PENYAKIT JEMBRANA MUSUH UTAMA SAPI BALI Prof.Dr.drh. I Ketut Berata, MSi Laboratorium Patologi FKH Unud E-mail: [email protected] Pendahuluan Sapi bali merupakan salah satu ternak unggul dan kekayaan plasma nutfah dunia yang harus dilestarikan dan ditingkatkan mutunya. Nama ilmiah sapi bali adalah Bos javanicus (dAlton). Taxonomi menurut dAlton ini dikemukakan pada tahun 1823. Secara lengkap klassifikasi sapi bali sebagai berikut : Ordo : Artiodactyla, Klas : Ruminansia, Famili : Bovidae, Genus : Bos, Spesies : javanicus (dAlton). Tanpa pernah diperdebatkan, sapi bali (Bos javanicus) merupakan spesies sapi tersendiri (Copland, 1996). Sapi bali merupakan bagian terbesar dari jenis sapi yang ada di Indonesia dan saat ini telah tersebar di 26 daerah propinsi. Dari sekitar 11,5 juta ekor sapi potong di Indonesia diantaranya 3,6 juta ekor (32%) adalah sapi bali. Berbagai faktor yang disebutkan sebagai keunggulan sapi bali adalah : 1. Memiliki daya adaptasi lingkungan yang baik pada daerah tropis Indonesia. Menurut hasil penelitian para ahli di Australia, sapi bali memiliki daya tahan terhadap panas (heat tolerance) dengan angka tertinggi dibandingkan sapi subtropis atau tropis yang lain (Wiryosuhanto, 1996). 2. Memiliki daya pemanfaatan pakan yang sederhana/ kasar dengan kadar serat yang tinggi. Kandungan urea dalam darah yang relatif lebih tinggi dari pada sapi brahman atau shorthorn menyebabkan sapi bali cenderung lebih banyak dapat mencerna nitrogen pada hijauan bergizi rendah (berserat tinggi) dibandingkan jenis sapi Eropa atau Amerika (Wiryosuhanto, 1996). 3. Kemampuan reproduksi yang tinggi. Angka kelahiran sapi bali juga tergolong tinggi yakni sebesar 80-85% setiap tahunnya (Darmadja,, 1981). 4. Daya produksi daging (persentase karkas) yang tinggi yaitu berkisar 56-78%. Sedangkan karkas sapi madura 47,8% dan sapi ongole 45% (Darmadja,1981). 5. Sumber protein hewani berkualitas tinggi. Walaupun persentase karkasnya tinggi, tetapi kandungan lemak dalam dagingnya relatif rendah dibandingkan daging sapi potong lainnya (Darmadja, 1981) Workshop Binapoktan Udayana, 26 Nop.2015 6. Sebagai tenaga kerja (pembajak sawah) yang baik. Sapi bali tergolong kuat dan cepat dalam mengerjakan lahan pertanian karena memiliki kaki yang bagus dan kuat dibandingkan sapi peranakan ongole (Wiryosuhanto, 1996) Sapi bali memiliki kelemahan antara lain ukuran tubuhnya relatif kecil, produksi susu rendah sehingga pertumbuhan anak sapi (pedet) lambat. Kelemahan yang paling khusus dari sapi bali adalah rentan terhadap penyakit jembrana ( Soeharsono, et al.,1990). Selain itu sapi bali juga rentan terserang penyakit MCF (malignant catarrhal fever) dan penyakit ngorok (SE). Kambing dan domba ditengarai sebagai karier dari penyakit MCF pada sapi. Virus MCF yang diisolasi dari domba dapat menimbulkan kerusakan limforegulator pada kelinci yang diinfeksikan (Buxton, et al., 1984). Kepekaan sapi bali terhadap JDV banyak disebutkan sebagai akibat genetik. Tetapi belum jelas bagian mana dari gen yang berpengaruh, seperti halnya virus influenza pada tikus yang dipengaruhi oleh allele spesifik dari genomnya (Eaton and Gray, 1995). Penyakit Jembrana Berdasarkan sifat-sifat biologis, morfologis, struktur dan susunan genetik virus, maka penyebab penyakit jembrana digolongkan virus dari famili Retroviridae, subfamili Lentivirinae (Chadwick, et al., 1995; Kertayadnya, et al.,1993; Wilcox, et al, 1993 ). Adapun sifat-sifat biologis virus penyakit jembrana adalah sebagai berikut : 1. Masa inkubasi pendek yaitu sekitar 5-7 hari dan hanya menyerang sapi bali 2. Tahan terhadap antibiotika 3. Sulit tumbuh dalam kultur jaringan dan tidak tahan terhadap eter 4. Sulit tumbuh pada hewan percobaan kecil dan tidak membunuh mencit 5. Mempunyai enzim reverse transcriptase 6. Mempunyai berbagai jenis protein p100, p45, p33, p16 dan protein mayor p26 yang bereaksi silang dengan antigen dan antibodi virus BIV (bovine immunodeficiency virus) (Wilcox, 1997). 7. Menyebabkan immunodeficiency temporer yang ditandai dengan menurunnya daya tahan tubuh selama 2-4 bulan, menurunnya respon sel terhadap mitogen, menurunnya rasio sel CD4/CD8, menghilangnya sel-sel pembentuk antibodi, kebengkakan limpa dan kematian akibat infeksi sekunder Workshop Binapoktan Udayana, 26 Nop.2015 8. Virus jembrana dapat tinggal dalam darah dan jaringan tubuh penderita dalam waktu yang cukup lama. Seperti Lentivirus umumnya, JDV mengandung 3 gen mayor yaitu gag, pol dan env yang memerlukan protein tertentu untuk replikasi virus (lihat Gambar 2.4). Protein Tat kini sedang dikembangkan sebagai kandidat vaksin rekombinan. Protein SU merupakan glikoprotein (gp110), berperanan dalam proses adsorbsi (perlekatan) virus pada awal infeksi. Protein Ca yang merupakan p26, berperanan dalam produksi virion untuk pembentukan antibodi. Protein yang bersifat imunodominan ini, memiliki reaksi silang dengan p26 dari BIV (bovine immunodeficiency virus) (Wilcox, 1997). Gen env yang terdiri dari protein TM (transmembran) dan SU (surface unit), memiliki daya membangkitkan respon kekebalan. Gen asesori antara pol dan env yang disebut tat, merupakan protein yang terlibat dalam replikasi. Gen ini pada virus jembrana memiliki aktivitas yang kuat dan dapat dibedakan patogenisitasnya dengan virus penyebab BIV. Imunisasi primata dengan tat dapat menimbulkan kekebalan yang protektif terhadap simian immunodeficiency virus. Diduga tat dari JDV juga dapat menimbulkan kekebalan terhadap penyakit jembrana (Wilcox, 2001). Lentivirus sapi (bovine lentiviruses) dikenal sejak tahun 1972. Pada mulanya disebut bovine visna-like virus, karena struktur dan sifat biologisnya sama dengan maedi-visna virus pada domba. Kemudian disebut bovine immunodeficiency-like virus (BIV) ketika diketemukan virus HIV (human immunodeficiency virus) tahun 1987. Ditemukannya virus penyakit jembrana dimana diketahui gen reverse transcriptase (RT) memiliki persamaan sekuens asam amino sekitar 68% dengan BIV, maka BIV disebut sebagai bovine lentivirus tipe 1 dan virus jembrana sebagai bovine lentivirus tipe 2 (Evermann, et al.,2000). Pada kasus di lapangan, sering penyakit Jembrana bersamaan dengan infeksi BIV pada sapi bali (Barboni, et al., 2001). Berdasarkan uji epitop dengan antibodi monoklonal, diketahui bahwa BIV memiliki epitop yang unik pada terminal N protein kapsid yang tidak ada pada JDV (Zheng, et al., 2001 Lu, et al., 2002) Adapun virus yang termasuk anggota Lentivirus adalah JDV (Jembrana disease virus); BIV (bovine immunodeficiency virus), HIV-1 (human immunodeficiency virus type 1); HIV-2 (human immunodeficiency virus type 2), SIVagm (simian immunodeficiency virus pada kera hijau afrika), SIVcpz (simian immunodeficiency virus pada simpanse), FIV (feline immunodeficiency virus), MVV (Maedi-visna virus), CAEV (caprin arthritis encephalitis virus), EIAV (equine infectious anemia virus) (Campbell, 1996). Virus penyakit Jembrana (JDV), Workshop Binapoktan Udayana, 26 Nop.2015 merupakan anggota Lentivirus yang relatif muda (Chadwick, et al., 1995; Kertayadnya, et al., 1993). Prototipe Lentivirus sebagaimana Retrovirus umumnya, terdiri dari gen-gen gag, pol dan env yang mengkode struktur protein-protein untuk menyusun virion. Enzim-enzim yang dimiliki antara lain RNA-tergantung polimerase DNA dan RNase H (untuk replikasi genom), integrase (untuk integrasi provirus) dan protease (untuk proses poliprotein). Lentivirus memiliki genom yang lebih komplek dari pada Retrovirus lainnya, yaitu adanya 6 gen tambahan diantaranya Tat sebagai protein transaktivasi dan bersama protein Rev penting untuk replikasi virus. Selain itu terdapat juga gen regulator : nef, vif, vpr dan vpu yang disebut juga protein asesoris. Pada genom HIV-2 dan SIV tidak ada gen vpu tetapi ada gen vpx (Miller, et al, 2000). Deteksi antibodi anti gag pada FIV kucing dengan teknik ELISA, menunjukkan hasil yang positif pada awal infeksi. Tetapi hanya sebagian kecil menunjukkan hasil positif dengan teknik imunoflouresen tidak langsung (Furuya, et al., 1992). Protein Tat diproduksi pada awal proses replikasi. Pada Lentivirus primata (HIV-1, HIV2, SIV), pada sapi (BIV) dan kuda (EIAV), protein Tat berinteraksi dengan Tat Activating Region (TAR)(Xie, et al., 2004). Sedangkan Visna virus, CAEV dan FIV tidak berinteraksi (Miller, et al., 2000). Protein Tat virus Jembrana dapat mengaktivasi long terminal repeat (LTR) virus HIV, tetapi Tat virus HIV tidak dapat mengaktivasi LTR virus Jembrana (Chen, et al., 2000). Protein Rev berperanan pada siklus replikasi semua jenis Lentivirus. Rev pada EIAV banyak dipelajari untuk patogenesis EIAV yang akut, dimana terjadi replikasi virus yang cepat dan menimbulkan kematian dalam 1-4 minggu (Miller, et al., 2000). Protein Vif (virion infecting factor) adalah protein regulator, kecuali pada EIAV. Vif adalah domain sitoplasmik, tetapi ada sebagian dalam bentuk asosiasi dengan membran. Vif difosforilasi oleh p44/ 22 dari mitogen=activated protein kinase (MAPK) (Flint, et al., 2000; Miller, et al., 2000). Protease pada lentivirus umumnya berperan untuk pendewasaan (maturasi) dan infektifitas (Flint, et al., 2000). Sel target dari Lentivirus bervariasi. Virus HIV-1 diketahui sel targetnya adalah pada Gp120 dari sel CD4+ (Gowda, et al., 1989; Eckstein, et al., 2001), baik pada makrofag maupun limfosit T (Bolognesi, 1993; Merati, 2001). Virus FIV pada kucing, dilaporkan sel CD8 juga Workshop Binapoktan Udayana, 26 Nop.2015 sebagai target virus selain sel CD4 (Brown, et al., 1991). Protein dominant dari FIV adalah p24 dan p17 (Hossie and Jarrett, 1990). Virus BIV juga dapat menginfeksi sel CD8 (Whetstone, et al., 1997). Lentivirus dapat menginfeksi sel-sel yang tidak sedang membelah, sehingga sangat mungkin dapat digunakan sebagai terapi gen. Untuk terapi HIV-1, dapat digunakan Lentivirus yang berasal dari non-primata, misalnya dari BIV. Hal ini dilakukan untuk menghindari sugesti transfer gen yang merugikan kesehatan manusia (Berkowitz, et al., 2001). Walaupun HIV tidak bereplikasi dalam sel mencit, tetapi mencit yang dibuat imunodefisiensi kemudian diinokulasi monosit orang terinfeksi HIV, merupakan model yang sangat bagus untuk HIV encephalitis (HIVE) (Nesbit and Schwartz, 2002). Mencit BALB/c dikenal sebagai hewan immunokompromis, sangat baik untuk dipakai model infeksi terhadap virus penyakit pernafasan (Kong, et al., 2005) Virus penyakit Jembrana (JDV) tidak khas seperti Lentivirus umumnya, yaitu bersifat menyebabkan penyakit kronis dengan masa inkubasi yang panjang. Walaupun bersifat akut dengan masa inkubasi pendek, ada beberapa hal yang mendahului. Pertama, pada kasus akut, sering melibatkan perubahan limfoproliferatif sebagaimana halnya penyakit Lentivirus yang bersifat limfotropik, seperti pada HIV. Kedua, penyakit mirip dengan infeksi Simian immunodeficiency virus pada monyet berekor babi (pig-tailed macaques) (SIVSMMPB) yaitu periode inkubasi pendek terjadi limfopenia berat, diikuti limfoproliferatif yang cepat dimana dominan terdiri dari limfosit muda (limfoblast) pada parafolikel limfonodus, limpa dan jaringan limfoid terutama di usus (Wilcox, 1997). Selama fase akut penyakit jembrana, titer virus dalam plasma mencapai 10 8 partikel per ml. Tetapi pada fase penyembuhan sekitar 60 hari pasca infeksi, masih terdapat 10 partikel per ml darah (Wilcox, 1997), Demam tinggi yang kadang-kadang dapat mencapai 42oC, merupakan gejala klinis awal penyakit Jembrana. Gejala ini berlangsung selama 5-12 hari (rata-rata 7 hari). Secara eksperimental masa inkubasi penyakit bervariasi antara 4-12 hari. Kebengkakan kelenjar limfe terlihat pada kelenjar limfe prescapularis, prefemoralis dan parotis. Mencret yang sering disertai oleh darah dalam tinja yang terjadi beberapa hari setelah hewan demam. Pada penyakit yang akut, khusus pada wabah pertama, kematian dapat terjadi tiba-tiba. Kematian juga dapat terjadi dalam waktu relatif singkat pada sejumlah hewan dengan kondisi tubuh yang masih bagus. Workshop Binapoktan Udayana, 26 Nop.2015 Gejala lainnya adalah hipersalivasi, leleran lendir bening dari hidung, erosi pada mukosa mulut dan bagian bawah lidah, bercak-bercak darah pada kulit (“keringat berdarah”) dan kepucatan mukosa mulut, mata dan alat kelamin (Soeharsono, et al.,1990; Dharma, et al.,1991) Perubahan yang konsisten dan menonjol pada darah adalah lekopenia dan limfopenia (Harding dan Soeharsono, 1977; Soesanto, et al.,1990). Di samping itu juga terjadi thrombositopenia, eosinopenia, neutropenia dan anemia (Wilcox, 1997). Selain itu, kadar urea darah meningkat dan kadar protein plasma darah menurun (Soesanto. et al., 1990). Penyakit Jembrana ini diketahui hanya menyerang jenis sapi bali, baik yang adaat di Bali maupun di luar Bali. (Soeharsono, et al., 1990). Sapi silang yang memiliki darah sapi bali juga dilaporkan peka terhadap penyakit Jembrana. Pada kasus lapangan, angka kematian sapi betina lebih tinggi (31,8%) dibandingkan jantan (7,7%) dalam kelompok umur 1-6 tahun. Sedangkan angka kesakitan (morbiditas) tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-3 tahun (Putra, 2001). Penutup Penyakit Jembrana di Balisaat ini bersifat endemic, sehingga harus selalu diwaspadai karena sewaktu-waktu bias menjadi wabah. Kelompok peternak sapi harus dibekali cara-cara pencegahan penyakit terutama penyakit Jembrana. DAFTAR PUSTAKA Adiwinata, T. 1967. Some Informative Notes on Rinderpest-like Disease on The Island of Bali. OIE-FAO Conference on Epizootics in Asia and The Far East. Tokyo 2-9 Okt.1967 Agwale, S.M., Shata, M.T., Reitz, Jr.M.S., Kalyanaraman, V.S., Gallo, R.C., Popovic, M., and Hone’s. 2002. A Tat Subunit Vaccine Confers Protective Immunity Against the ImmuneModulating Activity of the Human Immunodeficiency Virus Type-1 Tat Protein in Mice. USA.Proc.Natl.Acad.Sci. 99 (15).p.10037-10041 Astawa, N.M., Hartaningsih, N., Dharma, D.M.N., Tenaya, W.M., Budiantono, dan Ekaana,W. 2005. Replikasi Virus Jembrana pada Kultur Limfosit Darah Tepi asal Sapi Bali. J.Vet.6(4).p.135-142. Workshop Binapoktan Udayana, 26 Nop.2015 Berkowitz, R., Ilves, H., Lin, W.Y., Eckert, K., Coward, A., Tamaki, S., Veres, G., and Plavec, I. 2001. Construction and Molecular Analysis of Gene Transfer Systems Derived from Bovine Immunodeficiency Virus. J.of Virology. Vol.75(7). p.3371-3382. Brown, W.C., Davis, W.C., Dobbelaere, D.A.E., and Rice-Ficht, A.C. 1994. T-cell Clones Obtained from Cattle Chronically Infected with Fasciola hepatica and Specific for Adult Worm Antigen Express Both Unrestricted and Th2 Cytokine Profiles. Infection and Immunity. No.62. p.818-827 Campbell, R.S.F. 1996. The Comparative Pathology of the Lentiviruses. In: Wilcox, G.E., Soeharsono, S., Dharma, D.M.N., Copland, J.W. Editors. Jembrana Disease and the Bovine Lentiviruses. ACIAR Proceeding No.75. p.115-123 Chadwick, B.J., Coelen, R.J., Sammels, L.M., Kertayadnya, G., and Wilcox, G.E. 1995. Genomic Sequence Analysis Identifies Jembrana Disease Virus as A New Bovine Lentivirus. J.of.Gen.Virol.76: 1637-1650 Chadwick, B.J., Desport, M., Dharma, D.M.N., Brownlie, J., and Wilcox, G.E. 1997. Detection of Jembrana Disease Virus in Paraffin-emmbedded Tissue Sections by In Situ Hybridization. Workshop on Jembrana Disease and the Bovine Lentivirus. Denpasar Bali. ACIAR Proceeding. No. 75. p. 66-71. Copland, J. 1996. Bali Cattle : Origins in Indonesia. In : Wilcox, G.E., Soeharsono, S., Dharma, D.M.N., Copland, J.W., Editors. Jembrana Disease and The Bovine Lentiviruses. ACIAR Proceedings No. 75. p.29-33. Dharma, D.M.N. 1992. Studies on the Pathology of Jembrana Disease. Thesis. Graduate School of Tropical Veterinary Science and Agriculture, James Cook University of North Queensland. Grund, C.H., Lechman, E.R., Issel, C.J., Montelaro, R.C., and Rushlow, K.E. 1994. Lentivirus Cross-Reactive Determinants Present in the Capsid Protein of Equine Infectious Anaemia Virus. J.of Gen. Virol. 75. p.657-662 Hartaningsih, N. 1994. Sejarah dan Perkembangan Penelitian Penyakit Jembrana Dalam Upaya Mengungkap Penyebab Penyakit Jembrana. Bull.Vet.BPPH VI.Vol.VII No.39 :p.9-15 Kertayadnya, G., Soeharsono, S., Hartaningsih, N., and Wilcox, G.E. 1997. Physicochemical Characteristics of A Virus Associated with Jembrana Disease. Workshop on Jembrana Disease and the Bovine Lentivirus. Denpasar Bali. ACIAR Proceeding No.75. p.43-48 Matteucci, D., Poli, A., Mazzetti, P., Sozzi, S., Bonci, F., Isola, P., Zaccaro, L., Giannecchini, S., Calandrella, M., Pistello, M., Specter, S. and Bendinelli, M. 2000. Immunogenicity of an Anti-Clade B Feline Immunodeficiency Fixed-Cell Virus Vaccine in Field Cats. J.of Virol. 74(23). p.10911-10919 Putra, A.A.G.2001. Kajian Epidemiologi dan Strategi Penaggulangan Penyakit Jembrana di Indonesia. In: Hartaningsih, N. and Putra, A.A.G..Editor. Tiga Puluh Tahun Menaklukan Penyakit Jembrana. Prosiding Seminar Nasional Penyakit Jembrana. Denpasar 9 Okt.2001.p.30-50. Soeharsono, S., Hartaningsih, N., Soetrisno, M., Kertayadnya, G., and Wilcox, G.E. 1990. Studies of Experimental Jembrana Disease in Bali Cattle. I.Transmision and Persistance of The Infectious Agent in Ruminant and Pigs and Resistance of Recovered Cattle to Reinfection. J.Comp.Pathol. 103 : p.49-59 Workshop Binapoktan Udayana, 26 Nop.2015 Soeharsono, S., Wilcox, G.E., Putra, A.A., Hartaningsih,N., Sulistyana, K., and Tenaya, M. 1995. The Transmission of Jembrana Disease, A Lentivirus Disease of Bos javanicus Cattle. Epidemiology and Infection. 115. p.367-374 Soesanto, M., Soeharsono, S., A.Budiantono, A., Sulistyana, K., .Tenaya, W.M., and Wilcox, G.E. 1990. Studies on Experimental Jembrana Disease in Bali Cattle. II.Clinical Signs and Haematological Changes. J.of.Comp.Pathol. 103 :p.60-69 Wareing, S. 1996. Investigation of The Cell Mediated Immune Response to Jembrana Disease Virus Proteins in Cattle. In. Wilcox, G.E., Soeharsono, S., Dharma, D.M.N., Copland, J.W. Editors. Jembrana Disease and Bovine Lentiviruses. ACIAR Proceedings No.75. p.83-84. Wareing, S., Hartaningsih, N., Wilcox, G.E., and Penhale, W.J. 1999. Evidence for Immunosupression Associated With Jembrana Disease Virus Infection of Cattle. J.Vet.Microbiol. 68: p.179-185 Wilcox, G.E., Kertayadnya, G., Hartaningsih, N., Dharma, D.M.N., Soeharsono, S., and Robertson, T. 1993. Evidence for Viral Aetiology of Jembrana Disease in Bali Cattle. J.Vet.Microbiol. 33 :367-374 Wilcox, G.E., Chadwick, B.J., and Kertayadnya, G. 1995. Jembrana Disease Virus : A New Bovine Lentivirus Producing an Acute Severe Clinical Disease in Bos javanicus Cattle. Abstract in third International Conggress on Veterinary Virology, Interleken, Switzerland. 4-7 September 1994. Wilcox, G.E. 1997. Jembrana Disease. Australian Veterinary Journal. Vol.75.p.492-497.file A:\Jembrana 2htm. Wilcox, G.E. 2001. The Development of A Vaccine and Improved Diagnostics for Jembrana Disease in Cattle. Naskah Lengkap Seminar Nasional Penyakit Jembrana : Tiga Puluh Tahun Menaklukan Penyakit Jembrana. BPPV VI Denpasar 9 Oktober 2001. Xie, B., Calabro, V., Wainberg, M.A., and Frankel, D. 2004. Selection of TAR RNA-Binding Chameleon Peptides by Using a Retroviral Replication System. J.of.Virology. Vol.78(3). p.1456-1463. Zheng, L., Zhang, S., Wood, C., Cavil, S., Wilcox, G.E., Loughin, T.A., and Minocha, H.C. 2001. Differentiation of Two Bovine Lentiviruses by a Monoclonal Antibody on the Basis of Epitope Specificity. Clinical and Domestic Laboratory Immunology. Vol.8.No.7.p283-287 Workshop Binapoktan Udayana, 26 Nop.2015