1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penunjukan manajer oleh pemegang saham untuk mengelola perusahaan dalam kenyataannya seringkali menghadapi masalah dikarenakan tujuan perusahaan berbenturan dengan tujuan pribadi manajer. Manajer mempunyai kewajiban untuk memaksimumkan kesejahteraan para pemegang saham, namun disisi lain manajer juga mempunyai kepentingan untuk memaksimumkan kesejahteraan mereka. Penyatuan kepentingan pihak-pihak ini seringkali menimbulkan masalah yang disebut dengan masalah keagenan (agency problem). Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa konflik keagenan disebabkan antara lain oleh pembuatan keputusan aktivitas pencarian dana (financing decision) dan pembuatan keputusan bagaimana dana tersebut diinvestasikan. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan oleh pemegang saham untuk mengurangi kekhawatiran atas sumber daya perusahaan yang berada di bawah kendali manajemen. Salah satu cara yang lazim digunakan adalah melalui struktur kepemilikan. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional adalah dua mekanisme corporate governance utama yang membantu mengendalikan masalah keagenan. Cara lain yang dapat digunakan oleh pemegang saham adalah dengan kebijakan untuk membagikan sejumlah laba yang diperoleh perusahaan dalam bentuk dividen. Kebijakan dividen bukan ditentukan oleh manajemen tetapi oleh 2 pemegang saham melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sehingga besar kecilnya dividen yang dibagikan sangat tergantung pada keinginan pemegang saham. Bhattacharya (1979) dalam Widanaputra (2007: 28) menyatakan bahwa pemegang saham memiliki kecenderungan untuk lebih menyukai dividen yang dibagikan dalam jumlah yang relatif besar, karena memiliki tingkat kepastian yang tinggi dibandingkan masih ditahan dalam bentuk laba ditahan. Selain itu dividen yang relatif tinggi menyebabkan jumlah dana yang dikendalikan oleh manajemen menjadi relatif kecil. Pembagian dividen yang tinggi kurang disukai oleh manajemen karena akan mengurangi utilitas manajemen yang disebabkan oleh semakin kecil dana yang berada dalam pengendaliannya. Hal ini sesuai dengan residual theory of cash dividend yang dikemukan oleh Karen (2003) dalam Widanaputra (2007:22) menyatakan bahwa kelebihan kas yang ada seharusnya dibagikan dalam bentuk dividen, tetapi manajemen tidak suka membagikan laba yang diperoleh dalam bentuk dividen dan lebih suka untuk diperlakukan sebagai laba ditahan, kecuali manajemen tahu bahwa dana tersebut tidak memberikan net present value (NPV) yang positif pada tambahan investasi. Laba ditahan dapat dipergunakan untuk reinvestasi atau membayar utang perusahaan. Timbulnya konflik keagenan ini memaksa pihak prinsipal untuk melakukan pengawasan terhadap manajemen dengan tujuan meminimalkan kecurangan-kecurangan (moral hazard) yang dapat dilakukan oleh pihak manajemen. Untuk mengurangi kesempatan pihak agen melakukan tindakan yang merugikan prinsipal, Jensen dan Meckling (1976) mengidentifikasikan ada dua cara yaitu investor melakukan pengawasan 3 (monitoring) dan manajer sendiri melakukan pembatasan atas tindakantindakannya (bonding). Pada satu sisi, kedua kegiatan tersebut akan mengurangi kesempatan penyimpangan oleh manajer sehingga nilai perusahaan meningkat sedangkan pada sisi lain keduanya akan memunculkan biaya sehingga akan mengurangi nilai perusahaan. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa calon investor akan mengantisipasi adanya kedua biaya tersebut ditambah dengan kerugian yang masih muncul meskipun sudah ada monitoring dan bonding yang disebut residual loss. Menurut Jensen dan Meckling (1976) cara lain dalam menengahi permasalahan agensi adalah dengan meningkatkan utang. Argumen tersebut didukung oleh pernyataan bahwa dengan meningkatnya utang akan semakin kecil porsi saham yang akan dijual perusahaan dan semakin besar hutang perusahaan maka semakin kecil dana menganggur yang dapat dipakai perusahaan untuk pengeluaran-pengeluaran yang kurang perlu. Semakin besar utang maka perusahaan harus mencadangkan lebih banyak kas untuk membayar bunga serta pokok pinjaman. Dalam hal ini adanya utang akan dapat mengendalikan penggunaan free cash flow secara berlebihan oleh manajemen. Menurut Jansen (1986) mekanisme untuk mengurangi free cash flow ini dikelompokan sebagai bonding, yaitu suatu mekanisme yang dipakai manajer untuk membuktikan bahwa mereka tidak akan menghamburkan dana perusahaan dan mereka berani mengambil risiko kehilangan pekerjaan jika tidak bisa mengelola perusahaan dengan serius. Disisi pemegang saham, kebijakan peningkatan utang dapat mengurangi pengawasan terhadap manajemen karena pihak ketiga yang 4 meminjamkan dana (bondholder) akan melakukan pengawasan terhadap manajemen agar pinjamannya tidak disalahgunakan. Konflik antara manajemen dan pemegang saham yang berhubungan dengan keputusan keuangan seperti kebijakan dividen dan leverage telah diteliti oleh beberapa peneliti diantaranya Dewenter dan Warter (1998) meneliti tentang konflik antara manajemen dan pemegang saham atas kebijakan dividen untuk perusahaan di USA dan Jepang. Crutchley dan Hensen (1989) meneliti penerapan teori keagenan dalam menjelaskan pengaruh kepemilikan manajerial, leverage, dan kebijakan dividen pada peningkatan utilitas manajemen. Hasil dari penelitian Crutchley dan Hensen (1989) adalah mendukung teori keagenan tentang bagaimana para manajer memaksimalkan utilitas melalui kepemilikan saham, tingkat leverage, dan pembayaran dividen. Schooley et al. (1994) meneliti tentang kebijakan dividen dan kepemilikan saham sebagai alat untuk menurunkan kos keagenan. Temuan empiris dari penelitian Schooley et al. (1994) adalah kepemilikan saham dan kebijakan dividen berhubungan negatif dengan kos keagenan. Sponholtz (2005) dalam Widanaputra (2007: 3) menyatakan bahwa dividen dapat dijadikan alat untuk meminimalkan jumlah free cash flow untuk manajemen. Sponholtz menguji asimetri informasi yang terjadi antara manajemen dan pemegang saham atas pembagian dividen dengan menggunakan teori sinyal. Berdasarkan studi empiris tersebut, penelitian ini bermaksud untuk meneliti kos keagenan yang dijelaskan melalui kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, kebijakan dividen dan leverage dengan memilih 5 perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia sebagai objek penelitian. 1.2 Rumusan Masalah Adapun pokok permasalahan yang akan diteliti apakah kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, kebijakan dividen dan leverage berpengaruh pada kos keagenan (agency cost)? 1.2 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang disampaikan, maka yang menjadi tujuan penelitian adalah untuk menguji dan membuktikan secara empiris pengaruh kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, kebijakan dividen dan leverage pada kos keagenan (agency cost). 1.2.2 Manfaat penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan, adapun manfaat yang diharapkan antara lain: 1) Kegunaan teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan di bidang akuntansi khususnya mengenai kos keagenan serta menambah pengetahuan mengenai pasar modal. Selain itu, dapat menjadi acuan bagi mahasiswa yang akan melakukan penelitian pada bidang yang sama. 2) Kegunaan praktis Penelitian mengenai kos keagenan sangat penting dipahami oleh praktisi untuk membantu pengambilan keputusan dalam menilai suatu perusahaan dan menentukan keputusan investasi. 6 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Teori keagenan Teori keagenan (agency theory) menjelaskan bahwa hubungan agensi muncul satu orang atau lebih (principal) mempekerjakan orang lain (agen) untuk memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agen tersebut (Jensen dan Meckling, 1976). McColgan (2001) menyatakan bahwa dalam Teori keagenan (agency theory) terdapat suatu karakteristik hubungan keagenan yang dapat didefinisikan sebagai suatu kontrak dimana satu pihak (prinsipal) mempekerjakan pihak lain (agen) untuk melakukan beberapa pekerjaan atas nama prinsipal. Manajemen merupakan pihak yang dikontrak oleh pemegang saham untuk bekerja demi kepentingan pemegang saham. Untuk itu manajemen diberikan sebagian kekuasaan untuk membuat keputusan bagi kepentingan terbaik pemegang saham. Oleh karena itu, manajemen wajib mempertanggungjawabkan semua upayanya kepada pemegang saham. Karena unit analisis dalam teori keagenan adalah kontrak yang melandasi hubungan antara prinsipal dan agen, maka fokus dari teori ini adalah pada penentuan kontrak yang paling efisien yang mendasari hubungan antara prinsipal dan agen. Untuk memotivasi agen maka prinsipal merancang suatu kontrak agar dapat mengakomodasi kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak keagenan. Kontrak yang efisien adalah kontrak yang memenuhi dua faktor, yaitu: 7 1) Agen dan pinsipal memiliki informasi yang simetris artinya baik agen maupun prinsipal memiliki kualitas dan jumlah informasi yang sama sehingga tidak terdapat informasi tersembunyi yang dapat digunakan untuk keuntungan dirinya sendiri 2) Risiko yang dipikul agen berkaitan dengan imbal jasanya adalah kecil yang berarti agen mempunyai kepastian yang tinggi mengenai imbalan yang diterimanya. Pada kenyataannya informasi simetris itu tidak pernah terjadi, karena manajer berada didalam perusahaan sehingga manajer mempunyai banyak informasi mengenai perusahaan, sedangkan prinsipal sangat jarang atau bahkan tidak pernah datang ke perusahaan sehingga informasi yang diperoleh sangat sedikit. Hal ini menyebabkan kontrak efisien tidak pernah terlaksana sehingga hubungan agen dan prinsipal selalu dilandasi oleh asimetri informasi. Agen sebagai pengendali perusahaan pasti memiliki informasi yang lebih baik dan lebih banyak dibandingkan dengan prinsipal. Di samping itu, karena verifikasi sangat sulit dilakukan, maka tindakan agen pun sangat sulit untuk diamati. Dengan demikian, membuka peluang agen untuk memaksimalkan kepentingannya sendiri dengan melakukan tindakan yang tidak semestinya atau sering disebut dysfunctional behaviour, dimana tindakan ini dapat merugikan prinsipal, baik memanfaatkan aset perusahaan untuk kepentingan pribadi, maupun perekayasaan kinerja perusahaan. Dalam perkembangannya, terdapat suatu kecenderungan timbulnya masalah keagenan yang muncul sebagai akibat dari kemustahilan tercapainya perikatan 8 secara sempurna bagi pihak agen dan prinsipal. Dimana munculnya masalah keagenan dijelaskan dalam beberapa faktor, sebagai berikut: 1) Moral hazard (MH) Hal ini umumnya terjadi pada perusahaan besar (kompleksitas yang tinggi), dimana manajer cenderung untuk memanfaatkan insentif yang sesuai dengan kepentingannya atau berdasarkan keahliannya untuk bayaran yang diterima dari perusahaan dan kemungkinan hal tersebut tidak termasuk dalam kontrak. 2) Penahanan laba (Earning Retention) Masalah ini berkisar pada kecenderungan untuk melakukan investasi yang berlebihan oleh pihak manajemen melalui peningkatan dana pertumbuhan dengan tujuan untuk memperbesar kekuasaan, prestise, atau memperbesar kemampuan untuk mendominasi dewan komisaris, maupun penghargaan bagi dirinya, namun dapat menghancurkan kesejahteraan prinsipal. 3) Horizon waktu Konflik ini muncul sebagai akibat dari kondisi arus kas, dimana prinsipal lebih menekankan pada arus kas untuk masa depan yang kondisinya belum pasti, sedangkan manajemen cenderung menekankan kepada hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan mereka. 4) Penghindaran risiko manajerial 9 Masalah ini muncul ketika ada batasan diversifikasi portofolio yang berhubungan dengan pendapatan manajerial atas kinerja yang dicapainya, sehingga manajer akan berusaha meminimalkan risiko saham perusahaan dari keputusan investasi yang meningkatkan risikonya. Misalnya manajemen lebih senang dengan pendanaan ekuitas dan berusaha menghindari pendanaan yang berasal dari utang, karena dapat memperkecil beban dengan tidak adanya beban bunga. Dalam teori keagenan secara umum dibahas dua hal (Mahadwartha, 2002) yaitu: (1) positive agency memfokuskan pembahasan mengenai hubungan antara pihak agen dengan principal. (2) principal agent research membahas cakupan yang lebih luas yaitu mengenai semua hubungan atau konflik kepentingan antara satu pihak dengan pihak lainnya dimana pihak yang satu tidak melaksanakan instruksi atau perintah pihak kedua. Menurut Sartono (2001: 10) yang dimaksud dengan konflik antar kelompok atau agency theory merupakan konflik yang timbul antara pemilik dan manajer perusahaan dimana ada kecenderungan manajer lebih mementingkan tujuan individu daripada tujuan perusahaan. Menurut Husnan dan Pudjiastuti (2002: 12) masalah keagenan sering terjadi pada perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang sering kali terjadi pemisahan antara pengelola perusahaan (pihak manajemen) dengan pemilik perusahaan (pemegang saham). Disamping itu, untuk perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas tanggung jawab hanya terbatas pada modal yang disetorkan, artinya apabila perusahaan mengalami kebangkrutan, maka modal (ekuitas) yang telah disetorkan oleh pemilik 10 perusahaan mungkin sekali akan hilang, tetapi harta kekayaan pribadi tidak akan diikutsertakan untuk menutup kerugian tersebut. Dengan demikian memungkinkan masalah-masalah keagenan (agency problems). Aplikasi teori keagenan dapat terwujud dalam kontrak kerja yang akan mengatur proporsi hak dan kewajiban masing-masing pihak dengan tetap memperhitungkan kemanfaatan secara keseluruhan. Kontrak kerja merupakan seperangkat aturan yang mengatur mengenai mekanisme bagi hasil, baik yang berupa keuntungan, return maupun resiko-resiko yang disetujui oleh prinsipal dan agen. Kontrak kerja akan menjadi optimal bila kontrak dapat fairness yaitu mampu menyeimbangkan antara prinsipal dan agen yang secara matematis memperlihatkan pelaksanaan kewajiban yang optimal oleh agen dan pemberian imbalan khusus yang memuaskan dari prinsipal ke agen. Inti dari teori keagenan adalah pendesainan kontrak yang tepat untuk menyelaraskan kepentingan prinsipal dan agen dalam hal terjadi konflik kepentingan (Scott, 1997). Menurut Eisenhard (1989), teori keagenan dilandasi oleh 3 (tiga) buah asumsi yaitu: 1) Asumsi tentang sifat manusia Asumsi tentang sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat untuk mementingkan diri sendiri (self interest), memiliki keterbatasan rasionalitas (bounded rationality), dan tidak menyukai resiko (risk aversion). 2) Asumsi tentang keorganisasian Asumsi keorganisasian adalah adanya konflik antar anggota organisasi, efisiensi sebagai kriteria produktivitas, dan adanya asumsi asimetris antara prinsipal dan agen. 11 3) Asumsi tentang informasi. Asumsi tentang informasi adalah bahwa informasi dipandang sebagai barang komoditi yang bisa diperjual belikan. Baik prinsipal maupun agen, keduanya mempunyai bargaining position. Prinsipal sebagai pemilik modal mempunyai hak akses pada informasi internal perusahaan, sedangkan agen yang menjalankan operasional perusahaan mempunyai informasi tentang operasi dan kinerja perusahaan secara riil dan menyeluruh, namun agen tidak mempunyai wewenang mutlak dalam pengambilan keputusan, apalagi keputusan yang bersifat strategis, jangka panjang dan global. Hal ini disebabkan untuk keputusan-keputusan tersebut tetap menjadi wewenang dari prinsipal selaku pemilik perusahaan. Dalam konsep teori keagenan, manajemen sebagai agen semestinya on behalf the best interest of the shareholders, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan manajemen hanya mementingkan kepentingannya sendiri untuk memaksimalkan utililitas. Manajemen bisa melakukan tindakan-tindakan yang tidak menguntungkan perusahaan secara keseluruhan yang dalam jangka panjang bisa merugikan kepentingan perusahaan. Bahkan untuk mencapai kepentingannya sendiri, manajemen bisa bertindak menggunakan akuntansi sebagai alat untuk melakukan rekayasa. Perbedaan kepentingan antara prinsipal dan agen inilah disebut dengan masalah keagenan (agency problem) yang salah satunya disebabkan oleh adanya informasi asimetri. Informasi asimetri yaitu informasi yang tidak seimbang yang disebabkan karena adanya distribusi informasi yang tidak sama antara prinsipal dan agen. 12 Dalam hal ini prinsipal seharusnya memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam mengukur tingkat hasil yang diperoleh dari usaha agen, namun ternyata informasi tentang ukuran keberhasilan yang diperoleh oleh prinsipal tidak seluruhnya disajikan oleh agen. Akibatnya informasi yang diperoleh prinsipal kurang lengkap sehingga tetap tidak dapat menjelaskan kinerja agen yang sesungguhnya dalam mengelola kekayaan prinsipal yang dipercayakan kepada agen. Akibatnya adanya informasi yang tidak seimbang (asimetri) ini, dapat menimbulkan 2 (dua) permasalahan yang disebabkan adanya kesulitan prisipal untuk memonitor dan melakukan kontrol terhadap tindakan-tindakan agen. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan permasalahan tersebut adalah : 1) Moral Hazard Yaitu permasalahan yang muncul jika agen tidak melaksanakan hal-hal yang telah disepakati bersama dalam kontrak kerja. 2) Adverse Selection Yaitu suatu keadaan dimana prinsipal tidak dapat mengetahui apakah suatu keputusan yang diambil oleh agen benar-benar didasarkan atas informasi yang telah diperolehnya, atau terjadi sebagai sebuah kelalaian dalam tugas. 2.2 Struktur kepemilikan Struktur kepemilikan (ownership structure) adalah persentase saham yang dimiliki oleh pihak insider shareholder dan pihak outsider shareholder. Pihak insider yaitu pemegang saham yang berada dijajaran direktur dan komisaris. Pada pihak outsider yaitu pihak institusi, individu dan lain-lain. Menurut Hanafi (2004) semakin tinggi kepemilikan institusional maka akan semakin meningkat 13 pengawasan pihak eksternal pada perusahaan. Pemegang saham sebagai pemilik modal dapat dibedakan menjadi 3 (tiga): 1) Manajerial ownership/internal ownership adalah pemegang saham yang merupakan pihak internal perusahaan yang ikut aktif dalam kegiatan operasional perusahaan. 2) Eksternal ownership adalah pemegang saham perorangan yang tidak aktif dalam kegiatan operasional perusahaan di luar pihak internal perusahaan. 3) Institusional ownership adalah pemegang saham berbentuk instansi/pemerintah yang tidak aktif dalam kegiatan operasional perusahaan. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional adalah dua mekanisme corporate governance utama yang membantu mengendalikan masalah keagenan. Menurut Jensen (1993), kepemilikan saham manajerial dapat membantu penyatuan kepentingan antara pemegang saham dengan manajer, semakin meningkat proporsi kepemilikan saham manajerial akan semakin baik kinerja perusahaan. Institusi adalah pengambil keputusan profesional yang mengetahui bagaimana mengukur kinerja perusahaan dan cara untuk mengawasi pihak manajemen. Kepemilikan institusi akan memiliki pengaruh pada biaya keagenan dan konsekuensinya berdampak pada kebijakan pembayaran dividen. Bila dividen berfungsi sebagai cara bagi manajer untuk memberikan penanda mengenai komitmen manajemen pada penciptaan nilai di masa yang akan datang, maka tidak perlu membayar dividen dalam jumlah besar, dimana komitmen kepada nilai pemegang saham akan dijamin melalui kepemilikan institusi. 14 Manajer yang memiliki saham perusahaan berarti manajer tersebut sekaligus adalah pemegang saham. Kepemilikan saham perusahaan oleh manajer disebut kepemilikan manajerial. Manajer yang memiliki saham perusahaan menyelaraskan kepentingannya dengan kepentingan sebagai pemegang saham. Sementara dalam perusahaan tanpa kepemilikan manajerial, manajer bukan pemegang saham kemungkinan akan mementingkan kepentingannya sendiri. Penelitian Demsetz dan Lehn (1985), Crutchley dan Hansen (1989), menyimpulkan bahwa level kepemilikan manajerial yang lebih tinggi dapat digunakan untuk mengurangi masalah keagenan. Masalah keagenan akan semakin kecil apabila manajemen juga sebagai pemegang saham (owner manager). Dalam kondisi seperti ini owner manager tidak terlalu terbebani dengan kewajiban untuk mengatur laba (yang bersifat moral hazard) karena laba ataupun rugi akan memiliki dampak yang relatif sama antara manajemen dan pemegang saham. Ang et al. (1999) menemukan bahwa terdapat hubungan antara struktur kepemilikan dengan biaya keagenan yang diukur dari pemanfaatan aktiva dan beban operasi. Penelitian Singh et al. (2003) menganalisis hubungan antara struktur kepemilikan dengan biaya keagenan pada perusahaan-perusahaan besar yang sudah go public. Hasil penelitian Singh et al. (2003) mendukung penelitian Ang et al. (1999) yang menyatakan bahwa semakin tinggi kepemilikan manajerial secara positif dan signifikan mempengaruhi efisiensi pemanfaatan aktiva perusahaan. 2.3 Kebijakan dividen 15 Kebijakan dividen menyangkut keputusan apakah laba yang dibayarkan sebagai dividen atau ditahan untuk reinvestasi dalam perusahaan. Kebijakan dividen menimbulkan kontroversi karena bila dividen ditingkatkan, arus kas untuk investor akan meningkat yang akan menguntungkan investor, sedangkan alasan lainnya yaitu bila dividen ditingkatkan, laba ditahan yang direinvestasi dan pertumbuhan masa depan akan menurun sehingga merugikan investor. Kebijakan dividen dikatakan optimal apabila mampu menyeimbangkan kedua hal tersebut dan memaksimalkan harga saham. Persentase dari pendapatan yang akan dibayarkan kepada pemegang saham sebagai cash dividend disebut dividend payout ratio (Riyanto, 2001: 266). Secara umum suatu perusahaan harus menetapkan kebijakan dividen yang nantinya dapat memaksimalkan kemakmuran pemegang saham. Apabila perusahaan tidak memiliki kesempatan berinvestasi yang menguntungkan, maka sebaiknya kelebihan dana tersebut didistribusikan kepada pemegang saham perusahaan. Pembayaran dividen dalam jumlah sekecil apapun masih lebih baik daripada tidak sama sekali. Menurut Sundjaja dan Barlian (2003) ada 3 (tiga) jenis kebijakan dividen yaitu: 1) Kebijakan dividen rasio pembayaran konstan Kebijakan dividen yang didasarkan dengan persentase tertentu dari pendapatan yang dibayarkan kepada pemilik setiap periode. 2) Kebijakan dividen yang teratur Kebijakan dividen yang didasarkan atas pembayaran dividen dengan rupiah yang tetap dalam setiap periode. Seringkali kebijakan dividen teratur digunakan dengan memakai target rasio pembayaran dividen. 16 3) Kebijakan dividen yang rendah yang teratur dan ditambah ekstra Kebijakan dividen yang didasarkan pembayaran dividen rendah yang teratur, ditambah dengan dividen ekstra jika ada jaminan pendapatan. 2.3.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen Faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan dividen suatu perusahaan antara lain sebagai berikut (Riyanto, 2001:268): 1) Posisi likuiditas perusahaan Makin kuatnya posisi likuiditas perusahaan berarti makin besar kemampuannya untuk membayar dividen. Jadi dapat dikatakan bahwa makin kuat likuiditas perusahaan maka makin tinggi dividend payout ratio-nya. 2) Kebutuhan dana untuk membayar utang Apabila perusahaan menetapkan pelunasan utangnya akan diambil dari laba ditahan berarti perusahaan harus menahan sebagian besar laba dari pendapatannya untuk keperluan tersebut, ini berarti bahwa hanya sebagian kecil saja dari pendapatan atau earning dapat dibayarkan sebagai dividen. Dengan kata lain perusahaan harus menetapkan dividend payout ratio yang rendah. 3) Tingkat pertumbuhan perusahaan Makin cepat tingkat pertumbuhan perusahaan, makin besar kesempatan dana yang dibutuhkan, makin besar kesempatan untuk memperoleh keuntungan dan makin besar bagian dari pendapatan yang ditahan dalam 17 perusahaan yang berarti makin rendah dividen payout ratio-nya. Apabila perusahaan telah mencapai tingkat pertumbuhan sedemikian rupa sehingga perusahaan telah well established, dimana kebutuhan dananya dapat dipenuhi dengan dana yang berasal dari pasar modal atau sumber dana ekstern lainnya, maka keadaannya akan berbeda. Dalam hal ini perusahaan dapat menetapkan dividend payout ratio yang tinggi. 4) Pengawasan terhadap perusahaan Ada perusahaan yang mempunyai kebijakan hanya membiayai ekspansinya dengan dana yang berasal dari sumber intern saja. Kebijakan tersebut dijalankan atas dasar pertimbangan bahwa kalau ekspansi dibiayai dengan dana yang berasal dari hasil penjualan saham baru akan melemahkan kontrol dari kelompok dominan didalam perusahaan, demikian pula kalau membiayai ekspansi utang akan memperbesar risiko finansialnya. Mempercayakan pada pembelanjaan intern dalam rangka usaha mempertahankan kontrol terhadap perusahaan, berarti mengurangi dividen payout ratio-nya. 2.3.2 Teori struktur modal Menurut Arifin (2005: 92), teori struktur modal berkaitan dengan kos keagenan (agency cost) sebenarnya hanya merujuk pada teori keagenan yang dikembangkan oleh Jensen dan Meckling (1976). Teori keagenan menganggap manajer tidak selalu bertindak sesuai dengan kepentingan pemegang saham. Oleh karena itu perlu ada mekanisme agar manajer mau bertindak sesuai dengan 18 kepentingan pemegang saham. Salah satu mekanisme yang diusulkan oleh Jensen dan Meckling (1976) adalah dengan menambah porsi utang. Menambah utang dapat mengurangi masalah keagenan karena dua alasan. Pertama, dengan meningkatnya utang maka akan semakin kecil porsi saham yang harus dijual perusahaan. Semakin kecil nilai saham yang beredar maka semakin kecil masalah keagenan yang timbul antara manajer dan pemegang saham. Kedua, dengan semakin besar utang perusahaan maka semakin kecil dana “menganggur” yang dapat dipakai manajer untuk pengeluaran-pengeluaran yang kurang perlu. Semakin besar utang maka perusahaan harus mencadangkan lebih banyak kas untuk membayar bunga dari utang tersebut dan juga untuk mengangsur pokok utang. Mekanisme untuk mengurangi free cash flows ini oleh Jensen (1986) dikelompokkan sebagai mekanisme bonding, suatu mekanisme yang dipakai oleh manajer untuk membuktikan bahwa mereka tidak akan menghamburkan dana perusahaan dan mereka berani mengambil resiko kehilangan pekerjaan jika tidak bisa mengelola perusahaaan dengan serius. 2.4 Leverage Menurut Sawir (2004: 10) leverage keuangan adalah penggunaan sumber dana yang menimbulkan beban tetap keuangan. Beban tetap keuangan yaitu bunga yang harus dibayar tanpa memperdulikan tingkat laba perusahaan. Adapun rasio pengelolaan utang dibagi menjadi tiga yaitu : 1) Rasio utang adalah rasio total utang terhadap total aktiva. Rasio ini digunakan untuk menghitung persentase total dana yang disediakan oleh kreditur. 19 2) Rasio kemampuan membayar bunga atau Time Interest Earned (TIE) adalah rasio laba sebelum bunga dan pajak (EBIT) terhadap beban bunga. Rasio ini mengukur kemampuan untuk membayar beban bunga tahunan. 3) Rasio kemampuan membayarkan beban tetap adalah rasio yang lebih luas cakupannya daripada rasio TIE karena mencakup kewajiban lease jangka panjang tahunan perusahaan. Rasio ini hampir sama dengan rasio kemampuan mambayar bunga. Leverage keuangan menyiratkan dua hal penting yaitu 1) Dengan menaikan dana melalui utang, pemilik dapat mampertahankan pengendalian atas perusahaan dengan investasi terbatas. 2) Kreditur mensyaratkan adanya ekuitas atau dana yang disediakan oleh pemilik sebagai margin pengaman. Jika pemilik hanya menyediakan sebagaian kecil dari pembiayaan total maka risiko perusahaan dipikul terutama oleh krediturnya 2.5 Kos keagenan (Agency Cost) Banyak masalah yang sering muncul berkaitan dengan masalah keagenan. Hubungan keagenan terjadi ketika terjadi kontrak antara dua pihak yang menunjukkan bahwa suatu pihak (prinsipal) memberikan tugas kepada orang lain (agen) untuk melakukan suatu pekerjaan. Dalam kondisi seperti ini agen memiliki kecenderungan untuk berperilaku tertentu dengan mengutamakan kepentingannya 20 sendiri. Untuk itu prinsipal harus memiliki mekanisme pemantauan agar dapat mengendalikan perilaku agen sesuai dengan aturan yang ditentukan. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menggunakan insentif kompensasi dan melakukan monitoring, misalnya membayar auditor untuk mengaudit laporan keuangan perusahaan. Biaya yang dikeluarkan untuk auditor tersebut disebut dengan kos keagenan. Menurut Jensen dan Meckling (1976) terdapat tiga macam kos keagenan (agency cost), diantaranya adalah 1) Bonding cost Kos ini ditanggung oleh perusahaan yang timbul akibat tindakan manajer untuk memberi jaminan kepada pemilik bahwa manajer tidak melakukan tindakan yang merugikan perusahaan. Contoh: kelancaran dalam membayar bunga utang, penyelenggaraan sistem akuntansi yang baik sehingga mampu menghasilkan laporan keuangan yang sesuai dengan kebutuhan prinsipal. 2) Monitoring cost Kos yang ditanggung oleh perusahaan yang timbul akibat tindakan prinsipal untuk mengawasi aktivitas dan perilaku manajer. Contoh: membayar auditor untuk mengaudit laporan keuangan perusahaan dan premi asuransi untuk melindungi asset perusahaan. 3) Residual loss Kos yang ditanggung oleh perusahaan yang timbul akibat adanya perbedaan antara keputusan yang diambil oleh agen dengan keputusan yang seharusnya memberikan manfaat maksimal pada prinsipal. Contoh: 21 memanfaatkan fasilitas perusahaan secara berlebihan seperti pengeluaran untuk perjalanan dinas dan akomodasi kelas satu, mobil dinas mewah atau dengan kata lain biaya yang dikeluarkan tidak untuk kepentingan perusahaan. Menurut Sartono (2001:12) dalam usaha meminumkan masalah keagenan atau konflik antarkelompok dalam perusahaan maka diperlukan biaya yang disebut dengan kos keagenan (agency cost) dan tercermin dalam empat alternatif, yaitu: 1) Pengeluaran untuk monitoring seperti halnya biaya untuk pemeriksaan akuntansi dan prosedur pengendalian intern. 2) Pengeluaran insentif sebagai kompensasi untuk manajemen atas prestasi yang konsisten. 3) Fidelity bond adalah kontrak antara perusahaan dengan pihak ketiga di mana pihak ketiga (bonding company) setuju untuk membayar perusahaan jika manajer berbuat tidak jujur sehingga menimbulkan kerugian bagi perusahaan. 4) Golden parachutes dan Poison pill dapat digunakan pula untuk mengurangi konflik antara manajemen dengan pemegang saham. Golden Parachutes adalah suatu kontrak antara manajemen dengan pemegang saham yang menjamin bahwa manajemen akan mendapat kompensasi sejumlah tertentu apabila perusahaan dibeli oleh perusahaan lain atau terjadi perubahan pengendalian perusahaan. Sedangkan Poison pill adalah usaha pemegang saham untuk menjaga agar perusahaan tidak 22 diambil-alih oleh perusahaan lain. Usaha ini dapat dilakukan dengan mengeluarkan hak penjualan saham pada harga tertentu atau mengeluarkan obligasi disertai dengan hak menjual obligasi pada harga tertentu. 2.6 Mekanisme untuk mengurangi masalah keagenan Arifin (2002:60) menyatakan mekanisme untuk mengurangi masalah agensi adalah sebagai berikut: 1). Mekanisme kontrol dengan monitoring Ada beberapa mekanisme untuk mengurangi kos keagenan. Berikut mekanisme-mekanisme kontrol dengan monitoring yang dapat dipakai untuk mengurangi masalah keagenan: (1) Pembentukan dewan komisaris Pembentukan dewan komisaris adalah salah satu mekanisme yang banyak dipakai untuk memonitor manajer. Namun penelitian Mace (1986) menemukan bahwa pengawasan dewan komisaris terhadap manajemen pada umumnya tidak efektif. Ini terjadi karena proses pemilihan dewan komisaris yang kurang demokratis dimana kandidat dewan komisaris sering dipilih oleh manajemen sehingga setelah terpilih tidak berani mengkritik manajemen. Namun jika dewan didominasi oleh anggota dari luar (independent board of director) maka monotoring dewan komisaris terhadap manajer menjadi lebih efektif seperti yang ditemukan oleh Weisbach (1988) (2) Pasar corporate control 23 Manne (1965) menyatakan bahwa adanya pasar untuk corporate control dimana perusahaan yang menurun nilainya akibat adanya masalah keagenan akan diambil alih oleh perusahaan lain, merupakan mekanisme yang lebih bagus sehingga masalah agensi dapat dikurangi. Jensen dan Ruback (1983) menemukan bahwa nilai gabungan antara perusahaan yang mengakusisi dan yang diakuisisi meningkat setelah adanya akuisisi. (3) Pemegang saham besar Model pengurangan masalah keagenan yang dibuat Jensen dan Meckling (1976) mengasumsikan bahwa pemegang saham terdiri dari investor-investor kecil. Oleh karena itu biaya monitoring terhadap manajemen oleh para investor tersebut akan sangat besar sehingga mereka akan cenderung tidak melakukan monitoring. (4) Kepemilikan terkonsentrasi Kepemilikan dikatakan lebih terkonsentrasi jika untuk mencapai kontrol dominasi atau mayoritas dibutuhkan penggabungan lebih sedikit investor. (5) Pasar manajer Fama (1980) menyatakan bahwa masalah keagenan akan berkurang dengan sendirinya karena manajer akan dicatat kinerjanya oleh pasar manajer, baik yang ada dalam perusahaan sendiri maupun yang berasal dari luar perusahaan. 2). Mekanisme kontrol dengan peningkatan kepemilikan manajer 24 Ketika kepemilikan saham oleh manajer perusahaan meningkat, maka mereka berinisiatif untuk menginvestasikannya pada proyek-proyek yang memiliki net present value yang positif dan mengurangi konsumsi untuk kepentingan pribadinya. Insentif kepemilikan dapat memberikan manajer dan pemegang saham untung maupun rugi secara bersamasama. 3). Mekanisme kontrol dengan bonding Jensen (1986) melihat masalah keagenan dari sudut keterbatasan uang yang dapat digunakan manajer untuk kegiatan ‘konsumtif’. Dana tersebut adalah free cash flows yaitu kelebihan dana yang ada dalam perusahaan setelah semua proyek yang menghasilkan net present value positif dilaksanakan. Jika kos keagenan ingin dikurangi maka free cash flows harus dikurangi terlebih dahulu. Dengan kata lain manajer harus menunjukan kepada pemegang saham bahwa dia telah melakukan upaya menahan diri (bonding) untuk tidak menciptakan peluang melakukan penyimpangan-penyimpangan. 25 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Rerangka Berpikir Kos keagenan (agency cost) merupakan biaya yang timbul akibat konflik kepentingan antara manajer dan pemegang saham, upaya untuk meminimalisasi kos tersebut adalah dengan melakukan beberapa alternatif: (1) meningkatkan kepemilikan saham perusahaan oleh pihak manajemen (insider ownership) sehingga dapat mensejajarkan kepentingan pemilik dengan manajer (Jensen dan Meckling, 1976) (2) meningkatkan kepemilikan institusional atau institusional investor sebagai pihak yang memonitor agen. Jadi dengan adanya kepemilikan institusi seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi dan kepemilikan oleh institusi lain dalam suatu perusahaan akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja manajemen. (3) meningkatkan dividend payout ratio (DPR) sehingga tidak tersedia banyak free cash flow dan manajemen terpaksa mencari pendanaan dari luar untuk membiayai investasinya (Jensen, 1986) (4) meningkatkan pendanaan dari utang. Dengan pendanaan utang maka perusahaan harus melakukan pembayaran periodik atas bunga dan pokok pinjaman. Hal ini dapat menurunkan excess cash flow yang ada dalam perusahaan sehingga menurunkan kemungkinan pemborosan yang dilakukan oleh manajemen (Jensen, 1986) Besar kecilnya jumlah kepemilikan saham manajerial dalam perusahaan dapat mengindikasikan adanya kesamaan (congruance) kepentingan antara manajemen 26 dengan pemegang saham. Perusahaan dengan jumlah kepemilikan saham manajerial yang besar seharusnya mempunyai konflik keagenan yang rendah dan biaya keagenan yang rendah pula. Konflik keagenan yang rendah dapat direfleksikan dari tingginya tingkat perputaran aktiva perusahaan dan rendahnya beban operasi terhadap penjualan (discreationary managerial). Perusahaan dengan kepemilikan institusional yang besar (lebih dari 5%) mengindikasikan kemampuannya untuk memonitor manajemen. Semakin besar kepemilikan institusional maka semakin efisien pemanfaatan aktiva perusahaan. Dengan demikian proporsi kepemilikan institusional bertindak sebagai pencegahan terhadap pemborosan yang dilakukan manajemen. Kebijakan dividen juga perlu diperhatikan dalam mengendalikan tindakan manajer. Pembagian dividen akan membuat pemegang saham mempunyai tambahan return selain dari capital gain. Dividen juga membuat pemegang saham mempunyai kepastian pendapatan dan mengurangi agency cost of equity karena tindakan perquisites yang dilakukan manajemen terhadap cash flow perusahaan seiring dengan menurunnya biaya monitoring karena pemegang saham yakin bahwa kebijakan manajemen akan menguntungkan dirinya (Mahadwartha dan Jogiyanto, 2002). Pendanaan utang akan mengurangi konflik antara pemegang saham dengan manajemen. Menambah utang dapat mengurangi masalah keagenan karena dua alasan. Pertama, dengan meningkatnya utang maka akan semakin kecil porsi saham yang harus dijual perusahaan. Semakin kecil nilai saham yang beredar maka semakin kecil masalah agensi yang timbul antara manajer dan pemegang 27 saham. Kedua, dengan semakin besar utang perusahaan maka semakin kecil dana “menganggur” yang dapat dipakai manajer untuk pengeluaran-pengeluaran yang kurang perlu. Semakin besar utang maka perusahaan harus mencadangkan lebih banyak kas untuk membayar bunga dari utang tersebut dan juga untuk mengangsur pokok utang. Berdasarkan keadaan tersebut maka pada penelitian ini akan mengkaji pengaruh kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, kebijakan dividen dan leverage pada kos keagenan. Dalam hal ini kos keagenan diukur selling and general administrative (SGA) dan yang selanjutnya dianalisis dengan regresi linear berganda. Rerangka Berpikir dalam penelitian ini dapat disajikan pada Gambar 3.1. Agency Theory Masalah % KM Kepemilikan Manajerial % KI Kepemilikan Institusional % DPR Kebijakan Dividen % Lev Leverage Gambar 3.1 Rerangka Berpikir Kos Keagenan % SGA 28 Keterangan: KM: Kepemilikan Manajerial KI: Kepemilikan Institusional DPR: Dividend Payout Ratio Lev: Leverage SGA: Selling and General Administrative Gambar 3.1 menunjukkan bahwa, terdapat beberapa alternatif yang dapat digunakan untuk mengurangi agency costs, antara lain: (1) mensejajarkan kepentingan manajemen dengan pemegang saham dengan mengikutsertakan manajer untuk memiliki saham perusahaan tersebut (insider ownership), (2) meningkatkan kepemilikan institusional, (3) meningkatkan dividend payout ratio, dan (4) meningkatkan pendanaan dari utang. Lebih lanjut Jensen & Meckling (1976) menunjukkan bahwa struktur kepemilikan, keputusan pendanaan dan kebijakan dividen dapat digunakan untuk mengurangi agency costs yang bersumber pada masalah keagenan (agency conflict). 3.2 Konsep Penelitian Teori yang mendasari penelitian ini adalah teori keagenan (agency theory). Ada 2 (dua) asumsi yang seharusnya dipenuhi dalam teori keagenan. Ketika salah satu asumsi tidak terpenuhi maka akan menimbulkan konflik. Konflik keagenan terjadi akibat perbedaan kepentingan antara pemilik perusahaan dengan manajernya. Disatu sisi, pemilik menginginkan manajer bekerja keras untuk memaksimumkan utilitas pemilik. Namun disisi lain, manajer juga cenderung berusaha keras untuk memaksimumkan kepentingannya sendiri. Menurut pendekatan keagenan, struktur kepemilikan, kebijakan dividen dan leverage 29 merupakan suatu mekanisme untuk mengurangi konflik kepentingan antara manajer dan pemegang saham. Berdasarkan rerangka berpikir yang telah dijelaskan sebelumnya, kemudian disusun konsep penelitian yang menjelaskan hubungan antar variabel dalam penelitian ini. Konsep penelitian ini merupakan hubungan logis dari landasan teori dan kajian empiris yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Konsep tersebut dapat disajikan dalam Gambar 3.2. Kepemilikan Manajerial H1 Kajian Teoritis : 1. Agency Theory Kepemilikan Institusional Kajian Empiris : H2 Kos Keagenan Kebijakan Dividen H3 Leverage H4 1. Crutchley dan Hansen (1989) 2. Dewenter K.L., dan Warter V.A (1998) 3. Faizal (2005) 4. Haryono (2005) 5. Jansen & Meckling (1976) 6. Mahadwartha (2002) 7. Widanaputra & Ratnadi (2008) 8. Widanaputra (2007) Gambar 3.2 Konsep Penelitian 3.3 Hipotesis Penelitian 3.3.1 Hubungan kepemilikan manajerial dengan kos keagenan Menurut Jensen (1993), hipotesis pemusatan kepentingan (convergence of interest hypothesis) menyatakan bahwa kepemilikan saham manajerial dapat membantu penyatuan kepentingan antara pemegang saham dengan manajer, semakin meningkat proporsi kepemilikan saham manajerial maka semakin baik 30 kinerja perusahaan. Penelitian mengenai pengaruh kepemilikan manajerial terhadap biaya keagenan (agency costs) juga dilakukan oleh Crutchley dan Hansen (1989), menyimpulkan bahwa level kepemilikan manajerial yang lebih tinggi dapat digunakan untuk mengurangi masalah keagenan. Sebaliknya penelitian yang dilakukan oleh Faisal (2005) diperoleh hasil yang berbeda. Faisal (2005) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara kepemilikan manajerial dengan biaya keagenan (agency costs). Hal ini mengindikasikan bahwa hubungan kepemilikan manajerial dengan biaya keagenan (agency costs) gagal sebagai mekanisme untuk meningkatkan nilai perusahaan. Kesimpulan lain yang didapat melalui penelitian Faisal yaitu semakin tinggi kepemilikan manajerial justru meningkatkan diskresi manajerial. Faisal (2005) menunjukkan bahwa semakin tinggi kepemilikan manajerial semakin tinggi biaya keagenan (agency costs) yang diukur dengan beban operasi. Besar kecilnya jumlah kepemilikan saham manajerial dalam perusahaan dapat mengindikasikan adanya kesamaan (congruance) kepentingan antara manajemen dengan pemegang saham. Perusahaan dengan jumlah kepemilikan saham yang besar seharusnya mempunyai konflik keagenan yang rendah dan biaya keagenan yang rendah pula. Konflik keagenan yang rendah dapat direfleksikan dari tingginya tingkat perputaran aktiva perusahaan dan rendahnya beban operasi terhadap penjualan (discreationary managerial). Dengan demikian hipotesisnya: H1 : Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif pada kos keagenan (agency costs) . 31 3.3 2. Hubungan kepemilikan institusional dengan kos kegenan Kepemilikan institusional umumnya bertindak sebagai pihak yang memonitor perusahaan. Penelitian mengenai pengaruh kepemilikan institusional terhadap agency costs dilakukan oleh Crutchley et al. (1999). Crutchley menyatakan bahwa kepemilikan oleh institusional juga dapat menurunkan agency costs, karena dengan adanya monitoring yang efektif oleh pihak institusional menyebabkan penggunaan utang menurun. Hal ini karena peranan utang sebagai salah satu alat monitoring sudah diambil alih oleh kepemilikan institusional. Dengan demikian kepemilikan institusional dapat mengurangi agency cost of debt. Moh’d et al. (1998) dalam Nuridha (2006) menyatakan bahwa distribusi saham antara pemegang saham dari luar yaitu investor institusional dan shareholders dispersion dapat mengurangi agency costs. Adanya kepemilikan institusional seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi dan kepemilikan oleh institusi lain akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja manajemen. Sebaliknya penelitian yang dilakukan oleh Faisal (2005) diperoleh hasil yang berbeda. Faisal (2005) menyatakan bahwa hubungan antara kepemilikan institusional dengan biaya keagenan (agency costs) adalah negatif. Masih berdasarkan hasil penelitian Faisal (2005) bahwa hal ini mengindikasikan kepemilikan institusional belum efektif sebagai alat memonitor manajemen dalam meningkatkan nilai perusahaan. Berdasarkan penjelasan diatas maka hipotesis yang diajukan adalah: 32 H2 : Kepemilikan institusional berpengaruh negatif pada kos keagenan (agency costs). 3.3.2 Hubungan antara kebijakan dividen dengan kos keagenan Keputusan pembagian dividen ditentukan oleh pemegang saham melalui RUPS memberikan konsekuensi bahwa besar kecilnya dividen dapat dijadikan alat bagi pemegang saham untuk mengendalikan manajemen. Hubungan keagenan antara pemilik perusahaan dengan manajemen menciptakan kesempatan bagi manajemen untuk mengejar tujuan pribadinya disamping memaksimalkan kesejahteraan pemilik. Penelitian mengenai hubungan kebijakan dividen dengan kos keagenan dilakukan oleh Schooley et al. (1994) yang menyatakan bahwa kebijakan dividen dan manajerial digunakan untuk menurunkan kos keagenan. Mereka menguji kebijakan dividen dan kepemilikan saham sebagai suatu yang saling berhubungan untuk mengurangi kos keagenan. Dengan memberikan kepemilikan saham bagi manajemen mungkin dapat mengurangi kos keagenan. Pembayaran dividen menyebabkan jumlah dana yang dikelola oleh perusahaan menjadi semakin kecil, demikian juga dengan memberikan kepemilikan saham menyebabkan manajemen mungkin tidak akan melakukan manipulasi karena disamping sebagai manajemen dia juga berposisi sebagai pemilik perusahaan. Kedua kondisi tersebut akan dapat mengurangi besarnya kos keagenan. Untuk menguji dampak dari kedua variabel tersebut, Schooley et al. (1994) menggunakan 235 perusahaan yang terdapat pada thirty-two digit SIC kelompok industri pada tahun 1980. Sampel perusahaan besar memiliki rata-rata total aset sebesar $ 2.504 juta. Kepemilikan saham untuk CEO mulai dari 0 sampai 30,5%. 33 Hasilnya sesuai dengan hipotesis bahwa kebijakan dividen dan kepemilikan saham berhubungan negatif dengan kos keagenan, kecuali dummy dari tipe industri sebagai variabel kontrol. Berdasarkan informasi tersebut, maka dapat disusun hipotesis sebagai berikut: H3 : Kebijakan dividen berpengaruh negatif pada kos keagenan (agency costs). 3.3.3 Hubungan antara leverage dengan kos keagenan Kecenderungan para manajer untuk melakukan aktivitas hanya untuk kepentingannya sendiri juga timbul karena para pemegang saham tidak mungkin dapat mengawasi seluruh aktivitas yang dilakukan oleh manajer. Untuk mengurangi konflik keagenan (agency conflict) ini, para pemegang saham harus mengeluarkan biaya-biaya yang disebut dengan kos keagenan (agency cost). Kos keagenan terdiri dari seluruh biaya yang membebani pemegang saham untuk mendorong manajer agar berusaha memaksimumkan harga saham perusahaan daripada hanya bertindak untuk kepentingan pribadi saja. Penelitian mengenai pengaruh leverage terhadap agency costs dilakukan oleh Widanaputra & Ratnadi menyatakan bahwa leverage mempunyai pengaruh negatif terhadap kos keagenan (agency cost) tingkat kepercayaan 95%, leverage berpengaruh negatif dan signifikan secara statistis terhadap kos keagenan (agency cost) pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Hasil ini juga membuktikan teori Jensen dan Meckling (1976) yang menyatakan bahwa dengan pengurangan free cash flow melalui peningkatan utang dapat mengurangi masalah agensi antara pemegang saham dengan manajemen. Hal itu terjadi karena jumlah dana yang “menganggur” semakin kecil yang akan mengurangi pengawasan terhadap dana 34 tersebut. Menurut Jensen dan Meckling (1976) untuk menengahi permasalahan agensi adalah dengan meningkatkan utang. Argumen tersebut didukung oleh pernyataan bahwa dengan meningkatnya utang akan semakin kecil porsi saham yang akan dijual perusahaan dan semakin besar utang perusahaan maka semakin kecil dana menganggur yang dapat dipakai perusahaan untuk pengeluaranpengeluaran yang kurang perlu. Semakin besar utang maka perusahaan harus mencadangkan lebih banyak kas untuk membayar bunga serta pokok pinjaman. Mekanisme untuk mengurangi Free cash flow ini oleh Jensen (1986) dikelompokan sebagai bonding, yaitu suatu mekanisme yang dipakai manajer untuk membuktikan bahwa mereka tidak akan menghamburkan dana perusahaan dan mereka berani mengambil risiko kehilangan pekerjaan jika tidak bisa mengelola perusahaan dengan serius. Disisi pemegang saham, kebijakan peningkatan utang dapat mengurangi pengawasan terhadap manajemen karena pihak ketiga yang meminjamkan dana (bondholder) akan melakukan pengawasan terhadap manajemen agar pinjamannya tidak disalah gunakan. Dalam penelitiaan ini kebijakan utang diproksikan dengan leverage. Leverage mengukur nilai dana yang dibiayai dari pinjaman pihak ketiga. Sehingga hubungan leverage dengan kos keagenan adalah negatif yang berarti semakin tinggi leverage akan dapat menurunkan kos keagenan. Dengan demikian, hipotesis yang diajukan sebagai berikut: H4 : Leverage berpengaruh negatif pada kos keagenan (agency costs). 35 BAB IV METODA PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian menjelaskan rencana dari struktur riset yang mengarahkan proses dan hasil penelitian sedapat mungkin menjadi valid, objektif, efisien, dan efektif. Pada bab sebelumnya telah dijelaskan latar belakang masalah, tujuan, manfaat, kajian pustaka, dan hipotesis penelitian. Tahapan selanjutnya yang harus dilakukan dalam penelitian ini adalah mempersiapkan data penelitian dan menguji hipotesis sehingga dapat ditarik kesimpulan sesuai dengan hasil yang diperoleh. Penelitian ini menggunakan jenis data sekunder yang diperoleh dengan mengakses website www.idx.co.id dan Indonesian Capital Market Directory (ICMD). Berdasarkan hipotesis yang diajukan, diidentifikasi dua jenis variabel dalam penelitian ini, yang pertama adalah variabel independen yaitu aliran kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, kebijakan dividen, dan leverage, kedua adalah variabel dependen yaitu kos keagenan. 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini adalah di Bursa Efek Indonesia (selanjutnya disingkat menjadi - BEI) dengan alamat komplek perkantoran Jl. Jenderal Sudirman Kav. 52-53 Jakarta 12190, data diperoleh dengan mengakses melalui website www.idx.co.id. Objek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan-perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI pada tahun 2004 sampai 36 dengan tahun 2008. Pemilihan sampel tahun 2004 sampai dengan 2008 agar penelitian ini mencerminkan kondisi keuangan perusahaan yang terbaru. 4.3 Penentuan sumber data 4.3.1 Jenis data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif yaitu data dalam bentuk angka-angka, dapat dinyatakan dan dapat diukur dengan satuan hitung (Sugiyono, 2009). Data kuantitatif dalam penelitian ini adalah data laporan keuangan perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang membagikan dividen yaitu dari tahun 2004 sampai tahun 2008. 4.3.2 Sumber data Penelitian ini menggunakan data sekunder eksternal, yaitu data yang diperoleh dari penelitian secara tidak langsung melalui perantara, seperti orang lain atau dokumen, Sugiyono (2009). Data sekunder eksternal dalam penelitian ini adalah laporan tahunan perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2004 sampai dengan 2008. Pemilihan perusahaan manufaktur dipilih karena populasi perusahaan manufaktur adalah paling banyak diantara jenis perusahaan lainya sehingga hasil yang akan didapat nantinya akan mencerminkan karakteristik populasi di Bursa Efek Indonesia selain itu minimnya aturan atau regulasi dari pemerintah atas kebijakan-kebijakan ekonomi pada perusahaan manufaktur. 37 4.3.3 Metoda Penentuan Sampel Metode penentuan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan tipe nonprobability sampling yaitu dengan pendekatan purposive sampling, yang merupakan teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2009: 218). Pertimbangan tertentu dalam penentuan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut ini: 1) Perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dan mempublikasikan Laporan Keuangan Tahunan (LKT) selama periode pengamatan yaitu 2004 - 2008. 2) Membagikan dividen selama lima tahun sesuai dengan tahun pengamatan. Dividen yang dibagikan tersebut merupakan suatu indikasi bahwa pemegang saham memang lebih menyukai laba dibagi dalam bentuk dividen dibandingkan laba ditahan. 3) Mempunyai kepemilikan manajerial atau kepemilikan institusional dari tahun 2004 sampai tahun 2008 Berdasarkan kriteria tersebut diperoleh 61 pengamatan dengan proses pemilihan sampel seperti pada Tabel 4.1 berikut. Tabel 4.1 Proses pemilihan sampel penelitian Keterangan Perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI dari tahun 2004 sampai 2008 Perusahaan manufaktur yang tidak membagikan dividen dari tahun 2004 sampai tahun 2008 Jumlah Pengamatan 725 (475) 38 Perusahaan manufaktur yang membagikan dividen dari tahun 2004 sampai tahun 2008 250 Perusahaan manufaktur yang tidak mempunyai kepemilikan manajerial atau kepemilikan institusional dari tahun 2004 sampai (185) tahun 2008 Perusahaan yang datanya outlier (4) Perusahaan sampel penelitian 61 Berdasarkan informasi pada Tabel 4.1, maka jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 61 pengamatan. Dari 725 perusahaan yang mengeluarkan Laporan Keuangan Tahunan (LKT) selama tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 terdapat 250 perusahaan manufaktur yang membagikan dividen dari tahun 2004 sampai tahun 2008. Terdapat 185 perusahaan selama tahun 2004 sampai dengan 2008 yang tidak mempunyai kepemilikan manajerial atau kepemilikan institusional dari tahun 2004 sampai tahun 2008. Terdapat 4 perusahaan dikategorikan outlier karena memiliki Z score di atas +3 dan di bawah -3 atau dengan kata lain makin besar Z scorenya maka makin jauh data tersebut dari simpangannya. Hal ini disebabkan oleh rasio leverage dan dividend payout ratio (DPR) perusahaan tersebut besar. 4.4 Variabel Penelitian 4.4.1 Identifikasi Variabel Variabel dependent (terikat) menurut Sugiyono (2009: 39), merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas. Dalam penelitian ini, yang menjadi variabel terikat adalah kos keagenan 39 yang diukur dengan beban operasi (selling and general administrative/SGA) adalah variabel terikat dalam penelitian ini. Variabel independent (bebas) merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel terikat (Sugiyono, 2009:39). Dalam penelitian ini, yang menjadi variabel bebas adalah kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, kebijakan dividen dan leverage. 4.4.2 Definisi Operasional Variabel Definisi operasional variabel adalah suatu definisi yang diberikan kepada variabel, dengan tujuan memberikan arti atau menspesifikasikannya. Dalam penelitian ini definisi operasional yang dimaksud adalah sebagai berikut ini. 1) Variabel terikat yaitu sebagai berikut ini. Kos keagenan disimbolkan dengan (Y) diukur dengan selling and general administrative/SGA. SGA merupakan proksi dari operating expense. Variabel ini mengukur biaya keagenan berdasarkan selling and general administrative, yaitu rasio beban operasi terhadap total penjualan. Beban operasi merefleksikan diskresi manajerial dalam membelanjakan sumber daya perusahaan. Semakin tinggi beban diskresi manajerial maka semakin tinggi biaya keagenan yang terjadi. 2) Variabel bebas yaitu sebagai berikut ini. (1) Kepemilikan manajerial (KM) adalah persentase saham yang dimiliki oleh eksekutif dan direktur disimbolkan dengan (X1). (2) Kepemilikan institusional (KI) adalah persentase saham yang dimiliki oleh pemegang saham disimbolkan dengan (X2). 40 (3) Kebijakan dividen dalam penelitian ini diukur dengan mengunakan dividend payout ratio (DPR) yang dihitung dengan membandingkan dividen per lembar saham dengan laba per lembar saham disimbolkan dengan (X3) (4) Leverage (Lev) diukur dengan membagi total utang dengan total aktiva disimbolkan dengan (X4). Utang perusahaan merupakan salah satu mekanisme untuk menyatukan kepentingan manajer dengan pemegang saham, utang memberikan sinyal tentang status kondisi keuangan perusahaan untuk memenuhi kewajibannya. 4.5 Analisis Data 4.5.1 Uji asumsi klasik Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik analisis regresi linear berganda. Sebelum model regresi digunakan untuk menguji hipotesis, maka terlebih dahulu dilakukan pengujian asumsi klasik. Tujuan pengujian ini untuk mengetahui keberartian hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen sehingga hasil analisis dapat diinterpretasikan dengan lebih akurat, efisien, dan terbatas dari kelemahan-kelemahan yang terjadi karena masih adanya gejala-gejala asumsi klasik. Dalam penelitian ini, teknik analisis data dilakukan dengan bantuan program Statistical Package for Social Science (SPSS). Menurut Ghozali (2006) uji asumsi klasik yang dilakukan adalah sebagai berikut. 1) Uji Normalitas Asumsi klasik yang pertama diuji adalah normalitas yang bertujuan untuk menguji apakah pada model regresi, variabel pengganggu atau 41 residual mempunyai distribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah distribusi data normal atau mendekati normal. Pengujian normalitas data dilakukan dengan uji analisis grafik normal probability plot yang membandingkan distribusi kumulatif dari data sesungguhnya dengan distribusi kumulatif dari distribusi normal. Distribusi normal akan membentuk satu garis lurus diagonal dan ploting data akan dibandingkan dengan garis diagonal tersebut. Jika distribusi data adalah normal, maka garis yang menggambarkan data sesungguhnya akan mengikuti garis diagonalnya. 2) Uji Multikolinearitas Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antarvariabel bebas. Multikolinearitas dapat dilihat dari nilai tolerance atau variance inflation factor (VIF). Jika ada tolerance lebih dari 10% atau VIF kurang dari 10 maka dikatakan tidak ada multikolinearitas. 3) Uji Autokorelasi Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam suatu model regresi linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada perioda t dengan kesalahan pada perioda t-1. Untuk mengetahui ada tidaknya autokorelasi, maka digunakan metoda Durbin Watson (Dw Test). Jika nilai Dw test sudah ada, maka nilai tersebut dibandingkan dengan nilai tabel dengan menggunakan tingkat keyakinan sebesar 95%. Nilai 42 tabel umumnya dapat digunakan untuk jumlah pengamatan sebanyak 15 sampai dengan 100 (Gujarati, 2003: 216). 1) Bila dU < dw < (4-dU), maka tidak terjadi autokorelasi. 2) Bila d w < d1, maka terjadi autokorelasi positif. 3) Bila d w > (4-d t), maka terjadi autokorelasi negatif. 4) Bila d1 < dw < d U atau (4-d U) < dw < (4-dt), maka tidak dapat ditarik kesimpulan mengenai ada tidaknya autokorelasi. Jika nilai Dw-test berada pada daerah ragu-ragu maka dapat dilakukan Runs-test untuk memastikan ada tidaknya autokorelasi. Jika tingkat signifikansi Runs-test > 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi autokorelasi. 4) Uji Heteroskedastisitas Uji heterokedastisitas dilakukan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varian dari residual satu observasi ke observasi lain. Uji heteroskedastisitas dilakukan dengan meregresikan nilai absolut residual dengan variabel independennya. Ada tidaknya heteroskedastisitas dapat diketahui dengan melihat tingkat signifikansinya terhadap 5%. 4.5.2 Analisis regresi linear berganda Teknik analisis data yang dipergunakan untuk memecahkan masalah dalam penelitian ini adalah teknik analisis regresi linear berganda. Adapun model regresi linear berganda dengan menggunakan persamaan berikut (Ghozali, 2006): Y = α + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + e .................................... (1) 43 Keterangan : Y α β1,β2, β3,β4 X1 X2 X3 X4 e = kos keagenan (agency cost) = konstanta = koefisien regresi = kepemilikan manajerial = kepemiikan institusional = kebijakan dividen = leverage = error Analisis regresi berganda (Multivariate Regression) merupakan suatu model dimana variabel terikat tergantung pada dua atau lebih variabel bebas. Analisis ini digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas (independen) terhadap variabel terikat (dependen). Uji t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel bebas secara individual dalam menerangkan variasi variabel terikat. Tujuan dari uji t adalah untuk menguji koefisien regresi secara individual. 4.5.3 Pengujian hipotesis Hasil pengujian hipotesis dengan menggunakan analisis regresi berganda disimpulkan berdasarkan nilai t hitung dan tingkat signifikansi (Pvalue). Hipotesis dinyatakan diterima apabila thitung lebih besar daripada ttabel atau Pvalue < 0,05, artinya variabel independen berpengaruh terhadap variabel dependen secara statistis signifikan. 44 BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Statistik Deskriptif Penelitian ini menggunakan perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia sebagai sampel penelitian. Berdasarkan kriteria sampel dan prosedur penyampelan yang telah dilakukan dan dijelaskan pada Bab IV, diperoleh 22 perusahaan sebagai sampel penelitian dengan 61 pengamatan tahun. Data yang digunakan untuk perhitungan masing-masing variabel diambil dari laporan keuangan perusahaan. Hasil perhitungan kos keagenan, leverage, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, dan dividen masing-masing perusahaan disajikan pada Lampiran 4. Statistik deskriptif masing-masing variabel disajikan pada Tabel 5.1 berikut ini. Tabel 5.1 Statistik Deskriptif Variabel Minimum Maksimum Kos Keagenan 0,0290 Leverage 0,0550 Kepemilikan Manajerial 0,0010 Kepemilikan Institusional 0,1290 Dividen 0,01 Sumber: data diolah (Lampiran 5) 0,3070 0,8250 0,2580 0,8650 92,31 Rata-Rata 0,110246 0,457385 0,053800 0,571277 29,5197 Deviasi Standar 0,0675104 0,1978254 0,0820650 0,1918224 19,77251 Tabel 5.1 menunjukkan nilai rata-rata dan deviasi standar dari masingmasing variabel. Kos keagenan memiliki rata-rata sebesar 0,110246 dengan deviasi standar sebesar 0,0675104. Leverage memiliki rata-rata sebesar 0,457385 dengan deviasi standar sebesar 0,1978254. Kepemilikan manajerial memiliki ratarata sebesar 0,053800 dengan deviasi standar sebesar 0,0820650. Kepemilikan 45 institusional memiliki rata-rata sebesar 0,571277 dengan deviasi standar sebesar 0,1918224. Dividen memiliki rata-rata sebesar 29,5197 dengan deviasi standar sebesar 19,77251. Berdasarkan dari Table 5.1 menunjukkan bahwa secara keseluruhan nilai deviasi standar tidak ada yang melebihi dua kali nilai rata-rata. Hal tersebut menandakan bahwa sebaran data sudah baik. 5.2 Pengujian Asumsi Klasik 5.2.1 Uji normalitas Uji normalitas yang bertujuan untuk menguji apakah pada model regresi, variabel pengganggu atau residual mempunyai distribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah distribusi data normal atau mendekati normal. Sampel yang digunakan dalam analisis terdiri atas 61 pengamatan. Pengujian normalitas menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov menunjukkan tingkat signifikansi 0,947. Angka ini lebih besar dari 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa nilai residual berdistribusi normal. Hasil uji normalitas dapat dilihat pada Tabel 5.2 Tabel 5.2 One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test N Normal Parameters(a,b) Most Extreme Differences Mean Std. Deviation Absolute Positive Negative Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) Sumber: data diolah (Lampiran 6) Unstandardized Residual 65 ,0000000 ,05684950 ,065 ,054 -,065 ,524 ,947 46 5.2.2 Uji multikolinearitas Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antarvariabel bebas. Hasil uji multikolinearitas dapat dilihat dari nilai tolerance dan variance inflaction factor (VIF). Berdasarkan hasil pengujian yang ditunjukkan pada Lampiran 7, nilai tolerance variabel bebas tidak kurang dari 10% atau 0,1 dan nilai variance inflation factor (VIF) semuanya kurang dari 10 yang berarti tidak ada multikolinearitas antarvariabel independen. Hasil uji multikoliniearitas dapat dilihat pada Tabel 5.3 Tabel 5.3 Hasil Uji Multikolinearitas Model Collinearity Statistics Tolerance VIF 1 (Constant) Leverage Kepemilikan Manajerial Kepemilikan Institusional Dividen Sumber: data diolah (Lampiran 7) 5.2.3 0,976 0,912 0,895 0,933 1,024 1,097 1,117 1,072 Uji autokorelasi Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam suatu model regresi linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada perioda t dengan kesalahan pada perioda t-1. Hasil uji autokorelasi menunjukkan nilai Durbin-Watson yang diperoleh adalah sebesar 0,823. Nilai tersebut terletak di bawah d L sebesar 1,44. Ini berarti model regresi mengandung autokorelsi negatif sehingga harus dilakukan tindakan perbaikan. Tindakan perbaikan dalam penelitian ini dilakukan dengan memasukan Lag Y dalam persamaan regresi. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pengaruh variabel independen (X) pada variabel dependen 47 (Y) tidak terjadi pada perioda yang sama sehingga ada rentang waktu yang menyebabkan terjadinya autokorelasi. Hasil pengujian autokorelasi setelah perbaikan menunjukkan nilai dW sebesar 1,945 yang berada diantara du (1,73) dan 4-du (2,27). Berdasarkan hasil pengujian dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi masalah autokorelasi sehingga model regresi dapat dilanjutkan. Hasil pengujian autokorelasi dapat dilihat pada Tabel 5.4 Tabel 5.4 Hasil Uji Autokorelasi Setelah Perbaikan Model R R Square 1 ,497(a) ,247 Sumber: data diolah (Lampiran 8) 5.2.4 Adjusted Std. Error of the Durbin-Watson R Square Estimate ,178 ,0494761 1,945 Uji heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual suatu pengamatan ke pengamatan yang lain. Pengujian heteroskedastisitas pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan uji Glejser. Hasil pengujian menunjukkan seluruh variabel bebas tidak berpengaruh pada nilai absolut residual. Terlihat dari nilai signifikansi masing-masing variabel dalam persamaan regresi di atas 0,05, hal ini berarti data bebas dari heteroskedastisitas. Hasil uji heteroskedastisitas dapat dilihat pada Tabel 5.5 48 Tabel 5.5 Hasil Uji Heteroskedastisitas Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients Model T B Std. Error Beta 1 (Constant) ,056 ,069 ,817 Leverage ,041 ,078 ,070 ,530 Kepemilikan Manajerial -,191 ,195 -,133 -,980 Kepemilikan Institusional ,024 ,085 ,040 ,282 Dividen ,000 ,000 -,064 -,460 Lag Y -,175 ,224 -,105 -,784 Sumber: data diolah (Lampiran 9) 5.3 Sig ,417 ,598 ,332 ,779 ,648 ,436 Pengujian Hipotesis Hipotesis penelitian ini menguji pengaruh leverage, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, dan dividen pada kos keagenan. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab metoda penelitian, hipotesis dalam penelitian ini diuji dengan menggunakan analisis regresi linear berganda. Hasil pengujian hipotesis dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 5.6 berikut ini. Tabel 5.6 Hasil Pengujian Hipotesis Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients T Sig. Std. B Beta Error (Constant) ,173 ,029 5,954 ,000 Leverage -,063 ,033 -,227 -1,933 ,058 Kepemilikan Manajerial -,216 ,083 -,314 -2,613 ,012 Kepemilikan Institusional -,003 ,036 -,011 -,086 ,932 Dividen -0,0000903 ,000 -,065 -,525 ,602 Sumber: data diolah (Lampiran 10) Model Tabel 5.4 menunjukkan bahwa nilai adjusted R2 adalah 0,178. Ini berarti bahwa varian dari variabel bebas yaitu leverage, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, dan dividen mampu menjelaskan varian variabel terikat 49 (kos keagenan) sebesar 17,8 persen, sedangkan sisanya sebesar 82,2 persen dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model. Hasil pada Tabel 5.6 dapat dijelaskan bahwa nilai signifikansi dibawah 0,05 menunjukkan variabel independen berpengaruh pada kos keagenan (agency cost), sedangkan apabila nilai signifikansi diatas 0,05 berarti variabel independen tidak berpengaruh pada kos keagenan (agency cost). Nilai koefisien kepemilikan manajerial sebesar -0,216 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,012 lebih kecil dari 0,05 artinya variabel kepemilikan manajerial berpengaruh negatif pada kos keagenan. Nilai koefisien kepemilikan institusional sebesar -0,003 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,932 lebih besar dari 0,05 artinya variabel kepemilikan institusional tidak berpengaruh pada kos keagenan. Nilai koefisien leverage sebesar -0,063 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,058 lebih besar dari 0,05 artinya variabel leverage tidak berpengaruh pada kos keagenan. Nilai koefisien dividen sebesar -0,00009 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,602 lebih besar dari 0,05 artinya variabel dividen tidak berpengaruh pada kos keagenan. 50 BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Pengaruh Kepemilikan Manajerial Pada Kos Keagenan Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh negatif pada kos keagenan. Hasil ini mendukung hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini. Hasil ini mendukung temuan Widanaputra dan Ratnadi (2006), Crutchley dan Hansen (1989), Bathala et al. (1994), Ang et al. (1999) serta penelitian yang dilakukan oleh Demsetz dan Lehn (1989) menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh pada kos keagenan. Penelitian Widanaputra dan Ratnadi (2006), menyimpulkan bahwa kos keagenan (agency cost) pada perusahaan yang dikelola oleh manajer pemilik lebih kecil dibandingkan dengan perusahaan yang dikelola oleh manajer non pemilik. Crutchley dan Hensen (1989) meneliti penerapan teori keagenan dalam menjelaskan pengaruh kepemilikan manajerial, leverage, dan kebijakan dividen pada peningkatan utilitas manajemen. Hasil dari penelitian Crutchley dan Hensen (1989) adalah mendukung teori keagenan tentang bagaimana para manajer memaksimalkan utilitas melalui kepemilikan saham, tingkat leverage, dan pembayaran dividen. Bathala et al. (1994) menyimpulkan bahwa kepemilikan manajerial yang lebih tinggi dapat digunakan untuk mengurangi masalah keagenan. Schooley et al. (1994) meneliti tentang kebijakan dividen dan kepemilikan saham sebagai alat untuk menurunkan kos keagenan. Penelitian Ang et al. (1999) memberikan bukti terhadap hubungan antara struktur kepemilikan 51 dengan biaya keagenan yang diukur dari pemanfaatan aktiva dan beban operasi. Mereka melakukan survei pada perusahaan-perusahaan kecil dengan menghubungkan ukuran absolut dan relatif dari biaya keagenan. Hasilnya menyatakan bahwa biaya keagenan pada perusahaan dengan manajemen yang berasal dari luar (outsider) relatif lebih tinggi dibandingkan perusahaan dengan manajemen sendiri (owner managed). Penelitian mereka juga menunjukkan bahwa efisiensi pemanfaatan aktiva dan beban operasi pada perusahaan kecil dipengaruhi oleh kepemilikan manajerial dalam perusahaan. Penelitian Singh et al. (2003) menganalisis hubungan antara struktur kepemilikan dengan biaya keagenan pada perusahaan-perusahaan besar yang sudah go public. Hasil penelitian Singh et al. mendukung penelitian Ang et al. yang menyatakan bahwa semakin tinggi kepemilikan manajerial secara positif dan signifikan mempengaruhi efisiensi pemanfaatan aktiva perusahaan. Demsetz dan Lehn (1985) menyimpulkan bahwa konsentrasi kepemilikan digunakan perusahaan untuk menghilangkan masalah keagenan. Penelitian ini tidak mendukung temuan Faisal (2005) yang menemukan bahwa struktur kepemilikan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap biaya keagenan (agency costs). Faisal (2005) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara kepemilikan manajerial dengan biaya keagenan (agency costs). Hal ini mengindikasikan bahwa hubungan kepemilikan manajerial dengan biaya keagenan (agency costs) gagal sebagai mekanisme untuk meningkatkan nilai perusahaan. Kesimpulan lain yang didapat melalui penelitian Faisal yaitu semakin tinggi kepemilikan manajerial justru meningkatkan diskresi manajerial. 52 Faisal (2005) menunjukkan bahwa semakin tinggi kepemilikan manajerial semakin tinggi biaya keagenan (agency costs) yang diukur dengan beban operasi. 6.2 Pengaruh Kepemilikan Institusional Pada Kos Keagenan Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa kepemilikan institusional tidak berpengaruh pada kos keagenan. Hasil ini tidak mendukung hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini. Hasil ini mendukung temuan Crutchley et al. (1999). Crutchley menyatakan bahwa kepemilikan oleh institusional juga dapat menurunkan biaya keagenan (agency costs), karena dengan adanya monitoring yang efektif oleh pihak institusional menyebabkan penggunaan utang menurun. Hal ini karena peranan utang sebagai salah satu alat monitoring sudah diambil alih oleh kepemilikan institusional. Dengan demikian kepemilikan institusional dapat mengurangi agency cost of debt. Moh’d et al. (1998) menyatakan bahwa distribusi saham antara pemegang saham dari luar yaitu investor institusional dan shareholders dispersion dapat mengurangi biaya keagenan (agency costs). Adanya kepemilikan institusional seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi dan kepemilikan oleh institusi lain akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja manajemen. Sebaliknya penelitian yang dilakukan oleh Faisal (2005) diperoleh hasil yang berbeda. Faisal (2005) menyatakan bahwa hubungan antara kepemilikan institusional dengan biaya keagenan (agency costs) adalah negatif. Masih berdasarkan hasil penelitian Faisal (2005) bahwa hal ini mengindikasikan 53 kepemilikan institusional belum efektif sebagai alat memonitor manajemen dalam meningkatkan nilai perusahaan. 6.3 Pengaruh Kebijakan Dividen Pada Kos Keagenan Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa kebijakan dividen tidak berpengaruh pada kos keagenan. Hasil ini mendukung penelitian Widanaputra dan Ratnadi (2006), yang menyatakan bahwa Kebijakan Deviden tidak berpengaruh secara statistik pada kos keagenan (agency cost) dengan tingkat keyakinan 95%. Hasil ini bertentangan dengan hasil penelitian Schooley et al. (1994) dan Faizal (2004). Schooley et al. (1994) yang menyatakan kebijakan dividen berpengaruh negatif dengan kos keagenan. Perbedaan hasil ini mungkin disebabkan pada sampel perusahaan yang diteliti sedang mengalami pertumbuhan sehingga diperlukan banyak dana untuk membiayai investasi. Megginson (1997) dalam Zaenal Arifin (2005:104) menjelaskan bahwa faktor pembayaran dividen sangat ditentukan salah satunya dari kebutuhan dana investasi. Dalam hal ini pemegang saham tidak terlalu mempermasalahkan besarnya pembagian dividen karena pemegang saham beranggapan dana yang mereka tanamkan memang benar-benar digunakan untuk investasi. Dapat disimpulkan bahwa kebijakan dividen belum dapat menjelaskan adanya masalah agensi pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. 6.4 Pengaruh Leverage Pada Kos Keagenan Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa leverage tidak berpengaruh pada kos keagenan (agency cost) dengan nilai signifikansi sebesar 0.058. Hasil ini tidak mendukung hasil penelitian Faizal (2004) yang menyatakan leverage 54 berpengaruh negatif terhadap kos keagenan (agency cost). Hasil ini juga tidak dapat membuktikan teori dari Jensen dan Meckling (1976) yang menyatakan bahwa dengan pengurangan free cash flow melalui peningkatan utang dapat mengurangi masalah keagenan antara pemegang saham dengan manajemen. Dengan jumlah dana yang “menganggur” semakin kecil maka akan mengurangi pengawasan terhadap dana tersebut. Alasan lain dari penurunan kos keagenan dikarenakan pengawasan terhadap manajemen semakin berkurang karena pihak ketiga (debtholder) akan ikut mengawasi manajemen atas dana yang dipinjamkan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa leverage tidak berpengaruh pada kos keagenan mungkin disebabkan oleh pengawasan dari debtholder tidak cukup efektif. Hal ini menyebabkan keberadaan leverage dalam perusahaan tidak secara efektif mampu menurunkan kos keagenan (agency cost). 55 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah, tujuan, landasan teori, hipotesis, dan hasil pengujian yang dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Kepemilikan manajerial berpengaruh pada kos keagenan (agency cost). Hal ini menunjukan bahwa semakin tinggi kepemilikan manajerial maka akan membantu penyatuan kepentingan antara manajer dengan pemegang saham sehingga manajer dapat merasakan langsung manfaat dari keputusan yang diambil dan juga ikut menanggung kerugian yang timbul akibat konsekuensi dari pengambilan keputusan yang salah. 2) Kepemilikan institusional tidak berpengaruh pada kos keagenan (agency cost). Hal ini menunjukan bahwa pengawasan dari pemegang saham institusi tidak secara efektif mampu mengurangi kos keagenan. Perusahaan masih mengeluarkan biaya untuk melakukan pengawasan secara internal sehingga kos keagenan yang dikeluarkan masih tinggi. 3) Kebijakan dividen tidak berpengaruh pada kos keagenan (agency cost). Hal ini menunjukan bahwa pada sampel perusahaan yg diteliti besaran dividen yg dibagikan relatif fluktuatif & cenderung kecil. Disamping itu keputusan pembagian dividen lebih ditentukan oleh pemegang saham mayoritas karena umumnya karakteristik struktur kepemilikan saham di Indonesia terkonsentrasi dimana kepemilikan perusahaan terbagi menjadi dua kelompok, yaitu controlling dan minority shareholders yang dapat 56 saja menimbulkan terjadinya ketidakselarasan kepentingan yang disebabkan oleh keputusan-keputusan yang diambil pemegang saham mayoritas dapat merugikan kepentingan pemegang saham minoritas. Hal ini bisa menimbulkan ketidakpuasan bagi pemegang saham minoritas sehingga pengawasan masih secara intensif harus dilakukan. Dapat disimpulkan bahwa kebijakan dividen belum dapat menjelaskan adanya masalah agensi pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. 4) Leverage tidak berpengaruh pada kos keagenan (agency cost). Hal ini menunjukan bahwa pengawasan prinsipal terhadap manajemen tidak berkurang walaupun pihak ketiga (debtholder) akan ikut mengawasi manajemen atas dana yang dipinjamkan, hal ini berarti secara konsisten pihak prinsipal akan tetap mengawasi manajemen walaupun ada pihak ketiga yang mengawasinya sehingga biaya yang ditimbulkan akibat pengawasan yang dilakukan oleh prinsipal tidak dipengaruhi oleh adanya pengawasan dari pihak ketiga. 7.2 Keterbatasan dan Saran Penelitian ini memiliki keterbatasan sebagai berikut. 1) Penelitian ini hanya menggunakan sampel perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2004 sampai 2008 dan membagikan dividen selama tahun pengamatan. Penelitian selanjutnya disarankan memperpanjang periode waktu yang diteliti. 57 2) Penelitian ini hanya memasukkan perusahaan yang membagikan dividen selama tahun pengamatan. Hal ini dikarenakan untuk memperoleh jumlah sampel yang mencukupi. Apabila sampelnya mencukupi penelitian selanjutnya dapat menggunakan perusahaan yang membagikan dividen berturut-turut selama tahun pengamatan. Penelitian ini hanya memasukkan perusahaan yang mempunyai kepemilikan manajerial serta kepemilikan institusional. Penelitian selanjutnya dapat menambahkan variabel komite audit sebagai bagian dari penerapan Good Corporate Governance (GCG) yang mungkin berpengaruh terhadap kos keagenan.