2. TINJAUAN PUSTAKA P. erosa (Kerang Totok

advertisement
2. TINJAUAN PUSTAKA
P. erosa (Kerang Totok)
Sistematika, Morfologi dan Anatomi
P. erosa merupakan salah satu spesies kerang yang hidup di dalam lumpur
pada daerah estuari, di hutan mangrove air payau dan di sungai – sungai besar.
Kerang ini tersebar di wilayah Indopasifik barat yaitu dari India sampai Vanuatu,
Utara sampai Selatan Kepulauan Jepang dan Selatan. Wilayah Indonesia selain di
Kalimantan Barat, kerang ini juga terdapat di Segara Anakan dan Irian Jaya
(Poutiers, 1988). Kerang ini tergolong dalam kelas bivalvia (Pelecypoda) dan
termasuk ke dalam filum molluska. Alasan bivalvia juga dapat disebut Pelecypoda
karena jaringan kakinya berbentuk seperti kapak. Berikut merupakan klasifikasi P.
erosa:
Phylum
: Mollusca
Classis
: Bivalvia
Sub Classis : Euheterodonta
Ordo
: Veneroida
Familia
: Corbiculidae
Genus
: Polymesoda
Species
: Polymesoda erosa (Solander, 1786)
Ciri khas dari hewan ini yaitu memiliki dua cangkang dikedua sisinya
dengan engsel di bagian dorsalnya. Cangkang ini memiliki fungsi utama sebagai
pelindung tubuh dari serangan predator, lingkungan dan mengatur aliran air yang
masuk ke dalam insang. Jaringan tubuh yang terlindungi oleh cangkang memiliki
organ yang disebut mantel. Mantel ini melekat pada bagian dalam cangkang
dengan bantuan otot yang ditandai dengan bekas lengkungan yang disebut pallial
line. Bentuk tubuh dari kerang ini tergolong simetris bilateral (Romimohtarto dan
Juwana, 2009).
P. erosa memiliki insang sebagai organ respirasi. Insang terdapat pada
jaringan mantel yang terletak di bagian sisi kaki (Kastawi, 2005). Sistem sirkulasi
dari kerang ini terdiri dari jantung yang terbagi menjadi dua bagian aurikel dan
sebuah ventrikel. Ventrikel terdiri dari aorta anterior yang berfungsi menyalurkan
darah ke jaringan kaki, lambung dan mantel. Aorta posterior menyalurkan darah
ke rektum dan mantel. Pertukaran oksigen yang terjadi di insang dibantu oleh
darah untuk diproses menuju jantung. Organ pencernaan kerang ini terdiri dari
mulut, esofagus, lambung dan usus. Makanan yang didapatkan dari insang akan
diseleksi. Habitat P. erosa yang terdapat di daerah pasang surut menyebabkan
kegiatan mencari makan dipengaruhi oleh gerakan pasang surut air. Sewaktu
pasang, kerang ini aktif menyaring makanan yang melayang dalam air sedangkan
pada masa surut, kegiatan ini menurun (Maulana, et al., 2010). Suspension feeder
merupakan cara yang digunakan P. erosa untuk memperoleh makanan. Bila
dilihat dari cara hidupnya membenamkan diri di dalam substrat, maka dipastikan
bahan organik yang terdapat di sekitar perairan akan ikut terserap (Dwiono, 2003).
Menurut Hari (1999), makanan utama P. erosa 40% terdiri dari plakton dan
detritus.
Sistem saraf dari P. erosa terdiri dari tiga ganglion yang tersebar di bagian
kaki, otot dan esofagus. Selain itu pada bagian mantel terdapat urat yang dapat
7
merespon rangsang kimia. Sel berpigmen merupakan sistem indra dari kerang ini.
Sel ini berbentuk cangkir dengan lensa tembus pandang dan terdapat pada sisi
kanan kiri benang insang. Sel ini hanya merespon perubahan cahaya
(Romimohtarto dan Juwana, 2009).
Sistem reproduksi dari kerang ini bersifat diocius yang berarti setiap
kelamin memiliki gonad. Perkembangan gonad tergantung pada fase dari daur
kelamin saat itu. Kematangan kelamin tercapai hingga umur tiga tahun. Gonad
jantan berwarna susu sedangkan betina berwarna oranye. Proses pembuahan
terjadi pada perairan terbuka.
Umur, Kelimpahan dan Pertumbuhan
Umur P. erosa dapat diketahui dengan melihat lingkar tahun yang terdapat
pada cangkang. Pengukuran umur dapat dilakukan dengan menghitung banyaknya
lingkar tahun yang ada. Pengukuran lain yang lebih akurat dapat dilakukan
dengan menggunakan sinar X, radioisotop dan penanda tetracycline (Ramesh et
al., 2009). Metode pengukuran dengan menghitung banyaknya lingkar tahun
terkandang terkendala oleh hilangnya sebagian besar garis pertumbuhan akibat
terkikis oleh kondisi lingkungan. Faktor lain yang mempengaruihi garis
pertumbuhan sebagai penentu umur adalah musim, temperatur, makanan dan
salinitas.
Kelimpahan dipengaruhi oleh pertumbuhan populasi, interaksi antar spesies
dan pengaturan populasi secara alami. Interaksi dapat berupa kompetisi dan
predasi. Kedua interaksi ini memungkinkan terjadinya hilangnya suatu bentuk
populasi (Nyabakken, 1992). Hal ini dapat terjadi dalam hal perebutan makanan,
tempat tinggal dan reproduksi.
Pertumbuhan identik dengan peningkatan jumlah dan ukuran sel yang
terjadi pada seluruh jaringan dan organ. Pertumbuhan yang terjadi pada setiap
organ tidak sama satu dengan yang lainnya. Hal ini terjadi pada P. erosa yaitu
pertumbuhan cangkang tidak selalu sebanding dengan pertumbuhan beratnya. Ini
yang menyebabkan kerang memiliki variasi pertumbuhan yang cukup unik baik
isometrik maupun allometrik (Natan, 2008). Sesuai dengan data penelitian
Listyaningsih et al. (2011) menyebutkan bahwa P. erosa di Segara Anakan
memiliki pola pertumbuhan allometrik, mengelompok dan didominasi individu
betina.
Pertumbuhan dapat terjadi bila ada kelebihan input energi dan asam amino
yang berasal dari makanan (Yuwono, 2001). Pertumbuhan cangkang pada P.
erosa dipengaruhi oleh ketersediaan kalsium karbonat. Faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan P. erosa dapat berupa faktor internal dan eksternal.
Faktor internal dapat berupa keturunan, jenis kelamin dan umur sedangkan faktor
eksternal dapat berupa makanan dan kondisi lingkungan (Panggabean, 2007).
Habitat
P. erosa hidup di ekosistem mangrove yang memiliki substrat liat berpasir,
dapat bertahan pada kondisi pH yang rendah dan fluktuasi salinitas yang tinggi.
Akibat dari kondisi lingkungan yang berfluktuasi menyebabkan cangkang kerang
ini mengalami pengikisan. Vegetasi mangrove yang mendukung pola hidup
kerang ini antara lain Derris trifoliata, Achantus illicifolius dan Rhizophora sp.
8
Kondisi temperatur toleran untuk kerang ini yaitu 0 – 40 oC. Selain itu kondisi lain
yang mempengaruhi hidup kerang ini adalah kandungan bahan organik dan
oksigen. Bila berbagai faktor di atas sebagai habitat berada di luar range hidup
dari P. erosa akan dapat mempengaruhi pola pertumbuhan dari kerang itu sendiri
(Bahtiar, 2005).
Ekosistem Mangrove
Kata mangrove berasal dari bahasa Portugis yaitu mangue dan bahasa
Inggris grove. Dalam bahasa Inggris, kata mangrove digunakan untuk komunitas
hutan atau semak yang tumbuh dipantai/pulau walaupun beberapa spesies lain
berasosiasi didalamnya. Sedangkan dalam bahasa Portugis mangrove untuk 18
spesies secara individu dan untuk komunitas hutan yang terdiri dari spesies
mangrove (Tomlinson, 1994).
Ekosistem mangrove sering dijumpai di sepanjang estuaria daerah tropis dan
subtropis. Interaksi antara ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang
dengan lingkungannya mampu menciptakan suatu kondisi perairan yang cocok
untuk berlangsungnya proses biologi dan menguntungkan berbagai macam
organisme akuatik. Daerah mangrove juga memegang kunci dalam perputaran
nutrien sehingga eksistensinya dapat berperan menopang dan memberikan tempat
hidup bagi biota laut (Pramudji, 2007).
Ekosistem mangrove disebut juga dengan hutan pasang surut karena hutan
ini secara teratur atau selalu digenangi air laut, atau dipengaruhi oleh pasang surut
air laut dan terdapat didaerah litoral yaitu daerah yang berbatasan dengan darat.
Ekosistem hutan ini juga disebut ekosistem hutan payau karena terdapat didaerah
payau dengan salinitas antara 0,5 % dan 30 % (Indriyanto, 2006). Surat keputusan
yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Kehutanan No. 60/Kpts/DJ/1978, yang
dimaksud dengan hutan mangrove adalah tipe hutan yang terdapat disepanjang
pantai atau muaranya sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut.
Sebagian masyarakat hutan mangrove disebut juga hutan bakau, namun menurut
Khazali (1999) penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat
karena bakau merupakan salah satu nama kelompok spesies tumbuhan yang ada di
mangrove.
Ekosistem ini bersifat kompleks dan dinamis, namun labil. Dikatakan
kompleks karena ekosistemnya di samping dipenuhi oleh vegetasi mangrove, juga
merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Jenis tanah yang berada di
bawahnya termasuk tanah perkembangan muda (saline young soil) yang
mempunyai kandungan liat yang tinggi dengan nilai kejenuhan basa dan kapasitas
tukar kation yang tinggi. Kandungan bahan organik, total nitrogen, dan
ammonium termasuk kategori sedang pada bagian yang dekat laut dan tinggi pada
bagian arah daratan (Kusmana, 1994). Bersifat dinamis karena hutan mangrove
dapat tumbuh dan berkembang terus serta mengalami suksesi sesuai dengan
perubahan tempat tumbuh alaminya. Labil karena mudah sekali rusak dan sulit
untuk pulih kembali seperti sediakala (Anwar dan Hendra, 2007).
Banyak spesies mangrove yang berbeda di dunia. Tercatat telah dikenali
sebanyak sampai dengan 24 familia dan antara 54 sampai dengan 75 spesies,
tentunya tergantung kepada pakar mangrove yang mana pertanyaan kita tujukan
(Tomlinson, 1994). Asia merupakan daerah yang paling tinggi keanekaragaman
dan spesies mangrovenya. Thailand memiliki 27 spesies mangrove, di Ceylon ada
9
32 spesies, dan sebanyak 41 spesies di Filipina. Benua Amerika hanya memiliki
sekitar 12 spesies mangrove. Indonesia memiliki spesies tidak kurang dari 89
spesies mangrove. Menurut FAO terdapat sebanyak 37 spesies. Berbagai spesies
mangrove tersebut hidup di daerah pasang surut, tahan air garam dan berbuah
vivipar terdapat sekitar 12 familia (Irwanto, 2006).
Irwanto (2006) menyatakan bahwa sekian banyak spesies mangrove di
Indonesia, mangrove yang banyak ditemukan antara lain adalah spesies api-api
(Avicennia sp.), bakau (Rhizophora sp.), tancang (Bruguiera sp.), dan bogem atau
pedada (Sonneratia sp.). Spesies ini merupakan tumbuhan mangrove utama yang
banyak dijumpai. Spesies mangrove tersebut tergolong kelompok mangrove yang
menangkap, menahan endapan dan menstabilkan tanah habitatnya.
Mangrove sendiri merupakan sumberdaya yang dapat dipulihkan (renewable
resources) dan menyediakan berbagai jenis produk (produk langsung dan produk
tidak langsung). Pelayanan lindungan lingkungan seperti proteksi terhadap abrasi,
proteksi lahan daratan pesisir dari tiupan angin kencang dan arus gelombang laut,
menstabilisasi substrat/sedimen, proteksi terumbu karang dari suspensi koloid tanah
dalam air, pengendali intrusi air laut, mengurangi tinggi dan kecepatan arus
gelombang tsunami, pembersih air dari pencemaran polutan, dan tempat rekreasi.
Semua sumberdaya dan jasa lingkungan tersebut disediakan secara gratis oleh
ekosistem mangrove. Mangrove menyediakan berbagai jenis produk dan jasa yang
berguna untuk menunjang keperluan hidup penduduk pesisir dan berbagai kegiatan
ekonomi, baik skala lokal, regional, maupun nasional serta sebagai penyangga sistem
kehidupan masyarakat sekitar hutan. Semua fungsi mangrove tersebut akan tetap
berlanjut bila keberadaan ekosistem mangrove dapat dipertahankan dan pemanfaatan
sumberdayanya berdasarkan pada prinsip-prinsip kelestarian. Hal ini dapat diartikan
mangrove berperan sebagai sumberdaya renewable dan penyangga sistem kehidupan
jika semua proses ekologi yang terjadi di dalam ekosistem mangrove dapat
berlangsung tanpa gangguan (Kusmana, 1994).
Ekosistem Mangrove Segara Anakan
Ekosistem mangrove di Jawa Tengah memiliki bentuk yang beragam. Sedimen
yang terbawa sungai dan laut mengendap di muara sungai membentuk tanggul dan
gumuk pasir (sand dunes) yang menghambat masuknya air sungai ke laut, sehingga
terbentuk laguna. Mangrove hanya tumbuh pada laguna di muara sungai, termasuk
laguna Segara Anakan, Cilacap, kawasan mangrove terluas di Jawa (Setyawan et al.,
2008).
Segara Anakan tergolong suatu ekosistem rawa bakau dengan laguna yang unik
yang terletak di antara Pantai Selatan Jawa dan Pulau Nusakambangan. Ekosistem ini
juga menjadi tempat bermuara sungai besar ataupun kecil seperti Citanduy,
Cimeneng, Cibereum dan Cikonde. Hal ini menjadikan ekosistem unik ini menjadi
kaya akan nutrien sehingga kawasan tersebut memiliki sumberdaya perikanan yang
melimpah seperti ikan, udang dan berbagai spesies kerang. Nutrien yang terdapat
pada kawasan Segara Anakan menjadi mata rantai pangan bagi sumberdaya perikanan
di Samudra Hindia. Pelestarian suatu ekosistem sangat menunjang terhadap tingginya
keanekaragaman spesies dan genetik. Semakin tinggi tingkat keberagaman ekosistem
suatu wilayah, maka tingkat diversitasnya juga semakin tinggi (Medrizam et al.,
2004).
Komunitas vegetasi mangrove yang ditemukan sebanyak 26 spesies (Murtiono
et al., 2012). Spesies yang mendominasi adalah Acanthus ebracteatus, Derris
10
trifoliata, Cyperus sp., Sonneratia caseolaris, Avicennia marina dan Sonneratia alba.
Pengelompokkan berdasar kesamaan komposisi vegetasi penyusun. Sonneratia
caseolaris dominan pada garis pantai sebelah utara. Nypa fruticans dominan pada
bagian tengah dan garis pantai di sebelah barat. Sonneratia alba dominan pada garis
pantai sebelah barat daya. Faktor lingkungan yang paling mempengaruhi
pengelompokan vegetasi penyusun adalah salinitas, pasang surut dan intensitas
cahaya (Sukmarani et al., 2009).
Kondisi kawasan Segara Anakan saat ini tengah mengalami proses kerusakan
yang sangat masif. Menurut Ardli dan Wolff (2008) pada tahun 1987 mangrove
mencapai 15827.6 ha, tahun 1995 mencapai 10974.6 ha, tahun 2004 mencapai
9271.6 ha dan tahun 2006 mencapai 9237.8 ha. Pendangkalan laguna akibat laju
sedimentasi yang tinggi, penebangan hutan bakau secara liar, praktek penangkapan
ikan yang eksploitatif oleh nelayan lokal telah menyebabkan kawasan Segara Anakan
tidak lagi menjadi kawasan yang kondusif bagi keberlangsungan berbagai spesies
ikan dan satwa lainnya. Potensi ekonomi yang hilang akibat degradasi kawasan
Segara Anakan dalam bentuk kepiting, udang, kerang, dan berbagai spesies ikan
dapat mencapai Rp 11.25 miliar per tahun (Duddley, 2000). Menurut penelitian
Pribadi tahun 2003, kerang totok di kawasan mangrove Segara anakan mencapai
10.48 ind/m2. Lain halnya dengan penelitian yang dilakukan Widowati et al. pada
tahun 2005, kerang totok hanya mencapai 9.7 ind/m2. Penelitian Listyaningsih et
al. pada tahun 2011 menyatakan kepadatan P. erosa mencapai 6.53 ind/m2. Ini
menunjukan adanya penurunan. Sementara, total nilai ekonomi ekosistem mangrove
yang mungkin hilang akibat penebangan liar dapat mencapai Rp.140.880.427.700 per
tahun atau Rp 8.188.980 per ha per tahun (Paryono et al., 1999). Konsekuensi
konversi mangrove adalah penyusutan dan hilangnya ekosistem mangrove yang pada
gilirannya akan berdampak kepada lingkungan dan masyarakat sekitar. Selain
penyusutan dan kemerosotan populasi tumbuhan dan hewan, konversi mangrove akan
menyebabkan abrasi pantai.
Download