BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Tindak Pidana a. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana. Oleh sebab itu setiap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan arang siapa melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Jadi larangan larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga Negara wajib dicantumkan dalam undangundang maupun peraturan-peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah (Lamintang, 2013:7) Pengertian tindak pidana di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) disebut dengan “strafbaar feit”, namun untuk pengertian itu sendiri tidak diberi penjelasan secara detail. Kata “feit” dalam bahasa Belanda diartikan sebagai “sebagian dari kenyataan” atau “Een gedeelte van de werkelijkheid”, sedangkan “strafbaar” berari “dapat dihukum” (Lamintang, 2013:181). Secara doctrinal dalam hukum pidana dikenal adanya dua pandangan tentang perbuatan pidana, yaitu pandangan monistis dan pandangan dualistis. Untuk mengetahui bagaimana dua pandangan tersebut memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud perbuatan / tindak pidana, dibawa ini akan diuraikan tentang batasan / pengertian tindak pidana yang diberikan oleh dua pandangan dimaksud : Pandangan Monistis adalah suatu pandangan yang melihat keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan. Pandangan ini memberikan prinsip-prinsip pemahaman, bahwa didalam pengertian perbuatan / tindak pidana sudah tercakup 12 13 didalamnya perbuatan yang dilarang (Criminal act) dan pertanggungjawaban pidana / kesalahan (Criminal responbility) (P.A.F. Lamintang, 1997 :193). Menurut para ahli yang termasuk dalam aliran monistis (tidak adanya pemisahan antara criminal act dan criminal responsibility) adalah: 1) Simon Simons merumuskan strafbaar feit sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. Hal itu dikarenakan : (Abidin A.Z., dan Andi Hamzah, 2010 :224-225) a) Untuk adanya suatu strafbaar feit disyaratkan bahwa di dalamnya harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh undang-undang , dimana pelanggaran terhadap larangan ataupun kewajiban semacam itul telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. b) Agar sesuatu tindakan dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan di dalam undang-undang. c) Setiap strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan suatu tindakan melawan hukum atau merupakan suatu “onrechtmatige handeling”. 2) J. Bauman “Menurut J. Bauman, perbuatan tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan” (Soedarto,1988 :55). 3) Wirjono Prodjodikoro Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana (Adami Chazawi, 2002:75). 14 Berbeda dengan pandangan Monistis yang melihat perbuatan yang dilarang (Criminal act) dan pertanggung-jawaban pidana / kesalahan (Criminal responbility), pandangan dualistis memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Apabila menurut pandangan Monistis dalam pengertian tindak pidana sudah tercakup di dalamnya baik Criminal Act maupun Criminal responsibility, menurut pandangan dualistis dalam tindak pidana hanya dicakup Criminal act , dan Criminal responsibility tidak menjadi unsur tindak pidana. Menurut pandangan dualistis, untuk adanya pidana tidak cukup hanya apabila telah terjadi tindak pidana, tetapi dipersyaratkan juga adanya kesalahan / pertanggungjawaban pidana (Moeljatno, 1993 :54). Yang termasuk dalam golongan aliran dualistis tentang syarat- syarat pemidanaan adalah: 1) H.B. Vos H. B. Vos mengemukakan bahwa strafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang undangan (Adami Chazawi, 2002:72). 2) Pompe Pompe berpendapat bahwa menurut hukum positif tindak pidana (strafbaat feit) adalah tidak lain daripada suatu tindakan yang menurut rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang daat dihukum (Adami Chazawi, 2002:72). 3) Moeljatno Moeljatno memberi arti bahwa tindak pidana adalah perbuatan pidana sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut. Pada dasarnya tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi 15 masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan (Andi Hamzah, 2001:22). b. Jenis Jenis Tindak Pidana Jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar tertentu, sebagai berikut: 1) Menurut KUHP dibedakan antara lain kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang dimuat dalam Buku III. Pembagian tindak pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran“ itu bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian KUHP kita menjadi Buku ke II dan Buku ke III melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang-undangan secara keseluruhan. 2) Menurut cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil (formeel Delicten) dan tindak pidana materil (Materiil Delicten). Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 362 KUHP yaitu tentang pencurian. Tindak Pidana materil inti larangannya adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana. 3) Menurut bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten). Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam KUHP antara lain sebagai berikut: Pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu dengan sengaja menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, Pasal 354 KUHP yang dengan sengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian (culpa) orang juga dapat dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 359 KUHP yang menyebabkan matinya seseorang, contoh lainnya seperti yang diatur dalam Pasal 188 dan Pasal 360 KUHP. 4) Menurut macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan aktif juga disebut perbuatan materil adalah perbuatan untuk mewujudkannya diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang berbuat, misalnya Pencurian (Pasal 362 KUHP) dan Penipuan (Pasal 378 KUHP). Tindak Pidana pasif dibedakan menjadi tindak pidana murni dan tidak murni. Tindak pidana murni, yaitu tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya unsur perbuatannya berupa perbuatan pasif, misalnya diatur dalam Pasal 224,304 dan 552 KUHP.Tindak Pidana tidak murni adalah tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan secara tidak aktif atau tindak pidana yang mengandung unsur terlarang tetapi dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya diatur dalam Pasal 338 KUHP, ibu tidak menyusui bayinya sehingga anak tersebut meninggal (Andi Hamzah, 2001:25-27). 16 Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa jenis-jenis tindak pidana terdiri dari tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, tindak pidana formil dan tindak pidana materil, tindak pidana sengaja dan tindak pidana tidak sengaja serta tindak pidana aktif dan pasif. c. Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana atau perbuatan pidana dapat menjadi kenyataan setelah ada tindakan dari seorang pelaku, lalu ada akibat yang ditimbulkan dimana akibat itu dapat timbul dengan tindakan atau perbuatan itu atau timbul pada waktu dan tempat yang berbeda. Selain itu syarat lain yang harus dipenuhi adalah perbuatan pidana tersebut dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan (dewasa, atau tidak dibawah pengampuan), dan tidak dalam keadaan terpaksa (overmacht). Hal penting lain dan yang utama adalah perbuatan tersebut diancam pidana atau hukuman (asas legalitas) dan ada unsur melawan hukum (Lamintang, 2013: 23-24). Menurut Andi Hamzah (2001:30) Unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai berikut: 1) 2) 3) 4) 5) Kelakuan dan akibat (perbuatan) Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan Keadaan tambahan yang memberatkan pidana Unsur melawan hukum yang objektif Unsur melawan hukum yang subyektif. Dan jika merujuk kepada Buku II KUHP, terdapat delapan unsur tindak pidana, yaitu: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) Unsur tingkah laku Unsur melawan hukum Unsur kesalahan Unsur akibat konstitutif Unsur keadaan yang menyertai Unsur syarat tambahan untuk dapat dituntut pidana Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana Unsur syarat tambahan untuk dapat dipidana 17 Dalam setiap tindakan pidana yang terdapat didalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana pada umumnya membagi unsur-unsur tindak pidana menjadi 2 (dua) macam unsur, yaitu unsur subjektif dan objektif. Selanjutnya, yang dimaksud dengan unsur subjektif adalah unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakantindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana antara lain : 1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus aatau culpa); 2) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP; 3) Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam tindak pidana pencurian, pemerasan, pemalsuan dan lainlain; 4) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedacte raad seperti yang misalnya yang terdapat di dalam tindak pidana pembunuhan Pasal 340 KUHP; 5) Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP (P.A.F. Lamintang, 2013:193) Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah sebagai berikut: 1) Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid; 2) Kualitas dari si pelaku, misal “keadaan sebagai seorang pegawai negeri” di dalam tindak pidana jabatan menurut pasal 415 KUHP atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseorangan terbatas” di dalam tindak pidana menururt pasal 398; 3) Kausalitas, yaitu hubungan antara sesautu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat (P.A.F. Lamintang, 2013:194). 18 2. Tinjauan mengenai Tindak Pidana Perdagangan Orang a. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang Perdagangan orang secara umum merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia. Perdagangan orang juga merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelangaran harkat dan martabat manusia. Definisi perdagangan orang pertama kali dikemukakan pada tahun 2000, ketika Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (MU PBB), menggunakan protokol untuk mencegah, menekan dan menghukum perdagangan atas manusia, khususnya kaum perempuan dan anak-anak yang akhirnya terkenal dengan sebutan ”Protocol Palermo”. Protokol ini merupakan sebuah perjanjian yang merupakan perangkat hukum yang mengikat dan menciptakan kewajiban bagi semua negara yang meratifikasinya atau menyetujuinya. Dalam Pasal 3 (a) protokol Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yaitu Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, especially Women and Children tahun 2000, dijelaskan bahwa perdagangan orang adalah: The reccruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of persons, by means of the threat or use of force or other forms of coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulnerability or of the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the purpose of exploitation. Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or other forms of sexual exploitation, forced labour or services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of organs Terjemahan bebasnya adalah perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi termasuk, paling tidak, eksploitasi untuk prostitusi (melacurkan) orang lain atau bentuk lain dari eksploitasi seksual lain, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik-praktik yang 19 serupa dengan perbudakan, penghambaan, dan pengambilan organ tubuh (Chairul Bairah. 2009:9). Dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang tindak pidana pemberantasan perdagangan orang pengertian perdagangan orang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 1, yang esensinya adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan dan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberikan bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan didalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Selanjutnya di dalam Pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 disebutkan yang di maksud dengan eksploitasi, bahwa ”Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik berupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ/ atau jaringan tubuh atau memenfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil. b. Unsur Tindak Pidana Perdagangan Orang Dari definisi Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tersebut di atas maka dapat diuraikan beberapa unsur dari tindakan perdagangan orang yaitu : 1) Perbuatan: merekrut, mengangkut, menampung, mengirim, memindahkan, atau menerima. 2) Sarana (cara) untuk mengendalikan korban: dengan kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, ancaman penyekapan, pemalsuan, penipuan, dan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi 20 rentan, penjeratan utang atau memberikan bayaran atau manfaaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan didalam negara maupun antar negara 3) Tujuan: eksploitasi atau mengakibatkan ekploitasi, setidaknya untuk prostitusi atau bentuk ekspoitasi seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan, pengambilan organ tubuh. c. Bentuk-bentuk Perdagangan Orang Berikut bentuk trafficking yang terjadi pada anak : 1) Kerja Paksa Seks & Eksploitasi seks, baik di luar negeri maupun di wilayah Indonesia; 2) Perbudakan Rumah Tangga (PRT), baik di luar ataupun di wilayah Indonesia; 3) Perdagangan organ tubuh manusia, di luar negeri ataupun di wilayah Indonesia; 4) Penari, Penghibur & Pertukaran Budaya terutama di luar negeri; 5) Pengantin Pesanan, terutama di luar negeri; 6) Beberapa Bentuk Buruh/Pekerja Anak, terutama di Indonesia; 7) Penjualan Bayi, baik di luar negeri ataupun di Indonesia (Mahrus Ali, 2011:24) Dari penjabaran diatas dapat di ketahui sasaran yang rentan menjadi korban perdagangan anak antara lain: 1) Anak-anak jalanan; 2) Orang yang sedang mencari pekerjaan dan tidak mempunyai pengetahuan informasi yang benar mengenai pekerjaan yang akan dipilih; 3) Perempuan dan anak di daerah konflik dan yang menjadi pengungsi; 4) Perempuan dan anak miskin di kota atau pedesaan; 5) Perempuan dan anak yang berada di wilayah perbatasan antar negara; 6) Perempuan dan anak yang keluarganya terjerat hutang; 7) Perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga, korban pemerkosaan (Henny Nuraenny, 2011:27) 3. Tinjauan umum tentang Anak a. Pengertian Anak Definisi anak secara nasional didasarkan pada batasan usia anak menurut hukum pidana, hukum perdata, hukum adat, dan hukum islam. Secara internasional definisi anak tertuang dalam Konvensi Perserikatan 21 Bangsa-Bangsa mengenai Hak Anak atau United Nation Convention on The Right of The Child Tahun 1989, Aturan Standar Minimum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Pelaksanaan Peradilan Anak atau United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules) Tahun 1985 dan Deklarasi Hak Asasi Manusia atau Universal Declaration of Human Rights Tahun 1948 (Marlina, 2009: 31) Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 menyebutkan, Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. b. Hak Anak Terdapat beberapa pendapat dari para ahli hukum terkemuka mengenai pengertian hak. Van apeldoorn merumuskan hak adalah suatu kekuatan (match) yang diatur oleh undang-undang. Sedangkan menurut Lamarie hak adalah sesuatu izin bagi yang bersangkutan untuk berbuat sesuatu. Hak adalah kekuasaan yang diberikan oleh hukum kepada seseorang atau badan hukum lain (Maulana Hasan Wadong, 2000 : 29). Dilihat dari pengertian-pengertian tersebut, maka hak anak dapat dibangun dari pengertian hak secara umum dalam pengertian sebagai berikut : “Hak anak adalah sesuatu kehendak yang dimiliki oleh anak yang dilengkapi dengan kekuatan (macht) dan yang diberikan oleh sistem hukum atau tertib hukum kepada anak yang bersangkutan” (Maulana Hasan Wadong, 2000 : 29). Pengertian serta penjelasan secara umum mengenai hak anak dilihat dari berbagai peraturan perundang-undangan yang mengaturnya mengemukakan bahwa oleh karena anak baik secara ekonomi, jasmani, dan sosial belum memiliki kemampuan untuk berdiri sendiri, maka selayaknya dilakukan pemeliharaan, jaminan, dan pengamanan oleh pihak yang mengasuhnya di bawah bimbingan dan pengawasan negara. 22 Beberapa hak dalam proses peradilan pidana perlu diberikan perhatian khusus, demi peningkatan pengembangan perlakuan adil dan kesejahteraan yang bersangkutan ( dengan tetap memperhatikan hak-hak lainnya ), (Shanty Dellyana, 1998 : 50). Keputusan deklarasi hak asasi anak yang dicetuskan oleh PBB, belum dapat dipandang sebagai suatu ketentuan hukum yang positif dalam tersosialisasinya pergaulan masyarakat dengan anak. Kenyataan dari ketentuan ketatanegaraan hak-hak asasi anak di Indonesia, belum adanya peraturan perundang-undangan yang melindungi kehidupan anak secara yuridis formal. 4. Tinjauan terhadap Teori Penyebab Terjadinya Kejahatan a. Faktor sosiologis Teori-teori sosiologis mencari alasan-alasan perbedaan dalam hal rangka kejahatan didalam lingkungan sosial. Teori-teori ini dapat dikelompokan menjadi tiga kategori umum, yaitu: 1) Strain Theory Menurut Durkheim dalam buku Topo Santoso, kejahatan disebabkan karena terjadinya anomie, anomie merupakan keadaan dimana keteraturan sosial hancur sebagai akibat dari hilangnya patokan/nilai. Keadaan ini terjadi manakala masyarakat sederhana yang berkembang menuju masyarakat modern, dan terjadi perubahan sosial yang cepat sehingga kelompok masyarakat menjadi terpisah-pisah dan dalam keadaan satu set aturan umum, sehingga menyebabkan sistem yang telah ada menjadi runtuh dan masyarakat kehilangan pedoman dalam bertingkah laku (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2001 :580. Menurut Robert dalam buku Topo Santoso, kejahatan juga disebabkan oleh keadaan anomie, akan tetapi anomie yang dimaksud disini bukanlah diciptakan oleh perubahan sosial yang cepat tetapi karena struktur sosial yang menawarkan tujuan yang sama kepada masyarakat, dimana sarana yang disediakan untuk mencapai tujuan 23 tersebut tidak merata. Karena adanya keterbatasan sarana untuk mencapai tujuan itulah yang memicu runtuhnya norma yang membimbing tingkah laku, sehingga menyebabkan terjadinya kejahatan (Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2001 : 58-64). 2) Teori Lingkungan (Gabrielle Tarde) Gabriel Tarde (1843-1904) seorang ahli hukum dan sosiologi. Menurut pendapatnya kejahatan bukan suatu jejak yang antropologis tapi sosiologis, yang seperti kejadian-kejadian masyarakat lainnya dikuasai oleh faktor peniruan (imitasi). Tarde juga mengemukakan bahwa semua orang memiliki kecenderungan yang kuat untuk menandingi (menyamai atau bahkan melebihi) tindakan orang disekitarnya. Ia berpendapat bahwa mustahil bagi dua individu yang berinteraksi dalam waktu yang cukup panjang untuk tidak menunjukan peningkatan dalam peniruan perilaku secara timbal balik. Ia juga memandang peniruan (imitasi) memainkan perana yang sentral dalam tranmisi kebudayaan dan pengetahuan dari suatu generasi ke generasi selanjutnya. Dengan pengamatannya tersebut, Tarde sampai pada pernyataanya yang mengatakan bahwa “society is imitation…” (http://raypratama.blogspot.com/2012/02/faktor-faktor- penyebab- kejahatan.html, diakses pada tanggal 27 April 2015 pukul 15.03 WIB) 3) Teori kontrol sosial, berasumsi bahwa motivasi melakukan kejahatan merupakan bagian dari umat manusia serta mengkaji kemampuan kelompok-kelompok dan lembaga-lembaga sosial membuat aturanaturannya efektif (Topo Santoso dan Eva Ajhani Zulfa. 2001 :57-58) b. Teori-teori penyimpangan budaya (Cultural Deviance Theories) a) Sosial Disorganization Memfokuskan diri pada perkembangan area-area yang angka kejahatannya tinggi beraitan dengan disintegrasi nilai-nilai konvensional yang disebabkan oleh industrialisasi yang cepat, peningkatan imigrasi, dan urbanisasi (Topo Santoso dan Eva Ajhani Zulfa, 2001 : 67). b) Differential Association 24 Orang belajar melakukan kejahatan sebagai akibat hubungan dengan nilai-nilai dan sikap-sikap anti sosial, serta pola tingkah laku kriminal (1) Perilaku kejahatan itu dipelajari, tidak diwariskan, sehingga tidak mungkin ada orang jahat secara mekanis. (2) Perilaku kejahatan itu dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dalam suatu proses komunikasi. Komunikasi tersebut terutama dapat bersifat lisan ataupun menggunakan bahasa tubuh. (3) Bagian yang terpenting dari perilaku kejahatan yang dipelajari, diperoleh dalam kelompok pergaulan yang akrab. (4) Apabila tingkah laku itu dipelajari, maka yang dipelajari termasuk: (a) Cara melakukan kejahatan itu baik yang sulit maupun yang sederhana; (b) Motif, dorongan-dorongan, alasan-alasan pembenaran, dan sikap. (5) Arah dan motif dorongan itu dipelajari melalui definisidefinisi dari peraturan hukum. Dalam suatu masyarakat, kadang seseorang dikelilingi orang-orang yang secara bersamaan melihat apa yang diatur dalam peraturan hukum sebagai sesuatu yang diperhatikan dan dipatuhi, namun terkadang dikelilingi orang-orang yang melihat aturan hukum sebagai sesuatu yang memberikan peluang dilakukannya kejahatan. (6) Seorang menjadi delikuen karena pola-pola pikir yang lebih melihat peraturan hukum sebagai pemberi peluang melakukan kejahatan daripada melihat hukum sebagai sesuatu yang harus diperhatikan dan dipatuhi. (7) Lingkungan pergaulan yang ditandai oleh perbedaanperbedaan tersebut dapat bervariasi atau perubahan tergantung pada frekuensi, jangka waktu, masa lampau, dan intensitas. (8) Proses mempelajari perilaku jahat melaui pergaulan dengan pola-pola kejahatan dan mekanisme yang lazim terjadi dalam setiap proses belajar secara umum. (9) Apabila perilaku kejahatan adalah ekspresi dari kebutuhan dan nilai umum, tidak dapat dijelaskan oleh nilai-nilai dan kebutuhan yang umum tersebut. Hal ini disebabkan kelakuan yang tidak jahat pun merupakan ekspresi dari kebutuhan dan nilai yang sama. Misalnya pencuri dan buruh yang jujur, meraka bekerja untuk mendapatkan uang (lilik Mulyadi, 2004 :88-90) c) Culture Conflict Menegaskan bahwa kelompok-kelompok masing-masing memiliki aturan yang mengatur tingkah laku (conduct norm) yang berbeda, dan bahwa conduct norm dari suatu kelompok mungkin berbenturan 25 dengam conduct norm dari kelompok lain. Seorang individu yang mengikuti norma kelompoknya mungkin saja dipandang melakukan kejahatan apabila norma kelompoknya bertentangan dengan norma dari kelompok lain yang dominan (Topo Santoso dan Eva Ajhani Zulfa, 2001 : 67-86). c. Teori-Teori Ekologi Perhatian orang terhadap timbulnya kejahatan dari fakor-faktor ekologis telah dimulai pada abad 19 dan mencapai puncaknya pada antara perang dunia pertama dan mulai surut dengan berakhirnya perang duani kedua. Teori-teori ini mencoba dan mencari sebab kejahatan dari aspek tertentu baik dari lingkungan manusia maupun sosial seperti: 1) Kepadatan penduduk I.S Susanto berpendapat hubungan anatara kejahatan dangan kepadatan penduduk banyak dipelajari orang dan tampaknya lebih mudah menganggap bahwa semakin padat penduduknya dengan akibat semakin meningkat timbulnya perselisihan akan semakin besar kejahatannya (I.S Sutanto, 2011 :81). 2) Mobilitas penduduk dan Migrasi Teori migrasi yang dikembangkan oleh Everest S. Lee yang menjelaskan bahwa: “Keputusan berpindah tempat tinggal dari satu wilayah ke wilayah lainnya adalah merupakan konsekuensi dari perbedaan dalam nilai kefaedahan antara daerah asal dan daerah tujuan. Perpindahan terjadi jika ada faktor pendorong (push) dari tempat asal dan faktor penarik ( pull ) dari tempat tujuan” (Muhajirin Darwin, 2003 :23). 3) Hubungan desa dan kota dalam Urbanisasi Perkembangan dan kehidupan kota-kota besar sudah berkembang pesat, namun orang melemparkan kesalahan atasa meningkatnya kejahatan di kota kota besar di pengaruhi faktor Urbanisasi hal ini di kemukakan oleh Adam Smith dan Disraeli (I.S Sutanto, 2011 :83). d. Teori Faktor Ekonomi Pandangan bahwa kehidupan ekonomi merupakan hal yang fundamental bagi seluruh struktur sosial dan cultural, dan karenanya menentukan semua urusan dalam struktur tersebut, merupakan pandangan 26 yang sejak dulu dan hingga kini masih diterima luas. Pendapat bahwa kondisi-kondisi dan perubahan-perubhan ekonomi mempunyai pengaruh besar dalam terjadinya kejahatan anatara lain dipengaruhi faktor ekologis dan kelas (I.S Sutanto dan Eva Ajhani Zulfa, 2011 :87). G. Von Mayer menunjukan kolerasi tinggi antara tingkat ekonomi (harga barang) dengan kejahatan, hal ini disebabkan oleh Objektive Nahrungserchwerung yaitu karena harga bahan barang yang bertambah mahal sehigga banyak pendudukyang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Ditambhakan oleh W. A Bonger faktor ekonomi merupakan pengaruh kejahatan dengan menabahkan Subyektive Nahrungserchwerung (Penganguran) sebgai hal yang menentukan (I.S Susanto dan Eva Ajhani Zulfa, 2011 : 88-89). e. Etimologi Kriminal Teori etiologi kriminal dikemukakan oleh seorang kriminolog yaitu Edwin Hardin Sutherland. Menurut Sutherland pengertian kriminologi adalah seperangkat pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai fenomena sosial, yang termasuk didalamnya terdapat proses pembuatan Undang-Undang, pelanggaran terhadap Undang-Undang dan reaksi terhadap pelanggaran Undang-Undang. Sutherland mengungkapkan bahwa kriminologi dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu sosiologi hukum, etiologi kejahatan atau kriminal dan penologi. Etiologi kejahatan merupakan cabang ilmu kriminologi yang mempelajari tentang sebab musabab terjadinya kejahatan. Sebab musabab timbulnya kejahatan sangat kompleks dikarenakan banyak sekali faktor-faktor yang melatar belakanginya, dimana faktor yang satu dengan faktor lainnya saling mempengaruhi. Sutherland juga menyatakan bahwa kejahatan adalah hasil dari faktorfaktor yang beraneka ragam dan bermacam-macam dan faktor-faktor itu dewasa ini dan selanjutnya tidak bisa disusun menurut suatu ketentuan yang berlaku umum tanpa ada pengecualian atau dengan perkataan lain untuk menerangkan kelakuan kriminil tidak ada teori ilmiah (Hari Saherodji, 1980: 35). 27 B. Kerangka Berfikir Tindak Pidana Perdagangan Anak Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Putusan Pengadilan Indramayu Nomor 132/PID.B/SUS/2014/P N. Im. Faktor Terjadinya Perdagangan Anak Dasar Pertimbangan Hakim Keterangan: Kerangka Pemikiran di atas mencoba memberikan gambaran mengenai alur berfikir dalam menggambarkan, menelaah, menjabarkan, dan menemukan jawaban atas permasalahan hukum tentang tindak pidana perdagangan anak. Melalui kerangka pemikiran diatas, penulis mencoba untuk mengali lebih dalam bagaimana pengaturan tentang tindak pidana perdagangan orang baik ditinjau dari undangundang berlaku pada saat ini yang sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia lalu di tinjau dari putusan pengadilan negeri Indramayu Nomor 132/PID.B/SUS/2014/PN.Im. Dari putusan tesebut dapat diketahi bagaimana faktor penyebab perdagangan anak, lalu penulis meninjau dasar pertimbngan putusan hakim Nomor 132/PID.B/SUS/2014/PN. Im untuk mengetahu bagaimana Pertimbangan hakim dalam memutus perkara tersebut. Sehingga dapat digali suatu 28 fakta hukum apakah hakim dalam memutus apakah sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku pada hukum positif Indonesia.