BDSM: Orientasi Seks yang Dipengaruhi Media Massa Menurut Jean Baudrillard Charisma David Hume, Selu Margaretha Kushendrawati Program Studi Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya ABSTRAK Nama Program Studi Judul : Charisma David Hume : Filsafat : BDSM: Orientasi Seks yang Dipengaruhi Media Massa Menurut Jean Baudrillard BDSM, sebagai orientasi seks minoritas menjadi barang komoditas, yakni pornografi. Stereotip masyarakat mengenai BDSM adalah kekerasan seksual dan BDSM adalah variasi seksual dihegemoni oleh media massa. Media massa menciptakan tanda secara masif merayu masyarakat di dalam permainan tanda. Permainan tanda yang dikendalikan kapitalisme membawa masyarakat ke dalam sistem konsumsi. Kondisi ini adalah apa yang disebut Jean Baudrillard hiperrealitas BDSM di dalam masyarakat. Kondisi ini membuat BDSM sebagai orientasi seks dipengaruhi media massa. Kata Kunci : Pengalaman Aktif, Pendidikan, Usia Dini, Anak Didik, Pendidik, dan Sosial BDSM: Sex Orientation Influenced Mass Media by Jean Baudrillard BDSM, as minority sexual orientation become commodity goods, that is pornography. Stereotype people about BDSM that sexual violence and BDSM is sexual variation which hegemony by mass media. Mass media produce massive sign seduce people in game of sign. This game of sign controlled capitalism lug people into system of consumption. This condition is what called Jean Baudrillard as hiperreality BDSM in society. This condition makes BDSM as sexual orientation influenced by mass media. Key Word: BDSM, sexual violence, sign, mass media, consumption. 1 BDSM : Orientasi..., Charisma David Hume, FIB UI, 2013 A. PENDAHULUAN Dalam kehidupan sehari-hari, manusia selalu berusaha mencukupi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan tersebut dapat berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, rasa aman atau hiburan, dan kebutuhan biologis, seperti seks. Manusia memiliki berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mulai memanfaatkan lingkungan sekitarnya, baik itu berupa makhluk hidup hingga benda mati yang terkecil hingga menukar sesuatu yang ia miliki demi mendapatkan sesuatu yang ia tidak miliki. Manusia pada zaman purbakala memenuhi kebutuhan akan makanannya dengan berburu hewan sekitar. Jika satu orang tidak dapat berburu hewan buruannya, maka ia meminta tolong dengan temannya berburu dengan cara kerjasama. Untuk mendapatkan hasil buruannya secara mudah dan cepat mereka menggunakan alat, seperti kapak batu, panah, tombak, dan semacamnya. Alat ini adalah perpanjangan tangan manusia untuk mempermudah pekerjaan manusia yang kemudian berkembang dengan sebutan sebagai teknologi. Manusia terus mengembangkan teknologi, yang awalnya digunakan untuk menghilangkan rasa laparnya kemudian mencakup seluruh akan kebutuhan manusia itu sendiri. Teknologi dikembangkan dengan pesatnya dengan tujuan sebagai alat untuk mengatasi keterbatasan manusia. Teknologi dapat menjawab keterbatasan manusia dengan jarak dan waktu, berupa alat transportasi seperti: sepeda, motor, mobil, kereta, kapal, pesawat, dan sebagainya. Di bidang kesehatan, peran teknologi sangat membantu seorang dokter untuk mendeteksi hingga menyembuhkan penyakit pasiennya. Di bidang pertanian, peranan teknologi membantu petani mempercepat hasil panen dan menciptakan bibit yang unggul, dan masih banyak jenis teknologi yang berguna memudahkan pekerjaan manusia. Abad ke-21 telah membuka satu cakrawala baru dalam dunia kebudayaan, khususnya terciptanya realitas baru objek dan estetik, sebagai akibat globalisasi ekonomi dan informasi yang melanda dunia1. Akibatnya, salah satu pengaruh dari globalisasi saat memasuki era teknologi informasi, hampir seluruh kegiatan manusia tidak lepas dari media massa dan produk teknologi komunikasi. Hal ini dapat dibuktikan dengan berbagai aktivitas manusia yang selalu menikmati media massa tiap menit, baik media massa cetak maupun elektronik, serta selalu menggenggam 1 Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Dilipat, Matahari, Bandung, 2011, hlm. 197. 2 BDSM : Orientasi..., Charisma David Hume, FIB UI, 2013 telepon seluler dan komputer jinjing ditangannya2. Seseorang dapat bertahan duduk selama delapan jam di depan layar komputer maupun handphone yang disediakan oleh fasilitas internet untuk mendapatkan informasi dengan cepat. Seseorang tidak lagi harus menonton televisi atau membaca koran yang menggunakan waktu dan tempat yang “khusus” untuk mendapatkan informasi. Mereka hanya mendapatkannya dengan meng-„klik‟ tombol laptop, tablet, hingga handphone smart phone yang memliki kemampuan mirip dengan komputer untuk mendapatkan semua informasi. Berdasarkan perkembangannya, penggunaan media internet di dalam kehidupan seharihari semakin meningkat. Berdasarkan sumber3, penggunaan internet mencapai 2,4 miliar di seluruh dunia. Pada segmen media sosial, pada tahun 2012 ada 2,7 miliar „like‟ facebook, 175 juta tweet yang dikirim setiap harinya. Di sini dapat dilihat semakin dekatnya penggunaan internet yang bagian dari media massa sebagai alat media komunikasi yang sering digunakan masyarakat. Keadaan masyarakat sekarang sudah diramalkan oleh Lyotard yang mengatakan bahwa keadaan masyarakat posmodern adalah masyarakat komputerisasi. Komputerisasi merupakan suatu revolusi konsumerisme yang radikal. Percepatan informasi dan pengolahan data yang mampu memanipulasi realitas, penyebaran pengetahuan dan kekuasaan secara masif, adalah beberapa konsekuensi perkembangan teknologi4. Kini media menjelma menjadi seakan-akan seperti gravitasi, yaitu siapapun akan berputar mengelilingi titik spektrumnya, dan patuh terhadap gaya gravitasinya5. Bebasnya seseorang dalam mengakses dan mencari informasi dalam berbagai bentuk media massa, khususnya internet menciptakan suatu pola, pola pencarian informasi. Kata seks yang dahulu dianggap tabu, kini menjadi barang konsumsi yang mudah diperoleh. Berbagai acara televisi, majalah, koran, buku, hingga internet menawarkan atau menyisipkan konten porno dalam bentuk pornografi. Bahkan pada saat kita ketik kata “sex” di internet ada 2,9 miliar hasil penelusuran dari google. Apristia Krisna Dewi, “Teknologi Komunikasi Berikan Dampak Kuat pada Perkembangan Media”, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, http://www.uinjkt.ac.id/index.php/component/content/article/1headline/1824-teknologi-komunikasi-berikan-dampak-kuat-pada-perkembangan-media.html, diakses pada 26 Februari 2013 pukul 2.18. 3 Lihat http://inet.detik.com/read/2013/01/21/081040/2147888/398/pengguna-internet-24-miliar-jumlah-situstembus-634-juta. diakses pada 26 Februari 2013 4 Madan Sarup, Postruktualisme & Posmodernisme, Jala Sutra, Yogyakarta, 1989, hlm.118. 5 Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Dilipat, Matahari, Bandung, 2011, hlm. 166. 2 3 BDSM : Orientasi..., Charisma David Hume, FIB UI, 2013 Media menawarkan konsep porno ke ruang publik sebagai barang komoditas yang di produksi dalam bentuk DVD, majalah, tabloid, kalender, film, bahkan dalam bentuk foto. Maraknya pornografi di masyarakat memberikan “peluang” bagi penjual atau pelaku ekonomi yang menjual VCD atau DVD pornografi. Ada sekitar 1500 pedagang kaki lima yang berhasil menjugal rata-rata 75 buah keping plastik dengan harga Rp 5.000,00 per judul mencapai omzet 560 juta rupiah dalam sehari6. Konten porno yang ditawarkan bukan hanya menampilkan hubungan seks heteroseksual, namun juga dalam bentuk homoseksual, incest; melakukan hubungan seksual dengan salah seorang keluarga, hingga melakukan hubungan seksual dengan cara menyakiti dan disakiti yang dikenal dengan BDSM. Dalam hubungan seks dilandasi oleh perasaan cinta, rasa saling menghargai ketika menjalin keintiman dengan pasangan, baik itu heteroseksual maupun homoseksual. Namun ada beberapa fenomena yang tidak biasanya terjadi, mendapatkan kepuasan dalam berhubungan badan dengan cara kekerasan fisik. Ada yang berperan sebagai tuan yang suka menyiksa dan ada yang sebagai slave atau budak yang menerima siksaan tuannya. Karakteristik BDSM yang identik dengan kekerasan ini menjadikan ia dianggap negatif oleh masyarakat. Di sisi lain, tayangan-tayangan yang bertema BDSM ini sering muncul di media massa yang membawa konten porno. Misalnya: dalam dunia internet, film, video klip musik, DVD porno, majalah porno, hingga komik yang berbau pornografi BDSM. BDSM juga menyusup ke dalam iklan global, misalnya iklan produk jeans memanipulasi bentuk BDSM dalam iklan mereka. Bahkan, ada beberapa musik yang memasukkan konten BDSM di dalam karya Justin Timberlake “Sexy Back”, lagu Depeche Mode “Master and Servant”, Rihanna “S&M”, dan sebagainya. Melalui media massa, BDSM tertanam dalam kehidupan sehari-hari dan tidak menutup kemungkinan akan menjadi lifestyle. Berdasarkan fenomena di atas, penulis melihat ada sesuatu yang perlu dikaji dan dicermati dari BDSM. Perkembangan teknologi yang semakin cepat beriringan dengan perkembangan media massa telah menghasilkan dampak yang besar dalam kehidupan manusia, khususnya dalam wilayah seksualitas. Seksualitas yang merupakan bagian privat individu, memiliki hubungan yang erat dengan media massa. Ada hubungan seperti gravitasi yang tarikmenarik antara media massa dan seks BDSM. Hal ini yang dilihat penulis sebagai titik dari keingintahuan dan latar belakang topik ini dibahas secara filosofis. 6 Syarifah, Pornografi, Yayasan Kota Kita, Jakarta, 2006, hlm 3. 4 BDSM : Orientasi..., Charisma David Hume, FIB UI, 2013 a) Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang fenomena-fenomena yang terdapat dalam masyarakat, tampak ada permasalahan yang dikaji secara filosofis. Media massa yang merupakan sebagai medium penyampaian suatu pesan ke masyarakat. Seperti juga yang dikatakan Marshall McLuhan, media massa merupakan perluasan manusia (the extensions of man), baik dari aspek psikis maupun aspek fisik yang dimiliki manusia7. Dalam penulisan skripsi yang berjudul “BDSM: Orientasi Seks yang Dipengaruhi Media Massa Menurut Jean Baudrillard” ini, permasalahan yang ingin diangkat yaitu, menjelaskan konsep dari rayuan menurut Jean Baudrillard sebagai pisau bedah untuk melihat fenomena BDSM di dalam masyarakat pada era kontemporer ini. BDSM dalam masyarakat dianggap sebagai kelainan seks dan di luar batas normal. Adegan-adegan yang ditawarkan BDSM dalam media berupa penyiksaan, pemukulan, perbudakan, hingga kekerasan yang membuat pasangannya tidak berdaya menimbulkan kesan yang mengerikan dalam praktik BDSM. Hal ini menjadikan opini publik mengenai BDSM mengarah negatif bahwa BDSM sebagai perilaku seks yang menyimpang. Dampaknya, BDSM menjadi orientasi seksual yang didiskriminasi oleh pandangan publik yang dibentuk oleh media massa. Sementara itu, BDSM sangat mudah ditemukan dalam media massa, khususnya pornografi. Seseorang dapat dengan mudah yang menonton atau mengonsumsi hal yang bertema BDSM melalui media. Kondisi ini secara tidak sadar membawa seseorang ke perilaku seks yang menyukai tema „kekerasan atau penyiksaan‟. Mereka beranggapan seks itu adalah BDSM dan sebuah seni dalam memuaskan hasrat seksualitas. Seseorang yang sangat menyukai perilaku seksual BDSM yang bertema “menyiksa atau disiksa” sangat dipengaruhi oleh media massa. BDSM menjadi tren dan gaya seksualitas oleh pasangan yang ingin menemukan sensasi baru dalam berhubungan seksual. Melihat dua fenomena BDSM yang kontradiksi di atas, penulisan karya ini menganalisis di dalam masyarakat kontemporer ini, mengapa hal semacam itu bisa terjadi? Mengapa BDSM 7 Selu Margaretha Kushendrawati, Hiperrealitas dan ruang publik, Penaku, Jakarta, 2011, hlm. 69. 5 BDSM : Orientasi..., Charisma David Hume, FIB UI, 2013 yang dianggap sebagai perilaku seks yang dihindari oleh masyarakat, namun di sisi lain BDSM juga sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari, BDSM menjadi konsumsi masyarakat? Pertanyaan dasar inilah yang menjadi hal yang penting dianalisis, karena masyarakat kontemporer itu sendiri tidak menyadarinya. b) Manfaat dan Tujuan Penelitian Penelitian ini sendiri memiliki beberapa manfaat dan tujuannya. Manfaat Penelitian ini adalah: Memahami mengenai makna dibalik fenomena BDSM di dalam kehidupan sehari-hari. Serta memberikan pandangan baru bagi kita terhadap arti BDSM bukanlah sesuatu yang dihindari dan dianggap penyakit kelainan jiwa, sehingga orang yang berada dalam komunitas BDSM tidak merasa berbeda dengan lainnya. Penilitian ini memberikan pandangan mengenai BDSM, sehingga kita menghargai kehidupan seks sendiri dan orang sekitar kita tanpa ada diskriminasi dan hegemoni seksualitas itu sendiri. Penelitian ini juga memiliki tujuan adalah: Pertama, tujuan penulisan ini adalah syarat untuk lulus program sarjana Universitas Indonesia. Kedua, agar orang awam dapat mengetahui konsep BDSM dan konsep rayuan dari Jean Baudrillard. Ketiga, menjelaskan permainan „rayuan‟ media massa sebagai alat dari kapitalisme yang melalui citra-citra tanda memanipulasi dan membentuk keadaan psikis masyarakat mengenai BDSM. BDSM di dalam dunia kontemporer bukan sebagai hal yang dihindari namun pembebasan hasrat. Keempat, penulis berharap wacana BDSM (Bondage Discipline Dominance Submission Sadism Masochist) menjadi bahan refleksi kritis pembaca. Semoga karya dari penulis bermanfaat bagi masyarakat sekitar. B. TINJAUAN TEORITIS Penulisan ini menggunakan kerangka dasar teori meliputi konsep-konsep dasar pemikiran Baudrillard yang berhubungan dengan konsep seksualitas dan media massa. Dalam konsep 6 BDSM : Orientasi..., Charisma David Hume, FIB UI, 2013 seksualitas dan media massa memiliki berbagai macam relasi, seperti ekonomi, hiperrealitas, rayuan media, simbol dan tanda-tanda, dan budaya konsumtif. Dengan menelusuri kronologi pemikiran Baudrillard dengan melihat background pemikirannya yang dipengaruhi Marx mengenai produksi. Dalam Saussure konsep “penanda dan petanda” digunakan untuk melihat bahwa pola konsumsi sekarang bukan berdasarkan nilai guna, namun aktivitas tanda-tanda yang berpotensi menuju hiperrealitas. Tanda-tanda yang diciptakan juga merupakan bagian dari rayuan. Memahami semiotika membantu pemahaman menulis untuk menganalisis BDSM dan perkembangannya. Bagaimana media massa merayu massa yang berpengaruh ke tahap kesadaran masyarakat itu sendiri. Tanda-tanda yang diciptakan oleh media massa secara masif membentuk suatu kondisi masyrakat yang pasif. Rayuan media massa yang lebih kuat daripada kekuasaan mampu membawa massa ke dalam pola konsumsi. Masyarakat mengonsumsi BDSM melalui pornografi. Peranan media massa menjadi sentral dalam repetisi tanda-tanda. Tanda-tanda yang diproduksi menjadi tidak bermakna karena banyaknya tanda-tanda yang diproduksi. C. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah studi kepustakaan dengan paparan deskripsi analisis. Selain itu penggunaan permasalahan menggunakan metode kepustakaan juga sangat penting karena hampir seluruh permasalahan filosofis yang dibahas diambil dari sumber kepustakaan yang meliputi karya-karya yang membahas mengenai BDSM, sejarah BDSM, identitas BDSM, BDSM di dalam pornografi, media massa, rayuan media massa. Pertama, penulis berusaha memamparkan fenomena perilaku seksualitas BDSM di dalam masyarakat dan keadaan BDSM yang dipengaruhi oleh media massa. Kedua, penulis menganalisis fenomena tersebut dengan menggunakan pemikiran Jean Baudrillard tentang media massa. Analisis fenomena hubungan perilaku seks BDSM dengan media massa menggunakan sejumlah karya Jean Baudrillard. Karya tersebut adalah Seduction, Symbolic Exchange and Death, Simulacra and Simulation, The Consumer Society,Perfect Crime. Dalam penelitian ini difokuskan pada peranan media massa yang sebagai medium atau perantara tanda-tanda yang 7 BDSM : Orientasi..., Charisma David Hume, FIB UI, 2013 diciptakan membentuk pola pikir dan perilaku manusia. Sumber-sumber lain bagi penulisan ini adalah sejumlah makalah, jurnal, tesis, disertasi, dan internet dengan rincian dilihat pada daftar pustaka. Selain melakukuan penelitian melalui studi pustaka, penulis juga melakukan observasi langsung melihat komunitas pecinta BDSM di dalam forum di internet. Observasi ini dilakukan untuk memastikan dan mengetahui pengalaman penikmat BDSM yang juga terpengaruh dari media massa, seperti menonton film, baca komik, menonton video porno. D. PEMBAHASAN BDSM adalah perilaku seksual kontroversial di dalam praktiknya, yang melibatkan peraturan orang dewasa dalam term “dominasi dan submisi” dan peran yang ada di dalamnya. BDSM atau juga dikenal dengan sebutan sadomasokis telah menjadi suatu budaya popular, yang berada dalam pengawasan media dan kalangan umum, karena kegiatannya yang sering menampilkan “ tampilan dari aturan dan ketaatan satu pasangan terhadap lainnya”, meskipun dalam permainan BDSM hanyalah sebuah tindakan dan ilusi atau fantasi semata8. BDSM dalam dunia seks memiliki tata cara atau aturan khusus dalam menikmati hubungan seksual itu sehingga ada menimbulkan budaya popular hubungan seks. Di sisi lain, BDSM merupakan perilaku seks yang dalam jangka waktu lama dianggap sebagai penyimpangan. BDSM sering dianggap sebagai seks yang dicampur dengan kekerasan untuk mencapai puncak dari kepuasan dalam berhubungan seksual. Seseorang mengalami orgasme ketika ia menyakiti pasangannya dan ketika ia juga disakiti oleh master/mistress-nya. Berdasarkan penelitian dari National Coalition for Sexual Freedom (NCSF) menemukan adanya laporan diskriminasi 95% berasal dari isu BDSM/ fetisisme9. Hal ini menunjukkan realitas BDSM adalah orientasi seksual yang identik dengan kekerasan. BDSM sering tidak lepas dari tema bahwa kelakuan BDSM merupakan bentuk merendahkan hubungan seksual, yang berasal dari dominasi laki-laki atas perempuan. Hal semacam ini menjadi popular di dalam bentuk program televisi dan menjadi mainstream yang 8 Lihat http://academia.edu/2937627/Anti-Sadomasochist_and_AntiBDSM_Discourse_Biopower_and_Notions_of_the_Perverse_Foucaults_Deployment_of_Sexuality_and_the_New_ Discourse_of_Sexuality 9 Lihat https://ncsfreedom.org/component/k2/item/642-ncsf-newsletter-1st-quarter-2011.html 8 BDSM : Orientasi..., Charisma David Hume, FIB UI, 2013 melibatkan praktik kekuasaan. BDSM dianggap sebagai “kultur patriarki” yang hanya memuaskan laki-laki dan perempuan hanya sebagai partner. Para pelaku BDSM dan komunitas BDSM menolak anggapan bahwa BDSM adalah hubungan seksual yang merendahkan kaum perempuan, yang berdasarkan dominasi laki-laki terhadap perempuan. Mereka beranggapan bahwa permasalahan hasrat BDSM adalah “kesalahan politikal” (poltically incorrect). Mereka beranggapan bahwa setiap orang berhak mendapatkan hak istimewanya dalam praktisi seks yang minoritas, seperti homoseksual, lesbi, dan BDSM. Dalam dunia seks, BDSM di dalam jangka waktu yang lama menjadi ativitas seksual yang menimbulkan pro dan kontra. Sebagian orang menolak BDSM karena perilaku sadomasokis merupakan hal-hal yang di luar batas kenormalan; seseorang mendapatkan kepuasaan dengan cara menyakti dan disakiti. Sebagian orang yang menerima BDSM, beranggapan BDSM adalah hubungan seks yang dilakukan dengan senang hati antara pasangannya, dan juga BDSM dianggap merupakan seni di dalam berhubungan seksual. Di balik hubungan pro dan kontra opini orang mengenai BDSM, secara sengaja atau tidak sengaja BDSM di dalam masyarakat kontemporer menjadi sesuatu yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Seiring dengan perkembangan media massa, seseorang dengan mudah mengakses dan menemukan hal-hal yang berhubungan dengan BDSM melalui media massa, seperti televisi, majalah, novel, internet dan alat komunikasi yang digital. Seperti yang dikatakan Marshall McLuhan, media adalah membawa pesan10. Media dengan kekuatan dan kekuasaannya membawa pesan bahwa BDSM menjadi komoditi dengan segala nilai ekonomi melebur satu di dalam tayangan yang disebut pornografi. Kekuatan media massa terletak pada ia sebagai mesin tanda yang mempengaruhi kesadaran masyarakat. Dalam proses ia mempengaruhi kesadaran masyarakat, media merayu masyarakat yang menciptakan keterpesonaan masyarakat melalui tanda yang digunakan untuk merayu. Rayuan menurut Baudrillard berada dalam tatanan aturan dari tanda-tanda yang diproduksi yang merupakan bagian dari permainan itu sendiri, permainan tanda. Manusia dibawa ke dalam sebuah ide yang di dalamnya terdapat kebahagiaan yang alami. Ide tersebut merupakan suatu ungkapan hasrat BDSM di dalam aturannya memiliki kekuatan yang berasal dari ritual permainan. Permainan ini diciptakan bukan hanya diciptakan seperti mimpi, situasi yang jauh dari realitas, namun suatu kewajiban. Kewajiban ini membawa seseorang untuk mengikuti 10 Marshall Mc Luhan, Understanding Media: The estensions of man, London and New York, hlm.7. 9 BDSM : Orientasi..., Charisma David Hume, FIB UI, 2013 permainan hasrat BDSM untuk ikut masuk ke dalamnya, Hasrat dari BDSM ini dilembagakan oleh permainan dari tanda-tanda yang diciptakan media massa melalui metode konvensional. Di dalam BDSM tidak ada lagi kebebasan dalam arti moral dan individu kita. Manusia di bawa ke dalam sistem ritual kewajiban11. Hasrat BDSM yang dianggap sebagai pembebasan hasrat seksualitas sebenarnya tidak membawa manusia ke dalam term kebebasan, namun manusia di bawa kedalam suatu sistem libido BDSM. BDSM menjadi daya tarik seksualitas yang berdasarkan kebahagiaan dan kesenangan. Prinsip dari aturan permainan ini tidak berdasarkan sebagai hal yang universal. Permainan dari tanda ini tidak berdasarkan psikologi atau metafisik yang menjadi landasan yang mempengaruhi kesadaran seseorang untuk percaya. Baudrillard mengatakan, bahwa manusia dilarutkan ke dalam permainan, tanpa proses membuat seseorang itu percaya atau tidak. Seseorang di bawa ke dalam tanda konvesional BDSM dengan segala daya tariknya di dalam permainan tanda yang tanpa dasar. Permainan tanda-tanda yang diciptakan dari media massa merupakan tanda yang mengikat. Meskipun dalam dunia filsafat selalu memperjuangkan kebebasan manusia yang otentik, namun kebebasan sekarang dipengaruhi oleh tanda-tanda. Kebebasan dituntut oleh tandatanda modern, seperti individu yang modern, sebenarnya adalah suatu bentuk artikulasi diri yang sesuai dengan hasrat dari tanda konvensional12. Tanda-tanda yang diproduksi oleh media massa juga mengikat lainnya, tanda itu membawa kepada suatu pengertian yang bernilai. Hal ini membawa kita ke dalam sistem pemaknaan akan tanda tersebut, pemaknaan yang telah dibentuk oleh tanda tersebut. Sistem pemaknaan tersebut membawa masyarakat ke dalam permainan tanda yang bentuk oleh konvensional. Media massa dan segala tanda di dalamnya memiliki kekuasaan dari rayuan permainan tanda. Kekuasaan ini bukan hanya berdasarkan suatu pengalaman di dalam suatu momentum, namun kekuasaan yang ditransmutasikan nilainya ke dalam aturan. Nilai itu adalah nilai yang berdasarkan ekonomi dan uang menjadi alat rayuan, yang membelokkan suatu kebenaran. Sebagai investasi uang merupakan bentuk modal yang dipertaruhkan, namun menempati posisi sebagai investasi libido dengan taruhan rayuan. Dengan demikian, rayuan dari media massa merupakan taruhan kebenaran yang bermain pada nilai13. 11 Jean Baudrillard, Seduction, hlm. 133 Ibid, hlm 137. 13 Ibid, hlm 139. 12 10 BDSM : Orientasi..., Charisma David Hume, FIB UI, 2013 Dalam kapitalisme global, investor-investor sebagai penggerak utama permodalan di dunia sangat mempengaruhi keadaan psikis ekonomi dan seks. Permainan, taruhan, dan persaingan merupakan figur yang dibentuk dari hasrat dan rayuan. Kapitalisme mempermainkan seks BDSM menjadi permainan uang, bahasa, dan taruhan yang mengubah makna di dalam BDSM itu sendiri. Nilai-nilai yang di dalam BDSM diubah dan dibentuk menjadi nilai-nilai yang sesuai dengan logika ekonomi, logika yang membawa masyarakat ke dalam sistem konsumsi. Sistem konsumsi yang dihasilkan oleh kapitalisme global membawa masyarakat ke dalam logika yang tampak rasional. Manusia menjadi terbius oleh tanda-tanda yang dihasilkan oleh media massa sebagai mediumnya. Hal ini membuat seseorang ke dalam tatanan rasional, padahal dibalik itu semua adalah irrasional. Fondasi yang digunakan untuk eksplorasi hasrat dan libido BDSM berkembang menjadi hasrat yang mendominasi, dalam sebuah kegiatan ekonomi. Hal ini menempatkan kondisi tubuh dengan segala nilai eksotis BDSM menjadi objek komoditas. Tubuh perempuan menjadi hal yang mayoritas mendominasi komoditas tubuh dibanding dengan lakilaki meskipun di dalam BDSM menawarkan konsep homoseksualitas. Sistem konsumsi yang dibentuk di dalam masyarakat merupakan hasil dari permainan kapitalisme global. Permainan yang dibentuk oleh kapitalisme selalu bersaing dan saling menipu untuk memenangkan persaingan dari permainan ini. Dampaknya, masyarakat di bawa ke dalam suatu sistem, yaitu sistem kepercayaan (believes system). Sistem kepercayaan yang diciptakan kapitalisme menjadi semacam eksistensi Tuhan, sesuatu konsep yang absurb yang memiliki tipe seperti motivasi14. Sistem kepercayaan yang dibentuk oleh kapitalisme bukan bertujuan untuk mendapatkan profit namun kepada bagaimana mengikat masyarakat dengan rayuan tanda-tanda yang ia produksi di dalam media massa. Konsekuensi dari permainan kapitalisme dengan tipu dayanya membentuk hasrat di dalam suatu kebudayaan. BDSM yang merupakan orientasi seksualitas pun menjadi urat nadi ekonomi politik dan kebudayaan kapitalisme. Dalam kebudayaan kapitalisme, tubuh menjadi bagian dari politik tubuh (body politics) dan memiliki beberapa tingkatan, yaitu15 : 1. Ekonomi politik tubuh, yaitu bagaimana tubuh digunakan di dalam kapitalisme, berdasarkan pada konstruksi sosial dan ideologi kapitalisme (dan patriarki). Tubuh perempuan dieksplorasi dalam bentuk komoditi, yag melukiskan model tubuh dengan 14 Jean Baudrillard, Seduction, hlm. 142 Yasraf Amir Piliang, Post Realitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Post-metafisika, (Yogyakarta: Jala Sutra, 2004), hlm. 252. 15 11 BDSM : Orientasi..., Charisma David Hume, FIB UI, 2013 gaya BDSM. Eksistensi tubuh perempuan dalam penampakannya sebagai fenomena dunia fisik, yang ditempatkan di dalam mistifikasi sosialnya. 2. Politik ekonomi tanda tubuh, yaitu bagaimana tubuh diproduksi sebagai tanda di dalam sistem tanda (sign system) kapitalisme, yang membentuk citra, makna, dan identitas diri mereka di dalamnya. Politik tanda berkaitan dengan eksistensi tubuh perempuan di dalam BDSM sebagai tanda dan citra yang diproduksi ke dalam berbagai media kapitalistik (televisi, komputer, video, musik, majalah, koran, komik, internet, dan sebagainya). 3. Ekonomi politik hasrat, yaitu bagaimana potensi libido menjadi sebuah ajang eksploitasi ekonomi, yaitu bagaimana ia disalurkan, digairahkan, dikendalikan, atau dijinakkan di dalam berbagai bentuk relasi sosial yang menyertai produksi ekonomi. Ekonomi politik hasrat menjelaskan bagaimana tubuh dan citra tubuh perempuan merupakan strategi di dalam sebuah politik eksplorasi (sekaligus represi) hasrat perempuan, di dalam sebuah relasi psikis yang dibentuk kapitalisme. Permainan kapitalisme tidak dapat berkembang dengan pesat tanpa didukung oleh media massa. Semakin canggih media massa sebagai pembawa pesan, maka semakin besar peran dan dukungan sains dan teknologi. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, ada relasi yang tidak terpisahkan antara mesin hasrat dengan mesin kapitalisme, begitu juga ada hal yang tidak terpisahkan antara kedua mesin itu dengan mesin sains dan teknologi. Perkembangan sains dan teknologi oleh kapitalisme juga memiliki peran pelepasan hasrat. Misalnya penyebaran pornografi BDSM semakin mudah ditemukan di dalam video, cyberspace, internet, dan sebagainya. Di sisi lain, peranan media massa juga sangat mempengaruhi stereotip bahwa BDSM adalah sebuah patologi. Media sering menggabungkan tema BDSM dengan kriminalitas seks. Orang yang ditayangkan biasanya berupa tindakan paksaan dalam berhubungan badan dalam bentuk kekerasaan seks. Misalnya, biasanya dalam tayangan televisi kriminal dalam kepalsuannya menunjukkan partisipan BDSM sebagai kriminal kekerasan16. Dengan demikian, peran media massa merayu masyarakat sehingga membentuk stereotip BDSM adalah hal yang suatu kriminalitas seks. Media massa 16 di dalam ruang publik menciptakan bahasa dan simbol-simbol yang Ibid. hlm. 30. 12 BDSM : Orientasi..., Charisma David Hume, FIB UI, 2013 kemudian disebarluaskan sebagai alat hegemoni. Media massa bersama dengan media massa lainnya di dalam ruang publik membentuk suatu ruang tempat berlangsungnya perang bahasa dan perang tanda-tanda, untuk memperebutkan penerimaan publik atas gagasan-gagasan ideologi. Sebuah ideologi beroperasi di dalam media dengan cara tersembunyi atau secara yang tidak terlihat dan halus. Pengaruh dari media dapat mengubah pandangan setiap orang secara tidak sadar melalui tanda-tanda yang ia produksi. Dengan melalui sistem mekanisme oposisi biner, dapat mengeneralisasikan pola seksualitas dalam masyarakat. Dalam pilihan oposisi biner ini tidak berlaku keberagaman, sehingga menciptakan dua pandangan seksual, yaitu heteroseksual yang normal dan homoseksual yang tidaknormal. Heteroseksual yang dikatakan normalpun dilihat dari gaya hubungan seksualnya. Pasangan yang melakukan hubungan seks dengan cara kekerasan dianggap di luar batas normal, meskipun ia heteroseksual. Hegemoni pandangan ini di dalam media massa menciptakan stereotip atau common sense yang digunakan sebagai tujuan dari idelogis mereka. Dampak dari hegemoni media yang melihat hasrat dan perilaku seksualitas yang dominan, heteroseksual mengidentifikasi dirinya sebagai yang mulia, benar, dan normal. Sementara itu perilaku seks yang minoritas dianggap sebagai hal yang buruk, jahat, subversif, kriminal, dan dianggap terkutuk. Pandangan ini menjadi legitimasi ideologi seks yang tunggal di dalam pemaknaannya. Secara ideologis, seksualitas BDSM adalah sisi buruk dari dikotomis konseptual seks. BDSM adalah hal yang abnormal dan dianggap sebagai patologis seksualitas. BDSM dikarakterisasi menjadi kegiatan seksual yang penuh dengan kekerasan, penyiksaan, dan bentuk perilaku seks yang tidak manusiawi. Dalam imajinasi publik, seksualitas BDSM bukan hal yang bersifat seks, non-monogami, non-orientasi relasional, dan sering dikomersialisasi17. Opini publik dan pandangan publik mengenai BDSM dibentuk oleh realitas yang di hegemoni melalui media massa, sesungguhnya tidak lebih dari realitas artifisial, yang menyampaikan sebagian kebenaran dan menyembunyikan sebagian kebenaran lainnya. Tandatanda yang diciptakan oleh media massa mengungkapkan sebagian (eklips) dari kebenaran mengenai BDSM. BDSM yang identik dengan kekerasan sebagai representasi diskriminasi, kejahatan, kriminalitas menjadi “kebenaran artifisial” yang diciptakan oleh media massa, padahal Margot, D. Weiss, 2006, “Mainstreaming Kink: The Politics of BDSM Representation in U.S. Popular Media.” Journal of Homosexuality 50 (2/3): 103-130. http://wesscholar.wesleyan.edu/div2facpubs (di akses pada 12 Juni 2013) 17 13 BDSM : Orientasi..., Charisma David Hume, FIB UI, 2013 di dalam BDSM itu sendiri memiliki etiket yang dihormati. Tanda dari BDSM yang merupakan kriminalitas dan patologi seksual ini yang sering diproduksi oleh media massa di dalam ruang simulasinya. Sementara itu, perkenalan BDSM dari sisi lain, BDSM sebagai gaya seks alternatif dikaburkan dan jika tayangkan, hal itu memiliki tujuan ekonomi. Dalam term “normal”, BDSM jauh dari pengertian seksual yang normal. BDSM adalah preferensi seksual yang minoritas, bahkan lebih minoritas dibanding dengan homoseksual. Permasalahan identitas menjadi permasalahan ketika ia menjadi pembeda antara kelompok satu dengan lainnya. Persoalan yang mendasar dalam identitas BDSM di dalam era yang didominasi oleh ideologi konsumsi dan budaya media massa adalah bagaimana mempertahankan kesamaan, konsistensi, dan kontinuitas. Identitas yang dikonstruksi dan kemudian ditransformasikan ke dalam logika konsumsi. BDSM dianggap sebagai identitas yang minoritas dalam perilaku seksual, kini ditransformasikan menjadi identitas yang berdasarkan logika konsumsi. BDSM yang menjadi identitas yang dipengaruhi oleh rayuan media massa, membawa identitasnya yang tidak otentik, yang sangat bergantung diri pada imajinasi, fantasi, dan ilusiilusi. Sementara itu, identitas otentik adalah identitas yang bukan konstruksi dan bentukan dari pihak lain. Identitas otentik pencarian identitas yang hingga pencarian akarnya. Pencarian identitas BDSM yang otentik adalah upaya melepaskan diri dari nihilisme dan kehampaan makna budaya konsumtif. Karena di dalam akar, identitas BDSM bisa berkembang dan bertransformasi, tanpa kehilangan sifat aslinya. Dalam pandangan multikulturalisme18, dalam bukunya Charles Taylor The Politic of Recognition, identitas BDSM sebagai minoritas membutuhkan rekognisi dengan heteroseksual sebagai mayoritas seksual dalam kehidupan masyarakat berbudaya. Tujuan diadakan rekognisi ini adanya pengakuan dari pihak mayoritas terhadap minoritas dalam perbedaan seksualitas. Legitimasi dari pengakuan ini di dalam perbedaan orientasi seksualitas sebagai alat atau wahana untuk meningkatkan deajat manusia dan kemanusiaan. Dengan demikian, multikulturalisme memberikan ruang khusus di dalam kebebasannya dalam berbudaya untuk mempertahankan dan mengembangkan BDSM. Legitimasi dari pengakuan masyarakat mengenai BDSM memberikan dampak yang 18 Multikulturalisme adalah sebuah filosofi terkadang ditafsirkan sebagai ideologi yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama dalam masyarakat modern. 14 BDSM : Orientasi..., Charisma David Hume, FIB UI, 2013 signifikan terhadap BDSM itu sendiri. BDSM bukan lagi dipandang sebagai hal atau seks yang kriminal, penyiksaan, patologi kejiwaan namun bagian dari masyarakat itu sendiri. Keberadaan BDSM dianggap setara dengan perilaku seks yang mayoritas dan hubungan antara yang mayoritas dengan minoritas tidak saling menghegemoni. Ketika kondisi multikulturalisme sudah terbentuk dengan rekognisi tiap indiividu dalam masyarakat menciptakan suatu keadaan tanpa konsep “mayoritas” dan “minoritas”. E. KESIMPULAN Teori rayuan (Seduction) dari Jean Baudrillard menjadi kunci utama untuk menganalisis BDSM dalam masayarakat kontemporer. Namun teori lainnya seperti konsep masyarakat konsumsi, sistem konsumsi, permainan tanda, ekonomi libido, hingga kejahatan sempurna memiliki hubungan erat dengan teori rayuan dari Baudrillard. BDSM yang dianggap sebagai psikopatologi seksual, perilaku seks yang dianggap di luar batas normal. BDSM menjadi minoritas di dalam preferensi seksual karena dianggap kriminal, dan penuh dengan kekerasan dalam berhubungan seks. Media massa juga turut berperan aktif membuat stereotip masyarakat yang beranggapan BDSM adalah perilaku seks yang menyimpang Media massa dan segala tanda di dalamnya memiliki kekuasaan dari rayuan permainan tanda. Kekuasaan ini bukan hanya berdasarkan suatu pengalaman di dalam suatu momentum, namun kekuasaan yang ditransmutasikan nilainya ke dalam aturan. Nilai itu adalah nilai yang berdasarkan ekonomi dan uang menjadi alat rayuan, yang membelokkan suatu kebenaran. Rayuan dari media massa merupakan taruhan kebenaran yang bermain pada nilai. Permainan rayuan kapitalisme tidak dapat berkembang dengan pesat tanpa didukung oleh media massa. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, ada relasi yang tidak terpisahkan antara mesin hasrat dengan mesin kapitalisme, begitu juga ada hal yang tidak terpisahkan antara kedua mesin itu dengan mesin sains dan teknologi. Kapitalisme juga disebut sebagai mesin hasrat (desiring machine) yang tidak hanya memproduksi barang, namun ia memproduksi hasrat. Konsekuensinya, terlahirnya sistem konsumsi yang merupakan bagian dari saluran pelepasan dorongan hasrat dalam diri manusia. Seorang perayu merayu masyarakat yang menonton BDSM melalui media massa dan simulasinya yang menciptakan kondisi hiperrealitas. Masyarakat terbawa kedalam suatu sistem 15 BDSM : Orientasi..., Charisma David Hume, FIB UI, 2013 hasrat dan kesenangan melakukan hubungan seksual dengan cara menyakiti atau disakiti, BDSM. Hasrat yang digunakan dikendalikan perayu dapat mengubah kesadaran masyarakat, pola hubungan seksual menjadi pola hubungan seksual dengan style BDSM. Dengan demikian, melalui rayuan media massa dapat mempengaruhi pola hubungan seksual masyarakat. Akibat dari permainan rayuan media massa menciptakan kondisi hiperrealitas BDSM di dalam masyarakat. Masyarakat tidak hanya mengonsumsi BDSM di dalam konteks variasi seksual, namun tanda-tanda BDSM itu sendiri. Konsep dan tanda-tanda dari BDSM seperti master, slave, sadisme, masokis, sering digunakan masyarakat di dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menunjukkan rayuan media massa mengenai BDSM sangat kuat. F. KEPUSTAKAAN Baudrillard, Jean.1998. Perfect Crime. London-New York. Baudrillard, Jean(trans. by Brian Singer). 2001. Seduction. Monreal: New World Perspectives. Baudrillard, Jean, (trans by Sheila Faria Glaser). 1994. Simulacra and Simulation. USA:The University of Michigan Press (first published 1981). Baudrillard, Jean. 1998. The Consumer Society; Myths and Structures. London. Sage Publikations (first published 1970). Baudrillard, Jean (edited by Mark Poster). Selected Writings. Baudrillard, Jean. 2006. Utopia Deferred .Paris: Semiotext. Giddens, Anthony. 2004. Trasnformation of intimacy.Jakarta: Fresh Book. G Jones, Steven. Virtual Culture; Identity and Communication in Cybersociety. London: Sage Publications. Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern; Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Gramedia Pustaka Utama, 2004. Kushendrawati, Selu Margaretha. 2011. Hiperrealitas dan ruang publik. Jakarta: Penaku. Mc Luhan, Marshall. Understanding Media: The estensions of man. London and New York. Meeker, Carolyn, Bondage and Discipline, Dominance and Submission, and Sadism and 16 BDSM : Orientasi..., Charisma David Hume, FIB UI, 2013 Masochism (BDSM) Identity Development, Florida Internationa University. Piliang, Yasraf Amir.2004. Post-Realitas. Yogyakarta: Jala Sutra. Piliang, Yasraf Amir. 2011. Dunia yang Dilipat. Bandung: Matahari. Pitagora, Dulcinea. Consent vs Coercion; BDSM Interactions Highlight a Fine but Immutable Line, The New School Psy. Sarup, Madan. 2008. Postruktualisme & Posmodernisme. Yogyakarta: JalaSutra. Sutrisno, Mudji dkk. Cultural Studies: Tantangan Bagi Teori-Teori Besar Kebudayaan. Koekoesan. Syarifah. 2006. Pornografi. Jakarta. Yayasan Kota Kita. Von Krafft-ebing, K. Contrary sexual Instinct: A Medico-Legal Study. Philladelphia and London: The F. A. JURNAL/ MAJALAH/ MAKALAH/ TESIS : Kushendrawati, Selu Margaretha, Disertasi: Hiperrealitas Dalam Media Massa; Suatu Kajian Filsafat Jean Baudrillard, Program Pascasarjana Ilmu Pengetahuan Budaya Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2006. Utoyo, Bambang, Tesis: Perkembangan Pemikiran Jean Baudrillard; dari Realitas ke Simulakrum, Program Pascasarjana Ilmu Pengetahuan Budaya Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 2001 Xemandros, Wofgang, Skripsi: Hiperrealitas dalam Iklan Menurut Pemikiran Jean Baudrillard, Program Sarjana, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2010. Pitagora, Dulcinea, Jurnal: Consent vs Coercion; BDSM Interactions Highlight a Fine but Immutable Line, The New School Psychology Bulletin vol. 10 no. 1. Margaret Nichols, Ph.D, Psycology & BDSM: Pathology or Individual Difference. Sumber dari Internet _____________, 2010, Teori Bahasa Saussure, http://iyohsayyidatimuniroh.wordpress.com/2010/09/21/teori-bahasa-saussure/ , diakses pada 28 Februari 2013 pukul 3.00 WIB. Achmad Rouznii Noor, “Pengguna Internet 2,4 Miliar, Jumlah Situs tembus 634 Juta”, detik net, http://inet.detik.com/read/2013/01/21/081040/2147888/398/pengguna-internet-24-miliar17 BDSM : Orientasi..., Charisma David Hume, FIB UI, 2013 jumlah-situs-tembus-634-juta. diakses pada 26 Februari pukul 16.00 WIB. Apristia Krisna Dewi, “Teknologi Komunikasi Berikan Dampak Kuat pada Perkembangan Media”, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, http://www.uinjkt.ac.id/index.php/component/content/article/1-headline/1824-teknologikomunikasi-berikan-dampak-kuat-pada-perkembangan-media.html, diakses pada 26 Februari 2013 pukul 2.18 WIB. National Coalition for Sexual Freedom, __ , Best BDSM Practices, https://ncsfreedom.org/component/k2/item/579-best-practices.html , diakses pada 11 Maret 2013 pukul 22.00 WIB. Philosophical Society.com, 2002, Reality As “The Perfect Crime”, http://www.philosophicalsociety.com/Archives/Reality%20As%20The%20Perfect%20Cri me.htm , diakses pada 11 Maret 2013 pukul 20.00 WIB. Valkrie Katarina, “Tentang BDSM”, http://valkriekatarina.wordpress.com/category/tentangBDSM/, diakses pada 26 Februari 2013 pukul 2.18 WIB. 18 BDSM : Orientasi..., Charisma David Hume, FIB UI, 2013