KARAKTERISTIK HOST DAN LINGKUNGAN PENDERITA FILARIASIS DI KABUPATEN TANGERANG TAHUN 2015 Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) Oleh: Putri Widiastuti 1111101000114 PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015 UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN Skripsi, November 2015 Putri Widiastuti, NIM: 1111101000114 KARAKTERISTIK HOSTDAN LINGKUNGAN PENDERITA FILARIASIS DI KABUPATEN TANGERANG TAHUN 2015 xvi + 120 halaman, 3 gambar, 4 bagan, 4 tabel, 17 grafik, 6 lampiran) ABSTRAK Hasil Survei Darah Jari (SDJ) tahun 2006-2007 di Kabupaten Tangerang mendapatkan hasil Mf rate>1 dibeberapa kecamatan, yang menunjukkan bahwa Kabupaten Tangerang merupakan daerah endemis filariasis. Karakteristik host dan lingkungan berperan dalam penularan filariasis terkait dengan intensitas individu kontak dengan nyamuk penular. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik host dan lingkungan penderita filariasis 2005-2013. Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi deskriptif mixed methods (kuantitatif dan kualitatif) dengan desain studi kasus. Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh penderita filariasis di Kabupaten Tangerang yang berjumlah 30 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner, obervasi, wawancara mendalam, dan pengukuran. Distribusi terbesar penderita filariasis pada kelompok umur 36-45 tahun (43,3%) dan pada jenis kelamin laki-laki (60%). Faktor host kejadian filariasis yaitu pekerjaan berisiko (66,7%), keluar rumah saat malam (66,7%), tidak menggunakan kelambu (76,6%), tidak menggunakan obat anti nyamuk (60%), dan tidak menggunakan baju dan celana panjang (63,3%). Faktor lingkungan kejadian filariasis yaitu Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL) yang buruk (80%), tidak memiliki kawat kasa (86,7%), tidak menggunakan plafon (86,7%), memiliki barang bergantung dalam rumah (90%), dan sawah yang berjarak 200 meter dari rumah (73,3%). Pencegahan penularan filariasis dilakukan dengan menurunkan intensitas kontak antara individu dengan nyamuk penular. Menurunkan intensitas kontak dengan nyamuk dengan tidak beraktivitas di luar rumah saat malam jika tidak memiliki kepentingan, menggunakan kelambu saat tidur, menggunakan obat anti nyamuk, dan menggunakan pakaian yang menutupi badan seperti baju dan celana panjang. Selain itu, memperbaiki kondisi SPAL agar tidak menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk. Kondisi fisik rumah seperti penggunaan kawat kasa, plafon, dan tidak menggantung barang terutama yang berbahan kain di dalam rumah guna meniadakan tempat peristirahatan nyamuk. Kata kunci: Filariasis, Host, Lingkungan, Studi Kasus Daftar Bacaan: 54 Bacaan (1959-2015) ii SYARIF HIDAYATULLAH STATE ISLAMIC UNIVERSITY JAKARTA FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM SPECIALISATION ENVIRONMENTAL HEALTH Thesis, November 2015 Putri Widiastuti, NIM: 1111101000114 HOST AND ENVIRONMENTAL CHARACTERISTIC OF FILARIASIS IN DISTRICT TANGERANG 2015 xvi + 120 pages, 3 pictures, 4 charts, 4 tables, 17 graphs, 6 attachments) ABSTRACT Finger Blood Survey (SDJ) in Tangerang District 2006-2007 continuously matches Mf rate> 1 in several sub-districts, which indicates that Tangerang District is afilariasis endemic zone. Host and environment characteristics play a role in the transmission of filariasis that related with individual contact intensity with the mosquito-borne. This study aims to gain insights into the host and environment characteristics of filariasis patients 2005 2013. This research is mixed descriptive epidemiology methods (quantitative and qualitative) using case study design. The sample in this study were all filariasis patients in Tangerang district with total30 people. Data was collected by questionnaire, observation, interview, and measurement. The patients distribution in the age group was 36-45 years (43.3%) and male gender was (60%). The incidence of filariasis host factors were risky jobs (66.7%), outside the house at night (66.7%), not use mosquito nets (76.6%), not use anti-mosquito drugs (60%), and not use clothes and long pants (63.3%). Environmental factors forfilariasis incident werebad Sewers Waste (SPAL) (80%), not have a wire gauze (86.7%),not use a ceiling (86.7%), have a hanged down goodsin home (90%), and rice field within ≤200 meters from house (73.3%). Prevention of filariasis transmission is done by lowering the intensity of contact between individuals with the mosquito-borne,reduce the intensity of contact with mosquitoes by not doing any activity outside the house at night if there is not important, using mosquito nets while sleeping, using mosquito repellent, and wear clothes that covers the body like shirt and trousers. In addition,improve the condition of SPAL in order not become a breeding ground for mosquitoes. The physical condition of the house such as the use of wire netting, ceiling, and not hang goods,especially the ones that made of cloth in the house in order to wipeall mosquitoes resting place. Keywords: Filariasis, Host, Environment, Case Study Reading List: 54 List (1959-2015) iii v DAFTAR RIWAYAT HIDUP DATA DIRI Nama : Putri Widiastuti Tempat & Tanggal Lahir : Jakarta, 31 Juli 1993 Jenis Kelamin : Perempuan Status : Belum Menikah Kewarganegaraan : WNI Agama : Islam Emal : putriwidiastuti93@gmail,com PENDIDIKAN FORMAL 2011-2015 : UIN Syarifhidayatullah Jakarta, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Jurusan Kesehatan Masyarakat 2005-2011 : SMAN 49 Jakarta 2005-2008 : SMPN 166 Jakarta 1999-2005 : SDN 010 Jagakarsa vi KATA PENGANTAR Puji Syukur kepada Allah S.W.T atas rahmat dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal skripsi yang berjudul “Faktor- Faktor Lingkungan Kejadian Filariasis di Kabupaten Tangerang 2015”.Terkait isi dan penulisan dalam skripsi ini, penulis masih banyak kekurangan di dalamnya. Sehingga, kritik dan saran sangat dibutuhkan demi melengkapi kekurangan tersebut. Ucapan terimakasih tak lupa penulis ucapkan kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu kepada: 1. Kedua orang tuaku, Bapak Suyatno dan Ibu Yuni Widayati yang selalu memberikan doa, dukungan, dan semangat untuk segera menyelesaikan skripsi ini. 2. Prof. Dr. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. 3. Fajar Ariyanti, SKM, M.Kes, Ph.D selaku Ketua Prodi Kesehatan Masyarakat. 4. Prof. Dr. Arif Sumantri, SKM, M.Kes sebagai pembimbing I yang telah memberikan pengarahannya dengan sabar kepada penulis dari judul hingga terselesaikannya skripsi ini. 5. Yuli Amran, MKM sebagai dosen pembimbing II yang telah dengan sabar memberi arahan, mengkoreksi, dan memberi masukan tentang penulisan yang membuat penulis lebih giat lagi dalam menyusun pembahasan. 6. Kakakku Prima Yulia Nugraha dan Riska Sartika Dewi yang telah memberikan dukungan dan semangat kepada penulis. vii 7. Lina Sri Marlina, ibu, abah, dan keluarga yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan pengambilan data. 8. Jemaah Kesling yang telah memberikan dukungan Onoy, Eka, Ayu, Efri, Hari, Ibnu, Candra, Sela, Ika, Ikoh, Almen, Lifi, Awal, Fiya, Tika, Rahmatika, Cepol, Rois, Ajeng, Fela, Beti, dan seluruh jemaah kesling yang sudah membantu dalam skripsi ini. 9. Karim, Iis, Tanza, Kak Bayu, Rio, Geh yang telah membantu dan memberikan masukan yang sangat berarti dalam skripsi ini. 10. Genks sedari asrama Ulan, Fira, Lia, Upit, Nadra, Lia, dan Falah yang selalu memberikan semangat kepada penulis. 11. Seluruh teman mahasiswa kesehatan masyarakat UIN Syarifhidayatullah Jakarta. Semoga skripsi ini memberikan ide penelitian kepada pembaca dan dapat memberikan kemudahan untuk mencapai tujuan yang diharapkan penulis. Aamiin. Penulis viii DAFTAR ISI LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. i ABSTRAK ............................................................................................................ ii ABSTRACT .......................................................................................................... iii PERNYATAAN PERSETUJUAN PEMBIMBING............................................. iv PANITIA SIDANG SKRIPSI ............................................................................... v DAFTAR RIWAYAT HIDUP .............................................................................. vi KATA PENGANTAR .......................................................................................... vii DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix DAFTAR TABEL ...............................................................................................xiii DAFTAR BAGAN................................................................................................ xii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xv DAFTAR GRAFIK .............................................................................................xvi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah .............................................................................. 5 C. Pertanyaan Penelitian ......................................................................... 6 D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum ............................................................................. 6 2. Tujuan Khusus ............................................................................ 6 E. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti ................................................................................ 7 2. Bagi Fakultas Kesehatan Masyarakat – UIN Jakarta .......................... 7 3. Bagi Puskesmas ........................................................................... 7 ix 4. Bagi Masyarakat .......................................................................... 8 F. Ruang Lingkup .................................................................................... 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Filariasis 1. Pengertian Filariasis ....................................................................... 9 2. Patogenesis dan Gejala Klinis ........................................................ 9 3. Etiologi Filariasis ........................................................................... 11 4. Vektor Filariasis a. Ciri-ciri Nyamuk Vektor Filariasis ....................................... 12 b. Tempat Berkembangbiak ...................................................... 13 c. Perilaku Menghisap Darah .................................................... 14 d. Kebiasaan Beristirahat .......................................................... 15 e. Siklus Hidup Nyamuk ........................................................... 16 5. Mekanisme Penularan Filariasis..................................................... 17 6. Diagnosis ........................................................................................ 19 B. Determinan Filariasis 1. Host (Pejamu)................................................................................. 21 2. Agen ............................................................................................... 24 3. Environment (Lingkungan) ............................................................ 26 C. Kerangka Teori ..................................................................................... 31 BAB III KERANGKA HIPOTESIS KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN A. Kerangka Konsep ............................................................................... 32 B. Definisi Operasional ........................................................................... 34 x BAB IVMETODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ................................................................................ 39 B. Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................................. 40 C. Populasi dan Sampel Penelitian .......................................................... 41 D. Pengumpulan Data 1. Sumber Data ................................................................................. 44 2. Metode Pengumpulan Data .......................................................... 44 3. Instrumen Penelitian..................................................................... 45 E. Pengolahan Data ................................................................................. 46 F. Analisis Data ....................................................................................... 47 BAB V HASIL A. Distribusi Kejadian Filariasis Berdasarkan Komponen Host 1. Umur............................................................................................. 49 2. Jenis Kelamin ......................................................................... 50 3. Pekerjaan ................................................................................ 50 4. Keluar Rumah Pada Malam Hari ........................................... 52 5. Penggunaan Kelambu ............................................................. 53 6. Penggunaan Obat Nyamuk ..................................................... 54 7. Penggunaan Baju dan Celana Panjang ................................... 56 B. Distribusi Frekuensi Kejadian Filariasis Berdasarkan Komponen Lingkungan 1. Kondisi Sarana Pembuangan Air Limbah (SPAL) ..................... 58 2. Penggunaan Kawat Kassa ...................................................... 60 3. Penggunaan Plafon ................................................................. 61 xi 4. Keberadaan Barang Bergantung ............................................. 61 5. Keberadaan Sawah ................................................................. 62 BAB VI PEMBAHASAN A. Keterbatasan Penelitian ...................................................................... 64 B. Distribusi Kejadian Filariasis Berdasarkan Komponen Host 1. Umur ....................................................................................... 65 2. Jenis Kelamin ......................................................................... 68 3. Pekerjaan ................................................................................ 70 4. Keluar Rumah Pada Malam Hari ........................................... 73 5. Penggunaan Kelambu ............................................................. 76 6. Penggunaan Obat Nyamuk ..................................................... 80 7. Penggunaan Baju dan Celana Panjang ................................... 82 C. Distribusi Frekuensi Kejadian Filariasis Berdasarkan Komponen Lingkungan 1. Kondisi Sarana Pembuangan Air Limbah (SPAL)................. 84 2. Penggunaan Kawat Kassa ...................................................... 88 3. Penggunaan Plafon ................................................................. 90 4. Keberadaan Barang Bergantung ............................................. 92 5. Keberadaan Sawah ................................................................. 93 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ............................................................................................ 96 B. Saran ................................................................................................... 97 DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................99 LAMPIRAN ........................................................................................................103 xii DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Tempat Perindukan Larva, Tempat Istirahat, dan Kebiasaan Nyamuk Dewasa Vektor Filariasis ..................................................................... 16 Tabel 3.1 Definisi Operasional ............................................................................. 34 Tabel 4.1Data Hasil Survei Darah Jari (SDJ) dan Penemuan Kasus Kronik Kabupaten Tangerang 2005-2013 ........................................................ 42 Tabel 4.2 Data Kasus Filariasis di Kabupaten Tangerang 2015 ........................... 43 xiii DAFTAR BAGAN Bagan 2.1 Segitiga Epidemiologi ........................................................................................ 21 Bagan 2.2 Kerangka Teori .................................................................................................. 31 Bagan 3.1 Kerangka Konsep ............................................................................................... 32 Bagan 4.1 Alur Pengambilan Sampel ................................................................................. 43 xiv DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Culex quinquefasciatus ................................................................................... 13 Gambar 2.2 Skema Rantai Penularan Filariasis .................................................................. 19 Gambar 4.1 Peta Kabupaten Tangerang.............................................................................. 40 xv DAFTAR GRAFIK Grafik 5.1 Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Umur di Kabupaten Tangerang periode 2005-2015 ......................................................... 49 Grafik 5.2 Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Jenis Kelamin di Kabupaten Tangerang periode 2005-2015 ....................................... 50 Grafik 5.3 Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Pekerjaan di Kabupaten Tangerang periode 2005-2015 ......................................................... 51 Grafik 5.4 Distribusi Pekerjaan Penderita Filariasis Berdasarkan Jenis Kelamin di Kabupaten Tangerang periode 2005-2015................................... 51 Grafik 5.5 Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Kebiasaan Keluar Rumah Malam Hari di Kabupaten Tangerang periode 2005-2015 .............. 52 Grafik 5.6 Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Penggunaan Kelambu di Kabupaten Tangerang periode 2005-2015 ....................................... 53 Grafik 5.7 Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Penggunaan Obat Nyamuk di Kabupaten Tangerang periode 2005-2015 .................... 54 Grafik 5.8 Distribusi Penggunaan Obat Nyamuk Berdasarkan Jenis Pekerjaan di Kabupaten Tangerang periode 2005-2015 ....................................... 55 Grafik 5.9 Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Penggunaan Baju dan Celana Panjang di Kabupaten Tangerang periode 2005-2015......... 56 Grafik 5.10Distribusi Penggunaan Baju dan Celana Panjang Malam Hari Berdasarkan Jenis Pekerjaan di Kabupaten Tangerang periode 20052015 ................................................................................................. 57 Grafik 5.11Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Kondisi SPAL di Kabupaten Tangerang periode 2005-2015 ....................................... 58 Grafik 5.12 Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Penggunaan Kawat Kasa di Kabupaten Tangerang periode 2005-2015................................... 60 Grafik 5.13Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Penggunaan Plafon di Kabupaten Tangerang periode 2005-2015 ....................................... 61 Grafik 5.14Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Keberadaan Barang Bergantung di Kabupaten Tangerang periode 2005-2015 ............... 62 xvi Grafik 5.15 Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Jarak Terbang Nyamuk dari Tempat Perindukan (Sawah) ke Rumah Penderita di Kabupaten Tangerang periode 2005-2015 ......................................................... 63 xvii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Filariasis adalah penyakit menular di lingkungan tropis yang disebabkan oleh cacing filaria yang ditularkan oleh nyamuk filariasis (WHO, 2013). Penyakit filariasis tergolong jarang, sebab untuk menimbulkan gejala klinisnya diperlukan multi gigitan nyamuk terinfeksi filaria dalam kurun waktu yang lama (Kemenkes RI, 2010). Dapat dikatakan bahwa penyakit filariasis merupakan penyakit yang terabaikan. Hal ini terbukti bahwa sebelum menderita filariasis, seseorang telah mengalami banyak gigitan nyamuk selama berberapa bulan atau tahun sampai timbul kejadian filariasis (Center for Health Research and Development, 2008). Penularan filariasis telah terjadi lebih dari 120 juta orang di 73 negara di seluruh daerah tropis dan sub-tropis di Asia, Afrika, Pasifik Barat, dan bagian dari Karibia dan Amerika Selatan (Centers for Disease Control and Prevention, 2015).Dua puluh lima juta orang mengalami pembengkakan pada kelamin, umumnya pada hidrokel, dan hampir 15 juta orang yang sebagian besar perempuan mengalami lymphoedema atau pembengkakan pada kaki atau yang disebut dengan kaki gajah (WHO, 2015). Di Indonesia, filariasis juga merupakan penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat karena tersebar pada sebagian besar wilayah Indonesia. Perkembangan jumlah penderita filariasis terus bertambah dari tahun 2000-2009. Bahkan dibeberapa daerah memiliki tingkat endemisitas yang 2 tinggi. Pada 2009 terdapat 71% kabupaten/kota yang menjadi wilayah endemis filariasis (Kementerian Kesehatan RI, 2010). Kabupaten/kota yang belum terlepas dari status endemis filariasis salah satunya Kabupaten Tangerang. Hasil Survei Darah Jari (SDJ) tahun 2005 hingga 2007 menyatakan bahwa beberapa kecamatan memiliki Mf Rate (Microfilaria rate) > 1%. Kecamatan yang memiliki Mf Rate> 1% pada 2005 yaitu Cikupa (3,2%). Pada 2006 kecamatan yang memiliki Mf Rate> 1% adalah Rajeg (1,6%) dan Sepatan Timur (1,4%). Kemudian pada 2007 Mf Rate> 1% terdapat di Sepatan Timur (1,4%) dan Tiga Raksa (1,2%) (Laporan Kasus Filariasis Kabupaten Tangerang, 2013). Status endemis filariasis Kabupaten Tangerang belum terlepas sampai hasil TAS (Transmission Assessment Survey) mencapai <1%. TAS adalah metode standar untuk tes darah yang digunakan untuk menghentikan MDA (Mass Drug Administration) pengobatan massal filariasis (WHO, 2013). Menurut Elytha (2014) jika hasil TAS <1% artinya tidak akan terjadi transmisi baru. Jika Kabupaten mendapatkan hasil TAS <1%, maka kabupaten bisa menghentikan POMPFil (Pemberian Obat Massal Pencegahan Filariasis). Kabupaten/kota yang memiliki status endemis filariasis memiliki risiko besar terdapat penderita filariasis kronik. Dampak dari filariasis kronis bukanlah kematian, tetapi menjadi penyebab utama timbulnya kecacatan, kemiskinan, dan masalah sosial lainnya. Kecacatan dapat menetap seumur hidup, maka penderita tidak dapat bekerja secara optimal dan menjadi beban keluarga, masyarakat, dan negara (Kemenkes RI, 2005). Kecacatan yang timbul akibat penyakit kronis 3 filariasis muncul pada orang dewasa, baik pria dan wanita, efek kerusakan pada sistem limfatik seperti pembengkakan pada lengan, kaki atau alat kelamin, menimbulkan rasa sakit, penurunan produktifitas, dan pengucilan sosial (WHO, 2013). Dampak kronis berupa kecacatan secara tidak langsung mempengaruhi kerugian ekonomi bagi negara (Departemen Kesehatan RI, 2005). Berdasarkan estimasi Kementerian Kesehatan RI (2009) menyebutkan bahwa kerugian ekonomi akibat filariasis setahun mencapai 43 triliun rupiah jika tidak dilakukan pengendalian filariasis (Kemenkes, 2010). Lebih lanjut, Departemen Kesehatan dan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia (1998) menyatakan bahwa biaya perawatan yang diperlukan seorang penderita filariasis per tahun sekitar 17,8% dari seluruh pengeluaran keluarga atau 32,2% dari biaya makan keluarga (Departemen Kesehatan RI, 2005). Berdasarkan dampak yang ditimbulkan oleh filariasis, Kementerian Kesehatan RI (2010) menyatakan bahwa penyakit filariasis memerlukan perhatian untuk ditindak lanjuti dan dicari kemungkinan penyebabnya. Perhatian pemerintah terhadap penyakit filariasis ditunjukkan dengan menjadikan eliminasi filariasis sebagai salah satu prioritas nasional pemberantasan penyakit menular (Depkes RI, 2005). Program pemberantasan filariasis di Indonesia sudah dilaksanakan sejak tahun 1975 terutama pada daerah yang memiliki tingkat endemisitas tinggi. Kemudian, keinginan pemerintah untuk membebaskan masyarakat Indonesia dari penyakit filariasis sesuai dengan resolusi World Health Assembly (WHA) tahun 1997 dan diperkuat oleh keputusan WHO tahun 2000 dengan mendeklarasikan Kesepakatan Global Eliminasi Filariasis 4 pada 2020. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan eliminasi filariasis pada 2020, pemerintah harus mewujudkan angka Mf Rate <1% setiap kabupaten/kota dan mencegah serta membatasi kecacatan karena filariasis (Depkes RI, 2005). Menindak lanjuti pernyataan Kementerian Kesehatan RI (2010) untuk mencari kemungkinan penyebab filariasis, kejadian suatu penyakit disebabkan oleh interaksi antara host, agen, dan lingkungan (Timmreck, 2004). Agen yang kerap ditemukan di Tangerang adalah Wuchereria bancrofti. Kemudian, vektor yang kerap ditemukan berperan dalam penularan filariasis di Tangerang adalah Culex quinquefasciatus (Kemenkes RI, 2011). Menurut Syuhada (2012) faktor host seperti tidak menggunakan obat anti nyamuk mempengaruhi kejadian filariasis. Menurut Windiastuti (2013) memiliki kebiasaan keluar rumah malam hari juga mempengaruhi kejadian filariasis. Menurut Garjito (2013) tidak menggunakan kelambu turut mempengaruhi kejadian filariasis. Kemudian, menurut Paiting (2012) tidak menggunakan baju dan celana panjang mempengaruhi kejadian filariasis. Faktor lingkungan yang mempengaruhi kejadian filariasis yaitu seperti adanya tempat pertumbuhan larva nyamuk Culex quinquefasciatus seperti di saluran air, air menggenang, sumur dangkal, selokan, kontainer buatan, genangan yang berhubungan langsung dengan tanah, dan banyak dijumpai di air yang berpolusi. Selain itu, keberadaan tempat istirahat di dalam rumah rumah seperti di kolong tempat tidur, baju-baju digantung, dan tempat gelap dan kotor turut mempengaruhi kejadian filariasis (Kemenkes RI, 2011). Berdasarkan kategori lingkungan fisik rumah adalah tidak memiliki plafon dan tidak menggunakan kasa ventilasi berhubungan dengan kejadian filariasis (Juriastuti, 2010). Begitu juga 5 dengan orang yang tinggal dekat sawah berhubungan dengan kejadian filariasis (Kamaruddin, 2013). Sejak Kabupaten Tangerang ditetapkan sebagai kabupaten endemis filariasis, belum ditemukan penelitian terhadap faktor risiko kejadian filariasis. Penelitian yang ditemukan terkait filariasis yakni survei vektor nyamuk pada Kecamatan Mauk yang dilakukan oleh Ardias (2012). Berdasarkan hal tersebut peneliti ingin mengetahui lebih lanjut mengenai distribusi host dan lingkungan kejadian filariasis di Kabupaten Tangerang periode 2005 hingga 2015. B. Rumusan Masalah Kabupaten Tangerang dinyatakan sebagai daerah endemis filariasis. Hasil SDJ tahun 2005 hingga 2007 terdapat beberapa kecamatan yang memiliki Mf Rate> 1%. Kecamatan yang memiliki Mf Rate> 1% pada 2005 yaitu Cikupa (3,2%), pada 2006 kecamatan yang memiliki Mf Rate> 1% adalah Rajeg (1,6%) dan Sepatan Timur (1,4%). Kemudian pada 2007 Mf Rate> 1% terdapat di Sepatan Timur (1,4%) dan Tiga Raksa (1,2%). Kabupaten Tangerang merupakan wilayah yang dinyatakan sebagai endemis filariasis. Terdapat 67 kasus filariasis hasil SDJ dan 17 penemuan kasus kronis yang tercatat di Kabupaten Tangerang dari 2005 hingga 2013. Banyak faktor yang mempengaruhi filariasis, namun belum ada penelitian tentang faktor yang dapat mempengaruhi kejadian filariasis di Kabupaten Tangerang. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait faktor host dan lingkungan kejadian filariasis di Kabupaten Tangerang dari 2005 hingga 2013. 6 C. Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana distribusi penderita filariasis berdasarkan komponen host (umur, jenis kelamin, pekerjaan, kebiasaan keluar rumah malam hari, kebiasaan menggunakan kelambu, kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk, kebiasaan menggunakan baju dan celana panjang) di Kabupaten Tangerang periode 2005-2013? 2. Bagaimana distribusi penderita filariasis berdasarkan komponen lingkungan (kondisi Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL), keberadaan sawah, penggunaan kawat kasa, penggunaan plafon, dan keberadaan barang bergantung) di Kabupaten Tangerang periode 20052013? D Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui distribusi komponen host dan lingkungan penderita filariasis di Kabupaten Tagerang pada 2013. 2. Tujuan Khusus 1. Mengetahui distribusi penderita filariasis berdasarkan komponen host (umur, jenis kelamin, pekerjaan, kebiasaan keluar rumah malam hari, kebiasaan menggunakan kelambu, kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk, kebiasaan menggunakan baju dan celana panjang) di Kabupaten Tangerang periode 2005-2013. 7 2. Mengetahui distribusi penderita filariasis berdasarkan komponen lingkungan (kondisi Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL), keberadaan sawah, penggunaan kawat kasa, penggunaan plafon, dan keberadaan barang bergantung) di Kabupaten Tangerang periode 2005-2013. E. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti Lain Sebagai dasar penelitian epidemiologi penyakit filariasis di Kabupaten Tangerang, sehingga penelitian selanjutnya bisa meneliti vektor setiap kecamatan. 2. Bagi Fakultas kesehatan Masyarakat – UIN Jakarta Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi atau referensi untuk menambah kumpulan pustaka mengenai faktor host dan lingkungan penderita filariasis. Informasi dari penelitian ini semoga bisa menjadi bahan untuk pengembangan penelitian selanjutnya. 3. Bagi Puskesmas Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan bagi Puskesmas sebagai dasar intervensi lebih lanjut sehingga program preventif penularan filariasis terlaksana dengan baik. 8 4. Bagi Masyarakat Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah penggerak bagi masyarakat untuk waspada dan melakukan tindakan preventif bagi diri sendiri maupun keluarga terdekat terhadap penularan penyakit filariasis. F. Ruang Lingkup Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik host dan lingkungan kejadian filariasis diKabupaten Tangerang. Hal ini dilakukan sebab sebagai wilayah endemis filariasis belum ditemukan penelitian terkait faktor yang mempengaruhi kejadian filariasis diKabupaten Tangerang. Sampel dalam penelitian ini adalah semua kasus filariasis yang tercatat di Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang periode 2005 hingga 2015 yaitu 40 kasus. Penelitian ini akan dilakukan pada Juni – Oktober 2015 di Kabupaten Tangerang. Desain studi penelitian ini adalah cross sectional. Jenis data yang digunakan adalah data primer mengenai host (umur, jenis kelamin, pekerjaan, kebiasaan keluar rumah, kebiasaan menggunakan kelambu, kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk, dan kebiasaan memakai baju dan celana panjang) dan lingkungan (kondisi tempat penampungan limbah, keberadaan sawah, penggunaan kawat kasa, kondisi plafon rumah, dan keberadaan barang-barang bergantung dalam rumah). Selain itu, data sekunder digunakan untuk mengetahui penderita filariasis periode 2005 hingga 2013. Penelitian ini menggunakan kuesioner, observasi, pengukuran, dan wawancara kependerita. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Filariasis 1. Pengertian Filariasis Filariasis adalah penyakit tropis menular yang disebabkan oleh cacing filaria yang ditularkan oleh nyamuk. Spesies cacing yang menyebabkan filariasis limfatik yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. Penyakit ini berdampak secara sosial dan ekonomi. Umumnya gejala kronis penyakit ini muncul pada orang dewasa, baik pria dan wanita, dan efek kerusakan pada sistem limfatik, lengan, kaki atau alat kelamin, yang menimbulkan rasa sakit, penurunan produktifitas dan pengucilan sosial (WHO, 2013). Jenis agen daerah perkotaan di Provinsi Banten dan Jawa yaitu Wuchereria bancrofti (Kemenkes RI, 2011). 2. Patogenesis dan Gejala Klinis Perkembangan klinis filariasis dipengaruhi oleh faktor kerentanan individu terhadap parasit, frekuensi mendapat gigitan nyamuk yang sering, banyak larva infektif yang masuk ke dalam tubuh dan adanya infeksi sekunder oleh bakteri atau jamur. Pada dasarnya perkembangan klinis filariasis disebabkan oleh cacing filaria dewasa yang tinggal disaluran limfe, sehingga menimbulkan gejala pelebaran (dilatasi) saluran limfe 10 bukan penyumbatan (obstruksi), sehingga terjadi gangguan fungsi limfatik (Kementerian Kesehatan RI, 2005). Pada dasarnya gejala klinis filariasis yang disebabkan oleh infeksi W. barcrofti, B. malayi, dan B. timori adalah sama, tetapi gejala klinis akut tampak lebih jelas dan berat oleh B. malayi dan B. timori. Infeksi W. bancrofti dapat menyebabkan kelainan saluran pada saluran kemih dan alat kelamin, tetapi infeksi oleh B. malayi dan B. timori tidak menimbukan kelainan pada saluran kemih dan alat kelamin (Kementerian Kesehatan RI, 2005). Terdapat gejala klinis akut dan klinis kronis maupun mikrofilaremia tanpa gejala pada penyakit filariasis: 1. Mikrofilaremia tanpa gejala Orang dengan mikrofilaremia yang asimtomatik (Gandahusada, 2006). 2. Gejala klinis akut Gejala klinis akut berupa limfadenitis, limfangitis, adenolimfangitis yang disertai demam, sakit kepala, rasa lemah, dan timbulnya abses. Abses dapat pecah dan kemudian sembuh dengan meninggalkan bekas jaringan parut dilipat paha dan ketiak. Parut lebih sering terjadi pada infeksi B.malayi dan B.timori (Kementerian Kesehatan RI, 2005). 3. Gejala klinis kronik Gejala kronis terdiri dari limfaedema, lymp scortum, kiluria, dan hidrokel. Limfaedema pada infeksi W.bancrofti terjadi pembengkakan di 11 seluruh kaki, lengan, skortum, penis, vulva vagina dan payudara, sedangkan infeksi Brugia terjadi di kaki bawah lutut. Lymph scortum adalah pelebaran saluran limfe superfisial pada kulit scortum, kadang pada kulit penis, sehingga mudah pecah dan cairan limfe mengalir keluar membasahi pakaian. Kiluria adalah kebocoran atau pecahnya saluran limfe dan pembuluh darah diginjal (pelvis renalis) sehingga cairan limfe dan darah masuk kedalam saluran kemih. Kiluria adalah pelebaran kantung buah zakar karena terkumpulya cairan limfe di dalam tunica vaginalis testis (Kementerian Kesehatan RI, 2005). 3. Etiologi Filariasis Di Indonesia ditemukan tiga jenis parasit penyebab filariasis limfatik pada manusia yaitu, Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori (Gandahusada, 2006). 4. Vektor Filariasis Nyamuk Anophelini dan Non Anophelini dapat berperan sebagai vektor filariasis limfatik pada manusia dan binatang. Parasit tersebut tersebar di seluruh kepulauan di Indonesia yang termasuk ke dalam genus Aedes, Anopheles, Culex, Mansonia, Coquilettidia dan Armigeres. Spesies Anopheles, Culex, dan Aedes telah dilaporkan menjadi vektor filariasis bancrofti di perkotaan dan pedesaan. Vektor utama filariasis di perkotaan adalah Culex quinguefasciatus, sedangkan di pedesaan filariasis bancrofti dapat ditularkan oleh berbagai spesies Anopheles seperti An.anconitus, An.bancrofti, An.farauti, An.punctulatus, dan An.subpictus, atau dapat pula 12 ditularkan oleh nyamuk Aedes kochi, Cx.bitaeniorrhynchus, Cx.annulirostris dan Armigeres obsturbans. Vektor utama Filariasis malayi adalah Anopheles, Mansonia dan Coquilettidia (Gandahusada, 2006). Vektor filariasis daerah perkotaan di Provinsi Banten dan Jawa adalah Culex quinquefasciatus (Kementerian Kesehatan RI, 2011). a. Ciri-ciri Nyamuk Vektor Filariasis Pada stadium dewasa nyamuk Non Anopheles (Culini) betina, palpiya lebih pendek daripada probosisnya, sedangkan nyamuk culini jantan, palpinya melebihi panjang probosisnya. Sisik sayapnya ada yang lebar dan asimetris (Mansonia) dan ada pula yang sempit dan panjang (Aedes, Culex). Kadang-kadang sisik sayap membentuk kelompok sisik yang sewarna sehingga tampak sisik sayap membentuk bercak-bercak pada sayap berwarna putih dan kuning atau putih dan coklat, juga putih dan hitam (speckled). Ujung abdomen Aedes lancip, sedangkan ujung abdomen Mansonia seperti tumpul dan terpancung(Gandahusada, 2006). Cx. quinguefasciatusmemiliki probosis dan palpi berwarna gelap. Probosis tanpa gelang pucat, sisik-sisik pada vertex pucat, dan umumnya sisik-sisik yang berdiri gelap. Mesepimeron bagian tengah dan sternopleuron ada sisik putih. Tiap segmen abdomen (tergit), bagian pangkal ada sisik putih tersusun membentuk busur. Mesonotum bagian tengah terdapat rambut pemisah yang jelas (Kemenkes RI, 2011). 13 14 genangan air yang berhubungan langsung dengan tanah (Kemenkes, 2011). c. Perilaku Menghisap Darah Perilaku menghisap darah pada nyamuk betina dikarena kebutuhan protein untuk memproduksi telur, khususnya darah. Beberapa spesies dapat menghasilkan sejumlah telur menggunakan persediaan nutrisi yang dibawa dari tahap larva, namun setelah itu mereka membutuhkan darah dari host hewan untuk memproduksi sejumlah telur lainnya. Nyamuk betina dapat bertahan hidup pada tumbuhan bergula, tapi sebagian besar spesies penting seperti pest atau vektor penyakit mencari darah sesaat setelah kawin atau saat berumur 2 atau 3 hari. Sumber darah yang diminati bervariasi diantara spesies dan situasi. Nyamuk tertarik pada host berdasarkan faktor yang berbeda. Karbon dioksida yang dikeluarkan hewan atau napas manusia digunakan nyamuk untuk menemukan host mereka (Achmadi, 2011). Berbeda dari nyamuk Anophelini, nyamuk Non Anophelini (Culini) ada yang memiliki kebiasaan menghisap darah hospes pada malam saja (Culex), ada yang penghisapan darahnya dilakukan pada siang dan malam hari (Mansonia) dan ada juga yang hanya pada siang hari (Aedes). Jarak terbang Culini biasanya pendek, mencapai jarak terbang rata-rata beberapa puluh meter saja (Gandahusada, 2006). 15 Nyamuk Cx.quinquefasciatus betina menghisap darah manusia dan hewan sepanjang malam dari sore hingga pagi hari, baik di dala rumah maupun luar rumah. Jarak terbang nyamuk mencapai 6 km, biasanya sekitar 1,5 km. Jumlah populasi nyamuk pada musim kemarau lebih banyak daripada musim hujan, karena pada musim hujan larva nyamuk yang terdapat di selokan-selokan sekitar rumah hanyut terbawa air (Kemenkes RI, 2011). d. Kebiasaan Beristirahat (Resting Places) Setelah mengonsumsi darah, nyamuk betina mencari empat untuk beristirahat yang tidak bisa diganggu, terjadi proses mengubah darah menjadi telur. Nyamuk beristirahat di daerah vegetasi yang padat, di lubang-lubang pohon, tempat tinggal hewan dan bebatuan. Biasanya memakan waktu 2 sampai 4 hari agar telur dapat berkembang secara utuh. Saat telur matang, nyamuk betina terbang dari tempat peristirahatan dan pada malam hari mencari habitat larva yang sesuai untuk meletakkan telur (Achamadi, 2011). Tempat istirahat Cx.quinquefasciatus betina biasa beristirahat di dalam rumah, seperti di kolong tempat tidur, bajubaju yang menggantung, dan tempat gelap dan kotor (Kemenkes, 2011). 16 Tabel 2.1 Tempat Perindukan Larva, Tempat Istirahat, dan Kebiasaan Nyamuk Dewasa Vektor Filariasis Vektor An.barbirostris An.nigerrimus Ma.uniformis Ma.annulifera Ma.indiana Ma.annulata Ma.dives Ma.bonnae Cq.crassipes Cx.quinquefasciatus Cx.annulirostris Cx.bitaeniorrhynchus Tempat Sawah, saluran iriasi, kolam, rawa, mata air. Pada akar tanaman air di rawa dan empang. Comberan dengan air keruh dan kotor dekar rumah. Sawah, daerah pantai dan rawa yang berair payau. Tempat yang mengandung lumut dalam air tawar atau air payau. Ae.kochi An.bancrofti An.subpictus Kumpulan air An.koliensis hujan disekitar An.farauti rumah. An.punctulatus An.acoitus Sumber: Gandahusada (2006) e. Perilaku Antropofilik < zoofilik Menggigit malam > siang Antropofilik, zoofilik menggigit malam. *di dalam rumah atau di luar rumah (pada benda yang tergantung dan berwarna gelap) Menggigit malam hari * di dalam dan luar rumah Antropofilik, zoofilik menggigit malam haari di dalam dan luar rumah. Menggigit siang hari di luar rumah. Siklus Hidup Nyamuk Siklus hidup nyamuk berawal dari peletakkan telur oleh nyamuk betina. Dari telur muncul fase kehidupan air yang masih 17 belum matang disebut larva (jamak larvae), yang berkembang melalui empat tahap, kemudian bertambah ukuran hingga mencapai tahap akhir yang tidak membutuhkan asupan makanan yaitu pupa (jamak pupae). Di dalam kulit pupa nyamuk dewasa membentuk diri sebagai betina atau jantan, dan tahap nyamuk dewasa muncul dari pecahan di bagian belakang kulit pupa. Nyamuk dewasa makan, kawin, dan nyamuk betina memproduksi telur untuk melengkapi siklus dan memulai generasi baru. Mereka sangat bergantung pada iklim dan dari kondisi lingkungan lokal, terutama suhu dan curah hujan (Achmadi, 2011). 5. Mekanisme Penularan Filariasis Arthopodborne disease atau penyakit karena vektor memiliki 3 cara penularan, yaitu kontak langsung, transmisi secara mekanis, dan transmisi secara biologis. Untuk penyakit filariasis, cara transisi biologis yaitu dengan cara cyclo developmental. Agen penyakit filaria mengalami perubahan siklus, tetapi tidak bermultipikasi di dalam tubuh arthropoda (Chandra, 2007). Penularan filariasis dapat terjadi bila ada tiga unsur, yaitu adanya sumber penular seperti manusia atau reservoir yang mengandung mikrofilaria dalam darahnya, adanya vektor penularan filariasis, dan manusia yang rentan filariasis (Kemenkes, 2005). Seseorang dapat tertular filariasis apabila telah mendapatkan gigitan nyamuk infektif yang mengandung larva infektif (larva stadium 3 – 18 L3). Pada saat nyamuk menarik probosisnya, larva L3 akan masuk melalui luka bekas gigitan nyamuk dan bergerak menuju ke sistem limfe. Penularan filaria tidak mudah dari satu orang ke orang lain pada suatu wilayah tertentu, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa orang yang menderita filaria telah digigit nyamuk ribuan kali (Kemenkes, 2005). Larva L3 B.malayi dan B.timori akan menjadi cacing dewasa dalam kurun waktu lebih dari 3,5 bulan, sedangkan W.bancrofti memerlukan waktu kurang lebih 9 bulan. Selain sulitnya penularan dari nyamuk ke manusia, sebenarnya kemampuan nyamuk untuk mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah yang mengandung mikrofilaria juga sangat terbatas, nyamuk yang menghisap microfilaria terlalu banyak dapat menyebabkan kematian, tapi jika mikrofilaria yang terhisap terlalu sedikit dapat memperkecil jumlah stadium larva L3 yang akan ditularkan (Kemenkes, 2005). Kepadatan vektor, suhu, dan kelembaban sangat berpengaruh terhadap penularan filariasis. Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap umur nyamuk, sehingga microfilaria yang telah ada dalam tubuh nyamuk tidak cukup waktu untuk tumbuh menjadi larva infektif L3. Masa inkubasi ekstrinsik untuk W.bancrofti antara 10-14 hari sedangkan B.malayi dan B.timori antara 8-10 hari (Kemenkes, 2005). 19 Gambar 2.2 Skema Rantai Penularan Filariasis Sumber: Kemenkes (2005) 6. Diagnosis Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis dan dipastikan dengan pemeriksaan laboraturium (Gandahusada, 2006): 1. Diagnosis Parasitologi Deteksi parasit yaitu menemukan mikrofilaria di dalam darah, cairan hidrokel atau cairan kiluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal, teknik konsentrasi knott, membran filtrasi dan tes provokatif DEC. Pengambilan darah dilakukan pda malam hari karena periodisitas mikroilaria umumnya nokturna. Sedangkan diferensiasi spesiaes dan stadium filaria dengan menggunakan 20 pelacak DNA yang spesifik dan antibodi monoklonal untuk mengidentivikasi larva filaria dalam tubuh manusia dan vektor. 2. Radiodiagnosis Pemeriksaa dengan ultrasonografi (USG) pada skrotum dan kelenjar getah bening inguinal pasien akan memberikan gambaran cacing yang bergerak-gerak. 3. Diagnosis Imunologi Diagnosis ini menggunakan immunochromatographictest teknik ELISA dan (ICT). Kedua teknik ini pada dasarnya menggunakan antibodi monoklona yang spesifik untuk mendeteksi antigen W.bancrofti dalam sirkulasi. Hasil tes yang positif menunjukkan adanya infeksi aktif walaupun mikrofilaria tidak ditemukan dalam darah. B. Determinan Filariasis Segitiga epidemiologi digunakan untuk menganalisis keterkaitan setiap faktor dalam penyakit. Faktor utama patogenesis penyakit yaitu host, agen, dan lingkungan (Timmreck, 2004). 21 Agen Host Lingkungan Bagan 2.1 Segitiga Epidemiologi Berikut ini akan dijabarkan determinan (penyebab) penyakit filariasis sesuai dengan konsep segitiga epidemiologi yang dapat menyebabkan kejadian filariasis. 1. Host (Pejamu) Karakteristik host yang turut mempengaruhi kejadian filariasis adalah sebagai berikut: 1. Umur Filariasis menyerang semua kelompok umur. Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila mendapat tusukan nyamuk infektif (mengandung larva stadium 3) ribuan kali (Kemenkes RI, 2010). Kelompok umur yang menderita filariasis tertinggi di Indonesia pada 2007 adalah umur >14 tahun (Santoso, 2011). Pendapat lain menyatakan bahwa usia dewasa yaitu 26-55 tahun berisiko 4,6 kali terkena filariasis dari pada umur tua (>55 tahun). 22 Penelitian Paiting (2012) menunjukkan bahwa kasus filariasis banyak ditemukan pada kelompok umur 21-50 tahun. Apabila dilihat dari pekerjaan, sebagian besar penderita memiliki pekerjaan berisiko yang memungkinkan seseorang terpapar gigitan nyamuk lebih besar, yaitu petani kebun. Sesuai dengan Gandahusada (2006) menyebutkan bahwa kelompok umur dewasa muda merupakan kelompok umur yang paling sering menderita filariasis, terutama mereka yang tergolong penduduk berpenghasilan rendah. 2. Jenis Kelamin Distribusi jenis kelamin penderita filariasis tertinggi di Indonesia pada 2007 yaitu pada laki-laki. Hal ini menunjukkan laki-laki lebih berisiko terkena filariasis dibandingkan perempuan. Aktivitas laki-laki yang lebih banyak di luar rumah meningkatkan risiko terkena filariasis (Santoso, 2011). 3. Pekerjaan Berdasarkan analisis data Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa sebagian besar penderita filariasis tidak bekerja (Santoso, 2011). Responden yang memiliki pekerjaan berisiko 2,76 kali terkena filariasis daripada yang memiliki pekerjaan tidak berisiko (Juriastuti, 2010). Penderita filariasis terbanyak yaitu yang memiliki pekerjaan sebagai buruh tani di Kabupaten Pekalongan (Syuhada, 2012). Selain pada petani, pekerjaan yang dilakukan 23 pada malam hari seperti berdagang, buruh atau tukang seperti buruh batik berisiko terkena filariasis sebesar 3,51 dari pada yang bekerja pada siang hari (Riftiana, 2010). 4. Kebiasaan Keluar Rumah Pada Malam Hari Perilaku responden seperti keluar rumah pada malam hari berhubungan dengan kejadian filariasis (Windiastuti, 2013). Hal tersebut berkaitan dengan puncak kepadatan nyamuk terjadi pada pukul 20.00 – 21.00 (Depkes RI, 2009). Oleh karena itu, aktivitas keluar rumah pada malam hari meningkatkan frekuensi kontak dengan nyamuk. 5. Kebiasaan Menggunakan Kelambu Kelambu merupakan tirai yang berbentuk jaring-jaring untuk melindungi dari gigit serangga. Cara terbaik menghindari gigitan nyamuk pada malam hari adalah tidur menggunakan kelambu. (Garjito, 2013). Responden yang memiliki kebiasaan tidak menggunakan kelambu berhubungan dengan kejadian filariasis. Responden yang tidak menggunakan obat anti nyamuk pada malam hari berisiko sebesar 1,7 kali daripada yang menggunakan obat nyamuk (Jontari, 2014). 24 6. Kebiasaan Menggunakan Obat Anti Nyamuk Responden yang tidak menggunakan obat anti nyamuk memiliki risiko 2,9 kali terkena filariasis dibandingkan yang menggunakan obat anti nyamuk (Syuhada, 2012). Salah satu cara untuk mencegah gigitan nyamuk adalah dengan menggunakan obat anti nyamuk. Metode perlindungan diri digunakan oleh individu atau kelompok kecil pada masyarakat untuk melindungi diri dari gigitan nyamuk. Macam-macam obat anti nyamuk yaitu bakar, koil, dan oleh anti nyamuk (Windiastuti, 2013). 7. Kebiasaan Memakai Baju dan Celana Panjang Responden yang tidak menggunakan lengan dan celana panjang memiliki risiko 7 kali daripada yang menggunakan lengan dan celana panjang (Paiting, 2012). Penggunaan baju dan celana yang menutupi lengan dan kaki mengurangi frekuensi gigitan nyamuk (Kemenkes RI, 2010). .2. Agen Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. Secara epidemiologi, cacing filaria dibagi menjadi 6 tipe yaitu (Kemenkes RI, 2005): 25 1. Wuchereriabancrofi tipe perkotaan (urban) Ditemukan di daerah perkotaan seperti Jakarta, Bekasi, Tangerang, Semarang, Pekalongan, dan sekitarnya memiliki periodisitas nokturna, ditularkan oleh nyamuk Culexquinquefasciatus yang berkembang biak di air limbah rumah tangga. 2. Wuchereriabancrofti tipe pedesaan (rural) Ditemukan di daerah pedesaan di luar Jawa, terutama tersebar luas di Papua dan Nusa Tenggara Timur, mempunyai periodisitas nokturna yang ditularkan melalui berbagai spesies nyamuk Anopheles, Culex, dan Aedes. 3. Brugiamalayi tipe periodik nokturna Mikrofilaria ditemukan di daerah tepi pada malam hari. Nyamuk penularan adalah Anophelesbarbirostris yang ditemukan di daerah pesawahan. 4. Brugiamalayi tipe subperiodik nokturna Mikrofilaria ditemukan di daerah tepi pada siang dan malam hari, tetapi lebih banyak ditemukan pada malam hari. Nyamuk penularnya adalah Mansoniaspp yang ditemukan di daerah rawa. 5. Brugiamalayi tipe non periodik Mikrofilaria ditemukan di daerah tepi baik malam maupun siang hari. Nyamuk penularnya adalah Mansoniabonneae dan Mansoniauniformis yang ditemukan di hutan rimba. 26 6. Brugiatimori tipe periodik nokturna Mikrofilaria ditemukan di daerah tepi pada malam hari. Nyamuk penularnya adalah Anophelesbarbirostris yang ditemukan di daerah persawahan di Nusa Tenggara Timur, Maluku, Tenggara. 3. Lingkungan (Environment) Lingkungan fisik mencakup keadaan iklim, keadaan geografis, struktur geologi, dan lainnya. Faktor lingkungan fisik berkaitan dengan kehidupan vektor. Lingkungan yang cocok untuk kehidupan nyamuk maka akan sangat potensial untuk penularan filariasis. Lingkungan fisik juga penting artinya untuk tempat perindukan dan peristirahatan vektor. Suhu dan kelembaban mempengaruhi pertumbuhan dan umur nyamuk serta keberadaannya. Lingkungan dengan tumbuhan air di rawa-rawa dan adanya binatang sebagai hospes reservoir (kera, lutung, dan kucing) sangat mempengaruhi penyebaran filariasis malayi sub periodik nokturna dan non periodik (Kemenkes RI, 2005). 1. Lingkungan Fisik a) Suhu Suhu juga turut mempengaruhi kejadian filariasis. Peningkatan temperatur berpengaruh terhadap perkembangbiakan, pertumbuhan, umur, dan distribusi vektor penyakit seperti vektor malaria, demam berdarah dengue (DBD), chikungunya, dan filariasis (ICCSR, 2010). Jenis jenis nyamuk seperti Anopheles gambiae, A. funestus, A. 27 darlingi, Culex quinquefasciatus dan Aedes aegypti merupakan salah satu vektor yang dapat menularkan penyakit berbasis vektor dan sensitif terhadap perubahan suhu ketika masih dalam bentuk jentik dan ketika sudah menjadi nyamuk dewasa. Apabila suhu air meningkat, larva akan menjadi lebih cepat menjadi nyamuk dewasa. Namun pada iklim hangat, nyamuk betina dewasa mencerna darah lebih cepat dan menghisap darah lebih sering sehingga meningkatkan intensitas penularan (Githeko, 2000). b) Curah Hujan Perubahan pola curah hujan dapat menyebabkan kenaikan aliran permukaan dan kelembaban tanah sehingga dapat menyebabkan peningkatan atau penurunan kepadatan populasi vektor penyakit serta kontak manusia dengan vektor penyakit. Selain itu, banjir dan kekeringan juga merupakan salah satu dampak yang disebabkan akibat pola curah hujan yang tidak menentu. Hal itu mengakibatkan nyamuk lebih berkembang biak dan kondisi rumah tidak sehat (Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap, 2010). c) Kelembaban Kelembaban berhubungan negatif dengan mosquito borne disease. Namun, pada hasil analisis regresi, menunjukkan bahwa kelembaban dapat menimbulkan efek positif terhadap beberapa spesies Cullicidae, dimana kelembaban berpengaruh terhadap pola aktifitas nyamuk (Lebl, 2013). Selain itu, perubahan pola curah hujan dapat menyebabkan kenaikan aliran permukaan dan kelembaban tanah 28 sehingga dapat menyebabkan peningkatan atau penurunan kepadatan populasi vektor penyakit serta kontak manusia dengan vektor penyakit. Selain itu, banjir dan kekeringan juga merupakan salah satu dampak yang disebabkan akibat pola curah hujan yang tidak menentu. Hal itu mengakibatkan nyamuk lebih berkembang biak dan kondisi rumah tidak sehat (Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap, 2010). d) Fisik Rumah: Konstruksi Plafon Plafon rumah berguna sabagai pemisah antara genting dengan ruangan agar tidak berhubungan langsung. Sehingga keberadaan plafon penting agar nyamuk tidak leluasa masuk ke rumah melalui celah-celah genting (Juriastuti, 2010). Responden yang memiliki konstruksi plafon yang buruk memiliki risiko sebesar 5,29 kali terkena filarisis dibandingkan dengan yang memiliki konstruksi plafon yang baik. e) Fisik Rumah: Penggunaa Kawat Kasa Kawat kasa yang dipasang pada bagian ventilasi berguna untuk mencegah nyamuk masuk ke dalam rumah (Febrianto, 2008). Penggunaan kawat kasa berhubungan dengan kejadian filariasis. Responden yang tidak menggunakan kawat kasa memiliki risiko sebesar 3,6 kali terkena filariasis dibanding yang memasang kawat kasa (Syuhada, 2012). 29 f) Fisik Rumah: Keberadaan Barang Bergantung Keberaaan barang bergantung dapat digunakan nyamuk sebagai tempat istirahat. Sesuai penelitian responden yang memiliki barangbarang bergantung di rumahnya memiliki risiko 6,3 kali daripada yang tidak memiliki barang-barang bergantung di rumahnya (Juriastuti, 2010). Selain itu, pendapat lain juga menyatakan bahwa keberadaan restingplace di dalam rumah seperti di kolon tempat tidur, baju digantung, dan tempat gelap dan kotor mempengeruhi kejadian filarias (Kemekes RI, 2011). g) Fisik Rumah: Kondisi Tempat Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL) Jenis dan kondisi tempat penampungan limbah memiliki hubungan dengan kejadian filariasis. Respoden yang tidak memiliki saluran limbah khusus lebih berisiko dibandingkan dengan responden yang memiliki penampungan limbah (tertutup di pekarangan, terbuka di pekarangan, di luar pekarangan, langsung ke got atau sungai). Responden yang memiliki saluran terbuka lebih berisiko terkena filariasis daripada yang memiliki saluran tertutup (Santoso, 2011). Sesuai dengan pendapat lain, bahwa nyamuk penular filariasis berkembang biak pada air yang berpolusi. Sehingga keadaan saluran pembuangan air limbah (SPAL) yang terbuka dan menggenang turut mempengaruhi kejadian filariasis (Kemenkes RI, 2011). h) Lingkungan Fisik: Keberadaan Sawah di Sekitar Rumah 30 Lingkungan yang tanahnya digarap dan diairi untuk menanam padi merupakan daerah persawahan (KBBI, 2005). Lingkungan persawahan cocok sebagai reservoir untuk nyamuk filariasis. Perkembangbiakan nyamuk filariasis salah satunya pada air yang menggenang dan berhubungan langsung dengan tanah (Kemenkes RI, 2011). Nyamuk dapat terbang sejauh 200 meter dari tempat perkembangbiakannya (Achmadi, 2011). 31 C. Kerangka Teori Keberadaan vektor penular yang mengandung agen berbentuk larva infektif (L3) menggigit host Agen Filariasis 1. Wuchereria bancrofti 2. Brugia malayi 3. Brugia timori) Penyakit Filariasis Karakteristik Host 1. 2. 3. 4. 5. 6. Umur Jenis kelamin Pekerjaan Kebiasaan keluar rumah Kebiasaan menggunakan kelambu Kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk 7. Kebiasaan memakai baju dan celana panjang Lingkungan Fisik 1. 2. 3. 4. Suhu Curah hujan Kelembaban Keberadaan sawah Lingkungan Fisik Rumah 1. Kondisi tempat penampungan air limbah 2. Penggunaan kawat kasa 3. Kondisi plafon rumah 4. Keberadaan barang bergantung Bagan 2.2 Kerangka Teori Keterangan Variabel yang diteliti Variabel yang tidak diteliti BAB III KERANGKA KONSEP 3.1 Kerangka Konsep Pada penelitian ini, peneliti tidak meneliti semua varibel yang terdapat dikerangka teori. Variabel yang dijadikan penelitian adalah host (umur, jenis kelamin, pekerjaan, penggunaan kawat kasa, kebiasaan keluar rumah, kebiasaan menggunakan kelambu, kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk, dan kebiasaan memakai baju dan celana panjang) dan lingkungan (keberadaan genangan air limbah, keberadaan sawah, kondisi plafon rumah, dan keberadaan barang-barang bergantung dalam rumah). Vektor filariasis tidak dijadikan variabel penelitian ini, sebab penelitian ini lebih cenderung menjabarkan intensitas gigitan nyamuk yang diperoleh responden berdasarkan perilaku berisiko. Selain itu juga dijabarkan mengenai kondisi lingkungan fisik disekitar responden terkait dengan tempat perkembangbiakan vektor penular. Lingkungan fisik seperti suhu, curah hujan, dan kelembaban tidak diteliti. Hal tersebut dikarenakan iklim bersifat homogen untuk satu wilayah kabupaten atau kota, sama halnya dengan iklim di Kabupaten Tangerang. Oleh karena itu berhubung penelitian ini di wilayah Kabupaten Tangerang, tentu suhu, curah hujan, dan kelembaban tidak akan jauh berberbeda disetiap wilayah penderita filariasis. 33 Pada penelitian kali ini, peneliti juga tidak menghubungkan antara faktor risiko dengan kejadian penyakit filariasis. Peneliti hanya menggambarkan karakteristik seluruh penderita filariasis di Kabupaten Tangerang. Berikut ini kerangka konsep penelitiannya: Umur Jenis Kelamin Pekerjaan Kebiasaan keluar rumah malam hari Kebiasaan menggunakan kelambu Kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk Kejadian Filariasis Kebiasaan memakai baju dan celana panjang Kondisi saluran penampungan air limbah Keberadaan sawah Penggunaan kawat kasa Kondisi plafon rumah Keberadaan barang-barang bergantung Bagan 3.1 Kerangka Konsep 34 B. Definisi Operasional Tabel 3.1 Definisi Operasional No Variabel Definisi 1 Umur Jumlah tahun dari responden lahir sampai didiagnosis menderita filariasis. Kondisi tubuh responden secara biologis sejak lahir. Profesi responden sebelum didiagnosis terkena filariasis oleh dokter yang berisiko mengalami multi gigitan oleh vektor penular. 2 Jenis Kelamin 3 Pekerjaan 4 Kebiasaan keluar Responden berada di luar rumah rumah saat malam saat malam hari pada puncak hari aktivitas menggigit nyamuk di luar rumah yaitu: a. 20.00-21.00 b. 21.00-22.00 Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Wawancara Kuesioner Dalam satuan tahun Wawancara Kuesioner Wawancara Kuesioner Wawancara Kuesioner 1. Laki-laki 2. Perempuan 1. Berisiko (petani, pekerja di ladang atau kebun, nelayan, buruh di sawah, pedagang sayur, tukang ojek, dan hansip yang memiliki jam kerja sore hingga malam hari) 2. Tidak berisiko (selain pekerjaan di atas) 1. Ya 2. Tidak Skala Ukur Rasio Nominal Ordinal Ordinal 35 5 Kebiasaan menggunakan kelambu 6 Kebiasaan menggunakan obat antinyamuk 7 Kebiasaan menggunakan baju atau celana panjang c. 24.00-01.00 d. 02.00-03.00 sebelum didiagnosis menderita filariasis oleh dokter. (Ramadhani, 2009; Depkes RI, 2009) Responden menggunakan atau tidak kelambu atau tirai tipis yang tembus pandang dengan jaringjaring yang dapat menahan berbagai gigitan serangga saat tidur terutama pada malam hari sebelum didiagnosis menderita filariasis oleh dokter. Wawancara Kuesioner 1. Digunakan 2. Tidak digunakan Ordinal Responden menggunakan atau tidak obat atau ramuan pembasmi nyamuk terutama saat malam hari sebelum didiagnosis menderita filariasis oleh dokter. Wawancara Kuesioner 1. Digunakan 2. Tidak digunakan Ordinal Responden menggunakan atau tidak baju dan celana yang dapat menutupi seluruh tangan dan kaki saat malam hari sebelum Wawancara Kuesioner 1. Digunakan 2. Tidak digunakan Ordinal 36 didiagnosis menderita filariasis oleh dokter. 8 Kondisi saluran penampungan air limbah Keadaan tempat pembuangan limbah responden sebelum didiagnosis menderita filariasis oleh dokter. Kondisi pembuangan limbah yang tidak baik jika tidak tersedianya saluran pembuangan air limbah secara khusus dan jika memiliki saluran air limbah kondisi saluran terbuka dan aliran air limbah berhenti atau menggenang. Wawancara dan observasi Kuesioner dan lembar observasi 9 Penggunaan kawat kasa Responden memasang atau tidak penutup lubang angin berbentuk jaring-jaring pada ventilasi atau jendela untuk mencegah nyamuk masuk ke dalam rumah sebelum responden didiagnosis menderita Wawancara dan observasi Kuesioner dan lembar observasi 1. Kondisi penampungan limbah baik: jika saluran penampungan air limbah (SPAL) tertutup rapat dan air limbah mengalir lancar). 2. Kondisi penampungan limbah buruk: jika saluran penampungan air limbah (SPAL) terbuka dan air limbah tidak mengalir lancar atau tidak memiliki saluran limbah khusus (Santoso, 2011). 1. Terpasang 2. Tidak terpasang Ordinal Ordinal 37 10 Tinggal dekat persawahan 11 Kondisi plafon rumah 12 Keberadaan barang-barang bergantung dalam rumah filariasis oleh dokter. Ada tidaknya tanah yang digarap dan di airi untuk tempat menanam padi pada jarak 200 meter dari rumah responden sebelum didiagnosis menderita filariasis oleh dokter (Achmadi, 2011). Kondisi pemisah antara genting dengan ruangan agar tidak berhubungan langsung sebelum responden didiagnosis filariasis oleh dokter. Kondisi plafon yang baik yaitu rapat dan tidak memiliki celah untuk nyamuk masuk ke dalam rumah. Responden meletakkan atau tidak baju atau kainsecara tergantung di dalam rumah terutama dalam kamar yang memungkinkan nyamuk beristirahat sebelum didiagnosis menderita filariasis oleh dokter. Pengukuran Aplikasi pembaca jarak Dalam satuan meter Wawancaran dan observasi Kuesioner dan lembar observasi Wawancara dan observasi Kuesioner dan lembar observasi 1. Baik Jika kondisi plafon rumah tertutup rapat tanpa ada lubang yang memnungkinkan nyamuk masuk. 2. Buruk Jika kondisi plafon terdapat lubang yang memungkinkan nyamuk masuk. 1. Ada Jika terdapat barangbarang seperti baju, tas, dan peralatan yang bertumpuk padat tidak teratur dan jarang atau tidak pernah dibersihkan. 2. Tidak Jika tidak ada barangbarang yang Rasio Ordinal Ordinal 38 bergantung atau bertumpuk padat tidak pernah dibersihkan dan dirapihkan. BAB IV METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi deskriptif dengan desain studi cross sectional serta menggunakan pendekatan kualitatif. Penulis menggunakan desain cross sectional dengan analisis deskriptif untuk mengetahui lebih dalam karakteristik host dan lingkungan penderita sebelum didiagnosis menderita filariasis oleh dokter. Keterbatasan mendapatkan data kasus di beberapa wilayah puskesmas menjadi alasan penulis untuk memilih desaincross sectional dengan analisis deskriptif. Oleh karena itu, untuk mewujudkan adanya penelitian dasar penyakit filariasis di Kabupaten Tangerang, penulis menggunakan desain stusi cross sectional dengan analisis deskriptif untuk mendeskripsikan karakteristik host dan lingkungan penderita. Pendekatan kuantitatif dimaksudkan untuk menggambarkan distribusi penderita berdasarkan variabel host dan lingkungan. Variabel host yaitu umur, jenis kelamin, pekerjaan, kebiasaan keluar rumah saat sore malam, kebiasaan menggunakan kelambu, kebiasaan menggunakan obat nyamuk, dan kebiasaan menggunakan baju dan celana panjang. Kemudian untuk variabel lingkungan yaitu kondisi Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL), keberadaan sawah, penggunaan kawat kasa, kondisi plafon, dan keberadaan barang bergantung. 40 Penggunaan metode kualitatif dimaksudkan untuk mendukung pembahasan pada beberapa variabel, sehingga diharapkan mendapat informasi yang lebih mendalam tentang alasan penderita tidak melakukan pencegahan diri dari gigitan nyamuk. Pendekatan kualitatif dilakukan untuk variabel host (penggunaan kelambu, obat nyamuk, dan menggunakan baju dan celana panjang saat sore hingga malam) dan lingkungan (keberadaan barang bergantung, kondisi SPAL, dan keberadaan kawat kasa). B. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di 6Kecamatan yaitu Sepatan Timur, Rajeg, Paku Haji, Pasar Kemis, Cikupa, dan Pagedangan. Penelitian ini dilakukan dari Juni sampai Oktober 2015. Wilayah tersebut merupakan daerah yang memiliki Mf rate>1% atau penderita kronis. Berikut ini peta wilayah penelitian: Gambar 4.1 Peta Kabupaten Tangerang 41 C. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi target pada penelitian ini adalah semua penderita filariasis di 8 kecamatan yaitu Kecamatan Cikupa, Kecamatan Paku Haji, Kecamatan Pasar Kemis, Kecamatan Teluk Naga, Kecamatan Rajeg, Kecamatan Sepatan Timur, Kecamatan Curug, dan Kecamatan Tiga Raksa. Kemudian populasi studi adalah penderita filariasis yang tinggal pada kecamatan tersebut dan terdaftar di puskesmas yang berwenang di daerahnya. Berikut ini kriteria inklusi dan eksklusi agar didapatkan populasi yang memenuhi syarat: a. Kriteria inklusi Orang yang positif filariasis dari hasil Survei Darah Jari (SDJ) dan laporan data kasus filariasis tahun 2005-2013 yang dilakukan di kelurahan setempat. b. Kriteria eksklusi 1) Penderita filariasis yang telah pindah rumah saat penelitian. 2) Penderita filariasis telah meninggal dunia. 3) Peneliti tidak dapat menemukan rumah penderita. 4) Penderita filariasis tidak bersedia ikut dalam penelitian ini. 2. Sampel Sampel dalam penelitian ini menggunakan metode total sampling, yaitu populasi yang telah memenuhi syarat adalah sampel penelitian ini 42 sebanyak 40 orang. Sebelum menjabarkan alur pengambilan sampel, berikut ini akan dijabarkan kasus filariasis dari 2005 sampai 2013: Tabel 4.1 Data Hasil Survei Darah Jari (SDJ) dan Penemuan Kasus Kronik Kabupaten Tangerang 2005-2013 No Tahun Hasil SDJ Penemuan Kasus Jumlah Kronik 1 2005 25 25 2 2006 42 2 44 3 2007 2 2 4 2008 2 2 5 2009 3 3 6 2010 2 2 7 2011 0 2 2 8 2012 3 3 9 2013 1 1 Jumlah 67 17 84 Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang 2005-2013 Berdasarkan tabel 4.1, peneliti tidak dapat mengakses keberadaan semua penderita. Dari 8 kecamatan yang pernah dilaksanakan SDJ, hanya ada beberapa puskesmas yang memiliki data alamat penderita dengan jelas. Hal tersebut dikarenakan data yang diminta sudah lebih dari 5 tahun dan pemegang program filariasis sudah berganti. Berikut ini uraian jumlah penderita yang tercatat dibeberapa puskesmas: 43 Tabel 4.2 Data Kasus Filariasis di Kabupaten Tangerang 2015 No 1 Kecamatan Rajeg PKM Rajeg Sukatani Kedaung Barat Desa Jumlah Rajeg 6 Sukatani 6 2 Sepatan Kedaung 3 Timur Barat Jati Mulya 4 3 Paku Haji Paku Haji Surtya Bahari 4 4 Cikupa Cikupa Bunder 5 Talaga 4 5 Pagedangan Pagedangan Jetake 3 6 Pasar Kemis Sindang Wanakerta 2 Jaya dan Sukaharja 7 Mekar Baru Mekar Baru Kedaung dan 2 Mekar baru 8 Kosambi Salembaran Salembaran 1 Jaya Jaya Jumlah 40 Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang 2005-2013 dan Puskesmas Setelah diketahui data penderita filariasis pada tabel 4.2, berikut ini alur pengambilan sampel pada penelitian ini: Bagan 4.1 Alur Pengambilan Sampel Seluruh orang yang positif filariasis dari hasil SDJ dan penemuan kasus 2005-2013: 84 orang. Penderita yang memiliki rekam medis: 40 orang. Peneliti tidak dapat mengakses keberadaan penderita: 6 orang. Populasi yang memenuhi syarat atau sampel penelitian ini: 30 orang. Penderita yang menolak untuk ikut dalam penelitian: 4 orang. 44 Jadi, sampel yang dapat dijadikan dalam penelitian ini berjumlah 30 orang dari 6 kecematan yaitu Rajeg, Sepatan Timur, Paku Haji, Pasar Kemis, Cikupa, dan Pagedangan. D. Pengumpulan Data 1. Sumber Data a. Kuantitatif Pendekatan kuantitatif menggunakan sumber data sekunder dan primer. Data sekunder yang digunakan adalah data kasus yang diperoleh dari pencatatan dan pelaporan data kasus filariasis Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang serta laporan Survei Darah Jari (SDJ) puskesmas terkait pada periode 2005 sampai 2013. Sedangkan data primer bersumber dari kuesioner dan pengukuran jarak rumah dan sawah lewat plotting. b. Kualitatif Sumber data pendekatan kualitatif adalah wawancara mendalam. 2. Metode Pengumpulan Data a. Kuantitatif Sumber data pada pendekatan kuantitatif adalah data sekunder dan primer. Data sekunder didapat dari data Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang dan puskesmas setempat, sedangkan data primer berasal dari wawancara dan pengukuran dari plotting rumah penderita ke sawah. 45 b. Kualitatif Wawancara mendalam dibutuhkan untuk mendukung pembahasan pada masing-masing variabel. Wawancara tersebut berkaitan dengan alasan penderita tidak melakukan upaya pencegahan gigitan nyamuk. 3. Instrumen Pengumpulan Data Instrumen pengumpulan data pada penelitian ini adalah kuesioner, lembar observasi, pedoman wawancara, dan pengukuran. Variabel host (umur, jenis kelamin, pekerjaan, kebiasaan keluar rumah, kebiasaan menggunakan kelambu, kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk, dan kebiasaan memakai baju dan celana panjang) menggunakan instrumen berupa kuesioner. Kemudian untuk variabel lingkungan (kondisi tempat penampungan limbah, penggunaan kawat kasa, kondisi dinding rumah, kondisi plafon rumah, dan keberadaan barang-barang bergantung dalam rumah) menggunakan kuesioner, lembar observasi, wawancara mendalam, dan lembar pengukuran. Pada variabel lingkungan (kondisi tempat penampungan limbah, keberadaan sawah, penggunaan kawat kasa, kondisi dinding rumah, kondisi plafon rumah, dan keberadaan barang-barang bergantung dalam rumah) peneliti akan menanyakan ada perbedaan atau tidak terkait kondisi lingkungan saat sebelum dan sesudah didiagnosis filariasis oleh dokter. Jika kondisi lingkungan sebelum dan sesudah sama, maka keadaan lingkungan pada saat penelitian dianggap sama saat responden belum 46 didiagnosis filariasis oleh dokter.Selanjutnya untuk variabel tinggal dekat persawahan dilakukan pengukuran. E. Pengolahan Data Pengolahan data pada penelitian ini dilakukan sebagai berikut: 1. Pemeriksaan data: kode pertanyaan A, B, C, E, dan F jika dijawab pilihan a (ya) maka semua pertanyaan pada kolom masing-masing kode pertanyaan harus dijawab. Apabila terdapat jawaban yang belum lengkap atau terdapat kesalahan dalam mengisi maka harus dilengkapi dengan wawancara kembali terhadap responden. Jika kode pertanyaan A, B, C, E, dan F jika dijawab pilihan b (tidak) maka pertanyaan yang harus dijawab hanya pertanyaan nomer 1 saja. Selebihnya untuk kode pertanyaan D, G, dan H semua pertanyaan pada kolom tersebut harus diisi. 2. Pemberian kode, data yang telah terkumpul dan diperiksa, lalu diberi kode secara manual. Setiap jawaban yang tersedia memiliki pilihan a, b, c, hingga d. A diberi kode 1, b kode 2, c, kode 3, dan d kode 4. Khusus kode pertanyaan B4 dan C2 tidak diberi kode seperti yang lainnya. Jawaban tersebut ditulis dengan angka dari 1 hingga 7. 3. Pengisian data kekomputer, data responden yang telah diberi kode dimasukan ke dalam komputer sesuai dengan kolom pertanyaan A (13), B (1-4), C (1-2), D (1), E (1-2), F (1-2), G (1-2), dan H (1) untuk diolah. 47 4. Pembersihan data, data yang telah dimasukkan ke program komputer diperiksa kembali untuk diolah agar sesuai dengan hasil jawaban responden. 5. Penyajian data, data yang yang telah diolah kemudian ditampilkan dalam bentuk grafik batang seperti pertanyaan A1, B1, C1, D1, E1, F1, G1, dan H1. Pertanyaan selebihnya tidak ditampilkan dalam hasil tetapi digunakan untuk memperkuat pembahasan. Akan tetapi, hasil pengolahan data terlampir pada hasil pengolahan data seluruh pertanyaan kuesioner. F. Analisis Data Analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis distribusi frekuensi. Variabel dengan skala rasio seperti umur dan tinggal dekat persawahan akan digunakan nilai mean SD, median, dan max-min. Kemudian variabel dengan skala ordinal dan nominal (jenis kelamin, pekerjaan, kebiasaan keluar rumah, kebiasaan menggunakan kelambu, kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk, kebiasaan memakai baju dan celana panjang, kondisi tempat penampungan limbah, keberadaan sawah, penggunaan kawat kasa, kondisi dinding rumah, kondisi plafon rumah, dan keberadaan barang-barang bergantung dalam rumah) akan digunakan nilai frekuensi (%). Data disajikan dalam bentuk grafik. Selain melihat distribusi frekuensi per variabel, peneliti akan menampilkan hasil stratified antar variabel guna mengeksplolarasi data lebih dalam. Variabel yang akan di stratified adalah pekerjaan dengan jenis kelamin, penggunaan obat 48 nyamuk dengan pekerjaan, penggunaan baju dan celana panjang dengan pekerjaan. Hasil stratified akan disajikan dalam bentuk grafik. BAB V HASIL A. Distribusi Kejadian Filariasis Berdasarkan Komponen Host Komponen host yang diteliti adalah umur, jenis kelamin, pekerjaan, keluar rumah malam hari, penggunaan kelambu, penggunaan obat anti nyamuk, dan pemakaian baju dan celana panjang. Berikut ini distribusi komponen host yang didapatkan setiap variabel: 1. Umur Berdasarkan hasil penelitian yang didapat, berikut ini grafik umur penderita filariasis di Kabupaten Tangerang: Grafik 5.1 Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Umur diKabupaten Tangerang periode 2005-2015 100% 80% 60% 26-35 40% 36-45 Persentase 46-55 20% 0% Umur Pada grafik 5.1 terlihat bahwa penderita filariasis paling banyak terdapat pada usia 36-45 tahun yaitu sebanyak 13 orang (43,3%). Pekerjaan pada kelompok umur 36-45 tahun adalah sebagai petani, buruh sawah, dan orang yang bekerja di sawah saat panen padi. 50 2. Jenis Kelamin Penderita di Kabupaten Tangerang terdiri dari jenis kelamin lakilaki dan perempuan. Berikut ini grafik distribusi penderita filariasis berdasarkan jenis kelamin: Grafik 5.2 Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Jenis Kelamin diKabupaten Tangerang periode 2005-2015 100% 80% 60% Persentase Laki-laki 40% Perempuan 20% 0% Jenis Kelamin Berdasarkan grafik 5.2 terlihat bahwa penderita filariasis paling banyak berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 18 orang (60%). 3. Pekerjaan Variabel pekerjaan memiliki dua kategori, yaitu pekerjaan berisiko dan pekerjaan tidak berisiko. Berikut ini grafik distribusi penderita berdasarkan jenis pekerjaan: 51 Grafik 5.3 Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Pekerjaan diKabupaten Tangerang periode 2005-2015 100% 80% 60% Persentase Berisiko 40% Tidak Berisiko 20% 0% Pekerjaan Sesuai dengan grafik 5.3 terlihat bahwa sebagian besar penderita memiliki pekerjaan berisiko yaitu sebanyak 20 orang (66,7%). Lebih lanjut, pekerjaan yang dimiliki penderita sebelum didiagnosis menderita filariasis adalah buruh tani (3,3%), guru ngaji (3,3%), ibu rumah tangga (13,3%), petugas kebersihan (3,3%), membantu di sawah (23,3%), pedagang (10%), swasta (13,3%), dan petani (30%). Jika variabel pekerjaan dibagi berdasarkan jenis kelamin, maka akan terlihat sebagai berikut: Grafik 5.4 Distribusi Pekerjaan Penderita Filariasis Berdasarkan Jenis Kelamin diKabupaten Tangerang periode 2005-2015 100% 80% Persentase 60% 40% Laki-laki 20% 0% Perempuan Pekerjaan Berisiko Pekerjaan Tidak Berisiko Laki-laki 60% 60% Perempuan 40% 40% 52 Berdasarkan grafik 5.4 terlihat bahwa pekerjaan berisiko paling banyak dimiliki oleh laki-laki yaitu sebanyak 12 orang (60%). Kemudian, untuk jenis pekerjaan yang tidak berisko paling banyak dimiliki juga oleh jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 6 orang (60%). 4. Keluar Rumah Pada Malam Hari Kategori kebiasaan tersebut dibedakan menjadi kebiasaan keluar saat malam dan tidak memiliki kebiasaan keluar rumah saat malam. Berikut ini grafik jumlah penderita berdasarkan kebiasaan keluar rumah saat malam: Grafik 5.5 Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Kebiasaan Keluar Rumah Malam Hari diKabupaten Tangerang periode 2005-2015 100% 80% 60% Persentase Ya 40% Tidak 20% 0% Kebiasaan Keluar Rumah Malam Hari Berdasarkan grafik 5.5 terlihat bahwa sebagian besar penderita memiliki kebiasaan keluar rumah malam hari yaitu sebanyak 20 orang (66,7%). Apabila dilihat alasan penderita keluar rumah saat malam hari, maka seluruh penderita memiliki alasan pekerjaan yaitu 100%. 53 5. Penggunaan Kelambu Variabel penggunaan kelambu memiliki kategori menggunakan dan tidak menggunakan. Berikut ini grafik penderita filariasis berdasarkan penggunaan kelambu: Grafik 5.6 Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Penggunaan Kelambu diKabupaten Tangerang periode 2005-2015 100% 80% Persentase 60% 40% Menggunakan 20% Tidak Menggunakan 0% Penggunaan Kelambu Berdasarkan grafik 5.6 terlihat bahwa sebagian besar penderita tidak menggunakan kelambu sebelum didiagnosa menderita filariasis yaitu sebanyak 23 orang (76,7%). Berikut ini hasil wawancara penderita mengenai alasan tidak menggunakan kelambu saat tidur malam: “gak punya kelambu saya mah. Dari dulu saya kalo tidur udah pake baju sama celana panjang terus selimutan lagi.” Hasil wawancara di atas, penderita menyatakan bahwa tidak menggunakan kelambu saat tidur malam hari karena ketidaktersediaan kelambu di rumahnya. 54 5.1.6 Penggunaan Obat Nyamuk Variabel penggunaan obat nyamuk memiliki kategori digunakan dan tidak digunakan obat nyamuk sebelum sakit. Berikut ini grafik penderita berdasarkan penggunaan obat nyamuk: Grafik 5.7 Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Penggunaan Obat Nyamuk di Kabupaten Tangerang periode 2005-2015 100% 80% 60% Persentase Digunakan 40% Tidak Menggunakan 20% 0% Penggunaan Obat Nyamuk Berdasarkan grafik 5.8 didapatkan sebagian besar penderita tidak menggunakan obat nyamuk. Penderita yang tidak menggunakan obat nyamuk sebanyak 18 orang (60%). Jika penggunaan obat nyamuk dibedakan berdasarkan jenis pekerjaan maka akan terlihat sebagai berikut: 55 Grafik 5.8 Distribusi Penggunaan Obat NyamukBerdasarkan Jenis Pekerjaan di Kabupaten Tangerang periode 2005-2015 100% 80% 60% Persentase 40% Berisiko 20% Tidak Berisiko 0% Menggunakan Tidak Menggunakan Berisiko 58.30% 72% Tidak Berisiko 41.70% 28% Kategori Penggunaan Obat Nyamuk Berdasarkan grafik 5.8 terlihat bahwa penderita yang tidak menggunakan obat anti nyamuk sebagian besar memiliki pekerjaan bersiko yaitu sebanyak 13 orang (72,2%). Sesuai dengan pernyataan salah satu penderita mengenai tidak digunakannya obat nyamuk. Berikut ini kutipan wawancaranya: “yaa cuek aja, biasa kalo digigit nyamuk. Dulu kan masih sepi suka kerusukan gitu kan. Biasa, jadi dianggepnya biasa. Ga perhatiin kesitu. Kalo memang tau kalo kaya sekarang ya, wah kita digigit nyamuk nih. Kita pake obat kalo sekarang. Ya kan? Pake sofel gitu kan?” (UD, KR) Kutipan di atas menjelaskan bahwa penderita tidak menggunakan obat anti nyamuk. Terkait gigitan nyamuk merupakan hal biasa bagi penderita ketika berada di luar rumah saat malam hari. Sehingga penderita tidak melakukan upaya pencegahan terhadap gigitan nyamuk. 56 7. Penggunaan Baju dan Celana Panjang Kebiasaan menggunakan baju dan celana panjang saat petang terutama malam hari memiliki kategori menggunakan dan tidak menggunakan. Berikut ini grafik penderita sesuai dengan penggunaan baju dan celana panjang saat malam: Grafik 5.9 Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Penggunaan Baju dan Celana Panjang diKabupaten Tangerang periode 2005-2015 100% 80% 63% 60% Persentase 40% Berisiko 37% Tidak Berisiko 20% 0% Penggunaan Baju dan Celana Panjang Berdasarkan grafik 5.9 sebagian besar penderita tidak menggunakan baju dan celana panjang saat malam hari. Penderita yang tidak menggunakan baju dan celana panjang sebanyak 19 orang (63,3%). Jika dilihat kebiasaan menggunakan baju dan celana panjang saat malam dengan jenis pekerjaan maka akan terlihat sebagai berikut: 57 Grafik 5.10 Distribusi Penggunaan Baju dan Celana Panjang Malam Hari Berdasarkan Jenis Pekerjaan diKabupaten Tangerang periode 2005-2015 100% 80% 60% Persentase 40% Pekerjaan Berisiko 20% Pekerjaan Tidak Berisiko 0% Digunakan Tidak Digunakan Pekerjaan Berisiko 73% 63% Pekerjaan Tidak Berisiko 27% 37% Berdasarkan grafik 5.10 terlihat bahwa penderita yang tidak menggunakan baju dan celana panjang saat malam hari sebagian besar memiliki pekerjaan bersiko yaitu sebanyak 12 orang (63,2%). Berikut ini hasil wawancara penderita mengenai alasan tidak menggunakan baju dan celana panjang saat malam hari: “Kalo di sawah neng, lagi panen bisa sampe pagi di sawah. Sawah jadi rame banget. Biasa pake celana panjang, kaos biasa. Tapi kadang dicopot kalo gerah.” Hasil wawancara di atas penderita menyatakan bahwa tidak menggunakan baju dan celana panjang saat malam hari terutama ketika bekerja adalah alasan ketidak nyamanan saat bekerja. 58 B. Distribusi Frekuensi Kejadian Filariasis Berdasarkan KomponenLingkungan Kondisi lingkungan yang mempengaruhi kejadian filariasis adalah kondisi Saluran Penampungan Air Limbah (SPAL), penggunaan kawat kasa, tinggal dekat persawahan, kondisi plafon rumah, dan keberadaan barang bergantung dalam rumah. Berikut ini distribusi komponen lingkungan yang didapatkan setiap variabel: 1. Kondisi Sarana Pembuangan Air Limbah (SPAL) Sesuai kepemilikan Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL) penderita sebelum didiagnosis filariasis miliki kategori baik dan buruk. Berikut ini grafik mengenai kondisi (SPAL) penderita berdasarkan kondisi SPAL: Grafik 5.11 Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Kondisi SPAL diKabupaten Tangerang periode 2005-2015 100% 80% Persentase 60% Baik 40% Buruk 20% 0% Kondisi SPAL Berdasarkan grafik 5.11 terlihat bahwa kondisi SPAL penderita sebagian besar penderita memiliki kondisi SPAL yang buruk. Penderita yang memiliki SPAL buruk sebanyak 24 orang (80%). 59 Kondisi SPAL yang sebagian besar buruk sesuai dengan pernyataan dari salah satu penderita. Berikut ini hasil kutipan wawancara dengan penderita: “jaman dulu rumah masih jarang, yang perumahanperumahandisono tuh masih sawah, masih hutan lah. Belom ada got. Ketanah aja gitu. Saya paling air bekas mandi doang, sama nyuci juga jarang. (OM, KR) Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa pembuangan air limbah penderita langsung ke tanah. Belum memiliki pembuangan air limbah yang terstruktur. “Saya air limbah ke depan situ.. ya terbukalah. Hmm ada genangan. Harus disogok airnya, kesumbat lumpur, sampah.”(AR, ST) Berdasarkan kutipan di atas, kondisi tempat penampungan air penderita adalah terbuka dan ada air yang menggenang. “Gak mampet sih. Ya tapi gak lancar juga. Kadang airnya suka diem. Itu gegara sampah kaya plastik segala macem banyak tuh digot. Jadi ngalirnya dikit-dikit. Tapi gak sampe mampet bikin banjir.”(RM, CK) Dari pernyataan penderita di atas, diketahui bahwa area lingkungan disekitar rumah penderita memiliki saluran air limbah yang kerap kali ada genangan air. Berdasarkan hal itu, disekitar rumah penderita memiliki potensi sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk penular. 60 2. Penggunaan Kawat Kasa Berdasarkan penggunaan kawat kasa, kategori yang digunakan adalah kasa terpasang dan tidak terpasang di rumah penderita sebelum didiagnosis filariasis. Berikut ini grafik penderita berdasarkan penggunaan kawat kasa: Grafik 5.12 Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Penggunaan Kawat Kasa diKabupaten Tangerang periode 2005-2015 100% 80% 60% Persentase Baik 40% Buruk 20% 0% Penggunaan Kawat Kassa Berdasarkan grafik 5.12 terlihat bahwa penggunaan kawat kasa sebagian besar penderita belum memasang kawat kasa. Penderita yang tidak memasang kawat kasa sebanyak 35 orang (86,7%). Berikut ini wawancara mengenai alasan tidak terpasangnya kawat kasa: “dari dulu gak pake.. iya atuh beli lagi kan pake pake kawat kasa.” Hasil wawancara menunjukkan bahwa alasan tidak memasang kawat kasa adalah alasan ekonomi. Namun, tidak semua penderita yang tidak memasang kawat kasa memiliki alasan ekonomi. “Gak ada tuh, liat aja. Gak pake kawat nyamuk. Dari dulu mah gak pake kawat nyamuk.” 61 Hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa penderita tidak memiliki rencana untuk memasang kawat kasa pada ventilasinya. 3. Penggunaan Plafon Variabel penggunaan plafon memiliki kategori ada dan tidak ada. Berikut ini grafik penderita berdasarkan penggunaan plafon rumah: Grafik 5.13 Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Penggunaan Plafon diKabupaten Tangerang periode 2005-2015 100% 80% Persentase 60% Pakai 40% Tidak 20% 0% Penggunaan Plafon Berdasarkan grafik 5.13 terlihat bahwa sebagian besar penderita tidak memiliki plafon. Penderita yang tidak memiliki plafon sebanyak 26 orang (86,7%). 4. Keberadaan Barang Bergantung Variabel keberadaan barang-barang bergantung memiliki kategori ada dan tidak. Berikut ini grafik penderita berdasarkan keberadaan barangbarang bergantung: 62 Grafik 5.14 Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Keberadaan Barang Bergantung di Kabupaten Tangerang periode 2005-2015 100% 80% 60% Persentase Ada 40% Tidak Ada 20% 0% Keberadaan Barang Bergantung Berdasarkan grafik 5.14 sebagian besar penderita memiliki barangbarang bergantung di dalam rumah. Penderita yang memiliki keberadaan barang beragantung di dalam rumah sebanyak 27 orang (90%). Berikut ini hasil wawancara mengenai alasan menggantung barang berbahan kain: “Rumah mah dibersihin, tapi kalo baju yang abis dipake masih bersih digantung-gantungin aja. Kalo ga muat ditumpuk dikasur, ya digantung juga.” (UD, RJK) Hasil wawancara di atas menyatakan bahwa keberadaan barang bergantung di rumah merupakan kebiasaan yang rutin dilakukan penderita, dengan cara tersebut menjadi lebih praktis meletakaan sesuatu seperti baju yang masih dipakai daripada melipat pakaian dan merapikannya. 5. Keberadaan Sawah Berdasarkan jarak sawah disekitar rumah penderita, terdapat kategori rumah dekat dan jauh dengan sawah. Apabila dilihat dari jarak terbang nyamuk dari tempat perindukannya yaitu 200 meter. Maka 63 proporsi rumah yang berada 200 meter dari tempat perindukan (sawah) yaitu sebagai berikut: Grafik 5.15 Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Jarak Terbang Nyamuk dari Tempat Perindukan (Sawah) ke Rumah Penderita di Kabupaten Tangerang periode 2005-2015 27% ≤200 >200 73% Berdasarkan grafik 5.15 terlihat bahwa rumah penderita yang berjarak 200 meter memiliki proporsi yang lebih besar daripada rumah penderita yang memiliki jarak jauh dengan sawah (>200 meter). Penderita yang memiliki jarak 200 meter memiliki proporsi 73,3% (22 orang). BAB VI PEMBAHASAN A. Keterbatasan Penelitian 1. Kondisi lingkungan yang membutuhkan observasi tidak dapat dilihat secara langsung seluruhnya. Hal ini dikarenakan ada perubahan kondisi lingkungan rumah responden saat sebelum didiagnosis filariasis dengan waktu penelitian. Oleh karena itu, terjadinya bias pada data mungkin terjadi. 2. Data dan informasi mengenai faktor-faktor berisiko dalam penelitian diperoleh berdasarkan daya ingat penderita. Oleh karena itu, terjadinya bias pada data mungkin terjadi. 3. Penelitian ini hanya menggambarkan karakteristik host dan lingkungan penderita, sehingga peneliti hanya menggali lebih dalam informasi terkait karakteristik tersebut. Oleh sebab itu, peneliti tidak dapat menyebutkan faktor risiko mana yang berhubungan dengan kejadian filariasis. B. Distribusi Kejadian Filariasis Berdasarkan Komponen Host Berikut ini penjelasan lebih lanjut mengenai variabel host yang terdiri dari umur, jenis kelamin, pekerjaan, keluar rumah pada malam hari, penggunaan kelambu, penggunaan obat anti nyamuk, dan penggunaan baju dan celana panjang. 65 1. Umur Filariasis menyerang semua kelompok umur. Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila mendapat tusukan nyamuk infektif (mengandung larva stadium 3) hingga ribuan kali (Kemenkes RI, 2010). Akan tetapi, penderita filariasis paling banyak diderita oleh orang dewasa karena orang dewasa lebih sering kontak dengan vektor penular ditempat kerjanya (Depkes RI, 2005). Pembagian kelompok umur menurut usia bekerja dan tidak bekerja yaitu usia bekerja dalam rentang umur 15-64 tahun, sedangkan kelompok usia non produktif atau tidak bekerja dalam rentang umur 0-14 tahun dan >65 tahun (Depkes RI, 2008). Penderita filariasis di Kabupaten Tangerang memiliki rentang usia produktif seluruhnya yaitu 100%, dengan penjabaran kategori usia sesuai Departemen Kesehatan RI (2009) yaitu 26-35 tahun sebesar 16,7%, 35-45 tahun sebesar 43,3%, dan 46-55 tahun sebesar 40%. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Departemen Kesehatan RI (2005) yang menyatakan penderita filariasis paling banyak diderita oleh kelompok dewasa. Kamaruddin (2013) berpendapat bahwa lokasi kerja yang berisiko terpapar gigitan nyamuk penular filariasis sesuai kondisi geografisnya seperti petani pada lokasi persawahan dan nelayan pada lokasi pesisir. Berdasarkan karakteristik perkerjaan penderita di Kabupaten Tangerang yaitu petani sebesar 30%, buruh sawah sebesar 26,6%, guru 3,3%, ibu rumah tangga sebesar 13,3%, petugas kebersihan sebesar 3,3%, pedagang sebesar 10%, dan swasta sebesar 13,3%. 66 Di Indonesia penderita filariasis pada tahun 2007 terdapat pada semua kelompok umur. Persentase penderita filariasis tersebut yaitu pada kelompok umur 0-5 tahun sebesar 5,5%, 6-14 tahun sebesar 14,3%, 15-30 tahun sebesar 25,1%, 31-46 tahun sebesar 26,7%, 47-62 tahun sebesar 18,3%, dan >62 tahun sebesar 10,1% (Santoso, 2010). Persentase kelompok umur penderita filariasis terbesar besar terletak pada 31-46 tahun yakni kategori usia dewasa. Akan tetapi jika persentase usia tua digabungkan antara 47-62 dan >62 tahun maka usia tua memiliki persentase yang paling besar yaitu 28,4%. Karakteristik pekerjaan penderita filariasis di Indonesia yang paling besar adalah sebagai petani sebesar 32,2% dan tidak bekerja sebesar 37,7%. Karakteristik antara umur dan pekerjaan penderita di Kabupaten Tangerang dan penderita filariasis di seluruh Indonesia memiliki karakteristik yang sama. Persamaan karakteristik pekerjaan penderita berarti menandakan kondisi geografis tempat serupa yaitu sebagian bersar berupa persawahan. Sesuai dengan Departemen Kesehatan RI (2005) menyatakan bahwa lingkungan persawahan cocok sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk filariasis karena air yang menggenang dan langsung berhubungan dengan tanah. Karakteristik umur penderita filariasis yang ditemukan di Kecamatan Boneraya dari hasil Survei Darah Jari (SDJ) yaitu paling banyak pada kelompok umur >40 tahun sebesar 34%. Kelompok umur termuda yang ditemukan di Kecamatan Boneraya yaitu 10-14 tahun, tapi kategori umur tersebut memiliki persentase umur yang paling rendah yaitu 2,9%. Penderita filariasis di Kabupaten Tangerang dan Kecamatan Boneraya memiliki karakteristik umur yang sama, tetapi berbeda karakateristik pekerjaannya. Penderita di Kecamatan Boneraya 67 sebagian besar pekerjaannya bukan petani yaitu 54,3%. Namun, apabila dilihat dari aktivitas masyarakat pada malam hari, kelompok dewasa di Kecamatan Boneraya senang berkumpul seperti ronda, nonton televisi di luar rumah, berjualan, buang air besar di luar rumah, dan memasang obat nyamuk di luar rumah (Uloli, 2008). Kondisi tersebut membuat kelompok dewasa memiliki kecenderungan yang besar untuk kontak dengan nyamuk penular filariasis di luar rumah saat malam. Lain hal dengan Garjito (2013) yang menemukan penderita filariasis terbanyak di Desa Pangku Tolole pada kelompok umur 10-14 tahun. Persentase penderita filariasis sama besar antara usia 10-14 tahun dengan 30-39 tahun, yaitu masing-masing 25% dan 25%. Garjito menemukan penderita filariasis dengan Survei Darah Jari (SDJ). Sediaan darah yang diperiksa memiliki variasi umur mulai dari 2-4 tahun, sehingga hasil SDJ dapat digambarkan beragam berdasarkan kelompok umur. Karakteristik anak yang menderita filariasis selain menjadi pelajar adalah pekerjaannya membantu orang tuanya di kebun dari pagi hingga sore hari. Para orang tua lebih suka anak mereka bekerja membantu perekonomian dibandingkan harus sekolah. Hal tersebut membuat kelompok umur anak-anak juga memiliki kecenderungan yang sama besar dengan kelompok dewasa untuk kontak dengan nyamuk penular filariasis saat membantu orang tuanya. Besarnya proporsi penderita filariasis pada usia anak-anak menandakan tingginya transmisi potensial. Jika tingkat infeksi pada populasi tinggi, diikuti dengan transmisi yang potensial, maka anak-anak tidak terlindungi dari infeksi filariasis. Oleh karena itu bagi kabupaten atau kota yang dinyatakan endemis maka dilakukan pengobatan masal dengan harapan dapat menurunkan kasus 68 filariasis pada semua kelompok umur. Lingkungan yang sedang menjalani pengobatan masal filariasis (MDA) akan menurunkan tingkat infeksi dalam populasi. Apabila tingkat infeksi rendah dalam populasi, maka transmisi potensial juga rendah, sehingga anak-anak terlindungi dari infeksi (WHO, 2013). Sesuai dengan pernyataan Centers for Disease Control (2015) menyatakan bahwa orang yang hidup lama di daerah tropis atau sub tropis yang ditetapkan sebagai daerah endemis, maka setiap orang memiliki risiko untuk tertular penyakit tersebut. Orang yang tinggal pada daerah endemis dalam waktu yang singkat memiliki risiko yang lebih rendah untuk tertular penyakit. Oleh sebab itu, semua kelompok umur harus mencegah infeksi dengan cara menghindari gigitan nyamuk. Nyamuk yang membawa cacing mikroskopik biasa menggigit antara senja dan fajar. Terutama menurut Ramdhani (2009) pada tiga jam puncak gigitan nyamuk yaitu 21.00-22.00, 24.00-01.00, dan 02.00-03.00. 2. Jenis Kelamin Distribusi jenis kelamin penderita filariasis paling banyak diderita oleh laki-laki. Hal ini menunjukkan laki-laki memiliki kecenderungan yang besar terkena filariasis dibandingkan perempuan. Aktivitas laki-laki lebih banyak di luar rumah, sehingga meningkatkan risiko terkena filariasis (Santoso, 2011). Aktifitas yang berisiko bagi laki-laki yaitu seperti sering keluar rumah pada malam hari (Supali, 2002). Oleh karena itu, kecenderungan laki-laki untuk kontak dengan nyamuk penular filariasis lebih besar. 69 Belum ada penelitian yang menyebutkan bahwa secara genetik jenis kelamin laki-laki lebih rentan tertular filariasis dibandingkan perempuan. Penularan filariasis menurut Departemen Kesehatan RI (2005) terjadi bila ada 3 unsur seperti adanya sumber penularan, adanya vektor, dan manusia yang rentan terhadap filariasis. Manusia yang rentan adalah manusia yang tinggal di daerah endemis filariasis, tetapi transmigran dari daerah non endemis ke daerah endemis memiliki risiko terinfeksi lebih besar dibandingkan penduduk asli. Hasil penelitian di Kabupaten Tangerang memiliki persentase penderita laki-laki lebih besar dari perempuan yakni 60%. Pekerjaan yang dimiliki oleh laki-laki yaitu sebagai petani sebesar 55,56%, swasta sebesar 22%, pedagang sebesar 11%, guru ngaji sebesar 5,5%, dan petugas kebersihan sebesar 5,5%. Apabila dilihat dari pekerjaan yang memiliki aktivitas di luar rumah saat malam hari adalah petani dan pedagang. Sesuai dengan hasil wawancara bahwa seorang petani ketika hendak panen akan bekerja dari sore hingga melewati malam hari di sawah. Ketika musim panen, lingkungan persawahan akan ramai dengan orangorang yang membantu petani untuk memanen padi, mereka disebut sebagai buruh tani. Lebih besarnya persentase penderita filariasis laki-laki tidak selalu sama pada setiap daerah. Penelitian Irianti (2013) dan Kamaruddin (2013) menunjukkan bahwa kejadian filariasis lebih banyak ditemukan pada perempuan masing-masing yaitu sebesar 57,1% dan 60%. Hasil penelitian Kamaruddin (2013) apabila diihat dari perilaku berisiko seperti keluar rumah pada malam hari, perilaku masyarakat Kabupaten Pidie sebagian besar adalah untuk pengajian yang biasa dilakukan oleh kaum ibu dan yang tidak melakukan perlindungan diri dari gigitan nyamuk 70 sebesar 68,6%. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan bahwa perempuan juga memiliki kecenderungan yang lebih besar dibanding laki-laki untuk kontak dengan nyamuk penular filariasis apabila memiliki perilaku berisiko. Berdasarkan penelitian yang membahas antara jenis kelamin dengan filariasis tidak menutup kemungkinan bahwa perempuan juga memiliki risiko yang sama besar dengan laki-laki. Menurut Santoso (2011) laki-laki memiliki risiko yang besar kontak dengan nyamuk penular filariasis karena aktvitasnya di luar rumah saat malam hari. Garjito (2013) menyatakan bahwa perempuan juga memiliki risiko tertular filariasis saat membantu suaminya yang bekerja menggarap tanah. Tidak hanya aktivitas di luar rumah pada malam hari yang memiliki risiko kontak dengan nyamuk filariasis, Kementerian Kesehatan RI (2010) menyatakan bahwa nyamuk filariasis juga menggigit di dalam rumah. Oleh sebab itu, baik laki-laki maupun perempuan harus mengantisipasi gigitan nyamuk untuk upaya pencegahan penularan filariasis. Walaupun jenis kelamin laki-laki dibeberapa lokasi endemis memiliki frekuensi lebih sering mendapat gigitan ketika bekerja di luar rumah, tetapi perempuan juga memiliki kesempatan kontak dengan nyamuk di dalam rumah. 3. Pekerjaan Pekerjaan yang berisiko memungkinkan pekerja mengalami multi gigitan vektor penular filariasis. Sebelum didiagnosis menderita filariasis, para penderita memiliki pekerjaan berisiko yaitu sebagai petani, buruh tani, dan pedagang yang beraktivitas saat sore dan malam hari di luar rumah. Jika dibandingkan dengan 71 jenis kelamin, maka pekerjaan berisiko terbesar dimiliki oleh penderita berjenis kelamin laki-laki. (Kemenkes RI, 2010). Hasil penelitian di Kabupaten Tangerang menunjukkan bahwa sebagian besar penderita memiliki pekerjaan berisiko yaitu sebesar 60%. Pekerjaan berisiko yang dimiliki penderita sebelum tertular filariasis adalah petani, buruh tani, dan pedagang. Apabila dilihat antara pekerjaan berisiko dengan jenis kelamin, didapatkan laki-laki yang memiliki pekerjaan berisiko sebesar 72% dan perempuan yang memiliki pekerjaan berisiko sebesar 37%. Oleh karena itu, jika dilihat dari pekerjaan berisiko maka laki-laki memiliki kecenderungan yang lebih besar kontak dengan nyamuk penular filariasis. Penelitian Iriati (2013) dan Riftiana (2010) memiliki hasil yang sama dengan penelitian di Kabupaten Tangerang. Iriati (2013) dan Riftiana (2010) menunjukkan bahwa pekerjaan yang berisiko memiliki hubungan dengan kejadian filariasis. Iriati (2013) mengkategorikan pekerjaan berisiko di Kabupaten Labuhan Batu Selatan dan Asahan yaitu sebagai petani, nelayan, buruh kebun, dan pencari kayu, sedangkan Rifitiana (2010) mengkategorikan pekerjaan bersiko di Kabupaten Pekalongan adalah petani, pekerjaan yang dilakukan pada malam hari yaitu berdagang, buruh atau tukang. Jenis pekerjaan yang sama antara penderita filariasis di Kabupaten Labuhan Batu Selatan dan Asahan, Kabupaten Pekalongan, dan Kabupaten Tangerang adalah petani. Sebagaimana Departemen Kesehatan RI (2005) menyatakan bahwa lingkungan persawahan cocok sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk filariasis karena air yang menggenang dan langsung berhubungan dengan sawah. 72 Diketahui vektor penular filariasis di Kabupaten Labuhan Batu Selatan dan Asahan adalah Mansoia Uniformis sesuai Departemen Kesehatan RI (2005), Kabupaten Pekalongan adalah Culex quinquefasciatus sesuai Ramadhani (2009), dan Kabupaten Tangerang adalah Culex quinquefasciatus sesuai Kementerian Kesehatan RI (2011). Vektor penular ketiga kabupaten tersebut memiliki bionomik mencari darah pada malam hari (nokturnal) (Gandahusada, 2006). Tempat berkembangbiak Ma. Uniformis berada pada akar tanaman air di rawa dan empang, sedangkan Culex berada di tempat air kotor, sawah, air yang mengandung lumut dalam air tawar atau air payau (Kemenkes RI, 2011). Karakteristik pekerjaan yang sama antara Kabupaten Tangerang, Kabupaten Labuhan Batu Selatan dan Asahan, serta Kabupaten Pekalongan menunjukkan kondisi geografis tempat tinggal masyarakat memiliki beberapa persamaan. Sesuai dengan penjelasan Departemen Kesehatan RI (2011) yang menyatakan sawah merupakan breeding places nyamuk penular filariasis Culex dan Ma. uniformis berkembangbiak pada akar tanaman air di rawa, maka pekerjaan yang dekat dengan tempat perkembangbiakan nyamuk memiliki kecenderungan yang besar untuk kontak dengan nyamuk penular filariasis. Tidak selamanya pekerjaan yang berisiko mempengaruhi kejadian filariasis. Hasil penelitian Ardias (2012) di Kabupaten Sambas menyatakan bahwa pekerjaan berisiko tidak mempengaruhi kerjadian filariasis. Karakteristik pekerjaan penderita di wilayah tersebut yaitu bekerja di kebun, ladang, dan sawah. Jika dilihat dari karakteristik pekerjaan yang dimiliki oleh sebagian besar penderita, lokasi wilayah tidak jauh berbeda dengan Kabupaten Tangerang yaitu adanya persawahan dan kebun. Metode yang digunakan oleh Ardias (2012) yaitu 73 kasus kontrol. Walaupun sebagian besar penderita merupakan petani, tetapi jika dilihat dari variabel melindungi diri dari gigitan nyamuk dengan menggunakan obat nyamuk, maka sebagian besar kelompok kontrol menggunakan obat anti nyamuk. Kondisi tempat tinggal yang memiliki rantai penular filariasis memungkinkan setiap orang tertular penyakit tersebut (Depkes RI, 2005). Selain pekerjaan yang bersiko memungkinkan seseorang mengalami multi gigitan, kemungkinan lain untuk kontak dengan gigitan nyamuk terjadi di dalam rumah sebelum tidur karena tidak ada daya proteksi konstruksi rumah terhadap masuknya nyamuk ke dalam rumah (Paiting, 2012). Tanpa upaya intervensi pengendalian maka jumlah kasus klinis akan terus bertambah (Kemenkes RI, 2010). Supaya terhindar dari penularan filariasis maka semua orang wajib melakukan upaya pencegahan gigitan nyamuk dengan menggunakan pakaian yang lengkap menutupi badan dan penggunaan obat anti nyamuk. 4. Keluar Rumah Malam Hari Kebiasaan keluar rumah pada malam hari berkaitan dengan intensitas kontak dengan vektor penular filariasis (Depkes RI, 2005). Walau menghisap darah dari binatang peliharaan, mamalia, dan unggas, nyamuk penular filariasis lebih menyukai darah manusia (Chandra, 2007). Vektor filariasis daerah perkotaan di Provinsi Banten dan Jawa adalah Culex quinquefasciatus. Nyamuk Cx. quinuefasciatus betina menghisap darah manusia dan hewan sepanjang malam 74 dari sore hari hingga pagi hari, baik di dalam maupun di luar rumah (Kemenkes, 2011). Persentase hasil penelitian di Kabupaten Tangerang terkait perilaku penderita yang memiliki kebiasaan keluar rumah pada malam hari yaitu sebesar 72,5%. Apabila dilihat penderita yang memiliki kebiasaan keluar rumah pada malam hari dengan pekerjaan berisiko, maka seluruh penderita yang sering keluar rumah pada malam hari memiliki pekerjaan berisiko. Oleh karena itu, kecenderungan orang yang memiliki pekerjaan bersiko untuk kontak dengan nyamuk penular filariasis dilingkungan pekerjannya menjadi lebih besar. Sama halnya dengan penelitian Kamaruddin (2013) yang menyatakan bahwa faktor kebiasaan keluar rumah pada malam hari merupakan faktor dominan terhadap kejadian filariasis di Kabupaten Pidie. Aktivitas masyarakat di Kabupaten Pidie pada malam hari sudah menjadi kegiatan yang wajar, seperti kaum ibu biasa keluar rumah malam hari untuk mengaji, sedangkan laki-laki keluar rumah untuk bekerja di sawah, kebun atau hanya sekedar berkumpul di warung kopi. Kegiatan di luar rumah pada malam hari meningkatkan kecenderungan untuk kontak dengan nyamuk penular filariasis. Spesies vektor di Kabupaten Pidie, Banda Aceh adalah Cx. quinquefasciatus, Ma. Uniformis, dan Ma. Indiana(Depkes RI, 2005). Aktivitas menggigit Culex diketahui pada malam hari dan Mansonia diketahui menggigit lebih sering pada malam hari ketimbang siang hari (Gandahusada, 2006). Aktivitas menggigit nyamuk Cx. quinquefasciatus lebih banyak di luar rumah dibandingkan dengan di dalam rumah. Nyamuk menggigit di luar rumah dengan 75 tiga puncak gigitan yaitu pukul 21.00-22.00, 24.00-01.00, dan 02.00-03.00 (Ramdhani, 2009). Berdasarkan bionomik nyamuk terkait aktivitas mencari darah, masyarakat di Kabupaten Tangerang maupun Kabupaten Pidie berisiko untuk beraktivitas di luar rumah saat malam hari. Kebiasaan masyarakat keluar rumah pada malam hari didua kabupaten tersebut memiliki kecenderungan yang tinggi untuk kontak dengan nyamuk penular filariasis. Akan tetapi pada penelitian Uloli (2008), perilaku keluar rumah pada malam hari tidak berhubungan dengan kejadian filariasis. Penelitian Uloli (2008) menggunakan desain studi kasus kontrol. Apabila dilihat dari persentase penderita dan kontrol sebagian besar memiliki kebiasaan keluar rumah pada malam hari yaitu sebesar 87,1% dan 78,5%. Hal tersebut berarti aktivitas di luar rumah saat malam hari merupakan hal yang biasa di Kabupaten Bonebolango. Variabel perlindungan diri dari gigitan nyamuk seperti menggunakan lengan panjang pada kelompok kontrol memiliki persentase yang lebih besar ketimbang kasus yaitu 45,7%, sedangkan persentase kelompok kasus yang menggunakan lengan panjang hanya 25,7%. Oleh karena itu, aktivitas di luar rumah dengan memproteksi diri dari gigitan nyamuk menurunkan kecenderungan untuk kontak dengan nyamuk filariasis. Berdasarkan uraian di atas, sebagian besar penderita filariasis memiliki kebiasaaan keluar rumah pada malam hari. Sebaiknya masyarakat yang hidup pada lingkungan endemis mengurangi aktivitas di luar rumah saat malam hari. Apabila memiliki pekerjaan khusus yang diwajibkan untuk berada di luar rumah 76 saat malam hari, proteksi diri harus ditingkatkan untuk menghindari kontak dengan nyamuk penular filariasis. 5. Penggunaan kelambu Cara terbaik meghindari diri dari gigitan nyamuk saat tidur adalah dengan menggunakan kelambu (Garjito, 2013). Proteksi dari gigitan nyamuk menggunakan kelambu yang lebih baik direkomendasikan oleh WHO (2015) adalah dengan menggunakan kelambu berinsektisida. Kelambu berinsektisida telah diuji oleh Barodji, at al (1990) yang dikutip oleh WHO (2015) menyatakan bahwa pembedahan nyamuk sebelum pembagian kelambu berinsektisida sebesar 0,85% mengandung larva filariasis dan setelah pembagian kelambu menunjukkan hasil negatif. Hasil penelitian di Kabupaten Tangerang menunjukkan bahwa sebagian besar penderita yang tidak menggunakan kelambu sebelum didiagnosis menderita filariasis adalah sebesar 82,5%. Berdasarkan wawancara dengan penderita mengenai alasan tidak menggunakan kelambu adalah rasa panas yang ditimbulkan saat tidur menggunakan kelambu. Selain itu, ada juga yang mengatakan tidak memakai kelambu karena alasan kurang praktis yakni sebelum tidur dipasang dan pada pagi hari kelambu harus dirapihkan kembali. Tidak memiliki kelambu merupakan alasan yang paling banyak dinyatakan oleh penderita yang tidak menggunakan kelambu saat tidur. Sesuai dengan pernyataan Yatim (2007) bahwa kelambu merupakan alat proteksi yang telah digunakan sejak dahulu tetapi penggunaanya pada dewasa ini 77 sudah jauh berkurang karena dianggap kurang praktis. Banyak penduduk menganggap bahwa penggunaannya menyebabkan rasa lebih panas di ruangan yang telah penuh sesak. Jumlah lubang per cm kelambu sebaiknya 6-8 dengan diameter 1,2-1,5 mm. Penggunaan kelambu untuk mencegah terjadinya filariasis sesuai dengan penelitian Jontari (2014) yang menyatakan bahwa penggunaan kelambu berhubungan dengan kejadian filariasis. Persentase penelitian Jontrari (2014) terkait kebiasaan kontrol yang tidak menggunakan kelambu saat tidur hampir seimbang dengan kelompok kasus. Hal ini berarti rata-rata masyarakat Kabupaten Agam tidak biasa menggunakan kelambu saat tidur, tetapi mereka menggunakan obat anti nyamuk pada malam hari. Persetase kelompok kasus dan kotrol yang menggunakan obat anti nyamuk adalah 79,1% dan 78%. Karakteristik perilaku masyarakat dalam penggunaan kelambu di Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Agam adalah banyak masyarakat yang tidak biasa menggukan kelambu saat tidur. Vektor penular filariasis di Kabupaten Agam, Sumatra Barat adalah Mansonia spp. dan An. nigerimus (Dinkes RI, 2005). Menurut Gandahusada (2006) terkaitbionomik aktivitas menggigit nyamuk penular filariasis di Kabupaten Agam sama dengan di Kabupaten Tangerang yaitu mencari darah lebih sering pada malam hari. Nyamuk penular filariasis di Kabupaten Tangerang adalah Vektor filariasis daerah perkotaan di Provinsi Banten dan Jawa adalah Culex quinquefasciatus (Kemenkes, 2011). Hal tersebut sesuai dengan penelitian Astuti (2012) yang menyatakan bahwa nyamuk yang berperan sebagai vektor filariasis di 78 Kabupaten Serang, Provinsi Banten adalah Cx. quinquefasciatus. Penelitian skala lebih kecil oleh Dharma (2004) terkait fauna nyamuk untuk mendeteksi vektor filariasis di Kabupaten Tangerang khususnya di Kacamatan Mauk ditemukan nyamuk Culini seperti Cx. pseudovishnui, Cx. tritaeniorhynchus, dan Cx. quinuefasciatus. Berdasarkan nyamuk yang ditemukan, bionomik terkait aktivitas menggigit yaitu pada malam hari. Berdasarkan bionomik nyamuk penular filariasis di Kabupaten Agam dan Tangerang, masyarakat harus meningkatkan perlindungan diri dari gigitan nyamuk saat tidur malam hari. Aktivitas nyamuk penular yang aktif menggigit darah saat malam, meningkatkan kecenderungan untuk kontak dengan nyamuk penular filaraisis lebih besar. Ramdhani (2009) menjelaskan lebih lanjut mengenai bionomik nyamuk penular filariasis lebih lanjut yaitu nyamuk penular filariasis menggigit di dalam rumah yaitu pukul 20.00-21.00, pukul 22.00-23.00, dan tengah malam 02.0003.00. Menurut Chow (1959) Culex quinquefasciatus merupakan spesies anthropophilik, makan dan beristirahat di dalam tempat tinggal manusia. Hal ini karena nyamuk yang setengah bunting (belum menghisap darah maksimal) dan bunting tertangkap di dalam rumah, terutama pada kuartal pertama malam yaitu 18.00-21.00. Ada kemungkinan Cx. quinquefasciatus melengkapi siklus gonotrophic pada seluruh ruangan di rumah. Berdasarkan penjelasan tersebut, selain nyamuk penular filariasis menghisap darah di luar rumah, tetapi ada yang mencari darah di dalam rumah. Sebagian besar responden di Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Agam tidak 79 memiliki kebiasaaan mengunakan kelambu saat tidur malam hari. Hal tersebut berarti masyarakat di kedua kabupaten tersebut memiliki kencenderungan yang tinggi terpapar nyamuk filariasis saat tidur. Penelitian Paiting (2012) menyatakan bahwa penggunaan kelambu tidak memiliki hubungan dengan kejadian filariasis. Persentase kelompok kasus dan kontrol di Distrik Windesi hampir sama besar, sehingga menggunakan kelambu saat tidur bagi masyarakat di Distrik Windesi merupakan hal yang biasa. Vektor nyamuk penular filariasis di Distrik Windesi Provinsi Papua menurut Dinas Kesehatan RI (2005) adalah An. farauti, An. koliensis, An. punculatus, An. bancrofti, Cx. Annulirostris, Cx. bitaeniorhynchus, Cx. quinuefasciatus, Ae. kochi, dan Ma. uniformis. Berdasarkan bionomik mencari darah menurut Gandahusada (2006) nyamuk penular filariasis di Provinsi Papua bisa menggigit pada siang hari maupun malam hari. Mengambil getah sagu merupakan rata-rata pekerjaan masyarakat di Distrik Windesi. Perilaku seperti tidak menggunakan pakaian yang lengkap saat mengambil getah sagu membuat kecenderungan kontak dengan nyamuk penular filariasis menjadi lebih besar. Berdasarkan uriaian di atas, perbedaan karakteristik masyarakat setempat tidak bisa menjadikan suatu faktor risiko yang mempengaruhi kejadian filariasis sama pada setiap daerah. Penggunaan kelambu saat ini bukan menjadi hal yang tidak biasa, maka cara proteksi diri yang lain harus ditingkatkan. Bagi masyarakat yang menggunakan berinsektisida. kelambu lebih baik menggunakan kelambu yang 80 6. Penggunaan Obat Anti Nyamuk Departemen Kesehatan RI (2009) mengartikan cara menghindari diri dari gigitan nyamuk yaitu menggunakan kelambu, memasang kasa rumah, menggunakan obat nyamuk semprot, dan menggunakan obat nyamuk oles. Pada uraian kali ini, penggunaan obat anti nyamuk juga merupakan faktor risiko kejadian filariasis menurut Garjinto (2013), Windiastuti (2013), dan Syuhada (2012). Centers for Disease Control (2015) juga merekomendasikan penggunaan obat anti nyamuk antara senja dan fajar untuk menghindari diri dari penularan filariasis. Persentase hasil penelitian di Kabupaten Tangerang penderita yang tidak menggunakan obat anti nyamuk antara senja hingga fajar yaitu sebesar 60%. Padahal apabila dilihat antara responden yang menggunakan obat anti nyamuk dengan pekerjaan yang berisiko maka penderita yang tidak menggunakan obat anti nyamuk padahal memiliki pekerjaan yang berisiko adalah sebesar 83%. Hal tersebut membuat responden memiliki kecenderungan yang besar untuk kontak dengan nyamuk penular filariasis saat bekerja. Sesuai dengan penelitian Garjinto (2013), Windiastuti (2013), dan Syuhada (2012) yang dapat membuktikan bahwa tidak menggunakan obat anti nyamuk pada malam hari merupakan perilaku berisiko terhadap kejadian filariasis. Apabila dilihat dari pekerjaan berisiko maka kelompok kasus dan kontrol penelitian Garjinto (2013), Windiastuti (2013), dan Syuhada (2012) sebagian besar memiliki pekerjaan yang berisiko yang mengharuskan mereka bekerja pada senja hingga malam hari. Kecenderungan responden yang sehat pada 81 penelitian Ganjinto, Windiastuti, dan Syuhada kecil untuk terpapar gigitan nyamuk penular filariasis di lokasi kerja. Akan tetapi, tidak semua orang dapat menggunakan obat anti nyamuk. Sesuai pernyataan Yatim (2007) yaitu berbagai macam obat nyamuk yang beredar dimasyarakat ada yang tidak mengandung bahan aktif dan ada yang mengandung insektisida. Obat anti nyamuk terdiri dari obat nyamuk bakar dan gosok (repellant). Repellant dapat digunakan dibadan, pakaian, dan kelambu. Akan tetapi, kelemahan obat nyamuk adalah timbul iritasi pada orang yang sensitif sehingga dapat menimbulkan gangguan kesehatan (Yatim, 2007). Pernyataan Yatim (2007) sesuai dengan hasil wawancara terhadap penderita yang tidak menggunakan obat anti nyamuk. Obat anti nyamuk memberikan efek seperti panas dan kesat pada kulit. Selain itu adapula pernyataan responden yang menyatakan bahwa digigit nyamuk merupakan hal yang biasa, sehingga tidak ada upaya untuk melindungi diri dari gigitan nyamuk. Penelitian Uloli (2008) menyatakan tidak terdapat hubungan antara menggunakan obat anti nyamuk dengan kejadian filariasis. Persentase kasus dan kontrol yang menggunakan repellent hanya sebesar 7,1% dan 14,2%, sehingga mayoritas masyarakat di lokasi penelitian tidak menggunakan obat anti nyamuk. Ditambah dengan aktivitas di luar rumah masyarakat Bonebolango, sebagian besar kelompok kasus dan kontrol memiliki kebiasaan keluar rumah saat malam yaitu 87,1% dan 78,5%. Akan tetapi, sebagian besar responden yang tidak menderita filariasis memiliki kebiasaan memakai celana panjang, memakai kelambu, dan menggunakan kasa ventilasi. Oleh karena itu, kecenderungan 82 kontak dengan gigitan nyamuk pada kelompok yang tidak tertular filariasis rendah dengan proteksi diri seperti celana panjang, kelambu saat tidur, dan kasa ventilasi di rumah. Berdasarkan uraian di atas, selain manfaat dari obat anti nyamuk yang dapat menghindari dari gigitan ada beberapa orang yang memiliki kulit sensitif menggunakan obat anti nyamuk oles. Bagi orang yang memiliki kulit sensitif dapat melakukan peningkatan pencegahan diri dari gigitan nyamuk lainnya. Bagi penderita dan masyarakat yang tidak memiliki kulit sensitif diharapkan menggunakan obat anti nyamuk ketika waktu senja hingga fajar. 7. Penggunaan Baju dan Celana Panjang Penggunaan baju dan celana yang menutupi lengan dan kaki mengurangi frekuensi gigitan nyamuk (Kemenkes RI, 2010). Centers for Disease Control (2015) menyarankan bagi masyarakat yang tinggal ataupun berkunjung di daerah endemis filariasis untuk menggunakan kelambu, baju dan celana panjang, serta menggunakan obat anti nyamuk. Uraian kali ini membahas terkait penggunaan baju dan celana panjang terhadap kejadian filariasis. Sesuai penelitn Paiting (2012) menyatakan bahwa seseorang yang tidak menggunakan baju dan celana panjang saat bekerja di kebun meningkatkan risiko terjadinya filariasis. Hasil penelitian di Kabupaten Tangerang menunjukkan bahwa 65% penderita tidak menggunakan baju dan celana panjang saat sore dan malam hari. Berdasarkan wawancara dengan penderita, responden kerap menggunakan baju lengan pendek saat berada di luar rumah malam hari. Bagi penderita yang berada 83 di dalam rumah saat malam hari, pakaian yang digunakan tidak menutup lengan dan kaki secara keseluruhan. Hal tersebut membuat kecenderungan yang lebih besar terhadap frekuensi gigitan nyamuk penular filariasis bagi orang yang tidak menggunakan baju dan celana panjang saat malam. Paiting (2013) dapat membuktikan bahwa penggunaan baju dan celana panjang berhubungan dengan kejadian filariasis di Kampung Seruman dan Windesi, Papua. Pekerjaan masyarakat disana sering berada di kebun, sehingga kelengkapan pakaian mempengaruhi besarnya kontak dengan nyamuk filariasis. Selain itu, kondisi lingkungan rumah di Papua masih banyak breeding places seperti hutan, semak, dan tumbuhan air. Lain hal dengan penelitian Nasrin (2008) di Kabupaten Bangka Barat yang menyatakan tidak terdapat hubungan antara penggunaan baju dan celana panjang dengan kejadian filariasis, sehingga masyarakat disana biasa tidak menggunakan baju dan celana panjang saat malam. Apabila dilihat dari pekerjaan bersiko, kelompok kasus memiliki pekerjaan berisiko lebih besar dibanding kontrol yaitu 84,4% dan 59,9%. Kecenderungan kelompok kasus dan kontrol sama untuk terpapar gigitan nyamuk penular filariasis di lokasi kerja. Namun, bila dilihat dari keberadaan rawa di sekitar rumah sebagai breeding place, maka kelompok kasus lebih besar persentasenya daripada kontrol yaitu 78,1% dan 53,1%. Oleh karena didaerah tertentu banyak penderita yang tidak menggunakan baju dan celana panjang saat malam hari, maka sebaiknya penderita maupun masyarakat sekitar menggunakan baju dan celana panjang saat malam. Penggunaan baju dan celana panjang saat malam dapat melindungi tubuh dari 84 gigitan nyamuk walaupun beberapa penelitian menghasilnya hasil yang tidak signifikan. B. Distribusi Kejadian Filariasis Berdasarkan Komponen Lingkungan 1. Kondisi Saluran Penampungan Air Limbah Nyamuk penular filariasis di Kabupaten Tangerang adalah vektor filariasis daerah perkotaan di Provinsi Banten dan Jawa adalah Culex quinquefasciatus (Kemenkes, 2011). Hal tersebut sesuai dengan penelitian Astuti (2012) yang menyatakan bahwa nyamuk yang berperan sebagai vektor filariasis di Kabupaten Serang, Provinsi Banten adalah Cx. quinquefasciatus. Penelitian skala lebih kecil oleh Dharma (2004) terkait fauna nyamuk untuk mendeteksi vektor filariasis di Kabupaten Tangerang khususnya di Kacamatan Mauk ditemukan nyamuk Culini seperti Cx. pseudovishnui, Cx. tritaeniorhynchus, dan Cx. quinuefasciatus. Pembuangan air limbah melalui tempat-tempat penampungan air di halaman rumah akan memberikan tempat bagi serangga seperti Cx. quinquefasciatus. Jika kondisi tanah kurang dapat ditembus air, sementara penggunaan air atau kepadatan rumah tinggi, metode pembuangan air limbah yang memenuhi syarat mutlak diperlukan. Apabila genangan air limbah tergenang, dapat menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk (Chandra, 2007). World Health Organization (2013) juga menyatakan bahwa Cx. quinquefasciatus berkembang pesat didaerah perkotaan yang memiliki drainase dan sanitasi yang tidak memadai. Tempat perkembangbiakan perlu diketahui 85 karena tempat perkembangbiakan merupakan tempat yang menjadi sumber vektor baru untuk transmisi filariasis. Spesies nyamuk yang menyukai tempat permanen adalah Anopheles, Culex, Mansinoa, spp., sedangkan Aedes menyukai tempat sementara. Oleh karena itu, tempat perkembangbiakan yang permanen dapat terlihat jelas oleh manusia (WHO,2013). Di Kabupaten Tangerang, penderita yang memiliki kondisi Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL) buruk sebesar 80%. Hal ini sesuai dengan pernyataan pemegang program filariasis di Rajeg sejak 2005 hingga saat ini, Lukman menyatakan bahwa saluran pembuangan air limbah dahulu buruk, terutama di daerah Sukatani yang sampai sekarang masih buruk. Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL) masyarakat mengandalkan kali atau sawah terdekat untuk dialiri air limbah. Kubangan air limbah disekitar rumah juga kerap ditemukan. Berdasarkan hal itu, masyarakat Kabupaten Tangerang memiliki tempat potensial untuk perkembangbiakan Cx. quinquefasciatus. Kecenderungan masyarakat di Kabupaten Tangerang tinggi untuk kontak dengan nyamuk penular filariasis bila tidak segera memperbaharui kondisi SPAL. Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL) yang memiliki hubungan dengan kejadian filariasis menurut Santoso (2011), Mardiana (2011), dan Pramono (2014) adalah tidak ada pembuangan saluran air limbah khusus. Santoso, Mardiana, dan Pramono menjelaskan bahwa SPAL yang tidak memiliki saluran limbah dan air limbahnya terbuka merupakan kondisi SPAL yang turut mempengaruhi kejadian filariasis. Pernyataan mengenai ciri-ciri SPAL yang buruk sama halnya dengan kondisi SPAL di Kabupaten Tangerang saat sebelum penderita didiagnosis menderita filariasis. 86 Kondisi pencemaran limbah cair domestik di Kabupaten Tangerang dapat ditelusuri dari ulasan laporan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2008-2013 di Kabupaten Tangerang, beban pencemaran domestik atau rumah tangga menunjukkan beban pencemaran limbah yang tinggi. Adanya jamban akan mengurangi limbah cair domestik yang harus dibuang ke air permukaan. Pengelolaan terhadap limbah cair domestik telah dilakukan masyarakat, namun belum seluruh masyarakat di Kabupaten Tangerang dapat memenuhi syarat. Berdasarkan pernyataan RPJMD Kabupaten Tangerang (2013) yang menyatakan untuk mengurangi pembuangan air limbah ke air permukaan, maka dibutuhkan jamban. Hasil penelitian ini didukung oleh survei lapangan pemerintah Kabupaten Tangerang terhadap pola pemakaian sarana pembuangan air limbah masyarakat yang didapati sebagian besar pola pemakaian masih buruk. Masyarakat yang tidak memakai ataupun tidak memiliki sarana sanitasi ditandai dengan pembuangan air bekas cuci dibuang ke tanah sekitar pekarangan. Pola tersebut dijumpai di Kecamatan Mauk, Sukadiri, Pakuhaji, Kemiri, Kronjo, Kresek, Sukatani. Pola lain seperti sudah memakai sarana sanitasi sederhana hanya buangan kakus diarahkan ke empang dan air bekas cuci dialirkan ke tanah kosong belakang rumah. Ditemukan pula pola seperti sudah memakai sarana sanitasi modern tapi belum buangan kakus dialirkan ke cubluk dan air bekas cuci dialirkan ke got depan rumah menuju empang (Review RPJMD Kabupaten Tangerang, 2013). Berdasarkan data tersebut, adanya SPAL di tengah masyarakat Kabupaten Tangerang masih kurang, selain itu pola perilaku yang tidak memanfaatkan saluran pembuangan air limbah menjadi pekerjaan yang tidak kalah penting untuk 87 merubah perilaku masyarakat agar tertib menggunakan saluran pembuangan air limbah. Apabila pencemaran limbah domestik terus meningkat dan tidak dibarengi dengan pembuatan SPAL yang memadai dapat dipastikan tempat perkembangbiakan nyamuk terutama Culex quinquefasciatus terus meningkat. Selain itu, perbaikan kondisi SPAL yang buruk semakin diperlukan karena jika dilihat dari kepadatan penduduk di Kabupaten Tangerang semakin meningkat setiap tahunnya. Kepadatan penduduk tahun 2008 sebanyak 2615 menurut Review RPJMD Kabupaten Tangerang (2013) dan tahun 2014 mencapai 3117,8 menurut Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan (2014). Agar menciptakan kondisi lingkungan yang baik terutama untuk menekan tempat perkembangbiakan nyamuk Cx. quinquefasciatus pemerintah setempat harus mempertahatikan kondisi saluran buangan air limbah terutama di pemukiman. Konstruksi drainase atau saluran pembuangan air memiliki dua jenis, yaitu saluran terbuka dan saluran tertutup (Suhardjono, 1984). Saluran air yang terbuka diperbolehkan untuk daerah yang memiliki area yang luas, sehingga tidak membahayakan kesehatan maupun mengganggu lingkungan. Bagi daerah seperti di tengah kota harus memiliki saluran tertutup karena umumnya dipakai untuk aliran air kotor yang dapat mengganggu kesehatan lingkungan. Berdasarkan penjelasan Suhardjono (1984) mengenai konstruksi drainase yang sesuai, Kabupaten Tangerang maupun kota lainnya harus memiliki saluran yang tertutup supaya tidak mengganggu kesehatan lingkungan. Pengelolaan air limbah rumah tangga yang paling sederhana menurut Kementerian Negara Riset dan Teknologi (2000) yaitu dengan menggunakan pasir 88 dan benda-benda terapung melalui bak penangkap pasir dan saringan. Benda yang malayang dapat dihilangkan oleh bak pengendap yang dibuat khusus untuk menghilangkan minyak dan lemak. Lumpur dari bak pengendap pertama dibuat stabil dalam bak pembusukan lumpur. Pada lokasi bak pembusukan lumpur, lokasi tersebut menjadi semakin pekat dan stabil, kemudian dikeringkan dan dibuang. Berdasarkan penjabaran mengenai pengaruh kondisi SPAL yang buruk dengan kejadian filariasis, perbaikan kondisi Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL) dapat mengurangi tempat perkembangbiakan nyamuk. Beberapa referensi mengenai pembuatan saluran limbah ataupun jumban guna mengurangi pencemaran limbah rumah tangga mutlak harus dikerahkan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, baik penderita maupun masyarakat setempat harus bergotong royong untuk mewujudkan dibangunnya SPAL yang baik. 2. Penggunaan Kawat Kasa Kawat kasa yang dipasang pada bagian ventilasi berguna untuk mencegah nyamuk masuk ke dalam rumah (Febrianto, 2008). Penggunaan kasa pada rumah termasuk pengendalian nyamuk secara mekanik (Semberl, 2009). Kawat kasa harus dipasang pada setiap lubang yang ada pada rumah. Jumlah lubang pada kawat kasa yang dianggap optimal 14-16 per inci (2,5 cm). Bahannya bisa terbuat dari alumunium hingga plastik (Yatim, 2007). Penelitian Jontari (2014) dan Syuhada (2012) menyatakan bahwa tidak terpasangnya kawat kasa berhubungan dengan kejadian filariasis. 89 Hasil penelitian di Kabupaten Tangerang terdapat 87,5% penderita yang tidak memasang kawat kasa di rumahnya. Berdasarkan hasil wawancara didapatkan bahwa saat mereka mengikuti Survei Darah Jari (SDJ), kondisi rumah masih menggunakan bilik, sehingga hanya ada jendela dan pintu saja sebagai lubang udara. Selain itu, ada penderita yang menyatakan alasan ekonomi, yaitu memasang kawat kasa berarti mengeluarkan uang lebih besar lagi. Sesuai dengan pernyataan Setiawan (2008) yang mengatakan bahwa tidak memasang kawat kasa di rumah dapat dikarenakan alasan ekonomi. Penelitian Jontari (2014) yang menyatakan bahwa tidak memasang kawat kasa berhubungan dengan kejadian filariasis. Apabila dilihat dari kondisi lingkungan antara rumah dengan tempat perkembangbiakan nyamuk maka kelompok kasus memiliki persentase yang lebih besar dekat dengan rawa-rawa, persawahan, dan perkebunan kelapa sawit. Maka dari itu, untuk menurunkan tingkat populasi nyamuk yang masuk ke dalam rumah ventilasi harus ditutup. Apabila dilihat rumah yang menggunakan kawat kasa dengan jarak sawah 200 meter dari rumah, maka sebagian besar rumah yang memiliki jarak dekat dengan sawah sebesar 80,8% tidak menggunakan kawat kasa. Hal tersebut dapat meningkatkan populasi nyamuk yang masuk ke dalam rumah. Oleh karena nyamuk penular filariasis menurut Kementerian Kesehatan RI (2010) dapat menggigit di dalam rumah, maka tidak memasang kasa ventilasi memiliki kecenderungan yang tinggi untuk kontak dengan nyamuk penular filariasis di dalam rumah. 90 Berdasarkan uraian di atas, apabila kondisi rumah tidak dapat di intervensi, maka proteksi diri harus ditingkatkan. Bagi penderita dan masyarakat yang memiliki ventilasi dan tidak memiliki alasan ekonomi untuk memasang kasa sebaiknya lubang ventilasi ditutup dengan kawat kasa. 3. Penggunaan Plafon Kondisi Rumah Sehat Sederhana (RSS) di Indonesia salah satunya adalah memiliki plafon atau langit-langit terbuat dari triplek (Chandra, 2007). Pemasangan plafon memiliki risiko yang berbeda antara orang yang memasang plafon dengan yang tidak memasang plafon terhadap kejadian filariasis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar penderita tidak memiliki plafon di rumahnya. Penderita yang tidak memasang plafon di rumahnya sebesar 87,5%, sedangkan penderita yang memasang plafon di rumahnya sebesar 12,5%. Lebih lanjut lagi, hasil observasi terhadap kondisi plafon yang tidak mengalami renovasi semenjak pederita didiagnosis menderita filariasis adalah berup bilik atau anyaman dari bambu. Plafon tersebut tetap memiliki celah yang memungkinkan nyamuk masuk ke dalam rumah. Hal ini sesuai dengan penelitian Juriastuti (2010), Kamaruddin (2013), dan Iriati (2013) menyatakan bahwa tidak terpasangnya plafon pada rumah berhubungan dengan kejadian filariasis. Masyarakat yang memiliki rumah tanpa plafon meningkatkan kecenderungan untuk kontak dengan nyamuk penular filariasis di dalam rumah. 91 Apabila dilihat penggunaan plafon dengan jarak sawah 200 meter sebagai tempat perindukan nyamuk, maka sebagian besar penderita yang tinggal dekat dengan sawah tidak memasang plafon pada rumah yaitu 73,1%. Pemasangan plafon merupakan antisipasi mengurangi intensitas nyamuk yang masuk ke dalam rumah. Tidak menggunakan plafon pada rumah meningkatkan kecenderungan seseorang untuk kontak dengan nyamuk penular lebih besar. Bersarnya proporsi penderita yang tidak memiliki plafon di rumahnya sesuai dengan beberapa penelitian terdahulu. Juriastuti (2010) menyatakan bahwa pemasangan plafon pada rumah merupakan faktor paling berisiko di Kelurahan Jati Sampurna. Iriati (2013) juga menunjukkan bahwa konstruksi plafon juga faktor risiko yang paling besar setelah keberadaan tanaman air di sekitar rumah terhadap kejadian filariasis. Berdasarkan hal tersebut, pemasangan plafon merupakan salah satu faktor risiko yang memungkinkan seseorang lebih besar terkena gigitan nyamuk penular filariasis. Oleh sebab itu, bagi penderita dan masyarakat yang tidak memiliki alasan ekonomi untuk memasang plafon atau merenovasi agar plafon memiliki kerapatan yang baik maka diharapkan untuk mewujudkannya. Bagi penderita dan masyarakat yang memiliki alasalan ekonomi, proteksi diri seperti mengurangi aktivitas di luar rumah saat malam, menggunakan baju dan celana panjang saat malam, serta menggunakan obat antinyamuk agar lebih ditingkatkan. 92 4. Keberadaan Barang Bergantung Culex sering beristirahat disudut-sudut gelap kamar, tempat penampungan air, dan gorong-gorong (WHO, 2013). Tempat istirahat nyamuk Cx. quinquefasciatus biasanya di dalam rumah, seperti kolong tempat tidur, baju yang digantung, dan tempat yang kotor dan gelap (Kemenkes RI, 2011). Sesuai dengan penelitian Juriastuti (2010) dan Kamaruddin (2013), menyatakan bahwa terdapat hubungan antara keberadaan barang-barang bergantung di dalam rumah, terutama di kamar berhubungan dengan kejadian filariasis. Hasil penelitian di Kabupaten Tangerang menunjukkan bahwa sebesar 90% penderita memiliki barang-barang bergantung di dalam rumah. Berdasarkan hasil wawancara dengan penderita yang kerap menggantung dan menumpukkan baju di kamar yaitu karena kondisi rumah penderita yang sempit merupakan alasan penderita untuk menggantukan barang-barang berbahan kain, sehingga memungkinkan gantungan tersebut menjadi tempat peristirahatan nyamuk. Juriastuti (2010) dan Kamaruddin (2013) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara keberadaan barang-barang bergantung di dalam rumah dengan kejadian filariasis terutama di kamar. Sebagian besar kelompok kontrol pada penelitian Juriastuti (2010) tidak memiliki barang bergantung di rumahnya yaitu 88,2%. Penelitian Paiting (2012) menyatakan bahwa keberadaan barang bergantung tidak bersiko dengan kejadian filariasis di Kabupaten Kepulauan Yapen. Persentase kelompok kasus dan kontrol yang memiliki kebiasaan keluar rumah saat malam hari lebih besar, sehingga masyarakat disana jarang berada di 93 dalam rumah saat malam. sebagian besar kondisi lingkungan rumah masyarakat kabupaten Yapen yang berpotensi sebagai breeding places yaitu adanya genangan air, keberadaan hutan atau semak, dan keberadaan tumbuhan air. rumah yang dekat dengan breeding places dan kebiasaan keluar rumah saat malam membuat masyarakat di Kabupaten Kepulauan Yapen memiliki kecenderungan yang besar untuk kontak dengan nyamuk penular filariasis. Oleh karena itu, bagi penderita dan masyarakat sekitar untuk mengurangi keberadaan nyamuk di dalam rumah terutama di dalam kamar salah satunya dengan merapikan barang-barang bergantung yang dimilikinya. 5. Keberadaan Sawah Daerah endemis filariasis pada umumnya adalah daerah dataran rendah, terutama di pedesaan, pantai, pedalaman, persawahan, dan rawa-rawa. Lingkungan persawahan cocok sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk filariasis karena air yang menggenang dan langsung berhubungan dengan tanah (Depkes RI, 2005). Sesuai dengan pernyataan Kementerian Kesehatan RI bahwa vektor penular filariasis di Provinsi Banten adalah Cx. quinquefasciatus. Perkembangbiakan nyamuk filariasis salah satunya pada air yang menggenang dan berhubungan langsung dengan tanah. Lingkungan persawahan cocok sebagai reservoir untuk nyamuk filariasis (Kemenkes RI, 2011). Berdasarkan survei fauna nyamuk guna mengetahui nyamuk penular filariasis di Kecamatan Mauk, Kabupaten Tangerang, tempat perindukan yang paling banyak ditemukan spesies 94 nyamuk adalah di sawah. Spesies nyamuk tersebut adalah An. subpictus, An. vagus, Cx. Bitaeniorrhyncus, dan Cx. tritaeriorhymchus (Ardias, 2012). Nyamuk dapat terbang sejauh 200 meter dari tempat perkembangbiakannya (Achmadi, 2011). Bahkan untuk nyamuk penular filariasis dapat terbang mencapai 6 kilometer, tetapi biasanya 1,5 kilometer (Kemenkes RI, 2011). Pada penelitian ini sebagian besar penderita yang memiliki jarak rumah dengan sawah 200 meter sebesar 85%. Apabila dilihat dari karakteristik pekerjaan yaitu sebagai petani dan buruh tani sebesar 56%, pedagang sebesar 10%, dan sisanya bukan pekerjaan yang berisiko. Berdasarkan hal tersebut, pekerjaan bersiko memiliki kecenderungan yang tinggi untuk kontak dengan nyamuk penular filariasis. Kemudian kondisi sekitar rumah yang memiliki jarak dekat dengan tempat perindukan nyamuk, menambah kecenderungan yang besar pula untuk kontak dengan nyamuk penular filariasis di rumah. Tinggal dekat dengan persawahan berhubungan dengan kejadian filariasis menurut penelitian Juriastuti (2010), dan Kamaruddin (2013). Kamaruddin (2013) mengkategorikan jarak dekat antara rumah dengan sawah yaitu 100 meter, hasilnya adalah orang yang disekitar rumahnya memiliki jarak 100 meter berhubungan dengan kejadian filariasis. Juriastuti (2010) mengkategorikan jarak dekat yaitu 200 meter, hasilnya adalah orang yang tinggal pada jarak 200 meter juga berhubungan dengan kejadian filariasis. Maka masyarakat yang tinggal dekat dengan lokasi perkembangbiakan nyamuk memiliki kecenderungan lebih besar terpapar nyamuk penular filariasis. 95 Berbeda dengan penelitian Syuhada (2012) yang menyatakan tidak terdapat hubungan antara keberadaan sawah dengan kejadian filariasis. Sebagian besar kelompok kasus dan kontrol berada jauh dengan tempat perkembangbiakan, yaitu 200 meter. Syuhada mengukur keberadaan vektor filariasis di dalam dan di luar rumah. Hasil yang didapat oleh Syuhada mengenai keberadaan vektor filariasis di dalam rumah memiliki hubungan dengan kejadian filariasis, sedangkan keberadaan vektor di luar rumah tidak memiliki hubungan dengan kejadian filariasis. Selain itu, pada lokasi tersebut rumah yang dekat dengan penderita filariasis berhubungan dengan kejadian filariasis. Maka dari itu, kecenderungan masyarakat terpapar nyamuk penular filariasis tinggi. Berdasarkan uraian di atas, beberapa penelitian menyatakan rumah dekat dengan sawah memiliki hubungan dan ada yang tidak memiliki hubungan. Jika didasarkan dengan tempat perkembangbiakan nyamuk penular maka sawah merupakan breeding places yang baik. Oleh sebab itu, bagi penderita dan masyarakat yang memiliki tempat tinggal dekat dengan sawah harus memiliki rasa protektif terhadap gigitan nyamuk yang tinggi. Meningkatkan proteksi diri dan memperbaiki kondisi lingkungan diharapkan dapat menurunkan penularan filariasis. BAB 7 SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Kabupaten Tangerang periode 2005-2015 terhadap kejadian filariasis dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Distribusi Kejadian Filariasis Berdasarkan Host Kejadian filariasis paling banyak terjadi pada penderita kelompok usia 36-45 tahun yaitu sebesar 43,3%. Jenis kelamin yang paling banyak menderita filariasis yaitu laki-laki sebesar 60%. Pekerjaan yang dimiliki penderita filariasis sebagian besar berisiko yaitu sebesar 66,7%. Penderita yang memiliki kebiasaan keluar rumah malam hari yaitu sebesar 66,7%. Penderita yang tidak biasa menggunakan kelambu yaitu sebesar 76,7%. Penderita yang tidak menggunakan obat antinyamuk yaitu sebesar 60%. Penderita yang tidak menggunakan baju dan celana panjang saat malam yaitu sebesar 63,3%. 2. Distribusi Kejadian Filariasis Berdasarkan Lingkungan Kejadian filariasis paling banyak terjadi pada penderita yang memiliki SPAL buruk yaitu sebesar 80%.Penderita yang tidak menggunakan kawat kasa yaitu sebesar 86,7%.Penderita yang tidak 97 menggunakan plafon yaitu sebesar 86,7%.Penderita yang memiliki barang-barang bergantung di rumahnya yaitu sebesar 90%.Penderita yang rumah dengan sawah memiliki jarak 200 meter yaitu sebesar 73,3%. B. Saran 1. Bagi Peneliti Lain Penelitian terkait vektor utama menjadi hal yang penting untuk dilakukan kedepannya. Diketahuinya vektor utama penular filariasis per kecamatan, memudahkan untuk mengidentifikasi bionomik nyamuk. Sehingga karakteristik nyamuk terkait tempat perkembangbiakan, perilaku menghisap darah, dan kebiasaan beristirahat dapat diketahui. Jika telah diketahui komponen di atas, pencegahan terhadap gigitan nyamuk ataupun intervensi vektor secara kimia, biologi, dan mekanik lebih tepat sasaran. 2.Bagi Puskesmas a. Meningkatkan penyuluhan kepada masyarakat terhadap penyakit filariasis, sebab cara penularannya sering dianggap biasa bagi masyarakat yaitu dengan gigitan nyamuk. Bagi pekerja yang berisiko sering berada di luar rumah seperti petani, pihak puskesmas dapat bekerja sama dengan penderita 98 filariasis yaitu mendatangkan penderita yang memiliki karakteristik sama dengan masyarakat agar menjelaskan pentingnya menghindari diri dari gigitan nyamuk. Jika masyarakat telah melihat dampaknya, diharapkan masyarakat memiliki kesadaran yang tinggi untuk menjaga diri mereka dari gigitan nyamuk terutama saat senja hingga fajar. b. Surveilans mengenai penderita filariasis dan surveilans vektor penyakit untuk pengambil keputusan dan kebijakan agar tidak terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) dikemudian hari. C. Bagi Masyarakat a. Sebaiknya bagi masyarakat yang tinggal dalam lingkungan yang memiliki rantai penularan filariasis harus meningkatkan proteksi diri dari gigitan nyamuk. Proteksi diri yang dimaksud adalah seperti variabel penelitian ini yaitu menggunakan kelambu saat tidur, menggunakan baju dan celana panjang dari senja hingga petang, serta menggunakan obat anti nyamuk. Dari ketiga cara proteksi diri perlindungan dari gigitan nyamuk, sebagian besar penderita tidak memiliki kebiasaan tersebut. Oleh karena itu diharapkan bagi masyarakat untuk meningkatkan perlindungan diri saat senjang hingga fajar dari gigitan nyamuk. b. Masyarakat sebaiknya menghindari kebiasaan berada di luar rumah saat malam. Apabila memiliki aktivitas yang mengharuskan berkerja pada malam hari diluar rumah terutama bagi petani diharapkan untuk selalu memproteksi diri dari gigitan nyamuk. 99 DAFTAR PUSTAKA Achmadi, Umar. 2011. Dasar-dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Ardias. 2012. Faktor Lingkungan dan Perilaku Masyarakat yang Berhubungan dengan Kejadian Filariasis di Kabupaten Sambas. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, Vol. 11. No. 2. Astuti, Endang. 2012. Kepadatan Nyamuk Kuningan dan Batukuwung Tersangka Vektor Filariasis di Desa Panumbangan, Kabupaten Ciamis, Desa Jalaksana Kabupaten dan Kabupaten Serang. Jurnal Ekologi Kesehatan. Vol. 11. No. 4. Center for Health Research and Development. 2008. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2015. Lymphatic Filariasis: Epidemiology and Risk Factors. Diakses pada 05 Mei 2015, dari http://www.cdc.gov/parasites/lymphaticfilariasis/epi.html Chandra, Budiman. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: EGC. Chow. 1959. The Vector Of Filariasis In Djakarta and Its Bionomics. Bull. World Health Organization. Depkes RI. 2008. Pedoman Program Eliminasi Filariasis. Jakarta: Ditjen PP dan PL Depkes RI. Depkes RI. 2009. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Klinis Filariasis. Jakarta: Ditjen PP dan PL Depkes RI. Dharma. 2004. Survei Nyamuk di Desa Marga Mulya, Kecamatan Mauk, Tangerang. Jurnal Kedokteran Trisakti. Vol 23. No. 2. Dinkes Banten. 2007. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Banten. Serang: Dinas Kesehatan Banten. Dinkes Banten. 2012. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Banten. Serang: Dinas Kesehatan Banten. Dinkes Kabupaten Tangerang. 2013. Profil Kesehatan Kabupaten Tangerang. Tangerang: Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang. Dirjen Cipta Karya. Rumah dan Lingkungan Perumahan Sehat. Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum. 100 Elytha. 2014. Transmission Assessment Survey sebagai salah satu langkah penentuan Eliminasi Filariasis. Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas. Vol. 8. No. 2. Febrianto. 2008. Faktor Risiko Filariasis di Desa Samborejo, Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah. http://www.litbang.depkes.go.id/~djunaedi/documentation/360208pdf/bagus.pdf. Diakses pada 5 Juni 2015. Gandahusada, Sri. 2006. Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Gaya Baru. Garjito, Triwibowo. 2013. Filariasis dan Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Penularannya di Desa Pangku-Tolole, Kecamatan Ampibabo, Kabupaten Parigi-Moutong, Provinsi Sulawesi Tengah. Jurnal Vektora Volume V No. 2. Githeko, A. 2000. Climate Change and Vector Borne Disease: A Regional Analysis. World Health Organization (WHO). Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR) Bidang Kesehatan. 2010. Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. Irianti. 2013. Faktor-faktor Lingkungan Terhadap Kejadian Mikrofilari Positif dan Filariasis di Kabupaten Labuhan Batu Selatan dan Kabupaten Asahan tahun 2013. Thesis; Universitas Sumatera Utara. Jontari, Hutagalung. 2014. Faktor-faktor Risiko Kejadian Penyakit Lymhatic Filariasis di Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat 2010. OSIR Volume 7, page 9-15. Juriastuti, Puji. 2010. Faktor Risiko Kejadian Filariasis di Kelurahan Jati Sampurna. Makara Kesehatan Volume 14, Nomor 1. Kamaruddin. 2013. Hubungan Karakteristik Penderita dan Sanitasi Rumah Serta Lingkungan dengan Kejadian Filariasis di Kabupaten Pidie. Tesis. Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). 2005. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kemenkes RI. 2010. Epidemiologi Filariasis di Indonesia. Jakarta: Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementerian Kesehatan RI. Kemenkes RI. 2011. Atlas Vektor Penyakit di Indonesia Seri 1. Jakarta: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit. 101 Kementerian Negara Riset dan Teknologi. 2000. Saluran Pembuangan Air Limbah. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 158.MENKES/SK/XI/2005: Pedoman Pengendalian Filariasis (Penyakit Kaki Gajah). Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang. 2013. Laporan Kasus Filariasis Kabupaten Tangerang. Lebl. 2013. Predicting Culex pipiens/restuans Population Dynamics by Interval LaggedWeather Data. Research.Lebl et al. Parasites & Vectors. Mardiana. 2012. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Filariasis di Indonesia. Jurnal Ekologi Kesehatan. Vol. 10. No. 2. Nasrin. 2008. Faktor-faktor Lingkungan dan Perilaku yang Berhubungan dengan Kejadian Filariasis di Bangka Barat. Jurnal Kesehatan Lingkungan. Vol. 12. No. 1. Paiting, Yulius. 2012. Faktor Lingkungan dan Kebiasaan Penduduk Berhubungan dengan Kejadian Filariasis di Distrik Windesi Kabupaten Kepulauan Yapen Provinsi Papua. Pramono. 2014. Analisis Filariasis dengan Zero Inflated Poisson (ZIP) Regression Approach. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. Vol. 17. No. 1. Ramadhani, Tri. 2009. Aktivitas Menggigit Nyamuk Culex quinquefasciatus Di Daerah Endemis Filariasis Limfatik Kelurahan Pabean Kota Pekalongan Provinsi Jawa Tengah. Aspirator Volume 4, No. 1. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2008-2013 di Kabupaten Tangerang. 2013. Riftiana, Nola. 2010. Hubungan Sosiodemografi dengan Kejadian Filariasis di Kabupaten Pekalongan. KESMAS Volume 4, Nomor 1. Santoso. 2010. Kepatuhan Masyarakat Trhadap Pengobatan Massal Filariasis di Kabupaten Belitung Timur 2008. Buletin Penelitian Kesehatan. Vol. 38. N0. 4. Semberl. 2009. Progress Report 2000-2009 and Strategic Plan 2010 of Filariasis. WHO Publication. Setiawan, Budi. 2008. Pidemiologi Filariasis Limfatik di Kecamatan Kota Bekasi. Buletin Spirakel. 102 Sholichah. 2009. Ancaman dari Nyamuk Culex quinquefasciatus sp. yang Terabaikan. Balaba. Soepardi, Jane. 2010. Jendela Epidemiologi: Filariasis di Indonesia. Jakarta: Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementrian Kesehatan RI. Suhardjono. 1984. A Neglected Parasitic Disease. Scielo Journal. Supali. 2002. High Prevalence of Brugia Timori Infection in The Highland of Alor Island, Indonesia. PubMed Central. Susanto. 2011. Risiko Kejadian Filariasis pada Masyarakat dengan Akses Pelayanan Kesehatan yang Sulit. Jurnal Pembangunan Manusia Volume 5, Nomor 2. Syuhada, Yudi. 2012. Studi Kondisi Lingkungan Rumah dan Perilaku Masyarakat sebagai Faktor Risiko Kejadian Filariasis di Kecamatan Buaran dan Tirto Kabupaten Pekalongan. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia Volume 11, Nomor 1. Timmreck, Thomas. 2004. Epidemiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: EGC. Uloli. 2008. Faktor-faktor Risiko Kejadian Filariasis di Kabupaten Bonebolango. Jurnal Berita Kedokeran. Umar, Husein. 2008. Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. WHO. 2013. Lymphatic Filariasis: Practical Entomology. Italy: World Health Organization. WHO. 2015. Lymphatic Filariasis. Diakses pada 05 Mei 2015, dari http://www.who.int/lymphatic_filariasis/epidemiology/en/ Windiastuti, Ike. 2013. Hubungan Kondisi ingkungan Rumah, Sosial Ekonomi, dan Perilaku Masyarakat dengan Kejadian Filariasis di Kecamatan Pekalongan Selatan Kota Pekalongan. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia Volume 12, Nomor 1. Yatim. 2007. Karakteristik Lingkungan Fisik, Biologi, dan Sosial Penyakit Akibat Nyamuk. Jurnal Litbang Depkes RI. Yin, Robert. 1996. Studi Kasus: Desain dan Metode. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada LAMPIRAN Lampiran 1 Faktor Lingkungan Kejadian Filariasis di, Kabupaten Tangerang Assalamu’alaikum wr. wb. SayaPutri Widiastuti, mahasiswa semester 8 PeminatanKesehatan Lingkungan Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sedang melakukan penelitian “Faktor Lingkungan Terhadap Kejadian Filariasis di Kabupaten Tangerang 2015”. Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik penderita filariasis di Kabupaten Tangerang 2015. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penderita filariasis maupun masyarakat terkait dengan informasi karakteristik penderita filariasis. Selain itu, masyarakat dapat menyebarkan informasi yang di dapat kepada masyarakat lain, sehingga meningkatkan kualitas masyarakat terhadap pencegahan penyakit filariasis. Dengan demikian, peneliti berharap kesediaan Bapak/Ibu/Saudara/i untuk berpartisipasi dalam penelitian ini dengan memberikan informasi terkait kebiasaan yang berisiko mengalami multi gigitan nyamuk dan kondisi lingkungan melalui kuesioner. Bapak/Ibu/Saudara/i berhak untuk menerima atau menolak keikutsertaan dalam penelitian ini. Selain itu, Bapak/Ibu/Saudara/i dapat memastikan bahwa informasi yang telah Bapak/Ibu/Saudara/i berikan terjamin kerahasiaannya dan Bapak/Ibu/Saudara/i berhak untuk mengakses hasil dari penelitian ini dengan menghubungi No. Telepon (085710839442). Wassalamu’alaikum Wr Wb Dengan ini, saya BERSEDIA ikut serta dalam penelitian ini. Jakarta, ....../........................... 2015 Peneliti Informan Putri Widiastuti ......................................... Petunjuk Pengisian Kuesioner Faktor Lingkungan Kejadian Filariasis di Kecamatan Sepatan Timur, Kabupaten Tangerang 1) Responden mengisi jawaban pada lembar kuesioner yang sesuai dengan keadaan diri sendiri sebelum didiagnosis terkena filariasis oleh dokter. Jawaban yang sesuai dapat disilang salah satunya. 2) Apabila anda menjawab “tidak” dan ada di bawah pertanyaan tersebut ada instruksi “Jika tidak, lanjut kepertanyaan B. Kebiasaan Menggunakan Kelambu”, maka pertanyaan yang harus di jawab selanjutnya adalah bagian B nomor 1. Kuesioner Faktor Lingkungan Kejadian Filariasis di Kabupaten Tangerang Pertanyaan (Diisi oleh responden) A. Kebiasaan Keluar Rumah 1. Apakah anda memiliki kegiatan diluar rumah pada malam hari? a. Ya b. Tidak Jika tidak, lanjut kepertanyaan B. Kebiasaan Menggunakan Kelambu 2. Apa aktivitas yang dilakukan anda ketika keluar rumah pada malam hari? a. Keperluan pekerjaan b. Bukan keperluan pekerjaan 3. Pada jam berapa anda melakukan kegiatan di luar rumah? a. 20.00-21.00 b. 21.00-22.00 c. 24.00-01.00 d. 02.00-03.00 Diisi peneliti B. Kebiasaan menggunakan kelambu 1. Apakah anda menggunakan kelambu/tirai berbentuk jaring-jaring saat tidur? a. Ya b. Tidak Jika tidak, lanjut kepertanyaan C. Kebiasaan Menggunakan Obat Anti Nyamuk 2. Apakah terdapat lubang/celah/robekan pada kelambu/tirai berbentuk jaring-jaringyang menungkinkan nyamuk masuk? a. Ya 3. Apakah b. Tidak anda memastikan tidak ada nyamuk di dalam kelambu/tirai berbentuk jaring-jaring sebelum tidur? a. Ya b. Tidak 4. Jika dalam seminggu (7 hari), berapa kali anda menggunakan kelambu/tirai berbentuk jaring-jaring sebelum tidur? ......................kali C. Kebiasaan menggunakan obat antinyamuk 1. Apakah anda menggunakan obat pembasmi nyamuk di rumah terutama pada sore dan malam hari? a. Ya b. Tidak Jika tidak, lanjut kepertanyaan D. Kebiasaan Menggunakan Baju dan Celana Panjang 2. Jika dalam seminggu (7 hari), berapa kali anda menggunakan obat anti nyamuk? ......................kali D. Kebiasaan menggunakan baju atau celana panjang 1. Apakah anda menggunakan baju dan celana yang dapat menutupi seluruh tangan dan kaki hingga telapak tangan dan kaki saja yang terlihat saat malam hari? a. Ya b. Tidak E. Penggunaan kawat kassa 1. Apakah di rumah anda di pasang kawat kassa/kawat nyamuk/penutup lubang angin berbentuk jaring-jaring? a. Ya b. Tidak Jika tidak, lanjut kepertanyaan F. Keberadaan Sawah 2. Apakah terdapat robekan pada kawat kassa/kawat nyamuk/penutup lubang angin berbentuk jaring-jaring yang memungkinkan nyamuk masuk? a. Ya b. Tidak F. Keberadaan Sawah 1. Apakah rumah anda dekat dengan sawah? a. Ya b. Tidak Jika tidak, lanjut kepertanyaan G. Kondisi Dinding Rumah 2. Apakah anda beraktivitas di dekat sawah saat sore atau malam hari? a. Ya b. Tidak G. Kondisi plafon rumah 1. Apakah di rumah anda memiliki plafon/penutup antara genting dengan ruangan dalam? a. Ya b. Tidak 2. Bagaimana kondisi plafon/penutup antara genting dengan ruangan di rumah anda? a. Baik b. Buruk H. Keberadaan barang-barang bergantung dalam rumah 1. Apakah anda memiliki baju atau kainyang digantung di dalam rumah terutama dalam kamar? a. Ya b. Tidak Pedoman Wawancara dan Lembar Observasi Faktor Lingkungan Kejadian Filariasis di Kecamatan Sepatan Timur, Kabupaten Tangerang Pedoman Wawancara 1. Mengapa rumah anda terdapat tumpukan barang yang mendukung keberadaan nyamuk? 2. Mengapa anda tidak melakukan upaya pencegahan gigitan nyamuk? Lembar Observasi No 1 Variabel Hasil Pengamatan Kondisi SPAL a) Kondisi tempat a. Terbuka penampungan limbah b. Tertutup atau selokan di c. Tanpa saluran lingkungan rumah b) Jenis tempat a. Penampungan penampungan air tertutup di halaman limbah a rumah b. Penampungan terbuka di halaman rumah c. Penampungan di luar pekarangan d. Tanpa penampungan khusus e. Langsung ke got/sungai Keterangan 2 Plafon Rumah Keberadaan plafon a. Ada b. Tidak Kondisi Plafon a. Plafon tertutup rapat tanpa ada lubang yang memungkinkan nyamuk masuk b. Terdapat lubang pada plafon yang memungkinkan nyamuk masuk 3 Dinding Rumah a) Bahan pembuat dinding a. Material kayu b. Anyaman bambu c. Papan / triplek d. Beton b) Kondisi dinding a. Dinding tidak memiliki celah yang memungkinkan nyamuk masuk b. Dinding memiliki celah yang memungkinkan nyamuk masuk 4 Kassa Kondisi Kassa a. Tidak memiliki celah yang memungkinkan nyamuk masuk b. Memiliki celah yang memungkinkan nyamuk masuk 5 Barang bergantung Keberadaan barang a. Ada gantungan bergantung baju/kain yang menjadi tempat istirahat nyamuk b. Tidak ada gantungan baju/kain yang menjadi tempat istirahat nyamuk Lembar Pengukuran Faktor Lingkungan Kejadian Filariasis di Kecamatan Sepatan Timur, Kabupaten Tangerang 1 Sawah Jarak rumah anda dengan a. ≤200 meter sawah? b. >200 meter Lampiran 2 HASIL SPSS 1. Umur umur_hasil Frequency Valid 2. Percent Valid Percent Cumulative Percent 26-35 5 16.7 16.7 16.7 36-45 13 43.3 43.3 60.0 46-55 12 40.0 40.0 100.0 Total 30 100.0 100.0 Jenis Kelamin jenis_kelamin Frequency Valid 3. Percent Valid Percent Cumulative Percent laki-laki 18 60.0 60.0 60.0 perempuan 12 40.0 40.0 100.0 Total 30 100.0 100.0 Pekerjaan jenis_pekerjaan Frequency Valid Percent Valid Percent Cumulative Percent berisiko 20 66.7 66.7 66.7 tidak berisiko 10 33.3 33.3 100.0 Total 30 100.0 100.0 Pekerjaan*Jenis Kelamin jenis_kelamin * jenis_pekerjaan Crosstabulation jenis_pekerjaan berisiko jenis_kelamin laki-laki Count % within jenis_pekerjaan perempuan Count % within jenis_pekerjaan Total Count % within jenis_pekerjaan 4. tidak berisiko 12 6 18 60.0% 60.0% 60.0% 8 4 12 40.0% 40.0% 40.0% 20 10 30 100.0% 100.0% 100.0% Keluar Rumah Pada Malam Hari a1_keluar_mlm Frequency Valid 5. Percent Valid Percent Cumulative Percent Ya 20 66.7 66.7 66.7 Tidak 10 33.3 33.3 100.0 Total 30 100.0 100.0 Penggunaan Kelambu b1_kelambu Frequency Valid Ya Percent Valid Percent Total Cumulative Percent 7 23.3 23.3 23.3 Tidak 23 76.7 76.7 100.0 Total 30 100.0 100.0 6. Penggunaan Obat Nyamuk c1_obt.pmbsm.nymk Frequency Valid Percent Valid Percent Cumulative Percent Ya 12 40.0 40.0 40.0 Tidak 18 60.0 60.0 100.0 Total 30 100.0 100.0 Penggunaan Obat Anti Nyamuk*Jenis Pekerjaan jenis_pekerjaan * c1_obt.pmbsm.nymk Crosstabulation c1_obt.pmbsm.nymk Menggunakan jenis_pekerjaan berisiko Count % within c1_obt.pmbsm.nymk tidak berisiko Count % within c1_obt.pmbsm.nymk Total Count % within c1_obt.pmbsm.nymk 7. Tidak Menggkn 7 13 20 58.3% 72.2% 66.7% 5 5 10 41.7% 27.8% 33.3% 12 18 30 100.0% 100.0% 100.0% Penggunaan Baju dan Celana Panjang d1_baju.cln.pjg Frequency Valid Percent Valid Percent Total Cumulative Percent Ya 11 36.7 36.7 36.7 Tidak 19 63.3 63.3 100.0 Total 30 100.0 100.0 Penggunaan Baju dan Celana Panjang*Pekerjaan Berisiko jenis_pekerjaan * d1_baju.cln.pjg Crosstabulation d1_baju.cln.pjg Ya jenis_pekerjaan berisiko Count % within d1_baju.cln.pjg tidak berisiko Count % within d1_baju.cln.pjg Total Count % within d1_baju.cln.pjg 8. Tidak 8 12 20 72.7% 63.2% 66.7% 3 7 10 27.3% 36.8% 33.3% 11 19 30 100.0% 100.0% 100.0% Kondisi SPAL SPAL Frequency Valid 9. baik Percent Valid Percent Cumulative Percent 6 20.0 20.0 20.0 buruk 24 80.0 80.0 100.0 Total 30 100.0 100.0 Penggunaan Kawat Kasa e1_kwt.kasa Frequency Valid Percent Valid Percent Total Cumulative Percent Pakai 4 13.3 13.3 13.3 Tidak 26 86.7 86.7 100.0 Total 30 100.0 100.0 10. Penggunaan Plafon h1_plafon Frequency Valid 11. Pakai Percent Valid Percent Cumulative Percent 4 13.3 13.3 13.3 Tidak Pakai 26 86.7 86.7 100.0 Total 30 100.0 100.0 Keberadaaan Barang Bergantung i1_barang.brgntng Frequency Valid 12. Ada Percent Valid Percent Cumulative Percent 27 90.0 90.0 90.0 Tidak 3 10.0 10.0 100.0 Total 30 100.0 100.0 Jarak Sawah dengan Rumah jarak.sawah Frequency Valid Percent Valid Percent Cumulative Percent <=200 22 73.3 73.3 73.3 >200 8 26.7 26.7 100.0 Total 30 100.0 100.0 Lampiran 3 Hasil Observasi 1. Kondisi Saluran Pembuangan Air Limbah Gambar di bawah ini merupakan gambar yang digunakan penulis untuk mendeskripsikan kondisi Saluran Pembuangan Air Limbah disekitar penderita yang belum berubah dari sebelum penderita didiagnosis filariasis oleh dokter hingga tahun penelitian ini.. ( 1) (2) (3) (4) Gambar 1 dan 2 merupakan kondisi saluran pembuangan air limbah terbuka disekitar rumah penderita. Saluran air limbah tersebut merupakan cabang dari aliran air kali yang menyempit dan mengalir di tengah-tengah rumah masyarakat. Masyarakat setempat memanfaatkan aliran air tersebut untuk membuang air limbah rumah tangga maupun untuk Buang Air Besar (BAB). Penulis kerap menemukan cubluk yang dipasang disekitar aliran air tersebut. Hal tersebut menyebabkan kondisi air kali yang menggenang disekitar rumah penderita menjadi keruh dan Lampiran 4 Hasil Wawancara Pertanyaan Apa yang membuat rumah anda atau lingkungan anda masih terdapat barang-barang yang menggantung, kondisi selokan yang buruk, dan tidak memasang kawat nyamuk ? No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Jawaban “Rumah mah dibersihin, tapi kalo baju yang abis dipake masih bersih digantung-gantungin aja. Kalo ga muat ditumpuk dikasur, ya digantung juga.” (UD, RJK) “Anak saya semuanya laki-laki kan. Udah aja gitu baju digantungin, anduk segala macem.” “Ya suka atuh. Biasa kita mah gantung-gantung. Iya.. kaya baju, anduk, mukena. Suka kita mah.” “Ada gantungan. Dikamar kaya baju-baju. Di belakang andukanduk, bajunya si bapak dari kerja gitu..” “Hmm digantungin dilemari. Kalo diluar-luar gitu engga ibu mah.” “Cantolan baju dikamar? Dari dulu kayanya pasti adalah cantolan baju di kamar-kamar.” “Jaman dulu rumah masih jarang, yang perumahan-perumahan disono tuh masih sawah, masih hutan lah. Belom ada got. Ketanah aja gitu. Paling air bekas mandi doang, sama nyuci juga jarang. (OM, KR) “Saya air limbah ke depan situ.. ya terbukalah. Hmm ada genangan. Harus disogok airnya, kesumbat lumpur, sampah.”. (AR, ST) “Ada tuh didepan got, tapi suka gak ngalir. Kalo air lancar biasanya pas ujan, pas kali juga lancar. Kalo engga ya, gak ngalir kaya gitu tuh. Mana ada cubluk juga kan, jadi kadang gimana juga pas air ga ngalir.” “Gak mampet sih. Ya tapi gak lancar juga. Kadang airnya suka diem. Itu gegara sampah kaya plastik segala macem banyak tuh digot. Jadi ngalirnya dikit-dikit. Tapi gak sampe mampet bikin banjir.” (RM, CK) “Itu dibuang ke depan rumah, depan rumah kan got dari kali yang disono ujungnya. Biasa aja sih ya lancar aja.” “Engga, engga pake kawat nyamuk. Dulu kan masih bilik.” “Rumah ibu dulu gak pake kawat nyamuk neng. Sekarang pake, soalnya sekarang depan rumah ibu jadi jalanan. Udah atuh debu-debu pada masuk, makanya ditutup sekarang.” “Dulu yah.. gak dipakein kawat nyamuk.” “Gak ada tuh, liat aja. Gak pake kawat nyamuk. Dari dulu mah gak pake kawat nyamuk.” “Itu tuh liat aja.. dari dulu saya pake.” “Engga.. neng. Begini aja kondisinya. Iya, gak pake kawat nyamuk.” “dari dulu gak pake.. iya atuh beli lagi kan pake pake kawat kasa.” Pertanyaan Apa yang membuat anda tidak melakukan upaya pencegahan gigitan nyamuk seperti tidak menggunakan kelambu, pakai obat anti nyamuk saat sore dan malam, memakai baju dan celana panjang? No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Jawaban “ibu gak punya kelambu...” “boro-boro neng pake kelambu. Mana tau ya kalo digigit nyamuk itu bisa kaya gini. Kalo sekarang mah pake kelambu, tapi kadang-kadang juga sih. Dulu.. saya ga pernah pake kelambu. Kayanya dulu mah gerah pake kelambu.. Makanya saya kalo malem suka keluar.” (UD, RJK) “gak punya kelambu saya mah. Dari dulu saya kalo tidur udah pake baju sama celana panjang terus selimutan lagi.” “saya gak pake kelambu soalnya emang gak punya, jadi gak pake.” “kenapa ya, gak kenapa-kenapa sih.. saya emang gak pake kelambu.” “pake saya kelambu, tapi ya gitu jarang. Kalo udah capek males banget masangnya.” “yaa cuek aja, biasa kalo digigit nyamuk. Dulu kan masih sepi suka kerusukan gitu kan. Biasa, jadi dianggepnya biasa. Ga perhatiin kesitu. Kalo memang tau kalo kaya sekarang ya, wah kita digigit nyamuk nih. Kita pake obat kalo sekarang. Ya kan? Pake sofel gitu kan?” (UD, KR) “ohh.. pas belom kena itu? Kalo malem saya sama anak-anak udah aja di dalem rumah. Pake baju biasa. Pake begini, daster.. hahaha” “Kalo di sawah neng, lagi panen bisa sampe pagi di sawah. Sawah jadi rame banget. Biasa pake celana panjang, kaos biasa. Tapi kadang dicopot kalo gerah.” “Saya dulu kalo maen cuma pake baju biasa, lengen pendek, celana ya biasa pendek, kadang pake sarung. Ya gitu baju malem-malem yang sering saya pake. Saya sama temen-temen padahal pake baju sama gitu, maen bareng, tidur di deket sawah bareng, di kebon bareng, tapi saya yang kena filariasis. Lagian dulu juga baju adanya ituitu aja..” (UD, RJK)