kajian penduga muka air tanah untuk mendukung

advertisement
KAJIAN PENDUGA MUKA AIR TANAH
UNTUK MENDUKUNG PENGELOLAAN AIR PADA
PERTANIAN LAHAN RAWA PASANG SURUT:
KASUS DI SUMATERA SELATAN
NGUDIANTORO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi dengan judul: “Kajian
Penduga Muka Air Tanah untuk Mendukung Pengelolaan Air pada
Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut: Kasus di Sumatera Selatan” adalah
karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan
dalam bentuk apa pun kepada Perguruan Tinggi mana pun. Sumber informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan
dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir Disertasi ini.
Bogor, Mei 2009
Ngudiantoro
NRP P062040041
ABSTRACT
NGUDIANTORO. The Study of Water Table Estimation to Support Water
Management in Tidal Lowland Agriculture: A Case in South Sumatra. Under
direction of HIDAYAT PAWITAN, MUHAMMAD ARDIANSYAH,
M. YANUAR J. PURWANTO, and ROBIYANTO H. SUSANTO.
The objectives of this research are: i) to study the characteristics of tidal
lowland area based on hydro topographical condition, ii) to develop a model of
water table on tidal lowland area, and iii) to develop natural resource and
environment management strategies for improving agriculture production and
cropping intensity on tidal lowland area. Modeling of water table expected to
support the agriculture development on tidal lowland area, especially on water
management due to the important role of water management in the agriculture on
tidal lowland area. The water table controls on the particular depth can support the
farming system and avoid pyrite oxidation. Results obtained from the research
were the characteristics of tidal lowland area based on hydro topographical
condition, the estimation model of water table on tidal lowland area, the scenarios
of the water system control at the tertiary canals to control the water table in the
field, and the natural resource and environment management strategies. The
developed model has been tested on the three tidal lowland areas based on hydro
topographical condition in Delta Telang I and Delta Saleh, Banyuasin district,
South Sumatra province. The simulated model showed the promoting result in
estimating the depth of water table on tidal lowland area. The developed model
could explain the proportion of water table depth variation between 89,5% up to
98,7% with standard error estimation varied from 0,021 to 0,042 meters. The
model has high sensitivity to the parameter of the water level in the tertiary canals.
Key words: water table estimation, water management, tidal lowland area.
RINGKASAN
NGUDIANTORO. Kajian Penduga Muka Air Tanah untuk Mendukung
Pengelolaan Air pada Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut: Kasus di
Sumatera Selatan. Dibimbing oleh HIDAYAT PAWITAN, MUHAMMAD
ARDIANSYAH, M. YANUAR J. PURWANTO, dan ROBIYANTO H.
SUSANTO.
Lahan rawa pasang surut memiliki potensi yang besar dan prospek
pengembangan yang baik, serta merupakan salah satu pilihan strategis sebagai
areal produksi pertanian guna mendukung ketahanan pangan nasional. Reklamasi
atau pengembangan lahan rawa pasang surut untuk pertanian telah dilakukan
pemerintah sejak tahun 1970-an. Pada awal reklamasi, sistem jaringan tata air
yang dibangun masih merupakan sistem jaringan terbuka dengan fungsi utama
untuk drainase. Pengaturan tata air sepenuhnya masih bergantung pada kondisi
alam, sehingga kemampuan pelayanan tata air masih sangat rendah. Pada sistem
jaringan terbuka, tipe luapan air pasang menjadi pertimbangan utama dalam
penerapan sistem usahatani. Dengan dibangunnya infrastruktur pengendali air
(pintu air), maka beberapa pokok persoalan teknis mulai dapat dipecahkan, namun
dalam pelaksanaannya masih terhambat oleh kondisi yang beragam di lapangan.
Berbagai pemikiran dan penelitian terus dilakukan dalam upaya
peningkatan produksi pertanian dan indeks pertanaman (IP). Berbagai hasil
penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan air merupakan kunci keberhasilan
dalam pengembangan pertanian lahan rawa pasang surut. Pengelolaan air dapat
mengendalikan kondisi muka air tanah di petak lahan yang fluktuatif. Namun
demikian, pengelolaan air masih terkendala oleh kondisi infrastruktur pengendali
air yang belum memadai. Sebagian besar jaringan tata air di daerah reklamasi
rawa pasang surut masih belum dilengkapi dengan infrastruktur pengendali air
yang memadai. Tanpa pintu air, terutama di saluran tersier, maka pengendalian
muka air tanah di petak lahan akan sulit dilakukan. Selain itu, teknik yang
diterapkan juga masih bergantung pada pengamatan muka air tanah secara
langsung di lapangan, yaitu dengan membuat sumur-sumur pengamatan.
Meskipun memiliki akurasi yang tinggi, namun pengamatan secara langsung
memerlukan waktu, tenaga, dan biaya yang besar. Informasi yang diperoleh juga
terbatas pada titik pengamatan dan jangka waktu pengamatan tertentu. Oleh
karena itu, perlu dibangun suatu model penduga muka air tanah, sehingga kondisi
muka air tanah di petak lahan dapat diketahui secara cepat melalui parameterparameter model sebagai prediktor.
Penelitian bertujuan untuk: 1) Mempelajari karakteristik lahan rawa
pasang surut menurut kondisi hidrotopografi lahan; 2) Pemodelan muka air tanah
pada lahan rawa pasang surut: membangun model penduga muka air tanah di
petak tersier, menduga kedalaman muka air tanah di petak tersier, dan
membangun skenario pengaturan tata air untuk pengendalian muka air tanah di
petak lahan; serta 3) Membangun strategi pengelolaan sumber daya alam dan
lingkungan pada lahan rawa pasang surut untuk mendukung peningkatan produksi
pertanian dan indeks pertanaman (IP).
Penelitian lapangan telah dilakukan selama 24 bulan, yaitu dari bulan
April 2006 hingga Maret 2008. Lokasi penelitian berada di daerah reklamasi rawa
pasang surut, yaitu di petak tersier 3 P8-12S dan petak tersier 3 P6-3N Delta
Telang I, serta di petak tersier 3 P10-2S Delta Saleh. Ketiga lokasi tersebut
terletak di Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Pemilihan lokasi
didasarkan atas perbedaan kondisi hidrotopografi lahan, yaitu lahan tipe A/B
(P8-12S), tipe B/C (P6-3N), dan lahan tipe C/D (P10-2S).
Hidrotopografi lahan merupakan perbandingan relatif antara elevasi lahan
dengan ketinggian muka air di saluran. Lahan tipe A selalu terluapi oleh air
pasang, baik pasang besar (terjadi pada musim hujan) maupun pasang kecil
(terjadi pada musim kemarau), sedangkan lahan tipe B hanya terluapi oleh air
pasang besar saja. Lahan tipe C tidak terluapi oleh air pasang, baik pasang besar
maupun pasang kecil, tetapi muka air tanah di petak lahan masih dipengaruhi oleh
fluktuasi air pasang. Pada lahan tipe D, selain tidak terluapi air pasang, muka air
tanah juga tidak terpengaruh oleh fluktuasi air pasang.
Tanpa irigasi, sumber air utama pada lahan rawa pasang surut berasal dari
air hujan dan air pasang di saluran. Pemasukan air ke petak lahan dengan
memanfaatkan potensi air pasang dapat dilakukan pada lahan tipe A dan B,
sedangkan pemasukan air pada lahan tipe C dan D sulit dilakukan karena
permukaan lahan relatif lebih tinggi dibandingkan muka air pasang di saluran.
Kedalaman muka air tanah pada lahan tipe C dan D dapat dipertahankan dengan
teknik retensi air.
Pengendalian muka air tanah pada lahan rawa pasang surut merupakan
suatu proses kunci yang harus dilakukan dengan tepat melalui pengelolaan air,
baik di tingkat makro maupun mikro. Pengelolaan tata air mikro akan menentukan
secara langsung kondisi lingkungan bagi pertumbuhan tanaman. Dalam
pengelolaan air, setiap petak tersier merupakan satu unit sistem pengelolaan air.
Tanpa infrastruktur pengendali air, teknik pengelolaan air pada lahan rawa pasang
surut dilakukan secara gravitasi dengan memanfaatkan potensi luapan air pasang
ke lahan. Teknik ini sangat bergantung pada kondisi hidrotopogafi lahan, sehingga
kemampuan pelayanan tata air masih sangat rendah. Pada jaringan tata air yang
dilengkapi dengan pintu air, terutama di tingkat tersier, maka pengelolaan air
seperti pemasukan air, drainase, dan retensi air dapat dilakukan dengan baik
sehingga sistem usahatani yang diterapkan dapat optimal.
Pemodelan muka air tanah merupakan salah satu upaya untuk mendukung
pengelolaan air, terutama di tingkat mikro. Model penduga muka air tanah di
petak tersier lahan rawa pasang surut telah dapat dirumuskan. Dengan model
tersebut, maka tinggi muka air tanah pada jarak x dari saluran (h(x)) dapat diduga
melalui beberapa parameter model, yaitu: tinggi muka air di saluran tersier (hw),
curah hujan (R), evapotranspirasi (ET), konduktivitas hidrolik tanah (K), jarak
antar saluran tersier (2s), dan lebar saluran (ℓ).
Hasil simulasi menunjukkan bahwa model yang dibangun dapat menduga
kedalaman muka air tanah di petak lahan dengan hasil yang cukup baik. Proporsi
keragaman kedalaman muka air tanah yang dapat dijelaskan oleh model yaitu
sebesar 89,5% hingga 98,7% dengan galat baku pendugaan 0,021-0,042 meter.
Model penduga muka air tanah yang dibangun memiliki sensitivitas tinggi
terhadap parameter tinggi muka air di saluran tersier. Perubahan yang terjadi pada
hw akan menyebabkan terjadinya perubahan pada h(x) dengan besaran yang sama.
Sementara itu, pengaruh parameter R dan ET terhadap perubahan h(x) relatif kecil.
Perubahan h(x) oleh R atau ET yang cukup nyata hanya terjadi pada lahan yang
letaknya relatif jauh dari saluran.
Skenario pengaturan tata air untuk pengendalian muka air tanah di petak
lahan telah dibangun dalam penelitian ini berdasarkan model penduga muka air
tanah yang telah dihasilkan. Kondisi muka air tanah di petak lahan dapat
dikendalikan melalui pengaturan tinggi muka air di saluran tersier. Selanjutnya,
strategi pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan pada lahan rawa pasang
surut yang ditekankan pada aspek pengembangan sistem usahatani dan
pengendalian lapisan pirit dibangun melalui teknik pengendalian muka air tanah.
Pada pertanian lahan rawa pasang surut, tanaman akan tumbuh dan
berkembang dengan baik apabila kedalaman muka air tanah dapat diatur sesuai
dengan zona perakaran tanaman, dan pirit yang ada di dalam tanah tidak
teroksidasi. Penurunan muka air tanah hingga di bawah lapisan tanah yang
mengandung pirit akan menyebabkan terjadinya oksidasi pirit yang menghasilkan
senyawa sulfat. Asam sulfat bersifat racun, sehingga dapat mengganggu
pertumbuhan tanaman. Oksidasi pirit dapat dikendalikan dengan menekan
kandungan oksigen yang tersedia di dalam tanah, yaitu dengan mengatur
kedalaman muka air tanah.
Secara teknis, pengendalian muka air tanah juga dapat meningkatkan
indeks pertanaman (IP) pada lahan rawa pasang surut. Pada lahan tipe A,
usahatani padi dapat dilakukan 2 kali dalam setahun, potensi luapan air pasang
cukup mendukung ketersediaan air bagi tanaman pada MT II. Kondisi yang sama
juga dapat dilakukan pada lahan tipe B, namun untuk mendukung ketersediaan air
pada MT II perlu dilakukan retensi air. Pada lahan tipe C dan D, usahatani padi
sulit dilakukan 2 kali dalam setahun, sebab sumber air yang utama hanya berasal
dari air hujan, sedangkan potensi luapan air pasang tidak dapat menjangkau lahan.
Kegiatan usahatani yang dapat dilakukan pada MT II yaitu tanaman palawija.
Untuk MT III, kegiatan usahatani palawija dapat dilakukan pada semua tipe lahan.
Namun demikian, pemasukan dan retensi air untuk mendukung ketersediaan air
bagi tanaman harus memperhatikan kualitas air, karena pada musim kemarau
dapat terjadi intrusi air asin.
Agar kondisi muka air tanah dapat mendukung sistem usahatani, maka
perlu dibuat panduan pengoperasian pintu air di saluran tersier sesuai dengan
sistem usahatani yang diterapkan. Penelitian lanjutan tentang sistem telemetri dan
rekayasa sistem kontrol (bangunan pengendalian air) di saluran tersier dapat
melengkapi model dan teknik pengendalian muka air tanah yang telah dibangun.
Selanjutnya, keberhasilan dan keberlanjutan pengembangan pertanian
lahan rawa pasang surut harus didukung dengan infrastruktur pengendali air yang
memadai, operasi dan pemeliharaan jaringan dengan penguatan kelembagaan P3A
(Perkumpulan Petani Pemakai Air), serta pengenalan dan implementasi sistem
usahatani. Peningkatan kemampuan dan pemberdayaan, serta partisipasi
masyarakat perlu dilakukan secara berkesinambungan melalui berbagai sosialisasi
dan pelatihan, baik dari aspek teknis maupun non teknis.
KAJIAN PENDUGA MUKA AIR TANAH
UNTUK MENDUKUNG PENGELOLAAN AIR PADA
PERTANIAN LAHAN RAWA PASANG SURUT:
KASUS DI SUMATERA SELATAN
NGUDIANTORO
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup:
1.
Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono
Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
2.
Prof. Dr. Ir. Asep Sapei, M.S
Ketua Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka:
1.
Dr. Ir. Trip Alihamsyah, M.Sc
Kepala Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian, Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian
2.
Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono
Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
Judul Disertasi
: Kajian Penduga Muka Air Tanah untuk Mendukung
Pengelolaan Air pada Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut:
Kasus di Sumatera Selatan
Nama
: Ngudiantoro
NRP
: P062040041
Program Studi
: Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hidayat Pawitan, M.Sc.
Ketua
Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah
Anggota
Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto, M.S.
Anggota
Dr. Ir. Robiyanto H. Susanto, M.Agr.Sc.
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumber Daya Alam dan
Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian: 06 Mei 2009
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala
rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema
penelitian yaitu tentang pengendalian muka air tanah (water table). Penelitian
dengan judul “Kajian Penduga Muka Air Tanah untuk Mendukung
Pengelolaan Air pada Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut: Kasus di
Sumatera Selatan” dilakukan di daerah reklamasi rawa pasang surut Delta
Telang I dan Delta Saleh, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan.
Penelitian lapangan dilakukan sejak bulan April 2006 hingga Maret 2008.
Tujuan utama penelitian yaitu membangun model penduga muka air tanah
di petak tersier lahan rawa pasang surut. Hasil penelitian diharapkan dapat
mendukung pengembangan pertanian di daerah rawa pasang surut, terutama
dalam pengelolaan air, karena pengelolaan air akan mempengaruhi kondisi muka
air tanah di petak lahan yang menentukan secara langsung kondisi lingkungan
bagi pertumbuhan tanaman.
Ucapan terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada Bapak
Prof. Dr. Ir. Hidayat Pawitan, M.Sc, Bapak Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah, Bapak
Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto, M.S, dan Bapak Dr. Ir. Robiyanto
H. Susanto, M.Agr.Sc selaku komisi pembimbing yang telah banyak memberikan
saran dan masukan.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ditjen Dikti Depdiknas,
Dinas PU Pengairan Kabupaten Banyuasin, Dinas PU Pengairan Provinsi
Sumatera Selatan, Ditjen Sumber Daya Air Departemen PU, Departemen
Pertanian, Universitas Sriwijaya, Pusat Data-Informasi Daerah Rawa dan Pesisir,
serta Rijkswaterstaat UNESCO-IHE the Netherlands yang telah banyak
memfasilitasi dalam pelaksanaan penelitian di lapangan.
Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih kepada anak-anak dan
istri, serta seluruh keluarga atas doa dan dukungan yang diberikan.
Saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan guna
penyempurnaan hasil yang telah dicapai. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2009
Ngudiantoro
RIWATAR HIDUP
Penulis dilahirkan di Blitar pada tanggal 10 Oktober 1971 dari Ayah
bernama Sukomiharjo dan Ibu Supini. Penulis merupakan putra pertama dari dua
bersaudara.
Jenjang pendidikan tinggi diawali di Jurusan Matematika, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sriwijaya. Penulis
menyelesaikan pendidikan sarjana tahun 1996 dengan judul karya ilmiah
“Pemodelan Stokastik: Proses Kelahiran Cluster Yule-Furry” di bawah bimbingan
Prof. Dr. Herman Mawengkang dari FMIPA Universitas Sumatera Utara dan
Drs. A. Ramali L.P. dari FMIPA Universitas Sriwijaya.
Pada tahun 1997, penulis diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil pada
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sriwijaya. Tahun
2001, penulis melanjutkan pendidikan ke Program Magister (S2) pada Program
Studi Statistika, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Beasiswa
pendidikan S2 diperoleh dari BPPs Ditjen Dikti. Pendidikan S2 diselesaikan pada
tahun 2004 dengan judul karya ilmiah “Penerapan Analisis Procrustes dan
Autokorelasi Spasial dalam Mengkaji Konfigurasi dan Pola Spasial Indikator
Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia” di bawah bimbingan Dr. Ir. Bambang
Juanda, M.S dan Dr. Ir. H. Asep Saefuddin, M.Sc. Pada tahun yang sama, penulis
melanjutkan pendidikan ke Program Doktor (S3) pada Program Studi Pengelolaan
Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor. Beasiswa pendidikan S3 juga diperoleh dari BPPs Ditjen Dikti.
Sejak tahun 2006, penulis menjadi anggota peneliti dalam bidang sumber
daya air pada Pusat Penelitian Manajemen Air dan Lahan (PPMAL) Universitas
Sriwijaya. Selain aktif dalam berbagai kegiatan pengembangan daerah rawa,
penulis juga menulis beberapa artikel tentang model pengendalian muka air tanah
pada lahan rawa pasang surut. Artikel yang berjudul ”Pengembangan Model
Ellips untuk Pendugaan Muka Air Tanah pada Lahan Rawa Pasang Surut” telah
diterbitkan dalam Jurnal Penelitian Sains Vol. 11(3) tahun 2008. Selanjutnya,
beberapa artikel yang sedang dalam proses penerbitan yaitu ”Model Penduga
Muka Air Tanah untuk Mendukung Pengelolaan Air pada Pertanian Lahan Rawa
Pasang Surut Tipe A/B” akan diterbitkan dalam Jurnal Matematika, Sains, dan
Teknologi Vol. 10(1) tahun 2009, ”Model Penduga Muka Air Tanah untuk
Mendukung Pengelolaan Air pada Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut Tipe B/C”
akan diterbitkan dalam Jurnal Ilmiah Forum Pascasarjana IPB Vol. 32(3) tahun
2009, dan ”Model Penduga Muka Air Tanah untuk Mendukung Pengelolaan Air
pada Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut Tipe C/D” akan diterbitkan dalam
Jurnal Pengelolaan Lingkungan dan Sumber Daya Alam Vol. 7(2) tahun 2009.
Penulis menikah dengan Susana pada tahun 1998 dan dikaruniai satu
orang putri bernama Annisa Intan Puspa serta dua orang putra, yaitu Muhammad
Harits dan Muhammad Naufal.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL............................................................................................. vii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ viii
DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................... xi
PENDAHULUAN ............................................................................................
Latar Belakang.........................................................................................
Perumusan Masalah .................................................................................
Kerangka Pemikiran ................................................................................
Tujuan Penelitian .....................................................................................
Manfaat Penelitian ...................................................................................
1
1
6
7
9
9
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................
Keadaan Umum Wilayah Penelitian........................................................
Kabupaten Banyuasin.....................................................................
Delta Telang I.................................................................................
Delta Saleh .....................................................................................
Pengertian Rawa ......................................................................................
Lahan Rawa Pasang Surut .......................................................................
Kimiawi Tanah...............................................................................
Hidrotopografi Lahan.....................................................................
Air Rawa Pasang Surut............................................................................
Pasang Surut Air Laut..............................................................................
Reklamasi Rawa ......................................................................................
Sistem Jaringan Reklamasi ......................................................................
Pengelolaan Air .......................................................................................
Muka Air Tanah (Water Table) ...............................................................
10
10
10
12
13
14
15
15
16
19
19
20
23
26
27
METODOLOGI PENELITIAN........................................................................
Tempat dan Waktu Penelitian..................................................................
Alat dan Bahan Penelitian .......................................................................
Rancangan Penelitian ..............................................................................
Jenis dan Sumber Data ...................................................................
Teknik Pengambilan Data ..............................................................
Metode .....................................................................................................
Deskripsi Karakteristik Lahan Rawa Pasang Surut .......................
Perhitungan Evapotranspirasi ...............................................
Perhitungan Konduktivitas Hidrolik Tanah..........................
Interpolasi Titik ....................................................................
Pemodelan Muka Air Tanah pada Lahan Rawa Pasang Surut.......
Kajian Teoritis ......................................................................
Deskripsi Model....................................................................
29
29
30
31
31
31
39
39
40
40
41
43
44
49
v
Identifikasi Sistem Fluktuasi Muka Air Tanah.....................
Formulasi Skema Fisik Muka Air Tanah..............................
Formulasi Model Matematika...............................................
Simulasi Model .....................................................................
Validasi Model......................................................................
Penyusunan Skenario Pengaturan Tata Air ..........................
Strategi Pengelolaan SDA dan Lingkungan pada lahan Rawa
Pasang Surut...................................................................................
HASIL DAN PEMBAHASAN.........................................................................
Karakteristik Lahan Rawa Pasang Surut .................................................
Kondisi Iklim .................................................................................
Curah Hujan ..........................................................................
Suhu ......................................................................................
Sistem Drainase..............................................................................
Hidrotopografi Lahan.....................................................................
Sifat Fisik Tanah ............................................................................
Tekstur Tanah .......................................................................
Konduktivitas Hidrolik Tanah ..............................................
Fluktuasi Muka Air Tanah .............................................................
Pemodelan Muka Air Tanah pada Lahan Rawa Pasang Surut ................
Model Penduga Muka Air Tanah ...................................................
Pendugaan Muka Air Tanah...........................................................
Pengaturan Tata Air .......................................................................
Pengelolaan SDA dan Lingkungan pada Lahan Rawa Pasang Surut......
Pengembangan Sistem Usahatani ..................................................
Pengendalian Lapisan Pirit.............................................................
50
51
52
53
53
54
55
56
56
56
56
58
61
66
69
69
72
75
82
82
85
88
93
94
104
KESIMPULAN DAN SARAN......................................................................... 109
Kesimpulan .............................................................................................. 109
Saran ........................................................................................................ 112
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 113
LAMPIRAN...................................................................................................... 117
vi
DAFTAR TABEL
Halaman
1
Potensi lahan rawa di Indonesia .............................................................. 2
2
Jumlah daerah administrasi di Kabupaten Banyuasin ............................. 11
3
Jumlah penduduk, jumlah desa/kelurahan, luas daerah, dan rata-rata
penduduk per km2 menurut kecamatan di Kabupaten Banyuasin ........... 12
4
Luas wilayah, jumlah penduduk, jumlah kepala keluarga, dan
kepadatan penduduk desa eks UPT di Delta Telang I ............................. 13
5
Luas wilayah, jumlah penduduk, jumlah kepala keluarga, dan
kepadatan penduduk desa eks UPT di Delta Saleh.................................. 14
6
Klasifikasi lahan pasang surut berdasarkan tipe genangan atau tipe
luapan air pasang ..................................................................................... 18
7
Jenis dan sumber data sekunder............................................................... 31
8
Nilai korelasi pasang surut air laut di ambang luar Sungai Musi dan
fluktuasi muka air di saluran sekunder (SPD) ......................................... 65
9
Nilai korelasi pasang surut air laut di ambang luar Sungai Musi dan
fluktuasi muka air di saluran sekunder (SDU) ........................................ 66
10
Ringkasan model pendugaan fluktuasi muka air tanah di petak tersier 3
P8-12S Delta Telang I ............................................................................. 88
11
Ringkasan model pendugaan fluktuasi muka air tanah di petak tersier 3
P6-3N Delta Telang I............................................................................... 88
12
Ringkasan model pendugaan fluktuasi muka air tanah di petak tersier 3
P10-2S Delta Saleh .................................................................................. 88
13
Besaran parameter dalam membangun skenario pengaturan tata air....... 89
14
Hasil pengujian skenario pengaturan tata air........................................... 91
15
Sistem usahatani padi MT I di P8-12S Delta Telang I ............................ 96
16
Sistem usahatani padi MT II di P8-12S Delta Telang I........................... 97
17
Sistem usahatani padi MT I di P6-3N Delta Telang I ............................. 100
18
Sistem usahatani padi MT I di P10-2S Delta Saleh................................. 102
vii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
Sebaran lahan rawa di Indonesia ............................................................. 1
2
Citra landsat jaringan reklamasi rawa pasang surut di Kabupaten
Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan ..................................................... 4
3
Kerangka pikir penelitian ........................................................................ 8
4
Peta wilayah administratif Kabupaten Banyuasin ................................... 11
5
Klasifikasi hidrotopografi lahan rawa pasang surut ................................ 16
6
Peta hidrotopografi lahan Delta Telang dan Delta Saleh......................... 18
7
Peta sistem jaringan reklamasi rawa pasang surut di Delta Telang I dan
Delta Saleh Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan ............... 25
8
Skema lapisan air di bawah permukaan tanah......................................... 28
9
Peta lokasi penelitian di daerah rawa pasang surut Kabupaten
Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan ..................................................... 29
10
Sketsa lokasi pengamatan muka air tanah dan muka air saluran di petak
tersier 3 P8-12S Delta Telang I ............................................................... 33
11
Sketsa lokasi pengamatan muka air tanah dan muka air saluran di petak
tersier 3 P6-3N Delta Telang I................................................................. 34
12
Sketsa lokasi pengamatan muka air tanah dan muka air saluran di petak
tersier 3 P10-2S Delta Saleh .................................................................... 35
13
Skema pengukuran laju naiknya muka air tanah pada lubang auger ...... 37
14
Tahapan pemodelan muka air tanah pada lahan rawa pasang surut ........ 43
15
Model Ellips ............................................................................................ 44
16
Bentuk saluran dan Ellips Kirkham......................................................... 46
17
Aliran di antara saluran paralel dengan infiltrasi tetap............................ 47
18
Deskripsi model area ............................................................................... 50
19
Diagram causal loop fluktuasi muka air tanah pada lahan rawa pasang
surut ......................................................................................................... 50
20
Skema fisik muka air tanah di petak tersier lahan rawa pasang surut
pada kondisi 0 ≤ ET < R ........................................................................ 51
21
Skema fisik muka air tanah di petak tersier lahan rawa pasang surut
pada kondisi R = 0 dan ET > 0................................................................. 52
22
Curah hujan harian di P8-12S, P6-3N, dan P10-2S................................. 57
23
Suhu udara maksimum dan minimum harian di P8-12S, P6-3N, dan
P10-2S ..................................................................................................... 59
viii
24
Evapotranspirasi harian di P8-12S, P6-3N, dan P10-2S ......................... 60
25
Pasang surut air laut di ambang luar Sungai Musi (Tanjung Buyut)....... 62
26
Fluktuasi muka air di saluran sekunder (SPD) P8-12S, P6-3N, dan
P10-2S ..................................................................................................... 63
27
Fluktuasi muka air di saluran sekunder (SDU) P8-12S, P6-3N, dan
P10-2S ..................................................................................................... 63
28
Fluktuasi muka air di saluran sekunder P8-12S, P6-3N, dan P10-2S ..... 64
29
Peta topografi lahan di petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I ................ 67
30
Peta topografi lahan di petak tersier 3 P6-3N Delta Telang I.................. 67
31
Peta topografi lahan di petak tersier 3 P10-2S Delta Saleh ..................... 68
32
Sebaran spasial kedalaman lapisan tanah dengan tekstur liat di petak
tersier 3 P8-12S Delta Telang I ............................................................... 70
33
Sebaran spasial kedalaman lapisan tanah dengan tekstur liat di petak
tersier 3 P6-3N Delta Telang I................................................................. 70
34
Sebaran spasial kedalaman lapisan tanah dengan tekstur liat di petak
tersier 3 P10-2S Delta Saleh .................................................................... 71
35
Sebaran spasial nilai konduktivitas hidrolik tanah di petak tersier 3
P8-12S Delta Telang I ............................................................................. 73
36
Sebaran spasial nilai konduktivitas hidrolik tanah di petak tersier 3
P6-3N Delta Telang I............................................................................... 73
37
Sebaran spasial nilai konduktivitas hidrolik tanah di petak tersier 3
P10-2S Delta Saleh .................................................................................. 74
38
Fluktuasi muka air tanah di petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I ......... 79
39
Fluktuasi muka air tanah di petak tersier 3 P6-3N Delta Telang I .......... 80
40
Fluktuasi muka air tanah di petak tersier 3 P10-2S Delta Saleh ............. 81
41
Modifikasi model ellips Kirkham............................................................ 82
42
Grafik pendugaan fluktuasi muka air tanah di OT4.4 P8-12S Delta
Telang I.................................................................................................... 86
43
Grafik pendugaan fluktuasi muka air tanah di OT4.4 P6-3N Delta
Telang I.................................................................................................... 86
44
Grafik pendugaan fluktuasi muka air tanah di OT4.4 P10-2S Delta
Saleh ........................................................................................................ 87
45
Diagram pencar pengamatan tinggi muka air di saluran tersier dan
kedalaman muka air tanah di petak lahan................................................ 90
46
Grafik pengaturan tata air untuk pengendalian muka air tanah di petak
lahan......................................................................................................... 91
47
Sketsa kepemilikan lahan di petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I........ 94
48
Produksi padi MT I di petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I ................. 95
ix
49
Produksi padi MT II di petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I................ 95
50
Fluktuasi muka air tanah rata-rata di petak tersier 3 P8-12S Delta
Telang I.................................................................................................... 97
51
Sketsa kepemilikan lahan di petak tersier 3 P6-3N Delta Telang I ......... 98
52
Produksi padi MT I di petak tersier 3 P6-3N Delta Telang I .................. 99
53
Fluktuasi muka air tanah rata-rata di petak tersier 3 P6-3N Delta
Telang I.................................................................................................... 100
54
Sketsa kepemilikan lahan di petak tersier 3 P10-2S Delta Saleh ............ 101
55
Produksi padi MT I di petak tersier 3 P10-2S Delta Saleh...................... 101
56
Fluktuasi muka air tanah rata-rata di petak tersier 3 P10-2S Delta Saleh 103
57
Sebaran spasial kedalaman lapisan pirit di petak tersier 3 P8-12S Delta
Telang I.................................................................................................... 105
58
Sebaran spasial kedalaman lapisan pirit di petak tersier 3 P6-3N Delta
Telang I.................................................................................................... 106
59
Sebaran spasial kedalaman lapisan pirit di petak tersier 3 P10-2S Delta
Saleh ........................................................................................................ 106
x
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
Pengamatan curah hujan harian tahun 2006 di P8-12S Delta Telang I ... 118
2
Pengamatan curah hujan harian tahun 2007 di P8-12S Delta Telang I ... 118
3
Pengamatan curah hujan harian tahun 2008 di P8-12S Delta Telang I ... 119
4
Pengamatan curah hujan harian tahun 2006 di P6-3N Delta Telang I .... 119
5
Pengamatan curah hujan harian tahun 2007 di P6-3N Delta Telang I .... 120
6
Pengamatan curah hujan harian tahun 2008 di P6-3N Delta Telang I .... 120
7
Pengamatan curah hujan harian tahun 2006 di P10-2S Delta Saleh........ 121
8
Pengamatan curah hujan harian tahun 2007 di P10-2S Delta Saleh........ 121
9
Pengamatan curah hujan harian tahun 2008 di P10-2S Delta Saleh........ 122
10
Pengamatan suhu udara rata-rata harian tahun 2006 di P8-12S Delta
Telang I.................................................................................................... 122
11
Pengamatan suhu udara rata-rata harian tahun 2007 di P8-12S Delta
Telang I.................................................................................................... 123
12
Pengamatan suhu udara rata-rata harian tahun 2008 di P8-12S Delta
Telang I.................................................................................................... 123
13
Pengamatan suhu udara rata-rata harian tahun 2006 di P6-3N Delta
Telang I.................................................................................................... 124
14
Pengamatan suhu udara rata-rata harian tahun 2007 di P6-3N Delta
Telang I.................................................................................................... 124
15
Pengamatan suhu udara rata-rata harian tahun 2008 di P6-3N Delta
Telang I.................................................................................................... 125
16
Pengamatan suhu udara rata-rata harian tahun 2006 di P10-2S Delta
Saleh ........................................................................................................ 125
17
Pengamatan suhu udara rata-rata harian tahun 2007 di P10-2S Delta
Saleh ........................................................................................................ 126
18
Pengamatan suhu udara rata-rata harian tahun 2008 di P10-2S Delta
Saleh ........................................................................................................ 126
19
Tekstur, warna tanah, dan kedalaman pirit di petak tersier 3 P8-12S
Delta Telang I .......................................................................................... 127
20
Tekstur, warna tanah, dan kedalaman pirit di petak tersier 3 P6-3N
Delta Telang I .......................................................................................... 128
21
Tekstur, warna tanah, dan kedalaman pirit di petak tersier 3 P10-2S
Delta Saleh............................................................................................... 129
xi
22
Nilai konduktivitas hidrolik tanah (K, cm/jam) di petak tersier 3
P8-12S Delta Telang I ............................................................................. 130
23
Nilai konduktivitas hidrolik tanah (K, cm/jam) di petak tersier 3
P6-3N Delta Telang I............................................................................... 130
24
Nilai konduktivitas hidrolik tanah (K, cm/jam) di petak tersier 3
P10-2S Delta Saleh .................................................................................. 130
xii
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Wilayah Indonesia yang secara geografis terdiri dari ribuan pulau yang
dihubungkan oleh lautan memerlukan kebijakan yang tepat agar pemanfaatan
sumber daya alam untuk pembangunan dapat optimal dan berkelanjutan. Dalam
konteks pembangunan berkelanjutan, pembangunan sebagai upaya sadar dan
terencana dalam mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat harus memadukan keberlanjutan tiga aspek
utama, yaitu aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Lahan rawa sebagai salah satu sumber daya alam dapat didayagunakan
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Lahan rawa, baik yang berupa rawa
pasang surut maupun rawa non-pasang surut (rawa lebak), merupakan salah satu
sumber daya alam yang sangat potensial dan lokasinya tersebar hampir di seluruh
wilayah Indonesia (Gambar 1 dan Tabel 1).
Sumber: Suryadi (1996)
Gambar 1 Sebaran lahan rawa di Indonesia.
1
2
Tabel 1 Potensi lahan rawa di Indonesia
Luas Lahan Rawa (ha)
Pulau
Sumatera
Kalimantan
Sulawesi
Irian Jaya
Total
Pasang
Surut
Non Pasang
Surut
Total
6.604.000
8.126.900
1.148.950
4.216.950
20.096.800
2.766.000
3.580.500
644.500
6.305.770
13.296.770
9.370.000
11.707.400
1.793.450
10.522.720
33.393.570
Luas Lahan Rawa yang telah
Dikembangkan Pemerintah (ha)
Non
Pasang
Total
Pasang
Surut
Surut
691.704
110.176
801.880
694.935
194.765
889.700
65.930
18.780
84.710
0
23.710
23.710
1.452.569
347.431 1.800.000
Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (2007)
Struktur pengelolaan rawa secara menyeluruh dan terpadu sangat
diperlukan guna menyeimbangkan antara konservasi dan pendayagunaan rawa,
agar tercapai pengelolaan yang berkelanjutan. Pengelolaan rawa terpadu
merupakan pengelolaan yang dilaksanakan dengan melibatkan semua pemilik
kepentingan melalui mekanisme koordinasi. Selanjutnya, pengelolaan rawa
berwawasan lingkungan yaitu pengelolaan yang memperhatikan keseimbangan
ekosistem dan daya dukung lingkungan. Sementara, pengelolaan rawa
berkelanjutan yaitu pengelolaan rawa yang tidak hanya ditujukan untuk
kepentingan generasi sekarang, tetapi juga untuk kepentingan generasi
mendatang. Sasaran yang ingin dicapai dalam pengelolaan rawa yaitu:
1) Melindungi dan melestarikan rawa; 2) Penggunaan yang bermanfaat untuk
kesejahteraan rakyat; 3) Mengurangi masalah lingkungan yang mungkin timbul;
4) Mendukung pembangunan regional yang seimbang; dan 5) Mempertahankan
keseimbangan ekosistem (Djohan, 2006).
Menurut Hadimoeljono (2006), pengembangan lahan rawa perlu dilandasi
oleh pendekatan pengembangan yang berkesinambungan antara pendayagunaan
sumber daya lahan dan air di satu sisi dan pengharkatan fungsi ekologis di sisi
yang lain. Pengelolaan rawa hendaknya selalu mengacu pada tiga pilar utama
pengelolaan rawa sesuai dengan UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air, yaitu: 1) Konservasi rawa (menjaga daya dukung, daya tampung, dan fungsi
rawa sebagai sumber daya alam); 2) Pendayagunaan rawa (pemenuhan kebutuhan
pokok masyarakat); dan 3) Pengendalian daya rusak air pada kawasan rawa
(mencegah, menanggulangi, dan memulihkan kerusakan lingkungan atau
prasarana sumber daya air akibat proses alam atau kegiatan manusia).
3
Reklamasi rawa atau sering disebut dengan pengembangan daerah rawa
merupakan suatu proses kegiatan yang ditujukan untuk meningkatkan fungsi dan
manfaat rawa sebagai sumber daya alam yang potensial untuk kepentingan dan
kesejahteraan masyarakat. Pemerintah sejak tahun 1960-an telah mulai melakukan
reklamasi rawa. Pembukaan lahan rawa oleh pemerintah terutama dilakukan di
sepanjang pesisir timur Pulau Sumatera, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat,
dan di bagian selatan Irian Jaya (sekarang Papua). Reklamasi rawa dimaksudkan
untuk mendapatkan lahan yang layak untuk pengembangan pertanian dan
permukiman. Sasaran dari program tersebut adalah: 1) Meningkatkan produksi
pangan (terutama beras) dalam rangka pencapaian swasembada pangan;
2) Penyediaan lahan pertanian dan permukiman bagi para transmigran, sebagai
penunjang program transmigrasi umum yang diselenggarakan oleh pemerintah;
3) Menunjang pengembangan wilayah; 4) Mendukung peningkatan pendapatan
petani; dan 5) Mendukung terciptanya keadaan yang lebih aman di sepanjang
kawasan pesisir (http://www.tidal-lowlands.org/ind/General.htm, 16/04/06).
Dari tahun 1985 hingga 1995 hampir tidak ada pembukaan lahan rawa
baru yang dilakukan oleh pemerintah. Pada periode tersebut, pemerintah lebih
memfokuskan pada penyempurnaan prasarana pengairan, ekonomi, dan sosial di
kawasan reklamasi yang sudah dikembangkan sebelumnya. Baru pada tahun 1996
pemerintah kembali melakukan pembukaan lahan rawa di Kalimantan Tengah,
yang kemudian dikenal dengan sebutan proyek pengembangan lahan gambut
sejuta hektar.
Pengembangan lahan rawa pasang surut di Sumatera Selatan telah
dilakukan oleh pemerintah sejak tahun 1969 melalui program transmigrasi, namun
petani Bugis telah membuka lahan sejak tahun 1930-an untuk pertanian dan
perkebunan. Kawasan konservasi dan pengembangan lahan rawa pasang surut di
Sumatera Selatan berada di sepanjang kawasan Pantai Timur Sumatera, luasnya
diperkirakan mencapai 2,92 juta hektar (Euroconsult, 1995). Sampai tahun 2004,
total luas lahan rawa pasang surut di Sumatera Selatan yang telah direklamasi
untuk pengembangan pertanian dan permukiman yaitu seluas 373.000 hektar
(PIRA, 2004), diantaranya di Delta Telang I (26.680 hektar) dan Delta Saleh
(19.780 hektar).
4
Gambar 2 Citra landsat jaringan reklamasi rawa pasang surut di Kabupaten
Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan.
Pada awal reklamasi, sistem jaringan tata air yang dibangun masih
merupakan sistem jaringan terbuka dengan fungsi utama untuk drainase.
Pengaturan tata air sepenuhnya masih bergantung pada kondisi alam, sehingga
kemampuan pelayanan tata air masih sangat rendah. Pada sistem jaringan terbuka,
tipe luapan air pasang menjadi pertimbangan utama dalam penerapan sistem
usahatani. Noorsyamsi et al. (1984), Widjaja-Adhi et al. (1992), Euroconsult
(1996), dan Nugroho (2004) mengklasifikasikan tipe luapan pada lahan rawa
pasang surut berdasarkan kemampuan luapan air pasang.
Dengan dibangunnya infrastruktur pengendali air, maka beberapa pokok
persoalan teknis dalam pengembangan pertanian lahan rawa pasang surut mulai
dapat dipecahkan. Menurut Susanto (1995), pengembangan pertanian lahan rawa
pasang surut membutuhkan pengelolaan air di tingkat makro (sungai), meso
(struktur hidrolik), dan mikro (petak lahan). Sungai-sungai yang berbatasan
dengan daerah yang direklamasi, curah hujan, dan fluktuasi muka air pasang surut
akan menentukan kondisi air di tingkat makro. Sifat dan karakteristik dari zona
perakaran akan dipengaruhi oleh pengelolaan air di tingkat mikro yang
5
berhubungan dengan kondisi di tingkat makro melalui infrastruktur-infrastruktur
hidrolik (tingkat meso). Rancangan, operasi, dan perawatan infrastruktur hidrolik
harus mempertimbangkan kondisi air di tingkat makro dan mikro.
Suryadi (1996) menggunakan kondisi hidrotopografi lahan sebagai
pertimbangan awal dalam membuat perencanaan untuk pengelolaan air di lahan
rawa pasang surut. Hidrotopografi lahan merupakan perbandingan relatif antara
elevasi permukaan tanah dengan tinggi muka air di sungai atau saluran terdekat.
Selanjutnya, Susanto (1998) menggabungkan pertimbangan hidrotopografi lahan
dan konsep SEW-30 sebagai sistem evaluasi status air di blok sekunder dan petak
tersier. Sistem yang sama juga dikaji oleh Edrissea et al. (2000) dengan
menggunakan konsep SEW-30 dan DRAINMOD.
Menurut Susanto (2000), pengelolaan air akan mempengaruhi kondisi
muka air tanah (water table) di petak lahan. Muka air tanah pada lahan rawa
pasang surut berfluktuasi menurut ruang dan waktu. Upaya pengendalian harus
dilakukan agar muka air tanah dapat mendukung pertumbuhan tanaman.
Pengendalian muka air tanah pada suatu kedalaman tertentu dapat dilakukan
melalui strategi rancangan dan/atau operasi pemeliharaan jaringan reklamasi.
Pertimbangan topografi, curah hujan, pasang surut air laut, jenis tanah, jenis
tanaman, kedalaman lapisan pirit, dan parameter sistem reklamasi harus dilakukan
secara integratif untuk mendukung strategi pengelolaan air.
Pengelolaan air memiliki peranan penting dalam pengembangan pertanian
lahan rawa pasang surut, namun teknik pengelolaan air untuk pengendalian muka
air tanah pada lahan rawa pasang surut masih bergantung pada pengamatan muka
air tanah secara langsung di lapangan, yaitu dengan membuat sumur-sumur
pengamatan di petak lahan. Meskipun memiliki akurasi yang tinggi, namun
pengamatan secara langsung memerlukan waktu, tenaga, dan biaya yang besar.
Selain itu, informasi yang diperoleh juga sangat terbatas, yaitu hanya pada titik
pengamatan dan jangka waktu pengamatan tertentu. Oleh karena itu, perlu
dibangun suatu model penduga muka air tanah, sehingga kondisi muka air tanah
di petak lahan dapat diketahui secara cepat melalui parameter-parameter model
sebagai prediktor.
6
Perumusan Masalah
Pengembangan pertanian pada lahan rawa pasang surut telah dilakukan
pemerintah sejak tahun 1970-an. Pertanian lahan rawa pasang surut yang sedang
berkembang merupakan pengetahuan yang masih terus tumbuh. Berbagai
pemikiran dan penelitian terus dilakukan dalam upaya meningkatkan produksi dan
indeks pertanaman (IP). Beberapa pokok persoalan teknis telah dapat dipecahkan,
namun dalam pelaksanaannya masih terhambat oleh kondisi yang beragam di
lapangan.
Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan pertanian lahan rawa
pasang surut antara lain:
1.
Kondisi muka air tanah di petak lahan berfluktuasi menurut ruang dan waktu.
Dibutuhkan teknik pengelolaan air yang tepat untuk pengendalian muka air
tanah di petak lahan agar dapat mendukung penerapan sistem usahatani.
2.
Pengelolaan air pada lahan rawa pasang surut masih terkendala oleh kondisi
infrastruktur yang belum memadai. Teknik pengelolaan air yang diterapkan
juga masih bergantung pada pengamatan muka air tanah secara langsung di
lapangan. Selain memerlukan waktu, tenaga, dan biaya yang besar, informasi
yang diperoleh dari pengamatan langsung juga sangat terbatas, yaitu hanya
pada titik pengamatan dan jangka waktu pengamatan tertentu. Oleh karena
itu, harus ada upaya alternatif untuk mengatasi masalah tersebut.
3.
Operasi dan pemeliharaan (O&P) merupakan masalah serius yang dihadapi
dalam pengembangan lahan rawa pasang surut. Kegiatan O&P meliputi:
a) Operasi penyediaan air pada tingkat sekunder dan tersier untuk memenuhi
kebutuhan air tanaman; serta b) Kegiatan pemeliharaan.
4.
Selain persoalan teknis, peningkatan produksi pertanian dan indeks
pertanaman (IP) pada lahan rawa pasang surut juga terkendala oleh sistem
usahatani yang belum optimal, serta lemahnya kelembagaan.
7
Kerangka Pemikiran
Lahan rawa (pasang surut dan lebak) sebagai salah satu sumber daya alam
yang sangat potensial dapat dimanfaatkan untuk pertanian tanaman pangan dan
hortikultura, perkebunan, perikanan, hutan tanaman industri, konservasi sumber
daya alam, dan ekowisata. Pengembangan lahan rawa pasang surut untuk
pertanian tanaman pangan, terutama padi, memiliki prospek yang sangat baik
dalam upaya memenuhi kebutuhan pangan nasional, sebab:
1.
Kecenderungan pola konsumsi pangan nasional tetap menjadikan beras
sebagai bahan makanan utama.
2.
Kebutuhan beras terus meningkat seiring peningkatan jumlah penduduk.
3.
Luas lahan pertanian produktif (irigasi teknis), terutama di Pulau Jawa,
semakin berkurang akibat alih fungsi lahan untuk permukiman, industri, dan
kegiatan non-pertanian lainnya.
4.
Melalui pengelolaan lahan dan air yang tepat, produksi padi lahan rawa
pasang surut dapat ditingkatkan dari 1 kali panen dengan rata-rata 2 ton
GKP/ha, menjadi 2 kali panen dengan rata-rata 5,5 ton GKP/ha pada MT I
dan 3 ton GKP/ha pada MT II (LWMTL, 2006).
Pengembangan pertanian pada lahan rawa pasang surut didasarkan atas
pertimbangan
karakteristik
lahan
dan
kondisi
hidrotopografi.
Kondisi
hidrotopografi lahan menjadi pertimbangan awal dalam membuat perencanaan
untuk pengelolaan air di lahan rawa pasang surut. Pengelolaan air memiliki
peranan penting dalam pengembangan pertanian lahan rawa pasang surut, karena
pengelolaan air akan mempengaruhi kondisi muka air tanah di petak lahan yang
menentukan secara langsung kondisi lingkungan bagi pertumbuhan tanaman.
Produksi pertanian dan indeks pertanaman (IP) pada lahan rawa pasang
surut dapat ditingkatkan melalui teknik pengelolaan lahan dan air yang tepat.
Aspek utama pengelolaan air pada lahan rawa pasang surut yaitu pengendalian
muka air tanah yang berfluktuasi sehingga dicapai kondisi muka air tanah di petak
lahan yang stabil pada kedalaman tertentu. Jika tanaman dapat tumbuh dan
berkembang dengan baik, maka peningkatan produksi akan dapat dicapai.
8
Kondisi muka air tanah pada lahan rawa pasang surut berfluktuasi menurut
ruang dan waktu. Salah satu upaya untuk mengoptimalkan pengendalian muka air
tanah yang berfluktuasi antara lain dengan membangun model penduga muka air
tanah. Jika kedalaman muka air tanah yang berfluktuasi dapat diduga, maka
kondisi muka air tanah di petak lahan dapat dikendalikan melalui parameterparameter model sebagai prediktor. Secara ringkas, kerangka pikir penelitian
dapat dilihat pada Gambar 3.
Reklamasi Rawa
Rawa Pasang Surut
Perkebunan
Pertanian
Tanaman
Pangan &
Hortikultura
Rawa Non-Pasang Surut (Rawa Lebak)
Perikanan
Hutan
Tanaman
Industri
Konservasi
SDA
Ekowisata
Karakteristik Lahan dan
Kondisi Hidrotopografi
Pengelolaan Lahan
Pengelolaan Air
Pertumbuhan
Tanaman dan Pola
Tanam
Kondisi
Muka Air Tanah
di Petak Lahan
Peningkatan
Produksi dan Indeks
Pertanaman (IP)
Pengendalian
Muka Air Tanah
Skenario
Pengaturan Tata Air
Pengamatan
Muka Air Tanah
Fluktuasi
Muka Air Tanah
Gambar 3 Kerangka pikir penelitian.
Model Penduga
Muka Air Tanah
9
Tujuan Penelitian
1.
Mempelajari karakteristik lahan rawa pasang surut menurut kondisi
hidrotopografi lahan.
2.
Pemodelan muka air tanah pada lahan rawa pasang surut:
a.
Membangun model penduga muka air tanah di petak tersier;
b.
Menduga kedalaman muka air tanah di petak tersier; dan
c.
Membangun skenario pengaturan tata air untuk pengendalian muka air
tanah di petak lahan.
3.
Membangun strategi pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan pada
lahan rawa pasang surut untuk mendukung peningkatan produksi pertanian
dan indeks pertanaman (IP).
Manfaat Penelitian
1.
Karakteristik lahan rawa pasang surut menurut kondisi hidrotopografi lahan
dapat dimanfaatkan sebagai dasar pertimbangan dalam penerapan sistem
usahatani.
2.
Pemodelan muka air tanah pada lahan rawa pasang surut diharapkan dapat
mendukung pengelolaan air pada pertanian lahan rawa pasang surut.
a.
Model yang dihasilkan dapat digunakan untuk menduga kedalaman
muka air tanah dan merancang sistem jaringan tata air.
b.
Dengan model, kondisi muka air tanah di petak lahan dapat diketahui
secara cepat melalui parameter-parameter model sebagai prediktor.
c.
Skenario pengaturan tata air dapat dimanfaatkan sebagai panduan dalam
pengendalian muka air tanah di petak lahan.
3.
Strategi pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan pada lahan rawa
pasang surut yang dibangun melalui teknik pengendalian muka air tanah
diharapkan dapat mendukung peningkatan produksi pertanian dan indeks
pertanaman (IP).
TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menyajikan tentang deskripsi umum wilayah penelitian, yaitu
kawasan Delta Telang I dan Delta Saleh yang merupakan bagian dari wilayah
Kabupaten Banyuasin. Selain itu, disajikan juga berbagai hal yang berkaitan
dengan rawa pasang surut dan muka air tanah yang menjadi perhatian utama
dalam penelitian ini.
Keadaan Umum Wilayah Penelitian
Kabupaten Banyuasin
Kabupaten Banyuasin merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Musi
Banyuasin berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun
2002. Secara geografis, Kabupaten Banyuasin terletak antara 1,30° - 4,00°
Lintang Selatan dan 104°40' - 105°15' Bujur Timur. Wilayah Kabupaten
Banyuasin terbentang dari bagian tengah hingga bagian timur Provinsi Sumatera
Selatan. Batas-batas wilayah Kabupaten Banyuasin adalah sebagai berikut:
•
Sebelah utara
: berbatasan dengan Kabupaten Muara Jambi Provinsi
Jambi dan Selat Bangka;
•
Sebelah timur
: berbatasan dengan Kecamatan Pampangan dan Air
Sugihan Kabupaten Ogan Komering Ilir;
•
Sebelah barat
: berbatasan dengan Kecamatan Sungai Lilin Kabupaten
Musi Banyuasin; dan
•
Sebelah selatan : berbatasan dengan Kecamatan Sirah Pulau Padang
Kabupaten Ogan Komering Ilir, Kota Palembang,
Kecamatan Gelumbang, dan Kecamatan Talang Ubi
Kabupaten Muara Enim.
Secara administratif, Kabupaten Banyuasin (Gambar 4) termasuk dalam
wilayah Provinsi Sumatera Selatan dengan luas wilayah ± 11.832,99 km2 atau
sekitar 12,18% luas Provinsi Sumatera Selatan. Pada tahun 2005, Kabupaten
Banyuasin terbagi dalam 11 kecamatan, terdiri dari 8 kelurahan dan 256 desa.
10
11
Gambar 4 Peta wilayah administratif Kabupaten Banyuasin.
Sebagian besar wilayah Kabupaten Banyuasin merupakan dataran rendah
pesisir yang terletak di bagian hilir aliran Sungai Musi dan Sungai Banyuasin.
Sebagian besar wilayahnya berupa lahan basah yang terpengaruh oleh pasang
surut air laut dari Selat Bangka. Lahan tersebut dimanfaatkan untuk pertanian
pangan lahan basah, khususnya persawahan pasang surut.
Tabel 2 Jumlah daerah administrasi di Kabupaten Banyuasin
No. Kecamatan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Banyuasin I
Banyuasin II
Banyuasin III
Betung
Makarti Jaya
Muara Padang
Muara Telang
Pulau Rimau
Rambutan
Rantau Bayur
Talang Kelapa
Jumlah
Sumber: Banyuasin dalam Angka Tahun 2005
Desa
Kelurahan
Jumlah
19
16
31
17
16
41
23
41
20
17
15
1
1
1
1
4
20
16
32
18
17
41
23
41
20
17
19
256
8
264
12
Tabel 3 Jumlah penduduk, jumlah desa/kelurahan, luas daerah, dan rata-rata
penduduk per km2 menurut kecamatan di Kabupaten Banyuasin
Jumlah
Penduduk
(jiwa)
Jumlah
Desa/
Kelurahan
Luas
Daerah
(km2)
Rata-rata
Penduduk
(jiwa/km2)
Banyuasin I
Banyuasin II
Banyuasin III
Betung
Makarti Jaya
Muara Padang
Muara Telang
Pulau Rimau
Rambutan
Rantau Bayur
Talang Kelapa
71.823
45.827
83.710
61.179
42.885
80.490
57.831
81.655
39.129
42.976
127.282
20
16
32
18
17
41
23
41
20
17
19
701,38
2.681,28
874,17
794,00
736,34
1.558,64
1.150,06
944,05
624,55
593,00
1.175,52
102
17
96
77
58
52
50
86
63
72
108
Jumlah
733.828
264
11.832,99
62
No. Kecamatan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Sumber: Banyuasin dalam Angka Tahun 2005
Pada tahun 2006, jumlah kecamatan di Kabupaten Banyuasin telah
mengalami pemekaran menjadi 15 kecamatan, yaitu Kecamatan Banyuasin I,
Banyuasin II, Banyuasin III, Betung, Makarti Jaya, Muara Padang, Muara Telang,
Pulau Rimau, Rambutan, Rantau Bayur, Talang Kelapa, Tungkal Ilir, Tanjung
Lago, Muara Sugihan, dan Kecamatan Air Saleh.
Delta Telang I
Secara geografis, Delta Telang I terletak antara 02°29' - 02°48' Lintang
Selatan dan 104°30' - 104°52' Bujur Timur. Delta Telang I berbatasan dengan
Selat Bangka (di sebelah utara), Sungai Sebalik (di sebelah selatan), Sungai Musi
(di sebelah timur), dan Sungai Telang (di sebelah barat).
Secara administratif, Delta Telang I dengan luas ± 26.680 ha termasuk
dalam wilayah Kecamatan Muara Telang Kabupaten Banyuasin. Delta Telang I
memiliki 11 desa eks UPT (Unit Permukiman Transmigrasi), yaitu: Desa Sumber
Jaya, Marga Rahayu, Sumber Mulyo, Panca Mukti, Telang Jaya, Mekar Sari,
Mukti Jaya, Telang Makmur, Sumber Hidup, Telang Rejo, dan Telang Karya.
13
Tabel 4 Luas wilayah, jumlah penduduk, jumlah kepala keluarga, dan kepadatan
penduduk desa eks UPT di Delta Telang I
No. Desa
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Sumber Jaya
Marga Rahayu
Sumber Mulyo
Panca Mukti
Telang Jaya
Mekar Sari
Mukti Jaya
Telang Makmur
Sumber Hidup
Telang Rejo
Telang Karya
Jumlah
Luas (km2)
Jumlah KK
Jumlah
Penduduk
(jiwa)
Kepadatan
Penduduk
(jiwa/km)
26,90
28,40
29,38
25,48
22,45
16,50
25,94
20,27
27,60
24,80
28,82
1.032
1.110
980
923
1.136
795
1.017
813
683
712
760
5.144
5.042
4.573
2.195
4.896
3.545
4.232
3.355
2.562
3.390
3.824
191
178
93
56
218
215
163
166
93
137
133
279,54
9.961
42.758
1.643
Sumber: Muara Telang dalam Angka Tahun 2005
Penduduk di Delta Telang I sebagian besar merupakan penduduk
transmigrasi dari Pulau Jawa, namun ada juga Suku Bugis dan penduduk lokal
Banyuasin. Transmigrasi di Delta Telang I dimulai pada tahun 1978 sampai 1981.
Mata pencarian penduduk transmigran sebagian besar adalah petani, sedangkan
mata pencarian Suku Bugis yaitu petani (terutama tanaman kelapa) dan pedagang,
dan penduduk lokal umumnya pedagang.
Delta Saleh
Secara geografis, Delta Saleh terletak antara 2°20'10" - 3°07'43" Lintang
Selatan dan 105°02'31" - 105°33'66" Bujur Timur. Delta Saleh berbatasan dengan
Selat Bangka (di sebelah utara), Sungai Musi dan Sungai Kumbang (di sebelah
selatan), Sungai Saleh (di sebelah timur), dan Sungai Upang (di sebelah barat).
Secara administratif, Delta Saleh dengan luas ± 19.780 ha termasuk dalam
wilayah Kecamatan Muara Padang dan Kecamatan Makarti Jaya, Kabupaten
Banyuasin. Delta Saleh memiliki 10 desa eks UPT (Unit Permukiman
Transmigrasi), yaitu: Desa Sri Mulya, Srikaton, Sidoarjo, Saleh Mukti, dan
Bintaran (berada dalam wilayah Kecamatan Muara Padang), sedangkan Desa
14
Saleh Agung, Damar Wulan, Enggal Rejo, Saleh Jaya, dan Saleh Mulyo berada
dalam wilayah Kecamatan Makarti Jaya. Transmigrasi di Delta Saleh dimulai
pada tahun 1979 sampai 1981.
Tabel 5 Luas wilayah, jumlah penduduk, jumlah kepala keluarga, dan kepadatan
penduduk desa eks UPT di Delta Saleh
No. Desa
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Kepadatan
Penduduk
(jiwa/km2)
Luas (km )
Jumlah KK
Jumlah
Penduduk
(jiwa)
18,4
12,8
17,6
24,8
13,5
31,9
16,0
17,6
25,7
27,4
651
534
612
656
449
724
390
654
621
579
1.850
2.333
2.288
3.392
1.486
3.731
1.569
2.784
3.257
2.990
101
182
130
137
110
117
98
158
127
109
205,7
5.870
25.680
1.269
2
Sri Mulya
Srikaton
Sidoarjo
Saleh Mukti
Bintaran
Saleh Agung
Damarwulan
Enggal Rejo
Saleh Jaya
Saleh Mulya
Jumlah
Sumber: - Muara Padang dalam Angka Tahun 2005
- Makarti Jaya dalam Angka Tahun 2005
Pengertian Rawa
Rawa adalah lahan genangan air secara alami yang terjadi secara terus
menerus maupun sementara atau musiman, sebagai akibat dari drainase alam yang
terhambat (Departemen PU, 1995). Berdasarkan letaknya, lahan rawa dapat
dibedakan dalam tiga zona, yaitu:
1.
Rawa di Dataran Tinggi
Di dataran tinggi, tumpuan air hujan dari waktu ke waktu pada daerah yang
cekung dapat menyebabkan daerah tersebut tergenang menjadi rawa, hal ini
terjadi apabila drainase di daerah tersebut terhambat.
2.
Rawa di Dataran Rendah
Di dataran rendah yang jauh dari pantai, pada daerah yang cekung akan
tergenang menjadi rawa bila drainasenya terhambat. Genangan tersebut
15
berasal dari air hujan atau limpasan air sungai di musim hujan. Rawa ini
disebut dengan rawa lebak. Berdasarkan kondisi hidrotopografi, menurut
Kodoatie (2006) rawa lebak dapat dikategorikan dalam tiga jenis yaitu:
a.
Lebak pematang, yaitu lahan dengan genangan relatif dangkal dengan
periode waktu pendek;
b.
Lebak tengahan, yaitu lahan dengan genangan relatif agak dalam dengan
periode waktu agak lama; dan
c.
Lebak dalam, yaitu lahan dengan genangan relatif dalam dengan periode
waktu lama atau terus menerus.
3.
Rawa di Daerah Pantai
Di daerah pantai, pada bagian yang rendah dan cekung juga terbentuk rawa.
Air genangan rawa ini selain berasal dari air hujan juga berasal dari limpasan
air pasang. Karena masih dipengaruhi oleh gerakan pasang surutnya air laut
maka rawa ini disebut rawa pasang surut.
Lahan Rawa Pasang Surut
Kimiawi Tanah
Tanah rawa pasang surut umumnya terbentuk dari sedimen yang dibawa
oleh arus sungai dari hulu yang mengendap dalam keadaan terpengaruh air laut
atau dalam keadaan air yang mengandung garam. Endapan ini makin lama makin
tebal hingga pada suatu saat dapat ditumbuhi oleh rumput dan pohon-pohon yang
merupakan vegetasi pantai. Sisa-sisa vegetasi yang mati dan membusuk lamalama membentuk lapisan gambut. Pembusukan ini menyebabkan warna airnya
menjadi coklat atau kecoklat-coklatan dan mengurangi kadar oksigen di dalam air
sehingga pH air turun, air tersebut menjadi masam (Departemen PU, 1995).
Tanah di bawah lapisan gambut umumnya mengandung pirit (FeS2),
apabila kontak dengan udara yang mengandung oksigen (O2) maka akan
teroksidasi menjadi Ferihidroksida Fe(OH)3 dan asam sulfat. Asam sulfat tersebut
bersifat racun bagi tanaman, terutama tanaman budidaya. Peristiwa ini biasanya
16
terjadi di musim kemarau, terutama pada kemarau panjang ketika permukaan air
tanah turun sampai di bawah permukaan tanah yang mengandung pirit. Pada saat
seperti itu, udara masuk ke dalam tanah melalui pori-pori atau retakan dan
mencapai pirit lalu terjadi oksidasi pirit. Hasil oksidasi ini (zat beracun) dapat
tercuci oleh air hujan atau air genangan dari pasang air laut, asal drainasenya
cukup memadai (Departemen PU, 1995).
Hidrotopografi Lahan
Hidrotopografi lahan didefinisikan sebagai perbandingan relatif antara
elevasi lahan dengan elevasi muka air sungai atau muka air di saluran terdekat
(Euroconsult, 1996). Kondisi hidrotopografi kawasan merupakan pertimbangan
awal dalam membuat perencanaan untuk pengelolaan air di lahan rawa pasang
surut (Suryadi, 1996).
Bila elevasi permukaan tanah dikaitkan dengan tinggi muka air
(hidrotopografi), maka lahan rawa pasang surut dapat dibagi atas empat kelas
lahan seperti yang diilustrasikan pada Gambar 5.
Muka air pasang pada musim hujan
Muka air pasang pada musim kemarau
Lahan selalu
terluapi air
pasang, baik
pada musim
hujan
maupun musim
kemarau
Saluran
Lahan
Kelas A
Lahan terluapi
air pasang, tetapi
hanya terjadi
pada musim
hujan
Lahan tidak bisa
terluapi air
pasang meskipun
pada saat air
pasang tinggi,
namun muka air
tanah masih
dipengaruhi oleh
fluktuasi pasang
surut
Lahan
Kelas B
Lahan
Kelas C
Lahan tidak bisa
terluapi air
pasang meskipun
pada saat air
pasang tinggi.
Tidak ada
pengaruh pasang
surut pada muka
air tanah
Lahan
Kelas D
Sumber: Euroconsult (1996)
Gambar 5 Klasifikasi hidrotopografi lahan rawa pasang surut.
17
1.
Lahan Kelas A
Bila elevasi permukaan tanah lebih rendah dari muka air pasang terkecil,
maka lahan tersebut digolongkan pada lahan kelas A. Lahan kelas A selalu
digenangi oleh air pasang, meskipun pada saat pasang kecil. Penggenangan
berlangsung setiap hari ketika pasang dan terjadi sepanjang tahun, baik di
musim hujan maupun musim kemarau. Drainase berlangsung hanya beberapa
jam pada waktu air surut.
2.
Lahan Kelas B
Bila elevasi permukaan tanah berada di antara elevasi muka air pasang kecil
dan elevasi muka air pasang besar, maka lahan tersebut digolongkan pada
lahan kelas B. Lahan kelas B hanya dapat digenangi oleh air pasang besar
saja. Penggenangan tidak berlangsung setiap hari, hanya terjadi pada pasang
besar di musim hujan. Drainase berlangsung lebih lama.
3.
Lahan Kelas C
Pada lahan kelas C, elevasi permukaan tanah berada di atas elevasi muka air
pasang tertinggi, tetapi tidak lebih dari 50 cm. Penggenangan tidak pernah
terjadi, tetapi air tanah masih dipengaruhi oleh air pasang. Air tanah masih
dapat membasahi lapisan perakaran secara kapiler. Drainase berlangsung
terus.
4.
Lahan Kelas D
Elevasi permukaan tanah pada lahan kelas D berada jauh di atas elevasi muka
air pasang tertinggi, lebih dari 50 cm. Air tanah tidak terpengaruh oleh air
pasang. Penggenangan tidak pernah terjadi dan drainase berlangsung terus.
Menurut Ananto et al. (1998), kondisi tata air dan hidrotopografi lahan
rawa pasang surut diklasifikasikan berdasarkan tipe genangan atau tipe luapan.
Untuk pengelolaan air di lahan pasang surut, hidrotopografi lahan dapat
diklasifikasikan menjadi empat kategori lahan pasang surut, yaitu tipe luapan A,
B, C, dan D. Klasifikasi ini didasarkan atas terjadinya luapan pada saat pasang
besar (spring tide) dan pasang kecil (neap tide), serta kedalaman muka air tanah
seperti yang disajikan pada tabel di bawah ini.
18
Tabel 6 Klasifikasi lahan pasang surut berdasarkan tipe genangan atau tipe
luapan air pasang
Tipe Luapan
Keterangan
Tipe A
Lahan selalu terluapi oleh air pasang, baik pasang besar (spring
tide) maupun pasang kecil (neap tide)
Tipe B
Lahan hanya terluapi oleh air pasang besar saja, tetapi tidak
terluapi oleh pasang kecil atau pasang harian
Tipe C
Lahan tidak terluapi oleh air pasang besar, tetapi air tanah berada
pada kedalaman kurang dari 50 cm dari permukaan tanah
Tipe D
Lahan tidak terluapi oleh air pasang besar, tetapi air tanah berada
pada kedalaman lebih dari 50 cm dari permukaan tanah
Sumber: Ananto et al. (1998)
Elevasi (m, MSL):
< 1.25 m
1.25 – 1.50 m
1.50 – 1.75 m
1.75 – 2.00 m
2.00 – 2.25 m
> 2.25 m
SALEH
TELANG II
TELANG I
Sumber: Euroconsult (1996)
Gambar 6 Peta hidrotopografi lahan di Delta Telang dan Delta Saleh.
Gambar di atas menunjukkan bahwa sebagian besar lahan di Delta Telang
I adalah lahan tipe A dan B, sedangkan di Delta Saleh sebagian besar lahannya
adalah tipe C dan D. Secara umum, topografi lahan di Delta Saleh memang lebih
tinggi dibandingkan Delta Telang I, sehingga sebagian besar lahan di Delta Saleh
tidak dapat terluapi oleh air pasang, baik oleh pasang besar maupun pasang kecil.
19
Air Rawa Pasang Surut
Air rawa alami sebelum dibuka atau dikembangkan bersifat masam, pH air
sangat rendah. Air rawa alami bersifat coklat atau kecoklat-coklatan, hal ini
disebabkan karena air tersebut terkurung (tidak berganti) dan karena adanya
pembusukan sisa vegetasi atau tumbuh-tumbuhan. Pembusukan sisa vegetasi
banyak mengambil oksigen dari air, akibatnya pH air menjadi rendah
(Departemen PU, 1995).
Pasang Surut Air Laut
Pasang surut atau naik turunnya muka air laut adalah peristiwa alam yang
terjadi sebagai akibat adanya gaya tarik menarik antara benda angkasa
(Departemen PU, 1995). Gaya tarik bulan dan matahari terhadap bumi
menyebabkan massa air laut terangkat (naik). Peristiwa pasang surut dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1.
Spring Tide
Bila bumi, bulan, dan matahari berada pada satu garis lurus dimana bulan
berada di antara bumi dan matahari, maka di permukaan bumi yang
menghadap bulan terjadi air pasang yang paling tinggi (spring tide) karena
gaya tarik kedua benda angkasa yang saling memperkuat. Sedangkan di
permukaan bumi bagian belakang terjadi air surut yang paling rendah. Jadi
pada hari itu terjadi air pasang yang paling tinggi dan air surut yang paling
rendah.
2.
Neap Tide
Bila garis penghubung bumi-bulan berada pada kedudukan tegak lurus
terhadap garis penghubung bumi-matahari, maka terjadi air pasang yang
terendah dan air surut yang tertinggi bila dibandingkan dengan hari-hari
lainnya.
20
3.
Semi Diurnal Tide
Bila garis penghubung bumi-bulan membentuk sudut 90° terhadap sumbu
putar bumi, maka di permukaan bumi yang menghadap bulan terjadi
peristiwa pasang ganda harian (semi diurnal tide). Pada hari itu muka air laut
dua kali naik dan dua kali turun (dua kali pasang surut).
4.
Diurnal Tide
Bila garis penghubung bulan-bumi tidak tegak lurus terhadap sumbu putar
bumi, maka yang terjadi di permukaan bumi yang menghadap bulan adalah
pasang tunggal harian (diurnal tide). Pada hari itu hanya terjadi satu kali
pasang dan satu kali surut. Dalam kejadian sehari-hari, hal-hal tersebut dapat
saling mempengaruhi.
Akibat naiknya muka air laut ketika terjadi pasang, maka aliran sungai
yang datang dari bagian hulu menjadi terbendung dan terdorong kembali ke hulu
sungai, dorongan ini dapat mencapai 100 km. Air sungai yang ikut naik ketika
pasang, dapat meluapi tepi-tepi sungai dan menggenangi hutan belukar di sekitar
sungai sehingga menjadi rawa. Pada saat muka air pasang mencapai tinggi
maksimum, maka aliran air sungai yang dekat dengan muara menjadi tenang. Bila
muka air laut mulai surut (turun), maka air sungai kembali lagi mengalir ke laut,
makin lama makin cepat alirannya (deras) sampai mencapai kecepatan normal.
Reklamasi Rawa
Reklamasi rawa atau sering disebut dengan pengembangan daerah rawa
merupakan suatu proses kegiatan yang ditujukan untuk meningkatkan fungsi dan
manfaat rawa sebagai sumber daya alam yang potensial untuk kepentingan dan
kesejahteraan masyarakat (Sugeng, 1992).
Dalam UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, ada lima
aspek penting dalam pengelolaan sumber daya air, yaitu: 1) Konservasi sumber
daya air; 2) Pendayagunaan sumber daya air; 3) Pengendalian daya rusak
air; 4) Sistem informasi sumber daya air; dan 5) Pemberdayaan masyarakat.
Secara substansi, bila dikaitkan dengan UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber
21
Daya Air, domain reklamasi rawa adalah mendayagunakan rawa berbasis
konservasi.
Reklamasi rawa pasang surut dilakukan dengan pembuatan saluran induk
(primer), saluran sekunder, dan saluran tersier serta beberapa saluran pendukung
pada petak lahan. Reklamasi rawa pasang surut tidak hanya bertujuan untuk
memberikan air yang cukup bagi tanaman, tetapi juga dimaksudkan untuk
memberikan air yang kualitasnya baik bagi tanaman. Sehingga dalam reklamasi,
di samping pemberian air juga pencucian terhadap senyawa-senyawa beracun
yang
ada
di
dalam
tanah
(Kartono,
http://www.pu.go.id/itjen/buletin/
2324rawa.htm, 16/04/06).
Untuk mengendalikan muka air di dalam lahan maka dibuat bangunan
pintu air yang dilengkapi dengan perlengkapan pintu yang disesuaikan dengan
kebutuhan tanaman. Jenis pintu air yang digunakan antara lain:
1.
Pintu ayun (flap gate), pintu ini bisa bekerja secara otomatis (bisa membuka
dan menutup sendiri) dengan memanfaatkan energi total dari air (energi
kinetik dan energi potensial). Akibat perbedaan elevasi muka air antara depan
dan belakang pintu yang signifikan maka pintu akan membuka dan air akan
mengalir menuju ke tempat yang elevasinya rendah. Hal ini tergantung pada
posisi pintu air terhadap kebutuhan air di dalam lahan. Fungsi pintu ini untuk
melayani lahan yang membutuhkan pemasukan air tanpa pengeluaran melalui
pintu yang sama, dan atau membuang air tanpa pemasukan melalui pintu
yang sama.
2.
Pintu sorong (sliding gate), pintu ini dipasang untuk melayani lahan yang
kebutuhan airnya tidak kontinu. Gerakan pintu ini hanya naik dan turun,
aliran air melewati dasar saluran pada posisi pintu diangkat.
3.
Scot balok. Perlengkapan ini dipergunakan untuk mempertahankan tinggi
muka air dalam saluran maupun dalam lahan. Dengan menggunakan scot
balok maka air hanya dapat keluar dan masuk setelah melewati elevasi
tertentu.
Prasarana jaringan reklamasi rawa untuk pengembangan daerah rawa
adalah unik, antara satu lokasi dengan lokasi yang lain berbeda-beda tergantung
22
dari karakteristik daerah tersebut. Kesamaannya terletak pada fungsi yang
diperankan oleh prasarana jaringan reklamasi tersebut, yaitu: 1) Untuk membuang
air berlebih akibat air pasang atau air hujan; 2) Memberikan suplai air untuk
keperluan pertanian dan kebutuhan rumah tangga; 3) Untuk mengatur tinggi muka
air tanah; 4) Untuk mengatur tinggi air dalam daerah pengembangan;
5) Pematangan tanah. Akibat reklamasi, tanah pada rawa pasang surut mengalami
proses pematangan. Pematangan tanah dapat dipercepat dengan adanya drainase
yang cukup; 6) Untuk mengatur kualitas air; dan 7) Untuk memenuhi kebutuhan
transportasi air.
Reklamasi rawa melalui jaringan drainase oleh pemerintah dilakukan
dengan strategi pengembangan secara bertahap (Suryadi, 1996), yaitu:
1.
Pengembangan Tahap I
a.
Proses reklamasi dilakukan dengan membangun prasarana pengairan
yang masih bersifat minimum, yaitu berupa jaringan saluran yang
bersifat terbuka, fungsi utamanya untuk keperluan drainase.
b.
Pengaturan tata air sepenuhnya masih bergantung pada kondisi alam,
dengan kemampuan pelayanan tata air untuk budidaya pertanian padi
pada tingkat subsistem. Begitu pula untuk prasarana yang lain masih
bersifat minimum.
2.
Pengembangan Tahap II
a.
Ditujukan untuk menyempurnakan kekurangan dan mengatasi masalah
yang belum diketahui pada tahap awal, serta meningkatkan kemampuan
pelayanan prasarana yang ada melalui pendekatan secara multi-sektoral
dan terpadu.
b.
Jaringan lainnya disesuaikan dengan kondisi lokal setempat, yang dapat
berfungsi sebagai prasarana drainase terkendali, penyimpanan air,
pemasok air, dan pengamanan banjir.
c.
Sistem budidaya dan pola tanam disesuaikan dengan potensi lahan.
Untuk mengatasi keanekaragaman kondisi lokal setempat pada suatu
hamparan pengembangan, maka diterapkan zona-zona pengelolaan air.
23
3.
Pengembangan Tahap III (Tahap Akhir)
a.
Merupakan tahap pemanfaatan penuh dari potensi sumber daya lahan
dan air yang ada dalam kondisi kelembagaan dan ketenagakerjaan yang
mendukung.
b.
Pembangunan polder dan sistem irigasi teknis serta mekanisasi dan
budidaya pertanian secara intensif dalam spektrum luas merupakan
komponen utama pada pengembangan tahap akhir.
Sistem Jaringan Reklamasi
Reklamasi rawa pasang surut diawali dengan pembuatan saluran primer
yang menghubungkan dua sungai yang berdekatan. Secara umum, sistem jaringan
tata air atau sistem drainase di daerah rawa pasang surut dapat dibedakan menjadi
tiga sistem drainase, yaitu sistem rakyat atau sistem parit, sistem GAMA atau
sistem garpu, dan sistem kanal atau sistem anjir (Susanto, 2001).
Sistem drainase model rakyat (sistem parit) telah lama dikembangkan oleh
petani Bugis. Saluran drainase dibuat secara sederhana dengan menggali paritparit di sebelah kanan dan kiri lahan. Parit tersebut dibuat tegak lurus dengan
sungai besar ke arah pedalaman, sehingga sungai dan parit tampak seperti tulang
ikan atau daun nangka. Sistem ini merupakan cara tradisional dalam pengelolaan
air di lahan rawa pasang surut yang memiliki dua fungsi, yaitu sebagai saluran
drainase pada saat air surut dan sebagai saluran irigasi pada saat air pasang.
Pada sistem drainase model GAMA (sistem garpu), saluran sekunder dan
tersier berbentuk seperti garpu dan langsung bermuara ke sungai. Pada ujungujung garpu terdapat kolam-kolam pasang yang berfungsi mempercepat air surut
dan sebagai tempat penampungan air limpasan. Sistem ini banyak digunakan di
Kalimatan Tengah. Untuk daerah reklamasi rawa pasang surut di Sumatera
Selatan lebih banyak menggunakan sistem drainase sisir yang dikembangkan oleh
ITB dan IPB. Ciri khas dari sistem sisir yaitu saluran pemberi dan drainase dibuat
terpisah. Air yang masuk pada waktu pasang dan air keluar pada waktu surut
24
diatur oleh pintu klep otomatis. Sistem sisir merupakan peningkatan dari sistem
rakyat dan sistem kanal.
Jaringan tata air atau sistem drainase yang terdapat di Delta Telang I dan
Delta Saleh adalah sistem grid ganda (double-grid system) yang dirancang oleh
LAPI-ITB pada tahun 1976. Sistem ini didasarkan pada sistem drainase saluran
terbuka dengan menggunakan saluran primer sebagai saluran navigasi yang tegak
lurus dan berhubungan langsung ke sungai utama. Tegak lurus dengan saluran
primer terdapat saluran sekunder yang berhubungan langsung dengan saluran
primer. Saluran sekunder dibedakan menjadi dua, yaitu saluran pemberi yang
melintasi perkampungan dinamakan saluran pengairan desa (SPD) dan saluran
pembuangan dinamakan saluran drainase utama (SDU). Saluran tersier dibangun
tegak lurus dengan saluran sekunder, berfungsi untuk mengalirkan atau
membuang air dari dan ke saluran sekunder.
Pada awal reklamasi, sistem tata air di Delta Telang I dan Delta Saleh
dirancang berdasarkan konsep aliran satu arah (one way flow system). Pada sistem
aliran satu arah, air pasang masuk melalui saluran primer dan terus ke saluran
sekunder pemberi (SPD), selanjutnya air masuk ke saluran tersier pemberi dan
akhirnya mengaliri lahan usahatani melalui saluran kuarter. Pada kondisi air
berlebih, air dari lahan akan keluar melalui saluran tersier pembuangan dan terus
menuju ke saluran sekunder pembuang (SDU) yang selanjutnya keluar ke saluran
primer. Konsep ini akan berjalan dengan baik apabila sistem tata air dilengkapi
dengan pintu pengendali. Namun dalam perkembangannya saat ini, baik saluran
sekunder SPD maupun SDU, keduanya berfungsi sebagai saluran untuk
memasukkan dan mengeluarkan air. Kondisi ideal pengaliran satu arah dari SPD
ke SDU melalui saluran tersier dan lahan tidak mudah untuk diterapkan.
Lahan rawa pasang surut di Delta Telang I merupakan rawa pasang surut
yang secara langsung dipengaruhi oleh pasang surut dari Sungai Musi dan Sungai
Telang. Sedangkan lahan rawa pasang surut di Delta Saleh dipengaruhi oleh
pasang surut dari Sungai Upang dan Sungai Saleh. Pengaruh air pasang dari
sungai-sungai tersebut di bagian pedalaman masih cukup kuat, sehingga wilayah
ini memiliki lingkungan air tawar dan air payau. Pada musim hujan, umumnya air
25
bersifat lebih tawar dibandingkan pada musim kemarau yang cenderung bersifat
payau atau asin.
Gambar 7 Peta sistem jaringan reklamasi rawa pasang surut di Delta Telang I
dan Delta Saleh Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan.
Pada saat ini, sebagian besar kawasan reklamasi rawa berada pada awal
pengembangan tahap II. Salah satu kendala yang dihadapi dalam pengembangan
daerah rawa pasang surut untuk pembangunan pertanian yaitu masalah operasi
dan pemeliharaan jaringan rawa. Perencanaan dan konstruksi jaringan reklamasi
yang sesuai dengan kebutuhan masih harus diikuti dengan operasi dan
pemeliharaan jaringan reklamasi sebagai suatu paket yang utuh (Susanto, 1995).
Pengendalian muka air tanah pada reklamasi rawa pasang surut merupakan
suatu proses kunci yang harus dilaksanakan dengan tepat melalui pengendalian
dan penahanan air. Strategi operasi dan pemeliharaan jaringan reklamasi
merupakan faktor yang sangat penting. Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan
peran serta masyarakat atau petani yang lahannya termasuk dalam kegiatan
rehabilitasi dan konstruksi (Susanto, 2000).
26
Pengelolaan Air
Sistem jaringan tata air di daerah reklamasi rawa pasang surut yang terdiri
dari saluran primer, sekunder, dan saluran tersier dirancang sesuai dengan kondisi
lokal agar dapat berfungsi optimal untuk kepentingan drainase dan pemasukan air,
serta untuk pengamanan banjir. Pengaliran air keluar dan masuk dengan sistem
gravitasi yang diterapkan di Delta Telang I dan Delta Saleh pada tahap awal
pengembangan didasarkan pada konsep hidrotopografi lahan. Strategi pengelolaan
air yang didasarkan atas konsep hidrotopografi lahan memang masih terlalu
umum sehingga memunculkan kondisi yang beragam pada saat diterapkan di
lapangan. Konsep hidrotopografi lahan didasarkan atas kemampuan lahan
mendapatkan potensi air pasang untuk irigasi.
Pengelolaan air pada daerah reklamasi rawa pasang surut dilakukan di dua
level (Departemen PU, 2005), yaitu:
1.
Pengelolaan air di petak lahan (petak tersier). Pengelolaan air ini menentukan
secara langsung kondisi lingkungan bagi pertumbuhan tanaman.
2.
Pengelolaan air di jaringan utama (sistem utama). Tujuan utamanya yaitu
mengendalikan tinggi muka air dan kualitas air sebaik mungkin untuk
memenuhi kebutuhan kegiatan pertanian. Sistem atau jaringan utama dapat
dibagi dalam jaringan primer, jaringan sekunder, dan jaringan tersier.
Pengelolaan air pada dasarnya ditentukan oleh kondisi tanah dan faktor
hidrotopografi. Pengelolaan air menjadi dasar pertimbangan yang kemudian
dijabarkan dalam ketentuan pengoperasian bangunan-bangunan air yang ada.
Tujuan dari pengelolaan air yaitu untuk: 1) Menjamin kecukupan air bagi
tanaman; 2) Membuang air yang berlebih keluar dari saluran; 3) Mencegah
pertumbuhan gulma tanaman (dengan mempertahankan genangan air pada lahan);
4) Mencegah memburuknya kualitas air; dan 5) Mencegah intrusi air asin. Dalam
kasus tanah sulfat masam, persyaratan pengelolaan air harus memperhitungkan
sejauh mungkin kebutuhan untuk pencegahan terjadinya keasaman tanah selama
pertumbuhan tanaman. Namun demikian, perlu diketahui bahwa keasaman akan
hilang setelah beberapa periode waktu tertentu, dan setelah periode itu dapat
diberlakukan pengoperasian dengan ketentuan normal (Departemen PU, 2005).
27
Sesuai dengan tujuan reklamasi rawa yaitu untuk budidaya tanaman, maka
menurut Kartono (http://www.pu.go.id/itjen/buletin/2324rawa.htm, 16/04/06)
pengelolaan air harus memperhatikan hal-hal berikut:
1.
Pada waktu musim hujan, kelebihan air harus dibuang melalui saluran sub
tersier ke tersier dan seterusnya ke pembuang utama. Ketinggian genangan
yang terjadi di lahan hanya sebatas yang dibutuhkan untuk tanaman.
2.
Pada saat musim kemarau di mana akan terjadi kekurangan air, apabila
dimungkinkan perlu diberikan air irigasi, dan jika tidak tersedia sebaiknya
dilakukan pengawetan atau konservasi. Pengawetan ini dilaksanakan mulai
dari saluran sekunder, tersier, sub tersier serta sistem sorjan.
3.
Khusus daerah pantai atau daerah-daerah yang terjangkau oleh pasang surut
maka harus selalu dijaga agar air asin maupun air asam tidak masuk ke dalam
lahan. Hal ini membutuhkan penanganan secara khusus dan cermat agar
lahan tidak terkontaminasi oleh kedua unsur air tersebut.
Muka Air Tanah (Water Table)
Pengertian tentang “water table” tidak sama dengan “ground water”. Kata
“table” memberikan gambaran tentang permukaan yang datar di bagian atas.
Ground water adalah air di bawah permukaan tanah, tetapi tidak semua air di
bawah permukaan tanah adalah ground water. Permukaan bagian atas ground
water adalah water table. Di bawah permukaan, semua ruang pori terisi (jenuh)
dengan air. Lapisan jenuh tersebut dikenal sebagai saturated zone (phreatic zone),
dimana terdapat ground water. Sesungguhnya, hanya air yang terdapat di zone
jenuh yang dapat disebut sebagai ground water.
Pada lapisan tanah paling atas, tidak semua ruang pori terisi oleh air.
Hanya beberapa bagian saja yang terisi oleh air, sedang bagian yang lain berisi
udara. Lapisan tersebut dikenal sebagai unsaturated zone (disebut juga dengan
zone aerasi atau vadose zone). Setelah hujan lebat (di atas normal), zone tersebut
mungkin hampir jenuh, sementara pada musim kemarau yang panjang mungkin
hampir kering. Air yang merembes masuk ini dikenal sebagai soil water, yaitu
28
ketika air tersebut masih cukup dangkal atau masih dalam zone perakaran
tumbuhan. Ketika air tersebut berada di bawah jangkauan akar tumbuhan, tetapi
masih tak jenuh, maka air itu disebut sebagai vadose water. Selanjutnya, dengan
infiltrasi maka kelebihan air akan mencapai water table.
Sumber: American Ground Water Trust
Gambar 8 Skema lapisan air di bawah permukaan tanah.
Kedalaman water table bervariasi antara satu tempat ke tempat yang lain.
Secara umum, water table relatif dalam pada dataran tinggi dan relatif dangkal di
dataran rendah. Water table hampir tidak pernah datar atau rata. Di setiap tempat,
water table umumnya akan naik dengan meningkatnya pengisian dari air hujan
dan menurun sebagai respon atas musim kemarau, kekeringan, atau pengambilan
ground water yang berlebihan.
Ground water senantiasa bergerak, meskipun pergerakannya sangat pelan.
Pelepasan (aliran keluar) air dari akuifer terjadi sebagai bagian dari pergerakan
alami air dalam sistem hidrologi. Ketinggian water table dalam akuifer
merupakan pergerakan gabungan antara rata-rata pengisian dan rata-rata
pelepasan.
METODOLOGI PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian berada di daerah reklamasi rawa pasang surut Delta
Telang I dan Delta Saleh di Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan,
yaitu di P8-12S (blok sekunder 12 di bagian selatan saluran primer 8), P6-3N
(blok sekunder 6 di bagian utara saluran primer 6), dan P10-2S (blok sekunder 2
di bagian selatan saluran primer 10). Penelitian pada masing-masing lokasi
dilakukan di petak tersier 3, yaitu pada lahan usahatani di antara saluran tersier 3
dan 4. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 9.
Pemilihan lokasi didasarkan atas perbedaan kondisi hidrotopografi lahan.
Blok sekunder P8-12S Delta Telang I mewakili lahan kelas A/B, blok sekunder
P6-3N Delta Telang I mewakili lahan kelas B/C, dan blok sekunder P10-2S Delta
Saleh mewakili lahan kelas C/D. Penelitian lapangan dilakukan selama 24 bulan,
yaitu dari bulan April 2006 hingga Maret 2008.
Gambar 9 Peta lokasi penelitian di daerah rawa pasang surut Kabupaten
Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan.
29
30
Alat dan Bahan Penelitian
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian, yaitu:
1. Pipa PVC diameter 2,5 inchi, untuk sumur pengamatan muka air tanah;
2. Bor tanah dengan jenis mata pisau terbuka, digunakan untuk membuat sumur
pengamatan;
3. Meteran, untuk mengukur dimensi saluran dan tinggi muka air tanah, serta
digunakan dalam pengukuran konduktivitas hidrolik tanah;
4. Papan duga, digunakan untuk pengamatan tinggi muka air pada saluran
sekunder dan tersier;
5. Tabung pembuang (bailer), digunakan untuk menguras air dari lubang auger
dalam pengukuran konduktivitas hidrolik tanah;
6. Stopwatch,
digunakan
untuk
pencatatan
waktu
dalam
pengukuran
konduktivitas hidrolik tanah;
7. GPS (Global Positioning System), digunakan untuk menentukan koordinat
titik pengamatan;
8. Sipat datar, digunakan untuk mengikat posisi alat ukur terhadap tinggi
permukaan laut (Mean Sea Level-MSL);
9. Penakar curah hujan biasa dan gelas ukur, digunakan untuk mengukur volume
curah hujan;
10. Termometer, digunakan untuk mengukur suhu;
11. Kamera digital, digunakan untuk dokumentasi;
12. Seperangkat komputer dan printer, digunakan untuk pembuatan laporan dan
mencetak hasil laporan penelitian; serta
13. Software Windows XP (Microsoft Office: Word, Exel, Power Point),
ArcView GIS 3.3, Minitab 14.0, dan SPSS 12.0.
31
Rancangan Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah data primer dan
sekunder. Data primer yang diperoleh dari hasil pengamatan dan pengukuran di
lapangan, yaitu: 1) Dimensi saluran tersier, meliputi lebar atas saluran, lebar
bawah saluran, dan kedalaman saluran; 2) Tinggi muka air pada saluran sekunder
dan tersier; 3) Tinggi muka air tanah; 4) Konduktivitas hidrolik tanah; 5) Curah
hujan; dan 6) Suhu. Jenis dan sumber data sekunder yang digunakan dalam
penelitian dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Jenis dan sumber data sekunder
No. Jenis Data
1. Citra satelit Landsat 7ETM+
Akuisisi: Juni 2001
2. Peta wilayah administratif
3. Peta hidrotopografi lahan
4. Peta jaringan reklamasi
5. Dimensi saluran
6. Sistem usahatani
7. Sifat fisik dan kimia tanah
8. Pasang surut air laut
9. Kependudukan
Sumber Data
BAPPEDA Provinsi Sumatera Selatan
BAPPEDA Provinsi Sumatera Selatan
Euroconsult
Dinas PU Pengairan Provinsi Sumatera
Selatan
Dinas PU Pengairan Provinsi Sumatera
Selatan
Dinas Pertanian Kabupaten Banyuasin
PPMAL Universitas Sriwijaya
Dinas Oseanografi TNI AL Stasiun
Tanjung Buyut
BPS Kabupaten Banyuasin
Teknik Pengambilan Data
Data sekunder diperoleh dari beberapa instansi pemerintah dan institusi
yang selama ini berperan aktif dalam pengembangan lahan rawa pasang surut.
Pengambilan data primer dilakukan melalui pengamatan dan pengukuran
langsung di lokasi penelitian, meliputi:
1.
Pengukuran Dimensi Saluran
Dimensi saluran yang diukur yaitu saluran tersier. Pengukuran dilakukan
pada beberapa titik, meliputi lebar atas saluran, lebar bawah saluran, dan
kedalaman saluran.
32
2.
Pengamatan Muka Air pada Saluran
a.
Pengamatan
tinggi
muka
air
pada
saluran
dilakukan
dengan
menggunakan papan duga;
b.
Banyaknya titik pengamatan pada setiap lokasi penelitian adalah sebagai
berikut:
i)
Blok Sekunder P8-12S: 4 titik di saluran tersier 4, 1 titik di saluran
drainase utama (SDU), dan 1 titik di saluran pengairan desa (SPD);
ii) Blok Sekunder P6-3N: 4 titik di saluran tersier 4, 1 titik di saluran
drainase utama (SDU), dan 1 titik di saluran pengairan desa (SPD);
iii) Blok Sekunder P10-2S: 4 titik di saluran tersier 4, 1 titik di saluran
drainase utama (SDU), dan 1 titik di saluran pengairan desa (SPD);
c.
Pengamatan tinggi muka air pada saluran dilakukan setiap hari, yaitu
antara pukul 07.00 - 08.00 wib.
3.
Pengamatan Tinggi Muka Air Tanah
a.
Pengamatan tinggi muka air tanah dilakukan melalui sumur pengamatan
yang dibuat dari pipa PVC dengan panjang 3 meter dan diameter 2,5
inchi. Pipa tersebut dilubangi pada bagian sisi-sisinya dan ditanam
dengan kedalaman 2 - 2,5 meter dari permukaan tanah. Lubang pipa
bagian atas ditutup dan hanya dibuka pada saat melakukan pengukuran;
b.
Banyaknya sumur pengamatan pada setiap lokasi penelitian adalah sama,
masing-masing ada 6 titik pengamatan dengan sebaran sebagai berikut:
i)
3 titik di petak lahan dekat saluran tersier 4, kira-kira berjarak 5
meter dari saluran tersier 4; dan
ii) 3 titik berada di tengah lahan diantara saluran tersier 4 dan tersier 3,
kira-kira berjarak 100 meter dari titik pengamatan yang berada di
dekat saluran tersier 4.
c.
Pengamatan muka air tanah dilakukan setiap hari, yaitu antara pukul
07.00 - 08.00 wib.
33
Gambar 10 Sketsa lokasi pengamatan muka air tanah dan muka air saluran di
petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I.
34
Gambar 11 Sketsa lokasi pengamatan muka air tanah dan muka air saluran di
petak tersier 3 P6-3N Delta Telang I.
35
Gambar 12 Sketsa lokasi pengamatan muka air tanah dan muka air saluran di
petak tersier 3 P10-2S Delta Saleh.
36
4.
Pengukuran Konduktivitas Hidrolik Tanah
Pengukuran konduktivitas hidrolik tanah dilakukan secara langsung di petak
lahan dengan cara pengeboran. Pengukuran konduktivitas hidrolik tanah
dilakukan dengan menggunakan metode Auger Hole. Prosedur pengukuran
yang dilakukan merujuk pada Susanto (1994).
Selang, Waktu, dan Pengamatan
Pengukuran laju naiknya muka air tanah di dalam lubang pengamatan
dilakukan berdasarkan selang waktu (dt), atau selang kenaikan muka air
tanah yang tetap (dYt). Untuk meningkatkan ketepatan hasil pengamatan dan
mengurangi pengaruh ketidakteraturan di lapangan, maka diambil lima
pembacaan kenaikan muka air tanah. Alat ukur waktu (stopwatch) digunakan
dalam pengukuran dengan selang dYt yang tetap. Selang waktu (dt) yang
dipilih bergantung pada permeabilitas tanah, dalam penelitian ini diambil 30
detik.
Pengukuran untuk waktu yang terlalu lama dihindari karena funnel shaped
drawdown yang terbentuk pada bagian atas lubang pada saat pengisian
kembali akan terlalu besar. Hal ini akan menurunkan nilai aktual dan
berpengaruh pada penurunan laju kenaikan muka air di dalam lubang. Jika
faktor K di hitung dari nilai H, maka akan memberikan nilai K yang terlalu
rendah. Pengukuran dihentikan ketika tidak lebih dari 25 % volume air yang
dikeluarkan sudah terisi kembali. Dengan kata lain, pengukuran dihentikan
sebelum Yn < ¾ Y0, atau yang lebih mudah di hitung yaitu sebelum dY > ¼ Y0.
Prosedur
Pengeboran lubang auger menggunakan bor dengan jenis mata pisau terbuka,
karena jenis ini hanya sedikit memberikan pelumpuran pada dinding lubang,
selain itu proses pengeboran akan lebih cepat dibandingkan dengan jenis
mata bor pisau tertutup.
37
Gambar 13 Skema pengukuran laju naiknya muka air tanah pada lubang
auger.
Keterangan gambar:
D
: Kedalaman lubang auger.
D’
: Jarak antara standard dan dasar lubang auger.
H
: Kedalaman lubang auger di bawah muka air tanah.
W
: Kedalaman muka air tanah di bawah permukaan tanah.
W’ : Jarak antara standard dan muka air tanah.
Y0
: Jarak antar muka air tanah dan muka air di dalam lubang auger pada
pembacaan pertama setelah pembuangan air.
Yn
: Jarak yang sama pada akhir pengukuran, umumnya diambil lima kali
pembacaan.
38
dY
: Kenaikan muka air tanah di dalam lubang auger selama pengamatan,
∑dYt = Yn – Y0.
Y
: Jarak antara muka air tanah dan rata-rata muka air di dalam lubang
auger selama pengamatan, Y =
Yn − Y0
= Y0 – 0,5 dY.
2
r
: Jari-jari lubang auger.
S
: Kedalaman lapisan kedap air dari dasar lubang auger.
Prosedur pengukuran laju naiknya muka air tanah adalah sebagai berikut:
a.
Standar diletakkan sedemikian rupa di dekat lubang auger, sehingga
pelampung dan pita baca (meteran) tepat tegak lurus di atas lubang
auger;
b.
Pelampung dan pita baca diturunkan ke permukaan air tanah, dan
kedalaman muka air tanah dicatat;
c.
Pelampung dan pita baca dikeluarkan dengan hati-hati dan standar
diubah posisinya sehingga tabung pembuang (bailer) dapat dimasukkan
ke lubang auger;
d.
Air dikeluarkan dari lubang auger dengan menggunakan tabung
pembuang hingga muka air tanah turun sekitar 20-40 cm (ini dapat
dicapai dengan satu atau dua kali pembuangan);
e.
Standar dikembalikan ke posisi semula, pelampung dan pita baca
diletakkan kembali ke permukaan air di dalam lubang auger, pembacaan
dimulai sesegera mungkin;
f.
Kira-kira lima pembacaan diambil untuk selang waktu tertentu. Apabila
pita baca menempel pada sisi lubang auger, maka pita baca harus
digoyang. Pembacaan dilakukan dengan posisi pita baca pada standar
(40 cm di atas permukaan tanah); dan
g.
Semua pembacaan, termasuk kedalaman dan jari-jari lubang auger
diukur.
39
5.
Pengamatan Curah Hujan
Pengamatan curah hujan dilakukan setiap hari dengan alat penakar curah
hujan biasa. Pada masing-masing lokasi penelitian dipasang satu alat penakar
hujan yang dilengkapi dengan gelas ukur.
6.
Pengamatan Suhu
Pengamatan suhu dilakukan dengan menggunakan termometer. Pengamatan
dilakukan setiap hari untuk mendapatkan informasi tentang suhu maksimum
dan minimum. Lokasi pengamatan berada pada titik yang sama dengan
pengamatan curah hujan.
Metode
Deskripsi Karakteristik Lahan Rawa Pasang Surut
Karakteristik lahan rawa pasang surut yang dikaji dalam penelitian ini
meliputi:
1.
Kondisi iklim: curah hujan dan suhu;
2.
Sistem drainase;
3.
Hidrotopografi lahan;
4.
Sifat fisik tanah: tekstur tanah dan konduktivitas hidrolik tanah;
5.
Sifat kimia tanah: lapisan pirit; dan
6.
Fluktuasi muka air tanah.
Data karakteristik lahan rawa pasang surut dianalisis dengan metode
analisis deskriptif. Hasil analisis disajikan dalam bentuk grafik dan peta.
Evapotranspirasi dihitung dengan menggunakan Software ETo Versi 1.0, nilai
konduktivitas hidrolik tanah dihitung dengan formula matematika, sedangkan
pembuatan peta sebaran spasial dilakukan dengan menggunakan Software
ArcView GIS dengan teknik interpolasi.
40
Perhitungan Evapotranspirasi
Perhitungan evapotranspirasi harian dilakukan dengan menggunakan
Software ETo Versi 1.0, metode yang dipilih yaitu Penman Monteith. Parameter
yang digunakan dalam perhitungan adalah:
ƒ
Karakteristik stasiun, meliputi: negara, latitude, longitude, dan altitude.
ƒ
Suhu udara maksimum dan minimum harian.
ƒ
Parameter lain dan nilai koefisien yang digunakan dalam perhitungan
diasumsikan (default).
Perhitungan Nilai Konduktivitas Hidrolik Tanah
Prosedur perhitungan nilai K (konduktivitas hidrolik tanah) merujuk pada
Susanto (1994). Nilai K akan dihitung dengan menggunakan persamaan
matematika. Hubungan antara faktor dan laju naiknya muka air tanah (dY/dt)
dapat digambarkan sebagai berikut :
K = c.
dY
dt
(1)
dengan C adalah fungsi dari Y, H, r, dan S yang dapat dibaca dari grafik. Selain
menghitung nilai-nilai K untuk setiap dYt, pengukuran-pengukuran tersebut dapat
dirata-ratakan sebelum mencari nilai C dari grafik, dengan catatan ∑dYt < ¼ Y0
dan antara pembacaan yang satu dengan lainnya tidak begitu jauh berbeda.
Selain dengan metode grafik, perhitungan nilai K dapat juga dilakukan
dengan menggunakan persamaan matematika. Namun demikian, sebuah
persamaan jarang digunakan untuk menghitung keterhantaran hidrolik tanah
karena kemudahan penggunaan grafik-grafik yang sudah tersedia. Salain itu, tidak
seperti persamaan, grafik-grafik boleh digunakan untuk selang nilai Y dan H yang
cukup besar, dan ternyata lebih tepat, perbedaannya dapat mencapai 20%.
Persamaan berikut ini diperoleh dari tanah yang homogen dengan lapisan
kedap air pada kedalaman tertentu, S ≥ ½ H, di bawah bagian dasar dari lubang
auger (Ernst, 1950 dalam Susanto, 1994).
41
4000 r dY
Y ⎞
⎛H
⎞⎛
⎜ + 20 ⎟⎜ 2 − ⎟ Y dt
H⎠
⎝ r
⎠⎝
K=
(2)
Persamaan (2) menunjukkan suatu pernyataan empiris dari sejumlah
pembentukan baru. Formula tersebut tidak menunjukkan hubungan yang jelas
yang seharusnya timbul secara teoritis antarkondisi yang berbeda, meskipun nilai
K yang diperoleh cukup tepat (kesalahan maksimum 20%), jika kondisi berikut
terpenuhi,
ƒ
3 < r < 7 cm
ƒ
20 < H < 200 cm
ƒ
Y > 0,2 H
ƒ
S>H
ƒ
dY ≤ ¼ Y0
Persamaan (2) dapat juga ditulis dalam bentuk lain, yang memungkinkan
perhitungan:
4000 r 2 dY
K=
(H + 20r )⎛⎜ 2 − Y ⎞⎟ Y dt
H⎠
⎝
(3)
Bila lapisan kedap berada pada bagian bawah dari lubang auger (S = 0), maka
persamaan berikut dapat digunakan:
K=
3600 r 2 dY
(H + 10r )⎛⎜ 2 − Y ⎞⎟ Y dt
H⎠
⎝
(4)
Dalam persamaan-persamaan di atas, nilai K dinyatakan dalam m/hari (24 jam),
sedangkan parameter-perameter lainnya dinyatakan dalam cm atau detik.
Interpolasi Titik
Teknik interpolasi digunakan dalam pembuatan peta sebaran spasial
topografi lahan, kedalaman lapisan liat, kedalaman lapisan pirit, dan konduktivitas
42
hidrolik tanah. Metode yang digunakan dalam pembuatan peta sebaran spasial
yaitu dengan pendekatan interpolasi non linier. Dalam pendekatan tersebut
digunakan model pembobotan (weighting model).
Model pembobotan mengasumsikan bahwa titik yang nilainya akan diduga
dipengaruhi oleh nilai titik lain yang berdekatan secara spasial. Inti dari model
pembobotan yaitu menganalisis titik pengamatan dalam suatu ruang ketetanggaan
yang menggambarkan kemiripan di antara titik-titik tersebut. Karena model
pembobotan merupakan model ruang lokal, maka teknik pencarian (searching)
yang digunakan adalah dengan menetapkan jumlah titik pengamatan yang berada
di sekitarnya, atau menggunakan teknik pencarian dalam radius tertentu.
Nilai elevasi (z) untuk setiap titik akan diboboti dengan kuadrat jarak
sehingga nilai yang dekat secara spasial akan cenderung mempengaruhi nilai pada
titik yang diamati. Teknik ini dikenal dengan teknik Inverse Distance Weighting
(IDW). Persamaan umum yang digunakan dalam teknik IDW adalah sebagai
berikut:
n
zˆ 0 =
∑w z
i =1
n
i i
∑w
i =1
i
; wi =
1
d i20
(5)
dengan
ẑ 0
= Nilai yang akan diduga.
zi
= Nilai penduga ke-i.
wi
= Nilai pembobot ke-i.
d i 0 = Jarak antara titik pengamatan ke-i dengan titik yang akan diduga.
Proses analisis dengan pendekatan interpolasi yang diuraikan di atas
dilakukan dengan menggunakan Software ArcView GIS 3.3 dengan program
Spatial Analyst.
43
Pemodelan Muka Air Tanah pada Lahan Rawa Pasang Surut
Model penduga muka air tanah pada lahan rawa pasang surut dibangun
melalui tahapan pemodelan seperti ditunjukkan pada Gambar 14.
Identifikasi Sistem
Formulasi Masalah
Inventarisasi Data
Survei Lapangan
Data Sekunder
Data Primer
Database
Pemodelan
Model Baku
Model Modifikasi
Verifikasi
Validasi
Model Terpilih
Gambar 14 Tahapan pemodelan muka air tanah pada lahan rawa pasang surut.
44
Kajian Teoritis
1.
Model Ellips
Banyak fenomena pergerakan benda di alam ini yang lintasannya
berbentuk ellips. Ketepatan perhitungan terjadinya gerhana bulan atau juga
gerhana matahari, salah satu diantaranya karena lintasannya yang eliptik.
Pergerakan muka air tanah (water table) yang fluktuatif pada lahan di antara dua
saluran juga dapat diilustrasikan melalui bentuk ellips.
Secara matematis, ellips merupakan tempat kedudukan atau himpunan
titik-titik pada bidang datar yang mempunyai jumlah jarak tertentu terhadap dua
titik tertentu. Dua titik tertentu yang dimaksud tersebut yaitu fokus ellips. Pada
Gambar 15, F1 dan F2 merupakan titik-titik fokus ellips. Kedua titik tersebut
terletak pada sumbu X dan saling simetris terhadap sumbu Y. Jarak kedua titik
adalah 2c.
Y W1(0,b)
T(x,y)
V2(-a,0)
F2(-c,0)
F1(c,0)
V1(a,0)
X
W2(0,-b)
Gambar 15 Model Ellips.
Misalkan jumlah jarak dari setiap titik T(x,y) ke F1 dan F2 adalah 2a, maka
diperoleh persamaan ellips sebagai berikut
x2 y2
+
= 1 dengan a 2 − b 2 = c 2 (a, b, dan c > 0)
a2 b2
(6)
Jika y = 0 maka x = ± a, dan jika x = 0 maka y = ± b. Dari hubungan a, b, dan c
tampak bahwa a > b dan a > c.
45
Sumbu yang melalui fokus dinamakan sumbu utama ellips, sedangkan
sumbu yang tegak lurus sumbu utama dinamakan sumbu sekawan ellips.
Perpotongan kedua sumbu ellips disebut sebagai pusat ellips. Ellips memotong
sumbu X di V1(a,0) dan V2(-a,0), kedua titik tersebut dinamakan puncak ellips.
Selanjutnya, ellips memotong sumbu Y di W1(0,b) dan W2(0,-b), kedua titik
tersebut dinamakan puncak sekawan ellips. Ruas garis V1V2 dinamakan sumbu
panjang ellips (sumbu mayor), panjangnya 2a, sedangkan ruas garis W1W2
dinamakan sumbu pendek ellips (sumbu minor), panjangnya 2b.
Garis yang melalui titik fokus dan tegak lurus sumbu utama ellips
merupakan talibusur terpendek yang melalui titik fokus. Ruas garis tersebut
2b 2
dinamakan latus rectum (LR) ellips, panjangnya adalah
.
a
2
Dari a 2 − b 2 = c 2 , diperoleh
b
c
⎛c⎞
= 1 − ⎜ ⎟ . Nilai < 1 , nilai itu disebut
a
a
⎝a⎠
eksentrisitas ellips (e). Makin besar nilai e, maka
b
makin kecil, atau semakin
a
relatif kecil terhadap a, akibatnya ellips semakin pipih. Oleh karena itu, e juga
merupakan faktor kepipihan ellips.
Dalam keadaan khusus, persamaan yang terbentuk bukan lagi persamaan
ellips, yaitu:
b
= 1 atau b = a, sehingga yang terbentuk adalah lingkaran;
a
ƒ
Jika e = 0, maka
ƒ
Kedua fokus ellips berimpit dengan pusat ellips. Jika
c
b
= 1 , maka
=0
a
a
atau b = 0, sehingga yang terbentuk adalah garis lurus.
2.
Model Ellips Kirkham
Kirkham (1967) dalam van Schilfgaarde (1974) merumuskan persamaan
jarak antar saluran yang diilustrasikan melalui bentuk ellips (Gambar 16) sebagai
berikut:
46
( z + hw ) 2 − hw2 =
R
(2 sx − x 2 )
K
(7)
dengan
hw
= Tinggi air pada saluran di atas lapisan kedap.
z + hw = Tinggi muka air tanah di atas lapisan kedap.
x
= Jarak dari saluran.
R
= Curah hujan.
K
= Konduktivitas hidrolik tanah.
2s
= Jarak antar saluran.
R
z
K
hw
y
F
H
F
x
s
s
Gambar 16 Bentuk saluran dan Ellips Kirkham.
Persamaan (7) didasarkan pada teori Dupuit-Forchheimer (D-F) yang
membuat dua asumsi:
1.
Untuk kemiringan yang kecil pada permukaan bebas (free surface),
streamline dapat diambil seperti horisontal; dan
2.
Velositas yang berhubungan dengan streamline proporsional dengan lereng
permukaan bebas, tetapi tidak tergantung pada kedalaman.
Kirkham (1967) menunjukkan bahwa asumsi-asumsi tersebut memberikan
hasil yang nyata jika diaplikasikan pada tanah yang memiliki konduktivitas tak
hingga (infinite conductivity) dengan arah vertikal. Untuk jenis tanah yang lain,
47
kedua asumsi tersebut memberikan hasil prakiraan. Konduktivitas vertikal yang
tak hingga diprakirakan melalui tanah yang memiliki banyak lubang cacing,
lubang akar, dan retakan.
Tinggi muka air tanah maksimum (Hm) terletak pada pusat ellips,
diperoleh pada saat x = s. Jarak antar saluran (2s) dinyatakan dengan persamaan:
s=
3.
K
( H m2 − hw2 ) dengan H m = H + hw
R
(8)
Model Penduga Air Rembesan Lateral
Chescheir et al. (1986) telah mengembangkan metode prakiraan untuk
mengukur air rembesan lateral dari dan ke kolom saluran.
R
h1
Q1
K
hm
Q2
h2
L
Gambar 17 Aliran di antara saluran paralel dengan infiltrasi tetap.
Chescheir et al. telah merumuskan solusi untuk air rembesan lateral dari
dan ke kolom saluran melalui penyelesaian persamaan secara simultan untuk
aliran paralel antar saluran. Persamaan penting untuk aliran di antara dua saluran
sejajar dengan infiltrasi tetap (Gambar 17) ditulis sebagai berikut:
d 2h
R
+2 =0
2
K
dx
dengan
(9)
48
h = Tinggi muka air tanah (m).
R = Laju infiltrasi tetap (m/jam).
K = Konduktivitas hidrolik tanah (m/jam).
L = Jarak antar saluran (m).
Kondisi pembatas untuk Persamaan (9) adalah h(0) = h1 dan h(L) = h2. Hal
ini mengikuti Marino dan Luthin (1982) bahwa persamaan untuk bentuk muka air
tanah h(x), tinggi muka air tanah maksimum (hm), dan aliran ke saluran (Q1 dan
Q2) adalah:
h 2 ( x) = h12 +
Rx( L − x) (h12 − h22 ) x
−
K
L
(10)
hm2 =
h12 + h22 RL2
K
+
+
(h12 − h22 ) 2
2
4 K 4 RL2
(11)
Q1 =
RL K 2
−
(h1 − h22 )
2 2L
(12)
Q2 =
RL K 2
+
(h1 − h22 )
2 2L
(13)
Penyelesaian Persamaan (11) untuk R menghasilkan:
R=
K (2hm2 − h12 − h22 + 2 h12 h22 − h12 hm2 − h22 hm2 + hm4 )
(14)
L2
Persamaan
(14) akan
menjadi Persamaan
Hooghoudt (15) jika
d=h1=h2 dan m = hm – d, sehingga
R=
4 Km(2d + m)
L2
(15)
Solusi tersebut menggunakan asumsi Dupuit-Forchheimer dan menganggap
bahwa kedalaman kedua saluran sampai pada lapisan kedap.
Jika h1 = h2 = hw, maka Persamaan (10) akan sama seperti Persamaan
Kirkham (7), yaitu
h 2 ( x) = hw2 +
Rx( L − x)
K
(16)
49
untuk h 2 ( x) = ( z + hw ) 2 dan L = 2s.
Tinggi muka air tanah rata-rata dapat ditentukan dengan mengintegralkan
Persamaan (10) dengan batas atas yaitu jarak antar saluran.
L
ha = ∫
0
Rx( L − x) (h12 − h22 ) x
−
h +
K
L
dx
L
2
1
(17)
Integral tersebut diselesaikan secara numerik dengan menggunakan aturan
trapezoid.
Metode prakiraan untuk mengukur air rembesan lateral dari dan ke kolom
saluran yang dikembangkan oleh Chescheir et al. (1986) telah dibandingkan
dengan solusi elemen hingga yang berdimensi dua dari Persamaan Richard, dan
menunjukkan hasil yang sama baiknya. Oleh karena itu, metode prakiraan
Chescheir et al. (1986) telah digabungkan ke dalam model pengelolaan air, yaitu
model DRAINMOD.
Deskripsi Model
Pemodelan muka air tanah pada lahan rawa pasang surut dilakukan di
petak tersier, yaitu pada petak lahan di antara dua saluran tersier yang sejajar
seperti yang dapat dilihat pada Gambar 18. Lahan usahatani di daerah reklamasi
rawa pasang surut Delta Telang I dan Delta Saleh terdiri dari beberapa blok. Tata
nama diberikan sesuai dengan hirarki dalam sistem jaringan tata air. Lahan yang
berada di antara dua saluran sekunder (SPD dan SDU) disebut sebagai blok
sekunder, sedangkan lahan yang berada di antara dua saluran tersier disebut
sebagai petak tersier.
Dalam satu blok sekunder terdapat 17 saluran tersier, atau terdapat 16
petak tersier. Luas lahan usahatani dalam satu petak tersier yaitu 16 hektar,
sehingga total lahan usahatani dalam satu blok sekunder yaitu seluas 256 hektar.
Dalam sistem pengelolaan air, setiap petak tersier merupakan satu unit sistem
pengelolaan air.
50
Gambar 18 Deskripsi model area.
Identifikasi Sistem Fluktuasi Muka Air Tanah
Fluktuasi muka air tanah pada lahan rawa pasang surut dapat diilustrasikan
melalui diagram causal loop seperti pada Gambar 19. Muka air tanah pada lahan
rawa pasang surut berfluktuasi menurut ruang dan waktu. Fluktuasi muka air
tanah dipengaruhi oleh curah hujan, evapotranspirasi, dan tinggi muka air di
saluran yang berfluktuasi akibat pasang surut air laut.
Muka Air
Tanah
ET
Muka Air
di Saluran
Tersier
Muka Air
di Saluran
Sekunder
Muka Air
di Sungai
Utama
Muka Air
di Saluran
Primer
Curah
Hujan
Pasang Surut
Air Laut
Gambar 19 Diagram causal loop fluktuasi muka air tanah pada lahan rawa pasang
surut.
51
Curah hujan yang jatuh di permukaan tanah, sebagian akan masuk ke
dalam tanah, dan sebagian yang lain akan mengalir di atas permukaan tanah. Air
hujan yang masuk ke dalam tanah melalui proses infiltrasi akan dapat
meningkatkan muka air tanah. Sebagian dari air yang masuk tersebut akan
bergerak di bawah permukaan tanah kemudian menuju ke sungai dan kembali ke
laut.
Pada bagian yang lain, tingginya suhu udara akan mendorong terjadinya
proses evapotranspirasi. Proses ini dapat menurunkan muka air tanah, sebab air
yang tersimpan di dalam tanah akan berkurang karena terjadi penguapan.
Pengisian air di dalam tanah oleh air hujan dan pelepasan air karena proses
evapotranspirasi akan menyebabkan terjadinya fluktuasi muka air tanah.
Faktor lain yang juga menyebabkan terjadinya fluktuasi muka air tanah
yaitu fluktuasi muka air di saluran karena pengaruh pasang surut air laut. Air di
saluran akan merembes masuk dan keluar lahan melalui aliran lateral. Kecepatan
aliran air yang merembes masuk dan keluar lahan tersebut tergantung pada
konduktivitas hidrolik tanah dan jarak antar saluran.
Formulasi Skema Fisik Muka Air Tanah
Skema fisik muka air tanah pada petak lahan rawa pasang surut di antara
dua saluran tersier yang sejajar dapat dilihat pada Gambar 20 dan 21.
R
ET
Saluran
Tersier
Saluran
Tersier
x
h1
h(x)
K
h2
2s
Gambar 20 Skema fisik muka air tanah di petak tersier lahan rawa pasang surut
pada kondisi 0 ≤ ET < R .
52
ET
Saluran
Tersier
Saluran
Tersier
x
h1
h(x)
K
h2
2s
Gambar 21 Skema fisik muka air tanah di petak tersier lahan rawa pasang surut
pada kondisi R = 0 dan ET > 0.
Parameter-parameter yang digunakan dalam membangun model penduga
muka air tanah pada lahan rawa pasang surut yaitu:
ƒ
Tinggi muka air tanah pada jarak x dari saluran (h(x));
ƒ
Tinggi muka air di saluran tersier (h1 dan h2);
ƒ
Curah hujan (R);
ƒ
Evapotranspirasi (ET);
ƒ
Konduktivitas hidrolik tanah (K);
ƒ
Jarak antar saluran tersier (2s); dan
ƒ
Lebar saluran (ℓ).
Formulasi Model Matematika
Model penduga muka air tanah pada lahan rawa pasang surut dibangun
berdasarkan model matematika yang telah dirumuskan sebelumnya, yaitu model
Kirkham (Kirkham, 1967 dalam van Schilfgaarde, 1974). Selain menggunakan
asumsi yang sama dengan model kirkham, model yang dibangun juga
mengintroduksi konsep “mirror image”.
Persamaan matematika untuk model penduga muka air tanah pada lahan
rawa pasang surut diformulasikan berdasarkan konsep ellips, namun berbeda
dengan konsep ellips pada model Kirkham. Pada model ellips yang diilustrasikan
53
oleh Kirkham, dua buah saluran di dalam ellips diletakkan secara bebas, batas tepi
saluran tidak ada yang terikat dengan titik-titik utama ellips (titik fokus dan titik
puncak ellips). Berbeda dengan konsep yang dikembangkan oleh Kirkham, model
penduga muka air tanah yang dibangun dalam penelitian ini menempatkan batas
tepi saluran pada titik-titik utama ellips.
Simulasi Model
Simulasi model dilakukan dengan menggunakan data pengamatan periode
April 2006 hingga Maret 2007. Dengan simulasi akan dapat diketahui pengaruh
dari masing-masing parameter model. Selanjutnya, parameter yang memiliki
sensitivitas tinggi terhadap model dapat dijadikan sebagai parameter utama dalam
pengendalian muka air tanah di petak lahan.
Validasi Model
Validasi model meliputi validasi struktur (formulasi matematik) dan
validasi hasil. Untuk validasi hasil dilakukan dengan menggunakan data
pengamatan periode April 2007 hingga Maret 2008.
Validasi model dilakukan untuk mengukur kehandalan model dalam
menduga muka air tanah. Tingkat kehandalan model dalam pendugaan ditentukan
dari: 1) Nilai koefisien korelasi (R) antara hasil dugaan dan pengamatan; serta
2) Galat baku pendugaan atau Root Mean Square Error (RMSE). Model yang
handal dicirikan oleh nilai R yang relatif besar dan RMSE hasil pendugaan relatif
kecil. Semakin besar nilai R dan/atau semakin kecil nilai RMSE, maka model yang
dihasilkan semakin baik. Kedua nilai tersebut diperoleh dari persamaan berikut:
N
R=
∑ (x
i =1
N
∑ (x
i =1
dan
i
i
− x )( y i − y )
− x)
2
(18)
N
∑(y
i =1
i
− y)
2
54
N
RMSE =
∑(y
i =1
i
− xi ) 2
N
(19)
dengan
yi = Nilai pengamatan pada waktu ke-i.
y = Nilai rata-rata pengamatan.
xi = Nilai dugaan pada waktu ke-i.
x = Nilai rata-rata dugaan.
N = Jumlah pengamatan.
Penyusunan Skenario Pengaturan Tata Air
Dalam kegiatan usahatani, petani pada lahan rawa pasang surut
dihadapkan pada permasalahan muka air tanah di petak lahan yang berfluktuasi.
Skenario pengaturan tata air merupakan petunjuk teknis yang dapat diterapkan di
lapangan sebagai salah satu upaya untuk mengendalikan muka air tanah di petak
lahan yang fluktuatif. Skenario tersebut dibuat sebagai panduan, terutama bagi
petani, dalam melakukan pengaturan tata air.
Skenario pengaturan tata air dibuat berdasarkan model penduga muka air
tanah yang telah dibangun. Kriteria utama dalam penyusunan skenario pengaturan
tata air yaitu dapat diterapkan oleh petani, dan parameter-parameter yang
digunakan dapat dikenali serta terukur.
Skenario pengaturan tata air yang dibuat dibatasi pada pengendalian muka
air tanah untuk menciptakan kondisi yang diinginkan, sehingga hanya menyajikan
hubungan antara kedalaman muka air tanah di petak lahan dengan parameterparameter tertentu sebagai pengendali. Sebagai ilustrasi, jika petani menginginkan
kondisi muka air tanah di petak lahan pada kedalaman tertentu, maka langkah apa
yang harus dilakukan oleh petani. Parameter-parameter pengendali tersebut dapat
diketahui setelah dilakukan simulasi model.
55
Strategi Pengelolaan SDA dan Lingkungan pada Lahan Rawa Pasang Surut
Selain muka air tanah di petak lahan yang fluktuatif, petani pada lahan
rawa pasang surut juga dihadapkan pada masalah bahan sulfat masam atau bahan
pirit yang terletak di bawah permukaan tanah. Pada penelitian ini, strategi
pengelolaan sumber daya alam pada lahan rawa pasang surut ditekankan pada
aspek pengembangan sistem usahatani, yaitu upaya peningkatan produksi dan
indeks pertanaman (IP), sedangkan untuk pengelolaan lingkungan ditekankan
pada pengendalian lapisan pirit agar tidak membahayakan tanaman.
Strategi pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang dibangun
meliputi:
1.
Pengendalian muka air tanah sesuai dengan zona perakaran tanaman untuk
mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman; dan
2.
Pengendalian lapisan pirit yang ada di bawah permukaan tanah agar tidak
sampai teroksidasi, sebab oksidasi pirit akan menghasilkan asam sulfat yang
bersifat racun bagi tanaman.
Strategi pengembangan sistem usahatani pada lahan rawa pasang surut
ditekankan pada aspek teknis, yaitu pengelolaan air, dalam upaya peningkatan
produksi pertanian dan indeks pertanaman (IP). Strategi tersebut dibangun
berdasarkan sistem usahatani yang diterapkan dan pola fluktuasi muka air tanah di
petak lahan. Strategi yang dibangun meliputi waktu tanam, kedalaman muka air
tanah pada saat musim tanam, sistem usahatani yang diterapkan, dan teknik
pengaturan tata air.
Untuk pengendalian lapisan pirit, strategi yang dibangun juga ditekankan
pada aspek teknis, yaitu pengelolaan air. Strategi tersebut meliputi waktu tanam,
teknik pengaturan tata air untuk pengendalian lapisan pirit agar tidak teroksidasi,
dan teknik pengaturan tata air untuk meningkatkan kualitas lahan dan air setelah
terjadi oksidasi pirit.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian dan pembahasan dikelompokkan atas 3 bagian utama,
yaitu karakteristik lahan rawa pasang surut, pemodelan muka air tanah, serta
pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan pada rawa pasang surut.
Karakteristik Lahan Rawa Pasang Surut
Karakteristik lahan rawa pasang surut yang dikaji dalam penelitian ini
yaitu kondisi iklim, sistem drainase, kondisi hidrotopografi lahan, dan sifat fisik
tanah. Kondisi iklim yang dikaji yaitu curah hujan dan suhu, sedangkan kajian
sifat fisik tanah meliputi tekstur tanah dan konduktivitas hidrolik tanah.
Kondisi Iklim
Karakteristik iklim di daerah rawa pasang surut Delta Telang I dan Delta
Saleh termasuk dalam kategori hujan tropis, kondisi panas dan lembab terjadi
sepanjang tahun. Kawasan tersebut terletak pada zone Agroklimat C1 dengan ratarata curah hujan tahunan yaitu sekitar 2.400 mm. Parameter iklim yang digunakan
dalam membangun model penduga muka air tanah pada lahan rawa pasang surut
yaitu curah hujan dan suhu.
Curah Hujan
Curah hujan merupakan salah satu parameter iklim yang mempengaruhi
terjadinya fluktuasi muka air tanah. Air hujan yang jatuh di petak lahan akan
masuk ke dalam tanah melalui proses infiltrasi. Akibatnya, volume air di dalam
tanah akan bertambah dan ini akan berimplikasi pada kedalaman muka air tanah.
Untuk melihat besarnya pengaruh curah hujan terhadap kedalaman muka
air tanah, maka dilakukan pengamatan curah hujan setiap hari. Curah hujan di
ukur dengan alat penakar curah hujan biasa. Grafik curah hujan harian pada
masing-masing lokasi penelitian disajikan pada Gambar 22.
56
57
Curah Hujan Harian di P8-12S Delta Telang I
April 2006 - Maret 2008
60
55
50
Curah Hujan (mm)
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
Apr
'06
May
'06
Jun
'06
Jul
'06
Aug
'06
Sep
'06
Oct
'06
Nov
'06
Dec
'06
Jan
'07
Feb
'07
Mar
'07
Apr
'07
May
'07
Jun
'07
Jul
'07
Aug
'07
Sep
'07
Oct
'07
Nov
'07
Dec
'07
Jan
'08
Feb
'08
Mar
'08
Oct
'07
Nov
'07
Dec
'07
Jan
'08
Feb
'08
Mar
'08
Oct
'07
Nov
'07
Dec
'07
Jan
'08
Feb
'08
Mar
'08
Waktu (Hari)
Curah Hujan Harian di P6-3N Delta Telang I
April 2006 - Maret 2008
60
55
50
Curah Hujan (mm)
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
Apr
'06
May
'06
Jun
'06
Jul
'06
Aug
'06
Sep
'06
Oct
'06
Nov
'06
Dec
'06
Jan
'07
Feb
'07
Mar
'07
Apr
'07
May
'07
Jun
'07
Jul
'07
Aug
'07
Sep
'07
Waktu (Hari)
Curah Hujan Harian di P10-2S Delta Saleh
April 2006 - Maret 2008
60
55
50
Curah Hujan (mm)
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
Apr
'06
May
'06
Jun
'06
Jul
'06
Aug
'06
Sep
'06
Oct
'06
Nov
'06
Dec
'06
Jan
'07
Feb
'07
Mar
'07
Apr
'07
May
'07
Jun
'07
Jul
'07
Aug
'07
Sep
'07
Waktu (Hari)
Gambar 22 Curah hujan harian di P8-12S, P6-3N, dan P10-2S.
58
Secara umum, pola curah hujan di ketiga lokasi penelitian relatif sama.
Curah hujan di atas 200 mm per bulan terjadi dalam 3-4 bulan, sedangkan curah
hujan kurang dari 100 mm per bulan juga terjadi dalam 3-4 bulan. Distribusi curah
hujan tidak beraturan, kadang-kadang hujan terkonsentrasi pada waktu tertentu,
sementara pada waktu yang lain jarang terjadi hujan. Kondisi kering biasanya
berlangsung beberapa minggu, terjadi baik pada saat musim hujan maupun musim
kemarau. Musim hujan terjadi pada bulan Oktober-April, dan musim kemarau
terjadi pada bulan Mei-September.
Suhu
Selain curah hujan, suhu udara juga merupakan salah satu parameter iklim
yang mempengaruhi terjadinya fluktuasi muka air tanah. Suhu udara memiliki
peran penting dalam proses evapotranspirasi (ET). Air yang tersimpan di dalam
tanah sebagian akan menguap ke udara melalui proses evapotranspirasi. Dengan
terjadinya proses penguapan, maka akan mengakibatkan terjadinya penurunan
muka air tanah.
Pengamatan suhu udara di ketiga lokasi penelitian dilakukan setiap hari
dengan menggunakan termometer. Pengamatan dilakukan untuk mendapatkan
informasi tentang suhu maksimum dan minimum. Lokasi pengamatan berada pada
titik yang sama dengan pengamatan curah hujan. Karena suhu udara berubah
secara kontinu, maka data pengamatan suhu udara maksimum dan minimum
bersifat relatif.
Grafik suhu udara harian maksimum dan minimum pada masing-masing
lokasi penelitian disajikan pada Gambar 23. Rata-rata suhu udara di ketiga lokasi
penelitian yaitu 28°C, namun kisaran suhu udara minimum dan maksimum
berbeda. Suhu udara di P8-12S berkisar antara 19-34°C. Sementara itu, suhu
udara di P6-3N berkisar antara 20-35°C, sedangkan suhu udara di P10-2S berkisar
antara 21-35°C. Evapotranspirasi harian yang dihitung dengan metode Penman
Monteith menggunakan Software ETo dapat dilihat pada Gambar 24.
59
Suhu Udara di P8-12S Delta Telang I
April 2006 - Maret 2008
40
35
Suhu (o C)
30
25
20
15
10
5
0
Apr
'06
May
'06
Jun
'06
Jul
'06
Aug
'06
Sep
'06
Oct
'06
Nov
'06
Dec
'06
Jan
'07
Feb
'07
Mar
'07
Apr
'07
May
'07
Jun
'07
Jul
'07
Aug
'07
Sep
'07
Oct
'07
Nov
'07
Dec
'07
Jan
'08
Feb
'08
Mar
'08
Sep
'07
Oct
'07
Nov
'07
Dec
'07
Jan
'08
Feb
'08
Mar
'08
Sep
'07
Oct
'07
Nov
'07
Dec
'07
Jan
'08
Feb
'08
Mar
'08
Waktu (Hari)
Minimum
Maksimum
Suhu Udara di P6-3N Delta Telang I
April 2006 - Maret 2008
40
35
Suhu (o C)
30
25
20
15
10
5
0
Apr
'06
May
'06
Jun
'06
Jul
'06
Aug
'06
Sep
'06
Oct
'06
Nov
'06
Dec
'06
Jan
'07
Feb
'07
Mar
'07
Apr
'07
May
'07
Jun
'07
Jul
'07
Aug
'07
Waktu (Hari)
Minimum
Maksimum
Suhu Udara di P10-2S Delta Saleh
April 2006 - Maret 2008
40
35
Suhu (o C)
30
25
20
15
10
5
0
Apr
'06
May
'06
Jun
'06
Jul
'06
Aug
'06
Sep
'06
Oct
'06
Nov
'06
Dec
'06
Jan
'07
Feb
'07
Mar
'07
Apr
'07
May
'07
Jun
'07
Jul
'07
Aug
'07
Waktu (Hari)
Minimum
Maksimum
Gambar 23 Suhu udara maksimum dan minimum harian di P8-12S, P6-3N, dan
P10-2S.
60
Evapotranspirasi Harian di P8-12S Delta Telang I
7.0
6.5
6.0
5.5
Evapotranspirasi (mm)
5.0
4.5
4.0
3.5
3.0
2.5
2.0
1.5
1.0
0.5
0.0
Apr '06
May '06
Jun '06
Jul '06
Aug '06
Sep '06
Oct '06
Nov '06
Dec '06
Jan '07
Feb '07
Mar '07
Feb '07
Mar '07
Feb '07
Mar '07
Waktu (Hari)
Evapotranspirasi Harian di P6-3N Delta Telang I
7.0
6.5
6.0
5.5
Evapotranspirasi (mm)
5.0
4.5
4.0
3.5
3.0
2.5
2.0
1.5
1.0
0.5
0.0
Apr '06
May '06
Jun '06
Jul '06
Aug '06
Sep '06
Oct '06
Nov '06
Dec '06
Jan '07
Waktu (Hari)
Evapotranspirasi Harian di P10-2S Delta Saleh
7.0
6.5
6.0
5.5
Evapotranspirasi (mm)
5.0
4.5
4.0
3.5
3.0
2.5
2.0
1.5
1.0
0.5
0.0
Apr '06
May '06
Jun '06
Jul '06
Aug '06
Sep '06
Oct '06
Nov '06
Dec '06
Jan '07
Waktu (Hari)
Gambar 24 Evapotranspirasi harian di P8-12S, P6-3N, dan P10-2S.
61
Sistem Drainase
Delta Telang I dan Delta Saleh merupakan kawasan yang diapit oleh
beberapa sungai besar (lihat Gambar 7). Sistem sungai dan anak sungai yang ada
di Delta Telang I yaitu Sungai Musi, Sungai Telang, Sungai Karang Anyar, dan
Sungai Sebalik, sedangkan sistem sungai dan anak sungai yang ada di Delta Saleh
yaitu Sungai Musi, Sungai Upang, Sungai Saleh, dan Sungai Kumbang. Semua
sistem sungai dan anak sungai tersebut secara langsung dipengaruhi oleh pasang
surut air laut di Selat Bangka. Sistem jaringan tata air yang dibangun di Delta
Telang I dan Delta Saleh terhubung dengan sistem sungai tersebut.
Pada tahap awal reklamasi daerah rawa pasang surut di Delta Telang I dan
Delta Saleh, jaringan tata air atau sistem drainase yang dirancang oleh LAPI-ITB
pada tahun 1976 didasarkan pada sistem drainase saluran terbuka dengan
menggunakan saluran primer sebagai saluran navigasi yang tegak lurus dan
terhubung langsung ke sungai utama, jarak antar saluran primer ± 4.000 meter.
Tegak lurus dengan saluran primer dibuat saluran sekunder yang terhubung
langsung dengan saluran primer, jarak antar saluran sekunder ± 850 meter.
Saluran sekunder dibedakan menjadi dua, yaitu saluran pemberi yang melintasi
perkampungan dinamakan saluran pengairan desa (SPD) dan saluran pembuangan
dinamakan saluran drainase utama (SDU). Selanjutnya, saluran tersier dibuat
tegak lurus dengan saluran sekunder, jarak antar saluran tersier ± 200 meter,
berfungsi untuk mengalirkan atau membuang air dari dan ke saluran sekunder.
Saluran primer 8 (P8) bermuara ke Sungai Musi di bagian Timur dan
Sungai Telang di bagian barat, sedangkan saluran primer 6 (P6) bermuara ke
Sungai Musi di bagian Timur dan di bagian barat bermuara ke Sungai Karang
Anyar yang merupakan anak Sungai Telang. Saluran primer 10 (P10) bermuara ke
Sungai Kumbang di bagian Timur dan Sungai Upang di bagian barat.
Saluran sekunder di P8-12S, baik SPD maupun SDU, belum dilengkapi
dengan pintu air, sedangkan di P6-3N, saluran sekunder yang telah dilengkapi
dengan pintu air yaitu SPD. Untuk P10-2S, di SPD telah ada pintu air, sedangkan
di SDU dibuat bendung di kedua ujung saluran. Bendung tersebut dibuat oleh
penduduk setempat dengan tujuan untuk mendukung kegiatan usahatani, karena
62
air pasang di saluran tersebut tidak dapat mencapai lahan usahatani. Pada tingkat
tersier, hampir semua saluran tersier di ketiga lokasi penelitian telah dilengkapi
dengan pintu air, kecuali di P8-12S.
Tinggi muka air sungai pada sistem sungai utama dipengaruhi oleh pasang
surut air laut di Selat Bangka. Pasang tertinggi di ambang luar Sungai Musi
mencapai 3,4 meter MSL, sedangkan muka air terendah berada pada ketinggian
0,5 meter MSL (Dinas Oseanografi TNI AL, 2008). Pasang surut air laut di Selat
Bangka yang dicatat di ambang luar Sungai Musi (Stasiun Tanjung Buyut) dapat
dilihat pada Gambar 25.
Pasang Surut Air Laut di Ambang Luar Sungai Musi (Stasiun Tanjung Buyut)
April 2006 - Maret 2008
3.75
3.50
3.25
Ketinggian Air (m, MSL)
3.00
2.75
2.50
2.25
2.00
1.75
1.50
1.25
1.00
0.75
0.50
0.25
0.00
Apr
'06
May
'06
Jun
'06
Jul
'06
Aug
'06
Sep
'06
Oct
'06
Nov
'06
Dec
'06
Jan
'07
Feb
'07
Mar
'07
Apr
'07
May
'07
Jun
'07
Jul
'07
Aug
'07
Sep
'07
Oct
'07
Nov
'07
Dec
'07
Jan
'08
Feb
'08
Mar
'08
Waktu (Hari)
Gambar 25 Pasang surut air laut di ambang luar Sungai Musi (Stasiun Tanjung
Buyut).
Pasang surut muka air di sungai-sungai utama yang terjadi karena
pengaruh pasang surut air laut di Selat Bangka menyebabkan terjadinya fluktuasi
muka air di saluran, baik saluran primer, sekunder, maupun saluran tersier. Lebih
lanjut, fluktuasi muka air di saluran tersebut akan berpengaruh terhadap kondisi
muka air tanah di petak lahan. Pada saat pasang, air akan merembes masuk ke
dalam lahan secara lateral sehingga ketinggian muka air tanah di petak lahan
meningkat. Sebaliknya pada saat surut, air di petak lahan akan kembali merembes
ke saluran sehingga muka air tanah akan turun. Kecepatan aliran rembesan
tersebut tergantung pada konduktivitas hidrolik tanah. Fluktuasi muka air saluran
sekunder di ketiga lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 26 dan 27.
63
Fluktuasi Muka Air di Saluran Sekunder (SPD)
April 2006 - Maret 2008
2.50
Tinggi Muka Air (m, MSL)
2.25
2.00
1.75
1.50
1.25
1.00
0.75
0.50
0.25
0.00
-0.25
-0.50
-0.75
Apr
'06
May
'06
Jun
'06
Jul
'06
Aug
'06
Sep
'06
Oct
'06
Nov
'06
Dec
'06
Jan
'07
Feb
'07
Mar
'07
Apr
'07
May
'07
Jun
'07
Jul
'07
Aug
'07
Sep
'07
Oct
'07
Nov
'07
Dec
'07
Jan
'08
Feb
'08
Mar
'08
Waktu (Hari)
P8-12S
P6-3N
P10-2S
Gambar 26 Fluktuasi muka air di saluran sekunder (SPD) P8-12S, P6-3N, dan
P10-2S.
Fluktuasi Muka Air di Saluran Sekunder (SDU)
April 2006 - Maret 2008
2.50
Tinggi Muka Air (m, MSL)
2.25
2.00
1.75
1.50
1.25
1.00
0.75
0.50
0.25
0.00
-0.25
-0.50
-0.75
Apr
'06
May
'06
Jun
'06
Jul
'06
Aug
'06
Sep
'06
Oct
'06
Nov
'06
Dec
'06
Jan
'07
Feb
'07
Mar
'07
Apr
'07
May
'07
Jun
'07
Jul
'07
Aug
'07
Sep
'07
Oct
'07
Nov
'07
Dec
'07
Jan
'08
Feb
'08
Mar
'08
Waktu (Hari)
P8-12S
P6-3N
P10-2S
Gambar 27 Fluktuasi muka air di saluran sekunder (SDU) P8-12S, P6-3N, dan
P10-2S.
Gambar 26 dan 27 di atas menunjukkan bahwa fluktuasi muka air di
saluran sekunder P8-12S dan P6-3N, baik SPD maupun SDU, memiliki pola yang
relatif sama dengan pola pasang surut air laut di ambang luar Sungai Musi,
sedangkan fluktuasi muka air di saluran sekunder P10-2S tidak menggambarkan
secara utuh kondisi pasang surut yang terjadi di lokasi tersebut. Perbedaan
ketinggian muka air di ketiga lokasi penelitian disebabkan karena faktor topografi
lahan. P8-12S memiliki topografi lahan yang paling rendah dibandingkan kedua
lokasi yang lain, sedangkan P10-2S memiliki topografi lahan yang paling tinggi.
64
Fluktuasi Muka Air di Saluran Sekunder P8-12S Delta Telang I
April 2006 - Maret 2008
1.75
Tinggi Muka Air (m, MSL)
1.50
1.25
1.00
0.75
0.50
0.25
0.00
-0.25
-0.50
-0.75
Apr
'06
May
'06
Jun
'06
Jul
'06
Aug
'06
Sep
'06
Oct
'06
Nov
'06
Dec
'06
Jan
'07
Feb
'07
Mar
'07
Apr
'07
May
'07
Jun
'07
Jul
'07
Aug
'07
Sep
'07
Oct
'07
Nov
'07
Dec
'07
Jan
'08
Feb
'08
Mar
'08
Dec
'07
Jan
'08
Feb
'08
Mar
'08
Dec
'07
Jan
'08
Feb
'08
Mar
'08
Waktu (Hari)
SPD
SDU
Fluktuasi Muka Air di Saluran Sekunder P6-3N Delta Telang I
April 2006 - Maret 2008
1.75
Tinggi Muka Air (m, MSL)
1.50
1.25
1.00
0.75
0.50
0.25
0.00
-0.25
-0.50
Apr
'06
May
'06
Jun
'06
Jul
'06
Aug
'06
Sep
'06
Oct
'06
Nov
'06
Dec
'06
Jan
'07
Feb
'07
Mar
'07
Apr
'07
May
'07
Jun
'07
Jul
'07
Aug
'07
Sep
'07
Oct
'07
Nov
'07
Waktu (Hari)
SPD
SDU
Fluktuasi Muka Air di Saluran Sekunder P10-2S Delta Saleh
April 2006 - Maret 2008
Tinggi Muka Air (m, MSL)
2.25
2.00
1.75
1.50
1.25
1.00
Apr
'06
May
'06
Jun
'06
Jul
'06
Aug
'06
Sep
'06
Oct
'06
Nov
'06
Dec
'06
Jan
'07
Feb
'07
Mar
'07
Apr
'07
May
'07
Jun
'07
Jul
'07
Aug
'07
Sep
'07
Oct
'07
Nov
'07
Waktu (Hari)
SPD
SDU
Gambar 28 Fluktuasi muka air di saluran sekunder P8-12S, P6-3N, dan P10-2S.
65
Gambar 28 di atas menunjukkan ketinggian muka air di kedua saluran
sekunder (SPD dan SDU) pada masing-masing lokasi. Ketinggian muka air di
SPD dan SDU P8-12S relatif sama, karena memang di kedua saluran sekunder
tersebut sama-sama tidak ada pintu air, sehingga tidak ada faktor yang
mempengaruhi pergerakan air di saluran.
Kondisi yang berbeda terjadi di saluran sekunder P6-3N. Ketika air
pasang, ketinggian muka air di kedua saluran relatif sama, namun ketika air surut,
muka air di SPD lebih tinggi dibandingkan dengan muka air di SDU. Hal ini
disebabkan karena pengoperasian pintu air di SPD yang cenderung menahan air.
Penduduk menahan air di SPD dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan seharihari, sedangkan air di SDU habis karena di SDU tidak ada pintu air.
Sementara itu, fluktuasi muka air di SPD dan SDU P10-2S tidak
menggambarkan secara utuh kondisi pasang surut seperti di kedua lokasi yang
lain. Faktor topografi yang tinggi telah mendorong penduduk setempat untuk
menahan air di kedua saluran sekunder. Hal itu dapat dilakukan karena di kedua
saluran sekunder terdapat pintu air (SPD) dan bendung (SDU).
Secara kuantitatif, hubungan pola pasang surut air laut di ambang luar
Sungai Musi yang tercatat di Stasiun Tanjung Buyut dengan fluktuasi muka air di
saluran sekunder dapat dilihat pada Tabel 8 dan 9 di bawah ini.
Tabel 8
Nilai korelasi pasang surut air laut di ambang luar Sungai Musi dan
fluktuasi muka air di saluran sekunder (SPD)
PASUT
PASUT
Pearson Correlation
1
Sig. (2-tailed)
N
731
TMA SPD-P8
Pearson Correlation
0,876(**)
Sig. (2-tailed)
0,000
N
731
TMA SPD-P6
Pearson Correlation
0,875(**)
Sig. (2-tailed)
0,000
N
731
TMA SPD-P10
Pearson Correlation
0,570(**)
Sig. (2-tailed)
0,000
N
731
** Correlation is significant at the 0,01 level (2-tailed)
TMA
SPD-P8
0,876(**)
0,000
731
1
731
0,918(**)
0,000
731
0,660(**)
0,000
731
TMA
SPD-P6
0,875(**)
0,000
731
0,918(**)
0,000
731
1
731
0,636(**)
0,000
731
TMA
SPD-P10
0,570(**)
0,000
731
0,660(**)
0,000
731
0,636(**)
0,000
731
1
731
66
Tabel 9
Nilai korelasi pasang surut air laut di ambang luar Sungai Musi dan
fluktuasi muka air di saluran sekunder (SDU)
PASUT
PASUT
Pearson Correlation
1
Sig. (2-tailed)
N
731
TMA SDU-P8
Pearson Correlation
0,864(**)
Sig. (2-tailed)
0,000
N
731
TMA SDU-P6
Pearson Correlation
0,855(**)
Sig. (2-tailed)
0,000
N
731
TMA SDU-P10
Pearson Correlation
0,416(**)
Sig. (2-tailed)
0,000
N
731
** Correlation is significant at the 0,01 level (2-tailed)
TMA
SDU-P8
0,864(**)
0,000
731
1
731
0,898(**)
0,000
731
0,459(**)
0,000
731
TMA
SDU-P6
0,855(**)
0,000
731
0,898(**)
0,000
731
1
731
0,484(**)
0,000
731
TMA
SDU-P10
0,416(**)
0,000
731
0,459(**)
0,000
731
0,484(**)
0,000
731
1
731
Tabel korelasi di atas menunjukkan bahwa antara pasang surut air laut di
ambang luar Sungai Musi dengan fluktuasi muka air di saluran sekunder memiliki
hubungan linier yang positif. Artinya, jika terjadi pasang di ambang luar Sungai
Musi, maka muka air di saluran sekunder juga akan ikut naik, demikian juga
sebaliknya. Rendahnya nilai korelasi PASUT (pasang surut) dengan TMA (tinggi
muka air) saluran sekunder di P10-2S disebabkan karena faktor pengoperasian
pintu air di SPD serta adanya bendung di SDU yang keduanya cenderung untuk
menahan air di saluran sekunder tersebut.
Hidrotopografi Lahan
Hidrotopografi lahan merupakan perbandingan relatif antara elevasi lahan
dengan ketinggian muka air di sungai atau saluran terdekat. Kondisi
hidrotopografi kawasan menjadi pertimbangan awal dalam membuat perencanaan
pengelolaan air di lahan rawa pasang surut. Pola tanam pada lahan rawa pasang
surut harus disesuaikan dengan kemampuan luapan air pasang.
Kondisi hidrotopografi lahan di Delta Telang I dan Delta Saleh sangat
dipengaruhi oleh ketinggian muka air dari sistem sungai yang ada di sekitar
daerah tersebut yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut di Selat Bangka. Peta
topografi lahan penelitian dapat dilihat pada Gambar 29, 30, dan 31.
67
Gambar 29 Peta topografi lahan di petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I.
Gambar 30 Peta topografi lahan di petak tersier 3 P6-3N Delta Telang I.
68
Gambar 31 Peta topografi lahan di petak tersier 3 P10-2S Delta Saleh.
Lahan penelitian di petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I berada pada
ketinggian antara 1,16-1,47 meter MSL, sedangkan ketinggian air di saluran
sekunder pada saat pasang yaitu 1,41 meter MSL untuk SPD dan 1,43 meter MSL
untuk SDU. Pada saat pasang, hampir semua lahan dapat terluapi air pasang dari
saluran sekunder.
Lahan penelitian di petak tersier 3 P6-3N Delta Telang I berada pada
ketinggian antara 1,19-1,62 meter MSL, relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
lahan di petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I. Ketinggian air di saluran sekunder
P6-3N Delta Telang I pada saat pasang yaitu 1,43 meter MSL untuk SPD dan 1,44
meter MSL untuk SDU. Pada saat pasang, sebagian lahan akan terluapi air pasang
dari saluran sekunder.
Untuk petak tersier 3 P10-2S Delta Saleh, lahan penelitian berada pada
ketinggian antara 1,90-2,48 meter MSL, sedangkan ketinggian air di saluran
sekunder pada saat pasang yaitu 2,15 meter MSL untuk SPD dan 2,16 meter MSL
untuk SDU. Pada saat pasang, hanya sebagian kecil lahan yang terluapi air pasang
dari saluran sekunder.
69
Berdasarkan klasifikasi tipe luapan, maka sebagian besar lahan penelitian
di petak tersier 3 P8-12S termasuk dalam tipologi lahan B dan sebagian kecil
tipologi lahan C, sedangkan lahan penelitian di petak tersier 3 P6-3N termasuk
dalam tipologi lahan B/C. Selanjutnya, hanya sebagian kecil lahan penelitian di
petak tersier 3 P10-2S yang termasuk dalam tipologi lahan B, sebagian besar
lahan termasuk dalam tipologi lahan C.
Sifat Fisik Tanah
Kajian sifat fisik tanah difokuskan pada tekstur tanah dan konduktivitas
hidrolik tanah, sebab kedua sifat fisik tanah tersebut dapat mempengaruhi
kecepatan aliran air di dalam tanah.
Tekstur Tanah
Tekstur tanah merupakan salah satu sifat fisik tanah yang penting. Tekstur
menunjukkan kasar halusnya tanah berdasarkan perbandingan relatif jumlah fraksi
liat, debu, dan pasir. Peranan tekstur dan struktur secara bersama-sama tidak
hanya membantu dalam penyediaan air dan udara, tetapi juga unsur hara bagi
tanaman (Soepardi, 1983).
Tekstur tanah berkaitan dengan kisaran ukuran partikel tanah, yaitu
partikel penyusun tanah tertentu yang terdiri dari ukuran partikel besar, kecil, atau
partikel sedang. Partikel-partikel mineral tanah yang menjadi komponen dari
tekstur tanah adalah pasir, debu, dan liat yang salah satu pembedanya adalah
ukuran dari masing-masing partikel tersebut. Secara kualitatif, tekstur menyatakan
rasa dari bahan tanah, apakah kasar dan terasa berpasir, atau halus dan lembut.
Namun secara kuantitatif, tekstur tanah menyatakan distribusi ukuran partikel
yang terdapat pada suatu tanah (Susanto dan Purnomo, 1996).
Data tekstur tanah pada masing-masing lokasi penelitian diambil dari 6
titik pengamatan yang berbeda pada petak lahan yang terletak di antara saluran
tersier 3 dan 4. Sebaran spasial kedalaman lapisan tanah dengan tekstur liat pada
masing-masing lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 32, 33, dan 34.
70
Gambar 32 Sebaran spasial kedalaman lapisan tanah dengan tekstur liat di petak
tersier 3 P8-12S Delta Telang I.
Gambar 33 Sebaran spasial kedalaman lapisan tanah dengan tekstur liat di petak
tersier 3 P6-3N Delta Telang I.
71
Gambar 34 Sebaran spasial kedalaman lapisan tanah dengan tekstur liat di petak
tersier 3 P10-2S Delta Saleh.
Sebaran spasial kedalaman lapisan tanah dengan tekstur liat tersebut
merupakan hasil interpolasi dari enam titik pengamatan dengan menggunakan
metode interpolasi IDW (Inverse Distance Weight). Secara umum, tekstur tanah
pada lapisan tanah paling atas di petak tersier 3 P8-12S adalah lempung dan
lempung berliat. Tekstur liat ditemukan pada kedalaman 0,19-0,62 meter di bawah
permukaan tanah. Berbeda dengan petak tersier 3 P8-12S, lapisan tanah paling
atas di petak tersier 3 P6-3N relatif homogen, yaitu liat berdebu. Tekstur liat
ditemukan pada kedalaman 0,05-1,02 meter di bawah permukaan tanah. Tekstur
tanah pada lapisan tanah paling atas di petak tersier 3 P10-2S juga relatif
homogen, yaitu lempung. Tekstur liat ditemukan pada kedalaman 0,03-0,51 meter
di bawah permukaan tanah.
Tekstur liat dapat menjadi indikator keberadaan lapisan tanah yang kedap
air. Kedalaman lapisan tanah dengan tekstur liat akan berpengaruh pada
kemampuan tanah dalam menyerap dan menahan air. Lapisan tanah dengan
tekstur liat memiliki kemampuan yang rendah dalam menyerap air, namun dapat
menahan air dengan baik.
72
Konduktivitas Hidrolik Tanah
Pengukuran konduktivitas hidrolik tanah dilakukan secara langsung di
petak lahan dengan menggunakan metode Auger Hole. Metode tersebut
memberikan nilai permeabilitas rata-rata lapisan tanah dari muka air tanah sampai
beberapa cm di bawah lubang auger. Jika ada lapisan kedap pada dasar lubang
auger, maka nilai K ditentukan oleh lapisan-lapisan di atas lapisan kedap.
Prinsip umum metode Auger Hole yaitu sebuah lubang dipersiapkan
dengan menggunakan bor sampai kedalaman tertentu di bawah muka air tanah.
Ketika keseimbangan air dengan lingkungan telah tercapai, sebagian air di lubang
dikeluarkan. Air akan merembes kembali ke dalam lubang, dan laju naiknya muka
air tanah di dalam lubang sejalan dengan waktu dicatat. Dengan menggunakan
grafik dan formula yang sesuai, maka konduktivitas hidrolik tanah (K) dapat
dihitung dari data pengamatan tersebut.
Pengukuran konduktivitas hidrolik tanah pada masing-masing lokasi
penelitian dilakukan di 16 titik yang berbeda pada petak lahan yang terletak di
antara dua saluran tersier. Titik-titik tersebut mewakili 16 petak lahan di antara
saluran tersier 3 dan 4. Nilai konduktivitas hidrolik tanah yang diperoleh dari 16
titik pengukuran tersebut selanjutnya diinterpolasi dengan menggunakan metode
interpolasi IDW (Inverse Distance Weight). Sebaran spasial nilai konduktivitas
hidrolik tanah hasil interpolasi pada masing-masing lokasi penelitian dapat dilihat
pada Gambar 34, 35, dan 36.
Nilai konduktivitas hidrolik tanah menunjukkan kecepatan aliran air di
dalam tanah. Nilai konduktivitas hidrolik tanah yang besar mengindikasikan
bahwa laju aliran air di dalam tanah adalah cepat, demikian sebaliknya. Jika
dikaitkan dengan tekstur tanah, nilai konduktivitas hidrolik tanah relatif kecil pada
lapisan tanah dengan tekstur liat dibandingkan dengan lapisan tanah yang
teksturnya bukan liat. Hal ini disebabkan karena lapisan tanah dengan tekstur liat
memiliki ukuran partikel yang relatif kecil. Partikel tanah yang kecil
menyebabkan ruang pori tanah juga kecil, sehingga kemampuan air untuk melalui
lapisan tanah tersebut menjadi lambat. Kondisi ini dapat dibuktikan dengan
membandingkan Gambar 31, 31, dan 33 dengan Gambar 35, 36, dan 37.
73
Gambar 35 Sebaran spasial nilai konduktivitas hidrolik tanah di petak tersier 3
P8-12S Delta Telang I.
Gambar 36 Sebaran spasial nilai konduktivitas hidrolik tanah di petak tersier 3
P6-3N Delta Telang I.
74
Gambar 37 Sebaran spasial nilai konduktivitas hidrolik tanah di petak tersier 3
P10-2S Delta Saleh.
Nilai konduktivitas hidrolik tanah di petak tersier 3 P8-12S berkisar antara
6,85-14,19 cm/jam. Nilai konduktivitas hidrolik tanah pada petak lahan yang
berada dekat dengan SDU relatif lebih besar bila dibandingkan dengan petak
lahan yang lain. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa pada petak lahan
tersebut masih terdapat bahan organik.
Kondisi di P6-3N hampir sama seperti di P8-12S. Nilai konduktivitas
hidrolik tanah di petak tersier 3 P6-3N berkisar antara 9,28-11,77 cm/jam. Nilai
konduktivitas hidrolik tanah pada petak lahan yang berada dekat dengan SDU
juga relatif lebih besar bila dibandingkan dengan petak lahan yang lain. Pada
lahan tersebut juga ditemukan bahan organik.
Masih terdapatnya bahan organik pada petak lahan yang berada dekat
dengan SDU, baik di P8-12S maupun di P6-3N, disebabkan karena kondisi lahan
yang relatif lembab sepanjang tahun. Kondisi lembab tersebut antara lain
disebabkan karena lokasi lahan yang letaknya relatif dekat dengan SDU, serta
tidak adanya infrastruktur pengendali air (pintu air) di SDU.
75
Meskipun air di saluran tersier dapat dikendalikan melalui pintu air (pada
musim kemarau, pintu air di saluran tersier dalam posisi drain), namun karena
jarak antara petak lahan dan SDU relatif dekat, maka air pasang di SDU masuk ke
lahan melalui aliran rembesan lateral. Kondisi lahan yang relatif lembab
sepanjang tahun tersebut menjadi penyebab lambatnya proses pematangan tanah,
sehingga pada lahan tersebut masih ditemukan bahan organik.
Berbeda dengan di P8-12S dan P6-3N, nilai konduktivitas hidrolik tanah di
petak tersier 3 P10-2S tidak terlalu dipengaruhi oleh kondisi air di SDU. Karena
topografi lahan di petak tersier 3 P10-2S relatif tinggi, maka lahan tidak terluapi
oleh air pasang di saluran, sumber air utama hanya berasal dari air hujan. Kondisi
air di saluran relatif stabil karena semua saluran sekunder dan tersier dilengkapi
dengan pintu air, ini berdampak pada ketinggian muka air tanah di petak lahan
yang relatif rata dan tidak terlalu berfluktuasi. Oleh karena itu, sebaran nilai
konduktivitas hidrolik tanah di petak tersier 3 P10-2S relatif merata dengan
besaran antara 8,93-12,23 cm/jam.
Fluktuasi Muka Air Tanah
Muka air tanah merupakan batas antara zona aerasi dan zona jenuh. Pada
zona aerasi, pori tanah berisi udara dan air, sedangkan pada zona jenuh seluruh
pori terisi air. Kedalaman muka air tanah dapat berubah setiap saat, terutama
dipengaruhi oleh curah hujan dan kondisi aliran sungai. Curah hujan yang lebat
dan lama dapat memberikan air yang banyak untuk pengisian air tanah.
Terjadinya perbedaan antara pengisian dan pengurangan kembali air tanah
menyebabkan permukaannya berfluktuasi.
Muka air tanah akan mempengaruhi kondisi drainase dan aerasi pada zona
perakaran. Muka air tanah yang dangkal dapat menekan pertumbuhan tanaman
karena menghambat udara tanah dan menurunkan volume udara di zona
perakaran, sedangkan muka air tanah yang dalam dapat merangsang perakaran,
namun akan menurunkan kadar air dan zona aerasi karena pori tanah akan lebih
banyak terisi udara.
76
Pada lahan rawa pasang surut, fluktuasi muka air tanah dipengaruhi oleh
curah hujan, suhu, dan kondisi pasang surut air di saluran. Selain dapat
mendukung pertumbuhan tanaman, pengendalian muka air tanah pada kedalaman
tertentu juga dapat mencegah terjadinya oksidasi pirit.
Pola fluktuasi muka air tanah di petak tersier 3 P8-12S, P6-3N, dan
P10-2S relatif sama, namun kedalaman muka air tanah pada ketiga lokasi tersebut
berbeda-beda sesuai dengan topografi lahan masing-masing lokasi. Muka air
tanah di petak tersier 3 P10-2S relatif paling dalam dibandingkan dengan dua
lokasi yang lain karena petak tersier 3 P10-2S memiliki topografi lahan yang
paling tinggi. Sedangkan petak tersier 3 P8-12S yang topografi lahannya paling
rendah, muka air tanahnya relatif paling dangkal dan genangan yang terjadi di
lahan paling tinggi serta paling lama.
Pada akhir bulan Oktober, seiring dengan semakin tingginya intensitas
hujan, muka air tanah semakin naik dengan peningkatan yang cukup nyata. Pada
saat itu, rata-rata kedalaman muka air tanah di petak tersier 3 P8-12S yaitu 10 cm
di bawah permukaan tanah, sedangkan di petak tersier 3 P6-3N dan P10-2S
berturut-turut sedalam 20 cm dan 50 cm di bawah permukaan tanah. Pada waktu
berikutnya, muka air tanah terus naik dan mencapai puncaknya pada bulan
Januari. Setelah itu, muka air tanah kembali turun dan mencapai titik terdalam
pada bulan September.
Pada bulan Nopember hingga Mei, lahan usahatani di petak tersier 3
P8-12S sering tergenang dengan tinggi genangan rata-rata mencapai 10 cm di atas
permukaan tanah dan genangan terjadi dalam waktu yang relatif lama.
Selanjutnya, pada bulan Juli hingga Oktober, muka air tanah berada pada titik
terdalam dengan kedalaman antara 10-35 cm di bawah permukaan tanah.
Untuk lahan usahatani di petak tersier 3 P6-3N, genangan biasanya terjadi
antara bulan Januari hingga April dengan tinggi genangan rata-rata kurang dari
5 cm di atas permukaan tanah dan berlangsung dalam waktu yang tidak terlalu
lama. Pada bulan Juli hingga Oktober, muka air tanah berada pada titik terdalam
dengan kedalaman antara 20-50 cm di bawah permukaan tanah.
77
Genangan lahan di petak tersier 3 P10-2S hanya terjadi beberapa saat pada
bulan Desember hingga Maret, tinggi genangan rata-rata mencapai 10 cm di atas
permukaan tanah. Pada bulan Agustus hingga Oktober, muka air tanah berada
pada titik terdalam dengan kedalaman antara 60-110 cm di bawah permukaan
tanah.
Gambar 38, 39, dan 40 menunjukkan bahwa muka air tanah pada lahan
usahatani yang berada di antara dua buah saluran tersier memang berbentuk
eliptik. Sebagai contoh dapat dilihat fluktuasi muka air tanah pada titik
pengamatan OT4.3 dan OT4.4, kedua titik tersebut berada di tengah di antara dua
saluran sekunder. OT4.4 berada di tengah di antara dua saluran tersier
(± 100 meter dari saluran tersier), sedangkan OT4.3 berada di dekat saluran tersier
(± 5 meter dari saluran tersier). Pada musim hujan, muka air tanah pada OT4.4
lebih tinggi dibandingkan OT4.3. Namun sebaliknya, pada musim kemarau, muka
air tanah pada OT4.4 lebih rendah dibandingkan OT4.3.
Pada musim hujan, muka air tanah banyak dipengaruhi oleh curah hujan
dan pasang surut air di saluran. Air hujan akan meningkatkan ketinggian muka air
tanah secara merata, sedangkan pasang surut air di saluran akan mempengaruhi
muka air tanah melalui aliran rembesan lateral. Pada saat pasang, tekanan air dari
kedua saluran tersier lebih besar dibandingkan tekanan air di lahan, akibatnya air
akan merembes masuk ke dalam lahan. Dengan tekanan yang sama besar dari
kedua sisi dan adanya pengisian air tanah dari air hujan, maka akan menyebabkan
muka air tanah di lahan naik. Semakin ke tengah, muka air tanah akan semakin
naik dan mencapai posisi tertinggi pada titik yang berada tepat di tengah kedua
saluran tersier.
Sebaliknya, pada saat air di saluran tersier surut, tekanan air akan berbalik
dan air di lahan akan merembes menuju saluran, akibatnya akan terjadi penurunan
muka air tanah di lahan. Penurunan muka air tanah pada lahan yang letaknya
dekat dengan saluran akan lebih cepat dibandingkan dengan muka air tanah pada
lahan yang letaknya jauh dari saluran, sehingga muka air tanah di bagian tengah
akan tetap lebih tinggi dibandingkan dengan lahan yang dekat saluran. Demikian
seterusnya, aliran air akan berbalik lagi ke lahan ketika air di saluran tersier
kembali pasang.
78
Pada musim kemarau, muka air tanah lebih banyak dipengaruhi oleh
pasang surut air di saluran. Lahan relatif kering dan muka air pasang di saluran
tidak setinggi pada waktu musim hujan. Terjadinya penguapan melalui proses
evapotranspirasi, menyebabkan muka air tanah pada lahan yang terletak di bagian
tengah lebih rendah dibandingkan dengan lahan yang terletak di tepi saluran,
sebab muka air tanah pada lahan yang berada dekat dengan saluran masih
dipengaruhi oleh air pasang di saluran.
Pada saat pasang, tekanan air dari kedua saluran tersier lebih besar
dibandingkan tekanan air di lahan, akibatnya air akan merembes masuk ke dalam
lahan. Tetapi karena waktu air pasang tidak berlangsung lama dan volume air di
saluran juga tidak terlalu besar, maka sebelum air yang merembes ke lahan
mencapai optimum, air di saluran telah kembali surut. Akibatnya, air di lahan
akan berbalik kembali ke saluran, sehingga muka air tanah pada lahan yang
terletak di tengah tetap lebih rendah dibandingkan dengan lahan yang terletak di
tepi saluran. Demikian seterusnya, proses ini akan berulang ketika terjadi pasang
dan surut di saluran tersier.
Pola fluktuasi muka air tanah yang ditunjukkan pada Gambar 38, 39, dan
40 memang tidak sama persis dengan pola pasang surut di saluran sekunder atau
di ambang luar Sungai Musi, sebab muka air di saluran tersier sangat dipengaruhi
oleh pengoperasian pintu air di saluran tersier. Pada kondisi tertentu pintu air
ditutup untuk tujuan retensi air, sedangkan pada saat yang lain pintu air dibuka
untuk tujuan drainase. Jadi, meskipun air di saluran sekunder sedang surut, maka
muka air di saluran tersier akan tetap tinggi jika pada lahan usahatani sedang
dilakukan penggenangan lahan atau retensi air, demikian juga sebaliknya.
79
Fluktuasi Muka Air Tanah di Petak Tersier 3 P8-12S Delta Telang I
April 2006 - Maret 2008
0.20
Kedalaman Muka Air Tanah (m, MSL)
0.15
0.10
0.05
0.00
-0.05
-0.10
-0.15
-0.20
-0.25
-0.30
-0.35
-0.40
-0.45
Apr
'06
May
'06
Jun
'06
Jul
'06
Aug
'06
Sep
'06
Oct
'06
Nov
'06
Dec
'06
Jan
'07
Feb
'07
Mar
'07
Apr
'07
May
'07
Jun
'07
Jul
'07
Aug
'07
Sep
'07
Oct
'07
Nov
'07
Dec
'07
Jan
'08
Feb
'08
Mar
'08
Nov
'07
Dec
'07
Jan
'08
Feb
'08
Mar
'08
Nov
'07
Dec
'07
Jan
'08
Feb
'08
Mar
'08
Waktu (Hari)
OT 4.1
OT 4.2
Fluktuasi Muka Air Tanah di Petak Tersier 3 P8-12S Delta Telang I
April 2006 - Maret 2008
0.20
Kedalaman Muka Air Tanah (m, MSL)
0.15
0.10
0.05
0.00
-0.05
-0.10
-0.15
-0.20
-0.25
-0.30
-0.35
-0.40
-0.45
Apr
'06
May
'06
Jun
'06
Jul
'06
Aug
'06
Sep
'06
Oct
'06
Nov
'06
Dec
'06
Jan
'07
Feb
'07
Mar
'07
Apr
'07
May
'07
Jun
'07
Jul
'07
Aug
'07
Sep
'07
Oct
'07
Waktu (Hari)
OT 4.3
OT 4.4
Fluktuasi Muka Air Tanah di Petak Tersier 3 P8-12S Delta Telang I
April 2006 - Maret 2008
0.20
Kedalaman Muka Air Tanah (m, MSL)
0.15
0.10
0.05
0.00
-0.05
-0.10
-0.15
-0.20
-0.25
-0.30
-0.35
-0.40
-0.45
Apr
'06
May
'06
Jun
'06
Jul
'06
Aug
'06
Sep
'06
Oct
'06
Nov
'06
Dec
'06
Jan
'07
Feb
'07
Mar
'07
Apr
'07
May
'07
Jun
'07
Jul
'07
Aug
'07
Sep
'07
Oct
'07
Waktu (Hari)
OT 4.5
OT 4.6
Gambar 38 Fluktuasi muka air tanah di petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I.
80
Fluktuasi Muka Air Tanah di Petak Tersier 3 P6-3N Delta Telang I
April 2006 - Maret 2008
0.10
Kedalaman Muka Air Tanah (m, MSL)
0.05
0.00
-0.05
-0.10
-0.15
-0.20
-0.25
-0.30
-0.35
-0.40
-0.45
-0.50
-0.55
Apr
'06
May
'06
Jun
'06
Jul
'06
Aug
'06
Sep
'06
Oct
'06
Nov
'06
Dec
'06
Jan
'07
Feb
'07
Mar
'07
Apr
'07
May
'07
Jun
'07
Jul
'07
Aug
'07
Sep
'07
Oct
'07
Nov
'07
Dec
'07
Jan
'08
Feb
'08
Mar
'08
Dec
'07
Jan
'08
Feb
'08
Mar
'08
Dec
'07
Jan
'08
Feb
'08
Mar
'08
Waktu (Hari)
OT 4.1
OT 4.2
Fluktuasi Muka Air Tanah di Petak Tersier 3 P6-3N Delta Telang I
April 2006 - Maret 2008
0.10
Kedalaman Muka Air Tanah (m, MSL)
0.05
0.00
-0.05
-0.10
-0.15
-0.20
-0.25
-0.30
-0.35
-0.40
-0.45
-0.50
-0.55
Apr
'06
May
'06
Jun
'06
Jul
'06
Aug
'06
Sep
'06
Oct
'06
Nov
'06
Dec
'06
Jan
'07
Feb
'07
Mar
'07
Apr
'07
May
'07
Jun
'07
Jul
'07
Aug
'07
Sep
'07
Oct
'07
Nov
'07
Waktu (Hari)
OT 4.3
OT 4.4
Fluktuasi Muka Air Tanah di Petak Tersier 3 P6-3N Delta Telang I
April 2006 - Maret 2008
0.10
Kedalaman Muka Air Tanah (m, MSL)
0.05
0.00
-0.05
-0.10
-0.15
-0.20
-0.25
-0.30
-0.35
-0.40
-0.45
-0.50
-0.55
Apr
'06
May
'06
Jun
'06
Jul
'06
Aug
'06
Sep
'06
Oct
'06
Nov
'06
Dec
'06
Jan
'07
Feb
'07
Mar
'07
Apr
'07
May
'07
Jun
'07
Jul
'07
Aug
'07
Sep
'07
Oct
'07
Nov
'07
Waktu (Hari)
OT 4.5
OT 4.6
Gambar 39 Fluktuasi muka air tanah di petak tersier 3 P6-3N Delta Telang I.
81
Fluktuasi Muka Air Tanah di Petak Tersier 3 P10-2S Delta Saleh
April 2006 - Maret 2008
0.20
Kedalaman Muka Air Tanah (m, MSL)
0.10
0.00
-0.10
-0.20
-0.30
-0.40
-0.50
-0.60
-0.70
-0.80
-0.90
-1.00
-1.10
-1.20
Apr
'06
May
'06
Jun
'06
Jul
'06
Aug
'06
Sep
'06
Oct
'06
Nov
'06
Dec
'06
Jan
'07
Feb
'07
Mar
'07
Apr
'07
May
'07
Jun
'07
Jul
'07
Aug
'07
Sep
'07
Oct
'07
Nov
'07
Dec
'07
Jan
'08
Feb
'08
Mar
'08
Dec
'07
Jan
'08
Feb
'08
Mar
'08
Dec
'07
Jan
'08
Feb
'08
Mar
'08
Waktu (Hari)
OT 4.1
OT 4.2
Fluktuasi Muka Air Tanah di Petak Tersier 3 P10-2S Delta Saleh
April 2006 - Maret 2008
0.20
Kedalaman Muka Air Tanah (m, MSL)
0.10
0.00
-0.10
-0.20
-0.30
-0.40
-0.50
-0.60
-0.70
-0.80
-0.90
-1.00
-1.10
-1.20
Apr
'06
May
'06
Jun
'06
Jul
'06
Aug
'06
Sep
'06
Oct
'06
Nov
'06
Dec
'06
Jan
'07
Feb
'07
Mar
'07
Apr
'07
May
'07
Jun
'07
Jul
'07
Aug
'07
Sep
'07
Oct
'07
Nov
'07
Waktu (Hari)
OT 4.3
OT 4.4
Fluktuasi Muka Air Tanah di Petak Tersier 3 P10-2S Delta Saleh
April 2006 - Maret 2008
0.20
Kedalaman Muka Air Tanah (m, MSL)
0.10
0.00
-0.10
-0.20
-0.30
-0.40
-0.50
-0.60
-0.70
-0.80
-0.90
-1.00
-1.10
-1.20
Apr
'06
May
'06
Jun
'06
Jul
'06
Aug
'06
Sep
'06
Oct
'06
Nov
'06
Dec
'06
Jan
'07
Feb
'07
Mar
'07
Apr
'07
May
'07
Jun
'07
Jul
'07
Aug
'07
Sep
'07
Oct
'07
Nov
'07
Waktu (Hari)
OT 4.5
OT 4.6
Gambar 40 Fluktuasi muka air tanah di petak tersier 3 P10-2S Delta Saleh.
82
Pemodelan Muka Air Tanah pada Lahan Rawa Pasang Surut
Model Penduga Muka Air Tanah
Model penduga muka air tanah pada lahan rawa pasang surut merupakan
modifikasi dari model Kirkham dengan mengintroduksi konsep “mirror image”.
Pada model ellips yang diilustrasikan oleh Kirkham, dua buah saluran di dalam
ellips diletakkan secara bebas, batas tepi saluran tidak ada yang terikat dengan
titik-titik utama ellips (titik fokus dan titik puncak ellips).
Berbeda dengan konsep yang dikembangkan oleh Kirkham, model
penduga muka air tanah yang dibangun dalam penelitian ini menempatkan batas
tepi saluran pada titik-titik utama ellips.
R
ET
Saluran
Tersier
Saluran
Tersier
z
K
hw
F2
l
H
x
F1
s
Gambar 41 Modifikasi model ellips Kirkham.
Dengan konsep tersebut, maka persamaan ellips pada Gambar 41 dapat
ditulis sebagai berikut:
( z + hw ) 2
( s − x) 2
+
= 1 dengan ( s + l) 2 − ( H + hw ) 2 = s 2
( s + l) 2 ( s + l) 2 − s 2
Selanjutnya,
( s − x) 2 ( z + hw ) 2
+
=1
( s + l) 2 l(2 s + l)
l(2s + l)( s − x) 2 + ( s + l) 2 ( z + hw ) 2 = l(2s + l)( s + l) 2
(20)
83
( z + hw ) 2 =
l(2 s + l)( s + l) 2 − l(2 s + l)( s − x) 2
( s + l) 2
[
]
=
l( 2 s + l) ( s + l) 2 − ( s − x) 2
( s + l) 2
=
l(2 s + l)(2 sl + 2 sx + l 2 − x 2 )
( s + l) 2
=
hw [l(2 s + l) + x(2 s − x)]
( s + l)
⎡
x(2 s − x) ⎤
= hw ⎢hw +
( s + l) ⎥⎦
⎣
= hw2 +
hw
(2 sx − x 2 )
s+l
Karena ( z + hw ) 2 = h 2 ( x) , maka
h 2 ( x) = hw2 +
hw
(2 sx − x 2 )
s+l
(21)
Jika ellips pada Gambar 15 dan 41 diintegrasikan, maka akan diperoleh
kondisi sebagai berikut:
ƒ
s + l ≅ a , s ≅ c , dan H + hw ≅ b ;
ƒ
Jika panjang a dan c tetap, maka panjang b dapat tetap atau berubah. Panjang
b akan berubah apabila terjadi dilatasi pada y. Jika panjang b berubah, maka y
juga akan berubah untuk setiap nilai x;
ƒ
Pada kondisi riil, lebar saluran dan jarak antar saluran adalah tetap, sehingga
panjang s + l dan s tetap. H + hw (tinggi maksimum muka air tanah) dapat
berubah karena pengaruh beberapa faktor, antara lain:
–
Peningkatan muka air tanah karena pengisian dari air hujan (R);
–
Penurunan muka air tanah karena proses evapotranspirasi (ET);
–
Naik turunnya muka air di saluran tersier (hw); dan
84
–
Konduktivitas hidrolik tanah (K), yang mempengaruhi kecepatan aliran
air merembes masuk dan keluar lahan.
ƒ
Jika H + hw berubah, maka z + hw atau h(x) juga akan berubah untuk setiap
perubahan pada x.
Berdasarkan pada beberapa kondisi tersebut di atas, apabila parameter
input di luar ellips (ekuivalen dengan faktor dilatasi) yaitu curah hujan (R),
evapotranspirasi (ET), dan konduktivitas hidrolik tanah (K) dimasukkan ke dalam
Persamaan (21), maka diperoleh:
h 2 ( x) = hw2 +
hw R − ET
(2 sx − x 2 )
s+l K
(22)
dengan
h(x) = Tinggi muka air tanah di atas lapisan kedap pada jarak x dari
saluran (m).
hw
= Tinggi muka air pada saluran di atas lapisan kedap (m).
R
= Curah hujan (mm/hari).
ET
= Evapotranspirasi (mm/hari).
K
= Konduktivitas hidrolik tanah (mm/hari).
x
= Jarak dari saluran (m).
2s
= Jarak antar saluran (m).
ℓ
= Lebar saluran (m).
Selanjutnya, tinggi muka air tanah maksimum terletak pada pusat ellips,
dicapai pada saat x = s dan z = H, sehingga jarak antar saluran (2s) dapat
dinyatakan dengan persamaan:
( z + hw ) 2 − hw2 =
hw R − ET
(2 sx − x 2 ) ; x = s dan z = H
s+l K
( H + hw ) 2 − hw2 =
hw R − ET
(2 s 2 − s 2 ) ; H + hw = H m
s+l K
85
H m2 − hw2 =
hw R − ET 2
s
s+l K
s2
K H m2 − hw2
=
s + l R − ET
hw
( s + l ) − hw =
K H m2 − hw2
R − ET
hw
atau
s=
K H m2 − hw2
+ hw − l
R − ET
hw
(23)
dengan H m = H + hw adalah tinggi muka air tanah maksimum.
Dalam penerapannya, tidak semua sistem jaringan tata air yang dibangun
didasarkan atas konsep ellips. Oleh karena itu, pendugaan kedalaman muka air
tanah pada lahan tersebut dilakukan dengan menggunakan persamaan:
h 2 ( x) = hw2 +
hw R − ET
(2 sx − x 2 )
s
+
K
l
( s + l) − s
Hm
2
2
(24)
Pada sistem jaringan tata air yang dibangun berdasarkan konsep ellips,
maka
H m = ( s + l) 2 − s 2 , sehingga Persamaan (24) akan sama seperti
Persamaan (22).
Persamaan (23) dapat digunakan untuk merancang sistem jaringan tata air
mikro. Dengan mengetahui nilai-nilai parameter model, maka jarak antar saluran
(2s) dan lebar saluran (ℓ) dapat ditentukan.
Pendugaan Muka Air Tanah
Sistem jaringan tata air di Delta Telang I dan Delta Saleh dirancang oleh
LAPI-ITB pada tahun 1976. Karena dimensi dan jarak antar saluran di ketiga
lokasi penelitian tidak dirancang dengan menggunakan konsep ellips, maka
pendugaan kedalaman muka air tanah di ketiga lokasi penelitian dilakukan dengan
menggunakan Persamaan (24).
86
Hasil pendugaan kedalaman muka air tanah di ketiga lokasi penelitian,
masing-masing diambil 1 titik contoh (OT4.4), disajikan dalam bentuk grafik dan
dapat dilihat pada Gambarr 42, 43, dan 44.
Pendugaan Fluktuasi Muka Air Tanah
di OT4.4 P8-12S Delta Telang I
0.15
Kedalaman Muka Air Tanah (m, MSL)
0.10
0.05
0.00
-0.05
-0.10
-0.15
-0.20
-0.25
Apr '06
May '06
Jun '06
Jul '06
Aug '06
Sep '06
Oct '06
Nov '06
Dec '06
Jan '07
Pengamatan
Feb '07
Mar '07
2
R
= 0,928
RMSE = 0,024 m
Waktu (Hari)
Estimasi
Gambar 42 Grafik pendugaan fluktuasi muka air tanah di OT4.4 P8-12S Delta
Telang I.
Pendugaan Fluktuasi Muka Air Tanah
di OT4.4 P6-3N Delta Telang I
Kedalaman Muka Air Tanah (m, MSL)
0.10
0.00
-0.10
-0.20
-0.30
-0.40
-0.50
Apr '06
May '06
Jun '06
Jul '06
Aug '06
Sep '06
Oct '06
Nov '06
Pengamatan
Dec '06
Jan '07
Feb '07
Mar '07
2
Waktu (Hari)
Estimasi
R
= 0,919
RMSE = 0,039 m
Gambar 43 Grafik pendugaan fluktuasi muka air tanah di OT4.4 P6-3N Delta
Telang I.
87
Pendugaan Fluktuasi Muka Air Tanah
di OT4.4 P10-2S Delta Saleh
Kedalaman Muka Air Tanah (m, MSL)
0.20
0.00
-0.20
-0.40
-0.60
-0.80
-1.00
Apr '06
May '06
Jun '06
Jul '06
Aug '06
Sep '06
Oct '06
Nov '06
Dec '06
Pengamatan
Jan '07
Feb '07
Mar '07
2
Waktu (Hari)
Estimasi
R
= 0,984
RMSE = 0,038 m
Gambar 44 Grafik pendugaan fluktuasi muka air tanah di OT4.4 P10-2S Delta
Saleh.
Dari hasil simulasi yang dilakukan, diketahui bahwa:
1.
Model penduga muka air tanah yang telah dibangun dapat memprediksi
kedalaman muka air tanah di petak lahan dengan hasil yang cukup baik, ini
ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi yang relatif besar dan galat baku
pendugaan yang relatif kecil (Tabel 10, 11, dan 12).
2.
Parameter tinggi muka air di saluran tersier (hw) memiliki sensitivitas yang
tinggi terhadap model. Kenaikan atau penurunan muka air di saluran tersier
akan menyebabkan kenaikan atau penurunan muka air tanah di petak lahan
dengan besaran yang sama.
3.
Parameter curah hujan (R) dan evapotranspirasi (ET) menunjukkan pengaruh
yang nyata terhadap perubahan muka air tanah h(x) pada lahan yang letaknya
relatif jauh dari saluran. Namun demikian, pengaruh R dan ET terhadap
perubahan h(x) relatif kecil.
88
Tabel 10 Ringkasan hasil pendugaan kedalaman muka air tanah di petak tersier 3
P8-12S Delta Telang I
Titik Pengamatan
R
R2
RMSE
OT4.1
OT4.2
OT4.3
OT4.4
OT4.5
OT4.6
0,977
0,967
0,972
0,963
0,947
0,955
0,955
0,935
0,945
0,928
0,896
0,912
0,022
0,033
0,021
0,024
0,035
0,032
Tabel 11 Ringkasan hasil pendugaan kedalaman muka air tanah di petak tersier 3
P6-3N Delta Telang I
Titik Pengamatan
R
R2
RMSE
OT4.1
OT4.2
OT4.3
OT4.4
OT4.5
OT4.6
0,946
0,953
0,973
0,958
0,972
0,959
0,895
0,908
0,947
0,919
0,944
0,920
0,042
0,041
0,029
0,039
0,030
0,034
Tabel 12 Ringkasan hasil pendugaan kedalaman muka air tanah di petak tersier 3
P10-2S Delta Saleh
Titik Pengamatan
R
R2
RMSE
OT4.1
OT4.2
OT4.3
OT4.4
OT4.5
OT4.6
0,993
0,993
0,994
0,992
0,992
0,992
0,986
0,986
0,987
0,984
0,983
0,983
0,034
0,041
0,034
0,038
0,037
0,042
Pengaturan Tata Air
Pengendalian muka air tanah pada lahan rawa pasang surut merupakan
suatu proses kunci yang harus dilakukan dengan tepat melalui pengelolaan air,
baik di tingkat makro maupun mikro. Pengelolaan air pada tingkat makro (tata air
makro) yaitu pengelolaan air yang dimulai dari sungai utama kemudian saluran
primer dan saluran sekunder, sedangkan pengelolaan air di tingkat mikro (tata air
mikro) mencakup pengelolaan air di tingkat tersier, kuarter, dan lahan usahatani.
89
Pengelolaan tata air mikro akan menentukan secara langsung kondisi
lingkungan bagi pertumbuhan tanaman. Pengelolaan tata air mikro akan dapat
dilakukan dengan baik apabila di saluran tersier sudah tersedia infrastruktur
pengendali air. Pintu air berfungsi untuk pengendalian air di saluran, yaitu
pemasukan air di saat air pasang dan drainase di saat air surut sesuai dengan
tingkat kebutuhan air untuk tanaman.
Dengan model penduga muka air tanah yang telah dibangun, maka
kedalaman muka air tanah di petak lahan dapat diduga dan kondisi muka air tanah
di petak lahan dapat diketahui secara cepat. Hasil simulasi menunjukkan bahwa
tinggi muka air di saluran tersier merupakan parameter yang paling nyata
mempengaruhi fluktuasi muka air tanah di petak lahan. Besarnya pengaruh tinggi
muka air di saluran tersier terhadap kedalaman muka air tanah di petak lahan juga
ditunjukkan oleh Gambar 45. Oleh karena itu, muka air tanah di petak lahan dapat
dikendalikan pada kedalaman tertentu dengan cara mengatur tinggi muka air di
saluran tersier.
Skenario pengaturan tata air untuk pengendalian muka air tanah di petak
lahan dapat dilihat pada Gambar 46. Skenario tersebut bersifat spesifik lokasi
karena dibangun berdasarkan kondisi eksisting pada masing-masing lokasi
penelitian. Skenario pengaturan tata air dibangun berdasarkan model penduga
muka air tanah dengan besaran parameter seperti pada Tabel 13.
Tabel 13 Besaran parameter dalam membangun skenario pengaturan tata air
Lokasi
R Rata-rata
(mm/hari)
ET Rata-rata
(mm/hari)
K Rata-rata
(cm/jam)
P8-12S
P6-3N
P10-2S
4,98
4.65
3.68
3,54
4,86
4,29
10,52
10,53
10,58
Hasil pendugaan muka air tanah dengan parameter-parameter seperti pada
Tabel 13 menunjukkan bahwa perbedaan kedalaman muka air tanah untuk setiap
perubahan nilai x (jarak titik dugaan dan/atau pengamatan dari saluran) tidak
terlalu besar. Oleh karena itu, pengaturan tata air dapat disederhanakan dengan
cara mengambil nilai rata-rata dugaan muka air tanah menurut x.
90
Petak Tersier 3 P8-12S
15
Kedalaman Muka Air Tanah (cm)
10
5
0
-5
-10
-15
-20
-25
-30
45
50
55
60
65
70
75
80
85
90
Tinggi Muka Air Saluran Tersier (cm)
Petak Tersier 3 P6-3N
10
5
Kedalaman Muka Air Tanah (cm)
0
-5
-10
-15
-20
-25
-30
-35
-40
-45
-50
35
40
45
50
55
60
65
70
75
80
85
90
95
Tinggi Muka Air Saluran Tersier (cm)
Petak Tersier 3 P10-2S
20
10
Kedalaman Muka Air Tanah (m)
0
-10
-20
-30
-40
-50
-60
-70
-80
-90
-100
-110
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
65
70
75
80
85
90
95
100
105
Tinggi Muka Air Saluran Tersier (m)
Gambar 45 Diagram pencar pengamatan tinggi muka air di saluran tersier dan
kedalaman muka air tanah di petak lahan.
91
Pengaturan Tata Air di Petak Tersier 3 P8-12S
35
30
25
20
15
10
Kedalaman Muka Air Tanah (cm)
5
0
-5
-10
-15
-20
-25
-30
-35
-40
-45
-50
-55
-60
-65
-70
-75
-80
0
5
10
15 20
25 30
35 40
45
50 55
60 65
70 75
80
85 90
95 100
Tinggi Muka Air Saluran Tersier (cm)
Pengaturan Tata Air di Petak Tersier 3 P6-3N
Pengaturan Tata Air di Petak Tersier 3 P10-2S
20
10
5
10
0
5
-5
0
-10
-5
-15
-10
-20
-15
-25
Kedalaman Muka Air Tanah (cm)
Kedalaman Muka Air Tanah (cm)
15
-20
-25
-30
-35
-40
-45
-50
-55
-60
-30
-35
-40
-45
-50
-55
-60
-65
-70
-65
-75
-70
-80
-75
-85
-80
-90
-85
-95
-90
-100
-95
-105
0
5
10
15
20
25
30
35 40
45
50
55
60
65
70 75
80
85
90
95 100
0
5
10
15
Tinggi Muka Air Saluran Tersier (cm)
20
25
30
35 40 45
50
55
60
65
70 75 80
85 90 95 100
Tinggi Muka Air Saluran Tersier (cm)
Gambar 46 Grafik pengaturan tata air untuk pengendalian muka air tanah di petak
lahan.
Hasil pengujian skenario pengaturan tata air dengan menggunakan data
pengamatan pada periode April 2006 - Maret 2007 ditunjukkan pada Tabel 14.
Tabel 14 Hasil pengujian skenario pengaturan tata air
Lokasi
R
R2
RMSE
P8-12S
P6-3N
P10-2S
0,974
0,998
0,999
0,948
0,995
0,999
0,020
0,008
0,012
92
Selanjutnya, kondisi muka air tanah di petak lahan dapat dikendalikan
melalui teknik pengaturan tata air berikut:
1.
Retensi air.
Ketika tidak ada hujan dan air di saluran sedang surut, maka muka air tanah
di petak lahan akan turun hingga beberapa cm di bawah permukaan tanah.
Retensi air dilakukan untuk mempertahankan muka air tanah pada kedalaman
tertentu. Penurunan muka air tanah hingga di bawah lapisan tanah yang
mengandung pirit dapat menyebabkan terjadinya oksidasi pirit. Selain itu,
retensi air juga diperlukan untuk mencegah terjadinya kekurangan air dan
menciptakan kondisi lingkungan bagi penyerapan nutrisi yang dibutuhkan
tanaman. Retensi air dapat dilakukan dengan cara menutup pintu air di
saluran tersier pada saat air surut dan membuka pintu air pada saat pasang.
Retensi air sebaiknya tidak dilakukan dalam waktu yang lama untuk
mencegah terbentuknya bahan beracun dalam tanah.
2.
Drainase.
Drainase dilakukan apabila terjadi kelebihan air pada lahan usahatani,
misalnya setelah terjadi hujan lebat. Drainase juga diperlukan pada kondisikondisi tertentu seperti sebelum dilakukan pemupukan, pada masa panen,
atau ketika kualitas tanah dan air memburuk. Drainase dapat dilakukan
dengan cara membuka pintu air di saluran tersier pada saat air surut dan
menutup pintu air pada saat pasang. Namun demikian, harus diupayakan agar
drainase tidak dilakukan terlalu dalam. Pada areal tertentu, drainase yang
terlalu dalam bisa menimbulkan resiko terjadinya oksidasi pirit di bawah
permukaan tanah. Oleh karena itu, muka air tanah harus dipertahankan pada
kedalaman tertentu agar tetap berada di atas lapisan tanah yang mengandung
pirit.
3.
Pemasukan air.
Tanpa irigasi, sumber air utama pada lahan rawa pasang surut berasal dari
curah hujan dan air pasang di saluran. Apabila kualitas air layak (tidak asin
atau asam), maka pemasukan air ke lahan usahatani dapat dilakukan untuk
menjamin kecukupan air bagi tanaman dan juga peningkatan kualitas tanah.
93
Pada kondisi tertentu, genangan air di lahan usahatani perlu dipertahankan
untuk berbagai tujuan. Namun demikian, penggenangan lahan dalam waktu
yang relatif lama harus dihindari untuk mencegah terbentuknya bahan
beracun dalam tanah. Jika selama penggenangan terbentuk unsur racun, maka
harus dilakukan pencucian pada saat terjadi hujan atau ketika air di saluran
tersier surut.
Pengelolaan SDA dan Lingkungan pada Lahan Rawa Pasang Surut
Lahan rawa sebagai salah satu sumber daya alam dapat dimanfaatkan
untuk pertanian tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, perikanan, hutan
tanaman industri, konservasi sumber daya alam, dan ekowisata. Namun demikian,
untuk menjaga dan melestarikan daya dukung dan daya tampung rawa serta fungsi
rawa sebagai sumber daya alam, maka pengelolaan rawa harus dilakukan secara
menyeluruh dan terpadu dengan prinsip keberlanjutan.
Pengelolaan rawa terpadu merupakan pengelolaan yang dilaksanakan
dengan melibatkan semua pemilik kepentingan melalui mekanisme koordinasi.
Selanjutnya, pengelolaan rawa berwawasan lingkungan yaitu pengelolaan yang
memperhatikan
keseimbangan
ekosistem
dan
daya dukung
lingkungan.
Sementara, pengelolaan rawa berkelanjutan yaitu pengelolaan rawa yang tidak
hanya ditujukan untuk kepentingan generasi sekarang, tetapi juga untuk
kepentingan generasi mendatang.
Faktor kunci pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan pada lahan
rawa pasang surut yaitu pengelolaan air. Inti dari pengelolaan air yaitu
pengendalian muka air tanah di petak lahan yang berfluktuasi sehingga dicapai
kondisi muka air tanah yang dapat mendukung pertumbuhan tanaman.
Pengelolaan air yang optimal juga dapat mengendalikan unsur-unsur racun pada
lahan rawa pasang surut, sehingga tanaman dapat tumbuh dan berkembang dengan
baik.
94
Pengembangan Sistem Usahatani
Sektor pertanian merupakan salah satu sektor unggulan dalam pemenuhan
kebutuhan pangan di Indonesia. Sebagai sektor terbesar dan terpenting dalam
rangka pemenuhan kebutuhan pangan, sektor pertanian harus terus dikembangkan,
baik melalui kegiatan ekstensifikasi maupun intensifikasi. Daerah yang memiliki
potensi cukup besar untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian yaitu daerah
rawa pasang surut. Pengembangan lahan rawa pasang surut untuk mendukung
produksi tanaman pangan dan hortikultura memiliki posisi yang sangat strategis.
Hal ini disebabkan karena semakin berkurangnya lahan pertanian produktif akibat
alih fungsi lahan.
Produksi padi dari lahan rawa pasang surut, khususnya di Kabupaten
Banyuasin, telah memberi kontribusi yang sangat besar dalam upaya pemenuhan
kebutuhan pangan, bukan saja di Kabupaten Banyuasin tetapi juga di Provinsi
Sumatera Selatan. Produksi padi tersebut masih dapat ditingkatkan lagi karena
pada saat ini sebagian besar indeks pertanaman (IP) padi di daerah tersebut baru
mencapai IP 100, hanya sebagian kecil yang telah mencapai IP 200.
Secara umum, lahan usahatani di daerah rawa pasang surut dibagi dalam
beberapa blok dan diberi nama sesuai dengan tingkatan dalam sistem jaringan tata
air. Saluran sekunder (SPD dan SDU) yang tegak lurus dengan saluran primer
membentuk satu blok sekunder, dan saluran tersier yang tegak lurus dengan
saluran sekunder membentuk satu petak tersier. Dalam satu blok sekunder
terdapat 16 petak tersier. Luas lahan usahatani dalam satu petak tersier yaitu 16
ha, sehingga dalam satu blok sekunder terdapat 256 ha lahan usahatani. Sketsa
kepemilikan lahan di petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I dapat dilihat pada
Gambar 47.
Tersier 3
Ngadenan (1) Hartono (2)
Hartono (1)
Samirin
Arif (1)
SDU
Arif
Syamsuri
Syamsuri
Said
Pariadi (2) Ngadenan (2)
Samiran
Pariadi (1)
Gaguk (2)
Samirin
Kasdi (1)
SPD
Arif (2)
Hartono
Samiran
Gaguk (1)
Gaguk
Pariadi
Tersier 4
Gambar 47 Sketsa kepemilikan lahan di petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I.
Jalan Poros
Kasdi
Kasdi (2)
95
Usahatani yang dilakukan di P8-12S yaitu tanaman padi pada musim
tanam I (MT I), kemudian dilanjutkan dengan padi atau palawija pada musim
tanam II (MT II). Produksi padi (gabah kering panen, GKP) pada MT I
(2006-2008) di petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I yaitu berkisar antara 3,8-7,3
ton GKP/ha dengan rata-rata 5,7 ton GKP/ha, sedangkan pada MT II berkisar
antara 0,3-3,5 ton GKP/ha, rata-rata 1,8 ton GKP/ha. Grafik produksi gabah
kering panen pada MT I dan MT II di petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I dapat
dilihat pada Gambar 48 dan 49.
Produksi Gabah Kering Panen MT I
di Petak Tersier 3 P8-12S Delta Telang I
8.0
7.0
Produksi (ton/ha)
6.0
5.0
4.0
3.0
2.0
1.0
0.0
Kasdi (2)
Arif (2)
Ngadenan (1)
Hartono (2)
Hartono (1)
Samirin
Arif (1)
Kasdi (1)
Syamsuri
Said
Pariadi (2)
Ngadenan (2)
Samiran
Pariadi (1)
Gaguk (2)
Gaguk (1)
Petani
2006
2007
2008
Gambar 48 Produksi padi MT I di petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I.
Produksi Gabah Kering Panen MT II
di Petak Tersier 3 P8-12S Delta Telang I
4.0
3.5
Produksi (ton/ha)
3.0
2.5
2.0
1.5
1.0
0.5
0.0
Kasdi (2)
Arif (2)
Ngadenan (1)
Hartono (2)
Hartono (1)
Samirin
Arif (1)
Kasdi (1)
Syamsuri
Said
Pariadi (2)
Ngadenan (2)
Samiran
Pariadi (1)
Gaguk (2)
Gaguk (1)
Petani
2006
2007
Gambar 49 Produksi padi MT II di petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I.
Secara umum, produksi padi pada MT I menunjukkan peningkatan dari
tahun ke tahun, namun pada MT II terjadi penurunan yang cukup nyata.
Penurunan produksi padi pada MT II terutama disebabkan karena hama
pengganggu tanaman (HPT), hal ini terjadinya karena tidak semua petani dalam
satu blok sekunder melakukan tanam pada MT II.
96
Penanaman padi MT I di P8-12S Delta Telang I dimulai pada pertengahan
bulan Oktober (Tabel 15). Pada saat itu muka air tanah di lahan usahatani telah
kembali naik, yaitu berada pada kedalaman ± 10 cm di bawah permukaan tanah
(Gambar 50). Pada kedalaman kurang dari 10 cm, tanah di permukaan lahan
dalam kondisi lembab sehingga petani dapat melakukan penanaman padi dengan
sistem TABELA (tanam benih langsung). Sistem ini cukup efektif diterapkan
untuk usahatani padi di lahan rawa pasang surut. Selain karena faktor lingkungan,
sistem TABELA juga dapat mengatasi masalah keterbatasan tenaga kerja.
Seorang petani dapat melakukan penanaman padi pada lahan seluas 1 hektar
hanya dalam waktu kurang dari 1 hari.
Tabel 15 Sistem usahatani padi MT I di P8-12S Delta Telang I
No.
Uraian Kegiatan
7
8
9
10
11
Bulan
12 1
2
3
4
5
6
1.
Persiapan lahan
a. Pemberantasan gulma
b. Pengolahan lahan I
c. Pengolahan lahan II
2. Penanaman
3. Pemeliharaan
a. Pemupukan
ƒ Pemupukan dasar1)
ƒ Pemupukan I
ƒ Pemupukan II
b. Penyulaman
c. Pengendalian gulma & HPT2)
4. Panen
5. Perontokan gabah
6. Pengeringan gabah
7. Penyimpanan
8. Pemrosesan gabah-beras
Sumber: Susanto (2007)
1) Jika petani tidak melakukan pemupukan dasar, maka pemupukan I lebih cepat dilakukan dibandingkan
petani yang melakukan pemupukan dasar.
2) Temporer, tergantung tingkat serangan gulma, hama dan penyakit.
97
Tabel 16 Sistem usahatani padi MT II di P8-12S Delta Telang I
No.
Uraian Kegiatan
2
3
4
5
6
7
Bulan
8 9
10
11
12
1
1.
Persiapan lahan
a. Pemberantasan gulma
b. Pengolahan lahan I
c. Pengolahan lahan II
2. Penanaman
3. Pemeliharaan
a. Pemupukan
ƒ Pemupukan dasar1)
ƒ Pemupukan I
ƒ Pemupukan II
b. Penyulaman
c. Pengendalian gulma & HPT2)
4. Panen
5. Perontokan gabah
6. Pengeringan gabah
7. Penyimpanan
8. Pemrosesan gabah-beras
Sumber: Susanto (2007)
1) Jika petani tidak melakukan pemupukan dasar, maka pemupukan I lebih cepat dilakukan dibandingkan
petani yang melakukan pemupukan dasar.
2) Temporer, tergantung tingkat serangan gulma, hama dan penyakit.
Fluktuasi Muka Air Tanah di Petak Tersier 3 P8-12S Delta Telang I
April 2006 - Maret 2008
0.15
T1
Kedalaman Muka Air Tanah (m, MSL)
0.10
P1
T2
T3
P2
0.05
0.00
-0.05
-0.10
-0.15
-0.20
-0.25
-0.30
-0.35
-0.40
Apr
'06
May
'06
Jun
'06
Jul
'06
Aug
'06
Sep
'06
Oct
'06
Nov
'06
Dec
'06
Jan
'07
Feb
'07
Mar
'07
Apr
'07
May
'07
Jun
'07
Jul
'07
Aug
'07
Sep
'07
Oct
'07
Nov
'07
Dec
'07
Jan
'08
Feb
'08
Mar
'08
Waktu (Hari)
Rata-rata
Keterangan:
T1 : Tanam MT I (Aktual Padi)
P1 : Panen MT I
T2 : Tanam MT II (Potensial Padi)
P2 : Panen MT II
T3 : MT III (Potensial Palawija)
Gambar 50 Fluktuasi muka air tanah rata-rata di petak tersier 3 P8-12S Delta
Telang I.
98
Setelah 2 minggu dari waktu tanam, petani mulai melakukan penyulaman,
tanaman padi yang terlalu rapat dicabut kemudian dipindahkan ke bagian yang
masih jarang. Pada saat yang sama, petani juga melakukan kegiatan pemeliharaan
yang lain, seperti pemupukan, pengendalian gulma, dan pengendalian hama
pengganggu tanaman (HPT). Pengendalian gulma dan HPT dilakukan secara
temporer, tergantung tingkat serangan gulma, hama, dan penyakit.
Memasuki masa panen, petani dihadapkan pada permasalahan tenaga
kerja. Pada satu sisi, panen harus dilakukan dengan cepat, namun pada sisi yang
lain, jumlah tenaga kerja sangat terbatas. Petani dituntut untuk melakukan panen
dalam waktu yang cepat. Selain untuk menjaga kualitas gabah, setelah panen MT
I selesai dilakukan, petani harus segera kembali menyiapkan lahan untuk
melakukan penanaman padi MT II. Kegagalan panen yang sering terjadi pada MT
II pada umumnya disebabkan karena keterlambatan petani dalam melakukan
penanaman. Keterlambatan tanam akan berimplikasi pada banyak hal, terutama
masalah ketersediaan air bagi tanaman. Oleh karena itu, usahatani padi di P8-12S
harus dilakukan ketika muka air tanah berada pada kedalaman kurang dari 10 cm.
Usahatani padi di P8-12S dapat dilakukan 2 kali dalam setahun, potensi
luapan air pasang cukup mendukung ketersediaan air bagi tanaman pada MT II.
Kegiatan tanam pada MT II harus dilakukan mulai pertengahan bulan Maret,
ketika muka air tanah di petak lahan masih cukup tinggi. Muka air tanah yang
terus menurun sejak bulan Maret dapat diantisipasi dengan teknik retensi air.
Berbeda dengan P8-12S, usahatani yang dilakukan di P6-3N yaitu
tanaman padi pada musim tanam I (MT I), kemudian dilanjutkan dengan palawija
pada musim tanam II (MT II). Sketsa kepemilikan lahan di petak tersier 3 P6-3N
Delta Telang I dapat dilihat pada Gambar 51.
Tersier 4
Sucipto (2)
Subur
Budiono (1)
Sucipto (1)
Parsidi (1)
SDU
Widarto
Kartono
Sucipto (3)
Kartono (2)
Daliman (2)
Budiono (3)
Budiono (2)
Daliman (1)
Kartono (1)
Subur
Widarto (1)
SPD
Parsidi (2)
Sucipto
Budiono
Sukamto
Sukamto
Daliman
Tersier 3
Gambar 51 Sketsa kepemilikan lahan di petak tersier 3 P6-3N Delta Telang I.
Jalan Poros
Parsidi
Widarto (2)
99
Produksi padi (gabah kering panen, GKP) pada MT I (2006-2008) di petak
tersier 3 P6-3N Delta Telang I yaitu berkisar antara 4,0-8,3 ton GKP/ha dengan
rata-rata 6,4 ton GKP/ha. Grafik produksi gabah kering panen pada MT I di petak
tersier 3 P6-3N Delta Telang I dapat dilihat pada Gambar 52.
Produksi Gabah Kering Panen MT I
di Petak Tersier 3 P6-3N Delta Telang I
9.0
8.0
Produksi (ton/ha)
7.0
6.0
5.0
4.0
3.0
2.0
1.0
0.0
Widarto (2)
Parsidi (2)
Sucipto (2)
Subur
Budiono (1)
Sucipto (1)
Parsidi (1)
Widarto (1)
Sucipto (3)
Kartono (2)
Daliman (2)
Budiono (3)
Budiono (2)
Daliman (1)
Kartono (1)
Sukamto
Petani
2006
2007
2008
Gambar 52 Produksi padi MT I di petak tersier 3 P6-3N Delta Telang I.
Kegiatan usahatani padi MT I di P6-3N Delta Telang I sama seperti di
P8-12S. Penanaman padi MT I di P6-3N juga dimulai pada pertengahan bulan
Oktober (Tabel 17). Pada saat itu, muka air tanah di lahan usahatani telah kembali
naik, yaitu berada pada kedalaman ± 15 cm di bawah permukaan tanah
(Gambar 53). Pada kedalaman kurang dari 15 cm, kondisi tanah di permukaan
lahan masih cukup lembab sehingga petani dapat melakukan penanaman padi
dengan sistem TABELA (tanam benih langsung).
Secara teknis, kegiatan usahatani padi MT II di P6-3N masih mungkin
dilakukan karena kedalaman muka air tanah sampai bulan Juni masih kurang dari
20 cm di bawah permukaan tanah. Fluktuasi muka air tanah pada periode akhir
bulan Januari hingga Juni memang relatif tinggi, kadang-kadang muka air tanah
turun hingga kedalaman 25 cm. Dengan melakukan retensi air pada saat-saat
tertentu sesuai dengan kebutuhan tanaman, sebenarnya petani dapat melakukan
usahatani padi pada MT II.
100
Tabel 17 Sistem usahatani padi MT I di P6-3N Delta Telang I
No.
Uraian Kegiatan
7
8
9
10
11
Bulan
12 1
2
3
4
5
6
1.
Persiapan lahan
a. Pemberantasan gulma
b. Pengolahan lahan I
c. Pengolahan lahan II
2. Penanaman
3. Pemeliharaan
a. Pemupukan
ƒ Pemupukan dasar1)
ƒ Pemupukan I
ƒ Pemupukan II
b. Penyulaman
c. Pengendalian gulma & HPT2)
4. Panen
5. Perontokan gabah
6. Pengeringan gabah
7. Penyimpanan
8. Pemrosesan gabah-beras
Sumber: Susanto (2007)
1) Jika petani tidak melakukan pemupukan dasar, maka pemupukan I lebih cepat dilakukan dibandingkan
petani yang melakukan pemupukan dasar.
2) Temporer, tergantung tingkat serangan gulma, hama dan penyakit.
Fluktuasi Muka Air Tanah di Petak Tersier 3 P6-3N Delta Telang I
April 2006 - Maret 2008
0.10
T1
Kedalaman Muka Air Tanah (m, MSL)
0.05
P1
T2
T3
P2
0.00
-0.05
-0.10
-0.15
-0.20
-0.25
-0.30
-0.35
-0.40
-0.45
-0.50
Apr
'06
May
'06
Jun
'06
Jul
'06
Aug
'06
Sep
'06
Oct
'06
Nov
'06
Dec
'06
Jan
'07
Feb
'07
Mar
'07
Apr
'07
May
'07
Jun
'07
Jul
'07
Aug
'07
Sep
'07
Oct
'07
Nov
'07
Dec
'07
Jan
'08
Feb
'08
Mar
'08
Waktu (Hari)
Rata-rata
Keterangan:
T1 : Tanam MT I (Aktual Padi)
P1 : Panen MT I
T2 : Tanam MT II (Potensial Padi)
P2 : Panen MT II
T3 : MT III (Potensial Palawija)
Gambar 53 Fluktuasi muka air tanah rata-rata di petak tersier 3 P6-3N Delta
Telang I.
101
Pada umumnya, petani di P6-3N lebih memilih untuk menanam palawija
pada MT II dibandingkan menanam padi. Ada beberapa petani yang mencoba
menanam padi pada MT II, namun hasilnya tidak maksimal karena banyaknya
hama pengganggu tanaman (HPT). Sebenarnya HPT dapat ditekan apabila semua
petani dalam satu blok sekunder melakukan tanam padi secara serentak.
Sama seperti di P6-3N, usahatani yang dilakukan di P10-2S yaitu tanaman
padi pada musim tanam I (MT I), kemudian dilanjutkan dengan palawija pada
musim tanam II (MT II). Sketsa kepemilikan lahan di petak tersier 3 P10-2S Delta
Saleh dapat dilihat pada Gambar 54.
Tersier 3
Sumardi
Yunus
Tori S.
Murodin (1)
Tori S.
Markin
Siwan
Murodin (2)
Siswadi
Darman
Jaman
Solihin (1)
Solihin (2)
Mardi (1)
Marno (1)
Marno (2)
Mardi (2)
Amin
Sidik
SDU
Tonti
SPD
Markin
Jalan Poros
Murodin
Jayus
Siwan
Tersier 4
Gambar 54 Sketsa kepemilikan lahan di petak tersier 3 P10-2S Delta Saleh.
Produksi padi (gabah kering panen, GKP) pada MT I (2006-2008) di petak
tersier 3 P10-2S Delta Saleh yaitu berkisar antara 2,4-6,6 ton GKP/ha dengan ratarata 4,2 ton GKP/ha. Grafik produksi gabah kering panen pada MT I di petak
tersier 3 P10-2S Delta Saleh dapat dilihat pada Gambar 55.
Produksi Gabah Kering Panen MT I
di Petak Tersier 3 P10-2S Delta Saleh
7.0
Produksi (ton/ha)
6.0
5.0
4.0
3.0
2.0
1.0
0.0
Murodin (1)
Tori S.
Markin
Siwan
Murodin (2)
Siswadi
Darman
Jaman
Solihin (1)
Solihin (2)
Mardi (1)
Marno (1)
Marno (2)
Mardi (2)
Amin
Petani
2006
2007
2008
Gambar 55 Produksi padi MT I di petak tersier 3 P10-2S Delta Saleh.
Sidik
102
Pada tahun 2008, produksi padi di petak tersier 3 P10-2S Delta Saleh
terjadi penurunan. Penyebab utama penurunan produksi tersebut yaitu rendahnya
kualitas lahan akibat oksidasi pirit. Pada awal musim tanam, proses pencucian
asam dan senyawa beracun tidak dapat dilakukan dengan optimal karena
rendahnya curah hujan.
Kegiatan usahatani padi MT I di P10-2S Delta Saleh sama seperti di
P8-12S dan P6-3N Delta Telang I. Penanaman padi MT I di P10-2S juga dimulai
pada pertengahan bulan Oktober (Tabel 18). Pada saat itu muka air tanah di lahan
usahatani telah kembali naik, yaitu berada pada kedalaman ± 50 cm di bawah
permukaan tanah (Gambar 56). Petani di P10-2S juga melakukan penanaman padi
dengan sistem TABELA (tanam benih langsung).
Berbeda dengan sistem TABELA yang diterapkan di P8-12S dan P6-3N di
mana lahan dalam kondisi basah atau lembab, sistem TABELA di P10-2S
dilakukan pada kondisi lahan kering, muka air tanah masih berada pada
kedalaman ± 50 cm di bawah permukaan tanah.
Tabel 18 Sistem usahatani padi MT I di P10-2S Delta Saleh
No.
Uraian Kegiatan
7
8
9
10
11
Bulan
12 1
2
3
4
5
6
1.
Persiapan lahan
a. Pemberantasan gulma
b. Pengolahan lahan I
c. Pengolahan lahan II
2. Penanaman
3. Pemeliharaan
a. Pemupukan
ƒ Pemupukan dasar1)
ƒ Pemupukan I
ƒ Pemupukan II
b. Penyulaman
c. Pengendalian gulma & HPT2)
4. Panen
5. Perontokan gabah
6. Pengeringan gabah
7. Penyimpanan
8. Pemrosesan gabah-beras
Sumber: Susanto (2007)
1) Jika petani tidak melakukan pemupukan dasar, maka pemupukan I lebih cepat dilakukan dibandingkan
petani yang melakukan pemupukan dasar.
2) Temporer, tergantung tingkat serangan gulma, hama dan penyakit.
103
Fluktuasi Muka Air Tanah di Petak Tersier 3 P10-2S Delta Saleh
April 2006 - Maret 2008
0.20
T1
Kedalaman Muka Air Tanah (m, MSL)
0.10
P1
T2
T3
P2
0.00
-0.10
-0.20
-0.30
-0.40
-0.50
-0.60
-0.70
-0.80
-0.90
-1.00
-1.10
-1.20
Apr
'06
May
'06
Jun
'06
Jul
'06
Aug
'06
Sep
'06
Oct
'06
Nov
'06
Dec
'06
Jan
'07
Feb
'07
Mar
'07
Apr
'07
May
'07
Jun
'07
Jul
'07
Aug
'07
Sep
'07
Oct
'07
Nov
'07
Dec
'07
Jan
'08
Feb
'08
Mar
'08
Waktu (Hari)
Rata-rata
Keterangan:
T1 : Tanam MT I (Aktual Padi)
P1 : Panen MT I
T2 : Tanam MT II (Potensial Palawija)
P2 : Panen MT II
T3 : MT III (Potensial Palawija)
Gambar 56 Fluktuasi muka air tanah rata-rata di petak tersier 3 P10-2S Delta
Saleh.
Proses pencucian lahan di P10-2S hanya bisa dilakukan dengan air hujan,
karena air pasang di saluran tidak dapat mencapai lahan usahatani. Hujan pertama
biasanya membuat tanah berada pada kondisi jenuh dan unsur-unsur racun
bergerak ke permukaan tanah, kondisi ini membuat proses reduksi pirit mulai
berjalan meskipun masih sementara. Karena curah hujan masih jarang, maka
kondisi tanah dapat kembali kering dan proses oksidasi kembali terjadi. Pada
kondisi seperti ini, petani tidak boleh melakukan penanaman.
Jika petani memaksakan tanam pada awal musim hujan dimana unsurunsur racun bergerak ke permukaan tanah, sementara proses pencucian belum
dapat dilakukan dengan optimal, maka pertumbuhan tanaman pada fase awal akan
terhambat dan pada akhirnya tanaman akan mati. Namun jika menunggu sampai
kondisi lahan benar-benar siap, dalam arti bebas dari asam dan senyawa beracun,
maka waktu tanam akan terlambat dan ini akan berdampak pada MT II. Oleh
karena itu, penanaman dilakukan pada waktu lahan masih dalam kondisi kering,
dan ketika memasuki musim hujan, tanaman sudah tumbuh dan cukup mampu
beradaptasi terhadap unsur-unsur racun yang ada di permukaan. Seiring dengan
semakin banyaknya curah hujan dan proses pencucian terus berlangsung, maka
104
secara berangsur lahan akan bebas dari racun, sehingga tanaman dapat
berkembang dengan baik.
Secara teknis, kegiatan usahatani padi MT II di P10-2S memang agak sulit
dilakukan karena muka air tanah relatif dalam. Fluktuasi muka air tanah pada
periode bulan Maret hingga Juni terus menunjukkan penurunan. Muka air tanah
turun hingga kedalaman 50-60 cm di bawah permukaan tanah, sehingga usahatani
padi akan sulit dilakukan. Retensi air sebagai salah satu upaya untuk
meningkatkan ketinggian muka air tanah juga sulit dilakukan karena sumber air
hanya berasal dari air hujan, sedangkan air pasang di saluran tidak dapat mencapai
lahan. Oleh karena itu, sama seperti petani di P6-3N, petani di P10-2S juga lebih
memilih menanam palawija pada MT II dibandingkan menanam padi.
Pengendalian Lapisan Pirit
Lahan pasang surut memiliki keragaman yang besar, baik sifat fisik, kimia,
maupun biologi. Menurut Widjaja-Adhi (1993), lahan pasang surut dapat
dibedakan atas 4 (empat) tipologi lahan, yaitu:
1.
Lahan potensial, yaitu lahan pasang surut yang tanahnya termasuk tanah
sulfat masam potensial dengan lapisan pirit berkadar ≤ 2% terletak pada
kedalaman > 50 cm dari permukaan tanah.
2.
Lahan sulfat masam, yaitu lahan pasang surut yang tanahnya mempunyai
lapisan lapisan pirit atau sulfidik berkadar > 2% pada kedalaman < 50 cm.
Lahan sulfat masam ini dibedakan lagi menjadi: a) Lahan sulfat masam
potensial, yaitu apabila lapisan tanah sulfat masamnya belum teroksidasi; dan
b) Lahan sulfat masam aktual, yaitu apabila lapisan tanah sulfat masamnya
sudah teroksidasi dicirikan dengan adanya horizon sulfurik dan pH < 3,5.
3.
Lahan gambut, yaitu lahan yang terbentuk dari bahan organik yang dapat
berupa bahan jenuh air dengan kandungan karbon organik sebanyak 12-18%
atau bahan tidak pernah jenuh air dengan kandungan karbon organik
sebanyak 20%. Lahan gambut dikelompokkan menjadi beberapa golongan,
yaitu: lahan bergambut bila ketebalan lapisan gambut 20-50 cm, gambut
105
dangkal (50-100 cm), gambut sedang (100-200 cm), gambut dalam
(200-300 cm), dan gambut sangat dalam (> 300 cm).
4.
Lahan salin, yaitu lahan pasang surut yang mendapat pengaruh atau intrusi air
garam dengan kandungan Na dalam larutan tanah > 8% selama lebih dari 3
bulan dalam setahun.
Selain gambut, masalah lain yang menjadi perhatian serius pada
pengembangan budidaya pertanian di lahan rawa pasang surut diantaranya yaitu
lapisan pirit. Pada musim hujan, lapisan pirit cenderung berada di bawah muka air
tanah. Tetapi pada musim kemarau, apabila muka air tanah turun hingga di bawah
lapisan pirit, maka akan terjadi proses oksidasi. Proses ini cukup berbahaya karena
oksidasi pirit akan menghasilkan asam sulfat yang diikuti dengan peningkatan
kelarutan besi dan alumunium, kondisi ini akan berbahaya bagi tanaman. Apabila
pada lahan sudah terjadi oksidasi lapisan pirit, maka diperlukan waktu yang cukup
lama untuk meremidiasi lahan tersebut agar bebas asam dan unsur-unsur lain yang
membahayakan tanaman. Kedalaman lapisan pirit pada masing-masing lokasi
penelitian dapat dilihat pada Gambar 57, 58, dan 59.
Gambar 57 Sebaran spasial kedalaman lapisan pirit di petak tersier 3 P8-12S
Delta Telang I.
106
Gambar 58 Sebaran spasial kedalaman lapisan pirit di petak tersier 3 P6-3N Delta
Telang I.
Gambar 59 Sebaran spasial kedalaman lapisan pirit di petak tersier 3 P10-2S
Delta Saleh.
107
Kedalaman lapisan pirit di petak tersier 3 P8-12S berkisar antara 0,78-1,16
meter di bawah permukaan tanah. Lapisan pirit di petak tersier 3 P6-3N berada
pada kedalaman 0,04-1,07 meter, sedangkan di petak tersier 3 P10-2S berkisar
antara 0,74-1,24 meter di bawah permukaan tanah.
Sebagian besar lahan rawa pasang surut yang telah direklamasi di Delta
Telang I dan Delta Saleh merupakan lahan sulfat masam (PPMAL, 2006).
Kebanyakan tanah sulfat masam (Potencial Acid Sulphate Soil, PASS)
mengandung bahan sulfat masam atau bahan pirit yang letaknya di bawah
permukaan tanah. Setelah lahan direklamasi dan drainasenya berjalan baik, maka
bahan pirit mulai teroksidasi dan tanah sulfat masam berubah menjadi tanah sulfat
masam aktual.
Tanah yang mengandung pirit (FeS2) apabila kontak dengan udara yang
mengandung oksigen (O2) akan teroksidasi menjadi ferihidroksida Fe(OH)3 dan
asam sulfat (H2SO4). Asam sulfat tersebut bersifat racun bagi tanaman, terutama
tanaman budidaya. Peristiwa ini biasanya terjadi di musim kemarau, terutama
pada kemarau panjang ketika muka air tanah turun hingga di bawah permukaan
tanah yang mengandung pirit. Pada kondisi seperti ini, udara masuk ke dalam
tanah melalui pori-pori atau retakan dan mencapai pirit lalu terjadi oksidasi pirit.
Perubahan tanah sulfat masam menjadi tanah sulfat masam aktual telah
menimbulkan masalah yang cukup kompleks bagi petani. Tingkat keseriusan
permasalahan tergantung pada kedalaman kandungan sulfat masam di bawah
permukaan tanah. Apabila kedalamannya lebih dari satu meter di bawah
permukaan tanah, maka keberadaan tanah sulfat masam tersebut biasanya tidak
membahayakan tanaman. Namun apabila kandungan sulfat masam cukup dangkal,
maka akan membahayakan tanaman, sebab bahan sulfat masam atau bahan pirit
yang terkandung pada tanah sulfat masam dapat teroksidasi.
Tanaman akan tumbuh dengan baik apabila pirit tidak teroksidasi, namun
apabila pirit telah teroksidasi maka pertumbuhan tanaman akan terganggu karena
pH tanah, Ca, Mg, dan P yang tersedia sangat rendah, serta ion Fe, Al, dan Mn
yang tersedia berlebihan. Oksidasi pirit dapat dikendalikan dengan menekan
jumlah oksigen yang tersedia di dalam tanah dan populasi mikroorganisma
108
pengoksidasi pirit. Kandungan oksigen dalam tanah dapat ditekan dengan
mengatur tinggi muka air tanah.
Penurunan muka air tanah hingga di bawah lapisan tanah sulfat masam
akan menyebabkan terjadinya oksidasi pirit yang menghasilkan senyawa sulfat
dan menyebabkan reaksi tanah sangat masam. Oleh karena itu, pengelolaan air
memiliki peran penting dalam pengendalian lapisan pirit. Dalam kasus tanah
sulfat masam, pengelolaan air harus memperhitungkan secara tepat kebutuhan
untuk pencegahan terjadinya keasaman tanah selama pertumbuhan tanaman.
Reaksi oksidasi pirit pada lahan sulfat masam yang mengalami penurunan
muka air tanah sampai batas lapisan pirit dapat dibagi dalam tiga fase. Fase
pertama yaitu oksidasi pirit selama periode kering (musim kemarau). Pada fase
ini, muka air tanah turun sampai batas lapisan pirit. Pada akhir musim kemarau,
pH tanah biasanya turun hingga di bawah 4 dan kelarutan alumunium berada pada
konsentrasi yang paling tinggi (mencapai puncak).
Fase kedua terjadi pada awal musim hujan, reaksi yang terjadi yaitu
sebagian oksidasi dan kadang-kadang tereduksi. Hujan pertama biasanya
membuat tanah berada pada kondisi jenuh dan unsur-unsur racun bergerak ke
permukaan tanah, kondisi ini membuat proses reduksi mulai berjalan meskipun
masih sementara. Karena curah hujan masih jarang, maka kondisi tanah dapat
kembali kering dan proses oksidasi kembali terjadi. Pada kondisi seperti ini,
petani tidak boleh melakukan penanaman. Pada saat hujan kembali datang, maka
tanah menjadi jenuh dan tergenang, selanjutnya proses pencucian asam dan
senyawa beracun mulai berlangsung melalui aliran permukaan, akibatnya
konsentrasi Al dan Fe terus menurun.
Pada fase ketiga, proses reduksi kembali terjadi, yaitu pada saat lahan
mulai tergenang dan curah hujan relatif stabil. Pada fase ini, kualitas lahan mulai
membaik, ditunjukkan dengan pH tanah yang mendekati netral serta konsentrasi
Al dan Fe yang menurun hingga di bawah ambang toleransi tanaman. Pada
kondisi seperti ini, kegiatan penanaman sudah dapat dilakukan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1.
Sistem jaringan reklamasi rawa pasang surut bersifat unik, tergantung pada
karakteristik wilayah.
a.
Reklamasi atau pengembangan lahan rawa pasang surut untuk pertanian
di Sumatera Selatan didukung oleh sistem jaringan tata air yang terdiri
dari saluran primer, sekunder (SPD dan SDU), dan tersier. Kondisi muka
air di saluran dipengaruhi oleh pasang surut air laut di Selat Bangka.
b.
Lahan usahatani dibuat berkelompok, lahan yang terletak di antara dua
saluran sekunder disebut sebagai satu blok sekunder, sedangkan lahan
yang terletak di antara dua saluran tersier disebut petak tersier. Pada
umumnya, dalam satu blok sekunder terdapat 17 saluran tersier, atau
terdapat 16 petak tersier. Luas lahan usahatani dalam satu petak tersier
yaitu 16 hektar, sehingga total lahan usahatani dalam satu blok sekunder
yaitu seluas 256 hektar.
c.
Dalam sistem pengelolaan air, setiap petak tersier merupakan satu unit
sistem pengelolaan air. Teknik pengelolaan air pada sistem jaringan tata
air yang tidak dilengkapi dengan infrastruktur pengendali air (pintu air)
dilakukan secara gravitasi dengan memanfaatkan potensi luapan air
pasang ke lahan. Teknik ini sangat bergantung pada kondisi
hidrotopogafi lahan, sehingga kemampuan pelayanan tata air masih
sangat rendah.
d.
Tanpa irigasi, sumber air utama pada pertanian lahan rawa pasang surut
berasal dari curah hujan dan air pasang di saluran. Pemasukan air ke
petak lahan dengan memanfaatkan potensi air pasang dapat dilakukan
pada lahan tipe A dan B, sedangkan pemasukan air pada lahan tipe C
dan D sulit dilakukan karena permukaan lahan relatif lebih tinggi
dibandingkan muka air pasang di saluran. Kedalaman muka air tanah
pada lahan tipe C dan D dapat dipertahankan dengan teknik retensi air.
109
110
e.
Terdapat hubungan yang nyata antara kandungan liat, konduktivitas
hidrolik tanah, dan lapisan pirit. Kandungan liat akan mempengaruhi
keadaan pori tanah. Pada lapisan tanah yang kandungan liatnya rendah,
maka nilai konduktivitas hidrolik tanah pada lapisan tanah tersebut
relatif besar, sehingga ruang pori tanah cepat terisi air, akibatnya lapisan
pirit relatif dalam karena tertahan di bawah muka air tanah.
2.
Pemodelan muka air tanah pada lahan rawa pasang surut:
a.
Model penduga muka air tanah di petak tersier lahan rawa pasang surut
telah dirumuskan. Tinggi muka air tanah pada jarak x dari saluran (h(x))
dapat diduga melalui beberapa parameter, yaitu: tinggi muka air di
saluran tersier (hw), curah hujan (R), evapotranspirasi (ET), konduktivitas
hidrolik tanah (K), jarak antar saluran tersier (2s), dan lebar saluran (ℓ).
b.
Model penduga muka air tanah yang telah dibangun dapat memprediksi
kedalaman muka air tanah di petak lahan dengan hasil yang cukup baik.
ƒ
Proporsi keragaman kedalaman muka air tanah yang dapat
dijelaskan oleh model yaitu sebesar 89,5% hingga 98,7% dengan
galat baku pendugaan 0,021-0,042 meter.
ƒ
Model penduga muka air tanah memiliki sensitivitas tinggi terhadap
parameter tinggi muka air di saluran tersier (hw). Perubahan yang
terjadi pada hw akan menyebabkan perubahan muka air tanah h(x) di
petak lahan dengan besaran yang sama.
ƒ
Pengaruh parameter curah hujan (R) dan evapotranspirasi (ET)
terhadap perubahan h(x) relatif kecil. Perubahan h(x) oleh R atau ET
yang cukup nyata hanya terjadi pada lahan yang letaknya relatif
jauh dari saluran.
c.
Skenario pengaturan tata air untuk pengendalian muka air tanah di petak
lahan telah dibangun. Tinggi muka air di saluran tersier (hw) merupakan
parameter utama dalam pengendalian muka air tanah di petak lahan,
sebab hw memiliki pengaruh yang paling nyata terhadap perubahan muka
air tanah h(x).
111
3.
Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan pada lahan rawa pasang surut
untuk mendukung peningkatan produksi pertanian dan indeks pertanaman
(IP) dapat dilakukan dengan strategi pengendalian muka air tanah. Kondisi
muka air tanah yang fluktuatif di petak lahan dapat diprediksi dengan model
penduga muka air tanah, serta dapat dikendalikan pada kedalaman tertentu
melalui pengaturan tinggi muka air di saluran tersier.
a.
Pengendalian muka air tanah pada kedalaman tertentu dapat mendukung
upaya peningkatan produksi pertanian. Pada pertanian lahan rawa pasang
surut, tanaman akan tumbuh dan berkembang dengan baik apabila
kedalaman muka air tanah dapat diatur sesuai dengan zona perakaran
tanaman, dan pirit yang ada di dalam tanah tidak teroksidasi. Penurunan
muka air tanah hingga di bawah lapisan tanah yang mengandung pirit
akan menyebabkan terjadinya oksidasi pirit yang menghasilkan senyawa
sulfat. Asam sulfat bersifat racun, sehingga dapat mengganggu
pertumbuhan tanaman. Oksidasi pirit dapat dikendalikan dengan
menekan kandungan oksigen yang tersedia di dalam tanah, yaitu dengan
mengatur kedalaman muka air tanah.
b.
Secara teknis, pengendalian muka air tanah dapat meningkatkan indeks
pertanaman (IP) pada lahan rawa pasang surut.
ƒ
Kondisi muka air tanah di petak lahan dapat dikendalikan dan diatur
sesuai dengan usahatani yang diterapkan, sehingga pola tanam dapat
ditingkatkan dan pengaturan waktu tanam tidak sepenuhnya
bergantung pada kondisi alam.
ƒ
Pada lahan tipe A, usahatani padi dapat dilakukan 2 kali dalam
setahun, potensi luapan air pasang cukup mendukung ketersediaan
air bagi tanaman pada MT II.
ƒ
Pada lahan tipe B, usahatani padi juga dapat dilakukan 2 kali dalam
setahun, namun untuk mendukung ketersediaan air pada MT II
perlu dilakukan retensi air.
112
ƒ
Pada lahan tipe C dan D, usahatani padi sulit dilakukan 2 kali dalam
setahun, sebab sumber air yang utama hanya berasal dari air hujan,
sedangkan potensi luapan air pasang tidak dapat menjangkau lahan.
Kegiatan usahatani yang dapat dilakukan pada MT II yaitu tanaman
palawija.
ƒ
Untuk MT III, kegiatan usahatani palawija dapat dilakukan pada
semua tipe lahan. Pemasukan dan retensi air untuk mendukung
ketersediaan air bagi tanaman harus memperhatikan kualitas air,
karena pada musim kemarau dapat terjadi intrusi air asin.
Saran
Model penduga muka air tanah dan teknik pengendalian muka air tanah di
petak lahan telah dibangun dalam penelitian ini. Kedalaman muka air tanah di
petak lahan dapat diduga melalui parameter-parameter model sebagai prediktor,
dan kondisi muka air tanah dapat dikendalikan pada kedalaman tertentu melalui
pengaturan tinggi muka air di saluran tersier.
Dalam implementasinya, agar kondisi muka air tanah dapat mendukung
sistem usahatani, maka perlu dibuat panduan pengoperasian pintu air di saluran
tersier sesuai dengan sistem usahatani yang diterapkan. Penelitian lanjutan tentang
sistem telemetri dan rekayasa sistem kontrol (bangunan pengendalian air) di
saluran tersier dapat melengkapi model dan teknik pengendalian muka air tanah
yang telah dibangun.
Selanjutnya, keberhasilan dan keberlanjutan pengembangan pertanian
lahan rawa pasang surut harus didukung dengan infrastruktur pengendali air yang
memadai, operasi dan pemeliharaan jaringan dengan penguatan kelembagaan P3A
(Perkumpulan Petani Pemakai Air), serta pengenalan dan implementasi sistem
usahatani. Peningkatan kemampuan dan pemberdayaan, serta partisipasi
masyarakat perlu dilakukan secara berkesinambungan melalui berbagai sosialisasi
dan pelatihan, baik dari aspek teknis maupun non teknis.
DAFTAR PUSTAKA
Ananto, E.E., H. Subagyo, I.G. Ismail, U. Kusnadi, T. Alihamsyah, R. Thahir,
Hermanto, dan D.K.S. Swastika. 1998. Prospek Pengembangan Sistem Usaha
Pertanian Modern di Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Palembang.
Belcher, H.W. and G.E. Merva. 1987. Results of DRAINMOD verification study
for Zeigenfus soil and Michigan climate. ASAE Paper No. 87-2554. Asae,
St. Joseph, Michigan.
BPS. 2006. Banyuasin dalam Angka Tahun 2005.
Chang, A.C., R.W. Skaggs, L. F. Hermsmeier and W.R. Johnson. 1983.
Evaluation of a water management model for irrigated agriculture.
Transactions of the ASAE. 26(2):412-418, 422.
Chescheir, G.M., Guy Fipps, and R.W. Skaggs. 1986. An approximate method for
quantifying lateral seepage to and from drained fields. Paper; For
presentation at the 1986 Winter Meeting American Society of Agricultural
Engineers, Hyatt Regency, Chicago IL, December 16-19, 1986.
Departemen PU. 2005. Studi Pemantapan Operasi dan Pemeliharaan Daerah
Rawa di Sumatera Selatan. Kegiatan Pembinaan dan Perencanaan Satuan
Kerja Sementara Irigasi dan Rawa Andalan Propinsi Sumatera Selatan.
Departemen PU. 1995. Penjelasan tentang Proyek Pengembangan Daerah Rawa
Sumatera Selatan (S.S.S.I.P).
Djohan, H.M. R. 2006. Konsep strategi pengelolaan rawa. Proceeding Seminar
“Peran dan Prospek Pengembangan Rawa dalam Pembangunan Nasional”.
Jakarta, 27-28 Nopember 2006.
Edrissea, F., R.H. Susanto dan M. Amin. 2000. Penggunaan konsep SEW-30 dan
DRAINMOD untuk evaluasi status air di petak sekunder dan tersier di
daerah reklamasi rawa pasang surut Telang I dan Saleh Sumatera Selatan.
Semiloka Manajemen Daerah Rawa dan Kawasan Pesisir. Palembang 4-6
Maret 2000.
Ernst, L.F. 1975. Formulae for groundwater flow in areas with subirrigation by
means of open conduits with a raised water level. Misc. Reprint 178,
Institute for Land and Water Management Research, Wageningen, The
Netherlands. 32 pp.
Euroconsult. 1996. Buku Panduan untuk Pengamat Proyek Telang-Saleh.
Departemen Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Pengairan, Direktorat
Pembinaan Pelaksanaan Wilayah Barat.
113
114
Euroconsult. 1995. Laporan Pemantauan Aspek-aspek Hidrologi Makro; Proyek
Pengembangan Pertanian Telang dan Saleh, Komponen Pengembangan
Drainase. Integrated Irrigation Sector Project (IISP).
Fouss, J.L., R.L. Bengston and C.E. Carter. 1987. Simulating subsurface drainage
in the lower Mississippi Valley with DRAINMOD. Transactions of the
ASAE. 30(6):1679-1688.
Gayle, G., R.W. Skaggs and C.E. Carter. 1985. Evaluation of a water management
model for a Louisiana sugar cane field. J. of Am. Soc. of Sugar Cane
Technologists. Vol 4. 4:18-28.
Hadimoeljono, B. 2006. Inovasi dan prospek pengembangan rawa di masa depan.
Proceeding Seminar “Peran dan Prospek Pengembangan Rawa dalam
Pembangunan Nasional”. Jakarta, 27-28 Nopember 2006.
Hardjoamidjojo, S., R.W. Skaggs and G.O. Schwab. 1982. Corn Response to
excessive soil water conditions. Transactions of the ASAE. 25(4):922-927,
934.
Hiler, E.A. 1969. Quantitative evaluation of crop requirements. Transactions of
the ASAE, 12(3):499
Kartono. Reklamasi
[16/04/06].
Rawa.
http://www.pu.go.id/itjen/buletin/2324rawa.htm.
Kimpraswil. Informasi Umum tentang Rawa Pasang Surut di Indonesia.
http://www.tidal-lowlands.org/ind/General.htm. [16/04/06].
Kirkham, D. 1967. Explanation of paradoxes in Dupuit-Forchheimer seepage
theory. Water Resour. Res. 3:609-622.
Kirkham, D. 1964. Exact theory for the shape of the free water surface about a
well in a semiconfined aquifer. J. Geophys. Res. 69:2537-2549.
Kirkham, D. 1957. Theory of land drainage, In , Drainage of Agricultural Lands,
Agronomy Monograph No. 7, American Society of Agronomy, Madison,
Wisconsin.
Kirkham, D., Sadik Toksöz and R.R. van Der Ploeg. Steady flow to drains and
well. in van Schilfgaarde, J. 1974. Drainage for Agriculture. Editor.
American Society of Agronomy, Inc., Publisher Madison, Wisconsin
USA.
Kodoatie, R. 2006. Jaringan reklamasi rawa. Proceeding Seminar “Peran dan
Prospek Pengembangan Rawa dalam Pembangunan Nasional”. Jakarta,
27-28 Nopember 2006.
Luthin, J.N. 1978. Drainage Engineering. John Wiley and Sons, Inc., New York.
250 pp.
115
LWMTL. 2006. Program Manajemen Air dan Lahan Pasang Surut (Land and
Water Management Tidal Lowlands – LWMTL) di Kabupaten Banyuasin
Provinsi Sumatera Selatan. Juni 2004-Agustus 2006.
Marino, M.A. and J.N. Luthin. 1982. Seepage and Groundwater. Elsevier
Scientific Publishing Co. Amsterdam, The Netherlands. 489 pp.
McMahon, P.C., S. Mostaghimi and F.S. Wright. 1988. Simulation of corn yield
by a water management model for a coastal plains soil. Transactions of the
ASAE. 31:734-742.
Noorsyamsi, H., H. Anwarhan, S. Soelaiman and H.M. Beachell. 1984. Rice
cultivation in the tidal swamp in Kalimantan. Workshop on research
priorities in the tidal swamps rice. IRRI Los Banos Philipine.
Nugroho, K. 2004. Aspek Hidrologi dalam Klasifikasi Tipe Luapan Pasang Surut,
Studi Kasus Daerah Telang Sumatera Selatan. [Disertasi]. Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Olson. 1981. Soil & The Environment – A Guide to Soil Surveys and Their
Application. Chapman and Hall. New York.
Proyek Irigasi dan Rawa Andalan (PIRA). 2004. Data Pengembangan Rawa di
Sumatera Selatan.
Rogers, J.S. 1985. Water management model evaluation for shallow sandy soils.
Transactions of the ASAE. 28(3):785-790.
Skaggs, R.W. 1982. Field evaluation of a water management simulation model.
Transactions of the ASAE 25(3):666-674.
Skaggs, R.W. 1980. A water management model for artificially drained soils.
Tech. Bulletin No. 276. North Carolina Agricultural Research Service,
N.C. State University, Raleigh. 54 pp.
Skaggs, R.W., N.R. Fausey and B.H. Nolte. 1981. Water management model
evaluation for North Central Ohio. Transactions of the ASAE 24(4):922928.
Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bharata Karya Aksara. Jakarta.
Sugeng, S. 1992. Pengembangan dan pemanfaatan rawa di Indonesia. Proseding
Seminar Nasional Pemanfaatan Potensi Lahan Rawa untuk Pencapaian dan
Pelestarian Swasembada Pangan. Fakultas Pertanian Universitas
Sriwijaya.
Suryadi, F.X. 1996. Soil and Water Management Strategies for Tidal Lowlands in
Indonesia. [Disertasi]. A.A. Balkema, Roterdam.
116
Susanto, R.H. 2007. Water table fluctuation under various hydrotopographical
condition for determining the cropping calender. Jurnal Pengelolaan
Lingkungan dan Sumber Daya Alam. 6(2):140-149.
Susanto, R.H. 2000. Manajemen air daerah reklamasi rawa dalam kompleksitas
sistem usahatani. Workshop Teknologi Pengembangan Lahan Rawa;
Integrated Swamps Development Project Loan. Palembang 29 Agustus - 1
September 2000.
Susanto, R.H. 1998. Water status evaluation in tertiary and secondary blocks of
South Sumatra reclaimed tidal lowlands using the hidrotopography and
SEW-30 concepts. Proceeding of the Young Professional ForumInternational Commision on Irrigation and Drainage Seminar (B3). Bali
July 23, 1998.
Susanto, R.H. 1995. Potensi, kendala dan kepekaan pengembangan dan
pengelolaan rawa pasang surut untuk pembangunan yang berkelanjutan.
Makalah, Disampaikan dalam Rangka Dies Natalis Universitas Sriwijaya.
Susanto, R.H. 1994. METODE AUGER: Pengukuran Keterhantaran Hidrolik
Tanah di Bawah Muka Air Tanah. Terjemahan dari THE AUGER HOLE
METHOD: A Field Measurement of the Hydraulic Conductivity of Soil
below the Water Table. W.F.J. Van Beers. 1983. ILRI, the Netherlands.
Jurusan Tanah Fakultas Pertanian. Universitas Sriwijaya.
Susanto, R.H. dan R.H. Purnomo. 1996. Pengantar Fisika Tanah. Terjemahan.
Fakultas Pertanian. Universitas Sriwijaya.
Susanto, R.H., J. Feyen, W. Dierickx and G. Wyseure. 1987. The use of
simulation models to evaluate the performance of subsurface drainage
systems. Proc. of the Third International Drainage Workshop, Ohio State
Univ. pp. A67-A76.
Widjaja-Adhi, I.P.G. 1993. Lahan rawa dan teknik pengembangannya. Makalah,
Disampaikan pada Kuliah Umum 27 Desember 1993. Fakultas Pertanian,
Universitas Sriwijaya.
Widjaja-Adhi, I.P.G., K. Nugroho, D.A. Suriakarta dan A. Syarifuddin Karama.
1992. Sumber Daya Lahan Pasang Surut, Rawa dan Pantai: Potensi,
Keterbatasan dan Pemanfaatannya. Makalah Utama, Disajikan dalam
Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Pasang Surut dan
Rawa. Bogor, 3-4 Maret 1992.
LAMPIRAN
Lampiran 1
Tanggal
Pengamatan curah hujan harian tahun 2006 di P8-12S Delta Telang I
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
Hujan Maximum
Jml. Curah Hujan
Jml.Hari Hujan
Hujan (1-15)
Jml. Data Kosong
Hujan (16-31)
Jml. Data Kosong
Lampiran 2
Pengamatan curah hujan harian tahun 2007 di P8-12S Delta Telang I
Tanggal
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
Hujan Maximum
Jml. Curah Hujan
Jml.Hari Hujan
Hujan (1-15)
Jml. Data Kosong
Hujan (16-31)
Jml. Data Kosong
Jan
10.8
0
0
0
14.3
9.1
22.5
0
0
25.2
0.0
11.8
11.5
0
0
19.4
10.9
8.7
0
10.9
0
0
12.3
33
0
0
0
0
0
0
0
33
200
13
105
0
95
0
Feb
0
0
0
0
0
0
0
Feb
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
25.3
39.0
0
10.5
2.1
0
20.0
21.1
0
39
118
6
0
0
118
0
Mar
0
0
0
0
0
0
0
Mar
29.0
0
0
0
20.0
17.9
18.4
0
7.9
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
28.4
0
0
0
21.6
0
0
0
0
17.9
29
161
8
93
0
68
0
Apr
7.4
0
0
0
0
0
52.6
23.2
2.1
27.9
2.1
0
10.5
5.3
42.1
0
0
0
0
2.1
7.4
0
0
29.5
0
2.6
21.6
0
0
0
53
236
14
173
0
63
0
Apr
7.4
2
0
0
26.3
0
16.8
0
21.1
24.2
14.7
28.4
31.6
0
44.7
0
0
0
0
0
0
0
0
5.3
17.9
0
0
0
15.8
35.8
45
292
14
217
0
75
0
Mei
0
25.3
0
0
29.5
4.7
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
10.5
0
0
0
0
0
0
0
42.1
0
0
15.8
0
0
42
128
6
60
0
68
0
Bulan
Jun
21.1
0
0
26.3
32.6
0
8.9
0
4.2
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
8.4
3.7
0
0
39.5
0
0
0
0
0
Jan
0
0
0
0
0
0
0
Mei
13.2
0
0
8.9
0
0
11.1
14.2
0
0
0
0
0
36.8
0
0
0
0
0
0
0
0
0
8.9
7.4
0
0
0
0
0
0
37
101
7
84
0
16
0
40
145
8
93
0
52
0
Bulan
Jun
0
0
0
13.2
8.4
27.4
0
0
0
29.5
0
0
0
0
0
5.3
8.4
0
12.6
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
30
105
7
79
0
26
0
Jul
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
21.1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
10.5
0
27.4
27
59
3
0
0
59
0
Jul
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
21.1
29
0
0
0
0
0
0
0
0
0
29
50
2
0
0
50
0
Ags
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
13.7
5.3
0
22.6
0
0
0
0
23
42
3
0
0
42
0
Ags
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
20.5
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
21
21
1
21
0
0
0
Sep
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
10.5
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
11
11
1
11
0
0
0
Sep
0
0
0
0
0
0
0
28.4
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
28
28
1
28
0
0
0
Okt
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
47.4
27.4
0
0
0
0
34.7
3.2
0
29.5
0
0
0
36.8
0
0
0
0
0
29.5
47
209
7
75
0
134
0
Okt
0
0
0
0
0
0
0
0
30.5
0
0
0
0
32.6
8.9
8.4
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
16.8
0
33
97
5
72
0
25
0
Nop
0
0
12.6
0
0
0
0
0
0
0
0
0
19.0
0
0
0
0
0
21.1
31.6
0
0
42.1
34.7
36.8
0
27.9
31.6
0
0
42
257
9
32
0
226
0
Nop
0
0
44.7
0
0
0
18.4
0
0
22.1
0
0
47.9
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
30.5
0
11.1
48
175
6
133
0
42
0
Des
0
0
33.7
0
0
0
22.6
0
0
0
0
0
43.7
0
0
0
52.6
42.1
21.1
0
0
0
0
0
36.8
0
0
0
0
0
0
53
253
7
100
0
153
0
Des
0
0
0
0
0
0
0
5.3
6.3
0
0
0
0
23.2
0
0
11.6
42.1
0
24.7
0
0
0
33.2
0
0
14.7
0
46.3
10.5
0
46
218
10
35
0
183
0
Tahunan
53
1339
58
Tahunan
48
1566
80
Lampiran 3
Tanggal
Pengamatan curah hujan harian tahun 2008 di P8-12S Delta Telang I
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
Hujan Maximum
Jml. Curah Hujan
Jml.Hari Hujan
Hujan (1-15)
Jml. Data Kosong
Hujan (16-31)
Jml. Data Kosong
Lampiran 4
Pengamatan curah hujan harian tahun 2006 di P6-3N Delta Telang I
Tanggal
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
Hujan Maximum
Jml. Curah Hujan
Jml.Hari Hujan
Hujan (1-15)
Jml. Data Kosong
Hujan (16-31)
Jml. Data Kosong
Jan
0
0
0
0
0
0
0
Feb
0
8.4
0
0
0
12.3
0
0
0
10.5
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
25.3
11.1
0
39.5
40
107
6
31
0
76
0
Feb
0
0
0
0
0
0
0
Mar
0
6.3
0
0
0
0
0
0
0
0
0
5.3
36.8
0
0
0
0
0
0
21.1
0
0
6.3
0
0
43.2
0
39.0
0
0
55.8
56
214
8
48
0
165
0
Mar
0
0
0
0
0
0
0
Apr
0
0
0
0
0
0
0
Apr
10.1
0
0
0
0
0
0
0
15.3
0
5.3
0
41.5
4.8
0
6.3
0
38.6
0
15.1
1.6
0
0
20.5
0
12.1
0
0
0
32.6
42
204
12
77
0
127
0
Mei
0
0
0
0
0
0
0
Bulan
Jun
0
0
0
0
0
0
0
Jan
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
31.6
3.2
33.7
0
0
0
16.8
12.6
16.8
18.4
0
14.7
6
0
0
0
20.0
0
34
174
10
35
0
139
0
Mei
36.8
10
0
0
0
15.8
0
2.7
0
0
9.1
1.1
0
0
0
0
0
0
0.6
0
2.1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
37
78
8
76
0
3
0
Bulan
Jun
0
16.7
0
6.6
16.4
0
8.2
0
4.7
0
0
0
0
0
1.1
0
0
0
0
0
40.2
37.6
32.1
6.1
18.3
0
0
0
0
0
40
188
11
54
0
134
0
Jul
0
0
0
0
0
0
0
Jul
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
9.5
6.8
4.2
0
0
0
0
0
0
0
18.1
2.3
1.6
1.1
18
44
7
0
0
44
0
Ags
0
0
0
0
0
0
0
Ags
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
8.4
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
8
8
1
0
0
8
0
Sep
0
0
0
0
0
0
0
Sep
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0.5
10.8
1.6
0
0
0
0
0
8
0
1.4
2.5
0
0
0
0
0
0
15.7
1.6
16
42
8
13
0
29
0
Okt
0
0
0
0
0
0
0
Okt
0
0
0
1.1
0
0
0
0
0
23.5
0
0
0
0
0
0
0
18.4
34.5
0
0
27.7
25.8
5.7
0.7
2.1
2.6
4.6
33.2
11.4
2.8
35
194
14
25
0
170
0
Nop
0
0
0
0
0
0
0
Nop
0
2.5
0
22.1
7.7
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
23.6
0
46.2
0
0
0
42.1
0
34.5
0
0
46
179
7
32
0
146
0
Des
0
0
0
0
0
0
0
Des
0
8.7
5.8
4.6
42.1
9.9
0
7.4
12.1
9.8
18.6
0
0
0.7
8.2
0
0
7.9
7.9
24.7
0
0
0
8.8
0
17.3
35.5
4.2
0
0
0
42
234
18
128
0
106
0
Tahunan
56
495
24
Tahunan
46
1171
86
Lampiran 5
Tanggal
Pengamatan curah hujan harian tahun 2007 di P6-3N Delta Telang I
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
Hujan Maximum
Jml. Curah Hujan
Jml.Hari Hujan
Hujan (1-15)
Jml. Data Kosong
Hujan (16-31)
Jml. Data Kosong
Lampiran 6
Pengamatan curah hujan harian tahun 2008 di P6-3N Delta Telang I
Tanggal
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
Hujan Maximum
Jml. Curah Hujan
Jml.Hari Hujan
Hujan (1-15)
Jml. Data Kosong
Hujan (16-31)
Jml. Data Kosong
Jan
0
19.5
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
32.6
34.7
0
0
0
34.7
0
0
0
0
20
0
0
0
0
7.9
0
35
149
6
52
0
97
0
Feb
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
19
0
35.8
4.2
46.3
0
48.4
0
7.4
11.6
14.7
0
48
187
8
0
0
187
0
Feb
42.1
0
5.1
0
0
0
25.3
0
0
8.9
11.6
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
22.1
0
0
14.7
30
42
160
8
93
0
67
0
Mar
24.7
0
0
12.6
8.8
16.8
50.5
0
0
0
0
0
25.3
0
0
7.9
0
0
0
0
0
0
0
0
9.5
0
0
25.3
11.6
0
8.4
51
201
11
139
0
63
0
Mar
0
15.8
11.4
0
0
12.1
0
0
0
0
22.1
0
14.7
0
12.1
31.6
5.3
1.6
0
20
0
0
6.1
0
0
33.7
0
27.4
0
0
27.4
34
241
14
88
0
153
0
Apr
29.5
33.7
0
0
0
0
7.4
0
35.8
33.7
0
8.4
0
17.9
0
0
9.5
0
40
0
0
0
0
0
0
6.3
0
0
0
17.1
40
239
11
166
0
73
0
Apr
0
0
0
0
0
0
0
Mei
17.9
22.1
0
0
0
0
0
0
0
13.2
0
0
0
35.8
0
0
0
24.2
0
0
0
0
0
0
0
0
16.3
7.4
0
0
0
36
137
7
89
0
48
0
Bulan
Jun
0
0
0
12.6
7.9
11.6
3.2
23.7
0
0
7.9
0
0
0
5.1
4.2
14.2
8.2
21.1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Jan
21.6
0
0
3.7
3.1
12.6
0
0
8.9
0
14.2
1.6
2.1
7.8
0
0
5.7
42.6
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
14.4
0
0
43
138
12
76
0
63
0
Mei
0
0
0
0
0
0
0
24
120
11
72
0
48
0
Bulan
Jun
0
0
0
0
0
0
0
Jul
0
0
0
0
0
0
0
0
2.8
0
0
0
0
0
0
0
0
22.1
7.4
0
11.9
28.4
0
0
11.4
0
0
0
0
0
0
28
84
6
3
0
81
0
Jul
0
0
0
0
0
0
0
Ags
13.7
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
4.2
0
16.8
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
17
35
3
18
0
17
0
Ags
0
0
0
0
0
0
0
Sep
0
0
0
5.3
0
0
0
32.6
13.7
0
0
0
0
0
0
0
0
14.5
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
33
66
4
52
0
15
0
Sep
0
0
0
0
0
0
0
Okt
0
0
0
0
0
0
0
9.5
0
11.6
0
0
0
0
0
24.7
0
0
0
0
0
0
14.7
0
0
0
0
0
27.4
0
0
27
88
5
21
0
67
0
Okt
0
0
0
0
0
0
0
Nop
0
0
28.4
0
0
0
14.5
0
5.1
22.1
0
0
0
17.9
0
7.9
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
30.5
0
0
31
126
7
88
0
38
0
Nop
0
0
0
0
0
0
0
Des
0
37.9
0
0
0
0
24.7
0
0
0
0
0
0
13.7
0
17.9
0
6.8
0
39
0
37.9
0
8.2
0
0
7.2
0
43.7
16.8
0
44
254
11
76
0
178
0
Des
0
0
0
0
0
0
0
Tahunan
51
1676
96
Tahunan
42
551
28
Lampiran 7
Tanggal
Pengamatan curah hujan harian tahun 2006 di P10-2S Delta Saleh
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
Hujan Maximum
Jml. Curah Hujan
Jml.Hari Hujan
Hujan (1-15)
Jml. Data Kosong
Hujan (16-31)
Jml. Data Kosong
Lampiran 8
Pengamatan curah hujan harian tahun 2007 di P10-2S Delta Saleh
Tanggal
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
Hujan Maximum
Jml. Curah Hujan
Jml.Hari Hujan
Hujan (1-15)
Jml. Data Kosong
Hujan (16-31)
Jml. Data Kosong
Jan
12.3
0
0
0
1.3
1.5
2.8
3.4
2.7
1.7
12.3
1.3
0
3.5
0
0
34.7
13.2
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
35
91
12
43
0
48
0
Feb
0
0
0
0
0
0
0
Feb
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
24.2
0
40
10.5
0
0
36
0
3.8
0
0
42.1
42
157
6
0
0
157
0
Mar
0
0
0
0
0
0
0
Mar
21.1
4.1
0
10.7
14.7
31.6
0
10.5
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
16.8
0
21.1
32
131
8
93
0
38
0
Apr
11.4
0
0
0
0
0
21.1
31.6
0
0
0
0
11.6
35.3
1.1
27.4
0
0
0
2.7
11.1
0
0
15.3
15.8
0
0
0
0
0
35
184
11
112
0
72
0
Apr
21.1
0
21.1
0
0
0
0
0
31.6
0
0
0
8.4
13.7
0
11.6
15.8
0
0
0
0
0
0
0
0
0
36.8
0
15.8
42.1
42
218
10
96
0
122
0
Mei
0
6.3
0
0
20
2.6
11.6
3.2
0
0
0
0
21.6
14.1
0
0
0
0
0
1.8
6.3
0
0
0
1.1
0
7.9
0
4.2
0
3.3
22
104
13
79
0
25
0
Bulan
Jun
0
9.5
2.4
0
0
0
22.1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
7.6
20
5.3
8.9
26.3
0
0
0
0
0
Jan
0
0
0
0
0
0
0
Mei
0
0
0
0
1.6
0
0
0
0
0.8
0
0
0
9.5
17.9
0
0
0
0
0
0
6.3
3.2
0
10.5
0
0
0
0
0
26.3
26
76
8
30
0
46
0
26
102
8
34
0
68
0
Bulan
Jun
0
1.3
0
0
5.5
35.8
0
6.3
0
0
10.5
0
0
0
0
0
0
0.5
12.1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
36
72
7
59
0
13
0
Jul
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
6.9
9.4
10.5
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
11
27
3
0
0
27
0
Jul
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3.2
0
0
0
0
0
0
0
7.9
0
0
15.8
22.2
0
0
3.4
0
0
0
0
11.2
0
22
64
6
3
0
61
0
Ags
2.2
0
0
4.8
0
6.2
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1.6
1.3
1.3
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
6
17
6
13
0
4
0
Ags
8.4
0
0
0
0
0
0
0
0
0
4.1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2.1
1.6
0
0
0
0
0
0
0
0
8
16
4
13
0
4
0
Sep
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0.8
0.5
0.2
0
0
0
7.2
0
0
0
2.2
10.3
0
0
0
0
0
0
0
0
10
21
6
2
0
20
0
Sep
0
5.1
0
0
0
0
0
0
2.1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
5
7
2
7
0
0
0
Okt
1.6
0
1.6
0
0
0
0
0
0
17.9
0
0
0
0
0
0
0
0
17.3
3.1
0
0
33.2
15.4
0
27.9
2.1
21.1
23.1
6.8
12.9
33
184
13
21
0
163
0
Okt
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
15.8
0
26.3
0
0
26
42
2
0
0
42
0
Nop
0
39.8
6.1
28.5
2.1
0
0
0
1.5
0
0
7.2
7.4
12.6
0
0
24.2
0
0
2.2
12.5
20.2
0
14.4
0
5.7
1.3
26.3
0
0
40
212
16
105
0
107
0
Nop
5.3
10.5
6.3
0
0
0
0
0
0
0
10.5
16.8
0
14.7
0
6.3
0
15.8
0
10.5
0
0
12.6
0
0
15.8
0
0
0
0
17
125
11
64
0
61
0
Des
0
9.2
3.7
11.7
6.3
0
0.4
0
0.6
0
6.8
0
0
17.2
7.4
0
0
6.7
0
33.8
10.5
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
34
114
12
63
0
51
0
Des
0
0
0
17.9
0
0
6.3
0
0
10.5
8.4
0
36.8
0
0
15.8
0
0
21.1
4.2
8.4
26.3
0
37.9
0
9.5
42.1
0
3.2
21.1
0
42
270
15
80
0
190
0
Tahunan
40
966
88
Tahunan
42
1268
91
Lampiran 9
Tanggal
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
Hujan Maximum
Jml. Curah Hujan
Jml.Hari Hujan
Hujan (1-15)
Jml. Data Kosong
Hujan (16-31)
Jml. Data Kosong
Pengamatan curah hujan harian tahun 2008 di P10-2S Delta Saleh
Jan
26.3
0
7.4
26.3
4.1
0
28.4
0
0
31.6
1.8
0
0
0
0
0
0
0
8.4
21.1
0
5.3
21.1
0
15.8
22.1
0
6.3
4.2
0
0
32
230
15
126
0
104
0
Feb
0
31.6
0
26.6
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
23
0
15.9
0
23.2
0
0
0
0
0
0
0
32
120
5
58
0
62
0
Mar
19.5
0
0
3.2
12.6
20.8
0
0
0
0
32.5
0
0
0
0
0
0
6
5.6
9.6
0
5.3
2.6
8.8
0
0
25.1
0
35.5
0
9.7
36
197
14
89
0
108
0
Apr
0
0
0
0
0
0
0
Mei
0
0
0
0
0
0
0
Bulan
Jun
0
0
0
0
0
0
0
Jul
0
0
0
0
0
0
0
Ags
0
0
0
0
0
0
0
Sep
0
0
0
0
0
0
0
Okt
0
0
0
0
0
0
0
Nop
0
0
0
0
0
0
0
Des
0
0
0
0
0
0
0
Lampiran 10 Pengamatan suhu udara rata-rata harian tahun 2006 di P8-12S Delta
Telang I
Tanggal
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
Jan
-
Feb
-
Mar
-
Apr
27.5
29
28.5
28.5
26.5
27.5
29
28.5
28
28
28.5
28
27
28
28.5
29
27.5
28
28
29
27
28
28
28.5
29
26.5
25
29
30
30
Mei
27.5
26.5
27
28
26.5
28.5
29
28
29.5
28
31
29
29
27.5
28.5
29
27.5
30
29.5
29.5
27.5
27.5
28
29.5
28
30
29.5
27
27.5
29
29.5
Bulan
Jun
27.5
29
29
29.5
28.5
29
29
30
30
29.5
28
29
28.5
30
28.5
29
27.5
27
28.5
27
28
29
28
28.5
27
28.5
28.5
29.5
29
30
Jul
28.5
29
30
28
29.5
28
28.5
29
29
28
28.5
30
27
29.5
29
29.5
29
29.5
27.5
28
28
29.5
29
29.5
28
29
28.5
28
29
29
29
Ags
29
29.5
29.5
29
28.5
30
30.5
30
28.5
29.5
29.5
29
29
29.5
29.5
29
29
29.5
29
28.5
29
29
28.5
29.5
29
29
29.5
29.5
29.5
29
29
Sep
29
28.5
29.5
28.5
29
29.5
29
29
29
29
29
28.5
28.5
29.5
28
29
29
29
29
29
29.5
29
28
29
29
29.5
29.5
30
28.5
29
Okt
29
28.5
28.5
30
29.5
28
27
27.5
28.5
30
29.5
29.5
29.5
28
30
29.5
30.5
30
29
30.5
30
29
30.5
29
29
29
29.5
29
30
28.5
29
Nop
29
29
28.5
29
29
29.5
29.5
29
29
29.5
29.5
29
29
28.5
28.5
28
28
29.5
29.5
29.5
28.5
28.5
28.5
29
28.5
28.5
28.5
28.5
27.5
27.5
Des
27.5
26
26
26
25.5
26.5
26.5
28
28
27
26.5
25.5
25.5
25.5
25.5
25.5
26
26
26
25.5
25
26
25.5
24
25.5
25
24.5
24.5
26
26
26
Tahunan
36
547
34
Lampiran 11 Pengamatan suhu udara rata-rata harian tahun 2007 di P8-12S Delta
Telang I
Tanggal
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
Jan
25
24.5
25.5
26
25.5
26
26
25.5
25
25
25
24.5
24.5
25.5
26
23
23.5
23
23
23
24.5
25
23
23.5
22.5
22.5
22
23
24
23
24
Feb
26
26.5
26
26
25.5
27
27.5
28.5
28
28
27.5
28
26
27
26.5
27
27.5
28.5
27.5
28.5
29.5
28.5
29.5
28.5
27.5
26.5
27.5
27
Mar
29.5
28
30
28.5
29
30
28.5
29.5
28.5
29.5
28.5
28
29
28
26.5
27.5
28.5
29.5
28
29
28.5
29
27
27.5
28
30
28.5
28.5
28.5
30
29.5
Apr
29
29
26.5
28.5
29
28.5
28.5
26
29.5
28.5
28
26
28.5
28
26.5
28
29.5
29.5
27.5
28
28.5
27
27
25
25
24
25
24.5
25.5
24.5
Mei
25.5
26.5
26.5
26.5
25.5
28
27
26
27
27
28
26.5
28.5
27.5
28.5
27
26
26
27.5
28.5
27.5
26.5
27.5
28.5
27.5
26.5
28
27.5
28
27
28
Bulan
Jun
28.5
28.5
29
28
28.5
28.5
29
28.5
29
28
29.5
28.5
29
27.5
28.5
26.5
27.5
27.5
29
28.5
29.5
29
30
28.5
29
29
29
29
29
29.5
Jul
28.5
29
28
29
28.5
28.5
29
28.5
26.5
27.5
27
29
28
28
29.5
28.5
28.5
27.5
27.5
28
27.5
26.5
25
26.5
27.5
27.5
28
27.5
28
28.5
29
Ags
28.5
27.5
28
28
28
28.5
28
28
29
28.5
28
29.5
28
27
27.5
28
28
27.5
27
27
28
27.5
27
27.5
28.5
27.5
28.5
27.5
28.5
27
27.5
Sep
28
28
28
27
27.5
28.5
28
28
27.5
26.5
27
28
27
28
28.5
28.5
29
28
27.5
28.5
28
28.5
28.5
28
28.5
28.5
28.5
27.5
27.5
28
Okt
27.5
27.5
27.5
28.5
28
27.5
29
28.5
28.5
28
27
29
27.5
27.5
27.5
27
27
27.5
28
28.5
29
28
27.5
27.5
29
28
29
28
27
29
28
Nop
29.5
28
27
28
28
27.5
27.5
28
28
27.5
27.5
27.5
29
28.5
29
28
28
27.5
28
29
28
28.5
28.5
28
27.5
29.5
28.5
28.5
27.5
28
Des
27.5
27
27
27.5
27.5
28.5
28
27.5
27.5
28.5
28
27.5
28
27.5
27.5
27.5
28
28
26.5
26.5
27.5
27.5
28
27.5
27.5
27.5
27.5
28.5
27.5
27
29
Lampiran 12 Pengamatan suhu udara rata-rata harian tahun 2008 di P8-12S Delta
Telang I
Tanggal
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
Jan
27
28
27.5
27.5
27.5
27
27.5
27.5
28
28.5
28
27.5
27.5
27.5
26
27.5
28
27.5
27
26.5
28
27.5
27.5
28
28
27.5
29.5
28
27.5
27
26.5
Feb
28
27.5
26
27.5
28
27.5
27.5
27.5
28
28
27
27.5
27
27.5
27.5
27
27
27.5
28
27
27
28
28
27.5
27
27
28
27.5
27
Mar
27.5
27.5
27
26
26.5
27
28
27.5
27.5
27.5
27.5
28.5
27
28
27
27.5
28
28
27.5
27.5
28
27.5
26.5
28.5
29
27
28
27
27.5
28.5
25.5
Apr
-
Mei
-
Bulan
Jun
-
Jul
-
Ags
-
Sep
-
Okt
-
Nop
-
Des
-
Lampiran 13 Pengamatan suhu udara rata-rata harian tahun 2006 di P6-3N Delta
Telang I
Tanggal
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
Jan
-
Feb
-
Mar
-
Apr
27.5
29
28
27
26.5
28
28
28
28.5
28.5
27.5
27
27
27.5
29
28.5
28
27.5
27
28
27
26
28
28.5
27.5
27.5
27.5
29
28.5
28.5
Mei
28.5
29
29
28
29
28.5
28.5
27.5
28.5
28
29
27.5
28
27
28.5
28
28
27.5
28.5
28.5
26.5
29
27
29
27.5
28
28
27.5
26.5
28
28
Bulan
Jun
27.5
28
28.5
28.5
28
26
26.5
27
28
28
28
28.5
28.5
28
28
27.5
27.5
28.5
28.5
27
27.5
27.5
26
27.5
27.5
26
28
28
28.5
28
Jul
28.5
28.5
28
29.5
28.5
28
28
28.5
28.5
28.5
29.5
28.5
29
28.5
28.5
29
28
27
27.5
27.5
29
28
28
28.5
28.5
28.5
29.5
28.5
28
27.5
28.5
Ags
26.5
27
26.5
26.5
26
26
27
25.5
26.5
26.5
26
26.5
26.5
26.5
26.5
26.5
26.5
27
27.5
26.5
27
27
27
26.5
27.5
27
26.5
27.5
27
26.5
27
Sep
27
27
27.5
26.5
27
27
27
26.5
26.5
27
27
25.5
27.5
28
27
27.5
27
26.5
27
27.5
27
28
27
27.5
27
26
27
27.5
28
27.5
Okt
28
27
26
26.5
28
27.5
28.5
27
27.5
28
26.5
27
27.5
26.5
26.5
26.5
26
26.5
26
27
26
25.5
26
27
27
28
27.5
26
26.5
27.5
27
Nop
26.5
27
27.5
27.5
27.5
28
27.5
29
28
27.5
28.5
27.5
26.5
28.5
28
28
28.5
28
28.5
28
27.5
27.5
27
25.5
27.5
27
27.5
26.5
26.5
28
Des
27.5
26.5
27
27.5
26
26
27
27
27
27.5
27
27
27.5
26
27
27.5
26.5
27
25.5
27
27.5
26.5
27.5
26.5
26
26.5
26.5
26
25.5
27
26.5
Lampiran 14 Pengamatan suhu udara rata-rata harian tahun 2007 di P6-3N Delta
Telang I
Tanggal
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
Jan
25.5
25.5
26.5
25.5
25.5
26.5
27
27.5
26.5
26
27.5
27
25.5
28.5
28.5
27.5
25.5
27
26.5
27.5
28
28
26.5
27
26
27
27
26.5
26.5
27
27.5
Feb
28
28.5
26
26.5
27
27.5
28
29
29.5
29
28.5
28
29
29
28
28.5
29.5
28.5
27.5
27.5
26
29
28.5
27.5
27
28
27.5
29
Mar
27.5
28.5
26
27
26
27
28.5
28
27
28.5
28.5
29.5
28
29
28.5
28
28.5
29
29
29.5
28
27.5
28
28.5
29.5
29
27.5
27.5
28
29
28
Apr
28.5
28.5
26.5
28
29
27.5
28
29
28
28.5
28.5
28.5
28.5
28.5
29
28
28
29
29
29.5
29
28.5
28
27.5
29
28
29
29
29
29
Mei
28
28
29
28.5
28
29.5
29.5
29
29
28.5
28.5
29
29.5
27.5
27
27
28.5
27.5
29
29
28
28
27.5
29
28.5
28
27.5
28
27.5
28.5
29
Bulan
Jun
29
28.5
28.5
27.5
28.5
28.5
28
27.5
28
28.5
27.5
28
28.5
28.5
27.5
27.5
27.5
27
28
28
28.5
29
29
29.5
29
29
29
28.5
29.5
28.5
Jul
28
29
29.5
29
29
29
29.5
29
27.5
28
28.5
28
29
28.5
28.5
28.5
29
27
28
27.5
27.5
26
26
27.5
27
28
27.5
28
28
28.5
28.5
Ags
29
28.5
27.5
28
27.5
28
28.5
28.5
27.5
27.5
28
28
28.5
28.5
28.5
28.5
28
27.5
28.5
28.5
28.5
28.5
27.5
28
27.5
28.5
28
29
29.5
29
29
Sep
27.5
29.5
28.5
28.5
29
29.5
28.5
29.5
28.5
29
28
29
28.5
28
28
29
28
29
29
28.5
29
29
29
29.5
29
29.5
29
29
28.5
28.5
Okt
29
28.5
28
27.5
29
29.5
28.5
28
29
28.5
27.5
28
27
27.5
29.5
27.5
27
28.5
28
28.5
29
27.5
28
29
29
27.5
29
28.5
28
27.5
27.5
Nop
29
29
28
28.5
29
28.5
29
28.5
29
28.5
29.5
29.5
29.5
29.5
29
27
28.5
29.5
29
28.5
29
29
29.5
29
29.5
29.5
29
29
29.5
27
Des
27
26.5
29
26.5
28
27.5
28.5
29.5
29
29.5
29
29
29.5
27
28
27.5
28.5
28
29
28
28
27.5
28
27.5
28
28
27.5
29
28.5
27.5
27.5
Lampiran 15 Pengamatan suhu udara rata-rata harian tahun 2008 di P6-3N Delta
Telang I
Tanggal
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
Jan
29
29.5
27.5
28.5
28.5
27.5
28
29.5
29
28.5
28.5
28.5
29
28.5
27.5
27.5
27.5
28
29.5
28
28.5
27
27.5
28
28.5
28.5
29
29
29
28
29
Feb
28.5
29.5
27.5
29.5
29
28
29
27.5
28
28.5
28
29
29
28
28
28.5
29
29
29
29
28.5
29
29
29.5
27
27
27
28
27
Mar
28.5
27
26
26.5
27.5
28
28.5
28.5
28.5
28
29
28.5
28
27.5
27
26.5
26.5
27.5
26
27.5
28
29
26.5
28.5
29
29.5
28.5
28
28.5
27
27
Apr
-
Mei
-
Bulan
Jun
-
Jul
-
Ags
-
Sep
-
Okt
-
Nop
-
Des
-
Lampiran 16 Pengamatan suhu udara rata-rata harian tahun 2006 di P10-2S Delta
Saleh
Tanggal
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
Jan
-
Feb
-
Mar
-
Apr
28
29
28.5
28
26.5
28
29
28.5
28.5
28.5
28
27.5
27
28
29
29
28
28
28
29
27.5
27
28.5
29
28.5
27.5
26.5
29.5
29.5
29.5
Mei
28.5
28
28
28.5
28
28.5
29
28
29
28
30.5
28.5
29
27.5
28.5
28.5
28
29
29.5
29
26
28.5
28
29.5
28
29
29
27.5
27
28.5
29
Bulan
Jun
27.5
29
29
29
28.5
27.5
28
29
29.5
29
28.5
29
29
29
28.5
28.5
28
28
29
27.5
28
28.5
27
28
27.5
27.5
28.5
29
29
29.5
Jul
29
29
29
29
29.5
28
28.5
29
29
28.5
29
29.5
28
29
29
29.5
28.5
28.5
27.5
28
29
29
29
29.5
28.5
29
29
28.5
28.5
28.5
29
Ags
28
28.5
28.5
28
27.5
28
29
28
28
28
28
28
28
28
28
27.5
27.5
28
28
27
28
27.5
27.5
28
28
28
28
28
28
27.5
27.5
Sep
28.5
28
29
28
28
28.5
28
28
28
28
28
27.5
28.5
29
27.5
28.5
28.5
28
28.5
28.5
28.5
28.5
27.5
28.5
28.5
28
28.5
29
28.5
28.5
Okt
29
28
27.5
28.5
29
28
28
27.5
28
29.5
28
28.5
28.5
27.5
28.5
28
28.5
28.5
27
29
28.5
26
27
27
27
27
26
26.5
27
26.5
26.5
Nop
28
28
28.5
28.5
28.5
29
28.5
29
29
28.5
29.5
28.5
28
29
28.5
28
28.5
29
29
29
28
28
28
27.5
28.5
28
28.5
27.5
27.5
28
Des
27.5
26.5
27
27
26
26.5
27
28
28
27.5
27
26.5
26.5
26
26.5
27
26.5
26.5
26
26.5
26.5
26.5
26.5
25.5
25.5
25
26
25.5
26
27
25.5
Lampiran 17 Pengamatan suhu udara rata-rata harian tahun 2007 di P10-2S Delta
Saleh
Tanggal
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
Jan
25
25
26
26
26.5
26.5
27
27
26
25.5
26.5
26
25.5
27.5
27.5
25.5
24.5
25.5
25
25.5
26.5
27
25
25.5
24.5
25
24.5
24.5
25
25
25
Feb
27
27.5
26
26.5
26.5
27.5
28
29
29
29
28
28
27.5
28.5
27.5
27.5
28.5
28.5
26.5
27
28
29
29.5
28
27.5
26.5
28
28.5
Mar
27.5
28.5
28.5
28
27.5
29
28.5
29
28
29
29
29
28
29
27.5
27
29
29.5
29
29.5
28.5
28.5
28
28.5
29
29.5
27.5
27.5
28.5
29.5
27.5
Apr
29
29
26.5
28.5
29.5
28
28.5
28
29
28.5
28.5
27.5
29
28.5
28
27.5
29
29.5
28.5
29
29
28
27.5
26.5
27.5
26.5
27.5
27
27.5
27
Mei
26.5
26.5
28
27.5
27
29
28.5
28
28.5
28
28.5
28
29
26.5
26.5
26.5
27.5
27
28.5
29
28
27.5
28
29
28
26.5
28
28
28
28
28.5
Bulan
Jun
29
29
29
28
29
29
28.5
28
29
28.5
28.5
28.5
29
28.5
28
27
26.5
27.5
28.5
28.5
29.5
29
30
29
29.5
29.5
29
29
29.5
28.5
Jul
28.5
29.5
29
29.5
29
29
29.5
29
27.5
28
28
29
29
28.5
29
28.5
29
27
28
28
27.5
26.5
26.5
26
27.5
28
28
28
28.5
29
29
Ags
29
28.5
28
28
28
29
28.5
28.5
28.5
28
28
29
28.5
28
28
28.5
28.5
28
28
28
28.5
28.5
27
28
28
28
28.5
28.5
29.5
28.5
28.5
Sep
28
29
28
27.5
28.5
29.5
28
29
28
28
27.5
29
28
28
27.5
29
28.5
29
28.5
28.5
28.5
29
29
29
29
29
29
28.5
28.5
28.5
Okt
28.5
28
28
28
28.5
29
29
28.5
29
28.5
27.5
28.5
27.5
28
29
27.5
27
28.5
28.5
28.5
29
29
28
28.5
29
28
29.5
28.5
28
28.5
28
Nop
29.5
28.5
28
28.5
29
28.5
28.5
29
29
28
29
29
29.5
29.5
29
27.5
28.5
29
28.5
29
29
29
29
29
28.5
30
29
29
29
27.5
Des
27.5
27
28.5
27
28
28
28.5
28.5
28.5
29
28.5
28.5
29
27.5
28
27.5
28.5
28.5
28
27
28
27.5
28
27.5
28
28
27.5
29
28
27.5
28.5
Lampiran 18 Pengamatan suhu udara rata-rata harian tahun 2008 di P10-2S Delta
Saleh
Tanggal
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
Jan
28
29
27.5
28.5
28
27.5
28
29
29
29
28.5
27.5
28.5
28.5
27
27.5
28
28
28.5
28.5
28.5
27.5
28
28
28.5
28.5
29.5
29
28.5
27.5
28
Feb
28.5
29
27
28.5
29
28.5
28.5
27.5
28.5
28.5
27.5
28.5
28.5
28
28
28
28.5
28.5
28.5
28
28
29
28.5
29
27
27
28
28
27
Mar
28.5
27.5
27
26.5
27
27.5
28.5
28
28.5
27.5
28.5
29
28
28
27.5
27
27.5
28
27
28
28
28.5
27
28.5
29.5
28.5
28.5
28
28.5
28
26.5
Apr
-
Mei
-
Bulan
Jun
-
Jul
-
Ags
-
Sep
-
Okt
-
Nop
-
Des
-
Lampiran 19 Tekstur, warna tanah, dan kedalaman pirit di petak tersier 3 P8-12S
Delta Telang I
Titik
Sampel
Kedalaman
(cm)
Tekstur
Warna
OT 4.1
0-9
Lempung berliat
110
9-21
Lempung berliat
21-44
Lempung berliat
44-58
48-62
Lempung
Liat
10 YR 4/6 (Coklat gelap
kekuningan)
10 YR 6/4 (Coklat terang
kekuningan)
10 YR 4/4 (Coklat gelap
kekuningan)
10 YR 4/3 (Coklat gelap)
10 YR 2/3 (Coklat gelap keabuabuan)
0-7
Lempung
78
7-23
23-29
Lempung berliat
Lempung berliat
29-35
35-42
Lempung
Lempung berdebu
42-59
Liat
10 YR 3/4 (Coklat gelap
kekuningan)
10 YR 5/4 (Coklat kekuningan)
10 YR 4/6 (Coklat gelap
kekuningan)
10 YR 4/3 (Coklat gelap)
10 YR 4/6 (Coklat gelap
kekuningan)
10 YR 3/2 (Coklat sangat gelap
keabu-abuan)
OT 4.3
0-7
7-20
20-35
35-52
Lempung
Lempung
Lempung berliat
Liat
10 YR 3/3
10 YR 5/4
10 YR 5/3
10 YR 4/4
(Coklat gelap)
(Coklat kekuningan)
(Coklat)
(Coklat gelap
kekuningan)
98
OT 4.4
0-10
10-20
Lempung
Lempung berliat
96
20-39
Lempung berliat
39-59
Liat
10 YR 5/3 (Coklat)
10 YR 4/2 (Coklat gelap keabuabuan)
10 YR 4/4 (Coklat gelap
kekuningan)
10 YR 5/4 (Coklat
kekuningan)
0-10
Lempung berliat
108
10-31
31-47
47-58
Lempung
Liat
Liat
10 YR 4/2 (Coklat gelap keabuabuan)
10 YR 5/3 (Coklat)
10 YR 5/6 (Coklat kekuningan)
10 YR 3/1 (Abu-abu sangat
gelap)
0-8
Lempung
105
8-23
23-40
40-57
57-79
Lempung
Lempung berliat
Lempung berliat
Liat
10 YR 2/3 (Coklat sangat
gelap)
10 YR 4/3 (Coklat gelap)
10 YR 5/4 (Coklat kekuningan)
10 YR 3/3 (Coklat gelap)
10 YR 3/1 (Abu-abu sangat
gelap)
OT 4.2
OT 4.5
OT 4.6
Sumber: PPMAL Universitas Sriwijaya (2006)
Kedalaman Pirit
(cm)
Lampiran 20 Tekstur, warna tanah, dan kedalaman pirit di petak tersier 3 P6-3N
Delta Telang I
Titik
Sampel
Kedalaman
(cm)
Tekstur
Warna
OT 4.1
0-17
17-62
62-99
99-113
Liat Berdebu
Liat Berdebu
Liat
Liat
10 YR 3/2
10 YR 3/6
10 YR 4/6
10 YR 5/4
(Hitam kecoklatan)
(Coklat muda)
(Kuning kecoklatan)
(Coklat keabu-abuan)
78
OT 4.2
0-9
9-20
20-40
40-50
50-71
71-100
Liat
Debu
Liat berdebu
Liat berdebu
Liat
Liat
10 YR 3/3
10 YR 3/2
10 YR 3/6
10 YR 5/2
10 YR 5/1
10 YR 6/1
(Coklat kehitaman)
(Hitam kecoklatan)
(Coklat muda)
(Abu-abu kecoklatan)
(Coklat keabu-abuan)
(Abu-abu)
19
OT 4.3
0-8
8-25
25-50
50-68
68-110
Liat Berdebu
Liat
Liat
Liat berdebu
-
10 YR 3/3
10 YR 6/3
10 YR 4/6
10 YR 5/4
-
(Coklat kehitaman)
(Abu-abu terang)
(Kuning kecoklatan)
(Coklat keabu-abuan)
77
OT 4.4
0-10
10-16
16-40
40-60
60-81
Liat berdebu
Liat berdebu
Liat
Liat
Liat
10 YR 3/4
10 YR 4/4
10 YR 5/6
10 YR 5/4
10 YR 4/4
(Coklat)
(Coklat keabu-abuan)
(Kuning kecoklatan)
(Coklat keabu-abuan)
(Coklat keabu-abuan)
17
OT 4.5
0-42
42-100
Hemik
Fibrik
-
OT 4.6
0-20
20-40
40-60
60-80
80-100
Liat berdebu
Liat
Liat
Liat
Liat
10 YR 4/4
10 YR 5/4
10 YR 3/4
10 YR 3/2
10 YR 3/1
Sumber: PPMAL Universitas Sriwijaya (2006)
Kedalaman Pirit
(cm)
97
(Coklat keabu-abuan)
(Coklat keabu-abuan)
(Coklat)
(Hitam kecoklatan)
(Hitam)
102
Lampiran 21 Tekstur, warna tanah, dan kedalaman pirit di petak tersier 3 P10-2S
Delta Saleh
Titik
Sampel
Kedalaman
(cm)
Tekstur
Warna
OT 4.1
0-21
21-41
41-100
Lempung
Liat
Liat
10 YR 4/1 (Abu-abu gelap)
10 YR 6/3 (Coklat pucat)
10 YR 5/4 (Coklat kekuningan)
90
OT 4.2
0-28
Lempung
111
28-69
69-100
Liat
Liat
10 YR 3/2 (Coklat sangat gelap
keabu-abuan)
10 YR 5/4 (Coklat kekuningan)
10 YR 4/3 (Coklat gelap)
0-26
Lempung
103
26-47
47-100
Liat
Liat
10 YR 3/2 (Coklat sangat gelap
keabu-abuan)
10 YR 3/3 (Coklat gelap)
10 YR 2/2 (Coklat sangat gelap)
OT 4.4
0-29
29-38
38-100
Lempung
Liat
Liat
10 YR 2/1 (Hitam)
10 YR 6/3 (Coklat pucat)
10 YR 4/3 (Coklat gelap)
91
OT 4.5
0-25
Liat
110
25-100
Liat
10 YR 3/2 (Coklat sangat gelap
keabu-abuan)
10 YR 3/3 (Coklat gelap)
0-12
12-36
36-100
Lempung
Liat
Liat
10 YR 3/3 (Coklat gelap)
10 YR 4/3 (Coklat gelap)
10 YR 4/2 (Coklat gelap keabuabuan)
96
OT 4.3
OT 4.6
Sumber: PPMAL Universitas Sriwijaya (2006)
Kedalaman Pirit
(cm)
Lampiran 22 Nilai konduktivitas hidrolik tanah (K, cm/jam) di petak tersier 3
P8-12S Delta Telang I
9,79
9,68
9,31
8,69
6,85
8,42
8,54
14,19
12,63
11,80
11,09
11,00
8,74
10,68
10,92
SPD
SDU
11,55
Jalan Poros
Tersier 3
Tersier 4
Lampiran 23 Nilai konduktivitas hidrolik tanah (K, cm/jam) di petak tersier 3
P6-3N Delta Telang I
10,57
10,78
10,40
9,91
10,51
10,33
9,89
11,77
9,66
10,11
10,82
9,28
9,82
10,29
10,50
SPD
SDU
11,75
Jalan Poros
G
T
4
Tersier 4
Tersier 3
Lampiran 24 Nilai konduktivitas hidrolik tanah (K, cm/jam) di petak tersier 3
P10-2S Delta Saleh
9,69
9,87
11,22
8,93
9,12
11,46
9,68
11,95
11,46
10,41
9,30
11,25
9,61
10,07
11,88
SDU
12,23
SPD
Jalan Poros
Tersier 3
Tersier 4
Download