TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Obat Tanaman obat merupakan penghasil metabolit sekunder yang dapat berfungsi sebagai bahan baku obat untuk beragam penyakit termasuk diabetes (Radji 2005). Metabolit sekunder asal tanaman obat yang berpotensi sebagai antidiabetes dapat dikelompokkan berdasarkan struktur kimia yaitu alkaloid, terpenoid, flavonoid, dan fenol (Jung et al. 2006). Menurut Li et al. (2004) metabolit sekunder yang dikembangkan sebagai obat herbal baru untuk pengobatan diabetes di Cina termasuk ke dalam golongan polisakarida, terpenoid, flavonoid, sterol, dan alkaloid. Grover et al. (2002) mengidentifikasi setidaknya ada 45 jenis tanaman obat tradisional Asia India berupa produk murni dan ekstrak kasar yang efektif dalam mengobati diabetes dan komplikasinya. Tanaman tersebut diantaranya adalah Ayurveda, Allium cepa, Allium sativum, Cajanus cajan, Coccinia indica, Caesalpinia bonducella, Eugen jambolana, Ficus bengalenesis, Gymnema sylvestre, Momordica charantia, Murraya koeingii, Ocimum sanctum syn.Tenuit, Pterocarpus marsupium, Swertia chirayita, Syzigium cumini, Tinospora cordifolia, Trigonella dan Azardirachta indica . Tanaman obat yang berpotensi sebagai antidiabetes mempunyai beragam mekanisme kerja. Beberapa mekanisme tanaman obat dalam menurunkan kadar glukosa darah yang telah teridentifikasi diantaranya adalah merangsang sel pulau langerhans pankreas untuk melepaskan insulin, menghambat kerja enzim yang dapat meningkatkan kadar glukosa darah, meningkatkan jumlah dan kepekaan situs reseptor insulin terhadap insulin, mengurangi pengeluaran glikogen, meningkatkan penggunaan glukosa pada jaringan dan organ, membersihkan radikal bebas, menghambat peroksidasi lipid dan memperbaiki gangguan metabolisme lipid dan protein (Li et al. 2004). Terpenoid dan polifenol dari tanaman berpotensi sebagai antidiabetes dalam menurunkan kadar glukosa darah menurut Jung et al. (2006) terjadi melalui mekanisme penghambatan terhadap kerja alfa glukosidase dan aldose reduktase. 6 Brotowali (Tinospora crispa) Tanaman brotowali merupakan tanaman yang mudah tumbuh dan banyak ditemukan di Indonesia. Brotowali merupakan tanaman indigenus yang tumbuh di Malaysia dan dikenal dengan nama daerah sebagai akar parawali, atau akar seruntum. Sebagai obat herbal brotowali sering dipakai sebagai salah satu bahan ramuan jamu. Dalam pengobatan tradisional Malayasia dan Thailand, brotowali banyak digunakan untuk mengobati penyakit seperti demam, sakit kuning, hiperglikemia, luka, cacingan dan infeksi kulit. Selain itu, brotowali juga digunakan untuk mengobati sakit gigi dan sakit perut, batuk, asma dan radang selaput dada (Noor & Ashcroft 1989). Rebusan sebuah batang brotowali dalam pengobatan tradisional Thailand digunakan sebagai antipiretik untuk mengobati radang internal, mengurangi rasa haus, meningkatkan nafsu makan, pendinginan suhu tubuh dan untuk menjaga kesehatan. Di Indonesia, brotowali digunakan untuk mengobati diabetes, hipertensi, dan lumbago (Dweck & Cavin 2006). Brotowali dapat menurunkan kadar glukosa darah dengan cara menghambat penyerapan glukosa diusus halus dan meningkatkan kadar insulin plasma melalui perbaikan kerja pankreas yaitu dengan menstimulasi pelepasan insulin melalui modulasi konsentrasi Ca2+ pada sel beta pankreas, sehingga ekstrak brotowali dapat digunakan dalam terapi DM tipe 2 (Noor & Ashcrof 1998, Sriyapai et al. 2009). Tanaman brotowali dapat mengurangi kadar glukosa plasma sebanyak 7.45% selama 40 hari pada tikus yang diinduksi dengan streptozotosin (Grover et al. 2003). Ciri-ciri dari tanaman brotowali yaitu liana, membelit dengan batang dan ranting, batang sukulen dan berbenjol-benjol, daun tunggal, tanpa stipula, tulang daun menjari, fitotaksis tersebar, bunga uniseksual, trimeros, aksiler atau cauliflorous, buah batu, tipe daun dorsiventral, stomata anomositik, berkas pembuluh kolateral terbuka, pada bagian korteks batang terdapat lengkungan sklerenkim. Kandungan kimia brotowali terdiri atas amilum, pikroretin, pikroretosida, alkaloida, saponin, tanin (Santa et al. 1998). Menurut Santa et al. (1998) klasifikasi tanaman brotowali (Tinospora crispa (L) Miers): Kingdom : Plantae Subkingdom : Spermatohpyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliophyta Sub kelas : Magnoliidae Ordo : Rununculales Famili : Menispermaceae Genus : Tinospora Spesies : Tinospora crispa (L) Miers Ex. Hoox-f & Thomas Mikrob Endofit Mikrob endofit adalah mikrob yang hidup di dalam jaringan tanaman pada periode tertentu. Mikrob ini mampu hidup dengan membentuk koloni dalam jaringan tanaman tanpa membahayakan inangnya. Mikrob endofit menghasilkan senyawa bioaktif yang berfungsi sebagai antioksidan, antibiotik, antivirus, antikanker, bioinsektisida, imunosupresif, serta antidiabetik (Strobel & Daisy 2003). Beberapa mikrob endofit diketahui mampu menghasilkan metabolit sekunder atau senyawa fitokimia sama dengan tanaman inangnya. Hal ini diduga terbentuk akibat adanya transfer genetik (genetic recombination) dalam kurun waktu evolusi tertentu dari tanaman inangnya ke dalam mikrob endofit (Tan & Zou 2001). Beragam mikrob endofit yang telah berhasil diisolasi dari tanaman inangnya (Strobel & Daisy 2003, Hasegawa et al. 2006) dideskripsikan sebagai berikut: 1. Mikrob endofit penghasil antibiotik Fusarium sp. endofit tanaman Sellaginella pallescens memiliki potensi sebagai antifungi terhadap Candida albicans (Brady & Jon 2000). Colletotrichum gleosporioides endofit tanaman Artemisia mongolica menghasilkan senyawa metabolit sekunder asam Colletrotic yang dapat menghambat pertumbuhan Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus, dan Sarcina lutea (Zou et al. 2000). Colletotrichum sp. endofit tanaman Artemisia annua memproduksi senyawa 8 antimikrob (Lu et al. 2000). Streptomyces NRRL 30566 endofit Grevilea pteridifolia menghasilkan antibiotik kakadumycins dan munumbicin D yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif serta berkhasiat sebagai obat anti malaria (Castillo et al. 2003). Streptomyces sp. UK 06 yang diisolasi dari tanaman Thottea grandifora mampu menghambat bakteri Gram positif dan cendawan Fusarium solani (Ghadin et al. 2008). 2. Mikrob endofit penghasil antivirus Cendawan endofit Cytonaema sp. dapat menghasilkan metabolit cytonic acid A dan B, yang struktur molekulnya merupakan isomer p-tridepside, berhasiat sebagai anti virus. Cytonic acid A dan B ini merupakan protease inhibitor dan dapat menghambat pertumbuhan cytomegalovirus manusia (Guo et al. 2003). 3. Mikrob endofit penghasil senyawa antikanker Mikrob endofit dalam tanaman Taxus menghasilkan senyawa diterpenoid Paclitaxel dan derivatnya yang berkhasiat sebagai antikanker (Strobel et al. 2002). 4. Mikrob endofit penghasil zat anti malaria Streptomyces NRRL 30566 endofit Grevilea pteridifolia menghasilkan senyawa metabolit kakadumycins berkhasiat sebagai obat anti malaria (Castillo et al. 2003). Geotrichum sp. yang diisolasi dari Crassocephalum crepidioides menghasilkan senyawa metabolit sekunder dihydroisocoumarin yang memiliki potensi antimalaria, antituberkulosis dan antifungal (Kongsaeree et al. 2003). 5. Mikrob endofit penghasil zat antioksidan Endofit Paecilomyces sp. WSF-12 yang diisolasi dari tanaman Withania somnifera menghasilkan metabolit sekunder yang berfungsi sebagai antioksidan (Madki et al. 2010). Pestalotiopsis microspora yang diisolasi dari tanaman Terminalia morobensis yang tumbuh di Papua New Guinea, menghasilkan komponen pestacin dan isopestasin. Pestacin memiliki potensi sebagai antioksidan yang melebihi vitamin E (Harper et al. 2003). Tubuh buah dari Xylaria sp. YX28 yang diisolasi dari tanaman Gingko biloba memiliki potensi sebagai antioksidan alami (Liu et al. 2007). 6. Mikrob Endofit penghasil senyawa antidiabetes Endofit Pseudomassaria sp menghasilkan metabolit sekunder yang bekerja seperti insulin. Metabolit sekunder ini dapat mengaktifkan reseptor insulin-like growth factor I (IGFI) dan reseptor tirosin kinase sehingga dapat menurunkan kadar glukosa darah pada tikus diabetes (Zhang et al. 1999). Streptomyces glaucescens menghasilkan senyawa metabolit sekunder mirip dengan acarbose berfungsi sebagai inhibitor α-glukosidase yang dapat menurunkan kadar gukosa darah (Rockser & Wehemeier 2008). Aktinomiset Aktinomiset termasuk kelompok bakteri Gram positif yang mempunyai kandungan Guanine-Cytosine (GC) tinggi (high GC Gram positive bacteria) antara 63–78% (Madigan et al. 2006). Aktinomiset dikenal memiliki kemampuan menghasilkan metabolit sekunder seperti antibiotik, anti tumor, antidiabetik, anti virus, anti jamur dan lain-lain (Strobel & Daisy 2003, Dehnad et al. 2010). Aktinomiset dengan hifa tumbuh cepat, membentuk miselium aerial, memiliki spora yang tersusun berantai seperti spiral atau heliks tergolong streptomiset. Aktinomiset yang tidak membentuk miselium aerial tergolong non streptomiset (rare actinomycetes). Streptomyces merupakan genus paling banyak (77%) dari kelompok streptomiset. Genus yang tergolong non streptomiset antara lain Actinomadura, Actinoplanes, Mycobacterium, Nocardia, Saccharopolyspora, Microbispora, dan Micromonospora. Morfologi rantai spora, permukaan spora, warna miselium serta pigmentasi dapat dijadikan dasar klasifikasi hingga level spesies (Miyadoh & Otoguro 2004). Klasifikasi aktinomiset genus Streptomyces dalam Miyadoh (1997) yaitu : Kingdom : Bacteria Filum : Actinobacteria Kelas : Actinobacteria Sub kelas : Actinobacteridae Ordo : Actinomycetales Sub ordo : Streptomycineae Famili : Streptomycetaceae Genus : Streptomyces Species : Streptomyces sp. Perbedaan dalam bentuk dan pembentukan filamen aerial serta munculnya struktur spora dari beberapa spesies merupakan bagian utama yang 10 digunakan untuk mengklasifikasi spesies Streptomyces spp. Konidia dan spora yang sering berpigmen memberikan peran dalam mengkarakterisasi koloni yang matang. Perbedaan karakteristik tersebut menyebabkan genus Streptomyces spp. mempunyai berbagai macam spesies dan telah ditemukan lebih dari 500 spesies, umumnya merupakan organisme dalam tanah. Streptomyces spp. juga ditemukan dalam air, akan tetapi dalam jumlah yang relatif sedikit dibanding dengan spesies yang terdapat dalam tanah. Karakteristik yang umum adalah dengan adanya aroma tanah yang dihasilkan oleh metabolit Streptomyces sp. yang disebut geosmin (Madigan & Martinko 2006). Diabetes Mellitus Diabetes Mellitus (DM) adalah penyakit metabolik ditandai dengan tingginya glukosa dalam darah. Bila tidak segera ditangani, penyakit ini akan mengarah pada komplikasi utama, seperti diabetes neuropati, retinopati dan penyakit kardiovaskuler (Sheetz & George 2002, He & King 2004). Penyakit DM terbagi atas DM tipe 1 dan DM tipe 2. DM tipe 1 dikenal sebagai diabetes tergantung Insulin (IDDM). Selain terjadi pada orang dewasa, DM tipe 1 juga dapat terjadi pada anak-anak dan remaja. Penyakit DM tipe 1 terjadi karena ada kerusakan sel beta pankreas pulau langerhans yang berakibat pada berkurangnya produksi insulin sehingga dampak dari DM tipe 1 hanya dapat dikendalikan dengan pemberian Insulin. Diabetes Mellitus tipe 2 disebut juga diabetes tidak tergantung insulin (NIDDM), terjadi karena adanya gangguan sekresi insulin pankreas atau menurunnya sensitifitas reseptor terhadap insulin ke dalam jaringan terutama otot dan hati. Umumnya DM tipe 2 disertai dengan kegemukan (obesitas), dislipidemia, hipertensi, hiperinsulinemia, fibrinolisis, disfungsi endotel, peradangan, dan aterosklerosis prematur (Inzucchi 2002, Sheetz & George 2002, CAD 2008). Pengobatan DM tipe 2 ini dapat diobati dengan obat-obatan kimia yaitu golongan sulfonylurea, biguanida, inhibitor αglukosidase, thiazolidinediones (Li et al. 2004 ) dan dapat juga dengan tanaman obat herbal (Jung et al. 2006). Pencernaan dan Absorbsi Karbohidrat Karbohidrat merupakan sumber kalori yang memiliki polimer polisakarida. Sebelum dicerna didalam tubuh karbohidrat terlebih dahulu dipecah menjadi monomer yaitu unit paling sederhana yang disebut monosakarida. Untuk memecah polisakarida diperlukan dua enzim utama yaitu α-amilase dan αglukosidase. Pencernaan karbohidrat dimulai dari mulut, dengan adanya enzim αamilase yang dikeluarkan oleh kelenjar saliva. Enzim ini memecah karbohidrat sekitar 5 % dan kemudian di degradasi di dalam lambung. Pencernaan karbohidrat selanjutnya dilakukan di usus halus oleh adanya enzim α-amilase yang dihasilkan oleh pankreas. Enzim α-amilase dapat menghidrolisis sempurna amilosa menjadi maltose (disakarida) dan glukosa. Selanjutnya enzim α-glukosidase yang dihasilkan di usus halus dapat menghidrolisis secara sempurna laktosa, maltosa dan sukrosa menjadi unit monosakarida. Hanya unit monosakarida yang mampu diserap didalam darah. Glukosa dan monosakarida lainnya seperti fruktosa dan galaktosa yang merupakan hasil dari hidrolisis sukrosa dan laktosa diabsorpsi dari usus halus melalui vena portal hepatika menuju hati. Dari hati monosakarida yang tidak digunakan secara langsung akan disimpan sebagai glikogen. Glukosa kembali akan memasuki aliran darah sebagai glukosa bebas (kadar glukosa dalam darah) untuk dibawa ke jaringan dan dioksidasi melalui jalur glikolisis untuk menghasilkan energi yang diperlukan oleh tubuh (FAO 1998). Pengobatan Diabetes Mellitus Diabetes mellitus merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan secara total tetapi dapat dikendalikan. Pengobatannya dapat dilakukan dengan obat hipoglikemik oral atau antidiabetes oral. Antidiabetes oral dapat dibagi kedalam 4 golongan: 1. Golongan Sulfonilurea Sulfonilurea meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta dengan meningkatkan respon akut untuk meningkatkan kadar glukosa darah. Sulfonilurea dapat memperbaiki kadar glukosa darah puasa. Obat golongan ini dipakai dalam terapi DM tipe 2. Golongan yang termasuk sulfonilurea generasi pertama adalah klorpropamida, tolbutamida, asetoheksamida, dan tolazamida. Generasi kedua adalah glibenklamida, glizida, glibonurida (Inzucchi 2002). 12 2. Golongan Thiazolidinediones Thianizolidinediones bekerja pada jaringan lemak, otot dan jaringan hati seperti metformin. Obat ini dapat menurunkan lipolisis pada jaringan lemak, menurunkan produksi asam lemak bebas, mengurangi resistensi insulin pada jaringan otot dan hati. Obat ini dapat mengurangi glukoneogenesis dalam hati, meningkatkan ambilan glukosa oleh hati dan sel otot, meningkatkan produksi insulin dengan memperbaiki sel beta pankreas (Nancy & Bohannon 2002). 3. Golongan Biaguanide Turunan biaguanide adalah metformin yang memperbaiki sensitivitas insulin, menurunkan glukoneogenesis hati dan meningkatkan pengambilan glukosa oleh sel hati dan sel otot. Obat ini juga menghambat lipolisis dalam jaringan lemak, dan mengurangi pelepasan asam lemak bebas (Sheetz & George 2002). 4. Golongan Inhibitor α-Glukosidase Enzim α-glukosidase berperan dalam proses metabolisme karbohidrat dan glikoprotein. Enzim ini berfungsi mengkatalisis pelepasan glukosa dari oligosakarida dan polimer penyimpanan seperti pati dan glikogen (Cheng & Fantus 2005). Inhibitor α-glukosidase (misalnya acarbose, miglitol dan voglibose) menyebabkan pembentukan glukosa terhambat di usus halus sehingga penyerapan glukosa tertunda. Hal ini mengakibatkan kadar glukosa setelah makan menjadi rendah. Obat yang termasuk kedalam golongan ini adalah acarbose. Dalam pengobatan diabetes, acarbose sering digunakan untuk pengobatan pasien DM tipe 2 (Laar et al. 2005, Hanefeld et al. 2008). Acarbose adalah pseudooligosakarida yang memiliki kemampuan menghambat kerja enzim α-glukosidase di dalam saluran pencernaan sehingga dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia postprandial. Acarbose memiliki nama kimia O-4,6-dideoxy- 4-[[(1S, 4R, 5S, 6S)-4,5,6-trihydroxy-3-(hydroxymethyl)-2-cyclohexen-1-yl]amino]-(alpha)-Dglucopyranosyl-1(1→4)O-(alpha)-D-glucopyranosyl-(1→4)-D-glucose. Acarbose memiliki rumus empirik C25H43NO18 bersifat larut dalam air (Wehmeier & Piepersberg 2004, Shibao et al. 2007). Struktur kimia acarbose adalah sebagai berikut : Gambar 1 Struktur acarbose terbagi atas bagian cylitol tidak jenuh (A), aminodeoxyhexose atau acarviosine (B) dan maltose (cincin C dan D) (Brunkhorst & Erwin 2005). Voglibose adalah inhibitor alfa glukosidase yang digunakan untuk menurunkan kadar glukosa darah setelah makan pada penderita diabetes mellitus. Voglibose memiliki kemampuan untuk meningkatkan sekresi glucagon-like peptide-1 (GLP-1) pada manusia. GLP-1 diketahui terlibat dalam regulasi sekresi insulin, sekresi glukagon, peremajaan sel beta dan regulasi fungsi jaringan pankreas. Bentuk aktif GLP 1 dapat dinonaktifkan oleh dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4) membentuk GLP-1 amida. Inhibitor alfa glukosidase menunda penyerapan karbohidrat akibatnya terjadi penurunan penyerapan gula dalam usus halus, yang meyebabkan terjadinya peningkatan terhadap sekresi GLP-1 (Moritoh et al. 2009). Miglitol adalah pseudomonosakarida, merupakan inhibitor α-glukosidase pertama, dapat meningkatkan menurunkan kontrol kadar glikemik, glukosa mengurangi darah postprandial tingkat glikosilasi dengan pada hemoglobin(HbA). Miglitol sebagai antihiperglikemik oral digunakan untuk pengobatan pasien dengan diabetes mellitus tipe 2. Obat ini tidak memiliki efek hipoglikemik, tidak berpengaruh pada berat badan karena secara sistemik cepat diserap namun tidak dimetabolisme dan cepat diekskresikan melalui ginjal. Namun demikian miglitol memiliki efek pada sistem pencernaan berupa perut kembung, sakit perut dan diare (Scott & Spencer 2000). Mikrob Penghasil Inhibitor α-Glukosidase Berbagai mikrob telah diidentifikasi menghasilkan senyawa yang dapat menghambat enzim α-glukosidase. Senyawa inhibitor α-glukosidase tersebut 14 adalah acarbose. Acarbose adalah pseudooligosakarida yang bertindak sebagai kompetitor α-glukosidase bersifat hampir tidak dicerna dan tidak bersifat racun (Laube 2002, Wehmeier & Piepersberg 2004). Acarbose merupakan produk alami anggota C7N-aminocyclitol dihasilkan oleh aktinomiset genus Actinoplanes sp. dan Streptomyces sp. digunakan dalam terapi pengobatan DM tipe 2 (Wehmeier & Piepersberg 2004). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa beragam galur Actinoplanes dapat menghasilkan inhibitor α-glukosidase yaitu jenis Actinoplanes sp. SE50/110 (Zhang et al. 2003a), Actinoplanes sp. CKD485-16 (Choi & Shin 2003), Actinoplanes sp. A56 (Wei et al. 2010). Aktinomiset yang berasal dari genus Micromonospora sp. VITSDK3 (EU55138) (Suthindiran et al. 2009) dan Streptomyces glaucescens juga menghasilkan inhibitor α-glukosidase (Rockser & Wehmeier 2008).