ANALISIS EKONOMI KELEMBAGAAN DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN TELUK PALABUHANRATU KABUPATEN SUKABUMI SUHANA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Ekonomi Kelembagaan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Ikan Teluk Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutif dari karya yang diterbitkan maupun tidaki diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini Bogor, Januari 2008 Suhana NIM C451040031 ABSTRAK SUHANA, Analisis Ekonomi Kelembagaan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Ikan Teluk Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi. (TRIDOYO KUSUMASTANTO sebagai Ketua, LUKY ADRIANTO dan ACENG HIDAYAT sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Teluk Palabuhanratu di perairan Kabupaten Sukabumi memiliki potensi sumberdaya ikan yang bisa dikembangkan lebih lanjut. Banyaknya aktor yang berkepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut maka diperlukan suatu sistem pengelolaan sumberdaya ikan yang terintegrasi. Tujuan penelitian ini adalah (1) Mengidentifikasi dan menganalisa peran masing-masing kelembagaan yang ada di Teluk Palabuhanratu dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan; (2) Menganalisis tatanan kelembagaan tersebut dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan; dan (3) Menganalisis secara ekonomi kelembagaan pengelolaan sumberdaya ikan teluk Palabuhanratu dengan pendekatan biaya transaksi. Hasil studi menunjukkan : (1) Aktor-aktor yang harus dilibatkan secara langsung dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan terdiri dari unsur pemeritah, masyarakat, akademisi dan apar keamanan. (2) Total biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu setiap tahunnya mencapai sekitar Rp. 184.615.000,00. (3)Total biaya transaksi yang dikeluarkan nelayan dalam pengelolaan sumberdaya ikan setiap tahunnya mencapai sekitar Rp. 9.962.500. (4)Berdasarkan tingkat diskonto 12 % terlihat bahwa dalam jangka waktu lima tahun nilai cost effectiveness analysis (CEA) pemerintah jauh lebih tinggi dibandingkan dengan CEA kelompok nelayan. Nilai CEA pemerintah mencapai sekitar Rp. 783.140.270,15 dan nilai CEA kelompok nelayan Rp. 25.521.874,33. (5) Format kelembagaan yang direkomendasikan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu harus melibatkan masyarakat (formal dan informal), pemerintah, pihak swasta/usaha dan perguruan tinggi. Kata Kunci : Kelembagaan, Biaya Transaksi, Analisis Aktor, Game Theory dan Analisis Kefektifan Biaya. @ Hak cipta milik IPB, Tahun 2007 Hak cipta dilindungi Undang-Undag 1. Dilarang mengutuif sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mecantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentinga pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; b. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB ANALISIS EKONOMI KELEMBAGAAN DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN TELUK PALABUHANRATU KABUPATEN SUKABUMI SUHANA Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 Judul Penelitian : Analisis Ekonomi Kelembagaan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Ikan Teluk Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Nama : Suhana Nomor Induk : C451040031 Program Studi : Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika Menyetujui : 1. Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, M.S Ketua Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc Anggota Dr. Ir. Aceng Hidayat, M.Sc Anggota 2. Ketua Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika 3. Dekan Sekolah Pasca Sarjana Wakil Dekan Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, M.S Tanggal Lulus : Prof. Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S Tanggal Ujian : 28 September 2007 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Ir. Gatot Yulianto, M.Si PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke khadirat Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Analisis Ekonomi Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Ikan Teluk Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi. Tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Master Sains pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika (ESK) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis merasa, hampir tidak mungkin studi dan tesis ini selesai tanpa bantuan dari banyak pihak. Oleh karenannya saya mengucapkan terima kasih terutama kepada Prof. Dr. Ir. H. Tridoyo Kusumastanto, MS, Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc dan Dr. Ir. Aceng Hidayat, MS atas kesabarannya di dalam membimbing. Selain itu juga penulis sampaikan terima kasih kepada Ir. Gatot Yulianto, M.Si atas kesediaannya untuk menjadi penguji luar komisi. Terima kasih juga disampaikan kepada ketua Program Studi, Dosen dan Staf Program Studi ESK atas ilmu dan pelayanannya, rekan-rekan ESK 2004 atas kebersamaannya dan PKSPL-IPB atas berbagai bantuan yang telah diberikan kepada penulis. Terkhusus penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak, ibu, kakak atas doa dan dorongan yang tak pernah henti-hentinya. Tak lupa kepada istri dan anakku tercinta atas do’a, kesabaran dan pengertiannya. Mohon maaf jika banyak melupakan kewajiban karena tesis ini. Akhirnya, penulis berharap semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Bogor, Januari 2008 Suhana RIWAYAT HIDUP Nama lengkap penulis Suhana, dilahirkan di Ciamis, 10 Oktober 1978 dari pasangan Ayahanda Oman Rohman dan Ibunda Sopiah sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara. Tahun 1997 penulis dapat kesempatan kuliah di Jurusan Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, lulusan Sarjana Perikanan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 2002. Semenjak lulus sampai saat ini penulis aktif sebagai peneliti di Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPLIPB). Selain sebagai peneliti juga aktif sebagai penulis lepas (opini) di beberapa media cetak nasional seperti Kompas, Bisnis Indonesia, Sinar Harapan, Majalah Cakrawala, Majalah Samudera, Tabloid Maritim, Harian Seputar Indonesia, Republika dan Suara Karya. Tahun 2004 penulis melanjutkan studi di Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, dan lulus tahun 2008. Pada Mei 2006 penulis menikah dengan Anik Zumrotul Khairiyah, SP dan saat ini telah dikaruniai seorang putri bernama Nadia Ilma Ikramiya. ix DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ............................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xvi PENDAHULUAN................................................................................................ 1 Latar Belakang ................................................................................................. 1 Perumusan Masalah .......................................................................................... 5 Tujuan ............................................................................................................... 6 Kegunaan Penelitian ......................................................................................... 6 TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 8 Perikanan Sebagai Sebuah Sistem.................................................................... 8 Common Pool Resource ................................................................................... 9 Konsep Transaksi ............................................................................................. 13 Konsep Biaya Transaksi ................................................................................... 13 Biaya Transaksi dalam Ko-Manajemen Perikanan .......................................... 15 Cost effectiveness analsis (CEA) ..................................................................... 17 Teori Kelembagaan .......................................................................................... 17 Tiga Lapisan Kelembagaan .............................................................................. 19 Kelembagaan dalam Perikanan ........................................................................ 21 Hak Kepemilikan Sumberdaya ........................................................................ 22 Teori Perubahan Kelembagaan ........................................................................ 31 Teori Konflik .................................................................................................... 33 Tata Kelola Sumberdaya Ikan .......................................................................... 36 Ko-Manajemen Pengelolaan Sumberdaya Ikan ............................................... 38 Definisi dan Karakteristik Nelayan .................................................................. 40 KERANGKA PENDEKATAN STUDI ............................................................. 43 METODOLOGI .................................................................................................. 46 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................................ 46 x Metode Penelitian ............................................................................................. 47 Metode Pengumpulan Data .............................................................................. 48 Metode Analisis Data ....................................................................................... 50 Analisis Aktor Pengelolaan Sumberdaya Ikan .......................................... 50 Analisis Tata Kelola Sumberdaya Ikan ..................................................... 55 Analisis Biaya Transaksi ........................................................................... 59 Analisis Keefektifan Biaya ....................................................................... 59 Analisis Game Theory ............................................................................... 60 Analisis Konflik Pengelolaan Sumberdaya Ikan ....................................... 62 Desain Kelembagaan ................................................................................. 64 Definisi Operasional ......................................................................................... 65 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN .............................................. 66 Kondisi Geografis............................................................................................. 66 Kependudukan .................................................................................................. 69 Kesejahteraan Penduduk .................................................................................. 70 Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan ..................................................... 71 TATA KELOLA SUMBERDAYA IKAN DI TELUK PALABUHANRATU ......................................................................................... 80 Analisis Aktor dalam Pengelolaan Sumberdaya Ikan ...................................... 80 Aktor Pengelolaan dan Pemanfaat Sumberdaya Ikan ............................... 80 Peran Masing-Masing Aktor ..................................................................... 84 Hubungan Antar Aktor .............................................................................. 88 Ko-Manajemen dalam Pengelolaan Sumberdaya Ikan .................................... 90 Kelembagaan sebagai Aturan Main Pengelolaan Sumberdaya Ikan ............... 93 Hak-Hak Terhadap Sumberdaya Ikan (Property Right)................................... 98 Hak Penggunaan Wilayah Perairan Untuk Perikanan Bagan dan Rumpon ..... 99 Konflik Pengelolaan Sumberdaya Ikan ............................................................ 103 Analisis Game Theory ...................................................................................... 109 xi BIAYA TRANSAKSI PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN ................ 112 Pemerintah ........................................................................................................ 112 Kelompok Masyarakat Nelayan ....................................................................... 114 Efektivitas Biaya Transaksi .............................................................................. 117 DESAIN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN DI TELUK PALABUHANRATU...................................................................... 119 Batasan Yurisdiksi ................................................................................................ 122 Hak Kepemilikan .................................................................................................. 122 Aturan Representasi .............................................................................................. 122 Mekanisme Implementasi Lembaga ..................................................................... 124 SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................. 126 Simpulan ........................................................................................................... 126 Saran ................................................................................................................. 127 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN xii DAFTAR TABEL Tabel 1. Tipe hak kepemilikan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan berdasarkan pemilik, hak dan tugas-tugasnya ................................... 23 Tabel 2. Pengelompokkan individu atau kelompok berdasarkan pada hakhak terhadap sumberdaya alam .......................................................... 24 Tabel 3. Target ekonomi, tindakan dan kelembagaan pada beberapa level ..... 33 Tabel 4. Perbedaan sasaran yang ingin dicapai oleh kelima teori konflik ...... 35 Tabel 5. Tipologi konflik perikanan ................................................................. 36 Tabel 6. Pengelompokkan nelayan berdasarkan karakteristik sosial ekonomi .............................................................................................. 41 Tabel 7. Kategori dan dimensi perikanan berdasarkan karakteristiknya.......... 42 Tabel 8. Aspek, jenis dan sumber data penelitian ........................................... 49 Tabel 9. Ukuran kuantitatif terhadap identifikasi dan pemetaan aktor ............ 54 Tabel 10. Pemain, pilihan strategi dan pay-off analisis Game Theory............... 61 Tabel 11. Matriks pahala (Payoffs) dalam analisis Game Theory ...................... 61 Tabel 12. Luas kecamatan di wilayah Kabupaten Sukabumi ............................ 66 Tabel 13. Jumlah penduduk di Kecamatan Pesisir Kabupaten Sukabumi Tahun 2005 ........................................................................................ 69 Tabel 14. Persentase Kelurga Pra KS dan KS 1 di Kecamatan Pesisir Kabupaten Sukabumi Tahun 2005 .................................................... 71 Tabel 15. Potensi Lestari Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Perairan Pantai Kabupaten Sukabumi, Tahun 2003 .......................... 73 Tabel 16. Potensi Lestari dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Laut Samudera Hindia, Tahun 2000 ................................................. 73 Tabel 17. Perkembangan Jumlah Ikan yang dilelang di beberapa tempat pendaratan ikan di kecamatan Kabupaten Sukabumi. ....................... 74 Tabel 18. Komoditas Unggulan Perikanan Laut Kabupaten Sukabumi ............ 75 Tabel 19. Jumlah Alat Tangkap Perikanan yang berkembang di Kabupaten Sukabumi ........................................................................................... 76 Tabel 20. Nilai Produksi Ikan Segar yang di Lelang di Kabupaten Sukabumi tahun 2001-2003 ................................................................................ 77 xiii Tabel 21. Karakteristik Kelas Pelabuhan PPS, PPN, PPP dan PPI .................... 87 Tabel 22. Kelompok Masyarakat Pengawas Sumberdaya Ikan (POKMASWAS) di Kabupaten Sukabumi ....................................... 91 Tabel 23. Jenis Peraturan dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Teluk Palabuhanratu ............................................................. 95 Tabel 24. Identifikasi Hak Pada Sumberdaya Ikan di Teluk Palabuhanratu ..... 98 Tabel 25. Kelompok Pengelola Rumpon di Perairan Teluk Palabuhanratu ...... 101 Tabel 26. Tipe Konflik dalam Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Teluk Palabuhanratu .................................................................................... 104 Tabel 27. Jumlah Izin Usaha Perikanan (IUP) Yang dikeluarkan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi Tahun 2006 ............. 108 Tabel 28. Matrik pay off permainan antara pemerintah dengan nelayan .......... 110 Tabel 29. Biaya Transaksi Yang di Keluarkan Pemerintah dalam Pengelolaan Sumberdaya Ikan di Teluk Palabuhanratu .................... 113 Tabel 30. Biaya Transaksi yang di Keluarkan Kelompok Nelayan dalam Pengelolaan Sumberdaya Ikan di Teluk Palabuhanratu .................... 115 Tabel 31. Nilai Efektivitas Biaya Transaksi Pemerintah dan Nelayan ............. 120 xiv DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Perikanan sebagai sebuah sistem .................................................. 8 Gambar 2. Skema biaya transaksi dalam ko-manajemen perikanan ............... 16 Gambar 3. Klasifikasi hak kepemilikan (property rights) ............................. 22 Gambar 4. Pengklasifikasian hak pemanfaatan dalam pengelolaan perikanan tangkap ......................................................................... 26 Gambar 5. Spektrum ko-manajemen dalam pengelolaan sumberdaya ikan .. 39 Gambar 6. Pengelompokkan nelayan ............................................................. 41 Gambar 7. Kerangka pendekatan studi ........................................................... 45 Gambar 8. Lokasi penelitian .......................................................................... 46 Gambar 9. Aktor grid ...................................................................................... 55 Gambar 10. Kerangka analisis kelembagaan ................................................... 56 Gambar 11. Penyebaran penduduk di kecamatan pesisir Kabupaten Sukabumi Tahun 2005 .................................................................. 70 Gambar 12. Pemetaan aktor pemanfaat dan pengelola sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu ...................................................................... 81 Gambar 13. Hubungan antar aktor pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu ............................................................................... 89 Gambar 14. Ko-manajemen sistem pengawasan sumberdaya ikan berbasis masyarakat di Perairan Sukabumi ................................................ 93 Gambar 15. Alat tangkap yang diberikan izin di Perairan Kabupaten Sukabumi Tahun 2006 .................................................................. 108 Gambar 16. Biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu ................ 113 Gambar 17. Biaya transaksi yang dikeluarkan nelayan dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu ..................................... 114 Gambar 18. Biaya transaksi pengambilan keputusan yang di keluarkan nelayan dalam pengelolaan sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu ............................................................................... 116 Gambar 19. Biaya transaksi operasional bersama yang di kelaurkan nelayan dalam pengelolaan sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu .......... 116 xv Gambar 20. Biaya transaksi informasi yang di keluarkan nelayan dalam pengelolaan sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu ..................... 117 Gambar 21. Nilai CEA pemerintah dan kelompok nelayan dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu ................. 118 Gambar 22. Desain kelembagaan pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu ............................................................................... 125 xvi DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Panduan penelitian Lampiran 2. Tabel analisis peraturan nasional dan daerah sebagai dasar hukum dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu Lampiran 3. Perhitungan game theory Lampiran 4. Perhitungan biaya transaksi pemerintah Lampiran 5. Perhitungan biaya transaksi kelompok nelayan Lampiran 6. Perhitungan analisis keefektipan biaya transaksi pemerintah Lampiran 7. Perhitungan analisis keefektipan biaya transaksi kelompok nelayan 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Teluk merupakan suatu lekukan yang lekukannya berbanding sedemikian rupa dengan lebar mulutnya sehingga mengandung perairan yang tertutup dan bentuknya lebih dari pada sekedar suatu lengkungan pantai semata-mata (UNCLOS 1982)1. Berdasarkan hal tersebut maka kawasan teluk merupakan kawasan yang paling banyak berkembang untuk berbagai aktifitas manusia dikarenakan teluk mempunyai karakteristik fisik yang relatif stabil, terlindung dan dinamikanya tidak setinggi pantai terbuka. Kondisi tersebut menimbulkan terjadinya peningkatan aktivitas di kawasan teluk, yang antara lain secara global ditandai oleh munculnya kota-kota besar di kawasan teluk. Indonesia mempunyai banyak kota besar yang berlokasi di kawasan teluk, dan dalam satu dekade belakangan ini banyak pihak berkepentingan terhadap sumberdaya pesisir di wilayah teluk, khususnya di wilayah teluk yang pembangunannya pesat seperti Teluk Jakarta, Manado, Makassar dan Palabuhanratu. Seiring dengan berlakunya UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menekankan pada desentralisasi pemerintahan maka kewenangan pengelolaan sumberdaya alam di perairan laut bergeser dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, khususnya sumberdaya ikan. Adanya pergeseran kewenangan tersebut telah berdampak terhadap beberapa aspek penting dalam pengelolaan sumberdaya ikan di wilayah teluk, yaitu aspek sumberdaya ikan, sosialkelembagaan, ekonomi dan politik. Pertama, desentralisasi merupakan pintu menuju terciptanya kebijakan pembangunan berkelanjutan. Hal ini disebabkan bahwa dengan desentralisasi akan memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya ikan diwilayah teluk. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya ikan merupakan bentuk tanggung jawab mereka terhadap masa depan sumberdaya tersebut. Artinya, masyarakat tidak hanya akan berhenti pada upaya merencanakan dan melaksanakan prinsip pengelolaan 1 Lihat Pasal 10 (2) Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (United Nations Convention on The Law The Sea, UNCLOS 1982) 2 sumberdaya ikan secara lestari seiring dengan nilai-nilai tradisional yang mereka miliki, tetapi tanggung jawab itu juga akan muncul dalam bentuk pengawasan dan pengendalian. Kedua, salah satu kekuatan desentralisasi kelautan adalah karena selama ini sebenarnya setiap daerah memiliki institusi lokal yang mencerminkan kearifan tradisional dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Institusi tersebut selama ini ada yang masih berlaku dan ada pula yang telah pudar. Dengan demikian, ada institusi yang secara aktual berfungsi dan ada pula yang secara potensial berfungsi. Institusi yang berfungsi aktual merupakan kekuatan daerah dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Daerah tidak perlu lagi menyusun formula pengelolaan sumberdaya ikan, sebaliknya daerah hanya perlu melengkapi formula yang sudah ada yang selama ini dimiliki masyarakat. Ketiga, secara ekonomi, desentralisasi kelautan tersebut sangat relevan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir, khususnya nelayan. Seperti diketahui bahwa rezim sentralistik yang selama ini berkembang telah menciptakan ketidakadilan dalam akses terhadap sumberdaya. Dengan berlangsungnya otonomi daerah maka daerah akan memperoleh manfaat dan keuntungan dari sumberdaya yang dimiliki. Pemerintah Daerah memiliki kewenangan untuk mengatur investasi perikanan di wilayah teluk. Selain itu peluang meningkatnya kesempatan pengusaha lokal atau nelayan melakukan usaha pemanfaatan sumberdaya di daerahnya akan semakin besar. Hal ini semakin jelas lagi dengan apa yang digambarkan secara implisit dalam otonomi daerah bahwa nelayan tradisional akan terlindungi dari kuatnya kapal-kapal besar yang beroperasi di wilayah pantai. Dengan demikian akan membebaskan nelayan tradisional dari persaingan yang tidak seimbang. Keempat, perlu dipahami bahwa desentralisasi pengelolaan sumberdaya ikan merupakan wujud demokratisasi. Karena, semakin terbuka kesempatan nelayan lokal berpartisipasi dalam pengelolaan sumberdaya; suatu kesempatan yang tidak pernah diperoleh selama masa sentralisme. Nilai demokratis lainnya adalah bahwa dengan desentralisasi semakin dekat jarak antara pengambil keputusan dengan nelayan lokal sehingga semakin dekat pula jarak kontrol nelayan lokal terhadap pengambil kebijakan. Dengan demikian semakin mudah 3 akses bagi nelayan untuk mengusulkan, memprotes, atau menyalurkan aspirasi terhadap suatu kebijakan. Namun demikian selama ini pengelolaan sumberdaya teluk di Indonesia belum dilakukan secara baik. Berbagai instansi atau stakeholders yang memiliki kepentingan terhadap sumberdaya ikan di teluk tersebut cenderung berjalan sendiri-sendiri dalam mengelola sumberdaya. Sehingga tidak jarang benturan berbagai kepentingan tersebut berujung pada terjadinya konflik antar stakeholders. Misalnya yang terjadi di Teluk Palabuhanratu. Teluk Palabuhanratu di Perairan Kabupaten Sukabumi memiliki potensi sumberdaya ikan yang bisa dikembangkan lebih lanjut. Berdasarkan hasil perhitungan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sukabumi Tahun 2003 diketahui potensi lestari perikanan tangkap di Kabupaten Sukabumi adalah 11.827 ton, dengan uraian ikan pelagis besar 9.245 ton/tahun, ikan pelagis kecil 1.060 ton/tahun dan ikan demersal 1.220 ton/tahun. Tingkat Pemanfaatan untuk masingmasing sumberdaya saat ini adalah ikan pelagis besar 2.719 ton, ikan pelagis kecil 564 ton dan ikan demersal 302 ton. Sementara itu keterlibatan para stakeholders perikanan yang ada di sekitar Teluk Palabuhanratu dalam pemanfaatan sumberdaya ikan sudah berlangsung lama. Para stakeholders yang terlibat tersebut terdiri dari masyarakat lokal, pemerintah daerah, pemerintah pusat dan swasta. Beberapa hasil studi menunjukan bahwa stakeholders yang terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu terdiri dari nelayan, juragan, bakul (pengumpul ikan), LEPP-M3R (Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina Ratu), TPI, Bank, KUD dan Pemerintah Daerah. Banyaknya stakeholders yang berkepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut maka diperlukan suatu sistem pengelolaan sumberdaya ikan yang terintegrasi. Selama ini keberadaan masing-masing stakeholders tersebut terkesan berjalan sendiri-sendiri. Sehingga dalam beberapa kasus pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu sering menimbulkan konflik antar stakeholders. Misalnya sampai akhir tahun 2005 terjadi konflik antara nelayan bagan dengan nelayan payang dalam pemanfaatan sumberdaya ikan. 4 Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak Dinas Kelautan dan Perikanan (2006), konflik tersebut dilatarbelakangi oleh terus menurunnya hasil tangkapan kedua kelompok nelayan tersebut. Penurunan hasil tangkapan tersebut menurut nelayan bagan disebabkan oleh banyaknya nelayan payang yang melakukan penangkapan di Teluk Palabuhanratu. Sementara itu nelayan payang menganggap bahwa penurunan hasil tangkapan tersebut disebabkan oleh banyaknya nelayan bagan yang melakukan penangkapan ikan. Selain itu juga potensi konflik pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu terjadi antara nelayan yang menggunakan perahu congkreng2 (perahu kecil) dengan nelayan yang memiliki perahu berkapasitas besar. Potensi konflik tersebut disebabkan oleh pemasangan rumpon-rumpon ikan oleh para nelayan besar. Sementara para nelayan kecil tidak diperbolehkan menangkap ikan di sekitar rumpon milik nelayan besar tersebut. Menurut catatan Pikiran Rakyat (2005), kehadiran rumpon-rumpon milik para nelayan besar di Teluk Palabuhanratu telah menyebabkan nelayan kecil mengalami penurunan hasil tangkapan. Sementara itu berdasarkan hasil penelitian Herwening (2003) menunjukan bahwa implikasi kegiatan modernisasi perikanan di Palabuhanratu telah menimbulkan berbagai potensi konflik, yaitu pertama, potensi konflik antar armada perikanan, meliputi potensi konflik pemanfaatan wilayah antara bagan apung dengan perahu congkreng dan potensi konflik sumberdaya antara bagan apung dengan perahu payang. Kehadiran longline juga menyebabkan potensi konflik pemanfaatan wilayah dengan kapal motor gillnet dan dengan perahu congkreng. Kedua, potensi konflik dalam pola hubungan produksi, meliputi hubungan antara pemilik modal dengan pemilik perahu, pemilik kapal dan anak buah kapal (ABK), yang ditunjukkan oleh adanya gejala eksploitasi. Seiring dengan peningkatan teknologi maka ketimpangan pendapatan antara pemilik alat produksi dengan ABK semakin lebar, tetapi hal ini tidak menyebabkan gejala polarisasi nelayan. Komunitas nelayan terdiferensiasi lebih kompleks menyebabkan perubahan pada pola stratifikasi. 2 Nama lokal untuk perahu ukuran kecil dengan menggunakan motor tempel. sehingga 5 Berdasarkan uraian diatas maka pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu perlu dilakukan dengan sistem kelembagaan yang kuat. Hal ini dimaksudkan agar pengelolaan sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu dapat berjalan secara berkelanjutan dan bertanggungjawab. Selain itu juga keberadaan sistem kelembagaan yang kuat diharapkan dapat berdampak terhadap menurunnya tingkat konflik antar nelayan dalam upaya memanfaatkan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Perumusan Masalah Pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu selama ini belum berlangsung dengan optimal. Akibatnya berbagai kasus degradasi sumberdaya ikan kerap kali terjadi pada beberapa kelompok sumberdaya ikan. Hasil penelitian Wahyudin (2005) menunjukan bahwa laju degradasi sumberdaya ikan pelagis kecil di Teluk Palabuhanratu per tahun adalah sebesar 61,86 persen. Hal ini menunjukan bahwa ikan pelagis kecil di perairan Teluk Palabuhanratu mengalami tekanan yang cukup besar yang disinyalir akibat tingginya aktivitas perikanan di sekitar perairan ini. Sementara itu laju degradasi ikan demersal menunjukan relatif tidak mengalami degradasi. Hal ini ditandai dengan nilai rata-rata koefisien degradasi yang hanya sebesar 22,04 persen per tahun. Wahyudin (2005) lebih lanjut menyimpulkan bahwa berdasarkan hasil perhitungan alokasi optimum sumberdaya ikan di perairan Teluk Palabuhanratu menunjukan bahwa tangkapan optimal per trip setingkat bagan untuk menangkap ikan pelagis kecil adalah sebanyak 113,33 kilogram. Sedangkan tangkapan optimal per trip setingkat pancing untuk menangkap ikan demersal adalah sebanyak 245,18 kilogram. Oleh sebab itu Wahyudin (2005) menyarankan bahwa jumlah alat tangkap optimal berdasarkan analisis dinamik adalah sebanyak 43 unit alat tangkap setingkat bagan untuk menangkap ikan pelagis kecil dan sebanyak 38 unit alat tangkap setingkat pancing untuk menangkap ikan demersal. Sementara itu data Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sukabumi (2004) menunjukan bahwa jumlah alat tangkap Payang adalah sebanyak 120 unit, pancing ulur sebanyak 119 unit dan pancing lainnya sebanyak 647 unit. Dengan demikian apabila hal ini tidak secepatnya ditanggulangi maka dikhawatirkan akan 6 menimbulkan permasalahan ekonomi yang lebih besar di perairan Teluk Palabuhanratu. Menurut Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sukabumi (2005) sampai saat ini masih sering terjadi konflik antara nelayan bagan dengan nelayan payang dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan. Hal ini disebabkan oleh semakin menipisnya hasil tangkapan mereka sehingga menurunkan pendapatan ekonomi para nelayan. Kusnadi (2002) menyatakan bahwa secara umum keadaan sumberdaya di suatu kawasan dipengaruhi oleh enam faktor utama, yaitu pranata-pranata pengelolaan sumberdaya lokal, konteks sosial budaya, kebijakan negara, variabelvariabel teknologis, tingkat tekanan pasar dan tekanan penduduk. Keenam faktor tersebut dapat mempengaruhi secara langsung terhadap keadaan sumberdaya atau tidak langsung dengan diperantarai oleh pranata-pranata lokal. Berdasarkan permasalahan tersebut timbul dua pertanyaan, yaitu pertama bagaimana peran lembaga yang ada di Palabuhanratu dalam pengelolaan sumberdaya ikan sehingga terjadi degradasi sumberdaya ikan. Kedua, bagaimana peran kelembagaan dalam mengatasi konflik perebutan sumberdaya ikan antar nelayan di Teluk Palabuhanratu. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengidentifikasi dan menganalisis peran lembaga yang ada di Teluk Palabuhanratu dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan; 2. Menganalisis tatanan kelembagaan tersebut dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan; 3. Menganalisis secara ekonomi sistem kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu; 4. Mendesain kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Ikan di Teluk Palabuhanratu. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan sumbangan pemikiran secara akademis yang lebih komprehensif untuk memahami sistem kelembagaan 7 yang baik untuk pengelolaan dan pemanfaatan potensi ekonomi sumberdaya perikanan di wilayah teluk, khususnya di Teluk Palabuhanratu. Output dari penelitian ini adalah dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas mengenai pentingnya sistem kelembagaan yang kuat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah Teluk Palabuhanratu. Pada level pragmatis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan kepada pemerintah khususnya pemerintah daerah Kabupaten Sukabumi serta pemerintah pusat khususnya Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) untuk dijadikan acuan dalam menyusun kebijakan pembangunan kawasan pesisir dan masyarakat pesisir terutama dalam pengembangan desa-desa nelayan serta pengentasan kemiskinan nelayan. Dengan demikian kebijakan yang dilahirkan dapat memberikan dampak yang signifikan dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat pesisir terutama nelayan tradisonal dan keberlanjutan sumberdaya perikanan di Kabupaten Sukabumi. 8 TINJAUAN PUSTAKA Perikanan Sebagai Sebuah Sistem Satu hal yang banyak menimbulkan salah persepsi di kalangan publik bahkan dari kalangan akademisi adalah bahwa perikanan dan kelautan dianggap sebagai komoditas semata. Hal ini tidak terlepas dari pandangan klasik tentang struktur produksi ekonomi yang menempatkan perikanan, pertanian, kehutanan, dan peternakan sebagai primary sector yang berkonotasi pada produksi “komoditas” belaka. Padahal sejarah membuktikan bahwa perikanan merupakan kegiatan ekonomi yang memiliki banyak keterkaitan langsung (direct interlinkages) antar faktor penyusunnya yaitu ekosistem, ekonomi, dan komunitas serta institusi yang terkait dengannya. Keempat dimensi dengan segenap dinamikanya tersebut tidak dapat dipisahkan dalam semua pembicaraan tentang perikanan dan kelautan (Hanna 1999 dalam Adrianto 2005). Charles (2001) dalam Adrianto (2005) menguraikan pentingnya pendekatan sistem bagi pengelolaan sumberdaya ikan. Hall and Day (1977) menganggap bahwa : “any phenomenon, either structural or functional, having at least two separable components and some interactions between these components” dapat dianggap sebagai sebuah sistem. Dalam konteks ini, perikanan, by nature, adalah sebuah sistem karena banyak faktor dan fenomena yang terkait secara bersamasama dan saling bergantung (inter-dependencies) di dalamnya (Gambar 1). MANAGEMENT SYSTEM NATURAL ECOSYSTEM Policy Management fish population HUMAN SYSTEM Development Research aquatic environment Harvesters external forces (e.g. government downizing) external forces (e.g. climate changes) Comm. Post Harvest external forces (e.g. macroeconomics policy) Gambar 1. Perikanan Sebagai Sebuah Sistem (Charles 2001) 9 Charles (2001) menegaskan bahwa sistem perikanan merupakan sebuah kesatuan dari 3 komponen utama yaitu (1) sistem alam (natural system) yang mencakup ekosistem, ikan dan lingkungan biofisik; (2) sistem manusia (human system) yang terdiri dari unsur nelayan atau petani ikan, pelaku pasar dan konsumen, rumah tangga perikanan dan komunitas pesisir serta lingkungan sosial, ekonomi dan budaya yang terkait dengan sistem ini; (3) sistem pengelolaan perikanan (fishery management system) yang mencakup unsur-unsur kebijakan dan perencanaan perikanan, pembangunan perikanan, rejim pengelolaan perikanan, dan riset perikanan. Dalam konteks ini maka dapat dikatakan bahwa sistem perikanan adalah sistem yang kompleks. Dengan menggunakan perspektif informal, sistem dikatakan kompleks apabila struktur dan fungsi dari sistem tersebut tidak diketahui dengan baik sebagaimana terjadi untuk sistem perikanan. Selain itu, definisi kompleks adalah apabila sistem tersebut memiliki sejumlah unsur yang terkait satu sama lain secara dinamik maupun statis. Semakin banyak jumlah unsur dalam struktur sebuah sistem maka semakin kompleks sistem tersebut (Charles 2001 dalam Adrianto 2005). Common Pool Resource Kegagalan pasar (market failure) akan terjadi dalam alokasi sumberdaya pada saat hak-hak pemilikan yang melekat kepada sumberdaya tertentu tidak terdefinisikan secara lengkap atau tidak memiliki salah satu dari keempat komponen hak kepemilikan. Sumberdaya yang tidak memiliki satupun dari keempat komponen hak-hak pemilikan disebut sebagai sumberdaya bersama (common pool resources). Sumberdaya bersama adalah sumberdaya yang tidak dimiliki atau diawasi secara eksklusif oleh satu orang pemilik atau satu kelompok pemilik. Oleh karena itu, pihak-pihak yang terlibat dalam pemanfaatannya tidak memiliki kendali dan tanggungjawab yang jelas terhadap kualitas dan prospek sumberdaya tersebut, sehingga tidak memiliki insentif untuk membuat keputusan investasi dan alokasi sumberdaya yang efisien. Karena sumberdaya bersama ini tidak dikuasai oleh perorangan atau agen ekonomi tertentu, maka akses terhadap sumberdaya ini tidak dibatasi sehingga mendorong terjadinya eksploitasi yang berlebihan dan berdampak negatif terhadap lingkungan. Eksploitasi sumberdaya 10 bersama ini cenderung menguntungkan siapa yang duluan dan mengeruk terusmenerus manfaat (keuntungan) yang bisa diperoleh dengan mengabaikan pihak lain dan efek yang ditimbulkannya. Tidaklah terlalu sukar untuk mencari contohcontoh sumberdaya bersama ini, seperti misalnya sumberdaya ikan, hutan, irigasi dan padang penggembalaan (Dharmawan dan Daryanto 2002). Masalah yang timbul sehubungan dengan sumberdaya bersama adalah adanya pendapat masyarakat yang mengatakan bahwa (a) “milik semua orang itu berarti bukan milik siapa-siapa (everyone’s property is no one’s property and no one’s property is every one property)”, (b) “dapatkan sumberdaya itu selagi masih dalam keadaan baik”, dan (c) “mengapa kita harus menghemat penggunaan sumberdaya sedangkan orang lain menghabiskannya”?. Pertanyaan-pertanyaan semacam ini cenderung menyebabkan penggunaan sumberdaya bersama secara berlebih-lebihan atau menghabiskan sumberdaya secara cepat bahkan menghancurkan sumberdaya alam yang dapat diperbarui sekalipun (Dharmawan dan Daryanto 2002). Masalah lain yang menyebabkan kegagalan pasar dalam mengalokasikan faktor-faktor produksi secara efisien adalah adanya apa yang disebut sebagai dampak sampingan (third party’s effect) atau eksternalitas. Eksternalitas timbul karena tindakan konsumsi atau produksi dari satu pihak mempunyai pengaruh terhadap pihak lain dan tidak ada kompensasi yang dibayar oleh pihak yang menyebabkan atau kompensasi yang diterima oleh pihak yang terkena dampak tersebut. Contoh klasik tentang bagaimana eksternalitas terjadi pada kasus sumberdaya bersama adalah seperti yang diperkenalkan oleh Hardin (1986) yang dikenal dengan istilah tragedi kebersamaan (the Tragedy of the Commons). Dalam kasus sumberdaya ikan sebagai sumberdaya bersama, hak pemilikan tidak dapat diberikan kepada satu individu melainkan diberikan kepada sekelompok masyarakat. Oleh karena manfaat sumberdaya ikan tidak hanya dirasakan satu individu saja, maka tidak seorang pun yang dapat menjual hak kepemilikannya. Dalam hal seperti ini, maka tidak ada pasar untuk sumberdaya ikan tersebut. Oleh karena setiap orang dapat memanfaatkan sumberdaya ikan, maka setiap orang akan cenderung untuk menggunakan sungai atau laut bebas secara berlebihlebihan (over used, over exploited) (Dharmawan dan Daryanto 2002). 11 Dengan adanya pengambilan bebas atas sumberdaya bersama ini jelas tidak akan memberikan insentif untuk mempraktikkan penangkapan ikan secara selektif, pengembangbiakan buatan, yang dampaknya bersifat jangka panjang terhadap populasi ikan. Dalam hal pemilikan bersama, apabila seseorang yang merasakan manfaat untuk mengembangbiakan populasi ikan, berarti orang lain juga akan menerima manfaat tanpa harus ikut menanggung biayanya yang disebut dengan free riders (pengguna bebas). Dalam literatur ekonomi, pengguna bebas adalah suatu sikap yang tidak menyatakan dengan sebenarnya manfaat suatu barang atau jasa dengan maksud agar ia dapat memanfaatkan barang tersebut tanpa harus membayarnya atau tanpa ikut menanggung biaya pengadaan barang atau jasa tersebut. Bagi setiap individu sikap untuk menjadi free rider merupakan tindakan yang rasional, akan tetapi apabila semua orang bertindak sebagai frre riders maka semua orang akan rugi. Tragedi kebersamaan, seperti yang diuraikan di atas, timbul karena pengguna atau kelompok pengguna tidak mau bekerjasama, dan hanya mengejar kepentingan pribadi (Dharmawan dan Daryanto 2002). Dalam kasus tragedi kebersamaan dalam sektor perikanan seperti yang didiskusikan di atas, maka pemerintah harus melakukan pengaturan atas penggunaaan sumberdaya ikan. Jadi peranan pemerintah adalah mengalokasikan penggunaan sumberdaya bersama agar tercapai kepuasan bersama yang optimal dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Adanya kegagalan pasar (market failure) merupakan salah satu sebab mengapa pemerintah harus turun tangan dalam perekonomian agar kesejahteraaan masyarakat dapat tercapai secara optimal. Walaupun demikian, tidak selamanya campur tangan pemerintah menyebabkan peningkatan kesejahteraan masyarakat, bahkan secara sistematis senantiasa terjadi kegagalan pemerintah (government failures). Kegagalan pemerintah banyak diakibatkan karena adanya tarikan kepentingan pemerintah sendiri atau kelompok tertentu yang tidak mendorong efisiensi dan berwawasan lingkungan. Kelompok tertentu ini memanfaatkan pemerintah untuk mencari keuntungan (rent seeking) melalui proses politik melalui kebijaksanaan dan sebagainya. Faktor-faktor lain yang mengakibatkan adanya kegagalan pemerintah adalah: (a) informasi yang terbatas, pengawasan 12 yang terbatas, kemampuan implementasi yang rendah, hambatan dalam proses politik, dan rendahnya motivasi (Dharmawan dan Daryanto 2002). Banyak pihak yang meyakini bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan yang bersifat bersama (common property resources) mengarah kepada eksploitasi yang berlebihan, cenderung menghabiskan sumberdaya alam secara cepat dan dapat menjadikan biaya penangkapan semakin mahal. Keyakinan adanya terjadinya tindakan deplisi seperti ini dilandasi oleh Teori Hardin tentang tragedi kebersamaan, seperti yang dijelaskan di atas. Teori ini menyatakan bahwa adanya kebebasan dalam mengakses sumberdaya milik bersama akan menghancurkan atau merugikan semuanya (freedom of the commons brings ruin to all). Teori ini dilandasi oleh asumsi bahwa ketika sumberdaya terbatas jumlahnya dan dimiliki bersama, setiap individu mempunyai rasionalitas untuk memanfaatkannya secara berlebihan, walaupun pemanfaatan semacam ini pada akhirnya merugikan semua pihak. Solusi terhadap masalah tregedi bersama ini adalah privatisasi sumberdaya milik bersama atau dipertahankan sifatnya sebagai sumberdaya milik bersama, hanya saja hak-hak penggunaannya diatur melalui kebijaksanaaan privatisasi atau pengawasan pemerintah (Dharmawan dan Daryanto 2002). Berkes et.al (1989) tidak setuju dengan model Hardin berargumen bahwa teori Hardin tidak cocok menjelaskan setidaknya empat kriteria. Pertama, dengan menyamakan common property dengan open acces, ia mengatakan bahwa hak milik tidak ada. Kedua, teori itu mengasumsikan bahwa kepentingan individu tidak dibatasi oleh pengaturan institusi yang ada. Ketiga, pengguna atau pemakai sumberdaya alam tidak dapat bekerjasama untuk kepentingan bersama mereka. Dan, keempat, solusi yang ditawarkan model Hardin ini terlalu terbatas. Dalam kasus ini, privatisasi atau kontrol pemerintah bukan satu-satunya pilihan kebijakan yang tersedia. Berkes et.al (1989) dan Feeny et.al (1990) menyatakan bahwa common proerty resource mengandung dua karakteristik penting yakni (a) excludability atau kontrol terhadap akses oleh pemakai potensial (potential users) nampaknya tidak dimungkinkan; (b) subtractability, yaitu pemakai dapat mengurangi kesejahteraan orang lain. 13 Konsep Transaksi Williamson (1985) menyatakan bahwa suatu transaksi terjadi manakala suatu jasa atau kebaikan ditransfer melalui teknologi penghubung yang dapat dipisah-pisah. Furubotn (1998) menyatakan bahwa menurut penafsiran ini, istilah transaksi hanya terbatas ke situasi di mana sumberdaya benar-benar ditransfer di dalam pengertian penyerahan fisik. Penyerahan seperti itu boleh terjadi di dalam perusahaan atau diluar perusahaan. Gagasan dasar dari transaksi dalam perusahaan diuraikan oleh Smith (1776) melalui contoh pembuatan pin/lencana. Ia mencatat bahwa pekerjaan dari pembuat pin/lencana adalah dibagi menjadi sejumlah operasi. Dalam contoh tersebut telah jelas bahwa “ transaksi” berlangsung setiap kali suatu pin berpindah tangan di dalam pabrik. Objek perhatian dalam analisa ekonomi kelembagaan adalah tidak hanya transaksi ekonomi tetapi juga yang lainnya, yaitu tindakan sosial (Weber 1968). Tindakan sosial diperlukan untuk menetapkan, memelihara, atau merubah hubungan sosial. Dalam hal ini, transaksi ekonomi adalah semacam transaksi sosial atau tindakan sosial yang penting bagi pemeliharaan dan formasi dari kerangka kelembagaan di mana kegiatan ekonomi terjadi. Konsep Biaya Transaksi (Transaction Costs) Furubotn & Richter (2000) menyatakan bahwa biaya transaksi adalah ongkos untuk menggunakan pasar (market transaction costs) dan biaya melakukan hak untuk memberikan pesanan di dalam perusahaan (managerial transaction costs). Disamping itu, ada juga rangkaian biaya yang diasosiasikan untuk menggerakkan dan menyesuaikan dengan kerangka politik kelembagaan (political transaction costs). Untuk masing-masing tiga jenis biaya transaksi tersebut dapat dibedakan menurut dua tipe, yaitu (1) biaya transaksi tetap (fixed transaction cost), yaitu investasi spesifik yang dibuat dalam menyusun kesepakatan kelembagaan (institutional arrangements); dan (2) biaya transaksi variabel (variable transaction cost) , yaitu biaya yang tergantung pada jumlah atau volume transaksi. 14 Yustika (2006) menyatakan bahwa pada poin ini, sifat dari biaya transaksi sama dengan ongkos produksi. Pada keduannya mengenal konsep biaya tetap dan biaya variabel. Akan tetapi, dalam identifikasi yang mendalam, tentu membedakan antara biaya tetap dan variabel dalam biaya transaksi tidak semudah apabila membandingkannya dalam biaya produksi.. Biaya Transaksi Pasar (Market Transaction Costs) Furubotn & Richter (2000) menyatakan ada tiga tipe biaya transaksi pasar, yaitu : - Biaya untuk menyiapkan kontrak (secara sempit dapat diartikan sebagai biaya untuk pencarian dan informasi)2. - Biaya untuk mengeksekusi kontrak (biaya negosiasi dan pengambilan keputusan)3. - Biaya pengawasan (monitoring) dan pemaksaan kewajiban yang tertuang dalam kontrak (enforcing the contractual obligations)4. Biaya Transaksi Manajerial (Managerial Transaction costs) Furubotn & Richter (2000) menyatakan ada dua tipe biaya transaksi manajerial, yaitu : - Biaya penyusunan (setting up), pemeliharaan, atau perubahan desain organisasi. Ongkos ini juga berhubungan dengan biaya operasional yang lebih luas5, yang biasanya secara tipikal masuk dalam fixed transaction cost; 2 Yustika (2006) menyatakan bahwa biaya ini dapat muncul karena individu/perusahaan membuat pengeluaran secara langsung (misalnya untuk iklan, mengunjungi pelanggan yang prospektif dan sebagainya), atau biaya yang muncul secara tidak langsung melalui kreasi pasar yang terkoordinasi. Juga termasuk dalam kategori ini adalah biaya komunikasi diantara pihak-pihak yang dianggap prospektif untuk melakukan pertukaran. 3 Yustika (2006) menyatakan bahwa biaya-biaya yang masuk dalam kategori ini berhubungan dengan pengeluaran yang harus dibuat ketika kontrak yang ditulis dan pihak-pihak yang berkepentingan harus menawarkan dan bernegosiasi tentang penetapan biaya ini. Biaya keputusan meliputi biaya pengumpulan informasi, kompensasi yang dibayar kepada penasehat (advisor), biaya untuk menyepakati keputusan di dalam kelompok dan sebagainya. 4 Yustika (2006) menyatakan bahwa biaya-biaya ini muncul karena kebutuhan untuk mengawasi waktu pengiriman yang disetujui, mengukur kualitas dan jumlah produk dan sebagainya. 5 Yustika (2006) menyatakan bahwa yang termasuk biaya ini adalah biaya manajemen personal, investasi teknologi informasi, mempertahankan terhadap proses pengambilalihan, hubungan masyarakat dan lobi. 15 - Biaya menjalankan organisasi, yang kemudian dapat dipilah menjadi dua subkategori, yaitu (a) biaya informasi6; dan (b) biaya yang diasosiasikan dengan transfer fisik barang dan jasa yang divisinya terpisah7. Biaya Transaksi Politik (Political Transaction Cost) Furubotn & Richter (2000) menyatakan bahwa biaya ini berhubungan dengan penyediaan organisasi dan barang publik yang diasosiasikan dengan aspek politik. Secara umum, biaya transaksi ini adalah biaya penawaran barang publik yang dilakukan melalui tindakan kolektif (collective action), dan dapat dianggap sebagai analogi dari biaya transaksi manajerial. Secara khusus biaya ini meliputi : ƒ Biaya penyusunan, pemeliharaan dan perubahan organisasi politik formal dan informal8; ƒ Biaya untuk menjalankan politik . Biaya ini adalah pengeluaran masa sekarang untuk hal-hal yang berkaitan dengan “tugas kekuasaan”9. Biaya Transaksi dalam Ko-Manajemen Perikanan Abdullah et.al (1998) mengelompokkan biaya transaksi dalam komanajemen perikanan menjadi tiga kategori, yaitu (i) biaya informasi, (ii) biaya pengambilan keputusan bersama, dan (iii) biaya operasional. Kategori pertama dan kedua merupakan biaya transaksi sebelum kegiatan kontrak (ex ante transaction cost) sedangkan kategori ketiga merupakan biaya transaksi sesudah kegiatan konrak (ex post transaction cost). Masing-masing kategori memiliki beberapa turunan aktivitas yang memungkinkan terdapatnya biaya transaksi. Pertama, biaya informasi mencangkup beberapa aktivitas, yaitu (a) upaya untuk mencari dan memperoleh pengetahuan tentang sumberdaya, (b) memperoleh dan menggunakan informasi, 6 Yustika (2006) menyatakan bahwa yang termasuk dalam biaya ini adalah biaya untuk membuat keputusan, pengawasan pelaksanaan pesanan, pengukuran kinerja pekerja, biaya agensi, biaya manajemen informasi dan sebagainya. 7 Contohnya adalah biaya waktu menganggur dalam menangani produk setengah jadi dan biaya transpor di dalam perusahaan. Yustika (2006). 8 Termasuk disini adalah biaya yang berhubungan dengan pengembangan kerangka umum, struktur administrasi, militer, sistem pendidikan dan pengadilan. Yustika (2006). 9 Termasuk dalam biaya ini adalah pengeluaran sekarang untuk legislasi, pertahanan, administrasi pengadilan dan pendidikan. 16 dan (c) biaya penyusunan strategi dan free riding. Kedua, biaya pengambilan keputusan bersama mencangkup beberapa aktivitas, yaitu (a) menghadapi permasalahan di bidang perikanan, (b) keikutsertaan dalam pertemuan atau rapat, (c) membuat kebijakan atau aturan, (d) menyampaikan hasil keputusan, dan (e) melakukan koordinasi dengan pihak yang berwenang di tingkat lokal dan pusat. Ketiga, sementara biaya operasional bersama dalam ko-manajemen perikanan dijabarkan lagi menjadi tiga kelompok biaya, masing-masing kelompok mencangkup beberapa kegiatan. Ketiga kelompok biaya tersebut adalah : 1) Biaya pemantauan, penegakan dan pengendalian terdiri dari pemantauan aturan-aturan perikanan, pengelolaan laporan hasil tangkapan, pemantauan lokasi penangkapan, pemantauan input untuk kegiatan penangkapan, manajemen atau resolusi konflik, serta pemberian sanksi terhadap setiap pelanggaran; 2) Biaya mempertahankan kondisi sumberdaya terdiri dari perlindungan terhadap hak-hak penangkapan, peningkatan stok sumberdaya, dan evaluasi terhadap kondisi sumberdaya; 3) Biaya distribusi sumberdaya terdiri dari distribusi hak penangkapan, dan biaya kelembagaan atau keikutsertaan. Secara lengkap jabaran biaya transaksi dalam pengelolaan sumberdaya ikan dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Skema Biaya Transaksi dalam Ko-manajemen Perikanan (Abdullah et.al 1998) 17 Cost Effectiveness Analysis (CEA) Cost effectiveness analsis (CEA) adalah suatu teknik untuk memilih berbagai pilihan strategi dengan keterbatasan sumberdaya. Partowidagdo (1999) menyatakan bahwa CEA digunakan apabila sulit untuk memberikan nilai uang pada manfaat. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Tarigan (2006) yang menyatakan bahwa CEA umumnya digunakan untuk mengevaluasi kegiatankegiatan proyek pemerintah yang data manfaatnya sulit untuk dihitung atau proyek tersebut merupakan kebijakan pemerintah (keputusan politik) yang harus dilaksanakan. Misalnya kebijakan pemerintah adalah penanggulangan kemiskinan, pemenuhan gizi balita, pemberdayaan perempuan, pemerataan pendapatan/pembangunan, sosialisasi peraturan pemerintah dan penyuuhan hukum. Tarigan (2006) menyatakan bahwa dalam cost effectiveness analsis (CEA) terlebih dahulu harus ditetapkan target yang ingin dicapai, kemudian dicari berbagai alternatif yang mampu mencapai target tersebut. Dari alternatif yang tersedia, dipilih yang memerlukan biaya terendah. Lebih lanjut Tarigan (2006) menyatakan bahwa untuk mengukur apakah suatu proyek benar-benar memberikan dampak (berguna), dapat dibandingkan kondisi/sikap masyarakat antara sebelum dan sesudah proyek. Teori Kelembagaan Keyakinan bahwa kelembagaan (institutions) dapat menjadi sumber efisiensi dan kemajuan ekonomi telah diterima oleh sebagian besar ekonom, bahkan yang paling liberal sekalipun. Hanya saja, sampai saat ini masih belum terdapat kejelasan mengenai makna dan definisi dari kelembagaan (Yustika 2006). Veblen (1934) memusatkan perhatiannya pada dikotomi antara bisnis dan aspek industrial dalam perekonomian, yang selanjutnya fokus kajiannya mengembangkan dikotomi antara kelembagaan dan teknologi. Dalam penjelasan yang lebih mendalam, Veblen memfokuskan kepada investigasi efek teknologi baru terhadap skema kelembagaan, serta mendeskripsikan bagaimana kesepakatan-kesepakatan sosial (social conventions) dan kelompok kepentingan (vested interest) dimapankan untuk menolak perubahan. 18 Commons (1931) lebih berkonsentrasi kepada hukum, hak kepemilikan (property rights), dan organisasi yang memiliki implikasi terhadap kekuatan ekonomi, transaksi ekonomi, dan distribusi pendapatan. Di sini, kelembagaan dilihat sebagai pencapaian dari proses formal dan informal dari resolusi konflik. Ostrom (1985) mendefinisikan kelembagaan sebagai aturan dan ramburambu sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota suatu kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling tergantung satu sama lain. Penataan institusi (institutional arrangements) dapat ditentukan oleh beberapa unsur, yaitu aturan operasional untuk pengaturan pemanfaatan sumberdaya, aturan kolektif untuk menentukan, menegakan hukum atau aturan itu sendiri dan untuk merubah aturan operasional serta mengatur hubungan kewenangan organisasi. Williamson (1985) menyatakan bahwa kelembagaan mencakup penataan institusi (institutional arrangement) untuk memadukan organisasi dan institusi. Penataan institusi adalah suatu penataan hubungan antara unit-unit ekonomi yang mengatur cara unit-unit ini apakah dapat bekerjasama dan atau berkompetisi. Dalam pendekatan ini organisasi adalah suatu pertanyaan mengenai aktor atau pelaku ekonomi di mana ada kontrak atau transaksi yang dilakukan dan tujuan utama kontrak adalah mengurangi biaya transaksi (Williamson 1985). Bardhan (1989) menyatakan bahwa kelembagaan akan lebih akurat bila didefinisikan sebagai aturan-aturan sosial, kesepakatan dan elemen lain dari struktur kerangka kerja interaksi sosial. North (1990) memperdalam lagi tentang definisi kelembagaan, menurut North kelembagaan merupakan aturan main di dalam suatu kelompok sosial dan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi, sosial dan politik. Institusi dapat berupa aturan formal atau dalam bentuk kode etik informal yang disepakati bersama. North membedakan antara institusi dari organisasi dan mengatakan bahwa institusi adalah aturan main sedangkan organisasi adalah pemainnya. Manig (1991) mencatat bahwa kelembagaan merefleksikan sistem nilai dan norma dalam masyarakat, tetapi nilai dan norma tersebut bukanlah kelembagaan itu sendiri. Sementara itu, Rutherford (1994) menyatakan bahwa kelembagaan dapat dimaknai sebagai regulasi perilaku yang secara umum diterima oleh 19 anggota-anggota kelompok sosial, untuk perilaku spesifik dalam situasi yang khusus, baik yang diawasi sendiri maupun dimonitor oleh otoritas luar. Pada tahun yang sama, North (1994) memaknai kelembagaan sebagai aturan-aturan yang membatasi perilaku menyimpang manusia untuk membangun struktur interaksi politik, ekonomi dan sosial. Pejovich (1999) menyatakan bahwa kelembagaan memiliki tiga komponen, yakni : 1. Aturan formal (formal institutions), meliputi konstitusi, statuta, hukum dan seluruh regulasi pemerintah lainnya. Aturan formal membentuk sistem politik (struktur pemerintahan, hak-hak individu), sistem ekonomi (hak kepemilikan dalam kondisi kelangkaan sumberdaya, kontrak), dan sistem keamanan (peradilan, polisi) 2. Aturan informal (informal institutions), meliputi pengalaman, nilai-nilai tradisional, agama dan seluruh faktor yang mempengaruhi bentuk persepsi subjektif individu tentang dunia tempat hidup mereka; dan 3. Mekanisme penegakan (enforcement mechanism), semua kelembagaan tersebut tidak akan efektif apabila tidak diiringi dengan mekanisme penegakan10. Tiga Lapisan Kelembagaan Berdasarkan berbagai definisi yang telah diungkapkan oleh para ahli terlihat bahwa sebenarnya definisi kelembagaan tergantung darimana orang melihatnya, makro atau mikro. Dari sekian banyak pembatasan tentang kelembagaan, minimal ada tiga lapisan kelembagaan yang terkait dengan ekonomi politik, yaitu kelembagaan sebagai norma-norma dan konvensi, kelembagaan sebagai aturan main dan kelembagaan sebagai hubungan kepemilikan (Deliarnov 2006). Kelembagaan Sebagai Norma-Norma dan Konvensi Kelembagaan sebagai norma-norma dan konvensi ini lebih diartikan sebagai aransemen berdasarkan konsesus atau pola tingkah laku dan norma yang 10 Di sini harus dibedakan secara tegas antara kelembagaan dan organisasi. Jika kelembagaan adalah seperangkat aturan, regulasi dan mekanisme penegakan, maka organisasi adalah individu atau kelompok yang berkumpul bersama untuk mencapai sebuah tujuan. 20 disepakati bersama. Norma dan konvensi umumnya bersifat informal, ditegakan oleh keluarga, masyarakat, adat dan sebagainya (Deliarnov 2006). Hampir semua aktivitas manusia memerlukan konvensi-konvensi pengaturan yang memfasilitasi proses-proses sosial, dan begitu juga dalam setiap seting masyarakat diperlukan seperangkat norma-norma tingkah laku untuk membatasi tindakan-tindakan yang diperbolehkan. Jika aturan diikuti, prosesproses sosial bisa berjalan baik. Namun jika dilanggar maka yang akan timbul hanya kekacauan dalam masyarakat (Deliarnov 2006). Kelembagaan Sebagai Aturan Main Bogason (2000) mengemukakan beberapa ciri umum kelembagaan, antara lain adanya sebuah struktur yang didasarkan pada interaksi di antara para aktor, adanya pemahaman bersama tentang nilai-nilai dan adanya tekanan untuk berperilaku sesuai dengan yang telah disepakati/ditetapkan. Kelembagaan dilihat sebagai aturan main yang memberi naungan dan sanksi terhadap individu-individu dan kelompok-kelompok dalam menentukan pilihannya. Pemaknaan seperti ini sesuai dengan pendapat Commons (1934) yang mendefinisikan kelembagaan sebagai : “…collective action in restraint, liberation, and of individual action”. Bogason (2000) menyatakan ada tiga level aturan, yaitu level aksi, level aksi kolektif dan level konstitusi. Pada level aksi, aturan secara langsung mempengaruhi aksi nyata. Dalam hal ini biasanya ada standar atau rules of conduct. Pada level aksi kolektif, kita mendefinisikan aturan untuk aksi pada masa-masa yang akan datang. Aktivitas penetapan aturan seperti ini sering juga disebut kebijakan. Terakhir, pada level konstitusi kita mendiskusikan prinsipprinsip bagi pengambilan keputusan kolektif masa yang akan datang, seperti prinsip-prinsip demokrasi. Aturan-aturan pada level konstitusi ini biasanya ditulis secara formal dan dikodifikasi. Walaupun konstitusi bukan harga mati, biasanya lebih sulit berubah. Bromley (1989) menyatakan bahwa institusi sebagai aturan main biasanya lebih formal (ditegakkan oleh aparat pemerintah) dan bersifat tertulis. Namun, ada juga kelembagaan yang tidak tertulis secara formal atau tidak dikodifikasi. Yang 21 paling dibutuhkan hanya seperangkat istilah yang membatasi sebuah struktur bagi interaksi manusia dan pemahaman bersama tentang alat-alat untuk menyelesaikan konflik di dalam struktur tersebut. Kelembagaan Sebagai Pengaturan Hubungan Kepemilikan Sebagai pengatur hubungan kepemilikan, kelembagaan dianggap sebagai aransemen sosial yang mengatur : (1) individu atau kelompok pemilik, (2) objek nilai bagi pemilik dan orang lain, serta (3) orang dan pihak lain yang terlibat dalam suatu kepemilikan (Deliarnov 2006). Alchian (1993) menyatakan bahwa ada tiga elemen utama hak kepemilikan, yaitu (1) hak eksklusif untuk memilih penggunaan dari suatu sumberdaya, (2) hak untuk menerima jasa-jasa atau menfaat dari sumberdaya yang dimiliki, dan (3) hak untuk menukarkan sumberdaya yang dimiliki sesuai persyaratan yang disepakati. Dari uraian tersebut, tersirat bahwa siapa yang memiliki suatu sumberdaya, ia yang berhak mengontrol penggunaan sumberdaya tersebut. Hingga batas-batas tertentu hal ini dapat dibenarkan. Begitupun, seseorang tidak bebas berbuat sesuka hatinya atas barang yang dimilikinya, sebab bagaimana ia memperlakukan dan menggunakan sumberdaya tersebut dinilai oleh masyarakat. Kelembagaan dalam Perikanan Jentoft (2004) menyatakan ada tiga pilar kelembagaan (aturan, normanorma dan pengetahuan) dalam manajemen perikanan, yaitu pertama pilar kebijakan (the regulative pillar). Kelembagaan dalam manajemen perikanan mengatur tentang hal-hal yang perlu dilakukan oleh para pelaku perikanan, misalnya tentang kuota penangkapan dan alat tangkap yang haru digunakan. Kedua, pilar normatif (the normative pillar). Kapan aturan dapat dilaksanakan secara baik, para pelaksana kebijakan tidak boleh putus asa dalam mengimplementasikanya. Dalam mengimplementasikan suatu aturan perikanan tidaklah hanya memperhitungkan resiko pada pihak yang mencari ikan, seperti dibantah dari suatu perspektif yang masuk akal. Hal tersebut terait dengan moral. Ketiga, pilar kognitif (the cognitive pillar). Para nelayan kadang-kadang tidak 22 menyadari aturan perikanan, karena mereka belum mengetahuinya. Aturan perikanan yang ada adalah sangat dinamis dan komplek. Hak Kepemilikan Sumberdaya Dalam literatur ekonomi sumberdaya, istilah hak pemilikan (property right) didefinisikan sebagai serangkaian hak yang menggambarkan tentang hak milik (owner”s right), keistimewaan (privileges) dan pembatasan-pembatasan dalam penggunaan sumberdaya tersebut (Tietenberg 1992). Charles (2001) mengkalisifikasikan property right menjadi dua bagian yaitu property right regim dan types of right. Sementara itu property right regim terdiri dari non property, state property, common property dan private property. Secara lengkap klasifikasi property right tersebut dapat dilihat dalam Gambar 3. Hak Kepemilikan Rezim Hak Kepemilikan Individu Tipe Hak Kepemilikan Akses terbuka Hak Pengalihan Negara Hak Ekslusif Masyarakat Hak Pengelolaan Swasta Hak Pemanfaatan Perusahaan Hak Akses Gambar 3. Klasifikasi Hak Kepemilikan (Property Rights) ( Charles 2001) Sementara itu, menurut Hanna et al. (1996) terdapat 4 tipe hak kepemilikan dalam sistem pengelolaan sumberdaya alam, yaitu: (1) hak kepemilikan pribadi (private property regime); (2) hak milik bersama (common property regime); (3) 23 hak milik negara (state property regime); dan (4) tanpa hak milik (open acces regime). Karakteristik dari masing-masing tipe rezim tersebut berdasarkan unit pemegang hak kepemilikan, dan hak pemilik, serta tugas-tugas pemilik sebagaimana diungkapkan pada Tabel 1. Tabel 1. Tipe hak kepemilikan dalam pemanfaatan sumberdaya alam berdasarkan pemilik, hak dan tugas-tugasnya Tipe ƒ Hak milik pribadi Pemilik Individu ƒ Hak bersama Kolektif ƒ Hak negara Warga negara ƒ Tidak ada hak Tidak milik ada Sumber : Hanna et al. (1996) Hak Pemilik Penggunaan SDI secara sosial diterima; kendali akses Pengaturan bukan pemilik Menentukan aturan Menangkap Kewajiban Pemilik Penghindaran pengunaan secara sosial tidak dapat diterima Pemeliharaan; menghambat tingkat penggunaan Memelihara tujuan sosial Tidak ada Sementara itu Ostrom and Schlager (1996) mengelompokan setiap individu atau kelompok berdasarkan kepada hak-hak kepemilikan terhadap sumberdaya alam menjadi lima kelompok, yaitu (Tabel 2) : 1) Owner, yaitu individu atau kelompok yang memiliki hak akses (access right), hak pemanfaatan (withdrawal right), hak manajemen (management right), hak untuk mengatur tingkat operasional hak akses (exclusion right) dan hak untuk menjual atau menyewa semua atau bagian kolektif dari sumberdaya (alienation right); 2) Proprietor, yaitu individu atau kelompok yang memiliki hak akses (access right), hak pemanfaatan (withdrawal right), hak manajemen (management right) dan hak untuk mengatur tingkat operasional hak akses (exclusion right); 3) Claimant, yaitu individu atau kelompok yang memiliki hak akses (access right), hak pemanfaatan (withdrawal right) dan hak (management right); manajemen 24 4) Authorized user, yaitu individu atau kelompok yang hanya memiliki hak akses (access right) dan hak pemanfaatan (withdrawal right); 5) Authorized entrant, yaitu individu atau kelompok yang hanya memiliki hak akses (access right) saja tanpa melikiki hak-hak yang lainnya. Tabel 2. Pengelompokan individu atau kelompok berdasarkan pada hak-hak terhadap sumberdaya alam Property Right Owner Proprietor Types Access right √ √ Withdrawal right √ √ Management √ √ right Exclusion right √ √ Alienation right √ Sumber: Ostrom and Schlager (1996) Claimant √ √ √ Authorized user √ √ Authorized entrant √ Saad (2003) mengemukakan sebuah contoh pengalihan status hak atas sumberdaya alam, dan mengenai mekanisme pengelolaan sumberdaya alam yang diserahkan oleh negara tersebut kepada kelompok masyarakat tertentu, seperti yang terjadi di Benggala Barat (India) dalam bentuk growing associations. Dengan cara melalui sistem pengalihan ini, sekelompok petani tak bertanah atau marginal diberikan petak-petak tanah untuk perkebunan. Meskipun tanah berada di bawah kekuasaan petani, tidak berarti hak milik atas tanah juga beralih kepadanya. Rezim hak penguasaan atas sumberdaya alam (lahan) tetap di tangan negara (state property regime). Sedangkan petani hanya mempunyai hak garap atau hak milik atas hasil dari tanah tersebut. Selanjutnya mengenai rezim milik swasta (private property regime), secara umum sudah diakui bahwa hak milik swasta merupakan rezim yang paling jelas di atas rezim-rezim lainnya. Rezim milik swasta tersebut meliputi hak milik individu (individual property) dan hak milik perusahaan (coorporate property). Secara yuridis dan sosiologis, hak milik swasta memungkinkan untuk memanfaatkan sumberdaya alam dengan tidak melibatkan orang lain. Bahkan, dalam upaya pemanfaatan tersebut subjek hak milik swasta dapat mengusir orang lain. Tietenberg (1992) berpandangan bahwa hak milik swasta memiliki 25 karakteristik yang sangat memadai untuk mengelola sumberdaya alam yang optimal secara ekonomis dan ekologis. Namun, menurut Bromley (1988) terdapat dua fenomena yang harus dijawab oleh penganut pandangan tersebut. Pertama, banyak perampasanperampasan sumberdaya alam (lahan) terjadi di berbagai belahan dunia bukan sebagai akibat kelangkaan persediaan tanah secara fisik, tetapi karena terjadinya konsentrasi pemilikan lahan di tangan individu-individu dari keluarga yang kuat (private property right). Bahkan, fenomena seperti ini terjadi di sebagian besar negara-negara dunia ketiga seperti Amerika Latin. Sedangkan kedua, hak milik swasta seringkali mengarah pada apa yang disebut highest and best use of land sebagian besar tanah subur menjadi padang pengembalaan, sementara tanaman pangan berada di tanah kurus- merupakan contoh mengenai hal ini. Dengan latar belakang ini, tanah terbaik telah diswastakan, sedangkan tanah yang terburuk dibiarkan menjadi public domain. Dalam pandangan Bromley (1990), yang termasuk kategori public domain adalah state property, common property (res communis) dan open access (res nulius). Bromley (1991) memberikan catatan komentar antara pengertian common property dengan open access. Common property, menurut Bromley esensinya adalah hak milik swasta dalam kelompok, dan kelompok yang menentukan siapa yang tidak diperkenankan mengambil manfaat dari sumberdaya alam “milik bersama”. Sementara itu, open access diartikan sebagai suatu situasi sumberdaya alam tanpa hak milik (no property right). Situasi tersebut muncul karena tidak adanya atau gagalnya sistem pengelolaan dan wewenang yang bertujuan menerapkan norma dan kaidah tingkah laku yang berhubungan dengan sumberdaya alam. Dengan kata lain, rezim tanpa milik (open access) sumberdaya muncul akibat gagalnya ketiga rezim sebelumnya untuk membawa misi kesejahteraan bersama. Dalam bidang perikanan kemudian muncul pendapat kelembagaan alternatif yang ketiga tentang bentuk dan subjek hak penggunaan wilayah perikanan (HPWP) sebagaimana dikemukakan oleh Christy dan Scott (1986). Saad (2003) mengemukakan bahwa Christy dan Scott (1986) yang pertama kali 26 memperkenalkan konsep pengelolaan territorial use rights in fisheries (TURFs) disertai penjelasan yang relatif komprehensif. Hak penggunaan wilayah pada perikanan (Territorial Use Rights in Fisheries, TURF) diketahui telah ada sejak berabad-abad. Secara tradisional hakhak ini timbul karena keadaan tertentu hak-hak tersebut mudah diperoleh dan dipertahankan (Christy 1987). Charles (2001) mengklasifikasikan hak penggunaan wilayah pada perikanan sebagai bagian dari hak akses terhadap sumberdaya ikan. Charles (2001) mengklasifikasikan hak pemanfaatan sumberdaya ikan menjadi dua bagian besar, yaitu hak akses dan hak menangkap. Sementara itu hak akses terdiri dari hak penggunaan wilayah perairan (Territorial Use Rights in Fisheries, TURF) dan hak akses yang terbatas. Secara jelas pengkalisikasian hak pemanfaatan sumberdaya ikan dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4. Pengklasifikasian Hak Pemanfaatan dalam Pengelolaan Perikanan Tangkap (Charles 2001) Menurut Christy dan Scott (1986), sebagai langkah awal diperlukan sedikitnya 3 macam hak yang bersifat spesifik dalam sistem pengelolaan sumberdaya ikan, yakni sebagai berikut: (1) Hak untuk menghalangi orang lain (the right of exclutions), yaitu hak untuk membatasi atau menghalangi keikutsertaan dalam wilayah perairan tertentu yang telah dijadikan objek hak. 27 (2) Hak untuk menetapkan jenis dan jumlah penggunaan sumberdaya ikan dalam wilayah perairan tersebut. (3) Hak untuk mengambil derma (the right to extract benefits). Derma dapat diperoleh antara lain, melalui penarikan pungutan laut (sea rent) dari pemakai sumberdaya ikan dan bisa juga melalui penarikan pajak atau sewa maupun penjualan dari hak-hak itu. Di dunia regime pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan (perikanan laut) yang dominan ditemukan adalah rezim milik bersama (common property rezim) dan open acces (no property right). Common property rezim dan open acces sebagai sumber terjadinya tragedi kebersamaan (tragedy of the common). Kondisi terkurasnya sumberdaya ikan (over exploitation atau over fishing), khususnya di daerah perikanan tropis, telah dibahas oleh beberapa para ahli, diantaranya seperti Ostrom (1997), Pomeroy (1994), Christy dan Scott (1986), Panayotou (1985b) dan para ahli lainnya. Semuanya mengusulkan jalan keluar berupa kontrol atas akses dan penggunaan sumberdaya ikan perlu dikembangkan (Saad 2003). Hak-hak kepemilikan pengelolaan sumberdaya ikan atau hak-hak penggunaan wilayah untuk perikanan (HPWP) yang merupakan terjemahan dari teritorial use rights in fisheries (TURFs) adalah solusi konkrit yang disarankan oleh kalangan ahli perikanan, sesudah pengelolaan sumberdaya ikan di bawah rezim “sumberdaya milik bersama “(common property rezim) dan “keterbukaan akses” (open access) terbukti mengalami berbagai kegagalan, baik dalam aspek keberlanjutan sumberdaya ikan dan juga memunculkan berbagai tipe konflik, sehingga menimbulkan tragedi kebersamaan (tragedy of the common) sebagaimana dikemukakan pertama kali oleh Garrett Hardin (1968). Christy dan Scott (1986) berpendapat satu-satunya yang berakibat positif dari manajemen perikanan yang berbasis “milik bersama”, adalah dapat menyediakan kesempatan kerja, ketika alternatif pekerjaan di sektor lain sudah tertutup sama sekali. Namun, keunggulan ini hanya bersifat jangka pendek, sebab begitu kesempatan kerja di sektor lain terbuka kembali, mereka akan meninggalkan sektor perikanan tangkap. Mengenai subyek HPWP, Christy (1986) berpendapat bahwa HPWP dapat diberikan kepada perorangan, perusahaan swasta, koperasi atau masyarakat. Selain itu, HPWP dapat pula diberikan kepada cabang-cabang politik, seperti 28 suatu kota atau propinsi, pemerintah suatu negara atau kepada perusahaan multinasional. Adapun tentang jangka waktu HPWP, relatif sukar untuk ditetapkan secara pasti. Namun, setidaknya harus cukup lama agar memungkinkan pemilik hak untuk memperoleh pendapatan yang memuaskan atas setiap modal yang ditanamkan, dan khususnya HPWP yang subjeknya komunitas nelayan (communal property right), jangka waktunya mungkin tidak dibatasi. Hak kepemilikan (property right) atau status penguasaan sumberdaya ikan merupakan salah satu faktor utama yang menentukan alokasi sumberdaya yang efisien (efficient resource allocation). Bagaimana produsen dan konsumen menggunakan sumberdaya ikan dan lingkungan perairan tergantung pada hak pemilikan yang mengukur sumberdaya ikan tersebut. Menurut Tietenberg (1992), secara konseptual, struktur hak kepemilikan dalam pengelolaan sumberdaya alam untuk menghasilkan alokasi yang efisien pada suatu ekonomi pasar yang berfungsi dengan baik, ia harus memiliki 4 karakteristik penting. Keempat karakteristik penting dalam struktur kepemilikan sumberdaya alam yang efisien pandangan kapitalistik tersebut adalah sebagai berikut: (1) Universalitas (universality). Semua sumberdaya alam adalah milik pribadi (privately owned), dan seluruh hak-haknya dirinci dengan lengkap dan jelas. Spesifikasi yang lengkap dapat memberikan sistem informasi yang sempurna tentang hak-hak yang melekat pada aspek kepemilikan, batasanbatasan terhadap hak-hak yang diberikan, dan penalti bagi pelanggaran atas hak-hak tersebut. (2) Eksklusivitas (exclusivity). Semua manfaat yang diperoleh dan biaya yang dikeluarkan sebagai akibat dari pemilikian dan pemanfaatan sumberdaya itu harus dimiliki oleh pemiliknya saja, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam transaksi atau penjualan ke pihak lain; (3) Dapat dipindahtangankan (transferability). Seluruh hak pemilikan itu bisa dipindahtangankan dari satu pemilik ke pihak lainnya dengan transaksi yang bebas dan jelas; dan (4) Terjamin pelaksanaannya (enforceability). Hak pemilikan tersebut harus aman dari perampasan atau pengambilan secara tidak baik dari pihak lain. 29 Kalau keempat komponen diatas bisa diterapkan dalam sistem pengelolaan sumberdaya ikan, maka alokasi sumberdaya ikan dapat berlangsung secara efisien. Demikian pula apabila pemilik sumberdaya ikan, memiliki hak-hak pengelolaan yang mencakup keempat elemen di atas. Hal ini juga akan memberikan insentif yang sangat besar baginya untuk mengelola sumberdaya ikan yang dimilikinya itu dengan seefisien mungkin (Dharmawan dan Daryanto 2002). Gejala seperti itu dapat terjadi, karena kegagalan dalam mengelola sumberdaya ikan tersebut akan merupakan resiko atau kerugian yang akan ditanggung oleh dirinya sendiri. Sebagai contoh, seorang nelayan yang memiliki hak milik pribadi (private property right) yang penuh terhadap alat tangkap ikan (seperti Kelong) yang dioperasikan di sekitar perairan pantai Barelang di Kepulauan Riau, akan mempunyai insentif yang lebih baik untuk memelihara dan merawatnya dengan harapan dapat memberikan peningkatan tingkat pendapatan keluarga (income household) dari usaha perikanan artisanal (artisanal fisheries) yang mereka lakukan sebagai nelayan. Berdasarkan UNCLOS (1982) pasal 51 ayat (1) negara kepulauan harus mengakui “hak-hak perikanan tradisional” (tradisional fishing rights) nelayan negara lain. Menurut Djalal (1989) diacu dalam DKP (2001) menetapkan “hakhak perikanan tradisional” harus memperhatikan beberapa ketentuan, yaitu: (1) nelayan-nelayan yang bersangkutan secara tradisional telah menangkap ikan di suatu perairan tertentu, (2) nelayan-nelayan tersebut telah menggunakan secara tradisional alat-alat tertentu, (3) hasil tangkapan mereka secara tradisional adalah jenis ikan tertentu, (4) nelayan-nelayan yang melakukan penangkapan ikan tersebut haruslah nelayan-nelayan yang secara tradisional telah melakukan penangkapan ikan di daerah tersebut. Kebudayaan tradisional yang dimiliki masyarakat pesisir, khususnya dalam hal sistem pengelolaan sumberdaya ikan secara tradisional telah memiliki prinsipprinsip konservasi yang lebih maju (Nababan 1995), di antaranya adalah sebagai berikut: 1) Rasa hormat yang mendorong keselarasan (harmoni) hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Dalam hal ini masyarakat tradisional lebih condong memandang dirinya sebagai bagian dari alam itu sendiri; 30 2) Rasa memiliki yang eksklusif bagi komunitas atas suatu kawasan atau jenis sumberdaya alam tertentu sebagai hak kepemilikan bersama (communal property resource). Rasa memiliki ini mengikat semua warga untuk menjaga dan mengamankan sumberdaya bersama ini dari pihak luar; 3) Sistem pengetahuan masyarakat setempat (local knowledge system) yang memberikan kemampuan kepada masyarakat untuk memecahkan masalahmasalah yang mereka hadapi dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang terbatas; 4) Daya adaptasi dalam penggunaan teknologi sederhana yang tepat guna dan hemat (input) energi sesuai dengan kondisi alam setempat; 5) Sistem alokasi dan penegakan aturan-aturan adat yang bisa mengamankan sumberdaya milik bersama dari penggunaan berlebihan, baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh masyarakat luar (pendatang). Dalam hal ini masyarakat tradisional sudah memiliki pranata dan hukum adat yang mengatur semua aspek kehidupan bermasyarakat dalam satu kesatuan sosial tertentu; 6) Mekanisme pemerataan (distribusi) hasil “panen” atas sumberdaya milik bersama yang dapat mencegah munculnya kesenjangan berlebihan di dalam masyarakat tradisional. Tidak adanya kecemburuan atau kemarahan sosial akan mencegah pencurian atau penggunaan sumberdaya di luar aturan adat yang berlaku. Berdasarkan prinsip-prinsip konservasi tersebut diatas, ini membuktikan bahwa sistem pengetahuan lokal (indegenous knowledge), kearifan masyarakat (traditional wisdom) yang ada dalam batas-batas “berperilaku” alam dan diikuti dengan praktik pengelolaan sumberdaya alam secara tradisional yang lestari merupakan pilihan yang arif untuk mempertahankan keberlanjutan fungsi lingkungan sosial setempat. Sebagai suatu sistem yang bersifat lokal, upaya-upaya pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat tradisional ini boleh dikatakan sudah teruji. Sistem pengetahuan dan praktik-praktik pengelolaan alam ini secara nyata juga mampu memperkaya keanekaragaman hayati suatu ekosistem (Nababan 1995). Oleh karena itu, dengan memelihara dan mengembangkan sistem pranata sosial tradisional ini akan merupakan sumbangan 31 bagi tercapainya pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Namun demikian, rangkaian kajian yang telah dilakukan juga menunjukkan keprihatinan, karena secara umum sistem kebudayaan lokal ini sedang menuju kepunahan. Hampir semua kasus-kasus yang didokumentasikan memperlihatkan bahwa pola-pola pranata sosial tradisional ini sudah tidak utuh lagi, tetapi masih ada di beberapa tempat, sistem pengetahuan ini masih tersimpan di benak orang-orang tua dalam berbagai bentuk tuturan atau dalam bentuk sastra lisan. Teori Perubahan Kelembagaan Yustika (2006) menyatakan bahwa kelembagaan tidak bersifat statis, namun dinamis sesuai dengan interaksi ekonomi yang mempertemukan antar kepentingan. Diluar itu, sifat dinamis dari kelembagaan juga disebabkan oleh berubahnya nilai-nilai dan kultur masyarakat seiring dengan perubahan masa. Dengan begitu, kelembagaan pasti akan berubah sesuai dengan tantangan atau kondisi zaman. Pada titik ini, perubahan kelembagaan memiliki dua dimensi, yaitu pertama, perubahan konfigurasi antar pelaku ekonomi akan memicu terjadinya perubahan kelembagaan (institutional change). Dalam pendekatan ini, perubahan kelembagaan dianggap sebagai dampak dari perubahan (kepentingan/konfigurasi) pelaku ekonomi. Kedua, perubahan kelembagaan sengaja didesain untuk memengaruhi (mengatur) kegiatan ekonomi. Pada posisi ini, kelembagaan ditempatkan secara aktif sebagai instrumen untuk mengatur kegiatan ekonomi (termasuk aktor-aktor yang terlibat di dalamnya). Manig (1991) menyatakan bahwa perubahan kelembagaan di dalam masyarakat berarti terjadinya perubahan di dalam prinsip regulasi dan organisasi, perilaku, dan pola-pola interaksi. Arah perubahan tersebut bisanya menuju ke peningkatan perbedaan prinsip-prinsip dan pola-pola umum di dalam kelembagaan yang saling berhubungan. Lebih lanjut Manig (1992) menyatakan bahwa tujuan utama dari setiap perubahan kelembagaan adalah untuk meninternalisasikan potensi produktivitas yang lebih besar daripada perbaikan pemanfaatan sumberdaya yang kemudian secara simultan menciptakan keseimbangan baru. Dengan pemahaman tersebut, perubahan kelembagaan dapat dianggap sebagai proses terus menerus yang bertujuan untuk memperbaiki 32 kualitas interaksi (ekonomi) antar pelakunya. Hal ini menunjukan bahwa transpormasi permanen merupakan bagian penting dari perubahan kelembagaan. North (1995) menyatakan bahwa karakteristik dasar dari perubahan kelembagaan terdiri dari : 1. Iinteraksi kelembagaan dan organisasi yang terjadi secara terus-menerus di dalam setting ekonomi kelangkaan, dan kemudian diperkuat oleh kompetisi merupakan kunci terjadinya perubahan kelembagaan; 2. Kompetisi akan membuat organisasi menginvestasikan keterampilan dan pengetahuan untuk bertahan hidup. Jenis keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan oleh individu dan organisasinya akan membentuk perkembangan persepsi tentang kesempatan dan kemudian pilihan yang akan mengubah kelembagaan; 3. Kerangka kelembagaan mendikte jenis keterampilan dan pengetahuan yang dianggap memiliki pertukaran maksimum; 4. Persepsi berasal dari konstruksi/bangunan mental para pemain/pelaku; 5. Cakupan ekonomi, komplementaritas dan eksternalitas jaringan matriks kelembagaan menciptakan perubahan kelembagaan yang meningkat dan memiliki jalur ketergantungan. Yeager (1999) menyatakan bahwa dalam konteks perubahan kelembagaan diperlukan alat ukur dan variabel-variabel yang terfokus sehingga memudahkan setiap pengambil kebijakan merumuskan jenis kelembagaan yang dibutuhkan. Pada negara yang sedang melakukan proses transisi atau reformasi ekonomi, biasanya terdapat variabel makro dan mikro untuk mengukur keberhasilan kinerja perekonomian. Diehl (1998) menyatakan bahwa dalam upaya mencapai fokus perubahan kelembagaan perlu dibuat target, variabel kunci, tindakan pada berbagai level dan jenis kelembagaan yang dibutuhkan sehingga sekaligus variabel-variabel tersebut dapat digunakan sebagai parameter. Khusus mengenai perubahan kelembagaan formal, tampak bahwa pada level makro harus terdapat peraturan yang tegas berkenaan dengan fungsi dan kewenangan bank sentral serta pemberdayaan anggaran negara untuk mendukung kegiatan perekonomian. Sedangkan pada level mikro, perubahan kelembagaan formal yang dibutuhkan adalah hukum mengenai 33 hak kepemilikan sehingga terdapat kepastian berusaha serta pedoman ke luar dan masuk bagi individu-individu yang bertransaksi di pasar. Tentu saja target dari perubahan kelembagaan mikro ini adalah mencoba menurunkan biaya transaksi. Tidak berhenti sampai disini, perubahan kelembagaan informal juga harus dikreasikan sehingga baik secara makro maupun mikro turut menyokong tujuan perubahan kelembagaan formal. Seperti tang terlihat, maslaah reputasi, konsesus sosial, perilaku individu, dan sikap terhadap resiko menjadi perhatian penting dari perubahan kelembagaan informal. Secara lengkap target ekonomi, tindakan dan kelembagaan pada beberapa level tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Target ekonomi, tindakan dan kelembagaan pada beberapa level Aspek/Level Target Variabel kunci Tindakan Kelembagaan Formal Kelembagaan informal Makro Stabilitas Uang, nilai tukar Manajemen Negara Bank sentral, kewenangan anggaran Negara Mikro Efisiensi Harga Pilihan individu Meso Inovasi Pengetahuan Interaksi Hak kepemilikan, aturan keluar dan masuk pasar Reputasi, konsesus social terhadap cara pandang perilaku Tata kelola perusahaan, perilaku rasional individu Infrastruktur, system pendidikan, asosiasi perdagangan Sikap terhadap risiko, factor mobilitas, perilaku menabung Sumber : Diehl 1998 Teori Konflik Fisher et.al. (2000) menyatakan bahwa konflik merupakan suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan. Berbagai perbedaan pendapat dan konflik biasanya diselesaikan tanpa kekerasan, dan sering menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagian besar atau semua pihak yang terlibat. Karena itu konflik tetap berguna, apalagi karena memang merupakan bagian dari keberadaan umat manusia. Dari tingkat mikro, antar pibadi hingga tingkat kelompok, organisasi, masyarakat, dan negara, semua bentuk hubungan manusia-sosial, ekonomi dan kekuasaan-mengalami pertumbuhan, perubahan dan konflik. Konflik timbul karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan tersebut. 34 Fisher et.al. (2000) juga menyatakan bahwa sedikitnya ada lima teori yang dapat dijadikan referensi untuk mengidentifikasi sebab-sebab konflik, masingmasing teori memiliki metode dan sasaran yang berbeda. Kelima teori tersebut adalah : 1) Teori Hubungan Masyarakat. Teori ini menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat; 2) Teori Negosiasi Prinsip. Teori ini menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik; 3) Teori Kebutuhan Manusia. Teori ini berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia-fisik, mental dan sosialyang tidak terpenuhi atau dihalangi. Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi sering merupakan inti pembicaraan; 4) Teori Identitas. Teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan; 5) Teori Kesalahpahaman Antarbudaya. Teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda. Sementara itu perbedaan sasaran yang ingin dicapai oleh masing-masing kelima teori tersebut secara ringkat dapat dilihat pada Tabel 4. 35 Tabel 4. Perbedaan sasaran yang ingin dicapai oleh kelima teori konflik No 1 Teori Teori Hubungan Masyarkat Sasaran Yang Ingin Di Capai ¾ Meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antar kelompok-kelompok yang mengalami konflik; ¾ Mengusahakan toleransi dan agar masyarakat lebih bisa saling menerima keragaman yang ada di dalamnya. 2 Teori ¾ Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk Negosiasi memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai masalah Prinsip dan isu, dan memampukan mereka untuk melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan-kepentingan mereka daripada posisi tertentu yang sudah tetap; ¾ Melancarkan proses pencapaian kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak atau semua pihak. 3 Teori ¾ Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk Kebutuhan mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan Manusia mereka yang tidak terpenuhi, dan menghasilkan pilihanpilihan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut; ¾ Agar pihak-pihak yang mengalami konflik mencapai kesepakatan untuk memenuhi kebutuhan dasar semua pihak. 4 Teori Identitas ¾ Melalui fasilitasi lokakarya dan dialog antara pihak-pihak yang mengalami konflik mereka diharapkan dapat mengidentifikasi ancaman-ancaman dan ketakutan yang mereka rasakan masing-masing dan untuk membangun empati dan rekonsiliasi di antara mereka; ¾ Meraih kesepakatan bersama yang mengakui kebutuhan identitas pokok semua pihak. ¾ Menambah pengetahuan pihak-pihak yang mengalami 5 Teori konflik mengenai budaya pihak lain; Kesalahpaham ¾ Mengurangi stereotip negatif yang mereka miliki tentang an pihak lain; Antarbudaya ¾ Meningkatkan keefektifan komunikasi antarbudaya. Sumber : Fisher et.al. (2000) Sementara itu Charles (2001) menyatakan bahwa tipologi konflik di sektor perikanan dapat dilihat dari empat kategori, yaitu batas wilayah (fishery jurisdiction), manajemen (management mechanisms), alokasi internal (internal allocation) dan alokasi eksternal (external allocation). Jenis-jenis konflik untuk masing-masing kategori tersebut dapat dilihat pada Tabel 5. 36 Tabel 5. Tipologi konflik perikanan No 1 2 3 Jenis Kategori batas wilayah (fishery jurisdiction) manajemen (management mechanisms) alokasi internal (internal allocation) ¾ ¾ ¾ ¾ ¾ ¾ ¾ ¾ ¾ alokasi ¾ eksternal ¾ (external ¾ allocation) Sumber : Charles (2001) 4 Jenis Konflik Hak kepemilikan (property rights) Aturan pemerintah (role of government) Konflik antara pemerintahan (intergovernmental conflicts) Perencanaan manajemen (management plans) Konflik pelaksanaan manajemen (enforcement conflicts) Interaksi pemerintah dengan nelayan (Fisher/government interactions) Konflik alat tangkap (gear wars) Konflik antar nelayan atau kelompok nelayan (user-group conflicts) Nelayan dan pengolahan (fishers Vs processors) Lokal dan pendatang (domestic vs foreign) Nelayan dan pembudidaya ikan (fishers vs aquaculture) Persaingan antar pemanfaatn laut (competing ocean user) Tata Kelola Sumberdaya Ikan Nikijuluw (2002) mengungkapkan bahwa terdapat dua rezim pengelolaan perikanan yang dikenal oleh masyarakat yaitu pengelolaan sumberdaya ikan oleh pemerintah atau yang dikenal dengan istilah pengelolaan sentralistis (Government Centralized Management/GCM) dan pengelolaan sumberdaya ikan berbasis masyarakat (Community Based management/CBM). Pengelolaan sentralistis adalah rezim pengelolaan sumberdaya dengan pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dan wewenang dalam memanfaatkan sumberdaya, sehingga pemerintah mempunyai hak akses, hak memanfaatkan, hak mengatur, hak eksklusif dan hak mengalihkan. Implikasi dari model ini adalah munculnya berbagai konflik yang sangat kompleks di masyarakat, seperti hancurnya sumberdaya, konflik antar kelas sosial masyarakat nelayan, kemiskinan yang terus melilit kehidupan masyarakat pesisir dan lain sebagainya. Hal ini dikarenakan model ini bersifat top-down, sehingga menempatkan masyarakat nelayan sebagai obyek sasaran kebijakan, akibatnya masyarakat kurang peduli terhadap kebijakan yang dibuat. Selain itu, model ini mengabaikan pluralisme hukum yang berlaku sudah lama (turun-temurun) di masyarakat, seperti hak ulayat laut yang ada di beberapa daerah masyarakat pesisir. 37 Kegagalan model sentralistis dalam pengelolaan sumberdaya ikan telah menciptakan permasalahan yang kompleks di masyarakat yang tinggal disekitar wilayah pesisir dan pantai, sehingga hal ini harus segera disikapi dengan cara mencari model baru pengelolaan sumberdaya ikan dalam rangka mewujudkan visi pembangunan perikanan berkelanjutan yang mampu mensejahterakan para pelakunya. Pengelolaan sumberdaya berbasiskan masyarakat merupakan suatu model lama dalam pengelolaan perikanan yang selama ini termarginalkan oleh sistem pemerintahan yang sentralistis. Model pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat tersebut terdapat di beberapa daerah pesisir Indonesia, seperti awigawig di Lombok, sasi di Maluku, Rompong di Sulawesi Selatan, Panglima laot di Nangroe Aceh Darussalam, kewang di Riau dan di beberapa daerah Kawasan Timur Indonesia (Wahyono et.al 2000, Satria et.al 2002, dan Indar et.al 2002). Pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat merupakan suatu proses pemberian wewenang, tanggung jawab, dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumberdaya ikannya sendiri dengan memperhatikan kebutuhan, keinginan, tujuan dan aspirasinya (Nikijuluw 2002). Dengan model ini, masyarakat akan bertanggungjawab penuh dalam menjalankan kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan karena masyarakat ikut terlibat dalam membuat perencanaan, pelaksanaan, pengawasan hingga evaluasi. Partisipasi masyarakat tersebut merupakan wujud kepentingannya terhadap kelangsungan sumberdaya ikan sebagai mata pencaharian hidup sehari-hari (Satria et.al 2002). Dengan demikian, pengelolaan sumberdaya ikan berbasis masyarakat lebih efektif dan efisien karena proses pengambilan keputusan dilakukan oleh masyarakat lokal, sehingga dapat mengakomodir setiap aspirasi masyarakat serta pembuat kebijakan lebih memahami kondisi daerahnya (Satria et.al 2002). Selain itu, kelestarian sumberdaya dapat terjaga dikarenakan proses pengawasan oleh masyarakat dilakukan setiap saat. Kelemahan dari model ini adalah tidak mampu mengatasi masalah-masalah inter-komunitas, berlaku hanya pada daerah tertentu atau bersifat spesifik lokal, sangat rentan terhadap perubahan-perubahan eksternal, sulit mencapai skala ekonomi serta tinggi biaya institusionalisasinya. Dengan demikian, kedua rezim tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Selain itu, kedua rezim masih sangat sulit mengatasi 38 masalah-masalah yang dihadapi dalam perkembangan perikanan. Guna mengatasi hal tersebut, kedua rezim ini bisa dipadukan atau diintegrasikan sehingga dengan demikian kelemahan yang satu bisa ditutupi oleh kekuatan yang lain. Pengintegrasian kedua rezim ini dikenal dengan nama kolaborasi manajemen, kooperasi manajemen, atau ko-manajemen. Ko-Manajemen Pengelolaan Sumberdaya Ikan Ko-manajemen perikanan merupakan rezim derivatif yang berasal dari rezim Pengelolaan Sumberdaya Ikan Berbasis Masyarakat (PSPBM) dan rezim pengelolaan perikanan oleh pemerintah. Ko-manajemen perikanan dapat diartikan sebagai pembagian atau pendistribusian tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam mengelola sumber daya perikanan (Nikijuluw 2002). Tujuan utama ko-manajemen adalah pengelolan perikanan yang lebih tepat, lebih efisien, serta lebih adil dan merata. Sementara tujuan sekundernya adalah: (1) mewujudkan pembangunan berbasis masyarakat; (2) mewujudkan proses pengambilan keputusan secara desentralisasi, sehingga dapat memberikan hasil yang lebih efektif; dan (3) sebagai mekanisme untuk mencapai visi dan tujuan nelayan lokal serta mengurangi konflik antar nelayan melalui proses demokrasi partisipatif. Terdapat tiga hal yang sangat menentukan variasi bentuk ko-manajemen serta hirarkinya adalah: 1) Peranan pemerintah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan. 2) Bentuk tugas dan fungsi manajemen yang dapat atau akan dikelola bersama oleh pemerintah dan masyarakat atau didistribusikan diantara kedua pihak. 3) Tahapan proses manajemen ketika secara aktual kerjasama pengelolaan betul-betul terwujud (perencanaan, implementasi, pengawasan dan evaluasi). Pomeroy and Rivera (2006) dalam Adrianto (2007) menyatakan terdapat 5 (lima) tipe besar ko-manajemen menurut peran dari pemerintah dan pelaku perikanan, yaitu : (1) Instruktif. Tipe ini terjadi ketika terdapat komunikasi dan tukar informasi yang minimal antara pemerintah dan pelaku perikanan. Tipe ini berbeda dengan 39 rejim sentralisasi dalam hal dimana terdapat mekanisme dialog antara pemerintah dan pelaku perikanan namun tetap dalam konteks instruksi informasi dari apa yang telah diputuskan oleh pemerintah. (2) Konsultatif. Terdapat mekanisme dialog antara pemerintah dan pelaku perikanan tetapi pengambilan keputusan masih dilakukan oleh pemerintah. (3) Kooperatif. Dalam level ini, pemerintah dan pelaku perikanan bekerja sama dalam mengambil keputusan sebagai partner yang memiliki posisi tawar yang sama (equal partner). (4) Advisori. Dalam kerangka ini, pelaku perikanan memberikan input bagi pengambil keputusan tentang perikanan kemudian pemerintah menetapkan keputusan tersebut. (5) Informatif. Pemerintah mendelegasikan pengambilan keputusan kepada pelaku perikanan untuk kemudian diinformasikan kembali kepada pemerintah. Secara jelas konsep ko-managemen dalam pengelolaan sumberdaya ikan dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5. Spektrum ko-manajemen dalam pengelolaan sumberdaya ikan (Pomeroy and Rivera (2006) dalam Adrianto (2007)) Rezim ko-manajemen perikanan bekerja dengan cara mengubah hubungan pelaku pembangunan perikanan, terutama antara pemerintah dan masyarakat, 40 tetapi juga antara nelayan dengan kelompoknya. Secara umum, manfaat yang ingin dicapai setiap pelaku ko-manajemen perikanan adalah status pengelolaan perikanan yang lebih tepat, lebih efisien, serta lebih adil dan merata. Melalui komanajemen, pemerintah memiliki kesempatan untuk membuktikan bahwa keputusan yang diambilnya ternyata bisa secara efektif dilaksanakan. Hal ini dapat meningkatkan harga diri dan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah menjadi bertambah. Di mata masyarakat, ko-manajemen membawa manfaat kepada nelayan melalui partisipasi atau keikutsertaan dalam proses pengambilan keputusan (Nikijuluw 2002). Definisi dan Karakteristik Nelayan Menurut UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan nelayan didefinisikan sebagai orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Dengan demikian, secara sempit masyarakat nelayan memiliki ketergantungan yang cukup tinggi dengan potensi dan kondisi sumberdaya ikan. DKP (2005) mengklasifikasikan nelayan berdasarkan alokasi curahan waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan atau pemeliharaan ikan atau biota laut lainnya, yaitu: 1. Nelayan penuh adalah orang yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan atau biota laut lainnya, 2. Nelayan sambilan utama adalah orang yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan atau biota laut lainnya, 3. Nelayan sambilan tambahan adalah orang yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan penangkapan ikan atau biota laut lainnya. Sedangkan berdasarkan karakteristik sosial-ekonomi, seperti kapasitas jenis usaha, orientasi ekonomi, tingkat teknologi (alat tangkap dan armada) dan hubungan produksi, Satria (2002) menggolongkan nelayan menjadi 4 kategori menurut jenis usaha yaitu seperti yang tertera pada Tabel 6. 41 Tabel 6. Penggolongan nelayan berdasarkan karakteristik sosial-ekonomi Jenis usaha ƒ Usaha tradisional ƒ Usaha posttradisional ƒ Usaha komersial ƒ Usaha industri Orientasi Ekonomi dan Pasar Sub sistem, rumah tangga Tingkat Teknologi Rendah Sub sistem, surplus, rumah tangga, pasar domestik Surplus, pasar domestik, ekspor Rendah Surplus, ekspor Tinggi Menengah Hubungan Produksi Tidak hirarkis, status terdiri dari pemilik dan anak buah kapal (ABK) yang homogen Tidak hirarkis, status terdiri dari pemilik dan ABK yang homogen Hirarkis, status terdiri dari pemilik, manajer, dan ABK yang heterogen Hirarkis, status terdiri dari pemilik, manajer, dan ABK yang heterogen Sumber : Satria (2002) Panayatou (1985a) mengelompokan nelayan kedalam empat kelompok utama, yaitu subsistence, indigenous, commercial dan recreation. Sementara itu nelayan commercial dikelompokan lagi menjadi dua kelompok, yaitu nelayan artisanal dan nelayan industri. Secara lengkap pengelompokan nelayan tersebut dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6. Pengelompokan Nelayan (Panayotou 1985a) Berkes et al. (2001) lebih memperjelas pengertian nelayan artisanal dengan mengemukakan sejumlah karakteristik yang lebih lengkap mengenai nelayan artisanal dibandingkan dengan nelayan industri. Secara jelas karakteristik nelayan tersebut dapat dilihat pada Tabel 7. 42 Tabel 7. Kategori dan dimensi perikanan berdasarkan karakteristiknya Karakteristik Hubungan Perikanan ƒ Unit penangkapan ƒ Kepemilikan ƒ Komitmen waktu ƒ Kapal ƒ Tipe peralatan Kategori Skala Besar Stabil, dengan pembagian kerja dan peluang karir Bukan pelaku Biasanya penuh waktu Bertenaga mesin, banyak peralatan Mesin, dirakit oleh pelaku Skala Kecil Subsisten Stabil, kecil, spesialisasi pembagian kerja Sendiri, atau keluarga atau komunitas kelompok Pemiliknya si pelaku Biasanya dimiliki oleh pelaku senior, atau pelaku gabungan Penuh atau paruh waktu Kecil, motor dalam (atau motor tempel) Sebagian atau semua material mesin, dirakit oleh pelaku Mekanik dan manual ƒ Alat tangkap Elektronik, otomatis ƒ Investasi Menengah ke rendah, seluruhnya oleh pelaku ƒ Hasil tangkapan Tinggi, proporsi lebih besar dari pada oleh pelaku Besar ƒ Penjualan hasil tangkapan Pasar yang terorganisasir Penjualan lokal, konsumsi signifikan oleh operator ƒ Pengolahan hasil tangkapan Lebih banyak untuk tepung ikan dan bukan konsumsi manusia ƒ Tingkat pendapatan pelaku ƒ Integrasi ekonomi ƒ Masa kerja Tinggi Pengeringan, pengasapan, penggaraman, sebagian besar untuk konsumsi manusia Sedang ƒ Luas pemasaran ƒ Kapasitas manajemen dari otoritas perikanan ƒ Unit manajemen ƒ Pengumpulan data perikanan Formal, integrasi penuh Penuh waktu atau musiman Produk ditemukan diseluruh dunia Layak, dengan banyak ilmuwan dan manager Satu atau beberapa unit besar Tidak terlalu sulit, ada kapasitas kekuasaan Sumber : Berkes et al. (2001) Sedang ke rendah Integrasi parsial Sering multi pekerjaan Nasional dan lokal Minimal untuk moderat, dengan sedikit ilmuwan atau manager Biasanya banyak unit kecil Sulit dalam kaitan perikanan dan figur otoritas Paruh waktu Kecil, biasanya tidak bermotor Material buatan sendiri, dirakit oleh pelaku Sebagian besar tidak mekanik Rendah Rendah ke sangat rendah Sebagian dikonsumsi oleh pelaku, keluarga dan sahabat, ditukar dengan barter, kadang-kadang dijual Sedikit atau tidak, semua untuk konsumsi manusia Minim (rendah) Informal, tidak terintegrasi Multi pekerjaan Lokal dan hanya tingkat daerah Sering tidak dikelola kecuali oleh pengguna sumberdaya Sangat banyak unit kecil Sering tidak ada data, pengumpulan data sulit dilakukan 43 KERANGKA PENDEKATAN STUDI Berdasarkan studi literatur terhadap hasil penelitian tentang kondisi sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu diketahui bahwa saat ini kondisi sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu sudah mengalami degradasi, terutama untuk sumberdaya ikan pelagis. Banyak hal yang diduga menjadi penyebab terjadinya degradasi sumberdaya ikan tersebut, termasuk sistem kelembagaan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan. Penelitian ini difokuskan untuk mengkaji sistem kelembagaan yang ada (existing) dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Format kelembagaan pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu sangat dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu pertama, hak kepemilikan atas sumberdaya ikan (property right). Hak kepemilikan sangat menentukan tanggungjawab nelayan terhadap sumberdaya ikan yang dimanfaatkan. Selain itu juga mempengaruhi keputusan nelayan dalam mengambil manfaat sumberdaya ikan tersebut. Oleh sebab itu tahap pertama dalam studi ini akan dianalisis tentang kepemilikan atas sumberdaya ikan di teluk Palabuhanratu, apakah milik negara (state property right), milik komunal (communal property right), milik individu (private property right) dan open access (non property right). Kedua, para aktor yang terlibat. Aktor-aktor yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya ikan sangat menentukan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Oleh sebab itu identifikasi masingmasing aktor yang terlibat dan perannya masing-masing menjadi salah satu kunci keberlanjutan pembangunan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Selain itu juga perlu diidentifikasi konflik yang terjadi antar aktor pengelola sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Hal ini penting guna merumuskan manajemen konflik antar aktor dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Ketiga, peraturan. Peraturan merupakan salah salah satu sistem kelembagaan yang sangat penting dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Oleh sebab itu perlu diidentifikasi peraturan-peraturan apa saja yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya ikan. Dengan adanya informasi 44 tersebut diharapkan dapat diketahui bagaimana aturan main (rule of the game) pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Ketiga faktor tersebut memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap sistem kelembagaan pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu saat ini. Dengan ditambah analisis biaya transaksi dan game theory diharapkan dapat dirumuskan bagaimana format kelembagaan pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu yang baik. Hal ini penting agar semua aktor yang terlibat yang terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu memiliki rasa tangguang jawab dalam menjaga keberlanjutan sumberdaya dan aktivitas perekonomian masyarakat nelayan. Secara sistematis kerangka pendekatan studi ini dapat dilihat pada Gambar 7. 45 Studi Literatur Area Studi Kondisi Sumberdaya Ikan Potensi Tingkat Pemanfaatan Alokasi Optimum Pengelolaan Sumberdaya Ikan Hak Kepemilikan Peraturan Analisis Hak Kepemilikan Analisis peraturan Analisis Aktor Analisis Konflik Jenis-jenis Hak terhadap sumberdaya ikan Peraturan pengelolaan sumberdaya ikan (Formal & Informal) Aktor yang berkepentingan Peran aktor Hubungan antar aktor Konflik antar aktor Aktor Kelembagaan Sumberdaya Ikan Teluk Palabuhanratu (Exisiting) Analisis Biaya Transaksi Biaya Pengambilan Keputusan Biaya Informasi Biaya Operasional Bersama Biaya Transaksi Pengelolaan Sumberdaya Ikan Teluk Palabuhanratu Rekomendasi Format Kelembagaan Baru Pengelolaan Sumberdaya Ikan Teluk Palabuhanratu Gambar 7. Kerangka pendekatan studi Analisis Game Theory 46 METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Cisolok dan Kecamatan Pelabuharatu Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat. Pertimbangan dalam pemilihan lokasi tersebut sebagai lokasi penelitian adalah pertama, merupakan sentra perikanan tangkap di sekitar Teluk Palabuhanratu. Kedua, jenis kegiatan perikanan tangkap di kecamatan tersebut berbeda-beda. Studi PKSPL (2004) menunjukan bahwa di Palabuhanratu jenis usaha penangkapan yang berkembang adalah penangkapan skala besar, skala menengah, dan skala kecil. Secara grafis lokasi penelitian tersebut dapat dilihat pada Gambar 8. Gambar 8. Lokasi penelitian 47 Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan, yaitu dari bulan September 2006 - Februari 2007. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalan studi ini adalah metode studi kasus. Yang dimaksud dengan kasus dalam penelitian ini adalah kelembagaan pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Nazir (1988) menyatakan bahwa penelitian kasus adalah penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas. Subjek penelitian dapat saja individu, kelompok, lembaga, maupun masyarakat. Dalam studi kasus, metode yang digunakan bersifat multi metode, karena dirancang untuk menunjukkan suatu masalah secara terperinci dari sudut pandang peneliti dengan menggunakan berbagai sumber data (Blaxter et al. 2006). Hasil dari penelitian kasus merupakan suatu generalisasi dari pola-pola kasus yang tipikal dari individu, kelompok, lembaga, dan sebagainya. Tergantung dari tujuannya, ruang lingkup dari studi dapat mencakup dari segmen atau bagian tertentu atau mencakup siklus kehidupan individu, kelompok, dan sebagainya, baik dengan penekanan terhadap faktor-faktor kasus tertentu, ataupun keseluruhan faktor-faktor dan fenomena-fenomena. Studi kasus lebih menekankan mengkaji variabel yang cukup banyak pada jumlah unit yang kecil. Ini berbeda dengan metode survei, di mana peneliti cenderung mengevaluasi variabel yang lebih sedikit tetapi dengan unit sampel yang relatif besar (Nazir 1988). Nazir (1988) mengungkapkan langkah-langkah pokok dalam meneliti kasus adalah sebagai berikut : 1) Rumuskan tujuan penelitian; 2) Tentukan unit-unit studi, sifat-sifat mana yang akan di teliti dan hubungan apa yang akan dikaji serta proses-proses apa yang akan menuntun penelitian; 3) Tentukan rancangan serta pendekatan dalam memilih unit-unit dan teknik pengumpulan data mana yang digunakan. Sumber-sumber data apa yang tersedia; 4) Kumpulkan data; 5) Organisasikan informasi serta data yang terkumpul dan analisa untuk membuat interpretasi serta generalisasi; 48 6) Susun laporan dengan memberikan kesimpulan serta implikasi dari hasil penelitian. Yin (1996) menyatakan bahwa ada 6 sumber bukti yang dapat dijadikan fokus bagi pengumpulan data studi kasus adalah: (1) dokumen, (2) rekaman arsip, (3) wawancara, (4) observasi langsung, (5) observasi pemeran serta, dan (6) perangkat fisik. Dalam hal ini diperlukan dua kategori data yaitu data utama dan data penunjang. Data utama diperoleh dari pencatatan langsung di lapangan, wawancara pada beberapa nelayan dan pengamatan kejadian-kejadian khusus yang berhubungan dengan tujuan penelitian. Data penunjang diperoleh dari dokumen atau arsip tertulis serta laporan hasil penelitian serta publikasi lainnya. Metode Pengumpulan Data Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis, yaitu data primer dan sekunder. Data primer diperoleh langsung dari para aktor yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Teknik pengumpulan data primer ini dilakukan melalui wawancara secara mendalam kepada para aktor, dengan pertanyaan-pertanyaan yang telah terstruktur. Sementara itu data sekunder diperoleh melalui data-data literatur perikanan Kabupaten Sukabumi, dokumen hasil penelitian dan dokumen-dokumen lainnya yang terkait. Secara lengkap jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 8. 49 Tabel 8. Aspek, jenis dan sumber data penelitian No 1 2 3 4 5 6 Aspek Penelitian Kondisi Umum Teluk Palabuhanratu Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Teluk Palabuhanratu selama ini Aktor-aktor yang terkait dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu Aturan hukum formal dan informal Biaya transaksi pengelolaan sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu Desain kelembagaan pengelolaan sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu Jenis Data Sumber Data Kondisi geografis, kependudukan, ekonomi wilayah Potensi sumberdaya ikan, tingkat pemanfaatan, jenis alat tangkap, perkembangan produksi ikan, pendapatan nelayan, alokasi optimal sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu Identifikasi para aktor, peran masing-masing aktor, hubungan antar aktor, konflik antar aktor Potensi Desa 2006, Profil Kabupaten Sukabumi Statistik Perikanan Kabupaten Sukabumi, wawancara, Laporan Tesis Pasca Sarjana IPB, Dokumen Penelitian PKSPL-IPB Hukum formal (Undang-undang, Peraturan Menteri, Keputusan Menteri, Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat, Keputusan Gubernur Jawa Barat, Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi, Keputusan Bupati Kabupaten Sukabumi) Aturan informal (Kesepakatan antar masyarakat) Biaya manajerial dan Biaya Politik Departemen Kelautan dan Perikanan, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi, wawancara aktor Hubungan interaksi antar aktor, efektivitas biaya transaksi Studi pustaka, wawancara, kuisioner Wawancara dan quisioner Wawancara aktor Penentuan responden dilakukan secara purposive sampling dengan penggalian data menggunakan panduan kuisioner, seperti yang disajikan pada Lampiran 1. Sementara itu jumlah responden didekati dengan rumus Slovin (1960) sebagaimana diacu dalam Haswanto (2006), yaitu : 1 50 Keterangan : N : Ukuran Populasi n : Ukuran Sampel/Responden e : Nilai Kesalahan yang Ditentukan (10 %) Selain berdasarkan pendekatan Slovin diatas, penentuan aktor-aktor yang dijadikan responden dalam penelitian ini juga memperhatikan hasil-hasil studi sebelumnya. Oleh sebab itu, sebelum menentukan aktor-aktor yang akan dijadikan narasumber, peneliti terlebih dahulu melakukan studi literature yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Literatur-literatur yang dijadikan rujukan dalam penentuan narasumber tersebut adalah laporan hasil penelitian tesis, dokumen hasil penelitian di Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL-IPB) yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu, dan dokumen-dokumen terkait lainnya yang dimiliki oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi. Berdasarkan hal tersebut maka jumlah aktor yang dijadikan responden dalam penelitian ini berjumlah 40 orang, yang dikelompokkan menjadi lima kelompok, yaitu pemerintah, masyarakat, organisasi sosial, swasta/pengusaha perikanan, dan akademisi. Metode Analisis Data Analisis Aktor Pengelolaan Sumberdaya Ikan di Teluk Palabuhanratu Analisis ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan memetakan aktor (tingkat kepentingan dan pengaruhnya) dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu, serta potensi kerjasama dan konflik antar aktor. Freeman (1984) yang mendefenisikan aktor sebagai kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu. Sedangkan Biset (1998) mendefenisikan aktor merupakan orang dengan suatu kepentingan atau perhatian pada permasalahan. Aktor sering diidentifikasi dengan suatu dasar tertentu, yaitu dari segi kekuatan dan kepentingan relatif aktor terhadap issu atau dari segi posisi penting dan pengaruh yang dimiliki mereka (Ramirez 1999). 51 Aktor merupakan masyarakat yang memiliki daya untuk mengendalikan penggunaan sumberdaya seolah-olah mereka tidak terkena pengaruh, tetapi kehidupannya dipengaruhi oleh perubahan penggunaan sumberdaya tersebut. Aktor adalah bagian yang secara langsung terkait dengan hasil kajian. Mereka menjadi pengguna di masa depan dari suatu hasil kajian. Mereka bukan kelompok sasaran (target group) bagi hasil suatu kajian. Aktor sangat bervariasi derajat pengaruh dan kepentingannya, dan dapat dikategorikan sesuai dengan banyak atau sedikitnya pengaruh dan kepentingan relatifnya terhadap keberhasilan pengelolaan sumberdaya alam. Brown et al (2001) mengkategorikan aktor sebagai berikut: 1) Aktor primer, yakni mereka yang mempunyai pengaruh rendah terhadap hasil kebijakan tetapi kesejahteraannya penting bagi pengambil kebijakan. 2) Aktor sekunder, yakni mereka yang dapat mempengaruhi keputusan yang dibuat karena mereka adalah sebagaian besar dari pengambil kebijakan dan terlibat dalam implementasi kebijakan. Secara relatif mereka tidak penting, demikian pula dengan tingakt kesejahteraannya bukan suatu prioritas. 3) Aktor eksternal, yakni individu atau kelompok yang dapat mempengaruhi hasil dari suatu proses melalui lobby kepada pengambil keputusan, tetapi interest mereka tidak begitu penting. Berdasarkan kekuatan, posisi penting, dan pengaruh aktor terhadap suatu issu, aktor dapat diketegorikan kedalam beberapa kelompok. ODA (1995) mengelompokkan aktor ke dalam yaitu aktor primer, sekunder dan aktor kunci. 1) Aktor utama merupakan aktor yang memiliki kaitan kepentingan secara langsung dengan suatu kebijakan, program, dan proyek. Mereka harus ditempatkan sebagai penentu utama dalam proses pengambilan keputusan. Misalnya masyarakat, tokoh masyarakat, dan manajer publik. 2) Aktor pendukung (sekunder) adalah aktor yang tidak memiliki kaitan kepentingan secara langsung terhadap suatu kebijakan, program, dan proyek, tetapi memiliki kepedulian (consern) dan keprihatinan sehingga mereka turut bersuara dan berpengaruh terhadap sikap masyarakat dan keputusan legal pemerintah. Misalnya lembaga pemerintah dalam suatu wilayah tetapi tidak memiliki tanggung jawab langsung; lembaga 52 pemerintah yang terkait dengan issu tetapi tidak memiliki kewenangan secara langsung dalam pengambilan keputusan; lembaga swadaya masyarakat (LSM) setempat; perguruan tinggi: dan pengusaha (badan usaha) yang terkait. 3) Aktor kunci merupakan aktor yang memiliki kewenangan secara legal dalam hal pengambilan keputusan. Aktor kunci yang dimaksud adalah unsur eksekutif sesuai levelnya, legislatif, dan instansi. Kelompok-kelompok aktor sering digolongkan menurut aspek sosial ekonomi seperti tingkatan pendapatan, kelompok pekerja dan status ketenagakerjaan, atau menurut tingkat keterlibatan formal didalam proses pengambilan keputusan, tingkat kohesi kelompok, struktur formal atau informal. Analisis aktor adalah suatu sistem untuk mengumpulkan informasi mengenai kelompok atau individu yang terkait, mengkategorikan informasi, dan menjelaskan kemungkinan konflik antar kelompok, dan kondisi yang memungkinkan terjadinya trade-off. Langkah-langkah dalam melakukan analisis aktor adalah: 1) Identifikasi aktor 2) Membuat tabel aktor 3) Menganalisis pengaruh dan kepentingan aktor 4) Membuat aktor grid 5) Menyepakati hasil analisis dengan aktor utama Proses penentuan aktor dilakukan dengan beberapa cara antara lain: 1) Mengidentifikasi sendiri berdasarkan pengalaman dalam bidang pembangunan wilayah (berkaitan dengan perencanaan kebijakan). 2) Mengidentifikasi berdasarkan catatan statistik serta laporan penelitian. Hasil identifikasi ini berupa daftar panjang individu dan kelompok yang terkait dengan pembangunan wilayah pesisir. 3) Identifikasi aktor menggunakan pendekatan partisipatif dengan teknik snowball dimana setiap aktor mengidentifikasi aktor lainnya. Berdiskusi dengan aktor yang teridentifikasi pertama kali dapat mengungkapkan pandangan mereka tentang keberadaan aktor penting lain yang berkaitan 53 dengannya. Metode ini juga dapat membantu pengertian yang lebih mendalam terhadap kepentingan dan keterkaitan aktor. Untuk memudahkan analisis aktor, setiap aktor dikategorikan ke dalam lima kategori yakni pemerintah (pengambil kebijakan dan lembaga legislatif), swasta (pengusaha dan lembaga donor), tokoh masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat dan organisasi sosial lainnya, serta pakar dan profesional. Aktor yang teridentifikasi dikategorikan ke dalam kelompok institusi pemerintah, masyarakat, organisasi sosial, dunia usaha dan akademisi. Selain itu dibedakan pula berdasarkan tingkat continuum mulai dari tingkat lokal, provinsi, hingga tingkat pusat. Analisis Pengaruh dan Kepentingan Berdasarkan tabel aktor dilakukan analisis kepentingan (importance) dan pengaruh (influence) masing-masing aktor dalam kaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Kepentingan merujuk pada peran seorang aktor di dalam pencapaian output dan tujuan serta menjadi fokus pertimbangan terhadap keputusan yang akan dibuat sedangkan pengaruh merujuk pada kekuatan yang dimiliki seorang aktor untuk mengontrol proses dan hasil dari suatu kebijakan (IIED 2001, Mardle 2003). Kegiatan ini dilakukan dengan wawancara langsung dan kuesioner terhadap wakil dari semua aktor yang teridentifikasi dari hasil analisis aktor. Pengolahan data kualitatif hasil wawancara dikuantitatifkan dengan mengacu pada pengukuran data berjenjang lima (Tabel 9). 54 Tabel 9. Ukuran kuantitatif terhadap identifikasi dan pemetaan aktor Skor Nilai Kriteria Keterangan Kepentingan Aktor 5 17 – 20 Sangat Tinggi Sangat bergantung pada keberadaan sumberdaya ikan 4 13 – 16 Tinggi Ketergantungan tinggi pada keberadaan sumberdaya ikan 3 9 – 12 Cukup Tinggi Cukup bergantung pada keberadaan sumberdaya ikan 2 5–8 Kurang Tinggi Ketergantungan pada keberadaan sumberdaya ikan kecil 1 0–4 Rendah Tidak tergantung pada keberadaan sumberdaya ikan Pengaruh Aktor 5 17 – 20 Sangat Tinggi Jika responnya berpengaruh nyata terhadap aktivitas aktor lain 4 13 – 16 Tinggi Jika responnya berpengaruh besar terhadap aktivitas aktor lain 3 9 – 12 Cukup Tinggi Jika responnya cukup berpengaruh terhadap aktivitas aktor lain 2 5–8 Kurang Tinggi Jika responnya berpengaruh kecil terhadap aktivitas aktor lain 1 0–4 Rendah Jika responnya tidak berpengaruh terhadap aktivitas aktor lain Sumber : Abbas (2005) dalam Haswanto (2006) Aktor yang berkepentingan dan berpengaruh terhadap pembangunan wilayah bervariasi sesuai dengan motif, cakupan wilayah, dan orientasi tujuan pembangunan. Untuk melihat besarnya kepentingan dan pengaruh masing-masing aktor terhadap pengeloalan dan pemanfaatan sumberdaya ikan, alat analisis yang digunakan adalah ”aktor grid” yang mengkategorikan aktor menurut tingkat kepentingan dan pengaruhnya terhadap pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Sebaran posisi aktor menurut kepentingan dan pengaruhnya diilustrasikan pada Gambar 9 berikut. 55 B. A. Tinggi Pemain Kepentingan Subjek D. C. Aktor Penonton Rendah Rendah Pengaruh Tinggi Gambar 9. Aktor grid Kotak A (subjek) menunjukkan kelompok aktor yang memiliki kepentingan yang tinggi terhadap kegiatan tetapi rendah pengaruhnya, mencakup anggota organisasi yang melakukan kegiatan dan responsif terhadap pelaksanaan kegiatan tetapi bukan pengambil kebijakan. Kotak B (pemain) merupakan kelompok aktor yang memiliki derajat pengaruh dan kepentingan yang tinggi untuk mensukseskan kegiatan seperti tokoh masyarakat, kepala instansi terkait, dan kepala pemerintahahan. Kotak D (aktor) merupakan aktor yang terpengaruh tetapi rendah kepentingannya dalam pencapaian tujuan dan hasil kebijakan. Kotak C (penonton) mewakili kelompok aktor yang rendah pengaruh dan kepentingannya. Interest mereka dibutuhkan untuk memastikan: (a) interestnya tidak terpengaruh sebaliknya, dan (b) kepentingan dan pengaruhnya tidak mengubah keadaan. Analisis Tata Kelola Sumberdaya Ikan Analisis kelembagaan yang akan digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis kelembagaan yang dikembangkan oleh Oakerson (1992). Analisis ini merupakan pengembangan dari analisis kelembagaan dan pembangunan (The Institutional Analysis and Development) yang dikembangkan 56 oleh Ostrom (1986, 1990). Secara skematis kerangka analisis kelembagaan tersebut dapat dilihat pada Gambar 10. (Pido et.al 1997). Atribut Biologi (Fisik, Teknologi) Atribut Makro Ekonom, Politik dan Sosial Atribut Pasar (supply, Demand) Insentif untuk koordinasi, kerjasama dan kontribusi Pola interaksi antar sumberdaya dengan pengguna Dampak Atribut Stakeholders (Masyarakat Nelayan, Pemerintah, Swasta) Atribut Kelembagaan Nelayan dan Aturan Organisasi Atribut Kelembagaan Eksternal dan Aturan Organisasi Gambar 10. Kerangka Analisis Kelembagaan (Pido et.al 1997) Dari Gambar 10 terlihat bahwa terdapat enam atribut yang memberikan pengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan, yaitu atribut biofisik dan teknologi, atribut pasar, atribut pemegang kepentingan, atribut kelembagaan dan organisasi nelayan, atribut pengambil keputusan dan atribut eksogen. Pertama atribut biofisik dan teknologi. Atribut ini pembatas atau kendala bagi pembangunan perikanan. Atribut biofisik dari sumberdaya juga menentukan skala pembangunan perikanan. Artinya bahwa semakin besar area dan jumlah potensi sumberdaya ikan yang tersedia maka semakin besar pula skala pembangunan perikanan yang dapat dilaksanakan. Atribut biofisik juga menentukan cara para pengguna sumberdaya, terutama nelayan, dapat saling berinteraksi dan melakukan aksi individu atau aksi kolektif. Aspek teknologi yang digunakan dalam memanfaatkan sumberdaya sangat bergantung pada jenis dan jumlah sumberdaya ikan yang tersedia. Teknologi yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan diatur serta ditentukan dalam hak-hak pemanfaatan sumberdaya. Oakerson (1992) mengajukan tiga alasan mengapa perlu dilakukan kajian hubungan antara atribut-atribut ini dengan tatanan kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan yang berlaku. Ketiga alasan tersebut adalah 57 1. Sumberdaya ikan memiliki kapasitas relatif dalam mendukung usaha nelayan secara simultan tanpa adanya benturan-benturan di antara mereka atau adanya dampak yang merugikan bagi nelayan tertentu yang timbul karena nelayan lain menangkap ikan dalam jumlah yang lebih banyak. Analisis sifat biofisik harus diarahkan untuk menentukan secara sangat akurat faktor-faktor pembatas sumberdaya itu. Faktor-faktor pembatas yang utama adalah potensi dan jenis serta mobilitasnya di dalam kawasan yang dikelola. 2. Derajat aksesibilitas terhadap sumberdaya. Keterbatasan potensi sumberdaya berarti bahwa akses terhadap sumberdaya sulit dan mahal. Oleh karena akses terhadap sumberdaya sulit dan mahal maka tindakan seseorang untuk berhenti memanfaatkan sumberdaya merupakan sesuatu yang jarang terjadi.Oleh karena itu, sumberdaya perikanan dimanfaatkan secara bersama-sama dalam suatu bentuk kompetisi di antara nelayan. Dengan demikian, ada saling ketergantungan antar nelayan. Aksi seseorang akan memberikan dampak kepada yang lain dan selanjutnya membuat orang lain melakukan aksi serupa. Jadi, interaksi di antara nelayan ini cenderung menjurus kepada pertentangan atau konflik di antara mereka. 3. Batas-batas spasial sumberdaya perikanan menentukan skala minimum suatu tatanan pengelolaan sumberdaya perikanan. Berdasarkan batas geografis suatu sumberdaya dapat ditentukan batas-batas fisik lainnya, terutama yang berkaitan dengan teknologi pemanfaatan sumberdaya perikanan. Kedua, atribut pasar yang elemen utamanya meliputi aspek permintaan (demand) dan penawaran (supply) komoditas perikanan yang dihasilkan dari sumberdaya yang dikelola. Atribut pasar seperti harga dan struktur pasar merupakan insentif atau disintensif bagi terbentuknya suatu tatanan kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan serta derajat kepatuhan masyarakat (nelayan) terhadap tatanan tersebut. Memahami atribut pasar adalah sesuatu yang sangat penting dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya perikanan. Hal ini karena di samping sebagai kegiatan berbasis sumberdaya alam, perikanan merupakan kegiatan 58 ekonomi yang berbasis pasar. Oleh karena itu, perumusan suatu tatanan pengelolaan perikanan patut pula memperhatikan aspek pasar yang berkaitan atau yang merupakan ciri sumberdaya tersebut. Ketiga, atribut pemegang kepentingan. Pemegang kepentingan utama dalam pengelolaan sumberdaya perikanan adalah nelayan serta masyarakat lainnya yang memiliki kepentingan atau perhatian terhadap pemanfaatan sumberdaya perikanan. Atribut ini adalah variabel sosial ekonomi yang melekat atau dimiliki nelayan dan masyarakat selaku pemegang kepentingan. Variabel tersebut adalah kepercayaan, agama, tradisi, budaya, sumber matapencaharian, derajat sosial, ekonomi, homohenitas atau heterogenitas dalam masyarakat, kepemilikan aset, norma masyarakat serta tingkat integritas dalam ekonomi dan politik. Keempat, atribut tatanan dan indikator pengambilan keputusan. Atribut pengambilan keputusan sangat bergantung pada cara tatanan kelembagaan, hakhak masyarakat dan aturan-aturan dibuat atau dirumuskan. Tiga aspek penting yang patut diperhatikan dalam pengambilan keputusan adalah : 1. Keterwakilan (representation) yang didefinisikan sebagai tingkat nelayan dan pemegang kepentingan lainnya berpartisipasi dalam pengambilan keputusan; 2. Kecocokan (relevance) adalah tingkat peraturan yang berlaku dinilai cocok dengan masalah-masalah yang dihadapi; 3. Penegakan hukum (enforceability) adalah tingkat aturan-aturan dapat ditegakan. Kelima, atribut kelembagaan dan organisasi eksternal, yaitu lembaga atau organisasi yang berada di luar masyarakat nelayan, tetapi masih berpengaruh pada kehidupan nelayan serta kondisi sumberdaya ikan. Oakerson (1992) mengatakan organisasi eksternal terdiri dari beberapa tingkatan di lembaga pemerintah maupun non pemerintah dengan atau tanpa ikatan formal. Keenam, atribut eksogen. Berbagai faktor eksogen dapat berdampak bagi pembangunan serta pengelolaan sumberdaya perikanan. Faktor eksogen adalah hal-hal yang terjadi di luar kontrol nelayan dan masyarakat. Faktor ini juga merupakan peristiwa dalam bentuk kebijakan atau lainnya yang terjadi pada organisasi yang lebih tinggi tingkatannya. Hal-hal yang terjadi secara tiba-tiba di 59 tingkat nasional dan internasional dan mengakibatkan kegoncangan pada usaha perikanan adalah atribut eksogen dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Beberapa variabel eksogen yang umumnya dihadapi nelayan adalah gempa bumi, tsunami, banjir, kebijakan makro, kebijakan ekonomi, resesi, perdagangan global, komitmen dan kesepakatan masyarakat internasional, serta penemuan teknologi. Analisis Biaya Transaksi Masing-masing biaya transaksi yang dihadapi nelayan dan pemerintah dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu tidak selalu sama. Secara umum menurut Furubotn & Richter (2000) biaya transaksi (transaction cost) (TrC) mencangkup biaya transaksi manajemen (S1j) dan biaya transaksi politik (S2j). Biaya transaksi manajemen terdiri dari biaya penyusunan (setting up), pemeliharaan, atau perubahan desain organisasi (S11) dan biaya menjalankan organisasi (S12). Sementara itu biaya transaksi politik terdiri dari biaya penyusunan (S21), pemeliharaan (S22) dan perubahan organisasi politik (S23) formal dan informal, biaya untuk menjalankan politik (S24) . Persamaan yang digunakan untuk biaya transaksi pemerintah (TrC1)dan nelayan (TrC2) adalah (Anggraini 2005): TrCj = ∑ Sij…………………………………………………………………….(1) Rasio masing-masing komponen biaya transaksi terhadap total biaya transaksi (z) di hitung dengan menggunakan rumus (Anggraini, 2005): zij = , ∑ zij = 1……………………………………………………………….(2) Analisis Keefektifan Biaya (Cost Effectiveness Analysis) Analisis Keefektifan Biaya (Cost Effectiveness Analysis, CEA) dalam penelitian ini menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh Barton (1994). Persamaan tersebut adalah : CEA Ci, t 1 r 60 Dimana : CEA = Cost Effectiveness Analysis Ci = Biaya transaksi yang dikeluarkan oleh i r = Tingkat diskonto (Tingkat diskonto yang dipakai dalam penelitian ini adalah tingat diskonto yang dipakai oleh Asian Deveopment Bank (ADB) dalam menilai proyek di Indonesia, yaitu sebesar 12 %) t = waktu (dalam penelitian ini t = 5) i = 1 adalah Pemerintah i = 2 adalah Kelompok Nelayan Menurut Tarigan (2006) untuk memilih mana yang efektif maka dipilih kelompok yang memiliki nilai CEA lebih kecil. Game Theory Menurut Anwar (2002), teori permainan (game theory) merupakan penelaahan mendasar yang menyangkut interaksi antara para pengambil keputusan terutama yang menyangkut interaksi yang terjadi antara para peserta ekonomi. Teori ini menjadi penting karena dapat memberikan landasan fundamental bagi setiap hubungan-hubungan sosial dan ekonomi antar manusia. Lebih jauh Anwar (2002) menyatakan bahwa secara garis besar, permainan (game) dapat dibagi menjadi dua, yaitu permainan yang tidak bekerjasama (non cooperative) dan permainan yang bekerjasama (cooperative). Dalam permainan yang tidak bekerjasama, penyelesaian umumnya menggunakan pendekatan Nash equilibrium. Jika ada segugus strategi yang mempunyai karakteristik dimana tidak satu pun pemain yang dapat beruntung dengan merubah strateginya, sementara pemain lainnya juga tetap mempertahankan (tidak mengubah) strategi mereka, maka gugus strategi itu dan pahala yang berkaitan dengannya dikatakan sebagai keseimbangan Nash (Nash Equilibrium). Dalam permainan yang bekerjasama (cooperative game), menggunakan landasan pareto optimum, yaitu jika tidak ada seseorang yang dapat dibuat lebih baik keadaannya tanpa membuat seseorang lain menjadi lebih jelek. Apabila terjadi perubahan dari keadaan pareto optimum, maka ini akan terjadi kerugian untuk keseluruhannya. 61 Bentuk game ektensif (extensive form game) merupakan salah satu permainan bekerjasama (cooperative game). Menurut Anwar (2002) representasi dari suatu bentuk permainan yang ekstensif mempunyai kekhususan, yaitu : 1) Ada pemain-pemain dalam permainan; 2) Bilamana masing-masing pemain bergerak, apa yang dapat diperbuat oleh masing-masing pemain dalam kesempatannya untuk bergerak, apa yang diketahui oleh masing-masing pemain pada kesempatannya untuk bergerak; 3) Pahala (pay-off) yang diterima oleh masing-masing pemain untuk setiap kombinasi gerakan-gerakan yang dapat dipilih oleh pemain. Ada satu permainan yang disimulasikan dalam penelitian ini, yaitu antara pemerintah dengan masyarakat nelayan (P-N) (Tabel 10). Permainan ini menggunakan bentuk permainan ekstensif game. Tabel 10. Pemain, pilihan strategi dan pay-off analisis game theory. Pemain Pilihan Strategi Pemerintah dan nelayan ¾ Quasi open access Data pay-off – ¾ Biaya pengawasan ¾ Manfaat konservasi Limited Entry ¾ Eksploitatif – Sustainable ¾ Pendapatan nelayan Secara umum langkah-langkah yang ditempuh adalah sebagai berikut : ™ Membuat tabel pay-off dari masing-masing aktor (pemain), kemudian menetapkan besarnya nilai keuntungan dan kerugian dari masing-masing aktor berdasarkan strategi pilihannya (Tabel 11). Tabel 11. Matriks Pahala (Payoffs) dalam analisis Game Theory Pemain 1 ¾ A B Pemain 2 A (1 A), (2 A) (1 B), (2 A) B (1 A) (2 B) (1 B) (2 B) Menetapkan kriteria strategi permainan. Pilihan strategi dan konsekuensinya untuk permainan antara pemerintah dengan nelayan adalah : Strategi pemerintah : memilih 62 ™ Quasi open access, dengan konsekuensi bagi pemerintah adalah mengeluarkan biaya eksploitasi/perusakan pengawasan sumberdaya untuk ikan dan menjamin dapat berkurangnya dikendalikannya penangkapan yang tidak ramah lingkungan; atau ™ Limited entry, menegaskan hak pada kelompok masyarakat nelayan dan menyerahkan pengawasan sepenuhnya pada masyarakat. Strategi nelayan : memilih ™ Eksploitatif, melakukan eksploitasi seperti biasa dengan menggunakan cara tangkap relatif tidak ramah lingkungan sehingga mengakibatkan degradasi terhadap sumberdaya ikan; ™ Sustainable, melakukan eksploitasi berdasarkan kesepakatan kelompok dengan menggunakan cara tangkap yang ramah lingkungan sehingga keberadaan sumberdaya ikan dapat terjaga. Analisis Konflik Pengelolaan Sumberdaya Ikan Untuk menganalisis berbagai konflik antar pemangku kepentingan (stakeholders) dalam pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu digunakan pendekatan yang dilakukan oleh Fisher et.al (2000). Dalam metode analisis ini, sebelumnya pahami dahulu mengapa konflik itu terjadi : (1) agar dipahami latar belakang dan sejarah suatu situasi dan kejadian-kejadian saat ini, (2) identifikasi kelompok yang terlibat, dan tidak hanya kelompok yang menonjol saja; (3) agar memahami pandangan semua kelompok dan lebih mendalami bagaimana hubungan mereka satu sama lain; (4) identifikasi faktor-faktor dan kecenderungan-kecenderungan yang mendasari konflik; dan (5) agar belajar dari kegagalan dan juga kesuksesan (Fisher et.al 2000). Menurut Fisher et.al (2000), ada 9 alat bantu dalam penelitian untuk menganalisis konflik, yaitu: 1) Penahapan konflik. Konflik berubah setiap saat, melalui berbagai aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda. Tahapan penahapan ini terdiri dari : 63 ¾ Pra konflik, ini merupakan periode dimana terhadap suatu ketidaksesuaian sasaran di antara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik; ¾ Konfrontasi, pada tahap ini konflik menjadi semakin terbuka. ¾ Krisis, ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan/atau kekerasan terjadi paling hebat. ¾ Akibat, suatu krisis pasti akan menimbulkan suatu akibat. Satu pihak mungkin menaklukkan pihak lain, atau mungkin melakukan gencatan senjata. ¾ Pasca konflik, akhirnya situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah ke labih normal di antara kedua pihak. 2) Urutan kejadian. Urutan kejadian merupakan daftar waktu dan menggambarkan kejadian-kejadian secara kronologis. Tujuan penggunaan urutan kejadian bukan untuk mendapatkan sejarah yang benar atau objektif, tetapi untuk memahami pandangan-pandangan orang-orang yang terlibat. 3) Pemetaan konflik. Pemetaan merupakan suatu teknik yang digunakan untuk menggambarkan konflik secara grafis, menghubungkan pihak-pihak dengan masalah dan dengan pihak lainnya. 4) Segitiga Sikap-Perilaku-Konteks (SPK), merupakan suatu analisis berbagai faktor yang berkaitan dengan sikap, perilaku dan konteks bagi masinhmasing pihak utama. Tujuan dari tahapan ini adalah untuk mengidentifikasi ketiga faktor tersebut di setiap pihak utama, menganalisis bagaimana faktorfaktor tersebut saling mempengaruhi, menghubungkan faktor-faktor tersebut dengan berbagai kebutuhan dan ketakutan masing-masing pihak, dan mengidentifikasi titik awal intervensi dalam suatu situasi. 5) Analogi bawang Bombay (atau Donat), merupakan suatu cara untuk menganalisis perbedaan pandangan tentang konflik dari pihak-pihak yang berkonflik. 6) Pohon konflik, merupakan suatu alat bantu, menggunakan gambar sebuah pohon untuk mengurutkan isu-isu pokok konflik. 64 7) Analisis kekuatan konflik, merupakan cara untuk mengidentifikasi kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi konflik. 8) Analogi pilar, merupakan alat bantu yang didasarkan pada keyakinan bahwa situasi tertentu tidak benar-benar stabil, tetapi ditahan oleh berbagai faktor atau kekuatan, yaitu pilar-pilar. Alat bantu ini menggunakan ilustrasi berupa grafik dari elemen-elemen atau kekuatan-kekuatan yang menahan situasi yang tidak stabil. 9) Piramida, merupakan alat bantu grafik yang menunjukan tingkat-tingkat stakeholders dalam suatu konflik. Desain Kelembagaan Metode desain kelembagaan dalam penelitian ini menggunakan model yang dikembangkan oleh Pakpahan (1989) bahwa suatu kelembagaan dicirikan oleh 3 hal utama, yaitu : 1) Batas yurisdiksi (yurisdiction of boundary). Artinya hak atas (batas wilayah kekuasaan) atau (batas otoritas) yang dimiliki oleh suatu lembaga, atau mengandung makna kedua-duanya. Penentuan siapa dan apa yang tercakup dalam suatu organisasi atau masyarakat ditentukan oleh batas yurisdiksi; 2) Hak kepemilikan (property right). Konsep property atau pemilikan muncul dari konsep hak (right) dan kewajiban (obligations) yang diatur oleh hukum, adat, dan tradisi, atau konsesus yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya (Pakpahan 1990). Tidak seorang pun yang dapat menyatakan hak milik tanpa pengesahan dari masyarakat dimana dia berada. Hak kepemilikan juga merupakan sumber kekuatan untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya; 3) Aturan representasi (rule of representation). Hal ini mengatur permasalahan siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan. sumberdaya. Aturan representasi Dipandang dari menentukan alokasi dan distribusi segi ekonomi, aturan representasi mempengaruhi ongkos membuat keputusan. Biaya transaksi yang tinggi dapat menyebabkan output tidak bernilai untuk diproduksi. Oleh karena itu, 65 perlu dicari suatu mekanisme representasi yang efisien sehingga dapat menurunkan biaya transaksi. Definisi Operasional Kelembagaan adalah suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik aturan formal maupun informal untuk pengendalian prilaku ekonomi serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan Pengelolaan Perikanan Teluk Palabuhanratu yang berkelanjutan. Aktor adalah individu atau organisasi yang memiliki tujuan masing-masing dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu; Nelayan adalah seseorang yang memiliki mata pencaharian utama menangkap ikan di laut dan menghabiskan waktu yang paling banyak untuk melakukan kegiatan tersebut. Biaya Transaksi adalah biaya untuk melakukan manajemen pengelolaan sumberdaya ikan (managerial transaction costs) dan biaya yang diasosiasikan untuk menggerakkan dan menyesuaikan dengan kerangka politik kelembagaan (political transaction costs). 66 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Geografi Wilayah Kabupaten Sukabumi secara astronomis berada pada 6o57’ – 7o25’ Lintang Selatan dan 106o41’ – 107o00’ Bujur Timur, dengan batas-batas wilayah secara administratif sebagai berikut: 1) Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bogor 2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Hindia 3) Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak dan Samudera Hindia 4) Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Cianjur Luas wilayah Kabupaten Sukabumi adalah 412.799,54 ha, dengan panjang garis pantai kurang lebih 117 km. Wilayah kabupaten ini secara administratif terbagi menjadi 45 kecamatan, 339 desa, 2.978 rukun warga, dan 11.324 rukun tetangga (BPS Kabupaten Sukabumi 2003). Sementara itu dari 45 kecamatan yang ada di Kabupaten Sukabumi, terdapat sembilan kecamatan yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia atau disebut kecamatan pesisir, yaitu Kecamatan Tegalbuleud, Cibitung, Surade, Ciracap, Ciemas, Simpenan, Palabuhanratu, Cikakak, dan Cisolok. Luas wilayah Kabupaten Sukabumi per kecamatan pesisir tersebut dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Luas kecamatan di wilayah kabupaten sukabumi No Kecamatan Luas Wilayah (ha) 1 Ciemas 26.696,00 2 Ciracap 16.056,10 3 Surade 13.393,09 4 Cibitung 15.021,66 5 Tegalbuleud 15.054,43 6 Palabuhanratu 10.287,91 7 Simpenan 16.922,16 8 Cisolok 16.057,72 9 Cikakak 11.644,26 Sumber: BPS Kabupaten Sukabumi 2003 Persentase (%) 6,47 3,89 3,24 3,64 3,65 2,49 4,10 3,89 2,82 Berdasarkan Tabel 12 terlihat bahwa luas keseluruhan kecamatan pesisir ini adalah 141,133.33 ha atau 34.19% dari luas keseluruhan Kabupaten Sukabumi. Wilayah pesisir Kabupaten Sukabumi memiliki garis pantai yang relatif lurus (flat), dengan komposisi geografis paling barat (westernmost) adalah Kecamatan 67 Cisolok yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Lebak, kemudian secara berurutan ke arah timur adalah Kecamatan Cikakak, Palabuhanratu, Simpenan, Ciemas, Ciracap, Surade, Tegalbuleud dan Kecamatan Cibitung di sebelah paling timur (easternmost). Kecamatan pesisir paling barat di Kabupaten Sukabumi adalah Kecamatan Cisolok yang langsung berbatasan dengan Kabupaten Lebak. Di sebelah timur, kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan Cikakak, sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Kabandungan, dan di sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia. Luas wilayah Cisolok mencapai 16,057.72 ha atau 3.89% dari luas keseluruhan Kabupaten Sukabumi atau 11.38% dari luas keseluruhan kecamatan pesisir. Sementara desa yang langsung berbatasan dengan laut atau desa pesisir ada 9 desa, yaitu Desa Sirnaresmi, Cicadas, Gunung Kramat, Gunung Tanjung, Caringin, Pasirbaru, Cikahuripan, Cisolok dan Karangpapak. Kecamatan Cikakak mempunyai luas wilayah sebesar 11,644.26 ha atau 2.82% dari luas keseluruhan Kabupaten Sukabumi. Sementara diantara kecamatan pesisir, kecamatan ini mempunyai persentase luasan sebesar 8.25% dari luas keseluruhan kecamatan pesisir. Secara administratif, Kecamatan Cikakak di sebelah utara berbatasan dengan Kabandungan, sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia, sebelah timur berbatasan dengan Palabuhanratu dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Cisolok. Kecamatan ini dibagi menjadi 2 desa pesisir, yaitu Desa Cimaja, dan Cikakak. Kecamatan berikutnya ke arah timur adalah Kecamatan Palabuhanratu yang mempunyai luasan sebesar 10,287.91 ha atau 2.49% dari luas keseluruhan Kabupaten Sukabumi. Kecamatan mempunyai fungsi sebagai ibukota dan sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Sukabumi. Secara administratif mempunyai batas dengan Kecamatan Bantargadung di sebelah timur, Kecamatan Cikidang di utara, Samudera Hindia id selatan dan Kecamatan Cikakak di Barat. Kecamatan ini dibagi menjadi 4 desa pesisir, yaitu Citarik, Palabuhanratu, Citepus, dan Cibodas. Selanjutnya adalah Kecamatan Simpenan yang baru dimekarkan dari Kecamatan Palabuhanratu pada tahun 2001. Kecamatan ini dibagi menjadi 2 desa pesisir, yaitu Desa Kertajaya, dan Loji. Sementara batas-batas wilayahnya adalah sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Palabuhanratu, sebelah selatan 68 dengan Kecamatan Waluran, sebelah timur dengan Lengkong dan sebelah barat dengan Samudera Hindia. Luas kecamatan ini mencapai 16,922.16 ha atau 4.10% dari luas keseluruhan kabupaten dan 11.99% dari luas keseluruhan kecamatan pesisir. Kecamatan Ciemas mempunyai luas wilayah 26,696 ha atau 6.47% dari luas keseluruhan Kabupaten Sukabumi dan merupakan kecamatan pesisir terluas (18.92% dari luas keseluruhan kecamatan pesisir). Batas wilayahnya adalah sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Simpenan, sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Ciracap, dan sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia. Kecamatan ini terdiri dari 3 desa pesisir, yaitu Desa Cibenda, Ciwaru, dan Girimukti. Kecamatan berikutnya ke arah timur adalah Kecamatan Ciracap yang mempunyai batas sebagai berikut: sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Waluran, sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia, sebelah timur berbatasan dengan Ciracap, dan sebelah barat berbatasan dengan Ciemas. Luas wilayah Kecamatan Ciracap adalah sebesar 16,056.10 ha atau 3.89% dari luas keseluruhan Kabupaten Sukabumi dan terbagi menjadi 3 desa pesisir, yaitu Gunungbatu, Cikangkung, dan Purwasedar. Kecamatan Surade berbatasan langsung dengan Kecamatan Ciracap di sebelah barat, semetara di timur berbatasan dengan Kecamatan Cibitung, sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Jampangkulon, dan sebelah selatan dengan Samudera Hindia. Kecamatan ini terbagai menjadi 3 desa pesisir, yaitu Desa Pasiripis, Buniwangi, dan Cipeundeuy. Luas kecamatan ini mencapai 13,393.09 ha atau 3.24% dari luas keseluruhan Kabupaten Sukabumi. Kecamatan berikutnya adalah Kecamatan Cibitung. Kecamatan ini mempunyai luas sebesar 15,021.66 ha atau 3.64% dari luas keseluruhan Kabupaten Sukabumi. Batas administrasinya adalah sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Jampangkulon, sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia, sebalah timur berbatasan dengan Kecamatan Kalibunder dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Surade. Terdapat 6 desa pesisir di kecamatan ini, yaitu Desa Cidahu, dan Cibitung. 69 Kecamatan pesisir terakhir yang terletak paling timur adalah Kecamatan Tegalbuleud yang memiliki 3 desa pesisir, yaitu Sumberjaya, Buniasih, dan Tegalbuleud. Luas wilayahnya mencapai 15,054.43 ha atau 3.65% dari luas keseluruhan Kabupaten Sukabumi. Di sebelah utara, kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan Cidolog, di selatan berbatasan dengan Samudera Hindia, di timur berbatasan dengan Kabupaten Cianjur dan di barat berbatasan dengan Kecamatan Cibitung. Kependudukan Data Potensi Desa Tahun 2006 menunjukan bahwa jumlah penduduk Kabupaten Sukabumi mencapai sekitar 2.253.433 orang, yang terdiri dari 1.110.730 laki-laki dan 1.142.703 perempuan. Sementara itu jumlah penduduk yang tinggal di wilayah pesisir mencapai sekitar 448.626 jiwa atau sekitar 19,91 persen, yang terdiri dari 226.789 laki-laki dan 221.837 perempuan dan tersebar di sembilan kecamatan pesisir. Secara lengkap jumlah penduduk di wilayah pesisir Kabupaten Sukabumi tersebut dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Jumlah penduduk di kecamatan pesisir kabupaten sukabumi tahun 2005 No Nama Kecamatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Ciemas Ciracap Surade Cibitung Tegal Buleud Pelabuhanratu Simpenan Cisolok Cikakak Total Penduduk Sukabumi Persentase Sumber : Diolah dari BPS 2006 Jumlah Penduduk Laki-Laki Perempuan 22.581 23.824 22.357 21.715 33.531 32.414 11.832 11.894 16.309 16.354 46.076 43.397 24.746 24.546 31.061 29.835 18.296 17.858 226.789 221.837 1.110.730 1.142.703 20,42 19,41 Total 46.405 44.072 65.945 23.726 32.663 89.473 49.292 60.896 36.154 448.626 2.253.433 19,91 Berdasarkan Tabel 13 terlihat bahwa Kecamatan Pelabuhanratu memiliki jumlah penduduk terbesar dari delapan kecamatan pesisir lainnya, yaitu mencapai 89.473 jiwa, yang terdiri dari 46.076 jiwa laki-laki dan 43.397 perempuan. Hal ini menunjukan bahwa konsentrasi penduduk berada di sekitar pusat pemerintahan dan perdagangan. Kecamatan Pelabuhanratu merupakan tempat pusat 70 p pemerintaha an Kabupateen Sukabum mi dan pusaat perdaganggan ikan laaut. Secara l lengkap pen nyebaran jum mlah pendudduk di setiaap kecamataan pesisir daapat dilihat Orang p pada Gambaar 11. 100,0 000 80,0 000 60,0 000 40,0 000 20,0 000 - Nama Keecamatan Laki-Lakii Perempuaan Total G Gambar 11.. Penyebarann Pendudukk di Kecamaatan Pesisir Kabupaten Sukabumi Tahun 2005 (BPS 20066) K Kesejahtera aan Pendud duk Tingkaat kesejateraaan pendudduk di wilay yah pesisir Kabupaten Sukabumi m masih menjadi persoalaan dalam m mewujudkan tujuan pem mbangunan. Persentase k keluarga praa keluarga sejahtera 1 dan d keluargaa sejahtera 1 2 rata-rataa diatas 30 p persen dari jumlah j keluarga di setiaap kecamataan. Artinya bahwa b jumlaah keluarga y yang perlu ditingkatkaan kesejahteeraannya masih m besar. Kecamatann Cikakak m merupakan k kecamatan y yang memiliiki persentasse keluarga P Pra KS dan KS 1 yang p paling besaar, yaitu sekkitar 64,67 persen. Seementara ituu Kecamataan Ciracap m merupakan k kecamatan y yang memiliki persentaase jumlah kkeluarga KS dan KS 1 y yang paling kecil, yaituu sekitar 23,,83 persen. Secara lengkap persentaase jumlah k keluarga Praa KS dan KS S 1 di setiap kecamatan pesisir p Kabuupaten Sukabbumi dapat d dilihat pada Tabel 14. 1 Keluarga Prra Sejahtera adalah a keluargga-keluarga yaang belum daapat memenuhhi kebutuhan ddasarnya secarra minimal, seperti kebutuhhan spiritual, pangan, sandaang, papan, keesehatan dan k keluarga berrencana (Keepmen Negaara Kependuudukan/Kepala BKKBN No KEP.0 05/MEN/MEN NEG..K/02/98 tentang t Pengem mbangan Kualiitas Penduduk)). 2 Keluarga Sejahtera I adalah h keluarga-kelluarga yang tellah dapat mem menuhi kebutuhhan dasarnya s secara minimaal, tetapi belum m dapat memennuhi kebutuhan n sosial dan pssikologis, seperrti kebutuhan p pendidikan, intteraksi dalam keluarga, k interraksi dengan linngkungan temp mpat tinggal dann transportasi ( (Kepmen Negara Kependuddukan/Kepala BKKBN B No KEP.-05/MEN/ K /MENEG..K/002/98 tentang P Pengembangan n Kualitas Pendduduk). 71 Tabel 14. Persentase Kelurga Pra KS dan KS 1 di Kecamatan Pesisir Kabupaten Sukabumi Tahun 2005 No Nama Kecamatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Jumlah Keluarga Pra KS dan KS 1 4.574 3.143 6.103 1.886 3.157 6.373 3.455 7.119 5.621 41.431 Ciemas Ciracap Surade Cibitung Tegal Buleud Pelabuhanratu Simpenan Cisolok Cikakak Total Jumlah KK Sukabumi Sumber : Diolah dari BPS 2006 12.506 13.189 19.842 6.943 10.551 25.766 13.101 16.164 8.754 126.816 Persentase Keluarga Pra KS dan KS 1 36,57 23,83 30,76 27,16 29,92 24,73 26,37 44,04 64,21 32.67 578.368 7,16 Jumlah Keluarga Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Kegiatan perikanan, baik itu perikanan tangkap atau perikanan budidaya merupakan kegiatan ekonomi yang penting untuk kabupaten Sukabumi. Hal ini sangat beralasan mengingat kabupaten Sukabumi dengan luas wilayah 412.759,54 Ha dan panjang pantai sekitar 117 Km mempunyai potensi sumberdaya pesisir dan laut cukup besar. Selain itu sebagain besar penduduk Kabupaten Sukabumi berada di kawasan pesisir. Sektor perikanan merupakan salah satu sektor andalan yang menjadi roda penggerak roda perkonomian di Kabupaten Sukabumi. Kontribusi sektor perikanan terhadap perekonomian Kabupaten Sukabumi dari tahun ketahun mengalami kenaikan, yaitu rata-rata sekitar 9%. Secara umum wilayah pengembangan kegiatan perikanan di Kabupaten Sukabumi tersebar di enam kecamatan pesisir, yaitu Palabuhanratu, Cisolok Ciemas, Ciracap, Surade dan Tegalbuled. Kegiatan usaha perikanan yang berkembang di enam wilayah tersebut bervariasi antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Usaha perikanan yang berkembang selain perikanan tangkap dan perikanan budidaya, juga berkembang pengolahan perikanan. Perikanan Tangkap Kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Sukabumi tersebar di empat kecamatan pesisir, yaitu Kecamatan Palabuhanratu, Cisolok, Simpenan, Ciemas, 72 Surade, dan Ciracap. Kegiatan perikanan tangkap Kecamatan Palabuhanratu terpusat di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), Kecamatan Cisolok terpusat di Pangkalan Pendaratan Ikan Cisolok (PPI), Kecamatan Simpenen terpusat di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Simpenan, Kecamatan Ciemas terpusat di Tempat Pendaratan Ikan Ciwaru (TPI), Kecamatan Surade terpusat di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Surade dan Kecamatan Ciracap terpusat di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Ujung Genteng. Jenis kegiatan perikanan tangkap di empat wilayah tersebut berbeda-beda, di Palabuhanratu jenis usaha penangkapan yang berkembang adalah penangkapan skala besar, di Cisolok, Ciemas dan Ciracap jenis usaha penangkapan yang berkembang skala menengah, dan di Simpenan dan Surade jenis usaha penangkapan yang berkembang adalah skala kecil. Kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Sukabumi secara umum belum berkembang, hanya di kegiatan perikanan tangkap di Palabuhanratu yang lebih maju. Hal ini dapat dilihat dari tingkat teknologi penangkapan yang digunakan berupa kapal penangkapan ikan yang berukuran masih kecil (<5GT) dengan alat tangkap yang masih tradisional, yaitu Dogol, Pancing, Anco, dan Jaring lingkar . Potensi Sumberdaya Ikan dan Tingkat Pemanfaatan Perikanan Tangkap Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu Kabupaten di Jawa Barat yang terlatak di wilayah Pantai Selatan Jawa dengan panjang pantai kurang lebih 117 km. Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu kabupaten yang mempunyai panjang pantai terpanjang di Pulau Jawa. Sementara itu, perairan laut kabupaten Sukabumi membentang kearah Selatan selebar 4 mil laut berdasarkan Undangundang Pemerintah Daerah No. 32 Tahun 2004. Dengan demikian Kabupaten Sukabumi mempunyai hak pengelolaan terhadap perairan laut sekitar 87.000 Ha. Di dalam perairan laut tersebut terkandung berbagai potensi sumber daya ikan yang cukup melimpah, yaitu antara lain jenis-jenis ikan pelagis, demersal, udang dan biota laut lainnya yang menjadi tumpuhan hidup masyarakat pesisir Kabupaten Sukabumi. Jenis-jenis ikan yang sebagian besar dapat ditangkap di perairan Sukabumi seperti Teri (Stolephorus spp), Tembang (Sardinella fimbriata), Tongkol (Euthynnus affinis), Udang Putih (Penaeus merguensis), dan Rajungan (Portunnus pelagicus). 73 Berdasarkan hasil perhitungan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sukabumi Tahun 2003 diketahui potensi lestari perikanan tangkap di Kabupaten Sukabumi adalah 11.827 ton, dengan uraian Ikan Pelagis Besar 9.245 ton/tahun, Ikan Pelagis Kecil 1.060 ton/tahun dan Ikan Demersal 1.220 ton/tahun. Tingkat Pemanfaatan untuk masing-masing sumber daya saat ini adalah Ikan Pelagis Besar 2.719 ton, Ikan Pelagis Kecil 564 ton dan Ikan Demersal 302 ton Tabel 15. Potensi Lestari Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Perairan Pantai Kabupaten Sukabumi, Tahun 2003 Jenis Sumberdaya Ikan Pelagis Besar Ikan Pelagis Kecil Ikan Demersal Potensi Lestari (ton/tahun) 9.245 1.060 1.220 Tingkat Pemanfaatan Ton (%) 2.719 29,4 564 53,2 302 25,5 Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sukabumi 2003 Selain potensi sumberdaya ikan yang terdapat perairan Laut Kabupaten Sukabumi, nelayan Kabupaten juga dapat memanfaatan sumberdaya ikan di Perairan Samudera Hindia. Sebagai perbandiangan, untuk melihat berapa potensi sumberdaya ikan yang terdapat di perairan Laut Samudera Hindia dan tingkat pemanfaatannya dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Potensi Lestari dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Laut Samudera Hindia, Tahun 2000 Jenis Sumberdaya Ikan Pelagis Besar Ikan Pelagis kecil Ikan Demersal Ikan Karang Konsumsi Udang Peneid Udang karang (Lobster) Cumi-cumi Potensi (1.000 ton/tahun) 297,75 Pemanfaatan (%) 51.20 Peluang Pengembangan (%) 38.80 429.03 54.45 35.55 135.13 12.88 65.99 213.22 24.01 - 10.70 1.60 62.21 45.02 27.79 44.98 3.75 143.99 - Sumber: Aziz, et al 2000 Produksi perikanan laut yang didaratkan di pesisir Kabupaten Sukabumi sekitar 3.500 ton/tahun, yang terdiri dari Ikan Pelagis Besar, Ikan Pelagis Kecil 74 dan Ikan Demersal. Pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan laut Kabupaten Sukabumi diduga baru mencapai 36%, sehingga peluang pengembangan perikanan tangkap di perairan ini masih besar apalagi untuk daerah lepas pantai dan ZEE. Sebagai gambaran berikut ini disajikan produksi dan nilai ikan laut segar hasil kegiatan perikanan tangkap yang didaratkan di enam kecamatan yang tersebar di pesisir Kabupaten Sukabumi. Tabel 17. Perkembangan Jumlah Ikan yang dilelang di beberapa tempat pendaratan ikan di kecamatan Kabupaten Sukabumi. No Kecamatan 2001 2002 (Kg) (Kg) 1 Ciemas 80,30 61,12 2 Ciracap 11,55 33,17 3 Surade 3,15 2,42 4 Palabuhanratu 418,63 4.117,40 5 Simpenan 10,02 12,10 6 Cisolok 31,63 32,75 Sumber :Dinas Perikanan dan Kelautan 2004 2003 (Kg) 68,33 44,45 2,83 3.962,40 15,00 44,97 Apabila dilihat Tabel 17, jumlah ikan yang dilelang di beberapa tempat pelelangan di Kabupaten Sukabumi menunjukkan Kecamatan Palabuhanratu mempunyai jumlah ikan yang dilelang paling besar, hal ini sangat beralasan mengingat di Kecamatan Palabuhanratu terdapat Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) yang mempunyai kapasitas ikan yang dilelang cukup besar dan jumlah perahu serta ukuran yang mendarat di pelabuhan tersebut cukup banyak dengan ukuran yang cukup besar. Jumlah ikan yang dilelang di Kecamatan Surade paling kecil dibanding dengan kecamatan-kecamatan lainnya di Kabupaten Sukabumi. Hal ini karena tempat pendaratan ikan di kecamatan tersebut sangat kecil dan tidak setiap hari ada kapal yang melelang hasil tangkapannya. jenis ikan yang dominan tertangkap di perairan kabupaten sukabumi adalah jenis-jenis: cakalang (Katsuonus pelamis), cucut gergaji (Pritis cuspidiatus), cucut Martil (Sphyrna blochii), Layang (Decapterus sp.), Layaran (Istiophorus orientalis), Setuhuk (Makaira sp.), Layur (Trichiurus sp.), Peperek (Leiognathus sp.), Tembang (Sardinella sp), Tongkol ( Auxis thazard), Tuna (Thunnus sp.). Namun demikian, terdapat empat jenis ikan yang merupakan ikan komoditas 75 unggulan dengan potensi masing-masing jenis mencapai 3.300 ton Cakalang, 1.107 ton Tuna, 819 ton Cucut dan 442 ton Layur. Tabel 18 menunjukkan data komoditas unggulan perikanan laut Kabupaten Sukabumi tahun 2002 beserta tingkat pemanfaatannya. Tabel 18. Komoditas Unggulan Perikanan Laut Kabupaten Sukabumi Tingkat Pemanfaatan Ton % 1 Cakalang 3.300 1.088 33 2 Tuna 1.107 185 16,7 3 Cucut 819 461 56,3 4 Layur 442 291 69 Sumber :Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi 2003. No. Jenis Ikan Potensi (Ton) Teknologi Penangkapan Ikan Teknologi penangkapan yang berkembang di Kabupeten sukabumi secara keseluruhan dari enam kecamatan belum berkembang dan masih tradisional. Jenis kegiatan penangkapan yang menggunakan alat-alat tersebut masuk ke dalam kegiatan perikanan artisanal skala kecil hingga besar. Jenis-jenis alat tangkap yang digunakan antara lain pukat pantai, pancing, anco dan jala lempar. Namun demikian teknologi penangkapan yang berkembang di Palabuhanratu lebih berkembang dibanding kecamatan lainnya. Hal tersebut karena di Kecamatan Palabuhanratu terdapat Pelabuhan Perikanan Nusantara, yaitu pelabuhan perikanan bertipe B dengan jangkaun bersifat regional dan dapat didaratai oleh kapal-kapal dari berbagai propinsi dengan ukuran 15-60GT. Jumlah alat tangkap ikan yang digunakan oleh nelayan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu pada tahun 2003 menunjukkan stagnasi. Alat tangkap ikan yang berkembang di sana antara lain : Pancing, gill net, bagan,payang, rawai, purse seine dan trammel net. Secara keseluruhan jumlah alat tangkap perikanan yang terdapat di Kabupaten Sukabumi dapat dilihat pada Tabel 19. 76 Tabel 19. Jumlah alat tangkap perikanan yang berkembang di Kabupaten Sukabumi No Alat Tangkap Jumlah (buah) 1 Payang 86 2 Gill net 17 3 Jaring Lingkar 170 4 Rawai Hanyut 20 5 Pancing 865 6 Trammel net 72 7 Dogol 50 Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan tahun 2003 Dalam rangka untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya ikan khususnya di wilayah perairan laut di bawah 4 mill laut, maka di masa mendatang perlu dipikirkan penggunaan alat yang lebih modern dan maju. Tentunya dengan pertimbangan dan penyesuaian terhadap armada kapal yang digunakan. Armada perahu/kapal penangkapan ikan yang digunakan oleh nelayannelayan Kabupaten Sukabumi terdiri dari perahu tanpa motor, perahu motor tempel dan kapal motor berukuran 5-30 GT. Perahu motor tempel mempunyai jumlah yang paling besar dibanding dengan armada lainnya, yaitu sebanyak 885 Unit. Untuk armada perahu kapal motor di Kabupaten Sukabumi berjumlah 217 unit, sedangkan perahu tanpa motor berjumlah 131 unit. Prasarana dan Sarana Perikanan Tangkap Prasarana perikanan tangkap di Kabupaten Sukabumi tersebar di berabagai kecamatan dengan status dan kondisi yang berbeda-beda. Prasarana perikanan di Kabupaten Sukabumi terdiri dari satu Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), satu Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) dan empat Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Satu Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) terdapat di Kecamatan Palabuhanratu. Satu Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) terdapat di Kecamatan Cisolok, dan empat Tempat Pendaratan Ikan (TPI) yang terdapat di Simpenan, Ciemas, Surade dan Ciracap. Kecamatan Palabuhanratu merupakan pusat kegiatan perikanan laut terbesar di Kabupaten Sukabumi. Hal ini diperkuat dengan keberadaan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) yang mulai beroperasi sejak tahun 1993. Keberadaan Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu sangat strategis sebagai sentra 77 kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Sukabumi, maupun Propinsi Jawa Barat. Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu merupakan pelabuhan perikanan dengan tipe B, yaitu pelabuhan dengan jangkuan bersifat regional, dan dapat menampung kapal-kapal perikanan yang beroreintasi melakukan operasi penangkapan di periaran Zona Ekslusif Ekonomi Indonesia dan Periaran Nusantara (kapal Long line). Jumlah kapal perikanan yang beroperasi di PPN Palabuhanratu rata-rata setiap tahunnya kurang lebih 450 unit setiap tahunnya. Pada tahun 2002 jumlah kapal/perahun yang mendarat di Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu 452 unit. Jumlah tersebut mengalami penurunanan apabila dibandingkan dengan jumlah kapal/perahu yang mendarata pada tahun 2001, yaitu 491 unit. Namun demikian apabila dianalisis lebih lanjut dari tahun ke tahun perkembangan struktur dan ukuran kapal yang mendarat di PPN Palabuhanratu lebih baik. Penanganan, Pengolahan dan Pemasaran Apabila dilihat dari kondisi ikan yang didaratkan di semua pendaratan ikan di kabupaten Sukabumi, hampir sebagian besar ikan yang didaratakan dan di lelang dalam kondisi segar. Kondisi ini dikarenakan waktu operasi penangkapan ikan yang pendek, yaitu setengah hari trip (half-day fishing trip), kecuali untuk armada purse seine, jaring cumi-cumi maupun pancing rawai di PPN Palabuhanratu yang melakukan penangkapan ikan hingga lebih dari dua hari. Nilai produksi ikan segar yang di lelang di beberapa tempat pendaratan ikan di Kabupaten Sukabumi dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Nilai Produksi Ikan Segar yang di Lelang di Kabupaten Sukabumi tahun 2001-2003 No Kecamatan Tahun (Nilai x Rp.1000) 2001 2002 2003 1 Ciemas 201,00 306,00 341,68 2 Ciracap 47,00 165,87 222,23 3 Surade 20,04 12,08 14,15 4 Palabuhanratu 901,20 20.587,00 19.812,00 5 Simpenan 50,09 60,48 75,00 6 Cisolok 113,70 163,74 224,85 Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi 2004 78 Selain dikonsumsi dalam keadaan segar, ikan-ikan hasil tangkapan yang didaratkan di lokasi PPN, PPI dan TPI Kabupaten Sukabumi juga diolah menjadi berbagai macam produk olahan tradisional seperti ikan pindang, ikan asin, ikan panggang, ikan presto, abon, dendeng, baso, terasi dan lain-lain. Sedangkan penanganan untuk produk segar dilakukan dengan cara pendinginan dan penyimpanan dalam cold storage. Pengolahan ikan yang cukup berkembang di kabupaten Sukabumi adalah di kecamatan Cisolok. Berbagai deversifikasi produk perikanan dikembangakan di Kecamatan Cisolok, yaitu antara lain abon ikan, dendeng ikan, kerupuk ikan dan ikan asin. Sedangkan kecamatan lain pengolahan ikan sebatas pada Ikan pindang dan nikan asin. Distribusi pemasaran hasil produksi perikanan laut Kabupaten Sukabumi meliputi kota Bandung, Bogor, Jakarta dan Sukabumi. Bentuk produk hasil perikanan dapat berupa ikan segar, ikan asin, dan ikan pindang. Perikanan Budidaya Selain Kegiatan perikanan tangkap, Kabupaten Sukabumi dengan panjang pantainyan sekitar 117 Km, mempunyai potensi dan peluang pengembangan untuk kegiatan perikanan Budidaya. Kegiatan perikanan budidaya di Kabupaten sukabumi terpusat di Kecamatan Cisolok, Ciemas, Surade, Ciracap dan Tegalbuled. Jenis kegiatan budidaya yang berkembang di Kabupaten Sukabumi adalah kegiatan budidaya pantai dan budidaya laut. Sedangkan komiditi yang dibudidayakan antara lain Kerapu, Kakap, Udang Windu, Kepiting dan Lobster Potensi dan Peluang Pengembangan Perikanan Budidaya Prospek peluang pengembangan perikanan budidaya untuk kabupaten sukabumi tangkap yang masih terbuka lebar dan semakin menurunnya hasil produksi perikanan tangkap di beberapa wilayah penangkapan merupakan tantangan yang besar bagi pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten Sukabumi. Potensi budidaya tambak di Kabupaten Sukabumi mencapai 1.400 Ha dan baru termanfaatkan sekitar 54 Ha. Komoditas komoditas utama budidaya tambak di Kabupaten Sukabumi adalah Udang Windu, selain Banding, Rucah dan 79 Jambret. Budidaya tambak yang digunakan oleh petani Kabupaten Sukabumi adalah budidaya tradisional dan semi intensif. Jenis sumberdaya ikan yang dikembangkan untuk budidaya tambak ini terdiri dari bandeng, udang, rucah dan jembret. Selain Tambak kegiatan budidaya ikan juga dilakukan di Kolam air tenang, kolam air deras, sawah, keramba dan peraiaran umum. Perkembangan produksi budidaya ikan di perairan umum relatif lebih besar dibandingkan dengan kegiatan budidaya lainnya. Kemudian di ikuti oleh budidaya air tenang, kolam air deras sawah tambak dan keramba. 80 TATA KELOLA SUMBERDAYA IKAN DI TELUK PALABUHANRATU Analisis Aktor dalam Pengelolaan Sumberdaya Ikan Aktor Pengelola dan Pemanfaat Sumberdaya Ikan Teluk Palabuhanratu Hasil pemetaaan aktor berdasarkan derajat kepentingan dan pengaruhnya di dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu terlihat pada Gambar 12. Pada kuadran I (Subjek) ditempati oleh industri pengolahan sumberdaya ikan. Kelompok ini memiliki kepentingan tinggi terhadap sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu namun kurang terlibat dalam merumuskan berbagai kebijakan pengelolaan sumberdaya tersebut. Ketergantungan tinggi disini terkait kepentingan ekonomi yang ditentukan kualitas sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu. Para pengusaha industri pengolahan yang ada di sekitar Teluk Palabuhanratu memiliki kepentingan yang tinggi terhadap keberadaan sumberdaya ikan guna menjaga keberlanjutan bahan baku industrinya. Selama ini bahan baku industri pengolahan berasal dari nelayan di sekitar Teluk Palabuhanratu dan nelayan pantai selatan Jawa Barat, yang tersebar mulai dari Banten sampai Garut. Industri pengolahan yang ada di sekitar Teluk Palabuhanratu umumnya merupakan industri kecil dan menengah. Kuadran II (Pemain) ditempati oleh Departemen Kelautan dan Perikanan RI, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi, KUD Mina, Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu (PPNP), Satuan Kerja Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Pelabuhanratu, Pergutuan Tinggi, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kelompok Pengelola Rumpon, Tempat Pelelangan Ikan, Bakul, Juragan/Taweu dan Kelompok Masyarakat Pengawas Sumberdaya Ikan Palabuhanratu (POKMASWAS). Kelompok ini memiliki tingkat kepentingan dan pengaruh yang tinggi dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu melalui perumusan berbagai peraturan baik formal maupun informal. 81 Gambar 12. Pemetaan Aktor Pemanfaat dan Pengelola Sumberdaya Ikan Teluk Palabuhanratu Kuadran III (Penonton) ditempati oleh aparat desa, perbankkan dan LEPP-M3R. Keberadaan mereka dinilai tidak terlalu tergantung terhadap sumberdaya ikan dan juga tidak terlalu berpengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Aparat desa memiliki fleksibilitas yang tinggi dalam mencari sumber perekonomian desa selain kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu, misalnya aktivitas pertanian di sekitar desa. Pihak perbankkan dan Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mina Ratu (LEPP-M3R) 1 juga memiliki fleksibilitas yang tinggi dalam mengembangkan aktivitas usahanya, sehingga tidak tergantung kepada keberadaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. 1 LEPM3R merupakan koperasi nelayan yang berdiri sejak tahun 2005, sebelumnya lembaga ini bernama Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina (LEPPM3) yang dibentuk pemerintah daerah (Pemda) Sukabumi pada tahun 2003. 82 Kuadran IV (Aktor) ditempati oleh polisi perairan. Kelompok ini memiliki pengaruh tinggi dengan sedikit kepentingan terhadap sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Melalui berbagai penegakan hukum terhadap pelanggaran aktivitas penangkapan ikan yang tidak sesuai peraturan mampu mempengaruhi pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Terkait dengan konstruksi kelembagaan pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu, keterlibatan para aktor pada proporsi yang tepat sangatlah penting. Berdasarkan garis bantu diagonal, dapat dipisahkan aktor-aktor yang harus dilibatkan secara langsung (bagian atas) dengan aktor-aktor yang tidak harus terlibat secara langsung (bagian bawah). Bagian sisi atas garis bantu meliputi Departemen Kelautan dan Perikanan RI, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi, KUD Mina, Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu (PPNP), Satuan Kerja Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Pelabuhanratu, Pergutuan Tinggi, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kelompok Pengelola Rumpon, Tempat Pelelangan Ikan, Bakul, Juragan/Taweu, Kelompok Masyarakat Pengawas Sumberdaya Ikan Palabuhanratu (POKMASWAS) dan Polisi Perairan. Sementara aktor-aktor lainnya tetap harus dilibatkan secara tidak langsung, misalnya melalui dengar pendapat dan cara lainnya. Idealnya kelembagaan pengelolaan sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu yang berciri co-management diharapkan mampu menggeser para aktor di kuadran I ke kuadran II melalui pengelolaan antara pemerintah dan masyarakat. Berdasarkan hal tersebut diatas aktor-aktor yang harus dilibatkan secara langsung dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu dapat dikelompokkan berdasarkan hirarkinya menjadi lima, yaitu pertama kelompok nelayan. Aktor-aktor yang berperan ditingkat nelayan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu : 1) Kelompok Formal, yaitu kelompok yang secara formal terdaftar sebagai organisasi nelayan di pemerintahan atau memiliki badan hukum. Kelompok ini terdiri dari kelompok pengelola rumpon, kelompok masyarakat pengawas sumberdaya ikan dan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI). 83 2) Kelompok informal, yaitu kelompok yang secara formal tidak terdaftar sebagai kelompok nelayan di pemerintah dan juga tidak menjadi anggota dari kelompok nelayan yang ada. Akan tetapi keberadaan kelompok nelayan informal ini sangat berpengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Umumnya kelompok informal ini dimotori oleh seorang Juragan/Taweu2. Pembagian kelompok di tingkat nelayan ini disebabkan karena berdasarkan hasil analisis aktor dilapangan terdapat beberapa nelayan yang memiliki pengaruh (seuseupuh 3 ) dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu, namun belum bisa mengakui keberadaan masing-masing kelompok nelayan formal yang telah ada. Kedua, tingkat pemerintah, yaitu Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi, Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Jawa Barat dan Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Satuan Kerja Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Pelabuhanratu, Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu (PPNP), dan Tempat Pelelangan Ikan. Berdasarkan Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah kabupaten memiliki kewenangan pengelolaan sumberdaya ikan di wilayah perairan sekurang-kurangnya tiga perempat dari batas kewenangan pemerintah Provinsi (12 mill). Ketiga, kelompok usaha/swasta. Kelompok swasta ini umumnya adalah para bakul dan KUD Mina. Keberadaan kelompok swasta ini sangat bermanfaatan bagi para nelayan, terutama dalam pengembangan modal usaha. Keempat, kelompok akademisi. Kelompok ini terdiri dari perguruan tinggi yang berada di sekitar Kabupaten Sukabumi. Kelima, kelompok keamanan, yang ditempati oleh polisi perairan. 2 Taweu merupakan nama lokal untuk para pemilik kapal. Dua orang Taweu yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah Taweu Rani dan Taweu Ade. 3 Seuseupuh artinya orang yang dituakan. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa seusuepuh nelayan di Teluk Palabuhanratu ada beberapa diantara mereka yang merasa tidak dilibatkan dalam beberapa kelompok nelayan yang ada, sehingga mereka umumnya memiliki kelompok nelayan sendiri. Kelompok nelayan tersebut sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan pengelolaan konflik sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. 84 Kelima kelompok tersebut selama ini berjalan sesuai fungsi dan kepentingannya masing-masing. Sampai saat ini belum ada suatu forum atau lembaga yang berperan dalam mempertemukan kepentingan dari masing-masing kelompok tersebut. Sehingga tidak jarang terjadi berbagai konflik dalam pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Secara lengkap tentang konflik nelayan di Teluk Palabuhanratu akan di bahas dalam sub bab berikutnya. Peran Masing-Masing Aktor Berdasarkan analisis aktor pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu teridentifikasi bahwa masing-masing aktor memiliki peran yang berbeda-beda. Namun demikian hubungan antar aktor tersebut sangat menentukan dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Kelompok Nelayan Formal Kelompok nelayan formal selama ini berperan dalam beberapa aktivitas, yaitu : 1) Kelompok Pengelola Rumpon, berperan dalam mengelola rumpon yang ada di perairan Teluk Palabuhanratu. Saat ini terdapat sekitar 10 Kelompok Pengelola Rumpon yang tersebar di seluruh wilayah perairan Teluk Palabuhanratu. Kesepuluh kelompok nelayan pengelola rumpon ini bergabung dalam sebuah kelompok nelayan yang bernama Perkumpulan Nelayan Bahtera. 2) Kelompok Masyarakat Pengawas Sumberdaya Ikan (POKMASWAS) berperan dalam pengawasan sumberdaya ikan di tingkat 4 , lapangan. POKMASWAS dibentuk atas inisiatif masyarakat nelayan yang difasilitasi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi. Selain itu juga POKMASWAS berperan sebagai mediator antara masyarakat nelayan dengan pemerintah/petugas. 3) Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), berperan sebagai mediator antara 4 nelayan yang menjadi anggotanya dengan pihak-pihak yang Kekuatan hukum dari POKMASWAS adalah Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor : KEP. 58/MEN/ 2001 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Sistem Pengawasan Masyarakat Dalam Pengelolaan Dan Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan Dan Perikanan. 85 berkepentingan, khususnya Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi dan pihak perbankkan. Kelompok Nelayan Informal Kelompok nelayan informal di Teluk Palabuhanratu selama ini berperan dalam mengkoordinir nelayan-nelayan diluar anggota kelompok nelayan formal. Peran kelompok informal tersebut sangat besar dalam menjaga konflik pemanfaatan sumberdaya ikan. Hal ini disebabkan kelompok nelayan informal tersebut umumnya dikoordinir oleh para seuseupuh nelayan di sekitar Perairan Teluk Palabuhanratu. Namun demikian, selama ini keberadaan kelompok nelayan informal ini belum banyak dilibatkan dalam pelaksanaan program pembangunan kelautan dan perikanan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Kelompok Pemerintah 1) Peran pemerintah daerah yang terlibat secara langsung dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu terdiri dari beberapa instansi, yaitu Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi dan Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Jawa Barat. Pemerintah daerah berperan dalam adalah : a) Membuat berbagai regulasi dan strategi implementasinya yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu; b) Mediator antara pihak nelayan dengan pihak swasta dalam pengembangan usaha perikanan para nelayan; c) Membina kelompok-kelompok pengawas dan kelompok nelayan dalam upaya membangun perikanan secara berkelanjutan; d) Mengatur dan membuat berbagai perijinan yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu; e) Mengatur aktivitas di Pelabuhan Perikanan Indonesia (PPI) dan Tempat Pelelangan Ikan (TPI); 86 f) Memberdayakan kegiatan ekonomi masyarakat pesisir, khususnya nelayan di sekitar perairan Sukabumi. 2) Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP-RI) berperan dalam mengatur aktivitas Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu dan Satuan Kerja Pengawasan Sumberdaya Ikan Palabuhanratu. Keberadaan kedua lembaga tersebut merupakan kepanjangan dari kepentingan Departemen Kelautan dan Perikanan RI di Teluk Palabuhanratu. Kedua lembaga DKP-RI tersebut berada di bawah Direktorat Jenderal yang berbeda. Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu berada di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap sementara itu Satuan Kerja Pengawasan Sumberdaya Ikan Palabuhanratu berada di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : KEP.10/MEN/2004 tentang Pelabuhan Perikanan, Pelabuhan Perikanan Nusantara berperan dalam mengatur kapal ikan yang datang dan pergi dari pelabuhan. Selain itu juga daerah operasional kapal ikan yang dilayani oleh PPNP tidak hanya mencangkup wilayah perairan Teluk Palabuhanratu, akan tetapi mencangkup wilayah perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEEI). Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : KEP.10/MEN/2004 tentang Pelabuhan Perikanan, Pelabuhan Perikanan dibagi menjadi 4 (empat) kategori utama yaitu : ™ PPS (Pelabuhan Perikanan Samudera) ™ PPN (Pelabuhan Perikanan Nusantara) ™ PPP (Pelabuhan Perikanan Pantai) ™ PPI (Pangkalan Pendaratan Ikan) Pelabuhan perikanan tersebut dikategorikan menurut kapasitas dan kemampuan masing-masing pelabuhan dalam rangka menangani kapal yang datang dan pergi serta letak dan posisi pelabuhan. Secara lengkap karakteristik kelas pelabuhan perikanan tersebut dapat dilihat pada Tabel 21. 87 Tabel 21. Karakteristik kelas pelabuhan pps, ppn, ppp, dan ppi No 1 2 3 4 Kriteria Pelabuhan Perikanan Daerah operasional kapal ikan yang dilayani Fasilitas tambat/labuh kapal Panjang dermaga dan Kedalaman kolam Kapasitas menampung Kapal PPS PPN PPP PPI Perairan pedalaman dan perairan kepulauan Wilayah laut teritorial, Zona Ekonomi Ekslusif (ZEEI) dan perairan internasional >60 GT Perairan ZEEI dan laut teritorial 30-60 GT Perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, wilayah ZEEI 10-30 GT >300 m dan >3 m >6000 GT (ekivalen dengan 100 buah kapal berukuran 60 GT) 150-300 m dan >3 m >2250 GT (ekivalen dengan 75 buah kapal berukuran 30 GT) 100-150 m dan >2 m >300 GT (ekivalen dengan 30 buah kapal berukuran 10 GT) 5 3-10 GT 50-100 m dan >2 m >60 GT (ekivalen dengan 20 buah kapal berukuran 3 GT) - Volume ikan yang rata-rata 60 rata-rata 30 didaratkan ton/hari ton/hari 6 Ekspor ikan Ya Ya Tidak Tidak 7 Luas lahan >30 Ha 15-30 Ha 5-15 Ha 2-5 Ha 8 Fasilitas pembinaan mutu Ada Ada/Tidak Tidak Tidak hasil perikanan 9 Tata ruang (zonasi) Ada Ada Ada Tidak pengolahan/pengembangan industri perikanan Sumber : Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.10/MEN/2004 tentang Pelabuhan Perikanan Kelompok usaha/swasta 1) Koperasi Unit Desa (KUD) Mina, berperan dalam mengelola pelelangan hasil tangkapan nelayan. Menurut Peraturan Daerah (PERDA) Propinsi Jawa Barat No 5 Tahun 2005 tentang Pelelangan Ikan di sebutkan bahwa sekitar 0,8 persen dari hasil peleangan ikan digunakan untuk operasional KUD. 2) Bakul berperan dalam pemasaran hasil tangkapan nelayan di sekitar Teluk Palabuhanratu. Hasil tangkapan nelayan kecil umumnya di tampung oleh para bakul yang ada di sekitar Teluk Palabuhanratu, dari bakul ikan hasil tangkapan 88 tersebut dipasarkan ke konsumen dan para pengolah hasil perikanan yang ada di wilayah tersebut. Selain berperan dalam pembelian hasil tangkapan nelayan, sebagian besar bakul memberikan pinjaman kepada para nelayan. Kelompok Keamanan Polisi perairan selama ini berperan dalam menangani berbagai permasalahan kriminal yang terjadi disekitar perairan Kabupaten Sukabumi. Selain itu juga polisi perairan selama ini dalam menjalankan aktivitasnya sering bekerjasama dengan Satuan Kerja Pengawas Sumberdaya Ikan Palabuhanratu dan Kelompok Masyarakat Pengawas Sumberdaya Ikan . Hubungan Antar Aktor Ostrom (1990) menyatakan bahwa dalam menganalisis hubungan antar aktor dalam sistem kelembagaan perlu dibedakan berdasarkan tingkatannya (level), yaitu pertama, level konstitusi (constitutional),yaitu lembaga yang berperan dalam menyusun aturan main untuk level collective choice. Kedua, level pilihan kolektif (collective choice), yaitu lembaga yang berperan dalam menyusun peraturan untuk dilaksanakan oleh lembaga operasional. Ketiga, lembaga operasional (operational), yaitu lembaga yang secara langsung melaksanakan kebijakan di lapangan. Berdasarkan kerangka pemikiran Ostrom (1990) tersebut aktor-aktor pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu yang terholong kedalam level penentu kebijakan (collective choice level) adalah Departemen Kelautan dan Perikanan RI, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat, dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi. Kelompok ini berperan dalam menyusun dan menentukan kebijakan dan aturan main formal dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Sementara itu yang termasuk kedalam level operasional (operational choice level) adalah kelompok usaha/swasta, kelompok nelayan formal dan kelompok nelayan formal. 89 Gambar 13. Hubungan Antar Aktor Pengelolaan Sumberdaya Ikan di Teluk Palabuhanratu Selain itu juga berdasarkan hasil analisis aktor pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu teridentifikasi bahwa selama ini masing-masing aktor dalam menjalankan perannya didasarkan kepada keputusan masing-masing aktor. Hal ini disebabkan karena selama ini belum ada suatu lembaga khusus untuk mengkoordinasikan masing-masing kepentingan aktor. Sehingga tidak jarang dilapangan sering terjadi konflik antar aktor yang terlibat dalam menjalankan aktivitasnya. Aktor pemerintah yang seharusnya dapat berperan dalam menyatukan masingmasing kepentingan aktor sampai saat ini belum dapat dilakukan secara optimal. Aktor pemerintah dalam menjalankan programnya selama ini cenderung bermitra dengan kelompok masyarakat formal. Sementara itu kelompok informal selama ini jarang dilibatkan dalam program-program pemerintah. Padahal kekuatan kelompok informal tersebut umumnya dikendalikan oleh tokoh-tokoh seusepuh nelayan di Teluk Palabuhanratu. 90 Begitu juga halnya dengan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Sukabumi yang diharapkan dapat menjadi jembatan bagi para aktor di tingkat masyarakat dalam menyalurkan aspirasinya, sampai saat ini belum bisa berjalan secara optimal. Sehingga dilapangan muncul beberapa kelompok nelayan yang tidak percaya terhadap keberadaan HNSI. Para nelayan-nelayan kecil umumnya memandang bahwa keberadaan HNSI hanya berpihak kepada para pengusaha perikanan yang padat modal. Sehingga program-program pemerintah untuk nelayan yang melalui HNSI cenderung dinikmati oleh para pengusaha perikanan tersebut. Ko-Manajemen dalam Pengawasan Sumberdaya Ikan di Teluk Palabuhanratu Tipe Ko-Manajemen sistem pengawasan sumberdaya ikan oleh masyarakat di perairan Kabupaten Sukabumi tergolong kedalam tipe instruktif (instructive). Pomeroy and Rivera (2006) dalam Adrianto (2007) mengatakan bahwa komanagemen tipe instruktif terjadi ketika terdapat komunikasi dan tukar informasi yang minimal antara pemerintah dan pelaku perikanan. Tipe ini berbeda dengan rejim sentralisasi dalam hal dimana terdapat mekanisme dialog antara pemerintah dan pelaku perikanan namun tetap dalam konteks instruksi informasi dari apa yang telah diputuskan oleh pemerintah. Keberadaan Kelompok Masyarakat Pengawas Sumberdaya Ikan (POKMASWAS) di perairan Sukabumi awalnya difasilitasi oleh pemerintah Kabupaten Sukabumi. Hal ini merupakan bentuk implementasi dari Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.58/MEN/2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Sistem Pengawasan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. Saat ini di Kabupaten Sukabumi terdapat sepuluh kelompok POKMASWAS yang tersebar di delapan kecamatan, yaitu Kecamatan Cisolok, Pelabuhanratu, Simpenan, Ciemas, Cibitung, Tegalbuled, Ciracap, dan Surade. Secara lengkap kesepuluh kelompok POKMASWAS tersebut dapat dilihat pada Tabel 24. 91 Tabel 22. Kelompok Masyarakat Pengawas Sumberdaya Ikan (POKMASWAS) di Kabupaten Sukabumi No 1 Kecamatan Cisolok Nama POKMASWAS Ketua Cikahuripan Nusantara H.E. Saepudin Cibangban Nusantara Aep Saepudin 2 Pelabuhanratu Tuna Mandiri Nusantara Badri Ratu Nusantara U.Rachmat 3 Simpenan Loji Nusantara M. Soleh 4 Ciemas Waru Nusantara Saripudin 5 Cibitung Ciroyom Jaya Nanang 6 Tegalbuled Tegalbuled Jaya Alamsyah 7 Ciracap Ujunggenteng Nusantara Uu Hambali 8 Surade Minajaya Nusantara H. Saep Sumber : Buku Potensi Kelautan dan Pesisir Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi, 2005 Dalam mekanisme Ko-manajemen pengawasan sumberdaya ikan anggota POKMASWAS bertugas untuk melaporkan informasi-informasi yang terkait dengan adanya dugaan pelanggaran dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan di sekitar perairan Teluk Palabuhanratu kepada aparat satuan pembina Sistem Pengawasan berbasis Masyarakat (SISWASNAS) di tingkat Kabupaten yang dikoordinasikan oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi. Selain menerima laporan dari POKMASWAS, pembina SISWASNAS tingkat Kabupaten Sukabumi juga bertugas untuk melakukan peningkatan kemampuan POKMASWAS baik dalam ketrampilan teknik pengawasan, pemahaman peraturan perundan-undangan melalui bimbingan dan pelatihan. Aparat pembina Sistem Pengawasan berbasis Masyarakat (SISWASNAS) di tingkat Kabupaten yang menerima laporan dari POKMASWAS melanjutkan informasi kepada PPNS dan/atau TNI-AL dan/ atau Satpol-AIRUD dan/ atau Kapal Inspeksi Perikanan. Berdasarkan laporan tersebut PPNS, TNI-AL, Pol-AIRUD dan instansi terkait lainnya, melaksanakan tindakan (penghentian dan pemeriksaan) pengejaran dan penangkapan pada Kapal Ikan Indonesia (KII) dan Kapal Ikan Asing (KIA) atau para pelanggar lainnya sebagai tersangka pelanggaran tindak pidana perikanan dan sumberdaya kelautan lainnya, selanjutnya dilakukan proses penyelidikan dan penyidikan. Pada waktu yang bersamaan PPNS, Pengawas 92 Perikanan dan/ atau (Koordinator PPNS dan/ atau Kepala Pelabuhan Perikanan) meneruskan informasi yang sama kepada Dinas Kabupaten Sukabumi dan instansi terkait Propinsi Jawa Barat dengan tembusan Direktur Jenderal Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. Sementara itu Dinas Perikanan Kelautan dan Perikanan kabupaten Sukabumi dan/atau propinsi Jawa Barat melakukan koordinasi dengan petugas pengawas (TNI-AL, POLRI, PPNS) dalam melakukan operasi tindak lanjut atas pelanggaran yang dilakukan Kapal Ikan Indonesia (KII) dan Kapal Ikan Asing (KIA) maupun para pelanggar lainnya. Pada tingkat pemerintah pusat Sistem Pengawasan berbasis Masyarakat dikendalikan oleh Satuan Pembina SISWASMAS tingkat Pusat yang dikoordinir oleh Direktur Jenderal Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan dengan anggota unsur Eselon I di lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan, dan instansi terkait yang mempunyai kewenangan dalam pendayagunaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Satuan Pembina SISWASMAS tingkat pusat memiliki tugas untuk menetapkan kebijakan operasional pengawasan dan pengendalian sumberdaya kelautan dan perikanan, melaksanakan koordinasi dan menyelaraskan program dan kegiatan antar instansi/lembaga terkait. Selain itu juga menindaklanjuti laporan Sekretariat Pembina SISWASMAS pusat terkait dengan berbagai informasi dari dari kelompok pengawas masyarakat, Dinas Kabupaten/Propinsi. Sementara itu dalam melakukan tugas sehari-hari Pembina SISWASMAS ditingkat Pusat dibantu oleh Sekretariat yang dikoordinir oleh Direktur Pengawasan Sumberdaya Ikan. Sekretariat bertugas mengumpulkan, mengolah dan menganalisa laporan dan informasi, serta melaporkan kegiatan dan perkembangan pelaksanaan SISWASMAS dari daerah serta menyiapkan tindak lanjut penyelesaiannya. Secara grafis bentuk ko-manajemen sistem pengawasan sumberdaya ikan di perairan Kabupaten Sukabumi tersebut dapat dilihat pada Gambar 14. 93 Satuan Pembina Pusat SISWASNAS Pelaporan Hasil Analisis Sekretariat Satuan Pembina Pusat SISWASNAS Instruksi Kebijakan Satuan Pembina Propinsi SISWASNAS Pelaporan Kasus Implementasi Kebijakan Satuan Pembina Kabupaten SISWASNAS Pelaporan Kasus Implementasi Kebijakan dan Pembinaan teknis POKMASWAS Kabupaten Sukabumi Gambar 14. Ko-Manajemen Sistem Pengawasan Sumberdaya Ikan di Teluk Palabuhanratu Kelembagaan Sebagai Aturan Main Pengelolaan Sumberdaya Ikan Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah Teluk Palabuhanratu selama ini mengacu kepada aturan formal yang telah di sahkan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah. Selain itu juga pada tingkat masyarakat terdapat beberapa aturan main yang telah disepakati sesama masyarakat nelayan, khususnya pada pengelolaan rumpon di Teluk Palabuhanratu. Aturan formal yang selama ini dijadikan acuan dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu dapat dikelompokkan menjadi : 1) Undang-undang, yang terdiri UU No 9 Tahun 1985 tentang Perikanan yang kemudian di revisi dengan UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, UndangUndang No 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia; 2) Peraturan Menteri, yang terdiri Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : PER.17/MEN/2006 Tentang Usaha Perikanan Tangkap; 94 3) Keputusan Menteri, terdiri dari Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor : Kep. 58/Men/ 2001 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Sistem Pengawasan Masyarakat Dalam Pengelolaan Dan Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan Dan Perikanan, Keputusan Menteri Pertanian No 123/Kpts/Um/1975 tentang Ketentuan Lebar Mata Jaring Purse Seine untuk Penangkapan Ikan Kembung, Layang, Selar, Lemuru dan ikan pelagis sejenisnya, Keputusan Menteri Pertanian No : 392/Kpts/Ik.120/4/99 Tentang Jalur-Jalur Penangkapan Ikan; 4) Peraturan Daerah (Perda) Provinsi, yang terdiri dari Perda Provinsi Jawa Barat No 14 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan dan Retribusi Usaha Perikanan, Keputusan Gubernur Jawa Barat No 45 Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No 14 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan dan Retribusi Usaha Perikanan; 5) Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi, yang terdiri dari Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi Nomor 3 Tahun 2002 tentang Izin Usaha Perikanan, Keputusan Bupati Sukabumi Nomor 493 Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi Nomor 3 Tahun 2002 tentang Izin Usaha Perikanan. Kelima kelompok aturan main tersebut secara formal mengatur sekitar dua belas aturan main dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Kedua belas aturan main yang diatur dalam lima kelompok aturan formal tersebut adalah Penentuan jumlah tangkapan yang diperbolehkan, Menjaga kelestarian sumberdaya ikan, Pemantauan, pengawasan, pengendalian dan penegakan hukum, Perlindungan Kepentingan Nelayan, Pengaturan Izin Penangkapan, Pengaturan Alat Penangkapan Ikan, Pengaturan upaya penangkapan, Pengaturan jenis dan ukuran ikan yang boleh di tangkap, Pengaturan musim penangkapan, Pengaturan zonasi dan jalur penangkapan ikan, Sanksi terhadap pelanggaran, dan Pungutan Perikanan (Tabel 23). Secara lengkap tentang hasil analisis aturan formal tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2. 95 Tabel 23. Jenis Peraturan dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Teluk Palabuhanratu. No 1 2 3 Aturan Main Penentuan jumlah tangkapan yang diperbolehkan Peraturan 1. Undang-Undang No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan; 2. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : PER.17/MEN/2006 Tentang Usaha Perikanan Tangkap Menjaga 1. Undang-Undang No 31 Tahun 2004 kelestarian tentang Perikanan; sumberdaya ikan 2. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : PER.17/MEN/2006 Tentang Usaha Perikanan Tangkap Pemantauan, 1. Undang-Undang No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan pengawasan, pengendalian dan 2. Undang-Undang No 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, penegakan hukum 3. Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor : Kep. 58/Men/ 2001 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Sistem Pengawasan Masyarakat Dalam Pengelolaan Dan Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan Dan Perikanan; 4. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : PER.17/MEN/2006 Tentang Usaha Perikanan Tangkap; 5. Perda Provinsi Jawa Barat No 14 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan dan Retribusi Usaha Perikanan; 6. Keputusan Gubernur Jawa Barat No 45 Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No 14 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan dan Retribusi Usaha Perikanan; 7. Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi Nomor 3 Tahun 2002 tentang Izin Usaha Perikanan 8. Keputusan Bupati Sukabumi Nomor 493 Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi Nomor 3 Tahun 2002 tentang Izin Usaha Perikanan Keterangan Belum ada aturan formal di tingkat provinsi dan kabupaten Secara eksplisit aturan formal di tingkat provinsi dan Kabupaten belum mengatur bagaimana menjaga kelestarian sumberdaya ikan Berdasarkan UU Perikanan, pemerintah Kabupaten Sukabumi dapat membentuk pengadilan perikanan guna menegakkan hukum perikanan di Teluk Palabuhanratu 96 4 Perlindungan Kepentingan Nelayan 1. Undang-Undang No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan; 2. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : PER.17/MEN/2006 Tentang Usaha Perikanan Tangkap 5 Pengaturan Izin Penangkapan 6 Pengaturan Alat Penangkapan Ikan 7 Pengaturan upaya penangkapan 1. Undang-Undang No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan; 2. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : PER.17/MEN/2006 Tentang Usaha Perikanan Tangkap 3. Perda Provinsi Jawa Barat No 14 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan dan Retribusi Usaha Perikanan; 4. Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi Nomor 3 Tahun 2002 tentang Izin Usaha Perikanan 1. Undang-Undang No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan; 2. Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi Nomor 3 Tahun 2002 tentang Izin Usaha Perikanan 1. Undang-Undang No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan; 2. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : PER.17/MEN/2006 Tentang Usaha Perikanan Tangkap 8 Pengaturan jenis dan ukuran ikan yang boleh di tangkap 1. UU No 9 Tahun 1985 tentang Perikanan 2. Keputusan Menteri Pertanian No 123/Kpts/Um/1975 tentang Ketentuan Lebar Mata Jaring Purse Seine untuk Penangkapan Ikan Kembung, Layang, Selar, Lemuru dan ikan pelagis sejenisnya 3. Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 392/Kpts/Ik.120/4/99 Tentang Jalur-Jalur Penangkapan Ikan Peraturan daerah, baik provinsi Jawa Barat maupun kabupaten Sukabumi, belum mengatur secara eksplisit tentang perlindungan kepentingan nelayan Pengaturan izin penangkapan sudah didelegasikan kepada pemerintah daerah, sesuai dengan kewenanganya. Belum ada peraturan daerah yang mengatur upaya penangkapan ikan, padahal hal ini sangat diperlukan guna menjaga kelestarian sumberdaya ikan UU No 31 tahun 2004 tentang perikanan tidak mengatur tentang jenis dan ukuran ikan yang boleh ditangkap, padahal dalam UU No 9 Tahun 1985 sudah diatur. Sementara itu UU No 9 Tahun 1985 telah dinyatakan tidak berlaku lagi sejak disahkannya UU No 31 Tahun 2004. 97 9 Pengaturan musim penangkapan 10 Pengaturan zonasi dan jalur penangkapan ikan UU No 9 Tahun 1985 tentang Perikanan Belum ada peraturan menteri dan peraturan daerah yang mengatur musim penangkapan di Teluk Palabuhanratu. Padahal hal ini sangat penting dalam melakukan manajemen penangkapan ikan 1. UU No 9 Tahun 1985 tentang Perikanan 2. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : PER.17/MEN/2006 Tentang Usaha Perikanan Tangkap 3. Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 392/Kpts/Ik.120/4/99 Tentang Jalur-Jalur Penangkapan Ikan 4. Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi Nomor 3 Tahun 2002 tentang Izin Usaha Perikanan 5. Keputusan Bupati Sukabumi Nomor 493 Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi Nomor 3 Tahun 2002 tentang Izin Usaha Perikanan 11 Sanksi 1. UU No 9 Tahun 1985 tentang Perikanan terhadap 2. Peraturan Menteri Kelautan dan pelanggaran Perikanan Nomor : PER.17/MEN/2006 Tentang Usaha Perikanan Tangkap 3. Perda Provinsi Jawa Barat No 14 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan dan Retribusi Usaha Perikanan 4. Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi Nomor 3 Tahun 2002 tentang Izin Usaha Perikanan 12 Pungutan 1. UU No 9 Tahun 1985 tentang Perikanan Perikanan 2. Perda Provinsi Jawa Barat No 14 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan dan Retribusi Usaha Perikanan 3. Keputusan Gubernur Jawa Barat No 45 Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No 14 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan dan Retribusi Usaha Perikanan; 4. Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi Nomor 3 Tahun 2002 tentang Izin Usaha Perikanan 5. Keputusan Bupati Sukabumi Nomor 493 Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi Nomor 3 Tahun 2002 tentang Izin Usaha Perikanan Sumber : diolah dari berbagai peraturan perikanan di Teluk Palabuhanratu 98 Hak-Hak Terhadap Sumberdaya Ikan (Property Right) Berdasarkan hasil análisis lapangan terlihat bahwa semua aktor yang terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu memiliki hak atas akses dan memanfaatkan sumberdaya ikan. Akan tetapi tidak semua aktor telah memanfaatkan atas hak tersebut. Sementara itu aktor-aktor yang memiliki hak untuk mengatur adalah LEPPM2R, KUD Mina, Kelompok Pengelola Rumpon, Kelompok Masyarakat Pengawas, dan Pemerintah. Namun demikian halhal yang diatur oleh masing-masing aktor tersebut sesuai dengan fungsi dan perannya masing-masing. Secara lengkap hasil indentifikasi terhadap hak pada sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24. Identifikasi Hak Pada Sumberdaya Ikan di Teluk Palabuhanratu No 1 2 3 4 Jenis Hak KUD Mina Akses5 & Memanfaatk an6 Mengatur7 Eksklusif8 Mengalihkan √ √ Kelompok Pengelola Rumpon √ Kelompok Masyarakat Pengawas √ √ √ √ HNSI √ Kelompo k Nelayan Informal √ Pemeri ntah 9 Sumber : Data Primer, 2007 5 Hak Akses, yaitu hak untuk masuk ke dalam sumberdaya yang memiliki batasan-batasan fisik yang jelas (Ostrom and Schlager, 1996). 6 Hak Memanfaatkan, yaitu hak untuk memanfaatkan sumberdaya dengan cara-cara dan teknik produksi sesuai dengan ketetapan dan peraturan yang berlaku (Ostrom and Schlager, 1996). 7 Hak Mengatur, yaitu hak untuk mengatur pemanfaatan sumberdaya serta meningkatkan kualitas dan kuantitas sumberdaya melalui upaya pengkayaan stok ikan serta pemeliharaan dan perbaikan lingkungan (Ostrom and Schlager, 1996). Nikijuluw (2002) menyatakan bahwa suatu kelompok nelayan dikatakan telah menjalankan hak mengatur sumberdaya ketika kelompok tersebut menetapkan zona penangkapan ikan untuk dimasuki hanya oleh alat tangkap ikan tertentu. Demikian pula, jika tindakan dilakukan suatu masyarakat untuk menentukan cara menangkap ikan, jenis teknologi, ukuran kapal, serta waktu penangkapan ikan, masyarakat tersebut telah mempraktekkan haknya dalam mengatur pemanfaatan sumberdaya ikan. 8 Hak Eksklusif, yaitu hak untuk menentukan siapa yang boleh memiliki hak akses dan apakah hak akses tersebut dapat dialihkan lepada orang lain (Ostrom and Schlager, 1996). 9 Hak Mengalihkan, yaitu hak untuk menjual atau menyewakan keempat hak tadi kepada orang lain (Ostrom and Schlager, 1996). √ √ √ √ 99 Ostrom and Schlager (1996) mengelompokan individu atau kelompok berdasarkan kepada hak-hak terhadap sumberdaya alam menjadi lima kelompok, yaitu (1) owner, yaitu individu atau kelompok yang memiliki hak akses (access right), hak pemanfaatan (withdrawal right), hak manajemen (management right), hak untuk mengatur tingkat operasional hak akses (exclusion right) dan hak untuk menjual atau menyewa semua atau bagian kolektif dari sumberdaya (alienation right); (2) proprietor, yaitu individu atau kelompok yang memiliki hak akses (access right), hak pemanfaatan (withdrawal right), hak manajemen (management right) dan hak untuk mengatur tingkat operasional hak akses (exclusion right); (3) claimant, yaitu individu atau kelompok yang memiliki hak akses (access right), hak pemanfaatan (withdrawal right) dan hak manajemen (management right); (4) authorized user, yaitu individu atau kelompok yang hanya memiliki hak akses (access right) dan hak pemanfaatan (withdrawal right); dan (5) authorized entrant, yaitu individu atau kelompok yang hanya memiliki hak akses (access right) saja tanpa memiliki hak-hak yang lainnya. Berdasarkan kerangka pemikiran Ostrom and Schlager diatas maka aktor pemerintah tergolong sebagai owner. Aktor yang tergolong kedalam kelompok proprietor adalah Kelompok Pengelola Rumpon. Aktor yang tergolong kedalam kelompok Claimant adalah LEPPM2R, KUD Mina, dan Kelompok Masyarakat Pengawas. Sementara itu actor yang tergolong kedalam kelompok Authorized User adalah HNSI, Kelompok Nelayan Informal dan pihak perbankkan. Hak Penggunaan Wilayah Perairan Teluk Palabuhanratu Untuk Perikanan Bagan dan Rumpon (Territorial Use Rights in Fisheries, TURF) Hak penggunaan wilayah pada perikanan (Territorial Use Rights in Fisheries, TURF) di teluk Palabuhanratu dapat dilihat dari nelayan bagan dan rumpon. Namun demikian berdasarkan Surat Edaran Dinas Kelautan dan Perikanan (Dinas KP) Provinsi Jawa Barat Tahun 2006 tentang Pelarangan Membangun Bagan di Perairan Laut Jawa Barat secara tegas telah melarang membangun bagan di perairan Jawa Barat, termasuk di Perairan Palabuhanratu. 100 Selain itu juga berdasarkan surat edaran Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi Tahun 2006 sebagai tindak lanjut dari surat edaran Dinas KP Propinsi Jawa Barat tersebut secara jelas menghimbau kepada para nelayan untuk tidak mengembangkan bagan di sekitar perairan Teluk Palabuhanratu. Dalam surat edaran tersebut Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi memberikan alternatif pengganti fungsi bagan sebagai sarana budidaya laut, seperti rumput laut dan kerang hijau. Secara lengkap isi surat edaran Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi tersebut adalah : 1) Dalam memanfaatkan sumberdaya ikan agar berpedoman kepada UU No 31 Tahun 2004 tentang perikanan serta Perda No 3 Tahun 2002 tentang Izin usaha perikanan; 2) Tumbuhkan rasa kebersamaan, teloransi, damai dan rukun dalam memanfaatkan SDI. Hindarkan dari segala bentuk permusuhan dan konflik yang akhirnya akan merugikan semua pihak; 3) Mari kita kembangkan usaha perikanan yang efisien dan produktif dengan memperhatikan kelestarian SDI dalam upaya meningatlan kesejahteraan nelayan Sukabumi; 4) Melelangkan hasil tangkapan ikan di TPI - TPI terdekat seseua dengan Perda Propinsi Jawa Barat No 5 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan dan restribusi TPI; 5) Usaha perikanan budidaya laut seyogyanya dikembangkan sebagai usaha alternatif pengganti bagi nelayan bagan. Sementara itu untuk hak penggunaan wilayah pada perikanan (Territorial Use Rights in Fisheries, TURF) oleh rumpon diperairan teluk Palabuhanratu telah memiliki kekuatan hukum setingkat menteri kelautan dan perikanan, yaitu melalui Kepmen Kelautan dan Perikanan No. Kep 30/MEN/2004 tentang Pemasangan dan Pemanfaatan Rumpon. Namun demikian untuk peraturan tingkat kabupaten sampai saat ini dinas kelautan dan perikanan belum memilikinya. Saat ini acuan hukum dalam peletakan rumpon di perairan Teluk Palabuhanratu masih mengacu kepada Kepmen tersebut. 101 Pengelolaan rumpon di Teluk Palabuhanratu dilakukan oleh kelompok pengelola rumpon. Sampai saat ini terdapat sepuluh kelompok pengelola rumpon yang tersebar di seluruh wilayah Teluk Palabuhanratu. Setiap kelompok beranggotakan sekitar 11 perahu ikan milik nelayan setempat. Kesepuluh kelompok pengelola rumpon tersebut membentuk suatu wadah koordinasi yang dinamakan Perkumpulan Nelayan Bahtera, yang di Ketuai oleh Bapak Ujang Sumitra. Kesepuluh kelompok pengelola rumpon tersebut dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25. Kelompok Pengelola Rumpon di Perairan Teluk Palabuhanratu No 1 Nama Kelompok Ketua Kelompok Yosep 3 Kelompok Tradisional Pancing Palabuhanratu Tradisional Pancing Cisolok Payang 4 Beleketek/Diesel 5 H. Lili 7 Beleketek/Diesel Ujung Genteng Beleketek/Diesel Ujung Genteng Payang 8 Beleketek/Diesel Aja 9 Payang 2 6 10 Erwin Bintang Mas Pisces Lokasi Rumpon Wilayah Perairan Titik Koordinat Sukawayana 6059 690’ LS, 106029 930’ BT Cikembang Cibareno Tengah Gagan Pangumbahan Tengah Cigaur Ujung Genteng Cikawung Bogor Citirem Tengah Jajat Mayang Sari Cibutun Sodong Parat Cibanteng Tradisional Pancing Cikeueus Loji Sumber : Perkumpulan Nelayan Bahtera 2006 6059 795’ LS, 106026 612’ BT 07003 072’ LS, 106020 015’ BT 07022 052’ LS, 106018 209’ BT 07025 112’ LS, 106024 209’ BT 07027 992’ LS, 106029 099’ BT 07018 022’ LS, 106019 262’ BT 07013 976’ LS, 106019 624’ BT 07009 585’ LS, 106023 196’ BT 07008 501’ LS, 106026 395’ BT Hak penggunaan wilayah oleh pengelola rumpon tampaknya akan memberikan peluang baik untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat nelayan kecil di sekitar Teluk Palabuhanratu. Hal ini dapat dilihat dari dua alasan, yaitu : 1) Rumpon dapat berperan sebagai media untuk berkumpul dan berkembangnya sumberdaya ikan di sekitar perairan teluk Palabuhanratu. Sehingga ikan yang 102 ditangkap nelayan akan mengalami peningkatan. Menurut Koordinator rumpon di Palabuhanratu, sejak pemasangan 10 unit rumpon (alat bantu penangkapan ikan) di dalam dan di luar teluk Palabuhanratu pertengahan Novemver 2006, nelayan setempat kebanjiran ikan. Hampir semua jenis perahu tradisional, mulai dari congkreng, beleketek dan payang pun kecipratan rezeki dari hasil tangkapannya. Hasil produksi ikan di Palabuhanratu mengalami perbedaan yang cukup signifikan. Dari biasanya seorang nelayan perahu payang setiap harinya menghasilkan satu ton ikan, kini melonjak tajam hingga rata-rata 10-12 ton untuk satu kali melaut. Padahal dari pengalaman sebelumnya, biasanya bulan-bulan november-Pebruari terjadi paceklik ikan, tapi kini justru sebaliknya hampir setiap hari nelayan bisa memanen ikan. Dengan meningkatnya produksi ikan ini, diharapkan dapat membantu perekonomian nelayan sekaligus memperbaiki kesejahteraannya. 2) Memperkecil biaya melaut nelayan karena lokasi penangkapan menjadi pasti. Artinya nelayan dalam melakukan penangkapan ikan tidak perlu lagi melakukan pencarian fishing ground akan tetapi langsung kepada lokasi rumpon. Dampaknya adalah berkurangnya biaya operasional, terutama bahan bakar minyak (BBM) yang diperlukan untuk setiap kali melaut. Hal ini disebabkan hasil tangkapan nelayan akan mengalami peningkatan. Bahkan menurut pengakuan para nelayan yang telah memanfaatkan rumpon di Teluk Palabuhanratu, mereka saat ini sudah tidak mengenal lagi musim paceklik. Aturan Main Lokal Pengelolaan Rumpon Pengelolaan rumpon di perairan Teluk Palabuhanratu dalam pemanfaatan hasilnya tidak menjadi monopoli para pengelolanya saja. Para nelayan di luar anggota kelompok pengelola rumpon yang ada bisa turut serta memanfaatkan sumberdaya ikan yang terdapat di sekitar rumpon. Namun demikian, terdapat beberapa aturan main yang mesti ditaati oleh setiap nelayan yang akan melakukan penangkapan ikan di sekitar perairan rumpon. Aturan main tersebut hanya berlaku di kalangan nelayan 103 saja, artinya tidak ada ketentuan hukum formal yang mengatur tentang aturan main tersebut. Aturan main yang berlaku tersebut adalah : 1) Setiap nelayan, baik anggota maupun bukan anggota kelompok memiliki hak untuk mendapatkan akses penangkapan ikan di sekitar rumpon; 2) Setiap kapal nelayan bukan anggota kelompok pengelola rumpon yang menangkap ikan di sekitar rumpon dikenakan iuran sebesar 5 persen dari hasil tangkapan yang diserahkan kepada kelompok pengelola rumpon. 3) Setiap kapal nelayan anggota pengelola rumpon yang menangkap ikan di sekitar rumpon dikenakan iuran sebesar 2 persen dari hasil tangkapan. 4) Hasil dari iuran tersebut akan digunakan untuk perawatan dan pengawasan rumpon yang ada agar tetap terpelihara dengan baik. Pemeliharaan rumpon biasanya dilakukan setiap dua minggu sekali dengan mengganti daun kelapa yang dijadikan media rumpon sebanyak 25 batang. Pemeliharaan rumpon tersebut dilakukan oleh para anggota kelompok pengelola rumpon secara bergantian setiap dua minggu sekali. Sementara itu untuk mengawasi keberadaan rumpon agar tetap berada di lokasinya, para nelayan yang menjadi anggota kelompok pengelola rumpon setiap hari secara bergilir mengawasi keberadaan rumpon. Pengawasan rumpon tersebut dilakukan seiring dengan para nelayan melakukan aktivitas penangkapan ikan. Sehingga tidak memerlukan biaya khusus untuk melakukan pengawasan rumpon. Konflik Pengelolaan Sumberdaya Ikan Berdasarkan hasil analisis konflik sampai akhir tahun 2006 terdapat tiga sumber yang menjadi penyebab terjadinya konflik sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu, yaitu produksi penangkapan nelayan payang yang terus menurun, meningkatnya jumlah bagan apung di perairan Teluk Palabuhanratu, dan pelanggaran jalur penangkapan ikan (Tabel 26). 104 Tabel 26. Tipe Konflik dalam Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Teluk Palabuhanratu. Tipologi Konflik Menurut Charles (2001) ™ Kelompok perahu ™ Konflik alokasi payang Pada tahun 2005internal ™ Kelompok nelayan 2006 produksi rumpon Teluk 1 penangkapan dari Kelautan Palabuhanratu ™ Dinas perahu payang dan Perikanan semakin menurun. Kabupaten Sukabumi Meningkatnya ™ Kelompok bagan ™ Konflik jumlah bagan apung alokasi apung (jaring Teluk ™ Kelompok nelayan internal angkat) yang Palabuhanratu jaring beroperasi di teluk ™ Kelompok Nelayan 2 Palabuhanratu Rumpon ™ Kelompok perahu ™ Konflik batas wilayah Pelanggaran jalur Teluk purseine 3 penangkapan ikan Palabuhanratu ™ Kelompok nelayan non purseine Sumber : Diolah dari data Dinas Kelautan Dan Perikanan Kabupaten Sukabumi (2006) dan data primer (2007) No Isu- Isu dan Penyebab Lokasi konflik Kelompok-kelompok yang terlibat Pertama, konflik antara kelompok perahu payang dengan kelompok nelayan rumpon. Hasil identifikasi dilapangan terlihat bahwa konflik tersebut sudah berlangsung sejak diperkenalkannya rumpon kepada para nelayan di sekitar Teluk Palabuhanratu, yaitu sekitar tahun 2002. Pada tahun 2002 di perairan Teluk Palabuhanratu dibangun 5 unit rumpon yang pengelolaan dan pemanfaatannya diserahkan kepada kelompok nelayan pancing. Namun karena penempatan rumpon tersebut dianggap telah mengganggu jalur penangkapan ikan nelayan jaring, terutama nelayan payang dan gillnet maka keberadaan rumpon tersebut hanya bertahan selama 6 bulan. Menurut pengakuan nelayan jaring kepada pihak dinas kelautan dan perikanan keberadaan rumpon tersebut telah menyebabkan jaring mengalami kerusakan akibat tersangut pada rumpon. Dan akhirnya para nelayan jaring tersebut “menebas” habis rumpon yang ada di sekitar perairan Teluk Palabuhanratu. Pada tahun 2005 Yayasan Anak Nelayan Indonesia (YANI) kembali memasang rumpon 2 unit di perairan Teluk Palabuhanratu, akan tetapi letaknya berada di luar 105 teluk. Hal ini dimaksudakan selain untuk menghindari konflik dengan nelayan jaring juga untuk “menggaet” sumberdaya ikan yang ada di perairan Samudera Hindia. Namun demikian ternyata keberadaan rumpon milik YANI tersebut juga di protes oleh para nelayan jaring karena dianggap telah turut memperburuk hasil tangkapan nelayan jaring. Menurut aparat Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi konflik ini disebabkan karena adanya salah pemahaman dari kelompok nelayan jaring, khususnya nelayan payang yang beranggapan bahwa penurunan produksi penangkapan perahu payang akibat dari keberadaan rumpon di luar teluk. Sehingga ikan-ikan yang seharusnya beruaya ke dalam teluk tertahan di rumpon yang ada di luar tersebut. Alasan nelayan jaring tersebut dianggap tidak masuk akal karena keberadaan rumpon di luar teluk jumlahnya hanya dua unit sementara luas teluk sangat besar. Sehingga keberadaan rumpon tersebut tidak akan mengganggu migrasinya ikan ke Teluk Palabuhanratu bagian dalam. Akhirnya pada akhir tahun 2005 sampai triwulan pertama tahun 2006 Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi melakukan sosialisasi rumpon kepada seluruh nelayan di Teluk Palabuhanratu. Hal ini dimaksudkan selian untuk menghindari kesalahpahaman juga untuk memberikan pemahaman kepada para nelayan agar mempu memanfaatkan rumpun guna mengefetifkan pencarian ikan dan meningkatkan produksi penangkapan. Pada tahun 2006 Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi kembali memasang rumpon di dalam teluk sebanyak 4 unit guna memperpendek jarak jangkauan dan supaya dapat dimanfaatkan oleh perahu yang kecil sedangkan diluar teluk sebanyak 6 unit dari Anggaran Pembangunan Belanja Negara Propinsi (APBNP) Jawa Barat 1 Unit. Pengelolaan sepuluh rumpon tersebut diserahkan kepada sepuluh kelompok pengelola rumpon. Pembagian sepuluh pengelola tersebut tidak hanya didominasi oleh nelayan pancing, tetapi juga melibatkan kelompok nelayan payang dan beleketek. Namun demikian, pemasangan rumpon tersebut saat ini masih menyisakan konflik dilapangan. Menurut nelayan payang yang menjadi responden menyatakan bahwa konflik tersebut lebih disebabkan tidak dilibatkannya seluruh nelayan payang 106 dan bagan dalam pembangunan rumpon di perairan Teluk Palabuhanratu. Sehingga masih ada dari para nelayan yang tidak menerima keberadaan rumpon di Teluk Palabuhanratu. Misalnya penebasan jangkar rumpon oleh nelayan payang pada pertengahan tahun 2006 yang menyebabkan tiga unit rumpon di dalam Teluk Palabuhanratu hilang terbawa arus. Selain itu juga menurut Ketua Kelompok Nelayan Pancing Karang Deet Kecamatan Pelabuharatu yang mengelola rumpon di sekitar perairan Sukawayana, kelompoknya terpaksa memindahkan rumpon yang dikelolanya ke lokasi lain karena rumpon tersebut dijadikan tempat bersandarnya bagan apung milik nelayan bagan. Berdasarkan kerangka pemikiran Charles (2001) tipologi konflik perikanan diatas tergolong kedalam tipe konflik alokasi internal. Hal ini dicirikan dengan adanya konflik antar kelompok nelayan dan konflik penggunaan alat tangkap di wilayah Teluk Palabuhanratu. Konflik tersebut sebenarnya dapat diselesaikan secara baik dengan cara peningkatan komunikasi antar kelompok nelayan yang bertikai. Namun demikian akibat belum terkelola secara baik, maka konflik tersebut dilapangan telah berdampak terhadap munculnya kekerasan oleh nelayan. Konflikkonflik horizontal antar nelayan tersebut apabila tidak secepatnya dikelolan secara baik maka dikhawatirkan akan terus menggangu sistem tata kelola pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Oleh sebab itu intensitas komunikasi kepada seluruh nelayan yang ada di Teluk Palabuhanratu sudah menjadi keharusan. Selain itu juga keterlibatan seluruh nelayan tersebut dalam pengelolaan rumpon perlu rumuskan secara baik. Kedua, konflik keberadaan bagan apung dengan nelayan jaring dan rumpon. Konflik ini dipicu oleh meningkatnya jumlah bagan apung (jaring angkat) yang beroperasi di teluk Palabuhanratu. Keberadaan bagan tersebut telah menyebabkan terganggunya jalur penangkapan ikan nelayan jaring. Akibatnya hasil tangkapan nelayan jaring mengalamai penurunan dan alat tangkapnya mengalami kerusakan karena tersangkut pada bagan. Selain itu juga menurut pantau Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi keberadaan Bagan Apung ini diduga telah berdampak terhadap penurunan 107 stok ikan di teluk Palabuhanratu. Hal ini disebabkan sumberdaya ikan yang tertangkap oleh bagan tidak selektif. Namun demikian dugaan Dinas Keluatan dan Perikanan tersebut perlu adanya pembuktian secara ilmiah. Langkah awal yang telah dilakukan oleh dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi dalam upaya mengatasi keberadaan bagan apung ini adalah dengan cara mengalihkan pemanfaatan bagan apung dari menangkap ikan menjadi sarana budidaya laut, misalnya budidaya kerang hijau dan rumput laut. Pada tahun 2002 - 2006 Dinas Kelautan dan Perikanan telah berupaya memperkenalkan budiadya laut dengan memanfaatkan bagan apung, seperti budidaya kerapu (tahun 2002, 2003, 2004), Budidaya Kerang Hijau dan rumput laut (tahun 2006). Berdasarkan kerangka pemikiran Charles (2001) tipologi konflik perikanan diatas tergolong kedalam tipe konflik alokasi internal. Hal ini dicirikan dengan adanya konflik antar kelompok nelayan dan konflik penggunaan alat tangkap di wilayah Teluk Palabuhanratu. Ketiga, konflik pelanggaran jalur penangkapan ikan oleh nelayan purseine. Menurut catatan Dinas Kelautan dan Perikanan (2006) terlihat bahwa kapal-kapal purseine banyak yang melakukan penangkapan ikan di jalur I dan II, padahal jalur I dan II tersebut diperuntukkan bagi nelayan kecil. Hal ini sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 392 Tahun 1999 tentang Jalur-Jalur Penangkapan Ikan. Namun demikian keberadaan kapal-kapal purseine tersebut sampai saat ini sudah dapat ditanggulangi oleh pihak yang terkait. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi bekerjasama dengan Polisi Air dan Udara (PolAirud), TNI AL, syahbandar, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan Steakholder dari nelayan setiap 3 bulan sekali melakukan pengawasan ke laut guna mengawasi perahu – perahu yang mengkap ikan tidak sesuai dengan jalurnya. Menurut Data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi (2007), sampai tahun 2006 pemerintah daerah Kabupaten Sukabumi belum pernah memberikan izin usaha perikanan (IUP) kepada kapal purseine. Secara lengkap alat tangkap yang diberikan izin oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi tahun 2006 dapat dilihat pada Table 27. 108 T Tabel 27. Ju umlah Izin Usaha U Perikaanan (IUP) Yang Y dikeluuarkan Dinass Kelautan dan d Peerikanan Kabbupaten Sukkabumi Tahuun 2006 No N Jalur Peenangkapan 1 Jalur I 2 Jalur I B Jumlah Izin 18 Juumlah Alat Tangkap 18 27 31 Jenis Alat A Tangkap Pancing, Jarring Payang Pancing Raw we, Jaring Rampus, Panncing, Jaring Payang, Panncing Rumponn Jaring udangg, pancing, Pancing Rum mpon, Jaring Payang, Gilllnet, Pancing Rawe,Jaringg Rampus, Jarring Dasar 3 Jalur II 34 36 Jumlah 79 85 Sumber S : diolaah dari Dinass Kelautan dann Perikanan Kabupaten K Suukabumi Tahuun 20007 Berdassarkan Tabeel 27 terlihaat bahwa allat tangkap pancing, jaarring rumpoon, g gillnet, pan ncing rawe dan jarringg rampus sangat s domiinant beradda di perairran K Kabupaten Sukabumi, S k khususnya dii Jalur I dann II. Secara lengkap l alatt tangkap yaang Unit d dominant terrsebut dapat digambarkaan dalam Gaambar 15. 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 I IB II Jeenis Alat Tanggkap G Gambar 15.. Alat Tanggkap yang ddiberikan Izzin di Perairran Kabupaaten Sukabum mi Tahun 20006 (Dinas Kelautan ddan Perikanaan Kabupatten Sukabum mi Tahun 2007) 109 Berdasarkan kerangka pikir yang telah dikembangkan oleh Charles (2001) tipologi konflik perikanan diatas tergolong kedalam konflik batas wilayah (fishery jurisdiction). Konflik batas wilayah tersebut dicikiran dengan adanya pelanggaran terhadap aturan main yang telah ditetapkan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah. Analisis Game Theory Analisis game theory digunakan untuk melihat strategi-strategi yang dapat digunakan dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Dalam analisis game theory ini yang dipilih menjadi pemain adalah pemerintah dan komunitas nelayan. Sementara itu strategi yang dipilih bagi para pemain adalah Quasi open access atau limited entry. Dalam kondisi permainan yang tidak bekerjasama (non cooperative) akan menciptakan kecenderungan bagi para pemain untuk bersifat eksploitatif, sementara itu pada kondisi permainan yang bekerjasama (cooperative) akan menciptakan kecenderungan bagi para pemain untuk bersifat berkelanjutan (sustainable). Dalam analisis ini hanya dilakukan satu kali simulasi permainan, yaitu antara pemerintah dan nelayan. Wahyudin (2005) menyatakan bahwa apabila sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu dikelola secara optimal maka akan memberikan dampak ekonomi yang cukup besar, yaitu mencapai sekitar Rp. 2.318.020.000,00. Selain itu juga, kelestarian sumberdaya ikan akan terjaga dengan baik. Namun demikian sesuai dengan hokum ekonomi, bahwa manfaat sustainable sumberdaya ikan tidak bisa diambil sepenuhnya oleh pelaku perikanan, maka pihak nelayan menjadi kurang tertarik untuk melakukannya. Oleh sebab itu pemerintah seharusnya mengambil alih tanggungjawab untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan. Matrik pay off permainan antara pemerintah dengan nelayan dapat dilihat pada Tabel 28. Secara lengkap perhitungan analisis game theory dapat dilihat pada Lampiran 3. 110 Tabel 28. Matrik pay off permainan antara pemerintah dengan nelayan Nelayan Pemerintah Quasi open access Limited entry Eksploitasi Rp. (113.012.343,16) Rp. 1.893.224,14 Rp. 249.708.324,40 Rp. 6.761.824.724,14 Sustainable Rp. (112.289.084,00) Rp. 64.968.557,90 Rp. 256.940.916,00 Rp. 2.382.988.557,90 Sumber : Data primer 2007 Dalam permainan ini, pengambil langkah pertama adalah pemerintah sebagai pemilik hak atas sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu (state property), sementara nelayan akan berespon atas keputusan pemerintah. Berdasarkan analisis-analisis sebelumnya terlihat bahwa selama ini kondisi pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu tercermin di Kuadran satu, dimana pengelolaan sumberdaya ikan berdasarkan pada peraturan pemerintah yang mendorong terciptanya kondisi quasi open access. Belum adanya kepastian dan jaminan bagi para nelayan dalam memanfaatkan sepenuhnya sumberdaya ikan, maka menjadikan nelayan untuk bersikap eksploitatif karena akan menghasilkan pay off lebih besar dibandingkan ketika bersikap berkelanjutan. Hal ini terjadi karena apabila nelayan bersikap sustain, maka ikan yang tidak tertangkap akan dimanfaatkan habis oleh nelayan lainnya yang lebih agresif menangkap (eksploitatif). Keuntungan pemerintah pada kondisi quasi open access bernilai negatif, yaitu mencapai sekitar - Rp. 113.012.343,16, hal ini disebabkan besarnya biaya transaksi yang harus dikeluarkan oleh pemerintah dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu tidak sebanding dengan pendapatan asli daerah dari sektor perikanan. Selain itu juga rendahnya keuntungan pemerintah tersebut disebabkan dalam perhitungan game theori ini belum dimasukan manfaat tidak langsung 10 dari biaya transaksi yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Padahal diduga manfaat tidak langsung dari biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemerintah jauh lebih besar dibandingkan dengan manfaat langsungnya. Sementara itu 10 Total manfaat adalah manfaat langsung ditambah dengan manfaat tidak langsung 111 keuntungan nelayan dalam kondisi quasi open access diperkirakan mencapai Rp. 1.893.224,14 per tahun. Sementara itu jika pemerintah memilih untuk menegaskan hak kepada nelayan lokal melalui kebijakan pengelolaan secara limited entry, pihak pemerintah akan mendapatkan manfaat sebesar Rp. 249.708.324,40 per tahun. Manfaat ini jauh lebih besar dibandingkan saat kondisi quasi open access karena adanya penghapusan beberapa biaya transaksi, walaupun sesungguhnya tekanan terhadap sumberdaya ikan jauh lebih besar karena nelayan berlaku eksploitatif. Bagi nelayan, ketika pemerintah memilih pengelolaan secara limited entry, akan meningkatkan pendapatannya secara signifikan jika mentaati aturan yang ada (sustainable) jika dibandingkan pada saat kondisi quasi open access. Namun demikian, terdapat peluang untuk mendapatkan hasil yang lebih besar dengan berperilaku secara eksploitatif. Adanya potensi penyalahgunaan hak oleh masyarakat nelayan tersebut akan menimbulkan efek jauh lebih buruk terhadap sumberdaya ikan dari kondisi quasi open access, merupakan signal perlunya aturan (sanksi) yang jelas dan tegas. Pemerintah disini perlu melakukan pendampingan-pendampingan untuk menguatkan kelembagaan pengelola sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu sehingga penyalahgunaan hak dapat diminimalkan. Berdasarkan hasil analisis game theory tersebut terlihat bahwa pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu akan menghasilkan nilai yang optimal apabila dilakukan secara bersama-sama antara pemerintah dan kelompok nelayan. Oleh sebab itu sistem kelembagaan yang dibuat harus melibatkan kedua komponen penting tersebut. 112 BIAYA TRANSAKSI PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN Berdasarkan hasil analisis aktor terlihat bahwa aktor pemain utama dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu terdiri dari kelompok pemerintah, masyarakat, akademisi dan usaha/swasta. Selain itu juga berdasarkan analisis aktor tersebut terlihat bahwa dari keempat kelompok tersebut kelompok pemerintah, khususnya Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi dan kelompok masyarakat memiliki tingkat kepentingan dan pengaruh yang sangat tinggi di bandingkan dengan kelompok yang tergolong pada kelompok pemain (kuadran II) lainnya. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka analsis biaya transaksi yang dilakukan dalam penelitian ini difokuskan kepada kedua kelompok pemain utama tersebut. Faktor input biaya transaksi yang dikeluarkan oleh setiap aktor dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu memiliki perbedaan, khususnya antara aktor pemerintah daerah dan aktor kelompok nelayan. Pemerintah Berdasarkan kerangka analisis yang dikembangkan oleh Abdullah et.al (1998) dan Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (DPA SKPD) Belanja Aparatur dan Publik Tahun Anggaran 2006 Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi, maka biaya transaksi pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu biaya transaksi informasi, biaya transaksi pengambilan keputusan dan biaya transaksi operasional bersama (Gambar 16). 113 Biaya Transaksi Pemerintah Biaya Pengambilan Keputusan Biaya Sosialisasi Biaya Informasi Biaya Operasional Bersama Biaya Pengembangan Teknologi Penangkapan Ikan Biaya Pengembangan dan Pembinaan Usaha Nelayan dan Pembudidaya Ikan Skala Kecil Biaya Pengawasan Perijinan dan Pembinaan Mutu Produk Kelautan dan Perikanan Biaya penyusunan strategi Biaya penyusunan dan pengukuhan AD/ART Koperasi LEPP-M2R Kab. Sukabumi Biaya Bantuan Muscab HNSI Gambar 16. Biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu Berdasarkan gambar diatas, total biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu setiap tahunnya mencapai sekitar Rp. 184.615.000,00 yang terdiri dari biaya informasi sekitar Rp. 9.000.000,00, biaya pengambilan keputusan sekitar Rp. 58.950.000,00 dan biaya operasional bersama sekitar Rp. 116.665.000,00. Secara lengkap total biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemerintah dapat dilihat pada Tabel 29 (Secara lengkap lihat lampiran 4). Tabel 29. Biaya transaksi pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu No I II III Faktor Input Biaya Per Tahun (Rp) Biaya Informasi 9.000.000,00 Biaya Pengambilan Keputusan 58.950.000,00 Biaya operasional bersama 116.665.000,00 Biaya Pengembangan Teknologi 1 Penangkapan Ikan 52.810.000,00 Biaya Pengembangan dan Pembinaan Usaha 2 Nelayan dan Pembudidaya Ikan Skala Kecil 43.260.000.00 Biaya Pengawasan Perijinan dan Pembinaan 3 Mutu Produk Kelautan dan Perikanan 20.595.000,00 Total Biaya Transaksi Pemerintah (I + II + III III) 184.615.000,00 Sumber : Diolah dari Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah Belanja Aparatur dan Publik Tahun Anggaran 2006 Berdasarkan Tabel 29 diatas terlihat bahwa biaya transaksi untuk operasional bersama lebih besar dibandingkan untuk biaya transaksi informasi dan pengambilan keputusan. Hal ini disebabkan banyaknya jenis-jenis biaya transaksi yang harus dikeluarkan dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk 114 Palabuhanratu. Biaya transaksi manajemen paling banyak digunakan untuk biaya pengembangan teknologi penangkapan ikan dan pembinaan nelayan kecil. Kelompok Masyarakat Nelayan Berdasarkan kerangka analisis yang dikembangkan oleh Abdullah et.al (1998), biaya transaksi kelompok masyarakat nelayan terdiri dari : 1) Biaya transaksi penyusunan keputusan, terdiri biaya pertemuan anggota, biaya lobi, biaya pembuatan keputusan; 2) Biaya operasional bersama, terdiri dari biaya koordinasi, biaya pengawasan sumberdaya ikan, biaya pelatihan anggota dan biaya tradisi laut. 3) Biaya informasi, terdiri dari Biaya informasi, biaya pengumpulan bahanbahan, biaya penyusunan aturan main dan biaya sosialisasi. Secara sistematis biaya transaksi yang dikeluarkan oleh nelayan dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu dapat dilihat pada Gambar 17. Gambar 17. Biaya transaksi yang dikeluarkan nelayan dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Berdasarkan gambar diatas, total biaya transaksi yang dikeluarkan nelayan dalam pengelolaan sumberdaya ikan setiap tahunnya mencapai sekitar Rp. 9.962.500,00. Biaya transaksi tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Hal ini disebabkan nelayan tidak terlalu banyak mengeluarkan uang untuk beberapa kegiatan, seperti pengawasan 118 (ADB) dalam mengevaluasi kegiatan di Indonesia, yaitu sebesar 12 persen pertahun. Jangka waktu yang digunakan dalam menganalisis efektifitas biaya transaksi ini adalah 5 tahun. Dasar pertimbangannya adalah masa jabatan pemerintahan daerah Kabupaten Sukabumi dan organisasi kelompok nelayan yang ada di Kabupaten Sukabumi. Secara lengkap hasil perhitungan CEA tersebut dapat dilihat pada Lampiran 6 dan 7. Berdasarkan tingkat diskonto tersebut terlihat bahwa dalam jangka waktu lima tahun nilai cost effectiveness analysis (CEA) pemerintah jauh lebih tinggi dibandingkan dengan CEA kelompok nelayan. Nilai CEA pemerintah mencapai sekitar Rp. 783.140.270,15 dan nilai CEA kelompok nelayan Rp. 25.521.874,33. Tarigan (2006) menyatakan bahwa nilai CEA yang lebih kecil merupakan nilai yang lebih efektif. Berdasarkan hal tersebut maka pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu perlu melibatkan kelompok nelayan, karena terbukti memiliki nilai CEA yang lebih rendah dibandingkan hanya dilakukan oleh pemerintah. Oleh sebab perlu disusun sistem kerjasama pemerintah dan kelompok nelayan dalam melakukan pengelolaan da pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi. Secara lengkap nilai CEA pemerintah dan nelayan tersebut dapat dilihat pada Gambar 21. 800,000,000.00 783,140,270.16 700,000,000.00 600,000,000.00 Rp 500,000,000.00 400,000,000.00 300,000,000.00 200,000,000.00 100,000,000.00 25,521,874.33 CEA Pemerintah Nelayan Gambar 21. Nilai CEA pemerintah dan kelompok nelayan dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu 115 sumberdaya ikan, biaya koordinasi, biaya pertemuan, biaya lobi, dan biaya pembuatan aturan main. Biaya transaksi yang dikeluarkan oleh nelayan lebih banyak dilakukan untuk biaya pengambilan keputusan dan operasional bersama, yaitu mencapai Rp. 4.137.500,00 dan Rp. 3.700.000,00 setiap tahunnya. Sementara itu untuk biaya informasi, setiap tahunnya nelayan mengeluarkan biaya transaksi sebesar Rp. 2.125.000,00. Secara lengkap sebaran besarnya biaya transaksi yang dikeluarkan oleh nelayan dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu dapat dilihat pada Tabel 30 (Lampiran 5). Tabel 30. Biaya transaksi yang di keluarkan nelayan dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu No A 1 2 B 1 2 3 4 C 1 2 3 4 Jenis Biaya Transaksi Biaya Pengambilan Keputusan Biaya Pertemuan anggota Biaya Lobi Biaya Operasional Bersama Biaya koordinasi antar anggota Biaya Pengawasan Sumberdaya Ikan Biaya Pelatihan Biaya tradisi laut Biaya Informasi Biaya informasi Pengumpulan bahan-bahan peraturan Penyusunan peraturan Sosialisasi Total Biaya Transaksi Nilai Rata-Rata (Rp. Per Tahun) 4.137.500,00 4.000.00,00 137.500,00 3.700.000,00 900.000,00 1.500.000,00 500.000,00 800.000,00 2.125.000,00 500.000,00 375.000,00 875.000,00 375.000,00 9.962.500,00 Sumber : Data primer 2007 Biaya transaksi pengambilan keputusan yang dikeluarkan oleh nelayan lebih banyak dikeluarkan untuk biaya pertemuan anggota dan biaya lobi. Biaya tersebut umumnya dikeluarkan setiap ada pergantian pengurus atau pertemuan rutin triwulanan organisasi. Secara lengkap sebaran biaya pegambilan keputusan yang dikeluarkan oleh nelayan dapat dilihat pada Gambar 18. 116 4,000,000.00 3,500,000.00 3,000,000.00 Rupiah 2,500,000.00 2,000,000.00 1,500,000.00 1,000,000.00 500,000.00 Biaya Pertemuan anggota Biaya Lobi Jenis Biaya Transaksi Gambar 18. Biaya transaksi pengambilan keputusan yang di keluarkan nelayan dalam pengelolaan sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu. Biaya transaksi operasional bersama yang dikeluarkan oleh nelayan setiap tahunnya mencapai sekitar Rp. 3.700.000,00. Biaya tersebut lebih banyak digunakan untuk biaya pengawasan sumberdaya ikan di wilayah perairan Teluk Palabuhanratu. Secara lengkap biaya operasional bersama tersebut dapat dilihat pada Gambar 19. 1,600,000.00 1,400,000.00 Rupiah 1,200,000.00 1,000,000.00 800,000.00 600,000.00 400,000.00 200,000.00 Biaya koordinasi antar anggota Biaya Pengawasan Sumberdaya Ikan Biaya Pelatihan Biaya tradisi laut Jenis Biaya Transaksi Biaya Operasional Bersama Gambar 19. Biaya operasional bersama yang di keluarkan nelayan dalam pengelolaan sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu. 117 Sementara itu biaya transaksi informasi yang dikeluarkan oleh nelayan dalam pengelolaan sumberdaya ikan teluk palabuhanratu lebih didominasi oleh biaya pencarian informasi untuk penyusunan aturan main yang berlaku di tingkat nelayan. Misalnya aturan main yang berlaku bagi nelayan yang akan memanfaatkan rumpon sebagai lokasi penangkapan ikan. Aturan main tersebut dibuat oleh nelayan yang tergabung dalam kelompok pengelola rumpon, akan tetapi berlaku bagi semua nelayan baik anggota maupun bukan dari kelompok pengelola rumpon. Sehingga bagi nelayan yang akan memanfaatkan rumpon sebagai lokasi penangkapan ikan, harus mentaati aturan main yang telah disepakati oleh kelompok pengelola rumpon. Secara lengkap sebaran biaya transaksi politik yang dikeluarkan nelayan dalam pengelolaa sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu dapat dilihat pada Gambar 20. 900,000.00 800,000.00 700,000.00 Rupiah 600,000.00 500,000.00 400,000.00 300,000.00 200,000.00 100,000.00 Biaya informasi Pengumpulan bahan-bahan peraturan Penyusunan peraturan Sosialisasi Jenis Biaya Transaksi Informasi Gambar 20. Biaya transaksi informasi yang di keluarkan nelayan dalam pengelolaan sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu Efektifitas Biaya Transaksi Efektifitas biaya transaksi dianalisis dengan melihat rasio antara total biaya transaksi yang telah dikeluarkan dengan (1 + i)t, dimana i merupakan tingkat diskonto. Semakin kecil nilai rasio yang diperoleh maka menunjukan semakin efektif penggunaan biaya transaksi tersebut. Tingkat diskonto yang dipakai pada analisis ini adalah tingkat diskonto yang digunakan oleh Asian Development Bank 119 DESAIN KELEMBAGAAN PENGELOLA SUMBERDAYA IKAN DI TELUK PALABUHANRATU Berdasarkan analisis sebelumnya terlihat bahwa sistem tata kelola sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu saat ini masih menimbulkan berbagai konflik horizontal di antar aktor pengelola sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Hal ini disebabkan karena sampai saat ini belum terbentuk suatu kelembagaan yang dapat menampung berbagai kepentingan para aktor pengelola sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Selain itu juga sistem pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu telah menimbulkan biaya transaksi tinggi yang harus dikeluarkan oleh pemerintah setiap tahunnya. Hal ini tidak sebanding dengan manfaat yang diperoleh pemerintah, sehingga menyebabkan biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut menjadi tidak efektif. Berdasarkan analisis aktor pada bab sebelumnya terlihat bahwa dalam upaya menyusun kembali format lembaga pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu, aktor-aktor yang harus dilibatkan secara langsung adalah Departemen Kelautan dan Perikanan RI, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi, KUD Mina, Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu (PPNP), Satuan Kerja Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Pelabuhanratu, Pergutuan Tinggi, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kelompok Pengelola Rumpon, Tempat Pelelangan Ikan, Bakul, Juragan/Taweu, Kelompok Masyarakat Pengawas Sumberdaya Ikan Palabuhanratu (POKMASWAS) dan Polisi Perairan. Sementara itu berdasarkan hasil analisis game theori terlihat bahwa format lembaga yang direkomendasikan perlu untuk melibatkan antara kelompok masyarakat dan pemerintah. Berdasarkan kondisi tersebut maka sudah saatnya untuk dilakukan penataan kembali sistem pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Bromley (1989) menyatakan jika kondisi-kondisi ekonomi dan sosial masyarakat berubah, maka struktur institusi yang ada tidak cocok lagi untuk dipakai. Anggota-anggota masyarakat akan berusaha memodifikasi aransemen kelembagaan baru yang lebih sesuai dengan keadaan, keterbatasan, teknologi, 120 maupun selera masyarakat yang baru tersebut. Semua aktivitas yang dilaksanakan sebagai respons terhadap kondisi-kondisi ekonomi baru dengan tujuan membentuk aransemen kelembagaan baru inilah yang disebut Commons sebagai transaksi-transaksi kelembagaan. Berdasarkan kerangka desentralisasi perikanan, komponen utama yang perlu diperhatikan dalam pengembangan sistem kelembagaan adalah (1) aspek batasan kewenangan (yurisdiction boundary); (2) aspek kepemilikan (property right); dan (3) aturan representasi. Berdasarkan ketiga komponen tersebut diharapkan sistem kelembagaan tersebut dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi wilayah (growth), keadilan (equity) dan keberlanjutan (sustainability) dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Berdasarkan hal tersebut diatas maka untuk mewadahi kepentingan masingmasing aktor yang terlibat, maka perlu dibentuk suatu kelembagaan khusus dengan struktur, keanggotaan, mekanisme pengambilan keputusan dan kewenangan yang harus disepakati oleh para aktor. Ada tiga hal utama yang perlu mendapatkan kesepakatan oleh para aktor tersebut, yaitu : 1) Format Lembaga. Struktur lembaga harus disusun sedemikian rupa sehingga kepentingan masing-masing aktor secara proporsional terwakili dalam lembaga tersebut. Kepentingan-kepentingan tersebut harus terpresentasikan dalam konfigurasi keanggotaan yang akan dipilih berdasarkan mekanisme yang disepakati sebelumnya. 2) Mekanisme pengambilan keputusan. Sebagai sebuah lembaga yang melibatkan multikepentingan, maka sejak awal perlu ditetapkan mekanisme pengambilan keputusan. Secara teoritik, mekanisme pengambilan keputusan itu dapat berupa musyawarah-mufakat, pemungutan suara atau kombinasi keduanya. 3) Kewenangan lembaga. Kewenangan dari lembaga kerjasama tersebut juga harus disepakati, diantaranya adalah pemetaan wilayah kewenangan daerah laut, identifikasi potensi sumberdaya alam dan sumberdaya sosialkelembagaan, perumusan kerangka kebijakan pengembangan kawasan serta mekanisme resolusi konflik. 121 Berdasarkan hasil berbagai analisis sebelumnya maka lembaga yang direkomendasikan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu harus melibatkan masyarakat (formal dan informal), pemerintah, pihak swasta/usaha dan perguruan tinggi. Secara lengkap desain kelembagaan pengelolaan sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu dapat dilihat pada Gambar 22. Gambar 22. Desain kelembagaan pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu Berdasarkan Gambar 22 diatas terlihat bahwa peran lembaga Musyawarah Masyarakat Pengelola Sumberdaya Ikan Teluk Palabuhanratu sangat vital dalam 122 pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Hal ini disebabkan keberadaan lembaga tersebut menjadi jembatan antara kebijakan pemerintah dengan implementasi di tingkat masyarakat. Oleh sebab itu untuk memperkuat eksistensi badan tersebut harus memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Selain itu juga lembaga tersebut harus merumuskan aturan-aturan main bagi masing-masing aktor yang menjadi anggotanya. Hal ini dimaksudkan agar interaksi masing-masing aktor dalam lembaga dapat berjalan secara baik. Selain itu juga aturan-aturan main tersebut berfungsi untuk menghindari berbagai konflik kepentingan yang dapat muncul dari masing-masing aktor. Batasan Yurisdiksi (Yusrisdiction of Boundary) Batas kewenangan lembaga pengelolaan sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu diatas adalah berada di wilayah perairan teluk bagian dalam. Hal ini pun sejalan dengan kerangka otonomi daerah dimana masyarakat dan pemerintah daerah diberikan kewenangan pengelolaan sumberdaya alam sampai sejauh tiga perempat dari kewenangan pemerintah provinsi atau sejah 3 mil laut. Hak Kepemilikan (Property Right) Berdasarkan hasil analisis hak kepemilikan pada bab sebelumnya sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu, hak kepemilikan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu berada di tangan pemerintah. Namun demikian berdasarkan hasil analisis game theory dan CEA terlihat bahwa dalam pengelolaan sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu akan lebih efektif apabila melibatkan unsur pemerintah dan kelompok nelayan. Berdasarkan hal tersebut maka hak kepemilikan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu oleh pemerintah perlu didelegasikan kepada lembaga yang dibentuk. Aturan Representasi (Rule of Representation) Aturan representasi dalam sistem kelembagaan ini dapat dikelompokan menjadi dua level, yaitu pertama level penentu kebijakan (collective choice level). Level ini berperan dalam menetukan berbagai kebijakan yang perlu dilakukan 123 dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuharatu. Pada level ini kelompok yang terlibat adalah : 1) Pemerintah. Pemerintah yang berperan dalam pengelolaan sumberdaya ikan di sekitar Teluk Palabuhanratu terdiri dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat, Departemen Kelautan dan Perikanan RI, Pelabuhan Pendaratan Nusantara Palabuhanratu (PPNP), Satuan Kerja Pengawasan Sumberdaya Ikan Palabuhanratu, dan Pemerintah Pusat. Dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu kedepannya pemerintah ini diharapkan dapat lebih berperan dalam merumuskan aturan-aturan main pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu secara formal berdasarkan atas partisipatif masyarakat di Sekitar Teluk Palabuhanratu. 2) Kelompok Masyarakat. Kelompok masyarakat ini tergabung dalam Musayawarah Masyarakat Pengelola Sumberdaya Ikan Teluk Palabuhanratu. Lembaga musyawarah ini dibentuk untuk menyatukan berbagai kepentingan masing-masing aktor yang ada di tingkat masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan. Tugas Musyawarah Masyarakat Pengelola Sumberdaya Ikan Teluk Palabuhanratu (M2PSITP) adalah membuat berbagai kesepakatan antar aktor dan melakukan koordinasi dalam penyelenggaraan program kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. M2PSITP beranggotakan semua aktor yang menjadi pemain utama dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu, yaitu KUD Mina, kelompok pengelola rumpon, kelompok masyarakat pengawas sumberdaya ikan, HNSI Kabupaten Sukabumi, Taweu dan Nelayan. 3) Badan Penasehat Teknis dan Ilmiah. Badan ini berperan secara tidak langsung dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Badan penasehat ini beranggotakan unsur-unsur perguruan tinggi dan lembaga penelitian. Badan tersebut berperan dalam memberikan masukan-masukan kepada M2PSITP yang terakit dengan hasil penelitianpenelitian ilmiah di sekitar Teluk Palabuhanratu. Masukan-masukan 124 tersebut akan sangat bermanfaat bagi M2PSITP dalam merumuskan berbagai keputusan yang terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Kedua, level operasional (operational choice level). Level ini berperan dalam mengimplementasikan berbagai kesepakatan yang telah dilakukan oleh lembaga musyawarah Palabuhanratu. Selain masyarakat itu level pengelola ini bertugas sumberdaya memberi ikan dukungan Teluk dan mengkoordinasikan semua aspek usaha pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu, termasuk meningkatkan pelibatan para pemangku kepentingan (konstituen). Kelompok dalam level ini terdiri dari tiga kelompok, yaitu : 1) Kelompok Lembaga Pengelola sumberdaya Ikant, yang terdiri dari KUD Mina, kelompok pengelola rumpon, HNSI Kabupaten Sukabumi, Taweu dan Nelayan. 2) Kelompok Lembaga Pengembangan Pemasaran Hasil Perikanan. Kelompok ini berperan dalam memberikan akses permodalan bagi pada nelayan yang akan mengembangkan usaha perikanan. 3) Kelompok Lembaga Pengawas Sumberdaya Ikan, yang terdiri dari kelompok masyarakat pengawas sumberdaya ikan dan satuan kerja pengawas sumberdaya ikan Mekanisme Implementasi Berdasarkan hasil idetifikasi dilapangan terhadap para aktor terlihat bahwa untuk mengimplementasikan format lembaga yang dirancang, mekanisme hubungan antar aktor yang dapat dibentuk dalam level kebijakan adalah melalui kegiatan Syukuran Hari Nelayan. Kegiatan rutin nelayan tersebut setiap tahunnya dilaksanakan pada bulan Juli. Selama ini kegiatan syukuran hari nelayan tersebut hanya bersifat hiburan saja, padahal kegiatan tersebut diikuti oleh semua aktor yang menjadi pemain utama pengelolaan sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu. Berdasarkan hal tersebut kegiatan syukuran nelayan tersebut selain diisi dengan kegiatan-kegiatan hiburan, juga hendaknya dijadikan sebagai media untuk melakukan musyawarah masyarakat pengelola sumberdaya ikan Teluk Palabuhnaratu. Sehingga kegiatan syukuran hari nelayan tersebut akan menjadi 125 lebih bermanfaat untuk para aktor dan keberlanjutan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Beberapa alasan dijadikannya syukuran hari nelayan Teluk Palabuhanratu sebagai media untuk melakukan musyawarah masyarakat pengelola sumberdaya ikan Teluk Palabuhnaratu, adalah : 1) Syukuran hari nelayan merupakan momen yang sangat tepat untuk dijadikan sebagai hari evaluasi kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu; 2) Dalam syukuran hari nelayan semua aktor, baik yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam pengelolaan sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu turut berpartisipasi dalam acara tersebut. Hal ini memudahkan dalam melakukan koordinasi; 3) Dana yang digunakan dalam kegiatan syukuran hari nelayan tersebut selama ini cukup besar, sehingga sangat disayangkan apabila kegiatan yang dilakukan dalam syukuran tersebut hanya bersifat hiburan saja; Dalam musyawarah masyarakat pengelola sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu tersebut setiap tahunnya dirumuskan sebuah kesepahaman bersama dalam melakukan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah perairan Teluk Palabuhanratu. Dampak dari kesepakatan bersama tersebut diharapkan dapat meredam berbagai konflik antar nelayan serta kelestarian sumberdaya ikan dan perekonomian nelayan dapat terjaga dengan baik. Selain itu juga peran pemerintah daerah akan semakin berkurang karena para nelayan sudah memiliki aturan main dalam melakukan aktivitasnya. Sehingga biaya transaksi yang harus dikeluarkan oleh pemerintah akan berkurang dengan sendirinya. Sementara itu aktor-aktor yang terdapat pada level operasional (operational choice level) akan lebih mudah untuk melakukan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Hal ini disebabkan mereka sudah memiliki kesepakatan antar aktor utama yang memiliki tingkat kepentingan dan pengaruh yang tinggi dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu. 126 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian diperoleh beberapa informasi penting tentang sistem pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu, yaitu : 1) Aktor-aktor yang harus dilibatkan secara langsung dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan adalah Departemen Kelautan dan Perikanan RI, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi, KUD Mina, Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu (PPNP), Satuan Kerja Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Pelabuhanratu, Pergutuan Tinggi, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kelompok Pengelola Rumpon, Tempat Pelelangan Ikan, Bakul, Juragan/Taweu, Kelompok Masyarakat Pengawas Sumberdaya Ikan Palabuhanratu (POKMASWAS) dan Polisi Perairan. 2) Tatanan kelembagaan pengelolaan sumberdaa ikan Teluk Palabuhanratu selama ini tergolong kedalam tipe Ko-Manajemen instruktif. Hal ini dicirikan komunikasi dan tukar informasi yang minimal antara pemerintah dan pelaku perikanan. Tipe ini berbeda dengan rejim sentralisasi dalam hal dimana terdapat mekanisme dialog antara pemerintah dan pelaku perikanan namun tetap dalam konteks instruksi informasi dari apa yang telah diputuskan oleh pemerintah. 3) Total biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu setiap tahunnya mencapai sekitar Rp. 184.615.000. Sementara itu total biaya transaksi yang dikeluarkan nelayan dalam pengelolaan sumberdaya ikan setiap tahunnya mencapai sekitar Rp. 9.962.500. 4) Berdasarkan tingkat diskonto 12 % terlihat bahwa dalam jangka waktu lima tahun nilai cost effectiveness analysis (CEA) pemerintah jauh lebih tinggi dibandingkan dengan CEA kelompok nelayan. Nilai CEA pemerintah mencapai sekitar Rp. 783.140.270,15 dan nilai CEA kelompok nelayan Rp. 25.521.874,33. 127 5) Format kelembagaan yang direkomendasikan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu harus melibatkan masyarakat (formal dan informal), pemerintah, pihak swasta/usaha dan perguruan tinggi. Format kelembagaan tersebut dapat dikelompokan menjadi dua level, yaitu pertama level penentu kebijakan (collective choice level). Level ini berperan dalam menetukan berbagai kebijakan yang perlu dilakukan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuharatu. Kedua, level operasional (operational choive level). Level ini berperan dalam mengimplementasikan berbagai kesepakatan yang telah dilakukan oleh lembaga musyawarah masyarakat pengelola sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu. Saran Dalam rangka mengkaji keefektifan sistem kelembagaan yang dibentuk, maka perlu dilakukan penelitian uji coba implementasi sistem kelembagaan pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Dengan demikian, diharapkan kedepan pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu dapat ditunjang melalui sistem kelembagaan yang kuat dan berpihak terhadap kepentingan stakeholders dan kelestarian sumberdaya ikan. DAFTAR PUSTAKA Abdullah NMR, K Kuperan and RS Pomeroy. 1999. Transaction cost and fisheries co-management. Departement of Natural Resource Economics. Faculty of Economics and Management. University Pertanian Malaysia. UPM Serdang. Selangor Malaysia. 12 pp. Adrianto L. 2005. Memperkuat Platform Revitalisasi Perikanan dan Kelautan Yang Berkelanjutan. Working Paper Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL-IPB). Anggraini E. 2005. Analisis Biaya Transaksi Dan Penerimaan Nelayan dan Petani di Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tesis, Tidak dipublikasikan. Alchian AA. 1993. Property Rights, dalam Henderson David. 1993. The Fortune Encyclopedia of Economics. New York : Warner Books, Inc. Anwar A. 2002. Teori Permainan (Game Theory) dan Aplikasinya dalam Analisis Ekonomi dan Kelembagaan. Bahan kuliah ekonomi organisasi perdesaan Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Program Pasca Sarjana, IPB, Bogor. Bardhan P. 1989. Alternative Approaches to the Theory of Institutional in Economic Development. Dalam Pranab Bardhan. (ed). The Economic Theory of Agrarian Institutions. Oxpord : Clarendon Press. Berkes F. 1989. “The Common Property Resouces Problem and Creation of Limited Property Rights”. Human Ecology 13 (2) : 187-2008. Blaxter L et.al. 2001. How To Research. Second Edition. Open University Press. Bogason P. 2000. Public Policy and Local Governance : Institutions in Postmodern Society. Cheltenham, UK : Edward Elgar. Bromley DW. 1988. Property rights and the environment: natural resource policy in intransition. Published by the Ministry for the Environment. Wellington, New Zealand. Bromley DW. 1990. The ideology of efficiency: searching for a theory of policy. Journal of Environmental Economics and Management, 19(1): 86-107. Bromley DW. 1991. Testing for common versus private property: comment. Journal of Environment Economics and Management, 21, 92-96 (91). Academic Press Inc. Charles AT. 2001. Sustainable fishery systems. Blackwell Science Ltd. Oxford. UK. 370 pp. Christy FT. 1987. Hak penggunaan wilayah pada perikanan laut: definisi dan kondisi (hlm 141-163). Dalam ekonomi perikanan dari pengelolaan ke permasalahan praktis. Smith IR dan F Marahuddin (editor). Jilid 2. Penerbit Gramedia. Jakarta. 360 hlm. Christy FT and A Scott. 1986. Sifat dari sumber daya alam milik bersama (hlm 130-141). Dalam ekonomi perikanan dari teori ekonomi ke pengelolaan perikanan. Smith, IR dan F Marahuddin (editor). Jilid 1. Penerbit Gramedia. Jakarta. 253 hlm. Cohen L. and Manio. 1995. Research Methods in Education, 4th edn. London : Routledge. Commons JR. 1931. Institutional Economics. American Economic Review. Vol. 21, Issue 4, December : 648 – 657. Departemen Kelautan dan Perikanan RI. 2001. Naskah akademik pengelolaan wilayah pesisir. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil DKP RI. Jakarta. 147 hlm. Departemen Kelautan dan Perikanan RI. 2004. Prosiding Lokakarya Draft Pedoman Umum Pengelolaan Kawasan Teluk.Hotel The Acacia – Jakarta, Tanggal 24 – 26 Mei 2004. Deliarnov. 2006. Ekonomi Politik. Penerbit Erlangga Dharmawan AH dan A Daryanto. 2002. Mencari model pengelolaan sumberdaya perikanan dalam rangka otonomi daerah. Makalah Pembahasan Workshop Pusat Kajian Agraria, Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor bekerjasama dengan Partnership for Governance Reform I Indonesia. Bogor. Diehl M. 1998. The Role of Institutions in the Economics Transition Process : The Reform of State-owned Enterprises in Vietnam. Journal for Institutional Innovation, Development, and Transition. Vol. 2 : 49-59. Feeny D. et.al. 1990. “The Tragedy of the Commons : Twenty-Two Years Later”. Human Ecology, 8 (1) : 1-19. Fisher S et.al. 2000. Working with Conflict : Skills Et Strategies for Action. Bookcraft, Midsomer Norton, Bath, UK. Furubotn EG and Rudolf Richter. 2000. Institutions and Economic Theory : The Contribution of the New Institutional Economics. The University of Michigan Press. Hanna SS, C Folke and KG Maler (Editor). 1996. Rights to nature: ecological, economic, cultural, and political principles of institutions for the environment. Inland Press. Washington DC. USA. 298 pp. Hardin G. 1986. Tragedi kebersamaan: persoalan kependudukan tak dapat dipecahkan secara teknis (hlm 3-22). Dalam Ekonomi Perikanan dari Teori Ekonomi ke Pengelolaan Perikanan. Smith IR dan M Marahuddin (editor). Jilid 1. Penerbit PT Gramedia. Jakarta. 253 hlm . Haswanto AI. 2006. Studi Konstruksi Kelembagaan Pengelolaan Sea Farming (Kasus di Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tesis, Tidak dipublikasikan. Hidayat A. 2005. Institutional Analysis of Coral Reef Management. A Case Study of Gili Indah Village, West Lombok, Indonesia. Shaker Verlag Aachen. Imperial. 1998. Anayzing Institutional Arrangements for Ecosystem-Based Management : Lessons from the Rhode Island Salt Ponds SAM Plan. Institut for the Study of Government and the Nonprofit Sector and School of Public and Environmental Affairs Indiana University, Bloomington, Indiana, USA. Indar YN, M Lampe dan K Lahae. 2002. Sistem-sistem tradisional sebagai pranata institusi dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir. Universitas Hasanuddin. Makasar. 66 hlm. Jentoft S. 2004. Institutions in fisheries : what they are, what they do, and how they change. Marine Policy 28. 137-149 Karim M. 2005. Analisis Kemiskinan dan Kesenjangan Pembangunan di Kawasan Pesisir Kabupaten KArawang dan Sukabumi Jawa Barat. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Tesis, Tidak dipublikasikan. Kusumastanto T. 2002. Reposisi ”Ocean Policy” dalam pembangunan ekonomi Indonesia di era otonomi daerah. Orasi ilmiah Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Kebijakan Ekonomi Perikanan dan Kelautan FPIK-IPB, 21 September 2002. Bogor. 134 hlm. Kusumastanto T. 2003. Ocean policy dalam membangun negeri bahari di era otonomi daerah. Cetakan 1. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 160 hlm. Kusnadi. 2000. Nelayan: strategi adaptasi dan jaringan sosial. Humaniora Utama Press (HUP). Cetakan I. Bandung. 244 hlm. Kusnadi. 2002. Konflik sosial nelayan: kemiskinan dan perebutan sumber daya perikanan. Penerbit LKIS. Yogyakarta. 190 hlm. Manig W. 1991. Rural Social and Economic Structure and Social Development. Dalam Winfried Manig. Stability and Change in Rural Institutions in North Pakistan. Socio-economic Studies on Rural Development. Vol 85. Aachen : Alano. Nababan A. 1995. Kearifan tradisional dan pelestarian lingkungan hidup di Indonesia. Jurnal Analisis CSIS Tahun XXIV, Nomor 6 (hlm 421-435), November-Desember 1995. Centre for Strategic and Internacional Studies (CSIS). Jakarta. 487 hlm. Nazir M. 1988. Metode Penelitian. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta Nikijuluw. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Pusat Pemberdayaan dan Pembangunan Regional. PT. Pustaka Cidesindo. Cetakan pertama. North DC. 1990. Institutions, Institutional change and Economic Performance. Cambridge : Cambridge University Press. --------------. 1994. Economic Performance Through Time. The American Economic Review. Vol. 84, Issue 3, June : 359-368. --------------. 1995. The New Institutional Economics and Third World Development. Dalam John Harris, Janet Hunter, dan Colin M. Lewis. The New Institutional Economic and Third world Development. London : Routledge. Ostrom E, R. Gardner, and J. Walker. 1994. Roles, Games & Common-Pool Resources. Ann Arbor, MI : The University of Michigan Press. Ostrom E and F Schlager. 1996. Property rights regimes and coastal fisheries : an empirical analysis. Proceeding Polycentric Government and Development. Chapter 5. pg 87-113. Ostrom E. 1997. Self-Government of common-pool resources. Workshop in political theory and policy analysis. Indiana University, Indiana, USA. 39 pp. Pakpahan A. 1989. Kerangka analitik untuk penelitian rekayasa sosial perspektif ekonomi institusi. Prosiding Patanas Evolusi Kelembagaan Pedesaan di Tengah Perkembangan Teknologi Pertanian. Pusat Penelitian Agro Ekonomi. Bogor Pakpahan A. 1990. Permasalahan dan landasan konseptual dalam rekayasa institusi (koperasi). Makalah disampaikan pada Seminar Pengkajian Masalah Pekoperasian Nasional, Badan Litbang Koperasi di Jakarta 23 Oktober 1990. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Pameroy RS (editor). 1994. Community management and common property of coastal fisheries in Asia and the Pacific: concept, methods and experiences. ICLARM, Phillippines. 189 pp. Panayotou T. 1985a. Small-scale fisheries in Asia: an introduction and overview (pg 11-29). In Proceeding of Small-scale fisheries in Asia: socio-economic analysis and policy (edited by Panayotou). IDRC. Ottawa-Canada. 283 pp Panayotou T. 1985b. Socioeconomic conditions of small-scale fisheries: a conceptual framework (pg 31-35). In Proceeding of Small-scale fisheries in Asia: socio-economic analysis and policy (edited by Panayotou). IDRC. Ottawa-Canada. 283 pp. Panayotou T. 1987. Kondisi ekonomi dan prospek nelayan kecil di Thailand (hlm 268-280). Dalam Ekonomi Perikanan Dari Pengelolaan ke Permasalahan Praktis. F Marahudiin dan IR Smith (editor). Jilid 2. Penerbit PT Gramedia. Jakarta. 360 hlm. Panayotou T. 1998. Management concepts for small-scale fisheries: economic and social aspects. FAO Fisheries Technical paper 228. FAO-UN. Rome. 53 pp. Partowidagdo W. 1999. Memahami Analisis Kebijakan. Kasus Reformasi Indonesia. Program Studi Pembangunan Program Pascasarjana Institut Teknologi Bandung. Pejovich S. 1995. Economic Analysis of Institutions and System. Dordrecht The Netherlands : Stanford California : Stanford University Press. Pido et.al. 1997. A Rafid Apprasial Approach to Evaluation of Community-Level Fisheries Management System Framework and Field Application at Selected Coastal Fishing Village in the Philippines and Indonesia. Coastal Management, 25 : 183-204. PKSPL-IPB. 2004. Pemetaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Pesisir Kabupaten Sukabumi. Rachbini DJ dan Bustanul Arifin. 2001. Ekonomi Politik dan Kebijakan Publik. Penerbit Grasindo, Jakarta. Rutherford M. 1994. Institutions in Economics : The Old and the New Institutionalism. Cambridge : Cambridge University Press. Saad S. 2003. Politik hukum perikanan Indonesia. Percetakan Dian Pratama. Jakarta. Satria A. 2002. Pengantar sosiologi masyarakat pesisir. Penerbit Cidesindo. Jakarta. 130 hlm. Satria A, Abubakar Umbari, Akhmad Fauzi, Ari Purbayanto, E Soetarto, I Muchsin, I Muflikhati, M Karim, S Saad, W Oktariza dan Z Imran. 2002. Menuju desentralisasi kelautan. Penerbit Pusat Kajian Agraria IPB dan Partnersip for Govenance Reform in Indonesia bekerjasama dengan PT. Pusata Cidesindo. Jakarta. 210 hlm. Tarigan R. 2006. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Edisi Revisi. Penerbit PT. Bumi Aksara. Jakarta Tietenberg T. 1992. Environmental and natural resource economics. Third Edition. Harper Collins Publishers Inc. New York USA. 678 pp. Wahyono A, AR Patji, DS Laksono, R Indrawasih, Sudiyono dan S Ali. 2000. Hak ulayat laut di kawasan timur Indonesia. Cetakan 1. Penerbit Media Pressindo bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation. Yogyakarta. 166 hlm. Wahyudin Y. (2005). Alokasi Optimal Sumberdaya Perikanan Teluk Palabuhanratu. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Tesis, Tidak dipublikasikan. Weber M. 1968. Economic and Society : An Outline of Interpretative Sociology. Edited by G. Roth and C. Wittich. Berkeley : University of California Press. Williamson OE. 1985. The Economic Institutions of Capitalism. New York : Free Press. Yeager TJ. 1999. Institutional, Transition Economics, and Economic Development. Oxford : Political Economy of Global Interdependence. Yin RK. 1996. Studi kasus: desain dan metode. Edisi revisi. Penerbit PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Yustika AE. 2006. Ekonomi kelembagaan: definisi, teori dan strategi. Cetakan I. Penerbit Bayumedia Publishing. Malang. 364 hlm. Lampiran Lampiran 1. Panduan Penelitian PANDUAN PENELITIAN ANALISIS EKONOMI KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN TELUK PALABUHANRATU KABUPATEN SUKABUMI OLEH : SUHANA C451040031 PROGRAM STUDI EKONOMI SUMBERDAYA KELAUTAN TROPIKA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 PENGANTAR Panduan penelitian ini berisikan kuisioner untuk memahamiberbagai persoalan pengelolaan sumberdaya ikan di sekitar Teluk Palabuhanratu yang sudah mengalami degradasi. Setelah memahami bagaimana persoalan dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya ikan serta mengetahui ancaman-ancaman yang telah dan akan dialami nelayan, panduan ini membantu peneliti dalam menganalisis sistem pengelolaan sumberdaya ikan di teluk Palabuhanratu. Selain itu juga panduan ini diharapkan dapat membantu peneliti dalam menjawab tujuan dari penelitian ini. Secara singkat tujuan penelitian ini adalah pertama, mengidentifikasi dan menganalisa peran masing-masing kelembagaan yang ada di Teluk Palabuhanratu dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan; kedua, menganalisis tatanan kelembagaan tersebut dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan ketiga, menganalisis biaya transaksi penyusunan kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu. Kuisioner ini terbagi menjadi empat bagian penting yang keseluruhannya memiliki keterkaitan yang kuat satu sama lainnya, yaitu pertama, kuisioner untuk aparat pemerintahan desa atau tokoh desa. Kuisioner ini bertujuan untuk mengetahui secara umum kondisi masyarakat di desa tersebut. Kedua, kuisioner untuk aparat pemerintah kabupaten Sukabumi, khususnya Dinas Kelautan dan Perikanan. Ketiga, kuisioner untuk masyarakat nelayan. Keempat kuisioner untuk pengurus organisasi nelayan, seperti HNSI, Koperasi. Secara lengkap kuisioner tersebut dapat dilihat di bawah ini. Bogor, Desember 2006 Suhana C451040031 Bagian Pertama : Identifikasi Masyarakat Palabuhanratu Pesisir di sekitar Teluk Nama Responden :__________________________________ Jabatan :__________________________________ Umur :__________________________________ Alamat :__________________________________ __________________________________ Instansi : Pemerintahan Desa No Pertanyaan 1 Bagaimana jumlah dan komposisi penduduk di sekitar pesisir Teluk Palabuhanratu, berdasarkan : Kelompok umur, Matapencaharian, Etnis Kepemilikan sumber produksi (misalnya kapal penangkapan ikan) 2 Dimana letak administrasi tempat masyarakat tinggal ? Kecamatan : ........ Desa : ................ Dusun : ......... Luas wilayah : ......... 3 Bagaimana propesi atau matapencaharian masyarakat ? • Matapencaharian apa saja yang ada dalam masyarakat : Â… Nelayan Â… Petani Â… Pedagang Â… Pegawai Negeri Â… Pegawai swasta Â… TNI/Polri • Bagaimana komposisi atau jumlah penduduk pada masing-masing matapencaharian tersebut ? (Pertanyaan ini dimaksudkan untuk mengetahui matapencaharian utama masyarakat di sekitar Teluk Palabuhanratu) • Pembagian kerja masyarakat perikanan : Jumlah juragan/Pemilik kapal : Jumlah pemodal : Jumlah nelayan ABK Jumlah pedagang ikan Dll • Bagaimana hubungan antar matapencaharian 4 Bagimana golongan secara ekonomi dan sosial ¿ • Berapa jumlah orang kaya, menengah dan miskin di wilayah Teluk Palabuhanratu menurut usuran masyarakat ¿ • Bagian mana dari kelas ekonomi tersebut yang paling besar ¿ • • • 5 5 Siapa yang memiliki alat produksi yang paling banyak seperti kapal, alat tangkap Bagaimana hubungan antara kelompok-kelompok tersebut dengan struktur masyarakat Kelompok mana yang memiliki sumber-sumber dan alat-alat produksi terbesar dan terkecil atau bahkan tidak punya • Bagaimana hubungan produksi antara kelas-kelas yang atau kelompok-kelompok yang ada (misalnya pemilik kapal, juragan, nelayan abk, dll) • Dimana letal pemukiman masing-masing golongan ekonomi, social dalam peta situasi. Sejarah Desa, kampung dan masyarakat nelayan di sekitar Teluk Palabuhanratu. • Peristiwa apa yang paling berpengaruh dalam kehidupan social, ekonomi, politik dan budaya masyarakat nelayan di sekitar Teluk Palabuhanratu ¿ • Siapa-siapa saja aktor yang berperan dalam perubahan-perubahan (dari luar maupun dalam) ¿ • Dari golongan atau kelompok mana yang dominan dalam perubahan-perubahan ¿ • Bagimana sikap dan tindakan masyarakat setiap peristiwa perubahan ¿ Beberapa peristiwa penting dalam penelusuran sejarah : • Pembangunan infrastruktur desa • Pertumbuhan armada kapal perikanan • Perkembangan degragasi sumberdaya ikan • Perkembangan alat tangkap ikan • Intervensi pemerintah • dll Peta konflik dan sosial, politik dan ekonomi • Bagaimana sejarah konflik antar nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan • Apa saja hal-hal yang menyebabkan konflik dalam masyarakat nelayan • Siapa saja aktor-aktor yang terlibat dalam konflik • Bagaimana latar belakang aktor-aktor yang terlibat konflik • Bagaimana pengaruh masing-masing actor dalam masyarakat • Bagaimana pengaruh dari luar berperan dalam menciptakan konflik dalam masyarakat nelayan • Bagaimana mekanisme penyelesaian yang pernah ada dalam masyarakat nelayan • Dimana letak pemukiman masing-masing kelompok nelayan yang berkonflik (kaitkan dengan peta situasi) Bagian Kedua : Identifikasi Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Oleh Pemerintah Kabupaten Sukabumi Nama :__________________________________ Jabatan:__________________________________ Umur :__________________________________ Alamat :__________________________________ __________________________________ Instansi : Dinas Kelautan dan Perikanan I. UMUM 33. Berapa potensi lestari sumberdaya ikan di teluk Palabuhanratu ?______(ton/thn) 34. Berapa persen yang sudah termanfaatkan ? _________(% ) 35. Bagaimana tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan sepuluh tahun terakhir ? Â… Meningkat Â… Menurun Â… Tetap 36. Jenis ikan apa saja yang terdapat di Teluk Palabuhanratu ? Â… Demersal, Sebutkan ............... Â… Pelagis, Sebutkan................... 37. Jenis ikan apa yang dominan ditangkap oleh nelayan ? Â… Demersal, Sebutkan ............... Â… Pelagis, Sebutkan................... 38. Bagaimana musim ikan di teluk Palabuhanratu ? No Jenis Ikan Bulan Ja F Ma Ap Me Jn Jl Ag S O N D A Ikan Demersal 1 2 3 4 5 B Ikan Pelagis 1 2 3 4 5 Keterangan : Ja : Januari F : Februari Ma : Maret Ap : April Me : Mei Ju : Juni Jl : Juli Ag : Agustus S : September O : Oktober N : November D : Desember 39. Berapa jumlah armada kapal ikan yang ada di Teluk Palabuhanratu ? No Jenis Kapal ∑ Yang berijin ∑ Yang tidak ∑ Total berijin 1 Perahu tanpa motor 2 < 5 GT 3 5 – 10 GT 4 11 – 30 GT 5 > 30 GT Total 40. Berapa jumlah alat tangkap ikan yang ada di Teluk Palabuhanratu ? No Jenis Alat ∑ Yang ∑ Yang tidak ∑ Total tangkap berijin berijin 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Total 41. Berapa jumlah tempat pendaratan ikan di Teluk Palabuhanratu ? 42. Organisasi nelayan apa saja yang ada di Teluk Palabuhanratu ? Â… HNSI Â… Gabungan Kelompok Tani Ikan Â… Kelompok Masyarakat Pengawas Sumberdaya Ikan Â… ....... Â… ....... Jenis Ikan Yang tertangkap 43. Bagaimana peran masing-masing organisasi tersebut ? No Organisasi Mengawasi Menentukan Menentukan pemanfaatan jumlah ikan ukuran ikan sumberdaya yang boleh yang boleh ikan ditangkap ditangkap HNSI Gambarkan hubungan antar organisasi tersebut : Peran Mengelola Menentukan Memberikan Rumpon jenis alat sanksi pada tangkap yang nelayan dipergunakan yang melanggar II. PERATURAN 44. Apakah ada peraturan formal tentang pengelolaan sumberdaya ikan di teluk Palabuhanratu ? Ada Ada, tapi belum berjalan efektif belum ada 45. Kalau ada, jenis peraturan formal apa saja yang ada ? Â… Peraturan Menteri Â… Peraturan Daerah Â… Peraturan Desa Â… Kesepakatan bersama 46. Apakah ada peraturan informal di tingkat masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan ? Â… Ada Â… Ada, tapi sudah tidak berjalan efektif Â… Tidak ada No 47. Apa saja yang diatur dalam peraturan tersebut ? Jenis Peraturan Hal-Hal yang diatur Batas Kewenangan Organisasi Jumlah Partisipasi kewenangan Perijinan Tangkapan nelayan Peraturan Menteri Peraturan Daerah Peraturan Desa Kesepakatan bersama Pengawasan Penegakan hukum 48. Apakah ada aturan tentang pemanfaatan dan pengelolaan rumpon ? Ada belum ada 49. Kalau ada, jenis peraturan apa saja yang ada ? Â… Peraturan Menteri Â… Peraturan Daerah (Perda) Â… Peraturan Desa Â… Kesepakatan bersama No 1 2 3 4 50. Apa saja yang diatur dalam peraturan rumpon tersebut ? Jenis Peraturan Hal-Hal yang diatur Jarak antar Jumlah rumpon Perijinan Organisasi Jumlah Ukuran Pengawasan Penegakan rumpon Tangkapan ikan yang hukum ditangkap Peraturan Menteri Peraturan Daerah Peraturan Desa Kesepakatan bersama 51. Siapa saja yang dapat memanfaatkan dan mengelola rumpon di teluk Palabuhanratu ? 52. Bagaimana hubungan antar pengelola dan pemanfaat rumpon di Teluk Palabuhanratu ? III. PERIJINAN 53. Jenis armada perikanan tangkap apa saja yang harus memiliki ijin di teluk Palabuhanratu ? No Jenis Kapal Jenis perijinan SIUP SIPI SK Lainnya 1 Perahu tanpa motor 2 < 5 GT 3 5 – 10 GT 4 11 – 30 GT 5 > 30 GT Total Keterangan : SIUP : Surat izin usaha perikanan SIPI : Surat izin penangkapan ikan SK : Surat keterangan 54. Berapa lama proses perijinan setiap armada perikanan tersebut ? 55. Berapa biaya untuk mendapatkan perijinan tersebut ? No Jenis Kapal Jumlah Biaya Perijinan (Rp) SIUP SIPI SK Lainnya 1 Perahu tanpa motor 2 < 5 GT 3 5 – 10 GT 4 11 – 30 GT 5 > 30 GT Total Keterangan : SIUP : Surat izin usaha perikanan SIPI : Surat izin penangkapan ikan SK : Surat keterangan 56. Bagaimana prosedur mendapatkan ijin tersebut ? 57. Berapa rumpon yang diberikan ijin di teluk Palabuhanratu ? Â… Milik Pemerintah, .....unit Â… Milik swasta, .......unit Â… Milik nelayan, ........unit 58. Berapa biaya perijinan rumpon ? Rp.................................Per unit 59. Jenis alat tangkap diijinkan di Teluk Palabuhanratu : Nama lokal Jenis alat tangkap Yang memberikan ijin Catatan apakah sesuai dengan Kepmen pertanian tahun 1999 tentang jalur-jalur penangkapan ikan. IV. AKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN 60. Bagaimana perkembangan produksi perikanan di teluk Palabuhanratu ? Sebelum ada rumpon Keterangan Bulan Volume Terbanyak Rata-rata Sedikit Sesudah ada rumpon Keterangan Terbanyak Rata-rata Sedikit Bulan Volume V. KONFLIK NELAYAN 29. Apakah pernah terjadi konflik antar nelayan di Teluk Palabuhanratu ? Â… Pernah (langsung ke pertanyaan b) Â… Belum pernah 30. Bagaimana intensitas konflik dalam sepuluh tahun terakhir ? Â… Sering Â… Sewaktu-waktu 31. Apa yang menjadi penyebab terjadinya konflik ? Â… Pelanggaran jalur penangkapan ikan Â… Penurunan jumlah ikan Â… Lainnya, sebutkan 32. Bagaimana penyelesaian konflik antar nelayan ? VI. BIAYA TRANSAKSI 33. Biaya manajemen organisasi formal di teluk Palabuhanratu No Biaya ∑ Keterangan/alasan nominal 1 Koordinasi antar lembaga formal 2 Sosialisasi keputusan kepada setiap lembaga formal 3 Biaya monitoring pelaksanaan keputusan 4 Lainnya (sebutkan) Total 34. Biaya penyusunan peraturan Palabuhanratu No Biaya 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pengelolaan 2 3 4 5 6 di ∑ nominal Keterangan/alasan ∑ nominal Keterangan/alasan ∑ nominal Keterangan/alasan Informasi hasil tangkapan nelayan Monitoring Lainnya (sebutkan) Total 36. Biaya rumpon No 1 2 3 4 5 Ikan Informasi kebutuhan peraturan Pengumpulan bahan-bahan peraturan Penyusunan peraturan Rapat Lobi Anggota DPRD Sosialisasi Monitoring Lainnya (sebutkan) Total 35. Biaya pengawasan sumberdaya ikan No Biaya 1 Sumberdaya Biaya Pengawasan Sosialisasi Penegakan hukum Monitoring Lainnya (sebutkan) Total Teluk Bagian Tiga : Identifikasi Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Oleh Nelayan Nama :__________________________________ Umur :__________________________________ Alamat :__________________________________ __________________________________ Rumah tangga : Nelayan Daerah asal : __________________________________ I. PEKERJAAN UTAMA 40. Berapa lama bapak melakukan pekerjaan ini ? ______________(tahun ) 41. Usaha ini dimulai oleh : Â… diri sendiri Â… orang tua Â… anggota keluarga yang lain, sebutkan : _______________________ 42. Alasan memilih pekerjaan ini : Â… berdasarkan keahlian Â… tidak ada pilihan lain Â… memiliki peluang yang lebih besar/menguntungkan 43. Usaha ini dikelola oleh : Â… diri sendiri Â… diri sendiri dibantu oleh istri / anak, sebutkan berapa orang :…………………. 44. Apakah bapak memiliki perahu ? Ya / tidak 45. Kalau ya, Jenis Perahu Jumlah Biaya Ukuran Jumlah Hubungan perahu Investasi TK dengan TK Perahu dayung Perahu layar Perahu motor 46. Jenis alat tangkap digunakan : Nama lokal Jenis alat tangkap Jumlah 47. Bila dinominalkan, berapa nilai asset yang bapak miliki ? Rp________________ 48. Modal untuk membeli asset berasal dari : Â… Modal pribadi : Rp _________________________________________ Â… Pinjaman kepada :________________________Rp ____________________ 49. Bila tidak memiliki perahu, apakah bapak : Â… Meminjam dengan bagi hasil Â… Menyewa : Rp____________/bulan Â… Meminjam dari orang tua Â… Bekerja sebagai anak buah 50. Apakah anggota keluarga yang membantu mengelola usaha digaji/bagi hasil ? Â… ya, sebanyak : Rp ___________ per ____________ Â… tidak 51. Apakah hal-hal di bawah ini berpengaruh dalam menentukan pendapatan RT bapak ? Faktor Besar pengaruh Keterangan Sangat Cukup Tidak Hasil panen Umur Pendidikan Pengalaman bekerja Anggota keluarga yang membantu Pendapatan sampingan II. FISHING GROUND 13. Dimana bapak selama ini melakukan penangkapan ikan ? Â… Di dalam teluk Â… Di luar teluk 14. Bagaimana perkembangan fishing ground sebelum ada rumpon ? Â… mendekat ke pantai Â… tetap saja Â… menjauhi teluk 15. Apakah bapak memiliki rumpon ? Â… ya (kalau ya, lanjutkan ke pertanyaan berikutnya) Â… tidak (kalau tidak langsung ke pertanyaan q) 16. Sudah berapa lama bapak memiliki rumpon ¿ 17. Letak rumpon : Â… didalam teluk, berapa mil … Â… diluar teluk, berapa mil…. 18. Kepemilikan rumpon Â… milik sendiri Â… pemerintah Â… kelompok 19. Berapa biaya untuk membuat rumpon ¿ 20. Berapa biaya ijin memasang rumpon ¿ 21. Berapa biaya untuk memasang rumpon ¿ 22. Dari mana mendapatkan ijin memasang rumpon ¿ 23. Siapa saja yang boleh menangkap ikan di sekitar rumpon ? 24. Bagaimana aturan nelayan lain yang ingin menangkap ikan di sekitar rumpon bapak ¿ 25. Apakah pernah terjadi konflik dengan nelayan yang tidak memiliki rumpon ¿ Â… pernah Â… belum pernah 26. Kalau pernah, bagaimana penyelesaiaan konflik tersebut ¿ 27. Apakah bapak melakukan pengawasan terhadap keberadaan rumpon ¿ 28. Berapa bioaya yang dikeluarkan untuk sekali melalukan pengawasan ¿ 29. Berapa kali dalam seminggu bapak melakukan pengawasan rumpon ? 30. Apakah bapak menangkap ikan di sekitar rumpon ? 31. Rumpon milik siapa tempat bapak melakukan penangkapan ikan ? 32. Bagaimana bapak mendapatkan ijin untuk menangkap ikan disekitar rumpon tersebut ? 33. Adakah kesepakatan antara bapak dan pemilik rumpon sebelum melakukan penangkapan ikan ? Â… ada Â… tidak ada III. AKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN 34. Berapa hari bapak menangkap ikan dalam sebulan : Â… Sebelum ada rumpon : _________________ hari Â… Sesudah ada rumpon : _________________ hari 35. Satu trip penangkapan dilakukan dalam beberapa lama : Â… Sebelum ada rumpon : _____________ jam/hari Â… Sesudah ada rumpon : _____________ jam/hari 36. Jumlah tangkapan dalam setiap trip : Â… Sebelum ada rumpon_______ kg, Â… Sesudah ada rumpon_______ kg 37. Daerah penangkapan : Â… Sebelum ada rumpon_______ Â… Sesudah ada rumpon_______ 38. Jarak dari tempat tinggal : Â… Sebelum ada rumpon_______ mill Â… Sesudah ada rumpon_______ mill 39. Bulan apakah bapak tidak kelaut untuk menangkap ikan : Â… Sebelum ada rumpon : _______ Â… Sesudah ada rumpon : _______ 40. Hasil Tangkapan per trip Sebelum ada rumpon Keterangan Bulan Terbanyak Rata-rata Sedikit Sesudah ada rumpon Keterangan Bulan Terbanyak Rata-rata Sedikit 41. Jenis-jenis ikan yang tertangkap : Sebelum ada rumpon No Jenis Ikan Bulan Ja F Ma Ap Me Jn Jl A Ikan Demersal 1 2 Volume Volume Ag S O N D 3 4 5 B Ikan Pelagis 1 2 3 4 5 Keterangan : Ja : Januari Ap : April Jl : Juli O : Oktober Sesudah ada rumpon No Jenis Ikan Ja A Ikan Demersal 1 2 3 4 5 B Ikan Pelagis 1 2 3 4 5 Keterangan : Ja : Januari Ap : April Jl : Juli O : Oktober Ma : Maret Ju : Juni S : September D : Desember F : Februari Me : Mei Ag : Agustus N : November F Bulan Ma Ap Me Jn F : Februari Me : Mei Ag : Agustus N : November Jl Ag S O N D Ma : Maret Ju : Juni S : September D : Desember 42. Hasil tangkapan digunakan untuk : Keterangan Semua Sebagian Dijual pada pedagang Dijual langsung pada konsumen Dimakan sendiri 43. By catch digunakan untuk apa ? _____________________________ Sedikit IV. PENDAPATA NELAYAN 44. Pendapatan Â… Sebelum dikurangi biaya produksi : Rp _________________________ Â… Setelah dikurangi biaya produksi : Rp ________________________ 40. Rata-rata pendapatan bersih selama tiga bulan terakhir : Rp_________ 41. Apakah pendapatan tersebut fluktuatif ? (ya/tidak) _________________ 42. Bulan apakah pendapatan paling besar: _________________________ 43. Bulan apakah pendapatan paling sedikit : _________________________ 44. Penyebab berfluktuasinya pendapatan _____________________ __________________________________________________________________ ________________________________________________________ 45. Biaya (dari pekerjaan utama) : 45. Biaya Produksi Biaya ∑ Dikeluarkan Keterangan Nominal per BBM (liter) Makanan, minuman, dll Upah tenaga kerja / bagi hasil Biaya perawatan perahu / kapal Pembelian alat tangkap 46. Biaya transaksi Biaya ∑ nominal Informasi tentang pasar informasi tentang sumberdaya ikan pemeliharaan sumberdaya monitoring rumpon perizinan Retribusi legal Pungutan Liar Mengakses rumpon Diserahkan per Keterangan/alasan 46. Pekerjaan Sampingan (pendapatan sampingan keluarga) 47. Jenis pekerjaan ______________________________________________ 48. Tahun memulai usaha: ________________________ 49. Waktu mengerjakan pekerjaan sampingan : Â… setiap hari Â… pada saat tidak melaut 50. Alasan memiliki pekerjaan sampingan : 51. Usaha ini dikelola oleh : Â… diri sendiri Â… diri sendiri dibantu oleh istri / anak, sebutkan berapa orang : _______ Â… apakah memiliki tenaga kerja dari luar : _______________________ 52. Rata-rata pendapatan per bulan selama tiga bulan terakhir : Rp _________ V. PENGELUARAN NELAYAN 53. Total pengeluaran rumah tangga dalam satu bulan : No Komponen Nominal / bulan Pengeluaran (Rp) 1 Pangan 2 Sandang 3 Papan (listrik, air, Keterangan 4 5 6 7 8 9 10 telpon, dll) Pendidikan Kesehatan Hiburan Hajatan/kegiatan social Kebutuhan lux 54. Apakah pengeluaran bersifat fluktuatif ? : Â… Ya, bulan apa saja pengeluaran paling besar :………dan untuk apa …….. Â… Tidak VI. KONFLIK NELAYAN 56. Apakah pernah terjadi konflik antar nelayan di Teluk Palabuhanratu ? Â… Pernah (langsung ke pertanyaan b) Â… Belum pernah 57. Bagaimana intensitas konflik dalam sepuluh tahun terakhir ? Â… Sering Â… Sewaktu-waktu 58. Apa yang menjadi penyebab terjadinya konflik ? Â… Pelanggaran jalur penangkapan ikan Â… Penurunan jumlah ikan Â… Lainnya, sebutkan 59. Bagaimana penyelesaian konflik antar nelayan ? VII. Data Anggota Keluarga (yang menjadi tanggungan) Nama Status Umur Pendidikan terakhir Pekerjaan Bagain Empat : Identifikasi Organisasi Nelayan Nama Jabatan Umur Alamat :__________________________________ :__________________________________ :__________________________________ :__________________________________ __________________________________ Nama Organisasi : Â… Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Â… Gabungan Kelompok Tani Ikan Â… Kelompok Masyarakat Pengawas Â… Kelompok Rumpon Â… Koperasi Â… ……………………. 1. KEPEMIMPINAN 1A. Pergantian 1A.1 Apakah pemimpin organisasi berubah secara teratur? Ya [ ] 1 Tidak [ ] 2 1A.2 Pada saat pemimpin berada pada posisinya cukup untuk mengetahui dan mempelajari fungsi kepemimpinan? Ya [ ] 1 Tidak [ ] 2 1A.3 Ada kemungkinan memilih kembali pemimpin yang sukses? Ya [ ] 1 Tidak [ ] 2 1B. Kepadatan 1B.1 Berapa banyak orang dalam organisasi yang memiliki kapabilitas dan kualitas menjadi pemimpin yang efektif? Tidak ada yang memenuhi [ ] 1 Sedikit (1 - 3) [ ] 2 Beberapa (4 - 6) [ ] 3 Banyak (lebih dari 6) [ ] 4 1B.2 Berapa banyak yang siap untuk menjadi pemimpin? Hanya sedikit yang siap menjadi pemimpin [ ] 1 Terbatas namun tersedia [ ] 2 Tidak pernah kekurangan calon [ ] 3 1B.3 Berapa pemimpin sebelumnya yang setuju untuk meneruskan partisipasi dalam organisasi? Tidak ada pemimpin sebelumnya, organisasi ini masih baru [ ] 1 Hampir tidak ada partisipasi pemimpin sebelumnya [ ] 2 Ada beberapa partisipasi pemimpin sebelumnya [ ] 3 Semuanya berpartisipasi aktif [ ] 4 1C. Keragaman 1C.1 Apakah pemimpin organisasi berasal dari sebuah kelompok atau sebuah keluarga atau merupakan perwakilan dari komunitas? Dari sedikit kelompok dalam komunitas [ ] 1 Dari beberapa kelompok dalam komunitas [ ] 2 Dari hampir semua kelompok di komunitas [ ] 3 1C.2 Berapa presentase wanita yang menjadi pemimpin? Kurang dari 10% [ ] 1 Antara 10 % dan 25% [ ] 2 Antara 26% dan 50% [ ] 3 Lebih dari 50% [ ] 4 1D. 1D.1 1E. 1E.1 1E.2 2 Kualitas dan Keterampilan Kepemimpinan Secara umum, bagaimana anda melihat kualitas pemimpin di dalam organisasi ini: Sempurna Bagus Cukup Kurang a. Pendidikan/pelatihan [ ] 1 [ ] 2 [ ] 3 [ ] 4 b. Dinamika/visi? [ ] 1 [ ] 2 [ ] 3 [ ] 4 c. Ketrampilan? [ ] 1 [ ] 2 [ ] 3 [ ] 4 d. Kejujuran/transparansi? [ ] 1 [ ] 2 [ ] 3 [ ] 4 Hubungan Baik Diantara Pengurus Bagaimana anda melihat hubungan diantara pengurus? Harmonis, tanpa ada masalah besar [ ] 1 Berdampingan, dengan beberapa saingan [ ] 2 Konflik, dengan banyak masalah [ ] 3 Disfungsi, tanpa koordinasi [ ] 4 Legitimasi yang dipunyai pemimpin dalam organisasi: Pemimpin diterima, semua anggota melegitimasi utuk membawa aspirasinya [ ]1 Pemimpin diterima, mayoritas melegitimasi utk membawa aspirasinya [ ] Pemimpin diterima sedikit anggota dan memiliki sedikit legitimasi [ ] 3 Pemimpin tidak diterima dan tidak memiliki legitimasi. [ ] 4 2. PARTISIPASI 2A. Frekuensi pertemuan 2A.1 Apakah seharusnya frekuensi pertemuan lebih banyak, dikurangi atau tetap? Lebih banyak [ ] 1 Lebih sedikit [ ] 2 Tetap sama [ ] 3 2B. Partisipasi Dalam Membuat Keputusan 2B.1 Keputusan paling penting yang dibuat pada tahun sebelumnya? Keputusan 1: ___________________________________________ Keputusan 2: ___________________________________________ 2B.2 Pada keputusan tersebut, apakah hal seperti dibawah ini dilakukan? (Kode keputusan 1 dulu, kemudian dilanjutkan dengan keputusan 2.) e). dis-eminasi d). debat c). b). Topik a).diseminahasil terbuka, konsulkemungsi informasi opini tasi kinan lebih dulu berbeda, dengan diskusi dan warga informal diskusi Ya = 1 dengan Ya = 1 Tidak = 2 jujur Ya = 1 Tidak = 2 Ya = 1 Tidak = 2 Ya = 1 Tidak = 2 Tidak = 2 Keputusan 1 Keputusan 2 2C. 2C.1 Keterbukaan Tiga pertemuan terakhir, seberapa besar partisipasi wanita, pemuda dan kelompok miskin? Aktif Cukup aktif Tidak aktif a. Wanita [ ] 1 [ ] 2 [ ] 3 b. Pemuda [ ] 1 [ ] 2 [ ] 3 2C.2 2C.3 2D. 2D.1 c. Kelompok Miskin [ ] 1 [ ] 2 [ ] 3 Seberapa besar organisasi mewakili anggotanya? Tinggi [ ] 1 Sedang [ ] 2 Kurang [ ] 3 Tidak representatif [ ] 4 Berapa persen populasi yang merasakan keuntungan dari organisasi ini? Kurang dari25% [ ] 1 Antara 25 % dan 50% [ ] 2 Antara 51% dan 75% [ ] 3 Lebih dari 75% [ ] 4 Partisipasi Masyarakat Mapan Seberapa besar keluarga yang mapan (keluarga yang mempunyai lahan luas, bisnis perikanan yang maju) terlibat dalam pertemuan, berpartisipasi dalam organisasi? Aktif [ ] 1 Cukup aktif [ ] 2 Kurang aktif [ ] 3 Tidak aktif [ ] 4 3. BUDAYA ORGANISASI 3.1 Berapa banyak anggota yang tahu prosedur, norma, dan tugas organisasi? Mayoritas anggota [ ] 1 Beberapa anggota [ ] 2 Sedikit anggota [ ] 3 3.2 Organisasi mengkonfrontir permasalahan anggotannya seperti; yang tidak datang ke pertemuan, menghindari tugas, mencuri inventaris organisasi? Organisasi selalu mengkonfrontir kebiasaan buruk dari anggotanya [ ]1 Organisasi kadang-kadang mengkonfrontir kebiasaan buruk anggota [ ]2 Organisasi mempunyai sedikit kapasitas untuk mengkonfrontir [ ]3 3.3 Untuk kasus yang serius, apakah terdapat aturan dan sanksi/denda? Ya [ ] 1 Tidak [ ] 2 4. 4A. 4A.1 4B. 4B.1 4B.2 4B.3 KAPASITAS DAN KEBERLANJUTAN ORGANISASI Rincian Kapasitas Bagaimana kapasitas orgasisasi dalam: Sangat Baik Baik Cukup Kurang a.Menyelesaikan kewajiban khusus (pelatihan, pertemuan) [ ] 1 [ ] 2 [ ] 3 [ ]4 b.Mengawasi program kegiatan [ ] 1 [ ] 2 [ ] 3 [ ]4 c. Menyiapkan laporan keuangan bank, donor atau pemerintah [ ] 1 [ ] 2 [ ] 3 [ ]4 d. Menjawab tantangan dan perubahan dalam organisasi [ ] 1 [ ] 2 [ ] 3 [ ]4 e.Perencanaan detail kedepan [ ] 1 [ ] 2 [ ] 3 [ ]4 f. Belajar dari pengalaman [ ] 1 [ ] 2 [ ] 3 [ ]4 g. Memecahkan masalah dengan organisasi lain [ ] 1 [ ] 2 [ ] 3 [ ]4 h. Memecahkan konflik di dalam organisasi [ ] 1 [ ] 2 [ ] 3 [ ]4 Tindakan Bersama dan Formulasi Kebutuhan Apakah organisasi mengidentifikasi dengan jelas kebutuhan utama anggotanya? Ya [ ] 1 Tidak [ ] 2 Tiga tahun terakhir, apakah ada tuntutan dari anggota? Ya [ ] 1 Tidak [ ] 2 Apakah organisasi mampu menyalurkan tuntutan dari anggotanya? Ya [ ] 1 Tidak [ ] 2 5. BIAYA TRANSAKSI a. Biaya manajemen organisasi No Biaya 1 2 3 4 ∑ nominal Keterangan/alasan Koordinasi antar anggota Sosialisasi keputusan kepada setiap anggota Biaya monitoring pelaksanaan keputusan Lainnya (sebutkan) Total b. Biaya penyusunan aturan Pengelolaan Sumberdaya Ikan di Teluk Palabuhanratu No Biaya ∑ Keterangan/alasan nominal 1 Informasi kebutuhan peraturan 2 Pengumpulan bahanbahan peraturan 3 Penyusunan peraturan 4 Rapat 5 Lobi 6 Sosialisasi 7 Monitoring 8 Lainnya (sebutkan) Total c. Biaya pengawasan sumberdaya ikan No Biaya 1 2 3 4 5 6 Keterangan/alasan ∑ nominal Keterangan/alasan Informasi hasil tangkapan nelayan Monitoring Lainnya (sebutkan) Total d. Biaya rumpon No 1 2 3 4 5 ∑ nominal Biaya Pengawasan Sosialisasi Penegakan hukum Monitoring Lainnya (sebutkan) Total Lampiran 2. Tabel Analisis Peraturan Nasional Dan Daerah Sebagai Dasar Hukum Dalam Pengelolaan Sumberdaya Ikan Di Teluk Palabuhanratu No 1 Aspek Peraturan Penentuan jumlah tangkapan yang diperbolehkan Jenis Peraturan Undang-Undang Undang-Undang No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Peraturan Menteri Peraturan Menteri Pasal dan Ayat Pasal 7 (1) Dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumberdya ikan, menteri menetapkan : a. Rencana pengelolaan perikanan b. Potensi dan alokasi sumberdaya ikan di wilayah pengelolaan perikanan RI c. Jumlah tangkapan yang diperbolehkan di wilayah pengelolaan perikanan RI d. Jenis, jumlah dan ukuran alat penangkapan ikan e. Jenis, jumlah, ukuran dan penempatan alat bantu penangkapan ikan f. Daerah, jalur dan waktu atau musim penangkapan ikan g. Persyaratan atau standar prosedur operasional penangkapan ikan h. Sistem pemantauan kapal perikanan i. Pencegahan pencemaran dan kerusakan sumberdaya ikan serta lingkungannya j. Rehabilitasi dan peningkatan sumberdaya ikan serta lingkungannya k. Ukuran atau berat jenis ikan yang boleh ditangkap l. Suaka perikanan (2) Menteri menetapkan potensi dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah mempertimbangkan rekomendasi dari komisi nasional yang mengkaji sumberdaya ikan Pasal 24 Analisis Konstektual Sampai saat ini pemerintah belum melakukan kajian ulang terhadap jumlah tangkapan yang diperbolehkan untuk ditangkap oleh setiap nelayan dan pengusaha perikanan di wilayah perairan Indonesia. Pasca berlakunya UU ini, menteri kelautan dan perikanan belum menetapkan potensi dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan Kelautan dan Perikanan Nomor : PER.17/MEN/2006 Tentang Usaha Perikanan Tangkap 2 Menjaga kelestarian sumberdaya ikan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Barat Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi Keputusan Bupati Kabupaten Sukabumi Undang-Undang Undang-Undang No 31 Tahun 2004 (1) Direktur Jenderal menerbitkan SIUP apabila : a. Permohonan telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasl 20 ayat (1); b. Telah mempertimbangkan ketersediaan daya dukung sumberdaya ikan sesuai dengan Jumlah Tangkapan Yang di Perbolehkan (JTB) c. Telah mempertimbangkan kelayakan usaha yang diajukan d. Pemohon telah membayar PPP yang dibuktikan dengan tanda bukti pembayaran Belum ada aturan Belum ada aturan Belum ada aturan Belum ada aturan Pasal 7 (5) Menteri menetapkan jenis ikan dan kawasan perairan yang masing-masing dilindungi, termasuk taman nasional laut, untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, pariwisata, dan/atau kelestarian sumberdaya ikan dan atau lingkungannya Pasal 8 (1) Setiap orang dilarang melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan atau cara, dan atau bangunan yang dapat merugikan dan atau membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan RI (2) Nahkoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan dan anak buah kapal yang melakukan penangkapan ikan dilarang menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan atau cara, dan atau bangunan yang dapat merugikan dan atau membahayakan kelestarian sumberdaya ikan 3 Pemantauan, pengawasan, pengendalian dan penegakan hukum Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Barat Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi Keputusan Bupati Kabupaten Sukabumi Undang-Undang Undang-Undang No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan RI (3) Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, penanggungjawab perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal perikanan dilarang menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan atau cara, dan atau bangunan yang dapat merugikan dan atau membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan RI Belum ada aturan Belum ada aturan Belum ada aturan Belum ada aturan Pasal 66 (1) Pengawasan perikanan dilakukan oleh pengawas perikanan (2) Pengawas perikanan bertugas untuk mengawasi tertib pelaksanaan perundang-undangan di bidang perikanan (3) Pengawas perikanan terdiri dari penyidik pegawai negeri sipil perikanan dan non penyidik pegawai negeri sipil perikanan Pasal 67 Masyarakat dapat dilibatkan dalam membantu pengawasan perikanan Pasal 68 Pemerintah mengadakan sarana dan prasarana pengawasan perikanan Pasal 69 (1) Pengawas perikanan, dalam melaksanakan tugas dapat dilengkapi dengan senjata api dan/atau alat pengaman diri lainnya serta didukung dengan kapal pengawas perikanan (2) Kapal pengawas perikanan, berfungsi melaksanakan pengawasan dan Undang-Undang No 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan penegakan hokum di bidang perikanan (3) Kapal pengawas perikanan dapat menghentikan, memeriksa, membawa, dan menahan kapal yang diduga atau patut diduga melakukan pelanggaran di wilayah pengelolaan perikanan RI ke pelabuhan terdekat untuk pemrosesan lebih lanjut (4) Kapal pengawas perikanan dapat dilengkapi dengan senjata api Pasal 71 (1) Dengan undang-undang ini dibentuk pengadilan perikanan yang berwenang memeriksa, mengadili dan memutus tindak pidana di bidang perikanan (2) Pengadilan perikanan berada di lingkungan peradilan umum (3) Untuk pertama kali pengadilan perikanan dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung dan Tual (4) Daerah hokum pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan daerah hukum pengadilan yang bersangkutan (5) Pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 paling lambat 2 tahun terhitung sejak tanggal undang-undang ini ditetapkan mulai berlaku, sudah melaksanakan tugas dan fungsinya (6) Pembentukan pengadilan perikanan sebagimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden Pasal 24 Ayat (1) Penegakan kedaulatan dan hokum di perairan Indonesia, ruang udara diatasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta sanksi atas pelanggarannya, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan konvensi hokum internasional lainnya, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku Pasal 24 ayat (2) Yurisdiksi adalah penegakan kedaulatan dan hokum terhadap kapal asing yang sedang melintasi laut territorial dan perairan kepulauan Indonesia dilaksanakan sesuai dengan ketentuan konvensi, hokum internasional lainnya, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku BAB II LINGKUP KEGIATAN SISWASMAS A. Pembentukan Jaringan SISWASMAS Berdasarkan pasal 71 ini pemerintah Kabupaten Sukabumi dapat membentuk pengadilan perikanan guna menegakkan hukum perikanan di Teluk Palabuhanratu Nomor : Kep. 58/Men/ 2001 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Sistem Pengawasan Masyarakat Dalam Pengelolaan Dan Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan Dan Perikanan 1. Kelompok masyarakat pengawas (POKMASWAS) merupakan pelaksana pengawasan di tingkat lapangan yang terdiri dari unsur tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, LSM, nelayan, petani ikan serta masyarakat maritim lainnya. 2. POKMASWAS dibentuk atas inisiatif masyarakat yang difasilitasi oleh unsur pemerintah daerah, dan dikoordinir oleh seorang anggota masyarakat dalam POKMASWAS, yang berfungsi sekaligus sebagai mediator antara masyarakat dengan pemerintah/ petugas. 3. Para nelayan yang menjadi ABK kapal-kapal penangkap ikan dan nelayannelayan kecil serta masyarakat maritim lainnya, dapat merupakan anggota kelompok masyarakat pengawas. 4. Kepengurusan POKMASWAS dipilih oleh masyarakat dan terdaftar sebagai anggota. B. Pemberdayaan POKMASWAS dan Peningkatan Kemampuan Kelompokkelompok Pengawas 1. Tradisi atau budaya setempat yang merupakan perilaku yang ramah lingkungan seperti Sasi, Awig-awig, Panglima Laut, Bajo dan lainnya merupakan budaya masyarakat yang perlu didorong kesertaannya dalam SISWASMAS. 2. Dalam rangka melakukan apresiasi pengawasan maka perlu ditumbuhkembangkan POKMASWAS melalui sosialisasi. 3. Sesuai dengan kemampuan pemerintah POKMASWAS dapat diberikan bantuan sarana dan prasarana pengawasan secara selektif serta disesuaikan dengan kondisi daerah setempat. 4. Pemerintah dan atau Pemerintah daerah wajib memfasilitasi pemberdayaan POKMASWAS melalui pembinaan, bimbingan dan pelatihan bagi peningkatan kemampuan POKMASWAS BAB III JARINGAN DAN MEKANISME OPERASIONAL 1. Masyarakat atau anggota POKMASWAS melaporkan informasi adanya dugaan pelanggaran dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan kepada aparat pengawas terdekat seperti : · Koordinator PPNS; · Kepala Pelabuhan Perikanan; · Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan; · Satpol-AIRUD (atau Polisi terdekat); · TNI-AL terdekat atau; · Petugas Karantina di Pelabuhan. · PPNS 2. Masyarakat pengawas juga dapat melaporkan adanya dugaan tindak pidana perikanan oleh Kapal Ikan Indonesia (KII) atau Kapal Ikan Asing (KIA) serta tindakan ilegal lain dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan. 3. Petugas yang menerima laporan dari POKMASWAS melanjutkan informasi kepada PPNS dan/ atau TNI-AL dan/ atau Satpol-AIRUD dan/ atau Kapal Inspeksi Perikanan. 4. Koordinator Pengawas Perikanan atau Kepala Pelabuhan Perikanan yang menerima data dan informasi dari nelayan atau masyarakat maritim anggota POKMASWAS, melanjutkan informasi ke petugas pengawas seperti TNI-AL dan Satpol-AIRUD atau Kapal Inspeksi Perikanan. 5. Berdasarkan laporan tersebut PPNS, TNI-AL, Pol-AIRUD dan instansi terkait lainnya, melaksanakan tindakan (penghentian dan pemeriksaan) pengejaran dan penangkapan pada Kapal Ikan Indonesia (KII) dan Kapal Ikan Asing (KIA) atau para pelanggar lainnya sebagai tersangka pelanggaran tindak pidana perikanan dan sumberdaya kelautan lainnya, selanjutnya dilakukan proses penyelidikan dan penyidikan. 6. Pada waktu yang bersamaan PPNS, Pengawas Perikanan dan/ atau (Koordinator PPNS dan/ atau Kepala Pelabuhan Perikanan) meneruskan informasi yang sama kepada Dinas Kabupaten/Kota dan instansi terkait Propinsi dengan tembusan Direktur Jenderal Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. 7. Dinas Perikanan kabupaten dan/ atau propinsi melakukan koordinasi dengan petugas pengawas (TNI-AL, POLRI, PPNS) termasuk Keamanan Pelabuhan Laut Pangkalan (KPLP) dalam melakukan operasi tindak lanjut atas pelanggaran yang dilakukan Kapal Ikan Indonesia (KII) dan Kapal Ikan Asing (KIA) maupun para pelanggar lainnya. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Peraturan Menteri Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : PER.17/MEN/2006 Tentang Usaha BAB IV PEMBINAAN SISWASMAS Satuan Pembina SISWASMAS di tingkat Pusat dikoordinir oleh Direktur Jenderal Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan dengan anggota unsur Eselon I di lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan, dan instansi terkait yang mempunyai kewenangan dalam pendayagunaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Satuan Pembina SISWASMAS di tingkat daerah dikoordinir oleh kepala Dinas Kelautan dan Perikanan dengan anggota unsure-unsur instansi terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan. Satuan Pembina SISWASMAS memiliki tugas untuk menetapkan kebijakan operasional pengawasan dan pengendalian sumberdaya kelautan dan perikanan, melaksanakan koordinasi dan menyelaraskan program dan kegiatan antar instansi/lembaga terkait, serta mengambil tindakan untuk menindaklanjuti dugaan pelanggaran atas informasi dari kelompok pengawas masyarakat, Dinas Kabupaten/Propinsi maupun lembaga terkait terhadap kapal-kapal perikanan dan aktivitas pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan lainnya yang melakukan pelanggaran. Satuan Pembina SISWASMAS melalui Dinas Kabupaten/ Propinsi melakukan peningkatan kemampuan POKMASWAS baik dalam ketrampilan teknik pengawasan, pemahaman peraturan perundan-undangan melalui bimbingan dan pelatihan. Dalam melakukan tugas sehari-hari Pembina SISWASMAS ditingkat Pusat dibantu oleh Sekretariat yang dikoordinir oleh Direktur Pengawasan Sumberdaya Ikan. Sekretariat bertugas mengumpulkan, mengolah dan menganalisa laporan dan informasi, serta melaporkan kegiatan dan perkembangan pelaksanaan SISWASMAS dari daerah serta menyiapkan tindak lanjut penyelesaiannya. Pasal 67 (1) Pembinaan dan pengawasan terhadap kegiatan usaha perikanan di bidang penangkapan dan pengangkutan ikan dilakukan oleh Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan kewenangannya (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pembinaan Perikanan Tangkap Peraturan Daerah Perda Provinsi Jawa Barat No 14 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan dan Retribusi Usaha Perikanan Keputusan Gubernur Jawa Barat No 45 Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No 14 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan dan Retribusi Usaha Perikanan pengelolaan usaha, sarana dan prasarana, teknik penangkaan dan produksi, dan mutu hasil perikanan (3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap dipenuhinya ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penangkapan dan pengangkutan ikan serta ketentuan lainnya yang berkaitan dengan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Pasal 25 (1) Pembinaan, pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan perda dilakukan oleh Gubernur yang dalam pelaksanaanya dilakukan oleh Dinas berkoordinasi dengan instansi terkait (2) Rincian lebih lanjut mengenai kegiatan pembinaan, pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini ditetapkan oleh gubernur. Pasal 19 (1) Pembinaan, pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan perda dilakukan oleh gubernur yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Dinas berkoordinasi dengan instansi terkait (2) Instansi terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini terdiri atas : a. Asisten yang membidangi pemerintahan pada Sekertaris Daerah dalam hal aktivitas pelaksanaan ketentuan berdasarkan Perda dan peraturanperaturan lainnya b. Asisten yang membidangi perekonomian pada Sekertaris Daerah dalam hal pengendalian produksi c. Asisten yang membidangi administrasi pada Sekertaris Daerah dalam hal pembinaan administrasi keuangan d. Dinas Daerah yang membidangi perdagangan dalam hal pembinaan dan pengembangan pemasaran serta pemantauan harga perikanan e. Dinas Daerah yang membidangi Pendapatan Daerah dalam hal pelaksanaan pemungutan retribusi Pasal 20 (1) Kepala Dinas selambat-lambatnya tanggal 10 setiap bulan membuat dan menyampaikan laporan atas pelaksanaan Peraturan Daerah kepada Gubernur dengan menggunakan formulir UP 17 4 Perlindungan Kepentingan Nelayan Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi Nomor 3 Tahun 2002 tentang Izin Usaha Perikanan Keputusan Bupati Sukabumi Nomor 493 Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi Nomor 3 Tahun 2002 tentang Izin Usaha Perikanan Undang-Undang No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (2) Kepala Unit Pelayanan Pendapatan Daerah di Lingkungan Dinas Pendapatan Provinsi Jawa Barat di Kabupaten/Kota setempat selambat-lambatnya tanggal 5 membuat dan menyampaikan laporan atas penerimaan dan penyetoran retribusi pengusahaan Perikanan dan Retribusi Hasil Perikanan kepada Kepala Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Barat, dengan menggunakan formulir Model UP. 18 (3) Kepala Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Barat selambat-lambatnya tanggal 10 setiap bulan membuat dan menyampaikan laporan atas penerimaan dan penyetoran Retribusi Pengusahaan Perikanan dan Retribusi Hasil Perikanan kepada Gubernur dengan menggunakan formulir Model UP.19 Pasal 22 (1) Kepala Dinas melaksanakan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin yang telah di keluarkan (2) Tata cara pelaksanaan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini akan ditetapkan lebih lanut oleh Bupati Pasal 60 (1) Pemerintah memberdayakan nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil melalui : a. Penyediaan skim kredit bagi nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil, baik untuk modal usaha maupun biaya operasional dengan cara yang mudah, bunga pinjaman yang rendah, dan sesuai dengan kemampuan nelayan kecil dan pembudiaya ikan kecil b. Penyelenggaraan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan bagi nelayan kecil serta pembudidaya ikan kecil untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan di bidang penangkapan, pembudidayaan, pengolahan dan pemasaran ikan Penumbuhkembangan kelomok nelayan kecil, kemlompok pembudidaya ikan kecil dan koperasi perikanan (2) Pemberdayaan nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat juga dilakukan oleh masyarakat Pasal 61 (1) Nelayan kecil bebas menangkap ikan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan RI (2) Pembudidaya ikan kecil dapat membudidayakan komoditas ikan pilihan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan RI (3) Nelayan kecil dan pembudidaya ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib menaati ketentuan konservasi dan ketentuan lain yang ditetapkan oleh menteri (4) Nelayan kecil atau pembudidaya iakn harus ikut sera menjaga kelestarian lingkungan perikanan dan keamanan pangan hasil perikanan sesuai dengan ketentuan yang berlaku (5) Nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil harus mendaftarkan diri, usaha dan kegiatannya kepada instansi perikanan setempat, tanpa dikenakan biaya, yang dilakukan untuk keperluan statistic serta pemberdayaan nelayan kecil dan pembudidaya iakn kecil Pasal 62 Pemerintah menyediakan dan mengusahakan dana untuk memberdayakan nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil, baik dari sumber dalam negeri maupun sumber luar negeri, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku Pasal 63 Pengusaha perikanan mendorong kemitraan usaha yang saling menguntungkan dengan kelompok nelayan kecil atau pembudidaya ikan kecil dalam kegiatan usaha perikanan. c. Peraturan Menteri Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : PER.17/MEN/2006 Tentang Usaha Pasal 6 (3) Kewajiban memiliki Surat Ijin Usaha Perikanan (SIUP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dikeculikan bagi kegiatan usaha di bidang penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan dengan menggunakan sebuah kapal perikanan tidak bermotor atau bermotor luar Perikanan Tangkap 5 Pengaturan Izin Penangkapan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Barat Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi Keputusan Bupati Kabupaten Sukabumi Undang-Undang atau bermotor dalam tidak lebih dari 5 GT (4) Kapal perikanan sebagaimana di maksud pada ayat (3) wajib didaftarkan ke Instansi yang bertanggungjawab di bidang perikanan di daerah setempat Belum ada aturan Belum ada aturan Belum ada aturan Belum ada aturan BAB V USAHA PERIKANAN Undang-Undang No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Pasal 25 Usaha perikanan dilaksanakan dalam sistem bisnis perikanan yang meliputi praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran. (1) (2) Pasal 26 Setiap orang yang melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib memiliki SIUP. Kewajiban memiliki SIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak berlaku bagi nelayan kecil dan/atau pembudi daya-ikan kecil. Pasal 27 (1) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dan/atau laut lepas wajib memiliki SIPI. (2) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib memiliki SIPI. (3) SIPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Menteri. (4) Kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di wilayah yurisdiksi negara lain harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Pemerintah. Pasal 28 (1) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib memiliki SIKPI. (2) SIKPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Menteri. Pasal 29 (1) Usaha perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia hanya boleh dilakukan oleh warga negara Republik Indonesia atau badan hukum Indonesia. (2) Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang melakukan usaha penangkapan ikan di ZEEI, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban Negara Republik Indonesia berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum internasional yang berlaku. Pasal 30 (1) Pemberian surat izin usaha perikanan kepada orang dan/atau badan hukum asing yang beroperasi di ZEEI harus didahului dengan perjanjian perikanan, pengaturan akses, atau pengaturan lainnya antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara bendera kapal. (2) Perjanjian perikanan yang dibuat antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara bendera kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (3) (1) (2) harus mencantumkan kewajiban pemerintah negara bendera kapal untuk bertanggung jawab atas kepatuhan orang atau badan hukum negara bendera kapal untuk mematuhi perjanjian perikanan tersebut. Pemerintah menetapkan pengaturan mengenai pemberian izin usaha perikanan kepada orang dan/atau badan hukum asing yang beroperasi di ZEEI, perjanjian perikanan, pengaturan akses, atau pengaturan lainnya antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara bendera kapal. Pasal 31 Setiap kapal perikanan yang dipergunakan untuk menangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib dilengkapi SIPI. Setiap kapal perikanan yang dipergunakan untuk mengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib dilengkapi SIKPI. Pasal 32 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan syarat-syarat pemberian SIUP, SIPI, dan SIKPI diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 33 Ketentuan lebih lanjut mengenai penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang bukan untuk tujuan komersial diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 34 (1) Kapal perikanan berdasarkan fungsinya meliputi: a. kapal penangkap ikan; b. kapal pengangkut ikan; c. kapal pengolah ikan; d. kapal latih perikanan; e. kapal penelitian/eksplorasi perikanan; dan f. kapal pendukung operasi penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kapal perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 35 (1) Setiap orang yang membangun, mengimpor, atau memodifikasi kapal perikanan wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri. (2) Pembangunan atau modifikasi kapal perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan, baik di dalam maupun di luar negeri, setelah mendapat pertimbangan teknis laik berlayar dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang pelayaran. Pasal 36 (1) Kapal perikanan milik orang Indonesia yang dioperasikan di wilayah (2) (3) (4) (5) pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib didaftarkan terlebih dahulu sebagai kapal perikanan Indonesia. Pendaftaran kapal perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen yang berupa: a. bukti kepemilikan; b. identitas pemilik; dan c. surat ukur. Pendaftaran kapal perikanan yang dibeli atau diperoleh dari luar negeri dan sudah terdaftar di negara asal untuk didaftar sebagai kapal perikanan Indonesia, selain dilengkapi dengan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilengkapi pula dengan surat keterangan penghapusan dari daftar kapal yang diterbitkan oleh negara asal. Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri. Kapal perikanan yang telah terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan surat tanda kebangsaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 37 Setiap kapal perikanan Indonesia diberi tanda pengenal kapal perikanan berupa tanda selar, tanda daerah penangkapan ikan, tanda jalur penangkapan ikan, dan/atau tanda alat penangkapan ikan. Pasal 38 (1) Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang tidak memiliki izin penangkapan ikan selama berada di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka. (2) Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEEI dilarang membawa alat penangkapan ikan lainnya. (3) Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan wajib menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka selama berada di luar daerah penangkapan ikan yang diizinkan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Pasal 39 Kapal penangkap ikan berbendera Indonesia dengan ukuran dan jenis tertentu dimungkinkan menggunakan 2 (dua) jenis alat penangkapan ikan yang diizinkan secara bergantian berdasarkan musim dan daerah operasi penangkapan. Pasal 40 Ketentuan lebih lanjut mengenai membangun, mengimpor, memodifikasi kapal, pendaftaran, pengukuran kapal perikanan, pemberian tanda pengenal kapal perikanan, serta penggunaan 2 (dua) jenis alat penangkapan ikan secara bergantian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, dan Pasal 39 diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 41 (1) Pemerintah menyelenggarakan dan membina pelabuhan perikanan. (2) Menteri menetapkan: a. rencana induk pelabuhan perikanan secara nasional; b. klasifikasi pelabuhan perikanan dan suatu tempat yang merupakan bagian perairan dan daratan tertentu yang menjadi wilayah kerja dan pengoperasian pelabuhan perikanan; c. persyaratan dan/atau standar teknis dan akreditasi kompetensi dalam perencanaan, pembangunan, operasional, pembinaan, dan pengawasan pelabuhan perikanan; d. wilayah kerja dan pengoperasian pelabuhan perikanan; dan e. pelabuhan perikanan yang tidak dibangun oleh Pemerintah. (3) Setiap kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan harus mendaratkan ikan tangkapan di pelabuhan perikanan yang ditetapkan. (4) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan yang tidak melakukan bongkar muat ikan tangkapan di pelabuhan perikanan yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan izin, atau pencabutan izin. Pasal 42 (1) Dalam rangka keselamatan pelayaran, ditunjuk syahbandar di pelabuhan perikanan. (2) Setiap kapal perikanan yang akan berlayar dari pelabuhan perikanan wajib memiliki surat izin berlayar kapal perikanan yang dikeluarkan oleh syahbandar. (3) Selain menerbitkan surat izin berlayar, syahbandar di pelabuhan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kewenangan lain, yakni: a. memeriksa ulang kelengkapan dan keabsahan dokumen kapal perikanan; dan b. memeriksa ulang alat penangkapan ikan yang ada di kapal perikanan. (4) Syahbandar di pelabuhan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Menteri. Pasal 43 Setiap kapal perikanan yang akan melakukan kegiatan perikanan wajib memiliki surat laik operasi kapal perikanan dari pengawas perikanan. Pasal 44 (1) Surat izin berlayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) dikeluarkan oleh syahbandar setelah kapal perikanan mendapatkan surat laik operasi. (2) Surat laik operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan oleh pengawas perikanan setelah dipenuhi persyaratan administrasi dan kelayakan teknis. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan administrasi dan kelayakan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 45 Dalam hal kapal perikanan berada dan/atau berpangkalan di luar pelabuhan perikanan, surat izin berlayar diterbitkan oleh syahbandar setempat setelah diperoleh surat laik operasi dari pengawas perikanan yang ditugaskan pada pelabuhan setempat. Peraturan Menteri Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 17/MEN/2006 tentang Usaha Perikanan Tangkap Pasal 17 Menteri memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal untuk menerbitkan : a. SIUP, SIPI dan/atau SIKPI kepada orang atau badan hokum Indonesia yang menggunakan kapal dengan ukuran diatas 30 GT b. SIUP, SIPI dan/atau SIKPI kepada orang atau badan hokum Indonesia yang menggunakan tenaga kerja asing c. APIPM, SIPI dan atau SIKPI kepada badan hokum yang melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan fasilitas penanaman modal Pasal 19 (1) Gubernur diberikan kewenangan usaha menerbitkan SIUP kepada orang atau badan hokum Indonesia yang melakukan usaha perikanan, SIPI dan atau SIKPI bagi kapal perikanan yang berukuran di atas 10 GT sampai dengan 30 GT kepada orang atau badan hokum Indonesia yang berdomisili di wilayah administrasinya dan beroperasi di wilayah pengelolaan perikanan yang menjadi kewenangannya, serta tidak menggunakan modal dan/atau tenaga kerja asing (2) Bupati/Walikota diberikan kewenangan untuk menerbitkan SIUP kepada orang atau badan hokum Indonesia yang melakukan usaha perikanan, SIPI dan/atau SIKPI bagi kapal perikanan yang berukuran 5 GT sampai 10 GT kepada orang atau badan hokum yang berdomisili di wilayah administrasinya dan beroperasi di wilayah pengelolaan perikanan yang menjadi kewenangannya, serta tidak menggunakan modal dan/atau tenaga kerja asing (3) Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk wajib melakukan pendaftaran terhadap kapal perikanan di bawah 5 GT yang berdomisili di wilayah administrasinya (4) Penerbitan SIUP sebagimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib mempertimbangkan kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya (5) Tatacara penerbitan SIUP, SIPI dan SIKPI oleh Gubernur dan Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berpedoman pada ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini. Peraturan Daerah Provinsi Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No 14 TAhun 2002 tentang Usaha Perikanan dan Retribusi Usaha Perikanan Peraturan Derah Kabupaten Sukabumi Nomor 3 Tahun 2002 tentang Izin Usaha Perikanan Pasal 5 Gubernur menerbitkan Izin Usaha Perikanan (IUP) untuk : a. Usaha penangkapan ikan di laut yang menggunakan kapal perikanan bermotor berukuran di atas 10 GT sampai 30 GT dan atau mesinnya berkekuatan dari 30 DK sampai 90 DK b. Usaha pembudidayaan ikan di laut wilayah provinsi c. Usaha penangkapan dan pembudidayaan ikan di perairan umum pada wilayah lintas Kabupaten/Kota Pasal 9 (1) Bupati mengeluarkan IUP untuk : a. Usaha penangkapan ikan di laut yang menggunakan kapal : 1) Ukuran 5-10 GT untuk kapal mesin bermotor dalam (Inboat) 2) 5 PK ke atas untuk mesin bermotor luar (Outboat) (2) Bagi peusahaan perikanan yang tidak diwajibkan memiliki IUP sebagimaan dimaksud ayat (1) pasal ini wajib mendaftarkannya kepada Dinas Pasal 10 (1) IUP berlaku selama perusahaan perikanan yang bersangkutan masih melakukan usaha perikanan (2) SPI atau SPbI berlaku selama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang sepanjang kapal perikanan atau unit keramba jarring apung dimaksud masih dipergunakan oleh perusahaan perikanan yang bersangkutan (3) SPH berlaku selama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang sepanjang unit pengolahan ikan masih beroperasi 6 Pengaturan Alat Penangkapan Ikan Undang-Undang Undang-Undang No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Pasal 37 Setiap kapal perikanan Indonesia diberi tanda pengenal kapal perikanan berupa tanda selar, tanda daerah penangkapan ikan, tanda jalur penangkapan ikan, dan/atau tanda alat penangkapan ikan. Pasal 38 (1) Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang tidak memiliki izin penangkapan ikan selama berada di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka. (2) Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEEI dilarang membawa alat penangkapan ikan lainnya. (3) Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan wajib menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka selama berada di luar daerah penangkapan ikan yang diizinkan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Pasal 39 Kapal penangkap ikan berbendera Indonesia dengan ukuran dan jenis tertentu dimungkinkan menggunakan 2 (dua) jenis alat penangkapan ikan yang diizinkan secara bergantian berdasarkan musim dan daerah operasi penangkapan. Peraturan Menteri Peraturan Daerah Peraturan Daerah No 3 Tahun 2002 Tentang Izin Usaha Perikanan 7 Pengaturan upaya penangkapan Pasal 40 Ketentuan lebih lanjut mengenai membangun, mengimpor, memodifikasi kapal, pendaftaran, pengukuran kapal perikanan, pemberian tanda pengenal kapal perikanan, serta penggunaan 2 (dua) jenis alat penangkapan ikan secara bergantian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, dan Pasal 39 diatur dengan Peraturan Menteri. Belum ada Pasal 8 Kegiatan penangkapan ikan yang tidak diperbolehkan adalah : a. Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan-bahan peledak b. Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan-bahan yang mengandung racun seperti Potasium, Sianida dan sejenisnya c. Penangkapan ikan dengan menggunakan Trawl atau alat tangkap yang dimodifikasi dimana fungsinya sama dengan Trawl seperti Jaring Arad d. Penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap yang menggunakan ukuran mata jaring di bawah 5 cm Undang-Undang Undang-undang No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (1) Pasal 7 Dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya ikan, Menteri menetapkan: a. rencana pengelolaan perikanan; b. potensi dan alokasi sumber daya ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia; c. jumlah tangkapan yang diperbolehkan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia; d. potensi dan alokasi lahan pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia; e. potensi dan alokasi induk serta benih ikan tertentu di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia; f. jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan; g. jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu penangkapan ikan; h. daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan; i. j. k. l. persyaratan atau standar prosedur operasional penangkapan ikan; sistem pemantauan kapal perikanan; jenis ikan baru yang akan dibudidayakan; jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta penangkapan ikan berbasis budi daya; m. pembudidayaan ikan dan perlindungannya; n. pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan serta lingkungannya; o. rehabilitasi dan peningkatan sumber daya ikan serta lingkungannya; p. ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap; q. suaka perikanan; r. wabah dan wilayah wabah penyakit ikan; s. jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik Indonesia; dan t. jenis ikan yang dilindungi. (2) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pengelolaan perikanan wajib mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengenai: a. jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan; b. jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu penangkapan ikan; c. daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan; d. persyaratan atau standar prosedur operasional penangkapan ikan; e. sistem pemantauan kapal perikanan; f. jenis ikan baru yang akan dibudidayakan; g. jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta penangkapan ikan berbasis budi daya; h. pembudidayaan ikan dan perlindungannya; i. pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan serta lingkungannya; j. ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap; k. suaka perikanan; l. wabah dan wilayah wabah penyakit ikan; m. jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik Indonesia; dan n. Peraturan Menteri Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 17 Tahun 2006 tentang Usaha Perikanan Tangkap 8 Pengaturan jenis dan ukuran ikan yang boleh di tangkap Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Barat Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi Keputusan Bupati Kabupaten Sukabumi Undang-Undang UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan UU No 9 Tahun 1985 jenis ikan yang dilindungi. Pasal 5 (1) Untuk kepentingan kelestarian sumberdaya ikan, daerah penangkapan atau WPP RI tertentu dapat dinyatakan tertutup untuk kegiatan penangkapan ikan (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai daerah penangkapan ikan atau WPP RI tertentu yang tertutup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur tersendiri dengan Peraturan Menteri Belum ada aturan Belum ada aturan Belum ada aturan Belum ada aturan Tidak mengatur Pasal 4 Dalam melaksanakan pengelolaan sumberdaya ikan, Menteri menetapkan kententuan-kenetntuan mengenai : (1) Alat-alat penangkapan ikan (2) Syarat-syarat teknis perikanan yang harus dipenuhi oleh kapal perikanan dengan tidak mengurangi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai keselamatan pelayaran (3) Jumlah yang boleh ditangkap dan jenis serta ukuran ikan yang tidak boleh ditangkap (4) Daerah, jalur dan waktu atau musim penangkapan (5) Pencegahan pencemaran dan kerusakan, rehabilitasi dan peningkatan sumberdaya ikan serta lingkungannya Sudah tidak berlaku sejak tanggal 6 oktober 2004 (6) (7) (8) (9) 9 Pengaturan musim penangkapan Peraturan menteri Keputusan Menteri Keputusan Menteri Pertanian No 123/Kpts/Um/1975 tentang Ketentuan Lebar Mata Jaring Purse Seine untuk Penangkapan Ikan Kembung, Layang, Selar, Lemuru dan ikan pelagis sejenisnya Keputusan Menteri Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 392/Kpts/Ik.120/4/99 Tentang Jalur-Jalur Penangkapan Ikan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Barat Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi Keputusan Bupati Kabupaten Sukabumi Undang-undang Penebaran ikan jenis baru Pembudidayaan ikan dan perlindungannya Pencegahan dan pemberantasan hama serta penyakit ikan Hal-hal lain yang dipandang perlu untuk mencapai tujuan pengelolaan sumberdaya ikan Belum ada yang mengatur Pertama Melarang semua kegiatan penangkapan ikan kembung (Rastrllinger sp), laying (Decapterus sp), selar (Caranx sp), lemuru (Sardinella sp) dan ikan-ikan pelagis lainnya, dengan menggunakan alat tangkap purse seine yang mempunyai ukuran mata jarring (a) kurang dari dua inchi pada bagian sayap, (b) kurang dari satu inchi pada bagian kantong Pasal 7 Kapal Perikanan yang nienggunakan jaring dengan ukuran mata jaring kurang dari 25 mm (1 inch) dan purse seine cakalang (Tuna) dengan ukuran mata jaring kurang dari 75 mm (3 inch) dilarang untuk dioperasikan di semua Jalur Penangkapan Ikan, kecuali pukat teri dan jaring angkat (lift net). Belum ada aturan Belum ada aturan Belum ada aturan Belum ada aturan Undang-undang No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Pasal 7 (1) Dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya ikan, Menteri menetapkan: a. rencana pengelolaan perikanan; b. potensi dan alokasi sumber daya ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia; c. jumlah tangkapan yang diperbolehkan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia; d. potensi dan alokasi lahan pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia; e. potensi dan alokasi induk serta benih ikan tertentu di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia; f. jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan; g. jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu penangkapan ikan; h. daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan; i. persyaratan atau standar prosedur operasional penangkapan ikan; j. sistem pemantauan kapal perikanan; k. jenis ikan baru yang akan dibudidayakan; l. jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta penangkapan ikan berbasis budi daya; m. pembudidayaan ikan dan perlindungannya; n. pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan serta lingkungannya; o. rehabilitasi dan peningkatan sumber daya ikan serta lingkungannya; p. ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap; q. suaka perikanan; r. wabah dan wilayah wabah penyakit ikan; s. jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik Indonesia; dan t. jenis ikan yang dilindungi. (3) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pengelolaan perikanan wajib mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 10 Pengaturan zonasi dan jalur penangkapan ikan Peraturan Menteri Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Barat Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi Keputusan Bupati Kabupaten Sukabumi Undang-Undang mengenai: a. jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan; b. jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu penangkapan ikan; c. daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan; d. persyaratan atau standar prosedur operasional penangkapan ikan; e. sistem pemantauan kapal perikanan; f. jenis ikan baru yang akan dibudidayakan; g. jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta penangkapan ikan berbasis budi daya; h. pembudidayaan ikan dan perlindungannya; i. pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan serta lingkungannya; j. ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap; k. suaka perikanan; l. wabah dan wilayah wabah penyakit ikan; m. jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik Indonesia; dan n. jenis ikan yang dilindungi. Belum ada yang mengatur Belum ada aturan Belum ada aturan Belum ada aturan Belum ada aturan UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Pasal 7 (1) Dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya ikan, Menteri menetapkan: a. rencana pengelolaan perikanan; b. potensi dan alokasi sumber daya ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia; c. jumlah tangkapan yang diperbolehkan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia; d. potensi dan alokasi lahan pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia; e. potensi dan alokasi induk serta benih ikan tertentu di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia; f. jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan; g. jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu penangkapan ikan; h. daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan; i. persyaratan atau standar prosedur operasional penangkapan ikan; j. sistem pemantauan kapal perikanan; k. jenis ikan baru yang akan dibudidayakan; l. jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta penangkapan ikan berbasis budi daya; m. pembudidayaan ikan dan perlindungannya; n. pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan serta lingkungannya; o. rehabilitasi dan peningkatan sumber daya ikan serta lingkungannya; p. ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap; q. suaka perikanan; r. wabah dan wilayah wabah penyakit ikan; s. jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik Indonesia; dan t. jenis ikan yang dilindungi. (4) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pengelolaan perikanan wajib mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengenai: a. jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan; b. jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu penangkapan ikan; c. daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan; d. persyaratan atau standar prosedur operasional penangkapan ikan; e. sistem pemantauan kapal perikanan; f. jenis ikan baru yang akan dibudidayakan; g. jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta penangkapan ikan berbasis budi daya; h. pembudidayaan ikan dan perlindungannya; i. pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan serta lingkungannya; j. ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap; k. suaka perikanan; l. wabah dan wilayah wabah penyakit ikan; m. jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik Indonesia; dan n. jenis ikan yang dilindungi. Peraturan Menteri Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 17 Tahun 2004 tentang Usaha Perikanan Tangkap Keputusan Menteri Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 392/Kpts/Ik.120/4/99 Tentang Jalur-Jalur Penangkapan Ikan (1) Pasal 4 Kegiatan penangkapan ikan dilakukan pada daerah penangkapan ikan yang tercantum dalam SIPI Pasal 2 Wilayah Perikanan Republik Indonesia dibagi menjadi 3 (tiga) Jalur Penangkapan Ikan, yaitu : a. Jalur Penangkapan Ikan I; b. Jalur Penangkapan Ikan II; dan c. Jalur Penangkapan Ikan III; Pasal 3 1) Jalur Penangkapan Ikan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, meliputi perairan pantai diukur dari permukaan air laut pada surut yang terendah pada setiap pulau sampai dengan 6 (enam) mil laut ke arah laut. 2) Jalur Penangkapan Ikan I sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibagi menjadi sebagai berikut : a. perairan pantai yang diukur dari permukaan air laut pada surut yang terendah sampai dengan 3 (tiga) mil laut; b. perairan pantai di luar 3 (tiga) mil laut sampai dengan 6 (enam) mil laut. (3) Perairan pantai yang diukur dari permukaan air laut pada surut yang terendah sampai dengan3 (tiga) mil laut sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf a, hanya diperbolehkan bagi : a. Alat Penangkap Ikan yang menetap; b. Alat Penangkap Ikan tidak menetap yang tidak dimodifikasi; dan/atau c. Kapal Perikanan tanpa motor dengan ukuran panjang keseluruhan tidak lebih dari 10 m (4) Perairan pantai di luar 3 (tiga) mil laut sampai dengan 6 (enam) mil laut, sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b, hanya dibolehkan bagi : a. Alat Penangkap Ikan tidak menetap yang dimodifikasi; b. Kapal Perikananan : 1. tanpa motor dan atau bermotor-tempel dengan ukuran panjang keseluruhan tidak lebih dari 10 m; 2. bermotor tempel dan bermotor-dalam dengan ukuran panjang keseluruhan maksimal 12 m atau berukuran maksimal 5 GT dan atau ; 3. pukat cincin (purse seine) berukuran panjang maksimal 150 m; 4. jaring insang hanyut (drift gill net) ukuran panjang maksimal 1000 m. (5) Setiap Kapal Perikanan yang beroperasi di Jalur Penangkapan Ikan I wajib diberi tanda pengenal dengan mengecat minimal 1/4 (seperempat) lambung kiri dan kanan : a. dengan warna putih bagi Kapal Perikanan yang beroperasi di perairan sampai dengan 3 (tiga) mil laut diukur dari permukaan air laut pada surut yang terendah; b. dengan warna merah bagi Kapal Perikanan yang beroperasi di perairan pantai di luar 3 (tiga) mil laut sampai dengan 6 (enam) mil. Pasal 4 (1) Jalur Penangkapan Ikan II sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 huruf b meliputi perairan di luar Jalur Penangkapan Ikan I sampai dengan 12 (dua belas) mil laut ke arah laut. (2) Pada Jalur Penangkapan Ikan II sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dibolehkan bagi : a. Kapal Perikanan bermotor-dalam berukuran maksimal 60 GT; b. Kapal Perikanan dengan menggunakan Alat Penangkap Ikan : 1. pukat cincin (purse seine) berukuran panjang maksimal 600 m dengan cara pengoperasian menggunakan 1 (satu) kapal (tunggal) yang bukan grup atau maksimal 1000 m dengan cara pengoperasian menggunakan 2 (dua) kapal ganda yang bukan grup; 2. tuna long line (pancing tuna) maksimal 1200 buah mata pancing; 3. jaring insang hanyut (drift gill net), berukuran panjang maksimal 2500 m. (3) Setiap Kapal Perikanan yang beroperasi di Jalur Penangkapan Ikan II, wajib diberi tanda pengenal dengan mengecat minimal 1/4 (seperempat) lambung kiri dan kanan dengan warna oranye. Pasal 5 (1) Jalur Penangkapan Ikan III, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c meliputi perairan di luar Jalur Penangkapan Ikan II sampai dengan batas terluar Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) (2) Pada Jalur Penangkapan Ikan III sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur sebagai berikut : a. Perairan Indonesia dibolehkan bagi Kapal Perikanan berbendera Indonesia berukuran maksimal 200 GT, kecuali yang menggunakan Alat Penangkap Ikan Purse Seine Pelagis Besar di Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Laut Flores dan Laut Sawu dilarang untuk semua ukuran ; b. Perairan ZEEI Selat Malaka dibolehkan bagi Kapal Perikanan berbendera Indonesia berukuran maksimal 200 GT, kecuali yang menggunakan Alat Penangkap Ikan Pukat Ikan (Fish Net) minimal berukuran 60 GT; Perairan ZEEI di luar ZEEI Selat Malaka dibolehkan bagi : 1. Kapal Perikanan berbendera Indonesia dan berbendera Asing berukuran maksimal 350 GT bagi semua Alat Penangkap Ikan; 2. Kapal Perikanan beru.kuran di atas 350 GT - 800 GT yang menggunakan Alat Penangkap ikan Purse Seine, hanya boleh beroperasi di luar 100 (seratus) mil laut dari Garis Pangkal Kepulauan Indonesia ; Kapal Perikanan dengan Alat Penangkap Ikan Purse Seine dengan sistem Group hanya boleh beroperasi di luar 100 (seratus) mil laut dari Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. (3) Kapal Perikanan berbendera Asing boleh dioperasikan pada Jalur Penangkapan Ikan III sebagaimana dimaksud dalan ayat (2) huruf c sepanjang dimungkinkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (4) Setiap kapal perikanan yang beroperasi di Jalur Penangkapan Ikan III, wajib diberi tanda pengenal jalur dengan mengecat minimal 1/4 (seperempat) lambung kiri dan kanan dengan warna kuning. Pasal 6 (1) Semua Alat Penangkap Ikan yang dipergunakan pada setiap Jalur Penangkapan Ikan wajib di.beri Tanda Pengenal Alat Penangkap Ikan. (2) Ketentuan mengenai penggunaan Tanda Pengenal Alat Penangkap Ikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Perikanan. Pasal 7 Kapal Perikanan yang nienggunakan jaring dengan ukuran mata jaring kurang dari 25 mm (1 inch) dan purse seine cakalang (Tuna) dengan ukuran mata jaring kurang dari 75 mm (3 inch) dilarang untuk dioperasikan di semua Jalur Penangkapan Ikan, kecuali pukat teri dan jaring angkat (lift net). Belum ada aturan 3. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Barat Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi No 3 Tahun 2002 tentang Izin Usaha Perikanan Belum ada aturan Pasal 18 Wilayah penangkapan ikan dan pengaturan pelaksanaan operasionalnya serta lokasi budidaya baik di laut maupun di peraran umum akan diatur dan ditetapkan lebih lanjut oleh Bupati Keputusan Bupati Kabupaten Sukabumi Keputusan Bupati Sukabumi Nomor 493 Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi Nomor 3 Tahun 2002 tentang Izin Usaha Perikanan Ketujuh Wilayah penangkapan ikan ditentukan sebagai berikut : (1) Jalur I a (0-3 mill) (a) Alat tangkap ikan menetap (b) Alat penangkapan ikan tidak menetap yang dimodifikasi (c) Kapal perikanan tanpa motor dengan P ≤ 10 m (2) Jalur I b (3-6 mill) (a) Alat penangkapan ikan tidak menetap yang dimodifikasi (b) Kapal perikanan : 1. Tanpa motor/dan motor temple P ≤ 10 m 2. Motor temple dan motor dalam, P ≤ 12 m, GT ≤ 5 3. Purse Seine, P ≤ 150 m 4. Drift Gill Net, P ≤ 1000 m (3) Jalur II (6-12 mill) (a) Kapal perikanan motor dalam GT ≤ 60 (b) Kapal perikanan dengan alat penangkapan ikan : 1. Purse Seine, kapal ukuran group, P ≤ 600 m dan Purse Seine 2 kapal bukan group, P ≤ 1000 m 2. Tuna long line, mata pancing P ≤ 2.500 m 3. Kapal perikanan pukat teri dan lift net 4. Boleh I a : 1, 2, 3 dan I b : 1, 2 5. Kapal perikanan untuk penelitian, survey, eksplorasi dan latihan dengan persetujuan Dirjen Perikanan (4) Jalur III (> 12 mill) (a) Kapal perikanan dengan Bendera Indonesia, GT ≤ 200 (b) ZEEI Selat Malaka : Kapal Perikanan berbendera Indonesia berukuran maksimal 200 GT, kecuali yang menggunakan Alat Penangkap Ikan Pukat Ikan (Fish Net) minimal berukuran 60 GT (c) Perairan ZEEI di luar ZEEI Selat Malaka dibolehkan bagi : 1. Kapal Perikanan berbendera Indonesia dan berbendera Asing berukuran maksimal 350 GT bagi semua Alat Penangkap Ikan; 2. Kapal Perikanan beru.kuran di atas 350 GT - 800 GT yang 3. 11 Sanksi terhadap pelanggaran menggunakan Alat Penangkap ikan Purse Seine, hanya boleh beroperasi di luar 100 (seratus) mil laut dari Garis Pangkal Kepulauan Indonesia ; Kapal Perikanan dengan Alat Penangkap Ikan Purse Seine dengan sistem Group hanya boleh beroperasi di luar 100 (seratus) mil laut dari Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Undang-Undang Undang-undang No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Pasal 84 (1) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah). (2) Nakhoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, dan anak buah kapal yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah). (3) Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, penanggung jawab perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal perikanan yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan usaha penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). (4) Pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, dan/atau penanggung jawab perusahaan pembudidayaan ikan yang dengan sengaja melakukan usaha pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Pasal 85 Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang berada di kapal penangkap ikan yang tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan, alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan persyaratan, atau standar yang ditetapkan untuk tipe alat tertentu dan/atau alat penangkapan ikan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Pasal 86 (1) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). (2) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia membudidayakan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). (3) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). (4) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia menggunakan obat-obatan dalam pembudidayaan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). Pasal 87 (1) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia merusak plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Setiap orang yang karena kelalaiannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia mengakibatkan rusaknya plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 88 Setiap orang yang dengan sengaja memasukkan, megeluarkan, mengadakan, mengedarkan, dan/atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat, pembudidayaan ikan, sumber daya ikan, dan/atau lingkungan sumber daya ikan ke dalam dan/atau ke luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). Pasal 89 Setiap orang yang melakukan penanganan dan pengolahan ikan yang tidak memenuhi dan tidak menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). Pasal 90 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pemasukan atau pengeluaran ikan dan/atau hasil perikanan dari dan/atau ke wilayah Republik Indonesia yang tidak dilengkapi sertifikat kesehatan untuk konsumsi manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). Pasal 91 Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan bahan baku, bahan tambahan makanan, bahan penolong, dan/atau alat yang membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan dalam melaksanakan penanganan dan pengolahan ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). Pasal 92 Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan, yang tidak memiliki SIUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). (1) (2) Pasal 93 Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dan/atau di laut lepas, yang tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia, yang tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah). Pasal 94 Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang melakukan pengangkutan ikan atau kegiatan yang terkait yang tidak memiliki SIKPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). Pasal 95 Setiap orang yang membangun, mengimpor, atau memodifikasi kapal perikanan yang tidak mendapat persetujuan terlebih dahulu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Pasal 96 Setiap orang yang mengoperasikan kapal perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang tidak mendaftarkan kapal perikanannya sebagai kapal perikanan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). Pasal 97 (1) Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang tidak memiliki izin penangkapan ikan, yang selama berada di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1), dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (2) Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEEI yang membawa alat penangkapan ikan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2), dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (3) Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan, yang tidak menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka selama berada di luar daerah penangkapan ikan yang diizinkan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3), dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 98 Nakhoda yang berlayar tidak memiliki surat izin berlayar kapal perikanan yang dikeluarkan oleh syahbandar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Pasal 99 Setiap orang asing yang melakukan penelitian perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang tidak memiliki izin dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 100 Setiap orang yang melanggar ketentuan yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). Pasal 101 Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1), Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, dan Pasal 96 dilakukan oleh korporasi, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya dan pidana dendanya ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan. Pasal 102 Ketentuan tentang pidana penjara dalam Undang-Undang ini tidak berlaku bagi tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, kecuali telah ada perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara yang bersangkutan. Pasal 103 (1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 88, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan pasal 94 adalah kejahatan. (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99, dan Pasal 100 adalah pelanggaran. Pasal 104 (1) Permohonan untuk membebaskan kapal dan/atau orang yang ditangkap karena melakukan tindak pidana di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, dapat dilakukan setiap waktu sebelum ada keputusan dari pengadilan perikanan dengan menyerahkan sejumlah uang jaminan yang layak, yang penetapannya dilakukan oleh pengadilan perikanan. (2) Benda dan/atau alat yang dipergunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk negara. Pasal 105 (1) Benda dan/atau alat yang dirampas dari hasil tindak pidana perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 dilelang untuk negara. (2) Kepada aparat penegak hukum yang berhasil menjalankan tugasnya dengan baik dan pihak-pihak yang berjasa dalam upaya penyelamatan kekayaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan insentif yang disisihkan dari hasil lelang. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian insentif diatur dengan Peraturan Menteri. Peraturan Menteri Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 17 Tahun 2006 tentang Usaha Perikanan Tangkap Pasal 68 (1) Setiap orang atau badan hokum yang melakukan usaha perikanan tangkap yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dapat dikenakan sanksi administrative atau sanksi pidana (2) Sanksi administrative sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa peringatan tertulis, pembekuan, atau pencabutan SIUP, SIPI, SIKPI dan atau APIPM (3) Pengenaan sanksi administrative sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan dengan tahapan : (a) Peringatan tertulis diberikan sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut, masing-masing dalam tenggang waktu 1 (satu) bulan oleh Direktur Jenderal Kepada yang melakukan pelanggaran (b) Dalam hal peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf (a), tidak diindahkan selanjutnya dilakukan pembekuan terhadap SIUP, SIPI, SIKPI dan atau APIPM selama 1 (satu) bulan (c) Apabila pembekuam sebagaimana dimaksud dalam huruf (b), tidak diindahkan selanjutnya dilakukan pencabutan terhadap SIUP, SIPI, SIKPI dan atau APIPM (4) Sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku Pasal 69 (1) SIUP dapat dicabut oleh pemberi SIUP apabila orang atau badan hokum yang bersangkutan : (a) Tidak melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam SIUP (b) Tidak menyampaikan laporan kegiatan usaha 3 (tiga) kali berturut-turut atau dengan sengaja menyampaikan laporan yang tidak benar (c) Menggunakan dokumen palsu (d) Selama 2 (dua) tahun sejak SIUP dikeluarkan tidak melaksanakan kegiatan usahanya (e) Terbukti memindah tangankan atau memperjual belikan SIUP (2) SIPI dapat dicabut oleh pemberi SIPI apabila orang atau badan hokum yang bersangkutan : (a) Tidak melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam SIUP dan atau SIPI (b) Menggunakan kapal perikanan di luar kegiatan penangkapan ikan (c) Tidak menyampaikan laporan kegiatan usaha 3 (tiga) kali berturut-turut atau dengan sengaja menyampaikan laporan yang tidak benar (d) Menggunakan dokumen palsu (e) SIUP yang dimiliki perusahaan perikanan tersebut dicabut oleh pemberi SIUP (f) Terbukti memindah tangankan atau memperjual belikan SIPI (g) Membawa ikan dari daerah penangkapan langsung ke luar negeri tanpa melalui pelabuhan pangkalan yang ditetapkan dalam SIPI (h) Selama 1 (satu) tahun sejak SIPI dikeluarkan tidak melakukan kegiatan penangkapan ikan (i) Membawa ikan ke luar negeri tanpa dilengkapi dokumen yang sah (3) SIKPI dapat dicabut oleh pemberi SIPI apabila orang atau badan hokum yang bersangkutan : (a) Tidak melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam SIUP dan atau SIKPI (b) Menggunakan kapal pengangkutan ikan di luar kegiatan pengumpulan dan atau pengangkutan ikan, atau melakukan kegiatan pengankutan ikan di luar satuan armada penangkapan ikan (c) Tidak menyampaikan laporan kegiatan usaha 3 (tiga) kali berturut-turut atau dengan sengaja menyampaikan laporan yang tidak benar (d) Menggunakan dokumen palsu (e) Terbukti memindah tangankan atau memperjual belikan SIKPI (f) Selama 1 (satu) tahun sejak SIKPI dikeluarkan tidak melakukan kegiatan pengangkutan ikan (g) SIUP yang dimiliki perusahaan perikanan tersebut dicabut oleh pemberi SIUP (h) Membawa ikan dari daerah penangkapan langsung ke luar negeri tanpa melalui pelabuhan pangkalan yang ditetapkan (i) Membawa ikan ke luar negeri tanpa dilengkapi dengan dokumen yang sah (4) APIPM dapat dicabut oleh pemberi SIPI apabila orang atau badan hokum yang bersangkutan : (a) Tidak melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam APIPM (b) Melakukan perubahan data tanpa persetujuan tertulis dari pemberi APIPM (c) Tidak menyampaikan laporan kegiatan usaha 3 (tiga) kali berturut-turut atau dengan sengaja menyampaikan laporan yang tidak benar (d) Menggunakan dokumen palsu (e) Terbukti memindahtangankan atau meperjualbelikan APIPM (f) Tidak merealisasikan rencana usahanya dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak diterbitkannya APIPM Peraturan Daerah Perda Provinsi Jawa Barat No 14 TAhun 2002 Tentang Usaha Perikanan dan Retribusi Usaha Perikanan Pasal 26 Terhadap perusahaan perikanan yang tidak melakukan pembayaran retribusi tidak diberikan IUP, SPI, SIKPPII, SIKPII dan atau SPbi Pasal 27 Terhadap keterlambatan pembayaran retribusi yang terutang dikenakan sanksi Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi No 3 Tahun 2002 tentang Izin Usaha Perikanan 12 Pungutan Perikanan Undang-Undang UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan administrasi berupa bunga sebesar 2 % (dua persen) setiap bulan dan ditagih dengan menggunakan Surat Tagihan Retribusi Daerah (STRD) Pasal 28 (1) Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (1), Pasal 6, Pasal 11 dan Pasal 12 Peraturan Daerah ini diancam pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) (2) Tindak pidana sebagimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini adalah pelanggaran (3) Tindak pidana selain pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini yang mengakibatkan kegiatan kerugian Negara, dikenakan pidana sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku (4) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini disetorkan ke Kas Daerah Propinsi Jawa Barat Pasal 23 (1) Barang siapa yang melanggar ketentuan pasal-pasal yang membuat ketentuan mengenai kewajiban dan atau larangan dalam peraturan daerah ini, diancam pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) (2) Selain tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, tindak pidana yang mengakibatkan pelanggaran terhadap ketentuan usaha penangkapan ikan dan usaha pembudidayaan ikan, diancam pidana sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Pasal 48 (1) Setiap orang yang memperoleh manfaat langsung dari sumber daya ikan dan lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dikenakan pungutan perikanan. (2) Pungutan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan bagi nelayan kecil dan pembudi daya-ikan kecil. Pasal 49 Setiap orang asing yang mendapat izin penangkapan ikan di ZEEI dikenakan pungutan perikanan. Pasal 50 Pungutan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dan Pasal 49 dipergunakan untuk pembangunan perikanan serta kegiatan pelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya. Pasal 51 Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan perikanan dan penggunaan pungutan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, Pasal 49, dan Pasal 50 diatur dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Daerah Perda Provinsi Jawa Barat No 14 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan dan Retribusi Usaha Perikanan Pasal 17 Terhadap perusahaan perikanan yang memperoleh IUP, SPI, SIKPPI, SIKPII dan SPbI dikenakan retribusi yang terdiri dari retribusi pengusahaan perikanan dan retribusi hasil perikanan Pasal 18 (1) Retribusi pengusahaan perikanan dipungut pada saat perusahaan perikanan yang bersangkutan memperoleh IUP (2) Retribusi hasil perikanan dikenakan pada saat perusahaan perikanan memperoleh dan atau memperpanjang SPI dan atau SIKPPII dan atau SIKPII dan atau SPbI Pasal 19 (1) Perhitungan retribusi pengusahaan perikanan untuk penangkapan ikan di laut didasarkan atas jenis, ukuran dan jumlah kapal serta jenis alat penangkap ikan yang dipergunakan (2) Besarnya retribusi pengusahaan perikanan di tetapkan berdasarkan rumusan tariff per Gross Tonnage (GT) menurut jenis alat penangkap ikan yang dipergunakan dikaitkan ukuran kapal Gross Tonage (GT) (3) Tarif per GT menurut jenis alat penangkapan ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini ditetapkan oleh Gubernur Pasal 21 (1) Perhitungan retribusi hasil perikanan didasarkan atas jenis, ukuran, jumlah Keputusan Gubernur Jawa Barat No 45 Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Provinsi Jawa Barat No 14 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan dan Retribusi Usaha Perikanan kapal penangkapan ikan dan alat penangkapan ikan yang digunakan dan produktivitas kapal penangkapan ikan serta harga patokan ikan (2) Retribusi hasil perikanan sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini dikenakan kepada wajib retribusi dibayarkan pada saat pendaftaran ulang sesuai dengan pasal & ayat (3) Perda ini (3) Besarnya retribusi hasil perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini ditetapkan oleh Gubernur Pasal 22 (1) Seluruh hasil pungutan retribusi sebagaimana dimaksud pada Pasal 19, 20 dan 21 Perda ini disetor secara bruto ke kas Daerah Provinsi Jawa Barat (2) Hasil pungutan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini penggunaannya sebesar 40 % (empat puluh persen) diarahkan untuk : a. Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan sebesar 20 % (dua puluh persen) b. Pembinaan dan pengawasan sebesar 20 % (dua puluh persen) Pasal 12 Tarif Retribusi Perikanan ditetapkan sebagai berikut : a. Usaha Penangkapan No Jenis Kapal (alat tangkap) Satuan Tarif 1 Long line Per GT Rp. 20.000,00 2 Payang Per GT Rp. 10.000,00 3 Pukat Ikan dan Sejenisnya Per GT Rp. 20.000,00 4 Purse Seine Pelagis Kecil Per GT Rp. 11.000,00 5 Purse Seine Pelagis Besar Per GT Rp. 20.000,00 6 Jaring insang Per GT Rp. 15.000,00 7 Jaring cumi dan sejenisnya Per GT Rp. 17.000,00 8 Bubu Per GT Rp. 20.000,00 Pasal 13 (1) Tarif retribusi hasil perikanan ditetapkan sebagai berikut : (a) Usaha penangkapan ikan sebesar 0,50 % dikalikan produktivitas kapal dikalikan harga patokan ikan (b) Usaha pembudidayaan ikan sebesar : 0,10 % dikalikan harga jual Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi No 3 Tahun 2002 tentang Izin Usaha Perikanan seluruh hasil pembudidayaan (2) Produktivitas kapal penangkapan ikan ditetapkan secara periodic oleh Gubernur atas pengajuan Dinas berdasarkan hasil evaluasi tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan menurut wilayah pengelolaan perikanan (3) Harga patokan ikan ditetapkan sedikitnya satu kali dalam satu tahun oleh Gubernur berdasarkan hasil pemantauan harga yang dilakukan oleh Dinas Daerah yang membidangi perdagangan Pasal 19 Untuk memperoleh IUP, SPI, SPbI dan atau SPH dikenakan retribusi Izin Usaha Perikanan Pasal 20 Besarnya tariff Retribusi Izin Usaha Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 Perda ini, ditetapkan sebagai berikut : A. IUP No Jenis Retribusi Tarif 1 Penangkapan ikan Rp. 10.000 per GT 2 Pembudidayaan Ikan : a. Di kolam air tenang Rp. 1.000.000/unit (25 Ha) b. Di tambak Rp. 2.000.000/unit (410 Ha) c. Di laut Rp. 100.000/ unit d. Di Karamba Jaring apung Rp. 100.000/ unit e. Di kolam air deras Rp. 100.000/ unit f. Ikan Hias Rp. 100.000/ unit g. Pembenihan udang dan Bandeng : -. Kapasitas produksi s.d 10 Rp. 250.000/unit juta ekor per tahun -. Kapasitas produksi diatas Rp. 500.000/unit 10 juta ekor/ tahun B. B. SPI/SPbI No Jenis Retribusi 1 Penangkapan Ikan a. Kapal Penangkapan Ikan b. Alat Tangkap ¾ Pancing tangan ¾ Pancing Rawe ¾ Bubu ¾ Jaring insang hanyut (Gill Net) ¾ Jaring Payang ¾ Purse Seine Biaya Rp. 4.000/GT/3 thn Rp. 4.500/Unit/3 thn Rp. 9.000/unit/3 thn Rp. 4.500/unit/3 Thn Rp. 22.000/unit/3 Thn Rp. 15.000/unit/3 thn Rp. 25.000/unit/3 thn C. SPH SPH = RP. 100.000/unit/3 thn Keputusan Bupati Sukabumi No 493 Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi No 3 Tahun 2002 tentang Izin Usaha Perikanan Kedelapan Besarnya tariff Retribusi Usaha Perikanan adalah sebagai berikut : D. IUP No Jenis Retribusi Tarif 1 Penangkapan ikan Rp. 10.000 per GT 2 Pembudidayaan Ikan : a. Di kolam air tenang Rp. 1.000.000/unit (25 Ha) b. Di tambak Rp. 2.000.000/unit (410 Ha) c. Di laut Rp. 100.000/ unit d. Di Karamba Jaring apung Rp. 100.000/ unit e. Di kolam air deras Rp. 100.000/ unit f. Ikan Hias Rp. 100.000/ unit g. Pembenihan udang dan Bandeng : -. Kapasitas produksi s.d 10 juta ekor per tahun -. Kapasitas produksi diatas 10 juta ekor/ tahun E. B. SPI/SPbI No Jenis Retribusi 1 Penangkapan Ikan a. Kapal Penangkapan Ikan b. Alat Tangkap ¾ Pancing tangan ¾ Pancing Rawe ¾ Bubu ¾ Jaring insang hanyut (Gill Net) ¾ Jaring Payang ¾ Purse Seine F. SPH SPH = RP. 100.000/unit/3 thn Rp. 250.000/unit Rp. 500.000/unit Biaya Rp. 4.000/GT/3 thn Rp. 4.500/Unit/3 thn Rp. 9.000/unit/3 thn Rp. 4.500/unit/3 Thn Rp. 22.000/unit/3 Thn Rp. 15.000/unit/3 thn Rp. 25.000/unit/3 thn Lampiran 3. Perhitungan Game Theory Perhitungan Pay off untuk Analisis Game Theory Pemerintah dengan Nelayan Pay off Pemerintah : No Atribut Nilai 1 Biaya transaksi pengelolaan Teluk Palabuhanratu 184.615.000,00 2 PAD Perikanan Tahun 2006 Pay off Nelayan 72.325.916,00 No Atribut Peningkatan pendapatan apabila terkelola secara optimal 1 (Wahyudin, 2005) Pendapatan rata-rata nelayan pancing (Refresentatif 2 sustainable) (Statistik Perikanan, 2006) Pendapatan rata-rata nelayan bagan (Refresentatif 3 eksploitatif)(Statistik Perikanan, 2006) Nilai Potensi Sumberdaya Ikan Kabupaten Sukabumi (Dinas KP, 2006) Nilai 2.318.020.000,00 64.968.557,90 1.893.224,14 6.759.931.500,00 Nelayan Eksploitasi Pemerintah Quasi open access (113.012.343,16) Limited entry 249.708.324,40 Sustainable (112.289.084,00) 256.940.916,00 Nelayan Eksploitasi Pemerintah Quasi open access 1.893.224,14 Limited entry 6.761.824.724,14 Sustainable 64.968.557,90 2.382.988.557,90 Lampiran 4. Tabel Perhitungan Biaya Transaksi Pengelolaan SDI Teluk Palabuhanratu oleh Pemerintah No Faktor Input I 1 b Biaya Pengambilan Keputusan Biaya Sosialisasi Biaya uang saku peserta sosialisasi Biaya transportasi dan akomodasi peserta sosialisasi Biaya perjalanan dinas dalam daerah Biaya bantuan kepada organisasi profesi Biaya Operasional Bersama Biaya Pengembangan Teknologi Penangkapan Ikan Biaya insentif Biaya bantuan Syukuran Nelayan Biaya perjalanan dinas dalam daerah Biaya Pengembangan dan Pembinaan Usaha Nelayan dan Pembudidaya Ikan Skala Kecil Biaya perjalanan dinas Biaya Pengawasan Perijinan dan Pembinaan Mutu Produk Kelautan dan Perikanan Biaya perjalanan dinas c m o II 1 a b c 2 a 3 a III Biaya Informasi 1 Biaya Penyusunan strategi a Biaya penyusunan dan pengukuhan AD/ART Koperasi LEPP-M2R Kab. Sukabumi b Biaya Bantuan Muscab HNSI Total Biaya Transaksi Pemerintah (I + II + III III) Biaya Per Tahun (Rp) 58,950,000.00 58,950,000.00 17,100,000.00 18,500,000.00 4,450,000.00 18,900,000.00 116,665,000.00 52,810,000.00 37,450,000.00 4,000,000.00 11,360,000.00 43,260,000.00 43,260,000.00 20,595,000.00 20,595,000.00 9,000,000.00 9,000,000.00 5,000,000.00 4,000,000.00 184,615,000.00 Sumber : Diolah dari Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah Belanja Aparatur dan Publik Tahun Anggaran 2006 Lampiran 5. Perhitungan Biaya Transaksi Pengelolaan Sumberdaya Ikan oleh Kelompok Nelayan No Nama Aktor (Pemain) Biaya Pengambilan Keputusan Biaya Biaya Lobi Pertemuan (Rp/ Tahun) anggota (Rp/ Tahun) Biaya koordinasi antar anggota (Rp/ Tahun) Biaya Operasional Bersama Biaya Biaya Pelatihan Pengawasan (Rp/ Tahun) Sumberdaya Ikan (Rp/ Tahun) Biaya tradisi laut (Rp/ Tahun) 1 HNSI 5,000,000.00 300,000.00 1,200,000.00 - 500,000.00 1,000,000.00 2 KUD Mina 5,000,000.00 250,000.00 1,200,000.00 - 1,000,000.00 1,200,000.00 3 Kel. Pengelola rumpon 1,000,000.00 - - - - 1,000,000.00 6 POKMASWAS 5,000,000.00 - 1,200,000.00 6,000,000.00 500,000.00 - 4,000,000.00 137,500.00 900,000.00 1,500,000.00 500,000.00 800,000.00 Rata-Rata No Nama Aktor (Pemain) Biaya Informasi Pengumpulan Penyusunan bahan-bahan peraturan peraturan (Rp/ (Rp/ Tahun) Tahun) Biaya informasi(Rp/ Tahun) Sosialisasi (Rp/ Tahun) Total Biaya Transaksi (Rp/ Tahun) 1 HNSI - - - - 8,000,000.00 2 KUD Mina 1,000,000.00 500,000.00 2,500,000.00 500,000.00 13,150,000.00 3 Kel. Pengelola rumpon 1,000,000.00 1,000,000.00 1,000,000.00 - 5,000,000.00 6 POKMASWAS - - - 1,000,000.00 13,700,000.00 500,000.00 375,000.00 875,000.00 375,000.00 9,962,500.00 Rata-Rata Lampiran 6. Perhitungan Analisis Keefektipan Biaya Transaksi Pemerintah No Uraian I Biaya Pengambilan Keputusan 1 Biaya Sosialisasi a Biaya uang saku peserta sosialisasi b Biaya transportasi dan akomodasi peserta sosialisasi c Biaya perjalanan dinas dalam daerah d Biaya bantuan kepada organisasi profesi II Biaya Operasional Bersama 1 Biaya Pengembangan Teknologi Penangkapan Ikan a Biaya insentif b Biaya bantuan Syukuran Nelayan c Biaya perjalanan dinas dalam daerah 2 Biaya Pengembangan dan Pembinaan Usaha Nelayan dan Pembudidaya Ikan Skala Kecil a Biaya perjalanan dinas 0 1 2 3 4 5 58,950,000.00 53,280,000.00 49,311,000.00 46,532,700.00 44,587,890.00 43,226,523.00 58,950,000.00 53,280,000.00 49,311,000.00 46,532,700.00 44,587,890.00 43,226,523.00 17,100,000.00 17,100,000.00 17,100,000.00 17,100,000.00 17,100,000.00 17,100,000.00 18,500,000.00 18,500,000.00 18,500,000.00 18,500,000.00 18,500,000.00 18,500,000.00 4,450,000.00 4,450,000.00 4,450,000.00 4,450,000.00 4,450,000.00 4,450,000.00 18,900,000.00 13,230,000.00 9,261,000.00 6,482,700.00 4,537,890.00 3,176,523.00 116,665,000.00 116,665,000.00 116,665,000.00 116,665,000.00 116,665,000.00 116,665,000.00 52,810,000.00 52,810,000.00 52,810,000.00 52,810,000.00 52,810,000.00 52,810,000.00 37,450,000.00 37,450,000.00 37,450,000.00 37,450,000.00 37,450,000.00 37,450,000.00 4,000,000.00 4,000,000.00 4,000,000.00 4,000,000.00 4,000,000.00 4,000,000.00 11,360,000.00 11,360,000.00 11,360,000.00 11,360,000.00 11,360,000.00 11,360,000.00 43,260,000.00 43,260,000.00 43,260,000.00 43,260,000.00 43,260,000.00 43,260,000.00 43,260,000.00 43,260,000.00 43,260,000.00 43,260,000.00 43,260,000.00 43,260,000.00 3 Biaya Pengawasan Perijinan dan Pembinaan Mutu Produk Kelautan dan Perikanan a Biaya perjalanan dinas III Biaya Informasi 1 Biaya Penyusunan strategi a Biaya penyusunan dan pengukuhan AD/ART Koperasi LEPP-M2R Kab. Sukabumi b Biaya Bantuan Muscab HNSI Total Biaya Transaksi Pemerintah (I + II + III) IV Diskoun rate r DR Present Value (PV) CEA 20,595,000.00 20,595,000.00 20,595,000.00 20,595,000.00 20,595,000.00 20,595,000.00 20,595,000.00 20,595,000.00 20,595,000.00 20,595,000.00 20,595,000.00 20,595,000.00 9,000,000.00 - - - - 9,000,000.00 9,000,000.00 - - - - 9,000,000.00 0 0 0 0 0 0 0 0 5,000,000.00 4,000,000.00 5,000,000.00 4,000,000.00 184,615,000.00 169,945,000.00 165,976,000.00 163,197,700.00 161,252,890.00 168,891,523.00 0.1 0.12 0.12 0.12 0.12 0.12 0.12 1.00 0.89 0.80 0.71 0.64 0.57 184,615,000.00 151,736,607.14 132,315,051.02 116,160,899.35 102,479,126.79 95,833,585.85 783,140,270.16 Lampiran 7. Perhitungan Analisis Keefektipan Biaya Transaksi Nelayan No Jenis Biaya Transaksi A Biaya Pengambilan Keputusan 1 Biaya Pertemuan anggota 2 Biaya Lobi B Biaya Operasional Bersama 1 Biaya koordinasi antar anggota 2 Biaya Pengawasan Sumberdaya Ikan 3 Biaya Pelatihan 4 Biaya tradisi laut C Biaya Informasi 1 Biaya informasi 2 Pengumpulan bahan-bahan peraturan 3 Penyusunan peraturan 4 Sosialisasi 0 4,137,500.00 2 3 4 5 - - - - 0 0 0 0 0 0 0 0 3,700,000.00 3,330,000.00 3,061,000.00 2,864,700.00 2,720,890.00 2,615,103.00 900,000.00 630,000.00 441,000.00 308,700.00 216,090.00 151,263.00 1,500,000.00 1,500,000.00 1,500,000.00 1,500,000.00 1,500,000.00 1,500,000.00 500,000.00 400,000.00 320,000.00 256,000.00 204,800.00 163,840.00 800,000.00 800,000.00 800,000.00 800,000.00 800,000.00 800,000.00 2,125,000.00 1,325,000.00 830,000.00 522,500.00 330,650.00 210,395.00 500,000.00 350,000.00 245,000.00 171,500.00 120,050.00 84,035.00 375,000.00 225,000.00 135,000.00 81,000.00 48,600.00 29,160.00 875,000.00 525,000.00 315,000.00 189,000.00 113,400.00 68,040.00 375,000.00 225,000.00 135,000.00 81,000.00 48,600.00 29,160.00 4,000,000.00 137,500.00 1 4,137,500.00 4,000,000.00 137,500.00 Total Biaya Transaksi Diskoun rate r DR PV CEA 9,962,500.00 4,655,000.00 3,891,000.00 3,387,200.00 3,051,540.00 6,962,998.00 0.12 0.12 0.12 0.12 0.12 0.12 1.00 0.89 0.80 0.71 0.64 0.57 9,962,500.00 4,156,250.00 3,101,881.38 2,410,942.06 1,939,308.84 3,950,992.06 25,521,874.33