BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Pembunuhan a. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan perkataan strafbaar feit untuk menyebutkan apa yang dikenal sebagai “tindak pidana”. Kata feit dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” sedangkan strafbaar berarti “dapat dihukum”, sehingga secara harafiah kata strafbarr feit dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum” (P.A.F Lamintang, 2013 : 181). Istilah strafbaar feit memiliki banyak pengertian melalui pandangan-pandangan para ahli hukum. Hazewinkel-Suringa membuat rumusan yang bersifat umum dari strafbaar feit sebagai “suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak dalam suatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai suatu perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat didalamnya” (P.A.F Lamintang, 2013 : 181). Menurut Van Hamel dalam Lamintang, strafbaar feit sebagai “suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain”. Menurut Pompe dalam Lamintang, strafbaar feit sebagai “suatu pelanggaran norma yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum” (P.A.F Lamintang, 2013 : 182). 13 14 Menurut pendapat beberapa pakar atau ahli hukum pidana di Indonesia lainnya, pengertian strafbaar feit adalah sebagai berikut : 1) Menurut Vos dalam bukunya Martiman Prodjohamidjojo merumuskan bahwa strafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundangundangan (Martiman Prodjohamidjojo, 1995 : 16). 2) Simons mengemukakan bahwa strafbaar feit adalah suatu tindakan melawan hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang yang dapat dipertanggung jawabkan atas tindakannya, yang dinyatakan sebagai dapat dihukum (Simons, 1992 : 127). 3) Menurut Pompe dalam bukunya Lamintang, perkataan strafbaar feit secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum (P.A.F. Lamintang, 1997 : 182). 4) Menurut Van Hamel dalam bukunya Andi Hamzah merumuskan strafbaar feit sebagai kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan (Andi Hamzah, 2008 : 96). 5) Karni dalam bukunya Sudarto mengatakan delik itu mengandung perbuatan yang mengandung perlawanan hak, yang dilakukan dengan salah dosa, oleh orang yang sempurna akal budinya dan kepada siapa dipertanggungjawabkan (Sudarto, 1990 : 42). perbuatan 15 6) Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana sebagai terjemahan dari strafbaar feit. Beliau berpendapat ”perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut” (Moeljatno, 2008 : 59). 7) Wirjono Prodjodikoro secara singkat memberikan pengertian tindak pidana. Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana. Dan, pelaku ini dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak pidana (Wirjono Prodjodikoro, 2012 : 59). Pengertian Tindak pidana dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-undangan di Indonesia. Hampir seluruh perundang-undangan di Indonesia menggunakan istilah tindak pidana untuk merumuskan suatu tindakan yang dapat diancam dengan suatu pidana tertentu. Pengertian tindak pidana adalah suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu, apabila ada orang yang melakukan perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam pengertian tindak pidana muncul dua pandangan yaitu pandangan monistis dan pandangan dualistis. Pandangan monistis adalah suatu pandangan yang melihat keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan. Pada dasarnya pandangan ini tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatan dengan unsurunsur mengenai orangnya. Dalam pandangan ini untuk adanya suatu tindak pidana harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut : 16 1) Perbuatan manusia, baik dalam arti perbuatan positif (berbuat) maupun perbuatan negatif (tidak berbuat); 2) Diancam dengan pidana; 3) Melawan hukum; 4) Dilakukan dengan kesalahan; 5) Oleh orang yang mampu bertanggungjawab. Pandangan dualistis memisahkan antara perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana. Menurut pandangan dualistis dalam tindak pidana hanya mencakup perbuatannya saja. Sedangkan pertanggung jawaban pidananya tidak menjadi unsur tindak pidana. Syarat-syarat suatu perbuatan disebut tindak pidana ada tiga, yaitu : 1) Perbuatan orang perorangan atau korporasi; 2) Melanggar peraturan perundangan; 3) Bersifat melawan hukum. Sedangkan unsur kesalahan dan kemampuan bertanggungjawab tidak masuk sebagai unsur perbuatan pidana karena unsur ini terletak pada orang yang berbuat (Tim Penyusun Dosen FH UNS, Dikat PHI, 2010 : 89-91). Dapat disimpulkan bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dan dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya tersebut. Yang mana tindakan yang dilakukannya tersebut itu adalah tindakan yang melawan hukum atau melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga tindakan tersebut dapat diancam dengan suatu pidana dengan maksud untuk memberi efek jera, baik bagi individu yang melakukannya maupun bagi orang lain yang mengetahuinya. 17 b. Unsur-Unsur Tindak Pidana Unsur formal meliputi : 1) Perbuatan manusia, yaitu perbuatan dalam arti luas, artinya tidak berbuat yang termasuk perbuatan dan dilakukan oleh manusia. 2) Melanggar peraturan pidana. dalam artian bahwa sesuatu akan dihukum apabila sudah ada peraturan pidana sebelumnya yang telah mengatur perbuatan tersebut, jadi hakim tidak dapat menuduh suatu kejahatan yang telah dilakukan dengan suatu peraturan pidana, maka tidak ada tindak pidana. 3) Diancam dengan hukuman, hal ini bermaksud bahwa KUHP mengatur tentang hukuman yang berbeda berdasarkan tindak pidana yang telah dilakukan. 4) Dilakukan oleh orang yang bersalah, dimana unsur-unsur kesalahan yaitu harus ada kehendak, keinginan atau kemauan dari orang yang melakukan tindak pidana serta Orang tersebut berbuat sesuatu dengan sengaja, mengetahui dan sadar sebelumnya terhadap akibat perbuatannya. Kesalahan dalam arti sempit dapat diartikan kesalahan yang disebabkan karena si pembuat kurang memperhatikan akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang. 5) Pertanggungjawaban yang menentukan bahwa orang yang tidak sehat ingatannya tidak dapat diminta pertanggungjawabannya. Dasar dari pertanggungjawaban seseorang terletak dalam keadaan jiwanya. Unsur material dari tindak pidana bersifat bertentangan dengan hukum, yaitu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sehingga perbuatan yang tidak patut dilakukan. Jadi meskipun perbuatan itu memenuhi rumusan undang-undang, tetapi apabila tidak bersifat melawan hukum, maka perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana. Unsur-unsur tindak pidana dalam ilmu hukum pidana dibedakan dalam dua macam, yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif adalah unsur yang terdapat di luar diri pelaku tindak pidana. Unsur ini meliputi : 1) Perbuatan atau kelakuan manusia, dimana perbuatan atau kelakuan manusia itu ada yang aktif (berbuat sesuatu), misal membunuh (Pasal 338 KUHP), menganiaya (Pasal 351 KUHP); 2) Akibat yang menjadi syarat mutlak dari delik. Hal ini terdapat dalam delik material atau delik yang dirumuskan secara material, misalnya pembunuhan (Pasal 338 KUHP), penganiayaan (Pasal 351 KUHP), dan lain-lain; 18 3) Ada unsur melawan hukum. Setiap perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh peraturan perundangundangan hukum pidana itu harus bersifat melawan hukum, meskipun unsur ini tidak dinyatakan dengan tegas dalam perumusan (Roni Wiyanto, 2012 : 160). Syarat formil harus ada, karena hanya asas legalitas yang tersimpul dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Syarat materiil juga harus ada, kerena perbuatan itu harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tak boleh atau tidak patut dilakukan, oleh karena bertentangan dengan atau menghambat akan tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat itu. Moeljatno berpendapat, bahwa “kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab dari si pembuat tidak masuk sebagai unsur perbuatan pidana, karena hal-hal tersebut melekat pada orang yang berbuat” (Sudarto, 1990 : 43). Menurut Sudarto tentang unsur tindak pidana yang dikemukakan oleh Moeljatno : Jadi untuk memungkinkan adanya pemidanaan secara wajar, apabila diikuti pendirian Prof.Moeljatno, maka tidak cukup apabila seseorang itu telah melakukan perbuatan pidana belaka; di samping itu pada orang tersebut harus ada kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab (Sudarto, 1990:44). Menurut D.Simons dalam buku Lamintang menjelaskan bahwa unsur-unsur strafbaar feit adalah : 1) Perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan); 2) Diancam dengan pidana (stratbaar gestcld); 3) Melawan hukum (onrechmatig); 4) Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand); 5) Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar persoon). 19 Simons dalam Lamintang menyebut adanya unsur objektif dan unsur subjektif dari strafbaar feit : 1) Unsur objektif antara lain : a) Perbuatan orang; b) Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu; c) Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat “di muka umum”. 2) Unsur subjektifnya adalah : a) Orang yang mampu bertanggung jawab; b) Adanya kesalahan (dolus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan. Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu dilakukan (P.A.F Lamintang, 2013 : 185). Menurut Sudarto, unsur tindak pidana yang dapat disebut sebagai syarat pemidanaan antara lain : 1) Perbuatannya, syarat : a) Memenuhi rumusan undang-undang; b) Bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar) 2) Orangnya (kesalahannya), syarat : a) Mampu bertanggung jawab; b) Dolus atau culpa (tidak ada alasan pemaaf) Menurut Vos dalam Adam Chazawi menjelaskan unsur-unsur tindak pidana adalah : a. kelakuan manusia; b. diancam dengan pidana; c. dalam peraturan perundang-undangan. Dapat dilihat bahwa pada unsur-unsur tindak pidana yang dikemukakan oleh Vos, tidak ada perbedaan, yaitu bahwa tindak pidana itu adalah perbuatan manusia yang dilarang, dimuat dalam undang-undang dan diancam pidana bagi yang melakukannya. Dari 20 unsur-unsur yang ada jelas terlihat bahwa unsur-unsur tersebut tidak menyangkut diri si pembuat atau dipidananya pembuat, sematamata mengenai perbuatannya (Adami Chazawi, 2013 : 80). Menurut P.A.F Lamintang, tindak pidana dapat dibedakan ke dua kategori unsur yang berbeda, yaitu unsur subjektif dan unsur objektif. Penjabaran dari kedua unsur tersebut adalah sebagai berikut: 1) Unsur Subjektif Yaitu unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang ada dalam diri dan pikirannya. Unsur ini terdiri dari : a) Kesengajaan (dolus) atau ketidaksengajaan (culpa); b) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP; c) Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat dalam kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain sebagainya; d) Perasaan takut atau vress; e) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad. 2) Unsur Objektif Yaitu unsur yang ada hubungannya dengan keadaan yang terjadi, dalam keadaan dimana tindakan si pelaku itu harus dilakukan. Unsur objektif terdiri dari : a) Melanggar hukum (wedenrechtelijkheid); b) Kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP. Kausalitas, yaitu hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat (P.A.F. Lamintang, 1997 : 193194). c. Tindak Pidana Pembunuhan Pembunuhan adalah suatu aktifitas yang dilakukan oleh seseorang dan atau beberapa orang, yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia. Dari definisi lain tindak pidana pembunuhan adalah perbuatan seseorang terhadap orang lain yang 21 mengakibatkan menghilangnya nyawa baik perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja. Kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain itu oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dewasa ini berlaku telah disebut sebagai suatu pembunuhan. Untuk menghilangkan nyawa orang lain itu seorang pelaku harus melakukan sesuatu atau suatu rangkaian tindakan yang berakibat dengan meninggalnya orang lain dengan catatan bahwa opzet dari pelakunya itu harus ditujukan pada akibat berupa meninggalnya orang lain tersebut (P.A.F. Lamintang, 2012 : 1). d. Pembagian Jenis-Jenis Tindak Pidana Pembunuhan dalam KUHP Dalam pengaturan mengenai ketentuan-ketentuan pidana tentang kejahatan yang ditujukan terhadap nyawa orang, terdapat lima jenis kejahatan yang ditujukan terhadap nyawa orang, antara lain : 1) Kejahatan berupa kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain dalam pengertiannya yang umum, tentang kejahatan pembentuk undang-undang selanjutnya juga masih membuat pembedaan antara kesengajaan menghilangkan nyawa orang yang tidak direncanakan lebih dahulu yang telah diberinya nama doodslag dengan kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain dengan direncanakan lebih dahulu disebut dengan moord. Doodslag diatur dalam Pasal 338 KUHP sedang moord diatur dalam Pasal 340 KUHP. 2) Kejahatan berupa kesengajaan menghilangkan nyawa seorang anak yang baru dilahirkan oleh ibunya sendiri. Tentang kejahatan ini selanjutnya pembentuk undang-undang masih membuat 22 pembedaan antara kesengajaan menghilangkan nyawa seorang anak yang baru dilahirkan ibunya sendiri yang dilakukan tanpa direncanakan terlebih dahulu dengan kesengajaan menghilangkan nyawa seorang anak yang baru dilahirkan oleh ibunya sendiri yang dilakukan dengan direncanakan lebih dahulu. Jenis kejahatan yang disebutkan terdahulu itu oleh pembentuk undang-undang disebut sebagai kinderdoodslag dan diatur dalam Pasal 341 KUHP, adapun jenis kejahatan yang disebutkan kemudian adalah kindermoord dan diatur dalam Pasal 342 KUHP. 3) Kejahatan berupa kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yakni sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 344 KUHP. 4) Kejahatan berupa kesengajaan mendorong orang lain melakukan bunuh diri atau membantu orang lain melakukan bunuh diri sebagaimana diatur dalam Pasal 345 KUHP. 5) Kejahatan berupa kesengajaan menggugurkan kandungan seorang wanita atau menyebabkan anak berada dalam kandungan meninggal dunia. Pengguguran kandungan itu oleh pembentuk undang-undang telah disebut dengan kata afdrijving. Mengenai kejahatan ini selanjutnya pembentuk undang-undang masih membuat pembedaan antara beberapa jenis afdrijving yang dipandangnya dapat terjadi di dalam praktiknya, yaitu ; a) Kesengajaan menggugurkan kandungan yang dilakukan orang atas permintaan wanita yang mengandung seperti yang diatur dalam Pasal 346 KUHP. b) Kesengajaan menggugurkan kandungan yang dilakukan orang tanpa mendapatkan izin lebih dahulu dari wanita yang mengandung seperti yang diatur dalam Pasal 347 KUHP. 23 c) Kesengajaan menggugurkan kandungan yang dilakukan orang dengan mendapatkan izin lebih dahulu dari wanita yang mengandung seperti yang diatur dalam Pasal 348 KUHP. d) Kesengajaan menggugurkan kandungan seorang wanita yang pelaksanaannya telah dibantu oleh seorang dokter, seorang bidan atau seorang peramu obat-obatan, seperti yang diatur dalam Pasal 349 KUHP (P.A.F. Lamintang, 2012 :11-13). e. Tindak Pidana Pembunuhan Anak Kejahatan pembunuhan anak bukan hanya merusak nilai-nilai asas manusia, tetapi telah merendahkan derajat manusia, karena masalah moralitas agama melekat pada seorang manusia juga tidak kalah memegang peranan penting dalam terjadinya tindak pidana pembunuhan bayi. Oleh sebab itu, menurut Barda Nawawi Arief, dan dalam rangka pembaharuan hukum pidana yang dimaksud menciptakan hukum positif secara nasional, tidak bisa dilepaskan dari nilainilai yang timbul dan berkembang dalam masyarakat hukum yang hidup dalam masyarakat, karena masyarakat memegang teguh nilai-nilai kemasyarakatan sebagai pedoman untuk berbuat dan tidak berbuat. (Barda Nawawi Arief, 2001 : 28). Tindak Pidana pembunuhan anak yang oleh pembentuk undang-undang telah disebut sebagai kinderdoodslag diatur dalam Pasal 341, yang menyatakan: “seorang ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan anak pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa anaknya, diancam karena 24 membunuh nyawa anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun”. Tindak pidana pada pembunuhan ini dinamakan membunuh biasa anak atau maker mati anak (kinderdoodslag). Apabila pembunuhan anak itu dilakukan dengan direncanakan sebelumnya, maka dapat diancam dengan Pasal 342 KUHP, yang dinamakan kindermoord. Unsur-unsur pada pembunuhan anak ini adalah: 1) Pembunuhan anak itu harus dilakukan oleh ibunya sendiri, apabila si ibu mempunyai suami atau tidak, hal itu tidak menjadi soal; 2) Pembunuhan anak itu harus terdorong oleh rasa ketakutan akan diketahui melahirkan anak itu. Bila anak yang didapat karena hasil hubungan kelamin yang tidak sah atau berzinah, apabila unsur-unsur ini tidak ada, maka perbuatan itu dikenakan sebagai pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP) (P.A.F. Lamintang, 2012 : 58). 2. Tinjauan Umum Tentang Kriminologi a. Pengertian Kriminologi Kriminologi termasuk cabang ilmu pengetahuan yang berkembang pada tahun 1850 bersama-sama dengan ilmu Sosiologi, Antropologi, dan Psikologi. Nama Kriminologi pertama kali ditemukan oleh P.Topinard (1830-1911), seorang ahli Antropologi Prancis (A.S. Alam 2010:1). Secara etimologis, kriminologi terdiri dari dua suku kata yakni crime yang berarti kejahatan dan logos berarti ilmu pengetahuan, sehingga kriminologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang kejahatan. 25 Untuk lebih jelasnya mengenai pengertian kriminologi, berikut penulis kemukakan pandangan beberapa sarjana hukum terkemuka, antara lain: 1) Edwin H. Sutherland dalam bukunya A.S Alam menyatakan bahwa Criminology is the body of knowledge regarding delinquency and crimes as social phenomena (Kriminologi adalah kumpulan pengetahuan yang membahas kenakalan remaja dan kejahatan sebagai gejala sosial) (A.S. Alam 2010:1-2). 2) W.A. Bonger dalam bukunya A.S Alam menjelaskan bahwa Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan yang seluas-luasnya (A.S. Alam 2010:2). 3) J. Constant dalam bukunya A.S Alam mendefinisikan Kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan menentukan faktor-faktor yang menjadi sebab-musabab terjadinya kejahatan dan penjahat (A.S. Alam 2010:2). 4) WME. Noach dalam bukunya A.S Alam menjelaskan bahwa kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki gejala-gejala kejahatan dan tingkah laku yang tidak senonoh, sebab-musabab serta akibat-akibatnya (A.S. Alam 2010:2). Berdasarkan beberapa pengertian yang dikemukakan di atas maka dapat disimpulkan bahwa kriminologi pada dasarnya merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan, yaitu faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan dan upaya penanggulangannya. 26 b. Ruang Lingkup Kriminologi Menurut A.S. Alam ruang lingkup pembahasan Kriminologi meliputi tiga hal pokok, yaitu : 1) Proses pembuatan hukum pidana dan acara pidana (making laws). Pembahasan dalam proses pembuatan hukum pidana (process of making laws) meliputi : a) Definisi kejahatan; b) Unsur-unsur kejahatan; c) Relativitas pengertian kejahatan; d) Penggolongan kejahatan; e) Statistik kejahatan. 2) Etiologi kriminal, yang membahas yang membahas teori-teori yang menyebabkan terjadinya kejahatan (breaking of laws), sedangkan yang dibahas dalam Etiologi Kriminal (breaking of laws) meliputi : a) Aliran-aliran (mazhab-mazhab) kriminologi; b) Teori-teori kriminologi; c) Berbagai perspektif kriminologi; d) Reaksi terhadap pelanggaran hukum (reacting toward the breaking of laws). Reaksi dalam hal ini bukan hanya ditujukan kepada pelanggar hukum berupa tindakan represif tetapi juga reaksi terhadap calon pelanggar hukum berupa upaya-upaya pencegahan kejahatan (criminal prevention). 3) Perlakuan terhadap pelanggar-pelanggar hukum (Reacting Toward the Breaking laws) meliputi : a) Teori-teori penghukuman; b) Upaya-upaya penanggulangan/pencegahan kejahatan baik berupa tindakan pre-emtif, preventif, represif, dan rehabilitatif (A.S. Alam 2010 : 2-3). 3. Tinjauan Umum Tentang Kejahatan a. Pengertian Kejahatan Ada beberapa pengertian tentang kejahatan diantaranya adalah sebagai berikut: istilah kejahatan berasal dari kata jahat, yang artinya sangat tidak baik, sangat buruk, sangat jelek, yang ditumpukan terhadap tabiat dan kelakuan orang. Kejahatan berarti mempunyai sifat yang jahat atau perbuatan yang jahat. Secara 27 yuridis, Kejahatan diartikan sebagai suatu perbuatan melanggar hukum atau yang dilarang oleh undang-undang. Disini diperlukan suatu kepastian hukum, karena dengan ini orang akan tahu apa perbuatan jahat dan apa yang tidak jahat. Pengertian kejahatan menurut tata adalah “perbuatan atau tindakan yang jahat” yang lazim orang ketahui atau mendengar perbuatan yang jahat seperti pembunuhan, pencurian, pencabulan, penipuan, penganiyaan dan lain-lain yang dilakukan oleh manusia. Kalau kita perhatikan rumusan dari pasal-pasal pada kitab undangundang hukum Pidana bahasa (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989:42). Kejahatan merupakan suatu fenomena yang kompleks yang dapat dipahami dari berbagai sisi yang berbeda, itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar tentang suatu peristiwa kejahatan yang berbeda satu dengan yang lain. Menurut Aristoteles dalam Topo Santoso menyatakan bahwa: “kemiskinan menimbulkan kejahatan dari pemberontakan, kejahatan yang besar tidak diperbuat untuk memperoleh apa yang diperlukan untuk hidup, tetapi kemewahan” (Topo Santoso dan Eva zulfa, 2001 : 11). Sementara Thomas Aquino dalam bukunya Topo Santoso menyatakan bahwa : “pengaruh kemiskinan atas kejahatan yaitu orang kaya yang hidup untuk kesenangan dan memboros-boroskan kekayaan nya, jika suatu kali jatuh miskin, maka akan menjadi pencuri” (Topo Santoso dan Eva Zulfa, 2001 : 11). Menurut Wirjono Projo menyatakan bahwa : “Kejahatan adalah pelanggaran dari norma-norma sebagai unsur pokok kesatu dari hukum pidana” (Topo Santoso dan Eva Zulfa, 2001 : 11). 28 Menurut Richard Quinney dalam bukunya Topo Santoso menyatakan definisi tentang tindak kejahatan (perilaku yg melanggar hukum) adalah perilaku manusia yang diciptakan oleh para pelaku yang berwenang dalam masyarakat yang terorganisasi secara politik, atau kualifikasi atas perilaku yang melanggar hukum dirumuskan oleh warga warga masyarakat yang mempunyai kekuasaan (Topo Santoso dan Eva Zulfa, 2001 : 11). Kejahatan adalah gambaran perilaku yang bertentangan dengan kepentingan kelompok masyarakat yang memiliki kekuasaan untuk membentuk kebijakan publik, atau perumusan pelanggaran hukum merupakan perumusan tentang perilaku yang bertentangan dengan kepentingan pihak pihak yang membuat perumusan. Dilihat dari segi sosiologis, kejahatan merupakan salah satu jenis gejala sosial, yang berkenaan dengan individu atau masyarakat. Rumusan Paul Mudigdo dalam bukunya Topo Santoso menyatakan bahwa : “Kejahatan adalah perbuatan manusia, yang merupakan palanggaran norma, yang dirasakan merugikan, menjengkelkan, sehingga tidak boleh dibiarkan”. Kejahatan selalu menunjuk kepada perbuatan manusia dan juga batasan-batasan atau pandangan masyarakat tentang apa yang dibolehkan dan dilarang, apa yang baik dan buruk, yang semuanya itu terdapat dalam undang-undang, kebiasaan, dan adat istiadat Moeliono (Topo Santoso dan Eva Zulfa, 2001 : 11). Kejahatan bukan saja normal, dalam arti tidak ada masyarakat tanpa kejahatan. Kejahatan merupakan sesuatu yang diperlukan, sebab ciri masyarakat adalah dinamis, dan perbuatan yang telah menggerakan masyarakat tersebut pada mulanya seringkali disebut sebagai kejahatan. Secara etimologis, kriminologi berasal dan kata Crime dan logos. Crime artinya kejahatan, sedangkan logos artinya ilmu 29 pengetahuan. Secara lengkap kriminologi berarti ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan. Ditinjau dari aspek yuridis, pelaku kejahatan adalah jika seseorang melanggar peraturan atau undang-undang pidana dan dinyatakan bersalah oleh pengadilan serta dijatuhi hukuman. Contoh: 1) Pembunuhan adalah perbuatan yang memenuhi perumusan pasal 338 KUHP; 2) Pencurian adalah perbuatan yang memenuhi perumusan pasal 362 KUHP; 3) Penganiayaan adalah perbuatan yang memenuhi perumusan pasal 351 KUHP. Dalam hal ini apabila seseorang belum dijatuhi hukuman berarti orang tersebut belum dianggap penjahat. Ditinjau dari aspek sosial pelaku kejahatan ialah jika seseorang mengalami kegagalan dalam menyesuaikan diri atau berbuat menyimpang dengan sadar atau tidak sadar dari norma - norma yang berlaku di dalam masyarakat sehingga perbuatannya tidak dapat dibenarkan oleh masyarakat. Ditinjau dari aspek ekonomi pelaku kejahatan ialah jika seseorang (atau lebih), dianggap merugikan orang lain dengan membebankan kepentingan ekonominya kepada masyarakat sekelilingnya, sehingga ia dianggap sebagai penghambat atas kebahagian orang lain. Secara formal kejahatan dirumuskan sebagai suatu perbuatan yang oleh negara diberi pidana. Pemberian pidana dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu akibat perbuatan itu. Keseimbangan yang terganggu itu ialah ketertiban masyarakat terganggu, masyarakat resah akibatnya. Kejahatan 30 dapat didefinisikan berdasarkan adanya unsur anti sosial. Berdasarkan unsur itu dapatlah dirumuskan bahwa kejahatan adalah suatu tindakan anti sosial yang merugikan, tidak pantas, tidak dapat dibiarkan, yang dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat. Apabila pendapat tentang kejahatan di atas kita pelajari secara teliti, maka dapatlah digolongkan dalam dua jenis pengertian sebagai berikut : 1) Pengertian Secara Praktis (sosiologis) Pelanggaran atas norma-norma agama, kebiasaan, kesusilaan yang hidup dalam masyarakat disebut kejahatan. 2) Pengertian Secara Yuridis Dilihat dari hukum pidana maka kejahatan adalah setiap perbuatan atau pelalaian yang dilarang oleh hukum publik untuk melindungi masyarakat dn diberi pidana oleh Negara. b. Teori Penyebab Terjadinya Kejahatan Di dalam kriminilogi dikenal adanya beberapa teori yang dapat dipergunakan untuk menganalisis permasalahanpermasalahan yang berkaitan dengan kejahatan. Teori- teori tersebut pada hakekatnya berusaha untuk mengkaji dan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan penjahat dengan kejahata, namun dalam menjelaskan hal tersebut sudah tentu terdapat hal-hal yang berbeda antara satu teori dengan teori lainnya. Teori-teori kriminologi tentang kejahatan, sebagai berikut: 1) Teori Klasik Teori ini mulai muncul di Inggris pada pertengahan abad ke-19 dan tersebar di Eropa dan Amerika. Teori ini berdasarkan psikologi hedonistik. Menurut psikologi hedonistik setiap perbuatan manusia berdasarkan pertimbangan rasa senang dan rasa tidak senang. Setiap manusia berhak memilih mana yang baik dan mana yang buruk, perbuatan mana yang mendatangkan kesenangan dan mana yang tidak. 31 Menurut Beccaria dalam bukunya Dharma Weda menjelaskan bahwa : “Setiap orang yang melanggar hukum telah memperhitungkan kesenangan dan rasa sakit yang diperoleh dari perbuatan tersebut. That the act which I do the ct wich I think will give me most pleasure”. Lebih lanjut Beccaria menyatakan bahwa : “Semua orang yang melanggar UU tertentu harus menerima hukuman yang sama, tanpa mengingat umur, kesehatan jiwa, kaya miskinnya, posisi sosial dan keadaan-keadaan lainnya. Hukuman yang dijatuhakan harus sedemikian beratnya”. Berdasarkan pendapat Beccaria tersebut setiap hukuman yang dijatuhkan sekalipun pidana yang berat sudah diperhitungkan sebagai kesenangan yang diperolehnya, sehingga maksud pendapat Beccaria adalah untuk mengurangi kesewenangan dan kekuasaan hukuman. Konsep keadilan menurut teori ini adalah suatu hukuman yang pasti untuk perbuatan-perbuatan yang sama yanpa memperhatikan sifat dari sifat si pembuat dan tanpa memperhatikan pula kemungkinan adanya peristiwa-peristiwa tertentu yang memaksa terjadinya perbuatan tersebut. 2) Teori Neo Klasik Teori neo kalsik ini sebenarnya merupakan revisi atau perubahan teori klasik. Dengan demikian teori neo klasik ini tidak menyimpang dari konsepsi-konsepsi umum tentang sifat-sifat manusia yang berlaku pada waktu itu. Doktrin dasarnya tetap yaitu bahwa manusia mahluk yang mempunyai rasio yang berkehendak bebas karenanya bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatannya dan dapat dikontrol oleh rasa ketakutannya terhadap hukum. Ciri khas teori neo-klasik adalah sebagai berikut : a) Adanya perlunakan/perubahan pada doktrin kehendak bebas, kebebasan kehendak untuk memilih dapat dipengaruhi oleh : (1) Patologi, ketidak mampuan untuk bertindak, sakit jiwa, atau lain-lain. Keadaan yang mencegah seseorang untuk memperlakukan kehendak bebasnya. (2) Premiditasi niat, yang dijadikan ukuran dari kebebasan kehendak, tetapi hal ini menyangkut terhadap hal-hal yang aneh, sebab jika benar, maka pelaku pidana untuk pertama kali harus dianggap lebih bebas untuk memilih daripada residivis yang terkait dengan kebiasaan-kebiasaannya, dan oleh karenanya harus dihukum dengan berat. 32 b) Pengakuan dari pada sahnya keadaan yang merubah ini dapat berupa fisik (cuaca, mekanis, dan sebagainya). Keadaan- keadaan lingkungannya atau keadaan mental dan individu. c) Perubahan doktrin tanggung jawab sempurna untuk memungkinkan perubahan hukuman menjadi tanggung jawab sebagian saja. Sebab-sebab utama untuk mempertanggung jawabkan seseorang untuk sebagian saja adalah kegilaan, kedunguan, usia dan lain-lain yang dapat mempengaruhi pengetahuan dan niat seseorang pada waktu melakukan kejahatan. d) Dimasukkan persaksian/keterangan ahli di dalam acara pengadilan untuk menentuakn besarnya tanggung jawab, untuk menentukan apakah si terdakwa mampu memilih antara yang benar dan yang salah. Berdasarkan ciri khas teori neo-klasik, tampak bahwa teori neo-klasik menggambarkan ditinggalkannya kekutan yang supra-natural, yang ajaib (gaib), sebagai prinsip untuk menjelaskan dan membimbing terbentuknya pelaksanaan Hukum Pidana. Dengan demikian teori-teori neo-klasik menunjukkan permulaan pendekatan yang naturalistik terhadap prilaku/tingkah laku manusia. Gambaran mengenai manusia sebagai boneka yang dikuasai oleh kekuatan gaib digantinya dengan gambaran manusia sebagai mahluk yang berkehendak sendiri, yang berkehendak atas dasar rasio dan intelegensiadan karena itu bertanggung jawab atas kelakuannya. 3) Teori Kartografi/geografi Teori ini berkembang di Perancis, Inggris, Jerman. Teori ini mulai berkembang pada tahun 1830 – 1880 M. Teori ini sering pula disebut sebagai ajaran ekologis. Yang dipentingkan oleh ajaran ini adalah distribusi kejahatan dalam daerah-daerah tertentu, baik secara geografis maupun secara sosial. Menurut teori ini, kejahatan merupakan perwujudan kondisi-kondisi sosial yang ada. Dengan kata lain bahwa kejahatan itu muncul di sebabkan karena faktor dari luar manusia itu sendiri. 4) Teori Sosialis Teori sosialis mulai berkembang pada tahun 1850 M. Para tokoh aliran ini banyak dipengaruhi oleh tulisan dari Marx dan Engels, yang lebih menekankan pada determinasi ekonomi. Menurut para tokoh ajaran ini, kejahatan timbul disebabkan oleh adanya tekanan ekonomi yang tidak 33 seimbang dalam masyarakat. Berdasarakan pendapat tersebut diatas, maka untuk melawan kejahatan itu haruslah diadakan peningkatan di bidang ekonomi.dengan kata lain kemakmuran, keseimbangan dan keadilan sosial akan mengurangi terjadinya kejahatan. 5) Teori Tipologis Di dalam kriminologi telah berkembang empat teori yang disebut dengan teori tipologis atau byo-tipologis. Keempat aliran tersebut mempunyai kesamaan pemikiran dan metodologi. Mereka mempunyai asumsi bahwa terdapat perbedaan antara orang jahat dan orang yang tidak jahat. Keempat teori tipologis tersebut adalah sebagai berikut : a) Teori Lombroso/mazhab Antropologis Teori ini dipelopori oleh Cesare Lombroso. Menurut Lombroso dalam bukunya Dharma Weda, kejahatan merupakan bakat manusia yang dibawa sejak lahir (criminal is born). Selanjutnya ia mengatakan bahwa ciri khas seorang penjahat dapat dilihat dari keadaan fisiknya yang mana sangat berbeda dengan manusia lainnya. Adapun beberapa proposisi yang dikemukakan oleh Lombroso yaitu : (1) Penjahat dilahirkan dan mempunyai tipe-tipe yang berbeda; (2) Tipe ini biasa dikenal dari beberapa ciri tertentu seperti : tengkorak yang asimetris, rahang bawah yang panjang,hidung yang pesek, rambut janggut yang jarang, dan tahan terhadap rasa sakit; (3) Tanda-tanda lahiriah ini bukan penyebab kejahatan tetapi merupakan tanda pengenal kepribadian yang cenderung mempunyai prilaku kriminal; (4) Karena adanya kepribadian ini, mereka tidak dapat terhindar dari melakukan kejahatan kecuali bila lingkungan dan kesempatan yang tidak memungkinkan; (5) Penganut aliran ini mengemukakan bahwa, penjahat seperti pencuri, pembunuh, pelanggar seks dapat dibedakan oleh ciri-ciri tertentu. Aliran Lombroso ini bertujuan untuk membantah aliran klasik dalam persoalan determinasi melawan kebebasan kemauan dan kemudian membantah teori Tarde tentang theory of imitation (Le lois de’l imitation). 34 Teori Lombroso ini, dibantah oleh Goring dengan membuat penelitian perbandingan. Hasil penelitiannya tersebut, Goring menarik kesimpulan bahwa tidak ada tanda-tanda jasmaniah untuk disebut sebagai tipe penjahat, demikian pula tidak ada tanda-tanda rohaniah untuk menyatakan penjahat itu memiliki suatu tipe. Menurut Goring dalam bukunya Made Dharma Weda menerangkan bahwa : “Kuasa kejahatan itu timbul karena setiap manusia mempunyai kelemahan/cacat yang dibawa sejak lahir, kelemahan/cacat inilah yang menyebabkan orang tersebut melakukan kejahatan”. Dengan demikian Goring dalam mencari kuasa kejahatan kembali pada factor psikologis, sedangakan faktor lingkungan sangat kecil pengaruhnya terhadap seseorang. b) Teori Mental Tester Teori Mental Tester ini muncul setelah runtuhnya teori Lombroso. Teori ini dalam metodologinya menggunakan tes mental untuk membedakan penjahat dan bukan penjahat. Menurut Goddard dalam bukunya Made Darma Weda menyatakan bahwa : “Setiap penjahat adalah orang yang otaknya lemah, karena otaknya orang yang otaknya lemah tidak dapat menilai perbuatannya, dan dengan demikian tidak dapat pula menilai akibat dari perbuatannya tersebut atau menangkap serta menilai arti hukum”. Berdasarkan pendapat tersebut, teori ini memandang kelemahan otak merupakan pembawaan sejak lahir dan merupakan penyebab orang melakukan kejahatan. c) Teori Sosiologis Dalam member kuasa kejahatan, teori sosiologis merupakan aliran yang sangat bervariasi. Analisis sebab-sebab kejahatan secara sosiologis banyak dipengaruhi oleh teori kartografi dan sosialis. Teori ini menafsirkan kejahatan sebagai fungsi lingkungan social (crime as a function of social environment). Pokok pangkal dengan ajaran ini adalah, bahwa kelakuan jahat dihasilkan oleh proses-proses yang sama seperti kelakuan social. Dengan demikian proses terjadinya tingkah laku jahat tidak berbeda dengan tingkah laku lainnya termasuk tingkah laku yang baik. 35 Orang melakukan kejahatan disebabkan karena orang tersebut meniru keadaan sekelilingnya. 6) Teori Lingkungan Teori ini biasa juga disebut sebagai mazhab perancis. Menurut teori ini, seseorang melakukan kejahatan karena dipengaruhi oleh faktor disekitarnya/lingkungan, baik lingkungan keluarga, ekonomi, social, budaya, pertahanan keamanan termasuk pertahanan dengan dunia luar, serta penemuan teknologi. Masuknya barang-barang dari luar negeri seperti televisi, buku-buku serta film dengan berbagai macam reklame sebagai promosinya ikut pula menentukan tinggi rendahnya tingkat kejahatan. Menurut Tarde dalam bukunya Made Darma Weda menyatakan bahwa :“Orang menjadi jahat disebabkan karena pengaruh imitation”. Berdasarkan pendapat Tarde tersebut, seseorang melakukan kejahatan karena orang tersebut meniru keadaan sekelilingnya. 7) Teori Biososiologis Teori dari aliran ini adalah A. D. Prins, Van Humel, D. Simons dan lain-lain. Aliran biososiologis ini sebenarnya merupakan perpaduan dari aliran Antropologi dan aliran Sosiologis, oleh karena ajarannya didasarkan bahwa tiap-tiap kejahatan itu timbul karena faktor individu seperti keadaan psikis dan fisik dari si penjahat dan juga karena faktor lingkungan. Faktor individu itu dapat meliputi sifat individu yang diperoleh sebagai warisan dari orang tuanya, keadaan badaniah, kelamin, umur, intelek, tempramen, kesehatan, dan minuman keras. Keadaan lingkungan yang mendorong seseorang melakukan kejahatan itu meliputi keadaan alam (geografis dan klimatologis), keadaan ekonomi, tingkat peradaban dan keadaan politik suatu Negara misalnya meningkatnya kejahatan menjelang pemilihan umum dan menghadapi sidang MPR klasik (Darma Weda, 1996 : 15-20). 4. Tinjauan Umum Tentang Pertimbangan Hakim a. Pengertian Pertimbangan Hakim Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu 36 putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat. Apabila pertimbangan hakim tidak teliti, baik, dan cermat, maka putusan hakim yang berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung (Mukti Arto, 2004 : 140). Hakim dalam pemeriksaan suatu perkara juga memerlukan adanya pembuktian, dimana hasil dari pembuktian itu akan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memutus perkara. Pembuktian merupakan tahap yang paling penting dalam pemeriksaan di persidangan. Pembuktian bertujuan untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa/fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi, guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. Hakim tidak dapat menjatuhkan suatu putusan sebelum nyata baginya bahwa peristiwa/fakta tersebut benar-benar terjadi, yakni dibuktikan kebenaranya, sehingga nampak adanya hubungan hukum antara para pihak (Mukti Arto, 2004 : 141). b. Dasar Pertimbangan Hakim Dasar hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan perlu didasarkan kepada teori dan hasil penelitian yang saling berkaitan sehingga didapatkan hasil penelitian yang maksimal dan seimbang dalam tataran teori dan praktek. Salah satu usaha untuk mencapai kepastian hukum kehakiman, di mana hakim merupakan aparat penegak hukum melalui putusannya dapat menjadi tolak ukur tercapainya suatu kepastian hukum. 37 Pokok kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Bab IX Pasal 24 yang berbunyi : Pasal 24 (1) Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.***) (2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.***) (3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.** **) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin adanya sesuatu kekuasaan kehakiman yang bebas. Hal ini tegas dicantumkan dalam Pasal 24 terutama dalam penjelasan Pasal 24 ayat 1 dan penjelasan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Kesatuan Republik Indonesia (Mukti Arto, 2004 : 142). Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial 38 bersifat tidak mutlak karena tugas hakim alah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Kemudian Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa: kekuasan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi (Andi Hamzah, 1996 : 94). Kebebasan hakim perlu pula dipaparkan posisi hakim yang tidak memihak (impartial jugde) Pasal 5 ayat (2) UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Istilah tidak memihak di sini haruslah tidak harfiah, karena dalam menjatuhkan putusannya hakim harus memihak yang benar. Dalam hal ini tidak diartikan tidak berat sebelah dalam pertimbangan dan penilaiannya (Mukti Arto, 2004 : 95). Seorang hakim diwajibkan untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan tidak memihak. Hakim dalam memberi suatu keadilan harus menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya kemudian memberi penilaian terhadap peristiwa tersebut dan menghubungkannya dengan hukum yang berlaku. Setelah itu hakim baru dapat menjatuhkan putusan terhadap peristiwa tersebut. Seorang hakim dianggap tahu akan hukumnya sehingga tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili suatu peristiwa yang diajukan kepadanya. Hal ini diatur dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu : 39 “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Seorang diperbolehkan hakim untuk dalam bercermin menemukan pada hukumnya yurisprudensil dan pendapat para ahli hukum terkenal (doktrin). Hal ini ditekankan pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang berbunyi : “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” 40 B. Kerangka Pemikiran Tindak Pidana Pembunuhan Anak yang Dilakukan Oleh Ibu Kandung Pengaturan (Pasal 341 KUHP) Putusan Hakim (Putusan Nomor : 53/Pid.B/2015/PN.Skt.) Faktor penyebab terjadinya pembunuhan anak yang dilakukan oleh ibu kandung Gambar 1. Kerangka Pemikiran Pertimbangan hakim yang menangani perkara pembunuhan anak yang dilakukan oleh ibu kandung 41 Keterangan : Kerangka Pemikiran tersebut menjelaskan alur berpikir penulis dalam menyusun penelitian hukum ini. Tindak pidana pembunuhan anak oleh ibu kandung diatur dalam Pasal 341 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Terkait dengan pengaturan sanksi pidana tersebut, maka dipertegas dengan adanya putusan hakim di pengadilan yang menangani permasalahan tindak pidana tersebut dengan dikeluarkannya Putusan Nomor : 53/Pid.B/2015/PN.Skt yang akan dikaji lebih lanjut dalam pembahasan berikutnya apakah faktor penyebab terjadinya pembunuhan anak oleh ibu kandung dan apa pertimbangan dari hakim yang memutus perkara tersebut.