggunakan mikroba dekomposer yang berkemampuan tinggi. Penggunaan mikroba dapat mempersingkat proses dekomposisi dari beberapa bulan menjadi beberapa minggu saja (Isroi, 2004). Petani desa Sidodadi Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara yang 57 dijadikan sebagai objek penelitian pada awalnya melakukan kegiatan pertanian sama seperti petani lain yaitu menggantungkan pertaniannya pada penggunaan pupuk kimia yang dapat mempercepat masa panen dan hasil yang berlipat. Namun lambat laun hasil panen tidak lagi surplus bahkan untuk memenuhi kebutuhan warga Sidodadi mereka kerap mengambil dari daerah lain. Petani di desa Sidodadi mulai berpikir bagaimana kembali meningkatkan hasil produksi dan kalau mungkin mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia dan air secara berlebihan. Muncul inisiatif untuk menggantikan pupuk kimia dengan pupuk organik melalui pola tanam SRI. Pupuk yang digunakan dalam SRI di Desa Sidodadi adalah pupuk kompos yang berasal dari bahan organik seperti kotoran hewan, limbah organik, jerami yang proses dekomposisinya dipercepat dengan menggunakan Mikroorganisme Lokal (MOL). Pemupukan dengan pupuk organik MOL dimanfaatkan agar mikroorganisme dalam tanah dapat berperan dengan lebih baik sehingga mampu menguraikan dan menyediakan nutrisi bagi tanaman, menghasilkan humus sebagai media unsurunsur hara sebelum dimanfaatkan oleh akar tanaman (Darmawan, 2006). Mikroorganisme lokal yang digunakan untuk mempercepat proses pengomposan limbah organik di desa Sidodadi dibiakkan melalui proses fermentasi antara air beras dengan limbah buahbuahan seperti pisang, nenas, jeruk dan pepaya busuk. Hasil biakan MOL digunakan dalam proses pembuatan kompos untuk mempercepat proses dekomposisi limbah organik yang akan diaplikasikan ke lahan pertanian yang menggunakaan pola tanam SRI. Jadi sasaran dari program SRI ini adalah untuk meningkatkan hasil pertanian dengan lahan yang terbatas, menghasilkan produk yang sehat bagi produsen dan konsumen, serta menjaga kelestarian lingkungan METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Dusun Yogya Sidodadi, Kecamatan Beringin, Kabupaten Deli Serdang pada bulan Februari 2007 sampai dengan Juni 2007. Contoh tanah diambil pada areal tanah pertanian yang mengunakan pola SRI dengan memanfaatkan pupuk kompos MOL (PO) sebagai dekomposer pupuk organik dan tanah pertanian mengunakan pupuk kimia (PK). Tanah diupayakan 58 Jurnal Agrium, Volume 10 Nomor 2 September 2013, hal 56-60 dalam keadaan lembab untuk keperluan analisis mikrooganisme di laboratorium. Contoh tanah diambil pada kedalaman 0 – 20 cm dengan jarak 500 – 1000 m dari beberapa tempat pada lahan yang sama untuk mengetahui populasi mikroorganisme di dalam tanah. Tanah dicampur secara homogen setelah diaduk rata kemudian diambil 500 gr (Syarifuddin, 2002). Contoh tanah uji dianalisis dengan dua kali ulangan di Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Matematika Ilmu Pengatahuan Alam, Universitas Sumatera Utara. Populasi dari masing-masing kelompok mikroba yaitu mikroba tanah pertanian yang mengunakan pola SRI dengan memanfaatkan pupuk kompos MOL (PO) sebagai dekomposer pupuk organik dan tanah pertanian mengunakan pupuk HASIL DAN PEMBAHASAN Populasi Mikrobia Tanah Pada pemberian kompos MOL (PO) jumlah populasi mikroba tanah jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian pupuk anorganik (PK) baik populasi bakteri maupun jamur. Jumlah populasi mikrobia tanah dapat dilihat pada Gambar I sebagai berikut: Dari Gambar 1 menunjukkan bahwa jumlah populasi bakteri dan jamur lebih tinggi pada perlakuan SO(pupuk organik) dibandingkan dengan perlakuan PK(pupuk kimia) pada setiap jenis media yang digunakan. Jumlah populasi mikroba baik kimia (PK) dapat dihitung berdasarkan rumus: Analisis data dilakukan dengan Uji-T yaitu dengan membandingkan rata-rata parameter pengamatan terhadap masing-masing jumlah populasi mikroba tanah. Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis secara statistik dengan menggunakan model sebagai berikut : bakteri maupun jamur menunjukkan populasi mikroba tertinggi terdapat pada bahan organik yang menggunakan kompos MOL sebagai dekomposer dibandingkan dengan penggunaan pupuk kimia. Menurut Muniapan (1998) dalam Kastono (2005) menyatakan pemberian bahan organik ke dalam tanah dapat merangsang aktivitas enzim tanah dan mikroba, aktivitas enzim total tanah tergantung pada enzim ekstraseluler dan jumlah enzim dalam sel mikroba yang mati dan hidup. Kompos banyak mengandung mikroorganisme (fungi, aktinomicetes, bakteri dan algae) yang berfungsi untuk proses dekomposisi lanjut terhadap bahan organik tanah. Eka Maida 1), Sistem Intensifikasi Tanaman Padi Sri Melalui Pemanfaatan Mikroorganisme Lokal dalam Permbuatan Kompos Penambahan kompos ke dalam tanah, tidak hanya jutaan mikroorganisme yang ditambahkan ke dalam tanah, tetapi mikroorganisme yang ada di dalam tanah juga terpacu untuk berkembang biak. Selain itu aktivitas mikroorganisme di dalam tanah juga menghasilkan hormon-hormon pertumbuhan seperti auksin, giberellin dan sitokinin yang dapat memacu pertumbuhan dan perkembangan akar-akar rambut sehingga daerah pencarian unsur-unsur hara semakin luas. 59 Adiningsih, J. (2000). Peranan bahan organik tanah dalam sistem usaha tani konservasi. Laporan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Jakarta. Admin. (2003). Yeast makhluk di balik minuman keras. Artikel. Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama. Jakarta. Alexander, M. (1977). Intruduction to Soil Microbiology. John Wiley and Sons. New York. BAPEDALDA JATIM. (2007). Kompos, alternatif problem sampah. Diakses dari http://bapedal-jatim.info/indek.php Bekti, E., & Surdianto,Y. (2001). Pupuk kompos untuk meningkatkan produksi padi sawah. Laporan Seri: Tanaman pangan/PAATP 005: 113/546. Gambar 1. Populasi Mikroba Tanah. KESIMPULAN dan SARAN 1. Pemberian kompos MOL dapat meningkatkan populasi mikroba tanah dan hasil analisis tanah baik secara kimia dan biologi pengunaan kompos MOL jauh lebih baik dibandingkan dengan penggunaan pupuk anorganik. 2. Pemanfaatan kompos MOL dari limbah buahbuahan dan sisa hasil pertanian dapat menekan terjadinya pencemaran lingkungan. DAFTAR PUSTAKA Anonim. (2006). Sistem informasi agribisnis. Kabupaten Deli Serdang 1-13. Diakses dari http://www.deptan.go.id/sipoa/sumut/deliser dang/index.htm Anonim. (2002). Proyek farmers field school. Ecological Agriculture at The Enviromental Educatioan Centre PPLH Celoliman, East Java. Indonesia. 1-2. Diakses dari www.peneco.ch Berkelaar, D. (2002). Sistem intensifikasi padi (the system of rice intensification - sri) : sedikit dapat memberi lebih banyak. Buletin ECHO Development Notes, January 2001. Issue 70, Halaman 1-6. Diterjemahkan oleh Indro Surono, ELSPPAT, Bogor. Buckman, H.O., & Brady, N. C. (1982). Ilmu tanah. Terjemahan Soegiman. Bharata Karya Aksara, Jakarta. Burelle, N. K., Kloepper, J., & Reddy, M. (2005). Population dynamics of plant growthpromoting rhizobacteria as transplant amendments and their effects on indigenous rhizosphere microorganisms. Applied Soil Ecology 31(l):91-100. Chae, Y. M., & Tabatabai, M. A. (1986). Mineralization of nitrogen in soil amended with organic waste. Jurnal Environment Quality. 15(2):1993 1998. Dafni, M. T. (2001). Pengaruh pembalikan orgadec dan nitrogen terhadap laju pengomposan sampah organik serta kualitas kompos yang terbentuk dalam rangka perbaikan kebersihan lingkungan. Tesis. Program 60 Jurnal Agrium, Volume 10 Nomor 2 September 2013, hal 56-60 Pascasarjana Universitas Utara. Medan. Sumatera Dalzell, H. W., Biddles-tone, A. J., Gray, K. R., & K. Thuraijan. (1991). Pengelolaan tanah : produksi dan penggunaan kompos pada lingkungan tropis dan sub tropis di dalam limbah padat di Indonesia. Masalah atau Sumber Daya. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. 19(4):152172. Darmawan. (2006). Metode SRI (System of Rice Intensification). Buletin Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia. Jakarta. Darmijati, S. (1987). Tanggap Empat varietas tanaman terhadap bahan organik. Pemberitaan Penelitian Sukaramai No. 10. Deptan. Djamhari. (2006). Pertemuan koordinasi dan sinkronisasi PLA TA. 2006. Rakorsin 12 s/d 14 Pebruari 2006, Surabaya. Diakses dari http:llwww.deptan.go.id/pla/buletin/. (1993). Pemasyarakatan teknologi budidaya pertanian qrganik di Desa Sembalun Lawang Nusa Tenggara Barat. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia. 5(1):5. Erwiyono, R. (1994). Pengaruh pemberian pupuk kandang dan aerasi terhadap mutu kompos limbah organik pabrik kertas. Jurnal Mikrobiologi Indonesia. 11(2): 2-3 Foth, D. H. (1993). Dasar-dasar ilmu tanah. Gajah Mada University Press. Jogjakarta. Galileo. (2007). Pengaruh limbah tomat dan EM-4 terhadap percepatan pengomposan sampah organik. Diakses dari http: //www. blogspot. com/tag/enlpercepatan. Hadi, S. P. (2003). Aspek sosial AMDAL. Sejarah, Teor, Jenis dan Metode. UGM Press, Yogyakarta. Hakim, N. (1986). Dasar-dasar ilmu tanah. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Handayani, R. S., Khusrizal., & Maisyura. (2006). Pertumbuhan dan hasil tanaman padi (Oriza sativa. L) yang diberi mikoriza pada sistem budidaya SRI (the system of rice intensification). Laporan Akhir Research Grant Pengalian Unggulan Daerah BRR NAD-NIAS Tahun Anggaran 2006. Handayani. (2003). Sifat kimia entisol pada sistem pertanian organik. Ilmu Pertanian. 10 (2): 63 – 69 Handayanto, E. (1998). Pengelolaan Kesuburan Tanah Secara Biologis Untuk Menuju Sistem Pertanian Sustainabel. Jurnal Penelitian Habitat. 10:104-105 Harjowigeno. (1996). Ilmu tanah. Pertanian Bogor. Bogor. Institut Isroi. (1994). Peranan mikrobiologi tanah dalam meningkatkan ketersediaan hara. Kyusei Nature Farming Societies. Vol: OS/IKNFS/II. Jakarta. Isroi. (2007). Bioteknologi mikroba untuk pertanian organik, balai penelitian bioteknologi perkebunan indonesia. Laporan Penelitian. Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. EFEKTIFITAS DOSIS MINYAK PALA UNTUK PEMINGSANAN IKAN NILA (Oreochromis niloticus) SELAMA TRANSPORTASI DOZE EFFECTIVITY OF PALA OIL FOR TILAPIA (Oreochromis niloticus) FAINTING WHILE TRANSPORTATION Munawwar Khalil 1), Yuskarina 2), Prama Hartami 1) Abstract This research was done on 08th – 10th August, 2011 at Countryside of Alue Keurinyai Banda Baro District, North Aceh Sub-province, Aceh Province. The aim of this research was to know doze effectivity of pala oil for tilapia (oreochromis niloticus) fainting while transportation. This research used non factorial completely randomized treatment with three replications on each treatments that using 0,8; 0,9; 1 and 1,1 ppm doze. The test observed in this research was the speed of fainting fish, insensible recovery, and survival rate on each treatments. Result showed us that the fourth experiment was the speedest faint, while the first experiment was the speedest insensible recovery. While in survival rate, the first experiment was showed the best result, where the percentage value reachs 58,33%. Based on statistical analyze showed that f count > f table in 99.99 % level of trust for all tested observe. Keywords: Fish Fainting, Oreochromis niloticus, Pala Oil. Ditinjau dari aspek komersial, teknik pemingsanan dengan menggunakan es batu kurang menguntungkan. Selain es batu, pengusaha juga menggunakan kontrol elektrik sederhana, penggunaan teknik ini masih ditemui masalah ketidakstabilan kondisi ikan dan waktu pingsan yang singkat. PENDAHULUAN Latar Belakang. Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan spesies yang berasal dari kawasan Sungai Nil dan danau-danau sekitarnya di Afrika. Bentuk tubuh memanjang, pipih kesamping dan warna putih kehitaman. Jenis ini merupakan ikan konsumsi air tawar yang banyak dibudidayakan setelah ikan mas (Cyprinus carpio) dan telah dibudidayakan lebih dari 85 negara. Saat ini, ikan ini telah tersebar ke negara beriklim tropis dan subtropis, sedangkan pada wilayah beriklim dingin tidak dapat hidup dengan baik. Nila disukai oleh kalangan masyarakat karena mudah dipelihara, dapat dikonsumsi oleh segala lapisan masyarakat serta rasa daging yang enak dan tebal. Tekstur daging ikan nila memiliki ciri tidak ada duri kecil dalam dagingnya. Apabila dipelihara di tambak akan lebih kenyal, dan rasanya lebih gurih, serta tidak berbau lumpur. Selain beberapa teknik pemingsanan dengan menggunakan es juga terdapat teknik pemingsanan dengan menggunakan minyak cengkeh dan pala. Berbagai penelitian mengenai kandungan minyak dalam buah pala sudah dilakukan di berbagai negara, salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Science and Technology Authority. Menurut para peneliti tersebut, kulit dan daging dari buah pala banyak mengandung minyak atsiri dan zat samak. Bagian fuli atau bunga pala juga mengandung zat yang hampir sama, yaitu atsiri, zat samak, dan zat pati, yang berkhasiat untuk mendorong keluarnya gas dalam usus, sekaligus dapat menenangkan saraf yang tegang, sebab fuli mengandung zat sedatif (penenang) sehingga dapat memingsankan ikan. Harga ikan hidup empat kali lipat lebih tinggi dibanding dengan ikan mati, sehingga perlu diperhatikan beberapa teknik transportasi agar ikan tetap hidup di tangan konsumen. Dari penelitian terdahulu telah diperolah informasi bahwa transportasi ikan dalam bentuk hidup dapat dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan pembius (anestesi) baik alami maupun buatan (Berka, 1986, dan Basyarie, 1990). Selama ini, pengusaha perikanan menggunakan teknik pemingsanan es batu, sayangnya teknik es batu tidak praktis dan tingkat kematian ikan sangat tinggi. 1) 2) Kandungan berbagai zat dalam minyak yang dihasilkan oleh buah pala berguna untuk meredakan stres. Minyak pala merupakan salah satu jenis dari minyak atsiri yaitu Myristicin yang termasuk jenis alkohol seperti eugenol, yang juga terdapat dalam minyak cengkeh sehingga dapat membuat ikan lemas dan bergerak pelan dan akhirnya pingsan. Dari beberapa kajian tentang kandungan minyak pala, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh Alumni Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh 61 62 Jurnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 61-68 keefektifan minyak pala tersebut dalam hal memingsankan ikan. Sehingga dapat berkontribusi dalam menemukan bahan yang paling efektif dan efisien dalam memingsankan ikan untuk mengatasi masalah transportasi ikan budidaya terutama ikan nila. Tujuan dan Manfaat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian minyak pala dengan dosis yang berbeda terhadap pemingsanan ikan nila (Oreochromis niloticus) selama transportasi. Penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh para petani dan pihak balai perikanan tentang teknik pemingsanan yang baik dan dengan dosis yang tepat. METODELOGI Prosedur Penelitian. (1). Persiapan Wadah Penelitian. Wadah yang digunakan dalam penelitian ini adalah toples transparan yang berjumlah 12 buah berkapasitas 10 liter. Sebelum digunakan wadah dibersihkan terlebih dahulu dengan menggunakan air hangat, kemudian diisi air sebanyak 6 liter air. Selanjutnya dilakukan penambahan minyak pala sesuai dengan perlakuan yang sudah ditentukan pada wadah yang telah dipersiapkan. (2). Ikan Uji. Ikan uji diambil dari Gampong Bluka Teubai dalam keadaan hidup, sehat dan normal, dalam arti tidak dalam keadaan cacat, dengan ukuran siap panen atau + 150 gram/ ekor. Jumlah ikan per wadah adalah 4 ekor dengan jumlah total 48 ekor. Waktu Dan Tempat. (3). Aklimatisasi. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 08 sampai 10 Agustus 2011 bertempat di Gampong Alue Keurinyai Kecamatan Banda Baro Kabupaten Aceh Utara. Sebelum digunakan untuk penelitian, maka ikan nila diadaptasikan dahulu terhadap kondisi lingkungan penelitian. Proses adaptasi ini dilakukan selama 2 hari. Wadah untuk aklimatisasi, pemeliharaan dan pembiusan menggunakan toples transparan, aerator, dan diisi dengan air tawar dengan volume 30 liter/wadah. Alat dan Bahan. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah 12 buah toples transparan dengan kapasitas 10 liter, 12 kotak Styrofoam ukuran 50 x 30 x 30 cm dengan ketebalan 2,5 cm, kain lap, aerator, selang, stop watch, ember plastik, spuit (jarum suntik), dan pipet. Bahan yang digunakan adalah ikan nila, air tawar sebagai media, es, dan minyak pala. Metode Penelitian. Metode penelitian ini dilakukan dengan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) non faktorial dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan yang digunakan mengacu pada hasil penelitian pendahuluan dengan dosis terbaik 0,75 ppm, dengan perlakuan sebagai berikut: Perlakuan A : Perlakuan B : Perlakuan C : Perlakuan D : minyak 0,8 ppm. minyak 0,9 ppm. minyak 1 ppm. minyak 1,1 ppm. pala dengan dosis pala dengan dosis pala dengan dosis pala dengan dosis (4). Perlakuan Pada Ikan. Sebelum ikan nila dimasukkan ke dalam wadah yang telah diberikan air dan minyak pala, terlebih dahulu air dan minyak pala diaduk selama 2 menit dengan menggunakan aerasi. Setelah minyak pala dan air teraduk rata, ikan nila segera dimasukkan ke dalam wadah toples secara satu persatu sebanyak empat ekor ke setiap wadah yang telah diberikan minyak pala dengan dosis yang berbeda, kemudian respon ikan tersebut diamati. (5). Pengemasan Sebelum Transportasi. Persiapan wadah untuk proses pengemasan sebelum transportasi adalah kotak styrofoam diisi dengan es dengan perbandingan 2:1 (2 kg ikan dan 1 kg es) di ukur suhunya dan dilapisi dengan kain lap. Setelah persiapan wadah untuk transportasi selesai, ikan yang telah dipingsankan dimasukkan ke dalam kotak styrofoam, lalu disusun, dan ditutup, kemudian ikan siap ditransportasikan selama 3 jam. Munawwar Khalil1), Yuskarina2), Prama Hartami1), Efektifitas Dosis Minyak Pala untuk Pemingsanan Ikan Nila selama Transportasi Parameter Yang Diamati. (1). Tingkah Laku Ikan. Parameter tingkah laku diamati secara visual setelah ikan uji dan minyak pala dimasukkan ke dalam wadah yang sama, setelah itu diamati tingkah lakunya sampai pingsan. (2). Lama Waktu Untuk Pingsan. Parameter ini diamati sejak ikan dimasukkan dalam wadah yang telah terisi minyak pala sampai ikan tersebut pingsan. K I J ∑ ij 63 : Pengaruh minyak pala ke- j : 1,2,3, (Ulangan) : 1,2,3, (Penambahan minyak pala) : Pengaruh galat perlakuan minyak pala ke-K pada ulangan ke- i Data hasil Penelitian dianalisis dengan analysis of variance (anova) apabila menunjukkan F hitung > F tabel, maka selanjutnya dilakukan uji lanjut dengan menggunakan Uji BNT. HASIL DAN PEMBAHASAN. (3). Lama Waktu Pingsan. Tingkah Laku Ikan. Parameter ini diamati sejak ikan tersebut menjelang pingsan, kemudian ikan ditansportasikan selama 3 jam, kemudian dihitung waktu saat ikan disadarkan kembali dengan menggunakan aerator dan air tawar yang segar tanpa minyak pala. Hasil penelitian pada perlakuan A menunjukkan bahwa reaksi ikan setelah dimasukkan ke dalam wadah yang sudah terisi minyak pala, ikan terlihat berenang aktif, dalam jangka waktu yang cukup lama yaitu pada menit ke 2’:14” ikan terlihat sedikit panik, lalu terlihat stres pada menit ke 4’:16” namun terkadang ikan terlihat diam dan tidak berenang. Berenangnya mulai miring pada menit ke 8’:45”, tapi masih mampu bertahan, dan dalam jangka waktu 12’:09” kemudian ikan roboh. Posisi ikan tegak lemah dan gerakan anggota badan seperti insang dan sirip masih jelas walaupun lemah dan jarang, serta masih responsif terhadap rangsangan fisik dari luar meskipun sudah lemah. Setelah itu ikan langsung terlihat tidak ada respon pada menit ke 19’:03”, ikan tersebut jatuh ke dasar wadah dan akhirnya pingsan, tapi gerakan insang dan sirip masih terlihat pada menit ke 26’:10”. (4). Lama Waktu Sadar. Parameter ini diamati sejak ikan nila tersebut pingsan, kemudian disadarkan kembali setelah transportasi dengan menggunakan aerator dan air tawar yang segar tanpa minyak pala. (5). Survival Rate (SR). SR atau tingkat kelangsungan hidup dihitung dengan menggunakan rumus (Effendie, 1979) yaitu: SR=(Nt/No) x 100% ................. (1) Keterangan: SR : Kelangsungan Hidup (%) Nt : Jumlah ikan yang hidup pada akhir penelitian (ekor) No : Jumlah ikan yang hidup pada awal penelitian (ekor) Analisis Data. Model rancangan yang digunakan menurut Gomez dan Gomez (1995), adalah sebagai berikut: Yij = µ + Ui + Kj + ∑ ij .......... (2) Keterangan : Yi : Hasil pengamatan pengaruh penambahan minyak pala ke-K pada ulangan ke-i. µ : Pengaruh nilai tengah U : Pengaruh ulangan ke- i Pada perlakuan B tidak jauh berbeda dengan perlakuan A, saat ikan dimasukkan ke dalam wadah yang sudah terisi minyak pala ikan terlihat berenang aktif, setelah menit ke 1’:45” ikan terlihat diam. Lalu pada menit ke 2’:13” ikan terlihat sedikit panik, dan pada menit ke 3’:13” ikan tersebut sudah mulai stres, berenang miring pada menit ke 8’:26” tetapi masih mampu bertahan. Kemudian mulai roboh pada menit ke 12’:07” posisi ikan tegak lemah dan gerakan anggota badan seperti insang dan sirip masih jelas walaupun lemah dan sesekali bergerak serta masih responsif terhadap rangsangan fisik dari luar. Setelah itu ikan pingsan pada menit ke 25’:13” ikan tersebut jatuh ke dasar wadah, tapi gerakan insang dan sirip masih terlihat. Pada perlakuan C juga tidak jauh berbeda dengan perlakuan B, saat ikan dimasukkan ke dalam wadah yang sudah terisi minyak pala ikan pada 64 Jurnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 61-68 menit ke 1’:04” ikan terlihat diam. Lalu pada menit ke 1’:24” ikan terlihat sedikit panik, dan pada menit ke 2’:32” ikan tersebut sudah mulai stres, berenang miring pada menit ke 5’:34” dan kemudian mulai roboh pada menit ke 10’:43”. Setelah itu ikan pingsan pada menit ke 21’:10” ikan tersebut jatuh ke bawah dasar wadah dan pingsan, tapi gerakan insang dan sirip masih terlihat. Pada perlakuan D menunjukkan bahwa reaksi ikan setelah dimasukkan ke dalam wadah yang sudah terisi minyak pala, pada menit ke 1’:12” awalnya panik, lalu terlihat stres pada menit ke 2’:32” dan berenang miring pada menit ke 4’:30”. Kemudian mulai roboh pada menit ke 11’:09”, pada menit ke 12’:05” ikan tidak ada respon lagi. Setelah ikan pingsan, ikan tersebut jatuh ke dasar wadah, tapi gerakan insang dan sirip masih terlihat pada menit ke 13’:08”. Hal ini sesuai dengan pendapat Karnila (2001), yaitu kondisi ikan terbius roboh serta tidak ada respon. Menurut Ningsih (2010) tingkah laku ikan sebelum pingsan antara lain panik, stres, berenang miring, dan kemudian pingsan, hal ini sesuai dengan perlakuan yang penulis lakukan. Tabel 1. Lama waktu untuk pingsan ikan nila (Oreochromis niloticus). Lama waktu untuk pingsan Perlakuan (menit) RataUlangan Ulangan Ulangan rata I II III A 26,12 26,09 26,10 26,10 B 25,16 25,16 25,15 25,15 C 21,12 21,13 21,12 21,12 D 13,07 13,09 13,07 13,07 Sumber: Data Penelitian, 2011. Keterangan: A: Minyak pala dengan dosis 0,8 ppm, B: Minyak pala dengan dosis 0,9 ppm, C: Minyak pala dengan dosis 1 ppm, D: Minyak pala dengan dosis 1,1 ppm. Lama Waktu Untuk Pingsan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian minyak pala dengan dosis yang berbeda berpengaruh terhadap waktu pingsan ikan nila. Dari hasil pengamatan ternyata ikan yang paling cepat pingsan adalah pada perlakuan D dengan dosis 1,1 ppm menunjukkan lama waktu untuk pingsan adalah pada menit 13’:07”, sedangkan lama waktu untuk pingsan pada perlakuan lain berturut-turut adalah C menit ke 21’:12” B menit ke 25’:15”, dan A menit ke 26’:10”. Untuk selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa perlakuan D dengan dosis 1,1 ppm merupakan perlakuan yang paling cepat pingsan, sedangkan selanjutnya disusul dengan perlakuan C: minyak pala dengan dosis 1 ppm, B: minyak pala dengan dosis 0,9 ppm, A: minyak pala dengan dosis 0,8 ppm. Berdasarkan data lama waktu untuk pingsan selama penelitian pada Tabel 1 dapat diketahui bahwa lama waktu untuk pingsan pada perlakuan D dengan dosis 1,1 ppm yang paling cepat pingsan bila dibandingkan dengan perlakuan A, B, dan C. Uji analisa statistik menunjukkan bahwa lama waktu untuk pingsan dengan dosis minyak pala yang berbeda adalah berbeda sangat nyata, F (hitung) > F (tabel 0,01). Dengan menggunakan uji BNT (Beda Nyata Terkecil) didapatkan bahwa perlakuan D berbeda sangat nyata dengan perlakuan C, perlakuan C berbeda sangat nyata dengan perlakuan B, dan perlakuan B berbeda sangat nyata dengan perlakuan A. Diduga semakin tinggi dosis minyak pala maka semakin cepat ikan nila tersebut pingsan, dikarenakan dalam minyak pala mengandung eugenol yang juga terdapat dalam minyak cengkeh sehingga membuat ikan lemas dan akhirnya pingsan tetapi kandungan eugenol dalam minyak pala sangat rendah yaitu sekitar 4-8 % bila dibandingkan dengan kandungan eugenol dalam minyak cengkeh yang mencapai 90%. Hal ini sesuai dengan pendapat Afrianto dan Liviawati (1992), yaitu minyak cengkeh mengandung zat eugenol yang dapat membuat ikan lemas dan bergerak pelan dan akhirnya pingsan. Hasil penelitian yang penulis lakukan hampir sama dengan hasil penelitian Wahyuni (2009) semakin tinggi dosis, waktu pingsan semakin cepat, tentang pengaruh minyak cengkeh terhadap lama waktu sebelum pingsan ikan bandeng yang paling cepat adalah pada perlakuan A dengan dosis 1 ml/5 liter air yang membutuhkan waktu selama 58,33 detik. Dari hasil penelitian Ningsih (2010) tentang pengaruh minyak cengkeh terhadap lama waktu menjelang pingsan ikan mas yang paling cepat pingsan adalah pada perlakuan A dengan dosis 1,3 ml/7 liter air yang membutuhkan waktu selama 58,48 detik. Munawwar Khalil1), Yuskarina2), Prama Hartami1), Efektifitas Dosis Minyak Pala untuk Pemingsanan Ikan Nila selama Transportasi Lama Waktu Pingsan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian minyak pala dengan dosis yang berbeda berpengaruh terhadap lama waktu pingsan ikan nila. Pada perlakuan D dengan dosis 1,1 ppm merupakan lama waktu pingsan yang paling lama yaitu selama 253’:09", kemudian disusul pada perlakuan lain seperti pada perlakuan C selama 230’:30”, perlakuan B selama 211’:07”, dan perlakuan A selama 204’:06”. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Lama waktu pingsan ikan nila (Oreochromis niloticus). Lama waktu pingsan (menit) Perlakuan Ulangan Ulangan Ulangan Ratarata I II III A 204,55 204,40 204,45 204,46 B 211,10 211,07 211,05 211,07 C 230,29 230,33 230,30 230,30 D 253,06 253,08 253,13 253,09 Sumber: Data Penelitian, 2011. Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa perlakuan D dengan dosis 1,1 ppm merupakan perlakuan yang paling lama waktu pingsan, sedangkan selanjutnya disusul dengan perlakuan C: Minyak pala dengan dosis 1 ppm, B: Minyak pala dengan dosis 0,9 ppm, dan perlakuan A: Minyak pala dengan dosis 0,8 ppm. Berdasarkan hasil pengamatan, dapat dijelaskan bahwa pada perlakuan D merupakan waktu yang paling lama ikan pingsan yaitu selama 253’:09”, kemudian disusul pada perlakuan C 230’:30”, perlakuan B selama 211’:07”, dan perlakuan A merupakan perlakuan yang paling singkat lama waktu pingsan diantara perlakuan yang lain yaitu selama 204’:46”. Uji analisis menunjukkan bahwa lama waktu menjelang pingsan dengan dosis minyak pala yang berbeda adalah berbeda sangat nyata, F (hitung) > F (tabel 0,01). Dengan menggunakan uji BNT (Beda Nyata Terkecil) didapatkan bahwa perlakuan D berbeda sangat nyata dengan perlakuan C, perlakuan C berbeda sangat nyata dengan perlakuan B, dan perlakuan B berbeda sangat nyata dengan perlakuan A. Hasil penelitian penulis hampir mirip dengan hasil penelitian Ningsih (2010) tentang semakin tinggi dosis yang diberikan maka semakin lama waktu pingsan ikan tersebut, pengaruh minyak 65 cengkeh terhadap lama waktu pingsan ikan mas yaitu perlakuan yang paling lama pingsan adalah pada perlakuan A dengan 1,3 ml/7 liter air yang membutuhkan waktu selama 18060,28 detik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu pemingsanan yang paling lama diperoleh pada penggunaan minyak cengkeh 15 mg/ liter air yaitu selama 79’:40”. Selanjutnya menjadi lebih cepat berturut-turut untuk konsentrasi 30 mg/liter air yaitu selama 26’:55”, 45 mg/liter air yaitu selama 10’:30” dan untuk 60 mg/l yaitu selama 8’:00”. Lama Waktu Sadar. Pada saat ikan nila dimasukkan ke dalam air untuk dilakukan penyadaran kembali ikan tersebut masih dalam keadaan pingsan, tetapi gerakan insang, sirip dan pangkal ekor sudah terlihat. Setelah beberapa saat kemudian, dan ikan tersebut sadar, bergerak pelan dan berenang perlahan, dan dalam jangka waktu tertentu ada ikan yang berenang aktif (normal kembali), dan ada juga beberapa ikan yang mati karena tidak mampu bertahan terhadap perlakuan dengan dosis minyak pala pada semua perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian minyak pala dengan dosis yang berbeda berpengaruh terhadap waktu sadar ikan nila, pada perlakuan D dengan dosis 1,1 ppm merupakan lama waktu sadar yang paling lama yaitu pada menit ke 60’:06”. Kemudian disusul dengan perlakuan C: 45’:30” B: 30’:12”, dan perlakuan A selama: 24’:46”. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Lama waktu sadar ikan nila (Oreochromis niloticus). Lama waktu sadar (menit) Perlakuan Ulangan Ulangan Ulangan Ratarata I II III A 24,55 24,40 24,45 24,46 B 30,15 30,12 30,10 30,12 C 45,29 45,33 45,30 45,30 D 60,03 60,05 60,10 60,06 Sumber: Data Penelitian, 2011. Berdasarkan data lama waktu sadar pada Tabel 3, dapat dijelaskan bahwa lama waktu sadar yang paling lama terdapat pada perlakuan D dengan dosis 1,1 ppm yaitu pada menit ke 60’:06’’ dibandingkan dengan perlakuan C, B, A masingmasing dengan lama waktu secara berturut-turut 66 Jurnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 61-68 45’:30”; 30’:12’’ dan 24’:46”. Uji analisis statistik menunjukkan bahwa lama waktu menjelang pingsan dengan dosis minyak pala yang berbeda adalah berbeda sangat nyata, F (hitung) > F (tabel 0,01). Dengan menggunakan uji BNT (Beda Nyata Terkecil) didapatkan bahwa perlakuan D berbeda sangat nyata dengan perlakuan C, perlakuan C berbeda sangat nyata dengan perlakuan B, dan perlakuan B berbeda sangat nyata dengan perlakuan A. Dari hasil penelitian ternyata semakin tinggi dosis minyak pala yang diberikan maka semakin lama ikan nila tersebut sadar, dikarenakan dalam minyak pala mengandung zat eugenol yang juga terkandung dalam minyak cengkeh. Pada perlakuan A saat pembongkaran setelah transportasi selama 3 jam untuk proses penyadaran, pada saat dimasukkan ke dalam air segar yang ditambahkan aerasi. Ikan masih dalam keadaan roboh dan jatuh ke dasar wadah dan terlihat diam tanpa ada pergerakan sedikit pun, seolah-olah ikan mati yang masih segar. Ikan yang tenang dan tidak bergerak tersebut merupakan ikan yang mati karena tubuhnya keras dan kaku pada saat pembiusan yang menyebabkan ikan tersebut menjadi mati, serta ditambah lagi akibat kelebihan dosis minyak pala yang tinggi sehingga mengakibatkan ikan tidak mampu bertahan (Berka,1986). Sedangkan penggunaan dosis minyak pala yang rendah lama waktu pingsan sangat singkat bila dibandingkan dengan pembiusan menggunakan minyak cengkeh, dikarenakan kandungan zat eugenol dan methyleugenol yang terkandung dalam minyak pala sangat rendah yaitu sekitar 4-8 % (Drazat, 2007). Hal ini hampir mirip dengan hasil penelitian Wahyuni (2009) tentang pengaruh minyak cengkeh terhadap lama waktu sadar ikan mas yang paling lama pingsan adalah pada perlakuan A dengan 1 ml/5 liter air yang membutuhkan waktu selama 435 detik, hal ini berbeda dengan perlakuan yang penulis lakukan. Waktu pemulihan yang paling lama diperoleh dari perlakuan konsentrasi minyak cengkeh 45 mg/l yaitu 7’: 35” dan 60 mg/l yaitu 8’:09”, sedangkan waktu tercepat diperoleh pada konsentrasi 15 mg/l 1’:72” dan 30 mg/l 2’:68”. Pada perlakuan A ikan yang masih hidup mulai menunjukkan tanda-tanda kesadarannya, seperti adanya pergerakan pada insang, sirip dan pangkal ekor walaupun hanya sedikit, dan perlahan mulai menunjukkan pergerakan tubuhnya dan mulai berenang perlahan-lahan, dan lalu aktif kembali. Pada perlakuan B, C, dan D pada saat pembongkaran setelah transportasi selama 3 jam untuk proses penyadaran, pada saat dimasukkan ke dalam air segar yang ditambahkan aerasi, ikan masih dalam keadaan roboh dan jatuh ke dasar wadah dan terlihat diam tanpa ada pergerakan sedikitpun, seolah-olah ikan mati yang masih segar. Secara visual tubuh ikan terlihat keras dan kaku sehingga menyebabkan banyak ikan yang mati. Kelangsungan Hidup. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup ikan nila adalah berbeda sangat nyata, F (hitung) > F (tabel 0,01), rata-rata tingkat kelangsungan hidup untuk semua perlakuan sangat rendah yaitu sekitar 29,16 %. Perlakuan A dengan tingkat kelangsungan hidupnya 58,33 %, sedangkan perlakuan B adalah 33,33 %, perlakuan C adalah 16,66 %, dan perlakuan D adalah 8,33 %. Hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini. Tabel 4. Kelangsungan hidup ikan nila (Oreochromis niloticus). Kelangsungan Hidup (%) RataPerlakuan Ulangan Ulangan Ulangan rata (%) I II III A 75 50 50 58,33 B 25 50 25 33,33 C 25 0 25 16,16 D 0 25 0 8,33 Sumber: Data Penelitian, 2011. Berdasarkan Tabel 4, menunjukkan banwa tingkat kelangsungan hidup tertinggi pada perlakuan A yaitu 58,33 %, dan terendah pada perlakuan D yaitu 8,33 %. Hal ini dikerenakan dosis minyak pala yang diberikan terlalu tinggi yaitu 1,1 ppm. Dari hasil penelitian tersebut dapat dijelaskan bahwa kelangsungan hidup ikan nila pada perlakuan A lebih tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan B, C, dan D. Pada perlakuan B, C, dan D bila dilihat dengan rendahnya SR, diduga dengan pemberian minyak pala yang banyak bisa mengakibatkan kematian. Minyak pala sebagai bahan penyedap pada produk makanan dianjurkan memakai dosis sekitar 0,08%, karena dalam dosis yang lebih tinggi dapat menyebabkan keracunan. Minyak ini memiliki kemampuan lain, yaitu dapat mematikan serangga (insektisidal), anti jamur (fungisidal), dan anti bakteri. Berdasarkan uraian hasil penelitian efektifitas dosis minyak pala untuk pemingsanan ikan nila (Oreochromis niloticus) selama transportasi diduga tidak efektif untuk pemingsanan ikan dikarenakan Munawwar Khalil1), Yuskarina2), Prama Hartami1), Efektifitas Dosis Minyak Pala untuk Pemingsanan Ikan Nila selama Transportasi kelangsungan hidup untuk semua perlakuan sangat rendah yaitu sekitar 29,16 %. Dosis tinggi akan menyebabkan banyak ikan yang mati sedangkan dosis rendah membutuhkan waktu yang sangat lama pada saat pembiusan menjelang pingsan, dan lama waktu pingsan sangat singkat bila dibandingkan dengan pembiusan menggunakan minyak cengkeh, dikarenakan kandungan zat eugenol dan methyleugenol yang terkandung dalam minyak pala sangat rendah yaitu sekitar 4-8 % (Drazat, 2007). Hasil penelitian penulis sangat berbeda dengan hasil penelitian Ningsih (2010) tentang pengaruh minyak cengkeh terhadap kelangsungan hidup ikan mas (Cyprinus carpio) yang tertinggi terdapat pada perlakuan B dengan 1 ml/7 liter air dengan nilai 100%, C dengan 0,7 ml/7 liter air dengan nilai 100%, B dengan 0,4 ml/7 liter air dengan nilai 100%. Selanjutnya untuk tingkat kelangsungan hidup (%) ikan nila juga berpengaruh pada banyak sedikitnya aktifitas fisik pada saat dilakukan pembiusan. Ikan akan mengeluarkan lendir pada saat selama pengangkutan, karena pada saat pembiusan banyak ikan yang mengalami stres dan ikan menjadi menggelepar dengan banyaknya melakukan aktifitas fisik. Oleh sebab itu banyak menghabiskan energi, maka pada saat pengangkutan ikan akan mengeluarkan lendir. Dapat dibuktikan pada saat pembongkaran dan pada saat dilakukan penyadaran ikan terasa licin dan berlendir. Adapun fungsi lendir untuk mencegah gesekan badan dengan air atau es, mempercepat gerakan saat penyadaran, mencegah keluar masuk air melalui kulit, mencegah infeksi, menutup luka, dan mencegah kekeringan. KESIMPULAN DAN SARAN. Kesimpulan. Hasil Penelitian menunjukkan yang paling cepat pingsan adalah perlakuan D dengan dosis 1,1 ppm menunjukkan lama waktu untuk pingsan adalah pada menit 13’:08”, perlakuan C dengan dosis 1 ppm menunjukkan lama waktu untuk pingsan adalah pada menit 21’:10”, perlakuan B dengan dosis 0,9 ppm menunjukkan lama waktu untuk pingsan adalah pada menit 25’:13”, perlakuan A dengan dosis 0,8 ppm menunjukkan lama waktu untuk pingsan adalah pada menit 26’:10”. Lama waktu pingsan yang paling cepat yaitu pada perlakuan A dengan dosis 0,8 ppm 67 air selama 204’:46” menit, perlakuan B dengan dosis 0,9 ppm air selama 210’:12”, menit, perlakuan C dengan dosis 1 ppm selama 225’:30” menit, perlakuan D dengan dosis 1,1 ppm selama 240’:06” menit. Lama waktu sadar yang paling cepat yaitu pada perlakuan A dengan dosis 0,8 ppm pada menit ke 24’:47”, perlakuan B dengan dosis 0,9 ppm pada menit ke 30’:20”, perlakuan C dengan dosis 1 ppm air pada menit ke 45’:51”, perlakuan D dengan dosis 1,1 ppm pada menit ke 60’:06”. Perlakuan A dengan tingkat kelangsungan hidupnya 58,33 %, sedangkan perlakuan B adalah 33,33 %, perlakuan C adalah 16,66 %, dan perlakuan D adalah 8,33 %. Berdasarkan uraian hasil penelitian efektifitas dosis minyak pala untuk pemingsanan ikan nila (Oreochromis niloticus) selama transportasi dapat disimpulkan bahwa minyak pala di berbagai dosis tidak efektif untuk pemingsanan ikan dikarenakan kelangsungan hidup rata-rata untuk semua perlakuan sangat rendah yaitu sekitar 29,16 %. Dosis tinggi akan menyebabkan banyak ikan yang mati sedangkan dosis rendah membutuhkan waktu yang sangat lama pada saat pembiusan menjelang pingsan, dan lama waktu pingsan sangat singkat bila dibandingkan dengan pembiusan menggunakan minyak cengkeh. Saran. Perlu dilakukan penelitian tentang efektifitas dosis minyak atsiri yang lain untuk pemingsanan ikan agar didapat kelangsungan hidup yang tinggi. DAFTAR PUSTAKA. Afrianto, E., & E. Liviawati. (1992). Pengendalian hama dan penyakit ikan. Kanisius. Yogyakarta. Basyarie, A. (1990). Transportasi ikan hidup. Training Penangkapan. Aklimatisasi dan Transportasi Ikan Hias Laut. Jakarta 4-18 Desember 1990. Berka, R. (1986). The transport of live fish. EIFAC Teach. Pap., FAO, (48) : 48-52. Drazat. (2007). Meraup laba dari pala. Agromedia Pustaka. Jakarta. Effendie. (1979). Metode biologi perikanan. Dwi Sri. Bogor. 68 Jurnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 61-68 Gomez, A. A., & Gomez, K. A. (1995). Prosedur statistik untuk penelitian pertanian. Universitas Indonesia. Jakarta. Karnila. (2001). Pengaruh suhu dan waktu pembiusan bertahap terhadap ketahanan hidup ikan jambal siam (Pangasius sutchi F) dalam transportasi sistem kering. Natur Jurnal Indonesia. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Riau. Ningsih, T. (2010). Kajian penggunaan minyak cengkeh (Syzygium aromatikum) dengan dosis yang berbeda terhadap waktu pingsan ikan mas (Cripinus carpio) selama transportasi dalam media serbuk gergaji. Skripsi. Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Malikussaleh. Wahyuni, (2009). Pengaruh konsentrasi minyak cengkeh yang berbeda terhadap waktu pingsan ikan bandeng (Chanos chanos). Skripsi. Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian. Universitas Malikussaleh. THE EFFECT OF ENVIRONMENTAL CONDITION ON THE SPAWNING PERIOD OF BLOOD COCKLE Anadara granosa (Bivalvia: Arcidae) IN LHOKSEUMAWE, THE NORTHERN STRAITS OF MALACCA PENGARUH LINGKUNGAN TERHADAP PERIODE PEMIJAHAN KERANG DARAH Anadara granosa (Bivalvia: Arcidae) DI LHOKSEUMAWE, BAGIAN UTARA SELAT MALAKA Munawar Khalil1) Abstract Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis perubahan dalam perkembangan gonad kerang Anadara granosa di Lhokseumawe, bagian utara Selat Malaka dalam hubungannya dengan fluktuasi kualitas air harian. Untuk menentukan periode pemijahan populasi kerang, dilakukan analisis indeks kondisi (condition index/CI). Sampel kerang dikumpulkan dari Juli 2009 sampai Mei 2010 dan parameter kualitas air turut diukur secara berkala. Indeks kondisi tertinggi dari populasi kerang diamati pada Oktober 2009 (13.97±3.49), sedangkan indek kondisi terendah ditemukan pada Januari 2010 (6.76±1.13). Periode pemijahan untuk A. granosa diketahui terjadi terus-menerus sepanjang tahun, dengan puncak pemijahan terjadi pada bulan Oktober 2009 sehingga Januari 2010. Suhu air dan salinitas harian di lokasi penelitian berkisar antara 24-34 oC dan 27-33 ppt. Periode pemijahan populasi A. granosa diketahui bertepatan dengan terjadinya fluktuasi secara drastis pada suhu air dan salinitas harian. Analisis kualitatif menunjukkan bahwa suhu dan salinitas adalah modulator utama peristiwa reproduksi. Ketika suhu dan salinitas berfluktuasi, aktifitas pemijahan secara sporadis terdeteksi pada spesies ini. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa periode pemijahan yang diikuti oleh proses rekrutmen dalam populasi kerang A. granosa Lhokseumawe sangat tergantung pada kondisi lingkungan kawasan tersebut.. Katakunci: Anadara granosa, parameter kualitas air, modulator, periode pemijahan, indeks kondisi, bagian utara Selat Malaka. biological parameters, which had affected the population of A. granosa in Northern Straits of Malacca. Regardless of the geographical area and bivalve species, population growth and reproduction in intertidal species are grossly regulated by similar environmental factors particularly temperature, salinity and food availability (Bayne 1985, MacDonald & Thompson 1985, Baqueiro-Cardenas & Aldana-Aranda 2000, Freites et al., 2010). Environmental conditions are considered exogenous factors related to gametogenesis in bivalve in their natural habitat. INTRODUCTION The northern Straits of Malacca is an important nursery area for many intertidal organisms, and a feeding area for migrating species. Anadara granosa is one of the 7500 of bivalve species in the family Arcidae, often called “blood arks” or “blood cockles”. Their common name refers to the hemoglobin and hemocyanin pigments in their blood and tissue cells, giving their blood dark red colors. The species is indigenous to the intertidal mudflats bordering the coastal regions of many South East Asian countries particularly Indonesia, Malaysia and Thailand. In these countries, the cockles are mainly distributed in mangrove forest, mud vegetation or mixed areas. Intertidal species A. granosa was predicted as a keystone species at mangrove in several areas in Northern Straits of Malacca. This species also has been one of the most important fisheries commodities in South East Asia for many years (Broom, 1985). This study evaluated the changes in the environment conditions affecting the intertidal population of cockle A. granosa on the spawning period which correlated to recruitment process and determine temporal changes in the gross condition of animals. This information can help propose managing protocols of this species for ecological of intertidal habitat. A number of studies have been carried out on the ecological alteration of genus Anadara from different habitats in previous studies (Kastoro, 1978; Broom, 1985; Suwanjarat and Parnrong, 1990; Mzighani, 2005; Aviati, 2007), but no data was available on the effect of physical, chemical and 1) MATERIALS AND METHOD Collection of Samples A total of 30 samples of adult A. granosa (size range: 38–71 mm) were collected monthly from Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh 69 70 Jurnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 69-76 July 2009 until May 2010 from the natural grounds in Lhokseumawe (Figure 1) at the East coast of Sumatera Indonesia (050 9' 38.1"N, 950 08‘ 32.3“E). The sampling area was characterized by muddy area, relatively no wave action and mangrove area was found sheltered and exhibit high in salinity. After collecting, the specimens were stored in isotherm containers and immediately transported to the laboratory. The samples were fully removed from bio fouling and other adherences. Measurement of Environmental Parameters and Collection of Water Samples The environmental parameters were recorded in situ and ex situ. Water temperature, salinity, pH, turbidity, and dissolved oxygen were recorded in situ while minimum and maximum water temperature and salinity were recorded daily. Water temperatures were collected at sampling areas daily at the bottom of sea beds during the sampling period. Temperature was measured with a handheld maximum minimum thermometer, and salinity was measured with a hand refractometer. The salinity of the seawater was collected daily at the bottom of sea bed depth. Hydrogen Ion Concentration (pH) was measured using portable pH meter periodically during the sampling period. The turbidity consisted of organic and inorganic matters held in suspension by turbulence in seawater. The turbidity was measured using a turbidity meter Model HACH Turbidimeter 2100 AN, while the Dissolved Oxygen was measured using Dissolved Oxygen Meter model YSI 52. Chemical parameters such as nitrate, nitrite, ammonia, and orthophosphate were measured using spectrophotometry. The biological parameter such as phytoplankton density was monitored to determine food ability at the cockle habitat. Figure 1. Sampling area of Anadara granosa from Lhokseumawe, the Northern Straits of Malacca. Munawar Khalil1), The Effect Of Environmental Condition On The Spawning Period Of Blood Cockle Anadara granosa 71 Figure 2. Variation in maximum-minimum temperature and salinity measurement at Lhokseumawe, from June 2009 to May 2010. Condition Index (CI) The condition index can determine the ecophysiological factors which affect the physiologic changes of the carbohydrate, glycogen and protein fractions under environment influences. In another term, CI is a reflection of the reproductive biology of bivalves. When the gonad mess increases during maturation, the CI will also increase, condition index will decrease progressively after spawning had occurred (Angell, 1986). Water displacement method was used to determine the condition index. A total of 30 specimens were analyzed monthly. Each specimen was measured on the: dry flesh weight, wet weight of shell in grams (g) and internal cavity volume (ml). Flesh was dried at 1050C for 72 hours to a constant weight. These data were used to calculate the condition index using the formula described by Scott & Lawrence (1982): RESULTS Water Quality Parameters During the study period, the variation in the daily temperature recorded did not show any significance differences. The highest temperature recorded was 34 0C and the lowest was 24 0C. There was a drastic fluctuation in temperature in middle of 72 Jurnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 69-76 June 2009 until early October 2009, thereafter remaining stable through March 2010 (Figure 2). Salinity is important in determining the distribution of bivalves and able to influence the physiological rates of bivalve including reproductive process (Dame, 1996). Salinity fluctuation between 27-33ppt, with highest fluctuated observed in October 2009 until end November 2009. The lowest salinities were recorded during the month of October to December 2009 during the highest intensity of rain. Figure 3. Variations in environmental parameters at Lhokseumawe, including pH, turbidity, dissolved oxygen, phytoplankton density and, nitrate, nitrite, ammonia and orthophosphate, from June 2009 to May 2010 Munawar Khalil1), The Effect Of Environmental Condition On The Spawning Period Of Blood Cockle Anadara granosa The variation of pH, turbidity, dissolved oxygen, phytoplankton density and other chemical compounds at Lhokseumawe from June 2009 to May 2010 were shown in Figure 3. The mean value of pH recorded during the study period was 8.04±0.13 with the lowest value recorded in May 2010 (pH=7.84), and the highest in January 2010 (pH=8.21). The mean turbidity recorded during the study period was 49.07±27.22 NTU, with a range between 15.18 NTU and 103 NTU. The lowest turbidity was recorded in November 2009, while the lowest was in December 2010. The mean value of dissolved oxygen recorded during the study period was 6.22 ±0.28 mg/L. The lowest dissolved oxygen was recorded in May 2010 with value of 5.98 mg/L, while the highest value of dissolved oxygen recorded in February 2010 with value of 6.97 mg/L. Phytoplankton density showed a high variability throughout the year. The mean values of phytoplankton density recorded during the study period was 2181.67 cells/L. Phytoplankton density with values more than 3000 cells/L occurred in October 2009 and December 2009, with a peak in December (4001.67 ±20.43 cells/L). Minimum values occurred in August 2009 (711.67 ± 5.77 cells/L). 73 sampling area was 0.21±0.28 mg/L. The highest peak of nitrate was recorded in April 2010 with the value of 0.715 mg/L, while the lowest peak was in December 2009 with value of 0.002 mg/L. The range between the lowest and the highest values for nitrate was 0.713 mg/L. The mean value of nitrite during the study period was 0.11±0.16 mg/L. The highest peak of nitrite was recorded in December 2010 with value of 0.442 mg/L, while the lowest peak was in June 2009 with value of 0.028 mg/L. The nitrite range between the lowest and the highest values was 0.414 mg/L. The mean value of ammonia from June 2009 to May 2010 was 0.27±0.10 mg/L. The highest peak of ammonia was in May 2010 with value of 0.49 mg/L, while the lowest value was in October 2009 with value of 0.14 mg/L. The range value between the highest and the lowest values was 0.35 mg/L. The mean value of orthophosphate during the sampling period was 0.090±0.195 mg/L. The highest value was recorded in January 2010 (0.700 mg/L), while the lowest value was recorded in February 2010 (0.001 mg/L). The range between the highest and the lowest values of orthophosphate was 0.699 mg/L. The chemical compounds i.e. nitrate, nitrite, ammonia and orthophosphate were below the tolerance level for intertidal benthic species. The mean value of nitrate during the study in the Figure 4. Condition Index of Anadara granosa from Lhokseumawe from June 2009 to May 2010). 74 Jurnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 69-76 Figure 5. Correlation between spawning period of Anadara granosa with changes of temperatures and salinities from June 2009-May 2010 in Lhokseumawe, Indonesia. Condition Index Condition Index has correlation with maturity period. The high values of CI showed that the cockles had reached the ripe stages while the low values of CI shows the cockles were on spawning process (Figure 4). The highest condition index of the cockle population from Lhokseuwawe was observed in April 2010 (11.57 ± 1.58) whereas, the lowest showed in January 2010 (6.76 ± 1.13). Spawning period of A. granosa was continuous throughout the year, the peaks spawning period was occurred in October 2009 until January 2010. Munawar Khalil1), The Effect Of Environmental Condition On The Spawning Period Of Blood Cockle Anadara granosa DISCUSSION In this study, condition index (CI) was used to evaluate the tissue quality in the intertidal species A. granosa in Lhokseumawe, Indonesia. The condition index was known to be influenced by many environmental factors, such as temperature (Chipman, 1947, Freites et al., 2010), salinity (Engle, 1957; Haven, 1947), seasonal variations (Rebelo et al., 2005; Sahin et al., 2006), chemical characteristics of the water and sediment (Engel, 1957), crowding and availability of food (Korringa, 1952; Galtsoftt, 1964). In this study, temperature and salinity were the main environmental regulating factors of habitual performance of spawning period in A. granosa Lhokseumawe, Indonesia. In addition, gonad development proceeded more actively during the periods of drastic fluctuating of temperatures and salinities, from October 2009 through January 2010 (24–340C). These suggested an inverse relation between water temperature, salinities and gametogenesis. The release of gametes by the natural population of A. granosa at Lhokseumawe coincided with the drastic daily fluctuations in temperature and salinity as indicated by the rectangle boxes in Figure 5. Reproductive cycles of the cockle population in Lhokseumawe were highly influenced by the fluctuation of abiotic factors such as temperature and salinity, where in July 2009 until October 2009, maximum and minimum temperatures were actively fluctuating. Similar condition was recorded in salinity, where fluctuation had occurred in September 2009 until December 2009. Both these fluctuations were suggested as factors which have positive correlation in the reproductive cycle of bivalve A. granosa in Lhokseumawe. 75 2010, with a higher interval compared to first cycle. Fluctuation in temperature and salinity act as the main trigger and an active response for cockle to perform reproductive cycle. High fluctuation of daily temperature and salinity had induced the development of gonad. Once the gonads matured, highest fluctuation in temperature and salinity would trigger the spawning process in A. granosa at Lhokseumawe, Indonesia. CONCLUSION Changes on water temperature and salinity exhibited the maximum reproductive activity of intertidal bivalve species A. granosa. The CI of A. granosa has shown a direct relationship with the amount of body reserves and has correlation with the environmental condition in their habitat. The main parameters found to be directly affecting the reproductive process were temperature and salinity. Temperature and salinity were the main modulators of reproductive events. When temperature and salinity fluctuated, sporadic spawning was detected in this species, possibly inducing a survival strategy whereby the spawning period is extended to increase reproductive success. ACKNOWLEDGEMENT We would like to thanks to Marine Sciences Laboratory University Sains Malaysia, Aquaculture Department, Malikussaleh University Indonesia, Muhammad Rusdi for preparing sampling location map. Ministry of Science, Technology and Innovation (MOSTI) Grant Sciences. Malaysian Quarantine and Inspection Services (MAQIS) Malaysia and Indonesia Fisheries Quarantine Service for their continuous support in making this project a success. REFERENCES Based on this study, The Condition Index of the cockle population in Lhokseumawe was a combination result of the fluctuations on two main environment factors, namely temperature and salinity. Combined effect of the fluctuations in temperature and salinity had become the stimulus for the spawning activities of the cockle population. Form the observations of Condition Index of A. granosa (12 months), it was found that high fluctuation in daily temperature followed by the onset of high fluctuation in salinity resulted two reproductive cycles. The first reproductive process was recorded in July 2009 to September 2009 and the second cycle was in October 2009 to March Afiati, N.( 2007). Gonad maturation of two intertidal blood clams Anadara granosa (L.) And Anadara antiquata (L.) (Bivalvia: Arcidae) in Central Java. Journal of Coastal Development, 10, 105-113. Baqueiro-Cardenas, E., & Aldana-Aranda, D. (2000). A review of reproductive patterns of bivalve molluscs from Mexico. Bull. Marine Sciences, 66, 13–27. Bayne, B. (1985). Responses to environmental stress: tolerance, resistance and adaptation. 76 Jurnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 69-76 In: J. S. Gray &M. E. Christiansen, editors. Marine Biology of Polar Regions and Effects of Stress on Marine Organisms. Proc. 18th Europe. Marine Biology. Symposiums, Univ. Oslo, Norway. Broom, M. J. (Ed.). (1985). The biology and culture of marine bivalve molluscs of the genus Anadara (No. 12). The WorldFish Center. Chipman, W.A. (1947). Seasonal changes in the fattening of oysters. Proceedings of the National Shellfisheries Association. 28-32. Dame, R. F. (1996). Ecology of marine bivalves: an ecosystem approach (Vol. 34). CRC PressI Llc. Engle, J. B. (1950). The condition of oysters as measured by the carbohydrate cycle, the condition factor and the percent dry weight. In Proc. Natl. Shellfish. Assoc (Vol. 1950, pp. 20-25). Freites, L., Montero, L., Arrieche, D., Babarro, J. M., Saucedo, P. E., Cordova, C., & García, N. (2010). Influence of environmental factors on the reproductive cycle of the eared ark Anadara notabilis (Röding, 1798) in northeastern Venezuela. Journal of Shellfish Research, 29(1), 69-75. Gosling, E. (2003). Bivalve molluscs, biology, ecology and culture. Fishing News Books. Blackwell Publishing. Kastoro, W. (1978). Reproduksi kerang bulu, Anadara antiquate (Linnaeus), Suku Arcidae. Oseana Indonesia, 9, 51–59. Lawrece, D., & Scott, G.I. (1982). The determination and use of condition index of oysters. Journal of Estuaries, 5, 23-27. MacDonald, B. A., & Thompson, R. J. (1985). Influence of temperature and food availability on the ecological energetic of the giant scallop Placopecten magellanicus. II. Reproductive output and total production. Marine Ecology Progress Series, 25:295–303. Mzighani, S. (2007). Fecundity and population structure of cockles, Anadara antiquata L. 1758 (Bivalvia: Arcidae) from a sandy/muddy beach near Dar es Salaam, Tanzania. Western Indian Ocean Journal of Marine Science, 4(1), 77-84. Rebelo, M. F., Amaral, M. C. R., & Pfeiffer, W. C. (2005). Oyster condition index in Crassostrea rhizophorae (Guilding, 1828) from a heavy-metal polluted coastal lagoon. Brazilian Journal of Biology, 65(2), 345-351. Sahin, C., DüzgünesĖ§, E., & Okumus, I. (2006). Seasonal variations in condition index and gonadal development of the introduced blood cockle Anadara inaequivalvis (Bruguiere, 1789) in the Southeastern Black Sea coast. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences, 6(2), 155163. Suwanjarat, J., & Parnrong, S. (1990). Reproductive cycle of Anadara granosa L. Jebilung, Satun Province. Songklanakarin Journal of Science and Technology, 12(4), 341-351. POST TSUNAMI: MARINE PROTECTED AREAS (MPA) ZONATION STRUCTURE OF PULO ACEH, INDONESIA PASCA TSUNAMI: STRUKTUR ZONASI DAERAH PERLINDUNGAN LAUT PULO ACEH, INDONESIA Muhammad Rusdi1), Munawar Khalil2), Zulfikar2) Abstract Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pembentukan kawasan perlindungan laut (Marine Protected Areas/MPA) di Pulo Aceh, Indonesia, dengan menggunakan input dari analisis Sistem Informasi Geografis. Langkah-langkah pengelolaan adalah diperlukan untuk memastikan bahwa sumber daya laut dapat hidup dan ekosistem dapat dilestarikan. Fokus penelitian ini adalah untuk menunjuk daerah-daerah tertentu sebagai daerah perlindungan laut (DPL). Pulo Aceh meliputi 24,961.9 hektar yang terdiri dari habitat daratan dan habitat lautan yang terpilih sebagai kawasan MPA. Zonasi di kawasan konservasi laut didasarkan pada data ekologi dan data ekologi konservasi, sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat. Zona utama yang telah ditetapkan dan dipetakan dalam kawasan konservasi, yaitu zona inti (94,14 ha atau 0,38 %), zona pemanfaatan (15,144.86 ha atau 60,67 %) dan zona penyangga (1,038.77 ha atau 4,16 %). Zona inti sangat dilarang dari kegiatan pengambilan hasil laut, pariwisata dan ekonomi, sementara kegiatan penelitian dan konservasi dapat diperbolehkan. Zona pemanfaatan dibagi menjadi area untuk pariwisata, penggunaan tradisional, penggunaan pelagis, penelitian dan pelatihan. Akomodasi permanen untuk kegiatan pariwisata atau pengambilan sumber daya alam diperbolehkan melalui pelaksanaan proses penilaian dampak lingkungan terlebih dahulu. Kegiatan di zona penyangga adalah sangat terbatas dan dikendalikan sepenuhnya hanya untuk kegiatan pengambilan hasil laut. Katakunci: Konservasi laut, zonasi, sistem informasi geografis, pemetaan, sumberdaya alam These conditions need specific management and development planning. In another term, the prone areas to natural disasters are requiring anticipatory management of development planning to disaster. INTRODUCTION Pulo Aceh Archipelagos are consisting of two large islands, Pulo Breuh and Pulo Nasi. Geographically, Pulo Aceh is located on the western coast of Sumatra Island, Administrative located in Pulo Aceh, Aceh Besar district, Aceh Province. Marine and Fisheries Department (2005) released various data that tsunami impact in Aceh Besar district about marine and fisheries infrastructure, and was estimated approximately 90% or 307.140 USD in total value. Fishing vessels and fishing gear in Aceh Besar district reached 100% or more than 2.100.000 USD. Pulo Aceh sub district was one of the most destructive areas hit by tsunami. Approximately 100% of marine and fisheries infrastructure was totally damaged. Total damage was also observed in residential areas which were generally located on the outskirts of the coastal area. Managing a large area needs the to the development of technology. One of the commonly used technologies is Geographic Information System (GIS). In broad outline, the experts defined that GIS is a computer system that has the ability to store, recall, update, manipulate, analyze and present all forms of geographic data, or spatially referenced information in accordance with the user (Burrough, 1986 in Barrus, 1996, Jaya, 2002, Prahasta, 2005). Spatial data is associated with the spatial location of the general shape of the map. The users are can analyze the geographic location and specific information related to the location of the individual and can support decision making. Solving problems of location suitability, zoning areas for conservation may be in the analysis, simulation, prediction, and description using GIS. The tsunami had also caused changes on coastal ecology. Changing of shorelines and habitats of organism has been observed in particular areas. 1) 2) Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh 77 78 Jurnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 77-82 MATERIALS AND METHOD Location of the study was conducted in Pulo Aceh (Figure 1). Preparation of proposal for zoning in the MPA Pulo Aceh was based on ecological baseline and socio-economic baseline studies using GIS (Geographical Information System) (FAO, 1987). Determination of Zoning was followed the reference Law. 5 / 1990 on conservation of biological resources and ecosystems. The coastal and marine habitat at Pulo Aceh after tsunami was totally damaged. Descriptions of this condition are shown as in Figure 2. Where the whole of Pulo Aceh was scrapped flat by the tidal wave. Therefore, Munthadar, (2008) had reported the existing condition of coral reefs after tsunami as shown in Figure 2. The Figures 3 and 4 show the recruitment of corals on the reef. RESULTS AND DISCUSSION Figure 1. Research location Figure 2. Stretch of reef conditions in the intertidal area (Gampong Paloh) in Pulo Aceh after tsunami (modified from; munthadar, 2008) Muhammad Rusdi1), Munawar Khalil2), Zulfikar2), Post Tsunami: Marine Protected Areas (MPA) Zonation Structure of Pulo Aceh, Indonesia 79 Figure 3. The condition of damaged coral reefs in (a) Kareung Mane (b) Kareung Maja (c) Kareung Pante Demit (d) Kareung Maja Figure 4. Coral colonies began to grow again in (a) Kareung Maja (b) Kareung Peunateung (c) Kareung Mane (d) Kareung Maja Recruitment of corals, in term of growth and process requires time and under specific conditions. Recruitment is if MPA can be enforced. MPA zoning practices can provide an opportunity for the ecosystem of the region to develop properly without any interference from humans activities in the areas. Clustering Zonation MPA is made from field observations and secondary data. The result was a 80 Jurnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 77-82 thematic layers using GIS layer which consists of physical and social components. The physical components such as coverage, dominance and indices of coral reefs, the pattern and direction of currents, topographical, soil and land use (Figure 5). Social components can be regional profiles, the potential of the region, demographic, and economic and community impact by tsunami. Overlay of all the layers of physical, social and non-spatial data analysis was conducted into a single layer. A single zoning system was designed to MPA Pulo Aceh, which covers a total area of land and sea with several clustering of zoning as shown in Figure 6. Figure 5. Landuse thematic layer Figure 6. Zonation Clustering in the Marine Protected Areas of Pulo Aceh, Indonesia Cluster zonation was made to establish in the marine areas. The class cluster zonation were separated in view sub class as shown in Table 1 : Class Sea Land Total Sub class core zone utilize zone buffer zone conservation utilize buffer Traditional Use Zone. Special permission was required for vessels that will enter into MPA Tourism Zone. Hectare Percentage 94.14 0.38 15,144.86 60.67 1,038.77 4.16 2,337.14 9.36 2,033.19 8.15 4,312.98 17.28 24,961.09 100.00 CONCLUSION Zonation Clustering in MPA were separated in Core Zone (94, 14 ha, 0.38 %), Utilized Zone (15,144.86 ha, 60.67%) and Buffer Zone (1,038.77ha, 4.16%). MPA zoning provide an opportunity for the ecosystem of the region to develop properly without any interference from humans activities in the areas. Need further research for detail zonation with high resolution image satellite. The total clustering area MPA of Pulo Aceh was 24,961.09 hectares with two main classes which were sea class and land class area. The sea class areas were divided to three sub class, namely core zone, utilizes zone and buffer zone. The core zone was approximately 94.14 hectare or 0.38 % of sea class total protected areas. The sub class performed in ecotourism zone, traditional use zone, pelagic use zone, special research and training zone. This zone has the largest area to protected about 15,144.86 hectares or 60.67% of total MPA area. The buffer zone plotted approximately 1,038.77 hectares or 4:16% of total area. ACKNOWLEDGEMENTS The authors would like to the : Rehabilitation and Reconstruction Bord Aceh-Nias 2007 and Aquaculture Department Malikussaleh University for the support in conducting this research. REFERENCES Barus B., & U.S Wiradisastra. (1996). Sistem Informasi Geografis, Laboratorium Penginderaan Jauh, jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor, 120 pp. For land class, conservation areas were plotted was about 2,337.14 or 9.36% of total protected areas. The utilize zone in land class was 2.033.19 hectare or 17.28 % of total area. The buffer zone which was a zone to buffered between conservation zone and utilize zone was plotted about 4,312.98 hectare or 17.28 % of total area. The buffer zone has largest area that planned in land class. [BRR] Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD Nias. (2007). Perumusan rencana pengelolaan Marine Protected Areas (MPA) Pulo Aceh Kabupaten Aceh Besar Nanggroe Aceh Darussalam. Badan Rehabilitasi dan Rekostruksi NAD-Nias. Banda Aceh, 226 pp. Zoning within the MPA was based on existing ecological data, understanding the principles of ecology and conservation, socio-economic of local communities and culture, and feasibility of implementation. Regulations are prepared for each zone to ensure the continuity of flora and fauna of the region of MPA, ecosystems, and their local communities. Core Zone, Zone with Limited Tourism, Tourism Use Zone and Special Research and Training Zone are zones where all hunting or mining of natural resources and non-biological resources are strictly prohibited. [DKP] [FAO] Food and Agriculture Organization. (1987). Marine Resources Mapping : an introductory manual. FAO fisheries technical paper. Rome, 104 pp. Harvesting of marine resources is only allowed in the zone of traditional use. Specific rules and sub-zones are designed for the tour. Exit and entry of the ship freely to and through the MPA is only permitted in Pelagic and 1) 2) Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. (2005). Laporan tim departemen kelautan perikanan terkait dengan inventarisasi dan tugas kemanusiaan bencana alam gempa dan gelombang tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara. Jakarta, 176 pp. Jaya, I. N. S. (2002). Aplikasi sistem informasi geografis untuk kehutanan, Penerbit Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, 165 pp. Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh 81 82 Jurnal Agrium,Volume 10 Nomor 2 Septeember 2013, hal 77-82 Munthadar, M. (2008). Kajian rehabilitasi sumberdaya dan pengembangan kawasan pesisir pasca tsunami di kecamatan Pulo Aceh kabupaten Aceh Besar. Thesis. Institut Pertanian Bogor, 145 pp. Prabowo, D., A.T Nugroho, J. Palap., & H. Ardiansyah. (1999). Modul pengenalan GIS, GPS & Remote Sensing. Penerbit Forest Watch Indonesia Jakarta. 135 pp. – Departement GIS. Prahasta, E. (2009). SIG : Sistem Informasi Geografis Konsep Konsep Dasar (Perspektif Geodesi & Geomatika). Edisi revisi. Bandung: Penerbit CV. Informatika, 818 pp. PETUNJUK PENULISAN NASKAH JURNAL ILMIAH J urnal AGRIUM merupakan media publikasi tulisan-tulisan asli yang belum pernah dipublikasikan, berkaitan dengan bidang ilmu-ilmu pertanian dan perikanan. Naskah berasal dari hasil penelitian dasar dan terapan, skripsi, tesis, disertasi, makalah yang telah diseminarkan, ulasan (review) dan tulisan yang sengaja dibuat untuk diterbitkan. Pedoman Umum Naskah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan memenuhi kaidah-kaidah tulisan ilmiah menggunakan gaya bahasa efektif dan akademis. Naskah diketik pada kertas HVS ukuran A4, ketikan 2 spasi menggunakan huruf tipe Times New Roman berukuran 12 point. Naskah asli dikirim sebanyak 3 eksemplar beserta dokumen dalam bentuk soft copy. Susunan Naskah Naskah disusun dalam urutan halaman Judul (Title), Abstrak (Abstract), Pendahuluan (Introduction), Bahan dan Metode (Materials and Methods), Hasil dan Pembahasan (Results and Discussion), Kesimpulan (Conclussions) dan Daftar Pustaka (References). Ucapan Terima Kasih (Acknowledgement) dan Saran (Recommendations or Suggestions) diketik di antara Kesimpulan dan Daftar Pustaka. Halaman Judul Pada halaman Judul, ditulis judul naskah dalam huruf besar (Capital) dilengkapi dengan terjemahan bahasa Inggris apabila tulisan dalam bahasa Indonesia di bawah judul, apabila tulisan dalam bahasa Inggris, dilengkapi judul dalam bahasa Indonesia. Penulisan Judul tidak melebihi 25 kata, diikuti nama lengkap penulis, nama lembaga afiliasi penulis dan nama penulis korespondensi disertai alamat lengkap dan email. Abstrak dan Kata Kunci (Key Words) Abstrak harus mewakili seluruh materi penulisan dan implikasinya secara ringkas, berisi maksimum 250 kata dan diketik 1 spasi dalam bahasa Inggris apabila tulisan dalam bahasa Indonesia dan sebaliknya. Penulisan key words diketik menggunakan bahasa Inggris dalam parantesis di bawah abstrak maksimum 5 kata. Teks Penulisan sub judul utama (Pendahuluan, Bahan dan Metode, Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan dan Daftar Pustaka) menggunakan huruf besar (Capital). Sub-sub judul ditulis tebal (bold). Penulisan satuan mengikuti Standard International (SI). Penulisan nama limiah mengikuti kaidah penamaan Binomial Nomenclature. Tabel dan gambar dilengkapi nomor dan judul diikuti keterangan sebagai catatan kaki. Daftar Pustaka Penulisan daftar pustaka adalah sebagai berikut: Buku Gorman, J.M. (1996). The new psychiatry: The essential guide to state-of-the-art theraphy medication and emotional health. New York: St. Martin’s Press. Buku dari database Brockopp, D.Y. (1995). Fundamentals of nursing research [versi elektronik]. Boston: Jones & Bartlett Publishers, Inc. Diakses dari database netLibrary. Artikel jurnal Marek, K.D. & Rantz, M.J. (2000). Aging in place: A new model for long term care. Nursing Administration Quarterly, 24(3),1-11. Artikel dari jurnal online atau majalah Wills, T.A., Sandy,J.M., Yaeger, A., & Shinar, O. (2001, May). Familiy risk factors and adolescent substances use: Moderation effects for temperament dimensions [versi elektronik]. Developmental Physchology, 37, 238-297. Diakses dari http://www.apa.org/journals/dev/dev373283. html Biaya Publikasi Setiap penulis yang naskahnya siap diterbitkan dikenakan biaya cetak sebesar Rp. 200.000., (bagi dosen tetap Fakultas Pertanian Unimal) dan Rp.250.000., (bagi penulis luar). Penulis pertama mendapatkan 1 cetakan lepas (reprint). Jurnal AGRIUM dijual seharga Rp. 45.000., per eksemplar. Harga langganan untuk setahun (2 edisi) seharga Rp. 80.000., belum termasuk biaya pengiriman.