Jeda Kemanusiaall seharusnya dilihac sebagai keinginan kedua

advertisement
Hukum dall Pemballgunan
256
JEDA KEMANUSIAAN
IMPLEMENTASI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
Sulaimall
Jeda Kemanusiaall seharusnya dilihac sebagai
keinginan kedua belah pihak ull!lIk lIlenyeiesaikan konflik Aceh, yailu alllara Pemerimah
dall orang Aceh. U/Uuk lIIellyelesaikan kaslls
konflik Aceh {emu harus dicarikan jalall
keluarnya, karena kila hams realis{is ballivo
GAM itu ada. Sesuai denganjudul persetujuall
khusus (special agreement), lIIelllang pasal 3
ini semata-lIIara berillakslld memberikall
jamillan~jaminan perlakuan korban perrikaiall
bersenjara intern berdasarkall azas-azas perikemanusiaan. Di dalam masa jeda kemallllsiaan inilah kedua belah pihak melaksanakall
isi dari kesepakatan yang telah diseluj"i
bersama.
I.
Pelldahuluall
Menjelang dan setelah ditandatanganinya Joim Understanding all
Humanitarian Pause for Aceh amara Pemerimah R.I. dellgan Gerakall
Aceh Merdeka (GAM) timbul ban yak komentar atau pendapat dari para
pejabat dan tokoh politik yang pro dan kontra. sehingga membikin rakyat
bingung.
Ternyata masih banyak pejabat, politisi dan cendekiawan yang
belum mengetahui dan menguasai Hukurn Humaniter Internasional yang
menjadi landasan untuk dilakukannya persetujuan khusus alllara pemerintan
R.I dengan GAM dalam rangka penyelesaian kasus Aceh yang sudah
menimbulkan banyak korban jiwa, harta-benda dan lain sebagainya. Kasus
Aceh merupakan sengketa bersenjata non-internasional diatur di dalam
Hukum Humaniter Internasional.
Sebelum berlakunya Konvensi Jenewa 1949 pad a prinsipnya
Hukum Humaniter lnternasional tidak berlaku dalam sengketa bersenjata
non-internasional. 8erlakunya Hukum Humaniter Internasional dalam suatu
sengketa bersenjata pada dasarnya didasarkan pada status sengketa
bersenjata yang bersangkutan. Hukum Humaniter lnternasional hanya
Jul; - September 2000
Jeda KemQllllSiaan, Impiemelllasi Hukum Humaniler Imernasiollai
257
berlaku pada sengketa bersenjata non-internasional bila pemberontak telah
mend~patkan status belligerent. Status belligerent itu merupakan satusatu nya cara untuk memberlakukan Hukum Humaniter Illiernasional da lam
sengketa bersenjata non-internasional. I
Setelah berlakunya kOlwe nsi-konvensi Palang Mcrah 194\1
mengenai pertikaian bersenjata yang bersifat intern. memuat ketentuanketemuan yang dilihat dari sudut perikemanusiaan merupakan suatu
peruhahan yang besar' . dikarenakan di pasal 3 ayat ( I) mcngandung pokok pokok daripada perlakuan korban perang menurut azas perikemanusJaan
yang mencerminkan kerentuan-ketentuan Konvensi .lenew<\ tahun 1949
dalam keseluruhan (Konve nsi Kecil - Conve ntion in Miniature)'
•
Dengan diuraikahnya
pasa! 3 Konvensi .l enewa 1949. dimana
didudukkan Joilll oj' Ulldersralldillg o( Hlllllolllrarioll PiIIlSC Fir Ace/I. maka
jelaslah bahwa status hukum kedua belah pihak tidak hcruhah.
II. Jeda Kemanusiaan
I. KesepakaIan
Yang dimaksud dengan Jeda Kemanusiaan adalah Nota Kesepakatan Bersama tentang Jeda Kemanusiaa n untuk Aceh (Joil/{ Ulldersralldillg
all HlIlIlGllirariOl/ Pallse for A ceil) anta ra pemerintah R.I dengan Gerakan
Ace h Merdeka (GAM ). ditand atangani di Da vos suatu kOla dekat Jenewa.
Swiss pada tanggal 12 Mei 2000.
Nota kesepakatilll bersama ini yang menandatanganinya mewakili
pelllerintah R.I ada lah Hasan Wirayudha. Duta 13esa r R.I ulltuk PBB.
sedangkan mewakili GAM adalah Dr. Zain i Abdullah. Menteri Kesehatan
GAM .
Jika kita perhatikan berita-berita di mass media cetak. banyak
istilah yang dipakai untuk Jeda Kell1anusiaan ini. yaitu Nora Kesepahaman.
Nota Kesepakatan. Kepahalllan Bersama. Kesepakatan. Perjanjian Jenewa.
Kesepahalllan Jenewa . Memorandum of Understanding - MoU. Joint of
1 Prof. DR . F. SugclIg lstallto , SH. Scngkcta Bersclljala NOII- lrHcrnOisioll<t1 Dalam HukullI
imernas ional. Makalah Jisampaikan palla "Pcnatarall HukullI [-lulllaniter Tillgk<ll
Lanjur" Kcrja:;ama Unit Kajian Hukum Humaniter Jan HAM F:lkultas Hukum Ullsy iah
HUlllal~it e r
dcngan IllIernational Committee of tht, Ret! Cross. Reg ional Ddt'g atioll ill Jakarta.
Darussalam. Banda Aceh. 10-14 April 2000 . h . 7.
~ Pmf.DR. Mochwr KUSUSlllailtllliHJja. KOl\ vcnsi-kollvcllsi Paiang Me rall Tahull 1949. Bina
Cipl<L. B<lnuullg. 1986 . h. 22 .
.\ IhiJ . h. 23-24.
NOllIor 3 Tahull XXX
258
lJukum dan Pembangwlan
Understanding - JoU, tetapi istilah yang dipakai dan telah disepakati
bersama adalah "Jeda Kemanusiaan ,,4
2) Pro dan Kontra
Menteri Negara Urusan HAM Hasballah M. Saad mengatakan
MoU antara R.I dan GAM mendatang harus dilihat sebagai keinginan kuat
kedua belah pihak untuk mengakhiri kontlik di Aceh. Kita harus realistis
bahwa GAM itu ada. Untuk mengakhiri kontlik di Aceh. Tentll kita harus
duduk bersama. Harus ada kesepakatan untuk mengakhiri kekerasan di
Aceh.'
Selanjutnya Menteri Negara Urusan HAM menghar~pkan, Kesepahaman Bersama ini dapat mendukung penyelesaian damai antara R.I dan
GAM. dengan mengutamakan penyelesaian secara dialog serta menghentikan berbagai pelanggaran HAM dan pertikaian 6
Sementara Menlu Alwi Shihab mengatakan, apa yang akan kita
lakukan adalah melihat bagaimana kekerasan bisa dikurangi. Apa yang
kami lakukan dengan GAM di Jenewa adalah bentuk kerjasama untuk
saling memahami. Kedua belah pihak (RI - GAM) te lah scmju untuk
menciptakan "keadaan penuh damai yang berperikemanusiaan"'. Nota
kesepakatan ini mempunyai tilosofi sebaga i jiwa dan semangat kematangan
yang emosional dan kecerdasan intelektual bangs a Indonesia '
Wakil tetap RI untuk PBB di Swiss. Hasan Wirayudha menegaskan
Joint of Understanding (JoU) Jeda Kemanusiaan untuk Aceh antara pemerintah dengan GAM tidak akan melibatkan pasukan negara asing maupun
PBB. Karena permasalahan Aceh sepenuhnya akan diselesaikan di dalam
negcn. Ditandaskannya pula tidak akan ada pihak negara asing yang
terlibat dalam JoU ini. Jadi jangan dibayangkan ada upaya menghadirkan
pasukan asing ke Aceh.
Menurutnya memang ada kekhawatiran awal bahwa dengan
dilakukannya penandatanganan JoU di Swiss atas fasilitasi Henry Dunant
Centre akan menyeret permasalahan Aceh menjadi isu internasional di
PBB. Namun kata Hasan, hal itu tidak perlu dikJlawatirkan. Permasalahan
Aceh tidak pernah diagendakan di organisasi dunia itu '" Kita berharap
MoU itu akan memberi kontribusi yang besar bagi penyelesaian Aceh , kata
4
Surat Kabar, Analisa, 5 Mei 2000, h. I .
S
Surat Kahar , Repuhlika , 6 Mei 2000. h. I.
(, Surat Kahar , Republika , 13 Mei 2000 , h. I.
1
K
t}
Repuhlika , 6 Mei 2000 , op.cit
Surat Kabar. Anal isa, 27 Mei 2000. h.l.
Surat Kabilr, Analisa, 30 Mei 2000. h. I .
luli - September 2000
Jeda Kemanusiaan, Implementasi Hukum Humaniter Internasianal
259
Panglima TNI lenderal Widodo AS di Bina Graha ketika bertemu dengan
wartawan ditanya bagaimana sikap TN!. Selanjutnya ia menambahkan,
meminta semua pihak melihat positif setiap upaya pad a penyelesaian Aceh.
Apa yang dilakukan di lenewa merupakan salah satu bag ian dari upaya
untuk penyelesaian Aceh ke depan. ' \)
.furu bicara GAM, Ismail Syahputra, mcnyebutkan MoU
menekankan kepada kedua pihak RI dan GAM untuk saling me nahan diri
agar situasi keamanan di Aceh pulih. Yang penting bisa mengurangi
pembunuhan-pembunuhan, sehingga banyak jiwa yang selamat. Bagi GAM
kesepakatan ini sifatnya hanya humanis saja, tidak ada politik. Namun
MoU merupakan bag ian dari langkah GAM untuk mencapai cita-cita Aceh
Merdeka. Kita sudah membawa masalah ini ke tingkat internasional. Secara
de facto keberadaan GAM diakui oleh R. I. II
Sementara itu, Wakil Ketua OPR RI Muhaimin Iskandar
berpandangan lain, Muhaimin mempersoalkan kehadiran Menlu Alwi
Shihab dalam acara penandatanganan MoU . "Menlu harus menjelaskan
apakah keberadaannya atas nama Pemerintah R!. Kalau memang demikian ,
OPR pasti tidak akan setuju" , papar Sekjen OPP PKB itu kemarin.
Menurut Muhaimin MoU seharusnya bukan hanya dua pihak yang berada
di luar Pemerintah RI, melainkan keduanya berada di bawah Pemerintah
RI. Karena itu, tidak boleh kehadiran Menlu di sana sebagai perwakilan
dari Pemerintan R!. Ini pasti akan kita tolak, karena sangat berbahaya",
ujar Muhaimin meminta Komisi II OPR RI segera memanggil Menlu Alwi
Shihab untuk meminta penjelasan tentang MoU itu.
Reaksi atas penandatangan MoU itu juga datang dari Peneliti Balai
Wilayah dan Masalah Intenasional LIPI. Oalam pernyataan yang ditujukan
kepada Menlu RI, peneliti LIPI menilai langkah pemerintah itu tidak tepat.
Alasannya, Oeplu dan perwakilannya di luar negeri adalah wakil sah dari
negara berdaula!.
Oleh karena itu perundingan dengan GAM yang dilakukan oleh
Perwakilan RI akan menimbulkan preseden hukum sebagai berunding
dengan pihak asing. Hal tersebut berarti memberikan pengakuan (recognition) secara Iangsung atau tidak langsung atas keberadaan GAM sebagai
aktor internasional dan bukan merupakan bagian dari persoalan domestik",
tulis pernyataan itu tadi malam.
Para penilti LIPI - antara lain Riefqi Muna, Ikrar Nusa Bhakti,
Oewi Fortuna Anwar, dan Asvi Warman Adam dalam pernyataannya
10
II
Sural Kahar , Republ ika , 12 Mei 2000, h.
Ibid
Namar 3 Tahun XXX
260
Hukum dall PembangullGn
menyebutkan pula, dalam praktek diplomasi negoisas i Deplu dengan GAM
merupakan kelalaian dan keteledoran yang dapat berakibat fatal bagi masa
de pan penyelesaian Aceh, kecuali jika memang ada rencana untuk
memerdekakan Aceh.
Pada awal pernyataannya, para peneliti LIPI itu mendukung secepatnya penyelesaian secara damai Aceh melalui proses perundingan.
Negoisasi antara Pemerintah RI dan rakyat Aceh akan sangat menentukan
masa depan penyelesaian masalah Aceh. "Namun kami menolak jika aktoraktor dalam masyarakat Aceh, misalnya GAM, dianggap sebagai the sole
legitimate actor, apalagi dianggap sebagai external entity", tulis pernyataan
itU.
12
Menyinggung kesepakatan (MoU) RI - GAM tentang jeda
kemanusiaan yang baru ditanda tangani , Amin Rais , Ketua MPR RI
menyatakan ketidaksetujuannya karena pihak lel1lbaga internasional telah
mempolitisasi perjanjian tersebut. Katanya kita telah terjebak dalal1l
perangkap permainan internasional , sehingga GAM diakui lel1lbaga dunia.
Perjanjian itu pada batas jeda kemanusiaan pada dasarnya seruju untuk
mengurangi tindakan kekerasan dan pertumpahan darah di Aceh. Nal1lun
Amin menyesalkan keteledoran diplol1lasi yang dilakukan Presiden melalui
Menlu Alwi Shihab. MoU RI - GAM berbahaya karena lembaga internasional dengan sendirinya memberikan posisi dan sebuah entitas politik
yang mandiri dan bebas pada GAM. Nota kesepakatan itu dapat
ditingkatkan menjadi Nota Politik yang setiap pemecahan masalah dibawa
ke forum internasional dimana GAM dan RI duduk sama tinggi. maka hal
ini sebagai lonceng awal pisahnya Aceh dan Rl."
Pengamat dari Universitas Andalas, Padang, Prof. Dr. If. Muchlis
Muchtar MS , mengatakan rencana MoU anata pemerintah RI - GAM
agaknya merupakan kemenangan politik bagi GAM, karena selama ini
gerakan itu separatis yang harus dibasmi. Berarti secara langsung atau
tidak, pemerintah telah memberi pengakuan atas keberadaan GAM itu
sendiri. Muchlis berharap pemerintah tidak melakukan tawar menawar
dengan pihak GAM jangan sampai MoU dan dialog menjadi satu loncatan
bagi GAM untuk mewujudkan keinginatmya untuk memisahkan diri dari
negara kesatuan RI. 14
Pengamat politik LIPI, Ikrar Nusa Bhakti l1lenilai , perjanjian yang
ditandatangani Dubes RI di Jenewa , Swiss dengan Gerakan Aceh Merdeka
Ibid
13 Sural Kabar. Waspada, 16 Mei 2000. h. 1.
14 Repub ll ika, 6 Mei 2000, op .cil., h. I dan 13.
12
luli - Sepcember 2000
Jeda Kemanusiaan, lmplementasi HukulIl HUmallirer lnrernasional
261
(GAM) telail mencoreng muka Indones ia karena pemerintah telail salah
langkah. Perjanjian itu seharusnya hanya ditandatangani oleh wakil pemerintah yang menangani masalah dalam negeri, misalnya Mendagri atau
bahkan hanya diwakili Pemda setempat, te mpat terjadinya pemberontakan
dan buka n dilakukan Oubes atau Menlu , kata Ikrar yang ditemui wartawan
sesaat sebelum seminar tentang "Pelurusan Sejarah Irian Jaya", di Jakarta.
Rabu.
Oikatakan, dengan ditandatanganinya perjanjian te rsebut menyebabkan secara tidak langs ung meningkatkan posisi tawar GAM baik kepada
pemerintah RI maupun dengan pemerimah asing. Selain ilU juga sang at
menguntungkan GAM ka rena mendapat publikasi secara internasional dan
membuka peluang negara asi ng untuk membantu GAM. Ketika ditanya
apakah itu merupakan kekalahan diplomas i Indonesia, Ikrar menegaskan
hal itu bukan kekalahan tapi keteledoran diplomatik.
Kita harus menyelesaikan masalah-masalah tersebut, kalau tidak di
dalam negeri, di negara tetangga [api jangan di negara yang berdekatan
dengan markas PBB , dan yang melakukan perund ingan itu duta besar, serta
ya ng menggodok poin-poin perjanjiannya ada lah departemen luar negeri ,
katanya. Itu berarti orang-orang dari Oeplu yang terlibat dalam " Jeda
Kemanusiaan" sangat tidak memahami apa itu diplomasi atau intitusi
diplomatik dari sebuah pemerintahan , lanjut Ikrar Nusa Bhakti.
Pengama[ dari L1PI itu menyatakan penandatangan perjanjian juga
hendaknya dilakukan di dalam negeri atau di negara tetangga seperti kasus
Moro di Philipina dimana Indonesia menjadi penengah. Perjanjian itu
sendiri hendaknya dilakukan oleh pemerintah dengan kelompok pemberontak dan bukan dengan kekuatan luar yang diakui dunia internasional,
tegas Ikrar Nusa Bhakti.15
Terakhir , Presiden Abdurrahma n Wahid, menjawab pertanyaan
seorang jamaah sholat Jumat di masjid AI-Munawaroh Ciganjur, Jakarta
Selatan, mengatakan penanadatanganan kesepahaman itu bukan pengakua n
terhadap GAM, itu persetujuan masalah kemanusiaan , bukan pengakuan.
Menurut Presiden, tidak ada kompromi soal kedaulatan dalam kesepakatan
tersebut. Persetujuan itu bukan antara pemerintah RI dan GAM dalam
posisi sama dan sederajad. Bahwa pemerintah kepada orang-orang yang
menghendaki dialog dengan kita, kita terima. Tapi kita berada dalam posisi
satu-satunya yang memegang kekuasaan atas w ilayah RI. ",
I;
Su ral Kabar , Sinal' lndonc.s ia Baru . 25 Mt:i 2000. h. 12.
1(,
Sural Kabar. Repuhlikil, 17 M ei 2000. h. l.
Nomar 3 Tahun XXX
262
Hukulll dan Pembangunilll
Jika diperhatikan tentang Jeda Kemanus iaan itu, banyak pandangan
dari politisi, pakar dan sebagainya itu, yang saling bertentangan dengan
alasannya masing-masing.
III. Hukum Humaniter Internasional
1. Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
Ko nflik di Aceh yang berkepanjangan hingga saal ini belum
menunjukkan landa-landa ke arah penyelesaian yang positip , meskipun
berbagai upaya lelah dilakukan oleh semua pihak . Pada awalnya masalahnya antara lain disebabkan kekelalan dan kerakusan sislem senlralisme dari
Jakarta yang dengan nafsu KKN ntenguasai dan menyedol kekayaan alam
daerah. lanpa memberi imbalan yang wajar dan seimbang, seperti yang
diharuskan dalam sistem negara kesaluan, lapi dengan olOnomi dan
desentralisasi. Belasan lahun lamanya pemerinrahan Orde Baru, ucapanueapan yang berkuasa lidak coeok dengan lindakannya. Dengan paksaan
dan kekerasan kehidupan politik dan sosial ekonomi kita tereemar dengan
kemunafikan. Minoritas elit di Jakarta mandi dalam kemewahan, sedangkan mayorilas rakyal daerah hidup dalam kelerbatasan dan kekurangan,
padahal pOlensi dan eksploilasi kekayaan di sekilar melimpah hasilnya."
Ketidakpuasan, penderitaan dan kekecewaan ini ditambah dengan
suku bangsa, agama dan pengikul ideologi yang fanalik menyebabkan
beberapa kelompok masyarakat Aceh mendirikan Gerakan Aceh Merdeka
yang pada akhirnya muneul gerakan bersenjata yang menginginkan Aeeh
menjadi negara lerpisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pendekatan keamanan yang telah ditelapkan dalam penyelesaian
masalah Aeeh sejak konflik mulai bergolak menyebabkan terjadinya tindak
kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia tidak memperoleh hasil yang
maksimal. Bahkan, akhirnya muneul tuntutan rakyal Aeeh meminta
peradilan terhadap para pelaku pelanggaran HAM semasa DOM dan Pasea
DOM, otonomi daerah yang seluas-Iuasnya, referendum, rehabilitasi
terhadap korban DOM, realisasi janji-janji pemerintah masa BJ Habibie
dan Gus Dur membuat konflik menjadi meluas dan korban bertambah besar
di kedua belah pihak.
17
Surat Kabar, Waspada, 16 Juni 2000, h. 1.
llili - Seprember 2000
Jeda Kemanusiaan, Implementasi Hllkum Hllmaniter lnternasional
2.
263
Konvensi Jenewa 1949
Apabila kita membaca mass media cetak, elektronika dan bukubuku yang menulis tenang konflik di Aceh timbul pertanyaan, apakah
berita-berita iru benar demikian? Sekiranya di Aceh benar telah terjadi
konflik bersenjata maka perlu kita mendapat ketegasan , apakah Hukum
Humaniter Internasional berlaku dalam kontlik bersenjata yang terjadi di
Aceh? Untuk iru perlu kita menguraikan serba sedikit tentang apa yang
dimaksud dengan kontlik bersenjata , rumusannya dapat dijumpai pad a
Konvensi Jenewa dan Prorokol Tambahan.
Indonesia menjadi peserta dari pada Konvensi Jenewa tahun 1949
mengenai Perlindungan Korban Perang ini dengan jalan pernyataan turut
serta tertanggal 10 September 1958. berdasarkan Undang-undang No. 59
tahun 1958 tentang ikut serta Negara Republik Indonesia dalam seluruh
Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949. Undang-undang ini kemudian
dimasukkan dalam Lembaran Negara No. 109 tahun 1958 Memori
Penjelasan dan Tambahan Lembaran Negara No. 1644 ."
Sedangkan mengenai Protokol Tambahan I, Prorokol Tambahan II
tahun 1977 sampai sekarang Indonesia belum meratifikasinya. Menurut
Prof. Haryomataram "A draft ratification law is already formulated and
well be soon send to the Parliament for approval. If the Parliament has
approved the draft must be signed by the President." Selanjutnya
Haryomataram mengatakan kita akan meratifikasinya dengan declaration
bukan reservation.
Melihat konvensi-konvensi 1949 dan Protokol Tambahan 1977
dapat dibedakan bentuk-bentuk kontlik bersenjata sebagai berikut :
Konflik bersenjata yang bersifat internasional dan konflik bersenjata yang
bersifat non-internasional :
a. Yang tunduk pada artikel 3 Konvensi Genewa
b . Yang tunduk pada Protokol Tambahan Il 1977
Ketegangan yang tidak tergolong konflik bersenjata, disebut internal
disturbance atau tensions, atau juga disebut imernal strife.'o
18
19
Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, op.cit. , h. 7.
Prof. Haryomataram. Additional Protokol l and II of 1977 [() Genewa Convention of
1949 , Statement at the Regional Seminar on lhe International Humanitearian Law of the
Southeast Asian Countries he ld by the Department of Foreign Affairs of the Repuolic Of
Indonesia in Cooperation with the International Comminee of lhe Red Cross, Regional
Delegation in Jakarta, at Regent Hotel, Jakarta, 12-13 June 2000, h. 5.
20 Pr0f. GPH. Haryomataram. Types of con flict and Threshold of Aplicability of
International Hum.mitarian Law, makaI.ah disampaikan pada "Penataran Huku11l Humaniter
Nomor 3 Tahun XXX
Huklllll dan Pelllbangunall
264
Konjlik Bersenjata yang bersifat Internasional
Apabila kita melllbaca rulllusan-rulllusan yang rerdapat pada pasal
I ayat (3) dan pasal I ayat (4) Protokol I maka dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud kontlik yang bersifat imerns ional dapat dapat d ikel ompokkan dalam 2 hal:
I.
2.
Kontlik bersenjata antar negara
Kontlik bersenjata antara Peoples Illelawan colonial domination , alien
occupation dan mdsr regimes (car conflicts) yang lazim disebut IvaI' of'
Ilatiollalliberarion,'l
Selanjutnya, Pietro Verri mel11berikan ani kontlik oersenjata yang
bersifat internasional ke dalal11 pengerlian kontlik antara negara dan kontlik
yang dikelompokkan dalam IVaI' of'lIatiollal liberatioll senagaimana yang
diseollt di atas. Pad a segi lain Pierro verri llIenyeourkan suaru kontlik
oersenjata yang disebut sebagai illlemasiol!a!i_~ed illlemol am/ed cOllflier.
yairu kontlik bersenjata internal yang diinternas ionalkan. "
Pierro Verri l11engkelompokkan dalam kontlik yang demikian bila :
I.
2.
3.
Negara di mana terjadi pemberomakan mengaklli pihak pemberontak
sebaga i belli gerents atau pihak-pihak yang berperang.
Saru atau lebih negara asing membantu salah saru angkar.an bersenjata
pihak yang berlikai.
Dua negara asing melakukan intervensi dengan angkatan bersenjata dan
membantu masing-masi ng pihak yang bertikai 23
Seorang sarjana lainnya yaitll Draper mengemukakan pendapatnya
mengenai yang dimaksud sebagai kontlik bersenj:ua internasional sebagai
berikut :
Any situation in which a different between two states leads to the
intervention of armed foerces within the extended meaning conference
upon the later tern by an of the prisoner of war conventions. "
Tingkal Lanjut", KCljas<lma Unit Kajian Hukulll Humaniler (I,1ll HA M Fakullas I-Iukum
Ullsyiah tfengan Illlernarional Commiuee of lhe Red Cross. Regional Deleg.ation Jakarta.
Darussalam, Banda Aceh, 10 - 14 April 2000. h. 3
21
Artina Pennanasari et. AI; Pengantar Hukum i-Iumaniter. International Committee of the
Red Cross, Jakarta 1999. h. 138
22 [hiu
2; Pietro Verri, Dictionary of International Law of Armed ContlicL Intern<Hional COlllmittee
of the Reo Cross, Gcnewa, 1992, h. 35 dalam Adina Penllilllasari ct. AI: Ihid. h. 138
24 Haryomataram , Bunga Rampai Hukum Hum<lniter. BUllli Unsantara Jaya. Jakarta 1988.
h. 19 dalam Arlina Permanasari el al; Ihid . 11. 139
Juli - Seprember 2000
Jeda Kemanusiaan, Implemenlasi Hukum Humaniter Internasional
265
Dengan demikian menurm Dra per, yang di1l1aksud kontlik
bersenjata yang bersifat internasional adalah kontlik dimana berhadapan
dua angkatan bersenjata dari negara yang berbeda.25
KOllflik Bersenjata Yang Bersifar Non Internasiollal
Konflik bersenjara ini diatur di dalam dua macam perjanjian yaitu
dalam Onvensi Jenewa 1949 dan dalam Protokol II 1977.
Perbedaan pokok anatara nOfl- illlernalionai armed cOllflicr dan
illlernalional armed conflict dapat dilihat dari status hukllm para pihak yang
berse ngketa. Dala1l1 internalional armed cOllfliet. kedlla pihak 1l1e1l1iliki
status huku1l1 ya ng sama, karena keduanya adalah negara, scdangkan dalam
non-imernational armed conflict. status kedua pihak tidak sal11a: pihak yang
satu berstatus negara, sedangkakn pihak lainnya adalah satuan bukan
nega ra (non-stale entity).
Dalam batas-batas ini , 1l1aka non-illfernalional armed contact dapat
dilihat sebagai suatu situasi dimana terjadi pertempuran antara angkatan
bersenjata dengan kelompok bersenjata yang terorganisir (Organizal armed
grollp) di dalam wilayah suatu negara .'"
Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 menggunakan istilah 'se ngketa
bersenjata yang tidak bersifat internasional ' (armed conllicr nor or II
international character) untuk setiap jenis kontlik yang hukan l11erupakan
kontlik bersenjata internasional."
Menurut pengamatan kami, berdasarkan sumber berita mass media
cetak dan elektronik yang diperoleh, bahwa konflik bersenjara yang terjadi
di Aceh sekarang ini dapat digolongkan dalam bentuk ataupun tipe konflik
bersenjata yang disebut "kontlik bersenjata non-internasional". Sekarang
kita ingin mencari ketegasan perangkat mana dari Hukum Humaniter
lnternasional yang dapat diberlaku kan pada kontlik bersenjata noninternasional di Aceh ini. Kita coba menguraikan sebagai berikut:
A. Protokol Tambahan I 1977
Berdasarkan bunyi pasal J ayat (3) dan (4) dari ProlOkol Tambahan
I tahun 1977 , maka protokol berlaku:
I.
25
Dalam semua perang yang diurnumkan:
Arlina Permansari et .11 : Ibid
" Ibili. h. t 39 - 140
27 Ihid. h. 140
Nomor 3 Tahufl XXX
266
J-/ukuftl dan Pembangunan
2.
Dalam setiap pertikaian lailmya yang timbul antara dua negara atau
lebih.
3. Dalam semua peristiwa pendudukan sebagian atau seluruh wilayah
suatu pihak dalam pertikaian.
4. Dalam suatu "war of nation liberation".
Adapun apa yang dimaksud dengan "war of national liberation" ini
dirumuskan dalam pasal I, ayat (4) sebagai berikut: "armed conflicts in
which peoples are fighting against colonial domination and alien occupation
and against racist regimes in the exercise of their right of selfdetermination ... "
Dapat disimpulkan bahwa Protokol Tambahan I itu hanya berlaku
dalam situasi/keadaan seperti tersebut di atas. OR
B. Protokol Tambahan II 1977
Perlu diketahui bahwa protokol Tambahan II mengatur "Noninternational armed conflict". Apakah Protokol II berlaku bagi semua Noninternational conflict? lawabannya dapat ditemukan dalam pasal 1 ayat (I)
dari Protokol tersebut, yang menentukan beberapa syarat sebagai berikut :
I. Adanya konflik bersenjata antara angkatan perang negara tersebut
dengan pasukan pemberontak.
2. Pasukan pemberontak dapat melakukan operasi militer secara teratur
dan terus menerus.
3. Pasukan pemberontak telah menduduki sebagaian wilayah negara.
4. Pasukan pemberontak mampu melaksanakan protokol ini.29
Melihat persyaratan pad a kedua protokol tambahan di atas sangat
be rat sehingga tidak mungkin terpenuhi oleh pihak yang berseberangan
dengan pemerintah juga pemerintah Indonesia belum meratifikasi protokol
dimaksud.
C. Pasal 3 Konvensi lenewa 1949
The Genewa Conventions of August 12 , 1949 pasal 3 berbunyi :
In the case of armed conflict not of an international character occurring in
the territority of one the High Contracting Parties, each Party to conflict
shall to apply; as a minimum. The following provisions:
28
GPH Haryomataram, SH. Brigjen TNI (Pu rn). Kewenangan Dewan Keamanan PBB
Terutama yang Berhubungan dengan Pembentukan dan Pengoperasian Pasukan PBB (Kasus
: "Humanitarian Intervention" I.li Somal ia). Sebelas Maret University Press, Surakarlil.
1994. h. 72.
29
Ibid. h. 74
iuli - September 2000
Jeda Kemanusiaan, Impiemencasi Hukum Humaniler lnlernasionai
267
(I) Person taking no active part in the hostilities, including members of
armed forces who laid down their anns and those placed hors de
combat by sickness, wound, detention, or any other cause, shall in all
circumstances be trated humanely, witout any adverse distinction
founded omn race, colour, religion or faith, sex, birth or wealth, or
any other similar criteria,
To this end, follong act are and shall remain prohibited at any time
and in any place whatsoever with respect to the above-mentioned persons:
(a) violence to life and person, in particular munder of all kinds,
mutilation, cruel treatment and torture;
(b) taking of hostages;
(c) outrages upon personal dignity, in particular humanilialing and
degrading treatment:
(el) the passing of sentences and carrying out of executions without
previous judgment pronounced by a regularly constituted court,
affording all judicial guarantees which are recognized as indispensable
by civilized peoples,
(2) The wounded and sick shall be collected and cared for.
An impartial humanitarian body, such as the International Committee
of the Red Cross, may offer its services to the Parties to the confl ict.
The Parties to the conflict should further endeavour to bring into force,
by means of special agreements, all or part of the other provisions of
the present Convention.
The application of the preceding provision shall not affect the legal
status of the Parties to the conflict.
Menurut pandangan kami, yang berlaku di Aceh adalah pasal 3
Konvensi Jenewa tahun 1949. Pasal tersebut mengatur apa yang disebut
pertikaian bersenjata yang tidak bersifat internasional yang terjadi di
wilayah salah satu negara penandatangan konvensi, berbunyi: In the case
armed conflict not of an international character occurring in the territority
of one of the High contracting Parties , ...
Pasal di atas tidak mencantumkan persyaratan bagi berlakunya
pasal tersebut sehingga apabila terjadi pertikaian bersenjata dalam wilayah
suatu negara maka pasal 3 itu akan berlaku. 30
Kemudian, pasal 3 ayat (1) memerintahkan kepada semua yang
bersengketa untuk memperlakukan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
30
Ibid , h. 74 - 75
Nomor 3 Tahun XXX
268
Hukum dall Pembangunall
Orang-orang yang tidak mengambil bagian aktif dalam perrikaian itu.
termasuk anggota-anggota Angkatan Perang yang telah meletakkan se njatasenjata mereka serta mereka yang tidak lagi turut serra (hors de combat)
karena sakit, luka-Iuka , penahanan atau sebab lain apapun dalam keadaaan
bagaimanapun harus diperlakukan dengan perikemanusiaan. tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan atas ras. warna kul ic agama
at au kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan. atau setiap kriteria
lainnya serupa itU]1
Masih pasal 3 ayat (I) untuk maksud ini, maka tindakan-tindakan
berikut dilarang dan letap akan dilarang UI1luk dilakukan terhadap orangorang tersebut di atas pada waktu dan di tempat apapun juga:
a.
Tindakan kekerasan atas jiwa dan raga. terutall1a setiap macam pell1bunuhan, pengudungan, perlakuan kejall1 dan penganiayaan:
b. Penyanderaan;
c. Perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina
dan merendahkan ll1arrabat;
d. Menghukum dan ll1enjalankan hukull1an mati tanpa diuahului keputusan
yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibenruk secara teratur,
yang memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai
keharusan oleh bangsa-bangsa yang beradab."
Ketentuan ini mengandung pokok-pokok daripada perlakuan korban
perang menurut azas perikemanusiaan yang mencerll1inkan ketenruanketemuan Konvensi Jenewa tahun ! 949 dalam keseluruhan D
Pasal 3 mengharuskan pihak-pihak penandatangan memperlakukan
korban pertikaian senjata intern menu rut prinsip-prinsip yang dianut dalam
ayat (1).34
Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 ini memberikan jaminan perlakuan
menu rut azas-azas perikemanllsiaan terlepas dari status pemberomak
menurut hukum, atau sifat daripada perrikaian senjata itu sendiri. l5
Mahkamah Inrernasional menganggap ketenruan pasa l 3 tersebut
sebagai azas umum hukum humaniler. 36 Tak dapat disangkal bahwa pasal 3
:>1
Prof. Dr. Muchtar Kusumaatmadja, op. cil., h. 22-23
32
Ibid.
" Ihid.
34 Ihid.
)5
Ihid.
:\(, Marion Harroff-Tra vel. Action Taken hy the International COllll11itlee of the Red ern""
dalam Situation of Interna l Vio lence, IeRc, No. 294, May - June 1993. h. 195 - 120
dalam Arlina Permanasari et al. Op. cit; h. 115
}uli - September 2000
Jeda Kemanusiaan, lmp/ementasi Hukum Humaniter lnternasiona/
269
te rsebut mmberikan perlindungan kepada rakyar, termasuk dalal1l
ketegangan internal, selain jaminan yang diberikan oleh azas-azas yang tak
dapat dihapuskan yang diabadikan dalam instrumen HAM. Hak-hak ini
merupakan hak-hak yang l1lelekat pada martabat manusia, yang tak boleh
disimpangi dalam keadaan apapun. 37 Pasal ini melarang penjatuhan dan
pelaksanaan hukuman tanpa proses hukum. Jadi, ketentuan-ketentuan yang
berkaitan dengan standar minimum hak asasi manusia harus diterapkan."
Menurut Konvensi 1929 pemberontak baru dapat diperlakukan
rnenurut hukum internasional yaitu dianggap sebagai pihak yang berwenang
atau yang terlibat konflik bersenjata (belligerent) jika statusnya sebagai
pihak yang terlibat konflik bersenjata itu diakui oleh pel1lerinrah yang
diberontaki (pemerintah de jure) atau negara ketiga. Pengakuan oleh
pemerinrah yang diberonraki akan sangat memperkuat kedudukan pemberontak. Keadaan ini dapat disalahgunakan oleh pemberontak. J9 Unruk
menghindari kemungkinan terjadinya hal ini , maka dalam penutup pasal ini
dinyatakan bahwa "pelaksanaan ketemuan ini tidak akan mempengaruhi
kedudukan hukum pihak-pihak dalam persengketaan tersebut". '0
Pasal 3 ayat 2 alinea terakhir berbunyi: "The application of the
preceding provisions shall not affect the legal status of the parties to the
contlict" .
Untuk menghindarkan salah faham perlu dijelaskan 2 hal:
(I) Dengan adanya pasal 3 tidak dengan send irinya seluruh konvensi
berlaku dalam pertikaian senjata inrern, melainkan hanya aas-azas
pokok yang terse but dalam pasal 3.
(2) Pasal 3 tidak mengurangi hak pemerinrah de jure untuk bertindak
terhadap orang-orang yang melakukan pemberonrakan bersenjata ,
menurut undang-undang atau ketenruan hukum nasionalnya sendiri,
pasal 3 ini semata-mata bermaksud memberikan jaminan-jaminan
perlakuan korban pertikaian bersenjata intern, berdasarkan azas-azas
perikemanusiaan.4I
J7 Jamchid Momtar, The Minimum Humanitarian Rules Applicahle in Periods of Internal
Tension, dalam International Rev iew of the Red Cross, Special Edit ion, September J998,
dalam Arlina Permanasari et ai, Ibid.
" Ibid.
39 GPH. Haryomataram. Sekelumit Tenrang Hukum Humaniter. Sebelas Maret University
Press, Solo 1999, h. 51. dalam Arl ina Permanasa ri , Ibid. h. 116
40
Ibid
41 Prof. Dr. Mochtar KU5umaallnadja, op. cit.
Nomor 3 Tahun XXX
270
HukuIJI dan Pembangunall
Pasa l 3 ayat (2) menyatakan:
The wounded and sick shall be collected and cared for. An impartial
humanitarian body, such as the International Committee to the Red
Cross, may offer its services to the Parties to the conflict.
The parties to the conflict should further endeavour to bring into force,
by means of special agreements, all or part of the other provisions of
the present Convention.
The application of the preceding provisions shall not affect the legal
status of the Parties to the conflict.
Sebuah badan humaniter tak berpihak. kalau dalam ayat ini
dimisalkan International Committee of the Red Cross yang dapat menawarkan jasa-jasanya kepada pihak-pihak dalam perrikaian , tetapi di dalam
kontlik Aceh yang menjadi mediator (fasilisator)-nya adalah Henry Outlaw
Centre yang berusaha untuk menjalankan Joint UnderslClllding 011
HUl11allilClrian Pause for Aceh antara pemerintah RI dengan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM).
Henry Dunant Centre adalah sebuah Yayasan kemanusiaan yang
bertujuan melanjutkan perjuangan Henry Dunant - Bapak Palang Merah
sedunia - dan Pemegang Hadiah Nobel sedunia, yang berpusat di Bavois.
SWiSS'2
Joint Understanding on Humanitarian for Aceh yang dikenal
dengan "Jeda Kemanusiaan" ini dari berita-berita di surat kabar disarikan
sebagai berikut :
Memberikan waktu kepada kedua pihak untuk berdialog
Menghentikan pelanggaran HAM dan tindakan-tindakan yang tidak
berperikemanusiaan
Menghentikan pertikaian
Mengurangi kekerasan
Menimbulkan rasa kepercayaan dan saling memahami
Menciptakan keadaan penuh damai yang berperikemanusiaan
Saling menahan diri
Mengurangi pembunuhan
Mcrehabilitasi korban-korban baik manusia (rakyat), harta-benda,
bangunan, sarana, dsb,41
42
Republika. 13 Mei , op. cit. h.1
Lihat Sural Kabar Republika, 5 Juli 2000, h. 14 Kepala berita berbunyi: "Pemerintah
sediakan Rp. 940 miliar untuk Jeda Kemanusiaan Act:h"
43
llili - September 2000
Jeda Kemanusiaan, Implementasi Hukum Humaniler Intemasional
271
Persetujuan k1lUSUS (special agreement) yang dibuat antara RI dan
GAM, menunjukkan denganjelas bahwa dalam peristiwa terjadinya kontlik
bersenjata di Aceh ini tidak dengan sendirinya seluruh konvensi berlaku,
melainkan karena ketentuan yang tersebut pad a ayat (I) pasal 3.
Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, agar supaya ketentuanketentuan pasal 3 ini benar-benar mencapai tujuan perikemanusiaan, yakni
melindungi korban pertikaian dalam negeri sebagai manusia, dan untuk
mencegah penyalahgunaan ketentuan pasal 3 ini untuk maksud-makslld
politik, kalimat terakllir dengan tegas menyatakan bahwa diadakannya
perjanjian-perjanjian demikian antara pemerintah de jure dan kaum
pemberontak ridak akan mempengeruhi kedudukan hukum pihak-pilwk
dalam sengkera.
Ketentuan ini amat penting artinya. Ketentllan ini menegaskan
bahwa maksud pasal 3 adalah semata-mata didorong cita-cita perikemanusiaan dan tidak dimaksudkan untuk mencampllri urllsan dalalll
negeri suatu negara. Tanpa ketentuan ini maka pasal 3 tak akan dapat
diterima. 44
GPH Haryomataram mengatakan, ayat ini memberikan jaminan
kepada pemerintah yang sah bahwa memberlakukan pelllberontak sesuai
dengan bunyi artikel ini tidak akan merubah status pemberontak menjadi
belligerent. 45
IV. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian di atas,
sebagai berikut :
maka dapat dikemukakan
I.
Bahwa ternyata para pejabat dan kaum politisi belum Illengetahui
Hukum Humaniter Internasional dan pendapat atau pandangan mereka
ada pro dan kontra dalam menhadapi Jeda Kemanusiaan di Aceh.
2.
Bahwa Hllkum Humaniter Intcrnasional k1lUsusnya pasal 3 Konvensi
Jenewa 1949 adalah dasar dari diadakannya perjanjian khusus (special
agreement) yang disebut dengan Joint Understanding on Humanitarian
Pause for Aceh antara pemerintah RI dengan GAM yang dikenal
44 Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, op. cit, h. 24
4S Pr,)f. GPH Haryomataram, Uraian Singkat TCl1lang
"Armed Contlicl"
(Konllik
Bersenjata) , makaJah disampaikan rada "Penataran Hukum Humaniter Tingkat Lanjut"·,
Keljasama Unit Kajian I-Iukum Humanircr dall HAM Fakulras Hukum Unsyiah dengan
International Committee of the Red Cross Regiuonal Delegation in Jakarta, Darussalam
Banda Acdl . to - 14 April , 2000, h. 14
Nomor 3 Tahun XXX
21'2
HIl/..:WII dan PellliJaFlgwulII
dengan istilah Jeda Kemanusiaan. adalah illlplememasi dari Hukum
Humaniter Imernasional di Indonesia khususnya llmuk kasus Aceh .
3.
Bahwa sesuai dengan pasal 3 ayat (2) alinea terkhir Konvensi Jenewa
1949 walaupun telah dilakukan perjanj ian khllSUS (special agreemem).
Pelaksanan ketemuan ini tidak akan mempengaruhi keduclukan hukulll
pihak-pihak dalam persengkeraan tersebuL
4.
Bahwa isi peljanjian khusus tersebU! adalah sesuai dengan kandungan
pasal 3 ayat (I) umuk lllelllperiakukan korban perang menurut azas
rerikemanusiaan dan hak asasi manusia. (idak ada huhungannya dengan
lllasalah pengakuan .
DAFT AR PUST AKA
Arlina Permanasari eL AI: Pengomor Hllkum Hll11lanirer, International Committee
of Ihe Red Cross. Jakana. 1999.
F. Sugeng !stanro, Prof. DR.SH. Scngkcta Bcrscnjala Nnn-llHcrnasional Dalam
HukU1l1 Humaniter Inrernasional. Makalah dis<l1l1pa;kan pad;:'( .. PCn<llaran
Hukulll Humaniter Tingkat Lanjut". Kcrjasama Unit K'-l.iian HlIkllm
Huma niler dan HAM Fakultas Hukulll Unsyiah dcngan imcrnational
COlllllliuee of the Red Cross, Regional Delegation III jakarta. Darussaiam.
Banda Aceh. 10-14 April 2000.
GPH Haryomataralll. Prof.. Uraian Singkat TCllIang "Armed Conflict" (Kontlik
Bersenjata) , makalah disampaikan pacta :, Penataran Hukum I-Iumanitcr
Tingkat Lanjut", Kerjasama Unit Kajian Hukulll I-!umanitcwr dan HAM
Fakultas I-Iukum Unsyiah dengan International Committee or the Red
Cross Regional Delegation in Jakana. Darussalam. Banda Aceh . 10- 14
Apr il 2000.
GPH Haryomataram, Prof., Additional Protokol I and II of 1977 10 the Genewa
Convention of 1949. slarcment at the Regional Seminar on Ihe
International Humanitearian Law of the Southeast Asian Countries held by
the Depanmcnt of Foreign Affairs 01" {Ile Republic of Indonesia in
Cooperation with the International Committee of the Red Cross. Regional
Delegation in Jakarta. at Regent Hotel. Jakarta. Indoncsia, 12-13 Junc
2000
GPH Haryo11lataram. SH. Brigjen TNI (Pum), Kewcnangan Dewan Keamanan
PBS Terutama ya ng
Serhubungan dengan Pembentukan dan
Pengoperasian Pasukan PBS (Kasus: "Humanitarian intervention tli
Somalia), Sebelas Maret UniversilY Press. Surakana. 1994 .
Juli - SeprellliJer
2{)(){)
Jeda Kemanusiaan, Implementasi Hukum Humaniler Internasional
273
GPH Haryomalaram, Prof., Types of contlicl and Treshold of Aplicabilit)C of
International Humanitarian Law, makalah disampaikan pad a "Penataran
Hukum Humaniter TingkJt LanjUl", Kerjasama Unit Kajian Hukum
Humaniler dan HAM Fakultas Hukum Unsyiah dcngan International
Committee of the Red Cross, Regional Delegation Jakarta, Darussalam.
Banda Aceh, lO-14 April 2000.
Mochtar Kusumaacrnadja, ProLDr., Konvensi-konvensi Palang Merah Tahun
1949, Bina Cipta, Bandung, 1986.
Sural Kabar :
Republika, 6 Mei 2000
Republika, 12 Mei 2000
Republika, 13 Mei 2000
Republika, 17 Mei 2000
Republika, 5 luli 2000
Sinar Indonesia Bam, 25 Mei 2000
Waspada, 16 Mei 2000
Analisa, 5 Mei 2000
Analisa, 27 Mei 2000
Analisa, 30 Mei 2000
Nomor 3 Tahun XXX
Download