peranan poliamin dalam regenerasi tanaman

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Asal dan Taksonomi Padi
Padi (Oryza sativa L.), seperti halnya gandum, jagung dan barley termasuk
dalam famili Graminae (Poaceae) atau rumput-rumputan. Genus Oryza terdiri
atas 23 spesies, 21 diantaranya adalah padi liar (wild relatives) yang memiliki
genom diploid atau tetraploid, sedangkan 2 lainnya merupakan padi budidaya.
Studi variasi karakter morfologi terhadap 16 spesies padi, telah dilaporkan oleh
Morishima dan Oka (1960) yang menyatakan bahwa spesies Oryza dapat dibagi
ke dalam tiga grup utama, yaitu (1) Oryza sativa dan kerabat dekatnya, (2) Oryza
officinalis dan kerabatnya serta (3) spesies kerabat jauh lainnya.
Kush
(2000)
melakukan
klasifikasi
ulang
terhadap
spesies
Oryza
berdasarkan jumlah kromosom, komposisi genom dan daerah penyebarannya
(Tabel 1). Spesies padi liar seperti O. nivara dan O. glaberrima dilaporkan
banyak mengandung gen-gen bermanfaat yang dapat ditransfer ke genom padi
budidaya (O. sativa). Introgresi gen-gen bermanfaat tersebut dapat dilakukan
melalui hibridisasi interspesifik (Brar et al. 1996). Menurut Kush (2000),
berdasarkan tingkat kemudahan transfer gen-gen dari spesies liar ke spesies
budidaya, spesies padi dapat diklasifikasikan ke dalam tiga gene pool. Gene pool
utama terdiri atas sejumlah spesies liar, yaitu O. rufipogon, O. nivara, O.
glumaepatula, O. meridionalis, O. breviligulata, O. longistaminata serta dua
spesies budidaya, yaitu O. sativa dan O. glaberrima. Kelompok ini memiliki
genom AA dan transfer gen antar spesies ini dapat dilakukan melalui persilangan
dan metode seleksi tertentu. Gene pool sekunder adalah spesies kelompok O.
officinalis komplek. Persilangan antara O. sativa dan spesies-spesies dalam
kelompok ini lebih sulit dilakukan dan harus menggunakan bantuan teknik
penyelamatan embrio (embryo rescue). Hal ini terjadi karena adanya
keterbatasan homologi antara genom AA (O. sativa) dengan genom BB, CC,
CCDD, EE dan FF (spesies padi liar), sehingga jumlah gen yang dapat ditransfer
terbatas. Gene pool tersier terdiri atas kelompok O. meyeriana, O. ridleyi dan O.
schlechteri. Persilangan antara O. sativa dengan kelompok ini sangat sulit
dilakukan dan transfer gen antar spesies ini jarang dilakukan.
8
Tabel 1 Klasifikasi Padi menurut Khush (2000)
9
Oryza sativa terdiri atas banyak subspesies dan telah terdistribusi ke seluruh
dunia. Dikenal dua grup varietas padi yaitu indica dan japonica, kedua grup ini
memiliki banyak perbedaan karakter dibandingkan antar varietas tipikalnya,
tetapi variasinya saling overlap. Kedua grup ini telah dikarakterisasi berdasarkan
resistensinya, panjang bulu di apikulus dan reaksinya terhadap phenol. Morinaga
(1954) dalam Kush (2000) mengusulkan adanya grup ketiga yang terdiri atas
varietas bulu dan gundil dari Indonesia. Grup ini disebut javanica, dan
Galszmann (1987) dalam Kush (2000) menyatakan bahwa javanica berada di
antara grup japonica berdasarkan analisis isozym. Saat ini javanica dikenal
sebagai tropical japonica, sedangkan typical japonica disebut sebagai temperate
japonica (Gambar 2).
Gambar 2 Lintasan evolusi dua species padi budidaya (Kush 2000)
Padi Hibrida
Padi hibrida di Indonesia dikembangkan dengan sistem 3 galur, yang
melibatkan tiga galur tetua meliputi galur mandul jantan sitoplasmik, galur
pelestari dan galur pemulih kesuburan. Padi hibrida merupakan generasi F1 hasil
persilangan antara galur mandul jantan sebagai tetua betina dengan galur
pemulih kesuburan sebagai tetua jantan, sehingga sifat-sifat varietas padi hibrida
ditentukan oleh sifat-sifat dari kedua tetuanya. Tetua-tetua yang superior dapat
meningkatkan penampilan agronomis dan bobot hasil hibrida turunan berbagai
kombinasi persilangan antara galur mandul jantan dan galur pemulih kesuburan
10
(You et al. 2006). Oleh karena itu, untuk mendapatkan varietas padi hibrida yang
baik dengan sifat-sifat yang diinginkan seperti daya hasil tinggi (ditunjukkan oleh
nilai heterosis yang tinggi), dan tahan terhadap hama dan penyakit utama, maka
penelitian padi hibrida diutamakan pada proses perbaikan galur-galur tetua padi
hibrida serta proses pembentukan kombinasi persilangan yang menghasilkan
produksi dan heterosis tinggi.
Padi hibrida dikembangkan dengan memanfaatkan adanya fenomena
heterosis yang menyebabkan produksi yang lebih tinggi dibanding galur murni.
Beberapa hipotesis telah diajukan untuk menjelaskan dasar genetis dari
heterosis. Hipotesis dominansi (Bruce 1910 diacu dalam You et al. 2006)
menjelaskan faktor dominan salah satu tetua menutupi gangguan mutasi resesif
tetua lain pada populasi F1 heterosigos.
Sebaliknya hipotesis overdominan
(Shull 1908 diacu dalam You et al. 2006) percaya bahwa heterosigositas pada
lokus tunggal lebih superior dibanding yang homosigos. Kedua hipotesis tersebut
telah diverifikasi melalui penelitian biologi molekuler (Stuber et al. 1992; Xiao et
al. 1995). Hipotesis ketiga menduga bahwa heterosis mungkin akibat terjadinya
epistasi antara alel-alel pada lokus yang berbeda (Yu et al. 1997; Goodnight
1999). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa epistasis merupakan
penyebab utama heterosis secara genetik (Li et al. 2001; Luo et al. 2001).
Penelitian dan pengembangan padi hibrida pertama dilakukan oleh peneliti
China pada tahun 1964. Galur mandul jantan pertama dikembangkan pada tahun
1972 yang ditemukan pada tanaman mandul jantan steril pada populasi padi liar.
Padi hibrida komersial pertama dikenalkan pada tahun 1976. Padi hibrida
tersebut memberikan kenaikan hasil sebesar 20% dibandingkan varietas unggul
yang ada. Penelitian padi hibrida di daerah tropis dimulai di IRRI, Philipina, pada
tahun 1978 dengan mengintroduksi beberapa padi hibrida komersial dari China
seperti Shan You 6, Wei You 6 dan Shen You 2. Namun tidak satupun yang
menunjukkan kelebihan hasil terhadap varietas pembanding, seperti IR36 dan
IR42. Hal ini disebabkan terutama karena varietas-varietas hibrida China tidak
mampu beradaptasi terhadap kondisi tropis dan rentan terhadap hama dan
penyakit yang ada di daerah tropis. Untuk mengatasi hal tersebut, IRRI
melakukan penelitian lebih intensif sehingga berhasil memperoleh galur-galur
restorer tropis, dan hibrida hasil persilangan GMJ asal China dengan restorerrestorer tersebut menunjukkan heterosis terhadap IR36 dan IR42. Namun
komersialisasi hibrida tersebut masih sulit dilakukan karena terkendala oleh
11
kerentanan GMJ China terhadap hama dan penyakit (Virmani & Kumar 2004).
Oleh karena itu IRRI menitikberatkan penelitian padi hibrida terutama pada
perakitan galur-galur tetua padi hibrida dan telah banyak menghasilkan
kombinasi hibrida unggul yang telah dilepas sebagai varietas di banyak negara,
termasuk Indonesia.
Suksesnya penelitian dan pengembangan padi hibrida di China dan IRRI,
mendorong Indonesia mulai mengintensifkan pemuliaan padi hibrida pada tahun
1998, dengan menguji bahan pemuliaan introduksi dan perakitan galur tetua
serta membentuk berbagai kombinasi hibrida sendiri (Badan Litbang 2007).
Indonesia, dalam hal ini Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) berhasil
melepas varietas hibrida pertama pada tahun 2002, yaitu Maro dan Rokan.
Kedua varietas tersebut merupakan hasil introduksi dari IRRI. Varietas pertama
yang menggunakan tetua jantan lokal Indonesia pertama dilepas pada tahun
2007, yaitu Hipa6 Jete. Sampai tahun 2010, di Indonesia telah dilepas 69
varietas hibrida dan 17 diantaranya dilepas oleh BB Padi, sedangkan varietas
lainnya dilepas oleh perusahaan swasta nasional maupun multinasional yang
ada di Indonesia seperti PT BISI, Kondo, Bangun Pusaka, KNB Mandiri, Makmur
Sejahtera, Bayer, DuPont, Primasid, Tri Usaha Sari Tani, Sang Hyang Seri,
Sumber Alam Sutra, Biogene Plantation, Metahelix dan Advanta Indonesia.
Semua varietas hibrida yang telah dilepas menunjukkan heterosis pada karakter
hasil terhadap IR64 dan Ciherang, tetapi sebagian besar varietas tersebut tidak
memiliki ketahanan terhadap hama dan penyakit padi di negara tropis.
Selain sistem tiga galur, terdapat dua sistem yang dapat digunakan dalam
pengembangan padi hibrida, yaitu sistem dua galur dan sistem satu galur.
Sistem satu galur adalah penggunaan sistem apomiktik (tanpa pembuahan),
namun sampai saat ini masih dalam skala penelitian.
Sistem dua galur
melibatkan penggunaan galur mandul jantan TGMS/Temperature-sensitive Genic
Male Sterility dan galur fertil. Keuntungan sistem ini adalah (1) tidak memerlukan
galur pelestari dalam produksi benih TGMS, (2) semua galur fertil dengan sifatsifat yang baik dapat digunakan sebagai tetua jantan dalam produksi benih
hibrida, dan (3) potensi heterosisnya lebih besar dibanding sistem tiga galur
(Virmani et al. 2003).
Sistem dua galur sebenarnya cocok untuk digunakan di daerah tropis, tetapi
anomali iklim yang sering terjadi di daerah tropika seperti Indonesia menjadi
kendala. TGMS akan menjadi normal (fertil) ketika temperatur kurang dari 300C
12
(Liu et al. 1998), dan di Indonesia sering sekali terjadi pergantian temperatur
yang sangat ekstrim, karena itu sistem tiga galur masih merupakan sistem yang
dapat diterapkan.
Sistem Mandul Jantan pada Padi
Mandul jantan sitoplasmik adalah kondisi dimana tanaman tidak mampu
memproduksi polen/tepung sari fungsional. Mandul jantan merupakan karakter
yang diwariskan secara maternal, dan biasanya terkait dengan adanya gangguan
pada open reading frame (ORF) di genom mitokondria (Hanson & Bentotila
2004).
Pada banyak kasus, termasuk padi, kesuburan mandul jantan dapat
dipulihkan oleh gen-gen nukleus yang mengkode fertility restoration (gen Rf)
yang terdapat pada galur pemulih kesuburan (Restorer/galur R). Sistem mandul
jantan sitoplasmik terjadi karena adanya interaksi antara genom nukleus dan
mitokondria.
Dalam hal ini, sterilitas akibat gen mitokondrial menyebabkan
disfungsi sitoplasmik, sedangkan gen-gen nukleus akan menekan disfungsi
sitoplasmik tersebut (Ekcard 2006).
Penggunaan galur mandul jantan merupakan prasyarat untuk eksploitasi
heterosis pada padi. Cytoplasmic-genetic male sterility (CgMS/CMS) telah
digunakan secara luas untuk mengembangkan padi hibrida. Pistil galur mandul
jantan tumbuh normal dan dapat memproduksi biji bila diserbuki oleh polen
normal. Jika faktor genetik yang menginduksi kemandulan tersebut tidak ada
dalam sitoplasma maka tanaman menjadi normal (male fertile).
Jika terdapat tanaman normal (male fertile) yang memiliki faktor
pengendali kemandulan pada sitoplasma dan gen inti yang memulihkan
kesuburan bersifat resesif, maka tanaman tersebut dapat mempertahankan sifat
mandul jantan. Tanaman atau galur tersebut disebut galur pelestari (maintainer
line) yaitu suatu galur yang mempunyai sitoplasma normal tetapi gen inti yang
berkaitan dengan pemulihan kesuburan resesif, galur ini berfungsi untuk
melestarikan keberadaan galur mandul jantan pasangannya.
Adanya gen
restorer dominan di nukleus pada suatu galur mengakibatkan galur tersebut
mampu memulihkan kesuburan pada hibrida hasil persilangan antara galur
tersebut dan galur CMS. Galur ini disebut sebagai galur pemulih kesuburan atau
restorer.
Pada sistem tiga galur, galur mandul jantan selalu diperbanyak dengan
cara menyilangkannya dengan galur pelestari, baik secara manual (hand
13
crossing) untuk produksi benih skala kecil, maupun melalui persilangan alami
pada plot terisolasi untuk produksi benih dalam skala besar.
Galur mandul
jantan dan galur pelestari selalu sama secara morfologi, hanya galur mandul
jantan steril sedangkan galur pelestari fertil. Namun kadang-kadang, kedua galur
tersebut juga menunjukkan beberapa sifat morfologi dan agronomis yang
berbeda karena dipengaruhi oleh faktor-faktor yang ada di dalam sitoplasma
yang menginduksi mandul jantan (Virmani et al. 1997).
Restorer yang
mempunyai gen pemulih kesuburan (Rf) dominan, ketika disilangkan dengan
GMJ akan menghasilkan F1 hibrida yang fertil. Perbanyakan benih galur pelestari
dan pemulih kesuburan dilakukan seperti perbanyakan padi biasa, karena kedua
galur ini fertil dan mempunyai bunga sempurna.
Gambar 3 Skema sistem galur mandul jantan pada padi
Galur mandul jantan diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria,
antara lain (1) berdasarkan perilaku genetik dari gen ms, GMJ dibedakan
menjadi dua tipe yaitu GMJ sporofitik dan gametofitik.
Pada GMJ sporofitik,
sterilitas atau fertilitas polen ditentukan oleh genotipe dari sporofit sedangkan
genotipe gametofit (polen) tidak berpengaruh sama sekali. Beberapa GMJ yang
tergolong tipe ini antara lain wild-abortive (WA) dan Gambiaca (Gam). Pada
kedua GMJ tersebut, gugurnya polen terjadi pada fase awal perkembangan
mikrospora. Fertilitas GMJ gametofitik secara langsung ditentukan oleh genotipe
gametofit (polen) saja tanpa dipengaruhi oleh genotipe sporofit. Pengguguran
polen biasanya terjadi di fase akhir perkembangan mikrospora. GMJ dengan
14
sitoplasma Boro-type termasuk dalam tipe ini; (2) berdasarkan pola pelestarianpemulih kesuburan dari GMJ, terdapat tiga tipe galur mandul jantan yaitu WA,
Honglian dan Boro type (BT); dan (3) berdasarkan morfologi polen, GMJ
digolongkan ke dalam tipe typical abortion, spherical abortion, dan
stained
abortion. GMJ tipe typical abortion mempunyai bentuk polen tidak beraturan
dan pengguguran polen biasanya terjadi pada fase uninukleat, sedangkan tipe
spherical abortion mempunyai polen berbentuk agak lonjong dan polen gugur
kira-kira saat fase binukleat. Terakhir, bentuk polen tipe stained abortion juga
agak lonjong tetapi agak lebih kecil dibanding polen normal dan polen gugur saat
fase trinukleat (Yuan et al. 2003).
Galur mandul jantan yang berkembang di Indonesia hampir seluruhnya
mempunyai sumber sitoplasma yang sama, yaitu Wild Abortive (WA). Apabila
galur
ini
digunakan
secara
terus-menerus,
ada
kekhawatiran
akan
mengakibatkan kerapuhan genetik padi hibrida terhadap hama dan penyakit padi
yang kemudian akan menyebabkan ledakan populasi hama dan penyakit, sama
seperti yang pernah terjadi pada jagung hibrida (kasus Texas CMS). IRRI telah
mengembangkan beberapa galur mandul jantan dengan sumber sitoplasma yang
berbeda antara lain Gambiaca, Dissi, ARC, Kalinga, Hong Lian, Indonesian
Paddy (IP) dan beberapa sumber sitoplasma dari padi liar seperti Oryza
rufipogon dan O. perennis. Namun di Indonesia sumber-sumber sitoplasma di
atas belum digunakan dalam pembentukan dan produksi padi hibrida, karena
belum teridentifikasi galur pemulih kesuburan yang cocok berkombinasi dengan
GMJ dengan sumber-sumber sitoplasma di atas.
Uji Daya Gabung
Keberhasilan setiap program pemuliaan tanaman tergantung pada
pemilihan genotipe tetua yang tepat untuk program persilangan, disesuaikan
dengan target pemuliaan. Studi daya gabung tetua-tetua yang digunakan dalam
program pemuliaan memberikan informasi yang dapat membantu pemulia
melakukan seleksi terhadap tetua yang lebih baik untuk digunakan dalam
program pemuliaan, sehingga program tersebut menjadi lebih efektif.
Daya gabung umum (DGU) dan daya gabung khusus (DGK) dapat menjadi
indikator penting dalam evaluasi nilai potensial masing-masing galur tetua dalam
kombinasi hibrida. Daya gabung merupakan ukuran kemampuan suatu galur
atau tetua yang bila disilangkan dengan galur lain akan menghasilkan hibrida
15
dengan
penampilan
superior.
Nilai
masing-masing
galur
terletak
pada
kemampuannya untuk menghasilkan keturunan unggul bila dikombinasikan
dengan galur-galur lain (Allard 1960).
Daya gabung umum (general combining ability) adalah nilai rata-rata galurgalur dalam seluruh kombinasi persilangan bila disilangkan dengan galur-galur
lain. Daya gabung umum (DGU) menggambarkan peranan dan interaksi yang
kuat antar efek genetik aditif pada populasi dasar, sedangkan efek daya gabung
khusus memberi ilustrasi mengenai variasi non-aditif (Falconer 1983). Nilai DGU
yang tinggi menunjukkan tetua atau galur yang bersangkutan mempunyai
kemampuan berkombinasi dengan baik, sedangkan nilai DGU yang rendah
menunjukkan bahwa tetua tersebut mempunyai kemampuan berkombinasi yang
lebih buruk dibanding tetua lain. Nilai DGU dapat positif atau negatif, tergantung
pada karakter yang diamati dan cara menilainya.
Nilai daya gabung dapat
memberikan informasi mengenai kombinasi-kombinasi yang dapat menghasilkan
turunan yang berpotensi hasil tinggi, yang ditunjukkan oleh diperolehnya
heterosis dan nilai daya gabung yang besar.
Daya gabung khusus (specific combining abillity atau DGK) adalah
penampilan kombinasi pasangan persilangan tertentu. Nilai daya gabung khusus
baik apabila nilai pasangan persilangan tertentu lebih tinggi dibanding nilai ratarata keseluruhan persilangan yang terlibat (Poehlman & Sleper 1990).
Persilangan-persilangan yang memiliki nilai daya gabung khusus tinggi sangat
berpotensi untuk dieksploitasi efek heterosisnya dan dapat dikembangkan
sebagai varietas hibrida. Evaluasi persilangan antar galur inbred merupakan
langkah penting dalam pengembangan padi hibrida. Secara ideal, proses ini
sebaiknya dilakukan melalui evaluasi terhadap semua kemungkinan persilangan
yang terjadi, sehingga dapat diketahui kombinasi yang sangat sesuai untuk
disilangkan agar dapat menghasilkan suatu varietas yang baik.
Analisis daya gabung yang banyak digunakan adalah lini x tester dan diallel
(Singh & Chaudary 1979). Analisis dialel umum dilakukan menggunakan
populasi persilangan galur-galur murni, dan telah banyak diterapkan pada
banyak tanaman. Analisis daya gabung umum dan khusus yang melibatkan galur
mandul jantan pada padi lebih umum dilakukan menggunakan metode lini x
tester (Swamy et al. 2003; Sao & Motiramani 2006; Tiwari et al. 2011).
Download