KONSEP POLITIK ISLAM SAYYID QUTHB DALAM TAFSIR FI

advertisement
KONSEP POLITIK ISLAM SAYYID QUTHB DALAM
TAFSIR FI ZHILAL QUR’AN
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Untuk memenuhi persyaratan memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh :
FUAD LUTHFI
NIM : 101033221828
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H./2011 M.
KONSEP POLITIK ISLAM SAYYID QUTHB DALAM
TAFSIR FI ZHILAL AL-QUR’AN
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Untuk memenuhi persyaratan memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh
FUAD LUTHFI
NIM: 101033221828
Pembimbing
Dr. Sirojuddin Aly, MA.
NIP. 195406052001121001
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H./2011 M.
PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “Konsep Politik Islam Sayyid Quthb Dalam Tafsir Fi Zhilal
Al-Qur'an” telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 11 Agustus 2011.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sosial (S.Sos) Program Strata Satu (S1) pada program studi Ilmu Politik.
Bekasi, 18 Agustus 2011
Tim Penguji,
Ketua Merangkap Anggota
Sekretaris Merangkap Anggota
Ali Munhanif, Ph.D
NIP. 150253408
M. Zaki Mubarok, M.Si
NIP.197309272005011008
Penguji,
Penguji I
Penguji II
Ali Munhanif, Ph.D
NIP. 150253408
Dr. Nawiruddin, MA
Pembimbing,
Dr. Sirojuddin Aly, MA
NIP. 195406052001121001
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan telah saya cantumkan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa ada karya ini bukan hasil karya saya
atau merupakan hasil jiplakan dan karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 25 Agustus 2011
Fuad Luthfi
ABSTRAKS
Skripsi ini mengkaji konsep politik Islam yang digagas oleh Sayyid
Quthb, pemikir dan tokoh pergerakan Islam asal Mesir yang sangat terkenal,
baik di kalangan Dunia Islam maupun Dunia Barat. Sayyid Quthb sengaja
dipilih karena ia dipandang sebagai salah seorang tokoh dan arsitek politik
al-Ikhwan al-Muslimin di Mesir. Ia biasa disebut sebagai pejuang dakwah
Islam (mujahid da’wah), atau tokoh yang secara formal disebut sebagai
pemikir dan da’i (rijal al-fikr wa al-da’wah).
Pemikiran Sayyid Quthb mempengaruhi banyak kalangan cendekiawan
Islam. Karya-karyanya memperoleh audensi besar dari masyarakat Islam dunia.
Beberapa karya pentingnya telah disalin ke dalam berbagai bahasa, termasuk ke
dalam bahasa Indonesia. Kitab Ma’alim fi al-Thariq, karya Quthb, pernah
menggemparkan banyak kalangan di dunia Islam; dan Fi Zhilal al-Qur’an, tafsir
al-Qur’an yang merupakan karya terbesar Sayyid Quthb, cukup populer dan
berpengaruh di kalangan masyarakat Muslim dunia, termasuk Indonesia dalam
segala aspeknya. Tafsir Fi Zhilal al-Qur'an sendiri merupakan hasil dari
dinamika akademis, politik, dan sosial. Ia tidak semata-mata rekreasi intelektual
dalam mendekati Al-Qur’an dari perspektif ilmu pengetahuan. Namun, juga
menggunakan pendekatan atas dasar pengalaman hidup sang penulis. Tidak
mengherankan kalau kitab tafsir ini berpengaruh besar terhadap umat Islam di
seluruh dunia, terutama mereka yang aktif dalam gerakan politik.
Bertolak dari uraian di atas, maka penulis mengkhususkan mengangkat
bidang politik dari pemikiran Sayyid Quthb dalam sebuah karya ilmiah dengan
tema “Konsep Politik Islam Sayyid Quthb Dalam Tafsir Fi Zhilal Al-Qur'an."
Tema pokok gagasan konsep politik Sayyid Quthb yang tertuang dalam
Tafsir Fi Zhilal al-Qur'an adalah: pertama, konsepsi al-Quran mengenai
kehidupan; kedua, kedaulatan Tuhan; ketiga, tujuan negara; keempat, prinsipprinsip pemerintahan; kelima, konsep kewarganegaraan, dan keenam, prinsipprinsip pengaturan kebjaksanaan negara.
Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan
menggunakan metode library research (metode pustaka) yaitu dengan mencari
data-data dari berbagai literatur dan sumber yang ada kaitannya dengan masalah
di atas. Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan teknik analisis,
yaitu dengan menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan konsep politik Islam
untuk kemudian dianalisis bagaimana konsep politik Islam menurut Sayyid
Quthb. Sumber primer sebagai data pokok dalam penelitian ini adalah tafsir Fi
Zhîlâl al-Qur'ân karya Sayyid Quthb dan karya-karya keislamannya yang lain, di
antaranya adalah : Ma’âlim Fi al-Tharîq dan Ayat-ayat Pilihan Tafsir Fî Zhilâl alQur’ân.
iii
KATA PENGANTAR
‫بسم اهلل الرحمن الرحيم‬
Alhamdulllah, penulis panjatkan puji syukur yang tak ternilai oleh apa pun atas
limpahan rahmat, karunia dan izin-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini yang penulis beri judul “KONSEP POLITIK ISLAM SAYYID
QUTHB DALAM TAFSIR FI ZHILAL AL-QUR'AN". Shalawat dan salam
senantiasa dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw
Dengan selesainya skripsi ini, merupakan kebahagiaan yang tak terhingga bagi
penulis meskipun dalam penyelesaiannya selalu mendapat rintangan-rintangan
baik dari diri sendiri maupun dari luar, namun berkat kasih sayang-Nya,
rintangan-rintangan tersebut dapat teratasi. Dan juga tak lupa adanya bantuan dari
berbagai pihak baik moril maupun materil, yang tidak bisa disebutkan satu
persatu. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan beribu-ribu terima
kasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Bapak Dr. Sirojuddin Aly, MA yang telah susah payah membimbing
penulis dalam penyusunan skripsi ini sehingga skripsi ini bisa rampung,
semoga Allah membalas semua jasa beliau.
2. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Bapak Prof. Dr. Komaruddin
Hidayat, MA.
3. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta Prof. Dr. Bahtiar Effendy, MA.
iv
4. Ketua dan Sekretaris Jurusan Ilmu Politik Bapak Ali Munhanif, Ph. D dan
Bapak M. Zaki Mubarok, M. Si.
5. Seluruh staf pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang telah
mencurahkan ilmunya yang sangat berarti bagi penulis selama menempuh
pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Ayahanda Penulis KH. M. Natsir dan Ibunda H. Nurmalihah, S.Pd.I yang
tak pernah lelah mendoakan dan memotivasi penulis selama ini, semoga
Allah SWT mengampuni dosa keduanya dan menyayangi keduanya
sebagaimana keduanya menyayangi penulis di aktu kecil.
7. Kanda Hj. Rifqiyah, Lc., Ahmad Fathoni, SH.I dan Najmuddin, SE.I serta
adik-adikku Eneng Himayati, Lc dan Nurul Atiq yang banyak memberikan
motivasi dan bantuan moril kepada penulis dengan tanpa pamrih dan
penuh kasih sayang.
8. Pimpinan dan segenap staf Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah memberikan fasilitas kepada penulis.
9. Teman-teman Jurusan Ilmu Politik B angkatan 2001, yang selalu
memotivasi penulis sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini.
10. Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak penulis sebutkan di
sini, namun tidak mengurangi hormat dan ta’zhim penulis kepada mereka.
v
Terakhir penulis hanya dapat memanjatkan doa semoga kebaikan dan amal
baik mereka dibalas oleh Allah SWT, dan mudah-mudahan skripsi ini dapat
memberikan manfaat bagi semuanya. Amin ya Robbal ‘Alamin.
Bekasi, 16 Agustus 2011
Fuad Luthfi
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………………i
LEMBAR PERNYATAAN ……………………………………………………..ii
ABSTRAK ………………………………………………………………………iii
KATA PENGANTAR ………………………………………………………….iv
DAFTAR ISI……………………………………………………………………vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ……………………………………………1
B. Kajian Kepustakaan ………………………………………………...5
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……………………………..5
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian …………………………………….6
E. Metode Penelitian ……………………………………………………7
F. Sistematika Penulisan ……………………………………………….8
BAB II BIOGRAFI SAYYID QUTHB DAN KARYANYA
A. Riwayat Hidup………………………………………………………10
B. Karya-karya Sayyid Quthb………………………………………...14
C. Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an …………………………………………16
BAB III TEORI POLITIK ISLAM
A. Dasar-dasar Teori Politik Islam …………………………………..19
B. Hakekat dan Karakteristik Negara Islam ………………………..22
C. Teori Kekhilafahan dalam Islam ………………………………….24
D. Hakekat Demokrasi dalam Islam …………………………………25
BAB IV KONSEP POLITIK ISLAM DALAM TAFSIR FI ZHILAL ALQUR’AN
A. Konsepsi al-Qur’an Mengenai Kehidupan …………….................27
B. Kedaulatan Tuhan …………………………………………………32
C. Tujuan Negara ……………………………………………………..37
D. Prinsip-prinsip Pemerintahan …………………………………….41
E. Konsep Kewarganegaraan…………………………………………45
F. Prinsip-prinsip Pengaturan Kebijaksanaan Negara ……………..63
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan………………………………………………………….70
B. Saran ………………………………………………………………..72
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………..73
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sayyid Quthb merupakan salah satu tokoh politik Islam yang sangat
concern dengan pergerakan Islam dan memiliki pengaruh yang cukup luas di
dunia Islam. Sebagai tokoh politik Islam dan aktivis pergerakan Islam, Sayyid
Quthb merupakan salah seorang tokoh yang sangat terkenal dan popular.
Popularitas Quthb bahkan menyamai pendahulunya, Hasan al-Banna, pendiri
gerakan al-Ikhwan al-Muslimin. Sayyid Quthb disebut sebagai tokoh ideology
Ikhwan karena ia berperan besar dalam memformulasi ideology (fikrah) Ikhwan
dan mensosialisasikan dalam gerakan-gerakannya.1
Sejak bergabung dengan Ikhwan pada tahun 1953, Sayyid Quthb berperan
besar dalam mengembangkan dan memajukan Ikhwan. Ia mencoba memperjelas
dan mempertegas tujuan dan cita-cita Ikhwan kea rah terwujudnya system Islam.
Dalam setiap kesempatan, Quthb selalu mengajak kaum muslim melawan semua
system yang disebutnya jahiliyyah, baik yang ada di negeri-negeri Islam maupun
negeri-negeri lain, selanjutnya digantikan dengan fikrah atau system Islam, tak
terkecuali juga dalam bidang politik. Untuk mewujudkan cita-cita ini, tentu saja
Sayyid Quthb harus berhadapan dengan konspirasi-konspirasi jahat penguasa dari
Negara luar dan di dalam negerinya yang tak menghendaki system Islam tegak di
1
M. Amin Rais, Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta, (Bandung: Mizan, 1997), h.
197; “Gerakan-gerakan Islam Internasional dan Pengaruhnya Bagi Gerakan Islam Indonesia,”
Dalam Prisma, Nomor Ekstra, (1984), h. 29.
1
2
dunia ini. Berkali-kali ia disiksa dan dijebloskan ke dalam penjara sampai
akhirnya dieksekusi di tiang gantungan oleh rezim pengasa Mesir pada tahun
1966.2
Dengan melihat sepintas latar belakang kehidupan seperti disebutkan di
atas, maka tak seorangpun dapat menyangkal keberadaan Sayyid Quthb sebagai
pemikir dan aktivis politik Islam (rijal al-fikr wa al-da’wah siyasi Islam). Sebagai
politikus Islam, Sayyid Quthb memperlihatkan komitmennya yang tinggi terhadap
perjuangan dan semangat menegakkan politik Islam, yaitu perjuangan dan
semangat untuk mewujudkan system Islam, baik pada tataran individu maupun
social dan cultural. Semangat ini terlihat jelas dalam semua tulisan Quthb,
terutama dalam karya master piece-nya yang sangat terkenal, Fi Zhilal al-Qur’an.
Menurut Sayyid Quthb, masyarakat dunia kontemporer dihadapkan
dengan dua pilihan konsep politik, yakni sistem jahiliyah dan Islam. Konsep
politik yang pertama merupakan produk masyarakat sekular dan konsep yang
disebutkan pada uruta kedua merupakan produk 'agama'. Karena pilihan ini
diberikan oleh negara adikuasa yang memimpin dunia, maka pilihan ini menjadi
polemik di kalangan cendekiawan Muslim.3
Peradaban Barat yang telah maju, setelah berusaha membebaskan diri dari
cengkraman 'agama' (gereja), tentunya menjadi bangga dengan kesuksesannya
sekarang dan melihat penyebab kemajuannya adalah berkat keberhasilan
sekularisasi di dunia Barat. Pada dunia yang serba serbinya diwarnai dengan
materialisme dan dualisme, pilihan ini diberikan atas nama kemajuan dan
2
A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub; Rekonstruksi Pemikiran Dakwah
Harakah, (Jakarta: Penamadani, 2006), h. 17-18.
3
A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub,h. 68-69.
3
pembangunan, pihak kedua hanya bisa menerima atau menolak tentunya dengan
konsekwensi; menyokong sebagai kawan atau menentang sebagai lawan. 4 Lalus
bagaimanakah dengan pendapat cendekiawan Islam? Sayyid Quthb dan
pembaharu Islam lainnya seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh,
dan Hasan al-Banna meyakini bahwa kelemahan kaum Muslim diakibatkan oleh
dominasi Eropa dan penyimpangan dari ajaran Islam sejati.
Untuk membangkitkan Islam, menurut Sayyid Quthb, umat Islam harus
bertekad untuk kembali memahami ajaran Islam secara kaffah (menyeluruh).
kembali kepada Al-Qur'ân dan al-Sunnah, seperti yang dicontohkan oleh
Rasullullah SAW dan sahabat-sahabatnya.5
Pemerintahan Islam yang dibina Nabi Muhammad SAW dan khalifah
Rasyidin menunjukkan perwujudan suatu tatanan Islam yang komprensif,
konkrit dan historis. Akan tetapi di bawah penguasa berikutnya, dunia Islam
menjadi lemah disebabkan beberapa faktor, antara lain: perebutan kekuasaan,
yang berkuasa bukan Arab, perpecahan soal-soal sekunder, kurang para ilmuan
praktis taklid buta pada otoritas. Hal tersebut terbukti pada abad ke 13 dunia
Islam sangat buta dan rentan terhadap invasi bangsa Mongol dan tentara Salib
meskipun dibawah Mamluk dan Dinasti Usmaniyah dunia Islam sempat bangkit
namun sempat tidak lama, dan tidak terbendung agresi Eropa disemua sektor.
Akhirnya dunia Islam harus tunduk kepada dunia Barat sampai akhir abad ke
19. Awal abad ke 20 lahirnya kebangkitan Islam yang dipelopori oleh
cendikiawan-cendekiwan
4
terkemuka
umat
Islam
mulai
sadar
akan
Muhsin al-Mayli, Pergulatan Mencari Islam; Perjalanan Religius Roger Garaudy, (terj.)
Rifyal Ka’bah (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 107-108
5
Sayyid Quthb, Fi Zilal al-Qur’an, Jilid. II, (Beirut: Dar al-Syuruq, 1982), h. 904-905.
4
ketertinggalannya dari dunia Barat mereka bangkit berusaha merebut kembali
kejayaan dunia Islam tempo dulu dengan terbentuknya berbagai macam
organisasi oleh tokoh-tokoh pejuang dan ulama-ulama terkemuka, salah satu
contohnya adalah Sayyid Quthub dengan garakan Ikhwan al-Muslimin-nya.6
Sayyid Quthb mempertegas tentang politik negara atau pemerintahan
Islam, ia menyebutkan :" Pemerintahan Islam itu supra nasional, meskipun dia
menolak dipergunakannya istilah imperium. Wilayah negara meliputi seluruh
dunia Islam dengan sentralisasi kekuasaan. pada pemerintahan pusat, yang di
kelola atas prinsip persamaan penuh antara semua umat Islam yang terdapat di
seluruh penjuru dunia Islam tanpa adanya fanatisme ras dan kedaerahan, bahkan
dalam banyak hal tidak pula mengenal fanatisme keagamaan."7
Dengan demikian menurut penilaian Sayyid Quthb pemerintah Islam
bercorak manusiawi, terutama dengan persepsinya yang kuat tentang kesatuan
manusia serta tujuannya yang menghendaki agar seluruh umat manusia
terhimpun dibawah bendera persaudaraan atau persamaan.
Sebagai tokoh pembaharuan Sayyid Quthb melontarkan ide-ide yang
berbeda
dengan
pembaharuan-pembaharuan
sebelumnya,
beliau
meletakkan dasar-dasar konsep pergerakan politik yang konkrit, bahkan tidak
jarang beliau melakukan tindak progresif dan tegas dalam mewujudkan
konsep-konsep tersebut, sehingga organisasinya sering mendapatkan tantangan
dari pemerintah setempat. Pengaruh Ikhwanul Muslimin yang beliau pimpin
6
A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub,h. 79-80.
Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: UI
Press, 1991) , h. 149.
7
5
tidak saja di Mesir, tetapi telah menjalar ke dunia Islam lain, seperti Pakistan
yang menjadi negara Islam tidak luput dari pengaruh ide-idenya.
Bertolak dari uraian di atas, maka penulis mengangkat masalah tersebut
dalam sebuah karya ilmiah dengan judul: “KONSEP POLITIK ISLAM
SAYYID QUTHB DALAM TAFSIR FÎ ZHILÂL AL-QUR'ÂN".
B. Kajian Kepustakaan (Literatur Review)
Sepanjang pengetahuan penulis, belum ada cendekiawan Islam yang
menulis secara khusus pemikiran politik Islam Sayyid Quthb. Kalaupun ada
tulisan ataupun karya ilmiah yang mengetengahkan pemikiran sosok Sayyid
Quthb hanya sekilas lalu membahas tentang corak penafsiran al-Qur’ân dalam
tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân, seperti yang dibahas dalam buku karya Taufik Adnan
Amal yang berjudul Rekonstruksi Sejarah al-Qur’ân atau gerakan dakwah Sayyid
Quthb yang dikaitkan dengan terorisme seperti karya Abegabriel dan kawankawan dalam Negara Tuhan. Sedangkan penulis berupaya untuk mengungkapkan
pemikiran politik Sayyid Quthb yang tertuang dalam karya tafsir terkenalnya
tersebut. Dengan demikian, apa yang diupayakan oleh penulis ini bukan
merupakan suatu pengulangan dari apa yang telah dipublikasikan atau ditulis oleh
penulis lain.
C. Batasan dan Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang di atas dan keterbatasan kemampuan
jangkauan penulis untuk menganalisis pemikiran Sayyid Quthb yang begitu luas
cakupannya dalam berbagai bidang keilmuwan dan kehidupan, maka penulis
hanya membatasi dan merumuskan masalah diseputar konsep politik Islam
6
menurut Sayyid Quthb sebagaimana yang dijelaskannya dalam tafsir Fî Zhilâl alQur'ân.
Berdasarkan kenyataan-kenyataan yang ada, maka dalam pembahasan ini
penulis merumuskan konsep politik Islam menurut Sayyid Quthb sebagaimana
yang dijelaskannya dalam tafsir Fî Zhilâl al-Qur'ân dalam suatu rumusan:
1. Bagaimana konsep al-Qur’an mengenai kehidupan?
2. Bagaimana bentuk kedaulatan Tuhan?
3. Bagaimana tujuan Negara?
4. Bagaimana prinsip-prinsip pemerintahan?
5. Bagaimana konsep kewarganegaraan?
6. Bagaimana prinsip-prinsip pengaturan kebijaksanaan negara?
D. Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini
mengetahui konsep politik Islam menurut Sayyid Quthb sebagaimana yang
dijelaskannya dalam tafsir Fî Zhilâl al-Qur'ân dengan poin tujuan, yaitu:
1. Untuk mengetahui konsep al-Qur’an mengenai kehidupan menurut Sayyid
Quthb sebagaimana yang dijelaskannya dalam tafsir Fî Zhilâl al-Qur'ân..
2. Untuk mengetahui kedaulatan Tuhan menurut Sayyid Quthb sebagaimana
yang dijelaskannya dalam tafsir Fî Zhilâl al-Qur'ân.
3. Untuk mengetahui tujuan Negara menurut Sayyid Quthb sebagaimana
yang dijelaskannya dalam tafsir Fî Zhilâl al-Qur'ân.
4. Untuk mengetahui prinsip-prinsip pemerintahan menurut Sayyid Quthb
sebagaimana yang dijelaskannya dalam tafsir Fî Zhilâl al-Qur'ân.
7
5. Untuk mengetahui konsep kewarganegaraan menurut Sayyid Quthb
sebagaimana yang dijelaskannya dalam tafsir Fî Zhilâl al-Qur'ân.
6. Untuk mengetahui prinsip-prinsip pengaturan kebijakan Negara menurut
Sayyid Quthb sebagaimana yang dijelaskannya dalam tafsir Fî Zhilâl alQur'ân.
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Secara teoritis, sebagai bahan rujukan bagi peneliti lain dalam
mengembangkan teori konsep politik Islam, terutama konsep pemikiran
dari Sayyid Quthb.
2. Untuk dapat memberikan informasi kepada dunia akademis, khususnya
cendekiawan politik, tentang konsep politik Islam menurut Sayyid Quthb
sebagaimana yang dijelaskannya dalam tafsir Fî Zhilâl al-Qur'ân.
3. Untuk menambah pengetahuan penulis tentang konsep pemikiran politik
Islam.
E. Metode Penelitian.
Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan
menggunakan metode library research (metode pustaka) yaitu dengan mencari
data-data dari berbagai literatur dan sumber yang ada kaitannya dengan masalah
di atas. Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan teknik analisis,
yaitu dengan menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan konsep politik Islam
menurut Sayyid Quthb.
Sumber primer sebagai data pokok dalam penelitian ini adalah tafsir Fi
Zhîlâl al-Qur'ân karya Sayyid Quthb dan karya-karya keislamannya yang lain, di
8
antaranya adalah : Ma’âlim Fi al-Tharîq dan Ayat-ayat Pilihan Tafsir Fî Zhilâl alQur’ân.
Adapun sumber data sekundernya adalah buku-buku tentang politik Islam
yang dianggap representatif untuk dijadikan perbandingan dalam pemikiran
tentang masalah-masalah yang berada dalam wilayah kajian politik Islam, yaitu:
Jihad Menurut Sayyid Quthub dalam Tafsir Zhilal, karya Muhammad Chirzin;
Paradigma Dakwah Sayyid Quthub; Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Harakah,
karya A. Ilyas Ismail; Gerakan-gerakan Internasional dan Pengaruhnya Bagi
Gerakan Islam di Indonesia, karya M. Amien Rais; Perkembangan Modern dalam
Islam karya Azyumardi Azra; Ideologi, Politik, dan Pembangunan karya Deliar
Noer dan karya-karya ilmiah lain yang membahas tentang politik sebagai bahan
sekunder lainnya.
Sedangkan tehnik penulisan penelitian ini merujuk pada buku Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun 2007.
F. Sistematika Penulisan.
Adapun yang akan penulis bahas dalam bab 1 adalah: Latar Belakang
Masalah, Kajian Pustaka, Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan,
Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistemtika Penulisan.
Dalam bab II, penulis akan menerangkan Kondisi Umat Islam pada Masa
Sayyid Quthb, Riwayat Hidup Sayyid Quthb, karya-karya Intelektual dan Ikhwan
al-Muslimun dan politik kenegaraan Mesir.
9
Dalam bab III penulis akan membahas kerangka teori politik Islam yang
meliputi: dasar-dasar teori politik Islam, hakekat dan karakteristik Negara Islam,
teori kekhalifahan, dan hakekat demokrasi dalam Islam
Dalam bab IV, penulis akan membahas konsep politik Islam menurut
Sayyid Quthb sebagaimana yang dijelaskannya dalam Kitab Tafsir Fî Zhilâl alQur'ân yang meliputi pembahasan mengenai konsep al-Qur'ân mengenai
kehidupan, kedaulatan Tuhan, tujuan Negara, prinsip-prinsip pemerintahan,
konsep kewarganegaraan, dan prinsip-prinsip pengatuyan kebijaksanaan Negara.
Dalam bab V, adalah Penutup, penulis akan menguraikan Kesimpulan dan
Saran-saran.
BAB II
BIOGRAFI SAYYID QUTHB DAN KARYANYA
A. Riwayat Hidup
Sayyid Quthb lahir di daerah Asyut, Mesir tahun 1906, di sebuah desa dengan
tradisi agama yang kental.1 Dengan tradisi yang seperti itu, maka tak heran jika Quthb
kecil menjadi seorang anak yang pandai dalam ilmu agama. Tak hanya itu, saat
usianya masih belia, ia sudah hafal Qur'ân. Bakat dan kepandaian menyerap ilmu
yang besar itu tak disia-siakan terutama oleh kedua orang tua Quthb. Berbekal
persedian dan harta yang sangat terbatas, karena memang ia terlahir dalam keluarga
sederhana, Quthb dikirim ke Halwan. Sebuah daerah pinggiran ibukota Mesir, Cairo.2
Kesempatan yang diperolehnya untuk lebih berkembang di luar kota asal tak
disia-siakan oleh Quthb. Semangat dan kemampuan belajar yang tinggi ia tunjukkan
pada kedua orang tuanya. Sebagai buktinya, ia berhasil masuk pada perguruan tinggi
Tajhisziyah Dar al Ulum, sekarang Universitas Cairo. Kala itu, tak sembarang orang
bisa meraih pendidikan tinggi di tanah Mesir, dan Quthb beruntung menjadi salah
satunya. Tentunya dengan kerja keras dan belajar. Tahun 1933, Quthb mendapat
menyabet gelar Sarjana Pendidikan.3
Tak lama setelah itu ia diterima bekerja sebagai pengawas pendidikan di
Departemen Pendidikan Mesir. Selama bekerja, Quthb menunjukkan kualitas dan
hasil yang luar biasa, sehingga ia dikirim ke Amerika untuk menuntut ilmu lebih
1
Ensiklopedi Islam, Jilid 4 (Jakarta: Ichtra Baru van Hoeve, 2005), h. 90.
Abegabriel, Negara Tuhan, (Yogyakarta: IRNIS, 2006), h. 257.
3
Ibid., h. 90
2
8
9
tinggi dari sebelumnya.Quthb memanfaatkan betul waktunya ketika berada di
Amerika, tak tanggung-tanggung ia menuntut ilmu di tiga perguruan tinggi di negeri
Paman Sam itu. Wilson's Teacher's College, di Washington ia jelajahi, Greeley
College di Colorado ia timba ilmunya, juga Stanford University di California tak
ketinggalan diselami pula.4
Seperti keranjingan ilmu, tak puas dengan yang ditemuinya ia berkelana ke
berbagai negara di Eropa. Itali, Inggris dan Swiss dan berbagai negara lain
dikunjunginya. Tapi itupun tak menyiram dahaganya. Studi di banyak tempat yang
dilakukannya memberi satu kesimpulan pada Sayyid Quthb. Hukum dan ilmu Allah
saja muaranya. Selama ia mengembara, banyak problem yang ditemuinya di beberapa
negara. Secara garis besar Sayyid Quthb menarik kesimpulan, bahwa problem yang
ada ditimbulkan oleh dunia yang semakin matre dan jauh dari nilai-nilai agama.
Alhasil, setelah lama mengembara, Sayyid Quthb kembali lagi ke asalnya.
Bak pepatah, sejauh-jauh bangau terbang, pasti akan pulang ke kandang. Ia merasa,
bahwa Qur'ân sudah sejak lama mampu menjawab semua pertanyaan yang ada. Ia
kembali ke Mesir dan bergabung dengan kelompok pergerakan Ihkawanul Muslimin.
Di sanalah Sayyid Quthb benar-benar mengaktualisasikan dirinya. Dengan kapasitas
dan ilmunya, tak lama namanya meroket dalam pergerakan itu. Tapi pada tahun 1951,
pemerintahan Mesir mengeluarkan larangan dan pembubaran Ikhwanul Muslimin.5
4
5
h. 165
Ensiklopedi Islam, Jilid 4, h. 91
Jamhari (Ed.), Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindopersada, 2004),
10
Saat itu Sayyid Quthb menjabat sebagai anggota panitia pelaksana program
dan ketua lembaga dakwah. Selain dikenal sebagai tokoh pergerakan, Quthb juga
dikenal sebagai seorang penulis dan kritikus sastra. Kalau di Indonesia semacam H.B.
Jassin lah. Banyak karyanya yang telah dibukukan. Ia menulis tentang banyak hal,
mulai dari sastra, politik sampai keagamaan. Empat tahun kemudian, tepatnya Juli
1954, Sayyid menjabat sebagai pemimpin redaksi harian Ikhwanul Muslimin al-Fikr
al-Jadid. Tapi harian tersebut tak berumur lama, hanya dua bulan, karena dilarang
beredar oleh pemerintah.6
Tak lain dan tak bukan sebabnya adalah sikap keras, pemimpin redaksi,
Sayyid Quthb yang mengkritik keras Presiden Mesir kala itu, Kolonel Gamal Abdel
Naseer. Saat itu Sayyid Quthb mengkritik perjanjian yang disepakati antara
pemerintahan Mesir dan negara Inggris. Tepatnya 7 Juli 1954. Sejak saat itu,
kekejaman penguasa bertubi-tubi diterimanya. Setelah melalui proses yang panjang
dan rekayasa, Mei 1955, Sayyid Quthb ditahan dan dipenjara dengan alasan hendak
menggulingkan pemerintahan yang sah. Tiga bulan kemudian, hukuman yang lebih
berat diterimanya, yakni harus bekerja paksa di kamp-kamp penampungan selama 15
tahun lamanya. Berpindah-pindah penjara, begitulah yang diterima Sayyid Quthb dari
pemerintahnya kala itu.7
Hal itu terus di alaminya sampai pertengahan 1964, saat presiden Irak kala itu
melawat ke Mesir. Abdul Salam Arief, sang presiden Irak, meminta pada
6
Yusuf Qardhawy, Syaikh Muhammad al-Ghazali yang Saya Kenal; Setengah Abad
Perjalanan Pemikiran dan Gerakan Islam, (terj.) Aunur Rafiq Shaleh (Jakarta: Robbani Press, 1999),
h. 13.
7
Ibid.
11
pemerintahan Mesir untuk membebaskan Sayyid Quthb tanpa tuntutan. Tapi ternyata
kehidupan bebas tanpa dinding pembatas tak lama dinikmatinya. Setahun kemudian,
pemerintah kembali menahannya tanpa alasan yang jelas. Kali ini justru lebih pedih
lagi, Sayyid Quthb tak hanya sendiri. Tiga saudaranya dipaksa ikut serta dalam
penahanan ini. Muhammad Quthb, Hamidah dan Aminah, serta 20.000 rakyat Mesir
lainnya.8
Alasannya seperti semua, menuduh Ikhwanul Muslimin membuat gerakan
yang berusaha menggulingkan dan membunuh Presiden Naseer. Ternyata, berjuang
dan menjadi orang baik butuh pengorbanan. Tak semua niat baik dapat diterima
dengan lapang dada. Hukuman yang diterima kali ini pun lebih berat dari semua
hukuman yang pernah diterima Sayyid Quthb sebelumnya. Ia dan dua orang kawan
seperjuangannya dijatuhi hukuman mati.
Meski berbagai kalangan dari dunia internasional telah mengecam Mesir atas
hukuman tersebut, Mesir tetap saja bersikukuh seperti batu. Tepat pada tanggal 29
Agustus 1969, ia syahid di depan algojo-algojo pembunuhnya.
8
Ali Abdul Halim Mahmud, Ikhwanul Muslimin; Konsep Gerakan Terpadu, jilid I (terj.)
Syafril halim (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 41.
12
B. Karya-karya Sayyid Quthb
Dalam karya tulisnya, ia mulai menulis beberapa jilid buku al-Taswîr alFanni Fi al-Qur’ân (Disiplin Ilmu dalam al-Qur’ân) pada tahun 1939.9 Tulisan ini
mengupas indahnya seni yang terdapat di dalam ayat-ayat al-Qur’ân. Pada tahun 1945
ia menulis sebuah kitab bertajuk Masyâhidul Qiyâmah Fi al-Qur’ân (Kesaksian Hari
Kiamat) yang isinya menggambarkan peristiwa hari kiamat dalam al-Qur`ân. Dan
pada tahun 1948, Sayyid Quthb menghasilkan sebuah buku berjudul al-‘Adâlah alIjtimâ’iyyah Fi al-Islâm atau Keadilan Sosial dalam Islam. Dalam kitab ini, ia tegas
menyatakan bahwa keadilan masyarakat sejati hanya akan tercapai bila masyarakat
menerapkan sistem Islam.10
Dari
balik
lembaran-lembaran
buku
itu
Sayyid
Quthb
bermaksud
mengarahkan manusia kepada suasana Qur’âni, yaitu suasana baru yang dapat mereka
rasakan sebagai hidangan lezat sebagaimana suasana diturunkannya al-Qur’ân itu
sendiri. Dan dengan metode penyampaian yang segar, Sayyid Quthb mencoba
menyingkapkan tabir yang menyelimuti manusia mengenai rahasia-rahasia dan artiarti yang belum pernah diterangkan sebelumnya. Dengan membaca karya-karyanya,
orang-orang mengetahui secara dalam apa makna yang terkandung dalam setiap
huruf, kata, dan kalimat yang diterangkannya. Ia menganjurkan agar setiap muslim
9
Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul, Keindahan Alqur’ân
yang Menakjubkan: Buku Bantu Memahami Tafsir Fî Zhilâlil Qur’ân, Penerjemah: Bahrun Abu Bakar
(Jakarta: Robbani Press, 2004)
10
Abu Hassan dalam kata pengantar buku Sayyid Quthb, Fiqih Dakwah, Maudhu’at fi alDa’wah wa al-Harakah, (terj.), Suwardi Effendi, Ah. Rosyid Asyrofi (Jakarta: Pustaka Amani, 1995),
h. ii
13
selalu berada dalam suasana Qur’âni, dengan menghirup udara al-Qur’ân dan harus
melangkah dalam perjalanan hidupnya bersama al-Qur’ân.
Dalam menghadapi paham komunisme dan kapitalisme, Sayyid Quthb
menulis al-Salam Alami wa al-Islam (Perdamaian Dunia dan Islam), Ma’rakatu alIslam wa al-Ra’sumaliyah (Pertikaian Islam dan Kapitalisme). Dalam menghadapi
penyelewengan kebudayaan dan kesalahan-kesalahan paham-paham tersebut, ia juga
menulis sebuah karya berjudul al-Islam wa Musykilatu al-Madharah (Islam dan
Problematika Kebudayaan). Dan dalam menghadapi kepercayaan-kepercayaan yang
sesat, ia menulis karya berjudul Kashaishu al-Tashawuri al-Islami wa Muqawamatihi
(Ciri-ciri Penggambaran Islam dan Pembendungannya), Hadza al-Din (Inilah Islam),
dan al-Mustaqbalu Lihadza al-Din (Masa Depan Ditangan Islam). Sedangkan sebagai
dasar pijakan dan langkah-langkah politik dinamis, ia menulis Ma’alim fi al-Thariq
(Petunjuk Jalan). Pesan utama yang ditekankan Quthb di dalam tulisan-tulisannya
adalah konsep al-Tauhid dari sudut al-Uluhiyyah. Menurutnya inti dari Tauhid
Uluhiyyah adalah hak Allah dari sudut al-Hakimiyyah dan al-Tasyri’ (pembuatan
peraturan). Dan karenanya, menurut Quthb ikrar Lailahaillallah adalah pernyataan
revolusi terhadap seluruh kedaulatan yang berkuasa di atas muka bumi-Nya. Maka
seluruhnya itu mesti dikembalikan kepada hak-Nya.11
11
Sayyid Quthb, Masa Depan Di Tangan Islam, (terj.), t.p., (Malaysia: IIFSO, 1982), h. 9.
14
C. Tafsir FîZhilâl Al-Qur'ân
Tafsir Zhilâl (demikian biasa orang menyebut tafsir Fi Zhilal Al-Qur’ân)
adalah tafsir yang fenomenal. la hadir dengan sosoknya yang khas, berbeda dengan
umumnya kitab tafsir. la sarat dengan tuangan perenungan pengarangnya, Sayyid
Quthb, yang dalam dan cerdas. Melalui goresan penanya yang diisi dengan tinta
seorang ilmuwan dan darah seorang syahid, Ahmed Hasan Farhatt mengatakan bahwa
ayat-ayat Qur’ân yang turun lima betas abad lampau ini, kini seakan kembali hidup
dan menemukan kekuatan maknanya. Ayat ayat Qur’ân, yang bertebaran dalam
lembaran lembaran mushaf dengan berbagai tema yang terkadang dipahami tidak
saling berhubungan, berhasil dihimpun, dijalin, dan disinergikan hingga muncullah
dari sana daya doktrinnya yang kuat, daya pemanduannya yang jelas, dan daya
pencerahannya yang menggairahkan, dengan komprehensivitas dan universalitas nilai
nilai ajarannya yang paripurna.12
Tafsir ini merupakan rujukan terpercaya bagi para aktivis Islam. Tafsir Fî
Zhilâl al-Qur’ân karya Sayyid Quthb di kalangan para aktivis Islam, memang
mempunyai tempat spesial. Ia bukan hanya sederetan kata demi kata tentang tafsir alQur’ân, tapi juga merupakan saksi nyata dari kehidupan mufassirnya sendiri. Karya
ini merupakan perpaduan dari hasil perenungan dan pengalaman seorang Sayyid
12
Shalah Abdul Fatah Al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fî Zhilâlil Qur’ân (Jakarta:
Penerbit : Era Intermedia , 2004)
15
Quthb, dan cukup laris pula dikutip dan ditelaah orang.13 Karya masterpiece sang
syahid Sayyid Quthb ini adalah tafsir paling monumental abad ke-20.
Tafsir ini ditulis dengan metodologi yang sama sekali baru dan mencoba
menghadirkan al-Qur’ân dengan semangat dan nuansa seperti ketika ia pertama kali
diturunkan kepada Rasulullah saw., agar wahyu ini bekerja sebagaimana ia dahulu
bekerja: membangun sebuah komunitas kecil yang mendiami gurun tandus jazirah
Arab dan mengubah para penggembala kambing itu menjadi pembangun peradaban
dan pemimpin umat manusia.
Al-Qur’ân adalah telaga tempat umat ini dapat menemukan kebesarannya.
Dan yang menulis tafsir ini, adalah seorang yang telah melanglang buana selama
lebih dari empat tahun dalam dunia pemikiran dan kebudayaan, membaca semua
karya pemikiran manusia, untuk kemudian kembali kepada al-Qur’ân dan
menemukan semua yang ia cari di sana; dalam lembaran-lembaran wahyu yang
selama ini ada di sisinya. Sayyis Quthb merampungkan tafsir ini di dalam penjara
selama kurun waktu lebih dari sepuluh tahun, kemudian mengakhiri hidupnya di tiang
gantungan sebagai syahid. Ia membayar keyakinannya dengan darahnya. Dan tafsir
ini adalah lukisan keyakinannya. Ia adalah tafsir iman atas al-Qur’ân. Dalam versi
atau terbitan Dârusy-Syuruq Kairo Mesir, karya ini dikemas menjadi enam jilid besar.
Sementara edisi Indonesianya menjadi tiga belas jilid dan diterbitkan oleh penerbitan
13
Muhammad Quraish Shihab dalam karya tafsir al-Qur’ânnya yang berjudul Tafsir alMishbah banyak mengutip pendapat-pendapat Sayyid Quthb dalam menjelaskan arti kata dan maksud
ayat-ayat yang terkandung al-Qur’ân. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, (Jakarta: Lentera,
2002).
16
Robbani Press sebuah penerbit yang akrab sebagai penerbit buku fikrah dan harakah
Islamiyah.
Banyak buku tafsir al-qur’ân yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Misalnya, Tafsir Ibnu Katsîr, Tafsir Jalâlain, Tafsir Al-Shabûni, dan Tafsir Fî Zhilâl
al-Qur’ân. Tiap-tiap kitab Tafsir mempunyai ciri khas masing-masing. Ciri yang
sangat menonjol pada tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân adalah kuatnya gambaran artistik
yang menurut pendapat Sayyid Quthb, menjadi ciri khas utama uslub (ungkapan)
Alqur’ân.14 Dan penulis dalam skripsi ini mencoba untuk mengungkapkan sisi
pemikiran politik Islam yang yang terkandung di dalam Tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân
sebagaimana akan diuraikan pada bab-bab berikutnya.
14
Sayyid Quthb, Tafsir fî Zhilâl al-Qur’ân,jilid I (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 15.
BAB III
TEORI POLITIK ISLAM
A. Dasar-dasar Teori Politik Islam
Islam adalah agama universal, agama yang membawa misi rahmatan lil
âlamîn. Islam juga memberikan konsep kepada manusia mengenai persoalan yang
terkait
dengan
urusan
duniawi,
seperti,
bagaimana
mengatur
sistem
perekonomian, penegakan hukum, dan sebagainya, termasuk tentang konsep
politik.1 Salah satu bukti tercatat dalam sejarah, ketika Nabi hijrah ke kota
Madinah beliau mampu menyatukan masyarakat yang majemuk, terdiri dari
berbagai agama dan peradaban yang berbeda dalam satu tatanan masyarakat
madani. Dan perjanjian yang beliau deklarasikan dengan orang-orang Yahudi
adalah satu cermin terbentuknya „negara‟ yang berciri demokrasi. Perjanjian itu
mengandung
kebijaksanaan
politik
Nabi
untuk
menciptakan
kestabilan
bernegara.2
Politik yang dimaksud, sebagaimana ungkap Ramlan Surbakti dimaknai
sebagai upaya manusia meraih kesempurnaannya atau perjalanan menuju
kemaslahatan. Atau, dalam bahasa Aristoteles mengajarkan bagaimana bertindak
tepat dan hidup bahagia. Dengan pemahaman ini, politik bernilai luhur, sakral dan
tidak bertentangan dengan agama. Setiap manusia yang beragama niscaya
1
Amin Rais, Pengantar Buku Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin, dalam Utsman
Abdul Mu‟iz Ruslan, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin; Studi Analisis Evaliatif terhadap
Proses Pendidikan Politik “Ikhwan” untuk Para Anggota Khususnya, dan Seluruh Masyarakat
Mesir Umumnya, dari Tahun 1928 hingga 1954, (terj.), Salafuddin Abu Sayyid, Hawin Murtadho
(Solo: Era Intermedia: 2000), h. 2.
2
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan, dan kemodernan (Jakarta: Paramadina, 1992), h. 195.
17
18
berpolitik. Karena itu berpolitik merupakan sesuatu yang inheren dengan
kemanusiaan.3
Pemikiran politik di kalangan umat Islam, khususnya dalam sistem
pergantian kepala negara (khalîfah) mencuat pada saat Nabi saw wafat.
Munculnya pemikiran di bidang ini paling awal jika dibandingkan dengan
pemikiran dalam bidang teologi dan hukum. Sebab, kebutuhan akan adanya
seorang pemimpin untuk meneruskan misi yang dibangun Nabi sangat mendesak
dan tidak bisa ditunda. Sehingga tidak mengherankan kalau masyarakat Madinah
sibuk memikirkan penggantinya, dan penguburan Nabi menjadi soal kedua bagi
mereka.4 Dalam bab ini penulis ingin membaca dan mengkaji kembali konsep
politik dalam Islam yang diyakini sebagai ajaran hudan (petunjuk) dan
menaburkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia.
Pemikiran di bidang politik sebagai cikal bakal diskursus konsep politik
Islam baru muncul pada periode dinasti 'Abbasiyah.5 Karya-karya intelektual
muslim (Sunni) sebelumnya lebih terfokus pada persoalan fiqh, kalam, dan hadis.
Hal ini terjadi karena meskipun faktor yang menyebabkan munculnya kelompokkelompok atau aliran-aliran dalam Islam adalah persoalan politik, tetapi wacana
intelektual yang mengemuka lebih awal adalah masalah teologi yang kemudian
diikuti masalah hukum.
Sebenarnya pemikiran politik Islam sejak awal sampai dengan masa Ibn
Taimiyah merupakan produk teori yang lahir dari kelompok dalam tubuh umat
Islam, dan secara umum merupakan tanggapan pada suasana sejarah yang
3
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: Grafindo, 1992), h. 2.
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, (terj.) Ghufron A. Mas‟adi (Jakarta:
RajaGrafindo Persada: 1999), h. 81.
5
Ibid., h. 103.
4
19
spesifik. Dua dari kelompok tersebut adalah Khawârij dan Syi'ah, mereka
mengajukan pandangannya tentang ciri-ciri pemerintahan Islam pada awal sejarah
negara Islam dengan menghasilkan teori imâmah bagi Syi'ah yang bersifat mistis,
dan kecendrungan berpikir revolusioner bagi Khawârij. Kelompok yang ketiga
hadir adalah Sunni yang mengedepankan teori kekhilafahannya.6
Munawir Sjadzali berpendapat, terdapat dua ciri umum mengenai gagasan
politik dari para pemikir di atas. Pertama, pada pendapat mereka tampak jelas
adanya pengaruh alam pikiran Yunani, terutama pandangan Plato meskipun kadar
pengaruh itu tidak sama antara satu pemikir dengan pemikir yang lain. Kedua,
selain al-Farabi, mereka mendasarkan pemikirannya atas penerimaan terhadap
sistem kekuasaan yang ada pada zaman mereka masing-masing.7
Sedangkan, para pemikir politik Islam pada periode pembaharuan
(purifikasi) dapat dikategorikan dalam tiga varian besar, yaitu: pertama,
Kelompok Konservatif Ciri yang menonjol dari kelompok ini adalah adanya
aksioma ideologis yang dibangun berdasarkan ajaran Islam bahwa, Islam adalah
agama yang sempurna, lengkap, komprehensip, dan berlaku universal untuk
seluruh umat manusia di semua tempat dan waktu. Tokoh kelompok ini, Sayyid
Quthb, Hasan al-Bannâ, Hasan al-Turabî, dan Abul A'lâ al-Maududî. Kedua,
Kelompok Modernis. Kelompok ini mengajukan upaya reformasi dalam rangka
menemukan kembali rasionalisme, saintisme, dan progesivisme dalam Islam.
Tokoh kelompok ini, Jamaluddîn al-Afghanî dan Muhammad 'Abduh. Dan ketiga,
Kelompok Liberal. Kelompok ini pada intinya ingin melihat perubahan radikal-
6
Sjechul Hadi Permono, Islam dalam Lintasan Sejarah Perpolitikan; Teori dan Praktek
(Surabaya: Aulia, 2004), h. 196.
7
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: UI
Press, 1991), h. 19.
20
fundamental dalam pola berpikir umat Islam yang dianggap stagnan dengan
mengedepankan semangat dekonstruksi pemikiran Islam yang telah mapan. Tokoh
kelompok ini adalah 'Ali 'Abd al-Râziq dan Thahâ Husein.8
B. Hakekat dan Karakteristik Negara Islam
Masalah negara merupakan urusan duniawi yang bersifat umum, karena
itu ia termasuk wilayah ijtihad umat Islam. Mereka harus berusaha untuk
menjadikan al-Qur'ân sebagai sistem yang konkrit supaya dapat diterjemahkan
dalam pemerintahan sepanjang zaman.9
Dalam rangka menyusun teori politik mengenai konsep negara yang
ditekankan bukanlah struktur "negara Islam", melainkan substruktur dan
tujuannya. Struktur negara termasuk wilayah ijtihad kaum muslimin sehingga bisa
berubah. Sementara substruktur dan tujuannya tetap menyangkut prinsip-prinsip
bernegara secara Islami. Namun penting untuk dicatat, bahwa al-Qur'ân
mengandung nilai-nilai dan ajaran yang bersifat etis mengenai aktifitas sosialpolitik umat manusia. Ajaran ini mencakup prinsip-prinsip tentang keadilan,
persamaan, persaudaraan, musyawarah, dan lain-lain. Untuk itu, sepanjang negara
berpegang kepada prinsip-prinsip tersebut maka pembentukan "negara Islam"
dalam pengertian yang formal dan ideologis bukanlah kebutuhan yang urgen.10
Dalam dunia Islam, menurut Din Syamsuddin, secara umum ditemukan
tiga bentuk paradigma tentang hubungan agama dan negara.11 Paradigma pertama
memecahkan masalah dikotomi dengan mengajukan konsep bersatunya agama
8
Ibid., h. 25
Tijani Abd. Qadir Hamid, Pemikiran Politik dalam Al-Qur’ân, (terj.) Abdul Hayyie alKattani (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. vii.
10
Abdulaziz Sachedina, Beda tapi Setara; Pandangan Islam tentang Non-Islam, (terj.)
Satrio Wahono (Jakarta: Serambi, 2004), h. 70.
11
M. Din Syamsuddin, "Usaha Pencarian konsep Negara dalam sejarah Pemikiran Politik
Islam", ed. Abu Zahra dalam, Politik Demi Tuhan (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), h. 32.
9
21
dan negara. Paradigma kedua memandang agama dan negara berhubungan secara
simbiotik, yaitu berhubungan erat secara timbal balik dan saling memerlukan.
Paradigma ketiga bersifat sekuralistik. Paradigma ini menolak baik hubungan
integralistik maupun simbiotik antara agama dan negara. Dalam konteks Islam,
paradigma sekuralistik menolak pendasaran agama pada negara, atau paling tidak
menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu pada negara.12
Beberapa kalangan pemikir muslim berpendapat bahwa Islam tidak
meletakkan suatu pola baku tentang teori negara yang harus dijalankan umat.
Seorang pemikir muslim Prancis, Roger Garaudy, berpendapat bahwa Islam
sebagai agama tidak menentukan suatu sistem pemerintahan tertentu bagi kaum
muslim, karena logika tentang kesesuaian agama ini untuk sepanjang masa dan
tempat menuntut agar permasalahan yang selalu berubah secara evolusi
diserahkan kepada akal pikiran manusia menurut kepentingan umum yang telah
digariskan agama.13
Dari pandangannya dapat disimpulkan, masyarakat Islam bukanlah
masyarakat politik. Akan tetapi selalu ada peluang bagi masyarakat untuk
mewujudkan bentuk pemerintahan Islam yang sesuai dengan konteks budaya. Ia
sebenarnya tidak bermaksud mengatakan bahwa Islam tidak menganjurkan
pembentukan suatu negara. Sebaliknya, Islam memandang penting kekuasaan
politik. Tetapi hal ini tidak berarti pembentukan negara merupakan salah satu
ajaran dasar Islam. Dengan lain ungkapan, kekuasaan politik diperlukan umat
Islam, tetapi bukan karena tuntutan agama, melainkan tuntutan situasi sosial dan
politik itu sendiri.
12
Abu Zahra, Politik Demi Tuhan, h. 33.
Muhsin al-Mayli, Pergulatan Mencari Islam, Perjalanan Religious Roger Garaudy,
(terj.) Rifal Ka‟bah (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 216.
13
22
C. Teori Kekhalifahan dalam Islam
Secara histories kekhilafahan sebagai sistem politik baru muncul
sepeninggal nabi, seperti yang baru disinggung di atas. Naiknya Abu Bakar
sebagai khalifah rasul Allah (pengganti rasul sebagai pemimpin umat), maka
bermulalah sistem itu dalam sejarah Islam, sekalipun ada sekelompok umat yang
menolak pengangkatan Abu Bakar, yang kemudian menggumpal dalam kelompok
syi‟ah. Atas usul „Umar dalam perundingan di Tsaqifah Bani Sa‟idah, sementara
jenazah nabi masih belum lagi terkubur, Abu Bakar ditetapkan sebagai kepala
komunitas (negara) Muslim di Madinah.
Muhammad sebagai nabi dan rasul tidak dapat digantikan, tetapi sebagai
pemimpin umat harus ada penggantinya, sebab tanpa pemimpin formal komunitas
baru itu akan berantakan. Maka khalifah sebagai penerus kepemimpinan
Muhammad harus dibaca dalam konteks sejarah seperti ini. Dalam kaitan ini,
sekitar lima abad setelah nabi, muncullah teori al-Mawardi (w. 1058) yang
dimulai dengan kalimat: al-imama maudhu’atun likhilafat al-nubuwwa fi hirasa
al-din wa siyasa al-dunya (Kepemimpinan dilembagakan sebagai pengganti
(posisi) kenabian untuk menjaga agama dan mengatur dunia).14
Sebelum al-Mawardi, al-Baqillani (w. 1013) telah pula merumuskan teori
tentang masalah kepemimpinan pasca nabi ini, terutuma juga untuk menyangkal
klaim syi‟i, untuk kekhalifahan yang hanya berdasarkan akhbar al-ahad (otoritasotoritas yang meragukan), bukan khabar mutawatir (informasi yang otoritatif).
Karena dari sisi nashsh (dalil agama) lemah, maka teori syi‟i menurut al-Baqillani
harus ditolak. Yuris ini menggunakan ungkapan: “Jika penetapan/penunjukkan
14
Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif; Ceramah-ceramah di Kampus (Bandung: Mizan,
2004), h. 245.
23
tidak sah, maka pemilihan menjadi sah” (izda fasada alnashsh shahha alikhtiyar).15 Artinya pemilihan Abu Bakar di Tsaqifah adalah sah menurut syari‟at,
klaim di luar itu harus ditolak.
Polemik sunni-syi‟i mengenai sistem kekuasaan telah menghabiskan
energi umat selama berabad-abad, dan belum ada penyelesaian, karena masingmasing pihak membangun teori mereka berdasarkan kepentingan politik
kekuasaan. Pembenaran al-Qur‟ân terhadap pendirian mereka sebenarnya adalah
uapaya penelikungan Kitab Suci ini untuk urusan duniawi. Karena al-Qur‟ân tidak
tegas-tegas memberi panduan untuk sistem politik, dan memang tidak perlu
mengingat perubahan zaman, tetapi setidak-tidaknya prinsip syura dan doktrin
“yang termulia di antara kamu di sisi Allah adalah kamu yang paling bertaqwa,” 16
Berdasarkan apa yang secara ringkas penulis sampaikan di atas, menurut
penulis, tentang teori kekhilafahan dan yang terkait dengan itu, bagi umat yang
datang kemudian terbuka pintu yang sangat lebar untuk berijtihad dalam semua
lapangan, termasuk dalam teori politik. Karena al-Qur‟ân telah memberikan
prinsip syura dan posisi setara bagi manusia di depan Tuhan dan sejarah, maka
bukanlah sebuah dosa untuk mengembangkan sistem demokrasi yang dikawal
oleh wahyu dan nilai-nilai kenabian.
D. Hakekat Demokrasi dalam Islam
Mayoritas penduduk Timur Tengah adalah beragama Islam. Oleh karena
itu, penting untuk dibahas keterkaitan antara demokrasi dan Islam. Menurut
Esposito, dalam hubungan demokrasi dan Islam, terdapat tiga aliran.
15
16
Ibid., h. 244.
Al-Qur‟ân s. al-Hujurat: 13.
24
1. Aliran pemikiran yang berpendapat, bahwa Islam di dalam dirinya demokratis
tidak hanya prinsip Shura (musyawarah), tapi juga karena konsep-konsep:
ijtihad (independent reasoning) dan ijma’ (consensus/permufakatan).17
2. Aliran pemikiran yang menolak gagasan Islam dan demokrasi. Shaykh
Fadlallah Nuri mengemukakan satu kunci gagasan demokrasi, persamaan
semua warganegara adalah “imposible” dalam Islam.18. Sayyid Qutb
menekankan bahwa sebuah negara Islam harus berlandaskan pada prinsip
musyawarah sebagaimana tercantum dalam al Qur‟ân. Ia percaya syariat
sudah sangat lengkap sebagai suatu sistem moral dan hukum, sehingga tidak
diperlukan legislasi lain. Sedang Shaykh Muhammad Mutawwali al-Sha‟rawi
mengatakan Islam tidak bisa dipadukan dengan demokrasi. Sementara Ali
Benhajd menegaskan bahwa konsep demokrasi harus digantikan dengan
prinsip-prinsip pemerintahan yang Islami. Para teoritisi politik Barat saja
sudah mulai memandang demokrasi sebagai ”sebuah sistem yang cacat” (a
flawed system).19
3. Aliran ketiga ini menyetujui prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam, tapi lain
pihak mengakui perbedaan diantara keduanya. Menurut Maududi, dalam
demokrasi sekuler Barat, pemerintahan dibentuk dan diubah dengan
pelaksanaan pemilihan umum.
17
Hamid Enayat, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah: Pemikiran Politik Islam Modern
Menghadapi Abad Ke-20 (Bandung: Pustaka, 1988), h. 201.
18
John Esposito, Ancaman Islam: Mitos atau Realitas? Menggugat Tesis Huntington, h.
436
19
Ibid.
BAB IV
KONSEP POLITIK ISLAM
DALAM TAFSIR FÎ ZHILÂL AL-QUR’ÂN
Inti konsep pemikiran Sayyid Quthb tentang politik yang dapat
disimpulkan dari kitab Tafsir Fi Zhilal al-Qur‟an, menurut A. Ilyas Ismail berupa
gagasan tentang hakimiyyah, jahiliyyah dan tajhil, perjuangan Islam atau perang
suci (jihad), serta revolusi Islam (tsaurat al-Islamiyyah)1 yang dijabarkan dalam
metode konsep politik dalam al-Qur‟ân mengenai kehidupan, kedaulatan Tuhan,
tujuan negara, prinsip-prinsip pemerintahan, konsep kewarganegaraan, dan
prinsip-prinsip kebijaksanaan negara.
A. Konsep al-Qur’ân Mengenai Kehidupan
Sayyid Quthb dalam tafsir Fî Zhilâl al-Qur‟ân mengatakan bahwa
kehidupan umat Islam dewasa ini tidak akan sejahtera ketika tidak mengikuti jejak
para pendahulu mereka.2 Pendapat tersebut bias dilihat Sebagaimana ketika ia
menafsirkan al-Qur'ân surat Âli Imrân ayat 103,

 
               
   
  
      
    
    
        
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah
kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu
(masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu
menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah
1
A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthb; Rekonstruksi Pemikiran Dakwah
Harakah, (Jakarta: Penamadani, 2006), h. 68-69.
2
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilal Al-Qur'an; Di bawah Naungan Al-Qur'an, (terj.) As‟ad
Yasin dkk (Jakarta: Gema Insani Press, 2008) Jilid. 2, h. 53.
25
26
berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”
Menurut Sayyid Quthb, kehidupan adalah ciptaan Allah, ditentukan oleh
takdir-Nya. Ia bukan tuhan, bukan kekuatan yang muncul dalam dirinya, tidak
tumbuh dan ditumbuhkan oleh kemauannya sendiri, tidak terikat oleh kekuatan
lain. Ia juga bukan sesuatu yang ada secara kebetulan atau tiba-tiba, ia tidak
bergerak secara sporadik tak tentu arah. Alam juga bukan pencipta, tetapi ia
diciptakan dan dijadikan oleh Allah seiring dengan kemunculan kehidupan. Allah
telah menyiapkan bumi untuk jenis kehidupan yang tumbuh di dalamnya. Dan
untuk pengelolaan itu Allah telah menurunkan al-Qur‟ân sebagai sumber dari
segala sumber hukum umat manusia yang menuntunnya pada kesejahteraan hidup
di dunia dan di akhirat.3
Kenyataannya, umat banyak yang tidak lagi berpegang kepada sumber itu,
kecuali hanya slogan. Padahal, di dalam Al-Qur'ân terdapat petunjuk-petunjuk
bagaimana terbentuknya suatu masyarakat ideal dan praktik Nabi Muhammad
saw. dengan masyarakat Qur'âni itu nyata sebagai realitas sosial dan berkelanjutan
pada masa-masa berikutnya. Hal itu sejalan dengan pemikiran sebagaimana yang
disampaikan oleh Ibnu Taimiyah4 bahwa Allah memberikan petunjuk bagi
tercapainya masyarakat Qur'âni. Hal tersebut sebagaimana firman Allah dalam
surah An-Nûr/24: 55 berikut:


   
    
       
               
  
3
Ibid, h. 357 – 359.
M. Amin Rais, “Kata Pengantar,” dalam John J. Donohue dan John L. Esposito, Islam
dan Pembaharuan Ensiklopedi Masalah-masalah (Jakarta: Rajawali Pers, 1995), h. x.
4
27
        
      
   
    
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum
mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah
diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka,
sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku
dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap)
kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.”
Sayyid Quthb mengomentari ayat di atas bahwa itu janji Allah kepada
Rasulullah saw. yang akan menjadikan umatnya sebagai penguasa-penguasa di
muka bumi. Sehingga, negara-negara menjadi makmur dan rakyat menjadi patuh.
Dan, janji itu terjelma sebelum Nabi Muhammad saw. wafat, yaitu bermula dari
penaklukan Mekah, Bahrain, dan seluruh Jazirah Arab dan Yaman.5
Pendapat politik Sayyid Quthb di atas, sejalan dengan pendapat Ibnu
Taimiyah yang berkomentar atas ayat itu bahwa kebaikan penguasa bergantung
kepada kesungguhannya mengikuti al-Qur'ân dan sunnah Rasul-Nya serta
mengajak rakyatnya untuk mengikutinya. Dan, Allah menjadikan kebaikan
penguasa itu pada empat hal: (1) mendirikan shalat; (2) menunaikan zakat; (3)
amar ma'ruf; (4) nahi mungkar. Sang pengusa mengajak mendirikan shalat
berjamaah bersama para pembantunya dan menyuruh rakyatnya mendirikan shalat
serta menghukum mereka yang teledor melaksanakannya sesuai dengan hukum
Allah. Dengan tegaknya ketentuan al-Qur'ân itu, akan dicapai masyarakat Qur'âni
yang
dapat
5
menegakkan
hablum
min
Allah
(hubungan
vertikal)
dan
Sayyid Quthb, Beberapa Studi Tentang Islam, (terj.) A. Rachman Zainuddin (Jakarta:
Media Dakwah, 1982), h. 9.
28
hablunminanas
(hubungan
horizontal)
yang
berarti
memadukan
dua
kemaslahatan.6
Masyarakat Qur'âni itu akan tampak pada ketertundukan mereka terhadap
supremasi hukum al-Qur'ân. Dan, al-Qur'ân meletakkan prinsip-prinsip dasar
dalam mengatur dan mengendalikan masyarakat muslim. Prinsip-prinsip tersebut
adalah justice (keadilan), deliberation (syura), equality (persamaan), dan freedom
(kebebasan). Orientasi politik Islam menurut al-Qur'ân menekankan pada tauhîd,
syarî‟ah, dan program ketakwaan.
Menurut sayyid Quthb, Allah SWT tidak hanya menurunkan ajaran dan
doktrin bagi umat manusia, tetapi juga menurunkan nabi-Nya untuk memberi
contoh dan memimbing umat manusia menuju kepada keadilan Islam dunia.
Kalau kita perhatikan, proses yang dilakukan Nabi saw. dalam membentuk
masyarakat Qur'âni, yang sebelumnya terkenal dengan masyarakat jahili, ada lima
jalan yang ditempuhnya.7
Pertama, Nabi saw. membangun aqidah umat selama berada di Mekah
untuk mempersiapkan diri menerima tanggung jawab mengemban tugas risalah
dan khalifah. Proses ini dilakukan paling lama sekitar 23 tahun. Setelah matang,
Nabi saw. mengutus mereka untuk menyebarkan misi dakwah, seperti Mush'ab
bin Umair dikirim ke Madinah dan sebagian dikirim ke Ethiopia. Ketika dakwah
sudah menampakkan hasilnya dan tidak ada satu rumah pun di Madinah
melainkan sudah ada orang yang masuk Islam, maka keadan ini sangat tepat bagi
umat Islam di Mekah (yang selalu ditindas kaum jahiliyah) untuk berhijrah
meninggalkan tempat asalnya.
6
Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), h. 89.
Sayyid Quthb, Ma‟alim fi al-Thariq (al-Salamiyah, Kuwait: al-Ittihad al-Islami al„Alami, 1368 H), h. 11-19.
7
29
Kedua, Nabi saw. memerintahkan kepada seluruh sahabat agar berhijrah
ke Madinah. Dan, yang menarik adalah bahwa sesampai di Madinah, pertama
yang dilakukan Nabi saw. untuk pembinaan umat adalah membangun masjid
Nabawi sebagai sentral kegiatan dan aktivitas umat Islam. Penempaan kaderisasi
terus berlanjut di masjid tersebut.
Ketiga, Nabi saw. mempersaudarakan antarumat Islam. Mereka yang
berasal dari Mekah disebut Muhajirin, sementara yang berasal dari Madinah
disebut Anshar. Hal itu dilakukan untuk merekatkan umat Islam sehinga tidak
mudah diadu domba.
Keempat, Nabi saw. membuat "Piagam Madinah" untuk mengatur
hubungan dengan masyarakat Etnis lain, yaitu ahlul kitab dari bangsa Yahudi,
sekaligus upaya pembentengan bagi masyarakat muslim.
Kelima, Nabi saw. melakukan ekspedisi perang bagi siapa saja yang ingin
memaksakan kehendaknya untuk merusak tatanan masyarakat muslim. Maka,
beliau tampil sebagai penglima perang. Dengan demikian, terbentuklah masyarkat
muslim Madinah yang mengejawantahkan Allah pada ayat di atas.
Ajaran al-Qur'ân selalu berpijak kepada umat manusia, artinya bahwa AlQur'ân selalu memperhatikan maslahat dan kepentingan umat manusia, karena itu
para ulama sepakat bahwa apabila konsep al-Qur'ân ditetapkan dalam suatu
masyarakat tertentu akan mendapatkan paling tidak lima hal pokok:
1. Terjaga agamanya
2. Terjaga jiwanya
3. Terjaga hartanya
4. Terjaga akalnya
30
5. Terjaga kehormatannya.8
Demikian uraian singkat tentang cita-cita Islam dalam membentuk
masyarakat Qur'âni sebagaimana yang dijelaskan oleh Sayyid Quthb dalam kitab
tafsirnya. Kesimpulan penulis, sebenarnya apa yang dicita-citakan oleh Sayyid
Quthb sama dengan para pemikir Islam lainnya, yaitu mendambakan suatu tatanan
masyarakat yang berlandaskan hukum al-Qur‟ân dan Sunnah Rasul, demi
membentuk manusia yang lebih makmur dan berperadaban dan kita tidak perlu
terlibat analisa dikotomis ala Barat yang menempatkan umat Islam pada kondisi
pemahaman yang formalistik, substanstivistik, dan fundamentalis.
B. Kedaulatan Tuhan
Kata daulat dalam bahasa Indoensia berasal dari bahasa Arab yaitu
daulah (‫)الدولة‬. Dalam bahasa Indonesia, daulat berarti kekuasaan. Kedaulatan
pula mempunyai arti kekuasaan tertinggi atas pemerintahan negara atau daerah.
Seperti contoh "Kedaulatan negara itu telah lama diakui oleh dunia
internasional".9 Dalam bahasa Arab, kata daulah berarti kekuasaan seorang imam
(presiden) atau khalifah pada wilayah kekuasaan, kewajiban-kewajiban (kebijakan
yang menjadi kewajibannya), dan hak-haknya.10
Sebuah bangsa tanpa berdaulat berarti bangsa tersebut tidak memiliki
kuasaan untuk menentukan nasib mereka, malah bisa ditindas dan dipaksa untuk
melakukan sebuah kebijakan atau sebuah keputusan. Kepimpinan tanpa berdaulat
berarti seorang pemimpin yang tidak memiliki kekuasaan atas sesuatu yang
8
Tijani Abdul Qadir Hamid, Pemikiran Politik dalam al-Qur‟an, (terj.) Abdul Hayyie alKattani (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 133
9
Departement Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 2001), h. 240.
10
A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub; Rekonstruksi Pemikiran Dakwah
Harakah, (Jakarta: Penamadani), h. 158.
31
dipimpin. Ini dapat diibaratkan seperti kepimpinan yang hanya sebuah patung
puppet.11
Teori kedaulatan selanjutnya dibagi menjadi beberapa jenis. Teori yang
paling dominan adalah kedaulatan Tuhan dan kedaulatan rakyat.
Seperti yang telah diterangkan di atas, kata kedaulatan berarti kekuasaan
tertinggi. Apabila kata daulat itu disandarkan pada kata Tuhan, maka ia
mempunyai arti kekuasaan tertinggi adalah Tuhan.12 Pemerintahan yang
berdaulatkan Tuhan adalah sebuah pemerintahan yang meletakan pucuk
kekuasaannya pada Tuhan.
Teori kedaulatan Tuhan adalah sebuah teori yang dikemukakan tokoh
penganut-penganut teori teokrasi.13 Sebagian dari mereka adalah Augustinus (354430 M) dan Thomas Aquinas (1225-1274 M). Pendapat mereka sebenarnya sama.
Tuhan ditetapkan sebagai pemilik kekuasaan yang tertinggi. 14 Akan tetapi
persoalan yang diperdebatkan adalah siapa di dunia ini yang mewakili Tuhan,
Raja ataukah Paus?15
Agustinus adalah orang yang paling awal memberi gagasan ini. Beliau
berpendapat bahwa Paus adalah orang yang mewakili Tuhan di dunia, atau bisa
dimaksud dengan di suatu negara. Pemikiran beliau ini tertulis di dalam sebuah
karya tulisnya yang berjudul City of God (Kerajaan Tuhan).16
11
Puppet: Patung yang digerakkan oleh orang lain yang berkuasa. Ibid., h. 263
Ibid.
13
Teokratik berasal dari bahasa Inggris; theocracy. Maksudnya adalah sebuah
pemerintahan yang dipimpin oleh pemimpin yang relegius.
14
Muhsin al-Mayli, Pergulatin Mencari Islam; Perjalanan Religius Roger Garaudy,
(Rifyal Ka‟bah) (Jakarta: Paramadina, 1996), h.125
15
Paus adalah seorang pemimpin umat Katolik Roma di dunia. Seorang Paus dianggap
sebagai ketua agama yang mendapat wahyu dari Tuhan untuk mengatur urusan agama maupun
kadang-kala urusan pemerintahan.
16
Muhsin al-Mayli, Pergulatin Mencari Islam, h. 141.
12
32
Thomas Aquinas berpendapat bahwa kekuasaan raja dan Paus itu sama,
hanya saja perbedaannya berada ditugasnya yaitu raja di lapangan keduniawian,
sedangkan Paus di lapangan keagamaan. Perkembangan selanjutnya adalah teori
yang dibawa oleh Marsilius. Marsilius mengajarkan teori baru yaitu kekuasaan
tidak dimiliki seorang Paus, akan tetapi dimiliki negara atau raja. Menurut ajaran
Marsilius, raja adalah wakil daripada Tuhan untuk melaksanakan kedaulatan atau
memegang kedaulatan di dunia ini.17
Sejarah munculnya teori ini adalah sebuah dampak dari teori kedaulatan
raja dan kedaulatan negara, karena pada zaman sedang maraknya kedaulatan raja
dan negara, banyak dari kalangan raja-raja yang melakukan penindasan pada
rakyat kecil. Dengan munculnya teori kedaulatan rakyat, maka raja atau pemimpin
tidak dapat lagi sewenang-wenangnya menindas rakyat kecil.
Sekarang teori kedaulatan rakyat lebih dikenal dengan demokrasi.18 Akan
tetapi, perlu diketahui bahwa kedaulatan rakyat bukan berarti demokrasi, hanya
saja demokrasi seharusnya memiliki kedaulatan rakyat, karena demokrasi adalah
sejenis sistem pemerintahan yang mengandung kedua kedaulatan, yaitu
kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum.
Menurut Sayyid Quthb, dalam sudut pandang Islam, kedaulatan di tangan
Allah SWT. Allah sajalah yang berhak menetapkan hukum bukan manusia.
Perintah dan larangan Allah merupakan hukum yang mutlak ditaati dan diemban
manusia. Dengan demikian, menurut Sayyid Quthb dalam tafsirnya, demokrasi
17
Ibid.
Demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan yang diperintah rakyat. Demokrasi
biasanya dianggap sebagai lawannya monarki yang mana pemerintahannya diperintah oleh raja
absolut. Kebanyakan ahli filosofis politik sekarang percaya bahwa demokrasi adalah sistem yang
paling baik, karena dapat membela rakyat kecil. Lihat: Anders Uhlin, Oposisi Berserak; Arus
Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, (terj.) Rofik Suhud (Bandung: Mizan,
1998), h. 13
18
33
bertentangan dengan Islam, bahkan pertentangan ini bersifat mendasar dan
memasuki bidang akidah apabila meyakini manusia sebagai sumber dan pembuat
hukum bukan Allah.19 Sebab Allah berfirman dalam QS. al-An‟am/6: 57):
          
       
       
     
  
“Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (al-Qur‟ân)
dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab) yang kamu
minta supaya disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.
Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.”
dan QS. al-Maidah/5: 44 berikut:
      
         
  
           
       
        
 
    
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada)
petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orangorang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim
mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara
Kitab-Kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. karena itu janganlah kamu
takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayatayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa
yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. “
Islam mengakui rakyat sebagai sumber kekuasaan. Sebab rakyatlah
seharusnya yang mengangkat seorang penguasa melalui bai‟at. Sedangkan dalam
memilih penguasa caranya (uslub) beragam, bisa digunakan teknik pemilu atau
dengan cara lain yang disepakati. Tujuan rakyat memilih dan mengangkat seorang
19
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilal Al-Qur'an, Jilid. 2, h. 73.
34
penguasa agar ada seorang pemimpin yang mengemban amanah mengatur urusan
umat dengan syariat Islam.
Pendapat Sayyid Quthb tersebut sejalan dengan pernyataan Muhammad alGhazali yang menyatakan bahwa aktivitas politik merupakan aktivitas yang
ditujukan untuk mengatur urusan umat baik dilakukan oleh penguasa negara
maupun oleh warga negara. Terwujudnya keshalehan politik apabila penguasa
menjadikan kekuasaan yang dimilikinya tunduk kepada hukum Allah.
Kekuasaannya semata-mata sarana untuk beribadah kepada Allah dengan
menjadikan akidah Islam sebagai dasar negara dan syariat Islam sebagai hukum
dan sistem negara. Dengan syariat Islamlah ia mengatur urusan umat bukan
dengan sistem yang lain seperti sistem demokrasi.20
Bagi Sayyid Quthb, perjuangan politik dari sebuah partai politik ideolgis
dilakukan dengan mengikuti ṭarîqah (metode) perjuangan politik rasul. Yakni
dengan membongkar dan membeberkan kerusakan sistem yang ada, menunjukkan
pertentangannya dengan akidah dan syariat Islam kepada umat. Bersama partai
politik ideologis, ia berusaha mengubah pandangan dan pemahaman umat tentang
politik menjadi pandangan dan pemahaman yang Islami agar umat sadar dan
bergerak untuk mengubah sistem yang rusak dan menggantinya dengan sistem
yang Islami. Melalui partai politik ideologis ia melakukan perekrutan dan
pembinaan agar umat memiliki kesadaran politik. Dengan cara inilah ia tidak
hanya mewujudkan kesalehan politik bagi dirinya tetapi juga bagi umat.21
20
Yusuf Qardhawy, Syaikh Muhammad al-Ghazali yang Saya Kenal; Setengah Abad
Perjalanan Pemikiran dan Gerakan Islam, (terj.) Surya Darma (Jakarta: Rabbani Press, 1997), h.
290.
21
Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur'an, Jilid. 2, h. 54.
35
Keterangan di atas memberikan informasi bahwa menurut Sayyid Quthb,
terminologi hukum dalam al-Qur‟ân pada hakekatnya berisi konsep politik tentang
kedaulatan tuhan. Setidak-tidaknya merupakan salah satu sistem politik yang
khusus karena berbasis hukum din (agama). Dengan kata lain, negara yang
dikehendaki oleh Islam adalah negara hukum. Dalam negara tersebut berlaku
hukum-hukum Allah dan hukum yang di buat oleh Ulil amri sesuai dengan
petunjuk-petunjuk al-Qur‟ân.
C. Tujuan Negara
Kata negara secara bahasa memiliki arti suatu masyarakat yang menduduki
kawasan tertentu dan diperintah oleh sebuah kerajaan. Ia juga dapat diartikan
dengan kawasan yang di bawah kekuasaan kerajaan tertentu, seperti contoh
'Negara China' dan lain-lain.22 Selain dari itu, negara dapat menjadi terjemahan
dari kata-kata asing, yakni state yang diambil dari bahasa Latin yaitu status atau
statum. Kedua kata ini lazim diartikan dengan standing atau station. Isitilah ini
dihubungkan dengan kedudukan persekutuan manusia, yang juga sama dengan
istilah status civitatis atau status republicae.23 Negara secara terminologi, menurut
Kranenburg sebagaimana dikutip oleh Soehino, negara adalah suatu organisasi
kekuasaan yang diciptakan oleh sekelompok manusia yang disebut bangsa. Jadi,
terlebih dahulu harus ada sekelompok manusia yang mempunyai kesadaran untuk
mendirikan suatu organisasi, dengan tujuan untuk memelihara kepentingan dari
22
Dewan Bahasa dan Pustaka, Kamus Dewan Edisi Keempat (Ampang: Dawama, 2005),
h. 1074.
23
Dede Rosyada, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi
Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003), h. 41
36
kelompok
itu.24
Kesimpulannya
negara
ditubuhkan
oleh
bangsa-bangsa
(kelompok manusia) sebagai primier negara, sedangkan negara adalah sekunder.25
Dede Rosyada menjelaskan bahwa sebagian besar dari tujuan negara
adalah sebagai berikut:
1. Bertujuan untuk memperluas kekuasaan semata-mata sama ada dari segi
daerah jajahan, maupun pengaruh atau ekonomi, seperti Pemerintahan Nazi
German atau Amerika Syarikat
2. Bertujuan menyelenggarakan ketertiban hukum, seperti pemerintahan yang
menganut pada sistem demokrasi dan kedaulatan hukum;
3. Bertujuan untuk mencapai kesejahteraan umum, seperti pemerintahan Uni
Soviet, Kuba, China maupun pemerintahan sosialis lainnya, dan seperti
Indonesia.26
Bagi Islam, tujuan sebuah negara adalah menuju kepada kemaslahatan dan
kesejahteraan sosial dengan jalan syari'at Islam sebagai pedoman menuju pada
kemaslahatan.27 Konsep ini hampir sama dengan sistem teokrasi yang dipelopori
Thomas Aquinas dan Agustinus. Menurut sistem ini, tujuan negara adalah untuk
mencapai penghidupan dan kehidupan aman dan tentram dengan taat kepada dan
di bawah pimpinan Tuhan. Sedangkan pemimpin menjalankan kekuasaannya
hanya berdasarkan kekuasaan Tuhan yang diberikan kepadanya.28
Menurut Sayyid Quthb dalam tafsir Fî Zhilâl al-Qur‟ân, ketika Tuhan
mengatakan kepada Daud ketika dilantik menjadi pemegang kekuasaan dalam
24
Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty, 2000), h. 142.
Ibid., h. 142-143.
26
Dede Rosyada, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education), h. 43.
27
Majlis Musyawarah PP. al-Falah, Hasil Keputusan Bahtsul Masa-il Kubro 06 (Kediri:
MMPA, 2006), h. 12.
28
Dede Rosyada, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education), h. 44.
25
37
negara supaya berlaku adil dalam memberikan hukum kepada manusia, dan
jangan memperturutkan kehendak hawa nafsu (QS. Shaad/38: 26).29
           
  
               
    
“Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka
bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat,
karena mereka melupakan hari perhitungan.”
Hukum Qur‟ân mengajarkan bahwa kekuasaan yang ada dalam tangan
pemegang kekuatan negara tidak boleh dijalankan sesuka hati. Hukum Qur‟ân
bertentangan dengan ajaran Friederich Engels yang mengatakan bahwa negara itu
dikuasai oleh pertumbuhannya dialektika yang materialistis.30 Pertentanganpertentangan antar golongan masyarakat itu yang akan menentukan ke arah mana
akan menuju. Negara tidak usah diberi tujuan dan biarkan saja mengalir sesuai
dengan pertumbuhannya.
Hukum Qur‟ân juga menolak teori dan ajaran Dante yang mengatakan
bahwa tujuan hidup manusia adalah supaya tercapainya kehidupan rohani yang
suci menurut kehendak Tuhan. Hal ini tidak akan tercapai, apabila di atas dunia
ini berdiri berbagai negara. Untuk mencapai tujuan di atas maka negara-negara
yang ada harus dilebur menjadi satu imperium dunia yang diperintah oleh seorang
kaisar.31
29
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilal al-Qur‟an, jilid. 7, h. 93.
Fransisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi; Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan
(Jakarta: Kanisius, 2008), h. 36.
31
I.R. Poedjawijatna, Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, h. 129.
30
38
Menurut Sayyid Quthb, jika semua negara berpegangan pada ajaran
Friederich Engels dan Dante ini maka masing-masing negara akan berusaha
memberikan satu imperium dunia. Masing-masing negara itu akan merasa bahwa
merekalah yang mempunyai kewajiban dan hak untuk membentuk imperium
tersebut. Hukum Qur‟ân tidak saja memerintahkan supaya rohani umat manusia
itu menjadi luhur, tetapi memerintahkan pula supaya kehidupan lain menjadi
sempurna sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur'ân surat Al-Baqarah/2: 212,
                 
          
“Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan
mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa
itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat. dan Allah memberi rezki kepada orangorang yang dikehendaki-Nya tanpa batas.”
Montesquieu dan Kant mengajarkan bahwa tujuan negara adalah untuk
memberikan kebebasan dan kepastian hukum kepada rakyat. Apabila undangundang negara sudah dibuat oleh badan legislatif, dan telah dijalankan oleh
pemerintah (eksekutif), dan apabila ada orang yang melanggar maka pelanggar itu
akan dihukum oleh badan kehakiman (judikatif) maka sudah tercapailah tujuan
dari negara itu. Tetapi pada masa fungsi negara sudah semakin luas dan besar
seperti yang terjadi pada saat sekarang teori tersebut sudah tidak dapat dipakai
lagi karena beraneka ragam perkembagan dalam bidang apapun seperti teknologi,
ekonomi dan lain-lain yang pada ahirnya akan memberikan keanekaragaman
tujuan dari negera tersebut.32
Menurut Sayyid Quthb, al-Qur‟ân sebagai hukum abadi dan berlaku di
semua tempat dan zaman dengan satu kalimat dalam surat al-Nisâ/4:53 bisa
32
Fransisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi, h. 47.
39
dipahami bahwa tujuan kekuasaan dalam negara itu adalah untuk melaksanakan
kebajikan, yaitu:
             
“Ataukah ada bagi mereka bahagian dari kerajaan (kekuasaan) ? Kendatipun ada,
mereka tidak akan memberikan sedikitpun (kebajikan) kepada manusia.”
Maka dalam pembahasan tujuan negara menurut al-Qur‟ân, menurut
penafsiran Sayyid Quthb, memberikan keterangan bahwa dalam hal apapun
negara tidak boleh melepaskan begitu saja dan harus ada campur tangan dari
Negara demi menjaga dan menjamin ketentraman dan kesejahteraan seluruh
warga Negara di seluruh alam semesta ini.
D. Prinsip-prinsip Pemerintahan
Sistem pemerintahan dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu monarki,
demokrasi dan teokrasi.33 Pada dasarnya, Islam sendiri tidak menentukan sistem
manakah yang dianut, akan tetapi, Islam secara tegas menuntut sebuah negara
untuk memberikan yang terbaik bagi rakyat. Ini sesuai dengan kaedah fiqh "
‫"تصرف اإلمام على الرعية منوط بالمصلحة‬.34 Jadi, bagi sebuah negara, untuk mencapai
kemaslahatan yang terbaik baginya adalah monarki, maka sistem itulah yang
dianut. Jika yang terbaik adalah demokrasi, maka demokrasilah yang dianut.
Dalam Islam arti ulil amri atau pemerintah itu banyak tafsirannya. Di
antaranya:
1. Ulil amri diartikan dengan para ulama yang amilin, ulama yang
kewibawaannya dihormati orang banyak.
2. Ulil amri yang diartikan dengan ahlul halli wal 'aqdi.
33
Dede Rosyada, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education), h. 58.
Komunitas Kajian Ilmiyah Lirboyo 2005, Formulasi Nalar Fiqh (Kediri: Purna Siswa
III Aliyah, 2005), h. 75-87.
34
40
3. Ulil amri yang diartikan dengan orang-orang yang berkuasa di dalam sebuah
negeri atau sebuah negara.
4. Ulil amri yang dimaksudkan dengan pemimpin-pemimpin jemaah Islam, dan
lain-lain.35
Di dalam pembahasan ini, pembahasan ulil amri yang penulis maksudkan
ialah ulil amri yang diartikan dengan pemerintah yang berkuasa di dalam sebuah
negeri atau negara. Pemerintah atau orang yang berkuasa dan mengelola sebuah
negara disebut ulil amri. Arti ulil amri ialah yang mempunyai perintah. Tetapi kita
selalu
menyebutnya
pemerintah.
Pemerintah
diistilahkan
sebagai
yang
mempunyai perintah (ulul amri) karena mereka mempunyai kuasa untuk perintah
(suruh) rakyatnya baik untuk berbuat atau meninggalkan suatu perkara. Mereka
juga memiliki sulton (kekuasaan dan kekuatan) baik berbentuk maknawiyah atau
lahiriah.
Kekuasaan dan kekuatan maknawiyah itu seperti undang-undang,
peraturan dan akta. Sedangkan sulton lahiriah ialah polisi, tentara, hakim, pegawai
pemerintahan dan sebagainya. Dengan kekuasaan dan kekuatan tersebut, ulil amri
akan dapat dan mampu memaksa rakyat agar patuh dan dapat menghukum rakyat
yang ingkar terhadap perintah mereka.
Pemerintah dalam Islam disebut juga khalifah. Yakni khalifah Allah.
Artinya, pengganti Allah atau wakil Allah di bumi. Mereka bertanggung jawab
terhadap rakyat untuk menjalankan kerja-kerja yang Allah perintahkan. Yakni
berkhidmat kepada rakyat, memimpin, mendidik, mengajar, mengelola, mengurus,
menyelesaikan masalah rakyat, membangun kemajuan negara dan masyarakat.
35
Sjechul Hadi Permono, Islam dalam Lintas Sejarah dan Perpolitikan: Teori dan
Praktek (Surabaya: Aulia, 2004), h. 38.
41
Allah menginginkan semua hamba-hambaNya dipimpin dan diurus dengan baik
agar semuanya mendapat pelayanan dan hak-hak yang sepatutnya mereka dapat
dari Allah SWT di dunia ini. Untuk itu, segala harta benda dan khazanah
perbendaharaan negara diserahkan ke dalam tangan mereka. Supaya dibagikan
dengan adil dan disediakan segala keperluan rakyat dan negara. Hingga negara
berada dalam keadaan aman, makmur dan mendapat keampunan Allah.36
Karena pemerintah adalah pengganti Allah dalam menjalankan keadilan di
kalangan manusia, maka Allah SWT telah memerintahkan hamba-hambaNya agar
taat pada pemerintah sesudah ketaatan pada Allah dan Rasul. Inilah firmanNya:
    
            
               
  
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur‟ân) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benarbenar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya. (QS. Al-Nisa'/4: 59).”
Menurut Sayyid Quthb, ketaatan kepada ulil amri yang adil, yang benarbenar mewakili atau mengganti Allah mengurus bumi, adalah penting supaya
hukum-hukum Allah yang hendak dijalankan dalam negara dapat berjalan dengan
baik. Dan kehidupan hamba-hambaNya dapat diurus dengan baik. Terhadap
rakyat yang memiliki watak keras kepala dan melawan perintah, pemerintah
dibenarkan menghukum mereka untuk mengkawal kebaikan dalam masyarakat.
Dengan syarat kesalahan itu betul-betul kesalahan yang diiktiraf oleh syariat.
Pemerintah tidak boleh membuat hukum dan undang-undang sendiri dengan tidak
36
Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam, (terj.) M. Rasjidi (Jakarta: Bulan Bintang,
1980), h. 174.
42
menghiraukan undang-undang dan hukum Allah. Jika didapati pemerintah tidak
menghiraukan hukum Allah, maka akan jatuh kepada hukum baik fasiq, zalim
atau kafir.37 FirmanNya:
      
         
  
           
       
        
          
  
   
     
       
             
 
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada)
petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orangorang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim
mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara
Kitab-Kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. karena itu janganlah kamu
takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayatayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa
yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. Dan Kami telah
tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan
jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi,
dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka
melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang
zalim. (QS. Al-Maidah/5: 44-45).”
Kalau pemerintah sudah tidak taat dengan Allah, maka dalam keadaan itu
rakyat tidak lagi wajib taat pada ulil amri (dalam perkara yang bertentangan
dengan syariat). Rasulullah SAW bersabda bahwa "Tiada ketaatan kepada
seorang makhluk dalam hal mendurhakai Allah."
37
Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilal al-Qur‟an, Jilid 3, h.144.
43
Karena di tangan mereka ada kekuasaan, kekuatan dan kekayaan negara,
maka para ulil amri itu bebas untuk melakukan sebanyak-banyaknya kebaikan
atau kejahatan. Tergantung kepada beriman atau tidaknya mereka. Pemerintah
yang beriman akan berjaya menjadi penguasa yang adil seperti yang Allah
perintahkan. Tapi pemerintah yang tidak beriman atau lemah imannya akan
menyalahgunakan kuasa dan harta negara untuk kepentingan nafsu mereka.
Berdasarkkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa menurut
Sayyid Quthb, pemerintah yang adil adalah pemerintahan yang dapat melayani
rakyatnya dengan baik, yang menjatuhkan hukuman dengan tepat dan meletakkan
rakyat pada posisi yang tepat, sehingga rakyat mendapat hak dan keperluan yang
cukup, adalah pemerintah yang telah menunaikan amanah dan tanggung jawab
dengan betul. Dan hal tesebut sesuai dengan sabda Rasulullah SAW “Sehari
seorang" raja yang bertindak adil, lebih besar pahalanya daripada (seorang
abid) beribadah 60 tahun. (HR. Ahmad).38
E. Konsep Kewarganegaraan
Pemimpin Negara Islam (atau Negara) berkewajiban untuk mendidik dan
membimbing rakyat dalam mengarungi kehidupan dunia yang fana ini menuju
kehidupan akhirat yang kekal. Negara juga berkewajiban untuk menjaga
kemaslahatan umum. Secara singkat kewajiban-kewajiban tersebut dapat
diungkapkan dalam kalimat hirasat al-din wa siyasat al-dunya.39
38
Lidwa, “Raja,” pada Kitab Sunan Ahmad, dapat dilihat pada www.lidwa.com, diakses
pada tanggal 10 September 2011.
39
Usman Abdul Muiz Ruslan, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin: Study Analisa
Evaluatif Terhadap Proses Pendidikan Politik Ikhwan untuk Para Anggota Khususnya dan
Seluruh Masyarakat Mesir Umumnya Dari Tahun 1928 hingga 1954, (Solo: Intermedia, 2000), h.
251.
44
Pemimpin Negara merupakan penguasa tertinggi di negara tersebut.
Kekuasaan tertinggi ini harus betul-betul dimanfaatkan untuk mencapai kebaikan
bersama. Jika kekuasaan ini diselewengkan atau disia-siakan maka akan timbullah
berbagai kerusakan. Betapa vitalnya posisi pemimpin negara sampai-sampai Nabi
bersabda bahwa baik buruknya umat ditentukan oleh dua golongan : „umara
(pemimpin) dan ulama.
Rakyat atau warga negara, sebagaimana Negara, juga mempunyai
kewajiban-kewajiban. Secara umum kewajiban rakyat adalah taat kepada Negara
selama tidak untuk bermaksiat kepada Allah. Di antara penyebab terjadinya
berbagai tragedi pada masa kekhalifahan Ali ibn Abu Thalib adalah ketidaktaatan
dan pembangkangan rakyat. Prahara tersebut hendaknya menjadi pelajaran bagi
umat Islam sesudahnya.40
Menurut Sayyid Quthb, hal lain yang perlu dipahami ialah bahwa Islam
senantiasa menekankan kepada setiap umatnya untuk menunaikan kewajibankewajibannya. Apabila setiap pihak menunaikan kewajiban-kewajibannya, maka
hal itu akan berimplikasi pada terpenuhinya hak-hak setiap pihak. Apabila
kewajiban-kewajiban ditunaikan maka hak-hak akan terpenuhi dengan sendirinya
tanpa perlu dituntut.41 Secara lebih terperinci, berikut ini akan diuraikan tentang
hak-hak warganegara dalam Negara Islam dan hak-hak Negara (khalifah). Hakhak warganegara dalam Negara Islam bisa dibedakan atas hak-hak politik, hakhak umum, hak menuntut ilmu/mendapatkan pengajaran, dan hak memperoleh
tanggungan (al-kafalat) dari negara.
1.
Hak Politik Warga Negara
40
Achmad Gholib, Teologi dalam Perspektif Islam (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004), h.
41
Sayyid Quthb, Beberapa Studi Tentang Islam, h. 112.
13.
45
Hak-hak politik warganegara terdiri atas hak memilih (haqq al-intikhab),
hak
untuk
diajak
bermusyawarah
(haqq
al-musyawarat),
hak
mengawasi/mengontrol (haqq al-muraqabat), hak menurunkan khalifah apabila
keadaan mengharuskan (haqq al-„azl), hak untuk mencalonkan (haqq al-tarsyih),
dan hak untuk dipilih/memangku jabatan-jabatan umum.
Bagaimana jika sang kepala negara sudah tsiqah (terpercaya)? Apakah dia
masih harus bermusyawarah dengan rakyatnya? Jawab Sayyid Quthb adalah ya,
dengan beberapa alasan berikut:
a. Sesungguhnya kepala negara, meskipun sudah terpercaya, secara sengaja atau
tidak mungkin saja menetapkan kebijakan yang merugikan rakyat. Apabila
kebijakan sudah ditetapkan dan dilaksanakan, maka tidak ada jalan lagi untuk
menghalau kerugian yang ditimbulkan (karena sudah terlanjur).
b. Sesungguhnya perwakilan (al-wikalat) kepala negara atas rakyat merupakan
perwakilan yang terikat (al-wikalat al-muqayyadat). Diantara pengikatpengikatnya adalah kewajiban kepala negara untuk bermusyawarah dengan
rakyat. Hal ini telah dinashkan dengan jelas dalam al-Qur‟ân42:
          
      
             
    
     
   

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka,
dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
42
Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur‟an, Jilid. 2, h. 112.
46
Musyawarah merupakan sunnah Nabi saw. Meskipun Rasulullah
merupakan seorang Nabi yang menerima wahyu dari langit, namun beliau sangat
gemar bermusyawarah dengan para sahabat. Para ulama mengatakan bahwa yang
demikian itu adalah agar menjadi teladan bagi umatnya sepeninggal beliau.
Nabi telah bermusyawarah dalam memutuskan Perang Badar dan dalam
memutuskan untuk keluar kota atau tidak dalam Perang Uhud. Disamping itu,
masih
sangat
banyak
contoh-contoh
tentang
kebiasaan
Nabi
untuk
bermusyawarah. Jalaluddin Rakhmat mengatakan bahwa jika kepala negara tidak
mau bermusyawarah dengan ahlul „ilmi wad din, maka menurunkannya adalah
wajib.43
Musyawarah dengan rakyat dilaksanakan menyangkut beragam urusan
dunia dan urusan-urusan agama yang bersifat ijtihadiy. Dalam urusan-urusan
dunia, yang harus dimusyawarahkan adalah hal-hal yang penting saja. Tidaklah
setiap masalah harus dimusyawarahkan, apalagi jika itu hanya masalah-masalah
kecil dan kurang penting.
Dalam pengertian istilah, Majlis Syura ialah suatu majelis (lembaga) yang
bertugas untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan (advis) kepada kepala
negara, baik diminta ataupun tidak. Pada dasarnya lembaga ini hanya bertugas
untuk
memberikan
pertimbangan-pertimbangan,
sedangkan
pengambilan
keputusan tetap berada di tangan kepala negara. Meskipun begitu, para ulama
memiliki banyak pendapat tentang kondisi dimana kepala negara berbeda
43
Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif; Ceramah-ceramah di Kampus (Bandung: Mizan:
2004), h. 20.
47
pendapat dengan Majlis Syura. Semua ulama sepakat, termasuk Sayyid Quthb
menyatakan bahwa dalam kasus ini harus merujuk pada QS. Al-Nisa‟: 59,44
    
            
   
           
  
 
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur‟ân) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benarbenar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya.”
Apabila dengan merujuk pada Allah (Kitabullah) dan Rasul (Al-Sunnah),
masalah masih belum bisa diselesaikan, maka menurut Sayyid Quthb, terdapat
tiga kemungkinan solusi45:
Solusi pertama, metode Tahkim. Maksudnya, panitia khusus dibentuk,
beranggotakan para pakar dalam masalah yang diperselisihkan. Panitia khusus
inilah yang akan menengahi perbedaan antara kepala negara dan Majlis Syura.
Solusi kedua, mengambil Pendapat Terbanyak (Voting). Solusi ketiga, mengambil
Keputusan Kepala Negara secara mutlak. Alasannya ialah karena kepala
negaralah yang paling bertanggung jawab atas keputusan yang diambil.
Dari pembahasan tentang Majlis Syura, kita bisa membedakan dengan
jelas antara lembaga ini dan ahlul hall wal „aqd:
a. Majlis Syura bertugas untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada
kepala negara, sedangkan ahlul hall wal „aqd bertugas untuk mengangkat atau
menurunkan kepala negara.
44
45
Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur‟an, jilid. 4, h. 65.
Sayyid Quthb, Beberapa Studi Tentang Islam, h. 52.
48
b. Majlis Syura tidak pernah lebih tinggi dari kepala negara. Majlis Syura bisa
saja diangkat oleh kepala negara. Sebaliknya, ahlul hall wal „aqd, pada saat
menunaikan tugasnya (mengangkat dan menurunkan khalifah) lebih tinggi
daripada kepala negara.
c. Ahlul hall wal „aqd diangkat oleh rakyat sebagai representasi mereka. Majlis
Syura tidak harus diangkat oleh rakyat.46
Hak mengawasi/mengontrol (haqq al-muraqabat) menurut Sayyid Quthb,
karena khilafah menyerupai wikalat maka rakyat berhak mengawasi penguasa
sebagaimana pemberi kuasa berhak mengawasi yang diberi kuasa. Bahkan, pada
dasarnya pengawasan/pengontrolan rakyat atas penguasa bukan saja hak akan
tetapi
kewajiban.
Imam
Muslim
meriwayatkan
bahwa
Nabi
saw.
bersabda,”Agama itu nasihat”. Para sahabat pun bertanya,”Untuk siapa, wahai
Rasulullah?”Maka beliau menjawab,”Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para
pemimpin kaum muslimin, dan masyarakat pada umumnya”.47
Pengawasan/pengontrolan rakyat atas penguasa merupakan bagian dari
amar makruf nahi munkar yang harus dilaksanakan dengan adab-adab tertentu. Di
antara adab-adabnya ialah:
Harus dimulai dengan cara yang lemah lembut. Ingatlah bagaimana Musa
diperintahkan untuk datang memperingatkan Fir‟aun dengan lemah lembut
(layyin), padahal Fir‟aun sudah amat melampaui batas. Apabila cara yang lemah
lembut tidak bermanfaat maka hendaknya diambil cara-cara yang lebih tegas.
Demikian seterusnya, sampai kebenaran dan keadilan bisa ditegakkan.
46
47
Ibid., h. 57.
Usman Abdul Muiz Ruslan, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin, h. 324.
49
Nahi munkar tidak boleh menimbulkan kemunkaran yang lebih besar.
Seorang penguasa harus bersedia untuk dinasihati. Akan lebih baik lagi apabila
dialah yang terlebih dulu minta nasihat, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh
para khulafa‟ rasyidun.
Kemudian, rakyat juga memiliki hak menurunkan khalifah apabila
keadaan mengharuskan (haqq al-„azl). Rakyat berhak menurunkan khalifah
apabila terdapat sebab-sebab syar‟i yang mengharuskan. Rakyat berhak
menurunkan khalifah melalui kekuasaan ahlul hall wal „aqd. Namun apabila ahlul
hall wal „aqd tidak mampu melaksanakan tugas ini atau apabila khalifah tidak
mengindahkan ahlul hall wal „aqd, maka rakyat bisa langsung turun tangan
dengan menggunakan kekuatan untuk menurunkan khalifah. Kekuatan ini harus
dipastikan mampu menurunkan khalifah. Jika tidak, maka penggunaan kekuatan
tidak diperbolehkan karena hanya akan menimbulkan fitnah. Imam Abu Hanifah
pernah dua kali ditawari untuk berpartisipasi dalam pemberontakan terhadap
khilafah Umawiyah yang lalim. Pada kali pertama beliau menolak karena
kekuatan rakyat saat itu belum memadahi. Namun pada kali kedua beliau
menerima karena kekuatan rakyat sudah memadahi, sehingga tumbanglah
Umawiyah digantikan oleh Abbasiyyah.48
Seorang warga negara juga berhak untuk mencalonkan orang lain untuk
menduduki jabatan politik. Namun seorang warganegara, pada dasarnya, tidak
berhak (dan tidak etis) untuk mencalonkan dirinya sendiri, karena Nabi melarang
yang demikian. Namun jika keadannya darurat (seperti di zaman ini dimana
banyak orang-orang fasiq dan tidak memiliki keahlian saling berebut jabatan
48
Ibid., h. 327.
50
politik) maka pencalonan diri sendiri menjadi boleh asalkan memenuhi syaratsyaratnya. Allah telah mencontohkan fenomena ini dalam kasus Yusuf as.
Hal penting yang harus diperhatikan dalam pencalonan diri ialah bahwa
yang bersangkutan tidak boleh mencela sesamanya tanpa alasan yang benar (secra
syar‟i) demi meraih jabatannya. Ia hanya boleh menunjukkan visi, misi, dan
pemikiran-pemikirannya, dan tidak lebih dari itu. Politik Islam adalah politik yang
penuh etika. Berpolitik, dalam Islam, senantiasa dibingkai oleh kerangka akhlaq
yang mulia.49
Hak rakyat yang terakhir adalah hak untuk dipilih/memangku jabatanjabatan umum (Haqq Tawalliy al-Wazha-if al-„Ammat). Memangku jabatan
politik bukanlah hak akan tetapi taklif dan amanah. Nabi melarang umat-Nya
untuk memberikan jabatan kepada orang yang memintanya karena ambisi.
Apabila menuntut jabatan politik tidak dianjurkan, lalu bagaimanakah
seharusnya? Jawabnya, hal ini menjadi tanggung jawab para penguasa yang ada.
Para penguasa yang telah ada hendaknya mengangkat para pejabat dari orangorang yang terbaik (al-ashlah). Nabi bersabda,”Barangsiapa memegang satu
urusan kaum muslimin (maksudnya menjadi penguasa) kemudian ia mengangkat
seseorang menjadi pejabat padahal ia mengetahui ada orang lain yang lebih baik
bagi (kemaslahatan) kaum muslimin, maka sungguh ia telah mengkhianati Allah
dan Rasul-Nya”.50
Nabi juga bersabda,”Apabila amanat disia-siakan, maka tunggulah Saat
Kehancuran
49
(al-sa‟at)”.
Rasulullah
ditanya,”Bagaimanakah
menyia-
Ibid., h. 338.
Shalah Abdul al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilalil Al-Qur‟an, (terj.)
Salafuddin Abu Sayyid (Solo: Era Intermedia, 2001) h. 388.
50
51
nyiakannya?” Rasulullah menjawab,”Yakni apabila suatu urusan diserahkan
pada yang bukan ahlinya”.
Di zaman ini, penguasa bisa menetapkan persyaratan-persyaratan dalam
rekrutmen para pejabat. Persyaratan-persyaratan inilah yang diharapkan akan bisa
mengantisipasi jatuhnya jabatan-jabatan pada orang-orang yang tidak berhak.
2.
Hak-hak Umum Warganegara
Hak umum warga negara menurut Sayyid Quthb dalah pertama Hak
Persamaan (al-musawat). Allah berfirman,
     
        
                 

  
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekalikali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Al-Ma-idah: 8).”
Sayyid Quthb menjelaskan bahwa ketika „Amr ibn „Ash menjadi wali
(gubernur) Mesir di masa Umar ibn Khaththab, ia sempat menyakiti seorang
warganya karena telah berani mendahuluinya. Akhirnya, warga Mesir tadi
mengadu kepada Khalifah Umar. Umar pun menetapkan hukuman balas atas Amr,
seraya berkata,”Wahai Amr, sejak kapan engkau memperbudak manusia padahal
sungguh-sungguh ibunya telah melahirkannya dalam keadaan merdeka?”
Umar ibn Khaththab pernah menulis surat kepada Abu Musa Al-Asy‟ariy:
“Samakanlah setiap manusia dalam majelis-majelismu, di hadapan
wajahmu,
dan
dalam
pengadilan-pengadilanmu,
sehingga
orang
yang
52
berkedudukan tidak menjadi berharap atas keberpihakanmu, sementara orang
yang lemah tidak putus asa terhadap keadilanmu”.51
Kedua, hak kebebasan (al-hurriyyat), yang terdiri dari kebebasan individu
(al-hurriyyat al-syakhshiyyat) dan Kebebasan Berkeyakinan (Beraqidah) dan
Beribadah. Menurut Sayyid Quthb dalam Islam terdapat prinsip Bara‟at AlDzimmat, yakni suatu ketetapan bahwa setiap individu pada asalnya adalah bebas
(dari segala beban dan tuntutan). Berangkat dari sini, setiap warganegara adalah
terbebas dari segala bentuk hukuman selama belum ada bukti yang menunjukkan
sebaliknya.
Termasuk dalam kebebasan individu adalah kebebasan untuk hidup
terhormat. Islam amat menjunjung tinggi kehormatan setiap orang. Pencemaran
nama baik diancam dengan hukuman qadzf (hadd al-qadzf). Islam tidak hanya
menjaga kehormatan kaum muslim. Dalam Islam, Ahli Dzimmah dijaga
kehormatannya sebagaimana kaum muslim. Rasulullah bersabda,”Barangsiapa
menyakiti seorang Dzimmi maka aku (Rasulullah) adalah musuhnya. Dan
barangsiapa yang menjadikan aku sebagai musuhnya, maka aku akan
memusuhinya pada Hari Kiamat”.52 Ali ibn Abi Thalib berkata,”Ahli Dzimmah
mengeluarkan jizyah hanyalah agar harta mereka seperti harta kita (muslim) dan
darah mereka seperti darah kita (dalam hal kehormatannya)”.53
Kebebasan Berkeyakinan (Beraqidah) dan Beribadah sebagaimana firman
Allah Ta‟ala,
51
Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur‟an, jilid.4, h. 90.
Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif, h. 58.
53
Usman Abdul Muiz Ruslan, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin, h. 331.
52
53
    
              
            
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas
jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada
Thaghut[162] dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada
buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui. (QS Al-Baqarah: 256).”
Sebagaimana telah dijelaskan di depan, manusia bebas memilih agamanya
(aqidahnya). Kebebasan memilih inilah yang justru menjadi hal yang tidak boleh
hilang. Jika ini hilang, maka manusia tidak lagi berbeda dengan hewan, tumbuhtumbuhan, dan benda mati lainnya.
Apabila ada yang bertanya,”Kalau memang Islam menjamin kebebasan
beragama, mengapa Islam menghukum mati orang yang murtad (keluar dari
Islam)?” Jawabnya, menurut Sayyid Quthb adalah masalah hukuman bagi
seorang murtad sama sekali tidak rancu dengan jaminan Islam atas kebebasan
beragama. Apabila seseorang melakukan sesuatu atas pilihannya sendiri, maka
sudah sewajarnya dia harus rela menerima segenap akibat dari apa yang
dilakukannya itu. Tatkala seseorang hendak masuk Islam, dia telah mengetahui
bahwa apabila dia masuk kemudian murtad maka dia akan dihukum mati. Hal ini
sudah dia ketahui sebelum dia masuk Islam. Jadi, dia tahu bahwa hukuman atas
kemurtadan merupakan bagian dari Islam. Apabila dia masuk Islam setelah itu,
maka berarti dia telah rela atas segala konsekuensi tindakannya itu. Bagi orang
yang tidak rela dengan konsekuensi masuk Islam (diantaranya hukuman atas
kemurtadan), maka janganlah ia masuk Islam. Jadi, sangatlah jelas bahwa Islam
tidak pernah mengebiri kebebasan beragama.54
54
Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilal al-Qur‟an, jilid 2, h. 256.
54
Ketiga, hak umum warga Negara berupa kebebasan bertempat tinggal.
Bagi Sayyid Quthb, setiap warganegara dalam negara Islam bebas bertempat
tinggal dan menjadikan tempat tinggalnya itu sebagai kawasan privatnya. 55 Allah
Ta‟ala berfirman:
             
     
       
 
        
        
   
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu
sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. yang demikian itu lebih baik
bagimu, agar kamu (selalu) ingat. Jika kamu tidak menemui seorangpun didalamnya, Maka
janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. dan jika dikatakan kepadamu: "Kembali
(saja)lah, Maka hendaklah kamu kembali. itu bersih bagimu dan Allah Maha mengetahui apa yang
kamu kerjakan. (QS. Al-Nur: 27-28).”
Keempat, hak umum warga Negara berupa kebebasan bekerja. Kelima,
kebebasan pemilikan.
Keenam, kebebasan berpikir dan berpendapat. Setiap warga negara berhak
untuk berpendapat (mengeluarkan pikiran) dalam rangka mencapai kemaslahatan.
Bahkan, berpendapat dalam rangka amar makruf nahi munkar bukan lagi hak,
akan tetapi sudah menjadi kewajiban. Namun kebebasan berpendapat tidaklah
bersifat mutlak tanpa batasan. Kebebasan ini tetap mempunyai batasan-batasan,
antara lain:
a. Didasarkan atas itikad yang baik dan niat yang tulus.
55
Ibid., jilid. 9, h. 44.
55
b. Tidak boleh ditujukan untuk menjatuhkan pihak lain, membuka aib-aib orang
lain, memprovokasi dan mengadu domba, atau sekedar untuk mencari
popularitas.
c. Tidak bertentangan dengan asas-asas ajaran Islam.
d. Hendaknya disampaikan dengan akhlaq (etika) yang baik.56
3.
Hak Menuntut Ilmu / Mendapatkan Pengajaran
Sayyid Quthb berpendapat apabila mendapatkan pengajaran merupakan
hak, dilihat dari sisi warganegara, maka dari sisi yang lain, Negara berkewajiban
untuk mencerdaskan rakyatnya. Negara wajib menciptakan instrumen-instrumen
bagi pencerdasan rakyatnya. Aspek pendidikan dan pengajaran ini merupakan
aspek yang amat penting, mengingat akal pikiran merupakan ciri khas
kemanusiaan yang membedakan manusia dari makhluk yang lain. Untuk itu tidak
selayaknya Negara mengabaikan aspek pendidikan seraya mengejar keglamoran
aspek-aspek material.57
Perhatian yang besar dari Negara atas masalah pendidikan rakyat bisa kita
lihat dalam Sirah Nabawiyah. Suatu ketika Nabi, selaku kepala negara,
mengambil kebijakan bahwa tebusan untuk tawanan Badar adalah empat puluh
auqiyat. Barangsiapa tidak mampu dengan tebusan seperti itu, maka tebusannya
adalah dengan mengajarkan tulis-menulis kepada sepuluh orang muslim. Jadi,
masalah pendidikan bukanlah semata-mata masalah individu, tetapi ia merupakan
tanggung jawab Negara.
4.
Hak Memperoleh Tanggungan (Al-Kafalah) dari Negara
56
Ali Abdul Halim Mahmud, Ikhwanul Muslimin; Konsep Gerakan Terpadu (Jakarta:
GIP, 1997), Jilid. 2, h. 513.
57
Ibid., h. 516.
56
Tidaklah mungkin seorang warganegara dalam Negara Islam hidup
terlantar dalam kesengsaraan dan Negara membiarkannya saja, sementara Negara
mengetahuinya. Jadi, Negara Islam bertanggung jawab atas kesejahteraan
warganegaranya.
Sayyid Quthb menjelaskan bahwa Islam mencela sikap meminta-minta.
Oleh karena itu, agar orang yang tidak mampu tidak terjerumus menjadi pemintaminta, maka Negara Islam harus menciptakan iklim yang baik bagi tersedianya
lapangan kerja secara memadahi. Dengan demikian, setiap warganegara tidak
akan mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan. Jangan sampai ada warga
negara yang ingin bekerja secara halal namun tidak ada lapangan kerja yang bisa
dia geluti.58
Apabila ada seorang warga yang kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan,
maka Negara wajib membantunya, misalnya dengan memberikan pinjaman modal
yang diambilkan dari Baitul Mal. Abu Yusuf pernah mengatakan,”Apabila ada
pemilik tanah yang kesulitan mengelola tanahnya karena miskin maka negara
wajib memberikan pinjaman kepada orang tersebut dari Baitul Mal, sehingga dia
sanggup bekerja mengelola tanahnya itu”.
Apabila ada seorang warga tidak mampu menghidupi dirinya, maka wajib
bagi „a-ilat (keluarga dekat penerima waris) –nya untuk membantunya. Apabila
yang demikian masih belum mencukupi maka Negara wajib menanggungnya.
Negara wajib memberikan pekerjaan yang halal dan layak kepadanya.
Jalaluddin Rakhmat juga berpendapat bahwa Islam wajib mengelola zakat
dengan baik. Negara wajib memungut zakat dari setiap muslim yang telah wajib
58
Ibid., h. 311.
57
membayar zakat. Apabila zakat tidak mencukupi kebutuhan, maka Negara bisa
menutupinya dengan harta Baitul Mal.59 Terhadap orang-orang yang sudah tidak
lagi mampu bekerja, misalnya karena jompo atau cacat, maka Negara wajib
menanggungnya (memberikan tunjangan).
Kewajiban Negara untuk menjamin kesejahteraan rakyat tidak hanya
berlaku pada kaum muslim, namun juga berlaku bagi kaum dzimmiy. Sejarah
Islam telah membuktikan bahwa terhadap kaum dzimmiy yang tidak mampu,
Negara Islam membebaskan kewajiban membayar jizyah dari pundak mereka,
bahkan Negara memberikan tunjangan kepada mereka dari harta Baitul Mal.
Apabila Negara tidak mampu menanggung orang-orang yang tidak mampu
karena keterbatasan ekonomi Negara, maka kewajiban tersebut berpindah kepada
setiap orang mampu yang ada di pelosok negeri. Apabila orang-orang yang
mampu berkeberatan untuk bersedekah membantu orang-orang yang tidak
mampu, maka Negara wajib memaksa mereka sehingga mau bersedekah.
Dalam Negara Islam, siapa saja yang berada di dalamnya atau yang datang
ke
situ, para
wisatawan
bahkan
pelarian-pelarian
yang
mencari
perlindungan, secara otomatis semuanya dianggap warga negara (penduduk
negara). Mereka semuanya dihormati, dilindungi dan dijaga kebajikannya tanpa
menghiraukan kaum, bangsa, agama, warna kulit, bahasa dan lain- lain.
Demikianlah Islam memandang manusia, sama saja. Bahkan bumi Allah ini
dianggap kepunyaan bersama. Siapa pun boleh tinggal di tempat manapun yang
dia suka. Tidak perlu ada batas geografi antar negara, tidak perlu ada paspor dan
visa. Begitulah takrif kesatuan internasional atau global menurut Islam.60
59
60
Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif, h. 80.
Ali Abdul Halim Mahmud, Ikhwanul Muslimin, h. 315.
58
Sayyid Quthb merindukan Negara Islam sejati. Yang terbuka untuk siapa
saja. Wisatawan seolah-olah menjadi tetamu yang dilayan sebaik-baiknya
(ikrâmudduyûf). Dan kalaupun wisatawan mau tinggal lebih lama juga boleh.
Pelarian-pelarian juga dianggap tetamu dan warga yang pasti dilindungi.
Demikianlah Islam membenarkan karena Islam adalah penyelamat, pelindung
yang memberi keamanan dan kemakmuran pada warganya.
Untuk memudahkan urusan pemerintahan dan pengurusan warganya,
Negara Islam mengklasifikasikan seluruh rakyat hanya menjadi dua kategori,
yakni:
a. Warga negara Islam (muslim citizenship).
b. Warga negara bukan Islam (non muslim citizenship).61
Pemisahan ini adalah karena berbedanya cara hidup orang Islam dengan
yang bukan Islam. Ada peraturan yang dikenakan kepada orang Islam tetapi tidak
dikenakan pada orang bukan Islam. Misalnya, umat Islam diwajibkan membayar
zakat bila cukup nisab dan haulnya, sedangkan umat bukan Islam tidak berzakat.
Sebab itu bagi warga negara yang bukan Islam, ada beberapa peraturan khusus
untuk mereka.
Ada pun hak-hak yang diberikan oleh Negara Islam kepada warganya
yang Islam dan yang bukan Islam. Setiap orang Islam, baik yang asli (penduduk
setempat) atau mendatang (pendatang, wisatawan, tetamu, pelarian dan lain-lain)
mendapat hak asasi yang sama saja. Orang besar, orang kecil, orang berjabatan,
orang tidak berjabatan, orang kaya, orang miskin tidak dibeda-bedakan dalam
urusan mendapatkan hak-hak asasi, yaitu:
61
Ibid., h. 331.
59
a. Kebebasan untuk memiliki rumah, harta dan lain-lain.
b. Kebebasan bekerja dan berbicara.
c. Peluang belajar di dalam dan luar negeri.
d. Melaksanakan dan mengurus hak-hak agama.
e. Kalau dihina akan dilindungi dan penghina itu akan dihukum.
f. Mempertahankan kehormatan diri, harta, keluarga dan lain-lain.62
Itulah dia hak-hak asasi umat Islam secara umum dalam Negara Islam.
Mereka dibolehkan, bahkan bebas berorganisasi, beraktivitas, berdagang,
mengumpulkan harta, berjuang, menikmati hiburan, menulis, mengeluarkan
pendapat dengan syarat tidak melanggar syariat Allah dan tidak melanggar hak
asasi orang lain. Juga tidak bertentangan dengan perintah pemimpin, bila perintah
itu sesuai dengan ajaran Islam.
Menurut pandangan Sayyid Quthb dalam Islam terdapat dua jenis warga
negara dari kalangan orang bukan Islam yaitu: kafir zimmi dan kafir 'ahdi
(mu'ahid).63 Kafir zimmi ialah orang bukan Islam yang bermustautin (bermukim)
dalam Negara Islam di mana mereka itu mengaku taat setia kepada pemerintah
dan negara. Walau bangsa apapun mereka, baik penduduk asli (penduduk
setempat) atau mendatang akan mendapat hak-hak asasi seperti juga umat Islam
mendapatkan hak-haknya. Yakni:
a. Kebebasan memiliki rumah dan harta.
b. Peluang-peluang belajar di dalam dan luar negeri.
c. Kebebasan bekerja dan berbicara dengan syarat tidak melanggar hak asasi
orang lain.
62
63
Ibid., h. 338.
Ibid., h. 251.
60
d. Bebas menganut agama apa pun. Pemerintah atau umat Islam tidak boleh
memaksa mereka menganut Islam.
e. Berhak untuk menjadi pemimpin atau menteri-menteri di kalangan mereka.
f. Diberi perlindungan bila mereka dihina. Sekalipun yang menghina itu dari
kalangan orang Islam sendiri, pasti dihukum.
g. Berhak mempertahankan harga diri, harta dan keluarga.64
Berbeda dengan umat Islam, warga negara bukan Islam tidak dikenakan
zakat, fitrah, sedekah, berkorban dan lain-lain sebagai sumbangan kepada negara
dan masyarakat. Dengan sumbangan tersebut negara akan jadi kuat dan dapat
menguatkan individu-individu terutama orang-orang susah. Maka untuk tujuan
yang sama di samping kepentingan- kepentingan keselamatan dan pengurusan
mereka, Negara Islam menetapkan warganya yang bukan Islam mesti membayar
jizyah atau pajak kepala. Tidak ada pajak lainnya. Kadar pajak itu menurut taraf
hidup dan kemampuan masing-masing seperti yang diputuskan oleh hakim atau
ketua negara.
Bagi kafir mu'âhid yakni orang bukan Islam yang tinggal di Negara Islam
karena
adanya
hubungan-hubungan
diplomatik,
ekonomi,
perdagangan,
persahabatan dan lain-lain, walau bangsa apapun mereka, dari negara mana, apa
agama dan warna kulit, namun tetap dilindungi oleh Negara Islam. Mereka
mendapat hak-hak dan dilindungi dari penghinaan. Sama halnya dengan kafir
zimmi tadi.
Terdapat sejenis lagi orang kafir menurut ukuran Islam. Tetapi mereka itu
bukan warga negara. Mereka adalah musuh Islam yang dipanggil kafir harbi.
64
Ibid., h. 337.
61
Mereka memiliki niat untuk bermusuhan dengan umat Islam. Orang itu walaupun
belum berperang senjata, cuma perang saraf saja, tetapi tetap dianggap sebagai
musuh Islam. Kalau mereka menyerang, negara wajib membalas serangan
tersebut. Namun umat lslam sekali-kali tidak diajarkan untuk memulai serangan,
sekalipun perbuatan musuh itu begitu jelas sekali. Tetapi apabila mereka
menyerang, wajib dibalas atau dilawan dengan dua tujuan penting yaitu: menjaga
harga diri agama, negara dan masyarakat dan menghindari fitnah agar kejahatan
tidak berkepanjangan dan tidak menyebar kemana-mana.65
Dalam peperangan, harta musuh boleh dirampas sebagai harta rampasan
perang. Orang-orang tawanan perang dijadikan hamba sahaya. Kecuali kalau dia
memeluk Islam, secara otomatis dia merdeka dan mendapat hak-hak warga negara
seperti orang-orang Islam yang lain.
Demikianlah pertimbangan pemikiran Sayyid Quthb dalam Fi Zhilâl alQur‟ân bahwa Islam memberi keselamatan dan naungan kepada manusia seluruh
dunia. Mana ada penindasan dan kekejaman atau peperangan yang dicanangkan
oleh Islam? Tertolaklah bahwa Islam agama peperangan dan kekejaman.
F. Prinsip-prinsip Pengaturan Kebijaksanaan Negara.
Menurut Mahmud al-Murakiby komponen-komponen pengatur kebijakan
negara terdiri dari:
1. Kepala negara (hâkim). Merupakan lembaga tinggi negara yang memiliki
kebijakan-kebijakan politik internal dan eksternal. Hal ini telah dicontohkan
oleh Khulafâ ar-Rasyidin.
65
Ibid., h. 341.
62
2. Jamâ'ah ahl al-hal wa al-'Aqd. Merupakan lembaga tertinggi dalam negara
yang memiliki wewenang untuk mengangkat dan menurunkan kepala negara.
Hal ini telah tercermin dalam sistem pengangkatan Khulafâ ar-Rasyidin.
3. Majlis al-Syûrâ'. Merupakan lembaga perkumpulan wakil masyarakat yang
telah dipilih dan dipercaya sebagai penyalur aspirasi masyarakat untuk
disampaikan kepada kepala negara.
4. Dîwân al-Madzhâlim. Merupakan sebuah lembaga keamanan masyarakat. Jika
hak-hak sebuah komunitas masyarakat terdzhalimi, maka dewan ini memiliki
tanggungjawab perlindungan dan keamanan. Lembaga ini bertanggungjawab
secara hukum kepada kepala negara.
5. Sulthah tanfîdziyah. Merupakan pemegang kebijakan politik, sosial dan
ekonomi internal sebuah negara. Lembaga ini dipimpin oleh seorang perdana
menteri (Wazîr al-Wuzarât, Chief of Ministry) yang membawahi beberapa
menteri departemen.
6. Dîwân al-Hisbah li ad-Daulah. Lembaga ini berfungsi sebagai pengontrol
debet-kredit keuangan negara yang digunakan oleh perangkat negara di atas.66
Menurut Sayyid Quthb dalam Mukadimah bukunya Tafsir Fî Zhilâl alQur‟ân, tidak ada kebaikan dan kedamaian bagi bumi ini, tidak ada kesenangan
bagi kemanusiaan, tidak ada ketenangan bagi manusia, tidak ada ketinggian,
keberkahan dan kesucian dan tidak ada keharmonisan antara undang-undang alam
dengan
fitrah
kehidupan
melainkan
dengan
kembali
kepada
Allah.67
Sesungguhnya berpedoman kepada manhaj Allah di dalam kitab-Nya itu bukanlah
66
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, 2005), h.
67
Sayyid Quthb dalam Mukadimah Tafsir Fi Zhilal al- Qur‟an, Jilid 1, h. 20-25.
104-105.
63
perkara sunnah, tathawwu‟ atau boleh memilih, tetapi ia adalah iman. Kalau tidak
mau, tidak ada iman bagi yang bersangkutan, sebagaimana firman Allah:
               
           
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan
yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada
bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai
Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (Qs. alAhzaab/33: 36).
Inilah gambaran yang benar yang ditimbulkan oleh al-Qur‟ân di dalam
jiwa ketika jiwa itu hidup dibawah naungan al-Qur‟an, Fî Zhilâl al-Qur‟ân.
Iman kepada Allah, beribadah kepada-Nya secara istiqomah dan
memberlakukan syariat-Nya dimuka bumi, semuanya adalah melaksanakan
sunnah-sunnah Allah, yaitu sunnah-sunnah yang aktif dan positip, yang
bersumber dari semua sunnah Kauniyah ” hukum alam ” yang kita lihat bekasnya
yang nyata dengan indra dan pengalaman kita.
Syariat Allah bagi manusia merupakan salah satu bagian dari undangundang-Nya yang menyeluruh di alam semesta. Pelaksanaan syariat ini pasti
memiliki dampak yang positip didalam menyerasikan perjalanan hidup manusia
dengan perjalanan alam semesta. Syariat saling melengkapi dengan konsep Islam
yang menyeluruh terhadap wujud yang besar dan eksistensi manusia, serta apa
yang ditimbulkan oleh konsepsi ini, yaitu ketakwaan hati, kesucian perasaan,
besarnya kemauan, akhlak yang luhur dan perilaku yang lurus. Tampak pula
keharmonisan dan keserasian diantara sunnah-sunnah Allah, baik yang kita sebut
hukum alam maupun nilai-nilai iman. Masing-masing adalah bagian dari sunnah
Allah yang komplet terhadap alam wujud ini.
64
Menurut Sayyid Quthb, konsep balad sebagaimana dimaksudkan dalam
QS. Saba‟: 15, mengandung cita-cita negara Islam, yaitu:
        
   
     
 
         
 
Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat
kediaman mereka Yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada
mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan
bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu)
adalah Tuhan yang Maha Pengampun".
Hal ini korelatif dengan keberadaan Madinah yang seringkali dianggap
sebagai inti pertama negara Islam, meski dari luar lebih tampak sebagai sebuah
negara kota (polis). Tapi ibarat sebuah biji ia kemudian tumbuh dan berkembang
menjadi pepohonan yang rindang lengkap dengan buah-buah siap dimakan. Dan
ibarat mercusuar, cahayanya begitu menerangi alam/kehidupan.68
Menurut Quraish Sihab, tidak secara eksplisit al-Qur‟ân memberikan
perhatian seputar bentuk negara (Islam) kecuali sebatas spirit dan prinsip-prinsip
dasar dalam bernegara (mengelola kekuasaan) seperti prinsip permusyawaratan
(QS. 42: 38) yang dilaksanakan dengan penuh amanah dan menjunjung tinggi rasa
keadilan (Qs 4: 58). Namun tidak berarti hal itu bisa dipahami adanya
keterpisahan/dikotomi antara agama dengan negara. Sebab al-Qur‟ân juga
menegaskan bahwa fungsi ke-Rasul-an dan, penurunan kitab- kitab suci samawi
adalah agar masing-masing nabi memberi putusan tentang perselisihan (socialpolitik) antar manusia (Qs. 2; 213) disamping tentu sebagai pemimpin spiritual
dengan otoritas tertinggi. Dan itu pula yang dijalani Nabi Dawud as ketika Allah
resmi mengangkatnya sebagai khalifah, dengan kekuasaan mengelolah suatu
68
Sjechul Hadi Permono, Konsepsi Umum, Pemerintahan Islami
2004), h. 17.
(Surabaya: Aulia,
65
wilayah/bumi (Qs ; 38/Shod; 26). Penugasan mengelola suatu wilayah (bumi)
sebagaimana dimaksud dalam ayat diatas, dapat dipahami sebagai tugas politis
dan kekuasaan yg meniscayakan ikatan perjanjian dengan Allah ('ahd) disatu
pihak dan ikatan perjanjian dengan manusia dipihak lain (baiat).69
Nabi Muhammad SAW juga merupakan pemimpin dan negarawan,
dengan Madinah sebagai pusat pemerintahannya. Aktivitas dan kesibukan
pemerintahan saat itu ditandai dengan adanya;
1. Adminitrasi surat menyurat yang dikirim Nabi kepada para adikuasa dan dan
raja-raja besar kala itu. Dari isi surat-suratnya terbaca jelas, bahwa Islam
(agama) disamping berorientasi kedalam berupa pemantapan akidah,
pembinaan syari‟ah dan peningkatan ubudiyah/akhlak, juga berorientasi keluar
dan bersifat universal, dengan pengertian ingin menata seluruh dunia (baca ;
negara) dengan landasan prinsip yang lebih manusiawi, berbudaya, dan
berkeadilan.
2. Adanya ekspansi teritorial guna pengembangan dan perluasan daerah Islam.
Karena Islam tidak dimaksudkan untuk kalangan penganut saja, maka kita
melihat adanya perlindungan dan hak-hak khusus yang diberikan Islam untuk
pemeluk agama lain yang tunduk dan mengikuti aturan pemerintahan Islam.
Jika negara dan imperium sebelum Islam seperti Romawi dan Persi serta Cina
dan India ekspansinya selalu menimbulkan dan menyisahkan luka kepedihan
dan derita berkepanjangan karena selalu identik dengan pembodohan dan
pelecehan harkat kemanusiaan juga sangat eksploitatif dalam menguras
kekayaan alam yang dijajahnya serta dengan mengucilkan kaum pribuminya
69
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an Fungsi dan Peranan Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat (Bandung:Mizan: 1996), h. 145.
66
dari komunitas internacional. Maka tidak demikian dengan Islam. Ekspansi
Islam justru benar-benar rahmat bagi alam, karena tidak saja mengilhami
lahirnya negara-negara baru yang dapat diterima sejajar dan diakui secara
internasional, juga mengubah setiap bagian dunia yang dikuasainya menjadi
mercusuar ilmu pengetahuan, kebudayaan dan peradaban. Dalam kontek ini
sesungguhnya Islam satu-satunya ajaran yang merintis jalan ke suatu arah
kehidupan yang mengglobal atas dasar moral dan keimanan kepada Allah sang
Tuhan. Bukan globalisasi yang eksploitatif dan sarat kepentingan nafsu,
sebagaimana yang terlihat saat ini.70
Dari dua aktivitas pemerintahan diatas, tampaklah jelas betapa agama
begitu dominan menjiwai semangat ke- tatanegara-an saat itu. Dan itu berlanjut
hingga periode ke-kholifah-an sesudah nabi SAW dan pada sebagian era daulahdaulah Islamiyah yang pernah berjaya pada masanya.
Sehingga dengan demikian, sistem pemerintahan Islam yang diterapkan
saat itu memungkinkan terbangunnya tata dunia baru yang relatif agamis dan
sangat memanjakan pemeluknya yang variatif. Para pemikir duniapun mengakui
peran besar Islam yang begitu kooperatif dalam tata pergaulan global, bahkan
kemajuan Eropa dan Barat saat inipun, sesungguhnya juga buah dari peradaban
yang telah dibangun Islam dalam wujud negara agama.
Dari sini dapat diambil suatu pengertian bahwa menurut Sayyid Quthb
negara yang tidak mendasarkan kebijakan, peraturan dan perundanganundangannya pada konsepsi dan prinsip-prinsip dasar yang Islami dapat
dikategorikan sebagai Negara sekuler, meski secara subtansi nilai-nilai agama
70
A. Rahman Zainuddin, Sub Makalah Sejarah Pemikiran Islam, dari buku Reaktulisasi
Islam (Jakarta: UIN, 1998), h. 92.
67
terejawetahkan di luar struktur negara, dan meskipun negara itu memenuhi kriteria
disebut negara Islam karena kwantitas komunitasnya, seperti Indonesia.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Konsep politik Islam menurut Sayyid Quthb dalam kitab tafsirnya Fi
Zhilal Al-Qur’an dapat disimpulkan dalam pernyataan, yaitu:
Pertama, politik Islam harus menciptakan suatu tatanan kehidupan
masyarakat yang berlandaskan hukum al-Qur’ân dan Sunnah Rasul, demi
membentuk manusia yang lebih makmur dan berperadaban dan tidak perlu terlibat
analisa dikotomis ala Barat yang menempatkan umat Islam pada kondisi
pemahaman yang formalistik, substanstivistik, dan fundamentalis..
Kedua, dalam sudut pandang politik Islam, kedaulatan berada di ‘tangan’
Allah SWT. Allah sajalah yang berhak menetapkan hukum bukan manusia.
Perintah dan larangan Allah merupakan hukum yang mutlak ditaati dan diemban
manusia. Dengan demikian, menurut Sayyid Quthb dalam tafsirnya, demokrasi
bertentangan dengan Islam, bahkan pertentangan ini bersifat mendasar dan
memasuki bidang akidah apabila meyakini manusia sebagai sumber dan pembuat
hukum bukan Allah.
Ketiga, tujuan negara menurut al-Qur’an bahwa dalam hal apapun negara
tidak boleh melepaskan begitu saja dan harus ada campur tangan dari Negara
demi menjaga dan menjamin ketentraman dan kesejahteraan seluruh warga
Negara di seluruh alam semesta ini.
Keempat, pemerintah yang adil adalah pemerintahan yang dapat melayani
rakyatnya dengan baik, yang menjatuhkan hukuman dengan tepat dan meletakkan
67
68
rakyat pada posisi yang tepat, sehingga rakyat mendapat hak dan keperluan yang
cukup, adalah pemerintah yang telah menunaikan amanah dan tanggung jawab
dengan betul.
Kelima, dalam konsep kewarganegaraan, Pemimpin Negara Islam (atau
Negara) berkewajiban untuk mendidik dan membimbing rakyat dalam
mengarungi kehidupan dunia yang fana ini menuju kehidupan akhirat yang kekal.
Negara juga berkewajiban untuk menjaga kemaslahatan umum. Secara singkat
kewajiban-kewajiban tersebut dapat diungkapkan dalam kalimat hirasat al-din wa
siyasat al-dunya.
Keenam, Menurut Mahmud al-Murakiby komponen-komponen pengatur
kebijakan negara terdiri dari: 1) Kepala negara (hâkim), merupakan lembaga
tinggi negara yang memiliki kebijakan-kebijakan politik internal dan eksternal; 2)
Jamâ'ah ahl al-hal wa al-'Aqd, merupakan lembaga tertinggi dalam negara yang
memiliki wewenang untuk mengangkat dan menurunkan kepala Negara; 3) Majlis
al-Syûrâ', merupakan lembaga perkumpulan wakil masyarakat yang telah dipilih
dan dipercaya sebagai penyalur aspirasi masyarakat untuk disampaikan kepada
kepala Negara, 4) Dîwân al-Madzhâlim, merupakan sebuah lembaga keamanan
masyarakat; 5) Sulthah tanfîdziyah, merupakan pemegang kebijakan politik, sosial
dan ekonomi internal sebuah negara. Lembaga ini dipimpin oleh seorang perdana
menteri (Wazîr al-Wuzarât, Chief of Ministry) yang membawahi beberapa menteri
departemen; dan 6) Dîwân al-Hisbah li ad-Daulah. Lembaga ini berfungsi
sebagai pengontrol debet-kredit keuangan negara yang digunakan oleh perangkat
negara di atas.
69
B. Saran
1. Bagi para akademiki, terutama para cendekiawan politik Islam, ketika
mewacanakan konsep politik Islam yang ditawarkan Sayyid Quthub
berdasarkan penafsirannya terhadap al-Qur’an hendaknya dilakukan melalui
pemahaman yang lebih terbuka, daripada mengkedepankan ‘praduga’
pemahaman yang mengasumsikan bahwa Sayyid Quthb dalam pemikirannya
sangat literal terhadap nash-nash ajaran Islam..
2. Hendaknya kecenderungan para akademisi dan aktivis gerakan Islam untuk
melukiskan politik Islam sebagai wajah tunggal yang berdimensi transnasional
sebagaimana yang dianjurkan dalam pemikiran politik Sayyid Qutub dirubah
dengan menunjukkan keragaman dan dimensi lokal dari peresentasi Islamisme
dalam ruang-waktu sejarah.
DAFTAR PUSTAKA
Abegabriel, Negara Tuhan. Yogyakarta: IRNIS, 2006.
al-Khalidi, Shalah Abdul, Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilalil Al-Qur’an,
(terj.) Salafuddin Abu Sayyid. Solo: Era Intermedia, 2001.
al-Mayli, Muhsin, Pergulatin Mencari Islam; Perjalanan Religius Roger
Garaudy, (terj). Rifyal Ka’bah. Jakarta: Paramadina, 1996.
Boisard, Marcel A., Humanisme dalam Islam, (terj.) M. Rasjidi. Jakarta: Bulan
Bintang, 1980.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka, 2001.
Dewan Bahasa dan Pustaka, Kamus Dewan Edisi Keempat (Ampang: Dawama,
2005)
Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik
Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998.
Enayat, Hamid, Reaksi Politik Sunni dan Syi’ah: Pemikiran Politik Islam Modern
Menghadapi Abad Ke-20. Bandung: Pustaka, 1988.
Ensiklopedi Islam, Jilid 4. Jakarta: Ichtra Baru van Hoeve, 2005.
Esposito, John, Ancaman Islam: Mitos atau Realitas? Menggugat Tesis
Huntington, (terj.). Bandung: Mizan, 1996.
Gholib, Achmad, Teologi dalam Perspektif Islam. Jakarta: UIN Jakarta Press,
2004.
Hamid, Tijani Abdul Qadir, Pemikiran Politik dalam al-Qur’an, (terj.) Abdul
Hayyie al-Kattani. Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
Hardiman, Fransisco Budi, Kritik Ideologi; Pertautan Pengetahuan dan
Kepentingan. Jakarta: Kanisius, 2002.
Ismail, A. Ilyas, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub; Rekonstruksi Pemikiran
Dakwah Harakah. Jakarta: Penamadani, 2006.
Jamhari, Ed. Gerakan Salafi Radikal Di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindopersada,
2004.
Komunitas Kajian Ilmiyah Lirboyo 2005, Formulasi Nalar Fiqh. Kediri: Purna
Siswa III Aliyah, 2005.
112
113
Lapidus Ira M., Sejarah Sosial Ummat Islam, (terj.) Ghufron A. Mas’adi. Jakarta:
RajaGrafindo Persada: 1999.
Mahmud, Ali Abdul Halim, Ikhwanul Muslimin Konsep Gerakan terpadu, (terj.),
Syafril Halim, Jilid. I-II. Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Madjid, Nurcholis, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan kemodernan. Jakarta: Paramadina,
1992.
______, Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1989.
Majlis Musyawarah PP. al-Falah, Hasil Keputusan Bahtsul Masa-il Kubro 06.
Kediri: MMPA, 2006.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UIP, 2001.
Poedjawijatna, I.R., Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: Rineka Cipta,
2002.
Permono, Sjechul Hadi, Islam dalam Lintas Sejarah dan Perpolitikan: Teori dan
Praktek. Surabaya: Aulia, 2004.
_________, Konsepsi Umum, Pemerintahan Islami. Surabaya: Aulia, 2004.
Qardhawy, Yusuf, Syaikh Muhammad al-Ghazali yang Saya Kenal; Setengah
Abad Perjalanan Pemikiran dan Gerakan Islam, (terj.) Surya Darma.
Jakarta: Rabbani Press, 1997.
Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Zhilal Al-Qur'an; Di bawah Naungan Al-Qur'an. Jakarta:
Gema Insani Press, 2008, Jilid.I-XII.
_________, Ma’alim fi al-Thariq. al-Salamiyah. Kuwait: al-Ittihad al-Islami al‘Alami, 1368 H.
_________, Beberapa Studi Tentang Islam, terj. A. Rachman Zainuddin (Jakarta:
Media Dakwah, 1982),
Rakhmat, Jalaluddin, Islam Alternatif; Ceramah-ceramah di Kampus. Bandung:
Mizan, 2004.
Rosyada, Dede, dkk, Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak
Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif
Hidayatullah, 2003)
Ruslan, Usman Abdul Muiz, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin: Study
Analisa Evaluatif Terhadap Proses Pendidikan Politik Ikhwan untuk Para
112
114
Anggota Khususnya dan Seluruh Masyarakat Mesir Umumnya Dari Tahun
1928 hingga 1954, (Solo: Intermedia, 2000),
Sachedina, Abdulaziz, Beda tapi Setara; Pandangan Islam tentang Non-Islam,
(terj.) Satrio Wahono, (Jakarta: Serambi, 2004)
Salim, Abdul Muin, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’’an,
(Jakarta: RajaGrafindo Perss, 2007).
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur'an Fungsi dan Peranan Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, (Bandung:Mizan: 1996),
_______________, Tafsir al-Mishbah. Jakarta: Lentera, 2002.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran
(Jakarta: UI Press, 1991)
Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 2000)
Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: Grafindo, 1992)
Uhlin, Anders Oposisi Berserak; Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di
Indonesia, (terj.) Rofik Suhud. Bandung: Mizan, 1998.
Zahra, Abu (ed) dalam, Politik Demi Tuhan (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999)
Zainuddin, A. Rahman, Sub Makalah Sejarah Pemikiran Islam, dari buku
Reaktulisasi Islam, (Jakarta: UIN, 1998)
112
Download