INFORMASI BENCANA DAN BUDAYA LOKAL (Kasus

advertisement
INFORMASI BENCANA DAN BUDAYA LOKAL
(Kasus Penanggulangan Banjir di Kelurahan Bukit Duri Jakarta Selatan)1
S. Arifianto & Mohan Rifqo Virhani2
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Informasi dan bencana banjir merupkan mata rantai yang tidak bisa terpisahkan
keberadaannya.Pada kondisi yang dianggap sangat riskan informasi bencana banjir itu
sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Mereka membutuhkan informasi bencana banjir
karena terkait dengan penyelamatan jiwa dan harta yang dimilikinya. Banjir di Kelurahan
Bukit Duri Jakarta Selatan, yang dijadikan lokasi penelitian ini bukan masalah yang
mengejutkan. Tidak mengejutkan karena setiap terjadi luapan Sungai Ciliwung kawasan
tersebut selalu terendam air hingga mencapai satu- sampai dua meter. Terdapat suatu
fenomena yang menarik dalam wilayah tersebut sebagai bahan kajian. Meski Kelurahan
Bukit Duri menjadi langganan banjir setiap tahun, tetapi warga masyarakatnya tidak
merasa terusik dengan bencana banjir tersebut. Maka dari itu diperlukan pemantauan
terhadap pola-pola penyikapan masyarakat. Pola yang dimaksud adalah pengenalan dan
pemahaman terhadap fenomena bencana banjir, sampai pada sikap dan perilaku
masyarakat terhadap bencana itu sendiri. Oleh sebab itu informasi bencana banjir masih
dianggap sebagai kebijakan yang sangat strategis. Meski dianggap strategis dan penting
sampai sejauh ini upaya untuk memahami karakteristik masyarakat terkait dengan
kejadian bencana banjir masih relatif rendah. Karakteristik itu menyangkut perilaku
masyarakat, dan bagaimana kemudahan mendapatkan informasi. Karena adanya
disinformasi kebencanaan di daerah rawan bencana dan perbedaan budaya lokal di
masyarakat daerah rawan bencana masih menjadi permasalahan tersendiri. Persoalan
1
Artikel ini bagian dari longitudinal penelitian Efektivitas Diseminasi Informasi Pengurangan Resiko
Bancana di Daerah Rawan Bencana, yang di laksanakan Puslitbang Aptel SKDI Balitbang SDM Kominfo
pada tahun 2009 secara Nasional.
2
Peneliti Puslitbang Aptel SKDI Balitbang Sumber Daya Manusia Depkominfo, di Jakarta
1
disinformasi dan struktur sosial budaya lingkungan masyarakat lokal seperti itu menjadi
kunci keberhasilan atau tidaknya penanggulangan resiko bencana di daerah rawan
bencana. Tetapi karena keterbatasan pengetahuan yang dimiliki, sistem itu bisa
diterapkan dengan pendekatan budaya lokal. Maka ketika ada informasi yang terkait
dengan pengurangan resiko bencana perlu ada tindakan penyesuaian dengan tata nilai
sosial dan budaya lokal setempat. Tata nilai sosial dan budaya lokal itulah biasanya yang
mereka jadikan pijakan untuk bertindak dalam penanggulangan bencana banjir. Termasuk
bagaimana mereka berkomunikasi dengan warganya, ketika akan dan sedang terjadi
bencana banjir yang mengancam warga. Program itu biasanya di implementasikan dalam
sistem peringatan dini. Secara implementatif sistem peringatan dini sebagai upaya untuk
mengurangi resiko bencana di daerah rawan bencana telah di-disemina sikan pemerintah.
Kebijakan ini dilaksanakan untuk mengurangi resiko bencana (desaster) di daerah rawan
bencana. Dengan sistem peringatan dini, ada bencana yang bisa direduksi, tetapi juga ada
bencana yang tidak bisa direduksi. Bencana yang bisa direduksi memiliki ciri-khas
terdapatnya tenggang waktu dari deteksi bahaya untuk melakukan evakuasi, contohnya
bencana banjir, kebakaran hutan, wabah penyakit, tanah longsor,tsunami,gunung meletus
dsb .
Ketika terjadi bencana banjir, penyampaian informasi yang tepat kepada warga
masyarakat menjadi sangat penting. Hal lain yang sama pentingnya adalah pengambilan
keputusan untuk menyatakan bahaya kepada masyarakat di daerah rawan bencana banjir.
Kondisi-kondisi seperti itu perlu dilakukan evaluasi untuk mengetahui efekfif tidaknya
sebuah informasi bencana. Dengan penelitian evaluasi semacam ini potensi kesenjangan
informasi di daerah rawan bencana bisa di deteksi sejak dini. Data seperti itu menjadi
penting untuk memetakan kondisi masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana.
Biasanya ketika terjadi bencana banjir secara tiba tiba yang muncul adalah kepanikan
warga masyarakat. Kepanikan itu terjadi karena mereka tidak memiliki dasar
pengetahuan tentang bagaimana mereka harus bertindak jika terjadi bencana banjir yang
mengancam dirinya. Semua tindakan tersebut perlu diawali dengan melihat gejala yang
muncul sebelum terjadi bencana banjir. Maka dari itu bagi warga masyarakat di daerah
rawan mencana, perlu sejak dini mengenali karakteristik
bencana dilingkungannya.
Pengetahuan itulah yang harus mereka pelajari, dan terapkan. Dengan informasi bencana
2
banjir yang tidak menyesatkan masyarakat, permasalahan penanggulangan banjir mudah
diatasi. Bahkan tidak salah jika program ini berupaya mengadopsi kearifan lokal (local
wisdom),dan pengetahuan tradisional (traditional of knowledge) yang berkembang
dikomu nitas masyarakat setempat. Kedua aspek ini menjadi faktor berpengaruh dalam
pemahaman resiko bencana di daerah rawan bencana banjir. Dari pemaparan latar
belakang permasalahan tersebut, penelitian evaluasi terhadap kesenjangan informasi
bencana dan pemaknaan budaya lokal di daerah rawan bencana penting untuk diketahui
melalui sebuah penelitian.
Permasalahan
Berangkat dari latar belakang penelitian ini, bahwa dalam sepuluh tahun terakhir ini
kota metropolitan Jakarta cenderung rawan banjir.Daerah potensi rawan banjir itu
disepanjang aliran sungai Ciliwung termasuk kelurahan Bukit Duri Jakarta Selatan.
Meski letaknya ditengah kawasan perkotaan pengetahuan masyarakat terhadap informasi
bencana masih menyisakan persoalan tersendiri. Sudah banyak informasi tentang resiko
bencana banjir yang disampaikan oleh diseminaor, maupun media massa. Tetapi hasilnya
masih belum banyak diketahui, apakah informasi tersebut mencapai sasaran atau justru
sebaliknya. Pada saat yang bersamaan pemerintah kota juga telah mengambil langkah
kebijakan berupa program diseminasi informasi pengurangan resiko bencana banjir bagi
masyarakat di daerah tersebut. Tetapi hasilnya seperti apa masih perlu dilakukan
evaluasi, sehingga memunculkan permasalahan yang perlu di kaji dalam penelitian
ini.Permasalahan
yang
dianggap
penting
untuk
dikaji
dalam
penelitian
ini
adalah,”bagaimana efektivitas penyampaian informasi pengura ngan bencana banjir di
wilayah Kelurahan Bukit Duri Jakarta Selatan”. Permasalahan penelitian tersebut secara
lebih spesifik dirumuskan sebagai berikut : (1). Apakah penyampaian informasi bencana
banjir berjalan efektif dan menjadi kebutuhan” masyarakat di Kelurahan Bukit Duri? (2).
Apakah” penyampaian informasi bencana banjir mempunyai daya tarik” bagi masyarakat
Kelurahan Bukit Duri? (3). Apakah simbol-simbol komunikasi dalam penyam paian
informasi bencana banjir dapat dipahami oleh masyarakat Kelurahan Bukit Duri? (4).
Bagaimana masyarakat di Kelurahan Bukit Duri memperoleh informasi bencana banjir?
3
Tinjauan Pustaka
Kajian Eniarti Djohan (2007: 6) menyimpulkan jika peristiwa bencana alam
mampu mengubah kehidupan manusia dari yang mapan menjadi tidak mapan.Perbedaan
status sosial itu menurut kesimpulan penelitian ini ”berpenga ruh terhadap akses
informasi tentang kebencanaan”di masyarakat. Penelitian P.M.Laksono (2007 : 41) dari
Pusat Studi Asia Fasifik UGM Yogyakarta yang bertajuk,”Visualisasi Gempa Yogya 27
Mei 2006” dengan pendekatan visualisasi media cetak (surat kabar) mendiskripsikan
bahwa, ”betapa pentingya fungsi media untuk penyebaran informasi bencana gempa
bumi (2006) di Yogyakarta”. Dalam penelitiannya Laksono mevisualisasikan pelayatan
masal diseluruh Yogyakarta yang sedang berduka. Siapapun yang masuk Yogyakarta
ketika itu akan menyaksikan sesak kedukaan yang se-olah olah tidak mau cepat berlalu
seperti biasanya kedukaan pada masyarakat Jawa. Diskripsi yang disajikan secara naratif
itu sekaligus memberikan makna bahwa “media massa” memiliki kelebihan tertentu
untuk melakukan diseminasi informasi kepada khalayak masyarakat di daerah bencana di
Yogyakarta.
Penelitian Nursyirwan Effendi (2007:93) dari Universitas Andalas,tentang
“Bencana : Pengalaman dan Nilai Budaya Orang Minangkabau” lebih melihat bencana
alam dari perspektif budaya. Bencana alam merupakan rutinitas masyarakat lokal
Indonesia. Bahkan potensi kerusakan akibat bencana alam menurut hasil penelitian ini
“dipahami sebagai suatu peristiwa alam yang tidak bisa dihindari. Dimana dalam konteks
tersebut rusaknya lingkungan dan sistem sosial akibat bencana, sama pentingnya dengan
mencari pengetahuan tentang penyebab bencana alam itu sendiri. Tingkat kesadaran
sosial terhadap bencana alam terlihat jelas pada tingkatan masyarakat lokal, dimana
penglaman bencana bagi mereka akan memberikan ”efektivitas penciptaan pengetahuan
lokal tentang bencana dan alam”. Bencana yang dialami masyarakat lokal dapat
membangun pemahaman tentang realitas secara lebih konprehensif. Beberapa
pemahaman masyarakat lokal terhadap bencana itu diantaranya, (a).Bencana dilingkupi
oleh gagasan tentang alam dan Tuhan, (b). Bencana dimaknai sebagai pelajaran sosial
tentang eksistensi manusia ketika berhubungan dengan alam. (c). Bencana dialami
sebagai kekuatan pembentuk baru (reproduksi) sosial dan budaya, karena didalamnya
berlangsung pengalaman sosial dan nilai-nilai. Penelitian Mita Noveria (2007:116-117)
4
peneliti LIPI Jakarta, yang bertajuk “Bencana Alam Dari Sisi Kependudukan:Penyabab
dan Dampaknya” menyim pulkan bahwa, bencana alam tidak bisa terpisahkan dari
konteks masyarakat. Karena masyarakat disamping menjadi korban sekaligus menjadi
pelaku bencana dan penyebab bencana, khususnya bencana banjir dan tanah longsor.
Perbedaannya jika bencana geologi tidak dapat diprediksi kejadiannya, tetapi bencana
akibat ulah manusia dapat diprediksi sekaligus dihindari. Bencana alam akibat ulah
manusia
dapat
pengetahuan
dihindari
jika
penduduk(masyarakat)
mempunyai
pemahaman/
tentang pelestarian lingkungan hidup disekitar mereka. Demikian juga
terhadap karakteristik jenis bencana alam disekitar mereka. Kesimpulan akhir peneliti
lebih menekankan pada edukasi (diseminasi) terhadap masalah bencana dan lingkungan
sebagai solusi dan sarannya.
Kajian Wijajanti M.Santoso (2007:138) peneliti LIPI Jakarta yang berjudul :
Bencana Dari Perspektif Sosiologi Feminis” ini lebih bernuansa jender. Dalam
paparannya Wijajanti melihat baik perspektif jender maupun bencana alam, merupakan
sebuah elemen konstruksi sosial yang dapat dilihat dari bagaimana masyarakat bereaksi,
baik terhadap keberadaan kesetaraan jender maupun bencana itu sendiri. Dimana dalam
penanganan sebuah bencana alam dapat memperlihatkan bagaimana masyarakat
memosisikan dan merepresentasikan perempuan. Posisi perempuan yang masih dianggap
tradisional dengan menempatkan pada ruang public menurut Wijajanti (2007),
memberikan gambaran bahwa masyarakat kurang mengakui eksistensi perempuan. Maka
dari itu analisis tentang perempuan dan bencana dapat dilihat dari proses netralisasi, baik
dari unsur jender maupun bencana itu sendiri. Netralitas pengetahuan akan bersikukuh
bahwa bencana mengakibatkan penderitaan terhadap semua orang, baik laki-laki maupun
perempuan. Tetapi data penelitian dilapangan menunjukkan bahwa korban meninggal
akibat bencana alam masih didominasi oleh kaum perempuan,dan anak anak. Bahkan
penanganan bencana gempa di Yogya (2006) memperlihatkan bahwa elemen jender
belum menjadi preoritas penting yang tampak didalam bantuan yang tidak sensitif pada
jender. Merujuk pada beberapa penelitian atau kajian tentang bencana alam yang sudah
dilaksanakan oleh para peneliti tersebut, informasi tentang kebencanaan” menurut
pengamatan penulis memegang peran penting untuk mengetahui gejala dini tentang
timbulnya banjir dikota Jakarta.
5
Kerangka Konsep
Program diseminasi informasi pengurangan resiko bencana dikatakan efektif jika ia
mampu mencapai tujuan yang ditargetkan. Baik secara langsung maupun tidak langsung
target diseminasi informasi pengurangan resiko bencana, agar masyarakat di daerah
rawan bencana,: (a). memiliki pengetahuan tentang permasalahan bencana alam di
lingkungannya, (b).mengimplementasikan pengetahuan kebencanaan yang dimiliki ketika
terjadi bencana, dan (c). Bisa membuahkan hasil berupa meminimalisasi korban bencana
itu sendiri. Target itu bisa tercapai jika semua persyaratan diseminasi informasi
pengurangan resiko bencana bisa terpenuhi. Dalam konteks ilmu komunikasi, diseminasi
bertautan langsung dengan “penyampaian pesan” kepada khalayak atau masyarakat.
Secara teoritis ada beberapa model komunikasi “tadisional” yang masih dianggap relevan
untuk penyampaian pesan komunikasi (diseminasi) dalam penelitian ini. Beberapa model
komunikasi tradisional yang dimaksud dalam penelitian ini diantaranya :
(1). Model komunikasi Harold Lasswel (1948) dalam Fiske (2006:46) dimana
pesan komunikasi akan dianggap efektif jika memenuhi lima unsur sebagai berikut (who,
says what, in which channel, with what effect) yakni, siapa, mengatakan apa, dalam
media apa, dan apa efeknya. Pertama makna “siapa” (who) dalam pertanyaan tersebut
menunjuk pada inisiator, yaitu orang yang mengambil inisiatif untuk memulai
komunikasi. Inisiator bisa berupa individu, kelompok atau organisasi. Kedua makna “apa
yang dikatakan”(says what) bertautan dengan isi pesan yang disampaikan dalam
komunikasi yang bersangkutan. Ketiga makna (in which channel) dengan media apa,
yang merujuk pada penggunaan media, karena tidak semua media cocok untuk
komunikasi. Ke-empat makna (to whom) menanyakan tentang siapa penerima pesan
komunikasi. Kelima makna (what effect) yakni apa dampak atau efeknya dari komunikasi
tersebut. Model komunikasi ini masih tetap linier, dengan melihat komunikasi sebagai
transmisi pesan. Model komunikasi ini lebih mengedepankan pengungkapan tentang isu
“efek” bukan makna. Efek itu sendiri secara tidak langsung menunjukkan adanya
perubahan yang bisa diukur (dampak dari diseminasi informasi), dan diamati pada
penerima pesan komunikasi. Penerima pesan dalam konteks penelitian ini adalah
komunitas masyarakat di daerah rawan bencana yang menjadi obyek penelitian.
6
(2) Model komunikasi Shannon & Weaver 1949, dalam Fiske (2006:14) yang
berbeda dengan model Lasswel, karena Shannon Wever lebih memilih transmitter.
Pilihan transmitter ini sangat tergantung pada jenis komunikasi yang digunakan. Dalam
konteks ini ada dua komunikasi yakni komunikasi interpersonal, dan komunikasi massa.
Jika dalam komunikasi interpersonal transmitternya lebih mengandalkan organ tubuh dan
bahasa non verbal, sedangkan dalam komunikasi massa adalah alat itu sendiri misalnya
berupa: (hp,radio,televisi,photo,dan film) yang sudah banyak dikenal. Model dasar
komunikasi yang mereka kembangkan ini lebih bersifat linier dan sangat sederhana.
Shannon & Weaver (1949) dalam teorinya mengidentivikasi tiga level masalah dalam
komunikasi. (a). Level A (masalah teknik), bagaimana simbol-simbol komunikasi dapat
ditransmisikan secara akurat. (b). Level B (Masalah semantik) bagaimana simbol-simbol
komunikasi yang ditransmisikan secara persis menyam paikan makna yang diharapkan.
(c). Level C (masalah keefektifan)
mempengaruhi
bagaimana makna yang diterima secara efektif
tingkah laku dengan cara yang diharapkan. Shannon & Weaver
mengklaim bahwa ketiga level tersebut tidak terbantahkan, tetapi saling berhubungan dan
saling ketergantungan satu sama lainnya, meski asal usulnya di level A berfungsi sama
baiknya di tiga level tersebut (Fiske,2006 : 15).
(3) Model komunikasi yang dikembangkan David Berlo (1960),3 yang hanya
memperlihatkan komunikasi satu arah. Ia terdiri dari empat komponen, yakni sumber,
pesan, saluran dan penerima, tetapi pada masing-masing komponen terdapat faktor
control. Dalam teorinya Berlo (1960) menekankan pada faktor ketrampilan, sikap,
pengetahuan, kebudayaan, dan sistem sosial, sumber atau orang yang mengirim pesan
merupakan factor penting penentuan isi pesan. Dimana faktor tersebut akan berpengaruh
pada penerima pesan dalam menginterpretasikan isi pesan yang di sampaikan.
Interpretasi pesan akan sangat tergantung dari “isi pesan” yang ditafsir oleh pengirim
pesan atau penerima pesan.
(4). Model komunikasi yang dikembangkan Wilbur Schramm (1973) lebih
menekankan pada peran pengalaman dalam proses komunikasi. Dalam hal ini Schramm
melihat apakah pesan yang dikirimkan diterima oleh sipenerima sesuai dengan apa yang
3
Lihat tulisan Yahya Nursidik,tentang Model-model komunikasi sebagai warisan peradapan komunikasi,
dalam :http://apadefinisinya.blogspot.com/2007/12/komunikasi.html, diakses Senin,7 September 2009.
7
dimaksudkan oleh pengirim pesan. Artinya jika tidak ada kesamaan dalam bidang
pengalaman (bahasa yang sama,latar belakang yang sama,kebudayaan yang sama,struktur
sosial yang sama ) maka kecil kemung kinan pesan yang diterima di-interprestasikan
dengan benar dan baik sesuai dengan tujuan komunikasi yang ingin dicapainya. Jika
konsep komunikasi yang sarankan Schramm (1973) itu terpenuhi, besar kemungkinan
proses diseminasi informasi akan berjalan secara efektif. Untuk melihat efektivitas
komunikasi perlu dilakukan pengujian. Efektivitas diseminasi informasi berarti berfokus
pada pengukuran efektif tidaknya sebuah pesan komunikasi yang dikomunikasikan dalam
diseminasi informasi yang bersangkutan.
Pesan komunikasi dapat dikatagorikan efektif jika bisa mencapai tujuan atau
sasaran komunikasi yang di harapkan oleh komunikan. Tujuan diseminasi komunikasi
kepada komunikan adalah agar komunikan mendapatkan pemahaman pengetahuan baru
tentang persoalan yang diinginkan komunikator. Pada dasarnya tujuan diseminasi
informasi lebih dititik beratkan pada “memberi tahu” (information) atau paling tidak
dengan informasi tersebut komunikan dapat berubah sikap (attitude) karena menda
patkan pengetahuan, pengalaman serta pola hidup “budaya baru”di komunitasnya.
Misalnya komunitas masyarakat yang mendapatkan diseminasi informasi tertentu, bisa
ber-ubah sikap dan perilakunya menjadi lebih kooperatif untuk mencapai tujuan
komunikasi yang bersifat informatif dan partisifasif (Effendi,2002). Sementara Rogers &
Kincaid (1983) melihat bahwa komunikasi merupakan suatu proses. Dimana partisipan
membuat berbagai informasi satu sama lain untuk mencapai saling pengertian. Pada
tataran tersebut antara komunikator dan komunikan saling menjalin hubungan
komunikasi untuk mencapai suatu tujuan atau keselarasan dalam upaya menumbuhkan
kesepahaman. Dalam pandangan Yoseph Devito (1989) komunikasi merupakan proses
pembentukan, penyampaian, penerimaan, pengelolaan pesan yang terjadi pada diri seseorang atau diantara dua orang lebih dengan tujuan tertentu.
Efektivitas Komunikator
Dalam ethos komunikator menurut pandangan Aristoteles (1954), seperti dikutip
Hamidi (2007: 71) mengkatagorikan bahwa efektivitas komunikator ditentukan oleh 3
(tiga) faktor. (1). Pikiran yang jernih (good sence), ideology komunikator dalam kontek
8
ini harus dilandasi tujuan yang baik untuk mentransfomasikan pengetahuan barunya
kepada komunikan. (2).Akhlak yang baik (good moral character), artinya karakteristik
komunikator menjadikan taruan berhasil tidaknya sebuah transformasi informasi kepada
komunikan. Kredibilitas dan kapabelitas komunikator dalam konteks ini menjadi sangat
penting, bahkan menjadi penentu proses keberhasilan sebuah diseminasi informasi. (3).
Maksud yang baik (good will), artinya penyampaian pesan komunikasi harus di landasi
oleh maksud dan tujuan yang baik, agar persoalan yang ditransformasikan bisa diterima
sesuai dengan harapan komunikator.
Ketiga ethos itu menjadi kunci bagi seorang
komunikator untuk menjalankan perannya. Pada sisi yang berbeda Hovland & Weiss
(1951) dalam Hamidi (2007:72) juga melihat bahwa ethos dengan kredibilitas
komunikator terdiri dari “komunikator yang mempunyai keahlian dan dapat dipercaya
(axpertise and trustworthness). Kedua ethos karakteristik komunikator tersebut menjadi
sangat penting untuk menentukan keberhasilan penyampaian pesan komunikasi.
Selanjutnya Chaiken,S,(1979) dalam Hamidi (2007:74) juga memberikan katagorisasi
bahwa demensi lain dari seorang komunikator harus memiliki daya tarik komunikator
(source of attractiveness) atau kekuasaan komunikator (source of power).
Efektivitas Komunikan
Di lihat dari sudut pandang komunikan, sebuah penyampaian pesan komunikasi
yang efektif terjadi menurut Kelman (1975) dalam Hamidi (2007:74) jika komunikan
mengalami internalisasi (internalization), identivikasi diri (self identification) dan
ketundukan (compliance). Artinya penjabaran kerangka teori tersebut mengindikasikan
bahwa dalam proses penyampaian pesan (diseminasi informasi) pihak komunikan akan
mengalami internalisasi, ketika komunikan menerima pesan (diseminasi informasi) yang
sesuai dengan sistem nilai yang dianut. Sistem nilai itu bisa berupa, budaya lokal (local
cultural), adat istiadat,norma-norma sosial,agama dan lainnya. Jika terjadi kesepa haman
semacam itu komunikan akan merasa memperoleh sesuatu yang bermanfaat pada dirinya.
Pesan komunikasi yang ditransformasikan memiliki nilai rasionalitas yang dapat
diterima. Proses penyampaian pesan komunikasi (diseminasi informasi) tersebut menjadi
efektif jika ada keseimbangan atau kesepahaman antara komunikator di satu sisi dan
komunikan disisi yang lain. Keberhasilan pesan komunikasi juga sangat ditentukan
9
kredibilitas komunikatornya.Laswell (1979) menyampaikan bahwa efektivitas pesan
komunikasi tidak hanya ditentukan oleh isi pesan, tetapi siapa yang menjadi
komunikatornya.Pada sisi komunikan efektivitas penyampaian pesan komunikasi
(diseminasi informasi) dapat dikatagorikan berhasil, ketika identivikasi tersebut terjadi
pada pihak komunikan. Misalnya pihak komunikan merasa puas dengan meniru,
mengunakan pengetahuan, mengambil pemikiran komunikator (Rogers,1983). Baik
secara individu maupun atau kelembagaan organisasi sebagai penyampai pesan haruslah
mereka yang berkompeten dan memiliki keahlian di bidangnya. Dengan melihat beberapa
kerangka konsep tersebut didapatkan pemahaman jika mengharapkan efektivitas dalam
penyampaian suatu informasi tertentu, haruslah ada titik keseimbangan antara
komunikator dan komunikan dalam konteks “transformasi informasi tertentu” yang di
selaraskan dengan kebutuhan komunikan.
Efektivitas Pesan komunikasi
Sebuah penyampaian pesan komunikasi (diseminasi informasi) dapat di
katagorikan efektif jika, (1).pesan yang disampaikan dapat dipahami oleh komunikan,
(2).komunikan bersikap atau berperilaku seperti apa yang dikehendaki oleh komu nikator,
dan (3).adanya kesesuaian antar komponen Wilbur Shramm,1973) dalam Hamidi
(2007:72). Selanjutnya efektivitas penyampaian pesan komunikasi ini berasumsi bahwa,:
“jika komunikasi diharapkan efektif maka pesan didalamnya perlu dikemas yang lebih
menarik sesuai dengan kebutuhan komunikan”. Dalam pandangan ini materi pesan
komunikasi (diseminasi informasi) merupakan hal yang baru atau bersifat sangat spesifik.
Informasi yang berbantuk simbol-simbol atau bahasa yang digunakan harus mudah
dipahami komunikan. Misalnya, jika komunikator menganjurkan suatu program dalam
bentuk kebijakan tertentu, informasi itu harus dikemas sedemikian rupa sehingga mudah
dipahami, mudah didapat, mudah diterapkan dengan sistem yang sangat sederhana.
Sistem pelaksanaan program penyampaian pesan komunikasi (diseminasi informasi) yang
dimaksud tidak sampai bertolak belakang atau bertentangan dengan kearifan lokal
masyarakat.
Dalam konteks penelitian ini yang akan diukur adalah, efektivitas
diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana, yang
dikaitkan dengan implementasinya.
10
Pada hakekatnya setiap ragam bencana alam mempunyai karakteristik yang
berbeda-beda satu sama lainnya. Misalnya bencana alam, berupa
gempa tektonik,
volkanik, tsunami, tanah longsor, banjir bandang, angin puyuh, kebakaran hutan dan
berbagai jenis bencana alam lainnya. Masing jenis bencana alam tersebut memiliki
karakteristik budaya komunikasi yang beragam. Perbedaan karakteristik dan budaya
komunikasi seperti itu akan berimplikasi pada kebutuhan ”isi pesan komunikasi” yang di
diseminasikan kepada masyarakat di daerah rawan bencana. Misalnya masyarakat pantai
akan lebih paham dan pamilier dengan ”informasi pengurangan resiko bencana”
gelombang laut. Masyarakat di sekitar lereng gunung berapi akan lebih paham dengan
”informasi pengurangan resiko bencana” tanda tanda gunung berapi. Masyarakat yang
tinggal di sepanjang tepian sungai mereka lebih paham dengan ”informasi pengurangan
resiko bencana” yang terkait dengan penanggulangan banjir. Masyarakat yang tinggal di
sekitar kawasan hutan lebih paham dengan ”informasi pengurangan resiko bencana”
kebakaran hutan, dan lainnya. Perbedaan karakteristik jenis bencana alam itu baik secara
langsung maupun tidak langsung dipengaruhi nilai sosial dan budaya lokal (local
cultural) di-masing masing daerah. Perbedaan budaya lokal berpengaruh pada pola
komunikasi masyarakat di-masing masing daerah rawan bencana. Jika merujuk pada
kerangka konsep Wilbur Shramm dalam bukunya ”Men Message and Media” Haper and
Raw : New York,(1973) seperti dikutip Hamidi (2007:73), maka yang di ukur efektivi
tasnya dalam penelitian ini adalah penyampaian pesan komunikasi pengurangan resiko
bencana secara universal. Artinya program ”diseminasi informasi pengurangan resiko
bencana di daerah rawan bencana” itu diasumsikan bisa diterima semua masyarakat di
daerah rawan bencana. Tanpa membedakan jenis bencana, karakteristik budaya dan polapola komunikasi di masing-masing daerah rawan bencana. Berangkat dari kerangka
konsep seperti itu empat variabel yang digunakan untuk menganalisis penelitian ini, :
pesan komunikasi yang menimbulkan kebutuhan, daya tarik pesan komunikasi, simbol
simbol pesan komunikasi yang dipahami, dan cara memperoleh pesan komunikasi
(Shramm,1973).
Metode Penelitian
Data penelitian survey ini di kumpulkan melalui 3 (tiga ) cara (trianggulasi)
yakni, data primer di kumpulkan melalui observasi, wawancara mendalam/FGD dan
11
penyebaran kuesioner. Metode trianggulasi dipilih karena masalah yang diteliti bersifat
komplek, serta mengandung katagori khusus baik dilihat dari data kuantitatif dan
kualitatif hasil pendalamanya (Patton,2002:555). Data sekunder di kumpulkan melalui
studi pustaka, dokumen, kliping surat kabar/majalah, internet dan lainnya yang sesuai
dengan kebutuhan penelitian. Pengumpulan data dengan observasi adalah untuk
memotret seting sosial masyarakat di-lokasi penelitian. Sedangkan Fucus Group
Discussion (FGD) dan wawancara mendalam untuk menggali permasalahan dan
mendalami materi penelitian yang tidak bisa dijaring secara kuantitatif. Kesioner untuk
menjaring data kuantitatif berupa pendapat, aspirasi dan sikap responden terhadap obyek
penelitian. Hasil pengumpulan data observasi di lokasi penelitian berupa laporan diskripsi
kuantitatif atau kualitatif tentang (kondisi,struktur, potensi, budaya lokal, dan pola
komunikasi yang terkait dengan tujuan penelitian) sebelum dan sesudah dilakukan
diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana. Hasil
wawancara mendalam dan Focus Group Discussion (FGD) berupa laporan diskripsif
kualitatif tentang (pendapat, pengalaman, pengetahuan, penerapan pola komunikasi,
kritik, usulan, harapan dan lainnya) dari tokoh formal dan atau non formal yang
berpengaruh di lokasi penelitian.Tokoh formal yang berpengaruh bisa pejabat pemerintah
setempat (di- Kelurahan). Sedangkan tokoh informal adalah pembentuk opini (opinion
leader), bisa tokoh masyarakat setempat yang paling berpengaruh (di, Kelurahan). Hasil
pengumpulan data melalui penyebaran kuesioner berupa,”isian lengkap” dari daftar
pertanyaan terstruktur yang di-edarkan (di wawancarakan) kepada responden terpilih dilokasi penelitian. Sedangkan data studi pustaka berupa telaah terhadap buku-buku
literatur, dokumen, artikel, kliping, brossing internet, dan tulisan lain yang bisa
dikatagorikan sebagai data pendukung terkait dengan tujuan yang ingin di capai dalam
penelitian. Lokasi penelitian adalah Kelurahan Bukit Duri Jakarta Selatan.
Gambaran Umum Kebijakan,Bencana Banjir,
dan Lokasi Penelitian
Dilihat dari sudut pandang meningkatnya bencana alam yang terjadi di Indonesia
dalam lima tahun terakhir ini, pemerintah (negara) dirasa perlu melakukan tindakan atau
kebijakan pengurangan resiko bemcana. Anderson (1984:5) melihat kebijakan negara
yang harus dilakukan adalah,”apa yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak
12
dilakukan”. Karena kebijakan negara tersebut merupakan tindakan politis mengenai
kehendak, tujuan, sasaran serta alasan bagi perlunya pencapaian tujuan. Misalnya dalam
hal bencana alam berupa gempa bumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah(2006), Pemerintah
telah mengeluarkan kebijakan, Kepres No: 09/2006/tentang Tim Koordinasi Rehabilitasi
dan Rekonstruksi Wilayah Pascabencana Gempa Bumi di DIY, dan Jateng. Pada
dasarnya tujuan dan kehendak pemerintah untuk melakukan kebijakan tersebut adalah
untuk mengantisipasi, menangani korban dan membangun kembali kondisi wilayah pasca
bencana di kedua Provinsi tersebut. Kondisi seperti itulah yang di-istilahkan oleh
Anderson(1984: 5) sebagai ”langkah yang dipilih pemerintah untuk menangani kondisi
pasca bencana. Sedangkan Bromley (1989) dalam Sri Mulatsih (2007:59)4 menyatakan
bahwa kebijakan itu bagaikan suatu herarki yang terdiri atas tiga tingkatan atau level.
Level tersebut adalah, (1).policy level, (2).organizational level, (3).operational level.
Hasil kajian Sri Mulatsih, untuk penyusunan kebijakan menurut herarki pada policy level
diwakili oleh lembaga eksekutif. Maka dari itu pada tataran eksekutif dikeluarkan
kebijakan berupa Kepres No:09/2006/tentang, Tim Koordinasi Rehabilitasi dan
Rekonstruksi Wilayah Pascabencana dikedua Provinsi DIY dan Jateng tahun 2006.
Kebijakan serupa baik yang bersifat formal maupun non formal, baik dalam wilayah yang
pernah mengalami bancana maupun daerah rawan bencana perlu disosialisasikan dan
mendapat perhatian secara khusus sebelum bencana yang lebih bsar lagi datang.
Kewaspadaan masyarakat terhadap kemungkinan terjadinya bancana alam perlu
ditumbuh kembangkan.Tindakan pencegahan akan lebih baik daripada menjadi korban
ketika bencana itu telah terjadi. Pada umumnya pemerintah dan masyarakat akan bereaksi
ketika bencana itu sudah terjadi. Baru sebagian kecil bagaimana memiliki pengetahuan
tentang sistem penyelamatan diri ketika bencana terjadi. Dari berbagai observasi yang
penulis lakukan di daerah rawan bencana tersebut, masih relatif kecil masyarakat yang
mau belajar tentang sistem penyalamatan diri dari bencana. Sebagian besar mereka masih
menggantungkan pada petugas, atau pemerintah jika seandainya terjadi bencana alam
apapun bentuknya.
4
Artikel Sri Mulatsih,Peneliti LIPI, dengan judul : Kajian Kebijakan Pemerintah Pasca Bencana Gempa Bumi
di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, pada Masyarakat Indonesia,Majalah Ilmu Ilmu Sosial Indonesia,
Jilid 33,Vol2 2007 , Penerbit Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, halaman 56
13
Tentu kondisi tersebut sangat memprihatin kan, karena sebagian besar masyarakat
Indonesia tinggal dikawasan rawan bencana alam. Dalam kurun waktu kurang lebih 10
tahun Indonesia dilanda berbagai bentuk bencana alam. Bencana alam itu sendiri
akhirnya menjadi bencana sosial yang berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat,
khususnya bagi mereka yang tinggal didaerah rawan bencana. Bencana alam dalam kurun
10 tahun terakhir di Indonesia tersebut, ”diawali bencana badai El-Nino tahun 1997,
banjir bandang diberbagai daerah tahun 2001, banjir ditengah kekeringan (La-Nina)
tahun 2002 -2003, tsunami Aceh tahun 2004, gempa Nias, tahun 2005, gempa Jogyakarta
tahun 2006, gempa bengkulu tahun 2007, gempa Sumatra Barat tahun 2007, gempa NTB
tahun 2007, banjir Jakarta tahun 2007”5 Berbagai peristiwa bencana alam tersebut telah
menelan korban yang tidak sedikit. Korban terbanyak diantaranya masyarakat kurang
mampu yang tinggal dikawasan rawan bencana. Bencana alam yang tidak mengenal
waktu dan tidak bisa diprediksi oleh ilmuwan itu lebih disebabkan akibat pemanasan
global. Pertemuan Internasional di Bali,3 Desember 2007 dengan tajuk,: The
International Panel on Climate Change (IPCC) memberikan rekomendasi bahwa ”kaum
buruh tani, masyarakat adat sekitar hutan dan penduduk dipesisir pantai merupakan
golongan yang paling rentan atas dampak perubahan iklim tersebut”6 Antara bencana
alam dan bencana sosial keduanya memperlihatkan baik secara langsung maupun tidak
langsung saling kait mengkait. Misalkan eksploitasi alam yang dilakukan manusia secara
berlebihan tanpa kendali akan berdampak terhadap terjadinya banjir bandang dan tanah
longsor diberbagai daerah rawan bencana. Pada sisi yang lain, peristiwa bencana alam
disamping berdampak negatif terhadap kehidupan manusia dan lingkungan, juga
berdampak positif untuk kelangsungan hidup masyarakat tempat terjadinya bencana
alam. Letusan gunung berapi selain berdampak, mematikan manusia, hewan, tanaman,
5
Lihat artikel Erniati.B.Djohan,Peneliti LIPI, dalam pengantar Mengapa Kajian Bencana,Bentuk bencana
alam ini bermacam macam,gelombang air pasang,gempa bumi, gunung meletus, badai,
kekeringan,kebakaran hutan,kebocoran sumber daya alam seperti gas bumi, dimuat dalam Masyarakat
Indonesia, Majalah Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia,Penerbit LIPI Jilid 33,Vol.2 tahun 2007 halaman 1
6
Laporan selanjutnya lebih lengkap dapat dibaca di Harian Kompas Edisi penerbitan tanggal 03 Desember
2007.Bencana alam tersebut telah memicu bencana social dengan tumbuhnya angka kemiskinan dan
pengangguran yang tidak terkendali, karena kasus PHK di berbagai perusahaan besar menengah dan
kecil.Dengan alasan mengalami kerugian dan kebangkrutan PHK masal terjadi dimana mana.
14
menimbulkan banjir lava, juga bermanfaat bagi kesuburan tanah, sumberdaya energi dan
air panas (belerang) yang digunakan untuk pengobatan, dan pembentukan air hujan
disekitarnya (Soemarwoto,1989:69). Peristiwa terjadinya bencana alam tersebut
seringkali dianggap sebagai kesalahan dan tanggung jawab pihak pemerintah, baik
ditingkat pusat maupun lokal. Pandangan itu tentu tidak salah, karena Negara mempunyai
tanggung jawab untuk melindungi dan memberikan layanan umum kepada semua warga
masyarakat.7 Persoalan mendasar seperti yang dievaluasi dalam penelitian ini, adalah
capaian diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana.
Diseminasi informasi tentang pengurangan resiko bencana itu dikatakan berhasil jika
mampu mengubah sikap dan perilaku (pola pikir) masyarakat untuk sadar akan resiko
bencana alam. Sadar akan bencana dapat dimaknai mereka memiliki pengetahuan tentang
pengurangan
resiko bencana jika terjadi bencana. Yang kemudian pengetahuan itu
mereka implementasikan bersama warga masyarakat lain untuk mengurangi resiko
bencana di daerah rawan bencana banjir.
Mengenal Bencana Banjir
Ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan bagian yang amat penting
untuk penanggulangan banjir. Karena ia mempunyai fungsi perlindungan terhadap DAS
untuk menahan melubernya air sungai itu sendiri. Aktivitas DAS yang menyebabkan
perubahan tata ruang misalnya perubahan tata lahan, didaerah hulu yang
akan
berdampak pada daerah hilir. Jika terjadi ketidak seimbangan akan terjadi erosi besar
besaran yang menyebabkan bencana banjir (Suripin,2004: 183). Meluapnya air sungai
yang menyebabkan banjir, biasanya di awali dengan hujan deras yang menyebabkan erosi
tanah di kawasan pegunungan yang terbawa sampai melebihi kapasitas sehingga
menyebabkan banjir bandang yang menerjang kawasan pemukiman penduduk. Di
kawasan perkotaan biasanya banjir disebabkan pemeliharaan lingkungan yang kurang
baik. Bencana banjir juga bisa di akibatnya oleh naiknya air laut pasang, sehingga
7
Lihat dan perhatikan bunyi ayat (3) pasal 34, Undang Undang Dasar Negara 1945, dimana : Negara
bertanggung jawab atas penyadiaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang
layak.Dengan demikian maka korban bencana alam, dan pencegahan dini berupa pemberian penyuluhan
terhadap pengurangan resiko bencana bagi masyarakat di daerah rawan bencana menjadi tanggung
jawab pihak Negara dalam hal ini pemerintah baik di pusat maupun pemerintah lokal.
15
kawasan pemukiman di pesisir pantai menjadi tergenang. Air laut bisa naik kedaratan
akibat perubahan suhu udara, atau pemanasan global yang menjadi issue lingkungan
dewasa ini. Baik air bah maupun bencana tanah longsor dan banjir bandang semuanya
telah banyak membawa korban manusia. Banyaknya korban itu salah satu diantaranya
pengetahuan masyarakat untuk menghindari bahaya banjir sejak dini dianggap sangat
minim. Misalnya warga masyarakat Jakarta yang tinggal di Kampung Melayu, Bukit
Duri, tepian sungai Ciliwung setiap musim hujan masyarakat selalu dihadapkan pada
masalah banjir rutin. Pada musim penghujan masalah banjir sudah mereka anggap
sebagai kegiatan yang bersifat rutin.Bahaya banjir bukan lagi mereka anggap sebagai
suatu hal yang paling menakutkan. Jauh hari sebelum bencana banjir datang mereka telah
mempersiapkan diri. Misalnya membangun rumah panggung berlantai dua, atau
menaikkan stop kontak aliran listrik agar tidak tergenang air, menyiapkan rakit, tali
tambang dan sejenisnya (Ahimsa,1985). Kondisi yang hapir sama juga di alami oleh
warga masyarakat yang tinggal di sepanjang aliran sungai Bengawan Solo. Mulai dari
Solo, Karanganyar, Sragen, Ngawi,Bloro bagian Cepu,Bojonegoro,Tuban,Lamongan
Jawa Timur. Dalam banjir tahun 2008 yang lalu daerah tersebut termasuk yang
terparah.Menurut Elfarid pengelola Balai Sumber Daya Air dan Jasa Tirta banjir sungai
Bangawan Solo, banjir besar yang terjadi akhir tahun 2007 merupakan siklus tahunan8.
Bukan hanya itu tetapi masih banyak sungai di pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi
kondisinya tidak jauh berbeda. Fenomena ini memberikan gambaran jika manajemen
daerah aliran sungai (DAS) di Indonesia kurang baikpengelolaanya. Kondisi seperti itu
mengakibatkan bencana banjir setiap musim penghujan tidak dapat di hindari.
Penanggulangan banjir diperlukan kebijakan secara terpadu dan lintas sektoral,dengan
dukungan dana yang cukup memadai Itupun dirasakan belum cukup, peran masyarakat
dalam ikut memelihara kebersian lingkungan (dalam arti luas) yang dianggap paling
berpengaruh.Dari berbagai kajian penelitian ”bencana banjir bandang”cenderung di
8
Elfarid : Siklus banjir besar di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Bengawan Solo dapat di runut
kebelakang berdasarkan data curah hujan yang ada.Misalnya banjir besar seperti tahun 2007 juga terjadi
pada tahun 1965.Siklus banjir 40 tahunan itu dapat di prediksi berdasarkan data klimatologi yang
ada.Banjir itu juga disebabkan pengelolaan lingkungan yang kurang baik.Banyak lahan di tepian Bangawan
Solo yang sudah beralih fungsi.Pada hal dalam pendekatan DAS antara daerah hulu, tengah dan hilir
merupakan kesatuan ekologi.Sumber :http://elfarid.multiply.com/journal/item/404, diakses 28/05/2009.
16
sebabkan ulah manusia.Hal itu mengakibatkan timbulnya ketidak seimbangan konservasi
lingkungan.Meski banjir di katagorikan sebagai bencana musiman secara rutin, tetapi
tidak sedikit korban karena ketidak siapan mereka.Bahkan bisa jadi mereka tidak
memiliki pengetahuan tentang tata cara pengurangan resiko bencana banjir tersebut.
Misalnya sebelum banjir masyarakat di sarankan : (1). Sejak dini masyarakat di kawasan
rawan bencana banjir idealnya di bekali pengetahuan atau tindakan pencegahan. (2).
Menaikkan panel panel listrik lebih tinggi dari jangkauan air di setiap rumah yang
menjadi langganan banjir. (3). Mengaktifkan gerakan pembuatan sumur sumur resapan di
kawasan yang bersangkutan. (4). Membentuk forum masyarakat peduli banjir. (5).
Membangun sistem peringatan dini bahaya banjir, baik secara tradisional, atau modern.
Beberapa pengetahuan
semacam itu mereka anggap penting, karena untuk bekal
persiapan bagi mereka secara darurat. Meski banjir luapan sungai oleh sementara pihak di
anggap berbahaya, bagi mereka yang berdomisili di daerah tepian sungai atau waduk
menganggapnya sebagai kejadian biasa. Banjir tampaknya sudah akrap dengan kehidupan
mereka,sehari hari. Banjir oleh mereka tidak perlu disikapi secara berlebihan (BPPI
Jog,2008).Dari hasil observasi menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat yang
berdomisili di tepian bantaran sungai yang rawan banjir sudah mempersiapkan diri jika
sewaktu waktu terjadi banjir. Misalnya masyarakat tepian Bengawan Solo,sudah
memahami betul apa resiko yang mungkin terjadi terhadap musibah banjir bandang di
wilayahnya.Tidak semua resiko itu mereka pandang sebagai bencana yang menakutkan
atau membahayakan.Sebagian mereka mendapatkan hikmah dari bencana banjir
semacam itu.Mereka yang berprofesi mencari barang-barang bekas ketika banjir bandang
mengaku justru mendapatkan rezeki. Mereka bisa mendapatkan kayu,kaleng,bermacam
macam plastik dan sejenisnya. Barang-barang itu menjadi mata pencaharian mereka
sehari hari. Maka terjadi paradok dalam melihat banjir dalam perspektif masyarakat di
tepian sungai Bengawan Solo, dengan perspektif Pemerintah baik di pusat maupun di
daerah. Pihak pemerintah selalu melihat bahwa ”banjir bandang pada masyarakat di
tepian sungai merupakan bahaya, yang bisa menimbulkan musibah besar. Maka mereka
perlu mendapatkan perlindungan,pertolongan dan sekaligus bantuan dan jika perlu di
evakuasi untuk di pindahkan ke pemukiman baru.
17
Hal semacam itu menurut mereka memang sudah menjadi kuwajiban pemerintah
daerah terhadap warga masyarakatnya yang kena misibah, mereka tidak akan
menolaknya.Tetapi untuk mengalihkan budaya lokal yang sudah menjiwai masyarakat
yang tinggal di tepian sungai tidak semudah, memindahkan bangunan fisik. Bangunan
sosial budaya terkait dengan lingkungan sosial yang sudah mereka jadikan pola dasar
kehidupan bertahun tahun selama ini. Ada keterikatan hubungan sosial,budaya dan
ekonomi yang tidak mudah mereka tinggalkan.Hubungan itu telah mengakar di
komunitas masyarakat yang tinggal di bantaran sungai.Kekerabatan yang mereka bangun
masih menjadi pengikat jika mereka harus di relokasi ke tempat yang lebih aman.Bagi
mereka
pemisahan
kekerabatan
adalah
bencana
sosial
yang
tidak
pernah
terbayangkan.Jika mereka harus terpisah dengan kekerabatan sosial dan budaya di tempat
baru (relokasi) bangunan sosial itu akan mereka mulai dari awal lagi.Meeka melihat
bukan dari sisi pandang hukum sebagaimana peraturan formal pemerintah.Dengan
membayar iuran warga,listrik,jasa keamanan menurut persepsi mereka sudah syah
bertempat tinggal di bantaran sungai tersebut.Tanpa melihat siapa yang salah dalam
kontek tersebut,permasalahan ”penghunian ilegal dibantaran sungai”telah menjadi
fenomena sosial di Indonesia yang masih belum mendapatkan solusi.Karena pendekatan
yang umumnya dilakukan adalah penggusuaran yang bernuansa kekerasan, bukan
pendekatan sosial budaya,sesuai dengan kultur mereka dimasing masing daerah.
Topografi Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Kelurahan Bukit Duri, Kecmatan Bukit Duri Wilayah
Jakarta Selatan. Kelurahan Bukit Duri dipilih sebagai lokasi penelitian karena daerah
tersebut dianggap masuk katagori rawan bencana banjir. Pada setiap tahun secara rutin di
kawasan bantaran sungai Ciliwung tersebut mengalami banjir. Penyebab banjir ada
berbagai faktor,diantaranya terjadinya pendangkalan sungai Ciliwung di bagian hilir,
tejadinya
penyempitan
badan
sungai
karena
digunakan
untuk
pemukiman
penduduk,terjadinya banjir bandang dari hulu karena terjadi penggundulan hutan. Banjir
di kota Jakarta dan sekitarnya menjadi persoalan yang sangat kompleks,bukan saja karena
luapan air sungai Ciliwung, tetapi menyangkut masalah sosial, budaya dan lingkungan
18
warga Jakarta sendiri. Penanggulangan banjir Jakarta tidak sekedar bisa diselesaikan
dengan melakukan pengerukan atas badan sungai Ciliwung yang mengalami pendang
kalan dan penyempitan di bagian hilir. Persoalan sosial yang menyang kut kepen
dudukan dan lingkungan hidup jauh lebih penting.Persoalan sosial dan lingkungan di kota
metropolis seperti Jakarta seakan menjadi bom waktu. Pembangunan kota yang kurang
mengindahkan tata ruang dan analisis dampak lingkungan menjadi persoalan yang sangat
fenomenal.Belum lagi sikap masyarakat kota yang cenderung individual, tidak
berorientasi pada kehidupan lingkungan, cepat atau lambat akan menjadi persoalan besar
bagi penanggu langan banjir di Jakarta.Lemahnya manajemen kepandudukan dan
penataan ruang menjadikan „para pendatang“bermukim dibantaran sungai yang
seharusnya di kosongkan. Dengan alasan mencari pekerjaan dan di kota akhirnya mereka
menjadi penduduk liar di kawasan bantaran sungai Ciliwung, termasuk sebagian di
Kelurahan Bukit Duri. Mereka tinggal di daerah tersebut sudah bertahun tahun.
Sedangkan relokasi penduduk di bantaran sungai Ciliwung ini tidak mudah. Akhirnya
mau tidak mau mereka harus menerima kenyataan setiap tahun berhadapan dengan
bencana banjir. Meski mereka tidak menganggap banjir sebagai bencana, pemerintah
mengkatagorikan wilayah tersebut sebagai daerah rawan bencana, sehingga mereka perlu
informasi tentang kebencanaan.
Di kawasan tersebut banjir tidak identik dengan kesusahan. Banjir yang datang
secara rutin setiap tahun itu telah menimbulkan sikap adaptif bagi warga. Sambil
menunggu janji janji perbaikan yang tidak kunjung tiba dari pemerintah kota, mereka
lebih memilih berdamai dengan kondisi yang ada seperti sekarang ini. Di Kelurahan
Bukit Duri ini peristiwa banjir bukan hal yang istiwewa. Banjir di willayah itu sudah
menjadi rutinitas sehingga mereka telah mempersiapkan jauh sebelum banjir datang.
Kebiasaan ini sudah mereka terapkan bertahun tahun di daerah tersebut9. Dalam
penanganan dan pengurangan resiko bencana banjir BMKG Pusat telah mempunyai
9
Setiap tahun pada musim hujan dan puncaknya pada Bulan Pebruari, masyarakat di Kelurahan Bukit Duri
siap mengamankan harta bendanya. Warga tidak siap ketika ada banjir tetapi juga telah mempersiapkan
rumahnya menjadi bertingkat hingga 4 lantai.Pada lantai dasar banyak ruang yang di kosongkan, misalnya
alat alat elektonik ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi sekitar satu meterdari lantai. Lantai dua
keatas dipergunakan untuk tempat tidur, gudang dan penyimpanan barang barang.Baca Expedisi Ciliwung
Laporan Jurnalistik Kompas di halaman 14.
19
program informasi melalui beberapa media (SMS, Fax, E-mail, Radio, Maupun Media
Cetak). Disamping itu BMKG Juga bekerjasama dengan Institusi Interface seperti Polisi,
dan Pemerintah kota. Misalnya, Masalah Tropikal siklon, Klimatologi sudah mempunyai
warning dan beberapa kajian melalui media-media tersebut. Misalnya dari pengalaman
terjadinya gempa, bahwa BMKG telah membuat suatu kebijakan evakuasi untuk
mengurangi resiko bencana gempa bumi dan tusnami.
Namun bagi masyarakat pesisir BMKG mempunyai kendala dengan bahasa (pada
umumnya belum bisa berbahasa Indonesia). untuk mengatasi hal tersebut BMKG
bekerjasama dengan pemerintah daerah dan GTZ (LSM dari Jerman) membuat KOMIK
dalam bahasa Jawa. Ini merupakan salah satu media informasi yang digunakan BMKG
saat ini. Mereka juga melakukan kerjasama dengan radio-radio untuk menjangkau
daerah-daerah pesisir. Mereka juga membangun
komunitas-komunitas nelayan
bekerjasama dengan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang peduli dengan Iklim.
Kemudian BMKG juga sudah memasang Early Warning System di lokasi bencana.
Dalam hal ini BMKG dituntut berperan (Sumber : BMKG,dalam FGD di
Jakarta,26/7/2009).
Bagi masyarakat yang sudah berpengetahuan akan lebih mudah untuk diajak
kerjasama dalam menanggulangi resiko bencana banjir. Misalnya di Kelurahan Bukit
Duri sudah dilakukan simulasi. Di wilayah tersebut peran masyarakat cukup aktif karena
didukung dengan pengetahuan yang ada, bahkan early warning system sudah berjalan.
Jika BMKG mengirimkan Informasi tentang adanya “hujan lebat dengan kecepatan angin
sekian” ke dinas PU, biasanya PU langsung ke crisis centre yang ada di Balai Kota
Jakarta Selatan, dan langsung berkomunikasi dengan Posko di daerah Katu Lampa
Bogor. Ketika luberan air sungai mulai meluap, dan menggenangi pemukiman panduduk,
biasanya masyarakat saling mencari informasi dan sambil membunyikan Sirine.
Mereka juga menggunakan sistem peringatan dini dengan paralon yang diberi
warna, sehingga mereka yang tidak berpendidikan (orang awam) dapat mengetahuinya.
Meski tempatnya di kawasan kota metropolis seperti Jakarta Selatan penggunaan alat
komunikasi tradisional juga masih dianggap penting. Misalnya membunyikan
“kentongan”,atau memukul tiang listrik ketika ketinggian air di permukiman mencapai
20
tanda warna biru. Ini pertanda bahwa penduduk sekitar lokasi itu harus sudah bersiapsiap (mengepak barang-barang). Dalam kondisi tersebut biasanya posko pengungsian
sudah disiapkan, termasuk dapur umum dan perangkat kesehatan. Bagi masyarakat yang
pengetahuannya masih relatif
rendah biasanya
mereka memilih bertahan di-rumah
masing masing. Mereka berkecukupan sudah menyiapkan rumah susun, jika sewaktuwaktu datang banjir mereka tinggal pindah ke lantai dua atau tiga yang mereka anggap
lebih aman. Mengatasi mereka dengan melakukan relokasi juga tidak mudah. Karena
mereka di lokasi tersebut lebih mudah mendapatkan penghasilan. Contohnya masyarakat
yang tinggal dibelakang “Rumah Sakit Hermina”. Mereka tetap bertahan di daerah
tersebut karena adanya ketergantungan dengan faktor ekonomi (mata pencaharian se-hari
hari). Kendala lain yang menjadi masalah adalah“faktor bantuan”. Ketika terjadi banjir
mereka mendapat bantuan dan persoalan inilah yang menjadi ketergantungan mereka
sehingga sulit di ungsikan meski rumahnya terendam air. Masyarakat yang terkena
bencana banjir selalu mendapat bantuan makanan. Persoalan ini sudah membudaya di
daerah bantaran sungai Ciliwung tersebut.
Dalam masalah banjir Basarnas hanya memantau, memonitor akan tetapi
menangani secara aktif masalah musibahnya. Lain halnya dengan bencana transportasi
Basarnas sangat aktif. Untuk mengurangi Resiko bencana di wilayah udara, darat dan laut
mereka telah memasang LRT (Local Research Terminal) yaitu untuk memantau
pergerakan kapal. Informasi yang disampaikan untuk pencegahan penanganan resiko
bencana ini sudah berjalan. Hanya saja kendalanya adalah tempat-tempat yang tidak
dapat dijangkau misalnya seperti kapal yang tenggelam maka harus bekerja sama dengan
TNI/Polri.Dalam penyampaian Informasi lebih sering menyampaikan dengan trial.
Misalnya melakukan pembinaan langsung ke masyarakat, baik tingkat mahasiswa,
instansi dll. (Sumber: Basarnas,dalam FGD di Jakarta,27/8).
.
Masyarakat Indonesia itu dapat dikatakan sebagai Natural Survive di daerahdaerah rawan bencana. Misalnya;di Yogjakarta kehidupan sehari-harinya masyarakat
setempat mengambil batu dan pasir dilokasi jalur lahar dingin Gunung Merapi. Mereka
dengan bencana sudah menyatu dalam kehidupan sehari hari. Mereka tinggal bagaimana
bisa mendapatkan informasi bencana secara cepat, karena berpacu dengan waktu. Mereka
21
memerlukan pusat informasi dan media yang bisa memberikan informasi secara cepat.
Maka media sebagai sumber informasi mengetahui cara menyampaikan Informasi yang
baik untuk mengurangi resiko bencana pada saat terjadinya bencana dan pasca terjadinya
bencana. Kalau di BNPB sudah ada mengenai hal tersebut. Di Jepang Pusat Informasi
Bencana setiap hari dikunjungi masyarakat dan para pelajar, karena cara memberikan
informasi menganai bencana dibuat suatu Games (Permainan). Misalnya ada ruangan
yang bisa goyang seperti gempa sungguhan, maka dengan kondisi tersebut apa yang
harus diperbuat.
Kemudian setelah itu para pelajar tersebut mendapat nilai. Ini
merupakan suatu Informasi yang dikemas dengan suatu games (permainan) oleh karena
itulah perlu ada penanggulangi bencana sejak dini. Maka perlu sistem penyebaran
informasi bencana dengan baik. Kalau sistem informasinya tidak baik,maka penyebaran
informasi selalu tidak tepat sasaran. Misalnya di Sumatera Barat meski sirene berbunyi
meraung-raung masyarakat tetap saja tidak bergeming atau tidak peduli untuk
menanggapinya.
Masyarakat tetap saja asik berdagang (berjualan) padahal ini merupakan salah
satu bentuk pelatihan untuk menanggulangi resiko bencana alam. Kemudian yang perlu
diperhatikan dalam melakukan Informasi kepada masyarakat bentuknya seperti apa.
Karena ini merupakan Lintas Sektoral (semuanya harus bertanggung jawab).Keterlibatan
media massa dalam penye baran Informasi untuk penanggulangan bencana sangat
penting. Misalnya informasi bencana melalui pamflet, radio,televisi itu bisa di akses
masyarakat atau tidak, dan dalam bentuk konkretnya bagaimana? Bagaimanapun juga
diseminasi Informasi bencana kepada masyarakat sangat diperlukan. Tetapi harus dianalisis terlebih dahulu. Misalnya daerah yang rawan bencana, budayanya seperti apa,
karakteristik sosialnya seperti apa, dan lainnya. Bentuknya bisa menggunakan media
tradisional seperti Ludruk (di daerah jawa timur). Untuk bencana alam kita dapat
menggunakan Early Warning System sedangkan untuk bencana non alam kita perlu
meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada,seperti dalam bentuk pelatihanpelatihan. Di PMI ada beberapa program salah satunya adalah program untuk kesadaran
masyarakat. Ada juga program yang dibantu oleh negara-negara donor seperti di Jakarta
Utara mendapat bantuan dari Palang Merah Francis yang juga merupakan program
community awareness (Penyadaran masyarakat). Mereka juga melakukan Simulasi
22
Gelombang Pasang di muara baru yang bertujuan untuk memilih jalur evakuasi apabila
terjadi gelombang pasang. Medianya adalah menggunakan Peta langsung kepada
masyarakat. Mereka membuat peta bersama dengan masyarakat karena mereka
mengetahui resiko apa yang terjadi disana. Kemudian medianya dapat pula menggunakan
kentongan, atau Toa. Di PMI ada juga program PMR yang menjelaskan mengenai
Program Siaga Bencana (PSB) mereka di didik untuk mengurangi resiko bencana di
daerahnya (sekolah). Kemudian media yang digunakan juga dapat menggunakan media
seperti poster, brosur-brosur tentang rawan bencana.Program lain berupa pelatihan
SIBBM (Siaga Bencana Berbasis Masyarakat) program ini mengum pulkan beberapa
perwakilan dari kecamatan dan kelurahan, dapat juga dari karang taruna untuk diadakan
pelatihan. Kendala yang terjadi adalah masalah bahasa penyampaian kepada mereka dan
masalah ekonomi (sumber PMI,dalam FGD di Jakarta, 27/8/2009).
Becana alam terdiri dari dua yakni bencana yang disebabkan oleh Alam maupun
bencana yang diakibatkan oleh manusia. Maka apabila bencana tersebut diakibatkan oleh
Manusia maka salah satu pencegahannya dilakukan melalui pelatihan-pelatihan.
Pemerintah Kabupaten/Kota harus membuat suatu kebijakan-kebijakan, misalnya apabila
masyarakat tidak mau dipindahkan maka pemerintah harus membuat suatu kebijakan.
Tugas RRI bagaimana menyiarkan bencana agar dapat mengurangi kerisauan masyarakat
dan tidak menimbulkan kecemasan terhadap masyarakat. Untuk menanggulangi bencana
selalu bekerjasama dengan instansi terkait. Yang dilakukan BNPB dalam menanggu langi
bencana ini semua kegiatan selalu menggunakan analisis pengurangan resiko bencana.
Jika kegiatan yang dilakukan tidak dengan analisis pengurangan resiko bencana maka
akan dikenakan suatu sanksi. Untuk kegiatan yang memberikan Informasi, BNPB
mensosialisasikan kegiatan yang terkait dengan pengurangan resiko bencana. Satu
diantaranya bekerja sama dengan pihak akademis (universitas), masyarakat, lembaga
swadaya masyarakat (LSM). Kemudian BNPB juga membuat pedoman analisis
penanggulangan bencana untuk mengurangi resiko bencana. BNPB juga membuat Gladi
Resik untuk mengurangi resiko terjadinya bencana. BNPB juga mempunyai kegiatan
yang mengarah kepada Early Warning System (EWS), dan juga mempunyai programprogram untuk itu. Yang menjadi kendala yaitu teknologinya belum terlaksana dengan
baik dikarenakan kurangnya biaya. Kendala lain yang dianggap paling krusial yaitu
23
“pembuatan peta pengurangan resiko bencana alam” sangat sulit khususnya diluar pulau
jawa. Kesulitan itu lebih dilandasi pertimbangan untung rugi bagi pelakunya. Jika mereka
melihat menguntungkan,maka ada semangat untuk melaksanakannya,begitu sebaliknya
(sumber,RRI,dalam FGD di Jakarta ,27/8/2009).
Bagi jajaran radio swasta yang tergabung dalam asosiasi (PRSSNI) adalah
memfasilitasi Informasi melalui siaran radio.Pasca terjadinya tsunami melalui siaran
radio Suara Aceh,mereka
memberikan Informasi yang benar-benar dibutuhkan
masyarakat. Mereka juga menggagas alat yang sangat murah dengan mengakses
menggunakan satelit kepada pemerintah. Alat ini dapat menyatukan seluruh potensi yang
ada baik dengan BMKG, BNPB dan institusi lain yang terkait. Alat ini dapat memberikan
Informasi kepada semua pihak. Disamping itu alat tersebut juga dapat dipergunakan
diseluruh radio, sehingga jika terjadi bencana alat ini dapat segera difungsikan.Yang
menjadi permasalahan dalam penggunaan alat tersebut,menurut mereka adalah “siapa
yang menentukan (yang mempunyai otoritas) suatu bencana harus diumumkan kepada
masyarakat”. Informasi apapun baik yang terkait dengan bencana, radio sangat
diperlukan. Maka peran pemerintah pusat maupun pemerintah daerah,sangat penting.
Karena melalui APBDnya, alat ini dapat dipasang di Rumah Sakit, Kepolisian, Terminal
atau dimana saja yang dapat menghu bungkan dengan orang banyak.Meski alat canggih
sudah ditemukan tidak lantas persoalannya dapat teratasi. Faktor lain yang bertautan
dengan permasalahan bencana alam tersebut masih banyak ragamnya (sumber:
PRSNI,dalam FGD di Jakarta, 27/8/2009).
Penyelamatan akibat bencana tetap harus menjadi preoritas utama bagi
Pemerintah Khusus Daerah Ibu Kota Jakarta. Pengurangan resiko bencana banjir harus
diletakkan pada proporsi sosial, tanpa mempertimbangkan status rumah, dan tanah yang
mereka tempati. Pengurangan resiko bencana adalah ranah kemanusiaan yang perlu
dikedepankan. Bagi masyarakat yang tinggal di bantaran sungai, meski sering
mendapatkan tekanan dari berbagai pihak untuk segera memenuhi himbauan relokasi,
tetapi pertimbangan sosial dan kemanu siaan juga lebih penting, dari sekedar
pertimbangan hukum dan ekonomi.
P E N U T U P
24
Kesimpulan
Berangkat dari penyajian data, pembahasan dan analisis seperti telah diringkas dalam
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa, program “penyampaian informasi bencana di
daerah rawan bencana sampai saat ini“masih dianggap efektif, meski terdapat
inkonsistensi dalam imlementasinya, dengan pertimbangan argumentasi sebagai berikut :
1. Program penyampaian informasi bencana banjir di-Kelurahan Bukit Duri Yakarta
Selatan ternyata masih dibutuhkan oleh komunitas masyarakat yang berdomisili
di-daerah tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa komunitas
masyarakat Kelurahan Bukit Duri setelah mengetahui ada informasi bencana,
merisponnya dengan baik, dan menganggapnya penting. Pengakuan mereka ini
dibuktikan dengan dukungan prosentase yang
penelitian ini
relatif cukup tinggi dalam
sehingga tidak diragukan signifikansinya. Maka penyampaian
informasi bencana banjir”, memenuhi kreteria sebagai sebuah informasi yang
masih di butuhkan masyarakat di Kelurahan Bukit Duri Yakarta Selatan.
2. Penyampaian informasi kebencanaan sampai saat ini masih memiliki daya tarik,
serta dijadikan pedoman pengetahuan bagi masyarakat di wilayah Kelurahan
Bukit Duri Yakarta Selatan. Dari hasil penelitian ini menunjuk kan bahwa
penyampaian informasi kebencanaan memang dipahami dan dijadikan pedoman
pengetahuan oleh masyarakat ketika menghadapi bencana alam, dengan
memperoleh prosentase
relatif cukup tinggi. Demikian pada tingkat
implementasinya, maka tingkat kesadaran masyarakat di Kelurahan Bukit Duri
terhadap bencana banjir cukup baik.
3. Simbol-simbol penyampaian informasi kebencanaan di wilayah Kelurahan Bukit
Duri dapat dipahami cukup baik oleh sebagian besar komunitas masyarakat yang
tinggal di daerah rawan bencana banjir. Mereka tidak hanya memahami symbolsimbol yang bersifat formal,tetapi juga yang bersifat non formal.Dari hasil
penelitian ini memberikan gambaran bahwa komunitas masyarakat yang tinggal
di wilayah Kelurahan Bukit Duri tidak hanya paham (berpengetahuan) tentang
bencana banjir dari para diseminator,tetapi diantara mereka juga masih
25
mengandalkan pada tradisi lokal yaitu “pembacaan tanda tanda alam”sebelum
terjadinya bencana banjir yang sudah dianggap menjadi tradisi budaya lokal.
Ketika teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sulit diakses masyarakat
karena kendala teknis, pengetahuan dan SDM, maka kearifan lokal menjadi
sangat dominan perannya di Kelurahan Bukit Duri Yakarta Selatan.
4. Untuk pencarian dan penyaluran informasi tentang masalah bencana alam bagi
komunitas masyarakat di daerah rawan bencana tampak bervariatif. Dari data
penelitian ini menunjukkan adanya penyebaran, dalam penggunaan dan penya
luran informasi melalui media yang berkaitan langsung dengan masalah
pengurangan resiko bencana. Tetapi diantara media yang dipilih responden,
televisi dianggap yang paling dominan diantara media lainnya. Selanjutnya media
interpersonal (tatap muka), dan selanjutnya media tradisional. Alasan mereka
menggunakan televisi karena televisi penyebarannya
dianggap lebih luas,
sedangkan memilih media interpersonal, dan media tradisional karena kedua
media tersebut mereka anggap lebih dekat dengan komunitas lingkungan
masyarakat di daerah rawan bencana.
Rekomendasi
Merujuk pada permasalahan,pembahasan dan kesimpulan hasil penelitian
tentang” diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana”ini
dapat direkomendasikan bebrapa hal sebagai berikut :
1. Supaya program”diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di daerah
rawan bencana” tetap dibutuhkan oleh komunitas masyarakat di daerah rawan
bencana, kemasan dan penyampaian pesan komunikasinya perlu lebih profesional.
Pesan apa, dan siapa yang menyampaikan mempunyai pengaruh yang cukup
signifikan terhadap efektif tidaknya sebuah diseminasi informasi pengurangan
resiko bencana di daerah rawan bencana. Pesan apa, artinya menyangkut
pengemasan kualitas informasi. Dan siapa yang menyampaikan artinya merujuk
pada orang/tokoh yang memiliki kredibilitas tertentu. Bagi daerah rawan bencana
26
yang jauh dari akses media peran tokoh informal yang mempunyai kedekatan
dengan komunitas masyarakat setempat menjadi kunci utama efektif tidaknya
sebuah diseminasi informasi.
2. Agar program diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di daerah rawan
bencana,tetap mempunyai daya tarik,menjadi pedoman dan diterapkan bagi
komunitas masyarakat di daerah rawan bencana,materi pokok program diseminasi
perlu dievaluasi secara berkala. Hal ini untuk menjaga kualitas, kontinyunitas, dan
signifikasinya. Terjadinya inkonsistensi pada tataran implementasi
justru
memberikan infomasi untuk dilakukan penelitian yang secara kusus berfokus
pada ”rendahnya tingkat kesadaran masyarakat di daerah rawan bencana pada
program program diseminasi pengurangan resiko bencana.
3. Penyampaian pesan komunikasi, tentang pengurangan resiko bencana untuk
memberikan pemahaman bagi komunitas masyarakat di daerah rawan bencana,
tidak cukup hanya secara legal formal.Tetapi perlu memberdayakan kearifan lokal
yang mempunyai pengaruh dan kedekatan dengan warga masyarakat yang tinggal
di kawasan rawan bencana. Pemahaman itu harus dimulai dari penyadaran
perspektif bahwa, bencana yang diakibatkan keganasan alam maupun bencana
akibat ulah manusia sama sama menjadi ancaman disekitar kita. Maka harus
dikelola dan diminimalisasi dampak buruknya sehingga masyarakat akan lebih
familier dengan bencana alam yang mungkin akan terjadi disekitarnya.
4. Penggunaan media untuk sarana memperoleh dan penyampaian pesan,tentang
permasalahan bencana alam bagi masyarakat yang tinggal di daerah rawan
bencana cenderung bervariasi. Maka dari itu media yang mempunyai kedekatan
dengan komunitas masyarakat menjadi sangat penting untuk di jadikan preoritas
pilihan. Media tersebut bisa media tradisional,interpersonal, atau media massa
pada umumnya. Namun dibalik itu agar media tidak sekedar menyampaikan
informasi jurnalisme peristiwa/bencana yang sedang terjadi saja. Tetapi media
juga perlu membuat penyajian yang bersifat edukatif untuk menumbuhkembangkan kesadaran masyarakat terhadap pengurangan resiko bencana alam
yang mungkin terjadi sewaktu-waktu di wilayahnya.
27
Daftar Pustaka
Abott,Ernest B.2003.Draft Checklist for State and Local Government Attorney Prepare
for Possible Disaster,American Bar Assosiation-State and Local
Government Law Section
Anderson,James.E.1984,Public Policy Making,Third edition.CBS College Publishing.
Cobb,Roger W.& D.M.Primo,2003.The Plane Truth : Airline Crashes,the Media and
Transportation Policy.Washington DC:Federal Research Division,
Library of Congress.
Cohl,H.Aaron.1997.Are We Scaring Ourselves to Death?: How Pessismism Paranoia
and a Misguided Media are Leading Us Toward Disaster New York:
St,Martin’s Griffin.
Everett M.Rogers & DL.Kincaid,1983.Communication Network:Toward a New
Paradigm
for research.London : Coller Macmillan Publishers.
Everett M.Rogers,1983, Diffusion of Innovation,Third Edition.The Free Press,A.Division
of Macmillan Publishing.Co.Inc New York,Coller Macmillan Publishers
,London.
Ekspedisi Ciliwung,2009. Laporan Jurnalistik Kompas,Mata Air dan Air Mata, Penerbit
Kompas Jakarta
Fiske,John,2006.Cultural and Communication Studies, Sebuah Pengantar Paling
Konprehensif, Penerbit, Jalasutra, Yogyakarta
Firdaus Haris,2008.Mesteri-Misteri Terbesar Indonesia,Penerbit El-Torros, Solo.
Heyer,Paul,1995.Titanic Legacy : Disaster as Media Event and Myth.New York :
Praeger Publisher.
Hamidi,DR, 2007. Metode Penelitian dan Teori Komunikasi,Pendekatan Praktis
Penulisan Proposal dan Laporan Penelitian, Penerbit UMM Press,
Malang
Yoseph Devito.1989,Interpersonal Communication Book.New York :Harper and Raw
Publishers
Kriyantono,Rahmad,2008,Teknik Praktis Riset Komunikasi,Penerbit,Prenada Media
Group,Jakarta
Neuzil,Mark & William Kovarik,2005.Mass Media and Environmental Conflict :
America’s
Green Crusades.New York: Sage Publishing,Inc.
Onong Uchjahna Effendy,2002.Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi,Penerbut,PT.Citra
Aditya Bakti,Bandung
Park Jacqueline & Janne Aagaard Jensen,2005,Shaking our Foundantions :Media and
the Asian Tsunami (www.ifj.org/pdf/tsunamireport-final.pdf, diakses 21
September 2009.
Patton.Michael Quinn,2002.Qualitative Research & Evaluation Methods 3rd
ed.Thousand Oaks : Sage Publications
Priambodo.Arie.2009,Panduan Praktis Menghadapi Bancana,Penerbit Kanisius
Yogyakarta.
28
Ross.Gina,2003.Beyond the Trauma Vortex : The Media’s Role in Healing Fear
Terrorand Violence,Berkeley Atlantic Books London.
Roger.W.2003.National Emergency Management Association,If Disaster Strikes Today
Are You Ready to Lead? Lexington,KY: the National Emergency
Management Association.
Sri Mulatsih,dkk.2007,Kajian Kebijakan Pemerintah Pascabencana Gempa Bumi di
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta,Masyarakat Indonesia,Majalah
Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia,Jilid xxx III No: 2,Penerbit Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia,Jakarta
Soemarwoto.Otto,1989.Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan,Penerbit
Djambatan, Jakarta.
Sendjaya,Sasa Djuarsa, 1998.Pengantar Komunikasi, Materi Pokok Universitas
Terbuka, Jakarta
Suripin,Dr.Ir.M.Eng,2004.Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air,Penerbit, Andi
Yogyakarta.
Wilbur Shramm, 1973, Men Message and Media. New York : Harper and Raw Pulishers
....................... Sistem Peringatan Dini (EWS) dan Penanggulangan Bencana Alam di
Indonesia, 2008, Penerbit Puslitbang Aptel Skdi, Balitbang SDM
Depkominfo
Sumber Lain :
Peraturan Pemerintah Nomor: 50 tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran
Swasta, Depkominfo
Peraturan Menteri Kominfo Nomor :20/ 2006 tentang Peringatan Dini Tsunami atau
Bencana lain Melalui Penyiaran di Seluruh Indonesia.
Harian Pikirang Rakyat Bandung, Edisi peneribitan 19 Juli 2006
Harian Kompas Jakarta Edisi penerbitan 27 Desamber 2004
Harian Kompas Jakarta edisi 29 Desember 2004
Harian Warta Ekonomi ediai penerbitan tanggal 14 Nopember 2004
29
30
Download