I PENDAHULUAN

advertisement
Disajikan pada Temu Karya XIII FT/FPTK/JPTK Universitas/IKIP Se Indonesia Di
Jakarta Tgl. 13-14 Februari 2004
SINERGI PENDIDIKAN FORMAL, NONFORMAL DAN INFORMAL UNTUK
MENDUKUNG SERTIFIKASI DAN AKREDITASI PENDIDIKAN
TEKNOLOGI DAN KEJURUAN
I Made Candiasa
FPTK IKIP Negeri Singaraja
Persaingan di tingkat regional maupun global menuntut sumber daya manusia yang
berkualitas, termasuk di bidang teknologi dan kejuruan. Pendidikan teknologi dan
kejuruan dapat ditempuh melalui tiga jalur, yitu pendidikan formal, pendidikan
nonformal dan pendidikan informal, yang menekankan penguasaan pengetahuan dan
keterampilan fungsional. Seiring dengan kebutuhan akan sertfikasi dan akreditasi,
diperlukan mekanisme untuk mensinergikan pendidikan formal, nonformal dan informal
dalam pendidikan teknologi dan kejuruan. Dengan demikian, produk pendidikan akan
lebih dekat dengan kebutuhan pasar dalam rangka otonomi daerah, dan sekaligus
mampu bersaing di pasar regional maupun global.
Kata-kata kunci: Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, Pendidikan formal, nonformal dan
informal.
I PENDAHULUAN
Pendidikan, termasuk pendidikan teknologi dan kejuruan, diharapkan mampu
menghasilkan tenaga kerja profesional yang diperlukan oleh lapangan kerja atau
menciptakan peluang kerja untuk menampung tenaga kerja lainnya. Seperti diungkapkan
oleh Sayuti Hasibuan bahwa fungsi sistem pendidikan dalam kaitannya dengan
ketenagakerjaan meliputi dua dimensi penting, yaitu: (1) dimensi kuantitatif yang
meliputi fungsi sistem pendidikan dalam memasok tenaga kerja terdidik dan terampil
sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja yang tersedia, dan (2) dimensi kualitatif yang
menyangkut fungsinya sebagai penghasil tenaga terdidik dan terlatih yang akan menjadi
sumber penggerak pembangunan 1 Akan tetapi harapan itu masih sulit untuk dipenuhi.
Kepentingan sistem masih menimbulkan masalah pada pendidikan tinggi antara lain: (1)
pertumbuhan kesempatan kerja yang jauh di bawah pertumbuhan angakatan kerja, (2)
kualitas kerja yang tidak sesuai dengan tuntutan kerja, (3) kesenjangan antara
kemampuan dengan peluang antisipasi, (4) kesenjangan antara pemanfaatan inovasi
teknologi dengan proses produksi, dan (5) kurangnya minat terhadap penelitian 2.
Semua masalah di atas berdampak pada produktivitas bangsa secara umum, dan
akhirnya berdampak pada pembangunan negeri. Sehubungan dengan hal tersebut, banyak
kritik dilontarkan terhadap sistem pendidikan yang, pada dasarnya menyatakan bahwa
1
2
Dalam Ace Suryadi & H.A.R. Tilaar, Analisis Kebijakan Pendidikan, Suatau Pengantar, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1994), hlm. 137
Conny R. Semiawan, Pendidikan Tinggi: Peningkatan Kemampuan Manusia Sepanjang Hayat
Seoptimal Mungkin, (Jakarta: Grasindo, 1999), hlm. 1
Sinergi Pendidikan Formal, Non Formal dan Informal
1
Disajikan pada Temu Karya XIII FT/FPTK/JPTK Universitas/IKIP Se Indonesia Di
Jakarta Tgl. 13-14 Februari 2004
perluasan kesempatan belajar cenderung mengakibatkan bertambahnya pengangguran
tenaga terdidik daripada bertambahnya tenaga produktif sesuai dengan kebutuhan
lapangan kerja3. Permasalahan yang harus dipecahkan untuk mengantisipasi kritik di atas
adalah “bagamana perguruan tinggi bisa menghasilkan tenaga-tenaga profesional dalam
berbagai profesi, dengan tidak mengabaikan upaya pemerataan kesempatan pendidikan”.
Tuntutan politis masyarakat untuk mengupayakan pemerataan kesempatan pendidikan
telah mendapat respon dari berbagai pihak. Pandangan terhadap pendidikan yang
sebelumnya mengdentikkan pendidikan dengan pendidikan formal telah berubah dengan
adanya pengakuan terhadap pendidikan nonformal dan informal. Pendidikan nonforml
dan pendidikan informal lebih banyak diakibatkan oleh desakan pasar. Artinya,
pendidikan nonformal atau pendidikan informal untuk bidang tertentu dijalankan karena
memang sudah ada keperluan masyarakat akan pendidikan tersebut. Hanya saja, tidak
semua sisi dari pendidikan formal dapat diperoleh lewat pendidikan nonformal atau
informal. Oleh karena itu, diperlukan suatu mekanisme untuk saling melengkapi antara
pendidikan formal, nonformal dan informal, dalam upaya mempercepat pengakuan
masyarakat terhadap lulusan pendidikan, khususnya pendidikan teknologi dan kejuruan.
II LANDASAN TEORI
Teori Human Capital beranggapan bahwa semakin tinggi mutu pendidikan,
semakin tinggi produktivitas tenaga kerja, semakin tinggi pula pengaruhnya terhadap
pertumbuhan ekonomi masyarakat4. Teori ini menyatakan dalam perekonomian, orangorang yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi akan memiliki penghasilan lebih besar
daripada orang-orang yang memiliki pendidikan yang lebih rendah. Intinya, teori Human
Capacity menganggap pendidikan sebagai suatu investasi, baik bagi individu maupun
bagi masyarakat. Investasi tersebut akan meningkatkan ketrampilan, dan oleh karena itu
juga meningkatkan produktivitas, yang secara langsung akan menciptakan kesejahteraan.
Asumsi yang melatar belakangi teori Human Capital adalah adanya pasar bebas untuk
tenaga kerja5. Setiap masyarakat memiliki sejumlah job dalam ketrampilan tinggi yang
membawa renumerasi yang tinggi. Tenaga kerja yang akan mengisi job tersebut
ditentukan oleh sistem pendidikan, sedemikian sehingga individu yang memiliki
kemampuan tinggi akan mendapatkan job yang paling diinginkan.
Pengaruh dari teori Human Capital terhadap kebijakan pendidikan di negaranegara dunia ketiga sangat besar. Negara-negara dunia ketiga mendorong, dan bahkan
memberikan bantuan dana untuk investasi di bidang pendidikan. Dengan cara demikian
perekonomian negara tersebut diharapkan bisa berjalan lancar, tidak mengalami
kemacetan karena kurangnya tenaga terampil. Untuk kebijakan dalam negeri, investasi
tersebut diharapkan dapat menciptakan keadilan sosial, dengan asumsi bahwa kemiskinan
akan bisa dihapuskan apabila kaum miskin bisa masuk sekolah. Langkah pertama yang
bisa diambil untuk mencapai tujuan itu adalah dengan mengadakan sekolah-sekolah
3
4
5
Ace Suryadi & H.A.R. Tilaar, Op. Cit., hlm. 134
Ace Suryadi & H.A.R. Tilaar, Op. Cit., hlm. 135
Philip Robinson, Perspektives on the Sociology of Education, An Introduction, (London: Routledege &
Kegan Paul, 1981), hlm. 159
Sinergi Pendidikan Formal, Non Formal dan Informal
2
Disajikan pada Temu Karya XIII FT/FPTK/JPTK Universitas/IKIP Se Indonesia Di
Jakarta Tgl. 13-14 Februari 2004
dengan standar yang rendah. Kemudian, langkah yang kedua adalah secara perlahanlahan meningkatkan mutu sekolah tersebut.
Kebenaran teori Human Capital memang belum terbukti. Di Amerika Serikat
misalnya, pendidikan di kalangan orang dewasa berkulit putih sudah mendekati sama
antara tahun 1950 sampai tahun 1970. Akan tetapi pada saat yang sama terjadi hal yang
bertentangan dengan prediksi teori Human Capital, yaitu distribusi pendapatan menjadi
tidak sama. Disimpulkan bahwa investasi dalam pendidikan tidak cukup untuk
meningkatkan taraf hidup kaum egalitarian 6. Kelemahan teori Human Capital bisa
disebabkan oleh lapangan kerja yang tersedia, khususnya di sektor modern sangat
terbatas, sehingga tidak mampu menampung lulusan yang datang dalam waktu relatif
bersamaan. Selain itu, kenyataan menunjukkan bahwa lulusan pendidikan umum belum
siap bekerja sesuai dengan yang diharapkan oleh lapangan kerja. Akibatnya, dunia usaha
atau industri harus melatih tenaga yang belum siap pakai tersebut dalam jangka waktu
yang lama, yang juga berarti menambah anggaran pendidikan. Selain itu, yang sering
menjadi sasaran kritik dari teori Human Capital adalah terlalu menekankan pada dimensi
material sehingga mengurangi nilai kultur manusia 7.
Kekurangan yang terjadi pada teori Human Capital menyebabkan munculnya
teori baru yang bermaksud mengoreksi teori Human Capital, yaitu teori Krendalisme.
Menurut teori Krendalisme. Sistem pendidikan harus mampu membuka dan memperluas
wawasan tenaga kerja yang dihasilkan, khususnya dalam membuka peluang kerja yang
baru8. Selanjutnya dinyatakan bahwa pendidikan harus mampu menghasilkan tenaga
yang mampu menggerakkan potensi masyarakat untuk menghasilkan produk dalam
bentuk barang dan jasa, dan sekaligus mampu membuka peluang pemasarannya. Ini
berarti tujuan pendidikan adalah menghasilkan tenaga yang mampu memperluas lapangan
kerja, sehingga tidak tergantung kepada lapangan kerja yang sudah ada, bahkan
sebaliknya mampu menyediakan peluang kerja bagi tenaga kerja lainnya.
Teori krendalisme tidak yakin bahwa pendidikan formal akan mampu
menghasilkan tenaga terampil bekerja. Akan tetapi, teori krendalisme sangat yakin bahwa
pelatihan kerja merupakan media yang strategis dalam menjembatani antara pendidikan
dengan dengan kebutuhan lapangan kerja. Paradigma yang dipegang adalah belajar untuk
membelajarkan diri lebih penting daripada mengingat informasi 9. Apabila terjadi
ketidaksesuaian antara pendidikan dengan lapangan kerja maka hal ini dianggap sebagai
gejala ketidakmampuan sistem pendidikan untuk menghasilkan tenaga kerja yang siap
dilatih atau membelajarkan diri untuk menjadi tenaga terampil sesuai dengan kebutuhan
pasar. Sebaliknya ketidaksesuaian tersebut juga bisa dianggap sebagai kekurangmampuan
lapangan kerja untuk memfungsikan sistem pelatihan kerja secara optimal.
Kondisi yang cukup baik terjadi adalah apabila pelatihan kerja merupakan bagian
integral dari industri atau perusahaan. Melalui mekanisme ini pelatihan dalam industri
6
7
8
9
Ibid., hlm 159
Ace Suryadi, Pendidikan, Investasi SDM, dan Pembangunan, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), hlm. 63
Ace Suryadi & H.A.R. Tilaar, Op. Cit., hlm. 136
Jami Salmi, Higher Education Facing the Chalenges of the 21 st Century, TechKnowLogia,
January/February, 2000
Sinergi Pendidikan Formal, Non Formal dan Informal
3
Disajikan pada Temu Karya XIII FT/FPTK/JPTK Universitas/IKIP Se Indonesia Di
Jakarta Tgl. 13-14 Februari 2004
atau perusahaan merupakan tempat yang tepat untuk menghasilkan tenaga kerja yang siap
pakai. Di lain pihak, pendidikan formal diharapkan secara maksimal mampu menghasilkan tenaga potensial yang dapat dikembangkan lebih lanjut di dunia kerja. Akan tetapi
lemahnya koordinasi antara pendidikan formal dengan dunia kerja merupakan ancaman
serius terhadap teori ini. Kesenjangan yang lebar antara kemampuan dasar yang dimiliki
oleh para lulusan dengan tuntutan ketrampilan dari dunia kerja akan mengakibatkan
proses pelatihan akan berjalan dalam waktu yang cukup lama. Sudah barang tentu hal ini
akan sangat merugikan dunia usaha karena harus menyediakan dana untuk pelatihan yang
cukup besar. Selain itu tenaga terampil yang diharapkan tidak bisa menjadi tenaga
profesional dalam jangka waktu yang cukup lama, sehingga juga mempengaruhi
produktivitas perusahaan atau industri.
III PEMBAHASAN
A. Fungsi Pendidikan
Apabila diperhatikan kembali taksonomi fungsi sistem pendidikan yang
dirumuskan oleh Sayuti Hasibuan, maka akan tampak bahwa fungsi sistem pendidikan
sebagai suatu sistem pemasok tenaga kerja terdidik lebih banyak diilhami oleh teori
Human Capital. Sistem pendidikan mempunyai arti yang sangat penting dalam menjawab
tuntutan lapangan kerja yang membutuhkan tenaga kerja, baik secara kuantitas maupun
kualitas pada berbagai jenis ketrampilan. Teori Human Capital percaya bahwa
pendidikan formal mampu menghasilkan tenaga kerja yang cakap dan terampil pada
berbagai lapangan kerja, dengan anggapan bahwa lapangan kerja yang membutuhkan
tenaga kerja tersebut sudah tersedia. Di lain pihak, fungsi sistem pendidikan sebagai
penghasil tenaga penggerak pembangunan cenderung lebih sesuai dengan teori
Krendalisme. Sistem pendidikan harus mampu membuka dan memperluas wawasan
tenaga kerja yang dihasilkan, khususnya dalam membuka peluang kerja yang baru.
Teori krendalisme yakin bahwa pelatihan dalam industri atau perusahaan merupakan
tempat yang tepat untuk menghasilkan tenaga kerja yang siap pakai. Di lain pihak,
pendidikan formal diharapkan secara maksimal mampu menghasilkan tenaga potensial
yang dapat dikembangkan lebih lanjut di dunia kerja.
Apabila diperhatikan dunia pendidikan di Indonesia sekarang ini, tampaknya
kedua fungsi sistem pendidikan yang disebutkan di atas belum terpenuhi. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Ace Suryadi & H.A.R. Tilaar10 yang menyatakan bahwa perluasan
kesempatan belajar cenderung telah menyebabkan bertambahnya pengangguran tenaga
terdidik daripada bertambahnya tenaga produktif sesuai dengan lapangan kerja.
Dinyatakan selanjutnya bahwa statistik menunjukkan bahwa prosentase penganggur
tenaga sarjana lebih besar daripada prosentase penganggur lulusan SMA atau jenjang
pendidikan yang lebih rendah. Bahkan Satryo Soemantri Brodjonegoro, Direktur Jenderal
Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional11, lebih jelas menyatatakan bahwa
10
11
Ace Suryadi & H.A.R. Tilaar, Op. Cit. Hlm. 134
Satryo Soemantri Brodjonegoro (Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi), Pengembangan Proses
Pembelajaran Modus Ganda (Dual-Mode), Makalah Disajikan pada Seminar Nasional Teknologi
Pendidikan di Universitas Negeri Jakarta, Tanggal 28 Pebruari 2000
Sinergi Pendidikan Formal, Non Formal dan Informal
4
Disajikan pada Temu Karya XIII FT/FPTK/JPTK Universitas/IKIP Se Indonesia Di
Jakarta Tgl. 13-14 Februari 2004
salah satu kelemahan pendidikan tinggi di Indonesia adalah rendahnya pemahaman
materi dan minimnya penguasaan keahlian bidang studi yang yang akhirnya membentuk
lulusan dengan kompetensi yang masih rendah. Hal ini terbukti dengan masih tingginya
tingkat pengangguran lulusan Perguruan Tinggi dan lemahnya kemampuan bersaing
dengan produk perguruan tinggi luar negeri.
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa di Indonesia belum mampu secara
optimal untuk menghasilkan tenaga kerja yang memiliki pengetahuan dan keterampilan
yang dibutuhkan oleh lapangan kerja. Sebaliknya pendidikan juga belum mampu secara
maksimal menghasilkan tenaga potensial yang dapat dikembangkan lebih lanjut di dunia
kerja. Pada kasus yang kedua, memang masih ada kemungkinan bahwa pendidikan sudah
menghasilkan tenaga potensial yang memiliki kemampuan dasar, namun dunia usaha
atau industri belum mampu secara optimal memberikan pelatihan kerja kepada para
lulusan tersebut untuk menjadi tenaga kerja yang siap pakai.
B. Jalur Pendidikan
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 menetapkan bahwa jalur
pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling
melengkapi dan memperkaya. Ditetapkan di sana bahwa pendidikan formal terdiri dari
pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Sementara itu, untuk
pendidikan nonformal ditetapkan bahwa pendidikan nonformal diselenggarakan bagi
warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai
pengganti, penambah, dan atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung
pendidikan sepanjang hayat. Ditetapkan pula bahwa pendidikan nonformal berfungsi
mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan
dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.
Sementara itu, pendidikan informal ditetapkan sebagai pendidikan yang dilakukan oleh
keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar mandiri. Diatur juga bahwa hasil
pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan pendidikan formal setelah melalui
proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau
Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan, sedangkan untuk
pendidikan informal diatur bahwa hasil pendidikan informal diakui sama dengan
pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar
nasional pendidikan. (Departemen Pendidikan Nasional, 2003).
Ketiga jalur pendidikan yang ditetapkan diharapkan menghasilkan sumberdaya
manusia berkualitas untuk mendukung pembangunan nasional. Ilmu pengetahuan dan
teknologi terus berkembang, yang mewajibkan warga negara belajar sepanjang hayat.
Sementara itu, karena berbagai alasan, kesempatan untuk mengikuti pendidikan formal
tidak selamanya bisa dicapai. Oleh karena itu pendidikan nonformal diharapkan dapat
menggantikan pendidikan formal bagi warga yang tidak sempat mengikuti pendidikan
formal. Selain itu, disadari pula bahwa tidak semua keahlian yang diperlukan di
masyarakat dapat dipenuhi oleh pendidikan formal, sehingga pendidikan nonformal juga
diharapkan berfungsi sebagai penambah atau pelengkap keahlian yang tidak diperoleh
Sinergi Pendidikan Formal, Non Formal dan Informal
5
Disajikan pada Temu Karya XIII FT/FPTK/JPTK Universitas/IKIP Se Indonesia Di
Jakarta Tgl. 13-14 Februari 2004
pada pendidikan formal. Bila kesempatan mengikuti pendidikan nonformal juga sulit
diperoleh maka jalur pendidikan informal masih bisa diikuti. Melalui belajar mandiri di
keluarga atau lingkungan, diharapkan anggota masyarakat mampu mengadopsi keahlian
yang diperlukan di masyarakat.
C. Sertifikasi dan Akreditasi
Penilaian diartikan sebagai proses pengukuran dan penafsiran hasil pengukuran
tingkat penguasaan mahasiswa terhdap kompetensi yang harus dikuasai. Sementara itu,
sertifikasi diartikan sebagai suatu proses pengakuan keahlian dan kewenangan mahasiswa
dalam melaksanakan tugas-tugas pekerjaan tertentu, melalui suatu proses sistem
pengujian keahlian yang mengacu kepada standar keahlian yang berlaku dan diakui di
lapangan kerja12. Ini berarti, penilain itu ditujukan untuk menilai proses pembelajaran di
kampus untuk menentukan tingkat penguasaan materi, yang kemudian dinyatakan dalam
bentuk nilai yang nantinya akan tertera pada transkrip akademik. Di lain pihak sertifikasi
dimaksudkan penilain terhadap penguasaan ketrampilan di lapangan kerja, yang apabila
sudah dinyatakan lulus akan dihargai dengan sertifikat, yang menyatakan bahwa yang
bersangkutan sudah mampu melakukan pekerjaan (ketrampilan) yang dipersyaratkan.
Pendidikan teknologi dan kejuruan lebih menekankan pada penguasaan
keterampilan daripada teori. Peserta didik lebih dituntut untuk dapat berbuat sesuatu
daripada hanya mengetahui sesuatu. Pada jalur pendidikan formal, pendidikan sistem
ganda mampu meningkatkan profesionalisme lulusan melalui kerjasama dengan dunia
kerja. Artinya, siswa sekolah kejuruan dengan bekal pengetahuan dan keterampilan yang
diperoleh di sekolah, menimba pengalaman kerja di dunia kerja untuk meningkatkan
profesionalisme. Dengan demikian, keahlian yang dimiliki mendapat pengakuan dari
dunia kerja.
Pertanyaan yang sering timbul adalah, bagaimana kalau terjadi kasus yang
sebaliknya, yaitu tenaga terampil yang dididik oleh dunia kerja melalui pendidikan non
formal atau informal, mungkinkah diberikan pembinaan kepada mereka agar mendapat
legalisasi dari masyarakat. Legalisasi seperti ini memang bukan urusan yang mudah.
Sangat banyak variabel yang harus dipertimbangkan, antara lain bidang keahlian, standar
penilaian, dan penetapan pihak yang berhak melegalisasi. Legalisasi memerlukan
kompetensi tambahan selain keahlian yang dimiliki. Moral, etika, dan tatakrama
pergaulan ilmiah merupakan kompetensi yang harus dimiliki di luar keahlian, agar
keahlian yang dimiliki diabdikan untuk kebaikan, serta hasil karya yang diciptakan
mampu diusahakan untuk mendapatkan hak atas karya intelektual.
Banyak dunia usaha dan industri yang sudah memberikan pembinaan kepada
karyawan dan calon karyawannya untuk memperoleh legalisasi atas keahlian yang
dimiliki, namun masih terbatas pada dunia usaha dan industri yang berskala besar. Bagi
dunia usaha dan industri skala kecil yang dengan baik hati membina keterampilan tenaga
kerjanya sungguh memerlukan suatu mekanisme untuk membina karyawannya agar bisa
mendapatkan legalisasi atas keahlian yang dimiliki.
12
Departemen Pendidikan dan Lebudayaan, Op. Cit., hlm. 10
Sinergi Pendidikan Formal, Non Formal dan Informal
6
Disajikan pada Temu Karya XIII FT/FPTK/JPTK Universitas/IKIP Se Indonesia Di
Jakarta Tgl. 13-14 Februari 2004
Pendidikan informal telah banyak menghasilkan tenaga profesional sejak dahulu.
Banyak penari, pemusik, pelukis, pemahat, arsitek, pelaut, ahli perbintangan, atau
bahkan ahli pengobatan lahir dari pendidikan informal. Pendidikan dilalui melalui proses
informal dengan mendatangi guru atau bekerja bersama guru. Dalam bidang seni dikenal
proses nyantrik, yaitu proses belajar langsung pada guru sambil membantu segala sesuatu
yang dikerjakan guru. Dalam bidang pertukangan atau permesinan, proses asistensi
banyak menghasilkan tenaga profesional. Calon tukang atau calon teknisi melayani
seniornya sambil belajar. Kurikulum berbasis kompetensi telah lebih dulu diterapkan
karena tidak pernah ada batasan materi yang harus dipelajari melainkan ditetapkan
kompetensi yang harus dikuasai. Sayangnya pendidikan informal terlambat dalam urusan
memperoleh legalisasi.
Kehadiran teknologi sangat banyak membantu penguasaan bidang kejuruan untuk
setiap orang yang berminat, tanpa banyak menuntut latar belakang pendidikan yang
relevan. Kehadiran paket komputer akuntansi menjadikan seseorang menguasai keahlian
akuntansi, padahal pendidikan formalnya tidak terkait dengan pendidikan akuntansi.
Demikian pula seseorang yang tidak memiliki latar belakang pendidikan arsitektur
mampu menghasilkan gambar teknik berkat bantuan paket autoCAD. Tentunya
diperlukan legalisasi untuk keahlian alternatif yang diperoleh secara informal jika
keahlian allternatif yang dimiliki ingin digunakan untuk mencari peluang kerja,
khususnya apabila penyedia lapangan kerja tidak cukup hanya menilai kompetensi calon
tenaga kerja melainkan juga menyertakan persyaratan legalisasi.
Dalam pendidikan teknologi dan kejuruan yang mengutamakan keterampilan,
diperlukan suatu kerjasama yang baik antara penyelenggara pendidikan formal,
penyelenggara pendidikan nonformal, dan dunia usaha yang menyelenggarakan
pendidikan informal. Ketiganya bisa saling bersimbiosa, dalam upaya peningakatan
kualitas sumber daya manusia secara umum. Penyelenggara pendidikan formal atau
nonformal mesti merasa memerlukan dunia usaha, sebagai tempat menempa
profesionalitas lulusan. Sebaliknya, dunia usaha yang menyelenggarakan pendidikan
informal mesti merasa memerlukan pendidikan formal untuk meningkatkan kualitas
karyawannya yang secara tidak langsung menempuh pendidikan informal. Kondisi
merasa saling memerlukan akan sangat mendukung terciptanya kesepahaman untuk
bekerjasama saling memajukan.
IV PENUTUP
Pendidikan teknologi dan kejuruan diharapkan menghasilkan sumberdaya
manusia profesional di berbagai bidang untuk mendukung pembangunan. Pendidikan
teknologi dan kejuruan kejuruan dapat dilakukan melalui jalur formal, jalur nonformal,
dan jalur informal. Kunci utama yang harus dipegang dalam penyelenggaraan
pendidikan teknologi dan kejuruan adalah adanya rasa saling memerlukan antara
penyelenggara pendidikan formal atau nonformal dengan dunia usaha sebagai
penyelenggara pendidikan informal. Kekurangan yang ada pada masing-masing jalur
pendidikan akan dapat ditutupi dengan mensinergikan ketiga jalur pendidikan tersebut.
Sinergi Pendidikan Formal, Non Formal dan Informal
7
Disajikan pada Temu Karya XIII FT/FPTK/JPTK Universitas/IKIP Se Indonesia Di
Jakarta Tgl. 13-14 Februari 2004
Keterampilan yang terkadang kurang pada pendidikan formal bisa diperkuat di jalur
nonformal atau informal melalui pendidikan sistem ganda. Demikian pula pengakuan
yang terkadang sulit diperoleh pada jalur pendidikan nonformal atau informal dapat
diusahakan melalui pembentukan mekanisme legalisasi. Dengan demikian keterampilan
sebagai syarat mencari peluang kerja untuk mendapatkan penghasilan dan pengakuan
untuk aktualisasi diri dapat diperoleh dengan memulai dari salah satu jalur pendidikan
yang ada. Akibatnya, pemerataan pendidikan dan pemenuhan tenaga profesional untuk
pembangunan akan dapat berjalan beriringan.
DAFTAR PUSTAKA
Ace Suryadi, Pendidikan, Investasi SDM, dan Pembangunan, Jakarta: Balai Pustaka,
1999
Ace Suryadi & H.A.R. Tilaar, Analisis Kebijakan Pendidikan, Suatau Pengantar,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994
Robinson, Philip, Perspektives on the Sociology of Education, An Introduction, London:
Routledege & Kegan Paul, 1981
Salmi, Jami, Higher Education Facing the Chalenges of the 21 st Century,
TechKnowLogia, January/February, 2000
Satryo Soemantri Brodjonegoro (Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi), Pengembangan
Proses Pembelajaran Modus Ganda (Dual-Mode), Makalah Disajikan pada
Seminar Nasional Teknologi Pendidikan di Universitas Negeri Jakarta, Tanggal
28 Pebruari 2000
Semiawan, Conny R., Pendidikan Tinggi: Peningkatan Kemampuan Manusia Sepanjang
Hayat Seoptimal
Mungkin, Jakarta: Grasindo, 1999
Sinergi Pendidikan Formal, Non Formal dan Informal
8
Download