Efektivitas Komunikasi Masyarakat Dalam

advertisement
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dewasa ini di negara-negara yang sedang berkembang, termasuk
Indonesia, telah terjadi proses modernisasi. Era modernisasi ini ditandai dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan cenderung mulai ditinggalkannya
tata nilai yang telah lama berakar dalam alam pikir masyarakat pendukungnya.
Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menggeser tata nilai itu,
terjadi pula proses transformasi nilai (budaya).
Istilah “negara yang sedang berkembang,” di samping mencangkup
pengertian proses pengintegrasian unsur-unsur tradisional untuk suatu solidaritas
nasional, adalah juga mencakup pengembangan hasil integrasi unsur-unsur
untuk peningkatan kesejahteraan kehidupan bangsa yang menunjang unsurunsur kebudayaan itu.
Kayam (1986) mengatakan bahwa transformasi nilai mengandalkan suatu
proses peralihan total dari suatu bentuk sosok baru yang akan mapan.
Transformasi sebagai tahap terakhir dari suatu perubahan yang mengarah ke era
globalisasi. Transformasi dapat dibayangkan sebagai titik balik yang cepat.
Di Indonesia sejak terbentuknya negara bangsa (nation state) pada masa
kemerdekaan telah terjadi transformasi di bidang kehidupan politik, ekonomi dan
sosial budaya. Dalam bidang politik bangsa Indonesia telah merdeka dan bebas
dari ikatan politik kolonial. Bidang ekonomi bangsa Indonesia terlepas dari
dominasi sistem ekonomi kolonial dan di bidang sosial budaya ditandai oleh
runtuhnya struktur sosial masyarakat feodal (Kartodirdjo, 1992).
Bagi Indonesia yang saat ini sedang melaksanakan pembangunan
nasional, proses transformasi itu terus berlanjut dan tidak terlepas dari elemen
kemodernan. Konsekuensi dari kemodernan ini akan diikuti pula dengan
perubahan-perubahan di bidang sosial budaya termasuk perubahan tata nilai
yang bersumber pada nilai-nilai budaya. Dalam proses kemodernan, ilmu
pengetahuan dan teknologi merupakan unsur-unsur yang dominan. Untuk
kepentingan
pengetahuan
Indonesia
dan
modern,
teknologi
penguasaan
merupakan
dan
bagian
pengembangan
penting
dalam
ilmu
usaha
menyukseskan pembangunan nasional (Sutrisna, 1992).
Seiring dengan upaya bangsa Indonesia untuk memajukan diri melalui
pembangunan nasional, terjadi pula proses globalisasi di dunia. Globalisasi itu
2
sendiri menunjuk pada pengertian pembauran atau kesamaan dalam hampir
segala aspek kehidupan manusia yang meliputi aspek-aspek sosial, budaya,
ekonomi, politik, ilmu pengetahuan, teknologi yang bersifat universal secara tidak
langsung juga mempengaruhi bidang informasi dan komunikasi.
Perkembangan teknologi informasi yang menuju ke arah globalisasi
komunikasi cenderung berpengaruh langsung terhadap tingkat peradaban
manusia. Kita semua menyadari bahwa perkembangan teknologi informasi pada
dekade terakhir ini bergerak sangat pesat dan telah menimbulkan dampak positif
maupun negatif terhadap tata kehidupan masyarakat di berbagai negara
(Subrata, 1992), termasuk Indonesia.
Masuknya pengaruh globalisasi informasi dan komunikasi ke Indonesia itu
tidak mungkin dihindari. Diterimanya pengaruh globalisasi informasi dan
komunikasi ini merupakan konsekuensi pasal 32 UUD 1945 yang dalam
penjelasannya menunjukan bahwa kita bangsa Indonesia tidak menolak ide-ide
baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkaya kebudayaan serta
mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.
Wujud konkret dari maksud penjelasan pasal 32 UUD 1945 itu adalah
terjadinya kontak-kontak budaya kita dengan budaya asing. Ini merupakan suatu
kenyataan bahwa bangsa Indonesia sebagai makhluk sosial tidak dapat
menghindarkan diri dari ketertarikan terhadap bangsa lain dengan konsekuensi
menerima pengaruh globalisasi dan komunikasi yang memperkenalkan kepada
kita ilmu pengetahuan dan produk-produk teknologi termasuk teknologi informasi
yang baru.
Warisan-warisan lama yang berbentuk pengaturan kehidupan material
yang dianggap tidak mungkin bisa mengatasi tuntutan persoalan mereka yang
baru, ditinjau kembali dan diusahakan pembaharuan kemungkinan-kemungkinan.
Tanah-tanah pertanian yang menjadi sempit, penduduk yang menjadi padat,
kemampuan manusia yang makin terbatas untuk menguasai alam karena
pengetahuannya sudah tidak mencukupi lagi, kebutuhan akan diferensiasi yang
lebih jauh, peninjauan akan kemampuan bentuk pemerintahan yang baru untuk
mendorong dan “menggalakkan” perubahan dan inovasi. Semua ini tercakup
dalam proses pengembangan hasil integrasi unsur-unsur tradisional itu tadi.
Inilah yang sering disebut dengan modernisasi.
Proses tersebut bukanlah proses yang selalu berjalan lancar. Sama
dengan proses pengintegrasian unsur-unsur tradisional menjadi integrasi baru
3
yang disebut integrasi nasional. Dalam proses modernisasi ditunjukan dengan
adanya kegelisahan dan ketegangan yang terutama berhubungan langsung
dengan masalah pembaruan dalam orientasi dari nilai-nilai.
Kesenian tradisional di Indonesia tumbuh sebagai bagian dari kebudayaan
masyarakat tradisional di wilayah itu. Dengan demikian ia mengandung sifat-sifat
atau ciri-ciri yang khas dari masyarakat tradisional.
Pertama, ia memiliki jangkauan yang terbatas pada lingkungan kultur yang
menunjangnya. Kedua, ia
merupakan pencerminan dari satu kultur yang
berkembang sangat perlahan karena dinamika masyarakat yang menunjangnya
memang demikian. Ketiga, ia merupakan bagian dari satu “kosmos” kehidupan
yang bulat dan tidak terbagi dalam pengkothakan spesialisasi. Keempat, ia
bukan merupakan hasil kreativitas individu tetapi tercipta bersama dengan sifat
kolektivitas masyarakat yang menunjangnya.
Pada awalnya, masyarakat Jawa berkembang dalam budaya mistik-religius
yang lambat laun mendewasakan diri dengan menyerap berbagai unsur yang
datang dari luar. Sikap masyarakat Jawa dengan struktur budaya yang terbuka
terhadap pengaruh asing cenderung membentuk pola budaya yang selalu
berkembang ke arah sintesa pluralistik. Kelenturan masyarakat Jawa dalam
menerima dan mengolah unsur pendatang dapat menciptakan bentuk-bentuk
budaya ambiguitas antara asli Jawa dan paham pendatang.
Wayang sebagai salah satu produk pendewasaan budaya Jawa terbentuk
dari nilai lokal yang diperkaya dan disempumakan dengan paham-paham
pendatang dari zaman ke zaman, hingga mampu mencapai posisi adiluhung.
Wayang dipercaya mempunyai nilai-nilai universal, selain memuat hampir
seluruh unsur seni yang dimiliki masyarakat Jawa. Dalam perkembangan terakhir
telah teruji bahwa wayang menyimpan nilai-kaji yang multi-disipliner, memuat
beragam fenomena disiplin ilmu terutama sosio-humaniora.
Bagi masyarakatnya, wayang adalah sumber penilaian watak manusia,
ajaran kebenaran, cermin tingkah laku dan tingkat kedewasaan seseorang. Nilainilai edukatif dalam wayang secara tidak langsung diajarkan kepada manusia
Jawa sejak dini tanpa pernah disadari pelakunya bahwa hal tersebut sebagai
proses pendidikan yang evolutif hingga akhimya disadari atau tidak, semuanya
bernaung dalam aura besar pewayangan. Fenomena kebesaran wayang telah
dirasakan sejak zaman raja-raja Jawa Kuno yang secara magis diwariskan turun-
4
temurun dengan sebuah pemahaman legenda bahwa manusia Jawa adalah
penerus kepahlawanan tokoh-tokoh/raja-raja besar dalam pewayangan.
Dalam masyarakat Jawa, wayang bukan hanya sebagai bentuk seni
pertunjukan, hiburan atau kesenian rakyat, melainkan telah menjadi bagian
habitus (komunal) dalam kehidupan sosial, religius, bahkan mistik. Wayang
mempunyai posisi penting sebagai penterjemah wewayangan (gambaran)
kehidupan universal yang diangkat dalam bahasa panggung untuk memberi nilai
segar bagi kehidupan masyarakat.
Wayang berkembang dalam tempo berabad-abad melewati berbagai versi,
namun fungsinya sebagai alat komunikasi tetap terjaga dan dipertahankan.
Propaganda yang terjadi di Jawa pada permulaan perkembangannya dilakukan
melalui alat-alat komunikasi tradsional (wayang, gamelan dan cerita-cerita) dan
orang Jawa “menerima dan mengembangkan” unsur-unsur modern.
Peranan seni-tradisional dalam suatu proses seperti integrasi nasional dan
modernisasi nampaknya akan lebih banyak pada unsur “synthesis.” Dalam satu
wilayah kultur seperti Indonesia di mana “dialog” dan bukan “konfrontasi” yang
nampaknya dipilih sebagai suatu “kawicaksanaan” (wisdom) utama, peranan seni
tradisional akan lebih berarti pada kemampuannya untuk merangkum unsurunsur. Dalam proses integrasi dan modernisasi itu, secara paradoxal, senitradisional bisa menjadi juru bicara yang mengaitkan unsur lama dengan unsur
baru.
Bersih desa sebagai tradisi budaya juga memuat seni spiritual. Seni
spiritual ini perlu dilihat lebih jauh dari aspek etnografi agar jelas makna dan
fungsinya. Jadi, mencermati seni dari sisi budaya bukanlah seni sebagai seni,
melainkan seni dalam konteks (Simatupang, 2005). Pendapat ini memberikan
gambaran bahwa dibalik fenomena tradisi dan seni, memuat konteks etnografi
yang menarik diperbincangkan. Hal yang menarik dari fenomena tradisi bersih
desa, dapat terkait dengan berbagai hal antara lain tempat, waktu dan pelaku
dalam rangkaian sebuah prosesi seni budaya. Atas dasar ini dapat dikatakan
bahwa dalam seni ada spiritualitas dan dalam tradisi ada seni.
Tradisi bersih desa telah mendarah daging dalam masyarakat Jawa
pedesaan, hampir setiap wilayah menyelenggarakannya. Format bersih desa dari
waktu ke waktu bisa saja berbeda atau berubah namun esensinya tetap pada
pendekatan diri pada Tuhan. Bersih desa dapat berusia panjang. Masing-masing
wilayah di Jawa memiliki keunikan sendiri-sendiri dalam melaksanakan bersih
5
desa. Salah satu aktivitas bersih desa yang tergolong unik adalah fenomena
yang ada di wilayah Bedoyo. Keunikan tradisi bersih desa di wilayah ini yaitu
selalu menggunakan seni pertunjukan ritual berupa wayang kulit. Rangkaian
ritual ini telah ditata menurut laku dan aktivitas spiritual. Di dalamnya terdapat
laku mistik kejawen yang kental dengan nilai-nilai mitos.
Bersih desa yang dilaksanakan di kawasan pegunungan telah berusia
lama dan memiliki mitos yang panjang. Tradisi ini juga terdapat mitos-mitos yang
diyakini akan membawa berkah apabila dihormati melalui bersih desa dan
sebaliknya akan mendatangkan bahaya apabila masyarakat meninggalkannya.
Fenomena ritual tersebut dalam seni pertunjukan spiritual yang selalu digunakan.
Ada perasaan takut masyarakat jika bersih desa tidak melaksanakan pertunjukan
wayang kulit. Itulah sebabnya, masyarakat selalu berjuang keras agar bersih
desa tetap terselenggara meskipun dalam ekonomi yang kurang memungkinkan.
Masyarakat selalu menyepakati secara aklamasi ketika dilakukan rencana
bersih desa. Hal ini selalu didorong oleh asumsi bahwa dengan cara gotong
royong menjalankan bersih desa kelak akan mendapatkan keselamatan hidup.
Kondisi ini meneguhkan kembali pendapat Taylor (Coleman,1998) bahwa inti dari
religi adalah kepercayaan pada hal-hal spiritual. Penjelasan ini, mengisyaratkan
bahwa nilai-nilai spiritual jauh lebih penting dibanding nilai material dalam bersih
desa. Nilai-nilai spiritual tersebut menjadi penggerak batin warga masyarakat
untuk selalu mengadakan aktivitas bersih desa.
Ini semua menunjukan bahwa peranan wayang sebagai frame of reference
dari simbol-simbol akan mulai berakhir dan mulai menginjak pada peranannya
yang lebih “profan” yang lebih “manusiawi” yakni sebagai drama, sebagai lakon
modern. Ini artinya penonton akan melihat perwatakan tokoh-tokoh wayang serta
lakon-lakon yang mendukungnya tidak lagi sebagai tokoh-tokoh atau lakon-lakon
teladan tetapi sebagai menusia-manusia dengan sejumlah kemungkinan.
Seiring dengan adanya penetrasi pengaruh paham asing yang instant dan
frontal dapat menyebabkan terjadinya pergeseran konsepsi budaya Jawa.
Akibatnya akan mengurangi daya lentur dalam melakukan filterisasi terhadap
budaya pendatang. Kondisi ini disadari sangat merisaukan kelangsungan tatanan
sosial dan perilaku budaya masyarakat Jawa. Eksistensi wayang yang mencoba
bertahan pada konsep-konsep dasar (pakem) akan semakin kehilangan daya
magisnya dalam menghimpun "aura penaung," bahkan sering terseret dalam
6
situasi yang penuh “tempelan" sebagai upaya mempertahankan diri agar tetap
diterima masyarakatnya.
Perumusan Masalah
Proses globalisasi informasi dan komunikasi di dunia ini melanda negaranegara yang sedang berkembang. Bangsa Indonesia sebagai makhluk sosial
tidak dapat menghindarkan diri dari ketertarikan hubungan dengan bangsa lain
dan sebagai konsekuensinya harus menerima pengaruh globalisasi termasuk di
dalamnya teknologi.
Pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas pada hakikatnya juga
merupakan pembangunan manusia yang memiliki ketahanan sosial budaya.
Ketahanan sosial budaya adalah suatu kondisi kehidupan sosial budaya bangsa
yang dijiwai kepribadian nasional berdasarkan Pancasila yang mengandung
kemampuan membentuk dan mengembangkan kehidupan sosial budaya
manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
rukun, bersatu, cinta tanah air, berkualitas, maju dan sejahtera dalam kehidupan
serba selaras, serasi dan seimbang serta memiliki kemampuan menangkal
penetrasi budaya asing yang tidak sesuai dengan kebudayaan nasional. Sikap
bangsa
Indonesia
dalam
menghadapi
penetrasi
budaya
asing
adalah
mempertahankan unsur-unsur yang baik dari kebudayaan sendiri dan mengambil
yang lebih baik dari kebudayaan asing tersebut.
Penyerapan unsur budaya luar dan inovasi yang muncul dari dalam akan
membuat kebudayaan yang merupakan salah satu sumber utama sistem atau
tata nilai masyarakat, berubah dan berkembang. Dinamika masyarakat
pendukungnya dalam arti pemikiran yang tidak menutup diri terhadap nilai-nilai
baru merupakan kekuatan utama dalam pengembangan setiap kebudayaan.
Salah satu pendorong dinamika masyarakat adalah media massa yang
dewasa ini telah termasuk dalam tatanan kehidupan masyarakat. Oleh
sementara pihak, media massa sering disebut the fourth estate dalam kehidupan
bermasyarakat. Sebagai suatu alat untuk menyampaikan berita, penilaian atau
gambaran umum tentang banyak hal, media massa mempunyai kemampuan
untuk berperan sebagai institusi yang dapat membentuk opini publik. Oleh
karena itu, media massa juga dapat berkembang menjadi kelompok penekan
atas suatu kepentingan atau citra yang dipresentasikan untuk dilaksanakan
dalam konteks kehidupan yang lebih empirik.
7
Pertunjukan wayang telah menjadi bagian dari kebutuhan hidup sebagian
masyarakat namun penggunaannya tampak masih selektif dan diskriminatif.
Pada umumnya warga masyarakat berpendidikan tertentu atau berkondisi sosial
tertentu
berkepentingan
untuk
menikmati
pertunjukan
wayang.
Padahal
pertunjukan wayang itu sendiri sebagai media komunikasi tradisional yang
memiliki daya ampuh sebagai penangkal terhadap melandanya ekses-ekses
gaya hidup dan budaya asing. Sehingga perlunya dilestarikan secara konseptual
dengan menggugah apresiasi generasi muda seraya tetap ajeg pada nilai-nilai
luhur yang dimilikinya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa penyaluran pesan melalui pertunjukan
wayang sedikit banyak berdampak pada perubahan pengetahuan, sikap dan
keterampilan
masyarakat yang secara tidak langsung terjadinya proses
pembinaan dan pengembangan sejumlah unsur kebudayaan masyarakat
setempat.
Bertolak dari pemikiran di atas, penelitian ini ingin melihat efektivitas
komunikasi dalam pertunjukan wayang purwa di era globalisasi untuk
mengetahui hubungan di antara gejala-gejala sosial dan bentuk dari hubungan
tersebut. Karenanya pertanyaan-pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai
berikut:
1. Seperti apa karakteristik individu masyarakat di Desa Bedoyo yang
menyaksikan pertunjukan wayang purwa?
2. Seperti apa karakteristik pertunjukan wayang purwa di Desa Bedoyo?
3. Sejauh mana tingkat efektivitas komunikasi masyarakat tentang bersih desa
dalam pertunjukan wayang purwa di Desa Bedoyo?
4. Sejauh
mana
hubungan
karakteristik
individu
masyarakat
dengan
karakteristik pertunjukan wayang purwa di Desa Bedoyo?
5. Sejauh mana hubungan karakteristik individu masyarakat dengan efektivitas
komunikasi masyarakat tentang bersih desa di Desa Bedoyo?
6. Sejauh mana hubungan karakteristik pertunjukan wayang purwa dengan
efektivitas komunikasi masyarakat tentang bersih desa di Desa Bedoyo?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis efektivitas
komunikasi dalam pertunjukan wayang purwa di era globalisasi. Secara spesifik
penelitian ini bertujuan untuk:
8
1. Mengetahui
karakteristik individu masyarakat di Desa Bedoyo yang
menyaksikan pertunjukan wayang purwa.
2. Mengetahui karakteristik pertunjukan wayang purwa di Desa Bedoyo.
3. Mengetahui tingkat efektivitas komunikasi masyarakat tentang bersih desa
dalam pertunjukan wayang purwa di Desa Bedoyo.
4. Mengetahui hubungan karakteristik individu masyarakat dengan karakteristik
pertunjukan wayang purwa di Desa Bedoyo.
5. Mengetahui hubungan karakteristik individu masyarakat dengan efektivitas
komunikasi masyarakat tentang bersih desa di Desa Bedoyo.
6. Mengetahui hubungan karakteristik pertunjukan wayang purwa dengan
efektivitas komunikasi masyarakat tentang bersih desa di Desa Bedoyo.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini secara umum diharapkan dapat menambah pengetahuan di
bidang komunikasi pembangunan. Manfaat penelitian ini apabila diuraikan
secara rinci dapat dibagi dua, yaitu manfaat penelitian secara teoritis dan
manfaat penelitian secara praktis. Adapun uraiannya sebagai berikut:
1. Dengan dilaksanakannya penelitian ini diharapkan dapat diperoleh suatu
konsep, yang mana aplikasi dari konsep tersebut dapat bermanfaat untuk
pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu komunikasi
pertanian dan pedesaan pada khususnya serta bagi para peneliti yang
melakukan penelitian sejenis.
2. Dalam hal kegunaan praktis, diharapkan penelitian ini bermanfaat untuk
bidang ilmu yang terkait dan bisa diaplikasikan dalam lingkungan
masyarakat.
3. Memberikan masukan bagi masyarakat dalam pelestarian tata nilai budaya
yang menjadi akar tradisional bangsa Indonesia.
4. Dari penelitian ini diharapkan dapat dilakukan penelitian lanjutan yang dapat
dilaksanakan oleh peneliti lain dengan bidang konsentrasi yang berbeda.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup wilayah kajian penelitian ini meliputi tujuh dusun dari
sembilan dusun yang terdapat di Desa Bedoyo, Kecamatan Ponjong, Gunung
Kidul, Yogyakarta yang terdiri dari: Ngalasombo, Ngrombo, Bedoyo Kulon,
Bedoyo Lor, Bedoyo Wetan, Bedoyo Kidul dan Surubendo.
9
Ruang lingkup peubah yang dibahas terbatas pada dua peubah. Pertama,
peubah bebas yaitu karakteristik individu dan pertunjukan wayang purwa.
Peubah karakteristik individu terdiri dari enam peubah, yaitu: (1) umur, (2) jenis
kelamin, (3) tingkat pendidikan, (4) pekerjaan, (5) tingkat pendapatan dan (6)
perilaku komunikasi. Peubah pertunjukan wayang purwa terdiri dari tiga indikator,
yaitu: (1) hubungan antara dalang dengan penonton, (2) tokoh pelaku dan (3)
tema serta masalah pokok. Kedua, peubah terikat, yaitu efektivitas komunikasi
masyarakat mengenai informasi bersih desa yang dilihat dari dua indikator, yaitu
pengetahuan masyarakat (kognitif) dan sikap masyarakat (afektif).
Kerangka Pemikiran dan Hipotesis
Kerangka Pemikiran
Menurut Schramm dan Kincaid (1978) komunikasi efektif terjadi bila proses
encode oleh komunikator bertautan dengan proses decode oleh komunikan.
Proses encode dan decode sangat dipengaruhi oleh bidang pengalaman (field of
experience) dan kerangka acuan (frame of reference) dari kedua belah pihak.
Semakin tumpang tindih bidang pengalaman dan kerangka acuan, semakin
efektif pesan yang dikomunikasikan.
Hodgetts dalam DeVito (1997 menyatakan bahwa komunikasi yang efektif
dapat terjadi bila kita memahami proses komunikasi. Proses komunikasi yang
telah disebut di bagian awal adalah proses pertukaran dan atau perasaan antar
manusia. Dengan kata lain, proses itu adalah proses encode sampai decode.
Komunikasi yang komunikatif merupakan komunikasi yang efektif, di mana
kedua belah pihak sama-sama memahami makna komunikasi yang terjadi di
antara mereka, baik secara informatif maupun persuasif. Dengan kata lain,
komunikasi berlangsung efektif dan efisien jika menghasilkan tindakan sesuai
tujuan dan biayanya wajar, dalam hal ini dapat dilihat dalam penggunaan wayang
purwa di kalangan masyarakat Jawa yang dalam hal ini cenderung untuk
ditinggalkan dan beralih ke media elektronik di era globalisasi teknologi informasi
dan komunikasi di berbagai negara berkembang di dunia.
Beberapa faktor yang mempengaruhi keefektivan suatu komunikasi di
antaranya adalah:
a. Karakteristik individu yang terdiri dari:
Umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, tingkat pendapatan dan
perilaku komunikasi.
10
b. Karakteristik pertunjukan wayang purwa terdiri dari:
Hubungan antara dalang dengan penonton, tokoh pelaku dan tema serta
masalah pokok.
c. Tingkat efektivitas komunikasi tentang bersih desa dalam memanfaatkan
pertunjukan wayang purwa yang dimaksud, dilihat atau diukur dari dua
indikator, yaitu pengetahuan dan sikap.
Dari uraian pemikiran tersebut maka kerangka alur pikir mengenai
efektivitas komunikasi pertunjukan wayang purwa di era globalisasi, dapat
diformulasikan sebagaimana tampilan Gambar 1.
Peubah Bebas
Peubah Terikat
Karakteristik Individu (X)
X1 Umur
X2 Jenis kelamin
X3 Tingkat pendidikan
X4 Pekerjaan
X5Tingkat pendapatan
X6 Perilaku komunikasi
H2
Efektivitas Komunikasi
Masyarakat tentang
Bersih Desa (Y)
H1
a. Pengetahuan
b. Sikap
Karakteristik Pertunjukan
Wayang Purwa (X7)
X7.1 Hubungan dalang
dengan penonton
X7.2 Tokoh pelaku
X7.3 Tema serta masalah
pokok
Gambar 1.
H3
Hubungan peubah bebas dan terikat pada kerangka analisis
efektivitas komunikasi masyarakat dalam memanfaatkan
pertunjukan wayang purwa di era globalisasi
11
Hipotesis
Berdasarkan kerangka berpikir yang telah dikemukakan, diajukan
hipotesis penelitian sebagai berikut:
H1
Terdapat
hubungan
nyata
antara
karakteristik
individu
dengan
karakteristik pertunjukan wayang purwa di Desa Bedoyo.
H2
Terdapat hubungan nyata antara karakteristik individu dengan efektivitas
komunikasi masyarakat tentang bersih desa di Desa Bedoyo.
H3
Terdapat hubungan nyata antara karakteristik pertunjukan wayang purwa
dengan efektivitas komunikasi masyarakat tentang bersih desa di Desa
Bedoyo.
Download