perbedaan fungsi seksual pada pasca total abdominal hysterectomy

advertisement
PERBEDAAN FUNGSI SEKSUAL PADA PASCA
TOTAL ABDOMINAL HYSTERECTOMY DAN
SUPRA VAGINAL HYSTERECTOMY
DI RSUP SANGLAH DENPASAR
dr. Wayan Megadhana, SpOG (K)
BAGIAN / SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RSUP SANGLAH DENPASAR
2012
1
ABSTRAK
Tujuan :Untuk mengetahui perbedaan fungsi seksual pada pasca Total Abdominal
Hysterectomy (TAH) dan Supra Vaginal Hysterectomy (SVH)di RSUP Sanglah
Denpasar.
Bahan dan cara kerja : Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional
analitik. Sampel diambil secara consecutive sampling dari bulan Januari 2011
sampai Januari 2012. Sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi
didapatkan 28 sampel, terdiri dari 14 pasca TAH dan 14 pasca SVH, masingmasing sesuai umur ibu, paritas, dan pendidikan, selanjutnya fungsi seksual
dinilai dengan pengisian kuisioner FSFI (Female Sexual Function Index). Skor
total kuisioner dianalisa dilakukan dengan uji t-independent. Untuk mengetahui
perbedaan fungsi seksual dipakai uji Chi-Square.
Hasil : Diperoleh rerata umur pada kelompok pasca TAH dan SVH masingmasing 43,00±1,96 dan 41,71±2,95 dengan p=0,077. Rerata paritas pada
kelompok pasca TAH dan SVH masing-masing 2,00±0,96 dan 1,93±1,43 dengan
p=0,297 dan Rerata pendidikan pada kelompok pasca TAH dan SVH masingmasing 10,64±3,65 dan 7,79±4,71 dengan p=0,069. Hal ini berarti bahwa
karakteristik subyek kedua kelompok adalah sama sehingga pengaruhnya terhadap
hasil penelitian dapat diabaikan. Rerata skor total FSFI pada kelompok pasca
TAH dan SVH masing-masing 25,5±2,91 dan 28,26±3,17, dengan hasrat seksual
(p=0,272), rangsangan (p=0,239), lubrikasi (p=0,014), orgasme (p=0,010),
kepuasan (p=0,061), nyeri (p=0,037).Fungsi seksual diuji Chi-Square, didapatkan
berbeda bermakna (p=0,042).
Kesimpulan: Terdapat perbedaan fungsi seksual pasca TAH dibandingkan
dengan pasca SVH.
Kata kunci : Histerektomi abdominal total, histerektomi supravaginal, fungsi
seksual wanita
2
ABSTRACT
Objectives: To compare the sexual functioning outcomes between patient with
Total Abdominal Hysterectomy (TAH) and Supra Vaginal Hysterectomy (SVH)
in Sanglah Hospital, Denpasar.
Methods: The study design was analytic cross sectional. Samples were taken by
consecutive sampling from January 2011 to January 2012. Samples which met
the inclusion and exclusion criteria’s were 28 samples, consist of 14 patients who
had undergone TAH and 14 who had undergone SVH, corresponding to maternal
age, parity, and education level. Patients were asked to answer the questionnaire
of Female Sexual Function Index (FSFI). Total score were analyzed by
independent t-test. To find the difference of the sexual function, Chi-Square test
was used.
Results: We foundthat the mean age of women who had undergone TAH and
SVH were 43,00±1,96 and 41,71±2,95 respectively with p value 0,077. Mean
parity in post TAH and SVH were2,00±0,96 and 1,93±1,43 respectively with p
value 0,297 and mean educational in post TAH and SVH were 10,64±3,65 dan
7,79±4,71respectively with p value 0,069. The result showed that the
characteristicsbetween both subjects were equal so their influence for the result of
this study could be ignored. Mean total FSFI score in post TAH and SVHwere
25,5±2,91 and 28,26±3,17respectively, sexual desire (p=0,272), arousal
(p=0,239), lubrication (p=0,014), orgasm (p=0,010), satisfaction (p=0,061),
pain(p=0,037). Sexual function was tested with Chi-Square, and the result was
significant (p=0,042).
Conclusion: There was a difference in sexual function betweengroup of patient
with post TAH and patient with post SVH.
Key words: Total abdominal hysterectomy, supra vaginal hysterectomy, female
sexual function
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Histerektomi sering menjadi kekhawatiran bagi kaum wanitaoleh
karenaapabila uterus harus diangkat, maka seorang wanita tidak lagi dapat
memiliki anak.Walaupun seorang wanita tidak menghendaki anak lagi,
namunmasih ada kekhawatiran lainnya, yaitu kehilangan gairah dan kenikmatan
seksual.Sehinggaseorang wanita sangat sulituntuk menerima saran untuk
dilakukannya tindakan histerektomi.
Histerektomi merupakan operasi ginekologi terbanyak di kalangan wanita
usia reproduksi. Setiap tahun di Amerika Serikat (AS) sekitar 600.000 wanita
dilakukan histerektomi (Meston, 2004; Katz, 2005).Dari tahun 2000 hingga 2004,
diperkirakan 3.100.000 wanita AS menjalani histerektomi.Angka histerektomi
tertinggi pada wanita berusia 40-44 tahun. Indikasi yang sering dikaitkan dengan
histerektomi adalah mioma uteri, endometriosis, dan prolaps uterus (Meston,
2004;Whitemandkk., 2008).Secara umum terdapat dua jenis tindakan histerektomi
per abdominal yaitu Total Abdominal Hysterectomy (TAH) dan Supra Vaginal
Hysterectomy (SVH).TAH adalah prosedur pembedahan mengangkat seluruh
uterus termasuk serviks, korpus, dan fundus uteri.SedangkanSVH adalah prosedur
pembedahan
mengangkat
uterus
tetapi
meninggalkan
serviks.Komplikasi
histerektomi diantaranya adalah perdarahan, hematoma, cedera organ terdekat,
infeksi, dan gangguan fungsi seksual (Anitha, 2010).
Gangguan fungsi seksual wanita adalah gangguan yang terjadi pada salah
satu atau lebih dari keseluruhan siklus respons seksual yang normal.Untuk menilai
4
fungsi seksual wanita digunakan indeks fungsi seksual wanita atau Female Sexual
Function Index(FSFI).Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya gangguan
fungsi seksual antara lain faktor fisiologis (menstruasi, kehamilan, dan
menopause), faktor organik (kelainan metabolik, pasca histerektomi), dan faktor
psikososial (Windhu, 2009).Prevalensi terjadinya gangguan fungsi seksual wanita
pasca histerektomi di Belanda dilaporkan sebesar 40% (Roovers, 2003).
Penelitian observasional prospektif di Netherland tahun 2003 terhadap 413
wanita yang menjalani histerektomi karena tumor jinak selain prolap uterus
simptomatis dan endometriosis, dilaporkan bahwa kenikmatan seksual mengalami
perbaikan pasca Transvaginal Hysterectomy (TVH), SVH maupun TAH (Roovers
dkk., 2003). Penelitian random terhadap 158 pasien TAH dan 161 pasien SVH
bahwa tidak ada perbedaan kehidupan seksual pada kedua kelompok (Gimbel
dkk., 2003). Penelitian prosfektif observasi terhadap 94 pasien pasca histerektomi
laparoskopi selama enam bulan, disimpulkan tidak ada perbedaan yang bermakna
antara TAH dan SVH laparoskopi terhadap kualitas seksual (Nam dkk., 2008).
Penelitian pada 120 pasien yang dilakukan histerektomi untuk tumor jinak di RS
St Olav, terdiri dari 60 pasien TAH dan 60 pasien SVH, tahun 2001-2003,
dilaporkan tidak ada dampak negatif terhadap kepuasan seksual pasca
histerektomi baik pasien TAH maupun SVH (Lonnee dkk., 2006). Penelitian
dengan membandingkan fungsi seksual dan kualitas hidup pada 135 pasien mioma
dan Dysfungsional Uterine Bleeding (DUB) yang menjalani operasi TAH dan
SVH, dilaporkan kualitas kehidupan seksual selama dua tahun adalah sama pada
TAH maupun SVH (Kuppermann dkk., 2005)
Penelitiandi The New York-Presbyterian Hospital Weill Medical College
5
of Cornell University, fungsi seksual dilaporkan lebih menurun pada TAH
dibandingkan SVH berhubungan dengan frekwensi dan kepuasan seksual, secara
statistik bermakna terdapat penurunan kemampuan mencapai orgasme antara
kelompok pasca TAH dan SVH masing-masing 43% dan 6%, dengan p=0,03
(Saini dkk., 2002). Penelitian cross sectional di RS Cipto Mangunkusumo,
Jakarta, terhadap pasien pasca TAH pada kelainan ginekologi jinak dalam waktu
tiga sampai enam bulan pasca operasi, ditemukan penurunan fungsi seksual pada
TAH(Ghozali dkk.,2004). Begitu juga penelitian cross sectional di RSU dr
Soetomo Surabaya, pada 40 penderita tumor jinak genitalia yang telah menjalani
tindakan SVH dan TAH, pasca operasi dengan uji t-independentdidapatkan skor
fungsi seksual pasca SVH lebih baik secara bermakna dibandingkan pasca TAH
dalam hal gairah p=0,007, arousal p=0,011, lubrikasi p=0,011, orgasme p=0,008
dan nyeri p=0,011 (Kurniawati dkk., 2008). Penelitian terhadap pasien pasca TAH
dan SVH ditemukan adanya penurunan fungsi seksual pada TAH lebih tinggi dari
SVH, karena pada TAH terjadi kehilangan serviks sehingga hilangnya stimulasi
pada servik saat berhubungan seksual akan mengakibatkan kesulitan untuk
mencapai orgasme (Sidohutomo, 2008).
Walaupun
penelitian
mengenai
gangguan
fungsi
seksual
pasca
histerektomi telah banyak dilakukan, namun hasilnya masih merupakan suatu
perdebatan, sehingga penelitian ini menarik untuk dilakukan.Penelitian ini juga
belum
pernah
dikerjakan
di
bagian
Obstetri
dan
Ginekologi
RSUP
Sanglah/Fakultas Kedokteran Udayana Denpasar.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan permasalahan
6
penelitian ini adalah: Apakah terdapat perbedaan fungsi seksual pada pasca TAH
dan SVH di RSUP Sanglah Denpasar?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah;
1.3.1 Tujuan umum: Untuk mengetahui perbedaan fungsi seksual pada
pascaTAH dan SVH di RSUP Sanglah Denpasar.
1.3.2 Tujuan khusus:
1. Mengetahui fungsi seksual pasca TAH di RSUP Sanglah Denpasar.
2. Mengetahui fungsi seksual pasca SVH di RSUP Sanglah Denpasar.
3. Mengetahui perbedaan fungsi seksual pada pascaTAH dan SVH di RSUP
Sanglah Denpasar.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat akademik
Untuk menambah pengetahuan dan pemahanan mengenai fungsi seksual
pasca histerektomi, sehingga dapat dipakai untuk penelitian lebih lanjut.
1.4.2 Manfaat pelayanan
Hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu pertimbangan bagi klinisi
dalam pengambilan keputusan jenis operasi histerektomi.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Histerektomi
Histerektomi adalah suatu prosedur pembedahan mengangkat uterus yang
dilakukan oleh ahli kandungan.Ada beberapa tipe histerektomi yaitu TAH, SVH,
dan radical hysterectomy (gambar 2.1).TAH jika prosedur pembedahan
mengangkat seluruh uterus termasuk serviks, korpus, dan fundus uteri.SVH jika
prosedur pembedahan
mengangkat uterus tetapi meninggalkan serviks
sedangkanradical hysterectomy jika prosedur pembedahan dengan mengangkat
uterus, serviks, bagian atas vagina, dan jaringan sekitarnya. Pada prosedur
pembedahan tersebut, dapat dikerjakan juga pengangkatan kedua ovarium dan
tuba fallopi, yang disebut sebagaiTotal Abdominal HysterectomyBilateral
Salphingo-Ooforectomy
dilakukan
melalui
(histerektomi
(TAH-BSO)
insisi
vaginal),
(Rasjidi,
abdominal
atau
sebagai
2008).Histerektomi
(histerektomi
prosedur
laparoskopi
laparoskopi)(Rasjidi, 2008).
Gambar 2.1 Tipe histerektomi
(Sumber : Heisler, 2010)
8
abdominal),
dapat
vagina
(histerektomi
Histerektomi memiliki komplikasi operasi seperti : hematoma, infeksi,
perdarahan yang berlebihan, efek samping anestesi, kerusakan pada saluran
kemih, kandung kemih atau rektum selama operasi, hilangnya fungsi ovarium
pada TAH-BSO sehingga terjadi menopause lebih awal, dan gangguan fungsi
seksual (Rasjidi, 2008; Anitha, 2010).
2.2Fungsi Seksual Wanita
Fungsi seksual adalah tingkat atauderajatdari keseluruhan siklus respon
seksual yang normal (Pangkahila, 2005).
2.2.1 Respon normal seksualitas wanita
Pada dasarnya dorongan seksual (sexual desire) pria dan wanita sama saja,
yaitu dipengaruhi oleh hormon seks, faktor psikis, rangsangan seksual yang
diterima, dan pengalaman seksual sebelumnya. Kalau faktor-faktor tersebut
bersifat positif, dorongan seksual muncul dengan baik(Pangkahila, 2005).
Karena rangsang seksual, tubuh akan mengalami reaksi seksual yang
disebut siklus reaksi seksual. Reaksi seksual tidak hanya terjadi pada organ
kelamin saja, tetapi juga pada bagian tubuh yang lain. Bahkan, secara psikis juga
terjadi perubahan. Siklus reaksi seksual dibagi dalam empat fase menurut Masters
and Johnson, yaitu : fase rangsangan (excitement phase), fase datar (plateau
phase), fase orgasme (orgasm phase), fase resolusi (resolution phase), dapat
dilihat pada gambar 2.2 (Winkjosastro, 1994; Arcos, 2004; Pangkahila, 2005;
Pratamagriya, 2009;).
9
Gambar 2.2 Model respon seksual wanita oleh Masters dan Johnson
(Anonim,Available at www.arhp.org/factsheets, 2008)
Respon seksual pada wanita dapat timbul dari hal-hal yang sederhana,
seperti tatapan mata yang penuh arti, kata-kata yang manis, dan menyenangkan,
suasana romantis yang menimbulkan hasrat (desire). Tahapan selanjutnya adalah
perangsangan (arousal). Pada tahapan ini semua rangsangan baik berupa
sentuhan, ciuman, maupun bisikan dapat menyebabkan tegangnya klitoris dan
membesarnya vagina bagi wanita. Dalam keadaan terangsang pembuluh darah
vena menyempit sehingga darah berkumpul pada pembuluh darah di klitoris, yang
selanjutnya membuat klitoris tegang.Fase perangsangan pada wanita biasanya
membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan fase perangsangan pada pria,
dapat dilihat pada gambar 2.3 (Pratamagriya, 2009).
10
Gambar 2.3 Fase eksitasi
(Sumber : Pratamagriya, 2009)
Fase selanjutnya, terdapat peningkatan konsentrasi darah vena dalam
sepertiga luar dinding vagina dan perangsangan seksual lebih hebat.Keadaan ini
meningkatkan hasrat hingga mencapai puncak gairah yang disebut plateau. Otototot vagina akan berkontraksi, membuat klitoris semakin tegang dan kelenjar
bartholin mensekresi cairan sehingga dinding vagina menjadi basah. Bersamaan
dengan itu payudara pun membesar dan menegang, sementara rangsangan terasa
menjalar ke seluruh bagian tubuh.Ini adalah tahapan terakhir sebelum tercapainya
orgasme, dapat dilihat pada gambar 2.4 (Pratamagriya, 2009).
Gambar 2.4 Fase plateau
(Sumber : Pratamagriya, 2009)
Fase berikutnya adalah fase orgasme yang sangat singkat dibandingkan
fase perangsangan dan plateau.Fase ini merupakan pelepasan dari ketegangan
seksual.Perlu diketahui bahwa fase orgasme ini dapat berlangsung tanpa adanya
11
stimulasi fisik yang nyata, misalnya melalui berbagai bentuk fantasi seksual.Fase
ini terpusat didaerah klitoris, vagina, dan uterus.Pada puncak fase orgasme, otototot sekitar vagina, uterus, perut bagian bawah, dan anus mengalami kontraksi
secara
ritmik
dan
menyebabkan
terjadinya
sebuah
sensasi
yang
menyenangkan.Biasanya terjadi 5–12 kontraksi yang sinkron dengan jeda masingmasing kontraksi sekitar 1 detik.Kontraksi pada detik-detik pertama sangat kuat
dan jeda yang sangat singkat.Tekanan darah, frekuensi nadi, dan frekuensi
pernafasan mencapai puncaknya dan kendali tonus otot-otot lurik menjadi hilang
yang pada beberapa wanita secara tidak sadar meluruskan jari-jari kakinya saat
orgasme.Inilah yang disebut sebagai suatu sexual climax.Seorang wanita dapat
mengalami orgasme berulangkali sebelum masuk kedalam fase resolusi, dapat
dilihat pada gambar 2.5 (Pratamagriya, 2009).
Gambar 2.5 Fase Orgasme
(Sumber : Pratamagriya, 2009)
Setelah orgasme berakhir, wanita tiba kembali pada tahap resolusi.Nafas,
detak jantung, dan tekanan darah menjadi normal dan teratur kembali secara
perlahan-lahan sehingga akhirnya wanita merasakan perasaan lega, nyaman, dan
seringkali diikuti dengan perasaan mengantuk, dapat dilihat pada gambar
2.6(Pratamagriya, 2009).
12
Gambar 2.6 Fase Resolusi
(Sumber : Pratamagriya, 2009)
Model baru dari respon seksual wanita yang mengemukakan pentingnya
kedekatan emosional dengan pasangan, adanya perasaan senang, bahagia, merasa
dihargai, dan dibutuhkan dari hanya sekedar berhubungan seksual.Kedekatan
emosional dengan pasangan bisa jadi pendorong rangsangan seksual. Faktor
psikologis dan biologis akan mempengaruhi pikiran terhadap rangsangan sehingga
tanggap terhadap keinginan seksual. Berhubungan dengan keinginan seksual,
wanita dapat menjadi subyek rangsangan. Model ini menyatakan proses fungsi
seksual pada wanita lebih kompleks dibandingkan pria. Fungsi seksual wanita
secara signifikan dipengaruhi oleh psikososial misalnya kepuasan terhadap
hubungan, penampilan, pengalaman seksual yang buruk sebelumnya, dapat dilihat
pada gambar 2.7 (Basson, 2005; Kingberg, 2009).
13
Gambar 2.7 Model Non Linier
(Sumber : Basson, 2005)
2.2.2 Jenis gangguan fungsi seksual wanita
Gangguan fungsi seksual wanita adalah suatu gangguan yang terjadi pada
salah satu atau lebih dari keseluruhan siklus respons seksual yang normal.
Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Fourth
Edition The Text Revision(DSM-IV-TR) yang didasarkan pada model linier
respon seksual wanita oleh Masters dan Johnson, ada enam jenis gangguan fungsi
seksual yaitu (Kingberg, 2009; Windhu, 2009):
1. Gangguan hasrat seksual hipoaktif (hypoactive sexual desire disorder)
2. Gangguan ketidakinginan terhadap seks (sexual aversion disorder)
3. Gangguan rangsangan seksual (femalesexual arousal disorder)
4. Gangguan orgasme (female orgasmic disorder)
5. Dispareunia
6. Vaginismus
14
2.2.2.1 Gangguan hasrat seksual hipoaktif (hypoactive sexual desire disorder)
Gangguan hasrat seksual hipoaktif atau hypoactive sexual desire
disorder(HSDD) adalah gangguan motivasi dan dorongan yang ditandai oleh
khayalan seksual dan keinginan untuk melakukan aktivitas seksual.
2.2.2.2 Gangguan ketidakinginan terhadap seks (sexual aversion disorder)
Ketidakinginan terhadap aktivitas seksual, keengganan, dan fobia
seringkali berawal dari pengalaman traumatis, menerima pesan negatif mengenai
seks, frekwensi aktifitas seksual yang rendah.
2.2.2.3 Gangguan rangsangan seksual ( femalesexual arousal disorder)
Gangguan respon sensoris terhadap stimulasi seksual dimana selanjutnya
menimbulkan kesiapan organ-organ seksual melakukan hubungan seksual.
2.2.2.4 Gangguan orgasme (female orgasmic disorder)
Gangguan orgasme adalah gangguan puncak kenikmatan seksual yang
ditandai dengan pelepasan ketegangan seksual dan kontraksi ritmis pada otot-otot
sekitar vagina, uterus, perut bagian bawah, dan anus.
2.2.2.5 Dispareunia
Dispareunia adalah nyeri di daerah genital sebelum, pada saat, dan setelah
aktivitas seksual, baik yang disebabkan kelainan fisik maupun psikologis.
2.2.2.6 Vaginismus
Vaginismus adalah rasa sakit yang dirasakan oleh wanita sewaktu
bersanggama.Hal ini merupakan reaksi vagina yang menyempit sehingga penis
tidak dapat masuk vagina.
15
2.2.3 Faktor-faktor yang menyebabkan gangguan fungsi seksual wanita
Gangguan fungsi seksual wanita dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang
terdiri dari faktor fisiologi, organik, dan psikososial (Pangkahila, 2005; Windhu,
2009).
2.2.3.1 Faktor fisiologis
a. Siklus menstruasi
Keadaan yang mungkin adalah dismenore dan menstruasi yang tidak
teratur.
b. Kehamilan
Keinginan untuk melakukan hubungan seks pada waktu hamil berbedabeda.Perbedaan ini disebabkan oleh faktor fisik maupun emosi.Pada awal
kehamilan, rasa mual, pusing maupun perubahan-perubahan fisik seperti
membesarnya perut, bertambahnya berat badan, dan perasaan cepat lelah,
membuat
wanita
kehilangan
selera
untuk
bermesraan
dan
bersanggama.Keinginan berhubungan seks timbul dan meningkat pada
trimester kedua karena wanita telah bisa menyesuaikan diri dengan kondisi
kehamilannya.Namun mendekati akhir masa kehamilan, dengan makin
membesarnya kehamilan dimana gerakan-gerakan bayi telah terasa, semua
rasa tidak nyaman kembali datang.
c. Menopause
Umur berhubungan dengan penurunan secara progresif fungsi fisik dan
kognitif manusia. Pada saat memasuki menopause wanita akan mengalami
keadaan vagina kering. Vagina kering disebabkan oleh menurunnya
16
hormon estrogen sehingga menyebabkan terjadinya atropi lapisan dinding
vagina.
2.2.3.2 Faktor organik
Faktor organik yang akan mempengaruhi respon seksual pada neuropathi
diabetika, mempengaruhi otonom genital pada vulvekomi, mempengaruhi
mobilitas pada cerebrovascular accident, terhambat oleh nyeri pada angina,
terhambat oleh nyeri genital pada endometriosis, terhambat karena penyakit
kronis pada gagal ginjal, danpasca histerektomi.
2.2.3.3 Faktor psikososial
a. Kurangnya atau kesalahan informasi mengenai seks, mitos seksual,
kepercayaan seksual, perilaku, dan nilai-nilai yang berkembang dalam
keluarga, sosial, kultur, dan agama.
b. Masalah
komunikasi,
masalah
hubungan
sehari-hari
yang
tidak
terselesaikan mungkin menyebabkan kemarahan dan rasa bersalah yang
berujung terjadinya hambatan pada hubungan seksual.
c. Pengalaman yang tidak menyenangkan di masa lalu seperti selalu gagal
dalam mencapai orgasme setiap kali berhubungan dengan suaminya dapat
menyebabkan masalah seksual yang akhirnya dapat menimbulkan
kekecewaan dan melenyapkan dorongan seksual.
d. Harapan yang tidak realistis dan bertentangan, masalah dapat muncul
ketika salah satu pasangan menginginkan seks lebih dari yang lainnya atau
harapan berlebihan memberi tekanan dan ketakutan jika gagal.
17
2.2.4 Pengukuran fungsi seksual wanita
Untuk menilai fungsi seksual wanita digunakan FSFI, yaitu suatu
instrumen multidimensi berupa kuisioner yang bersifat self report yang telah teruji
validitas dan reliabilitasnya.Kuesioner FSFI telah digunakan sejak tahun 1982 di
berbagai institusi pendidikan dan kesehatan khususnya bidang psikiatri secara
internasional. Berdasarkan interpretasi klinik dari FSFI, fungsi seksual wanita
terdiri dari enam domain struktur yang mengidentifikasi (Kuppermann dkk.,
2005):
1. Hasrat (desire) merupakan cerminan dasar psikologis tentang motivasi dan
dorongan yang ditandai oleh khayalan seksual dan keinginan untuk
melakukan aktivitas seksual.
2. Rangsangan(arousal) merupakan hasil respon sensoris terhadap stimulasi
seksual dimana selanjutnya menimbulkan kesiapan organ-organ seksual
melakukan hubungan seksual.
3. Lubrikasi(lubrication) merupakan proses sekresi mukus pada vagina yang
dihasilkan oleh kelenjar bartholin yang terdapat diantara himen dan labia
minora. Lubrikasi terjadi saat wanita terstimulasi baik secara fisik maupun
psikis.
4. Orgasme (orgasm) adalah puncak kenikmatan seksual yang ditandai
dengan pelepasan ketegangan seksual dan kontraksi ritmik pada otot-otot
sekitar vagina, uterus, perut bagian bawah, dan anus.
5. Kepuasan seksual(satisfaction) merupakan kemampuan mencapai orgasme
setiap kali melakukan hubungan seksual. Kepuasan seksual dapat
18
mengurangi stress dan meningkatkan kedekatan hubungan emosional
dengan pasangan.
6. Nyeri saat berhubungan seksualatau dispareunia adalah nyeri saat
melakukan hubungan seksual, baik yang disebabkan kelainan fisik
maupun psikologis.
Indek fungsi seksual wanita dinyatakan baik apabila diperoleh skor ≥30,
sedang apabila diperoleh skor 23 sampai 29 dan buruk apabila skor < 23 (Miocic
dkk., 2008)
2.3 Gangguan Fungsi Seksual Wanita Pasca Histerektomi
Banyak wanita merasa cemas akan pengaruh histerektomi pada kehidupan
seksual mereka. Gangguan fungsi seksual wanita pasca histerektomi yang
terjadinya antara lain gangguan hasrat seksual, rangsangan seksual, gangguan
orgasme, dan nyeri (Goldstein, 2003). Gangguan fungsi seksual wanita pasca
histerektomi disebabkan oleh perubahan secara anatomi, yaitu kerusakan saraf
lokal dan gangguan vaskularisasi, dan gangguan hormonal (Mokate dkk., 2006).
2.3.1 Perubahan anatomi
2.3.1.1 Kerusakan saraf
Persarafan otonom organ pelvis dibagi menjadi sistem saraf simpatis
(torakolumbalis) dan saraf parasimpatis (kraniosakralis) (gambar 2.8). Persarafan
simpatis menyebabkan kontraksi otot dan vasokontriksi berasal segmen medula
spinalis thorakalis 11 sampai lumbalis 2, sedangkan persarafan parasimpatis
berasal dari saraf splanknikus pelvikus bertanggungjawab terhadap relaksasi otot
19
polos pembuluh darah yang menyebabkan meningkatnya aliran darah ke klitoris,
labia, dinding vagina, dan terjadinya lubrikasi pada vagina (Murrel dkk., 2008).
Persarafan uterus berasal dari pleksus hipogastrika inferior (pleksus
pelvikus), yaitu pleksus yang terbentuk dari percampuran saraf splanknikus
pelvikus dan saraf hipogastrika. Pleksus hipogastrika superior terletak pada
jaringan retroperitoneal di depan promontorium dan antara kedua arteri iliaka
kommunis. Pleksus ini dibentuk dari pleksus simpatis aortikus dan cabang-cabang
ganglia simpatis lumbalis. Waktu pleksus hipogastrika superior masuk ke pelvis ia
bercabang menjadi pleksus hipogastrika inferior dekstra dan sinistra (pleksus
pelvikus). Masing-masing pleksus hipogastrika inferior berjalan ke bawah ke sisi
medial arteri iliaka interna dan cabang-cabangnya dan lateral terhadap rektum.
Pleksus ini dihubungkan satu sama lain oleh serabut saraf parasimpatis yang
dinamakan pleksus splanknikus pelvikus. Jadi pleksus hipogastrika dekstra dan
sinistra mengandung serabut saraf simpatis dan parasimpatis, yang menyebar ke
organ dalam pelvis mengikuti cabang-cabang arteri iliaka interna(Winkjosastro,
1994).
Saraf splanknikus pelvikus terdiri atas pars sakralis sistem saraf
parasimpatis yang mengandung serabut preganglioner saraf sakralis 2, 3 dan
4selanjutnya memasuki pleksus uterovaginal (Frankenhauser). Cabang-cabangnya
berjalan ke pleksus hipogastrika inferior dekstra dan sinistra dan tersebar ke organ
dalam pelvis.Serabut preganglioner saraf splanknikus pelvikus bersinap dengan
neuron postganglioner yang terletak baik pada pleksus hipogastrika inferior atau
pada dinding organ dalam pelvis. Pleksus uterovaginal terletak pada dasar
ligamentum latum dan terletak lateral terhadap insersi ligamentum uterosakral dan
20
kardinal ke dalam uterus. Saraf ini berlanjut terus ke superior sepanjang uterus
dan inferior sepanjang serviks dan vagina.Saraf vagina mensarafi bulbus
vestibular, uretra, dan klitoris.Pada serviks, saraf simpatis dan parasimpatis
membentuk pleksus, yang disebut sebagai ganglia paraservikal.Pada tingkat inilah
cedera pada serat otonom dari vagina, labia, dan serviks dapat terjadi selama
histerektomi.Vagina
menerima
persarafan
otonomik
dari
pleksus
uterovaginal.Serat sarat simpatik dan para simpatik dari pleksus ini melayani
serviks dan bagian atas vagina seperti uretra, bulbus vestibuler, dan klitoris
melalui ligamentum kardinal dan uterosakral.Bagian bawah vagina menerima
persarafan terutama dari cabang-cabang saraf pudendal. Walaupun berasal dari
segmen sakral yang sama, saraf pudendal lebih bersifat somatik daripada saraf
visceral (Murrel dkk., 2008).
Ovarium dilayani oleh saraf simpatis dan parasimpatis.Saraf simpatis
sebagian besar berasal dari pleksus ovarika yang menyertai pembuluh ovarika,
beberapa berasal dari pleksus yang mengelilingi cabang ovarika dari arteri uterina.
Ovarium sangat kaya dengan serabut saraf tak bermielin, yang sebagian besar
menyertai pembuluh darahnya(Murrel dkk., 2008).
21
Gambar 2.8 Persarafan organ reproduksi wanita
(Sumber :Starr, 2006)
Pengangkatan uterus berdampak pada perubahan struktur anatomi di
rongga panggul termasuk didalamnya usus, vesika urinaria, dan saraf.Perubahan
pada jalur saraf pada vagina bagian atas berpengaruh pada lubrikasi dan orgasme.
Banyak saraf menuju pelvis melalui pleksus uterovaginal, sehingga pengangkatan
serviks akan berakibat terhadap kerusakan pleksus tersebut (Berman, 2007).
Masters dan Jonson menyatakan pencetus respon seksual pada wanita adalah
tekanan pada serviks.Kehilangan serviks berakibat kekeringan pada vagina karena
kelenjar yang memproduksi mukus berkurang sehingga berakibat penurunan
gairah sexual dan orgasme (Katz, 2005). Jewett memeriksa kemungkinan bahwa
penyebab dispareunia karena pemendekan puncak vagina. Orgasme eksternal
yang disebabkan
oleh
stimulasi
pada
klitoris
tidak
terpengaruh
oleh
histerektomisedangkan orgasme internal yang disebabkan stimulasi pada ujung22
ujung saraf dalam pleksus uterovaginal hilang oleh histerektomi dengan
pengangkatan servik (Rhodes dkk., 1999).
Pada umumnya, TAH dapat merusak banyak jaringan penunjang atau
merusak pleksus saraf otonom.Uterus dan servik berperan penting pada
rangsangan seksual dan orgasme, kemungkinan disebabkan karena rangsangan
pada pleksus uterovaginal (Frankenhauser). Selama histerektomi, pleksus pelvikus
kemungkinan mengalami kerusakan melalui empat cara yaitu a) Cabang utama
pleksus yang lewat di bawah arteri uterina ikut rusak sepanjang cabang
ligamentum kardinal, b) bagian utama dari persarafan vesikalis yang memasuki
dasar vesika urinaria sebelum menyebar di seluruh otot detrusor, kemungkinan
rusak selama diseksi tumpul uterus dan serviks, c) diseksi yang luas pada jaringan
para vaginal merusak nervus pelvikus yang lewat dari sisi lateral vagina, d)
pengangkatan serviks mengakibatkan hilangnya segmen yang luas yang
berhubungan dengan pleksus tersebut. Oleh karena itu, pada beberapa wanita
terjadi perubahan fungsi seksual pasca TAH seperti hilangnya atau berkurangnya
libido, dan hasrat seksual (Roovers dkk., 2003). Demikian pula dengan orgasme
internal yang sering mengalami perubahan pasca histerektomi karena hilangnya
kontraksi ritmis otot uterus akibat dari cedera saraf tersebut (Goldstein, 2003).
2.3.1.2 Gangguan vaskularisasi
Uterus dilayani oleh arteri uterina sinistra dan dekstra yang terdiri dari
ramus ascendens dan ramus desendens. Arteri ini berasal dari arteri iliaka interna
melalui dasar ligamentum latum, masuk ke dalam uterus di daerah serviks kirakira 1,5 cm dari forniks vagina. Pembuluh darah lain yang melayani uterus adalah
arteri ovarika sinistra dan dekstra, berjalan dari lateral dinding pelvis, melalui
23
ligamentum infundibulo-pelvikum mengikuti tuba fallopi, beranastomosis dengan
ramus asendens arteri uterina di sebelah lateral, kanan dan kiri uterus. Darah
kembali melalui pleksus vena ke vena hipogastrika (Winkjosastro, 1994).
Vagina juga mendapat darah dari 1) arteri uterina, yang melalui cabangnya
ke serviks dan vagina memberikan darah ke bagian 1/3 atas vagina; 2) arteri
vesikalis inferior, yang melalui cabangnya memberi darah ke vagina bagian 1/3
tengah; 3) arteri hemoroidalis mediana dan arteri pudendus interna yang
memberikan darah ke bagian 1/3 bawah vagina. Darah kembali melalui pleksus
vena antara lain pleksus pampiniformis, ke vena hipogastrika dan vena iliaka ke
atas, dapat dilihat pada gambar 2.9 (Winkjosastro, 1994).
Gambar 2.9Vaskularisasi uterus
(Sumber : Sahaja, 2009)
Trauma di daerah genital atau pelvis seperti fraktur, trauma tumpul, dan
akibat operasi histerektomi dapat menyebabkan berkurangnya aliran darah ke
klitoris, vagina, dan serviks, yang menimbulkan gangguan fungsi seksual berupa
gangguan ereksi klitoris dan lubrikasi vagina (Rhodes dkk., 1999).
2.3.2 Gangguan hormonal
Hormon seks androgen dan estrogen memegang peranan yang signifikan
dalam mengatur fungsi seksual wanita.Estrogen mempunyai efek protektif yang
24
menyebabkan peningkatan aliran darah ke vagina dan klitoris.Ini membantu
memelihara reaksi seksual wanita seiring berjalannya waktu (Pangkahila, 2005).
Wanita yang telah mengalami operasi histerektomi dengan pengangkatan
kedua ovarium bisa mengalami penurunan 20% jumlah hormon androstenedion
didalam darah mereka, dan dikatakan bahwa histerektomi akan menginduksi
terjadinya menopause yang menyebabkan defisiensi dua macam hormon yaitu
estrogen dan testoteron (Windhu, 2009). Defisiensi testosteron pada wanita
menyebabkan menurunnya rangsang seksual, libido, dan orgasme (Salonia dkk.,
2006; Rola, 2010).
Pada histerektomi radikal dengan dilakukannya bilateral ooforektomi
terdapat penurunan fungsi seksual sebesar 15-37% (Zippe dkk., 2005; Salonia
dkk., 2006). Gangguan fungsi seksual pasca histerektomi berhubungan dengan
etiologi dari histerektomi dan kondisi preoperatif yang bervariasi seperti
dispareunia dan dismenorea.Penelitian deskriptif prospektif yang dilakukan di
Rumah Sakit Khon Kaen di Thailand, terhadap 80 wanita yang sudah menikah,
usia≤45 tahun, yang akan dilakukan TAH dengan atau tanpa salfingo-ooforektomi
unilateral, didapatkan bahwa seksualitas mengalami perbaikan yang bermakna
pasca histerektomi dan memiliki dampak positif pada fungsi seksual (Punushapai,
2006). Penelitian yang dilakukan terhadap 1101 wanita umur rata-rata 43 tahun,
sebelum dan setelah 12 bulan, 24 bulan pasca histerektomi, dilaporkan fungsi
seksual seperti frekwensi hubungan seksual, orgasme mengalami perbaikan,
sedangkan disparunea mengalami penurunan (Rebar, 2000). Penelitian pada 105
wanita sebelum dan pasca histerektomi totalis pada bulan ke-3, ke-8 dan ke-18,
dilaporkan kepuasan seksual meningkat secara bermakna baik dalam hal gairah
25
seksual maupun orgasme (Goetsch, 2005).Penelitian prospektif di Rumah Sakit
Maryland Women’s, pada 1299 wanita yang dihisterektomi, dilaporkan fungsi
sekual
meningkat
pasca
histerektomi(Rhodes
dkk.,
2000).
Penelitian
observasional prospektif di Netherland tahun 2003 terhadap 413 wanita yang
menjalani histerektomi karena tumor jinak selain prolap uterus simptomatis dan
endometriosis, dilaporkan bahwa kenikmatan seksual mengalami perbaikan baik
pasca histerektomi vaginal, sub total maupun abdominal total. Menetap dan
berkembangnya masalah selama aktivitas seksual hampir sama pada ketiga tehnik
(Roovers dkk., 2003).
Penelitian random terhadap 158 pasien TAH dan 161 pasien SVH bahwa
tidak ada perbedaan kehidupan seksual pada kedua kelompok(Gimbeldkk.,2003).
Penelitian lain melaporkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna pada fungsi
seksual pasca TAH dan SVH(El-Toukhydkk., 2004). Penelitian terhadap 50
pasien SVH dan 100 pasien TAH pada tahun 2007, dinyatakan bahwa dispareunia
dan frekwensi hubungan seksual tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok
(Asnafi dkk., 2010). Penelitian terhadap 86 pasien yang diterima untuk
berpartisipasi dengan kuisioner melalui telepon pasca TAH atau dengan TAHBSO, disimpulkan bahwa pengaruh dari TAH atau TAH-BSO terutama pada
hasrat seksual dan jumlah bersanggama setiap minggu dan estrogen pada periode
paska operatif tidak banyak perbedaan diantara kedua grup(Kuscu dkk., 2004).
Penelitian prospektif observasi terhadap 94 pasien pasca histerektomi laparoskopi
selama enam bulan, disimpulkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara TAH
maupun SVH laparoskopi terhadap kualitas seksual (Nam dkk., 2008). The
Cochrane Library dalam sistematic review dan penelitian meta analisanya
26
menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna pada gangguan fungsi dan
kepuasan seksual pada TAH dengan SVH (Johnson dkk., 2005). Penelitian pada
120 pasien yang dilakukan histerektomi untuk tumor jinak di RS St Olav, terdiri
dari 60 pasien TAH dan 60 pasien SVH, tahun 2001-2003, dilaporkan tidak ada
dampak negatif
kepuasan seksual pasca histerektomi baik pasien dengan
pasangannya, 12% pada TAH dan 4% pada SVH (Lonnee dkk., 2006). Penelitian
dengan membandingkan fungsi seksual dan kualitas hidup pada 135 pasien
myoma dan DUB yang menjalani operasi TAH dan SVH. Dilaporkan kualitas
seksual dan hidup selama dua tahun sama pada TAH maupun SVH(Kuppermann
dkk.,2005).
Penelitiandi The New York-Presbyterian Hospital Weill Medical College
of Cornell University yang membandingkan perubahan fungsi seksual pasca SVH
dengan TAH, dilaporkan bahwa fungsi seksual lebih menurun pada TAH
dibandingkan dengan SVH berhubungan dengan frekwensi dan kepuasan seksual,
secara statistik bermakna terdapat penurunan kemampuan mencapai orgasme pada
pasca TAH dan SVH masing-masing 43% dan 6%, dengan p=0,03 (Saini dkk.,
2002). Penelitian cross sectional di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, terhadap
pasien pasca TAH pada kelainan ginekologi jinak dalam waktu 3 sampai 6 bulan
pasca operasi, ditemukan penurunan fungsi seksual pada TAH(Ghozali dkk.,
2004). Begitu juga penelitian cross sectional di RSU dr Soetomo Surabaya, pada
40 penderita tumor jinak genitalia yang telah menjalani tindakan SVH dan TAH,
pasca operasi dengan uji t-independentdidapatkan skor fungsi seksual pasca SVH
lebih baik secara bermakna dibandingkan TAH dalam hal gairah p=0,007, arousal
p=0,011, lubrikasi p=0,011, orgasme p=0,008 dan nyeri p=0,011 (Kurniawati
27
dkk., 2008). Penelitian terhadap 68 pasien yang menjalani histerektomi oleh
karena bukan suatu keganasan, disimpulkan bahwa insiden terjadi gangguan
fungsi seksual akibat depresi mayor pasca TAH lebih tinggi sebesar
7,69%daripada pasca SVH (Yen dkk., 2008).Penelitian terhadap pasien pasca
TAH dengan SVH ditemukan adanya penurunan fungsi seksual pada TAH lebih
tinggi daripada SVH, karena pada TAH terjadi kehilangan serviks sehingga
hilangnya stimulasi pada servik saat berhubungan seksual akan mengakibatkan
kesulitan untuk mencapai orgasme (Sidohutomo, 2008). Penelitian pada 45
pasien, dilaporkan bahwa pada pasca SVH diperoleh gangguan kecemasan sebesar
44,4% sedangkan pasca TAH terdapat peningkatan gangguan kecemasan sebesar
6,8% (Okunlola dkk., 2009).
28
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1Kerangka Konsep Penelitian
Histerektomi adalah suatu prosedur pembedahan mengangkat uterus.Pada
TAH dapat menyebabkan rusaknya banyak jaringan penunjang, vaskularisasi atau
pleksus uterovaginal (Frankenhauser) dibandingkan dengan SVH.Uterus dan
servik berperan penting pada rangsangan seksual dan orgasme.Oleh karena itu,
beberapa wanita fungsi seksual mereka setelah TAHberubah seperti hilangnya
atau berkurangnya libido dan hasrat seksual.Gangguan vaskularisasi berupa
berkurangnya aliran darah ke klitoris, vagina, dan serviks, yang menimbulkan
gangguan fungsi seksual berupa gangguan ereksi klitoris dan lubrikasi
vagina.Demikian pula dengan orgasme internal yang sering mengalami perubahan
setelah histerektomi karena hilangnya kontraksi ritmis otot uterus akibat dari
cedera saraf tersebut.Faktor-faktor lain yang juga mempengaruhi gangguan fungsi
seksual seperti usia, pendidikan, paritas,diabetes mellitus, endometriosis, TAHBSO (gambar 3.1).
29
Pasca TAH
Pasca SVH
- Usia
- Pendidikan
- Paritas
- Diabetes mellitus
- Endometriosis
- TAH-BSO
Fungsi Seksual Wanita
Gambar 3.1Kerangka Konsep Penelitian
3.2 Hipotesis penelitian
Terdapat perbedaan fungsi seksual pada pascaTAH dan SVH di RSUP
Sanglah Denpasar.
30
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah studi cross sectional
analitik.
Baik
Pasca TAH
Fungsi Seksual
Sedang
Buruk
Baik
Pasca SVH
Fungsi Seksual
Sedang
Buruk
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian
4.2. Populasi dan Sampel Penelitian
4.2.1 Populasi target
Populasi target pada penelitian ini adalahpasien pasca TAH dan SVH.
4.2.2. Populasi terjangkau
Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah semua pasien pasca TAH
dan SVH yang melakukan pemeriksaan ke poliklinik Kebidanan dan Penyakit
Kandungan RSUP Sanglah dari bulan Januari 2011.
31
4.2.3 Kriteria eligibilitas
Kriteria Eligibilitas terdiri dari kriteria inklusi dan eksklusi
4.2.3.1 Kriteria inklusi:
1. Usia 35-45 tahun
2. Pasca TAH dan SVH
3. Sudah menikah
4. Bersedia ikut serta dalam penelitian ini dengan menandatangani
informed consent.
4.2.3.2 Kriteria eksklusi:
1. Diabetes mellitus
2. Endometriosis
3. TAH/SVH-BSO
4. Keganasan ginekologi
5. Mendapat terapi hormonal dan kemoterapi, pasca TAH dan SVH
dengan atau tanpa USO
4.2.4 Besar sampel
Besarnya sampel dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan
rumus (Saini dkk., 2002; Sastroasmoro S, 2008)
n1  n2 
( z
2 PQ  z 
P1Q1  P2Q2 )
2
( P1  P2 ) 2
z =
deviat baku alpha, untuk kesalahan tipe I ditetapkan 5% maka z = 1,64
z =
deviat baku beta, untuk kesalahan tipe II ditetapkan 20% maka z  = 0,84
P2
=
P1
=
proporsi pada kelompok SVH = 0.06
proporsi pada kelompok TAH = 0.43
32
P1-P2
=
selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna, dalam penelitian
ini ditetapkan yaitu 0,37
P
=
proporsi total =
Q2
=
1-P2 = 0,94
Q1
=
1-P1 = 0,57
Q
=
1-P = 0,75
n1 = n2
P1 P2
= 0,25
2
= 12
Total jumlah sampel sebanyak 24 orang
4.2.5Teknik penentuansampel
Dari populasi terjangkau diambil sampel penelitian secara consecutive
sampling.
4.3 Variabel Penelitian
4.3.1 Klasifikasi variabel
a) Variabel tergantung
: fungsi seksual
b) Variabel bebas
: pasca TAH dan SVH
c) Variabel kendali
:usia, pendidikan, paritas
4.3.2 Definisi operasional variabel
1. Fungsi seksual adalah tingkat atau derajat fungsi seksual pada wanita yang
dinilai dengan FSFI yang terdiri dari 19 pertanyaan yang mengidentifikasi:
hasrat (desire), rangsangan (arousal), lubrikasi (lubrication), orgasme
(orgasm), kepuasan seksual (satisfaction) dan nyeri berhubungan seksual
(dispareunia). Skor secara keseluruhan dihitung dengan menggunakan rumus
dengan tabel yang dapat dilihat pada lampiran. Indeks fungsi seksual wanita
dinyatakan baik apabila diperoleh skor ≥30, sedang apabila diperoleh skor
33
23-29 dan buruk apabila skor <23.
2. PascaTAH adalah prosedur pembedahan yang dilakukan minimal setelah
empat minggu dengan mengangkat seluruh uterus termasuk serviks, korpus,
dan fundus uteri.
3.
Pasca SVH adalah prosedur pembedahan yang dilakukan minimal setelah
empat minggu dengan mengangkat uterus tetapi meninggalkan serviks.
4.
Unilateral Salphingoovorectomy (USO) adalah prosedur pembedahan dengan
meninggalkan salah satu ovarium.
5.
TAH-BSO adalah prosedur pembedahan mengangkat seluruh uterus
termasuk serviks, korpus, fundus uteri dikerjakan juga pengangkatan ovarium
dan tuba fallopi.
6.
Diabetes mellitus adalah meningkatnya kadar gula darah acak ≥ 200 mg/dl
(Rani dkk., 2008).
7.
Endometriosis adalah jaringan endometrium yang terdapat di luar kavum
uteri, diagnosanya ditegakan berdasarkan fokal-fokal endometriosis di luar
organ uterus yang diperoleh dari rekam medis pasien.
8.
Usia adalah umur dinyatakan dalam tahun yang didapatkan dari kartu tanda
penduduk, jika tidak ada umur diperkirakan dengan menghubungkan
kelahiran dengan kejadian yang bersejarah di lingkungan sekitar.
9.
Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang berhasil
ditamatkan dan didapatkan dari hasil wawancara langsung. Dibagi menjadi
kelompok tidak sekolah, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah
menengah atas, dan perguruan tinggi.
10. Paritas adalah jumlah janin viabel yang dilahirkan, diperoleh dari rekam
34
medis pasien.
11. Menikah adalah status yang tertulis pada kartu tanda penduduk, hingga saat
pengambilan sampel dilakukan dinyatakan sudah menikah.
12. Keganasan ginekologi adalah berbagai tumor ganas dari organ kandungan,
antara lain kanker servik, ovarium dan endometrium. Data tersebut diperoleh
dari rekam medis.
13. Terapi hormonal adalah pemberian tambahan hormonal baik estrogen
maupun progesterone pasca TAH dan SVH dengan atau tanpa USO, yang
diperoleh dari rekam medis.
14. Kemoterapi adalah pemberian tambahan kemoterapi pasca TAH dan SVH
dengan atau tanpa USO, yang diperoleh dari rekam medis.
4.4 Bahan dan Instrumen Penelitian
1. Kuisioner FSFI yang memuat tentang fungsi seksual.
2. Data tambahan tentang identitas pasien, demografi sosio-ekonomi.
4.5 Tempat dan Waktu Penelitian
4.5.1 Tempat Penelitian :di poliklinik bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan
RS Sanglah Denpasar maupun di tempat tinggal responden.
4.5.2 Waktu penelitian :selama 1 tahun mulai bulan Januari 2011 atau sampai
jumlah sampel tercukupi.
4.6 Alur Penelitian
Populasi target pada penelitian ini adalah wanita pasca TAH dan
SVH.Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah semua pasien wanita dengan
pasca TAH dan SVH yang melakukan pemeriksaan ke di poliklinik bagian
Kebidanan dan Penyakit Kandungan RS Sanglah Denpasar dari bulan Januari
35
2011 sampai jumlah sampel terpenuhi. Dari populasi terjangkau tersebut
selanjutnya harus memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi, diberikan
penjelasan tentang tujuan dan manfaat penelitian ini, selanjutnya bagi yang
bersedia mengikuti penelitian ini dilakukan informed consent.Selanjutnya pasien
melakukan sendiri pengisian kuisioner tanpa didampingi pihak lain pada ruangan
yang telah disediakan oleh peneliti dan peneliti melakukan anamnesis dan
penelusuran rekaman medik untuk melengkapi data yang diperlukan.Jika pasien
tidak mampu atau kesulitan untuk membaca maka peneliti akan membantu untuk
membacakan kuisioner yang tersedia. Sampel penelitian diambil secara
consecutive sampling. Kemudian sampel dikelompokkan menjadi kelompok
pasca TAH dan SVH, selanjutnya dilakukan pengukuran fungsi seksual.Setelah
semua data terkumpul dilakukan analisis data (gambar 4.2).
36
Wanita pasca histerektomi
- Anamnesis
- Penelusuran rekam medik
- Kriteria inklusi
- Kriteria eksklusi
- Informed consent
Consecutive Sampling
Sampel penelitian
Pasca TAH
Pasca SVH
Kuisioner FSFI
ANALISIS DATA
Gambar 4.2 Alur Penelitian
4.7 Analisis Data
Setelah dilakukan evaluasi ulang terhadap kelengkapan data, dilakukan
analisis dengan perangkat lunak komputer The Statistical and Service Solution
(SPSS) for windows versi 16:
a. Analisis stastistik deskriptif terhadap data demografi sampel disajikan dalam
bentuk tabel dan narasi.
b. Uji Shapiro Wilk untuk menguji normalitas data.
c. Uji perbedaan antar kelompok TAH dan SVH dengan uji t-independent bila
data normal, atau menggunakan uji Mann Whitney bila data tidak normal.
d. Perbedaan fungsi seksual berdasarkan kategori baik, sedang dan buruk, diuji
dengan Chi-Square.
37
BAB V
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2011 sampai dengan bulan
Januari 2012 telah terkumpul 28 orang pasien yang terdiri dari 14 pasca TAH dan
14 pasca SVH.
5.1Rerata Umur, Paritas, Hasrat, Rangsangan, Lubrikasi, Orgasme,
Kepuasan, Nyeri, dan Skor Total FSFI padaKelompok Pasca TAH dan SVH
Pada penelitian cross sectional ini dilakukan uji beda dengan ujitindependentuntuk variabel umur, paritas dan skor total FSFI, sedangkan tingkat
pendidikan diuji denganChi-Square. Hasil analisis disajikan pada tabel 5.1
berikut.
Tabel 5.1
Rerata Umur, Paritas, Hasrat, Rangsangan, Lubrikasi, Orgasme, Kepuasan,
Nyeri, dan Skor Total FSFI padaKelompok Pasca TAH dan SVH
Pasca TAH
Pasca SVH
(n=14)
(n=14)
Variabel
p
Rerata
SD
Rerata
SD
Umur (th)
43,00
1,96
41,71
2,95
0,186
Paritas
2,00
0,96
1,93
1,44
0,878
Hasrat
4,11
0,52
4,16
0,55
0,272
Rangsangan
4,16
0,51
4,37
0,73
0,239
Lubrikasi
4,31
0,48
4,82
0,55
0,014
Orgasme
4,29
0,60
4,97
0,70
0,010
Kepuasan
4,20
0,54
4,57
0,46
0,061
Nyeri
4,46
0,80
5,09
0,71
0,037
Skor total FSFI
25,52
2,91
28,26
3,17
0,025
Analisis kemaknaan dengan uji t-independent menunjukan bahwa
karakteristik subyek antar kelompok tidak berbeda (p>0,05). Sedangkan tingkat
pendidikan
diuji
denganChi-Squaredan
38
didapatkan
nilai
p=0,064,
yang
menunjukan bahwa tidak ada perbedaan tingkat pendidikan antara kedua
kelompok.Hal ini berarti bahwa karakteristik subyek kedua kelompok adalah
sama sehingga pengaruhnya terhadap hasil penelitian dapat diabaikan.
5.2Perbedaan Fungsi Seksual padaKelompok Pasca TAH dan SVH
Untuk mengetahui perbedaan fungsi seksual pada kelompok pasca TAH
dan SVH dipakai uji Chi-square, yang dapat dilihat pada tabel 5.2.
Tabel 5.2
Perbedaan Fungsi Seksual padaKelompok Pasca TAH dan SVH
Fungsi Seksual
Tindakan
Pasca TAH
Pasca SVH
Baik
Sedang
Kurang
2 (7,1%)
6 (21,4%)
6 (21,4%)
7(25,0%)
6 (21,4%)
X2
P
6,349
0,042
1 (3,6%)
Dari tabel 5.2 didapatkan p=0,042berarti ada perbedaan yang bermakna
pada fungsi seksual antarakelompok pasca TAH dengan kelompok pasca SVH.
39
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Karakteristik Subyek padaKelompok Pasca TAH dan SVH
Umur secara alamiah tetap berpengaruh terhadap penurunan aspek
seksualitas, aktivitas seksual wanita terbaik tercapai pada usia muda selanjutnya
akan turun pada usia tua (Huangdkk., 2008). Paritas juga berpengaruh terhadap
penurunan aspek seksualitas, paritas yang tinggi berhubungan dengan waktu
untuk mengurus anak-anak.Pada saat ini, umumnya satu keluarga menginginkan
dua anak, pandangan ini tak jarang menyebabkan terbatasnya peranan hubungan
seksual dalam kehidupan mereka.Setelah memiliki jumlah anak yang dikehendaki,
mereka sulit untuk melakukan hubungan seksual hanya atas dasar rekreasi belaka
(Pangkahila, 2005).Hubungan antara tingkat pendidikan dan kepuasan seksual
juga masih diperdebatkan. Tingkat pendidikan yang cukup baik, pengaruh mitos
yaitu informasi yang berkaitan dengan kepuasan seksual yang sebenarnya salah,
tetapi dianggap benar karena telah beredar lama, bahkan dari generasi ke generasi
akan semakin rendah karena mereka tahu informasi tersebut salah dan
menyesatkan (Pangkahila, 2005). Penelitian oleh Huang dkk.(2008) pada
menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung berhubungan
secara negatif dengan kepuasan seksual,hal ini berkaitan dengan dukungan suami
yang lebih rendah dan stress pekerjaan.
Pada penelitian cross sectional dengan 28 orang sampel yang terdiri atas
14 pasca TAH dan 14 pasca SVH ini terlebih dahulu dilakukan uji normalitas
umur dan paritas untuk mengetahui apakah kedua kelompok berdistribusi normal
dengan uji Saphiro Wilk. Uji normalitas umur pada kelompok pasca TAH dan
40
SVH masing-masing p=0,087 dan p=0,077. Uji normalitas paritas pada kelompok
pasca TAH dan SVH masing-masing p=0,064 dan p=0,297. Nilai p>0,05 berarti
data umur dan paritas berdistribusi normal sehingga bisa dilanjutkan dengan uji tindependent. Berdasarkan hasil analisis didapatkan rerata umur pada kelompok
pasca TAH dan SVH masing-masing 43,00±1,96 dan 41,71±2,95dengan p>0,05.
Rerata paritas pada kelompok pasca TAH dan SVH masing-masing 2,00±0,96 dan
1,93±1,43 dengan p>0,05. Berdasarkan karakteristik tingkat pendidikan yang diuji
dengan uji Chi-Square didapatkan p=0,064. Hal ini berarti bahwa karakteristik
subyek kedua kelompok adalah sama sehingga pengaruhnya terhadap hasil
penelitian dapat diabaikan.
6.2
Perbedaan Fungsi Seksual pada Kelompok Pasca TAH dan SVH
Berdasarkan hasil analisis dengan uji t-independent didapatkan rerata
hasrat pada kelompok pasca TAH dan SVH masing-masing 4,11±0,52 dan
4,16±0,55 dengan p=0,272, rerata rangsangan pada kelompok pasca TAH dan
SVH masing-masing 4,16±0,51 dan 4,37±0,73 dengan p=0,239, rerata lubrikasi
pada kelompok pasca TAH dan SVH masing-masing 4,31±0,48 dan 4,82±0,55
dengan p=0,014, rerata orgasme pada kelompok pasca TAH dan SVH masingmasing 4,29±0,60 dan 4,97±0,70 dengan p=0,014, rerata kepuasan pada kelompok
pasca TAH dan SVH masing-masing 4,20±0,54 dan 4,57±0,46 dengan p=0,061,
rerata nyeri pada kelompok pasca TAH dan SVH masing-masing 4,46±0,80 dan
5,09±0,71 dengan p=0,037. Variabel lubrikasi, orgasme, dan nyeri didapatkan
berbeda bermakna (p<0,05), sedangkan hasrat, rangsangan, dan kepuasan tidak
berbeda bermakna. Berdasarkan rerata skor total FSFI pada kelompok pasca TAH
41
dan SVH masing-masing25,5±2,91 dan 28,26±3,17, berbeda secara bermakna
(p<0,05). Jadi didapatkan bahwa skor total pada kelompok pasca TAH lebih
rendah dibandingkan dengan rerata kelompok pasca SVH.
Di samping uji perbedaan skor total, fungsi seksual antara kedua
kelompok juga dianalisis berdasarkan tabel silang 3 x 2 yaitu dengan Chi-square
(X2) dan didapatkan bahwa pada kelompok pasca TAH dengan fungsi seksual
baik dengan nilai ≥ 30 sebanyak 2 orang (7,1%), sedang dengan nilai 23-29
sebanyak 6 (21,4%), buruk dengan nilai < 23 sebanyak 6 (21,4%). Pada kelompok
pasca SVH fungsi seksual baik sebanyak 7 (25,0%), sedang sebanyak 6 (21,4%),
kurang sebanyak 1 (3,6%). Berdasarkan hasil analisis dengan uji Chi Square
didapatkan p=0,042. Hal ini berarti terdapat perbedaan fungsi seksual kelompok
pasca TAH dibandingkan SVH.
TAH tidak mempunyai hubungan dengan ada tidaknya gangguan hasrat
dibandingkan dengan SVH (p=0.272). Hasrat seksual wanita secara spontan
dihasilkan oleh fantasi seksual.Pada dasarnya, wanita memerlukan lebih dari
sekadarrangsangan diawal hubungan seksual. Aspek psikologis memainkan peran
penting dalam proses stimulasi pada pikiran wanita (Windhu, 2009).TAH tidak
mempunyai hubungan dengan ada tidaknya gangguan rangsang seksual
dibandingkan dengan SVH (p=0,239). Seorang wanita yang tertarik untuk
menjadi terangsang akan menikmati pengalaman seksualnya. Wanita perlu
memusatkan diri pada stimulasi seksual yang timbul dari dalam diri akibat
inisiatif wanita itu sendiri atau akibat rangsangan dari pasangan seksualnya.Jenis
stimulasi, waktu yang dibutuhkan bersifat sangat subjektif dan berbeda pada
setiap wanita. Aspek psikologis yang baik akan memberikan peningkatan motivasi
42
(Windhu, 2009). Kepuasan seksual tidak berhubungan dengan jenis tindakan
histerektomi yang dikerjakan baik TAH maupun SVH (p=0,061). Kepuasan
seksual dipengaruhi oleh aspek psikologis, yang meliputi antara lain;
psikopatologi yang memang menyertainya sebelum operasi atau reaksi emosi
yang timbul bahwa histerektomi akan menimbulkan gangguan pada hubungan
seksual selanjutnya.Tidak terungkapnya perbedaan gangguan hasrat, rangsangan
dan kepuasan seksual pada penelitian ini mungkin karena sebagian besar 60%
kelompok pasca TAH dan SVH mempunyai tingkat pendidikan rendah yang
mempunyai keterbatasan pengetahuan dan ketidakterbukaan merupakan faktor
yang berpengaruh. Perbedaan hasil penelitian dengan Saini dkk. (2002)oleh
karena populasi penelitian mempunyai kelompok tingkat pendidikan yang lebih
tinggi dan budaya masyarakatnya sendiri yang ekstrovert.
Hubungan TAH terhadap penurunan pencapaian orgasme, secara statistik
mempunyai kemaknaan dimana p=0,014. TAH berdampak besar pada perubahan
struktur anatomi di rongga panggul termasuk didalamnya usus, vesika urinaria,
dan saraf yang berakibat turunnya kualitas kehidupan seksual wanita
dibandingkan SVH.Dikemukakan bahwa stimulasi saraf dari pleksus uterovaginal
(Frankenhauser), pada beberapa wanita berperan pada tingkat kepuasan seksual.
Pada beberapa wanita kualitas dan intensitas dari orgasme internal yang
distimulasi dengan penetrasi dalam pada ujung-ujung saraf tersebut, berhubungan
dengan gerakan dari serviks dan uterus (Saini dkk., 2002, Bermandkk.,
2007).Penurunan orgasme pasca TAH dapat timbul karena perubahan sensasi
pada fase gairah dan plateu akibat pengangkatan uterus dengan servik tersebut.
Hal ini sesuai dengan Masters & Johnson bahwa fase gairah ada peningkatan
43
aliran darah pada keseluruhan daerah pelvis, elevasi dan pembesaran uterus 2 kali
ukuran biasa, akibat TAH terjadi pengurangan sensasi tambahan pada fase-fase
diatas dalam rangka pencapaian orgasme.Hasil yang sesuai dengan penelitian
Saini dkk. (2002) yang menyatakan pasien-pasien pasca TAH fungsi seksualnya
lebih buruk dibandingkan pasien pasca SVH, gangguan orgasme pasca TAH dan
SVH masing-masing sebesar 43% dan 6%, dengan p=0,03.Berbeda dengan
penelitian Rhodes dkk. (2000) tidak terdapatnya perbedaan penurunan orgasme
pada kedua kelompokdisebabkansetelah histerektomi baik TAH maupun SVH
dikerjakan, gejala perdarahan pervaginam dan ketakutan akan kehamilanhilang
sehingga penderita dapat melakukan kegiatan sanggama sampai mencapai
orgasme.
Pemotongan serviks seluruhnya juga disebut berpotensi merugikan akibat
terbentuknya jaringan parut ataupun jaringan granulasi pada apeks vagina dan
pemendekan vagina. Kehilangan serviks juga berakibat hilangnya sebagian
kelenjar yang memproduksi mukus yang berperan dalam lubrikasi dinding vagina
selama proses koitus, akibatnya terjadi kekeringan dinding vagina yang
menimbulkan nyeri pada saat penetrasi penis.Nyeri yang diakibatkan oleh
kekurangan lubrikasi ini akan menghambat orgasme serta kualitas seksual secara
umum (Katz, 2005).Penelitian Zobbe dkk. (2004) menyatakan nyeri saat
berhubungan seksual pasca SVH dan TAH tidak berbeda bermakna, faktor
psikologis penderita menganggap penyakit yang mengancam jiwanya telah hilang
dengan tuntas sehingga penderita dapat melakukan kegiatan sanggama secara
leluasa tanpa beban psikologis, nilai ambang terhadap nyeri akan meningkat, dan
secara anatomi vagina sangat elastis serta mampu melakukan adaptasi.Asnafi
44
dkk.(2010) dinyatakan bahwa dispareunia dan frekwensi hubungan seksual tidak
berbeda bermakna pada kedua kelompok.Penelitian tersebut dilakukan pada
wanita Asia di salah satu negara berbasis agama, dimana hubungan pria dan
wanita merupakan suatu masalah yang sangat ditabukan dan tidak biasanya
diungkapkan pada orang lain selain pasangan resminya. Hal ini menyebabkan
perbedaan dari segi keterbukaan pasien terhadap masalah seksual yang mereka
hadapi
Penelitian oleh Kuppermann dkk.(2005) juga mengemukakan hasil yang
berbeda dengan penelitian kami. Pada penelitian tersebut dilakukan perbandingan
fungsi seksual pada kelompok sampel TAH dan SVH pada enam bulan dan dua
tahun setelah operasi dengan menggunakan Sexual Problem Scale, didapatkan
pada 6 bulan pertama rerata skor fungsi seksual kelompok SVH lebih tinggi
daripada TAH meskipun perbedaan tersebut tidak bermakna secara statistik.
Penelitian yang dilakukan di Amerika Tenggara ini tidak memberi batasan berat
badan pada respondennya dan rerata berat badan responden (83 kg) melebihi
rerata berat badan kelompok wanita usia sama di Amerika (73 kg). mendapatkan
bahwa indeks massa tubuh berperan dalam kegiatan seksual.
Menurut Menzin (2002) seksualitas merupakan gabungan mekanisme
fisiologis dan psikologis yang kompleks dan belum sepenuhnya dapat dimengerti,
yang merupakan suatu kendala dalam melakukan evaluasi secara keilmuan.
Kondisi medis sebelum operasi, keadaan emosional, dan proses patologis yang
mengharuskan dilakukannya histerektomi sendiri di samping hubungan personal
subjek dan sistem pendukung (pasangan/keluarga) dapat berpengaruh pada fungsi
seksual sebelum dan setelah operasi dilakukan. Oleh karena itu tidak
45
mengherankan bila beragam penelitian dapat menunjukkan hasil berupa
perbaikan, stabilitas atau bahkan penurunan fungsi seksual subjek setelah
histerektomi (Sung dkk., 2008).
Perbedaan pada rancangan penelitian, karakteristik subyek penelitian yang
dilakukan oleh penelitian lain dapat memberikan hasil yang berbeda dengan
penelitian yang penulis lakukan.
6.3 Kelemahan Penelitian
Kelemahan dari penelitian ini adalah jumlah sampel dan waktu yang
terbatas. Penggunaan metode cross sectional yang hanya menilai fungsi seksual
sesaat saja setelah dilakukan tindakan tanpa mengetahui fungsi seksual
sebelumnya. Beberapa faktor yang mempengaruhi fungsi seksual wanita pasca
histerektomi belum kami analisis seperti faktor psikologis, kualitas keharmonisan
dalam rumah tangga.Selain itu sampel penelitian kami juga tidak dibatasi dari segi
indeks massa tubuh sehingga kemungkinan obesitas sebagai salah satu faktor
pengganggu belum dapat dihilangkan. Disadari pula bahwa hasil penelitian ini ada
biasnya karena tingkat pendidikan yang rendah, budaya dan norma-norma di
Indonesia, masalah seksual masih dianggap tabu.
46
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan
hasil
penelitian dan pembahasan di atas didapatkan
simpulan bahwa rerataskor total FSFI pada kelompok pasca TAH dan SVH
masing-masing 25,5±2,91 dan 28,26±3,17, dimana variabel lubrikasi, orgasme,
dan dispareunia dengan p<0,05. Pada penelitian ini fungsi seksual pada kelompok
pasca TAH dan SVH dengan uji Chi-Square didapatkan berbeda bermakna
(p<0,05).
7.2 Saran
Komunikasi, informasi dan edukasi pada pasangan suami-istri, bahwa
akan timbul dampak terhadap fungsi seksual pasca histerektomi sehingga perlu
penyesuaian seksual yang lebih meningkat pada pasangannya. Pemberian
lubrikasi sebelum berhubungan seksual dengan pasangan, dapat mengurangi
keluhan kekeringan pada vagina.Penyesuaian terhadap posisi seksual dan
penetrasi
penis
melalui
kontrol
oleh
wanita
dapat
mengurangi
disparuneia.Pemilihan jenis histerektomi pada kasus mioma uteri perlu
mempertimbangkan komplikasinya terhadap fungsi seksual, dalam hal ini SVH
dipilih karena komplikasi terhadap fungsi seksual lebih ringan. Penelitian
lanjutan tentang seksualitas pasca histerektomi dengan rancangan kohort dan
jumlah sampel yang lebih besar.
47
DAFTAR PUSTAKA
Anitha, P. 2010. Hysterectomy/Surgical Removal of Uterus.In : Shroff, S., editor.
Medindia On Mobile.
Anonim. 2008. What You Need to know Female Sexual Response. Available at
www.arhp.org/factsheets.Association of Reproductive Health Profesional.
Arcos, B. 2004.Female Sexual Dysfunction and Response. New Orlean : JAOA
Supplement . Vol. 104 No. 1.
Asnafi, N., Basirat, Z., Hajian-Tilaki, K.O. 2010.Outcomes of Total versus
Subtotal Abdominal Hysterectomy.Iran : EMHJ Vol. 16 No.2.
Basson, R. 2005. Women’s Sexual Dysfunction: Revised and Expanded
Definitions. Canada : CMAJ
Berman, J. 2007. Effect of Hysterectomy on Female Sexual Function.Vibrance
Associates.
El-Toukhy, T.A. Hefni, M.A., Davies, A.E., Mahadeva, S. 2004. The Effect of
Different Types of Hysterectomy on Urinary and Sexual Functions: a Prospective
Study.Journal of Obstetrics and Gynaecology. Vol 24; No 4: 420-425.
Ghozali, S., Junizaf dkk.2004. Perangai Seksual Pasca Histerektomi Total.Indones
J. Obstet Gynaecol 24 (2).
Gimbel, H., Zobbe,V., Andersen, B.M., Filtenborg, T., Gluud, C., Tabor, A., and
The Danish Hysterectomy Group. 2003. Randomized Controlled Trial of Total
Compared With Subtotal Hysterectomy With One-Year Follow Up Result.
Denmark : BJOG. Vol. 110. pp. 1088-1098.
Goetsch, M.F. 2005. The Effect of Total Hysterectomy on Spesific Sexual
Sensations. American Journal of Obstetrics and Gynecology; 192:1922-1927.
Goldstein, I. 2003. Sexual Dysfunction after Hysterectomy.Boston : BUMC.
Heisler, J. 2010. In-Depth
http;//surgery.about.com
Overview
of
Hysterectomy.
Available
at
Huang, A.J., Subak, L.L., Thom, D.H., Vandeneeden, S.K., Ragins, A.I.,
Kuppermann M., Hui shen, Brown, J.S. 2009.Sexual Function and Aging in
Racially and Ethhnically Diverse Women. J Am geriatr Soc. 57(8): 1362-1368
Johnson, N., Barlow, D., Lethaby, A., Tavender, E., Curr, L., Garry, R., 2005.
Methods of Hysterectomy : Systematic Review and Meta-Analysis of
Randomised Controlled Trials. Cochrane Database of Systematic Review.
48
Katz, A. 2005. Sexuality and Hysterectomy : Finding the Right Words. AJN
Vol.105 : 12.
Kingberg, S., Althof, S.E. 2009.Evaluation and Treatment of Female Sexual
Disorders.Cleveland : IUGA.
Kuppermann, M.,Summit R.L.Jr., Varner, R.E., McNeeley, S.G., GoodmanGruen, D., Learman, L.A., Ireland, C.C., Vittinghoff, E., Lin, F., Richter. H.E.,
Showstack, J., Hulley, S.B., Washington, A.E. ;Total or Supracervical
Hysterectomy Research Group. 2005. Sexual Functioning after Total Compared
with Supracervical Hysterectomy : A Randomized Trial. Obstet Gynecol;
105(6):1309-1318.
Kurniawati, E.M., Muhdi, N., 2008. Perbedaan Frekuensi, Skor Fungsi Seksual
Gairah, Arousal, Lubrikasi, Orgasme, Kepuasan Emosi dan Nyeri Hubungan
Seksual Pasca Histerektomi Total dan Supravaginal Perabdomen.
Kuscu, N.K., Oruc, S.,Ceylan,E. 2005. Sexual Life Following Total Abdominal
Hysterectomy. Arch Gynecol Obstet; 271;218-221
Lonnee-Hoffmann, SVHei, B., Eriksson, N.H. 2006.Sexual Experience of
Partners after Hysterectomy, Comparing Subtotal with Total Abdominal
Hysterectomy.Denmark . Acta Obstetric Et Gynecologica Scandinavica; 85 :
1389-1394.
Miocic, J., Car, N., Metelko, Z. 2008. Sexual Dysfunction in Women with
Diabetes Mellitus. Diabetalogia Croatica; 37-2
Menzin, A.W. 2002. Hysterectomy: Total versus Supracervical Surgery. OBG
Management
Meston, C.M. 2004. The Effect of in Women with a Hystory of Benign Uterus
Fibroids. Texas.Archive of Sexual Behavior; Vol. 33:31-42.
Mokate, T., Wright, C., Mander, T. 2006.Hysterectomy and Sexual Function.
London. Menopause International; Vol.12: 153-157.
Murrel, J.N., Berman, J.R., Weiss, R., Berman, L., Keane, S.R.,Zierack, M.C.,
Van Hooten, T., Goldstein, I., Stubblefield, P. 2008. Effect of Hysterectomy on
Female Sexual Function.
Nam, A. Cho, S. Seeo, S.K., Jeon, Y.E. Kim, H.Y., Choi, Y.S., Lee,B.S. 2008.
Laparoscopic Total Hysterectomy versus Laparoscopic Supracervical
Hysterectomy The Effect on Female Sexuality. Journal of Women’s Medicine;
Vol 1. No1.
49
Okunlola, M.A., Umuerri, C., Omigbodun, O.O., Bello, I.M., Okonkwo, S.N.,
Ojengbede, O.A. 2009.Pattern of Mental Ill Health Morbidities Following
Hysterectomy for Benign Gynaecological Disorders among Nigerian
Women.International Journal of Mental Systems; 3:18.
Pangkahila, W. 2005.Peranan Seksologi dalam Kesehatan Reproduksi.Bunga
Rampai Obstetri dan Ginekologi Sosial. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Pratamagriya. 2009. Disfungsi Seksual Wanita. Dalam : Widjanarko, B., editor.
Punushapai, U., Khampitak, K. 2006. Sexuality after Total Abdominal
Hysterectomy in Srinagarind Hospital.Khon Kaen University.
Rani, A.A., Soegondo, S, Nasir, A.U. 2008. Panduan Pelayanan Medik.
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta.
Rasjidi, I. 2008. Manual Histerektomi. Jakarta.EGC.
Rebar, R.W. 2000. Effects of Hysterectomy on Sexual Function.Massachusetts :
Journal Watch Psychiatry. February 1.
Rhodes, J.C., Kjerulff, K.H., Langenberg, P.W., Guzinski, G.M. 1999.
Hysterectomy and Sexual Dysfunctioning. Baltimore: JAMA. pp. 1934-41.
Rola, O. 2010.Are There Any Side Effect of Hysterectomy.
Roovers, W.R., Van der Bom, J.G., Van der Vaart, C.H., Heintz, A.P.M. 2003.
Hysterectomy and Sexual Wellbeing : Prospective Observational Study of
Vaginal Hysterectomy, Subtotal Abdominal Hysterectomy, and Total Abdominal
Hysterectomy. Netherland.BMJ; Vol. 327: 774-777.
Sahaja. 2009. The Anatomy and Development of the Female External Genital
Organs.
Saini, J., Kuczynski, E., Gretz, H.F., Sills, E.S. 2002. Supracervical Hysterectomy
versus Total Abdominal Hysterectomy: Perceived Effect on Sexual Function.
BMC Women’s Health.
Salonia, A., Briganti, A., Deho, F.,Zanni, G., Rigatti, P., Montorsi, F. 2006.
Women’s Sexual Dysfunction : A Review of the “Surgical Landscape”. Italy :
European Association of Urology.
Sastroasmoro, S., Ismail, S. 2008. Dasar-dasar Metodelogi Penelitian Klinis.
Jakarta.
Schimpf, M.O, Harvie, H.S., Omotosho, T.B., Epstein, L.B., Michel, M.J.,
Olivera, C.K., Rooney, K.E., Balgobin, S., Ibeanu, O.A., Gala, R.B., Rogers, R.G.
50
2009. Does Vaginal size Impact Sexual Activity and function?. Int Urogynecol
J.21: 447-452.
Sidohutomo,
A.
2008.
http://www.bidadariku.com
Seks
Pasca
Operasi.
Available
from
Starr, A.J., Malekzadeh, A.S. 2006.Fracture of the Pelvic Ring.Lippincot
Williams & Wilkin.
Sung, M.H., Lim, Y.M. 2008.Factors Affecting Sexual Satisfaction in Korean
Women Who Have Undergone a Hysterectomy.Australian Journal of Advanced
Nursing.Volume 27. Number 2
Thakar, R., Ayers, S., Clarkson, P., Stanton, S., Manyonda, I. 2002. Outcomes
after Total versus Subtotal Abdominal Hysterectomy. NEJM; Vol 347: 13181325.
Whiteman, M.K., Hillis, S.D., Jamieson, D.J., Morrow, B., Podgornik, M.N.,
Brett, K.M., Marchbanks, P.A. 2008. Inpatient Hysterectomy Surveillance in the
United States, 2000–2004. Am J Obstet Gynecol; 198(1):34.e1–7.
Windhu, S.C. 2009. Disfungsi Seksual : Tinjauan Fisiologi dan Patologis
Terhadap Seksualitas.Yogyakarta.
Winkjosastro, H., Saifuddin, A.B., Rachimdhi, T. 1994. Ilmu Kandungan, edisi
ke-2. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Yen, J.Y. Chen, Y.H, Long, C.Y, Chang, Y. Chen, C.C, Ko, C.H. 2008. Risk
Factors for Major Depressive Disorder and the Psychological Impact of
Hysterectomy: A Prospective Investigation. Arlington. In Psychosomatics; 49:
137-142.
Zippe, C., Nandipati, K., Agarwal, A., Raina, R. 2005. Review Sexual
Dysfunction After Pelvic Surgery. Ohio : International Journal of Impotence
Research; 18: 1-18.
Zobbe, V., Gimbel, H., Andersen, B.M., Filterborg, T., Jakobsen, K., Sorensen,
H.C., Toptager-Larsen, K., Sidenius, K., Moller, N., Madsen, E.M., Vejtorp, M.,
Clausen, H., Rosgaard, A., Gluud, C., Ottesen, B.S., Tabor, A. 2004.Sexuality
after Total vs. Subtotal Hysterectomy.Denmark : Acta Obstet Gynecol
Scand;83:191-196.
51
Download