Teknologi Mitigasi Gas Rumah Kaca (GRK) Dari

advertisement
AgroinovasI
3
Teknologi Mitigasi Gas Rumah Kaca (GRK)
Dari Lahan Sawah
Gas Rumah Kaca (GRK) seperti karbondioksida, uap air, kloroflurokarbon (CFCs),
metan dan nitrogen oksida merupakan gas-gas yang dapat memicu meningkatnya
panas di permukaan bumi (global warming). Meningkatnya GRK ini dapat menyebabkan
terjadinya efek rumah kaca. Efek rumah kaca sendiri diartikan sebagai proses masuknya
radiasi matahari dan terjebaknya radiasi tersebut di atmosfer akibat GRK sehingga
menaikkan suhu permukaan bumi. Sekitar 80-90% radiasi yang terjebak memberikan
kehangatan bagi makhluk hidup di bumi. Dengan demikian sebenarnya efek rumah kaca
tidaklah buruk, karena tanpa efek tersebut rata-rata suhu permukaan di bumi -18oC.
Seiring dengan kemajuan zaman yang diawali dengan adanya revolusi industri terjadi
peningkatan GRK di atmosfer. Peningkatan ini berasal dari berbagai sumber, seperti
CO2 dari industri, pembangkit listrik, pembakaran bahan bakar fosil dan transportasi,
sedangkan CH4 berasal dari lahan pertanian dan limbah yang tidak diproses. Gas-gas
tersebut menahan lebih banyak radiasi dari yang dibutuhkan oleh bumi dan hasilnya
suhu di permukaan bumi pun naik. Sumbangan emisi GRK tertinggi dihasilkan oleh
gas CO2, hampir 55% emisi GRK berasal dari gas tersebut. Gas CH4 hanya berkontribusi
sekitar 15%, namun gas ini 21 kali lebih berpotensi menyebabkan efek rumah kaca
daripada gas CO2. Hal ini berdampak pada kerusakan lapisan ozon dan kenaikan suhu di
bumi. Sedangkan gas N2O memberikan kontribusi terkecil dari kedua gas sebelumnya,
yaitu sekitar 6%. Meskipun kecil kontribusinya namun potensi terhadap efek rumah
kaca paling tinggi, yaitu 296 kali dari CO2.
Sektor pertanian (termasuk peternakan) selain sebagai sumber kehidupan bagi
sebagian besar penduduk Indonesia ternyata juga menghasilkan lebih dari setengah
emisi CH4 Indonesia. Luas areal persawahan di Indonesia sekitar 7.79 juta ha (2001)
dan merupakan potensi besar untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, namun
jika tidak dikelola dengan baik dapat meningkatkan konsentrasi GRK di atmosfer.
Keterkaitan pertanian dengan pemanasan global tidak terlepas dari cara budidaya
petani dalam mengelola lahan pertanian. Beberapa upaya budidaya dilakukan untuk
memperbaiki sistem pertanian yang mampu menekan emisi GRK namun tetap
memprioritaskan tercapainya produktivitas yang tinggi.
Adakah upaya yang dapat menekan emisi GRK sehingga dampak-dampak tersebut
dapat ditekan? Upaya untuk menekan laju peningkatan pemanasan global akibat
emisi GRK dari lahan pertanian telah banyak dilakukan melalui beberapa teknik
budidaya seperti penggunaan varietas, pemupukan, pengaturan air, pengolahan tanah,
penggunaan herbisida dan nitrifikasi inhibitor.
1. Penggunaan Varietas
Emisi GRK yang dikeluarkan oleh tanaman padi terutama adalah CH4. Sekitar 90%
gas CH4 dilepaskan melalui pembuluh aerenkima tanaman. Namun kemampuan dalam
melepaskan gas CH4 berbeda-beda tergantung karakterisik varietas padi seperti sifat,
umur dan aktifitas akar.
Padi yang mempunyai jumlah anakan lebih banyak akan meningkatkan jumlah
aerenkima sehingga emisi gas CH4 yang dikeluarkan juga semakin besar. Sedangkan
Badan Litbang Pertanian
Edisi 6-12 April 2011 No.3400 Tahun XLI
4
AgroinovasI
varietas berumur dalam menghasilkan emisi gas CH4 yang lebih besar daripada varietas
yang berumur genjah. Hal ini berhubungan dengan siklus hidup tanaman padi tersebut.
Semakin lama periode tumbuh tanaman akan semakin banyak pula eksudat dan biomas
akar yang terbentuk sehingga emisi gas CH4 menjadi tinggi. Eksudat merupakan senyawa
organik yang mengandung gula, asam amino dan asam organik sebagai penyusun bahan
mudah tersedia bagi bakteri penghasil gas CH4. Semakin banyak dan merata perakaran
tanaman maka akan semakin besar pula distribusi eksudat ke dalam tanah.
Pembentukan gas CH4 tidak terlepas dari kemampuan akar sebagai pengoksidasi
dalam tanah. Varietas-varietas yang memiliki kapasitas pengoksidasi akar yang baik
mempunyai potensi sebagai varietas yang dapat menekan emisi CH4. Melalui kapasitas
pengoksidasi akar tersebut, pertukaran gas akan menyebabkan meningkatnya
konsentrasi gas O2, sedangkan konsentrasi CH4 akan teroksidasi secara biologi oleh
bakteri metanotropik.
Beberapa varietas yang telah diteliti menghasilkan emisi GRK yang rendah adalah IR
64, Dodokan, Tukad Balian, Batanghari, Ciherang dan Inpari 1. Jenis padi yang mampu
menghasilkan emisi gas CH4 rendah adalah jenis padi tipe baru. Jenis padi sawah, padi
pasang surut, dan padi tahan rendaman menghasilkan emisi gas CH4 kategori sedang,
sedangkan jenis padi hibrida menghasilkan emisi gas CH4 tinggi.
2. Pemupukan
Pemberian pupuk N (urea dan ZA) pada lahan sawah merupakan suatu keharusan
untuk meningkatkan produksi tanaman padi. Namun pemberian pupuk ini berpotensi
menyumbangkan GRK. Penggunaan ZA 90 kg N/ha yang disebar sebanyak 3 kali
(pada 7, 21 dan 42 hari setelah tanam) menghasilkan emisi yang rendah. Sedangkan
penambahan ZA sebesar 115 kg N/ha juga menghasilkan emisi CH4 yang rendah.
Penggunaan urea juga berpeluang menekan emisi metan. Hal ini disebabkan karena
amonium (NH4+) yang diserap oleh tanaman akan diseimbangkan dengan pelepasan
H+ di sekitar perakaran sehingga menurunkan tingkat keasaman di sekitar perakaran
tanaman yang selanjutnya akan menghambat perkembangan bakteri metanogen.
Teknik lain yang diketahui dapat mengurangi emisi CH4 adalah mengkombinasikan
penggunaan pupuk organik dengan pupuk N, mengaplikasikan pupuk N dengan cara
membenamkan (cara tersebut juga dapat mengurangi hilangnya N karena volatilisasi).
Penggunaan pupuk anorganik agar lebih efisien dan efektif didasarkan pada
kebutuhan tanaman. Hal ini dapat dilihat dari warna daun padi dengan menggunakan
bagan warna daun (BWD). Sedangkan pupuk organik diberikan pada saat pengolahan
tanah setara 2 t/ha.
Adapun penggunaan BWD adalah sebagai berikut:
a. Pengukuran hijau daun padi dengan BWD dimulai pada saat tanaman berumur 2528 hst dan dilanjutkan setiap 7-10 hari sekali sampai fase primordia tanaman.
b. Pilih secara acak 10 rumpun tanaman yang sehat, letakkan bagian tengah daun
di atas BWD dan bandingkan dengan warna BWD. Jika lebih dari 5 dari 10 daun
yang diamati menunjukkan warna di bawah skala 4 BWD, pupuk yang digunakan
sebanyak 75-100 kg urea/ha pada musim hasil tinggi dan 50-75 kg/ha pada musim
hasil rendah. Pada saat pengukuran sebaiknya pengukur tidak menghadap sinar
matahari karena akan berpengaruh terhadap hasil pengukuran.
Edisi 6-12 Maret 2011 No.3400 Tahun XLI
Badan Litbang Pertanian
AgroinovasI
5
Mitigasi emisi CH4 juga dapat
ditekan dengan menggunakan
pupuk silikat. Total emisi CH4
menurun sekitar 16-20% dengan
penggunaan pupuk silikat sebanyak
4 Mg ha-1 dan hasil padi meningkat
13-18%. Pupuk silikat secara
signifikan mendorong pertumbuhan
tanaman khususnya biomassa akar,
volume dan porositas akar yang
dapat meningkatkan konsentrasi
oksigen di rhizosfer. Meningkatnya
konsentrasi oksigen tersebut akan meningkatkan pula oksidasi CH4 sehingga dapat
mengurangi emisi CH4 ke atmosfer.
Rejim Air
Pengaturan air selain berpengaruh terhadap hasil padi juga berpengaruh pada
besarnya emisi gas CH4. Pada kondisi tergenang emisi gas CH4 lebih tinggi daripada
kondisi kering. Upaya menekan besarnya emisi gas CH4 dari sistem pengairan perlu
dilakukan karena selain dapat menurunkan emisi gas CH4 juga dapat menghemat
penggunaan air yang berlebihan.
Penggunaan pengairan secara terputus-putus (intermittent) merupakan manajemen
pengairan yang paling efisien untuk mampu mengurangi emisi gas CH4 dari lahan sawah.
Sistem pengairan yang dikombinasikan dengan olah tanah (intermittent + tabela + tanpa
olah tanah (TOT)) menghasilkan emisi terendah dibandingkan dengan perlakuan olah
tanah dengan berbagai kondisi pengairan (tergenang, intermittent dan macak-macak)
baik dengan kombinasi tabela maupun tapin. Penggunaan pengairan intermittent
dapat menekan emisi GRK sebesar 41-45% dibandingkan dengan pengairan terusmenerus. Selain itu dengan menggunakan pengairan intermittent berpeluang sebagai
pengabsorpsi karbon karena net karbon yang dihasilkan bernilai negatif.
Berdasarkan skema di atas, lahan yang menganut sistem intermittent dikeringkan
saat tanaman berumur 15-20 hst dan 30-35 hst. Pada saat menjelang panen lahan juga
dikeringkan. Adapun tinggi air untuk penggenangan sekitar 5 cm.
Pada sistem PTT (Pengelolaan Tanaman padi Terpadu) yang menggunakan
pengairan sistem intermittent (berselang) juga menunjukkan bahwa emisi gas CH4
yang dihasilkan rendah (78.3 kg/ha/musim) dengan hasil panen mencapai 6.76 t/
Badan Litbang Pertanian
Edisi 6-2 Maret 2011 No.3400 Tahun XLI
6
AgroinovasI
ha. Pada perlakuan PTT intermittent varietas yang digunakan adalah Ciherang dengan
umur bibit 15 hss, 1 rumpun per lubang ditanam dengan sistem legowo 2:1. Pada sistem
legowo ini tanaman ditanam secara berselang-seling 2 baris dan satu baris kosong.
Adapun jarak legowo yang digunakan adalah 40 x 20 x 10 cm. Ketinggian air diatur
dengan membuat batas ketinggian air pada pematang agar pada curah hujan tinggi air
tetap terjaga pada ketinggian 15 cm. Pada lahan intermittent sebaiknya dibuat sistem
buka-tutup pada galengan sehingga mempermudah dalam pengaturan air. Herbisida dan Pengelolaan Lahan
Penggunaan herbisida paraquat dan glifosfat dapat menurunkan emisi gas CH4. Selain
herbisida paraquat dan glifosat, penggunaan organoklorin dan hexakloro-sikloheksan
(HCH) juga dapat menekan perkembangan bakteri metanogen. Meskipun herbisida
dapat digunakan untuk mereduksi emisi CH4, penggunaannya harus sesuai dengan
anjuran sehingga tidak meninggalkan residu dalam tanah yang akan menimbulkan
pencemaran lingkungan.
Pada sistem olah tanah sempurna (OTS) dikombinasikan dengan pengairan
tergenang menghasilkan emisi CH4 yang cukup tinggi. Pada sistem ini tanah diolah
dengan menggunakan bajak atau cangkul pada kedalaman lapisan olah (+20 cm).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada OTS fisik tanah telah terdegradasi.
Sedangkan pada sistem tanpa olah tanah (TOT), menghasilkan emisi CH4 yang relatif
lebih kecil. Pada kondisi ini fisik tanah tidak terlalu diganggu kecuali untuk alur atau
lubang tanam untuk penempatan benih sehingga degradasi lahan lebih terkendali.
Sistem TOT ternyata efektif digunakan untuk mereduksi emisi CH4 yang berarti turut
mereduksi besarnya potensi pemanasan global. Dengan menggunakan sistem TOT 12%
lebih efektif dari sistem OTS.
Upaya untuk mereduksi emisi GRK terutama gas N2O adalah dengan segera
menanam tanaman setelah pengolahan tanah (menghindari tanah dalam keadaan bera)
dan menanam tanaman penutup selama periode bera untuk mengurangi konsentrasi
nitrat dan amonia dalam tanah, serta memberikan kapur pada lahan masam.
Besarnya emisi CO2 yang terjadi pada lahan pertanian tidak terlepas dari teknik
pengelolaan tanah. Pada lahan yang dibiarkan bera gas CO2 secara umum diemisikan ke
atmosfer. Hal ini disebabkan karena tidak adanya pertanaman dan proses fotosíntesis
tidak terjadi sehingga tidak ada media yang berfungsi sebagai penyerap CO2.
Gulma (famili graminae) yang terdapat pada pertanaman juga memberikan
kontribusi terhadap emisi CH4, sehingga upaya untuk menekan emisi perlu dilakukan.
Sebelum tanam, gulma dikendalikan dengan herbisida yang ramah lingkungan, yaitu
mudah terdegradasi, tidak menimbulkan polusi dan tidak merusak lingkungan. Sisa-sisa
tanaman pada musim sebelumnya dimanfaatkan untuk menutupi tanah yang berfungsi
untuk menekan pertumbuhan gulma dan mengawetkan tanah dan air.
Penggunaan Zat Penghambat Nitrifikasi (Nitrification inhibitor)
Pengelolaan penggunaan pupuk N yang baik berperan penting untuk meminimalisir
residu nitrat tanah yang dapat membantu menurunkan peningkatan emisi N2O.
Penggunaan urea+hydroquinone (HQ)+DCD dapat menurunkan emisi N2O dan CH4
masing-masing sebesar 30 % dan 50 % jika dibandingkan dengan control.
Beberapa bahan penghambat nitrifikasi dari industri kimia antara lain dicycendiamine
Edisi 6-12 April 2011 No.3400 Tahun XLI
Badan Litbang Pertanian
AgroinovasI
7
(DCD), nitrapyrin, encapsulated calcium carbide (ECC), N-2,5-dichlorophenil succinamic
acid (DCS). Bahan-bahan tersebut secara nyata telah dapat mereduksi emisi N2O dan
meningkatkan produksi tanaman padi. Selain itu S-benzylisothiouronium butanoate
(SBTbutanoate) dan S-benzylisothiouronium furoate (SBT-furoate) yang digunakan pada
pertanaman gandum mampu mereduksi potensi pemanasan global sebesar 8.9–19.5%.
Bahan penghambat nitrifikasi inhibitor lainnya adalah 3,4-dimethylpyrazole phosphate
(DMPP), 2-chloro-6 (trichloromethyl) pyridine, sulfathiazole, 2-amino-4-chloro-6methyl pyrimidine, 2 mercaptobenzothiazole, thiourea, 5-ethoxy-3-trichloromethyl1,2,4-thiadiazole (terrazole), dan karbofuran (2,3-dihidro-2,2-dimetil-7-benzofuranil
metilkarbamat).
Selain dari industri kimia, beberapa bahan tanaman dapat berfungsi sebagai zat
penghambat nitrifikasi, di antaranya tanaman babandotan (Ageratum conyzoides),
kunyit (Curcuma domestica Val.), daun randu (Ceiba pentandra Gaertn.), bakau
(Rhizophora conjugata Linn., mimba (Azadirachta indica), dan belimbing wuluh
(Averrhoa bilimbi L). Penggunaan biji mimba (20 kg/ha) dapat menurunkan fluks N2O
sebesar 48.9% di lahan sawah tadah hujan. Biji mimba mengandung senyawa polifenol
(0,13% tannin). Polifenol dalam tanah dapat menghambat aktivitas bakteri nitrifikasi
dan denitrifikasi.
Rina Kartikawati, Helena Lina Susilawati, Miranti Ariani, Prihasto Setyanto
Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Pati
Badan Litbang Pertanian
Edisi 6-12 April 2011 No.3400 Tahun XLI
Download