PERBEDAAN FUNGSI SEKSUAL PADA PASCA TOTAL ABDOMINAL HYSTERECTOMY DAN SUPRA VAGINAL HYSTERECTOMY DI RSUP SANGLAH DENPASAR dr. Wayan Megadhana, SpOG (K) BAGIAN / SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA RSUP SANGLAH DENPASAR 2012 1 ABSTRAK Tujuan :Untuk mengetahui perbedaan fungsi seksual pada pasca Total Abdominal Hysterectomy (TAH) dan Supra Vaginal Hysterectomy (SVH)di RSUP Sanglah Denpasar. Bahan dan cara kerja : Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional analitik. Sampel diambil secara consecutive sampling dari bulan Januari 2011 sampai Januari 2012. Sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi didapatkan 28 sampel, terdiri dari 14 pasca TAH dan 14 pasca SVH, masingmasing sesuai umur ibu, paritas, dan pendidikan, selanjutnya fungsi seksual dinilai dengan pengisian kuisioner FSFI (Female Sexual Function Index). Skor total kuisioner dianalisa dilakukan dengan uji t-independent. Untuk mengetahui perbedaan fungsi seksual dipakai uji Chi-Square. Hasil : Diperoleh rerata umur pada kelompok pasca TAH dan SVH masingmasing 43,00±1,96 dan 41,71±2,95 dengan p=0,077. Rerata paritas pada kelompok pasca TAH dan SVH masing-masing 2,00±0,96 dan 1,93±1,43 dengan p=0,297 dan Rerata pendidikan pada kelompok pasca TAH dan SVH masingmasing 10,64±3,65 dan 7,79±4,71 dengan p=0,069. Hal ini berarti bahwa karakteristik subyek kedua kelompok adalah sama sehingga pengaruhnya terhadap hasil penelitian dapat diabaikan. Rerata skor total FSFI pada kelompok pasca TAH dan SVH masing-masing 25,5±2,91 dan 28,26±3,17, dengan hasrat seksual (p=0,272), rangsangan (p=0,239), lubrikasi (p=0,014), orgasme (p=0,010), kepuasan (p=0,061), nyeri (p=0,037).Fungsi seksual diuji Chi-Square, didapatkan berbeda bermakna (p=0,042). Kesimpulan: Terdapat perbedaan fungsi seksual pasca TAH dibandingkan dengan pasca SVH. Kata kunci : Histerektomi abdominal total, histerektomi supravaginal, fungsi seksual wanita 2 ABSTRACT Objectives: To compare the sexual functioning outcomes between patient with Total Abdominal Hysterectomy (TAH) and Supra Vaginal Hysterectomy (SVH) in Sanglah Hospital, Denpasar. Methods: The study design was analytic cross sectional. Samples were taken by consecutive sampling from January 2011 to January 2012. Samples which met the inclusion and exclusion criteria’s were 28 samples, consist of 14 patients who had undergone TAH and 14 who had undergone SVH, corresponding to maternal age, parity, and education level. Patients were asked to answer the questionnaire of Female Sexual Function Index (FSFI). Total score were analyzed by independent t-test. To find the difference of the sexual function, Chi-Square test was used. Results: We foundthat the mean age of women who had undergone TAH and SVH were 43,00±1,96 and 41,71±2,95 respectively with p value 0,077. Mean parity in post TAH and SVH were2,00±0,96 and 1,93±1,43 respectively with p value 0,297 and mean educational in post TAH and SVH were 10,64±3,65 dan 7,79±4,71respectively with p value 0,069. The result showed that the characteristicsbetween both subjects were equal so their influence for the result of this study could be ignored. Mean total FSFI score in post TAH and SVHwere 25,5±2,91 and 28,26±3,17respectively, sexual desire (p=0,272), arousal (p=0,239), lubrication (p=0,014), orgasm (p=0,010), satisfaction (p=0,061), pain(p=0,037). Sexual function was tested with Chi-Square, and the result was significant (p=0,042). Conclusion: There was a difference in sexual function betweengroup of patient with post TAH and patient with post SVH. Key words: Total abdominal hysterectomy, supra vaginal hysterectomy, female sexual function 3 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Histerektomi sering menjadi kekhawatiran bagi kaum wanitaoleh karenaapabila uterus harus diangkat, maka seorang wanita tidak lagi dapat memiliki anak.Walaupun seorang wanita tidak menghendaki anak lagi, namunmasih ada kekhawatiran lainnya, yaitu kehilangan gairah dan kenikmatan seksual.Sehinggaseorang wanita sangat sulituntuk menerima saran untuk dilakukannya tindakan histerektomi. Histerektomi merupakan operasi ginekologi terbanyak di kalangan wanita usia reproduksi. Setiap tahun di Amerika Serikat (AS) sekitar 600.000 wanita dilakukan histerektomi (Meston, 2004; Katz, 2005).Dari tahun 2000 hingga 2004, diperkirakan 3.100.000 wanita AS menjalani histerektomi.Angka histerektomi tertinggi pada wanita berusia 40-44 tahun. Indikasi yang sering dikaitkan dengan histerektomi adalah mioma uteri, endometriosis, dan prolaps uterus (Meston, 2004;Whitemandkk., 2008).Secara umum terdapat dua jenis tindakan histerektomi per abdominal yaitu Total Abdominal Hysterectomy (TAH) dan Supra Vaginal Hysterectomy (SVH).TAH adalah prosedur pembedahan mengangkat seluruh uterus termasuk serviks, korpus, dan fundus uteri.SedangkanSVH adalah prosedur pembedahan mengangkat uterus tetapi meninggalkan serviks.Komplikasi histerektomi diantaranya adalah perdarahan, hematoma, cedera organ terdekat, infeksi, dan gangguan fungsi seksual (Anitha, 2010). Gangguan fungsi seksual wanita adalah gangguan yang terjadi pada salah satu atau lebih dari keseluruhan siklus respons seksual yang normal.Untuk menilai 4 fungsi seksual wanita digunakan indeks fungsi seksual wanita atau Female Sexual Function Index(FSFI).Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya gangguan fungsi seksual antara lain faktor fisiologis (menstruasi, kehamilan, dan menopause), faktor organik (kelainan metabolik, pasca histerektomi), dan faktor psikososial (Windhu, 2009).Prevalensi terjadinya gangguan fungsi seksual wanita pasca histerektomi di Belanda dilaporkan sebesar 40% (Roovers, 2003). Penelitian observasional prospektif di Netherland tahun 2003 terhadap 413 wanita yang menjalani histerektomi karena tumor jinak selain prolap uterus simptomatis dan endometriosis, dilaporkan bahwa kenikmatan seksual mengalami perbaikan pasca Transvaginal Hysterectomy (TVH), SVH maupun TAH (Roovers dkk., 2003). Penelitian random terhadap 158 pasien TAH dan 161 pasien SVH bahwa tidak ada perbedaan kehidupan seksual pada kedua kelompok (Gimbel dkk., 2003). Penelitian prosfektif observasi terhadap 94 pasien pasca histerektomi laparoskopi selama enam bulan, disimpulkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara TAH dan SVH laparoskopi terhadap kualitas seksual (Nam dkk., 2008). Penelitian pada 120 pasien yang dilakukan histerektomi untuk tumor jinak di RS St Olav, terdiri dari 60 pasien TAH dan 60 pasien SVH, tahun 2001-2003, dilaporkan tidak ada dampak negatif terhadap kepuasan seksual pasca histerektomi baik pasien TAH maupun SVH (Lonnee dkk., 2006). Penelitian dengan membandingkan fungsi seksual dan kualitas hidup pada 135 pasien mioma dan Dysfungsional Uterine Bleeding (DUB) yang menjalani operasi TAH dan SVH, dilaporkan kualitas kehidupan seksual selama dua tahun adalah sama pada TAH maupun SVH (Kuppermann dkk., 2005) Penelitiandi The New York-Presbyterian Hospital Weill Medical College 5 of Cornell University, fungsi seksual dilaporkan lebih menurun pada TAH dibandingkan SVH berhubungan dengan frekwensi dan kepuasan seksual, secara statistik bermakna terdapat penurunan kemampuan mencapai orgasme antara kelompok pasca TAH dan SVH masing-masing 43% dan 6%, dengan p=0,03 (Saini dkk., 2002). Penelitian cross sectional di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, terhadap pasien pasca TAH pada kelainan ginekologi jinak dalam waktu tiga sampai enam bulan pasca operasi, ditemukan penurunan fungsi seksual pada TAH(Ghozali dkk.,2004). Begitu juga penelitian cross sectional di RSU dr Soetomo Surabaya, pada 40 penderita tumor jinak genitalia yang telah menjalani tindakan SVH dan TAH, pasca operasi dengan uji t-independentdidapatkan skor fungsi seksual pasca SVH lebih baik secara bermakna dibandingkan pasca TAH dalam hal gairah p=0,007, arousal p=0,011, lubrikasi p=0,011, orgasme p=0,008 dan nyeri p=0,011 (Kurniawati dkk., 2008). Penelitian terhadap pasien pasca TAH dan SVH ditemukan adanya penurunan fungsi seksual pada TAH lebih tinggi dari SVH, karena pada TAH terjadi kehilangan serviks sehingga hilangnya stimulasi pada servik saat berhubungan seksual akan mengakibatkan kesulitan untuk mencapai orgasme (Sidohutomo, 2008). Walaupun penelitian mengenai gangguan fungsi seksual pasca histerektomi telah banyak dilakukan, namun hasilnya masih merupakan suatu perdebatan, sehingga penelitian ini menarik untuk dilakukan.Penelitian ini juga belum pernah dikerjakan di bagian Obstetri dan Ginekologi RSUP Sanglah/Fakultas Kedokteran Udayana Denpasar. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan permasalahan 6 penelitian ini adalah: Apakah terdapat perbedaan fungsi seksual pada pasca TAH dan SVH di RSUP Sanglah Denpasar? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah; 1.3.1 Tujuan umum: Untuk mengetahui perbedaan fungsi seksual pada pascaTAH dan SVH di RSUP Sanglah Denpasar. 1.3.2 Tujuan khusus: 1. Mengetahui fungsi seksual pasca TAH di RSUP Sanglah Denpasar. 2. Mengetahui fungsi seksual pasca SVH di RSUP Sanglah Denpasar. 3. Mengetahui perbedaan fungsi seksual pada pascaTAH dan SVH di RSUP Sanglah Denpasar. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat akademik Untuk menambah pengetahuan dan pemahanan mengenai fungsi seksual pasca histerektomi, sehingga dapat dipakai untuk penelitian lebih lanjut. 1.4.2 Manfaat pelayanan Hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu pertimbangan bagi klinisi dalam pengambilan keputusan jenis operasi histerektomi. 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Histerektomi Histerektomi adalah suatu prosedur pembedahan mengangkat uterus yang dilakukan oleh ahli kandungan.Ada beberapa tipe histerektomi yaitu TAH, SVH, dan radical hysterectomy (gambar 2.1).TAH jika prosedur pembedahan mengangkat seluruh uterus termasuk serviks, korpus, dan fundus uteri.SVH jika prosedur pembedahan mengangkat uterus tetapi meninggalkan serviks sedangkanradical hysterectomy jika prosedur pembedahan dengan mengangkat uterus, serviks, bagian atas vagina, dan jaringan sekitarnya. Pada prosedur pembedahan tersebut, dapat dikerjakan juga pengangkatan kedua ovarium dan tuba fallopi, yang disebut sebagaiTotal Abdominal HysterectomyBilateral Salphingo-Ooforectomy dilakukan melalui (histerektomi (TAH-BSO) insisi vaginal), (Rasjidi, abdominal atau sebagai 2008).Histerektomi (histerektomi prosedur laparoskopi laparoskopi)(Rasjidi, 2008). Gambar 2.1 Tipe histerektomi (Sumber : Heisler, 2010) 8 abdominal), dapat vagina (histerektomi Histerektomi memiliki komplikasi operasi seperti : hematoma, infeksi, perdarahan yang berlebihan, efek samping anestesi, kerusakan pada saluran kemih, kandung kemih atau rektum selama operasi, hilangnya fungsi ovarium pada TAH-BSO sehingga terjadi menopause lebih awal, dan gangguan fungsi seksual (Rasjidi, 2008; Anitha, 2010). 2.2Fungsi Seksual Wanita Fungsi seksual adalah tingkat atauderajatdari keseluruhan siklus respon seksual yang normal (Pangkahila, 2005). 2.2.1 Respon normal seksualitas wanita Pada dasarnya dorongan seksual (sexual desire) pria dan wanita sama saja, yaitu dipengaruhi oleh hormon seks, faktor psikis, rangsangan seksual yang diterima, dan pengalaman seksual sebelumnya. Kalau faktor-faktor tersebut bersifat positif, dorongan seksual muncul dengan baik(Pangkahila, 2005). Karena rangsang seksual, tubuh akan mengalami reaksi seksual yang disebut siklus reaksi seksual. Reaksi seksual tidak hanya terjadi pada organ kelamin saja, tetapi juga pada bagian tubuh yang lain. Bahkan, secara psikis juga terjadi perubahan. Siklus reaksi seksual dibagi dalam empat fase menurut Masters and Johnson, yaitu : fase rangsangan (excitement phase), fase datar (plateau phase), fase orgasme (orgasm phase), fase resolusi (resolution phase), dapat dilihat pada gambar 2.2 (Winkjosastro, 1994; Arcos, 2004; Pangkahila, 2005; Pratamagriya, 2009;). 9 Gambar 2.2 Model respon seksual wanita oleh Masters dan Johnson (Anonim,Available at www.arhp.org/factsheets, 2008) Respon seksual pada wanita dapat timbul dari hal-hal yang sederhana, seperti tatapan mata yang penuh arti, kata-kata yang manis, dan menyenangkan, suasana romantis yang menimbulkan hasrat (desire). Tahapan selanjutnya adalah perangsangan (arousal). Pada tahapan ini semua rangsangan baik berupa sentuhan, ciuman, maupun bisikan dapat menyebabkan tegangnya klitoris dan membesarnya vagina bagi wanita. Dalam keadaan terangsang pembuluh darah vena menyempit sehingga darah berkumpul pada pembuluh darah di klitoris, yang selanjutnya membuat klitoris tegang.Fase perangsangan pada wanita biasanya membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan fase perangsangan pada pria, dapat dilihat pada gambar 2.3 (Pratamagriya, 2009). 10 Gambar 2.3 Fase eksitasi (Sumber : Pratamagriya, 2009) Fase selanjutnya, terdapat peningkatan konsentrasi darah vena dalam sepertiga luar dinding vagina dan perangsangan seksual lebih hebat.Keadaan ini meningkatkan hasrat hingga mencapai puncak gairah yang disebut plateau. Otototot vagina akan berkontraksi, membuat klitoris semakin tegang dan kelenjar bartholin mensekresi cairan sehingga dinding vagina menjadi basah. Bersamaan dengan itu payudara pun membesar dan menegang, sementara rangsangan terasa menjalar ke seluruh bagian tubuh.Ini adalah tahapan terakhir sebelum tercapainya orgasme, dapat dilihat pada gambar 2.4 (Pratamagriya, 2009). Gambar 2.4 Fase plateau (Sumber : Pratamagriya, 2009) Fase berikutnya adalah fase orgasme yang sangat singkat dibandingkan fase perangsangan dan plateau.Fase ini merupakan pelepasan dari ketegangan seksual.Perlu diketahui bahwa fase orgasme ini dapat berlangsung tanpa adanya 11 stimulasi fisik yang nyata, misalnya melalui berbagai bentuk fantasi seksual.Fase ini terpusat didaerah klitoris, vagina, dan uterus.Pada puncak fase orgasme, otototot sekitar vagina, uterus, perut bagian bawah, dan anus mengalami kontraksi secara ritmik dan menyebabkan terjadinya sebuah sensasi yang menyenangkan.Biasanya terjadi 5–12 kontraksi yang sinkron dengan jeda masingmasing kontraksi sekitar 1 detik.Kontraksi pada detik-detik pertama sangat kuat dan jeda yang sangat singkat.Tekanan darah, frekuensi nadi, dan frekuensi pernafasan mencapai puncaknya dan kendali tonus otot-otot lurik menjadi hilang yang pada beberapa wanita secara tidak sadar meluruskan jari-jari kakinya saat orgasme.Inilah yang disebut sebagai suatu sexual climax.Seorang wanita dapat mengalami orgasme berulangkali sebelum masuk kedalam fase resolusi, dapat dilihat pada gambar 2.5 (Pratamagriya, 2009). Gambar 2.5 Fase Orgasme (Sumber : Pratamagriya, 2009) Setelah orgasme berakhir, wanita tiba kembali pada tahap resolusi.Nafas, detak jantung, dan tekanan darah menjadi normal dan teratur kembali secara perlahan-lahan sehingga akhirnya wanita merasakan perasaan lega, nyaman, dan seringkali diikuti dengan perasaan mengantuk, dapat dilihat pada gambar 2.6(Pratamagriya, 2009). 12 Gambar 2.6 Fase Resolusi (Sumber : Pratamagriya, 2009) Model baru dari respon seksual wanita yang mengemukakan pentingnya kedekatan emosional dengan pasangan, adanya perasaan senang, bahagia, merasa dihargai, dan dibutuhkan dari hanya sekedar berhubungan seksual.Kedekatan emosional dengan pasangan bisa jadi pendorong rangsangan seksual. Faktor psikologis dan biologis akan mempengaruhi pikiran terhadap rangsangan sehingga tanggap terhadap keinginan seksual. Berhubungan dengan keinginan seksual, wanita dapat menjadi subyek rangsangan. Model ini menyatakan proses fungsi seksual pada wanita lebih kompleks dibandingkan pria. Fungsi seksual wanita secara signifikan dipengaruhi oleh psikososial misalnya kepuasan terhadap hubungan, penampilan, pengalaman seksual yang buruk sebelumnya, dapat dilihat pada gambar 2.7 (Basson, 2005; Kingberg, 2009). 13 Gambar 2.7 Model Non Linier (Sumber : Basson, 2005) 2.2.2 Jenis gangguan fungsi seksual wanita Gangguan fungsi seksual wanita adalah suatu gangguan yang terjadi pada salah satu atau lebih dari keseluruhan siklus respons seksual yang normal. Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Fourth Edition The Text Revision(DSM-IV-TR) yang didasarkan pada model linier respon seksual wanita oleh Masters dan Johnson, ada enam jenis gangguan fungsi seksual yaitu (Kingberg, 2009; Windhu, 2009): 1. Gangguan hasrat seksual hipoaktif (hypoactive sexual desire disorder) 2. Gangguan ketidakinginan terhadap seks (sexual aversion disorder) 3. Gangguan rangsangan seksual (femalesexual arousal disorder) 4. Gangguan orgasme (female orgasmic disorder) 5. Dispareunia 6. Vaginismus 14 2.2.2.1 Gangguan hasrat seksual hipoaktif (hypoactive sexual desire disorder) Gangguan hasrat seksual hipoaktif atau hypoactive sexual desire disorder(HSDD) adalah gangguan motivasi dan dorongan yang ditandai oleh khayalan seksual dan keinginan untuk melakukan aktivitas seksual. 2.2.2.2 Gangguan ketidakinginan terhadap seks (sexual aversion disorder) Ketidakinginan terhadap aktivitas seksual, keengganan, dan fobia seringkali berawal dari pengalaman traumatis, menerima pesan negatif mengenai seks, frekwensi aktifitas seksual yang rendah. 2.2.2.3 Gangguan rangsangan seksual ( femalesexual arousal disorder) Gangguan respon sensoris terhadap stimulasi seksual dimana selanjutnya menimbulkan kesiapan organ-organ seksual melakukan hubungan seksual. 2.2.2.4 Gangguan orgasme (female orgasmic disorder) Gangguan orgasme adalah gangguan puncak kenikmatan seksual yang ditandai dengan pelepasan ketegangan seksual dan kontraksi ritmis pada otot-otot sekitar vagina, uterus, perut bagian bawah, dan anus. 2.2.2.5 Dispareunia Dispareunia adalah nyeri di daerah genital sebelum, pada saat, dan setelah aktivitas seksual, baik yang disebabkan kelainan fisik maupun psikologis. 2.2.2.6 Vaginismus Vaginismus adalah rasa sakit yang dirasakan oleh wanita sewaktu bersanggama.Hal ini merupakan reaksi vagina yang menyempit sehingga penis tidak dapat masuk vagina. 15 2.2.3 Faktor-faktor yang menyebabkan gangguan fungsi seksual wanita Gangguan fungsi seksual wanita dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang terdiri dari faktor fisiologi, organik, dan psikososial (Pangkahila, 2005; Windhu, 2009). 2.2.3.1 Faktor fisiologis a. Siklus menstruasi Keadaan yang mungkin adalah dismenore dan menstruasi yang tidak teratur. b. Kehamilan Keinginan untuk melakukan hubungan seks pada waktu hamil berbedabeda.Perbedaan ini disebabkan oleh faktor fisik maupun emosi.Pada awal kehamilan, rasa mual, pusing maupun perubahan-perubahan fisik seperti membesarnya perut, bertambahnya berat badan, dan perasaan cepat lelah, membuat wanita kehilangan selera untuk bermesraan dan bersanggama.Keinginan berhubungan seks timbul dan meningkat pada trimester kedua karena wanita telah bisa menyesuaikan diri dengan kondisi kehamilannya.Namun mendekati akhir masa kehamilan, dengan makin membesarnya kehamilan dimana gerakan-gerakan bayi telah terasa, semua rasa tidak nyaman kembali datang. c. Menopause Umur berhubungan dengan penurunan secara progresif fungsi fisik dan kognitif manusia. Pada saat memasuki menopause wanita akan mengalami keadaan vagina kering. Vagina kering disebabkan oleh menurunnya 16 hormon estrogen sehingga menyebabkan terjadinya atropi lapisan dinding vagina. 2.2.3.2 Faktor organik Faktor organik yang akan mempengaruhi respon seksual pada neuropathi diabetika, mempengaruhi otonom genital pada vulvekomi, mempengaruhi mobilitas pada cerebrovascular accident, terhambat oleh nyeri pada angina, terhambat oleh nyeri genital pada endometriosis, terhambat karena penyakit kronis pada gagal ginjal, danpasca histerektomi. 2.2.3.3 Faktor psikososial a. Kurangnya atau kesalahan informasi mengenai seks, mitos seksual, kepercayaan seksual, perilaku, dan nilai-nilai yang berkembang dalam keluarga, sosial, kultur, dan agama. b. Masalah komunikasi, masalah hubungan sehari-hari yang tidak terselesaikan mungkin menyebabkan kemarahan dan rasa bersalah yang berujung terjadinya hambatan pada hubungan seksual. c. Pengalaman yang tidak menyenangkan di masa lalu seperti selalu gagal dalam mencapai orgasme setiap kali berhubungan dengan suaminya dapat menyebabkan masalah seksual yang akhirnya dapat menimbulkan kekecewaan dan melenyapkan dorongan seksual. d. Harapan yang tidak realistis dan bertentangan, masalah dapat muncul ketika salah satu pasangan menginginkan seks lebih dari yang lainnya atau harapan berlebihan memberi tekanan dan ketakutan jika gagal. 17 2.2.4 Pengukuran fungsi seksual wanita Untuk menilai fungsi seksual wanita digunakan FSFI, yaitu suatu instrumen multidimensi berupa kuisioner yang bersifat self report yang telah teruji validitas dan reliabilitasnya.Kuesioner FSFI telah digunakan sejak tahun 1982 di berbagai institusi pendidikan dan kesehatan khususnya bidang psikiatri secara internasional. Berdasarkan interpretasi klinik dari FSFI, fungsi seksual wanita terdiri dari enam domain struktur yang mengidentifikasi (Kuppermann dkk., 2005): 1. Hasrat (desire) merupakan cerminan dasar psikologis tentang motivasi dan dorongan yang ditandai oleh khayalan seksual dan keinginan untuk melakukan aktivitas seksual. 2. Rangsangan(arousal) merupakan hasil respon sensoris terhadap stimulasi seksual dimana selanjutnya menimbulkan kesiapan organ-organ seksual melakukan hubungan seksual. 3. Lubrikasi(lubrication) merupakan proses sekresi mukus pada vagina yang dihasilkan oleh kelenjar bartholin yang terdapat diantara himen dan labia minora. Lubrikasi terjadi saat wanita terstimulasi baik secara fisik maupun psikis. 4. Orgasme (orgasm) adalah puncak kenikmatan seksual yang ditandai dengan pelepasan ketegangan seksual dan kontraksi ritmik pada otot-otot sekitar vagina, uterus, perut bagian bawah, dan anus. 5. Kepuasan seksual(satisfaction) merupakan kemampuan mencapai orgasme setiap kali melakukan hubungan seksual. Kepuasan seksual dapat 18 mengurangi stress dan meningkatkan kedekatan hubungan emosional dengan pasangan. 6. Nyeri saat berhubungan seksualatau dispareunia adalah nyeri saat melakukan hubungan seksual, baik yang disebabkan kelainan fisik maupun psikologis. Indek fungsi seksual wanita dinyatakan baik apabila diperoleh skor ≥30, sedang apabila diperoleh skor 23 sampai 29 dan buruk apabila skor < 23 (Miocic dkk., 2008) 2.3 Gangguan Fungsi Seksual Wanita Pasca Histerektomi Banyak wanita merasa cemas akan pengaruh histerektomi pada kehidupan seksual mereka. Gangguan fungsi seksual wanita pasca histerektomi yang terjadinya antara lain gangguan hasrat seksual, rangsangan seksual, gangguan orgasme, dan nyeri (Goldstein, 2003). Gangguan fungsi seksual wanita pasca histerektomi disebabkan oleh perubahan secara anatomi, yaitu kerusakan saraf lokal dan gangguan vaskularisasi, dan gangguan hormonal (Mokate dkk., 2006). 2.3.1 Perubahan anatomi 2.3.1.1 Kerusakan saraf Persarafan otonom organ pelvis dibagi menjadi sistem saraf simpatis (torakolumbalis) dan saraf parasimpatis (kraniosakralis) (gambar 2.8). Persarafan simpatis menyebabkan kontraksi otot dan vasokontriksi berasal segmen medula spinalis thorakalis 11 sampai lumbalis 2, sedangkan persarafan parasimpatis berasal dari saraf splanknikus pelvikus bertanggungjawab terhadap relaksasi otot 19 polos pembuluh darah yang menyebabkan meningkatnya aliran darah ke klitoris, labia, dinding vagina, dan terjadinya lubrikasi pada vagina (Murrel dkk., 2008). Persarafan uterus berasal dari pleksus hipogastrika inferior (pleksus pelvikus), yaitu pleksus yang terbentuk dari percampuran saraf splanknikus pelvikus dan saraf hipogastrika. Pleksus hipogastrika superior terletak pada jaringan retroperitoneal di depan promontorium dan antara kedua arteri iliaka kommunis. Pleksus ini dibentuk dari pleksus simpatis aortikus dan cabang-cabang ganglia simpatis lumbalis. Waktu pleksus hipogastrika superior masuk ke pelvis ia bercabang menjadi pleksus hipogastrika inferior dekstra dan sinistra (pleksus pelvikus). Masing-masing pleksus hipogastrika inferior berjalan ke bawah ke sisi medial arteri iliaka interna dan cabang-cabangnya dan lateral terhadap rektum. Pleksus ini dihubungkan satu sama lain oleh serabut saraf parasimpatis yang dinamakan pleksus splanknikus pelvikus. Jadi pleksus hipogastrika dekstra dan sinistra mengandung serabut saraf simpatis dan parasimpatis, yang menyebar ke organ dalam pelvis mengikuti cabang-cabang arteri iliaka interna(Winkjosastro, 1994). Saraf splanknikus pelvikus terdiri atas pars sakralis sistem saraf parasimpatis yang mengandung serabut preganglioner saraf sakralis 2, 3 dan 4selanjutnya memasuki pleksus uterovaginal (Frankenhauser). Cabang-cabangnya berjalan ke pleksus hipogastrika inferior dekstra dan sinistra dan tersebar ke organ dalam pelvis.Serabut preganglioner saraf splanknikus pelvikus bersinap dengan neuron postganglioner yang terletak baik pada pleksus hipogastrika inferior atau pada dinding organ dalam pelvis. Pleksus uterovaginal terletak pada dasar ligamentum latum dan terletak lateral terhadap insersi ligamentum uterosakral dan 20 kardinal ke dalam uterus. Saraf ini berlanjut terus ke superior sepanjang uterus dan inferior sepanjang serviks dan vagina.Saraf vagina mensarafi bulbus vestibular, uretra, dan klitoris.Pada serviks, saraf simpatis dan parasimpatis membentuk pleksus, yang disebut sebagai ganglia paraservikal.Pada tingkat inilah cedera pada serat otonom dari vagina, labia, dan serviks dapat terjadi selama histerektomi.Vagina menerima persarafan otonomik dari pleksus uterovaginal.Serat sarat simpatik dan para simpatik dari pleksus ini melayani serviks dan bagian atas vagina seperti uretra, bulbus vestibuler, dan klitoris melalui ligamentum kardinal dan uterosakral.Bagian bawah vagina menerima persarafan terutama dari cabang-cabang saraf pudendal. Walaupun berasal dari segmen sakral yang sama, saraf pudendal lebih bersifat somatik daripada saraf visceral (Murrel dkk., 2008). Ovarium dilayani oleh saraf simpatis dan parasimpatis.Saraf simpatis sebagian besar berasal dari pleksus ovarika yang menyertai pembuluh ovarika, beberapa berasal dari pleksus yang mengelilingi cabang ovarika dari arteri uterina. Ovarium sangat kaya dengan serabut saraf tak bermielin, yang sebagian besar menyertai pembuluh darahnya(Murrel dkk., 2008). 21 Gambar 2.8 Persarafan organ reproduksi wanita (Sumber :Starr, 2006) Pengangkatan uterus berdampak pada perubahan struktur anatomi di rongga panggul termasuk didalamnya usus, vesika urinaria, dan saraf.Perubahan pada jalur saraf pada vagina bagian atas berpengaruh pada lubrikasi dan orgasme. Banyak saraf menuju pelvis melalui pleksus uterovaginal, sehingga pengangkatan serviks akan berakibat terhadap kerusakan pleksus tersebut (Berman, 2007). Masters dan Jonson menyatakan pencetus respon seksual pada wanita adalah tekanan pada serviks.Kehilangan serviks berakibat kekeringan pada vagina karena kelenjar yang memproduksi mukus berkurang sehingga berakibat penurunan gairah sexual dan orgasme (Katz, 2005). Jewett memeriksa kemungkinan bahwa penyebab dispareunia karena pemendekan puncak vagina. Orgasme eksternal yang disebabkan oleh stimulasi pada klitoris tidak terpengaruh oleh histerektomisedangkan orgasme internal yang disebabkan stimulasi pada ujung22 ujung saraf dalam pleksus uterovaginal hilang oleh histerektomi dengan pengangkatan servik (Rhodes dkk., 1999). Pada umumnya, TAH dapat merusak banyak jaringan penunjang atau merusak pleksus saraf otonom.Uterus dan servik berperan penting pada rangsangan seksual dan orgasme, kemungkinan disebabkan karena rangsangan pada pleksus uterovaginal (Frankenhauser). Selama histerektomi, pleksus pelvikus kemungkinan mengalami kerusakan melalui empat cara yaitu a) Cabang utama pleksus yang lewat di bawah arteri uterina ikut rusak sepanjang cabang ligamentum kardinal, b) bagian utama dari persarafan vesikalis yang memasuki dasar vesika urinaria sebelum menyebar di seluruh otot detrusor, kemungkinan rusak selama diseksi tumpul uterus dan serviks, c) diseksi yang luas pada jaringan para vaginal merusak nervus pelvikus yang lewat dari sisi lateral vagina, d) pengangkatan serviks mengakibatkan hilangnya segmen yang luas yang berhubungan dengan pleksus tersebut. Oleh karena itu, pada beberapa wanita terjadi perubahan fungsi seksual pasca TAH seperti hilangnya atau berkurangnya libido, dan hasrat seksual (Roovers dkk., 2003). Demikian pula dengan orgasme internal yang sering mengalami perubahan pasca histerektomi karena hilangnya kontraksi ritmis otot uterus akibat dari cedera saraf tersebut (Goldstein, 2003). 2.3.1.2 Gangguan vaskularisasi Uterus dilayani oleh arteri uterina sinistra dan dekstra yang terdiri dari ramus ascendens dan ramus desendens. Arteri ini berasal dari arteri iliaka interna melalui dasar ligamentum latum, masuk ke dalam uterus di daerah serviks kirakira 1,5 cm dari forniks vagina. Pembuluh darah lain yang melayani uterus adalah arteri ovarika sinistra dan dekstra, berjalan dari lateral dinding pelvis, melalui 23 ligamentum infundibulo-pelvikum mengikuti tuba fallopi, beranastomosis dengan ramus asendens arteri uterina di sebelah lateral, kanan dan kiri uterus. Darah kembali melalui pleksus vena ke vena hipogastrika (Winkjosastro, 1994). Vagina juga mendapat darah dari 1) arteri uterina, yang melalui cabangnya ke serviks dan vagina memberikan darah ke bagian 1/3 atas vagina; 2) arteri vesikalis inferior, yang melalui cabangnya memberi darah ke vagina bagian 1/3 tengah; 3) arteri hemoroidalis mediana dan arteri pudendus interna yang memberikan darah ke bagian 1/3 bawah vagina. Darah kembali melalui pleksus vena antara lain pleksus pampiniformis, ke vena hipogastrika dan vena iliaka ke atas, dapat dilihat pada gambar 2.9 (Winkjosastro, 1994). Gambar 2.9Vaskularisasi uterus (Sumber : Sahaja, 2009) Trauma di daerah genital atau pelvis seperti fraktur, trauma tumpul, dan akibat operasi histerektomi dapat menyebabkan berkurangnya aliran darah ke klitoris, vagina, dan serviks, yang menimbulkan gangguan fungsi seksual berupa gangguan ereksi klitoris dan lubrikasi vagina (Rhodes dkk., 1999). 2.3.2 Gangguan hormonal Hormon seks androgen dan estrogen memegang peranan yang signifikan dalam mengatur fungsi seksual wanita.Estrogen mempunyai efek protektif yang 24 menyebabkan peningkatan aliran darah ke vagina dan klitoris.Ini membantu memelihara reaksi seksual wanita seiring berjalannya waktu (Pangkahila, 2005). Wanita yang telah mengalami operasi histerektomi dengan pengangkatan kedua ovarium bisa mengalami penurunan 20% jumlah hormon androstenedion didalam darah mereka, dan dikatakan bahwa histerektomi akan menginduksi terjadinya menopause yang menyebabkan defisiensi dua macam hormon yaitu estrogen dan testoteron (Windhu, 2009). Defisiensi testosteron pada wanita menyebabkan menurunnya rangsang seksual, libido, dan orgasme (Salonia dkk., 2006; Rola, 2010). Pada histerektomi radikal dengan dilakukannya bilateral ooforektomi terdapat penurunan fungsi seksual sebesar 15-37% (Zippe dkk., 2005; Salonia dkk., 2006). Gangguan fungsi seksual pasca histerektomi berhubungan dengan etiologi dari histerektomi dan kondisi preoperatif yang bervariasi seperti dispareunia dan dismenorea.Penelitian deskriptif prospektif yang dilakukan di Rumah Sakit Khon Kaen di Thailand, terhadap 80 wanita yang sudah menikah, usia≤45 tahun, yang akan dilakukan TAH dengan atau tanpa salfingo-ooforektomi unilateral, didapatkan bahwa seksualitas mengalami perbaikan yang bermakna pasca histerektomi dan memiliki dampak positif pada fungsi seksual (Punushapai, 2006). Penelitian yang dilakukan terhadap 1101 wanita umur rata-rata 43 tahun, sebelum dan setelah 12 bulan, 24 bulan pasca histerektomi, dilaporkan fungsi seksual seperti frekwensi hubungan seksual, orgasme mengalami perbaikan, sedangkan disparunea mengalami penurunan (Rebar, 2000). Penelitian pada 105 wanita sebelum dan pasca histerektomi totalis pada bulan ke-3, ke-8 dan ke-18, dilaporkan kepuasan seksual meningkat secara bermakna baik dalam hal gairah 25 seksual maupun orgasme (Goetsch, 2005).Penelitian prospektif di Rumah Sakit Maryland Women’s, pada 1299 wanita yang dihisterektomi, dilaporkan fungsi sekual meningkat pasca histerektomi(Rhodes dkk., 2000). Penelitian observasional prospektif di Netherland tahun 2003 terhadap 413 wanita yang menjalani histerektomi karena tumor jinak selain prolap uterus simptomatis dan endometriosis, dilaporkan bahwa kenikmatan seksual mengalami perbaikan baik pasca histerektomi vaginal, sub total maupun abdominal total. Menetap dan berkembangnya masalah selama aktivitas seksual hampir sama pada ketiga tehnik (Roovers dkk., 2003). Penelitian random terhadap 158 pasien TAH dan 161 pasien SVH bahwa tidak ada perbedaan kehidupan seksual pada kedua kelompok(Gimbeldkk.,2003). Penelitian lain melaporkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna pada fungsi seksual pasca TAH dan SVH(El-Toukhydkk., 2004). Penelitian terhadap 50 pasien SVH dan 100 pasien TAH pada tahun 2007, dinyatakan bahwa dispareunia dan frekwensi hubungan seksual tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok (Asnafi dkk., 2010). Penelitian terhadap 86 pasien yang diterima untuk berpartisipasi dengan kuisioner melalui telepon pasca TAH atau dengan TAHBSO, disimpulkan bahwa pengaruh dari TAH atau TAH-BSO terutama pada hasrat seksual dan jumlah bersanggama setiap minggu dan estrogen pada periode paska operatif tidak banyak perbedaan diantara kedua grup(Kuscu dkk., 2004). Penelitian prospektif observasi terhadap 94 pasien pasca histerektomi laparoskopi selama enam bulan, disimpulkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara TAH maupun SVH laparoskopi terhadap kualitas seksual (Nam dkk., 2008). The Cochrane Library dalam sistematic review dan penelitian meta analisanya 26 menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna pada gangguan fungsi dan kepuasan seksual pada TAH dengan SVH (Johnson dkk., 2005). Penelitian pada 120 pasien yang dilakukan histerektomi untuk tumor jinak di RS St Olav, terdiri dari 60 pasien TAH dan 60 pasien SVH, tahun 2001-2003, dilaporkan tidak ada dampak negatif kepuasan seksual pasca histerektomi baik pasien dengan pasangannya, 12% pada TAH dan 4% pada SVH (Lonnee dkk., 2006). Penelitian dengan membandingkan fungsi seksual dan kualitas hidup pada 135 pasien myoma dan DUB yang menjalani operasi TAH dan SVH. Dilaporkan kualitas seksual dan hidup selama dua tahun sama pada TAH maupun SVH(Kuppermann dkk.,2005). Penelitiandi The New York-Presbyterian Hospital Weill Medical College of Cornell University yang membandingkan perubahan fungsi seksual pasca SVH dengan TAH, dilaporkan bahwa fungsi seksual lebih menurun pada TAH dibandingkan dengan SVH berhubungan dengan frekwensi dan kepuasan seksual, secara statistik bermakna terdapat penurunan kemampuan mencapai orgasme pada pasca TAH dan SVH masing-masing 43% dan 6%, dengan p=0,03 (Saini dkk., 2002). Penelitian cross sectional di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, terhadap pasien pasca TAH pada kelainan ginekologi jinak dalam waktu 3 sampai 6 bulan pasca operasi, ditemukan penurunan fungsi seksual pada TAH(Ghozali dkk., 2004). Begitu juga penelitian cross sectional di RSU dr Soetomo Surabaya, pada 40 penderita tumor jinak genitalia yang telah menjalani tindakan SVH dan TAH, pasca operasi dengan uji t-independentdidapatkan skor fungsi seksual pasca SVH lebih baik secara bermakna dibandingkan TAH dalam hal gairah p=0,007, arousal p=0,011, lubrikasi p=0,011, orgasme p=0,008 dan nyeri p=0,011 (Kurniawati 27 dkk., 2008). Penelitian terhadap 68 pasien yang menjalani histerektomi oleh karena bukan suatu keganasan, disimpulkan bahwa insiden terjadi gangguan fungsi seksual akibat depresi mayor pasca TAH lebih tinggi sebesar 7,69%daripada pasca SVH (Yen dkk., 2008).Penelitian terhadap pasien pasca TAH dengan SVH ditemukan adanya penurunan fungsi seksual pada TAH lebih tinggi daripada SVH, karena pada TAH terjadi kehilangan serviks sehingga hilangnya stimulasi pada servik saat berhubungan seksual akan mengakibatkan kesulitan untuk mencapai orgasme (Sidohutomo, 2008). Penelitian pada 45 pasien, dilaporkan bahwa pada pasca SVH diperoleh gangguan kecemasan sebesar 44,4% sedangkan pasca TAH terdapat peningkatan gangguan kecemasan sebesar 6,8% (Okunlola dkk., 2009). 28 BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1Kerangka Konsep Penelitian Histerektomi adalah suatu prosedur pembedahan mengangkat uterus.Pada TAH dapat menyebabkan rusaknya banyak jaringan penunjang, vaskularisasi atau pleksus uterovaginal (Frankenhauser) dibandingkan dengan SVH.Uterus dan servik berperan penting pada rangsangan seksual dan orgasme.Oleh karena itu, beberapa wanita fungsi seksual mereka setelah TAHberubah seperti hilangnya atau berkurangnya libido dan hasrat seksual.Gangguan vaskularisasi berupa berkurangnya aliran darah ke klitoris, vagina, dan serviks, yang menimbulkan gangguan fungsi seksual berupa gangguan ereksi klitoris dan lubrikasi vagina.Demikian pula dengan orgasme internal yang sering mengalami perubahan setelah histerektomi karena hilangnya kontraksi ritmis otot uterus akibat dari cedera saraf tersebut.Faktor-faktor lain yang juga mempengaruhi gangguan fungsi seksual seperti usia, pendidikan, paritas,diabetes mellitus, endometriosis, TAHBSO (gambar 3.1). 29 Pasca TAH Pasca SVH - Usia - Pendidikan - Paritas - Diabetes mellitus - Endometriosis - TAH-BSO Fungsi Seksual Wanita Gambar 3.1Kerangka Konsep Penelitian 3.2 Hipotesis penelitian Terdapat perbedaan fungsi seksual pada pascaTAH dan SVH di RSUP Sanglah Denpasar. 30 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah studi cross sectional analitik. Baik Pasca TAH Fungsi Seksual Sedang Buruk Baik Pasca SVH Fungsi Seksual Sedang Buruk Gambar 4.1 Rancangan Penelitian 4.2. Populasi dan Sampel Penelitian 4.2.1 Populasi target Populasi target pada penelitian ini adalahpasien pasca TAH dan SVH. 4.2.2. Populasi terjangkau Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah semua pasien pasca TAH dan SVH yang melakukan pemeriksaan ke poliklinik Kebidanan dan Penyakit Kandungan RSUP Sanglah dari bulan Januari 2011. 31 4.2.3 Kriteria eligibilitas Kriteria Eligibilitas terdiri dari kriteria inklusi dan eksklusi 4.2.3.1 Kriteria inklusi: 1. Usia 35-45 tahun 2. Pasca TAH dan SVH 3. Sudah menikah 4. Bersedia ikut serta dalam penelitian ini dengan menandatangani informed consent. 4.2.3.2 Kriteria eksklusi: 1. Diabetes mellitus 2. Endometriosis 3. TAH/SVH-BSO 4. Keganasan ginekologi 5. Mendapat terapi hormonal dan kemoterapi, pasca TAH dan SVH dengan atau tanpa USO 4.2.4 Besar sampel Besarnya sampel dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus (Saini dkk., 2002; Sastroasmoro S, 2008) n1 n2 ( z 2 PQ z P1Q1 P2Q2 ) 2 ( P1 P2 ) 2 z = deviat baku alpha, untuk kesalahan tipe I ditetapkan 5% maka z = 1,64 z = deviat baku beta, untuk kesalahan tipe II ditetapkan 20% maka z = 0,84 P2 = P1 = proporsi pada kelompok SVH = 0.06 proporsi pada kelompok TAH = 0.43 32 P1-P2 = selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna, dalam penelitian ini ditetapkan yaitu 0,37 P = proporsi total = Q2 = 1-P2 = 0,94 Q1 = 1-P1 = 0,57 Q = 1-P = 0,75 n1 = n2 P1 P2 = 0,25 2 = 12 Total jumlah sampel sebanyak 24 orang 4.2.5Teknik penentuansampel Dari populasi terjangkau diambil sampel penelitian secara consecutive sampling. 4.3 Variabel Penelitian 4.3.1 Klasifikasi variabel a) Variabel tergantung : fungsi seksual b) Variabel bebas : pasca TAH dan SVH c) Variabel kendali :usia, pendidikan, paritas 4.3.2 Definisi operasional variabel 1. Fungsi seksual adalah tingkat atau derajat fungsi seksual pada wanita yang dinilai dengan FSFI yang terdiri dari 19 pertanyaan yang mengidentifikasi: hasrat (desire), rangsangan (arousal), lubrikasi (lubrication), orgasme (orgasm), kepuasan seksual (satisfaction) dan nyeri berhubungan seksual (dispareunia). Skor secara keseluruhan dihitung dengan menggunakan rumus dengan tabel yang dapat dilihat pada lampiran. Indeks fungsi seksual wanita dinyatakan baik apabila diperoleh skor ≥30, sedang apabila diperoleh skor 33 23-29 dan buruk apabila skor <23. 2. PascaTAH adalah prosedur pembedahan yang dilakukan minimal setelah empat minggu dengan mengangkat seluruh uterus termasuk serviks, korpus, dan fundus uteri. 3. Pasca SVH adalah prosedur pembedahan yang dilakukan minimal setelah empat minggu dengan mengangkat uterus tetapi meninggalkan serviks. 4. Unilateral Salphingoovorectomy (USO) adalah prosedur pembedahan dengan meninggalkan salah satu ovarium. 5. TAH-BSO adalah prosedur pembedahan mengangkat seluruh uterus termasuk serviks, korpus, fundus uteri dikerjakan juga pengangkatan ovarium dan tuba fallopi. 6. Diabetes mellitus adalah meningkatnya kadar gula darah acak ≥ 200 mg/dl (Rani dkk., 2008). 7. Endometriosis adalah jaringan endometrium yang terdapat di luar kavum uteri, diagnosanya ditegakan berdasarkan fokal-fokal endometriosis di luar organ uterus yang diperoleh dari rekam medis pasien. 8. Usia adalah umur dinyatakan dalam tahun yang didapatkan dari kartu tanda penduduk, jika tidak ada umur diperkirakan dengan menghubungkan kelahiran dengan kejadian yang bersejarah di lingkungan sekitar. 9. Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang berhasil ditamatkan dan didapatkan dari hasil wawancara langsung. Dibagi menjadi kelompok tidak sekolah, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, dan perguruan tinggi. 10. Paritas adalah jumlah janin viabel yang dilahirkan, diperoleh dari rekam 34 medis pasien. 11. Menikah adalah status yang tertulis pada kartu tanda penduduk, hingga saat pengambilan sampel dilakukan dinyatakan sudah menikah. 12. Keganasan ginekologi adalah berbagai tumor ganas dari organ kandungan, antara lain kanker servik, ovarium dan endometrium. Data tersebut diperoleh dari rekam medis. 13. Terapi hormonal adalah pemberian tambahan hormonal baik estrogen maupun progesterone pasca TAH dan SVH dengan atau tanpa USO, yang diperoleh dari rekam medis. 14. Kemoterapi adalah pemberian tambahan kemoterapi pasca TAH dan SVH dengan atau tanpa USO, yang diperoleh dari rekam medis. 4.4 Bahan dan Instrumen Penelitian 1. Kuisioner FSFI yang memuat tentang fungsi seksual. 2. Data tambahan tentang identitas pasien, demografi sosio-ekonomi. 4.5 Tempat dan Waktu Penelitian 4.5.1 Tempat Penelitian :di poliklinik bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan RS Sanglah Denpasar maupun di tempat tinggal responden. 4.5.2 Waktu penelitian :selama 1 tahun mulai bulan Januari 2011 atau sampai jumlah sampel tercukupi. 4.6 Alur Penelitian Populasi target pada penelitian ini adalah wanita pasca TAH dan SVH.Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah semua pasien wanita dengan pasca TAH dan SVH yang melakukan pemeriksaan ke di poliklinik bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan RS Sanglah Denpasar dari bulan Januari 35 2011 sampai jumlah sampel terpenuhi. Dari populasi terjangkau tersebut selanjutnya harus memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi, diberikan penjelasan tentang tujuan dan manfaat penelitian ini, selanjutnya bagi yang bersedia mengikuti penelitian ini dilakukan informed consent.Selanjutnya pasien melakukan sendiri pengisian kuisioner tanpa didampingi pihak lain pada ruangan yang telah disediakan oleh peneliti dan peneliti melakukan anamnesis dan penelusuran rekaman medik untuk melengkapi data yang diperlukan.Jika pasien tidak mampu atau kesulitan untuk membaca maka peneliti akan membantu untuk membacakan kuisioner yang tersedia. Sampel penelitian diambil secara consecutive sampling. Kemudian sampel dikelompokkan menjadi kelompok pasca TAH dan SVH, selanjutnya dilakukan pengukuran fungsi seksual.Setelah semua data terkumpul dilakukan analisis data (gambar 4.2). 36 Wanita pasca histerektomi - Anamnesis - Penelusuran rekam medik - Kriteria inklusi - Kriteria eksklusi - Informed consent Consecutive Sampling Sampel penelitian Pasca TAH Pasca SVH Kuisioner FSFI ANALISIS DATA Gambar 4.2 Alur Penelitian 4.7 Analisis Data Setelah dilakukan evaluasi ulang terhadap kelengkapan data, dilakukan analisis dengan perangkat lunak komputer The Statistical and Service Solution (SPSS) for windows versi 16: a. Analisis stastistik deskriptif terhadap data demografi sampel disajikan dalam bentuk tabel dan narasi. b. Uji Shapiro Wilk untuk menguji normalitas data. c. Uji perbedaan antar kelompok TAH dan SVH dengan uji t-independent bila data normal, atau menggunakan uji Mann Whitney bila data tidak normal. d. Perbedaan fungsi seksual berdasarkan kategori baik, sedang dan buruk, diuji dengan Chi-Square. 37 BAB V HASIL PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2011 sampai dengan bulan Januari 2012 telah terkumpul 28 orang pasien yang terdiri dari 14 pasca TAH dan 14 pasca SVH. 5.1Rerata Umur, Paritas, Hasrat, Rangsangan, Lubrikasi, Orgasme, Kepuasan, Nyeri, dan Skor Total FSFI padaKelompok Pasca TAH dan SVH Pada penelitian cross sectional ini dilakukan uji beda dengan ujitindependentuntuk variabel umur, paritas dan skor total FSFI, sedangkan tingkat pendidikan diuji denganChi-Square. Hasil analisis disajikan pada tabel 5.1 berikut. Tabel 5.1 Rerata Umur, Paritas, Hasrat, Rangsangan, Lubrikasi, Orgasme, Kepuasan, Nyeri, dan Skor Total FSFI padaKelompok Pasca TAH dan SVH Pasca TAH Pasca SVH (n=14) (n=14) Variabel p Rerata SD Rerata SD Umur (th) 43,00 1,96 41,71 2,95 0,186 Paritas 2,00 0,96 1,93 1,44 0,878 Hasrat 4,11 0,52 4,16 0,55 0,272 Rangsangan 4,16 0,51 4,37 0,73 0,239 Lubrikasi 4,31 0,48 4,82 0,55 0,014 Orgasme 4,29 0,60 4,97 0,70 0,010 Kepuasan 4,20 0,54 4,57 0,46 0,061 Nyeri 4,46 0,80 5,09 0,71 0,037 Skor total FSFI 25,52 2,91 28,26 3,17 0,025 Analisis kemaknaan dengan uji t-independent menunjukan bahwa karakteristik subyek antar kelompok tidak berbeda (p>0,05). Sedangkan tingkat pendidikan diuji denganChi-Squaredan 38 didapatkan nilai p=0,064, yang menunjukan bahwa tidak ada perbedaan tingkat pendidikan antara kedua kelompok.Hal ini berarti bahwa karakteristik subyek kedua kelompok adalah sama sehingga pengaruhnya terhadap hasil penelitian dapat diabaikan. 5.2Perbedaan Fungsi Seksual padaKelompok Pasca TAH dan SVH Untuk mengetahui perbedaan fungsi seksual pada kelompok pasca TAH dan SVH dipakai uji Chi-square, yang dapat dilihat pada tabel 5.2. Tabel 5.2 Perbedaan Fungsi Seksual padaKelompok Pasca TAH dan SVH Fungsi Seksual Tindakan Pasca TAH Pasca SVH Baik Sedang Kurang 2 (7,1%) 6 (21,4%) 6 (21,4%) 7(25,0%) 6 (21,4%) X2 P 6,349 0,042 1 (3,6%) Dari tabel 5.2 didapatkan p=0,042berarti ada perbedaan yang bermakna pada fungsi seksual antarakelompok pasca TAH dengan kelompok pasca SVH. 39 BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Karakteristik Subyek padaKelompok Pasca TAH dan SVH Umur secara alamiah tetap berpengaruh terhadap penurunan aspek seksualitas, aktivitas seksual wanita terbaik tercapai pada usia muda selanjutnya akan turun pada usia tua (Huangdkk., 2008). Paritas juga berpengaruh terhadap penurunan aspek seksualitas, paritas yang tinggi berhubungan dengan waktu untuk mengurus anak-anak.Pada saat ini, umumnya satu keluarga menginginkan dua anak, pandangan ini tak jarang menyebabkan terbatasnya peranan hubungan seksual dalam kehidupan mereka.Setelah memiliki jumlah anak yang dikehendaki, mereka sulit untuk melakukan hubungan seksual hanya atas dasar rekreasi belaka (Pangkahila, 2005).Hubungan antara tingkat pendidikan dan kepuasan seksual juga masih diperdebatkan. Tingkat pendidikan yang cukup baik, pengaruh mitos yaitu informasi yang berkaitan dengan kepuasan seksual yang sebenarnya salah, tetapi dianggap benar karena telah beredar lama, bahkan dari generasi ke generasi akan semakin rendah karena mereka tahu informasi tersebut salah dan menyesatkan (Pangkahila, 2005). Penelitian oleh Huang dkk.(2008) pada menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung berhubungan secara negatif dengan kepuasan seksual,hal ini berkaitan dengan dukungan suami yang lebih rendah dan stress pekerjaan. Pada penelitian cross sectional dengan 28 orang sampel yang terdiri atas 14 pasca TAH dan 14 pasca SVH ini terlebih dahulu dilakukan uji normalitas umur dan paritas untuk mengetahui apakah kedua kelompok berdistribusi normal dengan uji Saphiro Wilk. Uji normalitas umur pada kelompok pasca TAH dan 40 SVH masing-masing p=0,087 dan p=0,077. Uji normalitas paritas pada kelompok pasca TAH dan SVH masing-masing p=0,064 dan p=0,297. Nilai p>0,05 berarti data umur dan paritas berdistribusi normal sehingga bisa dilanjutkan dengan uji tindependent. Berdasarkan hasil analisis didapatkan rerata umur pada kelompok pasca TAH dan SVH masing-masing 43,00±1,96 dan 41,71±2,95dengan p>0,05. Rerata paritas pada kelompok pasca TAH dan SVH masing-masing 2,00±0,96 dan 1,93±1,43 dengan p>0,05. Berdasarkan karakteristik tingkat pendidikan yang diuji dengan uji Chi-Square didapatkan p=0,064. Hal ini berarti bahwa karakteristik subyek kedua kelompok adalah sama sehingga pengaruhnya terhadap hasil penelitian dapat diabaikan. 6.2 Perbedaan Fungsi Seksual pada Kelompok Pasca TAH dan SVH Berdasarkan hasil analisis dengan uji t-independent didapatkan rerata hasrat pada kelompok pasca TAH dan SVH masing-masing 4,11±0,52 dan 4,16±0,55 dengan p=0,272, rerata rangsangan pada kelompok pasca TAH dan SVH masing-masing 4,16±0,51 dan 4,37±0,73 dengan p=0,239, rerata lubrikasi pada kelompok pasca TAH dan SVH masing-masing 4,31±0,48 dan 4,82±0,55 dengan p=0,014, rerata orgasme pada kelompok pasca TAH dan SVH masingmasing 4,29±0,60 dan 4,97±0,70 dengan p=0,014, rerata kepuasan pada kelompok pasca TAH dan SVH masing-masing 4,20±0,54 dan 4,57±0,46 dengan p=0,061, rerata nyeri pada kelompok pasca TAH dan SVH masing-masing 4,46±0,80 dan 5,09±0,71 dengan p=0,037. Variabel lubrikasi, orgasme, dan nyeri didapatkan berbeda bermakna (p<0,05), sedangkan hasrat, rangsangan, dan kepuasan tidak berbeda bermakna. Berdasarkan rerata skor total FSFI pada kelompok pasca TAH 41 dan SVH masing-masing25,5±2,91 dan 28,26±3,17, berbeda secara bermakna (p<0,05). Jadi didapatkan bahwa skor total pada kelompok pasca TAH lebih rendah dibandingkan dengan rerata kelompok pasca SVH. Di samping uji perbedaan skor total, fungsi seksual antara kedua kelompok juga dianalisis berdasarkan tabel silang 3 x 2 yaitu dengan Chi-square (X2) dan didapatkan bahwa pada kelompok pasca TAH dengan fungsi seksual baik dengan nilai ≥ 30 sebanyak 2 orang (7,1%), sedang dengan nilai 23-29 sebanyak 6 (21,4%), buruk dengan nilai < 23 sebanyak 6 (21,4%). Pada kelompok pasca SVH fungsi seksual baik sebanyak 7 (25,0%), sedang sebanyak 6 (21,4%), kurang sebanyak 1 (3,6%). Berdasarkan hasil analisis dengan uji Chi Square didapatkan p=0,042. Hal ini berarti terdapat perbedaan fungsi seksual kelompok pasca TAH dibandingkan SVH. TAH tidak mempunyai hubungan dengan ada tidaknya gangguan hasrat dibandingkan dengan SVH (p=0.272). Hasrat seksual wanita secara spontan dihasilkan oleh fantasi seksual.Pada dasarnya, wanita memerlukan lebih dari sekadarrangsangan diawal hubungan seksual. Aspek psikologis memainkan peran penting dalam proses stimulasi pada pikiran wanita (Windhu, 2009).TAH tidak mempunyai hubungan dengan ada tidaknya gangguan rangsang seksual dibandingkan dengan SVH (p=0,239). Seorang wanita yang tertarik untuk menjadi terangsang akan menikmati pengalaman seksualnya. Wanita perlu memusatkan diri pada stimulasi seksual yang timbul dari dalam diri akibat inisiatif wanita itu sendiri atau akibat rangsangan dari pasangan seksualnya.Jenis stimulasi, waktu yang dibutuhkan bersifat sangat subjektif dan berbeda pada setiap wanita. Aspek psikologis yang baik akan memberikan peningkatan motivasi 42 (Windhu, 2009). Kepuasan seksual tidak berhubungan dengan jenis tindakan histerektomi yang dikerjakan baik TAH maupun SVH (p=0,061). Kepuasan seksual dipengaruhi oleh aspek psikologis, yang meliputi antara lain; psikopatologi yang memang menyertainya sebelum operasi atau reaksi emosi yang timbul bahwa histerektomi akan menimbulkan gangguan pada hubungan seksual selanjutnya.Tidak terungkapnya perbedaan gangguan hasrat, rangsangan dan kepuasan seksual pada penelitian ini mungkin karena sebagian besar 60% kelompok pasca TAH dan SVH mempunyai tingkat pendidikan rendah yang mempunyai keterbatasan pengetahuan dan ketidakterbukaan merupakan faktor yang berpengaruh. Perbedaan hasil penelitian dengan Saini dkk. (2002)oleh karena populasi penelitian mempunyai kelompok tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan budaya masyarakatnya sendiri yang ekstrovert. Hubungan TAH terhadap penurunan pencapaian orgasme, secara statistik mempunyai kemaknaan dimana p=0,014. TAH berdampak besar pada perubahan struktur anatomi di rongga panggul termasuk didalamnya usus, vesika urinaria, dan saraf yang berakibat turunnya kualitas kehidupan seksual wanita dibandingkan SVH.Dikemukakan bahwa stimulasi saraf dari pleksus uterovaginal (Frankenhauser), pada beberapa wanita berperan pada tingkat kepuasan seksual. Pada beberapa wanita kualitas dan intensitas dari orgasme internal yang distimulasi dengan penetrasi dalam pada ujung-ujung saraf tersebut, berhubungan dengan gerakan dari serviks dan uterus (Saini dkk., 2002, Bermandkk., 2007).Penurunan orgasme pasca TAH dapat timbul karena perubahan sensasi pada fase gairah dan plateu akibat pengangkatan uterus dengan servik tersebut. Hal ini sesuai dengan Masters & Johnson bahwa fase gairah ada peningkatan 43 aliran darah pada keseluruhan daerah pelvis, elevasi dan pembesaran uterus 2 kali ukuran biasa, akibat TAH terjadi pengurangan sensasi tambahan pada fase-fase diatas dalam rangka pencapaian orgasme.Hasil yang sesuai dengan penelitian Saini dkk. (2002) yang menyatakan pasien-pasien pasca TAH fungsi seksualnya lebih buruk dibandingkan pasien pasca SVH, gangguan orgasme pasca TAH dan SVH masing-masing sebesar 43% dan 6%, dengan p=0,03.Berbeda dengan penelitian Rhodes dkk. (2000) tidak terdapatnya perbedaan penurunan orgasme pada kedua kelompokdisebabkansetelah histerektomi baik TAH maupun SVH dikerjakan, gejala perdarahan pervaginam dan ketakutan akan kehamilanhilang sehingga penderita dapat melakukan kegiatan sanggama sampai mencapai orgasme. Pemotongan serviks seluruhnya juga disebut berpotensi merugikan akibat terbentuknya jaringan parut ataupun jaringan granulasi pada apeks vagina dan pemendekan vagina. Kehilangan serviks juga berakibat hilangnya sebagian kelenjar yang memproduksi mukus yang berperan dalam lubrikasi dinding vagina selama proses koitus, akibatnya terjadi kekeringan dinding vagina yang menimbulkan nyeri pada saat penetrasi penis.Nyeri yang diakibatkan oleh kekurangan lubrikasi ini akan menghambat orgasme serta kualitas seksual secara umum (Katz, 2005).Penelitian Zobbe dkk. (2004) menyatakan nyeri saat berhubungan seksual pasca SVH dan TAH tidak berbeda bermakna, faktor psikologis penderita menganggap penyakit yang mengancam jiwanya telah hilang dengan tuntas sehingga penderita dapat melakukan kegiatan sanggama secara leluasa tanpa beban psikologis, nilai ambang terhadap nyeri akan meningkat, dan secara anatomi vagina sangat elastis serta mampu melakukan adaptasi.Asnafi 44 dkk.(2010) dinyatakan bahwa dispareunia dan frekwensi hubungan seksual tidak berbeda bermakna pada kedua kelompok.Penelitian tersebut dilakukan pada wanita Asia di salah satu negara berbasis agama, dimana hubungan pria dan wanita merupakan suatu masalah yang sangat ditabukan dan tidak biasanya diungkapkan pada orang lain selain pasangan resminya. Hal ini menyebabkan perbedaan dari segi keterbukaan pasien terhadap masalah seksual yang mereka hadapi Penelitian oleh Kuppermann dkk.(2005) juga mengemukakan hasil yang berbeda dengan penelitian kami. Pada penelitian tersebut dilakukan perbandingan fungsi seksual pada kelompok sampel TAH dan SVH pada enam bulan dan dua tahun setelah operasi dengan menggunakan Sexual Problem Scale, didapatkan pada 6 bulan pertama rerata skor fungsi seksual kelompok SVH lebih tinggi daripada TAH meskipun perbedaan tersebut tidak bermakna secara statistik. Penelitian yang dilakukan di Amerika Tenggara ini tidak memberi batasan berat badan pada respondennya dan rerata berat badan responden (83 kg) melebihi rerata berat badan kelompok wanita usia sama di Amerika (73 kg). mendapatkan bahwa indeks massa tubuh berperan dalam kegiatan seksual. Menurut Menzin (2002) seksualitas merupakan gabungan mekanisme fisiologis dan psikologis yang kompleks dan belum sepenuhnya dapat dimengerti, yang merupakan suatu kendala dalam melakukan evaluasi secara keilmuan. Kondisi medis sebelum operasi, keadaan emosional, dan proses patologis yang mengharuskan dilakukannya histerektomi sendiri di samping hubungan personal subjek dan sistem pendukung (pasangan/keluarga) dapat berpengaruh pada fungsi seksual sebelum dan setelah operasi dilakukan. Oleh karena itu tidak 45 mengherankan bila beragam penelitian dapat menunjukkan hasil berupa perbaikan, stabilitas atau bahkan penurunan fungsi seksual subjek setelah histerektomi (Sung dkk., 2008). Perbedaan pada rancangan penelitian, karakteristik subyek penelitian yang dilakukan oleh penelitian lain dapat memberikan hasil yang berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan. 6.3 Kelemahan Penelitian Kelemahan dari penelitian ini adalah jumlah sampel dan waktu yang terbatas. Penggunaan metode cross sectional yang hanya menilai fungsi seksual sesaat saja setelah dilakukan tindakan tanpa mengetahui fungsi seksual sebelumnya. Beberapa faktor yang mempengaruhi fungsi seksual wanita pasca histerektomi belum kami analisis seperti faktor psikologis, kualitas keharmonisan dalam rumah tangga.Selain itu sampel penelitian kami juga tidak dibatasi dari segi indeks massa tubuh sehingga kemungkinan obesitas sebagai salah satu faktor pengganggu belum dapat dihilangkan. Disadari pula bahwa hasil penelitian ini ada biasnya karena tingkat pendidikan yang rendah, budaya dan norma-norma di Indonesia, masalah seksual masih dianggap tabu. 46 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas didapatkan simpulan bahwa rerataskor total FSFI pada kelompok pasca TAH dan SVH masing-masing 25,5±2,91 dan 28,26±3,17, dimana variabel lubrikasi, orgasme, dan dispareunia dengan p<0,05. Pada penelitian ini fungsi seksual pada kelompok pasca TAH dan SVH dengan uji Chi-Square didapatkan berbeda bermakna (p<0,05). 7.2 Saran Komunikasi, informasi dan edukasi pada pasangan suami-istri, bahwa akan timbul dampak terhadap fungsi seksual pasca histerektomi sehingga perlu penyesuaian seksual yang lebih meningkat pada pasangannya. Pemberian lubrikasi sebelum berhubungan seksual dengan pasangan, dapat mengurangi keluhan kekeringan pada vagina.Penyesuaian terhadap posisi seksual dan penetrasi penis melalui kontrol oleh wanita dapat mengurangi disparuneia.Pemilihan jenis histerektomi pada kasus mioma uteri perlu mempertimbangkan komplikasinya terhadap fungsi seksual, dalam hal ini SVH dipilih karena komplikasi terhadap fungsi seksual lebih ringan. Penelitian lanjutan tentang seksualitas pasca histerektomi dengan rancangan kohort dan jumlah sampel yang lebih besar. 47 DAFTAR PUSTAKA Anitha, P. 2010. Hysterectomy/Surgical Removal of Uterus.In : Shroff, S., editor. Medindia On Mobile. Anonim. 2008. What You Need to know Female Sexual Response. Available at www.arhp.org/factsheets.Association of Reproductive Health Profesional. Arcos, B. 2004.Female Sexual Dysfunction and Response. New Orlean : JAOA Supplement . Vol. 104 No. 1. Asnafi, N., Basirat, Z., Hajian-Tilaki, K.O. 2010.Outcomes of Total versus Subtotal Abdominal Hysterectomy.Iran : EMHJ Vol. 16 No.2. Basson, R. 2005. Women’s Sexual Dysfunction: Revised and Expanded Definitions. Canada : CMAJ Berman, J. 2007. Effect of Hysterectomy on Female Sexual Function.Vibrance Associates. El-Toukhy, T.A. Hefni, M.A., Davies, A.E., Mahadeva, S. 2004. The Effect of Different Types of Hysterectomy on Urinary and Sexual Functions: a Prospective Study.Journal of Obstetrics and Gynaecology. Vol 24; No 4: 420-425. Ghozali, S., Junizaf dkk.2004. Perangai Seksual Pasca Histerektomi Total.Indones J. Obstet Gynaecol 24 (2). Gimbel, H., Zobbe,V., Andersen, B.M., Filtenborg, T., Gluud, C., Tabor, A., and The Danish Hysterectomy Group. 2003. Randomized Controlled Trial of Total Compared With Subtotal Hysterectomy With One-Year Follow Up Result. Denmark : BJOG. Vol. 110. pp. 1088-1098. Goetsch, M.F. 2005. The Effect of Total Hysterectomy on Spesific Sexual Sensations. American Journal of Obstetrics and Gynecology; 192:1922-1927. Goldstein, I. 2003. Sexual Dysfunction after Hysterectomy.Boston : BUMC. Heisler, J. 2010. In-Depth http;//surgery.about.com Overview of Hysterectomy. Available at Huang, A.J., Subak, L.L., Thom, D.H., Vandeneeden, S.K., Ragins, A.I., Kuppermann M., Hui shen, Brown, J.S. 2009.Sexual Function and Aging in Racially and Ethhnically Diverse Women. J Am geriatr Soc. 57(8): 1362-1368 Johnson, N., Barlow, D., Lethaby, A., Tavender, E., Curr, L., Garry, R., 2005. Methods of Hysterectomy : Systematic Review and Meta-Analysis of Randomised Controlled Trials. Cochrane Database of Systematic Review. 48 Katz, A. 2005. Sexuality and Hysterectomy : Finding the Right Words. AJN Vol.105 : 12. Kingberg, S., Althof, S.E. 2009.Evaluation and Treatment of Female Sexual Disorders.Cleveland : IUGA. Kuppermann, M.,Summit R.L.Jr., Varner, R.E., McNeeley, S.G., GoodmanGruen, D., Learman, L.A., Ireland, C.C., Vittinghoff, E., Lin, F., Richter. H.E., Showstack, J., Hulley, S.B., Washington, A.E. ;Total or Supracervical Hysterectomy Research Group. 2005. Sexual Functioning after Total Compared with Supracervical Hysterectomy : A Randomized Trial. Obstet Gynecol; 105(6):1309-1318. Kurniawati, E.M., Muhdi, N., 2008. Perbedaan Frekuensi, Skor Fungsi Seksual Gairah, Arousal, Lubrikasi, Orgasme, Kepuasan Emosi dan Nyeri Hubungan Seksual Pasca Histerektomi Total dan Supravaginal Perabdomen. Kuscu, N.K., Oruc, S.,Ceylan,E. 2005. Sexual Life Following Total Abdominal Hysterectomy. Arch Gynecol Obstet; 271;218-221 Lonnee-Hoffmann, SVHei, B., Eriksson, N.H. 2006.Sexual Experience of Partners after Hysterectomy, Comparing Subtotal with Total Abdominal Hysterectomy.Denmark . Acta Obstetric Et Gynecologica Scandinavica; 85 : 1389-1394. Miocic, J., Car, N., Metelko, Z. 2008. Sexual Dysfunction in Women with Diabetes Mellitus. Diabetalogia Croatica; 37-2 Menzin, A.W. 2002. Hysterectomy: Total versus Supracervical Surgery. OBG Management Meston, C.M. 2004. The Effect of in Women with a Hystory of Benign Uterus Fibroids. Texas.Archive of Sexual Behavior; Vol. 33:31-42. Mokate, T., Wright, C., Mander, T. 2006.Hysterectomy and Sexual Function. London. Menopause International; Vol.12: 153-157. Murrel, J.N., Berman, J.R., Weiss, R., Berman, L., Keane, S.R.,Zierack, M.C., Van Hooten, T., Goldstein, I., Stubblefield, P. 2008. Effect of Hysterectomy on Female Sexual Function. Nam, A. Cho, S. Seeo, S.K., Jeon, Y.E. Kim, H.Y., Choi, Y.S., Lee,B.S. 2008. Laparoscopic Total Hysterectomy versus Laparoscopic Supracervical Hysterectomy The Effect on Female Sexuality. Journal of Women’s Medicine; Vol 1. No1. 49 Okunlola, M.A., Umuerri, C., Omigbodun, O.O., Bello, I.M., Okonkwo, S.N., Ojengbede, O.A. 2009.Pattern of Mental Ill Health Morbidities Following Hysterectomy for Benign Gynaecological Disorders among Nigerian Women.International Journal of Mental Systems; 3:18. Pangkahila, W. 2005.Peranan Seksologi dalam Kesehatan Reproduksi.Bunga Rampai Obstetri dan Ginekologi Sosial. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Pratamagriya. 2009. Disfungsi Seksual Wanita. Dalam : Widjanarko, B., editor. Punushapai, U., Khampitak, K. 2006. Sexuality after Total Abdominal Hysterectomy in Srinagarind Hospital.Khon Kaen University. Rani, A.A., Soegondo, S, Nasir, A.U. 2008. Panduan Pelayanan Medik. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta. Rasjidi, I. 2008. Manual Histerektomi. Jakarta.EGC. Rebar, R.W. 2000. Effects of Hysterectomy on Sexual Function.Massachusetts : Journal Watch Psychiatry. February 1. Rhodes, J.C., Kjerulff, K.H., Langenberg, P.W., Guzinski, G.M. 1999. Hysterectomy and Sexual Dysfunctioning. Baltimore: JAMA. pp. 1934-41. Rola, O. 2010.Are There Any Side Effect of Hysterectomy. Roovers, W.R., Van der Bom, J.G., Van der Vaart, C.H., Heintz, A.P.M. 2003. Hysterectomy and Sexual Wellbeing : Prospective Observational Study of Vaginal Hysterectomy, Subtotal Abdominal Hysterectomy, and Total Abdominal Hysterectomy. Netherland.BMJ; Vol. 327: 774-777. Sahaja. 2009. The Anatomy and Development of the Female External Genital Organs. Saini, J., Kuczynski, E., Gretz, H.F., Sills, E.S. 2002. Supracervical Hysterectomy versus Total Abdominal Hysterectomy: Perceived Effect on Sexual Function. BMC Women’s Health. Salonia, A., Briganti, A., Deho, F.,Zanni, G., Rigatti, P., Montorsi, F. 2006. Women’s Sexual Dysfunction : A Review of the “Surgical Landscape”. Italy : European Association of Urology. Sastroasmoro, S., Ismail, S. 2008. Dasar-dasar Metodelogi Penelitian Klinis. Jakarta. Schimpf, M.O, Harvie, H.S., Omotosho, T.B., Epstein, L.B., Michel, M.J., Olivera, C.K., Rooney, K.E., Balgobin, S., Ibeanu, O.A., Gala, R.B., Rogers, R.G. 50 2009. Does Vaginal size Impact Sexual Activity and function?. Int Urogynecol J.21: 447-452. Sidohutomo, A. 2008. http://www.bidadariku.com Seks Pasca Operasi. Available from Starr, A.J., Malekzadeh, A.S. 2006.Fracture of the Pelvic Ring.Lippincot Williams & Wilkin. Sung, M.H., Lim, Y.M. 2008.Factors Affecting Sexual Satisfaction in Korean Women Who Have Undergone a Hysterectomy.Australian Journal of Advanced Nursing.Volume 27. Number 2 Thakar, R., Ayers, S., Clarkson, P., Stanton, S., Manyonda, I. 2002. Outcomes after Total versus Subtotal Abdominal Hysterectomy. NEJM; Vol 347: 13181325. Whiteman, M.K., Hillis, S.D., Jamieson, D.J., Morrow, B., Podgornik, M.N., Brett, K.M., Marchbanks, P.A. 2008. Inpatient Hysterectomy Surveillance in the United States, 2000–2004. Am J Obstet Gynecol; 198(1):34.e1–7. Windhu, S.C. 2009. Disfungsi Seksual : Tinjauan Fisiologi dan Patologis Terhadap Seksualitas.Yogyakarta. Winkjosastro, H., Saifuddin, A.B., Rachimdhi, T. 1994. Ilmu Kandungan, edisi ke-2. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Yen, J.Y. Chen, Y.H, Long, C.Y, Chang, Y. Chen, C.C, Ko, C.H. 2008. Risk Factors for Major Depressive Disorder and the Psychological Impact of Hysterectomy: A Prospective Investigation. Arlington. In Psychosomatics; 49: 137-142. Zippe, C., Nandipati, K., Agarwal, A., Raina, R. 2005. Review Sexual Dysfunction After Pelvic Surgery. Ohio : International Journal of Impotence Research; 18: 1-18. Zobbe, V., Gimbel, H., Andersen, B.M., Filterborg, T., Jakobsen, K., Sorensen, H.C., Toptager-Larsen, K., Sidenius, K., Moller, N., Madsen, E.M., Vejtorp, M., Clausen, H., Rosgaard, A., Gluud, C., Ottesen, B.S., Tabor, A. 2004.Sexuality after Total vs. Subtotal Hysterectomy.Denmark : Acta Obstet Gynecol Scand;83:191-196. 51