PEMBELAJARAN ENTREPRENEURSHIP YANG REALISTIK THE REALISTIC ENTERPRENEURSHIP LEARNING Putu Aditya Antara Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan Ganesha Email: [email protected] ABSTRAK Pembelajaran entrepreneurship merupakan solusi potensial dibalik kemelut bangsa Indonesia yang berkepanjangan dalam bidang ekonomi dan pembangunan. Keberhasilan pelaksanaan pembelajaran entrepreneurship bisa dijamin jika pembelajaran entrepreneurship dilakukan secara individual untuk membangun jiwa entrepreneur siswa secara konstruktivis dan menggunakan model problem based learning dalam proses pembelajaran agar siswa bisa belajar sesuai dengan kebutuhan dan realitas di lapangan. Kata kunci: pembelajaran, entrepreneurship. ABSTRACT Entrepreneurship learning is a potential solution behind the prolonged crisis in the Indonesian economy and development. Successful implementation of entrepreneurship teaching entrepreneurship can be guaranteed if the learning is done individually to build the entrepreneurial spirit of students in the constructivist and problem based learning model in the learning process so that students can learn according to the needs and realities on the ground. Keywords: learning, entrepreneurship. PENDAHULUAH Pendidikan pada dasarnya mempunyai dua tugas besar. Pertama menyiapkan generasi yang punya kemampuan adaptasi terhadap ekspektasi lingkungan. Kedua, menyiapkan agar mereka mampu mengatasi masalah-masalah yang ditemukan dengan cara-cara baru. Melalui yang pertama siswa belajar untuk memahami kondisi dan pola yang ada di sekitar mereka. Sedangkan yang kedua mendorong siswa untuk berinovasi. Dua fungsi tersebut harus dioperasionalkan secara seimbang. Pengembangan pendidikan melalui model entrepreneur menjadi alternatif yang sesuai dengan dua fungsi pendidikan tersebut karena pendidikan entrepreneur sangat menekankan pada pembentukan perilaku mencipta. Ada sebuah realitas lain yang sedang dihadapi oleh bangsa ini yaitu masalah pengangguran dan ketenagakerjaan. Selama ini pendidikan telah berhasil membuat mindset generasi pencari kerja. Hampir semua lulusan sibuk mencari kerja sedangkan lapangan kerja sangat terbatas. 1 Dengan demikian sangat jelas terlihat kalau pendidikan entrepreneur dapat mendorong generasi mandiri di bidang ekonomi, dan bisa jadi sebuah jalan terbaik dibalik kemelut negeri ini. Jalur entrepreneurship adalah sebuah pilihan yang dianggap potesial untuk dikembangkan. Ada banyak fakta di sekitar siswa tentang tokoh-tokoh entrepreneur yang telah banyak memberikan kontribusi pada perkembangan ekonomi dan sosial. Ini dapat menjadi dorongan yang luar biasa Hal yang dipelajari siswa akan menjadi sangat kongkrit dan dapat dilihat sehari-hari. Banyak sumber belajar yang dapat dipakai. Pembelajaran menjadi sebuah proses interaksi yang menarik antara realitas yang ditemukan dengan siswa yang belajar. Entreprenur mempunyai spirit dan jiwa yang terus ingin tetap maju, berkembang, dan mandiri. Mereka telah memberikan banyak kontribusi pada kemajuan ekonomi bangsa dan memberikan lapangan kerja Kalau sekolah dapat membentuk mindset seperti ini dalam generasi muda, diharapkan mereka sedikit demi sedikit akan berpikir untuk mandiri dalam bidang ekonomi juga. Banyak hal lain yang menarik dan dapat dipelajari dari karakter dan skills seorang entrepreneur seperti keberanian mengambil resiko, strategi mengatasi masalah, kemampuan berkomunikasi, cara mengubah ide menjadi sebuah rencana, cara menangkap dan mengeleloa peluang. Karakter dan skills seperti itu sangat penting untuk dipelajari dan diaplikasikan di semua bidang di era sekarang. Selain itu, pendidikan entrepreneur sudah banyak diterapkan di banyak negara seperti negaranegara eropa dan Amerika sehingga paling tidak kita tidak berangkat dari nol dalam mengembangkan sistem ini. Sudah ada contoh-contoh yang dapat dijadikan inspirasi pengembangan. Dari sisi metodologi dan kurikulum yang ada, seperti pendekatan belajar inquiry dan problem based, (Barell, 2000) kita dapat mengembangkan sistem penyelenggaraan sekolah dan pembelajaran yang dapat mendukung pendidikan dengan wawasan entrepreneur. Berdasarkan beberapa permasalahan kewirausahaan tersebut di atas, maka sebagai langkah awal perlu dikaji bagaimana menumbuhkan jiwa entrepreneur dan mengembangkan jiwa entrepreneur tersebut, menimbang bahwa upaya menumbuhkan dan mengembangkan jiwa entrepreneur tidak dapat dibangun dalam waktu yang singkat. Upaya tersebut memerlukan langkah yang sistematis dan dukungan berbagai pihak. Agar proses pembelajaran di institusi/lembaga pendidikan mampu melahirkan lulusan yang memiliki perilaku wirausaha, 2 maka perlu dikembangkan model pembelajaran yang dapat menumbuhkan sikap dan perilaku wirausaha. PEMBAHASAN Pengertian Entrepreneurship Teori entrepreneurship paling kontemporer yang banyak berpengaruh dan memberikan sumbangan adalah teori yang dibangun oleh Schumpeter (1911), Knight (1921) atau Kirzner (1973). Schumpeter menekankan pentingnya entrepreneur sebagai kendaraan utama untuk menggerakkan perekonomian agar dapat melaju dari keseimbangan statis melalui berbagai inovasi dan mengarahkan proses kreativitas yang bersifat distruktif, menguji struktur yang ada dan mengubah keseimbangan ekonomi. Siapapun yang menjalankan fungsi tersebut adalah seorang entrepreneur, tanpa membedakan apakah orang tersebut independent ataukah orang tersebut bekerja pada suatu perusahaan. Schumpeter juga secara jelas membedakan peran antara inventor dan innovator. “Economic leadership in particular must hence be distinguished from ‘invention’. As long as they are not carried into practice, inventions are economically irrelevant. And to carry any improvement into effect is a task entirely different from the inventing of it, and a task, moreover, requiring entirely different kinds of aptitudes. Although entrepreneurs of course may be inventors just as they may be capitalists, they are inventors not by and it may be downright misleading, to stress the element of invention as much as many writers do”. (Schumpeter 1911, pp. 88-89). Kirzner (1973) memandang bahwa entrepreneur menggerakkan perekonomian menuju ke keseimbangan (dalam hal ini pendapat Kirzner berbeda dengan pendapat Schumpeter). Secara lebih umum, Kirzner (1973) berpendapat bahwa cara memandang entrepreneurship adalah ide bahwa para entrepreneur is the notion that entrepreneurs menjelaskan perilaku kompetitif yang mengarahkan proses pasar. Definisi yang didasarkan pada penggabungan perilaku dan outcome ini dinilai padat berisi dan mampu memberikan penjelasan yang jelas dan memuaskan tentang peran entrepreneurship di masyarakat. Baik Kirzner (1973) maupun Schumpeter (1911) tidak memfokuskan pada resiko yang mengikuti pada kegiatan entrepreneurial. Schumpeter (1911) sadar bahwa aktivitas baru sangat berkaitan dengan unsur risk-taking, meskipun Schumpeter (1911) tidak menekankan bahwa hal tersebut sebagai karakteristik yang dominan pada entrepreneurship. Kirzner (1973) sepakat mengenai peran arbitrage pada entrepreneurs yang melibatkan beberapa elemen resiko, akan tetapi hal 3 tersebut bukan bagian dari argumen pokok. Knight (1921) berpendapat bahwa entrepreneur berperan sebagai seseorang yang memiliki kemampuan untuk mentransformasi ketidakpastian menjadi resiko yang dapat diperhitungkan. Sudut pandang yang lebih umum dalam riset entrepreneurship, Wennekers dan Thurik (1999) menyatakan bahwa entrepreneur adalah: i) innovative, yaitu menangkap dan menciptakan peluang baru, ii) beroperasi dalam ketidakpastian dan mengenalkan produk ke pasar, menentukan lokasi, dan membentuk dan memanfaatkan sumber daya, dan, iii) mengelola usahanya dan berkompetisi memenangkan pangsa pasar. Definisi ini terlihat dekat dengan pengertian istilah kewirausahaan. Selain itu nampak bahwa definisi ini dapat ditautkan dengan definisi-definisi klasik yang muncul lebih dahulu. Dalam definisi ini invention tidak disebutkan secara eksplisit akan tetapi juga tidak ditiadakan dalam pengintrepretasian entrepreneurship. Beberapa konsep entrepreneurship seolah identik dengan kemampuan para wirausahawan (entrepreneur) dalam dunia usaha (business). Padahal, dalam kenyataannya, kewirausahaan tidak selalu identik dengan watak/ciri wirausahawan semata, karena sifat-sifat wirausahawanpun dimiliki oleh seorang yang bukan wirausahawan. Wirausaha mencakup semua aspek pekerjaan, baik karyawan swasta maupun pemerintahan (Soeparman Soemahamidjaja, 1980 dalam Endang Mulyani dkk, 2008). Esensi dari kewirausahaan adalah menciptakan nilai tambah di pasar melalui proses pengkombinasian sumber daya dengan cara-cara baru dan berbeda agar dapat bersaing. Tentang wirausahawan Meredith dalam Suprojo Pusposutardjo (1999), memberikan ciri-ciri seseorang yang memiliki jiwa wirausaha (entrepeneur) sebagai orang yang (1) percaya diri, (2) berorientasi tugas dan hasil, (3) berani mengambil risiko, (4) berjiwa kepemimpinan, (5) berorientasi ke depan, dan (6) keorisinilan. Entrepreneurship dan Pendidikan Salah satu tantangan yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia pada masa yang akan datang adalah cukup banyaknya lulusan Sekolah Menengah yang tidak melanjutkan studinya (putus sekolah), serta banyaknya lulusan perguruan tinggi (PT) yang tidak mampu menerapkan pengetahuannya dalam kehidupan sehari-hari. Sementara dengan adanya globalisasi, tenaga kerja asing akan segera masuk ke Indonesia. Untuk itu, bangsa Indonesia harus mampu bersaing. Bangsa Indonesia harus mempersiapkan dunia pendidikan yang mampu mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas yang memiliki kemandirian, kemampuan kerja, mampu beradaptasi, berkompetisi, memiliki kecakapan 4 hidup (life skill) dan mampu membuka usaha/lapangan kerja sendiri. Permasalahan yang dihadapi adalah bagaimana mempersiapkan agar dunia pendidikan mampu menghasilkan lulusan yang mampu beradaptasi, berkompetisi, dan memiliki kecakapan hidup (life skill) sehingga mampu membuka usaha sendiri dan mampu menghadapi kompetisi global. Disisi lain penyelenggaraan pendidikan seharusnya memang tidak jauh dari kebutuhan masyarakat dan potensi yang ada pada masyarakat. Hal ini secara menasional mutlak dilakukan karena Undang-undang Pendidikan Nasional menyuratkan tentang pendidikan berbasis masyarakat yang mengharapkan penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh dan untuk masyarakat (Sudijarto, 2000:77). Ketika menghadapi kompetisi global, pendidikan harus melakukan pembenahan agar mampu mengikuti kemajuan dan perkembangan transformasi yang semakin canggih. Dengan demikian upaya pembenahan dalam bidang pendidikan perlu dilakukan. Pembenahan atau perubahan ini dimulai dengan inovasi dunia pendidikan, yaitu reformasi dunia pendidikan dan pendidikan kewirausahaan. Reformasi ini diperlukan untuk menghasilkan pendidikan yang berkualitas. Pendidikan yang berkualitas ini dapat ditinjau dan segi proses dan produk. Berdasarkan segi proses, apabila proses belajar mengajar berlangsung secara efektif, dan peserta didik mengalami pembelajaran yang bermakna. Berdasarkan segi produk, apabila mempunyai salah satu ciri seperti berikut: a) Peserta didik menunjukkan penguasaan yang tinggi terhadap tugas-tugas belajar (learning task) yang harus dikuasai dengan tujuan dan sasaran pendidikan, diantaranya hasus belajar akademik yang dinyatakan dalam prestasi belajar (kualitas internal); b) Hasil pendidikan sesuai dengan kebutuhan peserta didik dalam kehidupan sehingga dengan belajar peserta didik bukan hanya mengetahui sesuatu, tetapi hanya melakukan sesuatu yang fungsional dalam kehidupannya (learning and learning); c) Hasil pendidikan sesuai atau relevan dengan tuntutan lingkungan khususnya dunia kerja. Pendidikan yang diminati masyarakat pada masa depan adalah selain proses pembelajarannya yang bermutu, hasil juga bermutu, baik bermutu dalam bidang akademik, bermutu dalam pendampingan emosionalnya dan bermutu dalam pembimbingan spiritualnya. Pembelajaran yang bermutu, guru maupun dosen diberi kebebasan untuk mengaktualisasikan bidang pembelajaran secara optimal sehingga potensi-potensi peserta didik dapat berkembang. Sedangkangkan model pembelajaran mengacu pada Empat Pilar Pendidikan yang dikemukakan Delors (1996: 85-97) yaitu Learning to know (belajar untuk mengetahui), 5 Learning to do (belajar untuk berbuat), Learning to live together dan Learning to live with other (belajar untuk hidup bersama) serta Learning to be (belajar untuk menjadi seseorang). Jadi, untuk menjadi wirausaha yang berhasil, persyaratan utama yang harus dimiliki adalah memiliki jiwa dan watak kewirausahaan. Jiwa dan watak kewirausahaan tersebut dipengaruhi oleh keterampilan, kemampuan, atau kompetensi. Kompetensi itu sendiri ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman usaha. Seperti telah dikemukakan, bahwa seseorang wirausaha adalah seseorang yang memiliki jiwa dan kemampuan tertentu dalam berkreasi dan berinovasi. Ia adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda (ability to create the new and different) atau kemampuan kreatif dan inovatif. Kemampuan kreatif dan inovatif tersebut secara riil tercermin dalam kemampuan dan kemauan untuk memulai usaha (start up), kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang baru (creative), kemauan dan kemampuan untuk mencari peluang (opportunity), kemampuan dan keberanian untuk menanggung risiko (risk bearing) dan kemampuan untuk mengembangkan ide dan meramu sumber daya. Pengembangan Entrepreneurship secara Individual Proses pendidikan tidak lepas dengan proses pembelajaran. Pembelajaran adalah suatu usaha untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi belajar siswa (Gagne dan Briggs, 1974 dalam Endang Mulyani dkk, 2008). Dari batasan ini tampak bahwa proses dalam belajar dan pembelajaran sasaran utamanya adalah pada proses belajar sasaran didik atau siswa. Demikian juga dalam Quantum Learning, maupun Revolusi Cara Belajar, dalam pendidikan harus mengutamakan belajar siswa secara aktif. Degeng (2001) juga mengatakan bahwa sasaran pendidikan adalah belajar siswa, bukan semata-mata pada hasil belajar siswa. Mencermati berbagai pendapat di atas terlihat bahwa seharusnya dalam proses belajar dan pembelajaran yang memiliki peran aktif adalah peserta didik, bukan guru atau dosen. Guru atau dosen sebagai fasilitator berperan untuk menciptakan suasana dan lingkungan sekitar yang dapat menunjang belajar siswa sesuai dengan minat, bakat, dan kebutuhannya. Dengan kata lain, program pembelajaran lebih menitik beratkan pada proses pembelajaran individual, atau individual learning. Pertimbangan hal ini dilakuakn karena siswa memiliki minat, bakat, dan kebutuhan yang berbeda. Sudah seharusnya faktor ini diperhatikan dalam proses pendidikan. Oleh karena itu, model pembelajaran klasikal sudah tidak cocok lagi. Selain itu sebuah program pembelajaran yang baik bagi pembelajaran individual memenuhi beberapa persyaratan seperti (1) memungkinkan peserta didik/mahasiswa/peserta pelatihan mengalami 6 proses pembelajaran yang relevan dengan tujuan yang harus dicapai; (2) dapat memilih bahan dan sumber belajar baik buku atau jurnal yang dapat memperluas wawasan; (3) harus dapat memilih dan mengembangkan media belajar yang dapat mendukung makin dipahaminya suatu konsep; harus merancang model interaksi belajar yang menantang peserta didik untuk berpikir dan berkontemplasi; dan (5) merancang program evaluasi yang terus menerus, baik berupa pemberian tugas membaca, menulis makalah, menyajikan laporan hasil pengamatan secara terstruktur, yang kesemuanya diberi nilai secara proposional (Sudijarto, 2008:146). Berbagai pertimbangan dalam melakukan proses pembelajaran bisa saja menjadi dasar dalam menentukan perencanaan pembelajaran namun yang lebih penting dalam pembelajaran adalah pembelajaran harus terfokus pada belajar individual (Porter dan Hernacki, 2002; Dreden dan Vos, 2001 dalam Endang Mulyani dkk, 2008). Demikian pula dalam pendidikan bisnis, belajar individual perlu dilaksanakan. Seperti telah disinggung di atas, bahwa dalam proses pendidikan kita harus memiliki pengertian bahwa kita melayani keinginan dan kebutuhan siswa. Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran perlu diketahui tentang karakteristik dan kebutuhan siswa, bukan sekedar transformasi pengetahuan. Jika materi yang dipelajari siswa relevan dengan minat, motivasi, dan tujuan belajar mereka, maka akan dapat menumbuhkan gairah belajar, kreativitas berfikir, dan karya siswa. Meskipun hasil belajar bukan merupakan sasaran utama pendidikan seperti yang dikatakan Degeng (2001), sudah seharusnya bahwa keberhasilan belajar diketahui. Oleh karena itu, sasaran dari langkah pertama adalah hasil belajar siswa, yakni dapat menjadi pribadi yang mereka inginkan. Oleh karena itu, kesiapan mental siswa di sini perlu diketahui untuk dasar penentuan strategi maupun material yang bobot dan relevansinya sesuai dengan kesiapan yang ada pada diri siswa. Dengan demikian, kita dapat memberikan dorongan dan rangsangan belajar sesuai dengan potensi yang ada di dalam diri siswa. Menurut konsepsi ini, seharusnya penyelesaian pendidikan oleh setiap siswa tidak selalu bersamaan, tetapi tergantung pada kemampuan dan kesungguhan belajar mereka. Ketika belajar peserta didik dipengaruhi berbagai hal salah satu diantaranya adalah minat dan bakat. Untuk mengetahui bakat siswa menurut Utami Munandar, mereka yang diidentifikasi sebagai anak yang mampu mencapai prestasi yang tinggi karena mempunyai kemampuan yang unggul (Utami Munandar, 1999). Bakat seseorang amat bervariasi, oleh karena itu perlu dicari agar dapat dikembangkan dan bermanfaat dalam kehidupan. Dengan mengawinkan bakat dan pengetahuan yang akan dipelajari siswa, akan lebih mendorong siswa untuk belajar lebih giat sehingga optimasi hasil belajar siswa dapat dicapai. Selanjutnya, pengetahuan 7 tentang minat, motivasi atau tujuan belajar, bakat, dan kesiapan siswa sangat membantu pendidik untuk merancang materi dan strategi pembelajaran. Sebagai catatan tambahan, jika minat, motivasi, tujuan belajar, dan kemampuan siswa diketahui secara individual, dimungkinkan diciptakan kelas yang homogen. Penciptaan kelas homogen ini penting untuk memudahkan penciptaan suasana, prasarana, dan perlakuan dalam proses pembelajaran. Akan tetapi, jika kelas heterogen akan menimbulkan sedikit kendala dalam proses pembelajaran. Untuk menentuan strategi pembelajaran, jika kita sepakat dengan asumsi bahwa potensi, kebutuhan, dan minat belajar setiap individu berbeda, maka strategi yang tepat adalah mengutamakan pada belajar mandiri, meskipun model tutorial juga dibutuhkan. Tutorial dibutuhkan hanya untuk memberikan kerangka dasar pemikiran dan pengetahuan dasar yang dibutuhkan siswa. Selanjutnya, penggunaan metode inkuri dan discoveri, serta pemecahan masalah lebih diutamakan. Hal ini dapat untuk menumbuhkan sikap ulet, tekun, terbiasa mencari solusi, berani mengambil risiko, mengetahui dunia nyata yang serba tidak menentu, terbiasa menghadapi perubahan dan menemukan peluang dari perubahan tersebut, dan sebagainya, yang kesemuanya dibutuhkan bagi seorang wirausahawan. Dengan demikian model pembelajaran yang ditawarkan adalah siswa lebih banyak dihadapkan pada permasalahan baik teoritis maupun faktual agar mereka mencari solusi yang paling baik meskipun risiko cukup besar. Risiko yang besar sering memberikan peluang untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Kiat-kiat hidup semacam ini yang harus ditanamkan kepada sasaran didik untuk menumbuhkan sikap positif terhadap wirausahawan. Model Pembelajaran Entrepreneurship Model adalah seperangkat prosedur yang berurutan untuk mewujudkan suatu proses. Dengan demikian Model pembelajaran Entrepreneurship diartikan sebagai seperangkat prosedur untuk keperluan pengembangan pembelajaran Entrepreneurship. Bentuk/Model pembelajaran pembelajaran Entrepreneurship yang diterapkan sekarang ini belum ada yang baku untuk seluruh institusi pendidikan. Model yang ada sekarang ini kondisinya sangat variatif dan heterogen tergantung dari beberapa faktor seperti letak geografi (wilayah), potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan lain-lain. Hal ini menjadi tantangan bagi akademisi untuk mengembangkan model pembelajaran Entrepreneurship yang dapat mengakomodasi seluruh institusi pendidikan. Salah satu strategi pembelajaran yang bisa diterapkan dalam pengembangan jiwa enterpreneeur pada peserta didik adalah Problem Base Learning (PBL). PBL merupakan salah satu strategi pembelajaran yang berorientasi pada contectual teaching and learning 8 process (Jones, Rasmussen dan Moffit, 1997). CTL merupakan konsep pembelajaran yang membantu pendidik mengaitkan antara materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata dan mendorong peserta didik untuk menggunakan pengetahuan yang dimilikinya dapat diterapkan dalam kehidupan mereka sebagai anggota masyarakat. PBL adalah pembelajaran yang lebih menekankan pada pemecahan problem autentik yang terjadi sehari-hari (John, 2008:374). PBL has also refered to by other names, such as project-based teaching, experienced-based education, authentic learning or anchored instruction (Arends, 1997:156). PBL dapat diartikan sebagai pembelajaran berbasis proyek, pendidikan berbasis pengalaman, belajar autentik pembelajaran yang berakar pada masalah-masalah kehidupan nyata. Gijbels (2005:29) menyatakan bahwa PBL is used to refer to many contextualized approaches to instruction that anchor much of learning and teaching in concrete. This focus on concrete problem as initiating the learning process is central in most definition of PBL. Jadi PBL adalah cara pembelajaran yang bermuara pada pembelajaran yang bermuara pada proses pelatihan berdasarkan masalah-masalah nyata. Titik berat masalah-masalah nyata dalam proses pembelajaran ini merupakan hal yang paling penting. Pada pembelajaran model PBL tersebut peserta didik belajar melalui situasi dan setting pada masalah-masalah yang nyata atau kontekstual. Karena itu, semua dijalankan dengan cara-cara: (1) dinamika kerja kelompok, (2) investigasi secara independen, (3) mencapai tingkat pemahaman yang tinggi, (4) mengembangkan keterampilan individual dan sosial. Pada model PBL ini berbeda dengan pembelajaran langsung yang menekankan pada prestasi ide-ide dan keterampilan pendidik. Peran pendidik pada model PBL adalah menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan dan memfasilitasi penyelidikan dan dialog. PBL tidak akan terjadi tanpa keterampilan pendidik dalam mengembangkan lingkungan pembelajaran yang memungkinkan terjadinya pertukaran ide dan dialog secara terbuka antara pelatih dan peserta pelatihan. Pembelajaran dengan metode PBL harus menggunakan masalah-masalah nyata sehingga peserta pelatihan belajar, berfikir, kritis dan terampil memecahkan masalah dan mendukung pengembangan keterampilan teknis serta perolehan pengetahuan yang mendalam. Pada metode pembelajaran PBL ini memfokuskan pada: (1) pemecahan masalah nyata, (2) kerja kelompok, (3) umpan balik, (4) diskusi, dan (5) laporan akhir. Peserta didik didorong untruk lebih aktif terlibat dalam materi pelajaran dan mengembangkan keterampilan berfikir kritis, sehingga peserta didik melakukan penyelidikan dan inkuiri. Levin (2001:1) menyatakan bahwa “PBL is an instructional method that encourages lerners to apply critical thinking, problem solving skill, and content knowledge to real world problems and issues”. PBL 9 adalah metode pembelajaran yang mendorong peseta didik untuk menerapkan cara berfikir kritis, keterampilan menyelesaikan masalah, dan memperoleh pengetahuan mengenai problem dan isu-isu riil yang dihadapinya. Pada PBL ini pendidik akan lebih berperan sebagai fasilitator atau tutor yang memandu peserta pelatihan menjalani proses pembelajaran. Adapun langkah-langkah pembelajaran kewirausahaan dengan metode Problem Based Learning (PBL) adalah sebagai berikut: a) Peserta didik dibagi dalam kelompokkelompok kecil dan masing-masing kelompok disodori permasalahan bisnis yang nyata (connecting the problem); b) Masing-masing kelompok diberikan penjelasan tentang tugas dan tanggung jawab (setting the structure) yang harus dilakukan oleh kelompoknya dalam mempelajari permasalahan yang dihadapi; c) Peserta didik di masing-masing kelompok berusaha maksimal untuk mengidentifikasikan masalah bisnis (visiting the problem) yang diajukan dengan pengetahuan yang dimiliki: 1) Mengidentifikasi masalah dengan seksama untuk menemukan inti problem bisnis yang sedang dihadapi; 2) Mengidentifikasi cara untuk memecahkan masalah bisnis tersebut.; d) Peserta didik di masing-masing kelompok mencari informasi dari berbagai sumber (buku, pedoman dan sumber lain) atau bertanya pada pakar (kader) yang mendampingi untuk mendapatkan pemahaman tentang masalah (re-visiting the problem); e) Berbekal informasi yang diperoleh peserta kembali ke masing-masing kelompoknya untuk bekerjasama dan berdiskusi dalam memahami masalah dan bertanggung jawab untuk menciptakan solusi (produce the product) yang profesional terhadap masalah dihadapi. Pelatih bertindak sebagai pengamat dan penasehat; dan f) Masing-masing kelompok mempresentasikan hasil belajarnya kepada kelompok kecil lainnya untuk disiskusikan dan mendapatkan masukan dan penilaian (evaluation) dari kelompok lainnya. Langkah-langkah pembelajaran dengan metode PBL tersebut senada dengan pendapat Delise (1997:27-35) yang menyatakan bahwa terdapat 6 langkah Problem Based Learning (PBL) sebagai berikut ini: a) Connecting with the problem. Yaitu pelatih memilih, merancang dan menyampaikan masalah yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari peserta pelatihan, terkait dengan masalah bisnis; b) Setting up the structur. Setelah peserta didik telah terlibat dengan masalah, pelatih menciptakan struktur untuk bekerja melalui masalah yang dihadapi. Struktur ini akan memberikan rancangan tugas-tugas yang harus dilakukan oleh peserta pelatihan. Struktur menjadi kunci dari keseluruhan proses bagaimana peserta didik berfikir melalui situasi nyata dan mencapai solusi yang tepat; c) Visiting the problem. Jika pelatih telah menjelaskan bagaimana peserta pelatihan akan mengarah, dan 10 peserta diminta untuk membaca kembali statement masalah itu. Pendidik fokus pada ide-ide yang dimiliki peserta pelatihan untuk bagaimana menyelesaikan masalah. Fokus tersebut diarahkan untuk menghasilkan fakta dan daftar item yang membutuhkan klarifikasi lebih lanjut; d) Revisiting the problem. Setelah peserta didik dalam kelompok kecil telah menyelesaikan tugas mandiri, mereka harus segera bergabung kembali dalam kelas untuk menemukan kembali masalah-masalah tersebut. Pelatih pertamatama meminta kelompok kecil untuk melaporkan hasil pengamatan mereka. Pada saat itu pelatih menilai sumber yang mereka pakai sebagai referensi, waktu yang digunakan, dan efektivitas rencana tindakan yang akan mereka lakukan; e) Producing a product/performance. Yaitu membuat hasil pemecahan masalah yang disampaikan kepada pelatih untuk dievaluasi tentang mutu isi dan penguasaan skill mereka; f) Evaluating performance and the problem. Pelatih meminta peserta pelatihan untuk mengevaluasi hasil kerja (performance) dari kajian masalah dan alternative solusi yang diajukan. Tujuan utama dari metode ini bukan semata-mata untuk menemukan pemecahan masalah, melainkan bertujuan agar peserta pelatihan mempelajari konsep-konsep cara pemecahan masalah dan mengembangkan kemampuan berfikir kritis. Dalam mempelajari konsep dan kemampuan berfkir kritis tersebut mereka bekerja secara bersama-sama dalam kelompoknya untuk mengkaji masalah-masalah riil dalam kegiatan bisnis. Pada mekanisme kelompok ini akan terjadi dialog saling memberi dan menerima di antara anggota kelompok itu sehingga diperoleh pemahaman yang mendalam dan mantap. Metode pembelajaran dan pelatihan dengan PBL ini memiliki keunggulan-keunggulan sebagai berikut: a) Melatih peserta pelatihan untuk menggunakan “reasoning” dalam mengatasi permasalah bisnis; b) Melatih peserta pelatihan untuk membuat hipotesis dalam pemecahan masalah berdasarkan konsep-konsep dan prinsip bisnis yang sederhana; c) Melatih kemampuan berfikir kritis dan kontekstual dengan masalah-masalah bisnis riil yang dihadapi; d) Melatih peserta pelatihan melakukan ujicoba dalam pembuktian hipotesis; e) Melatih kemampuan mengambil keputusan solusi tepat dari permasalahan; f) Melatih peserta pelatihan untuk bekerjasama secara teamwork dengan anggota kelompoknya; g) Melatih peserta untuk melakukan dialog dalam memahami permasalahan dan upaya-upaya pemecahan masalah dengan diskusi aktif; h) Melatih peserta untuk fleksibel dan toleran dengan orang lain; i) Melatih rasa percaya diri dalam melakukan tindakan karena telah didasari oleh keputusan yang rasional dan mantap; dan j) Meningkatkan motivasi bisnis 11 karena hal-hal yang dipelajari riil dan kontekstual dengan kerja yang akan dilakukan di kemudian hari. (Linda Torp dan Sage, 2002). KESIMPULAN Sebuah realitas sosial yang harus diakui, Indonesia dipenuhi oleh banyak pengangguran terdidik. Pembelajaran Entrepreneurship sebagai sebuah solusi praktis sangat dibutuhkan pendidikan Indonesia sekarang ini. Pembelajaran Entrepreneurship bisa dilakukan dengan pendidikan individual agar jiwa entrepreneurship bisa tumbuh dengan baik dan berkembang di masa depan sehingga memunculkan generasi masa depan yang kreatif sekaligus inovatif yang bisa membangun bangsa Indonesia. Penanaman jiwa entrepreneurship pada peserta didik bisa dilakukan dengan berbagai model salah satunya strategi pembelajaran Problem Base Learning. Pembelajaran dengan metode Problem Base Learning menggunakan masalah-masalah nyata sehingga peserta pelatihan belajar, berfikir, kritis dan terampil memecahkan masalah dan mendukung pengembangan keterampilan teknis serta perolehan pengetahuan yang mendalam. DAFTAR PUSTAKA Degeng, I Nyoman S., Prof. Dr, MPd, Kumpulan Bahan Pembelajaran. Malang : LP3-UM, 2001. Delors, Jacques, et.al., Learning : The Treasure Within, Report to UNESCO of the International Commissions on Education for the Twenty-fisrt Century, France: UNESCO Publishing, 1996. Delise, Robert. Used Problem Based Learning in The Classroom. USA: Association for Supervision and Curriculum Development. 1997. Endang Mulyani dkk,. “Model Pusat bisnis di SMK dalam Mendukung Pengembangan Entrepreneur Muda Indonesia”. Laporan Kajian. DPSMK. 2008. Gijbels, D, Dochy, F dan Van de Bossche,F. Effects of The Problem Based Learning. A Meta-analysis from the Angle Measurement. Journal Review of Educational Research. Vol.75, 27-49. 2005. Josephin Hurí. Peran Program nasional Pemberdayaan masyarakat (PNPM) Mandiri dalam Menanggulangi Kemiskinan, Jurnal Bisnis dan Ekonomi: ANTISIPASI, Volume I, Nomor 1, 2009. 12 Kirzner, I, Competition and Entrepreneurship. Chicago: University of Chicago Press. 1973 Knight, F., Risk, Uncertainty and Profit. Boston: Houghton Mifflin. Schumpeter, J., (1911/34), The Theory of Economic Development. Cambridge, Mass: Harvard University Press. 1921. Meredith, Geofrey,G. et.all. The Practice of Entrepreneurship. International Labour Organization, Geneva. 2002. McNeil, John D., Curriculum: A Comprehensive Introduction, Boston/Toronto: Little Brown and Company, 1977. Savin Baden, Maggi. Facilitating Problem Based Learning. USA: The Society for Research into Higher Education. Open University Press. 2003 Soedijarto, Pendidikan Nasional sebagai wahana Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban Negara-Bangsa, CINAPS, 2000. ---------------, Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, Jakarta: Kompas. 2008. Suprodjo Pusposutardjo “Pengembangan Budaya Kewirausahaan Melalui Matakuliah Keahlian”. Makalah. Disampaikan dalam Semiloka Wawasan Entrepreneurship IKIP YOGYAKARTA pada tanggal 17 dan 19 Juli 1999. Utami Munandar. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta : Rineka Cipta. 1999. Torp, Linda dan Sage Sara. Problem as Possibilities, Problem Based Learning for K-16. USA: Asosociation for Supervision and Curriculum Development. 2002. Wennekers, S. and Thurik, R, „Linking Entrepreneurship and Economic Growth.. Small Business Economics. 1999 Wiedy Murtini. Pengembangan Desain Pembelajaran Pendidikan Kewirausahaan di Perguruan Tinggi dengan Pemodelan Wirausahawan Usaha Kecil dan Menengah Sukses. www.uns.ac.id. 2004. 13