bab ii tinjauan teoritis, hasil penelitian, dan analisis

advertisement
BAB II
TINJAUAN TEORITIS, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS
A. Perselisihan Hubungan Industrial
Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan
pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh kerena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan
perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
hanya dalam satu perusahaan. 1 Atas dasar itu, Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial membagi perselisihan hubungan industrial
menjadi:2
a. Perselisihan hak;
b. Perselisihan kepentingan;
c. Perselisihan pemutusan hubungan kerja;
d. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat
adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundangundangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.3 Dari pengertian
diatas jelaslah bahwa perselisihan hak (rechtsgeschil) merupakan perselisihan hukum karena
perselisihan ini terjadi akibat pelanggaran kesepakatan yang telah dibuat oleh para pihak
1
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 angka 22.
Lalu Husni, Op. Cit., 43.
3
Lihat Pasal 1 angka 2 Undang-undang No. 2 Tahun 2004.
2
15
termasuk di dalamnya hal-hal yang sudah ditentukan dalam peraturan perusahaan serta peraturan
perundang-undangan yang berlaku.4
Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena
tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja
yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah perselisihan yang timbul karena
tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh
salah satu pihak.5 Perselisihan mengenai PHK selama ini paling banyak terjadi karena tindakan
PHK yang dilakukan oleh satu pihak dan pihak lain tidak dapat menerimanya. PHK dapat terjadi
atas inisiatif dari pihak pengusaha maupun pekerja/buruh. Dari pengusaha dilakukan karena
buruh/pekerja melakukan berbagai tindakan atau pelanggaran. Demikian sebaliknya, PHK juga
dapat dilakukan atas permohonan buruh/pekerja karena pihak pengusaha tidak melaksanakan
kewajiban yang telah disepakati atau berbuat sewenang-wenang kepada buruh/pekerja.6
Perselisihan Antar-Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan,
karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban
keserikat pekerjaan.7 Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh
memberikan kemudahan bagi buruh untuk membentuk Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB)
tingkat Perusahaan (TP), yakni minimun 10 orang anggota.
Undang-undang ini juga
menekankan bahwa siapun dilarang menghalangi atau memaksa pembentukan atau membentuk
4
Lalu Husni, Op. Cit., h 44.
Lihat Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004.
6
Lalu Husni, Op. Cit., h 46.
7
Lihat Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004.
5
16
Serikat Pekerja (SP) atau Serikat Buruh (SB)-TP. Ketentuan ini mengandung makna bahwa tidak
seorang pun yang dapat menghalangi pekerja/buruh untuk menjadi pengurus atau anggota serikat
SP/SB-TP, atau melarang serikat tersebut melakukan atau tidak melakukan aktivitasnya.8
Pada dasarnya, identik dengan peradilan lainnya dan telah dijelaskan selintas konteks di
atas, PHI mempunyai kompetensi dalam mengadili perkara perselisihan-perselisihan hubungan
industrial dengan dikaji dari perspektif normatif dan praktik peradilan berdasarkan ketentuan
Pasal 56 UU Nomor 2 Tahun 2004, memeriksa dan memutus:
1. Di tingkat pertama menegenai perselsihan hak;
2. Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselsihan kepentingan;
3. Di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja;
4. Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh dalam satu perusahaan.
Mengenai perselisihan hak, PHI merupakan sebagai peradilan tingkat pertama, upaya
hukum para pihak yang tidak menerima putusan adalah kasasi pada MARI. Kemudian terhadap
perselisihan kepentingan, PHI merupakan peradilan tingkat pertama dan tingkat terakhir.
Terhadap perselisihan PHK, PHI merupakan peradilan tingkat pertama sedangkan upaya hukum
para pihak yang tidak menerima putusan adalah kasasi pada MARI, dan terhadap perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan, PHI merupakan peradilan tingkat
pertama dan tingkat terakhir.9
8
Lalu Husni, Op. Cit., h 50.
Lilik Mulyadi dan Agus Subroto, Penyelesaian Perkara Pengadilan Hubungan Industrial Dalam Teori dan
Praktik, Ed. I, Cet I, Penerbit P.T Alumni, Bandung, 2011, h 11.
9
17
Kompetensi Perselisihan Hubungan Industrial :
1. Perselisihan Hak
2. Perselisihan Kepentingan
Tingkat I P.H.I
Kasasi ke Mahkamah Agung
Tingkat I dan Terakhir P.H.I
3. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja
Tingkat I P.H.I
Kasasi ke
Mahkamah Agung
4. Perselisihan antar Serikat Pekerja dalam Satu Perusahaan
Tingkat I dan
Terakhir P.H.I
Ketentuan UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial hakikatnya telah memberikan beberapa alternatif sebagai solusi bagaimana
penyelesaian perkara perselsihan hubungan industrial melalui PHI. Ada 3 (tiga) bentuk polarisasi
penyelesaian perselisihan hubungan industrial menurut paradigma normatif ketentuan UU
Nomor 2 Tahun 2004, yaitu dapat dilakukan melalui perundingan secara bipartit, tripartit, dan
dapat pula melalui PHI.10
Perundingan secara bipartit, menurut ketentuan Pasal 1 angka 10 UU Nomor 2 Tahun
2004 adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh dengan pengusaha
untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Penyelesaian perselisihan yang terbaik
adalah penyelesaian oleh para pihak yang berselisih sehingga dapat diperoleh hasil yang
menguntungkan kedua belah pihak. Oleh karena itu setiap perselisihan yang terjadi, wajib
diupayakan penyelesainnya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah
untuk mencapai mufakat, tanpa dicampuri oleh pihak manapun. Penyelesaian perselisihan
10
Lilik Mulyadi dan Agus Subroto, Op. Cit., h 59.
18
melalui bipartit harus diselesaikan paling lama 30 hari kerja sejak tanggal dimulainya
perundingan.11
Apabila dalam jangka waktu 30 hari kerja salah satu pihak menolak untuk berunding atau
telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, perundingan bipartit dianggap
gagal. Dalam hal musyawarah dapat mencapai kesepakatan penyelesaian, dibuat Perjanjian
Bersama (PB) yang ditandatangani oleh para pihak. PB tersebut mengikat dan menjadi hukum,
serta wajib dilaksanakan oleh para pihak. PB dimaksud wajib didaftarkan oleh para pihak yang
melakukan perjanjian pada Pengadilan HI di wilayah para pihak mengadakan PB, untuk
mengadakan akta bukti pendaftaran, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari PB.12
Perundingan tripartit, pada dasarnya merupakan perundingan yang melibatkan pihak
ketiga yang netral. Dalam UU Nomor 2 Tahun 2004 pihak ketiga yang dilibatkan untuk
menyelesaikan suatu perselisihan hubungan industrial tersebut adalah mediator, atau konsiliator
atau arbiter.13 Upaya penyelesaian secara tripartit ini baru dapat dilakukan apabila usaha bipartit
telah dilakukan. 14 Upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui cara mediasi
bersifat wajib (mandatory), apabila cara penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase tidak
disepakati oleh para pihak. Polarisasi melalui mediasi ini merupakan salah satu dari Alternative
Dispute Resolution (ADR) atau Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan.
15
Apabila
diperbandingkan antara cara penyelesaian perselisihan melalui bipartit dan mediasi, terdapat
unsur pembeda, yakni masuknya unsur luar selain para pihak yang berselisih. Dalam bipartit
11
Mohd. Syaufii Syamsuddin, Norma Perlindugan Dalam Hubungan Industrial, Penerbit Sarana Bhakti
Persada, Jakarta, 2004, h 326.
12
Ibid., h 327.
13
Lilik Mulyadi dan Agus Subroto, Op. Cit., h 69, dikutip dari Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor Per. 02/MEN/I/2005 Tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengujian Pemberian, dan Pencabutan
Sanksi bagi Arbiter Hubungan Industrial.
14
Lilik Mulyadi dan Agus Subroto, Loc. Cit.
15
Mohammad Saleh dan Lilik Mulyadi, Op. Cit., h. 63.
19
perundingan dilakukan terbatas pada pihak-pihak yang bersellisih sementara dalam mediasi
adanya pihak luar, yaitu mediator yang masuk dan mencoba menyelesaikan perselisihan
tersebut.16
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalaui konsiliasi merupakan salah satu
alternatif yang artinya upaya ini bersifat pilihan sukarela (voluntary), bukan hal yang wajib
(mandatory) sebagaimana penyelesaian secara bipartit ataupun melalui mediasi. 17 Konsiliasi
hubungan industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan
kepentingan, perselisihan PHK, atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam
satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang
netral. 18 Sebagaimana halnya konsiliasi, upaya penyelesaian hubungan industrial melalui
arbitrase juga merupakan salah satu alternatif yang bersifat sukarela (voluntary), bukan
merupakan hal yang wajib (mandatory). Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui
lembaga arbitrase ini memungkinkan jika kedua belah pihak yang berselisih telah bersepakat
untuk menyelesaikan perselisihan melalui arbitrase. Kesepakatan mengenai mekanisme
penyelesaian tersebut dilakukan dalam bentuk perjanjian tertulis dalam surat perjanjian arbitrase,
dibuat rangkap 3 dan masing-masing pihak mendapatkan 1 yang mempunyai kekuatan hukum
sama (Pasal 32 ayat (1) dan (2) UU No. 2 Tahun 2004).19
16
Mohammad Saleh dan Lilik Mulyadi, Op. Cit., h. 66.
Mohammad Saleh dan Lilik Mulyadi, Op. Cit., h. 67.
18
Lihat Pasal 1 angka 13 UU No 2 Tahun 2004.
19
Muhammad Saleh dan Lilik Mulyadi, Op. Cit., h 69.
17
20
Mekanisme Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Menurut UU NO. 2 Tahun
200420
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial oleh Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Umum dilakukan dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak. Pembuatan surat
gugatan dalam sengketa perdata di pegadilan harus dilakukan secara jelas dan dan cermat. 21
Selesai gugatan dibuat, selanjutnya penggugat atau kuasanya menandatangani gugatan tersebut
dan mendaftarkan gugatan itu ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri dalam
wilayah hukum tempat pekerja/buruh bekerja. 22 Demikian pula halnya dengan bagaimanakah
cara gugatan perselisihan hubungan industrial diajukan, apakah gugatan tersebut harus diajukan
dalam bentuk tertulis, ataukah dapat pula diajukan secara lisan, ternyata ketentuan UU tidak
mengaturnya secara tegas. Karena itu, praktik peradilan yang berjalan selama ini, gugatan dapat
20
http://www.apindo-kepri.com/ruang-media/phi/hukum-acara-peradilan-hubungan-industrial, dikunjungi
pada Selasa, 28 Juni 2016 pukul 20.06 WIB.
21
Lalu Husni, Op. Cit., h. 94.
22
Lalu Husni, Op. Cit., h. 97.
21
diajukan secara tertulis maupun lisan tetap dipertahankan meskipun ternyata mayoritas gugatan
diajukan secara tertulis, lebih-lebih mengingat para pihak diwakili oleh kuasa hukumnya.23
Untuk menjamin penyelesaian yang cepat, tepat, adil, dan murah, Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) melalui Pengadilan Hubungan Industrial (HI) dibatasi
proses dan tahapannya, dengan tidak membuka kesempatan untuk mengajukan upaya banding ke
Pengadilan Tinggi. Putusan Pengadilan HI yang menyangkut perselsihan hak dan perselsihan
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dapat langsung dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung
(MA). Sedangkan putusan Pengadilan HI yang menyangkut perselisihan kepentingan dan
perselsihan antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam satu perusahaan merupakan putusan
tingkat pertama dan terakhir yang tidak dapat dimintakan kasasi ke MA.24
Susunan Pengadilan HI terdiri dari:
a) Hakim,
b) Hakim Ad-Hoc,
c) Panitera Muda, dan
d) Panitera Pengganti.
Sedangkan susunan Pengadilan HI pada MA terdiri dari:
a) Hakim Agung,
b) Hakim Ad-Hoc pada MA, dan
c) Panitera.
23
Lilik Mulyadi dan Agus Subroto, Op. Cit., h. 90.
Mohd. Syaufii Syamsuddin, Op. Cit., h. 340.
24
22
Pengadilan HI yang memeriksa dan mengadili PHI dilaksanakan oleh Majelis Hakim
yang beranggotakan tiga orang, yakni seorang Hakim PN dan dua orang Hakim Ad-hoc yang
pengangkatannya diusulkan masing-masing satu orang oleh organisai pengusaha dan organisasi
pekerja.25
B. Organisasi Pengusaha
Organisasi pengusaha, dalam perkembangannya di Indonesia terdapat dua organisasi
pengusaha, yaitu Kamar Dagang dan Industri (KADIN) dan Asosiasi Pengusaha Indonesia
(APINDO). 26 KADIN adalah wadah bagi pengusaha Indoenesia dan bergerak di bidang
perekonomian, dengan tujuan:27
a. Membina dan mengembangkan kemampuan, kegiatan, dan kepentingan pengusaha
Indonesia di bidang usaha negara, usaha koperasi, dan swasta dalam kedudukannya
sebagai pelaku-pelaku ekonomi nasional dalam rangka mewujudkan kehidupan
ekonomi dan dunia usaha nasional yang sehat dan tertib berdasar Pasal 33 UUD 1945.
b. Menciptakan dan mengembangkan iklim dunia usaha yang memungkinkan
keikutsertaan seluas-luasnya bagi pengusaha Indonesia sehingga dapat berperan
secara efektif dalam pembangunan nasional.
Adapun Asosiasi Pengusaha indonesia (APINDO) merupakan organisasi pengusaha yang
khusus bergerak pada bidang Sumber Daya Manusia (SDM) dan hubungan industrial.28 Menurut
Lalu Husni, tujuan APINDO dalam Pasal 7 Anggaran Dasarnya adalah:
25
Mohd. Syaufii Syamsuddin, Op. Cit., h. 340-341.
R. Joni Bambang, Loc. Cit.
27
Zaeni Asyhadie, Op. Cit., h 29.
28
R. Joni Bambang, Loc. Cit.
26
23
1. Mempersatukan dan membina pengusaha serta memberikan layanan kepentingannya
di dalam bidang sosial ekonomi;
2. Menciptakan dan memelihara keseimbangan, ketenangan dan kegairahan kerja dalam
lapangan hubungan industrial dan ketenagakerjaan;
3. Mengusahakan peningkatan produktivitas kerja sebagai program peran serta aktif
untuk mewujudkan pembangunan nasional menuju kesejateraan sosial, spritual, dan
material
4. Menciptakan
adanya
kesatuan
pendapat
dalam
melaksanakan
kebijaksanaan/ketenagakerjaan dari para pengusaha yang disesuaikan dengan
kebijaksanaan pemerintah.
Organisasi pekerja/buruh, menurut Pasal 1 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2000 tentang
serikat Pekerja/Serikat Buruh bahwa serikat buruh/serikat pekerja ialah organisasi yang dibentuk
dari, oleh dan untuk pekerja/buruh, baik di perusahaan maupun di luar perusahaan yang bersifat
bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela
serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan
pekerja/buruh beserta keluarganya.29
Setiap serikat pekerja/serikat buruh dapat dibentuk berdasarkan sektor usaha, jenis
pekerjaan, atau bentuk lain sesuai kehendak pekerja/buruh. Demikian pula dengan pembentukan
federasi serikat pekerja/serikat buruh dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh. 30 Federasi
serikat
pekerja/serikat
29
buruh
dapat
dibentuk
R. Joni Bambang, Op. Cit., h. 74.
Zaeni Asyhadie, Op. Cit., h. 23.
30
24
oleh
sekurang-kurangnya
lima
serikat
pekerja/serikat buruh. Sementara itu, konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dapat dibentuk
oleh sekurangnya tiga federasi serikat pekerja/serikat buruh.31
Dan selanjutnya, Pemerintah/penguasa, secara garis besar memiliki fungsi pengawasan,
dan pengawasan terhadap pekerja di bidang ketenagakerjaan dilakukan oleh Departeman Tenaga
Kerja (Depnaker)Secara normatif pengawasan perburuhan diatur dalam Undang-undang Nomor
23 Tahun 1948 jo Undang-Undang nomor 3 Tahun 1951 Tentang Pengawasan Perburuhan.
Dalam undang-undang ini, pengawas perburuhan yang merupakan penyidik pegawai negeri
sipil.32
Dari semua ketentuan itu, secara teoritis peraturan perundang-undangan perburuhan di
Indonesia sebenarnya telah memadai karena hampir semua aspek penting bidang perburuhan
telah diatur. 33 hal lain yang sangat mempengaruhi pelaksanaan ketentuan peraturan perundangundangan dari ketiga pihak : kebijakan pemerintah, kejujuran dan ketaatan pengusaha, serta
kejujuran dan ketaatan para buruh. Ketiga faktor inilah yang akan menentukan apakah penerapan
hukum perburuhan itu dapat dilaksanakan atau justru akan dikecualikan dan dilanggar.34
Inilah deskripsi nyata, betapa masalah hubungan industrial erat kaitannya dengan semua
segi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Segala keperluan hidup sehari-hari, baik sektor
pangan, sandang, maupun papan terkait erat dengan produk barang dan jasa. Artinya keseluruhan
hajat hidup manusia tidak terlepas dari hasil produk/kinerja pekerja dan pengusah. Bahwa
31
Zaeni Asyhadie, Loc. Cit.
R. Joni Bambang, Loc. Cit.
33
Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, Ed I, Cet I, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2009, h. 31.
34
Ibid., h. 31-32.
32
25
kehidupan manusia sehari-hari senantiasa bersinggungan dengan persoalan hubungan
industrial.35
Berdasarkan realitas diatas maka jika terjadi perselisihan hubungan industrial, sudah
sepatutnya permasalahan tersebut sesegera mungkin diselesaikan oleh para pihak yang terkait,
agar kompleksitas dampaknya tidak terjadi.
36
Dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1957
tentang Penyelesaian Perselsihan Perburuhan, perselisihan hanya terjadi antara Pengusaha atau
Gabungan Pengusaha dengan Serikat Buruh/Gabungan Serikat Buruh.37
Pada tahun 2004, dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial, yang mulai berlaku 14 Januari 2005 dan kemudian ditunda
mulai berlakunya dengan Perpu No. 1 Tahun 2005, sehingga mulai berlaku 14 Januari 2006.
Defenisi perselisihan hubungan industrial sama dengan defenisi yang diberikan Undang-Undang
No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.38
C. Ketentuan-Ketentuan tentang Kuasa Hukum Beracara di PHI
Hukum Acara adalah kumpulan ketentuan-ketentuan dengan tujuan memberikan
pedoman dalam usaha mencari kebenaran dan keadilan bila terjadi perkosaan atas suatu
ketentuan hukum dalam hukum materiil yang berati memberikan kepada hukum acara suatu
hubungan yang mengabdi kepada hukum materiil.39Hukum material mengatur tentang hak dan
kewajiban, sedangkan hukum formil mengatur bagaimana caranya menjalankan dan
35
Mohammad Saleh dan Lilik Mulyadi, Op. Cit., h 11.
Muhammad Saleh dan Lilik Mulyadi, Loc. Cit.
37
Jumiarti, Hukum Ketenagakerjaan , Penerbit Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana,
Salatiga, 2011, h. 47.
38
Ibid.
39
R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata Tata Cara dan Proses Persidangan, Cet VI, Penerbit Sinar
Grafika, Jakarta, 2004, h. 3.
36
26
mempertahankan hak dan kewajiban itu. 40 Untuk tegasnya, hukum acara meliputi ketentuanketentuan tentang cara bagaimana orang harus menyelesaikan masalah dan mendapatkan
keadilan dari hakim apabila kepentingannya atau hak-haknya dilanggar oleh orang lain dan
sebaliknya bagaimana cara mempertahankan kebenarannya apabila ia dituntut oleh orang lain.41
Pasal 57 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
mengatur bahwa hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah hukum
acara perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang
diatur secara khusus dalam undang-undang ini.
Pengertian hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana
menjamin ditaatinya hukum perdata (sebagai hukum materiil) dengan perantaraan hakim.
Dengan kata lain, dapat disebut sebagi hukum yang mengatur bagaimana cara mengajukan
gugatan serta melaksanakan putusan hakim. 42Hukum Acara Perdata mempunyai tujuan untuk
melindungi hak seseorang melalui pengadilan perdata serta mempertahankan hukum materiil
(Hukum Perdata). Sedangkan, fungsi dari hukum perdata adalah sebagai sarana untuk menuntut
dan mempertahankan hak seseorang.43
Setelah ketentuan Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 dicermati, ternyata terdapat
ketentuan hukum acara yang diatur secara khusus, yaitu:44
1. Adanya hakim ad hoc;
2. Beracara tidak dikenakan biaya bagi yang nilai gugatannya di bawah Rp. 150.000.000;
40
Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang dan Hukum Keluarga, Cet. 3, Penerbit
CV. Nuansa Aulia, Bandung, 2009, h. 14.
41
Ibid.
42
Sri Harini Dwiyatmi, Pengantar Hukum Indonesia, Cet I, Penerbit Ghalia Indonesia, Bogor, 2006, h 107.
43
Ibid.
44
Mohammad Saleh dan Lilik Mulyadi, Op. Cit., h 83.
27
3. Diperkenankannya serikat buruh/serikat pekerja selaku kuasa;
4. Gugatan PHI ditujukan kepada PHI pada pengadilan negeri tempat pekerja/buruh bekerja;
5. Tenggang waktu pengajuan gugatan atas PHK dalam waktu 1 tahun sejak diterimanya
atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha;
6. Gugatan PHI harus dilampiri risalah penyelesaian melalui mediasi dan konsiliasi;
7. Adanya semacam dismical process;
8. Diperkenankan gugatan kolektif;
9. Diperkenankannya pemeriksaan dengan acara cepat;
10. Dikenalnyaputusan sela mengenai provisi;
11. Putusan PHI yang didasarkan pada hukum;
12. Perjanjian yang ada, kebiasaan dan keadilan;
13. Upaya hukum yang dikenal hanya verzet dan kasasi; dan
14. Putusan PHI dilakukan dalam waktu selambat-lambatnya 50 hari terhitung sejak sidang
pertama.
1. Kuasa Hukum Secara Umum
Secara umum, surat kuasa tunduk pada prinsip hukum yang diatur dalam Bab Keenam
Belas, Buku III KUH Perdata, sedang aturan khususnya diatur dan tunduk pada ketentuan hukum
acara yang digariskan Het Herziene Inlandsch/Indonesich Reglement (HIR) dan Reglement
Buitengewesten (Rbg).45
Kuasa menurut hukum disebut juga wettelijke vertegenwoordig atau legal mandatory
(legal representative). Maksudnya, undang-undang sendiri telah menetapkan seseorang atau
45
M. Yahya Harahap II, Op. Cit., h. 1.
28
suatu badan untuk dengan sendirinya menurut hukum bertindak mewakili orang atau badan
tersebut tanpa memerlukan surat kuasa. Jadi, undang-undang sendiri yang menetapkan bahwa
yang bersangkutan menjadi kuasa atau wakil yang berhak bertindak untuk dan atas nama orang
atau badan itu.46
-
KUH Perdata
Hukum Perdata adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan
antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain dalam hubungan kekeluargaan
dan dalam pergaulan masyarakat.47
Subyek hukum atau orang, ialah setiap pendukung (pembawa) hak dan kewajiban. Ada
dua macam subyek hukum:48
1. Manusia (natuurlijk persoon), dan
2. Badan Hukum (Rechtpersoon).
Manusia sebagai subyek hukum karena kodratnya, sedangkan badan hukum menjadi
subyek hukum diciptakan oleh manusia untuk kepentingan manusia itu sendiri. 49 Senarnya
sekarang ini dalam perkembangan perundang-undangan, yang dinamakan subyek hukum itu
bukan lagi dalam pengertian yang tradisional (konvensional) yaitu manusia dan badan hukum,
tetapi manusia dan korporasi.50
Secara umum, surat kuasa tunduk pada prinsip hukum yang diatur dalam Bab Keenam
Belas, Buku III KUH Perdata, sedang aturan khususnya diatur dan tunduk pada ketentuan hukum
46
M. Yahya Harahap II, Op. Cit., h. 8.
Djaja S. Meliala, Op. Cit., h. 13.
48
Djaja S. Meliala, Op. Cit., h. 36.
49
Djaja S. Meliala, Loc. Cit.
50
Djaja S. Meliala, Loc. Cit.
47
29
acara yang digariskan Het Herziene Inlandsch/Indonesich (“HIR) dan Reglement Buitengewesten
(“RBG).
Pengertian kuasa secara umum, diatur di dalam Pasal 1792 KUH Perdata, yang berbunyi:
“Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan
kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya
menyelenggarakan suatu urusan.”
Bertitik tolak dari ketentuan pasal tersebut, dalam perjanjian kuasa, terdapat dua pihak,
yang terdiri dari:51
-
Pemberi kuasa atau lastgever (instruction, mandate);
-
Penerima kuasa atau disingkat kuasa, yang diberi perintah atau mandat melakukan
sesuatu untuk dan atas nama pemberi kuasa.
Lembaga hukumnya disebut pemberian kuasa atau lastgeving (volmacht, full power),
jika:52
-
Pemberi kuasa melimpahkan perwakilan atau mewakilkan kepada penerima kuasa
untuk mengurus kepentingannya, sesuai dengan fungsi dan kewenangan yang
ditentukan dalam surat kuasa;
-
Dengan demikian, penerima kuasa (lasthebber, mandatory) berkuasa penuh,
bertindak mewakili pemberi kuasa terhadap pihak ketiga untuk dan atas nama
pemberi kuasa;
51
52
M. Yahya Harahap II, Op. Cit., h. 2.
M. Yahya Harahap II, Loc. Cit.
30
-
Oleh karena itu, pemberi kuasa bertanggung jawab atas segala perbuatan kuasa,
sepanjang perbuatan yang dilakukan kuasa tidak melebihi wewenang yang diberikan
pemberi kuasa.
Kuasa Umum diatur di dalam Pasal 1795 KUH Perdata, yang berbunyi:
“Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu mengenai hanya satu
kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan
si pemberi kuasa.”
Menurut pasal ini, kuasa umum bertujuan memberi kuasa kepada seseorang untuk
mengurus kepentingan pemberi kuasa, yaitu:53
-
Melakukan tindakan pengurusan harta kekayaan pemberi kuasa;
-
Pengurusan itu, meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan
pemberi kuasa atas harta kekayaannya;
-
Dengan demikian titik berat kuasa umum, hanya meliputi perbuatan atau tindakan
pengurusan kepentingan pemberi kuasa.
Dengan demikian, dari segi hukum, kuasa umum adalah pemberian kuasa mengenai
pengurusan, yang disebut beherder atau manajer untuk mengatur kepentingan pemberi kuasa.
Oleh karena itu, ditinjau dari segi hukum, surat kuasa umum, tidak dapat dipergunakan di depan
pengadilan untuk mewakili pemberi kuasa. Sebab sesuai dengan ketentuan Pasal 123 HIR, untuk
dapat tampil di depan pengadilan sebagai wakil pemberi kuasa, Penerima kuasa harus mendapat
surat kuasa khusus. 54 Hal ini ditegaskan dalam Putusan PT Bandung No. 149/1972 (2-8-
53
54
M. Yahya Harahap II, Op. Cit., h. 6.
M. Yahya Harahap II, Loc. Cit.
31
1972),55bahwa seorang Manajer yang bertindak untuk dan atas nama Perseroan Terbatas (PT)
berdasarkan surat kuasa Direktur PT, tidak dapat mengajukan gugatan di Pengadilan, karena
surat kuasa itu hanya bersifat umum untuk mengurus dan bertindak bagi kepentingan PT
tersebut, bukan Surat Kuasa Khusus sebagaimana yang dimaksud Pasal 123 HIR.56
Pasal 123 Indonesisch Reglement (“HIR”) menyebutkan bahwa jika pihak yang
berperkara menghendaki maka masing-masing boleh di bantu atau diwakili oleh seorang yang
telah diberikan surat kuasa khusus. Lebih lanjut, yang dapat bertindak sebagai kuasa/wakil dalam
perkara perdata pada umumnya adalah advokat sesuai Pasal 32 UU 18/2003; Jaksa dengan kuasa
khusus sebagai kuasa/wakil negara/pemerintah sesuai dengan Pasal 30 Ayat (2) UU 16/2004;
biro hukum pemerintah/TNI/Kejaksaan RI; Direksi/pengurus atau karyawan yang ditunjuk dari
suatu badan hukum; mereka yang mendapat kuasa insidentil yang ditetapkan oleh ketua
pengadilan (misalnya, LBH, hubungan keluarga, biro hukum TNI/Polri; dan kuasa insidentil
dengan alasan hubungan keluarga sedarah atau semenda dapat diterima sampai dengan derajat
ketiga yang dibuktikan dengan surat keterangan kepala desa/lurah.57
-
Undang – Undang Perseroan Terbatas
Undang-undang Perseroan Terbatas mendefenisikan Perseroan Terbatas (Perseroan)
sebagai:
“badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, yang melakukan kegiatan usaha
dengan modal tertentu, yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi
55
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan
Putusan Pengadilan, Cet I, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2005, h 6 dikutip dari Chaidir Ali, Yurisprudensi Hukum
Acara Perdata Indonesia, Penerbit Armico, Bandung, 1983, h 187.
56
M. Yahya Harahap, Op. Cit., h. 6.
57
Mohammad Saleh dan Lilik Mulyadi, Op. Cit., h. 84.
32
persyaratan
yang
ditetapkan
dalam
Undang-undang
ini
serta
peraturan
pelaksanaannya.”
Dari batasan yang diberikan tersebut, ada lima hal pokok yang dapat dikemukakan di
sini:58
1. Perseroan Terbatas merupakan suatu badan hukum;
2. Didirikan berdasarkan perjanjian;
3. Menjalankan usaha tertentu;
4. Memiliki modal yang terbagi dalam saham-saham;
5. Memenuhi persyaratan Undang-Undang.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 2 jo. Pasal 1 angka 5, Perseroan mempunyai 3
(tiga) Organ yang terdiri atas:
1) Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS),
2) Direksi, dan
3) Dewan Komisaris
Direksi sebagai salah satu Organ atau alat perlengkapan Perseroan, selain mempunyai
kedudukan dan kewenangan mengurus Perseroan, juga diberi wewenang untuk “mewakili”
Perseroan baik di dalam maupun di luar Pengadilan untuk dan atas nama Perseroan. Kewenangan
ini ditegaskan pada:
1) Pasal 1 angka 5; Direksi sebagai Organ Perseroan berwenang mewakili Perseroan, baik di
dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan AD;
58
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas, Ed. I, Cet. 2, Penerbit PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, h 7.
33
2) Pasal 99 ayat (1) Direksi mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan.
Kewenangan mewakili itu adalah untuk dan atas nama (for and on behalf) Perseroan.
Bukan atas nama dari Direksi, tetapi mewakili Perseroan (representative of the company).
Kapasitas atau kewenangan yang dimiliki Direksi mewakili Perseroan karena Undangundang. Artinya, undang-undang sendiri dalam hal ini Pasal 1 angka 5 dan Pasal 92 ayat (1)
UUPT 2007 yang memberi kewenangan itu kepada Direksi untuk mewakili Perseroan di dalam
maupun di luar Pengadilan. Oleh karena itu, kapasitas mewakili yang dimilikinya, adalah kuasa
atau perwakilian karena undang-undang (wettelijke vertegenwoordig, legal or statutory
representative). Dengan demikian, untuk bertindak mewakili Perseroan, tidak memerlukan kuasa
dari Perseroan. Sebab kuasa yang dimilikinya atas nama Perseroan adalah kewenangan yang
melekat secara inherent pada diri dan jabatan Direksi berdasar undang-undang.
Sehubungan dengan itu, sesuai dengan kapasitasnya sebagai kuasa mewakili Perseroan
berdasar undang-undang, Direksi berwenang memberi kuasa kepada orang yang ditunjuknya
untuk bertindak mewakili Perseroan. Tindakan pemberian kuasa yang demikian dapat dilakukan
Direksi tanpa memerlukan persetujuan dari Organ Perseroan yang lain. Tidak memerlukan
persetujuan dari RUPS maupun dari Dewan Komisaris.
Pasal 103 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, mengatur mengenai hak
Direksi memberi kuasa kepada orang lain. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:
Direksi dapat memberi kuasa tertulis kepada 1 (satu) orang karyawan Perseroan atau
lebih atau kepada orang lain untuk dan atas nama Perseroan melakukan perbuatan
hukum tertentu sebagaimana yang diuraikan dalam surat kuasa.
34
Selanjutnya, Penjelasan pasal ini berbunyi:
Yang dimaksud “kuasa” adalah Kuasa Khusus untuk perbuatan tertentu sebagaimana
disebutkan dalam surat kuasa.
Bentuk pemberian kuasa yang sah menurut Pasal 103 UU No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas adalah:

Harus berbentuk tertulis (schriftlijke machtiging, written authorization),

Tidak dibenarkan dan tidak sah bebrbantuk kuasa lisan (mondelinge volmacht, verbal
authorization).
Bentuk kuasa tertulis tersebut dengan tegas dikatakan pada Pasal 103 maupun
Penjelasannya, yakni „Kuasa tertulis”. Ketentuan ini bersifat hukum memaksa (dwingendrecht,
mandatory law). Oleh karena itu, tidak boleh dikesampingkan.59
Jadi, meskipun Pasal 1793 KUH Perdata membolehkan pemberian kuasa secara lisan,
namun oleh karena Pasal 103 telah menentukan secara spesifik mesti secara tertulis, Direksi
dapat menyimpangi ketentuan tersebut. Mengenai bentuk tertulisnya bebas:60

Bisa berbentuk akta autentik (authentieke akte, public deed) sesuai dengan ketentuan
Pasal 1868 KUH Perdata, yakni surat kuasa yang dibuat di hadapan pejabat umum,
seperti di hadapan Notaris, Panitera, Hakim atau Camat dan sebagainya;

Boleh juga berbentuk akta bawah tangan (onderhandse akte, private instrument)
berdasar Pasal 1875 KUH Perdata, yakni dibuat secara partai oleh pemberi dan
penerima kuasa tanpa campur tangan pejabat umum.
59
60
M. Yahya Harahap I, Op. Cit., h. 407.
M. Yahya Harahap I, Loc. Cit.
35
Dalam hal ini Pasal 103 tidak menentukan bentuknya harus akta autentik, Direksi dapat
memedomi Pasal 1793 KUH Perdata, yang menggariskan surat kuasa boleh dibuat dalam akta
autentik atau akta bawah tangan. Karena bentuknya bebas, Direksi dapat memilih apakah kuasa
itu dibuat dalam bentuk akta autentik atau akta bawah tangan. Keduanya sama-sama menurut
hukum.61
Sifat kuasa yang boleh diberikan Direksi adalah “Kuasa Khusus” (bijzondere machtiging,
special authorization). Hal ini ditegaskan pada Penjelasan pasal tersebut yang mengatakan, yang
dimaksud “kuasa” adalah “kuasa khusus” untuk perbuatan tertentu sebagaimana yang disebutkan
dalam surat kuasa. Apabila Direksi memberi kuasa umum, selain kuasa itu batal demi hukum
berdasar Pasal 1337 KUH Perdata, tindakan itu sekaligus dikategori perbuatan ultra vires.
Direksi telah melakukan perbuatan yang melampaui batas kapasitas dan kewenangannya.
Perbuatan Direksi itu dikualifikasi perbuatan melawan hukum (onrecht matigedaad, unlawful
act) berdasar Pasal 1365 KUH Perdata, apabila pemberian kuasa umum itu menimbulkan
kerugian kepada Perseroan.62
2. Kuasa Hukum Secara Khusus
Pasal 1795 KUH Perdatamenjelaskan, Pemberian Kuasa dapat dilakukan secara khusus,
yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih. Bentuk inilah yang menjadi landasan
pemberian kuasa untuk bertindak di depan pengadilan mewakili kepentingan pemberi kuasa
sebagai pihak principal. Namun, agar bentuk kuasa yang disebut dalam pasal ini sah sebagai
61
62
M. Yahya Harahap I, Loc. Cit.
M. Yahya Harahap I, Op. Cit., h. 408.
36
surat kuasa khusus di depan pengadilan, kuasa tersebut harus disempurnakan terlebih dahulu
dengan syarat-syarat yang disebut dalam Pasal 123 HIR.63
Untuk dapat bertindak sebagai kuasa khusus atau wakil dari Tergugat, seseorang harus
memenuhi salah satu syarat di bawah ini:64
a. Harus mempunyai surat kuasa khusus, sesuai dengan bunyi Pasal 123 Ayat 1 HIR (Ps
147 Ayat 1 Rbg);
b. Ditunjuk oleh Tergugat sebagai kuasa atau wakil dalam persidangan (Ps 123 Ayat 1
HIR, 147 Ayat 1 Rbg);
c. Memenuhi syarat dalam Peraturan Menteri Kehakiman 1/1965 tanggal 28 Mei 1965
jo Keputusan Menteri Kehakiman No. J.P. 14/2/11 tanggal 7 Oktober 1965 tentang
Pokrol; dan
d. Telah terdaftar sebagai Advokat.
Undang – Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
-
Pada dasarnya, gugatan perkara perselisihan hubungan industrial dalam PHI hampir
identik dengan gugatan perkara perdata pada pengadilan negeri. Apabila diperbandingkan,
gugatan pada PHI terdapat beberapa bagian tertentu yang berbeda dengan gugatan yang diajukan
pada pengadilan negeri karena pada PHI eksistensi UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselsihan Hubungan Industrial (PPHI) bersifat lex specialist. Apabila diperbandingkan dengan
ketentuan Het Herziene Inlandsch/Indonesich Reglement (HIR) dan Reglement Buitengewesteh
63
M. Yahya Harahap II, Op. Cit., h 7.
R. Soeroso, Op. Cit., h. 14.
64
37
(Rbg) yang dipergunakan pengadilan negeri, ketentuan tersebut bersifat lex specialist pada UU
2/200465
Oleh karena Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 merupakan lex spesialist yang
merupakan hukum secara formal untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial, maka
ketentuan mengenai kuasa hukum harus tunduk pada ketentuan Pasal 87 UU No. 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang berbunyi:
“Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Organisasi Pengusaha dapat bertindak sebagai
kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili
anggotanya.”
Ketentuan Pasal 87 UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial yang nyata-nyata memberikan ruang gerak bagi organisasi pengusaha untuk
beracara dipersidangan mewakili anggotanya atas dasar surat kuasa khusus, hampir tidak pernah
dipergunakan. 66 Dengan diintrodusirnya ketentuan Pasal 87 UU Nomor 2 Tahun 2004 bagi
hakim hal ini merupakan pekerjaan rumah tersendiri, karena pengurus serikat pekerja/serikat
buruh yang bertindak sebagai kuasa hukum pekerja/buruh, mayoritas tidak mempunyai latar
belakang pendidikan ilmu hukum, mereka sama sekali tidak atau relatif kurang memahami
hukum acara. Akibatnya, Ketua Majelis Hakim harus menyediakan kelonggaran waktu untuk
membimbing mereka beracara di persidangan.67
Hal yang sama juga ditegaskan Dr. H. Mohammad Saleh, SH., MH., Ketua Muda Perdata
Khusus Mahkamah Agung Republik Indonesia. Dalam makalah yang berjudul Temuan
65
Mohammad Saleh dan Lilik Mulyadi, Op. Cit., h. 99.
Lilik Mulyadi dan Agus Subroto, Op. Cit., h. 95.
67
Lilik Mulyadi dan Agus Subroto, Loc. Cit.
66
38
Permasalahan Hukum pada Perdata Khusus yang disampaikan pada Rapat Kerja Nasional
(Rakernas) Mahkamah Agung Tahun 2009, Mohammad Saleh menyatakan bahwa
“Manajer Personalia boleh mewakili pihak perusahaan di persidangan PHI bilamana
mendapat kuasa dari Direksi.”
Jadi, Manajer HRD/Personalia dapat mewakili pihak perusahaan dipersidangan PHI jika
mendapat kuasa dari Direksi, dan orang yang bersangkutan tidak harus seorang sarjana hukum.68
Jika Direksi mempercayakan penanganan atau proses hukum PHI kepada Divisi HRD nya, maka
yang perlu diperhatikan adalah, sebagai berikut:
1. Divisi HRD harus memahami dan menguasai sistem dan tata cara beracara di peradilan,
mulai dari Surat Kuasa, pendaftaran surat kuasa di Pengadilan, cara menjawab gugatan,
mengajujukan replik/duplik, penyusunan alat bukti dan saksi dan tahap konklusi di proses
persidangan sampai putusan pengadilan, bahkan pengetahuan tentang proses pengajuan
kasasi ke MA, dan proses pembuatan memori kasasi/kontra memori kasasinya yang
memiliki jangka waktu tertentu sebab salah-salah putusan bisa-bisa berkekuatan hukum
tetap (inracht van gewissjde),
2. Pengetahuan dan penguasaan tentang hukum materiilnya yaitu UU Ketenagakerjaan dan
Undang-undang yang berkaitan dengan kasus yang ditangani.
Divisi HRD sebagai Lawyer in House perlu memiliki pengetahuan hukum, dan
pengetahuna tentang hukum acara di Pengadilan agar proses-proses acara pengadilan
tersebut dapat diikuti tahap demi tahap.
68
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4fed02fc4c48d/syarat-syarat-seorang-manager-hrd-beracaradi-phi, dikujungi pada Selasa, 5 Juli 2016, pukul 11.35 WIB
39
D. Teori – Teori Interpretasi (Penafsiran)
Telah dikemukakan bahwa peraturan perundang-undangan itu tidak jelas dan tidak pula
lengkap. Oleh karena itu harus diketemukan hukumnya dengan menjelaskan, menafsirkan atau
melengkapi peraturan perundang-undangan.69Dalam hal peraturan perundang-undangannya tidak
jelas, maka tersedialah metode interpretasi atau metode penafsiran.70
Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang
memberi penjelasan yang tidak jelas mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah
dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.71 Oleh karena undang-undangnya tidak
lengkap atau tidak jelas, maka hakim harus mencari hukumnya, harus menemukan hukumnya. Ia
harus melakukan penemuan hukum (rechtsvinding). Penegakan dan pelaksanaan hukum sering
merupakan penemuan hukum dan tidak sekedar penerapan hukum.
72
Dalam melakukan
penafsiran hukum terhadap suatu peraturan perundang-undangan yang dianggap tidak lengkap
atau tidak jelas, seorang ahli hukum tidak dapat bertindak sewenang-wenang.73
Menurut Prof. J.H.A. Logemann, dinyatakan bahwa:
“Dalam melakukan penafsiran hukum, seorang ahli hukum diwajibkan untuk mencari
maksud dan kehendak pembuat undang-undang sedemikian rupa sehingga menyimpang
dari apa yang dikendaki oleh pembuat undang-undang itu.”
69
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Ed 2, Cet. 5, Penerbit Liberty, Yogyakarta,
2007 (selanjutnya disingkat Sudikno Mertokusumo I), h. 56.
70
Ibid.
71
H. Zainal Asikin,Pengantar Ilmu Hukum, Ed 1, Cet 2, Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013,
h. 95.
72
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Ed 5, Cet 4, Penerbit Liberty, Yogyakarta,
2008 (selanjutnya disingkat Sudikno Mertokusumo II), h. 162.
73
H. Zainal Asikin, Loc. Cit.
40
Penafsiran tidak hanya dilakukan oleh hakim, tetapi juga oleh peneliti hukum, dan
mereka yang berhubungan dengan kasus atau konflik dan peraturan-peraturan hukum. Yang akan
diuraikan di sini adalah penafsiran oleh hakim, karena penafsirannya itu mempunyai wibawa
karena dituangkan dalam putusan.74
Metode penafsiran sejak semula dibagi menjadi 4, yaitu interpretasi gramatical,
sistematis, historis, dan teleologis. Di samping itu dikenal interpretasi komparatif dan interpretasi
antisipatif.75
1. Interpretasi Gramatikal
Hukum memerlukan bahasa. Hukum tak mungkin ada tanpa bahasa. Oleh karena itu
bahasa merupakan sarana penting bagi hukum: peraturan perundang-undangan dituangkan dalam
bentuk bahasa tertulis, putusan pengadilan disusun dalam bahasa yang logis sistematis, untuk
mengadakan perjanjianpun diperlukan bahasa.76
Untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang maka ketentuan undang-undang itu
ditafsirkan atau dijelaskan dengan menguraikannya menurut bahasa umum sehari-hari. Disini arti
atau makna ketentuan undang-undang dijelaskan menurut bahasa umum sehari-hari. Metode
penemuan hukum ini disebut interpretasi gramatikal atau penafsiran menurut
bahasa dan
merupakan penafsiran atau penjelasan undang-undang yang paling sederhana dibandingkan
dengan metode interpretasi yang lain.77
74
Sudikno Mertokusumo I, Loc. Cit.
Sudikno Mertokusumo I, Op. Cit., h 57.
76
Sudikno Mertokusumo I, Loc. Cit.
77
Sudikno Mertokusumo I, Loc Cit.
75
41
Metode interpretasi menurut bahasa (gramatikal) adalah suatu cara penafsiran undangundang menurut arti kata-kata (istilah) yang terdapat pada undang-undang. Hukum wajib menilai
arti kata yang lazim dipakai dalam bahasa sehari-hari yang umum.78
Sebagai contoh penafsiran menurut bahasa misalnya mengenai istilah menggelapkan dari
Pasal 41/KUHP ada kalanya ditafsirkan sebagai menghilangkan.79Metode interpretasi gramatikal
ini disebut juga metode obyektf.80
2. Interpretasi Sistematis atau Logis
Suatu peraturan hukum atau undang-undang merupakan bagian dari keseluruhan sistem
hukum. Arti pentingnya suatu peraturan hukum terletak di dalam sistem hukum. Arti pentingnya
suatu peraturan hukum terletak di dalam sistem hukum. Di luar sistem hukum, lepas dari
hubungannya dengan peraturan-peraturan hukum yang lain, suatu peraturan hukum tidak
mempunyai arti.81
Menafsirkan peraturan perundang-undangan dengan menghubungkannya dengan
peraturan hukum atau undang-undang lain atau dengan keseluruhan sistem hukum disebut
penafsiran sistematis. Menafsirkan undang-undang tidak boleh menyimpang atau keluar dari
sistem perundang-undangan atau sistem hukum.82
Contoh : interpretasi sistematis misalnya, kalau hendak mengetahui tentang sifat
pengakuan anak yang dilahirkan di luar perkawinan oleh orang tuanya tidak cukup hanya
78
H. Zainal Asikin, Op. Cit., h. 96.
Sudikno Mertokusumo II, Op. Cit., h 171.
80
Sudikno Mertokusumo II, Loc. Cit.
81
Sudikno Mertokusumo I, Op. Cit., h 58.
82
Sudikno Mertokusumo I, Loc. Cit.
79
42
mencari ketentuan-ketentuan dalam BW saja, tetapi harus dihubungkan juga dengan Pasal 278
KUHP.83
3. Interpretasi Historis
Makna undang-undang dapat dijelaskan atau ditafsirkan juga dengan jalan meneliti
sejarah terjadinya. Penafsiran ini dikenal sebagai interpretasi historis. Jadi penafsiran historis
merupakan penjelasan menurut terjadinya undang-undang.84
Penafsiran historis ini ada dua, yaitu:85
a. Penafsiran menurut sejarah hukum (Rechts historische interpretatie) adalah suatu
cara penafsiran dengan jalan menyelidiki dan mempelajari sejarah perkembangan
segala sesuatu yang berhubungan dengan huku seluruhnya.
Contoh: KUH Perdata (BW) yang dikodifikasikan pada tahun 1848 di Hindia
Belanda. Menurut sejarahnya mengikuti code civil Prancis dan di Belanda
(Nederland) dikodifikasikan pada tahun 1838.
b. Penafsiran menurut sejarah penetapan suatu undang-undang (Wethistoirsche
interpretatie), yaitu penafsiran undang-undang dengan menyelidiki perkembangan
suatu undang-undang sejak dibuat, perdebatan-perdebatan yang terjadi dilegislatif,
maksud ditetapkannya atau penjelasan dari pembentuk undang-undang pada waktu
pembentukannya.
83
Sudikno Mertokusumo II, Op. Cit., h. 173.
Sudikno Mertokusumo II, Loc. Cit.
85
H. Zainal Asikin, Op. Cit., h. 96.
84
43
4. Interpretasi Teleologis atau Sosiologis
Interpretasi teleologis terjadi apabila makna undang-undang itu ditetapkan berdasarkan
tujuan kemasyarakatan. Peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi
sosial yang baru. Ketentuan undang-undang yang sudah usang digunakan sebagai sarana untuk
memecahkan atau menyelesaikan sengketa yang terjadi sekarang. Metode ini baru dugunakan
apabila kata-kata dalam undang-undang dapat ditafsirkan dengan berbagai cara.86
Dapatlah dikatakan bahwa setiap penafsiran pada hakekatnya merupakan penafsiran
teleologis. Makin usang suatu undang-undang, makin banyak dicari tujuan pembentuk undangundang yang disesuaikan dengan perkembangan masyarakat. Interpretasi teleologis dinamakan
juga interpretasi sosiologis.87
5. Interpretasi Komparatif
Interpretasi komparatif atau penafsiran dengan jalan memperbandingkan adalah
penjelasan berdasarkan perbandingan hukum. 88 Pada interpretasi komparatif maka penafsiran
peraturan itu dibenarkan dengan mencari titik temu pada penyelesaian yang dikemukakan di
berbagai negara. Terutaa bagi hukum yang timbul dari perjanjian internasional ini penting. Di
luar hukum internasional kegunaan metode ini terbatas.89
86
Sudikno Mertokusumo I, Op. Cit., h 61.
Sudikno Mertokusumo I, Loc. Cit.
88
Sudikno Mertokusumo II, Op. Cit., h 174.
89
Sudikno Mertokusumo I, Op. Cit., h 62.
87
44
6. Interpretasi Antisipatif atau Futuristis
Pada penafsiran antisipatif maka dicari pemecahannya dalam peraturan-peraturan yang
belum mempunyai kekuatan berlaku, yaitu dalam rancangan undang-undang.90 Interpretasi ini
pernah dipakai pertama kali ketika terjadi pencurian aliran listrik. Pada 23 Mei 1921 hakim di
Belanda memutuskan bahwa pencurian listrik dapat dijatuhkan pidana dan ditafsirkan bahwa
aliran listrik termasuk kategori “barang”, padahal pada saat itu aliran listrik baru dimasukkan
dalam rancangan undang-undang sebagai sebuah “barang”, sehingga siapa saja dapat dipidana
jika mencuri aliran listrik.91
7. Interpretasi Restriktif
Disini untuk menjelaskan suatu ketentuan undang-undang ruang lingkup ketentuan
undang-undang itu dibatasi. Ini adalah suatu metode penafsiran dengan mempersempit arti suatu
peraturan dengan bertitik tolak pada artinya menurut bahasa.92 Misalnya pengertian “tetangga”,
bahwa dalam penafsiran gramatikal diartikan sebagai seorang “penyewa di pekarangan sebelah”.
Tetapi bagi penafsiran restriktif “ tetangga penyewa” tidak termasuk pengertian tetangga.93
8. Interpretasi Ekstensif
Penafsiran dengan cara memperluas arti kata-kata yang terdapat dalam undang-undang
sehingga suatu peristiwa dapat dimasukkan ke dalamnya.94
90
Sudikno Mertokusumo I, Loc. Cit.
H. Zainal Asikin, Pengantar Ilmu Hukum, Ed I, Cet II, Penerbit PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013,
h. 99, dikutip dari Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum sebuah Pengantar, Ed 2, Cet. 5, Penerbit Liberty,
Yogyakarta, 2007, h 62.
92
Sudikno Mertokusumo I, Loc. Cit.
93
H. Zainal Asikin, Op. Cit., h. 100.
94
H. Zainal Asikin, Op. Cit., h. 99.
91
45
Contoh: kata “menjual” dalam Pasal 1576 KUHPerdata tidak semata-mata diartikan
menjual dalam konteks jual beli semata-mata, tetapi tindakan apa saja yang mengalihkan barang
dikategorikan sebagai tindakan menjual.95
9. Interpretasi Otentik
Metode interpretasi secara autentik (resmi), yaitu penafsiran yang resmi yang diberikan
oleh pembuat undang-undang tentang arti kata-kata yang digunakan dalam undang-undang
tersebut.96
Contoh : Dalam Titel IX Buku I KUHP memberi penjelasan secara resmi (autentik)
tentang arti beberapa kata/sebutan di dalam KUHP. Seperti dalam Pasal 97 KUHP yang
dimaksud “sehari” adalah masa yang lamanya 24 Jam, “sebulan” adalah masa yang lamanya 30
hari.97
Tetapi tafsiran dalam Titel IX Buku I KUHP ini tidak semestinya berlaku juga untuk
kata-kata yang dipergunakan oleh peraturan pidana di luar KUHP artinya Hakim tidak hanya
bertindak sebagai corong hukum saja melainkan harus aktif mencari dan menemukan hukum itu
sendiri dan mensosialisasikannya kepada masyarakat.98
Interpretasi otentik tidak pernah dibicarakan bersama-sama dengan metode-metode
interpretasi lainnya oleh karena interpretasi otentik bukanlah metode penemuan hukum oleh
95
H. Zainal Asikin, Loc. Cit.
H. Zainal Asikin, Op. Cit., h 98.
97
H. Zainal Asikin, Loc. Cit.
98
H. Zainal Asikin, Loc. Cit.
96
46
hakim, melainkan merupakan penafsiran oleh pembentuk undang-undang yang dimuat dalam
undang-undang.99
Suatu Peraturan hanya dapat ditetapkan dengan jalan penjelasan atau penafsiran. Baru
kemudian dapat dilihat apakah itu diperluas atau dipersempit. Pada umumnya metode interpretasi
gramatikal itu bersifat membatasi, interpretasi menurut undang-undang memperluas, interpretasi
teleologis sifatnya memperluas, sedangkan metode interpretasi sistematis bersifat membatasi.100
E. Hasil Penelitian
a. Kasus Posisi (ringkasan substansi fokus penelitian)
Menimbang, bahwa Para Penggugat dengan surat gugatannya tertanggal 20 Februari
2014 yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri Semarang, pada tanggal 20 Februari 2014 dengan Register No. 03/G/2014/PHI.Smg telah
mengajukan hal-hal dengan pokok perkara yaitu bahwa Tergugat adalah sebuah perusahaan yang
bergerak di bidang minuman serbuk dalam sechet, dengan bahan utama kopi (bubuk) untuk
pertama kalinya bubuk kopi sechet kemudian berkembang duo kopi gula dan selanjutnya
membuuat produk dengan macam-macam inovasinya sekarang yang sedang boming produk
White Kopi bahkan iklannya dimedia elektronik besar-besaran, salah satunya dengan menjadi
sponsor acara YKS dan kuisnya di Trans TV dengan membagi-bagi hadiah uang yang sangat
besar. Bahwa Para Penggugat adalah buruh yang bekerja di Tergugat antara lain:
a) Penggugat I : bekerja sejak 09 Februari 2013, di PHK secara sepihak dan lisan sejak
08 Agustus 2013, masa kerja 7 bulan;
99
Sudikno Mertokusumo I, Op. Cit h. 62-63.
Sudikno Mertokusumo I, Loc. Cit.
100
47
b) Penggugat II : bekerja sejak 10 Februari 2012, di PHK secara sepihak dan lisan sejak
10 Agustus 2013, masa kerja 1 tahun 6 bulan.
b. Pihak
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Semarang yang memeriksa dan
mengadili perkara-perkara perselisihan hubungan industrial pada tingkat pertama telah
menjatuhkan Putusan Sela sebagai berikut dalam perkara antara:
1. Nino Mei Saputri, WNI, pekerjaan Buruh PT Java Prima Abadi, bagian Asisten
Teknis, yang beralamat di Jl. Sriwijaya No. 68 RT.01 RW.04 Kel. Candi, Kec.
Candisari Kec. Semarang selanjutnya disebut Penggugat I;
2. Mugiyanto, WNI, pekerjaan Buruh PT Java Prima Abadi, bagian Asisten Tehnis,
yang beralamat di Bandarjowo RT. 06 RW.04 Kel. Bandarjowo, Kec. Genuk Kota
Semarang, selanjutnya disebut Penggugat II;
Yang dalam perkara ini diwakili oleh kuasanya bernama Romelan, SH.MH adalah
Advokat dan Konsultan Hukum pada kantor Advokat dan konsultan Hukum
Romelan, SH.MH & Rekan yang beralamat di Jl. Wonodri Joho I No. 987 B
Semarang, bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa, berdasarkan surat kuasa
khusus
tertanggal
14 Februari 2014, selanjutnya disebut
sebagai
PARA
PENGGUGAT. Dengan PT. Java Prima Abadi, yang beralamat di Jln. Arteri Yos
Sudarso No. I Kaligawe Kota Semarang, yang dalam perkara ini diwakili oleh
kuasanya bernama Irianto, Jabatan General Manager, Ning Asiatun Chotimah,
Jabatan Kepala Produksi, ketiganya beralamat PT. Java Prima Abadi yang beralamat
di Jl. Arteri Yos Sudarso No. 1 Kaligawe Kota Semarang, bertindak untuk dan atas
48
nama pemberi kuasa, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 06 Maret 2014,
selanjutya disebut sebagai Tergugat.
c. Dalil Penggugat
1. Bahwa Para Penggugat menerima upah terakhir masing-masing Rp. 1.209.100,- per
bulan sesuai UMK kota Semarang tahun 2013.
2. Bahwa Para Penggugat tidak diikutkan Jamsostek sejak pertama kali bekerja sampai
di PHK secara sepihak dan lisan oleh Tergugat dan baru diikutkan mulai Juni 2013
oleh Tergugat, antara lain: JKK, JKM, JHT, JPK, hal ini sangat merugikan Para
Penggugat, karena tidak punya Saldo JHT, sejak pertama bekerja sampai Mei 2013,
perbuatan Tergugat ini melanggar Pasal 99 UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dan UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek.
3. Bahwa awal terjadinya Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja Para Penggugat
tanpa kesalahan apapun di PHK oleh Tergugat dengan alasan Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu (PKWT) telah berakhir, padahal Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
yang dilakukan Tergugat kepada Para Penggugat bertentangan dengan Pasal 59 ayat
(1), ayat (2), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dan tidak dibuat rangkap dua hal ini melanggar Pasal 54 ayat (3) UU
No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
4. Bahwa ternyata Perjanjian Kerja Waktu Tertentu antara Para Penggugat dengan
Tergugat adalah tidak sesuai yang dimaksudkan pada Pasal 59 ayat (1), (2), (4), (5)
dan ayat (6) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan karena Perjanjian Kerja
Waktu Tertentunya : pekerjaan bersifat tetap sebagai asisten Teknisi, tidak ada jeda
49
waktu 30 hari jika diperpanjang, dan terus menerus. Disamping itu perjanjian kerja
tidak dibuat rangkap dua sesuai dimaksudkan Pasal 54 ayat (3) UU No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, maka Para Penggugat berdasarkan Pasal 59 ayat (7)
UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan demi hukum status kerjanya
menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (buruh tetap).
5. Bahwa Para Penggugat guna menyelesaiakan masalahnya telah mengupayakan
Bipartie dengan mengirim surat perundingan bipartie melalui kuasa hukumya
Romelan, SH, MH pada Tergugat tertanggal 21 Oktober 2013, dengan agenda
perundingan bipartie pada tanggal 23 dan 25 Oktober 2013, namun Tergugat tidak
mau diajak bipartite, sehingga masalah perselisihan PHK Para Penggugat dicatatkan
di Disnakertrans Kota Semarang pada tanggal 28 Oktober 2013, dan Para Pihak
diundang oleh Disnakertrans Kota Semarang sebanyak 3 kali untuk dimediasi antara
lain : Tgl 8, 19, dan 27 Nopember 2013.
6. Bahwa penyelesaian PHK para Penggugat oleh pegawai Mediasi Disnaketrans Kota
Semarang mengalami kebuntuan karena ketidakhadiran Tergugat, maka Pegawai
Mediasi Disnaketrans Kota Semarang menerbitkan surat anjuran No. 567/5242/2013,
tertanggal 23 Desember 2013, yang isinya pada intinya menganjurkan agar PT Java
Prima Abadi memberikan kesempatan kepada pekerja sdr. Nino Mei Saputra dan
mugiyanto untuk bekerja kembali dengan memanggil para pekerja tersebut dan
diangkat menjadi pekera tetap.
7. Bahwa atas anjuran tersebut maka Para Penggugat pada tanggal 3 Januari 2014
menjawab menyatakan menerima anjuran melalui kuasa hukumnya dari Advokat dari
50
Kantor Romelan, SH, MH & Rekan yang beralamat di Jl. Wonodri Joho I Nomor 987
B Semarang, dan tergugat diketahui pada risalah mediasi ternyata menolak anjuran.
8. Bahwa Para Penggugat telah dirugikan tidak mempunyai Saldo Jaminan Hari Tua
(JHT) karena tidak diikutkan Jamsostek sejak pertama kali masuk kerja, maka
berdasrkan Pasal 96 UU No. 13 Tahun 2003 Jo Putusan Mahkamah Konstitusi No.
100/PUU-X/2012, tertanggal 3 Oktober 2012, maka Tergugat wajib membayar
Jaminan Hari Tua kepada Para Penggugat, oleh karena itu Para Penggugat sudah
selayaknya mohon kepada majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini
berkenan memerintahkan kepada TergugatmembayarJaminan Hari Tua 3,7 % dari
upah. Sesuai Pasal 99 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo UU No. 3
Tahun 1992 tentang Jamsostek, sebesar sbb:
a. Penggugat I : bekerja sejak 08 Februari 2013 s.d tidak diikutkan Jamsostek pada
Mei 2013 kerja 4 bulan sebesar Rp. 1.209.100 x 3,7%x4 bln = Rp. 178.946,b. Penggugat II : bekerja sejak 10 Februari 2012 s.d tidak diikutkan Jamsostek Mei
2013, atau 15 bulan sbb

Februari 2012 – Desember 2012, 10 bulan : Rp. 991.500 x 3,7% x 8 bulan = Rp.
366.855,-

Januari 2013 – Mei 2013, 5 bulan : Rp. 1.209.100 x 3,7 % x 5 bulan
= Rp.
23.683,Jumlah------------------------------------------------------------------------------------Rp. 590.538,-
51
=
d. JawabanTergugat
Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, Pasal 3
ayat (2) : “Advokat yang telah diangkat berdasarkan peryaratan sebagaimana dimaksud pada
Pasal 3 ayat (1) dapat menjalankan praktiknya dengan mengkhususkan diri pada bidang tertentu
dengan persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan”.
Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, Pasal 4
ayat (1) : “sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau
berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang tebuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili
hukumnya”.
Bahwa atas dasar Undang-undang Advokat tersebut diatas, untuk memastikan apakah
kuasa dari Penggugat sah atau tidak dan apakah berhak untuk mewakili Para Penggugat atau
tidak. Untuk itu kami mohon melalui Majelis Hakim agar Kuasa Hukum dari Para Penggugat
untuk memperlihatkan bukti Pengangkatan sebagai Advokat dan Berita Acara Sumpah dari
Pengadilan Tinggi setempat, demi tegaknya hukum bagi penegak hukum itu sendiri.
Jika ternyata Kuasa Hukum Para Penggugat tidak dapat memperlihatkan bukti
Pengangkatan sebagai Advokat dan Berita Acara Sumpah yang dimaksud oleh Undang-undang
Advokat Nomor 18 Tahun 2003, maka legitima persona standi in judicionya perlu dipertanyakan,
dan sebagai akibatnya kuasa ini tidak sah dan selanjutnya Kuasa Hukum Penggugat tidak berhak
mewakili Para Penggugat dalam perkara ini.
Oleh karena kuasa dan kehadirannya tidak sah maka segala tindakan hukum yang pernah
dilakukannya menjadi tidak sah, sehingga baik surat kuasa tertanggal 14 Februari 2014 maupun
52
surat gugatan yang dibuat dan ditandatanganinya tertanggal 20 Februari 2014 menjadi tidak sah
dan dengan sendirinya batal demi hukum.
Oleh karena surat gugatannya telah batal demi hukum , maka kami mohon kepada
Majelis Hakim agar supaya gugatannya pun ditolak untuk seluruhnya.
Bahwa berdasarkan uraian-uraian, fakta dan argumentasi hukum sebagaimana yang telah
dikemukakan diatas maka Tergugat mohon kiranya agar Majelis Hakim Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri Semarang secara patut dan adil berkenan untuk memeriksa
dan memutus perkara ini dengan putusan sela sebagai berikut:
1. Menerima dan mengabulkan eksepsi yang diajukan Tergugat untuk seluruhnya.
2. Menyatakan bahwa kuasa, kehadiran maupun segala tindakan hukum yang pernah
dilakukan oleh kuasa hukum Para Penggugat adalah tidak sah.
3. Menyatakan bahwa kuasa hukum Para Penggugat tidak berhak untuk mewakili Para
Penggugat dalam perkara ini.
4. Menyatakan bahwa surat kuasa tertanggal 14 Februari 2014 tidak sah dan dinyatakan
batal demi hukum.
5. Menyatakan bahwa surat gugatan yang dibuat dan ditandatangani kuasa hukum Para
Penggugat tertanggal 20 Februari 2014 adalah tidak sah dan dinyatakan batal demi
hukum, dan/atau dianggap tidak pernah ada, atau apabila Majelis Hakim berpendapat
lain maka mohon supaya gugatannya pun ditolak untuk seluruhnya.
Apabila Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
Semarang berpendapat lain maka dalam pokok perkara:
53
1. Bahwa kami Tergugat mohon kiranya terlebih dahulu agar segala sesuatu yang telah
dikemukakan dalam Eksepsi tersebut di atas, mohon dianggap sebagai bagian yang
tak terpisahkan dari bagian jawaban dalam pokok perkara.
2. Bahwa Tergugat menolak seluruh dalil-dalil gugatan perselisihan hubungan industrial
Penggugat tertanggal 20 Februari 2014 sebab dalil-dalil tersebut adalah tidak benar
serta sangat bertolak belakang dengan fakta-fakta hukum yang sesungguhnya kecuali
hal-hal yang secara tegas-tegas diakui dan dibenarkan oleh Tergugat dalam
persidangan.
3. Bahwa Para Penggugat sebagaimana disebutkan oleh Penggugat di dalam gugatannya
pada halaman 1 merupaka tenaga kerja yang pernah bekerja di Perusahaan Tergugat
dan telah putus hubungan kerja dengan Tergugat oleh karena telah berakhirnya masa
kontrak kerja sesuai yang telah disetujui dan disepakati bersama antara Para
Penggugat dengan Tergugat.
4. Bahwa apa yang dinyatakan oleh Penggugat di dalam gugatannya pada halaman 1
poin2 merupakan pernyataan yang ngawur dan tidak benar serta sangat bertolak
belakang dengan fakta-fakta yang sesunguhnya, yang antara lain:
a) Penggugat I (Nino Mei Saputra) pernah bekerja di Perusahaan Tergugat dari
tanggal 10 Februari 2012 dan telah berakhir masa kontrak kerjanya pada tanggal
09 Agustus 2013, dengan masa kerja 1 tahun 6 bulan.
b) Penggugat II (Mugiyatmo) pernah bekerja di Perusahaan Tergugat dari tanggal 09
Februari 2013 dan telah berakhir masa kontrak kerjanya pada tanggal 08 Agustus
2013, dengan masa kerja 6 bulan.
54
5. Bahwa seluruh pernyataan yang dikemukakan Penggugat dalam gugatannya pada
halaman 2 poin 5 s/d 7 merupakan pernyataan mengada-ada dan terlalu dipaksakan
kebenarannya oleh Penggugat, karena surat kontrak kerja antara Para Penggugat
dengan Tergugat sudah sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) huruf d UU No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan dan Pasal 8 ayat (1), (2), dan (3) Kepmen No. 100
Tahun 2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yaitu:
PKWT dapat dilakukan dengan pekerja/buruh untuk melakukan pekerjaan yang
berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih
dalam percobaan atau penjajakan.
Yang mana Para Penggugat saat itu adalah pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan
yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang
masih dalam masa percobaan atau penjajakan yaitu White Koffe yang baru produksi
sekitar 1,5 tahun.
Bahwa kegiatan atau pekerjaan yang telah biasa dilakukan perusahaan adalah
produksi Kopi Bubuk Hitam Cap Luwak, dan Para Penggugat tidak/bukan melakukan
kegiatan atau pekerjaan jenis ini.
Sesuai dalam Pasal 8 ayat (2) kepmen No. 100 Tahun 2004 bahwa PKWT
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan untuk jangka waktu paling
lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali paling lama 1 (satu) tahun,
yang mana disini tidak dipersyaratkan bahwa perpanjangan kontrak tersebut harus ada
jeda waktu 30 hari seperti yang dituangkan dalam Gugatan Penggugat. Dalam hal ini
terlihat bahwa pernyataan yang dikemukakan Penggugat adalah Ngawur dan tidak
berdasar hukum.
55
Bahwa sesuai dalam Pasal 8 ayat (2) Kepmen No. 100 Tahun 2004 bahwa PKWT
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dilakukan pembaharuan PKWT
terhadap Para Penggugat dan hanya memperpanjang kontrak satu kali terhadap
Penggugat I (Nino Mei Saputra) maupun Penggugat II (Mugiyatmo).
Bahwa dengan telah berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja antara Para Penggugat
dengan Tergugat, maka hubungan kerja pun berakhir dengan sendirinya sesuai
dengan tanggal berakhirnya jangka waktu dalam Surat Kontrak Kerja sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 61 ayat (1) huruf b UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yaitu Perjanjian kerja berakhir apabila telah berakhirnya jangka
waktu perjanjian kerja.
6. Bahwa tergugat dalam upaya menyelesaikan masalah, selalu hadir dengan itikad baik
dalam setiap undangan yang disampaikan oleh pihak Disnakertrans Kota Semarang,
namun demikian memang pernah surat undangan tersebut datang terlambat sehingga
telah melewati waktu/jadwal undangan untuk hadir dan pernah pula surat undangan
tersebut sama sekali tidak diterima/sampai kepada Tergugat oleh karena surat tersebut
dikirim ke alamat yang salah yaitu Ke Jl. Tentara Pelajar No. 02 Semarang (alamat
kantor Tergugat yang lama). Padahal alamat/kedudukan Tergugat adalah di Jl. Arteri
Yos Sudarso No. 01 Kaligawe Kota Semarang, sehingga hal tersebut mengakibatkan
Tergugat tidak hadir dan karena kesengajaan.
7. Bahwa dalam mediasi di Disnakertrans Kota Semarang tidak didapatkan kesepakatan
bukan karena disebabkan oleh ketidakhadiran Tergugat namun karena dalam mediasi
tersebut situasinya sudah tidak kondusif lag mengingat kuasa hukum Penggugat
sudah melampui etika berunding, yang mana Tergugat yang hadir waktu itu selaku
56
kuasa yang diberi kuasa dan mandat dari perusahaan sudah diserang secara pribadi
yang melampui batas-batas kodrati manusia yang tidak ada kaitannya dengan
substansi mediasu/perundingan. Oleh karena tidak didapatkan kesepakatan maka
akhirnya Pegawai Mediasi Disnakertrans Kota Semarang menerbitkan surat Anjuran
dengan No. 567/5242/2013 tertanggal 23 Desember 2013 sebagaimana disebutkan
Penggugat dalam gugatannya pada halaman 2 angka 9.
Atas anjuran tersebut Tergugat pada tanggal 03 Januari 2014 melalui surat dengan
Nomor : 003/JPA/HRD/I/2014 menyatakan bahwa Tergugat dengan sangat mohon
maaf tidak bisa menerima dan melaksanakan Anjuran dari Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Kota Semarang tersebut untuk memberikan kesempatan kepada Para
Penggugat untuk bekerja kembali dan diangkat menjadi pekerja tetap karena
Penggugat menilai:
a) Bahwa dengan mengacu pada Surat Kontrak Kerja yang ada, hubungan kerja
antara Tergugat dan Para Penggugat merupakan Hubungan Kerja Untuk Waktu
Tertentu dengan status sebagai pekerja kontrak, yang mana dalam Surat Kontrak
Kerjanya mencatumkan tanggal dimulai sampai dengan tanggal berakhirnya
hubungan kerja. Dan masing-masing pekerja telah sepakat, menyetujui,
menyadari,
dan
menandatangani
surat
kontrak
kerja
tersebut,
tanpa
mempermasalahkan status dan masa kontrak tersebut dari sejak awa hubungan
kerja terjadi.
b) Bahwa jenis pekerjaan yang dilakukan oleh Para Penggugat merupaka pekerjaan
yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan
yang masih dalam masa percobaan atau penjajakan yaitu White Koffe.
57
c) Berakhirnya hubungan kerja antara para pekerja dengan perusahaan bukan karena
PHK melainkan karena telah berakhirnya masa kontrak yang telah disepakati,
disetujui dan ditandatangani oleh pekerja yang mana dalam surat kontrak kerja
tersebut dicantumkan bahwa dalam hal hubungan kerja berakhir maka pekerja
tidak akan menuntut apapun dari perusahaan.
d) Bahwa sesuai dengan asas pacta sunt servanda yang dapat disimpulkan dalam
Pasal 1338 ayat (1) KUHPer bahwa perjanjian yang sudah disepakati oleh para
pihak, berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang meyelenggarakan.
8. Bahwa sebagai buruh kontrak yang hubungan kerjanya berakhir oleh karena telah
berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja atau telah selesainya masa kontrak, maka
tidak ada kewajiban bagi Tergugat untuk mengadakan panggilan kerja kembali Para
Penggugat atau membayar kompensasi apapun, dan tidak ada pula ketentuan yang
menyatakan bahwa buruh kontrak berhak atas uang pesangon, uang penghargaan
masa kerja dan uang penggantian hak apabila hubungan kerja berakhir oleh karena
telah berkahirnya jangka waktu perjanjian kerja atau telah selesainya masa kontrak,
seperti yang telah disampaikan Penggugat dalam gugatannya pada halaman 4 angka
7.
9. Bahwa sehubungan dengan Tergugat telah melaksanakan kewajibannya yaitu telah
mendaftarkan Para Penggugat dan diikutkan dalam semua program Jamsostek sesuai
Pasal 6 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1992 yang antara lain Program Jaminan Kecelakaan
Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua, dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan.
Untuk itu tidak ada kewajiban lagi bagi Tergugat untuk membayar Jaminan Hari Tua
58
kepada Para Penggugat seperti yang disampaikan Penggugat dalam gugatannya pada
halaman 4 angka 6.
Bahwa berdasarkan uraian-uraian , fakta dan argumentasi hukum sebagaimana telah
dikemukakan diatas maka Tergugat mohon kiranya agar Majelis Hakim Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri Semarang adalah patut dan adil jika gugatan Penggugat karena
tidak berdasarkan hukum, terlalu mengada-ada, serta sangat bertolak belakang dengan faktafakta yang sesungguhnya maka mohon kiranya agar Majelis Hakim Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri Semarang berkenan untuk memeriksa dan memutus perkara
ini dengan putusan sebagai berikut:
1. Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan
gugatan Penggugat tidak dapat diterima.
2. Menerima jawaban Tergugat secara keseluruhan
3. Atau apabila Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
Semarang berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
e. Pertimbangan Hakim
Menimbang, bahwa terhadap keberatan Para Penggugat terhadap kedudukan hukum
Kuasa Tergugat yang nota bene adalah karyawan dari tergugat, yang berkedudukan sebagai
General Manager dan HRD Manager, yang dianggap tidak memenuhi sebagai kuasa yang
disyaratkan oleh undang-undang No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI, khususnya Pasal 87 yang
berbunyi “Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Organisasi Pengusaha dapat bertindak sebagai
Kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya”.
59
Menimbang, bahwa mengenai Kuasa Hukum Tergugat yang diwakili oleh General
Manager dan HRD Manager, Majelis hakim berpendapat bahwa orang yang berhak mewakili
Pengusaha untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial, adalah organisasi pengusaha.
Sebagaimana yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 87 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004
tentang PPHI. Oleh karena Undang-undang tersebut merupakan Lex Spesialis yang merupakan
hukum secara formal untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial maka ketentuan
mengenai kuasa hukum harus tunduk pula pada ketentuan Pasal 87 UU No. 2 Tahun 2004
tersebut, bukan kepada Undang-undang Perseroan Terbatas (PT).
Mengenai bahwa berdasarkan ketentuan tersebut maka menurut Majelis Hakim kuasa
Hukum Tergugat bukan Organisasi Pengusaha, akan tetapi adalah karyawan Tergugat, maka
tidak memenuhi syarat sebagai kuasa yang ditentukan Undang-undang sebagaimana tersebut
diatas, oleh karenanya menurut Majelis Kuasa Hukum Tergugat juga tidak mempunyai legal
standing untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili Tergugat.
f. Putusan
Menerima keberatan yang diajukan oleh Tergugat dan Para Penggugat terkait surat kuasa,
menyatakan bahwa kuasa hukum Para Penggugat tidak dapat mewakili Para Penggugat dan
Kuasa Hukum Tergugat tidak dapat mewakili Tergugat untuk beracara di Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri Semarang khususnya dalam perkara No. 03/G2014/PHI.Smg,
menyatakan perkara ini tidak bisa dilanjutkan pemeriksaannya, dan membebankan biaya perkara
ini kepada Negara sebesar
Rp. 276.000.- (dua ratus jutuh puluh enam ribu rupiah). Demikian
diputuskan pada hari : SENIN, tanggal 14 APRIL 2014 dalam rapat pemusyawaratan Majelis
Hakim pada Pengadilan Negeri Semarang, RAMA J PURBA, SH.MH sebagai Ketua Majelis,
60
AMBAR B M, SH dan Daryono, SH masing-masing sebagai Hakim Anggota, putusan mana
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari : SELASA, tanggal 15 APRIL 2014 oleh
Majelis tersebut, dengan dibantu EDY ASMORO, SH. Panitera Pengganti pada Pengadilan
Hubungan Industrial Semarang dan dihadiri oleh Kuasa Hukum Para Penggugat serta Kuasa
Hukum Tergugat.
F. Analisis Penelitian
Untuk menganalisis pertimbangan hakim yang menolak kuasa hukum kuasa Tergugat,
penulis menganalisis menggunakan dasar hukum, yaitu:
1. KUH Perdata
Secara umum, surat kuasa tunduk pada prinsip hukum yang diatur dalam Bab keenam
Belas, Buku III KUH Perdata mulai dari Pasal 1792 s/d Pasal 1819, sedang aturan khususnya
diatur
dan
tunduk
pada
ketentuan
hukum
acara
yang
digariskan
Het
Herziene
Inlandsch/Indonesich Reglement (“HIR”) dan Reglement Buitengewesten (“RBG”).
Untuk memahami pengertian kuasa secara umum, dapat dirujuk Pasal 1792 KUH
Perdata, yang berbunyi:“Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang
memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya
menyelenggarakan suatu urusan.”
Menurut Pasal 1792 KUH Perdata, pemberian Kuasa adalah:

Persetujuan antara pemberi kuasa, dengan penerima kuasa;

Dengan pemberian kuasa itu, penerima kuasa sah bertindak untuk dan atas nama
pemberi kuasa melakukan perbuatan hukum yang ditentukan dalam surat kuasa;
61

Dalam bertindak melakukan perbuatan hukum, penerima kuasa tidak atau bukan
atas namanya sendiri, tetapi atas nama pemberi kuasa.
Selanjutnya, di atur di dalam Pasal 1795 KUH Perdata yang berbunyi:“Pemberian kuasa
dapat dilakukan secara khusus, yaitu mengenai hanya satu kepentingan tertentu atau lebih, atau
secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan si pemberi kuasa.“ Menurut pasal ini, kuasa
umum bertujuan memberi kuasa kepada seseorang untuk mengurus kepentingan pemberi kuasa,
yaitu:

Melakukan tindakan pengurusan harta kekayaan pemberi kuasa;

Pengurusan itu, meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan
pemberi kuasa kuasa atas harta kekayaannya;

Dengan demikian titik berat kuasa umum, hanya meliputi perbuatan atau tindakan
pengurusan kepentingan pemberi kuasa.
Dengan demikian, dari segi hukum, kuasa umum adalah pemberian kuasa mengenai
pengurusan, yang disebut beherder atau manajer untuk mengatur kepentingan pemberi kuasa.
Sedangkan kuasa secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih.
Bentuk inilah yang menjadi landasan pemberian kuasa untuk bertindak di depan pengadilan
mewakili kepentingan pemberi kuasa sebagai pihak principal. Namun, agar agar bentuk kuasa
yang disebut dalam Pasal 1795 KUH Perdata ini dapat sah sebagai surat kuasa khusus di depan
pengadilan, kuasa tersebut harus disempurnakan terlebih dahulu dengan syarat-syarat yang
disebut dalam Pasal 123 HIR yaitu kuasa secara lisan oleh penggugat di hadapan ketua
Pengadilan Negeri (PN), kuasa yang ditunjuk secara lisan di persidangan, dan kuasa khusus
berbentuk tertulis atau akta yang disebut surat kuasa khusus.
62
Lebih lanjut, yang dapat bertindak sebagai kuasa/wakil dalam perkara perdata pada
umumnya adalah: advokat sesuai Pasal 32 UU No. 18 Tahun 2003; Jaksa dengan kuasa khusus
sebagai kuasa/wakil negara/pemerintah/TNI/Kejaksaan RI; Direksi/pengurus atau karyawan
yang ditunjuk dari suatu badan hukum; mereka yang mendapat kuasa insidentil yang ditetapkan
oleh ketua pengadilan (misalnya, LBH, hubungan keluarga, biro hukum TNI/Polri) untuk
perkara-perkara yang menyangkut anggota/keluarga TNI/Polri; dan kuasa insidentil dengan
alasan hubungan keluarga sedarah atau semenda dapat diterima sampai dengan derajat ketiga
yang dibuktikan dengan surat keterangan kepa desa/lurah.
2. Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Undang-Undang No. 2 Tahun 2004tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
merupakan lex spesialist yang merupakan hukum secara formal untuk beracara di Pengadilan
Hubungan Industrial, ketentuan mengenai kuasa hukum harus tunduk pada ketentuan Undangundang tersebut. Pengaturan kuasa hukum diatur di dalam Pasal 87 UU No. 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang berbunyi: “Serikat Pekerja/Serikat
Buruh dan Organisasi Pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di
Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya.”
Ketentuan Pasal 87 UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselsihan
Hubungan Industrial yang nyata-nyata memberikan ruang gerak bagi oraganisasi pengusaha
untuk beracara dipersidangan mewakili anggotanya atas dasar surat kuasa khusus, hampir tidak
pernah dipergunakan.
Ketentuan Pasal 2 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat mengatur bahwa yang
dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berpendidikan tinggi hukum dan setelah
63
mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh organisasi Advokat.
Bahkan, ketentuan UU tentang Advokat tersebut mengancam dengan pidana, bagi siapa saja
yang bukan Advokat tetapi menjalankan pekerjaan sebagai Advokat, namun pada saat ini Serikat
Pekerja/Serikat Buruh dan Organisasi Pengusaha yang hendak bertindak sebagai kuasa hukum di
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) tidak perlu lagi kwatir akan dikenakan sanksi pidana atau
denda sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UU Advokat. Karena Mahkamah Konstitusi Perkara
Nomor 006/PUU-II/2004 tahun 2004 telah menyatakan bahwa, Pasal 31 UU Advokat
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).
Lebih lanjut dinyatakan dalam Putusan MK tersebut bahwa Pasal 31 UU Advokat tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat dan telah dianggap menutup akses untuk mendapatkan
keadilan. Jadi, sejak dibatalkannya” Pasal 31 UU Advokat oleh Mahkamah konstitusi, maka saat
ini tidak ada lagi pertentangan antara pengaturan dalam UU Advokat dengan peraturan yang
menjadi dasar hukum bagi Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Organisasi Pengusaha untuk
bertindak sebagai kuasa hukum di dalam PHI. Selain itu, kewenangan serikat pekerja/serikat
buruh untuk mewakili anggotanya di PHI telah lama dijamin oleh UU No. 21 Tahun 2000
tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (UU Serikat Buruh). Pasal 25 ayat 1 menyatakan bahwa,
serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah
mempunyai nomor bukti pencatatan berhak untuk mewakili pekerja/buruh dalam menyelesaikan
perselisihan industrial. Pendampingan pekerja oleh Wakil Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang
bukan Advokat sebagai kuasa hukum di PHI dalam praktinya sudah banyak dilakukan.
Hal yang sama juga ditegaskan Dr. H. Mohammad Saleh, SH., MH., Ketua Muda Perdata
Khusus Mahkamah Agung Republik Indonesia. Dalam makalah yang berjudul Temuan
64
Permasalahan Hukum pada Perdata Khusus yang disampaikan pada Rapat Kerja Nasional
(Rakernas) Mahkamah Agung Tahun 2009, Mohammad Saleh menyatakan bahwa
“Manajer Personalia boleh mewakili pihak perusahaan di persidangan PHI bilamana
mendapat kuasa dari Direksi.”
Jadi, Manajer HRD/Personalia dapat mewakili pihak perusahaan dipersidangan PHI jika
mendapat kuasa dari Direksi, dan orang yang bersangkutan tidak harus seorang sarjana hukum.
3. Undang-Undang Perseroan Terbatas
Direksi sebagai salah satu Organ atau alat perlengkapan Perseroan, selain mempunyai
kedudukan dan kewenangan mengurus Perseroan, juga diberi wewenang untuk “mewakili”
Perseroan baik di dalam maupun di luar Pengadilan untuk dan atas nama Perseroan. Kapasitas
atau kewenangan yang dimiliki Direksi mewakili Perseroan karena Undang-undang. Artinya,
undang-undang sendiri dalam hal ini Pasal 1 angka 5 dan Pasal 92 ayat (1) UUPT 2007 yang
memberi kewenangan itu kepada Direksi untuk mewakili Perseroan di dalam maupun di luar
Pengadilan. Oleh karena itu, kapasitas mewakili yang dimilikinya, adalah kuasa atau perwakilian
karena undang-undang (wettelijke vertegenwoordig, legal or statutory representative). Dengan
demikian, untuk bertindak mewakili Perseroan, tidak memerlukan kuasa dari Perseroan. Sebab
kuasa yang dimilikinya atas nama Perseroan adalah kewenangan yang melekat secara inherent
pada diri dan jabatan Direksi berdasar undang-undang.
Sehubungan dengan itu, sesuai dengan kapasitasnya sebagai kuasa mewakili Perseroan
berdasar undang-undang, Direksi berwenang memberi kuasa kepada orang yang ditunjuknya
untuk bertindak mewakili Perseroan. Tindakan pemberian kuasa yang demikian dapat dilakukan
65
Direksi tanpa memerlukan persetujuan dari Organ Perseroan yang lain. Tidak memerlukan
persetujuan dari RUPS maupun dari Dewan Komisaris.
Pemberian Kuasa diatur di dalam Pasal 103 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, mengatur mengenai hak Direksi memberi kuasa kepada orang lain. Pasal tersebut
berbunyi sebagai berikut: “Direksi dapat memberi kuasa tertulis kepada 1 (satu) orang
karyawan Perseroan atau lebih atau kepada orang lain untuk dan atas nama Perseroan
melakukan perbuatan hukum tertentu sebagaimana yang diuraikan dalam surat kuasa.”
Orang lain yang dimaksud di dalam UUPT tersebut adalah Advokat, sesuai dengan UU
No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat Pasal 1 angka 1 dan 2 yang berbunyi: Advokat adalah orang
yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi
persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang ini dan Jasa hukum adalah jasa yang
diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa,
mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan
klien.
4. Metode Interpretasi Menurut Bahasa (Gramatikal)
Metode interpretasi menurut bahasa (gramatikal) adalah suatu cara penafsiran undangundang menurut arti kata-kata (istilah) yang terdapat pada undang-undang. Hukum wajib menilai
arti kata yang lazim dipakai dalam bahasa sehari-hari yang umum.
Sebagai contoh: Pasal 87 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial yang berbunyi, “Serikat pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha
dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk
mewakili anggotanya.” Kata “dapat bertindak” di dalam pasal tersebut dapat ditafsirkan menurut
66
bahasa sehari-hari adalah “dibutuhkan” apabila kuasa dari buruh atau pengusaha tidak memiliki
wakil sebagi kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial, maka Organisasi
Pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan
Industrial untuk mewakili pengusaha.
Sehingga, menurut analisis Penulis: Kuasa hukum dari Pengusaha yaitu General Manager
sudah tepat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk beracara di
Pengadilan Hubungan Industrial, tanpa harus diwakili oleh Organisasi Pengusaha.
67
Download