School Choice: Cara Kebebasan Merespon

advertisement
School Choice: Cara Kebebasan Merespon Pendidikan
Anggita Ludmila
Pendidikan, adalah salah satu bidang yang paling krusial bagi sebuah negara, utamanya dalam
membangun kapasitas bangsa.Setiap negara bekerja keras untuk menemukan sistem terbaik yang dapat
menjamin kualitas dan kesetaraan pendidikan bagi masyarakatnya. Ketika seorang warga negara
berpendidikan baik, ia akan mempunyai ilmu yang kelak dapat ia gunakan untuk membantu masyarakat
dimana ia tinggal, maupun berkarya bagi negaranya. Hubungan antara kualitas pendidikan seseorang
dengan masyarakatnya menciptakan ‘neighborhood effect’. Oleh karena itu, banyak kebijakan yang
mendorong masyarakat mengenyam pendidikan: program wajib belajar, berbagai macam beasiswa,
sistem yang menitikberatkan pada sertifikasi pendidikan di berbagai aspek kehidupan, dan lain
sebagainya untuk memastikan masyarakat tersebut terbangun dengan kualitas yang baik.
Namun, seringkali ‘pergi sekolah’ tidaklah cukup. Selain memastikan sebanyak-banyaknya warga negara
mendapatkan pendidikan, untuk menciptakan seorang berkualitas, tentunya pendidikan yang didapatkan
tidak bisa dibuat dengan kualitas rendah. Pemerintah telah menetapkan standar pendidikan layak di
seluruh sekolah, walaupun terjadi ketimpangan yang besar antara satu sekolah dengan sekolah lainnya:
seringnya kita bertemu dengan orang cerdas dan sukses yang berasal dari serentetan sekolah bagus
tertentu bisa menjadi gambaran bagaimana ketimpangan itu terjadi. Permasalahannya adalah jumlah
sekolah ‘bagus’ lebih sedikit daripada yang tidak. Jika ini dibiarkan, berarti semakin sedikit orang-orang
cerdas yang bisa membangun bangsa tadi. Lantas bagaimana?
Hal ini kemudian menjadi salah satu pemikiran Milton Friedman – ia adalah Bapak dari konsep school
choice, sebuah perspektif yang beranggapan bahwa setiap orang seharusnya dapat mengenyam
pendidikan terbaik yang sesuai dengannya. Friedman mengkritik sistem pendidikan di Amerika Serikat,
dimana setiap anak sudah diplot ke sekolah-sekolah milik pemerintah yang berada di wilayah tempat ia
tinggal – gratis. Dampak buruk dari kebijakan semacam itu biasanya terdapat pada kualitas dari sekolah
yang tersedia: tidak semua sekolah yang disediakan oleh pemerintah berkualitas sangat baik – tentunya
ini terjadi karena sistem penempatan otomatis membuat mereka akan selalu punya murid setiap tahun
ajaran baru – dan ini membatasi kebebasan seseorang untuk mendapatkan pendidikan yang terbaik
baginya.
Untuk menciptakan kebebasan yang lebih leluasa dalam memilih sekolah, Friedman menggagas sistem
school voucher, yakni sebuah sistem yang memungkinkan orangtua untuk mengajukan sekolah tertentu
yang dianggapnya terbaik untuk anaknya kepada pemerintah, untuk kemudian diberikan semacam
voucher yang digunakan untuk membayar segala keperluan pendidikan anak tersebut di sekolah itu.
Harapannya, setiap orang tidak harus terpaksa masuk ke sekolah tertentu yang berkualitas kurang baik,
tetapi bisa memilih yang terbaik, sehingga mereka akan menjadi dampak yang baik pula bagi
masyarakatnya di kemudian hari.
Tentunya, sistem ini bukan tanpa perdebatan. Khususnya di Amerika Serikat, seringkali akhirnya
orangtua mengajukan sekolah-sekolah swasta dengan kualitas baik untuk menjadi tempat anaknya
menempuh pendidikan. Disinilah letak perdebatannya: pertama, uang pemerintah yang tadinya digunakan
untuk membiayai sekolah negeri, harus terserap beberapa bagian ke sekolah swasta karena orangtua
banyak memilihnya. Hal ini menjadi masalah, karena pada hakikatnya, sekolah negeri di AS menerima
semua anak tanpa pandang identitas, berbeda dengan sekolah swasta yang seringkali berkaitan dengan
suatu identitas tertentu. Seringkali yang terjadi, mereka dengan identitas ‘berbeda’ tidak diterima di
sekolah swasta, yang akhirnya – menurut mereka – membuat sekolah negeri ‘mendapat input pelajar tidak
sebaik sekolah swasta’ – dan oleh karenanya tidak dapat mengejar kualitas sekolah-sekolah swasta.
Kedua, kembali lagi kepada identitas sekolah swasta yang seringkali berdasar pada agama, pembiayaan
pemerintah bagi anak yang bersekolah di sekolah swasta seringkali dipandang sebagai penyatuan
pemerintahan dan agama – yang ditentang oleh banyak masyarakat AS.
Namun, terlepas dari itu (dan terlepas dari fakta bahwa sistem voucher memberikan kebebasan lebih bagi
seseorang untuk memilih pendidikan), ada hal menarik terkait dengan sistem ini. Ekonom Caroline
Hoxby dalam tulisannya The Economics of School Choice mengaitkan situasi kebebasan memilih ini
dengan pasar bebas. Ibarat konsumen dalam berbelanja di pasar, orangtua atau peserta didik tentunya
akan memilih produk terbaik – dalam hal ini sekolah – untuknya. Dengan pola pikir seperti itu, maka
yang terjadi adalah sekolah akan berusaha meningkatkan kualitasnya untuk bersaing dengan sekolah lain,
sehingga mereka menjadi sekolah yang dipilih oleh orangtua untuk menyekolahkan anaknya. Semakin
banyak orang memilih sekolah itu, tentunya semakin banyak uang yang akan masuk ke sana. Karenanya,
sistem voucher, menurut Hoxby, justru dapat menjadi stimulan bagi banyak sekolah untuk menjadi yang
terbaik ketimbang membuat mereka kalah bersaing seperti yang dikatakan argumen kontra sebelumnya.
Dan ini dapat terjadi secara alamiah, tanpa pemerintah harus mengucurkan lebih banyak uang untuk
secara khusus meningkatkan kualitas sekolah tertentu.
Bukan berarti kemudian kita dapat leluasa mengatakan, ‘Mari! Terapkan sitem itu disini!’, namun,
tentunya menarik untuk melihat bagaimana sebuah perubahan baik dapat dicapai tidak selalu dengan
menunjuk-nunjuk pemerintah – malah, disarankan agar pemerintah tidak campur tangan terlalu banyak!
Seperti yang dikatakan para penganut liberal pada umumnya, pemerintah tentu mempunyai kewajiban
untuk ikut campur tangan, namun, pada tahap sangat dasar, yakni memastikan terciptanya sebuah standar
dan situasi yang memungkinkan kompetisi yang adil.
Meskipun untuk Indonesia pola pikir semacam itu masih cukup asing mengingat pemerintah mempunyai
campur tangan besar di berbagai bidang, saya rasa tidak ada salahnya untuk menjadi lebih mandiri disini.
Bayangkan jika semua serba ditangani pemerintah. Sudah bukan rahasia pemerintah Indonesia adalah
korup. Sudah bukan rahasia bahwa pemerintahan Indonesia adalah birokrasi tanpa hasil. Jika anda
meminta pemerintah untuk meningkatkan kualitas begitu banyak sekolah di negeri ini, saya yakin mereka
akan menerimanya dengan senang hati: kesempatan membuat anggaran palsu! Setelah anggaran sudah
jadi, implementasinya akan butuh waktu sangat lama, atau bahkan tidak ada sama sekali.
Namun jika kita mengacu pada sistem ‘school choice’ di atas, tentunya saya tidak dapat menjamin
korupsi akan hilang sama sekali, kita bisa berharap sekolah akan berkompetisi untuk menjadi yang
terbaik, secara alamiah. Seperti Unilever, P&G, dan banyak produk konsumen lainnya. Tentu, kita bisa
bilang, mungkin saja yang mendapat voucher justru mereka yang sudah mampu (terjadi juga di AS), atau
bisa saja sekolah tertentu menyuap pemerintah supaya anak yang mengajukan voucher diarahkan ke
sekolah mereka, dan cara-cara gelap lainnya. Namun, ketika kita mencari peningkatan kualitas layaknya
pasar bebas, ini merupakan cara yang baik.
Pemerintah cukup menetapkan standar tertentu terhadap kurikulum, dan sekolah dapat berkompetisi
menjadi yang terbaik. Buat sistem alokasi pendanaan menjadi per-orangan ketimbang jumlah pasti untuk
satu sekolah, sehingga sekolah akan berusaha untuk mendapatkan murid sebanyak-banyaknya demi
mendapat dana yang banyak pula – dan ini terjadi dengan mereka berusaha menjadi pilihan terbaik bagi
orangtua dan anaknya!
Kita tidak dapat selamanya mengandalkan pemerintah, karena seringkali pemerintah tidak efektif.
Kebiasaan orang Indonesia adalah menuntut dan terus menuntut, tanpa menyadari bahwa sebenarnya
yang harus kita tuntut bukanlah campur tangan pemerintah, tetapi kebebasan dari campur tangan
berlebihan mereka. Saya berharap, kita segera menyadari hal tersebut, sehingga banyak hal dapat berjalan
dengan lebih efektif dan agresif – seperti pasar bebas!
Download