1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap individu dapat menilai diri sendiri berdasarkan kemampuan dalam
mengerjakan segala sesuatu. Penilaian terhadap kemampuan yang dimiliki dapat
mempengaruhi keyakinan individu dalam setiap pencapaian tugas. Coopersmith
(1967) mendefinisikan self-esteem sebagai proses evaluasi diri seseorang mengenai
kualitas-kualitas yang ada pada dirinya dan terjadi terus-menerus sepanjang hidup.
Self-esteem memiliki kesamaan makna dengan self-regard, self-worth, selfconfidence dan kebanggaan (Baumeister, 2005).
Dimensi penilaian self-esteem berbentuk kontinum dimulai dari rentang
rendah hingga tinggi atau dari rentang negatif hingga positif. Individu yang memiliki
self-esteem tinggi menunjukan keyakinan terhadap kemampuan yang dimiliki
sedangkan individu dengan self-esteem rendah memiliki keyakinan rendah pada
kemampuan yang dimiliki sehingga lebih memiliki perasaan tidak berharga
(Baumeister, 2005).
Perbedaan individu yang memiliki self-esteem rendah dengan individu yang
memiliki self-esteem tinggi salah satunya dapat dilihat dari cara individu menghadapi
kegagalan. Brown dan Marshall (2002) mengungkapkan bahwa self-esteem
merupakan prediktor unik bagi tiap individu mengenai cara seseorang melihat dirinya
ketika mengalami kegagalan. Keduanya memiliki perasaan sedih dan kecewa akan
tetapi individu dengan self-esteem tinggi menghadapi kegagalan dan kekecewaan
tanpa melibatkan perasaan bahwa dirinya tidak berharga (Brown & Marshall, 2002).
Self-esteem menjadi salah satu faktor penting dalam perkembangan individu.
Self-esteem tinggi banyak dikaitkan dengan perilaku-perilaku positif sedangkan self1
2
esteem rendah banyak dikaitkan dengan perilaku negatif. Individu yang dapat
menghargai setiap kemampuan yang dimiliki cenderung menjadi individu yang lebih
bahagia (Baumeister, 2005). Baron & Byrne (2004) juga mengungkapkan bahwa
memiliki self-esteem tinggi berarti seorang individu menyukai dirinya sendiri.
Beberapa penelitian menyebutkan individu dengan self-esteem tinggi lebih baik dalam
menghadapi kegagalan, lebih popular di kalangan teman sebaya, lebih mudah
menjalin pertemanan dengan lingkungan baru dan memiliki kemampuan yang lebih
baik dalam menyelesaikan konflik (Baumeister, 2005; Buhrmester, Furman,
Wittenberg, & Reis, 1988).
Menjadi individu yang memiliki self-esteem tinggi merupakan keinginan
sebagian besar orang. Tidak heran banyak buku-buku dan juga artikel yang
menawarkan cara-cara untuk meningkatkan self-esteem. Ahli-ahli psikologi terdahulu
juga telah menawarkan bentuk-bentuk terapi dengan tujuan meningkatkan rasa
kepercayaan
terhadap
kemampuan
diri
sendiri.
Salah
satu
tokoh
yang
mengembangkan terapi tersebut adalah Carl Rogers dengan proses terapi yang
dikenal dengan unconditional positive regard (Feist & Feist, 2011). Penerimaan tanpa
syarat dari terapis membuat klien merasa dihargai, disukai dan diterima sehingga
dapat meningkatkan self-esteemnya.
Erickson dalam Feist & Feist (2011) menjelaskan pentingnya self-esteem
dalam tahap perkembangan Individu. Self-esteem rendah terkait dengan perasaan
rendah diri. Tahap perkembangan Erickson pada masa sekolah ditandai dengan
adanya krisis industri versus rasa rendah diri. Industri merupakan kesungguhan,
kemauan untuk tetap sibuk dan menyelesaikan suatu pekerjaan. Rendah diri
menunjukan perasaan tidak mampu pada individu sehingga individu tersebut
cenderung menjadi tidak kompeten di sekolah. Apabila pada tahapan ini perasaan
3
rendah diri lebih dominan maka akan mengganggu tahap perkembangan individu
selanjutnya.
Idealnya setiap individu harus memiliki self-esteem tinggi karena self-esteem
rendah memiliki dampak bagi perkembangan baik dalam jangka waktu pendek
maupun panjang. Self-esteem rendah menunjukan beberapa korelasi dengan
perilaku negatif seperti membenci diri sendiri (Brown & Marshall, 2002), merasa
bahwa dirinya tidak berharga (Baumeister, 2005), tindak kekerasan (Anderson,
1995), depresi (Orth, Robins, & Trzesniewski, 2010), dan keinginan untuk bunuh diri
(Bhar, Ghahramanlow-Holloway, Brown, & Beck, 2008).
Selain itu self-esteem rendah juga menunjukan beberapa permasalahan
terkait dengan hubungan sosial. Donnellan, Trzesniewski, Robins, Moffitt, & Caspi
(2005) menemukan dalam penelitiannya bahwa self-esteem rendah memiliki
hubungan yang kuat dengan eksternalisasi perilaku yaitu agresif, anti sosial, dan
kenakalan dan prestasi akademik yang buruk. Individu dengan self-esteem rendah
dianggap tidak lebih popular dibandingkan dengan individu yang memilki self-esteem
tinggi. Bahkan beberapa individu yang memiliki self-esteem rendah secara ekstrim
cenderung tidak disukai oleh teman-temannya (Baumeister, 2005)
Dari hasil temuan di atas dapat disimpulkan bahwa self-esteem rendah
memiliki dampak buruk bagi diri sendiri dan bagi hubungan individu dengan orang
lain. Salah satu dampak yang muncul adalah perilaku agresif. Bagi individu dengan
self-esteem rendah perilaku agresif merupakan cara individu untuk mendapatkan
perhatian dan pengakuan atas dirinya. Akan tetapi, di sisi lain individu dengan selfesteem menunjukan perilaku yang selalu mengecilkan kemampuan dirinya sendiri,
menutup diri dan jarang bergaul dengan orang lain. Mengenai hal tersebut Bushman
& Baumeister dalam Baumeister (2005) mengungkapkan bahwa perilaku yang
4
cenderung mengarah pada agresivitas dan kekerasan dilakukan oleh orang yang
memiliki hidden low self-esteem. Hidden low self-esteem adalah self-esteem rendah
pada diri individu yang ditampakan dengan perilaku-perilaku yang cenderung berani
seolah individu tersebut memiliki kepercayaan diri yang tinggi.
Self-esteem berkembang semenjak masa awal kanak-kanak dan terus
berubah sepanjang waktu. Perkembangan self-esteem terjadi secara fluktuatif
menyesuaikan dengan pengalaman hidup individu (Brown & Marshall, 2002).
Perhatian dan kelekatan orang tua dengan anaknya memberikan dampak positif bagi
perkembangan
self-esteem
sedangkan
pengalaman-pengalaman
traumatis
memberikan dampak negatif pada perkembangan self-esteem individu (Brown &
Marshall, 2002)
Bullying merupakan salah satu bentuk peristiwa traumatis yang dapat
mempengaruhi perkembangan self-esteem. Olweus (1993) mendefinisikan bullying
dalam bukunya yang berjudul Bullying at School bahwa:
“A student is being bullied or victimized when he or she is exposed, repeatedly and
over time, to negative actions on the part of one or more other students.”
Dari definisi di atas terdapat tiga elemen penting dalam bullying yaitu perilaku negatif,
dilakukan secara berulang-ulang dan sepanjang waktu (terkait dengan frekuensi
perilaku tersebut berlangsung) serta adanya pelaku dan korban baik seorang individu
maupun kelompok.
Beberapa tahun terakhir, banyak kasus bullying yang terjadi di sekolah mulai
terkuak. Sebuah media berita online merangkum beberapa kejadian bullying yang
terjadi di Indonesia antara lain yaitu bullying yang dilakukan kakak kelas kepada
adik kelasnya di SMAN 70 Jakarta tahun 2014, Siswa SDN 07 Pagi Kebayoran lama
yang dianiaya temannya hingga tewas tahun 2015, bullying yang dilakukan oleh
5
siswa berseragam pramuka di SDN 04 Binjai yang memaki, menendang serta
menampar temannya, dan siswa baru di SMA Seruni Don Bosco dianiaya oleh 18
seniornya (Susanti, 2015)
Hasil dari beberapa penelitian menyebutkan keterlibatan anak terhadap
bullying cukup besar. Levy, Cortesi, Gasser, Crowley, Beaton, Casey, & Nolan (2012)
menemukan bahwa 20-30% remaja pernah terlibat bullying baik sebagai pelaku,
korban atau keduanya. Persentase tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil
penelitian yang dilakukan di United Kingdom yaitu sekitar 25% anak melaporkan
dirinya pernah menjadi korban bullying (Fisher, Moffitt, Houts, Belsky, Arseneault, &
Caspi, 2012; Radford, Corral, Bradley, Fisher, Bassett, Howat, Nick, & Stephan,
2011) Di Indonesia, hasil survey dari Global School-Based Student Health Survey
(GSHS) tahun 2007 pada 3.116 siswa kelas 7 hingga kelas 9 dari 50 sekolah yang
terlibat menunjukan 49,7% siswa menjadi korban bullying sekali atau lebih dalam
satu bulan terakhir (Soerachman & Team, 2007).
Persentase keterlibatan anak dengan bullying di Indonesia menunjukan
jumlah hampir 50%. Banyaknya anak yang pernah menjadi korban bullying
menunjukan bahwa beberapa anak lain juga pernah terlibat bullying sebagai pelaku.
Olweus (1993) membedakan keterlibatan individu dalam bullying menjadi tiga yaitu
pelaku, korban dan korban/pelaku. Korban/pelaku merupakan bentuk keterlibatan
seorang individu sebagai korban bullying akan tetapi di tempat lain dia juga menjadi
pelaku bullying.
Keterlibatan yang tinggi dalam perilaku bullying baik sebagai pelaku, korban
maupun keduanya memiliki dampak bagi masing-masing. Dalam Barcia & Bushey
(2010) Hawker and Boulton mengungkapkan korban bullying memiliki lebih banyak
perasaan dan pikiran negatif mengenai dirinya sendiri dibandingkan dengan teman
6
lain yang tidak menjadi korban. Anak yang menjadi pelaku bullying berkaitan dengan
segala macam masalah kesehatan mental (Yen, PinchenYang, Wang, Lin, Liu, Wu, &
Tang, 2014), gangguan bipolar, konsumsi alkohol, penggunaan zat adiktif, conduct
disorder, antisosial, agresif, mendominasi teman (Haynie, Nansel, Eitel, Crump,
Saylor, Yu, & Simons-Morton, 2001), gangguan paranoid dan gangguan kepribadian
histrionik (Vaughn, Fu, Bender, DeLisi, Beaver, Perron, & Howard, 2010).
Peran sebagai pelaku maupun korban pada perilaku bullying dapat bertahan
dalam jangka waktu lama. Chapell, Hasselman, Kitchin, Lomon, Maclver, & Sarullo
(2006) menemukan adanya korelasi positif antara menjadi korban, pelaku maupun
pelaku/korban pada masa sekolah dasar hingga masuk perguruan tinggi. Individu
yang pernah menjadi pelaku bullying pada masa sekolah dasar memiliki kemungkinan
menjadi pelaku juga pada masa SMA hingga perguruan tinggi. Korban bullying
memiliki kemungkinan yang sama untuk menjadi korban lagi hingga masa dewasa.
Penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Card (2003) menunjukan bahwa
beberapa hal yang mendasari seseorang menjadi sasaran perilaku bullying
juga
ditemukan sebagai konsekuensi dari perilaku bullying itu sendiri. Anak yang menjadi
target bully oleh teman-temannya memiliki beberapa karakteristik berikut: kondisi fisik
yang lemah, internalisasi masalah (yaitu ditandai dengan perilaku yang lebih berfokus
ke dalam diri sendiri seperti depresi, menarik diri dari lingkungan sosial, gangguan
kecemasan dan mood) eksternalisasi masalah (ditandai dengan perilaku yang
diarahkan ke luar diri seperti agresivitas, ketidakpatuhan, overaktif, dan impulsif),
keterampilan sosial/perilaku prososial yang rendah, self-concept rendah, mengalami
penolakan dari teman dan hanya memiliki sedikit teman. Konsekuensi dari anak yang
telah mengalami bullying menunjukan karakteristik yang hampir sama seperti kondisi
fisik yang lemah, internalisasi masalah, eksternalisasi masalah, menurunnya
7
keterampilan sosial/perilaku prososial, menurunnya konsep diri, penolakan dari teman
dan menghindar dari lingkungan sekolah. Karakteristik tersebut menjelaskan alasan
seorang yang pernah menjadi korban bullying biasanya akan berkelanjutan menjadi
korban hingga masa dewasa.
Bertahannya peran individu dalam keterlibatan bullying dari masa sekolah
dasar hingga perguruan tinggi mengindikasikan dampak dari bullying juga dapat
bertahan dalam
jangka waktu yang lama hingga memasuki masa dewasa awal
(Spivak, 2003; Kim, Leventhal, Koh, Hubbard, & Boyce, 2006; McDougall &
Vaillancourt, 2015). Olweus (1993) juga berpendapat bahwa efek dari bullying dapat
berlanjut sampai seorang anak telah menyelesaikan sekolahnya.
Bullying juga diindikasikan sebagai permasalahan yang kronis karena berawal
dari masa kecil, bertahan hingga masa dewasa dengan efek yang merugikan pada
perkembangan dan pemeliharaan hubungan interpersonal yang sehat (Oliver, Hazler,
& Hoover, 1994). Kowalski, Limber, & Agatston (2012) menambahkan meskipun
bullying telah berlangsung pada waktu yang lama hanya dengan mendengar nama
orang yang melakukan bullying padanya sudah dapat mengingatkan kembali korban
pada peristiwa bullying yang pernah ia alami. Sesuai dengan yang diungkapkan oleh
Chen, Williams, Fitness, & Newton (2008) bahwa sakit secara sosial lebih mudah
untuk diingat dan dirasakan kembali dengan lebih intens dibandingkan penyakit fisik.
Penelitian longitudinal menunjukkan menjadi korban bullying pada masa
remaja awal dapat meningkatkan gejala depresi (Vaillancourt, Duku, Becker, Schmidt,
Nicol, Muir, & MacMillan, 2011; Sourander, Jensen, Rönning, Niemelä, Helenius,
Sillanmäki, Kumpulainen, Piha, Tamminen, & Moilanen, 2007; Baker & Bugay, 2011),
menurunnya self-esteem (Overbeek, Zeevalkink, Vermulst, & Scholte, 2010;
8
Cammack-Barry, 2004), kecemasan (Cammack-Barry, 2004; Sourander, et al., 2007),
kesendirian (loneliness) (Chambless, 2010), antisosial (Sourander, et al., 2007) dan
prestasi akademik yang buruk (Vaillancourt, Hymel, & McDougall, 2013) pada usia
dewasa awal. Penelitian longitudinal lain menemukan bahwa 50% anak yang sering
mengalami bullying telah mencoba untuk menyakiti dirinya sendiri pada usia remaja
awal (Fisher, Moffitt, Houts, Belsky, Arseneault, & Caspi, 2012). Buhs dan koleganya
mengikuti perkembangan 400 anak di Amerika Serikat semenjak taman kanak-kanak
hingga tingkat lima Sekolah Dasar menunjukkan bahwa anak yang ditolak oleh teman
sebayanya saat kelompok usia kanak-kanak lebih mungkin tidak dipilih dan diabaikan
oleh teman sebayanya (Buhs, Ladd, & Herald, 2006,2010).
Olweus (1997) menemukan dampak jangka panjang bagi pelaku bullying. Dari
hasil follow up study menunjukan sekitar 60% anak-anak laki-laki yang menjadi
pelaku bullying pada masa sekolah memiliki catatan kriminal minimal satu kali pada
usia 24 tahun. Pelaku bully pada masa dewasa memiliki tingkat keberhasilan lebih
kecil untuk mencapai kesuksesan di bidang akademis, professional dan sosial akan
tetapi memiliki kemungkinan lebih besar untuk memiliki seorang anak yang nantinya
menjadi seorang pelaku bullying juga (Roberts, 2006).
Selain penelitian longitudinal, penelitian retrospektif juga digunakan untuk
melihat dampak jangka panjang dari bullying. Penelitian retrospektif sebelumnya
menemukan adanya korelasi secara langsung mengenai pengalaman bullying masa
kecil dengan cara wanita mempersepsikan dirinya sendiri dan hubungannya dengan
wanita lainnya (Barcalow, 2013). Mahasiswa yang memiliki pengalaman bullying
selama masa anak-anak dan/atau remaja lebih memiliki kemungkinan untuk
mengalami depresi (Roth, Coles, & Heimberg, 2002; Storch, Roth, Coles, Heimberg,
& Bravata, 2004), gangguan kecemasan (McCabe, Antony, Summerfeldt, Liss, &
9
Swinson, 2003) dan masalah dalam hubungan interpersonal (Ledley, Storch, Coles,
Heimberg, Moser, & Bravata, 2006; Schäfer, Korn, Smith, Hunter, Mora-Merchán,
Singer, & Meulen, 2004) dibandingkan dengan mahasiswa yang tidak memiliki
sejarah mengalami bullying. Selain itu mahasiswa yang melaporkan bahwa dirinya
pernah mengalami bullying
pada masa sekolah lebih memiliki perasaan bahwa
dirinya hanya memiliki kontrol yang rendah untuk mengatur pencapaian dalam
hidupnya (Dempsey & Storch, 2008) dan memiliki self esteem rendah (Olweus,1993;
Ledley et al., 2006).
Bullying dalam bentuk apapun berkonotasi dengan penolakan dari temanteman hal ini dapat berdampak pada kesehatan psikologis dan menurunnya selfesteem (McCabe, Miller, Laugesen, Antony, & Young, 2010). Gleason, Alexander &
Somers dalam (Baron & Byrne, 2004) mengungkapkan salah satu hal yang
menimbulkan pengaruh negatif pada masa dewasa adalah bila sering diejek ketika
kanak-kanak. Hal ini merupakan sebuah pengalaman yang dapat menurunkan selfesteem dan citra diri yang buruk pada masa remaja baik laki-laki maupun perempuan.
Spade (2007) meneliti hubungan antara perilaku bullying dan tingkat selfesteem pada anak kelas 3 hingga kelas 5 sekolah dasar hasilnya menunjukkan
apabila perilaku bullying meningkat maka self-esteem menurun sedangkan jika selfesteem rendah maka perilaku bullying meningkat. Dari penelitian tersebut
menyebutkan bahwa self-esteem selain menjadi dampak juga menjadi prediktor
terjadinya perilaku bullying.
Self-esteem merupakan salah satu dampak jangka panjang yang sering
disebut keterkaitannya dengan perilaku bullying baik sebagai pelaku maupun korban.
Korban bullying kebanyakan dihubungkan dengan tingkat self-esteem yang rendah
10
(Olweus, 1993; Ledley, et al., 2006; Holt, Finkelhor, & Kantor, 2007) sedangkan pada
pelaku bullying masih terdapat beberapa pendapat berbeda apakah seorang pelaku
bullying memiliki tingkat self-esteem rata-rata atau diatas rata-rata (Olweus,1993;
Granatstein, 1995) bila dibandingkan dengan individu yang tidak menjadi pelaku
bullying. Pendapat berbeda muncul dari penelitian Seals dan Young (2003) yang
menyebutkan tingkat self-esteem pada pelaku maupun korban bullying tidak memiliki
perbedaan yang signifikan.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian sebelumnya self-esteem menunjukan
keterkaitan yang kuat dengan perilaku bullying. Bullying merupakan salah satu
peristiwa traumastis yang dapat mempengaruhi perkembangan self-esteem. Selain
itu self-esteem juga menjadi indikasi keterlibatan seorang individu dalam perilaku
bullying. Self-esteem pertama tumbuh di dalam keluarga dimana seorang individu
tinggal. Cara orang tua memperlakukan anaknya dapat menjadi model dari seorang
individu dalam menghadapi setiap konflik.
Epstein dalam Brown & Marshall (2002) mengatakan bahwa individu dengan
self-esteem tinggi lahir dari keluarga yang dapat menghargai keberhasilan individu
dan dapat memberikan toleransi terhadap kegagalan. Kelekatan orang tua
berhubungan dengan perkembangan self-esteem anak (Brown & Marshall, 2002).
Sebaliknya Epstein dalam Brown & Marshall (2002) juga mengungkapkan bahwa
individu yang memiliki self-esteem rendah cenderung sensitif terhadap kegagalan,
membutuhkan waktu lama untuk bangkit dari kegagalan dan pesimis dalam menjalani
hidup. Hal ini terjadi karena memiliki orang tua yang selalu mengkritik kegagalan dan
hanya memberikan sedikit penghargaan ketika individu tersebut mengalami
kesuksesan.
11
Bullying dapat menjadi petunjuk adanya masalah lain pada seorang individu
(Buxton, Potter, & Bostic, 2013). Sebagian besar peneliti dan praktisi setuju bahwa
bullying di sekolah berawal dari rumah, hampir semua aspek yang berkaitan dengan
pola asuh orang tua menunjukan kemungkinan adanya korelasi dengan bullying
(Georgiou & Stavrinides, 2013). Individu yang menjadi saksi dalam kekerasan
keluarga tiga hingga tujuh kali lebih mungkin untuk terlibat dalam bullying di sekolah
(Center For Disease Control and Prevention (CDC), 2011). Lingkungan keluarga yang
kacau dan tidak stabil adalah kontributor yang signifikan untuk berkembangnya
perilaku agresif dan juga masalah kesehatan mental pada anak-anak (Desai, 2014).
Pola asuh orang tua juga berhubungan dengan tindakan bullying (Bowers,
Smith, & Binney, 1994; Haynie, et al.,2001). Selain sebagai pemicu tindakan bullying
dukungan antara orang tua pada anak yang ditandai dengan kehangatan dan
keterlibatan orang tua dapat mengurangi dampak negatif sebagai korban bullying
(Stadler, Feifel, Rohrmann, Vermeiren, & Poustka, 2010). Penelitian yang dilakukan
oleh Georgiou dan Stavrinides (2013) juga menemukan bahwa pola asuh orang tua
memiliki hubungan dengan tindakan bullying dan menjadi korban bullying ketika di
sekolah. Baldry and Farrington dalam Georgiou & Stavrinides (2013) mengungkapkan
anak yang menjadi korban bullying kebanyakan berasal dari pola asuh orang tua yang
permisif sedangkan pelaku bullying berasal dari pola asuh authoritarian.
Olweus (1993) mengatakan bahwa bullying terjadi dalam jangka waktu
panjang dan peristiwa yang berulang. Peristiwa yang terjadi berulang kali lebih
mudah terekam di dalam ingatan dibandingkan yang tidak (Hintzman, 2010).
Beberapa penelitian telah menemukan bahwa keterlibatan individu dengan bullying
dapat berpengaruh terhadap perkembangan self-esteem. Peristiwa bullying
yang
dialami individu pada masa kecil dapat memberikan dampak jangka panjang hingga
12
masa dewasa pada semua yang terlibat. Self-esteem rendah pada masa remaja
menjadi prediksi konsekuensi negatif pada masa dewasa (Trzesniewski, Donnellan,
Moffitt, Robins, Poulton, & Caspi, 2006). Selain itu penelitian sebelumnya juga
menyebutkan bahwa pola asuh, perhatian dan kelekatan orang tua dengan anaknya
memiliki pengaruh terhadap self-esteem.
Self-esteem tinggi tidak akan pernah didapat apabila sepanjang hidup
seorang individu mengalami bullying. Melihat fakta yang ada mengenai banyaknya
jumlah individu yang terlibat bullying pada masa sekolah, peneliti memiliki
ketertarikan untuk mengetahui lebih dalam mengenai hal tersebut. Di Indonesia
belum banyak penelitian yang meneliti mengenai dampak jangka panjang dari
perilaku bullying serta pengaruh pola asuh orang tua terhadap self-esteem individu.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang telah ada peneliti memiliki empat
pertanyaan penelitian yaitu (1) Apakah terdapat hubungan antara pengalaman
bullying sebagai korban dengan self-esteem pada usia dewasa awal? (2) Apakah
terdapat hubungan antara pengalaman bullying sebagai pelaku dengan self-esteem
pada usia dewasa awal? (3) Apakah terdapat perbedaan self-esteem pada individu
yang pernah terlibat bullying berdasarkan peran keterlibatanya sebagai korban atau
pelaku? (4) Apakah terdapat perbedaan self-esteem
pada individu yang pernah
terlibat bullying berdasarkan empat gaya pola asuh orang tua i.e. authoritarian,
authoritative, neglectful, dan indulgent/permissive?
Penelitian ini akan dilakukan secara retrospektif untuk melihat hubungan
antara pengalaman bullying yang dimiliki individu terkait dengan perannya sebagai
pelaku maupun korban dengan self esteem yang dimiliki pada usia dewasa awal.
Pengalaman bullying masing-masing subjek dikategorikan menjadi dua yaitu korban
atau pelaku. Selain itu untuk penelitian ini juga dilakukan untuk melihat apakah
13
terdapat perbedaan self esteem
masing-masing subjek baik yang memiliki
pengalaman bullying sebagai pelaku maupun korban dengan empat gaya pola asuh
orang tua i.e. authoritarian, authoritative, neglectful, dan indulgent/permissive.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiris dampak jangka panjang
bullying terhadap perkembangan self-esteem serta keterkaitannya dengan gaya pola
asuh orang tua.
C. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan untuk memberikan beberapa manfaat secara praktis
dan teoritis sebagai berikut:
a. Teoritis
Penelitian ini dapat diharapkan dapat memberikan sumbangan keilmuan guna
mengembangkan pengetahuan khususnya di bidang psikologi klinis, psikologi
perkembangan dan psikologi sosial mengenai topik bullying.
b. Praktis
Penelitian ini memiliki beberapa manfaat praktis yang berguna bagi masingmasing peran sebagai berikut:
1. Individu yang terlibat bullying (pelaku dan korban bullying)
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan wawasan bagi
individu yang pernah terlibat bullying. Apabila penelitian ini terbukti maka
dapat memberikan wawasan tambahan mengenai dampak jangka panjang
dari bullying. Apabila penelitian ini tidak terbukti maka penelitian ini dapat
14
memberikan informasi mengenai beberapa dampak yang mungkin terjadi dari
tindakan bullying meskipun sifatnya bukan jangka panjang.
2. Orang tua
Penelitian ini menunjukan bagaimana hubungan pola asuh orang tua
dengan perkembangan self-esteem serta keterlibatannya dengan perilaku
bullying. Selain itu bagi orang tua anak yang pernah terlibat bullying, apabila
penelitian ini terbukti maka dapat menunjukan bahwa meskipun seorang
anak pernah terlibat bullying, pola asuh yang tepat dapat mengurangi
dampak buruk dari perilaku bullying khususnya self-esteem rendah.
Jika penelitian ini tidak terbukti maka menunjukkan bahwa tipe pola
asuh orang tua tidak memiliki pengaruh yang besar pada self-esteem anak
yang pernah terlibat bullying. Oleh karena itu untuk mengurangi dampak dari
perilaku bullying orang tua dapat meningkatkan faktor-faktor protektif lain
yang dimiliki oleh anaknya agar terhindar dari dampak bullying (e.g.
meningkatkan kompetensi anak, meningkatkan rasa percaya diri pada anak)
Download