SEJARAH PERKEMBANGAN AGAMA BUDDHA DI DESA GIYANTI Anwar Fuadi, Hesti Setiani, Saras Mitaningsih, Siti Isnaini dan Syukron Usmani Dosen Pengampu: Bahrun Ali Murtopo PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA (IAINU) KEBUMEN PENDAHULUAN Agama adalah salah satu jembatan hubungan kita dengan Tuhan. Dengan Agama kita dapat mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan Tuhan. Salah satu Agama yang ada di Indonesia adalah Agama Buddha. Agama ini bukan agama baru di Indonesia, karena sudah ada sejak ratusan tahun silam tepatnya pada zaman kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Pertumbuhan Agama Buddha di Indonesia dilatarbelakangi letak wilayahnya yang strategis yaitu terletak diantara dua benua dan dua samudera. Hal itu yang menyebabkan pada zaman dahulu Indonesia dijadikan sebagai jalur pelayaran yang strategis antara India ke China ataupun sebaliknya. Banyaknya pedagang China dan India melalui Indonesia menyebabkan adanya pengaruh kebudayaan baik dari India maupun dari China. Para pedagang itu juga tidak semata-mata melakukan perdagangan di wilayah Nusantara, akan tetapi mereka juga berperan dalam proses penyebaran agama pada saat itu khususnya Hindu dan Buddha. Hindu merupakan agama yang dianggap sebagai agama paling tinggi kedudukannya saat itu, karena mereka mengenal sistem kasta sehingga yang bisa mempelajarinya hanyalah kalangan tertentu saja. Sedangkan Buddha merupakan agama yang tidak mengenal kasta, sehingga dapat menyebar dengan merata tanpa memandang suatu kalangan ataupun kasta tertentu. Agama Buddha memiliki sejarah panjang di Indonesia dengan sejumlah candi di Jawa dan Sumatra, termasuk candi Muaro Jambi yang dibangun pada abad ke-7 dan candi Borobudur di dekat Yogyakarta, dibangun pada abad ke-8 dan ke-9. Militan Islamis pernah membom beberapa stupa Borobudur pada Januari 1985. Masuknya agama Buddha di Indonesia terjadi sekitar awal abad pertama atau saat dimulainya perdagangan melalui jalur laut. Kerajaan Srivijaya (Sriwijaya) merupakan asal mula peranan kehidupan Agama Buddha di Indonesia, dimulai pada zaman Srivijaya di Suvarnadvipa (Sumatera) pada abad ke-7. Hal ini terlihat pada catatan seorang sarjana dari China bernama I-Tsing yang melakukan perjalanan ke India dan Nusantara serta mencatat perkembangan agama Buddha di sana. Biarawan Buddha lainnya yang mengunjungi Indonesia adalah Atisa, Dharmapala, seorang Profesor dari Nalanda, dan Vajrabodhi, seorang penganut agama Buddha yang berasal dari India Selatan. Selain kerajaan Sriwijaya, masih banyak kerajaan-kerajaan lain yang bercorak Buddha di Indonesia, seperti kerajaan Tarumanegara, Mataram kuno, dan lain sebagainya. Semua kerajaan itu berperan dalam proses perkembangan agama Buddha di Indonesia, pengaruh India pada masa kerajaan-kerajaan itu sangat terasa. Di Jawa juga berdiri kerajaan Buddha yaitu kerajaan Syailendra, tepatnya sekarang berada di Jawa Tengah, meskipun tidak sebesar kerajaan Sriwijaya, kerajaan ini meninggalkan beberapa peninggalan penting yaitu candi-candi Buddha yang masih berdiri hingga sekarang, salah satunya adalah Candi Borobudur, warisan kebudayaan bangsa yang amat kita banggakan dan termasuk salah satu dari keajaiban dunia. Candi ini adalah cerminan kejayaan agama Buddha di zaman lampau. Selain itu ditemukan juga lempengan batu berwarna di satu puing rumah bata yang diperkirakan kamar Bhikku Buddha. Lempengan batu itu berisi 2 syair Buddhist dalam bahasa Sansekerta yang ditulis dengan huruf Pallawa. Namun pada perkembagannya kini, pengaruh India kian memudar. Justru pengaruh dari negeri Tionghoalah yang paling mendominasi agama Buddha sampai saat ini, terbukti dari bentuk bentuk patung, tempat sembahyang, maupun seluruh ornamen dalam Agama Buddha saat ini lebih didominasi unsur Tionghoa daripada India. Hal ini disebabkan oleh banyaknya orang Tionghoa beragama Buddha yang berdagang di Indonesia sejak zaman dahulu, sehingga proses perkembangan Agama Buddha lebih banyak didominasi oleh kebudayaan orang Tionghoa ketimbang dari India. Dalam perkembangannya, ada beberapa agama lain yang masuk ke Indonesia seperti Islam, Kristen, Katolik dan agama-agama yang lain. Seiring berjalannya waktu, agama Buddha menjadi salah satu agama minoritas dan Islamlah yang menjadi agama mayoritas masyarakat di Indonesia. Masuknya Islam di Indonesia berlangsung secara damai dan menyesuaikan dengan adat serta istiadat setempat. Ajaran Islam yang tidak mengenal perbedaan kasta membuat ajaran ini sangat diterima penduduk lokal. Proses masuknya Islam dilakukan melalui cara-cara berikut ini: 1 . Perdagangan Letak Indonesia yang sangat strategis di jalur perdagangan di masa itu membuat Indonesia banyak disinggahi para pedagang dunia termasuk pedagang muslim. Banyak dari mereka yang akhirnya tinggal dan membangun perkampungan muslim, tak jarang mereka juga sering mendatangkan para ulama dari negeri asal mereka untuk berdakwah. Hal inilah yang diduga memiliki peran penting dalam penyebaran ajaran Islam di nusantara. 2. Perkawinan Penduduk lokal beranggapan bahwa para pedagang muslim ini adalah kalangan yang terpandang, sehingga banyak penguasa pribumi yang menikahkan anak mereka dengan para pedagang muslim. Sebagai sayarat sang gadis harus memeluk Islam terlebih dahulu, hal inilah yang diduga memperlancar penyebaran ajaran Islam. 3. Pendidikan Setelah perkampungan Islam terbentuk, mereka mulai mendirikan fasilitas pendidikan berupa pondok pesantren yang dipimpin langsung oleh guru agama dan para ulama. Para lulusan pesantren akan pulang ke kampung halaman dan menyebarkan ajaran Islam di daerah masing-masing. 4. Kesenian Wayang merupakan warisan budaya yang masih terjagan hingga saat ini, dalam penyebaran ajaran Islam wayang memiliki peran yang sangat konkret. Sunan Kalijaga merupakan salah satu tokoh Islam yang menggunakan pementasan wayang dalam berdakwah. Kini, menurut sensus 2010, sekitar 1,5 juta penduduk Indonesia adalah penganut agama Buddha atau sekitar 0,6 persen dari populasi. Kebanyakan umat Buddha tinggal di Jakarta, Sumatra Utara, Kalimantan Barat, Banten, serta di pulau Bangka dan Belitung. Mayoritas umat Buddha adalah etnis China yang bermigrasi dari Tiongkok ke Indonesia pada tujuh abad silam. Etnis China memiliki sejarah kompleks di Indonesia sejak mereka sebagai minoritas yang mendominasi ekonomi pada awal abad ke-20. Dominasi ekonomi ini pada titik kisar waktu, dalam sejarah Indonesia terkini, seringkali berbuntut prasangka rasial yang sengit dan bahkan kekerasan di tangan unsus-unsur penduduk mayoritas. Praktiknya, hal tersebut sangat mempengaruhi kehidupan warga minoritas, seperti kesulitan mendapat pekerjaan dan pendidikan, diskriminasi pelayanan publik seperti pencatatan sipil, hingga masalah pemakaman. PEMBAHASAN 1. Aturan Beragama Pemerintah Indonesia, dalam undang-undang dan perjanjian-perjanjian internasional, menghormati hak kebebasan beragama. Kebebasan beragama jadi bagian dari konstitusi Indonesia sejak kemerdekaan 1945. Pada 2005, Indonesia meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang menjamin dalam pasal 18(2), “Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya,” dan pasal 27, “Orang-orang yang tergolong dalam kelompok minoritas tidak boleh diingkari haknya dalam masyarakat bersama anggota kelompoknya yang lain, untuk menikmati budaya mereka sendiri, untuk menjalankan dan mengamalkan agamanya sendiri.” Komisi Hak Asasi Manusia PBB, badan ahli internasional yang memantau pemenuhan negara terhadap ICCPR, menyatakan dalam Komentar Umum 22 bahwa “memandang dengan prihatin adanya kecenderungan mendiskriminasi suatu agama atau kepercayaan atas dasar apapun, termasuk berdasarkan kenyataan bahwa mereka mewakili minoritas agama yang mungkin menjadi subyek permusuhan dalam komunitas agama mayoritas tertentu. Selain itu, fakta bahwa para pengikut agama mayoritas penduduk tak mengizinkan “diskriminasi apapun terhadap para penganut agama lain atau orang-orang tak beragama atau berkepercayaan.” 2. RUU Kerukunan Umat Beragama Pada Oktober 2011, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono, Menteri Agama Suryadharma Ali, dan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengusulkan rancangan undang-undang tentang kerukunan umat beragama untuk dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat. Usulan undang-undang ini akan mengatur beragam isu terkait agama, termasuk penyebaran ajaran agama, perayaan hari besar keagamaan, pembangunan rumah ibadah, dan penguburan serta pendidikan agama. Ia menegaskan tanggung jawab minoritas-minoritas agama untuk melindungi “kerukunan umat beragama”. Para pembela kebebasan beragama menentang rancangan undang-undang ini, dengan dasar bahwa RUU ini akan melegitimasi peratutan diskriminatif yang sudah ada, termasuk PNPS penodaan agama 1965, SKB 2006 tentang pendirian rumah ibadah, SKB anti-Ahmadiyah 2008, dan pasal-pasal dalam UU Perlindungan anak. 3. Kementrian Agama Pada awal abad ke-20, urusan warga Muslim zaman Hindia Belanda dilakukan lewat beberapa kantor, termasuk kantor urusan Islam, guna menyediakan pendidikan agama melalui madrasah, memberikan pedoman dan informasi keagamaan, mengatur pengelolaan haji ke Mekkah, dan menyelenggarakan pengadilan Islam untuk perkara seperti pernikahan, perceraian, dan warisan. Kementerian Agama dibentuk pada 1946, dan kendati banyak programnya dirancang mengurusi Islam, ia adalah departemen dengan ragam agama. Sekarang ini ia terbagi menjadi tujuh direktorat jenderal. Tiga direktorat berurusan dengan kalangan Muslim—apa yang disebut “bimbingan masyarakat” Islam, pengelolaan haji, dan pendidikan Islam. Sementara yang lain masing-masing mengurusi “bimbingan masyarakat” Protestan, Katholik, Hindu, dan Buddha. 4. Konsep Minoritas-Mayoritas Minoritas ialah kelompok sosial yang tak menyusun mayoritas populasi total dari voting dominan secara politis dari suatu kelompok masyarakat tertentu.Minoritas dapat pula merujuk ke kelompok bawahan maupun marginal. Minoritas sosiologis tak perlu bersifat numerik sebab dapat mencakup kelompok yang di bawah normal dengan memandang pada kelompok dominan dalam hal status sosial, pendidikan, pekerjaan, kekayaan, kekuasaan dan politik.Istilah "kelompok minoritas" sering diterapkan bersama dengan wacana hak asasi manusia dan hak kolektif yang mengemuka di abad ke-20. Kinloch berpendapat bahwa kelompok orang yang disebut sebagai mayoritas adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan, menganggap dirinya normal dan memilik derajat lebih tinggi. Sedangkan kelmpok lain yang dianggap sebagai kelompok minoritas adalah mereka yang tidak memiliki kekuasaan, dianggap lebih rendah karena memiliki ciri tertentu: cacad secara fisik ataupun mental sehingga mereka mengalami eksploitasi dan diskriminasi. (Kinloch, 1979: 38) Konsep mayoritas di sini didasarkan oleh dominasi kekuasaan, bukan dominasi oleh jumlah anggota. Kelompok mayoritas bisa saja berjumlah lebih kecil daripada minoritas. Sebagai contoh adalah saat politik apartheid dicanangkan di Afrika Selatan, jumlah orang berkulit putih lebih sedikit daripada jumlah orang berkulit hitam. Akan tetapi kelompok kulit putih memiliki kuasa terhadap kelompok kulit hitam. 5. Kebijakan Pemerintah Di Indonesia, diskriminasi negara terkait agama tidak hanya pembangunan gereja, masjid, dan pura. Beragam peraturan pemerintah mendiskriminasi minoritas agama, mulai dari pengajuan kartu tanda penduduk, akta kelahiran dan pernikahan, serta akses lain ke pelayanan pemerintah. B. Alternatif Pemecahan Masalah Kasus yang terjadi pada umat Buddha Giyanti adalah mereka merasa ada diskriminasi pelayann bublik terhadap mereka, khususnya dalam hal pencatatan sipil. Umat Buddha yang hendak menikah harus datang langsung ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kebumen. Hingga saat ini belum ada solusi dari permasalahan ini. Janjijanji yang pernah diucapkan calon pemimpin daerah pun hanya berlalu seperti angin. Mereka ingin mendapatkan hak yang sama dalam hal pernikahan seperti halnya umat Islam yag dapat melangsungkan pernikahan di KUA setempat maupun dapat memanggil penghulu untuk mencatat pernikahan di rumah-rumah. Alteratif pemecahan masalah dalam hal ini menurut kami sebagai berikut: 1. Bersikap Toleran Dalam mengatasi konflik mayoritas-minoritas ini, kami sependapat dengan pemikiran yang dikembangkan oleh Prof Dr Harun Nasution dalam bukunya Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, yang memberikan inspirasi untuk selalu toleran dan melihat agama tidak hanya satu aspek, tetapi dari berbagai aspek, seperti aspek filsafat, fiqih, sosial, dan teologi. 2. Tunaikan Janji Kepada bapak Bupati yang terhormat, yang pernah menjanjikan kemudahan administrasi pernikahan umat Buddha Giyanti, mohon tunaikan janji anda. Bagaimanapun, janji adalah janji. Islam memerintahkan umatnya untuk menunaikan janji. 3. pemerintah Daerah Kepada pemerintah daerah, Derartemen Agama kabupaten Kebumen, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil kabupaten Kebumen, kerjakanlah amanah sesuai aturan dan secara professional. Berikan hak-hak umat minoritas menurut aturannya. Hasil Observasi 1. Sejarah masuknya agama Buddha di Giyanti Sebelum Islam dan Buddha datang, masyarakat Giyanti pada umumnya adalah penganut aliran Kepercayaan atau Kejawen. Pada sekitar awal tahun 1967an, setelah peristiwa G 30 S PKI, pemerintah mengharuskan setiap warga Negara untuk menganut agama, dan mensahkan lima agama yang salah satunya adalah Buddha. Kemudian datanglah penyebar agama Islam dan penyebar agama Buddha di Giyanti. Menurut cerita turun-temurun dari mereka, pada awalnya semua masyarakat di desa Giyanti mengikuti pensyiaran kedua agama, yaitu Islam dan Buddha. Namun setelah beberapa waktu, akhirnya mereka memutuskan untuk memilih salah satu dari kedua agama tersebut. Sebagian masyarakat memutuskan memeluk agama Islam dan sebagian yang lain memutuskan memeluk agama Buddha. Awal mula agama Buddha di Kalibatur karena adanya tokoh yang berjuang untuk mengembangkan Agama Buddha sekitar tahun 1967, diantaranya bermula dari Bapak Karjono Dipo dan alm. Mbah Sastro (Purwodadi, Kec. Kuwarasan ). Sebelum sampai ke Kalibatur mereka lebih dulu mengenalkan agama Buddha ke masyarakat Kedung Gondang yang masih berada dalam satu kelurahan, yaitu Giyanti. Setelah rutin mengadakan kegiatan Puja Bhakti dan ceramah di Kedung Gondang, mereka mulai mengenalkan agama Buddha di Kalibatur bersama bapak Nawir (Kedung Gondang). Mereka awalnya mengadakan kegiatan di rumah bapak Manreja, yang tidak lain adalah tokoh Buddha pertama yang ikut berperan aktif dalam pengembangan Buddha Dhamma di Kalibatur, yang kemudian diikuti oleh orang-orang yang lain diantaranya Bpk Karyasentana, Bpk Madaris, Bpk Partareja, dll. Pada sekitar tahun 1984, berdiri sekolah Pendidikan Agama Buddha PGAB Mpu Tantular yang diketuai oleh Bapak Cipto Wardojo. Dengan berdirinya sekolah ini tentu membawa peluang besar bagi generasi muda Buddhis untuk berperan serta memajukan agama Buddha. Umat Buddha Kalibatur menyambut positif dengan mengirimkan anak didik untuk menempuh pendidikan di PGAB Mpu Tantular dan ternyata memang hasilnya sungguh sangat menggembirakan karena agama Buddha di Kalibatur semakin maju dan bahkan hampir seluruh lulusan PGAB Mpu Tantular yang berasal dari Kalibatur sekarang sudah menjadi pegawai negeri sebagai guru agama Buddha yang tersebar di beberapa propinsi di Jawa dan Sumatera. Sekolah ini berdiri sampai kira-kira tahun 1994 karena pemerintah mengeluarkan peraturan tentang penghapusan PGA di seluruh Indonesia. Hingga saat ini, menurut Kadus setempat, prosentase pemeluk Buddha dan agama lain di desa Giyanti adalah 40% : 60 %, yaitu 90 KK di Kalibatur dan sekitar 25 KK di Kedung Gondang. 2. Pembangunan vihara Giri Pura Selama hampir 12 tahun sejak tahun 19671980 perkembangan agama Buddha di Kalibatur cukup pesat baik secara kualitas maupun kuantitas. Oleh karena itu dengan semakin banyaknya umat mereka merasa perlu memiliki tempat ibadah yang lebih memadai, karena selama itu kegiatan Puja Bhakti dan ceramah dilaksanakan di rumah bapak Manreja. Sehingga pada tahun 1980 disepakati untuk membangun vihara secara gotong-royong. Vihara tersebut dibangun di atas sebidang tanah yang berukuran 6 x 8m. Pada tahun 1981 pembangunan vihara sudah bisa diselesaikan dan diberi nama Vihara Giri Pura. Sejak saat itu, umat Buddha Kalibatur telah resmi memiliki vihara sendiri. Setelah pembangunan Cetiya Giri Pura selesai pada tahun 1980, kegiatan umat menjadi lebih lancar dan umat menjadi lebih fokus dalam belajar Buddha Dhamma. Selain itu, komunikasi dengan umat Buddha di daerah lain juga semakin terjalin dengan baik bahkan pada waktu itu rutin diadakan pertemuan antar-tokoh dan umat yang diikuti oleh tiga kabupaten yaitu Banyumas, Kebumen dan Cilacap. Bahkan pernah juga dari kabupaten Bajarnegara yang dilaksanakan di Buntu (Banyumas). Dari tahun 1986-1999, hampir setiap tahun umat Buddha Kalibatur selalu merayakan Waisak secara meriah dengan menampilkan pentas seni muda-mudi Buddhis Kalibatur, karena selain kegiatan ritual mereka juga mengadakan kegiatan lain, baik kegiatan seni maupun kegiatan sosial. Umat juga mengadakan kegiatan simpan-pinjam yang hasilnya digunakan seluruhnya untuk operasional vihara karena dari awal berdiri seluruh dana operasional berasal dari swadaya umat. Selama hampir 27 tahun berdiri vihara Giri Pura sudah mengalami 2 kali renovasi dan pada tahun 2006 mereka merasa perlu merenovasi total bangunan vihara karena struktur bangunannya sudah rapuh. Di samping itu juga ruangan vihara sudah tidak cukup untuk menampung jumlah umat pada saat Puja Bhakti, sehingga pada pertengahan tahun 2007 renovasi total bangunan vihara Giri Pura mulai dilaksanakan dan pembangunannya selesai tahun 2008. Sumber dana yang digunakan berasal dari sumbangan para donatur dan simpatisan Buddhis di seluruh Indonesia. Pembangunan vihara ini dilakukan oleh swadaya umat dan dibantu oleh donatur dan juga pemerintah. Umat Buddha setempat membantu tenaga, material berupa kayu dan batu, serta makanan. umat juga berupaya mengumpulkan dana dengan program “Pengumpulan Gula Merah”. Para donator yang bersedia mendonasikan dananya diantaranya Sangha Theravada Indonesia, Yayasan Abdi Dharma Indonesia, Umat Buddha Kerawang, dan donator lainnya. Pihak pemerintah yang membantu yaitu Pemda Kebumen, Gubernur Jawa Tengah, Bimas Buddha Jawa Tengah, serta Kementrian pusat agama Buddha Republik Indonesia. Saat ini, mereka telah memiliki tempat ibadah yang layak, yang mampu menampung semua umat Buddha di Desa Giyanti, sehingga mereka dapat mengadakan kegiatan keagamaan dengan aman dan nyaman. Kegiatan yang rutin dilakukan di vihara diantaranya Puja Bhakti, Sekolah Minggu dan Meditasi. 3. Kegiatan a. Puja Bhakti Puja Bhakti merupakan ibadah yang pokok dalam agama Buddha. Puja Bhakti dilakukan di vihara dan diikuti oleh semua umat Buddha dari berbagai usia. Puja Bhakti dilakukan satu paket, dalam arti melakukan sembahyang sekaligus mendengarkan siraman rohani dari seorang Bhikku. b. Sekolah Minggu Sekolah minggu adalah salah satu kegiatan vihara yang ditujukan untuk anak-anak. Anak-anak peserta kegiatan sekolah minggu terdiri dari anak pra sekolah, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas. Sesuai dengan namanya kegiatan sekolah minggu diadakan pada hari minggu di vihara. Kegiatan sekolah minggu rata-rata berlangsung selama satu sampai dua jam. Sekolah minggu dibagi menjadi empat kelompok berbeda sehingga model pembelajarannya juga berbeda. Pemisahan kelompok ini sangat membantu guru dalam melakukan pembelajaran. Guru dapat memilih model pembelajaran yang cocok sesuai dengan usia dan kebutuhan anakanak. Anak-anak pra sekolah mengunakan model pembelajaran langsung dengan disertai praktik-ppraktik langsung. Seperti materi cinta kasih dengan langsung mengajak anak-anak untuk melakukan fangsen dan memberi makan ikan. Dalam praktik puja bhakti anak-anak juga diajak langsung untuk melakukan puja bhakti, cara anjali yang benar, dan sebagainnya. Selain dengan praktik langsung guru anak-anak pra sekolah juga sering melakukan pengajaran dengan bernyanyi lagu-lagu Buddhis, menggambar, permainan yang mendidik dan sebagianya. c. Peringatan Waisak Peringatan Waisak diadakan rutin setiap tahun secara meriah. Biasanya dihadiri Bupati Kebumen dan beberapa tokoh penting di Kabupaten, serta beberapa warga non-Buddhist yang hendak melihat dan menonton acara tersebut. d. Meditasi Meditasi ini hanya dilakukan oleh seorang atau sekelmpok orang yang memang ingin bermeditasi di vihara. Meditasi ini tidak sifatnya tidak wajib. 4. Interaksi sosial Interaksi sosial adalah proses saling memengaruhi dalam hubungan timbal balik antara individu dengan individu, individu dengan suatu kelompok, suatu kelompok dengan kelompok yang lain. Interaksi sosial dapat disebut juga proses orang-orang yang berkomunikasi, saling memengaruhi dalam pikiran dan tindakan. Interaksi sosial dapat terjadi karena adanya kontak sosial dan komunikasi. Interaksi sosial antara pemeluk agama Buddha dengan pemeluk agama lain di Giyanti khususnya dukuh Kalibatur terbilang bagus. Selama ini, menurut cerita kakek-nenek mereka, tidak pernah terjadi konflik yang berarti. Hal ini karena mereka selalu merasa tidak terlalu penting membesar-besarkan masalah kecil, karena ada hal yang jauh lebih penting dari itu, yaitu menjaga kerukunan umat beragama agar tetap terjalin hubungan yang harmonis. Selama ini, setiap kali umat Buddha merayakan Waisak, beberapa warga non-Buddhis pun turut menyaksikan acara yang selalu diselenggarakan dengan meriah tersebut. Menjelang Waisak, umat Buddha di Kalibatur juga mengadakan kegiatan bakti lingkungan dengan melakukan perbaikan dan pembersihan jalan yang mereka lakukan rutin setiap tahun. Hal ini dilakukan sebagai wujud keterlibatan mereka dalam menjaga lingkungan, dan juga menjaga kerukunan. 5. Harapan masyarakat Harapan umat Buddha Giyanti pada pemerintah daerah khususnya tidak banyak. Mereka merasa sudah sangat tahu diri tentang posisi mereka sebagai kaum minoritas. Hanya saja, jika masih mungkin dilakukan, mereka menginginkan kemudahan dalam urusan pernikahan. Karena jika mereka harus datang ke Disdukcapil Kebumen setiap kali melangsungkan pernikahan, mereka merasa keberatan. Terutama ketika ada salah satu umat Buddha Giyanti yang menikah dengan orang dari luar daerah Kebumen. Kemudian mengenai toleransi umat beragama, mereka meninginkan kerukunan. Mereka berharap kepada umat non-Buddhist untuk tidak berprasangka buruk dulu kepada mereka. Kesimpulan Diskriminasi agama adalah fenomena masyarakat yang ada di Indonesia dan sudah saatnya dikaji lebih mendalam dan diangkat ke permukaan dengan tujuan mengikis diskriminasi agama. Ketika berbicara ini harus disertai sikap yang obyektif dan melepaskan kacamata agama yang kita anut, jika tidak maka akan bias. Pers dan masyarakat juga harus menyikapi masalah diskriminasi agama dengan arif bijaksana, karena seringkali permasalahan-permasalahan sosial dibelokkan ke agama dan ujungnya adalah masalah agama yang berkobar. Akhir kata, pengertian Bhinneka Tunggal Ika adalah berbicara masyarakat yang harmonis dan saling menghargai bukan saling mendiskriminasi satu sama lain. B. Saran Pembiaran diskriminasi agama akan membuat disintegritas bangsa. Gesekan masyarakat akibat diskriminasi agama harus dicegah dan salah satu pencegahannya adalah penegakan hukum secara konsisten dan juga pengajaran Hak Asasi Manusia yang harus dihargai. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia harus disebarluaskan. Dialog yang terbuka antar umat beragama, membuang perasaan superioritas harus diusahakan dengan asas saling menghormati. Tujuannya adalah demi membangun masyarakat yang harmonis. Jangan selalu beranggapan bahwa diskriminasi agama tidak pernah kita lakukan, hanya pihak lain yang melakukan, kita hanya korban. Pandangan ini harus direvisi dan mulailah kita melihat apakah ada diskriminasi agama di sekitar kita. Dan saat melihat harus dengan kacamata obyektif. Banyaknya penganut agama yang bersifat ofensif dan tentunya akan menimbulkan reaksi defensif pada penganut agama lain, akibatnya gesekan. Perlunya memulai mengubah paradigma bahwa menyebarkan agama demi kebaikan orang lain, mengejar jumlah umat, menolong yang seiman dan sebagainya. Kembangkan nilai agama baik agama negara ataupun agama adat yang berbicara kasih dan penghormatan sesama, hilangkan rasa superioritas. Sudah lama kita hendak diyakinkan dan dibohongi, bahwa dalam masyarakat Pancasila kita tidak mengenal golongan mayoritas dan golongan minoritas. Sudah saatnya kita berhenti bermain sandiwara dan membohongi diri sendiri seperti itu. Yang penting adalah bagaimana kita dapat hidup damai dengan kenyataan adanya berbagai golongan dalam masyarakat kita, mayoritas maupun minoritas. Lebih penting lagi, bagaimana kita menjalin hubungan serta kerjasama secara damai, saling menerima, saling menghormati, dan saling membantu, antara berbagai golongan itu dalam masyarakat. Tujuan utama menjalin hubungan demikian itu adalah menghilangkan prasangka dan kebencian. Hanya dengan itu kita dapat bersama-sama mengusahakan kesejahteraan bersama. DAFTAR ISI Kimball, Charles, Kala Agama Menjadi Bencana, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2003. Setiono G, Benny, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Jakarta: Elkasa, 2003 Yunono Paulus, Giring, dkk, Agama dan Budaya Dayak, jurnal Dayakologi no.2, Juli 2004, Pontianak : Insitute Dayakologi