13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Pembunuhan
a. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana
Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan perkataan
strafbaar feit untuk menyebutkan apa yang dikenal sebagai “tindak
pidana”. Kata feit dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari
suatu kenyataan” sedangkan strafbaar berarti “dapat dihukum”,
sehingga secara harafiah kata strafbarr feit dapat diterjemahkan
sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”
(P.A.F Lamintang, 2013 : 181).
Istilah strafbaar feit memiliki banyak pengertian melalui
pandangan-pandangan para ahli hukum. Hazewinkel-Suringa
membuat rumusan yang bersifat umum dari strafbaar feit sebagai
“suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak
dalam suatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai suatu
perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan
menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat
didalamnya” (P.A.F Lamintang, 2013 : 181).
Menurut Van Hamel dalam Lamintang, strafbaar feit sebagai
“suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain”.
Menurut Pompe dalam Lamintang, strafbaar feit sebagai “suatu
pelanggaran norma yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja telah
dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman
terhadap pelaku tersebut adalah perlu terpeliharanya tertib hukum
dan terjaminnya kepentingan umum” (P.A.F Lamintang, 2013 :
182).
13
14
Menurut pendapat beberapa pakar atau ahli hukum pidana di
Indonesia lainnya, pengertian strafbaar feit adalah sebagai berikut :
1)
Menurut Vos dalam bukunya Martiman Prodjohamidjojo
merumuskan bahwa strafbaar feit adalah suatu kelakuan
manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundangundangan (Martiman Prodjohamidjojo, 1995 : 16).
2)
Simons mengemukakan bahwa strafbaar feit adalah suatu
tindakan melawan hukum yang dengan sengaja telah
dilakukan oleh seorang yang dapat dipertanggung jawabkan
atas tindakannya, yang dinyatakan sebagai dapat dihukum
(Simons, 1992 : 127).
3)
Menurut Pompe dalam bukunya Lamintang, perkataan
strafbaar feit secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu
pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang
dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan
oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap
pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum
dan terjaminnya kepentingan umum (P.A.F. Lamintang, 1997
: 182).
4)
Menurut Van
Hamel
dalam bukunya
Andi
Hamzah
merumuskan strafbaar feit sebagai kelakuan manusia yang
dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang
patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan (Andi
Hamzah, 2008 : 96).
5)
Karni dalam bukunya Sudarto mengatakan delik itu
mengandung perbuatan yang mengandung perlawanan hak,
yang dilakukan dengan salah dosa, oleh orang yang sempurna
akal
budinya
dan
kepada
siapa
dipertanggungjawabkan (Sudarto, 1990 : 42).
perbuatan
15
6)
Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana sebagai
terjemahan dari strafbaar feit. Beliau berpendapat ”perbuatan
pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan
tersebut” (Moeljatno, 2008 : 59).
7)
Wirjono Prodjodikoro secara singkat memberikan pengertian
tindak pidana. Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang
pelakunya dapat dikenai hukuman pidana. Dan, pelaku ini
dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak pidana (Wirjono
Prodjodikoro, 2012 : 59).
Pengertian Tindak pidana dapat dikatakan berupa istilah resmi
dalam
perundang-undangan
di
Indonesia.
Hampir
seluruh
perundang-undangan di Indonesia menggunakan istilah tindak
pidana untuk merumuskan suatu tindakan yang dapat diancam
dengan suatu pidana tertentu.
Pengertian tindak pidana adalah suatu perbuatan yang
memenuhi syarat-syarat tertentu, apabila ada orang yang melakukan
perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam pengertian tindak pidana
muncul dua pandangan yaitu pandangan monistis dan pandangan
dualistis.
Pandangan monistis adalah suatu pandangan yang melihat
keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan
sifat
dari
perbuatan.
Pada dasarnya
pandangan ini
tidak
memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatan dengan unsurunsur mengenai orangnya. Dalam pandangan ini untuk adanya suatu
tindak pidana harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
16
1) Perbuatan manusia, baik dalam arti perbuatan positif (berbuat)
maupun perbuatan negatif (tidak berbuat);
2) Diancam dengan pidana;
3) Melawan hukum;
4) Dilakukan dengan kesalahan;
5) Oleh orang yang mampu bertanggungjawab.
Pandangan dualistis memisahkan antara perbuatan pidana
dengan pertanggungjawaban pidana. Menurut pandangan dualistis
dalam
tindak
pidana
hanya
mencakup
perbuatannya
saja.
Sedangkan pertanggung jawaban pidananya tidak menjadi unsur
tindak pidana. Syarat-syarat suatu perbuatan disebut tindak pidana
ada tiga, yaitu :
1) Perbuatan orang perorangan atau korporasi;
2) Melanggar peraturan perundangan;
3) Bersifat melawan hukum.
Sedangkan unsur kesalahan dan kemampuan bertanggungjawab
tidak masuk sebagai unsur perbuatan pidana karena unsur ini
terletak pada orang yang berbuat (Tim Penyusun Dosen FH UNS,
Dikat PHI, 2010 : 89-91).
Dapat disimpulkan bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan
yang dilakukan oleh seseorang dan dapat dipertanggungjawabkan
atas tindakannya tersebut. Yang mana tindakan yang dilakukannya
tersebut itu adalah tindakan yang melawan hukum atau melanggar
ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga tindakan
tersebut dapat diancam dengan suatu pidana dengan maksud untuk
memberi efek jera, baik bagi individu yang melakukannya maupun
bagi orang lain yang mengetahuinya.
17
b. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Unsur formal meliputi :
1)
Perbuatan manusia, yaitu perbuatan dalam arti luas, artinya
tidak berbuat yang termasuk perbuatan dan dilakukan oleh
manusia.
2)
Melanggar peraturan pidana. dalam artian bahwa sesuatu akan
dihukum apabila sudah ada peraturan pidana sebelumnya
yang telah mengatur perbuatan tersebut, jadi hakim tidak
dapat menuduh suatu kejahatan yang telah dilakukan dengan
suatu peraturan pidana, maka tidak ada tindak pidana.
3)
Diancam dengan hukuman, hal ini bermaksud bahwa KUHP
mengatur tentang hukuman yang berbeda berdasarkan tindak
pidana yang telah dilakukan.
4)
Dilakukan oleh orang yang bersalah, dimana unsur-unsur
kesalahan yaitu harus ada kehendak, keinginan atau kemauan
dari orang yang melakukan tindak pidana serta Orang tersebut
berbuat sesuatu dengan sengaja, mengetahui dan sadar
sebelumnya terhadap akibat perbuatannya. Kesalahan dalam
arti sempit dapat diartikan kesalahan yang disebabkan karena
si pembuat kurang memperhatikan akibat yang tidak
dikehendaki oleh undang-undang.
5)
Pertanggungjawaban yang menentukan bahwa orang yang
tidak
sehat
ingatannya
tidak
dapat
diminta
pertanggungjawabannya. Dasar dari pertanggungjawaban
seseorang terletak dalam keadaan jiwanya.
Unsur material dari tindak pidana bersifat bertentangan dengan
hukum, yaitu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sehingga
perbuatan yang tidak patut dilakukan. Jadi meskipun perbuatan itu
memenuhi rumusan undang-undang, tetapi apabila tidak bersifat
melawan hukum, maka perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak
pidana. Unsur-unsur tindak pidana dalam ilmu hukum pidana
dibedakan dalam dua macam, yaitu unsur objektif dan unsur subjektif.
Unsur objektif adalah unsur yang terdapat di luar diri pelaku tindak
pidana. Unsur ini meliputi :
1)
Perbuatan atau kelakuan manusia, dimana perbuatan atau
kelakuan manusia itu ada yang aktif (berbuat sesuatu), misal
membunuh (Pasal 338 KUHP), menganiaya (Pasal 351
KUHP);
2)
Akibat yang menjadi syarat mutlak dari delik. Hal ini terdapat
dalam delik material atau delik yang dirumuskan secara
material, misalnya pembunuhan (Pasal 338 KUHP),
penganiayaan (Pasal 351 KUHP), dan lain-lain;
18
3)
Ada unsur melawan hukum. Setiap perbuatan yang dilarang
dan diancam dengan pidana oleh peraturan perundangundangan hukum pidana itu harus bersifat melawan hukum,
meskipun unsur ini tidak dinyatakan dengan tegas dalam
perumusan (Roni Wiyanto, 2012 : 160).
Syarat formil harus ada, karena hanya asas legalitas yang
tersimpul dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Syarat materiil juga harus
ada, kerena perbuatan itu harus betul-betul dirasakan oleh
masyarakat sebagai perbuatan yang tak boleh atau tidak patut
dilakukan, oleh karena bertentangan dengan atau menghambat akan
tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan
oleh masyarakat itu. Moeljatno berpendapat, bahwa “kesalahan dan
kemampuan bertanggung jawab dari si pembuat tidak masuk
sebagai unsur perbuatan pidana, karena hal-hal tersebut melekat
pada orang yang berbuat” (Sudarto, 1990 : 43).
Menurut
Sudarto
tentang
unsur
tindak
pidana
yang
dikemukakan oleh Moeljatno : Jadi untuk memungkinkan adanya
pemidanaan secara wajar, apabila diikuti pendirian Prof.Moeljatno,
maka tidak cukup apabila seseorang itu telah melakukan perbuatan
pidana belaka; di samping itu pada orang tersebut harus ada
kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab (Sudarto, 1990:44).
Menurut D.Simons dalam buku Lamintang menjelaskan
bahwa unsur-unsur strafbaar feit adalah :
1)
Perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak
berbuat atau membiarkan);
2)
Diancam dengan pidana (stratbaar gestcld);
3)
Melawan hukum (onrechmatig);
4)
Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand);
5)
Oleh
orang
yang
mampu
bertanggung
jawab
(toerekeningsvatbaar persoon).
19
Simons dalam Lamintang menyebut adanya unsur objektif
dan unsur subjektif dari strafbaar feit :
1)
Unsur objektif antara lain :
a) Perbuatan orang;
b) Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu;
c) Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan
itu seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat “di muka umum”.
2)
Unsur subjektifnya adalah :
a) Orang yang mampu bertanggung jawab;
b) Adanya kesalahan (dolus atau culpa).
Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan. Kesalahan
ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau
dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu dilakukan
(P.A.F Lamintang, 2013 : 185).
Menurut Sudarto, unsur tindak pidana yang dapat disebut
sebagai syarat pemidanaan antara lain :
1) Perbuatannya, syarat :
a) Memenuhi rumusan undang-undang;
b) Bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar)
2) Orangnya (kesalahannya), syarat :
a) Mampu bertanggung jawab;
b) Dolus atau culpa (tidak ada alasan pemaaf)
Menurut Vos dalam Adam Chazawi menjelaskan unsur-unsur
tindak pidana adalah :
a.
kelakuan manusia;
b.
diancam dengan pidana;
c.
dalam peraturan perundang-undangan.
Dapat dilihat bahwa pada unsur-unsur tindak pidana yang
dikemukakan oleh Vos, tidak ada perbedaan, yaitu bahwa tindak
pidana itu adalah perbuatan manusia yang dilarang, dimuat dalam
undang-undang dan diancam pidana bagi yang melakukannya. Dari
20
unsur-unsur yang ada jelas terlihat bahwa unsur-unsur tersebut tidak
menyangkut diri si pembuat atau dipidananya pembuat, sematamata mengenai perbuatannya (Adami Chazawi, 2013 : 80).
Menurut P.A.F Lamintang, tindak pidana dapat dibedakan ke
dua kategori unsur yang berbeda, yaitu unsur subjektif dan unsur
objektif. Penjabaran dari kedua unsur tersebut adalah sebagai
berikut:
1) Unsur Subjektif
Yaitu unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang
berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk ke dalamnya
yaitu segala sesuatu yang ada dalam diri dan pikirannya. Unsur
ini terdiri dari :
a) Kesengajaan (dolus) atau ketidaksengajaan (culpa);
b) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan seperti yang
dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;
c) Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat
dalam kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan,
pemalsuan dan lain sebagainya;
d) Perasaan takut atau vress;
e) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad.
2) Unsur Objektif
Yaitu unsur yang ada hubungannya dengan keadaan yang
terjadi, dalam keadaan dimana tindakan si pelaku itu harus
dilakukan. Unsur objektif terdiri dari :
a) Melanggar hukum (wedenrechtelijkheid);
b) Kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai
pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal
415 KUHP atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris
dari suatu perseroan terbatas” di dalam kejahatan menurut
Pasal 398 KUHP. Kausalitas, yaitu hubungan antara
sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu
kenyataan sebagai akibat (P.A.F. Lamintang, 1997 : 193194).
c. Tindak Pidana Pembunuhan
Pembunuhan adalah suatu aktifitas yang dilakukan oleh
seseorang dan atau beberapa orang, yang mengakibatkan orang lain
meninggal dunia. Dari definisi lain tindak pidana pembunuhan
adalah
perbuatan
seseorang
terhadap
orang
lain
yang
21
mengakibatkan menghilangnya nyawa baik perbuatan tersebut
dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja.
Kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain itu oleh Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana yang dewasa ini berlaku telah
disebut sebagai suatu pembunuhan. Untuk menghilangkan nyawa
orang lain itu seorang pelaku harus melakukan sesuatu atau suatu
rangkaian tindakan yang berakibat dengan meninggalnya orang lain
dengan catatan bahwa opzet dari pelakunya itu harus ditujukan pada
akibat berupa meninggalnya orang lain tersebut (P.A.F. Lamintang,
2012 : 1).
d. Pembagian Jenis-Jenis Tindak Pidana Pembunuhan dalam
KUHP
Dalam pengaturan mengenai ketentuan-ketentuan pidana
tentang kejahatan yang ditujukan terhadap nyawa orang, terdapat
lima jenis kejahatan yang ditujukan terhadap nyawa orang, antara
lain :
1) Kejahatan berupa kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain
dalam pengertiannya yang umum, tentang kejahatan pembentuk
undang-undang selanjutnya juga masih membuat pembedaan
antara kesengajaan menghilangkan nyawa orang yang tidak
direncanakan lebih dahulu yang telah diberinya nama doodslag
dengan kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain dengan
direncanakan lebih dahulu disebut dengan moord. Doodslag
diatur dalam Pasal 338 KUHP sedang moord diatur dalam Pasal
340 KUHP.
2) Kejahatan berupa kesengajaan menghilangkan nyawa seorang
anak yang baru dilahirkan oleh ibunya sendiri. Tentang kejahatan
ini selanjutnya pembentuk undang-undang masih membuat
22
pembedaan antara kesengajaan menghilangkan nyawa seorang
anak yang baru dilahirkan ibunya sendiri yang dilakukan tanpa
direncanakan
terlebih
dahulu
dengan
kesengajaan
menghilangkan nyawa seorang anak yang baru dilahirkan oleh
ibunya sendiri yang dilakukan dengan direncanakan lebih
dahulu. Jenis kejahatan yang disebutkan terdahulu itu oleh
pembentuk undang-undang disebut sebagai kinderdoodslag dan
diatur dalam Pasal 341 KUHP, adapun jenis kejahatan yang
disebutkan kemudian adalah kindermoord dan diatur dalam Pasal
342 KUHP.
3) Kejahatan berupa kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain
atas permintaan orang itu sendiri, yakni sebagaimana yang telah
diatur dalam Pasal 344 KUHP.
4) Kejahatan berupa kesengajaan mendorong orang lain melakukan
bunuh diri atau membantu orang lain melakukan bunuh diri
sebagaimana diatur dalam Pasal 345 KUHP.
5) Kejahatan
berupa
kesengajaan
menggugurkan
kandungan
seorang wanita atau menyebabkan anak berada dalam kandungan
meninggal dunia. Pengguguran kandungan itu oleh pembentuk
undang-undang telah disebut dengan kata afdrijving. Mengenai
kejahatan ini selanjutnya pembentuk undang-undang masih
membuat pembedaan antara beberapa jenis afdrijving yang
dipandangnya dapat terjadi di dalam praktiknya, yaitu ;
a) Kesengajaan menggugurkan kandungan yang dilakukan
orang atas permintaan wanita yang mengandung seperti
yang diatur dalam Pasal 346 KUHP.
b) Kesengajaan menggugurkan kandungan yang dilakukan
orang tanpa mendapatkan izin lebih dahulu dari wanita yang
mengandung seperti yang diatur dalam Pasal 347 KUHP.
23
c) Kesengajaan menggugurkan kandungan yang dilakukan
orang dengan mendapatkan izin lebih dahulu dari wanita
yang mengandung seperti yang diatur dalam Pasal 348
KUHP.
d) Kesengajaan menggugurkan kandungan seorang wanita
yang pelaksanaannya telah dibantu oleh seorang dokter,
seorang bidan atau seorang peramu obat-obatan, seperti
yang diatur dalam Pasal 349 KUHP (P.A.F. Lamintang,
2012 :11-13).
e. Tindak Pidana Pembunuhan Anak
Kejahatan pembunuhan anak bukan hanya merusak
nilai-nilai asas manusia, tetapi telah merendahkan derajat
manusia, karena masalah moralitas agama melekat pada
seorang manusia juga tidak kalah memegang peranan penting
dalam terjadinya tindak pidana pembunuhan bayi. Oleh sebab
itu, menurut Barda Nawawi Arief, dan dalam rangka
pembaharuan hukum pidana yang dimaksud menciptakan
hukum positif secara nasional, tidak bisa dilepaskan dari nilainilai yang timbul dan berkembang dalam masyarakat hukum
yang hidup dalam masyarakat, karena masyarakat memegang
teguh nilai-nilai kemasyarakatan sebagai pedoman untuk
berbuat dan tidak berbuat. (Barda Nawawi Arief, 2001 : 28).
Tindak Pidana pembunuhan anak yang oleh pembentuk
undang-undang telah disebut sebagai kinderdoodslag diatur
dalam Pasal 341, yang menyatakan:
“seorang ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan
anak pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian,
dengan sengaja merampas nyawa anaknya, diancam karena
24
membunuh nyawa anak sendiri, dengan pidana penjara paling
lama 7 (tujuh) tahun”.
Tindak pidana pada pembunuhan ini dinamakan
membunuh biasa anak atau maker mati anak (kinderdoodslag).
Apabila pembunuhan anak itu dilakukan dengan direncanakan
sebelumnya, maka dapat diancam dengan Pasal 342 KUHP,
yang dinamakan kindermoord. Unsur-unsur pada pembunuhan
anak ini adalah:
1) Pembunuhan anak itu harus dilakukan oleh ibunya sendiri,
apabila si ibu mempunyai suami atau tidak, hal itu tidak
menjadi soal;
2) Pembunuhan anak itu harus terdorong oleh rasa ketakutan
akan diketahui melahirkan anak itu.
Bila anak yang didapat karena hasil hubungan kelamin
yang tidak sah atau berzinah, apabila unsur-unsur ini tidak ada,
maka perbuatan itu dikenakan sebagai pembunuhan biasa
(Pasal 338 KUHP) (P.A.F. Lamintang, 2012 : 58).
2. Tinjauan Umum Tentang Kriminologi
a.
Pengertian Kriminologi
Kriminologi termasuk cabang ilmu pengetahuan yang
berkembang pada tahun 1850 bersama-sama dengan ilmu
Sosiologi, Antropologi, dan Psikologi. Nama Kriminologi pertama
kali ditemukan oleh P.Topinard (1830-1911), seorang ahli
Antropologi Prancis (A.S. Alam 2010:1).
Secara etimologis, kriminologi terdiri dari dua suku kata
yakni crime yang berarti kejahatan dan logos berarti ilmu
pengetahuan, sehingga kriminologi dapat diartikan sebagai ilmu
tentang kejahatan.
25
Untuk lebih jelasnya mengenai pengertian kriminologi,
berikut penulis kemukakan pandangan beberapa sarjana hukum
terkemuka, antara lain:
1) Edwin H. Sutherland dalam bukunya A.S Alam menyatakan
bahwa Criminology is the body of knowledge regarding
delinquency and crimes as social phenomena (Kriminologi
adalah kumpulan pengetahuan yang membahas kenakalan
remaja dan kejahatan sebagai gejala sosial) (A.S. Alam
2010:1-2).
2) W.A. Bonger dalam bukunya A.S Alam menjelaskan bahwa
Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan
menyelidiki gejala kejahatan yang seluas-luasnya (A.S. Alam
2010:2).
3) J. Constant dalam bukunya A.S Alam mendefinisikan
Kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan
menentukan faktor-faktor yang menjadi sebab-musabab
terjadinya kejahatan dan penjahat (A.S. Alam 2010:2).
4) WME. Noach dalam bukunya A.S Alam menjelaskan bahwa
kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki
gejala-gejala kejahatan dan tingkah laku yang tidak senonoh,
sebab-musabab serta akibat-akibatnya (A.S. Alam 2010:2).
Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukakan di atas
maka dapat disimpulkan bahwa kriminologi pada dasarnya
merupakan
ilmu
pengetahuan
yang
mempelajari
tentang
kejahatan, yaitu faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
kejahatan dan upaya penanggulangannya.
26
b. Ruang Lingkup Kriminologi
Menurut A.S. Alam ruang lingkup pembahasan Kriminologi
meliputi tiga hal pokok, yaitu :
1) Proses pembuatan hukum pidana dan acara pidana (making
laws). Pembahasan dalam proses pembuatan hukum pidana
(process of making laws) meliputi :
a) Definisi kejahatan;
b) Unsur-unsur kejahatan;
c) Relativitas pengertian kejahatan;
d) Penggolongan kejahatan;
e) Statistik kejahatan.
2) Etiologi kriminal, yang membahas yang membahas teori-teori
yang menyebabkan terjadinya kejahatan (breaking of laws),
sedangkan yang dibahas dalam Etiologi Kriminal (breaking of
laws) meliputi :
a) Aliran-aliran (mazhab-mazhab) kriminologi;
b) Teori-teori kriminologi;
c) Berbagai perspektif kriminologi;
d) Reaksi terhadap pelanggaran hukum (reacting toward the
breaking of laws). Reaksi dalam hal ini bukan hanya
ditujukan kepada pelanggar hukum berupa tindakan
represif tetapi juga reaksi terhadap calon pelanggar
hukum berupa upaya-upaya pencegahan kejahatan
(criminal prevention).
3) Perlakuan terhadap pelanggar-pelanggar hukum (Reacting
Toward the Breaking laws) meliputi :
a) Teori-teori penghukuman;
b) Upaya-upaya penanggulangan/pencegahan kejahatan baik
berupa tindakan pre-emtif, preventif, represif, dan
rehabilitatif (A.S. Alam 2010 : 2-3).
3. Tinjauan Umum Tentang Kejahatan
a.
Pengertian Kejahatan
Ada beberapa pengertian tentang kejahatan diantaranya
adalah sebagai berikut: istilah kejahatan berasal dari kata jahat,
yang artinya sangat tidak baik, sangat buruk, sangat jelek, yang
ditumpukan terhadap tabiat dan kelakuan orang. Kejahatan berarti
mempunyai sifat yang jahat atau perbuatan yang jahat. Secara
27
yuridis, Kejahatan diartikan sebagai suatu perbuatan melanggar
hukum atau yang dilarang oleh undang-undang. Disini diperlukan
suatu kepastian hukum, karena dengan ini orang akan tahu apa
perbuatan jahat dan apa yang tidak jahat.
Pengertian kejahatan menurut tata adalah “perbuatan atau
tindakan yang jahat” yang lazim orang ketahui atau mendengar
perbuatan yang jahat seperti pembunuhan, pencurian, pencabulan,
penipuan, penganiyaan dan lain-lain yang dilakukan oleh manusia.
Kalau kita perhatikan rumusan dari pasal-pasal pada kitab undangundang hukum Pidana bahasa (Kamus Besar Bahasa Indonesia,
1989:42).
Kejahatan merupakan suatu fenomena yang kompleks yang
dapat dipahami dari berbagai sisi yang berbeda, itu sebabnya
dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar
tentang suatu peristiwa kejahatan yang berbeda satu dengan yang
lain.
Menurut Aristoteles dalam Topo Santoso menyatakan bahwa:
“kemiskinan
menimbulkan
kejahatan
dari
pemberontakan,
kejahatan yang besar tidak diperbuat untuk memperoleh apa yang
diperlukan untuk hidup, tetapi kemewahan” (Topo Santoso dan
Eva zulfa, 2001 : 11).
Sementara Thomas Aquino dalam bukunya Topo Santoso
menyatakan bahwa : “pengaruh kemiskinan atas kejahatan yaitu
orang kaya yang hidup untuk kesenangan dan memboros-boroskan
kekayaan nya, jika suatu kali jatuh miskin, maka akan menjadi
pencuri” (Topo Santoso dan Eva Zulfa, 2001 : 11).
Menurut Wirjono Projo menyatakan bahwa : “Kejahatan
adalah pelanggaran dari norma-norma sebagai unsur pokok kesatu
dari hukum pidana” (Topo Santoso dan Eva Zulfa, 2001 : 11).
28
Menurut Richard Quinney dalam bukunya Topo Santoso
menyatakan definisi tentang tindak kejahatan (perilaku yg
melanggar hukum) adalah perilaku manusia yang diciptakan oleh
para pelaku yang berwenang dalam masyarakat yang terorganisasi
secara politik, atau kualifikasi atas perilaku yang melanggar
hukum dirumuskan oleh warga warga masyarakat yang
mempunyai kekuasaan (Topo Santoso dan Eva Zulfa, 2001 : 11).
Kejahatan adalah gambaran perilaku yang bertentangan
dengan kepentingan kelompok masyarakat
yang memiliki
kekuasaan untuk membentuk kebijakan publik, atau perumusan
pelanggaran hukum merupakan perumusan tentang perilaku yang
bertentangan dengan kepentingan pihak pihak yang membuat
perumusan. Dilihat dari segi sosiologis, kejahatan merupakan
salah satu jenis gejala sosial, yang berkenaan dengan individu atau
masyarakat.
Rumusan Paul Mudigdo dalam bukunya Topo Santoso
menyatakan bahwa : “Kejahatan adalah perbuatan manusia, yang
merupakan palanggaran norma, yang dirasakan merugikan,
menjengkelkan, sehingga tidak boleh dibiarkan”. Kejahatan selalu
menunjuk kepada perbuatan manusia dan juga batasan-batasan
atau pandangan masyarakat tentang apa yang dibolehkan dan
dilarang, apa yang baik dan buruk, yang semuanya itu terdapat
dalam undang-undang, kebiasaan, dan adat istiadat Moeliono
(Topo Santoso dan Eva Zulfa, 2001 : 11).
Kejahatan bukan saja normal, dalam arti tidak ada masyarakat
tanpa kejahatan. Kejahatan merupakan sesuatu yang diperlukan,
sebab ciri masyarakat adalah dinamis, dan perbuatan yang telah
menggerakan masyarakat tersebut pada mulanya seringkali disebut
sebagai kejahatan.
Secara etimologis, kriminologi berasal dan kata Crime dan
logos. Crime artinya kejahatan, sedangkan logos artinya ilmu
29
pengetahuan.
Secara
lengkap
kriminologi
berarti
ilmu
pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan.
Ditinjau dari aspek yuridis, pelaku kejahatan adalah jika
seseorang melanggar peraturan atau undang-undang pidana dan
dinyatakan bersalah oleh pengadilan serta dijatuhi hukuman.
Contoh:
1) Pembunuhan adalah perbuatan yang memenuhi perumusan
pasal 338 KUHP;
2) Pencurian adalah perbuatan yang memenuhi perumusan pasal
362 KUHP;
3) Penganiayaan adalah perbuatan yang memenuhi perumusan
pasal 351 KUHP.
Dalam hal ini apabila seseorang belum dijatuhi hukuman
berarti orang tersebut belum dianggap penjahat. Ditinjau dari
aspek sosial pelaku kejahatan ialah jika seseorang mengalami
kegagalan dalam menyesuaikan diri atau berbuat menyimpang
dengan sadar atau tidak sadar dari norma - norma yang berlaku di
dalam masyarakat sehingga perbuatannya tidak dapat dibenarkan
oleh masyarakat.
Ditinjau dari aspek ekonomi pelaku kejahatan ialah jika
seseorang (atau lebih), dianggap merugikan orang lain dengan
membebankan kepentingan ekonominya kepada masyarakat
sekelilingnya, sehingga ia dianggap sebagai penghambat atas
kebahagian orang lain.
Secara formal kejahatan dirumuskan sebagai suatu perbuatan
yang oleh negara diberi pidana. Pemberian pidana dimaksudkan
untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu akibat
perbuatan itu. Keseimbangan yang terganggu itu ialah ketertiban
masyarakat terganggu, masyarakat resah akibatnya. Kejahatan
30
dapat didefinisikan berdasarkan adanya unsur anti sosial.
Berdasarkan unsur itu dapatlah dirumuskan bahwa kejahatan
adalah suatu tindakan anti sosial yang merugikan, tidak pantas,
tidak dapat dibiarkan, yang dapat menimbulkan kegoncangan
dalam masyarakat.
Apabila pendapat tentang kejahatan di atas kita pelajari secara
teliti, maka dapatlah digolongkan dalam dua jenis pengertian
sebagai berikut :
1) Pengertian Secara Praktis (sosiologis)
Pelanggaran atas norma-norma agama, kebiasaan, kesusilaan
yang hidup dalam masyarakat disebut kejahatan.
2) Pengertian Secara Yuridis
Dilihat dari hukum pidana maka kejahatan adalah setiap
perbuatan atau pelalaian yang dilarang oleh hukum publik
untuk melindungi masyarakat dn diberi pidana oleh Negara.
b. Teori Penyebab Terjadinya Kejahatan
Di dalam kriminilogi dikenal adanya beberapa teori yang
dapat dipergunakan untuk menganalisis permasalahanpermasalahan yang berkaitan dengan kejahatan. Teori- teori
tersebut pada hakekatnya berusaha untuk mengkaji dan
menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan penjahat dengan
kejahata, namun dalam menjelaskan hal tersebut sudah tentu
terdapat hal-hal yang berbeda antara satu teori dengan teori
lainnya.
Teori-teori kriminologi tentang kejahatan, sebagai berikut:
1) Teori Klasik
Teori ini mulai muncul di Inggris pada pertengahan
abad ke-19 dan tersebar di Eropa dan Amerika. Teori ini
berdasarkan psikologi hedonistik. Menurut psikologi
hedonistik
setiap
perbuatan
manusia
berdasarkan
pertimbangan rasa senang dan rasa tidak senang. Setiap
manusia berhak memilih mana yang baik dan mana yang
buruk, perbuatan mana yang mendatangkan kesenangan dan
mana yang tidak.
31
Menurut Beccaria dalam bukunya Dharma Weda
menjelaskan bahwa : “Setiap orang yang melanggar hukum
telah memperhitungkan kesenangan dan rasa sakit yang
diperoleh dari perbuatan tersebut. That the act which I do the
ct wich I think will give me most pleasure”.
Lebih lanjut Beccaria menyatakan bahwa : “Semua
orang yang melanggar UU tertentu harus menerima hukuman
yang sama, tanpa mengingat umur, kesehatan jiwa, kaya
miskinnya, posisi sosial dan keadaan-keadaan lainnya.
Hukuman yang dijatuhakan harus sedemikian beratnya”.
Berdasarkan pendapat Beccaria tersebut setiap
hukuman yang dijatuhkan sekalipun pidana yang berat sudah
diperhitungkan sebagai kesenangan yang diperolehnya,
sehingga maksud pendapat Beccaria adalah untuk mengurangi
kesewenangan dan kekuasaan hukuman.
Konsep keadilan menurut teori ini adalah suatu
hukuman yang pasti untuk perbuatan-perbuatan yang sama
yanpa memperhatikan sifat dari sifat si pembuat dan tanpa
memperhatikan pula kemungkinan adanya peristiwa-peristiwa
tertentu yang memaksa terjadinya perbuatan tersebut.
2) Teori Neo Klasik
Teori neo kalsik ini sebenarnya merupakan revisi atau
perubahan teori klasik. Dengan demikian teori neo klasik ini
tidak menyimpang dari konsepsi-konsepsi umum tentang
sifat-sifat manusia yang berlaku pada waktu itu. Doktrin
dasarnya tetap yaitu bahwa manusia mahluk yang mempunyai
rasio yang berkehendak bebas karenanya bertanggung jawab
atas perbuatan-perbuatannya dan dapat dikontrol oleh rasa
ketakutannya terhadap hukum.
Ciri khas teori neo-klasik adalah sebagai berikut :
a) Adanya perlunakan/perubahan pada doktrin kehendak
bebas, kebebasan kehendak untuk memilih dapat
dipengaruhi oleh :
(1) Patologi, ketidak mampuan untuk bertindak, sakit
jiwa, atau lain-lain. Keadaan yang mencegah
seseorang untuk memperlakukan kehendak bebasnya.
(2) Premiditasi niat, yang dijadikan ukuran dari
kebebasan kehendak, tetapi hal ini menyangkut
terhadap hal-hal yang aneh, sebab jika benar, maka
pelaku pidana untuk pertama kali harus dianggap
lebih bebas untuk memilih daripada residivis yang
terkait dengan kebiasaan-kebiasaannya, dan oleh
karenanya harus dihukum dengan berat.
32
b) Pengakuan dari pada sahnya keadaan yang merubah ini
dapat berupa fisik (cuaca, mekanis, dan sebagainya).
Keadaan- keadaan lingkungannya atau keadaan mental
dan individu.
c) Perubahan doktrin tanggung jawab sempurna untuk
memungkinkan perubahan hukuman menjadi tanggung
jawab sebagian saja. Sebab-sebab utama untuk
mempertanggung jawabkan seseorang untuk sebagian
saja adalah kegilaan, kedunguan, usia dan lain-lain yang
dapat mempengaruhi pengetahuan dan niat seseorang
pada waktu melakukan kejahatan.
d) Dimasukkan persaksian/keterangan ahli di dalam acara
pengadilan untuk menentuakn besarnya tanggung jawab,
untuk menentukan apakah si terdakwa mampu memilih
antara yang benar dan yang salah.
Berdasarkan ciri khas teori neo-klasik, tampak bahwa
teori neo-klasik menggambarkan ditinggalkannya kekutan
yang supra-natural, yang ajaib (gaib), sebagai prinsip untuk
menjelaskan dan membimbing terbentuknya pelaksanaan
Hukum Pidana. Dengan demikian teori-teori neo-klasik
menunjukkan permulaan pendekatan yang naturalistik
terhadap prilaku/tingkah laku manusia.
Gambaran mengenai manusia sebagai boneka yang
dikuasai oleh kekuatan gaib digantinya dengan gambaran
manusia sebagai mahluk yang berkehendak sendiri, yang
berkehendak atas dasar rasio dan intelegensiadan karena itu
bertanggung jawab atas kelakuannya.
3) Teori Kartografi/geografi
Teori ini berkembang di Perancis, Inggris, Jerman.
Teori ini mulai berkembang pada tahun 1830 – 1880 M. Teori
ini sering pula disebut sebagai ajaran ekologis. Yang
dipentingkan oleh ajaran ini adalah distribusi kejahatan dalam
daerah-daerah tertentu, baik secara geografis maupun secara
sosial. Menurut teori ini, kejahatan merupakan perwujudan
kondisi-kondisi sosial yang ada. Dengan kata lain bahwa
kejahatan itu muncul di sebabkan karena faktor dari luar
manusia itu sendiri.
4) Teori Sosialis
Teori sosialis mulai berkembang pada tahun 1850 M.
Para tokoh aliran ini banyak dipengaruhi oleh tulisan dari
Marx dan Engels, yang lebih menekankan pada determinasi
ekonomi. Menurut para tokoh ajaran ini, kejahatan timbul
disebabkan oleh adanya tekanan ekonomi yang tidak
33
seimbang dalam masyarakat. Berdasarakan pendapat tersebut
diatas, maka untuk melawan kejahatan itu haruslah diadakan
peningkatan di bidang ekonomi.dengan kata lain
kemakmuran, keseimbangan dan keadilan sosial akan
mengurangi terjadinya kejahatan.
5) Teori Tipologis
Di dalam kriminologi telah berkembang empat teori
yang disebut dengan teori tipologis atau byo-tipologis.
Keempat aliran tersebut mempunyai kesamaan pemikiran dan
metodologi. Mereka mempunyai asumsi bahwa terdapat
perbedaan antara orang jahat dan orang yang tidak jahat.
Keempat teori tipologis tersebut adalah sebagai berikut :
a) Teori Lombroso/mazhab Antropologis
Teori ini dipelopori oleh Cesare Lombroso. Menurut
Lombroso dalam bukunya Dharma Weda, kejahatan
merupakan bakat manusia yang dibawa sejak lahir
(criminal is born). Selanjutnya ia mengatakan bahwa ciri
khas seorang penjahat dapat dilihat dari keadaan fisiknya
yang mana sangat berbeda dengan manusia lainnya.
Adapun beberapa proposisi yang dikemukakan oleh
Lombroso yaitu :
(1) Penjahat dilahirkan dan mempunyai tipe-tipe yang
berbeda;
(2) Tipe ini biasa dikenal dari beberapa ciri tertentu
seperti : tengkorak yang asimetris, rahang bawah
yang panjang,hidung yang pesek, rambut janggut
yang jarang, dan tahan terhadap rasa sakit;
(3) Tanda-tanda lahiriah ini bukan penyebab kejahatan
tetapi merupakan tanda pengenal kepribadian yang
cenderung mempunyai prilaku kriminal;
(4) Karena adanya kepribadian ini, mereka tidak dapat
terhindar dari melakukan kejahatan kecuali bila
lingkungan
dan
kesempatan
yang
tidak
memungkinkan;
(5) Penganut aliran ini mengemukakan bahwa, penjahat
seperti pencuri, pembunuh, pelanggar seks dapat
dibedakan oleh ciri-ciri tertentu.
Aliran Lombroso ini bertujuan untuk membantah
aliran klasik dalam persoalan determinasi melawan
kebebasan kemauan dan kemudian membantah teori
Tarde tentang theory of imitation (Le lois de’l imitation).
34
Teori Lombroso ini, dibantah oleh Goring dengan
membuat penelitian perbandingan. Hasil penelitiannya
tersebut, Goring menarik kesimpulan bahwa tidak ada
tanda-tanda jasmaniah untuk disebut sebagai tipe
penjahat, demikian pula tidak ada tanda-tanda rohaniah
untuk menyatakan penjahat itu memiliki suatu tipe.
Menurut Goring dalam bukunya Made Dharma
Weda menerangkan bahwa : “Kuasa kejahatan itu timbul
karena setiap manusia mempunyai kelemahan/cacat yang
dibawa sejak lahir, kelemahan/cacat inilah yang
menyebabkan orang tersebut melakukan kejahatan”.
Dengan demikian Goring dalam mencari kuasa
kejahatan kembali pada factor psikologis, sedangakan
faktor lingkungan sangat kecil pengaruhnya terhadap
seseorang.
b) Teori Mental Tester
Teori Mental Tester ini muncul setelah
runtuhnya teori Lombroso. Teori ini dalam
metodologinya menggunakan tes mental untuk
membedakan penjahat dan bukan penjahat.
Menurut Goddard dalam bukunya Made Darma
Weda menyatakan bahwa : “Setiap penjahat adalah
orang yang otaknya lemah, karena otaknya orang yang
otaknya lemah tidak dapat menilai perbuatannya, dan
dengan demikian tidak dapat pula menilai akibat dari
perbuatannya tersebut atau menangkap serta menilai
arti hukum”.
Berdasarkan pendapat tersebut, teori ini
memandang kelemahan otak merupakan pembawaan
sejak lahir dan merupakan penyebab orang melakukan
kejahatan.
c) Teori Sosiologis
Dalam member kuasa kejahatan, teori sosiologis
merupakan aliran yang sangat bervariasi. Analisis
sebab-sebab kejahatan secara sosiologis banyak
dipengaruhi oleh teori kartografi dan sosialis. Teori ini
menafsirkan kejahatan sebagai fungsi lingkungan social
(crime as a function of social environment).
Pokok pangkal dengan ajaran ini adalah, bahwa
kelakuan jahat dihasilkan oleh proses-proses yang sama
seperti kelakuan social. Dengan demikian proses
terjadinya tingkah laku jahat tidak berbeda dengan
tingkah laku lainnya termasuk tingkah laku yang baik.
35
Orang melakukan kejahatan disebabkan karena orang
tersebut meniru keadaan sekelilingnya.
6) Teori Lingkungan
Teori ini biasa juga disebut sebagai mazhab perancis.
Menurut teori ini, seseorang melakukan kejahatan karena
dipengaruhi oleh faktor disekitarnya/lingkungan, baik
lingkungan keluarga, ekonomi, social, budaya, pertahanan
keamanan termasuk pertahanan dengan dunia luar, serta
penemuan teknologi.
Masuknya barang-barang dari luar negeri seperti
televisi, buku-buku serta film dengan berbagai macam
reklame sebagai promosinya ikut pula menentukan tinggi
rendahnya tingkat kejahatan.
Menurut Tarde dalam bukunya Made Darma Weda
menyatakan bahwa :“Orang menjadi jahat disebabkan karena
pengaruh imitation”. Berdasarkan pendapat Tarde tersebut,
seseorang melakukan kejahatan karena orang tersebut meniru
keadaan sekelilingnya.
7) Teori Biososiologis
Teori dari aliran ini adalah A. D. Prins, Van Humel, D.
Simons dan lain-lain. Aliran biososiologis ini sebenarnya
merupakan perpaduan dari aliran Antropologi dan aliran
Sosiologis, oleh karena ajarannya didasarkan bahwa tiap-tiap
kejahatan itu timbul karena faktor individu seperti keadaan
psikis dan fisik dari si penjahat dan juga karena faktor
lingkungan.
Faktor individu itu dapat meliputi sifat individu yang
diperoleh sebagai warisan dari orang tuanya, keadaan
badaniah, kelamin, umur, intelek, tempramen, kesehatan, dan
minuman keras. Keadaan lingkungan yang mendorong
seseorang melakukan kejahatan itu meliputi keadaan alam
(geografis dan klimatologis), keadaan ekonomi, tingkat
peradaban dan keadaan politik suatu Negara misalnya
meningkatnya kejahatan menjelang pemilihan umum dan
menghadapi sidang MPR klasik (Darma Weda, 1996 : 15-20).
4. Tinjauan Umum Tentang Pertimbangan Hakim
a.
Pengertian Pertimbangan Hakim
Pertimbangan
hakim
merupakan
salah
satu
aspek
terpenting dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu
36
putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo et bono)
dan mengandung kepastian hukum, di samping itu juga
mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan
sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti,
baik, dan cermat. Apabila pertimbangan hakim tidak teliti, baik,
dan cermat, maka putusan hakim yang berasal dari pertimbangan
hakim
tersebut
akan
dibatalkan
oleh
Pengadilan
Tinggi/Mahkamah Agung (Mukti Arto, 2004 : 140).
Hakim dalam pemeriksaan suatu perkara juga memerlukan
adanya pembuktian, dimana hasil dari pembuktian itu akan
digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memutus perkara.
Pembuktian merupakan tahap yang paling penting dalam
pemeriksaan di persidangan. Pembuktian bertujuan untuk
memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa/fakta yang
diajukan itu benar-benar terjadi, guna mendapatkan putusan
hakim yang benar dan adil. Hakim tidak dapat menjatuhkan
suatu putusan sebelum nyata baginya bahwa peristiwa/fakta
tersebut benar-benar terjadi, yakni dibuktikan kebenaranya,
sehingga nampak adanya hubungan hukum antara para pihak
(Mukti Arto, 2004 : 141).
b.
Dasar Pertimbangan Hakim
Dasar hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan perlu
didasarkan kepada teori dan hasil penelitian yang saling
berkaitan sehingga didapatkan hasil penelitian yang maksimal
dan seimbang dalam tataran teori dan praktek. Salah satu usaha
untuk mencapai kepastian hukum kehakiman, di mana hakim
merupakan aparat penegak hukum melalui putusannya dapat
menjadi tolak ukur tercapainya suatu kepastian hukum.
37
Pokok kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Bab IX Pasal 24 yang
berbunyi :
Pasal 24
(1) Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.***)
(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.***)
(3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.** **)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menjamin adanya sesuatu kekuasaan kehakiman yang
bebas. Hal ini tegas dicantumkan dalam Pasal 24 terutama dalam
penjelasan Pasal 24 ayat 1 dan penjelasan Pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, yaitu kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan
negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
demi terselenggaranya Negara Kesatuan Republik Indonesia
(Mukti Arto, 2004 : 142).
Kekuasaan
kehakiman
merupakan
kekuasaan
yang
merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa
kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak
kekuasaan ekstra yudisial, kecuali hal-hal sebagaimana disebut
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial
38
bersifat tidak mutlak karena tugas hakim alah menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya
mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Kemudian Pasal
24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menegaskan bahwa: kekuasan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah mahkamah
konstitusi (Andi Hamzah, 1996 : 94).
Kebebasan hakim perlu pula dipaparkan posisi hakim yang
tidak memihak (impartial jugde) Pasal 5 ayat (2) UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Istilah tidak memihak di sini haruslah tidak harfiah, karena
dalam menjatuhkan putusannya hakim harus memihak yang
benar. Dalam hal ini tidak diartikan tidak berat sebelah dalam
pertimbangan dan penilaiannya (Mukti Arto, 2004 : 95).
Seorang hakim diwajibkan untuk menegakkan hukum dan
keadilan dengan tidak memihak. Hakim dalam memberi suatu
keadilan harus menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran
peristiwa yang diajukan kepadanya kemudian memberi penilaian
terhadap peristiwa tersebut dan menghubungkannya dengan
hukum yang berlaku. Setelah itu hakim baru dapat menjatuhkan
putusan terhadap peristiwa tersebut.
Seorang hakim dianggap tahu akan hukumnya sehingga
tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili suatu peristiwa
yang diajukan kepadanya. Hal ini diatur dalam Pasal 10 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yaitu :
39
“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya”.
Seorang
diperbolehkan
hakim
untuk
dalam
bercermin
menemukan
pada
hukumnya
yurisprudensil
dan
pendapat para ahli hukum terkenal (doktrin). Hal ini ditekankan
pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
yang berbunyi :
“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat.”
40
B. Kerangka Pemikiran
Tindak Pidana Pembunuhan
Anak yang Dilakukan Oleh Ibu
Kandung
Pengaturan
(Pasal 341 KUHP)
Putusan Hakim (Putusan
Nomor :
53/Pid.B/2015/PN.Skt.)
Faktor
penyebab
terjadinya pembunuhan
anak yang dilakukan oleh
ibu kandung
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Pertimbangan hakim yang
menangani
perkara
pembunuhan anak yang
dilakukan oleh ibu kandung
41
Keterangan :
Kerangka Pemikiran tersebut menjelaskan alur berpikir penulis dalam
menyusun penelitian hukum ini. Tindak pidana pembunuhan anak oleh ibu kandung
diatur dalam Pasal 341 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Terkait
dengan pengaturan sanksi pidana tersebut, maka dipertegas dengan adanya putusan
hakim di pengadilan yang menangani permasalahan tindak pidana tersebut dengan
dikeluarkannya Putusan Nomor : 53/Pid.B/2015/PN.Skt yang akan dikaji lebih lanjut
dalam pembahasan berikutnya apakah faktor penyebab terjadinya pembunuhan anak
oleh ibu kandung dan apa pertimbangan dari hakim yang memutus perkara tersebut.
Download