tanggung jawab negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa

advertisement
TANGGUNG JAWAB NEGARA DALAM
MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA
Oleh:
Asep Warlan Yusuf
Yang saya hormati,
Pengurus Yayasan Universitas Katolik Parahyangan
Rektor dan Para Wakil Rektor Universitas Katolik Parahyangan
Dekan Fakultas Hukum
Ketua dan Anggota Senat Fakultas Hukum
Para Pimpinan Fakultas dan lembaga di Lingkungan Univeristas
Katolik Parahyangan
Pengurus Ikatan Alumni FH Unpar
Para Dosen di lingkungan Unpar
Saudara mahasiswa yang saya cintai
Hadirin yang berbahagia.
Puji syukur kita panjatkan kehadhirat Tuhan Yang Maha Adil dan
Maha Bijaksana atas berkah rahkmat dan karunia-Nya berupa
limpahan anugerah sehat wal afiyat kepada kita sekalian, sehingga
kita dapat hadir pada acara peringatan Dies Natalis Fakultas Hukum
Unpar yang ke 58 di pada pagi hari yang cerah ini. Dalam Orasi Dies
kali ini saya mengambil judul: “TANGGUNG JAWAB NEGARA
DALAM MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA”.
1. Latar Belakang
Ada ungkapan orang Belanda yang berbunyi: Het volks is redeloos,
de regering is radeloos, het land is reddeloos (Rakyat kehilangan
daya pikir sehat, pemerintah kehilangan akal, negara kehilangan
harapan), perkataan yang populer pada abad ke 18 ini, nampaknya
masih relevan untuk diucap ulang pada era reformasi sekarang ini,
yang memang persis rakyat dan pemerintah kita sedang dilanda
•• 1/36 ••
kehilangan akal sehat dan harapan. Ungkapan tersebut saya
mencoba untuk mengaitkan relevansinya dengan kondisi hari-hari
ini melalui pertanyaan yang diajukan kepada mahasiswa
Pascasarjana. Ketika dalam perkuliahan di Pascasarajana saya
bertanya kepada Mahasiswa perihal isu dan masalah apa saja di
Negeri ini yang harus mendapat prioritas untuk segera ditangani
dan diselesaikan. Dari jawaban yang diberikan oleh para mahasiswa
tersebut ada lima isu dan masalah yang hampir semua
menyebutkannya, yaitu: 1) penegakan hukum; 2) ekonomi dan
sosial; 3) penguasaan asing; 4) kepemimpinan; 5) etika dan disiplin.
Kemudian mahasiswa selanjutnya diminta untuk mendeskripsikan
kelima isu dan masalah tersebut secara lebih konkret. Selanjutnya
terjadilah diskusi yang menarik dan hangat.
Pertama mengenai isu dan masalah penegakan hukum yang pada
intinya adalah masih belum cukup efektif, tegas, dan adil dalam
penegakan hukum, terutama untuk kejahatan korupsi, narkoba,
lingkungan hidup, serta hak-hak asasi manusia. Lemahnya dalam
penegakan hukum ini, bukan karena semata-mata kurang
lengkapnya peraturan perundang-undangan, atau terlampau
sedikitnya jumlah aparatur penegak hukum, atau kurang baik
kompetensinya, melainkan karena terjadinya dekandesi moral, tidak
fokus pada tujuan, hilangnya keteladanan, matinya hati nurani,
ceroboh dalam menentukan sasaran, saling ”tersandera kasus”, dan
meluasnya fitnah, yang kesemuanya itu disebabkan karena faktor
uang, jabatan, dan kekuasaan.
Dalam praktek terjadi adanya sebagian masyarakat yang kerap
mengambil jalan pintas untuk menyelesaikan kasus hukumnya
dengan cara mendekati oknum aparat penegak hukum untuk
transaksi (mufakat jahat), hal itu dilakukan agar kasus hukumnya
dimenangkan atau pidananya dikurangi/dibebaskan. Hal itu terjadi
seolah menjadi sesuatu yang lumrah dan ghalib. Syair lagu “di sini
senang di sana senang, di mana-mana hatiku senang” menjadi cara
penyelesaian hukum di bawah tangan. Ruang pengadilan menjadi
•• 2/36 ••
formalitas dan sandiwara karena sesungguhnya vonis sudah di laci
oknum hakim yang dibuat secara transaksional.
Ketika jembatan atau gedung cepat runtuh atau jalan raya cepat
rusak, karena biayanya sudah dipotong di sana sini, masih dianggap
relatif “kecil” tingkat efek bahayanya, tetapi kalau hukum dan
keadilan sudah dirusak oleh pihak yang berperkara yang
berkolaborasi dengan oknum penegak hukum, maka efek dan
dampaknya sangat berbahaya. Mengapa demikian, karena apabila
hukum sudah diperdagangkan dan dipermainkan, maka pada
gilirannya tingkat kepercayaan masyarakat dan pencari keadilan
terhadap hukum dan penegakan hukum akan juga runtuh, dan ini
musibah yang hebat dalam kehidupan bernegara. Efeknya ketika
hukum dan keadilan absen atau menghilang di tengah-tengah para
pencari keadilan, maka terjadilah manusia menjadi srigala
pemangsa bagi manusia lainnya, neobarbarian, menghalalkan segala
cara, tindakan main hakim sendiri, hukum rimba siapa kuat dia
menang, pengadilan jalanan, peradilan sesat, dan perbuatan tercela
lainnya.
Kedua, mengenai isu dan masalah sosial yang pada intinya bahwa
terjadi kesenjangan ekonomi yang menimbulkan kemiskinan dan
lemahnya daya beli bagi sebagaian besar masyarakat baik di
pedesaan yang minim sumber daya alam maupun di kantongkantong kemiskinan di perkotaan. Angka jumlah pengangguran tak
kunjung turun signifikan, bahkan cenderung naik. Demikian juga
dengan masalah sosial yang menggambarkan potret buram penuh
kepedihan, kejahatan narkoba makin merajalela yang konon di back
up oknum aparat, kekerasan terhadap perempuan dan anak juga
semakin biadab, sex bebas dikalangan remaja kian marak. Ada analis
kebijakan publik yang menyatakan bahwa kemiskinan dan konflik
sosial terjadi karena memang salah urus dari penyelenggara Negara
dan pemerintahan.
•• 3/36 ••
Kerusakan akibat pembakaran hutan dan pencemaran lingkungan
yang bersumber dari industri juga sudah pada taraf
mengkhawatirkan, namun sayangnya pelakunya tidak dapat
ditindak dan pabriknya ditutup hanya karena alasan ekonomi,
pendapatan negara/daerah, dan lapangan kerja. Sungguh hukum
menjadi rapuh dan keropos ketika berhadapan dengan kebijakan
dan tindakan pemerintah dan oknum aparat penegak hukum yang
kompromistik dan pilih kasih. Sungguh memprihatinkan!
Ketiga, mengenai isu dan masalah penguasaan asing terhadap
berbagai sumberdaya alam sungguh
telah mempertunjukan
ketidakadilan. Penguasaan asing pun tidak hanya berhenti di bidang
pemanfaatan sumber daya alam, tetapi juga sudah merambah pada
sektor barang dan jasa, terutama perbankan, asuransi dan juga
media massa. Penguasaan dan intervensi asing ini juga harus kita
waspadai ketika akan masuk ke ranah politik dan pemerintahan.
Keempat, mengenai isu dan masalah kepemimpinan (leadership),
yang pada intinya sudah terjadi krisis moral, etika, dan keteladanan
yang cukup serius di diri para pemimpin dan elit, penyelenggara
negara/pemerintahan, serta aparatur penegak hukum. Nilai-nilai
moral dan kebaikan hidup yang diajarkan oleh agama, budaya,
maupun adat sudah tidak memiliki daya ikat dan daya paksa untuk
dipatuhi lagi ketika kekuasaan dan jabatan ada dalam genggaman.
Bekal ajaran moral, etika dan kebajikan telah terkikis nyaris habis
karena materi, kesenangan dunia, popularitas, dan status sosial
yang menjadi orientasi hidupnya. Prilaku aji mumpung, mengambil
kesempatan dalam kesempitan, pola kolusi tau sama tau, berburu
rente, asal bapak senang, jilat ke atasan nginjak ke bawahan, dan
berbagai perbuatan moral hazard lainnya merupakan potret yang
ada dalam kehidupan, baik di suprastrukur politik maupun di
infrastruktur politik kita.
Sebagian masyarakat pun terkadang bersikap permisif terhadap
prilaku buruk tersebut, karena sengaja dirancang agar merasa selalu
•• 4/36 ••
tergantung pada pemegang uang dan kekuasaan. Ketika ada pemilu
misalnya, sebagian masyarakat berpikir bukan untuk sarana
mewujudkan kedaulatan rakyat dalam upaya memilih pemimpin
negara atau daerah yang terbaik, tetapi justru saat untuk
“berkolaborasi” dengan elit dalam mengambil keuntungan ekonomi
atau finansial. Jadilah ajang politik uang (money politics) marak luar
biasa. Dalam konteks ini, uang kerap diperoleh dari “investor
politik” yang sengaja membiayai kandidat dan parpolnya, dengan
tujuan agar kelak bisa memanen hasilnya ketika pemilu telah usai
yang menghasilkan pemimpin yang telah tergadaikan kepada
investor politik. Bagi sebagian masyarakat kecil nampak tidak peduli
dari mana uang itu berasal, yang penting peroleh uang meski tidak
seberapa bila dibandingkan dengan akibat buruknya. Dengan potret
demokrasi yang demikian itu, bagaimana kita bisa berharap
memperoleh pemimpin yang kompeten, berintegritas, dan berpihak
pada rakyat? Sungguh tragis!
Secara ilustratif apabila sebuah perusahaan bangkrut atau pailit,
maka selanjutnya asetnya akan dilelang untuk membayar hutang
perusahaan. Namun apabila terjadi kebangkrutan moral dari para
penyelenggara negara atau pemerintahan, maka harusnya segera
diganti atau diturunkan dari jabatannya untuk menghindari
kerugian negara yang lebih besar. Pertanyaannya adalah siapakah
dan adakah yang mau berinisiatif untuk segera menghentikan-melalui mekanisme yang konstitusional tentunya--pemimpin yang
moralnya sudah bangkut? Jangan sampai rakyat yang akan
menurunkannya dengan caranya sendiri.
Kelima, mengenai etika dan disiplin. Perihal lemahnya etika dan
disiplin ini ada ilutrasi yang menarik, ketika saya kedatangan
seorang peneliti dari Singapura yang ingin diskusi tentang
pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Setelah dia menanyakan
berbagai hal tetang praktek demokrasi di Indonesia, selanjutnya
giliran saya bertanya kepada peneliti tersebut. Pertanyaannya
adalah apa yang menyebabkan Singapura begitu maju pesat?
•• 5/36 ••
Kemudian dia menceritakan beberapa faktor penyebabnya, pertama
yaitu dengan menegakkan etika dan disiplin yang tegas dan kuat
dari seluruh penyelenggara negara/pemerintahan dan juga
masyarakat. Etika dan disiplin tersebut meliputi yang pertama
adalah bagaimana menghargai waktu. Menghargai waktu artinya
bahwa setiap saat dan kesempatan warga negara Singapura harus
memanfaatkan waktu untuk sesuatu yang produktif, bermafaat, dan
efisien. Tidak boleh waktu dilewatkan atau terbuang begitu saja
secara sia-sia tanpa prestasi dan karya. Yang kedua, hidup harus
selalu disiplin bersih, artinya bersih hati, pikiran, dan perbuatan.
Jaga etika kehidupan bersama secara harmonis, toleran,
bekerjasama, dan saling menolong. Jaga lingkungan supaya tertap
bersih, sehat, indah, aman, dan nyaman. Yang ketiga, segala
perbuatan jangan dilakukan dengan menghalalkan segala cara untuk
mencapai tujuan. Hormati hukum dan pemimpin, berbuatlah
sesuatu kebaikan dengan penuh keikhlasan.
Dari ilustrasi tersebut, diskusi semakin menarik ketika
membandingkan dengan Indonesia sekarang ini yang
masyarakatnya begitu mudah menyia-nyiakan waktu untuk sesuatu
yang tidak produktif. Hidup tidak bersih dengan perbuatan korupsi
yang nyaris merata pada berbagai level pemerintahan, bahkan di
legislatif dan yudisial. Membuang sampah sembarangan; sungai
menjadi tempat pembuangan sampah rumah tangga dan limbah
industri, vandalisme kian marak, geng motor dan tawuran antar
pelajar seolah tak bisa ditumpas. Mengapa hal ini bisa terjadi? Siapa
yang harus bertanggung jawab, dan apa yang perlu dilakukan untuk
mengatasinya?
Roda reformasi yang digerakkan 18 tahun yang lalu, ternyata masih
belum menampakkan adanya transformasi kehidupan berbangsa
dan bernegara ke arah yang lebih baik, kecuali melahirkan
kebebasan dalam berbagai aspeknya. Hal ini dengan sangat
demonstratif dan kasat mata ditunjukkan oleh berbagai fenomena
menyedihkan, seperti kesusahan hidup masyarakat kecil yang tetap
•• 6/36 ••
merana, rasa keadilan diinjak-injak oleh aparatur hukum sendiri
yang meluluhlantakkan kepercayaan masyarakat pada hukum,
partai politik semakin pragmatis, irasional, disfungsional, dan
disorientasi, kaum intelektual mengoyak martabatnya sendiri
dengan “menggadaikan” idealismenya, terjadi ignoransi dan
resistensi pejabat terhadap kritik, kaum agamawan asyik sendiri
dengan urusan teknis beribadat, pengusaha cenderung “berebut”
jadi penguasa sehingga terjadi konflik kepentingan, media massa
nyaris kehilangan greget karena dilanda kelelahan kreativitas,
sehingga paparan hiburan, gosip, dan berita kekerasan menjadi
santapan publik sehari-hari.
Politik yang kasar dan tidak adil akan mengakibatkan jatuhnya
korban. Korban tentu akan membangkitkan sikap indignation yakni
terusiknya amarah dan protes terhadap ketidakadilan. Bencana
yang datang bertubi-tubi mungkin saja merupakan imbas perbuatan
tercela, korupsi yang menggurita di hampir semua sektor
kehidupan. Kita tentu sepakat korupsi merupakan bagian dari tradisi
ketidakberadaban, karena akibat budaya "neo-jahiliyah/kebodohan
baru" itu bermata rantai dengan penderitaan rakyat.
Dalam kaitan ini, Negara seharusnya bertanggungjawab
sebagaimana yang telah diamanatkan oleh UUD 1945 untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa dalam segala aspek dan
dimensianya. Di bawah ini akan dicoba melihat bagaimana
‘tanggung jawab Negara’ itu sebaiknya dijalankan, meski disadari
analisis dan solusinya terasa superficial dan dipermukaan saja, tidak
mendalam.
Bapak/Ibu hadirin sekalian yang berbahagia,
2. Mencerdaskan Kehidupan Bangsa Menurut UUD 1945
Moctar Lubis pernah menyebutkan dalam bukunya yang berjudul
“Manusia Indonesia” bahwa ciri atau steriotip manusia Indonesia itu
•• 7/36 ••
ialah: 1. Munafik; 2. Enggan atau segan untuk bertanggungjawab
atas perbuatannya; 3. Bersikap dan berprilaku feodal; 4. Percaya
takhayul; 5. Artisitik berbakat seni; 6. Lemah watak atau karakter.
Tentu saja kita dapat memperpanjang lagi ciri yang negatif lainnya
terhadap orang Indonesia, misalnya, tidak menghargai waktu,
malas, berpikir jalan pintas, tidak disiplin dsb. Ciri tersebut tentu
ada benarnya dan juga banyak salahnya.
Namun demikian, perlu ditanya adakah rujukan legal-formal yang
dikandung dalam UUD 1945 tentang ciri manusia ideal yang hendak
dibangun untuk menjalankan Negara dan pemerintahan? Untuk itu,
saya mencoba memahami bagaimana UUD 1945 mendeskripsikan
tentang ciri manusia Indonesia. Rujukan utamanya yaitu apa yang
terkandung dalam rumusan ‘Mencerdaskan Kehidupan Bangsa’
yang termuat dalam Alinea Ketiga Pembukaan UUD 1945, yang
mudah-mudah bisa “meng-counter” apa yang disebutkan oleh
Mochtar Lubis tersebut. Namun disadari sepenuhnya bahwa uraian
tentang ‘Mencerdaskan Kehidupan Bangsa’ ini hanya sebuah
pemahaman saya saja, bukan merupakan suatu penafsiran hukum
(yang harus ketat dengan metode penafisiran). Karena hanya
merupakan sebuah pemahaman, maka bisa saja subjektif bahkan
keliru atau salah.
Frasa ‘Mencerdaskan Kehidupan Bangsa’ yang terdapat dalam
Alinea Ketiga Pembukaan UUD 1945 yang lengkapnya berbunyi
“…Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah
Negara Indonesia yang melindungi segenap tumpah darah
Indonesia, dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial…”. Dari frasa yang termaktub dalam Pembukaan tersebut
jelas menunjukkan bahwa ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’ itu
adalah tugas, kewajiban, dan tanggung jawab Negara untuk
mewujudkannya. Bangsa yang cerdas dalam menjalani hidup dan
kehidupannya merupakan suatu karakter atau watak bangsa
•• 8/36 ••
Indonesia. Timbul pertanyaan apa yang dimaksud dengan ‘bangsa
Indonesia’, ‘kehidupan bangsa’, dan ‘bangsa yang cerdas’ menurut
UUD 1945?
Yang dimaksud dengan ‘bangsa Indonesia’ menurut UUD 1945 yaitu
orang Indonesia yang hidup bersama di wilayah Indonesia yang
senasib sepenanggungan dan memiliki cita-cita yang sama yaitu
merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Adapun yang
dimaksud dengan ‘kehidupan bangsa’ adalah suatu proses, peran,
dan fungsi dari bangsa Indonesia dalam menjalankan kehidupan
bersama yang berbasis keberagaman, kerukunan, dan kerekatan
sosial yang silih asah, silih asih, silih asuh dalam menuju kehidupan
bersama yaitu kedilan sosial, kemakmuran rakyat, tata tentrem
kerta raharja, bahagia lahir batin di bawah lindungan dan ridho
Tuhan yang Maha Pengasih Maha Penyayang.
Selanjutnya apa yang dimaksud dengan karakter ‘bangsa yang
cerdas’ apabila ditelaah lebih seksama materi muatan yang
terkandung dalam UUD 1945, maka kita akan dapati ciri atau
karakter utama bangsa yang cerdas. Cerdas menurut UUD 1945
tidak hanya sekedar bangsa yang pintar, berwawasan luas, atau
berpengetahuan, tetapi jauh lebih mendasar dari itu yaitu bahwa
kehidupan bangsa yang cerdas itu meliputi:
a. Berketuhanan
Bangsa yang cerdas yang paling utama dan fundamental ialah
bangsa yang Berketuhanan (cerdas spiritual) ialah bangsa yang
senantiasa taat dalam menjalankan ajaran dan perintah Agama
dan menjauhi segala larangan-Nya dengan konsisten, baik, dan
benar. Landasan dan orientasi hidup adalah untuk ibadah dan
bertaqwa kepada-Nya. Apapun yang kita lakukan Tuhan pasti
mengetahuinya, Tuhan tidak pernah tidur (Gusti ora sare, bahasa
Jawa). Perbuatan jahat di dunia mungkin bisa lolos dari
pertanggungjawaban hukum di dunia, namun pasti segala
perbuatan yang dilakukan di dunia ini sekecil apapun, kelak harus
•• 9/36 ••
dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan. Memperbaiki kualitas
keimanan dan ketaqwaan diri kita masing-masing merupakan
kewajiban mutlak dalam membangun kecerdasan spiritual, yang
selanjutnya diharapkan bergulir untuk memperbaiki akhlak orang
lain.
Kekayaan, jabatan, dan kehormatan di dunia tidaklah langgeng,
sehingga tidak boleh tenggelam terhadap sesuatu yang fana
(sementara). Orang yang cerdas sesungguhnya adalah orang
yang selalu menyiapkan diri menghadapai berbagai kemungkinan
dan perubahan yang akan terjadi. Setiap orang tidak pernah tahu
kapan, di mana, dan dalam keadaan apa kekayaan, jabatan,
kekuasaan, dan kehormatan itu akan hilang, terenggut dari
genggaman. Oleh karena itu kepasrahan dan keikhlasan kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa merupakan sarana terbaik untuk
menggapai kebahagiaan yang hakiki dan abadi.
b. Berperikemanusiaan
Watak bangsa Indonesia itu pada dasarnya anti penjajahan.
Sebagai bukti yuridis bahwa bangsa kita sangat menghormati
kemanusiaan, terdapat dalam Aliea Pertama Pembukaan UUD
1945 yang menyatakan “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu
ialah hak segala bangsa, oleh sebab itu penjajahan di atas dunia
harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan
dan perikeadilan”. Yang saya pahami dari ‘Alinea Deklarasi’
Pembukaan UUD 1945 ini ialah nyata jelas benar bahwa watak
atau karakter bangsa Indonesia adalah hidup dan kehidupan itu
harus dijalani dengan merdeka, tidak boleh ada satu pun yang
menghalangi, mengganggu, dan mengurangi kemerdekaan
bangsa Indonesia. Oleh karena itu penjajahan oleh siapapun
dalam segala bentuk, cara, dan substansinya harus dilawan dan
dienyahkan dari bumi Pertiwi.
Dalam konteks dewasa ini, “penjajahan” dalam bentuk dan cara
yang lain sudah harus kita waspadai, misalnya ketika hutang luar
•• 10/36 ••
negeri kita begitu besar, maka ketergantungan kita pada Negaranegara kreditur dengan sendirinya sangat besar pula, sehingga
hal itu berpotensi untuk “menjajah” kita. Yang lebih
mengenaskan adalah derasnya mengalir barang dan jasa
(termasuk komoditas pertanian) yang diimpor, yang kini sudah
“menjajah” pasar domestik kita. Konon tenaga kerja asing pun
akan menyerbu lapangan kerja di Indonesia, karena banyak
proyek infrastruktur dan transportasi yang dibangun dengan pola
kerjasama yang memaksa kita untuk menerima tenaga kerja dari
warga negara mereka. Isu terorisme pun kerap menjadi media
untuk kita meminta bantuan dan dukungan negara Barat, ini pun
kerap menjadi cara negara Barat untuk intervensi masalah
kemananan dalam negeri kita. Dengan mengandalkan impor
barang dan jasa dan campur tangan asing, dikhawatirkan bangsa
ini akan lemah dalam berbagai aspek yang menjadikan ekonomi
nasional tidak berdikari dan kedaulatan Negara menjadi tidak
berdaya.
Indonesia memerlukan kembali kepada jati diri bangsa ini yang
oleh Bung Karno disebut Trisakti, yakni berdaulat dalam politik,
berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam
kebudayaan, sehingga kehormatan dan harga diri bangsa
menjadi kata-kata kuncinya. Kita membutuhkan pemimpin yang
berani dan tegas untuk mengatakan ‘Tidak’ kepada negara yang
asing yang akan “menjajah” kita dalam bentuk dan cara apapun,
baik melalui jalur ekonomi, keamanan, politik, maupun sosial
budaya. Jangan merasa minder atau inferior ketika kita
menghadapi “serbuan” negara asing dengan alasan mau
“membantu” rakyat Indonesia yang lagi kesusahan. Rakyat
Indonesia akan bangga dan terhormat di hadapan dunia, ketika
pemimpin dan penyelenggara negara mampu menjaga harga diri,
martabat, wibawa, dan kehormatan bangsa dan Negara.
Saya lebih memilih dianggap sebagai Negara yang arogan oleh
negara asing, karena tidak mau tunduk pada keinginan mereka,
•• 11/36 ••
ketimbang dijajah oleh mereka dengan cara halus yang seolah
membantu kita. Hal inilah pentingnya kedaulatan yang perlu
ditanamkan kepada para pemimpin kita dalam setiap kebijakan
dan langkah dalam hubungan antar bangsa. Inilah sesungguhnya
kecerdasan bangsa Indonesia yaitu anti penjajahan, namun tetap
bertanggungjawab dalam melaksanakan ketertiban dunia
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial.
c. Berbudi pekerti luhur
Karakter atau watak bangsa Indonesia yaitu berbudi pekerti
luhur. Membangun dan menjalankan Negara untuk mencapai
masyarakat yang tata tenteram kertaraharja harus berlandaskan
moral dan budi pekerti yang luhur yang harus dimiliki khususnya
oleh penyelenggara negara. Hal ini telah dilafadzkan dengan
lugas oleh The Founding Fathers kita dengan mengatakan bahwa
meskipun hukum (baca: UUD 1945) masih terumuskan relatif
sederhana dan belum lengkap mengatur ihwal ketatanegaraan
yang holistik, namun apabila semangat (moralitas, integritas,
kompetensi) para penyelenggara (aktor/pelaku) pemerintahan
baik maka baik pulalah jalannya pemerintahan. Jadi yang
terpenting adalah moralitas, budi pekerti yang luhur yang
menjadi pilar utamanya. Mengapa jawabannya adalah semangat
penyelenggara negara yang memiliki budi pekerti yang luhur?
Karena perihal moral merupakan penopang utama dalam
pembangunan bangsa yang bermartabat dan memiliki harga diri.
Tentu juga disertai dengan muatan moral di dalam hukum yang
rasional guna mengatur kehidupan kebangsaan yang besendikan
nilai-nlai keadaban. Suatu keniscayaan yang diyakini
kebenarannya bahwa negeri ini akan tegak mandiri, maju, dan
sejahtera bila moral para pemimpin dan penyelenggara
Negaranya berbudi pekerti luhur dan cerdas.
Cerminan karakter bangsa yang berbudi pekerti luhur misalnya
dapat terlihat dari bagaimana kehidupan hukum dan kebangsaan
•• 12/36 ••
dijalankan. Watak hukum yang berfungsi mengatur kehidupan
kebangsaan harus senantiasa mengintegrasikan antara moralitas,
rasionalitas dan keadilan sosial, yang menjadi landasan,
komitmen dan orientasi dalam sistem hukum dan perilakunya.
Karena tuntutan masyarakat dapat berbeda dengan pembuat
hukum, maka sebaiknya kita harus menduga bahwa konsepsikonsepsi mengenai nilai-nilai luhur kewajaran sosial, politik,
ekonomi, dan khususnya kewajaran hukum -- seperti yang
tercantum dalam ruh hukum -- harus terwujudkan dalam
kehidupan kebangsaan. Namun demikian pada kenyataannya
patut diwaspadai karena kerap terjadi berbagai penyelundupan
kepentingan jahat yang dituangkan ke dalam substansi undangundang atau peraturan daerah, sehingga yang muncul
substansinya yang sangat immoral.
Hukum juga harus membalut dan menyatu dalam kehidupan
kebangsaan, sehingga hukum tidak tumbuh liar dan menjadi
predator yang memangsa nilai-nilai keadilan yang beradab.
Penegak hukum yang berbudi pekerti luhur adalah penegak
hukum yang bermartabat, berintegritas, beretika, dan
berkompeten. Dalam menerapkan access to justice, maka kontrol
publik harus digemakan sekencang-kencangnya ketika
pemerintah, terutama penegak hukum, lemah dalam
menegakkan hukum dan keadilan. Menyatunya kehidupan
kebangsaan yang menjujung tinggi budi pekerti yang luhur akan
mempersuasi dan mengkonfirmasi kehidupan bernegara yang
adil dan beradab.
d. Berbudaya
Watak Bangsa Indonesia yang cerdas itu adalah berbudaya.
Berdasarkan bunyi Pasal 32 UUD 1945, saya melihat ada empat
ciri atau karakter bangsa yang berbudaya, yakni:
a. Menjalani kehidupan bangsa secara berkeadaban;
b. Menjaga Persatuan dan Kesatuan bangsa;
•• 13/36 ••
c. Tidak
menolak
budaya
asing
sepanjang
mengembangkan dan memperkaya budaya bangsa;
d. Mempertinggi derajat kemanusiaan.
dapat
Karater bangsa yang cerdas adalah bangsa yang berbudaya.
Kalau merujuk pada esensi dari pendidikan yang tertuang dalam
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa
pendidikan itu pada dasarnya merupakan proses pembudayaan.
Artinya, suatu proses yang bertujuan untuk membangun
karakter, identitas, dan budaya suatu bangsa.
Namun sayangnya, Pemerintahan sekarang ini tampak lebih
getol membangun infrastruktur fisik jalan tol, pelabuhan, dsb.,
daripada membangun jalan pikiran bangsa yang berbasis budaya.
Padahal, jalan pikiran yang berbasis budaya merupakan jalan
utama yang menghubungkan kita dengan masa depan,
karenanya perlu lebih dahulu dirawat.
Kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan berkepribadian
dalam budaya yang jadi cita-cita pemerintah merupakan masalah
dan bermula dari jalan pikiran atau mindset bangsa.
Mengutamakan pembangunan fisik sembari seadanya
mengembangkan jiwa dan pikiran, selain tak seirama dengan
semangat ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’, juga melawan
“culture and nature” dari nalar kemajuan. Kebangkitan bangsabangsa maju pada umumnya dimulai dari upaya memelihara
budaya dan nalarnya. Dengan revolusi mental sebagai gerakan
nasional seperti dimaksud penggagasnya, seyogianya
diprioritaskan dalam upaya pencerdasan kehidupan bangsa
sebagai jalan membentuk pola pikir bangsa. Ironisnya, upaya
pencerdasan bangsa melalui pendidikan dalam berbagai
ranahnya dewasa ini masih diliputi berbagai masalah mendasar.
Keseluruhan nilai budaya dalam sistem nilai Pancasila telah
dipersatukan oleh asas “Kesatuan dalam Perbedaan dan
•• 14/36 ••
Perbedaan dalam Kesatuan” yang menjiwai struktur dasar
keberadaan manusia dalam kebersamaan sebagai bangsa, yang
tercermin dalam ungkapan “Bhineka Tunggal Ika”. Jadi Bhineka
Tunggal Ika mengungkapkan titik tolak cara pandang bangsa
Indonesia tentang tempat manusia individual di dalam
masyarakat dan alam semesta (Prof. Soediman Kartohadiprodjo).
Dalam ungkapan tersebut terkandung pengakuan serta
penghormatan terhadap martabat manusia dan individual.
Kekhasan kelompok-kelompok etnis kedaerahan yang ada, dan
keyakinan keagamaan dalam kesatuan berbangsa dan bernegara
yang harus terus bertahan dan diperjuangkan. Demi
mewujudkan perjuangan itu, niat dan semangat menjadi
keharusan sebagai langkah kecil dalam cita-cita besar
menanamkan nilai-nilai Pancasila dalam perilaku kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Budaya kejuangan bangsa Indonesia tercermian pada sidang
BPUPKI yang akhirnya menelurkan kesepakatan, menetapkan
Pancasila sebagai dasar negara. Bergantian, Mohammad Yamin
dan Soekarno menyampaikan usulan masing-masing. Pada 1 Juni
1945, hari terakhir sidang, lewat pidato Soekarno, menyatakan
"Jika bangsa Indonesia ingin hidup merdeka, penuh
kemanusiaan, hidup di atas dasar permusyawaratan, hidup
sejahtera dan aman, dan dengan ketuhanan yang luas dan
sempurna,
janganlah
lupa
akan
syarat
untuk
menyelenggarakannya, yaitu perjuangan, perjuangan, dan sekali
lagi perjuangan!" kata Soekarno. Perbaikan keadaban publik bisa
menjadi basis untuk membangun bangsa. Itu sebabnya, bangsa
ini perlu serius membangun kebudayaan melalui sinergi seluruh
anak bangsa.
•• 15/36 ••
Bapak/Ibu hadirin sekalian yang berbahagia,
3. Tanggung Jawab Negara
Di dalam Alinea Ketiga Pembukaan UUD 1945 dinyatakan dengan
jelas dan tegas bahwa tugas dan kewajiban dalam ‘mencerdaskan
kehidupan Bangsa’ dilekatkan pada pundak Negara, yang dalam
pelaksanaanya dilakukan oleh Pemerintah dalam arti luas, yaitu
seluruh lembaga-lembaga Negara. Apa yang dimaksud dengan
tanggung jawab Negara/pemerintah dalam ‘mencerdaskan
kehidupan bangsa’?
Berbicara tentang tanggung jawab pemerintahan (bestuurs
aansprakelijkheid) tak terlepas dari dasar legitimasi atau validitas
(keabsahan) pemerintahan. Keabsahan pemerintahan ini
sekurangnya terdapat empat sumber legitimasi yang menjadi
landasan dalam melakukan perbuatan pemerintahan oleh
pemerintah,
yakni
sah
berdasarkan
undang-undang
(wetmatigheid)1, sah berdasarkan hukum (rechtsmatigheid)2, sah
berdasarkan tujuan atau maksud (doelmatigheid)3, dan sah
berdasarkan asas diskresi (discretie, discretionary power, atau
nachfreies Ermessen)4 Namun dalam perkembangannya, sumber
1
2
3
4
Wetmatigheid adalah syarat keabsahan pemerintahan yang didasarkan kepada
segala sesuatu yang dilakukan atau diputuskan wajib berdasarkan suatu
ketentuan undang-undang.
Rechtmatigheid adalah suatu dasar keabsahan yang mensyaratkan bahwa setiap
perbuatan di dalam pengambilan keputusan atau sesuatu yang dilakukan tidak
boleh bertentangan dengan hukum atau melanggar hukum.
Doelmatigheid adalah suatu dasar keabsahan bahwa suatu perbuatan atau
tindakan atau putusan yang dilakukan oleh aparat pemerintahan itu dianggap
sah, apabila telah tercapai maksud atau tujuan hukum yang wajib dipenuhi.
Contoh pengenaan bestuursdwang dapat dikatakan sah apabila telah tercapai
tujuan hukumnya yakni penghentian perbuatan pelanggaran dan pemulihan
kepada keadaan semula.
Keabsahan perbuatan pemerintahan berdasarkan asas diskresi adalah bahwa
suatu perbuatan yang dilakukan berdasarkan asas kewenangan bebas (nach
freies Ermessen) yang dimiliki pemerintah dengan ketentuan: (a) bahwa pada
•• 16/36 ••
legitimasi tersebut terjadi perluasan, yakni bahwa keabsahan
pemerintahan itu juga harus dilandasi oleh moralitas (morality,
decency, fatsoen),5 metode (method), teknik (technique), mutu
(quality),6 dan manajemen (management)7 yang sudah
terstandarisasi secara obyektif.
Keberadaan prinsip atau asas “Tanggung Jawab Pemerintahan” atau
bestuurs aansprakelijkheid ini sesungguhnya merupakan salah satu
penyeimbang dalam memposisikan antara kedudukan pemerintah
dan masyarakat dalam menjalankan roda organisasi negara.
Pemerintah memiliki wewenang untuk mengatur, memungut pajak,
menegakkan hukum, mengenakan sanksi dan seterusnya, yang
merupakan serangkaian kebijakan dalam upaya mencapai tujuan
hidup bernegara. Di lain pihak masyarakat memiliki pula hak untuk
memperoleh perlindungan hukum dari berbagai kebijakan
pemerintah yang mungkin dapat menimbulkan kerugian bagi
masyarakat. Oleh karena itu adanya asas tanggung jawab
pemerintahan ini sesungguhnya memberikan ruang yang cukup
5
6
7
dasarnya pejabat pemerintahan itu tidak boleh menolak untuk mengambil suatu
keputusan atau kebijakan, kendati tidak ada peraturannya; (b) adanya
kebebasan atau keleluasaan dalam batas tertentu bagi pejabat adminstrasi
negara yang dimungkinkan oleh hukum untuk bertindak atas inisiatif sendiri; (c)
adanya persoalan penting dan mendesak untuk segera diselesaikan; (d) harus
dipertimbangkan kelayakan dan kesesuaian secara adil demi kepentingan umum
serta dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum.
Bahwa suatu perbuatan pemerintahan dianggap sah apabila memenuhi syarat
moral, kesusilaan kesopanan, sumpah jabatan, kode etik yang berlaku dan telah
disepakati bersama.
Landasan keabsahan berdasarkan metode, teknik, dan mutu diartikan bahwa
setiap perbuatan pemerintahan itu memiliki dasar dan argumentasi yang sudah
teruji secara ilmiah dengan suatu standarisasi yang berlaku universal.
Landasan manajemen sebagai ukuran keabsahan karena dalam pemerintahan
yang moderen ukuran efektivitas dan efisiensi menjadi sesuatu yang penting.
Kesadaran terhadap penggunaan sumber daya secara hemat dan tepat guna
adalah ciri utama, selain hal-hal yang berkenaan dengan masalah koordinasi,
sinkronisasi, dan harmonisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
•• 17/36 ••
leluasa bagi timbulnya peran serta masyarakat sebagai suatu
keniscayaan bagi pemerintahan yang demokratis.
Dengan
dilaksanakannya
prinsip
tanggung
jawab
Negara/pemerintahan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa
secara konsisten dan konsekuen, maka sesungguhnya akan
meningkatkan pula wibawa dan martabat Negara/pemerintah di
mata rakyatnya. Sebab apabila pemerintah rela untuk menegakkan
asas tanggung jawab pemerintahan ini, maka setidaknya akan
tercapai beberapa hal yang penting, yakni:
(a) tertegakannya prinsip-prinsip negara hukum, rule of law,
supremasi hukum, dan kesamaan dihadapan hukum dalam
penyelenggaraan pemerintahan, karena pemerintah pun
ternyata menghormati dan taat hukum;
(b) mengingat pada umumnya masyarakat Indonesia adalah masih
menganut budaya paternalistik, maka dengan adanya asas
tanggung jawab pemerintahan ini akan mendorong timbulnya
kesadaran hukum masyarakat secara sukarela (voluntary
compliance);
(c) setiap ucap, gerak, langkah dan tindakan pemerintah yang
dapat menimbulkan akibat kepada masyarakat, maka
senantiasa harus dipertimbangkan dengan masak, hati-hati,
cermat dan seksama;
(d) memperkokoh komitmen reformasi untuk mewujudkan good
governance, clean and open government yang selaras dengan
penguatan dan pemberdayaan masyarakat madani (civil
society);
(e) untuk memperkuat asas tanggung jawab pemerintahan ini agar
terjadi kepastian hukum, keadilan, dan perlindungan hukum,
maka perlu dipikirkan dan diwujudkan untuk dibentuk undangundang tentang Tanggung Jawab Pemerintahan dan UU tentang
Kompensasi.8
8
Di Jerman disebut State Liability Act 1981, di Jepang disebut Government Liability
Act, 1946; Selain itu perlu pula UU tentang Kompensasi, di Korea disebut
•• 18/36 ••
Asas “tanggung jawab pemerintahan” ini secara makna dibedakan
dengan asas ‘pemerintahan yang bertanggungjawab (governmental
accountability)’.9 Tanggung jawab pemerintahan (government
liability) ini diukur dari sejauhmana tingkat keabsahan (validity)
perbuatan pemerintahan (bestuurshandeling), baik dari keabsahan
hukum
(rechtsmatigheid),
keabsahan
undang-undang
(wetmatigheid) maupun dari segi keabsahan tujuan/maksud
(doelmatigheid) dan bagaimana pula pertanggungjawaban
hukumnya. Jadi menyangkut akibat hukum dari suatu perbuatan
pemerintahan.
Sedangkan ukuran ‘pemerintahan yang bertanggung jawab’
(governmental accountability) diukur dari sejauhmana tingkat
pemenuhan atau pencapaian fungsi dan tujuan pemerintahan yang
meliputi antara lain memajukan kesejahteraan umum, menegakkan
hukum dan keadilan, melindungi kepentingan umum, pelayanan
masyarakat, dan menjaga stabilitas keamanan yang terwujudkan
dalam kehidupan sehari-hari. Jadi hal ini menyangkut
pertanggungjawaban manajemen, kinerja pemerintahan, dan
politik. Baik ‘tanggung jawab pemerintahan’ maupun ‘pemerintahan
yang bertanggung jawab’ memiliki kesamaan semangat dan cita-cita
yakni membentuk pemerintahan yang baik (good governance)
dalam rangka menegakkan negara hukum (rule of law) yang
berkadilan dan demokratis. Oleh karena itu keduanya tidak dapat
dipisahkan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
9
National Compensation Act, Administrative Compensation for Injury, dan
Administrative Compensation for Loss.
Accountability atau responsibility dapat ditafsirkan secara luas sebagai
pertanggungjawaban politik, atau ketatanegaraan, seperti dalam rumusan
Penjelasan UUD 1945 (Asli) berbunyi ” Concentration of power and responsibility
upon the president”, bandingkan Miriam Budiardjo, Menggapai Kedaulatan
untuk Rakyat, Mengenang 75 Tahun Prof. Miriam Budiardjo, Penerbit Mizan,
hlm. 107
•• 19/36 ••
Mengapa asas tanggung jawab Negara/pemerintahan ini perlu
dioptimalkan penggunaannya, sebab sekali lagi negara kita adalah
negara yang berdasakan atas hukum, jadi baik warga negara,
pejabat pemerintah maupun pemerintah sebagai badan hukum
publik, sama-sama memiliki kewajiban untuk menghormati dan
menaati hukum. Pejabat pemerintahan sangat mungkin melakukan
kesalahan atau kekeliruan baik disengaja maupun tidak. Oleh karena
itu, Logemann pernah mengingatkan bahwa tidak ada satu jabatan
apapun yang luput/lepas dari pertanggungjawaban. Dengan
demikian kiranya perlu untuk senantiasa diingatkan bahwa setiap
pejabat pemerintahan dalam membuat kebijakannya harus benarbenar hati-hati dan cermat. Segala sesuatunya harus
dipertimbangkan dengan seksama baik maslahat maupun
mudharatnya, terutama apakah akan melanggar hukum (termasuk
melanggar hak warga) atau tidak.
Melalui pengimplementasian sistem atau prinsip tanggung jawab
Negara/pemerintahan ini secara konsekuen dan konsisten dalam
‘Mencerdaskan Kehidupan Bangsa’, maka diperlukan sikap dan
watak yang luhur dan mulya dari mereka yang mengembannya.
Sebelum menjalankan tugas, kewajiban, dan tanggug jawab
Negara/Pemerintah dalam ’Mencerdaskan Kehidupan Bangsa’,
maka harus terlebih dahulu menjadikan dirinya:
a. pemerintahan yang bersih dan terbuka;
b. jujur, amanah, dan terpercaya;
c. satu kata dan perbuatan, tidak hipokret (munafik);
d. tidak melulu pencitran atau jaga imej (jaim);
e. memperlakukan sama kepada setiap warganya (tidak
diskriminatif);
f. tidak memaksakan kehendak kepada rakyat, tanpa alasan yang
jelas;
g. terbuka terhadap kritik dan opini publik, serta menghargai
perbedaan pendapat di antara pemerintah dan masyarakat;
h. membuka akses informasi kepada setiap orang;
•• 20/36 ••
i.
melayani masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan
kepentingannya secara proporsional, layak dan wajar;
j. berpikir, berucap dan bertindak rasional, argumentatif, dan
tidak berbohong;
k. lebih mendahulukan kepentingan rakyat daripada pemerintah,
partai, kelompok;
l. bertindak cermat, hati-hati, dan seksama;
m. menggunakan sumber daya secara efektif dan efisien;
n. menghargai dan menghormati kebhinekaan dalam berbagai
aspeknya.
Dalam hal Negara/pemerintah sudah memenuhi kriteria dan
kualifikasi sebagaimana disebutkan di atas, maka tugas
‘mencerdaskan kehidupan bangsa’ akan semakin mudah. Dengan
perkataan lain, cerdaskan dulu aparat penyelenggara negara, baru
kemudian warganya.
Bapak/Ibu hadirin sekalian yang berbahagia,
4. Mencari Pemimpin Bangsa yang Adil dan Cerdas
Yang dimaksud dengan pemimpin yang bekarakter adil dan cerdas
itu adalah pemimpin yang taat beribadah, berperikemanusiaan,
berbudi pekerti luhur, berwawasan luas, berbudaya, berbakti
kepada Nusa dan Bangsa. Tipe pemimpin yang otentik adalah
pemimpin yang dilahirkan dan tumbuh dengan nadi kehidupan
rakyatnya. Tidak ada kesenjangan dan tidak ada jarak antara
pemimpin dengan yang dipimpin. Untuk itu ada pesan moral yang
dikemukakan oleh Y.C. Yen yang memberi wawasan dan inspirasi
bagaimana pemimpin itu ditempa dalam kehidupan nyata
masyarakatnya. Melalui bait-bait yang amat kuat, Yen
menuliskannya untuk calon pemimpin sebagai berikut:
Go to the people
Live among the people
Learn from the people
•• 21/36 ••
Plan with the people
Work with the people
Start with what the people know
Build on with what people have
Teach by showing, learn by doing
Not a showcase, but a pattern
Not odds and ends, but a system
Not peicemeal, but integrated approach
Not to conform, but to transform
Not relief, but realize.
Meskipun prinsip-prinsip tersebut dikemukakan pada tahun 1920,
namun hal itu memperoleh relevansinya kembali saat negara kita
sedang menumbuhkan apa yang disebut self-sustaining capacity
masyarakat.
Untuk mengisi jabatan kenegaraan/publik dalam sistem yang kita
anut dilakukan melalui mekanisme demokrasi dengan partai politik
sebagai aktor utamanya. Mengapa kita memilih pengisan jabatan
kenegaraan dilakukan melalui mekanisme demokrasi? Karena kita
memang terpengaruh dengan begitu banyak referensi Barat, yang
seolah berkeyakinan bahwa demokrasi yang berkeadaban (civilized
democracy) merupakan tipe pemerintahan yang sesungguhnya
telah sampai pada bentuk yang optima forma pada abad ini,
sebagaimana dikatakan oleh Larry Diamond dalam buku Developing
Democracy, Toward Consolidation, John Hopkins, UP, 1999, bahwa
“All major leaders of government and politically significant parties
believe that democracy is the best form of government …political
parties and interest groups respect each other’s right to compete
peacefully for power, eschew violence, and obey the laws, the
constitution, and mutually accepted norms of political conduct
(Diamond:65).
Apabila ukuran demokrasi adalah pemilihan presiden dan kepala
daerah secara langsung, ditambah dengan kebebasan berbicara di
•• 22/36 ••
muka umum dan kebebasan mendirikan parpol, memang sudah
tercapai, bahkan melebihi apa yang dibayangkan. Namun rakyat
nampaknya tidak cukup hanya sebatas terpenuhinya kebebasan
politik, tetapi lebih dari itu adalah bahwa demokrasi akan
membawa pula kepada jalan yang lebih lebar dan mulus untuk
memperoleh keadilan sosial dan kesejahteraan yang senyatanya.
Mengambil contoh sebagai indikasi apakah sudah terjadi bencana
demokrasi, bisa dilihat dalam ajang pemilihan presiden, legislatif,
hingga pemilihan umum kepala daerah (pemilukada), yang ternyata
sungguh menjengkelkan, prosedurnya memusingkan, uang
terhambur-hamburkan, konflik berdarah darah kian mengenaskan,
dan tragisnya adalah hasilnya tidak memuaskan. Kenapa demikian,
karena memang kita telah melalaikan satu hal dari kehidupan
demokrasi yang berkeadaban yakni menyiapkan SDM demokrasi
yang kompeten, jujur, dan amanah. Sebagai akibat dari
dilalaikannya atau terbiarkannya penyiapan SDM pemimpim yang
memikul tanggung jawab dalam menjalankah roda demokrasi
tersebut, maka kerja demokrasi pada kenyataannya dilaksanakan
oleh orang-orang yang oportunis, hipokrit, serakah, tidak kompeten,
tidak memiliki integritas moral, dan tidak berkomitmen untuk
membela rakyat.
Bukti lanjutan yang dapat disebut sebagai pertanda adanya bencana
demokrasi adalah ketika nyaris setiap pemilu legislatif dan terutama
pemilukada di Negeri ini selalu ditandai oleh adanya prilaku politik
uang, konflik horiziontal, kecurangan, penyalahgunaan fasilitas
negara dan pemerintah, parpol digadaikan atau direntalkan untuk
kendaraan bagi (bakal) calon yang punya uang, tidak netralnya
PNS/birokrasi, keberpihakan penyelenggara pemilu kepada salah
satu kandidat, dan perbuatan buruk lainnya. Dari perbuatan atau
perilaku para insan demokrasi seperti tersebut, maka ada benarnya
seperti yang dinyatakan oleh Plato bahwa ia mengecam demokrasi
karena tiga alasan: pertama, demokrasi mengarah pada "aturan
gerombolan" yang dengan kekuasaannya menjadi kaki tangan
•• 23/36 ••
"pencari kenikmatan" yang tujuan utamanya kepuasan dari hasrat
yang sesaat. Kedua, demokrasi mengarah pada aturan yang
dikendalikan kaum pandir yang memiliki keterampilan retorika,
namun tidak memiliki pengetahuan yang benar. Ketiga, demokrasi
mengarah pada ketidaksepakatan dan pertikaian yang secara
intrinsik buruk dan harus dihindarkan. Sistem perwakilan yang
didominasi partai politik amat rentan melahirkan kekuasaan kaum
gerombolan.
Tentu saja demokrasi yang dikecam oleh Plato bukan berarti kita
harus meninggalkan nilai-nilai baik dari demokrasi, karena ketika
demokrasi ditinggalkan maka yang terjadi adalah munculnya
otoritarianisme atau diktatorianisme dalam kehidupan bernegara.
Hal ini jauh lebih berbahaya lagi, karena segala sendi-sendi
kedaulatan rakyat akan terbungkam dan rapuh. Padahal kita
sepakat bahwa dalam Pancasila dan UUD 1945 telah menandaskan
dengan jelas bahwa dalam kehidupan bernegara harus dilandasi
oleh nilai “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan” yang merupakan ruh bagi
tegaknya kedaulatan rakyat atau demokrasi “rasa dan selera”
Indonesia.
Perjuangan politik lewat kekerasan tak ayal akan mampu
memberangus kebebasan dan meloloskan otoritarianisme baru.
Lebih jauh lagi, kebebasan yang menjadi hak suatu masyarakat
hendaknya disertai ketaatan kepada hukum, kebebasan dan
ketaatan kepada hukum tampak seakan-akan bertentangan.
Namun, hakikat masyarakat madani justru ada dalam kesatuan nilainilai itu. Kebebasan akan berwujud dengan baik hanya dalam tertib
hukum. Tanpa adanya tertib hukum, maka yang akan terjadi adalah
munculnya hubungan antar pribadi dan kelompok yang ditandai
dengan dominasi yang kuat terhadap yang lemah. Demikian pula,
kebebasan tanpa tertib hukum akan membuat masyarakat
terperangkap ke dalam tatanan hukum rimba, sehingga akhirnya
menjadi masyarakat yang tanpa keadaban. Dalam kondisi seperti
•• 24/36 ••
itu, perbedaan bisa menjadi pertentangan, dan pertentangan akan
mengundang kekerasan dalam setiap penyelesaian perbedaan yang
mereka hadapi.
Kita sepakat bahwa memang partai politik itu merupakan lokomotif
untuk berjalannya demokrasi, sehingga penting untuk dibangun,
dibesarkan, dan diperkuat peran dan tanggung jawabnya dalam
membawa Negeri ini pada tujuannya. Nyaris tidak ada jabatan
publik (kecuali birokrasi) di negeri ini yang bebas orang-orang yang
berasal dari unsur partai politik. Partai politik menjadi sangat
strategis untuk melahirkan pemimpin bangsa yang sejati dan
paripurna. Oleh karena itu masyarkat harus mendorong dan
memaksa (bahkan bilamana perlu dengan sanksi) agar partai politik
melakukan fungsinya sesuai dengan hakikat dibentuknya partai
politik yakni: 1) setiap parpol wajib melakukan edukasi politik secara
sistematis, terprogram, dan berkesinambungan; 2) membangun
sistem rekrutmen politik yang lebih transparan, partisipatif, selektif,
kompetitif, dan akuntabel; 3) melakukan penyiapan secara serius
terhadap kader-kadernya sebagai calon-calon pemimpin bangsa
yang handal dan terpercaya di masa depan antara lain memiliki ciri:
tampilan fisik keren, akhlaq mulia, otak encer, hati lembut, perasaan
peka, motivasi tinggi, peduli sosial; 4) membangun etika politik yang
santun dan bermartabat yang terinternalisasi pada para
anggotanya; 5) menyusun dengan baik visi, misi, platform, dan
program kerja yang senantiasa ditawarkan kepada publik; 6)
mengagregasi dan memperjuangkan secara sungguh-sungguh
tuntutan akan kebutuhan rakyat yang riel dan sedapat mungkin
mewujudkannya; 7) menjalin komunikasi politik yang sehat antar
parpol sehingga terjadi koalisi ideologis secara permanen; 8)
memisahkan (tidak rangkap jabatan) antara kepengurusan
struktural parpol dengan jabatan publik/pemerintahan.
Dengan demikian, arah dalam rangka kaderisasi kepemimpinan
bangsa selain akan mengacu kepada pengembangan suatu
masyarakat yang memiliki bargaining position yang kuat vis-a-vis
negara, sekaligus tetap berpijak pada etika-moral yang kokoh.
•• 25/36 ••
Dengan kata lain, dalam menyuarakan hak dan kepentingan, aksi
atau gerakan massa dalam suatu masyarakat madani selalu
memperhatikan sikap yang santun, ramah, kritis, serta menghindari
sejauh mungkin pola dan sikap yang akan mengarah kepada
kekerasan, anarkisme, atau tindakan yang akan merugikan pihak
lain. Dalam arti politik sebagai seni maka ia mengandung keagungan
dan kesantunan. Sama halnya dengan hukum dan demokrasi,
karena hukum dan demokrasi yang juga subyeknya adalah manusia
dalam hubungan dengan sesamanya, maka sejatinya hukum dan
demokrasi harus beradab dan berwajah manusiawi.
Di titik ini diperlukannya kehadiran dan internalisasi etika politik
yang membantu menganalisis korelasi antara tindakan individual,
kolektif, dan struktur-struktur yang mengarahkan dan memperluas
kehidupan demokrasi yang lebih baik dan adil. Keagungan,
kesantunan, keadaban, dan keluhuran hukum, demokrasi, dan
politik diukur dari keutamaan dan upaya mengabadikan dan
mengantarkan diri dan sesamanya kepada kesejahteraan,
kebahagiaan, dan kesempurnaan hidup.
Kehidupan bangsa yang cerdas itu sama dan sebangun dengan
tatanan masyarakat madani Indonesia yang dicita-citakan
mengandung ciri-ciri sebagai berikut, pertama masyarakat
Indonesia baru, masyarakat madani yang hendak diwujudkan adalah
masyarakat yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME; suatu
masyarakat Pancasilais yang memiliki cita-cita dan harapan masa
depan. Perspektif moral dan harapan itulah pada gilirannya yang
akan merekatkan pluralitas dan kebhinekaan kepentingan, sehingga
integritas bangsa dan negara tetap terjamin dan terpelihara. Tanpa
perspektif moral dan harapan masa depan, maka masyarakat kita
adalah masyarakat yang disoriented, hopeless, dan frustrasi yang
pada gilirannya dengan mudah tergelincir dalam tindakan-tindakan
lawlessness dan anarki.
•• 26/36 ••
Kedua, masyarakat madani yang didambakan adalah masyarakat
demokratis berkeadaban (democratic civility), yang menghargai
perbedaan dan keragaman pendapat dan pandangan, non
diskriminatif, egalitarian, dan tidak ada upaya/tindakan yang dapat
menjerumuskan bangsa ini pada kondisi ketidakberdayaan
(bergantung pada asing), kehilangan harga diri, martabat, dan
kehormatan sebagai Negara yang berdaulat. Ketiga, masyarakat
madani yang ingin diwujudkan adalah masyarakat baru yang
merupakan bagian dari masyarakat global, yang memiliki semangat,
keahlian kompetensi yang tinggi, dan keterampilan kompetitif,
dengan tetap mempunyai semangat solidaritas kemanusiaan
universal.
Tantangan untuk mewujudkan masyarakat madani yang demokratis
dan berkeadaban seperti dikerangkakan di atas merupakan agenda
sangat besar bagi pemerintahan baru Indonesia pada era reformasi.
Keberhasilannya sangat tergantung dan penguatan kembali linkage
dan bahkan networks berbagai lembaga, baik pendidikan, peradilan,
dan lembaga-lembaga pembelajaran dan sosialisasi intelektual dan
moral dalam masyarakat secara keseluruhan. Tanpa dukungan
semua pihak dalam masyarakat, harapan bagi terbentuknya
masyarakat madani yang berkeadaban demokratis (democratic
civility) tidak lebih dari sekadar keinginan dan wacana belaka.
Memang disadari apa yang diuraikan di atas adalah mudah
diucapkan, tetapi tidak gampang diimplementasi. Banyak sisi yang
mengalami turbulensi. Misalnya pihak yang merasa "dirugikan"
ketika suatu tatanan baru dibangun dan diterapkan. Banyak pihak
yang akhirnya terseret ke dalam masalah hukum, ketika penegakan
hukum dijalankan dengan tegas dan konsisten. Banyak rantai
"tradisi dan peradaban” lama terputus ketika masyarakat beradab
yang harus dominan. Untuk kemaslahatan yang berinspirasi ke arah
tatanan yang lebih berkeadilan, aspiratif, dan benar-benar
prorakyat, maka kepemimpinan pada pusat-pusat kekuasaan di
•• 27/36 ••
legislatif, eksekutif, maupun yudisial mutlak harus memilih hijrah
dalam komitmen moralnya.
Dengan bertolak dari gambaran tadi, parlemen sebagai wakil rakyat
adalah lembaga politik tempat persemaian pemikiran-pemikiran
genial-brilian dan arena pertukaran ide-ide cemerlang di kalangan
politisi yang mengemban misi utamanya sebagai perumus kebijakan
negara dan pembawa aspirasi rakyat. Adalah kebijakan-kebijakan
negara yang dilahirkan oleh pemimpin yang bermoral tinggilah yang
akan mampu mengantarkan masyarakat bangsa kepada
kesejahteraan, kebahagiaan, dan kesempurnaan hidup sesuai
dengan impian dan cita-cita bernegara.
Laksanakan tugas demokrasi secara elegan, bermanfaat dan
terhormat. Jangan sampai terbersit pemikiran atau niat untuk
memperkaya diri dengan jalan mengambil hak rakyat dengan cara
yang tidak halal dan tidak sah. Tidak elok kiranya apabila pada
setiap perhelatan demokrasi dijadikan semata-mata untuk berebut
kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Jangan sampai
akhirnya rakyat membenci parpol, dan lebih tragisnya lagi
membenci demokrasi. Apabila ini terjadi maka inilah yang disebut
sebagai bencana peradaban (civilize dissaster). Oleh karena itu,
berhasil tidaknya kita membangun demokrasi yang berkeadaban,
sangat bergantung pada pemimpin dan aktor-aktor politik.
Bapak/Ibu hadirin sekalian yang berbahagia,
5. Peran dan Fungsi Pendidikan
Bagaimana peran dunia pendidikan dewasa ini dalam
‘Mencerdaskan Kehidupan Bangsa?
Sejatinya nilai penting
pendidikan berdampak pada perilaku individu manusia dengan
segala sesuatu yang berkaitan dengannya. Barangkali dapat
dikatakan bahwa prilaku manusia senantiasa selaras dengan watak
yang tertanam dalam jiwa yang dilakukan melalui pendidikan.
•• 28/36 ••
Sebagaimana dikatakan oleh Abu Hamid Al Gazali bahwa
“sesungguhnya semua sifat manusia tertanam dalam lubuk hatinya.
Namun pengaruh yang ditimbulkannya akan terlihat dengan jelas
pada anggota tubuh. Karenanya, seseorang tidak bergerak
melainkan sesuai dengan sifat dalam hatinya”.
Kita berkeyakinan bahwa langkah yang tengah ditempuh oleh dunia
pendidikan yang senantiasa berupaya membenahi dan memperbaiki
Negeri ini, yaitu dengan membangun dan menyucikan jiwa serta
menanamkan nilai-nilai moral yang terpuji. Simultan dengan itu,
membangun etika keadaban (civil ethics) dalam masyarakat
merupakan common platform yang menjadi komitmen bersama
para pendidik yang semestinya sudah berbuah hasil. Meskipun
Ikhtiar telah dan sedang dilakukan untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa dengan ajaran moral, etika, dan budi pekerti, namun
nampaknya polusi kepentingan pragmatisme dari para
penyelenggara pendidikan telah menghalangi ikhtiar tersebut.
Padahal terkait fungsi dan peran pendidikan dalam kehidupan
kebangsaan dewasa ini, seharusnya mampu berselancar serasi dan
dinamis dengan karakter bangsa yang budi pekerti luhur,
berbudaya, dan berkeadaban sebagaimana yang dicita-citakan
Pendiri Bangsa.
Mengambil satu contoh saja dalam mencerdaskan kehidupan
bangsa di bidang demokrasi, nampaknya masih jauh panggang dari
api, jauh dari ukuran ideal. Padahal pendidikan yang berbasis pada
democratic civility (masyarakat demokratis yang berkeadaban) yang
menjunjung moralitas, etika, dan budi pekerti yang luhur,
sesungguhnya kehidupan kebangsaan dan positive citizenry
(kewargaan yang positif) meniscayakan akan terwujud. Hal ini
sangat perlu dan penting sebagai prasyarat pokok dalam rangka
mewujudkan negara hukum yang berkeadilan, negara demokrasi
yang berkeadaban, dan bermuara pada negara kesejahteraan yang
berkemakmuran secara merata.
•• 29/36 ••
Dalam keadaan seperti ini Negara harus memberikan perhatian
besar kepada bidang pendidikan selain sebagai tanda pemerintah
berpikir maju, juga merupakan keharusan untuk penyelamatan
bangsa. Berbagai problem pendidikan kita dewasa ini sudah sangat
parah karena kompleksitas besaran dan substansinya telah
melampaui kapasitas kementerian sektoral. Jika kenyataan ini terus
diabaikan, bukan saja akan berakibat pada disfungsi dan
disorientasi dalam dunia pendidikan, melainkan juga pada
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bangsa Indonesia dengan pendidikannya mengalami disorientasi di
tengah pusaran arus perubahan yang demikian cepat. Fungsi dan
program yang kini tengah dijalankan oleh dunia pendidikan dewasa
ini seperti tersesatkan oleh pesona pragmatisme era globalisasi.
Pendidikan makin jauh meninggalkan fungsi utama ‘mencerdaskan
kehidupan bagsa’, dan nampaknya lebih menuju pasar bebas
kehidupan materialisme dan daya saing global.
Barangkali dunia pendidikan telah melalaikan, mengabaikan, dan
membiarkan amanat konstitusi untuk "mencerdaskan kehidupan
bangsa" yang berintikan Ketuhahan, kemanusiaan, budi pekerti
yang luhur, dan kebudayaan, karena yang terjadi justru lebih
menyibukkan diri pada pembangunan fisik. Padahal, kecerdasan
merupakan substansi yang menentukan martabat kemanusiaan. Jika
saja "mencerdaskan kehidupan bangsa" dicermati sejak dulu,
kiranya bangsa ini tak jadi seperti ini. Oleh karena itu, strategi
pembelajaran haruslah mengarah kepada pencapaian kemampuan
berpikir, bukan hanya mengisi pikiran. Sayangnya, keputusan
normatif yang tertuang dalam UU Pendidikan dan berbagai wacana
pembaruan pendidikan dalam strategi implementasinya terlalu
banyak diwarnai kepentingan politis sehingga tidak efektif. Yang
muncul dan menyita energi malah persoalan sertifikasi yang terkait
dengan tunjangan profesi dan kurikulum. Ide-ide pembelajaran
modern yang kualitatif telah terabaikan, hal ini disebabkan karena
salah urus dan salah kaprah dalam praktek dunia pendidikan.
•• 30/36 ••
Cetusan ide revolusi mental seyogianya dijadikan titik balik ke
pangkalan pendidikan kita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa
dalam segala dimensinya.
Bapak/Ibu hadirin sekalian yang berbahagia,
6. Ajakan untuk Kaum Muda
Memang Pembangunan Nasional yang dilaksanakan di Indonesia
dalam tiga dasawarsa terakhir telah berhasil mendatangkan
kemajuan di berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara, termasuk didalamnya kehidupan kaum muda.
Tingkat pendidikan rata-rata kaum muda Indonesia saat ini jauh
lebih baik dibandingkan dengan tiga dasawarsa yang lalu. Di bidang
keilmuan, olahraga, kesenian, dan ekonomi kreatif banyak kaum
muda Indonesia yang telah berhasil mencetak prestasi gemilang
tidak hanya di tingkat nasional, tetapi juga internasional yang
sungguh membanggakan. Demikian pula di dunia politik dan
pemerintahan, banyak kaum muda Indonesia yang telah sukses
meniti karier sebagai eksekutif dan politisi muda yang handal.
Akan tetapi, seiring dengan berbagai kemajuan tersebut, ditemukan
pula beragam masalah dan tantangan yang dihadapi oleh kaum
muda, yang dapat dibedakan atas dua hal. Pertama, masalah dan
tantangan kaum muda yang terkait dengan nilai-nilai dan semangat
kebangsaan. Kemudahan akses informasi dan pengaruh globalisasi
telah
menyebabkan
banyak
kaum
muda
mengalami
internasionalisasi nilai-nilai sosial dan budaya. Akibatnya, solidaritas
sosial, semangat kebangsaan dan bela Negara menurun dengan
tajam.
Kedua, masalah dan tantangan sosial kaum muda yang terkait
dengan kesulitan ekonomi menyebabkan banyak kaum muda yang
tidak dapat melanjutkan pendidikan. Akibatnya adalah sulitnya
mendapatkan pekerjaan serta tingginya angka pengangguran. Lebih
lanjut sebagai akibat perubahan nilai-nilai dan norma berperilaku
menyebabkan banyak ditemukan berbagai penyakit sosial
•• 31/36 ••
dikalangan kaum muda. Jumlah kaum muda yang terperangkap
dalam penggunaan obat terlarang (narkoba) meningkat dengan
tajam. Hal yang sama juga ditemukan pada hubungan seksual
pranikah, kehamilan dan aborsi remaja, prostitusi, penyakit
HIV/AIDS dan seksual lainnya, tawuran dan perkelahian antar kaum
muda serta kriminalitas remaja.
Munculnya kedua kelompok masalah dan tantangan yang dihadapi
oleh kaum muda ini sebagaimana terurai di atas, tentu saja perlu
segera diatasi. Kaum muda yang mengalami berbagai masalah
kebangsaan serta penyakit sosial, bukanlah kaum muda yang dapat
diandalkan oleh keluarga dan bangsa. Dampak yang ditimbulkan,
bukan saja dapat merusak hidup dan kehidupan kaum muda pada
saat ini, tetapi yang paling dikhawatirkan adalah dapat mengancam
eksistensi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di
masa depan.
Untuk memperkuat kompetensi dan mental kaum muda ada ajakan
dari Jenderal Mac Arthur, yang konon pernah berdoa untuk
anaknya pada malam tahun baru yang bunyi permohonannya,
demikian:
“Ya Tuhan, mohon kiranya anakku jangan dibawa ke jalan
yang mudah dan lunak.
Bawalah dia ke jalan yang penuh desakan, kesulitan, dan
tantangan.
Didiklah dia supaya ulet berdiri di atas badai.
Bentuklah dia menjadi manusia yang berhati jernih, yang
cita-citanya luhur, anak yang sanggup memimpin dirinya
sebelum sanggup memimpin orang lain.
Dengan demikian, aku ayahnya akan berani berbisik:
hidupku ini tidaklah sia-sia”.
Dari kutipan di atas mengamanahkan kepada para orang tua untuk
tidak membiarkan, mengabaikan dan melalaikan anak-anaknya
menjadikan anak yang lemah. Bila orang tua melahirkan generasi
•• 32/36 ••
yang lemah dalam hal keimanan, moral, budi pekerti, kecerdasan,
kesehatan, kemanusiaan, budaya, dan harta, maka sudah barang
tentu akan mengakibatkan hancurnya sebuah negara beserta
peradabannya. Oleh karena itu Jenderal Mac Arthur berdoa agar
anaknya hidup tumbuh dengan kekuatan fisik, intelektual, moral,
dan sosial.
Coba kita simak cerita wayang ketika Dewi Kunti tengah melepaskan
anaknya yakni Bima hendak pergi berperang melawan raksasa jahat,
dengan mengatakan: “Pergilah engkau anakku untuk menjalani
dharmamu sebagai seorang ksatria merombak ketidakadilan dan
menyusun dunia damai, menjadi pelindung orang yang sengsara,
dan menjadi penegak keadilan”. Mengapa Dewi Kunti melepas
anaknya dengan begitu tegar dan kuat keyakinannya bahwa
anaknya akan berhasil? Karena Dewi Kunti sebagai ibunya yakin apa
yang menjadi bekal kekuatan yang dimiliki anaknya tersebut.
Di masyarakat Sunda mengenal ungkapan mun keyeng, tinangtu
pareng, sabisa bisa kudu bisa atau manjada wa jada (Jika ada
kemauan, tentu akan berhasil), ini merupakan ungkapan yang
memotivasi dan mengajak untuk selalu optimis dalam mengerjakan
sesuatu dengan kerja cerdas, kerja keras, kerja ikhlas, dan kerja
tuntas. Jaga kabuyutan lamun henteu bakal leuwih hina batan kulit
lasún di jarian (Pelihara tanah pusaka, kalau tidak akan lebih hina
daripada kulit anjing di tempat sampah). Ajakan dari kearifan lokal
telah memberi motivasi, semangat, dan inspirasi bagi kaum muda
untuk berprestasi dan berkarya untuk membangun kekuatan energi
kolektif bangsa dalam persaingan di era globalisasi. Untuk menjaga
dan mempertahankan keberadaan budaya agar tidak hilang, maka
perlu gerakan-gerakan kaum muda yang lebih kreatif, inovatif, dan
produktif sesuai dengan konsep “miindung ka waktu mibapa ka
jaman”.
•• 33/36 ••
Bapak/Ibu hadirin sekalian yang berbahagia,
7. Penutup
Sebagai penutup dari orasi ini, dari mimbar yang terhormat ini
dengan segala kerendahan hati dan kebanggan kita senantiasa
mengingat kepada pada tokoh-tokoh Fakultas Hukum Unpar yang
menjadi model anak bangsa yang cerdas, antara lain Prof. Soediman
Kartohadiprojo yang telah meletakkan dasar-dasar pemikiran
tentang Hukum Pancasila, yang hampir setiap disertasi selalu
mengutip pendapat beliau. Beliau selalu mengingatkan bahwa
cerdas itu adalah apabila menjalankan 4 R secara berkualitas, yakni
Raga, Rasa, Rasio, dan Rukun. Prof. Subekti seorang Begawan
Hukum Perdata yang rendah hati, bersahaja dan selalu mengajarkan
untuk tepat waktu. Prof Ateng Syafrudin yang begitu getol dan
konsisten untuk memberikan pengajaran Ilmu Hukum
Pemerintahan dengan pendekatan hybrid yang mengintegrasikan
dan mengkombinasikan pemikiran dan nilai dan ajaran antara Ilmu
Barat (Rasionalitas) dengan Ilmu Agama (Qoiyyah, dogmatis, pasti,
tak terbantahkan kebenarannya) dan Kearifan Lokal (nilai luhur dan
identitas diri), sehingga ilmu pemeritahan lebih terasa “hidup” dan
dinamis. Prof Arief Sidharta yang selalu memberi suri teladan
kepada dosen dan mahasiswa agar hidup jujur, bersahaja, rendah
hati, tidak arogan, mencintai almamater, dan selalu haus untuk
menambah ilmu.
Demikian orasi ini saya pungkas, dengan harapan semoga Unpar
yang kita cintai ini mampu berkontribusi untuk membantu
pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa melalui
program revolusi mental, mental reform, character building yang
teratur, terstrukstur, dan terukur. Terima kasih dan penghargaan
yang tinggi bagi semua pihak atas pemberian kesempatan kepada
saya untuk menyampaikan orasi dies ini. Mohon maaf yang sebesarbesarnya apabila ada hal yang kurang berkenan di hati Bapak dan
Ibu hadirin sekalian serta pihak-pihak lainnya. Semoga Tuhan Yang
•• 34/36 ••
Maha Adil mengampuni, melindungi dan memberkati kita semua.
Amin. Selamat ulang tahun Almamaterku, Dirgahayu Fakultas
Hukum Unpar. Terima kasih. Wassalam.
•• 35/36 ••
CURRICULUM VITAE
PROF. DR. ASEP WARLAN YUSUF, SH.,MH


PERSONAL
Tempat/tanggal lahir
Alamat Rumah
:
:
Telepon/Fax
Handphone
Email
Alamat Kantor
:
:
:
:
Fax
:
Bandung, 9 Juli 1960
Jalan Solo No. 38, Antapani
Bandung 40291
022-7204775
0816.62.4195
[email protected]
Fakultas Hukum Unpar
Jalan Ciumbuleuit No. 94
Bandung 40141
022-2042377
JABATAN FUNGSIONAL

Pangkat/Jabatan Akademik: IV/E Guru Besar
 PENDIDIKAN



Doktor Ilmu Hukum (S-3): Universitas Indonesia, lulus 2002
Magister Hukum (S-2): Universitas Padjadjaran, lulus 1990
Sarjana Hukum (S-1): Universitas Katolik Parahyangan, lulus 1984


Course on Legal Drafting, Indonesia-Netherlands Cooperation, 1986;
Course on Decentralization in Planning and Organization, IndonesiaNetherlands Cooperation, 1989;
Course on Adiministrative Law Enforcement: A Study Comparative
between Netherlands and Indonesia, 1995;
Course on Environmantal Law and Administration, VROM Ministry of
Netherlands - Leiden University, Den Haag Netherlands 1998;
Training on Environmental Law and Enforcement, AUS-Aid - MA - ICEL,
2000.



 PEKERJAAN
 1984 – sekarang: Dosen pada Fakultas Hukum Unpar Bandung
•• 36/36 ••
Download