TANGGUNG JAWAB NEGARA DALAM MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA Oleh: Asep Warlan Yusuf Yang saya hormati, Pengurus Yayasan Universitas Katolik Parahyangan Rektor dan Para Wakil Rektor Universitas Katolik Parahyangan Dekan Fakultas Hukum Ketua dan Anggota Senat Fakultas Hukum Para Pimpinan Fakultas dan lembaga di Lingkungan Univeristas Katolik Parahyangan Pengurus Ikatan Alumni FH Unpar Para Dosen di lingkungan Unpar Saudara mahasiswa yang saya cintai Hadirin yang berbahagia. Puji syukur kita panjatkan kehadhirat Tuhan Yang Maha Adil dan Maha Bijaksana atas berkah rahkmat dan karunia-Nya berupa limpahan anugerah sehat wal afiyat kepada kita sekalian, sehingga kita dapat hadir pada acara peringatan Dies Natalis Fakultas Hukum Unpar yang ke 58 di pada pagi hari yang cerah ini. Dalam Orasi Dies kali ini saya mengambil judul: “TANGGUNG JAWAB NEGARA DALAM MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA”. 1. Latar Belakang Ada ungkapan orang Belanda yang berbunyi: Het volks is redeloos, de regering is radeloos, het land is reddeloos (Rakyat kehilangan daya pikir sehat, pemerintah kehilangan akal, negara kehilangan harapan), perkataan yang populer pada abad ke 18 ini, nampaknya masih relevan untuk diucap ulang pada era reformasi sekarang ini, yang memang persis rakyat dan pemerintah kita sedang dilanda •• 1/36 •• kehilangan akal sehat dan harapan. Ungkapan tersebut saya mencoba untuk mengaitkan relevansinya dengan kondisi hari-hari ini melalui pertanyaan yang diajukan kepada mahasiswa Pascasarjana. Ketika dalam perkuliahan di Pascasarajana saya bertanya kepada Mahasiswa perihal isu dan masalah apa saja di Negeri ini yang harus mendapat prioritas untuk segera ditangani dan diselesaikan. Dari jawaban yang diberikan oleh para mahasiswa tersebut ada lima isu dan masalah yang hampir semua menyebutkannya, yaitu: 1) penegakan hukum; 2) ekonomi dan sosial; 3) penguasaan asing; 4) kepemimpinan; 5) etika dan disiplin. Kemudian mahasiswa selanjutnya diminta untuk mendeskripsikan kelima isu dan masalah tersebut secara lebih konkret. Selanjutnya terjadilah diskusi yang menarik dan hangat. Pertama mengenai isu dan masalah penegakan hukum yang pada intinya adalah masih belum cukup efektif, tegas, dan adil dalam penegakan hukum, terutama untuk kejahatan korupsi, narkoba, lingkungan hidup, serta hak-hak asasi manusia. Lemahnya dalam penegakan hukum ini, bukan karena semata-mata kurang lengkapnya peraturan perundang-undangan, atau terlampau sedikitnya jumlah aparatur penegak hukum, atau kurang baik kompetensinya, melainkan karena terjadinya dekandesi moral, tidak fokus pada tujuan, hilangnya keteladanan, matinya hati nurani, ceroboh dalam menentukan sasaran, saling ”tersandera kasus”, dan meluasnya fitnah, yang kesemuanya itu disebabkan karena faktor uang, jabatan, dan kekuasaan. Dalam praktek terjadi adanya sebagian masyarakat yang kerap mengambil jalan pintas untuk menyelesaikan kasus hukumnya dengan cara mendekati oknum aparat penegak hukum untuk transaksi (mufakat jahat), hal itu dilakukan agar kasus hukumnya dimenangkan atau pidananya dikurangi/dibebaskan. Hal itu terjadi seolah menjadi sesuatu yang lumrah dan ghalib. Syair lagu “di sini senang di sana senang, di mana-mana hatiku senang” menjadi cara penyelesaian hukum di bawah tangan. Ruang pengadilan menjadi •• 2/36 •• formalitas dan sandiwara karena sesungguhnya vonis sudah di laci oknum hakim yang dibuat secara transaksional. Ketika jembatan atau gedung cepat runtuh atau jalan raya cepat rusak, karena biayanya sudah dipotong di sana sini, masih dianggap relatif “kecil” tingkat efek bahayanya, tetapi kalau hukum dan keadilan sudah dirusak oleh pihak yang berperkara yang berkolaborasi dengan oknum penegak hukum, maka efek dan dampaknya sangat berbahaya. Mengapa demikian, karena apabila hukum sudah diperdagangkan dan dipermainkan, maka pada gilirannya tingkat kepercayaan masyarakat dan pencari keadilan terhadap hukum dan penegakan hukum akan juga runtuh, dan ini musibah yang hebat dalam kehidupan bernegara. Efeknya ketika hukum dan keadilan absen atau menghilang di tengah-tengah para pencari keadilan, maka terjadilah manusia menjadi srigala pemangsa bagi manusia lainnya, neobarbarian, menghalalkan segala cara, tindakan main hakim sendiri, hukum rimba siapa kuat dia menang, pengadilan jalanan, peradilan sesat, dan perbuatan tercela lainnya. Kedua, mengenai isu dan masalah sosial yang pada intinya bahwa terjadi kesenjangan ekonomi yang menimbulkan kemiskinan dan lemahnya daya beli bagi sebagaian besar masyarakat baik di pedesaan yang minim sumber daya alam maupun di kantongkantong kemiskinan di perkotaan. Angka jumlah pengangguran tak kunjung turun signifikan, bahkan cenderung naik. Demikian juga dengan masalah sosial yang menggambarkan potret buram penuh kepedihan, kejahatan narkoba makin merajalela yang konon di back up oknum aparat, kekerasan terhadap perempuan dan anak juga semakin biadab, sex bebas dikalangan remaja kian marak. Ada analis kebijakan publik yang menyatakan bahwa kemiskinan dan konflik sosial terjadi karena memang salah urus dari penyelenggara Negara dan pemerintahan. •• 3/36 •• Kerusakan akibat pembakaran hutan dan pencemaran lingkungan yang bersumber dari industri juga sudah pada taraf mengkhawatirkan, namun sayangnya pelakunya tidak dapat ditindak dan pabriknya ditutup hanya karena alasan ekonomi, pendapatan negara/daerah, dan lapangan kerja. Sungguh hukum menjadi rapuh dan keropos ketika berhadapan dengan kebijakan dan tindakan pemerintah dan oknum aparat penegak hukum yang kompromistik dan pilih kasih. Sungguh memprihatinkan! Ketiga, mengenai isu dan masalah penguasaan asing terhadap berbagai sumberdaya alam sungguh telah mempertunjukan ketidakadilan. Penguasaan asing pun tidak hanya berhenti di bidang pemanfaatan sumber daya alam, tetapi juga sudah merambah pada sektor barang dan jasa, terutama perbankan, asuransi dan juga media massa. Penguasaan dan intervensi asing ini juga harus kita waspadai ketika akan masuk ke ranah politik dan pemerintahan. Keempat, mengenai isu dan masalah kepemimpinan (leadership), yang pada intinya sudah terjadi krisis moral, etika, dan keteladanan yang cukup serius di diri para pemimpin dan elit, penyelenggara negara/pemerintahan, serta aparatur penegak hukum. Nilai-nilai moral dan kebaikan hidup yang diajarkan oleh agama, budaya, maupun adat sudah tidak memiliki daya ikat dan daya paksa untuk dipatuhi lagi ketika kekuasaan dan jabatan ada dalam genggaman. Bekal ajaran moral, etika dan kebajikan telah terkikis nyaris habis karena materi, kesenangan dunia, popularitas, dan status sosial yang menjadi orientasi hidupnya. Prilaku aji mumpung, mengambil kesempatan dalam kesempitan, pola kolusi tau sama tau, berburu rente, asal bapak senang, jilat ke atasan nginjak ke bawahan, dan berbagai perbuatan moral hazard lainnya merupakan potret yang ada dalam kehidupan, baik di suprastrukur politik maupun di infrastruktur politik kita. Sebagian masyarakat pun terkadang bersikap permisif terhadap prilaku buruk tersebut, karena sengaja dirancang agar merasa selalu •• 4/36 •• tergantung pada pemegang uang dan kekuasaan. Ketika ada pemilu misalnya, sebagian masyarakat berpikir bukan untuk sarana mewujudkan kedaulatan rakyat dalam upaya memilih pemimpin negara atau daerah yang terbaik, tetapi justru saat untuk “berkolaborasi” dengan elit dalam mengambil keuntungan ekonomi atau finansial. Jadilah ajang politik uang (money politics) marak luar biasa. Dalam konteks ini, uang kerap diperoleh dari “investor politik” yang sengaja membiayai kandidat dan parpolnya, dengan tujuan agar kelak bisa memanen hasilnya ketika pemilu telah usai yang menghasilkan pemimpin yang telah tergadaikan kepada investor politik. Bagi sebagian masyarakat kecil nampak tidak peduli dari mana uang itu berasal, yang penting peroleh uang meski tidak seberapa bila dibandingkan dengan akibat buruknya. Dengan potret demokrasi yang demikian itu, bagaimana kita bisa berharap memperoleh pemimpin yang kompeten, berintegritas, dan berpihak pada rakyat? Sungguh tragis! Secara ilustratif apabila sebuah perusahaan bangkrut atau pailit, maka selanjutnya asetnya akan dilelang untuk membayar hutang perusahaan. Namun apabila terjadi kebangkrutan moral dari para penyelenggara negara atau pemerintahan, maka harusnya segera diganti atau diturunkan dari jabatannya untuk menghindari kerugian negara yang lebih besar. Pertanyaannya adalah siapakah dan adakah yang mau berinisiatif untuk segera menghentikan-melalui mekanisme yang konstitusional tentunya--pemimpin yang moralnya sudah bangkut? Jangan sampai rakyat yang akan menurunkannya dengan caranya sendiri. Kelima, mengenai etika dan disiplin. Perihal lemahnya etika dan disiplin ini ada ilutrasi yang menarik, ketika saya kedatangan seorang peneliti dari Singapura yang ingin diskusi tentang pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Setelah dia menanyakan berbagai hal tetang praktek demokrasi di Indonesia, selanjutnya giliran saya bertanya kepada peneliti tersebut. Pertanyaannya adalah apa yang menyebabkan Singapura begitu maju pesat? •• 5/36 •• Kemudian dia menceritakan beberapa faktor penyebabnya, pertama yaitu dengan menegakkan etika dan disiplin yang tegas dan kuat dari seluruh penyelenggara negara/pemerintahan dan juga masyarakat. Etika dan disiplin tersebut meliputi yang pertama adalah bagaimana menghargai waktu. Menghargai waktu artinya bahwa setiap saat dan kesempatan warga negara Singapura harus memanfaatkan waktu untuk sesuatu yang produktif, bermafaat, dan efisien. Tidak boleh waktu dilewatkan atau terbuang begitu saja secara sia-sia tanpa prestasi dan karya. Yang kedua, hidup harus selalu disiplin bersih, artinya bersih hati, pikiran, dan perbuatan. Jaga etika kehidupan bersama secara harmonis, toleran, bekerjasama, dan saling menolong. Jaga lingkungan supaya tertap bersih, sehat, indah, aman, dan nyaman. Yang ketiga, segala perbuatan jangan dilakukan dengan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Hormati hukum dan pemimpin, berbuatlah sesuatu kebaikan dengan penuh keikhlasan. Dari ilustrasi tersebut, diskusi semakin menarik ketika membandingkan dengan Indonesia sekarang ini yang masyarakatnya begitu mudah menyia-nyiakan waktu untuk sesuatu yang tidak produktif. Hidup tidak bersih dengan perbuatan korupsi yang nyaris merata pada berbagai level pemerintahan, bahkan di legislatif dan yudisial. Membuang sampah sembarangan; sungai menjadi tempat pembuangan sampah rumah tangga dan limbah industri, vandalisme kian marak, geng motor dan tawuran antar pelajar seolah tak bisa ditumpas. Mengapa hal ini bisa terjadi? Siapa yang harus bertanggung jawab, dan apa yang perlu dilakukan untuk mengatasinya? Roda reformasi yang digerakkan 18 tahun yang lalu, ternyata masih belum menampakkan adanya transformasi kehidupan berbangsa dan bernegara ke arah yang lebih baik, kecuali melahirkan kebebasan dalam berbagai aspeknya. Hal ini dengan sangat demonstratif dan kasat mata ditunjukkan oleh berbagai fenomena menyedihkan, seperti kesusahan hidup masyarakat kecil yang tetap •• 6/36 •• merana, rasa keadilan diinjak-injak oleh aparatur hukum sendiri yang meluluhlantakkan kepercayaan masyarakat pada hukum, partai politik semakin pragmatis, irasional, disfungsional, dan disorientasi, kaum intelektual mengoyak martabatnya sendiri dengan “menggadaikan” idealismenya, terjadi ignoransi dan resistensi pejabat terhadap kritik, kaum agamawan asyik sendiri dengan urusan teknis beribadat, pengusaha cenderung “berebut” jadi penguasa sehingga terjadi konflik kepentingan, media massa nyaris kehilangan greget karena dilanda kelelahan kreativitas, sehingga paparan hiburan, gosip, dan berita kekerasan menjadi santapan publik sehari-hari. Politik yang kasar dan tidak adil akan mengakibatkan jatuhnya korban. Korban tentu akan membangkitkan sikap indignation yakni terusiknya amarah dan protes terhadap ketidakadilan. Bencana yang datang bertubi-tubi mungkin saja merupakan imbas perbuatan tercela, korupsi yang menggurita di hampir semua sektor kehidupan. Kita tentu sepakat korupsi merupakan bagian dari tradisi ketidakberadaban, karena akibat budaya "neo-jahiliyah/kebodohan baru" itu bermata rantai dengan penderitaan rakyat. Dalam kaitan ini, Negara seharusnya bertanggungjawab sebagaimana yang telah diamanatkan oleh UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dalam segala aspek dan dimensianya. Di bawah ini akan dicoba melihat bagaimana ‘tanggung jawab Negara’ itu sebaiknya dijalankan, meski disadari analisis dan solusinya terasa superficial dan dipermukaan saja, tidak mendalam. Bapak/Ibu hadirin sekalian yang berbahagia, 2. Mencerdaskan Kehidupan Bangsa Menurut UUD 1945 Moctar Lubis pernah menyebutkan dalam bukunya yang berjudul “Manusia Indonesia” bahwa ciri atau steriotip manusia Indonesia itu •• 7/36 •• ialah: 1. Munafik; 2. Enggan atau segan untuk bertanggungjawab atas perbuatannya; 3. Bersikap dan berprilaku feodal; 4. Percaya takhayul; 5. Artisitik berbakat seni; 6. Lemah watak atau karakter. Tentu saja kita dapat memperpanjang lagi ciri yang negatif lainnya terhadap orang Indonesia, misalnya, tidak menghargai waktu, malas, berpikir jalan pintas, tidak disiplin dsb. Ciri tersebut tentu ada benarnya dan juga banyak salahnya. Namun demikian, perlu ditanya adakah rujukan legal-formal yang dikandung dalam UUD 1945 tentang ciri manusia ideal yang hendak dibangun untuk menjalankan Negara dan pemerintahan? Untuk itu, saya mencoba memahami bagaimana UUD 1945 mendeskripsikan tentang ciri manusia Indonesia. Rujukan utamanya yaitu apa yang terkandung dalam rumusan ‘Mencerdaskan Kehidupan Bangsa’ yang termuat dalam Alinea Ketiga Pembukaan UUD 1945, yang mudah-mudah bisa “meng-counter” apa yang disebutkan oleh Mochtar Lubis tersebut. Namun disadari sepenuhnya bahwa uraian tentang ‘Mencerdaskan Kehidupan Bangsa’ ini hanya sebuah pemahaman saya saja, bukan merupakan suatu penafsiran hukum (yang harus ketat dengan metode penafisiran). Karena hanya merupakan sebuah pemahaman, maka bisa saja subjektif bahkan keliru atau salah. Frasa ‘Mencerdaskan Kehidupan Bangsa’ yang terdapat dalam Alinea Ketiga Pembukaan UUD 1945 yang lengkapnya berbunyi “…Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap tumpah darah Indonesia, dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial…”. Dari frasa yang termaktub dalam Pembukaan tersebut jelas menunjukkan bahwa ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’ itu adalah tugas, kewajiban, dan tanggung jawab Negara untuk mewujudkannya. Bangsa yang cerdas dalam menjalani hidup dan kehidupannya merupakan suatu karakter atau watak bangsa •• 8/36 •• Indonesia. Timbul pertanyaan apa yang dimaksud dengan ‘bangsa Indonesia’, ‘kehidupan bangsa’, dan ‘bangsa yang cerdas’ menurut UUD 1945? Yang dimaksud dengan ‘bangsa Indonesia’ menurut UUD 1945 yaitu orang Indonesia yang hidup bersama di wilayah Indonesia yang senasib sepenanggungan dan memiliki cita-cita yang sama yaitu merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Adapun yang dimaksud dengan ‘kehidupan bangsa’ adalah suatu proses, peran, dan fungsi dari bangsa Indonesia dalam menjalankan kehidupan bersama yang berbasis keberagaman, kerukunan, dan kerekatan sosial yang silih asah, silih asih, silih asuh dalam menuju kehidupan bersama yaitu kedilan sosial, kemakmuran rakyat, tata tentrem kerta raharja, bahagia lahir batin di bawah lindungan dan ridho Tuhan yang Maha Pengasih Maha Penyayang. Selanjutnya apa yang dimaksud dengan karakter ‘bangsa yang cerdas’ apabila ditelaah lebih seksama materi muatan yang terkandung dalam UUD 1945, maka kita akan dapati ciri atau karakter utama bangsa yang cerdas. Cerdas menurut UUD 1945 tidak hanya sekedar bangsa yang pintar, berwawasan luas, atau berpengetahuan, tetapi jauh lebih mendasar dari itu yaitu bahwa kehidupan bangsa yang cerdas itu meliputi: a. Berketuhanan Bangsa yang cerdas yang paling utama dan fundamental ialah bangsa yang Berketuhanan (cerdas spiritual) ialah bangsa yang senantiasa taat dalam menjalankan ajaran dan perintah Agama dan menjauhi segala larangan-Nya dengan konsisten, baik, dan benar. Landasan dan orientasi hidup adalah untuk ibadah dan bertaqwa kepada-Nya. Apapun yang kita lakukan Tuhan pasti mengetahuinya, Tuhan tidak pernah tidur (Gusti ora sare, bahasa Jawa). Perbuatan jahat di dunia mungkin bisa lolos dari pertanggungjawaban hukum di dunia, namun pasti segala perbuatan yang dilakukan di dunia ini sekecil apapun, kelak harus •• 9/36 •• dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan. Memperbaiki kualitas keimanan dan ketaqwaan diri kita masing-masing merupakan kewajiban mutlak dalam membangun kecerdasan spiritual, yang selanjutnya diharapkan bergulir untuk memperbaiki akhlak orang lain. Kekayaan, jabatan, dan kehormatan di dunia tidaklah langgeng, sehingga tidak boleh tenggelam terhadap sesuatu yang fana (sementara). Orang yang cerdas sesungguhnya adalah orang yang selalu menyiapkan diri menghadapai berbagai kemungkinan dan perubahan yang akan terjadi. Setiap orang tidak pernah tahu kapan, di mana, dan dalam keadaan apa kekayaan, jabatan, kekuasaan, dan kehormatan itu akan hilang, terenggut dari genggaman. Oleh karena itu kepasrahan dan keikhlasan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa merupakan sarana terbaik untuk menggapai kebahagiaan yang hakiki dan abadi. b. Berperikemanusiaan Watak bangsa Indonesia itu pada dasarnya anti penjajahan. Sebagai bukti yuridis bahwa bangsa kita sangat menghormati kemanusiaan, terdapat dalam Aliea Pertama Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Yang saya pahami dari ‘Alinea Deklarasi’ Pembukaan UUD 1945 ini ialah nyata jelas benar bahwa watak atau karakter bangsa Indonesia adalah hidup dan kehidupan itu harus dijalani dengan merdeka, tidak boleh ada satu pun yang menghalangi, mengganggu, dan mengurangi kemerdekaan bangsa Indonesia. Oleh karena itu penjajahan oleh siapapun dalam segala bentuk, cara, dan substansinya harus dilawan dan dienyahkan dari bumi Pertiwi. Dalam konteks dewasa ini, “penjajahan” dalam bentuk dan cara yang lain sudah harus kita waspadai, misalnya ketika hutang luar •• 10/36 •• negeri kita begitu besar, maka ketergantungan kita pada Negaranegara kreditur dengan sendirinya sangat besar pula, sehingga hal itu berpotensi untuk “menjajah” kita. Yang lebih mengenaskan adalah derasnya mengalir barang dan jasa (termasuk komoditas pertanian) yang diimpor, yang kini sudah “menjajah” pasar domestik kita. Konon tenaga kerja asing pun akan menyerbu lapangan kerja di Indonesia, karena banyak proyek infrastruktur dan transportasi yang dibangun dengan pola kerjasama yang memaksa kita untuk menerima tenaga kerja dari warga negara mereka. Isu terorisme pun kerap menjadi media untuk kita meminta bantuan dan dukungan negara Barat, ini pun kerap menjadi cara negara Barat untuk intervensi masalah kemananan dalam negeri kita. Dengan mengandalkan impor barang dan jasa dan campur tangan asing, dikhawatirkan bangsa ini akan lemah dalam berbagai aspek yang menjadikan ekonomi nasional tidak berdikari dan kedaulatan Negara menjadi tidak berdaya. Indonesia memerlukan kembali kepada jati diri bangsa ini yang oleh Bung Karno disebut Trisakti, yakni berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan, sehingga kehormatan dan harga diri bangsa menjadi kata-kata kuncinya. Kita membutuhkan pemimpin yang berani dan tegas untuk mengatakan ‘Tidak’ kepada negara yang asing yang akan “menjajah” kita dalam bentuk dan cara apapun, baik melalui jalur ekonomi, keamanan, politik, maupun sosial budaya. Jangan merasa minder atau inferior ketika kita menghadapi “serbuan” negara asing dengan alasan mau “membantu” rakyat Indonesia yang lagi kesusahan. Rakyat Indonesia akan bangga dan terhormat di hadapan dunia, ketika pemimpin dan penyelenggara negara mampu menjaga harga diri, martabat, wibawa, dan kehormatan bangsa dan Negara. Saya lebih memilih dianggap sebagai Negara yang arogan oleh negara asing, karena tidak mau tunduk pada keinginan mereka, •• 11/36 •• ketimbang dijajah oleh mereka dengan cara halus yang seolah membantu kita. Hal inilah pentingnya kedaulatan yang perlu ditanamkan kepada para pemimpin kita dalam setiap kebijakan dan langkah dalam hubungan antar bangsa. Inilah sesungguhnya kecerdasan bangsa Indonesia yaitu anti penjajahan, namun tetap bertanggungjawab dalam melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. c. Berbudi pekerti luhur Karakter atau watak bangsa Indonesia yaitu berbudi pekerti luhur. Membangun dan menjalankan Negara untuk mencapai masyarakat yang tata tenteram kertaraharja harus berlandaskan moral dan budi pekerti yang luhur yang harus dimiliki khususnya oleh penyelenggara negara. Hal ini telah dilafadzkan dengan lugas oleh The Founding Fathers kita dengan mengatakan bahwa meskipun hukum (baca: UUD 1945) masih terumuskan relatif sederhana dan belum lengkap mengatur ihwal ketatanegaraan yang holistik, namun apabila semangat (moralitas, integritas, kompetensi) para penyelenggara (aktor/pelaku) pemerintahan baik maka baik pulalah jalannya pemerintahan. Jadi yang terpenting adalah moralitas, budi pekerti yang luhur yang menjadi pilar utamanya. Mengapa jawabannya adalah semangat penyelenggara negara yang memiliki budi pekerti yang luhur? Karena perihal moral merupakan penopang utama dalam pembangunan bangsa yang bermartabat dan memiliki harga diri. Tentu juga disertai dengan muatan moral di dalam hukum yang rasional guna mengatur kehidupan kebangsaan yang besendikan nilai-nlai keadaban. Suatu keniscayaan yang diyakini kebenarannya bahwa negeri ini akan tegak mandiri, maju, dan sejahtera bila moral para pemimpin dan penyelenggara Negaranya berbudi pekerti luhur dan cerdas. Cerminan karakter bangsa yang berbudi pekerti luhur misalnya dapat terlihat dari bagaimana kehidupan hukum dan kebangsaan •• 12/36 •• dijalankan. Watak hukum yang berfungsi mengatur kehidupan kebangsaan harus senantiasa mengintegrasikan antara moralitas, rasionalitas dan keadilan sosial, yang menjadi landasan, komitmen dan orientasi dalam sistem hukum dan perilakunya. Karena tuntutan masyarakat dapat berbeda dengan pembuat hukum, maka sebaiknya kita harus menduga bahwa konsepsikonsepsi mengenai nilai-nilai luhur kewajaran sosial, politik, ekonomi, dan khususnya kewajaran hukum -- seperti yang tercantum dalam ruh hukum -- harus terwujudkan dalam kehidupan kebangsaan. Namun demikian pada kenyataannya patut diwaspadai karena kerap terjadi berbagai penyelundupan kepentingan jahat yang dituangkan ke dalam substansi undangundang atau peraturan daerah, sehingga yang muncul substansinya yang sangat immoral. Hukum juga harus membalut dan menyatu dalam kehidupan kebangsaan, sehingga hukum tidak tumbuh liar dan menjadi predator yang memangsa nilai-nilai keadilan yang beradab. Penegak hukum yang berbudi pekerti luhur adalah penegak hukum yang bermartabat, berintegritas, beretika, dan berkompeten. Dalam menerapkan access to justice, maka kontrol publik harus digemakan sekencang-kencangnya ketika pemerintah, terutama penegak hukum, lemah dalam menegakkan hukum dan keadilan. Menyatunya kehidupan kebangsaan yang menjujung tinggi budi pekerti yang luhur akan mempersuasi dan mengkonfirmasi kehidupan bernegara yang adil dan beradab. d. Berbudaya Watak Bangsa Indonesia yang cerdas itu adalah berbudaya. Berdasarkan bunyi Pasal 32 UUD 1945, saya melihat ada empat ciri atau karakter bangsa yang berbudaya, yakni: a. Menjalani kehidupan bangsa secara berkeadaban; b. Menjaga Persatuan dan Kesatuan bangsa; •• 13/36 •• c. Tidak menolak budaya asing sepanjang mengembangkan dan memperkaya budaya bangsa; d. Mempertinggi derajat kemanusiaan. dapat Karater bangsa yang cerdas adalah bangsa yang berbudaya. Kalau merujuk pada esensi dari pendidikan yang tertuang dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa pendidikan itu pada dasarnya merupakan proses pembudayaan. Artinya, suatu proses yang bertujuan untuk membangun karakter, identitas, dan budaya suatu bangsa. Namun sayangnya, Pemerintahan sekarang ini tampak lebih getol membangun infrastruktur fisik jalan tol, pelabuhan, dsb., daripada membangun jalan pikiran bangsa yang berbasis budaya. Padahal, jalan pikiran yang berbasis budaya merupakan jalan utama yang menghubungkan kita dengan masa depan, karenanya perlu lebih dahulu dirawat. Kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya yang jadi cita-cita pemerintah merupakan masalah dan bermula dari jalan pikiran atau mindset bangsa. Mengutamakan pembangunan fisik sembari seadanya mengembangkan jiwa dan pikiran, selain tak seirama dengan semangat ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’, juga melawan “culture and nature” dari nalar kemajuan. Kebangkitan bangsabangsa maju pada umumnya dimulai dari upaya memelihara budaya dan nalarnya. Dengan revolusi mental sebagai gerakan nasional seperti dimaksud penggagasnya, seyogianya diprioritaskan dalam upaya pencerdasan kehidupan bangsa sebagai jalan membentuk pola pikir bangsa. Ironisnya, upaya pencerdasan bangsa melalui pendidikan dalam berbagai ranahnya dewasa ini masih diliputi berbagai masalah mendasar. Keseluruhan nilai budaya dalam sistem nilai Pancasila telah dipersatukan oleh asas “Kesatuan dalam Perbedaan dan •• 14/36 •• Perbedaan dalam Kesatuan” yang menjiwai struktur dasar keberadaan manusia dalam kebersamaan sebagai bangsa, yang tercermin dalam ungkapan “Bhineka Tunggal Ika”. Jadi Bhineka Tunggal Ika mengungkapkan titik tolak cara pandang bangsa Indonesia tentang tempat manusia individual di dalam masyarakat dan alam semesta (Prof. Soediman Kartohadiprodjo). Dalam ungkapan tersebut terkandung pengakuan serta penghormatan terhadap martabat manusia dan individual. Kekhasan kelompok-kelompok etnis kedaerahan yang ada, dan keyakinan keagamaan dalam kesatuan berbangsa dan bernegara yang harus terus bertahan dan diperjuangkan. Demi mewujudkan perjuangan itu, niat dan semangat menjadi keharusan sebagai langkah kecil dalam cita-cita besar menanamkan nilai-nilai Pancasila dalam perilaku kehidupan berbangsa dan bernegara. Budaya kejuangan bangsa Indonesia tercermian pada sidang BPUPKI yang akhirnya menelurkan kesepakatan, menetapkan Pancasila sebagai dasar negara. Bergantian, Mohammad Yamin dan Soekarno menyampaikan usulan masing-masing. Pada 1 Juni 1945, hari terakhir sidang, lewat pidato Soekarno, menyatakan "Jika bangsa Indonesia ingin hidup merdeka, penuh kemanusiaan, hidup di atas dasar permusyawaratan, hidup sejahtera dan aman, dan dengan ketuhanan yang luas dan sempurna, janganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya, yaitu perjuangan, perjuangan, dan sekali lagi perjuangan!" kata Soekarno. Perbaikan keadaban publik bisa menjadi basis untuk membangun bangsa. Itu sebabnya, bangsa ini perlu serius membangun kebudayaan melalui sinergi seluruh anak bangsa. •• 15/36 •• Bapak/Ibu hadirin sekalian yang berbahagia, 3. Tanggung Jawab Negara Di dalam Alinea Ketiga Pembukaan UUD 1945 dinyatakan dengan jelas dan tegas bahwa tugas dan kewajiban dalam ‘mencerdaskan kehidupan Bangsa’ dilekatkan pada pundak Negara, yang dalam pelaksanaanya dilakukan oleh Pemerintah dalam arti luas, yaitu seluruh lembaga-lembaga Negara. Apa yang dimaksud dengan tanggung jawab Negara/pemerintah dalam ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’? Berbicara tentang tanggung jawab pemerintahan (bestuurs aansprakelijkheid) tak terlepas dari dasar legitimasi atau validitas (keabsahan) pemerintahan. Keabsahan pemerintahan ini sekurangnya terdapat empat sumber legitimasi yang menjadi landasan dalam melakukan perbuatan pemerintahan oleh pemerintah, yakni sah berdasarkan undang-undang (wetmatigheid)1, sah berdasarkan hukum (rechtsmatigheid)2, sah berdasarkan tujuan atau maksud (doelmatigheid)3, dan sah berdasarkan asas diskresi (discretie, discretionary power, atau nachfreies Ermessen)4 Namun dalam perkembangannya, sumber 1 2 3 4 Wetmatigheid adalah syarat keabsahan pemerintahan yang didasarkan kepada segala sesuatu yang dilakukan atau diputuskan wajib berdasarkan suatu ketentuan undang-undang. Rechtmatigheid adalah suatu dasar keabsahan yang mensyaratkan bahwa setiap perbuatan di dalam pengambilan keputusan atau sesuatu yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan hukum atau melanggar hukum. Doelmatigheid adalah suatu dasar keabsahan bahwa suatu perbuatan atau tindakan atau putusan yang dilakukan oleh aparat pemerintahan itu dianggap sah, apabila telah tercapai maksud atau tujuan hukum yang wajib dipenuhi. Contoh pengenaan bestuursdwang dapat dikatakan sah apabila telah tercapai tujuan hukumnya yakni penghentian perbuatan pelanggaran dan pemulihan kepada keadaan semula. Keabsahan perbuatan pemerintahan berdasarkan asas diskresi adalah bahwa suatu perbuatan yang dilakukan berdasarkan asas kewenangan bebas (nach freies Ermessen) yang dimiliki pemerintah dengan ketentuan: (a) bahwa pada •• 16/36 •• legitimasi tersebut terjadi perluasan, yakni bahwa keabsahan pemerintahan itu juga harus dilandasi oleh moralitas (morality, decency, fatsoen),5 metode (method), teknik (technique), mutu (quality),6 dan manajemen (management)7 yang sudah terstandarisasi secara obyektif. Keberadaan prinsip atau asas “Tanggung Jawab Pemerintahan” atau bestuurs aansprakelijkheid ini sesungguhnya merupakan salah satu penyeimbang dalam memposisikan antara kedudukan pemerintah dan masyarakat dalam menjalankan roda organisasi negara. Pemerintah memiliki wewenang untuk mengatur, memungut pajak, menegakkan hukum, mengenakan sanksi dan seterusnya, yang merupakan serangkaian kebijakan dalam upaya mencapai tujuan hidup bernegara. Di lain pihak masyarakat memiliki pula hak untuk memperoleh perlindungan hukum dari berbagai kebijakan pemerintah yang mungkin dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Oleh karena itu adanya asas tanggung jawab pemerintahan ini sesungguhnya memberikan ruang yang cukup 5 6 7 dasarnya pejabat pemerintahan itu tidak boleh menolak untuk mengambil suatu keputusan atau kebijakan, kendati tidak ada peraturannya; (b) adanya kebebasan atau keleluasaan dalam batas tertentu bagi pejabat adminstrasi negara yang dimungkinkan oleh hukum untuk bertindak atas inisiatif sendiri; (c) adanya persoalan penting dan mendesak untuk segera diselesaikan; (d) harus dipertimbangkan kelayakan dan kesesuaian secara adil demi kepentingan umum serta dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum. Bahwa suatu perbuatan pemerintahan dianggap sah apabila memenuhi syarat moral, kesusilaan kesopanan, sumpah jabatan, kode etik yang berlaku dan telah disepakati bersama. Landasan keabsahan berdasarkan metode, teknik, dan mutu diartikan bahwa setiap perbuatan pemerintahan itu memiliki dasar dan argumentasi yang sudah teruji secara ilmiah dengan suatu standarisasi yang berlaku universal. Landasan manajemen sebagai ukuran keabsahan karena dalam pemerintahan yang moderen ukuran efektivitas dan efisiensi menjadi sesuatu yang penting. Kesadaran terhadap penggunaan sumber daya secara hemat dan tepat guna adalah ciri utama, selain hal-hal yang berkenaan dengan masalah koordinasi, sinkronisasi, dan harmonisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. •• 17/36 •• leluasa bagi timbulnya peran serta masyarakat sebagai suatu keniscayaan bagi pemerintahan yang demokratis. Dengan dilaksanakannya prinsip tanggung jawab Negara/pemerintahan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa secara konsisten dan konsekuen, maka sesungguhnya akan meningkatkan pula wibawa dan martabat Negara/pemerintah di mata rakyatnya. Sebab apabila pemerintah rela untuk menegakkan asas tanggung jawab pemerintahan ini, maka setidaknya akan tercapai beberapa hal yang penting, yakni: (a) tertegakannya prinsip-prinsip negara hukum, rule of law, supremasi hukum, dan kesamaan dihadapan hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan, karena pemerintah pun ternyata menghormati dan taat hukum; (b) mengingat pada umumnya masyarakat Indonesia adalah masih menganut budaya paternalistik, maka dengan adanya asas tanggung jawab pemerintahan ini akan mendorong timbulnya kesadaran hukum masyarakat secara sukarela (voluntary compliance); (c) setiap ucap, gerak, langkah dan tindakan pemerintah yang dapat menimbulkan akibat kepada masyarakat, maka senantiasa harus dipertimbangkan dengan masak, hati-hati, cermat dan seksama; (d) memperkokoh komitmen reformasi untuk mewujudkan good governance, clean and open government yang selaras dengan penguatan dan pemberdayaan masyarakat madani (civil society); (e) untuk memperkuat asas tanggung jawab pemerintahan ini agar terjadi kepastian hukum, keadilan, dan perlindungan hukum, maka perlu dipikirkan dan diwujudkan untuk dibentuk undangundang tentang Tanggung Jawab Pemerintahan dan UU tentang Kompensasi.8 8 Di Jerman disebut State Liability Act 1981, di Jepang disebut Government Liability Act, 1946; Selain itu perlu pula UU tentang Kompensasi, di Korea disebut •• 18/36 •• Asas “tanggung jawab pemerintahan” ini secara makna dibedakan dengan asas ‘pemerintahan yang bertanggungjawab (governmental accountability)’.9 Tanggung jawab pemerintahan (government liability) ini diukur dari sejauhmana tingkat keabsahan (validity) perbuatan pemerintahan (bestuurshandeling), baik dari keabsahan hukum (rechtsmatigheid), keabsahan undang-undang (wetmatigheid) maupun dari segi keabsahan tujuan/maksud (doelmatigheid) dan bagaimana pula pertanggungjawaban hukumnya. Jadi menyangkut akibat hukum dari suatu perbuatan pemerintahan. Sedangkan ukuran ‘pemerintahan yang bertanggung jawab’ (governmental accountability) diukur dari sejauhmana tingkat pemenuhan atau pencapaian fungsi dan tujuan pemerintahan yang meliputi antara lain memajukan kesejahteraan umum, menegakkan hukum dan keadilan, melindungi kepentingan umum, pelayanan masyarakat, dan menjaga stabilitas keamanan yang terwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi hal ini menyangkut pertanggungjawaban manajemen, kinerja pemerintahan, dan politik. Baik ‘tanggung jawab pemerintahan’ maupun ‘pemerintahan yang bertanggung jawab’ memiliki kesamaan semangat dan cita-cita yakni membentuk pemerintahan yang baik (good governance) dalam rangka menegakkan negara hukum (rule of law) yang berkadilan dan demokratis. Oleh karena itu keduanya tidak dapat dipisahkan dalam penyelenggaraan pemerintahan. 9 National Compensation Act, Administrative Compensation for Injury, dan Administrative Compensation for Loss. Accountability atau responsibility dapat ditafsirkan secara luas sebagai pertanggungjawaban politik, atau ketatanegaraan, seperti dalam rumusan Penjelasan UUD 1945 (Asli) berbunyi ” Concentration of power and responsibility upon the president”, bandingkan Miriam Budiardjo, Menggapai Kedaulatan untuk Rakyat, Mengenang 75 Tahun Prof. Miriam Budiardjo, Penerbit Mizan, hlm. 107 •• 19/36 •• Mengapa asas tanggung jawab Negara/pemerintahan ini perlu dioptimalkan penggunaannya, sebab sekali lagi negara kita adalah negara yang berdasakan atas hukum, jadi baik warga negara, pejabat pemerintah maupun pemerintah sebagai badan hukum publik, sama-sama memiliki kewajiban untuk menghormati dan menaati hukum. Pejabat pemerintahan sangat mungkin melakukan kesalahan atau kekeliruan baik disengaja maupun tidak. Oleh karena itu, Logemann pernah mengingatkan bahwa tidak ada satu jabatan apapun yang luput/lepas dari pertanggungjawaban. Dengan demikian kiranya perlu untuk senantiasa diingatkan bahwa setiap pejabat pemerintahan dalam membuat kebijakannya harus benarbenar hati-hati dan cermat. Segala sesuatunya harus dipertimbangkan dengan seksama baik maslahat maupun mudharatnya, terutama apakah akan melanggar hukum (termasuk melanggar hak warga) atau tidak. Melalui pengimplementasian sistem atau prinsip tanggung jawab Negara/pemerintahan ini secara konsekuen dan konsisten dalam ‘Mencerdaskan Kehidupan Bangsa’, maka diperlukan sikap dan watak yang luhur dan mulya dari mereka yang mengembannya. Sebelum menjalankan tugas, kewajiban, dan tanggug jawab Negara/Pemerintah dalam ’Mencerdaskan Kehidupan Bangsa’, maka harus terlebih dahulu menjadikan dirinya: a. pemerintahan yang bersih dan terbuka; b. jujur, amanah, dan terpercaya; c. satu kata dan perbuatan, tidak hipokret (munafik); d. tidak melulu pencitran atau jaga imej (jaim); e. memperlakukan sama kepada setiap warganya (tidak diskriminatif); f. tidak memaksakan kehendak kepada rakyat, tanpa alasan yang jelas; g. terbuka terhadap kritik dan opini publik, serta menghargai perbedaan pendapat di antara pemerintah dan masyarakat; h. membuka akses informasi kepada setiap orang; •• 20/36 •• i. melayani masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya secara proporsional, layak dan wajar; j. berpikir, berucap dan bertindak rasional, argumentatif, dan tidak berbohong; k. lebih mendahulukan kepentingan rakyat daripada pemerintah, partai, kelompok; l. bertindak cermat, hati-hati, dan seksama; m. menggunakan sumber daya secara efektif dan efisien; n. menghargai dan menghormati kebhinekaan dalam berbagai aspeknya. Dalam hal Negara/pemerintah sudah memenuhi kriteria dan kualifikasi sebagaimana disebutkan di atas, maka tugas ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’ akan semakin mudah. Dengan perkataan lain, cerdaskan dulu aparat penyelenggara negara, baru kemudian warganya. Bapak/Ibu hadirin sekalian yang berbahagia, 4. Mencari Pemimpin Bangsa yang Adil dan Cerdas Yang dimaksud dengan pemimpin yang bekarakter adil dan cerdas itu adalah pemimpin yang taat beribadah, berperikemanusiaan, berbudi pekerti luhur, berwawasan luas, berbudaya, berbakti kepada Nusa dan Bangsa. Tipe pemimpin yang otentik adalah pemimpin yang dilahirkan dan tumbuh dengan nadi kehidupan rakyatnya. Tidak ada kesenjangan dan tidak ada jarak antara pemimpin dengan yang dipimpin. Untuk itu ada pesan moral yang dikemukakan oleh Y.C. Yen yang memberi wawasan dan inspirasi bagaimana pemimpin itu ditempa dalam kehidupan nyata masyarakatnya. Melalui bait-bait yang amat kuat, Yen menuliskannya untuk calon pemimpin sebagai berikut: Go to the people Live among the people Learn from the people •• 21/36 •• Plan with the people Work with the people Start with what the people know Build on with what people have Teach by showing, learn by doing Not a showcase, but a pattern Not odds and ends, but a system Not peicemeal, but integrated approach Not to conform, but to transform Not relief, but realize. Meskipun prinsip-prinsip tersebut dikemukakan pada tahun 1920, namun hal itu memperoleh relevansinya kembali saat negara kita sedang menumbuhkan apa yang disebut self-sustaining capacity masyarakat. Untuk mengisi jabatan kenegaraan/publik dalam sistem yang kita anut dilakukan melalui mekanisme demokrasi dengan partai politik sebagai aktor utamanya. Mengapa kita memilih pengisan jabatan kenegaraan dilakukan melalui mekanisme demokrasi? Karena kita memang terpengaruh dengan begitu banyak referensi Barat, yang seolah berkeyakinan bahwa demokrasi yang berkeadaban (civilized democracy) merupakan tipe pemerintahan yang sesungguhnya telah sampai pada bentuk yang optima forma pada abad ini, sebagaimana dikatakan oleh Larry Diamond dalam buku Developing Democracy, Toward Consolidation, John Hopkins, UP, 1999, bahwa “All major leaders of government and politically significant parties believe that democracy is the best form of government …political parties and interest groups respect each other’s right to compete peacefully for power, eschew violence, and obey the laws, the constitution, and mutually accepted norms of political conduct (Diamond:65). Apabila ukuran demokrasi adalah pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung, ditambah dengan kebebasan berbicara di •• 22/36 •• muka umum dan kebebasan mendirikan parpol, memang sudah tercapai, bahkan melebihi apa yang dibayangkan. Namun rakyat nampaknya tidak cukup hanya sebatas terpenuhinya kebebasan politik, tetapi lebih dari itu adalah bahwa demokrasi akan membawa pula kepada jalan yang lebih lebar dan mulus untuk memperoleh keadilan sosial dan kesejahteraan yang senyatanya. Mengambil contoh sebagai indikasi apakah sudah terjadi bencana demokrasi, bisa dilihat dalam ajang pemilihan presiden, legislatif, hingga pemilihan umum kepala daerah (pemilukada), yang ternyata sungguh menjengkelkan, prosedurnya memusingkan, uang terhambur-hamburkan, konflik berdarah darah kian mengenaskan, dan tragisnya adalah hasilnya tidak memuaskan. Kenapa demikian, karena memang kita telah melalaikan satu hal dari kehidupan demokrasi yang berkeadaban yakni menyiapkan SDM demokrasi yang kompeten, jujur, dan amanah. Sebagai akibat dari dilalaikannya atau terbiarkannya penyiapan SDM pemimpim yang memikul tanggung jawab dalam menjalankah roda demokrasi tersebut, maka kerja demokrasi pada kenyataannya dilaksanakan oleh orang-orang yang oportunis, hipokrit, serakah, tidak kompeten, tidak memiliki integritas moral, dan tidak berkomitmen untuk membela rakyat. Bukti lanjutan yang dapat disebut sebagai pertanda adanya bencana demokrasi adalah ketika nyaris setiap pemilu legislatif dan terutama pemilukada di Negeri ini selalu ditandai oleh adanya prilaku politik uang, konflik horiziontal, kecurangan, penyalahgunaan fasilitas negara dan pemerintah, parpol digadaikan atau direntalkan untuk kendaraan bagi (bakal) calon yang punya uang, tidak netralnya PNS/birokrasi, keberpihakan penyelenggara pemilu kepada salah satu kandidat, dan perbuatan buruk lainnya. Dari perbuatan atau perilaku para insan demokrasi seperti tersebut, maka ada benarnya seperti yang dinyatakan oleh Plato bahwa ia mengecam demokrasi karena tiga alasan: pertama, demokrasi mengarah pada "aturan gerombolan" yang dengan kekuasaannya menjadi kaki tangan •• 23/36 •• "pencari kenikmatan" yang tujuan utamanya kepuasan dari hasrat yang sesaat. Kedua, demokrasi mengarah pada aturan yang dikendalikan kaum pandir yang memiliki keterampilan retorika, namun tidak memiliki pengetahuan yang benar. Ketiga, demokrasi mengarah pada ketidaksepakatan dan pertikaian yang secara intrinsik buruk dan harus dihindarkan. Sistem perwakilan yang didominasi partai politik amat rentan melahirkan kekuasaan kaum gerombolan. Tentu saja demokrasi yang dikecam oleh Plato bukan berarti kita harus meninggalkan nilai-nilai baik dari demokrasi, karena ketika demokrasi ditinggalkan maka yang terjadi adalah munculnya otoritarianisme atau diktatorianisme dalam kehidupan bernegara. Hal ini jauh lebih berbahaya lagi, karena segala sendi-sendi kedaulatan rakyat akan terbungkam dan rapuh. Padahal kita sepakat bahwa dalam Pancasila dan UUD 1945 telah menandaskan dengan jelas bahwa dalam kehidupan bernegara harus dilandasi oleh nilai “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” yang merupakan ruh bagi tegaknya kedaulatan rakyat atau demokrasi “rasa dan selera” Indonesia. Perjuangan politik lewat kekerasan tak ayal akan mampu memberangus kebebasan dan meloloskan otoritarianisme baru. Lebih jauh lagi, kebebasan yang menjadi hak suatu masyarakat hendaknya disertai ketaatan kepada hukum, kebebasan dan ketaatan kepada hukum tampak seakan-akan bertentangan. Namun, hakikat masyarakat madani justru ada dalam kesatuan nilainilai itu. Kebebasan akan berwujud dengan baik hanya dalam tertib hukum. Tanpa adanya tertib hukum, maka yang akan terjadi adalah munculnya hubungan antar pribadi dan kelompok yang ditandai dengan dominasi yang kuat terhadap yang lemah. Demikian pula, kebebasan tanpa tertib hukum akan membuat masyarakat terperangkap ke dalam tatanan hukum rimba, sehingga akhirnya menjadi masyarakat yang tanpa keadaban. Dalam kondisi seperti •• 24/36 •• itu, perbedaan bisa menjadi pertentangan, dan pertentangan akan mengundang kekerasan dalam setiap penyelesaian perbedaan yang mereka hadapi. Kita sepakat bahwa memang partai politik itu merupakan lokomotif untuk berjalannya demokrasi, sehingga penting untuk dibangun, dibesarkan, dan diperkuat peran dan tanggung jawabnya dalam membawa Negeri ini pada tujuannya. Nyaris tidak ada jabatan publik (kecuali birokrasi) di negeri ini yang bebas orang-orang yang berasal dari unsur partai politik. Partai politik menjadi sangat strategis untuk melahirkan pemimpin bangsa yang sejati dan paripurna. Oleh karena itu masyarkat harus mendorong dan memaksa (bahkan bilamana perlu dengan sanksi) agar partai politik melakukan fungsinya sesuai dengan hakikat dibentuknya partai politik yakni: 1) setiap parpol wajib melakukan edukasi politik secara sistematis, terprogram, dan berkesinambungan; 2) membangun sistem rekrutmen politik yang lebih transparan, partisipatif, selektif, kompetitif, dan akuntabel; 3) melakukan penyiapan secara serius terhadap kader-kadernya sebagai calon-calon pemimpin bangsa yang handal dan terpercaya di masa depan antara lain memiliki ciri: tampilan fisik keren, akhlaq mulia, otak encer, hati lembut, perasaan peka, motivasi tinggi, peduli sosial; 4) membangun etika politik yang santun dan bermartabat yang terinternalisasi pada para anggotanya; 5) menyusun dengan baik visi, misi, platform, dan program kerja yang senantiasa ditawarkan kepada publik; 6) mengagregasi dan memperjuangkan secara sungguh-sungguh tuntutan akan kebutuhan rakyat yang riel dan sedapat mungkin mewujudkannya; 7) menjalin komunikasi politik yang sehat antar parpol sehingga terjadi koalisi ideologis secara permanen; 8) memisahkan (tidak rangkap jabatan) antara kepengurusan struktural parpol dengan jabatan publik/pemerintahan. Dengan demikian, arah dalam rangka kaderisasi kepemimpinan bangsa selain akan mengacu kepada pengembangan suatu masyarakat yang memiliki bargaining position yang kuat vis-a-vis negara, sekaligus tetap berpijak pada etika-moral yang kokoh. •• 25/36 •• Dengan kata lain, dalam menyuarakan hak dan kepentingan, aksi atau gerakan massa dalam suatu masyarakat madani selalu memperhatikan sikap yang santun, ramah, kritis, serta menghindari sejauh mungkin pola dan sikap yang akan mengarah kepada kekerasan, anarkisme, atau tindakan yang akan merugikan pihak lain. Dalam arti politik sebagai seni maka ia mengandung keagungan dan kesantunan. Sama halnya dengan hukum dan demokrasi, karena hukum dan demokrasi yang juga subyeknya adalah manusia dalam hubungan dengan sesamanya, maka sejatinya hukum dan demokrasi harus beradab dan berwajah manusiawi. Di titik ini diperlukannya kehadiran dan internalisasi etika politik yang membantu menganalisis korelasi antara tindakan individual, kolektif, dan struktur-struktur yang mengarahkan dan memperluas kehidupan demokrasi yang lebih baik dan adil. Keagungan, kesantunan, keadaban, dan keluhuran hukum, demokrasi, dan politik diukur dari keutamaan dan upaya mengabadikan dan mengantarkan diri dan sesamanya kepada kesejahteraan, kebahagiaan, dan kesempurnaan hidup. Kehidupan bangsa yang cerdas itu sama dan sebangun dengan tatanan masyarakat madani Indonesia yang dicita-citakan mengandung ciri-ciri sebagai berikut, pertama masyarakat Indonesia baru, masyarakat madani yang hendak diwujudkan adalah masyarakat yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME; suatu masyarakat Pancasilais yang memiliki cita-cita dan harapan masa depan. Perspektif moral dan harapan itulah pada gilirannya yang akan merekatkan pluralitas dan kebhinekaan kepentingan, sehingga integritas bangsa dan negara tetap terjamin dan terpelihara. Tanpa perspektif moral dan harapan masa depan, maka masyarakat kita adalah masyarakat yang disoriented, hopeless, dan frustrasi yang pada gilirannya dengan mudah tergelincir dalam tindakan-tindakan lawlessness dan anarki. •• 26/36 •• Kedua, masyarakat madani yang didambakan adalah masyarakat demokratis berkeadaban (democratic civility), yang menghargai perbedaan dan keragaman pendapat dan pandangan, non diskriminatif, egalitarian, dan tidak ada upaya/tindakan yang dapat menjerumuskan bangsa ini pada kondisi ketidakberdayaan (bergantung pada asing), kehilangan harga diri, martabat, dan kehormatan sebagai Negara yang berdaulat. Ketiga, masyarakat madani yang ingin diwujudkan adalah masyarakat baru yang merupakan bagian dari masyarakat global, yang memiliki semangat, keahlian kompetensi yang tinggi, dan keterampilan kompetitif, dengan tetap mempunyai semangat solidaritas kemanusiaan universal. Tantangan untuk mewujudkan masyarakat madani yang demokratis dan berkeadaban seperti dikerangkakan di atas merupakan agenda sangat besar bagi pemerintahan baru Indonesia pada era reformasi. Keberhasilannya sangat tergantung dan penguatan kembali linkage dan bahkan networks berbagai lembaga, baik pendidikan, peradilan, dan lembaga-lembaga pembelajaran dan sosialisasi intelektual dan moral dalam masyarakat secara keseluruhan. Tanpa dukungan semua pihak dalam masyarakat, harapan bagi terbentuknya masyarakat madani yang berkeadaban demokratis (democratic civility) tidak lebih dari sekadar keinginan dan wacana belaka. Memang disadari apa yang diuraikan di atas adalah mudah diucapkan, tetapi tidak gampang diimplementasi. Banyak sisi yang mengalami turbulensi. Misalnya pihak yang merasa "dirugikan" ketika suatu tatanan baru dibangun dan diterapkan. Banyak pihak yang akhirnya terseret ke dalam masalah hukum, ketika penegakan hukum dijalankan dengan tegas dan konsisten. Banyak rantai "tradisi dan peradaban” lama terputus ketika masyarakat beradab yang harus dominan. Untuk kemaslahatan yang berinspirasi ke arah tatanan yang lebih berkeadilan, aspiratif, dan benar-benar prorakyat, maka kepemimpinan pada pusat-pusat kekuasaan di •• 27/36 •• legislatif, eksekutif, maupun yudisial mutlak harus memilih hijrah dalam komitmen moralnya. Dengan bertolak dari gambaran tadi, parlemen sebagai wakil rakyat adalah lembaga politik tempat persemaian pemikiran-pemikiran genial-brilian dan arena pertukaran ide-ide cemerlang di kalangan politisi yang mengemban misi utamanya sebagai perumus kebijakan negara dan pembawa aspirasi rakyat. Adalah kebijakan-kebijakan negara yang dilahirkan oleh pemimpin yang bermoral tinggilah yang akan mampu mengantarkan masyarakat bangsa kepada kesejahteraan, kebahagiaan, dan kesempurnaan hidup sesuai dengan impian dan cita-cita bernegara. Laksanakan tugas demokrasi secara elegan, bermanfaat dan terhormat. Jangan sampai terbersit pemikiran atau niat untuk memperkaya diri dengan jalan mengambil hak rakyat dengan cara yang tidak halal dan tidak sah. Tidak elok kiranya apabila pada setiap perhelatan demokrasi dijadikan semata-mata untuk berebut kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Jangan sampai akhirnya rakyat membenci parpol, dan lebih tragisnya lagi membenci demokrasi. Apabila ini terjadi maka inilah yang disebut sebagai bencana peradaban (civilize dissaster). Oleh karena itu, berhasil tidaknya kita membangun demokrasi yang berkeadaban, sangat bergantung pada pemimpin dan aktor-aktor politik. Bapak/Ibu hadirin sekalian yang berbahagia, 5. Peran dan Fungsi Pendidikan Bagaimana peran dunia pendidikan dewasa ini dalam ‘Mencerdaskan Kehidupan Bangsa? Sejatinya nilai penting pendidikan berdampak pada perilaku individu manusia dengan segala sesuatu yang berkaitan dengannya. Barangkali dapat dikatakan bahwa prilaku manusia senantiasa selaras dengan watak yang tertanam dalam jiwa yang dilakukan melalui pendidikan. •• 28/36 •• Sebagaimana dikatakan oleh Abu Hamid Al Gazali bahwa “sesungguhnya semua sifat manusia tertanam dalam lubuk hatinya. Namun pengaruh yang ditimbulkannya akan terlihat dengan jelas pada anggota tubuh. Karenanya, seseorang tidak bergerak melainkan sesuai dengan sifat dalam hatinya”. Kita berkeyakinan bahwa langkah yang tengah ditempuh oleh dunia pendidikan yang senantiasa berupaya membenahi dan memperbaiki Negeri ini, yaitu dengan membangun dan menyucikan jiwa serta menanamkan nilai-nilai moral yang terpuji. Simultan dengan itu, membangun etika keadaban (civil ethics) dalam masyarakat merupakan common platform yang menjadi komitmen bersama para pendidik yang semestinya sudah berbuah hasil. Meskipun Ikhtiar telah dan sedang dilakukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan ajaran moral, etika, dan budi pekerti, namun nampaknya polusi kepentingan pragmatisme dari para penyelenggara pendidikan telah menghalangi ikhtiar tersebut. Padahal terkait fungsi dan peran pendidikan dalam kehidupan kebangsaan dewasa ini, seharusnya mampu berselancar serasi dan dinamis dengan karakter bangsa yang budi pekerti luhur, berbudaya, dan berkeadaban sebagaimana yang dicita-citakan Pendiri Bangsa. Mengambil satu contoh saja dalam mencerdaskan kehidupan bangsa di bidang demokrasi, nampaknya masih jauh panggang dari api, jauh dari ukuran ideal. Padahal pendidikan yang berbasis pada democratic civility (masyarakat demokratis yang berkeadaban) yang menjunjung moralitas, etika, dan budi pekerti yang luhur, sesungguhnya kehidupan kebangsaan dan positive citizenry (kewargaan yang positif) meniscayakan akan terwujud. Hal ini sangat perlu dan penting sebagai prasyarat pokok dalam rangka mewujudkan negara hukum yang berkeadilan, negara demokrasi yang berkeadaban, dan bermuara pada negara kesejahteraan yang berkemakmuran secara merata. •• 29/36 •• Dalam keadaan seperti ini Negara harus memberikan perhatian besar kepada bidang pendidikan selain sebagai tanda pemerintah berpikir maju, juga merupakan keharusan untuk penyelamatan bangsa. Berbagai problem pendidikan kita dewasa ini sudah sangat parah karena kompleksitas besaran dan substansinya telah melampaui kapasitas kementerian sektoral. Jika kenyataan ini terus diabaikan, bukan saja akan berakibat pada disfungsi dan disorientasi dalam dunia pendidikan, melainkan juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Bangsa Indonesia dengan pendidikannya mengalami disorientasi di tengah pusaran arus perubahan yang demikian cepat. Fungsi dan program yang kini tengah dijalankan oleh dunia pendidikan dewasa ini seperti tersesatkan oleh pesona pragmatisme era globalisasi. Pendidikan makin jauh meninggalkan fungsi utama ‘mencerdaskan kehidupan bagsa’, dan nampaknya lebih menuju pasar bebas kehidupan materialisme dan daya saing global. Barangkali dunia pendidikan telah melalaikan, mengabaikan, dan membiarkan amanat konstitusi untuk "mencerdaskan kehidupan bangsa" yang berintikan Ketuhahan, kemanusiaan, budi pekerti yang luhur, dan kebudayaan, karena yang terjadi justru lebih menyibukkan diri pada pembangunan fisik. Padahal, kecerdasan merupakan substansi yang menentukan martabat kemanusiaan. Jika saja "mencerdaskan kehidupan bangsa" dicermati sejak dulu, kiranya bangsa ini tak jadi seperti ini. Oleh karena itu, strategi pembelajaran haruslah mengarah kepada pencapaian kemampuan berpikir, bukan hanya mengisi pikiran. Sayangnya, keputusan normatif yang tertuang dalam UU Pendidikan dan berbagai wacana pembaruan pendidikan dalam strategi implementasinya terlalu banyak diwarnai kepentingan politis sehingga tidak efektif. Yang muncul dan menyita energi malah persoalan sertifikasi yang terkait dengan tunjangan profesi dan kurikulum. Ide-ide pembelajaran modern yang kualitatif telah terabaikan, hal ini disebabkan karena salah urus dan salah kaprah dalam praktek dunia pendidikan. •• 30/36 •• Cetusan ide revolusi mental seyogianya dijadikan titik balik ke pangkalan pendidikan kita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dalam segala dimensinya. Bapak/Ibu hadirin sekalian yang berbahagia, 6. Ajakan untuk Kaum Muda Memang Pembangunan Nasional yang dilaksanakan di Indonesia dalam tiga dasawarsa terakhir telah berhasil mendatangkan kemajuan di berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, termasuk didalamnya kehidupan kaum muda. Tingkat pendidikan rata-rata kaum muda Indonesia saat ini jauh lebih baik dibandingkan dengan tiga dasawarsa yang lalu. Di bidang keilmuan, olahraga, kesenian, dan ekonomi kreatif banyak kaum muda Indonesia yang telah berhasil mencetak prestasi gemilang tidak hanya di tingkat nasional, tetapi juga internasional yang sungguh membanggakan. Demikian pula di dunia politik dan pemerintahan, banyak kaum muda Indonesia yang telah sukses meniti karier sebagai eksekutif dan politisi muda yang handal. Akan tetapi, seiring dengan berbagai kemajuan tersebut, ditemukan pula beragam masalah dan tantangan yang dihadapi oleh kaum muda, yang dapat dibedakan atas dua hal. Pertama, masalah dan tantangan kaum muda yang terkait dengan nilai-nilai dan semangat kebangsaan. Kemudahan akses informasi dan pengaruh globalisasi telah menyebabkan banyak kaum muda mengalami internasionalisasi nilai-nilai sosial dan budaya. Akibatnya, solidaritas sosial, semangat kebangsaan dan bela Negara menurun dengan tajam. Kedua, masalah dan tantangan sosial kaum muda yang terkait dengan kesulitan ekonomi menyebabkan banyak kaum muda yang tidak dapat melanjutkan pendidikan. Akibatnya adalah sulitnya mendapatkan pekerjaan serta tingginya angka pengangguran. Lebih lanjut sebagai akibat perubahan nilai-nilai dan norma berperilaku menyebabkan banyak ditemukan berbagai penyakit sosial •• 31/36 •• dikalangan kaum muda. Jumlah kaum muda yang terperangkap dalam penggunaan obat terlarang (narkoba) meningkat dengan tajam. Hal yang sama juga ditemukan pada hubungan seksual pranikah, kehamilan dan aborsi remaja, prostitusi, penyakit HIV/AIDS dan seksual lainnya, tawuran dan perkelahian antar kaum muda serta kriminalitas remaja. Munculnya kedua kelompok masalah dan tantangan yang dihadapi oleh kaum muda ini sebagaimana terurai di atas, tentu saja perlu segera diatasi. Kaum muda yang mengalami berbagai masalah kebangsaan serta penyakit sosial, bukanlah kaum muda yang dapat diandalkan oleh keluarga dan bangsa. Dampak yang ditimbulkan, bukan saja dapat merusak hidup dan kehidupan kaum muda pada saat ini, tetapi yang paling dikhawatirkan adalah dapat mengancam eksistensi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di masa depan. Untuk memperkuat kompetensi dan mental kaum muda ada ajakan dari Jenderal Mac Arthur, yang konon pernah berdoa untuk anaknya pada malam tahun baru yang bunyi permohonannya, demikian: “Ya Tuhan, mohon kiranya anakku jangan dibawa ke jalan yang mudah dan lunak. Bawalah dia ke jalan yang penuh desakan, kesulitan, dan tantangan. Didiklah dia supaya ulet berdiri di atas badai. Bentuklah dia menjadi manusia yang berhati jernih, yang cita-citanya luhur, anak yang sanggup memimpin dirinya sebelum sanggup memimpin orang lain. Dengan demikian, aku ayahnya akan berani berbisik: hidupku ini tidaklah sia-sia”. Dari kutipan di atas mengamanahkan kepada para orang tua untuk tidak membiarkan, mengabaikan dan melalaikan anak-anaknya menjadikan anak yang lemah. Bila orang tua melahirkan generasi •• 32/36 •• yang lemah dalam hal keimanan, moral, budi pekerti, kecerdasan, kesehatan, kemanusiaan, budaya, dan harta, maka sudah barang tentu akan mengakibatkan hancurnya sebuah negara beserta peradabannya. Oleh karena itu Jenderal Mac Arthur berdoa agar anaknya hidup tumbuh dengan kekuatan fisik, intelektual, moral, dan sosial. Coba kita simak cerita wayang ketika Dewi Kunti tengah melepaskan anaknya yakni Bima hendak pergi berperang melawan raksasa jahat, dengan mengatakan: “Pergilah engkau anakku untuk menjalani dharmamu sebagai seorang ksatria merombak ketidakadilan dan menyusun dunia damai, menjadi pelindung orang yang sengsara, dan menjadi penegak keadilan”. Mengapa Dewi Kunti melepas anaknya dengan begitu tegar dan kuat keyakinannya bahwa anaknya akan berhasil? Karena Dewi Kunti sebagai ibunya yakin apa yang menjadi bekal kekuatan yang dimiliki anaknya tersebut. Di masyarakat Sunda mengenal ungkapan mun keyeng, tinangtu pareng, sabisa bisa kudu bisa atau manjada wa jada (Jika ada kemauan, tentu akan berhasil), ini merupakan ungkapan yang memotivasi dan mengajak untuk selalu optimis dalam mengerjakan sesuatu dengan kerja cerdas, kerja keras, kerja ikhlas, dan kerja tuntas. Jaga kabuyutan lamun henteu bakal leuwih hina batan kulit lasún di jarian (Pelihara tanah pusaka, kalau tidak akan lebih hina daripada kulit anjing di tempat sampah). Ajakan dari kearifan lokal telah memberi motivasi, semangat, dan inspirasi bagi kaum muda untuk berprestasi dan berkarya untuk membangun kekuatan energi kolektif bangsa dalam persaingan di era globalisasi. Untuk menjaga dan mempertahankan keberadaan budaya agar tidak hilang, maka perlu gerakan-gerakan kaum muda yang lebih kreatif, inovatif, dan produktif sesuai dengan konsep “miindung ka waktu mibapa ka jaman”. •• 33/36 •• Bapak/Ibu hadirin sekalian yang berbahagia, 7. Penutup Sebagai penutup dari orasi ini, dari mimbar yang terhormat ini dengan segala kerendahan hati dan kebanggan kita senantiasa mengingat kepada pada tokoh-tokoh Fakultas Hukum Unpar yang menjadi model anak bangsa yang cerdas, antara lain Prof. Soediman Kartohadiprojo yang telah meletakkan dasar-dasar pemikiran tentang Hukum Pancasila, yang hampir setiap disertasi selalu mengutip pendapat beliau. Beliau selalu mengingatkan bahwa cerdas itu adalah apabila menjalankan 4 R secara berkualitas, yakni Raga, Rasa, Rasio, dan Rukun. Prof. Subekti seorang Begawan Hukum Perdata yang rendah hati, bersahaja dan selalu mengajarkan untuk tepat waktu. Prof Ateng Syafrudin yang begitu getol dan konsisten untuk memberikan pengajaran Ilmu Hukum Pemerintahan dengan pendekatan hybrid yang mengintegrasikan dan mengkombinasikan pemikiran dan nilai dan ajaran antara Ilmu Barat (Rasionalitas) dengan Ilmu Agama (Qoiyyah, dogmatis, pasti, tak terbantahkan kebenarannya) dan Kearifan Lokal (nilai luhur dan identitas diri), sehingga ilmu pemeritahan lebih terasa “hidup” dan dinamis. Prof Arief Sidharta yang selalu memberi suri teladan kepada dosen dan mahasiswa agar hidup jujur, bersahaja, rendah hati, tidak arogan, mencintai almamater, dan selalu haus untuk menambah ilmu. Demikian orasi ini saya pungkas, dengan harapan semoga Unpar yang kita cintai ini mampu berkontribusi untuk membantu pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa melalui program revolusi mental, mental reform, character building yang teratur, terstrukstur, dan terukur. Terima kasih dan penghargaan yang tinggi bagi semua pihak atas pemberian kesempatan kepada saya untuk menyampaikan orasi dies ini. Mohon maaf yang sebesarbesarnya apabila ada hal yang kurang berkenan di hati Bapak dan Ibu hadirin sekalian serta pihak-pihak lainnya. Semoga Tuhan Yang •• 34/36 •• Maha Adil mengampuni, melindungi dan memberkati kita semua. Amin. Selamat ulang tahun Almamaterku, Dirgahayu Fakultas Hukum Unpar. Terima kasih. Wassalam. •• 35/36 •• CURRICULUM VITAE PROF. DR. ASEP WARLAN YUSUF, SH.,MH PERSONAL Tempat/tanggal lahir Alamat Rumah : : Telepon/Fax Handphone Email Alamat Kantor : : : : Fax : Bandung, 9 Juli 1960 Jalan Solo No. 38, Antapani Bandung 40291 022-7204775 0816.62.4195 [email protected] Fakultas Hukum Unpar Jalan Ciumbuleuit No. 94 Bandung 40141 022-2042377 JABATAN FUNGSIONAL Pangkat/Jabatan Akademik: IV/E Guru Besar PENDIDIKAN Doktor Ilmu Hukum (S-3): Universitas Indonesia, lulus 2002 Magister Hukum (S-2): Universitas Padjadjaran, lulus 1990 Sarjana Hukum (S-1): Universitas Katolik Parahyangan, lulus 1984 Course on Legal Drafting, Indonesia-Netherlands Cooperation, 1986; Course on Decentralization in Planning and Organization, IndonesiaNetherlands Cooperation, 1989; Course on Adiministrative Law Enforcement: A Study Comparative between Netherlands and Indonesia, 1995; Course on Environmantal Law and Administration, VROM Ministry of Netherlands - Leiden University, Den Haag Netherlands 1998; Training on Environmental Law and Enforcement, AUS-Aid - MA - ICEL, 2000. PEKERJAAN 1984 – sekarang: Dosen pada Fakultas Hukum Unpar Bandung •• 36/36 ••