4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Mangrove Ekosistem Mangrove merupakan suatu ekosistem peralihan antara darat dan laut. Salah satu komponen utama penyusun ekosistem mangrove adalah vegetasi mangrove. Mangrove atau mangal merupakan sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas atau semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin (Nybakken 1988). Mangrove adalah salah satu diantara sedikitnya tumbuh-tumbuhan tanah timbul yang tahan terhadap salinitas laut terbuka (Odum 1993). Tumbuhan ini mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut sesuai dengan toleransinya terhadap salinitas, lama penggenangan, substrat dan morfologi pantai. Mangrove dapat di jumpai pada daerah sepanjang muara sungai atau daerah yang banyak dipengaruhi oleh aliran sungai (fluvio-marine) dan daerah yang umumnya didominasi oleh faktor laut (marino-fluvial) (DKP 2004). Kita seringkali mendengar dan menyebut: “bakau”. Istilah bakau adalah sebutan bagi jenis utama pohon mangrove (Rhizophora spp.) yang dominan hidup di habitat pantai. Mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan sub-tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon, seperti Avicennia spp., Sonneratia spp., Rhizophora spp., Bruguiera spp., Ceriops spp., Lumnitzera spp., Exoecaria spp., Xylocarpus spp., Aegiceras spp., Scyphyphora spp. dan Nypa sp., yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen 2004). Formasi mangrove merupakan perpaduan antara daratan dan lautan. Mangrove tergantung pada air laut (pasang) dan air tawar sebagai sumber makanannya serta endapan debu (silt) dari erosi daerah hulu sebagai bahan pendukung substratnya (DKP 2004). Menurut Snedaker (1985) in Rachmawani (2007) hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan rekasi tanah anaerob. Mangrove adalah tumbuhan halofit yang hidup di sepanjang areal pantai yang 5 dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis dan sub-tropis (Aksornkoae 1993). Mangrove umumnya tumbuh di daerah intertidal yang memiliki jenis tanah berlumpur, berlempung atau berpasir. Tergenang oleh air laut secara berkala, dapat setiap hari maupun hanya tergenang pada saat surut purnama, frekuensi genangan ini menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove. Selain itu, mangrove juga membutuhkan suplai air tawar dari daratan, dan biasanya hidup baik pada daerah yang cukup terlindung dari gelombang besar dan pasang surut yang kuat. Salinitas yang baik untuk mangrove tumbuh adalah pada salinitas 2 – 22 PSU atau sampai asin pada salinitas 38 PSU (Bengen 2001; Nontji 2002). Karakteristik habitat mangrove yakni; (1) umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir, (2) daerah yang tergenang air laut secara berkala baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi mangrove, (3) menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat, (4) terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Air yang bersalinitas payau (2-22 PSU) hingga asin (mencapai 38 PSU). Cakupan sumberdaya mangrove secara keseluruhan menurut Kusmana et al. (2003) terdiri atas: (1) satu atau lebih spesies tumbuhan yang hidupnya terbatas di habitat mangrove, (2) spesies-spesies tumbuhan yang hidupnya di habitat mangrove, namun juga dapat hidup di habitat non-mangrove, (3) biota yang berasosiasi dengan mangrove (biota darat dan laut, lumut kerak, cendawan, ganggang, bakteri dan lainlain) baik yang hidupnya menetap, sementara, sekalikali, biasa ditemukan, kebetulan maupun khusus hidup di habitat mangrove, (4) proses-proses alamiah yang berperan dalam mempertahankan ekosistem ini baik yang berada didaerah bervegetasi maupun diluarnya, dan (5) daratan terbuka/hamparan lumpur yang berada antara batas hutan sebenarnya dengan laut. Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan khusus untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ekstrim, seperti kondisi tanah yang tergenang, kadar garam yang tinggi serta kondisi tanah yang kurang stabil. Dengan kondisi lingkungan seperti ini beberapa jenis mangrove mengembangkan mekanisme yang memungkinkan aktif mengeluarkan garam dari jaringan, sementara yang lain 5 6 mengembangkan sistem akar nafas untuk membantu memperoleh oksigen bagi sistem perakarannya. Mangrove dapat berkembang sendiri yakni tempat dimana tidak terdapat gelombang, kondisi fisik pertama yang harus terdapat pada daerah mangrove ialah gerakan air yang minimal. Kurangnya gerakan air ini mempunyai pengaruh yang nyata. Gerakan air yang lambat dapat menyebabkan partikel sedimen yang halus cenderung mengendap dan berkumpul di dasar. Hasilnya berupa kumpulan lumpur, jadi substrat pada rawa mangrove biasanya lumpur. Substrat inilah yang nantinya bermanfaat bagi penambahan luasan suatu daerah. Jenis-jenis pohon mangrove umumnya menyebar di pantai yang terlindung dan di muara-muara sungai, dengan komposisi jenis yang berbeda bergantung pada kondisi habitatnya. Berdasarkan berbagai hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa penyebaran jenis mangrove tersebut berkaitan dengan salinitas, tipe pasang, dan frekuensi penggenangan. 2.2. Adaptasi Mangrove Terhadap Habitatnya Tumbuhan pada habitat mangrove telah mengembangkan beberapa penyesuaian sehingga dapat mempertahankan diri di dalam lingkungan yang berkadar garam tinggi dan tergenang air, seperti: 2.2.1. Adaptasi terhadap konsentrasi garam tinggi Dalam kaitannya dengan adaptasi terhadap kandungan garam, mangrove di kelompokkan menjadi: (a) salt-excreting mangrove (Avicennia spp., Aegiceras spp., Aegialitis spp) dan (b) non-salt excreting mangrove (Rhizophora spp., Bruguiera spp., Sonneratia spp., dan lain-lain). Sehubungan dengan ini Hutching dan Saeger (1987) in Kusmana et al. (2003) mengemukakan tiga cara mangrove beradaptasi terhadap garam sebagai berikut. (a) Sekresi Garam (salt extrusion/salt secretion) Tumbuhan mangrove menyerap air dengan salinitas tinggi kemudian mengeksresikan garam dengan kelenjar garam yang terdapat pada daun. Mekanisme ini dilakukan oleh Avicennia spp., Sonneratia spp., Aegiceras spp., Aegialitis spp., Acanthus spp., Laguncularia spp., dan Rhizophora spp. (melalui unsur-unsur gabus pada daun. 6 7 (b) Mencegah Masuknya Garam (salt exclusion) Tumbuhan mangrove menyerap air tetapi mencegah masuknya garam melalui saringan (ultra filter) yang terdapat pada akar. Mekanisme ini dilakukan oleh Rhizophora spp., Ceriops spp., Sonneratia spp., Avicennia spp., Osbornia spp., Bruguiera spp., Excoecaria spp., Aegiceras spp., Aegalitis spp., dan Acrostichum spp. (c) Akumulasi Garam (salt accumulation) Tumbuhan mangrove seringkali menyimpan Na dan Cl pada bagian kulit kayu, akar dan daun yang lebih tua. Daun menyimpan garam umumnya sekulen dan pengguguran daun sekulen ini diperkirakan merupakan mekanisme mengeluarkan kelebihan garam yang dapat menghambat pertumbuhan dan pembentukan buah. Mekanisme adaptasi akumulasi garam ini terdapat pada Excoecaria spp., Lumnitzera spp, Avicennia spp., Osbornia spp., Rhizophora spp., Sonneratia spp., dan Xylocarpus spp. Berdasarkan salinitas dikenal zonasi mangrove sebagai berikut (De Hann in Russell dan Yonge 1968 in Bengen 2004): (a) Zona air payau hingga air laut dengan salinitas pada waktu terendam air pasang berkisar antara 10-30 PSU: (1) Area yang terendam sekali atau dua kali sehari selama 20 hari dalam sebulan hanya Rhizophora mucronata yang masih dapat tumbuh (2) Area yang terendam 10-19 kali per bulan, ditemukan Avicennia (Avicennia alba, Avicennia marina), Sonneratia spp., dan dominan Rhizophora spp. (3) Area yang terendam kurang dari sembilan kali setiap bulan, ditemukan Rhizophora spp., Bruguiera spp. (4) Area yang terendam hanya beberapa hari dalam setahun, Bruguiera gymnorrhiza dominan dan Rhizophora apiculata masih dapat hidup. (b) Zona Air Tawar hingga air payau, dimana salinitas berkisar antara 0-10 PSU: (1) Area yang kurang lebih masih dibawah pengaruh pasang surut, asosiasi Nipah (2) Area yang terendam secara musiman, Hibiscus dominan. 2.2.2. Adaptasi terhadap substrat lumpur dan kondisi tergenang Untuk menghadapi habitatnya berupa substrat lumpur dan selalu tergenang (reaksi anaerob), tumbuhan mangrove beradaptasi dengan membentuk akar-akar 7 8 khusus untuk dapat tumbuh dengan kuat dan membantu mendapatkan oksigen. Bentuk perakaran mangrove tersebut adalah sebagai berikut (Gambar 2): (a) Akar Pasak (pneumatophore) Akar pasak berupa akar yang muncul dari sistem akar kabel dan memanjang ke luar arah udara seperti pasak. Akar pasak ini terdapat pada Avcennia spp., Xylocarpus spp., dan Sonneratia spp. (b) Akar Lutut (knee root) Akar lutut merupakan modifikasi dari akar kabel yang pada awalnya tumbuh kearah permukaan substrat. Kemudian melengkung menuju ke substrat lagi. Akar lutut ini terdapat pada Bruguiera spp. (c) Akar Tunjang (stilt root) Akar tunjang merupakan akar (cabang-cabang akar) yang keluar dari batang dan tumbuh ke dalam substrat. Akar ini terdapat pada Rhizophora spp. (d) Akar Papan (buttress root) Akar papan hampir sama dengan akar tunjang tetapi akar ini melebar menjadi bentuk lempeng mirip struktur silet. Akar ini tedapat pada Heritiera. (e) Akar Gantung (aerial root) Akar gantung adalah akar yang tidak bercabang yang muncul dari batang atau cabang bagian bawah tetapi biasanya tidak mencapai substrat. Akar gantung terdapat pada Rizophora sp., Avicennia sp., dan Acanthus sp. Gambar 2. Bentuk spesifikasi akar pada mangrove (1. Akar Papan; 2. Akar Lutut; 3. Akar Tongkat; 4. Akar Cakar Ayam) (Rachmawani 2007). 8 9 2.3. Fungsi dan Manfaat Ekologis Sebagaimana tumbuhan lainnya, mangrove mengkonversi cahaya matahari dan unsur hara (nutrien) menjadi jarigan tumbuhan (bahan organik) melalui proses fotosintesis. Tumbuhan mangrove merupakan sumber makanan potensial, dalam berbagai bentuk bagi semua biota yang hidup di ekosistem mangrove. Bengen (2004), komponen dasar dari rantai makanan di ekosistem mangrove berbeda dengan tumbuhan pada umumnya, bukan tumbuhan itu sendiri melainkan detritus yang berasal dari tumbuhan mangrove (daun, ranting, buah, batang dan sebagainya). Sebagian detritus didekomposisi oleh bakteri dan fungi menjadi nutrient yang terlarut dapat secara langsung dimanfaatkan oleh fitoplankton, algae maupun tumbuhan mangrove itu sendiri dalam proses fotosintesis. Sebagian lain dari detritus dimanfaatkan oleh ikan, udang dan kepiting sebagai makanannya. Proses makan memakan dalam berbagai kategori dan tingkatan biota membentuk suatu jala makanan (Gambar 3). Proses pertukaran dan asimilasi energi berkaitan dengan aspek kimiawi ekosistem mangrove yang merupakan sumber bahan organik yang dibutuhkan dalam kehidupan biota yang hidup di ekosistem tersebut. Gambar 3. Hubungan ketergantungan dalam ekosistem mangrove (a) dan Asosiasi ekosistem mangrove (b) (Dephut 2006) 9 10 Fungsi ekologis mangrove sebagai suatu ekosistem khas wilayah pesisir, diantaranya adalah: (a) Sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran permukaan (run off) (b) Sebagai penghasil sejumlah besar detritus (c) Sebagai daerah asuhan, daerah mencari makanan dan daerah pemijahan bermacam biota perairan baik yang hidup di perairan pantai maupun lepas pantai. 2.4. Parameter Lingkungan 2.4.1. Parameter fisika 2.4.1.1. Suhu Pada perairan yang dalam, penetrasi cahaya matahari tidak sampai ke dasar, sehingga suhu air di dasar perairan yang dalam lebih rendah dibandingkan dengan suhu air di dasar perairan dangkal. Suhu air merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas serta memacu atau menghambat perkembangbiakan organisme perairan. Pada umumnya peningkatan suhu air sampai skala tertentu akan mempercepat perkembangbiakan organisme perairan. Perubahan suhu dapt menjadi isyarat bagi organisme untuk memulai atau mengakhiri berbagai aktivitas, misalnya reproduksi (Nyabakken 1988). Yasman (1998) in Fitriana (2006) menyatakan bahwa naungan mangrove menyebabkan kecilnya penguapan dan fluktuasi suhu, sehingga habitat tersebut disukai gastropoda. Peningkatan suhu juga menyebakan peningkatan kecepatan metabolisme serta respirasi organisme air dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu perairan sebesar 10 0 C menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat. Namun peningkatan suhu ini disertai dengan penurunan kadar oksigen terlarut sehingga keberadaan oksigen sering kali tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen bagi organisme akuatik untuk melakukan proses metabolisme dan respirasi. 2.4.1.2. Pasang surut Pasang surut menentukan zonasi komunitas flora dan fauna mangrove. Durasi pasang surut berpengaruh besar tehadap perubahan salinitas pada areal mangrove. Perubahan tingkat salinitas pada saat pasang merupakan salah satu faktor yang membatasi distribusi spesies mangrove, terutama distribusi horizontal. 10 11 Pada areal yang selalu tergenang hanya Rhizophora mucronata yang tumbuh baik, sedang Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp. jarang mendominasi daerah yang sering tergenang. Semakin ke arah daratan, arus pasang surut semakin kecil dan kandungan lumpur serta bahan organik tanah semakin tinggi (Marsono dan Setyono 1993). Menurut Soemidihardjo (1979), terdapat korelasi antara jenis tegakan dengan tinggi pasang dan lamanya genangan air. 2.4.1.3. Gelombang dan arus Gelombang pantai yang dipengaruhi angin dan pasut merupakan penyebab penting abrasi dan suspensi sedimen. Pada pantai berpasir dan berlumpur, gelombang dapat membawa partikel pasir dan sedimen laut. Partikel besar atau kasar akan mengendap, terakumulasi membentuk pantai berpasir. Mangrove akan tumbuh pada lokasi yang arusnya tenang. 2.4.1.4. Kekeruhan Boyd (1989) in Nur (2002) mendefinisikan kekeruhan sebagai ukuran biasa cahaya dalam air yang disebabkan oleh adanya partikel koloid dan suspensi suatu polutan yang terkandung di perairan. Kekeruhan mempengaruhi penetrasi cahaya matahari sehingga dapat membatasi proses fotosintesis dan produktivitas primer perairan. 2.4.1.5. Substrat Pada tanah berlumpur lunak, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Sonneratia spp., dan Avicennia spp. tumbuh berlimpah. Pramudji (2001) mengatakan bahwa tanah lumpur yang dalam dan lembek akan tumbuh didominasi oleh Rhizophora mucronata yang terkadang berdampingan dengan Avicennia marina, untuk Rhizophora stylosa lebih menyukai pantai yang bersubstrat pasir atau pecahan terumbu karang, biasanya berasosiasi dengan Sonneratia alba, sedangkan Rhizophora apiculata hidup pada daerah transisi. Serasah yang dihasilkan mangrove merupakan sumber karbon dan nitrogen bagi fauna mangrove dan perairan sekitarnya (Pramudji 2000). Tinggi rendahnya kandungan karbon organik dipengaruhi oleh masukan air dari daratan, sehingga letak lokasi pun mempengaruhi nilai C-organik. Guguran serasah daun mangrove juga merupakan penyuplai C-organik yang terbesar (Soeroyo 1989 in Nursal et. al. 2005). Kondisi substrat berpengaruh terhadap perkembangan komunitas gastropoda. 11 12 Substrat lumpur berpasir dengan sedikit liat merupakan substrat yang sesuai dengan gastropoda (Rangan 1996 in Fitriana 2006 ). Jenis vegetasi mangrove yang kurang mampu beradaptasi terhadap substrat ataupun lingkungan yang ada akan menyebabkan banyak tegakan mangrove yang mati pada tingkat semai (Pramudji 1996). 2.4.2. Parameter kimia 2.4.2.1. Derajat keasaman (pH) Kadar ion hidrogen perairan merupakan salah satu parameter lingkungan yang berhubungan dengan susunan spesies dari komunitas dan proses-proses hidupnya. Perairan yang kemasamannya sangat rendah akan berakibat fatal terhadap kehidupan ikan. Batasan pH yang baik bagi pertumbuhan ikan adalah 6,5-9,0. Pertambahan bahan organik dalam air dapat menunjukan kemasaman akibat pelepasan gas CO2 melalui penguraian bahan organik. 2.4.2.2 Salinitas Ketersediaan air tawar dan konsentrasi kadar garam (salinitas) mengendalikan efisiensi metabolik (metabolic efficiency) dan ekosistem mangrove. Ketersediaan air tawar bergantung pada: (1) frekuensi dan volume air dari sistem sungai dan irigasi dari darat, (2) frekuensi dan volume air pertukaran pasang surut, dan (3) tingkat evaporasi ke atmosfer. Walaupun spesies mangrove memiliki mekanisme adaptasi terhadap salinitas tinggi (ekstrem), namun tidak adanya suplai air tawar yang mengatur kadar garam tanah dan isi air bergantung pada tipe tanah dan sistem pembuatan irigasi. Perubahan penggunaan lahan darat mengakibatkan terjadinya modifikasi masukan air tawar, tidak hanya mengubah kadar garam yang ada, tetapi dapat mengubah aliran nutrien dan sedimen (Dahuri et al. 1996). Salinitas air dan salinitas tanah rembesan merupakan faktor penting dalam pertumbuhan, daya tahan dan zonasi spesies mangrove. Tumbuhan mangrove tumbuh subur di daerah estuaria dengan salinitas 10-30 PSU. Beberapa spesies dapat tumbuh di daerah dengan salinitas sangat tinggi. Di Australia dilaporkan Avicennia marina dan Exceocaria agallocha dapat tumbuh di daerah dengan salinitas maksimum 63 PSU, Ceriops spp. 72 PSU, Sonneratia spp. 44 PSU, Rhizophora apiculata 65 PSU dan Rhizophora stylosa 74 PSU. Mangrove merupakan vegetasi yang bersifat salt-tolerant bukan salt-demanding, oleh karenanya mangrove dapa 12 13 tumbuh secara baik di habitat air tawar. Kebanyakan mangrove tumbuh di habitat maritim mungkin disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut: (1) penyebaran biji/propagul mangrove terbatas oleh daya jangkau pasang surut, (2) anakan mangrove kalah bersaing dengan tumbuhan darat, dan (3) mangrove dapat mentoleransi kadar garam. 2.4.2.3. Nutrien Pasokan nutrien bagi ekosistem mangrove ditentukan oleh berbagai proses yang saling terkait, meliputi input dari ion-ion mineral anorganik dan bahan organik serta pendaurulangan nutrien secara internal melalui jaring-jaring makanan berbasis detritus (detrital food web). Konsentrasi relatif dan nisbah (rasio) optimal dari nutrien yang diperlukan untuk pemeliharaan produktivitas ekosistem mangrove ditentukan oleh: (1) frekuensi, jumlah dan lamanya penggenangan oleh air asin atau air tawar dan (2) dinamika sirkulasi internal dari kompleks detritus. Nutrien mangrove dibagi atas nutrien inorganik dan detritus organik. Nutrien inorganik penting adalah N dan P (jumlahnya sering terbatas), serta K, Mg, dan Na (selalu cukup). Sumber nutrien inorganik adalah hujan, aliran permukaan, sedimen, air laut dan bahan organik yang terdegradasi. Detritus organik adalah nutrien organik yang berasal dari bahan-bahan biogenik melalui beberapa tahap degradasi mikrobial. Detritus organik berasal dari authochthonous (fitoplankton, diatom, bakteri, algae, sisa orgaisme dan kotoran organisme) dan allochthonous (partikulat dari air, limpasan sungai, partikel tanah dari pantai dan erosi tanah, serta tanaman dan hewan yang mati di zona pantai dan laut) Kusmana et al. (2003). 2.4.2.4. Oksigen terlarut Oksigen terlarut sangat penting bagi eksistensi flora dan fauna mangrove (terutama dalam proses fotosintesis dan respirasi) dan percepatan dekomposisi serasah sehingga konsentrasi oksigen terlarut beperan mengontrol distribusi dan pertumbuhan mangrove. Konsentrasi oksigen terlarut bervareasi menurut waktu, musim, kesuburan tanah dan organisme akuatik. Konsentrasi oksigen terlarut harian tertinggi dicapai pada siang hari dan terendah pada malam hari. Aksornkoae (1978) in Rachmawani (2007) mendapatkan konsentrasi oksigen terlarut di mangrove 17-34 mg/l, lebih rendah dibanding di luar mangrove yang besarnya 4,4 mg/l. Perairan 13 14 yang diperuntukan untuk kepentingan perikanan sebaiknya memiliki kadar oksigen terlarut tidak kurang dari 5 mg/l. 2.5. Biota akuatik yang berasosiasi Bentos adalah organisme dasar perairan, baik berupa hewan maupun tumbuhan, baik yang hidup dipermukaan dasar ataupun di dasar perairan. Berdasarkan kebiasaan hidupnya fauna bentik dapat dikelompokan sebagai infauna, yaitu yang hidup menetap di dalam sedimen dan epifauna, yaitu yang hidup menempel pada daun lamun dan di atas dasar perairan. Menurut Barness (1987) in Nur (2002) sumber makanan bagi hewan yang hidup di dasar perairan terdiri dari detritus, plankton dari massa air dan detritusnya serta mikroorganisme yang melekat didasar. Gastropoda berasosiasi dengan ekosistem mangrove sebagai tempat hidup, tempat berlindung, memijah dan menyuplai makanan yang menunjang pertumbuhan biota tersebut. Rantai makanan yang berperan di ekosistem mangrove adalah rantai makanan detritus. Sumber utama detritus berasal dari dedaunan dan ranting mangrove yang gugur dan membusuk. Gastropoda berperan sebagai detrivor dalam rantai makanan pada ekosistem mangrove ini. Kartawinata et al. (1978) mengatakan bahwa salah satu gastropoda yang mendominasi ekosistem mangrove adalah famili Potamididae. Famili ini merupakan penghuni asli mangrove dan mendominasi komunitas ekosistem tersebut. Genus Terbrallia lebih menyukai hidup pada dasar substrat mangrove berupa lumpur yang memadat (liat berlumpur) dan biota ini memiliki sebaran menegak. Budiman dan Darnaedi (1982) mengatakan bahwa umunya mereka turun menuju dasar substrat mangrove pada waktu air pasang menempel di batang mangrove. Ekosistem mangrove memiliki peranan penting dalam daur hidup udang karena perairan mangrove merupakan tempat asuhan (nursery ground), tempat mencari makan, dan tempat berlindung. Oleh sebab itu, daerah kegiatan penangkapan udang di laut, mempunyai banyak persamaan dengan daerah sebaran ekosistem mangrove. Penangkapan udang di laut di beberapa lokasi telah berjalan dengan sangat intensif hingga mencapai atau melebihi produksi lestari (Nontji 2005). 14 15 Kira-kira 12 jam setelah dikeluarkan, telur menetas menjadi larva yang pada stadium pertama disebut nauplius. Setelah mengalami pergantian kulit beberapa kali, kemudian menjadi zoea. Pada stadium zoea, larva mulai mengambil makanan disekitarnya. Makanan udang pada stadium larva adalah alga renik (microalga) terutama Diatom, berbagai jenis zooplankton. Udang dikenal bersifat omnivor yang memakan tumbuhan, hewan kecil, dan detritus. Bentuk zoea akan berubah menjadi mysis, kemudian bermetamorfosis menjadi stadium post-larva. Anakan udang yang bersifat planktonik ini kemudian beruaya (migrasi) ke pantai, cenderung ke perairan muara sungai. Pada stadium post-larva, anakan udang merayap atau melekat pada benda-benda di dasar perairan. Dimuaramuara sungai, terlebih di perairan sekitar ekosistem mangrove, anakan udang ini banyak ditemukan. Anakan udang ini, hidup dengan menyesuaikan diri pada salinitas yang bervariasi antara 4-35 PSU. Untuk mencapai tingkat juwana (juvenil) Penaeus merguensis melewati 14 tingkatan dengan 18-22 kali berganti kulit. Udangudang muda ini segera kembali ke laut untuk tumbuh menjadi besar, dewasa dan akhirnya memijah. Dari menetas sampai stadium post-larva memerlukan waktu sekitar 1 bulan, dari post-larva menjadi juvenil sekitar 3-4 bulan, sedangkan dari juvenil sampai dewasa diperlukan waktu selama 8 bulan (Nontji 2005). 2.6. Upaya Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Berkelanjutan Pengelolaan wilayah pesisir terpadu dinyatakan sebagai proses pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan serta ruang dengan mengindahkan aspek konservasi dan keberlanjutannya. Adapun konteks keterpaduan meliputi dimensi sektor, ekologis, hirarki pemerintahan, antar bangsa/negara, dan disiplin ilmu (Cicin-Sain and Knect 1998; Kay and Alder 1999 in Sadelie et al. 2003). Di dalam proses pengelolaan dilakukan identifikasi dan analisis mengenai berbagai isu pengelolaan atau pemanfaatan yang ada maupun yang diperkirakan akan muncul dan kemudian menyusun serta melaksanakan kebijakan dan program aksi untuk mengatasi isu yang berkembang. Proses pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu dan berkelanjutan ini paling kurang memiliki empat tahapan utama yaitu : (1) penataan dan perencanaan, (2) formulasi, (3) implementasi, dan (4) evaluasi (Cicin-Sain and Kneckt 1998 in Sadelie 2003). Pada tahap perencanaan dilakukan pengumpulan dan analisis data guna mengidentifikasi kendala dan 15 16 permasalahan, potensi dan peluang pembangunan dan tantangan. Atas dasar ini, kemudian ditetapkan tujuan dan target pengelolaan atau pemanfaatan dan kebijakan serta strategi dan pemilihan struktur implementasi untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut maka unsur esensial dari pengelolaan ini adalah keterpaduan (integration) dan koordinasi. Setiap kebijakan dan strategi dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir harus berdasarkan kepada : (1) pemahaman yang baik tentang proses-proses alamiah (eko-hidrologis) yang berlangsung di kawasan pesisir yang sedang dikelola; (2) kondisi ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat; dan (3) kebutuhan saat ini dan yang akan datang terhadap barang dan (produk) dan jasa lingkungan pesisir. Salah satu faktor penyubur terjadinya konflik serta mempercepat kerusakan sumberdaya pesisir adalah lemahnya koordinasi antar lembaga terkait. Untuk mengatasi kondisi tersebut harus dilakukan peningkatan koordinasi kelembagaan yang melibatkan dinas/instansi daerah seperti Bappeda, Perikanan dan Kelautan, Pariwisata, Industri dan Perdagangan, Perhubungan dan kepelabuhan, BPN, dan lain-lain. Upaya yang harus dilakukan adalah menghilangkan ego sektor dengan penegasan kembali fungsi dan kewenangan masing-masing dinas/instansi terkait, serta harus ada selalu diadakan rapat-rapat koordinasi untuk membicarakan berbagai hal yang menyangkut pengelolaan wilayah pesisir itu sendiri. Di samping kelembagaan pemerintah, peran kelembagaan legislatif, masyarakat/LSM, serta dunia usaha adalah penting dan harus terlibat dalam pengelolaan, utamanya pada tataran perencanaan dan monitoring/evaluasi. Dengan demikian akan tercipta suatu pengelolaan terpadu yang melibatkan pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang menuju ke arah pembangunan berkelanjutan (Sadelie et al.2003). 16