Pemerataan Pelayanan Jaminan Kesehatan Sepintu

advertisement
PEMERATAAN PELAYANAN JAMINAN KESEHATAN
SEPINTU SEDULANG DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
SUNGAILIAT KABUPATEN BANGKA
Oleh : Sarpin, S.Sos., MPA.1
Abstrak
Bahwa pemerataan Pelayanan Jaminan Kesehatan Sepintu Sedulang Di Rumah Sakit
Umum Daerah Sungailiat Kabupaten Bangka terjadi disparitas atau ketidakmerataan.
Hal tersebut di sebabkan oleh terbatasnya fasilitas pelayanan kesehatan yang di
sediakan oleh pihak RSUD Sungailiat. Tenaga medis maupun petugas kesehatan
beserta peralatan medis dan obat-obatan belum memadai sehingga yang terjadi adalah
pelayanan kesehatan bagi pasien rujukan JKSS belum merata.
Kata Kunci : Pemerataan, Pelayanan, Kesehatan, Biaya, Jaminan
A. Pendahuluan
Kebijakan otonomi daerah yang mulai digulirkan sejak tahun 1999 membawa
implikasi yang luas dalam berbagai bidang, mulai dari tata pemerintahan, keuangan
sampai dengan pelayanan publik. Ide bahwa otonomi daerah akan mendekatkan
pelayanan kepada masyarakat dan menciptakan pelayanan yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat telah dilakukan oleh berbagai pemerintah kabupaten dan kota.
Hal tersebut tampak dari hasil survey tentang governance dan desentralisasi yang
menemukan indikasi bahwa pelayanan publik telah bergerak kearah yang lebih baik
daripada sebelum otonomi daerah (Agus Dwiyanto, dkk., 2003). Kinerja pelayanan
publik yang sesuai dengan kebutuhan dan dinamika lokal menjadi salah satu dimensi
strategis dalam menilai keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dan reformasi tata
1
Dosen Tetap Prodi Sosiologi pada Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Universitas Bangka Belitung.
pemerintahan. Oleh karena itu, salah satu indikator penting
keberhasilan otonomi
daerah adalah implikasinya terhadap perbaikan kinerja pelayanan publik.
Tujuan yang hendak dicapai dalam pemberian otonomi daerah adalah
terwujudnya otonomi daerah yang nyata, dinamis dan bertanggungjawab, yang berarti
bahwa pemberian otonomi kepada daerah adalah didasarkan kepada faktor-faktor,
perhitungan-perhitungan dan tindakan-tindakan atau kebijakan-kebijakan yang benarbenar menjamin daerah yang bersangkutan untuk mengurus rumah tangganya.
(Sutarno, dkk., 2001). Esensi dari pemberian otonomi daerah adalah semakin besarnya
tanggung jawab daerah untuk mengurus tuntas segala permasalahan yang tercakup
dalam pembangunan masyarakat di daerah yang salah satunya adalah pemerataan
pelayanan kesehatan.
Wacana pemerataan pelayanan kesehatan, termasuk bidang pembangunan sosial
harus mendapatkan perhatian yang luas baik dari kalangan akademi maupun publik
secara umum, karena sebagian besar dari pendapat mereka belum melepaskan
pandangan yang melihat bahwa pemerataan pelayanan kesehatan sebagai kondisi yang
berkaitan erat dengan pembangunan ekonomi, sosial dan politik. Pembangunan
kesehatan masih dipahami sebagai permasalahan teknis belaka yang hanya melibatkan
para aktor medis seperti dokter, perawat dan tenaga paramedis lainnya. Sementara, dari
segi dan aspek kebijakan dan visi pembangunan kesehatan belum banyak dibawa ke
ruang publik secara luas untuk dibicarakan. Pembangunan kesehatan seakan-akan telah
dianggap mampu melakukan perubahan secara gradual untuk merespon perubahan
sosial politik masyarakat.
Dari wacana tersebut pembangunan kesehatan menjadi populis dalam fenomena
kebijakan saat ini. Oleh karena itu, praktik penyelenggaraan otonomi daerah yang luas
dan asas desentralisasi merupakan langkah kongkrit untuk mewujudkan pembangunan
kesehatan rakyat. Desentralisasi kesehatan juga menjadikan sektor kesehatan sebagai
urusan pemerintah daerah yang harus dipertanggungjawabkan kepada publik. Dengan
demikian pembangunan kesehatan adalah salah satu urusan menilai kinerja pemerintah
daerah terhadap publik.
B. Pembahasan
Berkaitan dengan hal tersebut diatas, melalui Peraturan Bupati Bangka Nomor
188.45/289/KES/2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Sepintu
Sedulang (JKSS), Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka berupaya mewujudkan
pembangunan kesehatan dengan meningkatkan akses dan pemerataan pelayanan
kesehatan kepada seluruh masyarakat di Kabupaten Bangka yang membutuhkan
pelayanan kesehatan, di tengah kondisi masyarakat yang mengalami peningkatan
gangguan penyakit.
Tabel I
Jumlah Penduduk yang Menderita Gangguan Kesehatan dirinci menurut 10 Jenis
Penyakit Terbanyak dan Kecamatan di Kabupaten Bangka Tahun 2003-2005
Jenis Penyakit
Penyakit
Kecamatan
Infeksi Akut
pulpa &
lain pada
jaringan
SPBA
periapikal
(3)
(4)
Asma
Penyakit
Penyakit
pada
kulit infeksi
Sistem Otot
(1)
(2)
(5)
(6)
1. Sungailiat
320
15.395
5.271
1.471
653
2. Bakam
168
701
247
300
174
3. Pemali
252
7.727
558
2.087
1.069
4. Merawang
107
1.884
1.315
250
93
5. Puding
120
869
162
370
74
6. Besar
522
3.635
1.784
1.108
409
7. Mendo
288
6.094
1.931
1.172
506
8. Barat
302
1.411
256
270
166
2.079
37.716
11.524
7.028
3.144
2005
1.559
23.397
4.096
5.581
2.722
2004
1.210
6.979
2.731
1.108
Belinyu
Riau Silip
Jumlah
2003
Jenis Penyakit
Penyakit
Penyakit
Lain
Malaria
Tekanan
Pada
Lain-
Klinis
Darah
Pernafasa
Lain
Tinggi
n Bagian
Penyakit
Kecamatan
Diare
Kulit
Alergi
Bawah
(1)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
1.155
2.192
4.301
2.437
222
19.437
2. Bakam
302
275
959
281
134
1.693
3. Pemali
442
1.049
921
872
308
2.804
4. Merawang
476
101
947
324
233
1.095
5. Puding
457
83
880
295
108
1.096
6. Besar
943
459
1.665
1.596
444
2.619
7. Mendo
563
701
1.421
972
551
3.686
8. Barat
199
219
939
236
72
946
Jumlah
4.537
5.079
12.033
7.013
2.072
33.376
2005
3.520
4.001
8.149
4.285
-
39.944
2004
1.774
1.624
3.362
2.118
-
12.800
1. Sungailiat
Belinyu
Riau Silip
2003
Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Bangka, tahun 2007
Tabel diatas menunjukkan bahwa di Kabupaten Bangka masih terdapat
persoalan kesehatan masyarakat yang harus menjadi perhatian pemerintah daerah. Data
tersebut juga menunjukkan bahwa dari tahun 2003 sampai dengan 2005 masih terjadi
peningkatan jumlah masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan.
Pemerataan pelayanan kesehatan pada hakikatnya adalah upaya bangsa
Indonesia mencapai pemerataan hidup sehat bagi setiap orang agar dapat mewujudkan
derajat kesehatan yang tinggi. Pemerataan pelayanan kesehatan hendaknya di bangun
untuk dapat mengatasi ketidakadilan sekaligus membenahi sistem pelayanan kesehatan
dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang semakin rumit dan mahal. UndangUndang Dasar 1945 pasal 28 H dan Undang-Undang nomor 23 tahun 1992 tentang
Kesehatan, menetapkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan.
Karena itu setiap orang, keluarga maupun masyarakat berhak memperoleh perlindungan
terhadap kesehatan dan negara atau pemerintah (Pusat dan Daerah) bertanggung jawab
mengatur agar pelayanan kesehatan kepada masyarakat dapat di wujudkan dengan adil
dan merata tanpa ada diskriminasi dalam pemberian pelayanan. Dengan demikian
pemerataan pelayanan kesehatan juga mempunyai peranan yang amat penting dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam setiap tahap pembangunan.
Guna meningkatkan pemerataan pelayanan kesehatan pada masyarakat,
Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka terus berupaya meningkatkan sarana dan
prasarana dalam menunjang pemerataan pelayanan kesehatan bagi masyarakat di
Kabupaten Bangka.
Tabel II
Fasilitas Kesehatan Tahun 2003 s.d 2007
Jumlah
Jenis Fasilitas
No.
Kesehatan
2003
2004
2005
2006
2007
1.
Rumah Sakit
1
1
1
1
1
2.
Tempat tidur
84
89
89
89
89
3.
Puskesmas
10
10
10
11
11
4.
Puskesmas Pembantu
29
29
35
35
35
5.
Praktek Dokter
21
31
35
35
35
6.
Bidan Praktek Swasta
57
53
56
30
30
7.
Apotik
3
3
9
9
9
Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Bangka, tahun 2008
Dari tabel di atas terlihat terbatasnya fasilitas kesehatan yang ada di Kabupaten
Bangka hal ini akan berdampak pada pemerataan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan
masyarakat. Disamping itu, dalam meningkatkan sarana dan prasarana tersebut diatas
pemerintah Kabupaten Bangka juga mendampingi kebijakan tersebut dengan
mengeluarkan kebijakan kesehatan dalam bentuk program Jaminan Kesehatan Sepintu
Sedulang (JKSS) bagi seluruh masyarakat di Kabupaten Bangka. Kebijakan ini sangat
diperlukan oleh masyarakat karena banyak permasalahan yang menyangkut pelayanan
kesehatan di Kabupaten Bangka yaitu:

Biaya pelayanan kesehatan yang cenderung mahal serta keterbatasan sarana dan
prasarana kesehatan yang dibutuhkan masyarakat.

Pemeliharaan
kesehatan
bagi
masyarakat
memerlukan
biaya
yang
berkesinambungan dan kondisi tidak mungkin di bebankan kepada masyarakat
apalagi masyarakat yang tidak mampu.

Tidak semua masyarakat mampu membiayai pemeliharaan kesehatannya sendiri, hal
ini penting ada pemeratan dalam pemberian pelayanan kesehatan yang murah dan
terjangkau untuk seluruh lapisan masyarakat.

Pembiayaan kesehatan yang dilakukan sendiri-sendiri cenderung lebih mahal dan
tidak menjamin kesehatan masyarakat terpelihara dengan baik dan pelayanan yang
diterima masyarakat cenderung diskriminatif.

Beban biaya pemeliharaan kesehatan untuk masyarakat lebih ringan karena adanya
Jaminan Kesehatan yang gratis untuk seluruh lapisan masyarakat
Kebijakan JKSS adalah kebijakan jaminan kesehatan yang terus tumbuh
mengikuti perkembangan masyarakat. Dengan sistem fee for service, dimana ada pasien
yang dilayani baru akan di bayar, sistem ini sangat berbeda dengan sistem pelayanan
kesehatan pada umumnya. Selain itu kelebihan dari JKSS di banding dengan jaminan
kesehatan lainnya (askes, jamkesmas) yang ada di Kabupaten Bangka adalah menjamin
seluruh obat generik dan juga obat paten (non generik) yang telah di setujui oleh
komite medik rumah sakit dengan jumlah mencapai 33 jenis obat. Selain itu JKSS
tidak di peruntukan untuk masyarakat atau profesi terntu seperti jaminan kesehatan
pada umumnya, tetapi JKSS di peruntukan bagi seluruh masyarakat Kabupaten Bangka.
Tabel III
Data Jumlah Pasien yang Menggunakan JKSS tahun 2005-2007
Jumlah
Tahun
%
Penduduk
Penerima Pelayanan
2005
231.519
43.082
18,60
2006
248.025
153.489
61,88
2007
241.870
167.306
69,17
Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Bangka Th. 2008
PERSENTASE PENGGUNA JKSS DI
KABUPATEN BANGKA
300000
JUMLAH PENDUDUK
250000
200000
Jumlah
pengguna
JKSS
150000
100000
jumlah
penduduk
50000
0
2005
2006
2007
TAHUN
Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Bangka, tahun 2008
Dari tabel tersebut di atas menunjukkan bahwa masih terdapat masyarakat yang
belum memanfaatkan fasilitas kebijakan JKSS untuk pemulihan dan pemeliharaan
kesehatan. Untuk itu, diperlukan identifikasi permasalahan dimaksud agar masyarakat
dapat memanfaatkan program tersebut secara maksimal. Dengan demikian kebijakan
yang diformulasikan oleh pemerintah Kabupaten Bangka mencapai tujuan sebagaimana
yang telah ditetapkan.
Kebijakan pembangunan kesehatan di Kabupaten Bangka diwujudkan dalam
bentuk Jaminan Kesehatan Sepintu Sedulang mulai dilaksanakan pada tahun 2005.
Anggaran yang diperlukan untuk pelaksanaan program adalah APBD 2005 sejumlah
Rp. 1.791.172.000,- untuk 4 wilayah Kecamatan Pemali, Kecamatan Puding Besar,
Kecamatan Bakam dan Kecamatan Mendo Barat. Selanjutnya, pada Tahun 2006
dikembangkan ke seluruh wilayah kecamatan dalam Kabupaten Bangka dengan alokasi
dana sebesar Rp. 3.518.284.800. Kemudian pada Tahun 2007 dialokasikan dana sebesar
Rp. 6.000.000.000,- dengan cakupan pelayanan yang lebih luas kepada masyarakat.
Dari anggaran tersebut pemerintah Kabupaten Bangka menyediakan berbagai sarana
prasarana untuk kelancaran kebijakan JKSS. Sarana prasarana tersebut antara lain :

Rawat Inap Pertama di Puskesmas

Rawat Inap Tingkat Lanjutan di RSUD( Kelas III )

Pelayanan Emergency di RSUD ( Kelas III )

Rawat Jalan Tingkat Pertama di Puskesmas dan Pustu

Kosultasi Medis dan Penyuluhan Kesehatan

Pemeriksan Fisik

Pemeriksaan Lab Sederhana (darah rutin, urine rutin dan tinja)

Tindakan Medis Kecil (pembesih luka, hecting, pemasangan kateter, pemasangan
infus, inisiasi abses)

Pemberian obat sesuai dengan daftar yang di tentukan
Sejak tahun 2007 program JKSS memberikan jaminan kesehatan rujukan di
RSUD Sungailiat. Jaminan yang di berikan meliputi pelayanan rujukan rawat jalan pada
poliklinik dokter spesialis, tindakan di UGD, dan rawat inap kelas III RSUD Sungailiat.
Prinsip dasar dari program kesehatan tersebut dilandasi pemikiran dan kerangka
filosofis bahwa semua warga negara berhak memperoleh derajat kesehatan yang
optimum agar dapat bekerja dan hidup layak sesuai dengan martabatnya sebagai
manusia. Pemerintah dan masyarakat bertanggungjawab dalam memelihara dan
mempertinggi derajat kesehatan masyarakat. Kebijakan Pemerintah Kabupaten Bangka
untuk menerapkan pemerataan pelayanan kesehatan JKSS di Kabupaten Bangka
merupakan hal positif dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang
baik.
Kebijakan desentralisasi kesehatan sektor kesehatan merupakan strategi penting
dalam reformasi manajemen pelayanan kesehatan. prinsip dasarnya adalah pelayanan
publik yang paling efisien seharusnya di selenggarakan oleh otoritas yang memiliki
kontrol geografis yang paling minimal, karena : a) pemerintah lokal lebih memahami
kebutuhan masyarakatnya, b) keputusan pemerintah dinilai
daerah lebih responsif
terhadap kebutuhan masyarakatnya sehingga mendorong pemerintah daerah melakukan
efisiensi dalam penggunaan dana yang berasal dari masyarakat, c) persaingan antar
daerah dalam memberikan pelayanan kepada msyarakat akan mendorong pemerintah
tersebut
untuk meningkatkan inovasinya. (Cheema dan Rondinelli (1983) dalam
Widaningrum (2 009).)
Dari pendapat di atas penerapan aspek-aspek pemeraataan seperti : fasilitas
pelayanan kesehatan, sistem dan prosedur pelayanan, dan etika pelayanan di dalam
penyelenggaraan pelayanan JKSS menjadi
prioritas terhadap peningkatan derajat
kesehatan masyarakat.
Kesehatan adalah hak dasar manusia oleh karena itu setiap orang berhak untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, terjangkau dan merata sehingga
derajat kesehatan masyarakat dapat diwujudkan. Dibawah ini akan disajikan teori-teori
tentang pemerataan dari berbagai latar belakang dan
disiplin ilmu sehingga akan
terlihat relevansi teori-teori tersebut dengan pemerataan pelayanan kesehatan.
Wagstaff dan Doorsle (1993) mengatakan penduduk harus dijamin untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan dengan kebutuhannya bukan sesuai
dengan kemampuan membayarnya. Pendapat ini menjelaskan bahwa pelayanan
kesehatan yang diberikan pada masyarakat tidak dapat diartikan bahwa semua orang
mendapat pelayanan yang sama karena jenis penyakit yang diderita tidak sama.
Pemahaman tentang pemerataan masih menjadi perdebatan karena sebagian
orang berpendapat bahwa pemerataan adalah keadilan (equity) atau sama rata untuk
semua (equality). Longman New Universal Dictionary (1982) menyebutkan Equity is ‘a
system of justice based on conscience and fairness’: Equiality is the state of being
equal’. Jadi, equality sebenarnya merupakan bagian dari pengertian equity, dalam arti
hanya memperdulikan persoalan ‘konstribusi yang sama besar’. Equity lebih tepat
diartikan sebagai keadilan dan tidak harus selalu berarti sama besar atau sama rata,
misalnya kelompok yang mempuanyai kemungkinan sakit lebih tinggi mungkin saja
memperoleh jaminan jangkauan pelayanan kesehatan yang lebih tinggi.
Selanjutnya pemerataan (equity) dapat dibedakan atas pemerataan horizontal
(horizontal equity) dan pemerataan vertical (vertical equity).

Kriteria pemerataan horizontal diantaranya adalah :
1.
Kesetaraan pengeluaran masyarakat untuk pelayanan kesehatan menurut
kebutuhan. Kesetaraan biaya perawat per rasio tempat tidur di rumah sakit
untuk pelayanan kasus akut atau gawat darurat.
2.
Kesetaraan pemanfaatan pelayanan menurut kebutuhan atau kesataraan lama
hari rawat rumah sakit menurut kondisi kesehatan.
3.
Kesetaraan akses menurut kebutuhan, kesetaraan waktu menunggu pelayanan
untuk pasien-pasien dengan kondisi yang sama.
4.
Kesetaraan status kesehatan, kesetarraan angka kematian menurut umur dan
jenis kelamin pada berbagai wilayah.
 Kriteria pemerataan vertikal diantaranya adalah :
1.
Perawatan yang tidak sama atau tidak setara untuk kebutuhan yang tidak sama
atau tidak setara, perawatan yang tidak sama atau tisak setara mereka dengan
kondisi penyakit yang mudah diobati dengan mereka yang memiliki kondisi
penyakit yang serius.
2.
Mekanisme pembiayaan yang sesuai tingkat kemampuan masyarakat
pemungutan pajak untuk membiayai pelayanan kesehatan sesuai kemampuan
masyarakat.
Selanjutnya teori Doorslaer menyebutkan bahwa pemerataan vertikal adalah
the requirement that persons in unequal be treated in on appropriately dissimilar way
(mereka yang memiliki kebutuhan yang berbeda harus diberikan pelayanan yang
berbeda). Individu atau keluarga dengan tingkat kemampuan membayar yang berbeda
membayar jasa pelayanan dengan nilai yang berbeda pula).
Sedangkan pemerataan horizontal menurut pendapat ini adalah mereka yang
memiliki kebutuhan yang sama harus diberikan pelayanan yang sama. Individu atau
keluarga yang memiliki kemampuan membayar yang sama memberikan kontribusi
yang sama pula.
Mooney (1987) mejabarkan konsep pemerataan untuk kesehatan sebagai:

kesetaraan pengeluaran per kapita untuk kesehatan

kesetaraan akses per kapita

kesetaraan pengeluaran untuk kesehatan menurut kebutuhan

kesetaraan akses menurut kebutuhan

kesetaraan pemanfaatan pelayanan menurut kebutuhan

kesetaraan status kesehatan
Teori Musgrove (1986) mengatakan bahwa pemerataan kesehatan sebagai
perawatan yang setara untuk semua pendudukan. Kesetaraan ini dapat diartikan
sebagai dicapainya status kesehatan sebaik-baiknya untuk semua yang harus didorong
melalui upaya kuratif, promotif, dan preventif (konsep pelayanan dasar) kemudian
berkembang menjadi konsep upaya pelayanan kesehatan primer.
Menurut teori Whitehead Pelayanan yang diberikan disarankan merupakan
suatu paket pelayanan yang menyeluruh (komprehensif) dan tersebar untuk
masyarakat di seluruh wilayah. Upaya peningkatan jangkauaan pelayanan kesehatan
melalui penyediaan pelayanan dengan kualitas standar ini dapat dipandang sebagai
penerapan upaya pemerataan pelayanan kesehatan yang bertumpu pada subsidi
Pemerintah, seperti yang dikembangkan dalam konsep equalquality of care for all
(Whitehead, 1992).
Banyak penelitian yang telah dilakukan terkait dengan pemerataan pelayanan
publik, diantaranya oleh oleh Hotman Siahaan (1986) yang meneliti tentang pelayanan
publik di bidang perumahan menunjukan kebenaran atas berbagai pendapat, bahwa
betapa pelayanan tersebut tidak menguntungkan orang miskin. kebijakan yang pada
mulanya berasaskan keterjangkuaan dan pemerataan, ternayata dalam realisasinya
terdapat perbedaan yang cukup besar antara berbagai golongan di masyarakat untuk
memanfaatkan fasilitas pelayanan publik melalui jalur birokrasi pemerintah. Studi ini
juga menyimpulkan adanya kombinasi berbagai faktor ekonomis, sosiologis, dan
institusional terhadap pemerataan pelayanan program.
Kemudian, dalam penelitian yang di lakukakan oleh Agus Pramusinto (1989)
tentang Pemerataan pelayanan Kredit Pedesaan (Suatu Perbandingan Antara Badan
Kredit Kecamatan dan Sekto Kredit Desa) menyimpulkan bahwa pelayanan kredit
belum mampu merata secara geografis maupun secara struktural. Kaum miskin selalu
mendapatkan kredit yang lebih kecil bila di bandingkan dengan mereka yang kaya.
Fasilitas pelayanan yang tidak memadai merupakan salah satu kendala bagi sebagaian
masyarakat untuk memanfaatkan pelayanan. Jarak pusat layanan dengan tempat
tinggal kelompok sasaran belum menjangkau. Selain itu diskriminasi dari lembaga
kredit terhadap masyarakat dalam pemberian pelayanan bisa merugikan kelompok
miskin.
Penelitian Ascobat Gani (1981) dalam Agus Pramusinto dibidang pelayanan
kesehatan menjelaskan bahwa tidak semua warga masyarakat yang sakit akan mampu
menggunakan pusat-pusat pelayanan kesehatan yang di sediakan oleh pemerintah.
Ascobat Gani menggunakan konsep demand seperti dalam teori ekonomi, sehingga
konsumsi seseorang terhadap pelayanan publik adalah kombinasi antara keinginan dan
uang untuk memperoleh pelayanan.
Penelitian yang dilakukan oleh Jangkan di Kabupaten Sintang (2006) tentang
Implementasi Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin di Kabupaten Sintang hasil
penelitianya menunjukan bahwa : Kebijakan Pemda yang mendukung pelaksanaan
pelayanan kesehatan bagi maskin baru sebatas penetapan jumlah maskin dan
pembentukan tim safe guarding PJKMM, belum ada dukungan dan (pembiayaan)
untuk pelayanan kesehatan bagi maskin.Dari hasil penelitian ini diperoleh data bahwa
semua pasien yang datang ke pelayanan puskesmas sudah memenuhi kriteria
miskin.Prosedur pelayanan maskin oleh puskesmas sudah cukup baik, dengan tidak
membedakan pelayanan antara yang menggunakan kartu Askeskin dan yang
membayar. Pemanfaatan pelayanan di Puskesmas Emparu sudah cukup baik,
mendekati target yang ditetukan, sedangkan di puskesmas Sepauk pemanfaatannya
masih rendah, jauh dari target. Hambatan-hambatan yang dijumpai adalah masih
belum meratanya pemberian kartu Askeskin, masih banyak penderita yang betul-betul
miskin tapi tidak punya kartu Askeskin, dan juga masih belum menggunakan SKTM.
Berdasarkan hasil penelitian yang di lakukan oleh Bertnadus Tandidatu
tentang kualitas Pelayanan Kesehatan ( studi kasus pelayanan kesehatan di RSUD
DR. Jaap Sallosa, M. Si, Kabupaten Puncak Jaya) di simpulkan bahwa pengguna
layanan masih mengeluh lambatnya wakatu pelayanan, belum memadainya fasilitas
pendukung pelayanan, sikap dan perilakau para medis ayang kurang ramah dan
kurang sopan serta mabuk-mabukan pada saat menjalankan
pelayanan ( tugas
medisnya). Dari hasil identifikasi dan studi ekspolorasi, di temukan berbagai faktor
yang mempengaruhi kualitas pelayanan kesehatan. Dari kondisi internal (institusi)
yaitu SDM para medis, sarana dan prasaran,
sistem reward dan kesejahteraan
paramedis. Dari kondisi eksternal yaitu letak geografis dan topografis serta
komunikasi ternyata sangat mempengaruhi kualitas pelayanan
kesehatan di RSUD,
DR Jaap Sallosa, M. Si Kabupaten Puncak Jaya Propinsi Papua.
Penelitian tentang Jaminan Kesehatan Sepintu Sedulang inipun pernah
dilakukan oleh M. Akib Murrod
dengan judul Pelaksaaan Kebijakan Pelayanan
Kesehatan Gratis Bagi Semua Masyarakat di Kabupaten Bangka (Studi Kasus
Pemanfaatan Puskemas) yaitu:
1. Terjadinya utilitas disemua unit pelaksana pelayanan baik Puskemas maupun Dokter
Praktek Swasta.
2. Karakteristik konsumen dalam pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Sepintu
Sedulang terdiri dari kelompok miskin dengan kisaran 3% sampai 4% tingkat
pendidikan terbesar terdiri dari SD dan belum tamat SD 36% dan 3%.
3. Ada kecenderungan terjadinya moral hazard oleh tenaga media dalam meningkatkan
utilisasi unit pelayanan.
4. Mekanisme control Bapel belum baik, karna belum ada upaya
evaluasi secara
menyeluruh terhadap unit pelaksana pelayanan.
5. Citra pelayanan belum baik, terjadinya utilitasi pada unit pelayanan lebih di
sebabkan karena masyarakat ingin memanfaatkan pelayanan gratis.
Suatu kebijakan yang telah dipilih oleh pembuat kebijakan bukanlah jaminan
kebijakan tersebut berhasil dalam pelaksanaannya. Kebijakan JKSS di Kabupaten
Bangka merupakan kebijakan yang diimplementasikan dalam rangka meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat. Kebijakan ini diformulasikan oleh pemerintah daerah
dalam upaya memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik diera otonomi daerah
dalam rangka mewujudkan clean and good governance. Namun untuk mewujudkan
tujuan yang telah ditetapkan maka diperlukan kajian dan penelitian lebih lanjut agar
kebijakan tersebut dapat berjalan sebagaimana ketentuan yang ditetapkan.
Berdasarkan permasalahan pada pendahuluan diatas masih terdapat masyarakat
Kabupaten Bangka yang belum memanfaatkan kebijakan JKSS untuk pemulihan dan
pemelihaaraan kesehatan dengan demikian dapat dirumuskan pertanyaan dalam
penelitian ini sebagai berikut:
C. Kesimpulan
Berdasarkan pada hasil penelitian dan analisis Pemerataan Pelayanan Jaminan
Kesehatan Sepintu Sedulang Di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sungailiat
Kabupaten Bangka dapat ditarik kesimpulan bahwa pemerataan Pelayanan Jaminan
Kesehatan Sepintu Sedulang Di Rumah Sakit Umum Daerah Sungailiat Kabupaten
Bangka terjadi disparitas atau ketidakmerataan. Hal tersebut di sebabkan oleh
terbatasnya fasilitas pelayanan kesehatan yang di sediakan oleh pihak RSUD Sungailiat.
Tenaga medis maupun petugas kesehatan beserta peralatan medis dan obat-obatan
belum memadai sehingga yang terjadi adalah pelayanan kesehatan bagi pasien rujukan
JKSS belum merata.
Akses ke fasilitas pelayanan terjadi perbedaan dalam menjangkaunya baik dari
lamanya perjalanan, jenis transportasi yang dipergunakan dan besarnya biaya yang
dikeluarkan hanya memberikan keuntungan kepada pasien yang mempunyai
kemampuan dari sisi ekonomi yaitu pasien JKSS dalam Kota. Sistem dan Prosedur yang
lama dan panjang serta rumit bagi pasien yang tidak di barengi dengan informasi yang
jelas maka semakin tidak merata pelayanan kesehatan bagi pasien JKSS. Sehingga
pemanfaatan pelayanan kesehatan lebih menguntungkan pasien JKSS yang mempunyai
kedekatan sosial dengan penyelenggara pelayanan kesehatan. Etika Pelayanan tenaga
medis maupun petugas kesehatan dalam menjalankan tugasnya baik yang bertugas di
Puskesmas maupun di RSUD Sungailiat belum berorientasi kepada kepentingan dan
kebutuhan pasien sehingga menyebabkan ada pasien yang diuntungkan dan dirugikan
dalam menikmati kenyamanan pelayanan kesehatan.
Download