Masa Depan Kelembagaan Rumah Sakit Daerah (RSD)

advertisement
Masa Depan Kelembagaan Rumah Sakit Daerah (RSD) Pasca Terbitnya
PP Nomor 18 Tahun 2016
TULISAN MENARIK DARI :
Tri Muhammad Hani
RSUD Bayu Asih Purwakarta
Jl. Veteran No. 39 Kabupaten Purwakarta – Jawa Barat
KISAH DIBALIK “HILANGNYA” RUMAH SAKIT DAERAH (RSD)
Pada bulan Mei 2015 yang lalu saya telah menulis sebuah kajian kritis terhadap UU Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan dengan judul “RSUD akan dibawah Dinas Kesehatan?”. Selengkapnya
dapat dibaca kembali pada tulisan saya di sini. Latar belakang tulisan tersebut adalah adalah adanya
informasi tidak resmi yang menyatakan bahwa setelah UU tersebut terbit maka Rumah Sakit Daerah
(RSD) akan berada dibawah Dinas Kesehatan dan tidak ada jabatan struktural di RSD. Sebagai
infromasi bahwa sampai dengan saat ini kelembagaan rumah sakit daerah adalah sebagai Lembaga
Teknis Daerah (LTD) dengan mengacu pada PP Nomor 41 Tahun 2007 yang merupakan aturan
hukum turunan dari UU Nomor 32 Tahun 2004 sampai dengan pemberlakuan UU Nomor 23 Tahun
2014 beserta perangkat-perangkat hukum turunan nya.
Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah perubahan dari UU Nomor 22
Tahun 1999 yang merupakan cikal bakal era Desentralisasi atau Otonomi Daerah pasca tumbangnya
Orde Baru melalui rangkaian sejarah reformasi pada tahun 1998. Pasal 120 Ayat (2) UU Nomor 32
Tahun 2004 dinyatakan bahwasanya perangkat daerah Kabupaten/Kota terdiri dari Sekretariat Daerah,
Sekretariat DPRD, Dinas Daerah, LEMBAGA TEKNIS DAERAH, Kecamatan dan Kelurahan. Pada
perangkat hukum turunan UU 32 Tahun 2004 yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2007
tentang Organisasi Pemerintahan Daerah (OPD) pada Pasal 8 dan Pasal 15 sangat jelas disebutkan
bahwa Lembaga Teknis Daerah bisa berbentuk Badan, Kantor dan RUMAH SAKIT sehingga dapat
disimpulkan kedudukan Rumah Sakit Daerah (RSD) adalah sebagai Lembaga Teknis Daerah yang
dipimpin oleh seorang direktur dan bertanggungjawab langsung kepada Kepala daerah melalui
Sekretaris Daerah. Status badan hukum dan kelembagaan inilah yang dianut oleh rumah sakit daerah
sampai dengan saat ini.
Namun dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang merupakan perubahan atas
UU Nomor 32 Tahun 2004 secara eksplisit pada Pasal 209 Ayat (2) yang berbunyi bahwa Perangkat
Daerah kabupaten/kota terdiri atas : Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Inspektorat, Dinas, Badan
dan Kecamatan. Hilanglah sudah Lembaga Teknis Daerah (LTD) sebagai induk kelembagaan rumah
sakit daerah. Pada saat saya membuat tulisan tentang kemungkinan RSD dibawah Dinas Kesehatan
(Mei 2015) lalu memang belum ada peraturan hukum turunan. Hanya saya mendengar selentingan
kabar bahwa RSD akan dibawah Dinas Kesehatan berbentuk Unit Pelakasana Teknis Dinas (UPTD)
sampai akhirnya terbitlah PP Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah beberapa saat yang
lalu.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah pada Pasal 43 yang
secara substansi menyatakan bahwa terdapat Unit Pelaksana Teknis Dinas Daerah Kabupaten/Kota di
bidang kesehatan berupa rumah sakit Daerah kabupaten/kota dan pusat kesehatan masyarakat
sebagai unit organisasi bersifat fungsional dan unit layanan yang bekerja secara profesional. Nah
sampai disinilah sebenarnya berakhirnya riwayat Lembaga Teknis Daerah yaitu RSD dan berubah
bentuk menjadi UPTD dibawah Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Inilah kisah “lenyapnya” entitas
Rumah Sakit Daerah sebagai sebuah lembaga dibawah Bupati/Walikota langsung dan berubah
menjadi hanya sebuah unit dibawah Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
METAMORFOSIS LEMBAGA
Pasal 43 PP Nomor 18 Tahun 2016 mengandung dua kata kunci pokok yaitu RSD sebagai Unit
Organiasai bersifat FUNGSIONAL dan Unit Layanan yang bekerja secara PROFESIONAL. Artinya
secara kelembagaan atau organisasi bersifat fungsional dan memberikan layanan secara profesional.
Selama inipun sebenarnya RSD dijalankan oleh para profesional yang bekerja berdasarkan standar
tata kelola klinis sehingga tidak ada perubahan yang bermakna. Namun dari sisi organisasi atau
kelembagaan mengalami perubahan yang sangat fundamental dari yang sebelumnya adalah
LEMBAGA yang dilaksanakan oleh para pejabat STRUKTURAL (eselon-ring) dalam menjalankan tata
kelola rumah sakit berdasarkan kelas rumah sakit sebagaimana diatur pada PP Nomor 41 Tahun 2007,
namun saat ini berubah menjadi UNIT yang bersifat FUNGSIONAL. Pada penjelasan Pasal 43 PP
Nomor 18 Tahun 2016 ini disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ”unit organisasi bersifat
fungsional” adalah unit organisasi yang dipimpin oleh PEJABAT FUNGSIONAL. Kesimpulannya adalah
Unit Layanan TIDAK mengalami perubahan, namun Unit Organisasi (lembaga) mengalami perubahan
dari STRUKTURAL menjadi FUNGSIONAL. Secara sederhana diterjemahkan bahwa di RSD tidak ada
lagi pejabat struktural (eselon-ring) dan hanya diisi oleh para pejabat fungsional dan pelaksana
fungsional layanan secara profesional.
Pada Pasal 44 PP Nomor 18 Tahun 2016 merupakan penegasan dari “metamorfosis” nya RSD dimana
disebutkan bahwa RSD dipimpin oleh direktur rumah sakit Daerah kabupaten/kota, bersifat otonom
dalam penyelenggaraan tata kelola rumah sakit dan tata kelola klinis serta menerapkan pola
pengelolaan keuangan badan layanan umum Daerah (PPK-BLUD).
Masih pada Pasal 44 PP Nomor 18 Tahun 2016 diatur bahwa Rumah Sakit Daerah (RSD)
kabupaten/kota dalam penyelenggaraan tata kelola rumah sakit dan tata kelola klinis dibina dan
bertanggung jawab kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melalui penyampaian laporan kinerja
rumah sakit kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Ketentuan lebih lanjut mengenai
organisasi dan tata hubungan kerja rumah sakit Daerah kabupaten/kota akan diatur dalam Peraturan
Presiden. Artinya bahwa masih harus menunggu perangkat hukum turunan lagi yaitu Peraturan
Presiden (Perpres) tentang organisasi dan tata hubungan kerja di RSD.
Sampai pada titik ini apakah ada masalah ? Secara pribadi saya mengatakan TIDAK ada masalah.
Memang sangat wajar timbul kegusaran dan kegelisahan para pejabat struktural di RSD yang
terancam akan kehilangan jabatan struktural nya, namun jika dirasakan dan direnungkan sebetulnya
memang lebih baik pejabat pengelola RSD adalah NON-ESELONISASI. Karena pejabat pengelola
RSD yang ESELONISASI sangat rawan dengan kepentingan politis lokal dan secara beban moral akan
banyak terlibat dalam hal-hal yang bersifat non substansial rumah sakit terutama direktur misalkan
lebih sering harus mengikuti atau menghadiri kegiatan-kegiatan seremonial ketimbang fokus dan
konsentrasi terhadap masalah-masalah substansial rumah sakit. Bagaimanapun juga lembaga RSD
harus independen dan otonom dalam melaksanakan tata kelola rumah sakit tanpa adanya campur
tangan kepentingan lainnya, namun semata-mata hanya demi menjalankan roda organisasai RSD
secara profesional.
TRAGEDI “TUGAS TAMBAHAN”
Munculnya persoalan yang sangat pelik adalah pada Pasal 95 Ayat (8) yang selengkapnya berbunyi
“Kepala unit pelaksana teknis Daerah kabupaten/kota yang berbentuk rumah sakit Daerah
kabupaten/kota dijabat oleh dokter atau dokter gigi yang ditetapkan sebagai pejabat fungsional dokter
atau dokter gigi dengan diberikan TUGAS TAMBAHAN”. Sekali saya ulangi … TUGAS TAMBAHAN.
Pada penjelasan Pasal 95 Ayat (8) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “pejabat fungsional
dokter atau dokter gigi” adalah termasuk dokter spesialis dan dokter gigi spesialis yang menduduki
jabatan fungsional dokter dan dokter gigi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) definisi tambahan adalah lampiran susulan atau
pelengkap, artinya TUGAS TAMBAHAN adalah hanya merupakan tugas pelengkap disamping adanya
TUGAS UTAMA. Dalam bahasa sederhana bahwa hanya merupakan tugas sambilan dan yang
namanya sambilan maka boleh dilaksanakan sambil lalu atau disela-sela melakukan tugas utama.
Sehingga seorang dokter atau dokter gigi yang ditunjuk menjadi direktur RSD akan menjalankan tugas
sebagai direktur “disela-sela” tugas utamanya sebagai pegawai fungsional yaitu memberikan
pelayanan kepada pasien. Misalkan, seorang dokter akan memberikan pelayanan kepada pasien dari
pukul 08.00 WIB sampai dengan 12.00 WIB lalu setelah pukul 12.00 WIB baru akan menjalankan
fungsi sebagai direktur sebelum pulang. Atau disela-sela waktu antara pukul 08.00 WIB sampai dengan
pukul 14.00 WIB masih sempat menjalankan fungsi sebagai direktur, menandatangani surat-surat yang
masuk, memberikan disposisi dan lain sebagainya. Mungkinkah itu bisa dilaksanakan ?
Teori dasar manajemen rumah sakit menyatakan bahwa rumah sakit itu adalah unik dan sangat
spesifik, sebuah instansi yang serba padat dan tingkat kompleksitas masalah, dinamika dan aktivitas
yang sangat tinggi. Banyaknya ilmu-ilmu dan teknologi yang ada di RS menjadikan RS sebagai
organisasi yang padat ilmu, padat tekhnologi dan pada modal. Banyaknya jenis tenaga fungsional
dengan berbagai keahlian dan kompetensinya menjadikan rumah sakit organisasi padat karya yang
pada ujungnya akan terjadi padat kepentingan, padat masalah dan padat konflik. Semunya serba padat
karena memang sangat unik dan spesifik tempat berkumpulnya berbagai macam keahlian, teori,
tekhnologi, alat kesehatan dan sebagainya. Sehingga rumah sakit merupakan satu-satunya organisasi
dengan tata kelola yang terpisah yaitu Tata Kelola Rumah Sakit dan Tata Kelola Klinis sehingga
dibutuhkanlah sebuah Peraturan Dasar Internal Rumah Sakit atau Hospital By Law (HBL) dan Pola
Tata Kelola Rumah Sakit.
Sungguh sangat komplek dan rumit mengelola manajemen rumah sakit karena harus menjalankan tata
kelola rumah sakit (layanan) dan tata kelola klinis (asuhan pasien) secara paralel dan sinergis.
Menyederhanakan dan menganggap enteng mengelola rumah sakit adalah sebuah kesalahan yang
sangat fatal dan pikiran yang absurd. Banyak pihak eksternal rumah sakit yang beranggapan bahwa
mengelola rumah sakit itu mudah dan sederhana, namun ketika sudah ikut masuk ke dalam jajaran
pengelola manajemen rumah sakit baru menyadari bahwa begitu rumit dan sulitnya tidak seperti yang
dibayangkan sebelumnya. Setiap hari selalu muncul persoalan dan masalah baru yang menuntut
penyelesaian secara cepat dan tepat karena menyangkut nyawa dan keselamatan serta mencegah
kecacatan.
Begitu komplek dan rumitnya mengelola rumah sakit sampai-sampai perlu dibuatkan aturan-aturan
hukum khusus (lex specialist) seperti PPK-BLU/BLUD, pengecualian dalam proses
pengadaan barang/jasa dan lain sebagainya. Dari aspek perencanaan anggaran dan keuangan begitu
kompleksnya karena secara PPK-BLUD harus menyusun Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA) namun
dalam pelaporan ke pemerintah daerah tetap menggunakan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA),
belum lagi pelaporan akuntansi keuangan yang berdasarkan Permendagri Nomor 61 Tahun 2007
tentang PPK-BLUD harus menggunakan model accrual based berdasarkan Standar Akuntansi
Keuangan (SAK) namun dalam memberikan laporan kepada pemerintah tetap menggunakan Standar
Akuntansi Pemerintah (SAP) yang dulu masih bersifat cash based (kini sudah mulai mengarah ke
accrual based semua).
Proses pengadaan barang dan jasa (PBJ) menjadi persoalan tersendiri, ketika satu kaki harus tetap
mengacu pada Perpres 54 Tahun 2010 dan perubahan-perubahannya dan disisi lain secara PPKBLUD diperbolehkan tidak mengikuti aturan tersebut dengan catatan harus menyusun dan menetapkan
aturan tersendiri sebagai pedoman. Cukupkah masalah hanya itu ? Tidak, masih ada persoalan
mekanisme distribusi jasa pelayanan yang selalu menjadi polemik dan memicu konflik antar profesi
karena belum adanya ketentuan yang tetap dan mengikat sebagai payung hukumnya. Persoalan lain
nya adalah terkait dengan pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh BPJS
Kesehatan dimana rumah sakit harus melaksanakan kendali mutu dan kendali biaya agar tidak terjadi
“defisit” tanpa meninggalkan kualitas layanan atau memberikan layanan yang sub-standar. Belum lagi
permasalahan pencatatan aset dan barang milik negara (BMN) atau milik daerah, persoalan stok dan
inventori (persediaan) yang seringkali terdapat perselisihan data ketika dilakukan audit.
Semua hal-hal tersebut diatas barulah pada sebatas persoalan pada kutub tata kelola rumah sakit,
belum merambah pada kutub tata kelola klinis yang kesemuanya itu harus memenuhi Standar
Pelayanan Minimal (SPM) Rumah Sakit dan juga standar jaminan mutu (quality insurrance) yaitu
AKREDITASI yang telah menjadi pra-syarat wajib dalam menjalankan kerjasama pemberian layanan
kesehatan program JKN dengan BPJS Kesehatan maupun pada saat pengurusan atau perpanjangan
ijin operasional rumah sakit. Dan semua itu akan dijalankan hanya sebagai TUGAS TAMBAHAN saja.
Dijalankan sebagai TUGAS UTAMA saja tidak akan pernah selesai karena masalah datang silih
berganti, apalagi hanya merupakan tugas tambahan.
Beberapa RSD saat ini bahkan telah menjadi pusat pendidikan fakultas kedokteran dan masuk dalam
kategori RS Kelas A. Dapat dipastikan akan jauh lebih kompleksnya persoalan-persoalan yang ada
menuntut profesionalisme pengelolaanya dengan begitu banyaknya ragam dan jenis aktivitas seharihari. Saya sulit membayangkan RS. Dr. Soetomo Surabaya dipimpin oleh seorang dokter spesialis
Bedah dengan jabatan fungsional dan mendapat tugas tambahan sebagai direktur. Sulit memikirkan
bagaimana RS. Dr. Moewardi Surakarta dipimpin oleh seorang dokter spesialis Penyakit Dalam
dengan jabatan fungsional dan hanya sesekali berperan sebagai direktur. Sungguh saya kesulitan
membayangkan dan memikirkannya. Jadi mengamanatkan dokter fungsional sebagai direktur hanya
sebagai tugas tambahan saja merupakan sebuah kesalahan substansial yang sangat fatal.
PELUANG JUDICIAL REVIEW (JR)
Dalam Pasal 44 Ayat (5) PP Nomor 18 Tahun 2016 memang menyebutkan bahwa pengaturan lebih
lanjut tentang organisasi dan tata hubungan kerja RSD akan diatur melalui Peraturan Presiden yang
saat ini konon sedang dalam tahap penyusunan rancangan nya. Beberapa rekan masih dalam posisi
wait and see dan berharap Perpres yang akan terbit tidak akan begitu memandang sebelah mata
pekerjaan dan tanggungjawab pengelolaan RSD sehigga hanya menjadi tugas tambahan saja dari
seorang dokter atau dokter gigi fungsional.
Namun menurut hemat saya, substansi dari Perpres yang akan terbit nanti tidak mungkin bertentangan
dengan aturan hukum induknya, sudah tentu UU 23 tahun 2014 dan PP 18 tahun 2016 menjadi
konsideran utamanya sehingga hal yang mustahil mengharapkan substansi hukum Perpres akan
berbeda dengan perangkat hukum diatasnya. Maka satu-satunya langkah yang bisa dilakukan adalah
dengan mengajukan peninjauan kembali atau Judicial Review melalui Mahkamah Konstitusi (MK).
Siapa yang berhak mengajukan JR ke MK ? Asosiasi Rumah Sakit Daerah (ARSADA) secara
organisatoris memiliki legal standing yang sangat kuat untuk mengajukan JR terhadap substansi PP
Nomor 18 Tahun 2016 terutama pada Pasal 95 Ayat (8) atau jika ingin mengajukan sekalian pada
Pasal 43 dan Pasal 44 terkait dengan definisi jabatan fungsional.
Sebetulnya patut disayangkan jika baru saat ini mengajukan JR ke Mahakamah Konstitusi (MK),
seharusnya pengajuan JR ke MK dilakukan ketika PP Nomor 18 Tahun 2016 belum terbit yaitu pada
saat berlakunya UU Nomor 23 Tahun 2014 dimana nomenklatur Lembaga Teknis Daerah (LTD) mulai
hilang. Tulisan saya pada tahun lalu sebetulnya merupakan usulan dan kajian kritis terhadap materi
pokok UU tersebut yang bisa menjadi bahan untuk mengajukan gugatan JR ke MK oleh teman-teman
di ARSADA, namun karena mungkin saat itu kita semua masih menafsirkan secara ragu-ragu dan lebih
memilih bersikap untuk menunggu perangkat hukum turunan nya sehingga sampai dengan terbitnya
PP Nomor 18 Tahun 2016 ini belum pernah diajukan JR ke MK.
Jika saat ini akan dilakukan peninjauan kembali apakah sudah terlambat ? Menurut hemat saya tidak
ada istilah terlambat dalam melaksanakan Judicial Review. Yang penting adalah menyiapkan materi
gugatan dengan baik sehingga mampu meyakinkan Mahkaman Konstitusi (MK) bahwa terdapat
substansi hukum yang bermasalah terhadap pasal-pasal pada PP Nomor 18 Tahun 2016.
Setidaknya ada 2 peluang yang bisa dijadikan pijakan dalam proses pengajuan JR ke Mahkamah
Konstitusi. Pertama, adanya substansi hukum pada PP Nomor 18 Tahun 2016 yang bertentangan
dengan hukum positif lainnya dengan kedudukan strata hukum lebih tinggi yaitu UU Nomor 44 Tahun
2009 tentang Rumah Sakit. Pasal 7 Ayat (3) UU RS 44/2009 menyebutkan bahwa Rumah Sakit yang
didirikan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah HARUS berbentuk Unit Pelaksana Teknis dari
Instansi yang bertugas di bidang kesehatan, Instansi tertentu ATAU Lembaga Teknis Daerah dengan
pengelolaan Badan Layanan Umum atau Badan Layanan Umum Daerah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Secara lugas pada pasal ini terdapat pilihan ATAU menjadi Lembaga
Teknis Daerah (LTD) dengan pengelolaan secara BLU atau BLUD. Sehingga tafsiran atas Pasal 7 Ayat
(3) UU RS Nomor 44 Tahun 2009 tersebut adalah jika rumah sakit milik Pemerintah Pusat maka
HARUS dalam bentuk UPT yang berada dibawah Ditjen BUK Kemenkes dengan pengelolaan secara
Badan Layanan Umum (BLU), sedangkan jika rumah sakit milik Pemerintah Daerah maka HARUS
dalam bentuk Lembaga Teknis Daerah dengan pengelolaan secara Badan Layanan Umum Daerah
(BLUD). Dapat disimpulkan juga bahwa pilihan menjadi Unit Pelaksana Teknis (UPT) dari instansi yang
bertugas di bidang kesehatan adalah Rumah Sakit vertikal milik Pemerintah melalui Kementerian
Kesehatan.
Namun tentu saja akan menjadi bahan perdebatan substansial yang seru dikarenakan PP Nomor 18
Tahun 2016 merupakan perangkat hukum turunan atas amanat UU Nomor 23 Tahun 2014 sehingga
tidak mungkin merubah substansi PP tersebut tanpa merubah materi pokok pasal yang digugat pada
UU Nomor 23 Tahun 2014. Nah dititik inilah bisa dipergunakan prinsip hukum “Lex Specialis Derogate
Legi Generalis”. Definisi “Lex Specialis Derogate Legi Generalis” menurut International Principle of Law
adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis)
mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis). Menurut Profesor Bagir Manan dalam
bukunya yang berjudul Hukum Positif Indonesia (hal. 56) terdapat beberapa prinsip yang harus
diperhatikan dalam asas lex specialis derogat legi generalis yaitu :
1 Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur
khusus dalam aturan hukum khusus tersebut;
2 Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis
(undang-undang dengan undang-undang);
3 Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan
lex generalis. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 sama-sama termasuk lingkungan hukum administrasi tata negara.
Sehingga peluang untuk melaksanakan prinsip “Lex Specialis Derogate Legi Generalis” dengan
menggunakan UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit sebagai lex specialis atas UU Nomor
23 Tahun 2014 sebagai lex generalis menurut pemahaman pribadi saya dapat dilakukan. Pertanyaan
selanjutnya adalah pada substansi hukum yang mana pada UU Nomor 23 Tahun 2014 tersebut yang
dapat dijadikan sebagai pintu masuk (entry point) guna menjalankan prinsip “Lex Specialis Derogate
Legi Generalis”.
Pintu masuknya menurut hemat saya adalah terdapat pada Pasal 219 Ayat (1) UU Nomor 23 Tahun
2014 yang menyebutkan bahwa Badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 ayat (1) huruf e dan
ayat (2) huruf e dibentuk untuk melaksanakan fungsi penunjang Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah meliputi : perencanaan, keuangan, kepegawaian serta pendidikan dan pelatihan,
penelitian dan pengembangan dan fungsi lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Hanya pada poin terakhir yaitu menjalankan fungsi lain sesuai dengan ketentuan peraturan perudangundangan yang memungkinkan sebagai pintu masuk UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
karena berlaku azas hukum Lex Specialis Derogat Legi Generalis. Jika kita menganggap ini adalah
pintu masuk terhadap legalitas badan hukum rumah sakit, maka kedepan rumah sakit akan menjadi
sebuah Badan dengan dipimpin oleh seorang Kepala Badan. Memang menjadi tidak sejalan juga
dengan UU Nomor 44 Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa RSD adalah sebagai Lembaga Teknis
Daerah. Namun justru pada poin inilah kita bisa mengajukan perubahan Pasal 219 Ayat (1) menjadi :
“Badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 ayat (1) huruf e dan ayat (2) huruf e dibentuk untuk
melaksanakan fungsi penunjang Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah meliputi :
perencanaan, keuangan, kepegawaian serta pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan
dan fungsi lain sebagai Lembaga Teknis Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan”. Inilah menurut saya peluang terakhir dan peluang satu-satunya menyelamatkan entitas
rumah sakit. Proses ini diharapkan akan juga diikuti dengan perubahan atau revisi terhadap PP Nomor
18 Tahun 2016 khususnya yang mengatur tentang kelembagaan RSD.
PENUTUP
Konstruksi berfikir saya membayangkan bahwa ideal nya RSD adalah menjalankan fungsi tata kelola
rumah sakit dan tata kelola klinis secara profesional dengan badan hukum tetap sebagai Lembaga
Teknis Daerah yang bertanggungjawab langsung kepada Bupati/Walikota melalui Sekertaris Daerah
dengan dipimpin oleh seorang dokter fungsional sebagai direktur dan menjalankan fungsi sebagai
TUGAS UTAMA. Strukutur manajerial direksi RSD dibangun berdasarkan peraturan dasar internal RSD
yaitu Hospital By Laws ataupun Pola Tata Kelola Rumah Sakit dan bersifat NON ESELONISASI
dengan tujuan agar lebih profesional dan terdapat keseimbangan antara tugas, tanggungjawab dengan
kompensasi (reward) yang layak dan wajar. Fungsi-fungsi yang menuntut pekerjaan yang memerlukan
kekuatan hukum (legal formal) seperti laporan keuangan, aset dan pengadaan barang/jasa ditetapkan
secara khusus melalui SK Bupati/Walikota. Intinya adalah biarkan struktur organisasi pengelola RSD
seperti saat ini berdasarkan kelas rumah sakit, namun hilangkanlah embel-embel struktural dan
eselonisasi.
Pengangkatan pada jabatan direksi dan jenjang karier lainnya dalam struktur kelembagaan RSD
dilakukan secara profesional melalui uji kompetensi secara terbuka (fit and proper test) sebagaimana
prinsip Aparatur Sipil Negara (ASN) sehingga mendorong kompetisi yang sehat dan objektif tanpa
adanya kepentingan eksternal rumah sakit yang mempengaruhi apalagi kepentingan politis tertentu.
Inilah struktur dan fungsi kelembagaan RSD yang ideal menurut impian saya.
Sekali lagi ditegaskan, ini adalah bukan persoalan hilangnya jabatan struktural di RSD dan diganti
menjadi jabatan fungsional. Karena bagi saya secara pribadi status jabatan struktural di RSD lebih
banyak aspek mudharat nya ketimbang manfaat dan kompensasi yang diperoleh. Jabatan direksi dan
jenjang karier masih dapat dilakukan melalui proses uji kompetensi.
Jadi semata-mata bukanlah karena ketiadaan jabatan struktural di RSD, namun persoalan pokoknya
adalah pengelolaan manajemen RSD yang dianggap sebelah mata sehingga hanya menjadi tugas
tambahan seorang dokter fungsional. Inilah persolan inti pertama pada saat ini yang sangat sulit
dijelaskan.
Kedua, jika argumentasi penempatan RSD dibawah Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota adalah guna
fungsi PEMBINAAN, bukankah dalam UU RS Nomor 44 Tahun 2009 sudah sangat jelas salah satu
fungsi dan tugas pokok pembinaan RSD melekat pada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sehingga
sudah menjadi kewajiban Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk melakukan pembinaan kepada
RSD. Ketiga, apabila alasan agar RSD memberikan laporan kinerja sebagai bentuk
pertanggungjawaban kepada Dinas Kesehatan kabupaten/Kota, bukankah selama ini setiap tahun
RSD selalu menyampaikan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) kepada
Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan Propinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Pemerintah
Daerah setempat.
Sungguh saya tidak tahu spirit apa yang menjadi pijakan berfikir para penyusun PP Nomor 18 tahun
2016 sebagai aturan hukum derivat dari UU Nomor 23 Tahun 2014. Semoga saja bukanlah niat tidak
baik untuk mengkerdilkan fungsi dan entitas lembaga rumah sakit.
Wallahu A’lam Bishawab.
Tri Muhammad Hani
RSUD Bayu Asih Purwakarta
Jl. Veteran No. 39 Kabupaten Purwakarta – Jawa Barat
Download