JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK KURVA TEKNIK. Adalah Jurnal Ilmiah Teknik Sipil dalam arti luas yang mempublikasikan hasil penelitian, perencanaan atau kajian review pada semua aspek dari tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun pengawasan baik itu bahan/material konstruksi, peralatan, struktur/konstruksi, operasional, maintenance, maupun manajemen konstruksinya. Pembina : Dekan Fakultas Teknik, UNMAS. Denpasar. Penasehat : Wakil Dekan FT. UNMAS. Denpasar. Penanggung jawab : Ka. Prodi Teknik Sipil, FT. UNMAS. Denpasar. Pemimpin Redaksi Ir. I Made Sastra Wibawa, M.Erg. Sekretaris Redaksi Ir. Ni Ketut Sri Astati Sukawati, MT. Mitra Bestari (Dewan Redaksi) 1. Prof. Ir. I Wayan Redana, M.Sc.,Ph.D. (UNUD. Denpasar). 2. Ir. I Nyoman Arya Thanaya, ME.,Ph.D. (UNUD. Denpasar). 3. Ir. Mudji Wahyudi, Ph.D. (UNRAM. Mataram) Pelaksana Redaksi 1. Ir. I Gede Ngurah Sunatha, MT. 2. Ir. I Made Letra, M.Si 3. Ir. I Ketut Sudipta Giri, MT. 4. I Gusti Agung Gde Suryadarmawan, ST.,MT. 5. Tjokorda Istri Praganingrum, ST., MT. Sirkulasi I Made Purnata. Kurva Teknik adalah jurnal ilmiah bidang Teknik Sipil yang berbasis pada manajemen konstruksi, yang diterbitkan oleh Fakultas Teknik Universitas Mahasaraswati Denpasar. Jurnal ilmiah ini diterbitkan dua kali dalam setahun ( Maret, Nopember) dengan 1 volume dan 2 nomor penerbitan. Makalah dapat ditulis dalam bahasa Inggris atau bahasa Indonesia, dikirim kepada redaksi dan pada tahap awal dilakukan evaluasi mengenai subjek materi dan kualitas teknik penulisan secara umum oleh pemimpin redaksi, selanjutnya dikirim kepada minimal 1 mitra bebestari di bidangnya untuk evaluasi substansi materi, serta tahap akhir akan ada saran penyempurnaan dari pelaksana redaksi. Makalah yang dinyatakan diterima serta telah diperbaiki sesuai saran redaksi akan diterbitkan dalam jurnal Kurva Teknik. Petunjuk format penulisan makalah terlampir pada halaman akhir dari jurnal ini. Redaksi Kurva Teknik Sekretriat : Fakultas Teknik Universitas Mahasaraswati Denpasar Jl. Kamboja No. 11 A Denpasar Telp. (0361) 240551 ; 8636490 Denpasar, Bali. e-mail : [email protected] ISSN : 2089-6743 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK Vol. 2 No. 1 Maret 2013 PS TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK KURVA TEKNIK Vol. 2 JURNAL ILMIAH No. 1 Hlm. 125 DENPASAR MARET 2013 ISSN 2089-6743 ISSN : 2089-6743 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK PENGANTAR REDAKSI Puji syukur kami panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat Asung Kerta Wara NugrahaNya kami dapat mewujudkan keinginan kami untuk menerbitkan sebuah Jurnal Ilmiah yang kami beri nama “Kurva Teknik”. Majalah atau Jurnal Ilmiah ini telah mendapatkan ISSN (International Standard Serial Number) dari Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDII-LIPI) dengan nomor ISSN : 2089-6743 tertanggal 30 Desember 2011. Jurnal ini yang dikelola oleh Fakultas Teknik Universitas Mahasaraswati Denpasar merupakan media untuk mempublikasikan hasil-hasil penelitian murni atau terapan dalam arti luas tentang aspek Teknik Sipil mulai dari perencanaan/disain, pelaksanaan, pengawasan, operasional, maintenance, maupun manajemen konstruksi baik yang menyangkut bahan/material konstruksi, peralatan, dan strukturnya. Kehadiran jurnal ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) bagi siapa saja, baik kalangan akademisi maupun masyarakat luas. Jurnal ilmiah ini sekaligus sebagai wahana untuk memotivasi dosen peneliti, praktisi, dan civitas akademika maupun siapa saja dapat ikut menyumbangkan hasil penelitian ataupun buah pemikirannya. Disamping diperuntukkan bagi civitas akademika Universitas Mahasaraswati Denpasar (UNMAS Denpasar), setiap terbitan redaksi menerima artikel, hasil penelitian, atau buah pikiran dari para peneliti kalangan civitas akademika dari luar UNMAS Denpasar. Atas nama redaksi kami menghaturkan terimakasih yang setinggi-tingginya atas sumbangan artikel dari semua pihak sehingga Jurnal Ilmiah Kurva Teknik Vol. 2 No. 1 Periode Maret 2013 dapat kami terbitkan. Akhirnya kami mohon saran dan kritik yang konstruktif dari semua pihak demi penyempurnaan jurnal ini, kami berharap jurnal ilmiah Kurva Teknik dapat memenuhi kebutuhan informasi para akademisi, praktisi, dan masyarakat dalam bidang penelitian dan penerapan Iptek. Denpasar, Maret 2013 Dewan Redaksi i ISSN : 2089-6743 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK DAFTAR ISI 1. ANALISIS FINANSIAL PEMBANGUNAN BENDUNG PULU DI KABUPATEN BANGLI (I Made Letra dan I Nengah Subagia) ................................................................................. 1 2. PEMBANGUNAN JEMBATAN PENYEBERANGAN INOVASI HIDROLIS DENGAN MENGGUNAKAN RANGKA BAJA RINGAN SEBAGAI SOLUSI BAGI PARA PEJALAN KAKI UNTUK MEMECAHKAN KEMACETAN DI KOTA DENPASAR (I Wayan Agus Rudiartama dan Ni Ketut Sri Astati Sukawati).......................................... 17 3. ANALISA SETLEMEN CARA ANALITIS DAN METODE FINITE ELEMENT PADA TANAH LUNAK DENGAN SOFTWARE SEBAGAI ALAT BANTU (I Wayan Giatmajaya) ........................................................................................................ 36 4. KAJIAN TERHADAP MEKANISME PERIZINAN PEMANFAATAN LAHAN TEBING TUKAD AYUNG, KEDEWATAN, UBUD, GIANYAR (Tjokorda Istri Praganingrum) .......................................................................................... 50 5. PULIHNYA KUAT TEKAN BETON PASCA KEBAKARAN SETELAH DILAKUKAN PENYIRAMAN AIR (I Made Sastra Wibawa dan I Gede Ngurah Sunatha) ...................................................... 69 6. KARAKTERISTIK FISIK CAMPURAN BATU BATA DENGAN MEMANFAATKAN ABU SISA PEMBAKARAN LIMBAH KAYU (I Made Nada dan Ida Bagus Suryatmaja) ........................................................................88 7. DAMPAK NOx TERHADAP LINGKUNGAN (I Gede Oka Darmayasa) ...................................................................................................98 8. INKULTURASI ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI DALAM POLA SPASIAL RUMAH ETNIS TIONGHOA DI DESA ADAT CARANGSARI, BADUNG (Siluh Putu Natha Primadewi) ........................................................................................ 108 ii JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK ANALISIS FINANSIAL PEMBANGUNAN BENDUNG PULU DI KABUPATEN BANGLI Oleh : I Made Letra I Nengah Subagia Abstrak Bendung Pulu terletak di aliran sungai Pulu, Kelurahan Bebalang Kecamatan dan Kabupaten Bangli yang dibangun dengan biaya pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sebagai suatu kegiatan dengan dana besar, maka perlu dilakukan suatu analisis finansial terhadap pembangunan Bendung Pulu untuk mengetahui apakah layak atau tidak layak dari segi finansial, apakah dapat memberikan manfaat kepada sektor pertanian, sehingga bagaiamana korelasinya terhadap peningkatan nilai produksi pertanian Untuk menganalisa aspek finansial dari pembangunan Bendung Pulu digunakan tolok ukur analisis finansial seperti: Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR), payback period (PP) dan lnternal Rate of Return (IRR). Sedangkan, untuk analisa korelasinya digunakan metoda kal person. Dari hasil analisa finansial pada tingkat suku bunga pinjaman yang berlaku diperoleh Net Present Value (NPV) benilai positif, Benefit Cost Ratio (BCR) lebih besar dari satu serta Intemal Rate of Retun (iRR) lebih besar dari tingkat suku bunga pinjaman yang berlaku. Sedangkan untuk Korelasi nilai r antara biaya akibat adanya Bendung Pulu dengan nilai produksi pertanian adalah mendekati satu. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa pembangunan Bendung Pulu layak dilihat dari aspek finansial. Dan memiliki korelasi yang sangat kuat terhadap peningkatan nilai produksi pertanian. Kata kunci: Bendung Pulu, analisa finansial, korelasi I. PENDAHULUAN Sektor pengerak perekonamian paling utama wilayah pedesaan pada umumnya yaitu pada sektor pertanian. Sektor ini menampung tenaga kerja paling banyak dibandingkan dengan sektor-sektor yang lain. Dalam mengelola usaha pertanian ketersediaan sumberdaya air merupakan salah satu pendukung utama. Dengan tersedianya air untuk irigasi secara berkesinambungan maka pola tanam pertanian akan dapat dilangsungkan sepanjang tahun, tanpa tergantung dari musim hujan Ketersediaan air irigasi untuk lahan pertanian secara berkesinambungan akan dapat terwujud jika didukung oleh infrastuktur irigasi yang memadai. Infrasturktur irigasi ini terdiri dari jaringan irigasi serta bangunan utama dari irigasi. Adapun bangunan utama dalam bidang irigasi dapat berupa waduk, bendung, stasion pompa ataupun banguna pengambilan bebas. Bendung yang merupakan infrasturtur bangunan utama dalam bidang irigasi mempunyai fungsi meninggikan permukaan air untuk dialirkan kedaerah irigasi yang direncanakan. Dengan adanya bendung ini ketersediaan air untuk keperluan irigasi dapat dipertahankan, sehingga dapat meningkatkan produksivitas lahan pertanian, baik itu tanaman padi maupun palawija serta tanaman hortikultura lainnya. 6 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK Salah satu bendung yang berada di propinsi Bali adalah Bendung Pulu yang berada pada daerah irigasi Tunggak Alas yang menaikan muka air dari tukad Pulu di Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli. Bendung ini mengalirkan air untuk irigasi pertanian ke subak yang berada di kawasan Taman Bali terutama di daerah subak Kuning. Pada bualn November 2010 Bendung Pulu mengalami kerusakan. Hal ini disebabkan oleh terjadinya banjir di sekitar lokasi bendung yang merupakan dampak dari penebangan pohon. tanpa disertai reboisasi, berkurangnya daerah resapan air di daerah hulu Kerusakan bendung pulu membawa akibat yang cukup luas bagi lahan pertanian yang memperoleh pengaiaran dari bendung tersebut. Pola tanam lahan pertanian menjadi terganggu dan terancam gagal panen karena kurangnya air irigasi yang hanya memanfaatkan air hujan dan dari bendung darurat yang dibuat secara sederhana. Sehingga produktivitas lahan pertanian menjadi menurun. Pada akhirnya pembangunan kembali Bendung tersebut dapat terrealisasi di tahun 2011 oleh Pemerintah Kabupaten Bangli yang menggunakan dana dari APBD 2011. Pembangun sebuah bendung tentunya merupakan kegiatan pembangunan yang bersekala besar dengan dana yang cukup besar pula, oleh sebab itu maka perlu diadakan studi untuk mengevaluasi kelayakan dari pembangunan Bendung Pulu apakah, dapat memberikan manfaat dalam meningkatkan nilai produksi pertaniaan ataupun memenuhi persyaratan-persyaratan kriteria investasi jika ditinjau dari segi analisis ekonomi teknik. II. 2.1. METODA PENELITIAN Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini bertempat di aliran Sungai Pulu yang berada di wilayah Kel. Bebalang Kec.Bangli Kabupaten Bangli. 2.2. Objek Studi Objek studi dalam penelitian ini adalah data perencanaan dan pembangunan Bendung Pulu, di Kabupaten Bangli apakah pembangunan bendung tersebut dapat memberi manfaat terhadap peningkatan produksi pertanian dan memenuhi syarat investasi jika ditinjau dari segi analisa aspek finansial. Sumber data Adapun data yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber dari: a. Data Primer : Yaitu data yang dikumpulkan langsung dari sumber objek studi, dalam hal ini adalah hasil wawancara atau interviu dengan pemilik proyek yaitu dari dinas P.U. Kab. Bangli, mengenai nilai kegiatan, biaya perencaan, Biaya O.P bendung Pulu, serta umur kegiatan. b. Data Sekunder: Yaitu data yang diperoleh sumber –sumber yang telah ada atau pihak lain yang mendukung penelitian ini misalnya; literatur-literatur, data O.P. Padi dan produksi padi dari Dinas PPP Kab.7 Bangli, harga gabah Dari BPS, instansi terkait lainnya JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK 3.4. data 3. BiayaPengumpulan Pemeliharaan (Mantence Cost) Metode yang digunakan dalam mengumpulkan data untuk penelitian ini adalah sebagai Agar fasilitas bendungan dalam hal ini fasilitas Bendung Pulu dapat dan dalam berikut: prima(Observasi) maka perlu biaya pwatuan bangunan 1. kondisi Pengamatan : Yaitu terjununtuk langsung atau beserta melihatfasilitasnya. langsung kelapangan Dari analisa biaya biaya tersebut akan didapat atau diketahui total biaya /real terhadap cost 39 objek penelitian yaitu Bendung Pulu dan Wilayah irigasinya. 2. Penelusuran Literatur: Yaitu Mengumpulkan data dengan menggunakan sebagian atau seluruh yang telah ada dari laporan data penelitian sebelumnya Misalnya data dari Dinas PPP Kab. Bangli Berupa analisa Biaya O.P pertanian, laporan produksi pertanian serta data-data dari BPS. 3. Wawancara (Interviu): Yaitu Mengumpulkan data dengan mengadakan tanya jawab langsung kepada objek Studi atau perantara yang berwenang serta mengetahui persoalan dari objek studil misalnya, data dari tanya jawab dengan pihak Dinas P.U. Kab. Bangli tentang biaya dan umur kegiatan Bendung Pulu. 3.5. Analisa Data Dari data-data yang berkaitan dengan aspek finansial yang diperoleh melalui pengumpulan data dan wawancara dengan dinas P.U. Kab. Bangli selaku pemilik kegiatan serta pengelola bendung dan Dinas PPP Kab. Bangli selaku dinas yang menangani bidang pertanian serta dinas-dinas yang lain selanjutnya dianalisa. Adapun analisa finansial dalam penelitian ini terbagi atas: A. Faktor Biaya 1. Biaya investasi (investment cost) Biaya investasi (investment cost) dalam penelitian ini merupakan semua pengeluaran biaya yang dipergunakan untuk merealisasikan Bendung Pulu, Bangli agar dapat beroperasi dengan baik, adapun biaya tersebut diantaranya biaya perencanaan,biaya konstruksi dan biaya pengawasan. 2. Biaya Operasional (operational Cost) Biaya operasional yaitu segala pengeluaran dalam rangka menjalankan aktivitas usaha agar berjalan normal yang biasanya bersipat rutin dan periodik dalam waktu tertentu misalnya; Biaya gaji/upah karyawan, biaya untuk administrasi dan biaya tak terduga lainnya. 18 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK 1. Biaya investasi (investment cost) Biaya investasi (investment cost) dalam penelitian ini merupakan semua pengeluaran biaya yang dipergunakan untuk merealisasikan Bendung Pulu, Bangli agar dapat beroperasi dengan baik, adapun biaya tersebut diantaranya biaya perencanaan,biaya konstruksi dan biaya pengawasan. 2. Biaya Operasional (operational Cost) Biaya operasional yaitu segala pengeluaran dalam rangka menjalankan aktivitas usaha agar berjalan normal yang biasanya bersipat rutin dan periodik dalam waktu tertentu misalnya; Biaya gaji/upah karyawan, biaya untuk administrasi dan biaya tak terduga lainnya. 3. Biaya Pemeliharaan (Mantenance Cost) Agar fasilitas bendungan dalam hal ini fasilitas Bendung Pulu dapat dan dalam kondisi prima maka perlu biaya perawatan untuk bangunan beserta fasilitasnya. Dari analisa biaya biaya tersebut akan didapat atau diketahui total biaya /real cost B. Faktor Manfaat (Benefit) Dari kegiatan operasional Bendung Pulu akan diperoleh juga berupa hasil usaha yang disebut benefit. Untuk menentukan benifit dalam penelitian digunakan metoda peramalan yaitu metoda regresi dari data-data yang tersedia. Data tersebut berupa peningkatan produksi lahan yang memanfaatkan langsung aliran air dari Bendung Pulu , untuk selanjutnya dianalisa sehinga diketahui total benifit C. Analisa Evaluasi pembangunan Bendung Pulu di Kabupaten Bangli Dari hasil analisa faktor biaya dan faktor manfaat yang berupa total cost dan total benefit kemudian dievaluasi dengan mengunakan kriteria-kriteria investasi berupa: 1. Metode Net Present Value Metode Net Present Value adalah metode yang menghitung selisih antara nilai pada saat sekarang investasi dengan penerimaan kas bersih di masa yang akan datang. Penilaian dinyatakan layak bila NPV positif, dan dinyatakan tidak layak bila NPV bernilai negatif. 2. Benefit Cost Ratio (BCR) 19 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK Metode BCR adalah menghitung perbandingan antara benefit dan cost dalam suatu investasi. Penilaian dinyatakan layak bila BCR lebih dari 1 (satu), dan dinyatakan tidak layak bila BCR kurang dari 1 (satu). 3. Internal Rate of Return (IRR) Metode IRR adalah menghitung tingkat bunga yang menyamakan nilai pada saat sekarang investasi dengan penerimaan kas bersih di masa yang akan datang. Penilaian dinyatakan layak dan menguntungkan bila tingkat bunga lebih besar dari pada tingkat bunga relevan (tingkat keuntungan yang diisyaratkan), dan dianggap merugikan bila nilai bunganya lebih kecil. 4. Payback Period (PP) Metode Payback Period adalah menghitung seberapa lama (periode) investasi akan dapat dikembalikan saat terjadinya kondisi pulang pokok (break event point). D. Analisa Sensitivitas Analisa Sensitivitas adalah menghitung pengaruh faktor suku bunga uang, yaitu untuk suku bunga 12% dengan kondisi, meliputi : - jika biaya(cost)bertambah 10% dan pendapatan (benefit) tetap - jika biaya (cosl) tetap dan pendapatan (benefit) berkurang 10% - Jika biaya (cost) bertambah l0 % dan pendapatan (benefit) berkurang 10% E. Analisa Korelasi Analisa korelasi ini dalah untuk mengetahui seberapa kuat pengaruh dari investasi pemerintah dalam membangun bendung terhadap peningkatan produksi lahan pertanian yang dinyatakan dalam koefisien korelasi. Hasil Analisa Adapun hasil-hasil dari analisa ekonomi terdiri dari nilai-nliai metoda analisa aspek ekonomi rencana pembangunan Bendungan Pulu, Bangli yaitu berupa nilai: NPV, IRR, BCR, PP. Kajian Hasil Analisa Dari hasil analisa diatas, akan dapat di simpulkan tentang kelayakan suatu invertasi serta korelasi dari pembangunan bendung Pulu di Kabupaten Bangli setelah, nilai dari hasil metoda analisa ekonomi dan koefisien korelasi tadi di kaji kembali terhadap kriteria investasi 20 dan korelasi. JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK III. 3.1. HASIL DAN PEMBAHASAN Data Biaya Awal Menurut keterangan dari Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bangli Biaya yang dibutuhkan untuk merealisasikan Bendung Pulu, Bangli ini terdiri dari: Biaya perencanaan = Rp 46,246,000,- Biaya kontruksi = Rp 1,432,165,000,- Total = Rp 1,478,411,000,- Seluruh biaya ini bersumber dari APBD Kabupaten Bangli 3.2. Analisa Biaya Operasional dan Pemeliharaan, bunga komersil, Depresiasi Biaya Operasional dan Pemeliharaan Bendung Pulu, Bangli menurut informasi Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bangli diasumsikan sebesar 5 % pertahun dari total nilai konstruksi Bendung Pulu, Bangli yaitu 5% x Rp1,432,165,000,- = Rp 35,803,900,- pertahun selama umur rencana kegiatan dengan peningkatan diasumsikan sebesar 10% pertahun. Sedangkan untuk menghitung biaya bunga komersil dan deperesiasi dalam analisa finansial Bendung Pulu , Bangli digunaka tingkat suku bunga wajar per-tanggal 15 Desember 2011dari LPS yaitu sebesar 6,5% pertahun sehinga untuk biaya bunga dan depresiasi Bendung Pulu, Bangli menjadi; Biaya bunga pertahun : 6,5% x Rp1,478,411,000,= Rp 96,096,715,Depresiasi Pertahun : = Rp 84,724,560.823.3. Analisa Peramalan Seperti diuraikan dalam tinjauan pustaka analisa peramalan memegang peranan penting dalam pengkajian aspek ekonomi. Data-data yang dipakai dan didapatkan sejauh ini adalah data saat ini dan data masa lampau yang belum dapat membantu dalam proses pengambilan keputusan sehingga perlu diramalkan untuk mendapatkan proyeksi sampai tahun 2036 sesuai dengan umur ekonomis Bendung Pulu , Bangli yaitu 25 tahun. Adapun yang diproyeksi dalam menganalisa aspek finansial Bendung Pulu , Bangli adalah daftar harga Gabah kering Petani di Propinsi Bali Untuk memperkirakan hal tersebut di atas digunakan beberapa metode peramalan yaitu: 1. Metode Trend Linear 2. Metode Trend Kuadratik 3. Metode Trend Simple Eksponensial 21 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK Pedoman untuk pemilihan metode peramalan yang tepat untuk serangkaian data deret waktu tertentu adalah trend yang memberikan harga kuadrat penyimpangan nilai peramalan dengan nilai trend terkecil atau harga Σ (Yi - Y')² terkecil. 3.4. Peramalan Untuk Harga Gabah Kering Petani Data yang digunakan untuk meramalkan harga gabah kering petani untuk tahun-tahun mendatang adalah data harga mulai th 2007 sampai dengan th 2011 seperti dalam Tabel 1. Proses pengolahan data harga gabah kering petani dengan menggunakan ketiga metode tersebut diatas dapat dilihat pada Lampiran la. Dari hasil perhitungan diperoleh metode peramalan dengan harga Σ(Yi -Y')² terkecil yaitu dengan metode Trend Linier, sehingga model persamaan yang dipakai adalah persamaan linier. Adapun persamaan linier yang dipakai adalah : Y= 2714,3 +332,4 X Sehingga dari persamaan tersebut akan didapat perkiraaan harga gabah kering petani sampai dengan tahrm 2055 seperti dalam Tabel 2. Tabel 1 Data Harga Gabah Kering Petani Tahun 2007-2011 TAHUN HARGA GABAH KERING PETANI (RP/Kg) 2007 2240 2008 2283 2009 2540 2010 2932 2011 3577 Tabel 2. Hasil peramalan Harga Gabah Kering Petani Sampai Tahun 2012 TAHUN HARGA GABAH KERING PETANI (RP/Kg) 2007 2240 2008 2283 2009 2540 2010 2932 2011 3577 2012 3711 3.5. Analisa Pendapatan Sesuai dengan uraian pada tinjaun pustaka tentang manfaat dari suatu kegiatan dalan analisa finansial maka, pendapatan dari bendung Pulu, Bangli adalah kenaikan hasil sawah berupa kenaikan produksi padi karena semakin baiknya sistem irigasi untuk mengairi sawah. Dalam hal ini untuk mendapatkan produksi pertanian yang di pengaruhi oleh pembangunan Bendung Pulu, di Kabupaten Bangli adalah dengan membandingkan produksi padi dari lahan pertanian ketika adanya Bendung Pulu, Bangli dengan produksi padi dari lahan pertanian tanpa adanya Bendung Pulu, 22 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK Bangli. Perbandingan tingkat produksi padi tersebut dapat dilihat seperti dalam tabel 3 dan tabel 4. tabel 3 Produksi pertanian tanpa adanya Bendung Pulu, Kabupaten Bangli Areal Musim tanam (Ha) Produksi (ton) I II III Jumlah Pli siladan 5 2 0 7 51,52 Pel. Jelekungkang 11 8 0 19 139,84 Tam. Jelekungkang 13 10 0 23 169,28 Total 29 20 0 49 360,64 tabel 4 Produksi pertanian dengan adanya Bendung Pulu, Kabupaten Bangli Areal Musim tanam (Ha) Produksi (ton) I II III Jumlah Pli siladan 11,5 11 10 32,5 227,04 Pel. Jelekungkang 8 8 8 24 126,72 Tam. Jelekungkang 16 16 16 48 253,44 Total 35,5 35 34 104,5 607,2 Dengan mengurangkan atau mencari selisih dari produksi pertanian dengan beroperasinya bendung Pulu (tabel 4.3) dan produksi pertanian tanpa adanya bendung Pulu (tabel 4.4), akan didapat peningkatan produksi pertanian . Adapun hasilnya sebagai berikut : Produksi padi : 607,2 ton/tahun - 360,64 ton/tahun = 246,56 ton/tahun Menurut informasi dari dinas Pertanian Kabupaten Bangli bahwa harga produksi dengan biaya produksi memiliki perbandingan 2,0. Perbandingan biaya ini akan digunakan untuk mengetahui pendapatan bersih dalam bidang pertanian. Hal ini menunjukkan total pendapatan dalam bidang pertanian . Tolak Ukur Analisa Finansial A. Net Present Vulae (NPV) Adalah selisih antara seluruh net cash flow atau keuntungan selama umur ekonomis dengan nilai investasi awal yang dirumuskan sebagai berikut : 1. Discount Rate 10% Besarnya Present Value Of Benefit Rp 4.470.243.783 ,- dan besarya Present Value Of Cost Rp 1.478.411.000,- sehingga nilai NPV adalah: NPV = PV Beneft - PV Cost = ( Rp 4.470.243.783 ,- ) - (Rp 1.478.411.000,-) = Rp 2.991.832.783 ,- 23 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK Dari hasil tersebut diatas didapat NPV yang bernilai positif, ini berarti penerimaan kas bersih di masa yang akan datang lebih besar dari nilai investasi. 2. Discount Rate 12% Besarnya Present Value Of Benefit Rp 3.696.737.850,- dan besarya Present Value Of Cost Rp 1.478.411.000,- sehingga nilai NPV adalah: NPV = PV Beneft - PV Cost = (Rp 3.696.737.850,-) - (Rp 1.478.411.000,-) = RP 2.218.326.850 Dari hasil tersebut diatas didapat NPV yang bernilai positif, ini berarti penerimaan kas bersih di masa yang akan datang lebih besar dari nilai investasi. 3. Discount Rate 15% Besarnya Present Value Of Benefit Rp 2.886.438.623,- dan besarya Present Value Of Cost Rp 1.478.411.000,- sehingga nilai NPV adalah: NPV = PV Beneft - PV Cost = (Rp 2.886.438.623 ,-) - (Rp 1.478.411.000,-) = RP 1.388.027.623,Dari hasil tersebut diatas didapat NPV yang bernilai positif, ini berarti penerimaan kas bersih di masa yang akan datang lebih besar dari nilai investasi. Berdasarkan perhitungan diatas diperoleh nilai NPV positif dari discount Rate10%, discount Rate 12% dan discount Rate 15%, ini berarti pembangunan Bendung Pulu, Kabupaten Bangli dapat dikatakan layak direalisasikan menurut kreteria NPV B. Benifit Cost Ratio (BCR) Dalam menghitung nilai Benifit Cost Ratio digunakan rumus (PV)B = Nilai sekarang Benifit Cf = Biaya awal Sehinga BCR dapat dicari sesuai discount Rate masing-masing sebagai berikut: 1. Discount Rate 10% Total PV Benifit = Rp 4.470.243.783,Biaya awal (Cf) = Rp 1.478.411.000,BCR = = 3,024 > 1 2. Discount Rate 12% Total PV Benifit = Rp 3.696.733.850,Biaya awal (Cf) = Rp 1.478.411.000,BCR = = 2,501 > 1 24 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK 3. Discount Rate 15% Total PV Benifit = Rp 2.866.438.623 ,Biaya awal (Cf) = Rp 1.478.411.000,BCR = = 1,939 > 1 Sesuai dengan perhitungan BCR di atas pada Discount Rate 10%, Discount Rate 12% dan Discount Rate 15% didapat nilai yang lebih besar dari 1 (satu). Karena nilai BCR lebih besar dari 1 (satu ) maka pembangunan Bendung Pulu, di Kabupaten Bangli dapat dikatakan layak direalisasikan, ditinjau dari kriteria BCR C. Internal Rate of Return (IRR) Adalah tingkat suku bunga (discount rate) yang apabila pada seluruh cash flow akan menghasilkan jumlah present value yang sama dengan jumlah investasi kegiatan. Dari aliran kas masuk pertahun tidak tetap sehingga untuk mendapatkan tingkat suku bunga (i) yang menghasilkan nilai present value yang mendekati jumlah investasi proyek (IRR) digunakan cara trial and error dan untuk perhitungannya mempergunakan bantuan program Microsoft Excel. Dari hasil perhitungan dengan cara trial and error diperoleh nilai i = 25,429%. dengan biaya awal Cf = Rp 1.478.411.000,- dan aliran kas masuk tiap tahun =(C)t ,maka apabila dimasukkan ke dalam rumus IRR akan diperoleh hasil sebagai berikut: Rp 1.478.411.000,- ≈ Rp 1.478.433.910 Dari hasil perhitungan tersebut diatas, dengan nilai i = 25,429%. present value aliran kas masuk yang mendekati nilai biaya awal kegiatan. Jadi dapat dinyatakan bahwa nilai IRR =25,429%.. Ini berarti tingkat suku bunga yang menyamakan nilai seluruh net cash flow dengan nilai sekarang investasi lebih besar dari tingkat suku bunga yang dipakai yaitu sebesar 12%, sehingga Bendung Pulu, di Kabupaten Bangli dapat nyatakan layak direalisasikan berdasarkan kriteria IRR. D. Payback Period (PP) Sesuai dengan Payback Period (PP) pada tiap-tiap Discount Rate 1. Discount Rate 10% Untuk discount rate 10 % didapat Payback Period (PP) adalah pada periode ke-7 Dimana : PV benifit tahun ke-7 = Rp 1.642.150.254,PV Cost tahun ke-7 = Rp 1.478.411.000 ,K7 = (Rp 1.642.150.254,- )-(Rp 1.538.682.780,-) = Rp 163.739.245,2. Discount Rate 12% Untuk discount rate 12 % didapat Payback Period (PP) adalah pada periode ke-7 Dimana : PV benifit tahun ke-7 = Rp 1.527.714.314,PV Cost tahun ke- 7 = Rp 1.478.411.000 ,- 25 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK K7 =( Rp 1.527.714.314,- )-( Rp 1.478.411.000) = Rp102.898.463 3. Discount Rate 15% Untuk discount rate 15 % didapat Payback Period (PP) adalah pada periode ke-8 Dimana : PV benifit tahun ke-8 = Rp1.538.682.780 ,PV Cost tahun ke-12 = Rp 1.478.411.000 ,K7 =( Rp1.538.682.780 ,- )- (Rp 1.478.411.000 )= Rp 60.271.780,Dari ketiga jenis discount rate perhitungan Payback Period (PP) diatas didapat perioda tingkat pengembalian (PP) berada dalam umur rencana kegiatan/investasi, hal ini beerarti bahwa pembangunan Bendung Pulu, Bangli memenuhi kriteria Payback Period (PP) sehinga layak direalisasikan 3.6. Analisa Sensitivitas Pada evaluasi atau penilaian investasi kegiatan pembanguan Bendung Pulu, Bangli ini juga dilakukan suatu analisa untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan yang tejadi sehingga nantinya dari hasil analisa dapat dilaksanakan langkah-langkah yang tepat untuk dapat menyelesaikan masalah yang ada. Analisa tersebut adalah analisa sensitivitas. Dalam analisa sensitivitas pada kegiatan pembanguan Bendungan Pulu, Bangli mengambil tiga alternatif pada discount rate 12% Alternatif-alternatif tersebut adalah : 1. Apabila biaya bertambah l0% dan pendapatan tetap 2. Apabila pendapatan berkurang 10% dan biaya tetap 3. Apabila biaya bertambah 10% dan pendapatan berkurang 10% Analisa sensitivitas apabila biaya bertambah10% dan pendapatan tetap Besarnya Present Value Of Benefit adalah Rp 2.436.432.311,- dan besarnya Present Value Of Cost adalah Rp 1.478.411.000,- sehingga nilai NPV adalah: NPV = PV Beneft - PV Cost = (Rp 2. 2.436.432.311,-) - (Rp 1.478.411.000,-) = RP 958.021.311,Dari hasil tersebut diatas didapat NPV yang bernilai positif, ini berarti penerimaan kas bersih di masa yang akan datang lebih lebih besar dari nilai investasi. Hal ini berarti Pembangunan Bendung Pulu layak direalisasikan berdasrkaan kriteria NPV. BCR = = 1,648 > 1 Dari hasil tersebut diatas didapat BCR yang Lebih besar dari satu, ini berarti Pembangunan Bendung Pulu layak direalisasikan berdasarkan kriteria BCR. 26 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK Rp 1.478.411.000,- = Rp 1.478.447.929 ,Untuk perhitungan IRR menggunakan cara trial and error, pada nilai i = 18,742% didapat nilai present value aliran kas masuk yang mendekati nilai biaya awal kegiatan. Jadi dapat dinyatakan bahwa nilai IRR =18,742%. Ini berarti tingkat suku bunga yang menyamakan nilai seluruh net cash flow dengan nilai sekarang investasi lebih besar dari tingkat suku bunga yang dipakai yaitu sebesar 12%, sehingga Bendung Pulu, di Kabupaten Bangli dapat nyatakan layak direalisasikan berdasarkan kriteria IRR. Analisa sensitivitas apabila pendapatan berkurang 10% dan biaya tetap Besarnya Present Value Of Benefit adalah Rp 2.038.772.510,-,- dan besarnya Present Value Of Cost adalah Rp 1.478.411.000,- sehingga nilai NPV adalah: NPV = PV Beneft - PV Cost = (Rp 2.038.772.510,-) - (Rp 1.478.411.000,-) = RP 560.361.510 ,Dari hasil tersebut diatas didapat NPV yang bernilai positif, ini berarti penerimaan kas bersih di masa yang akan datang lebih lebih besar dari nilai investasi. Hal ini berarti Pembangunan Bendung Pulu layak direalisasikan berdasarkan kriteria NPV. BCR = = 1,379 > 1 Dari hasil tersebut diatas didapat BCR yang Lebih besar dari satu, ini berarti Pembangunan Bendung Pulu layak direalisasikan berdasarkan kriteria BCR. Rp 1.478.411.000,- =Rp 1.478.411.000,- ≈ Rp 1.478.416.268 ,Untuk perhitungan IRR menggunakan cara trial and error, pada nilai i = 16,039% didapat nilai present value aliran kas masuk yang mendekati nilai biaya awal kegiatan. Jadi dapat dinyatakan bahwa nilai IRR =16,039%. Ini berarti tingkat suku bunga yang menyamakan nilai seluruh net cash flow dengan nilai sekarang investasi lebih besar dari tingkat suku bunga yang dipakai yaitu sebesar 12%, sehingga Bendung Pulu, di Kabupaten Bangli dapat nyatakan layak direalisasikan berdasarkan kriteria IRR. Analisa sensitivitas apabila biaya bertambah 10% dan pendapatan berkurang 10% Besarnya Present Value Of Benefit adalah Rp 2.017.558.816,- dan besarnya Present Value Of Cost adalah Rp 1.478.411.000,- sehingga nilai NPV adalah: NPV = PV Beneft - PV Cost = (2.017.558.816,-) - (Rp 1.478.411.000,-) = RP 593.147.816 ,- 27 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK Dari hasil tersebut diatas didapat NPV yang bernilai positif, ini berarti penerimaan kas bersih di masa yang akan datang lebih lebih besar dari nilai investasi. Hal ini berarti Pembangunan Bendung Pulu layak direalisasikan berdasarkan kriteria NPV. BCR = = 1,365 > 1 Dari hasil tersebut diatas didapat BCR yang Lebih besar dari satu, ini berarti Pembangunan Bendung Pulu layak direalisasikan berdasarkan kriteria BCR. Rp1.478.411.000,- = Rp 1.478.411.886,Untuk perhitungan IRR menggunakan cara trial and error, pada nilai i = 15,867% didapat nilai present value aliran kas masuk yang mendekati nilai biaya awal kegiatan. Jadi dapat dinyatakan bahwa nilai IRR =15,867% Ini berarti tingkat suku bunga yang menyamakan nilai seluruh net cash flow dengan nilai sekarang investasi lebih besar dari tingkat suku bunga yang dipakai yaitu sebesar 12%, sehingga Bendung Pulu, di Kabupaten Bangli dapat nyatakan layak direalisasikan berdasarkan kriteria IRR. 3.7. Analisa Korelasi Dalam menentukan korelasi pembangunan bendung Pulu, Bangli tehadap produksi pertanian sesuai umur rencana bendung selama 25 tahun dengan metoda teori karl person atau produksi moment perlu ditentukan varabel variabel korelasi yaitu: a. Variabel Xi atau Variabel bebas: yaitu Seluruh biaya tahunan yang dibutukan baik yang diakibatkan oleh adanya Bendung Pulu maupun bukan karna adanya Bendung, yaitu: Biaya bunga , depresiasi , O.P. Bendung, serta biaya produksi padi Oleh petani itu sendiri. Sedangkan Biaya awal pembangunan bendung tidak dimasukan dalam variabel karna telah didistribusikan ke biaya tahunan lewat depresiasi dimana nilai sisa di akhir umur rencana bendung adalah nol atau tanpa nilai sisa b. Variabel Yi atau Variabel terikat : yaitu total produksi tahunan broto dalam bentuk rupiah . Dari uraian diatas maka akan diperoleh data tetang pendapatan dan biaya pertanian selama 25 tahun, yang selanjutnya dapat dimasukan ke dalam data korelasi pembangunan bendung dengan produksi pertanian Untuk mengetahui niai korelasi pembangunan Bendung Pulu ,Kabupaten Bangli dengan peningkatan nilai produksi pertanian berdasarkan data dapat dihitung dengan Menggumnakan rumus segagai berikut: 28 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK Dari perhitungan diatas didapat nilai koefision korelasi r = 0,997599723 ini berarti pembangunan Bendung Pulu, di Kabupaten Bangli mempunyai hubungan yang sangat kuat sangat atau sangat berarti dengan peningkatan nilai produksi pertanian. 3.8. Inteperetasi hasil Dari pengamatan Penulis tentang hasil analisa finansial Bendung Pulu, yang sangat memenuhi persyaratan Kriteria investasi, serta memiliki korelasi yang sangat tinggi terhadap peningkatan nilai produksi pertanian, hal ini sangat dipengaruhi oleh beberapa hal: 1. Peningkatan produksi pertanian yang sangat besar dari tidak adanya bendung dengan adanya bendung yang mecapai 68,4%. Sehinga pedapatan bendung Pulu dari sektor pertanian menjadi besar selain itu juga mempengaruhi variabel Y korelasi yang ikut meningkat tajam. 2. Tingginya peningkatan harga Gabah petani sejak 5 tahun kebelakang, yang mengakibatkan peramalan harga Gabah tahun-tahun yang akan datang juga meningkat drastis sehingga nilai produksi pertanian yang merupakan benfit cos dalam analisa finansial ikut meningkat drastis, demikian juga variabel Y dalam korelasi. IV. SIMPULAN DAN SARAN 4.1. Simpulan Berdasarkan hasil pembahasan pada Bab VI, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Kriteria Investasi Berdasarkan hasil proyeksi rugi laba menunjukan adanya keuntungan tiap tahunnya dan proyeksi aliran kas yang selalu surplus selama masa operasional Bendung Pulu, Bangli, sehingga keuntungan (laba bersih) yang diperoleh oleh petani melebihi biaya investasi awal yang telah dikeluarkan pemerintah untuk membangun Bendung Pulu, Bangli. Berdasarkan atas kriteria-kriteria investasi yang digunakan untuk menganalisa aspek finansial terhadap pembangunan Bendung Pulu, di Kabupaten Bangli didapat hasil sebagai berikut: Pada discount rate 10% nilai NPV = Rp 2.991.832.783,- > 0, BCR = 3,024>1, dan PP = tahun ke - 7 < 25 th. Pada discount rate 12% nilai NPV = RP 2.218.326.850,- > 0,BCR = 2,5005 > 1, dan PP= tahun ke - 7 < 25 th Pada discount rate 15% nilai NPV = RP 1.388.027.623,- > 0, BCR = 1, 939>1, dan PP= tahun ke - 8 < 25 th 29 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK Sedangkan nilai IRR dari analisa asfek finansial Bendung Pulu adalah 25,464%.> 12%. Dari hasil analisa tersebut maka Bendung Pulu, Kabupaten Bangli dapat dinyatakan layak untuk direalisasikan menurut kriteria NPV, BCR, PP dan iRR, pada discount rate 10%, 12%,15%. 2. Analisa Sensitivitas Analisa sensitivitas dalam studi ini menggunakan 3 ( tiga ) alternatif dengan menggunakan discount rate 12% yaitu sebagai berikut : Pada analisa sensitivitas apabila biaya bertambah 10% dan pendapatan tetap didapatkan hasil nilai NPV = RP 958.021.311,- > 0, BCR = 1,918 > 1,dan IRR = 18,74% > 12 % Pada analisa sensitivitas apabila pendapatan berkurang 10% dan biaya tetap didapatkan hasil nilai NPV = RP 560.316.5100,- > 0, BCR = 1,379 > 1,dan IRR = 16,039% > 12 %. Pada analisa sensitivitas apabila pendapatan berkurang 10% dan biaya bertambah 10% didapatkan hasil; NPV = RP 539.147.816,- > 0, BCR = 1,365 > 1 dan IRR = 15,87% > 12 % Dari hasil analisa sensitivitas dengan 3 ( tiga ) alternatif tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pada kondisi biaya bertambah 10% dan pendapatan tetap, kondisi pendapatan berkurang 10% dan biaya tetap, kondisi biaya bertambah 10% dan pendapatan berkurang 10%, Bendung Pulu, Bangli masih layak untuk direalisasikan. 3. Analisa Korelasi Analisa Korelasi dalam studi ini menggunakan menggunakan metoda Koefisien Korelasi r = 0,9976 ini berarti pembangunan Bendung Pulu, Bangli membawa pengaruh yang sangat berarti atau sangat kuat terhadap peningkatan produksi pertanian pada wilayah pertanian yang memanfatkan aliran air dari bendung Pulu untuk irigasi pertanian 4.2 Saran Meskipun hasil pada analisa finansial terus mendapatkan keuntungan setiap tahunnya, maka diharapkan kepada Pemerintah Kabupaten Bangli selaku pengelola Bendung Pulu dan masyarakat sekitar agar dapat lebih dapat mengoptimalkan pemanfaattan bendung Pulu dengan mengembangkan pemanfatan bendung untuk kegiatan lain, seperti perikanan darat serta sarana rekreasi. Selain itu diharapkan kepada semua pihak agar menjaga kelestarian alam lingkungan serta fisik bendung Pulu agar tidak longsor kembali, karna keberadaan bendung Pulu mempunyai 30 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK hubungan yang sangat kuat atau sangat berarti dengan peningkatan nilai produksi pertanian khususnya padi. DAFTAR PUSTAKA Agus Sugiyono, 2001, Analisis Manfaat dan Biaya Sosial, Badan statistik Nasional, 2012, Rata-rata Harga Gabah (Rp/Kg) menurut Provinsi dan Kualitas 2008-2010 Bulog.co.id , 2007, Harga Gabah di Bali Cenderung diatas HPP, http://www.bulog.co.id/Divre/Bali/1ndex.php?url=2012/02/603953076/122/5/berita_10.xml (Diakses tanggal 10 Januari 2012) Giatman, M., (2005), Ekonomi Teknik. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta Guritno Mangkoesoebroto, Dr. M.Ec., 1993, Ekonomi publik, BPFE-YOGYAKARTA, yogyakarta Iqbal Hasan, 2004. Analisa Data Penelitian Dengan Statistik. PT Bumi Akasa. Jakarta Iman Subarkah, 1974. Bangunan Air. Ide Dharma. Bandung J. Supranto. 2001. Statistik Teori dan Aplikasi jilid 1 edisi keenam.Erlangga. Jakarta Kodoatie, Robert J. 1994, Analisis Ekonomi Teknik. Andi. Yogyakarta. Letra I Made Ir. M.Si 2011. Materi Kuliah Analisa Kelayakan Proyek. Fakultas Teknik Universitas Mahasaraswati. Nata Wirawan, 2001, Statistik I (Statistik Deskriptifl untuk Ekonomi dan Bisnis, Keraras Emas, Denpasar. Rapiali Zainuddin, 1999.Cara Penentuan lokasi bendung. PT Mediatama Sapta karya , Jakarta Seputar bali.com , 2011, Tinggi Harga Gabah Produksi Petani Bali, http://seputarbali.com/index.php/berita-khusus/ekonomi-wisata/1053-tinggi-hargagabahproduksi-petani-bali.html.(Diakses tanggal 10 Januari 2012) Suhartana I Nyoman, Ir. 2010, laporan Akhir Pekerjaan Perencanaan Bendung Pulu, Dinas PekerjaanUmum Pemerintah Kabupaten Bangli, Bangli Wulfram I. Ervianto, 2009. Manajemen Proyek Kontruksi. Andi offset. Yogjakarta. JEMBATAN PENYEBERANGAN INOVASI HIDROLIS DENGAN MENGGUNAKAN RANGKA BAJA RINGAN UNTUK PARA PEJALAN KAKI DI KOTA DENPASAR Oleh : I Wayan Agus Rudiartama. 31 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK Ni Ketut Sri Astati Sukawati. ABSTRAK Dimasa modernisasi seperti sekarang ini ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi kemacetan dan memberikan rasa aman bagi pejalan kaki untuk menyeberang. Karena arus lalu lintas yang semakin padat sehingga para pejalan kaki sering merasa terganggu dan sering juga merasa tidak aman dan nyaman. Rangka atap baja ringan diciptakan untuk memudahkan perakitan dan konstruksi. Meskipun tipis, baja ringan memiliki derajat kekuatan tarik yang tinggi yaitu sekitar 550 MPa, sementara baja biasa sekitar 300 MPa. Kekuatan tarik dan tegangan ini untuk mengkompensasi bentuknya yang tipis. Ketebalan baja ringan yang beredar sekarang ini berkisar dari 0,4 mm - 1 mm. Perhitungan kuda-kuda baja ringan amat berbeda dengan kayu, yakni cendrung lebih rapat. Semakin besar beban yang harus dipikul, jarak kuda-kuda semakin pendek. Dalam pembuatan konstruksi gedung, misalnya untuk genteng dengan bobot 40 kg/m2, jarak kuda-kuda bisa dibuat setiap 1,4 m. Sementara, bila bobot genteng mencapai 75kg/m2, maka jarak kuda-kuda menjadi 1,2 m. Untuk mengetahui cara bagi pejalan kaki agar dapat menyeberang dalam keadaan aman dan nyaman, maka perlu dibangun jembatan penyebrangan dari Pertokoan Matahari Duta Plaza menuju Pertokoan Mall Denpasar Robinson-Mc Donalds. Metode penanggulangan yang dilakukan sebagai solusi bagi pejalan kaki untuk menyeberang di tengah padatnya arus kendaraan, maka akan sangat tepat bila dibangun konstruksi jembatan dengan menggunakan baja ringan yang bersifat hidrolis. Dalam merencanakan konstruksi jembatan hidrolis yang menggunakan baja ringan, perlu memperhatikan lingkungan yang berwawasan pariwisata budaya. Kata Kunci : Hidrolis, Rangka Baja Ringan, Kemacetan. I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perhubungan merupakan masalah yang sangat penting untuk diprioritaskan, karena tanpa adanya sarana perhubungan maka pembangunan akan berjalan lambat, misalnya dengan meningkatkan sarana perhubungan darat. Perhubungan darat dapat juga dikatakan menunjang aktivitas ekonomi, sosial maupun budaya. Salah satu sarana perhungan darat adalah jalan, tetapi pada saat ini kondisi jalan semakin padat diakibatkan karena pertambahan volume kendaraan yang semakin bertambah pesat. Karena padatnya kendaraan mereka yang menjadi pejalan kaki semakin kesulitan untuk menyebrang. Rasa tidak aman dan takut untuk menyeberang sering membuat para pejalan kaki resah berada di jalan yang padat akan kendaraan. Para pejalan kaki sering merasa terhambat dalam melakukan aktivitasnya. 32 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK Dengan adanya hal tersebut, maka perlu dibuat sarana pendukung jalan berupa jembatan. Jembatan yang akan dirancang dan dibangun tersebut dibuat berdasarkan adat dan budaya yang dilaksanakan di Bali yang berwawasan pariwisata budaya, sehingga tidak menggangu proses jalannya upacara adat di Bali. Salah satu fungsi dari jembatan yaitu untuk menghubungkan dua tempat yang terpisah karena adanya sungai, rawa dan lain sebagainya. Sejalan dengan perkembangan jaman dan tekhnologi, jembatan yang dahulu terbuat dari kayu ataupun bamboo, sekarang dibuat dari beton bertulang, dari kerangka baja dan ada pula yang terbuat dari perpaduan atara beton bertulang dengan baja. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan masalahnya adalah: 1. Bagaimana cara bagi pejalan kaki untuk dapat menyeberang dalam keadaan aman dan nyaman? 2. Usaha-usaha apa yang diperlukan untuk memecahkan kemacetan di Kota Denpasar ? 3. Bagaimana metode penanggulangan yang dilakukan sebagai solusi bagi pejalan kaki untuk menyeberang dengan padatnya arus kendaraan ? 4. Bagaimana cara merencanakan jembatan hidrolis yang berwawasan pariwisata budaya ? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui cara bagi pejalan kaki untuk dapat menyeberang dengan keadaan aman dan nyaman. 2. Untuk mengetahui usaha-usaha apa yang diperlukan memecahkan kemacetan di Kota Denpasar. 3. Untuk mengetahui metode penanggulangan yang dilakukan sebagi solusi bagi pejalan kaki untuk menyeberang di tengah padatnya arus kendaraan. 33 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK 4. Untuk mengetahui cara merencanakan jembatan hidrolis yang berwawasan pariwisata budaya. 5. Dari hasil penelitian dan perencanaan ini dapat diketahui metode apa yang dapat digunakan untuk memecahkan kemacetan di Kota Denpasar yang berwawasan pariwisata budaya. 1.4 Ruang Lingkup Dalam suatu penelitian sering timbul suatu kendala-kendala, namun kendala ini harus dapat diatasi atau diperkecil keberadaannya, sehingga perlu adanya pembatasan atau ruang lingkup dalam penelitian. Adapun kendala tersebut antara lain faktor waktu, jarak, tempat, biaya dan sebagainya. Disatu sisi penelitian dituntut harus dapat memberikan gambaran atau informasi yang jelas, namun untuk dapat memenuhi kriteria tersebut perlu ada kegiatan yang lebih banyak dan kompleks. Oleh karena itu dengan adanya kendala tersebut, maka penelitian ini perlu adanya pembatasan ruang lingkup. Ruang lingkup penelitian ini adalah mencakup: 1. Data arus lalu lintas yang melalui jalan tersebut. 2. Data kekuatan baja ringan yang akan digunakan dalam perencanaan jembatan tersebut. 1.5 Manfaat Penelitian Dalam penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberi masukan kepada pemerintah dan masyarakat pada umumnya dalam menunjang pembangunan, serta diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain: 1. Untuk dapat memberikan rasa aman bagi para pejalan kaki pada saat menyebrang. 2. Untuk memberikan sarana pendukung bagi para pejalan kaki. 3. Untuk memberikan suatu inovasi baru bagi pemerintah agar membuat sesuatu yang baru dan berwawasan pariwisata budaya. II LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Umum Dalam merancang jembatan ada beberapa aspek yang perlu ditinjau yang nantinya akan mempengaruhi dalam penetapan bentuk dan dimensi jembatan. Adapun aspek tersebut antara lain : Aspek lalu lintas, Aspek tanah, Aspek 34 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK topografi, Aspek geometri jembatan, Aspek konstruksi jembatan, dan Aspek pembebanan. 2.2 Aspek Lalu Lintas Dalam perencanaan lebar jembatan sangat dipengaruhi oleh besarnya arus lalu lintas yang melintasi jembatan dengan interval waktu tertentu yang diperhitungkan terhadap Lalu lintas Harian Rata-rata (LHR) dalam Satuan Mobil Penunpang (SMP). LHR merupakan jumlah kendaraan yang melewati satu titik dalam suatu ruas jalan dengan pengamatan selama satuan waktu tertentu, yang nilainya digunakan sebagai dasar perencanaan dan evaluasi pada masa yang akan datang. Dengan diketahuinya volume lalu lintas yang lewat pada ruas jalan dalam waktu tertentu maka akan diketahui kelas jalan tersebut sehingga nantinya dapat ditentukan tebal perkerasan dan lebar efektif jembatan. 2.3 Aspek Tanah Dalam pelaksanaan abutment dan pilar jembatan data-data tanah yang dibutuhkan berupa data-data sudut geser, kohesi dan berat jenis tanah yang digunakan untuk menghitung tekanan tanah horizontal juga gaya akibat berat tanah yang bekerja pada abutment, serta daya dukung tanah yang merupakan reaksi tanah dalam menyalurkan beban dari abutment. Tekanan tanah dihitung dari data soil properties yang ada. Dalam menentukan tekanan yang bekerja dapat ditentukan dengan cara analitis/grafis. Gaya berat dari tanah ditentukan dengan mengihitung volume tanah di atas abutment dikalikan dengan berat jenis tanah itu sendiri. 2.4 Aspek Topografi Topografi berarti suatu kondisi permukaan tanah yang dihitung dari permukaan air laut. Peta topografi bertujuan untuk memberikan informasi atau data tentang selisih ketinggian suatu lahan. Aspek topografi yang diperhitungkan dalam perencanaan lebih kepada topografi perbukitan dan lembah, karena keadaan topografi pegunungan yang ada merupakan variabel yang sangat menentukan dalam perencanaan konstruksi pilar jembatan. Tujuan-tujuan dalam penentuan lokasi jembatan yang paling ideal diantaranya: peningkatan kelancaran lalu-lintas, keamanan dan kenyamanan bagi pengguna jembatan, tercapainya perencanaan yang optimal dan ekonomis dengan tidak mengabaikan nilai estetikanya. 2.5 Aspek Geometri Jembatan 35 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK Perencanaan geometri merupakan bagian dari perencanaan jembatan yang dititik beratkan pada pengaturan tata letak jembatan sehingga menghasilkan jembatan yang aman, efisiensi pelayanan arus lalu lintas dan memaksimalkan ratio tingkat penggunaan atau biaya pelaksanaan. Perencanaan geometri jembatan sangat berkaitan dengan perencanaan geometri jalan yang dihubungkan oleh jembatan tersebut, sehingga elemen-elemen yang terdapat pada geometri jalan merupakan dasar dari perencanaan geometri jembatan. 2.6 Aspek Konstruksi Jembatan Tinjauan terhadap aspek konstruksi bertujuan untuk mendapatkan jembatan yang kuat, efektif dan efisien. Untuk itu diperlukan pertimbanganpertimbangan teknis dalam pemilihan bangunan atas jembatan adalah sebagai berikut: a) Konstruksi Kayu : Jembatan balok dengan lantai urug atau lantai papan, Gelagar kayu gergaji dengan papan lantai, Rangka lantai atas dengan papan kayu, Gelagar baja dengan lantai papan kayu. b) Konstruksi Baja : Gelagar baja dengan lantai plat baja, Gelagar baja dengan lantai beton komposit (bentang Sederhana dan menerus), Rangka lantai bawah dengan plat beton, Rangka Baja Menerus. c) Konstruksi Beton Bertulang : Plat beton bertulang, Pelat berongga, Gelagar beton ‘T’, Lengkung beton (Parabola), Konstruksi Beton Pratekan, Segmen pelat, Gelagar I dengan lantai beton komposit, bentang menerus, Gelagar ‘ T ‘ pasca penegangan, Gelagar boks menerus pelaksanaan kantilever. 2.7 Aspek Pembebanan Standar acuan yang dipakai pada perencanaan adalah RSNI T-02-2005, Badan Standarisasi Nasional yang mana telah mengacu pada SNI 03-1725-1989 “Tata Cara Perencanaan Pembebanan Jembatan Jalan Raya“, SNI 03-2883-1992“. Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Jembatan Jalan Raya“ dan Pd. T04-2004-B “Pedoman Perencanaan Beban Gempa untuk Jembatan”. Menurut spesifikasi Pembebanan Jembatan (RSNI 1-2004), beban dan gaya yang digunakan dalam perhitungan tegangan-tegangan dalam konstruksi adalah beban primer, beban sekunder dan beban khusus. 2.8 Pondasi jembatan 36 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK Dalam pemilihan tipe pondasi secara garis besar ditentukan oleh kedalaman tanah keras, karena untuk mendukung daya dukung tanah terhadap struktur bangunan jembatan yang akan direncanakan. Alternatif tipe pondasi yang dapat digunakan untuk perencanaan jembatan antara lain : Pondasi Dangkal (Pondasi Telapak) dan Pondasi Dalam yang terdiri dari beberapa macam yaitu : Pondasi sumuran, Pondasi bore pile dan Pondasi tiang pancang . 2.9 Idealisasi Perhitungan Struktur Atas Jembatan Analisis struktural mencakup idealisasi struktur sebagai model numerik dari mana respon unsur tersendiri dan susunan keseluruhan dapat dihitung. Idealisasi struktur yang baik adalah yang mewakili secara realistik perilaku aktual struktur dan kondisi batas pada aksi beban rencana. Respon unsur tersendiri yang diperlukan mencakup momen lentur, geser, gaya aksial, puntir, dan reaksi perletakan serta deformasi. Respons susunan keseluruhan akan mencakup kemantapan terhadap geser dan guling. Perhitungan respons sturktural dari bangunan atas dipersulit oleh interaksi rumit antara unsur dan plat lantai serta variasi kedudukan beban yang mungkin. 2.10 Konsep Perancangan Struktur Bawah Jembatan Abutment merupakan struktur bawah jembatan yang berfungsi sama dengan pilar (pier) namun pada abutment juga terkait dengan adanya faktor tanah. Adapun langkah perencanaan abutment adalah sama dengan tahapan perencanaan pilar, namun pada pembebanannya ditambah dengan tekanan tanah timbunan dan ditinjau kestabilan terhadap sliding dan bidang runtuh. Kolom adalah suatu elemen struktur yang memikul gaya normal tekan atau kombinasi dengan momen lengkung. Fungsi utama kolom adalah sebagai beban penyangga beban aklsial tekan vertikal dengan bagian tinggi yang tidak ditopang paling tidak tiga kali bagian kecil. Footing (Pile-cap) merupakan bangunan struktur yang berfungsi sebagai pemersatu rangkaian pondasi tiang pancang maupun bore pile (pondasi dalam kelompok), sehingga diharapkan bila terjadi penurunan akibat beban yang bekerja diatasnya pondasi-pondasi tersebut akan mengalami penurunan secara bersamaan dan juga dapat memperkuat days dukung pondasi tiang dalam tersebut. Pondasi berfungsi menyalurkan beban-beban dari bangunan bawah ke dalam tanah pendukung sehingga tegangan dan gerakan tanah dapat dipikul oleh struktur secara keseluruhan. Pondasi harus dirancang dengan kekuatan dan 37 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK kekakuan yang cukup sesuai dengan kondisi tanah. Jenis pondasi yang lazim digunakan dalam perencanaan Jembatan dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu pondasi dangkal (tapak dan sumuran), pondasi dalam meliputi Pondasi tiang pancang dan Bore Pile. III METODE PENULISAN 3.1 Melakukan Survei Lokasi Pembangunan Jembatan Dalam Penelitian ini survei lokasi pembangunan jembatan hidrolis akan dilakukan di Jalan Dewi Sartika Denpasar, dimana banyak terdapat para pejalan kaki yang akan melakukan penyebrangan badan jalan, misalnya dari Pertokoan Matahari Duta Plaza menuju Pertokoan Mall Denpasar RobinsonMc Donalds, begitu pula sebaliknya. 3.2 Alat Dan Bahan Dalam penelitian ini, pengujian akan di laksanakan di Laboratorium Fisika SMA (SLUA) Saraswati 1 Denpasar dan di Laboratorium Jalan Raya di Fakultas Teknik Sipil Universitas Mahasaraswati Denpasar, dengan menggunakan percobaan: 1. Pengujian Jumlah Kendaraan yang melewati Jalan Dewi Sartika Denpasar meliputi: Kendaraan Roda 2 (dua), Roda 4 (empat), Truck Roda 6 (enam) dan kendaraan berat lainnya. 2. Pengujian Jumlah para pejalan kaki yang akan melakukan penyebrangan di lokasi tersebut. 3. Pengujian kekuatan baja ringan yang akan digunakan sebagai konstruksi jembatan penyebrangan hirolis. Selain itu pula juga dilakukan persiapan untuk pembuatan Maket Konstruksi Jembatan penyebrangan, dengan menggunakan alat dan bahan berupa: Triplek 3 mm, Steorovum, aluminium yang menyerupai baja ringan, kayu serta alat-alat lainnya. 3.3 Uji Pendahuluan Untuk mendapatkan hasil yang relatif baik, maka perlu adanya pegujian alat yang digunakan. Pengujian dilakukan dengan cara mengadakan beberapa kali percobaan yang akan menghasilkan hubungan 38 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK antara prosentase hubungan tegangan (σ ) dan regangan (ε). Hubungan ini harus konsisten pada setiap percobaan. 3.4 Bagan Alir Dan Cara Penelitian Agar dalam melakukan penelitian dapat memberikan hasil yang optimal, maka perlu dibuat suatu bagan alir. Adapun bagan alir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.1. PERSIAPAN PENGAMBILAN DATA SURVEI a. Jumlah Kendaraan b. Jumlah Pejalan Kaki STUDI LITERATUR DATA PENGUJIAN SURVEI : - Jumlah Kendaraan Melintas - Jumlah Pejalan Kaki DATA PENGUJIAN KONSTRUKSI: - Kekuatan Konstruksi Baja Ringan ANALISA DATA HASIL PENULISAN AKHIR KARYA ILMIAH Gambar 3.1. Bagan Alir Penelitian IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengujian Survei Dimasa modernisasi seperti sekarang ini ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi kemacetan dan memberikan rasa aman bagi pejalan kaki untuk menyeberang. Karena arus lalu lintas yang semakin padat sehingga para pejalan kaki sering merasa terganggu dan mereka sering juga merasa tidak 39 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK aman. Karena itu harus berfikir bagaimana cara mengatasi permasalahan tersebut. Salah satunya dengan cara membangun jembatan penyebrangan. Dengan adanya jembatan penyebrangan, pejalan kaki akan merasa lebih aman dan nyaman serta memperkecil kemungkinan terjadi kecelakaan akibat padatnya arus lalu lintas. Survei yang akan dilakukan adalah dengan pengambilan sampel di kota Denpasar tepatnya di Jalan Dewi Sartika yang mulai di landa kemacetan. Dalam penelitian ini ingin melakukan inovasi baru dengan cara membangun Jembatan Penyebrangan Hidrolis yang berwawasan pariwisata budaya tradisional dan modern yaitu dengan cara memadukan kebudayaan bali dengan kebudayaan modern. Karena di Bali memiliki adat dan kebudayaan yang khas yaitu melasti dan upacara sehari sebelum Hari Raya Nyepi yaitu pengerupukan, dimana hari itu seluruh masyarakat Hindu Bali akan mengarak patung yang di anyam dari bambu yang merupakan simbolis untuk menetralisasikan roh-roh jahat dan energi negatif yang disebut Ogoh-ogoh. Dimana jembatan ini menggunakan pondasi beton bertulang, dan bajanya memakai baja ringan yang biasa dipakai untuk atap rumah. Jembatan yang direncanakan ini bersifat hidrolis, dimana ketika ada Upacara Adat maka pengkait Jembatan tersebut dibuka dan dilepas lalu dipasangkan pada tiang pengkait sebagai alat pengikat yang sifatnya sementara. Apabila Upacara Adat tersebut sudah selesai maka pengkait tersebut dilepas kembali dari tiang pengkait lalu dipasang kembali pada kepala jembatan, sehingga dapat digunakan kembali oleh para penyeberang jalan. Untuk mencegah kerusakan total perlu adanya konsentrasi penuh dan berusaha menyempurnakan pembuatan jembatan tersebut, untuk bentuknya dibuat sedemikian rupa agar membaur dengan lokasi yang akan di bangun dan finishing jaring-jaring selimutnya memakai atap fibber glass. 40 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK Tabel 4.1. Hasil Survei Jumlah Pejalan kaki JAM JUMLAH PEJALAN KAKI Hari ke - Hari ke Hari ke 1 -2 3 10 16 21 18 22 33 25 36 38 32 48 46 43 57 52 44 59 38 48 78 82 30 53 65 25 42 53 20 38 44 18 27 35 45 53 48 48 58 51 52 64 68 70 84 75 82 102 93 56 91 82 28 34 36 3 12 17 2 10 8 1 5 2 4 8 7 9 14 12 10 18 13 723 1029 1019 06.00-07.00 07.00-08.00 08.00-09.00 09.00-10.00 10.00-11.00 11.00-12.00 12.00-13.00 13.00-14.00 14.00-15.00 15.00-16.00 16.00-17.00 17.00-18.00 18.00-19.00 19.00-20.00 20.00-21.00 21.00-22.00 22.00-23.00 23.00-24.00 24.00-01.00 01.00-02.00 02.00-03.00 03.00-04.00 04.00-05.00 05.00-06.00 TOTAL RATARATA 30.125 42.875 42.4583 SATUAN Orang Orang Orang Orang Orang Orang Orang Orang Orang Orang Orang Orang Orang Orang Orang Orang Orang Orang Orang Orang Orang Orang Orang Orang Orang Orang Tabel 4.2. Jumlah Kendaraan Yang Melintas JUMLAH KENDARAAN YANG MELINTAS JAM SEPEDA MOTOR Hari ke 1 Hari ke 2 Hari ke 3 KENDARAAN RODA 4 Hari ke Hari ke Hari ke 1 2 3 KENDARAAN BERAT LAINNYA Hari ke Hari ke Hari ke 1 2 3 KENDARAAN RODA 6 Hari ke Hari ke Hari ke 1 2 3 06.00-07.00 60 61 70 22 11 8 2 3 1 1 2 2 07.00-08.00 50 48 76 30 21 9 4 2 3 1 1 2 08.00-09.00 70 76 80 38 22 17 3 6 4 1 1 1 09.00-10.00 80 90 77 39 32 22 4 4 6 1 2 2 41 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK 10.00-11.00 40 98 90 27 26 40 3 3 5 3 3 1 11.00-12.00 30 87 98 22 23 39 6 4 3 1 2 2 12.00-13.00 46 86 92 21 21 48 7 4 3 1 3 1 13.00-14.00 48 50 80 18 22 44 2 4 2 1 2 1 14.00-15.00 60 74 88 17 20 59 3 3 1 2 1 1 15.00-16.00 49 80 84 19 18 60 2 1 3 1 2 3 16.00-17.00 73 60 82 20 26 58 1 3 4 1 1 1 17.00-18.00 89 70 86 16 33 43 6 2 2 2 1 1 18.00-19.00 90 80 87 21 38 44 7 4 1 3 2 2 19.00-20.00 40 90 80 29 41 39 2 3 3 1 1 1 20.00-21.00 30 98 64 20 40 32 8 3 2 1 2 1 21.00-22.00 40 65 43 12 22 34 9 7 4 1 1 2 22.00-23.00 20 60 48 16 11 10 3 8 7 1 3 2 23.00-24.00 18 12 12 4 3 2 4 4 3 1 2 2 24.00-01.00 9 10 6 2 3 1 1 2 1 1 1 3 01.00-02.00 6 8 10 1 1 1 2 1 2 0 0 0 02.00-03.00 4 6 6 1 1 1 2 1 1 0 0 0 03.00-04.00 3 4 18 3 2 2 1 1 1 0 0 0 04.00-05.00 71 18 60 29 24 18 3 1 1 2 1 3 05.00-06.00 89 22 90 22 23 22 4 5 4 1 1 1 TOTAL RATARATA 1115 1353 46.45833 56.375 1527 63.625 449 484 653 89 79 67 28 35 35 18.70833 20.16667 27.20833 3.708333 3.291667 2.791667 1.166667 1.458333 1.458333 4.2 Data Pengujian Konstruksi Baja Ringan Rangka atap baja ringan diciptakan untuk memudahkan perakitan dan konstruksi. Meskipun tipis, baja ringan memiliki derajat kekuatan tarik yang tinggi yaitu sekitar 550 MPa, sementara baja biasa sekitar 300 MPa. Kekuatan tarik dan tegangan ini untuk mengkompensasi bentuknya yang tipis. Ketebalan baja ringan yang beredar sekarang ini berkisar dari 0,4 mm - 1 mm. Perhitungan kuda-kuda baja ringan amat berbeda dengan kayu, yakni cenderung lebih rapat. Semakin besar beban yang harus dipikul, jarak kuda-kuda semakin pendek. Dalam pembuatan konstruksi gedung Misalnya untuk genteng dengan bobot 40 kg/m2 jarak kuda-kuda bisa dibuat setiap 1,4 m. sementara bila bobot genteng mencapai 75kg/m2, maka jarak kuda-kuda menjadi 1,2 m. 4.2.1 Kelebihan Dan Kelemahan Baja Ringan Kelebihan baja ringan, antara lain: - Karena bobotnya yang ringan maka dibandingkan kayu, beban yang harus ditanggung oleh struktur di bawahnya lebih rendah. - Baja ringan bersifat tidak membesarkan api. 42 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK - Tidak bisa dimakan rayap. - Pemasangannya relatif lebih cepat. - Baja ringan nyaris tidak memiliki nilai muai dan susut. Kelemahan baja ringan, antara lain: - Kerangka atap baja ringan tidak bisa diekspos seperti rangka kayu, sistem rangkanya yang berbentuk jaring kurang menarik bila tanpa penutup plafond. - Karena strukturnya seperti jarring ini, maka bila ada salah satu bagian-bagian struktur yang salah hitung ia akan menyeret bagian lainnya maksudnya jika salah satu bagian kurang memenuhi syarat keamanan maka kegagalan bisa terjadi secara keseluruhan. - Rangka atap baja ringan tidak sefleksibel kayu yang dapat dibentuk berbagai profil. 4.2.2 Lokasi Yang Sesuai Untuk Membangun Lokasi yang cocok untuk membangun jembatan adalah tanah yang paling sedikit unsur hara , tidak berliat dan kemungkinan kecil terjadinya longsor. 1. Paling sedikit unsur hara Tanah yang memiliki tingkat unsur hara yang tinggi dapat menyebabkan pondasi jembatan bergeser ke sisi lain pada saat terjadinya curah hujan yang tinggi sehingga kemungkinan terjadinya longsor itu ada, akan tetapi tanah yang sedikit unsur haranya untuk mempermudah jembatan berdiri kokoh dan tidak bergeser saat terjadi hujan lebat , akan tetapi jembatan akan berdiri kokoh bila pondasi jembatan dibuat dengan menggunakan beton bertulang. 2. Tidak berliat Tanah yang berliat memungkinkan jembatan tidak bisa berdiri kokoh , karena saat jembatan dibuatkan pondasi beton bertulang tiangnya itu susah di tancapkan agar maw berdiri tegak , tiangnya itu pasti akan bergerak ke berbagai arah dan pada saat jembatan telah jadi maka jembatan tersebut bentuknya akan tidak sempurna, akan tetapi jembatan akan berdiri kokoh jika pondasinya dibuatkan dengan menggunakan rangka baja. 4.2.3 Analisa Kelayakan Prinsip Pemilihan Konstruksi Jembatan, antara lain: - Konstruksi sederhana (bisa dikerjakan masyarakat); - Harga murah (memanfaatkan material lokal); - Kuat dan tahan lama (mampu menerima beban); - Perawatan mudah dan murah (bisa dilakukan masyarakat); - Stabil dan mampu menahan gerusan air. Hal-hal yang harus diperhitungkan dalam pembuatan pondasi, antara lain: 43 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK - Berat bangunan yang harus dipikul pondasi berikut beban-beban hidup, mati serta beban-beban lain dan beban- beban yang diakibatkan gaya-gaya eksternal; - Jenis tanah dan daya dukung tanah; - Bahan pondasi yang tersedia atau mudah diperoleh di tempat; - Alat dan tenaga kerja yang tersedia; - Lokasi dan lingkungan tempat pekerjaan; - Waktu dan biaya pekerjaan. Pemilihan letak jembatan, antara lain: - Pilih bentang terpendek; - Hindari lokasi belokan sungai atau saluran air; - Tinggi abutment yang tinggi. 4.2.4 Hubungan Tegangan Dan Regangan Baja Karekteristik/ Sifat Mekanis Tipikal Material Baja Struktur, yaitu: OA – Daerah Elastis: - Hubungan Tegangan vs. Regangan Linear (garis lurus); - Apabila gaya tarik benda uji akan kembali ke panjang awal (deformasi perpanjangan hilang); - Material bersifat elastis/elastik. AB – Daerah Plastis : - Seolah-olah material mendapatkan penguatan sampai suatu nilai tegangan tertentu (dikenal dengan tengan batas/ultimate); - Hubungan tengangan vs. Regangan tidak linear (nonlinear); 44 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK - Apabila gaya tarik ditiadakan akan terjadi deformasi permanen yang lebih besar dibandingkan pada kondisi plastis. CD – Daerah Runtuh (Collapse) - Material kehitangan kekuatannya – deformasi tidak dapat dikontrol; - Material runtuh (collapse) – benda uji putus. Parameter matereial baja untuk desain struktur baja (British Standard) : - Modulus Elastisitas E= 205 kN/nm2 - Poisson’s Ratio u = 0,30 - Koef. Muai Panjang α = 12 * 10-6 per oCelcius. Parameter material baja untuk desain struktur baja (PPBBI – 1984) - Modulus Elastisitas E= 2,1 * 106 kg/cm2 - Poission’s Ratio u = 0,30 - Koef. Muai Panjang α = 12 * 10-6 per oCelcius. 4.2.5 Keunggulan Baja Sebagai Material Konstruksi 1. Perbandingan Kuat terhadap Berat (Strength to Weight Ratio) yang tinggi, antara lain: - Pemanfaatan material yang efisien dan optimum sehingga dapat diperoleh struktur ringan tapi kuat; - Bentang panjang dapat dibuat; - Sistem pondasi yang lebih murah. 2. Tingkat Ketelitian yang tinggi - Elemen struktur baja difabrikasi dengan presisi yang tinggi – dengan kontrol kualitas yang terjamin. 3. Derajat Kebebasan Desain yang tinggi. - Ketersediaan berbagai profil dan tingkat kekuatan membuat ruang lingkup penerapan yang sangat luas. 4.2.6 Tegangan Dasar / Tegangan Izin Hubungan tegangan dan regangan struktur/konstruksi, yaitu: 45 tipikal baja struktur untuk baja JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK Tegangan izin : dimana : F.K. adalah Faktor Keamanan Menurut PPBBI – 1984 nilai tegangan leleh untuk berbagai mutu baja adalah sebagai berikut : Tabel 4.3 Nilai tegangan leleh dan tegangan dasar / tegangan izin untuk berbagai mutu baja yang digunakan (PPBBI – 1984) 4.2.7 Bentuk Profil Baja Tipikal 46 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Dari analisa data hasil penelitian pengujian survei yang dilakukan di lokasi dan pengujian konstruksi baja ringan serta pembahasan, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui cara bagi pejalan kaki agar dapat menyeberang dengan keadaan aman maka perlu dibangun jembatan penyebrangan dari Pertokoan Matahari Duta Plaza menuju Pertokoan Mall Denpasar Robinson-Mc Donalds, begitu pula sebaliknya. 2. Untuk mengetahui metode penanggulangan yang dilakukan sebagai solusi bagi pejalan kaki untuk menyeberang di tengah padatnya arus kendaraan maka akan sangat tepat bila dibangun konstruksi jembatan dengan menggunakan baja ringan yang bersifat hidrolis. 3. Untuk merencanakan konstruksi jembatan hidrolis yang menggunakan baja ringan perlu memperhatikan lingkungan yang berwawasan pariwisata budaya. 4. Dari hasil penelitian dan perencanaan ini diharapkan agar dapat diketahui metode apa yang dapat digunakan untuk memecahkan kemacetan di Kota Denpasar. 5.2. Saran 1. Perlu diadakan penelitian lanjutan tentang swelling (pengembangan) potential dan swelling pressure pada tanah ekspansif apabila menggunakan konstruksi baja ringan. 47 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK 2. Perlu diadakan penelitian lanjutan tentang konsolidasi pada tanah. 3. Penelitian lapangan perlu diadakan sebagai terapan terhadap analisis serta analitis apabila menggunakan konstruksi baja ringan. DAFTAR PUSTAKA A.W. Bishop and D.J. Henkel, (1962), The Measurement Of Soil Properties In The Triaxial Test, Spotuswoode Ballantyne Ltd, London. Badan Standardisasi Nasional, (2002), Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Bangunan Gedung (SNI 03-1726-2002). Bandung : BSN. Badan Standardisasi Nasional (1989), Tata Cara Perhitungan Pembebanan Untuk Bangunan Rumah dan Gedung (RSNI 03-1727-1989). Bandung : BSN. Bowles Joseph E.,Pantur silaban, (1984), Analisa Dan Desain Pondasi (Terjemahan), Erlangga ,Jakarta. Bowles Joseph E.,(1992), Engineering Properties of Soil and Their Measurement, writing by Mc.Graw-Hill, Highstown. Braja M. Das, (1987), Advanced Soil Mechanics, McGraw – Hill Book Company, Inc., New York. Braja M. Das, Noor Endah, Indra Surya B. Mochtar, (1998), Principles Of Geotechnical Engineering, Erlangga, Jakarta. Craig R.F.dan Budi Susilo S, (1989), Mekanika Tanah (Terjemahan), Erlangga, Jakarta. Departemen Pekerjaan Umum (1971), Peraturan Beton Bertulang 1971. Bandung : Yayasan Penyelidikan Masalah Bangunan Gedung. Direktorat Penyelidikan Masalah Bangunan (1984), Peraturan Perencanaan Bangunan Baja Indonesia 1983. Bandung : Yayasan Penyelidikan Masalah Bangunan Gedung. Helianti, (2007), Stabilisasi Bangunan Agar Tahan Gempa, peneliti pada Pusat Teknologi Bioindustri, BPPT. Herman Wahyudi, (1996), Perilaku Mikroskopik Tanah, Diktat Program S2 Geoteknik – Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. James K. Mitchell, (1976), Fundamentals of Soil Behavior, John Wiley & Sons, Inc., New York. Oentoeng, Ir. (1999), Konstruksi Baja. Edisi Kedua. Yogyakarta : Andi.198 Robert F. Craig , Budi Susilo Soepandji, (1986), Mekanika Tanah, Department of Civil Engineering University of Dundee, Erlangga, Jakarta. Utomo, (2007), Trisupasita, Suara Merdeka-Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 48 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK ANALISA SETLEMEN CARA ANALITIS DAN METODE FINITE ELEMENT PADA TANAH LUNAK DENGAN SOFTWARE SEBAGAI ALAT BANTU Oleh : I Wayan Giatmajaya ABSTRAK Meningkatnya penggunaan lahan untuk pembangunan yang menyangkut pembangunan untuk pemukiman, perkantoran, transportasi dan pembangunan untuk menunjang perkembangan ekonomi seperti misalnya pabrik, lapangan udara, pasar, baik pasar tradisional maupun modern. Dari sekian banyak pertumbuhan pembangunan di segala bidang, tidak tertutup kemungkinan penggunanaan lahan yang kondisi tanahnya yang tidak memenuhi secara teknis sudah semakin sulit sehingga mau tidak mau pembangunan yang dilakukan pada tanah yang sulit seperti tanah yang mempunyai daya dukung kecil, penurunan besar dan proses penurunannya sangat lama. Dengan demikian pembangunan supaya bisa dilakukan perlu diadakan perbaikan tanah yang menyangkut untuk meningkatkan daya dukung tanah, perhitungan penurunan/settlement secara akurat dan tepat. Supayatercapai hal tersebut, perlu diadakan pengujian perhitungan dengan beberapa cara seperti misalnya menghitung penurunan dengan cara analitis diuji dengan cara menggunakan program. Dari kedua cara yang kami lakukan ini hasilnya hampir sama. Kata kunci : Tanah sulit, settlement, pembangunan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Meningkatnya pembangunan , secara tidak langsung berpengaruh terhadap berkurangnya lahan tempat bangunan dilaksanakan. Tidak tertutup kemungkinan bangunan tersebut harus dibangun pada lokasi yang tanahnya sangat jelek dalam artian sifat mekanis tanah tersebut sangat rendah yang menyangkut daya dukung tanah kecil, penurunan / settlement yang besar seperti misalnya tanah lunak, sangat lunat dan lempung . Terhadap kondisi-kondisi seperti ini perlu dilakukan perbaikan tanah untuk meningkatkan daya dukung tanah tersebut. Metode yang digunakan antara lain dengan pemadatan , mengganti tanah yang jelek dengan tanah yang lebih baik , preloding , cerukcuk ,stune column dan geotekstile. Dalam studi ini, penulis menyajikan perbaikan tanah dengan metode preloading yang ingin didapatkan adalah besarnya daya dukung tanah , penurunan yang terjadi dan waktu penurunan, dengan cara finite element dengan soft ware plaxis sebagai alat bantu. 1.2. Permasalahan Penyempurnaan hasil perhitungan secara analitis dengan metode finite elemant dengan soft ware plaxis sebagai alat bantu . 49 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK 1.3. Tujuan Untuk mendapatkan hasil perhitungan yang tingkat ketelitiannya lebih baik . 1.4. Manfaat a) Memberikan alternative kepada para akademisi untuk perhitungan daya dukung tanah, penurunan /settlement dan waktu penurunan akibat preloading. b) Sebagai bahan kajian untuk kesempurnaan perhitungan. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perhitungan penurunan / settlement Rumus yang dipakai dalam perhitungan settlement akibat timbunan tanah dibedakan akibat timbunan tanah dibedakan menjadi dua bagian yaitu: 1. Tanah normally consolidated (NC Soil)  C Sci =  c 1 + e0 log p 0' + ∆p   Hi p 0'  2. Tanah over Consolidated (OC Soil ) Sci  Cs Pc Cc P0' + ∆p  =  log ' + log  Hi P0 1 + e0 Pc'  1 + e0 Dimana: Sci = pemampatan konsolidasi pada lapissan tanah yang ditinjau, lapisan ke i. Hi = tebal lapisan tanah ke i eo = angka pori awal dari lapisan tanah ke i Cc = Compresssion Index dari lapisan tanah tersebut. (lapisan ke i ) Cs = Swelling Index dari lapisasn tanah tersebut. (lapisan ke i ) po’ = tekanan tanah vertical effective di suatu titik ditengah-tengah lapisan ke i akibat beban tanah sendiri di atas titik tersebut di lapangan ( = effective overburden pressure ) pc = effective past overburden pressure , tegangan konsolidasi effective dimasa lampau yang lebih besar dari pada po’ (dapat dilihat dari kurva konsolidasinya). ∆p = penambahan tegangan vertical di titik yang ditinjau ( di tengah lapisan ke i ) akibat beban timbunan jalan yang baru. 50 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK Untuk menghitung besaran ∆p dapat digunakan grafik imfluence , I , seperti pada gambar 1 ( dari NAVFACDM- 7 ,1970) ∆p = σz = 2 x Ii x q Dimana : q = tegangan vertical efektif dipermukaan tanah akibat timbunan / embakment. Gambar 1 2. Menghitung penurunan / settlement Waktu penurunan dapat dihitung dengan rumus : t= Tv . H 2 Cv dimana : H = tebal seluruh lapisan lunak dibawa embakment seperti dilihat Gb.2 Cv = koefisien konsolidasi ( m2/th) Tv = derajat konsolidasi (%) Untuk mempercepat proses konsolidasi bisa dipakai vertikal drain dengan rumus 51 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK  D2   . (2.F(n)) t =  ï£ 8.Ch   1    −   ï£ 1 − Uh  dimana: − t = waktu yang diperlukan untuk mencapai U h D = diameter lingkaran Ch = koefisien konsolidasi aliran horizontal F(n) = faktor tahanan akibat jarak antara PVD − Uh = derajat konsolidasi arah horizontal Seperti GB.3 H LAPISAN TANAH LEMBEK LAPISAN TANAH KEDAP AIR KONSOLIDASI DALAM ARAH VERTIKAL Gambar 2 H LAPISAN TANAH LEMBEK LAPISAN TANAH KEDAP AIR KONSOLIDASI DALAM ARAH RADIAL Gambar 3 3. Menghitung F ( n ) Fungsi F ( n ) Merupakan Fungsi hambatan akibat jarak antara titik pusat PVD. Oleh Hansbo ( 1979 ) harga F ( n ) didefinisikan sebagai berikut :  n2   F ( n ) =  2 1  ï£n −n   ln(n) −   3n 2 − 1    , atau 2 ï£ 4n   52 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK  n2   F ( n ) =  2 1  ï£n −n   3  1 ln(n) − 4 +  4n 2 ï£ ï£°    Dimana : n = D/dw dw = diameter equivalent dari vertical drain ( equivalan terhadap bentuk lingkaran) Pada umuamnya n > 20 sehingga dapat dianggap 1/n2 = 0 dan  n2  n 2 − n1 ï£ ( =1;  )  Jadi : F ( n ) = ln(n) – ¾, atau F ( n ) = ln(D/dw) – ¾ Hasbo (1979) menentukan waktu konsolidasi dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :  D2   . (F(n) + Fs + Fr). ln t =  ï£ 8.Ch   1    −   ï£ 1 − Uh  S S D S S S S a). Pola susunan bujur sangkar D = 1.13 . S 53 S JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK S S S S S S S S 0.866.s S 0.866.s S 0.866.s 0.866.s b). Pola susunan segitiga D = 1.05 . S Gambar 4 III. PEMBAHASAN Struktur yang dibangun pada lapisan tanah lunak yang sangat tebal mungkin memerlukan perbaikan tanah, sehingga tanah tersebut mampu mendukung bangunan diatasnya seperti contoh struktur jalan yang dibangun diatas timbunan, yang terletak pada lapisan tanah lunak untuk menghindari keretakan permukaan jalan akibat penurunan maka perlu dihitung penurunan maxsimum yang terjadi. (kalimat terlalu panjang, sehingga topik tidak jelas atau banyak topik) Contoh timbunan diatas tanah lunak seperti gambar dibawah ini : 43 m 7m LWS -1 h=7m 7m 86 m Sirtu A o 3 A ? = 1,8 t/m ; o = 30 ; C = 1 t/m2 1000 m 7m 3 ? = 1,50 t/m ; o = 0 ; Cc = 0,80 2 z Yang = 30 m dihitung antara lain : Cu = 0,0 t/m ; eo = 1,30 ; Cv = 5 m2/th z 1. besarnya penurunan dengan derajat penurunan 90 % ( T90 ) 2. tegangan yang terjadiPOT (σ )A - A 3. waktu penurunan ( t ) 100 m Menghitung penurunan : menghitung penurunan akibat timbunan ditabelkan seperti dibawah ini: 54 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Tebal Lapisan H (m ) 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 Z (m) 0.5 1.5 2.5 3.5 4.5 5.5 6.5 7.5 8.5 9.5 10.5 11.5 12.5 13.5 14.5 15.5 16.5 17.5 18.5 19.5 20.5 21.5 22.5 23.5 24.5 25.5 26.5 27.5 28.5 29.5 eo Cc 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 0.80 0.80 0.80 0.80 0.80 0.80 0.80 0.80 0.80 0.80 0.80 0.80 0.80 0.80 0.80 0.80 0.80 0.80 0.80 0.80 0.80 0.80 0.80 0.80 0.80 0.80 0.80 0.80 0.80 0.80 γ (t/m2) 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 1.5 p’o (t/m2) 0.250 0.750 1.250 1.750 2.250 2.500 3.000 3.500 4.000 4.500 4.750 5.250 5.750 6.250 6.750 7.250 7.750 8.250 8.750 9.250 9.750 10.250 10.750 11.250 11.750 12.250 12.750 13.250 13.750 14.250 I 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.50 0.49 0.49 0.49 0.49 0.49 0.49 0.48 0.48 0.47 0.47 0.47 0.47 0.47 ∆p ∆p+po’ Sc Sc(m) (t/m2) (t/m2) (m) coum 6.60 6.850 0.500 0.500 6.60 7.350 0.345 0.845 6.60 7.850 0.278 1.122 6.60 8.350 0.236 1.358 6.60 8.850 0.207 1.565 6.60 9.100 0.195 1.761 6.60 9.600 0.176 1.936 6.60 10.100 0.160 2.096 6.60 10.600 0.147 2.244 6.60 11.100 0.136 2.380 6.60 11.350 0.132 2.511 6.60 11.850 0.123 2.634 6.60 12.350 0.115 2.750 6.60 12.850 0.109 2.859 6.60 13.350 0.103 2.962 6.60 13.850 0.098 3.060 6.60 14.350 0.093 3.153 6.47 14.718 0.087 3.240 6.47 15.218 0.084 3.324 6.47 15.718 0.080 3.404 6.47 16.218 0.077 3.481 6.47 16.718 0.074 3.555 6.47 17.218 0.071 3.626 6.34 17.586 0.067 3.693 6.34 18.086 0.065 3.758 6.20 18.454 0.062 3.820 6.20 18.954 0.060 3.880 6.20 19.454 0.058 3.938 6.20 19.954 0.056 3.994 6.20 20.454 0.055 4.049 Total penurunan = 4. 049 M Menghitung waktu penurunan . t= T90% H dr2 Cv H = 30 m , t= T90% = 0.848 0.848 x 30 2 = 152,64 th 5 HASIL PERHITUNGAN BERDASARKAN METODE ELEMEN HINGGA DENGAN SOFF WARE PLAXIS SEBAGAI ALAT BANTU. SEPERTI DIBAWAH INI 55 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK 56 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK 57 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK 58 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK IV. P E N U T U P 1. Saran Hendaknya dalam setiap perencanaan Struktur bangunan , penyelidikan tanah sebagai syarat harus dilakukan untuk menghindari hal-hal yang tidak kita inginkan . 2. Kesimpulan 59 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK 1. terjadi perbedaan hasil perhitungan secara analisis dengan finite element dengan soff ware sebagai alat bantu 2. perhitungan dengan finite element dengan soff ware sebagai alat bantu waktu penurunan tidak bisa diketahui sedangkan dengan cara analisis dapat dihitung 3. penurunan yang dapat dibaca dengan cara finite element dengan soff ware flaxis pada setiap tahapan penimbunan , sedangkan dengan cara analisis , bisa dihitung penurunan total begitu pula pada setiap tahapan penimbunan 4. begitu pula terhadap tegangan yang terjadi. Daftar Pustaka Braja M Das. (1984), Principles Of Foundation Engineering. California State University, Sacramento Indra Surya & Mochtar (1996), Pembangunan Jalan Di Atas Tanah Lunak Dengan Vertikal Drain. ITS Surabaya James K. Mitchell (1976), Fundamentals Of Soil Behavior. University of California Berkeley Suyono Sosrodarsono (1983), Mekanika Tanah Dan Teknik Pondasi. PT. Pradnya Paramita. Jakarta 60 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK KAJIAN TERHADAP MEKANISME PERIZINAN PEMANFAATAN LAHAN TEBING TUKAD AYUNG KEDEWATAN, UBUD, GIANYAR Oleh : Tjokorda Istri Praganingrum, ST., MT ABSTRAK Pemerintah melalui berbagai peraturan keruangan di daerah telah menetapkan bahwa Daerah Aliran Sungai (DAS) dikategorikan sebagai bagian dari kawasan yang dilindungi. Keputusan ini secara substantif didasari oleh pertimbangan DAS sebagai daerah penyangga yang keberadaannya harus dijaga untuk mendukung kestabilan area disekitarnya. Peraturan Daerah Provinsi Bali No 16 Tahun 2009, pasal 50 ayat 6 telah menetapkan bahwa pembangunan di sepanjang jurang di tepian sungai hanya diizinkan pada radius sekurangkurangnya dua kali kedalaman jurang yang dihitung dari tepi jurang kearah bidang datar. Pada kedalaman yang dangkal, maka radius minimal yang diizinkan adalah 11 meter. Dalam konteks pembangunan di Bali, DAS khususnya daerah tebing telah berkembang menjadi daerah yang dilirik para pemilik modal sebagai lokasi yang menyediakan site potensial untuk pembangunan amenitas kepariwisataan. Ini sudah terbukti dengan dibangunnya beragam fasilitas kepariwisataan di atas lahan tebing di sepanjang Tukad Ayung di Kedewatan (LTTAK), Ubud. Lahan yang sebelumnya merupakan lahan tidak tersentuh, saat ini menjadi lahan dengan nilai ekonomi yang tinggi di Ubud. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitiatif. Analisis ini akan diarahkan pada uraian deskriptif mengenai bagaimana mekanisme perizinan berpengaruh terhadap fungsi awal lahan, yaitu kawasan lindung. Dengan menggunakan teknik deskriptif analitis dapat dikembangkan pendeskripsian dan sekaligus interpretasi terhadap kondisi yang ditemui di lapangan. Hasil penelitian ditemukan bahwa pemanfaatan LTTAK banyak didominasi oleh aktivitas budi daya khususnya aktivitas kepariwisataan. Akomodasi berbintang yang dijadikan sebagai objek penelitian berstatus legal karena telah memiliki izin lengkap. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa terjadinya kerancuan kebijakan yang tidak tegas dalam penerapan pengendalian kawasan. Kata kunci : pariwisata, perizinan, tebing I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelaksanaan studi ini dilatarbelakangi oleh terjadinya satu dilema yang sangat sering dihadapi dalam perencanaan keruangan di daerah pada saat ini, yaitu konversi kawasan lindung menjadi area terbangun. Mengambil studi kasus pemanfaatan lahan tebing di sepanjang Tukad Ayung, di Desa Kedewatan (LTTAK), Ubud, Gianyar, studi ini mengkaji bagaimana mekanisme perizinan yang terjadi sehingga kondisi ini dimungkinkan. Kajian 61 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK ini bermuara pada usaha mempertanyakan pihak-pihak terkait jika posisi LTTAK sebagai kawasan lindung perlu ditinjau ke depannya dengan melihat pola mekanisme perizinan yang terjadi. Hal ini dilakukan pada kerangka tujuan yang berorientasikan kepada penjagaan eksistensi keruangan strategis yang mengemban misi proteksi, baik terhadap keberlanjutan elemen-elemen spasial pendukung tatanan fisik-alamiah maupun sosialbudaya. LTTAK seperti telah dijelaskan sebelumnya, termasuk ke dalam kawasan lindung setempat, yang dalam pemanfaatannya telah diatur dalam berbagai peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Pemanfaatan LTTAK, harus melalui berbagai mekanisme yang telah ditetapkan, seperti kesesuaian dengan arahan tata guna lahan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) baik propinsi maupun kabupaten, maupun dokumen-dokumen lain yang mengatur mengenai pemanfaatan lahan serta proses perizinan berkaitan dengan lokasi, peruntukan lahan, konstruksi bangunan dan kualitas lingkungan. Selain daripada itu, mekanisme perizinan juga tidak terlepas dari peraturan lokal yang berlaku yaitu awig-awig desa. Berdasarkan gambaran riil di lapangan dimana LTTAK saat ini telah banyak dimanfaatkan untuk fasilitas kepariwisataan, maka perlu dilakukan penelitian mengenai bagaimana relevansi keberlanjutan LTTAK sebagai kawasan penyangga atau kawasan lindung di masa yang akan datang. Hal ini memiliki keterkaitan dengan mekanisme perizinan legal dari perencanaan spasial daerah yang pada kenyataannya “mengizinkan” terjadinya pembangunan di atas LTTAK. Pemanfaatan lahan tebing yang berlebihan, tanpa mengindahkan fungsi utamanya untuk keberlangsungan lingkungan serta fungsi-fungsi awal lainnya, memunculkan kekhawatiran akan timbulnya konflik dan permasalahan yang akan terus berkelanjutan. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan paparan yang telah diuraikan pada latar belakang sebelumnya, dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pemanfaatan lahan di sepanjang kawasan Tebing Tukad Ayung Kedewatan? 2. Bagaimana pola mekanisme perizinan terkait pemanfaatan lahan yang diterapkan di sepanjang kawasan lindung Tebing Tukad Ayung Kedewatan? 1.3. Tujuan Penelitian 62 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan umum untuk mengetahui bagaimana pemanfaatan lahan tebing di Kedewatan, Ubud saat ini dan tujuan khusus untuk mengkaji bagaimana kesesuaian mekanisme perizinan yang seharusnya dilakukan dengan yang terjadi saat ini pada LTTAK. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat menjadi sumber informasi dan sumbangan pengetahuan bagi kalangan akademisi, serta menambah referensi pustaka bagi kegiatan penelitian selanjutnya. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan kepada pemerintah, masyarakat dan pelaku ekonomi (stakeholder) terkait dalam penyusunan kebijakan strategis pengelolaan lahan tebing untuk perkembangan pemanfaatan lahan selanjutnya. 1.5. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian sesuai dengan judul terletak di Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar. Secara administrasi Desa Kedewatan memiliki luas 4,35 km2. Desa Kedewatan memiliki batas-batas antara lain: Utara : Kecamatan Payangan Timur : Tukad Oos Selatan : Desa Sayan Barat : Tukad Ayung Lokasi spesifik yang di teliti adalah kawasan tebing dan tepian Tukad Ayung Kedewatan. Tukad Ayung memiliki lebar 3,4 m-7,3 m dengan lebar permukaan antara 10,7 m-16,8 m. Daerah tepian tukad cenderung berhimpitan dengan tebing yang ada pada kawasan LTTAK. 63 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK II. Gambar 1 Lahan Tebing Tukad Ayung Kedewatan sumber:Peta Monografi Desa Kedewatan; LANDASAN TEORI Hasil Pengamatan, 2011 Dalam menganalisis hal-hal yang sudah dipaparkan dalam rumusan permasalahan di penelitian ini, dipergunakan beberapa aspek yang memiliki keterkaitan diantaranya mengenai pemanfaatan lahan, pembangunan kepariwisataan berkelanjutan serta aspek terkait mekanisme perizinan. 2.1. Pemanfaatan Lahan dan Beragam Kepentingan yang Mempengaruhi Dalam mempelajari faktor-faktor penentu dalam pemanfaatan lahan perlu diidentifikasikan tiga kelompok besar yang berperan secara umum dan substansial yaitu faktor ekonomi yang berorientasikan pada pengembangan modal finansial (profit making values) sebagai salah satu faktor penentu dalam kegiatan penataan lahan di suatu kawasan, faktor pemenuhan kebutuhan dasar dan menjaga keberlangsungan hidup masyarakat umum (public interest values) serta faktor nilai-nilai sosial yang bertumbuh kembang di daerah di mana lahan itu berada (socially rooted values) terkait dengan proses penataan lahan di suatu kawasan (Suartika, 2010: 40). Chapin juga memaparkan bahwa dalam pemanfaatan lahan terdapat setidaknya empat kelompok yang terlibat dalam proses perencanaan pemanfaatan lahan. Keempat kelompok tersebut adalah (a) pemerintah; (b) pihak–pihak yang berhubungan dengan lahan, pasar, dan ekonomi; (c) pihak yang terkait dengan kepentingan tertentu dan (d) pihak perencana pemanfaatan lahan. 2.2. Pengendalian Pemanfaatan Lahan Pengendalian pemanfaatan lahan dapat dijelaskan sebagai upaya mengatur kegiatan pembangunan yang meliputi pelaksanaan kegiatan pendirian bangunan, perekayasaan, pertambangan maupun kegiatan serupa lainnya dan atau mengadakan perubahan penggunaan pada bangunan atau lahan tertentu. Dalam hal ini pengendalian pemanfaatan lahan merupakan mekanisme untuk memastikan rencana tata ruang dan pelaksanaannya telah berlangsung sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan (Zulkaidi, 2011: 7). PEMERINTAH Negara Daerah Lokal64 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK Gambar 2 Teori Tentang Aturan Permainan Sumber: Suartika, 2010: 41 Penyelenggaraan Penataan IZIN PEMANFAATAN RUANG Pengaturan Pembinaan Pelaksanaan Dikeluarkan dan/atau diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang benar Perencanaan Pemanfaata Diperoleh melalui prosedur Penyusunan Program yang benar tetapi kemudian Penataan terbukti tidak sesuai dengan R RTRW Penetapan Pembiayaan Pengawasan Batal demi hukum Pengendalia Peraturan Zonasi Dapat Perizinan Insentif & Disintensif Penggantian/gant METODE Akibat PENELITIAN Penatagunaan Evaluasi adanya perubahan Sanksi i kerugian yang lahan, air, RTRW 3.1. Sumber Data layak Gambar 3 udara dan Sda Framework of Control Sumber data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Sumber: Denny Zulkaidi 2010:17 Gambar 4 Diagram Pemanfaatan 1. Data primer, yaitu dataIzin yang diperolah ruang langsung dari sumber data primer. Sumber: Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum Sumber data primer ini 2009: dipilih 20 secara purposif yaitu Bappeda, Dinas III. Pariwisata, Dinas PU, Badan Pelayanan Perizinan Terpadu, dan Badan Lingkungan Hidup, pihak pemerintah desa, serta para owner/investor dari 65 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK pembangunan fasilitas dan akomodasi wisata di tebing Desa Kedewatan. Sumber data juga dipilih secara snowball dalam perkembangan penelitian di lapangan. 2. Data sekunder, yaitu data yang diperolah dari sumber data sekunder, yang tidak secara langsung diberikan kepada pengumpul data, yaitu melalui orang lain ataupun data literatur berupa dokumen, majalah, selebaran pariwisata, browsing internet, buku-buku serta arsip yang berkaitan dengan pembahasan, sehingga dapat dijadikan pedoman atau acuan dalam penelitian ini. 3.2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan secara bertahap pada dasarnya berupaya untuk menghasilkan data deskriptif dari perilaku yang dapat diamati. Dengan demikian, pendekatannya diarahkan pada situasi dan individu secara menyeluruh. Proses pengumpulan data kualitatif bersifat dinamis, menggunakan berbagai teknik seperti wawancara mendalam, pengamatan dan dokumentasi untuk menyesuaikan dengan karakteristik jenis dan sumber data, juga untuk dipilih dan dan digunakan dengan maksud agar data yang diperoleh teruji validitasnya (Sugiyono, 2011:222) 3.3. Analisis Data Teknik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif. Analisis ini akan diarahkan pada uraian deskriptif mengenai bagaimana mekanisme perizinan berpengaruh terhadap fungsi awal lahan, yaitu kawasan lindung. Menggunakan teknik deskriptif analitis dapat dikembangkan pendeskripsian dan sekaligus interpretasi terhadap kondisi yang ditemui di lapangan. IV. PEMBAHASAN 4.1. Eksisting Pemanfaatan Lahan Tebing Tukad Ayung Kedewatan (LTTAK) Mengikuti pola pada klasifikasi pemanfaatan lahan yang ditawarkan oleh Chapin maka eksisting pemanfaatan lahan ada di LTTAK, dikelompokkan menjadi tiga kategori diantaranya pemanfaatan lahan untuk mengakomodasi fungsi ekologi yaitu keberadaan lahan hijau, fungsi sosial budaya dengan keberadaan pura dan sumber air suci serta fungsi ekonomi yaitu fasilitas-fasilitas yang berkaitan dengan aktivitas kepariwisataan. Adanya lahan sawah maupun tegalan memiliki fungsi ganda yaitu fungsi ekologi yang memiliki 66 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK keterkaitan dengan fungsi ekonomi. Pemanfaatan lahan di Tebing Tukad Ayung dapat dilihat pada gambar berikut ini: Peta Orientasi Lokasi Gambar 5 Pemanfaatan Lahan Eksisting Pada Kawasan Penelitian Sumber : Bappeda Kab. Gianyar dengan modifikasi, 2012 Keterangan: = Lahan terbuka = Akomodasi wisata = Lahan Sawah Peta Orientasi = Stopper Lokasi Rafting = Fasilitas Budaya = Penambangan Pasir Keterangan 0 10 : 50 100 Sempadan Sungai Sempadan Tebing 0 100 500 676 Gambar Sempadan Sungai dan Sempadan Tebing pada LTTAK Sumber : Bappeda Kab. Gianyar dengan modifikasi 2012 1000 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK 4.2. Mekanisme Perizinan dan Pengendalian Pemanfaatan LTAAK Menurut review RTRW Kabupaten Gianyar pemanfaatan lahan di Kabupaten Gianyar secara umum berpedoman kepada RTRW Kabupaten Gianyar terkait dengan pola pemanfaatan lahan kawasan sehingga kendali terhadap pemanfaatan lahan dapat dilakukan dengan efektif. Proses perizinan pemanfaatan lahan secara keseluruhan seperti pengurusan berbagai izin seperti Izin Melakukan Pembebasan Lahan, Izin Melakukan Kegiatan Industri berdasarkan Undang-Undang Gangguan (Izin HO), Izin Prinsip dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) saat ini dibuat di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kabupaten Gianyar. Berdasarkan hasil penelitian pihak BPPT menyatakan proses birokrasi pengajuan izin oleh masyarakat, diupayakan akan diselesaikan dalam jangka waktu yang cukup singkat yaitu 15 hari untuk 1 paket perizinan, dengan syarat seluruh ketentuan yang ada sudah disiapkan sebelumnya oleh pemohon. Untuk kawasan tebing Tukad Ayung, dinyatakan bahwa pemohon akomodasi wisata harus melengkapi setiap perizinan dimulai dari izin prinsip, izin lokasi dan izin membangun bangunan. Izin pemanfaatan lahan untuk akomodasi wisata keluar setelah dilakukan pemeriksaan oleh anggota tim gabungan dari beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait. Sehubungan dengan RDTR Kawasan Pariwisata Ubud, pemanfaatan lahan diatur dalam sistem rujukan rencana. Dalam sistem ini Bapedda Kabupaten Gianyar ditunjuk sebagai instansi yang menerbitkan Surat Keterangan Rujukan Rencana (KRR) atas nama Pemerintah Kabupaten Gianyar dengan maksud sebagai kendali terhadap pemanfaatan lahan dapat dilakukan efektif. KRR dijadikan acuan untuk penerbitan berbagai izin yang ada. Selain itu juga dapat menjadi acuan untuk penerbitan berbagai kebijaksanaan dalam penegakan hukum, seperti Surat Perintah Penghentian Pekerjaan Bangunan dan Surat Perintah Bongkar. Bagan pengelolaan pemanfaatan ruang akan dapat dilihat pada Gambar 7. Rencana Pemanfaatan Lahan oleh Masyarakat atau Instansi Bappeda dibantu Tim Koordinasi Tata Ruang dan Unsur Terkait di Daerah Kabupaten KRR (Keterangan Rujukan Rencana) 68 Penghentian Kegiatan Proses Pengurusan Izin (Izin HO, IMB dll) Pelaksanaan Fisik JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK Gambar 7 Bagan Pengelolaan Pemanfaatan Ruang Sumber : RDTR Kawasan Pariwisata Ubud Lengkap Diagendakan Setuju Pengecekan Administrasi dan Gambar di Loket KPT Pemohon Laporan Hasil Peninjauan Lapangan ke Bupati Peninjauan Lapangan Oleh Tim Tidak Lengkap Dikembalikan Kepada Mekanisme/Tata Pemohon EXPOSE UPT Ditolak Laporan EXPOSE Setuju Ditolak Gambar 8 Cara Permohonan Izin Lokasi di Kabupaten Gianyar Sumber : Peraturan Bupati Gianyar Nomor 89 Tahun Surat 2005 Lengkap Pengecekan Administrasi dan Gambar di Loket KPT Pemohon Penolakan Setuju Diagendakan SK Izin Proses di Lokasi KPT Laporan Hasil Peninjauan Lapangan ke Bupati Peninjauan Lapangan Oleh Tim Tidak Lengkap Ditolak Dikembalikan Kepada Pemohon Gambar 9 Surat Pariwisata di Mekanisme/Tata Cara Permohonan Persetujuan Prinsip Usaha Sarana Penolakan Kabupaten Gianyar SK Izin Sumber : Peraturan Bupati Gianyar Nomor 89 Tahun 2005 Prinsip Lengkap Pemohon Tidak bermasalah Diagendakan Proses di DPU Pengecekan Administrasi dan Gambar di Loket KPT Peninjauan Lapangan Oleh Tim Rapat Evaluasi Tim Tidak Lengkap Hunjuk Bupati Bermasalah Dikembalikan Kepada Pemohon IMB Setuju ditolak ditolak Gambar 10 Surat Mekanisme/Tata Cara Permohonan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di Kabupaten penolakan Gianyar Sumber : Peraturan Bupati Gianyar Nomor 89 Tahun 2005 69 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK 4.3. Implementasi Kebijakan dalam Pemanfataan Lahan Tebing Tukad Ayung Kedewatan (LTTAK) Berdasarkan hasil penelitian pada kawasan, seluruh akomodasi wisata berupa hotel berbintang yang terdapat di tebing, sudah memiliki izin. Acuan yang digunakan dalam proses keluarnya izin pada kawasan, selain berdasarkan arahan RTRW Kabupaten dan RDTR Kawasan Pariwisata Ubud juga mengacu kepada RTRW Provinsi Bali, yang mengatur mengenai pembangunan pada kawasan tebing dengan arahan sempadan sungai dan tebing. Dalam Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Pariwisata Ubud, LTTAK termasuk ke dalam sub pengembangan Kedewatan bersama dengan Desa Keliki, di mana untuk pengembangan pariwisata yang dilakukan adalah dengan mendirikan akomodasi wisata berupa kawasan hotel berbintang empat dan lima yang diarahkan pada kawasan tebing sekitar Tukad Ayung. RDTR Kawasan Pariwisata Ubud menjelaskan bahwa arahan tersebut sesuai dengan persyaratan yang dibutuhkan untuk lokasi akomodasi wisata yaitu suasana yang tenang, sejuk, aksesibiltas memadai serta view yang indah. RDTR Kawasan Pariwisata Ubud, selain menyatakan bahwa LTTAK termasuk ke dalam rencana pengembangan kawasan hotel berbintang, juga menjelaskan kawasan ini termasuk ke dalam kawasan lindung yang terdiri dari kawasan sempadan sungai dan sempadan tebing. Kawasan sempadan tebing di tepi Tukad Ayung khususnya Br. Tanggayuda dan Br. Kedewatan ketentuan yang dipersyaratkan adalah sempadan dengan lebar dua kali kedalaman tebing. Mengacu kepada pernyataan Sekertaris Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Gianyar yang menyatakan: “sering terjadi pro dan kontra mengenai pemanfaatan lahan yang terjadi, tetapi pemanfaatan yang ada saat ini khususnya sehubungan dengan aktivitas pariwisata semua sudah melalui mekanisme yang berlaku” Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa mekanisme perizinan yang harus dilalui oleh pemohon yang dalam hal ini adalah pelaku wisata atau pemilik modal, sesuai dengan kebijakan yang berlaku. Kebijakan tersebut mengarahkan bahwa LTTAK termasuk ke dalam kawasan pariwisata tetapi tidak berdasarkan aturan bahwa LTTAK merupakan kawasan lindung. Mekanisme perizinan seperti yang dipaparkan pada Gambar 8 hingga 10, menggambarkan bahwa ada proses pengecekan administrasi dan gambar, setelah melalui proses tersebut dilanjutkan dengan pengecekan ke lapangan oleh tim (terdiri dari gabungan SKPD). Pada proses ini tampaknya terjadi sedikit pengecualian terkait dengan sempadan 70 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK tebing. Ada pendapat dari beberapa kalangan yang menyatakan walaupun pembangunan terjadi pada kawasan tebing, hal tersebut tidak merusak dan mengganggu stabilitas struktur tebing yang ada. Dalam mekanisme perizinan pemanfaatan lahan khususnya sebagai akomodasi wisata, tidak dipergunakannya arahan sempadan sungai dan tebing secara ideal pada proses perizinan dikarenakan diasumsikan bahwa arahan sempadan tebing yang berjarak dua kali ketinggian tebing, dapat mengurangi potensi pengembangan kawasan sebagai area pariwisata. Hal tersebut sehubungan dengan adanya potensi kawasan berupa alam dengan view yang sangat indah dan memiliki nilai jual tinggi. Sebagai area wisata, saat ini yang digunakan menjadi dasar dalam pengeluaran izin untuk akomodasi wisata adalah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) untuk akomodasi wisata di atas 200 kamar serta Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) atau Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) untuk akomodasi di bawah 200 kamar. Berdasarkan hasil penelitian, dapat dijelaskan bahwa untuk pembangunan akomodasi wisata dapat memiliki izin dimulai dari mekanisme awal yaitu izin prinsip di mana oleh pemerintah kabupaten setempat dilihat melalui dokumen AMDAL maupun UKL/UPL, kemudian dilanjutkan dengan dokumen gambar teknis ketika mengajukan izin membangun bangunan (IMB). Apabila struktur bangunan dinilai cukup kuat dan baik khususnya dalam mengantisipasi tanah longsor, maka izin pemanfaatan lahan pembangunan akomodasi akan ditertibkan. Proses perizinan yang terjadi saat ini digambarkan pada gambar 11 berikut ini. Pemohon Administrasi dan Gambar Peninjauan Lapangan Oleh Tim Rapat Evaluasi Izin AMDAL Sempadan Tebing Gambar 11 Proses Perizinan yang Terjadi Saat Ini Pada gambar 12 terlihat bahwa pada proses2012 perizinan yang terjadi saat ini, secara Sempadan Sungai Sumber : Hasil Analisis, umum sudah sesuai dengan mekanisme perizinan yang ada. Hanya saja, penerapan 71 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK peraturan mengenai batas sempadan tebing dan jurang tidak dilakukan secara ketat. Hal ini dapat dikaitkan dengan berbagai kepentingan yang ada, khususnya kepentingan ekonomi. Kepentingan ekonomi yang dimaksud adalah LTTAK memiliki potensi yang tinggi khususnya karena keberadaan tebingnya. Izin dikeluarkan dengan berdasarkan pada AMDAL dan pemenuhan persyaratan struktur bangunan yang tidak merusak eksistensi tebing dalam upaya menghindari terjadinya bahaya longsor. Kenyataan yang terjadi di lapangan, terdapat beberapa lokasi longsor pada kawasan yang dibangun akomodasi pariwisata. Pengendalian pembangunan yang terjadi saat ini tidak secara keseluruhan dilaksanakan secara ideal. Tim gabungan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) hanya Gambar 12 melakukan pengecekan berkala, sebaliknya belum terdapat aturan yang mengikat pasti Longsor pada Tebing yang Dibangun Akomodasi Wisata mengenai pembatasan pembangunan akomodasi. Pengendalian pembangunan yang jelas Sumber : Hasil Pengamatan 2012 pada kawasan penelitian khususnya terkait dengan pembangunan akomodasi wisata sangat diperlukan mengingat dalam prinsip Piagam Pariwisata Berkelanjutan telah disebutkan bahwa pemerintah dan otoritas yang kompeten, dengan partisipasi lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat setempat harus mengambil tindakan untuk mengintegrasikan perencanaan pariwisata sebagai kontribusi kepada pembangunan berkelanjutan. V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang dilakukan terdapat beberapa hal yang dapat disimpulkan yaitu: 1. Pada pemanfaatan LTTAK terdapat beberapa fungsi diantaranya adalah fungsi ekologi (masih adanya kebun atau tegalan serta areal persawahan yang juga memiliki keterkaitan dengan fungsi ekonomi), fungsi sosial budaya (keberadaan beberapa pura maupun pelinggih dan sumber mata air) dan fungsi ekonomi (pembangunan akomodasi wisata, penambangan pasir ilegal serta pertanian basah maupun kering). Telah terjadi konversi ruang berfungsi untuk kepentingan ekologi menjadi ruang yang berfungsi untuk 72 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK kepentingan ekonomi. Kondisi tersebut dapat dilihat dari perubahan pemanfaatan lahan ruang terbuka hijau menjadi ruang yang dibangun untuk akomodasi wisata. 2. Kebijakan kawasan lindung yang tidak tegas memberikan peluang terhadap pemanfaatan di luar fungsi-fungsi lindung dan menimbulkan pendapat pro dan kontra berkenaan dengan konsep pemanfaatannya. 3. Tidak adanya penerapan pengendalian yang jelas mengenai kawasan lindung, mengakibatkan pola mekanisme perizinan saat ini berdasar kepada kebijakan bahwa LTTAK termasuk ke dalam kawasan pariwisata. Pola ini berdampak kepada terjadinya pelanggaran pemanfaatan di area sempadan tebing dan sungai. 5.2. Saran 1. Aturan mengenai sempadan sungai dan tebing tetap harus diterapkan secara proporsional. Meskipun pembangunan yang terjadi disebut telah sesuai dengan persyaratan yang ditentukan, tetapi dengan kondisi fisik dasar kawasan yang rawan bencana longsor potensi bencana tetap dapat terjadi. 2. Untuk selanjutnya diperlukan peraturan yang jelas mengatur pembatasan mengenai pemanfaatan lahan pada LTTAK khususnya untuk menjaga agar lahan yang tersisa saat ini tidak habis dan dapat dikonservasi, termasuk didalamnya lahan yang dapat dibangun dan yang tidak dapat dibangun beserta ketentuan sanksi apabila hal tersebut dilanggar. 3. Elemen pengendalian pemanfaatan LTTAK belum cukup kuat dilaksanakan saat ini, sehingga diperlukan kesepakatan antara berbagai pihak yang terkait di dalamnya mengenai rumusan pengendalian yang tepat, dan harus dilaksanakan dengan tertib oleh semua pihak. DAFTAR PUSTAKA Desa Pekraman Kedewatan. 2010. Profil Desa Pekraman Kedewatan. Gianyar. Ayung Werdhi Foundation. Kasubdit Pembinaan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Wilayah I. 22 Juli 2009. Regulasi Pengendalian Pemanfaatan Ruang. Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum. Kabupaten Gianyar. 2001. Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Pariwisata Ubud (20012011). Tidak diterbitkan 73 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK Kabupaten Gianyar. 2005. Peraturan Bupati Gianyar Nomor 89 Tahun 2005 tentang Mekanisme Perizinan. Tidak diterbitkan Praganingrum, Tjok.Istri, 2012. Kajian Terhadap Pemanfaatan Tebing Tukad Ayung Kedewatan, Ubud, Gianyar. (Tesis tidak diterbitkan). Universitas Udayana. Provinsi Bali. 2009. Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali. Suartika, GAM, 2007 Perencanaan dan Pembangunan Keruangan : Perwujudan dan Komunikasi Antar Kepentingan Dalam Pemanfaatan Lahan Jurnal Permukiman Natah Vol 5 No 2 Agustus 2007. Suartika, 2010 Morphing Bali Academic Publishing. The State, Planning, and Culture. Germany. Lambert Sugiyono, 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Kombinasi (Mixed Method). Bandung: Alfabeta. Zulkaidi, Denny, 2011. Basic concept Of Development Control.Graduate Programme in Regional and City Planning Scholl of Architecture, Planning and Policy Development. Bandung. Institut Teknologi Bandung. 74 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK PULIHNYA KUAT TEKAN BETON PASCA KEBAKARAN SETELAH DILAKUKAN PENYIRAMAN AIR. Oleh : I Made Sastra Wibawa. I Gede Ngurah Sunatha. ABSTRAK. Beton sebagai bahan konstruksi yang material dasarnya sebagian besar berada di alam dan kondisinya semakin langka oleh sebab itu kiat-kiat efisiensi perlu ditingkatkan, beton belakangan ini masih memegang rekor tertinggi sebagai bahan konstruksi dalam pembangunan, oleh sebab itu selain efisien dalam penggunaan bahan perlu juga terobosan untuk mencari bahan pengganti, oleh sebab itu dituntut adanya teknologi baru dalam penggunaan bahan konstruksi.pesatnya pembangunan fisik yang terjadi berarti pesat juga perkembangan teknologi, kondisi ini sering tidak diikuti oleh penguasaan yang memadai terhadap perkembangan teknologi bahan konstruksi. Terjadinya bencana kebakaran tidak menutup kemungkinan membuat keraguraguan dalam penggunaan beton meskipun konstruksi beton masih kokoh setelah mengalami kebakaran, sehingga diperlukan usaha agar beton masih dapat dipakai tanpa melakukan pembongkaran. Dalam penelitian ini dicoba melakukan pembakaran terhadap beton kemudian padanya dilakukan penyiraman air dengan variasi satu sampai tiga kali penyiraman air. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar kuat tekan beton yang terjadi akibat terjadinya kebakaran, dan seberapa besar kuat tekan beton yang terjadi setelah padanya dilakukan penyiraman air. Penelitian ini di lakukan di laboratorium Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Bali yaitu melalui pengujian kuat tekan beton menggunakan benda uji kubus 15x15x15 Cm. Variasi pembuatan benda uji dibuat dalam lima perlakuan dengan masing-masing perlakuan 8 buah benda uji dan pengujian kuat tekan dilakukan pada saat umur 28 hari. Hasil Kuat Tekan yang diperoleh P0 = 230,91 Kg/Cm2 ; PI = 220,76 Kg/Cm2 ; P II = 224,56 Kg/Cm2 ; P III = 226,75 Kg/Cm2 ; P IV = 229,26 Kg/Cm2. Hasil penelitian menunjukkan terjadi penurunan kuat tekan beton setelah dibakar, namun setelah dilakukan penyiraman air kuat tekannya semakin naik seiiring naiknya jumlah penyiraman. Oleh sebab itu, berdasarkan hasil penelitian ini beton yang mengalami kebakaran apabila kemudian dilakukan penyiraman air maka beton tersebut masih dapat dipergunakan, namun untuk lebih meyakinkan perlu dilakukan penelitian langsung di lapangan. Kata Kunci : Kuat Tekan Karakteristik, Beton terbakar, Penyiraman air. I. LATAR BELAKANG. Beton sebagai bahan kontruksi yang hampir seluruh bahannya berasal langsung dari alam sangat merasakan tentang terjadinya kelangkaan material, sehingga hal ini menuntut 75 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK adanya usaha untuk mencari alternatif bahan lain agar beton tetap dipercaya sebagai bahan utama dalam pengerjaan suatu konstruksi / bangunan fisik. Disamping kendala penyiapan material campuran beton yang semakin sulit, dunia konstruksi juga sering dihadapkan dengan beberapa permasalahan seperti adanya bencana yang menyebabkan terjadi kerusakan baik sebagaian atau keseluruhan dari konstruksi yang ada. Beton sebagai konstruksi yang biasanya merupakan struktur utama dalam sebuah bangunan biasanya setelah mengalami bencana kebakaran kondisinya masih utuh dan tetap berdiri kokoh walaupun bagian yang lain dari bangunan telah hangus terbakar. Kenyataan ini sering menimbulkan dilema pada saat akan dilakukan renovasi terhadap bangunan yang mengalami kebakaran. Di satu sisi beton masih berdiri kokoh, sedang di lain sisi beton sempat mengalami kebakaran sehingga timbul keragu-raguan dalam menggunakan kembali konstruksi beton tersebut. Apabila beton mengalami kebakaran tidak terlalu lama, kuat tekan yang masih dimiliki oleh beton tidak banyak berkurang dari kuat tekan rencana, seperti sebuah penelitian menyatakan bahwa beton yang dibakar selama 120 Menit ternyata kuat tekan yang terjadi memang berkurang dari yang direncanakan tetapi masih berada pada batas kuat tekan rencana, kecuali beton tersebut dibakar 150 Menit diperoleh kuat tekan dibawah kuat tekan rencana namun masih berada pada batas 80 % dari kuat tekan rencana. (Wibawa, S : 2010 ). Datangnya bencana memang sulit diprediksi, demikian pula bencana kebakaran tidak dapat diduga terjadi pada suatu bangunan gedung yang menggunakan konstruksi beton, dan apabila pasca bencana kebakaran ada keinginan untuk melakukan renovasi terhadap bangunan tersebut sering terjadi keragu-raguan dalam penggunaan kembali konstruksi yang lama. Untuk memberi keyakinan bahwa setelah terjadi kebakaran beton masih dapat dipergunakan sebagai konstruksi, maka dilakukan usaha / intervensi pada beton tersebut. Oleh sebab itu berdasarkan pada uraian tersebut diatas, maka dicoba untuk melakukan penelitian dalam skala laboratorium yaitu dengan penyiraman air pada beton setelah mengalami kebakaran kemudian melakukan pengujian terhadap kuat tekan yang terjadi. 1.1. Rumusan Masalah. Dengan melihat uraian latar belakang permasalahan diatas, maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut : “Seberapa besar perubahan kuat tekan beton setelah beton yang terbakar disiram dengan air, dan secara visual perubahan apa yang terjadi pada beton?”. 76 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK 1.2. Tujuan Penelitian. Yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui pengaruh penyiraman dengan air pada beton yang mengalami kebakaran terhadap sifat mekanis campuran yaitu kuat tekan beton. 2 . Mengetahui seberapa besar berkurangnya atau bertambahnya kekuatan tekan beton akibat penyiraman dengan air pada beton yang dibakar. 3. Secara visual bagaimana perubahan dari beton yang terbakar setelah dilakukan penyiraman dengan air. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Semen. Semen berfungsi untuk mengikat agregat halus, agregat kasar dan air menjadi satu kesatuan. Dalam hal ini semen yang dipakai adalah semen portland yang berfungsi sebagai bahan pengikat hidrolis yang artinya semen akan berfungsi atau mengeras bila telah bereaksi dengan air. Menurut standard industri Indonesia definisi semen Portland adalah semen hidrolis yang dihasilkan dengan cara menghaluskan klinker yang terutama terdiri dari silikat-silikat kalium yang bersifat hidrolis, dimana di dalamnya juga telah dicampurkan gipsum dalam takaran (dosis) tertentu. Variasi dan komposisi dari komponen karakteristik bahan semen akan menentukan type semen (Subakti.A ; 1994). 2.2. Agregat. Agregat adalah sebagai bahan pengisi pada campuran beton. Agreget pada campuran beton diikat oleh semen, dan di lapangan agregat dikenal berupa pasir, krikil atau batu pecah. Dalam campuran beton biasanya agreget menempati komposisi yang paling banyak. Sehingga mutu dari pada agreget sangat mempengaruhi mutu beton itu sendiri. Komponen agregat yang terdapat dalam campuran beton berkisar antara 70 % - 75 % dari total volume beton. Sifat dan bentuk dari butir-butir agreget sebenarnya belum dapat didefinisikan dengan jelas, sehingga sifat-sifat tersebut sulit diukur dengan baik dan pengaruhnya terhadap beton sulit diperiksa dengan teliti. Menurut bentuk butirannya agreget dapat diklasifikasikan yaitu: Angular berarti tidak keausan, sedangkan well rounded berarti bulat dan kadangkadang agak pipih. Bentuk agreget akan mempengaruhi workability dan kekuatan beton (Wangsadinata.W; 1971). Secara umum bentuk yang baik untuk kemudahan pengerjaan dan pemadatan adalah bentuk bulat, sedangkan untuk memperoleh kekuatan yang tinggi 77 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK adalah bentuk angular karena luas bidang permukaannya lebih lebar. Bentuk agregat yang pipih dan memanjang kurang baik karena akan sulit untuk dipadatkan. 2.3. A i r. Syarat air yang dapat digunakan dalam pembuatan beton dan perawatannya sesuai yang tertuang dalam (Wangsadinata. W ; 1971) adalah sebagai berikut: 1. Air untuk pembuatan dan perawatan beton tidak boleh mengandung minyak, asam alkali, garam-garam, bahan-bahan organis yang dapat merusak beton. Dalam hal ini sebaiknya dipakai air bersih yang dapat diminum. 2. Apabila terdapat keragu-raguan mengenai air di anjurkan untuk mengirimkan contoh air itu ke Lembaga Pemeriksaan Bahan-Bahan yang di akui untuk diselidiki seberapa jauh air itu mengandung zat-zat yang dapat merusak beton. Bila pemeriksaan contoh air tidak dapat dilakukan, maka dalam hal adanya keraguraguan mengenai air harus dilakukan pecobaan perbandingan antara kekuatan tekan mortar semen+pasir dengan memakai air tesebut dan dengan memakai mortar yang memakai air suling. Kekuatan tekan mortar yang menggunakan air tersebut pada umur 7 dan 28 Hari paling sedikit adalah 90 % dari kekuatan mortar yang memakai air suling. 3. Jumlah air yang dipakai untuk membuat adukan beton dapat ditentukan dengan ukuran isi atau ukuran berat dan harus dilakukan setepat-tepatnya. Pada penelitian ini disamping air dipakai sebagai bahan pencampur beton, juga dipakai sebagai bahan untuk menyiram beton yang sebelumnya telah dibakar, dengan anggapan bahwa ketika beton terbakar / dibakar, maka sebagian besar butiran semen yang bentuk dan sifatnya kembali seperti semula akibat adanya kebakaran sehingga setelah beton kembali disiram air diharapkan akan terbentuk beton lagi. (Indrayanto.H ; 2008). 2.4. Kuat Tekan Beton Karakteristik. Kuat Tekan Beton Karakteristik adalah kekuatan tekan dimana dan hasil pemeriksaan benda uji yang berupa kubus atau silinder, kemungkinan adanya kekuatan tekan yang kurang dari yang ditetapkan terbatas sampai 5 % (Wangsadinata. W; 1971). Sedangkan kuat tekan beton adalah besarnya beban persatuan luas yang mampu diterima oleh benda uji sampai benda uji tersebut hancur. Dalam menghitung kuat tekan beton rumus-rumus yang digunakan adalah sebagai berikut (Wangsadinata. W ; 1971) : P σb = --------------A x fu x fb 78 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK Dimana : σb P A fu fb = = = = = Tegangan beton ( kg / cm2) Beban tekanan maximum (kg) Luas bidang tekan dari benda uji (cm2) Faktor umur (Wangsadinata. W ; 1971) Faktor bentuk ( Wangsadinata. W ; 1971) ∑ni σb σbm = ------------n S = √∑ (σb – σbm)2 n-1 σbk = σbm – k . S ïƒ k = konstanta (Subakti.A ; 1994). 2.5. Beton Pasca Kebakaran. Beton adalah bahan yang memiliki ketahanan terhadap api/panas yang lebih baik dibandingkan material bangunan yang lain (Bayuasri, Trisni ;2010). Hal ini disebabkan karena beton memiliki konduktivitas panas yang lemah, namun demikian dijelaskan pula beton tetap memiliki kelemahan jika terpapar panas terlalu lama sampai beton mengalami perubahan warna dan bentuk yang sangat besar seperti terjadi perubahan warna coklat kehitam-hitaman atau terjadi kerusakan yang cukup parah terjadi akibat terlalu lama kena api atau akibat kebakaran tersebut beton mengalami panas yang sangat tinggi sehingga terjadi retak-retak yang menyebabkan tulangan sampai terlihat. Hal ini berarti selimut beton sudah rusak dan kondisi ini sangat susah diperbaiki, walaupun dapat diperbaiki kondisi monolit dari beton sudah tidak ada lagi. Pada umumnya setelah beton mengalami kebakaran atau kerusakan akibat sesuatu hal, kita cenderung untuk menggantinya dengan beton yang baru. Menurut Indrayanto. H ; 2008 dalam artikelnya yang berjudul Perbaikan Beton Pasca Kebakaran, menyatakan bahwa beton setelah mengalami kebakaran tidak harus langsung diganti dengan beton yang baru sebab beton lama masih dapat dipakai dengan salah satu alasan yang dikemukakan yaitu tidak terjadinya perubahan warna yang signifikan pada beton. Jika beton setelah mengalami bencana kebakaran tidak terjadi perubahan secara visual yang sangat besar, misalnya terjadi retak yang cukup lebar, keropos pada seluruh sisi atau dinding beton, selimut beton yang tidak berfungsi lagi sehingga tulangan kelihatan dari luar, dan tidak terjadi perubahan warna beton menjadi merah tua, maka beton masih bisa dipertahankan. Hal ini akan lebih baik lagi jika selama proses rekonstruksi kita dapat melakukan penyiraman pada beton dengan air, sebab tingkat recovery kekuatan beton 79 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK setelah dilakukan treatment penyiraman dengan air mampu mendekati 100 % ( Indrayanto. H ; 2008). III. METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental menggunakan rancangan sama subjek (Treatments by Subjects Design) (Hadi ; 1995 , Bakta ; 1997). Secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut : P II P S Po P I P III P IV Gambar 3.1 Rancangan Penelitian. Keterangan : 1. P = Populasi (benda uji kubus 15x15x15 Cm). 2. S = Sampel Penelitian (kubus yang disortir / tidak cacat). 3. Po = Hasil Pengujian sebelum perlakuan (kontrol-I). 4. P I = Hasil Pengujian sebelum disiram (sudah dibakar / kontrol-II). 4. P II = Hasil Pengujian setelah perlakuan/dibakar + disiram satu kali. 5. P III = Hasil Pengujian setelah perlakuan/dibakar + disiram dua kali. 6. P IV = Hasil Pengujian setelah perlakuan/dibakar + disiram tiga kali. 3.2. Definisi Operasional. Pengujian dilakukan terhadap kuat tekan benda uji, benda uji yang dipakai adalah kubus ukuran 15 x 15 x 15 Cm. Pemilihan benda uji ini adalah berdasarkan peraturan yang tertuang dalam PBI. (Peraturan Beton Indonesia) Tahun 1971. Pada penelitian ini komposisi campuran beton dibuat tetap, hanya perbedaannya terletak pada pemberian penyiraman air setelah dilakukan pembakaran selama 150 Menit, yaitu masing-masing perlakuan diberikan penyiraman air yang berbeda-beda, dimulai dari benda uji yang sama sekali tidak disiram, kemudian benda uji yang disiram sebanyak satu kali, benda uji yang disiram sebanyak dua kali, dan benda uji yang disiram sebanyak tiga kali. Dalam melakukan pembakaran dipergunakan kompor khusus yang biasanya dipakai membakar aspal (Wibawa. S ; 2010), setelah itu benda uji disiram secara merata pada keempat sisinya sesuai dengan jumlah penyiraman dari masing-masing perlakuan. Jika kita lihat variasi perlakuan, maka dapat ditulis sebagai berikut : 80 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK 1. Perlakuan 0. yaitu benda uji sebelum dibakar dan belum disiram sebagai kontrol awal mutu beton yang diperoleh. 2. Perlakuan I , yaitu benda uji yang dibakar, sama sekali tidak disiram. 3. Perlakuan II , yaitu benda uji yang dibakar, disiram sebanyak satu kali. 4. Perlakuan III, yaitu benda uji yang dibakar, disiram sebanyak dua kali. 5. Perlakuan IV, yaitu benda uji yang dibakar, disiram sebanyak tiga kali. Benda uji yang dibuat untuk masing-masing perlakuan adalah 8 (delapan) Buah kubus. 3.3. Pemeriksaan Bahan. Bahan – bahan dasar untuk beton dalam pembuatan benda uji harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dalam (Wangsadinata W; 1971) sebagai pedoman pengerjaan beton. Untuk mengetahui apakah bahan-bahan dasar beton seperti pasir, batu pecah memenuhi syarat, maka terlebih dahulu perlu dilaksanakan percobaan pendahuluan untuk mengetahui sifat-sifat bahan dasar yang akan digunakan. Bahan-bahan yang dipakai dalam penelitian beton ini adalah semen type I merk Gresik, pasir alami dari Karangasem, batu pecah dari Karangasem dan air yang dipakai air PDAM. (Perusahan Daerah Air Minum) yang ada di laboratorium. Dalam penelitian ini, pengambilan pasir serta batu pecah untuk percobaan pendahuluan dilakukan dengan cara acak dari tumpukan material yang cukup besar/tinggi diambil sampel pada bagian tertentu sesuai arah mata angin dengan tujuan agar sampel yang kita pakai dapat mewakili bahan yang ada di lokasi. 3.4. Percobaan Pendahuluan. Percobaan pendahuluan ini dilakukan adalah untuk melakukan pemeriksaan terhadap bahan-bahan pembentuk beton yang dipakai dalam penelitian, sehingga dari hasilnya akan didapat nilai-nilai yang diperlukan dalam perhitungan mix design. 3.4.1. Pemeriksaan agregat halus. Pemeriksaan yang dilakukan terhadap agregat halus (pasir) adalah: 1. Berat jenis (specific gravity) dan penyerapan air (water absorption) 2. Gradasi pasir (sieve analysis). 3. Kadar Lumpur (mud content). 4. Berat satuan (unit weight). 5. Kadar air dalam pasir (surface moisture content). 81 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK 3.4.2. Pemeriksaan agregat kasar (batu pecah). Pemeriksaan yang dilakukan terhadap agregat kasar meliputi: 1. Gradasi (Sieve Analysis) 2. Berat jenis (Specific Gravity)dan penyerapan air (Water Absorption). 3. Berat satuan batu pecah(Unit Weight) 4. Kadar Lumpur (Mud Content) 5. Kadar air (Surface Moinsture Content). 3.4.3. Berat Satuan semen. Yaitu untuk mengetahui berat satuan semen yang berguna untuk mengkonversi berat ke volume atau sebaliknya. Pemeriksaan berat satuan semen cara kerjanya sama dengan pemeriksaan berat satuan pasir. 3.5. Mix Design. Dalam penelitian beton ini, perencanaan campuran beton akan memakai metode DOE atau Current British Method. Adapun langkah-langkah perhitungannya adalah sebagai berikut: 1. Menentukan standar deviasi (S). 2. Menentukan nilai tambah (Margin), M = K.S (K = 1,64). 3. Menentukan kuat tekan rata-rata yang ditargetkan (f’cr), f’cr = f’c + 1,64.S. 4. Menentukan nilai factor air semen. 5. Menentukan kadar air bebas yang diperlukan untuk mencapai nilai slump yang diinginkan = 2/3 wh + 1/3 wk. 6. Menentukan kadar semen (C). Kadar air bebas 7. Kadar semen (C) = -------------------Faktar air semen 8. Menentukan jumlah semen. 9. Menentukan letak zone pasir yang dipakai untuk campuran beton. 10. Menentukan prosentase pasir dalam campuran.. 11. Menentukan berat jenis agregat gabungan. 12. Bj agregat gabungan (% agg halus x Bj agg halus) + (% agg. kasar x BJ. Agg. kasar). 13. Menentukan berat jenis beton. 14. Menentukan proporsi campuran beton. 82 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK 15. Kadar agg gabungan = Bj beton - (jumlah kadar air bebas + semen.) 16. Kadar agregat halus = % agg halus x kadar agg gabungan. 17. Kadar agregat kasar = kadar agg gabungan - kadar agg halus. Kärena dalam pembuatan benda uji dipakai agregat dalam keadaan sebenarnya, sedangkan mix design menggunakan agregat dalam keadaan SSD, maka perlu dilakukan koreksi terhadap hasil dari mix design yaitu : 1. Agregat halus = C=(Ck-Ca)xC/100 2. Agregat kasar = D+(Dk-Da)xD/100. 3. Air =B-(Ck-Ca)xC/100-(Dk-Da)xD/100. Dimana: B = Jumlah air (Kg/M3). C = Jumlah agregat halus (Kg/M3) Ca = Absorpsi air pada agregat halus (%) Da = Absorpsi air pada agregat kasar (%) Ck = Kandungan air pada agregat halus(%) Dk = Kandungan air pada agregat kasar (%) 3.6. Perlakuan Benda Uji. Dalam penelitian ini kita memerlukan 4 perlakuan terhadap benda uji yaitu: - Perlakuan 0 (P0) = Benda Uji yang tidak dibakar dan tidak disiram (kontrol – I). - Perlakuan I (PI) = Benda Uji yang dibakar, tidak disiram air (kontrol - II). - Perlakuan II (PII) = Benda Uji yang dibakar, disiram air satu kali. - Perlakuan III (PIII) = Benda Uji yang dibakar, disiram air dua kali. - Perlakuan IV (PIV)= Benda Uji yang dibakar, disiram air tiga kali. Perlakuan bervariasi ini diambil berdasarkan anggapan bahwa butiran semen yang ada pada beton setelah mengalami kebakaran akan kembali sifatnya seperti semen semula, sehingga upaya penyiraman dengan air diharapkan dapat mengembalikan fungsi semen seperti awal pembuatan beton dan ini berarti sifat-sifat beton kembali seperti semula. Penyiraman yang bervariasi adalah bertujuan untuk memperoleh kondisi penyiraman yang paling ideal sehingga diperoleh mutu beton yang terbaik. 83 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK 3.7. Kerangka Penelitian. SEMEN TYPE 1 AGREGAT KASAR BATU PECAH AGREGAT HALUS AIR PDAM PEMERIKSAAN BAHAN MIX DESIGN (0%) PENCAMPURAN BETON PENGADUKAN Tidak SLUMP TEST PEMBUATAN BENDA UJI PEMBAKARAN KEMUDIAN PENYIRAMAN BENDA UJI DENGAN PERLAKUAN : 1 X PENYIRAMAN, 2 X PENYIRAMAN, 3 X PENYIRAMAN UJI KUAT TEKAN BETON PEMBUATAN LAPORAN Gambar 3.1 Kerangka Penelitian IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dalam laporan ini disajikan laporan hasil untuk kuat tekan beton saja, sedangkan laporan hasil tentang pemeriksaan bahan tidak ditampilkan, disamping keterbatasan halaman yang dapat termuat juga hasil pemeriksaan tersebut telah dipastikan memenuhi 84 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK persyaratan sebagai bahan campuran beton, oleh sebab itu setelah material dinyatakan memenuhi persyaratan barulah bahan tersebut dipakai sebagai campuran beton. Sedangkan hasil tes kuat tekan beton dari berbagai perlakuan dapat ditampilkan sebagai berikut : Tabel 4.3 Hasil Test Kubus Beton 15 x 15 x 15 Cm, umur 28 Hari ( Perlakuan 0 ïƒ Beton tidak dibakar dan tidak disiram air / kontrol ). No Umur Benda Uji Beban Max (Kg) 1 2 3 4 5 6 7 8 28 Hari 28 Hari 28 Hari 28 Hari 28 Hari 28 Hari 28 Hari 28 Hari 54,50 53,50 55,50 57,50 56,00 59,00 54,50 54,00 Tegangan Beton ( σ 1b ) (Kg/Cm2) 242,22 237,78 246,67 255,56 248,89 262,22 242,22 240,00 1.975,56 σ 1b - σ 1bm ( σ 1b - σ 1bm )2 -4,72 -9,17 -0,28 8,61 1,94 15,28 -4,72 -6,94 22,30 84,03 0,08 74,15 3,78 233,41 22,30 48,23 488,27 fu : 28 hari = 1,00 fb : kubus 15 x 15 x 15 cm = 1,0 σ 1b = P xfuxfb A n σ bm = 1 ∑σ 1 n n ∑ (σ S= 1 1 b = 1.975,56 = 246,94 Kg/Cm2. 8 b − σ 1bm) 2 1 N −1 = 488,27 = 8,35 Kg/Cm2. 7 σ 1bk = σ 1bm - k.s = 246,94 - 1,92 . 8,35 = 230,91 Kg/Cm2 85 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK Tabel 4.4 Hasil Test Kubus Beton 15 x 15 x 15 Cm, umur 28 Hari ( Perlakuan I ïƒ Beton dibakar selama 150 Menit, tapi tidak disiram ). No Umur Benda Uji 1 2 3 4 5 6 7 8 28 hari 28 hari 28 hari 28 hari 28 hari 28 hari 28 hari 28 hari Beban Max (Kg) 51,00 50,00 55,50 53,50 54,00 53,00 54,00 54,50 Tegangan Beton ( σ 1b ) (Kg/cm2) 226,67 222,22 246,67 237,78 240,00 235,56 240,00 242,22 1.891,11 σ 1b - σ 1bm ( σ 1b - σ 1bm )2 -9,72 -14,17 10,28 1,39 3,61 -0,83 3,61 5,83 94,52 200,69 105,63 1,93 13,04 0,69 13,04 34,03 463,58 fu : 28 hari = 1,00 fb : kubus 15 x 15 x 15 cm = 1,0 σ 1b = P xfuxfb A n σ bm = 1 ∑σ 1 n n ∑ (σ S= 1 1 b = 1.891,11 = 236,39 Kg/Cm2. 8 b − σ 1bm) 2 1 N −1 = 463,58 = 8,14 Kg/Cm2. 7 σ 1bk = σ 1bm - k.s = 236,39 – 1, 92 . 8,14 = 220,76 Kg/Cm2. 86 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK Tabel 4.5 Hasil Test Kubus Beton 15 x 15 x 15 Cm, umur 28 Hari ( Perlakuan II ïƒ Beton dibakar selama 150 Menit dan dilakukan penyiraman air satu kali). No Umur Benda Uji 1 2 3 4 5 6 7 8 28 hari 28 hari 28 hari 28 hari 28 hari 28 hari 28 hari 28 hari Tegangan Beton ( σ 1b ) (Kg/Cm2) 231,11 228,89 231,11 237,78 228,89 237,78 233,33 242,22 1.871,11 Beban Max (Kg) 52,00 51,50 52,00 53,50 51,50 53,50 52,50 54,50 σ 1b - σ 1bm ( σ 1b - σ 1bm )2 -2,78 -5,00 -2,78 3,89 -5,00 3,89 -0,56 8,33 7,72 25,00 7,72 15,12 25,00 15,12 0,31 69,44 165,43 fu : 28 hari = 1,00 fb : kubus 15 x 15 x 15 cm = 1,0 σ 1b = P xfuxfb A n σ bm = 1 ∑σ 1 n n ∑ (σ S= 1 1 b = 1.871,11 = 233,89 Kg/Cm2. 8 b − σ 1bm) 2 1 N −1 = 165,43 = 4,86 Kg/Cm2. 7 σ 1bk = σ 1bm - k.s =233,89 – 1,92 . 4,86 = 224,56 Kg/Cm2. Tabel 4.6 Hasil Test Kubus Beton 15 x 15 x 15 Cm, umur 28 hari ( Perlakuan III ïƒ Beton dibakar selama 150 Menit dan dilakukan penyiraman sebanyak dua kali). No Umur Beban Tegangan Beton 87 σ 1b - σ 1bm ( σ 1b - σ 1bm )2 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK Benda Uji 1 2 3 4 5 6 7 8 28 hari 28 hari 28 hari 28 hari 28 hari 28 hari 28 hari 28 hari ( σ 1b ) (Kg/Cm2) 246,67 251,11 244,44 240,00 237,78 253,33 231,11 233,33 1.937,78 Max (Kg) 55,50 56,50 55,00 54,00 53,50 57,00 52,00 52,50 4,44 8,89 2,22 -2,22 -4,44 11,11 -11,11 -8,89 19,75 79,01 4,94 4,94 19,75 123,46 123,46 79,01 454,32 fu : 28 hari = 1,00 fb : kubus 15 x 15 x 15 cm = 1,0 σ 1b = P xfuxfb A n σ bm = 1 ∑σ 1 n n ∑ (σ S= 1 1 b = 1.937,78 = 242,22 Kg/Cm2. 8 b − σ 1bm) 2 1 N −1 = 454,32 = 8,06 Kg/Cm2. 7 σ 1bk = σ 1bm - k.s =242,22 – 1,92 .8,06 = 226,75 Kg/Cm2. Tabel 4.6 Hasil Test Kubus Beton 15 x 15 x 15 Cm, umur 28 Hari ( Perlakuan IV ïƒ Beton dibakar selama 150 Menit dan dilakukan penyiraman sebanyak tiga kali). No Umur Benda Uji 1 2 3 4 28 hari 28 hari 28 hari 28 hari Beban Max (Kg) 54,00 53,00 54,50 54,50 Tegangan Beton ( σ 1b ) (Kg/Cm2) 240,00 235,56 242,22 242,22 88 σ 1b - σ 1bm ( σ 1b - σ 1bm )2 -1,11 -5,56 1,11 1,11 1,23 30,86 1,23 1,23 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK 5 6 7 8 28 hari 28 hari 28 hari 28 hari 55,50 52,00 54,00 56,50 246,67 231,11 240,00 251,11 1.928,89 5,56 -10,00 -1,11 10,00 30,86 100,00 1,23 100,00 266,67 fu : 28 hari = 1,00 fb : kubus 15 x 15 x 15 cm = 1,0 σ 1b = P xfuxfb A n σ bm = 1 ∑σ 1 n n ∑ (σ S= 1 1 b = 1.928,89 = 241,11 Kg/Cm2. 8 b − σ 1bm) 2 1 N −1 = 266,67 = 6,17 Kg/Cm2. 7 σ 1bk = σ 1bm - k.s =241,11 – 1,92 . 6,17 = 229,26 Kg/Cm2. Secara umum beton di kalangan para konstruktor tidak meragukan lagi beton untuk memikul beban tekan, sebab secara empiris beton memang kuat terhadap gaya tekan dibandingkan dengan gaya-gaya yang lain. Penggunaan beton hampir dilakukan pada segala macam konstruksi, sehingga apa bila terjadi kebakaran pada bangunan maka beton biasanya tidak ikut terbakar, namun kadang kala kondisi ini menimbulkan keragu-raguan dalam menggunakan lagi beton sebagai struktur bangunan yang direhab. Setelah beton yang mengalami kebakaran ini dilakukan penyiraman dengan air, ternyata hasil kuat tekannya cukup baik yaitu beton masih berada dalam kuat tekan rencana, hal ini disebabkan karena ketika beton mengalami kebakaran butiran-butiran halus dari semen posisinya kembali seperti semula atau semen belum bercampur air (Indrayanto. H ; 2008). Ketika beton yang terbakar disiram dengan air, maka kondisinya hampir sama dengan beton yang baru dicampur sehingga secara logika kekuatan semen untuk mengikat butiran-butiran pencampur beton hampir sama dengan beton baru. Sehingga sesuai dengan hasil penelitian ini bahwa kekuatan tekan beton yang terjadi tidak jauh berbeda dengan kekuatan tekan beton rencana. 89 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK V. SIMPULAN DAN SARAN. 5.1. Simpulan. Berdasarkan hasil penelitian kuat tekan beton setelah beton mengalami kebakaran kemudian dilakukan penyiraman dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Setelah dilaksanakan test kuat tekan kubus beton dan analisis kuat tekan beton dari 8 benda uji, dimana pada masing-masing percobaan dilaksanakan pembuatan benda uji kubus dengan pembakaran dan penyiraman air yang bervariasi didapat kuat tekan beton: tidak dibakar dan tidak disiram = 230,91 Kg/Cm2, dibakar tanpa penyiraman = 220,76 Kg/Cm2, dibakar dan disiram satu kali = 224,56 Kg/Cm2, dibakar dan disiram dua kali = 226,75 Kg/Cm2, dan Kuat Tekan beton yang dibakar dan disiram tiga kali = 229,26 Kg/Cm2. 2. Setelah dilaksanakan test kubus beton dengan umur 28 hari dari 5 (lima) percobaan dan analisis kuat tekan, maka beton setelah mengalami kebakaran selama 150 Menit kemudian dilakukan penyiraman air masih dapat dipakai kembali sebagai bahan konstruksi bangunan. 5.2. Saran. Saran yang dapat dikemukakan sehubungan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pada penelitian ini, masih terbatas pada pembakaran selama 150 Menit dan disiram satu sampai dengan tiga kali, sehingga perlu ditambah perlakuan agar lebih bervariasi sehingga hasilnya lebih akurat, dan mendekati kenyataan yang terjadi di lapangan tentang durasi terjadinya bahaya kebakaran. 2. Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik agar digunakan benda uji yang lebih banyak atau sesuai persyaratan PBI,71 untuk masing-masing campuran beton. 3. Penelitian ini masih langkah awal dari beton yang terbakar, dan intervensi yang dilakukan baru hanya dengan penyiraman air, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan berbagai intervensi agar dapat memperbaiki mutu beton setelah mengalami kebakaran. DAFTAR PUSTAKA Bakta I. M. ; 1997 ; Rancangan Penelitian. Penataran sehari : tentang Metode Penelitian. Diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, 15 Pebruari 1997. Denpasar. 90 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK Bayuasri, Trisni ;2010 ; Alternatif Perbaikan Beton Pasca Kebakaran ; http://untarconstruction.com, download 28 Mei 2010. Hadi. S ; 1995 ; Metodologi research, Jilid IV ; Andi Offset, Yogyakarta. Indrayanto.H ; 2008 ; Perbaikan Beton Pasca Kebakaran ; http://untarconstruction.com, download 28 Mei 2010. Subakti A , 1994, Teknologi Beton Dalam Praktek, Jurusan Teknik Sipil FTSP, ITS, Surabaya. Wangsadinata Wiratman, 1971, Direktorat Penyelidikan Masalah Bangunan, Direktorat Jendral Cipta Karya, Peraturan Beton Indonesia 1971 N.I.-2, Wibawa Sastra ; 2010 ; Turunnya Kuat Tekan Karakteristik Beton Pasca Bencana Kebakaran ; FT. UNMAS., Denpasar. 91 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK KARAKTERISTIK FISIK CAMPURAN BATU BATA DENGAN MEMANFAATKAN ABU SISA PEMBAKARAN LIMBAH KAYU Oleh : I Made Nada. Ida Bagus Suryatmaja. Abstrak Industri pengolahan kayu didalam proses produksinya akan menghasilkan suatu buangan atau limbah berupa sisa atau abu akibat dari adanya pembakaran didalam mengurangi volume limbah yang terjadi. Akan tetapi didalam proses pembakaran akan dihasilkan sisa berupa abu. Sisa abu ini jika tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan pencemaran pada lingkungan sekitarnya. Salah satu upaya yang dilakukan yaitu dengan memanfaatkan abu sisa pembakaran limbah kayu tersebut sebagai bahan bangunan melalui pemanfaatan sebagai bahan dalam campuran batu bata. Penelitian dilakukan dengan mencampur sisa abu tersebut dengan tanah lempung proporsi 0 %, 5 %, 10 %, 15 %, 20 % dan 25 %. Dari hasil campuran dilakukan pengujian karakteristik campuran yaitu : Kuat tekan dan Rembesan air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : Abu sisa pembakaran limbah kayu dapat dipakai sebagai bahan dalam pembuatan batu bata, dilihat dari hasil uji karakteristik fisik campuran. Kata Kunci : Karakteristik Campuran Bata, Limbah Kayu I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada industri pengolahan kayu baik yang berskala besar maupun kecil sering kita jumpai limbah kayu yang terbuang percuma atau malah sering limbah tersebut di bakar, yang mana hasil dari pembakaran tersebut menyebabkan pencemaran lingkungan. Dari kondisi tersebut di atas penulis melalui penelitian ini mencoba memanfaatkan abu sisa pembakaran limbah kayu tersebut sebagai bahan bangunan. Salah satu upaya percobaan pendahuluan didalam menangani limbah tersebut adalah melalui pemanfaatan sebagai bahan dalam campuran batu bata. Kajian ini diangkat mengingat batu bata merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi perumahan. Dengan kondisi tersebut diharapkan dalam proses pembuatannya, pelaku industri nantinya dapat memanfaatkan abu sisa pembakaran limbah kayu sebagai bahan alternatif dalam pembuatan batubata, sekaligus dapat memberikan nilai tambah terhadap limbah yang terbuang. 1.2. Tujuan Penelitian 92 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK a) Memberikan alternatif penanganan abu sisa pembakaran limbah kayu dan memberikan nilai ekonomis atau nilai tambah dari limbah kayu tersebut. b) Mendapatkan komposisi campuran yang paling baik antara abu sisa pembakaran limbah kayu dengan bahan pembuatan batubata sesuai dengan persyaratan teknis yang diperlukan sebagai bahan bangunan terutama sebagai batubata. c) Mengurangi pencemaran terhadap lingkungan. 1.3. Batasan Penelitian Percobaan dilakukan dalam skala Laboratorium dengan batasan – batasan sebagai berikut : a) Penelitian dengan mencampur abu sisa pembakaran limbah kayu dengan bahan pembuatan batubata dengan proporsi 0 %, 5%, 10 %, 15 %, 20 %, 25 % abu sisa pembakaran limbah kayu sebagai pengganti bahan campuran pembuatan batubata. b) Abu sisa pembakaran limbah kayu yang diperoleh dari industri kayu c) Tanah lempung/liat dari industri batubata d) Penelitian dengan menganalisa sifat-sifat fisik dan kimiawi dari kedua bahan yaitu tanah lempung/liat dan abu sisa pembakaran limbah kayu. e) Reaksi kimia yang terjadi didalam ikatan pencampuran tidak dilakukan peninjauan secara khusus. f) Pencampuran dilakukan dengan cara manual. g) Pengeringan batubata dilakukan sesuai dengan kondisi setempat dan pengujian dilakukan pada umur 30 hari kalender h) Pengujian kuat tekan dan rembasan air disesuaikan dengan persyaratan batubata Indonesia. II. ABU SISA PEMBAKARAN LIMBAH KAYU Hasil pembakaran limbah kayu menghasilkan suatu bahan organik yang tidak membusuk oleh proses waktu, baik bentuk maupun strukturnya. Adapun kandungan yang terdapat dalam abu sisa pembakaran limbah kayu secara umum adalah kristal silika ( Si O2 ) sebesar 88,66 % dan kapur ( Ca ) sebesar 0,75 %. 2.1. Teknik Pencampuran 93 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK Dalam pencampuran suatu bahan bangunan dengan bahan tambahan lainnya diperlukan suatu teknik atau metode pencampuran. Beberapa macam proses atau teknik pencampuran, yaitu : 1. Proses Dengan Teknik Penyeminan ( Cement Based Solidification ), metode ini menyangkut pengikatan buangan dalam masa stabil yang keras dengan campuran semen Portland yang biasa digunakan sebagai material konstruksi pada umumnya. Proses ini efektif untuk limbah yang mengandung logam berat yang tinggi, sebab pada pH campuran semen kation multivalent diubah dalam hidroksida tak larut atau karbonat, ion – ion juga di ikat dalam struktur kristal dari mineral semen yang terbentuk. metode ini mengikat limbah secara fisik maupun kimiawi, tergantung karakteristik limbahnya. 2. Proses dengan Materi Pozzolanis (Pozzolanis Solidification), proses ini hampir sama dengan Penyeminan, tetapi material yang digunakan sebagai campurannya adalah materi Pozzolan, kapur dan air. Materi Pozzolan yang digunakan pada umumnya adalah abu terbang dan abu pembakaran semen. Campuran semen dan Pozzolan ini terkadang menghasilkan solidifikasi yang ekonomis dan baik untuk limbah tertentu. Bila digunakan jenis limbah yang tepat, metode ini menghasilkan padatan yang agak stabil yang mudah pengangkutannya. 3. Prose dengan teknik Thermoplastis (Thermoplastic techniques), Proses ini biasa digunakan untuk solidifikasi limbah radioaktif. Teknik Thermoplastik ini merupakan sistem pengurungan limbah dengan matriks seperti bitumen, parafin atau polyehylen. 4. Proses dengan Teknik Polimer Organik (Organic Polymer Techniques), pada Teknik Polimer Organik ini paling banyak digunakan dalam pemadatan adalah urea formal dehyde. Prinsip proses ini adalah limbah dan polimer dicampur, setelah dicampur ditambah katalis dan pencampuran dilanjutkan. Materi terpolimerisasi ini tidak terikat secara kimiawi, cara ini hanya merangkap limbah padat. 5. Proses dengan Teknik Pengkapsulan Permukaan (Surface Encapsulation Techniques), dalam proses ini limbah dikurung oleh bahan-bahan yang dapat mengeras, misalnya semen. Limbah tersebut tidak bereaksi dengan bahan tersebut, tetapi terkurung sedemikian rupa sehingga tidak dapat berkontak dengan kondisi luar. 6. Proses swa-Penyeminan (Self Cementing Techniques), dalam proses ini limbah dicampurkan dengan bahan yang akan mengeras sendiri. Biasanya sebagai 94 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK campuran digunakan limbah lumpur dengan kalsium sulfat tinggi yang dapat menghasilkan semen kalsium sulfat atau sulfit. Limbah ini kemudian dicampurkan dengan limbah yang akan disolidifikasi dengan penambahan bahan aditif dan didapat campuran yang padat. 7. Proses Galssifikasi, dalam proses ini limbah B3 dicampurkan dengan silika atau campuran glass cair sehingga terbentuk silikat sintetis. Cara ini sangat baik karena kristal silikat relatif tidak terlindikan. 2.2. Batubata Sebagai Bahan Bangunan Batubata suatu unsur bangunan yang berfungsi sebagai bahan bangunan dan dibuat dari tanah liat dengan atau tanpa dicampur dengan bahan tambahan, dibakar pada suhu yang cukup tinggi sehingga tidak dapat hancur apabila direndam dalam air. 2.3. Syarat - Syarat Batubata tingkat satu harus mempunyai permukaan yang utuh atau licin, dalam keadaan kering jika dipukul ringan harus berbunyi nyaring, kerapatan pada pemasangan harus baik, warna harus sesuai dengan warna yang dipesan, bila terdapat lapisan tembikar/lapisan pewarna (engobe), lapisan itu harus melekat baik pada batubata aslinya. 2.4. Cara Pengujian 1. Batubata yang akan diuji harus berada dalam keadaan kering udara. 2. Pandang luar. Pengujian dilakukan terhadap hal-hal berikut : a). Permukaan batubata : Dalam hal ini batubata dapat dinyatakan sebagai licin, tidak licin, dengan lapisan pewarna (emobo) atau tidak, berlapisan tembikar atau tidak, berbentuk baik atau tidak. b). Retak-retak : Dalam hal ini, retak-retak dapat dinyatakan sebagai : kecil-kecil, besar atau tidak ada. c). Ketahanan terhadap perembesan air Untuk menentukan ketahanan batubata terhadap perembesan air, diperlukan paling sedikit 5 buah batubata penguji. Alat penguji terdiri dari sebuah bejana tidak beralas dengan ukuran : panjang 20 cm, lebar 12,5 cm dan tinggi ± 10 cm dan perekat yang 95 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK rapat air. Cara pengujian adalah sebagai berikut : bejana direkatkan pada permukaan genten dengan perekat rapat air, dan permukaan batubata yang berada diluar bejana itu juga ditutup dengan perekat rapat air tersebut. Batubata-batubata kemudian ditempatkan sedemikian rupa, sehingga seluruh bagian bawahnya dapat diamati sesudah itu bejana diisi dengan air sedalam 5 cm dan dibiarkan beberapa waktu sampai permukaan air tidak turun lagi, sehingga tinggi air didalam bejana tidak kurang dari 5 cm diukur dari bagian terdalam dan tidak kurang dari bagain tertinggi permukaan batubata. Selama 3 jam, bagian bawah dari batubata-batubata diamati dan diuji terhadap ada tidaknya penetesan. Dalam hal ini batubata- batubata dianggap rapat air, apabila dalam waktu minimum 2 jam dari bagian bawah 4 buah batubata ujian tidak ada air yang menetes. Apabila dari 5 buah batubata ujian ternyata 2 buah diantaranya menetes air, maka pengujian harus diulangi dengan 5 buah batubata yang baru. Apabila dalam pengujian ulangan hal tersebut terjadi lagi, maka batubata dinyatakan tidak tahan terhadap perembesan air. 2.5. Pembuatan Benda Uji Benda uji yang dibuat untuk pengujian dilaksanakan dilaboratorium dimana jumlah dan macamnya tergantung dari jenis penelitian yang dilakukan. Beberapa pengujian dalam penelitian memerlukan benda uji dari bahan sampel tanah asli dan tanah dengan campuran abu sisa pembakaran limbah kayu dengan prosentase 0 %, 5 %, 10 %, 15 %, 20 % dan 25 % dari berat kering tanah. Setiap prosentase campuran dibuat tiga buah benda uji, adapun standar yang digunakan untuk pelaksanaan pengujian dilaboratorium. 2.6. Karakteristik Fisik Campuran 96 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK Karakteristik Fisik campuran disajikan seperti grafik berikut : Grafik .1. kuat tekan rata – rata batubata dengan beberapa proporsi campuran 100 80 Beban tekan ( Kg ) 60 40 20 0 0 % 33,535 5% 76,432 10 % 15% 20 % 25% 97,563 91,612 74,125 26,313 Grafik .2. Rembesan air rata – rata pada batubata dengan beberapa proporsi campuran 6 5 97 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK 4 Rembesan air (%) 3 2 1 0 0 4,995 5 4,641 10 15 20 2,525 3,179 3,455 25 5,701 Proporsi campuran ( % ) III. SIMPULAN DAN SARAN – SARAN 3.1. Simpulan Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini dan di dasarkan atas data – data yang diperoleh di laboratorium, maka dapat penulis simpulkan sebagai berikut : 1. Waktu pengeringan batubata dengan campuran abu sisa pembakaran limbah kayu lebih cepat dibandingkan dengan bata tanpa campuran abu sisa pembakaran limbah kayu. Pengeringan untuk batubata tanpa campuran abu sisa pembakaran limbah kayu 30 hari sedangan untuk batubata dengan campuran abu sisa pembakaran limbah kayu sesuai dengan proporsi campuran semakin besar semakin cepat proses pengeringannya. 2. Batubata setelah dicampur dengan abu sisa pembakaran limbah kayu, mempunyai nilai kuat tekan rata – rata meningkat sampai pada proporsi campuran 20 % dan menurun pada proporsi campuran 25 %. Nilai tertinggi dicapai pada proporsi campuran 10 % yaitu 97,563 kg dan mencapai titik terendah pada campuran 25 % yaitu sebesar 26,313 Kg. Nilai kuat tekan rata – rata batubata tanpa campuran abu sisa pembakaran limbah kayu 33,535 Kg. 3. Batubata setelah dicampur dengan abu sisa pembakaran limbah kayu, mempunyai nilai rembesan air rata – rata menurun sampai pada proporsi campuran 20 % dan 98 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK meningkat pada proporsi campuran 25 %. Nilai terendah dicapai pada proporsi campuran 10 % yaitu 2,525 % dan mencapai titik tertinggi pada campuran 25 % yaitu sebesar 5,701 %. Nilai rembesan air rata – rata batubata tanpa campuran abu sisa pembakaran limbah kayu 4,995 %. 4. dilihat dari nilai kuat tekan dan rembesan air diatas, maka abu sisa pembakaran limbah kayu dapat digunakan sebagai bahan dalam campuran pembuatan batubata dengan proporsi campuran maksimum 20 % dari berat kering tanah lempung. 3.2. Saran - Saran 1. Untuk mendapatkan hasil yang lebih bagus dengan mencampur abu sisa pembakaran limbah kayu dalam pembuatan batubata proses pencampurannya di lakukan dengan mesin ( molen ) agar mendapatkan pemadatan yang sempurna. 2. Untuk penelitian selanjutnya yang menggunakan abu sisa pembakaran limbah kayu agar dilihat pengaruh kandungan senyawa kimia yang ada pada abu sisa pembakaran limbah kayu terhadap tanah. DAFTAR PUSTAKA ................., Departemen Perindustrian Republik Indonesia, Mutu dan Cara Uji Bata Merah Pejal,SII 0021-78UDC 666.71 Bowles, Joseph. E, 1993, Sifat-sifat Fisis dan Geoteknis Tanah ( Mekanika Tanah) , Edisi Kedua, Penerbit Erlangga Jakarta. Craig, RF, 1994, Mekanika Tanah, Edisi Keempat, Penerbit Erlangga Jakarta. Hery Christady Hardiyatmo, 1992, Mekanika Tanah I, Penerbit Pt. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Terzagi, Karl, 1993, Mekanika Tanah dalam Peraktek Rekayasa, Edisi Ke dua, Penerbit Erlangga Jakarta. 99 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK DAMPAK NOX TERHADAP LINGKUNGAN Oleh : I Gede Oka Darmayasa Abstraks Komponen-komponen bahan pencemar utama yang menimbulkan pencemaran udara adalah Karbon Monoksida (CO),Oksida Nitrogen (NOX),Hidro Karbon (HC),Oksida Sulfur (SOX) dan Partikulat. NO2 adalah gas yang toxis bagi manusia, efek yang terjadi tergantung pada dosis serta lamanya pemaparan yang diterima seseorang Hewan percobaan yang diberi NO dengan dosis yang sangat tinggi akan memperlihatkan gejala paralisi sistem syaraf dan konvulsi Adanya NOX di atmosfer akan mengakibatkan kerusakan tanaman, tetapi sukar ditentukan apakah kerusakan tersebut diakibatkan langsung oleh NOX atau karena polutan sekunder yang diperoleh dalam siklus fotolitik NO2. Efek yang dapat ditimbulkan umumnya mengenai organ pernafasan yaitu paru-paru, dan efek yang diterima seseorang atau hewan maupun tumbuhan tergantung pada dosis dan lamanya pemaparan. Pengendalian yang dilakukan umumnya modifikasi kondisi pembakaran untuk menurunkan jumlah NOX yang dihasilkan dan menghilangkan NOX dengan pemanfaatan alat-alat perlengkapan dan aliran pembuangan gas. Kata kunci: Oksida Nitrogen, Pengaruh Terhadap Lingkungan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara yang kita hirup setiap hari merupakan gas yang tidak kelihatan, tidak berasa, tidak berbau dan udara ini hampir tidak pernah didapatkan bersih di alam. Udara selalu dicemari dengan berbagai tingkat pencemaran baik pencemaran secara ilmiah seperti gunung api, pembusukan pada tumbuh-tumbuhan dan lain sebagainya, maupun pencemaran akibat aktifitas manusia untuk menunjang kehidupan seperti pembuangan sampah, gas-gas buangan pada industri, transportasi dan sebagainya. Pencemaran udara dapat diartikan sebagai kehadiran di atmosfer dari satu zat atau lebih zat pencemar baik padat, cair maupun gas, dalam kuantitas, karakteristik dan lamanya dapat membahayakan manusia, tanaman, binatang atau benda-benda milik, atau dimana secara tidak langsung mengganggu kenyamanan hidup dan benda-benda milik. Bahan pencemar udara ini dapat tersebar secara cepat dalam jumlah yang besar ke udara, atau berkumpul dalam berbagai konsentrasi di suatu tempat, tergantung keadaan 100 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK geografi dan keadaan klimatologi setempat. Komponen-komponen bahan pencemar utama yang menimbulkan pencemaran udara adalah: 1. Karbon Monoksida (CO) 2. Oksida Nitrogen (NOX) 3. Hidro Karbon (HC) 4. Oksida Sulfur (SOX) 5. Partikulat. Dalam hal kegiatan manusia yang berhubungan dengan pencemaran udara, didapatkan bahwa transportasi merupakan aktifitas yang mempunyai efek paling buruk dibanding aktifitas lain seperti: industri, pembakaran sampah dan lain sebagainya. Kendaraan bermotor sebagai bagian dari transportasi mengeluarkan gas buang berupa emisi zat pencemar udara yang berharga tinggi, terutama zat buang karbon Monoksida, Hidro karbon dan Oksida Nitrogen disamping Oksida Sulfur, Partikulat dan Plumbum yang relatif kecil. Oksida Nitrogen yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor seluruhnya berasal dari saluran gas buangnya (knalpot), kemudian zat tersebut akan mencemari udara mengikuti klimatologi yang ada, terutama arah dan kecepatan angin. II. NITROGEN OKSIDE (NOX) 2.1. Sumber Polusi Nitrogen Okside Dari penelitian yang pernah dilakukan didapatkan bahwa sumber dan kuantitas dari nitrogen okside dilaporkan seperti dalam tabel berikut: Table : Sources and quantities oxides of nitrogen Emission 10 tonnesey Source 1968 1970 1975 1977 1980 Transportation 7.5 10.1 9.2 9.2 9.1 Fuel combustion in stationary 9.2 8.6 11.8 13.0 10.6 0.2 0.2 0.7 0.7 2.1 0.7 sources (power and heating) Industrial processes Solid-waste disposal and 101 0.3 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK miscellaneous Total 19.0 19.6 21.0 23.1 20.7 Source’ From Third Annual Report [7.9]. EPA [7.76] and Twelfth Annual report [7.12]. Sumber utama nitrogen okside adalah pembakaran, dan kebanyakan pembakaran disebabkan oleh kendaraan, produksi energi dan pengelolaan sampah. Dari pencatatan yang dilakukan didapatkan konsentrasi NOX didaerah perkotaan biasanya 10-100 kali lebih tinggi dari konsentrasi yang ada di daerah pedesaan. Beberapa pencatatan tentang konsentrasi puncak keseluruhan NOX dilaporkan di Los Angeles mencapai 3,75 ppm, Nearby Burbank 2 ppm, New Orleans 0,63 ppm dan di Phoenik mencapai 0,8 ppm. Konsentrasi maksimum biasanya terjadi pada musim dingin, kecepatan angin rendah dan berkurangnya sinar matahari (solar radiation). 2.2. Pembentukan Nitrogen Okside Nitrogen okside (NOX) adalah kelompok gas yang terdapat di atmosfer yang terdiri dari gas nitrik (NO) dan nitrogen diokside (NO2). Walaupun bentuk nitrogen okside lainnya ada, tetapi kedua gas ini yang paling banyak ditemui sebagai polutan udara. Nitrik okside merupakan gas yang tidak berwarna dan tidak berbau, sebaliknya nitrogen diokside mempunyai warna coklat kemerahan dan mempunyai bau yang tajam. Okside yang lebih rendah, yaitu NO, terdapat di atmosfer dalam jumlah lebih besar daripada NO2. Pembentuken NO dan NO2 mencakup reaksi enters nitrogen dan oksigen di udara sehingga membentuk NO, kemudian reaksi selanjutnya antara NO dengan lebih banyak oksigen membentuk NO2. Persamaan reaksinya adalah sebagai berikut: N2 + O2 2NO + O2 2NO 2NO2 Udara terdiri dari sekitar 80 % volume nitrogen dan 20 % volume oksigen. Pada suhu kamar kedua gas ini hanya sedikit mempunyai kecendrungan untuk bereaksi satu sama lain. Pada suhu yang lebih tinggi (di atas 1210°C) keduanya dapat bereaksi membentuk nitrik okside dalam jumlah tinggi sehingga mengakibatkan polusi udara. dalam proses pembakaran, suhu yang digunakan biasanya mencapai 1210-1765°C dengan adanya udara, oleh karena itu reaksi ini merupakan sumber NO yang penting. Jadi reaksi pembentukan NO merupakan hasil samping dalam proses pembakaran. 102 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK Jumlah NO yang terdapat di udara dalam keadaan ekuilibrium dipengaruhi oleh suhu pembakaran, lamanya gas hasil pembakaran terdapat pada suhu tersebut, dan jumlah oksigen berlebih yang tersedia. Semakin tinggi suhu pembakaran, semakin tinggi pula konsentrasi NO pada keadaan ekuilibrium. 2.3. Penyebaran Nitrogen Okaide Konsentrasi NO di udara dalam suatu kota bervariasi tergantung dari sinar matahari, penomena meteorologi dan aktifitas kendaraan. Sebelum matahari terbit konsentrasi NO dan NO2 tetap stabil, segera setelah aktifitas manusia meningkat di pagi hari konsentrasi NO dengan cepat meningkat terutama karena meningkatnya aktifitas lalu lintas. Kemudian dengan meningkatnya radiasi solar/sinar matahari konsentrasi NO2 naik dan memuncak. Reaksinya sebagai berikut : NO2 + UV NO + O + O2 O3 O3 + NO O2 + O NO2 Segera setelah energi matahari tidak tersedia untuk mengubah NO menjadi NO2, O3 yang telah terakumulasi sepanjang hari akan bereaksi dengan NO, dan mengakibatkan konsentrasi NO2 meningkat lagi, dengan penurunan konsentrasi O3. Siklus Fotolitik Nitrogen Diokside Berbagai pengaruh merugikan yang ditimbulkan karena polusi NOX bukan disebabkan oleh okside tersebut, tetapi karena peranannya dalam pembentukan oksidan fotokimia yang merupakan komponen berbahaya di dalam asap. Produksi oksidan tersebut terjadi jika terdapat polutan-polutan lain yang mengakibatkan reaksi-reaksi yang melibatkan NO dan NO2. Reaksi-reaksi tersebut disebut siklus fotolitik NO2 dan merupakan akibat langsung dari intraksi antara sinar matahari dengan NO2. Tahap-tahap reaksi tersebut adalah : 1. NO2 mengabsorbsi energi dalam bentuk sinar ultraviolet dan matahari. 2. Energi yang diabsorbsi tersebut memecah molekul-molekul NO2 menjadi molekulmolekul NO dan atom-atom oksigen (O). Atom oksigen yang terbentuk bersifat sangat reaktif. 3. Atom-atom oksigen akan bereaksi dengan oksigen atmoser (O2) membentuk ozon (O3) yang merupakan polutan atmosfer. 103 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK 4. Ozon akan bereaksi dengan NO membentuk NO2 dan O2 sehingga reaksi menjadi lengkap. Pengaruh dari siklus tersebut diatas adalah terjadinya siklus NO2 secara cepat, dan jika tidak terdapat reaktan lainnya di atmosfer, siklus tersebut tidak akan berpengaruh apapun. Konsentrasi NO dan NO2 di udara tidak akan berubah karena O3 dan NO akan terbentuk dan hilang dengan jumlah yang seimbang. Reaksi yang mungkin mengganggu terhadap siklus fotolitik tersebut adalah jika terdapat hidrokarbon yang sering dihasilkan bersama-sama dengan sumber NOX. Hidrokarbon akan berintraksi sedemikian rupa sehingga siklus tersebut menjadi tidak seimbang sehingga NO akan diubah menjadi NO2 dengan kecepatan lebih tinggi daripada disosiasi NO2 dan O. Hasil reaksi antar O dengan hidrokarbon merupakan produk intermediat yang sangat reaktif yang disebut hidrokarbon radikal bebas (RO2). Radikal bebas semacam ini dapat bereaksi lebih lanjut dengan berbagai komponen termasuk NO2, O2, O3 dan hidrokarbon lainnya. Beberapa reaksi yang mungkin terjadi diantara bermacam-macam reaksi tersebut adalah sebagai berikut: 1. Radikal bebas bereaksi cepet dengan NO membentuk NO2. Karena NO dihilangkan dari siklus tersebut, akibatnya mekanisme normal untuk menghilangkan O3 dan siklus tidak terjadi, sehingga konsentrasi O3 meningkat. 2. Radikal bebas dapat bereaksi dengan O2 dan NO2 membentuk peroksiasilnitrat. 3. Radikal bebas dapat bereaksi dengan hidrokarbon lainnya dan komponen oksigen membentuk komponen-komponen organik lainnya yang tidak diinginkan. Campuran produk-produk sebagai akibat gangguan hidrokarbon di dalam siklus fotolitik NO2 disebut dengan Smog fotokimia, yaitu terdiri dari kumpulan O3, CO, PAN dan komponen-komponen organik lainnya termasuk aldehide, keton dan alkil nitrat. 2.4. Pengaruh NOx Terhadap Manusia Kedua bentuk Nitrogen Okside, yaitu NO dan NO2 sangat berbahaya terhadap manusia. Penelitian aktifitas mortalitas kedua komponen tersebut menunjukkan bahwa NO2 empat kali lebih beracun daripada NO. Selama, ini belum pernah dilaporkan terjadinya keracunan NO yang mengakibatkan kematian. Pada konsentrasi yang normal ditemukan diatmosfer, NO tidak mengakibatkan iritasi dan tidak berbahaya, tetapi pada konsentrasi 104 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK udare ambient yang normal NO dapat mengalami oksidasi menjadi NO2 yang lebih beracun. NO2 adalah gas yang toxis bagi manusia, efek yang terjadi tergantung pada dosis serta lamanya pemaparan yang diterima seseorang. Dari penelitian yang dilakukan Habber’s dinyatakan dalam rumus; C x T = K dimana ; C = Konsentrasi dan Nitrogen Diokside T = Waktu pemaparan K = Konstanta Contoh: selama 15 menit pemaparan 420 ppm nitrogen diokside membunuh 50 % binatangbinatang, Habber’s menyebutkan satu kemungkinan yaitu 105 ppm selama 1 jam atau 26 ppm selama 4 jam akan membunuh 50 % binatang-binatang selama terpapar. Konsentrasi NO2 yang berkisar antara 50-100 ppm dapat menyebabkan peradangan paru-paru bila manusia terpapar selama beberapa menit saja. Pada fase ini orang masih sembuh kembali dalam waktu 6 - 8 minggu. Konsentrasi 150-200 ppm dapat menyebabkan penempatan Bronchili dan disebut “Bronchilitis fibrisis obliterans”. Orang dapat meninggal dalam wektu 3 - 5 minggu setelah pemaperan. Konsentrasi lebih dari 500 ppm dapat mematikan dalam waktu 2-10 hari. Hal ini sering dialami petani yang memasuki gudang makanan ternak (silo) dimana terjadi akumulasi gas NO2, oleh karenanya penyakit paru-paru ini dikenal sebegai “Silo filler’s disease “. 2.5. Pengaruh NO Terhadap Hewan Hewan percobaan yang diberi NO dengan dosis yang sangat tinggi akan memperlihatkan gejala paralisi sistem syaraf dan konvulsi. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa tikus yang diberi NO sampai jumlah 2500 ppm akan hilang kesadarannya setelah 6-7 menit, tetapi jika kemudian diberi udara segar akan sembuh kembali setelah 46 menit. Tetapi jika pemberian NO pada konsentrasi tersebut dilakukan selama 12 menit, pengaruhnya tidak akan dapat dihilangkan kembali, dan semua tikus yang diuji akan mati. Pemaparan pendek pada tikus dengan konsentrasi 0,5 ppm nitrogen diokside selama 4 jam atau 1 ppm selama 1 jam cukup untuk menghasilkan perubahan jaringan dalam paru-paru (Thomas et al..1967). Percobaan lain pada kelinci yang terpapar 4 jam sehari dalam 6 hari dengan konsentrasi 0,25 ppm nitrogen diokside menghasilkan perubahan struktural di dalam collagen paru-paru yang telah dibuktikan dengan mikroakopi elektron (Mueller and Hichcock,l969), perubahan ini masih terlihat 1 hari setelah akhir pemaparan. 105 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK Pemaparan pada kera-kera selama 2 jam pada 10 - 50 ppm nitrogen diokside menghasilkan luka primer dalam alveoli (Henry et, al., 1969) tingkat kerusakan berhubungan dengan konsentrasi nitrogen diokside. Paru-paru kera ini memperlihatkan vesicular ekstrim melebar/mengempis pada alveoli limphocyte infiltration. Pemaparan kronis dari konsentrasi nitrogen diokside akan menghasilkan edema paru-paru. Emphysema seperti luka juga didapatkan didalam paru-paru anjing yang terpapar selama 6 bulan dengan konsentrasi 25 ppm nitrogen diokside (Riddick et al., 1968). Dan penelitian yang dilakukan didapatkan bahwa pemberian konsentrasi nitrogen diokside lebih dari 100 ppm bersifat lethal terhadap kebanyakan hewan, dan 90 % kematian tersebut disebabkan oleh gejela edema pulmonari. Konsentrasi yang lebih besar dari 800 % ppm atau lebih rnengakibatkan kematian 100 % pada hewan percobaan dalam waktu 29 menit atau kurang. 2.6. Pengaruh NOX Terhadap Tanaman Adanya NOX di atmosfer akan mengakibatkan kerusakan tanaman, tetapi sukar ditentukan apakah kerusakan tersebut diakibatkan langsung oleh NOX atau karena polutan sekunder yang diperoleh dalam siklus fotolitik NO2. Beberapa polutan sekunder diketahui bersifat sangat merusak tanam-tanaman. Percobaan dengan fumigasi tanam-tanaman dengan NO2 menunjukkan terjadinya bintik bintik pada daun jika digunakan konsentrasi 1,0 ppm, sedangkan dengan konsentrasi yang lebih tinggi (3,5ppm atau lebih) terjadinya nekrosis atau kerusakan tenunan daun (Stoker and Seager, 1972). III. STANDAR DAN CONTROL Pengelolaan kualitas udara yang ada di Indonesia untuk pencemaran Nitrogen Okside di atur di dalam keputusan Mentri Kependudukan dan Lingkungan Hidup yaitu: Kep.2/MNKLH/I/1988 yang didalamnya terdapat Baku Mutu Kualitas Udara Ambien untuk NOX sebesar 0,05 ppm dengan waktu pengukuran 24 jam. Sebagai bahan perbandingan mengenai standar yang sudah ada yaitu pada tahun 1971 kantor federal pengawasan polusi udara standar nasional primer dan sekunder kualitas udara untuk Nitrogen Diokside 100 mg/m3 (0,05 ppm) sebagai rata-rata arithmatik. Umumnya kebanyakan langkah untuk pengelolaan/kontrol terhadap pencemaran NOX biasanya modifikasi pembakaran untuk menurunkan konsentrasi NOX dan pemanfaatan, berbagai perlengkapan untuk menghilangkan NOX dari aliran pembuangan gas. IV. KESIMPULAN 106 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK Oksida Nitrogen adalah salah satu pencemar udara yang beracun dan mempunyai efek yang membahayakan atau merugikan terhadap lingkungan baik terhadap manusia, hewan maupun terhadap tanaman. Sumber utama dari zat pencemar adalah pembakaran. Aktifitas kendaraan/transportasi memberikan prosentase yang cukup besar untuk pencemaran di udara. Efek yang dapat ditimbulkan umumnya mengenai organ pernafasan yaitu paru-paru, dan efek yang diterima seseorang atau hewan maupun tumbuhan tergantung pada dosis dan lamanya pemaparan. Pengendalian yang dilakukan umumnya modifikasi kondisi pembakaran untuk menurunkan jumlah NOX yang dihasilkan dan menghilangkan NOX dengan pemanfaatan alat-alat perlengkapan dan aliran pembuangan gas. 107 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK DAFTAR PUSTAKA Arthur C. Stern, Boubel, Turner, Pox, 1984, Fundamental Of Air Pollution, Academic Press., Inc. Howard.S. Peavy, Donald R. Rowe, G. Tchobanoglous, Environmental Engineering, Macgrow-Hill Book Company. Juli Soemirat Slamet, 1994, Kesehatan Lingkungan, Gajah Mada University Press. Srikandi Fardiaz, Polusi Air dan Udara, Kanisius Press. Louis J. Casarett and John Doull (ed), Toxicology The Basic Science of Poisons, Macmillan Publishing CO, Inc. Sax(ed), 1974, Industrial Pollution, Van Nostrand Reinhold Coy. 108 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK INKULTURASI ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI DALAM POLA SPASIAL RUMAH ETNIS TIONGHOA DI DESA ADAT CARANGSARI, BADUNG Oleh: Siluh Putu Natha Primadewi ABSTRAK Rumah Etnis Tionghoa di Bali adalah salah satu hasil fisik dari interaksi budaya Bali dan kepercayaan Tionghoa. Rumah etnis Tionghoa diharapkan dapat merefleksikan kekayaan budaya masyarakat setempat tanpa melupakan kepribadiannya sebagai etnis Tionghoa. Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah wujud pola spasial, dan Bagaimanakah inkulturasi prinsip ATB dalam pola spasial rumah etnis Tionghoa di Desa Carangsari. Untuk menjawab permasalahan tersebut, penelitian dirancang dengan metode penelitian deskriptif kualitatif-interpretatif dan teori pola spasial, teori kebudayaan dan teori semiotika. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola spasial rumah etnis Tionghoa merupakan hasil suatu proses inkulturasi, yang telah melalui tahapan: akulturasi, asimilasi, dan transformasi. Transformasi sebagai kata kunci inkulturasi dibahas dengan elemen pola spasial yakni: bentuk dasar, letak, batas, tingkatan, dan arah. Wujud pola spasial dan transformasi elemen pola spasial merupakan suatu penanda (signifier) yang dapat diinterpretasikan. Faktor religi dan kepercayaan merupakan suatu petanda (signified) dari inkulturasi prinsip ATB dalam pola spasial rumah etnis Tionghoa. Inkulturasi yang dilakukan Etnis Tionghoa dalam pola spasial harus diikuti dengan pengetahuan dan pemahaman mengenai budaya lokal. Di sisi lain, diperlukan adanya suatu konsep yang bersumber dari kepercayaan Etnis Tionghoa sendiri, agar karya arsitektur yang dihasilkan tetap memiliki identitas asal. Kata Kunci : Inkulturasi, Pola Spasial, Rumah Etnis Tionghoa I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ketika dua kebudayaan yang berbeda saling berinteraksi, ada kerjasama kemungkinan yang akan terjadi. Penjabaran bentuk kerjasama antarbudaya adalah akulturasi, inkulturasi, originasi, asimilasi budaya. Inkulturasi adalah bentuk kerjasama antar budaya yang sifatnya lebih mendalam dan kompleks. Dikatakan lebih mendalam karena mencakup hampir semua bentuk lainnya (Setiawati, 2010:1). Wacana ini sangat menarik untuk dikedepankan, ketika kebhinekaan kultur nusantara mulai banyak mendapat sorotan. Secara garis besar, inkulturasi adalah suatu interaksi yang sedemikian hingga budaya lama maupun budaya baru mengalami suatu transformasi (Prier, 1999:7). Proses inkulturasi sebagai usaha mengenakan ungkapan lokal atau pribumi dapat ditangkap secara visual dalam kesenian dan benda-benda budaya atau artefak, termasuk karya arsitektur. Arsitektur rumah etnis Tionghoa umumnya akan mengadopsi bentuk umum bangunan hunian masyarakat asli di sekitar mereka (Widayati, 2003:5). Di Bali sendiri, 109 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK pada rumah etnis Tionghoa terjadi perjumpaan dua budaya, yaitu budaya Bali yang diwakili oleh agama Hindu dan Arsitektur Tradisional Bali (ATB), dan etnis Tionghoa yang diwakili oleh kepercayaan Tionghoa dan Arsitektur Tradisional Tiongkok Selatan (ATT). Perjumpaan dua budaya menimbulkan ruang-ruang adaptif, nampak pada artefak (wujud fisik) pola spasial rumah etnis Tionghoa di Desa Carangsari. Sesungguhnya pada wujud fisik inilah kemudian timbul suatu permasalahan, apakah prinsip ATB yang diterapkan hanya berupa tempelan saja, atau sebaliknya prinsip ATT hanya berupa tempelan, ataukah memang telah melewati serentetan proses utuh inkulturasi. Berangkat dari alasan di atas maka peneliti ingin meneliti lebih jauh permasalahan tersebut dalam penelitianyang berjudul: “Inkulturasi Arsitektur Tradisional Bali dalam Pola Spasial Rumah Etnis Tionghoa di Desa Carangsari, Badung” 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang akan dicari jawabannya dan dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah wujud pola spasial rumah Etnis Tionghoa di Desa Carangsari, Badung ? 2. Bagaimanakah inkulturasi prinsip-prinsip Arsitektur Tradisonal Bali dalam pola spasial rumah Etnis Tionghoa di Desa Carangsari, Badung ? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran yang nyata dan mendapatkan pemahaman yang menyeluruh tentang inkulturasi budaya Bali dan Tiongkok dalam pola spasial rumah Etnis Tionghoa di Desa Carangsari, Badung. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menelaah tentang inkulturasi pola spasial pada rumah etnis Tionghoa, yang merupakan sebuah cultural phenomenon dan architectural studies yang menarik untuk dikaji dan diteliti. Dari penelitian ini diharapkan dapat diketahui pola spasial rumah etnis Tionghoa, proses inkulturasi dalam suatu rumah etnis Tionghoa, serta apa sajakah unsurunsur budaya yang mempengaruhi inkulturasi dalam suatu pola spasial rumah Etnis Tionghoa. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengkaji atas beberapa hal yang diungkap dalam permasalahan ini, yakni : wujud pola spasial rumah dan proses inkulturasi prinsip-prinsip ATB dalam pola spasial rumah Etnis Tionghoa di Desa Carangsari, Badung. 110 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK 1.4. Manfaat Penelitian Secara keilmuan hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan arsitektur, yang ditinjau dari segi spasial yaitu wujud fisik, dan aspasial yaitu religi dan kepercayaan yang mempengaruhi terjadinya inkulturasi. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat memberi manfaat untuk beberapa pihak, yaitu : 1. Bagi etnis Tionghoa dan masyarakat Bali di Desa Carangsari, dengan mengetahui adanya inkulturasi antara budaya Bali dan kepercayaan Tionghoa dalam pola spasial rumah etnis Tionghoa diharapkan kedua pihak ini dapat semakin memupuk toleransi dan sikap saling menghargai dalam masyarakat yang multikultur dan heterogen. 2. Bagi para praktisi pembangunan, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan inspirasi untuk menghasilkan suatu rancangan inkulturatif yang bermakna dan bukan berupa pemalsuan budaya semata-mata. II. KONSEP DAN LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Konsep dalam penelitian untuk memudahkan pemahaman terhadap topik penelitian ini “Pola Spasial Rumah Etnis Tionghoa di Desa Carangsari, Badung” adalah organisasi ruang lingkungan pekarangan, yang ditentukan seperangkat nilai, keyakinan, dan cara pandang masyarakat setempat, yang dimiliki sebuah lingkungan pekarangan (rumah) tempat tinggal dan tempat untuk segala kegiatan di dalam menjalankan kehidupan Etnis Tionghoa di dalam suatu lingkungan Desa Pakraman yang sangat dipengaruhi oleh ajaran Agama Hindu. 2.2. Landasan Teori Teori Pola Spasial Spasial merupakan unsur pokok dalam memahami arsitektur. Spasial berfungsi sebagai wadah aktivitas manusia baik secara fisik maupun psikis. Hal tersebut juga mengakibatkan pola spasial dapat terlihat sebagai hubungan antara arsitektur, lingkungan dan budaya tempat spasial tersebut berada. Sistem spasial merupakan satu dari tiga komponen pembentuk arsitektur sekaligus perilaku penghuni dalam rangka mendiami suatu spasial arsitektur. Dua komponen yang lain adalah sistem fisik dan sistem stilistik (Habraken, 1978:37). 111 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK Menurut Ronald (2005:136), unsur spasial pada hunian terdiri dari : arah (orientation), letak (setting), tingkatan (hierarchy), keterbukaan (transparancy), dan besaran ruang (size). Sedangkan menurut Sasongko (2005:2), struktur spasial pada permukiman digambarkan melalui pengidentifikasian tempat dan batas sebagai komponen utama, selanjutnya diorientasikan melalui jaringan jalan dan hirarki. Teori Kebudayaan Etnis Tionghoa adalah sebuah kelompok yang mempunyai kebudayaan yang spesifik. Dalam proses asimilasi bagaimanapun tetap akan menyisakan sesuatu yang spesifik yang dimiliki sejak dari nenek moyang. Apabila dalam hal ini diambil contoh rumah Etnis Tionghoa maka diharapkan akan muncul karakteristik tertentu dibanding yang ada di sekitarnya. Untuk itu diperlukan pengetahuan tentang unsur-unsur kebudayaan agar karakteristik tersebut dapat diketahui. Koentjaraningrat (1986:59), menyimpulkan dari penjelasan tentang adanya persamaan unsur-unsur kebudayaan yang bersifat universal oleh Clyder Kluckhohn dalam bukunya “Universal Catagories of Culture”, bahwa unsur-unsur kebudayaan tersebut tersebut terdiri dari tujuh unsur pokok, yaitu religi dan upacara keagamaan (kepercayaan); sistem dan organisasi kemasyarakatan; pengetahuan; bahasa; kesenian; mata pencaharian hidup; dan teknologi peralatan. Koentjaraningrat, (1989:60), menyebutkan bahwa religi suatu masyarakat tertentu akan sangat mempengaruhi kehidupan sehari-harinya, karena di dalam agama sebagai wujud ideologi dari kebudayaan mengandung norma-norma yang mengatur perilaku pemeluknya sebagai wujud sistem sosial atau aktivitas dari kebudayaan. Rumah sebagai artefak kebudayaan adalah wadah beraktivitas yang akan merefleksikan budaya penghuninya. Teori Semiotika Eco menyatakan bahwa semiotika adalah teori tentang pembangkitan kode dan tanda, serta tanda harus ditafsirkan (Lechte, 2005:199). Penafsiran yang berlaku dalam semiotika adalah interpretant, yang menghasilkan semiosis tidak terbatas. Eco yang bertolak dari pandangan Peirce mendorong penelitian semiotika dalam bidang: seni lukis, arsitektur, unsur kemasyarakatan, dan juga sastra (Zoest, 1993:4). Karya arsitektur sebagai tanda memiliki dua entitas, yaitu (1) signifier atau penanda yang merupakan bidang ekspresi atau wahana tanda, dan (2) signified atau petanda yang merupakan bidang isi atau makna. Siwalatri (1997:35), penanda (signifier) dan petanda (signified) dijelaskan sebagai berikut: (1) Penanda (signifier), merupakan bentuk, ruang, permukaan, volume yang 112 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK memiliki kepadatan, tekstur, warna dan lain-lainnya. (2) Petanda (signified), merupakan makna, seperti ide arsitektural, estetika, konsep ruang, keyakinan atau kepercayaan masyarakat, fungsi, aktivitas, dan sebagainya. Tanda dalam prinsip ATB sebagai presentasi kebudayaan Bali dan Arsitektur Tiongkok Selatan sebagai presentasi kebudayaan Tionghoa diwujudkan dalam pola spasial rumah Etnis Tionghoa di Desa Carangsari. Pertemuan dua kebudayaan yang berbeda menjadi satu kesatuan dalam wujud pola spasial rumah menjadi tanda sekaligus merupakan penanda dan petanda yang sangat menarik untuk ditelaah dan ditafsirkan. III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Terdapat variasi dalam pola spasial rumah etnis Tionghoa. Variasi tersebut berdasarkan posisi rumah terhadap jalan dan jenis elemen ruang di dalam pekarangan. Berikut diuraikan variasi wujud fisik pola spasial rumah etnis Tionghoa di Desa Carangsari. Posisi rumah terhadap jalan Rumah etnis Tionghoa dibangun di sekitar jalur strategis Puri Carangsari dan diorientasikan melalui jaringan jalan utama desa. Berdasarkan variasi kasus di lapangan, terdapat dua kelompok rumah berdasarkan posisinya yakni (a) posisi rumah berada di jalan utama desa, sehingga di depan rumah terdapat telajakan; (b) posisi rumah di jalan lingkungan desa, sehingga tidak ada telajakan. Kasus dominan berada di jalan utama desa, yang mana hal ini menunjukkan posisi rumah yang berada di jalur strategis, karena area ini dahulunya merupakan jalur-jalur perdagangan sehingga mudah dijangkau. Jenis dan elemen ruang di pekarangan Rumah etnis Tionghoa di Desa Carangsari mencerminkan rumah tradisional Bali dataran, terdiri dari banyak massa bangunan (tidak monolit) dengan fungsinya masingmasing. Ruang-ruang di dalam pekarangan rumah etnis Tionghoa antara lain: ruang suci, ruang hunian, ruang usaha, dan ruang terbuka. Seluruh kasus memiliki sanggah, rumah abu, kongco, palinggih surya, panunggun karang, palinggih lain, dapur dan natah. Hal ini dikarenakan pada rumah nyama toko berlangsung aktivitas ritual Hindu dan Tri Dharma yang bersifat sakral, dan elemen ruang tersebut memegang peranan berlangsungnya aktivitas sakral tersebut. 3.2. Pembahasan Penerapan Inkulturasi Prinsip ATB Dalam Pola Spasial 113 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK Inkulturasi adalah sebuah proses panjang yang terdiri atas tiga tahapan yaitu akulturasi, asimilasi, dan transformasi. Demikian pula rumah Etnis Tionghoa di Desa Carangsari (RETDC), pola spasial yang lahir juga merupakan hasil dari tiga proses tersebut. Wujud inkulturasi prinsip ATB dalam pola spasial yang terjadi juga merupakan suatu penanda (signifier), maka teori teori semiotika. Tahap pertama yaitu akulturasi yang merupakan perpaduan kebudayaan bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari kebudayaan asing yang berbeda sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah dengan kebudayaan sendiri (Koentjaraningrat, 1984:149). Dalam tahap akulturasi ini, Etnis Tionghoa di Desa Carangsari bersikap menyerap secara selektif unsur-unsur di dalam ATB dengan menggunakan beberapa prinsip filosofis, prinsip praktis, dan prinsip manfaat untuk diadopsi ke dalam pola spasial rumah Etnis Tionghoa di Desa Carangsari. a. Prinsip Filosofis ATB Tri Hita Karana dalam terapan arsitektur berkembang menjadi tiga tingkatan ruang peruntukan perumahan tradisional meliputi: (1) Ruang tempat suci; (2) Ruang massa bangunan hunian; (3) Ruang kosong/terbuka (Sulistyawati, 2007:8). Elemen ruang dalam pola spasial merupakan perwujudan dari prinsip filosofis Tri Hita Karana, antara lain: (1) Ruang suci sebagai sarana membina hubungan dengan Tuhan dan leluhur, diwujudkan dalam sanggah, palinggih surya, panunggun karang, dan kongco, rumah abu; (2) Ruang hunian dan usaha sebagai sarana membina hubungan antara penghuni rumah, diwujudkan: kamar tidur, dapur, kamar keluarga dan teras. Ruang usaha yakni: warung, bengkel, dan gudang; (3) Ruang kosong sebagai sarana membina hubungan dengan lingkungan alam, diwujudkan dalam natah. Tri Hita Karana pada dasarnya sejalan dengan jenis dan elemen ruang rumah di Tiongkok Selatan, yakni: (1) altar sebagai wujud hubungan antara penghuni dengan Dewa dan leluhur; (2) ruang tidur, dapur, beranda adalah wujud hubungan antara sesama anggota penghuni rumah tersebut; (3) skywells/tianjing sebagai ruang kosong adalah wujud hubungan antara penghuni dengan alam lingkungan. Dewata Nawa Sanga dalam terapan arsitektur berkembang menjadi Sanga Mandala. Sanga Mandala adalah penzoningan kegiatan dan tata letak bangunan pada Arsitektur Tradisional Bali (Dwijendra, 2010:7). Prinsip filosofi Dewata Nawa Sanga dalam pola spasial RETDC terwujud pada pembagian sembilan zona ruang dengan beberapa variasi posisi elemen ruang di dalam pekarangan. Sebagian besar arah kaja-kangin adalah sanggah atau palinggih surya, arah kaja adalah kongco atau rumah abu, arah kaja-kauh adalah 114 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK panunggun karang, arah kangin adalah ruang hunian, arah tengah adalah natah, arah kauh adalah ruang hunian atau ruang usaha, arah kelod-kangin adalah ruang usaha, arah kelod adalah dapur, arah kelod-kauh adalah ruang usaha. Dewata Nawa Sanga pada dasarnya sejalan dengan Pa-Kua, Lo-Shu, Lima Unsur, Mandala. Pa-Kua adalah lambang berbentuk segi delapan yang menggambarkan empat titik mata angin utama dan empat titik tambahan. Lo-Shu adalah sembilan kelompok kotak yang memiliki angka-angka. Lima unsur adalah manifestasi kosmologi Tiongkok yang mengandung unsur, warna, musim, arah angin. Mandala adalah simbol empat pintu arah angin utama dan tambahan, serta arah tengah adalah Yin-Yang. Rwa Bhineda dianalogikan dalam relasi antara rumah (bhuwana agung) dengan ruang-ruang (bhuwana alit). Rwa Bhineda dalam pola spasial terwujud dalam elemen ruang dalam rumah yang dibatasi oleh panyengker dan pamesuan, sehingga terbentuk ruang kosong di tengah pekarangan yang disebut natah. Pada dasarnya Rwa Bhineda sejalan dengan courtyard rumah di Tiongkok Selatan. Ruang-ruang menjadi bagian dari rumah yang dibatasi oleh dinding (we chiang) sehingga membentuk ruang kosong di tengah pekarangan yang disebut tianjing. b. Prinsip Praktis ATB Ulu-teben merupakan penjabaran dari prinsip filosofis Rwa Bhineda. Ulu-Teben terwujud dalam posisi tempat tidur. Posisi kepala mengarah ke arah Ulu dan posisi kaki mengarah ke arah Teben. Ulu adalah posisi ruang suci yaitu kaja atau kangin, sedangkan Teben adalah arah sebaliknya. Penerapan orientasi Ulu-Teben sejalan dengan nilai tradisi Arsitektur Tiongkok Selatan. Rumah di Tiongkok Selatan umumnya dibangun memanjang arah utara (gunung) - selatan (Laut Tiongkok Selatan). Ruang utama yang bersifat sakral ditempatkan di utara, sebaliknya pintu masuk yang bersifat profan di arah selatan (Pratiwo, 2010:241). Tri Hita Karana dan Ulu-Teben melahirkan Tri Mandala. Tri Mandala adalah pembagian kawasan atas tiga nilai zona yakni: utama (nilai utama/sakral), madya (nilai tengah), dan nista (nilai rendah/profan). Prinsip Tri Mandala terwujud dalam pembagian tiga zona dalam pekarangan dengan beberapa variasi berdasarkan posisi elemen ruang di dalam pekarangan. Sebagian besar ruang sakral berada di daerah Ulu yakni arah kaja atau kangin, ruang madya adalah ruang hunian dan natah yang berada di daerah antara Ulu dan Teben, dan ruang profan adalah ruang usaha yang berada di daerah Teben yakni arah kelod atau kauh. Pada dasarnya Tri Mandala sejalan dengan pembagian tiga ruang pada rumah Tiongkok Selatan. Pembagian tiga ruang meliputi mingtang sebagai ruang sakral/utama 115 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK berada di zona sakral, xiangfang sebagai ruang hunian, dan ruang thamen sebagai ruang gerbang berada di zona profan (Pratiwo, 2010:241). Pembagian tiga zone ke arah kangin-kauh disilangkan dengan pembagian tiga zone ke arah kaja-kelod disebut Sanga Mandala. Sanga Mandala dalam pola spasial terwujud dalam pembagian sembilan zona pekarangan dengan variasi posisi elemen ruang. Sebagian besar posisi elemen ruang adalah sebagai berikut: sanggah/palinggih surya letaknya di kaja-kangin, kongco/rumah abu letaknya di kaja, panunggun karang letaknya di kaja-kauh, ruang hunian letaknya di kangin dan kauh, dapur dan tungku letaknya di kelod, ruang usaha letaknya di kelod-kangin atau kelod-kauh, dan natah letaknya di tengah pekarangan. Pada dasarnya Sanga Mandala sejalan dengan Mandala. Mandala dengan sembilan kotak tergambar pada perletakan ruang-ruang dalam rumah Tiongkok dan menjelaskan bahwa satu kotak di tengah adalah ruang kosong. Delapan kotak lainnya merupakan ruang pelingkup yang berfungsi sebagai altar pemujaan, ruang tidur, dapur, gudang, kandang, dan lain-lain (Yolanda, 2008:22). Natah melandasi timbulnya ruang kosong sebagai orientasi di dalam pekarangan rumah tradisional Bali (Suarya, 2003:6). Sebagian besar posisi natah di tengah pekarangan. Konsep natah sejalan dengan ruang kosong dalam rumah Tiongkok Selatan yaitu tianjing atau skywell. c. Prinsip Manfaat Dalam ATB, selama proses pembangunan dalam suatu perumahan, tidak terlepas dari adanya konsep panca yadnya sebagai manisfestasi rasa bakti umat Hindu, sehingga dalam berarsitektur umat Hindu selalu berpedoman pada upakara (Sulistyawati, 2007:63). Urutan upacara yang dilakukan adalah: (1) caru pengruak karang; (2) prayascita, untuk para undagi; (3) memakuh, mapulang padagingan, (4) melaspas dan pengurip (Gelebet & dkk, 2002:447). Upakara diadaptasikan pada saat proses pembangunan dalam rumah etnis Tionghoa di Desa Carangsari. Pada dasarnya upakara dalam proses pembangunan sejalan dengan prosesi ritual dalam proses pembangunan suatu rumah di Tiongkok. Urutan upacara yang dilakukan adalah: (1) persembahyangan dupa, buah, uang kertas, teh-manisan kepada Tu Ti Kong (Dewa Bumi) pada keempat sudut dari lahan yang akan dibangun dimulai dari sudut kiri berlawanan arah jarum jam, yang dilaksanakan pada saat penggalian tanah (dongtu); (2) upacara menebar darah ayam dan menanam jimat pada lokasi pembangunan, (3) upacara penyucian bangunan (Thiam), dilaksanakan persembahyangan pada empat sudut bangunan dimulai dari sudut kanan searah jarum jam. 116 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK Dalam ATB, undagi adalah ahli bangunan atau arsitek. Undagi memiliki kemampuan di bidang filosofi bangunan beserta simbol-simbol mistik, dalam bentuk simbol murni maupun ragam hias (Sulistyawati, 2007:67). Usaha etnis Tionghoa untuk mengadaptasikan diri dengan budaya setempat melalui arsitektur mengharuskan ditunjuknya seorang undagi. Etnis Tionghoa di Desa Carangsari umumnya memohon petunjuk untuk pembangunan rumah kepada Ida Peranda dan Pemangku. Beliau yang sering dimohon untuk memberikan padewasaan (wewaran) untuk pelaksanaan pembangunan. Untuk pembangunan kongco dan rumah abu, nyama toko umumnya memohon petunjuk kepada pemimpin kepercayaan Hindu Budha. Prinsip filosofis umumnya sulit untuk diadaptasi, karena sudah menyentuh keyakinan/agama dapat diadopsi oleh etnis Tionghoa ke dalam pola spasial. Ini mengindikasikan adanya kemiripan/keserupaan antara prinsip ATB yang dilandasi ajaran agama Hindu dan prinsip ATT yang mendapat pengaruh kepercayaan Tionghoa. Di sisi lain, hal-hal yang praktis lebih banyak diadaptasi karena lebih mudah terlihat secara kasat mata. Hal tersebut juga merupakan usaha meyakinkan masyarakat setempat bahwa pola spasial rumah etnis Tionghoa di Desa Carangsari adalah hasil penerapan prinsip ATB. Akulturasi yang terjadi dalam rumah etnis Tionghoa ini masuk dalam kategori Akulturasi Antagonistis, yang memiliki tujuan agar dapat diterima/diijinkan mendirikan rumah pada karang desa. Setelah tahap akulturasi, maka masuk ke dalam tahap berikutnya, yakni tahap asimilasi dan transformasi. Asimilasi adalah tahapan ketika dua kebudayaan yang bertemu mulai berpadu. Sedangkan transformasi diartikan sebagai perubahan wujud dan sifat (Ali, 1996:107). Transformasi terjadi dua arah, yakni prinsip dalam ATB dan konsep keruangan dalam Arsitektur Tionghoa Tiongkok Selatan. Transformasi dibatasi pada perubahan wujud saja. Pembahasan dikelompokan berdasarkan variabel elemen pola spasial: (1) asimilasi dan transfomasi bentuk dasar, (2) asimilasi dan transformasi letak/setting, (3) asimilasi dan transformasi batas/teritory, (4) asimilasi dan transformasi tingkatan,/hierarchy (5) asimilasi arah/orientation. Transformasi pola spasial yang terjadi merupakan penanda (signifier), maka digunakan teori semiotika. Berikut adalah pembahasan inkulturasi prinsip ATB berdasarkan elemen pola spasial. a. Bentuk Dasar Dalam ATB ruangan diusahakan menggunakan bentuk dasar empat persegi yang disusun berdasarkan fungsinya masing-masing, Layout rumah tradisional Bali dataran berbentuk dasar empat persegi pada keseluruhan lahan maupun bale-bale. Sedangkan 117 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK dalam arsitektur rumah Tionghoa di Tiongkok Selatan, bentuk dasar ruangan adalah bentuk geometris. Pada dasarnya di Tiongkok Selatan, rumah tradisional mengambil bentuk persegi atau persegi panjang (Bramble, 2003:68). Sebagai contoh dapat dilihat pada denah salah satu rumah etnis Tionghoa di Propinsi Fukien, Tiongkok Selatan yang berbentuk dasar empat persegi, pada keseluruhan lahan maupun dalam masing-masing bagiannya. Bentuk dasar empat persegi dalam ATB dan bentuk geometris persegi dalam arsitektur rumah Tionghoa diakomodir dalam bentuk dasar spasial rumah, sehingga tercipta pengembangan bentuk persegi. Elemen ruang pembentuk pola spasial rumah juga menggunakan bentuk persegi atau persegi panjang. b. Letak (Setting) Rumah masyarakat Bali di Desa Carangsari menggunakan pola pembagian sembilan zona dalam pengaturan ruang-ruang di dalam pekarangan. Dapat dilihat pada layout rumah tradisional masyarakat Bali di Desa Carangsari, pekarangan dibagi menjadi: kaja-kangin letak sanggah, kaja letak meten, kaja-kauh letak panunggun karang, kangin letak bale sumanggen/gede, tengah sebagai natah, kauh letak bale dauh, kelod-kangin letak pamesuan, kelod letak dapur, dan kelod-kauh letak kamar mandi. Sedangkan rumah tradisional Tionghoa di Tiongkok Selatan, Propinsi Fukien, susunan ruang dibagi menjadi sembilan meliputi: pertama adalah rumah utama berada di utara dan terdiri dari tiga jian (jian tengah letak hall altar leluhur, jian kiri dan kanan letak dapur dan ruang tidur milik orang tua; bagian kedua adalah halaman yang terletak di posisi tengah dan hall rumah samping yang berada di sisi kiri dan kanan dari halaman, bagian ketiga adalah gerbang yang terletak di posisi tengah dan ruang servis di sisi kiri dan kanan dari gerbang. Pola pembagian sembilan zona dalam ATB dan rumah Tionghoa di Tiongkok Selatan. sama-sama diakomodir dalam spasial rumah etnis Tionghoa. Letak elemen ruang dalam pola spasial yakni: (1) kaja-kangin letak sanggah, palinggih surya, variasinya sebagai letak pamesuan, palinggih lain, panunggun karang, kamar tidur dan dapur; (2) kaja letak kongco dan rumah abu, variasinya sebagai letak sanggah, palinggih surya dan panunggun karang; (3) kaja-kauh letak panunggun karang, variasinya sebagai letak sanggah, palinggih surya, warung; (4) kangin letak kongco, rumah abu, ruang hunian, variasinya sebagai letak palinggih lain, warung; (5) tengah adalah letak natah; (6) kauh letak ruang hunian, variasinya sebagai ruang usaha dan natah, (7) kelod-kangin letak pamesuan dan ruang usaha, variasinya sebagai letak palinggih lain, palinggih surya dan panunggun karang; (8) kelod letak ruang hunian, variasinya sebagai letak ruang usaha dan natah; (9) kelod-kauh letak pamesuan, warung dan dapur, variasinya sebagai letak 118 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK palinggih surya. Kongco dan rumah abu umumnya berada di pusat garis aksis dari pekarangan rumah. Tungku umumnya berada di arah kelod dari ruang dapur. Berikut asimilasi dan transformasi yang terjadi pada letak elemen-elemen ruang dalam pola spasial dengan beberapa variasi posisi. c. Batas (Territory) Rumah tradisional Bali adalah keseluruhan massa bangunan di dalam pekarangan yang dibatasi oleh panyengker karang di keempat sisinya (Runa, 2003:60). Penghubung antara ruang di dalam pekarangan dengan ruang luar adalah pamesuan. Pamesuan mempunyai pengertian ke luar dari tempat yang satu ke tempat yang lain, yang masingmasing mempunyai fungsi berbeda (Saraswati, 2002:86). Perletakan pamesuan tersebut memiliki aturan sebagai berikut (Lontar Asta Kosala dalam Duarsa, 1999:39): (1) pengukuran dari luar, ukur pinggir pekarangan dibagi sembilan, jika rumah menghadap ke timur, dari utara caranya menghitung; (2) jika menghadap ke selatan, dari timur caranya menghitung; (3) jika menghadap ke arah barat, dari selatan caranya menghitung; (4) jika menghadap ke utara, dari barat caranya menghitung. Sedangkan arsitektur tradisional Tiongkok Selatan, rumah menggunakan konsep courtyard yakni kreasi ruang tertutup dan terbuka. Courtyard adalah aplikasi ruang tertutup dengan tembok atau dinding pada keempat sisi atau ketiga sisi pekarangan dan gerbang berada di posisi tengah atau garis aksis dari tembok atau dinding tersebut (Liu, 1989:28). Layout rumah Tionghoa di Propinsi Fukien, susunan ruang pada tiga sisi pekarangan yang dihubungkan oleh dinding (we chiang) dan gerbang pada sisi lainnya menjadi pembatas pekarangan rumah dengan lingkungan permukiman. Panyengker karang dalam ATB dan konsep courtyard dalam rumah Tionghoa di Tiongkok Selatan sama-sama diakomodir dalam spasial rumah etnis Tionghoa, sehingga batas (territory) dalam pola spasial adalah tembok panyengker. Tembok panyengker menjadi batas wilayah hunian dan kekuasaan dari etnis Tionghoa atas karang desa yang dikelilingi oleh pagar masif di keempat sisinya. Ruang suci pun memiliki batas, antara lain: sanggah, palinggih surya dan panunggun karang dibatasi oleh tembok panyengker, sedangkan rumah abu dan kongco dibatasi dengan perbedaan level dengan ruang-ruang lainnya. Penerapan perletakan pamesuan dalam ATB diakomodir dalam pola spasial, antara lain: (1) rumah menghadap ke arah kauh, sebagian besar pamesuan pada hitungan ke-3 sebanyak empat rumah, variasi lain adalah pada hitungan ke-4 sebanyak lima rumah; (2) rumah menghadap ke arah kangin, pamesuan pada hitungan ke ke-3 sebanyak dua rumah, 119 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK variasi lain adalah pada hitungan ke-6 sebanyak satu rumah; (3) rumah menghadap ke arah kaja, pamesuan pada hitungan ke-4 sebanyak dua buah, variasi lain adalah pada hitungan ke-7; (4) rumah menghadap ke arah kelod, pamesuan pada hitungan ke ke-7 sebanyak satu buah, variasi lain adalah pada hitungan ke-8 sebanyak satu buah dan hitungan ke-3 sebanyak satu buah. d. Tingkatan (Hierarchy) Rumah tradisional Bali dataran mengandung tiga nilai ruang berdasarkan zona di dalam pekarangan. Rumah tradisional Bali dataran dibagi atas tiga tingkatan ruang berdasarkan jenis dan fungsi elemen ruang di dalam pekarangan. Tiga nilai ruang tersebut antara lain: sanggah yang berada pada tingkatan utama; natah dan bale-bale berada pada tingkatan madya; pamesuan dan aling-aling pada tingkatan nista. Sedangkan rumah di Tiongkok Selatan, areal pekarangan dibagi atas tiga sifat ruang terdiri dari: hall altar leluhur, dan ruang tidur orang tua berada pada pusat aksis mingtang, hall dan ruang tidur milik anak-anak berada pada xiangfang, dan gerbang berada pada thamen. Tiga nilai ruang dalam ATB dan tiga sifat ruang dalam arsitektur rumah di Tiongkok Selatan ditransformasikan dalam konsep hirarki dalam pola spasial dengan tingkatan ruang yang jelas, memperlihatkan adanya gradasi berurut dari kaja ke kelod atau kangin ke kauh yang menunjukkan adanya derajat kepentingan pada peran fungsional dengan pembagian tiga ruang. Secara keseluruhan tingkatan dalam pola spasial membentuk kategori ruang, meliputi nilai dan sifat ruang. Tiga tingkatan nilai ruang dalam pola spasial, meliputi: ruang suci antara lain sanggah, palinggih surya, panunggun karang, rumah abu, kongco berada di posisi kaja atau kangin dari pekarangan; ruang profan adalah ruang usaha yang berada di posisi dekat pamesuan dan arah kelod atau kauh; dan ruang madya adalah natah dan ruang hunian yang berada di antara ruang sakral dan ruang profan. Tiga sifat ruang dalam pola spasial, meliputi ruang privat yang berada jauh dari pamesuan, antara lain: sanggah, palinggih surya, panunggun karang, rumah abu, kongco; ruang semipublik adalah transisi antara privat dan publik, antara lain ruang hunian dan natah; dan ruang publik yang berada dekat pamesuan, antara lain: warung. e. Arah (Orientation) Susunan massa di dalam pekarangan membentuk ruang kosong di tengah disebut natah yang menjadi pusat orientasi. Pada rumah tradisional milik krama Bali di Desa Carangsari, bale daja/meten, bale dauh, bale gede, bale delod, dapur, sanggah, dan panunggun karang berorientasi pada natah di tengah. Sedangkan dalam arsitektur 120 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK tradisional Tiongkok, ruang-ruang di dalam pekarangan rumah menghadap ke arah ruang terbuka di tengah yang disebut dengan tianjing. Pada rumah Tionghoa di Propinsi Fukien, ruang altar leluhur, ruang tidur, dapur, gerbang mengelilingi halaman di tengah sebagai pusat orientasi. Natah dan tianjing ditransformasikan dalam konsep arah (orientation) pola spasial. Sebagian besar pola spasial meliputi: ruang suci, ruang hunian, dan ruang usaha menghadap ke arah ruang terbuka yang berada di tengah. Variasinya ruang terbuka tidak berada tepat di tengah pekarangan, antara lain: natah yang berada di kelod, kauh, kaja dan kangin. Hal tersebut disebabkan oleh bentuk lahan, sehingga natah berada di dekat jalan. Selain pekarangan rumah, area tengah sanggah juga menjadi titik pusat orientasi dari palinggihpalinggih yang ada di dalamnya. IV. SIMPULAN DAN SARAN 4.1. Simpulan Setelah dilakukan identifikasi wujud pola spasial dan analisis terhadap inkulturasi prinsip ATB dalam pola spasial, maka didapat penanda (signifier) dalam pola spasial. Pola spasial merupakan hasil sebuah proses panjang inkulturasi yang terdiri dari tiga tahapan, yaitu tahapan akulturasi, asimilasi, dan transformasi. Adapun simpulan yang dapat dijabarkan adalah: 1. Tahap Akulturasi, dalam tahap akulturasi dapat dilihat nyama toko menggunakan prinsip-prinsip yang ada dalam Arsitektur Tradisional Bali (ATB), meliputi: (a) Prinsip filosofis Tri Hita Karana, Dewata Nawa Sanga, Rwa Bhineda; (b) Prinsip praktis Ulu-Teben, Tri Mandala, Sanga Mandala, Natah; (3) Prinsip manfaat dalam ATB yang diakulturasikan dalam pola spasial adalah prinsip upakara dan undagi. Akulturasi yang terjadi dalam masuk dalam kategori Akulturasi Antagonistis, yang memiliki tujuan agar dapat diterima/diijinkan menempati dan mendirikan rumah di karang desa. 2. Tahap Asimilasi dan Transformasi, tahapan kedua dalam proses inkulturasi adalah asimilasi, yakni tahapan ketika dua kebudayaan yang bertemu mulai berpadu. Sedangkan tahapan yang terakhir adalah transformasi, yang terjadi dua arah. Transformasi bentuk sebagai kata kunci inkulturasi dapat dijumpai pada variabel elemen pola spasial, meliputi: (a) asimilasi dan transformasi bentuk dasar yang tercipta adalah pengembangan bentuk persegi (rectangle/square); (b) asimilasi dan transformasi letak yang tercipta adalah pembagian sembilan zona; (c) asimilasi dan transformasi batas/teritori yang tercipta adalah tembok panyengker dan pamesuan; (d) asimilasi dan transformasi tingkatan/hierarki yang tercipta adalah hirarki nilai dan sifat ruang; (e) asimilasi dan transformasi arah/orientasi yang tercipta adalah orientasi ke arah natah/ruang terbuka. 121 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK 4.2. Saran Tingkat kesadaran etnis Tionghoa harus ditingkatkan dari tingkat ‘tahu’ menjadi ‘kenal’ dan kemudian ‘memahami’. Hendaknya perkumpulan Sari Semadi menerbitkan catatan sejarah kedatangan etnis Tionghoa ke Desa Carangsari dan makna symbol dalam pola spasial. Pengaruh positif akan timbul karena etnis Tionghoa menjadi tahu bahwa terdapat beberapa kesesuaian makna simbolis antara agama Hindu dan kepercayaan Tionghoa, yang akan menambah rasa memiliki terhadap rumah tersebut. Sehingga peristiwa pengambilalihan hak karang desa pada etnis Tionghoa oleh pihak desa tidak terulang lagi. Inkulturasi sebagai bentuk usaha penyesuaian diri terhadap budaya lokal harus kembali diterapkan, sehingga budaya lokal tidak tergerus melainkan tetap menunjukkan eksistensi dan identitasnya. Inkulturasi yang dilakukan hendaknya melewati tahapan proses akulturasi-asimilasi-transformasi, sehingga hasil akhir yang didapatkan adalah hasil yang sarat makna, bukan tanpa makna. Pihak pelaku inkulturasi harus memiliki pemahaman yang benar serta pengetahuan yang luas mengenai budaya lokal. Dengan demikian unsur budaya lokal yang diangkat bukan hanya yang dikulit saja, melainkan juga memperhatikan pemaknaan yang terkandung di dalamnya. DAFTAR PUSTAKA Ali, Lukman, et al. (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan). 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka Anonim. 2009. Database Desa Adat Carangsari. Tidak diterbitkan. _______. 1984. Rumusan Arsitektur Bali, Proyek Penyusunan Naskah Arsitektur Tradisional Bali. Denpasar: Dinas Pekerjaan Umum, Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Bali Budiharjo, Eko. 1990. Architectural Conservation in Bali. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Covarrubias, Miguel. 1937. Island of Bali. London: KPI Limited 11 New Petter Lane. Duarsa, Wayan Subrata. 1999. “Makna Simbolik Angkul-Angkul di Bali” (tesis). Denpasar: Universitas Hindu Indonesia. Eco,Umberto. 2009. A Theory of Semiotics. Indiana University Press Gelebet, Nyoman. dkk. 1986. Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Bali, Denpasar. Gomudha, I Wayan. 1999. Reformasi Nilai-Nilai Arsitektur Tradisional Bali pada Arsitektur Kontemporer di Bali (tesis). Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh November. Habraken, N. John. 1978. General Principles A Bout the Way Built Environment Exist. Massachusetts. Hillier, B. & Hanson, J. 1984. The Social Logic of Space. Cambridge: Cambridge University Press. Koentjaraningrat. 2000. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 122 JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK _____________. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru Nasution,S. 1988. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito Pratiwo. 2010. Arsitektur Tradisional Tionghoa dan Perkembangan Kota. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Prier, Karl Edmund. 1999. Inkulturasi Nyanyian Liturgi. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi Rapoport, Amos. 1969. House Form and Culture. Engelwood Cliffs, New York: Prentice Hall. Inc Ronald, Arya. 2005. Nilai-nilai Arsitektur Rumah Tradisional Jawa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sulistyawati, Made. (Editor). 2011. Integrasi Budaya Tionghoa ke dalam Budaya Bali dan Indonesia (sebuah bunga rampai). Bali: Universitas Udayana. _______________________. 2007. Konsep dan Prinsip Arsitektur Tradisional Bali serta Nilai Budayanya. Buku Ajar Program SIT Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana. Belum dipublikasikan Zeisel, John. 1981. Inquiry by Design, Tools for Environment, Behaviour Research. California; Cambridge University Press. Zoest, Aart Van. 1978. Semiotika, Pemakaiannya, Isinya dan Apa yang Dikerjakan Dengannya (Terjemahan). Bandung: Unpad 123