BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Diabetes Melitus a. Definisi DM Diabetes melitus merupakan sekelompok kelainan yang heterogen (terdiri atas berbagai unsur yg berbeda sifat atau berlainan) yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah (hiperglikemia). Glukosa secara normal bersirkulasi dalam jumlah tertentu dalam darah. Glukosa dibentuk dihati dari makanan yang dikonsumsi. Sedangkan insulin yaitu suatu hormon yang diproduksi di pankreas, bertugas untuk mengendalikan kadar glukosa darah dengan mengatur produksi dan penyimpanannya (Smeltzer & Bare, 2002). Menurut Baradero, Dayrit, dan Siswandi (2009) DM merupakan penyakit yang kronis dan multifaktoral yang dicirikan dengan hiperglikemia dan hiperlipidemia. Gejala yang timbul adalah kurangnya sekresi insulin atau ada insulin yang cukup, namun tidak efektif. DM merupakan penyakit yang memiliki karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada DM dikaitkan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi, dan kegagalan pada 15 16 beberapa organ yang berbeda, terutama pada mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah (ADA, 2014). b. Kriteria diagnosis DM PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) pada tahun (2006) menyebutkan kriteria diagnosis DM yaitu kadar gula darah puasa >126 mg/dl dan pada test sewaktu >200 mg/dl menunjukkan bahwa seseorang tersebut telah menderita DM. Kadar gula darah puasa <70-110 mg/dl adalah kadar gula darah yang bisa dikatakan normal, puasa disini pada saat pagi hari setelah malam sebelumnya tidak makan atau minum manis. Kadar glukosa darah puasa pada saat 2 jam setelah makan dan minum yang mengandung pemanis ataupun karbohidrat ataupun yang lainnya akan menunjukkan kadar glukosa darah biasanya <120-140 mg/dl. Pankreas dapat terangsang untuk menghasilkan insulin ketika terjadi peningkatan kadar glukosa setelah makan atau minum. Sehingga produksi insulin tersebut dapat mencegah terjadinya kenaikan kadar glukosa darah yang terkontrol dan akan menyebabkan kadar gula darah dapat menurun secara perlahan (Soegondo, 2009). c. Faktor Risiko Menurut Suiraoka (2012) faktor risiko penyakit DM, dibedakan menjadi dua, yang pertama adalah faktor risiko yang tidak dapat berubah misalnya jenis kelamin, umur, dan faktor genetik. Sedangkan 17 yang kedua adalah faktor risiko yang dapat diubah misalnya kebiasaan merokok, pola makan yang salah, obesitas, aktifitas fisik, dan stress. d. Klasifiksi DM Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2015 DM terbagi menjadi 3 bagian yaitu diabetes tipe 1, diabetes tipe 2, dan diabetes gestasional. Namun, menurut American Diabetes Association (ADA) pada tahun (2015), klasifikasi DM terbagi menjadi 4 bagian ditambah lagi dengan sindrom diabetes monogenik. 1) Diabetes tipe 1 DM tipe 1 merupakan bentuk dari DM yang parah dan biasanya terjadi pada remaja. Namun, kadang-kadang juga dapat terjadi pada orang dewasa, khususnya seseorang yang memiliki kadar glukosa darah yang tidak memiliki berat badan berlebih atau non-obesitas dan terjadinya hiperglikemi pada sesorang yang telah berusia lanjut. Keadaan itu merupakan suatu bentuk gangguan katabolisme yang disebabkan sedikitnya atau bahkan tidak adanya insulin dalam sirkulasi darah, glukagon plasma akan meningkat dan sel-sel β pankreas juga akan mengalami kegagalan untuk merespon semua stimulus dari insulinogenik. Untuk memperbaiki katabolisme, menurunkan hiperglukagonemia dan peningkatan kadar glukosa darah, maka diperlukan pemberian insulin dengan cara eksogen (Karam, 2002). 18 Menurut ADA (2015) tingkat kerusakan pada sel-β cukup bervariasi. Tingkat kerusakan yang cepat dapat terjadi pada beberapa individu, terutama pada bayi dan anak-anak dan beberapa juga terjadi pada orang dewasa. Anak-anak dan remaja seringkali dapat didiagnosis dengan ketoasidosis sebagai manifestasi pertama penyakit. Sedangkan yang lain memiliki hiperglikemia yang ringan, namun hiperglikemia tersebut dapat dengan cepat berubah menjadi hiperglikemia berat dan atau ketoasidosis dengan infeksi atau stres. Pada kasus orang dewasa, fungsi sel-β akan dipertahankan agar cukup untuk mencegah ketoasidosis dengan jangka waktu selama bertahun-tahun. Kemudian individu tersebut akhirnya menjadi tergantung pada insulin untuk bertahan hidup dan beresiko untuk ketoasidosis. Pada tahap terakhir penyakit ini, akan ada sedikit atau tidak ada sekresi insulin. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat rendah atau tidak terdeteksinya plasma C-peptida. Immune-mediated diabetes umumnya terjadi pada masa kanakkanak dan remaja, tetapi bisa terjadi pada usia berapa pun, bahkan dalam 8 dan 9 dekade kehidupan. Gejala dari penderita DM tipe 1 yaitu terjadinya peningkatan ekskresi urin (poliuria), rasa haus (polidipsia) lapar, berat badan menurun, pandangan terganggu, lelah, dan gejala tersebut dapat timbul secara tiba-tiba (WHO, 2008). 19 2) Diabetes tipe 2 DM tipe 2 merupakan bentuk DM yang lebih ringan dari tipe 1, DM ini sangat sering terjadi pada orang dewasa. Sirkulasi insulin endogen sering dalam keadaan kurang dari normal atau secara relatif tidak mencukupi. Obesitas merupakan penyebab utama dari gangguan kerja insulin, faktor risiko tersebut adalah yang biasa terjadi pada DM tipe ini dan sebagian besar pasien dengan DM tipe 2 bertubuh gemuk. Selain terjadinya penurunan stimulasi jaringan terhadap insulin, juga terjadi defisiensi respons sel ß pankreas terhadap glukosa (Karam, 2002). Diabetes melitus tipe 2 ini sebelumnya disebut dengan “noninsulin-dependent diabetes” atau “diabetes yang terjadi pada usia dewasa”, diabetes melitus tipe-2 memiliki jumlah persentase sebesar 90-95% dari semua jenis diabetes. Seseorang yang di diagnosis diabetes melitus tipe 2 memiliki resistensi insulin dan biasanya relatif (bukan absolut) kekurangan insulin. Orang dengan diabetes melitus tipe 2 mungkin tidak memerluknan pengobatan insulin untuk bertahan hidup. Meningkatnya perkembangan resiko penyakit DM dipengaruhi dengan berbagai faktor seperti usia, obesitas, dan kurangnya aktivitas fisik. Diabetes melitus tipe 2 ini lebih sering terjadi pada wanita sebelum didiagnosis dengan diabetes melitus gestasional. Kemudian pada mereka yang memiliki hipertensi atau dislipedemia, dan subkelompok tertentu 20 ras/etnis (Afrika Amerika, Indian Amerika, Hispanik/Latino, dan Asia Amerika) (ADA, 2015). Gejala mungkin mirip dengan diabetes tipe 1, tetapi sering kurang diketahui gejalanya. Akibatnya, penyakit dapat didiagnosis beberapa tahun setelah onset, setelah komplikasi muncul (WHO, 2015) 3) Diabetes Gestasional Diabetes Gestasional terjadi akibat dari kenaikan kadar gula darah pada waktu kehamilan (WHO, 2008). Wanita hamil yang belum pernah mengalami DM sebelumnya namun memiliki kadar gula yang tinggi ketika hamil dikatakan menderita DM gestasional. DM gestasional biasanya terdeteksi pertama kali pada usia kehamilan trimester II atau III (setelah usia kehamilan 3 atau 6 bulan) dan umumnya hilang dengan sendirinya setelah melahirkan. Diabetes gestasional terjadi pada 3‐5% wanita hamil (Karam, 2002). Selama bertahun-tahun, gestasional diabetes mellitus (GDM) didefinisikan sebagai derajat ataupun intoleransi glukosa yang pertama kali diakui selama kehamilan, terlepas dari apakah kondisi mungkin telah mendahului kehamilan atau bertahan setelah kehamilan. Definisi ini memfasilitasi strategi seragam untuk deteksi dan klasifikasi GDM, tetapi dibatasi oleh ketidaktepatan.Wanita dengan diabetes pada trimester pertama 21 akan diklasifikasikan memiliki diabetes tipe 2. GDM adalah diabetes yang didiagnosis pada trimester kedua atau ketiga kehamilan yang tidak jelas atau tidak dapat teridentifikasi secara langsung (ADA, 2015) Gestasional diabetes adalah hiperglikemia dengan nilai glukosa darah di atas normal tetapi di bawah orang yang di diagnostik diabetes, yang terjadi selama kehamilan. Wanita dengan diabetes gestasional berada pada peningkatan risiko komplikasi selama kehamilan dan saat melahirkan. Pada mereka juga akan mengalami peningkatan risiko diabetes tipe 2 di kemudian hari (WHO, 2015) 4) Sindrom Diabetes Monogenik Sindrom diabetes monogenik ini disebabkan oleh cacat monogenik yang menyebabkan disfungsi sel β, seperti diabetes neonatal dan Mody, mewakili sebagian kecil dari pasien dengan diabetes (<5%). Bentuk-bentuk diabetes sering ditandai dengan timbulnya hiperglikemia pada usia dini (umumnya sebelum usia 25 tahun) (ADA, 2015). e. Patofisiologi DM Menurut Smeltzer & Bare (2002) DM tipe 1 terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Hiperglikemia puasa terjadi akibat produksi glukosa yang tidak terukur oleh hati. Selain itu glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati 22 walaupun tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia pospradial (setelah makan). Pada DM tipe 2 terjadi dua defek fisiologi yaitu abnormalitas sekresi insulin, dan resistensi kerjanya pada jaringan sasaran. Pada DM tipe 2 terjadi 3 fase urutan klinis. Pertama, glukosa plasma tetap normal meski pun terjadi resistensi insulin karena insulin meningkat. Pada fase kedua, resistensi insulin cenderung memburuk sehingga meski pun terjadi peningkatan konsentrasi insulin, tetap terjadi intoleransi glukosa dalam bentuk hiperglikemia setelah makan. Pada fase ketiga, resistensi insulin tidak berubah, tetapi sekresi insulin menurun, sehingga menyebabkan hiperglikemia puasa dan DM yang nyata (Foster, 2000; ADA 2014). Hipotesis menjelaskan adanya keterlibatan sintesis lemak terstimulasi insulin dalam hati dengan transpor lemak melalui VLDL menyebabkan penyimpanan lemak sekunder dalam otot. Peningkatan oksidasi lemak akan mengganggu ambilan glukosa dan sintesis glikogen. Keterlambatan penurunan pelepasan insulin dapat disebabkan oleh efek toksik glukosa terhadap pulau Langerhans atau akibat defek genetik. Sebagian besar pasien DM tipe 2 mengalami obesitas, dan hal itu sendiri yang menyebabkan resistensi insulin. Namun penderita DM tipe 2 yang relatif tidak obesitas dapat mengalami hiperinsulinemia dan pengurangan kepekaan insulin. Hal 23 ini membuktikan bahwa obesitas bukan penyebab resistensi satu‐ satunya DM tipe 2 (Foster, 2000 ; ADA, 2014). f. Penatalaksanaan DM Penatalaksanaan Penatalaksanaan Diabetes Melitus dapat dilakukan dengan cara pengelolaan yang baik. Tujuan penatalaksanaan secara umum menurut PERKENI (2006) adalah meningkatkan kualitas hidup penderita Diabetes. Penatalaksanaan dikenal dengan empat pilar penatalaksanaan diabetes melitus, yang meliputi : edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan pengelolaan farmakologis. Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien, sedangkan pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus (PERKENI, 2006). 24 1) Edukasi Diabetes Melitus umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk dengan kokoh. Keberhasilan pengelolaan diabetes mandiri membutuhkan partisipasi aktif penderita, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan harus mendampingi penderita dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif pengembangan ketrampilan dan motivasi. Edukasi secara individual dan pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah merupakan inti perubahan perilaku yang berhasil. Perubahan perilaku hampir sama dengan proses edukasi yang memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi, dokumentasi dan evaluasi (PERKENI, 2006). 2) Terapi Gizi Medis Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein, lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut (PERKENI, 2006): a) Karbohidrat : 45 – 65% total asupan energi b) Protein : 10 – 20% total asupan energi c) Lemak : 20 – 25 % kebutuhan kalori Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut, dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal. Jumlah kalori yang diperlukan 25 dihitung dari berat badan ideal dikali kebutuhan kalori basal (30 Kkal/kg BB untuk laki-laki dan 25 Kkal/kg BB untuk wanita). Kemudian ditambah dengan kebutuhan kalori untuk aktifitas, koreksi status gizi, dan kalori yang diperlukan untuk menghadapi stres akut sesuai dengan kebutuhan. Pada dasarnya kebutuhan kalori pada diabetes tidak berbeda dengan non diabetes yaitu harus dapat memenuhi kebutuhan untuk aktifitas baik fisik maupun psikis dan untuk mempertahankan berat badan supaya mendekati ideal (PERKENI, 2006). 3) Latihan Jasmani Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti : jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa 26 ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan (PERKENI, 2006). 4) Pengelolaan Farmakologis Menurut PERKENI (2006) Sarana pengelolaan farmakologis diabetes melitus dapat berupa Obat Hipoglikemik Oral (OHO). OHO merupakan obat penurun kadar glukosa darah yang dibagi menjadi 4 golongan berdasarkan cara kerjanya, yaitu: a) Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid b) Penambah sensitifitas terhadap insulin: Metformin, tiazolidindion c) Penghambat glukoneogenesis (Metformin) d) Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa. g. Komplikasi DM Terjadinya komplikasi metabolik akut seperti ketoasidosis diabetik dan sindrom hiperglikemik hiperesmolar non-ketosis (HHNK) dapat terjadi apabila kondisi ini mengarah pada kelebihan glukosa darah atau hiperglikemia. Diabetes juga merupakan suatu penyakit yang dapat memberikan komplikasi berupa penyakit makrovaskular, termasuk infrak miokard, stroke, dan penyakit vaskular perifer. Apabila hiperglikemia terjadi dalam waktu yang cukup lama maka akan menimbulkan beberapa komplikasi mikrovaskuler kronis juga seperti 27 (penyakit ginjal dan mata) dan komplikasi pada neuropati (Smeltzer & Bare, 2002). Diabetes cenderung menurunkan kadar kolesterol "baik" dan meningkatkan kadar kolesterol "buruk", yang meningkatkan risiko penyakit jantung dan stroke. Kondisi umum ini disebut dislipidemia diabetik. Dislipidemia diabetik berarti profil lipid (kolesterol total) akan ke arah yang salah. Ini merupakan kombinasi mematikan yang menempatkan pasien pada risiko penyakit jantung koroner dini dan aterosklerosis. Dimana arteri menjadi tersumbat dengan akumulasi lemak dan zat lainnya. Studi menunjukkan hubungan antara resistensi insulin, yang merupakan prekursor diabetes tipe 2 dan dislipidemia diabetes, aterosklerosis dan penyakit pembuluh darah. Kondisi ini dapat berkembang bahkan sebelum diabetes didiagnosis (AHA, 2015). 2. Kolesterol a. Definisi Kolesterol Kolesterol adalah suatu zat lemak yang bentuknya seperti lilin. Zat ini sangat penting peranya untuk fungsi tubuh normal. Kolesterol digunakan untuk fungsi selular dan produksi hormon. Tubuh akan menghasilkan kolesterol yang cukup untuk mempertahankan kebutuhan tubuh normal. Hati adalah pabrik untuk memproduksi kolesterol yang paling utama (sekitar 70%). Diet tinggi lemak jenuh, meningkatkan secara signifikan jumlah kolesterol dalam aliran darah. Rekomendasi untuk asupan lemak setiap harinya tidak boleh melebihi 30% dari 28 kalori, dengan maksimal 10% dari lemak jenuh. Penelitian menunjukkan bahwa diet tinggi lemak jenuh dan total, sangat berperan penting dalam proses aterosklerosis (plak build-up dinding arteri). Kadar kolesterol tinggi merupakan indikator kuat orang-orang yang rentan terhadap penyakit jantung koroner. Peningkatan kadar kolesterol total adalah faktor resiko penyakit jantung koroner. Membangun plak di arteri dapat menyebabkan penyempitan (tekanan darah tinggi) atau penyumbatan lengkap (serangan jantung). Kadar kolesterol optimal ≤ 200 mg/dl, borderline tinggi 200-239 mg/dl, tinggi ≥ 240 mg/dl (The American Collage of Sports Medicine, 2008). Selain kolesterol ada jenis lain lemak (lipids atau fat) dalam darah kita yaitu trigliserida (triglycerides). Kolesterol dan trigliserida ditemukan dalam makanan hewani dan dibentuk oleh tubuh. Trigliserida digunakan didalam tubuh sebagai lemak yang ditimbun untuk memberikan rasa hangat, melindungi organ-organ tubuh, dan menjadi sumber energi (Tandra, 2007). Tabel 1.Kadar Lemak Darah pada Penderita Diabetes Kolesterol Risiko Total (mg/dl) LDL HDL Trigliserida (mg/dl) (mg/dl) (mg/dl) Optimal < 200 < 100 > 60 < 150 Batas Tinggi 200-239 100-129 40-59 150-199 Tinggi > 240 > 130 > 40 > 200 b. Lipoprotein Tandra (2007) mengatakan bahwa kolesterol dan trigliserida sukar larut dalam air. Pengangkutan lemak di dalam aliran darah haruslah 29 membutuhkan bantuan, yaitu dengan cara berikatan dengan protein sehingga disebut dengan lipoprotein, kombinasi antara lipid dan protein. Terdapat dua jenis lipoprotein yaitu: 1) Kolesterol LDL Kolesterol LDL (Low-Density Lipoprotein) adalah suatu lemak yang merugikan tubuh “jahat” dan jumlahnya paling banyak dari semua kolesterol di dalam tubuh. Kolesterol LDL yang berlebih akan menumpuk dan menempel pada dinding arteri dan akan membentuk plaque atau gumpalan yang akan mempersempit dan berakibat terjadinya penyumbatan pada arteri. Keadaan ini dinamakan dengan aterosklerosis. Komplikasi ini merupakan faktor risiko utama penyakit kariovaskular yang berbahaya yang akan muncul apabila penyumbatan terjadi di pembuluh darah koroner jantung, kemudian akan terjadi serangan jantung atau penyakit jantung koroner. Apabila penyumbatan tersebut terjadi pada pembuluh darah kecil di dalam otak maka akan berakibat stroke (Bull & Morrell, 2007; Tandra, 2007). 2) Kolesterol HDL HDL (High-Density Lipoprotein) adalah lemak yang menguntungkan tubuh sehingga disebut dengan lemak yang “baik” karena membantu mengeluarkan kelebihan kolesterol dari tubuh dengan cara membawa kolesterol total ke dalam hati untuk diolah dan mengalami meteabolisme di dalam hati. Untuk itu apabila 30 ditemukan kadar kolesterol HDL yang tinggi dalam darah, maka akan terhindar dari risiko serangan jantung atau stroke(Bull & Morrell, 2007; Tandra, 2007). c. Fungsi Kolesterol Kolesterol memiliki beberapa fungsi diantaranya adalah sebagai bagian penting dari membran (dinding) sel. Kolesterol juga ditimbun dalam kelenjar buntu (kelenjar endokrin), seperti adrenal, testis, dan ovarium, dan menjadi bahan pembentukan hormon-hormon, seperti kortisol, testosteron, dan esterogen. Selain itu, kolesterol penting untuk pembentukan asam empedu di dalam hati (Tandra, 2007). d. Faktor yang Mempengaruhi Kadar Kolesterol Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar kolesterol di dalam darah menurut Tandra (2007) adalah: 1) Keturunan Riwayat keturunan adalah salah satu faktor yang berpengaruh pada kadar kolesterol. Kolesterol yang tinggi seringkali menurun di dalam keluarga. Meskipun penyebab genetik tertentu telah diidentifikasi hanya pada sebagian kecil kasus, namun genetik tetap memiliki peran dalam mempengaruhi kadar kolesterol total. 2) Pola makan Pola makan yang kurang baik (terutama yang mengandung banyak lemak jenuh) dan Kelebihan berat badan. Menurut Sudha et al (2009) dan Hernawati (2013) hiperkolesterolemia dapat terjadi 31 karena gaya hidup (life style) yang tidak sehat seperti asupan makanan yang tidak seimbang atau tidak sehat. Kadar kolesterol yang tinggi dapat disebabkan oleh sintesis kolesterol dan penyerapan kolesterol yang tinggi dan juga karena konsumsi makanan tinggi lemak. Menurut Yulianiet al (2013), mengatakan bahwa pola makan tinggi kolesterol dan tinggi lemak jenuh dapat meningkatkan kadar kolesterol darah. Lemak diuraikan menjadi kolesterol, trigliserida, fosfolipid dan asam lemak bebas. Hasil uraian lemak diedarkan ke seluruh tubuh. Jika berlebihan akan disimpan dalam lemak. Asupan kolesterol yang tidak mencukupi akan di produksi oleh sel hati. Kolesterol di hati akan diangkat oleh LDL, selanjutnya kolesterol akan di bawa ke sel tubuh yang memerlukan, termasuk otot jantung dan otak. Lebih lanjut Yuliani et al (2013) menjelaskan bahwa kelebihan kolesterol akan diangkat kembali oleh lipoprotein atau oleh HDL. Kemudian diuraikan dan dibuang ke dalam kandung emepedu sebagai asam cairan empedu. Disini LDL dan HDL sangat bertolak belakang, HDL berfungsi sebagai pembawa kolesterol LDL ke organ hati untuk diproses lebih lanjut, sedangkan LDL merupakan kolesterol yang berbahaya karena dapat menempel dan menyebabkan penyumbatan pada saluran darah. Selain LDL, konsumsi tinggi karbohidrat cenderung meningkatkan kadar 32 trigliserida dan menurunkan kadar kolesterol HDL. Senyawa trigliserida yakni jenis lemak yang biasanya dijumpai di dalam darah yang mengandung glukosa lebih. Trigliserida akan dihidrolisis oleh enzim lipoprotein lipase. Selanjutnya, sisa hasil hidrolisis tersebut dimetabolisasikan oleh hepar atau hati menjadi LDL. Apabila kadar HDL dalam sirkulasi darah tidak mencukupi untuk mengangkut LDL dan Trigliserida maka kadar kolesterol total di dalam sirkulasi darah akan tinggi. 3) Berat Badan Kelebihan berat badan cenderung meningkatkan kadar kolesterol total. Jadi menurunkan berat badan dapat membantu menurunkan kadar kolesterol total. 4) Aktivitas Aktivitas fisik yang teratur tidak hanya dapat menurunkan kolesterol LDL, tetapi juga dapat meningkatkan kadar kolesterol HDL. 5) Usia tua dan jenis kelamin Sebelum menopause, wanita cenderung memiliki kadar kolesterol total yang lebih rendah dibandingkan pria pada usia yang sama. Kadar kolesterol pada wanita dan pria, secara alami meningkat seiring bertambahnya usia. Menopause sering dikaitkan dengan peningkatan kolesterol LDL pada wanita. 33 6) Kekurangan insulin atau hormon tiroid Kekurangan insulin atau hormon tiroid meningkatkan konsentrasi kolesterol total, sedangkan kelebihan hormon tiroid menurunkan konsentrasinya. Pengaruh ini kemungkinan disebabkan terutama oleh perubahan derajat aktivitas enzim-enzim khusus yang bertanggung jawab terhadap metabolisme zat lipid (Guyton et al, 2007; Mayes PA, 2003; Sadoso S, 2009). e. Diabetes Melitus dan Kolesterol Total Diabetes melitus dengan kadar kolesterol tinggi memiliki hubungan. Kolesterol yang tidak seimbang terjadikarena terganggunya hormon insulin pada pankreas yang merupakan regulator penting pada metabolisme karbohidrat, lipid, dan protein. Maka, setiap gangguan aksi insulin akan menimbulkan konsekuensi metebolik seperti tidak seimbangnya kadar gula darah maupun kadar kolesterol di dalam tubuh (Jalal et al, 2003). Menurut Kumar dan Singh (2010) bahwa pasien dengan diabetes melitus (DM) memiliki peningkatan risiko penyakit kardiovaskular (CVD) 2-4 kali lebih besar dari non-diabetes. Dislipidemia merupakan faktor utama yang mendasari peningkatan risiko CVD dan menjadi lebih aterogenik dalam kondisi DM. Kondisi DM ditemui pada resistensi insulin yang mendasari kelainan metabolisme lipoprotein, yang ditandai dengan peningkatan kadar trigliserida (TG), penurunan high density lipoprotein (HDL), meningkatkan partikel LDL yang 34 lebih kecil dan pekat dan kemudian diikuti dengan kenaikan kadar kolesterol total. Pada penderita diabetes biasanya memiliki kadar kolesterol yang tinggi dan/atau kadar trigliserida yang tinggi. Kadar kolesterol tinggi yang buruk dan tak terkendali akan berkumpul serta mengeras menjadi plak di dalam arteri yang menghalangi aliran darah. Orang yang sudah lama menderita diabetes atau penderita diabetes lanjut usia cenderung memiliki masalah sirkulasi yang lebih serius karena aliran darah yang melalui arteri-arteri kecil juga terganggu (D‟Adamo & Whitney, 2009). f. Target Kolesterol Total Penderita Diabetes Kadar kolesterol total pada penderita diabetes dikatakan optimal atau mendekati optimal apabila konsentrasi serumnya < 200 mg/dL (AACE,2012). Namun, pada orang secara umum American Heart Associaton(2015) memberikan target kolesterol total 180 mg/dL agar jantung tetap sehat dan jauh dari penyakit jantung. Menurut Canadian Diabetes Association (2006) target tersebut pada penderita diabetes masih memiliki risiko untukterkena komplikasi coronary artery disease (CAD) 10 tahun yang akan datang yaitu sebesar10%-19% yangberada pada level moderate, sehingga untuk menurunkan risiko tersebut penderita diabetes melitus sebaiknya memiliki target kadar kolesterol total < 4.0 mmol/L (155 mg/dL), dengan risiko untuk 35 terkena komplikasi CAD 10 tahun yang akan datang lebih kecil persentasenya yaitu < 10% berada pada level low. Orang dengan risiko tinggi penyakit jantung seperti penderita diabetes, kemungkinan untuk mencapai pengurangan terbesar dalam risiko kardiovaskular mutlak menggunakan statin sampai kadar kolesterol total < 4 mmol/L (The College of Family Physicians of Canada, 2007). Evidence mendukung penggunaan statin pada dosis yang lebih tinggi dapat digunakan untuk menurunkan kadar kolesterol total pada target 4 mmol/L. Namun, cara ini mungkin tidak efektif dari segi biaya tapi sangat direkomendasikan untuk penderita diabetes yang telah disertai dengan penyakit kardiovaskular, terutama pada sindrom koroner akut (Barnet, 2012). 3. Puasa Senin dan Kamis a. Definisi Puasa Senin dan Kamis Mustafa (2009) menyampaikan bahwa puasa senin dan kamis adalah puasa sunah yang merupakan amalan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Puasa senin dan kamis memiliki banyak keutamaan, salah satunya adalah ketika amal perbuatan para hamba diperiksa. Puasa senin dan kamis tidak berbeda dengan puasa Ramadhan, hanya saja harinya yang berbeda. Puasa senin dan kamis juga berarti menahan dari makan, minum, hubungan suami istri, dan semua hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar hingga terbenam matahari (Al-Jazairi, 2001). 36 b. Dalil Anjuran untuk Berpuasa Senin dan Kamis 1) Dalil Pertama Puasa hari Senin dan Kamis merupakan puasa sunnah yang sangat rutin dilakukan oleh Nabi besar Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, hal itu dibuktikan dengan perkataan isteri beliau yaitu „Aisyah Radhiyallahu 'Anhu yang mengatakan, Artinya: “Adalah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam memperbanyak puasa pada hari Senin & Kamis.” (HR. Al-Tirmidzi, Al-Nasi dan Ibnu Majah. Hadits ini dishahihkan Al-Albani) 2) Dalil Kedua Ketika beliau ditanya tentang puasa hari Senin, beliau menjawab, Artinya: “Itu adalah hari aku dilahirkan dan hari aku diutus atau (awal) diturunkan Al-Qur'an kepadaku.” (HR. Muslim). 3) Dalil Ketiga Ketika beliau ditanya tentang puasa hari Senin dan Kamis, beliau menjawab: Artinya: “Keduanya adalah hari dihadapkannya amal-amal kepada Rabbul „Alamin (Allah). Karenanya aku suka saat amalku dibawa kepada- 37 Nya aku dalam keadaan berpuasa.” (HR. Al-Nasai dan dishahihkan Syaikh Al-Albani). c. Manfaat Puasa untuk Kesehatan 1) Dapat menurunkan Kadar Kolesterol Hudy (2011) meneliti perbedaan profil lipid (kolesterol total) pada orang yang rutin puasa Senin-Kamis menunjukkan bahwa puasa tersebut dapat menurunkan kadar kolesterol total dalam darah. 2) Dapat Menurunkan LDL dan Trigliserida, serta meningkatkan HDL Yati (2011) meneliti perbedaan lipid (HDL & LDL) pada populasi orang yang rutin puasa Senin-Kamis menunjukkan bahwa Kadar kolesterol LDL (kolesterol jahat) menurun dan pada kadar kolesterol HDL (kolesterol baik) meningkat. Palupi (2011) meneliti perbedaan profil lipid (trigliserida) pada populasi orang yang rutin puasa Senin-Kamis menunjukkan bahwa kadar trigliserid menurun. 3) Memberikan kesempatan istirahat alat pencernaan Aktivitas puasa berarti mengistirahatkan saluran pencernaan. Dalam skala makro, puasa akan berdampak pada sel-sel tubuh, dimana reaksi-reaksi biokimiawi berlangsung. Sewaktu alat pencernaan beristirahat, energi yang dibutuhkan diambil dari cadangan karbohidrat dan timbunan lemak. Yang mana, dalam jiwa 38 yang seimbang, reaksi-reaksi biokimiawi berjalan lebih lancar, terarah, dan tidak membahayakan (Hilda, 2014). 4) Detoksifikasi tubuh Ketika orang berpuasa akan terjadi detoksifikasi (proses pengeluaran zat-zat beracun dari dalam tubuh) secara total (Dyayadi, 2007). d. Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Puasa Menurut Rakhmat dalam Mumbasitoh (2012) terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pelaksanaan puasa diantaranya: 1) Faktor internal a) Faktor Biologis Warisan biologis manusia menentukan perilakunya, dapat diawali sampai struktur DNA yang menyimpan seluruh memori warisan biologis yang diterima dari kedua orang tuanya. Begitu besarnya pengaruh warisan biologis ini sampai muncul aliran baru yang memandang segala kegiatan manusia termasuk agama, kebudayaan, moral, berasal dari struktur biologinya (Rahmat, 2000). b) Faktor Sosio Psikologis Komponen yang ada dalam sosio psikologis antara lain: komponen afektif yaitu aspek yang terdiri dari motif sosiogenis (motif skunder), sikap, dan emosi, komponen kognitif yaitu aspek intelektual yangberkaitan dengan apa yang diketahui 39 manusia, dan komponen konatif adalah yang berhubunngan dengan kebiasaan dan kemauan bertindak (Rahmat, 2000). c) Kepribadian Kepribadian sering disebut sebagai identitas (jati diri) seseorang yang sedikit banyaknya menampilkan ciri-ciri pembeda dari individu lain di luar dirinya. Dalam kondisi normal, memang secara individu manusia memiliki perbedaan dalam kepribadian. Perbedaan ini diperkirakan berpengaruh terhadap perkembangan aspek-aspek kejiwaaan termasuk jiwa keagamaan (Rahmat, 2000). d) Keimanan Keimanan atau kesadaran berpengaruh dalam pelaksanaan ibadah. Seseorang yang memiliki kesadaran beragama yang matang akan melaksanakan ibadahnya dengan konsisten, stabil, mantap, dn penuh tanggung jawab serta dilandasi pandangan yang luas (Muhaimin, 2012). 2) Faktor Eksternal a) Faktor Keluarga Menurut Darajat dalam Yasin(2007) keluarga merupakan faktor pertama yang mempengaruhi ketaatan seseorang dalam beribadah. Rumah merupakan tempat yang digunakan untuk mendapatkan bimbingan keagamaan dan berkewajiban mendidik, dan mengarahkannya secara bersungguh-sungguh 40 supaya seseorang taat dalam menjalankan ibadahnya baik shalat, membaca Al-Quran, berdo‟a, zakat, shodaqoh, dan puasa. Lingkungan keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama. Dinamakan pertama karena dalam keluargalah seorang anak pertama-tama menerima pendidikan dan bimbingan. Begitu juga dikatakan utama, karena sebagian besar kehidupan anak dilalui dalam keluarga (Hasbullah, 2005). b) Faktor Masyarakat Masyarakat merupakan lingkungan yang lebih besar daripada lingkungan keluarga, masyarakat dalam hal ini adalah teman pergaulan, media massa, tempat-tempat rekreasi dan orang sekitar yang bergaul dengannya. Apabila seseorang tinggal di masyarakat yang kehidupan agamanya masih kuat dan selalu melaksanakan kegiatan-kegiatan agama, maka seseorang tersebut akan melaksanakan kehidupannya dengan cara islami. Namun sebaliknya, jika masyarakat hidup dalam lingkungan yang acuh tak acuh dalam melaksanakan ajaran agama maka seseorang tersebut juga akan menjalankan agama secara acuh tak acuh (Rahmat, 2000). e. Penderita DM yang Aman untuk Berpuasa 41 Menurut Hatono (2006) Penderita DM yang aman untuk melakukan puasa yaitu: 1) Penderita diabetes yang kadar glukosa darahnya terkontrol dengan perencanaan makanan dan olah raga diperbolehkan untuk puasa. Tetapi, perlu dicermati jadwal, jumlah, dan komposisi asupan makanan. 2) Penderita diabetes pada lansia diperbolehkan untuk puasa. Tetapi, harus banyak minum karena pasien diabetes pada usia lanjut mempunyai kecenderungan dehidrasi bila berpuasa. 3) Pasien diabetes yang untuk mengontrol gula darah, selain diet dan berolahraga, juga memerlukan obat penurun gula darah dengan dosis tunggal dan kecil.Kelompok ini dapat dibagi atas dua bagian, yaitu penderita diabetes yang membutuhkan dosis tunggal dan kecil, dan penderita diabetes yang membutuhkan dosis yang lebih tinggi dan terbagi. Bagi mereka yang termasuk pada kelompok kedua ini, pasien dapat melakukan ibadah puasa dengan melakukan perubahan dalam perencanaan makanan, aktivitas fisik dan pengobatan. Dalam hal ini penderita diabetes perlu berkonsultasi dengan dokter. 4) Penderita diabetes yang membutuhkan suntikan insulin untuk mengontrol kadar gula darahnya.Penderita diabetes dalam kelompok ini tidak disarankan untuk melakukan puasa. Apalagi penderita diabetes dengan komplikasi yang berat seperti gagal 42 ginjal dan gagal jantung, sama seperti kelompok ketiga ini tidak disarankan untuk melakukan puasa, karena berpuasa dapat memperberat komplikasi yang sudah terjadi. B. KerangkaKonsep Gambar 1 kerangka konsep penelitian Puasa Senin Kamis Kadar Kolesterol Total Pasien DM Tipe 2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar kolesterol total: 1. Keturunan 2. Pola Makan 3. Berat Badan Keterangan Gambar T 4. Aktivitas Di teliti 5. Usia Tidak di teliti 6. Jenis Kelamin 7. Kekurangan insulin atau hormon tiroid C. Hipotesis Ada pengaruh puasa Senin dan Kamis terhadap kadar kolesterol total pada penderita diabetes tipe 2.