analisis ekonomi kelembagaan dalampengelolaan

advertisement
ANALISIS EKONOMI KELEMBAGAAN DALAM
PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN TELUK
PALABUHANRATU KABUPATEN SUKABUMI
SUHANA
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Ekonomi Kelembagaan Dalam
Pengelolaan Sumberdaya Ikan Teluk Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi adalah karya
saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutif dari karya yang diterbitkan maupun tidaki
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir tesis ini
Bogor, Januari 2008
Suhana
NIM C451040031
ABSTRAK
SUHANA, Analisis Ekonomi Kelembagaan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Ikan Teluk
Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi. (TRIDOYO KUSUMASTANTO sebagai Ketua,
LUKY ADRIANTO dan ACENG HIDAYAT sebagai Anggota Komisi Pembimbing).
Teluk Palabuhanratu di perairan Kabupaten Sukabumi memiliki potensi sumberdaya
ikan yang bisa dikembangkan lebih lanjut. Banyaknya aktor yang berkepentingan dalam
pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut maka diperlukan suatu sistem pengelolaan
sumberdaya ikan yang terintegrasi. Tujuan penelitian ini adalah (1) Mengidentifikasi dan
menganalisa peran masing-masing kelembagaan yang ada di Teluk Palabuhanratu dalam
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan; (2) Menganalisis tatanan kelembagaan
tersebut dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan; dan (3) Menganalisis
secara ekonomi kelembagaan pengelolaan sumberdaya ikan teluk Palabuhanratu dengan
pendekatan biaya transaksi. Hasil studi menunjukkan : (1) Aktor-aktor yang harus dilibatkan
secara langsung dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan terdiri dari unsur
pemeritah, masyarakat, akademisi dan apar keamanan. (2) Total biaya transaksi yang
dikeluarkan oleh pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu
setiap tahunnya mencapai sekitar Rp. 184.615.000,00. (3)Total biaya transaksi yang
dikeluarkan nelayan dalam pengelolaan sumberdaya ikan setiap tahunnya mencapai sekitar
Rp. 9.962.500. (4)Berdasarkan tingkat diskonto 12 % terlihat bahwa dalam jangka waktu
lima tahun nilai cost effectiveness analysis (CEA) pemerintah jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan CEA kelompok nelayan. Nilai CEA pemerintah mencapai sekitar Rp.
783.140.270,15 dan nilai CEA kelompok nelayan Rp. 25.521.874,33. (5) Format
kelembagaan yang direkomendasikan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
ikan di Teluk Palabuhanratu harus melibatkan masyarakat (formal dan informal), pemerintah,
pihak swasta/usaha dan perguruan tinggi.
Kata Kunci : Kelembagaan, Biaya Transaksi, Analisis Aktor, Game Theory dan Analisis
Kefektifan Biaya.
@ Hak cipta milik IPB, Tahun 2007
Hak cipta dilindungi Undang-Undag
1. Dilarang mengutuif sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mecantumkan atau
menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentinga pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah,
penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah;
b. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ANALISIS EKONOMI KELEMBAGAAN DALAM
PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN TELUK
PALABUHANRATU KABUPATEN SUKABUMI
SUHANA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
Judul Penelitian
: Analisis Ekonomi Kelembagaan Dalam Pengelolaan Sumberdaya
Ikan Teluk Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi Jawa Barat.
Nama
: Suhana
Nomor Induk
: C451040031
Program Studi
: Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika
Menyetujui :
1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, M.S
Ketua
Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc
Anggota
Dr. Ir. Aceng Hidayat, M.Sc
Anggota
2. Ketua Program Studi Ekonomi
Sumberdaya Kelautan Tropika
3. Dekan Sekolah Pasca Sarjana
Wakil Dekan
Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, M.S
Tanggal Lulus :
Prof. Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S
Tanggal Ujian : 28 September 2007
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Ir. Gatot Yulianto, M.Si
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke khadirat Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Analisis Ekonomi
Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Ikan Teluk Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi.
Tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Master Sains pada Program Studi
Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika (ESK) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
Penulis merasa, hampir tidak mungkin studi dan tesis ini selesai tanpa bantuan dari
banyak pihak. Oleh karenannya saya mengucapkan terima kasih terutama kepada Prof.
Dr. Ir. H. Tridoyo Kusumastanto, MS, Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc dan Dr. Ir. Aceng
Hidayat, MS atas kesabarannya di dalam membimbing. Selain itu juga penulis sampaikan
terima kasih kepada Ir. Gatot Yulianto, M.Si atas kesediaannya untuk menjadi penguji luar
komisi.
Terima kasih juga disampaikan kepada ketua Program Studi, Dosen dan Staf
Program Studi ESK atas ilmu dan pelayanannya, rekan-rekan ESK 2004 atas
kebersamaannya dan PKSPL-IPB atas berbagai bantuan yang telah diberikan kepada
penulis.
Terkhusus penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak, ibu, kakak atas doa dan
dorongan yang tak pernah henti-hentinya. Tak lupa kepada istri dan anakku tercinta atas
do’a, kesabaran dan pengertiannya. Mohon maaf jika banyak melupakan kewajiban karena
tesis ini.
Akhirnya, penulis berharap semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi pengelolaan
sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu.
Bogor, Januari 2008
Suhana
RIWAYAT HIDUP
Nama lengkap penulis Suhana, dilahirkan di Ciamis, 10 Oktober 1978 dari
pasangan Ayahanda Oman Rohman dan Ibunda Sopiah sebagai anak ketiga dari tiga
bersaudara.
Tahun 1997 penulis dapat kesempatan kuliah di Jurusan Ilmu dan Teknologi
Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, lulusan Sarjana
Perikanan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 2002. Semenjak lulus sampai saat ini
penulis aktif sebagai peneliti di Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPLIPB).
Selain sebagai peneliti juga aktif sebagai penulis lepas (opini) di beberapa media
cetak nasional seperti Kompas, Bisnis Indonesia, Sinar Harapan, Majalah Cakrawala,
Majalah Samudera, Tabloid Maritim, Harian Seputar Indonesia, Republika dan Suara
Karya.
Tahun 2004 penulis melanjutkan studi di Program Studi Ekonomi Sumberdaya
Kelautan Tropika Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, dan lulus tahun 2008.
Pada Mei 2006 penulis menikah dengan Anik Zumrotul Khairiyah, SP dan saat ini
telah dikaruniai seorang putri bernama Nadia Ilma Ikramiya.
ix
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xvi
PENDAHULUAN................................................................................................ 1
Latar Belakang ................................................................................................. 1
Perumusan Masalah .......................................................................................... 5
Tujuan ............................................................................................................... 6
Kegunaan Penelitian ......................................................................................... 6
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 8
Perikanan Sebagai Sebuah Sistem.................................................................... 8
Common Pool Resource ................................................................................... 9
Konsep Transaksi ............................................................................................. 13
Konsep Biaya Transaksi ................................................................................... 13
Biaya Transaksi dalam Ko-Manajemen Perikanan .......................................... 15
Cost effectiveness analsis (CEA) ..................................................................... 17
Teori Kelembagaan .......................................................................................... 17
Tiga Lapisan Kelembagaan .............................................................................. 19
Kelembagaan dalam Perikanan ........................................................................ 21
Hak Kepemilikan Sumberdaya ........................................................................ 22
Teori Perubahan Kelembagaan ........................................................................ 31
Teori Konflik .................................................................................................... 33
Tata Kelola Sumberdaya Ikan .......................................................................... 36
Ko-Manajemen Pengelolaan Sumberdaya Ikan ............................................... 38
Definisi dan Karakteristik Nelayan .................................................................. 40
KERANGKA PENDEKATAN STUDI ............................................................. 43
METODOLOGI .................................................................................................. 46
Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................................ 46
x
Metode Penelitian ............................................................................................. 47
Metode Pengumpulan Data .............................................................................. 48
Metode Analisis Data ....................................................................................... 50
Analisis Aktor Pengelolaan Sumberdaya Ikan .......................................... 50
Analisis Tata Kelola Sumberdaya Ikan ..................................................... 55
Analisis Biaya Transaksi ........................................................................... 59
Analisis Keefektifan Biaya ....................................................................... 59
Analisis Game Theory ............................................................................... 60
Analisis Konflik Pengelolaan Sumberdaya Ikan ....................................... 62
Desain Kelembagaan ................................................................................. 64
Definisi Operasional ......................................................................................... 65
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN .............................................. 66
Kondisi Geografis............................................................................................. 66
Kependudukan .................................................................................................. 69
Kesejahteraan Penduduk .................................................................................. 70
Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan ..................................................... 71
TATA KELOLA SUMBERDAYA IKAN DI TELUK
PALABUHANRATU ......................................................................................... 80
Analisis Aktor dalam Pengelolaan Sumberdaya Ikan ...................................... 80
Aktor Pengelolaan dan Pemanfaat Sumberdaya Ikan ............................... 80
Peran Masing-Masing Aktor ..................................................................... 84
Hubungan Antar Aktor .............................................................................. 88
Ko-Manajemen dalam Pengelolaan Sumberdaya Ikan .................................... 90
Kelembagaan sebagai Aturan Main Pengelolaan Sumberdaya Ikan ............... 93
Hak-Hak Terhadap Sumberdaya Ikan (Property Right)................................... 98
Hak Penggunaan Wilayah Perairan Untuk Perikanan Bagan dan Rumpon ..... 99
Konflik Pengelolaan Sumberdaya Ikan ............................................................ 103
Analisis Game Theory ...................................................................................... 109
xi
BIAYA TRANSAKSI PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN ................ 112
Pemerintah ........................................................................................................ 112
Kelompok Masyarakat Nelayan ....................................................................... 114
Efektivitas Biaya Transaksi .............................................................................. 117
DESAIN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN
DI TELUK PALABUHANRATU...................................................................... 119
Batasan Yurisdiksi ................................................................................................ 122
Hak Kepemilikan .................................................................................................. 122
Aturan Representasi .............................................................................................. 122
Mekanisme Implementasi Lembaga ..................................................................... 124
SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................. 126
Simpulan ........................................................................................................... 126
Saran ................................................................................................................. 127
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.
Tipe hak kepemilikan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan
berdasarkan pemilik, hak dan tugas-tugasnya ................................... 23
Tabel 2.
Pengelompokkan individu atau kelompok berdasarkan pada hakhak terhadap sumberdaya alam .......................................................... 24
Tabel 3.
Target ekonomi, tindakan dan kelembagaan pada beberapa level ..... 33
Tabel 4.
Perbedaan sasaran yang ingin dicapai oleh kelima teori konflik ...... 35
Tabel 5.
Tipologi konflik perikanan ................................................................. 36
Tabel 6.
Pengelompokkan nelayan berdasarkan karakteristik sosial
ekonomi .............................................................................................. 41
Tabel 7.
Kategori dan dimensi perikanan berdasarkan karakteristiknya.......... 42
Tabel 8.
Aspek, jenis dan sumber data penelitian ........................................... 49
Tabel 9.
Ukuran kuantitatif terhadap identifikasi dan pemetaan aktor ............ 54
Tabel 10. Pemain, pilihan strategi dan pay-off analisis Game Theory............... 61
Tabel 11. Matriks pahala (Payoffs) dalam analisis Game Theory ...................... 61
Tabel 12. Luas kecamatan di wilayah Kabupaten Sukabumi ............................ 66
Tabel 13. Jumlah penduduk di Kecamatan Pesisir Kabupaten Sukabumi
Tahun 2005 ........................................................................................ 69
Tabel 14. Persentase Kelurga Pra KS dan KS 1 di Kecamatan Pesisir
Kabupaten Sukabumi Tahun 2005 .................................................... 71
Tabel 15. Potensi Lestari Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di
Perairan Pantai Kabupaten Sukabumi, Tahun 2003 .......................... 73
Tabel 16. Potensi Lestari dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di
Laut Samudera Hindia, Tahun 2000 ................................................. 73
Tabel 17. Perkembangan Jumlah Ikan yang dilelang di beberapa tempat
pendaratan ikan di kecamatan Kabupaten Sukabumi. ....................... 74
Tabel 18. Komoditas Unggulan Perikanan Laut Kabupaten Sukabumi ............ 75
Tabel 19. Jumlah Alat Tangkap Perikanan yang berkembang di Kabupaten
Sukabumi ........................................................................................... 76
Tabel 20. Nilai Produksi Ikan Segar yang di Lelang di Kabupaten Sukabumi
tahun 2001-2003 ................................................................................ 77
xiii
Tabel 21. Karakteristik Kelas Pelabuhan PPS, PPN, PPP dan PPI .................... 87
Tabel 22. Kelompok Masyarakat Pengawas Sumberdaya Ikan
(POKMASWAS) di Kabupaten Sukabumi ....................................... 91
Tabel 23. Jenis Peraturan dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya
Ikan di Teluk Palabuhanratu ............................................................. 95
Tabel 24. Identifikasi Hak Pada Sumberdaya Ikan di Teluk Palabuhanratu ..... 98
Tabel 25. Kelompok Pengelola Rumpon di Perairan Teluk Palabuhanratu ...... 101
Tabel 26. Tipe Konflik dalam Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Teluk
Palabuhanratu .................................................................................... 104
Tabel 27. Jumlah Izin Usaha Perikanan (IUP) Yang dikeluarkan Dinas
Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi Tahun 2006 ............. 108
Tabel 28. Matrik pay off permainan antara pemerintah dengan nelayan .......... 110
Tabel 29. Biaya
Transaksi
Yang
di
Keluarkan
Pemerintah
dalam
Pengelolaan Sumberdaya Ikan di Teluk Palabuhanratu .................... 113
Tabel 30. Biaya Transaksi yang di Keluarkan Kelompok Nelayan dalam
Pengelolaan Sumberdaya Ikan di Teluk Palabuhanratu .................... 115
Tabel 31. Nilai Efektivitas Biaya Transaksi Pemerintah dan Nelayan ............. 120
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.
Perikanan sebagai sebuah sistem .................................................. 8
Gambar 2.
Skema biaya transaksi dalam ko-manajemen perikanan ............... 16
Gambar 3.
Klasifikasi hak kepemilikan (property rights) ............................. 22
Gambar 4.
Pengklasifikasian hak pemanfaatan dalam pengelolaan
perikanan tangkap ......................................................................... 26
Gambar 5.
Spektrum ko-manajemen dalam pengelolaan sumberdaya ikan .. 39
Gambar 6.
Pengelompokkan nelayan ............................................................. 41
Gambar 7.
Kerangka pendekatan studi ........................................................... 45
Gambar 8.
Lokasi penelitian .......................................................................... 46
Gambar 9.
Aktor grid ...................................................................................... 55
Gambar 10.
Kerangka analisis kelembagaan ................................................... 56
Gambar 11.
Penyebaran penduduk di kecamatan pesisir Kabupaten
Sukabumi Tahun 2005 .................................................................. 70
Gambar 12.
Pemetaan aktor pemanfaat dan pengelola sumberdaya ikan
Teluk Palabuhanratu ...................................................................... 81
Gambar 13.
Hubungan antar aktor pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk
Palabuhanratu ............................................................................... 89
Gambar 14.
Ko-manajemen sistem pengawasan sumberdaya ikan berbasis
masyarakat di Perairan Sukabumi ................................................ 93
Gambar 15. Alat tangkap yang diberikan izin di Perairan Kabupaten
Sukabumi Tahun 2006 .................................................................. 108
Gambar 16.
Biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam
pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu ................ 113
Gambar 17.
Biaya transaksi yang dikeluarkan nelayan dalam pengelolaan
sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu ..................................... 114
Gambar 18.
Biaya transaksi pengambilan keputusan yang di keluarkan
nelayan dalam pengelolaan sumberdaya ikan Teluk
Palabuhanratu ............................................................................... 116
Gambar 19.
Biaya transaksi operasional bersama yang di kelaurkan nelayan
dalam pengelolaan sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu .......... 116
xv
Gambar 20.
Biaya transaksi informasi yang di keluarkan nelayan dalam
pengelolaan sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu ..................... 117
Gambar 21.
Nilai CEA pemerintah dan kelompok nelayan dalam
pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu ................. 118
Gambar 22.
Desain kelembagaan pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk
Palabuhanratu ............................................................................... 125
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.
Panduan penelitian
Lampiran 2.
Tabel analisis peraturan nasional dan daerah sebagai dasar hukum
dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu
Lampiran 3.
Perhitungan game theory
Lampiran 4.
Perhitungan biaya transaksi pemerintah
Lampiran 5.
Perhitungan biaya transaksi kelompok nelayan
Lampiran 6.
Perhitungan analisis keefektipan biaya transaksi pemerintah
Lampiran 7.
Perhitungan analisis keefektipan biaya transaksi kelompok nelayan
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Teluk merupakan suatu lekukan yang lekukannya berbanding sedemikian
rupa dengan lebar mulutnya sehingga mengandung perairan yang tertutup dan
bentuknya lebih dari pada sekedar suatu lengkungan pantai semata-mata
(UNCLOS 1982)1. Berdasarkan hal tersebut maka kawasan teluk merupakan
kawasan yang paling banyak berkembang untuk berbagai aktifitas manusia
dikarenakan teluk mempunyai karakteristik fisik yang relatif stabil, terlindung dan
dinamikanya tidak setinggi pantai terbuka.
Kondisi tersebut menimbulkan terjadinya peningkatan aktivitas di kawasan
teluk, yang antara lain secara global ditandai oleh munculnya kota-kota besar di
kawasan teluk. Indonesia mempunyai banyak kota besar yang berlokasi di
kawasan teluk, dan dalam satu dekade belakangan ini banyak pihak
berkepentingan terhadap sumberdaya pesisir di wilayah teluk, khususnya di
wilayah teluk yang pembangunannya pesat seperti Teluk Jakarta, Manado,
Makassar dan Palabuhanratu.
Seiring dengan berlakunya UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah yang menekankan pada desentralisasi pemerintahan maka kewenangan
pengelolaan sumberdaya alam di perairan laut bergeser dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah, khususnya sumberdaya ikan. Adanya pergeseran kewenangan
tersebut telah berdampak terhadap beberapa aspek penting dalam pengelolaan
sumberdaya ikan di wilayah teluk, yaitu aspek sumberdaya ikan, sosialkelembagaan, ekonomi dan politik. Pertama, desentralisasi merupakan pintu
menuju terciptanya kebijakan pembangunan berkelanjutan. Hal ini disebabkan
bahwa dengan desentralisasi akan memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan sumberdaya ikan diwilayah teluk. Partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan sumberdaya ikan merupakan bentuk tanggung jawab mereka
terhadap masa depan sumberdaya tersebut. Artinya, masyarakat tidak hanya akan
berhenti pada upaya merencanakan dan melaksanakan prinsip pengelolaan
1
Lihat Pasal 10 (2) Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (United Nations
Convention on The Law The Sea, UNCLOS 1982)
2 sumberdaya ikan secara lestari seiring dengan nilai-nilai tradisional yang mereka
miliki, tetapi tanggung jawab itu juga akan muncul dalam bentuk pengawasan dan
pengendalian.
Kedua, salah satu kekuatan desentralisasi kelautan adalah karena selama ini
sebenarnya setiap daerah memiliki institusi lokal yang mencerminkan kearifan
tradisional dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Institusi tersebut selama ini ada
yang masih berlaku dan ada pula yang telah pudar. Dengan demikian, ada institusi
yang secara aktual berfungsi dan ada pula yang secara potensial berfungsi.
Institusi yang berfungsi aktual merupakan kekuatan daerah dalam pengelolaan
sumberdaya ikan. Daerah tidak perlu lagi menyusun formula pengelolaan
sumberdaya ikan, sebaliknya daerah hanya perlu melengkapi formula yang sudah
ada yang selama ini dimiliki masyarakat.
Ketiga, secara ekonomi, desentralisasi kelautan tersebut sangat relevan
dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir, khususnya nelayan.
Seperti diketahui bahwa rezim sentralistik yang selama ini berkembang telah
menciptakan
ketidakadilan
dalam
akses
terhadap
sumberdaya.
Dengan
berlangsungnya otonomi daerah maka daerah akan memperoleh manfaat dan
keuntungan dari sumberdaya yang dimiliki. Pemerintah Daerah memiliki
kewenangan untuk mengatur investasi perikanan di wilayah teluk. Selain itu
peluang meningkatnya kesempatan pengusaha lokal atau nelayan melakukan
usaha pemanfaatan sumberdaya di daerahnya akan semakin besar. Hal ini semakin
jelas lagi dengan apa yang digambarkan secara implisit dalam otonomi daerah
bahwa nelayan tradisional akan terlindungi dari kuatnya kapal-kapal besar yang
beroperasi di wilayah pantai. Dengan demikian akan membebaskan nelayan
tradisional dari persaingan yang tidak seimbang.
Keempat, perlu dipahami bahwa desentralisasi pengelolaan sumberdaya
ikan merupakan wujud demokratisasi. Karena, semakin terbuka kesempatan
nelayan lokal berpartisipasi dalam pengelolaan sumberdaya; suatu kesempatan
yang tidak pernah diperoleh selama masa sentralisme. Nilai demokratis lainnya
adalah bahwa dengan desentralisasi semakin dekat jarak antara pengambil
keputusan dengan nelayan lokal sehingga semakin dekat pula jarak kontrol
nelayan lokal terhadap pengambil kebijakan. Dengan demikian semakin mudah
3 akses bagi nelayan untuk mengusulkan, memprotes, atau menyalurkan aspirasi
terhadap suatu kebijakan. Namun demikian selama ini pengelolaan sumberdaya
teluk di Indonesia belum dilakukan secara baik. Berbagai instansi atau
stakeholders yang memiliki kepentingan terhadap sumberdaya ikan di teluk
tersebut cenderung berjalan sendiri-sendiri dalam mengelola sumberdaya.
Sehingga tidak jarang benturan berbagai kepentingan tersebut berujung pada
terjadinya konflik antar stakeholders. Misalnya yang terjadi di Teluk
Palabuhanratu.
Teluk Palabuhanratu di Perairan Kabupaten Sukabumi memiliki potensi
sumberdaya ikan yang bisa dikembangkan lebih lanjut. Berdasarkan hasil
perhitungan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sukabumi Tahun 2003
diketahui potensi lestari perikanan tangkap di Kabupaten Sukabumi adalah 11.827
ton, dengan uraian ikan pelagis besar 9.245 ton/tahun, ikan pelagis kecil 1.060
ton/tahun dan ikan demersal 1.220 ton/tahun. Tingkat Pemanfaatan untuk masingmasing sumberdaya saat ini adalah ikan pelagis besar 2.719 ton, ikan pelagis
kecil 564 ton dan ikan demersal 302 ton.
Sementara itu keterlibatan para stakeholders perikanan yang ada di sekitar
Teluk Palabuhanratu dalam pemanfaatan sumberdaya ikan sudah berlangsung
lama. Para stakeholders yang terlibat tersebut terdiri dari masyarakat lokal,
pemerintah daerah, pemerintah pusat dan swasta. Beberapa hasil studi
menunjukan bahwa stakeholders yang terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya
ikan di Teluk Palabuhanratu terdiri dari nelayan, juragan, bakul (pengumpul
ikan), LEPP-M3R (Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina
Ratu), TPI, Bank, KUD dan Pemerintah Daerah. Banyaknya stakeholders yang
berkepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut maka diperlukan
suatu sistem pengelolaan sumberdaya ikan yang terintegrasi. Selama ini
keberadaan masing-masing stakeholders tersebut terkesan berjalan sendiri-sendiri.
Sehingga dalam beberapa kasus pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk
Palabuhanratu sering menimbulkan konflik antar stakeholders. Misalnya sampai
akhir tahun 2005 terjadi konflik antara nelayan bagan dengan nelayan payang
dalam pemanfaatan sumberdaya ikan.
4 Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak Dinas Kelautan dan Perikanan
(2006), konflik tersebut dilatarbelakangi oleh terus menurunnya hasil tangkapan
kedua kelompok nelayan tersebut. Penurunan hasil tangkapan tersebut menurut
nelayan bagan disebabkan oleh banyaknya nelayan payang yang melakukan
penangkapan di Teluk Palabuhanratu. Sementara itu nelayan payang menganggap
bahwa penurunan hasil tangkapan tersebut disebabkan oleh banyaknya nelayan
bagan yang melakukan penangkapan ikan.
Selain itu juga potensi konflik pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk
Palabuhanratu terjadi antara nelayan yang menggunakan perahu congkreng2
(perahu kecil) dengan nelayan yang memiliki perahu berkapasitas besar. Potensi
konflik tersebut disebabkan oleh pemasangan rumpon-rumpon ikan oleh para
nelayan besar. Sementara para nelayan kecil tidak diperbolehkan menangkap ikan
di sekitar rumpon milik nelayan besar tersebut. Menurut catatan Pikiran Rakyat
(2005), kehadiran rumpon-rumpon milik para nelayan besar di Teluk
Palabuhanratu telah menyebabkan nelayan kecil mengalami penurunan hasil
tangkapan.
Sementara itu berdasarkan hasil penelitian Herwening (2003) menunjukan
bahwa implikasi kegiatan modernisasi perikanan di Palabuhanratu telah
menimbulkan berbagai potensi konflik, yaitu pertama, potensi konflik antar
armada perikanan, meliputi potensi konflik pemanfaatan wilayah antara bagan
apung dengan perahu congkreng dan potensi konflik sumberdaya antara bagan
apung dengan perahu payang. Kehadiran longline juga menyebabkan potensi
konflik pemanfaatan wilayah dengan kapal motor gillnet dan dengan perahu
congkreng.
Kedua, potensi konflik dalam pola hubungan produksi, meliputi hubungan
antara pemilik modal dengan pemilik perahu, pemilik kapal dan anak buah kapal
(ABK), yang ditunjukkan oleh adanya gejala eksploitasi. Seiring dengan
peningkatan teknologi maka ketimpangan pendapatan antara pemilik alat produksi
dengan ABK semakin lebar, tetapi hal ini tidak menyebabkan gejala polarisasi
nelayan.
Komunitas
nelayan
terdiferensiasi
lebih
kompleks
menyebabkan perubahan pada pola stratifikasi.
2
Nama lokal untuk perahu ukuran kecil dengan menggunakan motor tempel.
sehingga
5 Berdasarkan uraian diatas maka pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk
Palabuhanratu perlu dilakukan dengan sistem kelembagaan yang kuat. Hal ini
dimaksudkan agar pengelolaan sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu dapat
berjalan secara berkelanjutan dan bertanggungjawab. Selain itu juga keberadaan
sistem kelembagaan yang kuat diharapkan dapat berdampak terhadap menurunnya
tingkat konflik antar nelayan dalam upaya memanfaatkan sumberdaya ikan di
Teluk Palabuhanratu.
Perumusan Masalah
Pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu selama ini belum
berlangsung dengan optimal. Akibatnya berbagai kasus degradasi sumberdaya
ikan kerap kali terjadi pada beberapa kelompok sumberdaya ikan. Hasil penelitian
Wahyudin (2005) menunjukan bahwa laju degradasi sumberdaya ikan pelagis
kecil di Teluk Palabuhanratu per tahun adalah sebesar 61,86 persen. Hal ini
menunjukan bahwa ikan pelagis kecil di perairan Teluk Palabuhanratu mengalami
tekanan yang cukup besar yang disinyalir akibat tingginya aktivitas perikanan di
sekitar perairan ini. Sementara itu laju degradasi ikan demersal menunjukan relatif
tidak mengalami degradasi. Hal ini ditandai dengan nilai rata-rata koefisien
degradasi yang hanya sebesar 22,04 persen per tahun.
Wahyudin (2005) lebih lanjut menyimpulkan bahwa berdasarkan hasil
perhitungan alokasi optimum sumberdaya ikan di perairan Teluk Palabuhanratu
menunjukan bahwa tangkapan optimal per trip setingkat bagan untuk menangkap
ikan pelagis kecil adalah sebanyak 113,33 kilogram. Sedangkan tangkapan
optimal per trip setingkat pancing untuk menangkap ikan demersal adalah
sebanyak 245,18 kilogram. Oleh sebab itu Wahyudin (2005) menyarankan bahwa
jumlah alat tangkap optimal berdasarkan analisis dinamik adalah sebanyak 43 unit
alat tangkap setingkat bagan untuk menangkap ikan pelagis kecil dan sebanyak 38
unit alat tangkap setingkat pancing untuk menangkap ikan demersal.
Sementara itu data Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sukabumi
(2004) menunjukan bahwa jumlah alat tangkap Payang adalah sebanyak 120 unit,
pancing ulur sebanyak 119 unit dan pancing lainnya sebanyak 647 unit. Dengan
demikian apabila hal ini tidak secepatnya ditanggulangi maka dikhawatirkan akan
6 menimbulkan permasalahan ekonomi yang lebih besar di perairan Teluk
Palabuhanratu. Menurut Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sukabumi
(2005) sampai saat ini masih sering terjadi konflik antara nelayan bagan dengan
nelayan payang dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan. Hal ini disebabkan
oleh semakin menipisnya hasil tangkapan mereka sehingga menurunkan
pendapatan ekonomi para nelayan.
Kusnadi (2002) menyatakan bahwa secara umum keadaan sumberdaya di
suatu kawasan dipengaruhi oleh enam faktor utama, yaitu pranata-pranata
pengelolaan sumberdaya lokal, konteks sosial budaya, kebijakan negara, variabelvariabel teknologis, tingkat tekanan pasar dan tekanan penduduk. Keenam faktor
tersebut dapat mempengaruhi secara langsung terhadap keadaan sumberdaya atau
tidak langsung dengan diperantarai oleh pranata-pranata lokal.
Berdasarkan permasalahan tersebut timbul dua pertanyaan, yaitu pertama
bagaimana peran lembaga yang ada di Palabuhanratu dalam pengelolaan
sumberdaya ikan sehingga terjadi degradasi sumberdaya ikan. Kedua, bagaimana
peran kelembagaan dalam mengatasi konflik perebutan sumberdaya ikan antar
nelayan di Teluk Palabuhanratu.
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah :
1.
Mengidentifikasi dan menganalisis peran lembaga yang ada di Teluk
Palabuhanratu dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan;
2.
Menganalisis tatanan kelembagaan tersebut dalam pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya ikan;
3.
Menganalisis secara ekonomi sistem kelembagaan dalam pengelolaan
sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu;
4.
Mendesain
kelembagaan
Pengelolaan
Sumberdaya
Ikan
di
Teluk
Palabuhanratu.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan sumbangan pemikiran
secara akademis yang lebih komprehensif untuk memahami sistem kelembagaan
7 yang baik untuk pengelolaan dan pemanfaatan potensi ekonomi sumberdaya
perikanan di wilayah teluk, khususnya di Teluk Palabuhanratu. Output dari
penelitian ini adalah dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas mengenai
pentingnya sistem kelembagaan yang kuat dalam pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya ikan di wilayah Teluk Palabuhanratu.
Pada level pragmatis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan kepada pemerintah khususnya pemerintah daerah Kabupaten
Sukabumi serta pemerintah pusat khususnya Departemen Kelautan dan Perikanan
(DKP) untuk dijadikan acuan dalam menyusun kebijakan pembangunan kawasan
pesisir dan masyarakat pesisir terutama dalam pengembangan desa-desa nelayan
serta pengentasan kemiskinan nelayan. Dengan demikian kebijakan yang
dilahirkan dapat memberikan dampak yang signifikan dalam meningkatkan taraf
hidup masyarakat pesisir terutama nelayan tradisonal dan keberlanjutan
sumberdaya perikanan di Kabupaten Sukabumi.
8 TINJAUAN PUSTAKA
Perikanan Sebagai Sebuah Sistem
Satu hal yang banyak menimbulkan salah persepsi di kalangan publik
bahkan dari kalangan akademisi adalah bahwa perikanan dan kelautan dianggap
sebagai komoditas semata. Hal ini tidak terlepas dari pandangan klasik tentang
struktur produksi ekonomi yang menempatkan perikanan, pertanian, kehutanan,
dan peternakan sebagai primary sector yang berkonotasi pada produksi
“komoditas” belaka. Padahal sejarah membuktikan bahwa perikanan merupakan
kegiatan ekonomi yang memiliki banyak keterkaitan langsung (direct interlinkages) antar faktor penyusunnya yaitu ekosistem, ekonomi, dan komunitas
serta institusi yang terkait dengannya. Keempat dimensi dengan segenap
dinamikanya tersebut tidak dapat dipisahkan dalam semua pembicaraan tentang
perikanan dan kelautan (Hanna 1999 dalam Adrianto 2005).
Charles (2001) dalam Adrianto (2005) menguraikan pentingnya pendekatan
sistem bagi pengelolaan sumberdaya ikan. Hall and Day (1977) menganggap
bahwa : “any phenomenon, either structural or functional, having at least two
separable components and some interactions between these components” dapat
dianggap sebagai sebuah sistem. Dalam konteks ini, perikanan, by nature, adalah
sebuah sistem karena banyak faktor dan fenomena yang terkait secara bersamasama dan saling bergantung (inter-dependencies) di dalamnya (Gambar 1).
MANAGEMENT SYSTEM
NATURAL ECOSYSTEM
Policy
Management
fish population
HUMAN SYSTEM
Development
Research
aquatic environment
Harvesters
external forces
(e.g. government
downizing)
external forces
(e.g. climate changes)
Comm.
Post
Harvest
external forces
(e.g. macroeconomics policy)
Gambar 1. Perikanan Sebagai Sebuah Sistem (Charles 2001)
9 Charles (2001) menegaskan bahwa sistem perikanan merupakan sebuah
kesatuan dari 3 komponen utama yaitu (1) sistem alam (natural system) yang
mencakup ekosistem, ikan dan lingkungan biofisik; (2) sistem manusia (human
system) yang terdiri dari unsur nelayan atau petani ikan, pelaku pasar dan
konsumen, rumah tangga perikanan dan komunitas pesisir serta lingkungan sosial,
ekonomi dan budaya yang terkait dengan sistem ini; (3) sistem pengelolaan
perikanan (fishery management system) yang mencakup unsur-unsur kebijakan
dan perencanaan perikanan, pembangunan perikanan, rejim pengelolaan
perikanan, dan riset perikanan. Dalam konteks ini maka dapat dikatakan bahwa
sistem perikanan adalah sistem yang kompleks. Dengan menggunakan perspektif
informal, sistem dikatakan kompleks apabila struktur dan fungsi dari sistem
tersebut tidak diketahui dengan baik sebagaimana terjadi untuk sistem perikanan.
Selain itu, definisi kompleks adalah apabila sistem tersebut memiliki sejumlah
unsur yang terkait satu sama lain secara dinamik maupun statis. Semakin banyak
jumlah unsur dalam struktur sebuah sistem maka semakin kompleks sistem
tersebut (Charles 2001 dalam Adrianto 2005).
Common Pool Resource
Kegagalan pasar (market failure) akan terjadi dalam alokasi sumberdaya
pada saat hak-hak pemilikan yang melekat kepada sumberdaya tertentu tidak
terdefinisikan secara lengkap atau tidak memiliki salah satu dari keempat
komponen hak kepemilikan. Sumberdaya yang tidak memiliki satupun dari
keempat komponen hak-hak pemilikan disebut sebagai sumberdaya bersama
(common pool resources). Sumberdaya bersama adalah sumberdaya yang tidak
dimiliki atau diawasi secara eksklusif oleh satu orang pemilik atau satu kelompok
pemilik. Oleh karena itu, pihak-pihak yang terlibat dalam pemanfaatannya tidak
memiliki kendali dan tanggungjawab yang jelas terhadap kualitas dan prospek
sumberdaya tersebut, sehingga tidak memiliki insentif untuk membuat keputusan
investasi dan alokasi sumberdaya yang efisien. Karena sumberdaya bersama ini
tidak dikuasai oleh perorangan atau agen ekonomi tertentu, maka akses terhadap
sumberdaya ini tidak dibatasi sehingga mendorong terjadinya eksploitasi yang
berlebihan dan berdampak negatif terhadap lingkungan. Eksploitasi sumberdaya
10 bersama ini cenderung menguntungkan siapa yang duluan dan mengeruk terusmenerus manfaat (keuntungan) yang bisa diperoleh dengan mengabaikan pihak
lain dan efek yang ditimbulkannya. Tidaklah terlalu sukar untuk mencari contohcontoh sumberdaya bersama ini, seperti misalnya sumberdaya ikan, hutan, irigasi
dan padang penggembalaan (Dharmawan dan Daryanto 2002).
Masalah yang timbul sehubungan dengan sumberdaya bersama adalah
adanya pendapat masyarakat yang mengatakan bahwa (a) “milik semua orang itu
berarti bukan milik siapa-siapa (everyone’s property is no one’s property and no
one’s property is every one property)”, (b) “dapatkan sumberdaya itu selagi masih
dalam keadaan baik”, dan (c) “mengapa kita harus menghemat penggunaan
sumberdaya sedangkan orang lain menghabiskannya”?. Pertanyaan-pertanyaan
semacam ini cenderung menyebabkan penggunaan sumberdaya bersama secara
berlebih-lebihan
atau
menghabiskan
sumberdaya
secara
cepat
bahkan
menghancurkan sumberdaya alam yang dapat diperbarui sekalipun (Dharmawan
dan Daryanto 2002).
Masalah lain yang menyebabkan kegagalan pasar dalam mengalokasikan
faktor-faktor produksi secara efisien adalah adanya apa yang disebut sebagai
dampak sampingan (third party’s effect) atau eksternalitas. Eksternalitas timbul
karena tindakan konsumsi atau produksi dari satu pihak mempunyai pengaruh
terhadap pihak lain dan tidak ada kompensasi yang dibayar oleh pihak yang
menyebabkan atau kompensasi yang diterima oleh pihak yang terkena dampak
tersebut. Contoh klasik tentang bagaimana eksternalitas terjadi pada kasus
sumberdaya bersama adalah seperti yang diperkenalkan oleh Hardin (1986) yang
dikenal dengan istilah tragedi kebersamaan (the Tragedy of the Commons). Dalam
kasus sumberdaya ikan sebagai sumberdaya bersama, hak pemilikan tidak dapat
diberikan kepada satu individu melainkan diberikan kepada sekelompok
masyarakat. Oleh karena manfaat sumberdaya ikan tidak hanya dirasakan satu
individu saja, maka tidak seorang pun yang dapat menjual hak kepemilikannya.
Dalam hal seperti ini, maka tidak ada pasar untuk sumberdaya ikan tersebut. Oleh
karena setiap orang dapat memanfaatkan sumberdaya ikan, maka setiap orang
akan cenderung untuk menggunakan sungai atau laut bebas secara berlebihlebihan (over used, over exploited) (Dharmawan dan Daryanto 2002).
11 Dengan adanya pengambilan bebas atas sumberdaya bersama ini jelas tidak
akan memberikan insentif untuk mempraktikkan penangkapan ikan secara
selektif, pengembangbiakan buatan, yang dampaknya bersifat jangka panjang
terhadap populasi ikan. Dalam hal pemilikan bersama, apabila seseorang yang
merasakan manfaat untuk mengembangbiakan populasi ikan, berarti orang lain
juga akan menerima manfaat tanpa harus ikut menanggung biayanya yang disebut
dengan free riders (pengguna bebas). Dalam literatur ekonomi, pengguna bebas
adalah suatu sikap yang tidak menyatakan dengan sebenarnya manfaat suatu
barang atau jasa dengan maksud agar ia dapat memanfaatkan barang tersebut
tanpa harus membayarnya atau tanpa ikut menanggung biaya pengadaan barang
atau jasa tersebut. Bagi setiap individu sikap untuk menjadi free rider merupakan
tindakan yang rasional, akan tetapi apabila semua orang bertindak sebagai frre
riders maka semua orang akan rugi. Tragedi kebersamaan, seperti yang diuraikan
di atas, timbul karena pengguna atau kelompok pengguna tidak mau bekerjasama,
dan hanya mengejar kepentingan pribadi (Dharmawan dan Daryanto 2002).
Dalam kasus tragedi kebersamaan dalam sektor perikanan seperti yang
didiskusikan di atas, maka pemerintah harus melakukan pengaturan atas
penggunaaan sumberdaya ikan. Jadi peranan pemerintah adalah mengalokasikan
penggunaan sumberdaya bersama agar tercapai kepuasan bersama yang optimal
dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Adanya kegagalan pasar (market failure) merupakan salah satu sebab
mengapa pemerintah harus turun tangan dalam perekonomian agar kesejahteraaan
masyarakat dapat tercapai secara optimal. Walaupun demikian, tidak selamanya
campur tangan pemerintah menyebabkan peningkatan kesejahteraan masyarakat,
bahkan secara sistematis senantiasa terjadi kegagalan pemerintah (government
failures). Kegagalan pemerintah banyak diakibatkan karena adanya tarikan
kepentingan pemerintah sendiri atau kelompok tertentu yang tidak mendorong
efisiensi dan berwawasan lingkungan. Kelompok tertentu ini memanfaatkan
pemerintah untuk mencari keuntungan (rent seeking) melalui proses politik
melalui kebijaksanaan dan sebagainya. Faktor-faktor lain yang mengakibatkan
adanya kegagalan pemerintah adalah: (a) informasi yang terbatas, pengawasan
12 yang terbatas, kemampuan implementasi yang rendah, hambatan dalam proses
politik, dan rendahnya motivasi (Dharmawan dan Daryanto 2002).
Banyak pihak yang meyakini bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan yang
bersifat bersama (common property resources) mengarah kepada eksploitasi yang
berlebihan, cenderung menghabiskan sumberdaya alam secara cepat dan dapat
menjadikan biaya penangkapan semakin mahal. Keyakinan adanya terjadinya
tindakan deplisi seperti ini dilandasi oleh Teori Hardin tentang tragedi
kebersamaan, seperti yang dijelaskan di atas. Teori ini menyatakan bahwa adanya
kebebasan dalam mengakses sumberdaya milik bersama akan menghancurkan
atau merugikan semuanya (freedom of the commons brings ruin to all). Teori ini
dilandasi oleh asumsi bahwa ketika sumberdaya terbatas jumlahnya dan dimiliki
bersama, setiap individu mempunyai rasionalitas untuk memanfaatkannya secara
berlebihan, walaupun pemanfaatan semacam ini pada akhirnya merugikan semua
pihak. Solusi terhadap masalah tregedi bersama ini adalah privatisasi sumberdaya
milik bersama atau dipertahankan sifatnya sebagai sumberdaya milik bersama,
hanya saja hak-hak penggunaannya diatur melalui kebijaksanaaan privatisasi atau
pengawasan pemerintah (Dharmawan dan Daryanto 2002).
Berkes et.al (1989) tidak setuju dengan model Hardin berargumen bahwa
teori Hardin tidak cocok menjelaskan setidaknya empat kriteria. Pertama, dengan
menyamakan common property dengan open acces, ia mengatakan bahwa hak
milik tidak ada. Kedua, teori itu mengasumsikan bahwa kepentingan individu
tidak dibatasi oleh pengaturan institusi yang ada. Ketiga, pengguna atau pemakai
sumberdaya alam tidak dapat bekerjasama untuk kepentingan bersama mereka.
Dan, keempat, solusi yang ditawarkan model Hardin ini terlalu terbatas. Dalam
kasus ini, privatisasi atau kontrol pemerintah bukan satu-satunya pilihan kebijakan
yang tersedia.
Berkes et.al (1989) dan Feeny et.al (1990) menyatakan bahwa common
proerty resource mengandung dua karakteristik penting yakni (a) excludability
atau kontrol terhadap akses oleh pemakai potensial (potential users) nampaknya
tidak dimungkinkan; (b) subtractability, yaitu pemakai dapat mengurangi
kesejahteraan orang lain.
13 Konsep Transaksi
Williamson (1985) menyatakan bahwa suatu transaksi terjadi manakala
suatu jasa atau kebaikan ditransfer melalui teknologi penghubung yang dapat
dipisah-pisah. Furubotn (1998) menyatakan bahwa menurut penafsiran ini, istilah
transaksi hanya terbatas ke situasi di mana sumberdaya benar-benar ditransfer di
dalam pengertian penyerahan fisik. Penyerahan seperti itu boleh terjadi di dalam
perusahaan atau diluar perusahaan.
Gagasan dasar dari transaksi dalam perusahaan diuraikan oleh Smith (1776)
melalui contoh pembuatan pin/lencana. Ia mencatat bahwa pekerjaan dari
pembuat pin/lencana adalah dibagi menjadi sejumlah operasi. Dalam contoh
tersebut telah jelas bahwa “ transaksi” berlangsung setiap kali suatu pin berpindah
tangan di dalam pabrik.
Objek perhatian dalam analisa ekonomi kelembagaan adalah tidak hanya
transaksi ekonomi tetapi juga yang lainnya, yaitu tindakan sosial (Weber 1968).
Tindakan sosial diperlukan untuk menetapkan, memelihara, atau merubah
hubungan sosial. Dalam hal ini, transaksi ekonomi adalah semacam transaksi
sosial atau tindakan sosial yang penting bagi pemeliharaan dan formasi dari
kerangka kelembagaan di mana kegiatan ekonomi terjadi.
Konsep Biaya Transaksi (Transaction Costs)
Furubotn & Richter (2000)
menyatakan bahwa biaya transaksi adalah
ongkos untuk menggunakan pasar (market transaction costs) dan biaya
melakukan hak untuk memberikan pesanan di dalam perusahaan (managerial
transaction costs). Disamping itu, ada juga rangkaian biaya yang diasosiasikan
untuk menggerakkan dan menyesuaikan dengan kerangka politik kelembagaan
(political transaction costs). Untuk masing-masing tiga jenis biaya transaksi
tersebut dapat dibedakan menurut dua tipe, yaitu (1) biaya transaksi tetap (fixed
transaction cost), yaitu investasi spesifik yang dibuat dalam menyusun
kesepakatan kelembagaan (institutional arrangements); dan (2) biaya transaksi
variabel (variable transaction cost) , yaitu biaya yang tergantung pada jumlah
atau volume transaksi.
14 Yustika (2006) menyatakan bahwa pada poin ini, sifat dari biaya transaksi
sama dengan ongkos produksi. Pada keduannya mengenal konsep biaya tetap dan
biaya variabel. Akan tetapi, dalam identifikasi yang mendalam, tentu
membedakan antara biaya tetap dan variabel dalam biaya transaksi tidak semudah
apabila membandingkannya dalam biaya produksi..
Biaya Transaksi Pasar (Market Transaction Costs)
Furubotn & Richter (2000) menyatakan ada tiga tipe biaya transaksi pasar,
yaitu :
-
Biaya untuk menyiapkan kontrak (secara sempit dapat diartikan sebagai
biaya untuk pencarian dan informasi)2.
-
Biaya untuk mengeksekusi kontrak (biaya negosiasi dan pengambilan
keputusan)3.
-
Biaya pengawasan (monitoring) dan pemaksaan kewajiban yang tertuang
dalam kontrak (enforcing the contractual obligations)4.
Biaya Transaksi Manajerial (Managerial Transaction costs)
Furubotn & Richter (2000) menyatakan ada dua tipe biaya transaksi
manajerial, yaitu :
-
Biaya penyusunan (setting up), pemeliharaan, atau perubahan desain
organisasi. Ongkos ini juga berhubungan dengan biaya operasional yang
lebih luas5, yang biasanya secara tipikal masuk dalam fixed transaction cost;
2
Yustika (2006) menyatakan bahwa biaya ini dapat muncul karena individu/perusahaan membuat
pengeluaran secara langsung (misalnya untuk iklan, mengunjungi pelanggan yang prospektif dan
sebagainya), atau biaya yang muncul secara tidak langsung melalui kreasi pasar yang
terkoordinasi. Juga termasuk dalam kategori ini adalah biaya komunikasi diantara pihak-pihak
yang dianggap prospektif untuk melakukan pertukaran.
3
Yustika (2006) menyatakan bahwa biaya-biaya yang masuk dalam kategori ini berhubungan
dengan pengeluaran yang harus dibuat ketika kontrak yang ditulis dan pihak-pihak yang
berkepentingan harus menawarkan dan bernegosiasi tentang penetapan biaya ini. Biaya keputusan
meliputi biaya pengumpulan informasi, kompensasi yang dibayar kepada penasehat (advisor),
biaya untuk menyepakati keputusan di dalam kelompok dan sebagainya.
4
Yustika (2006) menyatakan bahwa biaya-biaya ini muncul karena kebutuhan untuk mengawasi
waktu pengiriman yang disetujui, mengukur kualitas dan jumlah produk dan sebagainya.
5
Yustika (2006) menyatakan bahwa yang termasuk biaya ini adalah biaya manajemen personal,
investasi teknologi informasi, mempertahankan terhadap proses pengambilalihan, hubungan
masyarakat dan lobi.
15 -
Biaya menjalankan organisasi, yang kemudian dapat dipilah menjadi dua
subkategori, yaitu (a) biaya informasi6; dan (b) biaya yang diasosiasikan
dengan transfer fisik barang dan jasa yang divisinya terpisah7.
Biaya Transaksi Politik (Political Transaction Cost)
Furubotn & Richter (2000) menyatakan bahwa biaya ini berhubungan
dengan penyediaan organisasi dan barang publik yang diasosiasikan dengan aspek
politik. Secara umum, biaya transaksi ini adalah biaya penawaran barang publik
yang dilakukan melalui tindakan kolektif (collective action), dan dapat dianggap
sebagai analogi dari biaya transaksi manajerial.
Secara khusus biaya ini meliputi :
ƒ
Biaya penyusunan, pemeliharaan dan perubahan organisasi politik formal
dan informal8;
ƒ
Biaya untuk menjalankan politik . Biaya ini adalah pengeluaran masa
sekarang untuk hal-hal yang berkaitan dengan “tugas kekuasaan”9.
Biaya Transaksi dalam Ko-Manajemen Perikanan
Abdullah et.al (1998) mengelompokkan biaya transaksi dalam komanajemen perikanan menjadi tiga kategori, yaitu (i) biaya informasi, (ii) biaya
pengambilan keputusan bersama, dan (iii) biaya operasional. Kategori pertama
dan kedua merupakan biaya transaksi sebelum kegiatan kontrak (ex ante
transaction cost) sedangkan kategori ketiga merupakan biaya transaksi sesudah
kegiatan konrak (ex post transaction cost).
Masing-masing kategori memiliki beberapa turunan aktivitas yang
memungkinkan
terdapatnya
biaya
transaksi.
Pertama,
biaya
informasi
mencangkup beberapa aktivitas, yaitu (a) upaya untuk mencari dan memperoleh
pengetahuan tentang sumberdaya, (b) memperoleh dan menggunakan informasi,
6
Yustika (2006) menyatakan bahwa yang termasuk dalam biaya ini adalah biaya untuk membuat
keputusan, pengawasan pelaksanaan pesanan, pengukuran kinerja pekerja, biaya agensi, biaya
manajemen informasi dan sebagainya.
7
Contohnya adalah biaya waktu menganggur dalam menangani produk setengah jadi dan biaya
transpor di dalam perusahaan. Yustika (2006).
8
Termasuk disini adalah biaya yang berhubungan dengan pengembangan kerangka umum,
struktur administrasi, militer, sistem pendidikan dan pengadilan. Yustika (2006).
9
Termasuk dalam biaya ini adalah pengeluaran sekarang untuk legislasi, pertahanan, administrasi
pengadilan dan pendidikan.
16 dan (c) biaya penyusunan strategi dan free riding. Kedua, biaya pengambilan
keputusan bersama mencangkup beberapa aktivitas, yaitu (a) menghadapi
permasalahan di bidang perikanan, (b) keikutsertaan dalam pertemuan atau rapat,
(c) membuat kebijakan atau aturan, (d) menyampaikan hasil keputusan, dan (e)
melakukan koordinasi dengan pihak yang berwenang di tingkat lokal dan pusat.
Ketiga, sementara biaya operasional bersama dalam ko-manajemen
perikanan dijabarkan lagi menjadi tiga kelompok biaya, masing-masing kelompok
mencangkup beberapa kegiatan. Ketiga kelompok biaya tersebut adalah :
1)
Biaya pemantauan, penegakan dan pengendalian terdiri dari pemantauan
aturan-aturan perikanan, pengelolaan laporan hasil tangkapan, pemantauan
lokasi penangkapan, pemantauan input untuk kegiatan penangkapan,
manajemen atau resolusi konflik, serta pemberian sanksi terhadap setiap
pelanggaran;
2)
Biaya mempertahankan kondisi sumberdaya terdiri dari perlindungan
terhadap hak-hak penangkapan, peningkatan stok sumberdaya, dan evaluasi
terhadap kondisi sumberdaya;
3)
Biaya distribusi sumberdaya terdiri dari distribusi hak penangkapan, dan
biaya kelembagaan atau keikutsertaan.
Secara lengkap jabaran biaya transaksi dalam pengelolaan sumberdaya ikan dapat
dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Skema Biaya Transaksi dalam Ko-manajemen Perikanan (Abdullah
et.al 1998)
17 Cost Effectiveness Analysis (CEA)
Cost effectiveness analsis (CEA) adalah suatu teknik untuk memilih
berbagai pilihan strategi dengan keterbatasan sumberdaya. Partowidagdo (1999)
menyatakan bahwa CEA digunakan apabila sulit untuk memberikan nilai uang
pada manfaat. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Tarigan (2006) yang
menyatakan bahwa CEA umumnya digunakan untuk mengevaluasi kegiatankegiatan proyek pemerintah yang data manfaatnya sulit untuk dihitung atau
proyek tersebut merupakan kebijakan pemerintah (keputusan politik) yang harus
dilaksanakan.
Misalnya
kebijakan
pemerintah
adalah
penanggulangan
kemiskinan, pemenuhan gizi balita, pemberdayaan perempuan, pemerataan
pendapatan/pembangunan, sosialisasi peraturan pemerintah dan penyuuhan
hukum.
Tarigan (2006) menyatakan bahwa dalam cost effectiveness analsis (CEA)
terlebih dahulu harus ditetapkan target yang ingin dicapai, kemudian dicari
berbagai alternatif yang mampu mencapai target tersebut. Dari alternatif yang
tersedia, dipilih yang memerlukan biaya terendah. Lebih lanjut Tarigan (2006)
menyatakan bahwa untuk mengukur apakah suatu proyek benar-benar
memberikan dampak (berguna), dapat dibandingkan kondisi/sikap masyarakat
antara sebelum dan sesudah proyek.
Teori Kelembagaan
Keyakinan bahwa kelembagaan (institutions) dapat menjadi sumber
efisiensi dan kemajuan ekonomi telah diterima oleh sebagian besar ekonom,
bahkan yang paling liberal sekalipun. Hanya saja, sampai saat ini masih belum
terdapat kejelasan mengenai makna dan definisi dari kelembagaan (Yustika 2006).
Veblen (1934) memusatkan perhatiannya pada dikotomi antara bisnis dan
aspek industrial dalam perekonomian, yang selanjutnya fokus kajiannya
mengembangkan dikotomi antara kelembagaan dan teknologi. Dalam penjelasan
yang lebih mendalam, Veblen memfokuskan kepada investigasi efek teknologi
baru
terhadap
skema
kelembagaan,
serta
mendeskripsikan
bagaimana
kesepakatan-kesepakatan sosial (social conventions) dan kelompok kepentingan
(vested interest) dimapankan untuk menolak perubahan.
18 Commons (1931) lebih berkonsentrasi kepada hukum, hak kepemilikan
(property rights), dan organisasi yang memiliki implikasi terhadap kekuatan
ekonomi, transaksi ekonomi, dan distribusi pendapatan. Di sini, kelembagaan
dilihat sebagai pencapaian dari proses formal dan informal dari resolusi konflik.
Ostrom (1985) mendefinisikan kelembagaan sebagai aturan dan ramburambu sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota suatu kelompok
masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling
tergantung satu sama lain. Penataan institusi (institutional arrangements) dapat
ditentukan oleh beberapa unsur, yaitu aturan operasional untuk pengaturan
pemanfaatan sumberdaya, aturan kolektif untuk menentukan, menegakan hukum
atau aturan itu sendiri dan untuk merubah aturan operasional serta mengatur
hubungan kewenangan organisasi.
Williamson (1985) menyatakan bahwa kelembagaan mencakup penataan
institusi (institutional arrangement) untuk memadukan organisasi dan institusi.
Penataan institusi adalah suatu penataan hubungan antara unit-unit ekonomi yang
mengatur cara unit-unit ini apakah dapat bekerjasama dan atau berkompetisi.
Dalam pendekatan ini organisasi adalah suatu pertanyaan mengenai aktor atau
pelaku ekonomi di mana ada kontrak atau transaksi yang dilakukan dan tujuan
utama kontrak adalah mengurangi biaya transaksi (Williamson 1985).
Bardhan (1989) menyatakan bahwa kelembagaan akan lebih akurat bila
didefinisikan sebagai aturan-aturan sosial, kesepakatan dan elemen lain dari
struktur kerangka kerja interaksi sosial. North (1990) memperdalam lagi tentang
definisi kelembagaan, menurut North kelembagaan merupakan aturan main di
dalam suatu kelompok sosial dan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi,
sosial dan politik. Institusi dapat berupa aturan formal atau dalam bentuk kode
etik informal yang disepakati bersama. North membedakan antara institusi dari
organisasi dan mengatakan bahwa institusi adalah aturan main sedangkan
organisasi adalah pemainnya.
Manig (1991) mencatat bahwa kelembagaan merefleksikan sistem nilai dan
norma dalam masyarakat, tetapi nilai dan norma tersebut bukanlah kelembagaan
itu sendiri. Sementara itu, Rutherford (1994) menyatakan bahwa kelembagaan
dapat dimaknai sebagai regulasi perilaku yang secara umum diterima oleh
19 anggota-anggota kelompok sosial, untuk perilaku spesifik dalam situasi yang
khusus, baik yang diawasi sendiri maupun dimonitor oleh otoritas luar. Pada
tahun yang sama, North (1994) memaknai kelembagaan sebagai aturan-aturan
yang membatasi perilaku menyimpang manusia untuk membangun struktur
interaksi politik, ekonomi dan sosial.
Pejovich (1999) menyatakan bahwa kelembagaan memiliki tiga komponen,
yakni :
1.
Aturan formal (formal institutions), meliputi konstitusi, statuta, hukum dan
seluruh regulasi pemerintah lainnya. Aturan formal membentuk sistem
politik (struktur pemerintahan, hak-hak individu), sistem ekonomi (hak
kepemilikan dalam kondisi kelangkaan sumberdaya, kontrak), dan sistem
keamanan (peradilan, polisi)
2.
Aturan informal (informal institutions), meliputi pengalaman, nilai-nilai
tradisional, agama dan seluruh faktor yang mempengaruhi bentuk persepsi
subjektif individu tentang dunia tempat hidup mereka; dan
3.
Mekanisme penegakan (enforcement mechanism), semua kelembagaan
tersebut tidak akan efektif apabila tidak diiringi dengan mekanisme
penegakan10.
Tiga Lapisan Kelembagaan
Berdasarkan berbagai definisi yang telah diungkapkan oleh para ahli terlihat
bahwa sebenarnya definisi kelembagaan tergantung darimana orang melihatnya,
makro atau mikro. Dari sekian banyak pembatasan tentang kelembagaan, minimal
ada tiga lapisan kelembagaan yang terkait dengan ekonomi politik, yaitu
kelembagaan sebagai norma-norma dan konvensi, kelembagaan sebagai aturan
main dan kelembagaan sebagai hubungan kepemilikan (Deliarnov 2006).
Kelembagaan Sebagai Norma-Norma dan Konvensi
Kelembagaan sebagai norma-norma dan konvensi ini lebih diartikan sebagai
aransemen berdasarkan konsesus atau pola tingkah laku dan norma yang
10
Di sini harus dibedakan secara tegas antara kelembagaan dan organisasi. Jika kelembagaan
adalah seperangkat aturan, regulasi dan mekanisme penegakan, maka organisasi adalah individu
atau kelompok yang berkumpul bersama untuk mencapai sebuah tujuan.
20 disepakati bersama. Norma dan konvensi umumnya bersifat informal, ditegakan
oleh keluarga, masyarakat, adat dan sebagainya (Deliarnov 2006).
Hampir
semua
aktivitas
manusia
memerlukan
konvensi-konvensi
pengaturan yang memfasilitasi proses-proses sosial, dan begitu juga dalam setiap
seting masyarakat diperlukan seperangkat norma-norma tingkah laku untuk
membatasi tindakan-tindakan yang diperbolehkan. Jika aturan diikuti, prosesproses sosial bisa berjalan baik. Namun jika dilanggar maka yang akan timbul
hanya kekacauan dalam masyarakat (Deliarnov 2006).
Kelembagaan Sebagai Aturan Main
Bogason (2000) mengemukakan beberapa ciri umum kelembagaan, antara
lain adanya sebuah struktur yang didasarkan pada interaksi di antara para aktor,
adanya pemahaman bersama tentang nilai-nilai dan adanya tekanan untuk
berperilaku sesuai dengan yang telah disepakati/ditetapkan.
Kelembagaan dilihat sebagai aturan main yang memberi naungan dan sanksi
terhadap
individu-individu
dan
kelompok-kelompok
dalam
menentukan
pilihannya. Pemaknaan seperti ini sesuai dengan pendapat Commons (1934) yang
mendefinisikan kelembagaan sebagai : “…collective action in restraint,
liberation, and of individual action”.
Bogason (2000) menyatakan ada tiga level aturan, yaitu level aksi, level aksi
kolektif dan level konstitusi. Pada level aksi, aturan secara langsung
mempengaruhi aksi nyata. Dalam hal ini biasanya ada standar atau rules of
conduct. Pada level aksi kolektif, kita mendefinisikan aturan untuk aksi pada
masa-masa yang akan datang. Aktivitas penetapan aturan seperti ini sering juga
disebut kebijakan. Terakhir, pada level konstitusi kita mendiskusikan prinsipprinsip bagi pengambilan keputusan kolektif masa yang akan datang, seperti
prinsip-prinsip demokrasi. Aturan-aturan pada level konstitusi ini biasanya ditulis
secara formal dan dikodifikasi. Walaupun konstitusi bukan harga mati, biasanya
lebih sulit berubah.
Bromley (1989) menyatakan bahwa institusi sebagai aturan main biasanya
lebih formal (ditegakkan oleh aparat pemerintah) dan bersifat tertulis. Namun, ada
juga kelembagaan yang tidak tertulis secara formal atau tidak dikodifikasi. Yang
21 paling dibutuhkan hanya seperangkat istilah yang membatasi sebuah struktur bagi
interaksi manusia dan pemahaman bersama tentang alat-alat untuk menyelesaikan
konflik di dalam struktur tersebut.
Kelembagaan Sebagai Pengaturan Hubungan Kepemilikan
Sebagai pengatur hubungan kepemilikan, kelembagaan dianggap sebagai
aransemen sosial yang mengatur : (1) individu atau kelompok pemilik, (2) objek
nilai bagi pemilik dan orang lain, serta (3) orang dan pihak lain yang terlibat
dalam suatu kepemilikan (Deliarnov 2006).
Alchian (1993) menyatakan bahwa ada tiga elemen utama hak kepemilikan,
yaitu (1) hak eksklusif untuk memilih penggunaan dari suatu sumberdaya, (2) hak
untuk menerima jasa-jasa atau menfaat dari sumberdaya yang dimiliki, dan (3)
hak untuk menukarkan sumberdaya yang dimiliki sesuai persyaratan yang
disepakati. Dari uraian tersebut, tersirat bahwa siapa yang memiliki suatu
sumberdaya, ia yang berhak mengontrol penggunaan sumberdaya tersebut.
Hingga batas-batas tertentu hal ini dapat dibenarkan. Begitupun, seseorang tidak
bebas berbuat sesuka hatinya atas barang yang dimilikinya, sebab bagaimana ia
memperlakukan dan menggunakan sumberdaya tersebut dinilai oleh masyarakat.
Kelembagaan dalam Perikanan
Jentoft (2004) menyatakan ada tiga pilar kelembagaan (aturan, normanorma dan pengetahuan) dalam manajemen perikanan, yaitu pertama pilar
kebijakan (the regulative pillar). Kelembagaan dalam manajemen perikanan
mengatur tentang hal-hal yang perlu dilakukan oleh para pelaku perikanan,
misalnya tentang kuota penangkapan dan alat tangkap yang haru digunakan.
Kedua, pilar normatif (the normative pillar). Kapan aturan dapat
dilaksanakan secara baik, para pelaksana kebijakan tidak boleh putus asa dalam
mengimplementasikanya. Dalam mengimplementasikan suatu aturan perikanan
tidaklah hanya memperhitungkan resiko pada pihak yang mencari ikan, seperti
dibantah dari suatu perspektif yang masuk akal. Hal tersebut terait dengan moral.
Ketiga, pilar kognitif (the cognitive pillar). Para nelayan kadang-kadang tidak
22 menyadari aturan perikanan, karena mereka belum mengetahuinya. Aturan
perikanan yang ada adalah sangat dinamis dan komplek.
Hak Kepemilikan Sumberdaya
Dalam literatur ekonomi sumberdaya, istilah hak pemilikan (property right)
didefinisikan sebagai serangkaian hak yang menggambarkan tentang hak milik
(owner”s right), keistimewaan (privileges) dan pembatasan-pembatasan dalam
penggunaan sumberdaya tersebut (Tietenberg 1992).
Charles (2001) mengkalisifikasikan property right menjadi dua bagian yaitu
property right regim dan types of right. Sementara itu property right regim terdiri
dari non property, state property, common property dan private property. Secara
lengkap klasifikasi property right tersebut dapat dilihat dalam Gambar 3.
Hak
Kepemilikan
Rezim Hak
Kepemilikan
Individu
Tipe Hak
Kepemilikan
Akses
terbuka
Hak
Pengalihan
Negara
Hak Ekslusif
Masyarakat
Hak
Pengelolaan
Swasta
Hak
Pemanfaatan
Perusahaan
Hak Akses
Gambar 3. Klasifikasi Hak Kepemilikan (Property Rights) ( Charles 2001)
Sementara itu, menurut Hanna et al. (1996) terdapat 4 tipe hak kepemilikan
dalam sistem pengelolaan sumberdaya alam, yaitu: (1) hak kepemilikan pribadi
(private property regime); (2) hak milik bersama (common property regime); (3)
23 hak milik negara (state property regime); dan (4) tanpa hak milik (open acces
regime). Karakteristik dari masing-masing tipe rezim tersebut berdasarkan unit
pemegang hak kepemilikan, dan hak pemilik, serta tugas-tugas pemilik
sebagaimana diungkapkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Tipe hak kepemilikan dalam pemanfaatan sumberdaya alam berdasarkan
pemilik, hak dan tugas-tugasnya
Tipe
ƒ Hak milik
pribadi
Pemilik
Individu
ƒ Hak bersama
Kolektif
ƒ Hak negara
Warga
negara
ƒ Tidak ada hak
Tidak
milik
ada
Sumber : Hanna et al. (1996)
Hak Pemilik
Penggunaan SDI
secara sosial
diterima; kendali
akses
Pengaturan
bukan pemilik
Menentukan aturan
Menangkap
Kewajiban Pemilik
Penghindaran
pengunaan secara
sosial tidak dapat
diterima
Pemeliharaan;
menghambat
tingkat penggunaan
Memelihara tujuan
sosial
Tidak ada
Sementara itu Ostrom and Schlager (1996) mengelompokan setiap individu
atau kelompok berdasarkan kepada hak-hak kepemilikan terhadap sumberdaya
alam menjadi lima kelompok, yaitu (Tabel 2) :
1)
Owner, yaitu individu atau kelompok yang memiliki hak akses (access
right), hak pemanfaatan (withdrawal right), hak manajemen (management
right), hak untuk mengatur tingkat operasional hak akses (exclusion right)
dan hak untuk menjual atau menyewa semua atau bagian kolektif dari
sumberdaya (alienation right);
2)
Proprietor, yaitu individu atau kelompok yang memiliki hak akses (access
right), hak pemanfaatan (withdrawal right), hak manajemen (management
right) dan hak untuk mengatur tingkat operasional hak akses (exclusion
right);
3)
Claimant, yaitu individu atau kelompok yang memiliki hak akses (access
right), hak
pemanfaatan (withdrawal right) dan hak
(management right);
manajemen
24 4)
Authorized user, yaitu individu atau kelompok yang hanya memiliki hak
akses (access right) dan hak pemanfaatan (withdrawal right);
5)
Authorized entrant, yaitu individu atau kelompok yang hanya memiliki hak
akses (access right) saja tanpa melikiki hak-hak yang lainnya.
Tabel 2. Pengelompokan individu atau kelompok berdasarkan pada hak-hak
terhadap sumberdaya alam
Property Right
Owner Proprietor
Types
Access right
√
√
Withdrawal right
√
√
Management
√
√
right
Exclusion right
√
√
Alienation right
√
Sumber: Ostrom and Schlager (1996)
Claimant
√
√
√
Authorized
user
√
√
Authorized
entrant
√
Saad (2003) mengemukakan sebuah contoh pengalihan status hak atas
sumberdaya alam, dan mengenai mekanisme pengelolaan sumberdaya alam yang
diserahkan oleh negara tersebut kepada kelompok masyarakat tertentu, seperti
yang terjadi di Benggala Barat (India) dalam bentuk growing associations.
Dengan cara melalui sistem pengalihan ini, sekelompok petani tak bertanah atau
marginal diberikan petak-petak tanah untuk perkebunan. Meskipun tanah berada
di bawah kekuasaan petani, tidak berarti hak milik atas tanah juga beralih
kepadanya. Rezim hak penguasaan atas sumberdaya alam (lahan) tetap di tangan
negara (state property regime). Sedangkan petani hanya mempunyai hak garap
atau hak milik atas hasil dari tanah tersebut.
Selanjutnya mengenai rezim milik swasta (private property regime), secara
umum sudah diakui bahwa hak milik swasta merupakan rezim yang paling jelas
di atas rezim-rezim lainnya. Rezim milik swasta tersebut meliputi hak milik
individu (individual property) dan hak milik perusahaan (coorporate property).
Secara yuridis dan sosiologis, hak milik swasta memungkinkan untuk
memanfaatkan sumberdaya alam dengan tidak melibatkan orang lain. Bahkan,
dalam upaya pemanfaatan tersebut subjek hak milik swasta dapat mengusir orang
lain. Tietenberg (1992) berpandangan bahwa hak milik swasta memiliki
25 karakteristik yang sangat memadai untuk mengelola sumberdaya alam yang
optimal secara ekonomis dan ekologis.
Namun, menurut Bromley (1988) terdapat dua fenomena yang harus
dijawab oleh penganut pandangan tersebut. Pertama, banyak perampasanperampasan sumberdaya alam (lahan) terjadi di berbagai belahan dunia bukan
sebagai akibat kelangkaan persediaan tanah secara fisik, tetapi karena terjadinya
konsentrasi pemilikan lahan di tangan individu-individu dari keluarga yang kuat
(private property right). Bahkan, fenomena seperti ini terjadi di sebagian besar
negara-negara dunia ketiga seperti Amerika Latin. Sedangkan kedua, hak milik
swasta seringkali mengarah pada apa yang disebut highest and best use of land sebagian besar tanah subur menjadi padang pengembalaan, sementara tanaman
pangan berada di tanah kurus- merupakan contoh mengenai hal ini. Dengan latar
belakang ini, tanah terbaik telah diswastakan, sedangkan tanah yang terburuk
dibiarkan menjadi public domain. Dalam pandangan Bromley (1990), yang
termasuk kategori public domain adalah state property, common property (res
communis) dan open access (res nulius).
Bromley (1991) memberikan catatan komentar antara pengertian common
property dengan open access. Common property, menurut Bromley esensinya
adalah hak milik swasta dalam kelompok, dan kelompok yang menentukan siapa
yang tidak diperkenankan mengambil manfaat dari sumberdaya alam “milik
bersama”. Sementara itu, open access diartikan sebagai suatu situasi sumberdaya
alam tanpa hak milik (no property right). Situasi tersebut muncul karena tidak
adanya atau gagalnya sistem pengelolaan dan wewenang yang bertujuan
menerapkan norma dan kaidah tingkah laku yang berhubungan dengan
sumberdaya alam. Dengan kata lain, rezim tanpa milik (open access) sumberdaya
muncul akibat gagalnya ketiga rezim sebelumnya untuk membawa misi
kesejahteraan bersama.
Dalam bidang perikanan kemudian muncul pendapat kelembagaan alternatif
yang ketiga tentang bentuk dan subjek hak penggunaan wilayah perikanan
(HPWP) sebagaimana dikemukakan oleh Christy dan Scott (1986). Saad (2003)
mengemukakan
bahwa
Christy
dan
Scott
(1986)
yang
pertama
kali
26 memperkenalkan konsep pengelolaan territorial use rights in fisheries (TURFs)
disertai penjelasan yang relatif komprehensif.
Hak penggunaan wilayah pada perikanan (Territorial Use Rights in
Fisheries, TURF) diketahui telah ada sejak berabad-abad. Secara tradisional hakhak ini timbul karena keadaan tertentu hak-hak tersebut mudah diperoleh dan
dipertahankan (Christy 1987). Charles (2001) mengklasifikasikan hak penggunaan
wilayah pada perikanan sebagai bagian dari hak akses terhadap sumberdaya ikan.
Charles (2001) mengklasifikasikan hak pemanfaatan sumberdaya ikan menjadi
dua bagian besar, yaitu hak akses dan hak menangkap. Sementara itu hak akses
terdiri dari hak penggunaan wilayah perairan (Territorial Use Rights in Fisheries,
TURF) dan hak akses yang terbatas. Secara jelas pengkalisikasian hak
pemanfaatan sumberdaya ikan dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Pengklasifikasian Hak Pemanfaatan dalam Pengelolaan Perikanan
Tangkap (Charles 2001)
Menurut Christy dan Scott (1986), sebagai langkah awal diperlukan
sedikitnya 3 macam hak yang bersifat spesifik dalam sistem pengelolaan
sumberdaya ikan, yakni sebagai berikut:
(1)
Hak untuk menghalangi orang lain (the right of exclutions), yaitu hak untuk
membatasi atau menghalangi keikutsertaan dalam wilayah perairan tertentu
yang telah dijadikan objek hak.
27 (2)
Hak untuk menetapkan jenis dan jumlah penggunaan sumberdaya ikan
dalam wilayah perairan tersebut.
(3)
Hak untuk mengambil derma (the right to extract benefits). Derma dapat
diperoleh antara lain, melalui penarikan pungutan laut (sea rent) dari
pemakai sumberdaya ikan dan bisa juga melalui penarikan pajak atau sewa
maupun penjualan dari hak-hak itu.
Di dunia regime pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan (perikanan laut)
yang dominan ditemukan adalah rezim milik bersama (common property rezim)
dan open acces (no property right). Common property rezim dan open acces
sebagai sumber terjadinya tragedi kebersamaan (tragedy of the common). Kondisi
terkurasnya sumberdaya ikan (over exploitation atau over fishing), khususnya di
daerah perikanan tropis, telah dibahas oleh beberapa para ahli, diantaranya seperti
Ostrom (1997), Pomeroy (1994), Christy dan Scott (1986), Panayotou (1985b)
dan para ahli lainnya. Semuanya mengusulkan jalan keluar berupa kontrol atas
akses dan penggunaan sumberdaya ikan perlu dikembangkan (Saad 2003).
Hak-hak
kepemilikan
pengelolaan
sumberdaya
ikan
atau
hak-hak
penggunaan wilayah untuk perikanan (HPWP) yang merupakan terjemahan dari
teritorial use rights in fisheries (TURFs) adalah solusi konkrit yang disarankan
oleh kalangan ahli perikanan, sesudah pengelolaan sumberdaya ikan di bawah
rezim “sumberdaya milik bersama “(common property rezim) dan “keterbukaan
akses” (open access) terbukti mengalami berbagai kegagalan, baik dalam aspek
keberlanjutan sumberdaya ikan dan juga memunculkan berbagai tipe konflik,
sehingga menimbulkan tragedi kebersamaan (tragedy of the common)
sebagaimana dikemukakan pertama kali oleh Garrett Hardin (1968). Christy dan
Scott (1986) berpendapat satu-satunya yang berakibat positif dari manajemen
perikanan yang berbasis “milik bersama”, adalah dapat menyediakan kesempatan
kerja, ketika alternatif pekerjaan di sektor lain sudah tertutup sama sekali. Namun,
keunggulan ini hanya bersifat jangka pendek, sebab begitu kesempatan kerja di
sektor lain terbuka kembali, mereka akan meninggalkan sektor perikanan tangkap.
Mengenai subyek HPWP, Christy (1986) berpendapat bahwa HPWP dapat
diberikan kepada perorangan, perusahaan swasta, koperasi atau masyarakat.
Selain itu, HPWP dapat pula diberikan kepada cabang-cabang politik, seperti
28 suatu kota atau propinsi, pemerintah suatu negara atau kepada perusahaan
multinasional. Adapun tentang jangka waktu HPWP, relatif sukar untuk
ditetapkan secara pasti. Namun, setidaknya harus cukup lama agar memungkinkan
pemilik hak untuk memperoleh pendapatan yang memuaskan atas setiap modal
yang ditanamkan, dan khususnya HPWP yang subjeknya komunitas nelayan
(communal property right), jangka waktunya mungkin tidak dibatasi.
Hak kepemilikan (property right) atau status penguasaan sumberdaya ikan
merupakan salah satu faktor utama yang menentukan alokasi sumberdaya yang
efisien (efficient resource allocation). Bagaimana produsen dan konsumen
menggunakan sumberdaya ikan dan lingkungan perairan tergantung pada hak
pemilikan yang mengukur sumberdaya ikan tersebut. Menurut Tietenberg (1992),
secara konseptual, struktur hak kepemilikan dalam pengelolaan sumberdaya alam
untuk menghasilkan alokasi yang efisien pada suatu ekonomi pasar yang
berfungsi dengan baik, ia harus memiliki 4 karakteristik penting. Keempat
karakteristik penting dalam struktur kepemilikan sumberdaya alam yang efisien
pandangan kapitalistik tersebut adalah sebagai berikut:
(1)
Universalitas (universality). Semua sumberdaya alam adalah milik pribadi
(privately owned), dan seluruh hak-haknya dirinci dengan lengkap dan jelas.
Spesifikasi yang lengkap dapat memberikan sistem informasi yang
sempurna tentang hak-hak yang melekat pada aspek kepemilikan, batasanbatasan terhadap hak-hak yang diberikan, dan penalti bagi pelanggaran atas
hak-hak tersebut.
(2)
Eksklusivitas (exclusivity). Semua manfaat yang diperoleh dan biaya yang
dikeluarkan sebagai akibat dari pemilikian dan pemanfaatan sumberdaya itu
harus dimiliki oleh pemiliknya saja, baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam transaksi atau penjualan ke pihak lain;
(3)
Dapat dipindahtangankan (transferability). Seluruh hak pemilikan itu bisa
dipindahtangankan dari satu pemilik ke pihak lainnya dengan transaksi yang
bebas dan jelas; dan
(4)
Terjamin pelaksanaannya (enforceability). Hak pemilikan tersebut harus
aman dari perampasan atau pengambilan secara tidak baik dari pihak lain.
29 Kalau keempat komponen diatas bisa diterapkan dalam sistem pengelolaan
sumberdaya ikan, maka alokasi sumberdaya ikan dapat berlangsung secara efisien.
Demikian pula apabila pemilik sumberdaya ikan, memiliki hak-hak pengelolaan
yang mencakup keempat elemen di atas. Hal ini juga akan memberikan insentif
yang sangat besar baginya untuk mengelola sumberdaya ikan yang dimilikinya itu
dengan seefisien mungkin (Dharmawan dan Daryanto 2002). Gejala seperti itu
dapat terjadi, karena kegagalan dalam mengelola sumberdaya ikan tersebut akan
merupakan resiko atau kerugian yang akan ditanggung oleh dirinya sendiri.
Sebagai contoh, seorang nelayan yang memiliki hak milik pribadi (private
property right) yang penuh terhadap alat tangkap ikan (seperti Kelong) yang
dioperasikan di sekitar perairan pantai Barelang di Kepulauan Riau, akan
mempunyai insentif yang lebih baik untuk memelihara dan merawatnya dengan
harapan dapat memberikan peningkatan tingkat pendapatan keluarga (income
household) dari usaha perikanan artisanal (artisanal fisheries) yang mereka
lakukan sebagai nelayan.
Berdasarkan UNCLOS (1982) pasal 51 ayat (1) negara kepulauan harus
mengakui “hak-hak perikanan tradisional” (tradisional fishing rights) nelayan
negara lain. Menurut Djalal (1989) diacu dalam DKP (2001) menetapkan “hakhak perikanan tradisional” harus memperhatikan beberapa ketentuan, yaitu: (1)
nelayan-nelayan yang bersangkutan secara tradisional telah menangkap ikan di
suatu perairan tertentu, (2) nelayan-nelayan tersebut telah menggunakan secara
tradisional alat-alat tertentu, (3) hasil tangkapan mereka secara tradisional adalah
jenis ikan tertentu, (4) nelayan-nelayan yang melakukan penangkapan ikan
tersebut haruslah nelayan-nelayan yang secara tradisional telah melakukan
penangkapan ikan di daerah tersebut.
Kebudayaan tradisional yang dimiliki masyarakat pesisir, khususnya dalam
hal sistem pengelolaan sumberdaya ikan secara tradisional telah memiliki prinsipprinsip konservasi yang lebih maju (Nababan 1995), di antaranya adalah sebagai
berikut:
1)
Rasa hormat yang mendorong keselarasan (harmoni) hubungan manusia
dengan alam sekitarnya. Dalam hal ini masyarakat tradisional lebih condong
memandang dirinya sebagai bagian dari alam itu sendiri;
30 2)
Rasa memiliki yang eksklusif bagi komunitas atas suatu kawasan atau jenis
sumberdaya alam tertentu sebagai hak kepemilikan bersama (communal
property resource). Rasa memiliki ini mengikat semua warga untuk
menjaga dan mengamankan sumberdaya bersama ini dari pihak luar;
3)
Sistem pengetahuan masyarakat setempat (local knowledge system) yang
memberikan kemampuan kepada masyarakat untuk memecahkan masalahmasalah yang mereka hadapi dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang
terbatas;
4)
Daya adaptasi dalam penggunaan teknologi sederhana yang tepat guna dan
hemat (input) energi sesuai dengan kondisi alam setempat;
5)
Sistem alokasi dan penegakan aturan-aturan adat yang bisa mengamankan
sumberdaya milik bersama dari penggunaan berlebihan, baik oleh
masyarakat sendiri maupun oleh masyarakat luar (pendatang). Dalam hal ini
masyarakat tradisional sudah memiliki pranata dan hukum adat yang
mengatur semua aspek kehidupan bermasyarakat dalam satu kesatuan sosial
tertentu;
6)
Mekanisme pemerataan (distribusi) hasil “panen” atas sumberdaya milik
bersama yang dapat mencegah munculnya kesenjangan berlebihan di dalam
masyarakat tradisional. Tidak adanya kecemburuan atau kemarahan sosial
akan mencegah pencurian atau penggunaan sumberdaya di luar aturan adat
yang berlaku.
Berdasarkan prinsip-prinsip konservasi tersebut diatas, ini membuktikan
bahwa sistem pengetahuan lokal (indegenous knowledge), kearifan masyarakat
(traditional wisdom) yang ada dalam batas-batas “berperilaku” alam dan diikuti
dengan praktik pengelolaan sumberdaya alam secara tradisional yang lestari
merupakan pilihan yang arif untuk mempertahankan keberlanjutan fungsi
lingkungan sosial setempat. Sebagai suatu sistem yang bersifat lokal, upaya-upaya
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat tradisional ini
boleh dikatakan sudah teruji. Sistem pengetahuan dan praktik-praktik pengelolaan
alam ini secara nyata juga mampu memperkaya keanekaragaman hayati suatu
ekosistem (Nababan 1995). Oleh karena itu, dengan memelihara dan
mengembangkan sistem pranata sosial tradisional ini akan merupakan sumbangan
31 bagi tercapainya pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Namun demikian,
rangkaian kajian yang telah dilakukan juga menunjukkan keprihatinan, karena
secara umum sistem kebudayaan lokal ini sedang menuju kepunahan. Hampir
semua kasus-kasus yang didokumentasikan memperlihatkan bahwa pola-pola
pranata sosial tradisional ini sudah tidak utuh lagi, tetapi masih ada di beberapa
tempat, sistem pengetahuan ini masih tersimpan di benak orang-orang tua dalam
berbagai bentuk tuturan atau dalam bentuk sastra lisan.
Teori Perubahan Kelembagaan
Yustika (2006) menyatakan bahwa kelembagaan tidak bersifat statis, namun
dinamis sesuai dengan interaksi ekonomi yang
mempertemukan antar
kepentingan. Diluar itu, sifat dinamis dari kelembagaan juga disebabkan oleh
berubahnya nilai-nilai dan kultur masyarakat seiring dengan perubahan masa.
Dengan begitu, kelembagaan pasti akan berubah sesuai dengan tantangan atau
kondisi zaman. Pada titik ini, perubahan kelembagaan memiliki dua dimensi,
yaitu pertama, perubahan konfigurasi antar pelaku ekonomi akan memicu
terjadinya perubahan kelembagaan (institutional change). Dalam pendekatan ini,
perubahan
kelembagaan
dianggap
sebagai
dampak
dari
perubahan
(kepentingan/konfigurasi) pelaku ekonomi. Kedua, perubahan kelembagaan
sengaja didesain untuk memengaruhi (mengatur) kegiatan ekonomi. Pada posisi
ini, kelembagaan ditempatkan secara aktif sebagai instrumen untuk mengatur
kegiatan ekonomi (termasuk aktor-aktor yang terlibat di dalamnya).
Manig (1991) menyatakan bahwa perubahan kelembagaan di dalam
masyarakat berarti terjadinya perubahan di dalam prinsip regulasi dan organisasi,
perilaku, dan pola-pola interaksi. Arah perubahan tersebut bisanya menuju ke
peningkatan
perbedaan
prinsip-prinsip
dan
pola-pola
umum
di
dalam
kelembagaan yang saling berhubungan. Lebih lanjut Manig (1992) menyatakan
bahwa tujuan utama dari setiap perubahan kelembagaan adalah untuk
meninternalisasikan potensi produktivitas yang lebih besar daripada perbaikan
pemanfaatan
sumberdaya
yang
kemudian
secara
simultan
menciptakan
keseimbangan baru. Dengan pemahaman tersebut, perubahan kelembagaan dapat
dianggap sebagai proses terus menerus yang bertujuan untuk memperbaiki
32 kualitas interaksi (ekonomi) antar pelakunya. Hal ini menunjukan bahwa
transpormasi permanen merupakan bagian penting dari perubahan kelembagaan.
North (1995) menyatakan bahwa karakteristik dasar dari perubahan
kelembagaan terdiri dari :
1.
Iinteraksi kelembagaan dan organisasi yang terjadi secara terus-menerus di
dalam setting ekonomi kelangkaan, dan kemudian diperkuat oleh kompetisi
merupakan kunci terjadinya perubahan kelembagaan;
2.
Kompetisi akan membuat organisasi menginvestasikan keterampilan dan
pengetahuan untuk bertahan hidup. Jenis keterampilan dan pengetahuan
yang diperlukan oleh individu dan organisasinya akan membentuk
perkembangan persepsi tentang kesempatan dan kemudian pilihan yang
akan mengubah kelembagaan;
3.
Kerangka kelembagaan mendikte jenis keterampilan dan pengetahuan yang
dianggap memiliki pertukaran maksimum;
4.
Persepsi berasal dari konstruksi/bangunan mental para pemain/pelaku;
5.
Cakupan ekonomi, komplementaritas dan eksternalitas jaringan matriks
kelembagaan menciptakan perubahan kelembagaan yang meningkat dan
memiliki jalur ketergantungan.
Yeager (1999) menyatakan bahwa dalam konteks perubahan kelembagaan
diperlukan alat ukur dan variabel-variabel yang terfokus sehingga memudahkan
setiap pengambil kebijakan merumuskan jenis kelembagaan yang dibutuhkan.
Pada negara yang sedang melakukan proses transisi atau reformasi ekonomi,
biasanya terdapat variabel makro dan mikro untuk mengukur keberhasilan kinerja
perekonomian.
Diehl (1998) menyatakan bahwa dalam upaya mencapai fokus perubahan
kelembagaan perlu dibuat target, variabel kunci, tindakan pada berbagai level dan
jenis kelembagaan yang dibutuhkan sehingga sekaligus variabel-variabel tersebut
dapat digunakan sebagai parameter. Khusus mengenai perubahan kelembagaan
formal, tampak bahwa pada level makro harus terdapat peraturan yang tegas
berkenaan dengan fungsi dan kewenangan bank sentral serta pemberdayaan
anggaran negara untuk mendukung kegiatan perekonomian. Sedangkan pada level
mikro, perubahan kelembagaan formal yang dibutuhkan adalah hukum mengenai
33 hak kepemilikan sehingga terdapat kepastian berusaha serta pedoman ke luar dan
masuk bagi individu-individu yang bertransaksi di pasar. Tentu saja target dari
perubahan kelembagaan mikro ini adalah mencoba menurunkan biaya transaksi.
Tidak berhenti sampai disini, perubahan kelembagaan informal juga harus
dikreasikan sehingga baik secara makro maupun mikro turut menyokong tujuan
perubahan kelembagaan formal. Seperti tang terlihat, maslaah reputasi, konsesus
sosial, perilaku individu, dan sikap terhadap resiko menjadi perhatian penting dari
perubahan kelembagaan informal. Secara lengkap target ekonomi, tindakan dan
kelembagaan pada beberapa level tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Target ekonomi, tindakan dan kelembagaan pada beberapa level
Aspek/Level
Target
Variabel kunci
Tindakan
Kelembagaan
Formal
Kelembagaan
informal
Makro
Stabilitas
Uang, nilai tukar
Manajemen
Negara
Bank sentral,
kewenangan
anggaran Negara
Mikro
Efisiensi
Harga
Pilihan individu
Meso
Inovasi
Pengetahuan
Interaksi
Hak kepemilikan,
aturan keluar dan
masuk pasar
Reputasi,
konsesus social
terhadap cara
pandang perilaku
Tata kelola
perusahaan,
perilaku rasional
individu
Infrastruktur,
system
pendidikan,
asosiasi
perdagangan
Sikap terhadap
risiko, factor
mobilitas,
perilaku
menabung
Sumber : Diehl 1998
Teori Konflik
Fisher et.al. (2000) menyatakan bahwa konflik merupakan suatu kenyataan
hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan
masyarakat tidak sejalan. Berbagai perbedaan pendapat dan konflik biasanya
diselesaikan tanpa kekerasan, dan sering menghasilkan situasi yang lebih baik
bagi sebagian besar atau semua pihak yang terlibat. Karena itu konflik tetap
berguna, apalagi karena memang merupakan bagian dari keberadaan umat
manusia. Dari tingkat mikro, antar pibadi hingga tingkat kelompok, organisasi,
masyarakat, dan negara, semua bentuk hubungan manusia-sosial, ekonomi dan
kekuasaan-mengalami pertumbuhan, perubahan dan konflik. Konflik timbul
karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan tersebut.
34 Fisher et.al. (2000) juga menyatakan bahwa sedikitnya ada lima teori yang
dapat dijadikan referensi untuk mengidentifikasi sebab-sebab konflik, masingmasing teori memiliki metode dan sasaran yang berbeda. Kelima teori tersebut
adalah :
1)
Teori Hubungan Masyarakat. Teori ini menganggap bahwa konflik
disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan
permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat;
2)
Teori Negosiasi Prinsip. Teori ini menganggap bahwa konflik disebabkan
oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang
konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik;
3)
Teori Kebutuhan Manusia. Teori ini berasumsi bahwa konflik yang berakar
dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia-fisik, mental dan sosialyang tidak terpenuhi atau dihalangi. Keamanan, identitas, pengakuan,
partisipasi, dan otonomi sering merupakan inti pembicaraan;
4)
Teori Identitas. Teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan karena
identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau
penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan;
5)
Teori Kesalahpahaman Antarbudaya. Teori ini berasumsi bahwa konflik
disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di antara
berbagai budaya yang berbeda.
Sementara itu perbedaan sasaran yang ingin dicapai oleh masing-masing kelima
teori tersebut secara ringkat dapat dilihat pada Tabel 4.
35 Tabel 4. Perbedaan sasaran yang ingin dicapai oleh kelima teori konflik
No
1
Teori
Teori
Hubungan
Masyarkat
Sasaran Yang Ingin Di Capai
¾ Meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antar
kelompok-kelompok yang mengalami konflik;
¾ Mengusahakan toleransi dan agar masyarakat lebih bisa
saling menerima keragaman yang ada di dalamnya.
2 Teori
¾ Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk
Negosiasi
memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai masalah
Prinsip
dan isu, dan memampukan mereka untuk melakukan
negosiasi berdasarkan kepentingan-kepentingan mereka
daripada posisi tertentu yang sudah tetap;
¾ Melancarkan proses pencapaian kesepakatan yang
menguntungkan kedua belah pihak atau semua pihak.
3 Teori
¾ Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk
Kebutuhan
mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan
Manusia
mereka yang tidak terpenuhi, dan menghasilkan pilihanpilihan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut;
¾ Agar pihak-pihak yang mengalami konflik mencapai
kesepakatan untuk memenuhi kebutuhan dasar semua
pihak.
4 Teori Identitas
¾ Melalui fasilitasi lokakarya dan dialog antara pihak-pihak
yang mengalami konflik mereka diharapkan dapat
mengidentifikasi ancaman-ancaman dan ketakutan yang
mereka rasakan masing-masing dan untuk membangun
empati dan rekonsiliasi di antara mereka;
¾ Meraih kesepakatan bersama yang mengakui kebutuhan
identitas pokok semua pihak.
¾ Menambah pengetahuan pihak-pihak yang mengalami
5 Teori
konflik mengenai budaya pihak lain;
Kesalahpaham
¾ Mengurangi stereotip negatif yang mereka miliki tentang
an
pihak lain;
Antarbudaya
¾ Meningkatkan keefektifan komunikasi antarbudaya.
Sumber : Fisher et.al. (2000)
Sementara itu Charles (2001) menyatakan bahwa tipologi konflik di sektor
perikanan dapat dilihat dari empat kategori, yaitu batas wilayah (fishery
jurisdiction), manajemen (management mechanisms), alokasi internal (internal
allocation) dan alokasi eksternal (external allocation). Jenis-jenis konflik untuk
masing-masing kategori tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.
36 Tabel 5. Tipologi konflik perikanan
No
1
2
3
Jenis Kategori
batas wilayah
(fishery
jurisdiction)
manajemen
(management
mechanisms)
alokasi internal
(internal
allocation)
¾
¾
¾
¾
¾
¾
¾
¾
¾
alokasi
¾
eksternal
¾
(external
¾
allocation)
Sumber : Charles (2001)
4
Jenis Konflik
Hak kepemilikan (property rights)
Aturan pemerintah (role of government)
Konflik antara pemerintahan (intergovernmental conflicts)
Perencanaan manajemen (management plans)
Konflik pelaksanaan manajemen (enforcement conflicts)
Interaksi pemerintah dengan nelayan (Fisher/government
interactions)
Konflik alat tangkap (gear wars)
Konflik antar nelayan atau kelompok nelayan (user-group
conflicts)
Nelayan dan pengolahan (fishers Vs processors)
Lokal dan pendatang (domestic vs foreign)
Nelayan dan pembudidaya ikan (fishers vs aquaculture)
Persaingan antar pemanfaatn laut (competing ocean user)
Tata Kelola Sumberdaya Ikan
Nikijuluw (2002) mengungkapkan bahwa terdapat dua rezim pengelolaan
perikanan yang dikenal oleh masyarakat yaitu pengelolaan sumberdaya ikan oleh
pemerintah atau yang dikenal dengan istilah pengelolaan sentralistis (Government
Centralized Management/GCM) dan pengelolaan sumberdaya ikan berbasis
masyarakat (Community Based management/CBM). Pengelolaan sentralistis
adalah rezim pengelolaan sumberdaya dengan pemerintah sebagai pemegang
kekuasaan
dan
wewenang
dalam
memanfaatkan
sumberdaya,
sehingga
pemerintah mempunyai hak akses, hak memanfaatkan, hak mengatur, hak
eksklusif dan hak mengalihkan.
Implikasi dari model ini adalah munculnya berbagai konflik yang sangat
kompleks di masyarakat, seperti hancurnya sumberdaya, konflik antar kelas sosial
masyarakat nelayan, kemiskinan yang terus melilit kehidupan masyarakat pesisir
dan lain sebagainya. Hal ini dikarenakan model ini bersifat top-down, sehingga
menempatkan masyarakat nelayan sebagai obyek sasaran kebijakan, akibatnya
masyarakat kurang peduli terhadap kebijakan yang dibuat. Selain itu, model ini
mengabaikan pluralisme hukum yang berlaku sudah lama (turun-temurun) di
masyarakat, seperti hak ulayat laut yang ada di beberapa daerah masyarakat
pesisir.
37 Kegagalan model sentralistis dalam pengelolaan sumberdaya ikan telah
menciptakan permasalahan yang kompleks di masyarakat yang tinggal disekitar
wilayah pesisir dan pantai, sehingga hal ini harus segera disikapi dengan cara
mencari model baru pengelolaan sumberdaya ikan dalam rangka mewujudkan visi
pembangunan perikanan berkelanjutan yang mampu mensejahterakan para
pelakunya. Pengelolaan sumberdaya berbasiskan masyarakat merupakan suatu
model lama dalam pengelolaan perikanan yang selama ini termarginalkan oleh
sistem pemerintahan yang sentralistis. Model pengelolaan sumberdaya berbasis
masyarakat tersebut terdapat di beberapa daerah pesisir Indonesia, seperti awigawig di Lombok, sasi di Maluku, Rompong di Sulawesi Selatan, Panglima laot di
Nangroe Aceh Darussalam, kewang di Riau dan di beberapa daerah Kawasan
Timur Indonesia (Wahyono et.al 2000, Satria et.al 2002, dan Indar et.al 2002).
Pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat merupakan suatu proses
pemberian wewenang, tanggung jawab, dan kesempatan kepada masyarakat untuk
mengelola sumberdaya ikannya sendiri dengan memperhatikan kebutuhan,
keinginan, tujuan dan aspirasinya (Nikijuluw 2002). Dengan model ini,
masyarakat akan bertanggungjawab penuh dalam menjalankan kebijakan
pengelolaan sumberdaya ikan karena masyarakat ikut terlibat dalam membuat
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan hingga evaluasi. Partisipasi masyarakat
tersebut merupakan wujud kepentingannya terhadap kelangsungan sumberdaya
ikan sebagai mata pencaharian hidup sehari-hari (Satria et.al 2002).
Dengan demikian, pengelolaan sumberdaya ikan berbasis masyarakat lebih
efektif dan efisien karena proses pengambilan keputusan dilakukan oleh
masyarakat lokal, sehingga dapat mengakomodir setiap aspirasi masyarakat serta
pembuat kebijakan lebih memahami kondisi daerahnya (Satria et.al 2002). Selain
itu, kelestarian sumberdaya dapat terjaga dikarenakan proses pengawasan oleh
masyarakat dilakukan setiap saat. Kelemahan dari model ini adalah tidak mampu
mengatasi masalah-masalah inter-komunitas, berlaku hanya pada daerah tertentu
atau bersifat spesifik lokal, sangat rentan terhadap perubahan-perubahan eksternal,
sulit mencapai skala ekonomi serta tinggi biaya institusionalisasinya.
Dengan demikian, kedua rezim tersebut mempunyai kelebihan dan
kekurangan masing-masing. Selain itu, kedua rezim masih sangat sulit mengatasi
38 masalah-masalah yang dihadapi dalam perkembangan perikanan. Guna mengatasi
hal tersebut, kedua rezim ini bisa dipadukan atau diintegrasikan sehingga dengan
demikian kelemahan yang satu bisa ditutupi oleh kekuatan yang lain.
Pengintegrasian kedua rezim ini dikenal dengan nama kolaborasi manajemen,
kooperasi manajemen, atau ko-manajemen.
Ko-Manajemen Pengelolaan Sumberdaya Ikan
Ko-manajemen perikanan merupakan rezim derivatif yang berasal dari
rezim Pengelolaan Sumberdaya Ikan Berbasis Masyarakat (PSPBM) dan rezim
pengelolaan perikanan oleh pemerintah. Ko-manajemen perikanan dapat diartikan
sebagai pembagian atau pendistribusian tanggung jawab dan wewenang antara
pemerintah dan masyarakat lokal dalam mengelola sumber daya perikanan
(Nikijuluw 2002). Tujuan utama ko-manajemen adalah pengelolan perikanan yang
lebih tepat, lebih efisien, serta lebih adil dan merata. Sementara tujuan
sekundernya adalah: (1) mewujudkan pembangunan berbasis masyarakat; (2)
mewujudkan proses pengambilan keputusan secara desentralisasi, sehingga dapat
memberikan hasil yang lebih efektif; dan (3) sebagai mekanisme untuk mencapai
visi dan tujuan nelayan lokal serta mengurangi konflik antar nelayan melalui
proses demokrasi partisipatif. Terdapat tiga hal yang sangat menentukan variasi
bentuk ko-manajemen serta hirarkinya adalah:
1)
Peranan pemerintah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan.
2)
Bentuk tugas dan fungsi manajemen yang dapat atau akan dikelola bersama
oleh pemerintah dan masyarakat atau didistribusikan diantara kedua pihak.
3)
Tahapan proses manajemen ketika secara aktual kerjasama pengelolaan
betul-betul
terwujud
(perencanaan,
implementasi,
pengawasan
dan
evaluasi).
Pomeroy and Rivera (2006) dalam Adrianto (2007) menyatakan terdapat 5
(lima) tipe besar ko-manajemen menurut peran dari pemerintah dan pelaku
perikanan, yaitu :
(1)
Instruktif.
Tipe ini terjadi ketika terdapat komunikasi dan tukar informasi yang
minimal antara pemerintah dan pelaku perikanan. Tipe ini berbeda dengan
39 rejim sentralisasi dalam hal dimana terdapat mekanisme dialog antara
pemerintah dan pelaku perikanan namun tetap dalam konteks instruksi
informasi dari apa yang telah diputuskan oleh pemerintah.
(2)
Konsultatif.
Terdapat mekanisme dialog antara pemerintah dan pelaku perikanan tetapi
pengambilan keputusan masih dilakukan oleh pemerintah.
(3)
Kooperatif.
Dalam level ini, pemerintah dan pelaku perikanan bekerja sama dalam
mengambil keputusan sebagai partner yang memiliki posisi tawar yang
sama (equal partner).
(4)
Advisori.
Dalam kerangka ini, pelaku perikanan memberikan input bagi pengambil
keputusan tentang perikanan kemudian pemerintah menetapkan keputusan
tersebut.
(5)
Informatif.
Pemerintah
mendelegasikan pengambilan
keputusan
kepada pelaku
perikanan untuk kemudian diinformasikan kembali kepada pemerintah.
Secara jelas konsep ko-managemen dalam pengelolaan sumberdaya ikan
dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Spektrum ko-manajemen dalam pengelolaan sumberdaya ikan
(Pomeroy and Rivera (2006) dalam Adrianto (2007))
Rezim ko-manajemen perikanan bekerja dengan cara mengubah hubungan
pelaku pembangunan perikanan, terutama antara pemerintah dan masyarakat,
40 tetapi juga antara nelayan dengan kelompoknya. Secara umum, manfaat yang
ingin dicapai setiap pelaku ko-manajemen perikanan adalah status pengelolaan
perikanan yang lebih tepat, lebih efisien, serta lebih adil dan merata. Melalui komanajemen, pemerintah memiliki kesempatan untuk membuktikan bahwa
keputusan yang diambilnya ternyata bisa secara efektif dilaksanakan. Hal ini dapat
meningkatkan harga diri dan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah menjadi
bertambah. Di mata masyarakat, ko-manajemen membawa manfaat kepada
nelayan melalui partisipasi atau keikutsertaan dalam proses pengambilan
keputusan (Nikijuluw 2002).
Definisi dan Karakteristik Nelayan
Menurut UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan nelayan didefinisikan
sebagai orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Dengan
demikian, secara sempit masyarakat nelayan memiliki ketergantungan yang cukup
tinggi dengan potensi dan kondisi sumberdaya ikan.
DKP (2005) mengklasifikasikan nelayan berdasarkan alokasi curahan waktu
yang digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan atau
pemeliharaan ikan atau biota laut lainnya, yaitu:
1.
Nelayan penuh adalah orang yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk
melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan atau biota laut lainnya,
2.
Nelayan sambilan utama adalah orang yang sebagian besar waktu kerjanya
digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan atau biota
laut lainnya,
3.
Nelayan sambilan tambahan adalah orang yang sebagian kecil waktu
kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan penangkapan ikan atau
biota laut lainnya.
Sedangkan berdasarkan karakteristik sosial-ekonomi, seperti kapasitas jenis
usaha, orientasi ekonomi, tingkat teknologi (alat tangkap dan armada) dan
hubungan produksi, Satria (2002) menggolongkan nelayan menjadi 4 kategori
menurut jenis usaha yaitu seperti yang tertera pada Tabel 6.
41 Tabel 6. Penggolongan nelayan berdasarkan karakteristik sosial-ekonomi
Jenis usaha
ƒ Usaha
tradisional
ƒ Usaha posttradisional
ƒ Usaha
komersial
ƒ Usaha
industri
Orientasi Ekonomi dan
Pasar
Sub
sistem,
rumah
tangga
Tingkat
Teknologi
Rendah
Sub sistem, surplus,
rumah tangga, pasar
domestik
Surplus, pasar domestik,
ekspor
Rendah
Surplus, ekspor
Tinggi
Menengah
Hubungan Produksi
Tidak hirarkis, status
terdiri dari pemilik dan
anak buah kapal (ABK)
yang homogen
Tidak hirarkis, status
terdiri dari pemilik dan
ABK yang homogen
Hirarkis, status terdiri
dari pemilik, manajer,
dan ABK yang
heterogen
Hirarkis, status terdiri
dari pemilik, manajer,
dan ABK yang
heterogen
Sumber : Satria (2002)
Panayatou (1985a) mengelompokan nelayan kedalam empat kelompok
utama, yaitu subsistence, indigenous, commercial dan recreation. Sementara itu
nelayan commercial dikelompokan lagi menjadi dua kelompok, yaitu nelayan
artisanal dan nelayan industri. Secara lengkap pengelompokan nelayan tersebut
dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Pengelompokan Nelayan (Panayotou 1985a)
Berkes et al. (2001) lebih memperjelas pengertian nelayan artisanal dengan
mengemukakan sejumlah karakteristik yang lebih lengkap mengenai nelayan
artisanal dibandingkan dengan nelayan industri. Secara jelas karakteristik nelayan
tersebut dapat dilihat pada Tabel 7.
42 Tabel 7. Kategori dan dimensi perikanan berdasarkan karakteristiknya
Karakteristik
Hubungan
Perikanan
ƒ Unit
penangkapan
ƒ Kepemilikan
ƒ Komitmen
waktu
ƒ Kapal
ƒ Tipe peralatan
Kategori
Skala Besar
Stabil, dengan
pembagian kerja dan
peluang karir
Bukan pelaku
Biasanya penuh waktu
Bertenaga mesin,
banyak peralatan
Mesin, dirakit oleh
pelaku
Skala Kecil
Subsisten
Stabil, kecil, spesialisasi
pembagian kerja
Sendiri, atau keluarga
atau komunitas
kelompok
Pemiliknya
si pelaku
Biasanya dimiliki oleh
pelaku senior, atau
pelaku gabungan
Penuh atau paruh waktu
Kecil, motor dalam (atau
motor tempel)
Sebagian atau semua
material mesin, dirakit
oleh pelaku
Mekanik dan manual
ƒ Alat tangkap
Elektronik, otomatis
ƒ Investasi
Menengah ke rendah,
seluruhnya oleh pelaku
ƒ Hasil tangkapan
Tinggi, proporsi lebih
besar dari pada oleh
pelaku
Besar
ƒ Penjualan hasil
tangkapan
Pasar yang
terorganisasir
Penjualan lokal,
konsumsi signifikan oleh
operator
ƒ Pengolahan hasil
tangkapan
Lebih banyak untuk
tepung ikan dan bukan
konsumsi manusia
ƒ Tingkat
pendapatan
pelaku
ƒ Integrasi
ekonomi
ƒ Masa kerja
Tinggi
Pengeringan,
pengasapan,
penggaraman, sebagian
besar untuk konsumsi
manusia
Sedang
ƒ Luas pemasaran
ƒ Kapasitas
manajemen dari
otoritas
perikanan
ƒ Unit manajemen
ƒ Pengumpulan
data perikanan
Formal, integrasi
penuh
Penuh waktu atau
musiman
Produk ditemukan
diseluruh dunia
Layak, dengan banyak
ilmuwan dan manager
Satu atau beberapa
unit besar
Tidak terlalu sulit, ada
kapasitas kekuasaan
Sumber : Berkes et al. (2001)
Sedang ke rendah
Integrasi parsial
Sering multi pekerjaan
Nasional dan lokal
Minimal untuk moderat,
dengan sedikit ilmuwan
atau manager
Biasanya banyak unit
kecil
Sulit dalam kaitan
perikanan dan figur
otoritas
Paruh waktu
Kecil, biasanya tidak
bermotor
Material buatan
sendiri, dirakit oleh
pelaku
Sebagian besar tidak
mekanik
Rendah
Rendah ke sangat
rendah
Sebagian dikonsumsi
oleh pelaku, keluarga
dan sahabat, ditukar
dengan barter,
kadang-kadang dijual
Sedikit atau tidak,
semua untuk
konsumsi manusia
Minim (rendah)
Informal, tidak
terintegrasi
Multi pekerjaan
Lokal dan hanya
tingkat daerah
Sering tidak
dikelola kecuali
oleh pengguna
sumberdaya
Sangat banyak unit
kecil
Sering tidak ada
data, pengumpulan
data sulit dilakukan
43
KERANGKA PENDEKATAN STUDI
Berdasarkan studi literatur terhadap hasil penelitian tentang kondisi
sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu diketahui bahwa saat ini kondisi
sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu sudah mengalami degradasi, terutama
untuk sumberdaya ikan pelagis. Banyak hal yang diduga menjadi penyebab
terjadinya degradasi sumberdaya ikan tersebut, termasuk sistem kelembagaan
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan.
Penelitian ini difokuskan untuk mengkaji sistem kelembagaan yang ada
(existing) dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk
Palabuhanratu. Format kelembagaan pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk
Palabuhanratu sangat dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu pertama, hak kepemilikan
atas sumberdaya ikan (property right). Hak kepemilikan sangat menentukan
tanggungjawab nelayan terhadap sumberdaya ikan yang dimanfaatkan. Selain itu
juga mempengaruhi keputusan nelayan dalam mengambil manfaat sumberdaya
ikan tersebut. Oleh sebab itu tahap pertama dalam studi ini akan dianalisis tentang
kepemilikan atas sumberdaya ikan di teluk Palabuhanratu, apakah milik negara
(state property right), milik komunal (communal property right), milik individu
(private property right) dan open access (non property right).
Kedua, para aktor yang terlibat. Aktor-aktor yang terlibat dalam
pengelolaan sumberdaya ikan sangat menentukan keberlanjutan pengelolaan
sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Oleh sebab itu identifikasi masingmasing aktor yang terlibat dan perannya masing-masing menjadi salah satu kunci
keberlanjutan pembangunan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Selain itu
juga perlu diidentifikasi konflik yang terjadi antar aktor pengelola sumberdaya
ikan di Teluk Palabuhanratu. Hal ini penting guna merumuskan manajemen
konflik antar aktor dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu.
Ketiga, peraturan. Peraturan merupakan salah salah satu sistem
kelembagaan yang sangat penting dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk
Palabuhanratu. Oleh sebab itu perlu diidentifikasi peraturan-peraturan apa saja
yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya ikan. Dengan adanya informasi
44
tersebut diharapkan dapat diketahui bagaimana aturan main (rule of the game)
pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu.
Ketiga faktor tersebut memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap
sistem kelembagaan pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu saat ini.
Dengan ditambah analisis biaya transaksi dan game theory diharapkan dapat
dirumuskan bagaimana format kelembagaan pengelolaan sumberdaya ikan di
Teluk Palabuhanratu yang baik. Hal ini penting agar semua aktor yang terlibat
yang terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk
Palabuhanratu memiliki rasa tangguang jawab dalam menjaga keberlanjutan
sumberdaya dan aktivitas perekonomian masyarakat nelayan. Secara sistematis
kerangka pendekatan studi ini dapat dilihat pada Gambar 7.
45
Studi Literatur
Area Studi
Kondisi
Sumberdaya
Ikan
Potensi
Tingkat
Pemanfaatan
Alokasi
Optimum
Pengelolaan
Sumberdaya Ikan
Hak Kepemilikan
Peraturan
Analisis Hak
Kepemilikan
Analisis
peraturan
Analisis Aktor
Analisis
Konflik
Jenis-jenis Hak
terhadap
sumberdaya
ikan
Peraturan
pengelolaan
sumberdaya ikan
(Formal & Informal)
Aktor yang
berkepentingan
Peran aktor
Hubungan antar aktor
Konflik antar
aktor
Aktor
Kelembagaan Sumberdaya
Ikan Teluk Palabuhanratu
(Exisiting)
Analisis Biaya
Transaksi
Biaya
Pengambilan
Keputusan
Biaya
Informasi
Biaya
Operasional
Bersama
Biaya Transaksi Pengelolaan
Sumberdaya Ikan Teluk
Palabuhanratu
Rekomendasi Format
Kelembagaan Baru
Pengelolaan Sumberdaya
Ikan Teluk Palabuhanratu
Gambar 7. Kerangka pendekatan studi
Analisis
Game Theory
46
METODOLOGI
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Cisolok dan Kecamatan Pelabuharatu
Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat. Pertimbangan dalam pemilihan lokasi
tersebut sebagai lokasi penelitian adalah pertama, merupakan sentra perikanan
tangkap di sekitar Teluk Palabuhanratu. Kedua, jenis kegiatan perikanan tangkap
di kecamatan tersebut berbeda-beda. Studi PKSPL (2004) menunjukan bahwa di
Palabuhanratu jenis usaha penangkapan yang berkembang adalah penangkapan
skala besar, skala menengah, dan skala kecil. Secara grafis lokasi penelitian
tersebut dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Lokasi penelitian
47
Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan, yaitu dari bulan September
2006 - Februari 2007.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalan studi ini adalah metode studi
kasus. Yang dimaksud dengan kasus dalam penelitian ini adalah kelembagaan
pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Nazir (1988) menyatakan
bahwa penelitian kasus adalah penelitian yang berkenaan dengan suatu fase
spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas. Subjek penelitian dapat saja
individu, kelompok, lembaga, maupun masyarakat. Dalam studi kasus, metode
yang digunakan bersifat multi metode, karena dirancang untuk menunjukkan
suatu masalah secara terperinci dari sudut pandang peneliti dengan menggunakan
berbagai sumber data (Blaxter et al. 2006).
Hasil dari penelitian kasus merupakan suatu generalisasi dari pola-pola
kasus yang tipikal dari individu, kelompok, lembaga, dan sebagainya. Tergantung
dari tujuannya, ruang lingkup dari studi dapat mencakup dari segmen atau bagian
tertentu atau mencakup siklus kehidupan individu, kelompok, dan sebagainya,
baik dengan penekanan terhadap faktor-faktor kasus tertentu, ataupun keseluruhan
faktor-faktor dan fenomena-fenomena. Studi kasus lebih menekankan mengkaji
variabel yang cukup banyak pada jumlah unit yang kecil. Ini berbeda dengan
metode survei, di mana peneliti cenderung mengevaluasi variabel yang lebih
sedikit tetapi dengan unit sampel yang relatif besar (Nazir 1988).
Nazir (1988) mengungkapkan langkah-langkah pokok dalam meneliti kasus adalah
sebagai berikut :
1)
Rumuskan tujuan penelitian;
2)
Tentukan unit-unit studi, sifat-sifat mana yang akan di teliti dan hubungan apa yang akan
dikaji serta proses-proses apa yang akan menuntun penelitian;
3)
Tentukan rancangan serta pendekatan dalam memilih unit-unit dan teknik pengumpulan
data mana yang digunakan. Sumber-sumber data apa yang tersedia;
4)
Kumpulkan data;
5)
Organisasikan informasi serta data yang terkumpul dan analisa untuk membuat
interpretasi serta generalisasi;
48
6)
Susun laporan dengan memberikan kesimpulan serta implikasi dari hasil penelitian.
Yin (1996) menyatakan bahwa ada 6 sumber bukti yang dapat dijadikan fokus bagi
pengumpulan data studi kasus adalah: (1) dokumen, (2) rekaman arsip, (3) wawancara, (4)
observasi langsung, (5) observasi pemeran serta, dan (6) perangkat fisik. Dalam hal ini
diperlukan dua kategori data yaitu data utama dan data penunjang. Data utama
diperoleh dari pencatatan langsung di lapangan, wawancara
pada beberapa
nelayan dan pengamatan kejadian-kejadian khusus yang berhubungan dengan
tujuan penelitian. Data penunjang diperoleh dari dokumen atau arsip tertulis serta
laporan hasil penelitian serta publikasi lainnya.
Metode Pengumpulan Data
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis, yaitu data
primer dan sekunder. Data primer diperoleh langsung dari para aktor yang terlibat
dalam
pengelolaan
sumberdaya
ikan
di
Teluk
Palabuhanratu.
Teknik
pengumpulan data primer ini dilakukan melalui wawancara secara mendalam
kepada para aktor, dengan pertanyaan-pertanyaan yang telah terstruktur.
Sementara itu data sekunder diperoleh melalui data-data literatur perikanan
Kabupaten Sukabumi, dokumen hasil penelitian dan dokumen-dokumen lainnya
yang terkait. Secara lengkap jenis dan sumber data yang digunakan dalam
penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 8.
49
Tabel 8. Aspek, jenis dan sumber data penelitian
No
1
2
3
4
5
6
Aspek
Penelitian
Kondisi
Umum Teluk
Palabuhanratu
Pemanfaatan
Sumberdaya
Ikan Teluk
Palabuhanratu
selama ini
Aktor-aktor
yang terkait
dalam
pengelolaan
sumberdaya
ikan di Teluk
Palabuhanratu
Aturan hukum
formal dan
informal
Biaya
transaksi
pengelolaan
sumberdaya
ikan Teluk
Palabuhanratu
Desain
kelembagaan
pengelolaan
sumberdaya
ikan Teluk
Palabuhanratu
Jenis Data
Sumber Data
Kondisi geografis,
kependudukan, ekonomi
wilayah
Potensi sumberdaya ikan,
tingkat pemanfaatan, jenis alat
tangkap, perkembangan
produksi ikan, pendapatan
nelayan, alokasi optimal
sumberdaya ikan di Teluk
Palabuhanratu
Identifikasi para aktor, peran
masing-masing aktor, hubungan
antar aktor, konflik antar aktor
Potensi Desa 2006,
Profil Kabupaten
Sukabumi
Statistik Perikanan
Kabupaten Sukabumi,
wawancara, Laporan
Tesis Pasca Sarjana IPB,
Dokumen Penelitian
PKSPL-IPB
Hukum formal (Undang-undang,
Peraturan Menteri, Keputusan
Menteri, Peraturan Daerah
Provinsi Jawa Barat, Keputusan
Gubernur Jawa Barat, Peraturan
Daerah Kabupaten Sukabumi,
Keputusan Bupati Kabupaten
Sukabumi)
Aturan informal (Kesepakatan
antar masyarakat)
Biaya manajerial dan Biaya
Politik
Departemen Kelautan
dan Perikanan, Dinas
Perikanan dan Kelautan
Provinsi Jawa Barat,
Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten
Sukabumi, wawancara
aktor
Hubungan interaksi antar aktor,
efektivitas biaya transaksi
Studi pustaka,
wawancara, kuisioner
Wawancara dan
quisioner
Wawancara aktor
Penentuan responden dilakukan secara purposive sampling dengan
penggalian data menggunakan panduan kuisioner, seperti yang disajikan pada
Lampiran 1. Sementara itu jumlah responden didekati dengan rumus Slovin
(1960) sebagaimana diacu dalam Haswanto (2006), yaitu :
1
50
Keterangan :
N
: Ukuran Populasi
n
: Ukuran Sampel/Responden
e
: Nilai Kesalahan yang Ditentukan (10 %)
Selain berdasarkan pendekatan Slovin diatas, penentuan aktor-aktor yang
dijadikan responden dalam penelitian ini juga memperhatikan hasil-hasil studi
sebelumnya. Oleh sebab itu, sebelum menentukan aktor-aktor yang akan dijadikan
narasumber, peneliti terlebih dahulu melakukan studi literature yang terkait
dengan pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Literatur-literatur
yang dijadikan rujukan dalam penentuan narasumber tersebut adalah laporan hasil
penelitian tesis, dokumen hasil penelitian di Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan (PKSPL-IPB) yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu, dan dokumen-dokumen terkait lainnya
yang dimiliki oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi.
Berdasarkan hal tersebut maka jumlah aktor yang dijadikan responden dalam
penelitian ini berjumlah 40 orang, yang dikelompokkan menjadi lima kelompok,
yaitu pemerintah, masyarakat, organisasi sosial, swasta/pengusaha perikanan, dan
akademisi.
Metode Analisis Data
Analisis Aktor Pengelolaan Sumberdaya Ikan di Teluk Palabuhanratu
Analisis ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan memetakan aktor (tingkat
kepentingan dan pengaruhnya) dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
ikan di Teluk Palabuhanratu, serta potensi kerjasama dan konflik antar aktor.
Freeman (1984) yang mendefenisikan aktor sebagai kelompok atau individu yang
dapat mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu.
Sedangkan Biset (1998) mendefenisikan aktor merupakan orang dengan suatu
kepentingan atau perhatian pada permasalahan. Aktor sering diidentifikasi dengan
suatu dasar tertentu, yaitu
dari segi kekuatan dan kepentingan relatif aktor
terhadap issu atau dari segi posisi penting dan pengaruh yang dimiliki mereka
(Ramirez 1999).
51
Aktor merupakan masyarakat yang memiliki daya untuk mengendalikan
penggunaan sumberdaya seolah-olah mereka tidak terkena pengaruh, tetapi
kehidupannya dipengaruhi oleh perubahan penggunaan sumberdaya tersebut.
Aktor adalah bagian yang secara langsung terkait dengan hasil kajian. Mereka
menjadi pengguna di masa depan dari suatu hasil kajian. Mereka bukan kelompok
sasaran (target group) bagi hasil suatu kajian.
Aktor sangat bervariasi derajat pengaruh dan kepentingannya, dan dapat
dikategorikan sesuai dengan banyak atau sedikitnya pengaruh dan kepentingan
relatifnya terhadap keberhasilan pengelolaan sumberdaya alam. Brown et al
(2001) mengkategorikan aktor sebagai berikut:
1)
Aktor primer, yakni mereka yang mempunyai pengaruh rendah terhadap
hasil kebijakan tetapi kesejahteraannya penting bagi pengambil kebijakan.
2)
Aktor sekunder, yakni mereka yang dapat mempengaruhi keputusan yang
dibuat karena mereka adalah sebagaian besar dari pengambil kebijakan dan
terlibat dalam implementasi kebijakan. Secara relatif mereka tidak penting,
demikian pula dengan tingakt kesejahteraannya bukan suatu prioritas.
3)
Aktor eksternal, yakni individu atau kelompok yang dapat mempengaruhi
hasil dari suatu proses melalui lobby kepada pengambil keputusan, tetapi
interest mereka tidak begitu penting.
Berdasarkan kekuatan, posisi penting, dan pengaruh aktor terhadap suatu
issu, aktor dapat diketegorikan kedalam beberapa kelompok. ODA (1995)
mengelompokkan aktor ke dalam yaitu aktor primer, sekunder dan aktor kunci.
1)
Aktor utama merupakan aktor yang memiliki kaitan kepentingan secara
langsung dengan suatu kebijakan, program, dan proyek. Mereka harus
ditempatkan sebagai penentu utama dalam proses pengambilan keputusan.
Misalnya masyarakat, tokoh masyarakat, dan manajer publik.
2)
Aktor pendukung (sekunder) adalah aktor yang tidak memiliki kaitan
kepentingan secara langsung terhadap suatu kebijakan, program, dan
proyek, tetapi memiliki kepedulian (consern) dan keprihatinan sehingga
mereka turut bersuara dan berpengaruh terhadap
sikap masyarakat dan
keputusan legal pemerintah. Misalnya lembaga pemerintah dalam suatu
wilayah tetapi tidak memiliki tanggung jawab langsung; lembaga
52
pemerintah yang terkait dengan issu tetapi tidak memiliki kewenangan
secara langsung dalam pengambilan keputusan; lembaga swadaya
masyarakat (LSM) setempat; perguruan tinggi:
dan pengusaha (badan
usaha) yang terkait.
3)
Aktor kunci merupakan aktor yang memiliki kewenangan secara legal
dalam hal pengambilan keputusan. Aktor kunci yang dimaksud adalah unsur
eksekutif sesuai levelnya, legislatif, dan instansi.
Kelompok-kelompok aktor sering digolongkan menurut aspek sosial
ekonomi seperti tingkatan pendapatan, kelompok pekerja dan status ketenagakerjaan, atau menurut tingkat keterlibatan formal didalam proses pengambilan
keputusan, tingkat kohesi kelompok, struktur formal atau informal.
Analisis aktor adalah suatu sistem untuk mengumpulkan informasi
mengenai kelompok atau individu yang terkait, mengkategorikan informasi, dan
menjelaskan
kemungkinan
konflik
antar
kelompok,
dan
kondisi
yang
memungkinkan terjadinya trade-off.
Langkah-langkah dalam melakukan analisis aktor adalah:
1)
Identifikasi aktor
2)
Membuat tabel aktor
3)
Menganalisis pengaruh dan kepentingan aktor
4)
Membuat aktor grid
5)
Menyepakati hasil analisis dengan aktor utama
Proses penentuan aktor dilakukan dengan beberapa cara antara lain:
1)
Mengidentifikasi
sendiri
berdasarkan
pengalaman
dalam
bidang
pembangunan wilayah (berkaitan dengan perencanaan kebijakan).
2)
Mengidentifikasi berdasarkan catatan statistik serta laporan penelitian. Hasil
identifikasi ini berupa daftar panjang individu dan kelompok yang terkait
dengan pembangunan wilayah pesisir.
3)
Identifikasi aktor menggunakan pendekatan partisipatif dengan teknik
snowball dimana setiap aktor mengidentifikasi aktor lainnya. Berdiskusi
dengan aktor yang teridentifikasi pertama kali dapat mengungkapkan
pandangan mereka tentang keberadaan aktor penting lain yang berkaitan
53
dengannya. Metode ini juga dapat membantu pengertian yang lebih
mendalam terhadap kepentingan dan keterkaitan aktor.
Untuk memudahkan analisis aktor, setiap aktor dikategorikan ke dalam lima
kategori yakni pemerintah (pengambil kebijakan dan lembaga legislatif), swasta
(pengusaha dan lembaga donor), tokoh masyarakat, Lembaga Swadaya
Masyarakat dan organisasi sosial lainnya, serta pakar dan profesional. Aktor yang
teridentifikasi dikategorikan ke dalam kelompok institusi pemerintah, masyarakat,
organisasi sosial, dunia usaha dan akademisi. Selain itu dibedakan pula
berdasarkan tingkat continuum mulai dari tingkat lokal, provinsi, hingga tingkat
pusat.
Analisis Pengaruh dan Kepentingan
Berdasarkan tabel aktor dilakukan analisis kepentingan (importance) dan
pengaruh (influence) masing-masing aktor dalam kaitan dengan pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Kepentingan merujuk pada
peran seorang aktor di dalam pencapaian output dan tujuan serta menjadi fokus
pertimbangan terhadap keputusan yang akan dibuat sedangkan pengaruh merujuk
pada kekuatan yang dimiliki seorang aktor untuk mengontrol proses dan hasil dari
suatu kebijakan (IIED 2001, Mardle 2003).
Kegiatan ini dilakukan dengan wawancara langsung dan kuesioner terhadap
wakil dari semua aktor yang teridentifikasi dari hasil analisis aktor. Pengolahan
data kualitatif hasil wawancara dikuantitatifkan dengan mengacu pada
pengukuran data berjenjang lima (Tabel 9).
54
Tabel 9. Ukuran kuantitatif terhadap identifikasi dan pemetaan aktor
Skor
Nilai
Kriteria
Keterangan
Kepentingan Aktor
5
17 – 20
Sangat Tinggi Sangat bergantung pada keberadaan
sumberdaya ikan
4
13 – 16
Tinggi
Ketergantungan tinggi pada keberadaan
sumberdaya ikan
3
9 – 12
Cukup Tinggi
Cukup bergantung pada keberadaan
sumberdaya ikan
2
5–8
Kurang Tinggi Ketergantungan pada keberadaan
sumberdaya ikan kecil
1
0–4
Rendah
Tidak tergantung pada keberadaan
sumberdaya ikan
Pengaruh Aktor
5
17 – 20
Sangat Tinggi Jika responnya berpengaruh nyata terhadap
aktivitas aktor lain
4
13 – 16
Tinggi
Jika responnya berpengaruh besar terhadap
aktivitas aktor lain
3
9 – 12
Cukup Tinggi
Jika responnya cukup berpengaruh terhadap
aktivitas aktor lain
2
5–8
Kurang Tinggi Jika responnya berpengaruh kecil terhadap
aktivitas aktor lain
1
0–4
Rendah
Jika responnya tidak berpengaruh terhadap
aktivitas aktor lain
Sumber : Abbas (2005) dalam Haswanto (2006)
Aktor yang berkepentingan dan berpengaruh terhadap pembangunan
wilayah bervariasi sesuai dengan motif, cakupan wilayah, dan orientasi tujuan
pembangunan. Untuk melihat besarnya kepentingan dan pengaruh masing-masing
aktor terhadap pengeloalan dan pemanfaatan sumberdaya ikan, alat analisis yang
digunakan adalah ”aktor grid” yang mengkategorikan aktor menurut tingkat
kepentingan dan pengaruhnya terhadap pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk
Palabuhanratu. Sebaran posisi aktor menurut kepentingan dan pengaruhnya
diilustrasikan pada Gambar 9 berikut.
55
B.
A.
Tinggi
Pemain
Kepentingan
Subjek
D.
C.
Aktor
Penonton
Rendah
Rendah
Pengaruh
Tinggi
Gambar 9. Aktor grid
Kotak A (subjek) menunjukkan kelompok aktor yang memiliki kepentingan
yang tinggi terhadap kegiatan tetapi rendah pengaruhnya, mencakup anggota
organisasi yang melakukan kegiatan dan responsif terhadap pelaksanaan kegiatan
tetapi bukan pengambil kebijakan.
Kotak B (pemain) merupakan kelompok aktor yang memiliki derajat
pengaruh dan kepentingan yang tinggi untuk mensukseskan kegiatan seperti tokoh
masyarakat, kepala instansi terkait, dan kepala pemerintahahan.
Kotak D (aktor) merupakan aktor yang terpengaruh tetapi rendah
kepentingannya dalam pencapaian tujuan dan hasil kebijakan.
Kotak C (penonton) mewakili kelompok aktor yang rendah pengaruh dan
kepentingannya. Interest mereka dibutuhkan untuk memastikan: (a) interestnya
tidak terpengaruh sebaliknya, dan (b) kepentingan dan pengaruhnya tidak
mengubah keadaan.
Analisis Tata Kelola Sumberdaya Ikan
Analisis kelembagaan yang akan digunakan dalam penelitian ini
menggunakan analisis kelembagaan yang dikembangkan oleh Oakerson (1992).
Analisis ini
merupakan pengembangan dari analisis kelembagaan dan
pembangunan (The Institutional Analysis and Development) yang dikembangkan
56
oleh Ostrom (1986, 1990). Secara skematis kerangka analisis kelembagaan
tersebut dapat dilihat pada Gambar 10. (Pido et.al 1997).
Atribut Biologi
(Fisik, Teknologi)
Atribut Makro
Ekonom, Politik
dan Sosial
Atribut Pasar
(supply, Demand)
Insentif untuk
koordinasi, kerjasama
dan kontribusi
Pola interaksi antar
sumberdaya dengan
pengguna
Dampak
Atribut Stakeholders
(Masyarakat
Nelayan,
Pemerintah, Swasta)
Atribut
Kelembagaan
Nelayan dan Aturan
Organisasi
Atribut
Kelembagaan
Eksternal dan
Aturan Organisasi
Gambar 10. Kerangka Analisis Kelembagaan (Pido et.al 1997)
Dari Gambar 10 terlihat bahwa terdapat enam atribut yang memberikan
pengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan, yaitu atribut biofisik dan
teknologi, atribut pasar, atribut pemegang kepentingan, atribut kelembagaan dan
organisasi nelayan, atribut pengambil keputusan dan atribut eksogen.
Pertama atribut biofisik dan teknologi. Atribut ini pembatas atau kendala
bagi pembangunan perikanan. Atribut biofisik dari sumberdaya juga menentukan
skala pembangunan perikanan. Artinya bahwa semakin besar area dan jumlah
potensi sumberdaya ikan yang tersedia maka semakin besar pula skala
pembangunan perikanan yang dapat dilaksanakan. Atribut biofisik juga
menentukan cara para pengguna sumberdaya, terutama nelayan, dapat saling
berinteraksi dan melakukan aksi individu atau aksi kolektif. Aspek teknologi yang
digunakan dalam memanfaatkan sumberdaya sangat bergantung pada jenis dan
jumlah sumberdaya ikan yang tersedia. Teknologi yang diperbolehkan atau tidak
diperbolehkan diatur serta ditentukan dalam hak-hak pemanfaatan sumberdaya.
Oakerson (1992) mengajukan tiga alasan mengapa perlu dilakukan kajian
hubungan antara atribut-atribut ini dengan tatanan kelembagaan pengelolaan
sumberdaya perikanan yang berlaku. Ketiga alasan tersebut adalah
57
1.
Sumberdaya ikan memiliki kapasitas relatif dalam mendukung usaha
nelayan secara simultan tanpa adanya benturan-benturan di antara mereka
atau adanya dampak yang merugikan bagi nelayan tertentu yang timbul
karena nelayan lain menangkap ikan dalam jumlah yang lebih banyak.
Analisis sifat biofisik harus diarahkan untuk menentukan secara sangat
akurat faktor-faktor pembatas sumberdaya itu. Faktor-faktor pembatas yang
utama adalah potensi dan jenis serta mobilitasnya di dalam kawasan yang
dikelola.
2.
Derajat
aksesibilitas
terhadap
sumberdaya.
Keterbatasan
potensi
sumberdaya berarti bahwa akses terhadap sumberdaya sulit dan mahal. Oleh
karena akses terhadap sumberdaya sulit dan mahal maka tindakan seseorang
untuk berhenti memanfaatkan sumberdaya merupakan sesuatu yang jarang
terjadi.Oleh karena itu, sumberdaya perikanan dimanfaatkan secara
bersama-sama dalam suatu bentuk kompetisi di antara nelayan. Dengan
demikian, ada saling ketergantungan antar nelayan. Aksi seseorang akan
memberikan dampak kepada yang lain dan selanjutnya membuat orang lain
melakukan aksi serupa. Jadi, interaksi di antara nelayan ini cenderung
menjurus kepada pertentangan atau konflik di antara mereka.
3.
Batas-batas spasial sumberdaya perikanan menentukan skala minimum
suatu tatanan pengelolaan sumberdaya perikanan. Berdasarkan batas
geografis suatu sumberdaya dapat ditentukan batas-batas fisik lainnya,
terutama yang berkaitan dengan teknologi pemanfaatan sumberdaya
perikanan.
Kedua, atribut pasar yang elemen utamanya meliputi aspek permintaan
(demand) dan penawaran (supply) komoditas perikanan yang dihasilkan dari
sumberdaya yang dikelola. Atribut pasar seperti harga dan struktur pasar
merupakan insentif atau disintensif bagi terbentuknya suatu tatanan kelembagaan
pengelolaan sumberdaya perikanan serta derajat kepatuhan masyarakat (nelayan)
terhadap tatanan tersebut.
Memahami atribut pasar adalah sesuatu yang sangat penting dalam
kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya perikanan. Hal ini karena di samping
sebagai kegiatan berbasis sumberdaya alam, perikanan merupakan kegiatan
58
ekonomi yang berbasis pasar. Oleh karena itu, perumusan suatu tatanan
pengelolaan perikanan patut pula memperhatikan aspek pasar yang berkaitan atau
yang merupakan ciri sumberdaya tersebut.
Ketiga, atribut pemegang kepentingan. Pemegang kepentingan utama dalam
pengelolaan sumberdaya perikanan adalah nelayan serta masyarakat lainnya yang
memiliki kepentingan atau perhatian terhadap pemanfaatan sumberdaya
perikanan. Atribut ini adalah variabel sosial ekonomi yang melekat atau dimiliki
nelayan dan masyarakat selaku pemegang kepentingan. Variabel tersebut adalah
kepercayaan, agama, tradisi, budaya, sumber matapencaharian, derajat sosial,
ekonomi, homohenitas atau heterogenitas dalam masyarakat, kepemilikan aset,
norma masyarakat serta tingkat integritas dalam ekonomi dan politik.
Keempat, atribut tatanan dan indikator pengambilan keputusan. Atribut
pengambilan keputusan sangat bergantung pada cara tatanan kelembagaan, hakhak masyarakat dan aturan-aturan dibuat atau dirumuskan. Tiga aspek penting
yang patut diperhatikan dalam pengambilan keputusan adalah :
1.
Keterwakilan (representation) yang didefinisikan sebagai tingkat nelayan
dan pemegang kepentingan lainnya berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan;
2.
Kecocokan (relevance) adalah tingkat peraturan yang berlaku dinilai cocok
dengan masalah-masalah yang dihadapi;
3.
Penegakan hukum (enforceability) adalah tingkat aturan-aturan dapat
ditegakan.
Kelima, atribut kelembagaan dan organisasi eksternal, yaitu lembaga atau
organisasi yang berada di luar masyarakat nelayan, tetapi masih berpengaruh pada
kehidupan nelayan serta kondisi sumberdaya ikan. Oakerson (1992) mengatakan
organisasi eksternal terdiri dari beberapa tingkatan di lembaga pemerintah
maupun non pemerintah dengan atau tanpa ikatan formal.
Keenam, atribut eksogen. Berbagai faktor eksogen dapat berdampak bagi
pembangunan serta pengelolaan sumberdaya perikanan. Faktor eksogen adalah
hal-hal yang terjadi di luar kontrol nelayan dan masyarakat. Faktor ini juga
merupakan peristiwa dalam bentuk kebijakan atau lainnya yang terjadi pada
organisasi yang lebih tinggi tingkatannya. Hal-hal yang terjadi secara tiba-tiba di
59
tingkat nasional dan internasional dan mengakibatkan kegoncangan pada usaha
perikanan adalah atribut eksogen dalam pengelolaan sumberdaya perikanan.
Beberapa variabel eksogen yang umumnya dihadapi nelayan adalah gempa bumi,
tsunami, banjir, kebijakan makro, kebijakan ekonomi, resesi, perdagangan global,
komitmen dan kesepakatan masyarakat internasional, serta penemuan teknologi.
Analisis Biaya Transaksi
Masing-masing biaya transaksi yang dihadapi nelayan dan pemerintah
dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu
tidak selalu sama. Secara umum menurut Furubotn & Richter (2000) biaya
transaksi (transaction cost) (TrC) mencangkup biaya transaksi manajemen (S1j)
dan biaya transaksi politik (S2j).
Biaya transaksi manajemen terdiri dari biaya penyusunan (setting up),
pemeliharaan, atau perubahan desain organisasi (S11) dan biaya menjalankan
organisasi (S12). Sementara itu biaya transaksi politik terdiri dari biaya
penyusunan (S21), pemeliharaan (S22) dan perubahan organisasi politik (S23)
formal dan informal, biaya untuk menjalankan politik (S24) .
Persamaan yang digunakan untuk biaya transaksi pemerintah (TrC1)dan
nelayan (TrC2) adalah (Anggraini 2005):
TrCj = ∑ Sij…………………………………………………………………….(1)
Rasio masing-masing komponen biaya transaksi terhadap total biaya transaksi (z)
di hitung dengan menggunakan rumus (Anggraini, 2005):
zij =
, ∑ zij = 1……………………………………………………………….(2)
Analisis Keefektifan Biaya (Cost Effectiveness Analysis)
Analisis Keefektifan Biaya (Cost Effectiveness Analysis, CEA) dalam
penelitian ini menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh Barton (1994).
Persamaan tersebut adalah :
CEA
Ci, t
1 r
60
Dimana :
CEA = Cost Effectiveness Analysis
Ci = Biaya transaksi yang dikeluarkan oleh i
r = Tingkat diskonto (Tingkat diskonto yang dipakai dalam penelitian ini adalah
tingat diskonto yang dipakai oleh Asian Deveopment Bank (ADB) dalam menilai
proyek di Indonesia, yaitu sebesar 12 %)
t = waktu (dalam penelitian ini t = 5)
i = 1 adalah Pemerintah
i = 2 adalah Kelompok Nelayan
Menurut Tarigan (2006) untuk memilih mana yang efektif maka dipilih
kelompok yang memiliki nilai CEA lebih kecil.
Game Theory
Menurut Anwar (2002), teori permainan (game theory) merupakan
penelaahan mendasar yang menyangkut interaksi antara para pengambil
keputusan terutama yang menyangkut interaksi yang terjadi antara para peserta
ekonomi. Teori ini menjadi penting karena dapat memberikan landasan
fundamental bagi setiap hubungan-hubungan sosial dan ekonomi antar manusia.
Lebih jauh Anwar (2002) menyatakan bahwa secara garis besar, permainan
(game) dapat dibagi menjadi dua, yaitu permainan yang tidak bekerjasama (non
cooperative) dan permainan yang bekerjasama (cooperative). Dalam permainan
yang tidak bekerjasama, penyelesaian umumnya menggunakan pendekatan Nash
equilibrium. Jika ada segugus strategi yang mempunyai karakteristik dimana tidak
satu pun pemain yang dapat beruntung dengan merubah strateginya, sementara
pemain lainnya juga tetap mempertahankan (tidak mengubah) strategi mereka,
maka gugus strategi itu dan pahala yang berkaitan dengannya dikatakan sebagai
keseimbangan Nash (Nash Equilibrium).
Dalam permainan yang bekerjasama (cooperative game), menggunakan
landasan pareto optimum, yaitu jika tidak ada seseorang yang dapat dibuat lebih
baik keadaannya tanpa membuat seseorang lain menjadi lebih jelek. Apabila
terjadi perubahan dari keadaan pareto optimum, maka ini akan terjadi kerugian
untuk keseluruhannya.
61
Bentuk game ektensif (extensive form game) merupakan salah satu
permainan bekerjasama (cooperative game). Menurut Anwar (2002) representasi
dari suatu bentuk permainan yang ekstensif mempunyai kekhususan, yaitu :
1)
Ada pemain-pemain dalam permainan;
2)
Bilamana masing-masing pemain bergerak, apa yang dapat diperbuat oleh
masing-masing pemain dalam kesempatannya untuk bergerak, apa yang
diketahui oleh masing-masing pemain pada kesempatannya untuk bergerak;
3)
Pahala (pay-off) yang diterima oleh masing-masing pemain untuk setiap
kombinasi gerakan-gerakan yang dapat dipilih oleh pemain.
Ada satu permainan yang disimulasikan dalam penelitian ini, yaitu antara
pemerintah dengan masyarakat nelayan (P-N) (Tabel 10). Permainan ini
menggunakan bentuk permainan ekstensif game.
Tabel 10. Pemain, pilihan strategi dan pay-off analisis game theory.
Pemain
Pilihan Strategi
Pemerintah dan
nelayan
¾ Quasi
open
access
Data pay-off
– ¾ Biaya pengawasan
¾ Manfaat konservasi
Limited Entry
¾ Eksploitatif – Sustainable
¾ Pendapatan nelayan
Secara umum langkah-langkah yang ditempuh adalah sebagai berikut :
™
Membuat tabel pay-off dari masing-masing aktor (pemain), kemudian
menetapkan besarnya nilai keuntungan dan kerugian dari masing-masing
aktor berdasarkan strategi pilihannya (Tabel 11).
Tabel 11. Matriks Pahala (Payoffs) dalam analisis Game Theory
Pemain 1
¾
A
B
Pemain 2
A
(1 A), (2 A)
(1 B), (2 A)
B
(1 A) (2 B)
(1 B) (2 B)
Menetapkan kriteria strategi permainan. Pilihan strategi dan konsekuensinya
untuk permainan antara pemerintah dengan nelayan adalah :
Strategi pemerintah : memilih
62
™
Quasi open access, dengan konsekuensi bagi pemerintah adalah
mengeluarkan
biaya
eksploitasi/perusakan
pengawasan
sumberdaya
untuk
ikan
dan
menjamin
dapat
berkurangnya
dikendalikannya
penangkapan yang tidak ramah lingkungan; atau
™
Limited entry, menegaskan hak pada kelompok masyarakat nelayan dan
menyerahkan pengawasan sepenuhnya pada masyarakat.
Strategi nelayan : memilih
™
Eksploitatif, melakukan eksploitasi seperti biasa dengan menggunakan cara
tangkap relatif tidak ramah lingkungan sehingga mengakibatkan degradasi
terhadap sumberdaya ikan;
™
Sustainable, melakukan eksploitasi berdasarkan kesepakatan kelompok
dengan menggunakan cara tangkap yang ramah lingkungan sehingga
keberadaan sumberdaya ikan dapat terjaga.
Analisis Konflik Pengelolaan Sumberdaya Ikan
Untuk menganalisis berbagai konflik antar pemangku kepentingan
(stakeholders) dalam pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu
digunakan pendekatan yang dilakukan oleh Fisher et.al (2000). Dalam metode
analisis ini, sebelumnya pahami dahulu mengapa konflik itu terjadi : (1) agar
dipahami latar belakang dan sejarah suatu situasi dan kejadian-kejadian saat ini,
(2) identifikasi kelompok yang terlibat, dan tidak hanya kelompok yang menonjol
saja; (3) agar memahami pandangan semua kelompok dan lebih mendalami
bagaimana hubungan mereka satu sama lain; (4) identifikasi faktor-faktor dan
kecenderungan-kecenderungan yang mendasari konflik; dan (5) agar belajar dari
kegagalan dan juga kesuksesan (Fisher et.al 2000).
Menurut Fisher et.al (2000), ada 9 alat bantu dalam penelitian untuk
menganalisis konflik, yaitu:
1)
Penahapan konflik. Konflik berubah setiap saat, melalui berbagai aktivitas,
intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda. Tahapan penahapan ini
terdiri dari :
63
¾
Pra konflik, ini merupakan periode dimana terhadap suatu
ketidaksesuaian sasaran di antara dua pihak atau lebih, sehingga
timbul konflik;
¾
Konfrontasi, pada tahap ini konflik menjadi semakin terbuka.
¾
Krisis, ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan/atau
kekerasan terjadi paling hebat.
¾
Akibat, suatu krisis pasti akan menimbulkan suatu akibat. Satu pihak
mungkin menaklukkan pihak lain, atau mungkin melakukan gencatan
senjata.
¾
Pasca konflik, akhirnya situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri
berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan
mengarah ke labih normal di antara kedua pihak.
2)
Urutan
kejadian.
Urutan
kejadian
merupakan
daftar
waktu
dan
menggambarkan kejadian-kejadian secara kronologis. Tujuan penggunaan
urutan kejadian bukan untuk mendapatkan sejarah yang benar atau objektif,
tetapi untuk memahami pandangan-pandangan orang-orang yang terlibat.
3)
Pemetaan konflik. Pemetaan merupakan suatu teknik yang digunakan untuk
menggambarkan konflik secara grafis, menghubungkan pihak-pihak dengan
masalah dan dengan pihak lainnya.
4)
Segitiga Sikap-Perilaku-Konteks (SPK), merupakan suatu analisis berbagai
faktor yang berkaitan dengan sikap, perilaku dan konteks bagi masinhmasing pihak utama. Tujuan dari tahapan ini adalah untuk mengidentifikasi
ketiga faktor tersebut di setiap pihak utama, menganalisis bagaimana faktorfaktor tersebut saling mempengaruhi, menghubungkan faktor-faktor tersebut
dengan berbagai kebutuhan dan ketakutan masing-masing pihak, dan
mengidentifikasi titik awal intervensi dalam suatu situasi.
5)
Analogi bawang Bombay (atau Donat),
merupakan suatu cara untuk
menganalisis perbedaan pandangan tentang konflik dari pihak-pihak yang
berkonflik.
6)
Pohon konflik, merupakan suatu alat bantu, menggunakan gambar sebuah
pohon untuk mengurutkan isu-isu pokok konflik.
64
7)
Analisis kekuatan konflik,
merupakan cara untuk mengidentifikasi
kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi konflik.
8)
Analogi pilar, merupakan alat bantu yang didasarkan pada keyakinan bahwa
situasi tertentu tidak benar-benar stabil, tetapi ditahan oleh berbagai faktor
atau kekuatan, yaitu pilar-pilar. Alat bantu ini menggunakan ilustrasi berupa
grafik dari elemen-elemen atau kekuatan-kekuatan yang menahan situasi
yang tidak stabil.
9)
Piramida, merupakan alat bantu grafik yang menunjukan tingkat-tingkat
stakeholders dalam suatu konflik.
Desain Kelembagaan
Metode desain kelembagaan dalam penelitian ini menggunakan model yang
dikembangkan oleh Pakpahan (1989) bahwa suatu kelembagaan dicirikan oleh 3
hal utama, yaitu :
1)
Batas yurisdiksi (yurisdiction of boundary). Artinya hak atas (batas wilayah
kekuasaan) atau (batas otoritas) yang dimiliki oleh suatu lembaga, atau
mengandung makna kedua-duanya. Penentuan siapa dan apa yang tercakup
dalam suatu organisasi atau masyarakat ditentukan oleh batas yurisdiksi;
2)
Hak kepemilikan (property right). Konsep property atau pemilikan muncul
dari konsep hak (right) dan kewajiban (obligations) yang diatur oleh hukum,
adat, dan tradisi, atau konsesus yang mengatur hubungan antara anggota
masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya (Pakpahan
1990). Tidak seorang pun yang dapat menyatakan hak milik tanpa
pengesahan dari masyarakat dimana dia berada. Hak kepemilikan juga
merupakan sumber kekuatan untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya;
3)
Aturan representasi (rule of representation). Hal ini mengatur permasalahan
siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan
keputusan.
sumberdaya.
Aturan representasi
Dipandang
dari
menentukan alokasi dan distribusi
segi
ekonomi,
aturan
representasi
mempengaruhi ongkos membuat keputusan. Biaya transaksi yang tinggi
dapat menyebabkan output tidak bernilai untuk diproduksi. Oleh karena itu,
65
perlu dicari suatu mekanisme representasi yang efisien sehingga dapat
menurunkan biaya transaksi.
Definisi Operasional
Kelembagaan adalah suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat
atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan
antar manusia atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau
jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma,
kode etik aturan formal maupun informal untuk pengendalian prilaku ekonomi
serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan Pengelolaan Perikanan
Teluk Palabuhanratu yang berkelanjutan.
Aktor adalah individu atau organisasi yang memiliki tujuan masing-masing
dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu;
Nelayan adalah seseorang yang memiliki mata pencaharian utama menangkap
ikan di laut dan menghabiskan waktu yang paling banyak untuk melakukan
kegiatan tersebut.
Biaya Transaksi adalah biaya untuk melakukan manajemen pengelolaan
sumberdaya ikan (managerial transaction costs) dan biaya yang diasosiasikan
untuk menggerakkan dan menyesuaikan dengan kerangka politik kelembagaan
(political transaction costs).
66
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Kondisi Geografi
Wilayah Kabupaten Sukabumi secara astronomis berada pada 6o57’ – 7o25’
Lintang Selatan dan 106o41’ – 107o00’ Bujur Timur, dengan batas-batas wilayah
secara administratif sebagai berikut:
1)
Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bogor
2)
Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Hindia
3)
Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak dan Samudera Hindia
4)
Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Cianjur
Luas wilayah Kabupaten Sukabumi adalah 412.799,54 ha, dengan panjang
garis pantai kurang lebih 117 km. Wilayah kabupaten ini secara administratif
terbagi menjadi 45 kecamatan, 339 desa, 2.978 rukun warga, dan 11.324 rukun
tetangga (BPS Kabupaten Sukabumi 2003). Sementara itu dari 45 kecamatan
yang ada di Kabupaten Sukabumi, terdapat sembilan kecamatan yang berbatasan
langsung dengan Samudera Hindia atau disebut kecamatan pesisir, yaitu
Kecamatan Tegalbuleud, Cibitung, Surade, Ciracap, Ciemas, Simpenan,
Palabuhanratu, Cikakak, dan Cisolok. Luas wilayah Kabupaten Sukabumi per
kecamatan pesisir tersebut dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Luas kecamatan di wilayah kabupaten sukabumi
No
Kecamatan
Luas Wilayah (ha)
1
Ciemas
26.696,00
2
Ciracap
16.056,10
3
Surade
13.393,09
4
Cibitung
15.021,66
5
Tegalbuleud
15.054,43
6
Palabuhanratu
10.287,91
7
Simpenan
16.922,16
8
Cisolok
16.057,72
9
Cikakak
11.644,26
Sumber: BPS Kabupaten Sukabumi 2003
Persentase (%)
6,47
3,89
3,24
3,64
3,65
2,49
4,10
3,89
2,82
Berdasarkan Tabel 12 terlihat bahwa luas keseluruhan kecamatan pesisir ini
adalah 141,133.33 ha atau 34.19% dari luas keseluruhan Kabupaten Sukabumi.
Wilayah pesisir Kabupaten Sukabumi memiliki garis pantai yang relatif lurus
(flat), dengan komposisi geografis paling barat (westernmost) adalah Kecamatan
67
Cisolok yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Lebak, kemudian secara
berurutan ke arah timur adalah Kecamatan Cikakak, Palabuhanratu, Simpenan,
Ciemas, Ciracap, Surade, Tegalbuleud dan Kecamatan Cibitung di sebelah paling
timur (easternmost).
Kecamatan pesisir paling barat di Kabupaten Sukabumi adalah Kecamatan
Cisolok yang langsung berbatasan dengan Kabupaten Lebak. Di sebelah timur,
kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan Cikakak, sebelah utara berbatasan
dengan Kecamatan Kabandungan, dan di sebelah selatan berbatasan dengan
Samudera Hindia. Luas wilayah Cisolok mencapai 16,057.72 ha atau 3.89% dari
luas keseluruhan Kabupaten Sukabumi atau 11.38% dari luas keseluruhan
kecamatan pesisir. Sementara desa yang langsung berbatasan dengan laut atau
desa pesisir ada 9 desa, yaitu Desa Sirnaresmi, Cicadas, Gunung Kramat, Gunung
Tanjung, Caringin, Pasirbaru, Cikahuripan, Cisolok dan Karangpapak.
Kecamatan Cikakak mempunyai luas wilayah sebesar 11,644.26 ha atau
2.82% dari luas keseluruhan Kabupaten Sukabumi.
Sementara diantara
kecamatan pesisir, kecamatan ini mempunyai persentase luasan sebesar 8.25%
dari luas keseluruhan kecamatan pesisir.
Secara administratif, Kecamatan
Cikakak di sebelah utara berbatasan dengan Kabandungan, sebelah selatan
berbatasan dengan Samudera Hindia, sebelah timur berbatasan dengan
Palabuhanratu dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Cisolok.
Kecamatan ini dibagi menjadi 2 desa pesisir, yaitu Desa Cimaja, dan Cikakak.
Kecamatan berikutnya ke arah timur adalah Kecamatan Palabuhanratu yang
mempunyai luasan sebesar 10,287.91 ha atau 2.49% dari luas keseluruhan
Kabupaten Sukabumi. Kecamatan mempunyai fungsi sebagai ibukota dan sebagai
pusat pemerintahan Kabupaten Sukabumi. Secara administratif mempunyai batas
dengan Kecamatan Bantargadung di sebelah timur, Kecamatan Cikidang di utara,
Samudera Hindia id selatan dan Kecamatan Cikakak di Barat. Kecamatan ini
dibagi menjadi 4 desa pesisir, yaitu Citarik, Palabuhanratu, Citepus, dan Cibodas.
Selanjutnya adalah Kecamatan Simpenan yang baru dimekarkan dari
Kecamatan Palabuhanratu pada tahun 2001. Kecamatan ini dibagi menjadi 2 desa
pesisir, yaitu Desa Kertajaya, dan Loji. Sementara batas-batas wilayahnya adalah
sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Palabuhanratu, sebelah selatan
68
dengan Kecamatan Waluran, sebelah timur dengan Lengkong dan sebelah barat
dengan Samudera Hindia. Luas kecamatan ini mencapai 16,922.16 ha atau 4.10%
dari luas keseluruhan kabupaten dan 11.99% dari luas keseluruhan kecamatan
pesisir.
Kecamatan Ciemas mempunyai luas wilayah 26,696 ha atau 6.47% dari luas
keseluruhan Kabupaten Sukabumi dan merupakan kecamatan pesisir terluas
(18.92% dari luas keseluruhan kecamatan pesisir).
Batas wilayahnya adalah
sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Simpenan, sebelah selatan berbatasan
dengan Samudera Hindia, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Ciracap,
dan sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia. Kecamatan ini terdiri dari
3 desa pesisir, yaitu Desa Cibenda, Ciwaru, dan Girimukti.
Kecamatan berikutnya ke arah timur adalah Kecamatan Ciracap yang
mempunyai batas sebagai berikut: sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan
Waluran, sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia, sebelah timur
berbatasan dengan Ciracap, dan sebelah barat berbatasan dengan Ciemas. Luas
wilayah Kecamatan Ciracap adalah sebesar 16,056.10 ha atau 3.89% dari luas
keseluruhan Kabupaten Sukabumi dan terbagi menjadi 3 desa pesisir, yaitu
Gunungbatu, Cikangkung, dan Purwasedar.
Kecamatan Surade berbatasan langsung dengan Kecamatan Ciracap di
sebelah barat, semetara di timur berbatasan dengan Kecamatan Cibitung, sebelah
utara berbatasan dengan Kecamatan Jampangkulon, dan sebelah selatan dengan
Samudera Hindia. Kecamatan ini terbagai menjadi 3 desa pesisir, yaitu Desa
Pasiripis, Buniwangi, dan Cipeundeuy. Luas kecamatan ini mencapai 13,393.09
ha atau 3.24% dari luas keseluruhan Kabupaten Sukabumi.
Kecamatan berikutnya adalah
Kecamatan Cibitung.
Kecamatan ini
mempunyai luas sebesar 15,021.66 ha atau 3.64% dari luas keseluruhan
Kabupaten Sukabumi.
Batas administrasinya adalah sebelah utara berbatasan
dengan Kecamatan Jampangkulon, sebelah selatan berbatasan dengan Samudera
Hindia, sebalah timur berbatasan dengan Kecamatan Kalibunder dan sebelah barat
berbatasan dengan Kecamatan Surade. Terdapat 6 desa pesisir di kecamatan ini,
yaitu Desa Cidahu, dan Cibitung.
69
Kecamatan pesisir terakhir yang terletak paling timur adalah Kecamatan
Tegalbuleud yang memiliki 3 desa pesisir, yaitu Sumberjaya, Buniasih, dan
Tegalbuleud.
Luas wilayahnya mencapai 15,054.43 ha atau 3.65% dari luas
keseluruhan Kabupaten Sukabumi. Di sebelah utara, kecamatan ini berbatasan
dengan Kecamatan Cidolog, di selatan berbatasan dengan Samudera Hindia, di
timur berbatasan dengan Kabupaten Cianjur dan di barat berbatasan dengan
Kecamatan Cibitung.
Kependudukan
Data Potensi Desa Tahun 2006 menunjukan bahwa jumlah penduduk
Kabupaten Sukabumi mencapai sekitar 2.253.433 orang, yang terdiri dari
1.110.730 laki-laki dan 1.142.703 perempuan. Sementara itu jumlah penduduk
yang tinggal di wilayah pesisir mencapai sekitar 448.626 jiwa atau sekitar 19,91
persen, yang terdiri dari 226.789 laki-laki dan 221.837 perempuan dan tersebar di
sembilan kecamatan pesisir. Secara lengkap jumlah penduduk di wilayah pesisir
Kabupaten Sukabumi tersebut dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Jumlah penduduk di kecamatan pesisir kabupaten sukabumi tahun 2005
No
Nama Kecamatan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Ciemas
Ciracap
Surade
Cibitung
Tegal Buleud
Pelabuhanratu
Simpenan
Cisolok
Cikakak
Total
Penduduk Sukabumi
Persentase
Sumber : Diolah dari BPS 2006
Jumlah Penduduk
Laki-Laki
Perempuan
22.581
23.824
22.357
21.715
33.531
32.414
11.832
11.894
16.309
16.354
46.076
43.397
24.746
24.546
31.061
29.835
18.296
17.858
226.789
221.837
1.110.730
1.142.703
20,42
19,41
Total
46.405
44.072
65.945
23.726
32.663
89.473
49.292
60.896
36.154
448.626
2.253.433
19,91
Berdasarkan Tabel 13 terlihat bahwa Kecamatan Pelabuhanratu memiliki
jumlah penduduk terbesar dari delapan kecamatan pesisir lainnya, yaitu mencapai
89.473 jiwa, yang terdiri dari 46.076 jiwa laki-laki dan 43.397 perempuan. Hal ini
menunjukan bahwa konsentrasi penduduk berada di sekitar pusat pemerintahan
dan
perdagangan.
Kecamatan
Pelabuhanratu
merupakan
tempat
pusat
70
p
pemerintaha
an Kabupateen Sukabum
mi dan pusaat perdaganggan ikan laaut. Secara
l
lengkap
pen
nyebaran jum
mlah pendudduk di setiaap kecamataan pesisir daapat dilihat
Orang
p
pada
Gambaar 11.
100,0
000
80,0
000
60,0
000
40,0
000
20,0
000
-
Nama Keecamatan
Laki-Lakii
Perempuaan
Total
G
Gambar
11.. Penyebarann Pendudukk di Kecamaatan Pesisir Kabupaten Sukabumi
Tahun 2005 (BPS 20066)
K
Kesejahtera
aan Pendud
duk
Tingkaat kesejateraaan pendudduk di wilay
yah pesisir Kabupaten Sukabumi
m
masih
menjadi persoalaan dalam m
mewujudkan tujuan pem
mbangunan. Persentase
k
keluarga
praa keluarga sejahtera 1 dan
d keluargaa sejahtera 1 2 rata-rataa diatas 30
p
persen
dari jumlah
j
keluarga di setiaap kecamataan. Artinya bahwa
b
jumlaah keluarga
y
yang
perlu ditingkatkaan kesejahteeraannya masih
m
besar. Kecamatann Cikakak
m
merupakan
k
kecamatan
y
yang
memiliiki persentasse keluarga P
Pra KS dan KS 1 yang
p
paling
besaar, yaitu sekkitar 64,67 persen. Seementara ituu Kecamataan Ciracap
m
merupakan
k
kecamatan
y
yang
memiliki persentaase jumlah kkeluarga KS dan KS 1
y
yang
paling kecil, yaituu sekitar 23,,83 persen. Secara lengkap persentaase jumlah
k
keluarga
Praa KS dan KS
S 1 di setiap kecamatan pesisir
p
Kabuupaten Sukabbumi dapat
d
dilihat
pada Tabel 14.
1
Keluarga Prra Sejahtera adalah
a
keluargga-keluarga yaang belum daapat memenuhhi kebutuhan
ddasarnya secarra minimal, seperti kebutuhhan spiritual, pangan, sandaang, papan, keesehatan dan
k
keluarga
berrencana (Keepmen Negaara Kependuudukan/Kepala BKKBN No KEP.0
05/MEN/MEN
NEG..K/02/98 tentang
t
Pengem
mbangan Kualiitas Penduduk)).
2
Keluarga Sejahtera I adalah
h keluarga-kelluarga yang tellah dapat mem
menuhi kebutuhhan dasarnya
s
secara
minimaal, tetapi belum
m dapat memennuhi kebutuhan
n sosial dan pssikologis, seperrti kebutuhan
p
pendidikan,
intteraksi dalam keluarga,
k
interraksi dengan linngkungan temp
mpat tinggal dann transportasi
(
(Kepmen
Negara Kependuddukan/Kepala BKKBN
B
No KEP.-05/MEN/
K
/MENEG..K/002/98 tentang
P
Pengembangan
n Kualitas Pendduduk).
71
Tabel 14. Persentase Kelurga Pra KS dan KS 1 di Kecamatan Pesisir Kabupaten
Sukabumi Tahun 2005
No
Nama Kecamatan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Jumlah
Keluarga Pra
KS dan KS 1
4.574
3.143
6.103
1.886
3.157
6.373
3.455
7.119
5.621
41.431
Ciemas
Ciracap
Surade
Cibitung
Tegal Buleud
Pelabuhanratu
Simpenan
Cisolok
Cikakak
Total
Jumlah KK
Sukabumi
Sumber : Diolah dari BPS 2006
12.506
13.189
19.842
6.943
10.551
25.766
13.101
16.164
8.754
126.816
Persentase
Keluarga Pra
KS dan KS 1
36,57
23,83
30,76
27,16
29,92
24,73
26,37
44,04
64,21
32.67
578.368
7,16
Jumlah
Keluarga
Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan
Kegiatan perikanan, baik itu perikanan tangkap atau perikanan budidaya
merupakan kegiatan ekonomi yang penting untuk kabupaten Sukabumi. Hal ini
sangat beralasan mengingat kabupaten Sukabumi dengan luas wilayah 412.759,54
Ha dan panjang pantai sekitar 117 Km mempunyai potensi sumberdaya pesisir
dan laut cukup besar. Selain itu sebagain besar penduduk Kabupaten Sukabumi
berada di kawasan pesisir. Sektor perikanan merupakan salah satu sektor andalan
yang menjadi roda penggerak roda perkonomian di Kabupaten Sukabumi.
Kontribusi sektor perikanan terhadap perekonomian Kabupaten Sukabumi dari
tahun ketahun mengalami kenaikan, yaitu rata-rata sekitar 9%.
Secara umum wilayah pengembangan kegiatan perikanan di Kabupaten
Sukabumi tersebar di enam kecamatan pesisir, yaitu Palabuhanratu, Cisolok
Ciemas, Ciracap, Surade dan Tegalbuled.
Kegiatan usaha perikanan yang
berkembang di enam wilayah tersebut bervariasi antara satu wilayah dengan
wilayah lainnya. Usaha perikanan yang berkembang selain perikanan tangkap dan
perikanan budidaya, juga berkembang pengolahan perikanan.
Perikanan Tangkap
Kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Sukabumi tersebar di empat
kecamatan pesisir, yaitu Kecamatan Palabuhanratu, Cisolok, Simpenan, Ciemas,
72
Surade, dan Ciracap. Kegiatan perikanan tangkap Kecamatan Palabuhanratu
terpusat di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), Kecamatan Cisolok terpusat di
Pangkalan Pendaratan Ikan Cisolok (PPI), Kecamatan Simpenen terpusat di
Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Simpenan, Kecamatan Ciemas terpusat di Tempat
Pendaratan Ikan Ciwaru (TPI), Kecamatan Surade terpusat di Tempat Pendaratan
Ikan (TPI) Surade dan Kecamatan Ciracap terpusat di Tempat Pendaratan Ikan
(TPI) Ujung Genteng.
Jenis kegiatan perikanan tangkap di empat wilayah
tersebut berbeda-beda, di Palabuhanratu jenis usaha penangkapan yang
berkembang adalah penangkapan skala besar, di Cisolok, Ciemas dan Ciracap
jenis usaha penangkapan yang berkembang skala menengah, dan di Simpenan dan
Surade jenis usaha penangkapan yang berkembang adalah skala kecil.
Kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Sukabumi secara umum belum
berkembang, hanya di kegiatan perikanan tangkap di Palabuhanratu yang lebih
maju. Hal ini dapat dilihat dari tingkat teknologi penangkapan yang digunakan
berupa kapal penangkapan ikan yang berukuran masih kecil (<5GT) dengan alat
tangkap yang masih tradisional, yaitu Dogol, Pancing, Anco, dan Jaring lingkar .
Potensi Sumberdaya Ikan dan Tingkat Pemanfaatan Perikanan Tangkap
Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu Kabupaten di Jawa Barat yang
terlatak di wilayah Pantai Selatan Jawa dengan panjang pantai kurang lebih 117
km. Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu kabupaten yang mempunyai
panjang pantai terpanjang di Pulau Jawa. Sementara itu, perairan laut kabupaten
Sukabumi membentang kearah Selatan selebar 4 mil laut berdasarkan Undangundang Pemerintah Daerah No. 32 Tahun 2004. Dengan demikian Kabupaten
Sukabumi mempunyai hak pengelolaan terhadap perairan laut sekitar 87.000 Ha.
Di dalam perairan laut tersebut terkandung berbagai potensi sumber daya
ikan yang cukup melimpah, yaitu antara lain jenis-jenis ikan pelagis, demersal,
udang dan biota laut lainnya yang menjadi tumpuhan hidup masyarakat pesisir
Kabupaten Sukabumi. Jenis-jenis ikan yang sebagian besar dapat ditangkap di
perairan Sukabumi seperti Teri (Stolephorus spp), Tembang (Sardinella
fimbriata), Tongkol (Euthynnus affinis), Udang Putih (Penaeus merguensis), dan
Rajungan (Portunnus pelagicus).
73
Berdasarkan hasil perhitungan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten
Sukabumi Tahun 2003 diketahui potensi lestari perikanan tangkap di Kabupaten
Sukabumi adalah 11.827 ton, dengan uraian Ikan Pelagis Besar 9.245 ton/tahun,
Ikan Pelagis Kecil 1.060 ton/tahun dan Ikan Demersal 1.220 ton/tahun. Tingkat
Pemanfaatan untuk masing-masing sumber daya saat ini adalah Ikan Pelagis Besar
2.719 ton, Ikan Pelagis Kecil 564 ton dan Ikan Demersal 302 ton
Tabel 15. Potensi Lestari Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Perairan
Pantai Kabupaten Sukabumi, Tahun 2003
Jenis Sumberdaya
Ikan Pelagis Besar
Ikan Pelagis Kecil
Ikan Demersal
Potensi Lestari
(ton/tahun)
9.245
1.060
1.220
Tingkat Pemanfaatan
Ton
(%)
2.719
29,4
564
53,2
302
25,5
Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sukabumi 2003
Selain potensi sumberdaya ikan yang terdapat perairan Laut Kabupaten
Sukabumi, nelayan Kabupaten juga dapat memanfaatan sumberdaya ikan di
Perairan Samudera Hindia. Sebagai perbandiangan, untuk melihat berapa potensi
sumberdaya ikan yang terdapat di perairan Laut Samudera Hindia dan tingkat
pemanfaatannya dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Potensi Lestari dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Laut
Samudera Hindia, Tahun 2000
Jenis
Sumberdaya
Ikan Pelagis
Besar
Ikan Pelagis
kecil
Ikan Demersal
Ikan Karang
Konsumsi
Udang Peneid
Udang karang
(Lobster)
Cumi-cumi
Potensi
(1.000 ton/tahun)
297,75
Pemanfaatan
(%)
51.20
Peluang
Pengembangan (%)
38.80
429.03
54.45
35.55
135.13
12.88
65.99
213.22
24.01
-
10.70
1.60
62.21
45.02
27.79
44.98
3.75
143.99
-
Sumber: Aziz, et al 2000
Produksi perikanan laut yang didaratkan di pesisir Kabupaten Sukabumi
sekitar 3.500 ton/tahun, yang terdiri dari Ikan Pelagis Besar, Ikan Pelagis Kecil
74
dan Ikan Demersal. Pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan laut Kabupaten
Sukabumi diduga baru mencapai 36%, sehingga peluang pengembangan
perikanan tangkap di perairan ini masih besar apalagi untuk daerah lepas pantai
dan ZEE.
Sebagai gambaran berikut ini disajikan produksi dan nilai ikan laut segar
hasil kegiatan perikanan tangkap yang didaratkan di enam kecamatan yang
tersebar di pesisir Kabupaten Sukabumi.
Tabel 17.
Perkembangan Jumlah Ikan yang dilelang di beberapa tempat
pendaratan ikan di kecamatan Kabupaten Sukabumi.
No
Kecamatan
2001
2002
(Kg)
(Kg)
1
Ciemas
80,30
61,12
2
Ciracap
11,55
33,17
3
Surade
3,15
2,42
4
Palabuhanratu
418,63
4.117,40
5
Simpenan
10,02
12,10
6
Cisolok
31,63
32,75
Sumber :Dinas Perikanan dan Kelautan 2004
2003
(Kg)
68,33
44,45
2,83
3.962,40
15,00
44,97
Apabila dilihat Tabel 17, jumlah ikan yang dilelang di beberapa tempat
pelelangan di Kabupaten Sukabumi menunjukkan Kecamatan Palabuhanratu
mempunyai jumlah ikan yang dilelang paling besar, hal ini sangat beralasan
mengingat di Kecamatan Palabuhanratu terdapat Pelabuhan Perikanan Nusantara
(PPN) yang mempunyai kapasitas ikan yang dilelang cukup besar dan jumlah
perahu serta ukuran yang mendarat di pelabuhan tersebut cukup banyak dengan
ukuran yang cukup besar. Jumlah ikan yang dilelang di Kecamatan Surade paling
kecil dibanding dengan kecamatan-kecamatan lainnya di Kabupaten Sukabumi.
Hal ini karena tempat pendaratan ikan di kecamatan tersebut sangat kecil dan
tidak setiap hari ada kapal yang melelang hasil tangkapannya.
jenis ikan yang dominan tertangkap di perairan kabupaten sukabumi adalah
jenis-jenis: cakalang (Katsuonus pelamis), cucut gergaji (Pritis cuspidiatus), cucut
Martil (Sphyrna blochii), Layang (Decapterus sp.), Layaran (Istiophorus
orientalis), Setuhuk (Makaira sp.), Layur (Trichiurus sp.), Peperek (Leiognathus
sp.), Tembang (Sardinella sp), Tongkol ( Auxis thazard), Tuna (Thunnus sp.).
Namun demikian, terdapat empat jenis ikan yang merupakan ikan komoditas
75
unggulan dengan potensi masing-masing jenis mencapai 3.300 ton Cakalang,
1.107 ton Tuna, 819 ton Cucut dan 442 ton Layur. Tabel 18 menunjukkan data
komoditas unggulan perikanan laut Kabupaten Sukabumi tahun 2002 beserta
tingkat pemanfaatannya.
Tabel 18.
Komoditas Unggulan Perikanan Laut Kabupaten Sukabumi
Tingkat Pemanfaatan
Ton
%
1
Cakalang
3.300
1.088
33
2
Tuna
1.107
185
16,7
3
Cucut
819
461
56,3
4
Layur
442
291
69
Sumber :Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi 2003.
No.
Jenis Ikan
Potensi (Ton)
Teknologi Penangkapan Ikan
Teknologi penangkapan yang berkembang di Kabupeten sukabumi secara
keseluruhan dari enam kecamatan belum berkembang dan masih tradisional. Jenis
kegiatan penangkapan yang menggunakan alat-alat tersebut masuk ke dalam
kegiatan perikanan artisanal skala kecil hingga besar. Jenis-jenis alat tangkap
yang digunakan antara lain pukat pantai, pancing, anco dan jala lempar. Namun
demikian teknologi penangkapan yang berkembang di Palabuhanratu lebih
berkembang dibanding kecamatan lainnya.
Hal tersebut karena di Kecamatan Palabuhanratu terdapat Pelabuhan
Perikanan Nusantara, yaitu pelabuhan perikanan bertipe B dengan jangkaun
bersifat regional dan dapat didaratai oleh kapal-kapal dari berbagai propinsi
dengan ukuran 15-60GT. Jumlah alat tangkap ikan yang digunakan oleh nelayan
di Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu pada tahun 2003 menunjukkan
stagnasi. Alat tangkap ikan yang berkembang di sana antara lain : Pancing, gill
net, bagan,payang, rawai, purse seine dan trammel net.
Secara keseluruhan jumlah alat tangkap perikanan yang terdapat di
Kabupaten Sukabumi dapat dilihat pada Tabel 19.
76
Tabel 19. Jumlah alat tangkap perikanan yang berkembang di Kabupaten
Sukabumi
No
Alat Tangkap
Jumlah (buah)
1
Payang
86
2
Gill net
17
3
Jaring Lingkar
170
4
Rawai Hanyut
20
5
Pancing
865
6
Trammel net
72
7
Dogol
50
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan tahun 2003
Dalam rangka untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya ikan
khususnya di wilayah perairan laut di bawah 4 mill laut, maka di masa mendatang
perlu dipikirkan penggunaan alat yang lebih modern dan maju. Tentunya dengan
pertimbangan dan penyesuaian terhadap armada kapal yang digunakan.
Armada perahu/kapal penangkapan ikan yang digunakan oleh nelayannelayan Kabupaten Sukabumi terdiri dari perahu tanpa motor, perahu motor
tempel dan kapal motor berukuran 5-30 GT. Perahu motor tempel mempunyai
jumlah yang paling besar dibanding dengan armada lainnya, yaitu sebanyak 885
Unit. Untuk armada perahu kapal motor di Kabupaten Sukabumi berjumlah 217
unit, sedangkan perahu tanpa motor berjumlah 131 unit.
Prasarana dan Sarana Perikanan Tangkap
Prasarana perikanan tangkap di Kabupaten Sukabumi tersebar di berabagai
kecamatan dengan status dan kondisi yang berbeda-beda. Prasarana perikanan di
Kabupaten Sukabumi terdiri dari satu Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), satu
Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) dan empat Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Satu
Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) terdapat di Kecamatan Palabuhanratu.
Satu Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) terdapat di Kecamatan Cisolok, dan empat
Tempat Pendaratan Ikan (TPI) yang terdapat di Simpenan, Ciemas, Surade dan
Ciracap.
Kecamatan Palabuhanratu merupakan pusat kegiatan perikanan laut terbesar
di Kabupaten Sukabumi.
Hal ini diperkuat dengan keberadaan Pelabuhan
Perikanan Nusantara (PPN) yang mulai beroperasi sejak tahun 1993. Keberadaan
Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu sangat strategis sebagai sentra
77
kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Sukabumi, maupun Propinsi Jawa Barat.
Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu merupakan pelabuhan perikanan
dengan tipe B, yaitu pelabuhan dengan jangkuan bersifat regional, dan dapat
menampung kapal-kapal perikanan yang beroreintasi melakukan operasi
penangkapan di periaran Zona Ekslusif Ekonomi Indonesia dan Periaran
Nusantara (kapal Long line).
Jumlah kapal perikanan yang beroperasi di PPN Palabuhanratu rata-rata
setiap tahunnya kurang lebih 450 unit setiap tahunnya. Pada tahun 2002 jumlah
kapal/perahun yang mendarat di Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu
452 unit. Jumlah tersebut mengalami penurunanan apabila dibandingkan dengan
jumlah kapal/perahu yang mendarata pada tahun 2001, yaitu 491 unit. Namun
demikian apabila dianalisis lebih lanjut dari tahun ke tahun perkembangan
struktur dan ukuran kapal yang mendarat di PPN Palabuhanratu lebih baik.
Penanganan, Pengolahan dan Pemasaran
Apabila dilihat dari kondisi ikan yang didaratkan di semua pendaratan ikan
di kabupaten Sukabumi, hampir sebagian besar ikan yang didaratakan dan di
lelang dalam kondisi segar. Kondisi ini dikarenakan waktu operasi penangkapan
ikan yang pendek, yaitu setengah hari trip (half-day fishing trip), kecuali untuk
armada purse seine, jaring cumi-cumi maupun pancing rawai di PPN
Palabuhanratu yang melakukan penangkapan ikan hingga lebih dari dua hari. Nilai
produksi ikan segar yang di lelang di beberapa tempat pendaratan ikan di
Kabupaten Sukabumi dapat dilihat pada Tabel 20.
Tabel 20. Nilai Produksi Ikan Segar yang di Lelang di Kabupaten Sukabumi tahun
2001-2003
No
Kecamatan
Tahun (Nilai x Rp.1000)
2001
2002
2003
1
Ciemas
201,00
306,00
341,68
2
Ciracap
47,00
165,87
222,23
3
Surade
20,04
12,08
14,15
4
Palabuhanratu
901,20
20.587,00 19.812,00
5
Simpenan
50,09
60,48
75,00
6
Cisolok
113,70
163,74
224,85
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi 2004
78
Selain dikonsumsi dalam keadaan segar, ikan-ikan hasil tangkapan yang
didaratkan di lokasi PPN, PPI dan TPI Kabupaten Sukabumi juga diolah menjadi
berbagai macam produk olahan tradisional seperti ikan pindang, ikan asin, ikan
panggang, ikan presto, abon, dendeng, baso, terasi dan lain-lain.
Sedangkan
penanganan untuk produk segar dilakukan dengan cara pendinginan dan
penyimpanan dalam cold storage.
Pengolahan ikan yang cukup berkembang di kabupaten Sukabumi adalah di
kecamatan Cisolok. Berbagai deversifikasi produk perikanan dikembangakan di
Kecamatan Cisolok, yaitu antara lain abon ikan, dendeng ikan, kerupuk ikan dan
ikan asin. Sedangkan kecamatan lain pengolahan ikan sebatas pada Ikan pindang
dan nikan asin. Distribusi pemasaran hasil produksi perikanan laut Kabupaten
Sukabumi meliputi kota Bandung, Bogor, Jakarta dan Sukabumi. Bentuk produk
hasil perikanan dapat berupa ikan segar, ikan asin, dan ikan pindang.
Perikanan Budidaya
Selain Kegiatan perikanan tangkap, Kabupaten Sukabumi dengan panjang
pantainyan sekitar 117 Km, mempunyai potensi dan peluang pengembangan
untuk kegiatan perikanan Budidaya. Kegiatan perikanan budidaya di Kabupaten
sukabumi terpusat di Kecamatan Cisolok, Ciemas, Surade, Ciracap dan
Tegalbuled. Jenis kegiatan budidaya yang berkembang di Kabupaten Sukabumi
adalah kegiatan budidaya pantai dan budidaya laut. Sedangkan komiditi yang
dibudidayakan antara lain Kerapu, Kakap, Udang Windu, Kepiting dan Lobster
Potensi dan Peluang Pengembangan Perikanan Budidaya
Prospek peluang pengembangan perikanan budidaya untuk kabupaten
sukabumi tangkap yang masih terbuka lebar dan semakin menurunnya hasil
produksi perikanan tangkap di beberapa wilayah penangkapan merupakan
tantangan yang besar bagi pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten
Sukabumi. Potensi budidaya tambak di Kabupaten Sukabumi mencapai 1.400 Ha
dan baru termanfaatkan sekitar 54 Ha. Komoditas komoditas utama budidaya
tambak di Kabupaten Sukabumi adalah Udang Windu, selain Banding, Rucah dan
79
Jambret. Budidaya tambak yang digunakan oleh petani Kabupaten Sukabumi
adalah budidaya tradisional dan semi intensif.
Jenis sumberdaya ikan yang dikembangkan untuk budidaya tambak ini
terdiri dari bandeng, udang, rucah dan jembret. Selain Tambak kegiatan budidaya
ikan juga dilakukan di Kolam air tenang, kolam air deras, sawah, keramba dan
peraiaran umum. Perkembangan produksi budidaya ikan di perairan umum relatif
lebih besar dibandingkan dengan kegiatan budidaya lainnya. Kemudian di ikuti
oleh budidaya air tenang, kolam air deras sawah tambak dan keramba.
80
TATA KELOLA SUMBERDAYA IKAN DI TELUK PALABUHANRATU
Analisis Aktor dalam Pengelolaan Sumberdaya Ikan
Aktor Pengelola dan Pemanfaat Sumberdaya Ikan Teluk Palabuhanratu
Hasil pemetaaan aktor berdasarkan derajat kepentingan dan pengaruhnya di
dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu terlihat
pada Gambar 12. Pada kuadran I (Subjek) ditempati oleh industri pengolahan
sumberdaya ikan. Kelompok ini memiliki kepentingan tinggi terhadap sumberdaya
ikan Teluk Palabuhanratu namun kurang terlibat dalam merumuskan berbagai
kebijakan pengelolaan sumberdaya tersebut. Ketergantungan tinggi disini terkait
kepentingan ekonomi yang ditentukan kualitas sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu.
Para pengusaha industri pengolahan yang ada di sekitar Teluk Palabuhanratu
memiliki kepentingan yang tinggi terhadap keberadaan sumberdaya ikan guna
menjaga keberlanjutan bahan baku industrinya. Selama ini bahan baku industri
pengolahan berasal dari nelayan di sekitar Teluk Palabuhanratu dan nelayan pantai
selatan Jawa Barat, yang tersebar mulai dari Banten sampai Garut. Industri
pengolahan yang ada di sekitar Teluk Palabuhanratu umumnya merupakan industri
kecil dan menengah.
Kuadran II (Pemain) ditempati oleh Departemen Kelautan dan Perikanan RI,
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat, Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Sukabumi, KUD Mina, Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu
(PPNP),
Satuan
Kerja
Pengawasan
Sumberdaya
Kelautan
dan
Perikanan
Pelabuhanratu, Pergutuan Tinggi, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI)
Kelompok Pengelola Rumpon, Tempat Pelelangan Ikan, Bakul, Juragan/Taweu dan
Kelompok Masyarakat Pengawas Sumberdaya Ikan Palabuhanratu (POKMASWAS).
Kelompok ini memiliki tingkat kepentingan dan pengaruh yang tinggi dalam
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu melalui
perumusan berbagai peraturan baik formal maupun informal.
81
Gambar 12. Pemetaan Aktor Pemanfaat dan Pengelola Sumberdaya Ikan Teluk
Palabuhanratu
Kuadran III (Penonton) ditempati oleh aparat desa, perbankkan dan LEPP-M3R.
Keberadaan mereka dinilai tidak terlalu tergantung terhadap sumberdaya ikan dan
juga tidak terlalu berpengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk
Palabuhanratu. Aparat desa memiliki fleksibilitas yang tinggi dalam mencari sumber
perekonomian desa selain kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk
Palabuhanratu, misalnya aktivitas pertanian di sekitar desa. Pihak perbankkan dan
Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mina Ratu (LEPP-M3R) 1 juga
memiliki fleksibilitas yang tinggi dalam mengembangkan aktivitas usahanya,
sehingga tidak tergantung kepada keberadaan sumberdaya ikan di Teluk
Palabuhanratu.
1
LEPM3R merupakan koperasi nelayan yang berdiri sejak tahun 2005, sebelumnya lembaga ini
bernama Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina (LEPPM3) yang dibentuk
pemerintah daerah (Pemda) Sukabumi pada tahun 2003.
82
Kuadran IV (Aktor) ditempati oleh polisi perairan. Kelompok ini memiliki
pengaruh tinggi dengan sedikit kepentingan terhadap sumberdaya ikan di Teluk
Palabuhanratu. Melalui berbagai penegakan hukum terhadap pelanggaran aktivitas
penangkapan ikan yang tidak sesuai peraturan mampu mempengaruhi pengelolaan
sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu.
Terkait dengan konstruksi kelembagaan pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk
Palabuhanratu, keterlibatan para aktor pada proporsi yang tepat sangatlah penting.
Berdasarkan garis bantu diagonal, dapat dipisahkan aktor-aktor yang harus dilibatkan
secara langsung (bagian atas) dengan aktor-aktor yang tidak harus terlibat secara
langsung (bagian bawah). Bagian sisi atas garis bantu meliputi Departemen Kelautan
dan Perikanan RI, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat, Dinas
Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi, KUD Mina, Pelabuhan Perikanan
Nusantara Palabuhanratu (PPNP), Satuan Kerja Pengawasan Sumberdaya Kelautan
dan Perikanan Pelabuhanratu, Pergutuan Tinggi, Himpunan Nelayan Seluruh
Indonesia (HNSI) Kelompok Pengelola Rumpon, Tempat Pelelangan Ikan, Bakul,
Juragan/Taweu, Kelompok Masyarakat Pengawas Sumberdaya Ikan Palabuhanratu
(POKMASWAS) dan Polisi Perairan. Sementara aktor-aktor lainnya tetap harus
dilibatkan secara tidak langsung, misalnya melalui dengar pendapat dan cara lainnya.
Idealnya kelembagaan pengelolaan sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu yang
berciri co-management diharapkan mampu menggeser para aktor di kuadran I ke
kuadran II melalui pengelolaan antara pemerintah dan masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut diatas aktor-aktor yang harus dilibatkan secara
langsung dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu dapat
dikelompokkan berdasarkan hirarkinya menjadi lima, yaitu pertama kelompok
nelayan. Aktor-aktor yang berperan ditingkat nelayan dapat dikelompokkan menjadi
dua, yaitu :
1)
Kelompok Formal, yaitu kelompok yang secara formal terdaftar sebagai
organisasi nelayan di pemerintahan atau memiliki badan hukum. Kelompok ini
terdiri dari kelompok pengelola rumpon, kelompok masyarakat pengawas
sumberdaya ikan dan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI).
83
2)
Kelompok informal, yaitu kelompok yang secara formal tidak terdaftar sebagai
kelompok nelayan di pemerintah dan juga tidak menjadi anggota dari kelompok
nelayan yang ada. Akan tetapi keberadaan kelompok nelayan informal ini
sangat berpengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk
Palabuhanratu. Umumnya kelompok informal ini dimotori oleh seorang
Juragan/Taweu2.
Pembagian kelompok di tingkat nelayan ini disebabkan karena berdasarkan
hasil analisis aktor dilapangan terdapat beberapa nelayan yang memiliki pengaruh
(seuseupuh 3 ) dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu, namun
belum bisa mengakui keberadaan masing-masing kelompok nelayan formal yang
telah ada.
Kedua, tingkat pemerintah, yaitu Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Sukabumi, Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Jawa Barat dan Departemen
Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Satuan Kerja Pengawasan Sumberdaya
Kelautan
dan
Perikanan
Pelabuhanratu,
Pelabuhan
Perikanan
Nusantara
Palabuhanratu (PPNP), dan Tempat Pelelangan Ikan. Berdasarkan Undang-Undang
No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah kabupaten memiliki
kewenangan pengelolaan sumberdaya ikan di wilayah perairan sekurang-kurangnya
tiga perempat dari batas kewenangan pemerintah Provinsi (12 mill).
Ketiga, kelompok usaha/swasta. Kelompok swasta ini umumnya adalah para
bakul dan KUD Mina. Keberadaan kelompok swasta ini sangat bermanfaatan bagi
para nelayan, terutama dalam pengembangan modal usaha.
Keempat, kelompok akademisi. Kelompok ini terdiri dari perguruan tinggi yang
berada di sekitar Kabupaten Sukabumi. Kelima, kelompok keamanan, yang ditempati
oleh polisi perairan.
2
Taweu merupakan nama lokal untuk para pemilik kapal. Dua orang Taweu yang menjadi responden
dalam penelitian ini adalah Taweu Rani dan Taweu Ade.
3
Seuseupuh artinya orang yang dituakan. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa seusuepuh
nelayan di Teluk Palabuhanratu ada beberapa diantara mereka yang merasa tidak dilibatkan dalam
beberapa kelompok nelayan yang ada, sehingga mereka umumnya memiliki kelompok nelayan sendiri.
Kelompok nelayan tersebut sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan pengelolaan konflik
sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu.
84
Kelima
kelompok
tersebut
selama
ini
berjalan
sesuai
fungsi
dan
kepentingannya masing-masing. Sampai saat ini belum ada suatu forum atau lembaga
yang berperan dalam mempertemukan kepentingan dari masing-masing kelompok
tersebut. Sehingga tidak jarang terjadi berbagai konflik dalam pemanfaatan
sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Secara lengkap tentang konflik nelayan di
Teluk Palabuhanratu akan di bahas dalam sub bab berikutnya.
Peran Masing-Masing Aktor
Berdasarkan
analisis
aktor
pengelolaan
sumberdaya
ikan
di
Teluk
Palabuhanratu teridentifikasi bahwa masing-masing aktor memiliki peran yang
berbeda-beda. Namun demikian hubungan antar aktor tersebut sangat menentukan
dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu.
Kelompok Nelayan Formal
Kelompok nelayan formal selama ini berperan dalam beberapa aktivitas, yaitu :
1)
Kelompok Pengelola Rumpon, berperan dalam mengelola rumpon yang ada di
perairan Teluk Palabuhanratu. Saat ini terdapat sekitar 10 Kelompok Pengelola
Rumpon yang tersebar di seluruh wilayah perairan Teluk Palabuhanratu.
Kesepuluh kelompok nelayan pengelola rumpon ini bergabung dalam sebuah
kelompok nelayan yang bernama Perkumpulan Nelayan Bahtera.
2)
Kelompok Masyarakat Pengawas Sumberdaya Ikan (POKMASWAS)
berperan
dalam
pengawasan
sumberdaya
ikan
di
tingkat
4
,
lapangan.
POKMASWAS dibentuk atas inisiatif masyarakat nelayan yang difasilitasi oleh
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi. Selain itu juga
POKMASWAS berperan sebagai mediator antara masyarakat nelayan dengan
pemerintah/petugas.
3)
Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), berperan sebagai mediator
antara
4
nelayan
yang
menjadi
anggotanya
dengan
pihak-pihak
yang
Kekuatan hukum dari POKMASWAS adalah Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor :
KEP. 58/MEN/ 2001 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Sistem Pengawasan Masyarakat Dalam
Pengelolaan Dan Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan Dan Perikanan.
85
berkepentingan, khususnya Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Sukabumi dan pihak perbankkan.
Kelompok Nelayan Informal
Kelompok nelayan informal di Teluk Palabuhanratu selama ini berperan dalam
mengkoordinir nelayan-nelayan diluar anggota kelompok nelayan formal. Peran
kelompok informal tersebut sangat besar dalam menjaga konflik pemanfaatan
sumberdaya ikan. Hal ini disebabkan kelompok nelayan informal tersebut umumnya
dikoordinir oleh para seuseupuh nelayan di sekitar Perairan Teluk Palabuhanratu.
Namun demikian, selama ini keberadaan kelompok nelayan informal ini belum
banyak dilibatkan dalam pelaksanaan program pembangunan kelautan dan perikanan
yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
Kelompok Pemerintah
1)
Peran pemerintah daerah yang terlibat secara langsung dalam pengelolaan
sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu terdiri dari beberapa instansi, yaitu
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi dan Dinas Kelautan dan
Perikanan Propinsi Jawa Barat. Pemerintah daerah berperan dalam adalah :
a)
Membuat berbagai regulasi dan strategi implementasinya yang terkait
dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk
Palabuhanratu;
b)
Mediator antara pihak nelayan dengan pihak swasta dalam pengembangan
usaha perikanan para nelayan;
c)
Membina kelompok-kelompok pengawas dan kelompok nelayan dalam
upaya membangun perikanan secara berkelanjutan;
d)
Mengatur dan membuat berbagai perijinan yang terkait dengan
pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu;
e)
Mengatur aktivitas di Pelabuhan Perikanan Indonesia (PPI) dan Tempat
Pelelangan Ikan (TPI);
86
f)
Memberdayakan kegiatan ekonomi masyarakat pesisir, khususnya
nelayan di sekitar perairan Sukabumi.
2)
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP-RI) berperan dalam mengatur
aktivitas Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu dan Satuan Kerja
Pengawasan Sumberdaya Ikan Palabuhanratu. Keberadaan kedua lembaga
tersebut merupakan kepanjangan dari kepentingan Departemen Kelautan dan
Perikanan RI di Teluk Palabuhanratu. Kedua lembaga DKP-RI tersebut berada
di bawah Direktorat Jenderal yang berbeda. Pelabuhan Perikanan Nusantara
Palabuhanratu berada di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Perikanan
Tangkap sementara itu Satuan Kerja Pengawasan Sumberdaya Ikan
Palabuhanratu berada di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Pengawasan
Sumberdaya Kelautan dan Perikanan.
Berdasarkan
Keputusan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
Nomor
:
KEP.10/MEN/2004 tentang Pelabuhan Perikanan, Pelabuhan Perikanan
Nusantara berperan dalam mengatur kapal ikan yang datang dan pergi dari
pelabuhan. Selain itu juga daerah operasional kapal ikan yang dilayani oleh
PPNP tidak hanya mencangkup wilayah perairan Teluk Palabuhanratu, akan
tetapi mencangkup wilayah perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEEI).
Berdasarkan
Keputusan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
Nomor
:
KEP.10/MEN/2004 tentang Pelabuhan Perikanan, Pelabuhan Perikanan dibagi
menjadi 4 (empat) kategori utama yaitu :
™ PPS (Pelabuhan Perikanan Samudera)
™ PPN (Pelabuhan Perikanan Nusantara)
™ PPP (Pelabuhan Perikanan Pantai)
™ PPI (Pangkalan Pendaratan Ikan)
Pelabuhan perikanan tersebut dikategorikan menurut kapasitas dan kemampuan
masing-masing pelabuhan dalam rangka menangani kapal yang datang dan
pergi serta letak dan posisi pelabuhan. Secara lengkap karakteristik kelas
pelabuhan perikanan tersebut dapat dilihat pada Tabel 21.
87
Tabel 21. Karakteristik kelas pelabuhan pps, ppn, ppp, dan ppi
No
1
2
3
4
Kriteria Pelabuhan
Perikanan
Daerah operasional kapal
ikan yang dilayani
Fasilitas tambat/labuh
kapal
Panjang dermaga dan
Kedalaman kolam
Kapasitas menampung
Kapal
PPS
PPN
PPP
PPI
Perairan
pedalaman
dan
perairan
kepulauan
Wilayah laut
teritorial,
Zona
Ekonomi
Ekslusif
(ZEEI) dan
perairan
internasional
>60 GT
Perairan
ZEEI dan
laut
teritorial
30-60 GT
Perairan
pedalaman,
perairan
kepulauan,
laut
teritorial,
wilayah
ZEEI
10-30 GT
>300 m dan
>3 m
>6000 GT
(ekivalen
dengan 100
buah kapal
berukuran
60 GT)
150-300 m
dan >3 m
>2250 GT
(ekivalen
dengan 75
buah kapal
berukuran
30 GT)
100-150 m
dan >2 m
>300 GT
(ekivalen
dengan 30
buah kapal
berukuran
10 GT)
5
3-10 GT
50-100 m
dan >2 m
>60 GT
(ekivalen
dengan 20
buah
kapal
berukuran
3 GT)
-
Volume ikan yang
rata-rata 60
rata-rata 30 didaratkan
ton/hari
ton/hari
6
Ekspor ikan
Ya
Ya
Tidak
Tidak
7
Luas lahan
>30 Ha
15-30 Ha
5-15 Ha
2-5 Ha
8
Fasilitas pembinaan mutu
Ada
Ada/Tidak Tidak
Tidak
hasil perikanan
9
Tata ruang (zonasi)
Ada
Ada
Ada
Tidak
pengolahan/pengembangan
industri perikanan
Sumber : Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.10/MEN/2004 tentang
Pelabuhan Perikanan
Kelompok usaha/swasta
1)
Koperasi Unit Desa (KUD) Mina, berperan dalam mengelola pelelangan hasil
tangkapan nelayan. Menurut Peraturan Daerah (PERDA) Propinsi Jawa Barat
No 5 Tahun 2005 tentang Pelelangan Ikan di sebutkan bahwa sekitar 0,8 persen
dari hasil peleangan ikan digunakan untuk operasional KUD.
2)
Bakul berperan dalam pemasaran hasil tangkapan nelayan di sekitar Teluk
Palabuhanratu. Hasil tangkapan nelayan kecil umumnya di tampung oleh para
bakul yang ada di sekitar Teluk Palabuhanratu, dari bakul ikan hasil tangkapan
88
tersebut dipasarkan ke konsumen dan para pengolah hasil perikanan yang ada di
wilayah tersebut. Selain berperan dalam pembelian hasil tangkapan nelayan,
sebagian besar bakul memberikan pinjaman kepada para nelayan.
Kelompok Keamanan
Polisi perairan selama ini berperan dalam menangani berbagai permasalahan
kriminal yang terjadi disekitar perairan Kabupaten Sukabumi. Selain itu juga polisi
perairan selama ini dalam menjalankan aktivitasnya sering bekerjasama dengan
Satuan Kerja Pengawas Sumberdaya Ikan Palabuhanratu dan Kelompok Masyarakat
Pengawas Sumberdaya Ikan .
Hubungan Antar Aktor
Ostrom (1990) menyatakan bahwa dalam menganalisis hubungan antar aktor
dalam sistem kelembagaan perlu dibedakan berdasarkan tingkatannya (level), yaitu
pertama, level konstitusi (constitutional),yaitu lembaga yang berperan dalam
menyusun aturan main untuk level collective choice. Kedua, level pilihan kolektif
(collective choice), yaitu lembaga yang berperan dalam menyusun peraturan untuk
dilaksanakan oleh lembaga operasional. Ketiga, lembaga operasional (operational),
yaitu lembaga yang secara langsung melaksanakan kebijakan di lapangan.
Berdasarkan
kerangka
pemikiran
Ostrom
(1990)
tersebut
aktor-aktor
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu yang
terholong kedalam level penentu kebijakan (collective choice level) adalah
Departemen Kelautan dan Perikanan RI, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa
Barat, dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi. Kelompok ini
berperan dalam menyusun dan menentukan kebijakan dan aturan main formal dalam
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Sementara
itu yang termasuk kedalam level operasional (operational choice level) adalah
kelompok usaha/swasta, kelompok nelayan formal dan kelompok nelayan formal.
89
Gambar 13. Hubungan Antar Aktor Pengelolaan Sumberdaya Ikan di Teluk
Palabuhanratu
Selain itu juga berdasarkan hasil analisis aktor pengelolaan sumberdaya ikan di
Teluk Palabuhanratu teridentifikasi bahwa selama ini masing-masing aktor dalam
menjalankan perannya didasarkan kepada keputusan masing-masing aktor. Hal ini
disebabkan
karena
selama
ini
belum ada
suatu
lembaga
khusus
untuk
mengkoordinasikan masing-masing kepentingan aktor. Sehingga tidak jarang
dilapangan sering terjadi konflik antar aktor yang terlibat dalam menjalankan
aktivitasnya.
Aktor pemerintah yang seharusnya dapat berperan dalam menyatukan masingmasing kepentingan aktor sampai saat ini belum dapat dilakukan secara optimal.
Aktor pemerintah dalam menjalankan programnya selama ini cenderung bermitra
dengan kelompok masyarakat formal. Sementara itu kelompok informal selama ini
jarang dilibatkan dalam program-program pemerintah. Padahal kekuatan kelompok
informal tersebut umumnya dikendalikan oleh tokoh-tokoh seusepuh nelayan di
Teluk Palabuhanratu.
90
Begitu juga halnya dengan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI)
Kabupaten Sukabumi yang diharapkan dapat menjadi jembatan bagi para aktor di
tingkat masyarakat dalam menyalurkan aspirasinya, sampai saat ini belum bisa
berjalan secara optimal. Sehingga dilapangan muncul beberapa kelompok nelayan
yang tidak percaya terhadap keberadaan HNSI. Para nelayan-nelayan kecil umumnya
memandang bahwa keberadaan HNSI hanya berpihak kepada para pengusaha
perikanan yang padat modal. Sehingga program-program pemerintah untuk nelayan
yang melalui HNSI cenderung dinikmati oleh para pengusaha perikanan tersebut.
Ko-Manajemen dalam Pengawasan Sumberdaya Ikan di Teluk Palabuhanratu
Tipe Ko-Manajemen sistem pengawasan sumberdaya ikan oleh masyarakat di
perairan Kabupaten Sukabumi tergolong kedalam tipe instruktif (instructive).
Pomeroy and Rivera (2006) dalam Adrianto (2007) mengatakan bahwa komanagemen tipe instruktif terjadi ketika terdapat komunikasi dan tukar informasi
yang minimal antara pemerintah dan pelaku perikanan. Tipe ini berbeda dengan rejim
sentralisasi dalam hal dimana terdapat mekanisme dialog antara pemerintah dan
pelaku perikanan namun tetap dalam konteks instruksi informasi dari apa yang telah
diputuskan oleh pemerintah.
Keberadaan
Kelompok
Masyarakat
Pengawas
Sumberdaya
Ikan
(POKMASWAS) di perairan Sukabumi awalnya difasilitasi oleh pemerintah
Kabupaten Sukabumi. Hal ini merupakan bentuk implementasi dari Keputusan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.58/MEN/2001 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Sistem Pengawasan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya
Kelautan dan Perikanan. Saat ini di Kabupaten Sukabumi terdapat sepuluh kelompok
POKMASWAS yang tersebar di delapan kecamatan, yaitu Kecamatan Cisolok,
Pelabuhanratu, Simpenan, Ciemas, Cibitung, Tegalbuled, Ciracap, dan Surade. Secara
lengkap kesepuluh kelompok POKMASWAS tersebut dapat dilihat pada Tabel 24.
91
Tabel 22. Kelompok Masyarakat Pengawas Sumberdaya Ikan (POKMASWAS) di
Kabupaten Sukabumi
No
1
Kecamatan
Cisolok
Nama POKMASWAS
Ketua
Cikahuripan Nusantara
H.E. Saepudin
Cibangban Nusantara
Aep Saepudin
2
Pelabuhanratu
Tuna Mandiri Nusantara
Badri
Ratu Nusantara
U.Rachmat
3
Simpenan
Loji Nusantara
M. Soleh
4
Ciemas
Waru Nusantara
Saripudin
5
Cibitung
Ciroyom Jaya
Nanang
6
Tegalbuled
Tegalbuled Jaya
Alamsyah
7
Ciracap
Ujunggenteng Nusantara
Uu Hambali
8
Surade
Minajaya Nusantara
H. Saep
Sumber : Buku Potensi Kelautan dan Pesisir Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Sukabumi, 2005
Dalam mekanisme Ko-manajemen pengawasan sumberdaya ikan anggota
POKMASWAS bertugas untuk melaporkan informasi-informasi yang terkait dengan
adanya dugaan pelanggaran dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
kelautan dan perikanan di sekitar perairan Teluk Palabuhanratu kepada aparat satuan
pembina Sistem Pengawasan berbasis Masyarakat (SISWASNAS) di tingkat
Kabupaten yang dikoordinasikan oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Sukabumi. Selain menerima laporan dari POKMASWAS, pembina
SISWASNAS tingkat Kabupaten Sukabumi juga bertugas untuk melakukan
peningkatan
kemampuan
POKMASWAS
baik
dalam
ketrampilan
teknik
pengawasan, pemahaman peraturan perundan-undangan melalui bimbingan dan
pelatihan.
Aparat pembina Sistem Pengawasan berbasis Masyarakat (SISWASNAS) di
tingkat Kabupaten yang menerima laporan dari POKMASWAS melanjutkan
informasi kepada PPNS dan/atau TNI-AL dan/ atau Satpol-AIRUD dan/ atau Kapal
Inspeksi Perikanan. Berdasarkan laporan tersebut PPNS, TNI-AL, Pol-AIRUD dan
instansi terkait lainnya, melaksanakan tindakan (penghentian dan pemeriksaan)
pengejaran dan penangkapan pada Kapal Ikan Indonesia (KII) dan Kapal Ikan Asing
(KIA) atau para pelanggar lainnya sebagai tersangka pelanggaran tindak pidana
perikanan dan sumberdaya kelautan lainnya, selanjutnya dilakukan proses
penyelidikan dan penyidikan. Pada waktu yang bersamaan PPNS, Pengawas
92
Perikanan dan/ atau (Koordinator PPNS dan/ atau Kepala Pelabuhan Perikanan)
meneruskan informasi yang sama kepada Dinas Kabupaten Sukabumi dan instansi
terkait Propinsi Jawa Barat dengan tembusan Direktur Jenderal Pengendalian
Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. Sementara itu Dinas Perikanan Kelautan dan
Perikanan kabupaten Sukabumi dan/atau propinsi Jawa Barat melakukan koordinasi
dengan petugas pengawas (TNI-AL, POLRI, PPNS) dalam melakukan operasi tindak
lanjut atas pelanggaran yang dilakukan Kapal Ikan Indonesia (KII) dan Kapal Ikan
Asing (KIA) maupun para pelanggar lainnya.
Pada tingkat pemerintah pusat Sistem Pengawasan berbasis Masyarakat
dikendalikan oleh Satuan Pembina SISWASMAS tingkat Pusat yang dikoordinir oleh
Direktur Jenderal Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Departemen
Kelautan dan Perikanan dengan anggota unsur Eselon I di lingkungan Departemen
Kelautan dan Perikanan, dan instansi terkait yang mempunyai kewenangan dalam
pendayagunaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Satuan Pembina SISWASMAS
tingkat pusat memiliki tugas untuk menetapkan kebijakan operasional pengawasan
dan pengendalian sumberdaya kelautan dan perikanan, melaksanakan koordinasi dan
menyelaraskan program dan kegiatan antar instansi/lembaga terkait. Selain itu juga
menindaklanjuti laporan Sekretariat Pembina SISWASMAS pusat terkait dengan
berbagai
informasi
dari
dari
kelompok
pengawas
masyarakat,
Dinas
Kabupaten/Propinsi.
Sementara itu dalam melakukan tugas sehari-hari Pembina SISWASMAS
ditingkat Pusat dibantu oleh Sekretariat yang dikoordinir oleh Direktur Pengawasan
Sumberdaya Ikan. Sekretariat bertugas mengumpulkan, mengolah dan menganalisa
laporan dan informasi, serta melaporkan kegiatan dan perkembangan pelaksanaan
SISWASMAS dari daerah serta menyiapkan tindak lanjut penyelesaiannya. Secara
grafis bentuk ko-manajemen sistem pengawasan sumberdaya ikan di perairan
Kabupaten Sukabumi tersebut dapat dilihat pada Gambar 14.
93
Satuan Pembina
Pusat SISWASNAS
Pelaporan
Hasil Analisis
Sekretariat Satuan
Pembina Pusat
SISWASNAS
Instruksi
Kebijakan
Satuan Pembina
Propinsi
SISWASNAS
Pelaporan
Kasus
Implementasi
Kebijakan
Satuan Pembina
Kabupaten
SISWASNAS
Pelaporan
Kasus
Implementasi
Kebijakan dan
Pembinaan teknis
POKMASWAS Kabupaten
Sukabumi
Gambar 14. Ko-Manajemen Sistem Pengawasan Sumberdaya Ikan di Teluk
Palabuhanratu
Kelembagaan Sebagai Aturan Main Pengelolaan Sumberdaya Ikan
Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah Teluk Palabuhanratu
selama ini mengacu kepada aturan formal yang telah di sahkan oleh pemerintah, baik
pusat maupun daerah. Selain itu juga pada tingkat masyarakat terdapat beberapa
aturan main yang telah disepakati sesama masyarakat nelayan, khususnya pada
pengelolaan rumpon di Teluk Palabuhanratu.
Aturan formal yang selama ini dijadikan acuan dalam pengelolaan sumberdaya
ikan di Teluk Palabuhanratu dapat dikelompokkan menjadi :
1)
Undang-undang, yang terdiri UU No 9 Tahun 1985 tentang Perikanan yang
kemudian di revisi dengan UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, UndangUndang No 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia;
2)
Peraturan Menteri, yang terdiri Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor : PER.17/MEN/2006 Tentang Usaha Perikanan Tangkap;
94
3)
Keputusan Menteri, terdiri dari Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan
Nomor : Kep. 58/Men/ 2001 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Sistem
Pengawasan Masyarakat Dalam Pengelolaan Dan Pemanfaatan Sumber Daya
Kelautan Dan Perikanan, Keputusan Menteri Pertanian No 123/Kpts/Um/1975
tentang Ketentuan Lebar Mata Jaring Purse Seine untuk Penangkapan Ikan
Kembung, Layang, Selar, Lemuru dan ikan pelagis sejenisnya, Keputusan
Menteri Pertanian No : 392/Kpts/Ik.120/4/99 Tentang Jalur-Jalur Penangkapan
Ikan;
4)
Peraturan Daerah (Perda) Provinsi, yang terdiri dari Perda Provinsi Jawa Barat
No 14 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan dan Retribusi Usaha Perikanan,
Keputusan Gubernur Jawa Barat No 45 Tahun 2003 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No 14 Tahun 2002 tentang
Usaha Perikanan dan Retribusi Usaha Perikanan;
5)
Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi, yang terdiri dari Peraturan Daerah
Kabupaten Sukabumi Nomor 3 Tahun 2002 tentang Izin Usaha Perikanan,
Keputusan Bupati Sukabumi Nomor 493 Tahun 2003 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi Nomor 3 Tahun 2002
tentang Izin Usaha Perikanan.
Kelima kelompok aturan main tersebut secara formal mengatur sekitar dua
belas aturan main dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk
Palabuhanratu. Kedua belas aturan main yang diatur dalam lima kelompok aturan
formal tersebut adalah Penentuan jumlah tangkapan yang diperbolehkan, Menjaga
kelestarian sumberdaya ikan, Pemantauan, pengawasan, pengendalian dan penegakan
hukum, Perlindungan Kepentingan Nelayan, Pengaturan Izin Penangkapan,
Pengaturan Alat Penangkapan Ikan, Pengaturan upaya penangkapan, Pengaturan jenis
dan ukuran ikan yang boleh di tangkap, Pengaturan musim penangkapan, Pengaturan
zonasi dan jalur penangkapan ikan, Sanksi terhadap pelanggaran, dan Pungutan
Perikanan (Tabel 23). Secara lengkap tentang hasil analisis aturan formal tersebut
dapat dilihat pada Lampiran 2.
95
Tabel 23. Jenis Peraturan dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di
Teluk Palabuhanratu.
No
1
2
3
Aturan Main
Penentuan jumlah
tangkapan
yang
diperbolehkan
Peraturan
1. Undang-Undang No 31 Tahun 2004
tentang Perikanan;
2. Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor :
PER.17/MEN/2006 Tentang Usaha
Perikanan Tangkap
Menjaga
1. Undang-Undang No 31 Tahun 2004
kelestarian
tentang Perikanan;
sumberdaya ikan
2. Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor :
PER.17/MEN/2006 Tentang Usaha
Perikanan Tangkap
Pemantauan,
1. Undang-Undang No 31 Tahun 2004
tentang Perikanan
pengawasan,
pengendalian dan 2. Undang-Undang No 6 Tahun 1996
tentang Perairan Indonesia,
penegakan hukum
3. Keputusan Menteri Kelautan Dan
Perikanan Nomor : Kep. 58/Men/
2001 Tentang Tata Cara
Pelaksanaan Sistem Pengawasan
Masyarakat Dalam Pengelolaan Dan
Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan
Dan Perikanan;
4. Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor :
PER.17/MEN/2006 Tentang Usaha
Perikanan Tangkap;
5. Perda Provinsi Jawa Barat No 14
Tahun 2002 tentang Usaha
Perikanan dan Retribusi Usaha
Perikanan;
6. Keputusan Gubernur Jawa Barat No
45 Tahun 2003 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Peraturan Daerah
Provinsi Jawa Barat No 14 Tahun
2002 tentang Usaha Perikanan dan
Retribusi Usaha Perikanan;
7. Peraturan Daerah Kabupaten
Sukabumi Nomor 3 Tahun 2002
tentang Izin Usaha Perikanan
8. Keputusan Bupati Sukabumi Nomor
493 Tahun 2003 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Peraturan Daerah
Kabupaten Sukabumi Nomor 3
Tahun 2002 tentang Izin Usaha
Perikanan
Keterangan
Belum ada aturan formal
di tingkat provinsi dan
kabupaten
Secara eksplisit aturan
formal di tingkat provinsi
dan Kabupaten belum
mengatur
bagaimana
menjaga
kelestarian
sumberdaya ikan
Berdasarkan UU
Perikanan, pemerintah
Kabupaten Sukabumi
dapat membentuk
pengadilan perikanan
guna menegakkan
hukum perikanan di
Teluk Palabuhanratu
96
4
Perlindungan
Kepentingan
Nelayan
1. Undang-Undang No 31 Tahun 2004
tentang Perikanan;
2. Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor :
PER.17/MEN/2006 Tentang Usaha
Perikanan Tangkap
5
Pengaturan Izin
Penangkapan
6
Pengaturan Alat
Penangkapan
Ikan
7
Pengaturan
upaya
penangkapan
1. Undang-Undang No 31 Tahun 2004
tentang Perikanan;
2. Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor :
PER.17/MEN/2006 Tentang Usaha
Perikanan Tangkap
3. Perda Provinsi Jawa Barat No 14
Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan
dan Retribusi Usaha Perikanan;
4. Peraturan Daerah Kabupaten
Sukabumi Nomor 3 Tahun 2002
tentang Izin Usaha Perikanan
1. Undang-Undang No 31 Tahun 2004
tentang Perikanan;
2. Peraturan
Daerah
Kabupaten
Sukabumi Nomor 3 Tahun 2002
tentang Izin Usaha Perikanan
1. Undang-Undang No 31 Tahun 2004
tentang Perikanan;
2. Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor :
PER.17/MEN/2006 Tentang Usaha
Perikanan Tangkap
8
Pengaturan jenis
dan ukuran ikan
yang boleh di
tangkap
1. UU No 9 Tahun 1985 tentang
Perikanan
2. Keputusan Menteri Pertanian No
123/Kpts/Um/1975 tentang Ketentuan
Lebar Mata Jaring Purse Seine untuk
Penangkapan Ikan Kembung, Layang,
Selar, Lemuru dan ikan pelagis
sejenisnya
3. Keputusan Menteri Pertanian Nomor :
392/Kpts/Ik.120/4/99
Tentang Jalur-Jalur Penangkapan Ikan
Peraturan daerah, baik
provinsi Jawa Barat
maupun kabupaten
Sukabumi, belum
mengatur secara eksplisit
tentang perlindungan
kepentingan nelayan
Pengaturan izin
penangkapan sudah
didelegasikan kepada
pemerintah daerah,
sesuai dengan
kewenanganya.
Belum ada peraturan
daerah yang mengatur
upaya penangkapan ikan,
padahal hal ini sangat
diperlukan guna menjaga
kelestarian sumberdaya
ikan
UU No 31 tahun 2004
tentang perikanan tidak
mengatur tentang jenis
dan ukuran ikan yang
boleh ditangkap, padahal
dalam UU No 9 Tahun
1985 sudah diatur.
Sementara itu UU No 9
Tahun 1985 telah
dinyatakan tidak berlaku
lagi sejak disahkannya
UU No 31 Tahun 2004.
97
9
Pengaturan
musim
penangkapan
10
Pengaturan
zonasi dan
jalur
penangkapan
ikan
UU No 9 Tahun 1985 tentang Perikanan
Belum ada peraturan
menteri dan peraturan
daerah yang mengatur
musim penangkapan di
Teluk Palabuhanratu.
Padahal hal ini sangat
penting dalam
melakukan manajemen
penangkapan ikan
1. UU No 9 Tahun 1985 tentang Perikanan
2. Peraturan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan Nomor : PER.17/MEN/2006
Tentang Usaha Perikanan Tangkap
3. Keputusan Menteri Pertanian Nomor :
392/Kpts/Ik.120/4/99
Tentang Jalur-Jalur Penangkapan Ikan
4. Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi
Nomor 3 Tahun 2002 tentang Izin Usaha
Perikanan
5. Keputusan Bupati Sukabumi Nomor 493
Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi
Nomor 3 Tahun 2002 tentang Izin Usaha
Perikanan
11
Sanksi
1. UU No 9 Tahun 1985 tentang Perikanan
terhadap
2. Peraturan
Menteri
Kelautan
dan
pelanggaran
Perikanan Nomor : PER.17/MEN/2006
Tentang Usaha Perikanan Tangkap
3. Perda Provinsi Jawa Barat No 14 Tahun
2002 tentang Usaha Perikanan dan
Retribusi Usaha Perikanan
4. Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi
Nomor 3 Tahun 2002 tentang Izin Usaha
Perikanan
12
Pungutan
1. UU No 9 Tahun 1985 tentang Perikanan
Perikanan
2. Perda Provinsi Jawa Barat No 14 Tahun
2002 tentang Usaha Perikanan dan
Retribusi Usaha Perikanan
3. Keputusan Gubernur Jawa Barat No 45
Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No
14 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan
dan Retribusi Usaha Perikanan;
4. Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi
Nomor 3 Tahun 2002 tentang Izin Usaha
Perikanan
5. Keputusan Bupati Sukabumi Nomor 493
Tahun 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi
Nomor 3 Tahun 2002 tentang Izin Usaha
Perikanan
Sumber : diolah dari berbagai peraturan perikanan di Teluk Palabuhanratu
98
Hak-Hak Terhadap Sumberdaya Ikan (Property Right)
Berdasarkan hasil análisis lapangan terlihat bahwa semua aktor yang terlibat
dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu
memiliki hak atas akses dan memanfaatkan sumberdaya ikan. Akan tetapi tidak
semua aktor telah memanfaatkan atas hak tersebut. Sementara itu aktor-aktor yang
memiliki hak untuk mengatur adalah LEPPM2R, KUD Mina, Kelompok Pengelola
Rumpon, Kelompok Masyarakat Pengawas, dan Pemerintah. Namun demikian halhal yang diatur oleh masing-masing aktor tersebut sesuai dengan fungsi dan perannya
masing-masing. Secara lengkap hasil indentifikasi terhadap hak pada sumberdaya
ikan di Teluk Palabuhanratu dapat dilihat pada Tabel 24.
Tabel 24. Identifikasi Hak Pada Sumberdaya Ikan di Teluk Palabuhanratu
No
1
2
3
4
Jenis Hak
KUD
Mina
Akses5 &
Memanfaatk
an6
Mengatur7
Eksklusif8
Mengalihkan
√
√
Kelompok
Pengelola
Rumpon
√
Kelompok
Masyarakat
Pengawas
√
√
√
√
HNSI
√
Kelompo
k Nelayan
Informal
√
Pemeri
ntah
9
Sumber : Data Primer, 2007
5
Hak Akses, yaitu hak untuk masuk ke dalam sumberdaya yang memiliki batasan-batasan fisik yang
jelas (Ostrom and Schlager, 1996).
6
Hak Memanfaatkan, yaitu hak untuk memanfaatkan sumberdaya dengan cara-cara dan teknik
produksi sesuai dengan ketetapan dan peraturan yang berlaku (Ostrom and Schlager, 1996).
7
Hak Mengatur, yaitu hak untuk mengatur pemanfaatan sumberdaya serta meningkatkan kualitas dan
kuantitas sumberdaya melalui upaya pengkayaan stok ikan serta pemeliharaan dan perbaikan
lingkungan (Ostrom and Schlager, 1996). Nikijuluw (2002) menyatakan bahwa suatu kelompok
nelayan dikatakan telah menjalankan hak mengatur sumberdaya ketika kelompok tersebut menetapkan
zona penangkapan ikan untuk dimasuki hanya oleh alat tangkap ikan tertentu. Demikian pula, jika
tindakan dilakukan suatu masyarakat untuk menentukan cara menangkap ikan, jenis teknologi, ukuran
kapal, serta waktu penangkapan ikan, masyarakat tersebut telah mempraktekkan haknya dalam
mengatur pemanfaatan sumberdaya ikan.
8
Hak Eksklusif, yaitu hak untuk menentukan siapa yang boleh memiliki hak akses dan apakah hak
akses tersebut dapat dialihkan lepada orang lain (Ostrom and Schlager, 1996).
9
Hak Mengalihkan, yaitu hak untuk menjual atau menyewakan keempat hak tadi kepada orang lain
(Ostrom and Schlager, 1996).
√
√
√
√
99
Ostrom and Schlager (1996) mengelompokan individu atau kelompok
berdasarkan kepada hak-hak terhadap sumberdaya alam menjadi lima kelompok,
yaitu (1) owner, yaitu individu atau kelompok yang memiliki hak akses (access right),
hak pemanfaatan (withdrawal right), hak manajemen (management right), hak untuk
mengatur tingkat operasional hak akses (exclusion right) dan hak untuk menjual atau
menyewa semua atau bagian kolektif dari sumberdaya (alienation right); (2)
proprietor, yaitu individu atau kelompok yang memiliki hak akses (access right), hak
pemanfaatan (withdrawal right), hak manajemen (management right) dan hak untuk
mengatur tingkat operasional hak akses (exclusion right); (3) claimant, yaitu individu
atau kelompok yang memiliki hak akses (access right), hak pemanfaatan (withdrawal
right) dan hak manajemen (management right); (4) authorized user, yaitu individu
atau kelompok yang hanya memiliki hak akses (access right) dan hak pemanfaatan
(withdrawal right); dan (5) authorized entrant, yaitu individu atau kelompok yang
hanya memiliki hak akses (access right) saja tanpa memiliki hak-hak yang lainnya.
Berdasarkan kerangka pemikiran Ostrom and Schlager diatas maka aktor
pemerintah tergolong sebagai owner. Aktor yang tergolong kedalam kelompok
proprietor adalah Kelompok Pengelola Rumpon. Aktor yang tergolong kedalam
kelompok Claimant adalah LEPPM2R, KUD Mina, dan Kelompok Masyarakat
Pengawas. Sementara itu actor yang tergolong kedalam kelompok Authorized User
adalah HNSI, Kelompok Nelayan Informal dan pihak perbankkan.
Hak Penggunaan Wilayah Perairan Teluk Palabuhanratu Untuk Perikanan
Bagan dan Rumpon (Territorial Use Rights in Fisheries, TURF)
Hak penggunaan wilayah pada perikanan (Territorial Use Rights in Fisheries,
TURF) di teluk Palabuhanratu dapat dilihat dari nelayan bagan dan rumpon. Namun
demikian berdasarkan Surat Edaran Dinas Kelautan dan Perikanan (Dinas KP)
Provinsi Jawa Barat Tahun 2006 tentang Pelarangan Membangun Bagan di Perairan
Laut Jawa Barat secara tegas telah melarang membangun bagan di perairan Jawa
Barat, termasuk di Perairan Palabuhanratu.
100
Selain itu juga berdasarkan surat edaran Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Sukabumi Tahun 2006 sebagai tindak lanjut dari surat edaran Dinas KP
Propinsi Jawa Barat tersebut secara jelas menghimbau kepada para nelayan untuk
tidak mengembangkan bagan di sekitar perairan Teluk Palabuhanratu. Dalam surat
edaran tersebut Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi memberikan
alternatif pengganti fungsi bagan sebagai sarana budidaya laut, seperti rumput laut
dan kerang hijau. Secara lengkap isi surat edaran Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Sukabumi tersebut adalah :
1)
Dalam memanfaatkan sumberdaya ikan agar berpedoman kepada UU No 31
Tahun 2004 tentang perikanan serta Perda No 3 Tahun 2002 tentang Izin usaha
perikanan;
2)
Tumbuhkan
rasa
kebersamaan,
teloransi,
damai
dan
rukun
dalam
memanfaatkan SDI. Hindarkan dari segala bentuk permusuhan dan konflik
yang akhirnya akan merugikan semua pihak;
3)
Mari kita kembangkan usaha perikanan yang efisien dan produktif dengan
memperhatikan kelestarian SDI dalam upaya meningatlan kesejahteraan
nelayan Sukabumi;
4)
Melelangkan hasil tangkapan ikan di TPI - TPI terdekat seseua dengan Perda
Propinsi Jawa Barat No 5 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan dan restribusi
TPI;
5)
Usaha perikanan budidaya laut seyogyanya dikembangkan sebagai
usaha
alternatif pengganti bagi nelayan bagan.
Sementara itu untuk hak penggunaan wilayah pada perikanan (Territorial Use
Rights in Fisheries, TURF) oleh rumpon diperairan teluk Palabuhanratu telah
memiliki kekuatan hukum setingkat menteri kelautan dan perikanan, yaitu melalui
Kepmen Kelautan dan Perikanan No. Kep 30/MEN/2004 tentang Pemasangan dan
Pemanfaatan Rumpon. Namun demikian untuk peraturan tingkat kabupaten sampai
saat ini dinas kelautan dan perikanan belum memilikinya. Saat ini acuan hukum
dalam peletakan rumpon di perairan Teluk Palabuhanratu masih mengacu kepada
Kepmen tersebut.
101
Pengelolaan rumpon di Teluk Palabuhanratu dilakukan oleh kelompok
pengelola rumpon. Sampai saat ini terdapat sepuluh kelompok pengelola rumpon
yang tersebar di seluruh wilayah Teluk Palabuhanratu. Setiap kelompok
beranggotakan sekitar 11 perahu ikan milik nelayan setempat. Kesepuluh kelompok
pengelola rumpon tersebut membentuk suatu wadah koordinasi yang dinamakan
Perkumpulan Nelayan Bahtera, yang di Ketuai oleh Bapak Ujang Sumitra. Kesepuluh
kelompok pengelola rumpon tersebut dapat dilihat pada Tabel 25.
Tabel 25. Kelompok Pengelola Rumpon di Perairan Teluk Palabuhanratu
No
1
Nama Kelompok
Ketua
Kelompok
Yosep
3
Kelompok
Tradisional Pancing
Palabuhanratu
Tradisional Pancing
Cisolok
Payang
4
Beleketek/Diesel
5
H. Lili
7
Beleketek/Diesel
Ujung Genteng
Beleketek/Diesel
Ujung Genteng
Payang
8
Beleketek/Diesel
Aja
9
Payang
2
6
10
Erwin
Bintang
Mas
Pisces
Lokasi Rumpon
Wilayah Perairan
Titik Koordinat
Sukawayana
6059 690’ LS,
106029 930’ BT
Cikembang
Cibareno Tengah
Gagan
Pangumbahan
Tengah
Cigaur Ujung
Genteng
Cikawung
Bogor
Citirem Tengah
Jajat
Mayang
Sari
Cibutun
Sodong Parat
Cibanteng
Tradisional Pancing
Cikeueus
Loji
Sumber : Perkumpulan Nelayan Bahtera 2006
6059 795’ LS,
106026 612’ BT
07003 072’ LS,
106020 015’ BT
07022 052’ LS,
106018 209’ BT
07025 112’ LS,
106024 209’ BT
07027 992’ LS,
106029 099’ BT
07018 022’ LS,
106019 262’ BT
07013 976’ LS,
106019 624’ BT
07009 585’ LS,
106023 196’ BT
07008 501’ LS,
106026 395’ BT
Hak penggunaan wilayah oleh pengelola rumpon tampaknya akan memberikan
peluang baik untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat nelayan kecil di sekitar
Teluk Palabuhanratu. Hal ini dapat dilihat dari dua alasan, yaitu :
1)
Rumpon dapat berperan sebagai media untuk berkumpul dan berkembangnya
sumberdaya ikan di sekitar perairan teluk Palabuhanratu. Sehingga ikan yang
102
ditangkap nelayan akan mengalami peningkatan. Menurut Koordinator rumpon
di Palabuhanratu, sejak pemasangan 10 unit rumpon (alat bantu penangkapan
ikan) di dalam dan di luar teluk Palabuhanratu pertengahan Novemver 2006,
nelayan setempat kebanjiran ikan. Hampir semua jenis perahu tradisional, mulai
dari congkreng, beleketek dan payang pun kecipratan rezeki dari hasil
tangkapannya. Hasil produksi ikan di Palabuhanratu mengalami perbedaan
yang cukup signifikan. Dari biasanya seorang nelayan perahu payang setiap
harinya menghasilkan satu ton ikan, kini melonjak tajam hingga rata-rata 10-12
ton untuk satu kali melaut. Padahal dari pengalaman sebelumnya, biasanya
bulan-bulan november-Pebruari terjadi paceklik ikan, tapi kini justru sebaliknya
hampir setiap hari nelayan bisa memanen ikan. Dengan meningkatnya produksi
ikan ini, diharapkan dapat membantu perekonomian nelayan sekaligus
memperbaiki kesejahteraannya.
2)
Memperkecil biaya melaut nelayan karena lokasi penangkapan menjadi pasti.
Artinya nelayan dalam melakukan penangkapan ikan tidak perlu lagi
melakukan pencarian fishing ground akan tetapi langsung kepada lokasi
rumpon. Dampaknya adalah berkurangnya biaya operasional, terutama bahan
bakar minyak (BBM) yang diperlukan untuk setiap kali melaut. Hal ini
disebabkan hasil tangkapan nelayan akan mengalami peningkatan. Bahkan
menurut pengakuan para nelayan yang telah memanfaatkan rumpon di Teluk
Palabuhanratu, mereka saat ini sudah tidak mengenal lagi musim paceklik.
Aturan Main Lokal Pengelolaan Rumpon
Pengelolaan rumpon di perairan Teluk Palabuhanratu dalam pemanfaatan
hasilnya tidak menjadi monopoli para pengelolanya saja. Para nelayan di luar anggota
kelompok pengelola rumpon yang ada bisa turut serta memanfaatkan sumberdaya
ikan yang terdapat di sekitar rumpon. Namun demikian, terdapat beberapa aturan
main yang mesti ditaati oleh setiap nelayan yang akan melakukan penangkapan ikan
di sekitar perairan rumpon. Aturan main tersebut hanya berlaku di kalangan nelayan
103
saja, artinya tidak ada ketentuan hukum formal yang mengatur tentang aturan main
tersebut. Aturan main yang berlaku tersebut adalah :
1) Setiap nelayan, baik anggota maupun bukan anggota kelompok memiliki hak
untuk mendapatkan akses penangkapan ikan di sekitar rumpon;
2) Setiap kapal nelayan bukan anggota kelompok pengelola rumpon yang
menangkap ikan di sekitar rumpon dikenakan iuran sebesar 5 persen dari hasil
tangkapan yang diserahkan kepada kelompok pengelola rumpon.
3) Setiap kapal nelayan anggota pengelola rumpon yang menangkap ikan di sekitar
rumpon dikenakan iuran sebesar 2 persen dari hasil tangkapan.
4) Hasil dari iuran tersebut akan digunakan untuk perawatan dan pengawasan
rumpon yang ada agar tetap terpelihara dengan baik. Pemeliharaan rumpon
biasanya dilakukan setiap dua minggu sekali dengan mengganti daun kelapa
yang dijadikan media rumpon sebanyak 25 batang. Pemeliharaan rumpon
tersebut dilakukan oleh para anggota kelompok pengelola rumpon secara
bergantian setiap dua minggu sekali.
Sementara itu untuk mengawasi keberadaan rumpon agar tetap berada di
lokasinya, para nelayan yang menjadi anggota kelompok pengelola rumpon setiap
hari secara bergilir mengawasi keberadaan rumpon. Pengawasan rumpon tersebut
dilakukan seiring dengan para nelayan melakukan aktivitas penangkapan ikan.
Sehingga tidak memerlukan biaya khusus untuk melakukan pengawasan rumpon.
Konflik Pengelolaan Sumberdaya Ikan
Berdasarkan hasil analisis konflik sampai akhir tahun 2006 terdapat tiga sumber
yang menjadi penyebab terjadinya konflik sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu,
yaitu produksi penangkapan nelayan payang yang terus menurun, meningkatnya
jumlah bagan apung di perairan Teluk Palabuhanratu, dan pelanggaran jalur
penangkapan ikan (Tabel 26).
104
Tabel 26. Tipe Konflik dalam Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Teluk Palabuhanratu.
Tipologi Konflik
Menurut
Charles (2001)
™ Kelompok perahu ™ Konflik
alokasi
payang
Pada tahun 2005internal
™ Kelompok nelayan
2006
produksi
rumpon
Teluk
1 penangkapan dari
Kelautan
Palabuhanratu ™ Dinas
perahu
payang
dan
Perikanan
semakin menurun.
Kabupaten
Sukabumi
Meningkatnya
™ Kelompok bagan ™ Konflik
jumlah
bagan
apung
alokasi
apung
(jaring
Teluk
™ Kelompok nelayan
internal
angkat)
yang Palabuhanratu
jaring
beroperasi di teluk
™ Kelompok Nelayan
2 Palabuhanratu
Rumpon
™ Kelompok perahu ™ Konflik batas
wilayah
Pelanggaran jalur
Teluk
purseine
3
penangkapan ikan
Palabuhanratu
™ Kelompok nelayan
non purseine
Sumber : Diolah dari data Dinas Kelautan Dan Perikanan Kabupaten Sukabumi (2006)
dan data primer (2007)
No
Isu- Isu dan
Penyebab
Lokasi konflik
Kelompok-kelompok
yang terlibat
Pertama, konflik antara kelompok perahu payang dengan kelompok nelayan
rumpon. Hasil identifikasi dilapangan terlihat bahwa konflik tersebut sudah
berlangsung sejak diperkenalkannya rumpon kepada para nelayan di sekitar Teluk
Palabuhanratu, yaitu sekitar tahun 2002. Pada tahun 2002 di perairan Teluk
Palabuhanratu dibangun 5 unit rumpon yang pengelolaan dan pemanfaatannya
diserahkan kepada kelompok nelayan pancing. Namun karena penempatan rumpon
tersebut dianggap telah mengganggu jalur penangkapan ikan nelayan jaring, terutama
nelayan payang dan gillnet maka keberadaan rumpon tersebut hanya bertahan selama
6 bulan. Menurut pengakuan nelayan jaring kepada pihak dinas kelautan dan
perikanan keberadaan rumpon tersebut telah menyebabkan jaring mengalami
kerusakan akibat tersangut pada rumpon. Dan akhirnya para nelayan jaring tersebut
“menebas” habis rumpon yang ada di sekitar perairan Teluk Palabuhanratu.
Pada tahun 2005 Yayasan Anak Nelayan Indonesia (YANI) kembali memasang
rumpon 2 unit di perairan Teluk Palabuhanratu, akan tetapi letaknya berada di luar
105
teluk. Hal ini dimaksudakan selain untuk menghindari konflik dengan nelayan jaring
juga untuk “menggaet” sumberdaya ikan yang ada di perairan Samudera Hindia.
Namun demikian ternyata keberadaan rumpon milik YANI tersebut juga di protes
oleh para nelayan jaring karena dianggap telah turut memperburuk hasil tangkapan
nelayan jaring. Menurut aparat Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi
konflik ini disebabkan karena adanya salah pemahaman dari kelompok nelayan jaring,
khususnya nelayan payang yang beranggapan bahwa penurunan produksi
penangkapan perahu payang akibat dari keberadaan rumpon di luar teluk. Sehingga
ikan-ikan yang seharusnya beruaya ke dalam teluk tertahan di rumpon yang ada di
luar tersebut.
Alasan nelayan jaring tersebut dianggap tidak masuk akal karena keberadaan
rumpon di luar teluk jumlahnya hanya dua unit sementara luas teluk sangat besar.
Sehingga keberadaan rumpon tersebut tidak akan mengganggu migrasinya ikan ke
Teluk Palabuhanratu bagian dalam. Akhirnya pada akhir tahun 2005 sampai triwulan
pertama tahun 2006 Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi melakukan
sosialisasi rumpon kepada seluruh nelayan di Teluk Palabuhanratu. Hal ini
dimaksudkan selian untuk menghindari kesalahpahaman juga untuk memberikan
pemahaman kepada para nelayan agar mempu memanfaatkan rumpun guna
mengefetifkan pencarian ikan dan meningkatkan produksi penangkapan.
Pada tahun 2006 Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi kembali
memasang rumpon di dalam teluk sebanyak 4 unit guna memperpendek jarak
jangkauan dan supaya dapat dimanfaatkan oleh perahu yang kecil sedangkan diluar
teluk sebanyak 6 unit dari Anggaran Pembangunan Belanja Negara Propinsi
(APBNP) Jawa Barat 1 Unit. Pengelolaan sepuluh rumpon tersebut diserahkan
kepada sepuluh kelompok pengelola rumpon. Pembagian sepuluh pengelola tersebut
tidak hanya didominasi oleh nelayan pancing, tetapi juga melibatkan kelompok
nelayan payang dan beleketek.
Namun demikian, pemasangan rumpon tersebut saat ini masih menyisakan
konflik dilapangan. Menurut nelayan payang yang menjadi responden menyatakan
bahwa konflik tersebut lebih disebabkan tidak dilibatkannya seluruh nelayan payang
106
dan bagan dalam pembangunan rumpon di perairan Teluk Palabuhanratu. Sehingga
masih ada dari para nelayan yang tidak menerima keberadaan rumpon di Teluk
Palabuhanratu. Misalnya penebasan jangkar rumpon oleh nelayan payang pada
pertengahan tahun 2006 yang menyebabkan tiga unit rumpon di dalam Teluk
Palabuhanratu hilang terbawa arus. Selain itu juga menurut Ketua Kelompok Nelayan
Pancing Karang Deet Kecamatan Pelabuharatu yang mengelola rumpon di sekitar
perairan
Sukawayana,
kelompoknya
terpaksa
memindahkan
rumpon
yang
dikelolanya ke lokasi lain karena rumpon tersebut dijadikan tempat bersandarnya
bagan apung milik nelayan bagan.
Berdasarkan kerangka pemikiran Charles (2001) tipologi konflik perikanan
diatas tergolong kedalam tipe konflik alokasi internal. Hal ini dicirikan dengan
adanya konflik antar kelompok nelayan dan konflik penggunaan alat tangkap di
wilayah Teluk Palabuhanratu. Konflik tersebut sebenarnya dapat diselesaikan secara
baik dengan cara peningkatan komunikasi antar kelompok nelayan yang bertikai.
Namun demikian akibat belum terkelola secara baik, maka konflik tersebut
dilapangan telah berdampak terhadap munculnya kekerasan oleh nelayan. Konflikkonflik horizontal antar nelayan tersebut apabila tidak secepatnya dikelolan secara
baik maka dikhawatirkan akan terus menggangu sistem tata kelola pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Oleh sebab itu intensitas
komunikasi kepada seluruh nelayan yang ada di Teluk Palabuhanratu sudah menjadi
keharusan. Selain itu juga keterlibatan seluruh nelayan tersebut dalam pengelolaan
rumpon perlu rumuskan secara baik.
Kedua, konflik keberadaan bagan apung dengan nelayan jaring dan rumpon.
Konflik ini dipicu oleh meningkatnya jumlah bagan apung (jaring angkat) yang
beroperasi di teluk Palabuhanratu. Keberadaan bagan tersebut telah menyebabkan
terganggunya jalur penangkapan ikan nelayan jaring. Akibatnya hasil tangkapan
nelayan jaring mengalamai penurunan dan alat tangkapnya mengalami kerusakan
karena tersangkut pada bagan.
Selain itu juga menurut pantau Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Sukabumi keberadaan Bagan Apung ini diduga telah berdampak terhadap penurunan
107
stok ikan di teluk Palabuhanratu. Hal ini disebabkan sumberdaya ikan yang
tertangkap oleh bagan tidak selektif. Namun demikian dugaan Dinas Keluatan dan
Perikanan tersebut perlu adanya pembuktian secara ilmiah. Langkah awal yang telah
dilakukan oleh dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi dalam upaya
mengatasi keberadaan bagan apung ini adalah dengan cara mengalihkan pemanfaatan
bagan apung dari menangkap ikan menjadi sarana budidaya laut, misalnya budidaya
kerang hijau dan rumput laut. Pada tahun 2002 - 2006 Dinas Kelautan dan Perikanan
telah berupaya memperkenalkan budiadya laut dengan memanfaatkan bagan apung,
seperti budidaya kerapu (tahun 2002, 2003, 2004), Budidaya Kerang Hijau dan
rumput laut (tahun 2006).
Berdasarkan kerangka pemikiran Charles (2001) tipologi konflik perikanan
diatas tergolong kedalam tipe konflik alokasi internal. Hal ini dicirikan dengan
adanya konflik antar kelompok nelayan dan konflik penggunaan alat tangkap di
wilayah Teluk Palabuhanratu.
Ketiga, konflik pelanggaran jalur penangkapan ikan oleh nelayan purseine.
Menurut catatan Dinas Kelautan dan Perikanan (2006) terlihat bahwa kapal-kapal
purseine banyak yang melakukan penangkapan ikan di jalur I dan II, padahal jalur I
dan II tersebut diperuntukkan bagi nelayan kecil. Hal ini sesuai dengan Surat
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 392 Tahun 1999 tentang Jalur-Jalur
Penangkapan Ikan. Namun demikian keberadaan kapal-kapal purseine tersebut
sampai saat ini sudah dapat ditanggulangi oleh pihak yang terkait. Dinas Kelautan
dan Perikanan Kabupaten Sukabumi bekerjasama dengan Polisi Air dan Udara
(PolAirud), TNI AL, syahbandar, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan
Steakholder dari nelayan setiap 3 bulan sekali melakukan pengawasan ke laut guna
mengawasi perahu – perahu yang mengkap ikan tidak sesuai dengan jalurnya.
Menurut Data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi (2007),
sampai tahun 2006 pemerintah daerah Kabupaten Sukabumi belum pernah
memberikan izin usaha perikanan (IUP) kepada kapal purseine. Secara lengkap alat
tangkap yang diberikan izin oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi
tahun 2006 dapat dilihat pada Table 27.
108
T
Tabel
27. Ju
umlah Izin Usaha
U
Perikaanan (IUP) Yang
Y
dikeluuarkan Dinass Kelautan dan
d
Peerikanan Kabbupaten Sukkabumi Tahuun 2006
No
N
Jalur Peenangkapan
1 Jalur I
2 Jalur I B
Jumlah
Izin
18
Juumlah Alat
Tangkap
18
27
31
Jenis Alat
A Tangkap
Pancing, Jarring Payang
Pancing Raw
we, Jaring
Rampus, Panncing, Jaring
Payang, Panncing Rumponn
Jaring udangg, pancing,
Pancing Rum
mpon, Jaring
Payang, Gilllnet, Pancing
Rawe,Jaringg Rampus, Jarring
Dasar
3 Jalur II
34
36
Jumlah
79
85
Sumber
S
: diolaah dari Dinass Kelautan dann Perikanan Kabupaten
K
Suukabumi Tahuun
20007
Berdassarkan Tabeel 27 terlihaat bahwa allat tangkap pancing, jaarring rumpoon,
g
gillnet,
pan
ncing rawe dan jarringg rampus sangat
s
domiinant beradda di perairran
K
Kabupaten
Sukabumi,
S
k
khususnya
dii Jalur I dann II. Secara lengkap
l
alatt tangkap yaang
Unit
d
dominant
terrsebut dapat digambarkaan dalam Gaambar 15.
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
I
IB
II
Jeenis Alat Tanggkap
G
Gambar
15.. Alat Tanggkap yang ddiberikan Izzin di Perairran Kabupaaten Sukabum
mi
Tahun 20006 (Dinas Kelautan ddan Perikanaan Kabupatten Sukabum
mi
Tahun 2007)
109
Berdasarkan kerangka pikir yang telah dikembangkan oleh Charles (2001)
tipologi konflik perikanan diatas tergolong kedalam konflik batas wilayah (fishery
jurisdiction). Konflik batas wilayah tersebut dicikiran dengan adanya pelanggaran
terhadap aturan main yang telah ditetapkan oleh pemerintah, baik pusat maupun
daerah.
Analisis Game Theory
Analisis game theory digunakan untuk melihat strategi-strategi yang dapat
digunakan dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Dalam
analisis game theory ini yang dipilih menjadi pemain adalah pemerintah dan
komunitas nelayan. Sementara itu strategi yang dipilih bagi para pemain adalah Quasi
open access atau limited entry. Dalam kondisi permainan yang tidak bekerjasama
(non cooperative) akan menciptakan kecenderungan bagi para pemain untuk bersifat
eksploitatif, sementara itu pada kondisi permainan yang bekerjasama (cooperative)
akan menciptakan kecenderungan bagi para pemain untuk bersifat berkelanjutan
(sustainable). Dalam analisis ini hanya dilakukan satu kali simulasi permainan, yaitu
antara pemerintah dan nelayan.
Wahyudin (2005) menyatakan bahwa apabila sumberdaya ikan di Teluk
Palabuhanratu dikelola secara optimal maka akan memberikan dampak ekonomi yang
cukup besar, yaitu mencapai sekitar Rp. 2.318.020.000,00. Selain itu juga, kelestarian
sumberdaya ikan akan terjaga dengan baik. Namun demikian sesuai dengan hokum
ekonomi, bahwa manfaat sustainable sumberdaya ikan tidak bisa diambil sepenuhnya
oleh pelaku perikanan, maka pihak nelayan menjadi kurang tertarik untuk
melakukannya. Oleh sebab itu pemerintah seharusnya mengambil alih tanggungjawab
untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan. Matrik pay off permainan antara
pemerintah dengan nelayan dapat dilihat pada Tabel 28. Secara lengkap perhitungan
analisis game theory dapat dilihat pada Lampiran 3.
110
Tabel 28. Matrik pay off permainan antara pemerintah dengan nelayan
Nelayan
Pemerintah
Quasi open
access
Limited entry
Eksploitasi
Rp. (113.012.343,16)
Rp. 1.893.224,14
Rp. 249.708.324,40
Rp. 6.761.824.724,14
Sustainable
Rp. (112.289.084,00)
Rp. 64.968.557,90
Rp. 256.940.916,00
Rp. 2.382.988.557,90
Sumber : Data primer 2007
Dalam permainan ini, pengambil langkah pertama adalah pemerintah sebagai
pemilik hak atas sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu (state property), sementara
nelayan akan berespon atas keputusan pemerintah. Berdasarkan analisis-analisis
sebelumnya terlihat bahwa selama ini kondisi pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk
Palabuhanratu tercermin di Kuadran satu, dimana pengelolaan sumberdaya ikan
berdasarkan pada peraturan pemerintah yang mendorong terciptanya kondisi quasi
open access. Belum adanya kepastian dan jaminan bagi para nelayan dalam
memanfaatkan sepenuhnya sumberdaya ikan, maka menjadikan nelayan untuk
bersikap eksploitatif karena akan menghasilkan pay off lebih besar dibandingkan
ketika bersikap berkelanjutan. Hal ini terjadi karena apabila nelayan bersikap sustain,
maka ikan yang tidak tertangkap akan dimanfaatkan habis oleh nelayan lainnya yang
lebih agresif menangkap (eksploitatif).
Keuntungan pemerintah pada kondisi quasi open access bernilai negatif, yaitu
mencapai sekitar - Rp. 113.012.343,16, hal ini disebabkan besarnya biaya transaksi
yang harus dikeluarkan oleh pemerintah dalam pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu tidak sebanding dengan pendapatan asli daerah
dari sektor perikanan. Selain itu juga rendahnya keuntungan pemerintah tersebut
disebabkan dalam perhitungan game theori ini belum dimasukan manfaat tidak
langsung 10 dari biaya transaksi yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Padahal
diduga manfaat tidak langsung dari biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemerintah
jauh lebih besar dibandingkan dengan manfaat langsungnya. Sementara itu
10
Total manfaat adalah manfaat langsung ditambah dengan manfaat tidak langsung
111
keuntungan nelayan dalam kondisi quasi open access diperkirakan mencapai Rp.
1.893.224,14 per tahun.
Sementara itu jika pemerintah memilih untuk menegaskan hak kepada nelayan
lokal melalui kebijakan pengelolaan secara limited entry, pihak pemerintah akan
mendapatkan manfaat sebesar Rp. 249.708.324,40 per tahun. Manfaat ini jauh lebih
besar dibandingkan saat kondisi quasi open access karena adanya penghapusan
beberapa biaya transaksi, walaupun sesungguhnya tekanan terhadap sumberdaya ikan
jauh lebih besar karena nelayan berlaku eksploitatif.
Bagi nelayan, ketika pemerintah memilih pengelolaan secara limited entry, akan
meningkatkan pendapatannya secara signifikan jika mentaati aturan yang ada
(sustainable) jika dibandingkan pada saat kondisi quasi open access. Namun
demikian, terdapat peluang untuk mendapatkan hasil yang lebih besar dengan
berperilaku secara eksploitatif.
Adanya potensi penyalahgunaan hak oleh masyarakat nelayan tersebut akan
menimbulkan efek jauh lebih buruk terhadap sumberdaya ikan dari kondisi quasi
open access, merupakan signal perlunya aturan (sanksi) yang jelas dan tegas.
Pemerintah disini perlu melakukan pendampingan-pendampingan untuk menguatkan
kelembagaan pengelola sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu sehingga
penyalahgunaan hak dapat diminimalkan.
Berdasarkan hasil analisis game theory tersebut terlihat bahwa pengelolaan
sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu akan menghasilkan nilai yang optimal
apabila dilakukan secara bersama-sama antara pemerintah dan kelompok nelayan.
Oleh sebab itu sistem kelembagaan yang dibuat harus melibatkan kedua komponen
penting tersebut.
112
BIAYA TRANSAKSI PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN
Berdasarkan hasil analisis aktor terlihat bahwa aktor pemain utama dalam
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu terdiri dari
kelompok pemerintah, masyarakat, akademisi dan usaha/swasta. Selain itu juga
berdasarkan analisis aktor tersebut terlihat bahwa dari keempat kelompok tersebut
kelompok pemerintah, khususnya Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Sukabumi dan kelompok masyarakat memiliki tingkat kepentingan dan pengaruh
yang sangat tinggi di bandingkan dengan kelompok yang tergolong pada
kelompok pemain (kuadran II) lainnya.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka analsis biaya transaksi yang dilakukan
dalam penelitian ini difokuskan kepada kedua kelompok pemain utama tersebut.
Faktor input biaya transaksi yang dikeluarkan oleh setiap aktor dalam pengelolaan
sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu memiliki perbedaan, khususnya antara
aktor pemerintah daerah dan aktor kelompok nelayan.
Pemerintah
Berdasarkan kerangka analisis yang dikembangkan oleh Abdullah et.al
(1998) dan Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah
(DPA SKPD) Belanja Aparatur dan Publik Tahun Anggaran 2006 Dinas Kelautan
dan Perikanan Kabupaten Sukabumi, maka biaya transaksi pengelolaan
sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu
biaya transaksi informasi, biaya transaksi pengambilan keputusan dan biaya
transaksi operasional bersama (Gambar 16).
113
Biaya Transaksi
Pemerintah
Biaya Pengambilan
Keputusan
Biaya Sosialisasi
Biaya
Informasi
Biaya Operasional
Bersama
Biaya Pengembangan
Teknologi Penangkapan
Ikan
Biaya Pengembangan dan
Pembinaan Usaha Nelayan dan
Pembudidaya Ikan Skala Kecil
Biaya Pengawasan
Perijinan dan Pembinaan
Mutu Produk Kelautan dan
Perikanan
Biaya penyusunan
strategi
Biaya penyusunan dan
pengukuhan AD/ART
Koperasi LEPP-M2R
Kab. Sukabumi
Biaya
Bantuan
Muscab
HNSI
Gambar 16. Biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam pengelolaan
sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu
Berdasarkan gambar diatas, total biaya transaksi yang dikeluarkan oleh
pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu setiap
tahunnya mencapai sekitar Rp. 184.615.000,00 yang terdiri dari biaya informasi
sekitar Rp. 9.000.000,00, biaya pengambilan keputusan sekitar Rp. 58.950.000,00
dan biaya operasional bersama sekitar Rp. 116.665.000,00. Secara lengkap total
biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemerintah dapat dilihat pada Tabel 29
(Secara lengkap lihat lampiran 4).
Tabel 29. Biaya transaksi pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu
No
I
II
III
Faktor Input
Biaya Per Tahun (Rp)
Biaya Informasi
9.000.000,00
Biaya Pengambilan Keputusan
58.950.000,00
Biaya operasional bersama
116.665.000,00
Biaya Pengembangan Teknologi
1
Penangkapan Ikan
52.810.000,00
Biaya Pengembangan dan Pembinaan Usaha
2
Nelayan dan Pembudidaya Ikan Skala Kecil
43.260.000.00
Biaya Pengawasan Perijinan dan Pembinaan
3
Mutu Produk Kelautan dan Perikanan
20.595.000,00
Total Biaya Transaksi Pemerintah (I + II +
III
III)
184.615.000,00
Sumber : Diolah dari Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat
Daerah Belanja Aparatur dan Publik Tahun Anggaran 2006
Berdasarkan Tabel 29 diatas terlihat bahwa biaya transaksi untuk
operasional bersama lebih besar dibandingkan untuk biaya transaksi informasi dan
pengambilan keputusan. Hal ini disebabkan banyaknya jenis-jenis biaya transaksi
yang harus dikeluarkan dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk
114
Palabuhanratu. Biaya transaksi manajemen paling banyak digunakan untuk biaya
pengembangan teknologi penangkapan ikan dan pembinaan nelayan kecil.
Kelompok Masyarakat Nelayan
Berdasarkan kerangka analisis yang dikembangkan oleh Abdullah et.al
(1998), biaya transaksi kelompok masyarakat nelayan terdiri dari :
1)
Biaya transaksi penyusunan keputusan, terdiri biaya pertemuan anggota,
biaya lobi, biaya pembuatan keputusan;
2)
Biaya operasional bersama, terdiri dari biaya koordinasi, biaya pengawasan
sumberdaya ikan, biaya pelatihan anggota dan biaya tradisi laut.
3)
Biaya informasi, terdiri dari Biaya informasi, biaya pengumpulan bahanbahan, biaya penyusunan aturan main dan biaya sosialisasi.
Secara sistematis biaya transaksi yang dikeluarkan oleh nelayan dalam
pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu dapat dilihat pada Gambar
17.
Gambar 17. Biaya transaksi yang dikeluarkan nelayan dalam pengelolaan
sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu.
Berdasarkan gambar diatas, total biaya transaksi yang dikeluarkan nelayan
dalam pengelolaan sumberdaya ikan setiap tahunnya mencapai sekitar Rp.
9.962.500,00. Biaya transaksi tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan biaya
transaksi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Hal ini disebabkan nelayan tidak
terlalu banyak mengeluarkan uang untuk beberapa kegiatan, seperti pengawasan
118
(ADB) dalam mengevaluasi kegiatan di Indonesia, yaitu sebesar 12 persen
pertahun. Jangka waktu yang digunakan dalam menganalisis efektifitas biaya
transaksi ini adalah 5 tahun. Dasar pertimbangannya adalah masa jabatan
pemerintahan daerah Kabupaten Sukabumi dan organisasi kelompok nelayan yang
ada di Kabupaten Sukabumi. Secara lengkap hasil perhitungan CEA tersebut
dapat dilihat pada Lampiran 6 dan 7.
Berdasarkan tingkat diskonto tersebut terlihat bahwa dalam jangka waktu
lima tahun nilai cost effectiveness analysis (CEA) pemerintah jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan CEA kelompok nelayan. Nilai CEA pemerintah mencapai
sekitar Rp. 783.140.270,15 dan nilai CEA kelompok nelayan Rp. 25.521.874,33.
Tarigan (2006) menyatakan bahwa nilai CEA yang lebih kecil merupakan nilai
yang lebih efektif.
Berdasarkan hal tersebut maka pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk
Palabuhanratu perlu melibatkan kelompok nelayan, karena terbukti memiliki nilai
CEA yang lebih rendah dibandingkan hanya dilakukan oleh pemerintah. Oleh
sebab perlu disusun sistem kerjasama pemerintah dan kelompok nelayan dalam
melakukan pengelolaan da pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu
Kabupaten Sukabumi. Secara lengkap nilai CEA pemerintah dan nelayan tersebut
dapat dilihat pada Gambar 21.
800,000,000.00
783,140,270.16
700,000,000.00
600,000,000.00
Rp
500,000,000.00
400,000,000.00
300,000,000.00
200,000,000.00
100,000,000.00
25,521,874.33
CEA
Pemerintah
Nelayan
Gambar 21. Nilai CEA pemerintah dan kelompok nelayan dalam pengelolaan
sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu
115
sumberdaya ikan, biaya koordinasi, biaya pertemuan, biaya lobi, dan biaya
pembuatan aturan main.
Biaya transaksi yang dikeluarkan oleh nelayan lebih banyak dilakukan
untuk biaya pengambilan keputusan dan operasional bersama, yaitu mencapai Rp.
4.137.500,00 dan Rp. 3.700.000,00 setiap tahunnya. Sementara itu untuk biaya
informasi, setiap tahunnya nelayan mengeluarkan biaya transaksi sebesar Rp.
2.125.000,00. Secara lengkap sebaran besarnya biaya transaksi yang dikeluarkan
oleh nelayan dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu dapat
dilihat pada Tabel 30 (Lampiran 5).
Tabel 30. Biaya transaksi yang di keluarkan nelayan dalam pengelolaan
sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu
No
A
1
2
B
1
2
3
4
C
1
2
3
4
Jenis Biaya Transaksi
Biaya Pengambilan Keputusan
Biaya Pertemuan anggota
Biaya Lobi
Biaya Operasional Bersama
Biaya koordinasi antar anggota
Biaya Pengawasan Sumberdaya Ikan
Biaya Pelatihan
Biaya tradisi laut
Biaya Informasi
Biaya informasi
Pengumpulan bahan-bahan peraturan
Penyusunan peraturan
Sosialisasi
Total Biaya Transaksi
Nilai Rata-Rata
(Rp. Per Tahun)
4.137.500,00
4.000.00,00
137.500,00
3.700.000,00
900.000,00
1.500.000,00
500.000,00
800.000,00
2.125.000,00
500.000,00
375.000,00
875.000,00
375.000,00
9.962.500,00
Sumber : Data primer 2007
Biaya transaksi pengambilan keputusan yang dikeluarkan oleh nelayan lebih
banyak dikeluarkan untuk biaya pertemuan anggota dan biaya lobi. Biaya tersebut
umumnya dikeluarkan setiap ada pergantian pengurus atau pertemuan rutin
triwulanan organisasi. Secara lengkap sebaran biaya pegambilan keputusan yang
dikeluarkan oleh nelayan dapat dilihat pada Gambar 18.
116
4,000,000.00
3,500,000.00
3,000,000.00
Rupiah
2,500,000.00
2,000,000.00
1,500,000.00
1,000,000.00
500,000.00
Biaya Pertemuan anggota
Biaya Lobi
Jenis Biaya Transaksi
Gambar 18. Biaya transaksi pengambilan keputusan yang di keluarkan nelayan
dalam pengelolaan sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu.
Biaya transaksi operasional bersama yang dikeluarkan oleh nelayan setiap
tahunnya mencapai sekitar Rp. 3.700.000,00. Biaya tersebut lebih banyak
digunakan untuk biaya pengawasan sumberdaya ikan di wilayah perairan Teluk
Palabuhanratu. Secara lengkap biaya operasional bersama tersebut dapat dilihat
pada Gambar 19.
1,600,000.00
1,400,000.00
Rupiah
1,200,000.00
1,000,000.00
800,000.00
600,000.00
400,000.00
200,000.00
Biaya
koordinasi antar
anggota
Biaya
Pengawasan
Sumberdaya
Ikan
Biaya Pelatihan
Biaya tradisi
laut
Jenis Biaya Transaksi
Biaya Operasional Bersama
Gambar 19. Biaya operasional bersama yang di keluarkan nelayan dalam
pengelolaan sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu.
117
Sementara itu biaya transaksi informasi yang dikeluarkan oleh nelayan
dalam pengelolaan sumberdaya ikan teluk palabuhanratu lebih didominasi oleh
biaya pencarian informasi untuk penyusunan aturan main yang berlaku di tingkat
nelayan. Misalnya aturan main yang berlaku bagi nelayan yang akan
memanfaatkan rumpon sebagai lokasi penangkapan ikan. Aturan main tersebut
dibuat oleh nelayan yang tergabung dalam kelompok pengelola rumpon, akan
tetapi berlaku bagi semua nelayan baik anggota maupun bukan dari kelompok
pengelola rumpon. Sehingga bagi nelayan yang akan memanfaatkan rumpon
sebagai lokasi penangkapan ikan, harus mentaati aturan main yang telah
disepakati oleh kelompok pengelola rumpon. Secara lengkap sebaran biaya
transaksi politik yang dikeluarkan nelayan dalam pengelolaa sumberdaya ikan di
Teluk Palabuhanratu dapat dilihat pada Gambar 20.
900,000.00
800,000.00
700,000.00
Rupiah
600,000.00
500,000.00
400,000.00
300,000.00
200,000.00
100,000.00
Biaya informasi
Pengumpulan
bahan-bahan
peraturan
Penyusunan
peraturan
Sosialisasi
Jenis Biaya Transaksi Informasi
Gambar 20. Biaya transaksi informasi yang di keluarkan nelayan dalam
pengelolaan sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu
Efektifitas Biaya Transaksi
Efektifitas biaya transaksi dianalisis dengan melihat rasio antara total biaya
transaksi yang telah dikeluarkan dengan (1 + i)t, dimana i merupakan tingkat
diskonto. Semakin kecil nilai rasio yang diperoleh maka menunjukan semakin
efektif penggunaan biaya transaksi tersebut. Tingkat diskonto yang dipakai pada
analisis ini adalah tingkat diskonto yang digunakan oleh Asian Development Bank
119
DESAIN KELEMBAGAAN PENGELOLA SUMBERDAYA
IKAN DI TELUK PALABUHANRATU
Berdasarkan analisis sebelumnya terlihat bahwa sistem tata kelola
sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu saat ini masih menimbulkan berbagai
konflik horizontal di antar aktor pengelola sumberdaya ikan di Teluk
Palabuhanratu. Hal ini disebabkan karena sampai saat ini belum terbentuk suatu
kelembagaan yang dapat menampung berbagai kepentingan para aktor pengelola
sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Selain itu juga sistem pengelolaan
sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu telah menimbulkan biaya transaksi
tinggi yang harus dikeluarkan oleh pemerintah setiap tahunnya. Hal ini tidak
sebanding dengan manfaat yang diperoleh pemerintah, sehingga menyebabkan
biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut menjadi tidak efektif.
Berdasarkan analisis aktor pada bab sebelumnya terlihat bahwa dalam upaya
menyusun kembali format lembaga pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk
Palabuhanratu, aktor-aktor yang harus dilibatkan secara langsung adalah
Departemen Kelautan dan Perikanan RI, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi
Jawa Barat, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi, KUD Mina,
Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu (PPNP), Satuan Kerja Pengawasan
Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Pelabuhanratu, Pergutuan Tinggi, Himpunan
Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kelompok Pengelola Rumpon, Tempat
Pelelangan Ikan, Bakul, Juragan/Taweu, Kelompok Masyarakat Pengawas
Sumberdaya Ikan Palabuhanratu (POKMASWAS) dan Polisi Perairan.
Sementara itu berdasarkan hasil analisis game theori terlihat bahwa format
lembaga yang direkomendasikan perlu untuk melibatkan antara kelompok
masyarakat dan pemerintah. Berdasarkan kondisi tersebut maka sudah saatnya
untuk dilakukan penataan kembali sistem pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk
Palabuhanratu.
Bromley (1989) menyatakan jika kondisi-kondisi ekonomi dan sosial
masyarakat berubah, maka struktur institusi yang ada tidak cocok lagi untuk
dipakai. Anggota-anggota masyarakat akan berusaha memodifikasi aransemen
kelembagaan baru yang lebih sesuai dengan keadaan, keterbatasan, teknologi,
120
maupun selera masyarakat yang baru tersebut. Semua aktivitas yang dilaksanakan
sebagai respons terhadap kondisi-kondisi ekonomi baru dengan tujuan
membentuk aransemen kelembagaan baru inilah yang disebut Commons sebagai
transaksi-transaksi kelembagaan.
Berdasarkan kerangka desentralisasi perikanan, komponen utama yang perlu
diperhatikan dalam pengembangan sistem kelembagaan adalah (1) aspek batasan
kewenangan (yurisdiction boundary); (2) aspek kepemilikan (property right); dan
(3) aturan representasi. Berdasarkan ketiga komponen tersebut diharapkan sistem
kelembagaan tersebut dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi wilayah
(growth), keadilan (equity) dan keberlanjutan (sustainability) dalam pemanfaatan
dan pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu.
Berdasarkan hal tersebut diatas maka untuk mewadahi kepentingan masingmasing aktor yang terlibat, maka perlu dibentuk suatu kelembagaan khusus
dengan
struktur,
keanggotaan,
mekanisme
pengambilan
keputusan
dan
kewenangan yang harus disepakati oleh para aktor. Ada tiga hal utama yang perlu
mendapatkan kesepakatan oleh para aktor tersebut, yaitu :
1)
Format Lembaga. Struktur lembaga harus disusun sedemikian rupa
sehingga kepentingan masing-masing aktor secara proporsional terwakili
dalam lembaga tersebut.
Kepentingan-kepentingan tersebut harus
terpresentasikan dalam konfigurasi keanggotaan yang akan dipilih
berdasarkan mekanisme yang disepakati sebelumnya.
2)
Mekanisme pengambilan keputusan. Sebagai sebuah lembaga yang
melibatkan multikepentingan, maka sejak awal perlu ditetapkan mekanisme
pengambilan keputusan. Secara teoritik, mekanisme pengambilan keputusan
itu dapat berupa musyawarah-mufakat, pemungutan suara atau kombinasi
keduanya.
3)
Kewenangan lembaga. Kewenangan dari lembaga kerjasama tersebut juga
harus disepakati, diantaranya adalah pemetaan wilayah kewenangan daerah
laut, identifikasi potensi sumberdaya alam dan sumberdaya sosialkelembagaan, perumusan kerangka kebijakan pengembangan kawasan serta
mekanisme resolusi konflik.
121
Berdasarkan hasil berbagai analisis sebelumnya maka lembaga yang
direkomendasikan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk
Palabuhanratu harus melibatkan masyarakat (formal dan informal), pemerintah,
pihak swasta/usaha dan perguruan tinggi. Secara lengkap desain kelembagaan
pengelolaan sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu dapat dilihat pada Gambar 22.
Gambar 22. Desain kelembagaan pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk
Palabuhanratu
Berdasarkan Gambar 22 diatas terlihat bahwa peran lembaga Musyawarah
Masyarakat Pengelola Sumberdaya Ikan Teluk Palabuhanratu sangat vital dalam
122
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Hal ini
disebabkan keberadaan lembaga tersebut menjadi jembatan antara kebijakan
pemerintah dengan implementasi di tingkat masyarakat. Oleh sebab itu untuk
memperkuat eksistensi badan tersebut harus memiliki kekuatan hukum yang
mengikat. Selain itu juga lembaga tersebut harus merumuskan aturan-aturan main
bagi masing-masing aktor yang menjadi anggotanya. Hal ini dimaksudkan agar
interaksi masing-masing aktor dalam lembaga dapat berjalan secara baik. Selain
itu juga aturan-aturan main tersebut berfungsi untuk menghindari berbagai konflik
kepentingan yang dapat muncul dari masing-masing aktor.
Batasan Yurisdiksi (Yusrisdiction of Boundary)
Batas
kewenangan
lembaga
pengelolaan
sumberdaya
ikan
Teluk
Palabuhanratu diatas adalah berada di wilayah perairan teluk bagian dalam. Hal
ini pun sejalan dengan kerangka otonomi daerah dimana masyarakat dan
pemerintah daerah diberikan kewenangan pengelolaan sumberdaya alam sampai
sejauh tiga perempat dari kewenangan pemerintah provinsi atau sejah 3 mil laut.
Hak Kepemilikan (Property Right)
Berdasarkan hasil analisis hak kepemilikan pada bab sebelumnya
sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu, hak kepemilikan sumberdaya ikan di
Teluk Palabuhanratu berada di tangan pemerintah. Namun demikian berdasarkan
hasil analisis game theory dan CEA terlihat bahwa dalam pengelolaan
sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu akan lebih efektif apabila melibatkan unsur
pemerintah dan kelompok nelayan. Berdasarkan hal tersebut maka hak
kepemilikan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu oleh pemerintah perlu
didelegasikan kepada lembaga yang dibentuk.
Aturan Representasi (Rule of Representation)
Aturan representasi dalam sistem kelembagaan ini dapat dikelompokan
menjadi dua level, yaitu pertama level penentu kebijakan (collective choice level).
Level ini berperan dalam menetukan berbagai kebijakan yang perlu dilakukan
123
dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuharatu.
Pada level ini kelompok yang terlibat adalah :
1)
Pemerintah. Pemerintah yang berperan dalam pengelolaan sumberdaya
ikan di sekitar Teluk Palabuhanratu terdiri dari Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Sukabumi, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi
Jawa Barat, Departemen Kelautan dan Perikanan RI, Pelabuhan Pendaratan
Nusantara Palabuhanratu (PPNP), Satuan Kerja Pengawasan Sumberdaya
Ikan Palabuhanratu, dan Pemerintah Pusat. Dalam pengelolaan sumberdaya
ikan di Teluk Palabuhanratu kedepannya pemerintah ini diharapkan dapat
lebih berperan dalam merumuskan aturan-aturan main pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu secara formal
berdasarkan atas partisipatif masyarakat di Sekitar Teluk Palabuhanratu.
2)
Kelompok Masyarakat. Kelompok masyarakat ini tergabung dalam
Musayawarah
Masyarakat
Pengelola
Sumberdaya
Ikan
Teluk
Palabuhanratu. Lembaga musyawarah ini dibentuk untuk menyatukan
berbagai kepentingan masing-masing aktor yang ada di tingkat masyarakat
dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan. Tugas Musyawarah
Masyarakat Pengelola Sumberdaya Ikan Teluk Palabuhanratu (M2PSITP)
adalah membuat berbagai kesepakatan antar aktor dan melakukan
koordinasi
dalam
penyelenggaraan
program
kegiatan
pengelolaan
sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu.
M2PSITP beranggotakan semua aktor yang menjadi pemain utama dalam
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu,
yaitu KUD Mina, kelompok pengelola rumpon, kelompok masyarakat
pengawas sumberdaya ikan, HNSI Kabupaten Sukabumi, Taweu dan
Nelayan.
3)
Badan Penasehat Teknis dan Ilmiah. Badan ini berperan secara tidak
langsung dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk
Palabuhanratu. Badan penasehat ini beranggotakan unsur-unsur perguruan
tinggi dan lembaga penelitian. Badan tersebut berperan dalam memberikan
masukan-masukan kepada M2PSITP yang terakit dengan hasil penelitianpenelitian ilmiah di sekitar Teluk Palabuhanratu. Masukan-masukan
124
tersebut akan sangat bermanfaat bagi M2PSITP dalam merumuskan
berbagai keputusan yang terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan
sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu.
Kedua, level operasional (operational choice level). Level ini berperan
dalam mengimplementasikan berbagai kesepakatan yang telah dilakukan oleh
lembaga
musyawarah
Palabuhanratu.
Selain
masyarakat
itu
level
pengelola
ini
bertugas
sumberdaya
memberi
ikan
dukungan
Teluk
dan
mengkoordinasikan semua aspek usaha pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk
Palabuhanratu, termasuk meningkatkan pelibatan para pemangku kepentingan
(konstituen). Kelompok dalam level ini terdiri dari tiga kelompok, yaitu :
1)
Kelompok Lembaga Pengelola sumberdaya Ikant, yang terdiri dari KUD
Mina, kelompok pengelola rumpon, HNSI Kabupaten Sukabumi, Taweu
dan Nelayan.
2)
Kelompok Lembaga Pengembangan Pemasaran Hasil Perikanan. Kelompok
ini berperan dalam memberikan akses permodalan bagi pada nelayan yang
akan mengembangkan usaha perikanan.
3)
Kelompok Lembaga Pengawas Sumberdaya Ikan, yang terdiri dari
kelompok masyarakat pengawas sumberdaya ikan dan satuan kerja
pengawas sumberdaya ikan
Mekanisme Implementasi
Berdasarkan hasil idetifikasi dilapangan terhadap para aktor terlihat bahwa
untuk mengimplementasikan format lembaga yang dirancang, mekanisme
hubungan antar aktor yang dapat dibentuk dalam level kebijakan adalah melalui
kegiatan Syukuran Hari Nelayan. Kegiatan rutin nelayan tersebut setiap tahunnya
dilaksanakan pada bulan Juli. Selama ini kegiatan syukuran hari nelayan tersebut
hanya bersifat hiburan saja, padahal kegiatan tersebut diikuti oleh semua aktor
yang menjadi pemain utama pengelolaan sumberdaya ikan Teluk Palabuhanratu.
Berdasarkan hal tersebut kegiatan syukuran nelayan tersebut selain diisi
dengan kegiatan-kegiatan hiburan, juga hendaknya dijadikan sebagai media untuk
melakukan
musyawarah
masyarakat
pengelola
sumberdaya
ikan
Teluk
Palabuhnaratu. Sehingga kegiatan syukuran hari nelayan tersebut akan menjadi
125
lebih bermanfaat untuk para aktor dan keberlanjutan sumberdaya ikan di Teluk
Palabuhanratu. Beberapa alasan dijadikannya syukuran hari nelayan Teluk
Palabuhanratu sebagai media untuk melakukan musyawarah masyarakat pengelola
sumberdaya ikan Teluk Palabuhnaratu, adalah :
1)
Syukuran hari nelayan merupakan momen yang sangat tepat untuk dijadikan
sebagai hari evaluasi kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
ikan di Teluk Palabuhanratu;
2)
Dalam syukuran hari nelayan semua aktor, baik yang secara langsung
maupun tidak langsung terlibat dalam pengelolaan sumberdaya ikan Teluk
Palabuhanratu
turut
berpartisipasi
dalam
acara
tersebut.
Hal
ini
memudahkan dalam melakukan koordinasi;
3)
Dana yang digunakan dalam kegiatan syukuran hari nelayan tersebut selama
ini cukup besar, sehingga sangat disayangkan apabila kegiatan yang
dilakukan dalam syukuran tersebut hanya bersifat hiburan saja;
Dalam musyawarah masyarakat pengelola sumberdaya ikan Teluk
Palabuhanratu tersebut setiap tahunnya dirumuskan sebuah kesepahaman bersama
dalam melakukan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah
perairan Teluk Palabuhanratu. Dampak dari kesepakatan bersama tersebut
diharapkan dapat meredam berbagai konflik antar nelayan serta kelestarian
sumberdaya ikan dan perekonomian nelayan dapat terjaga dengan baik. Selain itu
juga peran pemerintah daerah akan semakin berkurang karena para nelayan sudah
memiliki aturan main dalam melakukan aktivitasnya. Sehingga biaya transaksi
yang harus dikeluarkan oleh pemerintah akan berkurang dengan sendirinya.
Sementara itu aktor-aktor yang terdapat pada level operasional (operational
choice level) akan lebih mudah untuk melakukan pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Hal ini disebabkan mereka sudah
memiliki kesepakatan antar aktor utama yang memiliki tingkat kepentingan dan
pengaruh yang tinggi dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan Teluk
Palabuhanratu.
126 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh beberapa informasi penting tentang
sistem pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu, yaitu :
1) Aktor-aktor yang harus dilibatkan secara langsung dalam pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya ikan adalah Departemen Kelautan dan Perikanan
RI, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat, Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Sukabumi, KUD Mina, Pelabuhan Perikanan Nusantara
Palabuhanratu (PPNP), Satuan Kerja Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan
Perikanan Pelabuhanratu, Pergutuan Tinggi, Himpunan Nelayan Seluruh
Indonesia (HNSI) Kelompok Pengelola Rumpon, Tempat Pelelangan Ikan,
Bakul, Juragan/Taweu, Kelompok Masyarakat Pengawas Sumberdaya Ikan
Palabuhanratu (POKMASWAS) dan Polisi Perairan.
2) Tatanan kelembagaan pengelolaan sumberdaa ikan Teluk Palabuhanratu
selama ini tergolong kedalam tipe Ko-Manajemen instruktif. Hal ini dicirikan
komunikasi dan tukar informasi yang minimal antara pemerintah dan pelaku
perikanan. Tipe ini berbeda dengan rejim sentralisasi dalam hal dimana
terdapat mekanisme dialog antara pemerintah dan pelaku perikanan namun
tetap dalam konteks instruksi informasi dari apa yang telah diputuskan oleh
pemerintah.
3) Total biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam pengelolaan
sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu setiap tahunnya mencapai sekitar
Rp. 184.615.000. Sementara itu total biaya transaksi yang dikeluarkan
nelayan dalam pengelolaan sumberdaya ikan setiap tahunnya mencapai
sekitar Rp. 9.962.500.
4) Berdasarkan tingkat diskonto 12 % terlihat bahwa dalam jangka waktu lima
tahun nilai cost effectiveness analysis (CEA) pemerintah jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan CEA kelompok nelayan. Nilai CEA pemerintah
mencapai sekitar Rp. 783.140.270,15 dan nilai CEA kelompok nelayan Rp.
25.521.874,33.
127 5) Format kelembagaan yang direkomendasikan dalam pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu harus melibatkan
masyarakat (formal dan informal), pemerintah, pihak swasta/usaha dan
perguruan tinggi. Format kelembagaan tersebut dapat dikelompokan menjadi
dua level, yaitu pertama level penentu kebijakan (collective choice level).
Level ini berperan dalam menetukan berbagai kebijakan yang perlu dilakukan
dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Palabuharatu.
Kedua, level operasional (operational choive level). Level ini berperan dalam
mengimplementasikan berbagai kesepakatan yang telah dilakukan oleh
lembaga musyawarah masyarakat pengelola sumberdaya ikan Teluk
Palabuhanratu.
Saran
Dalam rangka mengkaji keefektifan sistem kelembagaan yang dibentuk,
maka perlu dilakukan penelitian uji coba implementasi sistem kelembagaan
pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu. Dengan demikian,
diharapkan kedepan pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Palabuhanratu dapat
ditunjang melalui sistem kelembagaan yang kuat dan berpihak terhadap
kepentingan stakeholders dan kelestarian sumberdaya ikan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah NMR, K Kuperan and RS Pomeroy. 1999. Transaction cost and
fisheries co-management. Departement of Natural Resource Economics.
Faculty of Economics and Management. University Pertanian Malaysia.
UPM Serdang. Selangor Malaysia. 12 pp.
Adrianto L. 2005. Memperkuat Platform Revitalisasi Perikanan dan Kelautan
Yang Berkelanjutan. Working Paper Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan (PKSPL-IPB).
Anggraini E. 2005. Analisis Biaya Transaksi Dan Penerimaan Nelayan dan Petani
di Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi. Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Tesis, Tidak dipublikasikan.
Alchian AA. 1993. Property Rights, dalam Henderson David. 1993. The Fortune
Encyclopedia of Economics. New York : Warner Books, Inc.
Anwar A. 2002. Teori Permainan (Game Theory) dan Aplikasinya dalam Analisis
Ekonomi dan Kelembagaan. Bahan kuliah ekonomi organisasi perdesaan
Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Program
Pasca Sarjana, IPB, Bogor.
Bardhan P. 1989. Alternative Approaches to the Theory of Institutional in
Economic Development. Dalam Pranab Bardhan. (ed). The Economic
Theory of Agrarian Institutions. Oxpord : Clarendon Press.
Berkes F. 1989. “The Common Property Resouces Problem and Creation of
Limited Property Rights”. Human Ecology 13 (2) : 187-2008.
Blaxter L et.al. 2001. How To Research. Second Edition. Open University Press.
Bogason P. 2000. Public Policy and Local Governance : Institutions in
Postmodern Society. Cheltenham, UK : Edward Elgar.
Bromley DW. 1988.
Property rights and the environment: natural resource
policy in intransition.
Published by the Ministry for the Environment.
Wellington, New Zealand.
Bromley DW. 1990. The ideology of efficiency: searching for a theory of policy.
Journal of Environmental Economics and Management, 19(1): 86-107.
Bromley DW. 1991. Testing for common versus private property: comment.
Journal of Environment Economics and Management, 21, 92-96 (91).
Academic Press Inc.
Charles AT. 2001. Sustainable fishery systems. Blackwell Science Ltd. Oxford.
UK. 370 pp.
Christy FT. 1987. Hak penggunaan wilayah pada perikanan laut: definisi dan
kondisi (hlm 141-163). Dalam ekonomi perikanan dari pengelolaan ke
permasalahan praktis. Smith IR dan F Marahuddin (editor). Jilid 2. Penerbit
Gramedia. Jakarta. 360 hlm.
Christy FT and A Scott. 1986. Sifat dari sumber daya alam milik bersama (hlm
130-141). Dalam ekonomi perikanan dari teori ekonomi ke pengelolaan
perikanan. Smith, IR dan F Marahuddin (editor). Jilid 1. Penerbit Gramedia.
Jakarta. 253 hlm.
Cohen L. and Manio. 1995. Research Methods in Education, 4th edn. London :
Routledge.
Commons JR. 1931. Institutional Economics. American Economic Review. Vol.
21, Issue 4, December : 648 – 657.
Departemen Kelautan dan Perikanan RI. 2001. Naskah akademik pengelolaan
wilayah pesisir. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil DKP RI.
Jakarta. 147 hlm.
Departemen Kelautan dan Perikanan RI. 2004.
Prosiding Lokakarya Draft
Pedoman Umum Pengelolaan Kawasan Teluk.Hotel The Acacia – Jakarta,
Tanggal 24 – 26 Mei 2004.
Deliarnov. 2006. Ekonomi Politik. Penerbit Erlangga
Dharmawan AH dan A Daryanto. 2002. Mencari model pengelolaan sumberdaya
perikanan dalam rangka otonomi daerah. Makalah Pembahasan Workshop
Pusat Kajian Agraria, Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor
bekerjasama dengan Partnership for Governance Reform I Indonesia. Bogor.
Diehl M. 1998. The Role of Institutions in the Economics Transition Process : The
Reform of State-owned Enterprises in Vietnam. Journal for Institutional
Innovation, Development, and Transition. Vol. 2 : 49-59.
Feeny D. et.al. 1990. “The Tragedy of the Commons : Twenty-Two Years Later”.
Human Ecology, 8 (1) : 1-19.
Fisher S et.al. 2000. Working with Conflict : Skills Et Strategies for Action.
Bookcraft, Midsomer Norton, Bath, UK.
Furubotn EG and Rudolf Richter. 2000. Institutions and Economic Theory : The
Contribution of the New Institutional Economics. The University of
Michigan Press.
Hanna SS, C Folke and KG Maler (Editor). 1996. Rights to nature: ecological,
economic, cultural, and political principles of institutions for the
environment. Inland Press. Washington DC. USA. 298 pp.
Hardin G. 1986. Tragedi kebersamaan: persoalan kependudukan tak dapat
dipecahkan secara teknis (hlm 3-22). Dalam Ekonomi Perikanan dari Teori
Ekonomi ke Pengelolaan Perikanan. Smith IR dan M Marahuddin (editor).
Jilid 1. Penerbit PT Gramedia. Jakarta. 253 hlm .
Haswanto AI. 2006. Studi Konstruksi Kelembagaan Pengelolaan Sea Farming
(Kasus di Pulau Panggang Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu).
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tesis, Tidak dipublikasikan.
Hidayat A. 2005. Institutional Analysis of Coral Reef Management. A Case Study
of Gili Indah Village, West Lombok, Indonesia. Shaker Verlag Aachen.
Imperial. 1998. Anayzing Institutional Arrangements for Ecosystem-Based
Management : Lessons from the Rhode Island Salt Ponds SAM Plan. Institut
for the Study of Government and the Nonprofit Sector and School of Public
and Environmental Affairs Indiana University, Bloomington, Indiana, USA.
Indar YN, M Lampe dan K Lahae. 2002. Sistem-sistem tradisional sebagai
pranata institusi dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya di wilayah
pesisir. Universitas Hasanuddin. Makasar. 66 hlm.
Jentoft S. 2004. Institutions in fisheries : what they are, what they do, and how
they change. Marine Policy 28. 137-149
Karim M. 2005. Analisis Kemiskinan dan Kesenjangan Pembangunan di Kawasan
Pesisir Kabupaten KArawang dan Sukabumi Jawa Barat. Sekolah Pasca
Sarjana Institut Pertanian Bogor. Tesis, Tidak dipublikasikan.
Kusumastanto T. 2002. Reposisi ”Ocean Policy” dalam pembangunan ekonomi
Indonesia di era otonomi daerah. Orasi ilmiah Guru Besar Tetap Bidang
Ilmu Kebijakan Ekonomi Perikanan dan Kelautan FPIK-IPB, 21 September
2002. Bogor. 134 hlm.
Kusumastanto T. 2003. Ocean policy dalam membangun negeri bahari di era
otonomi daerah. Cetakan 1. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
160 hlm.
Kusnadi. 2000. Nelayan: strategi adaptasi dan jaringan sosial. Humaniora Utama
Press (HUP). Cetakan I. Bandung. 244 hlm.
Kusnadi. 2002. Konflik sosial nelayan: kemiskinan dan perebutan sumber daya
perikanan. Penerbit LKIS. Yogyakarta. 190 hlm.
Manig W. 1991. Rural Social and Economic Structure and Social Development.
Dalam Winfried Manig. Stability and Change in Rural Institutions in North
Pakistan. Socio-economic Studies on Rural Development. Vol 85. Aachen :
Alano.
Nababan A. 1995. Kearifan tradisional dan pelestarian lingkungan hidup di
Indonesia. Jurnal Analisis CSIS Tahun XXIV, Nomor 6 (hlm 421-435),
November-Desember 1995. Centre for Strategic and Internacional Studies
(CSIS). Jakarta. 487 hlm.
Nazir M. 1988. Metode Penelitian. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta
Nikijuluw.
2002.
Rezim
Pengelolaan
Sumberdaya
Perikanan.
Pusat
Pemberdayaan dan Pembangunan Regional. PT. Pustaka Cidesindo.
Cetakan pertama.
North DC. 1990. Institutions, Institutional change and Economic Performance.
Cambridge : Cambridge University Press.
--------------. 1994. Economic Performance Through Time. The American
Economic Review. Vol. 84, Issue 3, June : 359-368.
--------------. 1995. The New Institutional Economics and Third World
Development. Dalam John Harris, Janet Hunter, dan Colin M. Lewis. The
New Institutional Economic and Third world Development. London :
Routledge.
Ostrom E, R. Gardner, and J. Walker. 1994. Roles, Games & Common-Pool
Resources. Ann Arbor, MI : The University of Michigan Press.
Ostrom E and F Schlager. 1996. Property rights regimes and coastal fisheries : an
empirical analysis. Proceeding Polycentric Government and Development.
Chapter 5. pg 87-113.
Ostrom E. 1997. Self-Government of common-pool resources. Workshop in
political theory and policy analysis. Indiana University, Indiana, USA. 39
pp.
Pakpahan A. 1989. Kerangka analitik untuk penelitian rekayasa sosial perspektif
ekonomi institusi. Prosiding Patanas Evolusi Kelembagaan Pedesaan di
Tengah Perkembangan Teknologi Pertanian. Pusat Penelitian Agro
Ekonomi. Bogor
Pakpahan A. 1990. Permasalahan dan landasan konseptual dalam rekayasa
institusi (koperasi). Makalah disampaikan pada Seminar Pengkajian
Masalah Pekoperasian Nasional, Badan Litbang Koperasi di Jakarta 23
Oktober 1990. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Pameroy RS (editor). 1994. Community management and common property of
coastal fisheries in Asia and the Pacific: concept, methods and experiences.
ICLARM, Phillippines. 189 pp.
Panayotou T. 1985a. Small-scale fisheries in Asia: an introduction and overview
(pg 11-29). In Proceeding of Small-scale fisheries in Asia: socio-economic
analysis and policy (edited by Panayotou). IDRC. Ottawa-Canada. 283 pp
Panayotou T. 1985b. Socioeconomic conditions of small-scale fisheries: a
conceptual framework (pg 31-35). In Proceeding of Small-scale fisheries in
Asia: socio-economic analysis and policy (edited by Panayotou). IDRC.
Ottawa-Canada. 283 pp.
Panayotou T. 1987. Kondisi ekonomi dan prospek nelayan kecil di Thailand
(hlm 268-280). Dalam Ekonomi Perikanan Dari Pengelolaan ke
Permasalahan Praktis. F Marahudiin dan IR Smith (editor). Jilid 2. Penerbit
PT Gramedia. Jakarta. 360 hlm.
Panayotou T. 1998. Management concepts for small-scale fisheries: economic
and social aspects. FAO Fisheries Technical paper 228. FAO-UN. Rome.
53 pp.
Partowidagdo W. 1999. Memahami Analisis Kebijakan. Kasus Reformasi
Indonesia. Program Studi Pembangunan Program Pascasarjana Institut
Teknologi Bandung.
Pejovich S. 1995. Economic Analysis of Institutions and System. Dordrecht The
Netherlands : Stanford California : Stanford University Press.
Pido et.al. 1997. A Rafid Apprasial Approach to Evaluation of Community-Level
Fisheries Management System Framework and Field Application at
Selected Coastal Fishing Village in the Philippines and Indonesia. Coastal
Management, 25 : 183-204.
PKSPL-IPB. 2004. Pemetaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Pesisir
Kabupaten Sukabumi.
Rachbini DJ dan Bustanul Arifin. 2001. Ekonomi Politik dan Kebijakan Publik.
Penerbit Grasindo, Jakarta.
Rutherford M. 1994. Institutions in Economics : The Old and the New
Institutionalism. Cambridge : Cambridge University Press.
Saad S. 2003. Politik hukum perikanan Indonesia. Percetakan Dian Pratama.
Jakarta.
Satria A. 2002. Pengantar sosiologi masyarakat pesisir. Penerbit Cidesindo.
Jakarta. 130 hlm.
Satria A, Abubakar Umbari, Akhmad Fauzi, Ari Purbayanto, E Soetarto, I
Muchsin, I Muflikhati, M Karim, S Saad, W Oktariza dan Z Imran. 2002.
Menuju desentralisasi kelautan. Penerbit Pusat Kajian Agraria IPB dan
Partnersip for Govenance Reform in Indonesia bekerjasama dengan PT.
Pusata Cidesindo. Jakarta. 210 hlm.
Tarigan R. 2006. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Edisi Revisi. Penerbit PT.
Bumi Aksara. Jakarta
Tietenberg T. 1992. Environmental and natural resource economics. Third
Edition. Harper Collins Publishers Inc. New York USA. 678 pp.
Wahyono A, AR Patji, DS Laksono, R Indrawasih, Sudiyono dan S Ali. 2000.
Hak ulayat laut di kawasan timur Indonesia. Cetakan 1. Penerbit Media
Pressindo bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford
Foundation. Yogyakarta. 166 hlm.
Wahyudin
Y.
(2005).
Alokasi
Optimal
Sumberdaya
Perikanan
Teluk
Palabuhanratu. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Tesis, Tidak
dipublikasikan.
Weber M. 1968. Economic and Society : An Outline of Interpretative Sociology.
Edited by G. Roth and C. Wittich. Berkeley : University of California Press.
Williamson OE. 1985. The Economic Institutions of Capitalism. New York : Free
Press.
Yeager
TJ.
1999.
Institutional,
Transition
Economics,
and
Economic
Development. Oxford : Political Economy of Global Interdependence.
Yin RK. 1996. Studi kasus: desain dan metode. Edisi revisi. Penerbit PT Raja
Grafindo Persada. Jakarta.
Yustika AE. 2006. Ekonomi kelembagaan: definisi, teori dan strategi. Cetakan I.
Penerbit Bayumedia Publishing. Malang. 364 hlm.
Lampiran Lampiran 1. Panduan Penelitian
PANDUAN PENELITIAN
ANALISIS EKONOMI KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA
IKAN TELUK PALABUHANRATU KABUPATEN SUKABUMI
OLEH :
SUHANA
C451040031
PROGRAM STUDI EKONOMI SUMBERDAYA KELAUTAN TROPIKA
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
PENGANTAR
Panduan penelitian ini berisikan kuisioner untuk memahamiberbagai
persoalan pengelolaan sumberdaya ikan di sekitar Teluk Palabuhanratu yang sudah
mengalami degradasi. Setelah memahami bagaimana persoalan dalam kaitannya
dengan pengelolaan sumberdaya ikan serta mengetahui ancaman-ancaman yang telah
dan akan dialami nelayan, panduan ini membantu peneliti dalam menganalisis sistem
pengelolaan sumberdaya ikan di teluk Palabuhanratu. Selain itu juga panduan ini
diharapkan dapat membantu peneliti dalam menjawab tujuan dari penelitian ini.
Secara singkat tujuan penelitian ini adalah pertama, mengidentifikasi dan
menganalisa peran masing-masing kelembagaan yang ada di Teluk Palabuhanratu
dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan; kedua, menganalisis tatanan
kelembagaan tersebut dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan
ketiga, menganalisis biaya transaksi penyusunan kebijakan pengelolaan sumberdaya
ikan Teluk Palabuhanratu.
Kuisioner ini terbagi menjadi empat bagian penting yang keseluruhannya
memiliki keterkaitan yang kuat satu sama lainnya, yaitu pertama, kuisioner untuk
aparat pemerintahan desa atau tokoh desa. Kuisioner ini bertujuan untuk mengetahui
secara umum kondisi masyarakat di desa tersebut. Kedua, kuisioner untuk aparat
pemerintah kabupaten Sukabumi, khususnya Dinas Kelautan dan Perikanan. Ketiga,
kuisioner untuk masyarakat nelayan. Keempat kuisioner untuk pengurus organisasi
nelayan, seperti HNSI, Koperasi. Secara lengkap kuisioner tersebut dapat dilihat di
bawah ini.
Bogor, Desember 2006
Suhana
C451040031
Bagian
Pertama
:
Identifikasi Masyarakat
Palabuhanratu
Pesisir
di
sekitar
Teluk
Nama Responden
:__________________________________
Jabatan
:__________________________________
Umur
:__________________________________
Alamat
:__________________________________
__________________________________
Instansi
: Pemerintahan Desa
No
Pertanyaan
1
Bagaimana jumlah dan komposisi penduduk di sekitar pesisir Teluk Palabuhanratu,
berdasarkan :
Kelompok umur,
Matapencaharian,
Etnis
Kepemilikan sumber produksi (misalnya kapal penangkapan ikan)
2
Dimana letak administrasi tempat masyarakat tinggal ?
Kecamatan : ........
Desa : ................
Dusun : .........
Luas wilayah : .........
3
Bagaimana propesi atau matapencaharian masyarakat ?
• Matapencaharian apa saja yang ada dalam masyarakat :
Â… Nelayan
Â… Petani
Â… Pedagang
Â… Pegawai Negeri
Â… Pegawai swasta
Â… TNI/Polri
• Bagaimana komposisi atau jumlah penduduk pada masing-masing matapencaharian
tersebut ? (Pertanyaan ini dimaksudkan untuk mengetahui matapencaharian utama
masyarakat di sekitar Teluk Palabuhanratu)
• Pembagian kerja masyarakat perikanan :
Jumlah juragan/Pemilik kapal :
Jumlah pemodal :
Jumlah nelayan ABK
Jumlah pedagang ikan
Dll
• Bagaimana hubungan antar matapencaharian
4
Bagimana golongan secara ekonomi dan sosial ¿
• Berapa jumlah orang kaya, menengah dan miskin di wilayah Teluk Palabuhanratu
menurut usuran masyarakat ¿
• Bagian mana dari kelas ekonomi tersebut yang paling besar ¿
•
•
•
5
5
Siapa yang memiliki alat produksi yang paling banyak seperti kapal, alat tangkap
Bagaimana hubungan antara kelompok-kelompok tersebut dengan struktur masyarakat
Kelompok mana yang memiliki sumber-sumber dan alat-alat produksi terbesar dan
terkecil atau bahkan tidak punya
• Bagaimana hubungan produksi antara kelas-kelas yang atau kelompok-kelompok yang
ada (misalnya pemilik kapal, juragan, nelayan abk, dll)
• Dimana letal pemukiman masing-masing golongan ekonomi, social dalam peta situasi.
Sejarah Desa, kampung dan masyarakat nelayan di sekitar Teluk Palabuhanratu.
• Peristiwa apa yang paling berpengaruh dalam kehidupan social, ekonomi, politik dan
budaya masyarakat nelayan di sekitar Teluk Palabuhanratu ¿
• Siapa-siapa saja aktor yang berperan dalam perubahan-perubahan (dari luar maupun
dalam) ¿
• Dari golongan atau kelompok mana yang dominan dalam perubahan-perubahan ¿
• Bagimana sikap dan tindakan masyarakat setiap peristiwa perubahan ¿
Beberapa peristiwa penting dalam penelusuran sejarah :
• Pembangunan infrastruktur desa
• Pertumbuhan armada kapal perikanan
• Perkembangan degragasi sumberdaya ikan
• Perkembangan alat tangkap ikan
• Intervensi pemerintah
• dll
Peta konflik dan sosial, politik dan ekonomi
• Bagaimana sejarah konflik antar nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan
• Apa saja hal-hal yang menyebabkan konflik dalam masyarakat nelayan
• Siapa saja aktor-aktor yang terlibat dalam konflik
• Bagaimana latar belakang aktor-aktor yang terlibat konflik
• Bagaimana pengaruh masing-masing actor dalam masyarakat
• Bagaimana pengaruh dari luar berperan dalam menciptakan konflik dalam masyarakat
nelayan
• Bagaimana mekanisme penyelesaian yang pernah ada dalam masyarakat nelayan
• Dimana letak pemukiman masing-masing kelompok nelayan yang berkonflik (kaitkan
dengan peta situasi)
Bagian Kedua : Identifikasi Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan
Oleh Pemerintah Kabupaten Sukabumi
Nama
:__________________________________
Jabatan:__________________________________
Umur
:__________________________________
Alamat
:__________________________________
__________________________________
Instansi
: Dinas Kelautan dan Perikanan
I. UMUM
33. Berapa potensi lestari sumberdaya ikan di teluk Palabuhanratu ?______(ton/thn)
34. Berapa persen yang sudah termanfaatkan ? _________(% )
35. Bagaimana tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan sepuluh tahun terakhir ?
Â… Meningkat
Â… Menurun
Â… Tetap
36. Jenis ikan apa saja yang terdapat di Teluk Palabuhanratu ?
Â… Demersal, Sebutkan ...............
Â… Pelagis, Sebutkan...................
37. Jenis ikan apa yang dominan ditangkap oleh nelayan ?
Â… Demersal, Sebutkan ...............
Â… Pelagis, Sebutkan...................
38. Bagaimana musim ikan di teluk Palabuhanratu ?
No
Jenis Ikan
Bulan
Ja
F Ma Ap Me Jn Jl Ag S O N D
A Ikan Demersal
1
2
3
4
5
B Ikan Pelagis
1
2
3
4
5
Keterangan :
Ja : Januari
F : Februari
Ma : Maret
Ap : April
Me : Mei
Ju : Juni
Jl : Juli
Ag : Agustus
S : September
O : Oktober
N : November
D : Desember
39. Berapa jumlah armada kapal ikan yang ada di Teluk Palabuhanratu ?
No
Jenis Kapal
∑ Yang berijin
∑ Yang tidak
∑ Total
berijin
1
Perahu
tanpa
motor
2
< 5 GT
3
5 – 10 GT
4
11 – 30 GT
5
> 30 GT
Total
40. Berapa jumlah alat tangkap ikan yang ada di Teluk Palabuhanratu ?
No
Jenis Alat
∑ Yang
∑ Yang tidak
∑ Total
tangkap
berijin
berijin
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Total
41. Berapa jumlah tempat pendaratan ikan di Teluk Palabuhanratu ?
42. Organisasi nelayan apa saja yang ada di Teluk Palabuhanratu ?
Â… HNSI
Â… Gabungan Kelompok Tani Ikan
Â… Kelompok Masyarakat Pengawas Sumberdaya Ikan
Â… .......
Â… .......
Jenis Ikan Yang
tertangkap
43. Bagaimana peran masing-masing organisasi tersebut ?
No Organisasi
Mengawasi Menentukan Menentukan
pemanfaatan jumlah ikan ukuran ikan
sumberdaya yang boleh yang boleh
ikan
ditangkap
ditangkap
HNSI
Gambarkan hubungan antar organisasi tersebut :
Peran
Mengelola Menentukan Memberikan
Rumpon
jenis alat
sanksi pada
tangkap yang
nelayan
dipergunakan
yang
melanggar
II. PERATURAN
44. Apakah ada peraturan formal tentang pengelolaan sumberdaya ikan di teluk
Palabuhanratu ?
Ada
Ada, tapi belum berjalan efektif
belum ada
45. Kalau ada, jenis peraturan formal apa saja yang ada ?
Â… Peraturan Menteri
Â… Peraturan Daerah
Â… Peraturan Desa
Â… Kesepakatan bersama
46. Apakah ada peraturan informal di tingkat masyarakat dalam pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya ikan ?
Â… Ada
Â… Ada, tapi sudah tidak berjalan efektif
Â… Tidak ada
No
47. Apa saja yang diatur dalam peraturan tersebut ?
Jenis Peraturan
Hal-Hal yang diatur
Batas
Kewenangan Organisasi
Jumlah
Partisipasi
kewenangan
Perijinan
Tangkapan
nelayan
Peraturan Menteri
Peraturan Daerah
Peraturan Desa
Kesepakatan
bersama
Pengawasan
Penegakan
hukum
48. Apakah ada aturan tentang pemanfaatan dan pengelolaan rumpon ?
Ada
belum ada
49. Kalau ada, jenis peraturan apa saja yang ada ?
Â… Peraturan Menteri
Â… Peraturan Daerah (Perda)
Â… Peraturan Desa
Â… Kesepakatan bersama
No
1
2
3
4
50. Apa saja yang diatur dalam peraturan rumpon tersebut ?
Jenis Peraturan
Hal-Hal yang diatur
Jarak antar
Jumlah rumpon Perijinan Organisasi
Jumlah
Ukuran Pengawasan Penegakan
rumpon
Tangkapan ikan yang
hukum
ditangkap
Peraturan
Menteri
Peraturan
Daerah
Peraturan Desa
Kesepakatan
bersama
51. Siapa saja yang dapat memanfaatkan dan mengelola rumpon di teluk
Palabuhanratu ?
52. Bagaimana hubungan antar pengelola dan pemanfaat rumpon di Teluk
Palabuhanratu ?
III. PERIJINAN
53. Jenis armada perikanan tangkap apa saja yang harus memiliki ijin di teluk
Palabuhanratu ?
No
Jenis Kapal
Jenis perijinan
SIUP
SIPI
SK
Lainnya
1
Perahu
tanpa
motor
2
< 5 GT
3
5 – 10 GT
4
11 – 30 GT
5
> 30 GT
Total
Keterangan :
SIUP : Surat izin usaha perikanan
SIPI : Surat izin penangkapan ikan
SK : Surat keterangan
54. Berapa lama proses perijinan setiap armada perikanan tersebut ?
55. Berapa biaya untuk mendapatkan perijinan tersebut ?
No
Jenis Kapal
Jumlah Biaya Perijinan (Rp)
SIUP
SIPI
SK
Lainnya
1
Perahu
tanpa
motor
2
< 5 GT
3
5 – 10 GT
4
11 – 30 GT
5
> 30 GT
Total
Keterangan :
SIUP : Surat izin usaha perikanan
SIPI : Surat izin penangkapan ikan
SK : Surat keterangan
56. Bagaimana prosedur mendapatkan ijin tersebut ?
57. Berapa rumpon yang diberikan ijin di teluk Palabuhanratu ?
Â… Milik Pemerintah, .....unit
Â… Milik swasta, .......unit
Â… Milik nelayan, ........unit
58. Berapa biaya perijinan rumpon ? Rp.................................Per unit
59. Jenis alat tangkap diijinkan di Teluk Palabuhanratu :
Nama lokal
Jenis alat tangkap
Yang memberikan
ijin
Catatan apakah sesuai dengan Kepmen pertanian tahun 1999 tentang jalur-jalur
penangkapan ikan.
IV. AKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN
60. Bagaimana perkembangan produksi perikanan di teluk Palabuhanratu ?
Sebelum ada rumpon
Keterangan
Bulan
Volume
Terbanyak
Rata-rata
Sedikit
Sesudah ada rumpon
Keterangan
Terbanyak
Rata-rata
Sedikit
Bulan
Volume
V. KONFLIK NELAYAN
29. Apakah pernah terjadi konflik antar nelayan di Teluk Palabuhanratu ?
Â… Pernah (langsung ke pertanyaan b)
Â… Belum pernah
30. Bagaimana intensitas konflik dalam sepuluh tahun terakhir ?
Â… Sering
Â… Sewaktu-waktu
31. Apa yang menjadi penyebab terjadinya konflik ?
Â… Pelanggaran jalur penangkapan ikan
Â… Penurunan jumlah ikan
Â… Lainnya, sebutkan
32. Bagaimana penyelesaian konflik antar nelayan ?
VI. BIAYA TRANSAKSI
33. Biaya manajemen organisasi formal di teluk Palabuhanratu
No
Biaya
∑
Keterangan/alasan
nominal
1
Koordinasi antar lembaga
formal
2
Sosialisasi keputusan
kepada setiap lembaga
formal
3
Biaya monitoring
pelaksanaan keputusan
4
Lainnya (sebutkan)
Total
34. Biaya penyusunan peraturan
Palabuhanratu
No
Biaya
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pengelolaan
2
3
4
5
6
di
∑
nominal
Keterangan/alasan
∑
nominal
Keterangan/alasan
∑
nominal
Keterangan/alasan
Informasi hasil tangkapan
nelayan
Monitoring
Lainnya (sebutkan)
Total
36. Biaya rumpon
No
1
2
3
4
5
Ikan
Informasi kebutuhan
peraturan
Pengumpulan bahan-bahan
peraturan
Penyusunan peraturan
Rapat
Lobi
Anggota DPRD
Sosialisasi
Monitoring
Lainnya (sebutkan)
Total
35. Biaya pengawasan sumberdaya ikan
No
Biaya
1
Sumberdaya
Biaya
Pengawasan
Sosialisasi
Penegakan hukum
Monitoring
Lainnya (sebutkan)
Total
Teluk
Bagian Tiga : Identifikasi Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Oleh
Nelayan
Nama
:__________________________________
Umur
:__________________________________
Alamat
:__________________________________
__________________________________
Rumah tangga : Nelayan
Daerah asal
: __________________________________
I. PEKERJAAN UTAMA
40. Berapa lama bapak melakukan pekerjaan ini ? ______________(tahun )
41. Usaha ini dimulai oleh :
Â… diri sendiri
Â… orang tua
Â… anggota keluarga yang lain, sebutkan : _______________________
42. Alasan memilih pekerjaan ini :
Â… berdasarkan keahlian
Â… tidak ada pilihan lain
Â… memiliki peluang yang lebih besar/menguntungkan
43. Usaha ini dikelola oleh :
Â… diri sendiri
Â… diri sendiri dibantu oleh istri / anak, sebutkan berapa orang :………………….
44. Apakah bapak memiliki perahu ? Ya / tidak
45. Kalau ya,
Jenis Perahu
Jumlah
Biaya
Ukuran Jumlah
Hubungan
perahu
Investasi
TK
dengan TK
Perahu
dayung
Perahu layar
Perahu
motor
46. Jenis alat tangkap digunakan :
Nama lokal
Jenis alat tangkap
Jumlah
47. Bila dinominalkan, berapa nilai asset yang bapak miliki ? Rp________________
48. Modal untuk membeli asset berasal dari :
Â… Modal pribadi : Rp _________________________________________
Â… Pinjaman kepada :________________________Rp ____________________
49. Bila tidak memiliki perahu, apakah bapak :
Â… Meminjam dengan bagi hasil
Â… Menyewa : Rp____________/bulan
Â… Meminjam dari orang tua
Â… Bekerja sebagai anak buah
50. Apakah anggota keluarga yang membantu mengelola usaha digaji/bagi hasil ?
Â… ya, sebanyak : Rp ___________ per ____________
Â… tidak
51. Apakah hal-hal di bawah ini berpengaruh dalam menentukan pendapatan RT
bapak ?
Faktor
Besar pengaruh
Keterangan
Sangat Cukup Tidak
Hasil panen
Umur
Pendidikan
Pengalaman
bekerja
Anggota
keluarga
yang
membantu
Pendapatan
sampingan
II. FISHING GROUND
13. Dimana bapak selama ini melakukan penangkapan ikan ?
Â… Di dalam teluk
Â… Di luar teluk
14. Bagaimana perkembangan fishing ground sebelum ada rumpon ?
Â… mendekat ke pantai
Â… tetap saja
Â… menjauhi teluk
15. Apakah bapak memiliki rumpon ?
Â… ya (kalau ya, lanjutkan ke pertanyaan berikutnya)
Â… tidak (kalau tidak langsung ke pertanyaan q)
16. Sudah berapa lama bapak memiliki rumpon ¿
17. Letak rumpon :
Â… didalam teluk, berapa mil …
Â… diluar teluk, berapa mil….
18. Kepemilikan rumpon
Â… milik sendiri
Â… pemerintah
Â… kelompok
19. Berapa biaya untuk membuat rumpon ¿
20. Berapa biaya ijin memasang rumpon ¿
21. Berapa biaya untuk memasang rumpon ¿
22. Dari mana mendapatkan ijin memasang rumpon ¿
23. Siapa saja yang boleh menangkap ikan di sekitar rumpon ?
24. Bagaimana aturan nelayan lain yang ingin menangkap ikan di sekitar rumpon
bapak ¿
25. Apakah pernah terjadi konflik dengan nelayan yang tidak memiliki rumpon ¿
Â… pernah
Â… belum pernah
26. Kalau pernah, bagaimana penyelesaiaan konflik tersebut ¿
27. Apakah bapak melakukan pengawasan terhadap keberadaan rumpon ¿
28. Berapa bioaya yang dikeluarkan untuk sekali melalukan pengawasan ¿
29. Berapa kali dalam seminggu bapak melakukan pengawasan rumpon ?
30. Apakah bapak menangkap ikan di sekitar rumpon ?
31. Rumpon milik siapa tempat bapak melakukan penangkapan ikan ?
32. Bagaimana bapak mendapatkan ijin untuk menangkap ikan disekitar rumpon
tersebut ?
33. Adakah kesepakatan antara bapak dan pemilik rumpon sebelum melakukan
penangkapan ikan ?
Â… ada
Â… tidak ada
III. AKTIVITAS PENANGKAPAN IKAN
34. Berapa hari bapak menangkap ikan dalam sebulan :
Â… Sebelum ada rumpon : _________________ hari
Â… Sesudah ada rumpon : _________________ hari
35. Satu trip penangkapan dilakukan dalam beberapa lama :
Â… Sebelum ada rumpon : _____________ jam/hari
Â… Sesudah ada rumpon : _____________ jam/hari
36. Jumlah tangkapan dalam setiap trip :
Â… Sebelum ada rumpon_______ kg,
Â… Sesudah ada rumpon_______ kg
37. Daerah penangkapan :
Â… Sebelum ada rumpon_______
Â… Sesudah ada rumpon_______
38. Jarak dari tempat tinggal :
Â… Sebelum ada rumpon_______ mill
Â… Sesudah ada rumpon_______ mill
39. Bulan apakah bapak tidak kelaut untuk menangkap ikan :
Â… Sebelum ada rumpon : _______
Â… Sesudah ada rumpon : _______
40. Hasil Tangkapan per trip
Sebelum ada rumpon
Keterangan
Bulan
Terbanyak
Rata-rata
Sedikit
Sesudah ada rumpon
Keterangan
Bulan
Terbanyak
Rata-rata
Sedikit
41. Jenis-jenis ikan yang tertangkap :
Sebelum ada rumpon
No
Jenis Ikan
Bulan
Ja
F Ma Ap Me Jn Jl
A Ikan Demersal
1
2
Volume
Volume
Ag S O N D
3
4
5
B Ikan Pelagis
1
2
3
4
5
Keterangan :
Ja : Januari
Ap : April
Jl : Juli
O : Oktober
Sesudah ada rumpon
No
Jenis Ikan
Ja
A Ikan Demersal
1
2
3
4
5
B Ikan Pelagis
1
2
3
4
5
Keterangan :
Ja : Januari
Ap : April
Jl : Juli
O : Oktober
Ma : Maret
Ju : Juni
S : September
D : Desember
F : Februari
Me : Mei
Ag : Agustus
N : November
F
Bulan
Ma Ap Me Jn
F : Februari
Me : Mei
Ag : Agustus
N : November
Jl
Ag S O N D
Ma : Maret
Ju : Juni
S : September
D : Desember
42. Hasil tangkapan digunakan untuk :
Keterangan
Semua
Sebagian
Dijual pada pedagang
Dijual langsung pada konsumen
Dimakan sendiri
43. By catch digunakan untuk apa ? _____________________________
Sedikit
IV. PENDAPATA NELAYAN
44. Pendapatan
Â… Sebelum dikurangi biaya produksi : Rp _________________________
Â… Setelah dikurangi biaya produksi : Rp ________________________
40. Rata-rata pendapatan bersih selama tiga bulan terakhir : Rp_________
41. Apakah pendapatan tersebut fluktuatif ? (ya/tidak) _________________
42. Bulan apakah pendapatan paling besar: _________________________
43. Bulan apakah pendapatan paling sedikit : _________________________
44. Penyebab berfluktuasinya pendapatan _____________________
__________________________________________________________________
________________________________________________________
45. Biaya (dari pekerjaan utama) :
45. Biaya Produksi
Biaya
∑
Dikeluarkan
Keterangan
Nominal
per
BBM
(liter)
Makanan, minuman, dll
Upah tenaga kerja / bagi hasil
Biaya perawatan perahu / kapal
Pembelian alat tangkap
46. Biaya transaksi
Biaya
∑ nominal
Informasi tentang pasar
informasi
tentang
sumberdaya ikan
pemeliharaan sumberdaya
monitoring rumpon
perizinan
Retribusi legal
Pungutan Liar
Mengakses rumpon
Diserahkan per
Keterangan/alasan
46. Pekerjaan Sampingan (pendapatan sampingan keluarga)
47. Jenis pekerjaan ______________________________________________
48. Tahun memulai usaha: ________________________
49. Waktu mengerjakan pekerjaan sampingan :
Â… setiap hari
Â… pada saat tidak melaut
50. Alasan memiliki pekerjaan sampingan :
51. Usaha ini dikelola oleh :
Â… diri sendiri
Â… diri sendiri dibantu oleh istri / anak, sebutkan berapa orang : _______
Â… apakah memiliki tenaga kerja dari luar : _______________________
52. Rata-rata pendapatan per bulan selama tiga bulan terakhir : Rp _________
V. PENGELUARAN NELAYAN
53. Total pengeluaran rumah tangga dalam satu bulan :
No
Komponen
Nominal / bulan
Pengeluaran
(Rp)
1
Pangan
2
Sandang
3
Papan
(listrik,
air,
Keterangan
4
5
6
7
8
9
10
telpon, dll)
Pendidikan
Kesehatan
Hiburan
Hajatan/kegiatan social
Kebutuhan lux
54. Apakah pengeluaran bersifat fluktuatif ? :
Â… Ya, bulan apa saja pengeluaran paling besar :………dan untuk apa ……..
Â… Tidak
VI. KONFLIK NELAYAN
56. Apakah pernah terjadi konflik antar nelayan di Teluk Palabuhanratu ?
Â… Pernah (langsung ke pertanyaan b)
Â… Belum pernah
57. Bagaimana intensitas konflik dalam sepuluh tahun terakhir ?
Â… Sering
Â… Sewaktu-waktu
58. Apa yang menjadi penyebab terjadinya konflik ?
Â… Pelanggaran jalur penangkapan ikan
Â… Penurunan jumlah ikan
Â… Lainnya, sebutkan
59. Bagaimana penyelesaian konflik antar nelayan ?
VII.
Data Anggota Keluarga (yang menjadi tanggungan)
Nama
Status
Umur Pendidikan terakhir
Pekerjaan
Bagain Empat : Identifikasi Organisasi Nelayan
Nama
Jabatan
Umur
Alamat
:__________________________________
:__________________________________
:__________________________________
:__________________________________
__________________________________
Nama Organisasi
:
Â… Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI)
Â… Gabungan Kelompok Tani Ikan
Â… Kelompok Masyarakat Pengawas
Â… Kelompok Rumpon
Â… Koperasi
Â… …………………….
1. KEPEMIMPINAN
1A.
Pergantian
1A.1 Apakah pemimpin organisasi berubah secara teratur?
Ya
[ ] 1
Tidak
[ ] 2
1A.2 Pada saat pemimpin berada pada posisinya cukup untuk mengetahui dan
mempelajari fungsi kepemimpinan?
Ya
[ ] 1
Tidak
[ ] 2
1A.3 Ada kemungkinan memilih kembali pemimpin yang sukses?
Ya
[ ] 1
Tidak
[ ] 2
1B.
Kepadatan
1B.1 Berapa banyak orang dalam organisasi yang memiliki kapabilitas dan kualitas
menjadi pemimpin yang efektif?
Tidak ada yang memenuhi [ ] 1
Sedikit (1 - 3)
[ ] 2
Beberapa (4 - 6)
[ ] 3
Banyak (lebih dari 6)
[ ] 4
1B.2 Berapa banyak yang siap untuk menjadi pemimpin?
Hanya sedikit yang siap menjadi pemimpin [ ] 1
Terbatas namun tersedia
[ ] 2
Tidak pernah kekurangan calon
[ ] 3
1B.3 Berapa pemimpin sebelumnya yang setuju untuk meneruskan partisipasi
dalam organisasi?
Tidak ada pemimpin sebelumnya, organisasi ini masih baru [ ]
1
Hampir tidak ada partisipasi pemimpin sebelumnya
[ ]
2
Ada beberapa partisipasi pemimpin sebelumnya
[ ]
3
Semuanya berpartisipasi aktif
[ ]
4
1C.
Keragaman
1C.1 Apakah pemimpin organisasi berasal dari sebuah kelompok atau sebuah
keluarga atau merupakan perwakilan dari komunitas?
Dari sedikit kelompok dalam komunitas
[ ] 1
Dari beberapa kelompok dalam komunitas
[ ] 2
Dari hampir semua kelompok di komunitas [ ] 3
1C.2 Berapa presentase wanita yang menjadi pemimpin?
Kurang dari 10%
[ ] 1
Antara 10 % dan 25%
[ ] 2
Antara 26% dan 50%
[ ] 3
Lebih dari 50%
[ ] 4
1D.
1D.1
1E.
1E.1
1E.2
2
Kualitas dan Keterampilan Kepemimpinan
Secara umum, bagaimana anda melihat kualitas pemimpin di dalam organisasi
ini:
Sempurna Bagus
Cukup Kurang
a. Pendidikan/pelatihan
[ ] 1 [ ] 2 [ ] 3 [ ] 4
b. Dinamika/visi?
[ ] 1 [ ] 2 [ ] 3 [ ] 4
c. Ketrampilan?
[ ] 1 [ ] 2 [ ] 3 [ ] 4
d. Kejujuran/transparansi?
[ ] 1 [ ] 2 [ ] 3 [ ] 4
Hubungan Baik Diantara Pengurus
Bagaimana anda melihat hubungan diantara pengurus?
Harmonis, tanpa ada masalah besar
[ ] 1
Berdampingan, dengan beberapa saingan [ ] 2
Konflik, dengan banyak masalah
[ ] 3
Disfungsi, tanpa koordinasi
[ ] 4
Legitimasi yang dipunyai pemimpin dalam organisasi:
Pemimpin diterima, semua anggota melegitimasi utuk membawa aspirasinya [
]1
Pemimpin diterima, mayoritas melegitimasi utk membawa aspirasinya
[ ]
Pemimpin diterima sedikit anggota dan memiliki sedikit legitimasi [ ] 3
Pemimpin tidak diterima dan tidak memiliki legitimasi. [ ] 4
2. PARTISIPASI
2A.
Frekuensi pertemuan
2A.1 Apakah seharusnya frekuensi pertemuan lebih banyak, dikurangi atau tetap?
Lebih banyak
[ ] 1
Lebih sedikit
[ ] 2
Tetap sama
[ ] 3
2B.
Partisipasi Dalam Membuat Keputusan
2B.1 Keputusan paling penting yang dibuat pada tahun sebelumnya?
Keputusan 1: ___________________________________________
Keputusan 2: ___________________________________________
2B.2 Pada keputusan tersebut, apakah hal seperti dibawah ini dilakukan?
(Kode keputusan 1 dulu, kemudian dilanjutkan dengan keputusan 2.)
e). dis-eminasi
d). debat
c).
b).
Topik
a).diseminahasil
terbuka,
konsulkemungsi informasi
opini
tasi
kinan
lebih dulu
berbeda,
dengan
diskusi
dan
warga
informal
diskusi
Ya = 1
dengan
Ya = 1
Tidak = 2
jujur
Ya = 1
Tidak = 2
Ya = 1
Tidak = 2 Ya = 1
Tidak = 2 Tidak = 2
Keputusan
1
Keputusan
2
2C.
2C.1
Keterbukaan
Tiga pertemuan terakhir, seberapa besar partisipasi wanita, pemuda dan
kelompok miskin?
Aktif
Cukup aktif Tidak aktif
a. Wanita
[ ] 1
[ ] 2 [ ] 3
b. Pemuda
[ ] 1
[ ] 2 [ ] 3
2C.2
2C.3
2D.
2D.1
c. Kelompok Miskin
[ ] 1
[ ] 2 [ ] 3
Seberapa besar organisasi mewakili anggotanya?
Tinggi
[ ] 1
Sedang
[ ] 2
Kurang
[ ] 3
Tidak representatif
[ ] 4
Berapa persen populasi yang merasakan keuntungan dari organisasi ini?
Kurang dari25%
[ ] 1
Antara 25 % dan 50%
[ ] 2
Antara 51% dan 75%
[ ] 3
Lebih dari 75%
[ ] 4
Partisipasi Masyarakat Mapan
Seberapa besar keluarga yang mapan (keluarga yang mempunyai lahan luas,
bisnis perikanan yang maju) terlibat dalam pertemuan, berpartisipasi dalam
organisasi?
Aktif
[ ] 1
Cukup aktif
[ ] 2
Kurang aktif
[ ] 3
Tidak aktif
[ ] 4
3. BUDAYA ORGANISASI
3.1
Berapa banyak anggota yang tahu prosedur, norma, dan tugas organisasi?
Mayoritas anggota
[ ] 1
Beberapa anggota
[ ] 2
Sedikit anggota
[ ] 3
3.2
Organisasi mengkonfrontir permasalahan anggotannya seperti; yang tidak
datang ke pertemuan, menghindari tugas, mencuri inventaris organisasi?
Organisasi selalu mengkonfrontir kebiasaan buruk dari anggotanya [
]1
Organisasi kadang-kadang mengkonfrontir kebiasaan buruk anggota
[
]2
Organisasi mempunyai sedikit kapasitas untuk mengkonfrontir
[
]3
3.3
Untuk kasus yang serius, apakah terdapat aturan dan sanksi/denda?
Ya
[ ] 1
Tidak
[ ] 2
4.
4A.
4A.1
4B.
4B.1
4B.2
4B.3
KAPASITAS DAN KEBERLANJUTAN ORGANISASI
Rincian Kapasitas
Bagaimana kapasitas orgasisasi dalam:
Sangat Baik
Baik
Cukup Kurang
a.Menyelesaikan kewajiban khusus
(pelatihan, pertemuan)
[ ] 1 [ ] 2 [ ] 3 [ ]4
b.Mengawasi program kegiatan
[ ] 1 [ ] 2 [ ] 3 [ ]4
c. Menyiapkan laporan keuangan
bank, donor atau pemerintah
[ ] 1 [ ] 2 [ ] 3 [ ]4
d. Menjawab tantangan dan
perubahan dalam organisasi
[ ] 1 [ ] 2 [ ] 3 [ ]4
e.Perencanaan detail kedepan
[ ] 1 [ ] 2 [ ] 3 [ ]4
f. Belajar dari pengalaman
[ ] 1 [ ] 2 [ ] 3 [ ]4
g. Memecahkan masalah dengan
organisasi lain
[ ] 1 [ ] 2 [ ] 3 [ ]4
h. Memecahkan konflik di dalam
organisasi
[ ] 1 [ ] 2 [ ] 3 [ ]4
Tindakan Bersama dan Formulasi Kebutuhan
Apakah organisasi mengidentifikasi dengan jelas kebutuhan utama
anggotanya?
Ya
[ ] 1
Tidak
[ ] 2
Tiga tahun terakhir, apakah ada tuntutan dari anggota?
Ya
[ ] 1
Tidak
[ ] 2
Apakah organisasi mampu menyalurkan tuntutan dari anggotanya?
Ya
[ ] 1
Tidak
[ ] 2
5. BIAYA TRANSAKSI
a. Biaya manajemen organisasi
No
Biaya
1
2
3
4
∑
nominal
Keterangan/alasan
Koordinasi antar anggota
Sosialisasi keputusan
kepada setiap anggota
Biaya monitoring
pelaksanaan keputusan
Lainnya (sebutkan)
Total
b. Biaya penyusunan aturan Pengelolaan Sumberdaya Ikan di Teluk Palabuhanratu
No
Biaya
∑
Keterangan/alasan
nominal
1
Informasi kebutuhan
peraturan
2
Pengumpulan bahanbahan peraturan
3
Penyusunan peraturan
4
Rapat
5
Lobi
6
Sosialisasi
7
Monitoring
8
Lainnya (sebutkan)
Total
c. Biaya pengawasan sumberdaya ikan
No
Biaya
1
2
3
4
5
6
Keterangan/alasan
∑
nominal
Keterangan/alasan
Informasi hasil tangkapan
nelayan
Monitoring
Lainnya (sebutkan)
Total
d. Biaya rumpon
No
1
2
3
4
5
∑
nominal
Biaya
Pengawasan
Sosialisasi
Penegakan hukum
Monitoring
Lainnya (sebutkan)
Total
Lampiran 2. Tabel Analisis Peraturan Nasional Dan Daerah Sebagai Dasar Hukum Dalam Pengelolaan Sumberdaya
Ikan Di Teluk Palabuhanratu
No
1
Aspek Peraturan
Penentuan jumlah
tangkapan yang
diperbolehkan
Jenis Peraturan
Undang-Undang
Undang-Undang No 31
Tahun 2004 tentang
Perikanan
Peraturan Menteri
Peraturan Menteri
Pasal dan Ayat
Pasal 7
(1) Dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumberdya ikan, menteri
menetapkan :
a. Rencana pengelolaan perikanan
b. Potensi dan alokasi sumberdaya ikan di wilayah pengelolaan perikanan
RI
c. Jumlah tangkapan yang diperbolehkan di wilayah pengelolaan perikanan
RI
d. Jenis, jumlah dan ukuran alat penangkapan ikan
e. Jenis, jumlah, ukuran dan penempatan alat bantu penangkapan ikan
f. Daerah, jalur dan waktu atau musim penangkapan ikan
g. Persyaratan atau standar prosedur operasional penangkapan ikan
h. Sistem pemantauan kapal perikanan
i. Pencegahan pencemaran dan kerusakan sumberdaya ikan serta
lingkungannya
j. Rehabilitasi dan peningkatan sumberdaya ikan serta lingkungannya
k. Ukuran atau berat jenis ikan yang boleh ditangkap
l. Suaka perikanan
(2) Menteri menetapkan potensi dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah mempertimbangkan
rekomendasi dari komisi nasional yang mengkaji sumberdaya ikan
Pasal 24
Analisis Konstektual
Sampai saat ini
pemerintah belum
melakukan kajian ulang
terhadap jumlah
tangkapan yang
diperbolehkan untuk
ditangkap oleh setiap
nelayan dan pengusaha
perikanan di wilayah
perairan Indonesia.
Pasca berlakunya UU
ini, menteri kelautan dan
perikanan belum
menetapkan potensi dan
jumlah tangkapan yang
diperbolehkan
Kelautan dan
Perikanan Nomor :
PER.17/MEN/2006
Tentang Usaha
Perikanan Tangkap
2
Menjaga kelestarian
sumberdaya ikan
Peraturan Daerah
Provinsi Jawa Barat
Keputusan Gubernur
Provinsi Jawa Barat
Peraturan Daerah
Kabupaten Sukabumi
Keputusan Bupati
Kabupaten Sukabumi
Undang-Undang
Undang-Undang No 31
Tahun 2004
(1) Direktur Jenderal menerbitkan SIUP apabila :
a. Permohonan telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasl 20 ayat (1);
b. Telah mempertimbangkan ketersediaan daya dukung sumberdaya ikan
sesuai dengan Jumlah Tangkapan Yang di Perbolehkan (JTB)
c. Telah mempertimbangkan kelayakan usaha yang diajukan
d. Pemohon telah membayar PPP yang dibuktikan dengan tanda bukti
pembayaran
Belum ada aturan
Belum ada aturan
Belum ada aturan
Belum ada aturan
Pasal 7
(5) Menteri menetapkan jenis ikan dan kawasan perairan yang masing-masing
dilindungi, termasuk taman nasional laut, untuk kepentingan ilmu pengetahuan,
kebudayaan, pariwisata, dan/atau kelestarian sumberdaya ikan dan atau
lingkungannya
Pasal 8
(1) Setiap orang dilarang melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan
bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan atau cara, dan atau
bangunan yang dapat merugikan dan atau membahayakan kelestarian
sumberdaya ikan dan atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan
RI
(2) Nahkoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan dan anak
buah kapal yang melakukan penangkapan ikan dilarang menggunakan bahan
kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan atau cara, dan atau bangunan
yang dapat merugikan dan atau membahayakan kelestarian sumberdaya ikan
3
Pemantauan,
pengawasan,
pengendalian dan
penegakan hukum
Peraturan Daerah
Provinsi Jawa Barat
Keputusan Gubernur
Provinsi Jawa Barat
Peraturan Daerah
Kabupaten Sukabumi
Keputusan Bupati
Kabupaten Sukabumi
Undang-Undang
Undang-Undang No 31
Tahun 2004 tentang
Perikanan
dan atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan RI
(3) Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, penanggungjawab
perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal perikanan dilarang
menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan atau
cara, dan atau bangunan yang dapat merugikan dan atau membahayakan
kelestarian sumberdaya ikan dan atau lingkungannya di wilayah pengelolaan
perikanan RI
Belum ada aturan
Belum ada aturan
Belum ada aturan
Belum ada aturan
Pasal 66
(1) Pengawasan perikanan dilakukan oleh pengawas perikanan
(2) Pengawas perikanan bertugas untuk mengawasi tertib pelaksanaan
perundang-undangan di bidang perikanan
(3) Pengawas perikanan terdiri dari penyidik pegawai negeri sipil perikanan dan
non penyidik pegawai negeri sipil perikanan
Pasal 67
Masyarakat dapat dilibatkan dalam membantu pengawasan perikanan
Pasal 68
Pemerintah mengadakan sarana dan prasarana pengawasan perikanan
Pasal 69
(1) Pengawas perikanan, dalam melaksanakan tugas dapat dilengkapi dengan
senjata api dan/atau alat pengaman diri lainnya serta didukung dengan kapal
pengawas perikanan
(2) Kapal pengawas perikanan, berfungsi melaksanakan pengawasan dan
Undang-Undang No 6
Tahun 1996 tentang
Perairan Indonesia
Keputusan
Menteri Kelautan Dan
Perikanan
penegakan hokum di bidang perikanan
(3) Kapal pengawas perikanan dapat menghentikan, memeriksa, membawa, dan
menahan kapal yang diduga atau patut diduga melakukan pelanggaran di
wilayah pengelolaan perikanan RI ke pelabuhan terdekat untuk pemrosesan
lebih lanjut
(4) Kapal pengawas perikanan dapat dilengkapi dengan senjata api
Pasal 71
(1) Dengan undang-undang ini dibentuk pengadilan perikanan yang berwenang
memeriksa, mengadili dan memutus tindak pidana di bidang perikanan
(2) Pengadilan perikanan berada di lingkungan peradilan umum
(3) Untuk pertama kali pengadilan perikanan dibentuk di Pengadilan Negeri
Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung dan Tual
(4) Daerah hokum pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
sesuai dengan daerah hukum pengadilan yang bersangkutan
(5) Pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 paling lambat 2
tahun terhitung sejak tanggal undang-undang ini ditetapkan mulai berlaku,
sudah melaksanakan tugas dan fungsinya
(6) Pembentukan pengadilan perikanan sebagimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan dengan
Keputusan Presiden
Pasal 24 Ayat (1)
Penegakan kedaulatan dan hokum di perairan Indonesia, ruang udara diatasnya,
dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya serta sanksi atas pelanggarannya, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
konvensi hokum internasional lainnya, dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku
Pasal 24 ayat (2)
Yurisdiksi adalah penegakan kedaulatan dan hokum terhadap kapal asing yang
sedang melintasi laut territorial dan perairan kepulauan Indonesia dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan konvensi, hokum internasional lainnya, dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
BAB II
LINGKUP KEGIATAN SISWASMAS
A. Pembentukan Jaringan SISWASMAS
Berdasarkan pasal 71 ini
pemerintah Kabupaten
Sukabumi dapat
membentuk pengadilan
perikanan guna
menegakkan hukum
perikanan di Teluk
Palabuhanratu
Nomor : Kep. 58/Men/
2001
Tentang Tata Cara
Pelaksanaan Sistem
Pengawasan
Masyarakat Dalam
Pengelolaan Dan
Pemanfaatan Sumber
Daya
Kelautan Dan
Perikanan
1. Kelompok masyarakat pengawas (POKMASWAS) merupakan pelaksana
pengawasan di tingkat lapangan yang terdiri dari unsur tokoh masyarakat,
tokoh agama, tokoh adat, LSM, nelayan, petani ikan serta masyarakat maritim
lainnya.
2. POKMASWAS dibentuk atas inisiatif masyarakat yang difasilitasi oleh unsur
pemerintah daerah, dan dikoordinir oleh seorang anggota masyarakat dalam
POKMASWAS, yang berfungsi sekaligus sebagai mediator antara
masyarakat dengan pemerintah/ petugas.
3. Para nelayan yang menjadi ABK kapal-kapal penangkap ikan dan nelayannelayan kecil serta masyarakat maritim lainnya, dapat merupakan anggota
kelompok masyarakat pengawas.
4. Kepengurusan POKMASWAS dipilih oleh masyarakat dan terdaftar sebagai
anggota.
B. Pemberdayaan POKMASWAS dan Peningkatan Kemampuan Kelompokkelompok Pengawas
1. Tradisi atau budaya setempat yang merupakan perilaku yang ramah
lingkungan seperti Sasi, Awig-awig, Panglima Laut, Bajo dan lainnya
merupakan budaya masyarakat yang perlu didorong kesertaannya dalam
SISWASMAS.
2. Dalam
rangka
melakukan
apresiasi
pengawasan
maka
perlu
ditumbuhkembangkan POKMASWAS melalui sosialisasi.
3. Sesuai dengan kemampuan pemerintah POKMASWAS dapat diberikan
bantuan sarana dan prasarana pengawasan secara selektif serta disesuaikan
dengan kondisi daerah setempat.
4. Pemerintah dan atau Pemerintah daerah wajib memfasilitasi pemberdayaan
POKMASWAS melalui pembinaan, bimbingan dan pelatihan bagi
peningkatan kemampuan POKMASWAS
BAB III
JARINGAN DAN MEKANISME OPERASIONAL
1. Masyarakat atau anggota POKMASWAS melaporkan informasi adanya
dugaan pelanggaran dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
kelautan dan perikanan kepada aparat pengawas terdekat seperti :
· Koordinator PPNS;
· Kepala Pelabuhan Perikanan;
· Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan;
· Satpol-AIRUD (atau Polisi terdekat);
· TNI-AL terdekat atau;
· Petugas Karantina di Pelabuhan.
· PPNS
2. Masyarakat pengawas juga dapat melaporkan adanya dugaan tindak pidana
perikanan oleh Kapal Ikan Indonesia (KII) atau Kapal Ikan Asing (KIA) serta
tindakan ilegal lain dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan.
3. Petugas yang menerima laporan dari POKMASWAS melanjutkan informasi
kepada PPNS dan/ atau TNI-AL dan/ atau Satpol-AIRUD dan/ atau Kapal
Inspeksi Perikanan.
4. Koordinator Pengawas Perikanan atau Kepala Pelabuhan Perikanan yang
menerima data dan informasi dari nelayan atau masyarakat maritim anggota
POKMASWAS, melanjutkan informasi ke petugas pengawas seperti TNI-AL
dan Satpol-AIRUD atau Kapal Inspeksi Perikanan.
5. Berdasarkan laporan tersebut PPNS, TNI-AL, Pol-AIRUD dan instansi terkait
lainnya, melaksanakan tindakan (penghentian dan pemeriksaan) pengejaran
dan penangkapan pada Kapal Ikan Indonesia (KII) dan Kapal Ikan Asing
(KIA) atau para pelanggar lainnya sebagai tersangka pelanggaran tindak
pidana perikanan dan sumberdaya kelautan lainnya, selanjutnya dilakukan
proses penyelidikan dan penyidikan.
6. Pada waktu yang bersamaan PPNS, Pengawas Perikanan dan/ atau
(Koordinator PPNS dan/ atau Kepala Pelabuhan Perikanan) meneruskan
informasi yang sama kepada Dinas Kabupaten/Kota dan instansi terkait
Propinsi dengan tembusan Direktur Jenderal Pengendalian Sumberdaya
Kelautan dan Perikanan.
7. Dinas Perikanan kabupaten dan/ atau propinsi melakukan koordinasi dengan
petugas pengawas (TNI-AL, POLRI, PPNS) termasuk Keamanan Pelabuhan
Laut Pangkalan (KPLP) dalam melakukan operasi tindak lanjut atas
pelanggaran yang dilakukan Kapal Ikan Indonesia (KII) dan Kapal Ikan
Asing (KIA) maupun para pelanggar lainnya.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Peraturan Menteri
Peraturan Menteri
Kelautan dan
Perikanan Nomor :
PER.17/MEN/2006
Tentang Usaha
BAB IV
PEMBINAAN SISWASMAS
Satuan Pembina SISWASMAS di tingkat Pusat dikoordinir oleh Direktur
Jenderal Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Departemen
Kelautan dan Perikanan dengan anggota unsur Eselon I di lingkungan
Departemen Kelautan dan Perikanan, dan instansi terkait yang mempunyai
kewenangan dalam pendayagunaan sumberdaya kelautan dan perikanan.
Satuan Pembina SISWASMAS di tingkat daerah dikoordinir oleh kepala Dinas
Kelautan dan Perikanan dengan anggota unsure-unsur instansi terkait dengan
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan.
Satuan Pembina SISWASMAS memiliki tugas untuk menetapkan kebijakan
operasional pengawasan dan pengendalian sumberdaya kelautan dan
perikanan, melaksanakan koordinasi dan menyelaraskan program dan
kegiatan antar instansi/lembaga terkait, serta mengambil tindakan untuk
menindaklanjuti dugaan pelanggaran atas informasi dari kelompok pengawas
masyarakat, Dinas Kabupaten/Propinsi maupun lembaga terkait terhadap
kapal-kapal perikanan dan aktivitas pemanfaatan sumberdaya kelautan dan
perikanan lainnya yang melakukan pelanggaran.
Satuan Pembina SISWASMAS melalui Dinas Kabupaten/ Propinsi melakukan
peningkatan kemampuan POKMASWAS baik dalam ketrampilan teknik
pengawasan, pemahaman peraturan perundan-undangan melalui bimbingan
dan pelatihan.
Dalam melakukan tugas sehari-hari Pembina SISWASMAS ditingkat Pusat
dibantu oleh Sekretariat yang dikoordinir oleh Direktur Pengawasan
Sumberdaya Ikan.
Sekretariat bertugas mengumpulkan, mengolah dan menganalisa laporan dan
informasi, serta melaporkan kegiatan dan perkembangan pelaksanaan
SISWASMAS dari daerah serta menyiapkan tindak lanjut penyelesaiannya.
Pasal 67
(1) Pembinaan dan pengawasan terhadap kegiatan usaha perikanan di bidang
penangkapan dan pengangkutan ikan dilakukan oleh Menteri, Gubernur dan
Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan kewenangannya
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pembinaan
Perikanan Tangkap
Peraturan Daerah
Perda Provinsi Jawa
Barat No 14 Tahun
2002 tentang Usaha
Perikanan dan
Retribusi Usaha
Perikanan
Keputusan Gubernur
Jawa Barat No 45
Tahun 2003 tentang
Petunjuk Pelaksanaan
Peraturan Daerah
Provinsi Jawa Barat
No 14 Tahun 2002
tentang Usaha
Perikanan dan
Retribusi Usaha
Perikanan
pengelolaan usaha, sarana dan prasarana, teknik penangkaan dan produksi,
dan mutu hasil perikanan
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap
dipenuhinya ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penangkapan
dan pengangkutan ikan serta ketentuan lainnya yang berkaitan dengan
kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
Pasal 25
(1) Pembinaan, pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan perda dilakukan
oleh Gubernur yang dalam pelaksanaanya dilakukan oleh Dinas berkoordinasi
dengan instansi terkait
(2) Rincian lebih lanjut mengenai kegiatan pembinaan, pengawasan dan
pengendalian sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini ditetapkan oleh
gubernur.
Pasal 19
(1) Pembinaan, pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan perda dilakukan
oleh gubernur yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Dinas
berkoordinasi dengan instansi terkait
(2) Instansi terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini terdiri atas :
a. Asisten yang membidangi pemerintahan pada Sekertaris Daerah dalam hal
aktivitas pelaksanaan ketentuan berdasarkan Perda dan peraturanperaturan lainnya
b. Asisten yang membidangi perekonomian pada Sekertaris Daerah dalam
hal pengendalian produksi
c. Asisten yang membidangi administrasi pada Sekertaris Daerah dalam hal
pembinaan administrasi keuangan
d. Dinas Daerah yang membidangi perdagangan dalam hal pembinaan dan
pengembangan pemasaran serta pemantauan harga perikanan
e. Dinas Daerah yang membidangi Pendapatan Daerah dalam hal
pelaksanaan pemungutan retribusi
Pasal 20
(1) Kepala Dinas selambat-lambatnya tanggal 10 setiap bulan membuat dan
menyampaikan laporan atas pelaksanaan Peraturan Daerah kepada Gubernur
dengan menggunakan formulir UP 17
4
Perlindungan
Kepentingan Nelayan
Peraturan Daerah
Kabupaten Sukabumi
Nomor 3 Tahun 2002
tentang Izin Usaha
Perikanan
Keputusan Bupati
Sukabumi Nomor 493
Tahun 2003 tentang
Petunjuk Pelaksanaan
Peraturan Daerah
Kabupaten Sukabumi
Nomor 3 Tahun 2002
tentang Izin Usaha
Perikanan
Undang-Undang No 31
Tahun 2004 tentang
Perikanan
(2) Kepala Unit Pelayanan Pendapatan Daerah di Lingkungan Dinas Pendapatan
Provinsi Jawa Barat di Kabupaten/Kota setempat selambat-lambatnya tanggal
5 membuat dan menyampaikan laporan atas penerimaan dan penyetoran
retribusi pengusahaan Perikanan dan Retribusi Hasil Perikanan kepada
Kepala Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Barat, dengan menggunakan
formulir Model UP. 18
(3) Kepala Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Barat selambat-lambatnya
tanggal 10 setiap bulan membuat dan menyampaikan laporan atas penerimaan
dan penyetoran Retribusi Pengusahaan Perikanan dan Retribusi Hasil
Perikanan kepada Gubernur dengan menggunakan formulir Model UP.19
Pasal 22
(1) Kepala Dinas melaksanakan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin
yang telah di keluarkan
(2) Tata cara pelaksanaan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) pasal ini akan ditetapkan lebih lanut oleh Bupati
Pasal 60
(1) Pemerintah memberdayakan nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil
melalui :
a. Penyediaan skim kredit bagi nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil,
baik untuk modal usaha maupun biaya operasional dengan cara yang
mudah, bunga pinjaman yang rendah, dan sesuai dengan kemampuan
nelayan kecil dan pembudiaya ikan kecil
b. Penyelenggaraan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan bagi nelayan
kecil serta pembudidaya ikan kecil untuk meningkatkan pengetahuan
dan keterampilan di bidang penangkapan, pembudidayaan, pengolahan
dan pemasaran ikan
Penumbuhkembangan kelomok nelayan kecil, kemlompok pembudidaya
ikan kecil dan koperasi perikanan
(2) Pemberdayaan nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil sebagaimana
dimaksud ayat (1) dapat juga dilakukan oleh masyarakat
Pasal 61
(1) Nelayan kecil bebas menangkap ikan di seluruh wilayah pengelolaan
perikanan RI
(2) Pembudidaya ikan kecil dapat membudidayakan komoditas ikan pilihan di
seluruh wilayah pengelolaan perikanan RI
(3) Nelayan kecil dan pembudidaya ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) wajib menaati ketentuan konservasi dan ketentuan lain yang
ditetapkan oleh menteri
(4) Nelayan kecil atau pembudidaya iakn harus ikut sera menjaga kelestarian
lingkungan perikanan dan keamanan pangan hasil perikanan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku
(5) Nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil harus mendaftarkan diri, usaha dan
kegiatannya kepada instansi perikanan setempat, tanpa dikenakan biaya, yang
dilakukan untuk keperluan statistic serta pemberdayaan nelayan kecil dan
pembudidaya iakn kecil
Pasal 62
Pemerintah menyediakan dan mengusahakan dana untuk memberdayakan nelayan
kecil dan pembudidaya ikan kecil, baik dari sumber dalam negeri maupun sumber
luar negeri, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Pasal 63
Pengusaha perikanan mendorong kemitraan usaha yang saling menguntungkan
dengan kelompok nelayan kecil atau pembudidaya ikan kecil dalam kegiatan
usaha perikanan.
c.
Peraturan Menteri
Peraturan Menteri
Kelautan dan
Perikanan Nomor :
PER.17/MEN/2006
Tentang Usaha
Pasal 6
(3) Kewajiban memiliki Surat Ijin Usaha Perikanan (SIUP) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dikeculikan bagi kegiatan usaha di
bidang penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan dengan
menggunakan sebuah kapal perikanan tidak bermotor atau bermotor luar
Perikanan Tangkap
5
Pengaturan Izin
Penangkapan
Peraturan Daerah
Provinsi Jawa Barat
Keputusan Gubernur
Provinsi Jawa Barat
Peraturan Daerah
Kabupaten Sukabumi
Keputusan Bupati
Kabupaten Sukabumi
Undang-Undang
atau bermotor dalam tidak lebih dari 5 GT
(4) Kapal perikanan sebagaimana di maksud pada ayat (3) wajib didaftarkan
ke Instansi yang bertanggungjawab di bidang perikanan di daerah
setempat
Belum ada aturan
Belum ada aturan
Belum ada aturan
Belum ada aturan
BAB V
USAHA PERIKANAN
Undang-Undang No 31
Tahun 2004 tentang
Perikanan
Pasal 25
Usaha perikanan dilaksanakan dalam sistem bisnis perikanan yang meliputi
praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran.
(1)
(2)
Pasal 26
Setiap orang yang melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan,
pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib memiliki SIUP.
Kewajiban memiliki SIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak
berlaku bagi nelayan kecil dan/atau pembudi daya-ikan kecil.
Pasal 27
(1) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap
ikan berbendera Indonesia yang dipergunakan untuk melakukan
penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
dan/atau laut lepas wajib memiliki SIPI.
(2) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap
ikan berbendera asing yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan
ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib memiliki
SIPI.
(3) SIPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Menteri.
(4) Kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan
ikan di wilayah yurisdiksi negara lain harus terlebih dahulu mendapatkan
persetujuan dari Pemerintah.
Pasal 28
(1) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut
ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib memiliki
SIKPI.
(2) SIKPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Menteri.
Pasal 29
(1) Usaha perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
hanya boleh dilakukan oleh warga negara Republik Indonesia atau badan
hukum Indonesia.
(2) Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang melakukan usaha
penangkapan ikan di ZEEI, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban
Negara Republik Indonesia berdasarkan persetujuan internasional atau
ketentuan hukum internasional yang berlaku.
Pasal 30
(1) Pemberian surat izin usaha perikanan kepada orang dan/atau badan hukum
asing yang beroperasi di ZEEI harus didahului dengan perjanjian perikanan,
pengaturan akses, atau pengaturan lainnya antara Pemerintah Republik
Indonesia dan pemerintah negara bendera kapal.
(2) Perjanjian perikanan yang dibuat antara Pemerintah Republik Indonesia dan
pemerintah negara bendera kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
(3)
(1)
(2)
harus mencantumkan kewajiban pemerintah negara bendera kapal untuk
bertanggung jawab atas kepatuhan orang atau badan hukum negara bendera
kapal untuk mematuhi perjanjian perikanan tersebut.
Pemerintah menetapkan pengaturan mengenai pemberian izin usaha
perikanan kepada orang dan/atau badan hukum asing yang beroperasi di
ZEEI, perjanjian perikanan, pengaturan akses, atau pengaturan lainnya
antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara bendera
kapal.
Pasal 31
Setiap kapal perikanan yang dipergunakan untuk menangkap ikan di
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib dilengkapi SIPI.
Setiap kapal perikanan yang dipergunakan untuk mengangkut ikan di
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib dilengkapi SIKPI.
Pasal 32
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan syarat-syarat pemberian SIUP,
SIPI, dan SIKPI diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 33
Ketentuan lebih lanjut mengenai penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan
di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang bukan untuk tujuan
komersial diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 34
(1) Kapal perikanan berdasarkan fungsinya meliputi:
a. kapal penangkap ikan;
b. kapal pengangkut ikan;
c. kapal pengolah ikan;
d. kapal latih perikanan;
e. kapal penelitian/eksplorasi perikanan; dan
f. kapal pendukung operasi penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan
ikan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kapal perikanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 35
(1) Setiap orang yang membangun, mengimpor, atau memodifikasi kapal
perikanan wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri.
(2) Pembangunan atau modifikasi kapal perikanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan, baik di dalam maupun di luar negeri, setelah
mendapat pertimbangan teknis laik berlayar dari Menteri yang bertanggung
jawab di bidang pelayaran.
Pasal 36
(1) Kapal perikanan milik orang Indonesia yang dioperasikan di wilayah
(2)
(3)
(4)
(5)
pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib didaftarkan terlebih dahulu
sebagai kapal perikanan Indonesia.
Pendaftaran kapal perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilengkapi dengan dokumen yang berupa:
a. bukti kepemilikan;
b. identitas pemilik; dan
c. surat ukur.
Pendaftaran kapal perikanan yang dibeli atau diperoleh dari luar negeri dan
sudah terdaftar di negara asal untuk didaftar sebagai kapal perikanan
Indonesia, selain dilengkapi dengan dokumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) harus dilengkapi pula dengan surat keterangan penghapusan dari
daftar kapal yang diterbitkan oleh negara asal.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Kapal perikanan yang telah terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
diberikan surat tanda kebangsaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 37
Setiap kapal perikanan Indonesia diberi tanda pengenal kapal perikanan berupa
tanda selar, tanda daerah penangkapan ikan, tanda jalur penangkapan ikan,
dan/atau tanda alat penangkapan ikan.
Pasal 38
(1) Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang tidak memiliki izin
penangkapan ikan selama berada di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia wajib menyimpan alat penangkapan ikan di dalam
palka.
(2) Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin
penangkapan ikan dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu pada
bagian tertentu di ZEEI dilarang membawa alat penangkapan ikan lainnya.
(3) Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin
penangkapan ikan wajib menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka
selama berada di luar daerah penangkapan ikan yang diizinkan di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia.
Pasal 39
Kapal penangkap ikan berbendera Indonesia dengan ukuran dan jenis tertentu
dimungkinkan menggunakan 2 (dua) jenis alat penangkapan ikan yang diizinkan
secara bergantian berdasarkan musim dan daerah operasi penangkapan.
Pasal 40
Ketentuan lebih lanjut mengenai membangun, mengimpor, memodifikasi kapal,
pendaftaran, pengukuran kapal perikanan, pemberian tanda pengenal kapal
perikanan, serta penggunaan 2 (dua) jenis alat penangkapan ikan secara
bergantian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38,
dan Pasal 39 diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 41
(1) Pemerintah menyelenggarakan dan membina pelabuhan perikanan.
(2) Menteri menetapkan:
a. rencana induk pelabuhan perikanan secara nasional;
b. klasifikasi pelabuhan perikanan dan suatu tempat yang merupakan
bagian perairan dan daratan tertentu yang menjadi wilayah kerja dan
pengoperasian pelabuhan perikanan;
c. persyaratan dan/atau standar teknis dan akreditasi kompetensi dalam
perencanaan, pembangunan, operasional, pembinaan, dan pengawasan
pelabuhan perikanan;
d. wilayah kerja dan pengoperasian pelabuhan perikanan; dan
e. pelabuhan perikanan yang tidak dibangun oleh Pemerintah.
(3) Setiap kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan harus mendaratkan
ikan tangkapan di pelabuhan perikanan yang ditetapkan.
(4) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan
dan/atau kapal pengangkut ikan yang tidak melakukan bongkar muat ikan
tangkapan di pelabuhan perikanan yang ditetapkan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan
izin, atau pencabutan izin.
Pasal 42
(1) Dalam rangka keselamatan pelayaran, ditunjuk syahbandar di pelabuhan
perikanan.
(2) Setiap kapal perikanan yang akan berlayar dari pelabuhan perikanan wajib
memiliki surat izin berlayar kapal perikanan yang dikeluarkan oleh
syahbandar.
(3) Selain menerbitkan surat izin berlayar, syahbandar di pelabuhan perikanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kewenangan lain, yakni:
a. memeriksa ulang kelengkapan dan keabsahan dokumen kapal
perikanan; dan
b. memeriksa ulang alat penangkapan ikan yang ada di kapal perikanan.
(4) Syahbandar di pelabuhan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diangkat oleh Menteri.
Pasal 43
Setiap kapal perikanan yang akan melakukan kegiatan perikanan wajib
memiliki surat laik operasi kapal perikanan dari pengawas perikanan.
Pasal 44
(1) Surat izin berlayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2)
dikeluarkan oleh syahbandar setelah kapal perikanan mendapatkan surat
laik operasi.
(2) Surat laik operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan oleh
pengawas perikanan setelah dipenuhi
persyaratan administrasi dan
kelayakan teknis.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan administrasi dan kelayakan
teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 45
Dalam hal kapal perikanan berada dan/atau berpangkalan di luar pelabuhan
perikanan, surat izin berlayar diterbitkan oleh syahbandar setempat setelah
diperoleh surat laik operasi dari pengawas perikanan yang ditugaskan pada
pelabuhan setempat.
Peraturan Menteri
Peraturan Menteri
Kelautan dan
Perikanan No
17/MEN/2006 tentang
Usaha Perikanan
Tangkap
Pasal 17
Menteri memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal untuk menerbitkan :
a. SIUP, SIPI dan/atau SIKPI kepada orang atau badan hokum Indonesia yang
menggunakan kapal dengan ukuran diatas 30 GT
b. SIUP, SIPI dan/atau SIKPI kepada orang atau badan hokum Indonesia yang
menggunakan tenaga kerja asing
c. APIPM, SIPI dan atau SIKPI kepada badan hokum yang melakukan kegiatan
penangkapan ikan dengan fasilitas penanaman modal
Pasal 19
(1) Gubernur diberikan kewenangan usaha menerbitkan SIUP kepada orang atau
badan hokum Indonesia yang melakukan usaha perikanan, SIPI dan atau
SIKPI bagi kapal perikanan yang berukuran di atas 10 GT sampai dengan 30
GT kepada orang atau badan hokum Indonesia yang berdomisili di wilayah
administrasinya dan beroperasi di wilayah pengelolaan perikanan yang
menjadi kewenangannya, serta tidak menggunakan modal dan/atau tenaga
kerja asing
(2) Bupati/Walikota diberikan kewenangan untuk menerbitkan SIUP kepada
orang atau badan hokum Indonesia yang melakukan usaha perikanan, SIPI
dan/atau SIKPI bagi kapal perikanan yang berukuran 5 GT sampai 10 GT
kepada orang atau badan hokum yang berdomisili di wilayah administrasinya
dan beroperasi di wilayah pengelolaan perikanan yang menjadi
kewenangannya, serta tidak menggunakan modal dan/atau tenaga kerja asing
(3) Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk wajib melakukan pendaftaran
terhadap kapal perikanan di bawah 5 GT yang berdomisili di wilayah
administrasinya
(4) Penerbitan SIUP sebagimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib
mempertimbangkan kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya
(5) Tatacara penerbitan SIUP, SIPI dan SIKPI oleh Gubernur dan
Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
berpedoman pada ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini.
Peraturan Daerah
Provinsi
Peraturan Daerah
Provinsi Jawa Barat
No 14 TAhun 2002
tentang Usaha
Perikanan dan
Retribusi Usaha
Perikanan
Peraturan Derah
Kabupaten Sukabumi
Nomor 3 Tahun 2002
tentang Izin Usaha
Perikanan
Pasal 5
Gubernur menerbitkan Izin Usaha Perikanan (IUP) untuk :
a. Usaha penangkapan ikan di laut yang menggunakan kapal perikanan bermotor
berukuran di atas 10 GT sampai 30 GT dan atau mesinnya berkekuatan dari
30 DK sampai 90 DK
b. Usaha pembudidayaan ikan di laut wilayah provinsi
c. Usaha penangkapan dan pembudidayaan ikan di perairan umum pada wilayah
lintas Kabupaten/Kota
Pasal 9
(1) Bupati mengeluarkan IUP untuk :
a. Usaha penangkapan ikan di laut yang menggunakan kapal :
1) Ukuran 5-10 GT untuk kapal mesin bermotor dalam (Inboat)
2) 5 PK ke atas untuk mesin bermotor luar (Outboat)
(2) Bagi peusahaan perikanan yang tidak diwajibkan memiliki IUP sebagimaan
dimaksud ayat (1) pasal ini wajib mendaftarkannya kepada Dinas
Pasal 10
(1) IUP berlaku selama perusahaan perikanan yang bersangkutan masih
melakukan usaha perikanan
(2) SPI atau SPbI berlaku selama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang sepanjang
kapal perikanan atau unit keramba jarring apung dimaksud masih
dipergunakan oleh perusahaan perikanan yang bersangkutan
(3) SPH berlaku selama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang sepanjang unit
pengolahan ikan masih beroperasi
6
Pengaturan Alat
Penangkapan Ikan
Undang-Undang
Undang-Undang No 31
Tahun 2004 tentang
Perikanan
Pasal 37
Setiap kapal perikanan Indonesia diberi tanda pengenal kapal perikanan berupa
tanda selar, tanda daerah penangkapan ikan, tanda jalur penangkapan ikan,
dan/atau tanda alat penangkapan ikan.
Pasal 38
(1) Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang tidak memiliki izin
penangkapan ikan selama berada di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia wajib menyimpan alat penangkapan ikan di dalam
palka.
(2) Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin
penangkapan ikan dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu
pada bagian tertentu di ZEEI dilarang membawa alat penangkapan ikan
lainnya.
(3) Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki izin
penangkapan ikan wajib menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka
selama berada di luar daerah penangkapan ikan yang diizinkan di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia.
Pasal 39
Kapal penangkap ikan berbendera Indonesia dengan ukuran dan jenis tertentu
dimungkinkan menggunakan 2 (dua) jenis alat penangkapan ikan yang diizinkan
secara bergantian berdasarkan musim dan daerah operasi penangkapan.
Peraturan Menteri
Peraturan Daerah
Peraturan Daerah No 3
Tahun 2002 Tentang
Izin Usaha Perikanan
7
Pengaturan upaya
penangkapan
Pasal 40
Ketentuan lebih lanjut mengenai membangun, mengimpor, memodifikasi kapal,
pendaftaran, pengukuran kapal perikanan, pemberian tanda pengenal kapal
perikanan, serta penggunaan 2 (dua) jenis alat penangkapan ikan secara
bergantian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38,
dan Pasal 39 diatur dengan Peraturan Menteri.
Belum ada
Pasal 8
Kegiatan penangkapan ikan yang tidak diperbolehkan adalah :
a. Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan-bahan peledak
b. Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan-bahan yang mengandung
racun seperti Potasium, Sianida dan sejenisnya
c. Penangkapan ikan dengan menggunakan Trawl atau alat tangkap yang
dimodifikasi dimana fungsinya sama dengan Trawl seperti Jaring Arad
d. Penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap yang menggunakan
ukuran mata jaring di bawah 5 cm
Undang-Undang
Undang-undang No 31
Tahun 2004 tentang
Perikanan
(1)
Pasal 7
Dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya ikan,
Menteri menetapkan:
a.
rencana pengelolaan perikanan;
b.
potensi dan alokasi sumber daya ikan di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia;
c. jumlah tangkapan yang diperbolehkan di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia;
d. potensi dan alokasi lahan pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia;
e. potensi dan alokasi induk serta benih ikan tertentu di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia;
f. jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan;
g. jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu penangkapan ikan;
h. daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan;
i.
j.
k.
l.
persyaratan atau standar prosedur operasional penangkapan ikan;
sistem pemantauan kapal perikanan;
jenis ikan baru yang akan dibudidayakan;
jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta penangkapan ikan
berbasis budi daya;
m. pembudidayaan ikan dan perlindungannya;
n. pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan serta
lingkungannya;
o. rehabilitasi dan peningkatan sumber daya ikan serta lingkungannya;
p. ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap;
q. suaka perikanan;
r. wabah dan wilayah wabah penyakit ikan;
s. jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan
dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik Indonesia; dan
t. jenis ikan yang dilindungi.
(2) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pengelolaan
perikanan wajib mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengenai:
a. jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan;
b. jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu penangkapan ikan;
c. daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan;
d. persyaratan atau standar prosedur operasional penangkapan ikan;
e. sistem pemantauan kapal perikanan;
f. jenis ikan baru yang akan dibudidayakan;
g. jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta penangkapan ikan
berbasis budi daya;
h. pembudidayaan ikan dan perlindungannya;
i. pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan serta
lingkungannya;
j. ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap;
k. suaka perikanan;
l. wabah dan wilayah wabah penyakit ikan;
m. jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan
dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik Indonesia; dan
n.
Peraturan Menteri
Peraturan Menteri
Kelautan dan
Perikanan No 17
Tahun 2006 tentang
Usaha Perikanan
Tangkap
8
Pengaturan jenis dan
ukuran ikan yang boleh
di tangkap
Peraturan Daerah
Provinsi Jawa Barat
Keputusan Gubernur
Provinsi Jawa Barat
Peraturan Daerah
Kabupaten Sukabumi
Keputusan Bupati
Kabupaten Sukabumi
Undang-Undang
UU No 31 Tahun 2004
tentang Perikanan
UU No 9 Tahun 1985
jenis ikan yang dilindungi.
Pasal 5
(1) Untuk kepentingan kelestarian sumberdaya ikan, daerah penangkapan atau
WPP RI tertentu dapat dinyatakan tertutup untuk kegiatan penangkapan
ikan
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai daerah penangkapan ikan atau WPP RI
tertentu yang tertutup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur tersendiri
dengan Peraturan Menteri
Belum ada aturan
Belum ada aturan
Belum ada aturan
Belum ada aturan
Tidak mengatur
Pasal 4
Dalam melaksanakan pengelolaan sumberdaya ikan, Menteri menetapkan
kententuan-kenetntuan mengenai :
(1) Alat-alat penangkapan ikan
(2) Syarat-syarat teknis perikanan yang harus dipenuhi oleh kapal perikanan
dengan tidak mengurangi ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku mengenai keselamatan pelayaran
(3) Jumlah yang boleh ditangkap dan jenis serta ukuran ikan yang tidak boleh
ditangkap
(4) Daerah, jalur dan waktu atau musim penangkapan
(5) Pencegahan pencemaran dan kerusakan, rehabilitasi dan peningkatan
sumberdaya ikan serta lingkungannya
Sudah tidak berlaku
sejak tanggal 6 oktober
2004
(6)
(7)
(8)
(9)
9
Pengaturan musim
penangkapan
Peraturan menteri
Keputusan Menteri
Keputusan Menteri
Pertanian No
123/Kpts/Um/1975
tentang Ketentuan
Lebar Mata Jaring
Purse Seine untuk
Penangkapan Ikan
Kembung, Layang,
Selar, Lemuru dan ikan
pelagis sejenisnya
Keputusan Menteri
Keputusan Menteri
Pertanian Nomor :
392/Kpts/Ik.120/4/99
Tentang Jalur-Jalur
Penangkapan Ikan
Peraturan Daerah
Provinsi Jawa Barat
Keputusan Gubernur
Provinsi Jawa Barat
Peraturan Daerah
Kabupaten Sukabumi
Keputusan Bupati
Kabupaten Sukabumi
Undang-undang
Penebaran ikan jenis baru
Pembudidayaan ikan dan perlindungannya
Pencegahan dan pemberantasan hama serta penyakit ikan
Hal-hal lain yang dipandang perlu untuk mencapai tujuan pengelolaan
sumberdaya ikan
Belum ada yang mengatur
Pertama
Melarang semua kegiatan penangkapan ikan kembung (Rastrllinger sp), laying
(Decapterus sp), selar (Caranx sp), lemuru (Sardinella sp) dan ikan-ikan pelagis
lainnya, dengan menggunakan alat tangkap purse seine yang mempunyai ukuran
mata jarring (a) kurang dari dua inchi pada bagian sayap, (b) kurang dari satu
inchi pada bagian kantong
Pasal 7
Kapal Perikanan yang nienggunakan jaring dengan ukuran mata jaring kurang dari
25 mm (1 inch) dan purse seine cakalang (Tuna) dengan ukuran mata jaring
kurang dari 75 mm (3 inch) dilarang untuk dioperasikan di semua Jalur
Penangkapan Ikan, kecuali pukat teri dan jaring angkat (lift net).
Belum ada aturan
Belum ada aturan
Belum ada aturan
Belum ada aturan
Undang-undang No 31
Tahun 2004 tentang
Perikanan
Pasal 7
(1)
Dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya ikan,
Menteri menetapkan:
a. rencana pengelolaan perikanan;
b. potensi dan alokasi sumber daya ikan di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia;
c. jumlah tangkapan yang diperbolehkan di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia;
d. potensi dan alokasi lahan pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia;
e. potensi dan alokasi induk serta benih ikan tertentu di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia;
f. jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan;
g. jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu penangkapan ikan;
h. daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan;
i. persyaratan atau standar prosedur operasional penangkapan ikan;
j. sistem pemantauan kapal perikanan;
k. jenis ikan baru yang akan dibudidayakan;
l. jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta penangkapan ikan
berbasis budi daya;
m. pembudidayaan ikan dan perlindungannya;
n. pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan serta
lingkungannya;
o. rehabilitasi dan peningkatan sumber daya ikan serta lingkungannya;
p. ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap;
q. suaka perikanan;
r. wabah dan wilayah wabah penyakit ikan;
s. jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan
dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik Indonesia; dan
t. jenis ikan yang dilindungi.
(3) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pengelolaan
perikanan wajib mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
10
Pengaturan zonasi dan
jalur penangkapan ikan
Peraturan Menteri
Peraturan Daerah
Provinsi Jawa Barat
Keputusan Gubernur
Provinsi Jawa Barat
Peraturan Daerah
Kabupaten Sukabumi
Keputusan Bupati
Kabupaten Sukabumi
Undang-Undang
mengenai:
a. jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan;
b. jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu penangkapan ikan;
c. daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan;
d. persyaratan atau standar prosedur operasional penangkapan ikan;
e. sistem pemantauan kapal perikanan;
f. jenis ikan baru yang akan dibudidayakan;
g. jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta penangkapan ikan
berbasis budi daya;
h. pembudidayaan ikan dan perlindungannya;
i. pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan serta
lingkungannya;
j. ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap;
k. suaka perikanan;
l. wabah dan wilayah wabah penyakit ikan;
m. jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan
dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik Indonesia; dan
n. jenis ikan yang dilindungi.
Belum ada yang mengatur
Belum ada aturan
Belum ada aturan
Belum ada aturan
Belum ada aturan
UU No 31 Tahun 2004
tentang Perikanan
Pasal 7
(1)
Dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya ikan,
Menteri menetapkan:
a. rencana pengelolaan perikanan;
b. potensi dan alokasi sumber daya ikan di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia;
c. jumlah tangkapan yang diperbolehkan di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia;
d. potensi dan alokasi lahan pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia;
e. potensi dan alokasi induk serta benih ikan tertentu di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia;
f. jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan;
g. jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu penangkapan ikan;
h. daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan;
i. persyaratan atau standar prosedur operasional penangkapan ikan;
j. sistem pemantauan kapal perikanan;
k. jenis ikan baru yang akan dibudidayakan;
l. jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta penangkapan ikan
berbasis budi daya;
m. pembudidayaan ikan dan perlindungannya;
n. pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan serta
lingkungannya;
o. rehabilitasi dan peningkatan sumber daya ikan serta lingkungannya;
p. ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap;
q. suaka perikanan;
r. wabah dan wilayah wabah penyakit ikan;
s. jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan
dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik Indonesia; dan
t. jenis ikan yang dilindungi.
(4) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pengelolaan
perikanan wajib mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengenai:
a. jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan;
b. jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu penangkapan ikan;
c. daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan;
d. persyaratan atau standar prosedur operasional penangkapan ikan;
e. sistem pemantauan kapal perikanan;
f. jenis ikan baru yang akan dibudidayakan;
g. jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta penangkapan ikan
berbasis budi daya;
h. pembudidayaan ikan dan perlindungannya;
i. pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan serta
lingkungannya;
j. ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap;
k. suaka perikanan;
l. wabah dan wilayah wabah penyakit ikan;
m. jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan
dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik Indonesia; dan
n. jenis ikan yang dilindungi.
Peraturan Menteri
Peraturan Menteri
Kelautan dan
Perikanan No 17
Tahun 2004 tentang
Usaha Perikanan
Tangkap
Keputusan Menteri
Keputusan Menteri
Pertanian Nomor :
392/Kpts/Ik.120/4/99
Tentang Jalur-Jalur
Penangkapan Ikan
(1)
Pasal 4
Kegiatan penangkapan ikan dilakukan pada daerah penangkapan ikan yang
tercantum dalam SIPI
Pasal 2
Wilayah Perikanan Republik Indonesia dibagi menjadi 3 (tiga) Jalur Penangkapan
Ikan, yaitu :
a. Jalur Penangkapan Ikan I;
b. Jalur Penangkapan Ikan II; dan
c. Jalur Penangkapan Ikan III;
Pasal 3
1) Jalur Penangkapan Ikan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a,
meliputi perairan pantai diukur dari permukaan air laut pada surut yang
terendah pada setiap pulau sampai dengan 6 (enam) mil laut ke arah laut.
2) Jalur Penangkapan Ikan I sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibagi
menjadi sebagai berikut :
a. perairan pantai yang diukur dari permukaan air laut pada surut yang
terendah sampai dengan 3 (tiga) mil laut;
b. perairan pantai di luar 3 (tiga) mil laut sampai dengan 6 (enam) mil laut.
(3) Perairan pantai yang diukur dari permukaan air laut pada surut yang terendah
sampai dengan3 (tiga) mil laut sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2)
huruf a, hanya diperbolehkan bagi :
a. Alat Penangkap Ikan yang menetap;
b. Alat Penangkap Ikan tidak menetap yang tidak dimodifikasi; dan/atau
c. Kapal Perikanan tanpa motor dengan ukuran panjang keseluruhan tidak
lebih dari 10 m
(4) Perairan pantai di luar 3 (tiga) mil laut sampai dengan 6 (enam) mil laut,
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b, hanya dibolehkan bagi :
a. Alat Penangkap Ikan tidak menetap yang dimodifikasi;
b. Kapal Perikananan :
1. tanpa motor dan atau bermotor-tempel dengan ukuran panjang
keseluruhan tidak lebih dari 10 m;
2. bermotor tempel dan bermotor-dalam dengan ukuran panjang
keseluruhan maksimal 12 m atau berukuran maksimal 5 GT dan atau ;
3. pukat cincin (purse seine) berukuran panjang maksimal 150 m;
4. jaring insang hanyut (drift gill net) ukuran panjang maksimal 1000 m.
(5) Setiap Kapal Perikanan yang beroperasi di Jalur Penangkapan Ikan I wajib
diberi tanda pengenal dengan mengecat minimal 1/4 (seperempat) lambung
kiri dan kanan :
a. dengan warna putih bagi Kapal Perikanan yang beroperasi di perairan
sampai dengan 3 (tiga) mil laut diukur dari permukaan air laut pada surut
yang terendah;
b. dengan warna merah bagi Kapal Perikanan yang beroperasi di perairan
pantai di luar 3 (tiga) mil laut sampai dengan 6 (enam) mil.
Pasal 4
(1) Jalur Penangkapan Ikan II sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 huruf b
meliputi perairan di luar Jalur Penangkapan Ikan I sampai dengan 12 (dua
belas) mil laut ke arah laut.
(2) Pada Jalur Penangkapan Ikan II sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dibolehkan bagi :
a. Kapal Perikanan bermotor-dalam berukuran maksimal 60 GT;
b.
Kapal Perikanan dengan menggunakan Alat Penangkap Ikan :
1. pukat cincin (purse seine) berukuran panjang maksimal 600 m
dengan cara pengoperasian menggunakan 1 (satu) kapal (tunggal)
yang bukan grup atau maksimal 1000 m dengan cara pengoperasian
menggunakan 2 (dua) kapal ganda yang bukan grup;
2. tuna long line (pancing tuna) maksimal 1200 buah mata pancing;
3. jaring insang hanyut (drift gill net), berukuran panjang maksimal
2500 m.
(3) Setiap Kapal Perikanan yang beroperasi di Jalur Penangkapan Ikan II, wajib
diberi tanda pengenal dengan mengecat minimal 1/4 (seperempat) lambung
kiri dan kanan dengan warna oranye.
Pasal 5
(1) Jalur Penangkapan Ikan III, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c
meliputi perairan di luar Jalur Penangkapan Ikan II sampai dengan batas
terluar Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI)
(2) Pada Jalur Penangkapan Ikan III sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
diatur sebagai berikut :
a. Perairan Indonesia dibolehkan bagi Kapal Perikanan berbendera
Indonesia berukuran maksimal 200 GT, kecuali yang menggunakan Alat
Penangkap Ikan Purse Seine Pelagis Besar di Teluk Tomini, Laut
Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Laut Flores dan Laut Sawu dilarang
untuk semua ukuran ;
b. Perairan ZEEI Selat Malaka dibolehkan bagi Kapal Perikanan berbendera
Indonesia berukuran maksimal 200 GT, kecuali yang menggunakan Alat
Penangkap Ikan Pukat Ikan (Fish Net) minimal berukuran 60 GT;
Perairan ZEEI di luar ZEEI Selat Malaka dibolehkan bagi :
1. Kapal Perikanan berbendera Indonesia dan berbendera Asing
berukuran maksimal 350 GT bagi semua Alat Penangkap Ikan;
2. Kapal Perikanan beru.kuran di atas 350 GT - 800 GT yang
menggunakan Alat Penangkap ikan Purse Seine, hanya boleh
beroperasi di luar 100 (seratus) mil laut dari Garis Pangkal Kepulauan
Indonesia ;
Kapal Perikanan dengan Alat Penangkap Ikan Purse Seine dengan
sistem Group hanya boleh beroperasi di luar 100 (seratus) mil laut dari
Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.
(3) Kapal Perikanan berbendera Asing boleh dioperasikan pada Jalur
Penangkapan Ikan III sebagaimana dimaksud dalan ayat (2) huruf c
sepanjang dimungkinkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(4) Setiap kapal perikanan yang beroperasi di Jalur Penangkapan Ikan III, wajib
diberi tanda pengenal jalur dengan mengecat minimal 1/4 (seperempat)
lambung kiri dan kanan dengan warna kuning.
Pasal 6
(1) Semua Alat Penangkap Ikan yang dipergunakan pada setiap Jalur
Penangkapan Ikan wajib di.beri Tanda Pengenal Alat Penangkap Ikan.
(2) Ketentuan mengenai penggunaan Tanda Pengenal Alat Penangkap Ikan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan lebih lanjut oleh Direktur
Jenderal Perikanan.
Pasal 7
Kapal Perikanan yang nienggunakan jaring dengan ukuran mata jaring kurang dari
25 mm (1 inch) dan purse seine cakalang (Tuna) dengan ukuran mata jaring
kurang dari 75 mm (3 inch) dilarang untuk dioperasikan di semua Jalur
Penangkapan Ikan, kecuali pukat teri dan jaring angkat (lift net).
Belum ada aturan
3.
Peraturan Daerah
Provinsi Jawa Barat
Keputusan Gubernur
Provinsi Jawa Barat
Peraturan Daerah
Kabupaten Sukabumi
Peraturan Daerah
Kabupaten Sukabumi
No 3 Tahun 2002
tentang Izin Usaha
Perikanan
Belum ada aturan
Pasal 18
Wilayah penangkapan ikan dan pengaturan pelaksanaan operasionalnya serta
lokasi budidaya baik di laut maupun di peraran umum akan diatur dan ditetapkan
lebih lanjut oleh Bupati
Keputusan Bupati
Kabupaten Sukabumi
Keputusan Bupati
Sukabumi Nomor 493
Tahun 2003 tentang
Petunjuk Pelaksanaan
Peraturan Daerah
Kabupaten Sukabumi
Nomor 3 Tahun 2002
tentang Izin Usaha
Perikanan
Ketujuh
Wilayah penangkapan ikan ditentukan sebagai berikut :
(1) Jalur I a (0-3 mill)
(a) Alat tangkap ikan menetap
(b) Alat penangkapan ikan tidak menetap yang dimodifikasi
(c) Kapal perikanan tanpa motor dengan P ≤ 10 m
(2) Jalur I b (3-6 mill)
(a) Alat penangkapan ikan tidak menetap yang dimodifikasi
(b) Kapal perikanan :
1. Tanpa motor/dan motor temple P ≤ 10 m
2. Motor temple dan motor dalam, P ≤ 12 m, GT ≤ 5
3. Purse Seine, P ≤ 150 m
4. Drift Gill Net, P ≤ 1000 m
(3) Jalur II (6-12 mill)
(a) Kapal perikanan motor dalam GT ≤ 60
(b) Kapal perikanan dengan alat penangkapan ikan :
1. Purse Seine, kapal ukuran group, P ≤ 600 m dan Purse Seine 2 kapal
bukan group, P ≤ 1000 m
2. Tuna long line, mata pancing P ≤ 2.500 m
3. Kapal perikanan pukat teri dan lift net
4. Boleh I a : 1, 2, 3 dan I b : 1, 2
5. Kapal perikanan untuk penelitian, survey, eksplorasi dan latihan
dengan persetujuan Dirjen Perikanan
(4) Jalur III (> 12 mill)
(a) Kapal perikanan dengan Bendera Indonesia, GT ≤ 200
(b) ZEEI Selat Malaka : Kapal Perikanan berbendera Indonesia berukuran
maksimal 200 GT, kecuali yang menggunakan Alat Penangkap Ikan
Pukat Ikan (Fish Net) minimal berukuran 60 GT
(c) Perairan ZEEI di luar ZEEI Selat Malaka dibolehkan bagi :
1. Kapal Perikanan berbendera Indonesia dan berbendera Asing
berukuran maksimal 350 GT bagi semua Alat Penangkap Ikan;
2. Kapal Perikanan beru.kuran di atas 350 GT - 800 GT yang
3.
11
Sanksi terhadap
pelanggaran
menggunakan Alat Penangkap ikan Purse Seine, hanya boleh
beroperasi di luar 100 (seratus) mil laut dari Garis Pangkal Kepulauan
Indonesia ;
Kapal Perikanan dengan Alat Penangkap Ikan Purse Seine dengan
sistem Group hanya boleh beroperasi di luar 100 (seratus) mil laut dari
Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.
Undang-Undang
Undang-undang No 31
Tahun 2004 tentang
Perikanan
Pasal 84
(1) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan
ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat
dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau
membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak
Rp1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah).
(2) Nakhoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, dan anak
buah kapal yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan
bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau
bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian
sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan denda paling banyak Rp1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus
juta rupiah).
(3) Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, penanggung jawab
perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal perikanan yang dengan
sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan
usaha penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis,
bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan
dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau
lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(4) Pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan
pembudidayaan ikan,
dan/atau penanggung jawab perusahaan
pembudidayaan ikan
yang dengan sengaja melakukan usaha
pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau
cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan
kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah).
Pasal 85
Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat
penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang berada di kapal
penangkap ikan yang tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan, alat
penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan persyaratan, atau standar yang
ditetapkan untuk tipe alat tertentu dan/atau alat penangkapan ikan yang dilarang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah).
Pasal 86
(1) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran
dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia membudidayakan ikan yang dapat membahayakan
sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan
manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika yang
dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya
ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan
denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta
rupiah).
(4) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia menggunakan obat-obatan dalam pembudidayaan ikan
yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber
daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta
rupiah).
Pasal 87
(1) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia merusak plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun
dan
denda paling
banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang karena kelalaiannya di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia mengakibatkan rusaknya plasma nutfah yang berkaitan
dengan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda
paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 88
Setiap orang yang dengan sengaja memasukkan, megeluarkan, mengadakan,
mengedarkan, dan/atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat,
pembudidayaan ikan, sumber daya ikan, dan/atau lingkungan sumber daya ikan
ke dalam dan/atau ke luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu
miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 89
Setiap orang yang melakukan penanganan dan pengolahan ikan yang tidak
memenuhi dan tidak menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem
jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
20 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda
paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
Pasal 90
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pemasukan atau pengeluaran ikan
dan/atau hasil perikanan dari dan/atau ke wilayah Republik Indonesia yang tidak
dilengkapi sertifikat kesehatan untuk konsumsi manusia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan
denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
Pasal 91
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan bahan baku, bahan tambahan
makanan, bahan penolong, dan/atau alat yang membahayakan kesehatan manusia
dan/atau lingkungan dalam melaksanakan penanganan dan pengolahan ikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu
miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 92
Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan, pembudidayaan,
pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan, yang tidak memiliki SIUP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu
miliar lima ratus juta rupiah).
(1)
(2)
Pasal 93
Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan
berbendera Indonesia melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia dan/atau di laut lepas, yang tidak memiliki
SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan
berbendera asing melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia, yang tidak memiliki SIPI sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua
puluh miliar rupiah).
Pasal 94
Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan di
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang melakukan
pengangkutan ikan atau kegiatan yang terkait yang tidak memiliki SIKPI
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu
miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 95
Setiap orang yang membangun, mengimpor, atau memodifikasi kapal perikanan
yang tidak mendapat persetujuan terlebih dahulu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan
denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 96
Setiap orang yang mengoperasikan kapal perikanan di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia yang tidak mendaftarkan kapal perikanannya
sebagai kapal perikanan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling
banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
Pasal 97
(1) Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang
tidak memiliki izin penangkapan ikan, yang selama berada di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia tidak menyimpan alat
penangkapan ikan di dalam palka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat
(1), dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
(2) Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing
yang telah memiliki izin penangkapan ikan dengan 1 (satu) jenis alat
penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEEI yang membawa alat
penangkapan ikan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2),
dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
(3) Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing
yang telah memiliki izin penangkapan ikan, yang tidak menyimpan alat
penangkapan ikan di dalam palka selama berada di luar daerah penangkapan
ikan yang diizinkan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3), dipidana dengan pidana
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 98
Nakhoda yang berlayar tidak memiliki surat izin berlayar kapal perikanan yang
dikeluarkan oleh syahbandar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling
banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 99
Setiap orang asing yang melakukan penelitian perikanan di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia yang tidak memiliki izin dari Pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
Pasal 100
Setiap orang yang melanggar ketentuan yang ditetapkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2) dipidana dengan pidana denda paling banyak
Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 101
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1), Pasal
85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93,
Pasal 94, Pasal 95, dan Pasal 96 dilakukan oleh korporasi, tuntutan dan sanksi
pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya dan pidana dendanya ditambah
1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.
Pasal 102
Ketentuan tentang pidana penjara dalam Undang-Undang ini tidak berlaku bagi
tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b,
kecuali telah ada perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan
pemerintah negara yang bersangkutan.
Pasal 103
(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86,
Pasal 88, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan pasal 94 adalah kejahatan.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal 90,
Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99, dan Pasal 100 adalah
pelanggaran.
Pasal 104
(1) Permohonan untuk membebaskan kapal dan/atau orang yang ditangkap
karena melakukan tindak pidana di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b,
dapat dilakukan setiap waktu sebelum ada keputusan dari pengadilan
perikanan dengan menyerahkan sejumlah uang jaminan yang layak, yang
penetapannya dilakukan oleh pengadilan perikanan.
(2) Benda dan/atau alat yang dipergunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari
tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk negara.
Pasal 105
(1) Benda dan/atau alat yang dirampas dari hasil tindak pidana perikanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 dilelang untuk negara.
(2) Kepada aparat penegak hukum yang berhasil menjalankan tugasnya
dengan baik dan pihak-pihak yang berjasa dalam upaya penyelamatan
kekayaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan insentif
yang disisihkan dari hasil lelang.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian insentif diatur dengan
Peraturan Menteri.
Peraturan Menteri
Peraturan Menteri
Kelautan dan
Perikanan No 17
Tahun 2006 tentang
Usaha Perikanan
Tangkap
Pasal 68
(1) Setiap orang atau badan hokum yang melakukan usaha perikanan tangkap
yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan Menteri ini
dapat dikenakan sanksi administrative atau sanksi pidana
(2) Sanksi administrative sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa
peringatan tertulis, pembekuan, atau pencabutan SIUP, SIPI, SIKPI dan atau
APIPM
(3) Pengenaan sanksi administrative sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
dilakukan dengan tahapan :
(a) Peringatan tertulis diberikan sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut,
masing-masing dalam tenggang waktu 1 (satu) bulan oleh Direktur
Jenderal Kepada yang melakukan pelanggaran
(b) Dalam hal peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam huruf (a),
tidak diindahkan selanjutnya dilakukan pembekuan terhadap SIUP,
SIPI, SIKPI dan atau APIPM selama 1 (satu) bulan
(c) Apabila pembekuam sebagaimana dimaksud dalam huruf (b), tidak
diindahkan selanjutnya dilakukan pencabutan terhadap SIUP, SIPI,
SIKPI dan atau APIPM
(4) Sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Pasal 69
(1) SIUP dapat dicabut oleh pemberi SIUP apabila orang atau badan hokum yang
bersangkutan :
(a) Tidak melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam SIUP
(b) Tidak menyampaikan laporan kegiatan usaha 3 (tiga) kali berturut-turut
atau dengan sengaja menyampaikan laporan yang tidak benar
(c) Menggunakan dokumen palsu
(d) Selama 2 (dua) tahun sejak SIUP dikeluarkan tidak melaksanakan
kegiatan usahanya
(e) Terbukti memindah tangankan atau memperjual belikan SIUP
(2) SIPI dapat dicabut oleh pemberi SIPI apabila orang atau badan hokum yang
bersangkutan :
(a) Tidak melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam SIUP dan atau
SIPI
(b) Menggunakan kapal perikanan di luar kegiatan penangkapan ikan
(c) Tidak menyampaikan laporan kegiatan usaha 3 (tiga) kali berturut-turut
atau dengan sengaja menyampaikan laporan yang tidak benar
(d) Menggunakan dokumen palsu
(e) SIUP yang dimiliki perusahaan perikanan tersebut dicabut oleh pemberi
SIUP
(f) Terbukti memindah tangankan atau memperjual belikan SIPI
(g) Membawa ikan dari daerah penangkapan langsung ke luar negeri tanpa
melalui pelabuhan pangkalan yang ditetapkan dalam SIPI
(h) Selama 1 (satu) tahun sejak SIPI dikeluarkan tidak melakukan kegiatan
penangkapan ikan
(i) Membawa ikan ke luar negeri tanpa dilengkapi dokumen yang sah
(3) SIKPI dapat dicabut oleh pemberi SIPI apabila orang atau badan hokum yang
bersangkutan :
(a) Tidak melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam SIUP dan atau
SIKPI
(b) Menggunakan kapal pengangkutan ikan di luar kegiatan pengumpulan
dan atau pengangkutan ikan, atau melakukan kegiatan pengankutan ikan
di luar satuan armada penangkapan ikan
(c) Tidak menyampaikan laporan kegiatan usaha 3 (tiga) kali berturut-turut
atau dengan sengaja menyampaikan laporan yang tidak benar
(d) Menggunakan dokumen palsu
(e) Terbukti memindah tangankan atau memperjual belikan SIKPI
(f) Selama 1 (satu) tahun sejak SIKPI dikeluarkan tidak melakukan kegiatan
pengangkutan ikan
(g) SIUP yang dimiliki perusahaan perikanan tersebut dicabut oleh pemberi
SIUP
(h) Membawa ikan dari daerah penangkapan langsung ke luar negeri tanpa
melalui pelabuhan pangkalan yang ditetapkan
(i) Membawa ikan ke luar negeri tanpa dilengkapi dengan dokumen yang
sah
(4) APIPM dapat dicabut oleh pemberi SIPI apabila orang atau badan hokum
yang bersangkutan :
(a) Tidak melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam APIPM
(b) Melakukan perubahan data tanpa persetujuan tertulis dari pemberi
APIPM
(c) Tidak menyampaikan laporan kegiatan usaha 3 (tiga) kali berturut-turut
atau dengan sengaja menyampaikan laporan yang tidak benar
(d) Menggunakan dokumen palsu
(e) Terbukti memindahtangankan atau meperjualbelikan APIPM
(f) Tidak merealisasikan rencana usahanya dalam jangka waktu 2 (dua)
tahun terhitung sejak diterbitkannya APIPM
Peraturan Daerah
Perda Provinsi Jawa
Barat No 14 TAhun
2002 Tentang Usaha
Perikanan dan
Retribusi Usaha
Perikanan
Pasal 26
Terhadap perusahaan perikanan yang tidak melakukan pembayaran retribusi tidak
diberikan IUP, SPI, SIKPPII, SIKPII dan atau SPbi
Pasal 27
Terhadap keterlambatan pembayaran retribusi yang terutang dikenakan sanksi
Peraturan Daerah
Kabupaten Sukabumi
No 3 Tahun 2002
tentang Izin Usaha
Perikanan
12
Pungutan Perikanan
Undang-Undang
UU No 31 Tahun 2004
tentang Perikanan
administrasi berupa bunga sebesar 2 % (dua persen) setiap bulan dan ditagih
dengan menggunakan Surat Tagihan Retribusi Daerah (STRD)
Pasal 28
(1) Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (1), Pasal 6, Pasal 11 dan
Pasal 12 Peraturan Daerah ini diancam pidana kurungan selama-lamanya 3
(tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000.000,00 (lima juta
rupiah)
(2) Tindak pidana sebagimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini adalah
pelanggaran
(3) Tindak pidana selain pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal
ini yang mengakibatkan kegiatan kerugian Negara, dikenakan pidana sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku
(4) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini disetorkan ke Kas
Daerah Propinsi Jawa Barat
Pasal 23
(1) Barang siapa yang melanggar ketentuan pasal-pasal yang membuat
ketentuan mengenai kewajiban dan atau larangan dalam peraturan daerah
ini, diancam pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda
sebanyak-banyaknya Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah)
(2) Selain tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini,
tindak pidana yang mengakibatkan pelanggaran terhadap ketentuan usaha
penangkapan ikan dan usaha pembudidayaan ikan, diancam pidana
sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
Pasal 48
(1) Setiap orang yang memperoleh manfaat langsung dari sumber daya ikan dan
lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
dikenakan pungutan perikanan.
(2) Pungutan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan
bagi nelayan kecil dan pembudi daya-ikan kecil.
Pasal 49
Setiap orang asing yang mendapat izin penangkapan ikan di ZEEI dikenakan
pungutan perikanan.
Pasal 50
Pungutan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dan Pasal 49
dipergunakan untuk pembangunan perikanan serta kegiatan pelestarian sumber
daya ikan dan lingkungannya.
Pasal 51
Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan perikanan dan penggunaan pungutan
perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, Pasal 49, dan Pasal 50 diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Peraturan Daerah
Perda Provinsi Jawa
Barat No 14 Tahun
2002 tentang Usaha
Perikanan dan
Retribusi Usaha
Perikanan
Pasal 17
Terhadap perusahaan perikanan yang memperoleh IUP, SPI, SIKPPI, SIKPII dan
SPbI dikenakan retribusi yang terdiri dari retribusi pengusahaan perikanan dan
retribusi hasil perikanan
Pasal 18
(1) Retribusi pengusahaan perikanan dipungut pada saat perusahaan perikanan
yang bersangkutan memperoleh IUP
(2) Retribusi hasil perikanan dikenakan pada saat perusahaan perikanan
memperoleh dan atau memperpanjang SPI dan atau SIKPPII dan atau SIKPII
dan atau SPbI
Pasal 19
(1) Perhitungan retribusi pengusahaan perikanan untuk penangkapan ikan di laut
didasarkan atas jenis, ukuran dan jumlah kapal serta jenis alat penangkap ikan
yang dipergunakan
(2) Besarnya retribusi pengusahaan perikanan di tetapkan berdasarkan rumusan
tariff per Gross Tonnage (GT) menurut jenis alat penangkap ikan yang
dipergunakan dikaitkan ukuran kapal Gross Tonage (GT)
(3) Tarif per GT menurut jenis alat penangkapan ikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) pasal ini ditetapkan oleh Gubernur
Pasal 21
(1) Perhitungan retribusi hasil perikanan didasarkan atas jenis, ukuran, jumlah
Keputusan Gubernur
Jawa Barat No 45
Tahun 2003 tentang
Petunjuk Pelaksanaan
Perda Provinsi Jawa
Barat No 14 Tahun
2002 tentang Usaha
Perikanan dan
Retribusi Usaha
Perikanan
kapal penangkapan ikan dan alat penangkapan ikan yang digunakan dan
produktivitas kapal penangkapan ikan serta harga patokan ikan
(2) Retribusi hasil perikanan sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini dikenakan
kepada wajib retribusi dibayarkan pada saat pendaftaran ulang sesuai dengan
pasal & ayat (3) Perda ini
(3) Besarnya retribusi hasil perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal
ini ditetapkan oleh Gubernur
Pasal 22
(1) Seluruh hasil pungutan retribusi sebagaimana dimaksud pada Pasal 19,
20 dan 21 Perda ini disetor secara bruto ke kas Daerah Provinsi Jawa
Barat
(2) Hasil pungutan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini
penggunaannya sebesar 40 % (empat puluh persen) diarahkan untuk :
a. Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan sebesar 20 %
(dua puluh persen)
b. Pembinaan dan pengawasan sebesar 20 % (dua puluh persen)
Pasal 12
Tarif Retribusi Perikanan ditetapkan sebagai berikut :
a. Usaha Penangkapan
No Jenis Kapal (alat tangkap)
Satuan
Tarif
1
Long line
Per GT
Rp. 20.000,00
2
Payang
Per GT
Rp. 10.000,00
3
Pukat Ikan dan Sejenisnya
Per GT
Rp. 20.000,00
4
Purse Seine Pelagis Kecil
Per GT
Rp. 11.000,00
5
Purse Seine Pelagis Besar
Per GT
Rp. 20.000,00
6
Jaring insang
Per GT
Rp. 15.000,00
7
Jaring cumi dan sejenisnya
Per GT
Rp. 17.000,00
8
Bubu
Per GT
Rp. 20.000,00
Pasal 13
(1) Tarif retribusi hasil perikanan ditetapkan sebagai berikut :
(a) Usaha penangkapan ikan sebesar 0,50 % dikalikan produktivitas kapal
dikalikan harga patokan ikan
(b) Usaha pembudidayaan ikan sebesar : 0,10 % dikalikan harga jual
Peraturan Daerah
Kabupaten Sukabumi
No 3 Tahun 2002
tentang Izin Usaha
Perikanan
seluruh hasil pembudidayaan
(2) Produktivitas kapal penangkapan ikan ditetapkan secara periodic oleh
Gubernur atas pengajuan Dinas berdasarkan hasil evaluasi tingkat
pemanfaatan sumberdaya ikan menurut wilayah pengelolaan perikanan
(3) Harga patokan ikan ditetapkan sedikitnya satu kali dalam satu tahun oleh
Gubernur berdasarkan hasil pemantauan harga yang dilakukan oleh Dinas
Daerah yang membidangi perdagangan
Pasal 19
Untuk memperoleh IUP, SPI, SPbI dan atau SPH dikenakan retribusi Izin Usaha
Perikanan
Pasal 20
Besarnya tariff Retribusi Izin Usaha Perikanan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 Perda ini, ditetapkan sebagai berikut :
A. IUP
No
Jenis Retribusi
Tarif
1
Penangkapan ikan
Rp. 10.000 per GT
2
Pembudidayaan Ikan :
a. Di kolam air tenang
Rp. 1.000.000/unit (25 Ha)
b. Di tambak
Rp. 2.000.000/unit (410 Ha)
c. Di laut
Rp. 100.000/ unit
d. Di Karamba Jaring apung
Rp. 100.000/ unit
e. Di kolam air deras
Rp. 100.000/ unit
f. Ikan Hias
Rp. 100.000/ unit
g. Pembenihan
udang
dan
Bandeng :
-. Kapasitas produksi s.d 10 Rp. 250.000/unit
juta ekor per tahun
-. Kapasitas produksi diatas Rp. 500.000/unit
10 juta ekor/ tahun
B. B. SPI/SPbI
No
Jenis Retribusi
1
Penangkapan Ikan
a. Kapal Penangkapan Ikan
b. Alat Tangkap
¾ Pancing tangan
¾ Pancing Rawe
¾ Bubu
¾ Jaring insang hanyut
(Gill Net)
¾ Jaring Payang
¾ Purse Seine
Biaya
Rp. 4.000/GT/3 thn
Rp. 4.500/Unit/3 thn
Rp. 9.000/unit/3 thn
Rp. 4.500/unit/3 Thn
Rp. 22.000/unit/3 Thn
Rp. 15.000/unit/3 thn
Rp. 25.000/unit/3 thn
C. SPH
SPH = RP. 100.000/unit/3 thn
Keputusan Bupati
Sukabumi No 493
Tahun 2003 tentang
Petunjuk Pelaksanaan
Peraturan Daerah
Kabupaten Sukabumi
No 3 Tahun 2002
tentang Izin Usaha
Perikanan
Kedelapan
Besarnya tariff Retribusi Usaha Perikanan adalah sebagai berikut :
D. IUP
No
Jenis Retribusi
Tarif
1
Penangkapan ikan
Rp. 10.000 per GT
2
Pembudidayaan Ikan :
a. Di kolam air tenang
Rp. 1.000.000/unit (25 Ha)
b. Di tambak
Rp. 2.000.000/unit (410 Ha)
c. Di laut
Rp. 100.000/ unit
d. Di Karamba Jaring apung
Rp. 100.000/ unit
e. Di kolam air deras
Rp. 100.000/ unit
f. Ikan Hias
Rp. 100.000/ unit
g. Pembenihan
udang
dan
Bandeng :
-. Kapasitas produksi s.d 10
juta ekor per tahun
-. Kapasitas produksi diatas
10 juta ekor/ tahun
E. B. SPI/SPbI
No
Jenis Retribusi
1
Penangkapan Ikan
a. Kapal Penangkapan Ikan
b. Alat Tangkap
¾ Pancing tangan
¾ Pancing Rawe
¾ Bubu
¾ Jaring insang hanyut
(Gill Net)
¾ Jaring Payang
¾ Purse Seine
F. SPH
SPH = RP. 100.000/unit/3 thn
Rp. 250.000/unit
Rp. 500.000/unit
Biaya
Rp. 4.000/GT/3 thn
Rp. 4.500/Unit/3 thn
Rp. 9.000/unit/3 thn
Rp. 4.500/unit/3 Thn
Rp. 22.000/unit/3 Thn
Rp. 15.000/unit/3 thn
Rp. 25.000/unit/3 thn
Lampiran 3. Perhitungan Game Theory
Perhitungan Pay off untuk Analisis Game Theory
Pemerintah dengan Nelayan
Pay off Pemerintah :
No Atribut
Nilai
1 Biaya transaksi pengelolaan Teluk Palabuhanratu
184.615.000,00
2 PAD Perikanan Tahun 2006
Pay off Nelayan
72.325.916,00
No Atribut
Peningkatan pendapatan apabila terkelola secara optimal
1 (Wahyudin, 2005)
Pendapatan rata-rata nelayan pancing (Refresentatif
2 sustainable) (Statistik Perikanan, 2006)
Pendapatan rata-rata nelayan bagan (Refresentatif
3 eksploitatif)(Statistik Perikanan, 2006)
Nilai Potensi Sumberdaya Ikan Kabupaten Sukabumi
(Dinas KP, 2006)
Nilai
2.318.020.000,00
64.968.557,90
1.893.224,14
6.759.931.500,00
Nelayan
Eksploitasi
Pemerintah
Quasi open access
(113.012.343,16)
Limited entry
249.708.324,40
Sustainable
(112.289.084,00)
256.940.916,00
Nelayan
Eksploitasi
Pemerintah
Quasi open access
1.893.224,14
Limited entry
6.761.824.724,14
Sustainable
64.968.557,90
2.382.988.557,90
Lampiran 4. Tabel Perhitungan Biaya Transaksi Pengelolaan SDI Teluk
Palabuhanratu oleh Pemerintah
No
Faktor Input
I
1
b
Biaya Pengambilan Keputusan
Biaya Sosialisasi
Biaya uang saku peserta sosialisasi
Biaya transportasi dan akomodasi peserta
sosialisasi
Biaya perjalanan dinas dalam daerah
Biaya bantuan kepada organisasi profesi
Biaya Operasional Bersama
Biaya Pengembangan Teknologi Penangkapan
Ikan
Biaya insentif
Biaya bantuan Syukuran Nelayan
Biaya perjalanan dinas dalam daerah
Biaya Pengembangan dan Pembinaan Usaha
Nelayan dan Pembudidaya Ikan Skala Kecil
Biaya perjalanan dinas
Biaya Pengawasan Perijinan dan Pembinaan
Mutu Produk Kelautan dan Perikanan
Biaya perjalanan dinas
c
m
o
II
1
a
b
c
2
a
3
a
III Biaya Informasi
1 Biaya Penyusunan strategi
a Biaya penyusunan dan pengukuhan AD/ART
Koperasi LEPP-M2R Kab. Sukabumi
b Biaya Bantuan Muscab HNSI
Total Biaya Transaksi Pemerintah (I + II +
III III)
Biaya Per Tahun (Rp)
58,950,000.00
58,950,000.00
17,100,000.00
18,500,000.00
4,450,000.00
18,900,000.00
116,665,000.00
52,810,000.00
37,450,000.00
4,000,000.00
11,360,000.00
43,260,000.00
43,260,000.00
20,595,000.00
20,595,000.00
9,000,000.00
9,000,000.00
5,000,000.00
4,000,000.00
184,615,000.00
Sumber : Diolah dari Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah
Belanja Aparatur dan Publik Tahun Anggaran 2006
Lampiran 5. Perhitungan Biaya Transaksi Pengelolaan Sumberdaya Ikan oleh Kelompok Nelayan
No
Nama Aktor (Pemain)
Biaya Pengambilan Keputusan
Biaya
Biaya Lobi
Pertemuan
(Rp/ Tahun)
anggota (Rp/
Tahun)
Biaya koordinasi
antar anggota
(Rp/ Tahun)
Biaya Operasional Bersama
Biaya
Biaya Pelatihan
Pengawasan
(Rp/ Tahun)
Sumberdaya Ikan
(Rp/ Tahun)
Biaya tradisi
laut (Rp/
Tahun)
1 HNSI
5,000,000.00
300,000.00
1,200,000.00
-
500,000.00
1,000,000.00
2 KUD Mina
5,000,000.00
250,000.00
1,200,000.00
-
1,000,000.00
1,200,000.00
3 Kel. Pengelola rumpon
1,000,000.00
-
-
-
-
1,000,000.00
6 POKMASWAS
5,000,000.00
-
1,200,000.00
6,000,000.00
500,000.00
-
4,000,000.00
137,500.00
900,000.00
1,500,000.00
500,000.00
800,000.00
Rata-Rata
No
Nama Aktor (Pemain)
Biaya Informasi
Pengumpulan
Penyusunan
bahan-bahan
peraturan
peraturan (Rp/
(Rp/ Tahun)
Tahun)
Biaya
informasi(Rp/
Tahun)
Sosialisasi
(Rp/ Tahun)
Total Biaya
Transaksi (Rp/
Tahun)
1 HNSI
-
-
-
-
8,000,000.00
2 KUD Mina
1,000,000.00
500,000.00
2,500,000.00
500,000.00
13,150,000.00
3 Kel. Pengelola rumpon
1,000,000.00
1,000,000.00
1,000,000.00
-
5,000,000.00
6 POKMASWAS
-
-
-
1,000,000.00
13,700,000.00
500,000.00
375,000.00
875,000.00
375,000.00
9,962,500.00
Rata-Rata
Lampiran 6. Perhitungan Analisis Keefektipan Biaya Transaksi Pemerintah
No
Uraian
I
Biaya Pengambilan Keputusan
1
Biaya Sosialisasi
a
Biaya uang saku peserta sosialisasi
b
Biaya transportasi dan akomodasi peserta
sosialisasi
c
Biaya perjalanan dinas dalam daerah
d
Biaya bantuan kepada organisasi profesi
II
Biaya Operasional Bersama
1
Biaya Pengembangan Teknologi
Penangkapan Ikan
a
Biaya insentif
b
Biaya bantuan Syukuran Nelayan
c
Biaya perjalanan dinas dalam daerah
2
Biaya Pengembangan dan Pembinaan
Usaha Nelayan dan Pembudidaya Ikan
Skala Kecil
a
Biaya perjalanan dinas
0
1
2
3
4
5
58,950,000.00
53,280,000.00
49,311,000.00
46,532,700.00
44,587,890.00
43,226,523.00
58,950,000.00
53,280,000.00
49,311,000.00
46,532,700.00
44,587,890.00
43,226,523.00
17,100,000.00
17,100,000.00
17,100,000.00
17,100,000.00
17,100,000.00
17,100,000.00
18,500,000.00
18,500,000.00
18,500,000.00
18,500,000.00
18,500,000.00
18,500,000.00
4,450,000.00
4,450,000.00
4,450,000.00
4,450,000.00
4,450,000.00
4,450,000.00
18,900,000.00
13,230,000.00
9,261,000.00
6,482,700.00
4,537,890.00
3,176,523.00
116,665,000.00
116,665,000.00
116,665,000.00
116,665,000.00
116,665,000.00
116,665,000.00
52,810,000.00
52,810,000.00
52,810,000.00
52,810,000.00
52,810,000.00
52,810,000.00
37,450,000.00
37,450,000.00
37,450,000.00
37,450,000.00
37,450,000.00
37,450,000.00
4,000,000.00
4,000,000.00
4,000,000.00
4,000,000.00
4,000,000.00
4,000,000.00
11,360,000.00
11,360,000.00
11,360,000.00
11,360,000.00
11,360,000.00
11,360,000.00
43,260,000.00
43,260,000.00
43,260,000.00
43,260,000.00
43,260,000.00
43,260,000.00
43,260,000.00
43,260,000.00
43,260,000.00
43,260,000.00
43,260,000.00
43,260,000.00
3
Biaya Pengawasan Perijinan dan
Pembinaan Mutu Produk Kelautan dan
Perikanan
a
Biaya perjalanan dinas
III
Biaya Informasi
1
Biaya Penyusunan strategi
a
Biaya penyusunan dan pengukuhan AD/ART
Koperasi LEPP-M2R Kab. Sukabumi
b
Biaya Bantuan Muscab HNSI
Total Biaya Transaksi Pemerintah (I + II +
III)
IV
Diskoun rate r
DR
Present Value (PV)
CEA
20,595,000.00
20,595,000.00
20,595,000.00
20,595,000.00
20,595,000.00
20,595,000.00
20,595,000.00
20,595,000.00
20,595,000.00
20,595,000.00
20,595,000.00
20,595,000.00
9,000,000.00
-
-
-
-
9,000,000.00
9,000,000.00
-
-
-
-
9,000,000.00
0
0
0
0
0
0
0
0
5,000,000.00
4,000,000.00
5,000,000.00
4,000,000.00
184,615,000.00 169,945,000.00
165,976,000.00
163,197,700.00
161,252,890.00
168,891,523.00
0.1
0.12
0.12
0.12
0.12
0.12
0.12
1.00
0.89
0.80
0.71
0.64
0.57
184,615,000.00
151,736,607.14
132,315,051.02
116,160,899.35
102,479,126.79
95,833,585.85
783,140,270.16
Lampiran 7. Perhitungan Analisis Keefektipan Biaya Transaksi Nelayan
No
Jenis Biaya Transaksi
A
Biaya Pengambilan Keputusan
1
Biaya Pertemuan anggota
2
Biaya Lobi
B
Biaya Operasional Bersama
1
Biaya koordinasi antar anggota
2
Biaya Pengawasan Sumberdaya Ikan
3
Biaya Pelatihan
4
Biaya tradisi laut
C
Biaya Informasi
1
Biaya informasi
2
Pengumpulan bahan-bahan peraturan
3
Penyusunan peraturan
4
Sosialisasi
0
4,137,500.00
2
3
4
5
-
-
-
-
0
0
0
0
0
0
0
0
3,700,000.00
3,330,000.00
3,061,000.00
2,864,700.00
2,720,890.00
2,615,103.00
900,000.00
630,000.00
441,000.00
308,700.00
216,090.00
151,263.00
1,500,000.00
1,500,000.00
1,500,000.00
1,500,000.00
1,500,000.00
1,500,000.00
500,000.00
400,000.00
320,000.00
256,000.00
204,800.00
163,840.00
800,000.00
800,000.00
800,000.00
800,000.00
800,000.00
800,000.00
2,125,000.00
1,325,000.00
830,000.00
522,500.00
330,650.00
210,395.00
500,000.00
350,000.00
245,000.00
171,500.00
120,050.00
84,035.00
375,000.00
225,000.00
135,000.00
81,000.00
48,600.00
29,160.00
875,000.00
525,000.00
315,000.00
189,000.00
113,400.00
68,040.00
375,000.00
225,000.00
135,000.00
81,000.00
48,600.00
29,160.00
4,000,000.00
137,500.00
1
4,137,500.00
4,000,000.00
137,500.00
Total Biaya Transaksi
Diskoun rate r
DR
PV
CEA
9,962,500.00
4,655,000.00
3,891,000.00
3,387,200.00
3,051,540.00
6,962,998.00
0.12
0.12
0.12
0.12
0.12
0.12
1.00
0.89
0.80
0.71
0.64
0.57
9,962,500.00
4,156,250.00
3,101,881.38
2,410,942.06
1,939,308.84
3,950,992.06
25,521,874.33
Download