BAB II TINJAUAN TEORITIS, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS A. Perselisihan Hubungan Industrial Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh kerena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. 1 Atas dasar itu, Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial membagi perselisihan hubungan industrial menjadi:2 a. Perselisihan hak; b. Perselisihan kepentingan; c. Perselisihan pemutusan hubungan kerja; d. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundangundangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.3 Dari pengertian diatas jelaslah bahwa perselisihan hak (rechtsgeschil) merupakan perselisihan hukum karena perselisihan ini terjadi akibat pelanggaran kesepakatan yang telah dibuat oleh para pihak 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 angka 22. Lalu Husni, Op. Cit., 43. 3 Lihat Pasal 1 angka 2 Undang-undang No. 2 Tahun 2004. 2 15 termasuk di dalamnya hal-hal yang sudah ditentukan dalam peraturan perusahaan serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.4 Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.5 Perselisihan mengenai PHK selama ini paling banyak terjadi karena tindakan PHK yang dilakukan oleh satu pihak dan pihak lain tidak dapat menerimanya. PHK dapat terjadi atas inisiatif dari pihak pengusaha maupun pekerja/buruh. Dari pengusaha dilakukan karena buruh/pekerja melakukan berbagai tindakan atau pelanggaran. Demikian sebaliknya, PHK juga dapat dilakukan atas permohonan buruh/pekerja karena pihak pengusaha tidak melaksanakan kewajiban yang telah disepakati atau berbuat sewenang-wenang kepada buruh/pekerja.6 Perselisihan Antar-Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikat pekerjaan.7 Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh memberikan kemudahan bagi buruh untuk membentuk Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) tingkat Perusahaan (TP), yakni minimun 10 orang anggota. Undang-undang ini juga menekankan bahwa siapun dilarang menghalangi atau memaksa pembentukan atau membentuk 4 Lalu Husni, Op. Cit., h 44. Lihat Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004. 6 Lalu Husni, Op. Cit., h 46. 7 Lihat Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004. 5 16 Serikat Pekerja (SP) atau Serikat Buruh (SB)-TP. Ketentuan ini mengandung makna bahwa tidak seorang pun yang dapat menghalangi pekerja/buruh untuk menjadi pengurus atau anggota serikat SP/SB-TP, atau melarang serikat tersebut melakukan atau tidak melakukan aktivitasnya.8 Pada dasarnya, identik dengan peradilan lainnya dan telah dijelaskan selintas konteks di atas, PHI mempunyai kompetensi dalam mengadili perkara perselisihan-perselisihan hubungan industrial dengan dikaji dari perspektif normatif dan praktik peradilan berdasarkan ketentuan Pasal 56 UU Nomor 2 Tahun 2004, memeriksa dan memutus: 1. Di tingkat pertama menegenai perselsihan hak; 2. Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselsihan kepentingan; 3. Di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja; 4. Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Mengenai perselisihan hak, PHI merupakan sebagai peradilan tingkat pertama, upaya hukum para pihak yang tidak menerima putusan adalah kasasi pada MARI. Kemudian terhadap perselisihan kepentingan, PHI merupakan peradilan tingkat pertama dan tingkat terakhir. Terhadap perselisihan PHK, PHI merupakan peradilan tingkat pertama sedangkan upaya hukum para pihak yang tidak menerima putusan adalah kasasi pada MARI, dan terhadap perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan, PHI merupakan peradilan tingkat pertama dan tingkat terakhir.9 8 Lalu Husni, Op. Cit., h 50. Lilik Mulyadi dan Agus Subroto, Penyelesaian Perkara Pengadilan Hubungan Industrial Dalam Teori dan Praktik, Ed. I, Cet I, Penerbit P.T Alumni, Bandung, 2011, h 11. 9 17 Kompetensi Perselisihan Hubungan Industrial : 1. Perselisihan Hak 2. Perselisihan Kepentingan Tingkat I P.H.I Kasasi ke Mahkamah Agung Tingkat I dan Terakhir P.H.I 3. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja Tingkat I P.H.I Kasasi ke Mahkamah Agung 4. Perselisihan antar Serikat Pekerja dalam Satu Perusahaan Tingkat I dan Terakhir P.H.I Ketentuan UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial hakikatnya telah memberikan beberapa alternatif sebagai solusi bagaimana penyelesaian perkara perselsihan hubungan industrial melalui PHI. Ada 3 (tiga) bentuk polarisasi penyelesaian perselisihan hubungan industrial menurut paradigma normatif ketentuan UU Nomor 2 Tahun 2004, yaitu dapat dilakukan melalui perundingan secara bipartit, tripartit, dan dapat pula melalui PHI.10 Perundingan secara bipartit, menurut ketentuan Pasal 1 angka 10 UU Nomor 2 Tahun 2004 adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Penyelesaian perselisihan yang terbaik adalah penyelesaian oleh para pihak yang berselisih sehingga dapat diperoleh hasil yang menguntungkan kedua belah pihak. Oleh karena itu setiap perselisihan yang terjadi, wajib diupayakan penyelesainnya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat, tanpa dicampuri oleh pihak manapun. Penyelesaian perselisihan 10 Lilik Mulyadi dan Agus Subroto, Op. Cit., h 59. 18 melalui bipartit harus diselesaikan paling lama 30 hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan.11 Apabila dalam jangka waktu 30 hari kerja salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, perundingan bipartit dianggap gagal. Dalam hal musyawarah dapat mencapai kesepakatan penyelesaian, dibuat Perjanjian Bersama (PB) yang ditandatangani oleh para pihak. PB tersebut mengikat dan menjadi hukum, serta wajib dilaksanakan oleh para pihak. PB dimaksud wajib didaftarkan oleh para pihak yang melakukan perjanjian pada Pengadilan HI di wilayah para pihak mengadakan PB, untuk mengadakan akta bukti pendaftaran, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari PB.12 Perundingan tripartit, pada dasarnya merupakan perundingan yang melibatkan pihak ketiga yang netral. Dalam UU Nomor 2 Tahun 2004 pihak ketiga yang dilibatkan untuk menyelesaikan suatu perselisihan hubungan industrial tersebut adalah mediator, atau konsiliator atau arbiter.13 Upaya penyelesaian secara tripartit ini baru dapat dilakukan apabila usaha bipartit telah dilakukan. 14 Upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui cara mediasi bersifat wajib (mandatory), apabila cara penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase tidak disepakati oleh para pihak. Polarisasi melalui mediasi ini merupakan salah satu dari Alternative Dispute Resolution (ADR) atau Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. 15 Apabila diperbandingkan antara cara penyelesaian perselisihan melalui bipartit dan mediasi, terdapat unsur pembeda, yakni masuknya unsur luar selain para pihak yang berselisih. Dalam bipartit 11 Mohd. Syaufii Syamsuddin, Norma Perlindugan Dalam Hubungan Industrial, Penerbit Sarana Bhakti Persada, Jakarta, 2004, h 326. 12 Ibid., h 327. 13 Lilik Mulyadi dan Agus Subroto, Op. Cit., h 69, dikutip dari Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per. 02/MEN/I/2005 Tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengujian Pemberian, dan Pencabutan Sanksi bagi Arbiter Hubungan Industrial. 14 Lilik Mulyadi dan Agus Subroto, Loc. Cit. 15 Mohammad Saleh dan Lilik Mulyadi, Op. Cit., h. 63. 19 perundingan dilakukan terbatas pada pihak-pihak yang bersellisih sementara dalam mediasi adanya pihak luar, yaitu mediator yang masuk dan mencoba menyelesaikan perselisihan tersebut.16 Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalaui konsiliasi merupakan salah satu alternatif yang artinya upaya ini bersifat pilihan sukarela (voluntary), bukan hal yang wajib (mandatory) sebagaimana penyelesaian secara bipartit ataupun melalui mediasi. 17 Konsiliasi hubungan industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral. 18 Sebagaimana halnya konsiliasi, upaya penyelesaian hubungan industrial melalui arbitrase juga merupakan salah satu alternatif yang bersifat sukarela (voluntary), bukan merupakan hal yang wajib (mandatory). Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui lembaga arbitrase ini memungkinkan jika kedua belah pihak yang berselisih telah bersepakat untuk menyelesaikan perselisihan melalui arbitrase. Kesepakatan mengenai mekanisme penyelesaian tersebut dilakukan dalam bentuk perjanjian tertulis dalam surat perjanjian arbitrase, dibuat rangkap 3 dan masing-masing pihak mendapatkan 1 yang mempunyai kekuatan hukum sama (Pasal 32 ayat (1) dan (2) UU No. 2 Tahun 2004).19 16 Mohammad Saleh dan Lilik Mulyadi, Op. Cit., h. 66. Mohammad Saleh dan Lilik Mulyadi, Op. Cit., h. 67. 18 Lihat Pasal 1 angka 13 UU No 2 Tahun 2004. 19 Muhammad Saleh dan Lilik Mulyadi, Op. Cit., h 69. 17 20 Mekanisme Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Menurut UU NO. 2 Tahun 200420 Penyelesaian perselisihan hubungan industrial oleh Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Umum dilakukan dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak. Pembuatan surat gugatan dalam sengketa perdata di pegadilan harus dilakukan secara jelas dan dan cermat. 21 Selesai gugatan dibuat, selanjutnya penggugat atau kuasanya menandatangani gugatan tersebut dan mendaftarkan gugatan itu ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri dalam wilayah hukum tempat pekerja/buruh bekerja. 22 Demikian pula halnya dengan bagaimanakah cara gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan, apakah gugatan tersebut harus diajukan dalam bentuk tertulis, ataukah dapat pula diajukan secara lisan, ternyata ketentuan UU tidak mengaturnya secara tegas. Karena itu, praktik peradilan yang berjalan selama ini, gugatan dapat 20 http://www.apindo-kepri.com/ruang-media/phi/hukum-acara-peradilan-hubungan-industrial, dikunjungi pada Selasa, 28 Juni 2016 pukul 20.06 WIB. 21 Lalu Husni, Op. Cit., h. 94. 22 Lalu Husni, Op. Cit., h. 97. 21 diajukan secara tertulis maupun lisan tetap dipertahankan meskipun ternyata mayoritas gugatan diajukan secara tertulis, lebih-lebih mengingat para pihak diwakili oleh kuasa hukumnya.23 Untuk menjamin penyelesaian yang cepat, tepat, adil, dan murah, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) melalui Pengadilan Hubungan Industrial (HI) dibatasi proses dan tahapannya, dengan tidak membuka kesempatan untuk mengajukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi. Putusan Pengadilan HI yang menyangkut perselsihan hak dan perselsihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dapat langsung dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Sedangkan putusan Pengadilan HI yang menyangkut perselisihan kepentingan dan perselsihan antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam satu perusahaan merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir yang tidak dapat dimintakan kasasi ke MA.24 Susunan Pengadilan HI terdiri dari: a) Hakim, b) Hakim Ad-Hoc, c) Panitera Muda, dan d) Panitera Pengganti. Sedangkan susunan Pengadilan HI pada MA terdiri dari: a) Hakim Agung, b) Hakim Ad-Hoc pada MA, dan c) Panitera. 23 Lilik Mulyadi dan Agus Subroto, Op. Cit., h. 90. Mohd. Syaufii Syamsuddin, Op. Cit., h. 340. 24 22 Pengadilan HI yang memeriksa dan mengadili PHI dilaksanakan oleh Majelis Hakim yang beranggotakan tiga orang, yakni seorang Hakim PN dan dua orang Hakim Ad-hoc yang pengangkatannya diusulkan masing-masing satu orang oleh organisai pengusaha dan organisasi pekerja.25 B. Organisasi Pengusaha Organisasi pengusaha, dalam perkembangannya di Indonesia terdapat dua organisasi pengusaha, yaitu Kamar Dagang dan Industri (KADIN) dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO). 26 KADIN adalah wadah bagi pengusaha Indoenesia dan bergerak di bidang perekonomian, dengan tujuan:27 a. Membina dan mengembangkan kemampuan, kegiatan, dan kepentingan pengusaha Indonesia di bidang usaha negara, usaha koperasi, dan swasta dalam kedudukannya sebagai pelaku-pelaku ekonomi nasional dalam rangka mewujudkan kehidupan ekonomi dan dunia usaha nasional yang sehat dan tertib berdasar Pasal 33 UUD 1945. b. Menciptakan dan mengembangkan iklim dunia usaha yang memungkinkan keikutsertaan seluas-luasnya bagi pengusaha Indonesia sehingga dapat berperan secara efektif dalam pembangunan nasional. Adapun Asosiasi Pengusaha indonesia (APINDO) merupakan organisasi pengusaha yang khusus bergerak pada bidang Sumber Daya Manusia (SDM) dan hubungan industrial.28 Menurut Lalu Husni, tujuan APINDO dalam Pasal 7 Anggaran Dasarnya adalah: 25 Mohd. Syaufii Syamsuddin, Op. Cit., h. 340-341. R. Joni Bambang, Loc. Cit. 27 Zaeni Asyhadie, Op. Cit., h 29. 28 R. Joni Bambang, Loc. Cit. 26 23 1. Mempersatukan dan membina pengusaha serta memberikan layanan kepentingannya di dalam bidang sosial ekonomi; 2. Menciptakan dan memelihara keseimbangan, ketenangan dan kegairahan kerja dalam lapangan hubungan industrial dan ketenagakerjaan; 3. Mengusahakan peningkatan produktivitas kerja sebagai program peran serta aktif untuk mewujudkan pembangunan nasional menuju kesejateraan sosial, spritual, dan material 4. Menciptakan adanya kesatuan pendapat dalam melaksanakan kebijaksanaan/ketenagakerjaan dari para pengusaha yang disesuaikan dengan kebijaksanaan pemerintah. Organisasi pekerja/buruh, menurut Pasal 1 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2000 tentang serikat Pekerja/Serikat Buruh bahwa serikat buruh/serikat pekerja ialah organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk pekerja/buruh, baik di perusahaan maupun di luar perusahaan yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh beserta keluarganya.29 Setiap serikat pekerja/serikat buruh dapat dibentuk berdasarkan sektor usaha, jenis pekerjaan, atau bentuk lain sesuai kehendak pekerja/buruh. Demikian pula dengan pembentukan federasi serikat pekerja/serikat buruh dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh. 30 Federasi serikat pekerja/serikat 29 buruh dapat dibentuk R. Joni Bambang, Op. Cit., h. 74. Zaeni Asyhadie, Op. Cit., h. 23. 30 24 oleh sekurang-kurangnya lima serikat pekerja/serikat buruh. Sementara itu, konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dapat dibentuk oleh sekurangnya tiga federasi serikat pekerja/serikat buruh.31 Dan selanjutnya, Pemerintah/penguasa, secara garis besar memiliki fungsi pengawasan, dan pengawasan terhadap pekerja di bidang ketenagakerjaan dilakukan oleh Departeman Tenaga Kerja (Depnaker)Secara normatif pengawasan perburuhan diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1948 jo Undang-Undang nomor 3 Tahun 1951 Tentang Pengawasan Perburuhan. Dalam undang-undang ini, pengawas perburuhan yang merupakan penyidik pegawai negeri sipil.32 Dari semua ketentuan itu, secara teoritis peraturan perundang-undangan perburuhan di Indonesia sebenarnya telah memadai karena hampir semua aspek penting bidang perburuhan telah diatur. 33 hal lain yang sangat mempengaruhi pelaksanaan ketentuan peraturan perundangundangan dari ketiga pihak : kebijakan pemerintah, kejujuran dan ketaatan pengusaha, serta kejujuran dan ketaatan para buruh. Ketiga faktor inilah yang akan menentukan apakah penerapan hukum perburuhan itu dapat dilaksanakan atau justru akan dikecualikan dan dilanggar.34 Inilah deskripsi nyata, betapa masalah hubungan industrial erat kaitannya dengan semua segi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Segala keperluan hidup sehari-hari, baik sektor pangan, sandang, maupun papan terkait erat dengan produk barang dan jasa. Artinya keseluruhan hajat hidup manusia tidak terlepas dari hasil produk/kinerja pekerja dan pengusah. Bahwa 31 Zaeni Asyhadie, Loc. Cit. R. Joni Bambang, Loc. Cit. 33 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, Ed I, Cet I, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2009, h. 31. 34 Ibid., h. 31-32. 32 25 kehidupan manusia sehari-hari senantiasa bersinggungan dengan persoalan hubungan industrial.35 Berdasarkan realitas diatas maka jika terjadi perselisihan hubungan industrial, sudah sepatutnya permasalahan tersebut sesegera mungkin diselesaikan oleh para pihak yang terkait, agar kompleksitas dampaknya tidak terjadi. 36 Dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselsihan Perburuhan, perselisihan hanya terjadi antara Pengusaha atau Gabungan Pengusaha dengan Serikat Buruh/Gabungan Serikat Buruh.37 Pada tahun 2004, dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, yang mulai berlaku 14 Januari 2005 dan kemudian ditunda mulai berlakunya dengan Perpu No. 1 Tahun 2005, sehingga mulai berlaku 14 Januari 2006. Defenisi perselisihan hubungan industrial sama dengan defenisi yang diberikan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.38 C. Ketentuan-Ketentuan tentang Kuasa Hukum Beracara di PHI Hukum Acara adalah kumpulan ketentuan-ketentuan dengan tujuan memberikan pedoman dalam usaha mencari kebenaran dan keadilan bila terjadi perkosaan atas suatu ketentuan hukum dalam hukum materiil yang berati memberikan kepada hukum acara suatu hubungan yang mengabdi kepada hukum materiil.39Hukum material mengatur tentang hak dan kewajiban, sedangkan hukum formil mengatur bagaimana caranya menjalankan dan 35 Mohammad Saleh dan Lilik Mulyadi, Op. Cit., h 11. Muhammad Saleh dan Lilik Mulyadi, Loc. Cit. 37 Jumiarti, Hukum Ketenagakerjaan , Penerbit Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2011, h. 47. 38 Ibid. 39 R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata Tata Cara dan Proses Persidangan, Cet VI, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2004, h. 3. 36 26 mempertahankan hak dan kewajiban itu. 40 Untuk tegasnya, hukum acara meliputi ketentuanketentuan tentang cara bagaimana orang harus menyelesaikan masalah dan mendapatkan keadilan dari hakim apabila kepentingannya atau hak-haknya dilanggar oleh orang lain dan sebaliknya bagaimana cara mempertahankan kebenarannya apabila ia dituntut oleh orang lain.41 Pasal 57 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mengatur bahwa hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang ini. Pengertian hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana menjamin ditaatinya hukum perdata (sebagai hukum materiil) dengan perantaraan hakim. Dengan kata lain, dapat disebut sebagi hukum yang mengatur bagaimana cara mengajukan gugatan serta melaksanakan putusan hakim. 42Hukum Acara Perdata mempunyai tujuan untuk melindungi hak seseorang melalui pengadilan perdata serta mempertahankan hukum materiil (Hukum Perdata). Sedangkan, fungsi dari hukum perdata adalah sebagai sarana untuk menuntut dan mempertahankan hak seseorang.43 Setelah ketentuan Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 dicermati, ternyata terdapat ketentuan hukum acara yang diatur secara khusus, yaitu:44 1. Adanya hakim ad hoc; 2. Beracara tidak dikenakan biaya bagi yang nilai gugatannya di bawah Rp. 150.000.000; 40 Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang dan Hukum Keluarga, Cet. 3, Penerbit CV. Nuansa Aulia, Bandung, 2009, h. 14. 41 Ibid. 42 Sri Harini Dwiyatmi, Pengantar Hukum Indonesia, Cet I, Penerbit Ghalia Indonesia, Bogor, 2006, h 107. 43 Ibid. 44 Mohammad Saleh dan Lilik Mulyadi, Op. Cit., h 83. 27 3. Diperkenankannya serikat buruh/serikat pekerja selaku kuasa; 4. Gugatan PHI ditujukan kepada PHI pada pengadilan negeri tempat pekerja/buruh bekerja; 5. Tenggang waktu pengajuan gugatan atas PHK dalam waktu 1 tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha; 6. Gugatan PHI harus dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi dan konsiliasi; 7. Adanya semacam dismical process; 8. Diperkenankan gugatan kolektif; 9. Diperkenankannya pemeriksaan dengan acara cepat; 10. Dikenalnyaputusan sela mengenai provisi; 11. Putusan PHI yang didasarkan pada hukum; 12. Perjanjian yang ada, kebiasaan dan keadilan; 13. Upaya hukum yang dikenal hanya verzet dan kasasi; dan 14. Putusan PHI dilakukan dalam waktu selambat-lambatnya 50 hari terhitung sejak sidang pertama. 1. Kuasa Hukum Secara Umum Secara umum, surat kuasa tunduk pada prinsip hukum yang diatur dalam Bab Keenam Belas, Buku III KUH Perdata, sedang aturan khususnya diatur dan tunduk pada ketentuan hukum acara yang digariskan Het Herziene Inlandsch/Indonesich Reglement (HIR) dan Reglement Buitengewesten (Rbg).45 Kuasa menurut hukum disebut juga wettelijke vertegenwoordig atau legal mandatory (legal representative). Maksudnya, undang-undang sendiri telah menetapkan seseorang atau 45 M. Yahya Harahap II, Op. Cit., h. 1. 28 suatu badan untuk dengan sendirinya menurut hukum bertindak mewakili orang atau badan tersebut tanpa memerlukan surat kuasa. Jadi, undang-undang sendiri yang menetapkan bahwa yang bersangkutan menjadi kuasa atau wakil yang berhak bertindak untuk dan atas nama orang atau badan itu.46 - KUH Perdata Hukum Perdata adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain dalam hubungan kekeluargaan dan dalam pergaulan masyarakat.47 Subyek hukum atau orang, ialah setiap pendukung (pembawa) hak dan kewajiban. Ada dua macam subyek hukum:48 1. Manusia (natuurlijk persoon), dan 2. Badan Hukum (Rechtpersoon). Manusia sebagai subyek hukum karena kodratnya, sedangkan badan hukum menjadi subyek hukum diciptakan oleh manusia untuk kepentingan manusia itu sendiri. 49 Senarnya sekarang ini dalam perkembangan perundang-undangan, yang dinamakan subyek hukum itu bukan lagi dalam pengertian yang tradisional (konvensional) yaitu manusia dan badan hukum, tetapi manusia dan korporasi.50 Secara umum, surat kuasa tunduk pada prinsip hukum yang diatur dalam Bab Keenam Belas, Buku III KUH Perdata, sedang aturan khususnya diatur dan tunduk pada ketentuan hukum 46 M. Yahya Harahap II, Op. Cit., h. 8. Djaja S. Meliala, Op. Cit., h. 13. 48 Djaja S. Meliala, Op. Cit., h. 36. 49 Djaja S. Meliala, Loc. Cit. 50 Djaja S. Meliala, Loc. Cit. 47 29 acara yang digariskan Het Herziene Inlandsch/Indonesich (“HIR) dan Reglement Buitengewesten (“RBG). Pengertian kuasa secara umum, diatur di dalam Pasal 1792 KUH Perdata, yang berbunyi: “Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.” Bertitik tolak dari ketentuan pasal tersebut, dalam perjanjian kuasa, terdapat dua pihak, yang terdiri dari:51 - Pemberi kuasa atau lastgever (instruction, mandate); - Penerima kuasa atau disingkat kuasa, yang diberi perintah atau mandat melakukan sesuatu untuk dan atas nama pemberi kuasa. Lembaga hukumnya disebut pemberian kuasa atau lastgeving (volmacht, full power), jika:52 - Pemberi kuasa melimpahkan perwakilan atau mewakilkan kepada penerima kuasa untuk mengurus kepentingannya, sesuai dengan fungsi dan kewenangan yang ditentukan dalam surat kuasa; - Dengan demikian, penerima kuasa (lasthebber, mandatory) berkuasa penuh, bertindak mewakili pemberi kuasa terhadap pihak ketiga untuk dan atas nama pemberi kuasa; 51 52 M. Yahya Harahap II, Op. Cit., h. 2. M. Yahya Harahap II, Loc. Cit. 30 - Oleh karena itu, pemberi kuasa bertanggung jawab atas segala perbuatan kuasa, sepanjang perbuatan yang dilakukan kuasa tidak melebihi wewenang yang diberikan pemberi kuasa. Kuasa Umum diatur di dalam Pasal 1795 KUH Perdata, yang berbunyi: “Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu mengenai hanya satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan si pemberi kuasa.” Menurut pasal ini, kuasa umum bertujuan memberi kuasa kepada seseorang untuk mengurus kepentingan pemberi kuasa, yaitu:53 - Melakukan tindakan pengurusan harta kekayaan pemberi kuasa; - Pengurusan itu, meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan pemberi kuasa atas harta kekayaannya; - Dengan demikian titik berat kuasa umum, hanya meliputi perbuatan atau tindakan pengurusan kepentingan pemberi kuasa. Dengan demikian, dari segi hukum, kuasa umum adalah pemberian kuasa mengenai pengurusan, yang disebut beherder atau manajer untuk mengatur kepentingan pemberi kuasa. Oleh karena itu, ditinjau dari segi hukum, surat kuasa umum, tidak dapat dipergunakan di depan pengadilan untuk mewakili pemberi kuasa. Sebab sesuai dengan ketentuan Pasal 123 HIR, untuk dapat tampil di depan pengadilan sebagai wakil pemberi kuasa, Penerima kuasa harus mendapat surat kuasa khusus. 54 Hal ini ditegaskan dalam Putusan PT Bandung No. 149/1972 (2-8- 53 54 M. Yahya Harahap II, Op. Cit., h. 6. M. Yahya Harahap II, Loc. Cit. 31 1972),55bahwa seorang Manajer yang bertindak untuk dan atas nama Perseroan Terbatas (PT) berdasarkan surat kuasa Direktur PT, tidak dapat mengajukan gugatan di Pengadilan, karena surat kuasa itu hanya bersifat umum untuk mengurus dan bertindak bagi kepentingan PT tersebut, bukan Surat Kuasa Khusus sebagaimana yang dimaksud Pasal 123 HIR.56 Pasal 123 Indonesisch Reglement (“HIR”) menyebutkan bahwa jika pihak yang berperkara menghendaki maka masing-masing boleh di bantu atau diwakili oleh seorang yang telah diberikan surat kuasa khusus. Lebih lanjut, yang dapat bertindak sebagai kuasa/wakil dalam perkara perdata pada umumnya adalah advokat sesuai Pasal 32 UU 18/2003; Jaksa dengan kuasa khusus sebagai kuasa/wakil negara/pemerintah sesuai dengan Pasal 30 Ayat (2) UU 16/2004; biro hukum pemerintah/TNI/Kejaksaan RI; Direksi/pengurus atau karyawan yang ditunjuk dari suatu badan hukum; mereka yang mendapat kuasa insidentil yang ditetapkan oleh ketua pengadilan (misalnya, LBH, hubungan keluarga, biro hukum TNI/Polri; dan kuasa insidentil dengan alasan hubungan keluarga sedarah atau semenda dapat diterima sampai dengan derajat ketiga yang dibuktikan dengan surat keterangan kepala desa/lurah.57 - Undang – Undang Perseroan Terbatas Undang-undang Perseroan Terbatas mendefenisikan Perseroan Terbatas (Perseroan) sebagai: “badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, yang melakukan kegiatan usaha dengan modal tertentu, yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi 55 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Cet I, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2005, h 6 dikutip dari Chaidir Ali, Yurisprudensi Hukum Acara Perdata Indonesia, Penerbit Armico, Bandung, 1983, h 187. 56 M. Yahya Harahap, Op. Cit., h. 6. 57 Mohammad Saleh dan Lilik Mulyadi, Op. Cit., h. 84. 32 persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.” Dari batasan yang diberikan tersebut, ada lima hal pokok yang dapat dikemukakan di sini:58 1. Perseroan Terbatas merupakan suatu badan hukum; 2. Didirikan berdasarkan perjanjian; 3. Menjalankan usaha tertentu; 4. Memiliki modal yang terbagi dalam saham-saham; 5. Memenuhi persyaratan Undang-Undang. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 2 jo. Pasal 1 angka 5, Perseroan mempunyai 3 (tiga) Organ yang terdiri atas: 1) Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), 2) Direksi, dan 3) Dewan Komisaris Direksi sebagai salah satu Organ atau alat perlengkapan Perseroan, selain mempunyai kedudukan dan kewenangan mengurus Perseroan, juga diberi wewenang untuk “mewakili” Perseroan baik di dalam maupun di luar Pengadilan untuk dan atas nama Perseroan. Kewenangan ini ditegaskan pada: 1) Pasal 1 angka 5; Direksi sebagai Organ Perseroan berwenang mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan AD; 58 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas, Ed. I, Cet. 2, Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, h 7. 33 2) Pasal 99 ayat (1) Direksi mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Kewenangan mewakili itu adalah untuk dan atas nama (for and on behalf) Perseroan. Bukan atas nama dari Direksi, tetapi mewakili Perseroan (representative of the company). Kapasitas atau kewenangan yang dimiliki Direksi mewakili Perseroan karena Undangundang. Artinya, undang-undang sendiri dalam hal ini Pasal 1 angka 5 dan Pasal 92 ayat (1) UUPT 2007 yang memberi kewenangan itu kepada Direksi untuk mewakili Perseroan di dalam maupun di luar Pengadilan. Oleh karena itu, kapasitas mewakili yang dimilikinya, adalah kuasa atau perwakilian karena undang-undang (wettelijke vertegenwoordig, legal or statutory representative). Dengan demikian, untuk bertindak mewakili Perseroan, tidak memerlukan kuasa dari Perseroan. Sebab kuasa yang dimilikinya atas nama Perseroan adalah kewenangan yang melekat secara inherent pada diri dan jabatan Direksi berdasar undang-undang. Sehubungan dengan itu, sesuai dengan kapasitasnya sebagai kuasa mewakili Perseroan berdasar undang-undang, Direksi berwenang memberi kuasa kepada orang yang ditunjuknya untuk bertindak mewakili Perseroan. Tindakan pemberian kuasa yang demikian dapat dilakukan Direksi tanpa memerlukan persetujuan dari Organ Perseroan yang lain. Tidak memerlukan persetujuan dari RUPS maupun dari Dewan Komisaris. Pasal 103 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, mengatur mengenai hak Direksi memberi kuasa kepada orang lain. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut: Direksi dapat memberi kuasa tertulis kepada 1 (satu) orang karyawan Perseroan atau lebih atau kepada orang lain untuk dan atas nama Perseroan melakukan perbuatan hukum tertentu sebagaimana yang diuraikan dalam surat kuasa. 34 Selanjutnya, Penjelasan pasal ini berbunyi: Yang dimaksud “kuasa” adalah Kuasa Khusus untuk perbuatan tertentu sebagaimana disebutkan dalam surat kuasa. Bentuk pemberian kuasa yang sah menurut Pasal 103 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas adalah: Harus berbentuk tertulis (schriftlijke machtiging, written authorization), Tidak dibenarkan dan tidak sah bebrbantuk kuasa lisan (mondelinge volmacht, verbal authorization). Bentuk kuasa tertulis tersebut dengan tegas dikatakan pada Pasal 103 maupun Penjelasannya, yakni „Kuasa tertulis”. Ketentuan ini bersifat hukum memaksa (dwingendrecht, mandatory law). Oleh karena itu, tidak boleh dikesampingkan.59 Jadi, meskipun Pasal 1793 KUH Perdata membolehkan pemberian kuasa secara lisan, namun oleh karena Pasal 103 telah menentukan secara spesifik mesti secara tertulis, Direksi dapat menyimpangi ketentuan tersebut. Mengenai bentuk tertulisnya bebas:60 Bisa berbentuk akta autentik (authentieke akte, public deed) sesuai dengan ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata, yakni surat kuasa yang dibuat di hadapan pejabat umum, seperti di hadapan Notaris, Panitera, Hakim atau Camat dan sebagainya; Boleh juga berbentuk akta bawah tangan (onderhandse akte, private instrument) berdasar Pasal 1875 KUH Perdata, yakni dibuat secara partai oleh pemberi dan penerima kuasa tanpa campur tangan pejabat umum. 59 60 M. Yahya Harahap I, Op. Cit., h. 407. M. Yahya Harahap I, Loc. Cit. 35 Dalam hal ini Pasal 103 tidak menentukan bentuknya harus akta autentik, Direksi dapat memedomi Pasal 1793 KUH Perdata, yang menggariskan surat kuasa boleh dibuat dalam akta autentik atau akta bawah tangan. Karena bentuknya bebas, Direksi dapat memilih apakah kuasa itu dibuat dalam bentuk akta autentik atau akta bawah tangan. Keduanya sama-sama menurut hukum.61 Sifat kuasa yang boleh diberikan Direksi adalah “Kuasa Khusus” (bijzondere machtiging, special authorization). Hal ini ditegaskan pada Penjelasan pasal tersebut yang mengatakan, yang dimaksud “kuasa” adalah “kuasa khusus” untuk perbuatan tertentu sebagaimana yang disebutkan dalam surat kuasa. Apabila Direksi memberi kuasa umum, selain kuasa itu batal demi hukum berdasar Pasal 1337 KUH Perdata, tindakan itu sekaligus dikategori perbuatan ultra vires. Direksi telah melakukan perbuatan yang melampaui batas kapasitas dan kewenangannya. Perbuatan Direksi itu dikualifikasi perbuatan melawan hukum (onrecht matigedaad, unlawful act) berdasar Pasal 1365 KUH Perdata, apabila pemberian kuasa umum itu menimbulkan kerugian kepada Perseroan.62 2. Kuasa Hukum Secara Khusus Pasal 1795 KUH Perdatamenjelaskan, Pemberian Kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih. Bentuk inilah yang menjadi landasan pemberian kuasa untuk bertindak di depan pengadilan mewakili kepentingan pemberi kuasa sebagai pihak principal. Namun, agar bentuk kuasa yang disebut dalam pasal ini sah sebagai 61 62 M. Yahya Harahap I, Loc. Cit. M. Yahya Harahap I, Op. Cit., h. 408. 36 surat kuasa khusus di depan pengadilan, kuasa tersebut harus disempurnakan terlebih dahulu dengan syarat-syarat yang disebut dalam Pasal 123 HIR.63 Untuk dapat bertindak sebagai kuasa khusus atau wakil dari Tergugat, seseorang harus memenuhi salah satu syarat di bawah ini:64 a. Harus mempunyai surat kuasa khusus, sesuai dengan bunyi Pasal 123 Ayat 1 HIR (Ps 147 Ayat 1 Rbg); b. Ditunjuk oleh Tergugat sebagai kuasa atau wakil dalam persidangan (Ps 123 Ayat 1 HIR, 147 Ayat 1 Rbg); c. Memenuhi syarat dalam Peraturan Menteri Kehakiman 1/1965 tanggal 28 Mei 1965 jo Keputusan Menteri Kehakiman No. J.P. 14/2/11 tanggal 7 Oktober 1965 tentang Pokrol; dan d. Telah terdaftar sebagai Advokat. Undang – Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial - Pada dasarnya, gugatan perkara perselisihan hubungan industrial dalam PHI hampir identik dengan gugatan perkara perdata pada pengadilan negeri. Apabila diperbandingkan, gugatan pada PHI terdapat beberapa bagian tertentu yang berbeda dengan gugatan yang diajukan pada pengadilan negeri karena pada PHI eksistensi UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselsihan Hubungan Industrial (PPHI) bersifat lex specialist. Apabila diperbandingkan dengan ketentuan Het Herziene Inlandsch/Indonesich Reglement (HIR) dan Reglement Buitengewesteh 63 M. Yahya Harahap II, Op. Cit., h 7. R. Soeroso, Op. Cit., h. 14. 64 37 (Rbg) yang dipergunakan pengadilan negeri, ketentuan tersebut bersifat lex specialist pada UU 2/200465 Oleh karena Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 merupakan lex spesialist yang merupakan hukum secara formal untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial, maka ketentuan mengenai kuasa hukum harus tunduk pada ketentuan Pasal 87 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang berbunyi: “Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Organisasi Pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya.” Ketentuan Pasal 87 UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang nyata-nyata memberikan ruang gerak bagi organisasi pengusaha untuk beracara dipersidangan mewakili anggotanya atas dasar surat kuasa khusus, hampir tidak pernah dipergunakan. 66 Dengan diintrodusirnya ketentuan Pasal 87 UU Nomor 2 Tahun 2004 bagi hakim hal ini merupakan pekerjaan rumah tersendiri, karena pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang bertindak sebagai kuasa hukum pekerja/buruh, mayoritas tidak mempunyai latar belakang pendidikan ilmu hukum, mereka sama sekali tidak atau relatif kurang memahami hukum acara. Akibatnya, Ketua Majelis Hakim harus menyediakan kelonggaran waktu untuk membimbing mereka beracara di persidangan.67 Hal yang sama juga ditegaskan Dr. H. Mohammad Saleh, SH., MH., Ketua Muda Perdata Khusus Mahkamah Agung Republik Indonesia. Dalam makalah yang berjudul Temuan 65 Mohammad Saleh dan Lilik Mulyadi, Op. Cit., h. 99. Lilik Mulyadi dan Agus Subroto, Op. Cit., h. 95. 67 Lilik Mulyadi dan Agus Subroto, Loc. Cit. 66 38 Permasalahan Hukum pada Perdata Khusus yang disampaikan pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Mahkamah Agung Tahun 2009, Mohammad Saleh menyatakan bahwa “Manajer Personalia boleh mewakili pihak perusahaan di persidangan PHI bilamana mendapat kuasa dari Direksi.” Jadi, Manajer HRD/Personalia dapat mewakili pihak perusahaan dipersidangan PHI jika mendapat kuasa dari Direksi, dan orang yang bersangkutan tidak harus seorang sarjana hukum.68 Jika Direksi mempercayakan penanganan atau proses hukum PHI kepada Divisi HRD nya, maka yang perlu diperhatikan adalah, sebagai berikut: 1. Divisi HRD harus memahami dan menguasai sistem dan tata cara beracara di peradilan, mulai dari Surat Kuasa, pendaftaran surat kuasa di Pengadilan, cara menjawab gugatan, mengajujukan replik/duplik, penyusunan alat bukti dan saksi dan tahap konklusi di proses persidangan sampai putusan pengadilan, bahkan pengetahuan tentang proses pengajuan kasasi ke MA, dan proses pembuatan memori kasasi/kontra memori kasasinya yang memiliki jangka waktu tertentu sebab salah-salah putusan bisa-bisa berkekuatan hukum tetap (inracht van gewissjde), 2. Pengetahuan dan penguasaan tentang hukum materiilnya yaitu UU Ketenagakerjaan dan Undang-undang yang berkaitan dengan kasus yang ditangani. Divisi HRD sebagai Lawyer in House perlu memiliki pengetahuan hukum, dan pengetahuna tentang hukum acara di Pengadilan agar proses-proses acara pengadilan tersebut dapat diikuti tahap demi tahap. 68 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4fed02fc4c48d/syarat-syarat-seorang-manager-hrd-beracaradi-phi, dikujungi pada Selasa, 5 Juli 2016, pukul 11.35 WIB 39 D. Teori – Teori Interpretasi (Penafsiran) Telah dikemukakan bahwa peraturan perundang-undangan itu tidak jelas dan tidak pula lengkap. Oleh karena itu harus diketemukan hukumnya dengan menjelaskan, menafsirkan atau melengkapi peraturan perundang-undangan.69Dalam hal peraturan perundang-undangannya tidak jelas, maka tersedialah metode interpretasi atau metode penafsiran.70 Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang tidak jelas mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.71 Oleh karena undang-undangnya tidak lengkap atau tidak jelas, maka hakim harus mencari hukumnya, harus menemukan hukumnya. Ia harus melakukan penemuan hukum (rechtsvinding). Penegakan dan pelaksanaan hukum sering merupakan penemuan hukum dan tidak sekedar penerapan hukum. 72 Dalam melakukan penafsiran hukum terhadap suatu peraturan perundang-undangan yang dianggap tidak lengkap atau tidak jelas, seorang ahli hukum tidak dapat bertindak sewenang-wenang.73 Menurut Prof. J.H.A. Logemann, dinyatakan bahwa: “Dalam melakukan penafsiran hukum, seorang ahli hukum diwajibkan untuk mencari maksud dan kehendak pembuat undang-undang sedemikian rupa sehingga menyimpang dari apa yang dikendaki oleh pembuat undang-undang itu.” 69 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Ed 2, Cet. 5, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2007 (selanjutnya disingkat Sudikno Mertokusumo I), h. 56. 70 Ibid. 71 H. Zainal Asikin,Pengantar Ilmu Hukum, Ed 1, Cet 2, Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013, h. 95. 72 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Ed 5, Cet 4, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2008 (selanjutnya disingkat Sudikno Mertokusumo II), h. 162. 73 H. Zainal Asikin, Loc. Cit. 40 Penafsiran tidak hanya dilakukan oleh hakim, tetapi juga oleh peneliti hukum, dan mereka yang berhubungan dengan kasus atau konflik dan peraturan-peraturan hukum. Yang akan diuraikan di sini adalah penafsiran oleh hakim, karena penafsirannya itu mempunyai wibawa karena dituangkan dalam putusan.74 Metode penafsiran sejak semula dibagi menjadi 4, yaitu interpretasi gramatical, sistematis, historis, dan teleologis. Di samping itu dikenal interpretasi komparatif dan interpretasi antisipatif.75 1. Interpretasi Gramatikal Hukum memerlukan bahasa. Hukum tak mungkin ada tanpa bahasa. Oleh karena itu bahasa merupakan sarana penting bagi hukum: peraturan perundang-undangan dituangkan dalam bentuk bahasa tertulis, putusan pengadilan disusun dalam bahasa yang logis sistematis, untuk mengadakan perjanjianpun diperlukan bahasa.76 Untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang maka ketentuan undang-undang itu ditafsirkan atau dijelaskan dengan menguraikannya menurut bahasa umum sehari-hari. Disini arti atau makna ketentuan undang-undang dijelaskan menurut bahasa umum sehari-hari. Metode penemuan hukum ini disebut interpretasi gramatikal atau penafsiran menurut bahasa dan merupakan penafsiran atau penjelasan undang-undang yang paling sederhana dibandingkan dengan metode interpretasi yang lain.77 74 Sudikno Mertokusumo I, Loc. Cit. Sudikno Mertokusumo I, Op. Cit., h 57. 76 Sudikno Mertokusumo I, Loc. Cit. 77 Sudikno Mertokusumo I, Loc Cit. 75 41 Metode interpretasi menurut bahasa (gramatikal) adalah suatu cara penafsiran undangundang menurut arti kata-kata (istilah) yang terdapat pada undang-undang. Hukum wajib menilai arti kata yang lazim dipakai dalam bahasa sehari-hari yang umum.78 Sebagai contoh penafsiran menurut bahasa misalnya mengenai istilah menggelapkan dari Pasal 41/KUHP ada kalanya ditafsirkan sebagai menghilangkan.79Metode interpretasi gramatikal ini disebut juga metode obyektf.80 2. Interpretasi Sistematis atau Logis Suatu peraturan hukum atau undang-undang merupakan bagian dari keseluruhan sistem hukum. Arti pentingnya suatu peraturan hukum terletak di dalam sistem hukum. Arti pentingnya suatu peraturan hukum terletak di dalam sistem hukum. Di luar sistem hukum, lepas dari hubungannya dengan peraturan-peraturan hukum yang lain, suatu peraturan hukum tidak mempunyai arti.81 Menafsirkan peraturan perundang-undangan dengan menghubungkannya dengan peraturan hukum atau undang-undang lain atau dengan keseluruhan sistem hukum disebut penafsiran sistematis. Menafsirkan undang-undang tidak boleh menyimpang atau keluar dari sistem perundang-undangan atau sistem hukum.82 Contoh : interpretasi sistematis misalnya, kalau hendak mengetahui tentang sifat pengakuan anak yang dilahirkan di luar perkawinan oleh orang tuanya tidak cukup hanya 78 H. Zainal Asikin, Op. Cit., h. 96. Sudikno Mertokusumo II, Op. Cit., h 171. 80 Sudikno Mertokusumo II, Loc. Cit. 81 Sudikno Mertokusumo I, Op. Cit., h 58. 82 Sudikno Mertokusumo I, Loc. Cit. 79 42 mencari ketentuan-ketentuan dalam BW saja, tetapi harus dihubungkan juga dengan Pasal 278 KUHP.83 3. Interpretasi Historis Makna undang-undang dapat dijelaskan atau ditafsirkan juga dengan jalan meneliti sejarah terjadinya. Penafsiran ini dikenal sebagai interpretasi historis. Jadi penafsiran historis merupakan penjelasan menurut terjadinya undang-undang.84 Penafsiran historis ini ada dua, yaitu:85 a. Penafsiran menurut sejarah hukum (Rechts historische interpretatie) adalah suatu cara penafsiran dengan jalan menyelidiki dan mempelajari sejarah perkembangan segala sesuatu yang berhubungan dengan huku seluruhnya. Contoh: KUH Perdata (BW) yang dikodifikasikan pada tahun 1848 di Hindia Belanda. Menurut sejarahnya mengikuti code civil Prancis dan di Belanda (Nederland) dikodifikasikan pada tahun 1838. b. Penafsiran menurut sejarah penetapan suatu undang-undang (Wethistoirsche interpretatie), yaitu penafsiran undang-undang dengan menyelidiki perkembangan suatu undang-undang sejak dibuat, perdebatan-perdebatan yang terjadi dilegislatif, maksud ditetapkannya atau penjelasan dari pembentuk undang-undang pada waktu pembentukannya. 83 Sudikno Mertokusumo II, Op. Cit., h. 173. Sudikno Mertokusumo II, Loc. Cit. 85 H. Zainal Asikin, Op. Cit., h. 96. 84 43 4. Interpretasi Teleologis atau Sosiologis Interpretasi teleologis terjadi apabila makna undang-undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Ketentuan undang-undang yang sudah usang digunakan sebagai sarana untuk memecahkan atau menyelesaikan sengketa yang terjadi sekarang. Metode ini baru dugunakan apabila kata-kata dalam undang-undang dapat ditafsirkan dengan berbagai cara.86 Dapatlah dikatakan bahwa setiap penafsiran pada hakekatnya merupakan penafsiran teleologis. Makin usang suatu undang-undang, makin banyak dicari tujuan pembentuk undangundang yang disesuaikan dengan perkembangan masyarakat. Interpretasi teleologis dinamakan juga interpretasi sosiologis.87 5. Interpretasi Komparatif Interpretasi komparatif atau penafsiran dengan jalan memperbandingkan adalah penjelasan berdasarkan perbandingan hukum. 88 Pada interpretasi komparatif maka penafsiran peraturan itu dibenarkan dengan mencari titik temu pada penyelesaian yang dikemukakan di berbagai negara. Terutaa bagi hukum yang timbul dari perjanjian internasional ini penting. Di luar hukum internasional kegunaan metode ini terbatas.89 86 Sudikno Mertokusumo I, Op. Cit., h 61. Sudikno Mertokusumo I, Loc. Cit. 88 Sudikno Mertokusumo II, Op. Cit., h 174. 89 Sudikno Mertokusumo I, Op. Cit., h 62. 87 44 6. Interpretasi Antisipatif atau Futuristis Pada penafsiran antisipatif maka dicari pemecahannya dalam peraturan-peraturan yang belum mempunyai kekuatan berlaku, yaitu dalam rancangan undang-undang.90 Interpretasi ini pernah dipakai pertama kali ketika terjadi pencurian aliran listrik. Pada 23 Mei 1921 hakim di Belanda memutuskan bahwa pencurian listrik dapat dijatuhkan pidana dan ditafsirkan bahwa aliran listrik termasuk kategori “barang”, padahal pada saat itu aliran listrik baru dimasukkan dalam rancangan undang-undang sebagai sebuah “barang”, sehingga siapa saja dapat dipidana jika mencuri aliran listrik.91 7. Interpretasi Restriktif Disini untuk menjelaskan suatu ketentuan undang-undang ruang lingkup ketentuan undang-undang itu dibatasi. Ini adalah suatu metode penafsiran dengan mempersempit arti suatu peraturan dengan bertitik tolak pada artinya menurut bahasa.92 Misalnya pengertian “tetangga”, bahwa dalam penafsiran gramatikal diartikan sebagai seorang “penyewa di pekarangan sebelah”. Tetapi bagi penafsiran restriktif “ tetangga penyewa” tidak termasuk pengertian tetangga.93 8. Interpretasi Ekstensif Penafsiran dengan cara memperluas arti kata-kata yang terdapat dalam undang-undang sehingga suatu peristiwa dapat dimasukkan ke dalamnya.94 90 Sudikno Mertokusumo I, Loc. Cit. H. Zainal Asikin, Pengantar Ilmu Hukum, Ed I, Cet II, Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013, h. 99, dikutip dari Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum sebuah Pengantar, Ed 2, Cet. 5, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2007, h 62. 92 Sudikno Mertokusumo I, Loc. Cit. 93 H. Zainal Asikin, Op. Cit., h. 100. 94 H. Zainal Asikin, Op. Cit., h. 99. 91 45 Contoh: kata “menjual” dalam Pasal 1576 KUHPerdata tidak semata-mata diartikan menjual dalam konteks jual beli semata-mata, tetapi tindakan apa saja yang mengalihkan barang dikategorikan sebagai tindakan menjual.95 9. Interpretasi Otentik Metode interpretasi secara autentik (resmi), yaitu penafsiran yang resmi yang diberikan oleh pembuat undang-undang tentang arti kata-kata yang digunakan dalam undang-undang tersebut.96 Contoh : Dalam Titel IX Buku I KUHP memberi penjelasan secara resmi (autentik) tentang arti beberapa kata/sebutan di dalam KUHP. Seperti dalam Pasal 97 KUHP yang dimaksud “sehari” adalah masa yang lamanya 24 Jam, “sebulan” adalah masa yang lamanya 30 hari.97 Tetapi tafsiran dalam Titel IX Buku I KUHP ini tidak semestinya berlaku juga untuk kata-kata yang dipergunakan oleh peraturan pidana di luar KUHP artinya Hakim tidak hanya bertindak sebagai corong hukum saja melainkan harus aktif mencari dan menemukan hukum itu sendiri dan mensosialisasikannya kepada masyarakat.98 Interpretasi otentik tidak pernah dibicarakan bersama-sama dengan metode-metode interpretasi lainnya oleh karena interpretasi otentik bukanlah metode penemuan hukum oleh 95 H. Zainal Asikin, Loc. Cit. H. Zainal Asikin, Op. Cit., h 98. 97 H. Zainal Asikin, Loc. Cit. 98 H. Zainal Asikin, Loc. Cit. 96 46 hakim, melainkan merupakan penafsiran oleh pembentuk undang-undang yang dimuat dalam undang-undang.99 Suatu Peraturan hanya dapat ditetapkan dengan jalan penjelasan atau penafsiran. Baru kemudian dapat dilihat apakah itu diperluas atau dipersempit. Pada umumnya metode interpretasi gramatikal itu bersifat membatasi, interpretasi menurut undang-undang memperluas, interpretasi teleologis sifatnya memperluas, sedangkan metode interpretasi sistematis bersifat membatasi.100 E. Hasil Penelitian a. Kasus Posisi (ringkasan substansi fokus penelitian) Menimbang, bahwa Para Penggugat dengan surat gugatannya tertanggal 20 Februari 2014 yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Semarang, pada tanggal 20 Februari 2014 dengan Register No. 03/G/2014/PHI.Smg telah mengajukan hal-hal dengan pokok perkara yaitu bahwa Tergugat adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang minuman serbuk dalam sechet, dengan bahan utama kopi (bubuk) untuk pertama kalinya bubuk kopi sechet kemudian berkembang duo kopi gula dan selanjutnya membuuat produk dengan macam-macam inovasinya sekarang yang sedang boming produk White Kopi bahkan iklannya dimedia elektronik besar-besaran, salah satunya dengan menjadi sponsor acara YKS dan kuisnya di Trans TV dengan membagi-bagi hadiah uang yang sangat besar. Bahwa Para Penggugat adalah buruh yang bekerja di Tergugat antara lain: a) Penggugat I : bekerja sejak 09 Februari 2013, di PHK secara sepihak dan lisan sejak 08 Agustus 2013, masa kerja 7 bulan; 99 Sudikno Mertokusumo I, Op. Cit h. 62-63. Sudikno Mertokusumo I, Loc. Cit. 100 47 b) Penggugat II : bekerja sejak 10 Februari 2012, di PHK secara sepihak dan lisan sejak 10 Agustus 2013, masa kerja 1 tahun 6 bulan. b. Pihak Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Semarang yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara perselisihan hubungan industrial pada tingkat pertama telah menjatuhkan Putusan Sela sebagai berikut dalam perkara antara: 1. Nino Mei Saputri, WNI, pekerjaan Buruh PT Java Prima Abadi, bagian Asisten Teknis, yang beralamat di Jl. Sriwijaya No. 68 RT.01 RW.04 Kel. Candi, Kec. Candisari Kec. Semarang selanjutnya disebut Penggugat I; 2. Mugiyanto, WNI, pekerjaan Buruh PT Java Prima Abadi, bagian Asisten Tehnis, yang beralamat di Bandarjowo RT. 06 RW.04 Kel. Bandarjowo, Kec. Genuk Kota Semarang, selanjutnya disebut Penggugat II; Yang dalam perkara ini diwakili oleh kuasanya bernama Romelan, SH.MH adalah Advokat dan Konsultan Hukum pada kantor Advokat dan konsultan Hukum Romelan, SH.MH & Rekan yang beralamat di Jl. Wonodri Joho I No. 987 B Semarang, bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 14 Februari 2014, selanjutnya disebut sebagai PARA PENGGUGAT. Dengan PT. Java Prima Abadi, yang beralamat di Jln. Arteri Yos Sudarso No. I Kaligawe Kota Semarang, yang dalam perkara ini diwakili oleh kuasanya bernama Irianto, Jabatan General Manager, Ning Asiatun Chotimah, Jabatan Kepala Produksi, ketiganya beralamat PT. Java Prima Abadi yang beralamat di Jl. Arteri Yos Sudarso No. 1 Kaligawe Kota Semarang, bertindak untuk dan atas 48 nama pemberi kuasa, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 06 Maret 2014, selanjutya disebut sebagai Tergugat. c. Dalil Penggugat 1. Bahwa Para Penggugat menerima upah terakhir masing-masing Rp. 1.209.100,- per bulan sesuai UMK kota Semarang tahun 2013. 2. Bahwa Para Penggugat tidak diikutkan Jamsostek sejak pertama kali bekerja sampai di PHK secara sepihak dan lisan oleh Tergugat dan baru diikutkan mulai Juni 2013 oleh Tergugat, antara lain: JKK, JKM, JHT, JPK, hal ini sangat merugikan Para Penggugat, karena tidak punya Saldo JHT, sejak pertama bekerja sampai Mei 2013, perbuatan Tergugat ini melanggar Pasal 99 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek. 3. Bahwa awal terjadinya Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja Para Penggugat tanpa kesalahan apapun di PHK oleh Tergugat dengan alasan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) telah berakhir, padahal Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang dilakukan Tergugat kepada Para Penggugat bertentangan dengan Pasal 59 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan tidak dibuat rangkap dua hal ini melanggar Pasal 54 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 4. Bahwa ternyata Perjanjian Kerja Waktu Tertentu antara Para Penggugat dengan Tergugat adalah tidak sesuai yang dimaksudkan pada Pasal 59 ayat (1), (2), (4), (5) dan ayat (6) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan karena Perjanjian Kerja Waktu Tertentunya : pekerjaan bersifat tetap sebagai asisten Teknisi, tidak ada jeda 49 waktu 30 hari jika diperpanjang, dan terus menerus. Disamping itu perjanjian kerja tidak dibuat rangkap dua sesuai dimaksudkan Pasal 54 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka Para Penggugat berdasarkan Pasal 59 ayat (7) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan demi hukum status kerjanya menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (buruh tetap). 5. Bahwa Para Penggugat guna menyelesaiakan masalahnya telah mengupayakan Bipartie dengan mengirim surat perundingan bipartie melalui kuasa hukumya Romelan, SH, MH pada Tergugat tertanggal 21 Oktober 2013, dengan agenda perundingan bipartie pada tanggal 23 dan 25 Oktober 2013, namun Tergugat tidak mau diajak bipartite, sehingga masalah perselisihan PHK Para Penggugat dicatatkan di Disnakertrans Kota Semarang pada tanggal 28 Oktober 2013, dan Para Pihak diundang oleh Disnakertrans Kota Semarang sebanyak 3 kali untuk dimediasi antara lain : Tgl 8, 19, dan 27 Nopember 2013. 6. Bahwa penyelesaian PHK para Penggugat oleh pegawai Mediasi Disnaketrans Kota Semarang mengalami kebuntuan karena ketidakhadiran Tergugat, maka Pegawai Mediasi Disnaketrans Kota Semarang menerbitkan surat anjuran No. 567/5242/2013, tertanggal 23 Desember 2013, yang isinya pada intinya menganjurkan agar PT Java Prima Abadi memberikan kesempatan kepada pekerja sdr. Nino Mei Saputra dan mugiyanto untuk bekerja kembali dengan memanggil para pekerja tersebut dan diangkat menjadi pekera tetap. 7. Bahwa atas anjuran tersebut maka Para Penggugat pada tanggal 3 Januari 2014 menjawab menyatakan menerima anjuran melalui kuasa hukumnya dari Advokat dari 50 Kantor Romelan, SH, MH & Rekan yang beralamat di Jl. Wonodri Joho I Nomor 987 B Semarang, dan tergugat diketahui pada risalah mediasi ternyata menolak anjuran. 8. Bahwa Para Penggugat telah dirugikan tidak mempunyai Saldo Jaminan Hari Tua (JHT) karena tidak diikutkan Jamsostek sejak pertama kali masuk kerja, maka berdasrkan Pasal 96 UU No. 13 Tahun 2003 Jo Putusan Mahkamah Konstitusi No. 100/PUU-X/2012, tertanggal 3 Oktober 2012, maka Tergugat wajib membayar Jaminan Hari Tua kepada Para Penggugat, oleh karena itu Para Penggugat sudah selayaknya mohon kepada majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini berkenan memerintahkan kepada TergugatmembayarJaminan Hari Tua 3,7 % dari upah. Sesuai Pasal 99 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek, sebesar sbb: a. Penggugat I : bekerja sejak 08 Februari 2013 s.d tidak diikutkan Jamsostek pada Mei 2013 kerja 4 bulan sebesar Rp. 1.209.100 x 3,7%x4 bln = Rp. 178.946,b. Penggugat II : bekerja sejak 10 Februari 2012 s.d tidak diikutkan Jamsostek Mei 2013, atau 15 bulan sbb Februari 2012 – Desember 2012, 10 bulan : Rp. 991.500 x 3,7% x 8 bulan = Rp. 366.855,- Januari 2013 – Mei 2013, 5 bulan : Rp. 1.209.100 x 3,7 % x 5 bulan = Rp. 23.683,Jumlah------------------------------------------------------------------------------------Rp. 590.538,- 51 = d. JawabanTergugat Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, Pasal 3 ayat (2) : “Advokat yang telah diangkat berdasarkan peryaratan sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 ayat (1) dapat menjalankan praktiknya dengan mengkhususkan diri pada bidang tertentu dengan persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan”. Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, Pasal 4 ayat (1) : “sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang tebuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya”. Bahwa atas dasar Undang-undang Advokat tersebut diatas, untuk memastikan apakah kuasa dari Penggugat sah atau tidak dan apakah berhak untuk mewakili Para Penggugat atau tidak. Untuk itu kami mohon melalui Majelis Hakim agar Kuasa Hukum dari Para Penggugat untuk memperlihatkan bukti Pengangkatan sebagai Advokat dan Berita Acara Sumpah dari Pengadilan Tinggi setempat, demi tegaknya hukum bagi penegak hukum itu sendiri. Jika ternyata Kuasa Hukum Para Penggugat tidak dapat memperlihatkan bukti Pengangkatan sebagai Advokat dan Berita Acara Sumpah yang dimaksud oleh Undang-undang Advokat Nomor 18 Tahun 2003, maka legitima persona standi in judicionya perlu dipertanyakan, dan sebagai akibatnya kuasa ini tidak sah dan selanjutnya Kuasa Hukum Penggugat tidak berhak mewakili Para Penggugat dalam perkara ini. Oleh karena kuasa dan kehadirannya tidak sah maka segala tindakan hukum yang pernah dilakukannya menjadi tidak sah, sehingga baik surat kuasa tertanggal 14 Februari 2014 maupun 52 surat gugatan yang dibuat dan ditandatanganinya tertanggal 20 Februari 2014 menjadi tidak sah dan dengan sendirinya batal demi hukum. Oleh karena surat gugatannya telah batal demi hukum , maka kami mohon kepada Majelis Hakim agar supaya gugatannya pun ditolak untuk seluruhnya. Bahwa berdasarkan uraian-uraian, fakta dan argumentasi hukum sebagaimana yang telah dikemukakan diatas maka Tergugat mohon kiranya agar Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Semarang secara patut dan adil berkenan untuk memeriksa dan memutus perkara ini dengan putusan sela sebagai berikut: 1. Menerima dan mengabulkan eksepsi yang diajukan Tergugat untuk seluruhnya. 2. Menyatakan bahwa kuasa, kehadiran maupun segala tindakan hukum yang pernah dilakukan oleh kuasa hukum Para Penggugat adalah tidak sah. 3. Menyatakan bahwa kuasa hukum Para Penggugat tidak berhak untuk mewakili Para Penggugat dalam perkara ini. 4. Menyatakan bahwa surat kuasa tertanggal 14 Februari 2014 tidak sah dan dinyatakan batal demi hukum. 5. Menyatakan bahwa surat gugatan yang dibuat dan ditandatangani kuasa hukum Para Penggugat tertanggal 20 Februari 2014 adalah tidak sah dan dinyatakan batal demi hukum, dan/atau dianggap tidak pernah ada, atau apabila Majelis Hakim berpendapat lain maka mohon supaya gugatannya pun ditolak untuk seluruhnya. Apabila Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Semarang berpendapat lain maka dalam pokok perkara: 53 1. Bahwa kami Tergugat mohon kiranya terlebih dahulu agar segala sesuatu yang telah dikemukakan dalam Eksepsi tersebut di atas, mohon dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari bagian jawaban dalam pokok perkara. 2. Bahwa Tergugat menolak seluruh dalil-dalil gugatan perselisihan hubungan industrial Penggugat tertanggal 20 Februari 2014 sebab dalil-dalil tersebut adalah tidak benar serta sangat bertolak belakang dengan fakta-fakta hukum yang sesungguhnya kecuali hal-hal yang secara tegas-tegas diakui dan dibenarkan oleh Tergugat dalam persidangan. 3. Bahwa Para Penggugat sebagaimana disebutkan oleh Penggugat di dalam gugatannya pada halaman 1 merupaka tenaga kerja yang pernah bekerja di Perusahaan Tergugat dan telah putus hubungan kerja dengan Tergugat oleh karena telah berakhirnya masa kontrak kerja sesuai yang telah disetujui dan disepakati bersama antara Para Penggugat dengan Tergugat. 4. Bahwa apa yang dinyatakan oleh Penggugat di dalam gugatannya pada halaman 1 poin2 merupakan pernyataan yang ngawur dan tidak benar serta sangat bertolak belakang dengan fakta-fakta yang sesunguhnya, yang antara lain: a) Penggugat I (Nino Mei Saputra) pernah bekerja di Perusahaan Tergugat dari tanggal 10 Februari 2012 dan telah berakhir masa kontrak kerjanya pada tanggal 09 Agustus 2013, dengan masa kerja 1 tahun 6 bulan. b) Penggugat II (Mugiyatmo) pernah bekerja di Perusahaan Tergugat dari tanggal 09 Februari 2013 dan telah berakhir masa kontrak kerjanya pada tanggal 08 Agustus 2013, dengan masa kerja 6 bulan. 54 5. Bahwa seluruh pernyataan yang dikemukakan Penggugat dalam gugatannya pada halaman 2 poin 5 s/d 7 merupakan pernyataan mengada-ada dan terlalu dipaksakan kebenarannya oleh Penggugat, karena surat kontrak kerja antara Para Penggugat dengan Tergugat sudah sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) huruf d UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Pasal 8 ayat (1), (2), dan (3) Kepmen No. 100 Tahun 2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yaitu: PKWT dapat dilakukan dengan pekerja/buruh untuk melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Yang mana Para Penggugat saat itu adalah pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam masa percobaan atau penjajakan yaitu White Koffe yang baru produksi sekitar 1,5 tahun. Bahwa kegiatan atau pekerjaan yang telah biasa dilakukan perusahaan adalah produksi Kopi Bubuk Hitam Cap Luwak, dan Para Penggugat tidak/bukan melakukan kegiatan atau pekerjaan jenis ini. Sesuai dalam Pasal 8 ayat (2) kepmen No. 100 Tahun 2004 bahwa PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali paling lama 1 (satu) tahun, yang mana disini tidak dipersyaratkan bahwa perpanjangan kontrak tersebut harus ada jeda waktu 30 hari seperti yang dituangkan dalam Gugatan Penggugat. Dalam hal ini terlihat bahwa pernyataan yang dikemukakan Penggugat adalah Ngawur dan tidak berdasar hukum. 55 Bahwa sesuai dalam Pasal 8 ayat (2) Kepmen No. 100 Tahun 2004 bahwa PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dilakukan pembaharuan PKWT terhadap Para Penggugat dan hanya memperpanjang kontrak satu kali terhadap Penggugat I (Nino Mei Saputra) maupun Penggugat II (Mugiyatmo). Bahwa dengan telah berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja antara Para Penggugat dengan Tergugat, maka hubungan kerja pun berakhir dengan sendirinya sesuai dengan tanggal berakhirnya jangka waktu dalam Surat Kontrak Kerja sebagaimana disebutkan dalam Pasal 61 ayat (1) huruf b UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu Perjanjian kerja berakhir apabila telah berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. 6. Bahwa tergugat dalam upaya menyelesaikan masalah, selalu hadir dengan itikad baik dalam setiap undangan yang disampaikan oleh pihak Disnakertrans Kota Semarang, namun demikian memang pernah surat undangan tersebut datang terlambat sehingga telah melewati waktu/jadwal undangan untuk hadir dan pernah pula surat undangan tersebut sama sekali tidak diterima/sampai kepada Tergugat oleh karena surat tersebut dikirim ke alamat yang salah yaitu Ke Jl. Tentara Pelajar No. 02 Semarang (alamat kantor Tergugat yang lama). Padahal alamat/kedudukan Tergugat adalah di Jl. Arteri Yos Sudarso No. 01 Kaligawe Kota Semarang, sehingga hal tersebut mengakibatkan Tergugat tidak hadir dan karena kesengajaan. 7. Bahwa dalam mediasi di Disnakertrans Kota Semarang tidak didapatkan kesepakatan bukan karena disebabkan oleh ketidakhadiran Tergugat namun karena dalam mediasi tersebut situasinya sudah tidak kondusif lag mengingat kuasa hukum Penggugat sudah melampui etika berunding, yang mana Tergugat yang hadir waktu itu selaku 56 kuasa yang diberi kuasa dan mandat dari perusahaan sudah diserang secara pribadi yang melampui batas-batas kodrati manusia yang tidak ada kaitannya dengan substansi mediasu/perundingan. Oleh karena tidak didapatkan kesepakatan maka akhirnya Pegawai Mediasi Disnakertrans Kota Semarang menerbitkan surat Anjuran dengan No. 567/5242/2013 tertanggal 23 Desember 2013 sebagaimana disebutkan Penggugat dalam gugatannya pada halaman 2 angka 9. Atas anjuran tersebut Tergugat pada tanggal 03 Januari 2014 melalui surat dengan Nomor : 003/JPA/HRD/I/2014 menyatakan bahwa Tergugat dengan sangat mohon maaf tidak bisa menerima dan melaksanakan Anjuran dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Semarang tersebut untuk memberikan kesempatan kepada Para Penggugat untuk bekerja kembali dan diangkat menjadi pekerja tetap karena Penggugat menilai: a) Bahwa dengan mengacu pada Surat Kontrak Kerja yang ada, hubungan kerja antara Tergugat dan Para Penggugat merupakan Hubungan Kerja Untuk Waktu Tertentu dengan status sebagai pekerja kontrak, yang mana dalam Surat Kontrak Kerjanya mencatumkan tanggal dimulai sampai dengan tanggal berakhirnya hubungan kerja. Dan masing-masing pekerja telah sepakat, menyetujui, menyadari, dan menandatangani surat kontrak kerja tersebut, tanpa mempermasalahkan status dan masa kontrak tersebut dari sejak awa hubungan kerja terjadi. b) Bahwa jenis pekerjaan yang dilakukan oleh Para Penggugat merupaka pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam masa percobaan atau penjajakan yaitu White Koffe. 57 c) Berakhirnya hubungan kerja antara para pekerja dengan perusahaan bukan karena PHK melainkan karena telah berakhirnya masa kontrak yang telah disepakati, disetujui dan ditandatangani oleh pekerja yang mana dalam surat kontrak kerja tersebut dicantumkan bahwa dalam hal hubungan kerja berakhir maka pekerja tidak akan menuntut apapun dari perusahaan. d) Bahwa sesuai dengan asas pacta sunt servanda yang dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPer bahwa perjanjian yang sudah disepakati oleh para pihak, berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang meyelenggarakan. 8. Bahwa sebagai buruh kontrak yang hubungan kerjanya berakhir oleh karena telah berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja atau telah selesainya masa kontrak, maka tidak ada kewajiban bagi Tergugat untuk mengadakan panggilan kerja kembali Para Penggugat atau membayar kompensasi apapun, dan tidak ada pula ketentuan yang menyatakan bahwa buruh kontrak berhak atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak apabila hubungan kerja berakhir oleh karena telah berkahirnya jangka waktu perjanjian kerja atau telah selesainya masa kontrak, seperti yang telah disampaikan Penggugat dalam gugatannya pada halaman 4 angka 7. 9. Bahwa sehubungan dengan Tergugat telah melaksanakan kewajibannya yaitu telah mendaftarkan Para Penggugat dan diikutkan dalam semua program Jamsostek sesuai Pasal 6 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1992 yang antara lain Program Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua, dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan. Untuk itu tidak ada kewajiban lagi bagi Tergugat untuk membayar Jaminan Hari Tua 58 kepada Para Penggugat seperti yang disampaikan Penggugat dalam gugatannya pada halaman 4 angka 6. Bahwa berdasarkan uraian-uraian , fakta dan argumentasi hukum sebagaimana telah dikemukakan diatas maka Tergugat mohon kiranya agar Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Semarang adalah patut dan adil jika gugatan Penggugat karena tidak berdasarkan hukum, terlalu mengada-ada, serta sangat bertolak belakang dengan faktafakta yang sesungguhnya maka mohon kiranya agar Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Semarang berkenan untuk memeriksa dan memutus perkara ini dengan putusan sebagai berikut: 1. Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima. 2. Menerima jawaban Tergugat secara keseluruhan 3. Atau apabila Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Semarang berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). e. Pertimbangan Hakim Menimbang, bahwa terhadap keberatan Para Penggugat terhadap kedudukan hukum Kuasa Tergugat yang nota bene adalah karyawan dari tergugat, yang berkedudukan sebagai General Manager dan HRD Manager, yang dianggap tidak memenuhi sebagai kuasa yang disyaratkan oleh undang-undang No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI, khususnya Pasal 87 yang berbunyi “Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Organisasi Pengusaha dapat bertindak sebagai Kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya”. 59 Menimbang, bahwa mengenai Kuasa Hukum Tergugat yang diwakili oleh General Manager dan HRD Manager, Majelis hakim berpendapat bahwa orang yang berhak mewakili Pengusaha untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial, adalah organisasi pengusaha. Sebagaimana yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 87 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI. Oleh karena Undang-undang tersebut merupakan Lex Spesialis yang merupakan hukum secara formal untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial maka ketentuan mengenai kuasa hukum harus tunduk pula pada ketentuan Pasal 87 UU No. 2 Tahun 2004 tersebut, bukan kepada Undang-undang Perseroan Terbatas (PT). Mengenai bahwa berdasarkan ketentuan tersebut maka menurut Majelis Hakim kuasa Hukum Tergugat bukan Organisasi Pengusaha, akan tetapi adalah karyawan Tergugat, maka tidak memenuhi syarat sebagai kuasa yang ditentukan Undang-undang sebagaimana tersebut diatas, oleh karenanya menurut Majelis Kuasa Hukum Tergugat juga tidak mempunyai legal standing untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili Tergugat. f. Putusan Menerima keberatan yang diajukan oleh Tergugat dan Para Penggugat terkait surat kuasa, menyatakan bahwa kuasa hukum Para Penggugat tidak dapat mewakili Para Penggugat dan Kuasa Hukum Tergugat tidak dapat mewakili Tergugat untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Semarang khususnya dalam perkara No. 03/G2014/PHI.Smg, menyatakan perkara ini tidak bisa dilanjutkan pemeriksaannya, dan membebankan biaya perkara ini kepada Negara sebesar Rp. 276.000.- (dua ratus jutuh puluh enam ribu rupiah). Demikian diputuskan pada hari : SENIN, tanggal 14 APRIL 2014 dalam rapat pemusyawaratan Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Semarang, RAMA J PURBA, SH.MH sebagai Ketua Majelis, 60 AMBAR B M, SH dan Daryono, SH masing-masing sebagai Hakim Anggota, putusan mana diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari : SELASA, tanggal 15 APRIL 2014 oleh Majelis tersebut, dengan dibantu EDY ASMORO, SH. Panitera Pengganti pada Pengadilan Hubungan Industrial Semarang dan dihadiri oleh Kuasa Hukum Para Penggugat serta Kuasa Hukum Tergugat. F. Analisis Penelitian Untuk menganalisis pertimbangan hakim yang menolak kuasa hukum kuasa Tergugat, penulis menganalisis menggunakan dasar hukum, yaitu: 1. KUH Perdata Secara umum, surat kuasa tunduk pada prinsip hukum yang diatur dalam Bab keenam Belas, Buku III KUH Perdata mulai dari Pasal 1792 s/d Pasal 1819, sedang aturan khususnya diatur dan tunduk pada ketentuan hukum acara yang digariskan Het Herziene Inlandsch/Indonesich Reglement (“HIR”) dan Reglement Buitengewesten (“RBG”). Untuk memahami pengertian kuasa secara umum, dapat dirujuk Pasal 1792 KUH Perdata, yang berbunyi:“Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.” Menurut Pasal 1792 KUH Perdata, pemberian Kuasa adalah: Persetujuan antara pemberi kuasa, dengan penerima kuasa; Dengan pemberian kuasa itu, penerima kuasa sah bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa melakukan perbuatan hukum yang ditentukan dalam surat kuasa; 61 Dalam bertindak melakukan perbuatan hukum, penerima kuasa tidak atau bukan atas namanya sendiri, tetapi atas nama pemberi kuasa. Selanjutnya, di atur di dalam Pasal 1795 KUH Perdata yang berbunyi:“Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu mengenai hanya satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan si pemberi kuasa.“ Menurut pasal ini, kuasa umum bertujuan memberi kuasa kepada seseorang untuk mengurus kepentingan pemberi kuasa, yaitu: Melakukan tindakan pengurusan harta kekayaan pemberi kuasa; Pengurusan itu, meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan pemberi kuasa kuasa atas harta kekayaannya; Dengan demikian titik berat kuasa umum, hanya meliputi perbuatan atau tindakan pengurusan kepentingan pemberi kuasa. Dengan demikian, dari segi hukum, kuasa umum adalah pemberian kuasa mengenai pengurusan, yang disebut beherder atau manajer untuk mengatur kepentingan pemberi kuasa. Sedangkan kuasa secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih. Bentuk inilah yang menjadi landasan pemberian kuasa untuk bertindak di depan pengadilan mewakili kepentingan pemberi kuasa sebagai pihak principal. Namun, agar agar bentuk kuasa yang disebut dalam Pasal 1795 KUH Perdata ini dapat sah sebagai surat kuasa khusus di depan pengadilan, kuasa tersebut harus disempurnakan terlebih dahulu dengan syarat-syarat yang disebut dalam Pasal 123 HIR yaitu kuasa secara lisan oleh penggugat di hadapan ketua Pengadilan Negeri (PN), kuasa yang ditunjuk secara lisan di persidangan, dan kuasa khusus berbentuk tertulis atau akta yang disebut surat kuasa khusus. 62 Lebih lanjut, yang dapat bertindak sebagai kuasa/wakil dalam perkara perdata pada umumnya adalah: advokat sesuai Pasal 32 UU No. 18 Tahun 2003; Jaksa dengan kuasa khusus sebagai kuasa/wakil negara/pemerintah/TNI/Kejaksaan RI; Direksi/pengurus atau karyawan yang ditunjuk dari suatu badan hukum; mereka yang mendapat kuasa insidentil yang ditetapkan oleh ketua pengadilan (misalnya, LBH, hubungan keluarga, biro hukum TNI/Polri) untuk perkara-perkara yang menyangkut anggota/keluarga TNI/Polri; dan kuasa insidentil dengan alasan hubungan keluarga sedarah atau semenda dapat diterima sampai dengan derajat ketiga yang dibuktikan dengan surat keterangan kepa desa/lurah. 2. Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Undang-Undang No. 2 Tahun 2004tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan merupakan lex spesialist yang merupakan hukum secara formal untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial, ketentuan mengenai kuasa hukum harus tunduk pada ketentuan Undangundang tersebut. Pengaturan kuasa hukum diatur di dalam Pasal 87 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang berbunyi: “Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Organisasi Pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya.” Ketentuan Pasal 87 UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselsihan Hubungan Industrial yang nyata-nyata memberikan ruang gerak bagi oraganisasi pengusaha untuk beracara dipersidangan mewakili anggotanya atas dasar surat kuasa khusus, hampir tidak pernah dipergunakan. Ketentuan Pasal 2 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat mengatur bahwa yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berpendidikan tinggi hukum dan setelah 63 mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh organisasi Advokat. Bahkan, ketentuan UU tentang Advokat tersebut mengancam dengan pidana, bagi siapa saja yang bukan Advokat tetapi menjalankan pekerjaan sebagai Advokat, namun pada saat ini Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Organisasi Pengusaha yang hendak bertindak sebagai kuasa hukum di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) tidak perlu lagi kwatir akan dikenakan sanksi pidana atau denda sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UU Advokat. Karena Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-II/2004 tahun 2004 telah menyatakan bahwa, Pasal 31 UU Advokat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Lebih lanjut dinyatakan dalam Putusan MK tersebut bahwa Pasal 31 UU Advokat tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan telah dianggap menutup akses untuk mendapatkan keadilan. Jadi, sejak dibatalkannya” Pasal 31 UU Advokat oleh Mahkamah konstitusi, maka saat ini tidak ada lagi pertentangan antara pengaturan dalam UU Advokat dengan peraturan yang menjadi dasar hukum bagi Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Organisasi Pengusaha untuk bertindak sebagai kuasa hukum di dalam PHI. Selain itu, kewenangan serikat pekerja/serikat buruh untuk mewakili anggotanya di PHI telah lama dijamin oleh UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (UU Serikat Buruh). Pasal 25 ayat 1 menyatakan bahwa, serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan berhak untuk mewakili pekerja/buruh dalam menyelesaikan perselisihan industrial. Pendampingan pekerja oleh Wakil Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang bukan Advokat sebagai kuasa hukum di PHI dalam praktinya sudah banyak dilakukan. Hal yang sama juga ditegaskan Dr. H. Mohammad Saleh, SH., MH., Ketua Muda Perdata Khusus Mahkamah Agung Republik Indonesia. Dalam makalah yang berjudul Temuan 64 Permasalahan Hukum pada Perdata Khusus yang disampaikan pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Mahkamah Agung Tahun 2009, Mohammad Saleh menyatakan bahwa “Manajer Personalia boleh mewakili pihak perusahaan di persidangan PHI bilamana mendapat kuasa dari Direksi.” Jadi, Manajer HRD/Personalia dapat mewakili pihak perusahaan dipersidangan PHI jika mendapat kuasa dari Direksi, dan orang yang bersangkutan tidak harus seorang sarjana hukum. 3. Undang-Undang Perseroan Terbatas Direksi sebagai salah satu Organ atau alat perlengkapan Perseroan, selain mempunyai kedudukan dan kewenangan mengurus Perseroan, juga diberi wewenang untuk “mewakili” Perseroan baik di dalam maupun di luar Pengadilan untuk dan atas nama Perseroan. Kapasitas atau kewenangan yang dimiliki Direksi mewakili Perseroan karena Undang-undang. Artinya, undang-undang sendiri dalam hal ini Pasal 1 angka 5 dan Pasal 92 ayat (1) UUPT 2007 yang memberi kewenangan itu kepada Direksi untuk mewakili Perseroan di dalam maupun di luar Pengadilan. Oleh karena itu, kapasitas mewakili yang dimilikinya, adalah kuasa atau perwakilian karena undang-undang (wettelijke vertegenwoordig, legal or statutory representative). Dengan demikian, untuk bertindak mewakili Perseroan, tidak memerlukan kuasa dari Perseroan. Sebab kuasa yang dimilikinya atas nama Perseroan adalah kewenangan yang melekat secara inherent pada diri dan jabatan Direksi berdasar undang-undang. Sehubungan dengan itu, sesuai dengan kapasitasnya sebagai kuasa mewakili Perseroan berdasar undang-undang, Direksi berwenang memberi kuasa kepada orang yang ditunjuknya untuk bertindak mewakili Perseroan. Tindakan pemberian kuasa yang demikian dapat dilakukan 65 Direksi tanpa memerlukan persetujuan dari Organ Perseroan yang lain. Tidak memerlukan persetujuan dari RUPS maupun dari Dewan Komisaris. Pemberian Kuasa diatur di dalam Pasal 103 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, mengatur mengenai hak Direksi memberi kuasa kepada orang lain. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut: “Direksi dapat memberi kuasa tertulis kepada 1 (satu) orang karyawan Perseroan atau lebih atau kepada orang lain untuk dan atas nama Perseroan melakukan perbuatan hukum tertentu sebagaimana yang diuraikan dalam surat kuasa.” Orang lain yang dimaksud di dalam UUPT tersebut adalah Advokat, sesuai dengan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat Pasal 1 angka 1 dan 2 yang berbunyi: Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang ini dan Jasa hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan klien. 4. Metode Interpretasi Menurut Bahasa (Gramatikal) Metode interpretasi menurut bahasa (gramatikal) adalah suatu cara penafsiran undangundang menurut arti kata-kata (istilah) yang terdapat pada undang-undang. Hukum wajib menilai arti kata yang lazim dipakai dalam bahasa sehari-hari yang umum. Sebagai contoh: Pasal 87 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang berbunyi, “Serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya.” Kata “dapat bertindak” di dalam pasal tersebut dapat ditafsirkan menurut 66 bahasa sehari-hari adalah “dibutuhkan” apabila kuasa dari buruh atau pengusaha tidak memiliki wakil sebagi kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial, maka Organisasi Pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili pengusaha. Sehingga, menurut analisis Penulis: Kuasa hukum dari Pengusaha yaitu General Manager sudah tepat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial, tanpa harus diwakili oleh Organisasi Pengusaha. 67