MODAL SOSIAL DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM Tri Pranadji Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Bogor Kegiatan pertanian merupakan bentuk campur tangan masyarakat terhadap ekosistem dan lingkungan sumber daya alam. Kegiatan pertanian mencerminkan ekspresi kelemahan atau kekuatan modal sosial suatu masyarakat. Kerusakan ekosistem dan lingkungan akibat pertanian intensif tidak dapat semata-mata dituduhkan karena ulah petani (miskin) setempat. Kerusakan tersebut dapat pula terjadi sebagai akibat kebijakan politik pemerintah yang tidak tepat, atau ketidak patuhan aparat penyelenggara pemerintahan terhadap peraturan perundang-undangan, atau tidak ditegakkannya keadilan hukum, atau ketidak-kompetanan aparat pemerintah dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, atau ketimpangan struktural (yang menyebabkan timbulnya kemelaratan pada masyarakat agraris di pedesaan), atau faktor kepemimpinan yang tidak tegas dan visioner, atau majajemen sosial yang buruk. Visi dan penyenggaraan pembangunan pertanian ikut menjadi penentu keberhasilan pengelolaan ekosistem dan lingkungan, yang pada gilirannya menjadi penentu daya saing dan keberlanjutan hidup bangsa Indonesia secara keseluruhan. Buruknya tata-nilai dan tatanan masyarakat adalah hulu masalah kerusakan ekosistem dan lingkungan. Dalam buku “Culture Matters: How Values Shape Human Progress” Harrison dan Huntington (2000) menyebutkan bahwa faktor tata-nilai yang terbentuk di masyarakat (bangsa) menjadi penentu kemajuan suatu masyarakat. Pranadji (2005) menyajikan temuan bahwa kerusakan ekosistem dan lingkungan terutama disebabkan oleh kegagalan masyarakat dalam mengendalikan keserakahan. Odum (1971) mengetengahkan bahwa kerusakan ekosistem dan lingkungan disebabkan oleh gejala over-shoot, istilah lain dari over-exploitation terhadap ekosistem dan lingkungan (Clapham 1976). Penyebab utamanya adalah pengendalian (“control”) yang dibangkitkan dari nilai-nilai masyarakat (human values) tidak efektif dan memadai lagi (Odum 1971). Ekosistem dan lingkungan tidak dapat secara aktif memperingatkan pada masyarakat bahwa kerusakan pada dirinya (misalnya) telah mencapai ambang bahaya, atau bahkan menjurus pada “tragedy of the common”. Modal Sosial dan Visi Pembangunan Modal sosial adalah bagian kekayaan sosio-budaya atau kelembagaan yang terkandung dalam suatu kolektivitas masyarakat; baik kolektivitas di tingkat nasional (masyarakat bangsa), masyarakat daerah, sistem sosial tertentu, dan masyarakat komunal. Fukuyama MODAL SOSIAL DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM (2000) mengemukakan bahwa modal sosial dapat dimaknai sebagai agregasi nyata atau sumber daya potensial yang terdapat pada suatu jaringan kerja yang telah lama terbentuk dalam tubuh masyarakat. Dalam modal sosial terkandung tata-nilai yang membentuk kerjasama (“collective action”) suatu kelompok atau masyarakat untuk pencapaian tujuan bersama. Konsep modal sosial untuk menjelaskan gejala yang terkait dengan kemajuan kegiatan ekonomi suatu masyarakat atau bangsa. Pendekatan modal sosial sangat sesuai digunakan untuk kajian dalam keilmuan sosiologi, ekonomi, dan politik. Modal sosial mengandung beberapa komponen yang satu sama lain saling terkait, antara lain: visi dan tata-nilai, kerjasama atau manajemen sosial, kepemimpinan, politik dan pemerintahan, hukum dan aturan, serta kompetensi sumber daya manusia (Pranadji 2006; 2010). Modal sosial merupakan penggerak (“engine”) perubahan. Dari tata-nilai yang membentuk modal sosial dapat dibangun visi perkembangan suatu masyarakat. Dalam konteks nasional (Indonesia) dikenal konsep tindakan kolekif masyarakat yang disebut gotong royong dan kemandirian. Sikap kegotong royongan secara terorganisir untuk mencapai keadilan melalui kemandirian dapat dianjurkan sebagai visi revitalisasi modal sosial baik di tingkat nasional, daerah, masyarakat kompleks, dan masyarakat komunal/ adat. Gambar 1 menunjukkan kaitan modal sosial beserta komponen strategis lainnya dalam mentransformasikan pengelolaan ekosistem dan lingkungan ke arah industrialisasi pedesaan. Istilah “mentransformasikan” mengandung makna visi dalam pembangunan pertanian ke depan, yaitu industrialisasi (pertanian) pedesaan. Pembagian kategori komponen strategis dalam bentuk ”kotak” dan ”bulatan” untuk membedakan bahwa bentuk ”kotak” menggambarkan komponen soft-power (dekat dengan modal sosial atau budaya non-material; Sorokin 1964); sedangkan bentuk ”bulatan” menggambarkan komponen hard-power atau budaya material. Selain ekosistem dan lingkungan, sebutan lain sumber daya alam (natural resources), seharusnya menjadi sasaran strategis sebagai hasil karya masyarakat (”man-made”) yang terorganisir secara visioner. Perkembangan komponen man-made yang relatif kecil menunjukkan kelemahan kreativitas kolektif atau modal sosial suatu masyarakat. Industrialisasi pertanian di pedesaan dapat dipandang sebagai visi operasional revitalisasi modal sosial dalam pengelolaan ekosistem dan lingkungan untuk pembangunan pertanian. 262 MODAL SOSIAL DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM Politik dan Kebijakan Pemerintah Kelembagaan Modal Finansial Modal Sosial: Tata Nilai dan Tatanan Sosio-Budaya Ekosistem dan Lingkungan (Pertanian dan Pedesaan) Pengelolaan Ekosistem dan Lingkungan Hukum Dan Undang-undang Prasarana dan Infrastruktur Ekonomi Struktur Penguasaan Sumberdaya Agraris Kompetensi Sumberdaya Manusia Gambar 1. Elemen Transformasi Pengelolaan Eekosistem dan Lingkungan Melalui Pembangunan Pertanian (Pertanian-Industrial) di pedesaan Degradasi Lingkungan Dewasa ini sebagian besar wilayah Indonesia telah menuju bencana ekologi. Kematangan modal sosial di tingkat lokal dan daerah dalam pengelolaan ekosistem dan lingkungan masyarakat Indonesia masih lemah. Walaupun dikemukakan bahwa evolusi masyarakat agraris di Indonesia tergolong masyarakat tua, namun dilihat dari perspektif pengelolaan ekosistem dan lingkungannya telah mengalami kemunduran yang sangat berarti. Keterbukaan terhadap penetrasi ekonomi pasar dan uang yang kurang terkendali (Mubyarto, 2002) menjadi salah satu penyebab penting tergiringnya masyarakat Indonesia ke arah bencana keterbelakangan dan ekologi. Pemahaman pentingnya peranan ekosistem dan lingkungan dalam pembangunan pertanian yang diukur dengan perkembangan ekonomi pasar dalam kehidupan masyarakat feodal di pedesaan, hingga saat ini masih relatif rendah. Kerusakan ekosistem dan lingkungan umumnya tidak terlihat secara seketika, tetapi melalui proses gradual dan 263 MODAL SOSIAL DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM bersifat historis dan memakan waktu lama (puluhan tahun). Penghancuran ekosistem hutan magrove di pantai-pantai Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi tidak mudah dilihat dari tahun ke tahun, namun terlihat sangat jelas dari dekade ke dekade; demikian juga proses pendangkalan waduk atau bendungan besar yang sangat penting untuk mendukung kegiatan perekonomian berbasis pertanian padi sawah. Kajian sejarah (historis) sangat penting untuk mengobservasi perubahan sumber daya agraria. Aspek yang terkait dengan sejarah adalah: (1) perubahan ekosistem dan lingkungan sumber daya alam secara lintas waktu, dan (2) kebijakan pemerintahan yang terkait langsung dengan memasukkan faktor keseimbangan ekosistem dan lingkungan dalam penyelenggaraan pembangunan pertanian. Perubahan pengelolaan ekosistem dan lingkungan secara lintas waktu sangat kentara. Hal ini antara lain ditandai oleh perluasan pertanian semusim, khususnya sawah di Jawa dan luar Jawa (terutama di Sumatera dan Sulawesi Selatan) sebagai bagian strategi politik subsistensi tingkat negara, daerah, dan komunitas lokal. Sejarah perkembangan pemerintahan kerajaan di Jawa terkait erat dengan politik keamanan subsisten, yaitu melalui kebijakan kemandirian dalam produksi pangan beras untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Dalam hal ini berlaku hukum besi sejarah bahwa pihak yang menguasai energi (termasuk energi biologis; renewable bio-energy) dan pangan (food) akan menguasai rakyat (”masyarakat”). Keberhasilan mengaitkan kemampuan dalam mengelola ekosistem dan lingkungan serta keamanan pangan masih sangat kuat untuk digunakan sebagai pengendali penyelengaraan pemerintahan di tingkat pusat dan daerah. Kecermatan perencanaan pengelolaan ekosistem dan lingkungan sumber daya alam untuk pertanian padi sawah sangat menentukan kelangsungan kekuasaan politik dan hal ini terkait erat dengan ketenteraman hidup suatu masyarakat (Scott, 1989). Beberapa dokumen penelitian sejarah di Jawa yang dihasilkan Lombart (2000) menunjukkan bahwa pengelolaan ekosistem dan lingkungan di Jawa, khususnya Jawa Timur dan Jawa Tengah, pada abad 14-17 sangat baik. Sungai-sungai besar di daerah-daerah pedalaman (DAS hulu), seperti Sungai Brantas di Mojokerto (Jawa Timur) dan Sungai Tuntang di Boyolali (Jawa Tengah), masih dapat dilayari perahu-perahu kecil untuk pengangkutan barang perdagangan dan manusia. Transportasi yang menghubungkan kawasan pedalaman dan pesisir di Jawa pada abad 14-17 banyak yang menggunakan jalur perairan, mirip dengan beberapa daerah di daerah Kalimantan dan Sumatera saat ini. Kebijakan pengelolaan ekosistem dan lingkungan yang terkait dengan pengembangan ekonomi pertanian non beras berkembang setelah masyarakat Indonesia berinteraksi dengan peradaban negara luar melalui sistem perdagangan antarnegara, yang kemudian diikuti dengan pertukaran budaya. Komoditas perdagangan non beras mulai berkembang setelah pemerintahan kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia berinteraksi dengan masyarakat Eropa, khususnya Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris (Vlekke, 2008). 264 MODAL SOSIAL DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM Penguasaan pengelolaan ekosistem dan lingkungan adalah faktor penentu dalam mengendalikan peradaban suatu masyarakat besar. Pihak menguasai perdagangan beras atau bahan pangan akan menguasai perekonomian pertanian non beras. Ekonomi pengelolaan sumber daya alam terbarukan (renewable recources) berbasis beras sangat intensif tenaga kerja, sedangkan ekonomi agraris berbasis non beras relatif padat modal dan teknologi. Dari gambaran ini Boeke (1982) membuat sistematika pembedaan antara ekonomi kapitalis dan prakapitalis: ekonomi dualistik. Namun demikian, intinya tetap sama, yaitu eksploitasi sumber daya manusia yang sangat masif. Revitalisasi Modal Sosial Tata Nilai Elemen inti modal sosial suatu masyarakat terletak pada tata-nilai yang dibangun untuk mendukungnya. Kemajuan masyarakat Bali di Kabupaten Tondano (Sulawesi Utara) lebih cepat dibanding masyarakat Tondano sendiri. Hal demikian terjadi karena masyarakat yang berasal dari Bali telah mengadopsi secara kolektif nilai-nilai kemajuan yang lebih kuat. Nilai-nilai ke-Bali-an (“Tri Hita Karana”) yang mencakup kerja keras, kemandirian dan kerjasama menjadi mesin utama kemajuan masyarakat Bali. Nilai-nilai ini mempunyai kemiripan dengan nilai-nilai masyarakat Korea dan Jepang. Masyarakat industri juga mempunyai implikasi yang sangat positif terhadap pengelolaan ekosistem dan lingkungan sumber daya alam setempat. Tabel 1 menyajikan keragaman tata nilai masyarakat dalam kaitannya dengan tata nilai kemajuan. Tabel 1. Elemen dan tata nilai kemajuan masyarakat No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Elemen tata-nilai (adat istiadat) dasar Rasa malu & harga diri Kerja keras Rajin & disiplin Hidup hemat Gandrung inovasi Menghargai prestasi Berpikir sistematik Empati tinggi Rasional/impersonal Sabar dan syukur Amanah (high trust) Visi jangka panjang Komponen tata-nilai komposit kemajuan Produktivitas/ kemandirian Keadilan/ kehormatan Solidaritas/ persatuan Keberlanjutan +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ ++ +++ ++ + + +++ +++ +++ +++ ++ ++ ++ ++ +++ +++ ++ ++ +++ +++ +++ +++ ++ + +++ +++ ++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ ++ +++ +++ +++ +++ +++ +++ Sumber: Pranadji (2003). 265 MODAL SOSIAL DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM Memacu kemajuan masyarakat di masa datang haruslah dilandaskan pada upaya merevitalisasi elemen tata-nilai (sosio-budaya)nya. Guna mencapai hal tersebut, setidaknya dibutuhkan penguatan terhadap empat elemen komposit tata-nilai, yaitu: kemandirian, gotong royong, keadilan, dan keberlanjutan. Keduabelas elemen tata nilai dalam tabel 1 sangat erat kaitannya dengan sistem pengelolaan ekosistem dan lingkungan yang baik. Keduabelas elemen dasar tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua kategori besar, yaitu tata-nilai yang terkait dengan kemajuan masyarakat berdasar pada penguatan budaya material (No.1 – No.4), dan elemen tata-nilai untuk kemajuan masyarakat berdasar pada penguatan karakter masyarakat (”non-material culture”) untuk maju dicerminkan pada urutan tata-nilai No.5 – No.12. Sebagian elemen tata-nilai memiliki sifat sangat halus, namun sangat menentukan kemajuan masyarakat pada berbagai ekosistem yang bersifat universal. Elemen yang dimaksud adalah rasional, empati, sabar/syukur, amanah, dan bervisi jangka panjang. Kekurangan elemen tata-nilai pengintegrasi masyarakat daerah umumnya terdapat pada kelemahan penerapan empati secara kolektif lintas daerah (spasial) dan lintas generasi. Dikombinasikan dengan pengelolaan ekosistem dan lingkungan berorientasi jangka pendek, makna empati tenggelam dalam hiruk pikuknya pragmatisme mengejar kemajuan jangka pendek, tidak sabar, dan saling bermusuhan. Bila hal tersebut terjadi, akan timbul proses disitegrasi masyarakat pada berbagai ekosistem di Indonesia karena kemajuan suatu golongan (elit) suatu masyarakat merupakan bencana bagi golongan masyarakat lain. Bentuk hubungan elemen tata-nilai budaya dasar dan komponen (nilai komposit) kemajuan suatu masyarakat pada berbagai ekosistem atau lintas etnis menunjukkan perbedaan yang sangat kontras antara tata-nilai yang mengarah pada perbaikan pengelolaan ekosistem dan lingkungan atau sebaliknya (“mundur”). Masyarakat yang gagal mentransformasikan elemen tata-nilai budayanya, dari yang terbelakang ke arah maju, menjadi golongan masyarakat yang banyak mengalami kesulitan dalam pengelolaan ekosistem dan lingkungan yang baik. Pengelolaan ekosistem dan lingkungan untuk menghasilkan produk yang bersifat terbarukan (renewable) terkait erat dengan dukungan tata-nilai ke arah kemajuan. Masyarakat juga akan mengalami kesulitan dalam membangun kemandirian, keadilan dan solidaritas yang kuat bila tidak memperoleh dukungan tatanilai yang kuat. Manajemen Sosial Tata-nilai adalah bagian esensial dari soft power. Istilah soft power umumnya dikaitkan dengan modal sosio pada tatanan suatu masyarakat madani (civil society) yang pluralistik di suatu ekosistem. Dalam kaitan ini manajemen sosial termasuk sebagai satu faktor kritis untuk mewujudkan pengelolaan ekosistem dan lingkungan yang baik. Manajeman sosial merupakan bagian penerapan asas good governance dalam pengelolaan ekosistem dan lingkungan pada berbagai tingkat masyarakat. Manajemen sosial sangat 266 MODAL SOSIAL DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM menentukan keberhasilan melakukan transformasi pengelolaan ekosistem dan lingkungan ke arah industrialisasi pertanian di pedesaan; industrialization based on renewable resource management. Elemen manajemen sosial esensial meliputi tujuh aspek (Tabel 2), yaitu: transparansi, akuntabilitas, rasional, keterbukaan untuk diaudit secara publik (public open audit), adaptif terhadap perubahan (faktor internal dan eksternal), dan diterapkannya asas keilmuan (”scientific merit”). Tanpa manajemen sosial yang baik, penyimpangan atau penyalahgunaan jabatan dan kewenangan aparat pemerintah dalam pengelolaan ekosistem dan lingkungan sulit dikendalikan. Implikasi serius dari tidak diterapkannya manajemen sosial adalah lemahnya penegakkan hukum dan moral kolektif dalam pengelolaan ekosistem dan lingkungan, terutama dari kalangan aparat lembaga pemerintahan dan penegak hukum. Tabel 2. Manajemen Sosial sebagai Penguat Modal Ssosial dalam Pengelolaan Eekosistem dan Lingkungan KUAT-PROGRESIF Sangat tinggi Sangat kuat Keharusan Sangat tinggi & menjadi keharusan ELEMEN Transparansi Akuntabilitas Demokrasi Rasional Sangat diperlukan Relatif cepat & cenderung sangat akurat Mutakhir & keharusan Open audit Adaptasi terhadap perubahan Ilmu pengetahuan LEMAH-TERBELAKANG Relatif rendah Relatif lemah Opsional Relatif rendah & bersifat opsional Tidak terlalu diperlukan Relatif lambat & cenderung tidak akurat Seadanya & opsional Kemiskinan dan ketidak-adilan sosial terdapat pada masyarakat di berbagai ekosistem dan lingkungan dengan pengelolaan ekosistem yang melibatkan kalangan orang kuat dan pemodal besar. Gejala ini menunjukkan sistem pengelolaan ekosistem dan lingkungan yang dilakukan pemerintah tidak efisien dan efektif. Distrust (ketidak percayaan) masyarakat terhadap aparat pemerintah dan lembaga politik tidak dapat disembunyikan. Penggundulan hutan tropis di kawasan pedalaman, perusakan hutan mangrove di perairan pantai, perusakan sumber daya lahan dan air akibat penambangan merupakan penyebab utama munculnya gejala kemisikinan dan ketidakberdayaan masyarakat pada berbagai ekosistem. Manajemen sosial pada berbagai daerah di Indonesia tergolong sangat buruk sebagaimana ditunjukkan melalui indikator praktik illegal logging, penambangan liar, penyedotan air tanah oleh pelaku swasta besar, serta pembuangan limbah industri ke wilayah pemukiman padat penduduk. Kepemimpinan Peran kepemimpinan dalam perubahan sosial terencana (sosial planned change; Poensioen 1969) sangat besar dalam memajukan masyarakat; leadership as a prime mover. 267 MODAL SOSIAL DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM Perbaikan pengelolaan ekosistem dan lingkungan pada masyarakat yang kompleks harus dimulai dari kehadiran seorang pemimpin yang mempunyai visi dan misi yang kuat untuk kemajuan. Kepemimpinan yang lemah dapat membawa masyarakat ke hehancuran ekologi dan pencemaran lingkungan. Inovasi dan kemajuan masyarakat di bidang sosial, ekonomi, budaya dan politik dalam pengelolaan ekosistem dan lingkungan yang baik sangat membutuhkan kehadiran seorang pemimpin yang kuat dan progresif. Tabel 3. Kepemimpinan sebagai Penggerak Revitalisasi Modal Sosial dalam Pengelolaan Ekosistem dan Lingkungan yang Baik PROGRESIF ELEMEN TERBELAKANG Jangka panjang Visi Jangka pendek Piawai dan dialogis Komunikasi “Bisu” dan monolog Altruistik (“murah hati”) Trust Building Egoistik (“cluthak”) Di atas rata-rata Unggul diri Medioker (“pas-pasan”) Solidarity maker Solidaritas Divide et empera Rasional & sistematik Cara berpikir Emosional & difuse Demokrasi Artikulasi Otoriter Faktor penentu dalam membawa kemajuan masyarakat terletak pada kemampuan pemimpin untuk membimbing dan mengarahkan perubahan dan kemajuan masyarakat. Di sisi lain, seorang manajer merupakan tokoh yang dinaungi oleh pemimpin dalam melaksanakan strategi pembangunan dan pemberdayaan masyarakat dalam mengelola ekosistem. Tanpa arahan dan ”bimbingan” yang jelas, seorang manajer tidak akan efektif dalam menjalankan pekerjaan pengelolaan ekosistem dan lingkungan. Pemimpin yang baik lebih banyak bekerja menggunakan intuisi, sedangkan seorang manajer lebih menekankan pada penggunaan rasio. Tata-nilai budaya primordial (”askriptif”) masih mendominasi kehidupan masyarakat Indonesia, terlebih lagi pada masyarakat yang memiliki keragaman kultural relatif rendah. Masyarakat di Indonesia bagian timur umumnya masih terikat dengan paradigma pemimpin kharismatik. Elemen kepemimpinan pada diri seorang pemimpin yang ada di tengah-tengah masyarakat akan mempengaruhi kemajuan masyarakat tersebut. Sebagai pemimpin adalah representasi pembela kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Akan tetapi hingga kini kehadiran seorang pemimpin masih belum memungkinkan diproses melalui program (”pendidikan”) khusus atau latihan teknis yang diselenggarakan berbagai lembaga pemerintah dan kementerian teknis. Kehadiran pemimpin pada berbagai daerah di Indonesia lebih sebagai hasil ”ciptaan alam” dan bukan dari hasil kompetisi bebas dan terbuka. Kepemimpinan di berbagai daerah di Indonesia umumnya menggambarkan ciri masyarakat terbelakang. Pemimpin yang mampu memerankan diri secara signifikan 268 MODAL SOSIAL DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM sebagai pengintegrasi (solidarity maker) masyarakat yang bersifat multikultural jarang ditemukan. Kelemahan utama pemimpin di Indonesia adalah tidak memiliki kesungguhan menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dalam pengambilan keputusan. Seorang pemimpin hendaknya mampu mengembangkan tiga sikap sebagai berikut: (a) menyukai terwujudnya persatuan dan kerukunan (”solidarity maker”). Pemimpin yang sering menimbulkan perbedaan pendapat yang menjurus pada disintegrasi sosial adalah pemimpin yang tidak dikehendaki, (b) mengajak agar setiap tindakan atau keputusan dilandaskan pada rasionalitas dan logika sistematik. Pemimpin yang lebih banyak membangun mitos dan bertindak acak akan menimbulkan kebingungan dan sulit diikuti secara konsisten oleh pengikutnya, dan (c) memberikan teladan pada pengikutnya tentang pentingnya tindakan atau pengambilan keputusan secara kolektif yang ditempuh melalui cara-cara yang demokratis. Pemimpin yang bersikap otoriter akan ditinggalkan pengikutnya dan akan membawa masyarakat pada kemunduran; termasuk dalam kaitannya dengan pengelolaan ekosistem dan lingkungan. Pertanian Industrial dan Pemberdayaan Masyarakat Pertanian-Industrial-Pedesaan Perspektif visi ideal pengembangan pertanian adalah pertanian industrial di pedesaan. Melalui perspektif ini pertanian dilihat sebagai satu kesatuan utuh dari sistem yang mencerminkan usaha industrial yang menghasilkan produk yang bernilai tambah ekonomi maksimal. Produk akhir tersebut merupakan hasil penerapan sistem perencanaan pengembangan pertanian yang bersifat visioner di pedesaan, yang dalam hal ini disebut sistem pertanian industrial pedesaan. Proses peningkatan nilai tambah dilakukan secara sistematik dengan memanfaatkan teknologi mutakhir tepat guna, tenaga kerja terlatih yang bersifat fungsional, modal finansial, energi, management industrial, dan keorganisasian ekonomi pedesaan berbadan hukum. Sebagai satu kesatuan sistem pertanian industrial, kegiatan pertanian dilihat mulai dari usahatani, pascapanen, pengolahan hasil dan pemasaran sebagai kegiatan yang saling terkait satu sama lain. Suatu sistem kegiatan pertanian industrial memiliki sifat integratif, daya saing tinggi dan mampu menghasilkan nilai tambah sumber daya pertanian yang maksimal di pedesaan. Pengembangan pertanian seperti itu memungkinkan terbangunnya sistem kegiatan ekonomi yang terorganisir dan berdaya saing tinggi di pedesaan. Sistem kegiatan ekonomi tersebut akan mampu menghasilkan produk pertanian yang bernilai tambah tinggi, menciptakan lapangan kerja yang relatif besar, menghasilkan peluang bagi upaya peningkatan pendapatan masyarakat pedesaan yang relatif besar, dan pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan petani secara lebih adil dan merata. 269 MODAL SOSIAL DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM Pendekatan Pemberdayaan Revitalisasi modal sosial terwujud pada masyarakat yang berdaya saing tinggi secara berkelanjutan. Indikator masyarakat berdaya antara lain adalah produktif dan mandiri, berkeadilan dan memiliki kegotong-royongan, serta berkembangnya ekosistem dan lingkungan yang terpelihara secara baik. Pemberdayaan masyarakat pertanian di pedesaan telah dipilih sebagai bagian strategi kebijakan yang efektif dalam upaya pengentasan kemiskinan dan pengelolaan ekosistem dan lingkungan yang baik. Evaluasi keberhasilan atas upaya tersebut akan lebih sesuai dan berguna jika didekati dengan kerangka pemberdayaan masyarakat pertanian di pedesaan. Bentuk akhir pemberdayaan seyogianya dilihat dari pencapaian dalam upaya mewujudkan sistem pertanian yang mencirikan pertanian industrial di pedesaan. Indikasi terwujudnya pertanian industrial tersebut adalah dapat dihasilkannya produk pertanian bernilai tambah ekonomi tinggi, menggunakan sebanyak-banyaknya sumber daya (ekosistem, tenaga kerja, teknologi, dan kelembagaan) di pedesaan, sistem pembagian (biaya dan manfaat) yang lebih adil dan merata di pedesaan, serta bersahabat dengan pemeliharaan sumber daya dan alam setempat. Pendekatan pemberdayaan untuk pengentasan kemiskinan dan pengelolaan ekosistem yang baik disesuaikan dengan pilihan strategi pembangunan pertanian di pedesaan yang memihak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan secara berkelanjutan. Pendekatan pemberdayaan masyarakat untuk pengentasan kemiskinan dan pengelolaan ekosistem telah mengalami perkembangan yang pesat sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan sosial yang bersifat lintas disiplin. Namun demikian terdapat perbedaan yang cukup besar antara perspektif pemberdayaan masyarakat di masa lalu dengan perspektif saat ini. Gambar 2 menunjukkan perbedaan perspektif pemberdayaan masyarakat di masa lalu dan masa mendatang. Gambar 2. Perbedaan Perspektif Pemberdayaan Masyarakat Antara di Masa Lalu dan (yang seharusnya digunakan) di Masa Mendatang 270 MODAL SOSIAL DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM Strategi pemberdayaan masyarakat untuk pengentasan kemiskinan merupakan pendekatan pengelolaan ekosistem dan lingkungan sumber daya alam yang tidak bersifat tunggal. Pendekatan ini merupakan rangkaian berbagai (tahapan) strategi dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan secara menyeluruh dan berkelanjutan. Strategi demikian perlu dirumuskan dalam rangkaian kegiatan pemberdayaan masyarakat sesuai dengan tahap perkembangan masyarakat itu sendiri. Beberapa opsi strategi pemberdayaan masyarakat menuju masyarakat pertanian industrial di pedesaan secara berkelanjutan diuraikan di bawah ini: 1. Strategi belas kasihan (”charity”), umumnya diterapkan pada masyarakat dalam keadaan serba tidak berdaya. Strategi pemberdayaan (untuk pengelolaan ekosistem dan lingkungan sumber daya alam) seperti ini diperuntukkan bagi masyarakat yang mengalami bencana alam (gempa bumi, tsunami, atau kebanjiran) atau terserang wabah penyakit yang bersifat masif. Pada tahap ini masyarakat harus diberi peluang (awal) untuk hidup dan menjalankan aktivitasnya secara normal. 2. Strategi subsistensi, adalah tahap lanjutan strategi charity. Strategi pengelolaan ekosistem dan lingkungan pada tahap ini diterapkan pada masyarakat petani di pedesaan yang secara potensial dapat menghasilkan produk pertanian, namun pada saat yang sama tingkat pemenuhan kebutuhan dasarnya belum dapat dicapai secara mandiri. Pada tahap ini, bentuk pemberdayaannya adalah mengupayakan agar masyarakat mampu mengelola ekosistem dan sumber daya rumahtangga agar secara mandiri mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, terutama kebutuhan subsistennya (Scott, 1989), dan agar terjaga ketenangan kehidupannya. Wujud akhir pemberdayaan ini adalah bahwa masyarakat petani setempat berperan sebagai produsen dan sekaligus konsumen atas produk pertanian yang dihasilkan wilayah pedesaan setempat. 3. Strategi peningkatan nilai tambah ekonomi melihat masyarakat petani di pedesaan sebagai memiliki kemampuan untuk menjadikan ekosistem dan sumber daya alam sebagai bagian input utama usaha ekonomi produktif. Keberhasilan strategi pemberdayaan ini ditunjukkan dalam 2 (dua) hal, yaitu: (a) dihasilkannya produk pertanian yang diarahkan untuk memenuhi permintaan pasar terbuka, dan (b) produk pertanian yang dihasilkan berupa produk olahan yang telah mengalami proses nilai tambah maksimal. Pada tahap kemajuan masyarakat pertanian seperti ini, pencapaian pemberdayaannya berupa terbangunnya sistem pertanian industrial di pedesaan. 4. Strategi penguatan penguasaan aset produktif secara menyeluruh untuk mewujudkan masyarakat berkeadilan dengan tingkat pemerataan kesejahteraan yang relatif baik. Keberhasilan strategi pemberdayaan dalam pengelolaan ekosistem dan lingkungan sumber daya alam pada tahap ini ditunjukkan dalam 3 (tiga) hal, yaitu: (a) seluruh sistem pertanian industrial di pedesaan dijalankan oleh pelaku ekonomi di pedesaan, (b) kepemilikan keseluruhan jaringan pertanian industrial di pedesaan ada di tangan masyarakat pedesaan setempat, dan (c) pengelolaan keseluruhan jaringan pertanian 271 MODAL SOSIAL DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM industrial di pedesaan dilakukan dalam wadah keorganisasian ekonomi pedesaan yang badan hukum (misalnya Badan Hukum Koperasi). Pada tahap kemajuan pengelolaan ekosistem dan lingkungan sumber daya alam pertanian seperti ini, bentuk pemberdayaannya berupa terbangunnya keorganisasian ekonomi pertanian industrial pedesaan yang berbadan hukum Koperasi. 5. Strategi penguatan tata-nilai sosio-budaya terhadap pentingnya pemeliharaan ekosistem dan lingkungan. Keberhasilan strategi pemberdayaan pada tahap ini ditunjukkan bahwa kesadaran masyarakat tentang kerusakan ekosistem dan lingkungan merupakan bagian pertarungan kelangsungan hidup dan matinya masyarakat pertanian di pedesaan secara lintas generasi. Pada tahap pengelolaan ekosistem untuk kemajuan pertanian seperti ini, bentuk pemberdayaannya berupa terbangunnya tata-nilai yang kuat di masyarakat bahwa pengrusakan ekosistem dan lingkungan ditempatkan sebagai “musuh bersama” (“public enemy”). Tata-nilai tersebut dapat diamati pada tingkat kepedulian yang tinggi terhadap terpeliharanya ekosistem dan lingkungan pedesaan sebagai penopang sistem kehidupan dan daya saing masyarakat secara lintas generasi dan lintas wilayah. Ukuran Keberdayaan Indikator atau ukuran keberhasilan pemberdayaan masyarakat adalah bagian dari indikator keberhasilan pembangunan pedesaan. Beberapa indikator utama pemberdayaan yang dimaksud adalah: (a) produktivitas tenaga kerja keluarga, (b) pendapatan atas faktor produksi yang terbarukan (renewable production factors), (c) pendapatan keluarga, (d) upah dan kesempatan kerja, (e) tingkat pendidikan, (f) perubahan distribusi pendapatan rumahtangga, (g) partisipasi masyarakat petani dalam pengambilan keputusan di wilayah publik, (h) mobilitas horizontal dan vertikal, (i) perubahan gaya hidup (life style) dan cosmopolitanism yang hormat terhadap ekosistem dan lingkungan, serta (j) terpeliharanya ekosistem dan lingkungan pedesaan dengan landasan hukum, etika, dan pranata sosialpolitik yang jelas. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan 1. Dalam beberapa dekade terakhir modal sosial pada hampir semua tingkatan masyarakat telah mengalami kemerosotan yang berat. Pragmatisme penyelengaraan pembangunan oleh pemerintah pusat, daerah, dan desa bukan saja mengabaikan pentingnya modal sosial, melainkan juga menjadi faktor perusak modal sosial yang telah terbentuk. Faktor pilihan kebijakan politik (yang bersifat pragmatis dan sentimen ideologis) menjadi penyebab utama tidak dilakukannya penguatan modal sosial di pedesaan. Modal sosial semakin diperlemah oleh gejala collective distrust antarelemen masyarakat madani (civil society) serta kemiskinan dan kesenjangan sosial yang semakin tajam. 2. Faktor utama terjadinya kerusakan ekosistem dan lingkungan adalah defisiensi dan semakin merosotnya modal sosial sejalan dengan ketidak-siapan masyarakat terhadap 272 MODAL SOSIAL DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM 3. 4. 5. 6. perkembangan peradaban ekonomi pasar di pedesaan. Tidak terkendalinya tindak keserakahan menjadi faktor penting dalam mempercepat proses penghancuran modal sosial dan kearifan lokal. Visi revitalisasi modal sosial adalah visi pembangunan masyarakat bangsa yang berdaya saing dan terhormat dalam pergaulan masyarakat global. Visi tersebut berorientasi pada terwujudnya keadilan sosial dan martabat manusia, gotong royong (solidaritas), serta kemandirian dan produktivitas masyarakat bangsa Indonesia. Revitalisasi modal sosial merupakan kunci pembuka bukan saja bagi pengelolaan ekosistem dan lingkungan yang baik, melainkan juga bagi penguatan daya saing dan ketahanan masyarakat secara multidimensi dan berkelanjutan. Elemen modal sosial esensial yang perlu direvitalisasi adalah tata-nilai pada berbagai level masyarakat, terutama di tingkat nasional. Kerusakan tata-nilai di tingkat nasional, lintas etnik dan sub-budaya serta komunal secara garis besar diawali dari kalangan elit politik, pemerintahan dan pelaku ekonomi di tingkat pusat. Upaya perbaikan secara sistematik dalam pengelolaan ekosistem dan lingkungan yang baik sangat membutuhkan dukungan elemen modal sosial lain berupa kepemimpinan dan manajemen sosial. Kepemimpinan menjadi visi penghela dan penggerak pengelolaan ekosistem dan lingkungan yang baik, sedangkan manajemen sosial merupakan kerangka kerja kolektif (collective action) yang terarah, partisipatif, terorganisir serta akuntabel. Elemen modal sosial berupa hukum dan aturan, pemerintahan, dan kompetensi SDM merupakan elemen penjaga tindakan publik terhadap penyimpangan pengelolaan ekosistem dan lingkungan ke arah yang tidak baik. Kegiatan pertanian harus menjadi bagian penting pengelolaan ekosistem dan lingkungan sumber daya alam yang baik dan terorganisir. Arah pengelolaan ekosistem dan lingkungan yang baik harus dapat tercermin denan tegas dalam visi pembangunan pertanian di pedesaan. Visi yang dimaksud adalah pengembangan sistem usaha pertanian industrial di pedesaan, yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. Produk pertanian yang dihasilkan dirancang untuk memenuhi permintaan pasar terbuka dan berupa produk olahan yang telah mengalami proses nilai tambah maksimal. b. Tubuh usaha pertanian industrial berupa satu kesatuan sistem usaha yang tidak tersekat-sekat sehingga biaya transaksi (”transaction cost”) dalam tubuh usaha dapat ditekan serendah mungkin. Cara ini mampu mewujudkan daya saing usaha dan ekonomi pedesaan yang kuat berbasis ekosistem dan modal sosial setempat. c. Seluruh sistem usaha pertanian industrial sebagian besar dilakukan di pedesaan dan dijalankan oleh pelaku ekonomi di pedesaan. Dengan cara ini, nilai tambah total keseluruhan sistem usaha industrial jatuh ke tangan masyarakat pedesaan. 273 MODAL SOSIAL DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM d. Kepemilikan keseluruhan jaringan sistem usaha pertanian industrial dilakukan dalam wadah keorganisasian ekonomi yang berbadan hukum (koperasi) sehingga tidak dikenal adanya ”konsentrasi kekuatan” pada beberapa gelintir orang. e. Ciri-ciri di atas akan menghasilkan nilai total ekonomi (pedesaan) yang maksimal disertai dengan sistem pembagian yang lebih adil (equal sharing system), baik dalam pembiayaan (cost) maupun manfaat (benefit). 7. Revitalisasi modal sosial dan perbaikan pengelolaan ekosistem dapat diintegrasikan dalam pendekatan pemberdayaan masyarakat pedesaan secara komprehensif. Visi pemberdayaan masyarakat pedesaan yang diajukan adalah membangun daya saing masyarakat pedesaan secara berkelanjutan, baik di bidang kemandirian dan produktivitas kerja kolektif, peningkatan kesejahteraan dan keadilan serta penyadaran bahwa perusakan ekosistem dan lingkungan harus dihentikan melalui upaya kolektif. Daftar Pustaka Boeke JH. 1982. Memperkenalkan Teori Ekonomi Ganda. dalam Bunga Rampai Perekonomian Desa (penyunting Sajogyo). Yayasan Agro Ekonomika. Jakarta. Clapham Jr, WB. 1976. An Approach to Quantifying the Exploitability in Human Ecosystem. Plenum Publishing Corporation. New York. Fukuyama F. 2000. Sosial Capital. In Cultures Matters: How Values Shape Human Progress (Edited by L.E. Harrison and S.P. Huntington). Basic Books. New York. Huntington SP. 2000. Cultures Count. in Cultures Matters: How Values Shape Human Progress (Edited by L.E. Harrison and S.P. Huntington). Basic Books. New York. Lombart D. 2000. Nusa Jawa: Silang Budaya, Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris. Penerbit P.T. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Mubyarto. 2002. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat dan Peranan Ilmu-ilmu Sosial. Yayasan Agro-Ekonomika. Yogyakarta. Odum EP. 1971. Fundamentals of Ecology. W.B. Saunders Company. Philadelphia. Poensioen JA. 1969. The Analysis of Sosial Change Reconsidered: A Sociological Study. The Hague. Paris. Pranadji T. 2003. Menuju Transformasi Kelembagaan dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor _____. 2006. Penguatan Modal Sosial untuk Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan dalam Pengelolaan Lahan Kering: Studi Kasus di Desa-desa (Hulu DAS) Ex Proyek Bangun Desa, Kabupaten Gunungkidul dan Ex Proyek Pertanian Lahan Kering, Kabupaten Boyolali. Jurnal Agro Ekonomi, 24(2): 178-206, Desember 2006. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. 274 MODAL SOSIAL DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM ______. 2010. Revitalisasi Adat dan Nilai-nilai Budaya dalam Penguatan Karakter dan Identitas Kebangsaan. Makalah disampaikan pada kegiatan Pemutakhiran Basis data Adat dan Budaya dengan topic “Revitalisasi Adat dan Nilai-Nilai Sosial Budaya Menuju Terbangunnya Pilar Identitas dan Ketahanan Bangsa yang Kokoh” yang diselenggarakan oleh Direktorat Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Hotel Orchadz, 30 September 2010. Scott JC. 1989. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. LP3ES. Jakarta. Vlekke HM. 2008. Nusantara: Sejarah Indonesia. PT Gramedia. Jakarta. 275