BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap individu dapat menilai diri sendiri berdasarkan kemampuan dalam mengerjakan segala sesuatu. Penilaian terhadap kemampuan yang dimiliki dapat mempengaruhi keyakinan individu dalam setiap pencapaian tugas. Coopersmith (1967) mendefinisikan self-esteem sebagai proses evaluasi diri seseorang mengenai kualitas-kualitas yang ada pada dirinya dan terjadi terus-menerus sepanjang hidup. Self-esteem memiliki kesamaan makna dengan self-regard, self-worth, selfconfidence dan kebanggaan (Baumeister, 2005). Dimensi penilaian self-esteem berbentuk kontinum dimulai dari rentang rendah hingga tinggi atau dari rentang negatif hingga positif. Individu yang memiliki self-esteem tinggi menunjukan keyakinan terhadap kemampuan yang dimiliki sedangkan individu dengan self-esteem rendah memiliki keyakinan rendah pada kemampuan yang dimiliki sehingga lebih memiliki perasaan tidak berharga (Baumeister, 2005). Perbedaan individu yang memiliki self-esteem rendah dengan individu yang memiliki self-esteem tinggi salah satunya dapat dilihat dari cara individu menghadapi kegagalan. Brown dan Marshall (2002) mengungkapkan bahwa self-esteem merupakan prediktor unik bagi tiap individu mengenai cara seseorang melihat dirinya ketika mengalami kegagalan. Keduanya memiliki perasaan sedih dan kecewa akan tetapi individu dengan self-esteem tinggi menghadapi kegagalan dan kekecewaan tanpa melibatkan perasaan bahwa dirinya tidak berharga (Brown & Marshall, 2002). Self-esteem menjadi salah satu faktor penting dalam perkembangan individu. Self-esteem tinggi banyak dikaitkan dengan perilaku-perilaku positif sedangkan self1 2 esteem rendah banyak dikaitkan dengan perilaku negatif. Individu yang dapat menghargai setiap kemampuan yang dimiliki cenderung menjadi individu yang lebih bahagia (Baumeister, 2005). Baron & Byrne (2004) juga mengungkapkan bahwa memiliki self-esteem tinggi berarti seorang individu menyukai dirinya sendiri. Beberapa penelitian menyebutkan individu dengan self-esteem tinggi lebih baik dalam menghadapi kegagalan, lebih popular di kalangan teman sebaya, lebih mudah menjalin pertemanan dengan lingkungan baru dan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menyelesaikan konflik (Baumeister, 2005; Buhrmester, Furman, Wittenberg, & Reis, 1988). Menjadi individu yang memiliki self-esteem tinggi merupakan keinginan sebagian besar orang. Tidak heran banyak buku-buku dan juga artikel yang menawarkan cara-cara untuk meningkatkan self-esteem. Ahli-ahli psikologi terdahulu juga telah menawarkan bentuk-bentuk terapi dengan tujuan meningkatkan rasa kepercayaan terhadap kemampuan diri sendiri. Salah satu tokoh yang mengembangkan terapi tersebut adalah Carl Rogers dengan proses terapi yang dikenal dengan unconditional positive regard (Feist & Feist, 2011). Penerimaan tanpa syarat dari terapis membuat klien merasa dihargai, disukai dan diterima sehingga dapat meningkatkan self-esteemnya. Erickson dalam Feist & Feist (2011) menjelaskan pentingnya self-esteem dalam tahap perkembangan Individu. Self-esteem rendah terkait dengan perasaan rendah diri. Tahap perkembangan Erickson pada masa sekolah ditandai dengan adanya krisis industri versus rasa rendah diri. Industri merupakan kesungguhan, kemauan untuk tetap sibuk dan menyelesaikan suatu pekerjaan. Rendah diri menunjukan perasaan tidak mampu pada individu sehingga individu tersebut cenderung menjadi tidak kompeten di sekolah. Apabila pada tahapan ini perasaan 3 rendah diri lebih dominan maka akan mengganggu tahap perkembangan individu selanjutnya. Idealnya setiap individu harus memiliki self-esteem tinggi karena self-esteem rendah memiliki dampak bagi perkembangan baik dalam jangka waktu pendek maupun panjang. Self-esteem rendah menunjukan beberapa korelasi dengan perilaku negatif seperti membenci diri sendiri (Brown & Marshall, 2002), merasa bahwa dirinya tidak berharga (Baumeister, 2005), tindak kekerasan (Anderson, 1995), depresi (Orth, Robins, & Trzesniewski, 2010), dan keinginan untuk bunuh diri (Bhar, Ghahramanlow-Holloway, Brown, & Beck, 2008). Selain itu self-esteem rendah juga menunjukan beberapa permasalahan terkait dengan hubungan sosial. Donnellan, Trzesniewski, Robins, Moffitt, & Caspi (2005) menemukan dalam penelitiannya bahwa self-esteem rendah memiliki hubungan yang kuat dengan eksternalisasi perilaku yaitu agresif, anti sosial, dan kenakalan dan prestasi akademik yang buruk. Individu dengan self-esteem rendah dianggap tidak lebih popular dibandingkan dengan individu yang memilki self-esteem tinggi. Bahkan beberapa individu yang memiliki self-esteem rendah secara ekstrim cenderung tidak disukai oleh teman-temannya (Baumeister, 2005) Dari hasil temuan di atas dapat disimpulkan bahwa self-esteem rendah memiliki dampak buruk bagi diri sendiri dan bagi hubungan individu dengan orang lain. Salah satu dampak yang muncul adalah perilaku agresif. Bagi individu dengan self-esteem rendah perilaku agresif merupakan cara individu untuk mendapatkan perhatian dan pengakuan atas dirinya. Akan tetapi, di sisi lain individu dengan selfesteem menunjukan perilaku yang selalu mengecilkan kemampuan dirinya sendiri, menutup diri dan jarang bergaul dengan orang lain. Mengenai hal tersebut Bushman & Baumeister dalam Baumeister (2005) mengungkapkan bahwa perilaku yang 4 cenderung mengarah pada agresivitas dan kekerasan dilakukan oleh orang yang memiliki hidden low self-esteem. Hidden low self-esteem adalah self-esteem rendah pada diri individu yang ditampakan dengan perilaku-perilaku yang cenderung berani seolah individu tersebut memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Self-esteem berkembang semenjak masa awal kanak-kanak dan terus berubah sepanjang waktu. Perkembangan self-esteem terjadi secara fluktuatif menyesuaikan dengan pengalaman hidup individu (Brown & Marshall, 2002). Perhatian dan kelekatan orang tua dengan anaknya memberikan dampak positif bagi perkembangan self-esteem sedangkan pengalaman-pengalaman traumatis memberikan dampak negatif pada perkembangan self-esteem individu (Brown & Marshall, 2002) Bullying merupakan salah satu bentuk peristiwa traumatis yang dapat mempengaruhi perkembangan self-esteem. Olweus (1993) mendefinisikan bullying dalam bukunya yang berjudul Bullying at School bahwa: “A student is being bullied or victimized when he or she is exposed, repeatedly and over time, to negative actions on the part of one or more other students.” Dari definisi di atas terdapat tiga elemen penting dalam bullying yaitu perilaku negatif, dilakukan secara berulang-ulang dan sepanjang waktu (terkait dengan frekuensi perilaku tersebut berlangsung) serta adanya pelaku dan korban baik seorang individu maupun kelompok. Beberapa tahun terakhir, banyak kasus bullying yang terjadi di sekolah mulai terkuak. Sebuah media berita online merangkum beberapa kejadian bullying yang terjadi di Indonesia antara lain yaitu bullying yang dilakukan kakak kelas kepada adik kelasnya di SMAN 70 Jakarta tahun 2014, Siswa SDN 07 Pagi Kebayoran lama yang dianiaya temannya hingga tewas tahun 2015, bullying yang dilakukan oleh 5 siswa berseragam pramuka di SDN 04 Binjai yang memaki, menendang serta menampar temannya, dan siswa baru di SMA Seruni Don Bosco dianiaya oleh 18 seniornya (Susanti, 2015) Hasil dari beberapa penelitian menyebutkan keterlibatan anak terhadap bullying cukup besar. Levy, Cortesi, Gasser, Crowley, Beaton, Casey, & Nolan (2012) menemukan bahwa 20-30% remaja pernah terlibat bullying baik sebagai pelaku, korban atau keduanya. Persentase tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan di United Kingdom yaitu sekitar 25% anak melaporkan dirinya pernah menjadi korban bullying (Fisher, Moffitt, Houts, Belsky, Arseneault, & Caspi, 2012; Radford, Corral, Bradley, Fisher, Bassett, Howat, Nick, & Stephan, 2011) Di Indonesia, hasil survey dari Global School-Based Student Health Survey (GSHS) tahun 2007 pada 3.116 siswa kelas 7 hingga kelas 9 dari 50 sekolah yang terlibat menunjukan 49,7% siswa menjadi korban bullying sekali atau lebih dalam satu bulan terakhir (Soerachman & Team, 2007). Persentase keterlibatan anak dengan bullying di Indonesia menunjukan jumlah hampir 50%. Banyaknya anak yang pernah menjadi korban bullying menunjukan bahwa beberapa anak lain juga pernah terlibat bullying sebagai pelaku. Olweus (1993) membedakan keterlibatan individu dalam bullying menjadi tiga yaitu pelaku, korban dan korban/pelaku. Korban/pelaku merupakan bentuk keterlibatan seorang individu sebagai korban bullying akan tetapi di tempat lain dia juga menjadi pelaku bullying. Keterlibatan yang tinggi dalam perilaku bullying baik sebagai pelaku, korban maupun keduanya memiliki dampak bagi masing-masing. Dalam Barcia & Bushey (2010) Hawker and Boulton mengungkapkan korban bullying memiliki lebih banyak perasaan dan pikiran negatif mengenai dirinya sendiri dibandingkan dengan teman 6 lain yang tidak menjadi korban. Anak yang menjadi pelaku bullying berkaitan dengan segala macam masalah kesehatan mental (Yen, PinchenYang, Wang, Lin, Liu, Wu, & Tang, 2014), gangguan bipolar, konsumsi alkohol, penggunaan zat adiktif, conduct disorder, antisosial, agresif, mendominasi teman (Haynie, Nansel, Eitel, Crump, Saylor, Yu, & Simons-Morton, 2001), gangguan paranoid dan gangguan kepribadian histrionik (Vaughn, Fu, Bender, DeLisi, Beaver, Perron, & Howard, 2010). Peran sebagai pelaku maupun korban pada perilaku bullying dapat bertahan dalam jangka waktu lama. Chapell, Hasselman, Kitchin, Lomon, Maclver, & Sarullo (2006) menemukan adanya korelasi positif antara menjadi korban, pelaku maupun pelaku/korban pada masa sekolah dasar hingga masuk perguruan tinggi. Individu yang pernah menjadi pelaku bullying pada masa sekolah dasar memiliki kemungkinan menjadi pelaku juga pada masa SMA hingga perguruan tinggi. Korban bullying memiliki kemungkinan yang sama untuk menjadi korban lagi hingga masa dewasa. Penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Card (2003) menunjukan bahwa beberapa hal yang mendasari seseorang menjadi sasaran perilaku bullying juga ditemukan sebagai konsekuensi dari perilaku bullying itu sendiri. Anak yang menjadi target bully oleh teman-temannya memiliki beberapa karakteristik berikut: kondisi fisik yang lemah, internalisasi masalah (yaitu ditandai dengan perilaku yang lebih berfokus ke dalam diri sendiri seperti depresi, menarik diri dari lingkungan sosial, gangguan kecemasan dan mood) eksternalisasi masalah (ditandai dengan perilaku yang diarahkan ke luar diri seperti agresivitas, ketidakpatuhan, overaktif, dan impulsif), keterampilan sosial/perilaku prososial yang rendah, self-concept rendah, mengalami penolakan dari teman dan hanya memiliki sedikit teman. Konsekuensi dari anak yang telah mengalami bullying menunjukan karakteristik yang hampir sama seperti kondisi fisik yang lemah, internalisasi masalah, eksternalisasi masalah, menurunnya 7 keterampilan sosial/perilaku prososial, menurunnya konsep diri, penolakan dari teman dan menghindar dari lingkungan sekolah. Karakteristik tersebut menjelaskan alasan seorang yang pernah menjadi korban bullying biasanya akan berkelanjutan menjadi korban hingga masa dewasa. Bertahannya peran individu dalam keterlibatan bullying dari masa sekolah dasar hingga perguruan tinggi mengindikasikan dampak dari bullying juga dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama hingga memasuki masa dewasa awal (Spivak, 2003; Kim, Leventhal, Koh, Hubbard, & Boyce, 2006; McDougall & Vaillancourt, 2015). Olweus (1993) juga berpendapat bahwa efek dari bullying dapat berlanjut sampai seorang anak telah menyelesaikan sekolahnya. Bullying juga diindikasikan sebagai permasalahan yang kronis karena berawal dari masa kecil, bertahan hingga masa dewasa dengan efek yang merugikan pada perkembangan dan pemeliharaan hubungan interpersonal yang sehat (Oliver, Hazler, & Hoover, 1994). Kowalski, Limber, & Agatston (2012) menambahkan meskipun bullying telah berlangsung pada waktu yang lama hanya dengan mendengar nama orang yang melakukan bullying padanya sudah dapat mengingatkan kembali korban pada peristiwa bullying yang pernah ia alami. Sesuai dengan yang diungkapkan oleh Chen, Williams, Fitness, & Newton (2008) bahwa sakit secara sosial lebih mudah untuk diingat dan dirasakan kembali dengan lebih intens dibandingkan penyakit fisik. Penelitian longitudinal menunjukkan menjadi korban bullying pada masa remaja awal dapat meningkatkan gejala depresi (Vaillancourt, Duku, Becker, Schmidt, Nicol, Muir, & MacMillan, 2011; Sourander, Jensen, Rönning, Niemelä, Helenius, Sillanmäki, Kumpulainen, Piha, Tamminen, & Moilanen, 2007; Baker & Bugay, 2011), menurunnya self-esteem (Overbeek, Zeevalkink, Vermulst, & Scholte, 2010; 8 Cammack-Barry, 2004), kecemasan (Cammack-Barry, 2004; Sourander, et al., 2007), kesendirian (loneliness) (Chambless, 2010), antisosial (Sourander, et al., 2007) dan prestasi akademik yang buruk (Vaillancourt, Hymel, & McDougall, 2013) pada usia dewasa awal. Penelitian longitudinal lain menemukan bahwa 50% anak yang sering mengalami bullying telah mencoba untuk menyakiti dirinya sendiri pada usia remaja awal (Fisher, Moffitt, Houts, Belsky, Arseneault, & Caspi, 2012). Buhs dan koleganya mengikuti perkembangan 400 anak di Amerika Serikat semenjak taman kanak-kanak hingga tingkat lima Sekolah Dasar menunjukkan bahwa anak yang ditolak oleh teman sebayanya saat kelompok usia kanak-kanak lebih mungkin tidak dipilih dan diabaikan oleh teman sebayanya (Buhs, Ladd, & Herald, 2006,2010). Olweus (1997) menemukan dampak jangka panjang bagi pelaku bullying. Dari hasil follow up study menunjukan sekitar 60% anak-anak laki-laki yang menjadi pelaku bullying pada masa sekolah memiliki catatan kriminal minimal satu kali pada usia 24 tahun. Pelaku bully pada masa dewasa memiliki tingkat keberhasilan lebih kecil untuk mencapai kesuksesan di bidang akademis, professional dan sosial akan tetapi memiliki kemungkinan lebih besar untuk memiliki seorang anak yang nantinya menjadi seorang pelaku bullying juga (Roberts, 2006). Selain penelitian longitudinal, penelitian retrospektif juga digunakan untuk melihat dampak jangka panjang dari bullying. Penelitian retrospektif sebelumnya menemukan adanya korelasi secara langsung mengenai pengalaman bullying masa kecil dengan cara wanita mempersepsikan dirinya sendiri dan hubungannya dengan wanita lainnya (Barcalow, 2013). Mahasiswa yang memiliki pengalaman bullying selama masa anak-anak dan/atau remaja lebih memiliki kemungkinan untuk mengalami depresi (Roth, Coles, & Heimberg, 2002; Storch, Roth, Coles, Heimberg, & Bravata, 2004), gangguan kecemasan (McCabe, Antony, Summerfeldt, Liss, & 9 Swinson, 2003) dan masalah dalam hubungan interpersonal (Ledley, Storch, Coles, Heimberg, Moser, & Bravata, 2006; Schäfer, Korn, Smith, Hunter, Mora-Merchán, Singer, & Meulen, 2004) dibandingkan dengan mahasiswa yang tidak memiliki sejarah mengalami bullying. Selain itu mahasiswa yang melaporkan bahwa dirinya pernah mengalami bullying pada masa sekolah lebih memiliki perasaan bahwa dirinya hanya memiliki kontrol yang rendah untuk mengatur pencapaian dalam hidupnya (Dempsey & Storch, 2008) dan memiliki self esteem rendah (Olweus,1993; Ledley et al., 2006). Bullying dalam bentuk apapun berkonotasi dengan penolakan dari temanteman hal ini dapat berdampak pada kesehatan psikologis dan menurunnya selfesteem (McCabe, Miller, Laugesen, Antony, & Young, 2010). Gleason, Alexander & Somers dalam (Baron & Byrne, 2004) mengungkapkan salah satu hal yang menimbulkan pengaruh negatif pada masa dewasa adalah bila sering diejek ketika kanak-kanak. Hal ini merupakan sebuah pengalaman yang dapat menurunkan selfesteem dan citra diri yang buruk pada masa remaja baik laki-laki maupun perempuan. Spade (2007) meneliti hubungan antara perilaku bullying dan tingkat selfesteem pada anak kelas 3 hingga kelas 5 sekolah dasar hasilnya menunjukkan apabila perilaku bullying meningkat maka self-esteem menurun sedangkan jika selfesteem rendah maka perilaku bullying meningkat. Dari penelitian tersebut menyebutkan bahwa self-esteem selain menjadi dampak juga menjadi prediktor terjadinya perilaku bullying. Self-esteem merupakan salah satu dampak jangka panjang yang sering disebut keterkaitannya dengan perilaku bullying baik sebagai pelaku maupun korban. Korban bullying kebanyakan dihubungkan dengan tingkat self-esteem yang rendah 10 (Olweus, 1993; Ledley, et al., 2006; Holt, Finkelhor, & Kantor, 2007) sedangkan pada pelaku bullying masih terdapat beberapa pendapat berbeda apakah seorang pelaku bullying memiliki tingkat self-esteem rata-rata atau diatas rata-rata (Olweus,1993; Granatstein, 1995) bila dibandingkan dengan individu yang tidak menjadi pelaku bullying. Pendapat berbeda muncul dari penelitian Seals dan Young (2003) yang menyebutkan tingkat self-esteem pada pelaku maupun korban bullying tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Berdasarkan beberapa hasil penelitian sebelumnya self-esteem menunjukan keterkaitan yang kuat dengan perilaku bullying. Bullying merupakan salah satu peristiwa traumastis yang dapat mempengaruhi perkembangan self-esteem. Selain itu self-esteem juga menjadi indikasi keterlibatan seorang individu dalam perilaku bullying. Self-esteem pertama tumbuh di dalam keluarga dimana seorang individu tinggal. Cara orang tua memperlakukan anaknya dapat menjadi model dari seorang individu dalam menghadapi setiap konflik. Epstein dalam Brown & Marshall (2002) mengatakan bahwa individu dengan self-esteem tinggi lahir dari keluarga yang dapat menghargai keberhasilan individu dan dapat memberikan toleransi terhadap kegagalan. Kelekatan orang tua berhubungan dengan perkembangan self-esteem anak (Brown & Marshall, 2002). Sebaliknya Epstein dalam Brown & Marshall (2002) juga mengungkapkan bahwa individu yang memiliki self-esteem rendah cenderung sensitif terhadap kegagalan, membutuhkan waktu lama untuk bangkit dari kegagalan dan pesimis dalam menjalani hidup. Hal ini terjadi karena memiliki orang tua yang selalu mengkritik kegagalan dan hanya memberikan sedikit penghargaan ketika individu tersebut mengalami kesuksesan. 11 Bullying dapat menjadi petunjuk adanya masalah lain pada seorang individu (Buxton, Potter, & Bostic, 2013). Sebagian besar peneliti dan praktisi setuju bahwa bullying di sekolah berawal dari rumah, hampir semua aspek yang berkaitan dengan pola asuh orang tua menunjukan kemungkinan adanya korelasi dengan bullying (Georgiou & Stavrinides, 2013). Individu yang menjadi saksi dalam kekerasan keluarga tiga hingga tujuh kali lebih mungkin untuk terlibat dalam bullying di sekolah (Center For Disease Control and Prevention (CDC), 2011). Lingkungan keluarga yang kacau dan tidak stabil adalah kontributor yang signifikan untuk berkembangnya perilaku agresif dan juga masalah kesehatan mental pada anak-anak (Desai, 2014). Pola asuh orang tua juga berhubungan dengan tindakan bullying (Bowers, Smith, & Binney, 1994; Haynie, et al.,2001). Selain sebagai pemicu tindakan bullying dukungan antara orang tua pada anak yang ditandai dengan kehangatan dan keterlibatan orang tua dapat mengurangi dampak negatif sebagai korban bullying (Stadler, Feifel, Rohrmann, Vermeiren, & Poustka, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Georgiou dan Stavrinides (2013) juga menemukan bahwa pola asuh orang tua memiliki hubungan dengan tindakan bullying dan menjadi korban bullying ketika di sekolah. Baldry and Farrington dalam Georgiou & Stavrinides (2013) mengungkapkan anak yang menjadi korban bullying kebanyakan berasal dari pola asuh orang tua yang permisif sedangkan pelaku bullying berasal dari pola asuh authoritarian. Olweus (1993) mengatakan bahwa bullying terjadi dalam jangka waktu panjang dan peristiwa yang berulang. Peristiwa yang terjadi berulang kali lebih mudah terekam di dalam ingatan dibandingkan yang tidak (Hintzman, 2010). Beberapa penelitian telah menemukan bahwa keterlibatan individu dengan bullying dapat berpengaruh terhadap perkembangan self-esteem. Peristiwa bullying yang dialami individu pada masa kecil dapat memberikan dampak jangka panjang hingga 12 masa dewasa pada semua yang terlibat. Self-esteem rendah pada masa remaja menjadi prediksi konsekuensi negatif pada masa dewasa (Trzesniewski, Donnellan, Moffitt, Robins, Poulton, & Caspi, 2006). Selain itu penelitian sebelumnya juga menyebutkan bahwa pola asuh, perhatian dan kelekatan orang tua dengan anaknya memiliki pengaruh terhadap self-esteem. Self-esteem tinggi tidak akan pernah didapat apabila sepanjang hidup seorang individu mengalami bullying. Melihat fakta yang ada mengenai banyaknya jumlah individu yang terlibat bullying pada masa sekolah, peneliti memiliki ketertarikan untuk mengetahui lebih dalam mengenai hal tersebut. Di Indonesia belum banyak penelitian yang meneliti mengenai dampak jangka panjang dari perilaku bullying serta pengaruh pola asuh orang tua terhadap self-esteem individu. Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang telah ada peneliti memiliki empat pertanyaan penelitian yaitu (1) Apakah terdapat hubungan antara pengalaman bullying sebagai korban dengan self-esteem pada usia dewasa awal? (2) Apakah terdapat hubungan antara pengalaman bullying sebagai pelaku dengan self-esteem pada usia dewasa awal? (3) Apakah terdapat perbedaan self-esteem pada individu yang pernah terlibat bullying berdasarkan peran keterlibatanya sebagai korban atau pelaku? (4) Apakah terdapat perbedaan self-esteem pada individu yang pernah terlibat bullying berdasarkan empat gaya pola asuh orang tua i.e. authoritarian, authoritative, neglectful, dan indulgent/permissive? Penelitian ini akan dilakukan secara retrospektif untuk melihat hubungan antara pengalaman bullying yang dimiliki individu terkait dengan perannya sebagai pelaku maupun korban dengan self esteem yang dimiliki pada usia dewasa awal. Pengalaman bullying masing-masing subjek dikategorikan menjadi dua yaitu korban atau pelaku. Selain itu untuk penelitian ini juga dilakukan untuk melihat apakah 13 terdapat perbedaan self esteem masing-masing subjek baik yang memiliki pengalaman bullying sebagai pelaku maupun korban dengan empat gaya pola asuh orang tua i.e. authoritarian, authoritative, neglectful, dan indulgent/permissive. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiris dampak jangka panjang bullying terhadap perkembangan self-esteem serta keterkaitannya dengan gaya pola asuh orang tua. C. Manfaat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan untuk memberikan beberapa manfaat secara praktis dan teoritis sebagai berikut: a. Teoritis Penelitian ini dapat diharapkan dapat memberikan sumbangan keilmuan guna mengembangkan pengetahuan khususnya di bidang psikologi klinis, psikologi perkembangan dan psikologi sosial mengenai topik bullying. b. Praktis Penelitian ini memiliki beberapa manfaat praktis yang berguna bagi masingmasing peran sebagai berikut: 1. Individu yang terlibat bullying (pelaku dan korban bullying) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan wawasan bagi individu yang pernah terlibat bullying. Apabila penelitian ini terbukti maka dapat memberikan wawasan tambahan mengenai dampak jangka panjang dari bullying. Apabila penelitian ini tidak terbukti maka penelitian ini dapat 14 memberikan informasi mengenai beberapa dampak yang mungkin terjadi dari tindakan bullying meskipun sifatnya bukan jangka panjang. 2. Orang tua Penelitian ini menunjukan bagaimana hubungan pola asuh orang tua dengan perkembangan self-esteem serta keterlibatannya dengan perilaku bullying. Selain itu bagi orang tua anak yang pernah terlibat bullying, apabila penelitian ini terbukti maka dapat menunjukan bahwa meskipun seorang anak pernah terlibat bullying, pola asuh yang tepat dapat mengurangi dampak buruk dari perilaku bullying khususnya self-esteem rendah. Jika penelitian ini tidak terbukti maka menunjukkan bahwa tipe pola asuh orang tua tidak memiliki pengaruh yang besar pada self-esteem anak yang pernah terlibat bullying. Oleh karena itu untuk mengurangi dampak dari perilaku bullying orang tua dapat meningkatkan faktor-faktor protektif lain yang dimiliki oleh anaknya agar terhindar dari dampak bullying (e.g. meningkatkan kompetensi anak, meningkatkan rasa percaya diri pada anak)