1 PENDAHULUAN Latar Belakang Dewasa ini di negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia, telah terjadi proses modernisasi. Era modernisasi ini ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan cenderung mulai ditinggalkannya tata nilai yang telah lama berakar dalam alam pikir masyarakat pendukungnya. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menggeser tata nilai itu, terjadi pula proses transformasi nilai (budaya). Istilah “negara yang sedang berkembang,” di samping mencangkup pengertian proses pengintegrasian unsur-unsur tradisional untuk suatu solidaritas nasional, adalah juga mencakup pengembangan hasil integrasi unsur-unsur untuk peningkatan kesejahteraan kehidupan bangsa yang menunjang unsurunsur kebudayaan itu. Kayam (1986) mengatakan bahwa transformasi nilai mengandalkan suatu proses peralihan total dari suatu bentuk sosok baru yang akan mapan. Transformasi sebagai tahap terakhir dari suatu perubahan yang mengarah ke era globalisasi. Transformasi dapat dibayangkan sebagai titik balik yang cepat. Di Indonesia sejak terbentuknya negara bangsa (nation state) pada masa kemerdekaan telah terjadi transformasi di bidang kehidupan politik, ekonomi dan sosial budaya. Dalam bidang politik bangsa Indonesia telah merdeka dan bebas dari ikatan politik kolonial. Bidang ekonomi bangsa Indonesia terlepas dari dominasi sistem ekonomi kolonial dan di bidang sosial budaya ditandai oleh runtuhnya struktur sosial masyarakat feodal (Kartodirdjo, 1992). Bagi Indonesia yang saat ini sedang melaksanakan pembangunan nasional, proses transformasi itu terus berlanjut dan tidak terlepas dari elemen kemodernan. Konsekuensi dari kemodernan ini akan diikuti pula dengan perubahan-perubahan di bidang sosial budaya termasuk perubahan tata nilai yang bersumber pada nilai-nilai budaya. Dalam proses kemodernan, ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan unsur-unsur yang dominan. Untuk kepentingan pengetahuan Indonesia dan modern, teknologi penguasaan merupakan dan bagian pengembangan penting dalam ilmu usaha menyukseskan pembangunan nasional (Sutrisna, 1992). Seiring dengan upaya bangsa Indonesia untuk memajukan diri melalui pembangunan nasional, terjadi pula proses globalisasi di dunia. Globalisasi itu 2 sendiri menunjuk pada pengertian pembauran atau kesamaan dalam hampir segala aspek kehidupan manusia yang meliputi aspek-aspek sosial, budaya, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan, teknologi yang bersifat universal secara tidak langsung juga mempengaruhi bidang informasi dan komunikasi. Perkembangan teknologi informasi yang menuju ke arah globalisasi komunikasi cenderung berpengaruh langsung terhadap tingkat peradaban manusia. Kita semua menyadari bahwa perkembangan teknologi informasi pada dekade terakhir ini bergerak sangat pesat dan telah menimbulkan dampak positif maupun negatif terhadap tata kehidupan masyarakat di berbagai negara (Subrata, 1992), termasuk Indonesia. Masuknya pengaruh globalisasi informasi dan komunikasi ke Indonesia itu tidak mungkin dihindari. Diterimanya pengaruh globalisasi informasi dan komunikasi ini merupakan konsekuensi pasal 32 UUD 1945 yang dalam penjelasannya menunjukan bahwa kita bangsa Indonesia tidak menolak ide-ide baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkaya kebudayaan serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia. Wujud konkret dari maksud penjelasan pasal 32 UUD 1945 itu adalah terjadinya kontak-kontak budaya kita dengan budaya asing. Ini merupakan suatu kenyataan bahwa bangsa Indonesia sebagai makhluk sosial tidak dapat menghindarkan diri dari ketertarikan terhadap bangsa lain dengan konsekuensi menerima pengaruh globalisasi dan komunikasi yang memperkenalkan kepada kita ilmu pengetahuan dan produk-produk teknologi termasuk teknologi informasi yang baru. Warisan-warisan lama yang berbentuk pengaturan kehidupan material yang dianggap tidak mungkin bisa mengatasi tuntutan persoalan mereka yang baru, ditinjau kembali dan diusahakan pembaharuan kemungkinan-kemungkinan. Tanah-tanah pertanian yang menjadi sempit, penduduk yang menjadi padat, kemampuan manusia yang makin terbatas untuk menguasai alam karena pengetahuannya sudah tidak mencukupi lagi, kebutuhan akan diferensiasi yang lebih jauh, peninjauan akan kemampuan bentuk pemerintahan yang baru untuk mendorong dan “menggalakkan” perubahan dan inovasi. Semua ini tercakup dalam proses pengembangan hasil integrasi unsur-unsur tradisional itu tadi. Inilah yang sering disebut dengan modernisasi. Proses tersebut bukanlah proses yang selalu berjalan lancar. Sama dengan proses pengintegrasian unsur-unsur tradisional menjadi integrasi baru 3 yang disebut integrasi nasional. Dalam proses modernisasi ditunjukan dengan adanya kegelisahan dan ketegangan yang terutama berhubungan langsung dengan masalah pembaruan dalam orientasi dari nilai-nilai. Kesenian tradisional di Indonesia tumbuh sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat tradisional di wilayah itu. Dengan demikian ia mengandung sifat-sifat atau ciri-ciri yang khas dari masyarakat tradisional. Pertama, ia memiliki jangkauan yang terbatas pada lingkungan kultur yang menunjangnya. Kedua, ia merupakan pencerminan dari satu kultur yang berkembang sangat perlahan karena dinamika masyarakat yang menunjangnya memang demikian. Ketiga, ia merupakan bagian dari satu “kosmos” kehidupan yang bulat dan tidak terbagi dalam pengkothakan spesialisasi. Keempat, ia bukan merupakan hasil kreativitas individu tetapi tercipta bersama dengan sifat kolektivitas masyarakat yang menunjangnya. Pada awalnya, masyarakat Jawa berkembang dalam budaya mistik-religius yang lambat laun mendewasakan diri dengan menyerap berbagai unsur yang datang dari luar. Sikap masyarakat Jawa dengan struktur budaya yang terbuka terhadap pengaruh asing cenderung membentuk pola budaya yang selalu berkembang ke arah sintesa pluralistik. Kelenturan masyarakat Jawa dalam menerima dan mengolah unsur pendatang dapat menciptakan bentuk-bentuk budaya ambiguitas antara asli Jawa dan paham pendatang. Wayang sebagai salah satu produk pendewasaan budaya Jawa terbentuk dari nilai lokal yang diperkaya dan disempumakan dengan paham-paham pendatang dari zaman ke zaman, hingga mampu mencapai posisi adiluhung. Wayang dipercaya mempunyai nilai-nilai universal, selain memuat hampir seluruh unsur seni yang dimiliki masyarakat Jawa. Dalam perkembangan terakhir telah teruji bahwa wayang menyimpan nilai-kaji yang multi-disipliner, memuat beragam fenomena disiplin ilmu terutama sosio-humaniora. Bagi masyarakatnya, wayang adalah sumber penilaian watak manusia, ajaran kebenaran, cermin tingkah laku dan tingkat kedewasaan seseorang. Nilainilai edukatif dalam wayang secara tidak langsung diajarkan kepada manusia Jawa sejak dini tanpa pernah disadari pelakunya bahwa hal tersebut sebagai proses pendidikan yang evolutif hingga akhimya disadari atau tidak, semuanya bernaung dalam aura besar pewayangan. Fenomena kebesaran wayang telah dirasakan sejak zaman raja-raja Jawa Kuno yang secara magis diwariskan turun- 4 temurun dengan sebuah pemahaman legenda bahwa manusia Jawa adalah penerus kepahlawanan tokoh-tokoh/raja-raja besar dalam pewayangan. Dalam masyarakat Jawa, wayang bukan hanya sebagai bentuk seni pertunjukan, hiburan atau kesenian rakyat, melainkan telah menjadi bagian habitus (komunal) dalam kehidupan sosial, religius, bahkan mistik. Wayang mempunyai posisi penting sebagai penterjemah wewayangan (gambaran) kehidupan universal yang diangkat dalam bahasa panggung untuk memberi nilai segar bagi kehidupan masyarakat. Wayang berkembang dalam tempo berabad-abad melewati berbagai versi, namun fungsinya sebagai alat komunikasi tetap terjaga dan dipertahankan. Propaganda yang terjadi di Jawa pada permulaan perkembangannya dilakukan melalui alat-alat komunikasi tradsional (wayang, gamelan dan cerita-cerita) dan orang Jawa “menerima dan mengembangkan” unsur-unsur modern. Peranan seni-tradisional dalam suatu proses seperti integrasi nasional dan modernisasi nampaknya akan lebih banyak pada unsur “synthesis.” Dalam satu wilayah kultur seperti Indonesia di mana “dialog” dan bukan “konfrontasi” yang nampaknya dipilih sebagai suatu “kawicaksanaan” (wisdom) utama, peranan seni tradisional akan lebih berarti pada kemampuannya untuk merangkum unsurunsur. Dalam proses integrasi dan modernisasi itu, secara paradoxal, senitradisional bisa menjadi juru bicara yang mengaitkan unsur lama dengan unsur baru. Bersih desa sebagai tradisi budaya juga memuat seni spiritual. Seni spiritual ini perlu dilihat lebih jauh dari aspek etnografi agar jelas makna dan fungsinya. Jadi, mencermati seni dari sisi budaya bukanlah seni sebagai seni, melainkan seni dalam konteks (Simatupang, 2005). Pendapat ini memberikan gambaran bahwa dibalik fenomena tradisi dan seni, memuat konteks etnografi yang menarik diperbincangkan. Hal yang menarik dari fenomena tradisi bersih desa, dapat terkait dengan berbagai hal antara lain tempat, waktu dan pelaku dalam rangkaian sebuah prosesi seni budaya. Atas dasar ini dapat dikatakan bahwa dalam seni ada spiritualitas dan dalam tradisi ada seni. Tradisi bersih desa telah mendarah daging dalam masyarakat Jawa pedesaan, hampir setiap wilayah menyelenggarakannya. Format bersih desa dari waktu ke waktu bisa saja berbeda atau berubah namun esensinya tetap pada pendekatan diri pada Tuhan. Bersih desa dapat berusia panjang. Masing-masing wilayah di Jawa memiliki keunikan sendiri-sendiri dalam melaksanakan bersih 5 desa. Salah satu aktivitas bersih desa yang tergolong unik adalah fenomena yang ada di wilayah Bedoyo. Keunikan tradisi bersih desa di wilayah ini yaitu selalu menggunakan seni pertunjukan ritual berupa wayang kulit. Rangkaian ritual ini telah ditata menurut laku dan aktivitas spiritual. Di dalamnya terdapat laku mistik kejawen yang kental dengan nilai-nilai mitos. Bersih desa yang dilaksanakan di kawasan pegunungan telah berusia lama dan memiliki mitos yang panjang. Tradisi ini juga terdapat mitos-mitos yang diyakini akan membawa berkah apabila dihormati melalui bersih desa dan sebaliknya akan mendatangkan bahaya apabila masyarakat meninggalkannya. Fenomena ritual tersebut dalam seni pertunjukan spiritual yang selalu digunakan. Ada perasaan takut masyarakat jika bersih desa tidak melaksanakan pertunjukan wayang kulit. Itulah sebabnya, masyarakat selalu berjuang keras agar bersih desa tetap terselenggara meskipun dalam ekonomi yang kurang memungkinkan. Masyarakat selalu menyepakati secara aklamasi ketika dilakukan rencana bersih desa. Hal ini selalu didorong oleh asumsi bahwa dengan cara gotong royong menjalankan bersih desa kelak akan mendapatkan keselamatan hidup. Kondisi ini meneguhkan kembali pendapat Taylor (Coleman,1998) bahwa inti dari religi adalah kepercayaan pada hal-hal spiritual. Penjelasan ini, mengisyaratkan bahwa nilai-nilai spiritual jauh lebih penting dibanding nilai material dalam bersih desa. Nilai-nilai spiritual tersebut menjadi penggerak batin warga masyarakat untuk selalu mengadakan aktivitas bersih desa. Ini semua menunjukan bahwa peranan wayang sebagai frame of reference dari simbol-simbol akan mulai berakhir dan mulai menginjak pada peranannya yang lebih “profan” yang lebih “manusiawi” yakni sebagai drama, sebagai lakon modern. Ini artinya penonton akan melihat perwatakan tokoh-tokoh wayang serta lakon-lakon yang mendukungnya tidak lagi sebagai tokoh-tokoh atau lakon-lakon teladan tetapi sebagai menusia-manusia dengan sejumlah kemungkinan. Seiring dengan adanya penetrasi pengaruh paham asing yang instant dan frontal dapat menyebabkan terjadinya pergeseran konsepsi budaya Jawa. Akibatnya akan mengurangi daya lentur dalam melakukan filterisasi terhadap budaya pendatang. Kondisi ini disadari sangat merisaukan kelangsungan tatanan sosial dan perilaku budaya masyarakat Jawa. Eksistensi wayang yang mencoba bertahan pada konsep-konsep dasar (pakem) akan semakin kehilangan daya magisnya dalam menghimpun "aura penaung," bahkan sering terseret dalam 6 situasi yang penuh “tempelan" sebagai upaya mempertahankan diri agar tetap diterima masyarakatnya. Perumusan Masalah Proses globalisasi informasi dan komunikasi di dunia ini melanda negaranegara yang sedang berkembang. Bangsa Indonesia sebagai makhluk sosial tidak dapat menghindarkan diri dari ketertarikan hubungan dengan bangsa lain dan sebagai konsekuensinya harus menerima pengaruh globalisasi termasuk di dalamnya teknologi. Pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas pada hakikatnya juga merupakan pembangunan manusia yang memiliki ketahanan sosial budaya. Ketahanan sosial budaya adalah suatu kondisi kehidupan sosial budaya bangsa yang dijiwai kepribadian nasional berdasarkan Pancasila yang mengandung kemampuan membentuk dan mengembangkan kehidupan sosial budaya manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, rukun, bersatu, cinta tanah air, berkualitas, maju dan sejahtera dalam kehidupan serba selaras, serasi dan seimbang serta memiliki kemampuan menangkal penetrasi budaya asing yang tidak sesuai dengan kebudayaan nasional. Sikap bangsa Indonesia dalam menghadapi penetrasi budaya asing adalah mempertahankan unsur-unsur yang baik dari kebudayaan sendiri dan mengambil yang lebih baik dari kebudayaan asing tersebut. Penyerapan unsur budaya luar dan inovasi yang muncul dari dalam akan membuat kebudayaan yang merupakan salah satu sumber utama sistem atau tata nilai masyarakat, berubah dan berkembang. Dinamika masyarakat pendukungnya dalam arti pemikiran yang tidak menutup diri terhadap nilai-nilai baru merupakan kekuatan utama dalam pengembangan setiap kebudayaan. Salah satu pendorong dinamika masyarakat adalah media massa yang dewasa ini telah termasuk dalam tatanan kehidupan masyarakat. Oleh sementara pihak, media massa sering disebut the fourth estate dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagai suatu alat untuk menyampaikan berita, penilaian atau gambaran umum tentang banyak hal, media massa mempunyai kemampuan untuk berperan sebagai institusi yang dapat membentuk opini publik. Oleh karena itu, media massa juga dapat berkembang menjadi kelompok penekan atas suatu kepentingan atau citra yang dipresentasikan untuk dilaksanakan dalam konteks kehidupan yang lebih empirik. 7 Pertunjukan wayang telah menjadi bagian dari kebutuhan hidup sebagian masyarakat namun penggunaannya tampak masih selektif dan diskriminatif. Pada umumnya warga masyarakat berpendidikan tertentu atau berkondisi sosial tertentu berkepentingan untuk menikmati pertunjukan wayang. Padahal pertunjukan wayang itu sendiri sebagai media komunikasi tradisional yang memiliki daya ampuh sebagai penangkal terhadap melandanya ekses-ekses gaya hidup dan budaya asing. Sehingga perlunya dilestarikan secara konseptual dengan menggugah apresiasi generasi muda seraya tetap ajeg pada nilai-nilai luhur yang dimilikinya. Tidak dapat dipungkiri bahwa penyaluran pesan melalui pertunjukan wayang sedikit banyak berdampak pada perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan masyarakat yang secara tidak langsung terjadinya proses pembinaan dan pengembangan sejumlah unsur kebudayaan masyarakat setempat. Bertolak dari pemikiran di atas, penelitian ini ingin melihat efektivitas komunikasi dalam pertunjukan wayang purwa di era globalisasi untuk mengetahui hubungan di antara gejala-gejala sosial dan bentuk dari hubungan tersebut. Karenanya pertanyaan-pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut: 1. Seperti apa karakteristik individu masyarakat di Desa Bedoyo yang menyaksikan pertunjukan wayang purwa? 2. Seperti apa karakteristik pertunjukan wayang purwa di Desa Bedoyo? 3. Sejauh mana tingkat efektivitas komunikasi masyarakat tentang bersih desa dalam pertunjukan wayang purwa di Desa Bedoyo? 4. Sejauh mana hubungan karakteristik individu masyarakat dengan karakteristik pertunjukan wayang purwa di Desa Bedoyo? 5. Sejauh mana hubungan karakteristik individu masyarakat dengan efektivitas komunikasi masyarakat tentang bersih desa di Desa Bedoyo? 6. Sejauh mana hubungan karakteristik pertunjukan wayang purwa dengan efektivitas komunikasi masyarakat tentang bersih desa di Desa Bedoyo? Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis efektivitas komunikasi dalam pertunjukan wayang purwa di era globalisasi. Secara spesifik penelitian ini bertujuan untuk: 8 1. Mengetahui karakteristik individu masyarakat di Desa Bedoyo yang menyaksikan pertunjukan wayang purwa. 2. Mengetahui karakteristik pertunjukan wayang purwa di Desa Bedoyo. 3. Mengetahui tingkat efektivitas komunikasi masyarakat tentang bersih desa dalam pertunjukan wayang purwa di Desa Bedoyo. 4. Mengetahui hubungan karakteristik individu masyarakat dengan karakteristik pertunjukan wayang purwa di Desa Bedoyo. 5. Mengetahui hubungan karakteristik individu masyarakat dengan efektivitas komunikasi masyarakat tentang bersih desa di Desa Bedoyo. 6. Mengetahui hubungan karakteristik pertunjukan wayang purwa dengan efektivitas komunikasi masyarakat tentang bersih desa di Desa Bedoyo. Kegunaan Penelitian Penelitian ini secara umum diharapkan dapat menambah pengetahuan di bidang komunikasi pembangunan. Manfaat penelitian ini apabila diuraikan secara rinci dapat dibagi dua, yaitu manfaat penelitian secara teoritis dan manfaat penelitian secara praktis. Adapun uraiannya sebagai berikut: 1. Dengan dilaksanakannya penelitian ini diharapkan dapat diperoleh suatu konsep, yang mana aplikasi dari konsep tersebut dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu komunikasi pertanian dan pedesaan pada khususnya serta bagi para peneliti yang melakukan penelitian sejenis. 2. Dalam hal kegunaan praktis, diharapkan penelitian ini bermanfaat untuk bidang ilmu yang terkait dan bisa diaplikasikan dalam lingkungan masyarakat. 3. Memberikan masukan bagi masyarakat dalam pelestarian tata nilai budaya yang menjadi akar tradisional bangsa Indonesia. 4. Dari penelitian ini diharapkan dapat dilakukan penelitian lanjutan yang dapat dilaksanakan oleh peneliti lain dengan bidang konsentrasi yang berbeda. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup wilayah kajian penelitian ini meliputi tujuh dusun dari sembilan dusun yang terdapat di Desa Bedoyo, Kecamatan Ponjong, Gunung Kidul, Yogyakarta yang terdiri dari: Ngalasombo, Ngrombo, Bedoyo Kulon, Bedoyo Lor, Bedoyo Wetan, Bedoyo Kidul dan Surubendo. 9 Ruang lingkup peubah yang dibahas terbatas pada dua peubah. Pertama, peubah bebas yaitu karakteristik individu dan pertunjukan wayang purwa. Peubah karakteristik individu terdiri dari enam peubah, yaitu: (1) umur, (2) jenis kelamin, (3) tingkat pendidikan, (4) pekerjaan, (5) tingkat pendapatan dan (6) perilaku komunikasi. Peubah pertunjukan wayang purwa terdiri dari tiga indikator, yaitu: (1) hubungan antara dalang dengan penonton, (2) tokoh pelaku dan (3) tema serta masalah pokok. Kedua, peubah terikat, yaitu efektivitas komunikasi masyarakat mengenai informasi bersih desa yang dilihat dari dua indikator, yaitu pengetahuan masyarakat (kognitif) dan sikap masyarakat (afektif). Kerangka Pemikiran dan Hipotesis Kerangka Pemikiran Menurut Schramm dan Kincaid (1978) komunikasi efektif terjadi bila proses encode oleh komunikator bertautan dengan proses decode oleh komunikan. Proses encode dan decode sangat dipengaruhi oleh bidang pengalaman (field of experience) dan kerangka acuan (frame of reference) dari kedua belah pihak. Semakin tumpang tindih bidang pengalaman dan kerangka acuan, semakin efektif pesan yang dikomunikasikan. Hodgetts dalam DeVito (1997 menyatakan bahwa komunikasi yang efektif dapat terjadi bila kita memahami proses komunikasi. Proses komunikasi yang telah disebut di bagian awal adalah proses pertukaran dan atau perasaan antar manusia. Dengan kata lain, proses itu adalah proses encode sampai decode. Komunikasi yang komunikatif merupakan komunikasi yang efektif, di mana kedua belah pihak sama-sama memahami makna komunikasi yang terjadi di antara mereka, baik secara informatif maupun persuasif. Dengan kata lain, komunikasi berlangsung efektif dan efisien jika menghasilkan tindakan sesuai tujuan dan biayanya wajar, dalam hal ini dapat dilihat dalam penggunaan wayang purwa di kalangan masyarakat Jawa yang dalam hal ini cenderung untuk ditinggalkan dan beralih ke media elektronik di era globalisasi teknologi informasi dan komunikasi di berbagai negara berkembang di dunia. Beberapa faktor yang mempengaruhi keefektivan suatu komunikasi di antaranya adalah: a. Karakteristik individu yang terdiri dari: Umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, tingkat pendapatan dan perilaku komunikasi. 10 b. Karakteristik pertunjukan wayang purwa terdiri dari: Hubungan antara dalang dengan penonton, tokoh pelaku dan tema serta masalah pokok. c. Tingkat efektivitas komunikasi tentang bersih desa dalam memanfaatkan pertunjukan wayang purwa yang dimaksud, dilihat atau diukur dari dua indikator, yaitu pengetahuan dan sikap. Dari uraian pemikiran tersebut maka kerangka alur pikir mengenai efektivitas komunikasi pertunjukan wayang purwa di era globalisasi, dapat diformulasikan sebagaimana tampilan Gambar 1. Peubah Bebas Peubah Terikat Karakteristik Individu (X) X1 Umur X2 Jenis kelamin X3 Tingkat pendidikan X4 Pekerjaan X5Tingkat pendapatan X6 Perilaku komunikasi H2 Efektivitas Komunikasi Masyarakat tentang Bersih Desa (Y) H1 a. Pengetahuan b. Sikap Karakteristik Pertunjukan Wayang Purwa (X7) X7.1 Hubungan dalang dengan penonton X7.2 Tokoh pelaku X7.3 Tema serta masalah pokok Gambar 1. H3 Hubungan peubah bebas dan terikat pada kerangka analisis efektivitas komunikasi masyarakat dalam memanfaatkan pertunjukan wayang purwa di era globalisasi 11 Hipotesis Berdasarkan kerangka berpikir yang telah dikemukakan, diajukan hipotesis penelitian sebagai berikut: H1 Terdapat hubungan nyata antara karakteristik individu dengan karakteristik pertunjukan wayang purwa di Desa Bedoyo. H2 Terdapat hubungan nyata antara karakteristik individu dengan efektivitas komunikasi masyarakat tentang bersih desa di Desa Bedoyo. H3 Terdapat hubungan nyata antara karakteristik pertunjukan wayang purwa dengan efektivitas komunikasi masyarakat tentang bersih desa di Desa Bedoyo.