jurnal ilmiah kurva teknik - UNIVERSITAS MAHASARASWATI

advertisement
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
KURVA TEKNIK.
Adalah Jurnal Ilmiah Teknik Sipil dalam arti luas yang mempublikasikan hasil penelitian,
perencanaan atau kajian review pada semua aspek dari tahap perencanaan, pelaksanaan,
maupun pengawasan baik itu bahan/material konstruksi, peralatan, struktur/konstruksi,
operasional, maintenance, maupun manajemen konstruksinya.
Pembina
: Dekan Fakultas Teknik, UNMAS. Denpasar.
Penasehat
: Wakil Dekan FT. UNMAS. Denpasar.
Penanggung jawab : Ka. Prodi Teknik Sipil, FT. UNMAS. Denpasar.
Pemimpin Redaksi
Ir. I Made Sastra Wibawa, M.Erg.
Sekretaris Redaksi
Ir. Ni Ketut Sri Astati Sukawati, MT.
Mitra Bestari (Dewan Redaksi)
1. Prof. Ir. I Wayan Redana, M.Sc.,Ph.D. (UNUD. Denpasar).
2. Ir. I Nyoman Arya Thanaya, ME.,Ph.D. (UNUD. Denpasar).
3. Ir. Mudji Wahyudi, Ph.D. (UNRAM. Mataram)
Pelaksana Redaksi
1. Ir. I Gede Ngurah Sunatha, MT.
2. Ir. I Made Letra, M.Si
3. Ir. I Ketut Sudipta Giri, MT.
4. I Gusti Agung Gde Suryadarmawan, ST.,MT.
5. Tjokorda Istri Praganingrum, ST., MT.
Sirkulasi
I Made Purnata.
Kurva Teknik adalah jurnal ilmiah bidang Teknik Sipil yang berbasis pada manajemen
konstruksi, yang diterbitkan oleh Fakultas Teknik Universitas Mahasaraswati Denpasar.
Jurnal ilmiah ini diterbitkan dua kali dalam setahun ( Maret, Nopember) dengan 1 volume dan
2 nomor penerbitan.
Makalah dapat ditulis dalam bahasa Inggris atau bahasa Indonesia, dikirim kepada
redaksi dan pada tahap awal dilakukan evaluasi mengenai subjek materi dan kualitas teknik
penulisan secara umum oleh pemimpin redaksi, selanjutnya dikirim kepada minimal 1 mitra
bebestari di bidangnya untuk evaluasi substansi materi, serta tahap akhir akan ada saran
penyempurnaan dari pelaksana redaksi.
Makalah yang dinyatakan diterima serta telah
diperbaiki sesuai saran redaksi akan diterbitkan dalam jurnal Kurva Teknik.
Petunjuk format penulisan makalah terlampir pada halaman akhir dari jurnal ini.
Redaksi Kurva Teknik
Sekretriat : Fakultas Teknik Universitas Mahasaraswati Denpasar
Jl. Kamboja No. 11 A Denpasar Telp. (0361) 240551 ; 8636490 Denpasar, Bali.
e-mail : [email protected]
ISSN : 2089-6743
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
Vol. 2 No. 1 Maret 2013
PS TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR
JURNAL ILMIAH
KURVA TEKNIK
KURVA TEKNIK
Vol. 2
JURNAL
ILMIAH
No. 1
Hlm. 125
DENPASAR
MARET
2013
ISSN
2089-6743
ISSN : 2089-6743
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
PENGANTAR REDAKSI
Puji syukur kami panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang
Maha Esa, karena berkat Asung Kerta Wara NugrahaNya kami dapat mewujudkan keinginan
kami untuk menerbitkan sebuah Jurnal Ilmiah yang kami beri nama “Kurva Teknik”.
Majalah atau Jurnal Ilmiah ini telah mendapatkan ISSN (International Standard Serial
Number) dari Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(PDII-LIPI) dengan nomor ISSN : 2089-6743 tertanggal 30 Desember 2011. Jurnal ini yang
dikelola oleh Fakultas Teknik Universitas Mahasaraswati Denpasar merupakan media untuk
mempublikasikan hasil-hasil penelitian murni atau terapan dalam arti luas tentang aspek
Teknik Sipil mulai dari perencanaan/disain, pelaksanaan, pengawasan, operasional,
maintenance, maupun manajemen konstruksi baik yang menyangkut bahan/material
konstruksi, peralatan, dan strukturnya. Kehadiran jurnal ini diharapkan dapat menjadi sumber
informasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) bagi siapa saja, baik kalangan akademisi
maupun masyarakat luas. Jurnal ilmiah ini sekaligus sebagai wahana untuk memotivasi dosen
peneliti, praktisi, dan civitas akademika maupun siapa saja dapat ikut menyumbangkan hasil
penelitian ataupun buah pemikirannya. Disamping diperuntukkan bagi civitas akademika
Universitas Mahasaraswati Denpasar (UNMAS Denpasar), setiap terbitan redaksi menerima
artikel, hasil penelitian, atau buah pikiran dari para peneliti kalangan civitas akademika dari
luar UNMAS Denpasar.
Atas nama redaksi kami menghaturkan terimakasih yang setinggi-tingginya atas
sumbangan artikel dari semua pihak sehingga Jurnal Ilmiah Kurva Teknik Vol. 2 No. 1
Periode Maret 2013 dapat kami terbitkan.
Akhirnya kami mohon saran dan kritik yang konstruktif dari semua pihak demi
penyempurnaan jurnal ini, kami berharap jurnal ilmiah Kurva Teknik dapat memenuhi
kebutuhan informasi para akademisi, praktisi, dan masyarakat dalam bidang penelitian dan
penerapan Iptek.
Denpasar, Maret 2013
Dewan Redaksi
i
ISSN : 2089-6743
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
DAFTAR ISI
1. ANALISIS FINANSIAL PEMBANGUNAN BENDUNG PULU DI KABUPATEN
BANGLI
(I Made Letra dan I Nengah Subagia) ................................................................................. 1
2. PEMBANGUNAN
JEMBATAN
PENYEBERANGAN
INOVASI
HIDROLIS
DENGAN MENGGUNAKAN RANGKA BAJA RINGAN SEBAGAI SOLUSI BAGI
PARA PEJALAN KAKI UNTUK MEMECAHKAN KEMACETAN DI KOTA
DENPASAR
(I Wayan Agus Rudiartama dan Ni Ketut Sri Astati Sukawati).......................................... 17
3. ANALISA SETLEMEN CARA ANALITIS DAN METODE FINITE ELEMENT
PADA TANAH LUNAK DENGAN SOFTWARE SEBAGAI ALAT BANTU
(I Wayan Giatmajaya) ........................................................................................................ 36
4. KAJIAN TERHADAP MEKANISME PERIZINAN PEMANFAATAN LAHAN
TEBING TUKAD AYUNG, KEDEWATAN, UBUD, GIANYAR
(Tjokorda Istri Praganingrum) .......................................................................................... 50
5. PULIHNYA
KUAT
TEKAN
BETON
PASCA
KEBAKARAN
SETELAH
DILAKUKAN PENYIRAMAN AIR
(I Made Sastra Wibawa dan I Gede Ngurah Sunatha) ...................................................... 69
6. KARAKTERISTIK
FISIK
CAMPURAN
BATU
BATA
DENGAN
MEMANFAATKAN ABU SISA PEMBAKARAN LIMBAH KAYU
(I Made Nada dan Ida Bagus Suryatmaja) ........................................................................88
7. DAMPAK NOx TERHADAP LINGKUNGAN
(I Gede Oka Darmayasa) ...................................................................................................98
8. INKULTURASI ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI DALAM POLA SPASIAL
RUMAH ETNIS TIONGHOA DI DESA ADAT CARANGSARI, BADUNG
(Siluh Putu Natha Primadewi) ........................................................................................ 108
ii
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
ANALISIS FINANSIAL
PEMBANGUNAN BENDUNG PULU DI KABUPATEN BANGLI
Oleh :
I Made Letra
I Nengah Subagia
Abstrak
Bendung Pulu terletak di aliran sungai Pulu, Kelurahan Bebalang Kecamatan dan
Kabupaten Bangli yang dibangun dengan biaya pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD). Sebagai suatu kegiatan dengan dana besar, maka perlu dilakukan
suatu analisis finansial terhadap pembangunan Bendung Pulu untuk mengetahui apakah layak
atau tidak layak dari segi finansial, apakah dapat memberikan manfaat kepada sektor pertanian,
sehingga bagaiamana korelasinya terhadap peningkatan nilai produksi pertanian
Untuk menganalisa aspek finansial dari pembangunan Bendung Pulu digunakan tolok ukur
analisis finansial seperti: Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR), payback period
(PP) dan lnternal Rate of Return (IRR). Sedangkan, untuk analisa korelasinya digunakan
metoda kal person.
Dari hasil analisa finansial pada tingkat suku bunga pinjaman yang berlaku diperoleh Net
Present Value (NPV) benilai positif, Benefit Cost Ratio (BCR) lebih besar dari satu serta
Intemal Rate of Retun (iRR) lebih besar dari tingkat suku bunga pinjaman yang berlaku.
Sedangkan untuk Korelasi nilai r antara biaya akibat adanya Bendung Pulu dengan nilai
produksi pertanian adalah mendekati satu. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa
pembangunan Bendung Pulu layak dilihat dari aspek finansial. Dan memiliki korelasi yang
sangat kuat terhadap peningkatan nilai produksi pertanian.
Kata kunci: Bendung Pulu, analisa finansial, korelasi
I.
PENDAHULUAN
Sektor pengerak perekonamian paling utama wilayah pedesaan pada umumnya yaitu
pada sektor pertanian. Sektor ini menampung tenaga kerja paling banyak dibandingkan dengan
sektor-sektor yang lain. Dalam mengelola usaha pertanian ketersediaan sumberdaya air
merupakan salah satu pendukung utama. Dengan tersedianya air untuk irigasi secara
berkesinambungan maka pola tanam pertanian akan dapat dilangsungkan sepanjang tahun,
tanpa tergantung dari musim hujan
Ketersediaan air irigasi untuk lahan pertanian secara berkesinambungan akan dapat terwujud
jika didukung oleh infrastuktur irigasi yang memadai. Infrasturktur irigasi ini terdiri dari
jaringan irigasi serta bangunan utama dari irigasi. Adapun bangunan utama dalam bidang
irigasi dapat berupa waduk, bendung, stasion pompa ataupun banguna pengambilan bebas.
Bendung yang merupakan infrasturtur bangunan utama dalam bidang irigasi mempunyai fungsi
meninggikan permukaan air untuk dialirkan kedaerah irigasi yang direncanakan. Dengan
adanya bendung ini ketersediaan air untuk keperluan irigasi dapat dipertahankan, sehingga
dapat meningkatkan produksivitas lahan pertanian, baik itu tanaman padi maupun palawija
serta tanaman hortikultura lainnya.
6
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
Salah satu bendung yang berada di propinsi Bali adalah Bendung Pulu yang
berada pada daerah irigasi Tunggak Alas yang menaikan muka air dari tukad Pulu di
Kecamatan Bangli,
Kabupaten Bangli. Bendung ini mengalirkan air untuk irigasi pertanian ke subak yang
berada di kawasan Taman Bali terutama di daerah subak Kuning.
Pada bualn November 2010 Bendung Pulu mengalami kerusakan. Hal ini disebabkan
oleh terjadinya banjir di sekitar lokasi bendung yang merupakan dampak dari
penebangan pohon.
tanpa disertai reboisasi, berkurangnya daerah resapan air di daerah hulu
Kerusakan bendung pulu membawa akibat yang cukup luas bagi lahan
pertanian yang memperoleh pengaiaran dari bendung tersebut. Pola tanam lahan
pertanian menjadi terganggu dan terancam gagal panen karena kurangnya air irigasi
yang hanya memanfaatkan air hujan dan dari bendung darurat yang dibuat secara
sederhana. Sehingga produktivitas lahan pertanian menjadi menurun.
Pada akhirnya pembangunan kembali Bendung tersebut dapat terrealisasi di
tahun 2011 oleh Pemerintah Kabupaten Bangli yang menggunakan dana dari APBD
2011. Pembangun sebuah bendung tentunya merupakan kegiatan pembangunan yang
bersekala besar dengan dana yang cukup besar pula, oleh sebab itu maka perlu
diadakan studi untuk mengevaluasi kelayakan dari pembangunan Bendung Pulu
apakah, dapat memberikan manfaat dalam meningkatkan nilai produksi pertaniaan
ataupun memenuhi persyaratan-persyaratan kriteria investasi jika ditinjau dari segi
analisis ekonomi teknik.
II.
2.1.
METODA PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini bertempat di aliran Sungai Pulu yang berada di wilayah
Kel. Bebalang Kec.Bangli Kabupaten Bangli.
2.2.
Objek Studi
Objek studi dalam penelitian ini adalah data perencanaan dan pembangunan Bendung
Pulu, di Kabupaten Bangli apakah pembangunan bendung tersebut dapat memberi manfaat
terhadap peningkatan produksi pertanian dan memenuhi syarat investasi jika ditinjau dari segi
analisa aspek finansial.
Sumber data
Adapun data yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber dari:
a. Data Primer : Yaitu data yang dikumpulkan langsung dari sumber objek studi, dalam
hal ini adalah hasil wawancara atau interviu dengan pemilik proyek yaitu dari dinas
P.U. Kab. Bangli, mengenai nilai kegiatan, biaya perencaan, Biaya O.P bendung Pulu,
serta umur kegiatan.
b. Data Sekunder: Yaitu data yang diperoleh sumber –sumber yang telah ada atau pihak
lain yang mendukung penelitian ini misalnya; literatur-literatur, data O.P. Padi dan
produksi padi dari Dinas PPP Kab.7 Bangli, harga gabah Dari BPS, instansi terkait
lainnya
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
3.4.
data
3.
BiayaPengumpulan
Pemeliharaan (Mantence
Cost)
Metode yang digunakan dalam mengumpulkan data untuk penelitian ini adalah sebagai
Agar fasilitas bendungan dalam hal ini fasilitas Bendung Pulu dapat dan dalam
berikut:
prima(Observasi)
maka perlu biaya
pwatuan
bangunan
1. kondisi
Pengamatan
: Yaitu
terjununtuk
langsung
atau beserta
melihatfasilitasnya.
langsung kelapangan
Dari analisa biaya biaya tersebut akan didapat atau diketahui total biaya /real
terhadap
cost 39
objek
penelitian yaitu Bendung Pulu dan Wilayah irigasinya.
2. Penelusuran Literatur: Yaitu Mengumpulkan data dengan menggunakan sebagian atau
seluruh yang telah ada dari laporan data penelitian sebelumnya Misalnya data dari Dinas
PPP Kab. Bangli Berupa analisa Biaya O.P pertanian, laporan produksi pertanian serta
data-data dari BPS.
3. Wawancara (Interviu): Yaitu Mengumpulkan data dengan mengadakan tanya jawab
langsung kepada objek Studi atau perantara yang berwenang serta mengetahui persoalan
dari objek studil misalnya, data dari tanya jawab dengan pihak Dinas P.U. Kab. Bangli
tentang biaya dan umur kegiatan Bendung Pulu.
3.5.
Analisa Data
Dari data-data yang berkaitan dengan aspek finansial yang diperoleh melalui
pengumpulan data dan wawancara dengan dinas P.U. Kab. Bangli selaku pemilik kegiatan serta
pengelola bendung dan Dinas PPP Kab. Bangli selaku dinas yang menangani bidang pertanian
serta dinas-dinas yang lain selanjutnya dianalisa. Adapun analisa finansial dalam penelitian ini
terbagi atas:
A. Faktor Biaya
1. Biaya investasi (investment cost)
Biaya investasi (investment cost) dalam penelitian ini merupakan semua pengeluaran
biaya yang dipergunakan untuk merealisasikan Bendung Pulu, Bangli agar dapat
beroperasi dengan baik, adapun biaya tersebut diantaranya biaya perencanaan,biaya
konstruksi dan biaya pengawasan.
2. Biaya Operasional (operational Cost)
Biaya operasional yaitu segala pengeluaran dalam rangka menjalankan aktivitas usaha
agar berjalan normal yang biasanya bersipat rutin dan periodik dalam waktu tertentu
misalnya; Biaya gaji/upah karyawan, biaya untuk administrasi dan biaya tak terduga
lainnya.
18
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
1. Biaya investasi (investment cost)
Biaya investasi (investment cost) dalam penelitian ini merupakan semua
pengeluaran biaya yang dipergunakan untuk merealisasikan Bendung Pulu,
Bangli agar dapat beroperasi dengan baik, adapun biaya tersebut diantaranya
biaya perencanaan,biaya konstruksi dan biaya pengawasan.
2. Biaya Operasional (operational Cost)
Biaya operasional yaitu segala pengeluaran dalam rangka menjalankan aktivitas
usaha agar berjalan normal yang biasanya bersipat rutin dan periodik dalam
waktu tertentu misalnya; Biaya gaji/upah karyawan, biaya untuk administrasi
dan biaya tak terduga lainnya.
3. Biaya Pemeliharaan (Mantenance Cost)
Agar fasilitas bendungan dalam hal ini fasilitas Bendung Pulu dapat dan dalam
kondisi prima maka perlu biaya perawatan untuk bangunan beserta fasilitasnya.
Dari analisa biaya biaya tersebut akan didapat atau diketahui total biaya /real
cost
B. Faktor Manfaat (Benefit)
Dari kegiatan operasional Bendung Pulu akan diperoleh juga berupa hasil usaha
yang disebut benefit. Untuk menentukan benifit dalam penelitian digunakan
metoda peramalan yaitu metoda regresi dari data-data yang tersedia. Data
tersebut berupa peningkatan produksi lahan yang memanfaatkan langsung aliran
air dari Bendung Pulu , untuk selanjutnya dianalisa sehinga diketahui total benifit
C. Analisa Evaluasi pembangunan Bendung Pulu di Kabupaten Bangli
Dari hasil analisa faktor biaya dan faktor manfaat yang berupa total cost dan total
benefit kemudian dievaluasi dengan mengunakan kriteria-kriteria investasi
berupa:
1. Metode Net Present Value
Metode Net Present Value adalah metode yang menghitung selisih antara nilai
pada saat sekarang investasi dengan penerimaan kas bersih di masa yang akan
datang. Penilaian dinyatakan layak bila NPV positif, dan dinyatakan tidak
layak bila NPV bernilai negatif.
2. Benefit Cost Ratio (BCR)
19
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
Metode BCR adalah menghitung perbandingan antara benefit dan cost dalam
suatu investasi. Penilaian dinyatakan layak bila BCR lebih dari 1 (satu), dan
dinyatakan tidak layak bila BCR kurang dari 1 (satu).
3. Internal Rate of Return (IRR)
Metode IRR adalah menghitung tingkat bunga yang menyamakan nilai pada
saat sekarang investasi dengan penerimaan kas bersih di masa yang akan
datang. Penilaian dinyatakan layak dan menguntungkan bila tingkat bunga
lebih besar dari pada tingkat bunga relevan (tingkat keuntungan yang
diisyaratkan), dan dianggap merugikan bila nilai bunganya lebih kecil.
4. Payback Period (PP)
Metode Payback Period adalah menghitung seberapa lama (periode) investasi
akan dapat dikembalikan saat terjadinya kondisi pulang pokok (break event
point).
D. Analisa Sensitivitas
Analisa Sensitivitas adalah menghitung pengaruh faktor suku bunga uang,
yaitu untuk suku bunga 12% dengan kondisi, meliputi :
- jika biaya(cost)bertambah 10% dan pendapatan (benefit) tetap
- jika biaya (cosl) tetap dan pendapatan (benefit) berkurang 10%
- Jika biaya (cost) bertambah l0 % dan pendapatan (benefit) berkurang 10%
E. Analisa Korelasi
Analisa korelasi ini dalah untuk mengetahui seberapa kuat pengaruh dari investasi
pemerintah dalam membangun bendung terhadap peningkatan produksi lahan
pertanian yang dinyatakan dalam koefisien korelasi.
Hasil Analisa
Adapun hasil-hasil dari analisa ekonomi terdiri dari nilai-nliai metoda analisa aspek
ekonomi rencana pembangunan Bendungan Pulu, Bangli yaitu berupa nilai:
NPV, IRR, BCR, PP.
Kajian Hasil Analisa
Dari hasil analisa diatas, akan dapat di simpulkan tentang kelayakan suatu invertasi
serta korelasi dari pembangunan bendung Pulu di Kabupaten Bangli setelah, nilai dari hasil
metoda analisa ekonomi dan koefisien korelasi tadi di kaji kembali terhadap kriteria investasi
20
dan korelasi.
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
III.
3.1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data Biaya Awal
Menurut keterangan dari Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bangli Biaya yang
dibutuhkan untuk merealisasikan Bendung Pulu, Bangli ini terdiri dari:
Biaya perencanaan = Rp
46,246,000,-
Biaya kontruksi
= Rp 1,432,165,000,-
Total
= Rp 1,478,411,000,-
Seluruh biaya ini bersumber dari APBD Kabupaten Bangli
3.2.
Analisa
Biaya
Operasional
dan
Pemeliharaan,
bunga
komersil,
Depresiasi
Biaya Operasional dan Pemeliharaan Bendung Pulu, Bangli menurut
informasi Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Bangli diasumsikan sebesar 5 %
pertahun dari total nilai konstruksi Bendung Pulu, Bangli yaitu 5% x
Rp1,432,165,000,- = Rp 35,803,900,- pertahun selama umur rencana kegiatan dengan
peningkatan diasumsikan sebesar 10% pertahun.
Sedangkan untuk menghitung biaya bunga komersil dan deperesiasi dalam analisa
finansial Bendung Pulu , Bangli digunaka tingkat suku bunga wajar per-tanggal 15
Desember 2011dari LPS yaitu sebesar 6,5% pertahun sehinga untuk biaya bunga dan
depresiasi Bendung Pulu, Bangli menjadi;
Biaya bunga pertahun : 6,5% x Rp1,478,411,000,= Rp 96,096,715,Depresiasi Pertahun : = Rp 84,724,560.823.3.
Analisa Peramalan
Seperti diuraikan dalam tinjauan pustaka analisa peramalan memegang peranan penting
dalam pengkajian aspek ekonomi. Data-data yang dipakai dan didapatkan sejauh ini adalah
data saat ini dan data masa lampau yang belum dapat membantu dalam proses pengambilan
keputusan sehingga perlu diramalkan untuk mendapatkan proyeksi sampai tahun 2036 sesuai
dengan umur ekonomis Bendung Pulu , Bangli yaitu 25 tahun. Adapun yang diproyeksi dalam
menganalisa aspek finansial Bendung Pulu , Bangli adalah daftar harga Gabah kering Petani di
Propinsi Bali
Untuk memperkirakan hal tersebut di atas digunakan beberapa metode peramalan yaitu:
1. Metode Trend Linear
2. Metode Trend Kuadratik
3. Metode Trend Simple Eksponensial
21
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
Pedoman untuk pemilihan metode peramalan yang tepat untuk serangkaian data deret
waktu tertentu adalah trend yang memberikan harga kuadrat penyimpangan nilai
peramalan dengan nilai trend terkecil atau harga Σ (Yi - Y')² terkecil.
3.4.
Peramalan Untuk Harga Gabah Kering Petani
Data yang digunakan untuk meramalkan harga gabah kering petani untuk
tahun-tahun mendatang adalah data harga mulai th 2007 sampai dengan th 2011
seperti dalam Tabel 1.
Proses pengolahan data harga gabah kering petani dengan menggunakan ketiga
metode tersebut diatas dapat dilihat pada Lampiran la. Dari hasil perhitungan
diperoleh metode peramalan dengan harga Σ(Yi -Y')² terkecil yaitu dengan metode
Trend Linier, sehingga model persamaan yang dipakai adalah persamaan linier.
Adapun persamaan linier yang dipakai adalah :
Y= 2714,3 +332,4 X
Sehingga dari persamaan tersebut akan didapat perkiraaan harga gabah
kering petani sampai dengan tahrm 2055 seperti dalam Tabel 2.
Tabel 1 Data Harga Gabah Kering Petani Tahun 2007-2011
TAHUN
HARGA GABAH KERING
PETANI (RP/Kg)
2007
2240
2008
2283
2009
2540
2010
2932
2011
3577
Tabel 2. Hasil peramalan Harga Gabah Kering Petani Sampai Tahun 2012
TAHUN
HARGA GABAH KERING
PETANI (RP/Kg)
2007
2240
2008
2283
2009
2540
2010
2932
2011
3577
2012
3711
3.5.
Analisa Pendapatan
Sesuai dengan uraian pada tinjaun pustaka tentang manfaat dari suatu
kegiatan dalan analisa finansial maka, pendapatan dari bendung Pulu, Bangli adalah
kenaikan hasil sawah berupa kenaikan produksi padi karena semakin baiknya sistem
irigasi untuk mengairi sawah. Dalam hal ini untuk mendapatkan produksi pertanian
yang di pengaruhi oleh pembangunan Bendung Pulu, di Kabupaten Bangli adalah
dengan membandingkan produksi padi dari lahan pertanian ketika adanya Bendung
Pulu, Bangli dengan produksi padi dari lahan pertanian tanpa adanya Bendung Pulu,
22
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
Bangli. Perbandingan tingkat produksi padi tersebut dapat dilihat seperti dalam tabel
3 dan tabel 4.
tabel 3 Produksi pertanian tanpa adanya Bendung Pulu, Kabupaten Bangli
Areal
Musim tanam (Ha)
Produksi
(ton)
I
II
III
Jumlah
Pli siladan
5
2
0
7
51,52
Pel. Jelekungkang
11
8
0
19
139,84
Tam. Jelekungkang
13
10
0
23
169,28
Total
29
20
0
49
360,64
tabel 4 Produksi pertanian dengan adanya Bendung Pulu, Kabupaten Bangli
Areal
Musim tanam (Ha)
Produksi
(ton)
I
II
III
Jumlah
Pli siladan
11,5
11
10
32,5
227,04
Pel. Jelekungkang
8
8
8
24
126,72
Tam. Jelekungkang
16
16
16
48
253,44
Total
35,5
35
34
104,5
607,2
Dengan mengurangkan atau mencari selisih dari produksi pertanian dengan
beroperasinya bendung Pulu (tabel 4.3) dan produksi pertanian tanpa adanya bendung
Pulu (tabel 4.4), akan didapat peningkatan produksi pertanian . Adapun hasilnya
sebagai berikut :
Produksi padi : 607,2 ton/tahun - 360,64 ton/tahun = 246,56 ton/tahun
Menurut informasi dari dinas Pertanian Kabupaten Bangli bahwa harga produksi
dengan biaya produksi memiliki perbandingan 2,0. Perbandingan biaya ini akan
digunakan untuk mengetahui pendapatan bersih dalam bidang pertanian. Hal ini
menunjukkan total pendapatan dalam bidang pertanian .
Tolak Ukur Analisa Finansial
A. Net Present Vulae (NPV)
Adalah selisih antara seluruh net cash flow atau keuntungan selama umur
ekonomis dengan nilai investasi awal yang dirumuskan sebagai berikut :
1. Discount Rate 10%
Besarnya Present Value Of Benefit Rp 4.470.243.783 ,- dan besarya Present
Value Of
Cost Rp 1.478.411.000,- sehingga nilai NPV adalah:
NPV = PV Beneft - PV Cost
= ( Rp 4.470.243.783 ,- ) - (Rp 1.478.411.000,-)
= Rp 2.991.832.783 ,-
23
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
Dari hasil tersebut diatas didapat NPV yang bernilai positif, ini berarti
penerimaan kas bersih di masa yang akan datang lebih besar dari nilai investasi.
2. Discount Rate 12%
Besarnya Present Value Of Benefit Rp 3.696.737.850,- dan besarya Present
Value Of Cost
Rp 1.478.411.000,- sehingga nilai NPV adalah:
NPV = PV Beneft - PV Cost
= (Rp 3.696.737.850,-) - (Rp 1.478.411.000,-)
= RP 2.218.326.850
Dari hasil tersebut diatas didapat NPV yang bernilai positif, ini berarti
penerimaan kas bersih di masa yang akan datang lebih besar dari nilai investasi.
3. Discount Rate 15%
Besarnya Present Value Of Benefit Rp 2.886.438.623,- dan besarya Present
Value Of
Cost Rp 1.478.411.000,- sehingga nilai NPV adalah:
NPV = PV Beneft - PV Cost
= (Rp 2.886.438.623 ,-) - (Rp 1.478.411.000,-)
= RP 1.388.027.623,Dari hasil tersebut diatas didapat NPV yang bernilai positif, ini berarti
penerimaan kas bersih di masa yang akan datang lebih besar dari nilai investasi.
Berdasarkan perhitungan diatas diperoleh nilai NPV positif dari discount Rate10%,
discount Rate 12% dan discount Rate 15%, ini berarti pembangunan Bendung Pulu,
Kabupaten Bangli dapat dikatakan layak direalisasikan menurut kreteria NPV
B. Benifit Cost Ratio (BCR)
Dalam menghitung nilai Benifit Cost Ratio digunakan rumus
(PV)B = Nilai sekarang Benifit
Cf = Biaya awal
Sehinga BCR dapat dicari sesuai discount Rate masing-masing sebagai berikut:
1. Discount Rate 10%
Total PV Benifit = Rp 4.470.243.783,Biaya awal (Cf) = Rp 1.478.411.000,BCR = = 3,024 > 1
2. Discount Rate 12%
Total PV Benifit = Rp 3.696.733.850,Biaya awal (Cf) = Rp 1.478.411.000,BCR = = 2,501 > 1
24
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
3. Discount Rate 15%
Total PV Benifit = Rp 2.866.438.623 ,Biaya awal (Cf) = Rp 1.478.411.000,BCR = = 1,939 > 1
Sesuai dengan perhitungan BCR di atas pada Discount Rate 10%, Discount Rate 12%
dan Discount Rate 15% didapat nilai yang lebih besar dari 1 (satu). Karena nilai BCR
lebih besar dari 1 (satu ) maka pembangunan Bendung Pulu, di Kabupaten Bangli
dapat dikatakan layak direalisasikan, ditinjau dari kriteria BCR
C. Internal Rate of Return (IRR)
Adalah tingkat suku bunga (discount rate) yang apabila pada seluruh cash flow
akan menghasilkan jumlah present value yang sama dengan jumlah investasi
kegiatan. Dari aliran kas masuk pertahun tidak tetap sehingga untuk mendapatkan
tingkat suku bunga (i) yang menghasilkan nilai present value yang mendekati jumlah
investasi proyek (IRR) digunakan cara trial and error dan untuk perhitungannya
mempergunakan bantuan program Microsoft Excel. Dari hasil perhitungan dengan
cara trial and error diperoleh nilai i = 25,429%. dengan biaya awal Cf = Rp
1.478.411.000,- dan aliran kas masuk tiap tahun =(C)t ,maka apabila dimasukkan ke
dalam rumus IRR akan diperoleh hasil sebagai berikut:
Rp 1.478.411.000,- ≈ Rp 1.478.433.910
Dari hasil perhitungan tersebut diatas, dengan nilai i = 25,429%. present value aliran
kas masuk yang mendekati nilai biaya awal kegiatan. Jadi dapat dinyatakan bahwa
nilai IRR =25,429%.. Ini berarti tingkat suku bunga yang menyamakan nilai seluruh
net cash flow dengan nilai sekarang investasi lebih besar dari tingkat suku bunga yang
dipakai yaitu sebesar 12%, sehingga Bendung Pulu, di Kabupaten Bangli dapat
nyatakan layak direalisasikan berdasarkan kriteria IRR.
D. Payback Period (PP)
Sesuai dengan Payback Period (PP) pada tiap-tiap Discount Rate
1. Discount Rate 10%
Untuk discount rate 10 % didapat Payback Period (PP) adalah pada periode ke-7
Dimana :
PV benifit tahun ke-7 = Rp 1.642.150.254,PV Cost tahun ke-7 = Rp 1.478.411.000 ,K7 = (Rp 1.642.150.254,- )-(Rp 1.538.682.780,-) = Rp 163.739.245,2. Discount Rate 12%
Untuk discount rate 12 % didapat Payback Period (PP) adalah pada periode ke-7
Dimana :
PV benifit tahun ke-7 = Rp 1.527.714.314,PV Cost tahun ke- 7 = Rp 1.478.411.000 ,-
25
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
K7 =( Rp 1.527.714.314,- )-( Rp 1.478.411.000) = Rp102.898.463
3. Discount Rate 15%
Untuk discount rate 15 % didapat Payback Period (PP) adalah pada periode ke-8
Dimana :
PV benifit tahun ke-8 = Rp1.538.682.780 ,PV Cost tahun ke-12 = Rp 1.478.411.000 ,K7 =( Rp1.538.682.780 ,- )- (Rp 1.478.411.000 )= Rp 60.271.780,Dari ketiga jenis discount rate perhitungan Payback Period (PP) diatas didapat
perioda tingkat pengembalian (PP) berada dalam umur rencana kegiatan/investasi, hal
ini beerarti bahwa pembangunan Bendung Pulu, Bangli memenuhi kriteria Payback
Period (PP) sehinga layak direalisasikan
3.6.
Analisa Sensitivitas
Pada evaluasi atau penilaian investasi kegiatan pembanguan Bendung Pulu,
Bangli ini juga dilakukan suatu analisa untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan
yang tejadi sehingga nantinya dari hasil analisa dapat dilaksanakan langkah-langkah
yang tepat untuk dapat menyelesaikan masalah yang ada. Analisa tersebut adalah
analisa sensitivitas. Dalam analisa sensitivitas pada kegiatan pembanguan Bendungan
Pulu, Bangli mengambil tiga alternatif pada discount rate 12% Alternatif-alternatif
tersebut adalah :
1. Apabila biaya bertambah l0% dan pendapatan tetap
2. Apabila pendapatan berkurang 10% dan biaya tetap
3. Apabila biaya bertambah 10% dan pendapatan berkurang 10%
Analisa sensitivitas apabila biaya bertambah10% dan pendapatan tetap
Besarnya Present Value Of Benefit adalah Rp 2.436.432.311,- dan besarnya Present
Value Of Cost adalah Rp 1.478.411.000,- sehingga nilai NPV adalah:
NPV = PV Beneft - PV Cost
= (Rp 2. 2.436.432.311,-) - (Rp 1.478.411.000,-)
= RP 958.021.311,Dari hasil tersebut diatas didapat NPV yang bernilai positif, ini berarti
penerimaan kas bersih di masa yang akan datang lebih lebih besar dari nilai investasi.
Hal ini berarti Pembangunan Bendung Pulu layak direalisasikan berdasrkaan kriteria
NPV.
BCR = = 1,648 > 1
Dari hasil tersebut diatas didapat BCR yang Lebih besar dari satu, ini berarti
Pembangunan Bendung Pulu layak direalisasikan berdasarkan kriteria BCR.
26
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
Rp 1.478.411.000,- = Rp 1.478.447.929 ,Untuk perhitungan IRR menggunakan cara trial and error, pada nilai i = 18,742%
didapat nilai present value aliran kas masuk yang mendekati nilai biaya awal
kegiatan. Jadi dapat dinyatakan bahwa nilai IRR =18,742%. Ini berarti tingkat suku
bunga yang menyamakan nilai seluruh net cash flow dengan nilai sekarang investasi
lebih besar dari tingkat suku bunga yang dipakai yaitu sebesar 12%, sehingga
Bendung Pulu, di Kabupaten Bangli dapat nyatakan layak direalisasikan berdasarkan
kriteria IRR.
Analisa sensitivitas apabila pendapatan berkurang 10% dan biaya tetap
Besarnya Present Value Of Benefit adalah Rp 2.038.772.510,-,- dan besarnya Present
Value Of Cost adalah Rp 1.478.411.000,- sehingga nilai NPV adalah:
NPV = PV Beneft - PV Cost
= (Rp 2.038.772.510,-) - (Rp 1.478.411.000,-)
= RP 560.361.510 ,Dari hasil tersebut diatas didapat NPV yang bernilai positif, ini berarti penerimaan
kas bersih di masa yang akan datang lebih lebih besar dari nilai investasi. Hal ini
berarti Pembangunan Bendung Pulu layak direalisasikan berdasarkan kriteria NPV.
BCR = = 1,379 > 1
Dari hasil tersebut diatas didapat BCR yang Lebih besar dari satu, ini berarti
Pembangunan Bendung Pulu layak direalisasikan berdasarkan kriteria BCR.
Rp 1.478.411.000,- =Rp 1.478.411.000,- ≈ Rp 1.478.416.268 ,Untuk perhitungan IRR menggunakan cara trial and error, pada nilai i = 16,039%
didapat nilai present value aliran kas masuk yang mendekati nilai biaya awal
kegiatan. Jadi dapat dinyatakan bahwa nilai IRR =16,039%. Ini berarti tingkat suku
bunga yang menyamakan nilai seluruh net cash flow dengan nilai sekarang investasi
lebih besar dari tingkat suku bunga yang dipakai yaitu sebesar 12%, sehingga
Bendung Pulu, di Kabupaten Bangli dapat nyatakan layak direalisasikan berdasarkan
kriteria IRR.
Analisa sensitivitas apabila biaya bertambah 10% dan pendapatan berkurang
10%
Besarnya Present Value Of Benefit adalah Rp 2.017.558.816,- dan besarnya Present
Value Of Cost adalah Rp 1.478.411.000,- sehingga nilai NPV adalah:
NPV = PV Beneft - PV Cost
= (2.017.558.816,-) - (Rp 1.478.411.000,-)
= RP 593.147.816 ,-
27
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
Dari hasil tersebut diatas didapat NPV yang bernilai positif, ini berarti penerimaan
kas bersih di masa yang akan datang lebih lebih besar dari nilai investasi. Hal ini
berarti Pembangunan Bendung Pulu layak direalisasikan berdasarkan kriteria NPV.
BCR = = 1,365 > 1
Dari hasil tersebut diatas didapat BCR yang Lebih besar dari satu, ini berarti
Pembangunan Bendung Pulu layak direalisasikan berdasarkan kriteria BCR.
Rp1.478.411.000,- = Rp 1.478.411.886,Untuk perhitungan IRR menggunakan cara trial and error, pada nilai i = 15,867%
didapat nilai present value aliran kas masuk yang mendekati nilai biaya awal
kegiatan. Jadi dapat dinyatakan bahwa nilai IRR =15,867% Ini berarti tingkat suku
bunga yang menyamakan nilai seluruh net cash flow dengan nilai sekarang investasi
lebih besar dari tingkat suku bunga yang dipakai yaitu sebesar 12%, sehingga
Bendung Pulu, di Kabupaten Bangli dapat nyatakan layak direalisasikan berdasarkan
kriteria IRR.
3.7.
Analisa Korelasi
Dalam menentukan korelasi pembangunan bendung Pulu, Bangli tehadap
produksi pertanian sesuai umur rencana bendung selama 25 tahun dengan metoda
teori karl person atau produksi moment perlu ditentukan varabel variabel korelasi
yaitu:
a. Variabel Xi atau Variabel bebas: yaitu Seluruh biaya tahunan yang dibutukan baik
yang diakibatkan oleh adanya Bendung Pulu maupun bukan karna adanya
Bendung, yaitu: Biaya bunga , depresiasi , O.P. Bendung, serta biaya produksi
padi Oleh petani itu sendiri. Sedangkan Biaya awal pembangunan bendung tidak
dimasukan dalam variabel karna telah didistribusikan ke biaya tahunan lewat
depresiasi dimana nilai sisa di akhir umur rencana bendung adalah nol atau tanpa
nilai sisa
b. Variabel Yi atau Variabel terikat : yaitu total produksi tahunan broto dalam bentuk
rupiah .
Dari uraian diatas maka akan diperoleh data tetang pendapatan dan biaya pertanian
selama 25 tahun, yang selanjutnya dapat dimasukan ke dalam data korelasi
pembangunan bendung dengan produksi pertanian
Untuk mengetahui niai korelasi pembangunan Bendung Pulu ,Kabupaten Bangli
dengan peningkatan nilai produksi pertanian berdasarkan data dapat dihitung
dengan Menggumnakan rumus segagai berikut:
28
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
Dari perhitungan diatas didapat nilai koefision korelasi r = 0,997599723 ini berarti
pembangunan Bendung Pulu, di Kabupaten Bangli mempunyai hubungan yang sangat
kuat sangat atau sangat berarti dengan peningkatan nilai produksi pertanian.
3.8.
Inteperetasi hasil
Dari pengamatan Penulis tentang hasil analisa finansial Bendung Pulu, yang
sangat memenuhi persyaratan Kriteria investasi, serta memiliki korelasi yang sangat
tinggi terhadap peningkatan nilai produksi pertanian, hal ini sangat dipengaruhi oleh
beberapa hal:
1. Peningkatan produksi pertanian yang sangat besar dari tidak adanya bendung
dengan adanya bendung yang mecapai 68,4%. Sehinga pedapatan bendung
Pulu dari sektor pertanian menjadi besar selain itu juga mempengaruhi variabel
Y korelasi yang ikut meningkat tajam.
2. Tingginya peningkatan harga Gabah petani sejak 5 tahun kebelakang, yang
mengakibatkan peramalan harga Gabah tahun-tahun yang akan datang juga
meningkat drastis sehingga nilai produksi pertanian yang merupakan benfit cos
dalam analisa finansial ikut meningkat drastis, demikian juga variabel Y dalam
korelasi.
IV.
SIMPULAN DAN SARAN
4.1.
Simpulan
Berdasarkan hasil pembahasan pada Bab VI, maka dapat disimpulkan beberapa
hal sebagai berikut :
1. Kriteria Investasi
Berdasarkan hasil proyeksi rugi laba menunjukan adanya keuntungan tiap
tahunnya dan proyeksi aliran kas yang selalu surplus selama masa operasional
Bendung Pulu, Bangli, sehingga keuntungan (laba bersih) yang diperoleh oleh petani
melebihi biaya investasi awal yang telah dikeluarkan pemerintah untuk membangun
Bendung Pulu, Bangli.
Berdasarkan atas kriteria-kriteria investasi yang digunakan untuk menganalisa aspek
finansial terhadap pembangunan Bendung Pulu, di Kabupaten Bangli didapat hasil
sebagai berikut:
Pada discount rate 10% nilai NPV = Rp 2.991.832.783,- > 0, BCR = 3,024>1,
dan PP = tahun ke - 7 < 25 th.
Pada discount rate 12% nilai NPV = RP 2.218.326.850,- > 0,BCR = 2,5005 > 1,
dan PP= tahun ke - 7 < 25 th
Pada discount rate 15% nilai NPV = RP 1.388.027.623,- > 0, BCR = 1, 939>1,
dan PP= tahun ke - 8 < 25 th
29
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
Sedangkan nilai IRR dari analisa asfek finansial Bendung Pulu adalah 25,464%.>
12%. Dari hasil analisa tersebut maka Bendung Pulu, Kabupaten Bangli dapat
dinyatakan layak untuk direalisasikan menurut kriteria NPV, BCR, PP dan iRR, pada
discount rate 10%, 12%,15%.
2. Analisa Sensitivitas
Analisa sensitivitas dalam studi ini menggunakan 3 ( tiga ) alternatif dengan
menggunakan discount rate 12% yaitu sebagai berikut :
Pada analisa sensitivitas apabila biaya bertambah 10% dan pendapatan tetap
didapatkan hasil nilai NPV = RP 958.021.311,- > 0, BCR = 1,918 > 1,dan IRR =
18,74% > 12 %
Pada analisa sensitivitas apabila pendapatan berkurang 10% dan biaya tetap
didapatkan hasil nilai NPV = RP 560.316.5100,- > 0, BCR = 1,379 > 1,dan IRR =
16,039% > 12 %.
Pada analisa sensitivitas apabila pendapatan berkurang 10% dan biaya bertambah
10% didapatkan hasil; NPV = RP 539.147.816,- > 0, BCR = 1,365 > 1 dan IRR =
15,87% > 12 %
Dari hasil analisa sensitivitas dengan 3 ( tiga ) alternatif tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa pada kondisi biaya bertambah 10% dan pendapatan tetap, kondisi
pendapatan berkurang 10% dan biaya tetap, kondisi biaya bertambah 10% dan
pendapatan berkurang 10%, Bendung Pulu, Bangli masih layak untuk direalisasikan.
3. Analisa Korelasi
Analisa Korelasi dalam studi ini menggunakan menggunakan metoda Koefisien
Korelasi r = 0,9976 ini berarti pembangunan Bendung Pulu, Bangli membawa
pengaruh yang sangat berarti atau sangat kuat terhadap peningkatan produksi
pertanian pada wilayah pertanian yang memanfatkan aliran air dari bendung Pulu
untuk irigasi pertanian
4.2 Saran
Meskipun hasil pada analisa finansial terus mendapatkan keuntungan setiap
tahunnya, maka diharapkan kepada Pemerintah Kabupaten Bangli selaku pengelola
Bendung Pulu dan masyarakat sekitar agar dapat lebih dapat mengoptimalkan
pemanfaattan bendung Pulu dengan mengembangkan pemanfatan bendung untuk
kegiatan lain, seperti perikanan darat serta sarana rekreasi. Selain itu diharapkan
kepada semua pihak agar menjaga kelestarian alam lingkungan serta fisik bendung
Pulu agar tidak longsor kembali, karna keberadaan bendung Pulu mempunyai
30
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
hubungan yang sangat kuat atau sangat berarti dengan peningkatan nilai produksi
pertanian khususnya padi.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Sugiyono, 2001, Analisis Manfaat dan Biaya Sosial, Badan statistik Nasional, 2012,
Rata-rata Harga Gabah (Rp/Kg) menurut Provinsi dan Kualitas 2008-2010
Bulog.co.id , 2007, Harga Gabah di Bali Cenderung diatas HPP,
http://www.bulog.co.id/Divre/Bali/1ndex.php?url=2012/02/603953076/122/5/berita_10.xml
(Diakses tanggal 10 Januari 2012)
Giatman, M., (2005), Ekonomi Teknik. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta
Guritno Mangkoesoebroto, Dr. M.Ec., 1993, Ekonomi publik, BPFE-YOGYAKARTA,
yogyakarta
Iqbal Hasan, 2004. Analisa Data Penelitian Dengan Statistik. PT Bumi Akasa. Jakarta
Iman Subarkah, 1974. Bangunan Air. Ide Dharma. Bandung
J. Supranto. 2001. Statistik Teori dan Aplikasi jilid 1 edisi keenam.Erlangga. Jakarta
Kodoatie, Robert J. 1994, Analisis Ekonomi Teknik. Andi. Yogyakarta.
Letra I Made Ir. M.Si 2011. Materi Kuliah Analisa Kelayakan Proyek. Fakultas Teknik
Universitas Mahasaraswati.
Nata Wirawan, 2001, Statistik I (Statistik Deskriptifl untuk Ekonomi dan Bisnis, Keraras
Emas, Denpasar.
Rapiali Zainuddin, 1999.Cara Penentuan lokasi bendung. PT Mediatama Sapta karya ,
Jakarta
Seputar bali.com , 2011, Tinggi Harga Gabah Produksi Petani Bali,
http://seputarbali.com/index.php/berita-khusus/ekonomi-wisata/1053-tinggi-hargagabahproduksi-petani-bali.html.(Diakses tanggal 10 Januari 2012)
Suhartana I Nyoman, Ir. 2010, laporan Akhir Pekerjaan Perencanaan Bendung Pulu,
Dinas
PekerjaanUmum Pemerintah Kabupaten Bangli, Bangli
Wulfram I. Ervianto, 2009. Manajemen Proyek Kontruksi. Andi offset. Yogjakarta.
JEMBATAN PENYEBERANGAN INOVASI HIDROLIS DENGAN
MENGGUNAKAN RANGKA BAJA RINGAN UNTUK PARA PEJALAN
KAKI DI KOTA DENPASAR
Oleh :
I Wayan Agus Rudiartama.
31
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
Ni Ketut Sri Astati Sukawati.
ABSTRAK
Dimasa modernisasi seperti sekarang ini ada banyak cara yang dapat
dilakukan untuk mengatasi kemacetan dan memberikan rasa aman bagi pejalan
kaki untuk menyeberang. Karena arus lalu lintas yang semakin padat sehingga
para pejalan kaki sering merasa terganggu dan sering juga merasa tidak aman dan
nyaman.
Rangka atap baja ringan diciptakan untuk memudahkan perakitan dan
konstruksi. Meskipun tipis, baja ringan memiliki derajat kekuatan tarik yang
tinggi yaitu sekitar 550 MPa, sementara baja biasa sekitar 300 MPa. Kekuatan
tarik dan tegangan ini untuk mengkompensasi bentuknya yang tipis. Ketebalan
baja ringan yang beredar sekarang ini berkisar dari 0,4 mm - 1 mm.
Perhitungan kuda-kuda baja ringan amat berbeda dengan kayu, yakni
cendrung lebih rapat. Semakin besar beban yang harus dipikul, jarak kuda-kuda
semakin pendek. Dalam pembuatan konstruksi gedung, misalnya untuk genteng
dengan bobot 40 kg/m2, jarak kuda-kuda bisa dibuat setiap 1,4 m. Sementara, bila
bobot genteng mencapai 75kg/m2, maka jarak kuda-kuda menjadi 1,2 m.
Untuk mengetahui cara bagi pejalan kaki agar dapat menyeberang dalam
keadaan aman dan nyaman, maka perlu dibangun jembatan penyebrangan dari
Pertokoan Matahari Duta Plaza menuju Pertokoan Mall Denpasar Robinson-Mc
Donalds. Metode penanggulangan yang dilakukan sebagai solusi bagi pejalan kaki
untuk menyeberang di tengah padatnya arus kendaraan, maka akan sangat tepat
bila dibangun konstruksi jembatan dengan menggunakan baja ringan yang bersifat
hidrolis. Dalam merencanakan konstruksi jembatan hidrolis yang menggunakan
baja ringan, perlu memperhatikan lingkungan yang berwawasan pariwisata
budaya.
Kata Kunci : Hidrolis, Rangka Baja Ringan, Kemacetan.
I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Perhubungan
merupakan
masalah
yang
sangat
penting
untuk
diprioritaskan, karena tanpa adanya sarana perhubungan maka pembangunan akan
berjalan lambat, misalnya dengan meningkatkan sarana perhubungan darat.
Perhubungan darat dapat juga dikatakan menunjang aktivitas ekonomi, sosial
maupun budaya. Salah satu sarana perhungan darat adalah jalan, tetapi pada saat
ini kondisi jalan semakin padat diakibatkan karena pertambahan volume
kendaraan yang semakin bertambah pesat. Karena padatnya kendaraan mereka
yang menjadi pejalan kaki semakin kesulitan untuk menyebrang. Rasa tidak aman
dan takut untuk menyeberang sering membuat para pejalan kaki resah berada di
jalan yang padat akan kendaraan. Para pejalan kaki sering merasa terhambat
dalam melakukan aktivitasnya.
32
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
Dengan adanya hal tersebut, maka perlu dibuat sarana pendukung jalan
berupa jembatan. Jembatan yang akan dirancang dan dibangun tersebut dibuat
berdasarkan adat dan budaya yang dilaksanakan di Bali yang berwawasan
pariwisata budaya, sehingga tidak menggangu proses jalannya upacara adat di
Bali.
Salah satu fungsi dari jembatan yaitu untuk menghubungkan dua tempat
yang terpisah karena adanya sungai, rawa dan lain sebagainya. Sejalan dengan
perkembangan jaman dan tekhnologi, jembatan yang dahulu terbuat dari kayu
ataupun bamboo, sekarang dibuat dari beton bertulang, dari kerangka baja dan ada
pula yang terbuat dari perpaduan atara beton bertulang dengan baja.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan
masalahnya adalah:
1.
Bagaimana cara bagi pejalan kaki untuk dapat menyeberang dalam
keadaan aman dan nyaman?
2.
Usaha-usaha apa yang diperlukan untuk memecahkan kemacetan di
Kota Denpasar ?
3.
Bagaimana metode penanggulangan yang dilakukan sebagai solusi
bagi pejalan kaki untuk menyeberang dengan padatnya arus
kendaraan ?
4.
Bagaimana cara merencanakan jembatan hidrolis yang berwawasan
pariwisata budaya ?
1.3
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan dari penelitian ini adalah:
1.
Untuk mengetahui cara bagi pejalan kaki untuk dapat menyeberang
dengan keadaan aman dan nyaman.
2.
Untuk mengetahui usaha-usaha apa yang diperlukan memecahkan
kemacetan di Kota Denpasar.
3.
Untuk mengetahui metode penanggulangan yang dilakukan sebagi
solusi bagi pejalan kaki untuk menyeberang di tengah padatnya arus
kendaraan.
33
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
4.
Untuk mengetahui cara merencanakan jembatan hidrolis yang
berwawasan pariwisata budaya.
5.
Dari hasil penelitian dan perencanaan ini dapat diketahui metode apa
yang dapat digunakan untuk memecahkan kemacetan di Kota
Denpasar yang berwawasan pariwisata budaya.
1.4
Ruang Lingkup
Dalam suatu penelitian sering timbul suatu kendala-kendala, namun
kendala ini harus dapat diatasi atau diperkecil keberadaannya, sehingga perlu
adanya pembatasan atau ruang lingkup dalam penelitian. Adapun kendala tersebut
antara lain faktor waktu, jarak, tempat, biaya dan sebagainya. Disatu sisi penelitian
dituntut harus dapat memberikan gambaran atau informasi yang jelas, namun
untuk dapat memenuhi kriteria tersebut perlu ada kegiatan yang lebih banyak dan
kompleks.
Oleh karena itu dengan adanya kendala tersebut, maka penelitian ini perlu
adanya pembatasan ruang lingkup. Ruang lingkup penelitian ini adalah mencakup:
1.
Data arus lalu lintas yang melalui jalan tersebut.
2.
Data kekuatan baja ringan yang akan digunakan dalam perencanaan
jembatan tersebut.
1.5 Manfaat Penelitian
Dalam penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberi masukan
kepada pemerintah
dan
masyarakat
pada
umumnya dalam
menunjang
pembangunan, serta diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain:
1. Untuk dapat memberikan rasa aman bagi para pejalan kaki pada saat
menyebrang.
2.
Untuk memberikan sarana pendukung bagi para pejalan kaki.
3.
Untuk memberikan suatu inovasi baru bagi pemerintah agar membuat
sesuatu yang baru dan berwawasan pariwisata budaya.
II LANDASAN TEORI
2.1 Tinjauan Umum
Dalam merancang jembatan ada beberapa aspek yang perlu ditinjau yang
nantinya akan mempengaruhi dalam penetapan bentuk dan dimensi jembatan.
Adapun aspek tersebut antara lain : Aspek lalu lintas, Aspek tanah, Aspek
34
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
topografi, Aspek geometri jembatan, Aspek konstruksi jembatan, dan Aspek
pembebanan.
2.2 Aspek Lalu Lintas
Dalam perencanaan lebar jembatan sangat dipengaruhi oleh besarnya arus
lalu lintas yang melintasi jembatan dengan interval waktu tertentu yang
diperhitungkan terhadap Lalu lintas Harian Rata-rata (LHR) dalam Satuan Mobil
Penunpang (SMP). LHR merupakan jumlah kendaraan yang melewati satu titik
dalam suatu ruas jalan dengan pengamatan selama satuan waktu tertentu, yang
nilainya digunakan sebagai dasar perencanaan dan evaluasi pada masa yang akan
datang. Dengan diketahuinya volume lalu lintas yang lewat pada ruas jalan dalam
waktu tertentu maka akan diketahui kelas jalan tersebut sehingga nantinya dapat
ditentukan tebal perkerasan dan lebar efektif jembatan.
2.3
Aspek Tanah
Dalam pelaksanaan abutment dan pilar jembatan data-data tanah yang
dibutuhkan berupa data-data sudut geser, kohesi dan berat jenis tanah yang
digunakan untuk menghitung tekanan tanah horizontal juga gaya akibat berat
tanah yang bekerja pada abutment, serta daya dukung tanah yang merupakan
reaksi tanah dalam menyalurkan beban dari abutment. Tekanan tanah dihitung
dari data soil properties yang ada. Dalam menentukan tekanan yang bekerja dapat
ditentukan dengan cara analitis/grafis. Gaya berat dari tanah ditentukan dengan
mengihitung volume tanah di atas abutment dikalikan dengan berat jenis tanah itu
sendiri.
2.4 Aspek Topografi
Topografi berarti suatu kondisi permukaan tanah yang dihitung dari
permukaan air laut. Peta topografi bertujuan untuk memberikan informasi atau
data tentang selisih ketinggian suatu lahan. Aspek topografi yang diperhitungkan
dalam perencanaan lebih kepada topografi perbukitan dan lembah, karena keadaan
topografi pegunungan yang ada merupakan variabel yang sangat menentukan
dalam perencanaan konstruksi pilar jembatan. Tujuan-tujuan dalam penentuan
lokasi jembatan yang paling ideal diantaranya: peningkatan kelancaran lalu-lintas,
keamanan dan kenyamanan bagi pengguna jembatan, tercapainya perencanaan
yang optimal dan ekonomis dengan tidak mengabaikan nilai estetikanya.
2.5 Aspek Geometri Jembatan
35
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
Perencanaan geometri merupakan bagian dari perencanaan jembatan yang
dititik beratkan pada pengaturan tata letak jembatan sehingga menghasilkan
jembatan yang aman, efisiensi pelayanan arus lalu lintas dan memaksimalkan ratio
tingkat penggunaan atau biaya pelaksanaan. Perencanaan geometri jembatan
sangat berkaitan dengan perencanaan geometri jalan yang dihubungkan oleh
jembatan tersebut, sehingga elemen-elemen yang terdapat pada geometri jalan
merupakan dasar dari perencanaan geometri jembatan.
2.6 Aspek Konstruksi Jembatan
Tinjauan terhadap aspek konstruksi bertujuan untuk mendapatkan
jembatan yang kuat, efektif dan efisien. Untuk itu diperlukan pertimbanganpertimbangan teknis dalam pemilihan bangunan atas jembatan adalah sebagai
berikut:
a) Konstruksi Kayu : Jembatan balok dengan lantai urug atau lantai papan,
Gelagar kayu gergaji dengan papan lantai, Rangka lantai atas dengan
papan kayu, Gelagar baja dengan lantai papan kayu.
b) Konstruksi Baja : Gelagar baja dengan lantai plat baja, Gelagar baja
dengan lantai beton komposit (bentang Sederhana dan menerus), Rangka
lantai bawah dengan plat beton, Rangka Baja Menerus.
c) Konstruksi Beton Bertulang : Plat beton bertulang, Pelat berongga,
Gelagar beton ‘T’, Lengkung beton (Parabola), Konstruksi Beton
Pratekan, Segmen pelat, Gelagar I dengan lantai beton komposit, bentang
menerus, Gelagar ‘ T ‘ pasca penegangan, Gelagar boks menerus
pelaksanaan kantilever.
2.7 Aspek Pembebanan
Standar acuan yang dipakai pada perencanaan adalah RSNI T-02-2005,
Badan Standarisasi Nasional yang mana telah mengacu pada SNI 03-1725-1989
“Tata Cara Perencanaan Pembebanan Jembatan Jalan Raya“, SNI 03-2883-1992“.
Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Jembatan Jalan Raya“ dan Pd. T04-2004-B “Pedoman Perencanaan Beban Gempa untuk Jembatan”. Menurut
spesifikasi Pembebanan Jembatan (RSNI 1-2004), beban dan gaya yang
digunakan dalam perhitungan tegangan-tegangan dalam konstruksi adalah beban
primer, beban sekunder dan beban khusus.
2.8 Pondasi jembatan
36
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
Dalam pemilihan tipe pondasi
secara garis besar ditentukan oleh
kedalaman tanah keras, karena untuk mendukung daya dukung tanah terhadap
struktur bangunan jembatan yang akan direncanakan. Alternatif tipe pondasi yang
dapat
digunakan untuk perencanaan jembatan antara lain : Pondasi Dangkal
(Pondasi Telapak) dan Pondasi Dalam yang terdiri dari beberapa macam yaitu :
Pondasi sumuran, Pondasi bore pile dan Pondasi tiang pancang .
2.9 Idealisasi Perhitungan Struktur Atas Jembatan
Analisis struktural mencakup idealisasi struktur sebagai model numerik
dari mana respon unsur tersendiri dan susunan keseluruhan dapat dihitung.
Idealisasi struktur yang baik adalah yang mewakili secara realistik perilaku aktual
struktur dan kondisi batas pada aksi beban rencana. Respon unsur tersendiri yang
diperlukan mencakup momen lentur, geser, gaya aksial, puntir, dan reaksi
perletakan serta deformasi. Respons susunan keseluruhan akan mencakup
kemantapan terhadap geser dan guling. Perhitungan respons sturktural dari
bangunan atas dipersulit oleh interaksi rumit antara unsur dan plat lantai serta
variasi kedudukan beban yang mungkin.
2.10 Konsep Perancangan Struktur Bawah Jembatan
Abutment merupakan struktur bawah jembatan yang berfungsi sama
dengan pilar (pier) namun pada abutment juga terkait dengan adanya faktor tanah.
Adapun langkah perencanaan abutment adalah sama dengan tahapan perencanaan
pilar, namun pada pembebanannya ditambah dengan tekanan tanah timbunan dan
ditinjau kestabilan terhadap sliding dan bidang runtuh.
Kolom adalah suatu elemen struktur yang memikul gaya normal tekan atau
kombinasi dengan momen lengkung. Fungsi utama kolom adalah sebagai beban
penyangga beban aklsial tekan vertikal dengan bagian tinggi yang tidak ditopang
paling tidak tiga kali bagian kecil.
Footing (Pile-cap) merupakan bangunan struktur yang berfungsi sebagai
pemersatu rangkaian pondasi tiang pancang maupun bore pile (pondasi dalam
kelompok), sehingga diharapkan bila terjadi penurunan akibat beban yang bekerja
diatasnya pondasi-pondasi tersebut akan mengalami penurunan secara bersamaan
dan juga dapat memperkuat days dukung pondasi tiang dalam tersebut.
Pondasi berfungsi menyalurkan beban-beban dari bangunan bawah ke
dalam tanah pendukung sehingga tegangan dan gerakan tanah dapat dipikul oleh
struktur secara keseluruhan. Pondasi harus dirancang dengan kekuatan dan
37
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
kekakuan yang cukup sesuai dengan kondisi tanah. Jenis pondasi yang lazim
digunakan dalam perencanaan Jembatan dapat dibedakan menjadi dua golongan,
yaitu pondasi dangkal (tapak dan sumuran), pondasi dalam meliputi Pondasi tiang
pancang dan Bore Pile.
III METODE PENULISAN
3.1 Melakukan Survei Lokasi Pembangunan Jembatan
Dalam Penelitian ini survei lokasi pembangunan jembatan hidrolis akan
dilakukan di Jalan Dewi Sartika Denpasar, dimana banyak terdapat para
pejalan kaki yang akan melakukan penyebrangan badan jalan, misalnya dari
Pertokoan Matahari Duta Plaza menuju Pertokoan Mall Denpasar RobinsonMc Donalds, begitu pula sebaliknya.
3.2 Alat Dan Bahan
Dalam penelitian ini, pengujian akan di laksanakan di Laboratorium Fisika
SMA (SLUA) Saraswati 1 Denpasar dan di Laboratorium Jalan Raya di
Fakultas Teknik Sipil Universitas Mahasaraswati Denpasar, dengan
menggunakan percobaan:
1. Pengujian Jumlah Kendaraan yang melewati Jalan Dewi Sartika
Denpasar meliputi: Kendaraan Roda 2 (dua), Roda 4 (empat), Truck
Roda 6 (enam) dan kendaraan berat lainnya.
2. Pengujian
Jumlah
para
pejalan
kaki
yang
akan
melakukan
penyebrangan di lokasi tersebut.
3. Pengujian kekuatan baja ringan yang akan digunakan sebagai
konstruksi jembatan penyebrangan hirolis.
Selain itu pula juga dilakukan persiapan untuk pembuatan Maket
Konstruksi Jembatan penyebrangan, dengan menggunakan alat dan bahan
berupa: Triplek 3 mm, Steorovum, aluminium yang menyerupai baja
ringan, kayu serta alat-alat lainnya.
3.3 Uji Pendahuluan
Untuk mendapatkan hasil yang relatif baik, maka perlu adanya
pegujian alat yang digunakan. Pengujian dilakukan dengan cara
mengadakan beberapa kali percobaan yang akan menghasilkan hubungan
38
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
antara prosentase hubungan tegangan (σ ) dan regangan (ε). Hubungan ini
harus konsisten pada setiap percobaan.
3.4 Bagan Alir Dan Cara Penelitian
Agar dalam melakukan penelitian dapat memberikan hasil yang
optimal, maka perlu dibuat suatu bagan alir. Adapun bagan alir penelitian
ini dapat dilihat pada Gambar 3.1.
PERSIAPAN
PENGAMBILAN DATA SURVEI
a. Jumlah Kendaraan
b. Jumlah Pejalan Kaki
STUDI LITERATUR
DATA PENGUJIAN SURVEI :
- Jumlah Kendaraan Melintas
- Jumlah Pejalan Kaki
DATA PENGUJIAN KONSTRUKSI:
- Kekuatan Konstruksi Baja Ringan
ANALISA DATA
HASIL
PENULISAN AKHIR KARYA ILMIAH
Gambar 3.1. Bagan Alir Penelitian
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengujian Survei
Dimasa modernisasi seperti sekarang ini ada banyak cara yang dapat
dilakukan untuk mengatasi kemacetan dan memberikan rasa aman bagi pejalan
kaki untuk menyeberang. Karena arus lalu lintas yang semakin padat sehingga
para pejalan kaki sering merasa terganggu dan mereka sering juga merasa tidak
39
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
aman. Karena itu harus berfikir bagaimana cara mengatasi permasalahan tersebut.
Salah satunya dengan cara membangun jembatan penyebrangan. Dengan adanya
jembatan penyebrangan, pejalan kaki akan merasa lebih aman dan nyaman serta
memperkecil kemungkinan terjadi kecelakaan akibat padatnya arus lalu lintas.
Survei yang akan dilakukan adalah dengan pengambilan sampel di kota
Denpasar tepatnya di Jalan Dewi Sartika yang mulai di landa kemacetan. Dalam
penelitian ini ingin melakukan inovasi baru dengan cara membangun Jembatan
Penyebrangan Hidrolis yang berwawasan pariwisata budaya tradisional dan
modern yaitu dengan cara memadukan kebudayaan bali dengan kebudayaan
modern. Karena di Bali memiliki adat dan kebudayaan yang khas yaitu melasti
dan upacara sehari sebelum Hari Raya Nyepi yaitu pengerupukan, dimana hari itu
seluruh masyarakat Hindu Bali akan mengarak patung yang di anyam dari bambu
yang merupakan simbolis untuk menetralisasikan roh-roh jahat dan energi negatif
yang disebut Ogoh-ogoh.
Dimana jembatan ini menggunakan pondasi beton bertulang, dan bajanya
memakai baja ringan yang biasa dipakai untuk atap rumah. Jembatan yang
direncanakan ini bersifat hidrolis, dimana ketika ada Upacara Adat maka pengkait
Jembatan tersebut dibuka dan dilepas lalu dipasangkan pada tiang pengkait
sebagai alat pengikat yang sifatnya sementara. Apabila Upacara Adat tersebut
sudah selesai maka pengkait tersebut dilepas kembali dari tiang pengkait lalu
dipasang kembali pada kepala jembatan, sehingga dapat digunakan kembali oleh
para penyeberang jalan. Untuk mencegah kerusakan total perlu adanya
konsentrasi penuh dan berusaha menyempurnakan pembuatan jembatan tersebut,
untuk bentuknya dibuat sedemikian rupa agar membaur dengan lokasi yang akan
di bangun dan finishing jaring-jaring selimutnya memakai atap fibber glass.
40
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
Tabel 4.1. Hasil Survei Jumlah Pejalan kaki
JAM
JUMLAH PEJALAN KAKI
Hari ke - Hari ke Hari ke 1
-2
3
10
16
21
18
22
33
25
36
38
32
48
46
43
57
52
44
59
38
48
78
82
30
53
65
25
42
53
20
38
44
18
27
35
45
53
48
48
58
51
52
64
68
70
84
75
82
102
93
56
91
82
28
34
36
3
12
17
2
10
8
1
5
2
4
8
7
9
14
12
10
18
13
723
1029
1019
06.00-07.00
07.00-08.00
08.00-09.00
09.00-10.00
10.00-11.00
11.00-12.00
12.00-13.00
13.00-14.00
14.00-15.00
15.00-16.00
16.00-17.00
17.00-18.00
18.00-19.00
19.00-20.00
20.00-21.00
21.00-22.00
22.00-23.00
23.00-24.00
24.00-01.00
01.00-02.00
02.00-03.00
03.00-04.00
04.00-05.00
05.00-06.00
TOTAL
RATARATA
30.125
42.875
42.4583
SATUAN
Orang
Orang
Orang
Orang
Orang
Orang
Orang
Orang
Orang
Orang
Orang
Orang
Orang
Orang
Orang
Orang
Orang
Orang
Orang
Orang
Orang
Orang
Orang
Orang
Orang
Orang
Tabel 4.2. Jumlah Kendaraan Yang Melintas
JUMLAH KENDARAAN YANG MELINTAS
JAM
SEPEDA MOTOR
Hari ke
1
Hari ke 2
Hari ke
3
KENDARAAN RODA 4
Hari ke
Hari ke
Hari ke
1
2
3
KENDARAAN BERAT
LAINNYA
Hari ke
Hari ke
Hari ke
1
2
3
KENDARAAN RODA 6
Hari ke
Hari ke
Hari ke
1
2
3
06.00-07.00
60
61
70
22
11
8
2
3
1
1
2
2
07.00-08.00
50
48
76
30
21
9
4
2
3
1
1
2
08.00-09.00
70
76
80
38
22
17
3
6
4
1
1
1
09.00-10.00
80
90
77
39
32
22
4
4
6
1
2
2
41
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
10.00-11.00
40
98
90
27
26
40
3
3
5
3
3
1
11.00-12.00
30
87
98
22
23
39
6
4
3
1
2
2
12.00-13.00
46
86
92
21
21
48
7
4
3
1
3
1
13.00-14.00
48
50
80
18
22
44
2
4
2
1
2
1
14.00-15.00
60
74
88
17
20
59
3
3
1
2
1
1
15.00-16.00
49
80
84
19
18
60
2
1
3
1
2
3
16.00-17.00
73
60
82
20
26
58
1
3
4
1
1
1
17.00-18.00
89
70
86
16
33
43
6
2
2
2
1
1
18.00-19.00
90
80
87
21
38
44
7
4
1
3
2
2
19.00-20.00
40
90
80
29
41
39
2
3
3
1
1
1
20.00-21.00
30
98
64
20
40
32
8
3
2
1
2
1
21.00-22.00
40
65
43
12
22
34
9
7
4
1
1
2
22.00-23.00
20
60
48
16
11
10
3
8
7
1
3
2
23.00-24.00
18
12
12
4
3
2
4
4
3
1
2
2
24.00-01.00
9
10
6
2
3
1
1
2
1
1
1
3
01.00-02.00
6
8
10
1
1
1
2
1
2
0
0
0
02.00-03.00
4
6
6
1
1
1
2
1
1
0
0
0
03.00-04.00
3
4
18
3
2
2
1
1
1
0
0
0
04.00-05.00
71
18
60
29
24
18
3
1
1
2
1
3
05.00-06.00
89
22
90
22
23
22
4
5
4
1
1
1
TOTAL
RATARATA
1115
1353
46.45833
56.375
1527
63.625
449
484
653
89
79
67
28
35
35
18.70833
20.16667
27.20833
3.708333
3.291667
2.791667
1.166667
1.458333
1.458333
4.2 Data Pengujian Konstruksi Baja Ringan
Rangka atap baja ringan diciptakan untuk memudahkan perakitan dan konstruksi.
Meskipun tipis, baja ringan memiliki derajat kekuatan tarik yang tinggi yaitu sekitar 550
MPa, sementara baja biasa sekitar 300 MPa. Kekuatan tarik dan tegangan ini untuk
mengkompensasi bentuknya yang tipis. Ketebalan baja ringan yang beredar sekarang ini
berkisar dari 0,4 mm - 1 mm.
Perhitungan kuda-kuda baja ringan amat berbeda dengan kayu, yakni cenderung
lebih rapat. Semakin besar beban yang harus dipikul, jarak kuda-kuda semakin pendek.
Dalam pembuatan konstruksi gedung Misalnya untuk genteng dengan bobot 40 kg/m2 jarak
kuda-kuda bisa dibuat setiap 1,4 m. sementara bila bobot genteng mencapai 75kg/m2, maka
jarak kuda-kuda menjadi 1,2 m.
4.2.1 Kelebihan Dan Kelemahan Baja Ringan
Kelebihan baja ringan, antara lain:
- Karena bobotnya yang ringan maka dibandingkan kayu, beban yang harus ditanggung
oleh struktur di bawahnya lebih rendah.
- Baja ringan bersifat tidak membesarkan api.
42
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
- Tidak bisa dimakan rayap.
- Pemasangannya relatif lebih cepat.
- Baja ringan nyaris tidak memiliki nilai muai dan susut.
Kelemahan baja ringan, antara lain:
- Kerangka atap baja ringan tidak bisa diekspos seperti rangka kayu, sistem rangkanya
yang berbentuk jaring kurang menarik bila tanpa penutup plafond.
- Karena strukturnya seperti jarring ini, maka bila ada salah satu bagian-bagian struktur
yang salah hitung ia akan menyeret bagian lainnya maksudnya jika salah satu bagian
kurang memenuhi syarat keamanan maka kegagalan bisa terjadi secara keseluruhan.
- Rangka atap baja ringan tidak sefleksibel kayu yang dapat dibentuk berbagai profil.
4.2.2 Lokasi Yang Sesuai Untuk Membangun
Lokasi yang cocok untuk membangun jembatan adalah tanah yang paling sedikit
unsur hara , tidak berliat dan kemungkinan kecil terjadinya longsor.
1. Paling sedikit unsur hara
Tanah yang memiliki tingkat unsur hara yang tinggi dapat menyebabkan pondasi
jembatan bergeser ke sisi lain pada saat terjadinya curah hujan yang tinggi sehingga
kemungkinan terjadinya longsor itu ada, akan tetapi tanah yang sedikit unsur haranya untuk
mempermudah jembatan berdiri kokoh dan tidak bergeser saat terjadi hujan lebat , akan
tetapi jembatan akan berdiri kokoh bila pondasi jembatan dibuat dengan menggunakan
beton bertulang.
2. Tidak berliat
Tanah yang berliat memungkinkan jembatan tidak bisa berdiri kokoh , karena saat
jembatan dibuatkan pondasi beton bertulang tiangnya itu susah di tancapkan agar maw
berdiri tegak , tiangnya itu pasti akan bergerak ke berbagai arah dan pada saat jembatan
telah jadi maka jembatan tersebut bentuknya akan tidak sempurna, akan tetapi jembatan
akan berdiri kokoh jika pondasinya dibuatkan dengan menggunakan rangka baja.
4.2.3
Analisa Kelayakan
Prinsip Pemilihan Konstruksi Jembatan, antara lain:
- Konstruksi sederhana (bisa dikerjakan masyarakat);
- Harga murah (memanfaatkan material lokal);
- Kuat dan tahan lama (mampu menerima beban);
- Perawatan mudah dan murah (bisa dilakukan masyarakat);
- Stabil dan mampu menahan gerusan air.
Hal-hal yang harus diperhitungkan dalam pembuatan pondasi, antara lain:
43
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
- Berat bangunan yang harus dipikul pondasi berikut beban-beban hidup, mati serta
beban-beban lain dan beban- beban yang diakibatkan gaya-gaya eksternal;
- Jenis tanah dan daya dukung tanah;
- Bahan pondasi yang tersedia atau mudah diperoleh di tempat;
- Alat dan tenaga kerja yang tersedia;
- Lokasi dan lingkungan tempat pekerjaan;
- Waktu dan biaya pekerjaan.
Pemilihan letak jembatan, antara lain:
- Pilih bentang terpendek;
- Hindari lokasi belokan sungai atau saluran air;
- Tinggi abutment yang tinggi.
4.2.4 Hubungan Tegangan Dan Regangan Baja
Karekteristik/ Sifat Mekanis Tipikal Material Baja Struktur, yaitu:
OA – Daerah Elastis:
-
Hubungan Tegangan vs. Regangan Linear (garis lurus);
-
Apabila gaya tarik benda uji akan kembali ke panjang awal (deformasi
perpanjangan hilang);
-
Material bersifat elastis/elastik.
AB – Daerah Plastis :
-
Seolah-olah material mendapatkan penguatan sampai suatu nilai tegangan
tertentu (dikenal dengan tengan batas/ultimate);
-
Hubungan tengangan vs. Regangan tidak linear (nonlinear);
44
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
-
Apabila gaya tarik ditiadakan akan terjadi deformasi permanen yang lebih besar
dibandingkan pada kondisi plastis.
CD – Daerah Runtuh (Collapse)
-
Material kehitangan kekuatannya – deformasi tidak dapat dikontrol;
-
Material runtuh (collapse) – benda uji putus.
Parameter matereial baja untuk desain struktur baja (British Standard) :
-
Modulus Elastisitas E= 205 kN/nm2
-
Poisson’s Ratio u = 0,30
-
Koef. Muai Panjang α = 12 * 10-6 per oCelcius.
Parameter material baja untuk desain struktur baja (PPBBI – 1984)
-
Modulus Elastisitas E= 2,1 * 106 kg/cm2
-
Poission’s Ratio u = 0,30
-
Koef. Muai Panjang α = 12 * 10-6 per oCelcius.
4.2.5 Keunggulan Baja Sebagai Material Konstruksi
1. Perbandingan Kuat terhadap Berat (Strength to Weight Ratio) yang tinggi, antara lain:
-
Pemanfaatan material yang efisien dan optimum sehingga dapat diperoleh struktur
ringan tapi kuat;
-
Bentang panjang dapat dibuat;
-
Sistem pondasi yang lebih murah.
2. Tingkat Ketelitian yang tinggi
-
Elemen struktur baja difabrikasi dengan presisi yang tinggi – dengan kontrol
kualitas yang terjamin.
3. Derajat Kebebasan Desain yang tinggi.
-
Ketersediaan berbagai profil dan tingkat kekuatan membuat ruang lingkup
penerapan yang sangat luas.
4.2.6 Tegangan Dasar / Tegangan Izin
Hubungan
tegangan
dan
regangan
struktur/konstruksi, yaitu:
45
tipikal
baja
struktur
untuk
baja
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
Tegangan izin :
dimana : F.K. adalah Faktor Keamanan
Menurut PPBBI – 1984 nilai tegangan leleh untuk berbagai mutu baja adalah sebagai
berikut :
Tabel 4.3 Nilai tegangan leleh dan tegangan dasar / tegangan izin untuk berbagai
mutu baja yang digunakan (PPBBI – 1984)
4.2.7 Bentuk Profil Baja Tipikal
46
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
V PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Dari analisa data hasil penelitian pengujian survei yang dilakukan di lokasi dan
pengujian konstruksi baja ringan serta pembahasan, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui cara bagi pejalan kaki agar dapat menyeberang dengan keadaan
aman maka perlu dibangun jembatan penyebrangan dari Pertokoan Matahari Duta
Plaza menuju Pertokoan Mall Denpasar Robinson-Mc Donalds, begitu pula
sebaliknya.
2. Untuk mengetahui metode penanggulangan yang dilakukan sebagai solusi bagi
pejalan kaki untuk menyeberang di tengah padatnya arus kendaraan maka akan
sangat tepat bila dibangun konstruksi jembatan dengan menggunakan baja ringan
yang bersifat hidrolis.
3. Untuk merencanakan konstruksi jembatan hidrolis yang menggunakan baja ringan
perlu memperhatikan lingkungan yang berwawasan pariwisata budaya.
4. Dari hasil penelitian dan perencanaan ini diharapkan agar dapat diketahui metode
apa yang dapat digunakan untuk memecahkan kemacetan di Kota Denpasar.
5.2. Saran
1. Perlu diadakan penelitian lanjutan tentang swelling (pengembangan) potential dan
swelling pressure pada tanah ekspansif apabila menggunakan konstruksi baja
ringan.
47
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
2. Perlu diadakan penelitian lanjutan tentang konsolidasi pada tanah.
3. Penelitian lapangan perlu diadakan sebagai terapan terhadap analisis serta analitis
apabila menggunakan konstruksi baja ringan.
DAFTAR PUSTAKA
A.W. Bishop and D.J. Henkel, (1962), The Measurement Of Soil Properties In The Triaxial
Test, Spotuswoode Ballantyne Ltd, London.
Badan Standardisasi Nasional, (2002), Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk
Bangunan Gedung (SNI 03-1726-2002). Bandung : BSN.
Badan Standardisasi Nasional (1989), Tata Cara Perhitungan Pembebanan Untuk
Bangunan Rumah dan Gedung (RSNI 03-1727-1989). Bandung : BSN.
Bowles Joseph E.,Pantur silaban, (1984), Analisa Dan Desain Pondasi (Terjemahan),
Erlangga ,Jakarta.
Bowles Joseph E.,(1992), Engineering Properties of Soil and Their Measurement, writing
by Mc.Graw-Hill, Highstown.
Braja M. Das, (1987), Advanced Soil Mechanics, McGraw – Hill Book Company, Inc.,
New York.
Braja M. Das, Noor Endah, Indra Surya B. Mochtar, (1998), Principles Of Geotechnical
Engineering, Erlangga, Jakarta.
Craig R.F.dan Budi Susilo S, (1989), Mekanika Tanah (Terjemahan), Erlangga, Jakarta.
Departemen Pekerjaan Umum (1971), Peraturan Beton Bertulang 1971. Bandung :
Yayasan Penyelidikan Masalah Bangunan Gedung.
Direktorat Penyelidikan Masalah Bangunan (1984), Peraturan Perencanaan Bangunan
Baja Indonesia 1983. Bandung : Yayasan Penyelidikan Masalah Bangunan
Gedung.
Helianti, (2007), Stabilisasi Bangunan Agar Tahan Gempa, peneliti pada Pusat Teknologi
Bioindustri, BPPT.
Herman Wahyudi, (1996), Perilaku Mikroskopik Tanah, Diktat Program S2 Geoteknik –
Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.
James K. Mitchell, (1976), Fundamentals of Soil Behavior, John Wiley & Sons, Inc., New
York.
Oentoeng, Ir. (1999), Konstruksi Baja. Edisi Kedua. Yogyakarta : Andi.198
Robert F. Craig , Budi Susilo Soepandji, (1986), Mekanika Tanah, Department of Civil
Engineering University of Dundee, Erlangga, Jakarta.
Utomo, (2007), Trisupasita, Suara Merdeka-Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
48
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
ANALISA SETLEMEN CARA ANALITIS DAN METODE FINITE ELEMENT
PADA TANAH LUNAK DENGAN SOFTWARE SEBAGAI ALAT BANTU
Oleh : I Wayan Giatmajaya
ABSTRAK
Meningkatnya penggunaan lahan untuk pembangunan yang menyangkut
pembangunan untuk pemukiman, perkantoran, transportasi dan pembangunan untuk
menunjang perkembangan ekonomi seperti misalnya pabrik, lapangan udara, pasar, baik
pasar tradisional maupun modern.
Dari sekian banyak pertumbuhan pembangunan di segala bidang, tidak tertutup
kemungkinan penggunanaan lahan yang kondisi tanahnya yang tidak memenuhi secara
teknis sudah semakin sulit sehingga mau tidak mau pembangunan yang dilakukan pada
tanah yang sulit seperti tanah yang mempunyai daya dukung kecil, penurunan besar dan
proses penurunannya sangat lama.
Dengan demikian pembangunan supaya bisa dilakukan perlu diadakan perbaikan
tanah yang menyangkut untuk meningkatkan daya dukung tanah, perhitungan
penurunan/settlement secara akurat dan tepat. Supayatercapai hal tersebut, perlu diadakan
pengujian perhitungan dengan beberapa cara seperti misalnya menghitung penurunan
dengan cara analitis diuji dengan cara menggunakan program. Dari kedua cara yang kami
lakukan ini hasilnya hampir sama.
Kata kunci : Tanah sulit, settlement, pembangunan
I.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar belakang
Meningkatnya pembangunan , secara tidak langsung berpengaruh terhadap
berkurangnya lahan tempat bangunan dilaksanakan. Tidak tertutup kemungkinan bangunan
tersebut harus dibangun pada lokasi yang tanahnya sangat jelek dalam artian sifat mekanis
tanah tersebut sangat rendah yang menyangkut daya dukung tanah kecil, penurunan /
settlement yang besar seperti misalnya tanah lunak, sangat lunat dan lempung .
Terhadap kondisi-kondisi seperti ini perlu dilakukan perbaikan tanah untuk
meningkatkan daya dukung tanah tersebut.
Metode yang digunakan antara lain dengan pemadatan , mengganti tanah yang jelek
dengan tanah yang lebih baik , preloding , cerukcuk ,stune column dan geotekstile.
Dalam studi ini, penulis menyajikan perbaikan tanah dengan metode preloading
yang ingin didapatkan adalah besarnya daya dukung tanah , penurunan yang terjadi dan
waktu penurunan, dengan cara finite element dengan soft ware plaxis sebagai alat bantu.
1.2.
Permasalahan
Penyempurnaan hasil perhitungan secara analitis dengan metode finite elemant
dengan soft ware plaxis sebagai alat bantu .
49
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
1.3.
Tujuan
Untuk mendapatkan hasil perhitungan yang tingkat ketelitiannya lebih baik .
1.4.
Manfaat
a) Memberikan alternative kepada para akademisi untuk perhitungan daya dukung
tanah, penurunan /settlement dan waktu penurunan akibat preloading.
b) Sebagai bahan kajian untuk kesempurnaan perhitungan.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Perhitungan penurunan / settlement
Rumus yang dipakai dalam perhitungan settlement akibat timbunan tanah dibedakan
akibat timbunan tanah dibedakan menjadi dua bagian yaitu:
1. Tanah normally consolidated (NC Soil)
 C
Sci =  c
1 + e0
log
p 0' + ∆p 
 Hi
p 0' 
2. Tanah over Consolidated (OC Soil )
Sci
 Cs
Pc
Cc
P0' + ∆p 
= 
log ' +
log
 Hi
P0 1 + e0
Pc' 
1 + e0
Dimana:
Sci = pemampatan konsolidasi pada lapissan tanah yang ditinjau, lapisan ke i.
Hi
= tebal lapisan tanah ke i
eo = angka pori awal dari lapisan tanah ke i
Cc = Compresssion Index dari lapisan tanah tersebut. (lapisan ke i )
Cs = Swelling Index dari lapisasn tanah tersebut. (lapisan ke i )
po’ = tekanan tanah vertical effective di suatu titik ditengah-tengah lapisan ke i
akibat beban tanah sendiri di atas titik tersebut di lapangan ( = effective
overburden pressure )
pc
= effective past overburden pressure , tegangan konsolidasi effective dimasa
lampau yang lebih besar dari pada po’ (dapat dilihat dari kurva
konsolidasinya).
∆p = penambahan tegangan vertical di titik yang ditinjau ( di tengah lapisan ke i )
akibat beban timbunan jalan yang baru.
50
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
Untuk menghitung besaran ∆p dapat digunakan grafik imfluence , I , seperti pada gambar 1
( dari NAVFACDM- 7 ,1970)
∆p = σz = 2 x Ii x q
Dimana :
q = tegangan vertical efektif dipermukaan tanah akibat timbunan / embakment.
Gambar 1
2. Menghitung penurunan / settlement
Waktu penurunan dapat dihitung dengan rumus :
t=
Tv . H 2
Cv
dimana :
H = tebal seluruh lapisan lunak dibawa embakment seperti dilihat Gb.2
Cv = koefisien konsolidasi ( m2/th)
Tv = derajat konsolidasi (%)
Untuk mempercepat proses konsolidasi bisa dipakai vertikal drain dengan rumus
51
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
 D2 
 . (2.F(n))
t = 
 8.Ch 
 1 


− 

 1 − Uh 
dimana:
−
t
= waktu yang diperlukan untuk mencapai U h
D
= diameter lingkaran
Ch
= koefisien konsolidasi aliran horizontal
F(n)
= faktor tahanan akibat jarak antara PVD
−
Uh
= derajat konsolidasi arah horizontal
Seperti GB.3
H
LAPISAN TANAH LEMBEK
LAPISAN TANAH KEDAP AIR
KONSOLIDASI DALAM ARAH VERTIKAL
Gambar 2
H
LAPISAN TANAH LEMBEK
LAPISAN TANAH KEDAP AIR
KONSOLIDASI DALAM ARAH RADIAL
Gambar 3
3. Menghitung F ( n )
Fungsi F ( n ) Merupakan Fungsi hambatan akibat jarak antara titik pusat
PVD. Oleh Hansbo ( 1979 ) harga F ( n ) didefinisikan sebagai berikut :
 n2 

F ( n ) =  2
1 
n −n 

ln(n) −

 3n 2 − 1 

 , atau
2
 4n  
52
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
 n2 

F ( n ) =  2
1 
n −n 

3  1
ln(n) − 4 +  4n 2





Dimana :
n
= D/dw
dw
= diameter equivalent dari vertical drain ( equivalan terhadap bentuk
lingkaran)
Pada umuamnya n > 20 sehingga dapat dianggap 1/n2 = 0 dan 
n2
 n 2 − n1

(
=1;

) 
Jadi :
F ( n ) = ln(n) – ¾, atau
F ( n ) = ln(D/dw) – ¾
Hasbo (1979) menentukan waktu konsolidasi dengan menggunakan persamaan sebagai
berikut :
 D2 
 . (F(n) + Fs + Fr). ln
t = 
 8.Ch 
 1 


− 

 1 − Uh 
S
S
D
S
S
S
S
a). Pola susunan bujur sangkar D = 1.13 . S
53
S
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
S
S
S
S
S
S
S
S
0.866.s
S
0.866.s
S
0.866.s
0.866.s
b). Pola susunan segitiga D = 1.05 . S
Gambar 4
III.
PEMBAHASAN
Struktur yang dibangun pada lapisan tanah lunak yang sangat tebal mungkin
memerlukan perbaikan tanah, sehingga tanah tersebut mampu mendukung bangunan
diatasnya seperti contoh struktur jalan yang dibangun diatas timbunan, yang terletak pada
lapisan tanah lunak untuk menghindari keretakan permukaan jalan akibat penurunan maka
perlu dihitung penurunan maxsimum yang terjadi. (kalimat terlalu panjang, sehingga topik
tidak jelas atau banyak topik)
Contoh timbunan diatas tanah lunak seperti gambar dibawah ini :
43 m
7m
LWS -1
h=7m
7m
86 m
Sirtu
A
o
3
A
? = 1,8 t/m ; o = 30 ; C = 1 t/m2
1000 m
7m
3
? = 1,50 t/m ; o = 0 ; Cc = 0,80
2
z Yang
= 30 m dihitung antara lain : Cu = 0,0 t/m ; eo = 1,30 ; Cv = 5 m2/th
z
1. besarnya penurunan dengan derajat penurunan 90 % ( T90 )
2. tegangan yang terjadiPOT
(σ )A - A
3. waktu penurunan ( t )
100 m
Menghitung penurunan :
menghitung penurunan akibat timbunan ditabelkan seperti dibawah ini:
54
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
Tebal
Lapisan
H (m )
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Z
(m)
0.5
1.5
2.5
3.5
4.5
5.5
6.5
7.5
8.5
9.5
10.5
11.5
12.5
13.5
14.5
15.5
16.5
17.5
18.5
19.5
20.5
21.5
22.5
23.5
24.5
25.5
26.5
27.5
28.5
29.5
eo
Cc
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
0.80
0.80
0.80
0.80
0.80
0.80
0.80
0.80
0.80
0.80
0.80
0.80
0.80
0.80
0.80
0.80
0.80
0.80
0.80
0.80
0.80
0.80
0.80
0.80
0.80
0.80
0.80
0.80
0.80
0.80
γ
(t/m2)
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
1.5
p’o
(t/m2)
0.250
0.750
1.250
1.750
2.250
2.500
3.000
3.500
4.000
4.500
4.750
5.250
5.750
6.250
6.750
7.250
7.750
8.250
8.750
9.250
9.750
10.250
10.750
11.250
11.750
12.250
12.750
13.250
13.750
14.250
I
0.50
0.50
0.50
0.50
0.50
0.50
0.50
0.50
0.50
0.50
0.50
0.50
0.50
0.50
0.50
0.50
0.50
0.49
0.49
0.49
0.49
0.49
0.49
0.48
0.48
0.47
0.47
0.47
0.47
0.47
∆p
∆p+po’
Sc
Sc(m)
(t/m2) (t/m2)
(m)
coum
6.60
6.850 0.500 0.500
6.60
7.350 0.345 0.845
6.60
7.850 0.278 1.122
6.60
8.350 0.236 1.358
6.60
8.850 0.207 1.565
6.60
9.100 0.195 1.761
6.60
9.600 0.176 1.936
6.60
10.100 0.160 2.096
6.60
10.600 0.147 2.244
6.60
11.100 0.136 2.380
6.60
11.350 0.132 2.511
6.60
11.850 0.123 2.634
6.60
12.350 0.115 2.750
6.60
12.850 0.109 2.859
6.60
13.350 0.103 2.962
6.60
13.850 0.098 3.060
6.60
14.350 0.093 3.153
6.47
14.718 0.087 3.240
6.47
15.218 0.084 3.324
6.47
15.718 0.080 3.404
6.47
16.218 0.077 3.481
6.47
16.718 0.074 3.555
6.47
17.218 0.071 3.626
6.34
17.586 0.067 3.693
6.34
18.086 0.065 3.758
6.20
18.454 0.062 3.820
6.20
18.954 0.060 3.880
6.20
19.454 0.058 3.938
6.20
19.954 0.056 3.994
6.20
20.454 0.055 4.049
Total penurunan = 4. 049 M
Menghitung waktu penurunan .
t=
T90% H dr2
Cv
H = 30 m ,
t=
T90% = 0.848
0.848 x 30 2
= 152,64 th
5
HASIL PERHITUNGAN BERDASARKAN
METODE ELEMEN HINGGA DENGAN SOFF WARE PLAXIS SEBAGAI ALAT
BANTU. SEPERTI DIBAWAH INI
55
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
56
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
57
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
58
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
IV. P E N U T U P
1. Saran
Hendaknya dalam setiap perencanaan Struktur bangunan , penyelidikan tanah
sebagai syarat harus dilakukan untuk menghindari hal-hal yang tidak kita inginkan .
2. Kesimpulan
59
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
1. terjadi perbedaan hasil perhitungan secara analisis dengan finite element dengan
soff ware sebagai alat bantu
2. perhitungan dengan finite element dengan soff ware sebagai alat bantu waktu
penurunan tidak bisa diketahui sedangkan dengan cara analisis dapat dihitung
3. penurunan yang dapat dibaca dengan cara finite element dengan soff ware flaxis
pada setiap tahapan penimbunan , sedangkan dengan cara analisis , bisa dihitung
penurunan total begitu pula pada setiap tahapan penimbunan
4. begitu pula terhadap tegangan yang terjadi.
Daftar Pustaka
Braja M Das. (1984), Principles Of Foundation Engineering. California State University,
Sacramento
Indra Surya & Mochtar (1996), Pembangunan Jalan Di Atas Tanah Lunak Dengan Vertikal
Drain. ITS Surabaya
James K. Mitchell (1976), Fundamentals Of Soil Behavior. University of California
Berkeley
Suyono Sosrodarsono (1983), Mekanika Tanah Dan Teknik Pondasi. PT. Pradnya Paramita.
Jakarta
60
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
KAJIAN TERHADAP MEKANISME PERIZINAN
PEMANFAATAN LAHAN TEBING TUKAD AYUNG
KEDEWATAN, UBUD, GIANYAR
Oleh :
Tjokorda Istri Praganingrum, ST., MT
ABSTRAK
Pemerintah melalui berbagai peraturan keruangan di daerah telah menetapkan bahwa
Daerah Aliran Sungai (DAS) dikategorikan sebagai bagian dari kawasan yang dilindungi.
Keputusan ini secara substantif didasari oleh pertimbangan DAS sebagai daerah penyangga
yang keberadaannya harus dijaga untuk mendukung kestabilan area disekitarnya. Peraturan
Daerah Provinsi Bali No 16 Tahun 2009, pasal 50 ayat 6 telah menetapkan bahwa
pembangunan di sepanjang jurang di tepian sungai hanya diizinkan pada radius sekurangkurangnya dua kali kedalaman jurang yang dihitung dari tepi jurang kearah bidang datar.
Pada kedalaman yang dangkal, maka radius minimal yang diizinkan adalah 11 meter.
Dalam konteks pembangunan di Bali, DAS khususnya daerah tebing telah
berkembang menjadi daerah yang dilirik para pemilik modal sebagai lokasi yang
menyediakan site potensial untuk pembangunan amenitas kepariwisataan. Ini sudah terbukti
dengan dibangunnya beragam fasilitas kepariwisataan di atas lahan tebing di sepanjang
Tukad Ayung di Kedewatan (LTTAK), Ubud. Lahan yang sebelumnya merupakan lahan
tidak tersentuh, saat ini menjadi lahan dengan nilai ekonomi yang tinggi di Ubud.
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitiatif. Analisis ini akan
diarahkan pada uraian deskriptif mengenai bagaimana mekanisme perizinan berpengaruh
terhadap fungsi awal lahan, yaitu kawasan lindung. Dengan menggunakan teknik deskriptif
analitis dapat dikembangkan pendeskripsian dan sekaligus interpretasi terhadap kondisi
yang ditemui di lapangan.
Hasil penelitian ditemukan bahwa pemanfaatan LTTAK banyak didominasi oleh
aktivitas budi daya khususnya aktivitas kepariwisataan. Akomodasi berbintang yang
dijadikan sebagai objek penelitian berstatus legal karena telah memiliki izin lengkap.
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa terjadinya kerancuan kebijakan yang tidak
tegas dalam penerapan pengendalian kawasan.
Kata kunci : pariwisata, perizinan, tebing
I.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pelaksanaan studi ini dilatarbelakangi oleh terjadinya satu dilema yang sangat sering
dihadapi dalam perencanaan keruangan di daerah pada saat ini, yaitu konversi kawasan
lindung menjadi area terbangun. Mengambil studi kasus pemanfaatan lahan tebing di
sepanjang Tukad Ayung, di Desa Kedewatan (LTTAK), Ubud, Gianyar, studi ini mengkaji
bagaimana mekanisme perizinan yang terjadi sehingga kondisi ini dimungkinkan. Kajian
61
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
ini bermuara pada usaha mempertanyakan pihak-pihak terkait jika posisi LTTAK sebagai
kawasan lindung perlu ditinjau ke depannya dengan melihat pola mekanisme perizinan
yang terjadi. Hal ini dilakukan pada kerangka tujuan yang berorientasikan kepada
penjagaan eksistensi keruangan strategis yang mengemban misi proteksi, baik terhadap
keberlanjutan elemen-elemen spasial pendukung tatanan fisik-alamiah maupun sosialbudaya.
LTTAK seperti telah dijelaskan sebelumnya, termasuk ke dalam kawasan lindung
setempat, yang dalam pemanfaatannya telah diatur dalam berbagai peraturan yang
ditetapkan oleh pemerintah. Pemanfaatan LTTAK, harus melalui berbagai mekanisme yang
telah ditetapkan, seperti kesesuaian dengan arahan tata guna lahan dalam Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) baik propinsi maupun kabupaten, maupun dokumen-dokumen
lain yang mengatur mengenai pemanfaatan lahan serta proses perizinan berkaitan dengan
lokasi, peruntukan lahan, konstruksi bangunan dan kualitas lingkungan. Selain daripada itu,
mekanisme perizinan juga tidak terlepas dari peraturan lokal yang berlaku yaitu awig-awig
desa.
Berdasarkan gambaran riil di lapangan dimana LTTAK saat ini telah banyak
dimanfaatkan untuk fasilitas kepariwisataan, maka perlu dilakukan penelitian mengenai
bagaimana relevansi keberlanjutan LTTAK sebagai kawasan penyangga atau kawasan
lindung di masa yang akan datang. Hal ini memiliki keterkaitan dengan mekanisme
perizinan legal dari perencanaan spasial daerah yang pada kenyataannya “mengizinkan”
terjadinya pembangunan di atas LTTAK. Pemanfaatan lahan tebing yang berlebihan, tanpa
mengindahkan fungsi utamanya untuk keberlangsungan lingkungan serta fungsi-fungsi
awal lainnya, memunculkan kekhawatiran akan timbulnya konflik dan permasalahan yang
akan terus berkelanjutan.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan yang telah diuraikan pada latar belakang sebelumnya, dapat
disusun rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana pemanfaatan lahan di sepanjang kawasan Tebing Tukad Ayung
Kedewatan?
2.
Bagaimana pola mekanisme perizinan terkait pemanfaatan lahan yang diterapkan di
sepanjang kawasan lindung Tebing Tukad Ayung Kedewatan?
1.3.
Tujuan Penelitian
62
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan umum untuk mengetahui bagaimana
pemanfaatan lahan tebing di Kedewatan, Ubud saat ini dan tujuan khusus untuk mengkaji
bagaimana kesesuaian mekanisme perizinan yang seharusnya dilakukan dengan yang
terjadi saat ini pada LTTAK.
1.4.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat menjadi sumber informasi dan sumbangan pengetahuan bagi
kalangan akademisi, serta menambah referensi pustaka bagi kegiatan penelitian selanjutnya.
Selain itu penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan kepada pemerintah,
masyarakat dan pelaku ekonomi (stakeholder) terkait dalam penyusunan kebijakan strategis
pengelolaan lahan tebing untuk perkembangan pemanfaatan lahan selanjutnya.
1.5.
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian sesuai dengan judul terletak di Desa Kedewatan, Kecamatan Ubud,
Kabupaten Gianyar. Secara administrasi Desa Kedewatan memiliki luas 4,35 km2. Desa
Kedewatan memiliki batas-batas antara lain:
Utara
: Kecamatan Payangan
Timur
: Tukad Oos
Selatan
: Desa Sayan
Barat
: Tukad Ayung
Lokasi spesifik yang di teliti adalah kawasan tebing dan tepian Tukad Ayung Kedewatan.
Tukad Ayung memiliki lebar 3,4 m-7,3 m dengan lebar permukaan antara 10,7 m-16,8 m.
Daerah tepian tukad cenderung berhimpitan dengan tebing yang ada pada kawasan
LTTAK.
63
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
II.
Gambar 1
Lahan Tebing Tukad Ayung Kedewatan
sumber:Peta Monografi Desa Kedewatan;
LANDASAN TEORI
Hasil Pengamatan, 2011
Dalam menganalisis hal-hal yang sudah dipaparkan dalam rumusan permasalahan di
penelitian ini, dipergunakan beberapa aspek yang memiliki keterkaitan diantaranya
mengenai pemanfaatan lahan, pembangunan kepariwisataan berkelanjutan serta aspek
terkait mekanisme perizinan.
2.1.
Pemanfaatan Lahan dan Beragam Kepentingan yang Mempengaruhi
Dalam mempelajari faktor-faktor penentu dalam pemanfaatan lahan perlu
diidentifikasikan tiga kelompok besar yang berperan secara umum dan substansial yaitu
faktor ekonomi yang berorientasikan pada pengembangan modal finansial (profit making
values) sebagai salah satu faktor penentu dalam kegiatan penataan lahan di suatu kawasan,
faktor pemenuhan kebutuhan dasar dan menjaga keberlangsungan hidup masyarakat umum
(public interest values) serta faktor nilai-nilai sosial yang bertumbuh kembang di daerah di
mana lahan itu berada (socially rooted values) terkait dengan proses penataan lahan di suatu
kawasan (Suartika, 2010: 40).
Chapin juga memaparkan bahwa dalam pemanfaatan lahan terdapat setidaknya
empat kelompok yang terlibat dalam proses perencanaan pemanfaatan lahan. Keempat
kelompok tersebut adalah (a) pemerintah; (b) pihak–pihak yang berhubungan dengan lahan,
pasar, dan ekonomi; (c) pihak yang terkait dengan kepentingan tertentu dan (d) pihak
perencana pemanfaatan lahan.
2.2.
Pengendalian Pemanfaatan Lahan
Pengendalian pemanfaatan lahan dapat dijelaskan sebagai upaya mengatur kegiatan
pembangunan yang meliputi pelaksanaan kegiatan pendirian bangunan, perekayasaan,
pertambangan maupun kegiatan serupa lainnya dan atau mengadakan perubahan
penggunaan pada bangunan atau lahan tertentu. Dalam hal ini pengendalian pemanfaatan
lahan merupakan mekanisme untuk memastikan rencana tata ruang dan pelaksanaannya
telah berlangsung sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan (Zulkaidi, 2011: 7).
PEMERINTAH
Negara
Daerah
Lokal64
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
Gambar 2
Teori Tentang Aturan Permainan
Sumber: Suartika, 2010: 41
Penyelenggaraan Penataan
IZIN PEMANFAATAN RUANG
Pengaturan
Pembinaan
Pelaksanaan
Dikeluarkan dan/atau
diperoleh dengan tidak
melalui prosedur yang benar
Perencanaan
Pemanfaata
Diperoleh
melalui prosedur
Penyusunan
Program
yang benar tetapi kemudian
Penataan
terbukti tidak sesuai dengan
R
RTRW
Penetapan
Pembiayaan
Pengawasan
Batal demi
hukum
Pengendalia
Peraturan Zonasi
Dapat
Perizinan
Insentif & Disintensif
Penggantian/gant
METODE Akibat
PENELITIAN
Penatagunaan
Evaluasi
adanya perubahan
Sanksi
i kerugian yang
lahan,
air,
RTRW
3.1.
Sumber Data
layak
Gambar 3
udara dan Sda
Framework of Control
Sumber data dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
Sumber: Denny Zulkaidi 2010:17 Gambar 4
Diagram
Pemanfaatan
1.
Data primer, yaitu
dataIzin
yang
diperolah ruang
langsung dari sumber data primer.
Sumber: Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum
Sumber data primer ini 2009:
dipilih
20 secara purposif yaitu Bappeda, Dinas
III.
Pariwisata, Dinas PU, Badan Pelayanan Perizinan Terpadu, dan Badan
Lingkungan Hidup, pihak pemerintah desa, serta para owner/investor dari
65
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
pembangunan fasilitas dan akomodasi wisata di tebing Desa Kedewatan.
Sumber data juga dipilih secara snowball dalam perkembangan penelitian di
lapangan.
2.
Data sekunder, yaitu data yang diperolah dari sumber data sekunder, yang
tidak secara langsung diberikan kepada pengumpul data, yaitu melalui orang
lain ataupun data literatur berupa dokumen, majalah, selebaran pariwisata,
browsing internet, buku-buku serta arsip yang berkaitan dengan pembahasan,
sehingga dapat dijadikan pedoman atau acuan dalam penelitian ini.
3.2.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan secara bertahap pada dasarnya berupaya untuk
menghasilkan data deskriptif dari perilaku yang dapat diamati. Dengan demikian,
pendekatannya diarahkan pada situasi dan individu secara menyeluruh. Proses
pengumpulan data kualitatif bersifat dinamis, menggunakan berbagai teknik seperti
wawancara mendalam, pengamatan dan dokumentasi untuk menyesuaikan dengan
karakteristik jenis dan sumber data, juga untuk dipilih dan dan digunakan dengan maksud
agar data yang diperoleh teruji validitasnya (Sugiyono, 2011:222)
3.3.
Analisis Data
Teknik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan
teknik analisis deskriptif kualitatif. Analisis ini akan diarahkan pada uraian deskriptif
mengenai bagaimana mekanisme perizinan berpengaruh terhadap fungsi awal lahan, yaitu
kawasan
lindung.
Menggunakan
teknik
deskriptif
analitis
dapat
dikembangkan
pendeskripsian dan sekaligus interpretasi terhadap kondisi yang ditemui di lapangan.
IV.
PEMBAHASAN
4.1.
Eksisting Pemanfaatan Lahan Tebing Tukad Ayung Kedewatan (LTTAK)
Mengikuti pola pada klasifikasi pemanfaatan lahan yang ditawarkan oleh Chapin
maka eksisting pemanfaatan lahan ada di LTTAK, dikelompokkan menjadi tiga kategori
diantaranya pemanfaatan lahan untuk mengakomodasi fungsi ekologi yaitu keberadaan
lahan hijau, fungsi sosial budaya dengan keberadaan pura dan sumber air suci serta fungsi
ekonomi yaitu fasilitas-fasilitas yang berkaitan dengan aktivitas kepariwisataan. Adanya
lahan sawah maupun tegalan memiliki fungsi ganda yaitu fungsi ekologi yang memiliki
66
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
keterkaitan dengan fungsi ekonomi. Pemanfaatan lahan di Tebing Tukad Ayung dapat
dilihat pada gambar berikut ini:
Peta Orientasi
Lokasi
Gambar 5
Pemanfaatan Lahan Eksisting Pada Kawasan Penelitian
Sumber : Bappeda Kab. Gianyar dengan modifikasi, 2012
Keterangan:
= Lahan terbuka
= Akomodasi wisata
= Lahan Sawah
Peta
Orientasi
= Stopper
Lokasi
Rafting
= Fasilitas Budaya
= Penambangan
Pasir
Keterangan
0 10 :
50
100
Sempadan Sungai
Sempadan Tebing
0 100
500
676
Gambar
Sempadan Sungai dan Sempadan Tebing pada LTTAK
Sumber : Bappeda Kab. Gianyar dengan modifikasi 2012
1000
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
4.2.
Mekanisme Perizinan dan Pengendalian Pemanfaatan LTAAK
Menurut review RTRW Kabupaten Gianyar pemanfaatan lahan di Kabupaten
Gianyar secara umum berpedoman kepada RTRW Kabupaten Gianyar terkait dengan pola
pemanfaatan lahan kawasan sehingga kendali terhadap pemanfaatan lahan dapat dilakukan
dengan efektif. Proses perizinan pemanfaatan lahan secara keseluruhan seperti pengurusan
berbagai izin seperti Izin Melakukan Pembebasan Lahan, Izin Melakukan Kegiatan Industri
berdasarkan Undang-Undang Gangguan (Izin HO), Izin Prinsip dan Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) saat ini dibuat di Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kabupaten
Gianyar.
Berdasarkan hasil penelitian pihak BPPT menyatakan proses birokrasi pengajuan izin
oleh masyarakat, diupayakan akan diselesaikan dalam jangka waktu yang cukup singkat
yaitu 15 hari untuk 1 paket perizinan, dengan syarat seluruh ketentuan yang ada sudah
disiapkan sebelumnya oleh pemohon. Untuk kawasan tebing Tukad Ayung, dinyatakan
bahwa pemohon akomodasi wisata harus melengkapi setiap perizinan dimulai dari izin
prinsip, izin lokasi dan izin membangun bangunan.
Izin pemanfaatan
lahan untuk
akomodasi wisata keluar setelah dilakukan pemeriksaan oleh anggota tim gabungan dari
beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait.
Sehubungan dengan RDTR Kawasan Pariwisata Ubud, pemanfaatan lahan diatur
dalam sistem rujukan rencana. Dalam sistem ini Bapedda Kabupaten Gianyar ditunjuk
sebagai instansi yang menerbitkan Surat Keterangan Rujukan Rencana (KRR) atas nama
Pemerintah Kabupaten Gianyar dengan maksud sebagai kendali terhadap pemanfaatan
lahan dapat dilakukan efektif. KRR dijadikan acuan untuk penerbitan berbagai izin yang
ada. Selain itu juga dapat menjadi acuan untuk penerbitan berbagai kebijaksanaan dalam
penegakan hukum, seperti Surat Perintah Penghentian Pekerjaan Bangunan dan Surat
Perintah Bongkar. Bagan pengelolaan pemanfaatan ruang akan dapat dilihat pada Gambar
7.
Rencana
Pemanfaatan
Lahan oleh
Masyarakat
atau Instansi
Bappeda dibantu
Tim Koordinasi
Tata Ruang dan
Unsur Terkait di
Daerah
Kabupaten
KRR
(Keterangan
Rujukan
Rencana)
68
Penghentian Kegiatan
Proses
Pengurusan
Izin (Izin
HO, IMB dll)
Pelaksanaan
Fisik
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
Gambar 7
Bagan Pengelolaan Pemanfaatan Ruang
Sumber : RDTR Kawasan Pariwisata Ubud
Lengkap
Diagendakan
Setuju
Pengecekan
Administrasi
dan Gambar
di Loket KPT
Pemohon
Laporan
Hasil
Peninjauan
Lapangan ke
Bupati
Peninjauan
Lapangan
Oleh Tim
Tidak
Lengkap
Dikembalikan
Kepada
Mekanisme/Tata
Pemohon
EXPOSE
UPT
Ditolak
Laporan
EXPOSE
Setuju
Ditolak
Gambar 8
Cara Permohonan Izin Lokasi di Kabupaten Gianyar
Sumber : Peraturan Bupati Gianyar Nomor 89 Tahun
Surat 2005
Lengkap
Pengecekan
Administrasi
dan Gambar
di Loket KPT
Pemohon
Penolakan
Setuju
Diagendakan
SK Izin
Proses di
Lokasi
KPT
Laporan
Hasil
Peninjauan
Lapangan ke
Bupati
Peninjauan
Lapangan
Oleh Tim
Tidak
Lengkap
Ditolak
Dikembalikan
Kepada
Pemohon
Gambar 9
Surat Pariwisata di
Mekanisme/Tata Cara Permohonan Persetujuan Prinsip Usaha Sarana
Penolakan
Kabupaten Gianyar
SK Izin
Sumber : Peraturan Bupati Gianyar Nomor 89 Tahun 2005
Prinsip
Lengkap
Pemohon
Tidak
bermasalah
Diagendakan
Proses di
DPU
Pengecekan
Administrasi
dan Gambar
di Loket KPT
Peninjauan
Lapangan
Oleh Tim
Rapat
Evaluasi Tim
Tidak
Lengkap
Hunjuk
Bupati
Bermasalah
Dikembalikan
Kepada
Pemohon
IMB
Setuju
ditolak
ditolak
Gambar 10
Surat
Mekanisme/Tata Cara Permohonan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di Kabupaten
penolakan Gianyar
Sumber : Peraturan Bupati Gianyar Nomor 89 Tahun 2005
69
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
4.3.
Implementasi Kebijakan dalam Pemanfataan Lahan Tebing Tukad Ayung
Kedewatan (LTTAK)
Berdasarkan hasil penelitian pada kawasan, seluruh akomodasi wisata berupa hotel
berbintang yang terdapat di tebing, sudah memiliki izin. Acuan yang digunakan dalam
proses keluarnya izin pada kawasan, selain berdasarkan arahan RTRW Kabupaten dan
RDTR Kawasan Pariwisata Ubud juga mengacu kepada RTRW Provinsi Bali, yang
mengatur mengenai pembangunan pada kawasan tebing dengan arahan sempadan sungai
dan tebing.
Dalam Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Pariwisata Ubud, LTTAK termasuk ke
dalam sub pengembangan Kedewatan bersama dengan Desa Keliki, di mana untuk
pengembangan pariwisata yang dilakukan adalah dengan mendirikan akomodasi wisata
berupa kawasan hotel berbintang empat dan lima yang diarahkan pada kawasan tebing
sekitar Tukad Ayung. RDTR Kawasan Pariwisata Ubud menjelaskan bahwa arahan tersebut
sesuai dengan persyaratan yang dibutuhkan untuk lokasi akomodasi wisata yaitu suasana
yang tenang, sejuk, aksesibiltas memadai serta view yang indah. RDTR Kawasan
Pariwisata Ubud, selain menyatakan bahwa LTTAK termasuk ke dalam rencana
pengembangan kawasan hotel berbintang, juga menjelaskan kawasan ini termasuk ke dalam
kawasan lindung yang terdiri dari kawasan sempadan sungai dan sempadan tebing.
Kawasan sempadan tebing di tepi Tukad Ayung khususnya Br. Tanggayuda dan Br.
Kedewatan ketentuan yang dipersyaratkan adalah sempadan dengan lebar dua kali
kedalaman tebing.
Mengacu kepada pernyataan Sekertaris Badan Pelayanan Perizinan Terpadu
Kabupaten Gianyar yang menyatakan:
“sering terjadi pro dan kontra mengenai pemanfaatan lahan yang terjadi, tetapi
pemanfaatan yang ada saat ini khususnya sehubungan dengan aktivitas pariwisata
semua sudah melalui mekanisme yang berlaku”
Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa mekanisme perizinan yang harus dilalui oleh
pemohon yang dalam hal ini adalah pelaku wisata atau pemilik modal, sesuai dengan
kebijakan yang berlaku. Kebijakan tersebut mengarahkan bahwa LTTAK termasuk ke
dalam kawasan pariwisata tetapi tidak berdasarkan aturan bahwa LTTAK merupakan
kawasan lindung. Mekanisme perizinan seperti yang dipaparkan pada Gambar 8 hingga 10,
menggambarkan bahwa ada proses pengecekan administrasi dan gambar, setelah melalui
proses tersebut dilanjutkan dengan pengecekan ke lapangan oleh tim (terdiri dari gabungan
SKPD). Pada proses ini tampaknya terjadi sedikit pengecualian terkait dengan sempadan
70
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
tebing. Ada pendapat dari beberapa kalangan yang menyatakan walaupun pembangunan
terjadi pada kawasan tebing, hal tersebut tidak merusak dan mengganggu stabilitas struktur
tebing yang ada.
Dalam mekanisme perizinan pemanfaatan lahan khususnya sebagai akomodasi
wisata, tidak dipergunakannya arahan sempadan sungai dan tebing secara ideal pada proses
perizinan dikarenakan diasumsikan bahwa arahan sempadan tebing yang berjarak dua kali
ketinggian tebing, dapat mengurangi potensi pengembangan kawasan sebagai area
pariwisata. Hal tersebut sehubungan dengan adanya potensi kawasan berupa alam dengan
view yang sangat indah dan memiliki nilai jual tinggi. Sebagai area wisata, saat ini yang
digunakan menjadi dasar dalam pengeluaran izin untuk akomodasi wisata adalah Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) untuk akomodasi wisata di atas 200 kamar serta
Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) atau Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup
(UPL) untuk akomodasi di bawah 200 kamar.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat dijelaskan bahwa untuk pembangunan
akomodasi wisata dapat memiliki izin dimulai dari mekanisme awal yaitu izin prinsip di
mana oleh pemerintah kabupaten setempat dilihat melalui dokumen AMDAL maupun
UKL/UPL, kemudian dilanjutkan dengan dokumen gambar teknis ketika mengajukan izin
membangun bangunan (IMB). Apabila struktur bangunan dinilai cukup kuat dan baik
khususnya dalam mengantisipasi tanah longsor, maka izin pemanfaatan lahan
pembangunan akomodasi akan ditertibkan. Proses perizinan yang terjadi saat ini
digambarkan pada gambar 11 berikut ini.
Pemohon
Administrasi
dan Gambar
Peninjauan
Lapangan Oleh
Tim
Rapat
Evaluasi
Izin
AMDAL
Sempadan Tebing
Gambar 11
Proses Perizinan yang Terjadi Saat Ini
Pada gambar 12 terlihat
bahwa
pada
proses2012
perizinan yang terjadi saat ini, secara
Sempadan
Sungai
Sumber
: Hasil
Analisis,
umum sudah sesuai dengan mekanisme perizinan yang ada. Hanya saja, penerapan
71
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
peraturan mengenai batas sempadan tebing dan jurang tidak dilakukan secara ketat. Hal ini
dapat dikaitkan dengan berbagai kepentingan yang ada, khususnya kepentingan ekonomi.
Kepentingan ekonomi yang dimaksud adalah LTTAK memiliki potensi yang tinggi
khususnya karena keberadaan tebingnya. Izin dikeluarkan dengan berdasarkan pada
AMDAL dan pemenuhan persyaratan struktur bangunan yang tidak merusak eksistensi
tebing dalam upaya menghindari terjadinya bahaya longsor. Kenyataan yang terjadi di
lapangan, terdapat beberapa lokasi longsor pada kawasan yang dibangun akomodasi
pariwisata.
Pengendalian pembangunan yang terjadi saat ini tidak secara keseluruhan
dilaksanakan secara ideal. Tim gabungan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) hanya
Gambar 12
melakukan pengecekan
berkala,
sebaliknya
belum terdapat
aturan yang mengikat pasti
Longsor
pada Tebing
yang Dibangun
Akomodasi
Wisata
mengenai pembatasan pembangunan akomodasi.
Pengendalian pembangunan yang jelas
Sumber : Hasil Pengamatan 2012
pada kawasan penelitian khususnya terkait dengan pembangunan akomodasi wisata sangat
diperlukan mengingat dalam prinsip Piagam Pariwisata Berkelanjutan telah disebutkan
bahwa pemerintah dan otoritas yang kompeten, dengan partisipasi lembaga swadaya
masyarakat dan masyarakat setempat harus mengambil tindakan untuk mengintegrasikan
perencanaan pariwisata sebagai kontribusi kepada pembangunan berkelanjutan.
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terdapat beberapa hal yang dapat
disimpulkan yaitu:
1.
Pada pemanfaatan LTTAK terdapat beberapa fungsi diantaranya adalah
fungsi ekologi (masih adanya kebun atau tegalan serta areal persawahan
yang juga memiliki keterkaitan dengan fungsi ekonomi), fungsi sosial
budaya (keberadaan beberapa pura maupun pelinggih dan sumber mata air)
dan fungsi ekonomi (pembangunan akomodasi wisata, penambangan pasir
ilegal serta pertanian basah maupun kering). Telah terjadi konversi ruang
berfungsi untuk kepentingan ekologi menjadi ruang yang berfungsi untuk
72
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
kepentingan ekonomi. Kondisi tersebut dapat dilihat dari perubahan
pemanfaatan lahan ruang terbuka hijau menjadi ruang yang dibangun untuk
akomodasi wisata.
2.
Kebijakan kawasan lindung yang tidak tegas memberikan peluang terhadap
pemanfaatan di luar fungsi-fungsi lindung dan menimbulkan pendapat pro
dan kontra berkenaan dengan konsep pemanfaatannya.
3.
Tidak adanya penerapan pengendalian yang jelas mengenai kawasan
lindung, mengakibatkan pola mekanisme perizinan saat ini berdasar kepada
kebijakan bahwa LTTAK termasuk ke dalam kawasan pariwisata. Pola ini
berdampak kepada terjadinya pelanggaran pemanfaatan di area sempadan
tebing dan sungai.
5.2.
Saran
1.
Aturan mengenai sempadan sungai dan tebing tetap harus diterapkan secara
proporsional. Meskipun pembangunan yang terjadi disebut telah sesuai
dengan persyaratan yang ditentukan, tetapi dengan kondisi fisik dasar
kawasan yang rawan bencana longsor potensi bencana tetap dapat terjadi.
2.
Untuk selanjutnya diperlukan peraturan yang jelas mengatur pembatasan
mengenai pemanfaatan lahan pada LTTAK khususnya untuk menjaga agar
lahan yang tersisa saat ini tidak habis dan dapat dikonservasi, termasuk
didalamnya lahan yang dapat dibangun dan yang tidak dapat dibangun
beserta ketentuan sanksi apabila hal tersebut dilanggar.
3.
Elemen pengendalian pemanfaatan LTTAK belum cukup kuat dilaksanakan
saat ini, sehingga diperlukan kesepakatan antara berbagai pihak yang terkait
di dalamnya mengenai rumusan pengendalian yang tepat, dan harus
dilaksanakan dengan tertib oleh semua pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Desa Pekraman Kedewatan. 2010. Profil Desa Pekraman Kedewatan. Gianyar. Ayung
Werdhi Foundation.
Kasubdit Pembinaan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Wilayah I. 22 Juli 2009.
Regulasi Pengendalian Pemanfaatan Ruang. Direktorat Jenderal Penataan Ruang
Departemen Pekerjaan Umum.
Kabupaten Gianyar. 2001. Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Pariwisata Ubud (20012011). Tidak diterbitkan
73
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
Kabupaten Gianyar. 2005. Peraturan Bupati Gianyar Nomor 89 Tahun 2005 tentang
Mekanisme Perizinan. Tidak diterbitkan
Praganingrum, Tjok.Istri, 2012. Kajian Terhadap Pemanfaatan Tebing Tukad Ayung
Kedewatan, Ubud, Gianyar. (Tesis tidak diterbitkan). Universitas Udayana.
Provinsi Bali. 2009. Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali.
Suartika, GAM, 2007 Perencanaan dan Pembangunan Keruangan : Perwujudan dan
Komunikasi Antar Kepentingan Dalam Pemanfaatan Lahan Jurnal Permukiman
Natah Vol 5 No 2 Agustus 2007.
Suartika, 2010 Morphing Bali
Academic Publishing.
The State, Planning, and Culture. Germany. Lambert
Sugiyono, 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Kombinasi (Mixed Method).
Bandung: Alfabeta.
Zulkaidi, Denny, 2011. Basic concept Of Development Control.Graduate Programme in
Regional and City Planning Scholl of Architecture, Planning and Policy
Development. Bandung. Institut Teknologi Bandung.
74
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
PULIHNYA KUAT TEKAN BETON PASCA KEBAKARAN SETELAH
DILAKUKAN PENYIRAMAN AIR.
Oleh :
I Made Sastra Wibawa.
I Gede Ngurah Sunatha.
ABSTRAK.
Beton sebagai bahan konstruksi yang material dasarnya sebagian besar berada di
alam dan kondisinya semakin langka oleh sebab itu kiat-kiat efisiensi perlu ditingkatkan,
beton belakangan ini masih memegang rekor tertinggi sebagai bahan konstruksi dalam
pembangunan, oleh sebab itu selain efisien dalam penggunaan bahan perlu juga terobosan
untuk mencari bahan pengganti, oleh sebab itu dituntut adanya teknologi baru dalam
penggunaan bahan konstruksi.pesatnya pembangunan fisik yang terjadi berarti pesat juga
perkembangan teknologi, kondisi ini sering tidak diikuti oleh penguasaan yang memadai
terhadap perkembangan teknologi bahan konstruksi.
Terjadinya bencana kebakaran tidak menutup kemungkinan membuat keraguraguan dalam penggunaan beton meskipun konstruksi beton masih kokoh setelah
mengalami kebakaran, sehingga diperlukan usaha agar beton masih dapat dipakai tanpa
melakukan pembongkaran. Dalam penelitian ini dicoba melakukan pembakaran terhadap
beton kemudian padanya dilakukan penyiraman air dengan variasi satu sampai tiga kali
penyiraman air.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar kuat tekan beton
yang terjadi akibat terjadinya kebakaran, dan seberapa besar kuat tekan beton yang terjadi
setelah padanya dilakukan penyiraman air.
Penelitian ini di lakukan di laboratorium Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Bali yaitu
melalui pengujian kuat tekan beton menggunakan benda uji kubus 15x15x15 Cm. Variasi
pembuatan benda uji dibuat dalam lima perlakuan dengan masing-masing perlakuan 8 buah
benda uji dan pengujian kuat tekan dilakukan pada saat umur 28 hari. Hasil Kuat Tekan
yang diperoleh P0 = 230,91 Kg/Cm2 ; PI = 220,76 Kg/Cm2 ; P II = 224,56 Kg/Cm2 ; P III
= 226,75 Kg/Cm2 ; P IV = 229,26 Kg/Cm2.
Hasil penelitian menunjukkan terjadi penurunan kuat tekan beton setelah dibakar,
namun setelah dilakukan penyiraman air kuat tekannya semakin naik seiiring naiknya
jumlah penyiraman. Oleh sebab itu, berdasarkan hasil penelitian ini beton yang mengalami
kebakaran apabila kemudian dilakukan penyiraman air maka beton tersebut masih dapat
dipergunakan, namun untuk lebih meyakinkan perlu dilakukan penelitian langsung di
lapangan.
Kata Kunci : Kuat Tekan Karakteristik, Beton terbakar, Penyiraman air.
I.
LATAR BELAKANG.
Beton sebagai bahan kontruksi yang hampir seluruh bahannya berasal langsung dari
alam sangat merasakan tentang terjadinya kelangkaan material, sehingga hal ini menuntut
75
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
adanya usaha untuk mencari alternatif bahan lain agar beton tetap dipercaya sebagai bahan
utama dalam pengerjaan suatu konstruksi / bangunan fisik.
Disamping kendala penyiapan material campuran beton yang semakin sulit, dunia
konstruksi juga sering dihadapkan dengan beberapa permasalahan seperti adanya bencana
yang menyebabkan terjadi kerusakan baik sebagaian atau keseluruhan dari konstruksi yang
ada. Beton sebagai konstruksi yang biasanya merupakan struktur utama dalam sebuah
bangunan biasanya setelah mengalami bencana kebakaran kondisinya masih utuh dan tetap
berdiri kokoh walaupun bagian yang lain dari bangunan telah hangus terbakar. Kenyataan
ini sering menimbulkan dilema pada saat akan dilakukan renovasi terhadap bangunan yang
mengalami kebakaran. Di satu sisi beton masih berdiri kokoh, sedang di lain sisi beton
sempat mengalami kebakaran sehingga timbul keragu-raguan dalam menggunakan kembali
konstruksi beton tersebut. Apabila beton mengalami kebakaran tidak terlalu lama, kuat
tekan yang masih dimiliki oleh beton tidak banyak berkurang dari kuat tekan rencana,
seperti sebuah penelitian menyatakan bahwa beton yang dibakar selama 120 Menit ternyata
kuat tekan yang terjadi memang berkurang dari yang direncanakan tetapi masih berada
pada batas kuat tekan rencana, kecuali beton tersebut dibakar 150 Menit diperoleh kuat
tekan dibawah kuat tekan rencana namun masih berada pada batas 80 % dari kuat tekan
rencana. (Wibawa, S : 2010 ).
Datangnya bencana memang sulit diprediksi, demikian pula bencana kebakaran
tidak dapat diduga terjadi pada suatu bangunan gedung yang menggunakan konstruksi
beton, dan apabila pasca bencana kebakaran ada keinginan untuk melakukan renovasi
terhadap bangunan tersebut sering terjadi keragu-raguan dalam penggunaan kembali
konstruksi yang lama. Untuk memberi keyakinan bahwa setelah terjadi kebakaran beton
masih dapat dipergunakan sebagai konstruksi, maka dilakukan usaha / intervensi pada
beton tersebut. Oleh sebab itu berdasarkan pada uraian tersebut diatas, maka dicoba untuk
melakukan penelitian dalam skala laboratorium yaitu dengan penyiraman air pada beton
setelah mengalami kebakaran kemudian melakukan pengujian terhadap kuat tekan yang
terjadi.
1.1.
Rumusan Masalah.
Dengan melihat uraian latar belakang permasalahan diatas, maka dapat dibuat
rumusan masalah sebagai berikut :
“Seberapa besar perubahan kuat tekan beton setelah beton yang terbakar disiram dengan
air, dan secara visual perubahan apa yang terjadi pada beton?”.
76
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
1.2.
Tujuan Penelitian.
Yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui pengaruh penyiraman dengan air pada beton yang mengalami
kebakaran terhadap sifat mekanis campuran yaitu kuat tekan beton.
2 . Mengetahui seberapa besar berkurangnya atau bertambahnya kekuatan tekan
beton akibat penyiraman dengan air pada beton yang dibakar.
3. Secara visual bagaimana perubahan dari beton yang terbakar setelah dilakukan
penyiraman dengan air.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Semen.
Semen berfungsi untuk mengikat agregat halus, agregat kasar dan air menjadi satu
kesatuan. Dalam hal ini semen yang dipakai adalah semen portland yang berfungsi sebagai
bahan pengikat hidrolis yang artinya semen akan berfungsi atau mengeras bila telah
bereaksi dengan air. Menurut standard industri Indonesia definisi semen Portland adalah
semen hidrolis yang dihasilkan dengan cara menghaluskan klinker yang terutama terdiri
dari silikat-silikat kalium yang bersifat hidrolis, dimana di dalamnya juga telah
dicampurkan gipsum dalam takaran (dosis) tertentu. Variasi dan komposisi dari komponen
karakteristik bahan semen akan menentukan type semen (Subakti.A ; 1994).
2.2.
Agregat.
Agregat adalah sebagai bahan pengisi pada campuran beton.
Agreget pada
campuran beton diikat oleh semen, dan di lapangan agregat dikenal berupa pasir, krikil atau
batu pecah. Dalam campuran beton biasanya agreget menempati komposisi yang paling
banyak. Sehingga mutu dari pada agreget sangat mempengaruhi mutu beton itu sendiri.
Komponen agregat yang terdapat dalam campuran beton berkisar antara 70 % - 75 % dari
total volume beton.
Sifat dan bentuk dari butir-butir agreget sebenarnya belum dapat didefinisikan dengan
jelas, sehingga sifat-sifat tersebut sulit diukur dengan baik dan pengaruhnya terhadap beton
sulit diperiksa dengan teliti. Menurut bentuk butirannya agreget dapat diklasifikasikan
yaitu: Angular berarti tidak keausan, sedangkan well rounded berarti bulat dan kadangkadang agak pipih. Bentuk agreget akan mempengaruhi workability dan kekuatan beton
(Wangsadinata.W; 1971). Secara umum bentuk yang baik untuk kemudahan pengerjaan
dan pemadatan adalah bentuk bulat, sedangkan untuk memperoleh kekuatan yang tinggi
77
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
adalah bentuk angular karena luas bidang permukaannya lebih lebar. Bentuk agregat yang
pipih dan memanjang kurang baik karena akan sulit untuk dipadatkan.
2.3.
A i r.
Syarat air yang dapat digunakan dalam pembuatan beton dan perawatannya sesuai
yang tertuang dalam (Wangsadinata. W ; 1971) adalah sebagai berikut:
1. Air untuk pembuatan dan perawatan beton tidak boleh mengandung minyak, asam
alkali, garam-garam, bahan-bahan organis yang dapat merusak beton. Dalam hal
ini sebaiknya dipakai air bersih yang dapat diminum.
2.
Apabila terdapat keragu-raguan mengenai air di anjurkan untuk mengirimkan
contoh air itu ke Lembaga Pemeriksaan
Bahan-Bahan yang di akui untuk
diselidiki seberapa jauh air itu mengandung zat-zat yang dapat merusak beton.
Bila pemeriksaan contoh air tidak dapat dilakukan, maka dalam hal adanya keraguraguan mengenai air harus dilakukan pecobaan perbandingan antara kekuatan tekan
mortar semen+pasir dengan memakai air tesebut dan dengan memakai mortar yang
memakai air suling. Kekuatan tekan mortar yang menggunakan air tersebut pada
umur 7 dan 28 Hari paling sedikit adalah 90 % dari kekuatan mortar yang memakai
air suling.
3. Jumlah air yang dipakai untuk membuat adukan beton dapat ditentukan dengan
ukuran isi atau ukuran berat dan harus dilakukan setepat-tepatnya.
Pada penelitian ini disamping air dipakai sebagai bahan pencampur beton, juga
dipakai sebagai bahan untuk menyiram beton yang sebelumnya telah dibakar, dengan
anggapan bahwa ketika beton terbakar / dibakar, maka sebagian besar butiran semen yang
bentuk dan sifatnya kembali seperti semula akibat adanya kebakaran sehingga setelah beton
kembali disiram air diharapkan akan terbentuk beton lagi. (Indrayanto.H ; 2008).
2.4.
Kuat Tekan Beton Karakteristik.
Kuat Tekan Beton Karakteristik adalah kekuatan tekan dimana dan hasil
pemeriksaan benda uji yang berupa kubus atau silinder, kemungkinan adanya kekuatan
tekan yang kurang dari yang ditetapkan terbatas sampai 5 % (Wangsadinata. W; 1971).
Sedangkan kuat tekan beton adalah besarnya beban persatuan luas yang mampu diterima
oleh benda uji sampai benda uji tersebut hancur. Dalam menghitung kuat tekan beton
rumus-rumus yang digunakan adalah sebagai berikut (Wangsadinata. W ; 1971) :
P
σb = --------------A x fu x fb
78
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
Dimana :
σb
P
A
fu
fb
=
=
=
=
=
Tegangan beton ( kg / cm2)
Beban tekanan maximum (kg)
Luas bidang tekan dari benda uji (cm2)
Faktor umur (Wangsadinata. W ; 1971)
Faktor bentuk ( Wangsadinata. W ; 1971)
∑ni σb
σbm = ------------n
S = √∑ (σb – σbm)2
n-1
σbk = σbm – k . S  k = konstanta (Subakti.A ; 1994).
2.5.
Beton Pasca Kebakaran.
Beton adalah bahan yang memiliki ketahanan terhadap api/panas yang lebih baik
dibandingkan material bangunan yang lain (Bayuasri, Trisni ;2010). Hal ini disebabkan
karena beton memiliki konduktivitas panas yang lemah, namun demikian dijelaskan pula
beton tetap memiliki kelemahan jika terpapar panas terlalu lama sampai beton mengalami
perubahan warna dan bentuk yang sangat besar seperti terjadi perubahan warna coklat
kehitam-hitaman atau terjadi kerusakan yang cukup parah terjadi akibat terlalu lama kena
api atau akibat kebakaran tersebut beton mengalami panas yang sangat tinggi sehingga
terjadi retak-retak yang menyebabkan tulangan sampai terlihat. Hal ini berarti selimut
beton sudah rusak dan kondisi ini sangat susah diperbaiki, walaupun dapat diperbaiki
kondisi monolit dari beton sudah tidak ada lagi.
Pada umumnya setelah beton mengalami kebakaran atau kerusakan akibat sesuatu
hal, kita cenderung untuk menggantinya dengan beton yang baru. Menurut Indrayanto. H ;
2008 dalam artikelnya yang berjudul Perbaikan Beton Pasca Kebakaran, menyatakan
bahwa beton setelah mengalami kebakaran tidak harus langsung diganti dengan beton yang
baru sebab beton lama masih dapat dipakai dengan salah satu alasan yang dikemukakan
yaitu tidak terjadinya perubahan warna yang signifikan pada beton.
Jika beton setelah mengalami bencana kebakaran tidak terjadi perubahan secara
visual yang sangat besar, misalnya terjadi retak yang cukup lebar, keropos pada seluruh sisi
atau dinding beton, selimut beton yang tidak berfungsi lagi sehingga tulangan kelihatan dari
luar, dan tidak terjadi perubahan warna beton menjadi merah tua, maka beton masih bisa
dipertahankan. Hal ini akan lebih baik lagi jika selama proses rekonstruksi kita dapat
melakukan penyiraman pada beton dengan air, sebab tingkat recovery kekuatan beton
79
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
setelah dilakukan treatment penyiraman dengan air mampu mendekati 100 % ( Indrayanto.
H ; 2008).
III. METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian.
Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental menggunakan rancangan sama
subjek (Treatments by Subjects Design) (Hadi ; 1995 , Bakta ; 1997). Secara sederhana
dapat digambarkan sebagai berikut :
P II
P
S
Po
P I
P III
P IV
Gambar 3.1 Rancangan Penelitian.
Keterangan :
1. P
= Populasi (benda uji kubus 15x15x15 Cm).
2. S
= Sampel Penelitian (kubus yang disortir / tidak cacat).
3. Po
= Hasil Pengujian sebelum perlakuan (kontrol-I).
4. P I
= Hasil Pengujian sebelum disiram (sudah dibakar / kontrol-II).
4. P II = Hasil Pengujian setelah perlakuan/dibakar + disiram satu kali.
5. P III = Hasil Pengujian setelah perlakuan/dibakar + disiram dua kali.
6. P IV = Hasil Pengujian setelah perlakuan/dibakar + disiram tiga kali.
3.2.
Definisi Operasional.
Pengujian dilakukan terhadap kuat tekan benda uji, benda uji yang dipakai adalah
kubus ukuran 15 x 15 x 15 Cm. Pemilihan benda uji ini adalah berdasarkan peraturan yang
tertuang dalam PBI. (Peraturan Beton Indonesia) Tahun 1971.
Pada penelitian ini
komposisi campuran beton dibuat tetap, hanya perbedaannya terletak pada pemberian
penyiraman air setelah dilakukan pembakaran selama 150 Menit, yaitu masing-masing
perlakuan diberikan penyiraman air yang berbeda-beda, dimulai dari benda uji yang sama
sekali tidak disiram, kemudian benda uji yang disiram sebanyak satu kali, benda uji yang
disiram sebanyak dua kali, dan benda uji yang disiram sebanyak tiga kali.
Dalam
melakukan pembakaran dipergunakan kompor khusus yang biasanya dipakai membakar
aspal (Wibawa. S ; 2010), setelah itu benda uji disiram secara merata pada keempat sisinya
sesuai dengan jumlah penyiraman dari masing-masing perlakuan. Jika kita lihat variasi
perlakuan, maka dapat ditulis sebagai berikut :
80
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
1. Perlakuan 0. yaitu benda uji sebelum dibakar dan belum disiram sebagai kontrol
awal mutu beton yang diperoleh.
2. Perlakuan I , yaitu benda uji yang dibakar, sama sekali tidak disiram.
3. Perlakuan II , yaitu benda uji yang dibakar, disiram sebanyak satu kali.
4. Perlakuan III, yaitu benda uji yang dibakar, disiram sebanyak dua kali.
5. Perlakuan IV, yaitu benda uji yang dibakar, disiram sebanyak tiga kali.
Benda uji yang dibuat untuk masing-masing perlakuan adalah 8 (delapan) Buah kubus.
3.3.
Pemeriksaan Bahan.
Bahan – bahan dasar untuk beton dalam pembuatan benda uji harus memenuhi
persyaratan yang telah ditentukan dalam (Wangsadinata W; 1971) sebagai pedoman
pengerjaan beton. Untuk mengetahui apakah bahan-bahan dasar beton seperti pasir, batu
pecah memenuhi syarat, maka terlebih dahulu perlu dilaksanakan percobaan pendahuluan
untuk mengetahui sifat-sifat bahan dasar yang akan digunakan. Bahan-bahan yang dipakai
dalam penelitian beton ini adalah semen type I merk Gresik, pasir alami dari Karangasem,
batu pecah dari Karangasem dan air yang dipakai air PDAM. (Perusahan Daerah Air
Minum) yang ada di laboratorium. Dalam penelitian ini, pengambilan pasir serta batu
pecah untuk percobaan pendahuluan dilakukan dengan cara acak dari tumpukan material
yang cukup besar/tinggi diambil sampel pada bagian tertentu sesuai arah mata angin dengan
tujuan agar sampel yang kita pakai dapat mewakili bahan yang ada di lokasi.
3.4.
Percobaan Pendahuluan.
Percobaan pendahuluan ini dilakukan adalah untuk melakukan pemeriksaan
terhadap bahan-bahan pembentuk beton yang dipakai dalam penelitian, sehingga dari
hasilnya akan didapat nilai-nilai yang diperlukan dalam perhitungan mix design.
3.4.1. Pemeriksaan agregat halus.
Pemeriksaan yang dilakukan terhadap agregat halus (pasir) adalah:
1. Berat jenis (specific gravity) dan penyerapan air (water absorption)
2. Gradasi pasir (sieve analysis).
3. Kadar Lumpur (mud content).
4. Berat satuan (unit weight).
5. Kadar air dalam pasir (surface moisture content).
81
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
3.4.2. Pemeriksaan agregat kasar (batu pecah).
Pemeriksaan yang dilakukan terhadap agregat kasar meliputi:
1. Gradasi (Sieve Analysis)
2. Berat jenis (Specific Gravity)dan penyerapan air (Water Absorption).
3. Berat satuan batu pecah(Unit Weight)
4. Kadar Lumpur (Mud Content)
5. Kadar air (Surface Moinsture Content).
3.4.3.
Berat Satuan semen.
Yaitu untuk mengetahui berat satuan semen yang berguna untuk mengkonversi
berat ke volume atau sebaliknya. Pemeriksaan berat satuan semen cara kerjanya sama
dengan pemeriksaan berat satuan pasir.
3.5.
Mix Design.
Dalam penelitian beton ini, perencanaan campuran beton akan memakai metode DOE
atau Current British Method.
Adapun langkah-langkah perhitungannya adalah sebagai berikut:
1. Menentukan standar deviasi (S).
2. Menentukan nilai tambah (Margin), M = K.S (K = 1,64).
3. Menentukan kuat tekan rata-rata yang ditargetkan (f’cr), f’cr = f’c + 1,64.S.
4. Menentukan nilai factor air semen.
5. Menentukan kadar air bebas yang diperlukan untuk mencapai nilai slump yang
diinginkan = 2/3 wh + 1/3 wk.
6. Menentukan kadar semen (C).
Kadar air bebas
7. Kadar semen (C) = -------------------Faktar air semen
8. Menentukan jumlah semen.
9. Menentukan letak zone pasir yang dipakai untuk campuran beton.
10. Menentukan prosentase pasir dalam campuran..
11. Menentukan berat jenis agregat gabungan.
12. Bj agregat gabungan (% agg halus x Bj agg halus) + (% agg. kasar x BJ. Agg.
kasar).
13. Menentukan berat jenis beton.
14. Menentukan proporsi campuran beton.
82
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
15. Kadar agg gabungan = Bj beton - (jumlah kadar air bebas + semen.)
16. Kadar agregat halus = % agg halus x kadar agg gabungan.
17. Kadar agregat kasar = kadar agg gabungan - kadar agg halus.
Kärena dalam pembuatan benda uji dipakai agregat dalam keadaan sebenarnya,
sedangkan mix design menggunakan agregat dalam keadaan SSD, maka perlu dilakukan
koreksi terhadap hasil dari mix design yaitu :
1. Agregat halus = C=(Ck-Ca)xC/100
2. Agregat kasar = D+(Dk-Da)xD/100.
3. Air
=B-(Ck-Ca)xC/100-(Dk-Da)xD/100.
Dimana:
B = Jumlah air (Kg/M3).
C = Jumlah agregat halus (Kg/M3)
Ca = Absorpsi air pada agregat halus (%)
Da = Absorpsi air pada agregat kasar (%)
Ck = Kandungan air pada agregat halus(%)
Dk = Kandungan air pada agregat kasar (%)
3.6.
Perlakuan Benda Uji.
Dalam penelitian ini kita memerlukan 4 perlakuan terhadap benda uji yaitu:
- Perlakuan 0 (P0) = Benda Uji yang tidak dibakar dan tidak disiram (kontrol – I).
- Perlakuan I (PI) = Benda Uji yang dibakar, tidak disiram air (kontrol - II).
- Perlakuan II (PII) = Benda Uji yang dibakar, disiram air satu kali.
- Perlakuan III (PIII) = Benda Uji yang dibakar, disiram air dua kali.
- Perlakuan IV (PIV)= Benda Uji yang dibakar, disiram air tiga kali.
Perlakuan bervariasi ini diambil berdasarkan anggapan bahwa butiran semen yang
ada pada beton setelah mengalami kebakaran akan kembali sifatnya seperti semen semula,
sehingga upaya penyiraman dengan air diharapkan dapat mengembalikan fungsi semen
seperti awal pembuatan beton dan ini berarti sifat-sifat beton kembali seperti semula.
Penyiraman yang bervariasi adalah bertujuan untuk memperoleh kondisi penyiraman yang
paling ideal sehingga diperoleh mutu beton yang terbaik.
83
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
3.7. Kerangka Penelitian.
SEMEN
TYPE 1
AGREGAT KASAR
BATU PECAH
AGREGAT HALUS
AIR
PDAM
PEMERIKSAAN BAHAN
MIX DESIGN (0%)
PENCAMPURAN BETON
PENGADUKAN
Tidak
SLUMP TEST
PEMBUATAN BENDA UJI
PEMBAKARAN KEMUDIAN PENYIRAMAN BENDA UJI DENGAN PERLAKUAN : 1 X
PENYIRAMAN, 2 X PENYIRAMAN, 3 X PENYIRAMAN
UJI KUAT TEKAN BETON
PEMBUATAN LAPORAN
Gambar 3.1
Kerangka Penelitian
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN.
Dalam laporan ini disajikan laporan hasil untuk kuat tekan beton saja, sedangkan
laporan hasil tentang pemeriksaan bahan tidak ditampilkan, disamping keterbatasan
halaman yang dapat termuat juga hasil pemeriksaan tersebut telah dipastikan memenuhi
84
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
persyaratan sebagai bahan campuran beton, oleh sebab itu setelah material dinyatakan
memenuhi persyaratan barulah bahan tersebut dipakai sebagai campuran beton. Sedangkan
hasil tes kuat tekan beton dari berbagai perlakuan dapat ditampilkan sebagai berikut :
Tabel 4.3 Hasil Test Kubus Beton 15 x 15 x 15 Cm, umur 28 Hari ( Perlakuan 0  Beton
tidak dibakar dan tidak disiram air / kontrol ).
No
Umur
Benda Uji
Beban
Max (Kg)
1
2
3
4
5
6
7
8
28 Hari
28 Hari
28 Hari
28 Hari
28 Hari
28 Hari
28 Hari
28 Hari
54,50
53,50
55,50
57,50
56,00
59,00
54,50
54,00
Tegangan
Beton
( σ 1b )
(Kg/Cm2)
242,22
237,78
246,67
255,56
248,89
262,22
242,22
240,00
1.975,56
σ 1b - σ 1bm
( σ 1b - σ 1bm )2
-4,72
-9,17
-0,28
8,61
1,94
15,28
-4,72
-6,94
22,30
84,03
0,08
74,15
3,78
233,41
22,30
48,23
488,27
fu : 28 hari = 1,00
fb : kubus 15 x 15 x 15 cm = 1,0
σ 1b =
P
xfuxfb
A
n
σ bm =
1
∑σ
1
n
n
∑ (σ
S=
1
1
b
=
1.975,56
= 246,94 Kg/Cm2.
8
b − σ 1bm) 2
1
N −1
=
488,27
= 8,35 Kg/Cm2.
7
σ 1bk = σ 1bm - k.s
= 246,94 - 1,92 . 8,35
= 230,91 Kg/Cm2
85
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
Tabel 4.4 Hasil Test Kubus Beton 15 x 15 x 15 Cm, umur 28 Hari ( Perlakuan I  Beton
dibakar selama 150 Menit, tapi tidak disiram ).
No
Umur
Benda Uji
1
2
3
4
5
6
7
8
28 hari
28 hari
28 hari
28 hari
28 hari
28 hari
28 hari
28 hari
Beban
Max
(Kg)
51,00
50,00
55,50
53,50
54,00
53,00
54,00
54,50
Tegangan
Beton ( σ 1b )
(Kg/cm2)
226,67
222,22
246,67
237,78
240,00
235,56
240,00
242,22
1.891,11
σ 1b - σ 1bm
( σ 1b - σ 1bm )2
-9,72
-14,17
10,28
1,39
3,61
-0,83
3,61
5,83
94,52
200,69
105,63
1,93
13,04
0,69
13,04
34,03
463,58
fu : 28 hari = 1,00
fb : kubus 15 x 15 x 15 cm = 1,0
σ 1b =
P
xfuxfb
A
n
σ bm =
1
∑σ
1
n
n
∑ (σ
S=
1
1
b
=
1.891,11
= 236,39 Kg/Cm2.
8
b − σ 1bm) 2
1
N −1
=
463,58
= 8,14 Kg/Cm2.
7
σ 1bk = σ 1bm - k.s
= 236,39 – 1, 92 . 8,14
= 220,76 Kg/Cm2.
86
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
Tabel 4.5 Hasil Test Kubus Beton 15 x 15 x 15 Cm, umur 28 Hari ( Perlakuan II  Beton
dibakar selama 150 Menit dan dilakukan penyiraman air satu kali).
No
Umur
Benda Uji
1
2
3
4
5
6
7
8
28 hari
28 hari
28 hari
28 hari
28 hari
28 hari
28 hari
28 hari
Tegangan
Beton ( σ 1b )
(Kg/Cm2)
231,11
228,89
231,11
237,78
228,89
237,78
233,33
242,22
1.871,11
Beban
Max
(Kg)
52,00
51,50
52,00
53,50
51,50
53,50
52,50
54,50
σ 1b - σ 1bm
( σ 1b - σ 1bm )2
-2,78
-5,00
-2,78
3,89
-5,00
3,89
-0,56
8,33
7,72
25,00
7,72
15,12
25,00
15,12
0,31
69,44
165,43
fu : 28 hari = 1,00
fb : kubus 15 x 15 x 15 cm = 1,0
σ 1b =
P
xfuxfb
A
n
σ bm =
1
∑σ
1
n
n
∑ (σ
S=
1
1
b
=
1.871,11
= 233,89 Kg/Cm2.
8
b − σ 1bm) 2
1
N −1
=
165,43
= 4,86 Kg/Cm2.
7
σ 1bk = σ 1bm - k.s
=233,89 – 1,92 . 4,86
= 224,56 Kg/Cm2.
Tabel 4.6 Hasil Test Kubus Beton 15 x 15 x 15 Cm, umur 28 hari ( Perlakuan III  Beton
dibakar selama 150 Menit dan dilakukan penyiraman sebanyak dua kali).
No
Umur
Beban
Tegangan Beton
87
σ 1b - σ 1bm
( σ 1b - σ 1bm )2
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
Benda Uji
1
2
3
4
5
6
7
8
28 hari
28 hari
28 hari
28 hari
28 hari
28 hari
28 hari
28 hari
( σ 1b )
(Kg/Cm2)
246,67
251,11
244,44
240,00
237,78
253,33
231,11
233,33
1.937,78
Max
(Kg)
55,50
56,50
55,00
54,00
53,50
57,00
52,00
52,50
4,44
8,89
2,22
-2,22
-4,44
11,11
-11,11
-8,89
19,75
79,01
4,94
4,94
19,75
123,46
123,46
79,01
454,32
fu : 28 hari = 1,00
fb : kubus 15 x 15 x 15 cm = 1,0
σ 1b =
P
xfuxfb
A
n
σ bm =
1
∑σ
1
n
n
∑ (σ
S=
1
1
b
=
1.937,78
= 242,22 Kg/Cm2.
8
b − σ 1bm) 2
1
N −1
=
454,32
= 8,06 Kg/Cm2.
7
σ 1bk = σ 1bm - k.s
=242,22 – 1,92 .8,06
= 226,75 Kg/Cm2.
Tabel 4.6 Hasil Test Kubus Beton 15 x 15 x 15 Cm, umur 28 Hari ( Perlakuan IV 
Beton dibakar selama 150 Menit dan dilakukan penyiraman sebanyak tiga kali).
No
Umur
Benda Uji
1
2
3
4
28 hari
28 hari
28 hari
28 hari
Beban
Max
(Kg)
54,00
53,00
54,50
54,50
Tegangan Beton
( σ 1b )
(Kg/Cm2)
240,00
235,56
242,22
242,22
88
σ 1b - σ 1bm
( σ 1b - σ 1bm )2
-1,11
-5,56
1,11
1,11
1,23
30,86
1,23
1,23
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
5
6
7
8
28 hari
28 hari
28 hari
28 hari
55,50
52,00
54,00
56,50
246,67
231,11
240,00
251,11
1.928,89
5,56
-10,00
-1,11
10,00
30,86
100,00
1,23
100,00
266,67
fu : 28 hari = 1,00
fb : kubus 15 x 15 x 15 cm = 1,0
σ 1b =
P
xfuxfb
A
n
σ bm =
1
∑σ
1
n
n
∑ (σ
S=
1
1
b
=
1.928,89
= 241,11 Kg/Cm2.
8
b − σ 1bm) 2
1
N −1
=
266,67
= 6,17 Kg/Cm2.
7
σ 1bk = σ 1bm - k.s
=241,11 – 1,92 . 6,17
= 229,26 Kg/Cm2.
Secara umum beton di kalangan para konstruktor tidak meragukan lagi beton untuk
memikul beban tekan, sebab secara empiris beton memang kuat terhadap gaya tekan
dibandingkan dengan gaya-gaya yang lain. Penggunaan beton hampir dilakukan pada
segala macam konstruksi, sehingga apa bila terjadi kebakaran pada bangunan maka beton
biasanya tidak ikut terbakar, namun kadang kala kondisi ini menimbulkan keragu-raguan
dalam menggunakan lagi beton sebagai struktur bangunan yang direhab.
Setelah beton yang mengalami kebakaran ini dilakukan penyiraman dengan air,
ternyata hasil kuat tekannya cukup baik yaitu beton masih berada dalam kuat tekan rencana,
hal ini disebabkan karena ketika beton mengalami kebakaran butiran-butiran halus dari
semen posisinya kembali seperti semula atau semen belum bercampur air (Indrayanto. H ;
2008). Ketika beton yang terbakar disiram dengan air, maka kondisinya hampir sama
dengan beton yang baru dicampur sehingga secara logika kekuatan semen untuk mengikat
butiran-butiran pencampur beton hampir sama dengan beton baru. Sehingga sesuai dengan
hasil penelitian ini bahwa kekuatan tekan beton yang terjadi tidak jauh berbeda dengan
kekuatan tekan beton rencana.
89
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
V.
SIMPULAN DAN SARAN.
5.1.
Simpulan.
Berdasarkan hasil penelitian kuat tekan beton setelah beton mengalami kebakaran
kemudian dilakukan penyiraman dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Setelah dilaksanakan test kuat tekan kubus beton dan analisis kuat tekan beton dari
8 benda uji, dimana pada masing-masing percobaan dilaksanakan pembuatan benda
uji kubus dengan pembakaran dan penyiraman air yang bervariasi didapat kuat
tekan beton: tidak dibakar dan tidak disiram = 230,91 Kg/Cm2, dibakar tanpa
penyiraman = 220,76 Kg/Cm2, dibakar dan disiram satu kali = 224,56 Kg/Cm2,
dibakar dan disiram dua kali = 226,75 Kg/Cm2, dan Kuat Tekan beton yang dibakar
dan disiram tiga kali = 229,26 Kg/Cm2.
2. Setelah dilaksanakan test kubus beton dengan umur 28 hari dari 5 (lima) percobaan
dan analisis kuat tekan, maka beton
setelah mengalami kebakaran selama 150
Menit kemudian dilakukan penyiraman air masih dapat dipakai kembali sebagai
bahan konstruksi bangunan.
5.2.
Saran.
Saran yang dapat dikemukakan sehubungan dengan penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Pada penelitian ini, masih terbatas pada pembakaran selama 150 Menit dan
disiram satu sampai dengan tiga kali, sehingga perlu ditambah perlakuan agar
lebih bervariasi sehingga hasilnya lebih akurat, dan mendekati kenyataan yang
terjadi di lapangan tentang durasi terjadinya bahaya kebakaran.
2. Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik agar digunakan benda uji yang lebih
banyak atau sesuai persyaratan PBI,71 untuk masing-masing campuran beton.
3. Penelitian ini masih langkah awal dari beton yang terbakar, dan intervensi yang
dilakukan baru hanya dengan penyiraman air, sehingga perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut dengan berbagai intervensi agar dapat memperbaiki mutu beton
setelah mengalami kebakaran.
DAFTAR PUSTAKA
Bakta I. M. ; 1997 ; Rancangan Penelitian. Penataran sehari : tentang Metode Penelitian.
Diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, 15 Pebruari 1997.
Denpasar.
90
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
Bayuasri, Trisni ;2010 ;
Alternatif Perbaikan Beton Pasca Kebakaran ;
http://untarconstruction.com, download 28 Mei 2010.
Hadi. S ; 1995 ; Metodologi research, Jilid IV ; Andi Offset, Yogyakarta.
Indrayanto.H ; 2008 ; Perbaikan Beton Pasca Kebakaran ; http://untarconstruction.com,
download 28 Mei 2010.
Subakti A , 1994, Teknologi Beton Dalam Praktek, Jurusan Teknik Sipil FTSP, ITS,
Surabaya.
Wangsadinata Wiratman, 1971, Direktorat Penyelidikan Masalah Bangunan, Direktorat
Jendral Cipta Karya, Peraturan Beton Indonesia 1971 N.I.-2,
Wibawa Sastra ; 2010 ; Turunnya Kuat Tekan Karakteristik Beton Pasca Bencana
Kebakaran ; FT. UNMAS., Denpasar.
91
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
KARAKTERISTIK FISIK CAMPURAN BATU BATA DENGAN
MEMANFAATKAN ABU SISA PEMBAKARAN LIMBAH KAYU
Oleh :
I Made Nada.
Ida Bagus Suryatmaja.
Abstrak
Industri pengolahan kayu didalam proses produksinya akan menghasilkan suatu
buangan atau limbah berupa sisa atau abu akibat dari adanya pembakaran didalam
mengurangi volume limbah yang terjadi. Akan tetapi didalam proses pembakaran akan
dihasilkan sisa berupa abu. Sisa abu ini jika tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan
pencemaran pada lingkungan sekitarnya.
Salah satu upaya yang dilakukan yaitu dengan memanfaatkan abu sisa pembakaran
limbah kayu tersebut sebagai bahan bangunan melalui pemanfaatan sebagai bahan dalam
campuran batu bata.
Penelitian dilakukan dengan mencampur sisa abu tersebut dengan tanah lempung
proporsi 0 %, 5 %, 10 %, 15 %, 20 % dan 25 %. Dari hasil campuran dilakukan pengujian
karakteristik campuran yaitu : Kuat tekan dan Rembesan air.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa : Abu sisa pembakaran limbah kayu dapat
dipakai sebagai bahan dalam pembuatan batu bata, dilihat dari hasil uji karakteristik fisik
campuran.
Kata Kunci : Karakteristik Campuran Bata, Limbah Kayu
I.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pada industri pengolahan kayu baik yang berskala besar maupun kecil sering kita
jumpai limbah kayu yang terbuang percuma atau malah sering limbah tersebut di bakar,
yang mana hasil dari pembakaran tersebut menyebabkan pencemaran lingkungan.
Dari kondisi tersebut di atas penulis melalui penelitian ini mencoba memanfaatkan
abu sisa pembakaran limbah kayu tersebut sebagai bahan bangunan.
Salah satu upaya percobaan pendahuluan didalam menangani limbah tersebut adalah
melalui pemanfaatan sebagai bahan dalam campuran batu bata. Kajian ini diangkat
mengingat batu bata merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi perumahan.
Dengan kondisi tersebut diharapkan dalam proses pembuatannya, pelaku industri
nantinya dapat memanfaatkan abu sisa pembakaran limbah kayu sebagai bahan alternatif
dalam pembuatan batubata, sekaligus dapat memberikan nilai tambah terhadap limbah yang
terbuang.
1.2.
Tujuan Penelitian
92
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
a) Memberikan alternatif penanganan abu sisa pembakaran limbah kayu dan
memberikan nilai ekonomis atau nilai tambah dari limbah kayu tersebut.
b) Mendapatkan komposisi campuran yang paling baik antara abu sisa pembakaran
limbah kayu dengan bahan pembuatan batubata sesuai dengan persyaratan teknis
yang diperlukan sebagai bahan bangunan terutama sebagai batubata.
c) Mengurangi pencemaran terhadap lingkungan.
1.3.
Batasan Penelitian
Percobaan dilakukan dalam skala Laboratorium dengan batasan – batasan sebagai
berikut :
a) Penelitian dengan mencampur abu sisa pembakaran limbah kayu dengan bahan
pembuatan batubata dengan proporsi 0 %, 5%, 10 %, 15 %, 20 %, 25 % abu
sisa pembakaran limbah kayu sebagai pengganti bahan campuran pembuatan
batubata.
b) Abu sisa pembakaran limbah kayu yang diperoleh dari industri kayu
c) Tanah lempung/liat dari industri batubata
d) Penelitian dengan menganalisa sifat-sifat fisik dan kimiawi dari kedua bahan
yaitu tanah lempung/liat dan abu sisa pembakaran limbah kayu.
e) Reaksi kimia yang terjadi didalam ikatan pencampuran tidak dilakukan
peninjauan secara khusus.
f) Pencampuran dilakukan dengan cara manual.
g) Pengeringan batubata dilakukan sesuai dengan kondisi setempat dan pengujian
dilakukan pada umur 30 hari kalender
h) Pengujian kuat tekan dan rembasan air disesuaikan dengan persyaratan batubata
Indonesia.
II.
ABU SISA PEMBAKARAN LIMBAH KAYU
Hasil pembakaran limbah kayu menghasilkan suatu bahan organik yang tidak
membusuk oleh proses waktu, baik bentuk maupun strukturnya.
Adapun kandungan yang terdapat dalam abu sisa pembakaran limbah kayu secara
umum adalah kristal silika ( Si O2 ) sebesar 88,66 % dan kapur ( Ca ) sebesar 0,75 %.
2.1.
Teknik Pencampuran
93
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
Dalam pencampuran suatu bahan bangunan dengan bahan tambahan lainnya
diperlukan suatu teknik atau metode pencampuran.
Beberapa macam proses atau teknik pencampuran, yaitu :
1.
Proses Dengan Teknik Penyeminan ( Cement Based Solidification ), metode ini
menyangkut pengikatan buangan dalam masa stabil yang keras dengan campuran
semen Portland yang biasa digunakan sebagai material konstruksi pada umumnya.
Proses ini efektif untuk limbah yang mengandung logam berat yang tinggi, sebab
pada pH campuran semen kation multivalent diubah dalam hidroksida tak larut atau
karbonat, ion – ion juga di ikat dalam struktur kristal dari mineral semen yang
terbentuk. metode ini mengikat limbah secara fisik maupun kimiawi, tergantung
karakteristik limbahnya.
2.
Proses dengan Materi Pozzolanis (Pozzolanis Solidification), proses ini hampir
sama dengan Penyeminan, tetapi material yang digunakan sebagai campurannya
adalah materi Pozzolan, kapur dan air. Materi Pozzolan yang digunakan pada
umumnya adalah abu terbang dan abu pembakaran semen. Campuran semen dan
Pozzolan ini terkadang menghasilkan solidifikasi yang ekonomis dan baik untuk
limbah tertentu. Bila digunakan jenis limbah yang tepat, metode ini menghasilkan
padatan yang agak stabil yang mudah pengangkutannya.
3.
Prose dengan teknik Thermoplastis (Thermoplastic techniques), Proses ini biasa
digunakan untuk solidifikasi limbah radioaktif. Teknik Thermoplastik ini
merupakan sistem pengurungan limbah dengan matriks seperti bitumen, parafin atau
polyehylen.
4.
Proses dengan Teknik Polimer Organik (Organic Polymer Techniques), pada
Teknik Polimer Organik ini paling banyak digunakan dalam pemadatan adalah urea
formal dehyde. Prinsip proses ini adalah limbah dan polimer dicampur, setelah
dicampur ditambah katalis dan pencampuran dilanjutkan. Materi terpolimerisasi ini
tidak terikat secara kimiawi, cara ini hanya merangkap limbah padat.
5.
Proses
dengan
Teknik
Pengkapsulan
Permukaan
(Surface
Encapsulation
Techniques), dalam proses ini limbah dikurung oleh bahan-bahan yang dapat
mengeras, misalnya semen. Limbah tersebut tidak bereaksi dengan bahan tersebut,
tetapi terkurung sedemikian rupa sehingga tidak dapat berkontak dengan kondisi
luar.
6.
Proses swa-Penyeminan (Self Cementing Techniques), dalam proses ini limbah
dicampurkan dengan bahan yang akan mengeras sendiri. Biasanya sebagai
94
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
campuran digunakan limbah lumpur dengan kalsium sulfat tinggi yang dapat
menghasilkan semen kalsium sulfat atau sulfit. Limbah ini kemudian dicampurkan
dengan limbah yang akan disolidifikasi dengan penambahan bahan aditif dan
didapat campuran yang padat.
7.
Proses Galssifikasi, dalam proses ini limbah B3 dicampurkan dengan silika atau
campuran glass cair sehingga terbentuk silikat sintetis. Cara ini sangat baik karena
kristal silikat relatif tidak terlindikan.
2.2.
Batubata Sebagai Bahan Bangunan
Batubata suatu unsur bangunan yang berfungsi sebagai bahan bangunan dan dibuat
dari tanah liat dengan atau tanpa dicampur dengan bahan tambahan, dibakar pada suhu
yang cukup tinggi sehingga tidak dapat hancur apabila direndam dalam air.
2.3.
Syarat - Syarat
Batubata tingkat satu harus mempunyai permukaan yang utuh atau licin, dalam
keadaan kering jika dipukul ringan harus berbunyi nyaring, kerapatan pada pemasangan
harus baik, warna harus sesuai dengan warna yang dipesan, bila terdapat lapisan
tembikar/lapisan pewarna (engobe), lapisan itu harus melekat baik pada batubata aslinya.
2.4.
Cara Pengujian
1. Batubata yang akan diuji harus berada dalam keadaan kering udara.
2. Pandang luar.
Pengujian dilakukan terhadap hal-hal berikut :
a).
Permukaan batubata :
Dalam hal ini batubata dapat dinyatakan sebagai licin, tidak licin, dengan lapisan
pewarna (emobo) atau tidak, berlapisan tembikar atau tidak, berbentuk baik atau
tidak.
b).
Retak-retak :
Dalam hal ini, retak-retak dapat dinyatakan sebagai : kecil-kecil, besar atau tidak
ada.
c).
Ketahanan terhadap perembesan air
Untuk menentukan ketahanan batubata terhadap perembesan air, diperlukan paling
sedikit 5 buah batubata penguji. Alat penguji terdiri dari sebuah bejana tidak beralas
dengan ukuran : panjang 20 cm, lebar 12,5 cm dan tinggi ± 10 cm dan perekat yang
95
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
rapat air. Cara pengujian adalah sebagai berikut : bejana direkatkan pada permukaan
genten dengan perekat rapat air, dan permukaan batubata yang berada diluar bejana
itu juga ditutup dengan perekat rapat air tersebut. Batubata-batubata kemudian
ditempatkan sedemikian rupa, sehingga seluruh bagian bawahnya dapat diamati
sesudah itu bejana diisi dengan air sedalam 5 cm dan dibiarkan beberapa waktu
sampai permukaan air tidak turun lagi, sehingga tinggi air didalam bejana tidak
kurang dari 5 cm diukur dari bagian terdalam dan tidak kurang dari bagain tertinggi
permukaan batubata. Selama 3 jam, bagian bawah dari batubata-batubata diamati
dan diuji terhadap ada tidaknya penetesan. Dalam hal ini batubata- batubata
dianggap rapat air, apabila dalam waktu minimum 2 jam dari bagian bawah 4 buah
batubata ujian tidak ada air yang menetes. Apabila dari 5 buah batubata ujian
ternyata 2 buah diantaranya menetes air, maka pengujian harus diulangi dengan 5
buah batubata yang baru. Apabila dalam pengujian ulangan hal tersebut terjadi lagi,
maka batubata dinyatakan tidak tahan terhadap perembesan air.
2.5.
Pembuatan Benda Uji
Benda uji yang dibuat untuk pengujian dilaksanakan dilaboratorium dimana jumlah
dan macamnya tergantung dari jenis penelitian yang dilakukan. Beberapa pengujian dalam
penelitian memerlukan benda uji dari bahan sampel tanah asli dan tanah dengan campuran
abu sisa pembakaran limbah kayu dengan prosentase 0 %, 5 %, 10 %, 15 %, 20 % dan 25 %
dari berat kering tanah. Setiap prosentase campuran dibuat tiga buah benda uji, adapun
standar yang digunakan untuk pelaksanaan pengujian dilaboratorium.
2.6.
Karakteristik Fisik Campuran
96
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
Karakteristik Fisik campuran disajikan seperti grafik berikut :
Grafik .1. kuat tekan rata – rata batubata dengan beberapa proporsi campuran
100
80
Beban tekan
( Kg ) 60
40
20
0
0 %
33,535
5%
76,432
10 %
15%
20 %
25%
97,563
91,612
74,125
26,313
Grafik .2. Rembesan air rata – rata pada batubata dengan beberapa proporsi campuran
6
5
97
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
4
Rembesan air
(%)
3
2
1
0
0
4,995
5
4,641
10
15
20
2,525
3,179
3,455
25
5,701
Proporsi campuran ( % )
III.
SIMPULAN DAN SARAN – SARAN
3.1.
Simpulan
Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini dan di dasarkan atas
data – data yang diperoleh di laboratorium, maka dapat penulis simpulkan sebagai berikut :
1.
Waktu pengeringan batubata dengan campuran abu sisa pembakaran limbah kayu
lebih cepat dibandingkan dengan bata tanpa campuran abu sisa pembakaran limbah
kayu. Pengeringan untuk batubata tanpa campuran abu sisa pembakaran limbah
kayu 30 hari sedangan untuk batubata dengan campuran abu sisa pembakaran
limbah kayu sesuai dengan proporsi campuran semakin besar semakin cepat proses
pengeringannya.
2.
Batubata setelah dicampur dengan abu sisa pembakaran limbah kayu, mempunyai
nilai kuat tekan rata – rata meningkat sampai pada proporsi campuran 20 % dan
menurun pada proporsi campuran 25 %. Nilai tertinggi dicapai pada proporsi
campuran 10 % yaitu 97,563 kg dan mencapai titik terendah pada campuran 25 %
yaitu sebesar 26,313 Kg. Nilai kuat tekan rata – rata batubata tanpa campuran abu
sisa pembakaran limbah kayu 33,535 Kg.
3.
Batubata setelah dicampur dengan abu sisa pembakaran limbah kayu, mempunyai
nilai rembesan air rata – rata menurun sampai pada proporsi campuran 20 % dan
98
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
meningkat pada proporsi campuran 25 %. Nilai terendah dicapai pada proporsi
campuran 10 % yaitu 2,525 % dan mencapai titik tertinggi pada campuran 25 %
yaitu sebesar 5,701 %. Nilai rembesan air rata – rata batubata tanpa campuran abu
sisa pembakaran limbah kayu 4,995 %.
4.
dilihat dari nilai kuat tekan dan rembesan air diatas, maka abu sisa pembakaran
limbah kayu dapat digunakan sebagai bahan dalam campuran pembuatan batubata
dengan proporsi campuran maksimum 20 % dari berat kering tanah lempung.
3.2.
Saran - Saran
1.
Untuk mendapatkan hasil yang lebih bagus dengan mencampur abu sisa
pembakaran limbah kayu dalam pembuatan batubata proses pencampurannya di
lakukan dengan mesin ( molen ) agar mendapatkan pemadatan yang sempurna.
2.
Untuk penelitian selanjutnya yang menggunakan abu sisa pembakaran limbah kayu
agar dilihat pengaruh kandungan senyawa kimia yang ada pada abu sisa
pembakaran limbah kayu terhadap tanah.
DAFTAR PUSTAKA
................., Departemen Perindustrian Republik Indonesia, Mutu dan Cara Uji Bata Merah
Pejal,SII 0021-78UDC 666.71
Bowles, Joseph. E, 1993, Sifat-sifat Fisis dan Geoteknis Tanah ( Mekanika Tanah) , Edisi
Kedua, Penerbit Erlangga Jakarta.
Craig, RF, 1994, Mekanika Tanah, Edisi Keempat, Penerbit Erlangga Jakarta.
Hery Christady Hardiyatmo, 1992, Mekanika Tanah I, Penerbit Pt. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Terzagi, Karl, 1993, Mekanika Tanah dalam Peraktek Rekayasa, Edisi Ke dua, Penerbit
Erlangga Jakarta.
99
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
DAMPAK NOX
TERHADAP LINGKUNGAN
Oleh :
I Gede Oka Darmayasa
Abstraks
Komponen-komponen bahan pencemar utama yang menimbulkan pencemaran
udara adalah Karbon Monoksida (CO),Oksida Nitrogen (NOX),Hidro Karbon (HC),Oksida
Sulfur (SOX) dan Partikulat.
NO2 adalah gas yang toxis bagi manusia, efek yang terjadi tergantung pada dosis
serta lamanya pemaparan yang diterima seseorang
Hewan percobaan yang diberi NO dengan dosis yang sangat tinggi akan memperlihatkan
gejala paralisi sistem syaraf dan konvulsi
Adanya NOX di atmosfer akan mengakibatkan kerusakan tanaman, tetapi sukar ditentukan
apakah kerusakan tersebut diakibatkan langsung oleh NOX atau karena polutan sekunder
yang diperoleh dalam siklus fotolitik NO2.
Efek yang dapat ditimbulkan umumnya mengenai organ pernafasan yaitu paru-paru,
dan efek yang diterima seseorang atau hewan maupun tumbuhan tergantung pada dosis dan
lamanya pemaparan. Pengendalian yang dilakukan umumnya modifikasi kondisi
pembakaran untuk menurunkan jumlah NOX yang dihasilkan dan menghilangkan NOX
dengan pemanfaatan alat-alat perlengkapan dan aliran pembuangan gas.
Kata kunci: Oksida Nitrogen, Pengaruh Terhadap Lingkungan
I.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Udara yang kita hirup setiap hari merupakan gas yang tidak kelihatan, tidak berasa,
tidak berbau dan udara ini hampir tidak pernah didapatkan bersih di alam. Udara selalu
dicemari dengan berbagai tingkat pencemaran baik pencemaran secara ilmiah seperti
gunung api, pembusukan pada tumbuh-tumbuhan dan lain sebagainya, maupun pencemaran
akibat aktifitas manusia untuk menunjang kehidupan seperti pembuangan sampah, gas-gas
buangan pada industri, transportasi dan sebagainya.
Pencemaran udara dapat diartikan sebagai kehadiran di atmosfer dari satu zat atau
lebih zat pencemar baik padat, cair maupun gas, dalam kuantitas, karakteristik dan lamanya
dapat membahayakan manusia, tanaman, binatang atau benda-benda milik, atau dimana
secara tidak langsung mengganggu kenyamanan hidup dan benda-benda milik.
Bahan pencemar udara ini dapat tersebar secara cepat dalam jumlah yang besar ke
udara, atau berkumpul dalam berbagai konsentrasi di suatu tempat, tergantung keadaan
100
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
geografi dan keadaan klimatologi setempat. Komponen-komponen bahan pencemar utama
yang menimbulkan pencemaran udara adalah:
1. Karbon Monoksida (CO)
2. Oksida Nitrogen (NOX)
3. Hidro Karbon (HC)
4. Oksida Sulfur (SOX)
5. Partikulat.
Dalam hal kegiatan manusia yang berhubungan dengan pencemaran udara,
didapatkan bahwa transportasi merupakan aktifitas yang mempunyai efek paling buruk
dibanding aktifitas lain seperti: industri, pembakaran sampah dan lain sebagainya.
Kendaraan bermotor sebagai bagian dari transportasi mengeluarkan gas buang berupa emisi
zat pencemar udara yang berharga tinggi, terutama zat buang karbon Monoksida, Hidro
karbon dan Oksida Nitrogen disamping Oksida Sulfur, Partikulat dan Plumbum yang relatif
kecil.
Oksida Nitrogen yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor seluruhnya berasal dari
saluran gas buangnya (knalpot), kemudian zat tersebut akan mencemari udara mengikuti
klimatologi yang ada, terutama arah dan kecepatan angin.
II.
NITROGEN OKSIDE (NOX)
2.1.
Sumber Polusi Nitrogen Okside
Dari penelitian yang pernah dilakukan didapatkan bahwa sumber dan kuantitas dari
nitrogen okside dilaporkan seperti dalam tabel berikut:
Table : Sources and quantities oxides of nitrogen
Emission 10 tonnesey
Source
1968
1970
1975
1977
1980
Transportation
7.5
10.1
9.2
9.2
9.1
Fuel combustion in stationary
9.2
8.6
11.8
13.0
10.6
0.2
0.2
0.7
0.7
2.1
0.7
sources (power and heating)
Industrial processes
Solid-waste
disposal
and
101
0.3
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
miscellaneous
Total
19.0
19.6
21.0
23.1
20.7
Source’ From Third Annual Report [7.9]. EPA [7.76] and Twelfth Annual report [7.12].
Sumber utama nitrogen okside adalah pembakaran, dan kebanyakan pembakaran
disebabkan oleh kendaraan, produksi energi dan pengelolaan sampah. Dari pencatatan yang
dilakukan didapatkan konsentrasi NOX didaerah perkotaan biasanya 10-100 kali lebih
tinggi dari konsentrasi yang ada di daerah pedesaan. Beberapa pencatatan tentang
konsentrasi puncak keseluruhan NOX dilaporkan di Los Angeles mencapai 3,75 ppm,
Nearby Burbank 2 ppm, New Orleans 0,63 ppm dan di Phoenik mencapai 0,8 ppm.
Konsentrasi maksimum biasanya terjadi pada musim dingin, kecepatan angin rendah dan
berkurangnya sinar matahari (solar radiation).
2.2.
Pembentukan Nitrogen Okside
Nitrogen okside (NOX) adalah kelompok gas yang terdapat di atmosfer yang terdiri
dari gas nitrik (NO) dan nitrogen diokside (NO2). Walaupun bentuk nitrogen okside lainnya
ada, tetapi kedua gas ini yang paling banyak ditemui sebagai polutan udara. Nitrik okside
merupakan gas yang tidak berwarna dan tidak berbau, sebaliknya nitrogen diokside
mempunyai warna coklat kemerahan dan mempunyai bau yang tajam.
Okside yang lebih rendah, yaitu NO, terdapat di atmosfer dalam jumlah lebih besar
daripada NO2. Pembentuken NO dan NO2 mencakup reaksi enters nitrogen dan oksigen di
udara sehingga membentuk NO, kemudian reaksi selanjutnya antara NO dengan lebih
banyak oksigen membentuk NO2. Persamaan reaksinya adalah sebagai berikut:
N2
+ O2
2NO + O2
2NO
2NO2
Udara terdiri dari sekitar 80 % volume nitrogen dan 20 % volume oksigen. Pada suhu
kamar kedua gas ini hanya sedikit mempunyai kecendrungan untuk bereaksi satu sama lain.
Pada suhu yang lebih tinggi (di atas 1210°C) keduanya dapat bereaksi membentuk nitrik
okside dalam jumlah tinggi sehingga mengakibatkan polusi udara. dalam proses
pembakaran, suhu yang digunakan biasanya mencapai 1210-1765°C dengan adanya udara,
oleh karena itu reaksi ini merupakan sumber NO yang penting. Jadi reaksi pembentukan
NO merupakan hasil samping dalam proses pembakaran.
102
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
Jumlah NO yang terdapat di udara dalam keadaan ekuilibrium dipengaruhi oleh suhu
pembakaran, lamanya gas hasil pembakaran terdapat pada suhu tersebut, dan jumlah
oksigen berlebih yang tersedia. Semakin tinggi suhu pembakaran, semakin tinggi pula
konsentrasi NO pada keadaan ekuilibrium.
2.3. Penyebaran Nitrogen Okaide
Konsentrasi NO di udara dalam suatu kota bervariasi tergantung dari sinar matahari,
penomena meteorologi dan aktifitas kendaraan. Sebelum matahari terbit konsentrasi NO
dan NO2 tetap stabil, segera setelah aktifitas manusia meningkat di pagi hari konsentrasi
NO dengan cepat meningkat terutama karena meningkatnya aktifitas lalu lintas. Kemudian
dengan meningkatnya radiasi solar/sinar matahari konsentrasi NO2 naik dan memuncak.
Reaksinya sebagai berikut :
NO2
+
UV
NO +
O
+ O2
O3
O3
+ NO
O2
+
O
NO2
Segera setelah energi matahari tidak tersedia untuk mengubah NO menjadi NO2, O3
yang telah terakumulasi sepanjang hari akan bereaksi dengan NO, dan mengakibatkan
konsentrasi NO2 meningkat lagi, dengan penurunan konsentrasi O3.
Siklus Fotolitik Nitrogen Diokside
Berbagai pengaruh merugikan yang ditimbulkan karena polusi NOX bukan
disebabkan oleh okside tersebut, tetapi karena peranannya dalam pembentukan oksidan
fotokimia yang merupakan komponen berbahaya di dalam asap. Produksi oksidan tersebut
terjadi jika terdapat polutan-polutan lain yang mengakibatkan reaksi-reaksi yang
melibatkan NO dan NO2. Reaksi-reaksi tersebut disebut siklus fotolitik NO2 dan merupakan
akibat langsung dari intraksi antara sinar matahari dengan NO2. Tahap-tahap reaksi tersebut
adalah :
1. NO2 mengabsorbsi energi dalam bentuk sinar ultraviolet dan matahari.
2. Energi yang diabsorbsi tersebut memecah molekul-molekul NO2 menjadi molekulmolekul NO dan atom-atom oksigen (O). Atom oksigen yang terbentuk bersifat
sangat reaktif.
3. Atom-atom oksigen akan bereaksi dengan oksigen atmoser (O2) membentuk ozon
(O3) yang merupakan polutan atmosfer.
103
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
4. Ozon akan bereaksi dengan NO membentuk NO2 dan O2 sehingga reaksi menjadi
lengkap.
Pengaruh dari siklus tersebut diatas adalah terjadinya siklus NO2 secara cepat, dan
jika tidak terdapat reaktan lainnya di atmosfer, siklus tersebut tidak akan berpengaruh
apapun. Konsentrasi NO dan NO2 di udara tidak akan berubah karena O3 dan NO akan
terbentuk dan hilang dengan jumlah yang seimbang.
Reaksi yang mungkin mengganggu terhadap siklus fotolitik tersebut adalah jika
terdapat hidrokarbon yang sering dihasilkan bersama-sama dengan sumber NOX.
Hidrokarbon akan berintraksi sedemikian rupa sehingga siklus tersebut menjadi tidak
seimbang sehingga NO akan diubah menjadi NO2 dengan kecepatan lebih tinggi daripada
disosiasi NO2 dan O.
Hasil reaksi antar O dengan hidrokarbon merupakan produk intermediat yang sangat
reaktif yang disebut hidrokarbon radikal bebas (RO2). Radikal bebas semacam ini dapat
bereaksi lebih lanjut dengan berbagai komponen termasuk NO2, O2, O3 dan hidrokarbon
lainnya. Beberapa reaksi yang mungkin terjadi diantara bermacam-macam reaksi tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Radikal bebas bereaksi cepet dengan NO membentuk NO2. Karena NO dihilangkan dari
siklus tersebut, akibatnya mekanisme normal untuk menghilangkan O3 dan siklus tidak
terjadi, sehingga konsentrasi O3 meningkat.
2. Radikal bebas dapat bereaksi dengan O2 dan NO2 membentuk peroksiasilnitrat.
3. Radikal bebas dapat bereaksi dengan hidrokarbon lainnya dan komponen oksigen
membentuk komponen-komponen organik lainnya yang tidak diinginkan.
Campuran produk-produk sebagai akibat gangguan hidrokarbon di dalam siklus
fotolitik NO2 disebut dengan Smog fotokimia, yaitu terdiri dari kumpulan O3, CO, PAN
dan komponen-komponen organik lainnya termasuk aldehide, keton dan alkil nitrat.
2.4.
Pengaruh NOx Terhadap Manusia
Kedua bentuk Nitrogen Okside, yaitu NO dan NO2 sangat berbahaya terhadap
manusia. Penelitian aktifitas mortalitas kedua komponen tersebut menunjukkan bahwa NO2
empat kali lebih beracun daripada NO. Selama, ini belum pernah dilaporkan terjadinya
keracunan NO yang mengakibatkan kematian. Pada konsentrasi yang normal ditemukan
diatmosfer, NO tidak mengakibatkan iritasi dan tidak berbahaya, tetapi pada konsentrasi
104
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
udare ambient yang normal NO dapat mengalami oksidasi menjadi NO2 yang lebih
beracun.
NO2 adalah gas yang toxis bagi manusia, efek yang terjadi tergantung pada dosis
serta lamanya pemaparan yang diterima seseorang. Dari penelitian yang dilakukan
Habber’s dinyatakan dalam rumus;
C x T = K dimana ;
C = Konsentrasi dan Nitrogen Diokside
T = Waktu pemaparan
K = Konstanta
Contoh: selama 15 menit pemaparan 420 ppm nitrogen diokside membunuh 50 % binatangbinatang, Habber’s menyebutkan satu kemungkinan yaitu 105 ppm selama 1 jam atau 26
ppm selama 4 jam akan membunuh 50 % binatang-binatang selama terpapar. Konsentrasi
NO2 yang berkisar antara 50-100 ppm dapat menyebabkan peradangan paru-paru bila
manusia terpapar selama beberapa menit saja. Pada fase ini orang masih sembuh kembali
dalam waktu 6 - 8 minggu. Konsentrasi 150-200 ppm dapat menyebabkan penempatan
Bronchili dan disebut “Bronchilitis fibrisis obliterans”. Orang dapat meninggal dalam
wektu 3 - 5 minggu setelah pemaperan. Konsentrasi lebih dari 500 ppm dapat mematikan
dalam waktu 2-10 hari. Hal ini sering dialami petani yang memasuki gudang makanan
ternak (silo) dimana terjadi akumulasi gas NO2, oleh karenanya penyakit paru-paru ini
dikenal sebegai “Silo filler’s disease “.
2.5.
Pengaruh NO Terhadap Hewan
Hewan percobaan yang diberi NO dengan dosis yang sangat tinggi akan
memperlihatkan gejala paralisi sistem syaraf dan konvulsi. Penelitian lainnya menunjukkan
bahwa tikus yang diberi NO sampai jumlah 2500 ppm akan hilang kesadarannya setelah 6-7
menit, tetapi jika kemudian diberi udara segar akan sembuh kembali setelah 46 menit.
Tetapi jika pemberian NO pada konsentrasi tersebut dilakukan selama 12 menit,
pengaruhnya tidak akan dapat dihilangkan kembali, dan semua tikus yang diuji akan mati.
Pemaparan pendek pada tikus dengan konsentrasi 0,5 ppm nitrogen diokside selama 4 jam
atau 1 ppm selama 1 jam cukup untuk menghasilkan perubahan jaringan dalam paru-paru
(Thomas et al..1967). Percobaan lain pada kelinci yang terpapar 4 jam sehari dalam 6 hari
dengan konsentrasi 0,25 ppm nitrogen diokside menghasilkan perubahan struktural di
dalam collagen paru-paru yang telah dibuktikan dengan mikroakopi elektron (Mueller and
Hichcock,l969), perubahan ini masih terlihat 1 hari setelah akhir pemaparan.
105
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
Pemaparan pada kera-kera selama 2 jam pada 10 - 50 ppm nitrogen diokside
menghasilkan luka primer dalam alveoli (Henry et, al., 1969) tingkat kerusakan
berhubungan dengan konsentrasi nitrogen diokside. Paru-paru kera ini memperlihatkan
vesicular ekstrim melebar/mengempis pada alveoli limphocyte infiltration. Pemaparan
kronis dari konsentrasi nitrogen diokside akan menghasilkan edema paru-paru. Emphysema
seperti luka juga didapatkan didalam paru-paru anjing yang terpapar selama 6 bulan dengan
konsentrasi 25 ppm nitrogen diokside (Riddick et al., 1968). Dan penelitian yang dilakukan
didapatkan bahwa pemberian konsentrasi nitrogen diokside lebih dari 100 ppm bersifat
lethal terhadap kebanyakan hewan, dan 90 % kematian tersebut disebabkan oleh gejela
edema pulmonari. Konsentrasi yang lebih besar dari 800 % ppm atau lebih rnengakibatkan
kematian 100 % pada hewan percobaan dalam waktu 29 menit atau kurang.
2.6.
Pengaruh NOX Terhadap Tanaman
Adanya NOX di atmosfer akan mengakibatkan kerusakan tanaman, tetapi sukar
ditentukan apakah kerusakan tersebut diakibatkan langsung oleh NOX atau karena polutan
sekunder yang diperoleh dalam siklus fotolitik NO2. Beberapa polutan sekunder diketahui
bersifat sangat merusak tanam-tanaman. Percobaan dengan fumigasi tanam-tanaman
dengan NO2 menunjukkan terjadinya bintik bintik pada daun jika digunakan konsentrasi 1,0
ppm, sedangkan dengan konsentrasi yang lebih tinggi (3,5ppm atau lebih) terjadinya
nekrosis atau kerusakan tenunan daun (Stoker and Seager, 1972).
III.
STANDAR DAN CONTROL
Pengelolaan kualitas udara yang ada di Indonesia untuk pencemaran Nitrogen
Okside di atur di dalam keputusan Mentri Kependudukan dan Lingkungan Hidup yaitu:
Kep.2/MNKLH/I/1988 yang didalamnya terdapat Baku Mutu Kualitas Udara Ambien
untuk NOX sebesar 0,05 ppm dengan waktu pengukuran 24 jam. Sebagai bahan
perbandingan mengenai standar yang sudah ada yaitu pada tahun 1971 kantor federal
pengawasan polusi udara standar nasional primer dan sekunder kualitas udara untuk
Nitrogen Diokside 100 mg/m3 (0,05 ppm) sebagai rata-rata arithmatik.
Umumnya kebanyakan langkah untuk pengelolaan/kontrol terhadap pencemaran NOX
biasanya modifikasi pembakaran untuk menurunkan konsentrasi NOX dan pemanfaatan,
berbagai perlengkapan untuk menghilangkan NOX dari aliran pembuangan gas.
IV.
KESIMPULAN
106
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
Oksida Nitrogen adalah salah satu pencemar udara yang beracun dan mempunyai
efek yang membahayakan atau merugikan terhadap lingkungan baik terhadap manusia,
hewan maupun terhadap tanaman. Sumber utama dari zat pencemar adalah pembakaran.
Aktifitas kendaraan/transportasi memberikan prosentase yang cukup besar untuk
pencemaran di udara.
Efek yang dapat ditimbulkan umumnya mengenai organ pernafasan yaitu paru-paru, dan
efek yang diterima seseorang atau hewan maupun tumbuhan tergantung pada dosis dan
lamanya pemaparan. Pengendalian yang dilakukan umumnya modifikasi kondisi
pembakaran untuk menurunkan jumlah NOX yang dihasilkan dan menghilangkan NOX
dengan pemanfaatan alat-alat perlengkapan dan aliran pembuangan gas.
107
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
DAFTAR PUSTAKA
Arthur C. Stern, Boubel, Turner, Pox, 1984, Fundamental Of Air Pollution, Academic
Press., Inc.
Howard.S. Peavy, Donald R. Rowe, G. Tchobanoglous, Environmental Engineering,
Macgrow-Hill Book Company.
Juli Soemirat Slamet, 1994, Kesehatan Lingkungan, Gajah Mada University Press.
Srikandi Fardiaz, Polusi Air dan Udara, Kanisius Press.
Louis J. Casarett and John Doull (ed), Toxicology The Basic Science of Poisons,
Macmillan Publishing CO, Inc.
Sax(ed), 1974, Industrial Pollution, Van Nostrand Reinhold Coy.
108
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
INKULTURASI ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI
DALAM POLA SPASIAL RUMAH ETNIS TIONGHOA
DI DESA ADAT CARANGSARI, BADUNG
Oleh:
Siluh Putu Natha Primadewi
ABSTRAK
Rumah Etnis Tionghoa di Bali adalah salah satu hasil fisik dari interaksi budaya
Bali dan kepercayaan Tionghoa. Rumah etnis Tionghoa diharapkan dapat merefleksikan
kekayaan budaya masyarakat setempat tanpa melupakan kepribadiannya sebagai etnis
Tionghoa. Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah wujud pola
spasial, dan Bagaimanakah inkulturasi prinsip ATB dalam pola spasial rumah etnis
Tionghoa di Desa Carangsari. Untuk menjawab permasalahan tersebut, penelitian dirancang
dengan metode penelitian deskriptif kualitatif-interpretatif dan teori pola spasial, teori
kebudayaan dan teori semiotika.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola spasial rumah etnis Tionghoa merupakan
hasil suatu proses inkulturasi, yang telah melalui tahapan: akulturasi, asimilasi, dan
transformasi. Transformasi sebagai kata kunci inkulturasi dibahas dengan elemen pola
spasial yakni: bentuk dasar, letak, batas, tingkatan, dan arah. Wujud pola spasial dan
transformasi elemen pola spasial merupakan suatu penanda (signifier) yang dapat
diinterpretasikan. Faktor religi dan kepercayaan merupakan suatu petanda (signified) dari
inkulturasi prinsip ATB dalam pola spasial rumah etnis Tionghoa. Inkulturasi yang
dilakukan Etnis Tionghoa dalam pola spasial harus diikuti dengan pengetahuan dan
pemahaman mengenai budaya lokal. Di sisi lain, diperlukan adanya suatu konsep yang
bersumber dari kepercayaan Etnis Tionghoa sendiri, agar karya arsitektur yang dihasilkan
tetap memiliki identitas asal.
Kata Kunci : Inkulturasi, Pola Spasial, Rumah Etnis Tionghoa
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ketika dua kebudayaan yang berbeda saling berinteraksi, ada kerjasama kemungkinan
yang akan terjadi. Penjabaran bentuk kerjasama antarbudaya adalah akulturasi, inkulturasi,
originasi, asimilasi budaya. Inkulturasi adalah bentuk kerjasama antar budaya yang sifatnya
lebih mendalam dan kompleks. Dikatakan lebih mendalam karena mencakup hampir semua
bentuk lainnya (Setiawati, 2010:1). Wacana ini sangat menarik untuk dikedepankan, ketika
kebhinekaan kultur nusantara mulai banyak mendapat sorotan. Secara garis besar,
inkulturasi adalah suatu interaksi yang sedemikian hingga budaya lama maupun budaya
baru mengalami suatu transformasi (Prier, 1999:7). Proses inkulturasi sebagai usaha
mengenakan ungkapan lokal atau pribumi dapat ditangkap secara visual dalam kesenian
dan benda-benda budaya atau artefak, termasuk karya arsitektur.
Arsitektur rumah etnis Tionghoa umumnya akan mengadopsi bentuk umum
bangunan hunian masyarakat asli di sekitar mereka (Widayati, 2003:5). Di Bali sendiri,
109
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
pada rumah etnis Tionghoa terjadi perjumpaan dua budaya, yaitu budaya Bali yang diwakili
oleh agama Hindu dan Arsitektur Tradisional Bali (ATB), dan etnis Tionghoa yang diwakili
oleh kepercayaan Tionghoa dan Arsitektur Tradisional Tiongkok Selatan (ATT).
Perjumpaan dua budaya menimbulkan ruang-ruang adaptif, nampak pada artefak
(wujud fisik) pola spasial rumah etnis Tionghoa di Desa Carangsari. Sesungguhnya pada
wujud fisik inilah kemudian timbul suatu permasalahan, apakah prinsip ATB yang
diterapkan hanya berupa tempelan saja, atau sebaliknya prinsip ATT hanya berupa
tempelan, ataukah memang telah melewati serentetan proses utuh inkulturasi. Berangkat
dari alasan di atas maka peneliti ingin meneliti lebih jauh permasalahan tersebut dalam
penelitianyang berjudul: “Inkulturasi Arsitektur Tradisional Bali dalam Pola Spasial Rumah
Etnis Tionghoa di Desa Carangsari, Badung”
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang
akan dicari jawabannya dan dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini dapat dirumuskan
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah wujud pola spasial rumah Etnis Tionghoa di Desa Carangsari,
Badung ?
2. Bagaimanakah inkulturasi prinsip-prinsip Arsitektur Tradisonal Bali dalam pola
spasial rumah Etnis Tionghoa di Desa Carangsari, Badung ?
1.3.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran yang nyata dan mendapatkan
pemahaman yang menyeluruh tentang inkulturasi budaya Bali dan Tiongkok dalam pola
spasial rumah Etnis Tionghoa di Desa Carangsari, Badung. Secara umum penelitian ini
bertujuan untuk menelaah tentang inkulturasi pola spasial pada rumah etnis Tionghoa, yang
merupakan sebuah cultural phenomenon dan architectural studies yang menarik untuk
dikaji dan diteliti. Dari penelitian ini diharapkan dapat diketahui pola spasial rumah etnis
Tionghoa, proses inkulturasi dalam suatu rumah etnis Tionghoa, serta apa sajakah unsurunsur budaya yang mempengaruhi inkulturasi dalam suatu pola spasial rumah Etnis
Tionghoa.
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengkaji atas beberapa hal yang
diungkap dalam permasalahan ini, yakni : wujud pola spasial rumah dan proses inkulturasi
prinsip-prinsip ATB dalam pola spasial rumah Etnis Tionghoa di Desa Carangsari, Badung.
110
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
1.4.
Manfaat Penelitian
Secara keilmuan hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah
pengetahuan arsitektur, yang ditinjau dari segi spasial yaitu wujud fisik, dan aspasial yaitu
religi dan kepercayaan yang mempengaruhi terjadinya inkulturasi.
Secara praktis, hasil penelitian ini dapat memberi manfaat untuk beberapa pihak,
yaitu :
1. Bagi etnis Tionghoa dan masyarakat Bali di Desa Carangsari, dengan mengetahui
adanya inkulturasi antara budaya Bali dan kepercayaan Tionghoa dalam pola
spasial rumah etnis Tionghoa diharapkan kedua pihak ini dapat semakin
memupuk toleransi dan sikap saling menghargai dalam masyarakat yang
multikultur dan heterogen.
2. Bagi para praktisi pembangunan, hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan inspirasi untuk menghasilkan suatu rancangan inkulturatif yang
bermakna dan bukan berupa pemalsuan budaya semata-mata.
II.
KONSEP DAN LANDASAN TEORI
2.1.
Konsep
Konsep dalam penelitian untuk memudahkan pemahaman terhadap topik penelitian
ini “Pola Spasial Rumah Etnis Tionghoa di Desa Carangsari, Badung” adalah organisasi
ruang lingkungan pekarangan, yang ditentukan seperangkat nilai, keyakinan, dan cara
pandang masyarakat setempat, yang dimiliki sebuah lingkungan pekarangan (rumah)
tempat tinggal dan tempat untuk segala kegiatan di dalam menjalankan kehidupan Etnis
Tionghoa di dalam suatu lingkungan Desa Pakraman yang sangat dipengaruhi oleh ajaran
Agama Hindu.
2.2.
Landasan Teori
Teori Pola Spasial
Spasial merupakan unsur pokok dalam memahami arsitektur. Spasial berfungsi
sebagai wadah aktivitas manusia baik secara fisik maupun psikis. Hal tersebut juga
mengakibatkan pola spasial dapat terlihat sebagai hubungan antara arsitektur, lingkungan
dan budaya tempat spasial tersebut berada. Sistem spasial merupakan satu dari tiga
komponen pembentuk arsitektur sekaligus perilaku penghuni dalam rangka mendiami suatu
spasial arsitektur. Dua komponen yang lain adalah sistem fisik dan sistem stilistik
(Habraken, 1978:37).
111
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
Menurut Ronald (2005:136), unsur spasial pada hunian terdiri dari : arah
(orientation), letak (setting), tingkatan (hierarchy), keterbukaan (transparancy), dan
besaran ruang (size). Sedangkan menurut Sasongko (2005:2), struktur spasial pada
permukiman digambarkan melalui pengidentifikasian tempat dan batas sebagai komponen
utama, selanjutnya diorientasikan melalui jaringan jalan dan hirarki.
Teori Kebudayaan
Etnis Tionghoa adalah sebuah kelompok yang mempunyai kebudayaan yang
spesifik. Dalam proses asimilasi bagaimanapun tetap akan menyisakan sesuatu yang
spesifik yang dimiliki sejak dari nenek moyang. Apabila dalam hal ini diambil contoh
rumah Etnis Tionghoa maka diharapkan akan muncul karakteristik tertentu dibanding yang
ada di sekitarnya. Untuk itu diperlukan pengetahuan tentang unsur-unsur kebudayaan agar
karakteristik tersebut dapat diketahui.
Koentjaraningrat (1986:59), menyimpulkan dari penjelasan tentang adanya
persamaan unsur-unsur kebudayaan yang bersifat universal oleh Clyder Kluckhohn dalam
bukunya “Universal Catagories of Culture”, bahwa unsur-unsur kebudayaan tersebut
tersebut terdiri dari tujuh unsur pokok, yaitu religi dan upacara keagamaan (kepercayaan);
sistem dan organisasi kemasyarakatan; pengetahuan; bahasa; kesenian; mata pencaharian
hidup; dan teknologi peralatan.
Koentjaraningrat, (1989:60), menyebutkan bahwa religi suatu masyarakat tertentu
akan sangat mempengaruhi kehidupan sehari-harinya, karena di dalam agama sebagai
wujud ideologi dari kebudayaan mengandung norma-norma yang mengatur perilaku
pemeluknya sebagai wujud sistem sosial atau aktivitas dari kebudayaan. Rumah sebagai
artefak kebudayaan adalah wadah beraktivitas yang akan merefleksikan budaya
penghuninya.
Teori Semiotika
Eco menyatakan bahwa semiotika adalah teori tentang pembangkitan kode dan
tanda, serta tanda harus ditafsirkan (Lechte, 2005:199). Penafsiran yang berlaku dalam
semiotika adalah interpretant, yang menghasilkan semiosis tidak terbatas. Eco yang
bertolak dari pandangan Peirce mendorong penelitian semiotika dalam bidang: seni lukis,
arsitektur, unsur kemasyarakatan, dan juga sastra (Zoest, 1993:4). Karya arsitektur sebagai
tanda memiliki dua entitas, yaitu (1) signifier atau penanda yang merupakan bidang
ekspresi atau wahana tanda, dan (2) signified atau petanda yang merupakan bidang isi atau
makna. Siwalatri (1997:35), penanda (signifier) dan petanda (signified) dijelaskan sebagai
berikut: (1) Penanda (signifier), merupakan bentuk, ruang, permukaan, volume yang
112
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
memiliki kepadatan, tekstur, warna dan lain-lainnya. (2) Petanda (signified), merupakan
makna, seperti ide arsitektural, estetika, konsep ruang, keyakinan atau kepercayaan
masyarakat, fungsi, aktivitas, dan sebagainya.
Tanda dalam prinsip ATB sebagai presentasi kebudayaan Bali dan Arsitektur
Tiongkok Selatan sebagai presentasi kebudayaan Tionghoa diwujudkan dalam pola spasial
rumah Etnis Tionghoa di Desa Carangsari. Pertemuan dua kebudayaan yang berbeda
menjadi satu kesatuan dalam wujud pola spasial rumah menjadi tanda sekaligus merupakan
penanda dan petanda yang sangat menarik untuk ditelaah dan ditafsirkan.
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1.
Hasil
Terdapat variasi dalam pola spasial rumah etnis Tionghoa. Variasi tersebut
berdasarkan posisi rumah terhadap jalan dan jenis elemen ruang di dalam pekarangan.
Berikut diuraikan variasi wujud fisik pola spasial rumah etnis Tionghoa di Desa Carangsari.
Posisi rumah terhadap jalan
Rumah etnis Tionghoa dibangun di sekitar jalur strategis Puri Carangsari dan
diorientasikan melalui jaringan jalan utama desa. Berdasarkan variasi kasus di lapangan,
terdapat dua kelompok rumah berdasarkan posisinya yakni (a) posisi rumah berada di jalan
utama desa, sehingga di depan rumah terdapat telajakan; (b) posisi rumah di jalan
lingkungan desa, sehingga tidak ada telajakan.
Kasus dominan berada di jalan utama desa, yang mana hal ini menunjukkan posisi
rumah yang berada di jalur strategis, karena area ini dahulunya merupakan jalur-jalur
perdagangan sehingga mudah dijangkau. Jenis dan elemen ruang di pekarangan
Rumah etnis Tionghoa di Desa Carangsari mencerminkan rumah tradisional Bali
dataran, terdiri dari banyak massa bangunan (tidak monolit) dengan fungsinya masingmasing. Ruang-ruang di dalam pekarangan rumah etnis Tionghoa antara lain: ruang suci,
ruang hunian, ruang usaha, dan ruang terbuka. Seluruh kasus memiliki sanggah, rumah abu,
kongco, palinggih surya, panunggun karang, palinggih lain, dapur dan natah. Hal ini
dikarenakan pada rumah nyama toko berlangsung aktivitas ritual Hindu dan Tri Dharma
yang bersifat sakral, dan elemen ruang tersebut memegang peranan berlangsungnya
aktivitas sakral tersebut.
3.2.
Pembahasan
Penerapan Inkulturasi Prinsip ATB Dalam Pola Spasial
113
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
Inkulturasi adalah sebuah proses panjang yang terdiri atas tiga tahapan yaitu
akulturasi, asimilasi, dan transformasi. Demikian pula rumah Etnis Tionghoa di Desa
Carangsari (RETDC), pola spasial yang lahir juga merupakan hasil dari tiga proses tersebut.
Wujud inkulturasi prinsip ATB dalam pola spasial yang terjadi juga merupakan suatu
penanda (signifier), maka teori teori semiotika.
Tahap pertama yaitu akulturasi yang merupakan perpaduan kebudayaan bila suatu
kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari
kebudayaan asing yang berbeda sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun
diterima dan diolah dengan kebudayaan sendiri (Koentjaraningrat, 1984:149).
Dalam tahap akulturasi ini, Etnis Tionghoa di Desa Carangsari bersikap menyerap
secara selektif unsur-unsur di dalam ATB dengan menggunakan beberapa prinsip filosofis,
prinsip praktis, dan prinsip manfaat untuk diadopsi ke dalam pola spasial rumah Etnis
Tionghoa di Desa Carangsari.
a. Prinsip Filosofis ATB
Tri Hita Karana dalam terapan arsitektur berkembang menjadi tiga tingkatan ruang
peruntukan perumahan tradisional meliputi: (1) Ruang tempat suci; (2) Ruang massa
bangunan hunian; (3) Ruang kosong/terbuka (Sulistyawati, 2007:8). Elemen ruang dalam
pola spasial merupakan perwujudan dari prinsip filosofis Tri Hita Karana, antara lain: (1)
Ruang suci sebagai sarana membina hubungan dengan Tuhan dan leluhur, diwujudkan
dalam sanggah, palinggih surya, panunggun karang, dan kongco, rumah abu; (2) Ruang
hunian dan usaha sebagai sarana membina hubungan antara penghuni rumah, diwujudkan:
kamar tidur, dapur, kamar keluarga dan teras. Ruang usaha yakni: warung, bengkel, dan
gudang; (3) Ruang kosong sebagai sarana membina hubungan dengan lingkungan alam,
diwujudkan dalam natah. Tri Hita Karana pada dasarnya sejalan dengan jenis dan elemen
ruang rumah di Tiongkok Selatan, yakni: (1) altar sebagai wujud hubungan antara penghuni
dengan Dewa dan leluhur; (2) ruang tidur, dapur, beranda adalah wujud hubungan antara
sesama anggota penghuni rumah tersebut; (3) skywells/tianjing sebagai ruang kosong
adalah wujud hubungan antara penghuni dengan alam lingkungan.
Dewata Nawa Sanga dalam terapan arsitektur berkembang menjadi Sanga Mandala.
Sanga Mandala adalah penzoningan kegiatan dan tata letak bangunan pada Arsitektur
Tradisional Bali (Dwijendra, 2010:7). Prinsip filosofi Dewata Nawa Sanga dalam pola
spasial RETDC terwujud pada pembagian sembilan zona ruang dengan beberapa variasi
posisi elemen ruang di dalam pekarangan. Sebagian besar arah kaja-kangin adalah sanggah
atau palinggih surya, arah kaja adalah kongco atau rumah abu, arah kaja-kauh adalah
114
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
panunggun karang, arah kangin adalah ruang hunian, arah tengah adalah natah, arah kauh
adalah ruang hunian atau ruang usaha, arah kelod-kangin adalah ruang usaha, arah kelod
adalah dapur, arah kelod-kauh adalah ruang usaha. Dewata Nawa Sanga pada dasarnya
sejalan dengan Pa-Kua, Lo-Shu, Lima Unsur, Mandala. Pa-Kua adalah lambang berbentuk
segi delapan yang menggambarkan empat titik mata angin utama dan empat titik tambahan.
Lo-Shu adalah sembilan kelompok kotak yang memiliki angka-angka. Lima unsur adalah
manifestasi kosmologi Tiongkok yang mengandung unsur, warna, musim, arah angin.
Mandala adalah simbol empat pintu arah angin utama dan tambahan, serta arah tengah
adalah Yin-Yang.
Rwa Bhineda dianalogikan dalam relasi antara rumah (bhuwana agung) dengan
ruang-ruang (bhuwana alit). Rwa Bhineda dalam pola spasial terwujud dalam elemen ruang
dalam rumah yang dibatasi oleh panyengker dan pamesuan, sehingga terbentuk ruang
kosong di tengah pekarangan yang disebut natah. Pada dasarnya Rwa Bhineda sejalan
dengan courtyard rumah di Tiongkok Selatan. Ruang-ruang menjadi bagian dari rumah
yang dibatasi oleh dinding (we chiang) sehingga membentuk ruang kosong di tengah
pekarangan yang disebut tianjing.
b. Prinsip Praktis ATB
Ulu-teben merupakan penjabaran dari prinsip filosofis Rwa Bhineda. Ulu-Teben
terwujud dalam posisi tempat tidur. Posisi kepala mengarah ke arah Ulu dan posisi kaki
mengarah ke arah Teben. Ulu adalah posisi ruang suci yaitu kaja atau kangin, sedangkan
Teben adalah arah sebaliknya. Penerapan orientasi Ulu-Teben sejalan dengan nilai tradisi
Arsitektur Tiongkok Selatan. Rumah di Tiongkok Selatan umumnya dibangun memanjang
arah utara (gunung) - selatan (Laut Tiongkok Selatan). Ruang utama yang bersifat sakral
ditempatkan di utara, sebaliknya pintu masuk yang bersifat profan di arah selatan (Pratiwo,
2010:241).
Tri Hita Karana dan Ulu-Teben melahirkan Tri Mandala. Tri Mandala adalah
pembagian kawasan atas tiga nilai zona yakni: utama (nilai utama/sakral), madya (nilai
tengah), dan nista (nilai rendah/profan). Prinsip Tri Mandala terwujud dalam pembagian
tiga zona dalam pekarangan dengan beberapa variasi berdasarkan posisi elemen ruang di
dalam pekarangan. Sebagian besar ruang sakral berada di daerah Ulu yakni arah kaja atau
kangin, ruang madya adalah ruang hunian dan natah yang berada di daerah antara Ulu dan
Teben, dan ruang profan adalah ruang usaha yang berada di daerah Teben yakni arah kelod
atau kauh. Pada dasarnya Tri Mandala sejalan dengan pembagian tiga ruang pada rumah
Tiongkok Selatan. Pembagian tiga ruang meliputi mingtang sebagai ruang sakral/utama
115
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
berada di zona sakral, xiangfang sebagai ruang hunian, dan ruang thamen sebagai ruang
gerbang berada di zona profan (Pratiwo, 2010:241).
Pembagian tiga zone ke arah kangin-kauh disilangkan dengan pembagian tiga zone
ke arah kaja-kelod disebut Sanga Mandala. Sanga Mandala dalam pola spasial terwujud
dalam pembagian sembilan zona pekarangan dengan variasi posisi elemen ruang. Sebagian
besar posisi elemen ruang adalah sebagai berikut: sanggah/palinggih surya letaknya di
kaja-kangin, kongco/rumah abu letaknya di kaja, panunggun karang letaknya di kaja-kauh,
ruang hunian letaknya di kangin dan kauh, dapur dan tungku letaknya di kelod, ruang usaha
letaknya di kelod-kangin atau kelod-kauh, dan natah letaknya di tengah pekarangan. Pada
dasarnya Sanga Mandala sejalan dengan Mandala. Mandala dengan sembilan kotak
tergambar pada perletakan ruang-ruang dalam rumah Tiongkok dan menjelaskan bahwa
satu kotak di tengah adalah ruang kosong. Delapan kotak lainnya merupakan ruang
pelingkup yang berfungsi sebagai altar pemujaan, ruang tidur, dapur, gudang, kandang, dan
lain-lain (Yolanda, 2008:22).
Natah melandasi timbulnya ruang kosong sebagai orientasi di dalam pekarangan
rumah tradisional Bali (Suarya, 2003:6). Sebagian besar posisi natah di tengah pekarangan.
Konsep natah sejalan dengan ruang kosong dalam rumah Tiongkok Selatan yaitu tianjing
atau skywell.
c.
Prinsip Manfaat
Dalam ATB, selama proses pembangunan dalam suatu perumahan, tidak terlepas
dari adanya konsep panca yadnya sebagai manisfestasi rasa bakti umat Hindu, sehingga
dalam berarsitektur umat Hindu selalu berpedoman pada upakara (Sulistyawati, 2007:63).
Urutan upacara yang dilakukan adalah: (1) caru pengruak karang; (2) prayascita, untuk
para undagi; (3) memakuh, mapulang padagingan, (4) melaspas dan pengurip (Gelebet &
dkk, 2002:447). Upakara diadaptasikan pada saat proses pembangunan dalam rumah etnis
Tionghoa di Desa Carangsari.
Pada dasarnya upakara dalam proses pembangunan sejalan dengan prosesi ritual
dalam proses pembangunan suatu rumah di Tiongkok. Urutan upacara yang dilakukan
adalah: (1) persembahyangan dupa, buah, uang kertas, teh-manisan kepada Tu Ti Kong
(Dewa Bumi) pada keempat sudut dari lahan yang akan dibangun dimulai dari sudut kiri
berlawanan arah jarum jam, yang dilaksanakan pada saat penggalian tanah (dongtu); (2)
upacara menebar darah ayam dan menanam jimat pada lokasi pembangunan, (3) upacara
penyucian bangunan (Thiam), dilaksanakan persembahyangan pada empat sudut bangunan
dimulai dari sudut kanan searah jarum jam.
116
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
Dalam ATB, undagi adalah ahli bangunan atau arsitek. Undagi memiliki
kemampuan di bidang filosofi bangunan beserta simbol-simbol mistik, dalam bentuk
simbol murni maupun ragam hias (Sulistyawati, 2007:67). Usaha etnis Tionghoa untuk
mengadaptasikan diri dengan budaya setempat melalui arsitektur mengharuskan
ditunjuknya seorang undagi. Etnis Tionghoa di Desa Carangsari umumnya memohon
petunjuk untuk pembangunan rumah kepada Ida Peranda dan Pemangku. Beliau yang
sering
dimohon
untuk
memberikan
padewasaan
(wewaran)
untuk
pelaksanaan
pembangunan. Untuk pembangunan kongco dan rumah abu, nyama toko umumnya
memohon petunjuk kepada pemimpin kepercayaan Hindu Budha.
Prinsip filosofis umumnya sulit untuk diadaptasi, karena sudah menyentuh
keyakinan/agama dapat diadopsi oleh etnis Tionghoa ke dalam pola spasial. Ini
mengindikasikan adanya kemiripan/keserupaan antara prinsip ATB yang dilandasi ajaran
agama Hindu dan prinsip ATT yang mendapat pengaruh kepercayaan Tionghoa. Di sisi
lain, hal-hal yang praktis lebih banyak diadaptasi karena lebih mudah terlihat secara kasat
mata. Hal tersebut juga merupakan usaha meyakinkan masyarakat setempat bahwa pola
spasial rumah etnis Tionghoa di Desa Carangsari adalah hasil penerapan prinsip ATB.
Akulturasi yang terjadi dalam rumah etnis Tionghoa ini masuk dalam kategori Akulturasi
Antagonistis, yang memiliki tujuan agar dapat diterima/diijinkan mendirikan rumah pada
karang desa. Setelah tahap akulturasi, maka masuk ke dalam tahap berikutnya, yakni tahap
asimilasi dan transformasi.
Asimilasi adalah tahapan ketika dua kebudayaan yang bertemu mulai berpadu.
Sedangkan transformasi diartikan sebagai perubahan wujud dan sifat (Ali, 1996:107).
Transformasi terjadi dua arah, yakni prinsip dalam ATB dan konsep keruangan dalam
Arsitektur Tionghoa Tiongkok Selatan. Transformasi dibatasi pada perubahan wujud saja.
Pembahasan dikelompokan berdasarkan variabel elemen pola spasial: (1) asimilasi dan
transfomasi bentuk dasar, (2) asimilasi dan transformasi letak/setting, (3) asimilasi dan
transformasi batas/teritory, (4) asimilasi dan transformasi tingkatan,/hierarchy (5) asimilasi
arah/orientation. Transformasi pola spasial yang terjadi merupakan penanda (signifier),
maka digunakan teori semiotika. Berikut adalah pembahasan inkulturasi prinsip ATB
berdasarkan elemen pola spasial.
a. Bentuk Dasar
Dalam ATB ruangan diusahakan menggunakan bentuk dasar empat persegi yang
disusun berdasarkan fungsinya masing-masing, Layout rumah tradisional Bali dataran
berbentuk dasar empat persegi pada keseluruhan lahan maupun bale-bale. Sedangkan
117
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
dalam arsitektur rumah Tionghoa di Tiongkok Selatan, bentuk dasar ruangan adalah bentuk
geometris. Pada dasarnya di Tiongkok Selatan, rumah tradisional mengambil bentuk
persegi atau persegi panjang (Bramble, 2003:68). Sebagai contoh dapat dilihat pada denah
salah satu rumah etnis Tionghoa di Propinsi Fukien, Tiongkok Selatan yang berbentuk
dasar empat persegi, pada keseluruhan lahan maupun dalam masing-masing bagiannya.
Bentuk dasar empat persegi dalam ATB dan bentuk geometris persegi dalam
arsitektur rumah Tionghoa diakomodir dalam bentuk dasar spasial rumah, sehingga tercipta
pengembangan bentuk persegi. Elemen ruang pembentuk pola spasial rumah juga
menggunakan bentuk persegi atau persegi panjang.
b. Letak (Setting)
Rumah masyarakat Bali di Desa Carangsari menggunakan pola pembagian sembilan
zona dalam pengaturan ruang-ruang di dalam pekarangan. Dapat dilihat pada layout rumah
tradisional masyarakat Bali di Desa Carangsari, pekarangan dibagi menjadi: kaja-kangin
letak sanggah, kaja letak meten, kaja-kauh letak panunggun karang, kangin letak bale
sumanggen/gede, tengah sebagai natah, kauh letak bale dauh, kelod-kangin letak
pamesuan, kelod letak dapur, dan kelod-kauh letak kamar mandi. Sedangkan rumah
tradisional Tionghoa di Tiongkok Selatan, Propinsi Fukien, susunan ruang dibagi menjadi
sembilan meliputi: pertama adalah rumah utama berada di utara dan terdiri dari tiga jian
(jian tengah letak hall altar leluhur, jian kiri dan kanan letak dapur dan ruang tidur milik
orang tua; bagian kedua adalah halaman yang terletak di posisi tengah dan hall rumah
samping yang berada di sisi kiri dan kanan dari halaman, bagian ketiga adalah gerbang
yang terletak di posisi tengah dan ruang servis di sisi kiri dan kanan dari gerbang.
Pola pembagian sembilan zona dalam ATB dan rumah Tionghoa di Tiongkok
Selatan. sama-sama diakomodir dalam spasial rumah etnis Tionghoa. Letak elemen ruang
dalam pola spasial yakni: (1) kaja-kangin letak sanggah, palinggih surya, variasinya
sebagai letak pamesuan, palinggih lain, panunggun karang, kamar tidur dan dapur; (2) kaja
letak kongco dan rumah abu, variasinya sebagai letak sanggah, palinggih surya dan
panunggun karang; (3) kaja-kauh letak panunggun karang, variasinya sebagai letak
sanggah, palinggih surya, warung; (4) kangin letak kongco, rumah abu, ruang hunian,
variasinya sebagai letak palinggih lain, warung; (5) tengah adalah letak natah; (6) kauh
letak ruang hunian, variasinya sebagai ruang usaha dan natah, (7) kelod-kangin letak
pamesuan dan ruang usaha, variasinya sebagai letak palinggih lain, palinggih surya dan
panunggun karang; (8) kelod letak ruang hunian, variasinya sebagai letak ruang usaha dan
natah; (9) kelod-kauh letak pamesuan, warung dan dapur, variasinya sebagai letak
118
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
palinggih surya. Kongco dan rumah abu umumnya berada di pusat garis aksis dari
pekarangan rumah. Tungku umumnya berada di arah kelod dari ruang dapur. Berikut
asimilasi dan transformasi yang terjadi pada letak elemen-elemen ruang dalam pola spasial
dengan beberapa variasi posisi.
c.
Batas (Territory)
Rumah tradisional Bali adalah keseluruhan massa bangunan di dalam pekarangan
yang dibatasi oleh panyengker karang di keempat sisinya (Runa, 2003:60). Penghubung
antara ruang di dalam pekarangan dengan ruang luar adalah pamesuan. Pamesuan
mempunyai pengertian ke luar dari tempat yang satu ke tempat yang lain, yang masingmasing mempunyai fungsi berbeda (Saraswati, 2002:86).
Perletakan pamesuan tersebut memiliki aturan sebagai berikut (Lontar Asta Kosala
dalam Duarsa, 1999:39): (1) pengukuran dari luar, ukur pinggir pekarangan dibagi
sembilan, jika rumah menghadap ke timur, dari utara caranya menghitung; (2) jika
menghadap ke selatan, dari timur caranya menghitung; (3) jika menghadap ke arah barat,
dari selatan caranya menghitung; (4) jika menghadap ke utara, dari barat caranya
menghitung. Sedangkan arsitektur tradisional Tiongkok Selatan, rumah menggunakan
konsep courtyard yakni kreasi ruang tertutup dan terbuka. Courtyard adalah aplikasi ruang
tertutup dengan tembok atau dinding pada keempat sisi atau ketiga sisi pekarangan dan
gerbang berada di posisi tengah atau garis aksis dari tembok atau dinding tersebut (Liu,
1989:28). Layout rumah Tionghoa di Propinsi Fukien, susunan ruang pada tiga sisi
pekarangan yang dihubungkan oleh dinding (we chiang) dan gerbang pada sisi lainnya
menjadi pembatas pekarangan rumah dengan lingkungan permukiman.
Panyengker karang dalam ATB dan konsep courtyard dalam rumah Tionghoa di
Tiongkok Selatan sama-sama diakomodir dalam spasial rumah etnis Tionghoa, sehingga
batas (territory) dalam pola spasial adalah tembok panyengker. Tembok panyengker
menjadi batas wilayah hunian dan kekuasaan dari etnis Tionghoa atas karang desa yang
dikelilingi oleh pagar masif di keempat sisinya. Ruang suci pun memiliki batas, antara lain:
sanggah, palinggih surya dan panunggun karang dibatasi oleh tembok panyengker,
sedangkan rumah abu dan kongco dibatasi dengan perbedaan level dengan ruang-ruang
lainnya.
Penerapan perletakan pamesuan dalam ATB diakomodir dalam pola spasial, antara
lain: (1) rumah menghadap ke arah kauh, sebagian besar pamesuan pada hitungan ke-3
sebanyak empat rumah, variasi lain adalah pada hitungan ke-4 sebanyak lima rumah; (2)
rumah menghadap ke arah kangin, pamesuan pada hitungan ke ke-3 sebanyak dua rumah,
119
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
variasi lain adalah pada hitungan ke-6 sebanyak satu rumah; (3) rumah menghadap ke arah
kaja, pamesuan pada hitungan ke-4 sebanyak dua buah, variasi lain adalah pada hitungan
ke-7; (4) rumah menghadap ke arah kelod, pamesuan pada hitungan ke ke-7 sebanyak satu
buah, variasi lain adalah pada hitungan ke-8 sebanyak satu buah dan hitungan ke-3
sebanyak satu buah.
d. Tingkatan (Hierarchy)
Rumah tradisional Bali dataran mengandung tiga nilai ruang berdasarkan zona di
dalam pekarangan. Rumah tradisional Bali dataran dibagi atas tiga tingkatan ruang
berdasarkan jenis dan fungsi elemen ruang di dalam pekarangan. Tiga nilai ruang tersebut
antara lain: sanggah yang berada pada tingkatan utama; natah dan bale-bale berada pada
tingkatan madya; pamesuan dan aling-aling pada tingkatan nista. Sedangkan rumah di
Tiongkok Selatan, areal pekarangan dibagi atas tiga sifat ruang terdiri dari: hall altar
leluhur, dan ruang tidur orang tua berada pada pusat aksis mingtang, hall dan ruang tidur
milik anak-anak berada pada xiangfang, dan gerbang berada pada thamen.
Tiga nilai ruang dalam ATB dan tiga sifat ruang dalam arsitektur rumah di
Tiongkok Selatan ditransformasikan dalam konsep hirarki dalam pola spasial dengan
tingkatan ruang yang jelas, memperlihatkan adanya gradasi berurut dari kaja ke kelod atau
kangin ke kauh yang menunjukkan adanya derajat kepentingan pada peran fungsional
dengan pembagian tiga ruang. Secara keseluruhan tingkatan dalam pola spasial membentuk
kategori ruang, meliputi nilai dan sifat ruang. Tiga tingkatan nilai ruang dalam pola spasial,
meliputi: ruang suci antara lain sanggah, palinggih surya, panunggun karang, rumah abu,
kongco berada di posisi kaja atau kangin dari pekarangan; ruang profan adalah ruang usaha
yang berada di posisi dekat pamesuan dan arah kelod atau kauh; dan ruang madya adalah
natah dan ruang hunian yang berada di antara ruang sakral dan ruang profan. Tiga sifat
ruang dalam pola spasial, meliputi ruang privat yang berada jauh dari pamesuan, antara
lain: sanggah, palinggih surya, panunggun karang, rumah abu, kongco; ruang semipublik
adalah transisi antara privat dan publik, antara lain ruang hunian dan natah; dan ruang
publik yang berada dekat pamesuan, antara lain: warung.
e.
Arah (Orientation)
Susunan massa di dalam pekarangan membentuk ruang kosong di tengah disebut
natah yang menjadi pusat orientasi. Pada rumah tradisional milik krama Bali di Desa
Carangsari, bale daja/meten, bale dauh, bale gede, bale delod, dapur, sanggah, dan
panunggun karang berorientasi pada natah di tengah. Sedangkan dalam arsitektur
120
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
tradisional Tiongkok, ruang-ruang di dalam pekarangan rumah menghadap ke arah ruang
terbuka di tengah yang disebut dengan tianjing. Pada rumah Tionghoa di Propinsi Fukien,
ruang altar leluhur, ruang tidur, dapur, gerbang mengelilingi halaman di tengah sebagai
pusat orientasi.
Natah dan tianjing ditransformasikan dalam konsep arah (orientation) pola spasial.
Sebagian besar pola spasial meliputi: ruang suci, ruang hunian, dan ruang usaha menghadap
ke arah ruang terbuka yang berada di tengah. Variasinya ruang terbuka tidak berada tepat di
tengah pekarangan, antara lain: natah yang berada di kelod, kauh, kaja dan kangin. Hal
tersebut disebabkan oleh bentuk lahan, sehingga natah berada di dekat jalan. Selain
pekarangan rumah, area tengah sanggah juga menjadi titik pusat orientasi dari palinggihpalinggih yang ada di dalamnya.
IV.
SIMPULAN DAN SARAN
4.1.
Simpulan
Setelah dilakukan identifikasi wujud pola spasial dan analisis terhadap inkulturasi
prinsip ATB dalam pola spasial, maka didapat penanda (signifier) dalam pola spasial. Pola
spasial merupakan hasil sebuah proses panjang inkulturasi yang terdiri dari tiga tahapan,
yaitu tahapan akulturasi, asimilasi, dan transformasi. Adapun simpulan yang dapat
dijabarkan adalah: 1. Tahap Akulturasi, dalam tahap akulturasi dapat dilihat nyama toko
menggunakan prinsip-prinsip yang ada dalam Arsitektur Tradisional Bali (ATB), meliputi:
(a) Prinsip filosofis Tri Hita Karana, Dewata Nawa Sanga, Rwa Bhineda; (b) Prinsip
praktis Ulu-Teben, Tri Mandala, Sanga Mandala, Natah; (3) Prinsip manfaat dalam ATB
yang diakulturasikan dalam pola spasial adalah prinsip upakara dan undagi. Akulturasi
yang terjadi dalam masuk dalam kategori Akulturasi Antagonistis, yang memiliki tujuan
agar dapat diterima/diijinkan menempati dan mendirikan rumah di karang desa. 2. Tahap
Asimilasi dan Transformasi, tahapan kedua dalam proses inkulturasi adalah asimilasi, yakni
tahapan ketika dua kebudayaan yang bertemu mulai berpadu. Sedangkan tahapan yang
terakhir adalah transformasi, yang terjadi dua arah. Transformasi bentuk sebagai kata kunci
inkulturasi dapat dijumpai pada variabel elemen pola spasial, meliputi: (a) asimilasi dan
transformasi bentuk dasar yang tercipta adalah pengembangan bentuk persegi
(rectangle/square); (b) asimilasi dan transformasi letak yang tercipta adalah pembagian
sembilan zona; (c) asimilasi dan transformasi batas/teritori yang tercipta adalah tembok
panyengker dan pamesuan; (d) asimilasi dan transformasi tingkatan/hierarki yang tercipta
adalah hirarki nilai dan sifat ruang; (e) asimilasi dan transformasi arah/orientasi yang
tercipta adalah orientasi ke arah natah/ruang terbuka.
121
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
4.2.
Saran
Tingkat kesadaran etnis Tionghoa harus ditingkatkan dari tingkat ‘tahu’ menjadi
‘kenal’ dan kemudian ‘memahami’. Hendaknya perkumpulan Sari Semadi menerbitkan
catatan sejarah kedatangan etnis Tionghoa ke Desa Carangsari dan makna symbol dalam
pola spasial. Pengaruh positif akan timbul karena etnis Tionghoa menjadi tahu bahwa
terdapat beberapa kesesuaian makna simbolis antara agama Hindu dan kepercayaan
Tionghoa, yang akan menambah rasa memiliki terhadap rumah tersebut. Sehingga peristiwa
pengambilalihan hak karang desa pada etnis Tionghoa oleh pihak desa tidak terulang lagi.
Inkulturasi sebagai bentuk usaha penyesuaian diri terhadap budaya lokal harus
kembali diterapkan, sehingga budaya lokal tidak tergerus melainkan tetap menunjukkan
eksistensi dan identitasnya. Inkulturasi yang dilakukan hendaknya melewati tahapan proses
akulturasi-asimilasi-transformasi, sehingga hasil akhir yang didapatkan adalah hasil yang
sarat makna, bukan tanpa makna. Pihak pelaku inkulturasi harus memiliki pemahaman yang
benar serta pengetahuan yang luas mengenai budaya lokal. Dengan demikian unsur budaya
lokal yang diangkat bukan hanya yang dikulit saja, melainkan juga memperhatikan
pemaknaan yang terkandung di dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Lukman, et al. (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan). 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka
Anonim. 2009. Database Desa Adat Carangsari. Tidak diterbitkan.
_______. 1984. Rumusan Arsitektur Bali, Proyek Penyusunan Naskah Arsitektur
Tradisional Bali. Denpasar: Dinas Pekerjaan Umum, Pemerintah Provinsi Daerah
Tingkat I Bali
Budiharjo, Eko. 1990. Architectural Conservation in Bali. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Covarrubias, Miguel. 1937. Island of Bali. London: KPI Limited 11 New Petter Lane.
Duarsa, Wayan Subrata. 1999. “Makna Simbolik Angkul-Angkul di Bali” (tesis). Denpasar:
Universitas Hindu Indonesia.
Eco,Umberto. 2009. A Theory of Semiotics. Indiana University Press
Gelebet, Nyoman. dkk. 1986. Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Kebudayaan Daerah Bali, Denpasar.
Gomudha, I Wayan. 1999. Reformasi Nilai-Nilai Arsitektur Tradisional Bali pada
Arsitektur Kontemporer di Bali (tesis). Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh
November.
Habraken, N. John. 1978. General Principles A Bout the Way Built Environment Exist.
Massachusetts.
Hillier, B. & Hanson, J. 1984. The Social Logic of Space. Cambridge: Cambridge
University Press.
Koentjaraningrat. 2000. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
122
JURNAL ILMIAH KURVA TEKNIK
_____________. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru
Nasution,S. 1988. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito
Pratiwo. 2010. Arsitektur Tradisional Tionghoa dan Perkembangan Kota. Yogyakarta:
Penerbit Ombak.
Prier, Karl Edmund. 1999. Inkulturasi Nyanyian Liturgi. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi
Rapoport, Amos. 1969. House Form and Culture. Engelwood Cliffs, New York: Prentice
Hall. Inc
Ronald, Arya. 2005. Nilai-nilai Arsitektur Rumah Tradisional Jawa. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Sulistyawati, Made. (Editor). 2011. Integrasi Budaya Tionghoa ke dalam Budaya Bali dan
Indonesia (sebuah bunga rampai). Bali: Universitas Udayana.
_______________________. 2007. Konsep dan Prinsip Arsitektur Tradisional Bali serta
Nilai Budayanya. Buku Ajar Program SIT Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik
Universitas Udayana. Belum dipublikasikan
Zeisel, John. 1981. Inquiry by Design, Tools for Environment, Behaviour Research.
California; Cambridge University Press.
Zoest, Aart Van. 1978. Semiotika, Pemakaiannya, Isinya dan Apa yang Dikerjakan
Dengannya (Terjemahan). Bandung: Unpad
123
Download