bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Seiring dengan berakhirnya Perang Dingin, meningkatnya pengaruh soft
power, kemunduran dominasi negara – negara great power dan juga berkurangnya
penggunaan hard power, konsep negara middle power mengalami peningkatan
reputasi dalam ranah hubungan internasional. Pengamat dan praktisi Ilmu
Hubungan Internasional berpendapat bahwa konsep middle power dapat digunakan
untuk menganalisis kebijakan luar negeri dan juga karakter politik luar negeri suatu
negara (Gilboa, 2009). Salah satu karakteristik utama dari middle power adalah
penggunaan diplomasi publik dimana Gilboa mengatakan bahwa negara middle
power cenderung menggunakan diplomasi publik dalam strategi politik luar
negerinya (2009). Dihadapkan kepada keterbatasan dan tantangan dalam konteks
aset hard power seperti militer dan ekonomi, kemampuan negara middle power
untuk mempengaruhi hubungan internasional bergantung kepada seberapa efektif
instrumen diplomasi publik dimplementasikan dalam kebijakan politik luar negeri
mereka.
Tulisan ini akan membahas mengenai salah satu negara middle power baru
yang reputasinya sebagai middle power tengah diperbincangkan, Korea Selatan
(kemudian Korea). Korea merupakan negara yang memiliki kompetensi untuk
masuk dalam kategori negara middle power. Korea juga secara aktif menggunakan
instrumen diplomasi publik dalam kebijakan politik luar negerinya yang
mengilustrasikan salah satu sifat distingtif dari negara middle power.
Korea merupakan negara yang menarik untuk diteliti dalam konteks middle
power dan juga penggunaan diplomasi publik. Diplomasi publik erat kaitannya
dengan penggunaan soft power dalam implementasi kebijakan politik luar negeri
dan Korea dikenal sebagai eksponen dari soft power yang memiliki kekuatan
mumpuni dalam hal aset soft power. Sebagai negara, Korea memiliki atribut –
atribut yang menarik yang menjadikannya sebagai eksponen soft power. Beberapa
atribut menarik dari Korea antara lain adalah pertama keunggulan spesifik dalam
bidang ekonomi pembangunan yang telah terbukti kesuksesannya dan dikenal
dengan fenomena Miracle of the Han River. Kedua adalah kepopuleran gelombang
budaya Korea (Korean Wave atau Hallyu) yang masih terus berlanjut dan terus
menyebar secara luas dalam level global. Gelombang ini sangat populer terutama
diantara negara – negara Asia yang secara kultural cukup dekat dengan Korea
(Seong Jeon dan Yuwanto, 2014). Ketiga adalah letak geografis dan politik Korea
yang diapit oleh negara – negara dengan pengaruh besar seperti Republik Rakyat
Tiongkok (RRT), Jepang, dan Amerika Serikat yang menyebabkan nama Korea
seringkali tenggelam dan tidak dikenal luas dalam dunia internasional. Fakta ketiga
ini meningkatkan urgensi bagi Korea untuk memainkan peranan lebih aktif dalam
hubungan internasional dengan menggunakan diplomasi publik dan dalam bidang
lain yang tidak membutuhkan kemampuan hard power.
Penelitian dalam tulisan ini akan difokuskan pada pemerintahan Korea diera
Lee Myung Bak dari tahun 2008 hingga 2013. Pemerintahan Lee Myung Bak
muncul dengan gagasan untuk mengoptimalisasi potensi Korea sebagai middle
power. Dibawah pemerintahan Presiden Lee, Korea semakin aktif dalam level
internasional dan menunjukkan kompetensinya sebagai negara middle power
melalui optimalisasi instrumen diplomasi publik. Pada penelitian ini, fokus dari
diplomasi publik Korea sebagai middle power akan dikhususkan pada cakupan
Asia Tenggara yang merupakan salah satu rekan terdekat Korea dalam bidang
sosial, politik, dan ekonomi.
1.2.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan diajukan dalam penelitian ini adalah:
Bagaimana implementasi strategi diplomasi publik Korea sebagai negara middle
power di Asia Tenggara?
2
1.3. Landasan Konseptual
Ada dua landasan konseptual yang akan dipakai untuk menjawab rumusan
masalah. Pertama adalah konsep middle power yang merupakan variabel utama
dalam penelitian ini dan kedua adalah konsep diplomasi publik yang merupakan
variabel kedua penelitian.
Konsep middle power akan digunakan untuk melakukan validasi terhadap
posisi Korea sebagai negara middle power karena negara middle power haruslah
memenuhi klasifikasi distingtif. Klasifikasi ini tidak hanya secara kapabilitas materi
namun juga dalam karakteristik politik luar negeri yang salah satunya dicirikan
dengan pemakaian variabel kedua yaitu diplomasi publik.
Konsep kedua, diplomasi publik, akan digunakan untuk menjelaskan definisi
dari diplomasi publik. Melalui definisi diplomasi publik yang telah ada kemudian
digunakan untuk mengidentifikasi program dan inisiatif yang dilakukan Korea di
Asia Tenggara sebagai bentuk dari strategi diplomasi publik Korea. Konsep
diplomasi publik juga digunakan untuk melihat relasi antara posisi Korea sebagai
middle power dengan potensi soft power yang mumpuni dan penerjemahan soft
power tersebut kedalam ranah – ranah diplomasi publik yang berbeda.
1. Middle Power
Konsep middle power bukanlah konsep yang tergolong baru dalam dunia
hubungan internasional. Konsep yang masih sering diperdebatkan hingga sekarang
ini muncul sedini tahun 1589 melalui Bartolous Sassoferato yang membagi negara
kota menjadi tiga tipe: kecil, sedang, dan besar. Menarik untuk dicatat bahwa
Sassoferato menyatakan bahwa:
“middle-sized states are the most lasting, since they are exposed
neither to violence by their weakness nor to envy by their greatness,
and the wealth and power being moderate, passions are less violent,
ambitions find less support … than in large states.” (Holbraad, 1984,
p.12).
3
Gagasan yang menghubungkan ukuran suatu negara dengan perilaku negara
merupakan definisi dari middle power yang dipakai saat ini. Namun dimasa awal
pendefinisiannya, definisi middle power masih merujuk pada ukuran besar suatu
negara saja atau luas territorial secara harafiah. Tentunya konsep ukuran sedang
suatu negara masih terlalu singkat dan tidak komprehensif dalam menerangkan
posisi suatu negara dalam struktur hierarkis sistem politik internasional apalagi
untuk menjelaskan identitas middle power. Bagaimana mengkategorikan negara
sebagai negara berukuran sedang juga merupakan hal yang menyulitkan karena
tidak ada kriteria yang disetujui oleh semua pihak untuk dijadikan barometer.
Selain itu, negara berukuran sedang juga belum menerjemahkan posisi mereka
yang berada di tengah antara negara kecil dan besar kedalam perilaku politik luar
negeri tertentu pada masa itu.
Menyadari ambiguitas dalam definisi middle power, Cooper (1993, p. 17-19)
mengkategorisasikan empat pendekatan untuk mendefinisikan middle power: (1)
pendekatan posisi menempatkan middle power diposisi tengah dalam konteks
besaran populasi, kekuatan dan kompleksitas ekonomi, dan kapabilitas militer, (2)
pendekatan geografis secara fisik maupun ideologis menempatkan middle power
diantara great powers dalam sistem internasional, (3) pendekatan normatif melihat
negara middle power berpotensi untuk bertindak lebih bijaksana dan terpercaya
karena strategi politik luar negerinya yang berusaha memperluas pengaruh melalui
diplomasi dan soft power dan bukan melalui utilisasi hard power. Selain itu
pendekatan normatif juga melihat negara middle power sebagai negara yang lebih
tidak egois ketika diberikan tanggung jawab untuk memelihara stabilitas tatanan
global dan ketika terlibat dalam penyelesaian agenda kontemporer permasalahan
internasional, (4) pendekatan perilaku atau behavioral mendefinisikan negara
middle power dari perilaku luar negerinya yang memiliki tendensi untuk terlibat
dalam middlepowermanship, seperti mencari solusi kesepakatan multilateral untuk
masalah internasional, bersikap netral dalam permasalahan internasional, dan
mengadopsi gagasan dan karakter “good international citizenship” dalam aktivitas
politik luar negerinya.
4
Ping (2005, p.51-53) mengkategorikan ulang definisi dari middle power
dengan memasukkan data statistik dan persepsi umum tentang kekuatan dan
kekuasaan sejalan dengan pendekatan posisi, normatif, dan perilaku oleh Cooper
(1993). Ping (2005) kemudian mengenalkan metode data statistik yang
menggunakan sembilan parameter secara statistik untuk mengidentifikasi middle
powers. Ketika metode ini dicoba kepada 38 negara anggota Asia-Pacific
Economic Cooperation (APEC), Association of Southeast Asia Nation (ASEAN),
The South Asian Associaton for Regional Coopertion (SAARC), dan The Economic
Cooperation Organization (ECO) ditahun 2000, empat belas negara teridentifikasi
sebagai middle power di kawasan Asia Pasifik (Lee, 2012). Pendefinisian
menggunakan data statistik ini merupakan metode yang lebih inklusif dibandingkan
dengan definisi normatif yang terkadang dibiaskan oleh nilai – nilai barat mengenai
negara berkembang sehingga sering kali tidak memasukkan negara middle power
non-barat. Namun metode data statistik ini mendapat kritik dari pendukung
pendekatan perilaku yang menganggap identifikasi middle power menggunakan
metode Ping hanya menjaring negara middle power yang tidak menggunakan
middlepowermanship dalam politik luar negerinya. Pendukung pendekatan perilaku
kemudian
menambahkan
bahwa
pola
perilaku
politik
luar
negeri
middlepowermanship harusnya melengkapi pendefinisian middle power melalui
metode data statistik.
Meskipun middle power memang diidentifikasi melalui fungsi dan
kapabilitas yang mereka miliki seperti yang dikatakan oleh pendukung pendekatan
perilaku, namun status middle power tentunya tidak dapat dicapai tanpa adanya
kekuatan posisi dalam hierarki sistem politik internasional. Sulit dibayangkan
sebuah negara yang tidak memiliki kekuatan dan pengaruh dalam hierarki sistem
politik internasional untuk memerankan fungsi sebagai middle power. Kekuatan
posisi ini termasuk juga kapabilitas materi dan non-materi. Disaat yang bersamaan,
kekuatan posisi juga tidak dapat menjadikan sebuah negara untuk terlibat dalam
aktivitas middlepowermanship dimana negara – negara memainkan fungsi spesifik
yang mengkategorikannya sebagai negara middle power dari pola perilaku mereka.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari polemik konseptualisasi mengenai middle
5
power adalah ada banyak faktor yang menjadikan sebuah negara memiliki status
middle power dan faktor – faktor ini saling melengkapi satu sama lain. Hanya
dengan kapabilitas materi dan non-materi (yang dapat dibuktikan dengan metode
data statistik dan dijelaskan dengan pendekatan posisi) lalu kemudian dilengkapi
dengan kapabilitas middlepowermanship (yang dibuktikan melalui pendekatan
normatif dan behavioral) sebuah negara dapat masuk kedalam kategori middle
power.
Selain menggunakan metode oleh Cooper dan Ping yang telah dijabarkan
diatas, penelitian ini juga akan melihat middle power dari sudut pandang realis dan
liberal. Menurut perspektif realis yang dijelaskan oleh Eduard Jordaan (2003)
dinyatakan bahwa:
“Middle powers are states that are neither great nor small in terms of
international power, capacity and influence, and demonstrate a
propensity to promote cohesion and stability in world system.”
Jordaan diatas merujuk kepada capacity dalam artian kapasitas secara materi
yang dapat dibuktikan melalui data statistik seperti pendapatan per kapita, angka
pertumbuhan ekonomi, pengeluaran biaya militer, jumlah penduduk, luas teritorial
dan data – data dalam bentuk angka lainnya sama dengan metode yang dilakukan
oleh Ping. Dilihat dari perspektif realis, Korea secara kapasitas materi masuk
kedalam kategori middle power. Data statistik dari CIA Fact Book (2014)
menunjukkan bahwa pendapatan per kapita Korea adalah $33,200, menempatkan
Korea kedalam peringkat ke-42 di dunia. Pada tahun 2004, Korea bergabung dalam
trillion dollar club ekonomi dunia dan saat ini menempati posisi ke-12 sebagai
ekonomi terbesar di dunia (CIA Fact Book, 2014). Sementara itu menurut data lain
dari CIA Fact Book (2014), penduduk Korea diestimasikan berjumlah 49,039,986
juta jiwa, menempati posisi ke-27 di dunia.
Sementara itu, negara middle power menurut perspektif liberal
yang
dijelaskan oleh Cooper, Higgott, dan Nossal (1993) dapat diidentifikasi
berdasarkan perilaku politik luar negerinya.
6
“Identify middle powers by their foreign policy behavior; that is, their
proclivity for seeking multilateral solutions to international problems,
for advocating compromise and for, in general, being part of the
solution to problems at international level. Middle powers also
recognized by the type of issues they choose to resolve. These include
non-traditional security areas, environment, technologies, and
development assistance. Middle powers play a leadership role on
these issues with „good international citizenship‟.”
Korea dalam masa Pemerintahan Lee Myung Bak telah melakukan usaha –
usaha untuk memperluas cakrawala diplomatik dan meningkatkan keterlibatan
secara global dibawah visi politik luar negeri Global Korea (Yul Sohn, 2012).
Penyelenggaraan KTT G20 pada November 2010 dan KTT Keamanan Nuklir pada
Maret 2012 merupakan contoh dari usaha Korea meningkatkan keterlibatannya
dalam level global. Melalui usaha – usaha ini Korea menunjukkan karakteristik
dari middle power yang berusaha memainkan ‘leadership role‟ pada level global
dalam isu – isu kontemporer seperti ekonomi, perdagangan, asistensi pembangunan
ekonomi, dan lainnya. Pernyataan dari Eytan Gilboa (2009) berikut ini
membuktikan juga karakter middle power yang dimiliki oleh Korea: “to be a
middle power, a state must exercise international leadership but usually does so
only on certain issues and in cooperation with other states or through international
organizations”. Pada tahun 2009 Korea menunjukkan „international leadership‟
nya dengan mengadakan The ASEAN – Republic of Korea Commemorative Summit
di Pulau Jeju dalam rangka merayakan 20 tahun hubungan Korea dengan ASEAN.
Meskipun konsep middle power sudah bukan merupakan konsep yang asing
dalam Ilmu Hubungan Internasional, namun definisi dari middle power sendiri
masih mengundang banyak polemik karena terdapat berbagai macam paremeter
yang harus dipertimbangkan untuk menjadikan suatu negara dapat disebut negara
middle power. Oleh karena itu, konsep middle power akan digunakan sebagai
landasan untuk melakukan pembuktian Korea sebagai negara middle power di bab
7
kedua melalui setiap pendekatan dan perspektif yang telah dijelaskan dalam subbab
ini.
2.
Diplomasi Publik
Kamus Hubungan Internasional menyebutkan bahwa diplomasi publik
merupakan usaha sebuah negara untuk mempengaruhi opini publik di negara lain
dengan menggunakan beberapa instrumen seperti film, pertukaran budaya, radio,
dan televisi (Public Diplomacy Alumni Association). Jarol B. Manheim (1990)
mendefinisikan
diplomasi
publik
sebagai
usaha
sebuah
negara
untuk
mempengaruhi opini dari publik maupun pemimpin di negara lain dengan maksud
untuk mencapai tujuan kebijakan luar negeri. Diplomasi publik erat kaitannya
dengan bagaimana sebuah negara mengkomunikasikan tentang pemikiran dan
kebijakan negaranya kepada publik di negara lain. Diplomasi publik menggunakan
soft power dengan menggunakan kebudayaan, pendidikan, kapabilitas militer
maupun ekonomi (Effendi, 2011). Soft power sendiri menurut penjelasan Joseph S.
Nye (2004) adalah:
“the ability to affect others to obtain the outcomes one wants through
attraction rather than coercion or payment. A country‟s soft power rests
on its resources of culture, values, and policies”.
Soft power suatu negara muncul dari hal-hal yang menarik, unik, dan atau
keberhasilan suatu negara dalam mempromosikan nilai-nilai, budaya, atau
kebijakan dari negara tersebut (Nye, 2004). Perlu digarisbawahi bahwa soft power
dan diplomasi publik memiliki keterkaitan erat antara satu sama lain. Beberapa
akademisi seperti Joseph Nye (2004) dan yang lain (Batora, 2006 dan Melissen,
2005) mengemukakan bahwa diplomasi publik merupakan hasil dari realisasi soft
power secara konkrit dalam bentuk visi politik luar negeri atau kebijakan.
Sementara itu Melissen (2005) juga mengemukakan bahwa “public diplomacy is
one of soft power‟s key instruments, and this was recognized in diplomatic practice
long before the contemporary debate on public diplomacy.”
Jadi, secara singkat diplomasi publik dapat dipahami sebagai kebijakan yang
8
konkrit dalam mengoptimalisasikan soft power suatu negara dan mengubahnya
menjadi aksi yang nyata (Gilboa, 2009). Diplomasi publik merupakan instrumen
politik luar negeri yang penting bagi negara middle power. Bahkan, diplomasi
publik seringkali dijadikan ciri politik luar negeri yang membedakan negara middle
power dari negara lain yang memiliki kompetensi material yang sama dengan
negara middle power namun tidak menunjukkan karakter politik luar negeri middle
power.
Sebagai negara middle power, Korea secara aktif menggunakan diplomasi
publik dalam politik luar negerinya. Diplomasi publik bersumber pada soft power
dan pada bagian latar belakang telah dikemukakan bahwa Korea memiliki atribut
menarik yang menjadikannya sebagai eksponen soft power. Melalui soft resources
yang dimiliki, Korea dapat membagi ranah diplomasi publiknya menjadi berbagai
kategori untuk mengoptimalkan soft resources nya dalam bentuk ranah diplomasi
yang spesifik. Bagan dibawah ini mengilustrasikan soft resources dari Korea yang
dapat diterjemahkan menjadi lima ranah diplomasi publik yang berbeda.
Tabel 1. Kategori Diplomasi Publik Korea Selatan
Kim Taehwan (2012)
9
Dalam bab ketiga akan dijelaskan secara lebih lengkap potensi soft power Korea
dan implementasinya kedalam diplomasi publik merujuk pada kategorisasi bagan
diatas. Bab ketiga tidak hanya akan mengeksplorasi masing – masing ranah
diplomasi namun juga akan menjawab rumusan masalah penelitian dengan
menjabarkan implementasi publik sesuai dengan bagan diatas.
1.4. Argumen Utama
Korea merupakan negara middle power dengan kapasitas yang mumpuni. Hal
ini dapat dilihat dari potensinya sebagai eksponen soft power dengan aset soft
power yang kuat. Sebagai salah satu negara middle power, Korea menggunakan
strategi diplomasi publik yang merupakan ciri khas dari negara middle power.
Korea menerjemahkan kekuatan soft power nya kedalam implementasi diplomasi
publik yang dilaksanakan melalui program dan inisiatif diplomasi publik di Asia
Tenggara. Implementasi diplomasi publik Korea di Asia Tenggara dilaksanakan
melalui aktor – aktor diplomasi yang berafiliasi dengan pemerintah seperti Korea
International Cooperation Agency (KOICA), Korea Foundation, dan ASEAN –
Korea Centre. KOICA terutama memegang peranan penting karena diplomasi
publik Korea sebagian besar dilakukan melalui pemberian hibah dan bantuan dana
serta pengadaan inisiatif dan program yang dilaksanakan oleh KOICA.
Implementasi diplomasi publik Korea oleh KOICA mencakup pemberian bantuan
dalam perbaikan bidang ekonomi pembangunan seperti pendistribusian buku
sekolah, pembangunan infrastruktur dan hal – hal lain yang menyokong
pembangunan ekonomi di Asia Tenggara. Sementara Korea Foundation
melaksanakan diplomasi publik dalam ranah budaya dan pendidikan dengan
pengadaan seminar, pameran seni, dan forum. Jadi secara singkat Korea
melaksanakan diplomasi publik dengan program melalui Official Development
Assistance (ODA), pelatihan sumber daya manusia (SDM), fasilitator diskusi
panel, forum, seminar, pertukaran pelajar, akademisi, tenaga ahli, pertukaran
budaya yang dilakukan oleh aktor – aktor yang telah disebutkan diatas.
10
1.5. Jangkauan Penelitian
Tulisan ini akan membahas mengenai implementasi diplomasi publik oleh
Korea sebagai negara middle power dengan jangkauan penelitian diplomasi publik
pada era Presiden Lee Myung Bak dari tahun 2008 sampai 2013. Fokus kawasan
dari implentasi diplomasi publik Korea dalam penelitian ini adalah Asia Tenggara.
Pemilihan fokus kawasan Asia Tenggara dalam penelitian ini didasari pada
kedekatan antara Korea Selatan dengan negara – negara ASEAN di Asia Tenggara.
Dewasa ini ASEAN merupakan salah satu rekan dagang yang cukup signifikan
bagi Korea dimana ASEAN merupakan rekan dagang terbesar kedua bagi Korea
(Teo, Singh, Tan, 2012). Ditambah lagi sebelum masa Lee Myung Bak pun,
ASEAN telah menjadi penerima ODA terbesar dari Korea dalam jumlah kumulatif
(Kwon, 2010). Alasan kuat lainnya adalah kontribusi aktif Korea Selatan dalam
forum – forum seperti ASEAN Plus Three (APT), ASEAN Regional Forum (ARF),
ASEAN Defence Ministers Meeting-Plus (ADMM-Plus), East Asia Summit (EAS),
Six-Party Talks (SPT), Chiang Mai Initiative Multilateralism (CMIM), dan
Northeast Asia Trilateral Summit yang semakin menambah faktor kedekatan dan
tendensi bagi Korea untuk menjalankan diplomasi publiknya sebagai middle power
di Asia Tenggara.
1.6. Sistematika Penulisan
Bab pertama, akan menjelaskan latar belakang dari penelitian, rumusan
masalah yang akan diajukan dalam penelitian, landasan konseptual sebagai
kerangka berpikir , argumen utama penulis, jangkauan penelitian, dan sistematika
penulisan.
Bab kedua, akan berisi dua subbab. Subbab pertama adalah pembuktian akan
Korea sebagai negara middle power menggunakan landasan konseptual yang sudah
ada. Subbab kedua adalah pembahasan singkat mengenai aktivitas middle power
Korea di Asia Tenggara dalam sektor ekonomi, sosial, dan budaya.
Bab ketiga, akan dibuka dengan pembahasan singkat mengenai aktivitas
middle power dan strategi middlepowermanship dalam bentuk diplomasi publik
Subbab pertama akan membahas secara singkat tentang diplomasi publik Korea di
11
Asia Tenggara dilanjutkan dengan subbab kedua tentang aset soft power yang
dimiliki oleh Korea. Kemudian subbab ketiga akan menjawab rumusan masalah
dengan menjabarkan implementasi diplomasi publik Korea di Asia Tenggara sesuai
dengan kategorisasi aset soft power Korea di subbab kedua.
Bab keempat, akan menyajikan kesimpulan akhir serta analisis dari
keseluruhan rangkaian penulisan untuk menjawab rumusan masalah dan
membuktikan argumen utama menggunakan kerangka berpikir yang telah
disajikan.
12
Download