KARAKTERISTIK HOST DAN LINGKUNGAN

advertisement
KARAKTERISTIK HOST DAN LINGKUNGAN PENDERITA
FILARIASIS DI KABUPATEN TANGERANG TAHUN 2015
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Oleh:
Putri Widiastuti
1111101000114
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2015
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
Skripsi, November 2015
Putri Widiastuti, NIM: 1111101000114
KARAKTERISTIK HOSTDAN LINGKUNGAN PENDERITA FILARIASIS
DI KABUPATEN TANGERANG TAHUN 2015
xvi + 120 halaman, 3 gambar, 4 bagan, 4 tabel, 17 grafik, 6 lampiran)
ABSTRAK
Hasil Survei Darah Jari (SDJ) tahun 2006-2007 di Kabupaten Tangerang
mendapatkan hasil Mf rate>1 dibeberapa kecamatan, yang menunjukkan bahwa
Kabupaten Tangerang merupakan daerah endemis filariasis. Karakteristik host dan
lingkungan berperan dalam penularan filariasis terkait dengan intensitas individu
kontak dengan nyamuk penular. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
karakteristik host dan lingkungan penderita filariasis 2005-2013.
Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi deskriptif mixed methods
(kuantitatif dan kualitatif) dengan desain studi kasus. Sampel dalam penelitian ini
adalah seluruh penderita filariasis di Kabupaten Tangerang yang berjumlah 30
orang. Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner, obervasi, wawancara
mendalam, dan pengukuran.
Distribusi terbesar penderita filariasis pada kelompok umur 36-45 tahun
(43,3%) dan pada jenis kelamin laki-laki (60%). Faktor host kejadian filariasis
yaitu pekerjaan berisiko (66,7%), keluar rumah saat malam (66,7%), tidak
menggunakan kelambu (76,6%), tidak menggunakan obat anti nyamuk (60%), dan
tidak menggunakan baju dan celana panjang (63,3%). Faktor lingkungan kejadian
filariasis yaitu Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL) yang buruk (80%), tidak
memiliki kawat kasa (86,7%), tidak menggunakan plafon (86,7%), memiliki
barang bergantung dalam rumah (90%), dan sawah yang berjarak 200 meter dari
rumah (73,3%).
Pencegahan penularan filariasis dilakukan dengan menurunkan intensitas
kontak antara individu dengan nyamuk penular. Menurunkan intensitas kontak
dengan nyamuk dengan tidak beraktivitas di luar rumah saat malam jika tidak
memiliki kepentingan, menggunakan kelambu saat tidur, menggunakan obat anti
nyamuk, dan menggunakan pakaian yang menutupi badan seperti baju dan celana
panjang. Selain itu, memperbaiki kondisi SPAL agar tidak menjadi tempat
perkembangbiakan nyamuk. Kondisi fisik rumah seperti penggunaan kawat kasa,
plafon, dan tidak menggantung barang terutama yang berbahan kain di dalam
rumah guna meniadakan tempat peristirahatan nyamuk.
Kata kunci: Filariasis, Host, Lingkungan, Studi Kasus
Daftar Bacaan: 54 Bacaan (1959-2015)
ii
SYARIF HIDAYATULLAH STATE ISLAMIC UNIVERSITY JAKARTA
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM
SPECIALISATION ENVIRONMENTAL HEALTH
Thesis, November 2015
Putri Widiastuti, NIM: 1111101000114
HOST AND ENVIRONMENTAL CHARACTERISTIC OF FILARIASIS IN
DISTRICT TANGERANG 2015
xvi + 120 pages, 3 pictures, 4 charts, 4 tables, 17 graphs, 6 attachments)
ABSTRACT
Finger Blood Survey (SDJ) in Tangerang District 2006-2007 continuously
matches Mf rate> 1 in several sub-districts, which indicates that Tangerang
District is afilariasis endemic zone. Host and environment characteristics play a
role in the transmission of filariasis that related with individual contact intensity
with the mosquito-borne. This study aims to gain insights into the host and
environment characteristics of filariasis patients 2005 2013.
This research is mixed descriptive epidemiology methods (quantitative and
qualitative) using case study design. The sample in this study were all filariasis
patients in Tangerang district with total30 people. Data was collected by
questionnaire, observation, interview, and measurement.
The patients distribution in the age group was 36-45 years (43.3%) and
male gender was (60%). The incidence of filariasis host factors were risky jobs
(66.7%), outside the house at night (66.7%), not use mosquito nets (76.6%), not
use anti-mosquito drugs (60%), and not use clothes and long pants (63.3%).
Environmental factors forfilariasis incident werebad Sewers Waste (SPAL)
(80%), not have a wire gauze (86.7%),not use a ceiling (86.7%), have a hanged
down goodsin home (90%), and rice field within ≤200 meters from house
(73.3%).
Prevention of filariasis transmission is done by lowering the intensity of
contact between individuals with the mosquito-borne,reduce the intensity of
contact with mosquitoes by not doing any activity outside the house at night if
there is not important, using mosquito nets while sleeping, using mosquito
repellent, and wear clothes that covers the body like shirt and trousers. In
addition,improve the condition of SPAL in order not become a breeding ground
for mosquitoes. The physical condition of the house such as the use of wire
netting, ceiling, and not hang goods,especially the ones that made of cloth in the
house in order to wipeall mosquitoes resting place.
Keywords: Filariasis, Host, Environment, Case Study
Reading List: 54 List (1959-2015)
iii
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DATA DIRI
Nama
: Putri Widiastuti
Tempat & Tanggal Lahir
: Jakarta, 31 Juli 1993
Jenis Kelamin
: Perempuan
Status
: Belum Menikah
Kewarganegaraan
: WNI
Agama
: Islam
Emal
: putriwidiastuti93@gmail,com
PENDIDIKAN FORMAL
2011-2015
: UIN
Syarifhidayatullah
Jakarta,
Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Jurusan
Kesehatan Masyarakat
2005-2011
: SMAN 49 Jakarta
2005-2008
: SMPN 166 Jakarta
1999-2005
: SDN 010 Jagakarsa
vi
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kepada Allah S.W.T atas rahmat dan kasih-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan proposal skripsi yang berjudul “Faktor- Faktor
Lingkungan Kejadian Filariasis di Kabupaten Tangerang 2015”.Terkait isi dan
penulisan dalam skripsi ini, penulis masih banyak kekurangan di dalamnya.
Sehingga, kritik dan saran sangat dibutuhkan demi melengkapi kekurangan
tersebut.
Ucapan terimakasih tak lupa penulis ucapkan kepada pihak-pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu kepada:
1. Kedua orang tuaku, Bapak Suyatno dan Ibu Yuni Widayati yang selalu
memberikan doa, dukungan, dan semangat untuk segera menyelesaikan
skripsi ini.
2. Prof. Dr. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku dekan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan.
3. Fajar Ariyanti, SKM, M.Kes, Ph.D selaku Ketua Prodi Kesehatan
Masyarakat.
4. Prof. Dr. Arif Sumantri, SKM, M.Kes sebagai pembimbing I yang telah
memberikan pengarahannya dengan sabar kepada penulis dari judul
hingga terselesaikannya skripsi ini.
5. Yuli Amran, MKM sebagai dosen pembimbing II yang telah dengan sabar
memberi arahan, mengkoreksi, dan memberi masukan tentang penulisan
yang membuat penulis lebih giat lagi dalam menyusun pembahasan.
6. Kakakku Prima Yulia Nugraha dan Riska Sartika Dewi yang telah
memberikan dukungan dan semangat kepada penulis.
vii
7. Lina Sri Marlina, ibu, abah, dan keluarga yang telah membantu penulis
dalam menyelesaikan pengambilan data.
8. Jemaah Kesling yang telah memberikan dukungan Onoy, Eka, Ayu, Efri,
Hari, Ibnu, Candra, Sela, Ika, Ikoh, Almen, Lifi, Awal, Fiya, Tika,
Rahmatika, Cepol, Rois, Ajeng, Fela, Beti, dan seluruh jemaah kesling
yang sudah membantu dalam skripsi ini.
9. Karim, Iis, Tanza, Kak Bayu, Rio, Geh yang telah membantu dan
memberikan masukan yang sangat berarti dalam skripsi ini.
10. Genks sedari asrama Ulan, Fira, Lia, Upit, Nadra, Lia, dan Falah yang
selalu memberikan semangat kepada penulis.
11. Seluruh teman mahasiswa kesehatan masyarakat UIN Syarifhidayatullah
Jakarta.
Semoga skripsi ini memberikan ide penelitian kepada pembaca dan dapat
memberikan kemudahan untuk mencapai tujuan yang diharapkan penulis. Aamiin.
Penulis
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. i
ABSTRAK ............................................................................................................ ii
ABSTRACT .......................................................................................................... iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN PEMBIMBING............................................. iv
PANITIA SIDANG SKRIPSI ............................................................................... v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP .............................................................................. vi
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ...............................................................................................xiii
DAFTAR BAGAN................................................................................................ xii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xv
DAFTAR GRAFIK .............................................................................................xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 5
C. Pertanyaan Penelitian ......................................................................... 6
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum ............................................................................. 6
2. Tujuan Khusus ............................................................................ 6
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti ................................................................................ 7
2. Bagi Fakultas Kesehatan Masyarakat – UIN Jakarta .......................... 7
3. Bagi Puskesmas ........................................................................... 7
ix
4. Bagi Masyarakat .......................................................................... 8
F. Ruang Lingkup .................................................................................... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Filariasis
1. Pengertian Filariasis ....................................................................... 9
2. Patogenesis dan Gejala Klinis ........................................................ 9
3. Etiologi Filariasis ........................................................................... 11
4. Vektor Filariasis
a. Ciri-ciri Nyamuk Vektor Filariasis ....................................... 12
b. Tempat Berkembangbiak ...................................................... 13
c. Perilaku Menghisap Darah .................................................... 14
d. Kebiasaan Beristirahat .......................................................... 15
e. Siklus Hidup Nyamuk ........................................................... 16
5. Mekanisme Penularan Filariasis..................................................... 17
6. Diagnosis ........................................................................................ 19
B. Determinan Filariasis
1. Host (Pejamu)................................................................................. 21
2. Agen ............................................................................................... 24
3. Environment (Lingkungan) ............................................................ 26
C. Kerangka Teori ..................................................................................... 31
BAB III KERANGKA
HIPOTESIS
KONSEP,
DEFINISI
OPERASIONAL,
DAN
A. Kerangka Konsep ............................................................................... 32
B. Definisi Operasional ........................................................................... 34
x
BAB IVMETODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian ................................................................................ 39
B. Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................................. 40
C. Populasi dan Sampel Penelitian .......................................................... 41
D. Pengumpulan Data
1. Sumber Data ................................................................................. 44
2. Metode Pengumpulan Data .......................................................... 44
3. Instrumen Penelitian..................................................................... 45
E. Pengolahan Data ................................................................................. 46
F. Analisis Data ....................................................................................... 47
BAB V HASIL
A. Distribusi Kejadian Filariasis Berdasarkan Komponen Host
1. Umur............................................................................................. 49
2.
Jenis Kelamin ......................................................................... 50
3.
Pekerjaan ................................................................................ 50
4.
Keluar Rumah Pada Malam Hari ........................................... 52
5.
Penggunaan Kelambu ............................................................. 53
6.
Penggunaan Obat Nyamuk ..................................................... 54
7.
Penggunaan Baju dan Celana Panjang ................................... 56
B. Distribusi Frekuensi Kejadian Filariasis Berdasarkan Komponen
Lingkungan
1.
Kondisi Sarana Pembuangan Air Limbah (SPAL) ..................... 58
2.
Penggunaan Kawat Kassa ...................................................... 60
3.
Penggunaan Plafon ................................................................. 61
xi
4.
Keberadaan Barang Bergantung ............................................. 61
5.
Keberadaan Sawah ................................................................. 62
BAB VI PEMBAHASAN
A. Keterbatasan Penelitian ...................................................................... 64
B. Distribusi Kejadian Filariasis Berdasarkan Komponen Host
1.
Umur ....................................................................................... 65
2.
Jenis Kelamin ......................................................................... 68
3.
Pekerjaan ................................................................................ 70
4.
Keluar Rumah Pada Malam Hari ........................................... 73
5.
Penggunaan Kelambu ............................................................. 76
6.
Penggunaan Obat Nyamuk ..................................................... 80
7.
Penggunaan Baju dan Celana Panjang ................................... 82
C. Distribusi Frekuensi Kejadian Filariasis Berdasarkan Komponen
Lingkungan
1.
Kondisi Sarana Pembuangan Air Limbah (SPAL)................. 84
2.
Penggunaan Kawat Kassa ...................................................... 88
3.
Penggunaan Plafon ................................................................. 90
4.
Keberadaan Barang Bergantung ............................................. 92
5.
Keberadaan Sawah ................................................................. 93
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
A.
Simpulan ............................................................................................ 96
B. Saran ................................................................................................... 97
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................99
LAMPIRAN ........................................................................................................103
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Tempat Perindukan Larva, Tempat Istirahat, dan Kebiasaan Nyamuk
Dewasa Vektor Filariasis ..................................................................... 16
Tabel 3.1 Definisi Operasional ............................................................................. 34
Tabel 4.1Data Hasil Survei Darah Jari (SDJ) dan Penemuan Kasus Kronik
Kabupaten Tangerang 2005-2013 ........................................................ 42
Tabel 4.2 Data Kasus Filariasis di Kabupaten Tangerang 2015 ........................... 43
xiii
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Segitiga Epidemiologi ........................................................................................ 21
Bagan 2.2 Kerangka Teori .................................................................................................. 31
Bagan 3.1 Kerangka Konsep ............................................................................................... 32
Bagan 4.1 Alur Pengambilan Sampel ................................................................................. 43
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Culex quinquefasciatus ................................................................................... 13
Gambar 2.2 Skema Rantai Penularan Filariasis .................................................................. 19
Gambar 4.1 Peta Kabupaten Tangerang.............................................................................. 40
xv
DAFTAR GRAFIK
Grafik 5.1 Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Umur di Kabupaten
Tangerang periode 2005-2015 ......................................................... 49
Grafik 5.2
Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Jenis Kelamin di
Kabupaten Tangerang periode 2005-2015 ....................................... 50
Grafik 5.3
Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Pekerjaan di Kabupaten
Tangerang periode 2005-2015 ......................................................... 51
Grafik 5.4
Distribusi Pekerjaan Penderita Filariasis Berdasarkan Jenis Kelamin
di Kabupaten Tangerang periode 2005-2015................................... 51
Grafik 5.5
Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Kebiasaan Keluar Rumah
Malam Hari di Kabupaten Tangerang periode 2005-2015 .............. 52
Grafik 5.6
Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Penggunaan Kelambu di
Kabupaten Tangerang periode 2005-2015 ....................................... 53
Grafik 5.7
Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Penggunaan Obat
Nyamuk di Kabupaten Tangerang periode 2005-2015 .................... 54
Grafik 5.8
Distribusi Penggunaan Obat Nyamuk Berdasarkan Jenis Pekerjaan di
Kabupaten Tangerang periode 2005-2015 ....................................... 55
Grafik 5.9 Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Penggunaan Baju dan
Celana Panjang di Kabupaten Tangerang periode 2005-2015......... 56
Grafik 5.10Distribusi Penggunaan Baju dan Celana Panjang Malam Hari
Berdasarkan Jenis Pekerjaan di Kabupaten Tangerang periode 20052015 ................................................................................................. 57
Grafik 5.11Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Kondisi SPAL di
Kabupaten Tangerang periode 2005-2015 ....................................... 58
Grafik 5.12 Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Penggunaan Kawat Kasa
di Kabupaten Tangerang periode 2005-2015................................... 60
Grafik 5.13Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Penggunaan Plafon di
Kabupaten Tangerang periode 2005-2015 ....................................... 61
Grafik 5.14Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Keberadaan Barang
Bergantung di Kabupaten Tangerang periode 2005-2015 ............... 62
xvi
Grafik 5.15 Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Jarak Terbang Nyamuk
dari Tempat Perindukan (Sawah) ke Rumah Penderita di Kabupaten
Tangerang periode 2005-2015 ......................................................... 63
xvii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Filariasis adalah penyakit menular di lingkungan tropis yang disebabkan
oleh cacing filaria yang ditularkan oleh nyamuk filariasis (WHO, 2013). Penyakit
filariasis tergolong jarang, sebab untuk menimbulkan gejala klinisnya diperlukan
multi gigitan nyamuk terinfeksi filaria dalam kurun waktu yang lama (Kemenkes
RI, 2010). Dapat dikatakan bahwa penyakit filariasis merupakan penyakit yang
terabaikan. Hal ini terbukti bahwa sebelum menderita filariasis, seseorang telah
mengalami banyak gigitan nyamuk selama berberapa bulan atau tahun sampai
timbul kejadian filariasis (Center for Health Research and Development, 2008).
Penularan filariasis telah terjadi lebih dari 120 juta orang di 73 negara di
seluruh daerah tropis dan sub-tropis di Asia, Afrika, Pasifik Barat, dan bagian dari
Karibia dan Amerika Selatan (Centers for Disease Control and Prevention,
2015).Dua puluh lima juta orang mengalami pembengkakan pada kelamin,
umumnya pada hidrokel, dan hampir 15 juta orang yang sebagian besar
perempuan mengalami lymphoedema atau pembengkakan pada kaki atau yang
disebut dengan kaki gajah (WHO, 2015).
Di Indonesia, filariasis juga merupakan penyakit menular yang masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat karena tersebar pada sebagian besar
wilayah Indonesia. Perkembangan jumlah penderita filariasis terus bertambah dari
tahun 2000-2009. Bahkan dibeberapa daerah memiliki tingkat endemisitas yang
2
tinggi. Pada 2009 terdapat 71% kabupaten/kota yang menjadi wilayah endemis
filariasis (Kementerian Kesehatan RI, 2010).
Kabupaten/kota yang belum terlepas dari status endemis filariasis salah
satunya Kabupaten Tangerang. Hasil Survei Darah Jari (SDJ) tahun 2005 hingga
2007 menyatakan bahwa beberapa kecamatan memiliki Mf Rate (Microfilaria
rate) > 1%. Kecamatan yang memiliki Mf Rate> 1% pada 2005 yaitu Cikupa
(3,2%). Pada 2006 kecamatan yang memiliki Mf Rate> 1% adalah Rajeg (1,6%)
dan Sepatan Timur (1,4%). Kemudian pada 2007 Mf Rate> 1% terdapat di
Sepatan Timur (1,4%) dan Tiga Raksa (1,2%) (Laporan Kasus Filariasis
Kabupaten Tangerang, 2013).
Status endemis filariasis Kabupaten Tangerang belum terlepas sampai
hasil TAS (Transmission Assessment Survey) mencapai <1%. TAS adalah metode
standar untuk tes darah yang digunakan untuk menghentikan MDA (Mass Drug
Administration) pengobatan massal filariasis (WHO, 2013). Menurut Elytha
(2014) jika hasil TAS <1% artinya tidak akan terjadi transmisi baru. Jika
Kabupaten mendapatkan hasil TAS <1%, maka kabupaten bisa menghentikan
POMPFil (Pemberian Obat Massal Pencegahan Filariasis).
Kabupaten/kota yang memiliki status endemis filariasis memiliki risiko
besar terdapat penderita filariasis kronik. Dampak dari filariasis kronis bukanlah
kematian, tetapi menjadi penyebab utama timbulnya kecacatan, kemiskinan, dan
masalah sosial lainnya. Kecacatan dapat menetap seumur hidup, maka penderita
tidak dapat bekerja secara optimal dan menjadi beban keluarga, masyarakat, dan
negara (Kemenkes RI, 2005). Kecacatan yang timbul akibat penyakit kronis
3
filariasis muncul pada orang dewasa, baik pria dan wanita, efek kerusakan pada
sistem limfatik seperti pembengkakan pada lengan, kaki atau alat kelamin,
menimbulkan rasa sakit, penurunan produktifitas, dan pengucilan sosial (WHO,
2013).
Dampak kronis berupa kecacatan secara tidak langsung mempengaruhi
kerugian ekonomi bagi negara (Departemen Kesehatan RI, 2005). Berdasarkan
estimasi Kementerian Kesehatan RI (2009) menyebutkan bahwa kerugian
ekonomi akibat filariasis setahun mencapai 43 triliun rupiah jika tidak dilakukan
pengendalian filariasis (Kemenkes, 2010). Lebih lanjut, Departemen Kesehatan
dan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia (1998) menyatakan
bahwa biaya perawatan yang diperlukan seorang penderita filariasis per tahun
sekitar 17,8% dari seluruh pengeluaran keluarga atau 32,2% dari biaya makan
keluarga (Departemen Kesehatan RI, 2005). Berdasarkan dampak yang
ditimbulkan oleh filariasis, Kementerian Kesehatan RI (2010) menyatakan bahwa
penyakit filariasis memerlukan perhatian untuk ditindak lanjuti dan dicari
kemungkinan penyebabnya.
Perhatian pemerintah terhadap penyakit filariasis ditunjukkan dengan
menjadikan
eliminasi
filariasis
sebagai
salah
satu
prioritas
nasional
pemberantasan penyakit menular (Depkes RI, 2005). Program pemberantasan
filariasis di Indonesia sudah dilaksanakan sejak tahun 1975 terutama pada daerah
yang memiliki tingkat endemisitas tinggi. Kemudian, keinginan pemerintah untuk
membebaskan masyarakat Indonesia dari penyakit filariasis sesuai dengan resolusi
World Health Assembly (WHA) tahun 1997 dan diperkuat oleh keputusan WHO
tahun 2000 dengan mendeklarasikan Kesepakatan Global Eliminasi Filariasis
4
pada 2020. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan eliminasi filariasis pada 2020,
pemerintah harus mewujudkan angka Mf Rate <1% setiap kabupaten/kota dan
mencegah serta membatasi kecacatan karena filariasis (Depkes RI, 2005).
Menindak lanjuti pernyataan Kementerian Kesehatan RI (2010) untuk
mencari kemungkinan penyebab filariasis, kejadian suatu penyakit disebabkan
oleh interaksi antara host, agen, dan lingkungan (Timmreck, 2004). Agen yang
kerap ditemukan di Tangerang adalah Wuchereria bancrofti. Kemudian, vektor
yang kerap ditemukan berperan dalam penularan filariasis di Tangerang adalah
Culex quinquefasciatus (Kemenkes RI, 2011). Menurut Syuhada (2012) faktor
host seperti tidak menggunakan obat anti nyamuk mempengaruhi kejadian
filariasis. Menurut Windiastuti (2013) memiliki kebiasaan keluar rumah malam
hari juga mempengaruhi kejadian filariasis. Menurut Garjito (2013) tidak
menggunakan kelambu turut mempengaruhi kejadian filariasis. Kemudian,
menurut Paiting (2012) tidak menggunakan baju dan celana panjang
mempengaruhi kejadian filariasis.
Faktor lingkungan yang mempengaruhi kejadian filariasis yaitu seperti
adanya tempat pertumbuhan larva nyamuk Culex quinquefasciatus seperti di
saluran air, air menggenang, sumur dangkal, selokan, kontainer buatan, genangan
yang berhubungan langsung dengan tanah, dan banyak dijumpai di air yang
berpolusi. Selain itu, keberadaan tempat istirahat di dalam rumah rumah seperti di
kolong tempat tidur, baju-baju digantung, dan tempat gelap dan kotor turut
mempengaruhi kejadian filariasis (Kemenkes RI, 2011). Berdasarkan kategori
lingkungan fisik rumah adalah tidak memiliki plafon dan tidak menggunakan kasa
ventilasi berhubungan dengan kejadian filariasis (Juriastuti, 2010). Begitu juga
5
dengan orang yang tinggal dekat sawah berhubungan dengan kejadian filariasis
(Kamaruddin, 2013).
Sejak Kabupaten Tangerang ditetapkan sebagai kabupaten endemis
filariasis, belum ditemukan penelitian terhadap faktor risiko kejadian filariasis.
Penelitian yang ditemukan terkait filariasis yakni survei vektor nyamuk pada
Kecamatan Mauk yang dilakukan oleh Ardias (2012). Berdasarkan hal tersebut
peneliti ingin mengetahui lebih lanjut mengenai distribusi host dan lingkungan
kejadian filariasis di Kabupaten Tangerang periode 2005 hingga 2015.
B.
Rumusan Masalah
Kabupaten Tangerang dinyatakan sebagai daerah endemis filariasis. Hasil
SDJ tahun 2005 hingga 2007 terdapat beberapa kecamatan yang memiliki Mf
Rate> 1%. Kecamatan yang memiliki Mf Rate> 1% pada 2005 yaitu Cikupa
(3,2%), pada 2006 kecamatan yang memiliki Mf Rate> 1% adalah Rajeg (1,6%)
dan Sepatan Timur (1,4%). Kemudian pada 2007 Mf Rate> 1% terdapat di
Sepatan Timur (1,4%) dan Tiga Raksa (1,2%).
Kabupaten Tangerang merupakan wilayah yang dinyatakan sebagai
endemis filariasis. Terdapat 67 kasus filariasis hasil SDJ dan 17 penemuan kasus
kronis yang tercatat di Kabupaten Tangerang dari 2005 hingga 2013. Banyak
faktor yang mempengaruhi filariasis, namun belum ada penelitian tentang faktor
yang dapat mempengaruhi kejadian filariasis di Kabupaten Tangerang. Oleh sebab
itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait faktor host dan lingkungan
kejadian filariasis di Kabupaten Tangerang dari 2005 hingga 2013.
6
C.
Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana distribusi penderita filariasis berdasarkan komponen host
(umur, jenis kelamin, pekerjaan, kebiasaan keluar rumah malam hari,
kebiasaan menggunakan kelambu, kebiasaan menggunakan obat anti
nyamuk, kebiasaan menggunakan baju dan celana panjang) di
Kabupaten Tangerang periode 2005-2013?
2. Bagaimana distribusi penderita filariasis berdasarkan komponen
lingkungan (kondisi Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL),
keberadaan sawah, penggunaan kawat kasa, penggunaan plafon, dan
keberadaan barang bergantung) di Kabupaten Tangerang periode 20052013?
D
Tujuan Penelitian
1.
Tujuan Umum
Mengetahui distribusi komponen host dan lingkungan penderita
filariasis di Kabupaten Tagerang pada 2013.
2.
Tujuan Khusus
1. Mengetahui
distribusi
penderita
filariasis
berdasarkan
komponen host (umur, jenis kelamin, pekerjaan, kebiasaan
keluar rumah malam hari, kebiasaan menggunakan kelambu,
kebiasaan
menggunakan
obat
anti
nyamuk,
kebiasaan
menggunakan baju dan celana panjang) di Kabupaten
Tangerang periode 2005-2013.
7
2. Mengetahui
distribusi
penderita
filariasis
berdasarkan
komponen lingkungan (kondisi Saluran Pembuangan Air
Limbah (SPAL), keberadaan sawah, penggunaan kawat kasa,
penggunaan plafon, dan keberadaan barang bergantung) di
Kabupaten Tangerang periode 2005-2013.
E.
Manfaat Penelitian
1.
Bagi Peneliti Lain
Sebagai dasar penelitian epidemiologi penyakit filariasis di
Kabupaten Tangerang, sehingga penelitian selanjutnya bisa meneliti vektor
setiap kecamatan.
2.
Bagi Fakultas kesehatan Masyarakat – UIN Jakarta
Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi atau
referensi untuk menambah kumpulan pustaka mengenai faktor host dan
lingkungan penderita filariasis. Informasi dari penelitian ini semoga bisa
menjadi bahan untuk pengembangan penelitian selanjutnya.
3.
Bagi Puskesmas
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan bagi
Puskesmas sebagai dasar intervensi lebih lanjut sehingga program
preventif penularan filariasis terlaksana dengan baik.
8
4.
Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah penggerak
bagi masyarakat untuk waspada dan melakukan tindakan preventif bagi
diri sendiri maupun keluarga terdekat terhadap penularan penyakit
filariasis.
F.
Ruang Lingkup
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik host dan
lingkungan kejadian filariasis diKabupaten Tangerang. Hal ini dilakukan sebab
sebagai wilayah endemis filariasis belum ditemukan penelitian terkait faktor yang
mempengaruhi kejadian filariasis diKabupaten Tangerang. Sampel dalam
penelitian ini adalah semua kasus filariasis yang tercatat di Dinas Kesehatan
Kabupaten Tangerang periode 2005 hingga 2015 yaitu 40 kasus. Penelitian ini
akan dilakukan pada Juni – Oktober 2015 di Kabupaten Tangerang.
Desain studi penelitian ini adalah cross sectional. Jenis data yang
digunakan adalah data primer mengenai host (umur, jenis kelamin, pekerjaan,
kebiasaan
keluar
rumah,
kebiasaan
menggunakan
kelambu,
kebiasaan
menggunakan obat anti nyamuk, dan kebiasaan memakai baju dan celana panjang)
dan lingkungan (kondisi tempat penampungan limbah, keberadaan sawah,
penggunaan kawat kasa, kondisi plafon rumah, dan keberadaan barang-barang
bergantung dalam rumah). Selain itu, data sekunder digunakan untuk mengetahui
penderita filariasis periode 2005 hingga 2013. Penelitian ini menggunakan
kuesioner, observasi, pengukuran, dan wawancara kependerita.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Filariasis
1.
Pengertian Filariasis
Filariasis adalah penyakit tropis menular yang disebabkan oleh
cacing filaria yang ditularkan oleh nyamuk. Spesies cacing yang
menyebabkan filariasis limfatik yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia
malayi, dan Brugia timori. Penyakit ini berdampak secara sosial dan
ekonomi. Umumnya gejala kronis penyakit ini muncul pada orang dewasa,
baik pria dan wanita, dan efek kerusakan pada sistem limfatik, lengan, kaki
atau alat kelamin, yang menimbulkan rasa sakit, penurunan produktifitas
dan pengucilan sosial (WHO, 2013). Jenis agen daerah perkotaan di
Provinsi Banten dan Jawa yaitu Wuchereria bancrofti (Kemenkes RI,
2011).
2.
Patogenesis dan Gejala Klinis
Perkembangan klinis filariasis dipengaruhi oleh faktor kerentanan
individu terhadap parasit, frekuensi mendapat gigitan nyamuk yang sering,
banyak larva infektif yang masuk ke dalam tubuh dan adanya infeksi
sekunder oleh bakteri atau jamur. Pada dasarnya perkembangan klinis
filariasis disebabkan oleh cacing filaria dewasa yang tinggal disaluran
limfe, sehingga menimbulkan gejala pelebaran (dilatasi) saluran limfe
10
bukan penyumbatan (obstruksi), sehingga terjadi gangguan fungsi limfatik
(Kementerian Kesehatan RI, 2005).
Pada dasarnya gejala klinis filariasis yang disebabkan oleh infeksi
W. barcrofti, B. malayi, dan B. timori adalah sama, tetapi gejala klinis akut
tampak lebih jelas dan berat oleh B. malayi dan B. timori. Infeksi W.
bancrofti dapat menyebabkan kelainan saluran pada saluran kemih dan alat
kelamin, tetapi infeksi oleh B. malayi dan B. timori tidak menimbukan
kelainan pada saluran kemih dan alat kelamin (Kementerian Kesehatan RI,
2005).
Terdapat
gejala
klinis
akut
dan
klinis
kronis
maupun
mikrofilaremia tanpa gejala pada penyakit filariasis:
1. Mikrofilaremia tanpa gejala
Orang dengan mikrofilaremia yang asimtomatik (Gandahusada, 2006).
2. Gejala klinis akut
Gejala klinis akut berupa limfadenitis, limfangitis, adenolimfangitis
yang disertai demam, sakit kepala, rasa lemah, dan timbulnya abses. Abses
dapat pecah dan kemudian sembuh dengan meninggalkan bekas jaringan
parut dilipat paha dan ketiak. Parut lebih sering terjadi pada infeksi
B.malayi dan B.timori (Kementerian Kesehatan RI, 2005).
3. Gejala klinis kronik
Gejala kronis terdiri dari limfaedema, lymp scortum, kiluria, dan
hidrokel. Limfaedema pada infeksi W.bancrofti terjadi pembengkakan di
11
seluruh kaki, lengan, skortum, penis, vulva vagina dan payudara,
sedangkan infeksi Brugia terjadi di kaki bawah lutut. Lymph scortum
adalah pelebaran saluran limfe superfisial pada kulit scortum, kadang pada
kulit penis, sehingga mudah pecah dan cairan limfe mengalir keluar
membasahi pakaian. Kiluria adalah kebocoran atau pecahnya saluran limfe
dan pembuluh darah diginjal (pelvis renalis) sehingga cairan limfe dan
darah masuk kedalam saluran kemih. Kiluria adalah pelebaran kantung
buah zakar karena terkumpulya cairan limfe di dalam tunica vaginalis
testis (Kementerian Kesehatan RI, 2005).
3.
Etiologi Filariasis
Di Indonesia ditemukan tiga jenis parasit penyebab filariasis
limfatik pada manusia yaitu, Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan
Brugia timori (Gandahusada, 2006).
4.
Vektor Filariasis
Nyamuk Anophelini dan Non Anophelini dapat berperan sebagai
vektor filariasis limfatik pada manusia dan binatang. Parasit tersebut
tersebar di seluruh kepulauan di Indonesia yang termasuk ke dalam genus
Aedes, Anopheles, Culex, Mansonia, Coquilettidia dan Armigeres. Spesies
Anopheles, Culex, dan Aedes telah dilaporkan menjadi vektor filariasis
bancrofti di perkotaan dan pedesaan. Vektor utama filariasis di perkotaan
adalah Culex quinguefasciatus, sedangkan di pedesaan filariasis bancrofti
dapat ditularkan oleh berbagai spesies Anopheles seperti An.anconitus,
An.bancrofti, An.farauti, An.punctulatus, dan An.subpictus, atau dapat pula
12
ditularkan
oleh
nyamuk
Aedes
kochi,
Cx.bitaeniorrhynchus,
Cx.annulirostris dan Armigeres obsturbans. Vektor utama Filariasis
malayi adalah Anopheles, Mansonia dan Coquilettidia (Gandahusada,
2006). Vektor filariasis daerah perkotaan di Provinsi Banten dan Jawa
adalah Culex quinquefasciatus (Kementerian Kesehatan RI, 2011).
a.
Ciri-ciri Nyamuk Vektor Filariasis
Pada stadium dewasa nyamuk Non Anopheles (Culini)
betina, palpiya lebih pendek daripada probosisnya, sedangkan
nyamuk culini jantan, palpinya melebihi panjang probosisnya.
Sisik sayapnya ada yang lebar dan asimetris (Mansonia) dan ada
pula yang sempit dan panjang (Aedes, Culex). Kadang-kadang sisik
sayap membentuk kelompok sisik yang sewarna sehingga tampak
sisik sayap membentuk bercak-bercak pada sayap berwarna putih
dan kuning atau putih dan coklat, juga putih dan hitam (speckled).
Ujung abdomen Aedes lancip, sedangkan ujung abdomen
Mansonia seperti tumpul dan terpancung(Gandahusada, 2006).
Cx. quinguefasciatusmemiliki probosis dan palpi berwarna
gelap. Probosis tanpa gelang pucat, sisik-sisik pada vertex pucat,
dan umumnya sisik-sisik yang berdiri gelap. Mesepimeron bagian
tengah dan sternopleuron ada sisik putih. Tiap segmen abdomen
(tergit), bagian pangkal ada sisik putih tersusun membentuk busur.
Mesonotum bagian tengah terdapat rambut pemisah yang jelas
(Kemenkes RI, 2011).
13
14
genangan
air
yang
berhubungan
langsung
dengan
tanah
(Kemenkes, 2011).
c.
Perilaku Menghisap Darah
Perilaku menghisap darah pada nyamuk betina dikarena
kebutuhan protein untuk memproduksi telur, khususnya darah.
Beberapa spesies dapat menghasilkan sejumlah telur menggunakan
persediaan nutrisi yang dibawa dari tahap larva, namun setelah itu
mereka membutuhkan darah dari host hewan untuk memproduksi
sejumlah telur lainnya. Nyamuk betina dapat bertahan hidup pada
tumbuhan bergula, tapi sebagian besar spesies penting seperti pest
atau vektor penyakit mencari darah sesaat setelah kawin atau saat
berumur 2 atau 3 hari. Sumber darah yang diminati bervariasi
diantara spesies dan situasi. Nyamuk tertarik pada host berdasarkan
faktor yang berbeda. Karbon dioksida yang dikeluarkan hewan
atau napas manusia digunakan nyamuk untuk menemukan host
mereka (Achmadi, 2011).
Berbeda dari nyamuk Anophelini, nyamuk Non Anophelini
(Culini) ada yang memiliki kebiasaan menghisap darah hospes
pada malam saja (Culex), ada yang penghisapan darahnya
dilakukan pada siang dan malam hari (Mansonia) dan ada juga
yang hanya pada siang hari (Aedes). Jarak terbang Culini biasanya
pendek, mencapai jarak terbang rata-rata beberapa puluh meter saja
(Gandahusada, 2006).
15
Nyamuk Cx.quinquefasciatus betina menghisap darah
manusia dan hewan sepanjang malam dari sore hingga pagi hari,
baik di dala rumah maupun luar rumah. Jarak terbang nyamuk
mencapai 6 km, biasanya sekitar 1,5 km. Jumlah populasi nyamuk
pada musim kemarau lebih banyak daripada musim hujan, karena
pada musim hujan larva nyamuk yang terdapat di selokan-selokan
sekitar rumah hanyut terbawa air (Kemenkes RI, 2011).
d.
Kebiasaan Beristirahat (Resting Places)
Setelah mengonsumsi darah, nyamuk betina mencari empat
untuk beristirahat yang tidak bisa diganggu, terjadi proses
mengubah darah menjadi telur. Nyamuk beristirahat di daerah
vegetasi yang padat, di lubang-lubang pohon, tempat tinggal hewan
dan bebatuan. Biasanya memakan waktu 2 sampai 4 hari agar telur
dapat berkembang secara utuh. Saat telur matang, nyamuk betina
terbang dari tempat peristirahatan dan pada malam hari mencari
habitat larva yang sesuai untuk meletakkan telur (Achamadi,
2011).
Tempat
istirahat
Cx.quinquefasciatus
betina
biasa
beristirahat di dalam rumah, seperti di kolong tempat tidur, bajubaju yang menggantung, dan tempat gelap dan kotor (Kemenkes,
2011).
16
Tabel 2.1
Tempat Perindukan Larva, Tempat Istirahat, dan Kebiasaan
Nyamuk Dewasa Vektor Filariasis
Vektor
An.barbirostris
An.nigerrimus
Ma.uniformis
Ma.annulifera
Ma.indiana
Ma.annulata
Ma.dives
Ma.bonnae
Cq.crassipes
Cx.quinquefasciatus
Cx.annulirostris
Cx.bitaeniorrhynchus
Tempat
Sawah, saluran
iriasi, kolam,
rawa, mata air.
Pada akar
tanaman air di
rawa dan
empang.
Comberan
dengan air
keruh dan
kotor dekar
rumah.
Sawah, daerah
pantai dan
rawa yang
berair payau.
Tempat yang
mengandung
lumut dalam
air tawar atau
air payau.
Ae.kochi
An.bancrofti
An.subpictus
Kumpulan air
An.koliensis
hujan disekitar
An.farauti
rumah.
An.punctulatus
An.acoitus
Sumber: Gandahusada (2006)
e.
Perilaku
 Antropofilik <
zoofilik
 Menggigit malam >
siang
Antropofilik,
zoofilik
menggigit malam.
*di dalam rumah atau di
luar rumah (pada benda
yang tergantung dan
berwarna gelap)
Menggigit malam hari
* di dalam dan luar
rumah
Antropofilik,
zoofilik
menggigit malam haari
di dalam dan luar rumah.
Menggigit siang hari di
luar rumah.
Siklus Hidup Nyamuk
Siklus hidup nyamuk berawal dari peletakkan telur oleh
nyamuk betina. Dari telur muncul fase kehidupan air yang masih
17
belum matang disebut larva (jamak larvae), yang berkembang
melalui empat tahap, kemudian bertambah ukuran hingga mencapai
tahap akhir yang tidak membutuhkan asupan makanan yaitu pupa
(jamak pupae). Di dalam kulit pupa nyamuk dewasa membentuk
diri sebagai betina atau jantan, dan tahap nyamuk dewasa muncul
dari pecahan di bagian belakang kulit pupa. Nyamuk dewasa
makan, kawin, dan nyamuk betina memproduksi telur untuk
melengkapi siklus dan memulai generasi baru. Mereka sangat
bergantung pada iklim dan dari kondisi lingkungan lokal, terutama
suhu dan curah hujan (Achmadi, 2011).
5.
Mekanisme Penularan Filariasis
Arthopodborne disease atau penyakit karena vektor memiliki 3
cara penularan, yaitu kontak langsung, transmisi secara mekanis, dan
transmisi secara biologis. Untuk penyakit filariasis, cara transisi biologis
yaitu dengan cara cyclo developmental. Agen penyakit filaria mengalami
perubahan siklus, tetapi tidak bermultipikasi di dalam tubuh arthropoda
(Chandra, 2007).
Penularan filariasis dapat terjadi bila ada tiga unsur, yaitu adanya
sumber penular seperti manusia atau reservoir yang mengandung
mikrofilaria dalam darahnya, adanya vektor penularan filariasis, dan
manusia yang rentan filariasis (Kemenkes, 2005).
Seseorang dapat tertular filariasis apabila telah mendapatkan
gigitan nyamuk infektif yang mengandung larva infektif (larva stadium 3 –
18
L3). Pada saat nyamuk menarik probosisnya, larva L3 akan masuk melalui
luka bekas gigitan nyamuk dan bergerak menuju ke sistem limfe.
Penularan filaria tidak mudah dari satu orang ke orang lain pada suatu
wilayah tertentu, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa orang yang
menderita filaria telah digigit nyamuk ribuan kali (Kemenkes, 2005).
Larva L3 B.malayi dan B.timori akan menjadi cacing dewasa
dalam kurun waktu lebih dari 3,5 bulan, sedangkan W.bancrofti
memerlukan waktu kurang lebih 9 bulan. Selain sulitnya penularan dari
nyamuk ke manusia, sebenarnya kemampuan nyamuk untuk mendapatkan
mikrofilaria saat menghisap darah yang mengandung mikrofilaria juga
sangat terbatas, nyamuk yang menghisap microfilaria terlalu banyak dapat
menyebabkan kematian, tapi jika mikrofilaria yang terhisap terlalu sedikit
dapat memperkecil jumlah stadium larva L3 yang akan ditularkan
(Kemenkes, 2005).
Kepadatan vektor, suhu, dan kelembaban sangat berpengaruh
terhadap penularan filariasis. Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap
umur nyamuk, sehingga microfilaria yang telah ada dalam tubuh nyamuk
tidak cukup waktu untuk tumbuh menjadi larva infektif L3. Masa inkubasi
ekstrinsik untuk W.bancrofti antara 10-14 hari sedangkan B.malayi dan
B.timori antara 8-10 hari (Kemenkes, 2005).
19
Gambar 2.2 Skema Rantai Penularan Filariasis
Sumber: Kemenkes (2005)
6.
Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis dan dipastikan dengan
pemeriksaan laboraturium (Gandahusada, 2006):
1. Diagnosis Parasitologi
Deteksi parasit yaitu menemukan mikrofilaria di dalam darah,
cairan hidrokel atau cairan kiluria pada pemeriksaan sediaan darah
tebal, teknik konsentrasi knott, membran filtrasi dan tes provokatif
DEC. Pengambilan darah dilakukan pda malam hari karena
periodisitas
mikroilaria
umumnya
nokturna.
Sedangkan
diferensiasi spesiaes dan stadium filaria dengan menggunakan
20
pelacak DNA yang spesifik dan antibodi monoklonal untuk
mengidentivikasi larva filaria dalam tubuh manusia dan vektor.
2. Radiodiagnosis
Pemeriksaa dengan ultrasonografi (USG) pada skrotum dan
kelenjar getah bening inguinal pasien akan memberikan gambaran
cacing yang bergerak-gerak.
3. Diagnosis Imunologi
Diagnosis
ini
menggunakan
immunochromatographictest
teknik
ELISA
dan
(ICT). Kedua teknik ini pada
dasarnya menggunakan antibodi monoklona yang spesifik untuk
mendeteksi antigen W.bancrofti dalam sirkulasi. Hasil tes yang
positif menunjukkan adanya infeksi aktif walaupun mikrofilaria
tidak ditemukan dalam darah.
B.
Determinan Filariasis
Segitiga epidemiologi digunakan untuk menganalisis keterkaitan setiap
faktor dalam penyakit. Faktor utama patogenesis penyakit yaitu host, agen, dan
lingkungan (Timmreck, 2004).
21
Agen
Host
Lingkungan
Bagan 2.1 Segitiga Epidemiologi
Berikut ini akan dijabarkan determinan (penyebab) penyakit filariasis
sesuai dengan konsep segitiga epidemiologi yang dapat menyebabkan kejadian
filariasis.
1.
Host (Pejamu)
Karakteristik host yang turut mempengaruhi kejadian
filariasis adalah sebagai berikut:
1.
Umur
Filariasis menyerang semua kelompok umur. Pada dasarnya
setiap orang dapat tertular filariasis apabila mendapat tusukan
nyamuk infektif (mengandung larva stadium 3) ribuan kali
(Kemenkes RI, 2010). Kelompok umur yang menderita filariasis
tertinggi di Indonesia pada 2007 adalah umur >14 tahun (Santoso,
2011). Pendapat lain menyatakan bahwa usia dewasa yaitu 26-55
tahun berisiko 4,6 kali terkena filariasis dari pada umur tua (>55
tahun).
22
Penelitian Paiting (2012) menunjukkan bahwa kasus
filariasis banyak ditemukan pada kelompok umur 21-50 tahun.
Apabila dilihat dari pekerjaan, sebagian besar penderita memiliki
pekerjaan berisiko yang memungkinkan seseorang terpapar gigitan
nyamuk lebih besar, yaitu petani kebun. Sesuai dengan
Gandahusada (2006) menyebutkan bahwa kelompok umur dewasa
muda merupakan kelompok umur yang paling sering menderita
filariasis,
terutama
mereka
yang
tergolong
penduduk
berpenghasilan rendah.
2.
Jenis Kelamin
Distribusi jenis kelamin penderita filariasis tertinggi di
Indonesia pada 2007 yaitu pada laki-laki. Hal ini menunjukkan
laki-laki lebih berisiko terkena filariasis dibandingkan perempuan.
Aktivitas laki-laki yang lebih banyak di luar rumah meningkatkan
risiko terkena filariasis (Santoso, 2011).
3.
Pekerjaan
Berdasarkan analisis data Riskesdas 2007 menunjukkan
bahwa sebagian besar penderita filariasis tidak bekerja (Santoso,
2011). Responden yang memiliki pekerjaan berisiko 2,76 kali
terkena filariasis daripada yang memiliki pekerjaan tidak berisiko
(Juriastuti, 2010). Penderita filariasis terbanyak yaitu yang
memiliki pekerjaan sebagai buruh tani di Kabupaten Pekalongan
(Syuhada, 2012). Selain pada petani, pekerjaan yang dilakukan
23
pada malam hari seperti berdagang, buruh atau tukang seperti
buruh batik berisiko terkena filariasis sebesar 3,51 dari pada yang
bekerja pada siang hari (Riftiana, 2010).
4.
Kebiasaan Keluar Rumah Pada Malam Hari
Perilaku responden seperti keluar rumah pada malam hari
berhubungan dengan kejadian filariasis (Windiastuti, 2013). Hal
tersebut berkaitan dengan puncak kepadatan nyamuk terjadi pada
pukul 20.00 – 21.00 (Depkes RI, 2009). Oleh karena itu, aktivitas
keluar rumah pada malam hari meningkatkan frekuensi kontak
dengan nyamuk.
5.
Kebiasaan Menggunakan Kelambu
Kelambu merupakan tirai yang berbentuk jaring-jaring
untuk melindungi dari gigit serangga. Cara terbaik menghindari
gigitan nyamuk pada malam hari adalah tidur menggunakan
kelambu. (Garjito, 2013).
Responden yang memiliki kebiasaan tidak menggunakan
kelambu berhubungan dengan kejadian filariasis. Responden yang
tidak menggunakan obat anti nyamuk pada malam hari berisiko
sebesar 1,7 kali daripada yang menggunakan obat nyamuk (Jontari,
2014).
24
6.
Kebiasaan Menggunakan Obat Anti Nyamuk
Responden yang tidak menggunakan obat anti nyamuk
memiliki risiko 2,9 kali terkena filariasis dibandingkan yang
menggunakan obat anti nyamuk (Syuhada, 2012).
Salah satu cara untuk mencegah gigitan nyamuk adalah
dengan menggunakan obat anti nyamuk. Metode perlindungan diri
digunakan oleh individu atau kelompok kecil pada masyarakat
untuk melindungi diri dari gigitan nyamuk. Macam-macam obat
anti nyamuk yaitu bakar, koil, dan oleh anti nyamuk (Windiastuti,
2013).
7.
Kebiasaan Memakai Baju dan Celana Panjang
Responden yang tidak menggunakan lengan dan celana
panjang memiliki risiko 7 kali daripada yang menggunakan lengan
dan celana panjang (Paiting, 2012). Penggunaan baju dan celana
yang menutupi lengan dan kaki mengurangi frekuensi gigitan
nyamuk (Kemenkes RI, 2010).
.2.
Agen
Filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria
yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. Secara
epidemiologi, cacing filaria dibagi menjadi 6 tipe yaitu (Kemenkes RI,
2005):
25
1. Wuchereriabancrofi tipe perkotaan (urban)
Ditemukan di daerah perkotaan seperti Jakarta, Bekasi, Tangerang,
Semarang, Pekalongan, dan sekitarnya memiliki periodisitas nokturna,
ditularkan oleh nyamuk Culexquinquefasciatus yang berkembang biak di
air limbah rumah tangga.
2. Wuchereriabancrofti tipe pedesaan (rural)
Ditemukan di daerah pedesaan di luar Jawa, terutama tersebar luas di
Papua dan Nusa Tenggara Timur, mempunyai periodisitas nokturna yang
ditularkan melalui berbagai spesies nyamuk Anopheles, Culex, dan Aedes.
3. Brugiamalayi tipe periodik nokturna
Mikrofilaria ditemukan di daerah tepi pada malam hari. Nyamuk
penularan adalah Anophelesbarbirostris yang ditemukan di daerah
pesawahan.
4. Brugiamalayi tipe subperiodik nokturna
Mikrofilaria ditemukan di daerah tepi pada siang dan malam hari,
tetapi lebih banyak ditemukan pada malam hari. Nyamuk penularnya
adalah Mansoniaspp yang ditemukan di daerah rawa.
5. Brugiamalayi tipe non periodik
Mikrofilaria ditemukan di daerah tepi baik malam maupun siang hari.
Nyamuk penularnya adalah Mansoniabonneae dan Mansoniauniformis
yang ditemukan di hutan rimba.
26
6. Brugiatimori tipe periodik nokturna
Mikrofilaria ditemukan di daerah tepi pada malam hari. Nyamuk
penularnya adalah Anophelesbarbirostris yang ditemukan di daerah
persawahan di Nusa Tenggara Timur, Maluku, Tenggara.
3.
Lingkungan (Environment)
Lingkungan fisik mencakup keadaan iklim, keadaan geografis,
struktur geologi, dan lainnya. Faktor lingkungan fisik berkaitan dengan
kehidupan vektor. Lingkungan yang cocok untuk kehidupan nyamuk maka
akan sangat potensial untuk penularan filariasis. Lingkungan fisik juga
penting artinya untuk tempat perindukan dan peristirahatan vektor. Suhu
dan kelembaban mempengaruhi pertumbuhan dan umur nyamuk serta
keberadaannya. Lingkungan dengan tumbuhan air di rawa-rawa dan
adanya binatang sebagai hospes reservoir (kera, lutung, dan kucing) sangat
mempengaruhi penyebaran filariasis malayi sub periodik nokturna dan non
periodik (Kemenkes RI, 2005).
1. Lingkungan Fisik
a)
Suhu
Suhu juga turut mempengaruhi kejadian filariasis. Peningkatan
temperatur berpengaruh terhadap perkembangbiakan, pertumbuhan,
umur, dan distribusi vektor penyakit seperti vektor malaria, demam
berdarah dengue (DBD), chikungunya, dan filariasis (ICCSR, 2010).
Jenis jenis nyamuk seperti Anopheles gambiae, A. funestus, A.
27
darlingi, Culex quinquefasciatus dan Aedes aegypti merupakan salah
satu vektor yang dapat menularkan penyakit berbasis vektor dan
sensitif terhadap perubahan suhu ketika masih dalam bentuk jentik dan
ketika sudah menjadi nyamuk dewasa. Apabila suhu air meningkat,
larva akan menjadi lebih cepat menjadi nyamuk dewasa. Namun pada
iklim hangat, nyamuk betina dewasa mencerna darah lebih cepat dan
menghisap darah lebih sering sehingga meningkatkan intensitas
penularan (Githeko, 2000).
b)
Curah Hujan
Perubahan pola curah hujan dapat menyebabkan kenaikan
aliran permukaan dan kelembaban tanah sehingga dapat menyebabkan
peningkatan atau penurunan kepadatan populasi vektor penyakit serta
kontak manusia dengan vektor penyakit. Selain itu, banjir dan
kekeringan juga merupakan salah satu dampak yang disebabkan akibat
pola curah hujan yang tidak menentu. Hal itu mengakibatkan nyamuk
lebih berkembang biak dan kondisi rumah tidak sehat (Indonesia
Climate Change Sectoral Roadmap, 2010).
c)
Kelembaban
Kelembaban berhubungan negatif dengan mosquito borne
disease. Namun, pada hasil analisis regresi, menunjukkan bahwa
kelembaban dapat menimbulkan efek positif terhadap beberapa spesies
Cullicidae, dimana kelembaban berpengaruh terhadap pola aktifitas
nyamuk (Lebl, 2013). Selain itu, perubahan pola curah hujan dapat
menyebabkan kenaikan aliran permukaan dan kelembaban tanah
28
sehingga dapat menyebabkan peningkatan atau penurunan kepadatan
populasi vektor penyakit serta kontak manusia dengan vektor penyakit.
Selain itu, banjir dan kekeringan juga merupakan salah satu dampak
yang disebabkan akibat pola curah hujan yang tidak menentu. Hal itu
mengakibatkan nyamuk lebih berkembang biak dan kondisi rumah
tidak sehat (Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap, 2010).
d)
Fisik Rumah: Konstruksi Plafon
Plafon rumah berguna sabagai pemisah antara genting dengan
ruangan agar tidak berhubungan langsung. Sehingga keberadaan
plafon penting agar nyamuk tidak leluasa masuk ke rumah melalui
celah-celah genting (Juriastuti, 2010). Responden yang memiliki
konstruksi plafon yang buruk memiliki risiko sebesar 5,29 kali terkena
filarisis dibandingkan dengan yang memiliki konstruksi plafon yang
baik.
e)
Fisik Rumah: Penggunaa Kawat Kasa
Kawat kasa yang dipasang pada bagian ventilasi berguna untuk
mencegah nyamuk masuk ke dalam rumah (Febrianto, 2008).
Penggunaan kawat kasa berhubungan dengan kejadian filariasis.
Responden yang tidak menggunakan kawat kasa memiliki risiko
sebesar 3,6 kali terkena filariasis dibanding yang memasang kawat
kasa (Syuhada, 2012).
29
f)
Fisik Rumah: Keberadaan Barang Bergantung
Keberaaan barang bergantung dapat digunakan nyamuk sebagai
tempat istirahat. Sesuai penelitian responden yang memiliki barangbarang bergantung di rumahnya memiliki risiko 6,3 kali daripada yang
tidak memiliki barang-barang bergantung di rumahnya (Juriastuti,
2010). Selain itu, pendapat lain juga menyatakan bahwa keberadaan
restingplace di dalam rumah seperti di kolon tempat tidur, baju
digantung, dan tempat gelap dan kotor mempengeruhi kejadian filarias
(Kemekes RI, 2011).
g)
Fisik Rumah: Kondisi Tempat Saluran Pembuangan Air
Limbah (SPAL)
Jenis dan kondisi tempat penampungan limbah memiliki
hubungan dengan kejadian filariasis. Respoden yang tidak memiliki
saluran limbah khusus lebih berisiko dibandingkan dengan responden
yang memiliki penampungan limbah (tertutup di pekarangan, terbuka
di pekarangan, di luar pekarangan, langsung ke got atau sungai).
Responden yang memiliki saluran terbuka lebih berisiko terkena
filariasis daripada yang memiliki saluran tertutup (Santoso, 2011).
Sesuai dengan pendapat lain, bahwa nyamuk penular filariasis
berkembang biak pada air yang berpolusi. Sehingga keadaan saluran
pembuangan air limbah (SPAL) yang terbuka dan menggenang turut
mempengaruhi kejadian filariasis (Kemenkes RI, 2011).
h) Lingkungan Fisik: Keberadaan Sawah di Sekitar Rumah
30
Lingkungan yang tanahnya digarap dan diairi untuk menanam padi
merupakan daerah persawahan (KBBI, 2005). Lingkungan persawahan
cocok sebagai reservoir untuk nyamuk filariasis. Perkembangbiakan
nyamuk filariasis salah satunya pada air yang menggenang dan
berhubungan langsung dengan tanah (Kemenkes RI, 2011). Nyamuk dapat
terbang sejauh 200 meter dari tempat perkembangbiakannya (Achmadi,
2011).
31
C.
Kerangka Teori
Keberadaan vektor
penular yang
mengandung agen
berbentuk larva
infektif (L3)
menggigit host
Agen Filariasis
1. Wuchereria
bancrofti
2. Brugia malayi
3. Brugia timori)
Penyakit Filariasis
Karakteristik Host
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Umur
Jenis kelamin
Pekerjaan
Kebiasaan keluar rumah
Kebiasaan menggunakan kelambu
Kebiasaan menggunakan obat anti
nyamuk
7. Kebiasaan memakai baju dan celana
panjang
Lingkungan Fisik
1.
2.
3.
4.
Suhu
Curah hujan
Kelembaban
Keberadaan sawah
Lingkungan Fisik Rumah
1. Kondisi tempat penampungan air
limbah
2. Penggunaan kawat kasa
3. Kondisi plafon rumah
4. Keberadaan barang bergantung
Bagan 2.2 Kerangka Teori
Keterangan
Variabel yang diteliti
Variabel yang tidak diteliti
BAB III
KERANGKA KONSEP
3.1
Kerangka Konsep
Pada penelitian ini, peneliti tidak meneliti semua varibel yang terdapat
dikerangka teori. Variabel yang dijadikan penelitian adalah host (umur, jenis
kelamin, pekerjaan, penggunaan kawat kasa, kebiasaan keluar rumah, kebiasaan
menggunakan kelambu, kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk, dan kebiasaan
memakai baju dan celana panjang) dan lingkungan (keberadaan genangan air
limbah, keberadaan sawah, kondisi plafon rumah, dan keberadaan barang-barang
bergantung dalam rumah).
Vektor filariasis tidak dijadikan variabel penelitian ini, sebab penelitian ini
lebih cenderung menjabarkan intensitas gigitan nyamuk yang diperoleh responden
berdasarkan perilaku berisiko. Selain itu juga dijabarkan mengenai kondisi
lingkungan fisik disekitar responden terkait dengan tempat perkembangbiakan
vektor penular.
Lingkungan fisik seperti suhu, curah hujan, dan kelembaban tidak diteliti.
Hal tersebut dikarenakan iklim bersifat homogen untuk satu wilayah kabupaten
atau kota, sama halnya dengan iklim di Kabupaten Tangerang. Oleh karena itu
berhubung penelitian ini di wilayah Kabupaten Tangerang, tentu suhu, curah
hujan, dan kelembaban tidak akan jauh berberbeda disetiap wilayah penderita
filariasis.
33
Pada penelitian kali ini, peneliti juga tidak menghubungkan antara faktor
risiko dengan kejadian penyakit filariasis. Peneliti hanya menggambarkan
karakteristik seluruh penderita filariasis di Kabupaten Tangerang. Berikut ini
kerangka konsep penelitiannya:
Umur
Jenis Kelamin
Pekerjaan
Kebiasaan keluar rumah malam hari
Kebiasaan menggunakan kelambu
Kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk
Kejadian Filariasis
Kebiasaan memakai baju dan celana panjang
Kondisi saluran penampungan air limbah
Keberadaan sawah
Penggunaan kawat kasa
Kondisi plafon rumah
Keberadaan barang-barang bergantung
Bagan 3.1 Kerangka Konsep
34
B.
Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No
Variabel
Definisi
1
Umur
Jumlah tahun dari responden lahir
sampai didiagnosis menderita
filariasis.
Kondisi tubuh responden secara
biologis sejak lahir.
Profesi responden sebelum
didiagnosis terkena filariasis oleh
dokter yang berisiko mengalami
multi gigitan oleh vektor penular.
2
Jenis Kelamin
3
Pekerjaan
4
Kebiasaan keluar Responden berada di luar rumah
rumah saat malam saat malam hari pada puncak
hari
aktivitas menggigit nyamuk di
luar rumah yaitu:
a. 20.00-21.00
b. 21.00-22.00
Cara Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur
Wawancara
Kuesioner
Dalam satuan tahun
Wawancara
Kuesioner
Wawancara
Kuesioner
Wawancara
Kuesioner
1. Laki-laki
2. Perempuan
1. Berisiko (petani,
pekerja di ladang atau
kebun, nelayan,
buruh di sawah,
pedagang sayur,
tukang ojek, dan
hansip yang
memiliki jam kerja
sore hingga malam
hari)
2. Tidak berisiko (selain
pekerjaan di atas)
1. Ya
2. Tidak
Skala Ukur
Rasio
Nominal
Ordinal
Ordinal
35
5
Kebiasaan
menggunakan
kelambu
6
Kebiasaan
menggunakan
obat antinyamuk
7
Kebiasaan
menggunakan
baju atau celana
panjang
c. 24.00-01.00
d. 02.00-03.00
sebelum didiagnosis menderita
filariasis oleh dokter.
(Ramadhani, 2009; Depkes RI,
2009)
Responden menggunakan atau
tidak kelambu atau tirai tipis yang
tembus pandang dengan jaringjaring yang dapat menahan
berbagai gigitan serangga saat
tidur terutama pada malam hari
sebelum didiagnosis menderita
filariasis oleh dokter.
Wawancara
Kuesioner
1. Digunakan
2. Tidak digunakan
Ordinal
Responden menggunakan atau
tidak obat atau ramuan pembasmi
nyamuk terutama saat malam hari
sebelum didiagnosis menderita
filariasis oleh dokter.
Wawancara
Kuesioner
1. Digunakan
2. Tidak digunakan
Ordinal
Responden menggunakan atau
tidak baju dan celana yang dapat
menutupi seluruh tangan dan kaki
saat malam hari sebelum
Wawancara
Kuesioner
1. Digunakan
2. Tidak digunakan
Ordinal
36
didiagnosis menderita filariasis
oleh dokter.
8
Kondisi saluran
penampungan air
limbah
Keadaan tempat pembuangan
limbah responden sebelum
didiagnosis menderita filariasis
oleh dokter. Kondisi pembuangan
limbah yang tidak baik jika tidak
tersedianya saluran pembuangan
air limbah secara khusus dan jika
memiliki saluran air limbah
kondisi saluran terbuka dan aliran
air limbah berhenti atau
menggenang.
Wawancara
dan observasi
Kuesioner dan
lembar observasi
9
Penggunaan
kawat kasa
Responden memasang atau tidak
penutup lubang angin berbentuk
jaring-jaring pada ventilasi atau
jendela untuk mencegah nyamuk
masuk ke dalam rumah sebelum
responden didiagnosis menderita
Wawancara
dan observasi
Kuesioner dan
lembar observasi
1. Kondisi
penampungan limbah
baik: jika saluran
penampungan air
limbah (SPAL)
tertutup rapat dan air
limbah mengalir
lancar).
2. Kondisi
penampungan limbah
buruk: jika saluran
penampungan air
limbah (SPAL)
terbuka dan air
limbah tidak
mengalir lancar atau
tidak memiliki
saluran limbah
khusus
(Santoso, 2011).
1. Terpasang
2. Tidak terpasang
Ordinal
Ordinal
37
10
Tinggal dekat
persawahan
11
Kondisi plafon
rumah
12
Keberadaan
barang-barang
bergantung dalam
rumah
filariasis oleh dokter.
Ada tidaknya tanah yang digarap
dan di airi untuk tempat menanam
padi pada jarak 200 meter dari
rumah responden sebelum
didiagnosis menderita filariasis
oleh dokter (Achmadi, 2011).
Kondisi pemisah antara genting
dengan ruangan agar tidak
berhubungan langsung sebelum
responden didiagnosis filariasis
oleh dokter. Kondisi plafon yang
baik yaitu rapat dan tidak
memiliki celah untuk nyamuk
masuk ke dalam rumah.
Responden meletakkan atau tidak
baju atau kainsecara tergantung di
dalam rumah terutama dalam
kamar yang memungkinkan
nyamuk beristirahat sebelum
didiagnosis menderita filariasis
oleh dokter.
Pengukuran
Aplikasi pembaca
jarak
Dalam satuan meter
Wawancaran
dan observasi
Kuesioner dan
lembar observasi
Wawancara
dan observasi
Kuesioner dan
lembar observasi
1. Baik
Jika kondisi plafon
rumah tertutup rapat
tanpa ada lubang
yang
memnungkinkan
nyamuk masuk.
2. Buruk
Jika kondisi plafon
terdapat lubang yang
memungkinkan
nyamuk masuk.
1. Ada
Jika terdapat barangbarang seperti baju,
tas, dan peralatan
yang bertumpuk
padat tidak teratur
dan jarang atau tidak
pernah dibersihkan.
2. Tidak
Jika tidak ada barangbarang yang
Rasio
Ordinal
Ordinal
38
bergantung atau
bertumpuk padat
tidak pernah
dibersihkan dan
dirapihkan.
BAB IV
METODE PENELITIAN
A.
Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi deskriptif dengan desain
studi cross sectional serta menggunakan pendekatan kualitatif. Penulis
menggunakan desain cross sectional dengan analisis deskriptif untuk mengetahui
lebih dalam karakteristik host dan lingkungan penderita sebelum didiagnosis
menderita filariasis oleh dokter. Keterbatasan mendapatkan data kasus di beberapa
wilayah puskesmas menjadi alasan penulis untuk memilih desaincross sectional
dengan analisis deskriptif. Oleh karena itu, untuk mewujudkan adanya penelitian
dasar penyakit filariasis di Kabupaten Tangerang, penulis menggunakan desain
stusi cross sectional dengan analisis deskriptif untuk mendeskripsikan
karakteristik host dan lingkungan penderita.
Pendekatan kuantitatif dimaksudkan untuk menggambarkan distribusi
penderita berdasarkan variabel host dan lingkungan. Variabel host yaitu umur,
jenis kelamin, pekerjaan, kebiasaan keluar rumah saat sore malam, kebiasaan
menggunakan kelambu, kebiasaan menggunakan obat nyamuk, dan kebiasaan
menggunakan baju dan celana panjang. Kemudian untuk variabel lingkungan
yaitu kondisi Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL), keberadaan sawah,
penggunaan kawat kasa, kondisi plafon, dan keberadaan barang bergantung.
40
Penggunaan
metode
kualitatif
dimaksudkan
untuk
mendukung
pembahasan pada beberapa variabel, sehingga diharapkan mendapat informasi
yang lebih mendalam tentang alasan penderita tidak melakukan pencegahan diri
dari gigitan nyamuk. Pendekatan kualitatif dilakukan untuk variabel host
(penggunaan kelambu, obat nyamuk, dan menggunakan baju dan celana panjang
saat sore hingga malam) dan lingkungan (keberadaan barang bergantung, kondisi
SPAL, dan keberadaan kawat kasa).
B.
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di 6Kecamatan yaitu Sepatan Timur, Rajeg, Paku
Haji, Pasar Kemis, Cikupa, dan Pagedangan. Penelitian ini dilakukan dari Juni
sampai Oktober 2015. Wilayah tersebut merupakan daerah yang memiliki Mf
rate>1% atau penderita kronis. Berikut ini peta wilayah penelitian:
Gambar 4.1
Peta Kabupaten Tangerang
41
C.
Populasi dan Sampel
1.
Populasi
Populasi target pada penelitian ini adalah semua penderita filariasis
di 8 kecamatan yaitu Kecamatan Cikupa, Kecamatan Paku Haji,
Kecamatan Pasar Kemis, Kecamatan Teluk Naga, Kecamatan Rajeg,
Kecamatan Sepatan Timur, Kecamatan Curug, dan Kecamatan Tiga
Raksa. Kemudian populasi studi adalah penderita filariasis yang tinggal
pada kecamatan tersebut dan terdaftar di puskesmas yang berwenang di
daerahnya. Berikut ini kriteria inklusi dan eksklusi agar didapatkan
populasi yang memenuhi syarat:
a. Kriteria inklusi
Orang yang positif filariasis dari hasil Survei Darah Jari (SDJ) dan
laporan data kasus filariasis tahun 2005-2013 yang dilakukan di
kelurahan setempat.
b. Kriteria eksklusi
1) Penderita filariasis yang telah pindah rumah saat penelitian.
2) Penderita filariasis telah meninggal dunia.
3) Peneliti tidak dapat menemukan rumah penderita.
4) Penderita filariasis tidak bersedia ikut dalam penelitian ini.
2.
Sampel
Sampel dalam penelitian ini menggunakan metode total sampling,
yaitu populasi yang telah memenuhi syarat adalah sampel penelitian ini
42
sebanyak 40 orang. Sebelum menjabarkan alur pengambilan sampel,
berikut ini akan dijabarkan kasus filariasis dari 2005 sampai 2013:
Tabel 4.1
Data Hasil Survei Darah Jari (SDJ) dan Penemuan Kasus Kronik
Kabupaten Tangerang 2005-2013
No
Tahun
Hasil SDJ
Penemuan Kasus
Jumlah
Kronik
1
2005
25
25
2
2006
42
2
44
3
2007
2
2
4
2008
2
2
5
2009
3
3
6
2010
2
2
7
2011
0
2
2
8
2012
3
3
9
2013
1
1
Jumlah
67
17
84
Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang 2005-2013
Berdasarkan tabel 4.1, peneliti tidak dapat mengakses keberadaan
semua penderita. Dari 8 kecamatan yang pernah dilaksanakan SDJ, hanya
ada beberapa puskesmas yang memiliki data alamat penderita dengan
jelas. Hal tersebut dikarenakan data yang diminta sudah lebih dari 5 tahun
dan pemegang program filariasis sudah berganti. Berikut ini uraian jumlah
penderita yang tercatat dibeberapa puskesmas:
43
Tabel 4.2
Data Kasus Filariasis di Kabupaten Tangerang 2015
No
1
Kecamatan
Rajeg
PKM
Rajeg
Sukatani
Kedaung
Barat
Desa
Jumlah
Rajeg
6
Sukatani
6
2
Sepatan
Kedaung
3
Timur
Barat
Jati Mulya
4
3
Paku Haji
Paku Haji
Surtya Bahari
4
4
Cikupa
Cikupa
Bunder
5
Talaga
4
5
Pagedangan
Pagedangan Jetake
3
6
Pasar Kemis Sindang
Wanakerta
2
Jaya
dan
Sukaharja
7
Mekar Baru
Mekar Baru Kedaung dan
2
Mekar baru
8
Kosambi
Salembaran Salembaran
1
Jaya
Jaya
Jumlah
40
Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang 2005-2013 dan
Puskesmas
Setelah diketahui data penderita filariasis pada tabel 4.2, berikut ini
alur pengambilan sampel pada penelitian ini:
Bagan 4.1
Alur Pengambilan Sampel
Seluruh
orang
yang
positif
filariasis dari hasil
SDJ
dan
penemuan kasus
2005-2013:
84
orang.
Penderita yang
memiliki
rekam medis:
40 orang.
Peneliti
tidak
dapat
mengakses
keberadaan
penderita:
6
orang.
Populasi
yang
memenuhi syarat
atau
sampel
penelitian ini: 30
orang.
Penderita yang
menolak untuk
ikut
dalam
penelitian:
4
orang.
44
Jadi, sampel yang dapat dijadikan dalam penelitian ini berjumlah
30 orang dari 6 kecematan yaitu Rajeg, Sepatan Timur, Paku Haji, Pasar
Kemis, Cikupa, dan Pagedangan.
D.
Pengumpulan Data
1.
Sumber Data
a. Kuantitatif
Pendekatan kuantitatif menggunakan sumber data sekunder dan
primer. Data sekunder yang digunakan adalah data kasus yang
diperoleh dari pencatatan dan pelaporan data kasus filariasis
Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang serta laporan Survei
Darah Jari (SDJ) puskesmas terkait pada periode 2005 sampai
2013. Sedangkan data primer bersumber dari kuesioner dan
pengukuran jarak rumah dan sawah lewat plotting.
b. Kualitatif
Sumber
data
pendekatan
kualitatif
adalah
wawancara
mendalam.
2.
Metode Pengumpulan Data
a. Kuantitatif
Sumber data pada pendekatan kuantitatif adalah data sekunder
dan primer. Data sekunder didapat dari data Dinas Kesehatan
Kabupaten Tangerang dan puskesmas setempat, sedangkan
data primer berasal dari wawancara dan pengukuran dari
plotting rumah penderita ke sawah.
45
b. Kualitatif
Wawancara
mendalam
dibutuhkan
untuk
mendukung
pembahasan pada masing-masing variabel. Wawancara tersebut
berkaitan dengan alasan penderita tidak melakukan upaya
pencegahan gigitan nyamuk.
3.
Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen pengumpulan data pada penelitian ini adalah kuesioner,
lembar observasi, pedoman wawancara, dan pengukuran. Variabel host
(umur, jenis kelamin, pekerjaan, kebiasaan keluar rumah, kebiasaan
menggunakan kelambu, kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk, dan
kebiasaan memakai baju dan celana panjang) menggunakan instrumen
berupa kuesioner. Kemudian untuk variabel lingkungan (kondisi tempat
penampungan limbah, penggunaan kawat kasa, kondisi dinding rumah,
kondisi plafon rumah, dan keberadaan barang-barang bergantung dalam
rumah) menggunakan kuesioner, lembar observasi, wawancara mendalam,
dan lembar pengukuran.
Pada variabel lingkungan (kondisi tempat penampungan limbah,
keberadaan sawah, penggunaan kawat kasa, kondisi dinding rumah,
kondisi plafon rumah, dan keberadaan barang-barang bergantung dalam
rumah) peneliti akan menanyakan ada perbedaan atau tidak terkait kondisi
lingkungan saat sebelum dan sesudah didiagnosis filariasis oleh dokter.
Jika kondisi lingkungan sebelum dan sesudah sama, maka keadaan
lingkungan pada saat penelitian dianggap sama saat responden belum
46
didiagnosis filariasis oleh dokter.Selanjutnya untuk variabel tinggal dekat
persawahan dilakukan pengukuran.
E.
Pengolahan Data
Pengolahan data pada penelitian ini dilakukan sebagai berikut:
1. Pemeriksaan data: kode pertanyaan A, B, C, E, dan F jika dijawab
pilihan a (ya) maka semua pertanyaan pada kolom masing-masing
kode pertanyaan harus dijawab. Apabila terdapat jawaban yang belum
lengkap atau terdapat kesalahan dalam mengisi maka harus dilengkapi
dengan wawancara kembali terhadap responden. Jika kode pertanyaan
A, B, C, E, dan F jika dijawab pilihan b (tidak) maka pertanyaan yang
harus dijawab hanya pertanyaan nomer 1 saja. Selebihnya untuk kode
pertanyaan D, G, dan H semua pertanyaan pada kolom tersebut harus
diisi.
2. Pemberian kode, data yang telah terkumpul dan diperiksa, lalu diberi
kode secara manual. Setiap jawaban yang tersedia memiliki pilihan a,
b, c, hingga d. A diberi kode 1, b kode 2, c, kode 3, dan d kode 4.
Khusus kode pertanyaan B4 dan C2 tidak diberi kode seperti yang
lainnya. Jawaban tersebut ditulis dengan angka dari 1 hingga 7.
3. Pengisian data kekomputer, data responden yang telah diberi kode
dimasukan ke dalam komputer sesuai dengan kolom pertanyaan A (13), B (1-4), C (1-2), D (1), E (1-2), F (1-2), G (1-2), dan H (1) untuk
diolah.
47
4. Pembersihan data, data yang telah dimasukkan ke program komputer
diperiksa kembali untuk diolah agar sesuai dengan hasil jawaban
responden.
5. Penyajian data, data yang yang telah diolah kemudian ditampilkan
dalam bentuk grafik batang seperti pertanyaan A1, B1, C1, D1, E1, F1,
G1, dan H1. Pertanyaan selebihnya tidak ditampilkan dalam hasil
tetapi digunakan untuk memperkuat pembahasan. Akan tetapi, hasil
pengolahan data terlampir pada hasil pengolahan data seluruh
pertanyaan kuesioner.
F.
Analisis Data
Analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis distribusi
frekuensi. Variabel dengan skala rasio seperti umur dan tinggal dekat persawahan
akan digunakan nilai mean SD, median, dan max-min. Kemudian variabel dengan
skala ordinal dan nominal (jenis kelamin, pekerjaan, kebiasaan keluar rumah,
kebiasaan menggunakan kelambu, kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk,
kebiasaan memakai baju dan celana panjang, kondisi tempat penampungan
limbah, keberadaan sawah, penggunaan kawat kasa, kondisi dinding rumah,
kondisi plafon rumah, dan keberadaan barang-barang bergantung dalam rumah)
akan digunakan nilai frekuensi (%). Data disajikan dalam bentuk grafik.
Selain melihat distribusi frekuensi per variabel, peneliti akan menampilkan
hasil stratified antar variabel guna mengeksplolarasi data lebih dalam. Variabel
yang akan di stratified adalah pekerjaan dengan jenis kelamin, penggunaan obat
48
nyamuk dengan pekerjaan, penggunaan baju dan celana panjang dengan
pekerjaan. Hasil stratified akan disajikan dalam bentuk grafik.
BAB V
HASIL
A.
Distribusi Kejadian Filariasis Berdasarkan Komponen Host
Komponen host yang diteliti adalah umur, jenis kelamin,
pekerjaan, keluar rumah malam hari, penggunaan kelambu, penggunaan
obat anti nyamuk, dan pemakaian baju dan celana panjang. Berikut ini
distribusi komponen host yang didapatkan setiap variabel:
1.
Umur
Berdasarkan hasil penelitian yang didapat, berikut ini grafik umur
penderita filariasis di Kabupaten Tangerang:
Grafik 5.1
Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Umur diKabupaten Tangerang
periode 2005-2015
100%
80%
60%
26-35
40%
36-45
Persentase
46-55
20%
0%
Umur
Pada grafik 5.1 terlihat bahwa penderita filariasis paling banyak
terdapat pada usia 36-45 tahun yaitu sebanyak 13 orang (43,3%).
Pekerjaan pada kelompok umur 36-45 tahun adalah sebagai petani, buruh
sawah, dan orang yang bekerja di sawah saat panen padi.
50
2.
Jenis Kelamin
Penderita di Kabupaten Tangerang terdiri dari jenis kelamin lakilaki dan perempuan. Berikut ini grafik distribusi penderita filariasis
berdasarkan jenis kelamin:
Grafik 5.2
Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Jenis Kelamin diKabupaten
Tangerang periode 2005-2015
100%
80%
60%
Persentase
Laki-laki
40%
Perempuan
20%
0%
Jenis Kelamin
Berdasarkan grafik 5.2 terlihat bahwa penderita filariasis paling
banyak berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 18 orang (60%).
3.
Pekerjaan
Variabel pekerjaan memiliki dua kategori, yaitu pekerjaan berisiko
dan pekerjaan tidak berisiko. Berikut ini grafik distribusi penderita
berdasarkan jenis pekerjaan:
51
Grafik 5.3
Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Pekerjaan diKabupaten
Tangerang periode 2005-2015
100%
80%
60%
Persentase
Berisiko
40%
Tidak Berisiko
20%
0%
Pekerjaan
Sesuai dengan grafik 5.3 terlihat bahwa sebagian besar penderita
memiliki pekerjaan berisiko yaitu sebanyak 20 orang (66,7%). Lebih
lanjut, pekerjaan yang dimiliki penderita sebelum didiagnosis menderita
filariasis adalah buruh tani (3,3%), guru ngaji (3,3%), ibu rumah tangga
(13,3%), petugas kebersihan (3,3%), membantu di sawah (23,3%),
pedagang (10%), swasta (13,3%), dan petani (30%). Jika variabel
pekerjaan dibagi berdasarkan jenis kelamin, maka akan terlihat sebagai
berikut:
Grafik 5.4
Distribusi Pekerjaan Penderita Filariasis Berdasarkan Jenis Kelamin
diKabupaten Tangerang periode 2005-2015
100%
80%
Persentase
60%
40%
Laki-laki
20%
0%
Perempuan
Pekerjaan
Berisiko
Pekerjaan
Tidak Berisiko
Laki-laki
60%
60%
Perempuan
40%
40%
52
Berdasarkan grafik 5.4 terlihat bahwa pekerjaan berisiko paling
banyak dimiliki oleh laki-laki yaitu sebanyak 12 orang (60%). Kemudian,
untuk jenis pekerjaan yang tidak berisko paling banyak dimiliki juga oleh
jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 6 orang (60%).
4.
Keluar Rumah Pada Malam Hari
Kategori kebiasaan tersebut dibedakan menjadi kebiasaan keluar
saat malam dan tidak memiliki kebiasaan keluar rumah saat malam.
Berikut ini grafik jumlah penderita berdasarkan kebiasaan keluar rumah
saat malam:
Grafik 5.5
Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Kebiasaan Keluar Rumah
Malam Hari diKabupaten Tangerang periode 2005-2015
100%
80%
60%
Persentase
Ya
40%
Tidak
20%
0%
Kebiasaan Keluar Rumah
Malam Hari
Berdasarkan grafik 5.5 terlihat bahwa sebagian besar penderita
memiliki kebiasaan keluar rumah malam hari yaitu sebanyak 20 orang
(66,7%). Apabila dilihat alasan penderita keluar rumah saat malam hari,
maka seluruh penderita memiliki alasan pekerjaan yaitu 100%.
53
5.
Penggunaan Kelambu
Variabel penggunaan kelambu memiliki kategori menggunakan
dan tidak menggunakan. Berikut ini grafik penderita filariasis berdasarkan
penggunaan kelambu:
Grafik 5.6
Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Penggunaan Kelambu
diKabupaten Tangerang periode 2005-2015
100%
80%
Persentase
60%
40%
Menggunakan
20%
Tidak Menggunakan
0%
Penggunaan
Kelambu
Berdasarkan grafik 5.6 terlihat bahwa sebagian besar penderita
tidak menggunakan kelambu sebelum didiagnosa menderita filariasis yaitu
sebanyak 23 orang (76,7%). Berikut ini hasil wawancara penderita
mengenai alasan tidak menggunakan kelambu saat tidur malam:
“gak punya kelambu saya mah. Dari dulu saya kalo tidur
udah pake baju sama celana panjang terus selimutan
lagi.”
Hasil wawancara di atas, penderita menyatakan bahwa tidak
menggunakan kelambu saat tidur malam hari karena ketidaktersediaan
kelambu di rumahnya.
54
5.1.6
Penggunaan Obat Nyamuk
Variabel penggunaan obat nyamuk memiliki kategori digunakan
dan tidak digunakan obat nyamuk sebelum sakit. Berikut ini grafik
penderita berdasarkan penggunaan obat nyamuk:
Grafik 5.7
Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Penggunaan Obat Nyamuk di
Kabupaten Tangerang periode 2005-2015
100%
80%
60%
Persentase
Digunakan
40%
Tidak Menggunakan
20%
0%
Penggunaan Obat
Nyamuk
Berdasarkan grafik 5.8 didapatkan sebagian besar penderita tidak
menggunakan obat nyamuk. Penderita yang tidak menggunakan obat
nyamuk sebanyak 18 orang (60%). Jika penggunaan obat nyamuk
dibedakan berdasarkan jenis pekerjaan maka akan terlihat sebagai berikut:
55
Grafik 5.8
Distribusi Penggunaan Obat NyamukBerdasarkan Jenis Pekerjaan di
Kabupaten Tangerang periode 2005-2015
100%
80%
60%
Persentase
40%
Berisiko
20%
Tidak Berisiko
0%
Menggunakan
Tidak
Menggunakan
Berisiko
58.30%
72%
Tidak Berisiko
41.70%
28%
Kategori Penggunaan Obat Nyamuk
Berdasarkan grafik 5.8 terlihat bahwa penderita yang tidak
menggunakan obat anti nyamuk sebagian besar memiliki pekerjaan
bersiko yaitu sebanyak 13 orang (72,2%).
Sesuai dengan pernyataan salah satu penderita mengenai tidak
digunakannya obat nyamuk. Berikut ini kutipan wawancaranya:
“yaa cuek aja, biasa kalo digigit nyamuk. Dulu kan masih
sepi suka kerusukan gitu kan. Biasa, jadi dianggepnya
biasa. Ga perhatiin kesitu. Kalo memang tau kalo kaya
sekarang ya, wah kita digigit nyamuk nih. Kita pake obat
kalo sekarang. Ya kan? Pake sofel gitu kan?” (UD, KR)
Kutipan di atas menjelaskan bahwa penderita tidak menggunakan
obat anti nyamuk. Terkait gigitan nyamuk merupakan hal biasa bagi
penderita ketika berada di luar rumah saat malam hari. Sehingga penderita
tidak melakukan upaya pencegahan terhadap gigitan nyamuk.
56
7.
Penggunaan Baju dan Celana Panjang
Kebiasaan menggunakan baju dan celana panjang saat petang
terutama malam hari memiliki kategori menggunakan dan tidak
menggunakan. Berikut ini grafik penderita sesuai dengan penggunaan baju
dan celana panjang saat malam:
Grafik 5.9
Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Penggunaan Baju dan Celana
Panjang diKabupaten Tangerang periode 2005-2015
100%
80%
63%
60%
Persentase
40%
Berisiko
37%
Tidak Berisiko
20%
0%
Penggunaan Baju dan
Celana Panjang
Berdasarkan
grafik
5.9
sebagian
besar
penderita
tidak
menggunakan baju dan celana panjang saat malam hari. Penderita yang
tidak menggunakan baju dan celana panjang sebanyak 19 orang (63,3%).
Jika dilihat kebiasaan menggunakan baju dan celana panjang saat malam
dengan jenis pekerjaan maka akan terlihat sebagai berikut:
57
Grafik 5.10
Distribusi Penggunaan Baju dan Celana Panjang Malam Hari Berdasarkan
Jenis Pekerjaan diKabupaten Tangerang periode 2005-2015
100%
80%
60%
Persentase
40%
Pekerjaan Berisiko
20%
Pekerjaan Tidak Berisiko
0%
Digunakan
Tidak
Digunakan
Pekerjaan Berisiko
73%
63%
Pekerjaan Tidak Berisiko
27%
37%
Berdasarkan grafik 5.10 terlihat bahwa penderita yang tidak
menggunakan baju dan celana panjang saat malam hari sebagian besar
memiliki pekerjaan bersiko yaitu sebanyak 12 orang (63,2%). Berikut ini
hasil wawancara penderita mengenai alasan tidak menggunakan baju dan
celana panjang saat malam hari:
“Kalo di sawah neng, lagi panen bisa sampe pagi di
sawah. Sawah jadi rame banget. Biasa pake celana
panjang, kaos biasa. Tapi kadang dicopot kalo gerah.”
Hasil wawancara di atas penderita menyatakan bahwa tidak
menggunakan baju dan celana panjang saat malam hari terutama ketika
bekerja adalah alasan ketidak nyamanan saat bekerja.
58
B.
Distribusi Frekuensi Kejadian Filariasis Berdasarkan
KomponenLingkungan
Kondisi lingkungan yang mempengaruhi kejadian filariasis adalah
kondisi Saluran Penampungan Air Limbah (SPAL), penggunaan kawat
kasa, tinggal dekat persawahan, kondisi plafon rumah, dan keberadaan
barang bergantung dalam rumah. Berikut ini distribusi komponen
lingkungan yang didapatkan setiap variabel:
1.
Kondisi Sarana Pembuangan Air Limbah (SPAL)
Sesuai kepemilikan Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL)
penderita sebelum didiagnosis filariasis miliki kategori baik dan buruk.
Berikut ini grafik mengenai kondisi (SPAL) penderita berdasarkan kondisi
SPAL:
Grafik 5.11
Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Kondisi SPAL diKabupaten
Tangerang periode 2005-2015
100%
80%
Persentase
60%
Baik
40%
Buruk
20%
0%
Kondisi SPAL
Berdasarkan grafik 5.11 terlihat bahwa kondisi SPAL penderita
sebagian besar penderita memiliki kondisi SPAL yang buruk. Penderita
yang memiliki SPAL buruk sebanyak 24 orang (80%).
59
Kondisi SPAL yang sebagian besar buruk sesuai dengan
pernyataan dari salah satu penderita. Berikut ini hasil kutipan wawancara
dengan penderita:
“jaman dulu rumah masih jarang, yang perumahanperumahandisono tuh masih sawah, masih hutan lah.
Belom ada got. Ketanah aja gitu. Saya paling air bekas
mandi doang, sama nyuci juga jarang. (OM, KR)
Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa pembuangan air
limbah penderita langsung ke tanah. Belum memiliki pembuangan air
limbah yang terstruktur.
“Saya air limbah ke depan situ.. ya terbukalah. Hmm ada
genangan. Harus disogok airnya, kesumbat lumpur,
sampah.”(AR, ST)
Berdasarkan kutipan di atas, kondisi tempat penampungan air
penderita adalah terbuka dan ada air yang menggenang.
“Gak mampet sih. Ya tapi gak lancar juga. Kadang airnya
suka diem. Itu gegara sampah kaya plastik segala macem
banyak tuh digot. Jadi ngalirnya dikit-dikit. Tapi gak
sampe mampet bikin banjir.”(RM, CK)
Dari pernyataan penderita di atas, diketahui bahwa area lingkungan
disekitar rumah penderita memiliki saluran air limbah yang kerap kali ada
genangan air. Berdasarkan hal itu, disekitar rumah penderita memiliki
potensi sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk penular.
60
2.
Penggunaan Kawat Kasa
Berdasarkan penggunaan kawat kasa, kategori yang digunakan
adalah kasa terpasang dan tidak terpasang di rumah penderita sebelum
didiagnosis filariasis. Berikut ini grafik penderita berdasarkan penggunaan
kawat kasa:
Grafik 5.12
Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Penggunaan Kawat Kasa
diKabupaten Tangerang periode 2005-2015
100%
80%
60%
Persentase
Baik
40%
Buruk
20%
0%
Penggunaan Kawat Kassa
Berdasarkan grafik 5.12 terlihat bahwa penggunaan kawat kasa
sebagian besar penderita belum memasang kawat kasa. Penderita yang
tidak memasang kawat kasa sebanyak 35 orang (86,7%). Berikut ini
wawancara mengenai alasan tidak terpasangnya kawat kasa:
“dari dulu gak pake.. iya atuh beli lagi kan pake
pake kawat kasa.”
Hasil wawancara menunjukkan bahwa alasan tidak memasang
kawat kasa adalah alasan ekonomi. Namun, tidak semua penderita yang
tidak memasang kawat kasa memiliki alasan ekonomi.
“Gak ada tuh, liat aja. Gak pake kawat nyamuk.
Dari dulu mah gak pake kawat nyamuk.”
61
Hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa penderita tidak
memiliki rencana untuk memasang kawat kasa pada ventilasinya.
3.
Penggunaan Plafon
Variabel penggunaan plafon memiliki kategori ada dan tidak ada.
Berikut ini grafik penderita berdasarkan penggunaan plafon rumah:
Grafik 5.13
Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Penggunaan Plafon
diKabupaten Tangerang periode 2005-2015
100%
80%
Persentase
60%
Pakai
40%
Tidak
20%
0%
Penggunaan Plafon
Berdasarkan grafik 5.13 terlihat bahwa sebagian besar penderita
tidak memiliki plafon. Penderita yang tidak memiliki plafon sebanyak 26
orang (86,7%).
4.
Keberadaan Barang Bergantung
Variabel keberadaan barang-barang bergantung memiliki kategori
ada dan tidak. Berikut ini grafik penderita berdasarkan keberadaan barangbarang bergantung:
62
Grafik 5.14
Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Keberadaan Barang
Bergantung di Kabupaten Tangerang periode 2005-2015
100%
80%
60%
Persentase
Ada
40%
Tidak Ada
20%
0%
Keberadaan Barang
Bergantung
Berdasarkan grafik 5.14 sebagian besar penderita memiliki barangbarang bergantung di dalam rumah. Penderita yang memiliki keberadaan
barang beragantung di dalam rumah sebanyak 27 orang (90%). Berikut ini
hasil wawancara mengenai alasan menggantung barang berbahan kain:
“Rumah mah dibersihin, tapi kalo baju yang abis
dipake masih bersih digantung-gantungin aja. Kalo ga
muat ditumpuk dikasur, ya digantung juga.” (UD,
RJK)
Hasil wawancara di atas menyatakan bahwa keberadaan barang
bergantung di rumah merupakan kebiasaan yang rutin dilakukan penderita,
dengan cara tersebut menjadi lebih praktis meletakaan sesuatu seperti baju
yang masih dipakai daripada melipat pakaian dan merapikannya.
5.
Keberadaan Sawah
Berdasarkan jarak sawah disekitar rumah penderita, terdapat
kategori rumah dekat dan jauh dengan sawah. Apabila dilihat dari jarak
terbang nyamuk dari tempat perindukannya yaitu 200 meter. Maka
63
proporsi rumah yang berada
200 meter dari tempat perindukan (sawah)
yaitu sebagai berikut:
Grafik 5.15
Distribusi Penderita Filariasis Berdasarkan Jarak Terbang Nyamuk dari
Tempat Perindukan (Sawah) ke Rumah Penderita di Kabupaten Tangerang
periode 2005-2015
27%
≤200
>200
73%
Berdasarkan grafik 5.15 terlihat bahwa rumah penderita yang
berjarak
200 meter memiliki proporsi yang lebih besar daripada rumah
penderita yang memiliki jarak jauh dengan sawah (>200 meter). Penderita
yang memiliki jarak
200 meter memiliki proporsi 73,3% (22 orang).
BAB VI
PEMBAHASAN
A.
Keterbatasan Penelitian
1. Kondisi lingkungan yang membutuhkan observasi tidak dapat dilihat
secara langsung seluruhnya. Hal ini dikarenakan ada perubahan
kondisi lingkungan rumah responden saat sebelum didiagnosis
filariasis dengan waktu penelitian. Oleh karena itu, terjadinya bias
pada data mungkin terjadi.
2. Data dan informasi mengenai faktor-faktor berisiko dalam penelitian
diperoleh berdasarkan daya ingat penderita. Oleh karena itu, terjadinya
bias pada data mungkin terjadi.
3. Penelitian ini hanya menggambarkan karakteristik host dan lingkungan
penderita, sehingga peneliti hanya menggali lebih dalam informasi
terkait karakteristik tersebut. Oleh sebab itu, peneliti tidak dapat
menyebutkan faktor risiko mana yang berhubungan dengan kejadian
filariasis.
B.
Distribusi Kejadian Filariasis Berdasarkan Komponen Host
Berikut ini penjelasan lebih lanjut mengenai variabel host yang
terdiri dari umur, jenis kelamin, pekerjaan, keluar rumah pada malam hari,
penggunaan kelambu, penggunaan obat anti nyamuk, dan penggunaan baju dan
celana panjang.
65
1.
Umur
Filariasis menyerang semua kelompok umur. Pada dasarnya setiap orang
dapat tertular filariasis apabila mendapat tusukan nyamuk infektif (mengandung
larva stadium 3) hingga ribuan kali (Kemenkes RI, 2010). Akan tetapi, penderita
filariasis paling banyak diderita oleh orang dewasa karena orang dewasa lebih
sering kontak dengan vektor penular ditempat kerjanya (Depkes RI, 2005).
Pembagian kelompok umur menurut usia bekerja dan tidak bekerja yaitu usia
bekerja dalam rentang umur 15-64 tahun, sedangkan kelompok usia non produktif
atau tidak bekerja dalam rentang umur 0-14 tahun dan >65 tahun (Depkes RI,
2008).
Penderita filariasis di Kabupaten Tangerang memiliki rentang usia
produktif seluruhnya yaitu 100%, dengan penjabaran kategori usia sesuai
Departemen Kesehatan RI (2009) yaitu 26-35 tahun sebesar 16,7%, 35-45 tahun
sebesar 43,3%, dan 46-55 tahun sebesar 40%. Hal tersebut sesuai dengan
pernyataan Departemen Kesehatan RI (2005) yang menyatakan penderita filariasis
paling banyak diderita oleh kelompok dewasa. Kamaruddin (2013) berpendapat
bahwa lokasi kerja yang berisiko terpapar gigitan nyamuk penular filariasis sesuai
kondisi geografisnya seperti petani pada lokasi persawahan dan nelayan pada
lokasi pesisir. Berdasarkan karakteristik perkerjaan penderita di Kabupaten
Tangerang yaitu petani sebesar 30%, buruh sawah sebesar 26,6%, guru 3,3%, ibu
rumah tangga sebesar 13,3%, petugas kebersihan sebesar 3,3%, pedagang sebesar
10%, dan swasta sebesar 13,3%.
66
Di Indonesia penderita filariasis pada tahun 2007 terdapat pada semua
kelompok umur. Persentase penderita filariasis tersebut yaitu pada kelompok
umur 0-5 tahun sebesar 5,5%, 6-14 tahun sebesar 14,3%, 15-30 tahun sebesar
25,1%, 31-46 tahun sebesar 26,7%, 47-62 tahun sebesar 18,3%, dan >62 tahun
sebesar 10,1% (Santoso, 2010). Persentase kelompok umur penderita filariasis
terbesar besar terletak pada 31-46 tahun yakni kategori usia dewasa. Akan tetapi
jika persentase usia tua digabungkan antara 47-62 dan >62 tahun maka usia tua
memiliki persentase yang paling besar yaitu 28,4%. Karakteristik pekerjaan
penderita filariasis di Indonesia yang paling besar adalah sebagai petani sebesar
32,2% dan tidak bekerja sebesar 37,7%.
Karakteristik antara umur dan pekerjaan penderita di Kabupaten
Tangerang dan penderita filariasis di seluruh Indonesia memiliki karakteristik
yang sama. Persamaan
karakteristik pekerjaan penderita berarti menandakan
kondisi geografis tempat serupa yaitu sebagian bersar berupa persawahan. Sesuai
dengan Departemen Kesehatan RI (2005) menyatakan bahwa lingkungan
persawahan cocok sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk filariasis karena air
yang menggenang dan langsung berhubungan dengan tanah.
Karakteristik umur penderita filariasis yang ditemukan di Kecamatan
Boneraya dari hasil Survei Darah Jari (SDJ) yaitu paling banyak pada kelompok
umur >40 tahun sebesar 34%. Kelompok umur termuda yang ditemukan di
Kecamatan Boneraya yaitu 10-14 tahun, tapi kategori umur tersebut memiliki
persentase umur yang paling rendah yaitu 2,9%. Penderita filariasis di Kabupaten
Tangerang dan Kecamatan Boneraya memiliki karakteristik umur yang sama,
tetapi berbeda karakateristik pekerjaannya. Penderita di Kecamatan Boneraya
67
sebagian besar pekerjaannya bukan petani yaitu 54,3%. Namun, apabila dilihat
dari aktivitas masyarakat pada malam hari, kelompok dewasa di Kecamatan
Boneraya senang berkumpul seperti ronda, nonton televisi di luar rumah,
berjualan, buang air besar di luar rumah, dan memasang obat nyamuk di luar
rumah (Uloli, 2008). Kondisi tersebut membuat kelompok dewasa memiliki
kecenderungan yang besar untuk kontak dengan nyamuk penular filariasis di luar
rumah saat malam.
Lain hal dengan Garjito (2013) yang menemukan penderita filariasis
terbanyak di Desa Pangku Tolole pada kelompok umur 10-14 tahun. Persentase
penderita filariasis sama besar antara usia 10-14 tahun dengan 30-39 tahun, yaitu
masing-masing 25% dan 25%. Garjito menemukan penderita filariasis dengan
Survei Darah Jari (SDJ). Sediaan darah yang diperiksa memiliki variasi umur
mulai dari 2-4 tahun, sehingga hasil SDJ dapat digambarkan beragam berdasarkan
kelompok umur. Karakteristik anak yang menderita filariasis selain menjadi
pelajar adalah pekerjaannya membantu orang tuanya di kebun dari pagi hingga
sore hari. Para orang tua lebih suka anak mereka bekerja membantu perekonomian
dibandingkan harus sekolah. Hal tersebut membuat kelompok umur anak-anak
juga memiliki kecenderungan yang sama besar dengan kelompok dewasa untuk
kontak dengan nyamuk penular filariasis saat membantu orang tuanya.
Besarnya proporsi penderita filariasis pada usia anak-anak menandakan
tingginya transmisi potensial. Jika tingkat infeksi pada populasi tinggi, diikuti
dengan transmisi yang potensial, maka anak-anak tidak terlindungi dari infeksi
filariasis. Oleh karena itu bagi kabupaten atau kota yang dinyatakan endemis
maka dilakukan pengobatan masal dengan harapan dapat menurunkan kasus
68
filariasis pada semua kelompok umur. Lingkungan yang sedang menjalani
pengobatan masal filariasis (MDA) akan menurunkan tingkat infeksi dalam
populasi. Apabila tingkat infeksi rendah dalam populasi, maka transmisi potensial
juga rendah, sehingga anak-anak terlindungi dari infeksi (WHO, 2013).
Sesuai dengan pernyataan Centers for Disease Control (2015) menyatakan
bahwa orang yang hidup lama di daerah tropis atau sub tropis yang ditetapkan
sebagai daerah endemis, maka setiap orang memiliki risiko untuk tertular penyakit
tersebut. Orang yang tinggal pada daerah endemis dalam waktu yang singkat
memiliki risiko yang lebih rendah untuk tertular penyakit. Oleh sebab itu, semua
kelompok umur harus mencegah infeksi dengan cara menghindari gigitan
nyamuk. Nyamuk yang membawa cacing mikroskopik biasa menggigit antara
senja dan fajar. Terutama menurut Ramdhani (2009) pada tiga jam puncak gigitan
nyamuk yaitu 21.00-22.00, 24.00-01.00, dan 02.00-03.00.
2.
Jenis Kelamin
Distribusi jenis kelamin penderita filariasis paling banyak diderita oleh
laki-laki. Hal ini menunjukkan laki-laki memiliki kecenderungan yang besar
terkena filariasis dibandingkan perempuan. Aktivitas laki-laki lebih banyak di
luar rumah, sehingga meningkatkan risiko terkena filariasis (Santoso, 2011).
Aktifitas yang berisiko bagi laki-laki yaitu seperti sering keluar rumah pada
malam hari (Supali, 2002). Oleh karena itu, kecenderungan laki-laki untuk kontak
dengan nyamuk penular filariasis lebih besar.
69
Belum ada penelitian yang menyebutkan bahwa secara genetik jenis
kelamin laki-laki lebih rentan tertular filariasis dibandingkan perempuan.
Penularan filariasis menurut Departemen Kesehatan RI (2005) terjadi bila ada 3
unsur seperti adanya sumber penularan, adanya vektor, dan manusia yang rentan
terhadap filariasis. Manusia yang rentan adalah manusia yang tinggal di daerah
endemis filariasis, tetapi transmigran dari daerah non endemis ke daerah endemis
memiliki risiko terinfeksi lebih besar dibandingkan penduduk asli.
Hasil penelitian di Kabupaten Tangerang memiliki persentase penderita
laki-laki lebih besar dari perempuan yakni 60%. Pekerjaan yang dimiliki oleh
laki-laki yaitu sebagai petani sebesar 55,56%, swasta sebesar 22%, pedagang
sebesar 11%, guru ngaji sebesar 5,5%, dan petugas kebersihan sebesar 5,5%.
Apabila dilihat dari pekerjaan yang memiliki aktivitas di luar rumah saat malam
hari adalah petani dan pedagang. Sesuai dengan hasil wawancara bahwa seorang
petani ketika hendak panen akan bekerja dari sore hingga melewati malam hari di
sawah. Ketika musim panen, lingkungan persawahan akan ramai dengan orangorang yang membantu petani untuk memanen padi, mereka disebut sebagai buruh
tani.
Lebih besarnya persentase penderita filariasis laki-laki tidak selalu sama
pada setiap daerah. Penelitian Irianti (2013) dan Kamaruddin (2013) menunjukkan
bahwa kejadian filariasis lebih banyak ditemukan pada perempuan masing-masing
yaitu sebesar 57,1% dan 60%. Hasil penelitian Kamaruddin (2013) apabila diihat
dari perilaku berisiko seperti keluar rumah pada malam hari, perilaku masyarakat
Kabupaten Pidie sebagian besar adalah untuk pengajian yang biasa dilakukan oleh
kaum ibu dan yang tidak melakukan perlindungan diri dari gigitan nyamuk
70
sebesar 68,6%. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan bahwa perempuan
juga memiliki kecenderungan yang lebih besar dibanding laki-laki untuk kontak
dengan nyamuk penular filariasis apabila memiliki perilaku berisiko.
Berdasarkan penelitian yang membahas antara jenis kelamin dengan
filariasis tidak menutup kemungkinan bahwa perempuan juga memiliki risiko
yang sama besar dengan laki-laki. Menurut Santoso (2011) laki-laki memiliki
risiko yang besar kontak dengan nyamuk penular filariasis karena aktvitasnya di
luar rumah saat malam hari. Garjito (2013) menyatakan bahwa perempuan juga
memiliki risiko tertular filariasis saat membantu suaminya yang bekerja
menggarap tanah. Tidak hanya aktivitas di luar rumah pada malam hari yang
memiliki risiko kontak dengan nyamuk filariasis, Kementerian Kesehatan RI
(2010) menyatakan bahwa nyamuk filariasis juga menggigit di dalam rumah.
Oleh sebab itu, baik laki-laki maupun perempuan harus mengantisipasi
gigitan nyamuk untuk upaya pencegahan penularan filariasis. Walaupun jenis
kelamin laki-laki dibeberapa lokasi endemis memiliki frekuensi lebih sering
mendapat gigitan ketika bekerja di luar rumah, tetapi perempuan juga memiliki
kesempatan kontak dengan nyamuk di dalam rumah.
3.
Pekerjaan
Pekerjaan yang berisiko memungkinkan pekerja mengalami multi gigitan
vektor penular filariasis. Sebelum didiagnosis menderita filariasis, para penderita
memiliki pekerjaan berisiko yaitu sebagai petani, buruh tani, dan pedagang yang
beraktivitas saat sore dan malam hari di luar rumah. Jika dibandingkan dengan
71
jenis kelamin, maka pekerjaan berisiko terbesar dimiliki oleh penderita berjenis
kelamin laki-laki. (Kemenkes RI, 2010).
Hasil penelitian di Kabupaten Tangerang menunjukkan bahwa sebagian
besar penderita memiliki pekerjaan berisiko yaitu sebesar 60%. Pekerjaan berisiko
yang dimiliki penderita sebelum tertular filariasis adalah petani, buruh tani, dan
pedagang. Apabila dilihat antara pekerjaan berisiko dengan jenis kelamin,
didapatkan laki-laki yang memiliki pekerjaan berisiko sebesar 72% dan
perempuan yang memiliki pekerjaan berisiko sebesar 37%. Oleh karena itu, jika
dilihat dari pekerjaan berisiko maka laki-laki memiliki kecenderungan yang lebih
besar kontak dengan nyamuk penular filariasis.
Penelitian Iriati (2013) dan Riftiana (2010) memiliki hasil yang sama
dengan penelitian di Kabupaten Tangerang. Iriati (2013) dan Riftiana (2010)
menunjukkan bahwa pekerjaan yang berisiko memiliki hubungan dengan kejadian
filariasis. Iriati (2013) mengkategorikan pekerjaan berisiko di Kabupaten Labuhan
Batu Selatan dan Asahan yaitu sebagai petani, nelayan, buruh kebun, dan pencari
kayu, sedangkan Rifitiana (2010) mengkategorikan pekerjaan bersiko di
Kabupaten Pekalongan adalah petani, pekerjaan yang dilakukan pada malam hari
yaitu berdagang, buruh atau tukang. Jenis pekerjaan yang sama antara penderita
filariasis di Kabupaten Labuhan Batu Selatan dan Asahan, Kabupaten
Pekalongan, dan Kabupaten Tangerang adalah petani. Sebagaimana Departemen
Kesehatan RI (2005) menyatakan bahwa lingkungan persawahan cocok sebagai
tempat perkembangbiakan nyamuk filariasis karena air yang menggenang dan
langsung berhubungan dengan sawah.
72
Diketahui vektor penular filariasis di Kabupaten Labuhan Batu Selatan
dan Asahan adalah Mansoia Uniformis sesuai Departemen Kesehatan RI (2005),
Kabupaten Pekalongan adalah Culex quinquefasciatus sesuai Ramadhani (2009),
dan Kabupaten Tangerang adalah Culex quinquefasciatus sesuai Kementerian
Kesehatan RI (2011). Vektor penular ketiga kabupaten tersebut memiliki
bionomik mencari darah pada malam hari (nokturnal) (Gandahusada, 2006).
Tempat berkembangbiak Ma. Uniformis berada pada akar tanaman air di rawa dan
empang, sedangkan Culex berada di tempat air kotor, sawah, air yang
mengandung lumut dalam air tawar atau air payau (Kemenkes RI, 2011).
Karakteristik pekerjaan yang sama antara Kabupaten Tangerang,
Kabupaten Labuhan Batu Selatan dan Asahan, serta Kabupaten Pekalongan
menunjukkan kondisi geografis tempat tinggal masyarakat memiliki beberapa
persamaan. Sesuai dengan penjelasan Departemen Kesehatan RI (2011) yang
menyatakan sawah merupakan breeding places nyamuk penular filariasis Culex
dan Ma. uniformis berkembangbiak pada akar tanaman air di rawa, maka
pekerjaan yang dekat dengan tempat perkembangbiakan nyamuk memiliki
kecenderungan yang besar untuk kontak dengan nyamuk penular filariasis.
Tidak selamanya pekerjaan yang berisiko mempengaruhi kejadian
filariasis. Hasil penelitian Ardias (2012) di Kabupaten Sambas menyatakan bahwa
pekerjaan berisiko tidak mempengaruhi kerjadian filariasis. Karakteristik
pekerjaan penderita di wilayah tersebut yaitu bekerja di kebun, ladang, dan sawah.
Jika dilihat dari karakteristik pekerjaan yang dimiliki oleh sebagian besar
penderita, lokasi wilayah tidak jauh berbeda dengan Kabupaten Tangerang yaitu
adanya persawahan dan kebun. Metode yang digunakan oleh Ardias (2012) yaitu
73
kasus kontrol. Walaupun sebagian besar penderita merupakan petani, tetapi jika
dilihat dari variabel melindungi diri dari gigitan nyamuk dengan menggunakan
obat nyamuk, maka sebagian besar kelompok kontrol menggunakan obat anti
nyamuk.
Kondisi
tempat
tinggal
yang memiliki
rantai
penular
filariasis
memungkinkan setiap orang tertular penyakit tersebut (Depkes RI, 2005). Selain
pekerjaan yang bersiko memungkinkan seseorang mengalami multi gigitan,
kemungkinan lain untuk kontak dengan gigitan nyamuk terjadi di dalam rumah
sebelum tidur karena tidak ada daya proteksi konstruksi rumah terhadap
masuknya nyamuk ke dalam rumah (Paiting, 2012). Tanpa upaya intervensi
pengendalian maka jumlah kasus klinis akan terus bertambah (Kemenkes RI,
2010). Supaya terhindar dari penularan filariasis maka semua orang wajib
melakukan upaya pencegahan gigitan nyamuk dengan menggunakan pakaian yang
lengkap menutupi badan dan penggunaan obat anti nyamuk.
4.
Keluar Rumah Malam Hari
Kebiasaan keluar rumah pada malam hari berkaitan dengan intensitas
kontak dengan vektor penular filariasis (Depkes RI, 2005). Walau menghisap
darah dari binatang peliharaan, mamalia, dan unggas, nyamuk penular filariasis
lebih menyukai darah manusia (Chandra, 2007). Vektor filariasis daerah
perkotaan di Provinsi Banten dan Jawa adalah Culex quinquefasciatus. Nyamuk
Cx. quinuefasciatus betina menghisap darah manusia dan hewan sepanjang malam
74
dari sore hari hingga pagi hari, baik di dalam maupun di luar rumah (Kemenkes,
2011).
Persentase hasil penelitian di Kabupaten Tangerang terkait perilaku
penderita yang memiliki kebiasaan keluar rumah pada malam hari yaitu sebesar
72,5%. Apabila dilihat penderita yang memiliki kebiasaan keluar rumah pada
malam hari dengan pekerjaan berisiko, maka seluruh penderita yang sering keluar
rumah pada malam hari memiliki pekerjaan berisiko. Oleh karena itu,
kecenderungan orang yang memiliki pekerjaan bersiko untuk kontak dengan
nyamuk penular filariasis dilingkungan pekerjannya menjadi lebih besar.
Sama halnya dengan penelitian Kamaruddin (2013) yang menyatakan
bahwa faktor kebiasaan keluar rumah pada malam hari merupakan faktor dominan
terhadap kejadian filariasis di Kabupaten Pidie. Aktivitas masyarakat di
Kabupaten Pidie pada malam hari sudah menjadi kegiatan yang wajar, seperti
kaum ibu biasa keluar rumah malam hari untuk mengaji, sedangkan laki-laki
keluar rumah untuk bekerja di sawah, kebun atau hanya sekedar berkumpul di
warung kopi. Kegiatan di luar rumah pada malam hari meningkatkan
kecenderungan untuk kontak dengan nyamuk penular filariasis.
Spesies
vektor
di
Kabupaten
Pidie,
Banda
Aceh
adalah
Cx.
quinquefasciatus, Ma. Uniformis, dan Ma. Indiana(Depkes RI, 2005). Aktivitas
menggigit Culex diketahui pada malam hari dan Mansonia diketahui menggigit
lebih sering pada malam hari ketimbang siang hari (Gandahusada, 2006).
Aktivitas menggigit nyamuk Cx. quinquefasciatus lebih banyak di luar rumah
dibandingkan dengan di dalam rumah. Nyamuk menggigit di luar rumah dengan
75
tiga puncak gigitan yaitu pukul 21.00-22.00, 24.00-01.00, dan 02.00-03.00
(Ramdhani, 2009).
Berdasarkan bionomik nyamuk terkait aktivitas mencari darah, masyarakat
di Kabupaten Tangerang maupun Kabupaten Pidie berisiko untuk beraktivitas di
luar rumah saat malam hari. Kebiasaan masyarakat keluar rumah pada malam hari
didua kabupaten tersebut memiliki kecenderungan yang tinggi untuk kontak
dengan nyamuk penular filariasis.
Akan tetapi pada penelitian Uloli (2008), perilaku keluar rumah pada
malam hari tidak berhubungan dengan kejadian filariasis. Penelitian Uloli (2008)
menggunakan desain studi kasus kontrol. Apabila dilihat dari persentase penderita
dan kontrol sebagian besar memiliki kebiasaan keluar rumah pada malam hari
yaitu sebesar 87,1% dan 78,5%. Hal tersebut berarti aktivitas di luar rumah saat
malam hari merupakan hal yang biasa di Kabupaten Bonebolango. Variabel
perlindungan diri dari gigitan nyamuk seperti menggunakan lengan panjang pada
kelompok kontrol memiliki persentase yang lebih besar ketimbang kasus yaitu
45,7%, sedangkan persentase kelompok kasus yang menggunakan lengan panjang
hanya 25,7%. Oleh karena itu, aktivitas di luar rumah dengan memproteksi diri
dari gigitan nyamuk menurunkan kecenderungan untuk kontak dengan nyamuk
filariasis.
Berdasarkan uraian di atas, sebagian besar penderita filariasis memiliki
kebiasaaan keluar rumah pada malam hari. Sebaiknya masyarakat yang hidup
pada lingkungan endemis mengurangi aktivitas di luar rumah saat malam hari.
Apabila memiliki pekerjaan khusus yang diwajibkan untuk berada di luar rumah
76
saat malam hari, proteksi diri harus ditingkatkan untuk menghindari kontak
dengan nyamuk penular filariasis.
5.
Penggunaan kelambu
Cara terbaik meghindari diri dari gigitan nyamuk saat tidur adalah dengan
menggunakan
kelambu
(Garjito,
2013).
Proteksi
dari
gigitan
nyamuk
menggunakan kelambu yang lebih baik direkomendasikan oleh WHO (2015)
adalah dengan menggunakan kelambu berinsektisida. Kelambu berinsektisida
telah diuji oleh Barodji, at al (1990) yang dikutip oleh WHO (2015) menyatakan
bahwa pembedahan nyamuk sebelum pembagian kelambu berinsektisida sebesar
0,85% mengandung larva filariasis dan setelah pembagian kelambu menunjukkan
hasil negatif.
Hasil penelitian di Kabupaten Tangerang menunjukkan bahwa sebagian
besar penderita yang tidak menggunakan kelambu sebelum didiagnosis menderita
filariasis adalah sebesar 82,5%. Berdasarkan wawancara dengan penderita
mengenai alasan tidak menggunakan kelambu adalah rasa panas yang ditimbulkan
saat tidur menggunakan kelambu. Selain itu, ada juga yang mengatakan tidak
memakai kelambu karena alasan kurang praktis yakni sebelum tidur dipasang dan
pada pagi hari kelambu harus dirapihkan kembali. Tidak memiliki kelambu
merupakan alasan yang paling banyak dinyatakan oleh penderita yang tidak
menggunakan kelambu saat tidur.
Sesuai dengan pernyataan Yatim (2007) bahwa kelambu merupakan alat
proteksi yang telah digunakan sejak dahulu tetapi penggunaanya pada dewasa ini
77
sudah jauh berkurang karena dianggap kurang praktis. Banyak penduduk
menganggap bahwa penggunaannya menyebabkan rasa lebih panas di ruangan
yang telah penuh sesak. Jumlah lubang per cm kelambu sebaiknya 6-8 dengan
diameter 1,2-1,5 mm.
Penggunaan kelambu untuk mencegah terjadinya filariasis sesuai dengan
penelitian Jontari (2014) yang menyatakan bahwa penggunaan kelambu
berhubungan dengan kejadian filariasis. Persentase penelitian Jontrari (2014)
terkait kebiasaan kontrol yang tidak menggunakan kelambu saat tidur hampir
seimbang dengan kelompok kasus. Hal ini berarti rata-rata masyarakat Kabupaten
Agam tidak biasa menggunakan kelambu saat tidur, tetapi mereka menggunakan
obat anti nyamuk pada malam hari. Persetase kelompok kasus dan kotrol yang
menggunakan obat anti nyamuk adalah 79,1% dan 78%.
Karakteristik perilaku masyarakat dalam penggunaan kelambu di
Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Agam adalah banyak masyarakat yang tidak
biasa menggukan kelambu saat tidur. Vektor penular filariasis di Kabupaten
Agam, Sumatra Barat adalah Mansonia spp. dan An. nigerimus (Dinkes RI, 2005).
Menurut Gandahusada (2006) terkaitbionomik aktivitas menggigit nyamuk
penular filariasis di Kabupaten Agam sama dengan di Kabupaten Tangerang yaitu
mencari darah lebih sering pada malam hari.
Nyamuk penular filariasis di Kabupaten Tangerang adalah Vektor
filariasis daerah perkotaan di Provinsi Banten dan Jawa adalah Culex
quinquefasciatus (Kemenkes, 2011). Hal tersebut sesuai dengan penelitian Astuti
(2012) yang menyatakan bahwa nyamuk yang berperan sebagai vektor filariasis di
78
Kabupaten Serang, Provinsi Banten adalah Cx. quinquefasciatus. Penelitian skala
lebih kecil oleh Dharma (2004) terkait fauna nyamuk untuk mendeteksi vektor
filariasis di Kabupaten Tangerang khususnya di Kacamatan Mauk ditemukan
nyamuk Culini seperti Cx. pseudovishnui, Cx. tritaeniorhynchus, dan Cx.
quinuefasciatus. Berdasarkan nyamuk yang ditemukan, bionomik terkait aktivitas
menggigit yaitu pada malam hari.
Berdasarkan bionomik nyamuk penular filariasis di Kabupaten Agam dan
Tangerang, masyarakat harus meningkatkan perlindungan diri dari gigitan
nyamuk saat tidur malam hari. Aktivitas nyamuk penular yang aktif menggigit
darah saat malam, meningkatkan kecenderungan untuk kontak dengan nyamuk
penular filaraisis lebih besar.
Ramdhani (2009) menjelaskan lebih lanjut mengenai bionomik nyamuk
penular filariasis lebih lanjut yaitu nyamuk penular filariasis menggigit di dalam
rumah yaitu pukul 20.00-21.00, pukul 22.00-23.00, dan tengah malam 02.0003.00. Menurut Chow (1959) Culex quinquefasciatus merupakan spesies
anthropophilik, makan dan beristirahat di dalam tempat tinggal manusia. Hal ini
karena nyamuk yang setengah bunting (belum menghisap darah maksimal) dan
bunting tertangkap di dalam rumah, terutama pada kuartal pertama malam yaitu
18.00-21.00. Ada kemungkinan Cx. quinquefasciatus melengkapi siklus
gonotrophic pada seluruh ruangan di rumah.
Berdasarkan penjelasan tersebut, selain nyamuk penular filariasis
menghisap darah di luar rumah, tetapi ada yang mencari darah di dalam rumah.
Sebagian besar responden di Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Agam tidak
79
memiliki kebiasaaan mengunakan kelambu saat tidur malam hari. Hal tersebut
berarti masyarakat di kedua kabupaten tersebut memiliki kencenderungan yang
tinggi terpapar nyamuk filariasis saat tidur.
Penelitian Paiting (2012) menyatakan bahwa penggunaan kelambu tidak
memiliki hubungan dengan kejadian filariasis. Persentase kelompok kasus dan
kontrol di Distrik Windesi hampir sama besar, sehingga menggunakan kelambu
saat tidur bagi masyarakat di Distrik Windesi merupakan hal yang biasa. Vektor
nyamuk penular filariasis di Distrik Windesi Provinsi Papua menurut Dinas
Kesehatan RI (2005) adalah An. farauti, An. koliensis, An. punculatus, An.
bancrofti, Cx. Annulirostris, Cx. bitaeniorhynchus, Cx. quinuefasciatus, Ae. kochi,
dan Ma. uniformis. Berdasarkan bionomik mencari darah menurut Gandahusada
(2006) nyamuk penular filariasis di Provinsi Papua bisa menggigit pada siang hari
maupun malam hari. Mengambil getah sagu merupakan rata-rata pekerjaan
masyarakat di Distrik Windesi. Perilaku seperti tidak menggunakan pakaian yang
lengkap saat mengambil getah sagu membuat kecenderungan kontak dengan
nyamuk penular filariasis menjadi lebih besar.
Berdasarkan uriaian di atas, perbedaan karakteristik masyarakat setempat
tidak bisa menjadikan suatu faktor risiko yang mempengaruhi kejadian filariasis
sama pada setiap daerah. Penggunaan kelambu saat ini bukan menjadi hal yang
tidak biasa, maka cara proteksi diri yang lain harus ditingkatkan. Bagi masyarakat
yang
menggunakan
berinsektisida.
kelambu
lebih
baik
menggunakan
kelambu
yang
80
6.
Penggunaan Obat Anti Nyamuk
Departemen Kesehatan RI (2009) mengartikan cara menghindari diri dari
gigitan nyamuk yaitu menggunakan kelambu,
memasang kasa rumah,
menggunakan obat nyamuk semprot, dan menggunakan obat nyamuk oles. Pada
uraian kali ini, penggunaan obat anti nyamuk juga merupakan faktor risiko
kejadian filariasis menurut Garjinto (2013), Windiastuti (2013), dan Syuhada
(2012). Centers for Disease Control (2015) juga merekomendasikan penggunaan
obat anti nyamuk antara senja dan fajar untuk menghindari diri dari penularan
filariasis.
Persentase hasil penelitian di Kabupaten Tangerang penderita yang tidak
menggunakan obat anti nyamuk antara senja hingga fajar yaitu sebesar 60%.
Padahal apabila dilihat antara responden yang menggunakan obat anti nyamuk
dengan pekerjaan yang berisiko maka penderita yang tidak menggunakan obat
anti nyamuk padahal memiliki pekerjaan yang berisiko adalah sebesar 83%. Hal
tersebut membuat responden memiliki kecenderungan yang besar untuk kontak
dengan nyamuk penular filariasis saat bekerja.
Sesuai dengan penelitian Garjinto (2013), Windiastuti (2013), dan
Syuhada (2012) yang dapat membuktikan bahwa tidak menggunakan obat anti
nyamuk pada malam hari merupakan perilaku berisiko terhadap kejadian
filariasis. Apabila dilihat dari pekerjaan berisiko maka kelompok kasus dan
kontrol penelitian Garjinto (2013), Windiastuti (2013), dan Syuhada (2012)
sebagian besar memiliki pekerjaan yang berisiko yang mengharuskan mereka
bekerja pada senja hingga malam hari. Kecenderungan responden yang sehat pada
81
penelitian Ganjinto, Windiastuti, dan Syuhada kecil untuk terpapar gigitan
nyamuk penular filariasis di lokasi kerja.
Akan tetapi, tidak semua orang dapat menggunakan obat anti nyamuk.
Sesuai pernyataan Yatim (2007) yaitu berbagai macam obat nyamuk yang beredar
dimasyarakat ada yang tidak mengandung bahan aktif dan ada yang mengandung
insektisida. Obat anti nyamuk terdiri dari obat nyamuk bakar dan gosok
(repellant). Repellant dapat digunakan dibadan, pakaian, dan kelambu. Akan
tetapi, kelemahan obat nyamuk adalah timbul iritasi pada orang yang sensitif
sehingga dapat menimbulkan gangguan kesehatan (Yatim, 2007).
Pernyataan Yatim (2007) sesuai dengan hasil wawancara terhadap
penderita yang tidak menggunakan obat anti nyamuk. Obat anti nyamuk
memberikan efek seperti panas dan kesat pada kulit. Selain itu adapula pernyataan
responden yang menyatakan bahwa digigit nyamuk merupakan hal yang biasa,
sehingga tidak ada upaya untuk melindungi diri dari gigitan nyamuk.
Penelitian Uloli (2008) menyatakan tidak terdapat hubungan antara
menggunakan obat anti nyamuk dengan kejadian filariasis. Persentase kasus dan
kontrol yang menggunakan repellent hanya sebesar 7,1% dan 14,2%, sehingga
mayoritas masyarakat di lokasi penelitian tidak menggunakan obat anti nyamuk.
Ditambah dengan aktivitas di luar rumah masyarakat Bonebolango, sebagian
besar kelompok kasus dan kontrol memiliki kebiasaan keluar rumah saat malam
yaitu 87,1% dan 78,5%. Akan tetapi, sebagian besar responden yang tidak
menderita filariasis memiliki kebiasaan memakai celana panjang, memakai
kelambu, dan menggunakan kasa ventilasi. Oleh karena itu, kecenderungan
82
kontak dengan gigitan nyamuk pada kelompok yang tidak tertular filariasis rendah
dengan proteksi diri seperti celana panjang, kelambu saat tidur, dan kasa ventilasi
di rumah.
Berdasarkan uraian di atas, selain manfaat dari obat anti nyamuk yang
dapat menghindari dari gigitan ada beberapa orang yang memiliki kulit sensitif
menggunakan obat anti nyamuk oles. Bagi orang yang memiliki kulit sensitif
dapat melakukan peningkatan pencegahan diri dari gigitan nyamuk lainnya. Bagi
penderita dan masyarakat yang tidak memiliki kulit sensitif diharapkan
menggunakan obat anti nyamuk ketika waktu senja hingga fajar.
7.
Penggunaan Baju dan Celana Panjang
Penggunaan baju dan celana yang menutupi lengan dan kaki mengurangi
frekuensi gigitan nyamuk (Kemenkes RI, 2010). Centers for Disease Control
(2015) menyarankan bagi masyarakat yang tinggal ataupun berkunjung di daerah
endemis filariasis untuk menggunakan kelambu, baju dan celana panjang, serta
menggunakan obat anti nyamuk. Uraian kali ini membahas terkait penggunaan
baju dan celana panjang terhadap kejadian filariasis. Sesuai penelitn Paiting
(2012) menyatakan bahwa seseorang yang tidak menggunakan baju dan celana
panjang saat bekerja di kebun meningkatkan risiko terjadinya filariasis.
Hasil penelitian di Kabupaten Tangerang menunjukkan bahwa 65%
penderita tidak menggunakan baju dan celana panjang saat sore dan malam hari.
Berdasarkan wawancara dengan penderita, responden kerap menggunakan baju
lengan pendek saat berada di luar rumah malam hari. Bagi penderita yang berada
83
di dalam rumah saat malam hari, pakaian yang digunakan tidak menutup lengan
dan kaki secara keseluruhan. Hal tersebut membuat kecenderungan yang lebih
besar terhadap frekuensi gigitan nyamuk penular filariasis bagi orang yang tidak
menggunakan baju dan celana panjang saat malam.
Paiting (2013) dapat membuktikan bahwa penggunaan baju dan celana
panjang berhubungan dengan kejadian filariasis di Kampung Seruman dan
Windesi, Papua. Pekerjaan masyarakat disana sering berada di kebun, sehingga
kelengkapan pakaian mempengaruhi besarnya kontak dengan nyamuk filariasis.
Selain itu, kondisi lingkungan rumah di Papua masih banyak breeding places
seperti hutan, semak, dan tumbuhan air.
Lain hal dengan penelitian Nasrin (2008) di Kabupaten Bangka Barat yang
menyatakan tidak terdapat hubungan antara penggunaan baju dan celana panjang
dengan kejadian filariasis, sehingga masyarakat disana biasa tidak menggunakan
baju dan celana panjang saat malam. Apabila dilihat dari pekerjaan bersiko,
kelompok kasus memiliki pekerjaan berisiko lebih besar dibanding kontrol yaitu
84,4% dan 59,9%. Kecenderungan kelompok kasus dan kontrol sama untuk
terpapar gigitan nyamuk penular filariasis di lokasi kerja. Namun, bila dilihat dari
keberadaan rawa di sekitar rumah sebagai breeding place, maka kelompok kasus
lebih besar persentasenya daripada kontrol yaitu 78,1% dan 53,1%.
Oleh karena didaerah tertentu banyak penderita yang tidak menggunakan
baju dan celana panjang saat malam hari, maka sebaiknya penderita maupun
masyarakat sekitar menggunakan baju dan celana panjang saat malam.
Penggunaan baju dan celana panjang saat malam dapat melindungi tubuh dari
84
gigitan nyamuk walaupun beberapa penelitian menghasilnya hasil yang tidak
signifikan.
B.
Distribusi Kejadian Filariasis Berdasarkan Komponen Lingkungan
1.
Kondisi Saluran Penampungan Air Limbah
Nyamuk penular filariasis di Kabupaten Tangerang adalah vektor filariasis
daerah perkotaan di Provinsi Banten dan Jawa adalah Culex quinquefasciatus
(Kemenkes, 2011). Hal tersebut sesuai dengan penelitian Astuti (2012) yang
menyatakan bahwa nyamuk yang berperan sebagai vektor filariasis di Kabupaten
Serang, Provinsi Banten adalah Cx. quinquefasciatus. Penelitian skala lebih kecil
oleh Dharma (2004) terkait fauna nyamuk untuk mendeteksi vektor filariasis di
Kabupaten Tangerang khususnya di Kacamatan Mauk ditemukan nyamuk Culini
seperti Cx. pseudovishnui, Cx. tritaeniorhynchus, dan Cx. quinuefasciatus.
Pembuangan air limbah melalui tempat-tempat penampungan air di
halaman
rumah
akan
memberikan tempat
bagi
serangga
seperti
Cx.
quinquefasciatus. Jika kondisi tanah kurang dapat ditembus air, sementara
penggunaan air atau kepadatan rumah tinggi, metode pembuangan air limbah
yang memenuhi syarat mutlak diperlukan. Apabila genangan air limbah
tergenang, dapat menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk (Chandra, 2007).
World Health Organization (2013) juga menyatakan bahwa Cx.
quinquefasciatus berkembang pesat didaerah perkotaan yang memiliki drainase
dan sanitasi yang tidak memadai. Tempat perkembangbiakan perlu diketahui
85
karena tempat perkembangbiakan merupakan tempat yang menjadi sumber vektor
baru untuk transmisi filariasis. Spesies nyamuk yang menyukai tempat permanen
adalah Anopheles, Culex, Mansinoa, spp., sedangkan Aedes menyukai tempat
sementara. Oleh karena itu, tempat perkembangbiakan yang permanen dapat
terlihat jelas oleh manusia (WHO,2013).
Di Kabupaten Tangerang, penderita yang memiliki kondisi Saluran
Pembuangan Air Limbah (SPAL) buruk sebesar 80%. Hal ini sesuai dengan
pernyataan pemegang program filariasis di Rajeg sejak 2005 hingga saat ini,
Lukman menyatakan bahwa saluran pembuangan air limbah dahulu buruk,
terutama di daerah Sukatani yang sampai sekarang masih buruk. Saluran
Pembuangan Air Limbah (SPAL) masyarakat mengandalkan kali atau sawah
terdekat untuk dialiri air limbah. Kubangan air limbah disekitar rumah juga kerap
ditemukan. Berdasarkan hal itu, masyarakat Kabupaten Tangerang memiliki
tempat potensial untuk perkembangbiakan Cx. quinquefasciatus. Kecenderungan
masyarakat di Kabupaten Tangerang tinggi untuk kontak dengan nyamuk penular
filariasis bila tidak segera memperbaharui kondisi SPAL.
Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL) yang memiliki hubungan
dengan kejadian filariasis menurut Santoso (2011), Mardiana (2011), dan
Pramono (2014) adalah tidak ada pembuangan saluran air limbah khusus. Santoso,
Mardiana, dan Pramono menjelaskan bahwa SPAL yang tidak memiliki saluran
limbah dan air limbahnya terbuka merupakan kondisi SPAL yang turut
mempengaruhi kejadian filariasis. Pernyataan mengenai ciri-ciri SPAL yang
buruk sama halnya dengan kondisi SPAL di Kabupaten Tangerang saat sebelum
penderita didiagnosis menderita filariasis.
86
Kondisi pencemaran limbah cair domestik di Kabupaten Tangerang dapat
ditelusuri dari ulasan laporan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD) 2008-2013 di Kabupaten Tangerang, beban pencemaran domestik atau
rumah tangga menunjukkan beban pencemaran limbah yang tinggi. Adanya
jamban akan mengurangi limbah cair domestik yang harus dibuang ke air
permukaan. Pengelolaan terhadap limbah cair domestik telah dilakukan
masyarakat, namun belum seluruh masyarakat di Kabupaten Tangerang dapat
memenuhi syarat. Berdasarkan pernyataan RPJMD Kabupaten Tangerang (2013)
yang menyatakan untuk mengurangi pembuangan air limbah ke air permukaan,
maka dibutuhkan jamban.
Hasil penelitian ini didukung oleh survei lapangan pemerintah Kabupaten
Tangerang terhadap pola pemakaian sarana pembuangan air limbah masyarakat
yang didapati sebagian besar pola pemakaian masih buruk. Masyarakat yang tidak
memakai ataupun tidak memiliki sarana sanitasi ditandai dengan pembuangan air
bekas cuci dibuang ke tanah sekitar pekarangan.
Pola tersebut dijumpai di
Kecamatan Mauk, Sukadiri, Pakuhaji, Kemiri, Kronjo, Kresek, Sukatani. Pola lain
seperti sudah memakai sarana sanitasi sederhana hanya buangan kakus diarahkan
ke empang dan air bekas cuci dialirkan ke tanah kosong belakang rumah.
Ditemukan pula pola seperti sudah memakai sarana sanitasi modern tapi belum
buangan kakus dialirkan ke cubluk dan air bekas cuci dialirkan ke got depan
rumah menuju empang (Review RPJMD Kabupaten Tangerang, 2013).
Berdasarkan data tersebut, adanya SPAL di tengah masyarakat Kabupaten
Tangerang masih kurang, selain itu pola perilaku yang tidak memanfaatkan
saluran pembuangan air limbah menjadi pekerjaan yang tidak kalah penting untuk
87
merubah perilaku masyarakat agar tertib menggunakan saluran pembuangan air
limbah. Apabila pencemaran limbah domestik terus meningkat dan tidak
dibarengi dengan pembuatan SPAL yang memadai dapat dipastikan tempat
perkembangbiakan nyamuk terutama Culex quinquefasciatus terus meningkat.
Selain itu, perbaikan kondisi SPAL yang buruk semakin diperlukan karena
jika dilihat dari kepadatan penduduk di Kabupaten Tangerang semakin meningkat
setiap tahunnya. Kepadatan penduduk tahun 2008 sebanyak 2615 menurut
Review RPJMD Kabupaten Tangerang (2013) dan tahun 2014 mencapai 3117,8
menurut Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan (2014). Agar
menciptakan kondisi lingkungan yang baik terutama untuk menekan tempat
perkembangbiakan nyamuk Cx. quinquefasciatus pemerintah setempat harus
mempertahatikan kondisi saluran buangan air limbah terutama di pemukiman.
Konstruksi drainase atau saluran pembuangan air memiliki dua jenis, yaitu
saluran terbuka dan saluran tertutup (Suhardjono, 1984). Saluran air yang terbuka
diperbolehkan untuk daerah yang memiliki area yang luas, sehingga tidak
membahayakan kesehatan maupun mengganggu lingkungan. Bagi daerah seperti
di tengah kota harus memiliki saluran tertutup karena umumnya dipakai untuk
aliran air kotor yang dapat mengganggu kesehatan lingkungan. Berdasarkan
penjelasan Suhardjono (1984) mengenai konstruksi drainase yang sesuai,
Kabupaten Tangerang maupun kota lainnya harus memiliki saluran yang tertutup
supaya tidak mengganggu kesehatan lingkungan.
Pengelolaan air limbah rumah tangga yang paling sederhana menurut
Kementerian Negara Riset dan Teknologi (2000) yaitu dengan menggunakan pasir
88
dan benda-benda terapung melalui bak penangkap pasir dan saringan. Benda yang
malayang dapat dihilangkan oleh bak pengendap yang dibuat khusus untuk
menghilangkan minyak dan lemak. Lumpur dari bak pengendap pertama dibuat
stabil dalam bak pembusukan lumpur. Pada lokasi bak pembusukan lumpur,
lokasi tersebut menjadi semakin pekat dan stabil, kemudian dikeringkan dan
dibuang.
Berdasarkan penjabaran mengenai pengaruh kondisi SPAL yang buruk
dengan kejadian filariasis, perbaikan kondisi Saluran Pembuangan Air Limbah
(SPAL) dapat mengurangi tempat perkembangbiakan nyamuk. Beberapa referensi
mengenai pembuatan saluran limbah ataupun jumban guna mengurangi
pencemaran limbah rumah tangga mutlak harus dikerahkan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, baik penderita maupun masyarakat setempat harus bergotong
royong untuk mewujudkan dibangunnya SPAL yang baik.
2.
Penggunaan Kawat Kasa
Kawat kasa yang dipasang pada bagian ventilasi berguna untuk mencegah
nyamuk masuk ke dalam rumah (Febrianto, 2008). Penggunaan kasa pada rumah
termasuk pengendalian nyamuk secara mekanik (Semberl, 2009). Kawat kasa
harus dipasang pada setiap lubang yang ada pada rumah. Jumlah lubang pada
kawat kasa yang dianggap optimal 14-16 per inci (2,5 cm). Bahannya bisa terbuat
dari alumunium hingga plastik (Yatim, 2007). Penelitian Jontari (2014) dan
Syuhada (2012) menyatakan bahwa tidak terpasangnya kawat kasa berhubungan
dengan kejadian filariasis.
89
Hasil penelitian di Kabupaten Tangerang terdapat 87,5% penderita yang
tidak memasang kawat kasa di rumahnya. Berdasarkan hasil wawancara
didapatkan bahwa saat mereka mengikuti Survei Darah Jari (SDJ), kondisi rumah
masih menggunakan bilik, sehingga hanya ada jendela dan pintu saja sebagai
lubang udara. Selain itu, ada penderita yang menyatakan alasan ekonomi, yaitu
memasang kawat kasa berarti mengeluarkan uang lebih besar lagi. Sesuai dengan
pernyataan Setiawan (2008) yang mengatakan bahwa tidak memasang kawat kasa
di rumah dapat dikarenakan alasan ekonomi.
Penelitian Jontari (2014) yang menyatakan bahwa tidak memasang kawat
kasa berhubungan dengan kejadian filariasis. Apabila dilihat dari kondisi
lingkungan antara rumah dengan tempat perkembangbiakan nyamuk maka
kelompok kasus memiliki persentase yang lebih besar dekat dengan rawa-rawa,
persawahan, dan perkebunan kelapa sawit. Maka dari itu, untuk menurunkan
tingkat populasi nyamuk yang masuk ke dalam rumah ventilasi harus ditutup.
Apabila dilihat rumah yang menggunakan kawat kasa dengan jarak sawah
200 meter dari rumah, maka sebagian besar rumah yang memiliki jarak dekat
dengan sawah sebesar 80,8% tidak menggunakan kawat kasa. Hal tersebut dapat
meningkatkan populasi nyamuk yang masuk ke dalam rumah. Oleh karena
nyamuk penular filariasis menurut Kementerian Kesehatan RI (2010) dapat
menggigit di dalam rumah, maka tidak memasang kasa ventilasi memiliki
kecenderungan yang tinggi untuk kontak dengan nyamuk penular filariasis di
dalam rumah.
90
Berdasarkan uraian di atas, apabila kondisi rumah tidak dapat di
intervensi, maka proteksi diri harus ditingkatkan. Bagi penderita dan masyarakat
yang memiliki ventilasi dan tidak memiliki alasan ekonomi untuk memasang kasa
sebaiknya lubang ventilasi ditutup dengan kawat kasa.
3.
Penggunaan Plafon
Kondisi Rumah Sehat Sederhana (RSS) di Indonesia salah satunya adalah
memiliki plafon atau langit-langit terbuat dari triplek (Chandra, 2007).
Pemasangan plafon memiliki risiko yang berbeda antara orang yang memasang
plafon dengan yang tidak memasang plafon terhadap kejadian filariasis.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar penderita tidak
memiliki plafon di rumahnya. Penderita yang tidak memasang plafon di rumahnya
sebesar 87,5%, sedangkan penderita yang memasang plafon di rumahnya sebesar
12,5%. Lebih lanjut lagi, hasil observasi terhadap kondisi plafon yang tidak
mengalami renovasi semenjak pederita didiagnosis menderita filariasis adalah
berup bilik atau anyaman dari bambu. Plafon tersebut tetap memiliki celah yang
memungkinkan nyamuk masuk ke dalam rumah.
Hal ini sesuai dengan penelitian Juriastuti (2010), Kamaruddin (2013), dan
Iriati (2013) menyatakan bahwa tidak terpasangnya plafon pada rumah
berhubungan dengan kejadian filariasis. Masyarakat yang memiliki rumah tanpa
plafon meningkatkan kecenderungan untuk kontak dengan nyamuk penular
filariasis di dalam rumah.
91
Apabila dilihat penggunaan plafon dengan jarak sawah
200 meter
sebagai tempat perindukan nyamuk, maka sebagian besar penderita yang tinggal
dekat dengan sawah tidak memasang plafon pada rumah yaitu 73,1%.
Pemasangan plafon merupakan antisipasi mengurangi intensitas nyamuk yang
masuk ke dalam rumah. Tidak menggunakan plafon pada rumah meningkatkan
kecenderungan seseorang untuk kontak dengan nyamuk penular lebih besar.
Bersarnya proporsi penderita yang tidak memiliki plafon di rumahnya
sesuai dengan beberapa penelitian terdahulu. Juriastuti (2010) menyatakan bahwa
pemasangan plafon pada rumah merupakan faktor paling berisiko di Kelurahan
Jati Sampurna. Iriati (2013) juga menunjukkan bahwa konstruksi plafon juga
faktor risiko yang paling besar setelah keberadaan tanaman air di sekitar rumah
terhadap kejadian filariasis.
Berdasarkan hal tersebut, pemasangan plafon merupakan salah satu faktor risiko
yang memungkinkan seseorang lebih besar terkena gigitan nyamuk penular
filariasis. Oleh sebab itu, bagi penderita dan masyarakat yang tidak memiliki
alasan ekonomi untuk memasang plafon atau merenovasi agar plafon memiliki
kerapatan yang baik maka diharapkan untuk mewujudkannya. Bagi penderita dan
masyarakat yang memiliki alasalan ekonomi, proteksi diri seperti mengurangi
aktivitas di luar rumah saat malam, menggunakan baju dan celana panjang saat
malam, serta menggunakan obat antinyamuk agar lebih ditingkatkan.
92
4.
Keberadaan Barang Bergantung
Culex sering beristirahat disudut-sudut gelap kamar, tempat penampungan
air, dan gorong-gorong (WHO, 2013). Tempat istirahat nyamuk
Cx.
quinquefasciatus biasanya di dalam rumah, seperti kolong tempat tidur, baju yang
digantung, dan tempat yang kotor dan gelap (Kemenkes RI, 2011). Sesuai dengan
penelitian Juriastuti (2010) dan Kamaruddin (2013), menyatakan bahwa terdapat
hubungan antara keberadaan barang-barang bergantung di dalam rumah, terutama
di kamar berhubungan dengan kejadian filariasis.
Hasil penelitian di Kabupaten Tangerang menunjukkan bahwa sebesar
90% penderita memiliki barang-barang bergantung di dalam rumah. Berdasarkan
hasil wawancara dengan penderita yang kerap menggantung dan menumpukkan
baju di kamar yaitu karena kondisi rumah penderita yang sempit merupakan
alasan penderita untuk menggantukan barang-barang berbahan kain, sehingga
memungkinkan gantungan tersebut menjadi tempat peristirahatan nyamuk.
Juriastuti (2010) dan Kamaruddin (2013) menyatakan bahwa terdapat
hubungan antara keberadaan barang-barang bergantung di dalam rumah dengan
kejadian filariasis terutama di kamar. Sebagian besar kelompok kontrol pada
penelitian Juriastuti (2010) tidak memiliki barang bergantung di rumahnya yaitu
88,2%.
Penelitian Paiting (2012) menyatakan bahwa keberadaan barang
bergantung tidak bersiko dengan kejadian filariasis di Kabupaten Kepulauan
Yapen. Persentase kelompok kasus dan kontrol yang memiliki kebiasaan keluar
rumah saat malam hari lebih besar, sehingga masyarakat disana jarang berada di
93
dalam rumah saat malam. sebagian besar kondisi lingkungan rumah masyarakat
kabupaten Yapen yang berpotensi sebagai breeding places yaitu adanya genangan
air, keberadaan hutan atau semak, dan keberadaan tumbuhan air. rumah yang
dekat dengan breeding places dan kebiasaan keluar rumah saat malam membuat
masyarakat di Kabupaten Kepulauan Yapen memiliki kecenderungan yang besar
untuk kontak dengan nyamuk penular filariasis.
Oleh karena itu, bagi penderita dan masyarakat sekitar untuk mengurangi
keberadaan nyamuk di dalam rumah terutama di dalam kamar salah satunya
dengan merapikan barang-barang bergantung yang dimilikinya.
5.
Keberadaan Sawah
Daerah endemis filariasis pada umumnya adalah daerah dataran rendah,
terutama di pedesaan, pantai, pedalaman, persawahan, dan rawa-rawa.
Lingkungan persawahan cocok sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk
filariasis karena air yang menggenang dan langsung berhubungan dengan tanah
(Depkes RI, 2005).
Sesuai dengan pernyataan Kementerian Kesehatan RI bahwa vektor
penular
filariasis
di
Provinsi
Banten
adalah
Cx.
quinquefasciatus.
Perkembangbiakan nyamuk filariasis salah satunya pada air yang menggenang
dan berhubungan langsung dengan tanah. Lingkungan persawahan cocok sebagai
reservoir untuk nyamuk filariasis (Kemenkes RI, 2011). Berdasarkan survei fauna
nyamuk guna mengetahui nyamuk penular filariasis di Kecamatan Mauk,
Kabupaten Tangerang, tempat perindukan yang paling banyak ditemukan spesies
94
nyamuk adalah di sawah. Spesies nyamuk tersebut adalah An. subpictus, An.
vagus, Cx. Bitaeniorrhyncus, dan Cx. tritaeriorhymchus (Ardias, 2012). Nyamuk
dapat terbang sejauh 200 meter dari tempat perkembangbiakannya (Achmadi,
2011). Bahkan untuk nyamuk penular filariasis dapat terbang mencapai 6
kilometer, tetapi biasanya 1,5 kilometer (Kemenkes RI, 2011).
Pada penelitian ini sebagian besar penderita yang memiliki jarak rumah
dengan sawah
200 meter sebesar 85%. Apabila dilihat dari karakteristik
pekerjaan yaitu sebagai petani dan buruh tani sebesar 56%, pedagang sebesar
10%, dan sisanya bukan pekerjaan yang berisiko. Berdasarkan hal tersebut,
pekerjaan bersiko memiliki kecenderungan yang tinggi untuk kontak dengan
nyamuk penular filariasis. Kemudian kondisi sekitar rumah yang memiliki jarak
dekat dengan tempat perindukan nyamuk, menambah kecenderungan yang besar
pula untuk kontak dengan nyamuk penular filariasis di rumah.
Tinggal dekat dengan persawahan berhubungan dengan kejadian filariasis
menurut penelitian Juriastuti (2010), dan Kamaruddin (2013). Kamaruddin (2013)
mengkategorikan jarak dekat antara rumah dengan sawah yaitu
100 meter,
hasilnya adalah orang yang disekitar rumahnya memiliki jarak
100 meter
berhubungan dengan kejadian filariasis. Juriastuti (2010) mengkategorikan jarak
dekat yaitu
200 meter, hasilnya adalah orang yang tinggal pada jarak
200
meter juga berhubungan dengan kejadian filariasis. Maka masyarakat yang tinggal
dekat dengan lokasi perkembangbiakan nyamuk memiliki kecenderungan lebih
besar terpapar nyamuk penular filariasis.
95
Berbeda dengan penelitian Syuhada (2012) yang menyatakan tidak
terdapat hubungan antara keberadaan sawah dengan kejadian filariasis. Sebagian
besar kelompok kasus dan kontrol berada jauh dengan tempat perkembangbiakan,
yaitu
200 meter. Syuhada mengukur keberadaan vektor filariasis di dalam dan di
luar rumah.
Hasil yang didapat oleh Syuhada mengenai keberadaan vektor
filariasis di dalam rumah memiliki hubungan dengan kejadian filariasis,
sedangkan keberadaan vektor di luar rumah tidak memiliki hubungan dengan
kejadian filariasis. Selain itu, pada lokasi tersebut rumah yang dekat dengan
penderita filariasis berhubungan dengan kejadian filariasis. Maka dari itu,
kecenderungan masyarakat terpapar nyamuk penular filariasis tinggi.
Berdasarkan uraian di atas, beberapa penelitian menyatakan rumah dekat
dengan sawah memiliki hubungan dan ada yang tidak memiliki hubungan. Jika
didasarkan dengan tempat perkembangbiakan nyamuk penular maka sawah
merupakan breeding places yang baik. Oleh sebab itu, bagi penderita dan
masyarakat yang memiliki tempat tinggal dekat dengan sawah harus memiliki rasa
protektif terhadap gigitan nyamuk yang tinggi. Meningkatkan proteksi diri dan
memperbaiki kondisi lingkungan diharapkan dapat menurunkan penularan
filariasis.
BAB 7
SIMPULAN DAN SARAN
A.
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Kabupaten Tangerang
periode 2005-2015 terhadap kejadian filariasis dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Distribusi Kejadian Filariasis Berdasarkan Host
Kejadian filariasis paling banyak terjadi pada penderita kelompok usia
36-45 tahun yaitu sebesar 43,3%. Jenis kelamin yang paling banyak
menderita filariasis yaitu laki-laki sebesar 60%. Pekerjaan yang
dimiliki penderita filariasis sebagian besar berisiko yaitu sebesar
66,7%. Penderita yang memiliki kebiasaan keluar rumah malam hari
yaitu sebesar 66,7%. Penderita yang tidak biasa menggunakan
kelambu yaitu sebesar 76,7%. Penderita yang tidak menggunakan obat
antinyamuk yaitu sebesar 60%. Penderita yang tidak menggunakan
baju dan celana panjang saat malam yaitu sebesar 63,3%.
2.
Distribusi Kejadian Filariasis Berdasarkan Lingkungan
Kejadian filariasis paling banyak terjadi pada penderita yang
memiliki SPAL buruk yaitu sebesar 80%.Penderita yang tidak
menggunakan kawat kasa yaitu sebesar 86,7%.Penderita yang tidak
97
menggunakan plafon yaitu sebesar 86,7%.Penderita yang memiliki
barang-barang bergantung di rumahnya yaitu sebesar 90%.Penderita
yang rumah dengan sawah memiliki jarak
200 meter yaitu sebesar
73,3%.
B.
Saran
1. Bagi Peneliti Lain
Penelitian terkait vektor utama menjadi hal yang penting untuk
dilakukan kedepannya. Diketahuinya vektor utama penular filariasis per
kecamatan, memudahkan untuk mengidentifikasi bionomik nyamuk.
Sehingga karakteristik nyamuk terkait tempat perkembangbiakan,
perilaku menghisap darah, dan kebiasaan beristirahat dapat diketahui.
Jika telah diketahui komponen di atas, pencegahan terhadap gigitan
nyamuk ataupun intervensi vektor secara kimia, biologi, dan mekanik
lebih tepat sasaran.
2.Bagi Puskesmas
a. Meningkatkan
penyuluhan
kepada
masyarakat
terhadap
penyakit filariasis, sebab cara penularannya sering dianggap
biasa bagi masyarakat yaitu dengan gigitan nyamuk. Bagi
pekerja yang berisiko sering berada di luar rumah seperti
petani, pihak puskesmas dapat bekerja sama dengan penderita
98
filariasis
yaitu mendatangkan penderita
yang memiliki
karakteristik sama dengan masyarakat agar menjelaskan
pentingnya menghindari diri dari gigitan nyamuk. Jika
masyarakat telah melihat dampaknya, diharapkan masyarakat
memiliki kesadaran yang tinggi untuk menjaga diri mereka dari
gigitan nyamuk terutama saat senja hingga fajar.
b. Surveilans mengenai penderita filariasis dan surveilans vektor
penyakit untuk pengambil keputusan dan kebijakan agar tidak
terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) dikemudian hari.
C. Bagi Masyarakat
a. Sebaiknya bagi masyarakat yang tinggal dalam lingkungan yang
memiliki rantai penularan filariasis harus meningkatkan proteksi
diri dari gigitan nyamuk. Proteksi diri yang dimaksud adalah
seperti variabel penelitian ini yaitu menggunakan kelambu saat
tidur, menggunakan baju dan celana panjang dari senja hingga
petang, serta menggunakan obat anti nyamuk. Dari ketiga cara
proteksi diri perlindungan dari gigitan nyamuk, sebagian besar
penderita tidak memiliki kebiasaan tersebut. Oleh karena itu
diharapkan bagi masyarakat untuk meningkatkan perlindungan diri
saat senjang hingga fajar dari gigitan nyamuk.
b. Masyarakat sebaiknya
menghindari kebiasaan berada di luar
rumah saat malam. Apabila memiliki aktivitas yang mengharuskan
berkerja pada malam hari diluar rumah terutama bagi petani
diharapkan untuk selalu memproteksi diri dari gigitan nyamuk.
99
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Umar. 2011. Dasar-dasar Penyakit Berbasis Lingkungan.
Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Ardias. 2012. Faktor Lingkungan dan Perilaku Masyarakat yang
Berhubungan dengan Kejadian Filariasis di Kabupaten Sambas. Jurnal Kesehatan
Lingkungan Indonesia, Vol. 11. No. 2.
Astuti, Endang. 2012. Kepadatan Nyamuk Kuningan dan Batukuwung
Tersangka Vektor Filariasis di Desa Panumbangan, Kabupaten Ciamis, Desa
Jalaksana Kabupaten dan Kabupaten Serang. Jurnal Ekologi Kesehatan. Vol. 11.
No. 4.
Center for Health Research and Development. 2008.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2015. Lymphatic
Filariasis: Epidemiology and Risk Factors. Diakses pada 05 Mei 2015, dari
http://www.cdc.gov/parasites/lymphaticfilariasis/epi.html
Chandra, Budiman. 2007.
Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta:
EGC.
Chow. 1959. The Vector Of Filariasis In Djakarta and Its Bionomics. Bull.
World Health Organization.
Depkes RI. 2008. Pedoman Program Eliminasi Filariasis. Jakarta: Ditjen
PP dan PL Depkes RI.
Depkes RI. 2009. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Klinis Filariasis.
Jakarta: Ditjen PP dan PL Depkes RI.
Dharma. 2004. Survei Nyamuk di Desa Marga Mulya, Kecamatan Mauk,
Tangerang. Jurnal Kedokteran Trisakti. Vol 23. No. 2.
Dinkes Banten. 2007. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Banten. Serang:
Dinas Kesehatan Banten.
Dinkes Banten. 2012. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Banten. Serang:
Dinas Kesehatan Banten.
Dinkes Kabupaten Tangerang. 2013. Profil Kesehatan Kabupaten
Tangerang. Tangerang: Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang.
Dirjen Cipta Karya. Rumah dan Lingkungan Perumahan Sehat. Jakarta:
Departemen Pekerjaan Umum.
100
Elytha. 2014. Transmission Assessment Survey sebagai salah satu langkah
penentuan Eliminasi Filariasis. Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas. Vol. 8. No.
2.
Febrianto. 2008. Faktor Risiko Filariasis di Desa Samborejo, Kecamatan
Tirto,
Kabupaten
Pekalongan
Jawa
Tengah.
http://www.litbang.depkes.go.id/~djunaedi/documentation/360208pdf/bagus.pdf.
Diakses pada 5 Juni 2015.
Gandahusada, Sri. 2006. Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Gaya Baru.
Garjito, Triwibowo. 2013. Filariasis dan Beberapa Faktor yang
Berhubungan dengan Penularannya di Desa Pangku-Tolole, Kecamatan
Ampibabo, Kabupaten Parigi-Moutong, Provinsi Sulawesi Tengah. Jurnal Vektora
Volume V No. 2.
Githeko, A. 2000. Climate Change and Vector Borne Disease: A Regional
Analysis. World Health Organization (WHO).
Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR) Bidang Kesehatan.
2010. Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional.
Irianti. 2013. Faktor-faktor Lingkungan Terhadap Kejadian Mikrofilari
Positif dan Filariasis di Kabupaten Labuhan Batu Selatan dan Kabupaten Asahan
tahun 2013. Thesis; Universitas Sumatera Utara.
Jontari, Hutagalung. 2014. Faktor-faktor Risiko Kejadian Penyakit
Lymhatic Filariasis di Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat 2010. OSIR
Volume 7, page 9-15.
Juriastuti, Puji. 2010. Faktor Risiko Kejadian Filariasis di Kelurahan Jati
Sampurna. Makara Kesehatan Volume 14, Nomor 1.
Kamaruddin. 2013. Hubungan Karakteristik Penderita dan Sanitasi Rumah
Serta Lingkungan dengan Kejadian Filariasis di Kabupaten Pidie. Tesis. Program
Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatera Utara.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). 2005. Jakarta: Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional.
Kemenkes RI. 2010. Epidemiologi Filariasis di Indonesia. Jakarta: Pusat
Data dan Surveilans Epidemiologi Kementerian Kesehatan RI.
Kemenkes RI. 2011. Atlas Vektor Penyakit di Indonesia Seri 1. Jakarta:
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit.
101
Kementerian Negara Riset dan Teknologi. 2000. Saluran Pembuangan Air
Limbah.
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
158.MENKES/SK/XI/2005: Pedoman Pengendalian Filariasis (Penyakit Kaki
Gajah).
Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang. 2013. Laporan Kasus Filariasis
Kabupaten Tangerang.
Lebl. 2013. Predicting Culex pipiens/restuans Population Dynamics by
Interval LaggedWeather Data. Research.Lebl et al. Parasites & Vectors.
Mardiana. 2012. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Filariasis di
Indonesia. Jurnal Ekologi Kesehatan. Vol. 10. No. 2.
Nasrin. 2008. Faktor-faktor Lingkungan dan Perilaku yang Berhubungan
dengan Kejadian Filariasis di Bangka Barat. Jurnal Kesehatan Lingkungan. Vol.
12. No. 1.
Paiting, Yulius. 2012. Faktor Lingkungan dan Kebiasaan Penduduk
Berhubungan dengan Kejadian Filariasis di Distrik Windesi Kabupaten
Kepulauan Yapen Provinsi Papua.
Pramono. 2014. Analisis Filariasis dengan Zero Inflated Poisson (ZIP)
Regression Approach. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. Vol. 17. No. 1.
Ramadhani, Tri. 2009. Aktivitas Menggigit Nyamuk Culex
quinquefasciatus Di Daerah Endemis Filariasis Limfatik Kelurahan Pabean Kota
Pekalongan Provinsi Jawa Tengah. Aspirator Volume 4, No. 1.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2008-2013 di
Kabupaten Tangerang. 2013.
Riftiana, Nola. 2010. Hubungan Sosiodemografi dengan Kejadian
Filariasis di Kabupaten Pekalongan. KESMAS Volume 4, Nomor 1.
Santoso. 2010. Kepatuhan Masyarakat Trhadap Pengobatan Massal
Filariasis di Kabupaten Belitung Timur 2008. Buletin Penelitian Kesehatan. Vol.
38. N0. 4.
Semberl. 2009. Progress Report 2000-2009 and Strategic Plan 2010 of
Filariasis. WHO Publication.
Setiawan, Budi. 2008. Pidemiologi Filariasis Limfatik di Kecamatan Kota
Bekasi. Buletin Spirakel.
102
Sholichah. 2009. Ancaman dari Nyamuk Culex quinquefasciatus sp. yang
Terabaikan. Balaba.
Soepardi, Jane. 2010. Jendela Epidemiologi: Filariasis di Indonesia.
Jakarta: Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementrian Kesehatan RI.
Suhardjono. 1984. A Neglected Parasitic Disease. Scielo Journal.
Supali. 2002. High Prevalence of Brugia Timori Infection in The Highland
of Alor Island, Indonesia. PubMed Central.
Susanto. 2011. Risiko Kejadian Filariasis pada Masyarakat dengan Akses
Pelayanan Kesehatan yang Sulit. Jurnal Pembangunan Manusia Volume 5, Nomor
2.
Syuhada, Yudi. 2012. Studi Kondisi Lingkungan Rumah dan Perilaku
Masyarakat sebagai Faktor Risiko Kejadian Filariasis di Kecamatan Buaran dan
Tirto Kabupaten Pekalongan. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia Volume 11,
Nomor 1.
Timmreck, Thomas. 2004. Epidemiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: EGC.
Uloli. 2008. Faktor-faktor Risiko Kejadian Filariasis di Kabupaten
Bonebolango. Jurnal Berita Kedokeran.
Umar, Husein. 2008. Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis. Jakarta:
PT. Rajagrafindo Persada.
WHO. 2013. Lymphatic Filariasis: Practical Entomology. Italy: World
Health Organization.
WHO. 2015. Lymphatic Filariasis. Diakses pada 05 Mei 2015, dari
http://www.who.int/lymphatic_filariasis/epidemiology/en/
Windiastuti, Ike. 2013. Hubungan Kondisi ingkungan Rumah, Sosial
Ekonomi, dan Perilaku Masyarakat dengan Kejadian Filariasis di Kecamatan
Pekalongan Selatan Kota Pekalongan. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia
Volume 12, Nomor 1.
Yatim. 2007. Karakteristik Lingkungan Fisik, Biologi, dan Sosial Penyakit
Akibat Nyamuk. Jurnal Litbang Depkes RI.
Yin, Robert. 1996. Studi Kasus: Desain dan Metode. Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada
LAMPIRAN
Lampiran 1
Faktor Lingkungan Kejadian Filariasis di, Kabupaten Tangerang
Assalamu’alaikum wr. wb.
SayaPutri
Widiastuti,
mahasiswa
semester 8
PeminatanKesehatan
Lingkungan Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sedang melakukan penelitian “Faktor
Lingkungan Terhadap Kejadian Filariasis di Kabupaten Tangerang 2015”.
Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik
penderita filariasis di Kabupaten Tangerang 2015. Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat bagi penderita filariasis maupun masyarakat terkait dengan
informasi karakteristik penderita filariasis. Selain itu, masyarakat dapat
menyebarkan informasi yang di dapat kepada masyarakat lain, sehingga
meningkatkan kualitas masyarakat terhadap pencegahan penyakit filariasis.
Dengan demikian, peneliti berharap kesediaan Bapak/Ibu/Saudara/i untuk
berpartisipasi dalam penelitian ini dengan memberikan informasi terkait kebiasaan
yang berisiko mengalami multi gigitan nyamuk dan kondisi lingkungan melalui
kuesioner.
Bapak/Ibu/Saudara/i
berhak
untuk
menerima
atau
menolak
keikutsertaan dalam penelitian ini. Selain itu, Bapak/Ibu/Saudara/i dapat
memastikan bahwa informasi yang telah Bapak/Ibu/Saudara/i berikan terjamin
kerahasiaannya dan Bapak/Ibu/Saudara/i berhak untuk mengakses hasil dari
penelitian ini dengan menghubungi No. Telepon (085710839442).
Wassalamu’alaikum Wr Wb
Dengan ini, saya BERSEDIA ikut serta dalam penelitian ini.
Jakarta, ....../........................... 2015
Peneliti
Informan
Putri Widiastuti
.........................................
Petunjuk Pengisian Kuesioner
Faktor Lingkungan Kejadian Filariasis di Kecamatan Sepatan Timur,
Kabupaten Tangerang
1) Responden mengisi jawaban pada lembar kuesioner yang sesuai dengan
keadaan diri sendiri sebelum didiagnosis terkena filariasis oleh dokter.
Jawaban yang sesuai dapat disilang salah satunya.
2) Apabila anda menjawab “tidak” dan ada di bawah pertanyaan tersebut ada
instruksi “Jika tidak, lanjut kepertanyaan B. Kebiasaan Menggunakan
Kelambu”, maka pertanyaan yang harus di jawab selanjutnya adalah
bagian B nomor 1.
Kuesioner
Faktor Lingkungan Kejadian Filariasis di Kabupaten Tangerang
Pertanyaan (Diisi oleh responden)
A. Kebiasaan Keluar Rumah
1. Apakah anda memiliki kegiatan diluar rumah pada malam hari?
a. Ya
b. Tidak
Jika tidak, lanjut kepertanyaan B. Kebiasaan Menggunakan Kelambu
2. Apa aktivitas yang dilakukan anda ketika keluar rumah pada
malam hari?
a. Keperluan pekerjaan
b. Bukan keperluan pekerjaan
3. Pada jam berapa anda melakukan kegiatan di luar rumah?
a. 20.00-21.00
b. 21.00-22.00
c. 24.00-01.00
d. 02.00-03.00
Diisi
peneliti
B. Kebiasaan menggunakan kelambu
1. Apakah anda menggunakan kelambu/tirai berbentuk jaring-jaring
saat tidur?
a. Ya
b. Tidak
Jika tidak, lanjut kepertanyaan C. Kebiasaan Menggunakan Obat Anti Nyamuk
2. Apakah
terdapat
lubang/celah/robekan
pada
kelambu/tirai
berbentuk jaring-jaringyang menungkinkan nyamuk masuk?
a. Ya
3. Apakah
b. Tidak
anda
memastikan
tidak
ada
nyamuk
di
dalam
kelambu/tirai berbentuk jaring-jaring sebelum tidur?
a. Ya
b. Tidak
4. Jika dalam seminggu (7 hari), berapa kali anda menggunakan
kelambu/tirai berbentuk jaring-jaring sebelum tidur?
......................kali
C. Kebiasaan menggunakan obat antinyamuk
1. Apakah anda menggunakan obat pembasmi nyamuk di rumah
terutama pada sore dan malam hari?
a. Ya
b. Tidak
Jika tidak, lanjut kepertanyaan D. Kebiasaan Menggunakan Baju dan Celana Panjang
2. Jika dalam seminggu (7 hari), berapa kali anda menggunakan obat
anti nyamuk?
......................kali
D. Kebiasaan menggunakan baju atau celana panjang
1. Apakah anda menggunakan baju dan celana yang dapat menutupi
seluruh tangan dan kaki hingga telapak tangan dan kaki saja yang
terlihat saat malam hari?
a. Ya
b. Tidak
E. Penggunaan kawat kassa
1. Apakah di rumah anda di pasang kawat kassa/kawat
nyamuk/penutup lubang angin berbentuk jaring-jaring?
a. Ya
b. Tidak
Jika tidak, lanjut kepertanyaan F. Keberadaan Sawah
2. Apakah terdapat robekan pada kawat kassa/kawat
nyamuk/penutup lubang angin berbentuk jaring-jaring yang
memungkinkan nyamuk masuk?
a. Ya
b. Tidak
F. Keberadaan Sawah
1. Apakah rumah anda dekat dengan sawah?
a. Ya
b. Tidak
Jika tidak, lanjut kepertanyaan G. Kondisi Dinding Rumah
2. Apakah anda beraktivitas di dekat sawah saat sore atau malam
hari?
a. Ya
b. Tidak
G. Kondisi plafon rumah
1. Apakah di rumah anda memiliki plafon/penutup antara genting
dengan ruangan dalam?
a. Ya
b. Tidak
2. Bagaimana kondisi plafon/penutup antara genting dengan ruangan
di rumah anda?
a. Baik
b. Buruk
H. Keberadaan barang-barang bergantung dalam rumah
1. Apakah anda memiliki baju atau kainyang digantung di dalam
rumah terutama dalam kamar?
a. Ya
b. Tidak
Pedoman Wawancara dan Lembar Observasi
Faktor Lingkungan Kejadian Filariasis di Kecamatan Sepatan Timur,
Kabupaten Tangerang
Pedoman Wawancara
1. Mengapa rumah anda terdapat tumpukan barang yang mendukung keberadaan
nyamuk?
2. Mengapa anda tidak melakukan upaya pencegahan gigitan nyamuk?
Lembar Observasi
No
1
Variabel
Hasil Pengamatan
Kondisi SPAL
a) Kondisi tempat
a. Terbuka
penampungan limbah
b. Tertutup
atau selokan di
c. Tanpa saluran
lingkungan rumah
b) Jenis tempat
a. Penampungan
penampungan air
tertutup di halaman
limbah a
rumah
b. Penampungan
terbuka di halaman
rumah
c. Penampungan di luar
pekarangan
d. Tanpa penampungan
khusus
e. Langsung ke
got/sungai
Keterangan
2
Plafon Rumah
Keberadaan plafon
a. Ada
b. Tidak
Kondisi Plafon
a. Plafon tertutup rapat
tanpa ada lubang
yang memungkinkan
nyamuk masuk
b. Terdapat lubang
pada plafon yang
memungkinkan
nyamuk masuk
3
Dinding Rumah
a) Bahan pembuat
dinding
a. Material kayu
b. Anyaman bambu
c. Papan / triplek
d. Beton
b) Kondisi dinding
a. Dinding tidak
memiliki celah yang
memungkinkan
nyamuk masuk
b. Dinding memiliki
celah yang
memungkinkan
nyamuk masuk
4
Kassa
Kondisi Kassa
a. Tidak memiliki celah
yang memungkinkan
nyamuk masuk
b. Memiliki celah yang
memungkinkan
nyamuk masuk
5
Barang bergantung
Keberadaan barang
a. Ada gantungan
bergantung
baju/kain yang
menjadi tempat
istirahat nyamuk
b. Tidak ada gantungan
baju/kain yang
menjadi tempat
istirahat nyamuk
Lembar Pengukuran
Faktor Lingkungan Kejadian Filariasis di Kecamatan Sepatan Timur,
Kabupaten Tangerang
1
Sawah
Jarak rumah anda dengan
a. ≤200 meter
sawah?
b. >200 meter
Lampiran 2
HASIL SPSS
1.
Umur
umur_hasil
Frequency
Valid
2.
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
26-35
5
16.7
16.7
16.7
36-45
13
43.3
43.3
60.0
46-55
12
40.0
40.0
100.0
Total
30
100.0
100.0
Jenis Kelamin
jenis_kelamin
Frequency
Valid
3.
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
laki-laki
18
60.0
60.0
60.0
perempuan
12
40.0
40.0
100.0
Total
30
100.0
100.0
Pekerjaan
jenis_pekerjaan
Frequency
Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
berisiko
20
66.7
66.7
66.7
tidak berisiko
10
33.3
33.3
100.0
Total
30
100.0
100.0
Pekerjaan*Jenis Kelamin
jenis_kelamin * jenis_pekerjaan Crosstabulation
jenis_pekerjaan
berisiko
jenis_kelamin
laki-laki
Count
% within jenis_pekerjaan
perempuan
Count
% within jenis_pekerjaan
Total
Count
% within jenis_pekerjaan
4.
tidak berisiko
12
6
18
60.0%
60.0%
60.0%
8
4
12
40.0%
40.0%
40.0%
20
10
30
100.0%
100.0%
100.0%
Keluar Rumah Pada Malam Hari
a1_keluar_mlm
Frequency
Valid
5.
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Ya
20
66.7
66.7
66.7
Tidak
10
33.3
33.3
100.0
Total
30
100.0
100.0
Penggunaan Kelambu
b1_kelambu
Frequency
Valid
Ya
Percent
Valid Percent
Total
Cumulative Percent
7
23.3
23.3
23.3
Tidak
23
76.7
76.7
100.0
Total
30
100.0
100.0
6.
Penggunaan Obat Nyamuk
c1_obt.pmbsm.nymk
Frequency
Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Ya
12
40.0
40.0
40.0
Tidak
18
60.0
60.0
100.0
Total
30
100.0
100.0
Penggunaan Obat Anti Nyamuk*Jenis Pekerjaan
jenis_pekerjaan * c1_obt.pmbsm.nymk Crosstabulation
c1_obt.pmbsm.nymk
Menggunakan
jenis_pekerjaan berisiko
Count
% within c1_obt.pmbsm.nymk
tidak berisiko
Count
% within c1_obt.pmbsm.nymk
Total
Count
% within c1_obt.pmbsm.nymk
7.
Tidak Menggkn
7
13
20
58.3%
72.2%
66.7%
5
5
10
41.7%
27.8%
33.3%
12
18
30
100.0%
100.0%
100.0%
Penggunaan Baju dan Celana Panjang
d1_baju.cln.pjg
Frequency
Valid
Percent
Valid Percent
Total
Cumulative Percent
Ya
11
36.7
36.7
36.7
Tidak
19
63.3
63.3
100.0
Total
30
100.0
100.0
Penggunaan Baju dan Celana Panjang*Pekerjaan Berisiko
jenis_pekerjaan * d1_baju.cln.pjg Crosstabulation
d1_baju.cln.pjg
Ya
jenis_pekerjaan berisiko
Count
% within d1_baju.cln.pjg
tidak berisiko
Count
% within d1_baju.cln.pjg
Total
Count
% within d1_baju.cln.pjg
8.
Tidak
8
12
20
72.7%
63.2%
66.7%
3
7
10
27.3%
36.8%
33.3%
11
19
30
100.0%
100.0%
100.0%
Kondisi SPAL
SPAL
Frequency
Valid
9.
baik
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
6
20.0
20.0
20.0
buruk
24
80.0
80.0
100.0
Total
30
100.0
100.0
Penggunaan Kawat Kasa
e1_kwt.kasa
Frequency
Valid
Percent
Valid Percent
Total
Cumulative Percent
Pakai
4
13.3
13.3
13.3
Tidak
26
86.7
86.7
100.0
Total
30
100.0
100.0
10.
Penggunaan Plafon
h1_plafon
Frequency
Valid
11.
Pakai
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
4
13.3
13.3
13.3
Tidak Pakai
26
86.7
86.7
100.0
Total
30
100.0
100.0
Keberadaaan Barang Bergantung
i1_barang.brgntng
Frequency
Valid
12.
Ada
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
27
90.0
90.0
90.0
Tidak
3
10.0
10.0
100.0
Total
30
100.0
100.0
Jarak Sawah dengan Rumah
jarak.sawah
Frequency
Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
<=200
22
73.3
73.3
73.3
>200
8
26.7
26.7
100.0
Total
30
100.0
100.0
Lampiran 3
Hasil Observasi
1.
Kondisi Saluran Pembuangan Air Limbah
Gambar di bawah ini merupakan gambar yang digunakan penulis
untuk mendeskripsikan kondisi Saluran Pembuangan Air Limbah disekitar
penderita yang belum berubah dari sebelum penderita didiagnosis filariasis
oleh dokter hingga tahun penelitian ini..
( 1)
(2)
(3)
(4)
Gambar 1 dan 2 merupakan kondisi saluran pembuangan air
limbah terbuka disekitar rumah penderita. Saluran air limbah tersebut
merupakan cabang dari aliran air kali yang menyempit dan mengalir di
tengah-tengah rumah masyarakat. Masyarakat setempat memanfaatkan
aliran air tersebut untuk membuang air limbah rumah tangga maupun
untuk Buang Air Besar (BAB). Penulis kerap menemukan cubluk yang
dipasang disekitar aliran air tersebut. Hal tersebut menyebabkan kondisi
air kali yang menggenang disekitar rumah penderita menjadi keruh dan
Lampiran 4
Hasil Wawancara
Pertanyaan
Apa yang membuat
rumah anda atau
lingkungan
anda
masih
terdapat
barang-barang yang
menggantung,
kondisi
selokan
yang buruk, dan
tidak
memasang
kawat nyamuk ?
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
Jawaban
“Rumah mah dibersihin, tapi kalo baju yang abis dipake masih
bersih digantung-gantungin aja. Kalo ga muat ditumpuk
dikasur, ya digantung juga.” (UD, RJK)
“Anak saya semuanya laki-laki kan. Udah aja gitu baju
digantungin, anduk segala macem.”
“Ya suka atuh. Biasa kita mah gantung-gantung. Iya.. kaya
baju, anduk, mukena. Suka kita mah.”
“Ada gantungan. Dikamar kaya baju-baju. Di belakang andukanduk, bajunya si bapak dari kerja gitu..”
“Hmm digantungin dilemari. Kalo diluar-luar gitu engga ibu
mah.”
“Cantolan baju dikamar? Dari dulu kayanya pasti adalah
cantolan baju di kamar-kamar.”
“Jaman dulu rumah masih jarang, yang perumahan-perumahan
disono tuh masih sawah, masih hutan lah. Belom ada got.
Ketanah aja gitu. Paling air bekas mandi doang, sama nyuci
juga jarang. (OM, KR)
“Saya air limbah ke depan situ.. ya terbukalah. Hmm ada
genangan. Harus disogok airnya, kesumbat lumpur, sampah.”.
(AR, ST)
“Ada tuh didepan got, tapi suka gak ngalir. Kalo air lancar
biasanya pas ujan, pas kali juga lancar. Kalo engga ya, gak
ngalir kaya gitu tuh. Mana ada cubluk juga kan, jadi kadang
gimana juga pas air ga ngalir.”
“Gak mampet sih. Ya tapi gak lancar juga. Kadang airnya suka
diem. Itu gegara sampah kaya plastik segala macem banyak tuh
digot. Jadi ngalirnya dikit-dikit. Tapi gak sampe mampet bikin
banjir.” (RM, CK)
“Itu dibuang ke depan rumah, depan rumah kan got dari kali
yang disono ujungnya. Biasa aja sih ya lancar aja.”
“Engga, engga pake kawat nyamuk. Dulu kan masih bilik.”
“Rumah ibu dulu gak pake kawat nyamuk neng. Sekarang pake,
soalnya sekarang depan rumah ibu jadi jalanan. Udah atuh
debu-debu pada masuk, makanya ditutup sekarang.”
“Dulu yah.. gak dipakein kawat nyamuk.”
“Gak ada tuh, liat aja. Gak pake kawat nyamuk. Dari dulu mah
gak pake kawat nyamuk.”
“Itu tuh liat aja.. dari dulu saya pake.”
“Engga.. neng. Begini aja kondisinya. Iya, gak pake kawat
nyamuk.”
“dari dulu gak pake.. iya atuh beli lagi kan pake pake kawat
kasa.”
Pertanyaan
Apa yang membuat anda tidak
melakukan upaya pencegahan
gigitan nyamuk seperti tidak
menggunakan kelambu, pakai
obat anti nyamuk saat sore dan
malam, memakai baju dan
celana panjang?
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Jawaban
“ibu gak punya kelambu...”
“boro-boro neng pake kelambu. Mana tau ya kalo
digigit nyamuk itu bisa kaya gini. Kalo sekarang
mah pake kelambu, tapi kadang-kadang juga sih.
Dulu.. saya ga pernah pake kelambu. Kayanya
dulu mah gerah pake kelambu.. Makanya saya
kalo malem suka keluar.” (UD, RJK)
“gak punya kelambu saya mah. Dari dulu saya
kalo tidur udah pake baju sama celana panjang
terus selimutan lagi.”
“saya gak pake kelambu soalnya emang gak
punya, jadi gak pake.”
“kenapa ya, gak kenapa-kenapa sih.. saya emang
gak pake kelambu.”
“pake saya kelambu, tapi ya gitu jarang. Kalo
udah capek males banget masangnya.”
“yaa cuek aja, biasa kalo digigit nyamuk. Dulu
kan masih sepi suka kerusukan gitu kan. Biasa,
jadi dianggepnya biasa. Ga perhatiin kesitu. Kalo
memang tau kalo kaya sekarang ya, wah kita
digigit nyamuk nih. Kita pake obat kalo sekarang.
Ya kan? Pake sofel gitu kan?” (UD, KR)
“ohh.. pas belom kena itu? Kalo malem saya sama
anak-anak udah aja di dalem rumah. Pake baju
biasa. Pake begini, daster.. hahaha”
“Kalo di sawah neng, lagi panen bisa sampe pagi
di sawah. Sawah jadi rame banget. Biasa pake
celana panjang, kaos biasa. Tapi kadang dicopot
kalo gerah.”
“Saya dulu kalo maen cuma pake baju biasa,
lengen pendek, celana ya biasa pendek, kadang
pake sarung. Ya gitu baju malem-malem yang
sering saya pake. Saya sama temen-temen padahal
pake baju sama gitu, maen bareng, tidur di deket
sawah bareng, di kebon bareng, tapi saya yang
kena filariasis. Lagian dulu juga baju adanya ituitu aja..” (UD, RJK)
Download