laporan akhir - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia

advertisement
LAPORAN AKHIR
KAJIAN KEBIJAKAN MUTU DAN STANDAR PRODUK EKSPOR TERTENTU
DALAM MENINGKATKAN DAYA SAING
Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri
Jakarta – 2012
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri
Badan Pengkajian Dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan
Kementerian Perdagangan RI
Jl. M.I. Ridwan Rais No. 5 Jakarta
Gedung Utama Lt. 16
Telp. +62 21 2352 8683 Fax. +62 21 2352 8693
TIM KAJIAN PUSKA DAGLU
BAB I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Keberhasilan pengembangan di bidang teknologi komunikasi dan informatika
serta jaringan informasi dunia saat ini telah mampu memperpendek jarak geografis
maupun psikologis masyarakat dunia. Globalisasi dalam segala sendi kehidupan
terlaksana karena apa yang terjadi di salah satu bagian dunia akan segera tersebar
dan dapat diketahui oleh bagian dunia lainnya. Sebagai salah satu konsekuensi logis
globalisasi ekonomi tersebut adalah terjadinya pergeseran cara pandang dalam
pelaksanaan perdagangan internasional yang mengarah ke perdagangan global. Hal
tersebut menimbulkan phenomena-phenomena baru seperti timbulnya pasar bebas
dunia dimana pada gilirannya akan meningkatkan persaingan bebas di pasar
internasional. Meningkatnya persaingan bebas tersebut menimbulkan dampak
kehadiran dan menguatnya kecenderungan ke arah regionalisasi wilayah ekonomi
dunia yang pada dasarnya merupakan pengelompokan kekuatan ekonomi yang
dilembagakan secara formal. Kenyataan ini secara tidak langsung memberikan
indikasi kepada kita bahwa proteksionisme bukannya akan berkurang namun
sebaliknya, azas “Bilateral Reciprocities” akan semakin dituntut oleh suatu
negara/kelompok negara kepada para mitra dagangnya.
Dalam era globalisasi, perdagangan internasional menjadi semakin transparan.
Indonesia sebagai salah satu negara yang telah menandatangani Urugay Round WTO
harus mengikuti ketentuan-ketentuan dalam GATT/WTO yaitu melakukan
liberalisasi perdagangannya dan tidak melakukan hambatan-hambatan perdagangan
dalam bentuk tarif impor, pajak dan lain-lain untuk memproteksi produksi dalam
negeri sehingga produksi dalam negeri harus bersaing secara jujur dengan produk
impor.
Dengan adanya ketentuan WTO tersebut, maka banyak negara khususnya
negara-negara maju menggunakan standar sebagai instrument dalam melakukan
hambatan perdagangan secara tersamar untuk melindungi rakyatnya. Oleh karena itu
para pelaku usaha harus sadar akan pentingnya standar dan mutu dalam
perdagangan, khususnya perdagangan internasionalnya. Pelaku usaha diharapkan
dapat berusaha untuk memenuhi semua persyaratan dalam standar dalam
memproduksi barang atau jasa.
Cara pandang positif yang harus dibangun adalah bahwa standar sebagai salah
satu pilar mutu merupakan instrumen utama untuk meningkatkan daya saing produk
suatu bangsa. Dengan memiliki standar dan mutu yang disyaratkan oleh negara
tujuan ekspor maka akan membuka peluang peningkatan ekspor yang sangat besar
karena berkembangnya interdepensi antar kawasan-kawasan ekonomi di dunia,
seperti antara Amerika Utara dengan negara-negara di Asia Pasifik, antara negaranegara di Eropa dengan negara-negara di Amerika Utara, begitu pula antara negaranegara di Eropa dengan negara-negara di Asia, utamanya ASEAN, RRC dan Jepang.
Perdagangan bebas memaksa produsen menghadapai persaingan yang semakin
ketat, yang mau atau tidak, produsen harus meningkatkan efisiensi dan menghasilkan
produk yang memenuhi standar secara konsisten agar dapat bertahan dan
memenangkan persaingan baik dalam menghadapi pasar dalam negeri maupun pasar
internasional. Standar melalui pengukuran dan pengujian akan menghasilkan
sertifikasi yang disyahkan oleh lembaga akreditasi yang memiliki kompetensi teknis
akan menghasilkan produk yang siap untuk masuk ke pasar internasional dan
bersaing dengan produk negara lain (Gambar 1).
PRODUK
GLOBALISASI
GLOBAL
EVALUASI
PERDAGANGAN
BEBAS
GLOBAL
KOMPETENSI
RANTAI
PASOKAN
GLOBAL
TEKNIS
AKREDITASI
STANDAR
LEMBAGA
SERTIFIKASI
PENGUKURAN
PENGUJIAN
Sumber: UPTD BPPMB Sulawesi Selatan, 2012
Gambar 1. Peran Standar dan Mutu dalam Meningkatkan Daya Saing pada Era
Globalisasi
2
Dilain pihak, bagi konsumen akan tersedia pilihan produk yang lebih luas baik
produk dalam negeri maupun impor. Disamping itu kebutuhan masyarakat akan
semakin meningkat karena peningkatan taraf hidup, mereka berpindah dari ”Price
Oriented” ke ”Quality Oriented”. Konsumen memperoleh kepastian kualitas dan
keamanan produk. Sementara publik dilindungi dari segi keamanan, kesehatan,
keselamatan, dan kelestarian lingkungannya. Gambar 2 menunjukkan bagaimana
standar, metrology dan conformity assessment menjembatani kepentingan sosial dan
kepentingan bisnis. Masyarakat memiliki kepentingan sosial terhadap produk yang
akan dikonsumsinya baik itu dari sisi kesehatan (health of human today and future
serta health of animal), keamanan (safety for consumers khususnya children),
maupun produk yang tidak merusak lingkungan. Dari sisi produsen, kepentingan
bisnis dikedepankan khususnya kualitas produk yang akan menyangkut standar dan
mutu mengingat konsumen sudah bergeser pola hidupnya dari Price Oriented ke
Quality Oriented.
KEPENTINGAN SOSIAL
KESEHATAN, KEAMANAN, L INGKUNGAN EKONOMI , FAIR TRADE,
PROTEKSI KONSUMEN, PERATURAN PEMERINTAH.
STANDARDIZATION
METROLOGY
CONFORMITY
ASSESSMENT
KEPENTINGAN BISNIS
PERDAGANGAN,
KUALITAS , MANUFACTURING,
SPESIFIKASI,KEUNTUNGAN,
DISTRIBUSI,
KONTRAK
Sumber: UPTD BPPMB Sulawesi Selatan, 2012
Gambar 2. Peran Standar dan Mutu dalam Menjembatani Kepentingan Sosial dan
Kepentingan Bisnis
Untuk menghindari penggunaan standarisasi sebagai hambatan dalam
perdagangan internasional, didalam berbagai forum internasional seperti ASEAN
atau APEC telah ada kesepakatan untuk menyelaraskan standar nasional masing-
3
masing anggota dengan standar internasional, termasuk cara asesmen terhadap
penerapan standar untuk memudahkan tercapainya saling pengakuan kegiatan
standardisasi. Pada tingkat dunia, Tokyo Round 1973-1979 dan Uruguay Round of
the General Agreement on Tariffs and Trade 1994 menghasilkan WTO Agreement on
Technical Barriers to Trade (TBT) untuk menangani khususnya isu standar
internasional untuk mempromosikan perdagangan bebas diantara penandatangan
perjanjian tersebut. Selain itu juga menghasilkan SPS (Sanitary and Phytosanitary
Measures) untuk keamanan pertanian. Perjanjian WTO ini telah dirartifikasi oleh
Pemerintah Indonesia dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994. Dalam
”Agreement on Technical barriers to Trade” atau perjanjian TBT yang dapat
menjadi hambatan teknis dalam perdagangan adalah standar dan peraturan teknis.
Oleh karena itu bagi negara angota WTO, apabila ingin menetapkan suatu standar
atau peraturan teknis harus transparan, yaitu sebelum standar dan peraturan teknis
diberlakukan
harus
dinotifikasikan
kepada
negara-negara
anggota
untuk
mendapatkan tanggapan/masukan.
Sebagai gambaran jumlah produk Indonesia yang telah memiliki Standar
Nasional Indonesia (SNI) dan dinotifikasi oleh Organisasi Perdagangan Dunia
(WTO) masih tertinggal jauh dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Hal ini
menyebabkan Indonesia cukup sulit untuk melakukan penetrasi ke pasar
internasional (Pusat Kerjasama Standardisasi Badan Standardisasi Nasional, 2012).
Indonesia, baru memiliki 66 jenis produk yang telah memiliki SNI dan sudah
dinotifikasi ke WTO, yakni komoditas pupuk, terigu, lampu hemat energi, dan baja.
Apabila
dibandingkan dengan Thailand dan Singapura, produk Indonesia yang
memiliki SNI ternotifikasi di WTO lebih sedikit. Permasalahan standar dan mutu
akan terkait dengan banyak faktor antara lain masih lemahnya kinerja lembaga
pengujian mutu barang produk ekspor, kapasitas dan kelembagaan laboratorium uji
produk ekspor dan impor yang masih rendah (infrastruktur dan laboratorium yang
terbatas). Kondisi infrastruktur di Indonesia pada tahun 2007 dapat dilihat pada
Tabel 1.
4
Tabel 1. Kondisi Infrastruktur Mutu Indonesia, Tahun 2007
Infrastruktur Mutu
Jumlah
LPK terdaftar* berdasarkan Akreditasi (Komite Akreditasi
Nasional)
19
LPK terdaftar* berdasarkan Penunjukan (Perindustrian dan
ESDM)
9
Laboratorium Uji
365
Sumber: Direktorat Standardisasi – D.G. SPK Kementerian Perdagangan, 2007
Catatan:
*Terdaftar pada Pusat Standardisasi Kementerian
Perdagangan terkait Permendag 14 Tahun 2007
Oleh karena itu, diperlukan suatu kerjasama berbagai stakeholders untuk
menciptakan produk-produk industri nasional yang memiliki mutu dan daya saing
tinggi sesuai ketentuan standar internasional maupun nasional. Tercapainya standar
mutu produk tersebut dapat direfleksikan dengan tersedianya sertifikat yang
diterbitkan oleh lembaga penilaian kesesuaian (conformity assessment) yang
memenuhi persyaratan internasional maupun nasional. Sertifikat yang dimaksud
meliputi sertifikat pengujian, sertifikat inspeksi, sertifikat sistem manajemen dan
sertifikat produk.
Terkait dengan usaha kearah peningkatan standar dan mutu, pemerintah akan
melakukan kajian terhadap kebijakan Pemerintah yang tertuang dalam SK
Menperindag nomor 164/MPP/Kep/6/1996 tentang produk ekspor yang ditetapkan
pengawasan mutunya. Produk ekspor yang ditetapkan dalam pengawasan mutunya
secara wajib sebanyak 23 (dua puluh tiga) produk ekspor, yaitu: (1) SIR (Standard
Indonesia Rubber), (2) Karet Konvensional, (3) Gaplek, (4) Minyak Sereh, (5)
Minyak Nilam, (6) Minyak Kenanga, (7) Minyak Akar Wangi, (8) Lada Putih, (9)
Lada Hitam, (10) Pala, (11) Fuli, (12) Cassia Vera, (13) Kopi, (14) Teh, (15) Minyak
Kayu Putih, (16) Minyak Daun Cengkeh, (17) Minyak Pala, (18) Minyak Fuli, (19)
5
Minyak Cendana, (20) Vanili, (21) Kayu Lapis penggunaan umum, (22) Biji Kakao,
(23) Biji Pinang bukan untuk obat. Kajian terhadap kebijakan tidak terlepas dari
banyaknya temuan di lapang bahwa mutu komoditas yang rendah, seperti tidak
adanya kewajiban penerapan standar nasional Indonesia bagi komoditas ekspor dari
hasil perkebunan. Hal ini mengakibatkan mutu barang yang ditentukan melalui
kesepakatan negara pembeli dengan produsen tidak sesuai.
Dari 23 komoditas
ekspor yang diawasi dalam SK tersebut, hanya karet dengan Standard Rubber
Indonesia (SIR) yang terus menerapkan SK tersebut, sementara yang lainnya tidak
konsisten.
Dari 23 komoditas berdasarkan SK Menperindag nomor 164/MPP/Kep/6/1996,
komoditas yang memiliki daya saing tinggi berdasarkan nilai RCA antara lain
komoditas kakao, pepper, dan biji kopi (Lampiran 1). Namun demikian dalam kajian
dipilih 2 komoditas yaitu biji kakao dan kayu. Indonesia merupakan negara
penghasil biji kakao tertinggi ke-3 dunia (Tabel 2.) setelah Pantai Gading dan Ghana.
Sedangkan pada tahun 2010 Indonesia menjadi produsen kakao terbesar ke-2 di
dunia dengan produksi 844.630 ton, dibawah Pantai Gading dengan produksi 1,38
juta ton.
Tabel 2. Negara Penghasil Biji Kakao Tertinggi di Dunia, Tahun 2009
Peringkat
Negara
Kuantitas
(dalam ton)
Nilai
(1000 USD)
1
Pantai Gading
917.700
2.595.900
2
Ghana
498.308
1.151.370
3
Indonesia
439.305
1.087.490
4
Nigeria
247.000
599.000
5
Kamerun
193.973
540.281
6
Belanda
167.521
466.813
7
Ekuador
124.404
334.925
8
Togo
119.500
285.480
9
Belgia
97.578
296.651
10
Papua Nugini
79.091
191.951
Sumber: Food and Agriculture Organization (FAO), 2009
Unit Nilai
(Ton/1000
USD)
2.829
2.311
2.475
2.425
2.785
2.787
2.692
2.389
3.04
2.427
6
Biji kakao Indonesia memiliki daya saing yang tinggi namun standar dan mutu
belum memenuhi persyaratan negara tujuan impor seperti persyaratan mengenai
fermentasi. Sedangkan pada komoditas kayu lapis salah satunya adalah
permasalahan terkait penerapan SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu) yang
memengaruhi daya saing. SVLK merupakan pedoman dan standar untuk penilaian
kinerja pengelolaan hutan lestari dan keabsahan atau legalitas kayu. SVLK berlaku
bagi pemegang izin/hak baik di hutan negara maupun di hutan hak (hutan rakyat).
Penilaian kinerja pengelolaan hutan lestari dimaksudkan agar hutan dikelola secara
optimal dengan tidak merubah fungsinya. Sedangkan penilaian keabsahan kayu
untuk memastikan kayu yang berasal dari pemegang izin dan hutan hak diperoleh
secara sah sesuai peraturan yang berlaku. SVLK diterapkan secara wajib
(mandatory). BSN sendiri menyatakan penerapan standar menjadi wajib bila standar
tersebut
diacu oleh regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah di suatu negara.
Merujuk pada definisi tersebut diatas, SVLK masuk kategori kebijakan yang
menyangkut mutu dan standar.
Oleh karena itu, dalam kajian ini sebagai pioneer akan memfokuskan pada
strategi peningkatan mutu dan standar produk ekspor komoditas kakao dan kayu
lapis dalam rangka meningkatkan daya saing. Komoditas karet digunakan sebagai
benchmark karena telah konsisten mengimplementasikan SK Menperindag nomor
164/MPP/ Kep/6/1996. Apabila kebijakan standar dan mutu ini berhasil maka akan
dapat dijajaki kebijakan peningkatan standar dan mutu untuk komoditas lainnya.
Berdasarkan permasalahan tersebut relevan dilakukan kajian yang berjudul “Kajian
Kebijakan Mutu dan Standar Produk Ekspor Tertentu dalam Meningkatkan
Daya Saing”.
1.2.
Perumusan Masalah
Standarisasi dan pengawasan mutu merupakan salah satu sarana untuk
meningkatkan daya saing produk baik dalam maupun luar negeri. Pengawasan mutu
ini juga bertujuan untuk mencegah produk-produk dalam negeri maupun ekspor
berada dibawah mutu standar dan hal ini juga terkait dengan kepentingan
keselamatan, keamanan, kesehatan masyarakat atau pelestarian fungsi lingkungan.
7
Pelaksanaan standarisasi dan pengawasan mutu dilakukan melalui kegiatan
pengujian di laboratorium penguji, untuk mengetahui produk telah memenuhi
persyaratan atau standar yang diacu. Untuk itu kompetensi laboratorium penguji
sangat diperlukan bahkan sangat menentukan terhadap kebenaran hasil uji produk.
Produksi dan Kontrol Kualitas (QC) amatlah erat kaitannya dengan "kesesuaian
standar" dalam hal "pengukuran", dimana nilai ukur yang didapat dari hasil
pengukuran seharusnya sama, atau diharapkan mendekati (tetapi masih dalam batas
toleransi metoda pengukuran) "nilai benar". Nilai ukur yang diharapkan dapat
diperoleh tersebut, hanya bisa direalisasikan melalui cara memberikan "sifat
mampu telusur" terhadap nilai ukur dimaksud, dengan melakukan "kalibrasi"
terhadap alat ukur yang digunakan untuk melakukan pengukuran
Sejalan dengan hal itu perlu di tetapkan sasaran-sasaran pokok untuk
mendukung kebijakan nasional dalam hal standardisasi dan sertifikasi produk yang
dapat mendukung persaingan internasional dengan menghasilkan produk dan jasa
yang terjamin mutunya. Salah satu syarat untuk mengikuti perkembangan
internasional/global memaksa Indonesia harus mempunyai kemampuan dalam
menghadapi hambatan teknis di bidang perdagangan terutama bidang standardisasi.
Dalam menghadapi persaingan internasional serta untuk meningkatkan perlindungan
konsumen dari produk luar negeri yang masuk ke Indonesia, maka perlu adanya
pelaksanaan penilaian kesesuaian dengan melakukan MRA/MOU serta peningkatan
mutu produk dalam negeri melalui standardisasi.
Saat
ini, program
pembangunan
Indonesia
mulai
berorientasi
pada
pembangunan di bidang agribisnis dengan salah satu sasarannya adalah peningkatan
mutu hasil pertanian baik segar maupun olahan untuk tujuan ekspor dan memenuhi
kebutuhan dalam negeri. Pada era globalisasi, peningkatan daya saing produk
pertanian mutlak harus dilaksanakan sedangkan dalam penanganan mutu produk
perlu mengacu pada ketentuan atau standar mutu berlaku yaitu secara Nasional yaitu
Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Internasional.
Pengertian mutu secara global pada saat ini tidak hanya dititik beratkan pada
mutu produk akhir tetapi lebih mengarah pada sistem jaminan mutu secara terpadu.
Sistem Jaminan Mutu secara terpadu mengandung filosofi bahwa bahan baku yang
8
bermutu baik, harus diikuti dengan cara penanganan dan pengolahan yang baik
sehingga akan menghasilkan produk yang bermutu baik. Hal ini terjadi pada produk
ekspor biji kakao. Berdasarkan identifikasi masalah, standar dan mutu tidak hanya
harus dipenuhi di tingkat hilir namun juga di tingkat petani.
Dalam perdagangan internasional, khusus untuk mutu dan keamanan
pertanian, WTO telah mengembangkan dua kesepakatan, yaitu SPS (Sanitary and
Phytosanitary Measures) untuk keamanan pertanian, serta TBT (Technical Barier
To Trade) untuk mutu pertanian. Berbagai progam manajemen, pedoman, dan
standar untuk mewujudkan kedua kesepakatan tersebut dikembangkan antara lain
melalui ISO–9000, ISO–14000, Hazard Analysis and Critical Control Point
(HACCP), Good Manufacturing Practices (GMP), standar komoditas pertanian dari
Codex Alimentarius Commision (CAC), serta Total Quality Management (TQM)
dalam pembinaan mutu dan keamanan pertanian.
Peningkatan daya saing ekspor produk hasil pertanian/perkebunan terkait
dengan kemampuan untuk memenuhi persyaratan mutu yang tergolong ketat di
beberapa negara tujuan ekspor. Permasalahan mengenai standar dan mutu yang
belum memenuhi negara tujuan ekspor
untuk komoditas kakao antara lain
fermentasi. Hal ini menyebabkan penurunan impor biji kakao salah satunya impor
Jerman dari Indonesia pada tahun 2000-2004 kecuali tahun 2003. Selain masalah
fermentasi, adanya kecenderungan praktek ijon yang diterapkan oleh importir
Amerika Serikat yang memanfaatkan para agen pengumpul di sentra produksi kakao
utama seperti Sulawesi Tenggara dan Tengah. Para agen pengumpul tersebut telah
terlebih dahulu membayar hasil panen yang akan datang, sehingga pemetikan biji
kakao tidak mempertimbangkan mutu panen lagi tetapi kebanyakan untuk segera
melunasi pembayaran yang telah diterima oleh petani. Akibatnya jelas, standar mutu
biji kakao yang dipersyaratkan oleh pasar tidak dapat dipenuhi.
Hal ini menunjukkan kesadaran petani/produsen, pedagang pengumpul, dan
eksportir tentang mutu masih rendah. Untuk mencegah mutu produk-produk
Indonesia dibawah standar, dan untuk mempertahankan pangsa pasar produk ekspor
Indonesia, Pemerintah menetapkan SK Deperindag No.164/MPP/KEP/6/1996
tentang Pengawasan Mutu Secara Wajib Untuk Produk Ekspor Tertentu serta
9
ketentuan pelaksanaannya melalui SK Sekretaris Jenderal Deperindag No.
470/SJ/SK/VII/1996 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Mutu Secara
Wajib Untuk Produk Ekspor Tertentu.
Akan
tetapi
dalam
pelaksanaannya,
masih
terdapat
permasalahan-
permasalahan pada pemangku kepentingan yang disebabkan oleh kurangnya
pengawasan dan kesadaran akan standar dan mutu. Adapun permasalahan tersebut
antara lain, beberapa eksportir berpendapat Sertifikat Mutu (SM) tidak diperlukan
karena tidak diminta oleh pembeli, jumlah lembaga infrastruktur yang belum
memadai untuk melayani uji mutu, laboratorium yang belum lengkap, mahalnya
pengurusan sertifikasi misalnya SVLK. Oleh karena itu, penerapan standar dinilai
dan dipandang strategis untuk peningkatan daya saing karena sesungguhnya banyak
produk ekspor nasional yang berdaya saing bagus bahkan mampu menembus pasar
negara maju, namun sering kehilangan daya saing karena tidak terstandarisasi.
Bahkan, banyak diantaranya tidak diizinkan masuk ke pasar ke suatu negara karena
tidak menerapkan standar.
1.3. Tujuan Penelitian
1. Menganalisis daya saing biji kakao dan kayu lapis yang merupakan produk ekspor
yang ditetapkan pengawasan mutunya secara wajib.
2. Menganalisis strategi peningkatan standar dan mutu dalam rangka peningkatan
daya saing
3. Merekomendasikan kebijakan terkait peningkatan standar dan mutu biji kakao
dan kayu lapis dalam rangka peningkatan daya saing.
1.4. Output/Keluaran
1. Hasil analisis daya saing biji kakao dan kayu lapis yang merupakan produk
ekspor yang ditetapkan pengawasan mutunya secara wajib.
2. Strategi peningkatan standar dan mutu produk ekspor biji kakao dan kayu lapis
dalam rangka peningkatan daya saing.
3. Rumusan rekomendasi kebijakan terkait peningkatan standar dan mutu biji kakao
dan kayu lapis dalam rangka peningkatan daya saing.
10
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia
Nomor 164/MPP/Kep/6/1996 tentang Pengawasan Mutu Secara Wajib
untuk Produk Ekspor tertentu
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor
164/MPP/Kep/6/1996 tentang Pengawasan Mutu Secara Wajib untuk Produk Ekspor
tertentu bertujuan:
1. Mencegah ekspor produk-produk Indonesia yang dibawah mutu standar.
2. Mempertahankan mutu produk ekspor.
Sedangkan kegiatan yang dilakukan antara lain:
1. Sertifikat Kesesuaian Mutu (SM)
2. Pemeriksaan sebelum pengapalan (pre-shipment inspection)
3. Pengambilan contoh oleh PPC (Petugas Pengambil Contoh)
4. Pengujian oleh Laboratorium Penguji
5. Memenuhi uji, bila tidak memenuhi; diterbitan LHA (Laporan Hasil Analisa)
dan produk tidak boleh diekspor.
6. Eksportir melampirkan SM pada PEB (Pemberitahuan Ekspor Barang).
7. Sertifikat Produk Penggunaan anda SNI.
8. Eksportir mencantumkan cap “BEBAS SM” dan nomor Sertifikat pada PEB.
Berdasarkan Surat Keputusan Menperindag Nomor 164/1996, jenis komoditas
yang diawasi mutunya semuanya berjumlah 23 (dua puluh tiga) jenis. Adapun
komoditas-komoditas tersebut yaitu (1) Standard Indonesian Rubber (SIR), (2) karet
konvensional, (3) gaplek, (4) minyak sereh, (5) minyak nilam, (6) minyak kenanga,
(7) minyak akar wangi, (8) lada putih, (9) lada hitam, (10) pala, (11) fuli, (12) cassia
Indonesia, (13) kopi, (14) teh hitam, (15) minyak kayu putih, (16) minyak daun
cengkeh, (17) minyak pala, (18) minyak fuli, (19) minyak cendana, (20) panili, (21)
kayu lapis penggunaan umum, (22) biji kakao, dan (23) biji pinang bukan untuk
obat. Dari 23 (dua puluh tiga) komoditi yang diawasi mutunya tersebut, 11 (sebelas)
komoditi diantaranya merupakan komoditi hasil pertanian primer dan 12 (dua belas)
komoditi lainnya merupakan komoditi hasil industri.
Pengawasan mutu secara wajib untuk produk industri dalam negeri telah
dilaksanakan melalui sertifikasi produk penggunaan tanda SNI, sedangkan
pengawasan mutu secara wajib untuk beberapa produk industri bertujuan ekspor
telah dilaksanakan melalui sertifikasi produk penggunaan tanda SNI atau sertifikasi
mutu produk. Dalam rangka memberikan perlindungan terhadap masyarakat dan
kesiapan menghadapi globalisasi perdagangan maka diperlukan adanya perangkat
hukum nasional di bidang pengawasan mutu produk impor dan pengawasan mutu
produk yang beredar di pasar dalam negeri.
2.2.
Infrastruktur Mutu
Infrastruktur mutu adalah semua aspek yang berkaitan dengan metrologi,
standardisasi, pengujian, manajemen mutu, sertifikasi dan akreditasi yang
berpengaruh terhadap penilaian kesesuaian (Conformity Assessment) termasuk
didalamnya institusi publik maupun swasta dalam
kerangka peraturan dimana
mereka beroperasi. Pada bagian ini akan dibahas terlebih dahulu konsep-konsep
yang berkaitan dengan standarisasi, sertifikasi dan akreditasi sebelum mengkaji
lebih lanjut mengenai laboratorium/infrastruktur mutunya. Dibawah disajikan
pendukung infrastrukur mutu yang terdiri dari metrologi, standarisasi, pengujian,
manajemen mutu, dan terakhir sertifikasi serta akreditasi.
Pengujian
Manajemen
Mutu
Standardisasi
Metrologi
Infrastruktur
mutu
Sertifikasi
dan
Akreditasi
Sumber: Direktorat Standardisasi, Kementerian Perdagangan
Gambar 3. Aspek Pendukung Infrastruktur Mutu
12
Sedangkan infrastrukur di Indonesia sendiri dapat digambarkan sebagai
berikut:
Standardisasi
Akreditasi
• BSN
Metrologi
• Balai Metrologi
• KIM LIPI
• Laboratorium
Kalibrasi
Pengujian
• BPMBEI
• B4T Bandung
• LUK-BPPT, dll
• KAN
(manajemen mutu,
sertifikasi produk,
laboratorium )
Sertifikasi
• LSSM (ISO 9001,
HACCP, lingkungan,
keamanan pangan,
dll)
• LSPro/LPK
• LSP (Sertifikasi
Personal)
• Lembaga Inspeksi
• Lembaga Pelatihan
Sumber: Direktorat Standardisasi, Kementerian Perdagangan
Gambar 4. Infrastruktur Mutu di Indonesia
Metrologi, standarisasi dan kesesuaian mutu memiliki keterkaitan yang
sangat erat
dalam mendukung sistem perdagangan internasional yang efisien.
Sistem perdagangan yang efisien akan mengurangi hambatan perdagangan
(khususnya non tariff barrier yang berkaitan dengan keamanan dan keselamatan
konsumen). Keterkaitan antara Metrologi, standarisasi dan kesesuaian mutu dapat
dilihat pada Gambar 5.
13
Sumber: Badan Stadardisasi Nasional (BSN), 2010
Gambar 5. Keterkaitan antara Metrologi, Standarisasi dan Kesesuaian Mutu dalam
Mendukung Sistem Perdagangan yang Efisien
Sistem perdagangan efisien akan memberikan manfaat perdagangan (gain from
trade) bagi negara yang ikut berpartisipasi dalam kegiatan berdagang. Hal ini akan
meningkatkan welfare.
2.2.1. Standarisasi
Salah satu kegiatan standardisasi adalah perumusan standar yang mempunyai
tujuan antara lain tersedianya sarana penunjang kebijakan pemerintah dibidang
ekonomi, sosial dan budaya, terlindungnya kesehatan, keselamatan dan keamanan
konsumen serta kelestarian lingkungan hidup. Standar dapat digunakan untuk
mengangkat kemampuan produsen dalam usaha menghasilkan produk bermutu.
Pengertian peraturan teknis secara umum di dalam standardisasi adalah peraturan
yang mensyaratkan persyaratan teknis baik secara langsung maupun dengan merujuk
atau dengan memasukkan isi suatu standar atau spesifikasi teknis. Sedangkan standar
adalah dokumen tertulis yang berisikan peraturan, pedoman, karakteristik suatu
barang dan atau jasa atau proses dan metode yang berlaku umum digunakan secara
berulang (BSN, 2010). Standar ditujukan untuk mencapai tingkat keteraturan
optimum dalam konteks tertentu. Prinsip yang dianut dalam menyusun standar
14
sejauh mungkin mengacu kepada standar internasional dimaksudkan agar mendapat
pengakuan internasional.
Standar bertujuan untuk menciptakan iklim yang baik dan sehat dalam iklim
perdagangan. Dengan adanya standar, para produsen dapat berproduksi dengan lebih
tenang, karena mereka dapat mengarahkan hasil produksinya sesuai dengan standar
yang telah ditetapkan. Di samping itu ada perlindungan terhadap kemungkinan
persaingan yang tidak jujur, misalnya pembuatan produk yang sejenis tetapi dengan
kadar bahan tertentu yang lebih murah atau lebih rendah. Juga para distributor,
mereka dapat memilih dagangan sesuai dengan keinginan konsumen dan tidak raguragu mengenai mutu yang diperdagangkan
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 102 tahun 2000 disebutkan bahwa
standarisasi adalah proses merumuskan, menetapkan, menerapkan dan merevisi
standar, yang dilaksanakan secara tertib dan berkerjasama dengan semua pihak.
Pengertian standarisasi adalah keadaan ideal atau tingkat pencapaian tertinggi dan
sempurna, yang dipakai sebagai batas penerimaan minimal (Clinical Practice
Guideline, 1990). Standar menunjukkan pada tingkat ideal tercapai tersebut tidaklah
disusun terlalu kaku, tetapi masih dalam batas-batas yang dibenarkan disebut
dengan nama toleransi.
Syarat suatu standar yang baik dipandang cukup penting antara lain :
1. Bersifat jelas
Artinya dapat diukur dengan baik, termasuk ukuran terhadap penyimpanganpenyimpangan yang mungkin terjadi.
2. Masuk akal
Suatu standar yang tidak masuk akal, bukan saja akan sulit dimanfaatkan tetapi
juga akan menimbulkan frustasi para profesional
3. Mudah dimengerti
Suatu standar yang tidak mudah dimengerti juga akan menyulitkan tenaga
pelaksana sehingga sulit terpenuhi.
4. Dapat dipercaya
Tidak ada gunanya menentukan standart yang sulit karena tidak akan mampu
tercapai. Karena itu sering disebutkan, dalam menentukan standar, salah satu
15
syarat yang harus dipenuhi ialah harus sesuai dengan kondisi organisasi yang
dimiliki.
5. Absah
Artinya ada hubungan yang kuat dan dapat didemintrasikan antara standart
dengan sesuatu (misalnya mutu pelayanan) yang diwakilinya.
6. Meyakinkan
Artinya mewakili persyaratan yang ditetapkan. Apabila terlalu rendah akan
menyebabkan persyaratan menjadi tidak berarti.
7. Mantap, Spesifik dan Eksplisit
Artinya tidak terpengaruh oleh perubahan oleh waktu, bersifat khas dan
gamblang.
Di Indonesia keberadaan Sistem Standardisasi Nasional (SSN) sangat
diperlukan untuk mendukung produk nasional dalam menghadapi era perdagangan
bebas, guna menjamin terciptanya perdagangan yang adil dan jujur serta menunjang
pertumbuhan produk nasional dan perlindungan masyarakat, khususnya dalam hal
keselamatan, keamanan, kesehatan dan fungsi lingkungan hidup. Selain itu, dalam
meningkatkan keunggulan kompetitif produk nasional, diperlukan pengembangan
prasarana teknis standardisasi yang meliputi metrologi, standar, pengujian, dan
penilaian mutu dalam rangka meningkatkan dan menjamin mutu barang dan/atau
jasa. Pengembangan prasarana teknis tersebut diusahakan agar manfaatnya dapat
lebih dirasakan oleh semua pihak. Bagaimana SSN memiliki peranan penting dalam
meningkatkan daya saing untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan dapat
dilihat pada Gambar 6.
16
Sumber: BSN, 2010
Gambar 6. Sistem Standarisasi Nasional
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, standardisasi dapat digunakan sebagai
salah satu alat kebijakan pemerintah dalam menata struktur ekonomi secara lebih
baik dan memberikan perlindungan kepada masyarakat. Oleh karena itu, Indonesia
memerlukan standar nasional dengan mutu yang makin meningkat dan dapat
memenuhi persyaratan internasional, untuk menunjang tercapainya tujuan strategis,
antara lain, peningkatan ekspor barang dan/atau jasa Indonesia, peningkatan daya
saing barang dan/atau jasa Indonesia terhadap barang dan/atau jasa impor,
peningkatan efisiensi nasional, dan menunjang program keterkaitan sektor ekonomi
dengan berbagai sektor lainnya.
17
Dengan demikian diperlukan suatu Sistem Standardisasi Nasional yang
merupakan tatanan jaringan sarana dan kegiatan standardisasi yang serasi, selaras
dan terpadu serta berwawasan nasional dan internasional. Ruang lingkup Sistem
Standardisasi Nasional meliputi kelembagaan standardisasi, perumusan standar,
penetapan standar, pemberlakuan standar, penerapan standar, akreditasi, sertifikasi,
metrologi, pembinaan dan pengawasan standardisasi, kerja sama, informasi dan
dokumentasi, pemasyarakatan, pendidikan dan pelatihan standardisasi serta
penelitian dan pengembangan standardisasi.
2.2.2. Metrologi
Metrologi industri adalah kegiatan untuk menghubungkan hasil-hasil
pengukuran melalui standar pengukuran, standar alat ukur dan membandingkan
hasil-hasil kalibrasi tersebut dengan persyaratan pengukuran (seperti akurasi, presisi,
kesalahan terbesar, dll) yang ditetapkan sebagai persyaratan proses produksi untuk
mencapai karakteristik produk yang diinginkan oleh pelanggan. Artinya, untuk
menciptakan suatu produk ekspor yang kompetitif, suatu perusahaan atau produsen
harus melakukan optimasi produk dengan cara merancang produk agar memiliki
karakterisasi yang memenuhi spesifikasi dan regulasi. Hal ini dapat terjadi jika
adanya proses pengukuran dan pengujian mutu barang pada laboratorium pengujian
yang berkompeten. Laboratorium penguji dikatakan kompeten, jika sudah
terakreditasi oleh Badan akreditasi dan semua alat-alat ukur yang digunakan pada
alur produksi atau pengujian dalam suatu industri harus melalui proses kalibrasi yang
kompeten pula. Laboratorium Kalibrasi yang berkompeten, jika sudah terakreditasi
oleh badan akreditasi dan semua peralatan standar yang digunakan tertelusur ke
Satuan Internasional (SI) melalui Lembaga Metrologi Nasional (National Metrology
Institute – NMI). Jadi peran kalibrasi dalam perdagangan global memang tidak
bersifat langsung. Kalibrasi itu sendiri merupakan bagian dari kegiatan metrologi
industri.
Dari uraian di atas, kalibrasi merupakan ujuk tombak dari benar atau tidaknya
suatu pengukuran yang dilakukan. Hal ini dikarenakan, peran kalibrasi yang tidak
terlepas dari sifat ketertelusuran pengukuran. Ketertelusuran pengukuran adalah sifat
18
hasil pengukuran yang dapat menghubungkannya dengan standar-standar nasional
atau internasional melalui rantai perbandingan yang tidak terputus yang semuanya
memiliki nilai ketidakpastian (uncertainty). Artinya, tujuan kalibrasi adalah
menjamin ketertelusuran pengukuran hasil uji produk sehingga jaminan atas hasil
dari pengukuran dan atau pengujian dapat dipertanggungjawabkan.
Manfaat kalibrasi mencakup antara lain untuk mendukung sistem mutu yang
diterapkan di berbagai industri pada peralatan laboratorium dan produksi yang
dimiliki, dan mengetahui seberapa jauh perbedaan (penyimpangan) antara nilai benar
dengan nilai yang ditunjukkan oleh alat ukur.
Sumber:Pusat Pengawasan Mutu Barang(PPMB), Kemendag
Gambar 7. Peran Kalibrasi Sebagai Bagian dari Metrologi pada Perdagangan Global
2.2.3. Akreditasi
Kegiatan akreditasi merupakan rangkaian kegiatan pengakuan formal berupa
pembarian, pemeliharaan, perpanjangan, penundaan, dan pencabutan akreditasi
lembaga-lembaga sertifikasi (yang antara lain mencakup sistem mutu, personel,
pelatihan, sistem manajemen lingkungan, sistem pengelolaan hutan lestari, sistem
manajemen keselamatan dan kesehatan kerja, dan inspeksi teknis), laboratorium
teknis/kalibrasi, dan akreditasi dibidang standardisasi lainnya oleh Komite
Akreditasi Nasional (KAN) yang menyatakan bahwa lembaga akreditasi atau
19
laboratorium tersebut telah memenuhi persyaratan untuk melakukan sesuatu
standardisasi tertentu. Tujuan dari akreditasi di sektor perdagangan adalah:
1. Memberikan jaminan penerapan standardisasi dalam keterpaduan
2. Mewujudkan satu sistem/prosedur perumusan dan penerapan standard yang baku
secara nasional.
3. Meningkatkan peran swasta dalam penerapan Standar Nasional Indonesia
4. Mengembangkan sistem sertifikasi dan jaminan mutu
5. Meningkatkan mutu dan keamanan hasil pertanian
Pelaksanaan akreditasi di Indonesia dibawah kewenangan KAN dengan
mengikuti peraturan dan persyaratan akreditasi yang berlaku secara internasional,
yaitu peraturan dan persyaratan yang disusun dan ditetapkan oleh organisasi
internasional atau regional di bidang standardisasi, misalkan peraturan dan
persyaratan yang disusun oleh International Organization for Standard (ISO),
International Electrotechnical Comission (IEC), dan sebagainya.
2.2.4. Sertifikasi
Istilah sertifikasi digunakan dalam pengertian yang bervariasi tergantung
kepada konteksnya. Dalam arti yang lain, sertifikasi adalah proses dimana
pengakuan resmi terhadap keabsahan produk, proses, kepemilikan, atau keterangan
diatur dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Sertifikat sebagai alat untuk menembus pasar internasional merupakan sebuah
dokumen yang menyatakan suatu produk/jasa sesuai dengan persyaratan standar
atau spesifikasi teknis tertentu (Jaelani, 1993 dalam Hubeis, 1994). Sertifikat yang
diperlukan adalah yang diakui sebagai alat penjamin terhadap dapat diterimanya
suatu produk/jasa tersebut (Hubeis, 1997). Upaya ini sangat diperlukan karena
Indonesia menghadapi persaingan yang makin ketat dengan negara-negara lain yang
menghasilkan barang yang sama atau sejenis. Hal ini juga perlu disiapkan dalam
menghadapi perdagangan bebas di kawasan ASEAN tahun 2003 dan di kawasan
Asia Pasifik tahun 2019 yang akan datang, serta perubahan menuju perdagangan
global dan terjadinya regionalisasi seperti di Eropa dan Amerika Utara.
20
Indonesia mengadopsi ISO-9000 dengan nama SNI-seri 19-9000-Manajemen
Mutu. ISO seri 9000 memberikan pedoman tentang bagaimana suatu organisasi
dapat menghasilkan produk atau jasa yang bermutu, dengan mutu yang konsisten.
Standar ISO seri 9000 mengarahkan keseluruhan sistem manajemen mutu untuk
menyempurnakan dan menjaga mutu produk. Sistem ini mengakui bahwa proses
mutu terpadu melibatkan semua bagian dan fungsi organisasi. ISO-9000 dapat
digunakan pada situasi tanpa kontrak (ISO 9004) dan situasi kontrak (ISO-9001,
ISO-9002, dan ISO-9003). Tiga model jaminan mutu untuk situasi kontrak yaitu
ISO-9001 : sistem mutu dalam desain/pengembangan, produksi dan instalasi; ISO9002 : sistem mutu dalam produksi dan instalasi; sedangkan ISO-9003 : sistem
mutu dalam inspeksi dan uji akhir (Kadarisman, 1997).
Dalam konteks pengawasan mutu barang ekspor hasil pertanian, sesuai dengan
SK Sekjen Depperindag No. 407/SJ/SK/VI/1996 Tentang Ketentuan Dan Tata Cara
Sertifikasi Produk Penggunaan Tanda SNI, sertifikasi memiliki definisi sebagai
berikut : sertifikasi adalah proses yang berkaitan dengan kegiatan pemberian
sertifikat, sertifikat dalam hal ini merupakan dokumen yang menyatakan kesesuaian
hasil kegiatan sertifikasi terhadap persyaratan yang ditentukan.
2.2.5.Pengawasan Mutu
Dalam dekade terakhir teori mengenai mutu telah berkembang pesat dan
beberapa ahli telah mendefinisikan pengertian mutu dalam berbagai interpretasi.
Penerapan konsep mutu di bidang pangan dalam arti luas menggunakan penafsiran
yang beragam. Kramer dan Twigg (1983) menyatakan bahwa mutu merupakan
gabungan atribut produk yang dinilai secara organoleptik (warna, tekstur, rasa dan
bau). Hal ini digunakan konsumen untuk memilih produk secara total. Gatchallan
(1989) dalam Hubeis (1994) berpendapat bahwa mutu dianggap sebagai derajat
penerimaan konsumen terhadap produk yang dikonsumsi berulang (seragam atau
konsisten dalam standar dan spesifikasi), terutama sifat organoleptiknya.
Mutu menurut Suharto (1995) dapat didefinisikan sebagai sifat dan
karakteristik produk atau jasa yang membuatnya memenuhi kebutuhan pemakai.
Sedangkan Radford (2000) menerangkan bahwa mutu adalah sesuatu yang
21
dikenakan terhadap produk–produk yang diharapkan oleh industri yang berkaitan
dengan karakteristik atau grup atau kombinasi dari kombinasi yang membedakan
satu hal dari lainnya, atau terhadap barang dari suatu pembuat dari yang dihasilkan
pesaingnya, atau satu derajat untuk produk dari suatu pabrik tertentu terhadap
produk lain yang dihasilkan oleh pabrik yang sama.
Juran (1974) dalam Hubeis (1994) menilai mutu sebagai kepuasan (kebutuhan
dan harga) yang didapatkan konsumen dari integritas produk yang dihasilkan
produsen. Menurut Fardiaz (1997), mutu
berdasarkan ISO/DIS 8402–1992
didefinsilkan sebagai karakteristik menyeluruh dari suatu wujud apakah itu produk,
kegiatan, proses, organisasi atau manusia, yang menunjukkan kemampuannya
dalam
memenuhi
kebutuhan
yang telah
ditentukan.
Feigenbaum
(1996)
mendefinisikan mutu sebagai keseluruhan gabungan karakteristik produk dan jasa
dari pemasaran, rekayasa, pembikinan, dan pemeliharaan yang membuat produk dan
jasa yang digunakan memenuhi harapan–harapan pelanggan.
Kramer dan Twigg (1983) mengklasifikasikan karakteristik mutu bahan
pangan menjadi dua kelompok, yaitu : (1) karakteristik fisik/tampak, meliputi
penampilan yaitu warna, ukuran, bentuk dan cacat fisik; kinestika yaitu tekstur,
kekentalan dan konsistensi; flavor yaitu sensasi dari kombinasi bau dan cicip, dan
(2) karakteristik tersembunyi, yaitu nilai gizi dan keamanan mikrobiologis.
Berdasarkan karakteristik tersebut, profil produk pangan umumnya ditentukan oleh
ciri organoleptik kritis, misalnya kerenyahan pada keripik.
Namun, ciri
organoleptik lainnya seperti bau, aroma, rasa dan warna juga ikut menentukan.
Pengawasan mutu merupakan program atau kegiatan yang tidak dapat
terpisahkan dengan dunia industri, yaitu dunia usaha yang meliputi proses produksi,
pengolahan dan pemasaran produk. Industri mempunyai hubungan yang erat sekali
dengan pengawasan mutu karena hanya produk hasil industri yang bermutu yang
dapat memenuhi kebutuhan pasar, yaitu masyarakat konsumen. Seperti halnya
proses produksi, pengawasan mutu sangat berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan
teknologi. Makin modern tingkat industri, makin kompleks ilmu pengetahuan dan
teknologi yang diperlukan untuk menangani mutunya. Demikian pula, semakin
maju tingkat kesejahteraan masyarakat, makin besar dan makin kompleks
22
kebutuhan masyarakat terhadap beraneka ragam jenis produk pangan. Oleh karena
itu, sistem pengawasan mutu pangan yang kuat dan dinamis diperlukan untuk
membina produksi dan perdagangan produk pangan.
Pengawasan mutu merupakan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi,
serta manajerial dalam hal penanganan mutu pada proses produksi, perdagangan
dan distribusi komoditas. Oleh karena itu, pengawasan mutu bukan semata-mata
masalah penerapan ilmu dan teknologi, melainkan juga terkait dengan bidangbidang ilmu sosial dan aspek-aspek lain, yaitu kebijaksanaan pemerintah, kehidupan
kemasyarakatan, kehidupan ekonomi serta aspek hukum dan perundang-undangan.
Pengawasan mutu mencakup pengertian yang luas, meliputi aspek
kebijaksanaan, standardisasi, pengendalian, jaminan mutu, pembinaan mutu dan
perundang-undangan (Soekarto, 1990).
Hubeis (1997) menyatakan bahwa
pengendalian mutu ditujukan untuk mengurangi kerusakan atau cacat pada hasil
produksi berdasarkan penyebab kerusakan tersebut. Hal ini dilakukan melalui
perbaikan proses produksi (menyusun batas dan derajat toleransi) yang dimulai dari
tahap pengembangan, perencanaan, produksi, pemasaran dan pelayanan hasil
produksi dan jasa pada tingkat biaya yang efektif dan optimum untuk memuaskan
konsumen (persyaratan mutu) dengan menerapkan standardisasi perusahaan/industri
yang baku. Tiga kegiatan yang dilakukan dalam pengendalian mutu yaitu,
penetapan standar (pengkelasan), penilaian kesesuaian dengan standar (inspeksi dan
pengendalian), serta melakukan tindak koreksi (prosedur uji).
Soekarto (1990) menyatakan bahwa pengawasan mutu juga mencakup
penilaian, yaitu kegiatan yang dilakukan berdasarkan kemampuan alat indera. Cara
ini disebut penilaian inderawi atau organoleptik. Di samping menggunakan analisis
mutu berdasarkan prinsip–prinsip ilmu yang makin canggih, pengawasan mutu
dalam
industri
modern
tetap
mempertahankan
penilaian
secara
inderawi/organoleptik. Nilai-nilai kemanusiaan yaitu selera, sosial budaya dan
kepercayaan, serta aspek perlindungan kesehatan konsumen baik kesehatan fisik
yang berhubungan dengan penyakit maupun kesehatan rohani yang berkaitan
dengan agama dan kepercayaan juga harus dipertimbangkan.
23
ITC (1991) dalam Hubeis (1994) menyatakan bahwa industri pangan sebagai
bagian dari industri berbasis pertanian yang didasarkan pada wawasan agribisnis
memiliki mata rantai yang melibatkan banyak pelaku, yaitu mulai dari produsen
primer – (pengangkutan) – pengolah – penyalur – pengecer – konsumen. Pada
masing-masing mata rantai tersebut diperlukan adanya pengendalian mutu (quality
control atau QC) yang berorientasi ke standar jaminan mutu (quality assurance atau
QA) di tingkat produsen sampai konsumen, kecuali inspeksi pada tahap
pengangkutan dalam menuju pencapaian pengelolaan kegiatan pengendalian mutu
total (total quality control atau TQC) pada aspek rancangan, produksi dan
produktivitas serta pemasaran. Dengan kata lain permasalahan mutu bukan sekedar
masalah pengendalian mutu atas barang dan jasa yang dihasilkan atau standar mutu
barang (product quality), tetapi sudah bergerak ke arah penerapan dan penguasaan
total quality management (TQM) yang dimanifestasikan dalam bentuk pengakuan
ISO seri 9000 (sertifikat mutu internasional), yaitu ISO-9000 s.d. ISO-9004.
Pengawasan mutu barang merupakan suatu keharusan dalam rangka
meningkatkan daya saing barang ekspor Indonesia. Pemerintah Indonesia saat ini
sedang menekankan peningkatan pengawasan mutu barang ekspor dengan berusaha
merevisi berbagai peraturan perundangan terkait dengan pengawasan mutu barang
ekspor. Sebelumnya pemerintah telah menerbitkan beberapa peraturan terkait
dengan pengawasan mutu barang antara lain:
1. Keputusan
Menteri
108/MPP/KEP/5/1996
Perindustrian
tentang
dan
Standarisasi,
Perdagangan
Sertifikasi,
Nomor
Akreditasi
dan
Pengawasan Mutu Produk di Lingkungan Departemen Perindustrian dan
Perdagangan.
2. Keputusan
Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
Nomor
164/MPP/KEP/6/1996 tentang Pengawasan Mutu Secara Wajib Untuk Produk
Ekspor Tertentu.
3. SK Sekjen Depperindag No. 470/SJ/SK/VII/1996 Tentang Ketentuan Dan Tata
Cara Pengawasan Mutu Secara Wajib Untuk Produk Ekspor Tertentu.
4. SK Sekjen Depperindag No. 407/SJ/SK/VI/1996 Tentang Ketentuan Dan Tata
Cara Sertifikasi Produk Penggunaan Tanda SNI.
24
5. SK Sekjen Depperindag No. 677/SJ/SK/IX/1996 Tentang Lembaga Yang
Ditunjuk Sebagai Laboratorium Penguji Dalam Rangka Sertifikasi Produk
Pengguna SNI Dan Pengawasan Mutu Produk Ekspor.
Semua peraturan yang diterbitkan oleh pemerintah melalui Kementerian
Perdagangan adalah wujud keseriusan pemerintah dalam mengembangkan dan
meningkatkan mutu barang ekspor Indonesia. Hal ini sejalan dengan komitmen
pemerintah untuk meningkatkan daya saing produk ekspor Indonesia sekaligus
meningkatkan volume ekspor Indonesia. Selain daya saing dan peningkatan ekspor,
pengawasan mutu barang ekspor juga terkait dengan keamanan produk pertanian.
Keamanan produk pertanian, masalah dan dampak penyimpangan mutu, serta
kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman dalam pengembangan sistem mutu
industri produk pertanian merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah,
industri dan konsumen, yang saat ini sudah memulai mengantisipasinya dengan
implementasi sistem mutu produk pertanian. Karena di era pasar bebas ini industri
produk pertanian Indonesia mau tidak mau sudah harus mampu bersaing dengan
derasnya arus masuk produk industri produk pertanian negara lain yang telah mapan
dalam sistem mutunya dan memuncaknya barang dipasaran sehingga kurangnya
pengawasan dapat menjadikan bahaya terhadap konsumen.
2.3. Terminologi dalam Sistem Standarisasi Nasional Indonesia
Di dalam Sistem Standarisasi Nasional Indonesia terdapat beberapa
terminologi, antara lain : (1) Akreditasi adalah rangkaian kegiatan pengakuan
formal oleh lembaga akreditasi nasional, yang menyatakan bahwa suatu
lembaga/laboratorium telah memenuhi persyaratan untuk melakukan kegiatan
sertifikasi tertentu; (2) Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak
berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak
dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau
dimanfaatkan oleh konsumen; (3) Badan Standardisasi Nasional adalah Badan
yang membantu Presiden dalam menyelenggarakan pengembangan dan pembinaan
di bidang standardisasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Instansi teknis adalah Departemen, Kantor Menteri Negara atau Lembaga
25
Pemerintah Non Departemen yang salah satu kegiatannya melakukan kegiatan
standardisasi; (5) Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi
yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen; (6) Kaji
ulang SNI adalah kegiatan penyempurnaan SNI sesuai dengan kebutuhan; (7)
Metrologi adalah ilmu pengetahuan tentang pengukuran; (8) Metrologi legal
adalah metrologi yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang
bertujuan untuk melindungi kepentingan umum dalam hal kebenaran pengukuran;
(9) Metrologi radiasi nuklir adalah metrologi yang menyangkut persyaratan teknik
dalam pemakaian zat radioaktif dan/atau sumber radiasi lainnya yang diatur
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan menjamin
kesehatan dan keselamatan dengan memberikan ketelitian dan keandalan yang dapat
dipertanggungjawabkan; (10) Metrologi teknik adalah metrologi yang menyangkut
persyaratan teknik dan pengembangan metode pengukuran, perawatan dan
pengembangan standar nasional untuk satuan ukuran dan alat ukur sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memberikan kepastian dan
kebenaran dalam pengukuran; (11) Standar Nasional Indonesia (SNI) adalah
standar yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional dan berlaku secara
nasional; (12) Pemberlakuan SNI wajib adalah keputusan pimpinan instansi teknis
yang berwenang untuk memberlakukan SNI secara wajib terhadap barang, dan atau
jasa; (13) Penerapan SNI adalah kegiatan menggunakan SNI oleh pelaku usaha;
(14) Penetapan SNI adalah kegiatan menetapkan RSNI (Rancangan Standar
Nasional Indonesia) menjadi SNI (Standar Nasional Indonesia); (15) Perumusan
SNI adalah rangkaian kegiatan sejak pengumpulan dan pengolahan data untuk
menyusun RSNI sampai tercapainya konsensus dari semua pihak yang terkait; (16)
Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI) adalah rancangan standar yang
dirumuskan oleh panitia teknis setelah tercapai konsensus dari semua pihak yang
terkait; (17) Sertifikasi adalah rangkaian kegiatan penerbitan sertifikat terhadap
barang dan atau jasa; (18) Sertifikat adalah jaminan tertulis yang diberikan oleh
lembaga/laboratorium yang telah diakreditasi untuk menyatakan bahwa barang,
jasa, proses, sistem atau personel telah memenuhi standar yang dipersyaratkan; (19)
Sertifikat hasil uji atau laporan hasil uji adalah dokumen yang diterbitkan oleh
26
laboratorium penguji, yang mencantumkan hasil pengujian atas contoh produk yang
telah diuji menurut spesifikasi, metode uji, atau standar tertentu; (20) Tanda SNI
adalah tanda sertifikasi yang dibubuhkan pada produk/ barang, kemasan atau label
yang menyatakan bahwa barang tersebut telah memenuhi persyaratan SNI; (21)
Sertifikat kalibrasi atau laporan kalibrasi adalah dokumen yang diterbitkan oleh
laboratorium kalibrasi, yang mencantumkan hasil kalibrasi dari peralatan atau
instrumen ukur atau bahan ukur yang dikalibrasi; (22) Sistem Standardisasi
Nasional adalah tatanan jaringan sarana dan kegiatan standardisasi yang serasi,
selaras dan terpadu serta berwawasan nasional, yang meliputi penelitian dan
pengembangan standardisasi, perumusan standar, penetapan standar, pemberlakuan
standar, penerapan standar, akreditasi, sertifikasi, metrologi, pembinaan dan
pengawasan standardisasi, kerjasama, informasi dan dokumentasi, pemasyarakatan,
pendidikan dan pelatihan standardisasi; (23) Standar adalah spesifikasi teknis atau
sesuatu yang dibakukan termasuk tata cara dan metode yang disusun berdasarkan
konsensus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan syarat-syarat
keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa
yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya; (24)
Standardisasi adalah proses merumuskan, menetapkan, menerapkan, dan merevisi
standar, yang dilaksanakan secara tertib dan bekerjasama dengan semua pihak; (25)
Standar internasional untuk satuan ukuran adalah standar untuk satuan ukuran
yang oleh suatu persetujuan atau konsensus internasional ditetapkan sebagai
dasar/acuan dalam menentukan nilai semua standar untuk satuan ukuran lain yang
sejenis untuk besaran yang dimaksud; (26) Standar nasional untuk satuan
ukuran adalah standar untuk satuan ukuran yang ditetapkan oleh pemerintah suatu
negara sebagai basis dalam menentukan semua standar lain yang sejenis di negara
tersebut, untuk besaran yang dimaksud; (27) Standar pengukuran adalah bahan
ukur, alat ukur atau sistem pengukuran yang digunakan untuk menentukan,
mewujudkan, melestarikan atau mereproduksikan suatu satuan ukuran atau satu atau
lebih nilai yang telah diketahui dari suatu besaran untuk dialihkan ke alat ukur
lainnya dengan cara pembandingan (Contoh : Standar massa 1 kg; Standar resistor
27
100 Ohm; Standar frekuensi atom Caesium); (28) Standar primer adalah standar
untuk satuan ukuran yang mempunyai mutu metrologis tertinggi dalam suatu bidang
tertentu; (29) Standar sekunder adalah standar untuk satuan ukuran yang nilainya
ditentukan dengan cara pembandingan terhadap suatu standar primer; (30) Standar
acuan adalah standar untuk satuan ukuran yang umumnya mempunyai mutu
metrologis tertinggi yang ada di suatu lokasi tertentu, digunakan sebagai acuan
untuk mengkalibrasi bahan atau alat ukur di lokasi tersebut; (31) Standar kerja
adalah standar untuk satuan ukuran yang telah dikalibrasi terhadap suatu standar
acuan, dan digunakan sehari-hari untuk mengkalibrasi bahan ukur atau alat ukur.
2.4.
Revealed Comparative Advantage Bilateral (RCAB)
Analisis keunggulan komparatif RCA diperkenalkan pertama kali oleh Bela
Balassa pada tahun 1965 dalam penelitian tentang pengaruh liberalisasi perdagangan
luar negeri terhadap keunggulan komparatif hasil industri Amerika Serikat, Jepang,
dan negara-negara yang tergabung dalam pasar bersama Eropa (MEE) serta pada
tahun 1977 untuk negara yang sama ditambah Kanada dan Swedia.
Pada mulanya Balassa menggunakan dua konsep pemikiran, pertama:
didasarkan pada rasio impor dan ekspor, dan yang kedua: pada prestasi ekspor
relatif. Dengan alasan bahwa impor lebih peka terhadap tingkatnya perlindungan
tariff, dan pada perkembangan selanjutnya Balassa meninggalkan ukuran yang
pertama. Balassa mengevaluasi prestasi ekspor masing-masing komoditi di negaranegara tertentu dengan membandingkan bagian relatif ekspor suatu negara dalam
ekspor dunia untuk masing-masing dalam rumus sebagai berikut:
RCA 
( X ij X t )
(W j Wt )
Dimana:
Xij
= nilai ekspor komoditi j negara i
Xt
= nilai ekspor total (komoditi j dan lainnya) dari negara i
Wj
= nilai ekspor komoditi j di dunia
Wt
= nilai ekspor total dunia
28
Jika RCA > 1 maka negara tersebut lebih berspesialisasi produksi di kelompok
komoditi yang bersangkutan. Wilayah tersebut memiliki keunggulan komparatif
pada komoditi tersebut. Semakin besar nilai RCA, maka semakin kuat keunggulan
komparatif yang dimilikinya. Jika RCA < 1 maka sebaliknya wilayah tersebut tidak
memproduksi komoditi dimaksud untuk tujuan ekspor karena tidak ada daya saing
dan dapat mengganggu efisiensi produksi.
Pada penelitian ini, RCA yang digunakan merupakan RCA Bilateral. Analisa
ini dikembangkan oleh International Trade Centre sebagai analisa RCA yang
menganalisa arus perdagangan, indikator keunggulan komparatif yang bertujuan
untuk mengukur spesialisasi. Spesialisasi suatu negara merupakan indikasi tentang
bagaimana suatu negara mengalokasikan sumber daya untuk berbagai industri, di
bawah asumsi total perdagangan yang seimbang.
2.5. Penggunaan AHP dalam Analisis Strategi Pengambilan Keputusan
Para pengambil keputusan hampir selalu membuat keputusan, bahkan setiap
detik dari hidupnya. Ketika mereka membuat keputusan, ada suatu proses yang
terjadi pada otak manusia yang akan menentukan kualitas keputusan yang dibuat
(Permadi, 1992). Ketika keputusan yang akan dibuat sederhana manusia dapat
dengan mudah membuat keputusan. Namun ketika keputusan yang akan diambil
bersifat kompleks dengan risiko yang besar seperti perumusan kebijakan, pengambil
keputusan sering memerlukan alat bantu dalam bentuk analisis yang bersifat ilmiah,
logis, dan terstruktur/konsisten. Salah satu alat analisis tersebut adalah berupa
decision making model (model pembuatan keputusan) yang memungkinkan mereka
untuk membuat keputusan untuk masalah yang bersifat kompleks.
Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan salah satu model
pengambilan keputusan yang sering digunakan. AHP dibangun di Wharton School of
Business oleh Thomas Saaty, yang dapat dilakukan oleh pengambil kebijakan karena
memiliki masalah yang kompleks dalam suatu struktur hirarki yang menunjukkan
hubungan antara tujuan (goal), objectives (criteria), sub objectives, dan beberapa
alternatif (Gambar 8). Ketidakpastian dan faktor lain yang mempengaruhi dapat
dapat dimasukkan.
29
Beberapa penggunaan AHP antara lain: OPEC menggunakan AHP untuk
memilih strategi dalam upaya mewujudkan tujuannya (Permadi, 1992). Bayazit and
Karpak (2005) menggunakan AHP dalam menyeleksi pemasok (supplier) untuk
pasar modern. Pemilihan berbagai alat transportasi dengan menggunakan AHP
dilakukan oleh Teknomo (1999). Bourgeois (2005) juga menggunakan AHP untuk
menyusun prioritas topik-topik penelitian yang akan diusulkan oleh UNCAPSA,
sebuah lembaga riset yang dikelola oleh UN-ESCAP. Beberapa penelitian di
Indonesia yang menggunakan AHP antara lain penelitian Badan Kebijakan Fiskal
Kementrian Keuangan berjudul “Pengembangan Perangkat Analisis Dampak
Instrumen Fiskal terhadap Kinerja Sektor Industri, Perekonomian, serta Kesempatan
Kerja. Kerjasama Fakultas Ekonomi”, penelitian Pusat Penelitian dan Perdagangan
Luar Negeri Kementrian Perdagangan dengan Widyastutik dan Anggraeni (2010)
yang berjudul “Kemungkinan Pembentukan FTA Indonesia Turki, Indonesia-Mesir,
dan Indonesia-Pakistan, penelitian Putri, Widyastutik, dan Mulyati berjudul
“Formulasi Strategi Peningkatan Daya Saing UMKM Klaster Produk Herbal Dalam
Rangka Menghadapi Free Trade Area ASEAN-China (CAFTA) Studi Kasus:
UMKM Produk Herbal di Daerah Istimewa Yogyakarta. Menurut Bourgeois (2005)
AHP umumnya digunakan dengan tujuan untuk menyusun prioritas dari berbagai
alternatif/pilihan yang ada dan pilihan-pilihan tersebut bersifat kompleks atau multi
kriteria. Secara umum, dengan menggunakan AHP, prioritas yang dihasilkan akan
bersifat konsisten dengan teori, logis, transparan, dan partisipatif. Dengan tuntutan
yang semakin tinggi berkaitan dengan transparansi dan partisipasi, AHP akan sangat
cocok digunakan untuk penyusunan prioritas kebijakan publik yang menuntut
transparansi dan partisipasi.
30
Gambar 8. Analytic Hierarchy Process
AHP merupakan salah satu metode untuk membantu menyusun suatu prioritas
dari berbagai pilihan dengan menggunakan beberapa kriteria (multi criteria). Karena
sifatnya yang multi kriteria, AHP cukup banyak digunakan dalam penyusunan
prioritas. Disamping bersifat multi kriteria, AHP juga didasarkan pada suatu proses
yang terstruktur dan logis. Pemilihan atau penyusunan prioritas dilakukan dengan
suatu prosedur yang logis dan terstruktur. Kegiatan tersebut dilakukan oleh ahli-ahli
yang representatif berkaitan dengan alternatif-alternatif yang akan disusun
prioritasnya.
2.5.1. Pembobotan dan Skala
Permasalahan pada AHP adalah tentang pendekatan pembobotan dan skor. Hal
ini karena struktur yang kompleks ditetapkan sebagai suatu hirarki yang kemudian
diturunkan dalam ukuran skala rasio melalui pilihan kebijakan yang akan
dibandingkan secara relatif. Manusia memiliki kemampuan yang lebih baik untuk
membuat pernyataan secara relatif dibandingkan absolut. Pendapat diturunkan dalam
bahasa verbal meskipun kata-kata kadang tidak akurat. Kita dapat menggunakan
kata-kata untuk membandingkan faktor-faktor secara kualitatif dan menurunkannya
dalam skala rasio prioritas yang dapat dikombinasikan dengan faktor-faktor
kuantitatif.
31
2.5.2. Pembobotan atau Prioritas tidak ditentukan secara subyektif
AHP yang merupakan proses perbandingan kebijakan, pembobotan atau
prioritas diturunkan dari seperangkat pernyataan. Ketika kita mengalami kesulitan
untuk memberikan alasan (argumen) pembobotan maka diperlukan suatu proses
pencapaian keputusan. Relatif mudah untuk memberikan alasan-alasan dan dasar
(data kasar, pengetahuan, dan pengalaman) untuk alasan-alasan tersebut.
Pembobotan atau prioritas berupa tingkat rasio yang diukur bukan dihitung.
2.5.3. Ketidak konsistenan
AHP kadang tidak konsisten tetapi menyediakan sebuah ukuran dalam setiap
perangkat alasan. Ukuran ini sangat penting untuk menghasilkan proses dalam
menurunkan prioritas yang berdasarkan perbandingan dari pasangan kebijakan.
Wajar apabila manusia ingin konsisten. Bagaimanapun dalam dunia nyata sangat
sulit untuk konsisten secara sempurna dan kita dapat mempelajari sesuatu yang baru
hanya dengan mengikuti beberapa ketidakkonsistenan yang kita ketahui.
Jika kita konsisten sempurna (dalam AHP diukur dengan rasio ketidak
konsistenan yang nol), kita tidak dapat mengatakan bahwa alasan kita bagus, sama
halnya bahwa kita tidak dapat mengatakan bahwa disana tidak ada yang salah
dengan fisik kita jika temperature badan kita sebesar 98.6 derajat. Dengan kata lain
jika kita tidak konsisten maka dapat dikatakan 40-50 persen (sebuah rasio
ketidakkonsistenan dari 100 persen yang sama dengan pernyataan acak), kita dapat
mengatakan bahwa disana terdapat kesalahan, jika temperature badan kita 104
derajat. Rasio ketidakkonsistenan sampai 10 persen atau kurang biasanya dapat
diterima, tetapi keadaan khusus menjamin penerimaan yang bernilai tinggi.
2.5.4. Penyebab Ketidak konsistenan
Penyebab ketidakkonsistenan adalah: (1) kesalahan administrasi, (2)
kekurangan informasi, (3) kurang konsentrasi, (4) dunia nyata tidak selalu konsisten,
(5) struktur model yang tidak cukup, dan (6) terpenuhinya syarat perlu tapi belum
cukup.
32
2.5.5. Prinsip-prinsip dan Aksioma dari AHP
AHP dibangun dengan dasar teori sederhana yang solid. Model dasar sangat
familiar dengan diagram pai. Jika kita menggambar diagram pai, maka dalam
gambar akan ditunjukkan tujuan dari masalah dalam pengambilan keputusan. Pai
disusun dalam irisan-irisan, dimana setiap irisan menunjukkan kontribusi setiap
kriteria dari tujuan. AHP membantu menentukan relatih pentingnya setiap irisan dari
pai. Setiap irisan dapat dikomposisi dalam irisan yang kecil yang menunjukkan sub
kriteria. Selanjutnya, irisan akan berhubungan dengan tingkat terendah dari sub
kriteria yang dibagi dalam beberapa alternatif irisan, dimana setiap alternatif irisan
menunjukkan berapa banyak alternatif berkontribusi pada setiap sub kriteria.
Ditambah oleh prioritas untuk alternatif irisan, kita dapat menentukan berapa banyak
alternatif berkontribusi pada kriteria organisasi.
AHP didasarkan pada 3 prinsip yaitu pertama dekomposisi dari masalah.
Dalam menyusun prioritas, maka masalah penyusunan prioritas harus mampu
didekomposisi menjadi tujuan (goal) dari suatu kegiatan, identifikasi pilihan-pilihan
(options), dan perumusan kriteria (criteria)untuk memilih prioritas. Kedua penilaian
untuk membandingkan elemen-elemen hasil
dekomposisi
Setelah masalah
terdekomposisi, maka ada dua tahap penilaian atau membandingkan antar elemen
yaitu perbandingan antar kriteria dan perbandingan antar pilihan untuk setiap
kriteria. Perbandingan antar kriteria dimaksudkan untuk menentukan bobot untuk
masing- masing kriteria. Di sisi lain, perbandingan antar pilihan untuk setiap kriteria
dimaksudkan untuk melihat bobot suatu pilihan untuk suatu kriteria. Dengan
perkataan lain, penilaian ini dimaksudkan untuk melihat seberapa penting suatu
pilihan dilihat dari kriteria tertentu. Ketiga sintesis dari prioritas. Sintesis hasil
penilaian merupakan tahap akhir dari AHP. Pada dasarnya, sintesis ini merupakan
penjumlahan dari bobot yang diperoleh setiap pilihan pada masing-masing kriteria
setelah diberi bobot dari kriteria tersebut.
Semua teori didasarkan atas aksioma-aksioma. Aksioma yang sederhana dan
sedikit adalah lebih umum dan mudah diterapkan disebut teori. AHP didasarkan pada
tiga axioma yang sederhana. Pertama adalah aksioma resiprokal. Kedua, aksioma
33
homogenitas, dan ketiga, aksioma elemen hirarki tidak tergantung pada elemen yang
lebih rendah.
2.6. Kerangka Pemikiran Penelitian
Perdagangan bebas memaksa produsen menghadapai persaingan yang semakin
ketat, yang mau atau tidak, produsen harus meningkatkan efisiensi dan menghasilkan
produk yang memenuhi standar secara konsisten agar dapat bertahan dan
memenangkan persaingan baik dalam menghadapi pasar dalam negeri maupun pasar
internasional. Standar melalui pengukuran dan pengujian akan menghasilkan
sertifikasi yang disyahkan oleh lembaga akreditasi yang memiliki kompetensi teknis
akan menghasilkan produk yang siap untuk masuk ke pasar internasional dan
bersaing dengan produk negara lain yang memiliki kualitas yang diinginkan
konsumen. Konsumen akan memandang di pasar akan tersedia pilihan produk yang
lebih luas baik produk dalam negeri maupun impor.
Di sisi lain kebutuhan masyarakat akan semakin meningkat karena peningkatan
taraf hidup sehingga mereka berpindah dari ”Price Oriented” ke ”Quality Oriented”.
Konsumen memperoleh kepastian kualitas dan keamanan produk. Sementara publik
dilindungi
dari
segi
keamanan,
kesehatan,
keselamatan,
dan
kelestarian
lingkungannya. Oleh karena itu dituntut peranan yang penting tentang standar,
metrology dan conformity assessment menjembatani kepentingan sosial dan
kepentingan bisnis. Masyarakat memiliki kepentingan sosial terhadap produk yang
akan dikonsumsinya baik itu dari sisi kesehatan (health of human today and future
serta health of animal), keamanan (safety for consumers khususnya children),
maupun produk yang tidak merusak lingkungan. Dari sisi produsen, kepentingan
bisnis dikedepankan khususnya kualitas produk yang akan menyangkut standar dan
mutu mengingat konsumen sudah bergeser pola hidupnya dari Price Oriented ke
Quality Oriented.
Dalam perdagangan internasional, khusus untuk mutu dan keamanan pertanian,
WTO telah mengembangkan dua kesepakatan, yaitu SPS (Sanitary and
Phytosanitary Measures) untuk keamanan pertanian, serta TBT (Technical Barier To
Trade) untuk mutu pertanian. Berbagai progam manajemen, pedoman, dan standar
34
untuk mewujudkan kedua kesepakatan tersebut dikembangkan antara lain melalui
ISO–9000, ISO–14000, Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP),
Good Manufacturing Practices (GMP), standar komoditas pertanian dari Codex
Alimentarius Commision (CAC), serta Total Quality Management (TQM) dalam
pembinaan mutu dan keamanan pertanian.
Namun demikian jumlah produk Indonesia yang telah memiliki SNI dan
dinotifikasi oleh WTO masih tertinggal jauh dibandingkan dengan negara-negara
lainnya. Hal ini menyebabkan Indonesia cukup sulit untuk melakukan penetrasi ke
pasar internasional (Pusat Kerjasama Standardisasi, Badan Standardisasi Nasional,
2012). Indonesia, baru memiliki 43 jenis produk yang telah memiliki SNI dan sudah
dinotifikasi ke WTO, yakni komoditas pupuk, terigu, lampu hemat energi, dan baja.
Penerapan standar dan mutu masih bersifat sukarela (voluntary) belum bersifat
wajib, hal ini salah satunya disebabkan karena lemahnya kesadaran pengusaha akan
pentingnya standar dan mutu bagi peningkatan daya saing. Apabila dibandingkan
dengan Thailand dan Singapura, produk Indonesia yang memiliki SNI ternotifikasi
di WTO lebih sedikit. Permasalahan standar dan mutu akan terkait dengan banyak
faktor antara lain masih kesadaran produsen dan eksportir mengenai standar dan
mutu yang masih kurang, lemahnya kinerja lembaga pengujian mutu barang produk
ekspor, kapasitas dan kelembagaan laboratorium uji produk ekspor dan impor yang
masih rendah (infrastruktur dan laboratorium yang terbatas), biaya uji standar dan
mutu yang memberatkan pengusaha terutama skala kecil.
Oleh karena itu penerapan standar dan mutu dinilai serta dipandang strategis
untuk peningkatan daya saing karena sesungguhnya banyak produk ekspor nasional
yang berdaya saing bagus bahkan mampu menembus pasar negara maju, namun
sering kehilangan daya saing karena tidak terstandarisasi. Bahkan, banyak
diantaranya tidak diizinkan masuk ke pasar ke suatu negara karena tidak menerapkan
standar. Alur pikir dari kajian ini secara lengkap disajikan dalam Gambar 9.
35
Mutu dan Standar Produk Ekspor Tertentu
PRODUK
Kepmenperindag
164/MPP/Kep/6/1996
•
•
•
Nilai ekspor yang tinggi (daya saing
tinggi dan IIT)
Berkesinambungan
Permintaan pasar besar
Kayu lapis dan kakao
Apakah telah mengaplikasikan standar dan mutu
Permasalahan di Lapang
1. Penetapan standar dan implementasinya bagaimana di lapang6. Keuntungan dan kerugian jika ditetapkan standar
2. Apakah sesuai dengan standar internasional?
7. Kesiapan infrastruktur pengujian mutu
3. Apakah standar mempengaruhi daya saing?
8. Biaya dan prosedur apakah memberatkan
Rekomendasi Kebijakan Standar dan Mutu Produk Ekspor Biji Kakao dan
Kayu Lapis Penggunaan Umum Lainnya dalam Meningkatkan Daya Saing
Gambar 9. Kerangka Pemikiran Penelitian
36
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini mencakup seluruh Indonesia dengan responden dari beberapa
kota yaitu Jawa Tengah, Lampung, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Jawa
Timur, dan Jakarta. Sedangkan Focus Group Disscussion (FGD) diselenggarakan di
3 kota yang representative mewakili daerah pengekspor dan penghasil biji kakao dan
kayu lapis penggunaan umum yaitu di Kota Makassar, Surabaya, dan Jakarta. Selain
itu, dilakukan indepth interview ke beberapa laboratorium uji seperti Laboratorium
Penguji PT Mutuagung Lestari yang terletak di Jalan Raya Bogor Km. 33, 5 No. 19
Cimanggis dan PT Sucofindo. Waktu penelitian dilakukan selama 10 (sepuluh)
bulan.
3.2. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam kajian ini berupa data primer dan sekunder.
Data primer meliputi data kualitatif maupun kuantitatif. Data kualitatif terutama
informasi tambahan tentang proses pengujian standar dan mutu barang yang
diperoleh dari wawancara dengan para eksportir, LPM, LSPro yang dipilih
berdasarkan purposive sampling yaitu judgement dan quota sampling. Wawancara
yang dilakukan dengan menggunakan kuesioner dimaksudkan untuk memperoleh
informasi mengenai permasalahan mengenai standar dan mutu biji kakao dan kayu
lapis.
Selain itu, pengumpulan informasi dilakukan melalui
FGD dengan
mengundang para pihak yang kompeten dengan topik kajian. Sedangkan data
sekunder diperoleh melalui berbagai penerbitan yang bersumber dari Badan
Standarisasi
Nasional,
Kementerian
Perdagangan,
Kementerian
Pertanian,
Kementerian Perindustrian, dan Badan Pusat Statistik.
Data-data yang terkait dengan permasalahan standar dan mutu barang ekspor
hasil pertanian diperoleh dari :
1. Laboratorium Penguji Mutu (LPM)
2. Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro).
3. Pusat Pengujian dan Pengawasan Mutu Barang (PPMB)
4. Pusat Standardisasi (Pustan) Kementrian Perdagangan
5.
Serta lembaga terkait lain yang akan dijadikan responden adalah Dinas Perindag
Provinsi dan Balai Pengujian dan Sertifikasi Mutu Barang (BPMSB).
3.3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data sebagai berikut:
a. Survai lapangan bertujuan untuk mengamati obyek penelitian sehingga
memahami kondisi sebenarnya dan bersifat non partisipatif yaitu peneliti berada
di luar sistem yang diamati.
b. Indepth interview yaitu komunikasi verbal secara mendalam dengan pihak-pihak
yang terkait yaitu Laboratorium Penguji.
c. Kuesioner berupa daftar pertanyaan dan pernyataan bersifat tertutup dan terbuka
yang dibagikan peneliti secara langsung. Kuesioner terdiri dari dua jenis yaitu
kuesioner yang ditujukan untuk menganalisis kondisi standar dan mutu ekspor
biji kakao dan kayu lapis penggunaan dan kuesioner yang ditujukan untuk
menganalisis strategi kebijakan standar dan mutu ekspor untuk meningkatkan
daya saing dengan metode analisis AHP. Kuesioner dapat dilihat pada Lampiran
2 dan Lampiran 3.
d. Penelusuran literatur
Penelusuran literatur dilakukan melalui kajian-kajian terdahulu yang terkait
dengan standar dan mutu biji kakao dan kayu lapis.
3.4. Teknik Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan non probabilitas dengan kriteria tertentu yaitu
purposive sampling berupa judgement dan quota sampling. Sampel pada penelitian
diambil dari beberapa kota yang berpotensi menghasilkan dan mengekspor biji kakao
dan kayu lapis yaitu Lampung, Semarang, Samarinda, Makassar, Surabaya, dan
Jakarta.
38
3.5. Metode Analisis
3.5.1. Analisis Revealed Comparative Advantage Bilateral (RCAB)
Pada penelitian ini, RCA yang digunakan merupakan RCA Bilateral. Rumus
RCA Bilateral adalah sebagai berikut:
t
RCAicl

X it.. danM it..
X
t
danM iclt .
icl .
X iclt .  M iclt .
X
X
X
t
icl .
t
i ..
t
i ..

 


t
t
 t

X icl
1000
t
t
t
.  M icl .
*
X

M

X

M
*
icl .
i ..
i ..
 icl .

t
t
t
t
X i..  M i.. 
X i..  M i.. 
 
= total ekspor dan impor negara
 
i pada tahun t
= total ekspor dan impor produk dalam kluster
cl di negara i pada tahun t
= neraca perdagangan negara i untuk klaster cl pada ta hun t
 = besarnya klaster cl di ekspor negara i pada tahun t

* XX  MM = ke tidak seimbangan teoritikal di negara
 M iclt .

M it..
 M it..
t
icl .
t
i ..
t
icl .
t
i ..
i untuk klaster cl pada
t tahun
3.5.2. Analisis Deskriptif
Metode ini merupakan metode statistik yang digunakan untuk menggambarkan
data yang telah dikumpulkan. Data yang terkumpul dianalisis dengan metode ini
sehingga dapat diperoleh gambaran permasalahan mengenai standar dan mutu biji
kakao dan kayu lapis. Data disajikan dalam bentuk tabulasi, charts dan diagram.
3.5.3. Analytical Hierachy Process (AHP)
Pengolahan data urutan prioritas strategi menggunakan Analytical Hierachy
Process (AHP) dengan software Expert Choice 2008. Menurut Saaty (1994), AHP
merupakan suatu tahapan proses pembuatan keputusan yang mencakup tahapantahapan berikut:
1. Menstrukturkan permasalahan sebagai suatu hirarki atau suatu sistem dengan
lingkaran yang yang saling berhubungan (dependence loop)
39
2. Menjelaskan pernyataan yang merefleksikan gagasan-gagasan, perasaan atau
intuisi.
3. Merepresentasikan pernyataan (judgement) degan nilai-nilai yang memiliki arti
4. Menggunakan nilai-nilai tersebut untuk menghitung prioritas elemen dalam
hirarki
5. Menginterpretasikan hasilnya untuk menentukan seluruh keputusan
6. Menganalisis sensitivitas untuk mengubah pernyataan
Pendekatan model AHP hampir identik dengan model perilaku politis yaitu
model keputusan (individual) dengan menggunakan pendekatan kolektif dari proses
pengambilan keputusannya. AHP dikembangkan oleh Saaty (1980) yang dapat
memecahkan masalah kompleks dengan aspek atau kriteria yang diambil cukup
banyak. Selain itu kompleksitas disebabkan oleh struktur masalah yang belum jelas,
ketidakpastian persepsi pengambil keputusan serta ketidakpastian data statistik yang
akurat bahkan tidak ada sama sekali.
Setiap tingkat hirarki mempengaruhi tujuan utamanya dengan intensitas yang
berbeda. Namun dengan teori matematika, dapat dikembangkan metode untuk
mengevaluasi pengaruh dari suatu jenjang terhadap tingkat terdekat di atasnya, yaitu
berdasarkan komposisi relatif atau bobot prioritas dari elemen pada tingkat tertentu
terhadap setiap elemen pada tingkat di atasnya yang terdekat (pengolahan
horizontal). Kemudian dilanjutkan dengan melihat kontribusi setiap elemen pada
tingkat di atasnya secara vertikal, sampai kepada tingkat hirarki yang tertinggi
(pengolahan vertikal).
Menurut Kadarsah dan Ramdhani (2000), pada dasarnya langkah-langkah
dalam metode AHP meliputi :
1. Menentukan masalah dan solusi yang diinginkan
2. Membuat struktur hirarki yang diawali dengan tujuan umum dilanjutkan dengan
sub-sub tujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkatan
kriteria yang paling bawah.
3. Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan kontribusi
relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan atau kriteria
40
yang setingkat di atasnya. Perbandingan dilakukan berdasarkan judgement dari
pengambil keputusan dengan menilai tingkat kepentingan suatu elemen
dibandingkan elemen lainnya.
4. Melakukan perbandingan berpasangan sehingga
memperoleh
judgement
seluruhnya sebanyak n x [(n-1)]/2 buah dengan n adalah banyaknya elemen
yang dibandingkan.
5. Menghitung eigenvalue dengan menguji konsistensinya. Jika tidak konsisten,
maka pengambilan data diulangi.
6. Menghitung langkah 3,4,5 untuk seluruh tingkat hirarki.
7. Menghitung vector eigen dari setiap matriks perbandingan berpasangan. Nilai
vektor eigen merupakan bobot setiap elemen, Langkah ini untuk mensintesis
judgement dalam penentuan prioritas elemen-elemen pada tingkat hirarki
terendah sampai pencapaian tujuan.
8. Memeriksa konsistensi hirarki. Jika nilainya lebih besar dari 10 persen maka
penilaian data judgement harus diperbaiki.
Saaty (1980) menyatakan skala kuantitatif dari 1 sampai 9 untuk menilai
perbandingan tingkat kepentingan suatu elemen terhadap elemen lainnya (Tabel 3).
Tabel 3. Skala Penilaian Perbandingan Pasangan
Intensitas
kepentingan
1
3
5
7
9
2,4,6,8
Kebalikan
Keterangan
Penjelasan
Kedua elemen sama pentingnya
Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama
besar terhadap tujuan
Elemen yang satu sedikit lebih penting
Pengalaman dan penilaian sedikit menyokong
daripada elemen yang lainnya
satu elemen dibandingkan elemen lainnya
Elemen yan satu lebih penting daripada Pengalaman dan penilaian sangat kuat
elemen lainnya.
menyokong satu elemen dibandingkan elemen
lainnya.
Satu elemen jelas lebih mutlak penting
Satu elemen yang kuat disokong dan dominan
daripada elemen lainnya.
terlihat dalam praktek.
Satu elemen mutlak penting daripada
Bukti yang mendukung elemen yang satu
elemen lainnnya.
tehadap elemen lain memiliki tingkat
penegasan tertinggi yang mungkin
menguatkan.
Nilai-nilai antara dua nilai
Nilai ini diberikan bila ada dua kompromi di
pertimbangan yang berdekatan.
antara dua pilihan.
Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka dibanding dengan aktivitas j maka j
mempunyai nilai kebalikannya dibanding dengan i.
Sumber : Kadarsah dan Ramdhani, 2000
41
3.5.3.1. Perhitungan Bobot Elemen
Pada dasarnya formulasi matematis pada model AHP dilakukan dengan
menggunakan suatu matriks. Misalkan dalam suatu sistem operasi terdapat n elemen
operasi yaitu elemen-elemen operasi A1, A2, ….,An, maka hasil perbandingan secara
berpasangan
elemen-elemen
operasi
tersebut
akan
membentuk
matriks
perbandingan. Perbandingan berpasangan dimulai dari tingkat hirarkis paling tinggi
dimana suatu kriteria digunakan sebagai dasar pembuatan perbandingan. Selanjutnya
perhatikan elemen yang akan dibandingkan.
A1
A2
.
An
..
A1 A11
a12
a1n
A2 A21
a22
a2n
an2
ann
.
.
An an1
Matriks An x n merupakan mariks resiprokal dan diasumsikan terdapat n
elemen yaitu w1, w2, …, wn yang akan dinilai secara perbandingan. Nilai
(judgement) perbandingan secara berpasangan antara (wi, wj) dapat dipresentasikan
seperti matriks tersebut.
wi/wj = a(i,j) ; i,j = 1,2…,n
Dalam hal ini matriks perbandingan adalah matiks A dengan unsur-unsurnya
adalah aij dengan i,j = 1,2…,n. Unsur-unsur matriks tersebut diperoleh dengan
membandingkan satu elemen operasi terhadap elemen operasi lainnya untuk tingkat
hirarki yang sama. Misalnya unsur a11 adalah perbandingan kepentingan elemen
operasi a1 dengan elemen operasi A1 sendiri. Maka nilai unsur a11 sama dengan 1.
Dengan cara yang sama maka diperoleh semua unsur diagonal matriks perbandingan
sama dengan 1. Nilai unsur a12 adalah perbandingan kepentingan elemen operasi A1
42
terhadap elemen operasi A2. Besarnya nilai a21 adalah 1/a12 yang menyatakan tingkat
intensitas kepentingan elemen operasi A2 terhadap elemen operasi A1.
Bila vektor pembobotan elemen-lemen operasi A1, A2,…, An tersebut
dinyatakan sebagai vektor W dengan W = ( W1, W2,…, Wn) maka nilai intensitas
kepentingan elemen operasi A1 dibandingkan A2 dapat pula dinyatakan sebagai
perbandingan bobot elemen operasi A1 terhadap A2, yaitu W1/W2 yang sama dengan
a12. Sehingga matriks perbandingan dapat pula dinyatakan sebagai berikut:
A1
A2
.
An
..
A1
W1/w1
w1/w2
w1/wn
A2
W2/w1
w2/w2
w2/wn
wn/w1
wn/w2
wn/wn
.
.
An
Nilai-nilai wi/wj dengan i,j =1,2,…, n diperoleh dari responden yaitu orangorang yang berkompeten dalam permasalahan yang dianalisis. Bla matriks ini
dikalikan dengan vektor kolom W= (W1, W2, …, Wn) maka diperoleh hubungan;
AW =nW …………...........………………………………………….…….(1)
Bila matriks A diketahui dan ingin diperoleh nilai W maka dapat diselesaikan
melalui persamaan berikut:
[A-nI] W= 0 ………….................................……........................................(2)
dimana I adalah matriks identitas.
Persamaan (2) dapat menghasilkan solusi yang tidak nol jika dan hanya jika n
merupakan eigenvalue dari A dan W adalah eigen vektornya. Setelah eigenvalue
matriks perbandingan A tersebut diperoleh misalnya λ1, λ2, …, λn dan berdasarkan
matriks A yang mempunyai keunikan yaitu aii= 1 dengan i= 1,2,…,n maka: ∑ λ1 =n .
Disini semua eigenvalue bernilai nol kecuali nilai eigen maksimum. Kemudian jika
penilai yang dilakukan konsisten akan diperoleh nilai eigen maksium dari A yang
43
bernilai n. Untuk mendapatkan W maka dapat dilakukan dengan mensubstitusikan
harga eigenvalue maksimum pada persamaan:
AW = λmaks W
Sehingga persamaan 2 menjadi :
[AλmaksI]W=0………........................…………....….....................................(3)
Untuk memperolehharga nol maka yang perlu diset adalah
λmaks=0 ……………………....................……...…...................................…(4)
Berdasarkan persamaan 4) dapat dipeoleh harga λmaks
Dengan memasukkan harga λmaks ke persamaan 3) dan ditambah dengan
persamaan ∑ Wi2 = 1 maka akan diperoleh bobot masing-masing elemen operasi (Wi
dengan I =1,2,…,n) yang merupakan eigenvektor yang bersesuaian dengan
eigenvalue maksimum.
3.5.3.2. Perhitungan Konsistensi
Matriks bobot yang diperoleh dari hasil perbandingan secara berpasangan
tersebut harus mempunyai hubungan kardinal dan ordinal sebagai berikut:
 Hubungan kardinal : aij.ajk = aik
 Hubungan ordinal : Ai > Aj, Aj> Ak maka Ai>Ak
Pada kenyataannya terjadi beberapa penyimpangan dari hubungan tersebut
sehingga matriks tidak konsisten karena ketidak konsistenan dalam preferensi
seseorang. Dalam teori matriks diketahui bahwa kesalahan kecil pada koefisien akan
menyebabkan penyimpangan kecil pada eigenvalue. Penyimpanagan dari konsistensi
dinyatakan sebagai Indeks Konsistensi.
Pengukuran konsistensi dinyatakan melalui suatu indeks yang disebut
‘consistency index’ (CI) , adapun rumus CI adalah :
CI 
maks  n
n 1
…………………..............................................................(5)
dimana : λmaks : eigenvalue maksimum
n
: ukuran matriks
Indeks konsistensi (CI) matriks random dengan skala penilaian 9 (1 sampai 9)
beserta kebalikannya sebagai Indeks Random (RI). Dengan menggunakan besaran CI
44
dan RI maka dapat digunakan suatu patokan untuk menentukan tingkat konsistensi
suatu matriks, yang disebut ‘consistency ratio’ (Saaty, 1991).
CR 
CI ......................................................................................................(6)
RI
dimana : CR : rasio konsistensi
CI : indeks konsistensi
RI : Random Consistency Index
Untuk model AHP, matriks perbandingan dapat diterima jika nilai Rasio
Konsistensi (CR) ≤ 0,1 (Kadarsah dan Ramdhani, 2000).
3.5.3.3. Mengevaluasi Inkonsistensi Seluruh Hirarki
Evaluasi inkonsistensi seluruh hirarki dilakukan dengan mengalikan setiap
indeks inkonsistensi dengan prioritas kriteria yang bersangkutan, dan menjumlahkan
hasil kalinya. Hasil ini dibagi dengan pernyataan sejenis yang menggunakan indeks
inkonsistensi acak yang sesuai dengan dimensi masing-masing matriks.
Dengan cara yang sama pada setiap indeks inkonsistensi acak juga dibobot
berdasarkan prioritas kriteria yang bersangkutan, dan hasilnya dijumlahkan. Untuk
memperoleh hasil yang baik, rasio inkonsistensi hirarki harus bernilai kurang atau
sama dengan 10 persen.
3.5.3.4. Penggunaan AHP dalam Analisis Kebijakan Standar dan Mutu Produk
Ekspor Tertentu dalam Meningkatkan Daya Saing
Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) digunakan sebagai pengambilan
keputusan mengenai kebijakan mutu dan standar produk ekspor tertentu dalam
meningkatkan daya saing. Pengambilan keputusan mengenai kebijakan mutu dan
standar produk ekspor tertentu dalam meningkatkan daya saing memiliki masalah
yang kompleks, ditunjukkan dalam suatu struktur hirarki yang menunjukkan
hubungan antara tujuan (goal), objectives (criteria), sub objectives, dan beberapa
alternatif.
Pengambilan keputusan mengenai kebijakan standar dan mutu untuk
meningkatkan daya saing dilakukan dengan FGD. Peserta FGD terdiri dari tenaga
45
ahli (expert) dibidangnya yaitu para eksportir, pengusaha, asosiasi, lembaga uji
standar dan mutu dan pemerintah. Peserta FGD akan melakukan penilaian dengan
teknik komparasi berpasangan (pairwise comparison) terhadap elemen-elemen pada
suatu tingkat hirarki dengan memberikan bobot numerik. Gambar 10 menunjukkan
hirarki kebijakan mutu dan standar produk ekspor tertentu dalam meningkatkan daya
saing.
Proses hirarki analitik dalam perumusan kebijakan mutu dan standar produk
ekspor tertentu dalam meningkatkan daya saing, menggunakan tiga prinsip dasar
proses hirarki analitik, yaitu : (a) penyusunan hirarki, yang ditujukan untuk memecah
persoalan menjadi unsur-unsur yang terpisah, (b) penetapan prioritas, yaitu
menentukan peringkat elemen-elemen menurut kepentingannya serta (c) konsistensi
logis, yaitu menjamin bahwa semua elemen dikelompokkan secara logis dan
diperingkatkan.
Gambar 10. Struktur Hirarki Analisis Kebijakan Standar dan Mutu Produk Ekspor
Tertentu dalam Meningkatkan Daya Saing
46
Keterangan:
 Tingkat 1 : Goal yang menjadi inti atau fokus dari permasalahan yang ingin
dipecahkan dengan metode AHP (FOKUS).
 Tingkat 2 : Hal-hal yang menjadi faktor penentu peningkatan mutu dan standar
produk ekspor tertentu dalam meningkatkan daya saing (FAKTOR).
RPA
: Regulasi perdagangan antar negara
PPT
: Infrastruktur pengujian mutu
MSL
: Biaya peningkatan mutu dan standar produk ekspor internasional
MMS
: Mekanisme/prosedur peningkatan mutu dan standar produk ekspor
MSN
: Harmonisasi Mutu dan standar produk ekspor nasional dengan
internasional
 Tingkat 3 : Aktor-aktor yang berperan dalam peningkatan mutu dan standar
produk ekspor tertentu dalam meningkatkan daya saing (AKTOR).
GOV
: Pemerintah
LEM
: Lembaga mutu dan standar
EKS
: Eksportir
NTE
: Negara tujuan ekspor
 Tingkat 4 : Tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam peningkatan standar dan
mutu ekspor (TUJUAN).
ER
: Eliminasi regulasi yang menghambat
MKK
:Meningkatkan kuantitas dan kualitas lembaga infrastruktur pengujian
standar dan mutu
EB
: Eliminasi biaya yang tidak relevan
MPM
: Mempermudah prosedur dan mekanisme peningkatan standar dan
mutu ekspor
MKE
: Meningkatkan kerjasama dalam rangka peningkatan standar dan
mutu dengan negara tujuan ekspor
 Tingkat
5
:
Hal-hal
direkomendasikan
yang
sebagai
dirumuskan
hasil
untuk
sebagai
mencapai
pilihan
tujuan
yang
akan
penelitian
(ALTERNATIF).
A : Fasilitasi regulasi
47
B : Fasilitasi terkait infrastruktur pengujian standar dan mutu
C : Fasilitasi hambatan biaya dalam rangka peningkatan standar dan mutu
D : Memfasilitasi kemudahan prosedur dan mekanisme peningkatan standar dan
mutu ekspor
E : Memfasilitasi kerjasama harmonisasi standar dan mutu internasional
48
BAB IV. GAMBARAN UMUM
4.1. Keragaan Produksi dan Ekspor Biji Kakao
Pada bab ini akan dibahas produk ekspor biji kakao sisi produksi dan ekspor ke
beberapa negara tujuan ekspor utama yang selanjutnya pada pembahasan akan
dianalisis daya saing dengan metode RCA. Produksi kakao di Indonesia berfluktuasi
dari tahun ke tahun, namun kecenderungannya terus meningkat dari tahun 2002
sampai tahun 2010 dengan rata-rata peningkatannya sebesar 0,05 persen per tahun.
Tanaman kakao di Indonesia tersebar hampir di semua kepulauan, namun areal
perkebunan kakao paling banyak berada di Pulau Sulawesi yakni 58 persen dari
luasan pertamanan kakao nasional, yang menghasilkan 63 persen kakao nasional,
sehingga dikenal sebagai sentra produksi kakao. Luas panen komoditas kakao
cenderung semakin bertambah dari tahun 2002 sampai tahun 2010 dengan rata-rata
peningkatannya sebesar 0,12 persen per tahun. Perkembangan produksi, luas panen,
dan produktivitas kakao tahun 2002-2010 dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Perkembangan Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Kakao Tahun
2002-2010
Tahun
Total Produksi
Luas Panen
Produktivitas
(Ton) (000)
(Ha)
(Kg/Ha)
2002
571.155
914.051
620
2003
698.816
964.223
720
2004
691.704
1.090.960
630
2005
748.828
1.167.046
640
2006
769.386
1.320820
580
2007
740.006
1.379.279
530
2008
803.594
1.425.216
560
2009
809.583
1.587.136
510
2010
844.626
1.651.539
510
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2012
49
Produktivitas yang tinggi terjadi pada tahun 2003, selanjutnya mengalami
penurunan sampai tahun 2010. Produktivitas kebun yang menurun salah satunya
akibat serangan hama penggerek buah kakao. Menurut usahanya, perkebunan kakao
Indonesia dikelompokkan dalam tiga jenis yaitu: perkebunan rakyat, perkebunan
negara, dan perkebunan swasta. Perkebunan kakao Indonesia didominasi oleh
perkebunan rakyat yang dimiliki oleh masyarakat. Kepemilikan perkebunan ini ratarata per petani sangat kecil yakni 1 ha per petani. Luas perkebunan kakao yang
dimiliki masyarakat sekitar 92,7 persen dari luas total perkebunan kakao di Indonesia
yang pada tahun 2010 mencapai 1.651.539 Ha. Jenis tanaman kakao yang
diusahakan di Indonesia sebagian besar adalah jenis kakao lindak dengan sentra
produksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah,
luas perkebunan ini sekitar 60 persen dari keseluruhan perkebunan kakao di
Indonesia. Disamping itu, juga diusahakan jenis kakao mulia oleh perkebunan besar
milik negara di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Sedangkan dari sisi ekspor, sejak tahun 2002 hingga tahun 2010 menunjukkan
trend yang berfluktuatif yang dapat dilihat pada tabel 5. Ekspor biji kakao pada tahun
2002 menunjukkan trend yang meningkat, namun pada tahun 2003 ketika
produktivitas mengalami peningkatan justru ekspor mengalami penurunan sekitar
21,25 persen hingga nilai ekspornya hanya mencapai US$ 410,5 juta, begitu juga
pada tahun 2004 yang menunjukkan penurunan sebesar 9,80 persen dengan nilai
sebesar US$ 370,2 juta. Turunnya nilai ekspor kakao dikaitkan dengan adanya
kebijakan bea keluar untuk biji kakao sehingga mengurangi insentif bagi eksportir
untuk melakukan ekspor (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2012). Kemudian pada
dua tahun berikutnya yaitu tahun 2005 dan 2006 menunjukkan peningkatan, yaitu
pada tahun 2005 terjadi peningkatan sebesar 26,48 persen dengan nilai US$ 468,3
juta dan pada tahun 2006 meningkat sebesar 32,46 persen dengan nilai US$ 620,3
juta. Peningkatan kembali terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar 0,48 persen menjadi
US$ 623,3 juta. Hal serupa juga terjadi pada tahun 2008 yaitu naik 37,34 persen
dengan nilai mencapai US$ 856,0 juta, serta di tahun 2009 yaitu naik 27,11 persen
US$ 1.088,1 juta. Dilihat dari kontribusinya terhadap sektor pertanian juga selalu
meningkat seiring dengan peningkatan nilai ekspornya. Pada tahun 2002 komoditi
50
ini bahkan mampu mencapai nilai ekspor sebesar US$ 521,3 juta, memberikan
kontribusi sebesar 20,3 persen terhadap ekspor sektor pertanian dan memberikan
kontribusi devisa terbesar ketiga pada sub sektor perkebunan setelah karet dan
kelapa sawit.
Tabel 5. Perkembangan Ekspor Biji Kakao Tahun 2002-2009
Tahun
Volume
Nilai
% Perubahan
(Ton)
(Ribu US$)
Nilai
2002
367.664
521.257
188,45
2003
266.292
410.465
78,75
2004
277.060
370.243
90,20
2005
368.678
468.279
126,48
2006
494.047
620.286
132,46
2007
381.689
263.282
100,48
2008
382.677
856.025
137,34
2009
440.408
1.088.136
127,11
Sumber : Badan Pusat Stastistik (2010)
Tabel 6 di bawah ini
menunjukkan perkembangan ekspor biji kakao
Indonesia pada beberapa negara tujuan ekspor utama. Negara tujuan ekspor utama
biji kakao Indonesia antara lain Malaysia, USA, Singapura, Cina, Brazil, India,
Belanda, Jerman, dan Thailand. Ekspor biji kakao perkembangannya mengalami
peningkatan adalah ke negara Singapura, sedangkan negara lainnya cenderung
berfluktuasi.
51
Tabel 6. Perkembangan Ekspor Biji Kakao pada Negara Tujuan Ekspor Utama,
Tahun 2002-2010 (US ‘ribu)
Tahun
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Brazil
25.948,8
11.116,1
64.636,3
19.997,0
15.280,0
27.600,1
63.799,3
42.087,4
29.917,6
41.646,5
31.984,2
Cina
16.406,0
11.932,0
2.919,7
6.581,8
5.474,6
15.830,1
18.240,9
20.746,1
15.902,5
7.122,6
15.317,9
Jerman
13.792,5
8.121,0
4.938,4
45,1
0,8
1.012,5
9.938,5
903,0
487,5
7.155,7
12.278,0
India
Malaysia
0,2
61.820,6
1.119,8
78.217,8
961,8
75.935,3
36,5 132.268,5
1.098,5 125.384,3
0,0 156.457,0
0,2 190.298,0
0,3 183.172,1
0,7 209.408,5
1.900,0 183.081,6
4.055,5 202.849,2
Belanda Singapura Thailand
554,0
56.855,4
7.057,1
367,5
35.908,0
4.755,5
25.431,0
37.639,4
8.120,5
80,1
33.146,9
4.795,0
725,7
31.570,3
6.386,7
1.087,5
30.093,9
9.414,7
2.943,4
43.976,5
8.260,4
668,3
43.683,5
7.325,0
239,6
45.157,5
8.116,2
2.452,0
55.889,3
7.405,5
5.847,5
53.932,2
6.716,3
USA
134.107,4
128.895,5
117.278,4
60.850,7
84.007,0
107.630,5
131.738,5
53.224,4
53.689,7
120.304,0
89.306,5
Sumber: BPS (diolah Puska Daglu)
4.2. Keragaan Produksi dan Ekspor Kayu Lapis
4.2.1. Keragaan Produksi dan Ekspor
Wilayah Indonesia yang tersebar pada 17.000 kepulauan yang meliputi 181,2
juta ha, setara dengan luas wilayah Perancis, Spanyol, Jerman dan Inggris apabila
digabungkan secara bersama-bersama. Luas daratan Indonesia sekitar 70 persen atau
133,6 juta ha terdiri dari hutan. Kawasan hutan yang telah dicadangkan untuk
perlindungan atau konservasi kira-kira sekitar 37 persen, sekitar 17 persen
dikonversi untuk penggunaan lainnya sedangkan sekitar 46 persen diperuntukkan
untuk kepentingan produksi.
Kayu lapis merupakan hasil produksi hutan. Produksi hasil hutan sendiri
bermacam-macam antara lain kayu bulat, kayu gergajian, kayu lapis, produk kayu
dan olahan lainnya. Sedangkan kayu lapis sendiri adalah panel kayu yang tersusun
dari lapisan veneer di bagian luarnya, sedangkan dibagian intinya (core) bisa berupa
veneer atau materai lain, diikat dengan lem kemudian dipress (ditekan) sedemikian
rupa sehingga menjadi panel kayu yang kuat. Termasuk dalam artian ini adalah kayu
lapis yang dilapisi dengan material lain (Bina Usaha Kehutanan, 2011). Bahan baku
kayu lapis dihasilkan oleh areal hutan yang memiliki potensi untuk dilakukan
kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu. Kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu
dapat dilaksanakan setelah diperoleh izin usaha. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu (IUPHHK) pada hutan alam adalah izin untuk memanfaatkan hutan
52
produksi yang kegiatannya terdiri dari pemanenan atau penebangan, penanaman,
pemeliharaan, pengamanan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan. IUPHHK dapat
diberikan kepada perorangan, koperasi, badan usaha swasta dan BUMN/BUMD.
Tren produksi kayu lapis mengalami penurunan sejak tahun 2006 (Tabel 7).
Hal ini disebabkan adanya kelangkaan pasokan bahan baku khususnya dari hutan
produksi alam beberapa tahun terakhir. Salah satu faktor penyebab kelangkaan itu
sendiri adalah illegal logging.
53
Tabel 7. Perkembangan Produksi Kayu Bulat dan Kayu Olahan Produksi IUPHHK Kapasitas diatas 6.000
2001-2010
/tahun, Tahun
54
Berdasarkan tabel 8, terlihat bahwa selama tahun 2006-2010 provinsi
penghasil kayu lapis terbesar adalah Provinsi Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan
dan Papua. Namun demikian kecenderungan produksi di ketiga provinsi tersebut
juga mengalami penurunan sama dengan produksi nasional kecuali pada tahun 2010 .
Tabel 8. Produksi Kayu Lapis (termasuk LVL) yang berasal dari IUPHHK Kapasitas
diatas 6.000
/ tahun Per Provinsi, Tahun 2006-2010
Sumber: Direktoral Jenderal Bina Usaha Kehutanan, 2012
Tren ekspor juga cenderung mengalami penurunan dari tahun 2006-2009,
konsisten dengan penurunan produksi pada periode waktu yang sama. Peningkatan
produksi yang terjadi pada tahun 2010, mendorong terjadinya peningkatan ekspor
juga (Tabel 9). Peningkatan produksi kayu lapis salah satunya didorong oleh
penggunaan kayu sengon dari hutan rakyat untuk bahan baku kayu lapis, penggunaan
tersebut beberapa tahun terakhir semakin meningkat seperti yang berlangsung di
55
Provinsi Jawa Tengah (Dwiprabowo,2008). Selain itu kebijakan yang kondusif untuk
pengembangan hutan rakyat berupa penyediaan lahan dan bibit unggul serta sarana
produksi lainnya dan upaya perang terhadap pembalakan liar sangat membantu
membangkitkan kembali industri kayu lapis.
Tabel 9. Perkembangan Kayu Lapis dan Hasil Hutan Lainnya, Tahun 2006-2010
Negara tujuan ekspor utama kayu lapis Indonesia antara lain Uni Emirat Arab,
Cina, Jerman, Inggris, Jepang, Malaysia, dan Belanda. Tahun 2009 ekspor kayu lapis
cenderung mengalami penurunan. Namun demikian tahun 2010 ekspor kayu lapis
kembali meningkat, peningkatan ekspor yang tinggi terjadi ke negara Cina dan
Jepang. FTA ASEAN-Cina mendorong perkembangan ekspor kayu lapis Indonesia.
Sedangkan ekspor ke negara Jepang lebih banyak dipengaruhi oleh faktor selera
masyarakat Jepang yang menyukai kayu lapis Indonesia karena kayu lapis Indonesia
terbuat dari potongan kayu yang bermutu tinggi. Kayu lapis banyak digunakan untuk
kebutuhan pembangunan perumahan serta bahan baku pembuatan kerangka beton,
kayu lapis juga sebagai bahan baku pembuatan dekorasi display, pintu, dan lemari
(Amir 2004).
56
Tabel 10. Volume Ekspor Kayu Lapis Indonesia Berdasarkan Negara Tujuan Ekspor,
Tahun 2000-2010 (ton)
Tahun
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
UEA
92,7
129,9
118,8
119,9
95,3
98,1
119,0
102,5
111,5
55,6
85,7
Cina
285,0
209,2
216,3
287,6
247,1
173,6
139,0
87,5
121,0
77,0
146,3
Jerman
58,4
60,5
42,2
37,7
27,8
26,0
19,0
38,6
46,0
31,1
40,9
UK
112,5
181,0
137,5
66,2
62,1
40,2
18,2
18,3
19,3
12,9
14,3
Jepang
Malaysia
1.546,3
10,3
1.561,3
13,6
1.485,9
5,7
1.161,1
8,1
1.057,5
4,6
887,6
2,7
831,0
7,6
596,6
7,2
563,0
25,9
529,8
14,6
610,3
28,6
Belanda
39,0
51,0
38,0
31,0
31,0
36,4
21,0
20,8
20,6
16,7
20,3
Sumber: BPS (diolah)
4.2.2. Kebijakan Mutu dan Standar Kayu Lapis & Penggunaan Umum Lainnya
a. Pengertian Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK)
Hingga saat ini, laju deforestasi di Indonesia mencapai angka 2,8 juta Ha/tahun
(FAO, 2007) mendorong munculnya inisiatif untuk mendefinisikan standar legalitas
kayu hingga pengembangan sistem verifikasinya. Proses ini dimulai sejak tahun
2002 dalam kerangka MoU Indonesia-Inggris. Memorandum ini mengawali berbagai
kegiatan penyusunan standar legalitas kayu di Indonesia yang berlangsung melalui
banyak tahap, dan melibatkan banyak pihak. pada tahun 2005 muncul beberapa
inisiatif antara lain program FLEGT (Forest Law Enforcement, Governance and
Trade) oleh Uni Eropa (UE), yang ”bergerak”di wilayah perdagangan kayu, yang
kemudian ditindaklanjuti dengan adanya program persetujuan kemitraan sukarela
(Voluntary Partnership Agreement, VPA). Pada 8 Januari 2007 diselenggarakan
pernyataan bersama antara Pemerintah Indonesia dengan Komisi Eropa untuk dapat
memulai proses negosiasi VPA. Dengan menandatangani VPA, Indonesia akan
memastikan bahwa kayu yang diekspor ke UE adalah kayu legal. Sementara UE
akan bertanggung jawab dalam meningkatkan kapasitas dan melarang kayu illegal
memasuki pasar UE. Serangkaian proses yang berlangsung bertujuan untuk
menghasilkan standar yang diharapkan mampu memberi kepastian bagi semua
57
pihak: pembeli, pemilik industri, pengusaha, penegak hukum, pemerintah, dan
masyarakat.
Hal ini sangat penting untuk peningkatan efisiensi produksi dan
kredibilitas kayu Indonesia di mata dunia, mulai dari penyusunan standar legalitas,
adanya kelembagaan yang mengimplementasikan SVLK (tata kelola (governing),
akreditasi, verifikasi, lisensi, penyelesaian keberatan, dan pemantauan), hingga
adanya prosedur verifikasi legalitas kayu yang mengatur tata hubungan dan tahapan
pelaksanaan verifikasi legalitas kayu oleh masing-masing pihak.
Sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) merupakan sistem pelacakan yang
disusun secara multistakeholder untuk memastikan legalitas sumber kayu yang
beredar dan diperdagangkan di
Indonesia.
Sistem verifikasi legalitas kayu
dikembangkan untuk mendorong implementasi peraturan pemerintah yang berlaku
terkait perdagangan dan peredaran hasil hutan yang legal di Indonesia.
Sistem verifikasi legalitas kayu diterapkan di Indonesia untuk memastikan
agar semua produk kayu yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia memiliki
status legalitas yang meyakinkan. Konsumen di luar negeri pun tidak perlu lagi
meragukan legalitas kayu yang berasal dari Indonesia. Para petani dari hutan rakyat
dan masyarakat adat dapat menaikkan posisi tawar dan tidak perlu risau hasil
kayunya diragukan keabsahannya ketika mengangkut kayu untuk dijual.
Para
produsen mebel yakin akan legalitas sumber bahan baku kayunya sehingga lebih
mudah meyakinkan para pembelinya di luar negeri. Keberadaaan SVLK telah
mendapat dukungan luas baik dari pihak pemerintah, swasta, asosiasi pengusaha
kehutanan, perwakilan masyarakat adat, LSM kehutanan dan masyarakat adat, dan
para perwakilan institusi pendidikan terkemuka di Indonesia, seperti IPB dan UGM.
b. Tujuan dan Ruang Lingkup Penerapan SVLK
Tujuan dari penerapan SVLK yaitu:
1. Membangun suatu alat verifikasi legalitas yang kredibel, efisien dan adil sebagai
salah satu upaya mengatasi persoalan pembalakan liar.
2. Memperbaiki tata kepemerintahan (governance) kehutanan Indonesia dan untuk
meningkatkan daya saing produk kehutanan Indonesia.
3. Menjadi satu-satunya sistem legalitas untuk kayu yang berlaku di Indonesia.
58
4. Menghilangkan wilayah abu-abu yang terbukti telah memunculkan ekonomi biaya
tinggi dan mendorong munculnya pembalakan liar
5. Mereduksi praktek pembalakan liar
Ruang lingkup proses pemeriksaan SVLK meliputi pemeriksaan keabsahan
asal usul kayu dari awal hingga akhir. Mulai dari pemeriksaan izin usaha
pemanfaatan, tanda-tanda identitas pada kayu dan dokumen yang menyertai kayu
dari proses penebangan, pengangkutan dari hutan ke tempat produksi kayu, proses
pengolahan hingga proses pengepakan dan pengapalan. SVLK efektif diterapkan di
seluruh tipe pengelolaan hutan di Indonesia : hutan alam produksi, hutan tanaman,
hutan rakyat (hutan milik) maupun hutan adat. Baik yang berbasis unit manajemen
maupun yang tidak berbasis unit manajemen (pemegang izin pemanfaatan kayu).
Standar legalitas SVLK diterapkan di :
1. Hutan negara yang dikelola oleh BUMN, BUMD, dan Swasta, termasuk di
dalamnya pemegang IUPHHK Hutan Alam, IUPHHK Hutan Tanaman.
2. Hutan negara yang dikelola masyarakat, termasuk di dalamnya : hutan
kemasyarakatan (HKm), hutan desa, hutan adat, hutan tanaman rakyat (HTR).
3. Hutan negara yang tidak berbasis Unit Manajemen, termasuk di dalamnya
pemegang Izin Pemanfaatan Kayu.
4. Hutan Hak/hutan rakyat/hutan milik dan areal non hutan.
Penerapan SVLK diharapkan akan memberikan manfaat bagi produsen dan
eksportir kayu khususnya kayu lapis dan penggunaan umum lainnya. Manfaat
tersebut antara lain:
1.
SVLK memberi kepastian bagi pasar di Eropa, Amerika, Jepang, dan negaranegara tetangga bahwa kayu dan produk kayu yang diproduksi oleh Indonesia
merupakan produk yang legal dan berasal dari sumber yang legal.
2. Memperbaiki administrasi tata usaha kayu hutan secara efektif.
3. Menghilangkan ekonomi biaya tinggi.
4. Pembinaan secara intensif oleh pemerintah.
5. Peluang untuk terbebas dari pemeriksaan-pemeriksaan yang menimbulkan
ekonomi biaya tinggi.
59
SVLK diterapkan mulai dari sumber asal kayu di hutan hingga industri
pengolahan kayu. Baik industri hulu maupun industri hilir. SVLK diterapkan untuk
memastikan legalitas kayu di hutan negara (baik yang berbasis unit manajemen
maupun pemegang izin pemanfaatan kayu), di hutan hak sampai di areal non hutan.
SVLK juga meliputi pemeriksaan untuk pengangkutan di darat sampai pengapalan,
pengolahan dan perdagangan kayu.
c. Pengaturan Kelembagaan
Pihak berwenang yang berhak melakukan pemeriksaan terhadap para pelaku
usaha adalah Lembaga Verifikasi yang telah memegang izin dan akreditasi dari
Komisi Akreditasi yang berkedudukan di Kementrian Kehutanan RI. Ketika
melakukan tugasnya Lembaga Verifikasi wajib berpegang pada SVLK. Asesor yang
turun ke lapangan pun harus yang telah teregistrasi. Lembaga maupun asesor yang
tidak terdaftar oleh Komisi Akreditasi tidak berhak melakukan verifikasi
menggunakan SVLK.
SVLK memiliki beberapa lembaga dalam pengaturannya, diantaranya adalah
Badan Pelaksana, Lembaga Akreditasi, Lembaga Verifikasi, Lembaga Penyelesaian
Keberatan, dan Lembaga Pemantau. Tiap lembaga dan badan tersebut memiliki
fungsi dan tugas masing-masing yang pada umumnya anggota dalam lembagalembaga tersebut terdiri dari unsur-unsur berbagai pihak. Hal ini untuk menjamin
proses dalam system ini terbuka dan kegiatan verifikasi dapat diketahui oleh semua
pihak sehingga akan memberikan respon positif terhadap pasar baik nasional
maupun internasional. Seluruh lembaga dan badan tersebut memperoleh mandate
dari Kementrian Kehutanan, kecuali Lembaga Pemantau yang hanya mendaftarkan
di Kementrian Kehutanan. Selama ini dalam Kementrian Kehutanan yang menangani
pengelolaan dan pengaturan produksi hasil hutan adalah Direktorat Jenderal Bina
Produksi Kehutanan.
Anggota dari Badan Pelaksana (BP) merupakan perwakilan dari unsur-unsur
Pemerintah, Akademisi, LSM, Bisnis, dan Masyarakat. Hal ini juga berlaku untuk
Lembaga Penyelesaian Keberatan (LPK) yang juga merupakan perwakilan dari
unsur-unsur Pemerintah, Akademisi, LSM, Bisnis, dan Masyarakat. Lembaga
60
Pemantau (LP) yang terdiri dari lembaga-lembaga yang telah memiliki badan hukum
Indonesia hanya cukup mendaftar sebagai LP untuk SVLK di BP. Untuk Lembaga
Akreditasi, Menteri Kehutanan mempunyai hak prerogratif dalam memilih lembaga
Akreditasi ini. Pada saat ini Lembaga Akreditasi yang ada untuk Pengelolaan Hutan
di Indoesia adalah Lembaga Ekolable Indonesia (LEI). Selain LEI, lembaga lain
yang berhubungan dengan Akreditasi Produk Kayu adalah Komisi Akreditas
Nasional (KAN). Namun siapa yang menjadi Lembaga Akreditasi ini akan menjadi
wewenang Menteri.
d. Kekuatan Hukum dari SVLK
SVLK diterapkan secara wajib (mandatory) untuk meningkatkan efisiensi
pengelolaan hutan dan menjaga kredibilitas legalitas kayu dari Indonesia. Namun
bagi unit manajemen yang telah mendapatkan sertifikasi lacak balak (Chain of
Custody/CoC) maka implementasi SVLK bersifat voluntary, karena unit manajemen
telah memenuhi aspek keterlacakan asal usul kayu dan legalitas, bahkan lebih dari
itu telah memenuhi asas kelestarian hutan. Yang patut menjadi perhatian adalah
apabila pihak pengusaha kayu yang harus membayar atas jasa terhadap proses
verifikasi ini kepada pemerintah, maka bayaran atas jasa tersebut kepada pemerintah
tidak akan langsung diterima oleh Kementrian Kehutanan akan tetapi melalui
prosedur sebagaimana pada mekanisme PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak)
yaitu melalui Kementrian Keuangan. Dengan birokrasi yang seperti demikian,
alokasi dan jumlah yang diterima bisa berkurang bahkan dapat digunakan untuk
kepentingan lain sehingga tidak sesuai dengan pioritas program dari Kementrian
Kehutanan sehingga anggaran disinyalir tidak digunakan untuk kepentingan
pembiayaan sertifikasi.
Proses verifikasi menghasilkan suatu dokumen sertifikasi SVLK yang
menunjukkan legalitas produk kayu dari unit manajemen bersangkutan telah
diverifikasi pada periode tertentu (selama 3 tahun). Namun dokumen sertifikasi
tersebut tidak memiliki kekuatan hukum sebagai bukti legalitas produk kayunya.
Apabila suatu unit manajemen yang telah memperoleh sertifikasi dari sisten
verifikasi legalitas kayu kemudian pada suatu saat ternyata peredaran produk kayu
61
bersangkutan tidak disertakan dokumen-dokumen kayu maka produk kayu dari unit
manajemen bersangkutan diindikasikan tidak legal (illegal). Dokumen sertifikasi
tersebut dengan sendirinya tidak dapat digunakan oleh unit manajemen bersangkutan
untuk dipakai sebagai bukti legalitas bahan produknya. Dokumen sertifikasi tersebut
hanya membuktikan bahwa pada periode tertentu keabsahan legalitas produk kayu
dari unit manajemen telah diverifikasi.
Dokumen sertifikasi tersebut lebih berguna untuk kepentingan pasar yaitu
untuk meyakinkan kepada pembeli bahwa legalitas kayu yang telah dijual telah
dilakukan verifikasi. Apabila dalam proses peradilan ternyata unit manajemen
dinyatakan bersalah, maka dokumen sertifikasi SVLK pada unit manajemen tersebut
menjadi batal atau dibekukan oleh Kementrian Kehutanan. Namun karena sistem
verifikasi bersifat mandatory dan akan berlaku secara nasional, maka bagi pengusaha
kayu yang belum mendapatkan sertifikasi, keabsahan legalitas atas produk kayunya
masih dipertanyakan. Walupun demikian, bukan berarti produk kayu tersebut tidak
legal, namun besar kemungkinan produk tersebut tidak akan mendapat respon positif
oleh pasar (karena legalitas produknya belum diverifikasi). Hal yang dikhawatirkan
adalah pemikiran dan tindakan dari penegak hukum yang belum mengerti penuh
sistem ini menganggap bahwa produk tersebut ilegal. Hal ini menuntut sosialisasi
dari pihak Kementrian Kehutanan, agar kebijakan yang baru tidak dimanfaatkan oleh
pihak-pihak tertentu untuk mencari rente ekonomi.
e. Revisi SVLK
Ketentuan soal SVLK pada awalnya diatur dalam Peraturan Menteri
Kehutanan (Permenhut) No P.38/Menhut-II/2009. Melalui Permenhut Nomor: P.
68/Menhut-II/2011 pemerintah merevisi peraturan SVLK bagi unit manajemen hutan
alam, hutan tanaman, hutan hak/rakyat, industri primer dan industri lanjutan. Salah
satu pokok perubahan yang diatur antara lain terkait dengan batas waktu
pemberlakuan SVLK dimana terhadap IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, IUPHHK-RE,
pemegang hak pengelolaan atau IUIPHHK diwajibkan untuk memiliki S-PHPL atau
S-LK selambat-lambatnya tahun 2012. Sedangkan untuk IUI dan TDI, termasuk
industri rumah tangga/pengrajin dan pedagang ekspor diwajibkan untuk memiliki S-
62
LK selambat-lambatnya 2 (dua) tahun terhitung sejak Peraturan ini diberlakukan.
Selain itu Permenhut ini juga mengatur penerbitan dokumen V-Legal sebagai
pengganti dokumen endorsment, dimana bagi pemegang SLK maka V-Legal
diterbitkan oleh LVLK sedangkan bagi yang belum memiliki SLK, V-Legal
diterbitkan berdasarkan inspeksi per shipment.
Selain itu pemerintah juga merevisi Pedoman dan Standar Verifikasi Legalitas
Kayu dengan diterbitkannya Perdirjen BUK Nomor. P.08/VI-BPPHH/2011 tanggal
30 Desember 2011. Banyak terjadi perubahan pada pedoman dan standar yang baru
ini, mulai dari penambahan verifier mencakup K3 dan Ketenagakerjaan, perubahaan
tata waktu sertifikasi, diakomodirnya eksportir non produsen dalam skema SVLK
serta dari sisi kelembagaan adanya LIU (License Information Unit) sebagai pusat
data untuk sertifikasi legalitas kayu.
SKEMA SVLK
KEMENTERIAN KEHUTANAN (Regulator)
KELUHAN
KOMITE AKREDITASI
NASIONAL (KAN)
BANDING
SERTIFIKAT
AKREDITASI
Independent
Monitoring (JPIK)
KELUHAN
AKREDITASI
PENERBITAN
LPPHPL / LVLK
PERMOHONAN
AUDIT
S - PHPL
S - LK
DOKUMEN V-Legal
(FLEGT License)
BANDING
PELAKU USAHA
LIU
SILK
Sumber: Kementerian Kehutanan, 2012
Gambar 11. SVLK dari Sisi Kelembagaan
Revisi mencakup:
(1) Sisi ruang lingkup tambahan cakupan verifikasi mencakup IUIPHHK, IUI,
Industri RT, Pengrajin dan pedagang ekspor. Untuk pengrajin dan pedagang
63
diakomodir melalui skema group sertifikasi, sedangkan untuk pedagang ekspor
diakomodir melalui ETPIK non produsen yang masih digagas implementasinya.
Selain itu khusus untuk industri terdapat mekanisme konsultasi publik sebelum
pelaksanaan audit meskipun pelaksanaannya dapat dilakukan selama ada
permintaan dari pihak terkait.
(2) Sisi publikasi, tata waktu audit menjadi lebih lama dari yang sebelumnya hanya
publikasi 7 hari menjadi 14 hari dengan selang waktu pengajuan publikasi 10
hari di website Kemenhut sehinggo total waktu untuk publikasi menjadi 24 hari.
Tata waktu untuk sertifikasi sebagaimana digambarkan pada skema berikut:
Sumber: Kementerian Kehutanan, 2012
Gambar 12. Tata Waktu Sertifikasi Verifikasi Legalitas Kayu
(3) Sisi sertifikat, tidak lagi terdapat pengidentifikasian menggunakan warna pada
sertifikat Legalitas Kayu yang diterbitkan. Sebagaimana sebelumnya diatur
terdapat 5 warna yang membedakan sumber bahan baku yang digunakan.
(4) Sisi pelaksanaan verifikasinya sendiri terdapat kewajiban untuk melakukan
penelusuran atas bahan baku yang digunakan dengan ketentuan, jika sumber
bahan baku belum bersertifikast LK/PHPL, dilakukan penelusuran satu langkah
kebelakang dapat melalui surat dan/atau verifikasi langsung ke pemasoknya.
Jika ada subkon/ kerjasama produksi maka perlu ditelusur bahwa subkon/
supplier beroperasi secara sah
64
Selain itu sanksi atas pemenuhan ketentuan bagi pemegang S-LK diatur lebih
jelas, yaitu S-LK dibekukan apabila : tidak bersedia dilakukan penilikan sesuai tata
waktu yang ditetapkan dan atau terdapat temuan ketidaksesuaian sebagai hasil audit
tiba-tiba. S-LK dicabut apabila : tetap tidak bersedia dilakukan penilikan setelah 3
(tiga) bulan sejak penetapan pembekuan sertifikat, secara hukum terbukti membeli
dan/atau menerima dan/atau menyimpan dan/atau mengolah dan/atau menjual kayu
illegal, pemegang izin kehilangan haknya untuk menjalankan usahanya atau izin
usaha dicabut. Sedangkan tahapan verifikasi legalitas kayu dapat di jelaskan
berdasarkan bagan dibawah ini:
Sumber: Kementerian Kehutanan, 2012
Gambar 13. Tahapan Verifikasi Legalitas Kayu
65
Penelurusan / konfirmasi hanya sampai 1 tahap ke belakang
Sumber: Kementerian Kehutanan, 2012
Gambar 14. Penelusuran Bahan Baku Verifikasi Legalitas Kayu di industri primer
Penelurusan / konfirmasi hanya sampai 1 tahap ke belakang
Sumber: Kementerian Kehutanan, 2012
Gambar 15. Penelusuran Bahan Baku Verifikasi Legalitas Kayu di Industri Lanjutan
Selain negara tujuan ekspor dan pintu keluar, diperlukan suatu unit pendataan
ekspor kayu. Oleh karena itu pemerintah membentuk License Information Unit
(LIU) yang menangani pendataan ekspor kayu. Badan itu akan menggantikan "pintu"
ekspor kayu olahan atau woodworking maupun kayu lapis atau plywood yang selama
ini melalui Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK). Kementerian Kehutanan
sudah mengembangkan sistem online pengelolaan informasi terkait penerbitan
66
Dokumen V-Legal yang siap dioperasikan di akhir tahun 2012. Sistem ini akan
dijalankan oleh Unit Pengelolaan Informasi Verifikasi Legalitas Kayu atau Lincense
Information Unit (LIU) yang berpusat di Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan
Kementrian Kehutanan. Sistem online ini akan menggantikan mekanisme
endorsement ekspor kayu dan produk kayu oleh Badan Revitalisasi Industri
Kehutanan (BRIK). Pada 1 Agustus 2012, LIU resmi terbentuk dan 1 Oktober 2012
resmi beroperasi. LIU akan melakukan uji coba sistem pencatatan ekspor selama dua
bulan, sehingga selama masa percobaan itu, ekspor woodworking dan plywood masih
menjadi kewenangan BRIK. LIU
juga langsung terhubung dengan sistem
INATRADE di Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementrian
Perdagangan dan akan bermuara pada portal Indonesian National Single Window
(INSW) di Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan untuk pendaftaran ekspor.
Sedangkan BRIK sendiri adalah lembaga yang berdiri sejak 2002. Lembaga ini
bertugas mengelola dokumen ekspor bagi produk wood-working maupun plywood.
Melayani 600 perusahaan kayu, BRIK harus diubah karena belum bisa
mengakomodasi tuntutan konsumen luar negeri tentang asal muasal kayu. BRIK juga
hanya bertugas mengelola "pintu" ekspor produk woodworking dan plywood,
sementara untuk pulp and paper serta furnitur langsung ke bea cukai. LIU akan
menjadi pintu untuk seluruh ekspor produk kayu, sehingga perusahaan yang
mempunyai SVLK bisa dengan mudah melakukan ekspor.
4.3. Infrastruktur Standar dan Mutu Produk
4.3.1. Badan Standarisasi Nasional
Indonesia pada tahun 2025 memiliki visi “Mewujudkan masyarakat yang
mandiri, maju, adil, dan makmur. Untuk mencapai visi tersebut, pemerintah
melakukan kegiatan transformasi percepatan pembangunan ekonomi yang tersusun
dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI). MP3EI menyusun strategi yaitu (1) pengembangan potensi ekonomi
melalui koridor ekonomi, (2) penguatan konektivitas nasional, (3) penguatan
kemampuan SDM dan IPTEK nasional. Pengembangan 6 (enam) koridor
mempertimbangkan potensi ekonomi dan difokuskan pada 8 (delapan) program
67
utama yaitu pertanian, pertambangan, energi, industrim kelautan, pariwisata, dan
telematika serta pengembangan kawasan strategis yang dijabarkan dalam 22 (dua
puluh dua) kegiatan ekonomi utama. Keenam koridor tersebut yaitu: (1) koridor
Sumatera, (2) koridor Jawa, (3) koridor Kalimantan, (4) koridor Sulawesi, (5)
koridor Bali-Nusa Tenggara, dan (6) koridor Papua – Kepulauan Maluku.
Gerakan Nasional Penerapan (GENAP) SNI dilakukan untuk Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), yaitu melalui peningkatan
daya saing dengan (1) menjamin ketersediaan SNI, (2) mendukung ketersediaan
LPK, (3) fasilitasi penyiapan, notifikasi, dan implementasi regulasi teknis berbasis
SNI serta (4) edukasi publik. Badan Standarisasi Nasional (BSN) menerapkan dan
mengembangkan SNI yang selaras dan disesuaikan dengan produk unggulan di tiap
wilayah koridor ekonomi.
Salah satu penerapan dan pengembangan SNI yang selaras dan disesuaikan
dengan produk unggulan di tiap wilayah koridor ekonomi adalah produk kakao.
Produk Kakao merupakan salah satu potensi produk utama pertanian di koridor
Sulawesi. SNI terkait produk kakao umumnya mengatur persyaratan mutu. Selain
persyaratan mutu, diatur pula cara produksi dan pemrosesan produk kakao secara
higienis. Dalam penerapan SNI baik voluntary maupun wajib kaitannya dengan
perdagangan perlu tersedia infrastruktur agar penerapan SNI berlangsung taat azas,
sesuai dengan tata cara yang berlaku baik di tingkat internasional maupun nasional.
Infrastruktur dapat berupa kebijakan yang tertuang dalam peraturan perundangan
maupun ketersediaan lembaga penilaian kesesuaian. Berdasarkan data BSN, hingga
bulan Agustus 2012 terdapat 17 judul SNI terkait kakao, 80 lembaga penilaian
kesesuaian yang tersebar di wilayah Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi,
Maluku dan Jayapura serta 3 regulasi teknis terkait kakao.
Pengelompokan SNI terkait kakao berdasarkan ICS (International Classification
of Standards) adalah sebagai berikut:
68
Tabel 11. Jumlah Pengelompokkan Produk yang ber-SNI
a. 65.060 Mesin, perkakas, dan peralatan pertanian
1
2
3
4
5
6
7
SNI 7465:2008
Mesin Sangrai kopi dan kakao tipe silinder datar
berputar - Syarat mutu dan cara uji
SNI 7467: 2008
Mesin pengering kopi dan kakao tipe bak datar – Syarat
mutu dan cara uji
SNI 7693: 2011
Peti fermentasi biji kakao – Syarat mutu dan metode uji
SNI 7694: 2011
Mesin Pemecah buah dan pemisah biji kakao – Syarat
dan Metode uji
SNI
02-1185- Mesin cuci biji coklat - Cara uji unjuk kerja
1989
SNI 7602: 2010
Mesin sortasi biji kakao meja getar – Unjuk kerja dan
metode uji
SNI
02-1184- Alat pengering biji coklat tipe bak – Cara Uji unjuk
1989
kerja
b. 67.100 Susu dan produk susu
8
9
SNI 3752: 2009
Susu coklat bubuk
SNI
01-4293- Coklat susu
1996
c. 67.140. Teh. Kopi, Kakao
10
11
12
13
14
15
SNI 2323:2008
SNI 2323:2008/
Amd1:2010
SNI 3747:2009
SNI 3748:2009
SNI 3749:2009
SNI 7553:2009
Biji Kakao
Biji Kakao Amandement 1
Kakao Bubuk
Lemak Kakao
Kakao Massa
Bungkil Kakao
d. 67.190. Cokelat
16
17
SNI 01-42921996
SNI 01-44581998
Cokelat Butir
Pasta Cokelat
Berdasarkan data BSN, lembaga penilaian kesesuaian produk kakao di
Indonesia terdiri dari (1) Laboratorium Penguji, (2) Lembaga Sertifikasi Sistem
Manajemen Mutu, (3) Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen Lingkungan, (4)
69
Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen Keamanan Pangan (LSSMKP) (belum
tersedia), (5) Lembaga Sertifikasi Sistem Hazard Analysis and Critical Control
Point, (6) Lembaga Sertifikasi Produk. Secara detil lembaga penilaian kesesuaian
produk kakao adalah sebagai berikut:
Tabel 12. Laboratorium Penguji
No.
No LPK
Laboratorium Penguji
1
LP 003 IDN
Balai Pengujian dan Sertifikasi Mutu Barang
Propinsi Sulawesi Selatan
PT. PAN Asia Superintendence Cooperation
Cabang Sulawesi Selatan
Laboratorium Sentral Operasi Cibitung, PT
Sucofindo (Persero)
Balai Pengujian Mutu Barang Jakarta
2
LP 008 IDN
3
LP 024 IDN
4
LP 025 IDN
5
LP 028 IDN
6
P 031 IDN
7
LP 057 IDN
PT. Sucofindo (Persero) Cabang Laboratorium
Surabaya
UPT Pengujian dan Sertifikasi Mutu Barang
Provinsi Riau
Balai Besar Industri Agro Bogor
8
LP 067 IDN
MBRIO Food Laboratory Bogor
9
LP 110 IDN
10
LP 114 IDN
Balai Besar Industri Hasil Perkebunan Makassar,
Balai Penelitian dan Pengembangan Industri
Makassar
Balai Besar Kimia dan Kemasan Jakarta
11
LP 125 IDN
12
LP 132 IDN
13
LP 133 IDN
14
LP 139 IDN
15
LP 173 IDN
16
LP 178 IDN
17
LP 220 IDN
18
LP 243 IDN
Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan di
Jogjakarta
Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan di
Semarang
Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan di
Surabaya
Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan di
Denpasar
Balai Pengawasan Obat dan Makanan di Bandung
Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan di
Jakarta
Balai Pengujian Sertifikasi Mutu Barang Medan
Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan di
Banjarmasin
70
19
LP 244 IDN
Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan di
Jayapura
Balai Pengawasan Obat dan Makanan di
Palangkaraya
Balai Pengawasan Obat dan Makanan di
Bengkulu
Balai Pengawasan Obat dan Makanan di Ambon
20
LP 278 IDN
21
LP 290 IDN
22
LP 291 IDN
23
LP 337 IDN
24
LP 354 IDN
25
LP 377 IDN
26
LP 458 IDN
27
LP 459 IDN
28
LP 471 IDN
29
LP 481 IDN
30
LP 512 IDN
Balai Pengawasan Obat dan Makanan di Bandar
Lampung
UPTD Balai Pengujian dan Sertifikasi Mutu
Barang Prov Aceh
Laboratorium Cabang Makassar, PT Sucofindo
31
LP 513 IDN
PT Geoservices Bontang
32
LP 534 IDN
33
LP 553 IDN
34
LP 592 IDN
UPT Penguji dan Sertifikasi Mutu Barang Prov
Sulteng
UPT Penguji dan Sertifikasi Mutu Barang Prov
Bali
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia
35
LP 599 IDN
36
LP 606 IDN
37
LSPr 008 IDN
Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman
Perkebunan Surabaya
Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman
Perkebunan Ambon
BPSMB Surabaya
38
LSSHACCP 002 IDN
Embrio Biotekindo, PT. Bogor
39
LSSHACCP 004 IDN
Lab Terpadu – IPB (ILFA)
40
LSPr 004 IDN
Pustan Kementrian Perindustrian
41
-
42
-
Balai Besar Industri Hasil Hutan dan Perkebunan
(BBIHP)
Balai Riset dan Standardisasi (Baristand) Industri
Padang
Balai Pengawasan dan Pengkajian Mutu Benih
Perkebunan Surabaya
Balai Pengawasan dan Pengkajian Mutu Benih
Perkebunan Sumut
PT Beckjorindo Paryaweksana Makassar
Balai Pengawasan dan Sertifikasi Mutu Barang
Provinsi Lampung
Balai Besar Karantina Pertanian Makassar
71
Tabel 13. Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen Mutu
No.
No LPK
1
LSSM-001-IDN
2
LSSM-002-IDN
3
4
5
LSSM-003-IDN
LSSM-005-IDN
LSSM-007-IDN
6
LSSM-008-IDN
7
8
9
10
11
12
LSSM-012-IDN
LSSM-015-IDN
LSSM-016-IDN
LSSM-019-IDN
LSSM-021-IDN
LSSM-024-IDN
13
LSSM-029-IDN
14
LSSM-031-IDN
15
16
LSSM-035-IDN
LSSM-036-IDN
Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen Mutu
Balai Besar Bahan dan Barang Tehnik-Quality
System Certification (B4T-QSC)
PT Sucofindo (Persero) SBU Sucofindo
International Certification Services
Agrobase Industry Quality Assurance (ABIQA)
Yogya Quality Assurance (YOQA)
Balai Industri Semarang Quality Assurance
(BISQA)
PT. Mutuagung Lestari Quality Assurance
(MALQA)
PT. SGS Indonesia
PT. TUV Rheinland Indonesia
PT. TUV NORD Indonesia
PT. TUV SUD PSB Indonesia
PT. Bureau Veritas Indonesia
Baristand Industri Palembang Quality Assurance
(BIPQA)
Integrated Laboratory Quality Assurance (ILQAIPB)
PT. Lyod’s Register Indonesia (LSSM LRQA
Jakarta)
LSSM Surabaya
VRC Service Inc
Tabel 14. Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen Lingkungan
No.
No LPK
1
LSSML-001-IDN
2
LSSML-002-IDN
3
LSSML-004-IDN
4
LSSML-005-IDN
5
6
7
8
LSSML-007-IDN
LSSML-008-IDN
LSSML-010-IDN
LSSML-011-IDN
Laboratorium Penguji
PT Sucofindo (Persero) SBU Sucofindo
International Certification Services
PT. Mutuagung Lestari Environmental System
Certification (MALECO)
Jogya Environmental Certification Assurance
(JECA)
Baristand Indag Environmental Management
Assurance (BRISEMA)
PT. SGS Indonesia
PT. TUV NORD Indonesia
PT. TUV Rheinland Indonesia
PT. Bureau Veritas Indonesia
72
Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen Keamanan Pangan (LSSMKP) belum
tersedia
Tabel 15. Lembaga Sertifikasi Sistem Hazard Analysis and Critical Control Point
No.
No LPK
1
LSSHACCP-001-IDN
2
3
4
5
LSSHACCP-002-IDN
LSSHACCP-004-IDN
LSSHACCP-006-IDN
LSSHACCP-007-IDN
6
LSSHACCP-008-IDN
Laboratorium Penguji
PT. Mutuagung Lestari Environmental System
Certification (MALECO)
PT. Embrio Biotekindo
Laboratorium Terpadu-IPB (ILFA-IPB)
ABIHACCP
SBU Sucofindo International Certification
Services
PT. TUV Rheinland Indonesia
Tabel 16. Lembaga Sertifikasi Produk
No.
No LPK
1
2
LSPr-001-IDN
LSPr-022-IDN
3
4
5
6
7
8
LSPr-032-IDN
LSPr-036-IDN
LSPr-004-IDN
LSPr-010-IDN
LSPr-018-IDN
LSPr-021-IDN
Laboratorium Penguji
Pusat Pengujian Mutu Barang
PT Sucofindo (Persero) SBU Sucofindo
International Certification Services
BPPMB Makassar
CCQC
Pustan Kemenprind
ABI-Pro, Balai Besar Industri Agro
BBIHP Makassar
Chempack, Balai Besar Kimia dan Kemasan
Pengelompokan SNI terkait kayu lapis berdasarkan ICS (International
Classification of Standards) adalah sebagai berikut:
Tabel 17. Jumlah Pengelompokkan Produk Kayu Lapis yang ber-SNI
a. ICS 01.040.79 Teknologi kayu (Kosakata)
1
SNI ISO
Kayu lapis - Istilah dan definisi (Plywood- Vocabulary
2074:2008
(ISO 2074:2007, IDT)
b. ICS 79.040 Kayu, batang kayu gergajian dan gergajian
2
SNI 7731.1:2011 Kayu lapis indah jenis jati - Bagian 1: Klasifikasi,
persyaratan dan penandaan
c. ICS 79.060 Panel kayu
3
SNI 7630:2011
Kayu lapis - Toleransi dimensi
73
d. ICS 79.060.01 Panel kayu secara umum
4
SNI ISO
Kayu lapis – Klasifikasi
1096:2010
5
SNI ISO 12466Kayu lapis - Mutu
1:2010
6
ISO 12466-2:2010 Kayu lapis - mutu perekatan - Bagian 2: Persyaratan
e. ICS 83.180 Perekat (SNI perekatan - Bagian 1: Cara uji)
7
SNI 06-0060Urea formaldehida cair untuk perekat kayu lapis
1998
8
SNI 06-0121Perekat fenol formaldehida cair untuk kayu lapis
1987
9
SNI 06-0163Melamin urea formaldehida cair untuk perekat kayu
1998
lapis
10
SNI 13-4237Mutu dan cara uji kaolin bahan pengisi perekat kayu
1996
lapis
11
SNI 01-4239Mutu dan cara uji tepung tempurung kelapa untuk
1996
pengisi perekat kayu lapis
12
13
SNI 06-45671998
SNI 06-48971998
Fenol formaldehida cair untuk perekat kayu lapis
Urea formaldehida bubuk untuk perekat kayu lapis
f. ICS 87.040 Cat dan pernis
14
SNI 06-4564Dempul untuk kayu lapis
1998
15
SNI 15-4752Mutu dan cara uji kalsit untuk bahan pengisi dempul
1998
kayu lapis
g. ICS 79.060.10 Kayu lapis
16
SNI 01-2024-1990
Kayu lapis cetakan beton
17
SNI 01-2025-1996
Kayu lapis indah dan papan blok indah
18
SNI 01-4240-1996
Kayu lapis alas peti kemas
19
SNI 01-4448-1998
Kayu lapis bermuka film
20
SNI 01-5008.2-2000
Kayu lapis penggunaan umum
21
SNI 01-5008.7-1999
Kayu lapis struktural
22
SNI 01-5010.2-2002
Pendukung di bidang kehutanan - Bagian 2:
Pengemasan dan penandaan kayu lapis
23
SNI 01-6123-1999
Cara uji kerapatan kayu lapis
24
SNI ISO 2426.1:2008
Kayu lapis - Klasifikasi berdasarkan penampilan
permukaan - Bagian 1: Umum (Classification by
surface appearance - Part 1: General (ISO
74
25
SNI ISO 2426.2:2008
26
SNI ISO 2426.3:2008
27
28
SNI 01-7201-2006
SNI 01-7211-2006
2426.1:2000, IDT))
Kayu lapis - Klasifikasi berdasarkan penampilan
permukaan - Bagian 2: Kayu daun lebar
(Classification by sun'ace appearance - Part 2:
Hardwood (ISO 2426-2:2000, IDT))
Kayu lapis - Klasifikasi berdasarkan penampilan
permukaan - Bagian 3: Kayu daun jarum
(Classification by surface appearance - Part 3:
Softwood (ISO 2426-3:2000, IDT))
Kayu lapis dan papan blok bermuka kertas indah
Kayu lapis untuk kapal dan perahu
Tabel 18. Lembaga Penguji dan Lembaga Sertifikasi Produk
No.
No LP
1
2
3
4
5
6
LSPr-004-IDN
LP 013 IDN
LP 001 IDN
LP 057 IDN
LP 025 IDN
LP 485 IDN
7
LSSM-030-IDN
Laboratorium Penguji
Pustan Kemenprind
PT. Mutu Agung Lestari Samarinda
Laboratorium Penguji - PT. Mutuagung Lestari
Balai Besar Industri Agro
Balai Pengujian Mutu Barang Jakarta
UPTD Balai Pengawasan dan Sertifikasi Mutu
Barang Provinsi Sumatera Selatan
Handicraft and Batik Quality Assurance
(CRAFTIQA)
Balai Besar Kerajinan dan Batik
4.3.2. Metrologi, Pengujian dan Sertifikasi
Kasus: 1. PT Mutuagung Lestari
Indept interview dilakukan pada salah satu laboratorium penguji yaitu pada
PT.Mutuagung Lestari. Secara deskriptif lingkup uji yang dapat dilakukan oleh PT
Mutuagung Lestari adalah sebagai berikut:
No. LPK
: LP 001 IDN
Nama
: Laboratorium Penguji - PT. Mutuagung Lestari
Alamat
: Jl. Raya Bogor Km. 33,5 No. 19 Cimanggis
Kota
: KOTA DEPOK
Propinsi
: JAWA BARAT
Kode Pos
: 16593
Telepon
: 021-8740202
75
Fax
: 021-87740745-46
Kontak
: Budi Tjahyono Dian Harini, B.Sc.; Leli Nurlaeli; Andri Zaenal
Person
Sadikin, S.Si.; Faiz El Makky
Email
: [email protected]
Website
: http://mutucertification.com
Lingkup
: Kayu lapis (playwood),venir lamina (laminated veneer lumber),
(B.Indonesia) kayu lamina (glue laminated timber), lantai kayu (flooring), papan
partikel (particleboard), papan serat (fibreboard), kayu lapis
penggunaan umum, kayu lapis cetakan beton, kayu lapis struktural,
pupuk tripel superfosfat/TSP, pupuk amonium sulfat, pupuk,
amonium klorida, pupuk SP 36, pupuk fosfat alam untuk pertanian,
pupuk tripel superfosfat plus Zn, pupuk NPK padat, pupuk dolomit,
pupuk kalium klorida, pupuk mono amonium/MAP, pupuk urea
ammonium fosfat/UAP, pupuk diamonium fosfat, pupuk SP 36 plus
Zn, pupuk cair sisa protein asam amoni (sipramin), pupuk urea, air
dan air limbah,jarinagan Tanaman,Ikan dan Produk Perikanan.
Gambar 16 menunjukkan tahapan untuk melakukan uji laboratorium pada PT
Mutu Agung Lestari. Tahapan tersebut menjelaskan bagaimana suatu perusahaan
melakukan permohonan uji laboratorium dimana tahap pertama mengajukan sampel
yang akan diuji sampai dengan tahap akhir perusahaan memperoleh hasil uji.
Sedangkan tabel 19 menunjukkan parameter-parameter produk kayu lapis yang akan
diuji oleh PT Mutu Agung Lestari. Lebih lanjut lagi pada tabel 20 khusus untuk
parameter-parameter LVL yang dapat diuji pada PT Mutu Agung Lestari.
76
Pelanggan
Sampel
PT MUTUAGUNG LESTASI
UJI-201
HANDLING OF TEST ITEM
ISSUED No.
:7
REVISION No.
:0
ISSUED DATE
: Januari 3, 2011
PAGE
: 11 dari 12
Laboratorium Penguji Mutu Certification
Sampel
Administrasi
Koord. Lab. Uji
PPC
Teknisi/Analis
Manajer
Preparasi
Pendataan
Informasi ke
pelanggan jika
tidak dapat diuji
Permintaan
sampling
Kaji ulang
permintaan
Sampel
kayu
Pemotongan
sampel kayu
Pengujian
Sampel non kayu
Kaji ulang
permintaan &
Penjadwalan
sampling
Pelaksanaan
sampling
Pendataan
Penyalinan &
pembuatan
laporan hasil uji
Pemeriksaan
data primer
Data primer
Pemeriksaan
laporan
Laporan
hasil uji asli
Penggandaan,
distribusi ke
pelanggan &
penyimpanan file
hasil uji
Pemeriksaan
pengesahan
laporan
hasil uji
Gambar 16. Mekanisme Permohonan Sertifikasi Uji Mutu pada Laboratorium Pengujian Mutu PT Mutuagung Lestari
77
Tabel 19. Parameter yang Diuji pada Produk Kayu Lapis di Laboratorium Pengujian Mutu PT Mutuagung Lestari
Parameter
Moisture Content
Delamination
Bonding Strength
Formaldehyde Emission
Cyclic Cryogenic and heat treatment
Flat Plane Tensile
Water Resistance
Color Fading
Abrasive
Scratch Hardness
Impact test
Stain Resistance
Alkali Resistance
Moist Heat Test
Acid Resistance
Thiner resistance
Bending
Bending stiffness
Panel Shear
Insect Control Treatment
Hygroscopic property
Incombustibility
Gas Toxic Property
Non flammability
OP
T1/T2
√
√
√
Nat.Wood
Dec Ply
T1/T2
√
√
Specially Processed
Docorative Plywood
F
FW
W
SW
√
√
√
√
√
√
√
√
CP
T1
SP
T1/TS
√
Reg.
√
Finish
√
√
√
√
Only for product marking
√
B
√
A
√
A
A
A
A
A
√
√
√
√
√
B
√
B
B
B
B
B
√
C
√
C
B
C
√
D
√
D
B
Class 1
Class 2
Class 1
Only for those marked as an insect control treatment is made
C
√
√
√
Only for those marked as an incombustible
treatment is made
Only for those marked as an incombustible
treatment is made
78
Tabel 20. Parameter yang Diuji untuk Sertifikasi LVL
Parameter
Warm Water Delamianation test
LVL for fixture
SLVL
√
Cold Water Delamination Test
√
Boiling Water Delamination Test
√
MC
√
√
LFE
√
√
Horizontal shear test
√
Bending test
√
Block shear strength
cyclic cold and heat test
Insect resistance
secondary adhesion
decorative prosessing surface
Insect control treatment
79
Kasus: 2 Pusat Pengawasan Mutu Barang (PPMB)
Salah satu laboratorium yang melakukan peran kalibrasi adalah Balai Kalibrasi
PPMB Menjamin Ketertelusuran Pengukuran Balai Kalibrasi, Pusat Pengawasan
Mutu Barang (PPMB) yang bergerak dalam bidang metrologi industri merupakan
salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) dengan nomor akreditasi KAN LK-008-IDN
yang memberikan pelayanan di bidang kalibrasi alat ukur besaran kepada masyarakat
maupun dunia usaha.
Balai kalibrasi PPMB bekerja secara profesional dan selalu meningkatkan
mutu pelayanan kalibrasi secara berkesinambungan dengan mengacu pada ISO/IEC
17025-2005 untuk menunjang daya saing dalam perdagangan nasional maupun
internasional. Balai Kalibrasi PPMB terus melakukan pengembangan ruang lingkup
dan rentang ukur guna memenuhi kebutuhan dunia bisnis dan industri. Hingga akhir
tahun 2009, Balai Kalibrasi PPMB telah mendapat akreditasi untuk 12 besaran (tabel
21).
Tabel 21. Besaran Parameter yang di Uji oleh Balai Kalibrasi PPMB, Tahun 2009
No.
Besaran
1 Temperatur (Suhu)
2
3
Massa
Dimensi (Panjang)
4
Volumetrik
5
6
7
8
9
10
11
12
Densitas
Tekanan
Gaya
Torsi
Kekerasan
Waktu
Rotasi
Instrumen Analitik
Instrumen yang dapat dikalibrasi
Oven, Incubator, Muffle Furnace, Refrigerator,
LIG thermometer, Termometer sensor, Dryer,
Autoclave, Thermometer platina, Termokopel,
Thermohygrometer
Timbangan dan Anak timbangan
Micrometer, Caliper (vernier, digimatic), Dial
indicator, Steel ruler, Gauge Block, dll
Labu ukur, piknometer, pipet gondok, pipet skala,
pipet mikro, gelas ukur,trap, titrator, dll
Hydrometer
Pressure Gauge, Vacuum Gauge
Tensile Machine, Push/pull Gauge
Torquemeter/Torque wrenches
Hardness durometer
Stopwatch, Timer
Rpm meter (centrifuge, tachometer, dll)
pH meter, conductivity meter, UV/VIS
spectrophotometer, Repractometer, Polarimeter
80
Pada tahun 2010 ini, Balai Kalibrasi PPMB telah berhasil menambah ruang
lingkup akreditasi untuk besaran kelistrikan dan dua instrumen untuk besaran
Panjang (Dimensi). Semua besaran yang diusulkan tersebut telah memenuhi semua
persyaratan KAN. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 22.
Tabel 22. Besaran Parameter Tambahan yang di Uji oleh Balai Kalibrasi PPMB,
Tahun 2010
BESARAN
JENIS ALAT
KAPASITAS
AC/DC Amperemeter
0 ~ 10 A
AC/DC Voltmeter
0 ~ 1000 V
Ohmmeter
0 ~ 4000 W
Panjang
Saringan Kawat (Sieve wire)
0 ~ 325 mesh
(Dimensi)
Siku (Square)
0 ~ 270°
Kelistrikan
(electrical)
Agar memberikan jaminan atas hasil pengukuran dan pengujian, Balai
kalibrasi PPMB didukung oleh peralatan standar yang memiliki tingkat akurasi dan
presisi tinggi. Semua peralatan ini selalu terkalibrasi dan tertelusur ke Satuan
Internasional (SI) melalui KIM-LIPI selaku Lembaga Metrologi Nasional (LMI) di
Indonesia. Beberapa peralatan standar tersebut diantaranya precision oil-bath, superthermometer, electronic micro-balance (ketelitian 1 μg) dan semi micro-balance
(ketelitian 0,01 mg), dan pressure controller/calibrator. Peralatan tersebut ditujukan
agar dapat memberikan hasil pengukuran yang akurat dan presisi sehingga dapat
mendorong dunia usaha dan industri untuk menghasilkan produk-produk yang
memiliki daya saing yang tinggi.
81
Gambar 17. (a) Precision oil-bath, (b) Super-thermometer, (c) Electronic micro- balance, (d)
Pressure controller/calibrator
Balai kalibrasi PPMB terus juga memperbaiki kemampuan kalibrasi dan
pengukuran atau Calibration Measurement Capability (CMC) laboratorium
kalibrasi. CMC adalah ketidakpastian terkecil yang dapat dicapai oleh laboratorium
pada ruang lingkup akreditasinya, dalam melakukan kalibrasi rutin standar
pengukuran yang mendekati ideal yang digunakan untuk mendefinisikan,
merealisasikan, memelihara atau mereproduksi suatu satuan dari besaran ukur
tersebut atau satu atau lebih nilai-nilainya; atau peralatan ukur yang mendekati ideal
yang digunakan untuk mengukur besaran ukur tersebut. Dengan nilai CMC yang
sangat kecil, menunjukkan bahwa pengukuran yang dilakukan oleh Balai Kalibrasi
PPMB memiliki tingkat akurasi dan presisi yang tinggi sehingga meningkatkan nilai
jual jasa kalibrasi yang diberikan.
82
Peningkatan pelayanan melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia dan
kemampuan teknis dalam hal pengembangan ruang lingkup merupakan suatu upaya
bagi Balai Kalibrasi untuk terus memberikan pelayanan jasa kalibrasi yang
berkualitas dalam meningkatkan perdagangan produk Indonesia di pasar
internasional.
Indept Interview untuk PPMB dilakukan di Dinas Perindustrian dan
Perdagangan, Provinsi Sulawesi Selatan. Secara singkat struktur organisasi BPPMB
Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Provinsi Sulawesi Selatan adalah sebagai
berikut:
Ka. UPTD
BPPMB
Kasubag.
Tata Usaha
Kasie.
Sertifikasi
Kasie. Kalibrasi &
Standardisasi
Peraturan Gubernur No. 93 Tahun 2009
Sumber: BPPMB Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Provinsi Sulawesi Selatan
Gambar 18. Struktur Organisasi BPPMB Dinas Perindustrian & Perdagangan,
Provinsi Sulawesi Selatan
Struktur organisasi BPPMB Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Provinsi
Sulawesi Selatan didasarkan atas Peraturan Gubernur No 93 tahun 2009, kedudukan
paling tinggi adalah Kepala UPTD BPPMB yang membawahi Kepala Sub Bagian
Tata Usaha untuk bagian administrasi. Sedangkan dari segi teknis membawahi
Kepala Seksi Sertifikasi dan Kepala Seksi Kalibrasi dan Standarisasi.
83
UPTD Balai Pengawasan dan Pengendalian Mutu Barang (BPPMB)
mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian tugas dinas dalam rangka
pengawasan dan pengendalian mutu barang meliputi pengambilan contoh, pengujian,
inspeksi teknis (pengamanan mutu barang), perawatan barang dan gudang (fumigasi,
spraying, fogging), penimbangan (uji volume), kalibrasi, sertifikasi produk serta
memberikan pembinaan standardisasi dalam rangka peningkatan mutu kepada para
eksportir, eksportir produsen, pedagang pengumpul, petani, dunia usaha lainnya dan
koordinasi teknis peningkatan mutu barang dengan lembaga lembaga terkait lainnya,
dipimpin oleh kepala UPTD berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Kepala
Dinas. Manajemen Balai Pengawasan dan Pengendalian Mutu Barang Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Sulawesi Selatan memberikan pelayanan
pengujian, kalibrasi dan sertifikasi produk penggunaan tanda SNI yang
mengutamakan mutu dan kepuasan pelanggan serta menjamin bahwa pekerjaan
pengujian, kalibrasi dan sertifikasi produk penggunaan tanda SNI dilaksanakan
dengan kejujuran teknis, teliti, cepat, tepat dan akurat serta efisien dalam
menggunakan sumberdaya. Untuk itu segala kegiatan pengujian, kalibrasi dan
sertifikasi produk penggunaan tanda SNI selalu dilaksanakan berdasarkan Sistem
Manajemen Mutu yang sesuai dengan ISO/IEC 17025: 2005 dan ISO / IEC 65 : 1996
guna memberikan jaminan konsistensi kompetensi teknis pengujian, kalibrasi dan
sertifikasi produk penggunaan tanda SNI dalam lingkup kegiatannya. Sistem
Manajemen Mutu Balai Pengawasan dan Pengendalian Mutu Barang Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Sulawesi Selatan dituangkan dalam panduan
mutu, prosedur dan instruksi kerja yang didokumentasikan, dimengerti dan
dilaksanakan oleh semua personil secara profesional.
Visi BPPMB Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Sulawesi Selatan adalah
“Terdepan dalam Pengelolaan Penilaian Kesesuaian Mutu”. Sedangkan misinya
adalah sebagai berikut:
1. Menerapkan sistem manajemen mutu ISO / IEC 17025 : 2005 :
persyaratan
umum kompetensi laboratorium pengujian dan laboratorium kalibrasi dan ISO /
IEC 65 : 1996 : Persyaratan Umum Lembaga Sertifikasi Produk secara konsisten
dan berkelanjutan;
84
2. Mengembangkan dan memperkuat kelembagaan dan infrastruktur standardisasi
3.
Mengembangkan
dan
mengkoordinasikan
kebijakan
pengawasan
dan
pengendalian mutu barang yang efektif dan efisien;
4. Meningkatkan kerjasama dengan Lembaga Penilaian Kesesuaian di
dalam dan
luar negeri;
5. Meningkatkan pembinaan terhadap pelaku usaha dalam menjamin mutu barang
sesuai dengan permintaan pasar;
6. Mewujudkan pelayanan publik yang baik (excellent service), terpercaya dan
transparan;
7. Mewujudkan sumberdaya manusia aparatur yang potensial, integritas tinggi,
profesional serta membangun system kelembagaan yang berbasis kompetensi.
8. Meningkatkan kompetensi sumberdaya manusia yang profesional di bidang mutu
barang.
Untuk pelayanan sertifikasi, klien harus mengikuti tahap-tahap dari
pembayaran retribusi, menyerahkan surat permohonan, pengambilan contoh,
pengujian laboratorium, penerbitan sertifikasi sampai tahap akhir penyerahan
sertifikasi oleh BPPM kepada klien. Alur mekanisme pelayanan sertifikasi dapat
dilihat pada gambar 19.
85
MEKANISME PELAYANAN SERTIFIKASI
SURAT
PERMOHONAN
PENGAMBILAN
CONTOH
WAJIB
RETRIBUSI
PENGUJIAN
LABORATORIUM
PENYERAHAN SERTIFIKAT
Wajib Retribusi
menyerahkan:
bukti pembayaran retribusi
dari Bank Sulsel
PENERBITAN
SERTIFIKAT
Sumber: BPPMB Dinas Perindustrian & Perdagangan, Provinsi Sulawesi Selatan
Gambar 19. Mekanisme Pelayanan Sertifikasi BPPMB Dinas Perindustrian &
Perdagangan, Provinsi Sulawesi Selatan
Uji kalibrasi memiliki mekanisme tersendiri yang dapat dilihat pada gambar
20. Kalibrasi memiliki peran pada sifat ketertelusuran pengukuran. Ketertelusuran
pengukuran adalah sifat hasil pengukuran yang dapat menghubungkannya dengan
standar-standar nasional atau internasional melalui rantai perbandingan yang tidak
terputus yang semuanya memiliki nilai ketidakpastian (uncertainty). Artinya, tujuan
kalibrasi adalah menjamin ketertelusuran pengukuran hasil uji produk sehingga
jaminan atas hasil dari pengukuran dan/atau pengujian dapat dipertanggung
jawabkan. Manfaat kalibrasi mencakup antara lain untuk mendukung sistem mutu
yang diterapkan di berbagai industri pada peralatan laboratorium dan produksi yang
dimiliki, dan mengetahui seberapa jauh perbedaan (penyimpangan) antara nilai benar
dengan nilai yang ditunjukkan oleh alat ukur.
86
MEKANISME PELAYANAN KALIBRASI
PENYERAHAN
ALAT
PERMOHONAN
PELANGGAN
KALIBRASI
PENYERAHAN ALAT DAN
SERTIFIKAT
Pelanggan menyerahkan:
bukti pembayaran retribusi dari
Bank Sulsel
PENERBITAN
SERTIFIKAT
Sumber: BPPMB Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Provinsi Sulawesi Selatan
Gambar 20. Mekanisme Pelayanan Kalibrasi BPPMB Disperindag, Provinsi
Sulawesi Selatan
Beberapa inovasi pelayanan yang diberikan untuk memberikan kepuasan pada klien
dilakukan oleh BPPMB Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Provinsi Sulawesi
Selatan. Inovasi pelayanan yang dilakukan adalah pada pembayaran retribusi dan
pengurangan persyaratan administrasi. Inovasi yang dilakukan pada pembayaran
retribusi adalah pembayaran retribusi dapat dilakukan dengan menyetor langsung ke
kas daerah Tk. I Bank Sulsel atau melalui transfer antar bank. Sedangkan
pengurangan persyaratan administrasi antara lain:
1. Permintaan sertifikasi dapat disampaikan melalui telepon atau email.
2. Untuk penerbitan dokumen rekomendasi, eksportir atau dunia usaha cukup
menunjukkan :
a. Copy asli bukti setoran retribusi dari Bank Sulsel atau bukti transfer antar bank
ke rekening kasda Tk. I Bank Sulsel.
b. Copy asli Certificate of conformity atau Laporan Hasil Analisa (untuk keperluan
ekspor)
87
3. Untuk pelayanan kalibrasi :
a. Alat yang dikalibrasi dapat dilakukan di lokasi atau dijemput untuk dikalibrasi
di Laboratorium BPPMB.
b. Penyerahan alat dan sertifikat kalibrasi dapat diantar langsung kepada
pelanggan
Beberapa hasil yang telah dicapai BPPMB Dinas Perindustrian dan
Perdagangan, Provinsi Sulawesi Selatan antara lain:
1. Akreditasi Lab. Pengujian oleh Komite Akreditasi Nasional sesuai ISO / IEC
17025 : 2005.
2. Akreditasi Lab. Kalibrasi oleh Komite Akreditasi Nasional sesuai ISO / IEC
17025 : 2005.
3. Akreditasi Lembaga Sertifikasi Produk oleh Komite Akreditasi Nasional sesuai
ISO Guide 65 1996.
4. Sertifikasi Sistem Manajemen Mutu ISO 9001 : 2008 lingkup pelayanan
sertifikasi dan kalibrasi.
5. Memperoleh penilaian tertinggi yaitu 94.70 pada kompetisi kinerja Unit
Pelayanan Publik (UPP) Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2010.
6. Mewakili pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dalam lomba Citra Pelayanan
Prima tingkat nasional
Untuk mempertahankan hasil yang telah dicapai dan menuju perkembangan
yang lebih baik ke depan, BPPMB Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Provinsi
Sulawesi Selatan menyusun rencana kerja untuk periode 2010-2013, yang mana
untuk periode tahun ini masih berjalan. Rencana kerja BPPMB Disperindag, Provinsi
Sulawesi Selatan untuk periode tahun 2010-2013:
1. Pengujian Mutu :
Uji mutu untuk produk kakao, kopi, pala, fuli, gaplek, the hitam, karet
konvensional, mete gelondong, mete kupas, rumput laut, beras, jagung, gabah, lada,
vanili, semen, pupuk, cocoa powder, cocoa butter, cocoa cake, cocoa residu,
AMDK, tepung terigu, garam beryodium, kabel, lampu swaballast, besi beton, baja
88
lembaran lapis seng dan ban. Sasarannya yaitu peningkatan mutu ekspor dan impor
barang beredar serta meningkatkan penerimaan PAD
2. Sistem Resi Gudang
Melaksanakan penilaian kesesuaian mutu sistem resi gudang komoditi jagung,
gabah, beras, kakao, kopi, karet, lada dan rumput laut
3. Kalibrasi
Memberikan Pelayanan jasa penilaian alat ukur yang ada pada perusahaan dan
instansi pemerintah di wilayah Sulawesi Selatan maupun di kawasan timur
Indonesia, meliputi bidang :
a. suhu,
b. massa,
c. gaya,
d.
dimensi,
e.
tekanan,
f.
optik,
g. volumetrik,
h.
waktu / frekwensi,
i.
flowmeter,
j.
alat analisa,
k.
alat kelistrikan dan
l.
peralatan medis.
Sumber: BPPMB Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Provinsi Sulawesi Selatan
Gambar 21. Pelayanan Jasa Kalibrasi
89
Dan pemasyarakatan serta pembinaan standardisasi dalam rangka peningkatan dan
pengawasan mutu komoditi / produk dan peralatan ukur / produksi.
4. Sertifikasi Produk
Sertifikasi dilakukan terhadap komoditi / produk SNI Wajib baik ekspor, impor
maupun yang beredar di pasar meliputi : kakao, kopi, gaplek, AMDK, pupuk NPK,
pupuk KCL, Cocoa Powder, Semen Potland dan Rumput Luat.
Dalam rangka pengembangan dan peningkatan mutu ekspor, BPPMB Dinas
Perindustrian dan Perdagangan, Provinsi Sulawesi Selatan memiliki beberapa
program prioritas. Secara detil kegiatan prioritasnya dapat dilihat pada gambar 22.
PROGRAM
PENGEMBANGAN DAN PENINGKATAN MUTU EKSPOR
Kegiatan Prioritas
:
1. Penguatan dan Pengembangan
Kelembagaan Pengujian dan
Sertifikasi Mutu Barang
(BPSMB)
- Sebagai Kegiatan
2. Peningkatan Kapasitas
Laboratorium Penguji
- Pelaksana Pengujian Mutu
- Sistem Resi Gudang
3. Peningkatan Kapasitas
Laboratorium Kalibrasi
- Kalibrasi
4. Pengembangan dan Penerapan
Penilaian Kesesuaian SNILSPro
- Pengawasan Mutu Produk
SNI Wajib (Sertifikasi
Produk)
Supporting Pelayanan
Sumber: BPPMB Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Provinsi Sulawesi Selatan
Gambar 22. Program Pengembangan dan Peningkatan Mutu Ekspor
90
4.4. Kebijakan Negara Tujuan Ekspor
4.4.1. Produk Ekspor Kakao
Eropa menjadi pasar terbesar di dunia dengan sekitar 325 juta konsumen dan
produk domestik bruto setingkat dengan Amerika Serikat. Dalam pasar tunggal
Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE atau EU) ini berlaku pendekatan baru untuk
mencapai harmonisasi dan standardisasi. Pendekatan baru ini dijadikan sebagai dasar
hukum untuk pengaturan standar Eropa, selanjutnya dengan pusat perhatian untuk
meletakkan persyaratan-persyaratan keselamatan yang harus dimiliki setiap produk
guna menjamin perlindungan kesehatan dan keselamatan masyarakat serta
perlindungan hidup dan konsumen. Ketentuan persyaratan keselamatan tersebut
dituangkan dalam pengarahan (directive) Dewan Menteri MEE untuk produk atau
kelompok produk. Produsen barang harus memperhatikan dan menerapkan
persyaratan keselamatan tersebut dalam setiap barang yang dihasilkannya. Masingmasing negara Eropa mempunyai standar nasional serta peraturan teknisnya sendirisendiri. Hal ini merupakan hambatan teknis dalam perdagangan antar negara Eropa
sendiri
Eksportir kakao, termasuk eksportir Indonesia apabila ingin memasuki pasar
Eropa harus memperhatikan berbagai persyaratan pemerintah EU. Persyaratan
tersebut meliputi standar mutu yang biasanya juga dikaitkan dengan persyaratan
lingkungan, kesehatan, keamanan, ketenagakerjaan dan etika dalam berbisnis.
Beberapa persyaratan yang diatur dalam regulasi maupun ketentuan umum harus
dipenuhi eksportir kakao antara lain:
1. Regulasi European Communities (EC) No. 178/2002 yang mengatur prinsip
umum dan persyaratan pangan. Regulasi EC No. 178/2002 bukan merupakan
Undang-Undang dan hanya merupakan regulasi namun mengikat seluruh negara
anggota UE. Oleh karena itu eksportir harus menyesuaikan persyaratan pangan
yang telah ditetapkan oleh UE agar dapat memasuki pasar.
2. Directive 93/43/EEC yang berlaku efektif mulai 1 Januari 1996 berisi ketentuan
umum mengenai higienis. Directive ini mengatur ketentuan mengenai keamanan
pangan dan menjamin dilaksanakannya prosedur keamanan pangan yang sudah
ditetapkan. Aktivitas perusahaan tersebut harus didasarkan pada sistem Hazard
91
Analysis Critical Control Point (HACCP). Berdasarkan Directive tersebut,
setiap perusahaan bidang makanan (pengolah, kemasan, pengangkutan,
distributor atau pedagang) di UE secara hukum terikat kepada sistem HACCP
atau dengan kata lain seluruh mata rantai baik dari budidaya sampai ketangan
konsumen menjadi tanggung jawab dari perusahaan makanan tersebut. HCCP
perlu diketahui oleh eksportir karena industri makanan UE akan enggan
melakukan bisnis dengan perusahaan pengolahan makanan di negara lain yang
tidak melaksanakan ketentuan HACCP. Pelaksanaan ketentuan tersebut akan
menyebabkan munculnya tambahan biaya, untuk mengikuti ketentuan UE
disamping terdapatnya resiko penolakan akibat tidak lolosnya dari lembaga
pengawas.
3. Council Regulation (EEC) 2029/91 adalah regulasi UE untuk produksi makanan
organik dan labeling yang dapat dipasarkan di UE.
4. Council Regulation amandemen No. 1804/1999 mengenai ketentuan organik
dan modifikasi genetik mensyaratkan bahwa Genetically Modified Organisms
(GMOs) dan produk ikutannya tidak dapat menggunakan label seperti produk
organic lainnya. Berdasarkan regulasi ini, maka produk organik yang
menggunakan GMOs dan ingin memasuki pasar UE akan diperlakukan berbeda
dengan produk organik.
5. Council Regulation (EC) No 1154/98 yang mengatur pemberian insentif khusus
produk industri dan pertanian dari negara ketiga yang masuk ke pasar UE
apabila telah melaksanaan hak asasi manusia dan melakukan perlindungan
lingkungan. Kebijakan tersebut diatas, meskipun merupakan kebijakan diluar
perdagangan namun terkait dengan perdagangan atau biasa disebut Trade
Related Measures juga sering menjadi hambatan ekspor ke pasar UE. Kebijakan
tersebut antara lain berkaitan dengan isu lingkungan dan sosial. Isu lingkungan
dan sosial ini memainkan peran penting dalam keberhasilan penetrasi pasar ke
UE. Disamping pemerintah UE, pihak lain seperti perhimpunan konsumen juga
memberikan perhatian serius untuk masalah ini. Beberapa perhimpunan
konsumen di UE yang memberikan perhatian serius atas masalah llingkungan
dan sosial antara lain Skandinavia, Jerman, Belanda dan Inggris.
92
6. Regulation (EC) No 850/2004 mengatur larangan memproduksi atau
memasukkan atau menggunakan produk terkait dengan persistent organic
pollutants ke pasar UE. Kebijakan ini sesuai dengan ketentuan perdagangan
dunia yang memperbolehkan suatu negara menerapkan larangan impor bila
produk yang akan masuk tersebut dapat mengancam kehidupan di negara
tersebut.
7. Directive 94/62/EC mengatur Limbah Kemasan. Dalam upaya untuk melindungi
lingkungan dari limbah kemasan, UE menetapkan berbagai persyaratan kemasan
yang dapat memasuki pasar UE seperti kemasan tersebut harus dapat didaur
ulang, tidak mengandung substansi yang berbahaya seperti logam berat,
kemasan tersebut harus aman, bersih dan diterima masyarakat.
8. Directive 2001/95/EC mengenai ketentuan umum keamanan pangan. Dalam
upaya melindungi konsumen dari produk yang beredar di pasar, UE menerbitkan
ketentuan umum keamanan pangan; konsumen harus diberitahukan resiko yang
mungkin terjadi apabila mengkonsumsi produk tersebut sehingga untuk dapat
memasuki pasar UE maka produk tersebut harus terlebih dahulu melewati
pengawasan dari lembaga berwenang.
9. Directive 2000/36/EC mengatur mengenai kakao dan produk cokelat untuk
konsumsi manusia. Dalam directive tersebut disebutkan bahwa mulai tanggal 3
Agustus 2003, penggunaan sampai 5% lemak sayur bukan kakao sebagai
pengganti cocoa butter dalam cokelat diijinkan menggunakan label cokelat.
Namun demikian harus dituliskan kandungan lemak sayur yang ditambahkan
pada cocoa butter tersebut. Ketentuan ini akan merugikan produsen cocoa butter
karena akan mengurangi permintaan kakao.
Sumber: Laporan Peluang Ekspor Komoditi Kakao di EU
4.4.2. Produk Ekspor Kayu Lapis
Eksportir harus memenuhi standar yang ditetapkan oleh negara tujuan ekspor.
Untuk kayu lapis masing-masing negara menggunakan standar yang berbeda seperti
negara tujuan ekspor USA menggunakan standar CARB (California Air Resources
Board), ke Jepang JAS (Japan Agricultural Standard), sedangkan kalau ke Eropa
93
menenuhi standar CEMAC. Indonesia sendiri telah memiliki ISO 9001 kaitannya
dengan mutu.
(1) JAS (Japan Agricultural Standards) Certification Scheme
The JAS certification scheme adalah sebuah skema di Jepang untuk
memberikan sertifikasi pada produk plywood dan Laminated Veneer Lumber (LVL)
yang digunakan negara Jepang . Sistem standar JAS merujuk pada sistem sertifikasi
dimana suatu produk harus melampirkan identifikasi JAS yang menunjukkan produk
tersebut telah dilakukan inspeksi sesuai dengan Japan Agricultural Standard (JAS
Standards) yang disyahkan oleh Minister for Agriculture, Forestry and Fisheries.
Langkah untuk memperoleh sertifikat JAS adalah
1.
Inquiry from the manufacturer.
2.
Submission of application form, Code of Practice, and relevant document from
Mutu Certification International to factory.
3.
Submission of quotation of certification costs and fess.
4.
Contract of Certification.
5.
Submission of application document from manufacturer to Mutu Certification
International.
6.
Documentation review.
7.
Evaluation visit (two visits as minimum).
8.
Evaluation report (from audition to Judgment Team).
9.
Evaluation result (Committee).
10. Corrective action from manufacturer due to evaluation report (if any).
11. Certification decision.
12. Notification of Certification.
13. Report to MAFF, Japan
14. Audit
15. Obligation of JAS Certified manufacturer.
Salah satu lembaga sertifikasi yang membuka layanan di bidang kehutanan
untuk JAS certification adalah MUTU CERTIFICATION INTERNATIONAL (oleh
PT. Mutuagung Lestari). Mutu Certification International akan mengeluarkan JAS
94
Certification jika perusahaan dapat menjaga kualitas produk berdasarkan standar
JAS dan kinerja mereka berdasarkan criteria teknisnya. Mutu Certification
International telah disyahkan MAFF sebagai ROCB dengan ruang lingkup sertifikasi
sebagai berikut:

Plywood

Laminated Veneer Lumber (LVL)

Structural Laminated Veneer Lumber (SLVL)

Glued Laminated Timber (GLT)

Flooring

Finger Jointed Structural Lumber for Wood Framing

Platform Construction (FJSL)
Skema dari JAS Certification System adalah sebagai berikut:
Minister of Agriculture, Foresty and Fisheries
Registration
Aplication
Registration
Audit
Registered Overseas Certifying Body (ROCB)
Certification
Aplication
Certification
Audit
Certified Producers
Grading
Distribution of Product with JAS Marks
Sumber: Mutu Certification Internasional, 2012
Gambar 23. Skema JAS Certification System
95
(2) CARB (California Air Resources Board)
CARB adalah “clean air agency” dalam pemerintah Californoa. Didirikan
pada tahun 1967 yang menjaga kesehatan kualitas udara; memproteksi masyarakat
dari udara yang terkontaminasi dan menyediakan pendekatan yang inovatif untuk
mengikuti aturan dan regulasi mengenai polusi udara. Mutu Certification
International telah disyahkan oleh CARB pada bulan Juli 2008 sebagai pihak ketiga
yang mensertifikasi CARB executive Order W-08-06 dan J CARB-approved third
party certifier assign number: TPC-6. CARB memberikan wewenang kepada Mutu
Certification International untuk mengeluarkan sertifikasi bagi perusahaan yang
menghasilkan produk kati agar memenuhi regulasi airborne Toxic Control Measure
to Reduce Formaldehyde Emission from Composite Wood Products. (ATCM), title
17, California Code of Regulation, Section 93120-93120.12.
(3) SFM (Sustainble Forest Management)
SFM adalah sertifikat untuk mendapatkan pengakuan di dunia Internasional
mengenai pengelolaan hutan secara lestari. Sertifikasi pengelolaan hutan secara
lestari dilatarbelakangi oleh terjadinya degradasi sumberdaya hutan, illegal logging,
permasalahan mengenai keanekaragaman hayati, konflik kepentingan dalam
penguasaan lahan, isu ketenagakerjaan, sampai dengan isu hak asasi manusia
merupakan masalah-masalah yang banyak dihadapi oleh sebagian besar pengelola
hutan di hampir seluruh belahan penjuru dunia.
Pada tahun 2000, MUTU CERTIFICATION INTERNATIONAL telah
membuka jasa layanan sertifikasi bidang kehutanan yang ditangani secara khusus
oleh Sub Divisi Forestry dan telah terakreditasi oleh Lembaga Ekolabel Indonesia
(LEI) sebagai Lembaga Sertifikasi Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari
(PHAPL). Tahun 2004 MUTU CERTIFICATION INTERNATIONAL bekerjasama
dengan salah satu lembaga sertifikasi yang terakreditasi oleh FSC, yaitu WoodmarkSoil Association sebuah lembaga sertifikasi yang berkedudukan di Inggris dan telah
berpengalaman secara internasional dalam sertifikasi bidang kehutanan. Keuntungan
yang diperoleh dari kerjasama ini adalah unit manajemen yang berlokasi di
96
Indonesia dapat disertifikasi oleh Woodmark, dengan tim auditor yang terdiri dari
personil auditor Sub Divisi Forestry dan ketua tim audit yang berasal dari
Woodmark. Sehingga biaya sertifikasi menjadi lebih ekonomis tanpa mengurangi
kualitas layanan sertifikasi yang diberikan.
Sub Divisi Forestry juga telah diakreditasi oleh LEI sebagai Lembaga
Sertifikasi Pengelolaan Hutan Tanaman Lestari (PHTL) dan Pengelolaan Hutan
Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) yang pertama. Selain itu, pada tahun 2009
Komite Akreditasi Nasional (KAN) memberikan akreditasi sebagai Lembaga
Sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari skema Kementrian Kehutanan RI.
(4) COC (Chain of Custody)
Selain SFM, CoC juga merupakan salah satu sertifikat yang diperoleh untuk
mendapatkan pengakuan di dunia Internasional mengenai jaminan ketelusuran kayu.
Ketelusuran kayu sampai ke sumbemya akan memberikan jaminan bagi pengguna
(konsumen) bahwa kayu yang dikonsumsi adalah benar berasal dari hutan lestari.
Jaminan ketelusuran kayu tersebut dapat ditunjukkan melalui sertifikasi sistem lacak
balak/Chain of Custody (CoC). Salah satu lembaga yang melayani sertifikasi CoC
adalah MUTU CERTIFICATION INTERNATIONAL. Lembaga Ekolabel Indonesia
(LEI) pada tahun 2000 memberikan akreditasi CoC yang pertama kepada MUTU
CERTIFICATION INTERNATIONAL. Kemudian pada tahun 2001, untuk
memenuhi kebutuhan sertifikasi CoC skema FSC, Sub Divisi Forestry menjalin
kerjasama dengan BM TRADA, sebuah lembaga sertifikasi CoC yang berkedudukan
di Inggris dan telah diakreditasi oleh FSC. Proses audit sertifikasi CoC skema FSC
dapat dilakukan secara langsung oleh para personil auditor Sub Divisi Forestry yang
telah diakui oleh BM TRADA. Sehingga, klien dapat menghemat biaya sertifikasi
dan sertifikat yang diperoleh tetap mendapat pengakuan dunia internasional.
(5) CE Marking
CE Marking untuk produk kayu merupakan salah satu persyaratan yang harus
dipenuhi agar produk kayu tersebut dapat digunakan sebagai bahan konstruksi di
97
kawasan Uni Eropa. Sertifikasi CE Marking dilakukan oleh “notified body” yang ada
di Uni Eropa dengan mengacu pada European Standard EN 13986:2002.
Salah satu lembaga sertifikasi yang melayani CE marking adalah MUTU
CERTIFICATION INTERNATIONAL yang bekerjasama dengan BM TRADA
Certification Ltd. England (sebuah Lembaga Sertifikasi International berpusat di
Inggris yang sudah diakreditasi oleh UKAS/ United Kindom Accreditation Service)
dan Wilhelm Klauditz Institut (WKI) Hoizforschung, Germany.
.
98
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Analisis Daya Saing (RCAB)
5.1.1. RCAB Biji Kakao
Sebagian besar kakao Indonesia yang diproduksi setiap tahunnya di ekspor
keluar negeri dalam bentuk biji kakao. Hal ini terjadi karena belum berkembangnya
industri kakao di Indonesia yang dapat mengolah menjadi produk setengah jadi atau
produk jadi. Indonesia merupakan negara ketiga terbesar pemasok kakao dunia, yaitu
sebesar 13,6 persen. Sementara pemasok kakao dunia lainnya adalah Pantai Gading
sebesar 38,3 persen, Ghana 20,2 persen, Kamerun 5,1 persen, Brasil 4,4 persen dan
Ekuador 3,1 persen (ICCO, 2007). Keberadaan Negara Indonesia sebagai negara
eksportir terbesar ketiga di dunia tidak begitu saja dapat mengantarkan komoditas
unggulannya ke pasar internasional tanpa hambatan. Meskipun produksi biji kakao
Indonesia secara signifikan terus meningkat, namun mutu yang dihasilkan sangat
rendah dan beragam, antara lain kurang terfermentasi, tidak cukup kering atau
tingginya kadar air (7%), ukuran biji tidak seragam, kadar kulit tinggi, keasaman
tinggi, cita rasa sangat beragam dan kadar kotoran yang tinggi (8 – 10 %) (Direktorat
Jendral Perkebunan, 2007).
Persaingan di antara negara pengekspor kakao sangat ketat, karena negara
importir selaku konsumen menuntut tidak hanya kuantitas yang kontinu namun juga
kualitas kakao yang baik. Daya saing kakao Indonesia dari segi mutu di pasar
Internasional tentunya akan mempengaruhi perkembangan volume dan nilai ekspor.
Sebagai salah satu negara produsen eksportir komoditi kakao terbesar dunia,
Indonesia harus meningkatkan daya saing agar dapat menghasilkan komoditi kakao
yang semakin kompetitif di pasar Internasional. Kondisi daya saing komoditi kakao
Indonesia di pasar beberapa negara mitra dagang selama periode 1990-2010 dapat
dilihat pada Gambar 24.
99
Gambar 24. RCAB Indonesia dengan Negara Mitra Dagang Produk Ekspor Biji
Kakao
Komoditi kakao Indonesia sangat berdaya saing di pasaran Jerman dan Brazil
selama periode 1997-2010. Sedangkan untuk periode sebelumnya tidak terjadi
perdagangan antara Indonesia dengan kedua negara tersebut. Jika dilihat secara
agregat maka kakao Indonesia memiliki daya saing dengan rata-rata nilai RCAB lebih
dari nol (Gambar 25). RCAB Indonesia dengan Jerman memiliki rata-rata nilai
RCAB tertinggi selama periode 1997-2010 yaitu sebesar 87,6 (RCAB >0). Ini
menunjukkan bahwa kakao merupakan komoditi yang memiliki dayasaing yang
tinggi di pasar dunia, atau dapat dikatakan pula bahwa komoditi kakao ini juga
merupakan komoditi yang memiliki kemampuan yang paling baik diantara negaranegara lainnya dalam hal penetrasi ke pasar dunia selama periode 19972010.Tingginya nilai rata-rata RCAB Indonesia untuk komoditi kakao ini disebabkan
karena komoditi tersebut memiliki rata-rata nilai ekspor yang paling tinggi.
100
Gambar 25. Rata-Rata Nilai RCAB Indonesia dengan Negara Mitra Dagang Untuk
Produk Ekspor Biji Kakao, Periode 1990-2010
Pasar kakao USA dan Eropa merupakan pasar kakao dunia dimana transaksi
jual beli kakao di pasar internasional dapat terjadi di dua pasar tersebut. Indonesia
sebagai produsen kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana
juga mengalami diskriminasi di Eropa. Uni Eropa mengenakan bea masuk 0 persen
bagi produk kakao dari Ghana dan Pantai Gading, sedangkan Indonesia dikenakan
bea masuk 10 persen. Sementara bea masuk kakao ke Indonesia dari luar negeri
hanya dikenakan 5 persen. Padahal Malaysia 30 persen dan India 38 persen 1.
Walaupun demikian, jika dilihat dari sisi daya saing maka rata-rata daya saing
Indonesia di pasar USA tetap relatif tinggi dibandingkan dengan negara lain (rata-rata
RCA sebesar 21,6).
Sedangkan untuk pasar Eropa, jenis kakao yang terbanyak diimpor oleh Uni
Eropa adalah biji kakao (cocoa beans). Besarnya permintaan ini berkaitan langsung
dengan tingginya permintaan biji kakao dari industri coklat di negara anggota. Untuk
memasok biji kakao, industri cokelat juga telah menetapkan berbagai persyaratan
1
Siswono Yudo H. 2005. Bea Masuk ke Cina Turun. Dalam www.indobic.biotrap.org. [26 Mei
2008]
101
yang harus dipenuhi oleh importir antara lain standar mutu biji, persyaratan
kesehatan, lingkungan dan yang paling penting dari semuanya itu, biji kakao tersebut
harus difermentasikan terlebih dahulu sebelum diekspor.
Walaupun sebagai produsen kakao terbesar ke 3 di dunia, tetapi perdagangan
ekspor Indonesia ke pasar UE hanya menduduki posisi ke-6 yaitu dengan pangsa
hanya 2,46% atau jauh dibawah kemampuan produksinya sekitar 1/6 dari total
produksi dunia.
Negara pesaing utama Indonesia di pasar UE adalah Pantai Gading, Ghana,
Nigeria, Cameroon yang mendapat preferensi bea masuk karena tergabung dalam
Africa, Carribean, Pacific (ACP) Countries. Sementara itu, pesaing lainnya, Swiss
adalah negara yang memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan UE. Kakao dan
produk kakao dari negara-negara tersebut menjadi sangat berdaya saing karena
memiliki fasilitas bebas bea masuk jika dibandingkan produk kakao Indonesia. Kakao
yang diimpor UE dari negara berkembang kemudian diolah menjadi berbagai
komoditi berbeda. Produk hasil olahan kakao tersebut kemudian diekspor kembali ke
berbagai negara asal bahan mentahnya termasuk ke Indonesia. Umumnya produk
olahan kakao yang di ekspor kembali oleh UE adalah cokelat dan produk makanan
yang mengandung cokelat. Namun demikian disamping produk olahan kakao,
diantara negara UE juga terjadi perdagangan ekspor biji kakao untuk keperluan
industri pengolahan yang membutuhkan kakao sebagai bahan bakunya.
5.1.2. RCAB Kayu Lapis
Nilai RCAB Indonesia untuk komoditi kayu lapis Indonesia secara rata-rata
berdaya saing dipasaran negara mitra dagang utama. Kayu lapis Indonesia memiliki
daya saing yang tertinggi di pasar United Emirat Arab (UEA) selama periode 19902004. Selain Uni Emirat Arab, pasar Eropa seperti Jerman dan Belanda merupakan
pasar yang potensial. Untuk kawasan Asia, Jepang merupakan salah satu negara
importir utama kayu lapis Indonesia. Masyarakat Jepang sangat menggemari kayu
102
lapis Indonesia karena kayu lapis Indonesia terbuat dari potongan kayu yang bermutu
tinggi. Kayu lapis banyak digunakan untuk kebutuhan pembangunan perumahan serta
bahan baku pembuatan kerangka beton, kayu lapis juga sebagai bahan baku
pembuatan dekorasi display, pintu, dan lemari (Amir 2004). Kerjasama FTA
ASEAN-Cina juga mendorong peningkatan ekspor kayu lapis Indonesia ke Cina.
Nilai RCAB kayu lapis Indonesia ke Cina mengalami peningkatan.
Gambar 26. RCA Bilateral Kayu Lapis dan Penggunaan Umum Indonesia Ke Negara
Tujuan Ekspor Utama
Produksi mempengaruhi ekspor kayu lapis Indonesia ke negara-negara utama,
karena jika produksi suatu komoditas meningkat maka akan meningkatkan penawaran
sehingga akan mempengaruhi volume ekspor. Indonesia bersama Malaysia
merupakan pengekspor utama pasar dunia untuk kayu lapis keras tropik (tropical
hardwood plywood) selama bertahun-tahun. Ekspor kedua negara memiliki pangsa
103
terbesar (dominant players) di dunia untuk jenis kayu lapis tersebut, secara total jika
diperhitungkan jenis kayu lapis kayu lunak (softwood plywood), pangsa kedua negara
pada tahun 2000 adalah 47 %.Oleh karena itu untuk komoditas kayu lapis tropik,
Indonesia dan Malaysia merupakan pesaing (competitor ) untuk segmen pasar
tersebut. Selama bertahun-tahun hingga tahun 2003, industri kayu lapis Indonesia
mendominasi pasar dunia kayu lapis tropik, namun sejak tahun 2004 Malaysia
mengungguli volume ekspor kayu lapis Indonesia (FAO 2009).
Gambar 27. Rata-Rata Nilai RCAB Indonesia dengan Negara Mitra Dagang Untuk
Komoditi Kayu Lapis, Periode 1990-2009
Berdasarkan nilai rata-rata RCAB, perdagangan dengan UK memiliki nilai
tertinggi, disusul Jerman, SAU, Cina dan USA. Ini menunjukkan bahwa kayu lapis
Indonesia memiliki tingkat dayasaing dan kemampuan penetrasi yang tinggi di pasar
dunia. Baik komoditi ekspor biji kakao maupun kayu lapis memiliki peluang yang
besar terutama di pasar Eropa. Oleh karena itu persyaratan mengenai mutu dan
standar yang ditetapkan kawasan Eropa harus diikuti oleh eksportir Indonesia.
104
Kayu lapis telah menjadi primadona produk industri kayu olahan Indonesia
selama beberapa tahun. Angka ekspor tertinggi yang pernah dicapai adalah pada
tahun 1992 sebesar 9,7 juta m3(FAO, 2009). Dengan tingkat volume ekspor tersebut
Indonesia dapat digolongkan memiliki peranan dominan dalam pasar kayu lapis
tropis dunia. Kurang lebih 80% produksi kayu lapis Indonesia selama ini dijual untuk
tujuan ekspor. Di sisi lain pada kurun waktu tersebut Malaysia merupakan
pengekspor kayu lapis tropis terbesar kedua setelah Indonesia namun ditinjau dari sisi
volume masih jauh di bawah Indonesia. Dalam konteks negara yang memiliki industri
pengolahan kayu tropis, Malaysia dapat digolongkan sebagai negara pengikut
(follower) dibandingkan Indonesia yang dominan (market leader) terutama dari sisi
kapasitas dan volume ekspor. Industri kayu lapis Indonesia masih memiliki
keunggulan komparatif yang cukup tinggi dibandingkan pesaing-pesaingnya namun
merosotnya pasokan bahan baku menyebabkan pangsa pasar ekspornya menurun
secara tajam. Menurunnya pasokan bahan baku ke Industri kayu lapis Indonesia
merupakan penyebab utama menurunnya ekspor kayu lapis Indonesia. Disamping itu,
sebagian kayu bulat Indonesia juga memasok industri pengolahan kayu Cina. Pada
saat yang sama, Malaysia mampu mempertahankan bahkan meningkatkan pasokan
bahan baku ke Industri kayu lapisnya.
Meningkatnya peredaran kayu liar menyebabkan Indonesia tidak mampu
mempertahankan pasokan bahan baku ke industri kayu lapis dalam negeri. Peredaran
kayu liar tersebut diselundupkan ke luar negeri. Dengan perkataan lain, peningkatan
pasokan kayu bulat karena peningkatan pembalakan di dalam negeri tidak dapat
dikapitalisasi oleh industri pengolahan kayu khususnya industri kayu lapis Indonesia.
Kondisi ini memberikan landasan bagi perbaikan strategi implementasi kebijakan
atau program anti illegal logging nasional.
Beberapa alternative penggunaan bahan baku untuk kayu lapis Indonesia
digunakan. Salah satunya penggunaan kayu sengon dari hutan rakyat untuk bahan
baku kayu lapis. Penggunaan kayu sengon sebagai bahan kayu lapis beberapa tahun
105
terakhir semakin meningkat seperti yang berlangsung di Provinsi Jawa Tengah
(Dwiprabowo, 2008). Namun kelangkaan tersebut baru sebagian kecil dari yang
dibutuhkan industri. Kebijakan yang kondusif untuk pengembangan hutan rakyat
berupa penyediaan lahan dan bibit unggul serta sarana produksi lainnya akan
membantu membangkitkan kembali industri kayu lapis. Di samping itu, penggunaan
kayu sawit untuk kayu lapis perlu mendapat perhatian lebih besar mengingat potensi
yang tinggi dan teknik pembuatannyat telah cukup lama ditemukan oleh Puslitbang
Hasil Hutan, Bogor (Balfas, 2009).
5.2. Analisis Strategi Peningkatan Mutu dan standar Produk Ekspor:
Pendekatan AHP
a) Produk Ekspor Biji Kakao
Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) digunakan sebagai model
pengambilan keputusan yang dalam hal ini untuk kajian analisis kebijakan mutu dan
standar produk ekspor tertentu dalam peningkatan daya saing. Pengambilan
keputusan pemilihan strategi memiliki masalah yang kompleks, ditunjukkan dalam
suatu struktur hirarki yang menunjukkan hubungan antara tujuan (goal), objectives
(criteria), sub objectives, dan beberapa alternatif. Peserta FGD akan melakukan
penilaian dengan teknik komparasi berpasangan (pairwise comparison) terhadap
elemen-elemen pada suatu tingkat hirarki dengan memberikan bobot numerik.
Stakeholder yang diundang untuk FGD Makassar terdiri dari Dinas Perkebunan
Provinsi Sulawesi Selatan, Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, Balitbang
Provinsi Sulawesi Selatan, Balai Besar POM Makassar, UPTD BPPMB Disperindag,
Eksportir antara lain PT Bumi Niaga Pratama, PT Olam, Laboratorium Uji Mutu
antara lain PT. Sucofindo, dan asosiasi yaitu ASKINDO. Sedangkan untuk FGD
Jakarta, stakeholder yang diundang antara lain Pusat Standardisasi, Badan Pengkajian
Kebijakan, Iklim dan Mutu, Industri Kementerian Perindustrian; Pusat Kerjasama
Standardisasi, Badan Standardisasi Nasional; Direktorat Bina Pengolahan dan
106
pemasaran Hasil Hutan, Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Kementerian
Kehutanan. Dibawah ini disajikan output hirarki secara keseluruhan:
Gambar 28. Ouput Hirarki Keseluruhan untuk Produk Ekspor Biji Kakao
Hierarkhi Pertama adalah Peubah Faktor, yaitu identifikasi faktor-faktor
penentu model pengambilan keputusan untuk kajian analisis kebijakan mutu dan
standar produk ekspor kakao dalam peningkatan daya saing. Peubah faktor tersebut
yaitu:
1. Regulasi perdagangan antar Negara (RPA)
2. Mutu dan standar produk ekspor nasional dan internasional (MSN)
3. Biaya peningkatan mutu dan standar produk ekspor internasional (MSL)
4. Mekanisme/prosedur peningkatan mutu dan standar produk ekspor (MMS)
5. Infrastruktur pengujian mutu (PPT)
107
a. Level Faktor
Hasil perbandingan faktor memperlihatkan bahwa peningkatan mutu dan
standar produk ekspor nasional dan internasional serta regulasi perdagangan antar
negara adalah elemen penting dalam penentuan strategi kebijakan mutu dan standar
untuk meningkatkan daya saing. Faktor ini memiliki bobot tertinggi yaitu 0,238 dan
0,217 baru disusul oleh faktor-faktor lain, berturut-turut mekanisme/prosedur
peningkatan mutu dan standar produk (bobot sebesar 0.197), biaya peningkatan mutu
dan standar produk ekspor (bobot sebesar 0.177) dan terakhir infrastruktur pengujian
mutu (bobot sebesar 0.171).
Tabel 23. Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan antar Elemen Pada Level
Faktor
NO
INDIKATOR
BOBOT RANGKING
1
2
3
4
5
Regulasi perdagangan antar Negara (RPA)
0.217
2
0.238
1
0.177
4
standar produk ekspor (MMS)
0.197
3
Infrastruktur pengujian mutu (PPT)
0.171
5
Mutu dan standar produk ekspor nasional dan
internasional (MSN)
Biaya peningkatan mutu dan standar produk
ekspor internasional (MSL)
Mekanisme/prosedur peningkatan mutu dan
Persyaratan mutu dan standar produk ekspor internasional pada saat ini
dianggap stakeholder memiliki peranan yang paling tinggi. Hal ini sesuai dengan
hasil observasi lapang dimana kenyataan dilapang banyak eksportir yang belum
mengutamakan mutu dan standar yang disyaratkan oleh negara tujuan ekspor. Mereka
menyatakan bahwa setiap produk yang mereka ekspor memiliki pasar sendiri.
Kondisi sekarang, eksportir menyesuaikan dengan standar yang disyaratkan oleh
negara tujuan ekspor, mengingat setiap negara menetapkan persyaratan yang berbeda.
108
Menurut eksportir kakao Indonesia memiliki kelebihan yaitu tidak mudah meleleh
sehingga cocok bila dipakai untuk blending, sehingga pasar kakao Indonesia
memiliki peluang yang cukup terbuka untuk beberapa negara tujuan ekspor. Namun
demikian yang patut dikaji lebih mendalam adalah walaupun mereka tidak
mengalami penolakan oleh negara tujuan ekspor, namun karena beberapa mutu dan
standar seperti fermentasi belum terpenuhi maka harga yang mereka terima lebih
rendah dari seharusnya. Hal ini tentunya akan mengurangi nilai ekspor biji kakao
Indonesia. Dalam jangka panjang, kesadaran petani maupun eksportir (dari hulu
maupun hilir) mengenai persyaratan mutu dan standar harus menjadi perhatian,
mengingat banyaknya pesaing yang lebih memiliki mutu dan standar yang
disyaratkan negara tujuan ekspor.
Regulasi perdagangan yang terkait standar (health and safety) mensyaratkan
produk ekspor kakao memiliki standar yang ditetapkan seperti kandungan residu
pestisida. Berdasarkan hasil FGD Makassar, kakao Indonesia mengandung residu
pestisida. Sedangkan untuk FGD Jakarta, stakeholder menyatakan bahwa ekspor
kakao Indonesia diklaim terkontaminasi CD. Namun PPMB pada tahun 2009 dengan
menggunakan sampel 9 daerah sentra produksi kakao menguji apakah produk kakao
terkontaminasi CD. Hasil uji menunjukkan bahwa produk kakao Indonesia tidak
terkontaminasi CD. Beberapa kemungkinan yang muncul adalah pertama, isu tersebut
hanya untuk menghambat ekspor kakao Indonesia; kedua, perbedaan metode uji serta
ketiga, perbedaan alat uji. Berdasarkan informasi dinas terkait, produk kakao dapat
terkontaminasi CD karena beberapa hal antara lain: pupuk, residu pestisida, tanah
yang mengandung CD dan penjemuran di atas aspal.
Disamping masalah standar (health and safety) terkait dengan kebijakan tarif
impor, pesaing kakao Indonesia misalnya di pasar Uni Eropa cukup banyak dan
datang dari negara-negara yang memperoleh fasilitas bebas bea masuk, seperti: Pantai
Gading yang menguasai hampir setengah (41,54 persen) dari pasokan yang
dibutuhkan UE, Ghana, Nigeria, Kamerun, Brazil, Ecuador dan Swiss. Hampir semua
109
negara tersebut kecuali Swiss merupakan negara beneficiaries’ dari General System
of Preferences (GSP) UE. Fasilitas yang diperoleh melalui skema GSP tersebut tidak
sama antara satu negara dengan negara lainnya. Negara produsen kakao yang
merupakan negara miskin akan memperoleh fasilitas pembebasan bea masuk.
Sementara negara lain seperti Indonesia yang masuk dalam kelompok negara
berkembang hanya memperoleh pengurangan tariff sebesar 3,5 persen dari tarif yang
berlaku umum (Most Favoured Nations). Disamping itu, perlakuan khusus juga
diberikan bagi negara (Swiss dan Norwegia) yang memiliki perjanjian perdagangan
bebas dengan UE. Implikasinya, Indonesia akan memiliki daya saing yang rendah
karena dikenakan bea masuk yang tinggi.
Bobot yang rendah pada jumlah infrastruktur menunjukkan stakeholder
memiliki anggapan bahwa faktor jumlah infrastruktur mutu kurang berperan penting
dalam kebijakan mutu dan standar produk ekspor kakao dalam peningkatan daya
saing. Anggapan stakeholder ini didukung bukti masih terbatasnya jumlah
infrastruktur mutu sehingga kurang berperan dalam memengaruhi peningkatan mutu
dan standar kakao. Hasil observasi lapang menunjukkan beberapa infrastruktur mutu
belum mampu melayani secara keseluruhan uji mutu yang akan dilakukan eksportir.
Hal ini terjadi di UPTD Balai Pengawasan dan Pengendalian Mutu Barang (BPPMB)
yang merupakan salah satu unit pelaksana teknis di bawah Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Provinsi Sulawesi Selatan dimana memiliki kendala dalam operasional
pengujian mutu tersebut yaitu adanya hambatan terkait sarana/prasarana dan
infrastruktur (terkait pengadaan alat uji). Insentif pengadaan laboratorium dan
fasilitas mutu lainnya dan kualitas pelayanan yang memadai akan mendorong peran
yang lebih berarti dari infrastruktur mutu terhadap peningkatan mutu dan standar biji
kakao yang akan diekspor.
110
b. Level Aktor
Berdasarkan hasil pengolahan horizontal, hirarki kedua adalah peubah aktor
merupakan identifikasi pelaku yang memiliki peran dalam kebijakan mutu dan
standar produk ekspor kakao dalam peningkatan daya saing. Peubah aktor tersebut
yaitu:
1.
Pemerintah (GOV)
2.
Lembaga mutu dan standar (LEM)
3.
Eksportir (EKS)
4.
Negara tujuan ekspor (NTE)
Hasil perbandingan aktor menunjukkan negara tujuan ekspor memiliki peranan
penting sebagai pelaku dalam kebijakan mutu dan standar produk ekspor kakao untuk
peningkatan daya saing. Hal ini konsisten dengan level faktor bahwa faktor regulasi
antar negara sebagai factor rangking kedua sebagai penentu kebijakan peningkatan
mutu dan standar untuk peningkatan daya saing. Mengingat negara tujuan ekspor
memiliki bobot yang tinggi yaitu 0.274, implikasi kebijakan yang dapat dilakukan
adalah melakukan kerjasama harmonisasi mutu dan standar. Program harmonisasi
sangan penting dalam rangka memenuhi persyaratan mutu dan standar negara tujuan
ekspor melalui negosiasi.
Aktor pemerintah merupakan aktor kedua yang terpenting dalam penentuan
strategi kebijakan mutu dan standar biji kakao untuk meningkatkan daya saing yaitu
dengan bobot 0,245. Sedangkan eksportir sendiri dianggap sebagai aktor yang paling
kecil peranannya dalam penentuan kebijakan mutu dan standar biji kakao dalam
rangka meningkatkan daya saing yaitu dengan bobot sebesar 0,236. Hal ini
mengimplikasikan pentingnya peran pemerintah sebagai fasilitator terkait kebijakan
mutu dan standar biji kakao untuk meningkatkan daya saing, sebagai contoh
kebijakan yang diterapkan oleh Dinas Perkebunan Sulawesi Selatan dalam proses on
farm seperti replanting, intensifikasi maupun sistem tumpangsari sangat membantu
para petani kakao untuk meningkatkan standar, mutu dan jumlah produksi kakao.
111
Dari sisi peningkatan produksi yang memperhatikan dampak terhadap lingkungan
sekitar dilakukan program sistem Kakao Lestari (proses budidaya yang ramah/peduli
terhadap kelestarian lingkungan) dan pola pendampingan yang berkesinambungan.
Beberapa program lain yang diterapkan pemerintah antara lain: program GERNAS
(yang dilakukan oleh kementrian Pertanian), program pembinaan petani dan program
peningkatan produksi dan kualitas biji kakao. Sedangkan kebijakan untuk
meningkatkan mutu dan standar antara lain dari kementrian Perdagangan
mengeluarkan SK Menperindag nomor 164/MPP/Kep/6/1996 tentang produk ekspor
yang ditetapkan pengawasan mutunya yang bertujuan untuk (1) Mencegah ekspor
produk-produk Indonesia yang dibawah mutu standar, dan (2) Mempertahankan mutu
produk ekspor. Kebijakan lain untuk memperkuat kerjasama perdagangan yang
dilakukan Indonesia dengan pemerintah Arab Saudi dengan melakukan kesepakatan
kerjasama antara Badan Standardisasi Nasional (BSN) dengan Saudi Standards,
Metrology and Quality Organization (SASO) dari Arab Saudi. Produk yang diekspor
Indonesia tidak perlu lagi menjalani pengecekan laboratorium di negara tersebut,
namun cukup dilakukan di Indonesia.
Tabel 24. Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan Horizontal antar Elemen
Pada Level Aktor
AKTOR
1. Pemerintah
(GOV)
2. Lembaga mutu
dan standar
(LEM)
3. Eksportir
(EKS)
4. Negara tujuan
ekspor (NTE)
Faktor
1
Faktor
2
Faktor
3
Faktor
4
Faktor
5
Bobot
Faktor
Bobot
Aktor
Rang
king
0.235
0.213
0.234
0.277
0.278
0.217
0.245
2
0.218
0.223
0.228
0.258
0.303
0.238
0.243
3
0.252
0.244
0.292
0.21
0.182
0.177
0.237
4
0.295
0.319
0.246
0.254
0.237
0.197
0.274
1
0.171
112
Hasil olahan AHP secara vertikal memberikan hasil yang sama (konsisten)
dengan pengolahan secara horizontal. Secara vertikal hasil pengolahannya dapat
disajikan pada Tabel 25.
Tabel 25. Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan Vertikal antar Elemen Pada
Level Aktor
NO
1
2
3
4
INDIKATOR
Pemerintah (GOV)
Lembaga mutu dan standar (LEM)
Eksportir (EKS)
Negara tujuan ekspor (NTE)
BOBOT
RANGKING
0.245214
0.243375
0.236932
0.274044
2
3
4
1
c. Level Tujuan
Analisis pada level tujuan dilakukan lebih mendalam untuk mengetahui
prioritas dari tujuan yang ingin dicapai dalam kajian kebijakan mutu dan standar
untuk meningkatkan daya saing. Hirarki ketiga dari peubah tujuan ini dikategorikan
menjadi 5 yaitu:
1. Eliminasi regulasi yang menghambat
2. Meningkatkan kuantitas dan kualitas lembaga infrastruktur pengujian mutu dan
standar
3. Eliminasi biaya yang tidak relevan
4. Mempermudah prosedur dan mekanisme peningkatan mutu dan standar ekspor
5. Meningkatkan kerjasama dalam rangka peningkatan mutu dan standar dengan
negara tujuan
Berdasarkan hasil pengolahan secara vertikal maupun horizontal pada level
tujuan, tujuan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas lembaga infrastruktur
pengujian mutu dan standar memiliki bobot tertinggi dengan skor 0.209. Hal ini
menunjukkan dalam rangka analisis kebijakan mutu dan standar untuk meningkatkan
daya saing produk ekspor kakao, kuantitas maupun kualitas lembaga infrastruktur
pengujian mutu dan standar merupakan ujung tombak peningkatan mutu dan standar
itu sendiri. Jumlah lembaga infrastruktur pengujian mutu dan standar yang masih
relatif terbatas menyebabkan biaya yang tinggi karena kompetisi atau persaingan
113
yang rendah. Selain kuantitas, kualitas infrastruktur mutu harus ditingkatkan. Kualitas
infrastruktur mutu menyangkut sarana prasarana atau alat uji, metode uji serta
keahlian dari SDM lembaga pengujian mutu. Kualitas mutu nasional harus terhubung
dengan kualitas yang ditetapkan di tingkat internasional.
Tabel 26. Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan Horizontal antar Elemen
Pada Level Tujuan
TUJUAN
1. Eliminasi regulasi yang
menghambat (ER)
2. Meningkatkan kuantitas dan
kualitas lembaga infrastruktur
pengujian mutu dan standar
(MKK)
3. Eliminasi biaya yang tidak
relevan(EB)
4. Mempermudah prosedur dan
mekanisme peningkatan mutu
dan standar ekspor (MPM)
5. Meningkatkan kerjasama
dalam rangka peningkatan
mutu dan standar dengan
negara tujuan ekspor (MKE)
Aktor
Aktor
Aktor
Aktor
Bobot
Bobot
Rang
1
2
3
4
Aktor
Tujuan
king
0.173
0.166
0.2
0.192
0.245
0.183
5
0.211
0.24
0.177
0.209
0.243
0.209
1
0.215
0.206
0.201
0.172
0.237
0.198
4
0.207
0.193
0.221
0.187
0.274
0.201
3
0.193
0.195
0.201
0.24
0.208
2
Serupa dengan hasil olahan AHP secara vertikal untuk aktor, hasil AHP vertikal
untuk tujuan juga memberikan hasil yang sama (konsisten) dengan pengolahan secara
horizontal. Secara vertikal hasil pengolahannya dapat disajikan pada Tabel 27.
Tabel 27. Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan Vertikal antar Elemen Pada
Level Tujuan
NO
INDIKATOR
BOBOT
RANGKING
1
Eliminasi regulasi yang menghambat (ER)
Meningkatkan kuantitas dan kualitas lembaga infrastruktur
pengujian mutu dan standar (MKK)
Eliminasi biaya yang tidak relevan (EB)
0.183
5
0.209
1
0.198
4
0.201
3
0.208
2
2
3
4
5
Mempermudah prosedur dan mekanisme peningkatan mutu
dan standar ekspor (MPM)
Meningkatkan kerjasama dalam rangka peningkatan mutu
dan standar dengan negara tujuan ekspor (MKE)
114
Hasil AHP untuk level alternatif strategi (tabel 28), fasilitasi terkait dengan
infrastruktur pengujian mutu dan standar untuk meningkatkan daya saing memiliki
bobot tertinggi yaitu 0.406. Setelah itu disusul fasilitasi regulasi. Implikasi kebijakan
dari hasil olahan AHP ini adalah perlunya peningkatan infrastruktur mutu dari segi
jumlah dan kualitas. Sedangkan fasilitasi regulasi menduduki rangking 2 dalam
analisis kebijakan peningkatan mutu dan standar untuk meningkatkan daya saing
ekspor kakao dengan bobot 0.237. Negosiasi berkaitan dengan regulasi mengenai
mutu dan standar yang diterapkan negara tujuan ekspor diperlukan agar eksportir
dapat memenuhi ketentuan yang berlaku. Peran pemerintah sebagai negosiator
dengan pihak negara tujuan ekspor sangat diperlukan sehingga transmisi mengenai
regulasi yang diterapkan mengenai mutu dan standar dapat dipenuhi eksportir
Indonesia.
Kedua alternatif strategi ini akan efektif apabila peningkatan mutu dan standar
tidak hanya dipenuhi pada level hilir namun juga pada level hulu. Sosialisasi pada
petani pentingnya peningkatan mutu dan standar untuk penetrasi pasar perlu
dilakukan. Penetrasi pasar pada negara tujuan ekspor akan berdampak positif pada
kesejahteraan petani dengan syarat harga internasional ditransmisikan ke ditingkat
petani.
Tabel 28. Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan Horizontal antar Elemen
Pada Level Alternatif Strategi
ALTERNATIF
STRATEGI
Tujuan
1
Tujuan
2
Tujuan
3
Tujuan
4
Tujuan
5
Bobot
Tujuan
Bobot
Alternatif
Rang
king
1. Fasilitasi
regulasi (A)
0.232
0.241
0.249
0.227
0.237
0.183
0.237
2
2. Fasilitasi
terkait
infrastruktur
pengujian
mutu dan
standar (B)
0.412
0.404
0.392
0.406
0.415
0.209
0.406
1
115
3. Fasilitasi
hambatan
biaya dalam
rangka
peningkatan
mutu dan
standar (C)
4. Memfasilitasi
kemudahan
prosedur dan
mekanisme
peningkatan
mutu dan
standar ekspor
(D)
5. Memfasilitasi
kerjasama
harmonisasi
mutu dan
standar
internasional
(E)
0.119
0.129
0.123
0.13
0.121
0.198
0.124
4
0.078
0.077
0.078
0.079
0.078
0.201339
0.078
5
0.159
0.15
0.158
0.158
0.149
0.208178
0.155
3
Serupa dengan hasil olahan AHP secara vertikal untuk aktor, hasil AHP vertikal
untuk alternatif strategi juga memberikan hasil yang sama (konsisten) dengan
pengolahan secara horizontal. Secara vertikal hasil pengolahannya dapat disajikan
pada Tabel 29.
Tabel 29. Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan Vertikal antar Elemen Pada
Level Alternatif Strategi
NO
1
2
3
4
5
INDIKATOR
Fasilitasi regulasi (A)
Fasilitasi terkait infrastruktur pengujian mutu dan
standar (B)
Fasilitasi hambatan biaya dalam rangka peningkatan
mutu dan standar (C)
Memfasilitasi kemudahan prosedur dan mekanisme
peningkatan mutu dan standar ekspor (D)
Memfasilitasi kerjasama harmonisasi mutu dan
standar internasional (E)
BOBOT
RANGKING
0.237
2
0.406
1
0.124
4
0.078
5
0.155
3
116
Hasil akhir dari software Expert Choice dapat disajikan pada Gambar 29.
Berdasarkan gambar 29 dapat dilihat bahwa alternative strategi fasilitasi terkait
infrastruktur pengujian mutu dan standar merupakan alternative yang seharusnya
diprioritaskan untuk mendukung kebijakan peningkatan mutu dan standar dalam
rangka peningkatan daya saing ekpor produk kakao.
Gambar 29. Output Akhir Pembobotan Strategi dari Software Expert Choice untuk
Produk Ekspor Biji Kakao
b) Produk Ekspor Kayu Lapis
Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) digunakan sebagai model
pengambilan keputusan yang dalam hal ini untuk kajian strategi peningkatan mutu
dan standar produk ekspor kayu lapis dan penggunaan umum lainnya dalam
peningkatan daya saing. Pengambilan keputusan pemilihan strategi memiliki masalah
yang kompleks, ditunjukkan dalam suatu struktur hirarki yang menunjukkan
117
hubungan antara tujuan (goal), objectives (criteria), sub objectives, dan beberapa
alternatif. Peserta FGD akan melakukan penilaian dengan teknik komparasi
berpasangan (pairwise comparison) terhadap elemen-elemen pada suatu tingkat
hirarki dengan memberikan bobot numerik. FGD dihadiri oleh stakeholder antara lain
BPSMB (Balai Pengujian Sertifikasi Mutu Barang) Surabaya dan Jember, Dinas
Kehutanan, Dinas Kesehatan, Balai Besar Karantina, Gabungan Pengusaha Ekspor
Jawa Timur, BRIK, dan perusahaan-perusahaan pelaku ekspor antara. Hasil hirarki
keseluruhan dengan alat analisis AHP dalam kebijakan mutu dan standar produk
ekspor kayu lapis dan penggunaan umum lainnya disajikan pada gambar 30.
Gambar 30. Ouput Hirarki Keseluruhan untuk Produk Ekspor Kayu Lapis dan
Penggunaan Umum Lainnya
Hierarkhi Pertama adalah Peubah Faktor, yaitu identifikasi faktor-faktor
penentu model pengambilan keputusan untuk kajian analisis kebijakan mutu dan
118
standar produk ekspor kayu lapis dan penggunaan umum lainnya dalam peningkatan
daya saing. Peubah faktor tersebut yaitu:
1. Regulasi perdagangan antar Negara (RPA)
2. Mutu dan standar produk ekspor nasional dan internasional (MSN)
3. Biaya peningkatan mutu dan standar produk ekspor internasional (MSL)
4. Mekanisme/prosedur peningkatan mutu dan standar produk ekspor (MMS)
5. Infrastruktur pengujian mutu (PPT)
a) Level Faktor
Hasil perbandingan faktor memperlihatkan bahwa peningkatan mutu dan
standar produk ekspor nasional dan internasional serta regulasi perdagangan antar
negara adalah elemen penting dalam penentuan strategi kebijakan mutu dan standar
untuk meningkatkan daya saing. Faktor ini memiliki bobot tertinggi yaitu 0,238 dan
0,219 baru disusul oleh faktor-faktor lain, berturut-turut mekanisme/prosedur
peningkatan mutu dan standar produk (bobot sebesar 0.195), biaya peningkatan mutu
dan standar produk ekspor (bobot sebesar 0.177) dan terakhir infrastruktur pengujian
mutu (bobot sebesar 0.171). Hasil ini sesuai dengan temuan pada saat FGD bahwa
dalam rangka untuk dapat masuk ke pasar Uni Eropa, pemerintah Indonesia
menandatangani VPA. Dengan menandatangani VPA, Indonesia akan memastikan
bahwa kayu yang diekspor ke UE adalah kayu legal. Sementara UE akan bertanggung
jawab dalam meningkatkan kapasitas dan melarang kayu illegal memasuki pasar UE.
Serangkaian proses yang berlangsung bertujuan untuk menghasilkan standar yang
diharapkan mampu memberi kepastian bagi semua pihak: pembeli, pemilik industri,
pengusaha, penegak hukum, pemerintah, dan masyarakat. Sistem verifikasi legalitas
kayu (SVLK) merupakan sistem pelacakan yang disusun secara multistakeholder
untuk memastikan legalitas sumber kayu yang beredar dan diperdagangkan di
Indonesia. Sistem ini diatur dalam regulasi pemerintah yaitu Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2009 yang telah disempurnakan menjadi Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor P.68/Menhut-II/2011 tentang SVLK. Regulasi baru ini
119
menimbulkan permasalahan bagi pengusaha karena memerlukan biaya yang tinggi
dan diterapkan secara wajib (mandatory) untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan
hutan dan menjaga kredibilitas legalitas kayu dari Indonesia.
Untuk mengatasi permasalahan biaya tinggi yang ditanggung pengusaha
terutama pengusaha kecil sebagai akibat penerapan regulasi baru tersebut, pemerintah
mencoba mengkaji kelayakan pengajuan SVLK dilakukan secara berkelompok.
Sertifikat SVLK akan berisi nama-nama perusahaan kecil, sehingga perusahaan kecil
pun akan bisa masuk pasar Eropa. Selain itu, memperbanyak infrastruktur mutu
sebagai pihak yang berwenang menerbitkan SVLK akan meningkatkan kompetisi
antar lembaga sertifikasi yang ada sehingga harga akan kompetitif. Kompetisi dalam
pasar tentunya akan menekan harga sehingga menjadi bersaing yang selanjutnya
berdampak pada penurunan biaya untuk penerbitan SVLK.
Tabel 30. Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan Horizontal antar Elemen
Pada Level Faktor
NO
INDIKATOR
BOBOT RANGKING
1
2
3
4
5
Regulasi perdagangan antar Negara (RPA)
Mutu dan standar produk ekspor nasional dan
internasional (MSN)
Biaya peningkatan mutu dan standar produk
ekspor internasional (MSL)
Mekanisme/prosedur peningkatan mutu dan
standar produk ekspor (MMS)
Infrastruktur pengujian mutu (PPT)
0,219
2
0,238
1
0,177
4
0,195
3
0,171
5
b) Level Aktor
Berdasarkan hasil pengolahan horizontal, hirarki kedua, peubah aktor
merupakan identifikasi pelaku yang memiliki peran dalam kebijakan mutu dan
standar produk ekspor kakao dalam peningkatan daya saing. Peubah aktor tersebut
yaitu:
120
1. Pemerintah (GOV)
2. Lembaga mutu dan standar (LEM)
3. Eksportir (EKS)
4. Negara tujuan ekspor (NTE)
Hasil perbandingan aktor menunjukkan negara tujuan ekspor memiliki peranan
penting sebagai pelaku dalam kebijakan mutu dan standar produk ekspor kakao untuk
peningkatan daya saing dengan bobot sebesar 0.274. Dalam jangka pendek pengusaha
dapat mencari negara tujuan ekspor selain Eropa. Namun dalam jangka panjang,
semua negara tentunya secara bertahap akan menerapkan SVLK untuk menjaga
perdagangan yang fair. Oleh karena itu SVLK harus disikapi secara positif.
Pengusaha harus memenuhi SVLK. Permintaan yang meningkat untuk pengurusan
SVLK harus diimbangi dengan infrastruktur mutu untuk penerbitan sertifikat SVLK.
Persiapan dari sisi infrastruktur mutu baik alat uji maupun SDM-nya harus dilakukan.
Lembaga sertifikasi yang ada baru berjumlah ± 7, diantaranya: BRIK, Secofindo,
Mutu Agung Lestari, Mutu Hijau. Demikian juga untuk SDM, diperlukan tenaga
inspeksi dalam proses penerbitan SVLK. Sebagai gambaran untuk kepentingan SNI
yang sudah lama diberlakukan saja tenaga standarisasi yang dimiliki Indonesia masih
minim. Untuk mengantisipasi tenaga standarisasi, Badan Standarisasi Nasional
menjajaki membuka studi khusus tentang standarisasi yaitu studi pascasarjana
standarisasi di Universitas Gajah Mada dan Institut Teknologi Bandung. Oleh karena
itu, berdasarkan pengalaman SNI, untuk system SVLK, persiapan SDM yang ahli
dibidangnya sangat diperlukan.
Aktor pemerintah merupakan aktor kedua yang terpenting dalam penentuan
strategi kebijakan mutu dan standar kayu lapis dan penggunaan umum lainnya untuk
meningkatkan daya saing yaitu dengan bobot 0,250. Pemerintah sebagai pembuat
kebijakan harus memfasilitasi peningkatan mutu dan standar. Salah satu hal yang
dibutuhkan oleh pengusaha adalah sosialisasi mengenai setiap peraturan yang
dikeluarkan pemerintah sejak dini. Selain itu, birokrasi yang panjang harus
121
dipangkas. Untuk keperluan SVLK birokrasi yang panjang harus dilalui antara lain
pengurusan surat-surat untuk penjualan kayu yang membutuhkan biaya tinggi dari
tingkat desa, kabupaten dan dinas kehutanan untuk mengurus Surat Keterangan AsalUsul Kayu. Setelah legalitas industry, legalitas sumber bahan baku dan legalitas
pindah tangan dipenuhi, setiap setahun sekali dilakukan inspeksi yang biayanya juga
tidak murah. Padahal SVLK sendiri hanya berlaku selama 3 tahun. Susunan bobot
dan prioritas hasil pengolahan horizontal antar elemen pada level actor dapat dilihat
pada Tabel 31.
Tabel 31. Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan Horizontal antar Elemen
Pada Level Aktor
AKTOR
Faktor
Faktor
Faktor
Faktor
Faktor
Bobot
Bobot
Rang
1
2
3
4
5
Faktor
Aktor
king
0.238
0.216
0.24
0.286
0.283
0.219
0.250
2
0.219
0.217
0.225
0.258
0.301
0.238
0.241
3
0.252
0.238
0.292
0.202
0.18
0.177
0.234
4
0.291
0.329
0.244
0.254
0.237
0.195
0.275
1
1. Pemerintah
(GOV)
2. Lembaga
mutu dan
standar
(LEM)
3. Eksportir
(EKS)
4. Negara
tujuan
ekspor
(NTE)
Serupa dengan hasil olahan AHP secara vertikal untuk aktor, hasil AHP vertikal
untuk tujuan juga memberikan hasil yang sama (konsisten) dengan pengolahan secara
horizontal. Secara vertikal hasil pengolahannya dapat disajikan pada Tabel 32.
122
Tabel 32. Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan Vertikal antar Elemen Pada
Level Aktor
NO
INDIKATOR
BOBOT RANGKING
1
Pemerintah (GOV)
0.250173
2
2
Lembaga mutu dan standar (LEM)
0.241213
3
3
Eksportir (EKS)
0.233686
4
4
Negara tujuan ekspor (NTE)
0.275276
1
c) Level Tujuan
Analisis pada level tujuan dilakukan lebih mendalam untuk mengetahui
prioritas dari tujuan yang ingin dicapai dalam kajian kebijakan mutu dan standar
untuk meningkatkan daya saing. Berdasarkan hasil pengolahan horizontal, hirarki
ketiga, peubah tujuan dikategorikan menjadi 5 yaitu:
1. Eliminasi regulasi yang menghambat
2. Meningkatkan kuantitas dan kualitas lembaga infrastruktur pengujian mutu dan
standar
3. Eliminasi biaya yang tidak relevan
4. Mempermudah prosedur dan mekanisme peningkatan mutu dan standar ekspor
5. Meningkatkan kerjasama dalam rangka peningkatan mutu dan standar dengan
negara tujuan
Berdasarkan hasil pengolahan secara vertikal maupun horizontal pada level
tujuan, tujuan meningkatkan kerjasama dalam rangka peningkatan mutu dan standar
yang sesuai dengan yang disyaratkan oleh negara tujuan memiliki bobot yang tinggi
yaitu sebesar 0.210.
Hal ini menunjukkan mutu dan standar yang ditetapkan di tingkat nasional
harus sesuai dengan mutu dan standar yang ditetapkan di tingkat internasional.
Selama ini mutu dan standar kayu tergantung pada persyaratan yang ditetapkan oleh
masing-masing negara tujuan. Misalnya untuk tujuan ekspor negara Jepang, harus
memiliki sertifikat JAS dan diregistrasi oleh MAFF. Apabila setiap negara memiliki
123
standar yang berbeda hal ini berdampak pada peningkatan biaya. Biaya yang tinggi
menyebabkan produk ekspor kayu lapis Indonesia memiliki daya saing yang rendah.
Kerjasama yang telah dilakukan oleh Mutu Certification International (yang
melayani sertifikasi pengelolaan hutan secara lestari) pada tahun 2004 dengan
lembaga sertifikasi yang terakreditasi oleh FSC yaitu Woodmark-Soil Association
sebuah lembaga sertifikasi yang berkedudukan di Inggris dan telah berpengalaman
secara internasional dalam sertifikasi bidang kehutanan patut dikaji. Karena
keuntungan yang diperoleh dari kerjasama ini adalah unit manajemen yang berlokasi
di Indonesia dapat disertifikasi oleh Woodmark, dengan tim auditor yang terdiri dari
personil auditor Sub Divisi Forestry dan ketua tim audit yang berasal dari Woodmark.
Sehingga biaya sertifikasi menjadi lebih ekonomis tanpa mengurangi kualitas
layanan sertifikasi yang diberikan. Kerjasama seperti ini layak untuk dikaji lebih
mendalam apabila memberikan manfaat positif bagi peningkatan mutu dan standar
sehingga volume ekspor Indonesia meningkat. Demikian juga untuk sertifikasi sistem
lacak balak/Chain of Custody (CoC) yang merupakan jaminan ketelusuran kayu oleh
MUTU CERTIFICATION INTERNATIONAL, Sub Divisi Forestry menjalin
kerjasama dengan BM TRADA, sebuah lembaga sertifikasi CoC yang berkedudukan
di Inggris dan telah diakreditasi oleh FSC. Proses audit sertifikasi CoC skema FSC
dapat dilakukan secara langsung oleh para personil auditor Sub Divisi Forestry yang
telah diakui oleh BM TRADA. Sehingga, klien (pengusaha dan eksportir) dapat
menghemat biaya sertifikasi dan sertifikat yang diperoleh tetap mendapat pengakuan
dunia internasional.
Kuantitas dan kualitas infrastruktur mutu di Indonesia merupakan tujuan yang
bobotnya menduduki posisi kedua dengan skor 0,208. Masih minimnya infrastruktur
mutu dan SDM-nya akan menghambat peningkatan mutu dan standar yang
berdampak pada kesulitan eksportir menembus pasar ekspor.
124
Tabel 33. Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan Horizontal antar Elemen
Pada Level Tujuan
Aktor
Aktor
Aktor
Aktor
Bobot
Bobot
Rang
1
2
3
4
Aktor
Tujuan
king
0.171
0.161
0.191
0.188
0.250
0.178
5
0.208
0.239
0.176
0.208
0.241
0.208
2
0.215
0.202
0.207
0.176
0.234
0.199
4
4. Mempermudah prosedur dan
mekanisme peningkatan mutu
dan standar ekspor (MPM)
0.208
0.2
0.226
0.186
0.275
0.204
3
5. Meningkatkan kerjasama dalam
rangka peningkatan mutu dan
standar dengan negara tujuan
ekspor (MKE)
0.198
0.197
0.2
0.242
0.210
1
TUJUAN
1. Eliminasi regulasi yang
menghambat (ER)
2. Meningkatkan kuantitas dan
kualitas lembaga infrastruktur
pengujian mutu dan standar
(MKK)
3. Eliminasi biaya yang tidak
relevan(EB)
Hasil AHP vertikal untuk tujuan juga memberikan hasil yang sama (konsisten)
dengan pengolahan secara horizontal. Secara vertikal hasil pengolahannya dapat
disajikan pada Tabel 34.
Tabel 34. Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan Vertikal antar Elemen Pada
Level Tujuan
NO
1
2
3
4
5
INDIKATOR
Eliminasi regulasi yang menghambat (ER)
Meningkatkan kuantitas dan kualitas lembaga
infrastruktur pengujian mutu dan standar (MKK)
Eliminasi biaya yang tidak relevan (EB)
Mempermudah prosedur dan mekanisme peningkatan
mutu dan standar ekspor (MPM)
Meningkatkan kerjasama dalam rangka peningkatan
mutu dan standar dengan negara tujuan ekspor (MKE)
BOBOT
0,178
RANGKING
5
0,208
2
0,199
4
0,204
3
0,210
1
d) Level Alternatif Strategi
Hasil AHP untuk level alternatif strategi, fasilitasi eliminasi hambatan biaya
yang tinggi dalam memenuhi persyaratan mutu dan standar memiliki bobot tertinggi
yaitu 0.306 (tabel 35). Hal ini sesuai dengan temuan dalam FGD, bahwa eliminasi
125
hambatan biaya yang tidak diperlukan dalam peningkatan standar yang disyaratkan
merupakan factor yang penting. Hal yang tidak diinginan adalah dengan penerapan
SVLK yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing justru menyebabkan daya
saing turun karena biaya sertifikasi yang tinggi. Oleh karena itu pemerintah
selayaknya memfasilitasi bagaimana agar biaya sertifikasi tidak memberatkan. Biaya
sekitar Rp 80 juta untuk sertifikasi dan pendampingan tentunya menjadi hambatan
bagi pengusaha agar berkembang. Nilai ini lebih besar dibandingkan dengan
perputaran uang pengusaha yang hanya sebesar Rp 20 – Rp 50 juta perbulan.
Tabel 35. Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan Horizontal antar Elemen
Pada Level Alternatif Strategi
ALTERNATIF
STRATEGI
1. Fasilitasi regulasi (A)
2. Fasilitasi terkait
infrastruktur
pengujian mutu dan
standar (B)
3. Fasilitasi hambatan
biaya dalam rangka
peningkatan mutu dan
standar (C)
4. Memfasilitasi
kemudahan prosedur
dan mekanisme
peningkatan mutu dan
standar ekspor (D)
5. Memfasilitasi
kerjasama
harmonisasi mutu dan
standar internasional
(E)
Tujuan
1
Tujuan
2
Tujuan
3
Tujuan
4
Tujuan
5
Bobot
Tujuan
Bobot
Alternatif
Rang
king
0.206
0.223
0.225
0.206
0.211
0.1780
0.214
2
0.177
0.184
0.174
0.172
0.185
0.208
0.178
3
0.335
0.339
0.229
0.314
0.316
0.199
0.306
1
0.122
0.115
0.128
0.123
0.119
0.204
0.121
5
0.16
0.139
0.174
0.185
0.168
0.210
0.165
4
Fasilitasi regulasi juga merupakan alternatif strategi yang disarankan dalam
kajian kebijakan peningkatan mutu dan standar untuk meningkatkan daya saing
dengan bobot 0.214. Sosialisasi mengenai SVLK sangat diperlukan. Pada awal FGD
di Makassar maupun Surabaya, stakeholder baik dari dinas maupun pengusaha dan
126
eksportir masih belum menerima informasi yang jelas terkait dengan kapan
diberlakukan dan apakah SVLK bisa dilakukan secara berkelompok. Namun ketika
FGD diselenggarakan di Jakarta, tingkat pusat, Kementerian Kehutanan yang mampu
memberikan informasi secara detil menyangkut kapan SVLK diberlakukan dan
apakah SVLK bisa dilakukan secara berkelompok. Di tingkat daerah, pihak dinas
tidak mengetahui bahwa SVLK bisa dilakukan secara berkelompok, namun di tingkat
pusat menyatakan bahwa sertifikasi SVLK dimungkinkan dilakukan secara
berkelompok.
Selain itu, dari hasil AHP vertikal untuk alternatif strategi juga memberikan
hasil yang sama (konsisten) dengan pengolahan secara horizontal. Secara vertikal
hasil pengolahannya dapat disajikan pada Tabel 36.
Tabel 36. Susunan Bobot dan Prioritas Hasil Pengolahan Vertikal antar Elemen Pada
Level Alternatif Strategi
NO
1
2
3
4
5
INDIKATOR
Fasilitasi regulasi (A)
Fasilitasi terkait infrastruktur pengujian mutu dan
standar (B)
Fasilitasi hambatan biaya dalam rangka peningkatan
mutu dan standar (C)
Memfasilitasi kemudahan prosedur dan mekanisme
peningkatan mutu dan standar ekspor (D)
Memfasilitasi kerjasama harmonisasi mutu dan
standar internasional (E)
BOBOT
0.214
RANGKING
2
0.179
3
0.306
1
0.121
5
0.165
4
Hasil akhir dari software Expert Choice dapat disajikan pada Gambar 31,
dimana terlihat bahwa alternatif strategi fasilitasi terkait infrastruktur pengujian mutu
dan standar merupakan alternatif yang seharusnya diprioritaskan untuk mendukung
kebijakan peningkatan mutu dan standar dalam rangka peningkatan daya saing ekspor
produk kakao.
127
Gambar 31. Output Akhir Pembobotan Strategi dari Software Expert Choice untuk
Produk Ekspor Kayu Lapis
5.3. Implikasi Kebijakan
5.3.1. Kebijakan Peningkatan Mutu dan standar Produk Ekspor Biji Kakao
dan Kayu Lapis Indonesia
Dalam WTO dikenal persetujuan-persetujuan untuk mengatasi kendala teknis,
birokrasi dan peraturan yang menghambat seperti:
(1) Peraturan-peraturan teknis dan standarisasi
(2) Lisensi impor
(3) Pemeriksaan sebelum pengapalan
(4) Aturan mengenai asal produk
(5) Tindakan terkait investasi
Seperti diketahui bahwa peraturan teknis dan standarisasi untuk industri sangat
penting, namun setiap negara memiliki kebijakan yang berbeda-beda sehingga pihak
importir maupun eksportir mengalami kesulitan dalam perdagangan. Seringkali
128
peraturan teknis dan standarisasi tersebut digunakan sebagai cara untuk melakukan
proteksi dan menghambat perdagangan internasional. Oleh sebab itu, persetujuan
hambatan-hambatan teknis dalam perdagangan mengatur sedemikian rupa sehingga
regulasi teknis standar prosedur penilaian kesesuaian di tingkat domestik tidak
menjadi hambatan bagi perdagangan internasional. Di sisi lain dengan memenuhi
persyaratan mutu dan standar yang ditetapkan oleh negara tujuan ekspor diharapkan
produk ekspor Indonesia dalam hal ini kakao dan kayu lapis tidak mengalami
penolakan.
Berdasarkan observasi lapang dan FGD, yang telah dirumuskan dalam AHP
secara detail
implikasi kebijakan terkait permasalahan daya saing pada produk
ekspor biji kakao dan kayu lapis adalah sebagai berikut:
a. Produk Ekspor Kakao
Kakao merupakan produk ekspor Indonesia yang memiliki keunggulan
komparatif. Namun demikian sering kehilangan daya saing karena tidak
terstandarisasi. Bahkan, banyak diantaranya tidak diizinkan masuk ke pasar ke suatu
negara karena tidak menerapkan standar. Hal ini menyebabkan kakao Indonesia
cukup sulit untuk melakukan penetrasi ke pasar internasional. Permasalahan yang
dihadapi terkait mutu dan standar kakao antara lain masalah fermentasi. Fermentasi
pada pengolahan biji kakao merupakan salah satu tahapan yang penting karena sangat
menentukan mutu biji kakao kering yang dihasilkan. Saat ini petani cenderung
menjual biji kakao secara gelondong (tanpa proses fermentasi) dengan alasan harga
biji kakao yang terfermentasi maupun yang tidak terfermentasi tidak terpaut jauh,
sedangkan proses fermentasi membutuhkan waktu yang cukup lama. Faktor lain
mengapa petani tidak melakukan fermentasi karena pasar mampu menyerap produk
biji kakao baik yang terfermentasi maupun yang tidak difermentasi mendorong
pelaku ekspor biji kakao tidak melakukan proses fermentasi. Salah satu kerugian
yang diperoleh adalah karena harganya lebih rendah maka nilai ekspor kakao yang
129
tidak terfermentasi cenderung lebih rendah dibandingkan dengan yang terfermentasi
sehingga mengurangi pemasukan ekspor (devisa negara).
Fermentasi pada biji kakao sendiri adalah proses melepaskan pulp dari biji,
membentuk warna, flavor dan warna biji. Menurut Sudjatha et al (1991) pemberian
ragi tape sebesar 1.5 persen akan dapat menghasilkan biji kakao kering dengan kadar
lemak dan kadar keping biji tertinggi dan mutunya masuk kedalam mutu 1B,
sedangkan tanpa ragi masuk mutu 1C. Jadi untuk mengatasi permasalahan fermentasi,
usaha yang dapat dilakukan adalah pemberian ragi tape untuk memperpendek masa
fermentasi. Namun demikian perlu dilakukan studi lebih lanjut mengenai aspek
ekonomis dari penerapan teknologi pemberian ragi tape pada proses fermentasi biji
kakao oleh laboratorium uji baik pemerintah maupun swasta serta dukungan institusi
akademik. Sulawesi Selatan dapat menjadi leader karena ini sejalan dengan kebijakan
pemerintah dimana Sulawesi Selatan sebagai pusat riset kakao: produksi, penanganan
penyakit, penanganan pascapanen, riset sosial ekonomi masyarakat serta riset
kerjasama dengan pasar baik lokal maupun internasional.
Selain masalah biji kakao yang tidak terfermentasi, alasan penolakan oleh
negara tujuan ekspor adalah karena biji kakao Indonesia yang teracuni herbisida.
Dinas Perkebunan sudah melakukan pengecekan di Laboratorium Universifas Gajah
Mada dan hasilnya adalah negatif. Eksportir Indonesia secara ilmiah harus dapat
membuktikan bahwa biji kakao Indonesia tidak mengandung herbisida. Hal ini perlu
kerjasama semua pihak terutama eksportir, pemerintah, maupun akademisi/peneliti.
Selain itu permasalahan ini dapat dijembatani dengan adanya inisiasi kerjasama
harmonisasi mutu dan standar dengan negara tujuan ekspor. Pemerintah mempunyai
kemampuan negosiasi untuk melakukan fasilitasi mengenai persyaratan mutu dan
standar yang ditetapkan oleh negara tujuan ekspor melalui kerjasama harmonisasi
mutu dan standar produk ekspor. Inisiasi mengenai harmonisasi mutu dan standar
telah dilakukan Indonesia dengan pemerintah Arab Saudi untuk memperkuat
kerjasama perdagangan dengan melakukan kesepakatan kerjasama antara Badan
130
Standardisasi Nasional (BSN) dengan Saudi Standards, Metrology and Quality
Organization (SASO) dari Arab Saudi. Sehingga, produk yang diekspor Indonesia
tidak perlu lagi menjalani pengecekan laboratorium di negara tersebut, namun cukup
dilakukan di Indonesia. Hal ini patut dijadikan pertimbangan, apabila kesepakatan
kerjasama dengan Arab Saudi ini berhasil tentunya dapat dilakukan penjajagan
kesepakatan kerjasama dengan negara lain khusus untuk produk ekspor yang diawasi
mutunya secara wajib.
Sedangkan permasalahan dari sisi infrastruktur, lembaga uji mutu baru mampu
melaksanakan uji mutu di sektor hilir (belum mampu mencakup sektor hulu).
Pengujian mutu dapat dilakukan di semua jalur perdagangan biji kakao (baik di
petani, pedagang pengumpul, maupun eksportir) sehingga dengan pengawasan mutu
dari sektor hulu sampai dengan hilir tersebut standar mutu ekspor yang
dipersyaratkan oleh Negara tujuan ekspor terpenuhi. Terlebih lagi sektor hulu cukup
signifikan memengaruhi nilai ekspor kakao. Jika proses budidaya telah berjalan
dengan baik maka akan menghasilkan biji kakao yang baik, sesuai dengan standar
mutu yang diharapkan.
Bagaimanapun uji mutu atau standarisasi yang akan
diterapkan di sektor hilir tidak akan siginifikan berpengaruh apabila budidaya yang
telah dilakukan tidak menghasilkan biji kakao yang memenuhi mutu dan standar yang
dipersyaratkan.
Produktivitas kakao Indonesia cenderung menurun. Hal ini disebabkan tanaman
kakao sudah tua (tanaman kakao yang ada saat ini berumur sekitar 30 tahun-an) atau
rusak, serta meluasnya serangan hama dan penyakit (Penggerek Buah Kakao / PBK
dan Vascular Streak Dieback / VSD). Pada perkebunan rakyat penurunan
produktivitas diindikasikan terjadi karena mutu benih yang digunakan rendah,
banyak petani yang menggunakan benih tidak bersertifikat dan teknik budidaya
tidak sesuai standar. Kriteria tanaman kakao unggul yaitu memiliki daya hasil tinggi
(> 2 ton/ha/tahun), jumlah biji per tongkol rata – rata > 30, berat per biji kering _ 1 g,
rendemen (nisbah biji kering terhadap biji segar berlendir) > 30 %, kadar lemak > 50
131
%, kadar kulit ari < 12 %, untuk kakao mulia mempunyai sifat biji segar berwarna
putih > 90 %. Tahan terhadap hama dan penyakit utama antara lain hama penghisap
tunas dan buah (Helopeltis spp.), hama penggerek buah kakao (PBK) dan penyakit
busuk buah (Phytophtora palmivora) (Puslitkoka, 2008). Untuk mengatasi
permasalahan tentang mutu benih yang rendah karena banyak petani yang
menggunakan benih tidak bersertifikat dan teknik budidaya tidak sesuai standar
pemerintah melalui Kementerian Pertanian melakukan upaya percepatan peningkatan
produktivitas tanaman dan mutu hasil kakao nasional dengan memberdayakan secara
optimal seluruh potensi pemangku kepentingan serta sumber daya yang ada melalui
kegiatan Gerakan Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao Nasional (GERNAS) 2009
- 2011. Proporsi kepemilikan usaha perkebunan kakao terbesar di Indonesia adalah
perkebunan rakyat seluas 1.555.596 ha (94 %) diikuti oleh perusahaan pemerintah
seluas 54.443 ha ( 3 %) dan perusahaan swasta seluas 50.220 ha (3 %) (Ditjenbun,
2009). Program GERNAS kakao tepat sekali untuk dilaksanakan karena sangat
membantu petani kecil yang merupakan pelaku utama usaha perkebunan kakao di
Indonesia. Sasaran kegiatan GERNAS meliputi perbaikan tanaman kakao rakyat
seluas 450.000 ha terdiri dari program peremajaan, rehabilitasi, dan intensifikasi.
Pada awal pelaksanaan GERNAS kakao tahun 2009, dilakukan di 9 provinsi dan 40
kabupaten / kota yang merupakan sentra produksi kakao. Provinsi tersebut yaitu
Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Bali, Nusa
Tenggara Timur, Maluku, Papua Barat dan Papua. Pada tahun 2011 berkembang
menjadi 14 provinsi dengan bertambahnya provinsi Gorontalo, Bengkulu, Lampung,
Banten dan Jawa Timur. Kegiatan GERNAS kakao membutuhkan benih kakao
bermutu yang bersertifikat dan berlabel dalam jumlah yang besar. Pengadaan benih
unggul berbasis klonal dibutuhkan dalam kegiatan peremajaan dan rehabilitasi
melalui bibit kakao Somatic Embryogenesis dan teknik sambung samping yang
memerlukan entres dari kakao unggul yang tahan hama dan penyakit utama tanaman
kakao. Teknologi pembibitan menggunakan teknik sambung samping dan Somatic
132
Embriyogenesis diperlukan dalam mendukung penyediaan benih bermutu yang
bersertifikat dan berlabel dalam kegiatan GERNAS kakao.
Permasalahan selanjutnya adalah ketersediaan peralatan uji mutu yang masih
sangat minim. Kondisi ini terjadi pada PPMB Dinas Perindustrian dan Perdagangan,
Provinsi Sulawesi Selatan. PPMB Dinas Perindustrian dan Perdagangan telah mampu
menguji 7 buah komoditas pertanian yaitu: kopi, pala, mete, kakao, dsb. Personel
(SDM) juga sudah mampu melayani proses operasional uji mutu. Namun dalam
operasional pengujian mutu tersebut terdapat hambatan antara lain sarana/prasarana
dan infrastruktur yang belum lengkap (terkait pengadaan alat uji). Untuk laboratorium
uji yang lain hambatan terletak pada ketersediaan SDM yang memiliki keahliah yang
diperlukan. Sumber daya manusia yang memiliki knowledge dan keahlian yang tinggi
mengenai mutu dan standar juga salah satu faktor yang penting dalam rangka
peningkatan daya saing. Tenaga standarisasi yang dimiliki Indonesia masih sedikit
(BSN, 2012). Salah satu fakta yang mendukung pernyataan ini adalah belum ada
studi khusus standarisasi pada perguruan tinggi. BSN menjajagi untuk membuka
studi pasca sarjana di beberapa Universitas antara lain di UGM dan ITB (BSN, 2012).
Tenaga standarisasi sangat dibutuhkan untuk mendongkrak daya saing nasional.
Permasalahan lain yang menghambat peningkatan mutu dan standar biji kakao
adalah masalah regulasi. Masalah regulasi yang menghambat peningkatan mutu dan
standar biji kakao untuk mencapai daya saing yang tinggi adalah studi kasus di
pemerintah daerah Provinsi Sulawesi Selatan yang merupakan sentra penghasil biji
kakao. Dalam rangka peningkatan mutu dan standar sehingga daya saing tinggi dapat
tercapai, dinas perindustrian dan perdagangan Provinsi Sulawesi Selatan memiliki
program harmonisasi mutu dan standar ekspor. Namun program ini sering terganjal
karena tidak memperoleh persetujuan dari PEMDA, BAPPEDA, DPRD maupun
dinas terkait yang merupakan pengambil kebijakan di tingkat daerah. Hal ini patut
disayangkan mengingat income daerah (PAD) banyak diperoleh dari ekspor produk
ini. Kontribusi biji kakao pada PAD sangat besar, maka permasalahan yang terkait
133
ekspor biji kakao diharapkan melibatkan semua pihak antara lain unsur PEMDA,
BAPPEDA, DPRD maupun dinas terkait. Sebagai gambaran ekspor biji kakao
merupakan penyumbang terbesar Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Sulawesi
Selatan yaitu hampir 70 persen. Komoditas lain yang dihasilkan Provinsi Sulawesi
Selatan antara lain beras, jagung, sapi, udang, dan rumput laut. Karena penyumbang
terbesar PAD adalah biji kakao maka menurunnya produksi biji kakao menyebabkan
fluktuasi PAD Provinsi Sulawesi Selatan (Tabel 37).
Tabel 37. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Sulawesi Selatan, Tahun 2002Maret 2011
TAHUN
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
s.d 25 Maret 2011
REALISASI
(Rp.)
10.709.971.518
8.300.298.767
9.077.936.551
9.285.001.437
9.854.120.705
7.909.667.084
6.792.610.828
7.371.659.470
7.226.987.450
812.153.024
Sumber: UPTD BPPMB Dinas Perindustrian dan Perdagangan Prov. Sulawesi
Selatan, 2012
Diperlukan koordinasi antar instansi untuk mengatasi permasalahan ini. Untuk
itu langkah awal diperlukan lembaga yang mampu mengintegrasikan seluruh pihak
seperti halnya Pusat Metrologi Nasional (Misalnya memperkuat posisi KIM LIPI).
Disamping itu perlu dibangun Laboratorium Acuan untuk Produk Ekspor terpilih
Misalnya: SIR, Biji Kakao, dan Kayu Lapis. Selanjutnya peningkatan kapasitas
laboratorium dan SDM diperlukan dengan melibatkan sektor swasta. Hal ini akan
meningkatkan kompetisi antar lembaga sertifikasi yang ada sehingga harga akan
134
kompetitif. Kompetisi dalam pasar tentunya akan menekan harga sehingga menjadi
bersaing yang selanjutnya berdampak pada penurunan biaya sertifikasi.
Keseluruhan permasalahan terkait biji kakao tersebut akan relative lebih mudah
diselesaikan apabila Infrastruktur Mutu yang ada di Indonesia tersedia dan
terintegrasi. Integrasi diperlukan agar setiap instansi tidak bekerja secara sendiri.
Diperlukan kerjasama antar semua instansi agar mutu dan standar yang ditetap negara
tujuan ekspor dapat dipenuhi.
b. Produk Ekspor Kayu Lapis
Perubahan pola perdagangan dunia menuju pasar bebas semakin nyata.
Penghapusan tariff barrier untuk produk impor telah dilakukan di berbagai negara.
Akan tetapi, beberapa negara tujuan ekspor produk kayu menetapkan non-tariff
barrier, seperti penetapan persyaratan teknis untuk suatu produk agar dapat diimpor.
Hal ini tentunya akan mempengaruhi daya saing produk ekspor suatu negara. Tidak
terkecuali produk ekspor kayu lapis Indonesia.
Ekspor dilakukan ke beberapa negara seperti Jepang, UK dan Jerman. Salah
satu faktor penyebab kinerja ekspor kayu Indonesia relative turun adalah karena krisis
ekonomi yang masih melanda Eropa dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) di
wilayah setempat yang amat kritis terhadap kelegalan kayu asal Indonesia. Hingga
sekarang kampanye negatif kayu ilegal sangat melekat terhadap produk kayu
Indonesia. Untuk memastikan bahwa unit manajemen atau industri menggunakan
bahan baku legal yang dibuktikan dengan seluruh bahan baku yang digunakan
dilindungi oleh dokumen legalitas, pemerintah menerapkan instrumen Verifikasi
Legalitas Kayu (VLK). Jaminan legalitas produk kayu dibuktikan dengan adanya
sistem yang dibangun dalam pergerakan kayu mulai dari hutan sebagai sumber kayu,
industri sebagai produsen produk kayu, hingga ke pemasaran hasil olahannya. Atas
tuntutan tersebut, industri harus dapat memberikan jaminan kepada konsumen bahwa
bahan baku kayu yang digunakan berasal dari sumber yang legal. Sertifikasi
135
merupakan salah satu sarana untuk memberikan jaminan legalitas produk kayu
sehingga produk tersebut dapat diterima pasar internasional.
Jadi SVLK merupakan instrumen kebijakan pemerintah untuk merespon
permintaan pasar, terutama pasar ekspor bahwa produk industri kehutanan
menggunakan bahan baku dari sumber yang legal atau lestari. Permintaan atas
jaminan legalitas kayu dalam bentuk sertifikat dari pasar internasional, khususnya
datang dari beberapa negara seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, Jepang, dan
Australia. Sebagai bentuk “National Initiative” untuk mengantisipasi semakin
maraknya permintaan terhadap skema sertifikasi legalitas kayu dari negara asing,
seperti skema FSC, PEFC, dsb. Jadi SVLK merupakan komitmen pemerintah dalam
memerangi pembalakan liar (illegal logging) dan perdagangan kayu illegal sebagai
perwujudan Good Forest Governance menuju pengelolaan hutan lestari.
Terkait dengan SVLK, Kementerian Kehutanan sudah berketetapan bahwa
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) berlaku pada tahun 2013. Karena itu, bagi
pemegang izin atau pemegang hak pengelolaan dan industri primer serta industri
lanjutan, termasuk industri rumah tangga atau pengrajin dan pedagang ekspor
diwajibkan sudah mengantongi sertifikat legalitas kayu paling lambat 21 Desember
2012. Ketentuan soal SVLK diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut)
No P.38/Menhut-II/2009 jo No P.68/Menhut-II/2011. Ketentuan SVLK akan berlaku
secara efektif dalam proses ekspor setelah ketentuan ekspor kayu yang diatur dalam
Peraturan Menteri Perdagangan No 20/2008 direvisi maksimal akhir tahun 2012.
Tercatat hingga Juli, baru ada 63 unit pengelola hutan yang memperoleh sertifikat
legal kayu. Padahal, terdapat 295 unit HPH, 247 HTI, 4 unit hutan restorasi dan 3.262
unit hutan tanaman rakyat.
Saat ini perusahaan kayu diwajibkan memenuhi Sistem Verifikasi Legalitas
Kayu (SVLK) dengan hambatan yang paling memberatkan adalah masalah biaya.
Dalam kontrak (kasus beberapa perusahaan menggunakan jasa SUCOFINDO)
disebutkan bahwa audit akan dilakukan setiap tahun selama masa berlaku sertifikat
136
yaitu 3 tahun. Dana di awal untuk pengurusan SVLK lebih dari 40 juta dan per tahun.
Selain itu setiap tahunnya harus dianggarkan 30 juta untuk audit SVLK (biaya resmi
Rp. 15 juta). Hal ini memberatkan pengusaha terutama pengusaha kecil karena akan
menambah beban biaya. Apalagi ditambah dengan kenaikan upah minimum per tahun
dan BBM yang juga mengalami kenaikan. Waktu pengurusan SVLK juga dinilai
cukup lama. Ijin primer selesai 2 hari, sedangkan SVLK sendiri membutuhkan
waktu 14 hari setelah dilakukan audit. Hal ini tentunya akan memperlambat proses
ekspor.Selain biaya yang memberatkan, masa berlaku sertifikat yang terlalu
pendek tidak dapat mengakomodasi kepentingan bisnis jangka panjang. Sebagai
contoh Dinas Kesehatan sekarang sertifikat berlaku minimal 5 tahun dan tetap
dilakukan pembinaan dan pengawasan.
Selain permasalahan biaya dan masa berlaku SVLK yang tidak mengakomodir
bisnis jangka panjang permasalahan terkait SVLK adalah bahwa saat ini negara yang
mengakui SVLK, baru Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang. Oleh karena itu
pemerintah harus berusaha agar SVLK bisa diakui banyak negara (Yazid, 2012).
Terkait dengan biaya, pemerintah mencoba mengkaji kelayakan pengajuan SVLK
dilakukan secara berkelompok. Sertifikat SVLK akan berisi nama-nama perusahaan
kecil, sehingga perusahaan kecil pun akan bisa masuk pasar Eropa. Selain itu,
pemerintah akan melakukan langkah percepatan yaitu melalui Kementrian Kehutanan
mendorong tumbuhnya lembaga verifikasi legalitas kayu yang menjadi lembaga
auditor penerapan SVLK. Selain itu bagi industri kecil dan menengah, sertifikasi akan
memperoleh subsidi APBN. Dorongan tumbuhnya lembaga verifikasi akan
meningkatkan kompetisi antar lembaga sertifikasi yang ada sehingga harga akan
kompetitif. Kompetisi dalam pasar tentunya akan menekan harga sehingga menjadi
bersaing yang selanjutnya berdampak pada penurunan biaya untuk penerbitan SVLK.
Uni Eropa sebagai salah satu Negara tujuan ekspor utama produk-produk kayu
Indonesia melalui Voluntary Partnership Agreement (VPA) dengan pemerintah
Indonesia, mensyaratkan hanya produk kayu "legal" yang boleh diekspor ke Eropa
137
(Eropa menerapkan amandemen Timber Regulation). Sedangkan Amerika Serikat,
dengan penerapan amandemen Lacey Act, mensyaratkan adanya self declare dari
importir yang menyatakan bahwa hanya "kayu legal" yang diimpor. Australia, Cina,
Malaysia dan negara tujuan ekspor lainnya akan menyusul. Selain itu, berbagai
permintaan dari importir produk kayu yang mensyaratkan adanya sertifikat
Sustainable Forest Management (SFM) untuk setiap produk kayu yang diimpor juga
semakin meningkat. SFM sendiri sertifikat yang diperoleh mendapatkan pengakuan
di dunia internasional terkait pengelolaan hutan secara lestari. Pengelolaan hutan
lestari sendiri diharapkan terlepas dari permasalahan degradasi sumberdaya hutan,
illegal logging, keanekaragaman hayati, konflik kepentingan dalam penguasaan
lahan, isu ketenagakerjaan, sampai dengan isu hak asasi manusia merupakan
masalah-masalah yang banyak dihadapi oleh sebagian besar pengelola hutan di
hampir seluruh belahan penjuru dunia. Hal-hal tersebut merupakan bukti semakin
meningkatnya permintaan pasar akan produk kayu yang legal dan lestari.
Untuk menghadapi permasalahan ini lembaga sertifikasi domestik dapat
membuat MoU dengan lembaga sertifikasi asing untuk sertifikasi produk yang
dibutuhkan eskportir.
Kerjasama yang telah dilakukan oleh Mutu Certification
International (yang melayani sertifikasi pengelolaan hutan secara lestari) pada tahun
2004 dengan lembaga sertifikasi yang terakreditasi oleh FSC yaitu Woodmark-Soil
Association sebuah lembaga sertifikasi yang berkedudukan di Inggris dan telah
berpengalaman secara internasional dalam sertifikasi bidang kehutanan patut dikaji.
Keuntungan yang diperoleh dari kerjasama ini adalah unit manajemen yang berlokasi
di Indonesia dapat disertifikasi oleh Woodmark, dengan tim auditor yang terdiri dari
personil auditor Sub Divisi Forestry dan ketua tim audit yang berasal dari Woodmark.
Biaya sertifikasi menjadi lebih ekonomis tanpa mengurangi kualitas layanan
sertifikasi yang diberikan. Kerjasama seperti ini layak untuk dikaji lebih mendalam
apabila memberikan manfaat positif bagi peningkatan mutu dan standar sehingga
volume ekspor Indonesia meningkat. Demikian juga untuk sertifikasi sistem lacak
138
balak/Chain of Custody (CoC) yang merupakan jaminan ketelusuran kayu oleh
MUTU CERTIFICATION INTERNATIONAL, Sub Divisi Forestry menjalin
kerjasama dengan BM TRADA, sebuah lembaga sertifikasi CoC yang berkedudukan
di Inggris dan telah diakreditasi oleh FSC. Proses audit sertifikasi CoC skema FSC
dapat dilakukan secara langsung oleh para personil auditor Sub Divisi Forestry yang
telah diakui oleh BM TRADA. Klien (pengusaha dan eksportir) dapat menghemat
biaya sertifikasi dan sertifikat yang diperoleh tetap mendapat pengakuan dunia
internasional.
Selain itu beberapa negara tujuan ekspor seperti Jepang dan Eropa (berlaku
sejak tahun 1990) juga mensyaratkan sertifikasi ekolabel pada semua produk kayu
olahan atau hasil hutan yang diekspor termasuk kayu lapis. Program yang diberi
nama Green Kanyuho, membuat semua produk hasil hutan Indonesia yang diekspor
ke Jepang harus bersertifikasi ekolabel yang diberikan oleh lembaga yang diakui oleh
Jepang (Dirjen Bina Produksi Hutan (BPK) - Kementrian Kehutanan, 2012).
Lembaga yang dipercaya mensertifikasi kayu dan produk kayu yang diekspor ke
Jepang dari Indonesia itu PT Mutu Agung Lestari (MAL). Lembaga sertifikasi yang
terakreditasi (Registered Foreign Certification Organization/RFCO) itu menjadi yang
kelima di dunia. Empat lembaga sertifikasi lain ada di Kanada, Amerika Serikat (AS),
Australia, dan Norwegia. Dengan penunjukkan itu, PT MAL dapat melakukan
sertifikasi untuk produk-produk kayu dari negara-negara ASEAN, Papua Nugini, dan
Timor Timur.
Dengan adanya perusahaan sertifikasi itu, produk-produk kayu dari Indonesia
sebenarnya lebih mudah diekspor karena sertifikasi produk dapat dilakukan di dalam
negeri. Eksportir dapat lebih mudah memproses sertifikasi, sehingga bisa menghemat
waktu dan biaya. Sebelumnya, eksportir harus meminta atau mengundang petugas
dari Japanese Agriculture Standard (JAS) untuk melakukan sertifikasi. Pada saat
Jepang memberlakukan persyaratan ekolabel untuk kayu lapis, nilai ekspor kayu lapis
(plywood) Indonesia ke Jepang hingga November 2005 menurun jika dibandingkan
139
dengan 2004. Pada November 2005 ekspor plywood ke Jepang mencapai US$ 0,77
miliar atau sekitar Rp7,2 triliun. Pada 2004 sekitar US$1,06 miliar atau sekitar
Rp9,96 triliun. Secara kubikasi, ekspor plywood ke Jepang pada 2005 hanya
mencapai 1,76 juta m3. Pada 2004, Indonesia masih bisa mengekspor plywood 2,45
juta m3.
Selain permasalahan SVLK dan ekolabel, permasalahan lainnya adalah
beberapa negara yang menerapkan aturan ketat mengenai fumigasi salah satunya
Australia dan Amerika. Hal ini menyebabkan beberapa kali produk Indonesia harus
difumigasi ulang di negara tersebut karena ditemukan serangga di dalamnya. Sampai
saat ini ekspor kayu ke China dan India cukup dengan COO, fumigasi, dan
phytosanitary. Berdasarkan hasil lapang fumigasi dapat dilakukan melalui AQIS dan
hanya memerlukan biaya Rp 1,1 juta/container 20 feet sedangkan biaya phytosanitary
hanya Rp 350 ribu/container 20 feet. Sedangkan untuk pengurusan COO melalui jasa
EMKL (forwarder).
Dari sisi sarana dan prasarana di Indonesia masih belum lengkap. Di Indonesia
kurang lebih terdapat 19 lembaga sertifikasi produk dan ada beberapa penunjukan
dari Menteri. Lembaga sertifikasi produk tidak bisa dengan mudah menambah ruang
lingkup produk karena keterbatasan laboratorium uji. Jika telah tersedia
laboratorium uji, lembaga sertifikasi domestik dapat membuat MoU dengan lembaga
sertifikasi asing untuk sertifikasi produk yang dibutuhkan eskportir. Hal ini peluang
bagi lembaga sertifikasi domestik. Lembaga sertifikasi domestik harus mampu
bersaing dengan lembaga sertifikasi asing. Pemerintah harus mendorong tumbuhnya
lembaga verifikasi legalitas kayu yang menjadi lembaga auditor penerapan SVLK.
Selain dari sisi negara tujuan ekspor yang mensyaratkan sertifikat ekolabel dan
SVLK, dari sisi domestik pemerintah membatasi ijin produksi. Ijin produksi dibatasi
(2000m3-6000m3) dan produksi lebih dari 6000m3 pengurusannya di tingkat pusat
yaitu Jakarta. Berdasarkan hasil FGD, responden menganggap prosedurnya sulit.
Perlu dipertimbangkan ijin primer yang ada di daerah dapat ditingkatkan. Di sisi lain
140
beberapa perusahaan memiliki ijin hingga 6000 m3, namun pada prakteknya
berproduksi lebih dari itu. Pihak yang berwajib diharapkan memberikan sanksi atas
pelanggaran ijin produksi tersebut.
5.3.2. Penerapan Quality Infrastructure (QI) Sebagai suatu Sistem
Keseluruhan permasalahan terkait biji kakao dan kayu lapis tersebut akan
relative lebih mudah diselesaikan apabila laboratorium, fasilitas teknis, SDM yang
professional dan berdedikasi serta lembaga-lembaga yang tergabung dalam
infrastruktur mutu (QI) tersebut bekerja dalam suatu system. Berbicara mengenai QI,
Indonesia harus melihat dan belajar dari pengalaman negara-negara yang telah
menerapkan QI yang bekerja sebagai system, mengingat infrastruktur mutu yang ada
di Indonesia sudah tersedia namun belum bekerja sebagai suatu sistem
Ekspor biji kakao dan kayu lapis memainkan peran yang besar dalam
meningkatkan neraca perdagangan yang selanjutnya memacu pertumbuhan ekonomi
Indonesia. Penetrasi biji kakao dan kayu lapis di Indonesia di pasar luar negeri
mensyaratkan Indonesia harus memiliki QI yang berfungsi dengan baik sehingga
dapat memastikan bahwa proses dan produk ekspor Indonesia dapat menembus
Hambatan Teknis Perdagangan (TBT) yang semakin meningkat diterapkan oleh
negara-negara tujuan ekspor Indonesia.
Beberapa laboratorium dan fasilitas teknis untuk mendukung peningkatan mutu
dan kualitas biji kakao dan kayu lapis telah tersedia di Indonesia, demikian juga SDM
yang profesional dan berdedikasi yang bekerja di lembaga-lembaga QI tersebut
walaupun jumlahnya terbatas karena seluruhnya tidak tersedia di sektor publik. Oleh
karena itu peningkatan kualitas dan kuantitas (dari segi jumlah) infrastruktur mutu
tersebut mutlak diperlukan. Namun, peningkatan kualitas dan kuantitas infrastruktur
mutu baru merupakan necessary condition. Sufficient condition, yaitu berfungsinya
lembaga-lembaga tersebut dalam suatu sistem sangat diperlukan. Selama ini lembagalembaga cenderung beroperasi sendiri, jarang melakukan koordinasi dalam
141
melakukan pembagian tanggungjawab, pembuatan kebijakan dan operasional.
Hasilnya adalah meskipun pada dasarnya QI Indonesia dapat memberikan kontribusi
yang besar, hal itu tidak terjadi seperti yang diharapkan. Masalah serius ada dalam
hal: kewenangan dan tanggung jawab yang tidak jelas; utilisasi aset negara yang tidak
maksimal; kompetisi antar lembaga yang terus berlangsung, dan kurangnya perhatian
terhadap dinamika perubahan situasi regulasi perdagangan internasional.
Dengan bekerja dalam suatu sistem QI akan mencapai efisiensi. Efisiensi
terhadap struktur QI sangat penting mengingat tingginya dinamika situasi internal dan
eksternal Indonesia. Secara internal adanya gerakan menuju otonomi dan
desentralisasi yang lebih besar berimplikasi pada satu resiko yang cukup besar
sehingga diperlukan sinergi dalam sebuah system yang berfungsi dengan baik. Secara
eksternal, Indonesia dihadapkan pada batas-batas TBT yang bergerak cepat, terjadi
persaingan yang sangat kuat di pasar ekspor terutama dengan negara-negara tetangga
ASEAN sendiri, serta komitmen yang disepakati Indonesia dengan ASEAN, WTO
dimana semuanya serba cepat dan dalam derajat yang meningkat melalui
perdagangan bilateral dan pengaturan kerjasama.
Regulasi Teknis (TR) yang hukumnya wajib harus dipenuhi jika suatu produk
ingin untuk mendapatkan akses masuk ke pasar. TR ini ada dalam rangka untuk
melindungi kesehatan penduduk di pasar tujuan ekspor, keselamatan umum,
keamanan dan lingkungan. Dengan ketentuan untuk memenuhi persyaratan ilmiah
tertentu dan dirancang dengan cara yang ditujukan untuk meminimalisir dampak dari
perdagangan, TR tersebut diterima di bawah perjanjian WTO mengenai Hambatan
Teknis Perdagangan (TBT) dan pengaturan Sanitari dan Phyto-Sanitari (SPS). Oleh
karena itu, sebelum biji kakao dan kayu lapis Indonesia dijual di pasar luar negeri,
produk tersebut harus bersertifikat sesuai dengan TR yang berlaku di pasar tersebut.
Sertifikasi itu harus dilakukan oleh lembaga yang diakui ketidakberpihakan dan
kompetensinya. Lembaga sertifikasi ini, pada gilirannya, harus diakreditasi untuk
menjalankan fungsi mereka, oleh badan yang memenuhi serangkaian kondisi yang
142
diakui secara internasional. Karena itu, jelas bahwa di Indonesia harus ada sebuah
sistem yang dapat menyediakan layanan teknis ini sampai pada tingkat teknis dan
objektifitas yang diperlukan.
Selain TR, dan standar internasional, berlaku pula privat standar. Standar ini
tidak dibuat dalam forum internasional seperti yang disebutkan di atas, tetapi
dirumuskan oleh sekelompok produsen besar dan pelaku perdagangan di bidang
tertentu. Standar disebut “Private” karena mereka tidak bekerja melalui dan menuruti
proses yang ditetapkan lembaga-lembaga internasional. Standar ini bersifat sukarela
dan legal.
Dalam rangka untuk membangun QI yang efisien untuk produk ekspor
Indonesia khususnya biji kakao dan kayu lapis sehingga tidak akan terhambat karena
tidak memenuhi Regulasi Teknis dalam bentuk TBT maupun SPS serta standar
internasional maupun standar privat, dilakukan studi banding ke Negara Jerman yang
telah memiliki QI yang efisien yang bekerja dalam suatu sistem. Disamping itu
dilakukan riset dokumen yang diperoleh dari studi yang dilakukan oleh DFC S.A.U
untuk Eropa terkait QI di negara-negara tetangga.
1. National Metrology of German: Physikalisch Technische Bundensanstalth
(PTB)
PTB (the National Metrology of Germany) memiliki 1.400 staff members yang
merupakan pemain besar dalam dunia metrology. Klien dari Technical Cooperation
Project adalah German Ministry for Economic Cooperation and Development
(BMZ), European Union, The World Bank, dan organisasi lain yang merupakan
konsumen dari PTB. International Technical Cooperation dari PTB (Physikalisch
Technische Bundensanstalth) secara konsisten menggunakan konsep daya saing yang
sistemik. QI menurut PTB, didasarkan pada sejumlah komponen-komponen yang
berkaitan erat dan membentuk jaringan yang hubungan logisnya berdasarkan hirarki
teknis.
143
Gambar 32 menunjukkan keterkaitan yang dapat dijabarkan dalam tiga segmen.
Bagian tengah menunjukkan komponen inti yang harus ada sepenuhnya
diintegrasikan dalam suatu sistem nasional (sudah ada di Indonesia). Untuk dapat
diterima secara internasional, dan kemudian memberikan dukungan untuk ekspor
sesuai yang dibutuhkan oleh produsen nasional dan pelaku perdagangan, dimana
bagian tengah tersebut harus terhubung ke lembaga-lembaga internasional utama lembaga ini ditampilkan pada sisi kanan diagram. Bagaimanapun, seluruh sistem
pada akhirnya ada untuk melayani produsen dan pelaku perdagangan. Perusahaanperusahaan tersebut membentuk bagian dari rantai nilai mereka sendiri sesuai dengan
bidang produk (dan jasa) dimana mereka bekerja dan proses yang digunakan,
ketertelusuran dari standar yang sebenarnya harus ditinjau dari rantai nilai tersebut.
Mereka diwakili secara skematis di sisi kiri diagram.
Sumber: International Technical Cooperation, PTB
Gambar 32. QI Menurut PTB (Physikalisch Technische Bundensanstalth)
Jaringan QI nasional harus diarahkan untuk pemenuhan persyaratan
internasional. Apabila syarat tersebut terpenuhi maka akan menjamin perdagangan
internasional biji kakao dan kayu lapis tidak akan terhambat oleh TR. Sebuah
144
gambaran dari sistem National QI yang berdampak pada peningkatan dayasaing
ditampilkan pada Gambar 33.
Sumber: International Technical Cooperation, PTB
Gambar 33. National QI Sebagai Suatu Sistem untuk Meningkatkan Daya Saing
Gambar 34 menunjukkan bagaimana keterkaitan antara QI dengan promosi
suatu negara mengenai pembangunan yang berkelanjutan. QI Nasional didasarkan
pada empat pilar: Metrologi (M), Standardisasi (S), Pengujian (T) dan Mutu (Q).Dua
elemen terakhir digabung menjadi Penilaian Kesesuaian (CA).
Sumber: International Technical Cooperation, PTB
Gambar 34. Keterkaitan QI dengan Promosi Pembangunan Ekonomi yang
Berkelanjutan
145
Metrologi
• Laboratorium Kalibrasi
• Metrologi Kimia
• Sistem Verifikasi (Metrologi Legal)
Standardisasi
• Standar Sukarela Nasional & internasional
• Regulasi Teknis (TR). Di Indonesia biasa dikenal sebagai Standard Wajib
Pengujian & Mutu (Penilaian Kesesuaian)
• Pengujian, Analisis & Inspeksi
• Akreditasi & sertifikasi
Selain itu Technical Cooperation of Germany’s National Metrology Institute
PTB juga membentuk CALIDENA untuk mendorong pembangunan QI di negara
berkembang. Bentuk dari QI tersebut berupa jasa yang berhubungan dengan
metrologi, standardisasi, tes, manajemen kualitas dan evaluasi terhadap complain
yang semuanya relevan baik bagi negara yang mengimpor (konsumen) maupun
negara yang melakukan ekspor (produsen), khususnya perusahaan SMEs. Sejauh ini
CALIDENA telah diaplikasikan oleh negara Amerika Tengah (Costa Rica,
Guetamala, dan Nicaragua).
Berdasarkan benchmark QI di Jerman, peningkatan kapasitas metrologi,
standardisasi, pengujian, jaminan mutu, akreditasi dan sertifikasi khususnya untuk
produk ekspor biji kakao dan kayu lapis Indonesia nantiya adalah inti dari usaha
untuk meningkatkan kemampuan dalam mengekspor produk yang memiliki kualitas
tinggi dan bernilai tambah tinggi. Kondisi ini mensyaratkan di Indonesia harus ada
sebuah sistem yang dapat menyediakan layanan teknis ini sampai pada tingkat teknis
dan objektifitas yang diperlukan.
146
Sebagai negara terbesar keempat di dunia, yang berorientasi pada pasar
domestik, proses pembangunan di QI adalah normal dan perlu. Tetapi sejak tahun
1990,sebagian besar negara berkembang terbesar di dunia (China, India, Brazil) yang
juga menciptakan sistem yang berorientasi pasar domestik, telah meningkatkan profil
perdagangan internasional di negara mereka, dan dengan demikian mulai melakukan
adaptasi QI mereka sehingga menjadi suatu sistem yang melayani dimensi
internasional pertumbuhan ekonomi mereka.
Indonesia saat ini harus mulai menyesuaikan sistemnya sendiri menuju satu
sistem yang sepadan dengan sistem internasional. Sistem itu dapat disebut sebagai
Infrastruktur Kualitas Ekspor (EQI) Indonesia (DFC SAU untuk Uni Eropa, 2012).
Direktorat Standarisasi – D.G SPK, Kementrian Perdagangan telah menyusun
bagaimana hubungan antara EQI dengan QI internasional yang dapat digambarkan
sebagai berikut:
Sumber: Direktorat Standarisasi-D.G.SPK, Kementrian Perdagangan
Gambar 35. Hubungan EQI dengan QI Internasional
Untuk kasus Indonesia, inisiasi dimulai dengan kerjasama Pusat Penelitian RC
Chem (Research Centre of Chemistry) -LIPI dengan PTB. Pusat Penelitian RC
Chem-LIPI merupakan partner instutitions dari PTB. Pusat Penelitian untuk RC
147
Chem –LIPI adalah kustodian Indonesia yang ditunjuk untuk standar acuan kimia
(RENSTRA LIPI 2010-2014). Proyek dari PTB adalah mendukung jaringan dari
leading state laboratorium (dibawah koordinasi RC-Chem) untuk membangun
struktur awal dari MiC (Metrology in Chemistry) dan mendukung integrasi Indonesia
dengan internasional. Namun berdasarkan observasi yang dilakukan oleh DFC SAU
untuk Uni Eropa, 2012 terhadap RC Chem-LIPI menunjukkan:

RC Chem –LIPI pada saat ini tidak memiliki aset (gedung, peralatan) dan
kapabilitas untuk memenuhi tugas yang diberikan.

RC Chem –LIPI memperoleh dukungan dari PTB. Belum ada proyek khusus
yang dimulai. Diperkirakan bahwa proses apapun untuk menempatkan RC
Chem-LIPI dalam posisi untuk mengelola metrologi kimia akan membutuhkan
waktu sekitar 8 - 10 tahun.

RC Chem –LIPI berencana untuk bekerjasama dan berkoordinasi dengan BBIA–
Kementerian Perindustrian , POMN-BPOM, PPMB-Kementerian Perdagangan
dan NCQC-Kementerian Kelautan dan Perikanan, dalam rangka menyediakan
Materi Acuan Kimia untuk Indonesia.

RCChem –LIPI kekurangan fasilitas, SDM dan struktur organisasi.
Maka langkah awal yang dapat dilakukan adalah meningkatkan kapasitas RC
Chem LIPI agar dapat memenuhi tugas yang diberikan selanjutnya “menghidupkan
kembali” RC Chem LIPI dalam mengelola metrology kimia karena untuk bisa
bersaing diperlukan waktu untuk membangunnya. Kerjasama dan koordinasi dengan
semua pihak diperlukan untuk membangun struktur kelembagaan yang sudah ada saat
ini.
148
Sumber: International Technical Cooperation, PTB
Gambar 36. Struktur Untuk Sistem Penelusuran Pengukuran Kimia
2. Benchmark Standar Rubber Indonesia (SIR)
Selain benchmark dari QI di Jerman, untuk produk ekspor karet yang
termasuk dalam SK Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik
Indonesia Nomor 164/MPP/Kep/6/1996 tentang Pengawasan Mutu Secara Wajib
terhadap 23 produk dapat dijadikan acuan. Pertimbangannya adalah dari 23
komoditas ekspor yang diawasi dalam SK tersebut, hanya karet dengan Standard
Rubber Indonesia (SIR) yang terus menerapkan SK tersebut dalam rangka
meningkatkan mutu dan standar. Sementara yang lainnya tidak konsisten. SIR sendiri
sudah mengaplikasikan QI, walaupun dalam perjalanannya masih perlu ditingkatkan.
Gambar 37 menggambarkan mekanisme SNI 06-1903-2000 untuk SIR. SIR telah
menyusun infrastruktur mutu untuk meningkatkan daya saingnya.
149
Sumber : Direktorat Standarisasi-D.G.SPK, Kementrian Perdagangan
Gambar 37. Standard Indonesian Rubber (SNI 06-1903-2000)
Pabrik Karet SIR harus mempunyai TPP sebagai identitas produsen karet SIR
Indonesia yang telah memenuhi ketentuan sesuai Permendag Nomor 10 Tahun 2008.
Adapun persyaratan untuk memperoleh TPP adalah sebagai berikut (gambar 38):
1. Memiliki akte pendirian perusahaan dan perubahannya
2. Memiliki ijin usaha industri atau ijin usaha tetap
3. Memiliki laboratorium sebagai laboratorium Quality Control
4. Menjadi anggota GAPKINDO
5. Memiliki SPPT SNI atau rekomendasi teknis dari laboratorium yang terdaftar di
Pusat Standardisasi
Gambar 38 di bawah ini menunjukkan mekanisme yang harus dilakukan oleh
produsen SIR untuk memperoleh Tanda Pengenal Produsen (TPP).
150
Sumber: Direktorat Standarisasi-D.G.SPK, Kementrian Perdagangan
Gambar 38. Mekanisme Penerbitan TPP
Sedangkan Gambar 39 menunjukkan persyaratan mutu dan standar yang harus
dipenuhi oleh produsen karet agar dapat melakukan ekspor dan bersaing di pasar
ekspor.
Sumber: Direktorat Standarisasi-D.G.SPK, Kementrian Perdagangan
Gambar 39. TPP Meningkatkan Daya Saing Menuju Ekspor Pasar Global
151
Namun demikian, SIR sendiri telah mengadopsi konsep bagaimana seharusnya
cara kerja infrastruktur mutu Indonesia dan konsep tersebut dapat dijabarkan dalam
Gambar 40.
Sumber: Direktorat Standarisasi-D.G.SPK, Kementrian Perdagangan
Gambar 40. Bagaimana Seharusnya Cara Kerja Infrastruktur Mutu Indonesia
Selain itu, gambar di atas juga menunjukkan persyaratan apa saja yang harus
dipenuhi sebelum eksportir karet mengekspor produknya dan juga bagaimana
infrastruktur mutu nasional terintegrasi dengan infrastruktur mutu internasional.
3.
Bencmark QI di Singapura, Malaysia dan Thailand
Berdasarkan kajian yang dilakukan DFC S.A.U untuk Eropa, EQI Singapura
adalah kelas dunia yang secara terus menerus ditingkatkan sesuai dengan standar
internasional tertinggi. Singapura berusaha untuk melakukan penetrasi ke semua
pasar. Sedangkan Malaysia dan Thailand memiliki EQI tingkat menengah. Kedua
negara menunjukkan kesamaan dalam struktur perdagangan dengan Indonesia,
152
sehingga dengan menganalisa posisi mereka saat ini dan perspektif masa depannya
merupakan pelajaran yang berharga sebagai indikasi atas tantangan dan peluang yang
mungkin dihadapi Indonesia dari para pesaing regional. Thailand sendiri juga telah
menerapkan pendekatan “Single Trade Window” yang mulai diimplementasikan di
Indonesia pada tahun 2010.
Meskipun karakteristik dari 3 negara yang dikaji oleh DFC SAU untuk Eropa
berbeda, namun terdapat beberapa kesamaan pada ketiga negara tersebut yaitu:
1.
Sektor publik maupun swasta memiliki kesadaran yang kuat akan pentingnya
pengaruh mutu terhadap peningkatan daya saing.
2.
Dalam perencanaan nasional, QI merupakan salah satu factor untuk mendorong
pertumbuhan dan perkembangan ekonomi. Hal ini tercermin dalam elaborasi
strategi nasional untuk perbaikan berbagai elemen QI. Sebagai contoh, Thailand,
sejalan dengan tujuan utama pembangunan ekonomi di negaranya memiliki
Strategi Metrologi Nasional untuk periode 2009-2017 yang berfokus pada bidang
Kimia dan Biologi.
3.
Keterlibatan sektor swasta. QI tidak hanya melibatkan pemangku kepentingan
dalam perumusan kebijakan, pengembangan standar dan hal-hal serupa lainnya,
sektor swasta juga merupakan operator utama dalam banyak dimensi EQI.
Sebagai contoh, ada 140 laboratorium kalibrasi untuk metrologi ilmiah di
Thailand, yang mayoritas besar dipegang oleh pihak swasta dan warga negara
Thailand (beberapa dimiliki oleh Jepang dan Singapura). Di Malaysia pasar
penyedia Layanan Pengujian, Inspeksi dan Sertifikasi (TIC) sangat kompetitif ,
tumbuh di angka sekitar 15% per tahun. SIRIM adalah salah satunya, namun
sebagian besar dari 15 atau lebih penyedia jasa layanan adalah perusahaanperusahaan swasta (terutama afiliasi perusahaan internasional). Harga untuk jasa
yang ditawarkan dapat ditentukan sendiri secara bebas oleh pemain, termasuk
SIRIM. Salah satu keuntungan yang diperoleh dari pendekatan pasar
mengkhususkan layanan TIC adalah dicapainya kualitas yang lebih tinggi.
153
4.
Lansekap institusional mencerminkan orientasi terhadap pertumbuhan, sektor
swasta dan persaingan. Instansi pemerintah memiliki posisi sebagai koordinator
dan pembuat kebijakan – bukan operator. Institusi kunci untuk QI (SIRIM di
Malaysia, SPRING di Singapore, TISI di Thailand) berfungsi sesuai dengan
prinsip-prinsip bisnis. Meskipun tingkat kepemilikan pemerintah bervariasi, tata
kelola dan pengambilan keputusan dilakukan sejalan dengan situasi di sektor
swasta.
5.
Untuk mengatasi masalah QI yang mendesak, dibangun kemitraan antara
pemerintah dan sektor swasta. Di Thailand FXA, sebuah perusahaan swasta
Thailand spesialisasi perangkat lunak, telah merancang sebuah sistem
ketertelusuran berbasis komputer yang memungkinkan identifikasi lengkap pada
semua tahap dari rantai produksi dan distribusi untuk berbagai macam produk
makanan. Perusahaan ini bekerjasama sangat erat dengan dua kementerian
(Pertanian dan Kesehatan Masyarakat), dan untuk tingkat yang lebih rendah
dengan
dua
kementerian
lainnya
(Industri
dan
Transportasi).
Sistem
ketertelusuran menghubungkan basis data yang ada di masing-masing
kementerian menjadi data bersama, yang sebelumnya digunakan untuk keperluan
internal saja.
6.
Diperlukan waktu yang cukup lama agar struktur institusional memiliki basis
yang kuat. Sebagai contoh pada ketiga negara, diperlukan waktu 10 tahun untuk
menciptakan perangkat institusional yang berlaku saat ini, termasuk status
hukum institusi tersebut (badan korporat, institusi pemerintah dan varian lainnya.
Perlu proses yang panjang untuk membangun basis yang kuat bagi terbentuknya
EQI.
7.
Komitmen semua institusi terhadap SMEs, sebagai buktinya semua institusi
memiliki program khusus untuk membantu SMEs. Sebagai contoh MATRADE
di Malaysia institusi secara eksplisit menyelenggarakan pelatihan bagi UKM
dalam berbagai aspek Metrologi, Standar, Pengujian dan Mutu (MSTQ).
154
8.
Pelaku sektor publik dan swasta bekerja bersama dan berusaha bertindak proaktif
daripada reaktif. Lembaga-lembaga Standardisasi menyediakan informasi
“peringatan dini” tentang proses-proses baru yang kompleks dari Regulasi
Teknis yang sedang dikembangkan dan diperkenalkan di pasar ekspor (misalnya,
ketiga negara mulai menganalisa REACH, baik melalui jalur pemerintah maupun
swasta, sejak awal diperkenalkan di Uni Eropa).
9.
Untuk negara Malaysia dan Thailand masih diterapkan “Standar Ganda”, yaitu
produk yang dijual secara domestik tidak memiliki kualitas yang sama dengan
yang dijual di pasar ekspor, walaupun fenomena ini telah mulai dieliminasi di
Singapura. Insiden besar karena faktor keamanan di pasar domestik di negaranegara ini tampaknya tidak signifikan dalam beberapa tahun terakhir, meskipun
tidak sepenuhnya hilang.
10. Ketiga Negara memiliki perwakilan yang kuat di luar negri, baik melalui
kedutaan, misi perdagangan, kantor promosi investasi, kamar dagang swasta dan
koneksi lainnya, yang memberikan kontribusi signifikan terhadap pengetahuan
tentang perkembangan pasar ekspor. Intelejen pasar sangat diperlukan untuk
mengetahui persyaratan mutu dan standar negara tujuan ekspor sekaligus sebagai
fasilitator apabila terjadi penolakan.
11. Partisipasi aktif dalam badan-badan MSTQ internasional. Di ketiga negara,
tampaknya mulai ada kesadaran dan inisiatif terhadap kemungkinan menjadi “
pembuat standar” dan bukan hanya “pengikut standar”. Sebuah contoh yang kuat
adalah Malaysia secara eksplisit memfokuskan diri menjadi pemimpin dunia
untuk produk halal (yang mencakup rentang produk yang sangat luas). Sebuah
perusahaan telah dibentuk (Korporasi Pengembangan Halal, HDC, di bawah
pengawasan Kementerian Perdagangan Internasional dan Industri) dengan tujuan
menjadi pencanang kecepatan internasional di bidang ini. Mengingat bahwa
perkiraan jumlah konsumen halal di dunia adalah 1,6-1,9 miliar, dan perkiraan
perdagangan global tahunan untuk produk Halal melebihi $ 2 triliun (lebih dari
155
100 kali ekspor Indonesia), potensinya sangat besar. Fokus standar yang kuat
telah diberikan kepada inisiatif Halal. Pada pertemuan Organisasi negara-negara
Islam (OKI) di bulan April 2009, Malaysia ditugaskan memegang peran utama
dalam pengembangan standar Halal. Standard Malaysia (MS) seri 1500 sekarang
menjadi acuan penting di bidang ini. Perhatian khusus juga diberikan untuk
tersedianya proses sertifikasi yang efisien di bidang ini. Pada pertengahan tahun
2010, proses yang sebelumnya ata-rata membutuhkan waktu 8 bulan,
diperpendek menjadi hanya satu bulan. Enam perusahaan internasional yang
beroperasi di Malaysia sudah disertifikasi.
12. Masalah EQI digunakan sebagai alat negosiasi. Di tahun-tahun sebelumnya,
proses di WTO cukup mendominasi, dimana pada periode tersebut, negaranegara hanya menjadi pemain yang lebih kecil. Tapi sekarang, yang lebih
memegang peranan adalah perjanjian bilateral (dan, pada tingkat lebih rendah,
perjanjian regional). Singapura, dengan infrastruktur canggih dan ambisi yang
besar untuk menjadi penghubung global bagi inovasi dan kualitas tinggi,
menempatkan perjanjian yang berkaitan dengan EQI (seperti Perjanjian
Pengakuan Reksa, MRA) sebagai bagian penting dari perjanjian bilateral.
Malaysia dan Thailand, yang tidak dalam situasi yang sama seperti Singapura
dari perspektif pembangunan secara keseluruhan, mengadopsi target yang tidak
seambisius Singapura, namun selalu berusaha memperoleh pengakuan melalui
perjanjian bilateral dengan mitra terkemuka.
13. Bantuan asing sebagai pelengkap bagi pendanaan pembangunan QI. Ketiga
negara tersebut sekarang melakukan utilisasi secara optimum sumber daya
mereka sendiri. Sebagai mitra asing, Jepang yang paling aktif. Bantuan
diarahkan terutama untuk membantu pengembangan “ketertelusuran secara
lengkap di rantai produk” dalam bidang makanan dan perikanan. Bantuan Jepang
juga diarahkan pada kelompok sektor publik dan swasta, terutama untuk
156
meningkatkan standar mutu di sektor industri di mana perusahaan Jepang
memiliki FDI yang signifikan.
Berdasarkan bencmark dari PTB, SIR, maupun EQI di negara ASEAN
Singapura, Malaysia dan Thailand, produk ekspor biji kakao dan kayu lapis
memerlukan sebuah sistem yang dapat menyediakan layanan teknis ini sampai pada
tingkat teknis dan objektifitas yang diperlukan. Hal ini akan mendorong Indonesia
akan mengekspor produk yang memiliki kualitas tinggi dan bernilai tambah tinggi.
157
BAB VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
6.1. Kesimpulan
1. Berdasarkan nilai rata-rata RCAB biji kakao, tertinggi perdagangan IndonesiaJerman disusul Brazil, Cina, USA dan Malaysia. Secara series, nilai RCAB biji
kakao cenderung stabil untuk semua negara tujuan ekspor utama kecuali ke
India. Berdasarkan nilai rata-rata RCAB, perdagangan kayu lapis Indonesia
dengan UK memiliki nilai tertinggi, disusul SAU, Jerman, dan USA.
Sedangkan secara series, trend ekspor hampir seragam dan meningkat untuk
semua negara tujuan ekspor. Artinya untuk komoditi biji kakao dan kayu lapis
Indonesia memiliki dayasaing dan kemampuan penetrasi yang tinggi di pasar
dunia.
2. Analisis strategi kebijakan peningkatan mutu dan standar ekspor biji kakao
adalah (1) fasilitasi infrastruktur pengujian mutu dan standar, (2) fasilitasi
regulasi, (3) Fasilitasi kerjasama harmonisasi mutu dan standar internasional,
(4) fasilitasi hambatan biaya dalam rangka peningkatan mutu dan standar, (5)
Fasilitasi kemudahan prosedur dan mekanisme peningkatan mutu dan standar
Sedangkan untuk kayu lapis (1) fasilitasi hambatan biaya dalam rangka
peningkatan mutu dan standar, (2) fasilitasi regulasi, (3) fasilitasi infrastruktur
pengujian mutu dan standar, (4) Fasilitasi kerjasama harmonisasi mutu dan
standar internasional (5) Fasilitasi kemudahan prosedur dan mekanisme
peningkatan mutu dan standar ekspor
3. Berdasarkan hasil AHP maka rekomendasi strategi peningkatan standar dan
mutu produk ekspor biji kakao meningkatkan fasilitasi infrastruktur standar
dan mutu. Sedangkan untuk produk ekspor kayu lapis rekomendasi strategi
peningkatan standar dan mutu kayu lapis adalah meningkatkan fasilitasi
terhadap adanya hambatan biaya dalam rangka peningkatan mutu dan standar
ekspor.
158
6.2 Rekomendasi
6.2.1 Kebijakan Peningkatan Mutu dan Standar Produk Ekspor Biji Kakao:
1. Biji kakao yang berdaya saing tinggi akan salah satunya akan sangat ditentukan
oleh kualitas benih dan proses budidaya. Saat ini hampir sebagian besar benih
biji kakao belum terstandarisasi dengan baik. Untuk itu diperlukan benih kakao
yang bermutu yang telah disertifikasi.
2. Untuk meningkatkan standar mutu kakao terkait fermentasi diperlukan riset
untuk memperpendek waktu fermentasi. Riset ini dapat dilakukan oleh Pusat
Riset Kakao yang dibentuk oleh pemerintah.
3. Penolakan isu terkontaminasi bahan kimia diatasi dengan memberikan
argumentasi disertai bukti ilmiah berupa uji mutu yang diterima secara
internasional. Selain itu perlu dilakukan inisiasi harmonisasi standar dan mutu
mis: Badan Standardisasi Nasional (BSN) dengan Saudi Standards, Metrology
and Quality Organization (SASO) dari Arab Saudi, produk ekspor cukup
dilakukan di Indonesia.
6.2.2 Kebijakan Peningkatan Mutu dan Standar Produk Ekspor Kayu Lapis:
1. Optimalisasi pengajuan SVLK secara berkelompok oleh pengusaha kecil untuk
mengatasi masalah biaya.
2. Pemerintah melakukan langkah percepatan dengan mendorong tumbuhnya
lembaga verifikasi legalitas kayu yang menjadi lembaga auditor penerapan
SVLK sehingga diharapkan mampu memperluas pelayanan dan pengurangan
biaya yang ditanggung pengusaha kayu.
3. Terkait sertifikasi internasional lainnya (seperti CoC, SFM, CARB, JAS) maka
diharapkan lembaga sertifikasi domestik dapat melakukan MoU dengan
lembaga sertifikasi asing untuk sertifikasi produk yang dibutuhkan eksportir.
Hal ini diharapkan akan mampu mengurangi biaya dan mempermudah
prosedur. Contoh: Kerjasama yang telah dilakukan oleh Mutu Certification
International dengan Woodmark-Soil Association , Sub Divisi Forestry
menjalin kerjasama dengan BM TRADA kerjasama mengenai sistem lacak
159
balak (CoC). Proses audit sertifikasi dapat dilakukan secara langsung oleh para
personil auditor Sub Divisi Forestry yang telah diakui oleh BM TRADA.
6.2.3 Kebijakan Peningkatan Mutu dan Standar Produk Ekspor:
1. Peningkatan kapasitas (IT & staf) dan peningkatan jumlah, ruang lingkup &
kompetensi infrastruktur mutu baik di laboratorium, lembaga inspeksi dan
sertifikasi.
2. Dalam jangka panjang agar daya saing dari sisi standar dan mutu meningkat
perlu dibentuk Quality Infrastructur (QI) Nasional yang didasarkan atas 5 pilar
yaitu standarisasi, metrologi, pengujian, akreditasi dan sertifikasi yang
selanjutnya dibentuk Pusat Metrologi Nasional yang diharapkan berfungsi
seperti
National
Metrology of
German 
Physikalisch Technische
Bundensanstalth (PTB). Kedudukan QI nasional bisa di bawah naungan
Kementrian Perdagangan atau Kementrian Ristek. Agar QI berjalan sebagai
suatu sistem maka diperlukan koordinasi antar instansi baik pemerintah
maupun swasta.
3. Mengoptimalkan peran LIU sebagai unit yang memfasilitasi penggunaan
database yang terintegrasi langsung dengan sistem INATRADE di Direktorat
Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementrian Perdagangan dan akan
bermuara pada portal Indonesian National Single Window (INSW) di Dirjen
Bea dan Cukai Kementerian Keuangan untuk pendaftaran ekspor Sistem ini
diharapkan menjamin ketertelusuran menghubungkan basis data yang ada di
masing-masing kementerian menjadi data bersama, yang sebelumnya
digunakan untuk keperluan internal saja.
4. Membangun Laboratorium Acuan untuk sektor (produk) terpilih, misalnya
sebagai leading sector produk yang telah secara konsisten mengaplikasikan SK
Deperindag No.164/MPP/KEP/6/1996 tentang Pengawasan Mutu Secara Wajib
Untuk Produk Ekspor Tertentu adalah SIR.
160
DAFTAR PUSTAKA
Agung, I., G., N. 1997. Memperpendek Masa Fermentasi Biji Kakao dengan
Pemberian Ragi Tape. Program Studi Teknologi Pertanian, Universitas
Udayana, Bali.
Badan Standardisasi Nasional. 2011. SNI Penguat Daya Saing Bangsa. BSN, Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional. 2012. Informasi Standar Nasional Indonesia Produk
Unggulan untuk Mendukung MP3EI. BSN, Jakarta.
BPPMB Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan.
2010. Profil UPTD Balai Pengawasan dan Pengendalian Mutu Barang
(BPPMB) Provinsi Sulawesi Selatan. Makasar
Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan, Kementrian Kehutanan. 2010. Statistik
Kayu Tahun 2010. Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan, Jakarta.
Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementrian Perdagangan. 2007.
Kebijakan Umum di Bidang Ekspor. Direktorat Jenderal Perdagangan
Luar Negeri, Jakarta
DFC SAU untuk Eropa. 2012. Infrastruktur Kualitas Ekspor Indonesia.
Fahmi, Z.K. 2012. Penggunaan Benih Kakao Bermutu dan Teknik Budidaya Sesuai
Standar Dalam Rangka Mensukseskan GERNAS Kakao 2009-2011.
Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan,Surabaya.
Kristianingrum, E., dan Lukiawan R. 2011. Kajian Standar Sektor Rempah-rempah
terkait Penolakan Produk dalam Mendukung Peningkatan EKspor
Indonesia. Jurnal Standardisasi Vol. 13, No. 1 Tahun 2011: 67 – 71.
Mutuagung Lestari (MAL). The Profile of PT. MUTUAGUNG LESTARI
Mutuagung Lestari (MAL). CARB (California California Air Resources Board)
Certification. MAL, Depok.
Mutuagung Lestari (MAL). CE Marking dan SNI Marking. MAL, Depok.
PTB (Physikalisch Technische Bundesanstalt). 2012. Promotion of Economic
Development in Technical Cooperation: Quality Infrastructure. PTB,
Braunschweig.
PTB (Physikalisch Technische Bundesanstalt). 2012. Sharing Expertise for Quality.
PTB’s Technical Cooperation in Asia. PTB, Braunschweig.
161
PTB (Physikalisch Technische Bundesanstalt). 2012. CALIDENA Methodology
Handbook Participative Analysis of Quality and Value Chains. PTB,
Braunschweig.
PTB (Physikalisch Technische Bundesanstalt). International Technical Cooperation.
PTB, Braunschweig.
Puslitbang Iklim Usaha Perdagangan, Kementrian Perdagangan. 2008. Kajian
Kebijakan Pengawasan Mutu Barang Ekspor Hasil pertanian.
Workshop. Puslitbang Iklim Usaha Perdagangan, Jakarta.
Saleh, A., R. 2012. Standar dan Perundang-undangan Kayu Lapis dan Kakao.
Pusat Informasi dan Dokumentasi Standardisasi, Jakarta
Tamburian, E. 2012. SVLK Jangan Beratkan Usaha Kehutanan. Sinar Harapan
Kamis, 5 Juli 2012.
Kompas. Biaya Sertifikasi Memberatkan. Kompas Jumat, 13 Juli 2012.
Kompas. Tingkatkan Pasar dengan Kredibilitas SVLK. Dulu Sukarela, Kini Wajib
Sertifikasi Hutan Lestari. Kompas Sabtu, 4 Agustus 2012.
Tim Kecil Pengembangan Kelembagaan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu. 2008.
Pedoman Kelembagaan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu.
Yayasan Masyarakat Nusa Tenggara atas Dukungan MFP-Kehati. 2009. SVLK
Menuju Pengelolaan Hutan Lestari dan Legalitas Kayu.
Zakiyah. 2009. Sistem Akreditasi dan Sertifikasi Pengelolaan Hutan Lestari (PHL)
dan Legalitas Kayu (LK). Komite Akreditasi Nasional, Surabaya.
162
Download