8 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kepemimpinan Kepemimpinan

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1
Kepemimpinan
Kepemimpinan berasal dari kata pimpin yang memuat dua hal pokok yaitu
pemimpin sebagai subjek dan yang dipimpin sebagai objek. Kata pimpin
mengandung pengertian mengarahkan, membina atau mengatur, menuntun dan
juga menunjukkan ataupun mempengaruhi. Pemimpin mempunyai tanggung
jawab baik secara fisik maupun spiritual terhadap keberhasilan aktivitas kerja dari
yang dipimpin, sehingga menjadi pemimpin itu tidak mudah dan tidak akan setiap
orang mempunyai kesamaan di dalam menjalankan kepemimpinannya.
Dalam masyarakat banyak berkembang mitos-mitos mengenai pemimpin.
Mitos pemimpin adalah pandangan-pandangan atau keyakinan-keyakinan
masyarakat yang dilekatkan kepada gambaran seorang pemimpin. Mitos ini
disadari atau tidak mempengaruhi pengembangan pemimpin dalam organisasi.
Ada 3 (tiga) mitos yang berkembang di masyarakat, yaitu mitos the Birthright, the
For All - Seasons , dan the Intensity. Mitos the Birthright berpandangan bahwa
pemimpin itu dilahirkan bukan dihasilkan (dididik). Mitos ini berbahaya bagi
perkembangan regenerasi pemimpin karena yang dipandang pantas menjadi
pemimpin adalah orang yang memang dari sananya dilahirkan sebagai pemimpin,
sehingga yang bukan dilahirkan sebagai pemimpin tidak memiliki kesempatan
menjadi pemimpin.
8
Mitos the For All - Seasons berpandangan bahwa sekali orang itu menjadi
pemimpin selamanya dia akan menjadi pemimpin yang berhasil. Pada
kenyataannya keberhasilan seorang pemimpin pada satu situasi dan kondisi
tertentu belum tentu sama dengan situasi dan kondisi lainnya. Mitos the Intensity
berpandangan bahwa seorang pemimpin harus bisa bersikap tegas dan galak
karena pekerja itu pada dasarnya baru akan bekerja jika didorong dengan cara
yang keras.
Pada kenyataannya kekerasan mempengaruhi peningkatan produktivitas
kerja hanya pada awal-awalnya saja, produktivitas seterusnya tidak bisa dijamin.
Kekerasan pada kenyataannya justru dapat menumbuhkan keterpaksaan yang akan
dapat menurunkan produktivitas kerja.
Kegiatan
manusia
secara
bersama-sama
selalu
membutuhkan
kepemimpinan. Untuk berbagai usaha dan kegiatannya diperlukan upaya yang
terencana dan sistematis dalam melatih dan mempersiapkan pemimpin baru. Oleh
karena itu, banyak studi dan penelitian dilakukan orang untuk mempelajari
masalah pemimpin dan kepemimpinan yang menghasilkan berbagai teori tentang
kepemimpinan. Kepemimpinan adalah cara seorang pemimpin mempengaruhi
perilaku bawahan, agar mau bekerja sama dan bekerja secara produktif untuk
mencapai tujuan (S.P Hasibuan, 2002: 170).
Efektivitas
kepemimpinan
seseorang
ditentukan
oleh
kemampuan
“membaca” situasi yang dihadapi dan menyesuaikan gaya kepemimpinannya agar
cocok dengan dan mampu memenuhi tuntutan situasi tersebut. Penyesuaian gaya
9
kepemimpinan dimaksud adalah kemampuan menentukan ciri kepemimpinan dan
perilaku tertentu karena tuntutan situasi tertentu.
Kepemimpinan merupakan masalah manusia yang bersifat unik.
Masalahnya tidak sekadar menyentuh kehidupan manusia sebagai individu, tetapi
juga sebagai mahluk sosial. Oleh karena itu, setiap proses kepemimpinan dalam
keunikannya masing-masing, tidak dapat melepaskan diri dari kondisi yang
bersifat dan bernilai manusiawi. Pemimpin adalah mausia dan orang yang
dipimpin pun manusia juga. Dalam keadaan seperti itu bilamana proses
kepemimpinan dilaksanakan secara tidak manusiawi, maka berbagai masalah akan
terjadi, yang akhirnya akan berakibat prosesnya berlangsung tidak efektif.
Pemimpin harus mampu memelopori perbuatan yang baik, agar diikuti oleh
bawahannya, bukan hanya memerintah dan menganjurkan, sedangkan pemimpin
tetap tinggal dibelakang meja (Veithzal Rivai dan Deddy Mulyadi,2009:27-28).
2.2
Gaya Kepemimpinan
Gaya artinya sikap, gerakan, tingkah laku, sikap yang elok, gerak-gerik
yang bagus, kekuatan, kesanggupan untuk berbuat baik.
Sedangkan gaya kepemimpinan adalah sekumpulan ciri yang digunakan
pimpinan untuk memengaruhi bawahan agar sasaran organisasi tercapai atau dapat
pula dikatakan bahwa gaya kepemimpinan adalah pola prilaku dan strategi yang
disukai dan sering diterapkan oleh seorang pemimpin (Veithzal Rivai dan Deddy
Mulyadi,2009:27-28).
Gaya kepemimpinan adalah pola menyeluruh dari tindakan seorang
10
pemimpin, baik yang tampak maupun yang tidak tampak oleh bawahannya. Gaya
kepemimpinan menggambarkan kombinasi yang konsisten dari falsafah,
keterampilan, sifat, dan sikap yang mendasari perilaku seseorang. Artinya gaya
kepemimpinan adalah perilaku dan strategi, sebagai hasil kombinasi dari falsafah,
keterampilan, sifat, sikap, yang sering diterapkan seorang pemimpin ketika ia
mencoba mempengaruhi kinerja bawahannya. Sehingga gaya kepemimpinan yang
paling tepat adalah suatu gaya yang dapat memaksimumkan produktivitas,
kepuasan kerja, pertumbuhan, dan mudah menyesuaikan dengan segala situasi.
Untuk menentukan gaya yang paling efektif dalam menghadapi keadaan tertentu
maka perlu mempertibangkan kekuatan yang ada dala tiga unsur yaitu diri
pemimpin, bawahan, dan situasi secara menyeluruh.
Gaya kepemimpinan merupakan dasar dalam mengklasifikasikan tipe
kepemimpinan. Gaya kepemimpinan memiliki tiga pola dasar, yaitu yang
mementingkan pelaksanaan tugas, yang mementingkan hubungan kerja sama, dan
yang mementingkan hasil yang dapat dicapai.
Menurut S.P. Hasibuan (Manajemen SDM,2002:170), gaya kepemimpinan
dibedakan menjadi tiga, yaitu:
2.2.1 Kepemimpinan Otoriter
Adalah jika kekuasaan atau wewenang, sebagian besar mutlak tetap berada
pada pimpinan atau kalau pimpinan itu menganut sistem sentralisasi wewenang.
Pengambilan keputusan dan kebijakasanaan hanya ditetapkan sendiri oleh
pemimpin, bawahan tidak diikutsertakan untuk memberikan saran, ide, dan
pertimbangan dalam proses pengambilan keputusan.
11
Falsafah pemimpin ialah “ bawahan adalah untuk pimpinan.atasan”.
Bawahan hanya bertugas sebagai pelaksana keputusan yang telah ditetapkan
pimpinan. Pemimpin menganggap dirinya orang yang paling berkuasa, paling
pintar, dan paling cakap. Pengarahan bawahan dilakukan dengan memberikan
intruksi/perintah, ancaman hukuman, serta pengawasan dilakukan secara ketat.
Orientasi
kepemimpinannya
difokuskan
hanya
untuk peningkatan
produktivitas kerja karyawan dan kurang memperhatikan perasaan dan
kesejahteraan bawahan. Pimpinan menganut sistem manajemen tertutup (closed
management) kurang menginformasikan keadaan perusahaan pada bawahannya.
Pengakderan kurang mendapat perhatiannya.
2.2.2 Kepemimpinan Partisipatif
Adalah apabila dalam kepemimpinannya dilakukan dengan cara persuasif,
menciptakan kerjasama yang serasi, menumbuhkan loyalitas, dan partisipasi dari
bawahan. Pemimpin memotivasi bawahan agar merasa ikut memiliki perusahaan.
Falsafah pemimpin ialah “pimpinan (dia) adalah untuk bawahan”.
Bawahan harus berpartisipasi memberikan saran, ide, dan pertimbanganpertimbangan dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan tetap dilakukan
pimpinan dengan mempertimbangkan saran atau ide yang diberikan bawahannya.
Pemimpin menganut sistem manajemen terbuka (open management) dan
desentralisasi wewenang.
Pemimpin dengan gaya partisipasif akan mendorong kemampuan bawahan
mengambil keputusan. Dengan demikian, pimpinan akan selalu membina
bawahan untuk menerima tanggung jawab yang lebih besar.
12
2.2.3 Kepemimpinan Delegatif
Kepemimpinan Delegatif apabila seorang pemimpin mendelegasikan
wewenang kepada bawahan dengan agak lengkap. Dengan demikian, bawahan
dapat mengambil keputusan dan kebijaksanaan dengan bebas atau leluasadalam
melaksanakan pekerjaannya. Pemimpin tidak perduli cara bawahan mengambil
keputusan dan mengerjakan pekerjaanya, sepenuhnya diserahkan kepada bawahan.
Di sini pimpinan menyerahkan tanggung jawab atas pelaksanaan pekerjaan
kepada bawahan dalam arti pimpinan menginginkan agar para bawahan bisa
mengendalikan diri mereka sendiri dalam menyelesaikan pekerjaan tersebut.
Pimpinan tidak akan membuat peraturan-peraturan tentang pelaksanaan
pekerjaan-pekerjaan itu dan hanya sedikit melakukan kontak dengan bawahannya.
Dalam hal ini bawahan dituntut memiliki kematangan dalam pekerjaan
(kemampuan) dan kematangan psikologis (kemauan). Kematangan pekerjaan
dikaitkan dengan kemapuan untuk melakukan sesuatu yang berdasarkan
pengetahuan dan keterampilan. Kematangan psikologis dikaitkan dengan
kemauan atau motivasi untuk melakukan sesuatu yang erat kaitannya dengan rasa
yakin dan keterikatan.
2.3
Kompensasi
Menurut Handoko, kompensasi adalah segala sesuatu yang diterima para
karyawan sebagai balas jasa untuk kerja mereka (Handoko, 2003, p.114-118). Jadi
melalui kompensasi tersebut karyawan dapat meningkatkan prestasi kerja,
motivasi dan kepuasan kerja serta meningkatkan kebutuhan hidupnya.
13
Masalah kompensasi bukan hanya penting karena merupakan dorongan
utama seseorang menjadi karyawan, tapi juga besar pengaruh terhadap semangat
dan kegairahan kerja para karyawan. Dengan demikian maka setiap badan usaha
harus dapat menetapkan kompensasi yang paling tepat, sehingga dapat menopang
mencapai tujuan badan usaha secara lebih efektif dan lebih efisien. Seberapa besar
kompensasi diberikan harus sedemikian rupa sehingga mampu mengikat para
karyawan. Hal ini adalah sangat penting sebab bila komponen yang diberikan
kepada para karyawan terlalu kecil bila dibandingkan badan usaha lain, maka hal
ini dapat menyebabkan karyawan pindah ke badan usaha yang lain. Dalam
perkembangannya sistem kompensasi sendiri mempunyai tiga komponen pokok,
yaitu :
a. Upah dasar (based pay), merupakan komponen upah dasar bagi kebanyakan
karyawan, dan pada umumnya berdasarkan hitungan waktu, seperti jam, hari,
minggu, bulan atau per tahun.
b. Upah berdasar kinerja (performance related pay), berkaitan dengan monetary
reward dengan basis ukuran atau merupakan upah yang didasarkan pada ukuran
kinerja individu, kelompok atau organisasi.
c. Upah tidak langsung dikenal sebagai employee benefit “keuntungan bagi
karyawan” terdiri dari barang-barang jasa non cash item atau services yang secara
langsung memuaskan sejumlah kebutuhan spesifik karyawan, seperti jaminan
keamanan pendapatan (income security) termasuk asuransi jiwa, perlindungan
kesehatan termasuk medical & dental plan dan pensiun.
14
Menurut Mondy, bentuk dari kompensasi yang diberikan perusahaan
kepada karyawan dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu:
2.3.1 Financial compensation (kompensasi finansial)
Kompensasi finansial artinya kompensasi yang diwujudkan dengan
sejumlah uang kartal kepada karyawan yang bersangkutan. Kompensasi finansial
implementasinya dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:
1) Direct Financial compensation (kompensasi finansial langsung)
Kompensasi finansial langsung adalah pembayaran berbentuk uang yang
karyawan terima secara langsung dalam bentuk gaji/upah, tunjangan ekonomi,
bonus dan komisi. Gaji adalah balas jasa yang dibayar secara periodik kepada
karyawan tetap serta mempunyai jaminan yang pasti, sedangkan upah adalah balas
jasa yang dibayarkan kepada pekerja dengan berpedoman pada perjanjian yang
disepakati pembayarannya.
2) Indirect Financial compensation (kompensasi finansial tak langsung)
Kompensasi finansial tidak langsung adalah termasuk semua penghargaan
keuangan yang tidak termasuk kompensasi langsung. Wujud dari kompensasi tak
langsung meliputi program asuransi tenaga kerja (jamsostek), pertolongan sosial,
pembayaran biaya sakit (berobat), cuti dan lain-lain.
2.3.2 Non-financial compensation (kompensasi non finansial)
Kompensasi non-finansial adalah balas jasa yang diberikan perusahaan
kepada karyawan bukan berbentuk uang, tapi berwujud fasilitas. Kompensasi jenis
ini dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:
15
1) Non financial the job (kompensasi berkaitan dengan pekerjaan)
Kompensasi non finansial mengenai pekerjaan ini dapat berupa pekerjaan
yang menarik, kesempatan untuk berkembang, pelatihan, wewenang dan tanggung
jawab, penghargaan atas kinerja. Kompensasi bentuk ini merupakan perwujudan
dari pemenuhan kebutuhan harga diri (esteem) dan aktualisasi (self actualization).
2) Non financial job environment (kompensasi berkaitan dengan lingkungan
pekerjaan)
Kompensasi non finansial mengenai lingkungan pekerjaan ini dapat
berupa supervisi kompetensi (competent supervision), kondisi kerja yang
mendukung (comfortable working conditions), pembagian kerja (job sharing).
(Mondy, 2003, p.442)
Besarnya kompensasi yang diterima karyawan mencerminkan jabatan,
status, dan tingkat pemenuhan kebutuhan yang dinikmati oleh karyawan bersama
keluarganya. Apabila kompensasi yang diterima karyawan semakin besar, berarti
jabatannya semakin tinggi, statusnya semakin baik, dan pemenuhan kebutuhan
yang dinikmatinya semakin banyak pula. Dengan demikian kepuasan kerja
karyawan semakin baik dan hasil kerja pun akan baik.
Menurut Handoko “Pemberian kompensasi untuk meningkatkan motivasi
dan kepuasan kerja karyawan (Handoko, 2003, p.155).” Adanya kompensasi yang
memadai dapat membuat karyawan termotivasi untuk bekerja dengan baik,
mencapai prestasi seperti yang diharapkan perusahaan, dan dapat meningkatkan
tingkat kepuasan karyawan.
16
Sedangkan menurut Hasibuan, “Kompensasi atau balas jasa umumnya bertujuan
untuk kepentingan perusahaan dan karyawan (Hasibuan, 2002, p.135).”
Kepentingan perusahaan dengan pemberian kompensasi yaitu memperoleh
imbalan prestasi kerja yang lebih besar dari karyawan. Sedangkan kepentingan
karyawan atas kompensasi yang diterima, yaitu dapat memenuhi kebutuhan dan
keinginannya dan menjadi keamanan ekonomi rumah tangganya. Bagi perusahaan,
kompensasi merupakan faktor utama dalam kepegawaian. Kebijakan sumber daya
manusia
banyak
berhubungan
dengan
pertimbangan
untuk
menentukan
kompensasi karyawan. Tingkat besar-kecilnya kompensasi sangat berkaitan
dengan tingkat pendidikan, tingkat jabatan, dan masa kerja karyawan.
Menurut Dessler (2000) terdapat empat perbedaan antara kompensasi
berdasarkan keterampilan (skill-based pay) dan kompensasi berdasarkan
pekerjaan atau jabatan (jobbased pay) yaitu: tes kompetensi, efek perubahan
jabatan, senioritas, dan peluang promosi.
Berkaitan dengan pendapat pekerja, biasanya dalam praktek manajemen
yang baik, untuk menentukan sistem kompensasi pimpinan perusahaan
mendengar pendapat para pekerja yang terdapat di dalam perusahaannya, yang
biasanya disampaikan oleh para wakilnya yang duduk dalam pengurus serikat
pekerja. Walaupun pimpinan suatu perusahaan tidak selalu menerima dan
menerapkan pendapat para pekerja tersebut, namun secara psikologis hal tersebut
sangat penting bagi karyawan. Karyawan merasa pendapatnya dihargai dan bagi
pimpinan perusahaan akan lebih memahami kepentingan dan kebutuhan para
karyawannya dengan lebih tepat. Sebaliknya, pada kesempatan itu pula pihak
17
pimpinan perusahaan akan lebih mudah menjelaskan posisi perusahaan pada saat
tersebut, terutama yang menyangkut posisi finansialnya.
Berkaitan dengan kemampuan organisasi, bukan hal yang mustahil jika
para karyawan mempunyai persepsi yang tidak tepat mengenai kemampuan
finansial perusahaan. Misalnya karyawan menilai bahwa perusahaan sebenarnya
mampu untuk memberikan peningkatan kompensasi yang lebih besar lagi kepada
para karyawan, karena keuntungan yang diperoleh selama ini cukup besar untuk
hal tersebut. Para karyawan tentunya beranggapan, bahwa keuntungan yang besar
tersebut juga merupakan hasil jerih payah mereka juga, sehingga wajar apabila
menuntut diberikan peningkatan kompensasi yang lebih besar lagi. Namun
demikian, bisa saja pihak perusahaan mempunyai suatu rencana untuk melakukan
ekspansi atau melakukan modernisasi dengan melakukan pembelian peralatan
baru, sehingga tidak semua keuntungan dibagikan kepada para karyawannya.
Perbedaan persepsi tersebut perlu dihilangkan, dan salah satu upaya untuk
menghilangkannya adalah dengan memberikan penjelasan kepada para karyawan
secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Pada kenyataannya, kondisi ini
sangat sulit diterapkan pada perusahaan-perusahaan di sini, hal ini disebabkan
karena pihak perusahaan tidak transparan dalam memberikan penjelasan
mengenai kemampuan finansialnya kepada karyawan, sebaliknya pihak karyawan
terkadang terlalu menuntut dan memaksakan kehendaknya karena tidak
mempercayai penjelasan pimpinan maupun pemilik perusahaan.
Kedua, sistem yang berlaku pada perusahaan lain yang sejenis. Dengan
menggunakan sistem yang berlaku sebagai kerangka acuan, karyawan biasanya
18
juga membandingkan sistem pembayaran kompensasi tempat ia bekerja dengan
sistem yang berlaku di perusahaan lain di kawasan yang sama, terutama dengan
perusahaan yang menjalankan kegiatan bisnis sejenis. Apabila menurut persepsi
karyawan sistem yang berlaku di perusahaan tempat ia bekerja sebanding dengan
sistem yang berlaku di perusahaan lain yang sejenis, sangat dimungkinkan
karyawan merasa puas; demikian pula apabila yang terjadi sebaliknya.
Ketiga, sistem yang berlaku menurut peraturan perundang-undangan.
Dalam kaitannya dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, biasanya
pemerintah telah menetapkan standar. Para karyawan menggunakan standar
tersebut sebagai pembanding untuk melihat apakah perusahaan tempat mereka
bekerja telah melaksanakan ketentuan tersebut, misalnya peraturan mengenai upah
minimum regional (UMR).
Selain itu, seorang karyawan juga membandingkan kompensasi yang
diterimanya dengan yang diterima karyawan lain. Mereka berpendapat, bahwa
secara obyektif seharusnya semua karyawan yang berada pada tingkat yang sama
dengan pekerjaan yang sama akan mendapatkan kompensasi yang besarnya sama
pula. Apabila ternyata terjadi perbedaan, karena adanya pertimbangan subyektif
maupun diskriminatif, maka karyawan akan merasa tidak puas.
2.4
Produktivitas
Suatu perusahaan yang ingin tumbuh dan berkembang selalu berupaya
meningkatkan produktivitas kerja sebagai sistem organisasi tersebut, termasuk
sistem manajemen, sistem fungsional dan sistem operasional. Bukan merupakan
19
hal yang baru apabila dikatakan bahwa yang dimaksud sengan produktivitas ialah
terdapatnya korelasi “terbalik” antara masukan dan luaran. Artinya, suatu sistem
dapat dikatakan produktif apabila masukan yang diproses semakin sedikit untuk
menghasilkan luaran yang semakin besar. Tentu banyak cara yang digunakan
untuk mengukur tinggi rendahnya produktivitas suatu sistem.
Produktivitas sering pula dikaitkan dengan cara dan sistem yang efisien,
sehingga proses produksi berlangsung tepat waktu dan dengan demikian tidak
diperlukan kerja lembur dengan segala implikasinya, terutama implikasi biaya.
Dan kiranya jelas bahwa yang merupakan hal yang logis dan tepat apabila
peningkatan produktivitas dijadikan salah satu sasaran jangka panjang perusahaan
dalam langka pelaksanaan strateginya.
Produktivitas berasal dari kata “produktiv” artinya sesuatu yang
mengandung potensi untuk digali, sehingga produktivitas dapatlah dikatakan
sesuatu proses kegiatan yang terstruktur guna menggali potensi yang ada dalam
sebuah komoditi/objek. Filosofi produktivitas sebenarnya dapat mengandung arti
keinginan dan usaha dari setiap manusia (individu atau kelompok) untuk selalu
meningkatkan mutu kehidupannya dan penghidupannya.
Secara
umum
produktivitas
diartikan
atau
dirumuskan
sebagai
perbandingan antara keluaran (output) dengan pemasukan (input), sedangkan
menurut Ambar Teguh Sulistiani dan Rosidah (2003:126) mengemukakan bahwa
produktivitas adalah “Menyangkut masalah hasil akhir, yakni seberapa besar hasil
akhir yang diperoleh didalam proses produksi, dalam hal ini adalah efisiensi dan
efektivitas”. Sedangkan menurut Malayu S.P Hasibuan (2003:126) produktivitas
20
adalah : “Perbandingan antara output (hasil) dengan input (masukan).
Internasional Labour Organization (ILO) mengungkapkan bahwa secara lebih
sederhana maksud dari produktivitas adalah perbandingan secara ilmu hitung
antara jumlah yang dihasilkan dan jumlah setiap sumber yang dipergunakan
selama produksi berlangsung (Hasibuan, 2003:126-127). Jika produktivitas naik
ini hanya dimungkinkan oleh adanya peningkatan efesiensi (waktu,bahan,tenaga)
dan sistem kerja, teknik produksi dan adanya peningkatan keterampilan dari
tenaga kerjanya”.
Dari beberapa pendapat tersebut diatas sebenarnya produktivitas memiliki
dua dimensi, pertama efektivitas yang mengarah kepada pencapaian untuk kerja
yang maksimal yaitu pencapaian target yang berkaitan dengan berkualitas,
kuantitas, dan waktu. Kedua yaitu efesiensi yang berkaitan dengan upaya
membandingakan input dengan realisasi penggunaanya atau bagaimana pekerjaan
tersebut dilaksanakan.
Efesiensi merupakan suatu ukuran dalam membandingkan input
direncanakan dengan input sebenarnya. Apabila ternyata input yang sebenarnya
digunakan semakin besar penghematannya, maka tingkat efesiensi semakin tinggi.
Sedangkan efektivitas merupakan ukuran yang memberikan gambaran suatu target
yang dicapai. Apabila kedua tersebut dikaitkan satu dengan yang lainnya, maka
terjadinya peningkatan efektivitas tidak akan selalu menjamin meningkatnya
efesiensi.
Faktor-faktor peningkatan produktivitas, pertama, perbaikan terus menerus,
yaitu upaya meningkatkan produktivitas kerja salah satu implementasinya ialah
21
bahwa seluruh komponen harus melakukan perbaikan secara terus-menerus.
Pandangan ini bukan hanya merupakan salah satu kiat tetapi merupakan salah satu
etos kerja yang penting sebagai bagian dari filsafat manajemen mutakhir. Suatu
organisasi dituntut secara terus-menerus untuk melakukan perubahan-perubahan,
baik secara internal maupun eksternal. Perubahan internal contohnya, yaitu: (a)
perubahan strategi organisasi; (b) perubahan kebijakan tentang produk; (c)
perubahan pemanfaatan teknologi; (d) perubahan dalam praktek-praktek sumber
daya manusia sebagai akibat diterbitkannya perundang-undangan baru oleh
pemerintah. Perubahan eksternal, meliputi: (a) perubahan yang terjadi dengan
lambat atau evolusioner dan bersifat acak; (b) perubahan yang tinggi secara
berlahan tetapi berkelompok; (c) perubahan yang terjadi dengan cepat karena
dampak tindakan suatu organisasi yang dominan peranannya di masyarakat; dan
(d) perubahan yang terjadi cepat, menyeluruh dan kontinyu.
Kedua, peningkatan mutu hasil pekerjaan. Peningkatan mutu hasil
pekerjaan dilaksanakan oleh semua komponen dalam organisasi. Bagi manajemen,
misalnya, perumusan strategi, penentuan kebijakan, dan proses pengambilan
keputusan. Yang tidak kalah pentingnya dalam pelaksanaan kegiatan organisasi
yaitu mutu laporan, mutu dokumen, mutu penyelenggaraan rapat, dan lain-lain.
Ketiga, pemberdayaan sumberdaya manusia. Memberdayakan sumberdaya
manusia mengandung kiat untuk: (a) mengakui harkat dan martabat manusia
sebagai makhluk yang mulia, mempunyai harga diri, daya nalar, memiliki
kebebasan memilih, akal, perasaan, dan berbagai kebutuhan yang beraneka ragam;
(b) manusia mempunyai hak-hak yang asasi dan tidak ada manusia lain (termasuk
22
manajemen) yang dibenarkan melanggar hak tersebut. Hak-hak tersebut yaitu hak
menyatakan pendapat, hak berserikat, hak memperoleh pekerjaan yang layak, hak
memperoleh imbalan yang wajar dan hak mendapat perlindungan; (c) penerapan
gaya manajemen yang partisipasif melalui proses berdemokrasi dalam kehidupan
berorganisasi. Dalam hal ini pimpinan mengikutsertakan para anggota organisasi
dalam proses pengambilan keputusan.
Keempat, kondisi fisik tempat bekerja yang menyenangkan.Kondisi fisik
tempat kerja yang menyenangkan memberikan kontribusi nyata dalam
peningkatan produktivitas kerja, antara lain: (a) ventilasi yang baik; (b)
penerangan yang cukup; (c) tata ruang rapi dan perabot tersusun baik; (d)
lingkungan kerja yang bersih; dan (e) lingkungan kerja vang bebas dari polusi
udara.
Kelima, umpan balik. Pelaksanaan tugas dan karier karyawan tidak dapat
dipisahkan dari penciptaan, pemeliharaan, dan penerapan sistem umpan balik
yang objektif, rasional, baku, dan validitas yang tinggi. Objektif dalam arti
didasarkan pada norma-norma yang telah disepakati bukan atas dasar emosi,
senang atau tidak senang pada seseorang. rasional dalam arti dapat diterima oleh
akal sehat. Jika seseorang harus dikenakan sangsi disiplin, status berat-ringannya
disesuaikan dengan jenis pelanggarannya. Validitas yang tinggi, dalam arti
siapapun yang melakukan penilaian atas kinerja karyawan didasarkan pada tolok
ukur yang menjadi ketentuan.
23
2.5
Hubungan/pengaruh
Sebagai pijakan hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya
kaitannya dengan penelitian ini antara lain adalah tentang Pengaruh lklim
Organisasi, Pendidikan, dan Pengalaman Kerja terhadap Kinerja Karyawan di PT.
Air Mancur. Hasil penelitian ini menyimpulkan ada hubungan yang signifikan
antara variabel iklim organisasi, pendidikan, dan pengalaman kerja dengan
Kinerja Karyawan (Kurniawan, 2005).
Penelitian relevan lainnya adalah
tentang Pengaruh Upah, Motivasi, Disiplin Kerja terhadap Produktivitas Kerja
Karyawan di Perusahaan Plastik Bintang Fajar Surakarta. Hasil pengujian
hipotesis menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara variabel upah,
motivasi, dan disiplin kerja terhadap produktivitas kerja karyawan di perusahaan
plastik Bintang Fajar Surakarta, baik secara individual maupun bersama- sama
(Luciana, 2005).
Penelitian yang dilakukan oleh Totok Suryanto (2008) tentang Hubungan
Gaya Kepemimpinan, Motivasi, dan Pelatihan dengan Peningkatan Kualitas
Produksi Berita menunjukkan adanya hubungan yang positif antara gaya
kepemimpinan dengan kualitas berita.
Demikian pula penelitian Wahyuddin dan Narimo (2005) tentang Faktorfaktor Penentu Produktivitas Kerja Pegawai Kantor Sekretariat Daerah Kabupaten
Karanganyar. Temuan dalam penelitian adalah bahwa motivasi berpengaruh
negatif terhadap produktivitas kerja pegawai, sedangkan pengawasan berpengaruh
positif terhadap produktivitas kerja di Setda Kabupaten Karanganyar.
Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Diniah Damayanthi dan
24
Wahyuddin (2006) tentang Pengaruh Kompensasi, Pendidikan dan Senioritas
Terhadap Produktivitas Kerja di Lingkungan Dinas Kebersihan dan pertamanan
Kota Surakarta menyimpulkan bahwa “Variabel kompensasi, pendidikan, dan
senioritas secara individual berpengaruh secara signifikan terhadap produktivitas
kerja pegawai di lingkungan Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota
Surakarta.Variabel bebas kompensasi, pendidikan, dan senioritas secara bersamasama berpengaruh secara signifikan terhadap produktivitas pegawai di lingkungan
Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surakarta”.
25
Download