KAJIAN PENDUGA MUKA AIR TANAH UNTUK MENDUKUNG PENGELOLAAN AIR PADA PERTANIAN LAHAN RAWA PASANG SURUT: KASUS DI SUMATERA SELATAN NGUDIANTORO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi dengan judul: “Kajian Penduga Muka Air Tanah untuk Mendukung Pengelolaan Air pada Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut: Kasus di Sumatera Selatan” adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada Perguruan Tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Disertasi ini. Bogor, Mei 2009 Ngudiantoro NRP P062040041 ABSTRACT NGUDIANTORO. The Study of Water Table Estimation to Support Water Management in Tidal Lowland Agriculture: A Case in South Sumatra. Under direction of HIDAYAT PAWITAN, MUHAMMAD ARDIANSYAH, M. YANUAR J. PURWANTO, and ROBIYANTO H. SUSANTO. The objectives of this research are: i) to study the characteristics of tidal lowland area based on hydro topographical condition, ii) to develop a model of water table on tidal lowland area, and iii) to develop natural resource and environment management strategies for improving agriculture production and cropping intensity on tidal lowland area. Modeling of water table expected to support the agriculture development on tidal lowland area, especially on water management due to the important role of water management in the agriculture on tidal lowland area. The water table controls on the particular depth can support the farming system and avoid pyrite oxidation. Results obtained from the research were the characteristics of tidal lowland area based on hydro topographical condition, the estimation model of water table on tidal lowland area, the scenarios of the water system control at the tertiary canals to control the water table in the field, and the natural resource and environment management strategies. The developed model has been tested on the three tidal lowland areas based on hydro topographical condition in Delta Telang I and Delta Saleh, Banyuasin district, South Sumatra province. The simulated model showed the promoting result in estimating the depth of water table on tidal lowland area. The developed model could explain the proportion of water table depth variation between 89,5% up to 98,7% with standard error estimation varied from 0,021 to 0,042 meters. The model has high sensitivity to the parameter of the water level in the tertiary canals. Key words: water table estimation, water management, tidal lowland area. RINGKASAN NGUDIANTORO. Kajian Penduga Muka Air Tanah untuk Mendukung Pengelolaan Air pada Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut: Kasus di Sumatera Selatan. Dibimbing oleh HIDAYAT PAWITAN, MUHAMMAD ARDIANSYAH, M. YANUAR J. PURWANTO, dan ROBIYANTO H. SUSANTO. Lahan rawa pasang surut memiliki potensi yang besar dan prospek pengembangan yang baik, serta merupakan salah satu pilihan strategis sebagai areal produksi pertanian guna mendukung ketahanan pangan nasional. Reklamasi atau pengembangan lahan rawa pasang surut untuk pertanian telah dilakukan pemerintah sejak tahun 1970-an. Pada awal reklamasi, sistem jaringan tata air yang dibangun masih merupakan sistem jaringan terbuka dengan fungsi utama untuk drainase. Pengaturan tata air sepenuhnya masih bergantung pada kondisi alam, sehingga kemampuan pelayanan tata air masih sangat rendah. Pada sistem jaringan terbuka, tipe luapan air pasang menjadi pertimbangan utama dalam penerapan sistem usahatani. Dengan dibangunnya infrastruktur pengendali air (pintu air), maka beberapa pokok persoalan teknis mulai dapat dipecahkan, namun dalam pelaksanaannya masih terhambat oleh kondisi yang beragam di lapangan. Berbagai pemikiran dan penelitian terus dilakukan dalam upaya peningkatan produksi pertanian dan indeks pertanaman (IP). Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan air merupakan kunci keberhasilan dalam pengembangan pertanian lahan rawa pasang surut. Pengelolaan air dapat mengendalikan kondisi muka air tanah di petak lahan yang fluktuatif. Namun demikian, pengelolaan air masih terkendala oleh kondisi infrastruktur pengendali air yang belum memadai. Sebagian besar jaringan tata air di daerah reklamasi rawa pasang surut masih belum dilengkapi dengan infrastruktur pengendali air yang memadai. Tanpa pintu air, terutama di saluran tersier, maka pengendalian muka air tanah di petak lahan akan sulit dilakukan. Selain itu, teknik yang diterapkan juga masih bergantung pada pengamatan muka air tanah secara langsung di lapangan, yaitu dengan membuat sumur-sumur pengamatan. Meskipun memiliki akurasi yang tinggi, namun pengamatan secara langsung memerlukan waktu, tenaga, dan biaya yang besar. Informasi yang diperoleh juga terbatas pada titik pengamatan dan jangka waktu pengamatan tertentu. Oleh karena itu, perlu dibangun suatu model penduga muka air tanah, sehingga kondisi muka air tanah di petak lahan dapat diketahui secara cepat melalui parameterparameter model sebagai prediktor. Penelitian bertujuan untuk: 1) Mempelajari karakteristik lahan rawa pasang surut menurut kondisi hidrotopografi lahan; 2) Pemodelan muka air tanah pada lahan rawa pasang surut: membangun model penduga muka air tanah di petak tersier, menduga kedalaman muka air tanah di petak tersier, dan membangun skenario pengaturan tata air untuk pengendalian muka air tanah di petak lahan; serta 3) Membangun strategi pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan pada lahan rawa pasang surut untuk mendukung peningkatan produksi pertanian dan indeks pertanaman (IP). Penelitian lapangan telah dilakukan selama 24 bulan, yaitu dari bulan April 2006 hingga Maret 2008. Lokasi penelitian berada di daerah reklamasi rawa pasang surut, yaitu di petak tersier 3 P8-12S dan petak tersier 3 P6-3N Delta Telang I, serta di petak tersier 3 P10-2S Delta Saleh. Ketiga lokasi tersebut terletak di Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Pemilihan lokasi didasarkan atas perbedaan kondisi hidrotopografi lahan, yaitu lahan tipe A/B (P8-12S), tipe B/C (P6-3N), dan lahan tipe C/D (P10-2S). Hidrotopografi lahan merupakan perbandingan relatif antara elevasi lahan dengan ketinggian muka air di saluran. Lahan tipe A selalu terluapi oleh air pasang, baik pasang besar (terjadi pada musim hujan) maupun pasang kecil (terjadi pada musim kemarau), sedangkan lahan tipe B hanya terluapi oleh air pasang besar saja. Lahan tipe C tidak terluapi oleh air pasang, baik pasang besar maupun pasang kecil, tetapi muka air tanah di petak lahan masih dipengaruhi oleh fluktuasi air pasang. Pada lahan tipe D, selain tidak terluapi air pasang, muka air tanah juga tidak terpengaruh oleh fluktuasi air pasang. Tanpa irigasi, sumber air utama pada lahan rawa pasang surut berasal dari air hujan dan air pasang di saluran. Pemasukan air ke petak lahan dengan memanfaatkan potensi air pasang dapat dilakukan pada lahan tipe A dan B, sedangkan pemasukan air pada lahan tipe C dan D sulit dilakukan karena permukaan lahan relatif lebih tinggi dibandingkan muka air pasang di saluran. Kedalaman muka air tanah pada lahan tipe C dan D dapat dipertahankan dengan teknik retensi air. Pengendalian muka air tanah pada lahan rawa pasang surut merupakan suatu proses kunci yang harus dilakukan dengan tepat melalui pengelolaan air, baik di tingkat makro maupun mikro. Pengelolaan tata air mikro akan menentukan secara langsung kondisi lingkungan bagi pertumbuhan tanaman. Dalam pengelolaan air, setiap petak tersier merupakan satu unit sistem pengelolaan air. Tanpa infrastruktur pengendali air, teknik pengelolaan air pada lahan rawa pasang surut dilakukan secara gravitasi dengan memanfaatkan potensi luapan air pasang ke lahan. Teknik ini sangat bergantung pada kondisi hidrotopogafi lahan, sehingga kemampuan pelayanan tata air masih sangat rendah. Pada jaringan tata air yang dilengkapi dengan pintu air, terutama di tingkat tersier, maka pengelolaan air seperti pemasukan air, drainase, dan retensi air dapat dilakukan dengan baik sehingga sistem usahatani yang diterapkan dapat optimal. Pemodelan muka air tanah merupakan salah satu upaya untuk mendukung pengelolaan air, terutama di tingkat mikro. Model penduga muka air tanah di petak tersier lahan rawa pasang surut telah dapat dirumuskan. Dengan model tersebut, maka tinggi muka air tanah pada jarak x dari saluran (h(x)) dapat diduga melalui beberapa parameter model, yaitu: tinggi muka air di saluran tersier (hw), curah hujan (R), evapotranspirasi (ET), konduktivitas hidrolik tanah (K), jarak antar saluran tersier (2s), dan lebar saluran (ℓ). Hasil simulasi menunjukkan bahwa model yang dibangun dapat menduga kedalaman muka air tanah di petak lahan dengan hasil yang cukup baik. Proporsi keragaman kedalaman muka air tanah yang dapat dijelaskan oleh model yaitu sebesar 89,5% hingga 98,7% dengan galat baku pendugaan 0,021-0,042 meter. Model penduga muka air tanah yang dibangun memiliki sensitivitas tinggi terhadap parameter tinggi muka air di saluran tersier. Perubahan yang terjadi pada hw akan menyebabkan terjadinya perubahan pada h(x) dengan besaran yang sama. Sementara itu, pengaruh parameter R dan ET terhadap perubahan h(x) relatif kecil. Perubahan h(x) oleh R atau ET yang cukup nyata hanya terjadi pada lahan yang letaknya relatif jauh dari saluran. Skenario pengaturan tata air untuk pengendalian muka air tanah di petak lahan telah dibangun dalam penelitian ini berdasarkan model penduga muka air tanah yang telah dihasilkan. Kondisi muka air tanah di petak lahan dapat dikendalikan melalui pengaturan tinggi muka air di saluran tersier. Selanjutnya, strategi pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan pada lahan rawa pasang surut yang ditekankan pada aspek pengembangan sistem usahatani dan pengendalian lapisan pirit dibangun melalui teknik pengendalian muka air tanah. Pada pertanian lahan rawa pasang surut, tanaman akan tumbuh dan berkembang dengan baik apabila kedalaman muka air tanah dapat diatur sesuai dengan zona perakaran tanaman, dan pirit yang ada di dalam tanah tidak teroksidasi. Penurunan muka air tanah hingga di bawah lapisan tanah yang mengandung pirit akan menyebabkan terjadinya oksidasi pirit yang menghasilkan senyawa sulfat. Asam sulfat bersifat racun, sehingga dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Oksidasi pirit dapat dikendalikan dengan menekan kandungan oksigen yang tersedia di dalam tanah, yaitu dengan mengatur kedalaman muka air tanah. Secara teknis, pengendalian muka air tanah juga dapat meningkatkan indeks pertanaman (IP) pada lahan rawa pasang surut. Pada lahan tipe A, usahatani padi dapat dilakukan 2 kali dalam setahun, potensi luapan air pasang cukup mendukung ketersediaan air bagi tanaman pada MT II. Kondisi yang sama juga dapat dilakukan pada lahan tipe B, namun untuk mendukung ketersediaan air pada MT II perlu dilakukan retensi air. Pada lahan tipe C dan D, usahatani padi sulit dilakukan 2 kali dalam setahun, sebab sumber air yang utama hanya berasal dari air hujan, sedangkan potensi luapan air pasang tidak dapat menjangkau lahan. Kegiatan usahatani yang dapat dilakukan pada MT II yaitu tanaman palawija. Untuk MT III, kegiatan usahatani palawija dapat dilakukan pada semua tipe lahan. Namun demikian, pemasukan dan retensi air untuk mendukung ketersediaan air bagi tanaman harus memperhatikan kualitas air, karena pada musim kemarau dapat terjadi intrusi air asin. Agar kondisi muka air tanah dapat mendukung sistem usahatani, maka perlu dibuat panduan pengoperasian pintu air di saluran tersier sesuai dengan sistem usahatani yang diterapkan. Penelitian lanjutan tentang sistem telemetri dan rekayasa sistem kontrol (bangunan pengendalian air) di saluran tersier dapat melengkapi model dan teknik pengendalian muka air tanah yang telah dibangun. Selanjutnya, keberhasilan dan keberlanjutan pengembangan pertanian lahan rawa pasang surut harus didukung dengan infrastruktur pengendali air yang memadai, operasi dan pemeliharaan jaringan dengan penguatan kelembagaan P3A (Perkumpulan Petani Pemakai Air), serta pengenalan dan implementasi sistem usahatani. Peningkatan kemampuan dan pemberdayaan, serta partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara berkesinambungan melalui berbagai sosialisasi dan pelatihan, baik dari aspek teknis maupun non teknis. KAJIAN PENDUGA MUKA AIR TANAH UNTUK MENDUKUNG PENGELOLAAN AIR PADA PERTANIAN LAHAN RAWA PASANG SURUT: KASUS DI SUMATERA SELATAN NGUDIANTORO Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor 2. Prof. Dr. Ir. Asep Sapei, M.S Ketua Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. Trip Alihamsyah, M.Sc Kepala Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian 2. Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Judul Disertasi : Kajian Penduga Muka Air Tanah untuk Mendukung Pengelolaan Air pada Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut: Kasus di Sumatera Selatan Nama : Ngudiantoro NRP : P062040041 Program Studi : Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Hidayat Pawitan, M.Sc. Ketua Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah Anggota Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto, M.S. Anggota Dr. Ir. Robiyanto H. Susanto, M.Agr.Sc. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S. Tanggal Ujian: 06 Mei 2009 Tanggal Lulus: PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian yaitu tentang pengendalian muka air tanah (water table). Penelitian dengan judul “Kajian Penduga Muka Air Tanah untuk Mendukung Pengelolaan Air pada Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut: Kasus di Sumatera Selatan” dilakukan di daerah reklamasi rawa pasang surut Delta Telang I dan Delta Saleh, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Penelitian lapangan dilakukan sejak bulan April 2006 hingga Maret 2008. Tujuan utama penelitian yaitu membangun model penduga muka air tanah di petak tersier lahan rawa pasang surut. Hasil penelitian diharapkan dapat mendukung pengembangan pertanian di daerah rawa pasang surut, terutama dalam pengelolaan air, karena pengelolaan air akan mempengaruhi kondisi muka air tanah di petak lahan yang menentukan secara langsung kondisi lingkungan bagi pertumbuhan tanaman. Ucapan terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hidayat Pawitan, M.Sc, Bapak Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah, Bapak Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto, M.S, dan Bapak Dr. Ir. Robiyanto H. Susanto, M.Agr.Sc selaku komisi pembimbing yang telah banyak memberikan saran dan masukan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ditjen Dikti Depdiknas, Dinas PU Pengairan Kabupaten Banyuasin, Dinas PU Pengairan Provinsi Sumatera Selatan, Ditjen Sumber Daya Air Departemen PU, Departemen Pertanian, Universitas Sriwijaya, Pusat Data-Informasi Daerah Rawa dan Pesisir, serta Rijkswaterstaat UNESCO-IHE the Netherlands yang telah banyak memfasilitasi dalam pelaksanaan penelitian di lapangan. Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih kepada anak-anak dan istri, serta seluruh keluarga atas doa dan dukungan yang diberikan. Saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan guna penyempurnaan hasil yang telah dicapai. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Mei 2009 Ngudiantoro RIWATAR HIDUP Penulis dilahirkan di Blitar pada tanggal 10 Oktober 1971 dari Ayah bernama Sukomiharjo dan Ibu Supini. Penulis merupakan putra pertama dari dua bersaudara. Jenjang pendidikan tinggi diawali di Jurusan Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sriwijaya. Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana tahun 1996 dengan judul karya ilmiah “Pemodelan Stokastik: Proses Kelahiran Cluster Yule-Furry” di bawah bimbingan Prof. Dr. Herman Mawengkang dari FMIPA Universitas Sumatera Utara dan Drs. A. Ramali L.P. dari FMIPA Universitas Sriwijaya. Pada tahun 1997, penulis diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sriwijaya. Tahun 2001, penulis melanjutkan pendidikan ke Program Magister (S2) pada Program Studi Statistika, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan S2 diperoleh dari BPPs Ditjen Dikti. Pendidikan S2 diselesaikan pada tahun 2004 dengan judul karya ilmiah “Penerapan Analisis Procrustes dan Autokorelasi Spasial dalam Mengkaji Konfigurasi dan Pola Spasial Indikator Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia” di bawah bimbingan Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S dan Dr. Ir. H. Asep Saefuddin, M.Sc. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan ke Program Doktor (S3) pada Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan S3 juga diperoleh dari BPPs Ditjen Dikti. Sejak tahun 2006, penulis menjadi anggota peneliti dalam bidang sumber daya air pada Pusat Penelitian Manajemen Air dan Lahan (PPMAL) Universitas Sriwijaya. Selain aktif dalam berbagai kegiatan pengembangan daerah rawa, penulis juga menulis beberapa artikel tentang model pengendalian muka air tanah pada lahan rawa pasang surut. Artikel yang berjudul ”Pengembangan Model Ellips untuk Pendugaan Muka Air Tanah pada Lahan Rawa Pasang Surut” telah diterbitkan dalam Jurnal Penelitian Sains Vol. 11(3) tahun 2008. Selanjutnya, beberapa artikel yang sedang dalam proses penerbitan yaitu ”Model Penduga Muka Air Tanah untuk Mendukung Pengelolaan Air pada Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut Tipe A/B” akan diterbitkan dalam Jurnal Matematika, Sains, dan Teknologi Vol. 10(1) tahun 2009, ”Model Penduga Muka Air Tanah untuk Mendukung Pengelolaan Air pada Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut Tipe B/C” akan diterbitkan dalam Jurnal Ilmiah Forum Pascasarjana IPB Vol. 32(3) tahun 2009, dan ”Model Penduga Muka Air Tanah untuk Mendukung Pengelolaan Air pada Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut Tipe C/D” akan diterbitkan dalam Jurnal Pengelolaan Lingkungan dan Sumber Daya Alam Vol. 7(2) tahun 2009. Penulis menikah dengan Susana pada tahun 1998 dan dikaruniai satu orang putri bernama Annisa Intan Puspa serta dua orang putra, yaitu Muhammad Harits dan Muhammad Naufal. DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL............................................................................................. vii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ viii DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................... xi PENDAHULUAN ............................................................................................ Latar Belakang......................................................................................... Perumusan Masalah ................................................................................. Kerangka Pemikiran ................................................................................ Tujuan Penelitian ..................................................................................... Manfaat Penelitian ................................................................................... 1 1 6 7 9 9 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... Keadaan Umum Wilayah Penelitian........................................................ Kabupaten Banyuasin..................................................................... Delta Telang I................................................................................. Delta Saleh ..................................................................................... Pengertian Rawa ...................................................................................... Lahan Rawa Pasang Surut ....................................................................... Kimiawi Tanah............................................................................... Hidrotopografi Lahan..................................................................... Air Rawa Pasang Surut............................................................................ Pasang Surut Air Laut.............................................................................. Reklamasi Rawa ...................................................................................... Sistem Jaringan Reklamasi ...................................................................... Pengelolaan Air ....................................................................................... Muka Air Tanah (Water Table) ............................................................... 10 10 10 12 13 14 15 15 16 19 19 20 23 26 27 METODOLOGI PENELITIAN........................................................................ Tempat dan Waktu Penelitian.................................................................. Alat dan Bahan Penelitian ....................................................................... Rancangan Penelitian .............................................................................. Jenis dan Sumber Data ................................................................... Teknik Pengambilan Data .............................................................. Metode ..................................................................................................... Deskripsi Karakteristik Lahan Rawa Pasang Surut ....................... Perhitungan Evapotranspirasi ............................................... Perhitungan Konduktivitas Hidrolik Tanah.......................... Interpolasi Titik .................................................................... Pemodelan Muka Air Tanah pada Lahan Rawa Pasang Surut....... Kajian Teoritis ...................................................................... Deskripsi Model.................................................................... 29 29 30 31 31 31 39 39 40 40 41 43 44 49 v Identifikasi Sistem Fluktuasi Muka Air Tanah..................... Formulasi Skema Fisik Muka Air Tanah.............................. Formulasi Model Matematika............................................... Simulasi Model ..................................................................... Validasi Model...................................................................... Penyusunan Skenario Pengaturan Tata Air .......................... Strategi Pengelolaan SDA dan Lingkungan pada lahan Rawa Pasang Surut................................................................................... HASIL DAN PEMBAHASAN......................................................................... Karakteristik Lahan Rawa Pasang Surut ................................................. Kondisi Iklim ................................................................................. Curah Hujan .......................................................................... Suhu ...................................................................................... Sistem Drainase.............................................................................. Hidrotopografi Lahan..................................................................... Sifat Fisik Tanah ............................................................................ Tekstur Tanah ....................................................................... Konduktivitas Hidrolik Tanah .............................................. Fluktuasi Muka Air Tanah ............................................................. Pemodelan Muka Air Tanah pada Lahan Rawa Pasang Surut ................ Model Penduga Muka Air Tanah ................................................... Pendugaan Muka Air Tanah........................................................... Pengaturan Tata Air ....................................................................... Pengelolaan SDA dan Lingkungan pada Lahan Rawa Pasang Surut...... Pengembangan Sistem Usahatani .................................................. Pengendalian Lapisan Pirit............................................................. 50 51 52 53 53 54 55 56 56 56 56 58 61 66 69 69 72 75 82 82 85 88 93 94 104 KESIMPULAN DAN SARAN......................................................................... 109 Kesimpulan .............................................................................................. 109 Saran ........................................................................................................ 112 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 113 LAMPIRAN...................................................................................................... 117 vi DAFTAR TABEL Halaman 1 Potensi lahan rawa di Indonesia .............................................................. 2 2 Jumlah daerah administrasi di Kabupaten Banyuasin ............................. 11 3 Jumlah penduduk, jumlah desa/kelurahan, luas daerah, dan rata-rata penduduk per km2 menurut kecamatan di Kabupaten Banyuasin ........... 12 4 Luas wilayah, jumlah penduduk, jumlah kepala keluarga, dan kepadatan penduduk desa eks UPT di Delta Telang I ............................. 13 5 Luas wilayah, jumlah penduduk, jumlah kepala keluarga, dan kepadatan penduduk desa eks UPT di Delta Saleh.................................. 14 6 Klasifikasi lahan pasang surut berdasarkan tipe genangan atau tipe luapan air pasang ..................................................................................... 18 7 Jenis dan sumber data sekunder............................................................... 31 8 Nilai korelasi pasang surut air laut di ambang luar Sungai Musi dan fluktuasi muka air di saluran sekunder (SPD) ......................................... 65 9 Nilai korelasi pasang surut air laut di ambang luar Sungai Musi dan fluktuasi muka air di saluran sekunder (SDU) ........................................ 66 10 Ringkasan model pendugaan fluktuasi muka air tanah di petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I ............................................................................. 88 11 Ringkasan model pendugaan fluktuasi muka air tanah di petak tersier 3 P6-3N Delta Telang I............................................................................... 88 12 Ringkasan model pendugaan fluktuasi muka air tanah di petak tersier 3 P10-2S Delta Saleh .................................................................................. 88 13 Besaran parameter dalam membangun skenario pengaturan tata air....... 89 14 Hasil pengujian skenario pengaturan tata air........................................... 91 15 Sistem usahatani padi MT I di P8-12S Delta Telang I ............................ 96 16 Sistem usahatani padi MT II di P8-12S Delta Telang I........................... 97 17 Sistem usahatani padi MT I di P6-3N Delta Telang I ............................. 100 18 Sistem usahatani padi MT I di P10-2S Delta Saleh................................. 102 vii DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Sebaran lahan rawa di Indonesia ............................................................. 1 2 Citra landsat jaringan reklamasi rawa pasang surut di Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan ..................................................... 4 3 Kerangka pikir penelitian ........................................................................ 8 4 Peta wilayah administratif Kabupaten Banyuasin ................................... 11 5 Klasifikasi hidrotopografi lahan rawa pasang surut ................................ 16 6 Peta hidrotopografi lahan Delta Telang dan Delta Saleh......................... 18 7 Peta sistem jaringan reklamasi rawa pasang surut di Delta Telang I dan Delta Saleh Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan ............... 25 8 Skema lapisan air di bawah permukaan tanah......................................... 28 9 Peta lokasi penelitian di daerah rawa pasang surut Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan ..................................................... 29 10 Sketsa lokasi pengamatan muka air tanah dan muka air saluran di petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I ............................................................... 33 11 Sketsa lokasi pengamatan muka air tanah dan muka air saluran di petak tersier 3 P6-3N Delta Telang I................................................................. 34 12 Sketsa lokasi pengamatan muka air tanah dan muka air saluran di petak tersier 3 P10-2S Delta Saleh .................................................................... 35 13 Skema pengukuran laju naiknya muka air tanah pada lubang auger ...... 37 14 Tahapan pemodelan muka air tanah pada lahan rawa pasang surut ........ 43 15 Model Ellips ............................................................................................ 44 16 Bentuk saluran dan Ellips Kirkham......................................................... 46 17 Aliran di antara saluran paralel dengan infiltrasi tetap............................ 47 18 Deskripsi model area ............................................................................... 50 19 Diagram causal loop fluktuasi muka air tanah pada lahan rawa pasang surut ......................................................................................................... 50 20 Skema fisik muka air tanah di petak tersier lahan rawa pasang surut pada kondisi 0 ≤ ET < R ........................................................................ 51 21 Skema fisik muka air tanah di petak tersier lahan rawa pasang surut pada kondisi R = 0 dan ET > 0................................................................. 52 22 Curah hujan harian di P8-12S, P6-3N, dan P10-2S................................. 57 23 Suhu udara maksimum dan minimum harian di P8-12S, P6-3N, dan P10-2S ..................................................................................................... 59 viii 24 Evapotranspirasi harian di P8-12S, P6-3N, dan P10-2S ......................... 60 25 Pasang surut air laut di ambang luar Sungai Musi (Tanjung Buyut)....... 62 26 Fluktuasi muka air di saluran sekunder (SPD) P8-12S, P6-3N, dan P10-2S ..................................................................................................... 63 27 Fluktuasi muka air di saluran sekunder (SDU) P8-12S, P6-3N, dan P10-2S ..................................................................................................... 63 28 Fluktuasi muka air di saluran sekunder P8-12S, P6-3N, dan P10-2S ..... 64 29 Peta topografi lahan di petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I ................ 67 30 Peta topografi lahan di petak tersier 3 P6-3N Delta Telang I.................. 67 31 Peta topografi lahan di petak tersier 3 P10-2S Delta Saleh ..................... 68 32 Sebaran spasial kedalaman lapisan tanah dengan tekstur liat di petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I ............................................................... 70 33 Sebaran spasial kedalaman lapisan tanah dengan tekstur liat di petak tersier 3 P6-3N Delta Telang I................................................................. 70 34 Sebaran spasial kedalaman lapisan tanah dengan tekstur liat di petak tersier 3 P10-2S Delta Saleh .................................................................... 71 35 Sebaran spasial nilai konduktivitas hidrolik tanah di petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I ............................................................................. 73 36 Sebaran spasial nilai konduktivitas hidrolik tanah di petak tersier 3 P6-3N Delta Telang I............................................................................... 73 37 Sebaran spasial nilai konduktivitas hidrolik tanah di petak tersier 3 P10-2S Delta Saleh .................................................................................. 74 38 Fluktuasi muka air tanah di petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I ......... 79 39 Fluktuasi muka air tanah di petak tersier 3 P6-3N Delta Telang I .......... 80 40 Fluktuasi muka air tanah di petak tersier 3 P10-2S Delta Saleh ............. 81 41 Modifikasi model ellips Kirkham............................................................ 82 42 Grafik pendugaan fluktuasi muka air tanah di OT4.4 P8-12S Delta Telang I.................................................................................................... 86 43 Grafik pendugaan fluktuasi muka air tanah di OT4.4 P6-3N Delta Telang I.................................................................................................... 86 44 Grafik pendugaan fluktuasi muka air tanah di OT4.4 P10-2S Delta Saleh ........................................................................................................ 87 45 Diagram pencar pengamatan tinggi muka air di saluran tersier dan kedalaman muka air tanah di petak lahan................................................ 90 46 Grafik pengaturan tata air untuk pengendalian muka air tanah di petak lahan......................................................................................................... 91 47 Sketsa kepemilikan lahan di petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I........ 94 48 Produksi padi MT I di petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I ................. 95 ix 49 Produksi padi MT II di petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I................ 95 50 Fluktuasi muka air tanah rata-rata di petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I.................................................................................................... 97 51 Sketsa kepemilikan lahan di petak tersier 3 P6-3N Delta Telang I ......... 98 52 Produksi padi MT I di petak tersier 3 P6-3N Delta Telang I .................. 99 53 Fluktuasi muka air tanah rata-rata di petak tersier 3 P6-3N Delta Telang I.................................................................................................... 100 54 Sketsa kepemilikan lahan di petak tersier 3 P10-2S Delta Saleh ............ 101 55 Produksi padi MT I di petak tersier 3 P10-2S Delta Saleh...................... 101 56 Fluktuasi muka air tanah rata-rata di petak tersier 3 P10-2S Delta Saleh 103 57 Sebaran spasial kedalaman lapisan pirit di petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I.................................................................................................... 105 58 Sebaran spasial kedalaman lapisan pirit di petak tersier 3 P6-3N Delta Telang I.................................................................................................... 106 59 Sebaran spasial kedalaman lapisan pirit di petak tersier 3 P10-2S Delta Saleh ........................................................................................................ 106 x DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Pengamatan curah hujan harian tahun 2006 di P8-12S Delta Telang I ... 118 2 Pengamatan curah hujan harian tahun 2007 di P8-12S Delta Telang I ... 118 3 Pengamatan curah hujan harian tahun 2008 di P8-12S Delta Telang I ... 119 4 Pengamatan curah hujan harian tahun 2006 di P6-3N Delta Telang I .... 119 5 Pengamatan curah hujan harian tahun 2007 di P6-3N Delta Telang I .... 120 6 Pengamatan curah hujan harian tahun 2008 di P6-3N Delta Telang I .... 120 7 Pengamatan curah hujan harian tahun 2006 di P10-2S Delta Saleh........ 121 8 Pengamatan curah hujan harian tahun 2007 di P10-2S Delta Saleh........ 121 9 Pengamatan curah hujan harian tahun 2008 di P10-2S Delta Saleh........ 122 10 Pengamatan suhu udara rata-rata harian tahun 2006 di P8-12S Delta Telang I.................................................................................................... 122 11 Pengamatan suhu udara rata-rata harian tahun 2007 di P8-12S Delta Telang I.................................................................................................... 123 12 Pengamatan suhu udara rata-rata harian tahun 2008 di P8-12S Delta Telang I.................................................................................................... 123 13 Pengamatan suhu udara rata-rata harian tahun 2006 di P6-3N Delta Telang I.................................................................................................... 124 14 Pengamatan suhu udara rata-rata harian tahun 2007 di P6-3N Delta Telang I.................................................................................................... 124 15 Pengamatan suhu udara rata-rata harian tahun 2008 di P6-3N Delta Telang I.................................................................................................... 125 16 Pengamatan suhu udara rata-rata harian tahun 2006 di P10-2S Delta Saleh ........................................................................................................ 125 17 Pengamatan suhu udara rata-rata harian tahun 2007 di P10-2S Delta Saleh ........................................................................................................ 126 18 Pengamatan suhu udara rata-rata harian tahun 2008 di P10-2S Delta Saleh ........................................................................................................ 126 19 Tekstur, warna tanah, dan kedalaman pirit di petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I .......................................................................................... 127 20 Tekstur, warna tanah, dan kedalaman pirit di petak tersier 3 P6-3N Delta Telang I .......................................................................................... 128 21 Tekstur, warna tanah, dan kedalaman pirit di petak tersier 3 P10-2S Delta Saleh............................................................................................... 129 xi 22 Nilai konduktivitas hidrolik tanah (K, cm/jam) di petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I ............................................................................. 130 23 Nilai konduktivitas hidrolik tanah (K, cm/jam) di petak tersier 3 P6-3N Delta Telang I............................................................................... 130 24 Nilai konduktivitas hidrolik tanah (K, cm/jam) di petak tersier 3 P10-2S Delta Saleh .................................................................................. 130 xii PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah Indonesia yang secara geografis terdiri dari ribuan pulau yang dihubungkan oleh lautan memerlukan kebijakan yang tepat agar pemanfaatan sumber daya alam untuk pembangunan dapat optimal dan berkelanjutan. Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, pembangunan sebagai upaya sadar dan terencana dalam mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat harus memadukan keberlanjutan tiga aspek utama, yaitu aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Lahan rawa sebagai salah satu sumber daya alam dapat didayagunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Lahan rawa, baik yang berupa rawa pasang surut maupun rawa non-pasang surut (rawa lebak), merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat potensial dan lokasinya tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia (Gambar 1 dan Tabel 1). Sumber: Suryadi (1996) Gambar 1 Sebaran lahan rawa di Indonesia. 1 2 Tabel 1 Potensi lahan rawa di Indonesia Luas Lahan Rawa (ha) Pulau Sumatera Kalimantan Sulawesi Irian Jaya Total Pasang Surut Non Pasang Surut Total 6.604.000 8.126.900 1.148.950 4.216.950 20.096.800 2.766.000 3.580.500 644.500 6.305.770 13.296.770 9.370.000 11.707.400 1.793.450 10.522.720 33.393.570 Luas Lahan Rawa yang telah Dikembangkan Pemerintah (ha) Non Pasang Total Pasang Surut Surut 691.704 110.176 801.880 694.935 194.765 889.700 65.930 18.780 84.710 0 23.710 23.710 1.452.569 347.431 1.800.000 Sumber: Departemen Pekerjaan Umum (2007) Struktur pengelolaan rawa secara menyeluruh dan terpadu sangat diperlukan guna menyeimbangkan antara konservasi dan pendayagunaan rawa, agar tercapai pengelolaan yang berkelanjutan. Pengelolaan rawa terpadu merupakan pengelolaan yang dilaksanakan dengan melibatkan semua pemilik kepentingan melalui mekanisme koordinasi. Selanjutnya, pengelolaan rawa berwawasan lingkungan yaitu pengelolaan yang memperhatikan keseimbangan ekosistem dan daya dukung lingkungan. Sementara, pengelolaan rawa berkelanjutan yaitu pengelolaan rawa yang tidak hanya ditujukan untuk kepentingan generasi sekarang, tetapi juga untuk kepentingan generasi mendatang. Sasaran yang ingin dicapai dalam pengelolaan rawa yaitu: 1) Melindungi dan melestarikan rawa; 2) Penggunaan yang bermanfaat untuk kesejahteraan rakyat; 3) Mengurangi masalah lingkungan yang mungkin timbul; 4) Mendukung pembangunan regional yang seimbang; dan 5) Mempertahankan keseimbangan ekosistem (Djohan, 2006). Menurut Hadimoeljono (2006), pengembangan lahan rawa perlu dilandasi oleh pendekatan pengembangan yang berkesinambungan antara pendayagunaan sumber daya lahan dan air di satu sisi dan pengharkatan fungsi ekologis di sisi yang lain. Pengelolaan rawa hendaknya selalu mengacu pada tiga pilar utama pengelolaan rawa sesuai dengan UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, yaitu: 1) Konservasi rawa (menjaga daya dukung, daya tampung, dan fungsi rawa sebagai sumber daya alam); 2) Pendayagunaan rawa (pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat); dan 3) Pengendalian daya rusak air pada kawasan rawa (mencegah, menanggulangi, dan memulihkan kerusakan lingkungan atau prasarana sumber daya air akibat proses alam atau kegiatan manusia). 3 Reklamasi rawa atau sering disebut dengan pengembangan daerah rawa merupakan suatu proses kegiatan yang ditujukan untuk meningkatkan fungsi dan manfaat rawa sebagai sumber daya alam yang potensial untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah sejak tahun 1960-an telah mulai melakukan reklamasi rawa. Pembukaan lahan rawa oleh pemerintah terutama dilakukan di sepanjang pesisir timur Pulau Sumatera, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, dan di bagian selatan Irian Jaya (sekarang Papua). Reklamasi rawa dimaksudkan untuk mendapatkan lahan yang layak untuk pengembangan pertanian dan permukiman. Sasaran dari program tersebut adalah: 1) Meningkatkan produksi pangan (terutama beras) dalam rangka pencapaian swasembada pangan; 2) Penyediaan lahan pertanian dan permukiman bagi para transmigran, sebagai penunjang program transmigrasi umum yang diselenggarakan oleh pemerintah; 3) Menunjang pengembangan wilayah; 4) Mendukung peningkatan pendapatan petani; dan 5) Mendukung terciptanya keadaan yang lebih aman di sepanjang kawasan pesisir (http://www.tidal-lowlands.org/ind/General.htm, 16/04/06). Dari tahun 1985 hingga 1995 hampir tidak ada pembukaan lahan rawa baru yang dilakukan oleh pemerintah. Pada periode tersebut, pemerintah lebih memfokuskan pada penyempurnaan prasarana pengairan, ekonomi, dan sosial di kawasan reklamasi yang sudah dikembangkan sebelumnya. Baru pada tahun 1996 pemerintah kembali melakukan pembukaan lahan rawa di Kalimantan Tengah, yang kemudian dikenal dengan sebutan proyek pengembangan lahan gambut sejuta hektar. Pengembangan lahan rawa pasang surut di Sumatera Selatan telah dilakukan oleh pemerintah sejak tahun 1969 melalui program transmigrasi, namun petani Bugis telah membuka lahan sejak tahun 1930-an untuk pertanian dan perkebunan. Kawasan konservasi dan pengembangan lahan rawa pasang surut di Sumatera Selatan berada di sepanjang kawasan Pantai Timur Sumatera, luasnya diperkirakan mencapai 2,92 juta hektar (Euroconsult, 1995). Sampai tahun 2004, total luas lahan rawa pasang surut di Sumatera Selatan yang telah direklamasi untuk pengembangan pertanian dan permukiman yaitu seluas 373.000 hektar (PIRA, 2004), diantaranya di Delta Telang I (26.680 hektar) dan Delta Saleh (19.780 hektar). 4 Gambar 2 Citra landsat jaringan reklamasi rawa pasang surut di Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan. Pada awal reklamasi, sistem jaringan tata air yang dibangun masih merupakan sistem jaringan terbuka dengan fungsi utama untuk drainase. Pengaturan tata air sepenuhnya masih bergantung pada kondisi alam, sehingga kemampuan pelayanan tata air masih sangat rendah. Pada sistem jaringan terbuka, tipe luapan air pasang menjadi pertimbangan utama dalam penerapan sistem usahatani. Noorsyamsi et al. (1984), Widjaja-Adhi et al. (1992), Euroconsult (1996), dan Nugroho (2004) mengklasifikasikan tipe luapan pada lahan rawa pasang surut berdasarkan kemampuan luapan air pasang. Dengan dibangunnya infrastruktur pengendali air, maka beberapa pokok persoalan teknis dalam pengembangan pertanian lahan rawa pasang surut mulai dapat dipecahkan. Menurut Susanto (1995), pengembangan pertanian lahan rawa pasang surut membutuhkan pengelolaan air di tingkat makro (sungai), meso (struktur hidrolik), dan mikro (petak lahan). Sungai-sungai yang berbatasan dengan daerah yang direklamasi, curah hujan, dan fluktuasi muka air pasang surut akan menentukan kondisi air di tingkat makro. Sifat dan karakteristik dari zona perakaran akan dipengaruhi oleh pengelolaan air di tingkat mikro yang 5 berhubungan dengan kondisi di tingkat makro melalui infrastruktur-infrastruktur hidrolik (tingkat meso). Rancangan, operasi, dan perawatan infrastruktur hidrolik harus mempertimbangkan kondisi air di tingkat makro dan mikro. Suryadi (1996) menggunakan kondisi hidrotopografi lahan sebagai pertimbangan awal dalam membuat perencanaan untuk pengelolaan air di lahan rawa pasang surut. Hidrotopografi lahan merupakan perbandingan relatif antara elevasi permukaan tanah dengan tinggi muka air di sungai atau saluran terdekat. Selanjutnya, Susanto (1998) menggabungkan pertimbangan hidrotopografi lahan dan konsep SEW-30 sebagai sistem evaluasi status air di blok sekunder dan petak tersier. Sistem yang sama juga dikaji oleh Edrissea et al. (2000) dengan menggunakan konsep SEW-30 dan DRAINMOD. Menurut Susanto (2000), pengelolaan air akan mempengaruhi kondisi muka air tanah (water table) di petak lahan. Muka air tanah pada lahan rawa pasang surut berfluktuasi menurut ruang dan waktu. Upaya pengendalian harus dilakukan agar muka air tanah dapat mendukung pertumbuhan tanaman. Pengendalian muka air tanah pada suatu kedalaman tertentu dapat dilakukan melalui strategi rancangan dan/atau operasi pemeliharaan jaringan reklamasi. Pertimbangan topografi, curah hujan, pasang surut air laut, jenis tanah, jenis tanaman, kedalaman lapisan pirit, dan parameter sistem reklamasi harus dilakukan secara integratif untuk mendukung strategi pengelolaan air. Pengelolaan air memiliki peranan penting dalam pengembangan pertanian lahan rawa pasang surut, namun teknik pengelolaan air untuk pengendalian muka air tanah pada lahan rawa pasang surut masih bergantung pada pengamatan muka air tanah secara langsung di lapangan, yaitu dengan membuat sumur-sumur pengamatan di petak lahan. Meskipun memiliki akurasi yang tinggi, namun pengamatan secara langsung memerlukan waktu, tenaga, dan biaya yang besar. Selain itu, informasi yang diperoleh juga sangat terbatas, yaitu hanya pada titik pengamatan dan jangka waktu pengamatan tertentu. Oleh karena itu, perlu dibangun suatu model penduga muka air tanah, sehingga kondisi muka air tanah di petak lahan dapat diketahui secara cepat melalui parameter-parameter model sebagai prediktor. 6 Perumusan Masalah Pengembangan pertanian pada lahan rawa pasang surut telah dilakukan pemerintah sejak tahun 1970-an. Pertanian lahan rawa pasang surut yang sedang berkembang merupakan pengetahuan yang masih terus tumbuh. Berbagai pemikiran dan penelitian terus dilakukan dalam upaya meningkatkan produksi dan indeks pertanaman (IP). Beberapa pokok persoalan teknis telah dapat dipecahkan, namun dalam pelaksanaannya masih terhambat oleh kondisi yang beragam di lapangan. Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan pertanian lahan rawa pasang surut antara lain: 1. Kondisi muka air tanah di petak lahan berfluktuasi menurut ruang dan waktu. Dibutuhkan teknik pengelolaan air yang tepat untuk pengendalian muka air tanah di petak lahan agar dapat mendukung penerapan sistem usahatani. 2. Pengelolaan air pada lahan rawa pasang surut masih terkendala oleh kondisi infrastruktur yang belum memadai. Teknik pengelolaan air yang diterapkan juga masih bergantung pada pengamatan muka air tanah secara langsung di lapangan. Selain memerlukan waktu, tenaga, dan biaya yang besar, informasi yang diperoleh dari pengamatan langsung juga sangat terbatas, yaitu hanya pada titik pengamatan dan jangka waktu pengamatan tertentu. Oleh karena itu, harus ada upaya alternatif untuk mengatasi masalah tersebut. 3. Operasi dan pemeliharaan (O&P) merupakan masalah serius yang dihadapi dalam pengembangan lahan rawa pasang surut. Kegiatan O&P meliputi: a) Operasi penyediaan air pada tingkat sekunder dan tersier untuk memenuhi kebutuhan air tanaman; serta b) Kegiatan pemeliharaan. 4. Selain persoalan teknis, peningkatan produksi pertanian dan indeks pertanaman (IP) pada lahan rawa pasang surut juga terkendala oleh sistem usahatani yang belum optimal, serta lemahnya kelembagaan. 7 Kerangka Pemikiran Lahan rawa (pasang surut dan lebak) sebagai salah satu sumber daya alam yang sangat potensial dapat dimanfaatkan untuk pertanian tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, perikanan, hutan tanaman industri, konservasi sumber daya alam, dan ekowisata. Pengembangan lahan rawa pasang surut untuk pertanian tanaman pangan, terutama padi, memiliki prospek yang sangat baik dalam upaya memenuhi kebutuhan pangan nasional, sebab: 1. Kecenderungan pola konsumsi pangan nasional tetap menjadikan beras sebagai bahan makanan utama. 2. Kebutuhan beras terus meningkat seiring peningkatan jumlah penduduk. 3. Luas lahan pertanian produktif (irigasi teknis), terutama di Pulau Jawa, semakin berkurang akibat alih fungsi lahan untuk permukiman, industri, dan kegiatan non-pertanian lainnya. 4. Melalui pengelolaan lahan dan air yang tepat, produksi padi lahan rawa pasang surut dapat ditingkatkan dari 1 kali panen dengan rata-rata 2 ton GKP/ha, menjadi 2 kali panen dengan rata-rata 5,5 ton GKP/ha pada MT I dan 3 ton GKP/ha pada MT II (LWMTL, 2006). Pengembangan pertanian pada lahan rawa pasang surut didasarkan atas pertimbangan karakteristik lahan dan kondisi hidrotopografi. Kondisi hidrotopografi lahan menjadi pertimbangan awal dalam membuat perencanaan untuk pengelolaan air di lahan rawa pasang surut. Pengelolaan air memiliki peranan penting dalam pengembangan pertanian lahan rawa pasang surut, karena pengelolaan air akan mempengaruhi kondisi muka air tanah di petak lahan yang menentukan secara langsung kondisi lingkungan bagi pertumbuhan tanaman. Produksi pertanian dan indeks pertanaman (IP) pada lahan rawa pasang surut dapat ditingkatkan melalui teknik pengelolaan lahan dan air yang tepat. Aspek utama pengelolaan air pada lahan rawa pasang surut yaitu pengendalian muka air tanah yang berfluktuasi sehingga dicapai kondisi muka air tanah di petak lahan yang stabil pada kedalaman tertentu. Jika tanaman dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, maka peningkatan produksi akan dapat dicapai. 8 Kondisi muka air tanah pada lahan rawa pasang surut berfluktuasi menurut ruang dan waktu. Salah satu upaya untuk mengoptimalkan pengendalian muka air tanah yang berfluktuasi antara lain dengan membangun model penduga muka air tanah. Jika kedalaman muka air tanah yang berfluktuasi dapat diduga, maka kondisi muka air tanah di petak lahan dapat dikendalikan melalui parameterparameter model sebagai prediktor. Secara ringkas, kerangka pikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 3. Reklamasi Rawa Rawa Pasang Surut Perkebunan Pertanian Tanaman Pangan & Hortikultura Rawa Non-Pasang Surut (Rawa Lebak) Perikanan Hutan Tanaman Industri Konservasi SDA Ekowisata Karakteristik Lahan dan Kondisi Hidrotopografi Pengelolaan Lahan Pengelolaan Air Pertumbuhan Tanaman dan Pola Tanam Kondisi Muka Air Tanah di Petak Lahan Peningkatan Produksi dan Indeks Pertanaman (IP) Pengendalian Muka Air Tanah Skenario Pengaturan Tata Air Pengamatan Muka Air Tanah Fluktuasi Muka Air Tanah Gambar 3 Kerangka pikir penelitian. Model Penduga Muka Air Tanah 9 Tujuan Penelitian 1. Mempelajari karakteristik lahan rawa pasang surut menurut kondisi hidrotopografi lahan. 2. Pemodelan muka air tanah pada lahan rawa pasang surut: a. Membangun model penduga muka air tanah di petak tersier; b. Menduga kedalaman muka air tanah di petak tersier; dan c. Membangun skenario pengaturan tata air untuk pengendalian muka air tanah di petak lahan. 3. Membangun strategi pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan pada lahan rawa pasang surut untuk mendukung peningkatan produksi pertanian dan indeks pertanaman (IP). Manfaat Penelitian 1. Karakteristik lahan rawa pasang surut menurut kondisi hidrotopografi lahan dapat dimanfaatkan sebagai dasar pertimbangan dalam penerapan sistem usahatani. 2. Pemodelan muka air tanah pada lahan rawa pasang surut diharapkan dapat mendukung pengelolaan air pada pertanian lahan rawa pasang surut. a. Model yang dihasilkan dapat digunakan untuk menduga kedalaman muka air tanah dan merancang sistem jaringan tata air. b. Dengan model, kondisi muka air tanah di petak lahan dapat diketahui secara cepat melalui parameter-parameter model sebagai prediktor. c. Skenario pengaturan tata air dapat dimanfaatkan sebagai panduan dalam pengendalian muka air tanah di petak lahan. 3. Strategi pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan pada lahan rawa pasang surut yang dibangun melalui teknik pengendalian muka air tanah diharapkan dapat mendukung peningkatan produksi pertanian dan indeks pertanaman (IP). TINJAUAN PUSTAKA Bab ini menyajikan tentang deskripsi umum wilayah penelitian, yaitu kawasan Delta Telang I dan Delta Saleh yang merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Banyuasin. Selain itu, disajikan juga berbagai hal yang berkaitan dengan rawa pasang surut dan muka air tanah yang menjadi perhatian utama dalam penelitian ini. Keadaan Umum Wilayah Penelitian Kabupaten Banyuasin Kabupaten Banyuasin merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Musi Banyuasin berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2002. Secara geografis, Kabupaten Banyuasin terletak antara 1,30° - 4,00° Lintang Selatan dan 104°40' - 105°15' Bujur Timur. Wilayah Kabupaten Banyuasin terbentang dari bagian tengah hingga bagian timur Provinsi Sumatera Selatan. Batas-batas wilayah Kabupaten Banyuasin adalah sebagai berikut: • Sebelah utara : berbatasan dengan Kabupaten Muara Jambi Provinsi Jambi dan Selat Bangka; • Sebelah timur : berbatasan dengan Kecamatan Pampangan dan Air Sugihan Kabupaten Ogan Komering Ilir; • Sebelah barat : berbatasan dengan Kecamatan Sungai Lilin Kabupaten Musi Banyuasin; dan • Sebelah selatan : berbatasan dengan Kecamatan Sirah Pulau Padang Kabupaten Ogan Komering Ilir, Kota Palembang, Kecamatan Gelumbang, dan Kecamatan Talang Ubi Kabupaten Muara Enim. Secara administratif, Kabupaten Banyuasin (Gambar 4) termasuk dalam wilayah Provinsi Sumatera Selatan dengan luas wilayah ± 11.832,99 km2 atau sekitar 12,18% luas Provinsi Sumatera Selatan. Pada tahun 2005, Kabupaten Banyuasin terbagi dalam 11 kecamatan, terdiri dari 8 kelurahan dan 256 desa. 10 11 Gambar 4 Peta wilayah administratif Kabupaten Banyuasin. Sebagian besar wilayah Kabupaten Banyuasin merupakan dataran rendah pesisir yang terletak di bagian hilir aliran Sungai Musi dan Sungai Banyuasin. Sebagian besar wilayahnya berupa lahan basah yang terpengaruh oleh pasang surut air laut dari Selat Bangka. Lahan tersebut dimanfaatkan untuk pertanian pangan lahan basah, khususnya persawahan pasang surut. Tabel 2 Jumlah daerah administrasi di Kabupaten Banyuasin No. Kecamatan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. Banyuasin I Banyuasin II Banyuasin III Betung Makarti Jaya Muara Padang Muara Telang Pulau Rimau Rambutan Rantau Bayur Talang Kelapa Jumlah Sumber: Banyuasin dalam Angka Tahun 2005 Desa Kelurahan Jumlah 19 16 31 17 16 41 23 41 20 17 15 1 1 1 1 4 20 16 32 18 17 41 23 41 20 17 19 256 8 264 12 Tabel 3 Jumlah penduduk, jumlah desa/kelurahan, luas daerah, dan rata-rata penduduk per km2 menurut kecamatan di Kabupaten Banyuasin Jumlah Penduduk (jiwa) Jumlah Desa/ Kelurahan Luas Daerah (km2) Rata-rata Penduduk (jiwa/km2) Banyuasin I Banyuasin II Banyuasin III Betung Makarti Jaya Muara Padang Muara Telang Pulau Rimau Rambutan Rantau Bayur Talang Kelapa 71.823 45.827 83.710 61.179 42.885 80.490 57.831 81.655 39.129 42.976 127.282 20 16 32 18 17 41 23 41 20 17 19 701,38 2.681,28 874,17 794,00 736,34 1.558,64 1.150,06 944,05 624,55 593,00 1.175,52 102 17 96 77 58 52 50 86 63 72 108 Jumlah 733.828 264 11.832,99 62 No. Kecamatan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. Sumber: Banyuasin dalam Angka Tahun 2005 Pada tahun 2006, jumlah kecamatan di Kabupaten Banyuasin telah mengalami pemekaran menjadi 15 kecamatan, yaitu Kecamatan Banyuasin I, Banyuasin II, Banyuasin III, Betung, Makarti Jaya, Muara Padang, Muara Telang, Pulau Rimau, Rambutan, Rantau Bayur, Talang Kelapa, Tungkal Ilir, Tanjung Lago, Muara Sugihan, dan Kecamatan Air Saleh. Delta Telang I Secara geografis, Delta Telang I terletak antara 02°29' - 02°48' Lintang Selatan dan 104°30' - 104°52' Bujur Timur. Delta Telang I berbatasan dengan Selat Bangka (di sebelah utara), Sungai Sebalik (di sebelah selatan), Sungai Musi (di sebelah timur), dan Sungai Telang (di sebelah barat). Secara administratif, Delta Telang I dengan luas ± 26.680 ha termasuk dalam wilayah Kecamatan Muara Telang Kabupaten Banyuasin. Delta Telang I memiliki 11 desa eks UPT (Unit Permukiman Transmigrasi), yaitu: Desa Sumber Jaya, Marga Rahayu, Sumber Mulyo, Panca Mukti, Telang Jaya, Mekar Sari, Mukti Jaya, Telang Makmur, Sumber Hidup, Telang Rejo, dan Telang Karya. 13 Tabel 4 Luas wilayah, jumlah penduduk, jumlah kepala keluarga, dan kepadatan penduduk desa eks UPT di Delta Telang I No. Desa 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. Sumber Jaya Marga Rahayu Sumber Mulyo Panca Mukti Telang Jaya Mekar Sari Mukti Jaya Telang Makmur Sumber Hidup Telang Rejo Telang Karya Jumlah Luas (km2) Jumlah KK Jumlah Penduduk (jiwa) Kepadatan Penduduk (jiwa/km) 26,90 28,40 29,38 25,48 22,45 16,50 25,94 20,27 27,60 24,80 28,82 1.032 1.110 980 923 1.136 795 1.017 813 683 712 760 5.144 5.042 4.573 2.195 4.896 3.545 4.232 3.355 2.562 3.390 3.824 191 178 93 56 218 215 163 166 93 137 133 279,54 9.961 42.758 1.643 Sumber: Muara Telang dalam Angka Tahun 2005 Penduduk di Delta Telang I sebagian besar merupakan penduduk transmigrasi dari Pulau Jawa, namun ada juga Suku Bugis dan penduduk lokal Banyuasin. Transmigrasi di Delta Telang I dimulai pada tahun 1978 sampai 1981. Mata pencarian penduduk transmigran sebagian besar adalah petani, sedangkan mata pencarian Suku Bugis yaitu petani (terutama tanaman kelapa) dan pedagang, dan penduduk lokal umumnya pedagang. Delta Saleh Secara geografis, Delta Saleh terletak antara 2°20'10" - 3°07'43" Lintang Selatan dan 105°02'31" - 105°33'66" Bujur Timur. Delta Saleh berbatasan dengan Selat Bangka (di sebelah utara), Sungai Musi dan Sungai Kumbang (di sebelah selatan), Sungai Saleh (di sebelah timur), dan Sungai Upang (di sebelah barat). Secara administratif, Delta Saleh dengan luas ± 19.780 ha termasuk dalam wilayah Kecamatan Muara Padang dan Kecamatan Makarti Jaya, Kabupaten Banyuasin. Delta Saleh memiliki 10 desa eks UPT (Unit Permukiman Transmigrasi), yaitu: Desa Sri Mulya, Srikaton, Sidoarjo, Saleh Mukti, dan Bintaran (berada dalam wilayah Kecamatan Muara Padang), sedangkan Desa 14 Saleh Agung, Damar Wulan, Enggal Rejo, Saleh Jaya, dan Saleh Mulyo berada dalam wilayah Kecamatan Makarti Jaya. Transmigrasi di Delta Saleh dimulai pada tahun 1979 sampai 1981. Tabel 5 Luas wilayah, jumlah penduduk, jumlah kepala keluarga, dan kepadatan penduduk desa eks UPT di Delta Saleh No. Desa 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) Luas (km ) Jumlah KK Jumlah Penduduk (jiwa) 18,4 12,8 17,6 24,8 13,5 31,9 16,0 17,6 25,7 27,4 651 534 612 656 449 724 390 654 621 579 1.850 2.333 2.288 3.392 1.486 3.731 1.569 2.784 3.257 2.990 101 182 130 137 110 117 98 158 127 109 205,7 5.870 25.680 1.269 2 Sri Mulya Srikaton Sidoarjo Saleh Mukti Bintaran Saleh Agung Damarwulan Enggal Rejo Saleh Jaya Saleh Mulya Jumlah Sumber: - Muara Padang dalam Angka Tahun 2005 - Makarti Jaya dalam Angka Tahun 2005 Pengertian Rawa Rawa adalah lahan genangan air secara alami yang terjadi secara terus menerus maupun sementara atau musiman, sebagai akibat dari drainase alam yang terhambat (Departemen PU, 1995). Berdasarkan letaknya, lahan rawa dapat dibedakan dalam tiga zona, yaitu: 1. Rawa di Dataran Tinggi Di dataran tinggi, tumpuan air hujan dari waktu ke waktu pada daerah yang cekung dapat menyebabkan daerah tersebut tergenang menjadi rawa, hal ini terjadi apabila drainase di daerah tersebut terhambat. 2. Rawa di Dataran Rendah Di dataran rendah yang jauh dari pantai, pada daerah yang cekung akan tergenang menjadi rawa bila drainasenya terhambat. Genangan tersebut 15 berasal dari air hujan atau limpasan air sungai di musim hujan. Rawa ini disebut dengan rawa lebak. Berdasarkan kondisi hidrotopografi, menurut Kodoatie (2006) rawa lebak dapat dikategorikan dalam tiga jenis yaitu: a. Lebak pematang, yaitu lahan dengan genangan relatif dangkal dengan periode waktu pendek; b. Lebak tengahan, yaitu lahan dengan genangan relatif agak dalam dengan periode waktu agak lama; dan c. Lebak dalam, yaitu lahan dengan genangan relatif dalam dengan periode waktu lama atau terus menerus. 3. Rawa di Daerah Pantai Di daerah pantai, pada bagian yang rendah dan cekung juga terbentuk rawa. Air genangan rawa ini selain berasal dari air hujan juga berasal dari limpasan air pasang. Karena masih dipengaruhi oleh gerakan pasang surutnya air laut maka rawa ini disebut rawa pasang surut. Lahan Rawa Pasang Surut Kimiawi Tanah Tanah rawa pasang surut umumnya terbentuk dari sedimen yang dibawa oleh arus sungai dari hulu yang mengendap dalam keadaan terpengaruh air laut atau dalam keadaan air yang mengandung garam. Endapan ini makin lama makin tebal hingga pada suatu saat dapat ditumbuhi oleh rumput dan pohon-pohon yang merupakan vegetasi pantai. Sisa-sisa vegetasi yang mati dan membusuk lamalama membentuk lapisan gambut. Pembusukan ini menyebabkan warna airnya menjadi coklat atau kecoklat-coklatan dan mengurangi kadar oksigen di dalam air sehingga pH air turun, air tersebut menjadi masam (Departemen PU, 1995). Tanah di bawah lapisan gambut umumnya mengandung pirit (FeS2), apabila kontak dengan udara yang mengandung oksigen (O2) maka akan teroksidasi menjadi Ferihidroksida Fe(OH)3 dan asam sulfat. Asam sulfat tersebut bersifat racun bagi tanaman, terutama tanaman budidaya. Peristiwa ini biasanya 16 terjadi di musim kemarau, terutama pada kemarau panjang ketika permukaan air tanah turun sampai di bawah permukaan tanah yang mengandung pirit. Pada saat seperti itu, udara masuk ke dalam tanah melalui pori-pori atau retakan dan mencapai pirit lalu terjadi oksidasi pirit. Hasil oksidasi ini (zat beracun) dapat tercuci oleh air hujan atau air genangan dari pasang air laut, asal drainasenya cukup memadai (Departemen PU, 1995). Hidrotopografi Lahan Hidrotopografi lahan didefinisikan sebagai perbandingan relatif antara elevasi lahan dengan elevasi muka air sungai atau muka air di saluran terdekat (Euroconsult, 1996). Kondisi hidrotopografi kawasan merupakan pertimbangan awal dalam membuat perencanaan untuk pengelolaan air di lahan rawa pasang surut (Suryadi, 1996). Bila elevasi permukaan tanah dikaitkan dengan tinggi muka air (hidrotopografi), maka lahan rawa pasang surut dapat dibagi atas empat kelas lahan seperti yang diilustrasikan pada Gambar 5. Muka air pasang pada musim hujan Muka air pasang pada musim kemarau Lahan selalu terluapi air pasang, baik pada musim hujan maupun musim kemarau Saluran Lahan Kelas A Lahan terluapi air pasang, tetapi hanya terjadi pada musim hujan Lahan tidak bisa terluapi air pasang meskipun pada saat air pasang tinggi, namun muka air tanah masih dipengaruhi oleh fluktuasi pasang surut Lahan Kelas B Lahan Kelas C Lahan tidak bisa terluapi air pasang meskipun pada saat air pasang tinggi. Tidak ada pengaruh pasang surut pada muka air tanah Lahan Kelas D Sumber: Euroconsult (1996) Gambar 5 Klasifikasi hidrotopografi lahan rawa pasang surut. 17 1. Lahan Kelas A Bila elevasi permukaan tanah lebih rendah dari muka air pasang terkecil, maka lahan tersebut digolongkan pada lahan kelas A. Lahan kelas A selalu digenangi oleh air pasang, meskipun pada saat pasang kecil. Penggenangan berlangsung setiap hari ketika pasang dan terjadi sepanjang tahun, baik di musim hujan maupun musim kemarau. Drainase berlangsung hanya beberapa jam pada waktu air surut. 2. Lahan Kelas B Bila elevasi permukaan tanah berada di antara elevasi muka air pasang kecil dan elevasi muka air pasang besar, maka lahan tersebut digolongkan pada lahan kelas B. Lahan kelas B hanya dapat digenangi oleh air pasang besar saja. Penggenangan tidak berlangsung setiap hari, hanya terjadi pada pasang besar di musim hujan. Drainase berlangsung lebih lama. 3. Lahan Kelas C Pada lahan kelas C, elevasi permukaan tanah berada di atas elevasi muka air pasang tertinggi, tetapi tidak lebih dari 50 cm. Penggenangan tidak pernah terjadi, tetapi air tanah masih dipengaruhi oleh air pasang. Air tanah masih dapat membasahi lapisan perakaran secara kapiler. Drainase berlangsung terus. 4. Lahan Kelas D Elevasi permukaan tanah pada lahan kelas D berada jauh di atas elevasi muka air pasang tertinggi, lebih dari 50 cm. Air tanah tidak terpengaruh oleh air pasang. Penggenangan tidak pernah terjadi dan drainase berlangsung terus. Menurut Ananto et al. (1998), kondisi tata air dan hidrotopografi lahan rawa pasang surut diklasifikasikan berdasarkan tipe genangan atau tipe luapan. Untuk pengelolaan air di lahan pasang surut, hidrotopografi lahan dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori lahan pasang surut, yaitu tipe luapan A, B, C, dan D. Klasifikasi ini didasarkan atas terjadinya luapan pada saat pasang besar (spring tide) dan pasang kecil (neap tide), serta kedalaman muka air tanah seperti yang disajikan pada tabel di bawah ini. 18 Tabel 6 Klasifikasi lahan pasang surut berdasarkan tipe genangan atau tipe luapan air pasang Tipe Luapan Keterangan Tipe A Lahan selalu terluapi oleh air pasang, baik pasang besar (spring tide) maupun pasang kecil (neap tide) Tipe B Lahan hanya terluapi oleh air pasang besar saja, tetapi tidak terluapi oleh pasang kecil atau pasang harian Tipe C Lahan tidak terluapi oleh air pasang besar, tetapi air tanah berada pada kedalaman kurang dari 50 cm dari permukaan tanah Tipe D Lahan tidak terluapi oleh air pasang besar, tetapi air tanah berada pada kedalaman lebih dari 50 cm dari permukaan tanah Sumber: Ananto et al. (1998) Elevasi (m, MSL): < 1.25 m 1.25 – 1.50 m 1.50 – 1.75 m 1.75 – 2.00 m 2.00 – 2.25 m > 2.25 m SALEH TELANG II TELANG I Sumber: Euroconsult (1996) Gambar 6 Peta hidrotopografi lahan di Delta Telang dan Delta Saleh. Gambar di atas menunjukkan bahwa sebagian besar lahan di Delta Telang I adalah lahan tipe A dan B, sedangkan di Delta Saleh sebagian besar lahannya adalah tipe C dan D. Secara umum, topografi lahan di Delta Saleh memang lebih tinggi dibandingkan Delta Telang I, sehingga sebagian besar lahan di Delta Saleh tidak dapat terluapi oleh air pasang, baik oleh pasang besar maupun pasang kecil. 19 Air Rawa Pasang Surut Air rawa alami sebelum dibuka atau dikembangkan bersifat masam, pH air sangat rendah. Air rawa alami bersifat coklat atau kecoklat-coklatan, hal ini disebabkan karena air tersebut terkurung (tidak berganti) dan karena adanya pembusukan sisa vegetasi atau tumbuh-tumbuhan. Pembusukan sisa vegetasi banyak mengambil oksigen dari air, akibatnya pH air menjadi rendah (Departemen PU, 1995). Pasang Surut Air Laut Pasang surut atau naik turunnya muka air laut adalah peristiwa alam yang terjadi sebagai akibat adanya gaya tarik menarik antara benda angkasa (Departemen PU, 1995). Gaya tarik bulan dan matahari terhadap bumi menyebabkan massa air laut terangkat (naik). Peristiwa pasang surut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Spring Tide Bila bumi, bulan, dan matahari berada pada satu garis lurus dimana bulan berada di antara bumi dan matahari, maka di permukaan bumi yang menghadap bulan terjadi air pasang yang paling tinggi (spring tide) karena gaya tarik kedua benda angkasa yang saling memperkuat. Sedangkan di permukaan bumi bagian belakang terjadi air surut yang paling rendah. Jadi pada hari itu terjadi air pasang yang paling tinggi dan air surut yang paling rendah. 2. Neap Tide Bila garis penghubung bumi-bulan berada pada kedudukan tegak lurus terhadap garis penghubung bumi-matahari, maka terjadi air pasang yang terendah dan air surut yang tertinggi bila dibandingkan dengan hari-hari lainnya. 20 3. Semi Diurnal Tide Bila garis penghubung bumi-bulan membentuk sudut 90° terhadap sumbu putar bumi, maka di permukaan bumi yang menghadap bulan terjadi peristiwa pasang ganda harian (semi diurnal tide). Pada hari itu muka air laut dua kali naik dan dua kali turun (dua kali pasang surut). 4. Diurnal Tide Bila garis penghubung bulan-bumi tidak tegak lurus terhadap sumbu putar bumi, maka yang terjadi di permukaan bumi yang menghadap bulan adalah pasang tunggal harian (diurnal tide). Pada hari itu hanya terjadi satu kali pasang dan satu kali surut. Dalam kejadian sehari-hari, hal-hal tersebut dapat saling mempengaruhi. Akibat naiknya muka air laut ketika terjadi pasang, maka aliran sungai yang datang dari bagian hulu menjadi terbendung dan terdorong kembali ke hulu sungai, dorongan ini dapat mencapai 100 km. Air sungai yang ikut naik ketika pasang, dapat meluapi tepi-tepi sungai dan menggenangi hutan belukar di sekitar sungai sehingga menjadi rawa. Pada saat muka air pasang mencapai tinggi maksimum, maka aliran air sungai yang dekat dengan muara menjadi tenang. Bila muka air laut mulai surut (turun), maka air sungai kembali lagi mengalir ke laut, makin lama makin cepat alirannya (deras) sampai mencapai kecepatan normal. Reklamasi Rawa Reklamasi rawa atau sering disebut dengan pengembangan daerah rawa merupakan suatu proses kegiatan yang ditujukan untuk meningkatkan fungsi dan manfaat rawa sebagai sumber daya alam yang potensial untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat (Sugeng, 1992). Dalam UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, ada lima aspek penting dalam pengelolaan sumber daya air, yaitu: 1) Konservasi sumber daya air; 2) Pendayagunaan sumber daya air; 3) Pengendalian daya rusak air; 4) Sistem informasi sumber daya air; dan 5) Pemberdayaan masyarakat. Secara substansi, bila dikaitkan dengan UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber 21 Daya Air, domain reklamasi rawa adalah mendayagunakan rawa berbasis konservasi. Reklamasi rawa pasang surut dilakukan dengan pembuatan saluran induk (primer), saluran sekunder, dan saluran tersier serta beberapa saluran pendukung pada petak lahan. Reklamasi rawa pasang surut tidak hanya bertujuan untuk memberikan air yang cukup bagi tanaman, tetapi juga dimaksudkan untuk memberikan air yang kualitasnya baik bagi tanaman. Sehingga dalam reklamasi, di samping pemberian air juga pencucian terhadap senyawa-senyawa beracun yang ada di dalam tanah (Kartono, http://www.pu.go.id/itjen/buletin/ 2324rawa.htm, 16/04/06). Untuk mengendalikan muka air di dalam lahan maka dibuat bangunan pintu air yang dilengkapi dengan perlengkapan pintu yang disesuaikan dengan kebutuhan tanaman. Jenis pintu air yang digunakan antara lain: 1. Pintu ayun (flap gate), pintu ini bisa bekerja secara otomatis (bisa membuka dan menutup sendiri) dengan memanfaatkan energi total dari air (energi kinetik dan energi potensial). Akibat perbedaan elevasi muka air antara depan dan belakang pintu yang signifikan maka pintu akan membuka dan air akan mengalir menuju ke tempat yang elevasinya rendah. Hal ini tergantung pada posisi pintu air terhadap kebutuhan air di dalam lahan. Fungsi pintu ini untuk melayani lahan yang membutuhkan pemasukan air tanpa pengeluaran melalui pintu yang sama, dan atau membuang air tanpa pemasukan melalui pintu yang sama. 2. Pintu sorong (sliding gate), pintu ini dipasang untuk melayani lahan yang kebutuhan airnya tidak kontinu. Gerakan pintu ini hanya naik dan turun, aliran air melewati dasar saluran pada posisi pintu diangkat. 3. Scot balok. Perlengkapan ini dipergunakan untuk mempertahankan tinggi muka air dalam saluran maupun dalam lahan. Dengan menggunakan scot balok maka air hanya dapat keluar dan masuk setelah melewati elevasi tertentu. Prasarana jaringan reklamasi rawa untuk pengembangan daerah rawa adalah unik, antara satu lokasi dengan lokasi yang lain berbeda-beda tergantung 22 dari karakteristik daerah tersebut. Kesamaannya terletak pada fungsi yang diperankan oleh prasarana jaringan reklamasi tersebut, yaitu: 1) Untuk membuang air berlebih akibat air pasang atau air hujan; 2) Memberikan suplai air untuk keperluan pertanian dan kebutuhan rumah tangga; 3) Untuk mengatur tinggi muka air tanah; 4) Untuk mengatur tinggi air dalam daerah pengembangan; 5) Pematangan tanah. Akibat reklamasi, tanah pada rawa pasang surut mengalami proses pematangan. Pematangan tanah dapat dipercepat dengan adanya drainase yang cukup; 6) Untuk mengatur kualitas air; dan 7) Untuk memenuhi kebutuhan transportasi air. Reklamasi rawa melalui jaringan drainase oleh pemerintah dilakukan dengan strategi pengembangan secara bertahap (Suryadi, 1996), yaitu: 1. Pengembangan Tahap I a. Proses reklamasi dilakukan dengan membangun prasarana pengairan yang masih bersifat minimum, yaitu berupa jaringan saluran yang bersifat terbuka, fungsi utamanya untuk keperluan drainase. b. Pengaturan tata air sepenuhnya masih bergantung pada kondisi alam, dengan kemampuan pelayanan tata air untuk budidaya pertanian padi pada tingkat subsistem. Begitu pula untuk prasarana yang lain masih bersifat minimum. 2. Pengembangan Tahap II a. Ditujukan untuk menyempurnakan kekurangan dan mengatasi masalah yang belum diketahui pada tahap awal, serta meningkatkan kemampuan pelayanan prasarana yang ada melalui pendekatan secara multi-sektoral dan terpadu. b. Jaringan lainnya disesuaikan dengan kondisi lokal setempat, yang dapat berfungsi sebagai prasarana drainase terkendali, penyimpanan air, pemasok air, dan pengamanan banjir. c. Sistem budidaya dan pola tanam disesuaikan dengan potensi lahan. Untuk mengatasi keanekaragaman kondisi lokal setempat pada suatu hamparan pengembangan, maka diterapkan zona-zona pengelolaan air. 23 3. Pengembangan Tahap III (Tahap Akhir) a. Merupakan tahap pemanfaatan penuh dari potensi sumber daya lahan dan air yang ada dalam kondisi kelembagaan dan ketenagakerjaan yang mendukung. b. Pembangunan polder dan sistem irigasi teknis serta mekanisasi dan budidaya pertanian secara intensif dalam spektrum luas merupakan komponen utama pada pengembangan tahap akhir. Sistem Jaringan Reklamasi Reklamasi rawa pasang surut diawali dengan pembuatan saluran primer yang menghubungkan dua sungai yang berdekatan. Secara umum, sistem jaringan tata air atau sistem drainase di daerah rawa pasang surut dapat dibedakan menjadi tiga sistem drainase, yaitu sistem rakyat atau sistem parit, sistem GAMA atau sistem garpu, dan sistem kanal atau sistem anjir (Susanto, 2001). Sistem drainase model rakyat (sistem parit) telah lama dikembangkan oleh petani Bugis. Saluran drainase dibuat secara sederhana dengan menggali paritparit di sebelah kanan dan kiri lahan. Parit tersebut dibuat tegak lurus dengan sungai besar ke arah pedalaman, sehingga sungai dan parit tampak seperti tulang ikan atau daun nangka. Sistem ini merupakan cara tradisional dalam pengelolaan air di lahan rawa pasang surut yang memiliki dua fungsi, yaitu sebagai saluran drainase pada saat air surut dan sebagai saluran irigasi pada saat air pasang. Pada sistem drainase model GAMA (sistem garpu), saluran sekunder dan tersier berbentuk seperti garpu dan langsung bermuara ke sungai. Pada ujungujung garpu terdapat kolam-kolam pasang yang berfungsi mempercepat air surut dan sebagai tempat penampungan air limpasan. Sistem ini banyak digunakan di Kalimatan Tengah. Untuk daerah reklamasi rawa pasang surut di Sumatera Selatan lebih banyak menggunakan sistem drainase sisir yang dikembangkan oleh ITB dan IPB. Ciri khas dari sistem sisir yaitu saluran pemberi dan drainase dibuat terpisah. Air yang masuk pada waktu pasang dan air keluar pada waktu surut 24 diatur oleh pintu klep otomatis. Sistem sisir merupakan peningkatan dari sistem rakyat dan sistem kanal. Jaringan tata air atau sistem drainase yang terdapat di Delta Telang I dan Delta Saleh adalah sistem grid ganda (double-grid system) yang dirancang oleh LAPI-ITB pada tahun 1976. Sistem ini didasarkan pada sistem drainase saluran terbuka dengan menggunakan saluran primer sebagai saluran navigasi yang tegak lurus dan berhubungan langsung ke sungai utama. Tegak lurus dengan saluran primer terdapat saluran sekunder yang berhubungan langsung dengan saluran primer. Saluran sekunder dibedakan menjadi dua, yaitu saluran pemberi yang melintasi perkampungan dinamakan saluran pengairan desa (SPD) dan saluran pembuangan dinamakan saluran drainase utama (SDU). Saluran tersier dibangun tegak lurus dengan saluran sekunder, berfungsi untuk mengalirkan atau membuang air dari dan ke saluran sekunder. Pada awal reklamasi, sistem tata air di Delta Telang I dan Delta Saleh dirancang berdasarkan konsep aliran satu arah (one way flow system). Pada sistem aliran satu arah, air pasang masuk melalui saluran primer dan terus ke saluran sekunder pemberi (SPD), selanjutnya air masuk ke saluran tersier pemberi dan akhirnya mengaliri lahan usahatani melalui saluran kuarter. Pada kondisi air berlebih, air dari lahan akan keluar melalui saluran tersier pembuangan dan terus menuju ke saluran sekunder pembuang (SDU) yang selanjutnya keluar ke saluran primer. Konsep ini akan berjalan dengan baik apabila sistem tata air dilengkapi dengan pintu pengendali. Namun dalam perkembangannya saat ini, baik saluran sekunder SPD maupun SDU, keduanya berfungsi sebagai saluran untuk memasukkan dan mengeluarkan air. Kondisi ideal pengaliran satu arah dari SPD ke SDU melalui saluran tersier dan lahan tidak mudah untuk diterapkan. Lahan rawa pasang surut di Delta Telang I merupakan rawa pasang surut yang secara langsung dipengaruhi oleh pasang surut dari Sungai Musi dan Sungai Telang. Sedangkan lahan rawa pasang surut di Delta Saleh dipengaruhi oleh pasang surut dari Sungai Upang dan Sungai Saleh. Pengaruh air pasang dari sungai-sungai tersebut di bagian pedalaman masih cukup kuat, sehingga wilayah ini memiliki lingkungan air tawar dan air payau. Pada musim hujan, umumnya air 25 bersifat lebih tawar dibandingkan pada musim kemarau yang cenderung bersifat payau atau asin. Gambar 7 Peta sistem jaringan reklamasi rawa pasang surut di Delta Telang I dan Delta Saleh Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan. Pada saat ini, sebagian besar kawasan reklamasi rawa berada pada awal pengembangan tahap II. Salah satu kendala yang dihadapi dalam pengembangan daerah rawa pasang surut untuk pembangunan pertanian yaitu masalah operasi dan pemeliharaan jaringan rawa. Perencanaan dan konstruksi jaringan reklamasi yang sesuai dengan kebutuhan masih harus diikuti dengan operasi dan pemeliharaan jaringan reklamasi sebagai suatu paket yang utuh (Susanto, 1995). Pengendalian muka air tanah pada reklamasi rawa pasang surut merupakan suatu proses kunci yang harus dilaksanakan dengan tepat melalui pengendalian dan penahanan air. Strategi operasi dan pemeliharaan jaringan reklamasi merupakan faktor yang sangat penting. Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan peran serta masyarakat atau petani yang lahannya termasuk dalam kegiatan rehabilitasi dan konstruksi (Susanto, 2000). 26 Pengelolaan Air Sistem jaringan tata air di daerah reklamasi rawa pasang surut yang terdiri dari saluran primer, sekunder, dan saluran tersier dirancang sesuai dengan kondisi lokal agar dapat berfungsi optimal untuk kepentingan drainase dan pemasukan air, serta untuk pengamanan banjir. Pengaliran air keluar dan masuk dengan sistem gravitasi yang diterapkan di Delta Telang I dan Delta Saleh pada tahap awal pengembangan didasarkan pada konsep hidrotopografi lahan. Strategi pengelolaan air yang didasarkan atas konsep hidrotopografi lahan memang masih terlalu umum sehingga memunculkan kondisi yang beragam pada saat diterapkan di lapangan. Konsep hidrotopografi lahan didasarkan atas kemampuan lahan mendapatkan potensi air pasang untuk irigasi. Pengelolaan air pada daerah reklamasi rawa pasang surut dilakukan di dua level (Departemen PU, 2005), yaitu: 1. Pengelolaan air di petak lahan (petak tersier). Pengelolaan air ini menentukan secara langsung kondisi lingkungan bagi pertumbuhan tanaman. 2. Pengelolaan air di jaringan utama (sistem utama). Tujuan utamanya yaitu mengendalikan tinggi muka air dan kualitas air sebaik mungkin untuk memenuhi kebutuhan kegiatan pertanian. Sistem atau jaringan utama dapat dibagi dalam jaringan primer, jaringan sekunder, dan jaringan tersier. Pengelolaan air pada dasarnya ditentukan oleh kondisi tanah dan faktor hidrotopografi. Pengelolaan air menjadi dasar pertimbangan yang kemudian dijabarkan dalam ketentuan pengoperasian bangunan-bangunan air yang ada. Tujuan dari pengelolaan air yaitu untuk: 1) Menjamin kecukupan air bagi tanaman; 2) Membuang air yang berlebih keluar dari saluran; 3) Mencegah pertumbuhan gulma tanaman (dengan mempertahankan genangan air pada lahan); 4) Mencegah memburuknya kualitas air; dan 5) Mencegah intrusi air asin. Dalam kasus tanah sulfat masam, persyaratan pengelolaan air harus memperhitungkan sejauh mungkin kebutuhan untuk pencegahan terjadinya keasaman tanah selama pertumbuhan tanaman. Namun demikian, perlu diketahui bahwa keasaman akan hilang setelah beberapa periode waktu tertentu, dan setelah periode itu dapat diberlakukan pengoperasian dengan ketentuan normal (Departemen PU, 2005). 27 Sesuai dengan tujuan reklamasi rawa yaitu untuk budidaya tanaman, maka menurut Kartono (http://www.pu.go.id/itjen/buletin/2324rawa.htm, 16/04/06) pengelolaan air harus memperhatikan hal-hal berikut: 1. Pada waktu musim hujan, kelebihan air harus dibuang melalui saluran sub tersier ke tersier dan seterusnya ke pembuang utama. Ketinggian genangan yang terjadi di lahan hanya sebatas yang dibutuhkan untuk tanaman. 2. Pada saat musim kemarau di mana akan terjadi kekurangan air, apabila dimungkinkan perlu diberikan air irigasi, dan jika tidak tersedia sebaiknya dilakukan pengawetan atau konservasi. Pengawetan ini dilaksanakan mulai dari saluran sekunder, tersier, sub tersier serta sistem sorjan. 3. Khusus daerah pantai atau daerah-daerah yang terjangkau oleh pasang surut maka harus selalu dijaga agar air asin maupun air asam tidak masuk ke dalam lahan. Hal ini membutuhkan penanganan secara khusus dan cermat agar lahan tidak terkontaminasi oleh kedua unsur air tersebut. Muka Air Tanah (Water Table) Pengertian tentang “water table” tidak sama dengan “ground water”. Kata “table” memberikan gambaran tentang permukaan yang datar di bagian atas. Ground water adalah air di bawah permukaan tanah, tetapi tidak semua air di bawah permukaan tanah adalah ground water. Permukaan bagian atas ground water adalah water table. Di bawah permukaan, semua ruang pori terisi (jenuh) dengan air. Lapisan jenuh tersebut dikenal sebagai saturated zone (phreatic zone), dimana terdapat ground water. Sesungguhnya, hanya air yang terdapat di zone jenuh yang dapat disebut sebagai ground water. Pada lapisan tanah paling atas, tidak semua ruang pori terisi oleh air. Hanya beberapa bagian saja yang terisi oleh air, sedang bagian yang lain berisi udara. Lapisan tersebut dikenal sebagai unsaturated zone (disebut juga dengan zone aerasi atau vadose zone). Setelah hujan lebat (di atas normal), zone tersebut mungkin hampir jenuh, sementara pada musim kemarau yang panjang mungkin hampir kering. Air yang merembes masuk ini dikenal sebagai soil water, yaitu 28 ketika air tersebut masih cukup dangkal atau masih dalam zone perakaran tumbuhan. Ketika air tersebut berada di bawah jangkauan akar tumbuhan, tetapi masih tak jenuh, maka air itu disebut sebagai vadose water. Selanjutnya, dengan infiltrasi maka kelebihan air akan mencapai water table. Sumber: American Ground Water Trust Gambar 8 Skema lapisan air di bawah permukaan tanah. Kedalaman water table bervariasi antara satu tempat ke tempat yang lain. Secara umum, water table relatif dalam pada dataran tinggi dan relatif dangkal di dataran rendah. Water table hampir tidak pernah datar atau rata. Di setiap tempat, water table umumnya akan naik dengan meningkatnya pengisian dari air hujan dan menurun sebagai respon atas musim kemarau, kekeringan, atau pengambilan ground water yang berlebihan. Ground water senantiasa bergerak, meskipun pergerakannya sangat pelan. Pelepasan (aliran keluar) air dari akuifer terjadi sebagai bagian dari pergerakan alami air dalam sistem hidrologi. Ketinggian water table dalam akuifer merupakan pergerakan gabungan antara rata-rata pengisian dan rata-rata pelepasan. METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian berada di daerah reklamasi rawa pasang surut Delta Telang I dan Delta Saleh di Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan, yaitu di P8-12S (blok sekunder 12 di bagian selatan saluran primer 8), P6-3N (blok sekunder 6 di bagian utara saluran primer 6), dan P10-2S (blok sekunder 2 di bagian selatan saluran primer 10). Penelitian pada masing-masing lokasi dilakukan di petak tersier 3, yaitu pada lahan usahatani di antara saluran tersier 3 dan 4. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 9. Pemilihan lokasi didasarkan atas perbedaan kondisi hidrotopografi lahan. Blok sekunder P8-12S Delta Telang I mewakili lahan kelas A/B, blok sekunder P6-3N Delta Telang I mewakili lahan kelas B/C, dan blok sekunder P10-2S Delta Saleh mewakili lahan kelas C/D. Penelitian lapangan dilakukan selama 24 bulan, yaitu dari bulan April 2006 hingga Maret 2008. Gambar 9 Peta lokasi penelitian di daerah rawa pasang surut Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan. 29 30 Alat dan Bahan Penelitian Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian, yaitu: 1. Pipa PVC diameter 2,5 inchi, untuk sumur pengamatan muka air tanah; 2. Bor tanah dengan jenis mata pisau terbuka, digunakan untuk membuat sumur pengamatan; 3. Meteran, untuk mengukur dimensi saluran dan tinggi muka air tanah, serta digunakan dalam pengukuran konduktivitas hidrolik tanah; 4. Papan duga, digunakan untuk pengamatan tinggi muka air pada saluran sekunder dan tersier; 5. Tabung pembuang (bailer), digunakan untuk menguras air dari lubang auger dalam pengukuran konduktivitas hidrolik tanah; 6. Stopwatch, digunakan untuk pencatatan waktu dalam pengukuran konduktivitas hidrolik tanah; 7. GPS (Global Positioning System), digunakan untuk menentukan koordinat titik pengamatan; 8. Sipat datar, digunakan untuk mengikat posisi alat ukur terhadap tinggi permukaan laut (Mean Sea Level-MSL); 9. Penakar curah hujan biasa dan gelas ukur, digunakan untuk mengukur volume curah hujan; 10. Termometer, digunakan untuk mengukur suhu; 11. Kamera digital, digunakan untuk dokumentasi; 12. Seperangkat komputer dan printer, digunakan untuk pembuatan laporan dan mencetak hasil laporan penelitian; serta 13. Software Windows XP (Microsoft Office: Word, Exel, Power Point), ArcView GIS 3.3, Minitab 14.0, dan SPSS 12.0. 31 Rancangan Penelitian Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah data primer dan sekunder. Data primer yang diperoleh dari hasil pengamatan dan pengukuran di lapangan, yaitu: 1) Dimensi saluran tersier, meliputi lebar atas saluran, lebar bawah saluran, dan kedalaman saluran; 2) Tinggi muka air pada saluran sekunder dan tersier; 3) Tinggi muka air tanah; 4) Konduktivitas hidrolik tanah; 5) Curah hujan; dan 6) Suhu. Jenis dan sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Jenis dan sumber data sekunder No. Jenis Data 1. Citra satelit Landsat 7ETM+ Akuisisi: Juni 2001 2. Peta wilayah administratif 3. Peta hidrotopografi lahan 4. Peta jaringan reklamasi 5. Dimensi saluran 6. Sistem usahatani 7. Sifat fisik dan kimia tanah 8. Pasang surut air laut 9. Kependudukan Sumber Data BAPPEDA Provinsi Sumatera Selatan BAPPEDA Provinsi Sumatera Selatan Euroconsult Dinas PU Pengairan Provinsi Sumatera Selatan Dinas PU Pengairan Provinsi Sumatera Selatan Dinas Pertanian Kabupaten Banyuasin PPMAL Universitas Sriwijaya Dinas Oseanografi TNI AL Stasiun Tanjung Buyut BPS Kabupaten Banyuasin Teknik Pengambilan Data Data sekunder diperoleh dari beberapa instansi pemerintah dan institusi yang selama ini berperan aktif dalam pengembangan lahan rawa pasang surut. Pengambilan data primer dilakukan melalui pengamatan dan pengukuran langsung di lokasi penelitian, meliputi: 1. Pengukuran Dimensi Saluran Dimensi saluran yang diukur yaitu saluran tersier. Pengukuran dilakukan pada beberapa titik, meliputi lebar atas saluran, lebar bawah saluran, dan kedalaman saluran. 32 2. Pengamatan Muka Air pada Saluran a. Pengamatan tinggi muka air pada saluran dilakukan dengan menggunakan papan duga; b. Banyaknya titik pengamatan pada setiap lokasi penelitian adalah sebagai berikut: i) Blok Sekunder P8-12S: 4 titik di saluran tersier 4, 1 titik di saluran drainase utama (SDU), dan 1 titik di saluran pengairan desa (SPD); ii) Blok Sekunder P6-3N: 4 titik di saluran tersier 4, 1 titik di saluran drainase utama (SDU), dan 1 titik di saluran pengairan desa (SPD); iii) Blok Sekunder P10-2S: 4 titik di saluran tersier 4, 1 titik di saluran drainase utama (SDU), dan 1 titik di saluran pengairan desa (SPD); c. Pengamatan tinggi muka air pada saluran dilakukan setiap hari, yaitu antara pukul 07.00 - 08.00 wib. 3. Pengamatan Tinggi Muka Air Tanah a. Pengamatan tinggi muka air tanah dilakukan melalui sumur pengamatan yang dibuat dari pipa PVC dengan panjang 3 meter dan diameter 2,5 inchi. Pipa tersebut dilubangi pada bagian sisi-sisinya dan ditanam dengan kedalaman 2 - 2,5 meter dari permukaan tanah. Lubang pipa bagian atas ditutup dan hanya dibuka pada saat melakukan pengukuran; b. Banyaknya sumur pengamatan pada setiap lokasi penelitian adalah sama, masing-masing ada 6 titik pengamatan dengan sebaran sebagai berikut: i) 3 titik di petak lahan dekat saluran tersier 4, kira-kira berjarak 5 meter dari saluran tersier 4; dan ii) 3 titik berada di tengah lahan diantara saluran tersier 4 dan tersier 3, kira-kira berjarak 100 meter dari titik pengamatan yang berada di dekat saluran tersier 4. c. Pengamatan muka air tanah dilakukan setiap hari, yaitu antara pukul 07.00 - 08.00 wib. 33 Gambar 10 Sketsa lokasi pengamatan muka air tanah dan muka air saluran di petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I. 34 Gambar 11 Sketsa lokasi pengamatan muka air tanah dan muka air saluran di petak tersier 3 P6-3N Delta Telang I. 35 Gambar 12 Sketsa lokasi pengamatan muka air tanah dan muka air saluran di petak tersier 3 P10-2S Delta Saleh. 36 4. Pengukuran Konduktivitas Hidrolik Tanah Pengukuran konduktivitas hidrolik tanah dilakukan secara langsung di petak lahan dengan cara pengeboran. Pengukuran konduktivitas hidrolik tanah dilakukan dengan menggunakan metode Auger Hole. Prosedur pengukuran yang dilakukan merujuk pada Susanto (1994). Selang, Waktu, dan Pengamatan Pengukuran laju naiknya muka air tanah di dalam lubang pengamatan dilakukan berdasarkan selang waktu (dt), atau selang kenaikan muka air tanah yang tetap (dYt). Untuk meningkatkan ketepatan hasil pengamatan dan mengurangi pengaruh ketidakteraturan di lapangan, maka diambil lima pembacaan kenaikan muka air tanah. Alat ukur waktu (stopwatch) digunakan dalam pengukuran dengan selang dYt yang tetap. Selang waktu (dt) yang dipilih bergantung pada permeabilitas tanah, dalam penelitian ini diambil 30 detik. Pengukuran untuk waktu yang terlalu lama dihindari karena funnel shaped drawdown yang terbentuk pada bagian atas lubang pada saat pengisian kembali akan terlalu besar. Hal ini akan menurunkan nilai aktual dan berpengaruh pada penurunan laju kenaikan muka air di dalam lubang. Jika faktor K di hitung dari nilai H, maka akan memberikan nilai K yang terlalu rendah. Pengukuran dihentikan ketika tidak lebih dari 25 % volume air yang dikeluarkan sudah terisi kembali. Dengan kata lain, pengukuran dihentikan sebelum Yn < ¾ Y0, atau yang lebih mudah di hitung yaitu sebelum dY > ¼ Y0. Prosedur Pengeboran lubang auger menggunakan bor dengan jenis mata pisau terbuka, karena jenis ini hanya sedikit memberikan pelumpuran pada dinding lubang, selain itu proses pengeboran akan lebih cepat dibandingkan dengan jenis mata bor pisau tertutup. 37 Gambar 13 Skema pengukuran laju naiknya muka air tanah pada lubang auger. Keterangan gambar: D : Kedalaman lubang auger. D’ : Jarak antara standard dan dasar lubang auger. H : Kedalaman lubang auger di bawah muka air tanah. W : Kedalaman muka air tanah di bawah permukaan tanah. W’ : Jarak antara standard dan muka air tanah. Y0 : Jarak antar muka air tanah dan muka air di dalam lubang auger pada pembacaan pertama setelah pembuangan air. Yn : Jarak yang sama pada akhir pengukuran, umumnya diambil lima kali pembacaan. 38 dY : Kenaikan muka air tanah di dalam lubang auger selama pengamatan, ∑dYt = Yn – Y0. Y : Jarak antara muka air tanah dan rata-rata muka air di dalam lubang auger selama pengamatan, Y = Yn − Y0 = Y0 – 0,5 dY. 2 r : Jari-jari lubang auger. S : Kedalaman lapisan kedap air dari dasar lubang auger. Prosedur pengukuran laju naiknya muka air tanah adalah sebagai berikut: a. Standar diletakkan sedemikian rupa di dekat lubang auger, sehingga pelampung dan pita baca (meteran) tepat tegak lurus di atas lubang auger; b. Pelampung dan pita baca diturunkan ke permukaan air tanah, dan kedalaman muka air tanah dicatat; c. Pelampung dan pita baca dikeluarkan dengan hati-hati dan standar diubah posisinya sehingga tabung pembuang (bailer) dapat dimasukkan ke lubang auger; d. Air dikeluarkan dari lubang auger dengan menggunakan tabung pembuang hingga muka air tanah turun sekitar 20-40 cm (ini dapat dicapai dengan satu atau dua kali pembuangan); e. Standar dikembalikan ke posisi semula, pelampung dan pita baca diletakkan kembali ke permukaan air di dalam lubang auger, pembacaan dimulai sesegera mungkin; f. Kira-kira lima pembacaan diambil untuk selang waktu tertentu. Apabila pita baca menempel pada sisi lubang auger, maka pita baca harus digoyang. Pembacaan dilakukan dengan posisi pita baca pada standar (40 cm di atas permukaan tanah); dan g. Semua pembacaan, termasuk kedalaman dan jari-jari lubang auger diukur. 39 5. Pengamatan Curah Hujan Pengamatan curah hujan dilakukan setiap hari dengan alat penakar curah hujan biasa. Pada masing-masing lokasi penelitian dipasang satu alat penakar hujan yang dilengkapi dengan gelas ukur. 6. Pengamatan Suhu Pengamatan suhu dilakukan dengan menggunakan termometer. Pengamatan dilakukan setiap hari untuk mendapatkan informasi tentang suhu maksimum dan minimum. Lokasi pengamatan berada pada titik yang sama dengan pengamatan curah hujan. Metode Deskripsi Karakteristik Lahan Rawa Pasang Surut Karakteristik lahan rawa pasang surut yang dikaji dalam penelitian ini meliputi: 1. Kondisi iklim: curah hujan dan suhu; 2. Sistem drainase; 3. Hidrotopografi lahan; 4. Sifat fisik tanah: tekstur tanah dan konduktivitas hidrolik tanah; 5. Sifat kimia tanah: lapisan pirit; dan 6. Fluktuasi muka air tanah. Data karakteristik lahan rawa pasang surut dianalisis dengan metode analisis deskriptif. Hasil analisis disajikan dalam bentuk grafik dan peta. Evapotranspirasi dihitung dengan menggunakan Software ETo Versi 1.0, nilai konduktivitas hidrolik tanah dihitung dengan formula matematika, sedangkan pembuatan peta sebaran spasial dilakukan dengan menggunakan Software ArcView GIS dengan teknik interpolasi. 40 Perhitungan Evapotranspirasi Perhitungan evapotranspirasi harian dilakukan dengan menggunakan Software ETo Versi 1.0, metode yang dipilih yaitu Penman Monteith. Parameter yang digunakan dalam perhitungan adalah: Karakteristik stasiun, meliputi: negara, latitude, longitude, dan altitude. Suhu udara maksimum dan minimum harian. Parameter lain dan nilai koefisien yang digunakan dalam perhitungan diasumsikan (default). Perhitungan Nilai Konduktivitas Hidrolik Tanah Prosedur perhitungan nilai K (konduktivitas hidrolik tanah) merujuk pada Susanto (1994). Nilai K akan dihitung dengan menggunakan persamaan matematika. Hubungan antara faktor dan laju naiknya muka air tanah (dY/dt) dapat digambarkan sebagai berikut : K = c. dY dt (1) dengan C adalah fungsi dari Y, H, r, dan S yang dapat dibaca dari grafik. Selain menghitung nilai-nilai K untuk setiap dYt, pengukuran-pengukuran tersebut dapat dirata-ratakan sebelum mencari nilai C dari grafik, dengan catatan ∑dYt < ¼ Y0 dan antara pembacaan yang satu dengan lainnya tidak begitu jauh berbeda. Selain dengan metode grafik, perhitungan nilai K dapat juga dilakukan dengan menggunakan persamaan matematika. Namun demikian, sebuah persamaan jarang digunakan untuk menghitung keterhantaran hidrolik tanah karena kemudahan penggunaan grafik-grafik yang sudah tersedia. Salain itu, tidak seperti persamaan, grafik-grafik boleh digunakan untuk selang nilai Y dan H yang cukup besar, dan ternyata lebih tepat, perbedaannya dapat mencapai 20%. Persamaan berikut ini diperoleh dari tanah yang homogen dengan lapisan kedap air pada kedalaman tertentu, S ≥ ½ H, di bawah bagian dasar dari lubang auger (Ernst, 1950 dalam Susanto, 1994). 41 4000 r dY Y ⎞ ⎛H ⎞⎛ ⎜ + 20 ⎟⎜ 2 − ⎟ Y dt H⎠ ⎝ r ⎠⎝ K= (2) Persamaan (2) menunjukkan suatu pernyataan empiris dari sejumlah pembentukan baru. Formula tersebut tidak menunjukkan hubungan yang jelas yang seharusnya timbul secara teoritis antarkondisi yang berbeda, meskipun nilai K yang diperoleh cukup tepat (kesalahan maksimum 20%), jika kondisi berikut terpenuhi, 3 < r < 7 cm 20 < H < 200 cm Y > 0,2 H S>H dY ≤ ¼ Y0 Persamaan (2) dapat juga ditulis dalam bentuk lain, yang memungkinkan perhitungan: 4000 r 2 dY K= (H + 20r )⎛⎜ 2 − Y ⎞⎟ Y dt H⎠ ⎝ (3) Bila lapisan kedap berada pada bagian bawah dari lubang auger (S = 0), maka persamaan berikut dapat digunakan: K= 3600 r 2 dY (H + 10r )⎛⎜ 2 − Y ⎞⎟ Y dt H⎠ ⎝ (4) Dalam persamaan-persamaan di atas, nilai K dinyatakan dalam m/hari (24 jam), sedangkan parameter-perameter lainnya dinyatakan dalam cm atau detik. Interpolasi Titik Teknik interpolasi digunakan dalam pembuatan peta sebaran spasial topografi lahan, kedalaman lapisan liat, kedalaman lapisan pirit, dan konduktivitas 42 hidrolik tanah. Metode yang digunakan dalam pembuatan peta sebaran spasial yaitu dengan pendekatan interpolasi non linier. Dalam pendekatan tersebut digunakan model pembobotan (weighting model). Model pembobotan mengasumsikan bahwa titik yang nilainya akan diduga dipengaruhi oleh nilai titik lain yang berdekatan secara spasial. Inti dari model pembobotan yaitu menganalisis titik pengamatan dalam suatu ruang ketetanggaan yang menggambarkan kemiripan di antara titik-titik tersebut. Karena model pembobotan merupakan model ruang lokal, maka teknik pencarian (searching) yang digunakan adalah dengan menetapkan jumlah titik pengamatan yang berada di sekitarnya, atau menggunakan teknik pencarian dalam radius tertentu. Nilai elevasi (z) untuk setiap titik akan diboboti dengan kuadrat jarak sehingga nilai yang dekat secara spasial akan cenderung mempengaruhi nilai pada titik yang diamati. Teknik ini dikenal dengan teknik Inverse Distance Weighting (IDW). Persamaan umum yang digunakan dalam teknik IDW adalah sebagai berikut: n zˆ 0 = ∑w z i =1 n i i ∑w i =1 i ; wi = 1 d i20 (5) dengan ẑ 0 = Nilai yang akan diduga. zi = Nilai penduga ke-i. wi = Nilai pembobot ke-i. d i 0 = Jarak antara titik pengamatan ke-i dengan titik yang akan diduga. Proses analisis dengan pendekatan interpolasi yang diuraikan di atas dilakukan dengan menggunakan Software ArcView GIS 3.3 dengan program Spatial Analyst. 43 Pemodelan Muka Air Tanah pada Lahan Rawa Pasang Surut Model penduga muka air tanah pada lahan rawa pasang surut dibangun melalui tahapan pemodelan seperti ditunjukkan pada Gambar 14. Identifikasi Sistem Formulasi Masalah Inventarisasi Data Survei Lapangan Data Sekunder Data Primer Database Pemodelan Model Baku Model Modifikasi Verifikasi Validasi Model Terpilih Gambar 14 Tahapan pemodelan muka air tanah pada lahan rawa pasang surut. 44 Kajian Teoritis 1. Model Ellips Banyak fenomena pergerakan benda di alam ini yang lintasannya berbentuk ellips. Ketepatan perhitungan terjadinya gerhana bulan atau juga gerhana matahari, salah satu diantaranya karena lintasannya yang eliptik. Pergerakan muka air tanah (water table) yang fluktuatif pada lahan di antara dua saluran juga dapat diilustrasikan melalui bentuk ellips. Secara matematis, ellips merupakan tempat kedudukan atau himpunan titik-titik pada bidang datar yang mempunyai jumlah jarak tertentu terhadap dua titik tertentu. Dua titik tertentu yang dimaksud tersebut yaitu fokus ellips. Pada Gambar 15, F1 dan F2 merupakan titik-titik fokus ellips. Kedua titik tersebut terletak pada sumbu X dan saling simetris terhadap sumbu Y. Jarak kedua titik adalah 2c. Y W1(0,b) T(x,y) V2(-a,0) F2(-c,0) F1(c,0) V1(a,0) X W2(0,-b) Gambar 15 Model Ellips. Misalkan jumlah jarak dari setiap titik T(x,y) ke F1 dan F2 adalah 2a, maka diperoleh persamaan ellips sebagai berikut x2 y2 + = 1 dengan a 2 − b 2 = c 2 (a, b, dan c > 0) a2 b2 (6) Jika y = 0 maka x = ± a, dan jika x = 0 maka y = ± b. Dari hubungan a, b, dan c tampak bahwa a > b dan a > c. 45 Sumbu yang melalui fokus dinamakan sumbu utama ellips, sedangkan sumbu yang tegak lurus sumbu utama dinamakan sumbu sekawan ellips. Perpotongan kedua sumbu ellips disebut sebagai pusat ellips. Ellips memotong sumbu X di V1(a,0) dan V2(-a,0), kedua titik tersebut dinamakan puncak ellips. Selanjutnya, ellips memotong sumbu Y di W1(0,b) dan W2(0,-b), kedua titik tersebut dinamakan puncak sekawan ellips. Ruas garis V1V2 dinamakan sumbu panjang ellips (sumbu mayor), panjangnya 2a, sedangkan ruas garis W1W2 dinamakan sumbu pendek ellips (sumbu minor), panjangnya 2b. Garis yang melalui titik fokus dan tegak lurus sumbu utama ellips merupakan talibusur terpendek yang melalui titik fokus. Ruas garis tersebut 2b 2 dinamakan latus rectum (LR) ellips, panjangnya adalah . a 2 Dari a 2 − b 2 = c 2 , diperoleh b c ⎛c⎞ = 1 − ⎜ ⎟ . Nilai < 1 , nilai itu disebut a a ⎝a⎠ eksentrisitas ellips (e). Makin besar nilai e, maka b makin kecil, atau semakin a relatif kecil terhadap a, akibatnya ellips semakin pipih. Oleh karena itu, e juga merupakan faktor kepipihan ellips. Dalam keadaan khusus, persamaan yang terbentuk bukan lagi persamaan ellips, yaitu: b = 1 atau b = a, sehingga yang terbentuk adalah lingkaran; a Jika e = 0, maka Kedua fokus ellips berimpit dengan pusat ellips. Jika c b = 1 , maka =0 a a atau b = 0, sehingga yang terbentuk adalah garis lurus. 2. Model Ellips Kirkham Kirkham (1967) dalam van Schilfgaarde (1974) merumuskan persamaan jarak antar saluran yang diilustrasikan melalui bentuk ellips (Gambar 16) sebagai berikut: 46 ( z + hw ) 2 − hw2 = R (2 sx − x 2 ) K (7) dengan hw = Tinggi air pada saluran di atas lapisan kedap. z + hw = Tinggi muka air tanah di atas lapisan kedap. x = Jarak dari saluran. R = Curah hujan. K = Konduktivitas hidrolik tanah. 2s = Jarak antar saluran. R z K hw y F H F x s s Gambar 16 Bentuk saluran dan Ellips Kirkham. Persamaan (7) didasarkan pada teori Dupuit-Forchheimer (D-F) yang membuat dua asumsi: 1. Untuk kemiringan yang kecil pada permukaan bebas (free surface), streamline dapat diambil seperti horisontal; dan 2. Velositas yang berhubungan dengan streamline proporsional dengan lereng permukaan bebas, tetapi tidak tergantung pada kedalaman. Kirkham (1967) menunjukkan bahwa asumsi-asumsi tersebut memberikan hasil yang nyata jika diaplikasikan pada tanah yang memiliki konduktivitas tak hingga (infinite conductivity) dengan arah vertikal. Untuk jenis tanah yang lain, 47 kedua asumsi tersebut memberikan hasil prakiraan. Konduktivitas vertikal yang tak hingga diprakirakan melalui tanah yang memiliki banyak lubang cacing, lubang akar, dan retakan. Tinggi muka air tanah maksimum (Hm) terletak pada pusat ellips, diperoleh pada saat x = s. Jarak antar saluran (2s) dinyatakan dengan persamaan: s= 3. K ( H m2 − hw2 ) dengan H m = H + hw R (8) Model Penduga Air Rembesan Lateral Chescheir et al. (1986) telah mengembangkan metode prakiraan untuk mengukur air rembesan lateral dari dan ke kolom saluran. R h1 Q1 K hm Q2 h2 L Gambar 17 Aliran di antara saluran paralel dengan infiltrasi tetap. Chescheir et al. telah merumuskan solusi untuk air rembesan lateral dari dan ke kolom saluran melalui penyelesaian persamaan secara simultan untuk aliran paralel antar saluran. Persamaan penting untuk aliran di antara dua saluran sejajar dengan infiltrasi tetap (Gambar 17) ditulis sebagai berikut: d 2h R +2 =0 2 K dx dengan (9) 48 h = Tinggi muka air tanah (m). R = Laju infiltrasi tetap (m/jam). K = Konduktivitas hidrolik tanah (m/jam). L = Jarak antar saluran (m). Kondisi pembatas untuk Persamaan (9) adalah h(0) = h1 dan h(L) = h2. Hal ini mengikuti Marino dan Luthin (1982) bahwa persamaan untuk bentuk muka air tanah h(x), tinggi muka air tanah maksimum (hm), dan aliran ke saluran (Q1 dan Q2) adalah: h 2 ( x) = h12 + Rx( L − x) (h12 − h22 ) x − K L (10) hm2 = h12 + h22 RL2 K + + (h12 − h22 ) 2 2 4 K 4 RL2 (11) Q1 = RL K 2 − (h1 − h22 ) 2 2L (12) Q2 = RL K 2 + (h1 − h22 ) 2 2L (13) Penyelesaian Persamaan (11) untuk R menghasilkan: R= K (2hm2 − h12 − h22 + 2 h12 h22 − h12 hm2 − h22 hm2 + hm4 ) (14) L2 Persamaan (14) akan menjadi Persamaan Hooghoudt (15) jika d=h1=h2 dan m = hm – d, sehingga R= 4 Km(2d + m) L2 (15) Solusi tersebut menggunakan asumsi Dupuit-Forchheimer dan menganggap bahwa kedalaman kedua saluran sampai pada lapisan kedap. Jika h1 = h2 = hw, maka Persamaan (10) akan sama seperti Persamaan Kirkham (7), yaitu h 2 ( x) = hw2 + Rx( L − x) K (16) 49 untuk h 2 ( x) = ( z + hw ) 2 dan L = 2s. Tinggi muka air tanah rata-rata dapat ditentukan dengan mengintegralkan Persamaan (10) dengan batas atas yaitu jarak antar saluran. L ha = ∫ 0 Rx( L − x) (h12 − h22 ) x − h + K L dx L 2 1 (17) Integral tersebut diselesaikan secara numerik dengan menggunakan aturan trapezoid. Metode prakiraan untuk mengukur air rembesan lateral dari dan ke kolom saluran yang dikembangkan oleh Chescheir et al. (1986) telah dibandingkan dengan solusi elemen hingga yang berdimensi dua dari Persamaan Richard, dan menunjukkan hasil yang sama baiknya. Oleh karena itu, metode prakiraan Chescheir et al. (1986) telah digabungkan ke dalam model pengelolaan air, yaitu model DRAINMOD. Deskripsi Model Pemodelan muka air tanah pada lahan rawa pasang surut dilakukan di petak tersier, yaitu pada petak lahan di antara dua saluran tersier yang sejajar seperti yang dapat dilihat pada Gambar 18. Lahan usahatani di daerah reklamasi rawa pasang surut Delta Telang I dan Delta Saleh terdiri dari beberapa blok. Tata nama diberikan sesuai dengan hirarki dalam sistem jaringan tata air. Lahan yang berada di antara dua saluran sekunder (SPD dan SDU) disebut sebagai blok sekunder, sedangkan lahan yang berada di antara dua saluran tersier disebut sebagai petak tersier. Dalam satu blok sekunder terdapat 17 saluran tersier, atau terdapat 16 petak tersier. Luas lahan usahatani dalam satu petak tersier yaitu 16 hektar, sehingga total lahan usahatani dalam satu blok sekunder yaitu seluas 256 hektar. Dalam sistem pengelolaan air, setiap petak tersier merupakan satu unit sistem pengelolaan air. 50 Gambar 18 Deskripsi model area. Identifikasi Sistem Fluktuasi Muka Air Tanah Fluktuasi muka air tanah pada lahan rawa pasang surut dapat diilustrasikan melalui diagram causal loop seperti pada Gambar 19. Muka air tanah pada lahan rawa pasang surut berfluktuasi menurut ruang dan waktu. Fluktuasi muka air tanah dipengaruhi oleh curah hujan, evapotranspirasi, dan tinggi muka air di saluran yang berfluktuasi akibat pasang surut air laut. Muka Air Tanah ET Muka Air di Saluran Tersier Muka Air di Saluran Sekunder Muka Air di Sungai Utama Muka Air di Saluran Primer Curah Hujan Pasang Surut Air Laut Gambar 19 Diagram causal loop fluktuasi muka air tanah pada lahan rawa pasang surut. 51 Curah hujan yang jatuh di permukaan tanah, sebagian akan masuk ke dalam tanah, dan sebagian yang lain akan mengalir di atas permukaan tanah. Air hujan yang masuk ke dalam tanah melalui proses infiltrasi akan dapat meningkatkan muka air tanah. Sebagian dari air yang masuk tersebut akan bergerak di bawah permukaan tanah kemudian menuju ke sungai dan kembali ke laut. Pada bagian yang lain, tingginya suhu udara akan mendorong terjadinya proses evapotranspirasi. Proses ini dapat menurunkan muka air tanah, sebab air yang tersimpan di dalam tanah akan berkurang karena terjadi penguapan. Pengisian air di dalam tanah oleh air hujan dan pelepasan air karena proses evapotranspirasi akan menyebabkan terjadinya fluktuasi muka air tanah. Faktor lain yang juga menyebabkan terjadinya fluktuasi muka air tanah yaitu fluktuasi muka air di saluran karena pengaruh pasang surut air laut. Air di saluran akan merembes masuk dan keluar lahan melalui aliran lateral. Kecepatan aliran air yang merembes masuk dan keluar lahan tersebut tergantung pada konduktivitas hidrolik tanah dan jarak antar saluran. Formulasi Skema Fisik Muka Air Tanah Skema fisik muka air tanah pada petak lahan rawa pasang surut di antara dua saluran tersier yang sejajar dapat dilihat pada Gambar 20 dan 21. R ET Saluran Tersier Saluran Tersier x h1 h(x) K h2 2s Gambar 20 Skema fisik muka air tanah di petak tersier lahan rawa pasang surut pada kondisi 0 ≤ ET < R . 52 ET Saluran Tersier Saluran Tersier x h1 h(x) K h2 2s Gambar 21 Skema fisik muka air tanah di petak tersier lahan rawa pasang surut pada kondisi R = 0 dan ET > 0. Parameter-parameter yang digunakan dalam membangun model penduga muka air tanah pada lahan rawa pasang surut yaitu: Tinggi muka air tanah pada jarak x dari saluran (h(x)); Tinggi muka air di saluran tersier (h1 dan h2); Curah hujan (R); Evapotranspirasi (ET); Konduktivitas hidrolik tanah (K); Jarak antar saluran tersier (2s); dan Lebar saluran (ℓ). Formulasi Model Matematika Model penduga muka air tanah pada lahan rawa pasang surut dibangun berdasarkan model matematika yang telah dirumuskan sebelumnya, yaitu model Kirkham (Kirkham, 1967 dalam van Schilfgaarde, 1974). Selain menggunakan asumsi yang sama dengan model kirkham, model yang dibangun juga mengintroduksi konsep “mirror image”. Persamaan matematika untuk model penduga muka air tanah pada lahan rawa pasang surut diformulasikan berdasarkan konsep ellips, namun berbeda dengan konsep ellips pada model Kirkham. Pada model ellips yang diilustrasikan 53 oleh Kirkham, dua buah saluran di dalam ellips diletakkan secara bebas, batas tepi saluran tidak ada yang terikat dengan titik-titik utama ellips (titik fokus dan titik puncak ellips). Berbeda dengan konsep yang dikembangkan oleh Kirkham, model penduga muka air tanah yang dibangun dalam penelitian ini menempatkan batas tepi saluran pada titik-titik utama ellips. Simulasi Model Simulasi model dilakukan dengan menggunakan data pengamatan periode April 2006 hingga Maret 2007. Dengan simulasi akan dapat diketahui pengaruh dari masing-masing parameter model. Selanjutnya, parameter yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap model dapat dijadikan sebagai parameter utama dalam pengendalian muka air tanah di petak lahan. Validasi Model Validasi model meliputi validasi struktur (formulasi matematik) dan validasi hasil. Untuk validasi hasil dilakukan dengan menggunakan data pengamatan periode April 2007 hingga Maret 2008. Validasi model dilakukan untuk mengukur kehandalan model dalam menduga muka air tanah. Tingkat kehandalan model dalam pendugaan ditentukan dari: 1) Nilai koefisien korelasi (R) antara hasil dugaan dan pengamatan; serta 2) Galat baku pendugaan atau Root Mean Square Error (RMSE). Model yang handal dicirikan oleh nilai R yang relatif besar dan RMSE hasil pendugaan relatif kecil. Semakin besar nilai R dan/atau semakin kecil nilai RMSE, maka model yang dihasilkan semakin baik. Kedua nilai tersebut diperoleh dari persamaan berikut: N R= ∑ (x i =1 N ∑ (x i =1 dan i i − x )( y i − y ) − x) 2 (18) N ∑(y i =1 i − y) 2 54 N RMSE = ∑(y i =1 i − xi ) 2 N (19) dengan yi = Nilai pengamatan pada waktu ke-i. y = Nilai rata-rata pengamatan. xi = Nilai dugaan pada waktu ke-i. x = Nilai rata-rata dugaan. N = Jumlah pengamatan. Penyusunan Skenario Pengaturan Tata Air Dalam kegiatan usahatani, petani pada lahan rawa pasang surut dihadapkan pada permasalahan muka air tanah di petak lahan yang berfluktuasi. Skenario pengaturan tata air merupakan petunjuk teknis yang dapat diterapkan di lapangan sebagai salah satu upaya untuk mengendalikan muka air tanah di petak lahan yang fluktuatif. Skenario tersebut dibuat sebagai panduan, terutama bagi petani, dalam melakukan pengaturan tata air. Skenario pengaturan tata air dibuat berdasarkan model penduga muka air tanah yang telah dibangun. Kriteria utama dalam penyusunan skenario pengaturan tata air yaitu dapat diterapkan oleh petani, dan parameter-parameter yang digunakan dapat dikenali serta terukur. Skenario pengaturan tata air yang dibuat dibatasi pada pengendalian muka air tanah untuk menciptakan kondisi yang diinginkan, sehingga hanya menyajikan hubungan antara kedalaman muka air tanah di petak lahan dengan parameterparameter tertentu sebagai pengendali. Sebagai ilustrasi, jika petani menginginkan kondisi muka air tanah di petak lahan pada kedalaman tertentu, maka langkah apa yang harus dilakukan oleh petani. Parameter-parameter pengendali tersebut dapat diketahui setelah dilakukan simulasi model. 55 Strategi Pengelolaan SDA dan Lingkungan pada Lahan Rawa Pasang Surut Selain muka air tanah di petak lahan yang fluktuatif, petani pada lahan rawa pasang surut juga dihadapkan pada masalah bahan sulfat masam atau bahan pirit yang terletak di bawah permukaan tanah. Pada penelitian ini, strategi pengelolaan sumber daya alam pada lahan rawa pasang surut ditekankan pada aspek pengembangan sistem usahatani, yaitu upaya peningkatan produksi dan indeks pertanaman (IP), sedangkan untuk pengelolaan lingkungan ditekankan pada pengendalian lapisan pirit agar tidak membahayakan tanaman. Strategi pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang dibangun meliputi: 1. Pengendalian muka air tanah sesuai dengan zona perakaran tanaman untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman; dan 2. Pengendalian lapisan pirit yang ada di bawah permukaan tanah agar tidak sampai teroksidasi, sebab oksidasi pirit akan menghasilkan asam sulfat yang bersifat racun bagi tanaman. Strategi pengembangan sistem usahatani pada lahan rawa pasang surut ditekankan pada aspek teknis, yaitu pengelolaan air, dalam upaya peningkatan produksi pertanian dan indeks pertanaman (IP). Strategi tersebut dibangun berdasarkan sistem usahatani yang diterapkan dan pola fluktuasi muka air tanah di petak lahan. Strategi yang dibangun meliputi waktu tanam, kedalaman muka air tanah pada saat musim tanam, sistem usahatani yang diterapkan, dan teknik pengaturan tata air. Untuk pengendalian lapisan pirit, strategi yang dibangun juga ditekankan pada aspek teknis, yaitu pengelolaan air. Strategi tersebut meliputi waktu tanam, teknik pengaturan tata air untuk pengendalian lapisan pirit agar tidak teroksidasi, dan teknik pengaturan tata air untuk meningkatkan kualitas lahan dan air setelah terjadi oksidasi pirit. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian dan pembahasan dikelompokkan atas 3 bagian utama, yaitu karakteristik lahan rawa pasang surut, pemodelan muka air tanah, serta pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan pada rawa pasang surut. Karakteristik Lahan Rawa Pasang Surut Karakteristik lahan rawa pasang surut yang dikaji dalam penelitian ini yaitu kondisi iklim, sistem drainase, kondisi hidrotopografi lahan, dan sifat fisik tanah. Kondisi iklim yang dikaji yaitu curah hujan dan suhu, sedangkan kajian sifat fisik tanah meliputi tekstur tanah dan konduktivitas hidrolik tanah. Kondisi Iklim Karakteristik iklim di daerah rawa pasang surut Delta Telang I dan Delta Saleh termasuk dalam kategori hujan tropis, kondisi panas dan lembab terjadi sepanjang tahun. Kawasan tersebut terletak pada zone Agroklimat C1 dengan ratarata curah hujan tahunan yaitu sekitar 2.400 mm. Parameter iklim yang digunakan dalam membangun model penduga muka air tanah pada lahan rawa pasang surut yaitu curah hujan dan suhu. Curah Hujan Curah hujan merupakan salah satu parameter iklim yang mempengaruhi terjadinya fluktuasi muka air tanah. Air hujan yang jatuh di petak lahan akan masuk ke dalam tanah melalui proses infiltrasi. Akibatnya, volume air di dalam tanah akan bertambah dan ini akan berimplikasi pada kedalaman muka air tanah. Untuk melihat besarnya pengaruh curah hujan terhadap kedalaman muka air tanah, maka dilakukan pengamatan curah hujan setiap hari. Curah hujan di ukur dengan alat penakar curah hujan biasa. Grafik curah hujan harian pada masing-masing lokasi penelitian disajikan pada Gambar 22. 56 57 Curah Hujan Harian di P8-12S Delta Telang I April 2006 - Maret 2008 60 55 50 Curah Hujan (mm) 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Apr '06 May '06 Jun '06 Jul '06 Aug '06 Sep '06 Oct '06 Nov '06 Dec '06 Jan '07 Feb '07 Mar '07 Apr '07 May '07 Jun '07 Jul '07 Aug '07 Sep '07 Oct '07 Nov '07 Dec '07 Jan '08 Feb '08 Mar '08 Oct '07 Nov '07 Dec '07 Jan '08 Feb '08 Mar '08 Oct '07 Nov '07 Dec '07 Jan '08 Feb '08 Mar '08 Waktu (Hari) Curah Hujan Harian di P6-3N Delta Telang I April 2006 - Maret 2008 60 55 50 Curah Hujan (mm) 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Apr '06 May '06 Jun '06 Jul '06 Aug '06 Sep '06 Oct '06 Nov '06 Dec '06 Jan '07 Feb '07 Mar '07 Apr '07 May '07 Jun '07 Jul '07 Aug '07 Sep '07 Waktu (Hari) Curah Hujan Harian di P10-2S Delta Saleh April 2006 - Maret 2008 60 55 50 Curah Hujan (mm) 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Apr '06 May '06 Jun '06 Jul '06 Aug '06 Sep '06 Oct '06 Nov '06 Dec '06 Jan '07 Feb '07 Mar '07 Apr '07 May '07 Jun '07 Jul '07 Aug '07 Sep '07 Waktu (Hari) Gambar 22 Curah hujan harian di P8-12S, P6-3N, dan P10-2S. 58 Secara umum, pola curah hujan di ketiga lokasi penelitian relatif sama. Curah hujan di atas 200 mm per bulan terjadi dalam 3-4 bulan, sedangkan curah hujan kurang dari 100 mm per bulan juga terjadi dalam 3-4 bulan. Distribusi curah hujan tidak beraturan, kadang-kadang hujan terkonsentrasi pada waktu tertentu, sementara pada waktu yang lain jarang terjadi hujan. Kondisi kering biasanya berlangsung beberapa minggu, terjadi baik pada saat musim hujan maupun musim kemarau. Musim hujan terjadi pada bulan Oktober-April, dan musim kemarau terjadi pada bulan Mei-September. Suhu Selain curah hujan, suhu udara juga merupakan salah satu parameter iklim yang mempengaruhi terjadinya fluktuasi muka air tanah. Suhu udara memiliki peran penting dalam proses evapotranspirasi (ET). Air yang tersimpan di dalam tanah sebagian akan menguap ke udara melalui proses evapotranspirasi. Dengan terjadinya proses penguapan, maka akan mengakibatkan terjadinya penurunan muka air tanah. Pengamatan suhu udara di ketiga lokasi penelitian dilakukan setiap hari dengan menggunakan termometer. Pengamatan dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang suhu maksimum dan minimum. Lokasi pengamatan berada pada titik yang sama dengan pengamatan curah hujan. Karena suhu udara berubah secara kontinu, maka data pengamatan suhu udara maksimum dan minimum bersifat relatif. Grafik suhu udara harian maksimum dan minimum pada masing-masing lokasi penelitian disajikan pada Gambar 23. Rata-rata suhu udara di ketiga lokasi penelitian yaitu 28°C, namun kisaran suhu udara minimum dan maksimum berbeda. Suhu udara di P8-12S berkisar antara 19-34°C. Sementara itu, suhu udara di P6-3N berkisar antara 20-35°C, sedangkan suhu udara di P10-2S berkisar antara 21-35°C. Evapotranspirasi harian yang dihitung dengan metode Penman Monteith menggunakan Software ETo dapat dilihat pada Gambar 24. 59 Suhu Udara di P8-12S Delta Telang I April 2006 - Maret 2008 40 35 Suhu (o C) 30 25 20 15 10 5 0 Apr '06 May '06 Jun '06 Jul '06 Aug '06 Sep '06 Oct '06 Nov '06 Dec '06 Jan '07 Feb '07 Mar '07 Apr '07 May '07 Jun '07 Jul '07 Aug '07 Sep '07 Oct '07 Nov '07 Dec '07 Jan '08 Feb '08 Mar '08 Sep '07 Oct '07 Nov '07 Dec '07 Jan '08 Feb '08 Mar '08 Sep '07 Oct '07 Nov '07 Dec '07 Jan '08 Feb '08 Mar '08 Waktu (Hari) Minimum Maksimum Suhu Udara di P6-3N Delta Telang I April 2006 - Maret 2008 40 35 Suhu (o C) 30 25 20 15 10 5 0 Apr '06 May '06 Jun '06 Jul '06 Aug '06 Sep '06 Oct '06 Nov '06 Dec '06 Jan '07 Feb '07 Mar '07 Apr '07 May '07 Jun '07 Jul '07 Aug '07 Waktu (Hari) Minimum Maksimum Suhu Udara di P10-2S Delta Saleh April 2006 - Maret 2008 40 35 Suhu (o C) 30 25 20 15 10 5 0 Apr '06 May '06 Jun '06 Jul '06 Aug '06 Sep '06 Oct '06 Nov '06 Dec '06 Jan '07 Feb '07 Mar '07 Apr '07 May '07 Jun '07 Jul '07 Aug '07 Waktu (Hari) Minimum Maksimum Gambar 23 Suhu udara maksimum dan minimum harian di P8-12S, P6-3N, dan P10-2S. 60 Evapotranspirasi Harian di P8-12S Delta Telang I 7.0 6.5 6.0 5.5 Evapotranspirasi (mm) 5.0 4.5 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 Apr '06 May '06 Jun '06 Jul '06 Aug '06 Sep '06 Oct '06 Nov '06 Dec '06 Jan '07 Feb '07 Mar '07 Feb '07 Mar '07 Feb '07 Mar '07 Waktu (Hari) Evapotranspirasi Harian di P6-3N Delta Telang I 7.0 6.5 6.0 5.5 Evapotranspirasi (mm) 5.0 4.5 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 Apr '06 May '06 Jun '06 Jul '06 Aug '06 Sep '06 Oct '06 Nov '06 Dec '06 Jan '07 Waktu (Hari) Evapotranspirasi Harian di P10-2S Delta Saleh 7.0 6.5 6.0 5.5 Evapotranspirasi (mm) 5.0 4.5 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 Apr '06 May '06 Jun '06 Jul '06 Aug '06 Sep '06 Oct '06 Nov '06 Dec '06 Jan '07 Waktu (Hari) Gambar 24 Evapotranspirasi harian di P8-12S, P6-3N, dan P10-2S. 61 Sistem Drainase Delta Telang I dan Delta Saleh merupakan kawasan yang diapit oleh beberapa sungai besar (lihat Gambar 7). Sistem sungai dan anak sungai yang ada di Delta Telang I yaitu Sungai Musi, Sungai Telang, Sungai Karang Anyar, dan Sungai Sebalik, sedangkan sistem sungai dan anak sungai yang ada di Delta Saleh yaitu Sungai Musi, Sungai Upang, Sungai Saleh, dan Sungai Kumbang. Semua sistem sungai dan anak sungai tersebut secara langsung dipengaruhi oleh pasang surut air laut di Selat Bangka. Sistem jaringan tata air yang dibangun di Delta Telang I dan Delta Saleh terhubung dengan sistem sungai tersebut. Pada tahap awal reklamasi daerah rawa pasang surut di Delta Telang I dan Delta Saleh, jaringan tata air atau sistem drainase yang dirancang oleh LAPI-ITB pada tahun 1976 didasarkan pada sistem drainase saluran terbuka dengan menggunakan saluran primer sebagai saluran navigasi yang tegak lurus dan terhubung langsung ke sungai utama, jarak antar saluran primer ± 4.000 meter. Tegak lurus dengan saluran primer dibuat saluran sekunder yang terhubung langsung dengan saluran primer, jarak antar saluran sekunder ± 850 meter. Saluran sekunder dibedakan menjadi dua, yaitu saluran pemberi yang melintasi perkampungan dinamakan saluran pengairan desa (SPD) dan saluran pembuangan dinamakan saluran drainase utama (SDU). Selanjutnya, saluran tersier dibuat tegak lurus dengan saluran sekunder, jarak antar saluran tersier ± 200 meter, berfungsi untuk mengalirkan atau membuang air dari dan ke saluran sekunder. Saluran primer 8 (P8) bermuara ke Sungai Musi di bagian Timur dan Sungai Telang di bagian barat, sedangkan saluran primer 6 (P6) bermuara ke Sungai Musi di bagian Timur dan di bagian barat bermuara ke Sungai Karang Anyar yang merupakan anak Sungai Telang. Saluran primer 10 (P10) bermuara ke Sungai Kumbang di bagian Timur dan Sungai Upang di bagian barat. Saluran sekunder di P8-12S, baik SPD maupun SDU, belum dilengkapi dengan pintu air, sedangkan di P6-3N, saluran sekunder yang telah dilengkapi dengan pintu air yaitu SPD. Untuk P10-2S, di SPD telah ada pintu air, sedangkan di SDU dibuat bendung di kedua ujung saluran. Bendung tersebut dibuat oleh penduduk setempat dengan tujuan untuk mendukung kegiatan usahatani, karena 62 air pasang di saluran tersebut tidak dapat mencapai lahan usahatani. Pada tingkat tersier, hampir semua saluran tersier di ketiga lokasi penelitian telah dilengkapi dengan pintu air, kecuali di P8-12S. Tinggi muka air sungai pada sistem sungai utama dipengaruhi oleh pasang surut air laut di Selat Bangka. Pasang tertinggi di ambang luar Sungai Musi mencapai 3,4 meter MSL, sedangkan muka air terendah berada pada ketinggian 0,5 meter MSL (Dinas Oseanografi TNI AL, 2008). Pasang surut air laut di Selat Bangka yang dicatat di ambang luar Sungai Musi (Stasiun Tanjung Buyut) dapat dilihat pada Gambar 25. Pasang Surut Air Laut di Ambang Luar Sungai Musi (Stasiun Tanjung Buyut) April 2006 - Maret 2008 3.75 3.50 3.25 Ketinggian Air (m, MSL) 3.00 2.75 2.50 2.25 2.00 1.75 1.50 1.25 1.00 0.75 0.50 0.25 0.00 Apr '06 May '06 Jun '06 Jul '06 Aug '06 Sep '06 Oct '06 Nov '06 Dec '06 Jan '07 Feb '07 Mar '07 Apr '07 May '07 Jun '07 Jul '07 Aug '07 Sep '07 Oct '07 Nov '07 Dec '07 Jan '08 Feb '08 Mar '08 Waktu (Hari) Gambar 25 Pasang surut air laut di ambang luar Sungai Musi (Stasiun Tanjung Buyut). Pasang surut muka air di sungai-sungai utama yang terjadi karena pengaruh pasang surut air laut di Selat Bangka menyebabkan terjadinya fluktuasi muka air di saluran, baik saluran primer, sekunder, maupun saluran tersier. Lebih lanjut, fluktuasi muka air di saluran tersebut akan berpengaruh terhadap kondisi muka air tanah di petak lahan. Pada saat pasang, air akan merembes masuk ke dalam lahan secara lateral sehingga ketinggian muka air tanah di petak lahan meningkat. Sebaliknya pada saat surut, air di petak lahan akan kembali merembes ke saluran sehingga muka air tanah akan turun. Kecepatan aliran rembesan tersebut tergantung pada konduktivitas hidrolik tanah. Fluktuasi muka air saluran sekunder di ketiga lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 26 dan 27. 63 Fluktuasi Muka Air di Saluran Sekunder (SPD) April 2006 - Maret 2008 2.50 Tinggi Muka Air (m, MSL) 2.25 2.00 1.75 1.50 1.25 1.00 0.75 0.50 0.25 0.00 -0.25 -0.50 -0.75 Apr '06 May '06 Jun '06 Jul '06 Aug '06 Sep '06 Oct '06 Nov '06 Dec '06 Jan '07 Feb '07 Mar '07 Apr '07 May '07 Jun '07 Jul '07 Aug '07 Sep '07 Oct '07 Nov '07 Dec '07 Jan '08 Feb '08 Mar '08 Waktu (Hari) P8-12S P6-3N P10-2S Gambar 26 Fluktuasi muka air di saluran sekunder (SPD) P8-12S, P6-3N, dan P10-2S. Fluktuasi Muka Air di Saluran Sekunder (SDU) April 2006 - Maret 2008 2.50 Tinggi Muka Air (m, MSL) 2.25 2.00 1.75 1.50 1.25 1.00 0.75 0.50 0.25 0.00 -0.25 -0.50 -0.75 Apr '06 May '06 Jun '06 Jul '06 Aug '06 Sep '06 Oct '06 Nov '06 Dec '06 Jan '07 Feb '07 Mar '07 Apr '07 May '07 Jun '07 Jul '07 Aug '07 Sep '07 Oct '07 Nov '07 Dec '07 Jan '08 Feb '08 Mar '08 Waktu (Hari) P8-12S P6-3N P10-2S Gambar 27 Fluktuasi muka air di saluran sekunder (SDU) P8-12S, P6-3N, dan P10-2S. Gambar 26 dan 27 di atas menunjukkan bahwa fluktuasi muka air di saluran sekunder P8-12S dan P6-3N, baik SPD maupun SDU, memiliki pola yang relatif sama dengan pola pasang surut air laut di ambang luar Sungai Musi, sedangkan fluktuasi muka air di saluran sekunder P10-2S tidak menggambarkan secara utuh kondisi pasang surut yang terjadi di lokasi tersebut. Perbedaan ketinggian muka air di ketiga lokasi penelitian disebabkan karena faktor topografi lahan. P8-12S memiliki topografi lahan yang paling rendah dibandingkan kedua lokasi yang lain, sedangkan P10-2S memiliki topografi lahan yang paling tinggi. 64 Fluktuasi Muka Air di Saluran Sekunder P8-12S Delta Telang I April 2006 - Maret 2008 1.75 Tinggi Muka Air (m, MSL) 1.50 1.25 1.00 0.75 0.50 0.25 0.00 -0.25 -0.50 -0.75 Apr '06 May '06 Jun '06 Jul '06 Aug '06 Sep '06 Oct '06 Nov '06 Dec '06 Jan '07 Feb '07 Mar '07 Apr '07 May '07 Jun '07 Jul '07 Aug '07 Sep '07 Oct '07 Nov '07 Dec '07 Jan '08 Feb '08 Mar '08 Dec '07 Jan '08 Feb '08 Mar '08 Dec '07 Jan '08 Feb '08 Mar '08 Waktu (Hari) SPD SDU Fluktuasi Muka Air di Saluran Sekunder P6-3N Delta Telang I April 2006 - Maret 2008 1.75 Tinggi Muka Air (m, MSL) 1.50 1.25 1.00 0.75 0.50 0.25 0.00 -0.25 -0.50 Apr '06 May '06 Jun '06 Jul '06 Aug '06 Sep '06 Oct '06 Nov '06 Dec '06 Jan '07 Feb '07 Mar '07 Apr '07 May '07 Jun '07 Jul '07 Aug '07 Sep '07 Oct '07 Nov '07 Waktu (Hari) SPD SDU Fluktuasi Muka Air di Saluran Sekunder P10-2S Delta Saleh April 2006 - Maret 2008 Tinggi Muka Air (m, MSL) 2.25 2.00 1.75 1.50 1.25 1.00 Apr '06 May '06 Jun '06 Jul '06 Aug '06 Sep '06 Oct '06 Nov '06 Dec '06 Jan '07 Feb '07 Mar '07 Apr '07 May '07 Jun '07 Jul '07 Aug '07 Sep '07 Oct '07 Nov '07 Waktu (Hari) SPD SDU Gambar 28 Fluktuasi muka air di saluran sekunder P8-12S, P6-3N, dan P10-2S. 65 Gambar 28 di atas menunjukkan ketinggian muka air di kedua saluran sekunder (SPD dan SDU) pada masing-masing lokasi. Ketinggian muka air di SPD dan SDU P8-12S relatif sama, karena memang di kedua saluran sekunder tersebut sama-sama tidak ada pintu air, sehingga tidak ada faktor yang mempengaruhi pergerakan air di saluran. Kondisi yang berbeda terjadi di saluran sekunder P6-3N. Ketika air pasang, ketinggian muka air di kedua saluran relatif sama, namun ketika air surut, muka air di SPD lebih tinggi dibandingkan dengan muka air di SDU. Hal ini disebabkan karena pengoperasian pintu air di SPD yang cenderung menahan air. Penduduk menahan air di SPD dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan seharihari, sedangkan air di SDU habis karena di SDU tidak ada pintu air. Sementara itu, fluktuasi muka air di SPD dan SDU P10-2S tidak menggambarkan secara utuh kondisi pasang surut seperti di kedua lokasi yang lain. Faktor topografi yang tinggi telah mendorong penduduk setempat untuk menahan air di kedua saluran sekunder. Hal itu dapat dilakukan karena di kedua saluran sekunder terdapat pintu air (SPD) dan bendung (SDU). Secara kuantitatif, hubungan pola pasang surut air laut di ambang luar Sungai Musi yang tercatat di Stasiun Tanjung Buyut dengan fluktuasi muka air di saluran sekunder dapat dilihat pada Tabel 8 dan 9 di bawah ini. Tabel 8 Nilai korelasi pasang surut air laut di ambang luar Sungai Musi dan fluktuasi muka air di saluran sekunder (SPD) PASUT PASUT Pearson Correlation 1 Sig. (2-tailed) N 731 TMA SPD-P8 Pearson Correlation 0,876(**) Sig. (2-tailed) 0,000 N 731 TMA SPD-P6 Pearson Correlation 0,875(**) Sig. (2-tailed) 0,000 N 731 TMA SPD-P10 Pearson Correlation 0,570(**) Sig. (2-tailed) 0,000 N 731 ** Correlation is significant at the 0,01 level (2-tailed) TMA SPD-P8 0,876(**) 0,000 731 1 731 0,918(**) 0,000 731 0,660(**) 0,000 731 TMA SPD-P6 0,875(**) 0,000 731 0,918(**) 0,000 731 1 731 0,636(**) 0,000 731 TMA SPD-P10 0,570(**) 0,000 731 0,660(**) 0,000 731 0,636(**) 0,000 731 1 731 66 Tabel 9 Nilai korelasi pasang surut air laut di ambang luar Sungai Musi dan fluktuasi muka air di saluran sekunder (SDU) PASUT PASUT Pearson Correlation 1 Sig. (2-tailed) N 731 TMA SDU-P8 Pearson Correlation 0,864(**) Sig. (2-tailed) 0,000 N 731 TMA SDU-P6 Pearson Correlation 0,855(**) Sig. (2-tailed) 0,000 N 731 TMA SDU-P10 Pearson Correlation 0,416(**) Sig. (2-tailed) 0,000 N 731 ** Correlation is significant at the 0,01 level (2-tailed) TMA SDU-P8 0,864(**) 0,000 731 1 731 0,898(**) 0,000 731 0,459(**) 0,000 731 TMA SDU-P6 0,855(**) 0,000 731 0,898(**) 0,000 731 1 731 0,484(**) 0,000 731 TMA SDU-P10 0,416(**) 0,000 731 0,459(**) 0,000 731 0,484(**) 0,000 731 1 731 Tabel korelasi di atas menunjukkan bahwa antara pasang surut air laut di ambang luar Sungai Musi dengan fluktuasi muka air di saluran sekunder memiliki hubungan linier yang positif. Artinya, jika terjadi pasang di ambang luar Sungai Musi, maka muka air di saluran sekunder juga akan ikut naik, demikian juga sebaliknya. Rendahnya nilai korelasi PASUT (pasang surut) dengan TMA (tinggi muka air) saluran sekunder di P10-2S disebabkan karena faktor pengoperasian pintu air di SPD serta adanya bendung di SDU yang keduanya cenderung untuk menahan air di saluran sekunder tersebut. Hidrotopografi Lahan Hidrotopografi lahan merupakan perbandingan relatif antara elevasi lahan dengan ketinggian muka air di sungai atau saluran terdekat. Kondisi hidrotopografi kawasan menjadi pertimbangan awal dalam membuat perencanaan pengelolaan air di lahan rawa pasang surut. Pola tanam pada lahan rawa pasang surut harus disesuaikan dengan kemampuan luapan air pasang. Kondisi hidrotopografi lahan di Delta Telang I dan Delta Saleh sangat dipengaruhi oleh ketinggian muka air dari sistem sungai yang ada di sekitar daerah tersebut yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut di Selat Bangka. Peta topografi lahan penelitian dapat dilihat pada Gambar 29, 30, dan 31. 67 Gambar 29 Peta topografi lahan di petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I. Gambar 30 Peta topografi lahan di petak tersier 3 P6-3N Delta Telang I. 68 Gambar 31 Peta topografi lahan di petak tersier 3 P10-2S Delta Saleh. Lahan penelitian di petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I berada pada ketinggian antara 1,16-1,47 meter MSL, sedangkan ketinggian air di saluran sekunder pada saat pasang yaitu 1,41 meter MSL untuk SPD dan 1,43 meter MSL untuk SDU. Pada saat pasang, hampir semua lahan dapat terluapi air pasang dari saluran sekunder. Lahan penelitian di petak tersier 3 P6-3N Delta Telang I berada pada ketinggian antara 1,19-1,62 meter MSL, relatif lebih tinggi dibandingkan dengan lahan di petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I. Ketinggian air di saluran sekunder P6-3N Delta Telang I pada saat pasang yaitu 1,43 meter MSL untuk SPD dan 1,44 meter MSL untuk SDU. Pada saat pasang, sebagian lahan akan terluapi air pasang dari saluran sekunder. Untuk petak tersier 3 P10-2S Delta Saleh, lahan penelitian berada pada ketinggian antara 1,90-2,48 meter MSL, sedangkan ketinggian air di saluran sekunder pada saat pasang yaitu 2,15 meter MSL untuk SPD dan 2,16 meter MSL untuk SDU. Pada saat pasang, hanya sebagian kecil lahan yang terluapi air pasang dari saluran sekunder. 69 Berdasarkan klasifikasi tipe luapan, maka sebagian besar lahan penelitian di petak tersier 3 P8-12S termasuk dalam tipologi lahan B dan sebagian kecil tipologi lahan C, sedangkan lahan penelitian di petak tersier 3 P6-3N termasuk dalam tipologi lahan B/C. Selanjutnya, hanya sebagian kecil lahan penelitian di petak tersier 3 P10-2S yang termasuk dalam tipologi lahan B, sebagian besar lahan termasuk dalam tipologi lahan C. Sifat Fisik Tanah Kajian sifat fisik tanah difokuskan pada tekstur tanah dan konduktivitas hidrolik tanah, sebab kedua sifat fisik tanah tersebut dapat mempengaruhi kecepatan aliran air di dalam tanah. Tekstur Tanah Tekstur tanah merupakan salah satu sifat fisik tanah yang penting. Tekstur menunjukkan kasar halusnya tanah berdasarkan perbandingan relatif jumlah fraksi liat, debu, dan pasir. Peranan tekstur dan struktur secara bersama-sama tidak hanya membantu dalam penyediaan air dan udara, tetapi juga unsur hara bagi tanaman (Soepardi, 1983). Tekstur tanah berkaitan dengan kisaran ukuran partikel tanah, yaitu partikel penyusun tanah tertentu yang terdiri dari ukuran partikel besar, kecil, atau partikel sedang. Partikel-partikel mineral tanah yang menjadi komponen dari tekstur tanah adalah pasir, debu, dan liat yang salah satu pembedanya adalah ukuran dari masing-masing partikel tersebut. Secara kualitatif, tekstur menyatakan rasa dari bahan tanah, apakah kasar dan terasa berpasir, atau halus dan lembut. Namun secara kuantitatif, tekstur tanah menyatakan distribusi ukuran partikel yang terdapat pada suatu tanah (Susanto dan Purnomo, 1996). Data tekstur tanah pada masing-masing lokasi penelitian diambil dari 6 titik pengamatan yang berbeda pada petak lahan yang terletak di antara saluran tersier 3 dan 4. Sebaran spasial kedalaman lapisan tanah dengan tekstur liat pada masing-masing lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 32, 33, dan 34. 70 Gambar 32 Sebaran spasial kedalaman lapisan tanah dengan tekstur liat di petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I. Gambar 33 Sebaran spasial kedalaman lapisan tanah dengan tekstur liat di petak tersier 3 P6-3N Delta Telang I. 71 Gambar 34 Sebaran spasial kedalaman lapisan tanah dengan tekstur liat di petak tersier 3 P10-2S Delta Saleh. Sebaran spasial kedalaman lapisan tanah dengan tekstur liat tersebut merupakan hasil interpolasi dari enam titik pengamatan dengan menggunakan metode interpolasi IDW (Inverse Distance Weight). Secara umum, tekstur tanah pada lapisan tanah paling atas di petak tersier 3 P8-12S adalah lempung dan lempung berliat. Tekstur liat ditemukan pada kedalaman 0,19-0,62 meter di bawah permukaan tanah. Berbeda dengan petak tersier 3 P8-12S, lapisan tanah paling atas di petak tersier 3 P6-3N relatif homogen, yaitu liat berdebu. Tekstur liat ditemukan pada kedalaman 0,05-1,02 meter di bawah permukaan tanah. Tekstur tanah pada lapisan tanah paling atas di petak tersier 3 P10-2S juga relatif homogen, yaitu lempung. Tekstur liat ditemukan pada kedalaman 0,03-0,51 meter di bawah permukaan tanah. Tekstur liat dapat menjadi indikator keberadaan lapisan tanah yang kedap air. Kedalaman lapisan tanah dengan tekstur liat akan berpengaruh pada kemampuan tanah dalam menyerap dan menahan air. Lapisan tanah dengan tekstur liat memiliki kemampuan yang rendah dalam menyerap air, namun dapat menahan air dengan baik. 72 Konduktivitas Hidrolik Tanah Pengukuran konduktivitas hidrolik tanah dilakukan secara langsung di petak lahan dengan menggunakan metode Auger Hole. Metode tersebut memberikan nilai permeabilitas rata-rata lapisan tanah dari muka air tanah sampai beberapa cm di bawah lubang auger. Jika ada lapisan kedap pada dasar lubang auger, maka nilai K ditentukan oleh lapisan-lapisan di atas lapisan kedap. Prinsip umum metode Auger Hole yaitu sebuah lubang dipersiapkan dengan menggunakan bor sampai kedalaman tertentu di bawah muka air tanah. Ketika keseimbangan air dengan lingkungan telah tercapai, sebagian air di lubang dikeluarkan. Air akan merembes kembali ke dalam lubang, dan laju naiknya muka air tanah di dalam lubang sejalan dengan waktu dicatat. Dengan menggunakan grafik dan formula yang sesuai, maka konduktivitas hidrolik tanah (K) dapat dihitung dari data pengamatan tersebut. Pengukuran konduktivitas hidrolik tanah pada masing-masing lokasi penelitian dilakukan di 16 titik yang berbeda pada petak lahan yang terletak di antara dua saluran tersier. Titik-titik tersebut mewakili 16 petak lahan di antara saluran tersier 3 dan 4. Nilai konduktivitas hidrolik tanah yang diperoleh dari 16 titik pengukuran tersebut selanjutnya diinterpolasi dengan menggunakan metode interpolasi IDW (Inverse Distance Weight). Sebaran spasial nilai konduktivitas hidrolik tanah hasil interpolasi pada masing-masing lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 34, 35, dan 36. Nilai konduktivitas hidrolik tanah menunjukkan kecepatan aliran air di dalam tanah. Nilai konduktivitas hidrolik tanah yang besar mengindikasikan bahwa laju aliran air di dalam tanah adalah cepat, demikian sebaliknya. Jika dikaitkan dengan tekstur tanah, nilai konduktivitas hidrolik tanah relatif kecil pada lapisan tanah dengan tekstur liat dibandingkan dengan lapisan tanah yang teksturnya bukan liat. Hal ini disebabkan karena lapisan tanah dengan tekstur liat memiliki ukuran partikel yang relatif kecil. Partikel tanah yang kecil menyebabkan ruang pori tanah juga kecil, sehingga kemampuan air untuk melalui lapisan tanah tersebut menjadi lambat. Kondisi ini dapat dibuktikan dengan membandingkan Gambar 31, 31, dan 33 dengan Gambar 35, 36, dan 37. 73 Gambar 35 Sebaran spasial nilai konduktivitas hidrolik tanah di petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I. Gambar 36 Sebaran spasial nilai konduktivitas hidrolik tanah di petak tersier 3 P6-3N Delta Telang I. 74 Gambar 37 Sebaran spasial nilai konduktivitas hidrolik tanah di petak tersier 3 P10-2S Delta Saleh. Nilai konduktivitas hidrolik tanah di petak tersier 3 P8-12S berkisar antara 6,85-14,19 cm/jam. Nilai konduktivitas hidrolik tanah pada petak lahan yang berada dekat dengan SDU relatif lebih besar bila dibandingkan dengan petak lahan yang lain. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa pada petak lahan tersebut masih terdapat bahan organik. Kondisi di P6-3N hampir sama seperti di P8-12S. Nilai konduktivitas hidrolik tanah di petak tersier 3 P6-3N berkisar antara 9,28-11,77 cm/jam. Nilai konduktivitas hidrolik tanah pada petak lahan yang berada dekat dengan SDU juga relatif lebih besar bila dibandingkan dengan petak lahan yang lain. Pada lahan tersebut juga ditemukan bahan organik. Masih terdapatnya bahan organik pada petak lahan yang berada dekat dengan SDU, baik di P8-12S maupun di P6-3N, disebabkan karena kondisi lahan yang relatif lembab sepanjang tahun. Kondisi lembab tersebut antara lain disebabkan karena lokasi lahan yang letaknya relatif dekat dengan SDU, serta tidak adanya infrastruktur pengendali air (pintu air) di SDU. 75 Meskipun air di saluran tersier dapat dikendalikan melalui pintu air (pada musim kemarau, pintu air di saluran tersier dalam posisi drain), namun karena jarak antara petak lahan dan SDU relatif dekat, maka air pasang di SDU masuk ke lahan melalui aliran rembesan lateral. Kondisi lahan yang relatif lembab sepanjang tahun tersebut menjadi penyebab lambatnya proses pematangan tanah, sehingga pada lahan tersebut masih ditemukan bahan organik. Berbeda dengan di P8-12S dan P6-3N, nilai konduktivitas hidrolik tanah di petak tersier 3 P10-2S tidak terlalu dipengaruhi oleh kondisi air di SDU. Karena topografi lahan di petak tersier 3 P10-2S relatif tinggi, maka lahan tidak terluapi oleh air pasang di saluran, sumber air utama hanya berasal dari air hujan. Kondisi air di saluran relatif stabil karena semua saluran sekunder dan tersier dilengkapi dengan pintu air, ini berdampak pada ketinggian muka air tanah di petak lahan yang relatif rata dan tidak terlalu berfluktuasi. Oleh karena itu, sebaran nilai konduktivitas hidrolik tanah di petak tersier 3 P10-2S relatif merata dengan besaran antara 8,93-12,23 cm/jam. Fluktuasi Muka Air Tanah Muka air tanah merupakan batas antara zona aerasi dan zona jenuh. Pada zona aerasi, pori tanah berisi udara dan air, sedangkan pada zona jenuh seluruh pori terisi air. Kedalaman muka air tanah dapat berubah setiap saat, terutama dipengaruhi oleh curah hujan dan kondisi aliran sungai. Curah hujan yang lebat dan lama dapat memberikan air yang banyak untuk pengisian air tanah. Terjadinya perbedaan antara pengisian dan pengurangan kembali air tanah menyebabkan permukaannya berfluktuasi. Muka air tanah akan mempengaruhi kondisi drainase dan aerasi pada zona perakaran. Muka air tanah yang dangkal dapat menekan pertumbuhan tanaman karena menghambat udara tanah dan menurunkan volume udara di zona perakaran, sedangkan muka air tanah yang dalam dapat merangsang perakaran, namun akan menurunkan kadar air dan zona aerasi karena pori tanah akan lebih banyak terisi udara. 76 Pada lahan rawa pasang surut, fluktuasi muka air tanah dipengaruhi oleh curah hujan, suhu, dan kondisi pasang surut air di saluran. Selain dapat mendukung pertumbuhan tanaman, pengendalian muka air tanah pada kedalaman tertentu juga dapat mencegah terjadinya oksidasi pirit. Pola fluktuasi muka air tanah di petak tersier 3 P8-12S, P6-3N, dan P10-2S relatif sama, namun kedalaman muka air tanah pada ketiga lokasi tersebut berbeda-beda sesuai dengan topografi lahan masing-masing lokasi. Muka air tanah di petak tersier 3 P10-2S relatif paling dalam dibandingkan dengan dua lokasi yang lain karena petak tersier 3 P10-2S memiliki topografi lahan yang paling tinggi. Sedangkan petak tersier 3 P8-12S yang topografi lahannya paling rendah, muka air tanahnya relatif paling dangkal dan genangan yang terjadi di lahan paling tinggi serta paling lama. Pada akhir bulan Oktober, seiring dengan semakin tingginya intensitas hujan, muka air tanah semakin naik dengan peningkatan yang cukup nyata. Pada saat itu, rata-rata kedalaman muka air tanah di petak tersier 3 P8-12S yaitu 10 cm di bawah permukaan tanah, sedangkan di petak tersier 3 P6-3N dan P10-2S berturut-turut sedalam 20 cm dan 50 cm di bawah permukaan tanah. Pada waktu berikutnya, muka air tanah terus naik dan mencapai puncaknya pada bulan Januari. Setelah itu, muka air tanah kembali turun dan mencapai titik terdalam pada bulan September. Pada bulan Nopember hingga Mei, lahan usahatani di petak tersier 3 P8-12S sering tergenang dengan tinggi genangan rata-rata mencapai 10 cm di atas permukaan tanah dan genangan terjadi dalam waktu yang relatif lama. Selanjutnya, pada bulan Juli hingga Oktober, muka air tanah berada pada titik terdalam dengan kedalaman antara 10-35 cm di bawah permukaan tanah. Untuk lahan usahatani di petak tersier 3 P6-3N, genangan biasanya terjadi antara bulan Januari hingga April dengan tinggi genangan rata-rata kurang dari 5 cm di atas permukaan tanah dan berlangsung dalam waktu yang tidak terlalu lama. Pada bulan Juli hingga Oktober, muka air tanah berada pada titik terdalam dengan kedalaman antara 20-50 cm di bawah permukaan tanah. 77 Genangan lahan di petak tersier 3 P10-2S hanya terjadi beberapa saat pada bulan Desember hingga Maret, tinggi genangan rata-rata mencapai 10 cm di atas permukaan tanah. Pada bulan Agustus hingga Oktober, muka air tanah berada pada titik terdalam dengan kedalaman antara 60-110 cm di bawah permukaan tanah. Gambar 38, 39, dan 40 menunjukkan bahwa muka air tanah pada lahan usahatani yang berada di antara dua buah saluran tersier memang berbentuk eliptik. Sebagai contoh dapat dilihat fluktuasi muka air tanah pada titik pengamatan OT4.3 dan OT4.4, kedua titik tersebut berada di tengah di antara dua saluran sekunder. OT4.4 berada di tengah di antara dua saluran tersier (± 100 meter dari saluran tersier), sedangkan OT4.3 berada di dekat saluran tersier (± 5 meter dari saluran tersier). Pada musim hujan, muka air tanah pada OT4.4 lebih tinggi dibandingkan OT4.3. Namun sebaliknya, pada musim kemarau, muka air tanah pada OT4.4 lebih rendah dibandingkan OT4.3. Pada musim hujan, muka air tanah banyak dipengaruhi oleh curah hujan dan pasang surut air di saluran. Air hujan akan meningkatkan ketinggian muka air tanah secara merata, sedangkan pasang surut air di saluran akan mempengaruhi muka air tanah melalui aliran rembesan lateral. Pada saat pasang, tekanan air dari kedua saluran tersier lebih besar dibandingkan tekanan air di lahan, akibatnya air akan merembes masuk ke dalam lahan. Dengan tekanan yang sama besar dari kedua sisi dan adanya pengisian air tanah dari air hujan, maka akan menyebabkan muka air tanah di lahan naik. Semakin ke tengah, muka air tanah akan semakin naik dan mencapai posisi tertinggi pada titik yang berada tepat di tengah kedua saluran tersier. Sebaliknya, pada saat air di saluran tersier surut, tekanan air akan berbalik dan air di lahan akan merembes menuju saluran, akibatnya akan terjadi penurunan muka air tanah di lahan. Penurunan muka air tanah pada lahan yang letaknya dekat dengan saluran akan lebih cepat dibandingkan dengan muka air tanah pada lahan yang letaknya jauh dari saluran, sehingga muka air tanah di bagian tengah akan tetap lebih tinggi dibandingkan dengan lahan yang dekat saluran. Demikian seterusnya, aliran air akan berbalik lagi ke lahan ketika air di saluran tersier kembali pasang. 78 Pada musim kemarau, muka air tanah lebih banyak dipengaruhi oleh pasang surut air di saluran. Lahan relatif kering dan muka air pasang di saluran tidak setinggi pada waktu musim hujan. Terjadinya penguapan melalui proses evapotranspirasi, menyebabkan muka air tanah pada lahan yang terletak di bagian tengah lebih rendah dibandingkan dengan lahan yang terletak di tepi saluran, sebab muka air tanah pada lahan yang berada dekat dengan saluran masih dipengaruhi oleh air pasang di saluran. Pada saat pasang, tekanan air dari kedua saluran tersier lebih besar dibandingkan tekanan air di lahan, akibatnya air akan merembes masuk ke dalam lahan. Tetapi karena waktu air pasang tidak berlangsung lama dan volume air di saluran juga tidak terlalu besar, maka sebelum air yang merembes ke lahan mencapai optimum, air di saluran telah kembali surut. Akibatnya, air di lahan akan berbalik kembali ke saluran, sehingga muka air tanah pada lahan yang terletak di tengah tetap lebih rendah dibandingkan dengan lahan yang terletak di tepi saluran. Demikian seterusnya, proses ini akan berulang ketika terjadi pasang dan surut di saluran tersier. Pola fluktuasi muka air tanah yang ditunjukkan pada Gambar 38, 39, dan 40 memang tidak sama persis dengan pola pasang surut di saluran sekunder atau di ambang luar Sungai Musi, sebab muka air di saluran tersier sangat dipengaruhi oleh pengoperasian pintu air di saluran tersier. Pada kondisi tertentu pintu air ditutup untuk tujuan retensi air, sedangkan pada saat yang lain pintu air dibuka untuk tujuan drainase. Jadi, meskipun air di saluran sekunder sedang surut, maka muka air di saluran tersier akan tetap tinggi jika pada lahan usahatani sedang dilakukan penggenangan lahan atau retensi air, demikian juga sebaliknya. 79 Fluktuasi Muka Air Tanah di Petak Tersier 3 P8-12S Delta Telang I April 2006 - Maret 2008 0.20 Kedalaman Muka Air Tanah (m, MSL) 0.15 0.10 0.05 0.00 -0.05 -0.10 -0.15 -0.20 -0.25 -0.30 -0.35 -0.40 -0.45 Apr '06 May '06 Jun '06 Jul '06 Aug '06 Sep '06 Oct '06 Nov '06 Dec '06 Jan '07 Feb '07 Mar '07 Apr '07 May '07 Jun '07 Jul '07 Aug '07 Sep '07 Oct '07 Nov '07 Dec '07 Jan '08 Feb '08 Mar '08 Nov '07 Dec '07 Jan '08 Feb '08 Mar '08 Nov '07 Dec '07 Jan '08 Feb '08 Mar '08 Waktu (Hari) OT 4.1 OT 4.2 Fluktuasi Muka Air Tanah di Petak Tersier 3 P8-12S Delta Telang I April 2006 - Maret 2008 0.20 Kedalaman Muka Air Tanah (m, MSL) 0.15 0.10 0.05 0.00 -0.05 -0.10 -0.15 -0.20 -0.25 -0.30 -0.35 -0.40 -0.45 Apr '06 May '06 Jun '06 Jul '06 Aug '06 Sep '06 Oct '06 Nov '06 Dec '06 Jan '07 Feb '07 Mar '07 Apr '07 May '07 Jun '07 Jul '07 Aug '07 Sep '07 Oct '07 Waktu (Hari) OT 4.3 OT 4.4 Fluktuasi Muka Air Tanah di Petak Tersier 3 P8-12S Delta Telang I April 2006 - Maret 2008 0.20 Kedalaman Muka Air Tanah (m, MSL) 0.15 0.10 0.05 0.00 -0.05 -0.10 -0.15 -0.20 -0.25 -0.30 -0.35 -0.40 -0.45 Apr '06 May '06 Jun '06 Jul '06 Aug '06 Sep '06 Oct '06 Nov '06 Dec '06 Jan '07 Feb '07 Mar '07 Apr '07 May '07 Jun '07 Jul '07 Aug '07 Sep '07 Oct '07 Waktu (Hari) OT 4.5 OT 4.6 Gambar 38 Fluktuasi muka air tanah di petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I. 80 Fluktuasi Muka Air Tanah di Petak Tersier 3 P6-3N Delta Telang I April 2006 - Maret 2008 0.10 Kedalaman Muka Air Tanah (m, MSL) 0.05 0.00 -0.05 -0.10 -0.15 -0.20 -0.25 -0.30 -0.35 -0.40 -0.45 -0.50 -0.55 Apr '06 May '06 Jun '06 Jul '06 Aug '06 Sep '06 Oct '06 Nov '06 Dec '06 Jan '07 Feb '07 Mar '07 Apr '07 May '07 Jun '07 Jul '07 Aug '07 Sep '07 Oct '07 Nov '07 Dec '07 Jan '08 Feb '08 Mar '08 Dec '07 Jan '08 Feb '08 Mar '08 Dec '07 Jan '08 Feb '08 Mar '08 Waktu (Hari) OT 4.1 OT 4.2 Fluktuasi Muka Air Tanah di Petak Tersier 3 P6-3N Delta Telang I April 2006 - Maret 2008 0.10 Kedalaman Muka Air Tanah (m, MSL) 0.05 0.00 -0.05 -0.10 -0.15 -0.20 -0.25 -0.30 -0.35 -0.40 -0.45 -0.50 -0.55 Apr '06 May '06 Jun '06 Jul '06 Aug '06 Sep '06 Oct '06 Nov '06 Dec '06 Jan '07 Feb '07 Mar '07 Apr '07 May '07 Jun '07 Jul '07 Aug '07 Sep '07 Oct '07 Nov '07 Waktu (Hari) OT 4.3 OT 4.4 Fluktuasi Muka Air Tanah di Petak Tersier 3 P6-3N Delta Telang I April 2006 - Maret 2008 0.10 Kedalaman Muka Air Tanah (m, MSL) 0.05 0.00 -0.05 -0.10 -0.15 -0.20 -0.25 -0.30 -0.35 -0.40 -0.45 -0.50 -0.55 Apr '06 May '06 Jun '06 Jul '06 Aug '06 Sep '06 Oct '06 Nov '06 Dec '06 Jan '07 Feb '07 Mar '07 Apr '07 May '07 Jun '07 Jul '07 Aug '07 Sep '07 Oct '07 Nov '07 Waktu (Hari) OT 4.5 OT 4.6 Gambar 39 Fluktuasi muka air tanah di petak tersier 3 P6-3N Delta Telang I. 81 Fluktuasi Muka Air Tanah di Petak Tersier 3 P10-2S Delta Saleh April 2006 - Maret 2008 0.20 Kedalaman Muka Air Tanah (m, MSL) 0.10 0.00 -0.10 -0.20 -0.30 -0.40 -0.50 -0.60 -0.70 -0.80 -0.90 -1.00 -1.10 -1.20 Apr '06 May '06 Jun '06 Jul '06 Aug '06 Sep '06 Oct '06 Nov '06 Dec '06 Jan '07 Feb '07 Mar '07 Apr '07 May '07 Jun '07 Jul '07 Aug '07 Sep '07 Oct '07 Nov '07 Dec '07 Jan '08 Feb '08 Mar '08 Dec '07 Jan '08 Feb '08 Mar '08 Dec '07 Jan '08 Feb '08 Mar '08 Waktu (Hari) OT 4.1 OT 4.2 Fluktuasi Muka Air Tanah di Petak Tersier 3 P10-2S Delta Saleh April 2006 - Maret 2008 0.20 Kedalaman Muka Air Tanah (m, MSL) 0.10 0.00 -0.10 -0.20 -0.30 -0.40 -0.50 -0.60 -0.70 -0.80 -0.90 -1.00 -1.10 -1.20 Apr '06 May '06 Jun '06 Jul '06 Aug '06 Sep '06 Oct '06 Nov '06 Dec '06 Jan '07 Feb '07 Mar '07 Apr '07 May '07 Jun '07 Jul '07 Aug '07 Sep '07 Oct '07 Nov '07 Waktu (Hari) OT 4.3 OT 4.4 Fluktuasi Muka Air Tanah di Petak Tersier 3 P10-2S Delta Saleh April 2006 - Maret 2008 0.20 Kedalaman Muka Air Tanah (m, MSL) 0.10 0.00 -0.10 -0.20 -0.30 -0.40 -0.50 -0.60 -0.70 -0.80 -0.90 -1.00 -1.10 -1.20 Apr '06 May '06 Jun '06 Jul '06 Aug '06 Sep '06 Oct '06 Nov '06 Dec '06 Jan '07 Feb '07 Mar '07 Apr '07 May '07 Jun '07 Jul '07 Aug '07 Sep '07 Oct '07 Nov '07 Waktu (Hari) OT 4.5 OT 4.6 Gambar 40 Fluktuasi muka air tanah di petak tersier 3 P10-2S Delta Saleh. 82 Pemodelan Muka Air Tanah pada Lahan Rawa Pasang Surut Model Penduga Muka Air Tanah Model penduga muka air tanah pada lahan rawa pasang surut merupakan modifikasi dari model Kirkham dengan mengintroduksi konsep “mirror image”. Pada model ellips yang diilustrasikan oleh Kirkham, dua buah saluran di dalam ellips diletakkan secara bebas, batas tepi saluran tidak ada yang terikat dengan titik-titik utama ellips (titik fokus dan titik puncak ellips). Berbeda dengan konsep yang dikembangkan oleh Kirkham, model penduga muka air tanah yang dibangun dalam penelitian ini menempatkan batas tepi saluran pada titik-titik utama ellips. R ET Saluran Tersier Saluran Tersier z K hw F2 l H x F1 s Gambar 41 Modifikasi model ellips Kirkham. Dengan konsep tersebut, maka persamaan ellips pada Gambar 41 dapat ditulis sebagai berikut: ( z + hw ) 2 ( s − x) 2 + = 1 dengan ( s + l) 2 − ( H + hw ) 2 = s 2 ( s + l) 2 ( s + l) 2 − s 2 Selanjutnya, ( s − x) 2 ( z + hw ) 2 + =1 ( s + l) 2 l(2 s + l) l(2s + l)( s − x) 2 + ( s + l) 2 ( z + hw ) 2 = l(2s + l)( s + l) 2 (20) 83 ( z + hw ) 2 = l(2 s + l)( s + l) 2 − l(2 s + l)( s − x) 2 ( s + l) 2 [ ] = l( 2 s + l) ( s + l) 2 − ( s − x) 2 ( s + l) 2 = l(2 s + l)(2 sl + 2 sx + l 2 − x 2 ) ( s + l) 2 = hw [l(2 s + l) + x(2 s − x)] ( s + l) ⎡ x(2 s − x) ⎤ = hw ⎢hw + ( s + l) ⎥⎦ ⎣ = hw2 + hw (2 sx − x 2 ) s+l Karena ( z + hw ) 2 = h 2 ( x) , maka h 2 ( x) = hw2 + hw (2 sx − x 2 ) s+l (21) Jika ellips pada Gambar 15 dan 41 diintegrasikan, maka akan diperoleh kondisi sebagai berikut: s + l ≅ a , s ≅ c , dan H + hw ≅ b ; Jika panjang a dan c tetap, maka panjang b dapat tetap atau berubah. Panjang b akan berubah apabila terjadi dilatasi pada y. Jika panjang b berubah, maka y juga akan berubah untuk setiap nilai x; Pada kondisi riil, lebar saluran dan jarak antar saluran adalah tetap, sehingga panjang s + l dan s tetap. H + hw (tinggi maksimum muka air tanah) dapat berubah karena pengaruh beberapa faktor, antara lain: – Peningkatan muka air tanah karena pengisian dari air hujan (R); – Penurunan muka air tanah karena proses evapotranspirasi (ET); – Naik turunnya muka air di saluran tersier (hw); dan 84 – Konduktivitas hidrolik tanah (K), yang mempengaruhi kecepatan aliran air merembes masuk dan keluar lahan. Jika H + hw berubah, maka z + hw atau h(x) juga akan berubah untuk setiap perubahan pada x. Berdasarkan pada beberapa kondisi tersebut di atas, apabila parameter input di luar ellips (ekuivalen dengan faktor dilatasi) yaitu curah hujan (R), evapotranspirasi (ET), dan konduktivitas hidrolik tanah (K) dimasukkan ke dalam Persamaan (21), maka diperoleh: h 2 ( x) = hw2 + hw R − ET (2 sx − x 2 ) s+l K (22) dengan h(x) = Tinggi muka air tanah di atas lapisan kedap pada jarak x dari saluran (m). hw = Tinggi muka air pada saluran di atas lapisan kedap (m). R = Curah hujan (mm/hari). ET = Evapotranspirasi (mm/hari). K = Konduktivitas hidrolik tanah (mm/hari). x = Jarak dari saluran (m). 2s = Jarak antar saluran (m). ℓ = Lebar saluran (m). Selanjutnya, tinggi muka air tanah maksimum terletak pada pusat ellips, dicapai pada saat x = s dan z = H, sehingga jarak antar saluran (2s) dapat dinyatakan dengan persamaan: ( z + hw ) 2 − hw2 = hw R − ET (2 sx − x 2 ) ; x = s dan z = H s+l K ( H + hw ) 2 − hw2 = hw R − ET (2 s 2 − s 2 ) ; H + hw = H m s+l K 85 H m2 − hw2 = hw R − ET 2 s s+l K s2 K H m2 − hw2 = s + l R − ET hw ( s + l ) − hw = K H m2 − hw2 R − ET hw atau s= K H m2 − hw2 + hw − l R − ET hw (23) dengan H m = H + hw adalah tinggi muka air tanah maksimum. Dalam penerapannya, tidak semua sistem jaringan tata air yang dibangun didasarkan atas konsep ellips. Oleh karena itu, pendugaan kedalaman muka air tanah pada lahan tersebut dilakukan dengan menggunakan persamaan: h 2 ( x) = hw2 + hw R − ET (2 sx − x 2 ) s + K l ( s + l) − s Hm 2 2 (24) Pada sistem jaringan tata air yang dibangun berdasarkan konsep ellips, maka H m = ( s + l) 2 − s 2 , sehingga Persamaan (24) akan sama seperti Persamaan (22). Persamaan (23) dapat digunakan untuk merancang sistem jaringan tata air mikro. Dengan mengetahui nilai-nilai parameter model, maka jarak antar saluran (2s) dan lebar saluran (ℓ) dapat ditentukan. Pendugaan Muka Air Tanah Sistem jaringan tata air di Delta Telang I dan Delta Saleh dirancang oleh LAPI-ITB pada tahun 1976. Karena dimensi dan jarak antar saluran di ketiga lokasi penelitian tidak dirancang dengan menggunakan konsep ellips, maka pendugaan kedalaman muka air tanah di ketiga lokasi penelitian dilakukan dengan menggunakan Persamaan (24). 86 Hasil pendugaan kedalaman muka air tanah di ketiga lokasi penelitian, masing-masing diambil 1 titik contoh (OT4.4), disajikan dalam bentuk grafik dan dapat dilihat pada Gambarr 42, 43, dan 44. Pendugaan Fluktuasi Muka Air Tanah di OT4.4 P8-12S Delta Telang I 0.15 Kedalaman Muka Air Tanah (m, MSL) 0.10 0.05 0.00 -0.05 -0.10 -0.15 -0.20 -0.25 Apr '06 May '06 Jun '06 Jul '06 Aug '06 Sep '06 Oct '06 Nov '06 Dec '06 Jan '07 Pengamatan Feb '07 Mar '07 2 R = 0,928 RMSE = 0,024 m Waktu (Hari) Estimasi Gambar 42 Grafik pendugaan fluktuasi muka air tanah di OT4.4 P8-12S Delta Telang I. Pendugaan Fluktuasi Muka Air Tanah di OT4.4 P6-3N Delta Telang I Kedalaman Muka Air Tanah (m, MSL) 0.10 0.00 -0.10 -0.20 -0.30 -0.40 -0.50 Apr '06 May '06 Jun '06 Jul '06 Aug '06 Sep '06 Oct '06 Nov '06 Pengamatan Dec '06 Jan '07 Feb '07 Mar '07 2 Waktu (Hari) Estimasi R = 0,919 RMSE = 0,039 m Gambar 43 Grafik pendugaan fluktuasi muka air tanah di OT4.4 P6-3N Delta Telang I. 87 Pendugaan Fluktuasi Muka Air Tanah di OT4.4 P10-2S Delta Saleh Kedalaman Muka Air Tanah (m, MSL) 0.20 0.00 -0.20 -0.40 -0.60 -0.80 -1.00 Apr '06 May '06 Jun '06 Jul '06 Aug '06 Sep '06 Oct '06 Nov '06 Dec '06 Pengamatan Jan '07 Feb '07 Mar '07 2 Waktu (Hari) Estimasi R = 0,984 RMSE = 0,038 m Gambar 44 Grafik pendugaan fluktuasi muka air tanah di OT4.4 P10-2S Delta Saleh. Dari hasil simulasi yang dilakukan, diketahui bahwa: 1. Model penduga muka air tanah yang telah dibangun dapat memprediksi kedalaman muka air tanah di petak lahan dengan hasil yang cukup baik, ini ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi yang relatif besar dan galat baku pendugaan yang relatif kecil (Tabel 10, 11, dan 12). 2. Parameter tinggi muka air di saluran tersier (hw) memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap model. Kenaikan atau penurunan muka air di saluran tersier akan menyebabkan kenaikan atau penurunan muka air tanah di petak lahan dengan besaran yang sama. 3. Parameter curah hujan (R) dan evapotranspirasi (ET) menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap perubahan muka air tanah h(x) pada lahan yang letaknya relatif jauh dari saluran. Namun demikian, pengaruh R dan ET terhadap perubahan h(x) relatif kecil. 88 Tabel 10 Ringkasan hasil pendugaan kedalaman muka air tanah di petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I Titik Pengamatan R R2 RMSE OT4.1 OT4.2 OT4.3 OT4.4 OT4.5 OT4.6 0,977 0,967 0,972 0,963 0,947 0,955 0,955 0,935 0,945 0,928 0,896 0,912 0,022 0,033 0,021 0,024 0,035 0,032 Tabel 11 Ringkasan hasil pendugaan kedalaman muka air tanah di petak tersier 3 P6-3N Delta Telang I Titik Pengamatan R R2 RMSE OT4.1 OT4.2 OT4.3 OT4.4 OT4.5 OT4.6 0,946 0,953 0,973 0,958 0,972 0,959 0,895 0,908 0,947 0,919 0,944 0,920 0,042 0,041 0,029 0,039 0,030 0,034 Tabel 12 Ringkasan hasil pendugaan kedalaman muka air tanah di petak tersier 3 P10-2S Delta Saleh Titik Pengamatan R R2 RMSE OT4.1 OT4.2 OT4.3 OT4.4 OT4.5 OT4.6 0,993 0,993 0,994 0,992 0,992 0,992 0,986 0,986 0,987 0,984 0,983 0,983 0,034 0,041 0,034 0,038 0,037 0,042 Pengaturan Tata Air Pengendalian muka air tanah pada lahan rawa pasang surut merupakan suatu proses kunci yang harus dilakukan dengan tepat melalui pengelolaan air, baik di tingkat makro maupun mikro. Pengelolaan air pada tingkat makro (tata air makro) yaitu pengelolaan air yang dimulai dari sungai utama kemudian saluran primer dan saluran sekunder, sedangkan pengelolaan air di tingkat mikro (tata air mikro) mencakup pengelolaan air di tingkat tersier, kuarter, dan lahan usahatani. 89 Pengelolaan tata air mikro akan menentukan secara langsung kondisi lingkungan bagi pertumbuhan tanaman. Pengelolaan tata air mikro akan dapat dilakukan dengan baik apabila di saluran tersier sudah tersedia infrastruktur pengendali air. Pintu air berfungsi untuk pengendalian air di saluran, yaitu pemasukan air di saat air pasang dan drainase di saat air surut sesuai dengan tingkat kebutuhan air untuk tanaman. Dengan model penduga muka air tanah yang telah dibangun, maka kedalaman muka air tanah di petak lahan dapat diduga dan kondisi muka air tanah di petak lahan dapat diketahui secara cepat. Hasil simulasi menunjukkan bahwa tinggi muka air di saluran tersier merupakan parameter yang paling nyata mempengaruhi fluktuasi muka air tanah di petak lahan. Besarnya pengaruh tinggi muka air di saluran tersier terhadap kedalaman muka air tanah di petak lahan juga ditunjukkan oleh Gambar 45. Oleh karena itu, muka air tanah di petak lahan dapat dikendalikan pada kedalaman tertentu dengan cara mengatur tinggi muka air di saluran tersier. Skenario pengaturan tata air untuk pengendalian muka air tanah di petak lahan dapat dilihat pada Gambar 46. Skenario tersebut bersifat spesifik lokasi karena dibangun berdasarkan kondisi eksisting pada masing-masing lokasi penelitian. Skenario pengaturan tata air dibangun berdasarkan model penduga muka air tanah dengan besaran parameter seperti pada Tabel 13. Tabel 13 Besaran parameter dalam membangun skenario pengaturan tata air Lokasi R Rata-rata (mm/hari) ET Rata-rata (mm/hari) K Rata-rata (cm/jam) P8-12S P6-3N P10-2S 4,98 4.65 3.68 3,54 4,86 4,29 10,52 10,53 10,58 Hasil pendugaan muka air tanah dengan parameter-parameter seperti pada Tabel 13 menunjukkan bahwa perbedaan kedalaman muka air tanah untuk setiap perubahan nilai x (jarak titik dugaan dan/atau pengamatan dari saluran) tidak terlalu besar. Oleh karena itu, pengaturan tata air dapat disederhanakan dengan cara mengambil nilai rata-rata dugaan muka air tanah menurut x. 90 Petak Tersier 3 P8-12S 15 Kedalaman Muka Air Tanah (cm) 10 5 0 -5 -10 -15 -20 -25 -30 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 Tinggi Muka Air Saluran Tersier (cm) Petak Tersier 3 P6-3N 10 5 Kedalaman Muka Air Tanah (cm) 0 -5 -10 -15 -20 -25 -30 -35 -40 -45 -50 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 Tinggi Muka Air Saluran Tersier (cm) Petak Tersier 3 P10-2S 20 10 Kedalaman Muka Air Tanah (m) 0 -10 -20 -30 -40 -50 -60 -70 -80 -90 -100 -110 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100 105 Tinggi Muka Air Saluran Tersier (m) Gambar 45 Diagram pencar pengamatan tinggi muka air di saluran tersier dan kedalaman muka air tanah di petak lahan. 91 Pengaturan Tata Air di Petak Tersier 3 P8-12S 35 30 25 20 15 10 Kedalaman Muka Air Tanah (cm) 5 0 -5 -10 -15 -20 -25 -30 -35 -40 -45 -50 -55 -60 -65 -70 -75 -80 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100 Tinggi Muka Air Saluran Tersier (cm) Pengaturan Tata Air di Petak Tersier 3 P6-3N Pengaturan Tata Air di Petak Tersier 3 P10-2S 20 10 5 10 0 5 -5 0 -10 -5 -15 -10 -20 -15 -25 Kedalaman Muka Air Tanah (cm) Kedalaman Muka Air Tanah (cm) 15 -20 -25 -30 -35 -40 -45 -50 -55 -60 -30 -35 -40 -45 -50 -55 -60 -65 -70 -65 -75 -70 -80 -75 -85 -80 -90 -85 -95 -90 -100 -95 -105 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100 0 5 10 15 Tinggi Muka Air Saluran Tersier (cm) 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100 Tinggi Muka Air Saluran Tersier (cm) Gambar 46 Grafik pengaturan tata air untuk pengendalian muka air tanah di petak lahan. Hasil pengujian skenario pengaturan tata air dengan menggunakan data pengamatan pada periode April 2006 - Maret 2007 ditunjukkan pada Tabel 14. Tabel 14 Hasil pengujian skenario pengaturan tata air Lokasi R R2 RMSE P8-12S P6-3N P10-2S 0,974 0,998 0,999 0,948 0,995 0,999 0,020 0,008 0,012 92 Selanjutnya, kondisi muka air tanah di petak lahan dapat dikendalikan melalui teknik pengaturan tata air berikut: 1. Retensi air. Ketika tidak ada hujan dan air di saluran sedang surut, maka muka air tanah di petak lahan akan turun hingga beberapa cm di bawah permukaan tanah. Retensi air dilakukan untuk mempertahankan muka air tanah pada kedalaman tertentu. Penurunan muka air tanah hingga di bawah lapisan tanah yang mengandung pirit dapat menyebabkan terjadinya oksidasi pirit. Selain itu, retensi air juga diperlukan untuk mencegah terjadinya kekurangan air dan menciptakan kondisi lingkungan bagi penyerapan nutrisi yang dibutuhkan tanaman. Retensi air dapat dilakukan dengan cara menutup pintu air di saluran tersier pada saat air surut dan membuka pintu air pada saat pasang. Retensi air sebaiknya tidak dilakukan dalam waktu yang lama untuk mencegah terbentuknya bahan beracun dalam tanah. 2. Drainase. Drainase dilakukan apabila terjadi kelebihan air pada lahan usahatani, misalnya setelah terjadi hujan lebat. Drainase juga diperlukan pada kondisikondisi tertentu seperti sebelum dilakukan pemupukan, pada masa panen, atau ketika kualitas tanah dan air memburuk. Drainase dapat dilakukan dengan cara membuka pintu air di saluran tersier pada saat air surut dan menutup pintu air pada saat pasang. Namun demikian, harus diupayakan agar drainase tidak dilakukan terlalu dalam. Pada areal tertentu, drainase yang terlalu dalam bisa menimbulkan resiko terjadinya oksidasi pirit di bawah permukaan tanah. Oleh karena itu, muka air tanah harus dipertahankan pada kedalaman tertentu agar tetap berada di atas lapisan tanah yang mengandung pirit. 3. Pemasukan air. Tanpa irigasi, sumber air utama pada lahan rawa pasang surut berasal dari curah hujan dan air pasang di saluran. Apabila kualitas air layak (tidak asin atau asam), maka pemasukan air ke lahan usahatani dapat dilakukan untuk menjamin kecukupan air bagi tanaman dan juga peningkatan kualitas tanah. 93 Pada kondisi tertentu, genangan air di lahan usahatani perlu dipertahankan untuk berbagai tujuan. Namun demikian, penggenangan lahan dalam waktu yang relatif lama harus dihindari untuk mencegah terbentuknya bahan beracun dalam tanah. Jika selama penggenangan terbentuk unsur racun, maka harus dilakukan pencucian pada saat terjadi hujan atau ketika air di saluran tersier surut. Pengelolaan SDA dan Lingkungan pada Lahan Rawa Pasang Surut Lahan rawa sebagai salah satu sumber daya alam dapat dimanfaatkan untuk pertanian tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, perikanan, hutan tanaman industri, konservasi sumber daya alam, dan ekowisata. Namun demikian, untuk menjaga dan melestarikan daya dukung dan daya tampung rawa serta fungsi rawa sebagai sumber daya alam, maka pengelolaan rawa harus dilakukan secara menyeluruh dan terpadu dengan prinsip keberlanjutan. Pengelolaan rawa terpadu merupakan pengelolaan yang dilaksanakan dengan melibatkan semua pemilik kepentingan melalui mekanisme koordinasi. Selanjutnya, pengelolaan rawa berwawasan lingkungan yaitu pengelolaan yang memperhatikan keseimbangan ekosistem dan daya dukung lingkungan. Sementara, pengelolaan rawa berkelanjutan yaitu pengelolaan rawa yang tidak hanya ditujukan untuk kepentingan generasi sekarang, tetapi juga untuk kepentingan generasi mendatang. Faktor kunci pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan pada lahan rawa pasang surut yaitu pengelolaan air. Inti dari pengelolaan air yaitu pengendalian muka air tanah di petak lahan yang berfluktuasi sehingga dicapai kondisi muka air tanah yang dapat mendukung pertumbuhan tanaman. Pengelolaan air yang optimal juga dapat mengendalikan unsur-unsur racun pada lahan rawa pasang surut, sehingga tanaman dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. 94 Pengembangan Sistem Usahatani Sektor pertanian merupakan salah satu sektor unggulan dalam pemenuhan kebutuhan pangan di Indonesia. Sebagai sektor terbesar dan terpenting dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan, sektor pertanian harus terus dikembangkan, baik melalui kegiatan ekstensifikasi maupun intensifikasi. Daerah yang memiliki potensi cukup besar untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian yaitu daerah rawa pasang surut. Pengembangan lahan rawa pasang surut untuk mendukung produksi tanaman pangan dan hortikultura memiliki posisi yang sangat strategis. Hal ini disebabkan karena semakin berkurangnya lahan pertanian produktif akibat alih fungsi lahan. Produksi padi dari lahan rawa pasang surut, khususnya di Kabupaten Banyuasin, telah memberi kontribusi yang sangat besar dalam upaya pemenuhan kebutuhan pangan, bukan saja di Kabupaten Banyuasin tetapi juga di Provinsi Sumatera Selatan. Produksi padi tersebut masih dapat ditingkatkan lagi karena pada saat ini sebagian besar indeks pertanaman (IP) padi di daerah tersebut baru mencapai IP 100, hanya sebagian kecil yang telah mencapai IP 200. Secara umum, lahan usahatani di daerah rawa pasang surut dibagi dalam beberapa blok dan diberi nama sesuai dengan tingkatan dalam sistem jaringan tata air. Saluran sekunder (SPD dan SDU) yang tegak lurus dengan saluran primer membentuk satu blok sekunder, dan saluran tersier yang tegak lurus dengan saluran sekunder membentuk satu petak tersier. Dalam satu blok sekunder terdapat 16 petak tersier. Luas lahan usahatani dalam satu petak tersier yaitu 16 ha, sehingga dalam satu blok sekunder terdapat 256 ha lahan usahatani. Sketsa kepemilikan lahan di petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I dapat dilihat pada Gambar 47. Tersier 3 Ngadenan (1) Hartono (2) Hartono (1) Samirin Arif (1) SDU Arif Syamsuri Syamsuri Said Pariadi (2) Ngadenan (2) Samiran Pariadi (1) Gaguk (2) Samirin Kasdi (1) SPD Arif (2) Hartono Samiran Gaguk (1) Gaguk Pariadi Tersier 4 Gambar 47 Sketsa kepemilikan lahan di petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I. Jalan Poros Kasdi Kasdi (2) 95 Usahatani yang dilakukan di P8-12S yaitu tanaman padi pada musim tanam I (MT I), kemudian dilanjutkan dengan padi atau palawija pada musim tanam II (MT II). Produksi padi (gabah kering panen, GKP) pada MT I (2006-2008) di petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I yaitu berkisar antara 3,8-7,3 ton GKP/ha dengan rata-rata 5,7 ton GKP/ha, sedangkan pada MT II berkisar antara 0,3-3,5 ton GKP/ha, rata-rata 1,8 ton GKP/ha. Grafik produksi gabah kering panen pada MT I dan MT II di petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I dapat dilihat pada Gambar 48 dan 49. Produksi Gabah Kering Panen MT I di Petak Tersier 3 P8-12S Delta Telang I 8.0 7.0 Produksi (ton/ha) 6.0 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0 Kasdi (2) Arif (2) Ngadenan (1) Hartono (2) Hartono (1) Samirin Arif (1) Kasdi (1) Syamsuri Said Pariadi (2) Ngadenan (2) Samiran Pariadi (1) Gaguk (2) Gaguk (1) Petani 2006 2007 2008 Gambar 48 Produksi padi MT I di petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I. Produksi Gabah Kering Panen MT II di Petak Tersier 3 P8-12S Delta Telang I 4.0 3.5 Produksi (ton/ha) 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 Kasdi (2) Arif (2) Ngadenan (1) Hartono (2) Hartono (1) Samirin Arif (1) Kasdi (1) Syamsuri Said Pariadi (2) Ngadenan (2) Samiran Pariadi (1) Gaguk (2) Gaguk (1) Petani 2006 2007 Gambar 49 Produksi padi MT II di petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I. Secara umum, produksi padi pada MT I menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun, namun pada MT II terjadi penurunan yang cukup nyata. Penurunan produksi padi pada MT II terutama disebabkan karena hama pengganggu tanaman (HPT), hal ini terjadinya karena tidak semua petani dalam satu blok sekunder melakukan tanam pada MT II. 96 Penanaman padi MT I di P8-12S Delta Telang I dimulai pada pertengahan bulan Oktober (Tabel 15). Pada saat itu muka air tanah di lahan usahatani telah kembali naik, yaitu berada pada kedalaman ± 10 cm di bawah permukaan tanah (Gambar 50). Pada kedalaman kurang dari 10 cm, tanah di permukaan lahan dalam kondisi lembab sehingga petani dapat melakukan penanaman padi dengan sistem TABELA (tanam benih langsung). Sistem ini cukup efektif diterapkan untuk usahatani padi di lahan rawa pasang surut. Selain karena faktor lingkungan, sistem TABELA juga dapat mengatasi masalah keterbatasan tenaga kerja. Seorang petani dapat melakukan penanaman padi pada lahan seluas 1 hektar hanya dalam waktu kurang dari 1 hari. Tabel 15 Sistem usahatani padi MT I di P8-12S Delta Telang I No. Uraian Kegiatan 7 8 9 10 11 Bulan 12 1 2 3 4 5 6 1. Persiapan lahan a. Pemberantasan gulma b. Pengolahan lahan I c. Pengolahan lahan II 2. Penanaman 3. Pemeliharaan a. Pemupukan Pemupukan dasar1) Pemupukan I Pemupukan II b. Penyulaman c. Pengendalian gulma & HPT2) 4. Panen 5. Perontokan gabah 6. Pengeringan gabah 7. Penyimpanan 8. Pemrosesan gabah-beras Sumber: Susanto (2007) 1) Jika petani tidak melakukan pemupukan dasar, maka pemupukan I lebih cepat dilakukan dibandingkan petani yang melakukan pemupukan dasar. 2) Temporer, tergantung tingkat serangan gulma, hama dan penyakit. 97 Tabel 16 Sistem usahatani padi MT II di P8-12S Delta Telang I No. Uraian Kegiatan 2 3 4 5 6 7 Bulan 8 9 10 11 12 1 1. Persiapan lahan a. Pemberantasan gulma b. Pengolahan lahan I c. Pengolahan lahan II 2. Penanaman 3. Pemeliharaan a. Pemupukan Pemupukan dasar1) Pemupukan I Pemupukan II b. Penyulaman c. Pengendalian gulma & HPT2) 4. Panen 5. Perontokan gabah 6. Pengeringan gabah 7. Penyimpanan 8. Pemrosesan gabah-beras Sumber: Susanto (2007) 1) Jika petani tidak melakukan pemupukan dasar, maka pemupukan I lebih cepat dilakukan dibandingkan petani yang melakukan pemupukan dasar. 2) Temporer, tergantung tingkat serangan gulma, hama dan penyakit. Fluktuasi Muka Air Tanah di Petak Tersier 3 P8-12S Delta Telang I April 2006 - Maret 2008 0.15 T1 Kedalaman Muka Air Tanah (m, MSL) 0.10 P1 T2 T3 P2 0.05 0.00 -0.05 -0.10 -0.15 -0.20 -0.25 -0.30 -0.35 -0.40 Apr '06 May '06 Jun '06 Jul '06 Aug '06 Sep '06 Oct '06 Nov '06 Dec '06 Jan '07 Feb '07 Mar '07 Apr '07 May '07 Jun '07 Jul '07 Aug '07 Sep '07 Oct '07 Nov '07 Dec '07 Jan '08 Feb '08 Mar '08 Waktu (Hari) Rata-rata Keterangan: T1 : Tanam MT I (Aktual Padi) P1 : Panen MT I T2 : Tanam MT II (Potensial Padi) P2 : Panen MT II T3 : MT III (Potensial Palawija) Gambar 50 Fluktuasi muka air tanah rata-rata di petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I. 98 Setelah 2 minggu dari waktu tanam, petani mulai melakukan penyulaman, tanaman padi yang terlalu rapat dicabut kemudian dipindahkan ke bagian yang masih jarang. Pada saat yang sama, petani juga melakukan kegiatan pemeliharaan yang lain, seperti pemupukan, pengendalian gulma, dan pengendalian hama pengganggu tanaman (HPT). Pengendalian gulma dan HPT dilakukan secara temporer, tergantung tingkat serangan gulma, hama, dan penyakit. Memasuki masa panen, petani dihadapkan pada permasalahan tenaga kerja. Pada satu sisi, panen harus dilakukan dengan cepat, namun pada sisi yang lain, jumlah tenaga kerja sangat terbatas. Petani dituntut untuk melakukan panen dalam waktu yang cepat. Selain untuk menjaga kualitas gabah, setelah panen MT I selesai dilakukan, petani harus segera kembali menyiapkan lahan untuk melakukan penanaman padi MT II. Kegagalan panen yang sering terjadi pada MT II pada umumnya disebabkan karena keterlambatan petani dalam melakukan penanaman. Keterlambatan tanam akan berimplikasi pada banyak hal, terutama masalah ketersediaan air bagi tanaman. Oleh karena itu, usahatani padi di P8-12S harus dilakukan ketika muka air tanah berada pada kedalaman kurang dari 10 cm. Usahatani padi di P8-12S dapat dilakukan 2 kali dalam setahun, potensi luapan air pasang cukup mendukung ketersediaan air bagi tanaman pada MT II. Kegiatan tanam pada MT II harus dilakukan mulai pertengahan bulan Maret, ketika muka air tanah di petak lahan masih cukup tinggi. Muka air tanah yang terus menurun sejak bulan Maret dapat diantisipasi dengan teknik retensi air. Berbeda dengan P8-12S, usahatani yang dilakukan di P6-3N yaitu tanaman padi pada musim tanam I (MT I), kemudian dilanjutkan dengan palawija pada musim tanam II (MT II). Sketsa kepemilikan lahan di petak tersier 3 P6-3N Delta Telang I dapat dilihat pada Gambar 51. Tersier 4 Sucipto (2) Subur Budiono (1) Sucipto (1) Parsidi (1) SDU Widarto Kartono Sucipto (3) Kartono (2) Daliman (2) Budiono (3) Budiono (2) Daliman (1) Kartono (1) Subur Widarto (1) SPD Parsidi (2) Sucipto Budiono Sukamto Sukamto Daliman Tersier 3 Gambar 51 Sketsa kepemilikan lahan di petak tersier 3 P6-3N Delta Telang I. Jalan Poros Parsidi Widarto (2) 99 Produksi padi (gabah kering panen, GKP) pada MT I (2006-2008) di petak tersier 3 P6-3N Delta Telang I yaitu berkisar antara 4,0-8,3 ton GKP/ha dengan rata-rata 6,4 ton GKP/ha. Grafik produksi gabah kering panen pada MT I di petak tersier 3 P6-3N Delta Telang I dapat dilihat pada Gambar 52. Produksi Gabah Kering Panen MT I di Petak Tersier 3 P6-3N Delta Telang I 9.0 8.0 Produksi (ton/ha) 7.0 6.0 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0 Widarto (2) Parsidi (2) Sucipto (2) Subur Budiono (1) Sucipto (1) Parsidi (1) Widarto (1) Sucipto (3) Kartono (2) Daliman (2) Budiono (3) Budiono (2) Daliman (1) Kartono (1) Sukamto Petani 2006 2007 2008 Gambar 52 Produksi padi MT I di petak tersier 3 P6-3N Delta Telang I. Kegiatan usahatani padi MT I di P6-3N Delta Telang I sama seperti di P8-12S. Penanaman padi MT I di P6-3N juga dimulai pada pertengahan bulan Oktober (Tabel 17). Pada saat itu, muka air tanah di lahan usahatani telah kembali naik, yaitu berada pada kedalaman ± 15 cm di bawah permukaan tanah (Gambar 53). Pada kedalaman kurang dari 15 cm, kondisi tanah di permukaan lahan masih cukup lembab sehingga petani dapat melakukan penanaman padi dengan sistem TABELA (tanam benih langsung). Secara teknis, kegiatan usahatani padi MT II di P6-3N masih mungkin dilakukan karena kedalaman muka air tanah sampai bulan Juni masih kurang dari 20 cm di bawah permukaan tanah. Fluktuasi muka air tanah pada periode akhir bulan Januari hingga Juni memang relatif tinggi, kadang-kadang muka air tanah turun hingga kedalaman 25 cm. Dengan melakukan retensi air pada saat-saat tertentu sesuai dengan kebutuhan tanaman, sebenarnya petani dapat melakukan usahatani padi pada MT II. 100 Tabel 17 Sistem usahatani padi MT I di P6-3N Delta Telang I No. Uraian Kegiatan 7 8 9 10 11 Bulan 12 1 2 3 4 5 6 1. Persiapan lahan a. Pemberantasan gulma b. Pengolahan lahan I c. Pengolahan lahan II 2. Penanaman 3. Pemeliharaan a. Pemupukan Pemupukan dasar1) Pemupukan I Pemupukan II b. Penyulaman c. Pengendalian gulma & HPT2) 4. Panen 5. Perontokan gabah 6. Pengeringan gabah 7. Penyimpanan 8. Pemrosesan gabah-beras Sumber: Susanto (2007) 1) Jika petani tidak melakukan pemupukan dasar, maka pemupukan I lebih cepat dilakukan dibandingkan petani yang melakukan pemupukan dasar. 2) Temporer, tergantung tingkat serangan gulma, hama dan penyakit. Fluktuasi Muka Air Tanah di Petak Tersier 3 P6-3N Delta Telang I April 2006 - Maret 2008 0.10 T1 Kedalaman Muka Air Tanah (m, MSL) 0.05 P1 T2 T3 P2 0.00 -0.05 -0.10 -0.15 -0.20 -0.25 -0.30 -0.35 -0.40 -0.45 -0.50 Apr '06 May '06 Jun '06 Jul '06 Aug '06 Sep '06 Oct '06 Nov '06 Dec '06 Jan '07 Feb '07 Mar '07 Apr '07 May '07 Jun '07 Jul '07 Aug '07 Sep '07 Oct '07 Nov '07 Dec '07 Jan '08 Feb '08 Mar '08 Waktu (Hari) Rata-rata Keterangan: T1 : Tanam MT I (Aktual Padi) P1 : Panen MT I T2 : Tanam MT II (Potensial Padi) P2 : Panen MT II T3 : MT III (Potensial Palawija) Gambar 53 Fluktuasi muka air tanah rata-rata di petak tersier 3 P6-3N Delta Telang I. 101 Pada umumnya, petani di P6-3N lebih memilih untuk menanam palawija pada MT II dibandingkan menanam padi. Ada beberapa petani yang mencoba menanam padi pada MT II, namun hasilnya tidak maksimal karena banyaknya hama pengganggu tanaman (HPT). Sebenarnya HPT dapat ditekan apabila semua petani dalam satu blok sekunder melakukan tanam padi secara serentak. Sama seperti di P6-3N, usahatani yang dilakukan di P10-2S yaitu tanaman padi pada musim tanam I (MT I), kemudian dilanjutkan dengan palawija pada musim tanam II (MT II). Sketsa kepemilikan lahan di petak tersier 3 P10-2S Delta Saleh dapat dilihat pada Gambar 54. Tersier 3 Sumardi Yunus Tori S. Murodin (1) Tori S. Markin Siwan Murodin (2) Siswadi Darman Jaman Solihin (1) Solihin (2) Mardi (1) Marno (1) Marno (2) Mardi (2) Amin Sidik SDU Tonti SPD Markin Jalan Poros Murodin Jayus Siwan Tersier 4 Gambar 54 Sketsa kepemilikan lahan di petak tersier 3 P10-2S Delta Saleh. Produksi padi (gabah kering panen, GKP) pada MT I (2006-2008) di petak tersier 3 P10-2S Delta Saleh yaitu berkisar antara 2,4-6,6 ton GKP/ha dengan ratarata 4,2 ton GKP/ha. Grafik produksi gabah kering panen pada MT I di petak tersier 3 P10-2S Delta Saleh dapat dilihat pada Gambar 55. Produksi Gabah Kering Panen MT I di Petak Tersier 3 P10-2S Delta Saleh 7.0 Produksi (ton/ha) 6.0 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0 Murodin (1) Tori S. Markin Siwan Murodin (2) Siswadi Darman Jaman Solihin (1) Solihin (2) Mardi (1) Marno (1) Marno (2) Mardi (2) Amin Petani 2006 2007 2008 Gambar 55 Produksi padi MT I di petak tersier 3 P10-2S Delta Saleh. Sidik 102 Pada tahun 2008, produksi padi di petak tersier 3 P10-2S Delta Saleh terjadi penurunan. Penyebab utama penurunan produksi tersebut yaitu rendahnya kualitas lahan akibat oksidasi pirit. Pada awal musim tanam, proses pencucian asam dan senyawa beracun tidak dapat dilakukan dengan optimal karena rendahnya curah hujan. Kegiatan usahatani padi MT I di P10-2S Delta Saleh sama seperti di P8-12S dan P6-3N Delta Telang I. Penanaman padi MT I di P10-2S juga dimulai pada pertengahan bulan Oktober (Tabel 18). Pada saat itu muka air tanah di lahan usahatani telah kembali naik, yaitu berada pada kedalaman ± 50 cm di bawah permukaan tanah (Gambar 56). Petani di P10-2S juga melakukan penanaman padi dengan sistem TABELA (tanam benih langsung). Berbeda dengan sistem TABELA yang diterapkan di P8-12S dan P6-3N di mana lahan dalam kondisi basah atau lembab, sistem TABELA di P10-2S dilakukan pada kondisi lahan kering, muka air tanah masih berada pada kedalaman ± 50 cm di bawah permukaan tanah. Tabel 18 Sistem usahatani padi MT I di P10-2S Delta Saleh No. Uraian Kegiatan 7 8 9 10 11 Bulan 12 1 2 3 4 5 6 1. Persiapan lahan a. Pemberantasan gulma b. Pengolahan lahan I c. Pengolahan lahan II 2. Penanaman 3. Pemeliharaan a. Pemupukan Pemupukan dasar1) Pemupukan I Pemupukan II b. Penyulaman c. Pengendalian gulma & HPT2) 4. Panen 5. Perontokan gabah 6. Pengeringan gabah 7. Penyimpanan 8. Pemrosesan gabah-beras Sumber: Susanto (2007) 1) Jika petani tidak melakukan pemupukan dasar, maka pemupukan I lebih cepat dilakukan dibandingkan petani yang melakukan pemupukan dasar. 2) Temporer, tergantung tingkat serangan gulma, hama dan penyakit. 103 Fluktuasi Muka Air Tanah di Petak Tersier 3 P10-2S Delta Saleh April 2006 - Maret 2008 0.20 T1 Kedalaman Muka Air Tanah (m, MSL) 0.10 P1 T2 T3 P2 0.00 -0.10 -0.20 -0.30 -0.40 -0.50 -0.60 -0.70 -0.80 -0.90 -1.00 -1.10 -1.20 Apr '06 May '06 Jun '06 Jul '06 Aug '06 Sep '06 Oct '06 Nov '06 Dec '06 Jan '07 Feb '07 Mar '07 Apr '07 May '07 Jun '07 Jul '07 Aug '07 Sep '07 Oct '07 Nov '07 Dec '07 Jan '08 Feb '08 Mar '08 Waktu (Hari) Rata-rata Keterangan: T1 : Tanam MT I (Aktual Padi) P1 : Panen MT I T2 : Tanam MT II (Potensial Palawija) P2 : Panen MT II T3 : MT III (Potensial Palawija) Gambar 56 Fluktuasi muka air tanah rata-rata di petak tersier 3 P10-2S Delta Saleh. Proses pencucian lahan di P10-2S hanya bisa dilakukan dengan air hujan, karena air pasang di saluran tidak dapat mencapai lahan usahatani. Hujan pertama biasanya membuat tanah berada pada kondisi jenuh dan unsur-unsur racun bergerak ke permukaan tanah, kondisi ini membuat proses reduksi pirit mulai berjalan meskipun masih sementara. Karena curah hujan masih jarang, maka kondisi tanah dapat kembali kering dan proses oksidasi kembali terjadi. Pada kondisi seperti ini, petani tidak boleh melakukan penanaman. Jika petani memaksakan tanam pada awal musim hujan dimana unsurunsur racun bergerak ke permukaan tanah, sementara proses pencucian belum dapat dilakukan dengan optimal, maka pertumbuhan tanaman pada fase awal akan terhambat dan pada akhirnya tanaman akan mati. Namun jika menunggu sampai kondisi lahan benar-benar siap, dalam arti bebas dari asam dan senyawa beracun, maka waktu tanam akan terlambat dan ini akan berdampak pada MT II. Oleh karena itu, penanaman dilakukan pada waktu lahan masih dalam kondisi kering, dan ketika memasuki musim hujan, tanaman sudah tumbuh dan cukup mampu beradaptasi terhadap unsur-unsur racun yang ada di permukaan. Seiring dengan semakin banyaknya curah hujan dan proses pencucian terus berlangsung, maka 104 secara berangsur lahan akan bebas dari racun, sehingga tanaman dapat berkembang dengan baik. Secara teknis, kegiatan usahatani padi MT II di P10-2S memang agak sulit dilakukan karena muka air tanah relatif dalam. Fluktuasi muka air tanah pada periode bulan Maret hingga Juni terus menunjukkan penurunan. Muka air tanah turun hingga kedalaman 50-60 cm di bawah permukaan tanah, sehingga usahatani padi akan sulit dilakukan. Retensi air sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan ketinggian muka air tanah juga sulit dilakukan karena sumber air hanya berasal dari air hujan, sedangkan air pasang di saluran tidak dapat mencapai lahan. Oleh karena itu, sama seperti petani di P6-3N, petani di P10-2S juga lebih memilih menanam palawija pada MT II dibandingkan menanam padi. Pengendalian Lapisan Pirit Lahan pasang surut memiliki keragaman yang besar, baik sifat fisik, kimia, maupun biologi. Menurut Widjaja-Adhi (1993), lahan pasang surut dapat dibedakan atas 4 (empat) tipologi lahan, yaitu: 1. Lahan potensial, yaitu lahan pasang surut yang tanahnya termasuk tanah sulfat masam potensial dengan lapisan pirit berkadar ≤ 2% terletak pada kedalaman > 50 cm dari permukaan tanah. 2. Lahan sulfat masam, yaitu lahan pasang surut yang tanahnya mempunyai lapisan lapisan pirit atau sulfidik berkadar > 2% pada kedalaman < 50 cm. Lahan sulfat masam ini dibedakan lagi menjadi: a) Lahan sulfat masam potensial, yaitu apabila lapisan tanah sulfat masamnya belum teroksidasi; dan b) Lahan sulfat masam aktual, yaitu apabila lapisan tanah sulfat masamnya sudah teroksidasi dicirikan dengan adanya horizon sulfurik dan pH < 3,5. 3. Lahan gambut, yaitu lahan yang terbentuk dari bahan organik yang dapat berupa bahan jenuh air dengan kandungan karbon organik sebanyak 12-18% atau bahan tidak pernah jenuh air dengan kandungan karbon organik sebanyak 20%. Lahan gambut dikelompokkan menjadi beberapa golongan, yaitu: lahan bergambut bila ketebalan lapisan gambut 20-50 cm, gambut 105 dangkal (50-100 cm), gambut sedang (100-200 cm), gambut dalam (200-300 cm), dan gambut sangat dalam (> 300 cm). 4. Lahan salin, yaitu lahan pasang surut yang mendapat pengaruh atau intrusi air garam dengan kandungan Na dalam larutan tanah > 8% selama lebih dari 3 bulan dalam setahun. Selain gambut, masalah lain yang menjadi perhatian serius pada pengembangan budidaya pertanian di lahan rawa pasang surut diantaranya yaitu lapisan pirit. Pada musim hujan, lapisan pirit cenderung berada di bawah muka air tanah. Tetapi pada musim kemarau, apabila muka air tanah turun hingga di bawah lapisan pirit, maka akan terjadi proses oksidasi. Proses ini cukup berbahaya karena oksidasi pirit akan menghasilkan asam sulfat yang diikuti dengan peningkatan kelarutan besi dan alumunium, kondisi ini akan berbahaya bagi tanaman. Apabila pada lahan sudah terjadi oksidasi lapisan pirit, maka diperlukan waktu yang cukup lama untuk meremidiasi lahan tersebut agar bebas asam dan unsur-unsur lain yang membahayakan tanaman. Kedalaman lapisan pirit pada masing-masing lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 57, 58, dan 59. Gambar 57 Sebaran spasial kedalaman lapisan pirit di petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I. 106 Gambar 58 Sebaran spasial kedalaman lapisan pirit di petak tersier 3 P6-3N Delta Telang I. Gambar 59 Sebaran spasial kedalaman lapisan pirit di petak tersier 3 P10-2S Delta Saleh. 107 Kedalaman lapisan pirit di petak tersier 3 P8-12S berkisar antara 0,78-1,16 meter di bawah permukaan tanah. Lapisan pirit di petak tersier 3 P6-3N berada pada kedalaman 0,04-1,07 meter, sedangkan di petak tersier 3 P10-2S berkisar antara 0,74-1,24 meter di bawah permukaan tanah. Sebagian besar lahan rawa pasang surut yang telah direklamasi di Delta Telang I dan Delta Saleh merupakan lahan sulfat masam (PPMAL, 2006). Kebanyakan tanah sulfat masam (Potencial Acid Sulphate Soil, PASS) mengandung bahan sulfat masam atau bahan pirit yang letaknya di bawah permukaan tanah. Setelah lahan direklamasi dan drainasenya berjalan baik, maka bahan pirit mulai teroksidasi dan tanah sulfat masam berubah menjadi tanah sulfat masam aktual. Tanah yang mengandung pirit (FeS2) apabila kontak dengan udara yang mengandung oksigen (O2) akan teroksidasi menjadi ferihidroksida Fe(OH)3 dan asam sulfat (H2SO4). Asam sulfat tersebut bersifat racun bagi tanaman, terutama tanaman budidaya. Peristiwa ini biasanya terjadi di musim kemarau, terutama pada kemarau panjang ketika muka air tanah turun hingga di bawah permukaan tanah yang mengandung pirit. Pada kondisi seperti ini, udara masuk ke dalam tanah melalui pori-pori atau retakan dan mencapai pirit lalu terjadi oksidasi pirit. Perubahan tanah sulfat masam menjadi tanah sulfat masam aktual telah menimbulkan masalah yang cukup kompleks bagi petani. Tingkat keseriusan permasalahan tergantung pada kedalaman kandungan sulfat masam di bawah permukaan tanah. Apabila kedalamannya lebih dari satu meter di bawah permukaan tanah, maka keberadaan tanah sulfat masam tersebut biasanya tidak membahayakan tanaman. Namun apabila kandungan sulfat masam cukup dangkal, maka akan membahayakan tanaman, sebab bahan sulfat masam atau bahan pirit yang terkandung pada tanah sulfat masam dapat teroksidasi. Tanaman akan tumbuh dengan baik apabila pirit tidak teroksidasi, namun apabila pirit telah teroksidasi maka pertumbuhan tanaman akan terganggu karena pH tanah, Ca, Mg, dan P yang tersedia sangat rendah, serta ion Fe, Al, dan Mn yang tersedia berlebihan. Oksidasi pirit dapat dikendalikan dengan menekan jumlah oksigen yang tersedia di dalam tanah dan populasi mikroorganisma 108 pengoksidasi pirit. Kandungan oksigen dalam tanah dapat ditekan dengan mengatur tinggi muka air tanah. Penurunan muka air tanah hingga di bawah lapisan tanah sulfat masam akan menyebabkan terjadinya oksidasi pirit yang menghasilkan senyawa sulfat dan menyebabkan reaksi tanah sangat masam. Oleh karena itu, pengelolaan air memiliki peran penting dalam pengendalian lapisan pirit. Dalam kasus tanah sulfat masam, pengelolaan air harus memperhitungkan secara tepat kebutuhan untuk pencegahan terjadinya keasaman tanah selama pertumbuhan tanaman. Reaksi oksidasi pirit pada lahan sulfat masam yang mengalami penurunan muka air tanah sampai batas lapisan pirit dapat dibagi dalam tiga fase. Fase pertama yaitu oksidasi pirit selama periode kering (musim kemarau). Pada fase ini, muka air tanah turun sampai batas lapisan pirit. Pada akhir musim kemarau, pH tanah biasanya turun hingga di bawah 4 dan kelarutan alumunium berada pada konsentrasi yang paling tinggi (mencapai puncak). Fase kedua terjadi pada awal musim hujan, reaksi yang terjadi yaitu sebagian oksidasi dan kadang-kadang tereduksi. Hujan pertama biasanya membuat tanah berada pada kondisi jenuh dan unsur-unsur racun bergerak ke permukaan tanah, kondisi ini membuat proses reduksi mulai berjalan meskipun masih sementara. Karena curah hujan masih jarang, maka kondisi tanah dapat kembali kering dan proses oksidasi kembali terjadi. Pada kondisi seperti ini, petani tidak boleh melakukan penanaman. Pada saat hujan kembali datang, maka tanah menjadi jenuh dan tergenang, selanjutnya proses pencucian asam dan senyawa beracun mulai berlangsung melalui aliran permukaan, akibatnya konsentrasi Al dan Fe terus menurun. Pada fase ketiga, proses reduksi kembali terjadi, yaitu pada saat lahan mulai tergenang dan curah hujan relatif stabil. Pada fase ini, kualitas lahan mulai membaik, ditunjukkan dengan pH tanah yang mendekati netral serta konsentrasi Al dan Fe yang menurun hingga di bawah ambang toleransi tanaman. Pada kondisi seperti ini, kegiatan penanaman sudah dapat dilakukan. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Sistem jaringan reklamasi rawa pasang surut bersifat unik, tergantung pada karakteristik wilayah. a. Reklamasi atau pengembangan lahan rawa pasang surut untuk pertanian di Sumatera Selatan didukung oleh sistem jaringan tata air yang terdiri dari saluran primer, sekunder (SPD dan SDU), dan tersier. Kondisi muka air di saluran dipengaruhi oleh pasang surut air laut di Selat Bangka. b. Lahan usahatani dibuat berkelompok, lahan yang terletak di antara dua saluran sekunder disebut sebagai satu blok sekunder, sedangkan lahan yang terletak di antara dua saluran tersier disebut petak tersier. Pada umumnya, dalam satu blok sekunder terdapat 17 saluran tersier, atau terdapat 16 petak tersier. Luas lahan usahatani dalam satu petak tersier yaitu 16 hektar, sehingga total lahan usahatani dalam satu blok sekunder yaitu seluas 256 hektar. c. Dalam sistem pengelolaan air, setiap petak tersier merupakan satu unit sistem pengelolaan air. Teknik pengelolaan air pada sistem jaringan tata air yang tidak dilengkapi dengan infrastruktur pengendali air (pintu air) dilakukan secara gravitasi dengan memanfaatkan potensi luapan air pasang ke lahan. Teknik ini sangat bergantung pada kondisi hidrotopogafi lahan, sehingga kemampuan pelayanan tata air masih sangat rendah. d. Tanpa irigasi, sumber air utama pada pertanian lahan rawa pasang surut berasal dari curah hujan dan air pasang di saluran. Pemasukan air ke petak lahan dengan memanfaatkan potensi air pasang dapat dilakukan pada lahan tipe A dan B, sedangkan pemasukan air pada lahan tipe C dan D sulit dilakukan karena permukaan lahan relatif lebih tinggi dibandingkan muka air pasang di saluran. Kedalaman muka air tanah pada lahan tipe C dan D dapat dipertahankan dengan teknik retensi air. 109 110 e. Terdapat hubungan yang nyata antara kandungan liat, konduktivitas hidrolik tanah, dan lapisan pirit. Kandungan liat akan mempengaruhi keadaan pori tanah. Pada lapisan tanah yang kandungan liatnya rendah, maka nilai konduktivitas hidrolik tanah pada lapisan tanah tersebut relatif besar, sehingga ruang pori tanah cepat terisi air, akibatnya lapisan pirit relatif dalam karena tertahan di bawah muka air tanah. 2. Pemodelan muka air tanah pada lahan rawa pasang surut: a. Model penduga muka air tanah di petak tersier lahan rawa pasang surut telah dirumuskan. Tinggi muka air tanah pada jarak x dari saluran (h(x)) dapat diduga melalui beberapa parameter, yaitu: tinggi muka air di saluran tersier (hw), curah hujan (R), evapotranspirasi (ET), konduktivitas hidrolik tanah (K), jarak antar saluran tersier (2s), dan lebar saluran (ℓ). b. Model penduga muka air tanah yang telah dibangun dapat memprediksi kedalaman muka air tanah di petak lahan dengan hasil yang cukup baik. Proporsi keragaman kedalaman muka air tanah yang dapat dijelaskan oleh model yaitu sebesar 89,5% hingga 98,7% dengan galat baku pendugaan 0,021-0,042 meter. Model penduga muka air tanah memiliki sensitivitas tinggi terhadap parameter tinggi muka air di saluran tersier (hw). Perubahan yang terjadi pada hw akan menyebabkan perubahan muka air tanah h(x) di petak lahan dengan besaran yang sama. Pengaruh parameter curah hujan (R) dan evapotranspirasi (ET) terhadap perubahan h(x) relatif kecil. Perubahan h(x) oleh R atau ET yang cukup nyata hanya terjadi pada lahan yang letaknya relatif jauh dari saluran. c. Skenario pengaturan tata air untuk pengendalian muka air tanah di petak lahan telah dibangun. Tinggi muka air di saluran tersier (hw) merupakan parameter utama dalam pengendalian muka air tanah di petak lahan, sebab hw memiliki pengaruh yang paling nyata terhadap perubahan muka air tanah h(x). 111 3. Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan pada lahan rawa pasang surut untuk mendukung peningkatan produksi pertanian dan indeks pertanaman (IP) dapat dilakukan dengan strategi pengendalian muka air tanah. Kondisi muka air tanah yang fluktuatif di petak lahan dapat diprediksi dengan model penduga muka air tanah, serta dapat dikendalikan pada kedalaman tertentu melalui pengaturan tinggi muka air di saluran tersier. a. Pengendalian muka air tanah pada kedalaman tertentu dapat mendukung upaya peningkatan produksi pertanian. Pada pertanian lahan rawa pasang surut, tanaman akan tumbuh dan berkembang dengan baik apabila kedalaman muka air tanah dapat diatur sesuai dengan zona perakaran tanaman, dan pirit yang ada di dalam tanah tidak teroksidasi. Penurunan muka air tanah hingga di bawah lapisan tanah yang mengandung pirit akan menyebabkan terjadinya oksidasi pirit yang menghasilkan senyawa sulfat. Asam sulfat bersifat racun, sehingga dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Oksidasi pirit dapat dikendalikan dengan menekan kandungan oksigen yang tersedia di dalam tanah, yaitu dengan mengatur kedalaman muka air tanah. b. Secara teknis, pengendalian muka air tanah dapat meningkatkan indeks pertanaman (IP) pada lahan rawa pasang surut. Kondisi muka air tanah di petak lahan dapat dikendalikan dan diatur sesuai dengan usahatani yang diterapkan, sehingga pola tanam dapat ditingkatkan dan pengaturan waktu tanam tidak sepenuhnya bergantung pada kondisi alam. Pada lahan tipe A, usahatani padi dapat dilakukan 2 kali dalam setahun, potensi luapan air pasang cukup mendukung ketersediaan air bagi tanaman pada MT II. Pada lahan tipe B, usahatani padi juga dapat dilakukan 2 kali dalam setahun, namun untuk mendukung ketersediaan air pada MT II perlu dilakukan retensi air. 112 Pada lahan tipe C dan D, usahatani padi sulit dilakukan 2 kali dalam setahun, sebab sumber air yang utama hanya berasal dari air hujan, sedangkan potensi luapan air pasang tidak dapat menjangkau lahan. Kegiatan usahatani yang dapat dilakukan pada MT II yaitu tanaman palawija. Untuk MT III, kegiatan usahatani palawija dapat dilakukan pada semua tipe lahan. Pemasukan dan retensi air untuk mendukung ketersediaan air bagi tanaman harus memperhatikan kualitas air, karena pada musim kemarau dapat terjadi intrusi air asin. Saran Model penduga muka air tanah dan teknik pengendalian muka air tanah di petak lahan telah dibangun dalam penelitian ini. Kedalaman muka air tanah di petak lahan dapat diduga melalui parameter-parameter model sebagai prediktor, dan kondisi muka air tanah dapat dikendalikan pada kedalaman tertentu melalui pengaturan tinggi muka air di saluran tersier. Dalam implementasinya, agar kondisi muka air tanah dapat mendukung sistem usahatani, maka perlu dibuat panduan pengoperasian pintu air di saluran tersier sesuai dengan sistem usahatani yang diterapkan. Penelitian lanjutan tentang sistem telemetri dan rekayasa sistem kontrol (bangunan pengendalian air) di saluran tersier dapat melengkapi model dan teknik pengendalian muka air tanah yang telah dibangun. Selanjutnya, keberhasilan dan keberlanjutan pengembangan pertanian lahan rawa pasang surut harus didukung dengan infrastruktur pengendali air yang memadai, operasi dan pemeliharaan jaringan dengan penguatan kelembagaan P3A (Perkumpulan Petani Pemakai Air), serta pengenalan dan implementasi sistem usahatani. Peningkatan kemampuan dan pemberdayaan, serta partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara berkesinambungan melalui berbagai sosialisasi dan pelatihan, baik dari aspek teknis maupun non teknis. DAFTAR PUSTAKA Ananto, E.E., H. Subagyo, I.G. Ismail, U. Kusnadi, T. Alihamsyah, R. Thahir, Hermanto, dan D.K.S. Swastika. 1998. Prospek Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Modern di Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Palembang. Belcher, H.W. and G.E. Merva. 1987. Results of DRAINMOD verification study for Zeigenfus soil and Michigan climate. ASAE Paper No. 87-2554. Asae, St. Joseph, Michigan. BPS. 2006. Banyuasin dalam Angka Tahun 2005. Chang, A.C., R.W. Skaggs, L. F. Hermsmeier and W.R. Johnson. 1983. Evaluation of a water management model for irrigated agriculture. Transactions of the ASAE. 26(2):412-418, 422. Chescheir, G.M., Guy Fipps, and R.W. Skaggs. 1986. An approximate method for quantifying lateral seepage to and from drained fields. Paper; For presentation at the 1986 Winter Meeting American Society of Agricultural Engineers, Hyatt Regency, Chicago IL, December 16-19, 1986. Departemen PU. 2005. Studi Pemantapan Operasi dan Pemeliharaan Daerah Rawa di Sumatera Selatan. Kegiatan Pembinaan dan Perencanaan Satuan Kerja Sementara Irigasi dan Rawa Andalan Propinsi Sumatera Selatan. Departemen PU. 1995. Penjelasan tentang Proyek Pengembangan Daerah Rawa Sumatera Selatan (S.S.S.I.P). Djohan, H.M. R. 2006. Konsep strategi pengelolaan rawa. Proceeding Seminar “Peran dan Prospek Pengembangan Rawa dalam Pembangunan Nasional”. Jakarta, 27-28 Nopember 2006. Edrissea, F., R.H. Susanto dan M. Amin. 2000. Penggunaan konsep SEW-30 dan DRAINMOD untuk evaluasi status air di petak sekunder dan tersier di daerah reklamasi rawa pasang surut Telang I dan Saleh Sumatera Selatan. Semiloka Manajemen Daerah Rawa dan Kawasan Pesisir. Palembang 4-6 Maret 2000. Ernst, L.F. 1975. Formulae for groundwater flow in areas with subirrigation by means of open conduits with a raised water level. Misc. Reprint 178, Institute for Land and Water Management Research, Wageningen, The Netherlands. 32 pp. Euroconsult. 1996. Buku Panduan untuk Pengamat Proyek Telang-Saleh. Departemen Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Pengairan, Direktorat Pembinaan Pelaksanaan Wilayah Barat. 113 114 Euroconsult. 1995. Laporan Pemantauan Aspek-aspek Hidrologi Makro; Proyek Pengembangan Pertanian Telang dan Saleh, Komponen Pengembangan Drainase. Integrated Irrigation Sector Project (IISP). Fouss, J.L., R.L. Bengston and C.E. Carter. 1987. Simulating subsurface drainage in the lower Mississippi Valley with DRAINMOD. Transactions of the ASAE. 30(6):1679-1688. Gayle, G., R.W. Skaggs and C.E. Carter. 1985. Evaluation of a water management model for a Louisiana sugar cane field. J. of Am. Soc. of Sugar Cane Technologists. Vol 4. 4:18-28. Hadimoeljono, B. 2006. Inovasi dan prospek pengembangan rawa di masa depan. Proceeding Seminar “Peran dan Prospek Pengembangan Rawa dalam Pembangunan Nasional”. Jakarta, 27-28 Nopember 2006. Hardjoamidjojo, S., R.W. Skaggs and G.O. Schwab. 1982. Corn Response to excessive soil water conditions. Transactions of the ASAE. 25(4):922-927, 934. Hiler, E.A. 1969. Quantitative evaluation of crop requirements. Transactions of the ASAE, 12(3):499 Kartono. Reklamasi [16/04/06]. Rawa. http://www.pu.go.id/itjen/buletin/2324rawa.htm. Kimpraswil. Informasi Umum tentang Rawa Pasang Surut di Indonesia. http://www.tidal-lowlands.org/ind/General.htm. [16/04/06]. Kirkham, D. 1967. Explanation of paradoxes in Dupuit-Forchheimer seepage theory. Water Resour. Res. 3:609-622. Kirkham, D. 1964. Exact theory for the shape of the free water surface about a well in a semiconfined aquifer. J. Geophys. Res. 69:2537-2549. Kirkham, D. 1957. Theory of land drainage, In , Drainage of Agricultural Lands, Agronomy Monograph No. 7, American Society of Agronomy, Madison, Wisconsin. Kirkham, D., Sadik Toksöz and R.R. van Der Ploeg. Steady flow to drains and well. in van Schilfgaarde, J. 1974. Drainage for Agriculture. Editor. American Society of Agronomy, Inc., Publisher Madison, Wisconsin USA. Kodoatie, R. 2006. Jaringan reklamasi rawa. Proceeding Seminar “Peran dan Prospek Pengembangan Rawa dalam Pembangunan Nasional”. Jakarta, 27-28 Nopember 2006. Luthin, J.N. 1978. Drainage Engineering. John Wiley and Sons, Inc., New York. 250 pp. 115 LWMTL. 2006. Program Manajemen Air dan Lahan Pasang Surut (Land and Water Management Tidal Lowlands – LWMTL) di Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan. Juni 2004-Agustus 2006. Marino, M.A. and J.N. Luthin. 1982. Seepage and Groundwater. Elsevier Scientific Publishing Co. Amsterdam, The Netherlands. 489 pp. McMahon, P.C., S. Mostaghimi and F.S. Wright. 1988. Simulation of corn yield by a water management model for a coastal plains soil. Transactions of the ASAE. 31:734-742. Noorsyamsi, H., H. Anwarhan, S. Soelaiman and H.M. Beachell. 1984. Rice cultivation in the tidal swamp in Kalimantan. Workshop on research priorities in the tidal swamps rice. IRRI Los Banos Philipine. Nugroho, K. 2004. Aspek Hidrologi dalam Klasifikasi Tipe Luapan Pasang Surut, Studi Kasus Daerah Telang Sumatera Selatan. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Olson. 1981. Soil & The Environment – A Guide to Soil Surveys and Their Application. Chapman and Hall. New York. Proyek Irigasi dan Rawa Andalan (PIRA). 2004. Data Pengembangan Rawa di Sumatera Selatan. Rogers, J.S. 1985. Water management model evaluation for shallow sandy soils. Transactions of the ASAE. 28(3):785-790. Skaggs, R.W. 1982. Field evaluation of a water management simulation model. Transactions of the ASAE 25(3):666-674. Skaggs, R.W. 1980. A water management model for artificially drained soils. Tech. Bulletin No. 276. North Carolina Agricultural Research Service, N.C. State University, Raleigh. 54 pp. Skaggs, R.W., N.R. Fausey and B.H. Nolte. 1981. Water management model evaluation for North Central Ohio. Transactions of the ASAE 24(4):922928. Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bharata Karya Aksara. Jakarta. Sugeng, S. 1992. Pengembangan dan pemanfaatan rawa di Indonesia. Proseding Seminar Nasional Pemanfaatan Potensi Lahan Rawa untuk Pencapaian dan Pelestarian Swasembada Pangan. Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. Suryadi, F.X. 1996. Soil and Water Management Strategies for Tidal Lowlands in Indonesia. [Disertasi]. A.A. Balkema, Roterdam. 116 Susanto, R.H. 2007. Water table fluctuation under various hydrotopographical condition for determining the cropping calender. Jurnal Pengelolaan Lingkungan dan Sumber Daya Alam. 6(2):140-149. Susanto, R.H. 2000. Manajemen air daerah reklamasi rawa dalam kompleksitas sistem usahatani. Workshop Teknologi Pengembangan Lahan Rawa; Integrated Swamps Development Project Loan. Palembang 29 Agustus - 1 September 2000. Susanto, R.H. 1998. Water status evaluation in tertiary and secondary blocks of South Sumatra reclaimed tidal lowlands using the hidrotopography and SEW-30 concepts. Proceeding of the Young Professional ForumInternational Commision on Irrigation and Drainage Seminar (B3). Bali July 23, 1998. Susanto, R.H. 1995. Potensi, kendala dan kepekaan pengembangan dan pengelolaan rawa pasang surut untuk pembangunan yang berkelanjutan. Makalah, Disampaikan dalam Rangka Dies Natalis Universitas Sriwijaya. Susanto, R.H. 1994. METODE AUGER: Pengukuran Keterhantaran Hidrolik Tanah di Bawah Muka Air Tanah. Terjemahan dari THE AUGER HOLE METHOD: A Field Measurement of the Hydraulic Conductivity of Soil below the Water Table. W.F.J. Van Beers. 1983. ILRI, the Netherlands. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian. Universitas Sriwijaya. Susanto, R.H. dan R.H. Purnomo. 1996. Pengantar Fisika Tanah. Terjemahan. Fakultas Pertanian. Universitas Sriwijaya. Susanto, R.H., J. Feyen, W. Dierickx and G. Wyseure. 1987. The use of simulation models to evaluate the performance of subsurface drainage systems. Proc. of the Third International Drainage Workshop, Ohio State Univ. pp. A67-A76. Widjaja-Adhi, I.P.G. 1993. Lahan rawa dan teknik pengembangannya. Makalah, Disampaikan pada Kuliah Umum 27 Desember 1993. Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya. Widjaja-Adhi, I.P.G., K. Nugroho, D.A. Suriakarta dan A. Syarifuddin Karama. 1992. Sumber Daya Lahan Pasang Surut, Rawa dan Pantai: Potensi, Keterbatasan dan Pemanfaatannya. Makalah Utama, Disajikan dalam Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa. Bogor, 3-4 Maret 1992. LAMPIRAN Lampiran 1 Tanggal Pengamatan curah hujan harian tahun 2006 di P8-12S Delta Telang I 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Hujan Maximum Jml. Curah Hujan Jml.Hari Hujan Hujan (1-15) Jml. Data Kosong Hujan (16-31) Jml. Data Kosong Lampiran 2 Pengamatan curah hujan harian tahun 2007 di P8-12S Delta Telang I Tanggal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Hujan Maximum Jml. Curah Hujan Jml.Hari Hujan Hujan (1-15) Jml. Data Kosong Hujan (16-31) Jml. Data Kosong Jan 10.8 0 0 0 14.3 9.1 22.5 0 0 25.2 0.0 11.8 11.5 0 0 19.4 10.9 8.7 0 10.9 0 0 12.3 33 0 0 0 0 0 0 0 33 200 13 105 0 95 0 Feb 0 0 0 0 0 0 0 Feb 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 25.3 39.0 0 10.5 2.1 0 20.0 21.1 0 39 118 6 0 0 118 0 Mar 0 0 0 0 0 0 0 Mar 29.0 0 0 0 20.0 17.9 18.4 0 7.9 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 28.4 0 0 0 21.6 0 0 0 0 17.9 29 161 8 93 0 68 0 Apr 7.4 0 0 0 0 0 52.6 23.2 2.1 27.9 2.1 0 10.5 5.3 42.1 0 0 0 0 2.1 7.4 0 0 29.5 0 2.6 21.6 0 0 0 53 236 14 173 0 63 0 Apr 7.4 2 0 0 26.3 0 16.8 0 21.1 24.2 14.7 28.4 31.6 0 44.7 0 0 0 0 0 0 0 0 5.3 17.9 0 0 0 15.8 35.8 45 292 14 217 0 75 0 Mei 0 25.3 0 0 29.5 4.7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10.5 0 0 0 0 0 0 0 42.1 0 0 15.8 0 0 42 128 6 60 0 68 0 Bulan Jun 21.1 0 0 26.3 32.6 0 8.9 0 4.2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 8.4 3.7 0 0 39.5 0 0 0 0 0 Jan 0 0 0 0 0 0 0 Mei 13.2 0 0 8.9 0 0 11.1 14.2 0 0 0 0 0 36.8 0 0 0 0 0 0 0 0 0 8.9 7.4 0 0 0 0 0 0 37 101 7 84 0 16 0 40 145 8 93 0 52 0 Bulan Jun 0 0 0 13.2 8.4 27.4 0 0 0 29.5 0 0 0 0 0 5.3 8.4 0 12.6 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 30 105 7 79 0 26 0 Jul 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 21.1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10.5 0 27.4 27 59 3 0 0 59 0 Jul 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 21.1 29 0 0 0 0 0 0 0 0 0 29 50 2 0 0 50 0 Ags 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 13.7 5.3 0 22.6 0 0 0 0 23 42 3 0 0 42 0 Ags 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 20.5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 21 21 1 21 0 0 0 Sep 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10.5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 11 11 1 11 0 0 0 Sep 0 0 0 0 0 0 0 28.4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 28 28 1 28 0 0 0 Okt 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 47.4 27.4 0 0 0 0 34.7 3.2 0 29.5 0 0 0 36.8 0 0 0 0 0 29.5 47 209 7 75 0 134 0 Okt 0 0 0 0 0 0 0 0 30.5 0 0 0 0 32.6 8.9 8.4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 16.8 0 33 97 5 72 0 25 0 Nop 0 0 12.6 0 0 0 0 0 0 0 0 0 19.0 0 0 0 0 0 21.1 31.6 0 0 42.1 34.7 36.8 0 27.9 31.6 0 0 42 257 9 32 0 226 0 Nop 0 0 44.7 0 0 0 18.4 0 0 22.1 0 0 47.9 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 30.5 0 11.1 48 175 6 133 0 42 0 Des 0 0 33.7 0 0 0 22.6 0 0 0 0 0 43.7 0 0 0 52.6 42.1 21.1 0 0 0 0 0 36.8 0 0 0 0 0 0 53 253 7 100 0 153 0 Des 0 0 0 0 0 0 0 5.3 6.3 0 0 0 0 23.2 0 0 11.6 42.1 0 24.7 0 0 0 33.2 0 0 14.7 0 46.3 10.5 0 46 218 10 35 0 183 0 Tahunan 53 1339 58 Tahunan 48 1566 80 Lampiran 3 Tanggal Pengamatan curah hujan harian tahun 2008 di P8-12S Delta Telang I 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Hujan Maximum Jml. Curah Hujan Jml.Hari Hujan Hujan (1-15) Jml. Data Kosong Hujan (16-31) Jml. Data Kosong Lampiran 4 Pengamatan curah hujan harian tahun 2006 di P6-3N Delta Telang I Tanggal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Hujan Maximum Jml. Curah Hujan Jml.Hari Hujan Hujan (1-15) Jml. Data Kosong Hujan (16-31) Jml. Data Kosong Jan 0 0 0 0 0 0 0 Feb 0 8.4 0 0 0 12.3 0 0 0 10.5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 25.3 11.1 0 39.5 40 107 6 31 0 76 0 Feb 0 0 0 0 0 0 0 Mar 0 6.3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5.3 36.8 0 0 0 0 0 0 21.1 0 0 6.3 0 0 43.2 0 39.0 0 0 55.8 56 214 8 48 0 165 0 Mar 0 0 0 0 0 0 0 Apr 0 0 0 0 0 0 0 Apr 10.1 0 0 0 0 0 0 0 15.3 0 5.3 0 41.5 4.8 0 6.3 0 38.6 0 15.1 1.6 0 0 20.5 0 12.1 0 0 0 32.6 42 204 12 77 0 127 0 Mei 0 0 0 0 0 0 0 Bulan Jun 0 0 0 0 0 0 0 Jan 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 31.6 3.2 33.7 0 0 0 16.8 12.6 16.8 18.4 0 14.7 6 0 0 0 20.0 0 34 174 10 35 0 139 0 Mei 36.8 10 0 0 0 15.8 0 2.7 0 0 9.1 1.1 0 0 0 0 0 0 0.6 0 2.1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 37 78 8 76 0 3 0 Bulan Jun 0 16.7 0 6.6 16.4 0 8.2 0 4.7 0 0 0 0 0 1.1 0 0 0 0 0 40.2 37.6 32.1 6.1 18.3 0 0 0 0 0 40 188 11 54 0 134 0 Jul 0 0 0 0 0 0 0 Jul 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 9.5 6.8 4.2 0 0 0 0 0 0 0 18.1 2.3 1.6 1.1 18 44 7 0 0 44 0 Ags 0 0 0 0 0 0 0 Ags 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 8.4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 8 8 1 0 0 8 0 Sep 0 0 0 0 0 0 0 Sep 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.5 10.8 1.6 0 0 0 0 0 8 0 1.4 2.5 0 0 0 0 0 0 15.7 1.6 16 42 8 13 0 29 0 Okt 0 0 0 0 0 0 0 Okt 0 0 0 1.1 0 0 0 0 0 23.5 0 0 0 0 0 0 0 18.4 34.5 0 0 27.7 25.8 5.7 0.7 2.1 2.6 4.6 33.2 11.4 2.8 35 194 14 25 0 170 0 Nop 0 0 0 0 0 0 0 Nop 0 2.5 0 22.1 7.7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 23.6 0 46.2 0 0 0 42.1 0 34.5 0 0 46 179 7 32 0 146 0 Des 0 0 0 0 0 0 0 Des 0 8.7 5.8 4.6 42.1 9.9 0 7.4 12.1 9.8 18.6 0 0 0.7 8.2 0 0 7.9 7.9 24.7 0 0 0 8.8 0 17.3 35.5 4.2 0 0 0 42 234 18 128 0 106 0 Tahunan 56 495 24 Tahunan 46 1171 86 Lampiran 5 Tanggal Pengamatan curah hujan harian tahun 2007 di P6-3N Delta Telang I 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Hujan Maximum Jml. Curah Hujan Jml.Hari Hujan Hujan (1-15) Jml. Data Kosong Hujan (16-31) Jml. Data Kosong Lampiran 6 Pengamatan curah hujan harian tahun 2008 di P6-3N Delta Telang I Tanggal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Hujan Maximum Jml. Curah Hujan Jml.Hari Hujan Hujan (1-15) Jml. Data Kosong Hujan (16-31) Jml. Data Kosong Jan 0 19.5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 32.6 34.7 0 0 0 34.7 0 0 0 0 20 0 0 0 0 7.9 0 35 149 6 52 0 97 0 Feb 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 19 0 35.8 4.2 46.3 0 48.4 0 7.4 11.6 14.7 0 48 187 8 0 0 187 0 Feb 42.1 0 5.1 0 0 0 25.3 0 0 8.9 11.6 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 22.1 0 0 14.7 30 42 160 8 93 0 67 0 Mar 24.7 0 0 12.6 8.8 16.8 50.5 0 0 0 0 0 25.3 0 0 7.9 0 0 0 0 0 0 0 0 9.5 0 0 25.3 11.6 0 8.4 51 201 11 139 0 63 0 Mar 0 15.8 11.4 0 0 12.1 0 0 0 0 22.1 0 14.7 0 12.1 31.6 5.3 1.6 0 20 0 0 6.1 0 0 33.7 0 27.4 0 0 27.4 34 241 14 88 0 153 0 Apr 29.5 33.7 0 0 0 0 7.4 0 35.8 33.7 0 8.4 0 17.9 0 0 9.5 0 40 0 0 0 0 0 0 6.3 0 0 0 17.1 40 239 11 166 0 73 0 Apr 0 0 0 0 0 0 0 Mei 17.9 22.1 0 0 0 0 0 0 0 13.2 0 0 0 35.8 0 0 0 24.2 0 0 0 0 0 0 0 0 16.3 7.4 0 0 0 36 137 7 89 0 48 0 Bulan Jun 0 0 0 12.6 7.9 11.6 3.2 23.7 0 0 7.9 0 0 0 5.1 4.2 14.2 8.2 21.1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Jan 21.6 0 0 3.7 3.1 12.6 0 0 8.9 0 14.2 1.6 2.1 7.8 0 0 5.7 42.6 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 14.4 0 0 43 138 12 76 0 63 0 Mei 0 0 0 0 0 0 0 24 120 11 72 0 48 0 Bulan Jun 0 0 0 0 0 0 0 Jul 0 0 0 0 0 0 0 0 2.8 0 0 0 0 0 0 0 0 22.1 7.4 0 11.9 28.4 0 0 11.4 0 0 0 0 0 0 28 84 6 3 0 81 0 Jul 0 0 0 0 0 0 0 Ags 13.7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4.2 0 16.8 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 17 35 3 18 0 17 0 Ags 0 0 0 0 0 0 0 Sep 0 0 0 5.3 0 0 0 32.6 13.7 0 0 0 0 0 0 0 0 14.5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 33 66 4 52 0 15 0 Sep 0 0 0 0 0 0 0 Okt 0 0 0 0 0 0 0 9.5 0 11.6 0 0 0 0 0 24.7 0 0 0 0 0 0 14.7 0 0 0 0 0 27.4 0 0 27 88 5 21 0 67 0 Okt 0 0 0 0 0 0 0 Nop 0 0 28.4 0 0 0 14.5 0 5.1 22.1 0 0 0 17.9 0 7.9 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 30.5 0 0 31 126 7 88 0 38 0 Nop 0 0 0 0 0 0 0 Des 0 37.9 0 0 0 0 24.7 0 0 0 0 0 0 13.7 0 17.9 0 6.8 0 39 0 37.9 0 8.2 0 0 7.2 0 43.7 16.8 0 44 254 11 76 0 178 0 Des 0 0 0 0 0 0 0 Tahunan 51 1676 96 Tahunan 42 551 28 Lampiran 7 Tanggal Pengamatan curah hujan harian tahun 2006 di P10-2S Delta Saleh 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Hujan Maximum Jml. Curah Hujan Jml.Hari Hujan Hujan (1-15) Jml. Data Kosong Hujan (16-31) Jml. Data Kosong Lampiran 8 Pengamatan curah hujan harian tahun 2007 di P10-2S Delta Saleh Tanggal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Hujan Maximum Jml. Curah Hujan Jml.Hari Hujan Hujan (1-15) Jml. Data Kosong Hujan (16-31) Jml. Data Kosong Jan 12.3 0 0 0 1.3 1.5 2.8 3.4 2.7 1.7 12.3 1.3 0 3.5 0 0 34.7 13.2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 35 91 12 43 0 48 0 Feb 0 0 0 0 0 0 0 Feb 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 24.2 0 40 10.5 0 0 36 0 3.8 0 0 42.1 42 157 6 0 0 157 0 Mar 0 0 0 0 0 0 0 Mar 21.1 4.1 0 10.7 14.7 31.6 0 10.5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 16.8 0 21.1 32 131 8 93 0 38 0 Apr 11.4 0 0 0 0 0 21.1 31.6 0 0 0 0 11.6 35.3 1.1 27.4 0 0 0 2.7 11.1 0 0 15.3 15.8 0 0 0 0 0 35 184 11 112 0 72 0 Apr 21.1 0 21.1 0 0 0 0 0 31.6 0 0 0 8.4 13.7 0 11.6 15.8 0 0 0 0 0 0 0 0 0 36.8 0 15.8 42.1 42 218 10 96 0 122 0 Mei 0 6.3 0 0 20 2.6 11.6 3.2 0 0 0 0 21.6 14.1 0 0 0 0 0 1.8 6.3 0 0 0 1.1 0 7.9 0 4.2 0 3.3 22 104 13 79 0 25 0 Bulan Jun 0 9.5 2.4 0 0 0 22.1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 7.6 20 5.3 8.9 26.3 0 0 0 0 0 Jan 0 0 0 0 0 0 0 Mei 0 0 0 0 1.6 0 0 0 0 0.8 0 0 0 9.5 17.9 0 0 0 0 0 0 6.3 3.2 0 10.5 0 0 0 0 0 26.3 26 76 8 30 0 46 0 26 102 8 34 0 68 0 Bulan Jun 0 1.3 0 0 5.5 35.8 0 6.3 0 0 10.5 0 0 0 0 0 0 0.5 12.1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 36 72 7 59 0 13 0 Jul 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 6.9 9.4 10.5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 11 27 3 0 0 27 0 Jul 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3.2 0 0 0 0 0 0 0 7.9 0 0 15.8 22.2 0 0 3.4 0 0 0 0 11.2 0 22 64 6 3 0 61 0 Ags 2.2 0 0 4.8 0 6.2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1.6 1.3 1.3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 6 17 6 13 0 4 0 Ags 8.4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4.1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2.1 1.6 0 0 0 0 0 0 0 0 8 16 4 13 0 4 0 Sep 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.8 0.5 0.2 0 0 0 7.2 0 0 0 2.2 10.3 0 0 0 0 0 0 0 0 10 21 6 2 0 20 0 Sep 0 5.1 0 0 0 0 0 0 2.1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5 7 2 7 0 0 0 Okt 1.6 0 1.6 0 0 0 0 0 0 17.9 0 0 0 0 0 0 0 0 17.3 3.1 0 0 33.2 15.4 0 27.9 2.1 21.1 23.1 6.8 12.9 33 184 13 21 0 163 0 Okt 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 15.8 0 26.3 0 0 26 42 2 0 0 42 0 Nop 0 39.8 6.1 28.5 2.1 0 0 0 1.5 0 0 7.2 7.4 12.6 0 0 24.2 0 0 2.2 12.5 20.2 0 14.4 0 5.7 1.3 26.3 0 0 40 212 16 105 0 107 0 Nop 5.3 10.5 6.3 0 0 0 0 0 0 0 10.5 16.8 0 14.7 0 6.3 0 15.8 0 10.5 0 0 12.6 0 0 15.8 0 0 0 0 17 125 11 64 0 61 0 Des 0 9.2 3.7 11.7 6.3 0 0.4 0 0.6 0 6.8 0 0 17.2 7.4 0 0 6.7 0 33.8 10.5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 34 114 12 63 0 51 0 Des 0 0 0 17.9 0 0 6.3 0 0 10.5 8.4 0 36.8 0 0 15.8 0 0 21.1 4.2 8.4 26.3 0 37.9 0 9.5 42.1 0 3.2 21.1 0 42 270 15 80 0 190 0 Tahunan 40 966 88 Tahunan 42 1268 91 Lampiran 9 Tanggal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Hujan Maximum Jml. Curah Hujan Jml.Hari Hujan Hujan (1-15) Jml. Data Kosong Hujan (16-31) Jml. Data Kosong Pengamatan curah hujan harian tahun 2008 di P10-2S Delta Saleh Jan 26.3 0 7.4 26.3 4.1 0 28.4 0 0 31.6 1.8 0 0 0 0 0 0 0 8.4 21.1 0 5.3 21.1 0 15.8 22.1 0 6.3 4.2 0 0 32 230 15 126 0 104 0 Feb 0 31.6 0 26.6 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 23 0 15.9 0 23.2 0 0 0 0 0 0 0 32 120 5 58 0 62 0 Mar 19.5 0 0 3.2 12.6 20.8 0 0 0 0 32.5 0 0 0 0 0 0 6 5.6 9.6 0 5.3 2.6 8.8 0 0 25.1 0 35.5 0 9.7 36 197 14 89 0 108 0 Apr 0 0 0 0 0 0 0 Mei 0 0 0 0 0 0 0 Bulan Jun 0 0 0 0 0 0 0 Jul 0 0 0 0 0 0 0 Ags 0 0 0 0 0 0 0 Sep 0 0 0 0 0 0 0 Okt 0 0 0 0 0 0 0 Nop 0 0 0 0 0 0 0 Des 0 0 0 0 0 0 0 Lampiran 10 Pengamatan suhu udara rata-rata harian tahun 2006 di P8-12S Delta Telang I Tanggal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Jan - Feb - Mar - Apr 27.5 29 28.5 28.5 26.5 27.5 29 28.5 28 28 28.5 28 27 28 28.5 29 27.5 28 28 29 27 28 28 28.5 29 26.5 25 29 30 30 Mei 27.5 26.5 27 28 26.5 28.5 29 28 29.5 28 31 29 29 27.5 28.5 29 27.5 30 29.5 29.5 27.5 27.5 28 29.5 28 30 29.5 27 27.5 29 29.5 Bulan Jun 27.5 29 29 29.5 28.5 29 29 30 30 29.5 28 29 28.5 30 28.5 29 27.5 27 28.5 27 28 29 28 28.5 27 28.5 28.5 29.5 29 30 Jul 28.5 29 30 28 29.5 28 28.5 29 29 28 28.5 30 27 29.5 29 29.5 29 29.5 27.5 28 28 29.5 29 29.5 28 29 28.5 28 29 29 29 Ags 29 29.5 29.5 29 28.5 30 30.5 30 28.5 29.5 29.5 29 29 29.5 29.5 29 29 29.5 29 28.5 29 29 28.5 29.5 29 29 29.5 29.5 29.5 29 29 Sep 29 28.5 29.5 28.5 29 29.5 29 29 29 29 29 28.5 28.5 29.5 28 29 29 29 29 29 29.5 29 28 29 29 29.5 29.5 30 28.5 29 Okt 29 28.5 28.5 30 29.5 28 27 27.5 28.5 30 29.5 29.5 29.5 28 30 29.5 30.5 30 29 30.5 30 29 30.5 29 29 29 29.5 29 30 28.5 29 Nop 29 29 28.5 29 29 29.5 29.5 29 29 29.5 29.5 29 29 28.5 28.5 28 28 29.5 29.5 29.5 28.5 28.5 28.5 29 28.5 28.5 28.5 28.5 27.5 27.5 Des 27.5 26 26 26 25.5 26.5 26.5 28 28 27 26.5 25.5 25.5 25.5 25.5 25.5 26 26 26 25.5 25 26 25.5 24 25.5 25 24.5 24.5 26 26 26 Tahunan 36 547 34 Lampiran 11 Pengamatan suhu udara rata-rata harian tahun 2007 di P8-12S Delta Telang I Tanggal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Jan 25 24.5 25.5 26 25.5 26 26 25.5 25 25 25 24.5 24.5 25.5 26 23 23.5 23 23 23 24.5 25 23 23.5 22.5 22.5 22 23 24 23 24 Feb 26 26.5 26 26 25.5 27 27.5 28.5 28 28 27.5 28 26 27 26.5 27 27.5 28.5 27.5 28.5 29.5 28.5 29.5 28.5 27.5 26.5 27.5 27 Mar 29.5 28 30 28.5 29 30 28.5 29.5 28.5 29.5 28.5 28 29 28 26.5 27.5 28.5 29.5 28 29 28.5 29 27 27.5 28 30 28.5 28.5 28.5 30 29.5 Apr 29 29 26.5 28.5 29 28.5 28.5 26 29.5 28.5 28 26 28.5 28 26.5 28 29.5 29.5 27.5 28 28.5 27 27 25 25 24 25 24.5 25.5 24.5 Mei 25.5 26.5 26.5 26.5 25.5 28 27 26 27 27 28 26.5 28.5 27.5 28.5 27 26 26 27.5 28.5 27.5 26.5 27.5 28.5 27.5 26.5 28 27.5 28 27 28 Bulan Jun 28.5 28.5 29 28 28.5 28.5 29 28.5 29 28 29.5 28.5 29 27.5 28.5 26.5 27.5 27.5 29 28.5 29.5 29 30 28.5 29 29 29 29 29 29.5 Jul 28.5 29 28 29 28.5 28.5 29 28.5 26.5 27.5 27 29 28 28 29.5 28.5 28.5 27.5 27.5 28 27.5 26.5 25 26.5 27.5 27.5 28 27.5 28 28.5 29 Ags 28.5 27.5 28 28 28 28.5 28 28 29 28.5 28 29.5 28 27 27.5 28 28 27.5 27 27 28 27.5 27 27.5 28.5 27.5 28.5 27.5 28.5 27 27.5 Sep 28 28 28 27 27.5 28.5 28 28 27.5 26.5 27 28 27 28 28.5 28.5 29 28 27.5 28.5 28 28.5 28.5 28 28.5 28.5 28.5 27.5 27.5 28 Okt 27.5 27.5 27.5 28.5 28 27.5 29 28.5 28.5 28 27 29 27.5 27.5 27.5 27 27 27.5 28 28.5 29 28 27.5 27.5 29 28 29 28 27 29 28 Nop 29.5 28 27 28 28 27.5 27.5 28 28 27.5 27.5 27.5 29 28.5 29 28 28 27.5 28 29 28 28.5 28.5 28 27.5 29.5 28.5 28.5 27.5 28 Des 27.5 27 27 27.5 27.5 28.5 28 27.5 27.5 28.5 28 27.5 28 27.5 27.5 27.5 28 28 26.5 26.5 27.5 27.5 28 27.5 27.5 27.5 27.5 28.5 27.5 27 29 Lampiran 12 Pengamatan suhu udara rata-rata harian tahun 2008 di P8-12S Delta Telang I Tanggal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Jan 27 28 27.5 27.5 27.5 27 27.5 27.5 28 28.5 28 27.5 27.5 27.5 26 27.5 28 27.5 27 26.5 28 27.5 27.5 28 28 27.5 29.5 28 27.5 27 26.5 Feb 28 27.5 26 27.5 28 27.5 27.5 27.5 28 28 27 27.5 27 27.5 27.5 27 27 27.5 28 27 27 28 28 27.5 27 27 28 27.5 27 Mar 27.5 27.5 27 26 26.5 27 28 27.5 27.5 27.5 27.5 28.5 27 28 27 27.5 28 28 27.5 27.5 28 27.5 26.5 28.5 29 27 28 27 27.5 28.5 25.5 Apr - Mei - Bulan Jun - Jul - Ags - Sep - Okt - Nop - Des - Lampiran 13 Pengamatan suhu udara rata-rata harian tahun 2006 di P6-3N Delta Telang I Tanggal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Jan - Feb - Mar - Apr 27.5 29 28 27 26.5 28 28 28 28.5 28.5 27.5 27 27 27.5 29 28.5 28 27.5 27 28 27 26 28 28.5 27.5 27.5 27.5 29 28.5 28.5 Mei 28.5 29 29 28 29 28.5 28.5 27.5 28.5 28 29 27.5 28 27 28.5 28 28 27.5 28.5 28.5 26.5 29 27 29 27.5 28 28 27.5 26.5 28 28 Bulan Jun 27.5 28 28.5 28.5 28 26 26.5 27 28 28 28 28.5 28.5 28 28 27.5 27.5 28.5 28.5 27 27.5 27.5 26 27.5 27.5 26 28 28 28.5 28 Jul 28.5 28.5 28 29.5 28.5 28 28 28.5 28.5 28.5 29.5 28.5 29 28.5 28.5 29 28 27 27.5 27.5 29 28 28 28.5 28.5 28.5 29.5 28.5 28 27.5 28.5 Ags 26.5 27 26.5 26.5 26 26 27 25.5 26.5 26.5 26 26.5 26.5 26.5 26.5 26.5 26.5 27 27.5 26.5 27 27 27 26.5 27.5 27 26.5 27.5 27 26.5 27 Sep 27 27 27.5 26.5 27 27 27 26.5 26.5 27 27 25.5 27.5 28 27 27.5 27 26.5 27 27.5 27 28 27 27.5 27 26 27 27.5 28 27.5 Okt 28 27 26 26.5 28 27.5 28.5 27 27.5 28 26.5 27 27.5 26.5 26.5 26.5 26 26.5 26 27 26 25.5 26 27 27 28 27.5 26 26.5 27.5 27 Nop 26.5 27 27.5 27.5 27.5 28 27.5 29 28 27.5 28.5 27.5 26.5 28.5 28 28 28.5 28 28.5 28 27.5 27.5 27 25.5 27.5 27 27.5 26.5 26.5 28 Des 27.5 26.5 27 27.5 26 26 27 27 27 27.5 27 27 27.5 26 27 27.5 26.5 27 25.5 27 27.5 26.5 27.5 26.5 26 26.5 26.5 26 25.5 27 26.5 Lampiran 14 Pengamatan suhu udara rata-rata harian tahun 2007 di P6-3N Delta Telang I Tanggal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Jan 25.5 25.5 26.5 25.5 25.5 26.5 27 27.5 26.5 26 27.5 27 25.5 28.5 28.5 27.5 25.5 27 26.5 27.5 28 28 26.5 27 26 27 27 26.5 26.5 27 27.5 Feb 28 28.5 26 26.5 27 27.5 28 29 29.5 29 28.5 28 29 29 28 28.5 29.5 28.5 27.5 27.5 26 29 28.5 27.5 27 28 27.5 29 Mar 27.5 28.5 26 27 26 27 28.5 28 27 28.5 28.5 29.5 28 29 28.5 28 28.5 29 29 29.5 28 27.5 28 28.5 29.5 29 27.5 27.5 28 29 28 Apr 28.5 28.5 26.5 28 29 27.5 28 29 28 28.5 28.5 28.5 28.5 28.5 29 28 28 29 29 29.5 29 28.5 28 27.5 29 28 29 29 29 29 Mei 28 28 29 28.5 28 29.5 29.5 29 29 28.5 28.5 29 29.5 27.5 27 27 28.5 27.5 29 29 28 28 27.5 29 28.5 28 27.5 28 27.5 28.5 29 Bulan Jun 29 28.5 28.5 27.5 28.5 28.5 28 27.5 28 28.5 27.5 28 28.5 28.5 27.5 27.5 27.5 27 28 28 28.5 29 29 29.5 29 29 29 28.5 29.5 28.5 Jul 28 29 29.5 29 29 29 29.5 29 27.5 28 28.5 28 29 28.5 28.5 28.5 29 27 28 27.5 27.5 26 26 27.5 27 28 27.5 28 28 28.5 28.5 Ags 29 28.5 27.5 28 27.5 28 28.5 28.5 27.5 27.5 28 28 28.5 28.5 28.5 28.5 28 27.5 28.5 28.5 28.5 28.5 27.5 28 27.5 28.5 28 29 29.5 29 29 Sep 27.5 29.5 28.5 28.5 29 29.5 28.5 29.5 28.5 29 28 29 28.5 28 28 29 28 29 29 28.5 29 29 29 29.5 29 29.5 29 29 28.5 28.5 Okt 29 28.5 28 27.5 29 29.5 28.5 28 29 28.5 27.5 28 27 27.5 29.5 27.5 27 28.5 28 28.5 29 27.5 28 29 29 27.5 29 28.5 28 27.5 27.5 Nop 29 29 28 28.5 29 28.5 29 28.5 29 28.5 29.5 29.5 29.5 29.5 29 27 28.5 29.5 29 28.5 29 29 29.5 29 29.5 29.5 29 29 29.5 27 Des 27 26.5 29 26.5 28 27.5 28.5 29.5 29 29.5 29 29 29.5 27 28 27.5 28.5 28 29 28 28 27.5 28 27.5 28 28 27.5 29 28.5 27.5 27.5 Lampiran 15 Pengamatan suhu udara rata-rata harian tahun 2008 di P6-3N Delta Telang I Tanggal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Jan 29 29.5 27.5 28.5 28.5 27.5 28 29.5 29 28.5 28.5 28.5 29 28.5 27.5 27.5 27.5 28 29.5 28 28.5 27 27.5 28 28.5 28.5 29 29 29 28 29 Feb 28.5 29.5 27.5 29.5 29 28 29 27.5 28 28.5 28 29 29 28 28 28.5 29 29 29 29 28.5 29 29 29.5 27 27 27 28 27 Mar 28.5 27 26 26.5 27.5 28 28.5 28.5 28.5 28 29 28.5 28 27.5 27 26.5 26.5 27.5 26 27.5 28 29 26.5 28.5 29 29.5 28.5 28 28.5 27 27 Apr - Mei - Bulan Jun - Jul - Ags - Sep - Okt - Nop - Des - Lampiran 16 Pengamatan suhu udara rata-rata harian tahun 2006 di P10-2S Delta Saleh Tanggal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Jan - Feb - Mar - Apr 28 29 28.5 28 26.5 28 29 28.5 28.5 28.5 28 27.5 27 28 29 29 28 28 28 29 27.5 27 28.5 29 28.5 27.5 26.5 29.5 29.5 29.5 Mei 28.5 28 28 28.5 28 28.5 29 28 29 28 30.5 28.5 29 27.5 28.5 28.5 28 29 29.5 29 26 28.5 28 29.5 28 29 29 27.5 27 28.5 29 Bulan Jun 27.5 29 29 29 28.5 27.5 28 29 29.5 29 28.5 29 29 29 28.5 28.5 28 28 29 27.5 28 28.5 27 28 27.5 27.5 28.5 29 29 29.5 Jul 29 29 29 29 29.5 28 28.5 29 29 28.5 29 29.5 28 29 29 29.5 28.5 28.5 27.5 28 29 29 29 29.5 28.5 29 29 28.5 28.5 28.5 29 Ags 28 28.5 28.5 28 27.5 28 29 28 28 28 28 28 28 28 28 27.5 27.5 28 28 27 28 27.5 27.5 28 28 28 28 28 28 27.5 27.5 Sep 28.5 28 29 28 28 28.5 28 28 28 28 28 27.5 28.5 29 27.5 28.5 28.5 28 28.5 28.5 28.5 28.5 27.5 28.5 28.5 28 28.5 29 28.5 28.5 Okt 29 28 27.5 28.5 29 28 28 27.5 28 29.5 28 28.5 28.5 27.5 28.5 28 28.5 28.5 27 29 28.5 26 27 27 27 27 26 26.5 27 26.5 26.5 Nop 28 28 28.5 28.5 28.5 29 28.5 29 29 28.5 29.5 28.5 28 29 28.5 28 28.5 29 29 29 28 28 28 27.5 28.5 28 28.5 27.5 27.5 28 Des 27.5 26.5 27 27 26 26.5 27 28 28 27.5 27 26.5 26.5 26 26.5 27 26.5 26.5 26 26.5 26.5 26.5 26.5 25.5 25.5 25 26 25.5 26 27 25.5 Lampiran 17 Pengamatan suhu udara rata-rata harian tahun 2007 di P10-2S Delta Saleh Tanggal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Jan 25 25 26 26 26.5 26.5 27 27 26 25.5 26.5 26 25.5 27.5 27.5 25.5 24.5 25.5 25 25.5 26.5 27 25 25.5 24.5 25 24.5 24.5 25 25 25 Feb 27 27.5 26 26.5 26.5 27.5 28 29 29 29 28 28 27.5 28.5 27.5 27.5 28.5 28.5 26.5 27 28 29 29.5 28 27.5 26.5 28 28.5 Mar 27.5 28.5 28.5 28 27.5 29 28.5 29 28 29 29 29 28 29 27.5 27 29 29.5 29 29.5 28.5 28.5 28 28.5 29 29.5 27.5 27.5 28.5 29.5 27.5 Apr 29 29 26.5 28.5 29.5 28 28.5 28 29 28.5 28.5 27.5 29 28.5 28 27.5 29 29.5 28.5 29 29 28 27.5 26.5 27.5 26.5 27.5 27 27.5 27 Mei 26.5 26.5 28 27.5 27 29 28.5 28 28.5 28 28.5 28 29 26.5 26.5 26.5 27.5 27 28.5 29 28 27.5 28 29 28 26.5 28 28 28 28 28.5 Bulan Jun 29 29 29 28 29 29 28.5 28 29 28.5 28.5 28.5 29 28.5 28 27 26.5 27.5 28.5 28.5 29.5 29 30 29 29.5 29.5 29 29 29.5 28.5 Jul 28.5 29.5 29 29.5 29 29 29.5 29 27.5 28 28 29 29 28.5 29 28.5 29 27 28 28 27.5 26.5 26.5 26 27.5 28 28 28 28.5 29 29 Ags 29 28.5 28 28 28 29 28.5 28.5 28.5 28 28 29 28.5 28 28 28.5 28.5 28 28 28 28.5 28.5 27 28 28 28 28.5 28.5 29.5 28.5 28.5 Sep 28 29 28 27.5 28.5 29.5 28 29 28 28 27.5 29 28 28 27.5 29 28.5 29 28.5 28.5 28.5 29 29 29 29 29 29 28.5 28.5 28.5 Okt 28.5 28 28 28 28.5 29 29 28.5 29 28.5 27.5 28.5 27.5 28 29 27.5 27 28.5 28.5 28.5 29 29 28 28.5 29 28 29.5 28.5 28 28.5 28 Nop 29.5 28.5 28 28.5 29 28.5 28.5 29 29 28 29 29 29.5 29.5 29 27.5 28.5 29 28.5 29 29 29 29 29 28.5 30 29 29 29 27.5 Des 27.5 27 28.5 27 28 28 28.5 28.5 28.5 29 28.5 28.5 29 27.5 28 27.5 28.5 28.5 28 27 28 27.5 28 27.5 28 28 27.5 29 28 27.5 28.5 Lampiran 18 Pengamatan suhu udara rata-rata harian tahun 2008 di P10-2S Delta Saleh Tanggal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Jan 28 29 27.5 28.5 28 27.5 28 29 29 29 28.5 27.5 28.5 28.5 27 27.5 28 28 28.5 28.5 28.5 27.5 28 28 28.5 28.5 29.5 29 28.5 27.5 28 Feb 28.5 29 27 28.5 29 28.5 28.5 27.5 28.5 28.5 27.5 28.5 28.5 28 28 28 28.5 28.5 28.5 28 28 29 28.5 29 27 27 28 28 27 Mar 28.5 27.5 27 26.5 27 27.5 28.5 28 28.5 27.5 28.5 29 28 28 27.5 27 27.5 28 27 28 28 28.5 27 28.5 29.5 28.5 28.5 28 28.5 28 26.5 Apr - Mei - Bulan Jun - Jul - Ags - Sep - Okt - Nop - Des - Lampiran 19 Tekstur, warna tanah, dan kedalaman pirit di petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I Titik Sampel Kedalaman (cm) Tekstur Warna OT 4.1 0-9 Lempung berliat 110 9-21 Lempung berliat 21-44 Lempung berliat 44-58 48-62 Lempung Liat 10 YR 4/6 (Coklat gelap kekuningan) 10 YR 6/4 (Coklat terang kekuningan) 10 YR 4/4 (Coklat gelap kekuningan) 10 YR 4/3 (Coklat gelap) 10 YR 2/3 (Coklat gelap keabuabuan) 0-7 Lempung 78 7-23 23-29 Lempung berliat Lempung berliat 29-35 35-42 Lempung Lempung berdebu 42-59 Liat 10 YR 3/4 (Coklat gelap kekuningan) 10 YR 5/4 (Coklat kekuningan) 10 YR 4/6 (Coklat gelap kekuningan) 10 YR 4/3 (Coklat gelap) 10 YR 4/6 (Coklat gelap kekuningan) 10 YR 3/2 (Coklat sangat gelap keabu-abuan) OT 4.3 0-7 7-20 20-35 35-52 Lempung Lempung Lempung berliat Liat 10 YR 3/3 10 YR 5/4 10 YR 5/3 10 YR 4/4 (Coklat gelap) (Coklat kekuningan) (Coklat) (Coklat gelap kekuningan) 98 OT 4.4 0-10 10-20 Lempung Lempung berliat 96 20-39 Lempung berliat 39-59 Liat 10 YR 5/3 (Coklat) 10 YR 4/2 (Coklat gelap keabuabuan) 10 YR 4/4 (Coklat gelap kekuningan) 10 YR 5/4 (Coklat kekuningan) 0-10 Lempung berliat 108 10-31 31-47 47-58 Lempung Liat Liat 10 YR 4/2 (Coklat gelap keabuabuan) 10 YR 5/3 (Coklat) 10 YR 5/6 (Coklat kekuningan) 10 YR 3/1 (Abu-abu sangat gelap) 0-8 Lempung 105 8-23 23-40 40-57 57-79 Lempung Lempung berliat Lempung berliat Liat 10 YR 2/3 (Coklat sangat gelap) 10 YR 4/3 (Coklat gelap) 10 YR 5/4 (Coklat kekuningan) 10 YR 3/3 (Coklat gelap) 10 YR 3/1 (Abu-abu sangat gelap) OT 4.2 OT 4.5 OT 4.6 Sumber: PPMAL Universitas Sriwijaya (2006) Kedalaman Pirit (cm) Lampiran 20 Tekstur, warna tanah, dan kedalaman pirit di petak tersier 3 P6-3N Delta Telang I Titik Sampel Kedalaman (cm) Tekstur Warna OT 4.1 0-17 17-62 62-99 99-113 Liat Berdebu Liat Berdebu Liat Liat 10 YR 3/2 10 YR 3/6 10 YR 4/6 10 YR 5/4 (Hitam kecoklatan) (Coklat muda) (Kuning kecoklatan) (Coklat keabu-abuan) 78 OT 4.2 0-9 9-20 20-40 40-50 50-71 71-100 Liat Debu Liat berdebu Liat berdebu Liat Liat 10 YR 3/3 10 YR 3/2 10 YR 3/6 10 YR 5/2 10 YR 5/1 10 YR 6/1 (Coklat kehitaman) (Hitam kecoklatan) (Coklat muda) (Abu-abu kecoklatan) (Coklat keabu-abuan) (Abu-abu) 19 OT 4.3 0-8 8-25 25-50 50-68 68-110 Liat Berdebu Liat Liat Liat berdebu - 10 YR 3/3 10 YR 6/3 10 YR 4/6 10 YR 5/4 - (Coklat kehitaman) (Abu-abu terang) (Kuning kecoklatan) (Coklat keabu-abuan) 77 OT 4.4 0-10 10-16 16-40 40-60 60-81 Liat berdebu Liat berdebu Liat Liat Liat 10 YR 3/4 10 YR 4/4 10 YR 5/6 10 YR 5/4 10 YR 4/4 (Coklat) (Coklat keabu-abuan) (Kuning kecoklatan) (Coklat keabu-abuan) (Coklat keabu-abuan) 17 OT 4.5 0-42 42-100 Hemik Fibrik - OT 4.6 0-20 20-40 40-60 60-80 80-100 Liat berdebu Liat Liat Liat Liat 10 YR 4/4 10 YR 5/4 10 YR 3/4 10 YR 3/2 10 YR 3/1 Sumber: PPMAL Universitas Sriwijaya (2006) Kedalaman Pirit (cm) 97 (Coklat keabu-abuan) (Coklat keabu-abuan) (Coklat) (Hitam kecoklatan) (Hitam) 102 Lampiran 21 Tekstur, warna tanah, dan kedalaman pirit di petak tersier 3 P10-2S Delta Saleh Titik Sampel Kedalaman (cm) Tekstur Warna OT 4.1 0-21 21-41 41-100 Lempung Liat Liat 10 YR 4/1 (Abu-abu gelap) 10 YR 6/3 (Coklat pucat) 10 YR 5/4 (Coklat kekuningan) 90 OT 4.2 0-28 Lempung 111 28-69 69-100 Liat Liat 10 YR 3/2 (Coklat sangat gelap keabu-abuan) 10 YR 5/4 (Coklat kekuningan) 10 YR 4/3 (Coklat gelap) 0-26 Lempung 103 26-47 47-100 Liat Liat 10 YR 3/2 (Coklat sangat gelap keabu-abuan) 10 YR 3/3 (Coklat gelap) 10 YR 2/2 (Coklat sangat gelap) OT 4.4 0-29 29-38 38-100 Lempung Liat Liat 10 YR 2/1 (Hitam) 10 YR 6/3 (Coklat pucat) 10 YR 4/3 (Coklat gelap) 91 OT 4.5 0-25 Liat 110 25-100 Liat 10 YR 3/2 (Coklat sangat gelap keabu-abuan) 10 YR 3/3 (Coklat gelap) 0-12 12-36 36-100 Lempung Liat Liat 10 YR 3/3 (Coklat gelap) 10 YR 4/3 (Coklat gelap) 10 YR 4/2 (Coklat gelap keabuabuan) 96 OT 4.3 OT 4.6 Sumber: PPMAL Universitas Sriwijaya (2006) Kedalaman Pirit (cm) Lampiran 22 Nilai konduktivitas hidrolik tanah (K, cm/jam) di petak tersier 3 P8-12S Delta Telang I 9,79 9,68 9,31 8,69 6,85 8,42 8,54 14,19 12,63 11,80 11,09 11,00 8,74 10,68 10,92 SPD SDU 11,55 Jalan Poros Tersier 3 Tersier 4 Lampiran 23 Nilai konduktivitas hidrolik tanah (K, cm/jam) di petak tersier 3 P6-3N Delta Telang I 10,57 10,78 10,40 9,91 10,51 10,33 9,89 11,77 9,66 10,11 10,82 9,28 9,82 10,29 10,50 SPD SDU 11,75 Jalan Poros G T 4 Tersier 4 Tersier 3 Lampiran 24 Nilai konduktivitas hidrolik tanah (K, cm/jam) di petak tersier 3 P10-2S Delta Saleh 9,69 9,87 11,22 8,93 9,12 11,46 9,68 11,95 11,46 10,41 9,30 11,25 9,61 10,07 11,88 SDU 12,23 SPD Jalan Poros Tersier 3 Tersier 4